Hukuman Mati Dan Hak Asasi Manusia Dalam Peraturan Perundang-undangan; Label Pangan Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Konsumen; Implikasi Hukum Penerapan Class Action Dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup; Sistem Bagi Hasil Antara Pajak Provinsi Dengan Kabupaten Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009; Implementasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Transfer Dana Dalam Rangka Menuju Kepastian Hukum Bertransaksi Dana. Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana di Bidang Perpajakan; Volume 12, No.1 Nop 2011 Volume 12, No.1 Nop 2011 ISSN 1412-2928 i JURNAL “YUSTITIA” Pimpinan Umum/Penanggung Jawab Dekan Fakultas Hukum Universitas Madura Pimpinan Redaksi Muhammad, S.H.,MH. Wakil Pimpinan Redaksi Achmad Rifai, S.H., M.Hum. M.Amin Rachman, S.H., MH. Sekretaris Redaksi Sri Sulastri, S.H.,M.Hum. Konsultan Redaksi Drs. H. Kutwa, M.Pd. Drs. H. Abd. Roziq, MH. Dr. H. Akh. Munif, S.H.,M.Hum. Redaksi Pelaksana H. Gatot Subroto, S.H.,M.Hum. Dr. Ummi Supratiningsih, S.H.,M.Hum. Win Yuli Wardani, S.H.,M.Hum. Adriana Pakendek, S.H., MH.M.Si.,MM. Anni Puji Astutik, S.H., MH. Pembantu Umum Hj.Wasilaning Rahayu Toyyib Muniri Alamat Redaksi Jl. Raya Panglegur Km.3,5 Telp. (0324) 322231, Fax. (0324) 327417 Pamekasan E-mail: [email protected] Yustitia diterbitkan satu kali dalam setahun, sebagai media komunikasi ilmu pengetahuan hukum dan pembangunan. Untuk itu, redaksi menerima sumbangan tulisan ilmiah yang belum pernah diterbitkan dalam media lain, dengan persyaratan seperti yang tercantum pada halaman sampul belakang. ii Volume 12, No.1 Nop 2011 EDITORIAL Pencantuman hukuman mati dalam beberapa Undang-undang yang berlaku di Indonesia merupakan bentuk inkonsistensi negara terhadap ideologi dan konstitusi negaranya sendiri. Dalam Pancasila dan UUD 1945 ditegaskan bahwa hak hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa negara menjamin hak hidup dari setiap warga negaranya. Tetapi dalam perundang-undangan Indonesia masih banyak Undang-undang yang mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu ancaman hukumannya..Hal ini diangkat sebagai tulisan utama dalam volume ini. Tulisan ke dua memaparkan tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan merupakan suatu undang-undang dan peraturan pemerintah yang mengatur tentang label pangan sebagai bentuk perlindungan hukum bagi konsumen namun masih banyak pelanggaran dan ditemukan makanan dan minuman yang dijual tidak berlabel terutama mamin produk rumah tangga. Dampak yang mempengaruhi penerapan class action tentunya sangat signifikan baik ditinjau dari sisi kebaikannya dimana denagan adanya class action mempermudah perkara ke pengadilan, memperingan biaya dan pemahaman pengetahuan tentang hukum namun demikian dari sisi lain masih ada kelemahan dimana publikasi gugatan terhadap tergugat sangat menyudutkan, serta pengelolaan keuangan sangat sulit dalam pembagiannya. Tulisan ke empat pajak tiada lain adalah mengambil hak rakyat, oleh karena itu maka setiap pungutan pajak harus dilaksanakan secara hati-hati. Namun terhadap wajib pajak berdasarkan ketentuan kena pajak, maka wajib pajak harus membayar pajak. Berbeda halnya jika wajib pajak dikenakan pajak sebagaimana mestinya, maka wajib pajak dapat mengajukan upaya hukum. Kegiatan transfer dana di lndonesia telah menunjukkan peningkatan, baik dari jumlah transaksi, jumlah nilai nominal transaksi, maupun jenis media yang digunakan, perkembangan media transfer dana dan permasalahan yang terjadi, diperlukan pengaturan yang menjamin keamanan dan kelancaran transaksi transfer dana serta memberikan kepastian bagi pihak yang terkait. Adapun tulisan yang ke enam adalah mengenai keberadaan pengadilan pajak, yang menurut Mahkamah Agung lembaga peradilan tersebut inkonstitusional. Sehingga segala akibat hukum yang dilahirkan oleh lembaga peradilan itu adalah illegal. Namun nyatanya hingga saat ini lembaga peradilan tersebut masih ada dan melakukan aktifitasnya sebagai lembaga peradilan. Editor Volume 12, No.1 Nop 2011 iii DAFTAR ISI …………………………………………………… ii 1. Mohammad, S.H.,MH. Hukuman Mati Dan Hak Asasi Manusia Dalam Peraturan PerundanganUndangan ……………………………………………………………………. 1 2. Adriana Pakendek, S.H. MH, M.Si.,MM. Label Pangan Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Konsumen …. 23 3. M.Amin Rachman, SH.,MH. Implikasi Hukum Penerapan Class Action Dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup ......................................................................... 55 4. H. Akh. Munif. Sistem Bagi Hasil Antara Pajak Provinsi Dengan Kabupaten Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 ................................ 96 5. Agus Tri Purwandi, S.H.,MH. Implementasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Transfer Dana Dalam Rangka Menuju Kepastian Hukum Bertransaksi Dana ........ 127 6. Anni Puji Astutik, SH.,MH. Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana di Bidang Perpajakan ............. 136 EDITORIAL iv Volume 12, No.1 Nop 2011 HUKUMAN MATI DAN HAK ASASI MANUSIA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh : Mohammad, S.H.,M.H.1 ABSTRAK Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik. Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD 1945, Pasal 28 ayat (1), menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati. Kata Kunci: Hukuman Mati – Hak Asasi Manusia – Perundangundangan. A. Pendahuluan Perdebatan tentang pidana mati sudah cukup lama berlangsung, tidak terkecuali Indonesia yang masih mencantumkan pidana mati dalam hukum positifnya. Pembicaraan hukuman mati kembali muncul ketika pada tahun 2003 Presiden Megawati menolak grasi empat terpidana mati karena kasus narkotika. Terakhir adanya permohonan Judicial Review terhadap Undang-Undang Narkotika kepada Mahkamah Konstitusi pada bulan Juli 2007 lalu. Perdebatan terjadi dua kelompok yang masingmasing kelompok mengemukakan argumentasinya secara logis. Perlu atau tidak sanksi pidana dapat dilihat dari apakah pidana mati dapat berperan sebagai sarana prevensi dan represi. Hal ini sangat dipengaruhi oleh sifat hakekat sanksi, persepsi terhadap sanksi itu sendiri dan kepastian pelaksanaan sanksi, serta kecepatan penindakan / 1 Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Madura-Pamekasan. Volume 12, No.1 Nop 2011 v penerapan sanksi, sehingga hal ini mempengaruhi efektivitas sanksi pidana mati sebagai sarana prevensi dan revrensi. Efektivitas pidana mati di Indonesia, kendalanya terletak pada subtansi peraturan, terdapat kelemahan pada pengaturan permohonan peninjauan kembali dan grasi. Sehingga terdapat tenggang waktu yang relative lama untuk sampai pada penerapan eksekusi. Namun demikian, kajian ini perlu dibuktikan secara emperis dan faktual. Hukuman mati (the death penalty), sekalipun sudah memicu perdebatan sejak ratusan tahun lalu, namun tetap menjadi sorotan publik bahkan memicu kerusuhan yang berujung pada tindakan perusakan terhadap sejumlah kantor pemerintah. Setidaktidaknya, reaksi itulah yang terjadi pada hari-hari pasca eksekusi terhadap Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, terpidana mati dalam kasus kerusuhan Poso, yang “diakhiri’ nyawanya oleh regu tembak pada tanggal 22 September 2006. Putusan pidana mati juga diberikan pada Kolonel Laut (S) M. Irfan Djumroni. Dia divonis mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti) III-Surabaya pada 2 Februari 2006. Dia dipecat dari kesatuan TNI-AL karena membunuh isterinya Ny Eka Suhartini dan Ahmad Taufik SH, hakim pada Pengadilan Agama Sidoarjo, pada 21 September 2005 bersamaan sidang putusan gono gini perceraiannya di Pengadilan Agama Sidoarjo. Dia dinilai melanggar pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, dan melanggar Undang-Undang Nomor 12 tahun 1951 tentang kepemilikan senjata tanpa izin. Kemudian hukuman mati yang paling mendapatkan perhatian publik yakni ketika pelaksanaan hukuman mati terhadap pelaku bom Bali Amrozi Cs, Hukuman mati terhadap Amrozi, Cs bukanlah terpidana terakhir yang harus menghadapi hukuman mati, tetapi masih ada ratusan terpidana mati lain yang kini sedang menunggu pelaksanaan hukuman mati. Angka ini jelas bukan merupakan jumlah yang kecil, bila mengingat Indonesia –menurut catatan Amnesty International- tergolong sebagai salah satu negara yang paling minim menerapkan hukuman mati sampai tahun 2001, dikaitkan pula dengan jumlah negara penganut hukuman mati (retentionist countries) yang terus-menerus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bisa jadi, kini Indonesia menjadi salah satu negara yang paling banyak menjatuhkan hukuman mati dibanding negara lain di dunia. Secara yuridis, pelaksanaan hukuman mati, didasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewssdje). Putusan mana didasarkan pada ketentuan hukum positif yang berlaku, seperti KUHP, Undang-Undang Nomor 7/Drt/1955, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, dan lain sebagainya. Dari kenyataan ini, terlihat bahwa penerapan hukuman mati di Indonesia semakin menunjukkan kecenderungan yang meningkat dilihat dari peningkatan jumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur hukuman mati. Persoalannya, apakah penerapan hukuman mati, memang masih layak dipertahankan? Sejalankah praktek penghukuman seperti itu dilihat dari perspektif hak asasi manusia dan tujuan penghukuman itu sendiri?. vi Volume 12, No.1 Nop 2011 Beberapa filsafat memandang tujuan penghukuman atau pidana sebagai bentuk pembalasan dan pemberi rasa takut atau efek pencegah (deterrent effect) bagi orang lain agar tidak melakukan kejahatan serupa di kemudian hari. Di sisi lain, ada pula yang memandang hukuman sebagai cara untuk memperbaiki dan memberi efek jera bagi si pelaku sehingga tidak mau lagi melakukan perbuatan serupa di kemudian hari. Menurut pandangan pertama, tujuan hukuman baru akan terwujud apabila pelaku kejahatan diganjar dengan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya dan semakin berat hukuman akan semakin membuat orang takut melakukan kejahatan. Masalahnya, apakah filosofi deterrent effect itu berjalan efektif? Melihat praktek pelaksanaan pidana mati yang ada di Inggris, dimana pada saat orang ramai berkerumun untuk menyaksikan penggantungan sang pencopet, para pencopet lain justeru menggunakan kesempatan itu untuk menggerayangi saku para penonton, melahirkan keraguan apakah penerapan hukuman mati akan membuat orang takut atau justeru semakin berani untuk melakukan kejahatan. Bila penerapan hukuman mati itu dimaksudkan sebagai ketentuan hukum tertulis yang berfungsi untuk menakut-nakuti (sock therapy law), justeru semakin banyak orang yang tidak takut melakukan korupsi, membunuh secara berencana, melakukan kejahatan terorisme, pelanggaran hak asasi manusia, dan sebagainya. Hukuman mati, mungkin akan membuat kejahatan si pelaku terbalaskan setidaknya bagi keluarga korban dan akan membuat orang lain takut melakukan kejahatan karena akan diancam dengan hukuman serupa. Namun hal itu jelas tidak akan dapat memperbaiki diri si pelaku dan membuat dirinya jera untuk kemudian hidup menjadi orang baik-baik, karena kesempatan itu sudah tidak ada lagi disebabkan dirinya sudah dimatikan sebelum sempat memperbaiki diri. Sebaliknya, tanpa dihukum mati pun, seorang pelaku kejahatan dapat merasakan pembalasan atas tindakannya dengan bentuk hukuman lain, misalnya dihukum seumur hidup dengan atau tanpa pencabutan beberapa hak tertentu atau penjara di tempat yang jauh dan terpencil. Begitu juga bagi masyarakat, penjatuhan hukuman penjara untuk waktu tertentu di suatu tempat tertentu atau perampasan beberapa barang tertentu, dapat memberi rasa takut bagi seseorang untuk melakukan kejahatan. Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktek hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah kesejahteraan atau kemiskinan suatu masyarakat dan berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum. Dukungan hukuman mati didasari argumen diantaranya bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara penjahat bisa jera Volume 12, No.1 Nop 2011 vii dan bisa juga membunuh lagi jika tidak jera,pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara kehidupan yang lebih luas. Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri,keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban.Lain halnya bila memang keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa diubah dengan prasyarat yang jelas. Hingga Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktek hukuman mati, termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktek hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati. Praktek hukuman mati juga kerap dianggap bersifat bias, terutama bias kelas dan bias ras. Di Amerika Serikat, sekitar 80% terpidana mati adalah orang non kulit putih dan berasal dari kelas bawah. Sementara di berbagai negara banyak terpidana mati yang merupakan warga negara asing tetapi tidak diberikan penerjemah selama proses persidangan. Berangkat dari pemahaman tersebut, jelas bahwa pelaksanaan hukuman mati sampai saat ini masih menimbulkan pro dan kontra, untuk itu penulis ingin mengangkat persoalan ini dalam sudut pandang hak asasi manusia, sebagaimana diketahui bahwa setiap orang memiliki hak yang sama atas hak hidup dan hak atas perlindungan hukum. Namun ada hal-hal lain yang menjadikan persoalan ini semakin menarik ketika pelaksanaan hukuman mati dilakukan kepada pasangan pelaku bom Bali, Amrozi, Cs, bahkan dunia internasionalpun mengamati pelaksanaan hukuman mati terhadap pelaku teroris tersebut. Pidana mati adalah sebagai suatu Social Defence yaitu suatu pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman bahaya besar yang mungkin terjadi yang akan menimpa masyarakat, yang akan mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggu ketertiban serta keamanan rakyat umum dalam pergaulan hidup manusia bermasyarakat dan beragama / bernegara Pidana mati adalah The Right of The Social Defence, yaitu suatu hak di dalam pertahanan sosial. Hukuman ini diperlukan karena hukuman konvensional sudah tidak dapat lagi untuk menanggulangi tindak pidana yang dilakukan disamping itu, hukuman mati ini diperlukan untuk mempertahankan suatu ketertiban dan keamanan dalam suatu masyarakat dan demi keutuhan sistem yang dianut dalam suatu masyarakat atau negara. 2 2 Hartawi A.W, The Death Penalty, Majalah Universitas Diponegoro, Tahun I No. 5, dalam Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati Di Indonesia, Dimasa Lalu, Kini Dan Di Masa Depan, Cet. Kedua, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, h. 29-30 viii Volume 12, No.1 Nop 2011 Hak Asasi Manusia sesuai dengan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ditegaskan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik. Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD '45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati. Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati. Hingga tahun 2006 tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti: KUHP, Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Anti Korupsi, Undang-Undang Anti terorisme, dan Undang-Undang Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya Undang-Undang Intelijen dan Undang-Undang Rahasia Negara. Pembicaraan tentang pidana mati akhir-akhir ini menjadi marak kembali, terutama setelah para penganjur hak-hak asasi manusia, misalnya lembaga Kontras, yang meyakini bahwa hak hidup adalah hak paling asasi dan secara kodrati melekat dalam diri setiap manusia, yang oleh sebab itu tak dapat dikurangi ataupun dirampas menyatakan bahwa penerapan pidana mati benar-benar bertentangan dengan ide dasar hak-hak asasi manusia . Untuk itu mereka berkampanye akan pengahapusan hukuman mati. Di negeri-negeri dimana penerapan hukuman mati masih dimungkinkan demi hukum, gerakan sosial politik untuk penghapusan pidana mati banyak pula diperjuangkan oleh lembaga lembaga advokasi Hak Asasi Manusia . Para Human rights defenders ini menggolongkan hukuman mati sebagai pelanggaran prinsip Hak Asasi Manusia yang bernilai universal yang mana hak-hak kodrati manusia juga untuk hidup tidaklah boleh dirampas dan tidak bisa dicabut oleh kekuasaan politik manapun juga berada. Perjuangan seperti itu telah memetik hasilnya di negara-negara industri maju yang sudah pada dasawarsa-dasawarsa pertama seusai perang dunia II menghapus pidana mati dari khazanah perundang-undangan nasionalnya. Di negeri yang resmi penerapan hukum positifnya masih mengenal pidana mati, pun penerapannya telah amat Volume 12, No.1 Nop 2011 ix dibatasi, dan andaikata pidana ini telah terlanjur dijatuhkan, tapi eksekusinya tidak segera untuk dilakukan. Dari perspektif hak asasi manusia, penerapan hukuman mati dapat digolongkan sebagai bentuk hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu”. Jaminan ini dipertegas dengan Pasal 5 DUHAM dan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR) yang berbunyi, “Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina“ dan dikuatkan dengan Protokol Opsional Kedua atas Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik tahun 1989 tentang Penghapusan Hukuman Mati. Sekalipun instrumen hukum internasional yang mengatur persoalan hak asasi manusia tersebut tidak dapat memaksa suatu negara untuk mematuhinya kecuali negara yang bersangkutan telah menandatangani rumusan hukum yang tertuang dalam perjanjian internasional yang dibuat untuk itu, namun sebagai bagian dari masyarakat bangsa-bangsa yang berkomitmen memajukan hak asasi manusia, Indonesia wajib menghormati dan melindungi hak asasi manusia setiap warga negaranya tanpa pandang bulu. B. Fungsionalisasi Hukum Pidana Sifat hukum pidana sebagai ultimum remedium 3, masih banyak diikuti sebagian besar ahli hukum dan praktisi hukum di Indonesia, meskipun pemberlakuan sejumlah Undang-undang yang termasuk dalam kategori hukum-hukum sektoral seperti Undang-undang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Hak Asasi Manusia, telah meretas suatu dimensi baru dari hukum pidana. Bila semula hukum pidana mempunyai fungsi yang subsider, artinya sanksi dalam hukum pidana, berupa sanksi yang negatif, baru diterapkan bila sarana-sarana atau upaya-upaya yang ada, seperti instrumen-instrumen hukum perdata, hukum administrasi negara, dianggap belum dapat memberikan pemecahan masalah-masalah hukum yang ada didalam masyarakat secara memadai, sekarang mulai diperkenalkan bahwa fungsi yang subsider itu berjalan bersama-sama dengan instrumen-instrumen hukum yang lainnya dalam penegakan hukum. Ada kemungkinan ia tidak lagi hanya mengemban yang subsider itu. Jadi, bagaimana cara pandang masyarakat terhadap hukum pidana sebagai sarana pengendalian social dalam penegakan hukum, tergantung pada pandangan- x 3 Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hal. 50 Volume 12, No.1 Nop 2011 pandangan yang melatarbelakangi cara pandang itu. Menurut Sudarto ada tiga pandangan tentang hukum yaitu : a. b. c. pandangan legalistis (ajaran legalisme) pandangan fungsional (ajaran hukum yang fungsional), dan pandangan kritis (ajaran hukum yang kritis) 4 Pandangan yang legalistis ini tercermin dalam adagium “ setiap orang dianggap mengetahui undang-undang”. Dalam pandangan ini, hukum diidentifikkan dengan undang-undang. Menurut Sudarto, ahli hukum yang bekerja dengan cara pandang ini, akan mengalami kesulitan untuk mengatur dan memecahkan masalahmasalah masyarakat yang semula homogen, kini menjadi heterogen. Dalam konteks hukum pidana, norma-norma hukum pidana hanya ada dalam ketentuan-ketentuan tertulis yang dibuat dan diberlakukan institusi negara, diluar itu tidak ada hukum pidana. Pandangan bahwa hukum pidana harus selalu tertulis demi menjaga dan menegakkan asas legalitas dalam hukum pidana, masih dapat diterima. Namun ketika dinamika masyarakat begitu cepat, ajaran ini tidak dapat memberikan jawaban bagaimanakah hukumnya yang seharusnya. Persoalan-persoalan keadilan mungkin saja dapat diselesaikan dengan dijatuhkannya pidana, karena penjatuhannya semata-mata ditujukan untuk memuaskan keadilan, memberikan balasan setimpal atas kejahatan yang dilakukan pelaku tindak pidana, seperti barang siapa yang berbuat kejahatan yang berat maka akan dijatuhi hukuman mati. Sebaliknya ajaran ini tidak memberikan jawaban apakah penjatuhan hukuman mati itu akan dapat melindungi masyarakat dari berbagai bentuk dinamika kejahatan. Menurut Muladi, penerapan pendekatan yang bersifat tradisional itu membawa konsekuensi fungsi hukum pidana akan selalu diarahkan terutama untuk mempertahankan dan melindungi naili-nilai moral. Ada tidaknya unsur kesalahan (guilt) merupakan unsur utama dalam syarat pemidanaan dan biasanya hal ini berkaitan erat dengan teori pemidanaan yang bersifat retributive. 5 Menurut teori retributive (teori absolut; teori pembalasan), pidana dijatuhkan karena semata-mata orang telah melakukan kejahatan / tindak pidana. Pembalasan dendam merupakan suatu pembalasan yang berusaha memuaskan hasrat balas dendam para korban atau orang-orang yang bersimpati kepada korban sedangkan hukuman / pidana yang merupakan penebusan (retribution) tak berusaha memenangkan atau menghilangkan emosi para korban, namun lebih bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan. 4 Ibid, hal. 32 Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana Di Dalam Kejahatan Yang Dilakukan Oleh Korporasi, makalah pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, Fak. Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1989, hal. 4 Volume 12, No.1 Nop 2011 xi 5 Dalam pada itu, adanya pemanfaatan hukum pidana bagi masyarakat, tercermin pada pandangan-pandangan Bentham tentang tujuan-tujuan dari pidana, yaitu : a. b. c. d. mencegah semua pelanggaran, mencegah pelanggaran yang paling jahat, menekan kejahatan menekan kerugian / biaya sekecil-kecilnya.6 Memperhatikan tujuan-tujuan dari pidana tersebut, terlihat bahwa betapa besar peranan hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu system hukum. Penggunaan hukum pidana menurut pandangan fungsional dititikberatkan pada penilaian apakah sanksi pidana itu dapat menciptakan kondisi yang lebih baik, ekuivalen dengan pandangan utilitarian. Pandangan ini melihat ketertiban umum (public order) sebagai sarana perlindungan masyarakat, dengan demikian pembenaran penggunaan hukum pidana bukanlah karena orang melakukan kejahatan, melainkan supaya orang tidak melakukan kejahatan. Selanjutnya, menyangkut ajaran hukum kritis, sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa ajaran hukum kritis ini memandang hukum sebagai bagian dari masyarakat. Hukum dikaji dengan menggunakan ukuran-ukuran yang digunakan oleh hukum itu sendiri, yaitu sejauhmana isi yang khas yang tersembunyi dibalik bentuk yuridis yang universal itu itu ditentukan oleh perbandingan kekuatan dan struktur kepentingan yang ada di masyarakat. Sehingga watak hukum yang sebenarnya dapat dipahami melalui aspirasiaspirasi menuju ke hukum yang optimal, yang melekat pada asas-asas hukum, yang ditujukan mengurangi kesewenang-wenangan penguasa dan melindungi hak-hak asasi manusia. Berangkat dari konsep pemahaman ini maka setiap penjatuhan pidana, baik itu berupa hukuman penjara, bahkan sampai pada penjatuhan berupa hukuman mati harus tetap mengacu kepada kedua konsep diatas, yaitu harus menjunjung rasa keadilan dan hak-hak asasi manusia.7 Sesuai dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Kemudian, dalam pasal 17 dan pasal 18 Undang-undang tersebut menegaskan bahwa setiap orang : 6 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hal. 30 7 Sudarto, op.cit, hal. 17 Volume 12, No.1 Nop 2011 xii “… tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar “ “…yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Berangkat dari kedua pasal tersebut, maka penjatuhan hukuman mati dalam system hukum pidana di Indonesia masih memerlukan beberapa renungan kembali, Terlebih dalam pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 menegaskan bahwa “setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.” Untuk itu, tidaklah heran jika terjadi polemik tentang hukuman mati di Indonesia. Perdebatan antara kubu yang mendukung dan menolak hukuman mati kembali menghangat minggu-minggu belakangan ini. C. Beberapa Pandangan Atas Tujuan Pemidanaan Dalam teori hukum terdapat tujuan pemidanaan yang secara garis besar dapat dibagai kedalam tiga kelompok teori yaitu : 1. Teori Absolut atau Mutlak atau Teori Pembalasan Menurut teori ini absolut ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seorang mendapat pidanapun karena telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang mungkin akan timbul akibat adanya penjatuhan pidana ini. Teori ini terkesan pembalasan (vergelding) oleh banyak orang dikemukakan sebagai alasan untuk mempidana suatu kejahatan. Kepuasan hatilah yang dikejar, selain itu tidak ada.8 Dengan meluasnya pembalasan kepuasan hati ini pada sekelompok orang maka meluas pula sasaran dari pembalasan kepada orang-orang lain dari si penjahat, yaitu pada sanak saudara atau kawan-kawan dekatnya. Jadi, teori pembalasan ini berpendapat bahwa pidana perlu dikenakan sebagai bentuk pembalasan atas apa yang telah diperbuat oleh si penjahat. Jadi dasar keadilan dari hukum adalah terletak pada perbuatan jahat itu sendiri, seseorang telah dijatuhi hukuman karena telah berbuat jahat, sehingga hakekat dari pemidanaan adalah semata-mata untuk menghukum dan membalas perbuatan yang telah dilakukan. 8 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Eresco, Bandung, 1989, hal. 21 Volume 12, No.1 Nop 2011 xiii 2. Teori Relatif atau Teori Tujuan Menurut teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk itu tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, melainkan harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri, jadi adanya pemidanaan ini harus dikaji dari peristiwa-peristiwa masa lampau dan juga tujuannya untuk masa depan si terpidana. Maka harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja. Dengan demikian teori-teori ini juga dinamakan teori tujuan. Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada usaha agar dikemudian hari, kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang lagi (prevensi).9 Prevensi ini ada dua macam yaitu prevensi khusus atau special dan prevensi umum atau general. Keduanya berdasar atas gagasan bahwa mulai dengan ancaman akan dipidana dan kemudian dengan dijatuhkannya pidana, orang akan takut menjalankan kejahatan.10 Dalam prevensi special, hal membuat takut ini ditujukan kepada si penjahat, sedangkan dalam prevensi umum diusahakan agar para oknum semua sama takut akan menjalankan kejahatan. Teori tujuan ini, disamping memiliki konsep seperti diatas juga melihat bahwa dengan menjatuhkan pidana ditujukan agar memperbaiki si penjahat menjadi orang baik, yang tidak akan lagi melakukan kejahatan. Memperbaiki si penjahat disini terdapat tiga hal pokok yaitu perbaikan yuridis, perbaikan intelektual dan perbaikan moral. Perbaikan yuridis mengenai sikap si penjahat dalam hal mentaati undangundang, perbaikan intelektual mengenai cara berpikir si penjahat agar ia insyaf akan buruknya kejahatan, sedangkan perbaikan moral mengenai rasa kesusilaan si penjahat, agar ia menjadi orang yang bermoral tinggi. 3. Teori Gabungan Disamping ada teori-teori absolut dan teori-teori relatif tentang hukum pidana, kemudian muncul teori ketiga, yang disatu pihak mengakui adanya unsure pembalasan dalam hukum pidana, tetapi dilain pihak mengakui pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana. Jadi didalam teori gabungan ini mendasarkan pandangannya pada teori pembalasan dan teori tujuan. Hal ini berarti bahwa dalam teori gabungan ini yang menjadi dasar dari pemidanaan, disamping terletak pada kejahatan itu sendiri yaitu pembalasan, juga diakuinya maksud atau tujuan dari pemidanaan yang mencari manfaat dari penjatuhan hukuman yang diberikan kepada si penjahat. Dari uraian diatas, dapatlah disimpulkan bahwa yang menjadi dasar dari hukum bukanlah hak individu, melainkan hak yang pokok bagi kebutuhan penghidupan masyarakat bahwa hukum timbul karena manusia hidup bersama dan hanya dapat hidup bersama, dan hukum itu tidak tergantung pada kehendak penguasa. Denmgan demikian, 9 Ibid, hal. 23 Ibid Volume 12, No.1 Nop 2011 10 xiv tujuan hukum pidana berkembang menjadi untuk melindungi individu dan sekaligus masyarakat terhadap kejahatan dan penjahat itu haruslah disertai penentuan tujuan pemidanaan yang tidak klasik dengan pidana tidak hanya semata-mata sebagai pembalasan. Setelah memahami bahwa pemidanaan (penghukuman secara legal di bidang hukum pidana) mempunyai sejumlah tujuan, diantaranya menakut-nakuti warga masyarakat luas agar tidak melakukan suatu tindak kriminal, membuat jera si pelaku, merehabilitasi si pelaku agar tidak lagi berbuat kejahatan. Namun, dalam kenyataannya tujuan pemidanaan ini pun banyak yang tidak mampu diwujudkan karena vonis pengadilan, yang tidak jarang terlalu kontras dengan rasa keadilan. Adanya putusan bebas terhadap pelaku kejahatan, jelas sangat melukai rasa keadilan masyarakat. Dampak langsung dari fenomena itu adalah membawa masyarakat membuat bentuk social control. Oleh karena itu jika dicermati beberapa kasus kekerasan di Indonesia yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia adalah salah satu dari lemahnya penegakan hukum. Kasus yang paling hangat saat ini adalah peledakan bom di Bali merupakan suatu kejahatan. Pelakunya diancam dengan hukuman mati dalam KUHP pasal 340 dan masuk dalam pembunuhan yang direncanakan (mood). Apabila Undang-undang Antiterorrisme pun digunakan sebagai dasar putusan kemungkinan tidak jauh ada perbedaan karena KUHP adalah landasan pokok dari segala bentuk perundangundangan pidana (dogmatik hukum). Untuk itu tentunya dibutuhkan para hakim yang berwawasan luas, memiliki kedalaman ilmu hukum, memiliki kedekatan dengan rasa keadilan rakyat banyak dan tidak berkiblat pada kepentingan politik partai atau golongan tertentu. Karena para hakim inilah sebagai ujung tombak untuk memulihkan kepercayaan warga masyarakat terhadap law enforcement di Indonesia. D. Pidana Mati Dalam Perundang-undangan Indonesia Secara etimologis istilah “hukum” telah menjadi bahasa nasional Indonesia. Istilah hukum sering kali disinonimkan dengan “recht” {Belanda}, ‘law’ {Inggris} dan lain sebagainya. Keragaman disiplin ilmu serta latar belakang pengalaman seseorang, menyebabkan beragam pula dalam memberikan arti tentang hukum. Namun telah kita sepakati bersama bahwa pengertian hukum adalah aturan atau norma yang dibuat oleh pihak berwenang yang bersifat mengikat dan memaksa dan bertujuan menciptakan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat.11 Setelah kita menyepakati bahwa sifat hukum adalah mengatur dan memaksa, oleh karena itu, barang siapa yang melakukan pelanggaran terhadap hukum wajib mempertanggungjawabkan secara hukum dan dapat dikenai sanksi atau hukuman sesuai dengan pelanggarannya. Agar hukum tetap ditaati oleh setiap orang maka kualitas 11 Dirdjosisworo, Soedjono, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 12 Volume 12, No.1 Nop 2011 xv hukum harus dijaga. Hukum yang berkualitas adalah hukum yang mengandung nilainilai keadilan bagi seluruh masyarakat dan sesuai dengan kehendak / aspirasi mereka. Sebab, hukum yang baik akan menjamin kepastian hak dan kewajiban secara seimbang kepada tiap-tiap orang. Oleh karena itu, tujuan hukum adalah di samping akan menjaga kepastian hukum juga menjaga sendi-sendi keadilan yang hidup dalam masyarakat. Begitu pula terhadap pertanggungjawaban atas pelaku tindak pidana tertentu yang menimbulkan kerugian yang besar baik jiwa, materi dan kelangsungan kehidupan generasi kedepan. Seperti tindak pidana terorisme, narkotika dan sebagainya. Sudah terang, hukuman mati untuk kejahatan tersebut berdasar atas pembalasan terhadap perbuatan yang sangat kejam dari seorang manusia. Tujuan menjatuhkan dan menjalankan hukuman mati selalu diarahkan kepada khalayak ramai agar mereka, dengan ancaman hukuman mati, akan takut melakukan perbuatan-perbuatan kejam yang akan mengakibatkan mereka dihukum mati. Berhubungan dengan inilah pada jaman dahulu hukuman mati dilaksanakan dimuka umum. Di Indonesia pemerintah kolonial Belanda pada waktu membentuk KUHP pada tahun 1915 menyimpang dari sikapnya dinegaranya sendiri, dan mempertahankan hukuman mati di Indonesia untuk kejahatan-kejahatan berat. Bahwa menurut surat penjelasan atas rancangan KUHP diancam dengan hukuman mati, yaitu : a. kejahatan berat terhadap keamanan negara (pasal-pasal 104, 105, 111 ayat 2, pasal 124 ayat 3 dan pasal 129) b. pembunuhan berencana (pasal-pasal 130 ayat 3, pasal 140 ayat 3, pasal 340 ) c. pencurian dan pemerasan dalam keadaan memberatkan (pasal 365 ayat 4 dan pasal 368 ayat 2) d. bajak laut, perampokan dipantai, perampokan ditepi laut dalam air surut, dan perampokan disungai, dilakukan dalam keadaan tersebut dalam pasal 444 KUHP. 12 Sementara itu, menurut KUHP, di Indonesia ada sembilan macam kejahatan yang diancam pidana mati, yaitu : a. Makar dengan maksud membunuh presiden dan wakil presiden (Pasal 104 KUHP); b. Melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang (Pasal 111 Ayat 2 KUHP); c. Pengkhianatan memberitahukan kepada musuh di waktu perang (Pasal 124 Ayat 3 KUHP); d. Menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara (Pasal 124 bis KUHP); e. Pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat (Pasal 140 Ayat 3 KUHP); f. Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP); 12 Ibid, hal. 165 Volume 12, No.1 Nop 2011 xvi g. Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati (Pasal 365 Ayat 4 KUHP); h. Pembajakan di laut mengakibatkan kematian (Pasal 444 KUHP); i. Kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan (Pasal 149 K Ayat 2 & Pasal 149 O Ayat 2 KUHP). Di luar yang disebutkan diatas, masih ada ancaman pidana mati lainnya yaitu terdapat didalam : a. Tindak Pidana Ekonomi ( Undang-undang Nomor 7/Drt/1955 ); b. Tindak Pidana Narkotik & Psikotropika (Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 & Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997); c. Tindak Pidana Korupsi (Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001); d. Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia (Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000); e. Tindak Pidana Terorisme ( Perpu No 1 Tahun 2002). Hingga 2009 tercatat lebih dari sepuluh peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti KUHP, Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Anti Korupsi, Undang-Undang Anti terorisme, dan Undang-Undang Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara, kemudian terhadap kasus penebangan kayu illegal. Dalam setiap ancaman pidana mati tersebut selalu dicantumkan alternatif berupa pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama dua puluh tahun. Bentuk-bentuk pemidanaan yang dijatuhkan tidaklah terlepas dari latar belakang filosofi yang melahirkan teori-teori tujuan pemidanaan. Tujuan pemidanaan lebih menitikberatkan sebagai prevensi dengan maksud agar orang lain jera untuk tidak melakukan kejahatan. Tujuan pemidanaan selain memiliki unsur sebagai pencegahan, juga untuk memperbaiki terpidana, di samping mempertahankan tata tertib hukum. Pidana mati apabila bertujuan sebagai pembalasan maupun pembelajaran bagi masyarakat atau agar masyarakat menjadi jera untuk tidak mengulangi atau meniru tindakan yang melanggar hukum, ternyata maksud dan tujuan itu tidaklah tercapai seperti yang diharapkan, karena pada kenyataannya kasus tindak pidana pembunuhan dan kejahatan narkoba tidak menjadi berkurang, bahkan meningkat, sekalipun sudah terjadi pemidanaan mati yang dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan tersebut. Dalam kasus tindak pidana narkoba yang dianggap sebagai kejahatan yang paling serius dan dapat menjadi alat subversi, bahkan akibat yang ditimbulkan dapat menghancurkan masa depan anak bangsa. Namun, dalam sejumlah riset menunjukkan, ternyata tidak ada korelasi antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan tersebut, di Indonesia justru menunjukkan peningkatan dari pengguna dan pengedar, sampai pada adanya produsen. Dalam kaitan ini, upaya penanggulangan narkoba di negara-negara maju sudah mulai dilakukan dengan meningkatkan pendidikan sejak dini dan melakukan kampanye antinarkoba, serta penyuluhan tentang bahayanya. Demikian Volume 12, No.1 Nop 2011 xvii seriusnya penanggulangan masalah narkoba bagi kehidupan manusia sudah mendorong kerja sama internasional dalam memerangi kejahatan narkoba tersebut. Filosofis pidana mati bagi bangsa Indonesia tidaklah terlepas dari pandangan dan sikap bangsa Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 yang menyebutkan bahwa pandangan dan sikap bangsa Indonesia mengenai hak asasi manusia adalah bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan Pancasila. Sehingga hak asasi manusia dirumuskan secara substansi dengan menggunakan pendekatan normatif, empiris, deskriptif, dan analitis, antara lain disebutkan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas atau diganggu gugat oleh siapa pun. Karena itu, dalam Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tersebut Pasal 1 menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur pemerintah, untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Pandangan dan sikap bangsa Indonesia ini di samping termuat dalam Piagam Hak Asasi Manusia, juga terangkat dalam amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28 A, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dengan pendekatan filosofis yuridis tersebut di atas, maka seluruh produk hukum yang ada maupun yang akan ada seharusnya tidak boleh bertentangan dengan jiwa, pandangan dan sikap bangsa tersebut. E. Efektifitas Penjatuhan Hukuman Mati Di Indonesia Bahwa hukuman mati yang diterapkan oleh pemerintah dengan harapan adanya efek jera bagi masyarakat ternyata disisi lain masih banyak tindak pidana yang serupa dilakukan oleh orang lain, belum lagi adanya perbedaan pendapat tentang penerapan hukuman ini. Di Indonesia, sejumlah perundangan menetapkan adanya hukuman mati pada para pelaku kasus pidana. Beberapa vonis mati pernah dijatuhkan hakim antara lain: a. Kolonel Laut (S) M. Irfan Djumroni. Dia divonis mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti) III-Surabaya pada 2 Februari 2006. Dia dipecat dari kesatuan TNI-AL karena membunuh isterinya Ny Eka Suhartini dan Ahmad Taufik SH, hakim pada Pengadilan Agama Sidoarjo, pada 21 September 2005 bersamaan sidang putusan gono gini perceraiannya di Pengadilan Agama Sidoarjo. Dia dinilai melanggar pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, dan melanggar UU Nomor 12 tahun 1951 tentang kepemilihan senjata tanpa izin. b. Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Dijatuhi vonis mati pada April 2001 di Pengadilan Negeri Palu, dan ditegaskan kembali dengan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara pada 17 Mei 2001. Pengadilan xviiiVolume 12, No.1 Nop 2011 memutuskan bahwa mereka bersalah atas tuduhan pembunuhan, penganiayaan, dan perusakan di tiga desa di Poso, yakni Desa Sintuwu Lemba, Kayamaya, dan Maengko Baru. Kasus vonis mati mereka menimbulkan banyak kontroversi sehingga menyebabkan rencana vonis mati mereka tertunda beberapa kali. Ketiganya dieksekusi mati pada dinihari 22 September 2006 di Palu. Meskipun kasus ini sejak awal mengundang kontroversi mengenai keterlibatan ketiganya dalam peristiwa yang didakwakan tersebut. Kedua contoh kasus hukuman mati diatas merupakan bentuk pemidanaan di Indonesia dengan harapan menimbulkan efek jera bagi masayarakat luas agar tidak melakukan perbuatan yang sama seperti terpidana. Namun kasus-kasus serupa tetap masih bermunculan sampai saat ini. Bahkan kualitas kejahatannya lebih berat lagi seperti kasus pembunuhan mutilasi yang memakan korban sampai belasan orang, Ryan dari Jombang. Belum lagi kasus-kasus mutilasi lainnya yang lebih sadis. Jadi hukuman mati belum tentu akan membuat angka kejahatan akan berkurang atau membuat seseorang merasa takut untuk melakukan kejahatan sejenis dengan terpidana mati. Seperti kita ketahui pada kasus Poso, eksekusi mati terhadap Tibo Cs tidak membuat warga Poso takut untuk terlibat konflik antar kelompok seperti yang dilakukan Tibo Cs, tetapi justru memicu konflik antara kelompok pendukung dan kelompok penentang eksekusi mati terhadap Tibo Cs. Dari kasus ini terlihat bahwa tidak ada korelasi antara hukuman mati dengan upaya pencegahan tindak kejahatan. Namun, saat ini di Indonesia hukuman mati sebenarnya tidak menjadi isu kontroversial bila pelaksanaannya segera dilakukan sejak putusan berkekuatan tetap. Seperti pelaksanaan hukuman mati terhadap Amrozi Cs yang berlarut-larut sehingga menimbulkan banyak kontroversi. Belum lagi terhadap hukuman mati yang baru dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Pelaksanaan hukuman mati pun masih tertunda. Misalnya, terpidana mati Ibrahim bin Ujang dan Jurit bin Abdullah yang permohonan grasinya ditolak Presiden, langsung mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Akibatnya, Kejaksaan Negeri Sekayu, Sumatera Selatan, menangguhkan pelaksanaan hukuman mati, mengingat Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang grasi, mensyaratkan adanya salinan putusan PK diterima Presiden. Artinya, eksekusi dapat tertunda sampai dengan putusan PK diterima Presiden bagi terpidana yang mengajukan PK. Polemik berkepanjangan mengenai hukuman mati ini menimbulkan berbagai pendapat. Pendapat pertama, hukuman mati menjadi bagian hukum (pidana) positif Indonesia, karenanya masih relevan untuk dilaksanakan. Pendapat kedua, hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM) yang menjamin hak untuk hidup sesuai Perubahan Kedua UUD 1945. Persoalannya, apakah sistem hukuman mati yang diatur dalam KUHP bertentangan dengan Amandemen Kedua Pasal 28 A dan Pasal 28 I UUD 1945 Polemik berlakunya hukuman mati dalam suatu negara selalu menjadi isu rutinitas dari sistem hukum. Betapa tidak. Berlakunya hukuman mati merupakan bagian Volume 12, No.1 Nop 2011 xix sistem hukum pidana sekaligus merupakan pelaksanaan State Policy atau Staatsbeleid (Kebijakan Negara). Hukuman mati sebagai bagian Sistem Hukum Pidana hanya merupakan pelaksanaan dari kebijakan negara, yang harus diakui bahwa kebijakan negara yang temporer sifatnya ini sering mengalami pembaruan konsep. Belanda, misalnya, sistem hukuman mati berubah sejalan perubahan kebijakan negara tentang hukuman mati yang kini tidak dikenal dalam sistem hukum pidananya. Adanya dinamisasi pembaharuan sistem pemidanaan ini berpengaruh pada penghapusan sistem hukuman mati seperti Brasil, negara-negara Skandinavia, Austria, bahkan Amnesty International melalui Deklarasi Stockholm pada 11 Desember 1977 menyerukan penghapusan pidana mati. Dari pendekatan historis, kebijakan hukuman (pidana) mati merupakan pengembangan dari teori absolut yang mendekatkan diri dengan deterrence effect (efek jera). Namun, sejalan dinamisasi hukum pidana, pemidanaan lebih ditujukan kepada teori rehabilitation, yaitu pemulihan terpidana agar dapat kembali bersosialisasi dengan masyarakat bila terpidana telah menjalani hukumannya sehingga terfokus pada clinic treatment terhadap terpidana. Wajar bagi Indonesia yang masih mengakui legalitas hukuman mati melalui Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Tenaga Atom, Narkotika dan Psikotropika, Korupsi dan terakhir Perpu Terorisme yang semua perbuatannya dianggap sebagai suatu extra ordinary crimes yang membahayakan kehidupan bangsa dan negara sebagai alasan eksepsional dan limitatif sifatnya. Sebaliknya, dipahami bersama, konstitusi memberi perlindungan dan hak hidup kepada warganya sebagai hak asasi. Dalam pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945 secara tegas menyatakan, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya, karena itu non-derogable human right sifatnya atau merupakan HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Sesuai asas konstitusionalitas, legalitas produk hukum positif di atas yang masih mempertahankan hukuman mati, seharusnya menyesuaikan dengan amandemen konstitusi agar tidak bertentangan dengan asas ketatanegaraan lex superiori berdasar Pasal 2 juncto Pasal 4 ayat (1) TAP MPR No III/MPR/2000, karena legalitas hukuman mati sebagai produk hukum yang lebih rendah bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi. Dalam kaitan dengan sistem hukum pidana, pengecualian pada pasal 28 J ayat (2) yang berbunyi "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang …", makna "pembatasan", tentu tidak diartikan dalam posisi yang merugikan status tersangka sesuai Pasal 1 ayat (2) KUHP. Makna "pembatasan" atau "limitatif" ini dapat dipastikan lebih dulu bahwa tidak mungkinlah perundang-undangan pidana menghukum segala tindakan yang merupakan pembatasan terhadap hak hidup dan kebebasannya. Tetapi tidak juga berarti, tidak mungkin konstitusi memberikan suatu pengecualian terhadap pembatasan HAM, sepanjang pembatasan itu sesuai prinsip lex certa sehingga tidak menimbulkan polemik dan multi-interpretatif seperti soal hukuman mati ini. xx Volume 12, No.1 Nop 2011 F. Hukuman Mati Ditinjau Dari Penegakan HAM Di Indonesia Pro dan kontra mengenai hukuman mati akhir-akhir ini kembali mencuat setelah sembilan hakim konstitusi berbeda pendapat ketika melakukan pengujian Undang-Undang Narkotika terhadap UUD 1945 khususnya mengenai penerapan hukuman mati dalam Undang-undang Narkotika. Mahkamah Konstitusi, berpendapat bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan pasal 28 A dan pasal 28 I UUD 1945. Sedangkan tiga hakim lainnya, yaitu Laica Marzuki, Achmad Roestandi dan Maruarar Siahaan, menyatakan ketidak-setujuannya atas eksistensi hukuman mati. Perlu diketahui bahwa tujuan pemidanaan dalam sistem hukum kita ini adalah untuk memasyarakatkan terpidana sehingga menjadi orang yang baik dan berguna, membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Hukuman mati bukan cara yang tepat untuk membebaskan rasa bersalah terhadap terpidana dan dengan eksekusi mati, tujuan untuk memasyarakatkan terpidana agar menjadi orang yang baik dan berguna serta dapat diterima kembali di masyarakat tidak dapat tercapai. Hukuman mati ini juga mendatangkan penderitaan yang sangat berat bagi terpidana, baik pada saat menunggu eksekusi maupun pada saat eksekusi itu sendiri. Pada saat menunggu eksekusi, terpidana mati mengalami tekanan mental atas hukuman yang akan dijalaninya dan pada saat dilaksanakannya eksekusi, yang bersangkutan mengalami penderitaan fisik. Sehingga muncul pendapat bahwa apabila seseorang dijatuhi hukuman mati maka yang bersangkutan menjalani double punishment. Sesuai dengan Pancasila yang memiliki kedudukan sebagai dasar filsafat kenegaraan dan merupakan guiding principle dalam menjalankan kegiatan bernegara di Indonesia, khususnya sila pertama dan kedua, dalam UUD 1945 pasal 28 A disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Selanjutnya pasal 28 I ayat 1 menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Selain pasal 28 UUD 1945, hak untuk hidup juga diatur dalam UndangUNdang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam pasal 4 UndangUndang HAM dinyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun (non-derogable rights). Dengan dipertahankannya hukuman mati dalam sistem hukum di Indonesia berarti negara telah mengabaikan kewajibannya untuk menjamin hak hidup dari setiap warga negaranya. Pencantuman hukuman mati dalam beberapa Undang-undang yang berlaku di Indonesia merupakan bentuk inkonsistensi negara terhadap ideologi dan konstitusi Volume 12, No.1 Nop 2011 xxi negaranya sendiri. Dalam Pancasila dan UUD 1945 ditegaskan bahwa hak hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa negara menjamin hak hidup dari setiap warga negaranya. Tetapi dalam perundang-undangan Indonesia masih banyak Undang-undang yang mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu ancaman hukumannya. Dalam forum internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah melakukan penelitian mengenai hukuman mati pada tahun 1988 dan memperbaharuinya pada tahun 2002. Dalam kesimpulannya dinyatakan "…it is not prudent to accept the hypothesis that capital punishment deters murder to a marginally greater extent than does the threat and application of the supposedly lesser punishment of life imprisonment". Berdasarkan penelitian tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerukan agar setiap negara menghapuskan hukuman mati dari sistem hukum nasionalnya, serta tidak perlu khawatir akan terjadinya peningkatan tindak kejahatan apabila hukuman mati tersebut dihapuskan. Kesadaran akan pentingnya HAM dalam wacana global muncul bersamaan dengan kesadaran akan pentingnya menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan (human centred development). Konsep HAM menempatkan manusia sebagai subyek, bukan obyek dan memandang manusia sebagai makhluk berharga dan dihormati tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, jenis gender, suku bangsa, bahasa, maupun agamanya. Sebagai makhluk bermartabat, manusia memiliki sejumlah hak dasar yang wajib dilindungi, seperti hak hidup, hak beropini, hak berkumpul, serta hak beragama dan berkepercayaan. Nilai-nilai HAM mengajarkan agar hak-hak dasar yang asasi tersebut dilindungi dan dimuliakan. HAM (Hak Asasi Manusia) merupakan suatu konsep etika politik modern dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Gagasan ini membawa kepada sebuah tuntutan moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesamanya. Tuntutan moral tersebut sejatinya merupakan ajaran inti dari semua agama. Sebab, semua agama mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia, tanpa ada pembedaan dan diskriminasi sedikit pun. Tuntutan moral itu diperlukan, terutama dalam rangka melindungi seseorang atau suatu kelompok yang lemah atau dilemahkan dan semenamena yang biasanya datang dari pihak penguasa. Pemberlakuannya di Indonesia tidak dapat dibenarkan atau bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM maupun hak sipil karena membatasi Hak hidup seseorang dimana hak tesebut tidak dapat dicabut atau direnggut dalam keadaan atau dengan alasan apapun (non-derogable rights) dan tidak ada satu manusia atau suatu lembaga pun yang berhak membatasi hak hidup seseorang termasuk sebuah negara walau dengan alasan hukum. Memang ada betulnya jika disinggungkan dengan Hak Asasi Manusia karena dalam Dalam Pasal 9 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 disebutkan bahwa : " Setiap orang berhak untuk hidup.... " xxiiVolume 12, No.1 Nop 2011 Jika lebih diteliti lagi Hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang paling penting, yaitu hak untuk hidup (right to life). Hak fundamental (non-derogable rights) ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar,dikurangi,atau dibatasi dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi narapidana. Indonesia sendiri ikut menandatangani Deklarasi Universal HAM dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah meratifikasi Konvensi Internasional Hak Sipil Politik, keduanya secara jelas menyatakan hak atas hidup merupakan hak setiap manusia dalam keadaan apapun dan adalah kewajiban negara untuk menjaminnya. Sayangnya ratifikasi Konvensi Sipil Politik ini tidak diikuti pula dengan ratifikasi Protokal Tambahan Kedua Konvensi Internasional tentang Hak Sipil Politik tentang Pengahapusan Hukuman Mati. Hukuman mati memiliki turunan pelanggaran HAM serius lainnya, yaitu pelanggaran dalam bentuk tindak penyiksaan (psikologis), kejam dan tidak manusiawi. Hal ini bisa terjadi karena umumnya rentang antara vonis hukuman mati dengan eksekusinya berlangsung cukup lama. Tragisnya Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dan mengadopsinya menjadi Undang-Undang Anti Penyiksaan (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998). Namun perlu diteliti lebih jauh lagi bahwa hukuman mati masih sangat diperlukan di negara kita. Undang-Undang HAM memang melindungi hak hidup setiap orang tapi Undang-Undang tersebut tidak menjelaskan secara detail hak hidup untuk siapa jika setiap orang yang dimaksud masing-masing berada pada posisi pelaku pebunuhan serta korban pembunuhan, jika hak hidup ditujukan untuk korban karena berada pada posisi yang lemah. Berbagai alasan dikeluarkan untuk menentang hukuman mati. Alasan utamanya adalah melanggar hak hidup dan tidak memberi kesempatan bagi sang terpidana untuk memperbaiki diri. Mereka mungkin akan bersuara lain bila berada pada pihak yang dirugikan oleh terpidana, terdengar pihak keluarga seorang korban pembunuhan dengan keras menuntut pelaku dihukum mati. Orang-orang yang menderita secara langsung atau tidak dengan narkoba, menuntut pengedar narkoba dihukum mati. Tak sedikit pula yang menuntut para koruptor dihukum mati, Dan juga soal hukuman mati kepada para teroris. Jadi Layak atau tidaknya hukuman mati seharusnya ditilik dari kejahatan yang dilakukan. Sebagai contoh. Kasus Ryan sang pembunuh berantai yang dengan teganya menghabiskan 11 orang yang salah 1 diantaranya adalah balita. Jika pengadilan nanti akan mengganjar dia dengan hukuman seumur hidup, artinya hak hidup dia dapatkan, lalu masih menjadi beban negara dan bahkan mungkin mendapatkan fasilitas tambahan entah dari mana. Oleh karena ia cukup mendapat hukuman penjara. Padahal dampak yang diharapkan dari hukuman mati sebetulnya bukanlah tidak sekedar untuk membayar kejahatannya saja, melainkan juga untuk memberikan semacam warning agar masyarakat tidak melakukan kejahatan yang sama. Hukuman mati persis menunjukkan adanya kewenangan mencabut hak untuk hidup. Pidana mati dianggap sebagai hukuman yang kejam, tak berperikemanusiaan Volume 12, No.1 Nop 2011 xxiii serta menghina martabat manusia. Hukuman ini jelas melanggar hak untuk hidup. Eksekusi mati memang pelanggaran serius oleh negara betapa pun seriusnya perbuatan pidana yang dilakukan seseorang. Jika UUD 1945 dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia melindungi hak untuk hidup bagi setiap orang, seharusnya Undang-Undang lainnya mematuhi perintah yang terdapat di dalamnya. Tapi persoalannya justru masih banyak ketentuan pidana yang tidak konsisten atau bertentangan dengan UUD dan Undang-Undang HAM tersebut. Bahkan ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik sama tak konsistennya dengan ketentuan pidana mati. Dalam sistem peradilan pidana, penerapan hukuman mati dapat berbuah kegagalan yang tak mungkin diperbaiki. Kekhawatiran ini ditambah lagi dengan masalah "mafia peradilan" dan kelemahan lainnya yang masih melekat dalam sistem peradilan di Indonesia. Sejumlah kasus dalam peradilan pidana, persoalan yang dihadapi terdakwa adalah akses pada pengacara. Bagi warga asing, menghadapi kesulitan akses untuk mendapatkan penerjemah. Selain itu, telah menjadi kebiasaan dan praktek penyiksaan atas tersangka dan terdakwa yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Hukuman atau Perlakuan yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Dengan menyimak masih adanya ketentuan pidana mati dan kelemahan sitem peradilan, setiap orang yang dijatuhi hukuman mati perlu mengajukan grasi kepada presiden. Ketika grasi diajukan sudah seharusnya aparat yang berwenang menunda eksekusi sampai presiden memutuskan apakah memberikan grasi atau tidak. Namun sudah jelas dalam KUHP disebutkan hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik. Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD 1945, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati. G. Penutup Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dijelaskan bahwa hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik. Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD 1945, Pasal 28 ayat (1), xxivVolume 12, No.1 Nop 2011 menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati. Pencantuman hukuman mati dalam beberapa Undang-undang yang berlaku di Indonesia merupakan bentuk inkonsistensi negara terhadap ideologi dan konstitusi negaranya sendiri. Dalam Pancasila dan UUD 1945 ditegaskan bahwa hak hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa negara menjamin hak hidup dari setiap warga negaranya. Tetapi dalam perundang-undangan Indonesia masih banyak Undang-undang yang mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu ancaman hukumannya. Berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. HAM (Hak Asasi Manusia) merupakan suatu konsep etika politik modern dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Gagasan ini membawa kepada sebuah tuntutan moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesamanya. Tuntutan moral tersebut sejatinya merupakan ajaran inti dari semua agama. Sebab, semua agama mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia, tanpa ada pembedaan dan diskriminasi sedikit pun. Tuntutan moral itu diperlukan, terutama dalam rangka melindungi seseorang atau suatu kelompok yang lemah atau dilemahkan dan semena-mena yang biasanya datang dari pihak penguasa. Sedangkan tujuan pemidanaan lebih menitikberatkan sebagai prevensi dengan maksud agar orang lain jera untuk tidak melakukan kejahatan. Tujuan pemidanaan selain memiliki unsur sebagai pencegahan, juga untuk memperbaiki terpidana, di samping mempertahankan tata tertib hukum. Pidana mati apabila bertujuan sebagai pembalasan maupun pembelajaran bagi masyarakat atau agar masyarakat menjadi jera untuk tidak mengulangi atau meniru tindakan yang melanggar hukum, ternyata maksud dan tujuan itu tidaklah tercapai seperti yang diharapkan, karena pada kenyataannya kasus tindak pidana pembunuhan dan kejahatan narkoba tidak menjadi berkurang, bahkan meningkat, sekalipun sudah terjadi pemidanaan mati yang dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan tersebut. Disamping itu perlu diketahui bahwa tujuan pemidanaan dalam sistem hukum kita ini adalah untuk memasyarakatkan terpidana sehingga menjadi orang yang baik dan berguna, membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Hukuman mati Volume 12, No.1 Nop 2011 xxv bukan cara yang tepat untuk membebaskan rasa bersalah terhadap terpidana dan dengan eksekusi mati, tujuan untuk memasyarakatkan terpidana agar menjadi orang yang baik dan berguna serta dapat diterima kembali di masyarakat tidak dapat tercapai. Hukuman mati ini juga mendatangkan penderitaan yang sangat berat bagi terpidana, baik pada saat menunggu eksekusi maupun pada saat eksekusi itu sendiri. Pada saat menunggu eksekusi, terpidana mati mengalami tekanan mental atas hukuman yang akan dijalaninya dan pada saat dilaksanakannya eksekusi, yang bersangkutan mengalami penderitaan fisik. Sehingga muncul pendapat bahwa apabila seseorang dijatuhi hukuman mati maka yang bersangkutan menjalani double punishment. xxviVolume 12, No.1 Nop 2011 LABEL PANGAN SEBAGAI BENTUK PERLINDUNG HUKUM BAGI KONSUMEN Oleh: Adriana Pakendek, S.H.,MH, M.Si, MM.13 ABSTRAK Pemberian label pangan adalah suatu bentuk perlindungan hukum bagi konsumen.Tujuan pemberian label pangan yang dikemas adalah agar masyarakat yang membeli dan atau mengkonsumsi pangan memperoleh informasi yang benar dan jelas tentang setiap produk pangan yang dikemas,baik menyangkut asal,keamanan,mutu,kandungan gizi maupun keterangan lain yang diperlukan sebelum memutuskan akan membeli dan atau mengkonsumsi pangan tersebut, karena masih banyak juga produsen maupun konsumen tidak memperhatikan walaupun sudah ada aturannya. Kata kunci: Label Pangan,Perlindungan Hukum, Konsumen LATAR BELAKANG Di media masa atau di media elektronik sering diberitakan kejadian-kejadian keracunan makanan atau minuman (mamin) yang menimpa tidak hanya anak-anak tetapi juga orang dewasa. Kasus keracunan mungkin bukanlah suatu kesengajaan tetapi keteledoran dan ketidakhati-hatian berbagai pihak seperti pengusaha makanan dan minuma14n (mamin), penjaja mamin, atau pembeli/konsumen yang tidak waspada akan itikad buruk para penjual. Suatu keanehan yang ditemukan bahwa bungkus atau kemasan produk makanan-minuman jeli tersebut ternyata ada labelnya dan peredarannya resmi karena punya izin Departemen Kesehatan serta batas kedaluwarsanya masih jauh. Tentunya pertanyaan akan muncul di benak kita bahwa ternyata mamin ber-label pun tidak aman dan bukan jaminan untuk tidak menyebabkan hal buruk bagi kesehatan. Untuk melacak penyebab keracunan tersebut maka sampel mamin yang disuguhkan haruslah dibawa ke laboratorium yang sudah memenuhi persyaratan. Selain itu setiap mamin yang berlabel harus dicatat apakah mamin itu layak dikonsumsi 13 Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. Volume 12, No.1 Nop 2011 xxvii manusia. Yang jelas di sini bahwa kasus keracunan sangat mudah terjadi di tengah masyarakat atau konsumen. Suatu kasus yang pernah dimuat di harian Jawa Pos, 15 Maret 2004, menyebutkan di Amerika sekitar 50 berondong jagung bermerek yang berlabel, mulai dari popcorn super buttery (asin) sampai sugery sweet (manis) sedang diperiksa kandungannya. Hal ini menyusul laporan suatu penelitian yang dilakukan EPA’S yang mengatakan bahwa popcorn alias berondong jagung bisa mencemari lingkungan, oleh karena beberapa bahan kimia yang dilepaskan ke udara ketika sekantung plastik popcorn dibuka1. Dalam berdagang mamin para pelaku usaha selain memproduksi barang dagangannya sendiri tetapi ada juga yang hanya menampung dari pelaku usaha rumah tangga kemudian seolah-olah hasil produksinya sendiri lalu mengemasnya dan diperjual-belikan. Cara yang dilakukan para pengusaha atau pedagang yang mengambil produk mamin dari masyarakat dan dikemas oleh pedagang tersebut bahkan diberi embel-embel label dan dijamin halal merupakan perbuatan yang sudah lazim ditemukan. Perbuatan pelaku usaha dengan menempeli sendiri label mungkin masih dianggap kurang penting bagi pelaku usaha atau kurang disadari manfaat dan fungsinya, bahwa pencantuman label tidak sembarangan saja tetapi ada aturan yang harus diikuti. Lebih ironis lagi masih banyak masyarakat yang mengkonsumsinya mungkin dengan alasan murah dan sederhana serta turut memajukan usaha rumah tangga. Tetapi perbuatan masyarakat tersebut ternyata malah mendukung menjamurnya usaha ‘illegal’ mereka. Sehubungan dengan label, masyarakat perlu informasi yang benar, jelas serta lengkap dan bagi pelaku usaha dengan pencantuman label ini dapat memperoleh perlindungan dan jaminan kepastian hukum. Di Negara kita Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam secara khusus dan non diskriminatif perlu dilindungi dengan adanya jaminan halal melalui pencantuman label halal. Dengan demikian pencantuman label yang jujur sangat diharapkan sebab label tidak hanya berhubungan dengan kesehatan tetapi juga jaminan perlindungan secara batiniah yang harus diberikan kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu maka Pemerintah sangat peduli akan keselamatan konsumen oleh karenanya dibentuklah suatu undang-undang tentang perlindungan konsumen. Tepatnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana dalam undang-undang ini ada larangan bagi pelaku usaha untuk 1 Adriana Pakendek, Pencantuman Label Pangan Pada Produk-Produk Pangan/Camilan di Pamekasan Ditinjau Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan, Skripsi, Universitas Madura, Pamekasan, 2004, h.33 Volume 12, No.1 Nop 2011 xxviii tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa dan tidak memasang label yang disertai dengan penjelasan. Selain itu disebutkan juga bahwa perlindungan konsumen berdasarkan asas kepastian hukum. Dalam penjelasannya asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Sebagai tindak lanjut dari adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut maka dibuatlah peraturan tentang label dan iklan pangan yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Bahwa label pangan merupakan sarana dalam kegiatan perdagangan pangan yang memiliki arti penting, sehingga perlu diatur dan dikendalikan agar informasi mengenai pangan yang disampaikan kepada masyarakat adalah benar dan tidak menyesatkan. RUMUSAN MASALAH Adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan belumlah menjadi jaminan yang betul-betul bagi para konsumen. Dalam kehidupan masyarakat sangat mudah terancam dengan berbagai perbuatan yang jelas-jelas atau terselubung dapat meracuni kesehatan mereka melalui mamin yang tidak dijamin mutunya. Karena perilaku dan itikad baik para pelaku usaha sangat dituntut untuk menaati peraturan tersebut. Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapatlah memunculkan beberapa pertanyaan: Bagaimanakah perlindungan hukum bagi konsumen dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. SUMBER-SUMBER HUKUM KONSUMEN Di samping Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hukum konsumen “ditemukan” di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di dalam pasal 64 (Bab Ketentuan Peralihan) disebutkan bahwa segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. Dengan demikian dapat diartikan bahwa untuk “membela” konsumen masih harus dipelajari semua peraturan perundang-undangan umum yang berlaku. Peraturan perundang-undangan umum yang berlaku, memuat juga berbagai kaidah menyangkut hubungan dan masalah konsumen. Volume 12, No.1 Nop 2011 xxix Sekalipun peraturan perundang-undangan itu tidak khusus diterbitkan untuk konsumen atau perlindungan konsumen, setidak-tidaknya ia merupakan sumber juga dari hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen. Beberapa di antaranya akan diuraikan berikut ini 2. 1. Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR Hukum Konsumen, terutama Hukum Perlindungan Konsumen mendapatkan landasan hukumnya pada Unadng-Undang Dasar 1945, Pembukaan, Alinea ke-4 berbunyi: “…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia…” Umumnya sampai saat ini, orang bertumpu pada kata “segenap bangsa” sehingga ia diambil sebagai asas tentang persatuan seluruh bangsa Indonesia (asas persatuan bangsa). Tetapi di samping itu dari kata “melindungi”, di dalamnya terkandung pula asas perlindungan (hukum) pada segenap bangsa. Perlindungan hukum pada segenap bangsa itu, tanpa kecuali laki-laki atau perempuan, orang kaya atau miskin, orang kota atau orang desa, orang asli atau orang keturunan, dan pengusaha/pelaku usaha atau konsumen. Landasan hukum lainnya termuat dalam pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi: “Tiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” Apabila kehidupan seseorang terganggu atau diganggu oleh pihak/pihak-pihak lain maka alat-alat negara akan turun tangan, baik diminta atau tidak, untuk melindungi dan atau mencegah terjadinya gangguan tersebut. Untuk melaksanakan perintah UUD 1945 melindungi segenap bangsa, dalam hal ini khususnya melindungi konsumen, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menetapkan berbagai Ketetapan MPR, khususnya sejak tahun 1978. Pada TAP MPR tahun 1993 makin jelas kehendak rakyat atas adanya perlindungan konsumen, sekalipun dengan kualifikasi yang berbeda-beda. Pada TAP MPR 1978 digunakan istilah “menguntungkan” konsumen, TAP MPR 1988 “menjamin” kepentingan konsumen, dan TAP MPR 1993 digunakan istilah “melindungi” kepentingan konsumen. 2. Hukum Konsumen dalam Hukum Perdata Hukum perdata yang dimaksudkan di sini adalah hukum perdata dalam arti luas, termasuk hukum perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang 2 Az. Nasution, Jakarta, 1999, h. 31-43 Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, Daya Widya, xxxVolume 12, No.1 Nop 2011 termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Baik hukum perdata tertulis maupun hukum perdata tidak tertulis (hukum adat). Kaidah-kaidah hukum perdata umumnya termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), juga kaidah-kaidah hukum perdata adat yang tidak tertulis tetapi ditunjuk oleh pengadilan-pengadilan dalam perkara-perkara tertentu. Di samping itu dalam berbagai peraturan perundang-undangan lain, tampaknya termuat pula kaidah-kaidah hukum yang mempengaruhi dan/atau termasuk dalam bidang hukum perdata. Antara lain tentang siapa yang dimaksudkan sebagai subjek hukum dalam suatu hubungan hukum konsumen, hak-hak dan kewajiban masingmasing, serta tata cara penyelesaian masalah yang terjadi dalam sengketa antara konsumen dan penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan bersangkutan. 3. Hukum Konsumen dalam Hukum Publik Dengan hukum publik dimaksudkan hukum yang mengatur hubungan antara negara dan alat-alat perlengkapannya atau hubungan antara negara dengan perorangan. Termasuk hukum publik, dan terutama dalam kerangka hukum konsumen dan atau hukum perlindungan konsumen, adalah hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum acara perdata, dan atau hukum acara pidana dan hukum internsional khususnya hukum perdata internasional. Segala kaidah hukum maupun asas-asas hukum ke semua cabang-cabang hukum publik itu sepanjang berkaitan dengan hukum konsumen dan/atau masalahnya dengan penyedia barang atau penyelenggara jasa, dapat pula diberlakukan. Beberapa Aspek Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen 1. Aspek Keperdataan Aspek keperdataan dimaksudkan segala hal berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban konsumen yang bersifat keperdataan. Hal-hal yang penting dalam hubungan konsumen dan penyedia barang dan atau penyelenggara jasa (pelaku usaha) antara lain 3: 1.1. erkaitan dengan Informasi Bagi konsumen, informasi tentang barang dan atau jasa merupakan kebutuhan pokok sebelum ia menggunakan sumber dananya (gaji, upah, honor, dll) untuk mengadakan transaksi konsumen tentang barang/jasa tersebut. Informasi dapat diperoleh dari keterangan atau bahan-bahan, lisan atau tertulis, baik dari pelaku usaha atau kalangan pemerintah dan dari konsumen itu sendiri. 3 Ibid., h. 55-68 Volume 12, No.1 Nop 2011 xxxi Dari kalangan pelaku usaha umumnya dari berbagai bentuk iklan baik melalui media non-elektronik atau elektronik, label termasuk pembuatan berbagai selebaran, seperti brosur, pamflet, katalog, dan lain-lain. Informasi dari kalangan pemerintah dapat diserap dari berbagai penjelasan, siaran, keterangan, penyusunan peraturan perundangundangan atau tindakan pemerintah terhadap sesuatu produk konsumen. Sedangkan informasi dari konsumen atau organisasi konsumen berasal dari pembicaraan dari mulut ke mulut tentang suatu produk konsumen, surat-surat pembaca pada media massa, berbagai siaran kelompok tertentu, tanggapan atau protes organisasi konsumen. Siaran organisasi konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tentang hasil-hasil penelitian dan atau riset produk konsumen tertentu. 1.2. Bentuk Informasi Sepertinya yang paling berpengaruh adalah informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan dan label. Iklan adalah bentuk informasi yang umumnya bersifat sukarela, sekalipun pada akhir-akhir ini termasuk juga yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (pasal 9,10, 12, 13, 17, dan pasal 20). Sedangkan label merupakan informasi yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengaturan tentang informasi yang disebut dengan berbagai istilah seperti penandaan, label, atau etiket. 2. Aspek Hukum Publik 2.1. Aspek Hukum Administrasi Hukum administrasi mengatur kegiatan penataan dan kendali pemerintah terhadap berbagai kegiatan kehidupan kemasyarakatan termasuk di antaranya membuat peraturan perundang-undangan, pemberian izin atau lisensi, mengadakan perencanaan, dan pemberian subsidi 4. 2.2. Aspek Hukum Pidana Sebagaimana diketahui tiap aturan pidana berlaku terhadap setiap orang dan/atau badan usaha yang berada di Indonesia. Tetapi untuk kejahatan-kejahatan dan atau pelanggaran tertentu setiap orang di luar Indonesia juga dapat dikenakan tindak pidana tertentu berdasarkan KUHP Indonesia 5. Suatu contoh kasus yaitu putusan pengadilan berkenaan dengan pelanggaran pasal 205 KUHP adalah dalam kasus biskuit Super Marie beracun (Putusan Pengadilan Negeri No. 30/Pid.B/1990/PN.TNG. jo Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 4 5 Ibid., h. 111 Ibid., h. 133 Volume 12, No.1 Nop 2011 xxxii 60/Pid/1991/PT.Bdg. dan Putusan Mahkamah Agung No. 675 K/Pid/1994), di mana pelakunya dipidana penjara 6 bulan dengan masa percobaan setahun. Pasal 205 KUHP yang berbunyi: Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan bahwa barang-barang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, dijual, diserahkan atau dibagi-bagikan, tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh yang membeli atau yang memperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau kurungan paling lama satu tahun. Barang-barang itu dapat disita. 1.3. Aspek Hukum Perdata Internasional Yang dimaksud Hukum Perdata Internasional (HPI) menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja 6 adalah: Keseluruhan kaedah-kaedah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas-batas negara-negara. Dengan perkataan lain hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara pelaku-pelaku hukum yang masingmasing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan. Saling berhubungannya warga negara sesuatu negara dengan warga negara lainnya, pada suatu saat akan menimbulkan berbagai permasalahan. Hal ini karena globalisasi di segala bidang kehidupan makin mendorong terjadinya hubunganhubungan antar-pribadi atau perusahaan satu sama lain 7. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen terdapat ketentuan-ketentuan dengan hukum perdata internasional. Hal ini dapat dilihat pada pasal 8 ayat (1) huruf j yang berbunyi: Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. A. Perlindungan Konsumen Hubungan antara produsen (perusahaan penghasil barang dan atau jasa) dengan konsumen (pemakai akhir dari barang atau jasa untuk diri sendiri atau keluarganya) merupakan hubungan yang terus menerus dan kesinambungan. Hubungan berkelanjutan 6 7 Ibid., h. 180 Ibid., h. 181 Volume 12, No.1 Nop 2011 xxxiii ini terjadi sejak proses produksi, distribusi di pemasaran dan penawaran. Rangkaian kegiatan tersebut merupakan rangkaian perbuatan dan perbuatan hukum yang tidak mempunyai akibat hukum dan yang mempunyai akibat hukum baik terhadap semua pihak maupun hanya kepada pih-pihak tertentu. Sampai pada tahapan hubungan penyaluran atau distribusi tersebut menghasilkan suatu hubungan yang sifatnya massal. Karena itulah maka peran negara sangat dibutuhkan dalam rangka melindungi kepentingan konsumen 8. Karena kompleksnya hubungan antara produsen dan konsumen serta banyaknya mata rantai penghubung keduanya, maka untuk melindungi konsumen sebagai pemakai akhir dari produk barang atau jasa membutuhkan berbagai aspek hukum agar benar-benar dapat dilindungi dengan adil, bahkan sejak awal produksi perlindungan konsumen sudah harus dimulai. Pada era pasar bebas sekarang ini, di mana lalu lintas hubungan produsen dan konsumen menjadi makin dekat dan makin terbuka, maka campur tangan negara, kerjasama antar negara dan kerjasama internasional sangat dibutuhkan, yaitu guna mengatur pola hubungan produsen, konsumen dan sistem perlindungan konsumen. Sampai tanggal 20 April 1999, hukum positif Indonesia belum mengenal istilah konsumen meskipun umumnya masyarakat Indonesia sudah memahaminya. Faktanya adalah sampai pada saat itu belum ada suatu peraturan perundang-undangan yang menggunakannya sehingga menimbulkan berbagai kesulitan dalam menentukan siapakah konsumen itu dan bagaimana perlindungan hukumnya. Istilah konsumen tergantung dalam posisi mana ia berada. Dalam UU Barang menyebutkan tentang rakyat yang oleh undang-undang harus dijaga agar terjamin kesehatan dan keselamatannya. Menurut UU Kesehatan, tidak menggunakan istilah konsumen untuk pemakai. Pengguna barang dan/atau pemanfaat jasa kesehatan, tetapi menggunakan istilah setiap orang (pasal 1 angka 1, pasal 3, 4, 5, dan pasal 56); juga istilah masyarakat (pasal 9, 10, dan 21), dan dalam Kitab UU Hukum Perdata (KUHPer), terdapat istilah pembeli, penyewa, penerima hibah, peminjam pakai, peminjam dan sebagainya yang di satu sisi dapat merupakan konsumen tetapi di sisi lain sebagai pelaku usaha9. Menurut UU Perlindungan Konsumen, istilah konsumen adalah Pasal 1, butir 2, berbunyi demikian: Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 8 Sri Redjeki Hartono, Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen pada Era Perdagangan Bebas, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2002, h. 36 9 Az. Nasution, op.cit., h. 3-8 Volume 12, No.1 Nop 2011 xxxiv Dalam penjelasannya: di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen perantara. Konsumen akhir adalah pengguna dan pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produksi lainnya. Tentang istilah pelaku dapat dijelaskan dari pengertian UU Perlindungan Konsumen yang terdapat dalam Pasal 1, butir 3 berbunyi demikian: Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dalam penjelasannya: pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, Badan Usaha Milik Negara, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Dengan demikian dalam kegiatan bisnis terdapat hubungan yang saling membutuhkan antara pelaku usaha dengan konsumen. Kepentingan pelaku usaha adalah memperoleh laba dari transaksi dengan konsumen, sedangkan kepentingan konsumen adalah memperoleh kepuasan melalui pemenuhan kebutuhannya terhadap produk tersebut. Menurut Purba terdapat sendi-sendi pokok pengaturan perlindungan konsumen, sebagai berikut: Kesederajatan antara konsumen dan pengusaha. Konsumen mempunyai hak. Pengusaha mempunyai kewajiban. Pengaturan mengenai perlindungan konsumen menyumbang pada pembangunan nasional. Pengaturan tidak merupakan syarat. Perlindungan konsumen dalam iklan hubungan bisnis yang sehat. Keterbukaan dalam promosi produk. Pemerintah berperan aktif. Peran serta masyarakat. Implementasi asas kesadaran hukum. Perlindungan konsumen memerlukan penerobosan konsep-konsep hukum tradisional. 12. Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap 10. 10 Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, h. 27 Volume 12, No.1 Nop 2011 xxxv Secara universal diakui adanya hak-hak konsumen yang harus dilindungi dan dihormati, yaitu: Hak keamanan dan keselamatan Hak atas informasi Hak untuk memilih Hak untuk didengar 5. Hak atas lingkungan hidup 11 Dalam ayat (1) pasal 25 Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa: Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan dan keadaan baik untuk dirinya dan keluarganya, termasuk soal makanan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya …. Namun dalam kenyataannya posisi konsumen biasanya berada pada posisi tawar-menawar yang lemah dan karenanya dapat menjadi eksploitasi dari pelaku usaha yang secara sosial dan ekonomi memiliki posisi yang kuat 12. Di tengah masyarakat, banyak produk pangan yang beredar tanpa mengindahkan ketentuan pencantuman label. Hal tersebut akan meresahkan konsumen. Perbuatan yang meresahkan konsumen tersebut seperti produk pangan yang kadaluarsa, kesengajaan pemakaian bahan pewarna/pengawet yang tidak diperuntukkan bagi pangan tetapi untuk tekstil atau perbuatan-perbuatan lain yang akibatnya sangat merugikan masyarakat. Ancaman kesehatan dan keselamatan jiwa manusia ada di sekitar kita karena produk pangan yang tidak aman atau diragukan keamanannya dengan mudahnya ditemukan dan dijual dengan harga yang terjangkau oleh anak-anak dengan uang jajan mereka. Anak-anak mudah terpengaruh akan iklan yang sering dilihatnya di manamana. Sudah barang tentu anak-anak menjadi korban penipuan label dan iklan pangan yang tidak jujur atau menyesatkan. Dengan hal-hal tersebut, masyarakat dunia sangat perhatian dan penuh keprihatinan terhadap konsumen sebagai korban. Wujud dari perhatian tersebut tertuang dalam Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/248 tanggal 16 April 1985 tentang Perlindungan Konsumen 13. Adapun kepentingan konsumen yang dilindungi menurut resolusi itu antara lain: perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (public health) serta pelanggaran terhadap ketentuan/persyaratan barang dan 11 Sri Redjeki Hartono, op.cit., h. 39 Sanusi Bintang dan Dahlan, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h. 107 13 Yusuf Shofie, op.cit., h. 12 12 Volume 12, No.1 Nop 2011 xxxvi jasa bagi para konsumen (offences against the provision of good and services to consummers). Kepentingan-kepentingan konsumen yang seyogyanya dilindungi menurut resolusi itu adalah sebagai berikut: Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya. Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi. Pendidikan konsumen. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif. 6. Keberhasilan untuk membentuk organisasi konsumen dan atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka 14. Kegiatan perlindungan konsumen berfungsi sebagai pendorong efesiensi dalam kegiatan usaha dan kesejahteraan masyarakat. Jika konsumen diberi perlindungan tentunya perlindungan yang sama pada pengusaha yang jujur dan beritikad baik juga harus diberikan kepada mereka. Sebagai konsumen suatu produk pangan, masyarakat berhak untuk memperoleh informasi yang benar, jelas, dan lengkap baik mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukannya. Informasi tersebut hendaknya tidak menyesatkan mengenai pangan yang akan dikonsumsinya, khususnya yang disampaikan melalui label dan iklan pangan. Suatu informasi yang tidak jelas akan memudahkan terjadinya kecurangankecurangan dari pihak pelaku usaha. Padahal informasi yang merupakan salah satu kewajiban pelaku usaha seperti yang terdapat dalam pasal 7 huruf a UU Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa kewajiban pelaku usaha memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan. Manusia berkepentingan untuk mendapatkan perlindungan melalui produk pangan yang ditawarkan. Dengan mewujudkan perlindungan konsumen berarti mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen, pengusaha, dan pemerintah 15. Bentuk perlindungan konsumen dapat dilihat dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 1961 Tentang Barang, dimana pada pasal 2 ayat (4) menyebutkan: 14 Ibid., h. 12 Nurmadjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen dalam menghadapi Era Perdagangan Bebas, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2002, h. 7 15 Volume 12, No.1 Nop 2011 xxxvii Pemberian nama dan/atau tanda-tanda yang menunjukkan asal, sifat susunan bahan, bentuk banyaknya dan/atau kegunaan barang-barang yang baik diharuskan maupun tidak diperbolehkan dibubuhkan atau dilekatkan pada barang pembungkusannya, tempat barang-barang itu diperdagangkan dan alatalat reklame, pun cara pembubuhan atau melekatkan nama dan/atau tandatanda. Untuk produk makanan dan obat diwajibkan mencantumkan label pada wadah atau pembungkusnya. Di negara kita perlindungan terhadap konsumen telah diatur dalam Undangundang Perlindungan Konsumen yang kemudian ditindaklanjuti melalui Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan. Perlindungan hukum konsumen sangat penting mengingat pembangunan perekonomian nasional di era globalisasi semakin mendukung tumbuhnya dunia usaha yang menghasilkan beraneka ragam produk yang memiliki kandungan teknologi. Menyangkut perlindungan hukum kepada konsumen, disebabkan faktor-faktor, antara lain: kedudukan konsumen yang relatif lemah dibandingkan produsen; perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai motor penggerak produktifitas dan efesiensi produsen dalam menghasilkan barang/jasa; perubahan konsep pemasaran yang mengarah pada pelanggan dalam kontek lingkungan eksternal yang lebih luas pada situasi ekonomi global. Selain itu perlindungan konsumen diarahkan untuk tercapainya tujuan, yaitu: menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan akses dan informasi serta menjamin kepastian hukum; melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan seluruh pelaku usaha; meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa; d. memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang menipu dan menyesatkan 16. Pemberian label pangan adalah satu bentuk perlindungan hukum konsumen. Tujuan pemberian label pada pangan yang dikemas adalah agar masyarakat yang membeli dan atau mengkonsumsi pangan memperoleh informasi yang benar dan jelas tentang setiap produk pangan yang dikemas, baik menyangkut asal, keamanan, mutu, kandungan gizi, maupun keterangan lain yang diperlukan sebelum memutuskan akan membeli dan atau mengkonsumsi pangan tersebut. 16 Romli Atmasasmita, Bentuk-Bentuk Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Produsen pada Era Perdagangan Bebas: Suatu Upaya Antisipatif Preventif dan Represif, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2002, h. 93 Volume 12, No.1 Nop 2011 xxxviii Di pasar-pasar atau tempat-tempat berjualan sering ditemukan produk pangan yang dikemas di tempat atau di hadapan pembeli. Tentang produk pangan tersebut tidak digolongkan ke dalam produk pangan yang dikemas/kemasan. Tentang hal ini diatur dalam Ketentuan Khusus Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan, pasal 63 yang menyebutkan ketentuan tentang label sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan ini tidak berlaku bagi: pangan yang kemasannya terlalu kecil sehingga tidak mungkin dicantumkan seluruh keterangan dimaksud dalam Peraturan Pemerintah; pangan yang dijual dikemas secara langsung dihadapan pembeli dalam jumlah kecil-kecil; pangan yang dijual dalam jumlah besar (curah). Dalam penjelasannya disebutkan pengecualian pada huruf a dimaksudkan hanya bagi produk pangan yang kemasannya terlalu kecil, sehingga secara teknis sulit memuat seluruh keterangan yang diwajibkan sebagaimana berlaku bagi produk pangan lainnya, yang lazimnya oleh pihak yang memproduksi pangan yang bersangkutan, pangan tersebut dimasukkan ke dalam kemasan yang lebih besar yang memungkinkan untuk memuat keterangan. Sedangkan untuk huruf c pangan dalam jumlah besar (curah) adalah pangan yang dikemas dalam wadah, sehingga volume bersih pangan yang bersangkutan lebih dari 500 liter atau berat bersih pangan yang berangkutan lebih dari 500 kilogram. Jaminan perlindungan terhadap konsumen adalah salah satunya dapat dilihat pada pencantuman label. Menurut Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan, pasal 1 angka 3 dikatakan bahwa label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau berbentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan kepada, atau merupakan bagian kemasan pangan. Sedangkan dalam pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan disebutkan keterangan dan atau pernyataan tentang pangan dalam label harus benar dan tidak menyesatkan. Yang dimaksudkan ‘keterangan dianggap tidak benar’ apabila keterangan tersebut bertentangan dengan kenyataan sebenarnya atau tidak memuat keterangan yang diperlukan agar keterangan tersebut dapat memberikan gambaran atau kesan yang sebenarnya tentang pangan. Yang dimaksudkan ‘keterangan yang menyesatkan’ adalah pernyataan yang berkaitan dengan hal-hal seperti sifat, harga, bahan, mutu, komposisi, manfaat, atau keamanan pangan yang meskipun benar, dapat menimbulkan gambaran yang menyesatkan pemahaman mengenai pangan yang bersangkutan. Selanjutnya pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan menegaskan bahwa pencantuman pernyataan tentang manfaat pangan bagi kesehatan dalam label hanya dapat dilakukan apabila didukung oleh fakta ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Pangan, pada labelnya harus dicantumkan nama golongan BTP, seperti golongan antioksidan, pemanis buatan, Volume 12, No.1 Nop 2011 xxxix pengawet, pewarna, dan lain-lain. Begitu juga pada wadah BTP harus dicantumkan label yang memenuhi ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Republik IndonesiaI tentang Label dan Periklanan Pangan yaitu harus mencantumkan: Tulisan “Bahan Tambahan Pangan” atau “Food Additive”, Nama BTP, khusus untuk pewarna dicantumkan pula nomer indeksnya, Nama golongan BTP, Nomor pendaftaran produsen, e. Nomor pendaftaran produk, untuk BTP yang harus didaftarkan 17 B. Pelaku Usaha Di dalam UU Perlindungan Konsumen, norma-norma (hukum materiel) perlindungan konsumen dikelompokkan ke dalam dua kelompok sebagai berikut: 1). Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha (Bab IV); dan 2). Ketentuan pencantuman klausula baku (Bab V). Namun demikian pengelompokan ini belum menggambarkan mata rantai hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen, dari mulai kegiatan proses produksi barang dan jasa sampai ke tangan konsumen, baik melalui transaksi atau peralihan lainnya yang dibenarkan hukum 18. Dalam perdagangan pangan yang berlangsung jujur dan bertanggungjawab tidak hanya untuk melindungi kepentingan masyarakat yang mengkonsumsi pangan. Tetapi melalui pengaturan yang tepat disertai sanksi-sanksi hukum yang berat, diharapkan setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan dapat memperoleh perlindungan dan jaminan kepastian hukum. Peraturan hendak memberikan perlindungan hukum baik kepada konsumen maupun pelaku usaha. Dengan demikian terciptanya saling menghormati dan menghargai di kedua belah pihak. Pelaku usaha tidak menginginkan keuntungan sesaat dan kerugian berkepanjangan dengan tidak dipercayainya konsumen akan produknya demikian juga konsumen tidak menginginkan ada efek negatif terhadap kesehatannya akibat mengkonsumsi suatu produk dan tidak menghendaki ketidakjujuran dari pelaku usaha. Saling percaya mempercayai antara produsen dan konsumen sangat penting demi berkesinambungannya transaksi di antara mereka. Sebagai pelaku usaha dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang, distributor, dan lain-lain, diberikan suatu hak dalam rangka menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen kepada pelaku 19. 17 Balai Besar POM, Bahan Tambahan Pangan (BTP), Surabaya, 2003, h.83 Yusuf Shofie, op.cit., h. 33 19 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia, Jakarta, 2003, h. 33 18 xl Volume 12, No.1 Nop 2011 C. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Adapun hak-hak pelaku usaha sesuai pasal 6 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yaitu: menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; Sebagai konsekuensi dari hak tersebut di atas maka kepada pelaku usaha dibebankan kewajiban-kewajiban sesuai dengan pasal 7 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen sebagai berikut: beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat pengguanaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. D. Larangan bagi Pelaku Usaha Agar pelaku usaha selalu instropeksi diri dan tidak merugikan konsumen maka perlu diberikan larangan-larangan dalam berusaha. Larangan tersebut diatur pada pasal 8 sampai dengan pasal 18 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Beberapa larangan tersebut, misalnya diatur pasal 8 ayat (1) sebagai berikut: tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangan-undangan; tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; Volume 12, No.1 Nop 2011 xli tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran sebenarnya; tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label; tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat; tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. LABEL SEBAGAI PERLINDUNGAN KONSUMEN Pengamanan makanan dan minuman sesuai dengan pasal 21 ayat (1) UndangUndang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan mengenai standar dan atau persyaratan kesehatan. Dalam penjelasan ayat (1) ini bertujuan agar masyarakat terhindar dari makanan dan minuman yang dapat membahayakan kesehatan. Pemerintah menetapkan standar dan persyaratan agar makanan dan minuman yang bersangkutan aman dan layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Selanjutnya ayat (2) pasal 21 UU Kesehatan menyebutkan setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi: bahan yang dipakai; komposisi setiap bahan; tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa; ketentuan lainnya. Menurut UU Kesehatan makanan dan minuman yang dikemas adalah makanan dan minuman hasil produksi perusahaan yang tergolong industri berskala besar dan tidak termasuk hasil industri kecil atau rumah tangga. Dengan demikian industri kecil, atau industri rumah tangga, baik yang menggunakan merek dagang maupun tidak, belum dikenakan sanksi pidana. Ayat (3) pasal 21 UU Kesehatan menerangkan bahwa makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan atau persyaratan kesehatan dan atau xlii Volume 12, No.1 Nop 2011 membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dan disita untuk dimusnahkan. Penjelasan ayat (3) ini adalah untuk melindungi masyarakat, peredaran makanan dan minuman hasil produksi berskala besar dengan menggunakan teknologi maju yang tidak memenuhi ketentuan standar dan atau persyaratan kesehatan dilarang peredarannya. Syarat-syarat Label Istilah label atau disebut juga penandaan atau etiket adalah informasi produk kepada konsumen 20. Apabila memperhatikan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 1978 tentang Label dan Periklanan Makanan, pada pasal 1 angka 2 menyebutkan etiket adalah label yang dilekatkan, dicetak, diukir atau dicantumkan dengan jalan apapun pada wadah atau pembungkus. Tentang syarat-syarat label dapat dilihat dan tercantum dalam pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan yang menyebutkan bahwa label berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan. Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan bahwa keterangan tersebut sekurang-kurangnya mencantumkan: a. Nama produk; b. Daftar bahan yang digunakan; c. Berat bersih atau isi bersih; d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; e. Tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa. Bagian Utama Label dan Tulisan pada Label Bagian utama label adalah bagian dari label yang memuat keterangan paling penting untuk diketahui oleh konsumen, pada pasal 12 Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan, menyebutkan bagian utama label sekurang-kurangnya memuat: nama produk; berat bersih; dan nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia. Sepertinya ada pertentangan antara pasal 12 dengan pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan yang juga memuat sekurang-kurangnya tentang label. Bila dalam pasal 3 ayat (2) menyebutkan sekurang-kurangnya lima persyaratan label tetapi pada pasal 12 menyebutkan sekurang-kurangnya tiga bagian utama label saja. Penulisan keterangan pada label haruslah teratur, tidak berdesak-desakan, jelas, dan dapat dibaca. Selanjutnya ditempatkan pada sisi kemasan pangan yang paling 20 Az. Nasution, op.cit, h. 70 Volume 12, No.1 Nop 2011 xliii mudah dilihat, diamati, dan atau dibaca oleh masyarakat. Selain itu keterangan pada label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin. Bahasa sangat penting untuk mengetahui tentang produk yang akan dikonsumsi. Apabila tidak mengetahui atau mengerti bahasa pada produk yang akan dibeli maka akan menimbulkan resiko pada pembeli sendiri. Oleh karena itu mengertilah bahasa pada label sebelum membeli produk tersebut. Jangan tergiur dengan produk luar negeri dengan bahasa tidak dimengerti seperti bahasa Cina, Arab, dan lainlain. Tidak jarang ada orang membeli produk Cina yang bertuliskan bahasa Cina dan ketika ditanya untuk apa produk itu, maka jawabnya adalah tidak tahu! Mengapa tidak tahu? Karena konsumen hanya membeli dan mengkonsumsi produk tersebut berdasarkan: katanya orang produk itu cocok untuk itu dan ini, katanya …katanya… dan seterusnya. Bukankah ketidakmengertian akan mengorbankan diri sendiri dan kesehatannya? Bahasa yang digunakan pada label sangat penting. Bila tidak mengerti atau memahami bahasanya lebih baik tidak membeli dan bisa mencari produk sejenis dengan bahasa yang dimengerti. Keterangan pada label ditulis dan dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia atau dengan istilah asing yang tidak ada padanannya. Dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh konsumen maka dapat dihindari misinformasi terutama dalam cara penyimpanan, mengolah, dan masa kedaluwarsa 21. Label dan Keterangan-keterangannya Nama Produk Pangan Nama sangat penting untuk menandai sesuatu dan membedakan dengan produk yang lain. Tidak ada nama produk pangan yang sama dan serupa, karena masing-masing pelaku usaha punya merk tersendiri dalam usahanya. Nama produk pangan menunjukkan sifat dan atau keadaan yang sebenarnya. Produk pangan haruslah telah memenuhi persyaratan tentang nama produk pangan yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI). Keterangan tentang Bahan yang Digunakan Menurut penjelasan ayat (3) butir a pasal 21 UU Kesehatan, bahan yang dipakai meliputi bahan pokok, bahan tambahan, dan bahan penolong. Yang dimaksud komposisi bahan adalah jumlah setiap bahan dalam makanan dan minuman. Dalam kegiatan atau proses produksi pangan suatu keterangan tentang bahan yang digunakan dicantumkan pada label. Daftar bahan yang digunakan diurut secara 21 YLKI, Siapa Raja Konsumen atau Produsen? Kumpulan Rubrik Advokasi Konsumen, Kompas, Jakarta, 2000, h. 86 xlivVolume 12, No.1 Nop 2011 berurutan dan daftar bahan pangan diurut/ dimulai dari bagian yang terbanyak. Khusus untuk air yang ditambahkan harus dicantumkan sebagai komposisi pangan, kecuali apabila air itu merupakan bagian dari bahan yang digunakan. Bahan pengawetan pangan yang sudah lama dikenal dan masih digunakan sampai sekarang adalah penggaraman (digunakan pada pengawetan ikan, daging, dll), pengasaman (digunakan pada pengawetan produk sayur-sayuran, mentimun, dll), dan pengawetan dengan menggunakan gula (seperti dalam pembuatan selai, jeli, sari buah pekat, sirup buah-buahan, susu kental manis, dan madu). Sedangkan bahan pengawet kimia adalah bahan-bahan kimia yang ditambahkan ke dalam bahan pangan atau ada di dalam bahan pangan sebagai akibat dari perlakuan prapengolahan, pengolahan, atau penyimpanan. Untuk penyesuaian dengan penggunaannya dalam pengolahan secara baik, penggunaan bahan pengawet kimia, seharusnya: 1. Tidak menimbulkan penipuan; 2. Tidak menurunkan nili gizi dari bahan pangan; 3. Tidak memungkinkan pertumbuhan organisme yang menimbulkan keracunan 22 Mengenai pangan yang telah ditambah, diperkaya atau difortifikasi dengan vitamin, mineral, atau zat penambah gizi lainnya tidak dilarang, sepanjang hal tersebut benar dilakukan pada saat pengolahan pangan tersebut, dan tidak menyesatkan. Pernyataan tersebut turut dicantumkan pada label. Adanya larangan untuk tujuan tertentu seperti menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan, menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk pangan, dan untuk menyembunyikan kerusakan pangan. Larangan tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Pangan. c. Keterangan tentang Berat Bersih atau Isi Bersih Berat bersih atau isi bersih harus dicantumkan dalam satuan metrik: dengan ukuran isi untuk makanan cair; dengan ukuran berat untuk makanan padat; dan dengan ukuran isi atau berat untuk makanan semi padat atau kental. d. Keterangan tentang Nama dan Alamat Nama dan alamat sangat penting untuk melacak dimana produk tersebut dibuat. Selain itu apabila ada kepentingan untuk transaksi akan mudah dihubungi. Oleh karena itu nama dan alamat pihak yang memproduksi pangan wajib dicantumkan pada 22 K.A.Buckle, ..et al, Ilmu Pangan, Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono, Universitas Indonesia, Jakarta, 1985, h, 166, 173-174 Volume 12, No.1 Nop 2011 xlv label. Ketentuan tersebut agar konsumen dapat memperoleh informasi tentang produsen asal pangan. e. Tanggal Kedaluarsa Penjelasan butir c ayat (2) pasal 21 UU Kesehatan adalah ketentuan tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa dimaksudkan agar makanan dan minuman yang bersangkutan digunakan sebelum tanggal, bulan, dan tahun yang dicantumkan dalam label. Pengecualian dari ini adalah untuk makanan dan minuman yang tidak mempunyai batas waktu penggunaannya. Melalui Keputusan Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan Depkes Republik Indonesia Nomor 01323/B/SK/V/1985 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 180/Men.Kes/Per/IV/1985 Tentang Makanan Daluwarsa, disebutkan bahwa perlunya pencantuman tanggal daluwarsa dalam rangka melindungi konsumen dari akibat yang dapat merugikan kesehatan. Yang menentukan/menetapkan tanggal daluwarsa adalah produsen sendiri, yang menunjukkan bahwa produknya masih memenuhi persyaratan mutu hingga tanggal tersebut. Pengertian tanggal kadaluarsa/daluarsa adalah batas akhir suatu makanan dijamin mutunya sepanjang penyimpanannya mengikuti petunjuk yang diberikan oleh produsen. Pencantuman tanggal daluwarsa dinyatakan dalam tanggal, bulan, dan tahun untuk makanan yang daya simpannya sampai dengan 3 bulan, sedangkan untuk yang lebih dari 3 bulan dinyatakan dalam bulan dan tahun. Setiap pelaku usaha atau produsen wajib mencantumkan tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa produk pangan yang diproduksinya. Penulisan waktu kedaluwarsa tidak seenaknya saja tetapi ada tata caranya yaitu pencantuman tanggal daluwarsa dilakukan setelah pencantuman tulisan “Baik Digunakan Sebelum” sesuai dengan jenis dan daya tahan pangan yang bersangkutan. Meskipun keterangan yang digunakan adalah kata “Baik Digunakan Sebelum”, namun hal tersebut tidak mengurangi makna ketentuan yang menyatakan tentang larangan memperdagangkan pangan yang melampaui saat kedaluwarsanya. Larangan bagi setiap orang dalam hal tanggal kedaluwarsa adalah: menghapus, mencabut, menutup, mengganti label, melabel kembali pangan yang diedarkan; menukar tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa pangan yang diedarkan. Kewaspadaan bagi konsumen sebelum membeli suatu produk pangan berlabel adalah memperhatikan waktu kedaluwarsanya apakah ada tanda-tanda kecurigaan pada label tersebut. Tanggal kedaluarsa merupakan suatu petunjuk bahwa makanan dan minuman yang kita beli aman untuk dikonsumsi. Kedaluarsa untuk makanan/minuman berbeda dengan tanggal kadaluarsa (expiry date) pada obat yang sifatnya mutlak harus diperhatikan oleh konsumen, karena obat yang melewati tanggal kadaluarsa dapat menjadi racun. Sedang untuk makanan dan minuman, tanggal kadaluarsa lebih tepat disebut best before atau “lebih baik dikonsumsi sebelum” tanggal tersebut. Sebagian makanan/minuman yang sudah lewat tanggal best before bisa saja tetap dikonsumsi walaupun rasanya mungkin sudah kurang seenak produk yang masih baru diproduksi. Namun harus diingat, walaupun makanan/minuman belum melewati xlviVolume 12, No.1 Nop 2011 tanggal best before, jika kemasannya sudah cacat, penyok, atau menggelembung, dapat saja produk itu sudah tercemar bakteri yang memproduksi racun botulinum yang mematikan 23. Makanan tertentu sebagaimana diatur dalam Permenkes RI Nomor 346/Men.Kes/Per/IX/1983 yaitu berbagai jenis susu (cair, bubuk, fermentasi, steril, pasteurisasi), makanan bayi dan anak-anak, maupun minuman serbuk dan ringan yang mengandung susu, harus mencantumkan tanggal daluwarsa, karena jenis makanan tersebut dapat mengalami perubahan dalam waktu yang cepat 24. Pencantuman Tulisan Halal Agar adanya kepastian bagi pemeluk Agama Islam tentang halal tidaknya makanan dan minuman yang beredar maka perlu pencantuman tulisan halal pada label. Oleh karena itu perlu diatur melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 82/MENKES/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” Pada Label Makanan. Pasal 1 butir 2 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 82/MENKES/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” Pada Label Makanan berbunyi: Makanan halal adalah semua jenis makanan dan minuman yang tidak mengandung unsur atau bahan yang terlarang/haram dan atau yang diolah/diproses menurut hukum Agama Islam. Produk makanan yang mencantumkan tulisan “Halal” sesuai ayat (1) pasal 3 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 82/MENKES/I/1996 adalah: Mie; Bumbu masak; Kecap; Biskuit; Minyak goreng; Coklat/permen; Susu, es krim; Daging dan hasil olahannya; Produk yang mengandung minyak hewan, gelatin, shortening, lechitin; Produk lain yang dianggap perlu. Pasal 10 dan 11 Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan memuat mengenai pencantuman label halal pada produk pangan bagi umat Islam. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa kebenaran suatu pernyataan halal pada label pangan tidak hanya dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu 23 24 YLKI, op.cit., h. 99-100 Ibid.., h. 83 Volume 12, No.1 Nop 2011 xlvii yang digunakan dalam memproduksi pangan, tetapi harus pula dapat dibuktikan dalam proses produksinya. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 82/MENKES/I/1996 prosedur pencantuman tulisan halal harus melalui persetujuan Tim Penilai yang terdiri dari unsur Departemen Kesehatan dan Departemen Agama. Hasil dari Tim Penilai disampaikan kepada Dewan Fatwa untuk memperoleh persetujuan atau penolakan. Sedangkan menurut penjelasan Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan, pemeriksaan terhadap pangan untuk dinyatakan halal terlebih dahulu pada lembaga yang telah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). Di mana lembaga keagamaan yang dimaksud adalah Majelis Ulama Indonesia. Maksud dari pemeriksaan tersebut adalah untuk memberikan ketentraman dan keyakinan umat Islam bahwa pangan yang akan dikonsumsi memang aman dari segi agama. 5. Pengemasan Produk Makanan dan Minuman Pengemasan penting juga dipahami oleh pelaku usaha dan konsumen. Pengemasan yang kurang baik akan mempengaruhi apa yang dikemasnya. Dalam pasal 1 PP tentang Label dan Iklan Pangan butir 8 disebutkan bahwa kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan atau membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak. Pengemasan suatu produk tidak boleh asal-asalan saja seperti yang sering ditemukan. Atau pengemasan yang nampaknya sudah bagus tetapi tetap saja tidak memenuhi syarat-syarat yang berlaku. Kesalahan dalam penggunaan pengemas dapat mempersingkat waktu simpan, terutama bahan-bahan segar, juga merubah proses pembusukan yang normal. Ada standar mutu yang harus dipenuhi dalam pengemasan. Pengaturan standar mutu dari pengemasan sangat penting seperti halnya pengaturan standar mutu bahan pangan itu sendiri. Selain produk pangan yang mengancam kesehatan karena terdapatnya zat berbahaya ternyata juga wadah makan dan minum yang sering digunakan anak-anak terbuat dari campuran formalin. Wadah tersebut misalnya mangkok dan piring melamin serta mug yang punya tutup. Kandungan formaldehid pada rebusan produk melamin sekitar 0,05 mg atau lebih besar dari ambang batas bahaya. Dari hasil uji laboratorium, produk formalin yang dipakai adalah produk dengan merk W Melamin dengan kadar formalin 8,82 mg per liter, dan Huamei dengan kadar formalin mencapai 7,72 mg per liter. Perlu diketahui ciri-ciri melamin yang memakai formalin biasanya harganya lebih murah, warnanya beragam dan menarik 25 . Untuk membuktikan bahwa bahan pengemas cukup memadai dilakukan secara teknik laboratorium kemudian dilakukan percobaan di lapangan, apakah bahan pangan yang telah dikemas dan disimpan tersebut dalam kondisi dan jangka waktu tertentu tidak rusak. Jenis pengemasan dapat secara vakum dalam kantung plastik yang tembus 25 Surabaya Post, Beredar Mangkok Melamin Berformalin, 20 Januari 2006, h. 22 Volume 12, No.1 Nop 2011 xlviii cahaya dan penyimpanannya dalam lemari pendingin bukan dijual di atas meja atau rak di toko. Ada lima fungsi utama pengemasan, yaitu: 1) Harus dapat mempertahankan produk agar bersih dan memberikan perlindungan terhadap kotoran dan pencemaran lainnya; 2) Harus memberi perlindungan pada bahan pangan terhadap kerusakan fisik, air, oksigen dan sinar; 3) Harus berfungsi secara benar, efesien, dan ekonomis dalam proses pengepakan yaitu selama pemasukan bahan pangan ke dalam kemasan; 4) Harus mempunyai suatu tingkat kemudahan untuk dibentuk menurut rancangan yaitu memberi kemudahan kepada konsumen dalam membuka dan menutup kembali wadah; 5) Harus memberi pengenalan, keterangan dan daya tarik penjualan26. 6. Pembinaan dan Pengawasan Dalam UU Perlindungan Konsumen masalah pembinaan dan perlindungan konsumen dijelaskan sebagai berikut. Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Pembinaan penyelengaraan perlindungan konsumen meliputi upaya, untuk: a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen; b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; c. meningkatnya sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen. Sesuai pasal 30 ayat (1) dan (2) untuk pengawasan dapat dilakukan oleh pihak pemerintah yaitu Menteri dan/atau menteri teknis, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Dalam penjelasan ayat (3) pasal 30 UU Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan atas barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang resiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktek dunia usaha. Penjelasan ayat (3) pasal 21 UU Kesehatan menyebutkan makanan dan minuman yang diproduksi oleh masyarakat seperti industri rumah tangga adalah 26 K.A.Buckle, op.cit., h.179-181 Volume 12, No.1 Nop 2011 xlix pengrajin makanan dan minuman yang masih dalam taraf pembinaan dan pengawasan perlu diterapkan persyaratan yang menyangkut kebersihan dan sanitasi agar tidak tercemar kotoran, jasad renik dan bahan yang berbahaya. Di daerah pembinaan dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Dinas Kesehatan. Dinas Perindustrian dan Perdagangan akan mengeluarkan Surat Ijin Usaha Perdagangn (SIUP) dan Tanda Daftar Industri (TDI) sedangkan Dinas Kesehatan akan memberikan ijin dalam bentuk Sertifikat Penyuluhan (SP). Namun demikian tidak semua pelaku usaha dibina oleh pihak terkait. Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis dtemukan 66,7% pelaku usaha yang dibina dan sisanya mengaku tidak dibina. Akibatnya pelaku usaha yang tidak dibina tidak mau mengurus ijin, padahal mereka terus menjual produk mereka kepada orang banyak 27. Kemungkinan lain kurangnya kesadaran pelaku usaha terhadap pentingnya labelisasi produk dan pengenaan persyaratan seperti pajak, kena biaya SIUP, biaya TDI, dan biaya ijin SP. Dalam hal ini pentingnya sosialisasi dinas terkait kepada para pelaku usaha. Satu temuan yang menarik pada penelitian tersebut adalah ditolaknya produk yang tidak mempunyai SP oleh satu supermarket alasannya bahwa produk tersebut belum dijamin keamanannya. Tentunya tindakan supermarket tersebut memaksa pelaku usaha untuk mengurus perijinan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila pelaku usaha tidak melengkapi labelnya akan merugikan pelaku usaha itu sendiri karena produknya dijual terbatas. Sertifikat Penyuluhan (SP) yang diterbitkan oleh Dinas Kesehatan mempunyai arti adanya jaminan keamanan suatu produk tentang kualitas hygiene sanitasi. Untuk mendapatkan SP ini pihak Dinas Kesehatan terlebih dahulu memeriksa tempat pengrajin makanan/camilan apakah telah memenuhi Laik Hygiene Sanitasi. Berdasarkan itu kemudian pengrajin makanan/camilan baru dapat diberikan SP. SENGKETA KOMSUMEN DAN PENYELESAIANNYA Sengketa dalam bisnis dapat terjadi karena adanya kesalahpahaman, pelanggaran perundang-undangan, ingkar janji, kepentingan yang berlawanan, dan atau kerugian pada salah satu pihak. Apakah yang dimaksud dengan sengketa konsumen? Sengketa terjadi apabila terdapat perbedaan pandangan atau pendapat antara para pihak tertentu tentang hal tertentu. Satu pihak merasa dirugikan hak-haknya oleh pihak yang lain, sedang yang lain tidak merasa demikian. Oleh karena itu batasan sengketa konsumen perlu didefenisikan. Menurut Az. Nasution, sengketa konsumen adalah: Sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha (publik atau privat) tentang produk konsumen, barang dan/atau jasa konsumen tertentu 28. 27 Adriana Pakendek, op.cit., h. 30 Az. Nasution, op.cit., h. 221 Volume 12, No.1 Nop 2011 28 l Penyelesaian sengketa konsumen dengan menggunakan hukum acara yang umumnya berlaku, membawa padanya segala keuntungan dan kerugian bagi konsumen dalam proses perkaranya. Antara lain beban pembuktian dan biaya pada pihak yang menggugat secara perdata, atau mengajukan tuntutan administratif atau pidana, sebagaimana ditentukan dalam hukum acara perdata, hukum acara administratif atau hukum acara pidana. Keadaan seperti diuraikan di atas pada umumnya lebih berfungsi “melemahkan” dan “tidak memberdayakan” konsumen sesuai kehendak unadngundang, karena membebankan kesulitan pada mereka dalam membuktikan niat pelaku usaha, apakah sengaja, alpa, atau tidak hati-hati dalam menjalankan usahanya. Proses perkara sengketa konsumen harus mengikuti proses perkara perdata, administratif atau pidana yang berlaku dengan segala konsekuensi beban pembuktian dan pembiayaannya. Dapat dibayangkan betapa sulitnya “keadilan” yang harus dicari konsumen dalam sengketa yang timbul dan merugikan kepentingannya, khususnya kepentingan-kepentingan konsumen yang kecil baik dalam nilai maupun jumlahnya 29. Keadaan hukum di negara kita masih mengawetkan pola hubungan penjual dan pembeli yang tradisional. Posisi konsumen sebagai penggugat dalam hubungan kontraktual yang berkualifikasi perbuatan melawan hukum sangatlah lemah. Ini terlihat jelas dari pasal 1365 KUH Perdata yang mengharuskan konsumen melakukan pembuktian unsur-unsur: adanya perbuatan melawan hukum adanya kesalahan atau kelalaian produsen adanya kerugian yang diderita konsumen hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang dideritanya Tidaklah adil mengharuskan konsumen membuktikan kelalaian atau kesalahan produsen dalam proses produksi makanan sebab yang mengetahui proses produksi justru produsen sendiri. Bila menerapkan doktrin product liability (tanggung jawab produk), maka konsumen tidak lagi dibebani untuk membuktikan kelalaian atau kesalahan produsen, melainkan produsenlah yang harus membuktikan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian yang ia lakukan selama produksi. Dalam doktrin product liability, tergugat dianggap telah melakukan kesalahan (presumption of equality) kecuali produsen dapat membuktikan kalau dirinya tidak melakukan kelalaian atau kesalahan sebagaimana yang dituduhkan. Bila produsen gagal membuktikan bahwa ia tidak salah atau tidak lalai, ia berkewajiban memikul resiko mengganti kerugian yang diderita konsumen setelah mengkonsumsi produknya30. Di dalam UU Perlindungan Konsumen tidak mencantumkan unsur kesalahan (unsur opzet atau unsur culpa) sehingga masih belum jelas apakah UU Perlindungan Konsumen menganut doktrin strict liability atau tidak. Apalagi dalam pasal 22 UU 29 Ibid., h. 223 YLKI, op.cit., h. 63-64 Volume 12, No.1 Nop 2011 30 li Perlindungan Konsumen pada pasal 19 ayat (4) mengetengahkan sistem pembuktian terbalik yang menegaskan ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus-kasus pidana (kewajiban pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi tidak menghapuskan tuntutan pidana). Menurut doktrin strict liability (tanggungjawab mutlak), suatu tindakan dapat dihukum atas dasar perilaku berbahaya yang merugikan (harmful conduct), tanpa mempersoalkan ada tidaknya kesengajaan (opzet; intention) atau kelalaian (culpa; neglicence) 31. Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak maka setiap orang/konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan di pihak produsen. Alasan strict liability diterapkan dalam dalam hukum tentang product liability adalah: 1. Di antara korban/konsumen di satu pihak dan produsen di lain pihak, beban kerugian (resiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi/mengeluarkan barang-barang cacat/berbahaya di pasaran. 2. Dengan menempatkan barang-barang tersebut di pasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bilamana tidak demikian maka dia harus bertanggung jawab. 3. Tanpa menerapkan prinsip tanggungjawab mutlak pun, produsen yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agem kepada produsen. Penerapan strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang ini 32. Sistem tanggungjawab pada product liability berlaku prinsip strict liability, pihak produsen dapat membebaskan diri dari tanggungjawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Hal-hal yang dapat membebaskan tanggungjawab produsen tersebut adalah: Jika produsen tidak mendengarkan produknya (put into circulation). Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk diedarkan oleh produsen, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian. Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka bisnis. Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. 31 Yusuf Shofie, op.cit., h. 33-34 E. Saefullah, Tanggung jawab Produsen (Product Liability) dalam Era Perdagangan Bebas, dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Penyunting: Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Mandar Maju, Bandung, 2000, h. 53-54 lii Volume 12, No.1 Nop 2011 32 Bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scientific and technical knowledge, state of art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin terjadi cacat. Dalam hal produsen dari suatu komponen, bahwa cacat tersebut disebabkan oleh desain dari produk itu sendiri dimana komponen telah dicocokkan atau disebabkan kesalahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak produsen produk tersebut. Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut menyebabkan terjadinya kerugian tersebut (contributory negligence). h. Kerugian yang terjadi akibat oleh Art of God atau force majeur 33. Sampai saat ini Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tanggungjawab produsen (product liability). Oleh karena itu bila seorang konsumen menderita kerugian akibat produk yang cacat dan ingin menuntut produsen, maka jalan hukum yang dapat ditempuh adalah berdasarkan perbuatan melawan hukum (pasal 1365 KUH Perdata). Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak memberikan batasan apakah yang dimaksud dengan sengketa konsumen. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ayat (1) Pasal 45 menyebutkan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Dalam prakteknya kadangkala konsumen sebagai korban yang dirugikan tidak melaporkan tindakan yang dialaminya karena korban yang sifatnya abstrak (abstract victim) dan karena itu sukar ditentukan secara jelas (misalnya masyarakat konsumen) 34. Namun demikian penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa, seperti yang terdapat dalam ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen. Dalam penjelasan Undang-undang Perlindungan Konsumen dikatekan bahwa penyelesaian sengketa konsumen tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan tidak bertentangan dengan undang-undang. Di samping memberikan dasar hukum terhadap tuntutan pidana kepada pelaku usaha juga mengatur tentang penyelesaian sengketa melalui gugatan perdata dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha dapat mengajukan gugatan perdata ke lingkungan peradilan umum (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung). 33 Ibid., h. 57-58 Yusuf Shofie, op.cit., h. 70 Volume 12, No.1 Nop 2011 34 liii Hubungan konsumen secara individual dengan produsen (termasuk pedagang, grosir, distributor, agen) merupakan hubungan perdata. Sehingga sering kali perlindungan konsumen dilihat dari segi hukum perdata seperti ganti rugi. Hal demikian tidaklah benar karena perlindungan konsumen merupakan juga kewajiban pemerintah maka peranan pemerintah dalam menerapkan sanksi pidana dan administratif, sangatlah penting. Dalam hubungan dengan perlindungan konsumen sering terjadi adalah tuntutan hak yang dikemukakan oleh konsumen karena merasa dirugikan oleh suu produk barang atau jasa. Ada tiga masalah yang menjadi bahan diskusi yaitu: Pertama, masalah prinsip ganti rugi yang di dalamnya mencakup sistem pembuktian. Kedua, masalah lembaga tempat penyelesaian sengketa, termasuk di dalamnya peranan lembaga-lembaga di luar pengadilan. Ketiga, bagaimana cara mengajukan tuntutan hak (gugatan) apakah harus selalu individual atau boleh berkelompok (class/representative action)35. Dalam mengajukan gugatan perdata di samping gugatan konvensional, juga diperkenankan gugatan kelompok (class action)36. Class action adalah suatu cara yang diberikan kepada sekelompok orang yang mempunyai kepentingan dalam suatu masalah, baik seorang atau lebih anggotanya menggugat atau digugat sebagai perwakilan kelompok tanpa harus turut serta dari setiap anggota kelompok. Dari pengertian class or representative action tersebut dapat diartikan adanya gugatan yang mencakup kepentingan orang banyak yang mempunyai kesamaan kepentingan dan diharapkan lebih praktis daripada gugatan individual dan tidak perlu setiap orang turut serta dalam proses gugatan. Menurut Gregory, class action sebagai “beberapa orang yang merasa dirugikan oleh suatu produk menuntut ganti rugi di pengadilan bukan untuk diri mereka sendiri akan tetapi juga untuk semua orang yang telah mengalami kerugian yang sama37. Ketentuan gugatan perwakilan/kelompok (class action) diatur dalam diatur dalam pasal 46 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu ayat (1) merumuskan: Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: ….b). sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. Pada ayat (2) menentukan: Gugatan yang diajukan sekelompok konsumen …sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ….diajukan kepada peradilan umum. Pada penjelasannya dinyatakan bahwa gugatan kelompok (class action) diakui undang-undang ini. Selanjutnya dalam penjelasannya bahwa 35 Toto Tahir, Kemungkinan Gugatan Class Action Dalam Upaya Perlindungan Hukum Pada Era Perdagangan Bebas, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000, h. 68-69 36 Sanusi Bintang dan Dahlan, op.cit. h. 111 37 Toto Tahir, op.cit., h. 71 liv Volume 12, No.1 Nop 2011 gugatan harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya transaksi 38. Penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui dua cara yaitu: 1). Peradilan (litigasi); dan 2). Di luar peradilan (nonlitigasi) atau alternative dispute resolution (ADR)39 Atau dengan kata lain: a). Penyelesaian sengketa secara damai, dan b). Penyelesaian melalui lembaga atau instansi yang berwenang40. Peradilan merupakan jalur penyelesaian konvensional untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa. Terdapat tiga tingkatan lembaga peradilan yaitu peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri (PN), peradilan tingkat kedua atau banding di Pengadilan Tinggi (PT), dan peradilan kasasi di Mahkamah Agung (MA). Karena penyelasaian suatu perkara dari tingkat pertama sampai kasasi membutuhkan rata-rata antara 7-12 tahun sehingga dikhawatirkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terutama masyarakat bisnis terhadap lembaga peradilan. Juga tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menegaskan bahwa peradilan dilaksanakan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan. Apa itu penyelesaian sengketa secara damai? Penyelesaian sengketa secara damai dimaksudkan penyelesaian sengketa antar pihak, dengan atau tanpa kuasa/pendamping bagi masing-masing pihak, melalui cara-cara damai. Perundingan secara musyawarah dan atau mufakat antar para pihak bersangkutan. Penyelesaian sengketa dengan cara ini disebut pula “penyelesaian secara kekeluargaan”. Banyak sengketa yang dapat atau tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan cara ini. Cara penyelesaian sengketa secara damai sesungguhnya ingin diusahakan bentuk penyelesaian yang “mudah, murah, dan (relatif) lebih cepat”. Dasar hukum penyelesaian tersebut terdapat dalam KUHPerdata Indonesia (Buku III, Bab 18, pasal 1851-1854 tentang perdamaian/dading) dan dalam UU Perlindungan Konsumen N0. 8 tahun 1999, pasal 45 ayat (2) jo pasal 47. Selain itu adanya gejala pengaruh dari luar negeri untuk penyelesaian sengketa alternatif dan menampung kebutuhan para pelaku bisnis terhadap penyelesaian sengketa yang lebih menguntungkan. Cara penyelesaian sengketa alternatif tersebut dinamakan alternative dispute resolution (ADR). ADR mencakup antara lain negosiasi, mediasi, dan arbitrase. Negosiasi merupakan proses tawar menawar antara pihak-pihak yang bersengketa dimana masingmasing berusaha untuk mencapai kesepakatan tentang persolan tertentu yang dipersengketakan, tanpa adanya campur tangan pihak ketiga. Mediasi/Penengahan (mediation) merupakan kelanjutan proses negosiasi. Di mana para pihak yang bersengketa menggunakan jasa pihak ketiga yang netral untuk 38 Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Teori & Praktek Penegakan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, h. 80 39 Sanusi Bintang dan Dahlan, op.cit h. 113 40 Az. Nasution, op.cit,., h. 224 Volume 12, No.1 Nop 2011 lv membantunya menyelesaikan sengketa itu. Apabila upaya perdamaian tidak berhasil maka para pihak didasarkan kesepakatan tertulis dapat menyelesaikan melalui suatu lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc. Di Indonesia sudah ada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang merupakan suatu badan peradilan yang berfungsi menyelesaikan sengketa-sengketa perdata yang timbul dalam soal perdagangan, baik nasional maupun internasional. Mengapa harus arbitrse? Beberapa pertimbangan yang mendorong kalangan bisnis memilih cara arbitrase adalah: 1. Untuk menghindari publisitas; Untuk menekan biaya penyelesaian sengketa; Untuk menyelesaikan sengketa secara cepat; Untuk menyelesaikan sengketa melalui penggunaan para ahli di bidangnya; dan 2. Untuk menghindari penyelesaian sengketa yang tidak adil 41. 3. Tidak banyak formalitas dan murah bila dihubungkan dengan proses dan prosedur arbitrase yang sederhana dan memungkinkan biaya arbitrase tidak 3. semahal biaya peradilan biasa42. Ilustrasi berikut menunjukkan suatu kategorisasi sederhana mengenai proses penyelesaian sengketa yang paling umum digunakan, yang tersusun dari konflik atau pertikaian yang paling hebat sampai kepada kerja sama atau kolaborasi yang paling baik. Ilustrasi tersebut juga menunjukkan apakah para pihak menyelesaikan sengketanya sendiri atau melalui jasa baik pihak ketiga, dan apakah bila pihak ketiga terlibat, pihak ketiga tersebut benar-benar memutuskan sengketa atau semata-mata membantu para pihak untuk memutuskan sengketa tersebut demi kepentingan mereka sendiri 43 SANKSI-SANKSI Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 79 Tahun 1978 tentang Label dan Periklanan Makanan pada pasal 41-45 mengatur tentang perbuatan mengedarkan makanan tanpa label yang menyatakan dilarang dan dapat diancam dengan sanksisanksi sebagaimana termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan atau tindakan administratif berupa penarikan nomor daftar produk dan atau tindakan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hukum pidana yang dilakukan oleh pengusaha dikenakan sanksi pidana sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang tersebut dan di sisi lain konsumen yang dirugikan tidak memiliki hak apapun atas pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha tersebut . Dari sisi hukum administrasi 41 Sanusi Bintang dan Dahlan, op.cit. , h. 119 Ida Bagus Wyasa Putra, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional, dalam Transaksi Bisnis Internasionl, Refika Aditama, Bandung, 2000, h. 78 43 Gary Goodpaster, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, Arbitrase Di Indonesia, Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, h. 3 lvi Volume 12, No.1 Nop 2011 42 umumnya peraturan atau keputusan menetapkan sanksi administrasi kepada pengusaha seperti pencabutan ijin atau pembekuan ijin usaha 44. Sanksi-sanksi atas atas pelanggaran kewajiban memasang label makanan (dalam Kemasan) diatur dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan pada pasal 84 ayat (1) menyebutkan barangsiapa mengedarkan makanan dan atau minuman yang dikemas tanpa mencantumkan tanda atau label sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sanksi administratif dan sanksi pidana dapat dijatuhkan terhadap pelaku usaha yang melanggar, sedangkan dalam Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan, tindakan administratif dikenakan kepada setiap orang yang melanggar. Peringatan tersebut sebanyakbanyaknya tiga kali. Dalam pasal 60 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen, sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00,- (dua ratus juta rupiah), sedangkan pasal 62 ayat (1) Undang-undang Perlindungan Konsumen, sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00,- (dua miliar rupiah) kepada pelaku usaha yang melanggar pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat (2), pasal 15, pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf, c, huruf e, ayat (2) dan pasal 18. Sedangkan pasal 62 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen, sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00,- (lima ratus juta rupiah) kepada pelaku usaha yang melanggar pasal 11, pasal 12, pasal 13 ayat (1), pasal 14, pasal 16, dan pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f. Dalam Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan, pasal 61 ayat (2) disebutkan bahwa tindakan administratif yang dikenakan meliputi: peringatan secara tertulis; larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk pangan peredaran; pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia; penghentian produksi untuk sementara waktu; pengenaan denda paling tinggi Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), dan atau; pencabutan izin produksi atau izin usaha. KESIMPULAN 44 Adriana Pakendek, op.cit., h. 25-26 Volume 12, No.1 Nop 2011 lvii Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan merupakan suatu undang-undang dan peraturan pemerintah yang mengatur tentang label pangan sebagai bentuk perlindungan hukum bagi konsumen namun masih banyak pelanggaran dan ditemukan makanan dan minuman yang dijual tidak berlabel terutama mamin produk rumah tangga (home industry). SARAN Hendaknya produsen memperhatikan pencantuman label pada suatu produk yang di produksi sesuai dengan standar yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan merupakan suatu undang-undang dan peraturan pemerintah yang mengatur tentang label pangan dan bagi konsumen agar memperhatikan label pangan dan informasi tentang produk tersebut sebelum membeli apalagi mengkonsumsi . lviiiVolume 12, No.1 Nop 2011 IMPLIKASI HUKUM PENERAPAN CLASS ACTION DALAM PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP Oleh: M. AMIN RAHMAN, SH.,MH. Abstraction This Watchfulness aim gets objective description about accusation arrangement class action follow number law 32 year 2009 with impact evoked. To achieve aim that formulated this watchfulness is used good law sources data comes from documentation, also book related this writing . As to this watchfulness conclusion accusation class action is right procedural in the form of accusation by society group passes the representation, on the basis of problem sameness, law fact, and importance sameness, to get to change to lost and/or certain action from (rubber) is accused to pass civil jurisdiction process. While impact that influence applications class action of course very significant good reviewed from where with existence class action simplify case to court, lighten cost and erudition comprehension about law but such from side other still there where does accusation publication towards accused very put into corner; with finance management very difficult in the distribution. Keyword : Law implication - Applications class action - Environment quarrel completion. LATAR BELAKANG Pencemaran lingkungan berkaitan dengan hubungan masyarakat manusia dan alam lingkungan secara kodrati, sebenarnya keduanya merupakan satu kesatuan kehidupan sebagai biotic community. Menurut Siti Sundari Rangkuti, keberadaan hukum bagi masyarakat diharapkan dapat berperan sebagai “agent of stability” dengan fungsi perlindungan dan kepastian bagi masyarakat, serta sebagai “agent of development” atau “agent of change” dengan fungsi sebagai sarana pembangunan. Fungsi-fungsi seperti itu dimaksudkan untuk dapat mencapai tujuan hukum itu sendiri, yakni mencapai ketertiban, keadilan dan kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa serta bernegara. Volume 12, No.1 Nop 2011 lix Dalam pada itu, aparatur pemerintah berkewajiban mengusahakan agar setiap kaidah dapat ditaati masyarakat menurut tata cara yang telah ditentukan. 59 Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran objektif tentang pengaturan gugatan class action menurut Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 serta dampak yang ditimbulkannya. Untuk mencapai tujuan yang dirumuskan penelitian ini digunakan penelitian yuridis normatif. Data diperoleh berupa data sumber-sumber hukum baik berasal dari dokumentasi, jurnal maupun buku-buku berkaitan penulisan ini. Adapun kesimpulan penelitian ini adalah gugatan Class Action merupakan hak prosedural dalam bentuk gugatan oleh kelompok masyarakat melalui perwakilannya, atas dasar kesamaan masalah, fakta hukum, dan kesamaan kepentingan, untuk memperoleh ganti rugi dan/atau tindakan tertentu dari (para) tergugat melalui proses peradilan perdata. Sedangkan dampak yang mempengaruhi penerapan class action tentunya sangat signifikan baik ditinjau dari sisi kebaikannya dimana dengan adanya class action mempermudah perkara ke pengadilan, memperingan biaya dan pemahaman pengetahuan tentang hukum namun demikian dari sisi lain masih ada kelemahan dimana publikasi gugatan terhadap tergugat sangat menyudutkan, serta pengelolaan keuangan sangat sulit dalam pembagiannya. Sehubungan dengan upaya perlindungan kelestarian lingkungan hidup beserta fungsinya, salah satu instrumen yang dapat dilakukan melalui penerapan sanksi hukum, seperti sanksi hukum administrasi, sanksi perdata (tanggung jawab perdata) serta sanksi pidana.60 Membatasi pada sanksi perdata atau tanggung jawab perdata, dikaji dari bentuknya adalah berupa ganti rugi. Adapun pihak yang berkewajiban membayar ganti rugi adalah pihak yang karena perbuatannya diduga atau telah menimbulkan perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berakibat kepada kerugian pihak lain. 59 Rangkuti, Siti Sundari, Hukum Lingkungan Dan Kebijaksanaan Lingkungan Dalam Proses Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya, 1986. 60 Hamzah, A., Penegakan Hukum Lingkungan, Penerbit Arikha Media Cipta, Cet. ke1, Jakarta, 1995. lx Volume 12, No.1 Nop 2011 Kewajiban membayar kerugian ini sejalan dengan prinsip pencemar membayar (polluter pays principle) yang dikembangkan dalam Hukum Lingkungan.61 Selanjutnya jika dikaji dari proses kelahirannya, ganti rugi sebagai suatu sanksi yang dibebankan kepada seseorang dapat timbul melalui 2 (dua) jalur, yakni jalur proses di luar lembaga peradilan dan jalur proses melalui badan peradilan. Kedua jalur tersebut, dalam rangka penegakan hukum lingkungan merupakan hal yang menarik, minimal bilamana dikaji dari kelembagaan, proses beserta faktor-faktor penghambatnya. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam alinea-alinea diatas, terdapat beberapa permasalahan yang dianggap relevan untuk mendapatkan pembahasan dalam penulisan ini. a. Bagaimana pengaturan gugatan perwakilan kelompok atau class action menurut Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang lingkungan hidup? b. Bagaimana dampak yang mempengaruhi penerapan class action dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup? PENGATURAN GUGATAN CLASS ACTION Sejarah Perkembangan Class Action di Indonesia Sejarah class action di Indonesia dibagi menjadi dua periode: Periode sebelum adanya pengakuan class action. Periode setelah adanya pengakuan class action. Yang menjadi tolak ukur dari pengakuan class action adalah dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolahan Lingkungan Hidup. Periode sebelum adanya pengakuan class action Sebelum tahun 1997, meskipun belum ada aturan hukum yang mengatur mengenai class action, namun gugatan class action sudah pernah dipraktekkan dalam dunia peradilan di Indonesia. Gugatan class action yang pertama di Indonesia dimulai pada tahun 1987 terhadap Kasus R.O. Tambunan melawan Bentoel Remaja, Perusahaan 61 Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Prress, 1985, hal 23 Volume 12, No.1 Nop 2011 lxi Iklan, dan Radio Swasta Niaga Prambors. Perkara Bentoel Remaja yang diajukan di PN Jakarta Pusat. Menyusul kemudian Kasus Muchtar Pakpahan melawan Gubernur DKI Jakarta & Kakanwil Kesehatan DKI (kasus Endemidemam Berdarah) di PN Jakarta Pusat pada tahun 1988 dan Kasus YLKI melawan PT.PLN Persero (kasus pemadaman listrik seJawa Bali tanggal 13 April 1997) pada tahun 1997di PN Jakarta Selatan. Dalam gugatan Bentoel Remaja, Pengacara R.O.Tambunan mendalilkan dalam gugatannya bahwa ia tidak hanya mewakili dirinya sebagai orang tua dari anaknya namun juga mewakili seluruh generasi muda yang diracuni karena iklan perusahaan rokok Bentoel. Dari ketiga kasus class action di atas sayangnya tidak ada satupun gugatan yang dapat diterima oleh pengadilan dengan pertimbangan : Gugatan class action bertentangan dengan adagium hukum yang berlaku bahwa tidak ada kepentingan maka tidak aksi (point d’intetrest, point d’action). Hal ini diperkuat dalam yurisprudensi MA dalam putusannya pada tahun 1971 yang mengisyaratkan bahwa gugatan harus diajukan oleh orang yang memiliki hubungan hukum. Pihak penggugat tidak berdasarkan pada suatu Surat Khusus, dalam 123 HIR disebutkan bahwa untuk dapat mewakili pihak lain yang tidak ada hubungan hukum diperlukan suatu Surat Khusus. Belum ada hukum positif di Indonesia yang mengatur mengenai gugatan class action, baik soal definisi maupun prosedural mengajukan gugatan class action ke pengadilan Periode setelah adanya pengakuan class action Class Action dalam Hukum Positif di Indonesia baru diberikan pengakuan setelah diundangkannya Undang-undang Lingkungan Hidup pada tahun 2009 kemudian diatur pula dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Kehutanan pada tahun 1999. Namun pengaturan Class Action hanya terbatas dan diatur dalam beberapa pasal saja. Selain itu ketiga Undang-undang tersebut tidak mengatur secara rinci mengenai prosedur dan acara dalam gugatan perwakilan kelompok (Class Action). Sebelum tahun 2002, gugatan secara class action umumnya dilakukan tanpa adanya mekanisme pemberitahuan bagi anggota kelompok dan pernyataan keluar dari anggota kelompok. Gugatan secara class action dilaksanakan melalui prosedur yang sama dengan gugatan perdata biasa. Ketentuan yang secara khusus mengenai acara dan prosedur Class Action baru diatur pada tahun 2002 dengan dikeluarkannya PERMA No. I Tahun 2002 tentang lxii Volume 12, No.1 Nop 2011 Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 mengatur tentang kewajiban pemberitahuan bagi wakil kelompok dan membuka kesempatan keluar dari gugatan class action bagi anggota kelompok (opt out). Pengertian Class Action62 Ada beberapa definisi yang mencoba menjelaskan istilah class action, baik menurut kamus hukum, peraturan perundangan maupun dari ahli hukum, diantaranya: Meriam Webster Colegiate Dictionary Dalam Meriam Webster Colegiate Dictionary edisi ke-10 tahun 1994 disebutkan yang dimaksud class action : a legal action under taken by one or more plaintiffs on behalf of themselves and all other persons havings an identical interest in alleged wrong. 63 Black’s law dictionary, Class action adalah sekelompok besar orang yang berkepentingan dalam suatu perkara, satu atau lebih dapat menuntut atau dituntut mewakili kelompok besar orang tersebut tanpa perlu menyebut satu peristiwa satu anggota yang diwakili. Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup. Class action adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.64 PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Di Indonesia terminologi class action diubah menjadi Gugatan Perwakilan Kelompok. PERMA No. 1 Tahun 2002 merumuskan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) sebagai suatu prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Sumber Hukum Class Action di Indonesia 62 Indra Soerjanto, Pengertian Umum, Manfaat dan Dasar Hukum Class Action di Indonesia, bahan makalah tanggal 6 September 2002. 63 Kamus Webster Colegiate Dictionary edisi ke-10 tahun 1994 64 Penjelasan Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Volume 12, No.1 Nop 2011 lxiii Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam pasal 37 ayat 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 disebutkan bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat. Dalam penjelasan pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud hak mengajukan gugatan perwakilan pada ayat ini adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 46 ayat 1 huruf b UU No. 8 Tahun1999 menyebutkan bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 46 ayat 1 Huruf b menjelaskan bahwa Undang-undang ini (Perlindungan Konsumen) mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi. Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi Dalam pasal 38 ayat 1 UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi disebutkan bahwa masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan secara: (a) orang perorangan; (b) kelompok orang dengan pemberian kuasa;(c) kelompok orang tidak dengan kuasa melalui gugatan perwakilan. Sedangkan dalam penjelasan pasal 38 ayat (1) UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “hak mengajukan gugatan perwakilan” adalah hak sekelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, faktor hukum, dan ketentuan yang ditimbulkan karena kerugian atau gangguan sebagai akibat kegiatan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. lxivVolume 12, No.1 Nop 2011 Dalam pasal 39 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 disebutkan bahwa gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 ayat (1) adalah tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu dan/atau berupa biaya atau pengeluaran nyata, dengan tidak menutup kemungkinan tuntutan lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan pasal 39 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 disebutkan bahwa khusus gugatan perwakilan yang diajukan oleh masyarakat tidak dapat berupa tuntutan membayar ganti rugi, melainkan hanya terbatas gugatan lain, yaitu : Memohon kepada pengadilan agar salah satu pihak dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi untuk melakukan tindakan hukum tertentu yang berkaitan dengan kewajibannya atau tujuan dari kontrak kerja konstruksi; Menyatakan seseorang (salah satu pihak) telah melakukan perbuatan melawan hukum karena melanggar kesepakatan yang telah ditetapkan bersama dalam kontrak kerja konstruksi; Memerintahkan seseorang (salah satu orang) yang melakukan usaha/kegiatan jasa konstruksi untuk membuat atau memperbaiki atau mengadakan penyelamatan bagi para pekerja jasa konstruksi. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pengaturan mengenai gugatan class action dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diatur dalam Pasal 71 ayat 1 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.65 PERMA ini mengatur mengenai prosedur atau tata cara gugatan perwakilan kelompok (Class Action). PERMA ini terdiri dari enam bab, yaitu: Bab I : Ketentuan umum. Dalam bab ini mengatur mengenai definisi beberapa elemen penting dari gugatan perwakilan kelompok seperti definisi dari gugatan perwakilan kelompok, wakil kelompok, anggota kelompok, sub kelompok, pemberitahuan dan pernyataan keluar. Bab II : Tata Cara dan Persyaratan Gugatan Perwakilan Kelompok. 65 PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok Volume 12, No.1 Nop 2011 lxv Dalam bab ini diatur masalah kriteria gugatan perwakilan kelompok, persyaratan formal, surat kuasa, penetapan hakim dikabulkannya/ditolaknya gugatan perwakilan kelompok, penyelesaian perdamaian. Bab III: Pemberitahuan/ Notifikasi. Dalam bab ini diatur mengenai tata cara pemberitahuan bagi anggota kelompok, sehingga anggota kelompok dapat menyatakan dirinya keluar keanggotaan apabila tidak menghendaki hak-haknya diperjuangkan melalui gugatan perwakilan kelompok serta sarana pemberitahuan. Bab IV : Pernyataan Keluar. Didalamnya dijelaskan bahwa hanya anggota kelompok yang ingin menyatakan dirinya keluar wajib memberitahukan secara tertulis dan bagi yang tetap ingin bergabung tidak perlu melakukan tindakan apa-apa. Bab V : Putusan. Putusan dalam gugatan perwakilan kelompok wajib mengatur hal-hal seperti jumlah ganti kerugian secara rinci, penentuan kelompok dan atau sub kelompok yang berhak, mekanisme pendistribusian ganti kerugian dan langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian. Bab VI : Ketentuan Penutup. Dalam bab ini disebutkan bahwa ketentuan lain yang telah diatur dalam hukum acara perdata tetap berlaku di samping ketentuan dalam PERMA ini. Unsur-unsur Class Action Adapun unsur-unsur Class Action adalah sebagai berikut: Gugatan secara perdata Gugatan dalam class action masuk dalam lapangan hukum perdata. Istilah gugatan dikenal dalam hukum acara perdata sebagai suatu tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk menghindari adanya upaya main hakim sendiri (eigenechting). lxviVolume 12, No.1 Nop 2011 Gugatan yang merupakan bentuk tuntutan hak yang mengandung sengketa, pihak-pihaknya adalah pengugat dan tergugat. Pihak disini dapat berupa orang perseorangan maupun badan hukum. Umumnya tuntutan dalam gugatan perdata adalah ganti rugi berupa uang. Wakil Kelompok (Class Representative) Adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.Untuk menjadi wakil kelompok tidak disyaratkan adanya suatu surat kuasa khusus dari anggota Kelompok. Saat gugatan class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari wakil Kelompok sebagai penggugat aktif. Anggota Kelompok (Class members) Adalah sekelompok orang dalam jumlah yang banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan. Apabila class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari anggota kelompok adalah sebagai penggugat pasif. Adanya kerugian Untuk dapat mengajukan class action, baik pihak wakil kelompok (class repesentatif) maupun anggota kelompok (class members) harus benar-benar atau Kesamaan peristiwa atau fakta dan dasar hukum. Terdapat kesamaan fakta (peristiwa)dan kesamaan dasar hukum (question oflaw) antara pihak yang mewakili (class representative) dan pihak yang diwakili (class members). Ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam menggunakan prosedur class action. Tidak terpenuhi persyaratan ini dapat mengakibatkan gugatan yang diajukan tidak dapat diterima. Dibeberapa negara yang menggunakan prosedur class action pada umumnya memiliki persyaratan umum yang sama yaitu : Adanya sejumlah anggota yang besar (Numerosity) Jumlah anggota kelompok (classmembers) harus sedemikan banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri (individual). Volume 12, No.1 Nop 2011 lxvii Adanya kesamaan (Commonality) Terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum (question of law) antara pihak yang mewakilili (class representative) dan pihak yang diwakili (class members).Wakil Kelompok dituntut untuk menjelaskan adanya kesamaan ini. Sejenis (Typicality) Tuntutan (bagi plaintiff Class Action) maupun pembelaan (bagi defedant Class Action) dari seluruh anggota yang diwakili (class members) haruslah sejenis. Pada umumnya dalam class action, jenis tuntutan yang dituntut adalah pembayaran ganti kerugian. Wakil kelompok yang jujur (Adequacyof Repesentation) Wakil kelompok harus memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakili. Untuk menentukan apakah wakil kelompok memiliki kriteria Adequacy of Repesentation tidaklah mudah, hal ini sangat tergantung dari penilaian hakim. Untuk mewakili kepentingan hukumanggota kelompok, wakil kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok. Namun, dalam hal wakil kelompok mewakilkan proses beracara kepada pengacara, maka wakil kelompok harus memberikan surat kuasa khusus kepada pengacara pilihannya. Jenis-jenis Class Action66 Plaintiff Class Action dan Defendant Class Action Dilihat dari para pihak yang saling berhadapan, di beberapa negara class action dapat dibagi menjadi dua jenis class action yaitu Plaintiff class action dan Defendant class action. Plaintiff class action adalah pengajuan gugatan secara perwakilan oleh seorang untuk kepentingan sendiri dan kepentingan kelompok dalam jumlah yang besar. Defendant class action adalah pengajuan gugatan secara perwakilan oleh seorang atau lebih yang ditunjuk untuk membela kepentingan sendiri dan kepentingan 66 Kadir Mappong, Prosedur Gugatan Perwakilan (Class Action) dan Kaitannya dengan Hukum Acara Perdata, bahan makalah Seminar Sehari : Meningkatkan Peran Serta Masyarakat dalam Rangka Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Negara Melalui PERMA No. 1/2002, Oktober 2002. Volume 12, No.1 Nop 2011 lxviii kelompok dalam jumlah yang besar. Negara-negara seperti Inggris, Australia, India, Amerika Serikat dan Kanada serta Indonesia menggunakan Defendant class action. Public Class Action dan Private ClassAction Menurut kepentingan pihak yang dilindungi dan siapa yang berwenang menuntutnya, di negara bagian Ontario Kanada berdasarkan Ontario Law Reform Commission, gugatan class action dibagi menjadi Public class action dan Private class action. Pembagian ini didasarkan pada siapa yang akan mewakili untuk menuntut ke pengadilan dalam hal terjadi ketidakadilan bagi masyarakat luas. Public class action adalah class action yang diajukan terhadap pelanggaran kepentingan publik. Class action ini diajukan oleh instansi pemerintah yang mempunyai kapasitas (biasanya jaksa/penuntut umum) dimana instansi pemerintah tersebut bukan anggota atau bagian dari suatu kelompok yang secara langsung dirugikan.Private class action adalah class action yang diajukan terhadap pelanggaran hak-hak perorangan yang dialami oleh sejumlah besar orang. Class action ini diajukan oleh perorangan yaitu oleh seorang atau beberapa orang yang menjadi bagian dari suatu kelompok atas dasar kesamaan permasalahan hukum dan tuntutan. True Class Action, Hybrid Class Action dan Spurious Class Action Di samping dua kriteria pembagian class action tersebut, Amerika berdasarkan Federal Rule of Civil Procedure tahun 1938 pernah membagi class action ke dalam tiga jenis class action yaitu true class action, hybrid class action dan spurious class action. True class action adalah class action dimana dalam suatu kelompok seluruh anggotanya mempunyai kepentingan yang sama atau mempunyai hak yang diperoleh bersama-sama dan atas kasus yang sama. Contoh class action jenis ini adalah kasus para konsumen di perumahan yang mengalami kerusakan pada bagian rumahnya karena wanprestasi dari pengembang dan tuntutan yang diajukan adalah berupa ganti kerugian. Hybrid class action adalah class action dimana hak yang dituntut oleh suatu kelompok orang ada beberapa tetapi objek gugatannya adalah untuk memperoleh putusan hakim tentang tuntutan terhadap suatu barang atau hak milik tertentu dari tergugat. Contoh kasus class action jenis ini adalah ada desain setir mobil yang berbentuk tanduk rusa yang membahayakan para konsumennya apabila ada kecelakaan. Sudah banyak korban yang mengalami kecelakaan akibat tertusuk setir berbentuk tanduk rusa tersebut. Oleh karena itu baik pengemudi yang telah atau belum mengalami kecelakaan dapat mengajukan gugatan ke perusahaan setir mobil tersebut, dengan beberapa tuntutan: ada yang menuntut supaya diganti dengan desain yang aman, ada Volume 12, No.1 Nop 2011 lxix yang menuntut ganti setir yang lain yang aman, dan ada yang menuntut ganti rugi berupa uang karena telah mengalami kecelakaan. class action adalah class action dimana beberapa kepentingan dari para anggota kelompok yang tidak saling berhubungan satu sama dengan yang lain dalam permasalahan yang sama terhadap seorang tergugat. Contoh gugatan ini adalah misalnya adanya permasalahan dari konsumen suatu perumahan. Para konsumen Blok A mengeluhkan belum adanya sarana air bersih seperti yang dijanjikan pengembang. Para konsumen Blok B mengeluhkan tidak adanya taman bermain dan para konsumen Blok C mengeluhkan tidak ada sarana jalan yang baik. Para konsumen Blok A, B, C dapat mengajukan gugatan class action berdasarkan permasalahan yang dialaminya. Namun setelah ketentuan dalam Federal Ruleof Civil Procedure tahun 1938 direvisi pada tahun 1966, pembagian tersebut ditiadakan karena seringkali membingungkan dalam penerapannya. Namun meski dalam sistem hukum federal telah ditiadakan, ada beberapa Negara bagian yang masih menganutnya, meskipun tidak semua jenis.Negara bagian Lousiana masih menganutTrue class action dan negara bagian Georgia masih menganut Spurious class action. Jenis Gugatan diluar Class Action67 Negara-negara yang tidak menganut sistem hukum Common Law tidak mengenal prosedur class action, namun mereka mempunyai suatu prosedur pengajuan gugatan yang melibatkan sejumlah besar orang secara perwakilan. Berikut adalah gugatan–gugatan yang berdimensi kepentingan umum di luar class action : Actio Popularis Menurut Gokkel, actio popularis adalah gugatan yang dapat diajukan oleh setiap orang, tanpa ada pembatasan, dengan pengaturan oleh negara. Menurut Kotenhagen-Edzes, dalam actio popularis setiap orang dapat menggugat atas nama kepentingan umum dengan menggunakan pasal 1401 Niew BW (pasal 1365 BW). Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa action popularis adalah suatu gugatan yang dapat diajukan oleh setiap orang terhadap suatu perbuatan melawan hokum dengan mengatasnamakan kepentingan umum, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur adanya prosedur tersebut. 67 Alder, John & David Wilkinson (1998), Environmental Law & Ethics, Macmillan Inc. New York. lxx Volume 12, No.1 Nop 2011 Dalam Black’s Law Dictionary, public interest atau kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat luas atau warga negara secara umum yang berkaitan dengan Negara atau pemerintah. Namun pengertian yang lebih mudah mengenai kepentingan umum adalah kepentingan yang harus didahulukan dari kepentingan pribadi atau individu atau kepentingan lainnya, yang meliputi kepentingan bangsa dan negara, pelayanan umum dalam masyarakat luas, rakyat banyak dan atau pembangunan di berbagai bidang. Penyelenggaraan kepentingan umum merupakan tugas dari pemerintah, sehingga gugatan secara actio popularis pada umumnya ditujukan kepada pemerintah. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa pelayanan umum juga dilaksanakan oleh pihak swasta, sehingga gugatan actio popularis dapat diajukan pula kepada swasta yang ikut menyelenggarakan kepentingan umum tersebut. Actio Popularis memiliki kesamaan dengan class action, yaitu sama-sama merupakan gugatan yang melibatkan kepentingan sejumlah besar orang secara perwakilan oleh seorang atau lebih. Yang membedakan dengan class action adalah dalam actio popularis yang berhak mengajukan gugatan adalah setiap orang atas dasar bahwa ia adalah anggota masyarakat tanpa mensyaratkan bahwa ia adalah orang yang menderita kerugian secara langsung. Dalam class action tidak setiap orang dapat mengajukan gugatan, melainkan hanya satu atau beberapa orang yang merupakan anggota kelompok yang mengalami kerugian secara langsung. Kepentingan yang dituntut dalam action popularis adalah kepentingan umum yang dianggap kepentingan setiap anggota masyarakat juga, sedangkan dalam class action kepentingan yang dituntut adalah kepentingan yang sama dalam suatu permasalahan yang menimpa kelompok tersebut. Citizen Law Suit Prinsip actio popularis dalam system hukum civil law sama denga prinsip citizen law suit terhadap pelanggaran pencemaran lingkungan yang diajukan oleh warga negara, lepas apakah warga Negara tersebut mengalami secara langsung atau tidak langsung dari pencemaran tersebut. Hal ini dikarenakan masalah perlindungan lingkungan merupakan kepentingan umum atau kepentingan masyarakat luas, maka setiap warga negara berhak menuntutnya. Groep Acties Gugatan yang hampir mirip dengan gugatan class action adalah yang dalam terminologi hukum di negara Belanda dikenal dengan groep acties yang mempunyai pengertian sebagai suatu hak yang diberikan oleh suatu badan hukum untuk mengajukan gugatan mewakili orang banyak. Dalam prinsip groep acties, badan hukum dapat mewakili kepentingan orang banyak apabila dalam anggaran dasarnya mencantumkan Volume 12, No.1 Nop 2011 lxxi kepentingan yang serupa dengan yang diperjuangkannya di pengadilan, yaitu memperjuangkan kepentingan orang banyak yang diwakilinya namun tidak boleh menuntut ganti rugi berupa uang. Legal Standing Tidak sedikit praktisi hukum yang mencampuradukkan antara pengertian gugatan perwakilan kelompok (class action) dan konsep hak gugat lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sesungguhnya gugatan perwakilan kelompok /class action dan hak gugat LSM memiliki perbedaan. Gugatan perwakilan kelompok terdiri dari unsur wakil kelas yang berjumlah satu orang atau lebih (class representative) dan anggota kelas yang pada umumnya berjumlah besar (class members). Baik wakil kelas maupun anggota kelas pada umumnya merupakan pihak korban atau yang mengalami kerugian nyata. Sedangkan dalam konsep Legal Standing, LSM sebagai penggugat bukan sebagai pihak yang mengalami kerugian nyata. Namun karena kepentingannya ia mengajukan gugatannya. Misalkan dalam perkara perlindungan lingkungan hidup, LSM sebagai penggugat mewakili kepentingan perlindungan lingkungan hidup yang perlu diperjuangkan karena posisi lingkungan hidup sebagai ekosistem sangat penting. Lingkungan Hidup tentu tidak dapat memperjuangkan kepentingannya sendiri karena sifatnya yang in-animatif (tidak dapat berbicara) sehingga perlu ada pihak yang memperjuangkan. Pihak yang dapat mengajukan class action dapat orang perorangan atau beberapa orang atau kelompok orang yang mewakili beberapa orang dalam jumlah yang banyak. Sedangkan pihak yang dapat mengajukan legal standing hanyalah LSM/Kelompok Organisasi yang memenuhi syarat-syarat. Perbedaan lainnya adalah tuntutan ganti rugi dalam class action pada umumnya adalah berupa ganti rugi berupa uang, sedangkan dalam legal standing tidak dikenal tuntutan ganti kerugian uang. Ganti rugi dapat dimungkinkan sepanjang atau terbatas pada ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan oleh organisasi tersebut. Dalam hukum di Indonesia tidak ditemukan definisi secara jelas dan rinci mengenai pengertian legal standing. Beberapa perundang-undangan memberikan istilah legal standing secara berbeda-beda. Legal standing dalam UU Lingkungan Hidup diistilahkan sebagai Hak Gugat Organisasi Lingkungan. Dalam UU Perlindungan Konsumen dikenal sebagai gugatan atas pelanggaran pelaku usaha yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Sedangkan dalam UU Kehutanan, Legal Standing diistilahkan sebagai gugatan perwakilan oleh organisasi bidang kehutanan. Definisi secara bebas dari legal standing adalah suatu tata cara pengajuan gugatan secara perdata yang dilakukan oleh satu atau lebih lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat atas suatu tindakan lxxiiVolume 12, No.1 Nop 2011 atau perbuatan atau keputusan orang perorangan atau lembaga atau pemerintah yang telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Tidak semua organisasi atau LSM yang dapat mengajukan hak gugat LSM (legal standing). Untuk bidang Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa hanya organisasi Lingkungan Hidup /LSM Lingkungan Hidup yang memenuhi beberapa persyaratan yang dapat mengajukan gugatan Legal Standing, yaitu : Berbentuk badan hukum atau yayasan Dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Tidak setiap organisasi lingkungan hidup dapat mengatasnamakan lingkungan hidup, melainkan harus memenuhi persyaratan tertentu. Dengan adanya persyaratan tersebut, maka secara selektif keberadaan organisasi lingkungan hidup diakui memiliki ius standi untuk mengajukan gugatan atas nama lingkungan hidup ke pengadilan, baik ke peradilan umum ataupun peradilan tata usaha Negara tergantung pada kompetensi peradilan yang bersangkutan dalam memeriksa dan mengadili perkara yang dimaksud. Pada lingkup Perlindungan Konsumen, gugatan pelanggaran perilaku usaha dapat dilakukan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Dalam gugatan pada lingkungan Hidup, hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. Prosedur pelaksanaan Class Action Ketentuan hukum acara dalam class action di Indonesia diatur secara khusus dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok. Namun sepanjang tidak diatur PERMA No. 1 Tahun 2002, maka untuk hukum acara dalam Volume 12, No.1 Nop 2011 lxxiii classaction berlaku juga ketentuan dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku (HIR/RBg).68 Untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok (pasal 4 PERMA No. 1 Tahun 2002). Dalam ketentuan hukum acara perdata diIndonesia, tidak ada kewajiban bagi para pihak (baik penggugat maupun tergugat) untuk diwakili oleh orang lain atau pengacara selama pemeriksaan dipersidangan. Para pihak dapat secara langsung maju dalam proses pemeriksaan di persidangan. Namun seperti halnya proses persidangan yang lazim dilakukan, para pihak biasanya diwakili atau memberikan kuasa kepada pengacara untuk maju dalam persidangan. Dalam kasus class action, berlaku juga ketentuan hukum acara perdata yang mensyaratkan, apabila wakil kelompok pihak diwakili atau didampingi oleh pengacara maka diwajibkan untuk membuat surat kuasa khusus antara wakil kelompok kepada pengacara. Hal yang menarik berkaitan dengan pengacara pada class action adalah dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 pasal 2 huruf d menyebutkan bahwa hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompok. Disini terlihat bahwa hakim memiliki kewenangan untuk menilai dan menganjurkan penggantian terhadap pengacara dalam perkara class action. Hal ini tidak dapat ditemukan dalam perkara biasa. Prosedur dalam class action dilakukan dengan melalui tahapan-tahapan: a. Permohonan pengajuan gugatan secara class action; b. Proses sertifikasi; c. Pemberitahuan; d. Pemeriksaan dan Pembuktian dalam class action; e. Pelaksanaan Putusan. Untuk lebih jelasnya maka tahapan-tahapan tersebut akan diuraikan di bawah ini. 68 Susanti Adi Nugroho, Pedoman Prosedur Gugatan Perwakilan Kelompok (class action) di Indonesia, makalah pada Seminar Setengah Hari PERMA No. 1 Tahun 2002 , Jakarta 6 Juni 2002. Volume 12, No.1 Nop 2011 lxxiv Permohonan Pengajuan Gugatan Secara Class Action Selain harus memenuhi persyaratan-persyaratan formal surat gugatan yang diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku seperti mencantumkan identitas dari pada para pihak, dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari pada tuntutan (fundamentum petendi) dan tuntutan, surat Gugatan perwakilan kelompok (class action ) harus memuat hal-hal sebagai berikut : Identitis lengkap dan jelas wakil kelompok. Identitas biasanya memuat nama, pekerjaan dan alamat lengkap. Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu. Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan. Contoh dari kasus Gugatan class action Banjir di Jakarta 2008, di dalam gugatannya disebutkan selain bertindak atas nama sendiri juga bertindak mewakili kepentingan seluruh kelompok masyarakat korban banjir. Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok. Yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan Secara jelas dan terperinci. Penggugat harus menjelaskan aspek kesamaan kepentingan yaitu faktor kesamaan fakta, kesamaan dasar hukum dan kesamaan tuntutan yang digunakan sebagai dasar gugatan. Selain itu penggugat memberikan usulan tentang mekanisme pendistribusian ganti kerugian dan usulan tentang pembentukan komisi yang akan membantu kelancaran pendistribusian ganti kerugian . Dalam suatu gugatan dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau sub-kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda. Dalam class action kasus Banjir di Jakarta misalnya disebutkan masing-masing wakil kelompok mewakili anggota yang korban banjir yang menderita kerugian yang berbeda. Para penggugat dibagi dalam lima bagian kelompok : 1. Penggugat yang mewakili anggota kelompok masyarakat korban banjir yang menderita kerugian dengan meninggalnya sanak keluarganya; Volume 12, No.1 Nop 2011 lxxv 2. Penggugat yang mewakili anggota kelompok masyarakat korban banjir yang menderita sakit; 3. Penggugat yang mewakili anggota kelompok masyarakat korban banjir yang menderita kerugian kehilangan harta benda; 4. Penggugat yang mewakili anggota kelompok masyarakat korban banjir yang menderita kerugian kerusakan harta benda; 5. Penggugat yang mewakili anggota kelompok masyarakat korban banjir yang menderita kerugian kehilangan keuntungan yang seharusnya diperoleh. Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok. Proses Sertifikasi atau Pemberian Ijin Berdasarkan permohonan pengajuan gugatan secara class action tersebut, pengadilan kemudian memeriksa apakah wakil tersebut dijinkan untuk menjadi wakil kelompok, apakah syarat-syarat untuk mengajukan gugatan class action sudah terpenuhi, dan apakah class action merupakan prosedur yang tepat dalam melakukan gugatan dengan kepentingan yang sama tersebut. Setelah Hakim memeriksa dan mempertimbangkan kriteria gugatan class action, maka : Apabila hakim memutuskan bahwa penggunaan Tata cara Gugatan perwakilan kelompok (class action) dinyatakan tidak sah maka pemeriksaan gugatan dihentikan dengan suatu putusan hakim dengan amar putusan menyatakan gugatan tidak dapat diterima (NO), demikian pula jika hakim berpendapat bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, maka amar putusannya akan menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa perkara tersebut. Atas putusan ini maka pihak penggugat dapat mengajukan upaya hukum. Apabila hakim menyatakan sah maka gugatan Class Action tersebut dituangkan dalam penetapan pengadilan kemudian hakim memerintahkan penggugat mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim. Setelah model pemberitahuan memperoleh persetujuan hakim pihak penggugat Volume 12, No.1 Nop 2011 lxxvi melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompok sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan oleh hakim. Pemberitahuan Setelah hakim memutuskan bahwa pengajuan tata cara gugatan perwakilan Kelompok dinyatakan sah, hakim memerintahkan kepada penggugat/pihak yang melakukan class action untuk mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim. Setelah usulan model tersebut disetujui oleh hakim maka penggugat dengan jangka waktu yang ditentukan oleh hakim melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompok. Pemberitahuan kepada anggota kelompok adalah mekanisme yang diperlukan untuk memberikan kesempatan bagi anggota kelompok untuk menentukan apakah mereka menginginkan untuk ikut serta dan terikat dengan putusan dalam perkara tersebut atau tidak menginginkan yaitu dengan cara menyatakan keluar (opt out) dari keanggotaan kelompok. Dalam pemberitahuan tersebut juga memuat batas waktu anggota kelas untuk keluar dari keanggotaan (opt out), lengkap dengan tanggal dan alamat yang dituju untuk menyatakan opt out. Dengan demikian pihak yang menyatakan keluar dari keanggotaan kelompok tidak terikat dengan putusan dalam perkara tersebut. Menurut pasal 1 huruf PERMA No. 1 Tahun 2002 yang melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompok adalah panitera berdasarkan perintah hakim. Cara pemberitahuan kepada anggota kelompok dapat dilakukan melalui media cetak dan atau elektronik, kantor-kantor pemerintah seperti kecamatan, kelurahan atau desa, kantor pengadilan, atau secara langsung kepada anggota yang bersangkutan sepanjang dapat diindentifikasi berdasarkan persetujuan hakim. Pemberitahuan wajib dilakukan oleh penggugat atau para penggugat sebagai wakil kelompok kepada anggota kelompok pada tahap-tahap : Segera setelah hakim memutuskan bahwa pengajuan tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah (pada tahap ini harus juga memuat mekanisme pernyataan keluar). Pada tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti kerugian ketika gugatan dikabulkan. Namun apabila dalam proses pemeriksaan, pihak tergugat mengajukan perdamaian maka pihak Penggugat untuk dapat menerima atau menolak tawaran perdamaian tersebut juga harus melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompoknya. Volume 12, No.1 Nop 2011 lxxvii Berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2002, Pemberitahuan yang dilakukan harus memuat : 1. Nomor gugatan dan identitas penggugat atau para penggugat sebagai wakil kelompok serta pihak tergugat atau para tergugat; 2. Penjelasan singkat tentang kasus; 3. Penjelasan tentang pendefinisian kelompok; 4. Penjelasan dari implikasi keturutsertaan sebagai anggota kelompok; 5. Penjelasan tentang kemungkinan anggota kelompok yang termasuk dalam definisi kelompok untuk keluar dari keanggotaan kelompok; 6. Penjelasan tentang waktu yaitu bulan, tanggal, jam, pemberitahuan penyataan keluar dapat diajukan ke pengadilan; 7. Penjelasan tentang alamat yang ditujukan untuk mengajukan penyataan keluar; 8. Apabila dibutuhkan oleh anggota kelompok tentang siapa dan tempat yang tersedia bagi penyedian informasi tambahan; 9. Formulir isian tentang pernyataan keluar anggota kelompok sebagaimana yang diatur dalam lampiran PERMA No. 1 Tahun 2002; Penjelasan tentang jumlah ganti rugi yang akan diajukan. Menurut Mas Acmad Santosa apabila class action tidak menyangkut tuntutan uang (monetary damages) dan hanya mengajukan permintaan deklaratif atau injuction, pemberitahuan (notice) terhadap anggota kelompok (untuk mendapatkan rekonfirmasi) tidak perlu dilakukan. Namun apabila tuntutan menyangkut ganti rugi dalam bentuk uang, pemberitahuan kepada masyarakat atau masing-masing anggota kelompok untuk mengambil sikap (opt in atau opt out) harus disampaikan. Opt in adalah mekanisme dimana anggota kelompok memberikan penegasan bahwa mereka benar-benar merupakan bagian dari class action. Sedangkan Opt ot adalah kesempatan untuk anggota kelompok menyatakan diri keluar dari class action apabila tidak menghendaki menjadi bagian dari gugatan. Volume 12, No.1 Nop 2011 lxxviii PERMA No. 1 Tahun 2002 sendiri hanya mengatur mengenai pemberitahuan dan pernyataaan keluar (opt out), sedangkan mengenai pernyataan yang menyatakan sebagai bagian class action (opt in) tidak diatur. Pada mekanisme pemberitahuan ini membuka kesempatan bagi anggota kelompok untuk menyatakan diri keluar dari class action apabila tidak menghendaki menjadi bagian dari gugatan. Dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 disebutkan bahwa pernyataan keluar adalah suatu bentuk pernyataan tertulis yang ditandatangani dan diajukan kepada pengadilan dan/atau pihak penggugat oleh anggota kelompok yang menginginkan diri keluar dari keanggotaan gerakan perwakilan kelompok /class action . Pihak yang menyatakan diri keluar dari keanggotaan gerakan perwakilan kelompok /class action, maka secara hukum tidak terikat dengan putusan atas gugatan tersebut. Sedang pihak lain (penggugat pasif) yang tidak menyatakan keluar (tidak opt out) akan terikat dalam putusan class action tersebut, baik gugatan dikabulkan maupun gugatan tidak dikabulkan. Dalam hal tuntutan class action ditolak, penggugat pasif ini tidak dapat lagi mengajukan gugatan untuk kasus yang sama. Sebaliknya jika tuntutan class action dikabulkan ia berhak menerima ganti kerugian yang ditetapkan. Pemeriksaan dan pembuktian dalam class action Proses pemeriksaan dan pembuktiaan dalam gugatan class action adalah sama seperti dalam perkara perdata pada umumnya seperti : a. Pembacaan surat gugatan oleh penggugat; b. Jawaban dari tergugat; c. Replik atau tangkisan Penggugat atas jawaban yang telah disampaikan oleh Tergugat; d. Duplik atau jawaban Tergugat atas tanggapan penggugat dalam replik; e. Pembuktian yang merupakan penyampaian bukti-bukti dan mendengarkan saksisaksi; f. Kesimpulan yang merupakan resume dan secara serentak dibacakan oleh kedua belah pihak. Namun karena gugatan yang akan diperiksa adalah gugatan class action, ada beberapa hal yang memerlukan pemeriksaan lebih khusus lagi seperti : Volume 12, No.1 Nop 2011 lxxix Pemeriksaan apakah wakil yang maju dianggap jujur dan benar-benar mewakili kepentingan kelompok. Pemeriksaan ini tidak hanya dilakukan pada saat sertifikasi akan tetapi juga dilakukan pada tahap pemeriksaan, dengan cara memberikan kesempatan kepada anggota kelompok untuk mengajukan keberatan terhadap wakil kelompok yang maju di persidangan. Atas dasar keberatan ini, hakim dapat mengganti wakil kelompok ini dengan yang lain. Sebelum wakil kelompok diganti, maka ia tidak boleh mengundurkan terlebih dahulu. Pemeriksaan apakah ada persamaan dalam hukum dan fakta serta tuntutan pada seluruh anggota kelompok. Pembuktian khusus untuk membuktikan masalah yang sama yang menimpa banyak orang. Mekanisme pembagian uang ganti kerugian untuk sejumlah besar uang. Pelaksanaan putusan Setelah proses pemeriksaan telah selesai selanjutnya hakim menjatuhkan suatu putusan. Sama halnya dengan putusan hakim dalam perkara perdata biasa maka putusan hakim dalam gugatan class action dapat berupa putusan yang mengabulkan gugatan penggugat ( baik sebagian maupun seluruhnya) atau menolak gugatan penggugat. Dalam hal gugatan ganti kerugian dikabulkan, hakim wajib memutuskan jumlah kerugian secara rinci, penentuan kelompok dan atau sub-kelompok yang berhak menerima, mekanisme pendistribusian ganti kerugian dan langkah- langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian. Pada dasarnya eksekusi putusan perkara gugatan class action dilakukan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan atas permohonan pihak yang menang seperti diatur dalam hukum acara perdata. Namun mengingat bahwa eksekusi putusan harus dilakukan sesuai dengan amar putusan dalam perkara yang bersangkutan, sedangkan dalam amar putusan gugatan class action yang mengabulkan gugatan ganti kerugian memuat pula perintah agar penggugat melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompok, serta perintah pembentukan komisi independen yang komposisi keanggotaannya ditentukan dalam amar putusannya guna membantu kelancaran pendistribusian, maka eksekusi dilakukan setelah diadakannya pemberitahuan kepada lxxxVolume 12, No.1 Nop 2011 anggota kelompok, komisi telah terbentuk, tidak tercapai kesepakatan anatara kedua belah pihak tentang penyelesaian ganti kerugian dan tergugat tidak bersedia secara sukarela melaksanakan putusan. Dalam eksekusi tersebut paket ganti kerugian yang harus dibayar oleh tergugat akan dikelola oleh komisi yang secara administratif di bawah koordinasi panitera pengadilan agar pendistribusian uang ganti kerugian dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan besarnya kerugian yang dialami oleh kelompok. Perdamaian Dalam gugatan class action dimungkinkan terjadi perdamaian (dading) antara penggugat dengan tergugat. Hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara (pasal 6 PERMA No. 1 Tahun 2002 ). Sebelum dilakukan upaya perdamaian dalam class action, pihak penggugat (wakil kelompok) harus mendapatkan persetujuan dari anggota kelompok. Persetujuan ini dapat menggunakan mekanisme pemberitahuan. Umumnya upaya perdamaian dilakukan di luar proses persidangan. Apabila pihak penggugat (wakil kelompok) dan tergugat sepakat dilakukan perdamaian maka diantara para pihak dilakukan perjanjian perdamaian. Lazimnya perjanjian perdamaian dibuat secara tertulis di atas kertas bermaterai. Berdasarkan perjanjian perdamaian antara kedua belah pihak maka hakim menjatuhkan putusannya (acte van vergelijk) yang isinya menghukum kedua belah pihak mematuhi isi perdamaian yang telah dibuat. Kekuatan putusan perdamaian sama dengan putusan biasa dan dapat dilaksanakan seperti putusan-putusan lainnya. Dalam hal para pihak sepakat melakukan perdamaian maka tidak dimungkinkan upaya banding. DAMPAK YANG MEMPENGARUHI LINGKUNGAN DENGAN CLASS ACTION PENYELESAIAN SENGKETA Seperti yang telah disinggung dalam pembahasan sebelumya, bahwa class action sebagai suatu prosedur dalam mengajukan gugatan keperdataan lebih dikenal negara-negara yang menganut sistem hukum common law. Negara-negara lain yang menganut sistem hukum civil law seperti Indonesia kemudian mengadopsi ke dalam sistem hukum dinegaranya masing-masing. Indonesia telah mengadopsi prinsip-prinsip gugatan class action melalui beberapa peraturan perundang-undangan seperti Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 Volume 12, No.1 Nop 2011 lxxxi tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Proses adopsi prosedur class action tersebut ternyata banyak menimbulkan masalah dalam prakteknya, karena peraturan yang telah mengadopsi ketentuan class action tersebut menentukan bahwa hukum acara yang dipergunakan adalah hukum acara yang berlaku di Indonesia dalam hal ini adalah Het Herziene Indonesisch Regelement (HIR) dan Regelement op de Burgelijk Rechtsvordering (RBg), padahal HIR dan RBg tidak mengenal prosedur class action. Permasalahan yang timbul akibat tidak adanya ketentuan mengenai prosedur class action ini terlihat dari beberapa putusan pengadilan yang memeriksa dan mengadili gugatan perdata yang menggunakan prosedur class action. Hasil kajian dari tim ICEL pada tahun 2002 terhadap beberapa kasus class action yang sedang atau dalam proses di peradilan sebelum terbitnya PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok, menemukan beberapa permasalahan yang sering terjadi dalam praktek gugatan class action di peradilan di Indonesia, antara lain :69 Tentang surat kuasa dari anggota kelompok kepada perwakilan kelompok. Dari keseluruhan putusan pengadilan yang dianalisa, dapat dicatat bahwa bantahan pertama yang sering dikemukakan oleh tergugat terhadap penggunaan prosedur class action adalah tidak adanya surat kuasa dari anggota kelompok kepada anggota kelompok. Dalam ketentuan hukum acara perdata yang berlaku (HIR/RBg) mensyaratkan bahwa untuk dapat bertindak sebagai wakil atau kuasa, seseorang harus memperoleh suart kuasa istimewa dari orang/pihak yang diwakilinya. Tentang surat gugatan. 69 Santosa, Mas Achmad (2001), Good Governance & Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta. Volume 12, No.1 Nop 2011 lxxxii Dalam surat gugatan yang diajukan pada umumnya tidak menjelaskan karakteristik dari sebuah gugatan yang menggunakan prosedur class action,dalam hal ini tidak mendeskripsikan secara jelas definisi kelas, posita gugatan tidak menjelaskan secara rinci dan jelas kesamaan tentang fakta dan hukum serta kesamaan tuntutan antara wakil kelompok dengan anggota kelompok, serta tata cara pendistribusian ganti kerugian. Disamping itu, dalam menentukan wakil kelompok, penggugat cenderung mengajukan jumlah wakil kelompok dalam jumlah yang besar. Hal ini akan menyulitkan penggugat dalam membuktikan adanya unsur kesamaan kepentingan antara wakil kelompok dengan anggota kelompok. Mempersamakan gugatan class action dengan gugatan legal standing. Dalam beberapa putusan baik penggugat, tergugat maupun pengadilan masih terjebak pada pemikiran bahwa gugatan dengan prosedur class action adalah identik dengan gugatan atas dasar hak gugat LSM atau “NGO’s standing to sue”. Tentang prosedur acara pemeriksaan. Penentuan pengakuan atau keabsahan dari suatu gugatan yang menggunakan prosedur class action dalam berbagai putusan, dilakukan dalam tahap pemeriksaan yang berbeda-beda. Ada yang mengesahkan penggunaan prosedur ini diperiksa dan diputus pada akhir putusan bersama-sama dengan pokok perkara, sedangkan pada putusan perkara lainnya diputus pada tahapan putusan sela. Tentang notifikasi atau pemberitahuan. Belum adanya aturan atau petunjuk mengenai tata cara pengadilan dalam memeriksa dan mengadili perkara gugatan perdata melalui prosedur classaction, mengakibatkan perintah notifikasi atrau pemberitahuan (yang dalam sistem hukum negara lain merupakan suatu kewajiban) tidak menjadi suatu prioritas atau suatu keharusan. Tentang implemantasi putusan pengadilan dalam hal distribusi ganti kerugian. Dalam pengajuan gugatan secara classaction, yang khususnya mengajukan tuntutan ganti rugi berbentuk uang, posita penggugat tidak secara jelas tentang usulan mekanisme distribusi ganti kerugian. Dengan lahirnya PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok, sebagai suatu terobosan hukum diharapkan di masa datang dapat mengatasi Volume 12, No.1 Nop 2011 lxxxiii permasalahan dan memenuhi kebutuhan hukum dalam praktek pengajuan dan pemeriksaan gugatan class action diIndonesia. Jenis-Jenis Penyelesaian Sengketa Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Adapun jenis-jenis penyelesaian sengketa adalah:70 Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup melalui Pengadilan (Litigasi). Tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang, masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum Acara Perdata yang berlaku. Hak Masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup untuk Mengajukan Gugatan Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan (gugatan class action) ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat. Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat. Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hak mengajukan gugatan tersebut terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan tersebut (gugatan legal standing) apabila memenuhi persyaratan: a. Berbentuk badan hukum atau yayasan; 70 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty Yogyakarta, 1998, Volume 12, No.1 Nop 2011 lxxxiv b. Dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; c. Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. d. Daluwarsa untuk Pengajuan Gugatan Tenggang daluwarsa hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan mengikuti tenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku, dan dihitung sejak saat korban mengetahui adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Ketentuan mengenai tenggang daluwarsa tersebut tidak berlaku terhadap pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun. Tanggung Jawab Mutlak Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini: a. Adanya bencana alam atau peperangan; atau b. Adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau c. Adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi. Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau Volume 12, No.1 Nop 2011 lxxxv kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu tersebut, hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan (Non Litigasi) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan pilihan para pihak dan bersifat sukarela. Para pihak juga bebas untuk menentukan lembaga penyedia jasa yang membantu penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Lembaga penyedia jasa menyediakan pelayanan jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan menggunakan bantuan arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya. Apabila para pihak telah memilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa atau salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik diri dari perundingan. Berdasarkan Pasal 30 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup. Dalam rangka menyelesaikan sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, maka mekanismenya menggunakan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian Volume 12, No.1 Nop 2011 lxxxvi sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Mekanisme penyelesaian sengketa dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud di atas diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud di atas tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator. Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai. Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh ) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran. Volume 12, No.1 Nop 2011 lxxxvii Apabila usaha perdamaian tersebut tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad–hoc. Tata Cara Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup melalui Lembaga Penyedia Jasa Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup. Dengan demikian salah satu yang ditempuh yaitu melalui Lembaga Penyedia Jasa. Para pihak atau salah satu pihak yang bersengketa dapat mengajukan Permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup kepada lembaga penyedia jasa dengan tembusan disampaikan kepada instansi yang bertangung jawab di bidang Pengendalian Dampak Lingkungan atau instansi yang bertanggung jawab di bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah yang bersangkutan. Instansi yang menerima tembusan permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari wajib melakukan verifikasi tentang kebenaran fakta-fakta mengenai permohonan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dan menyampaikan hasilnya kepada lembaga penyedia jasa yang menerima permohonan bantuan penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Lembaga penyedia jasa dalam waktu tidak lebih dari 14 (empat belas) hari sejak menerima hasil verifikasi wajib mengundang para pihak yang bersengketa. Apabila cara ini tidak berhasil menyelesaikan masalah maka para pihak dapat menggunakan mekanisme arbitrase atau menggunakan mediator. Tata cara penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbiter tunduk pada ketentuan arbitrase. Sedangkan penyelesaian dengan menggunakan Mediator atau Pihak Ketiga Lainnya dilakukan sebagai berikut. Para pihak yang bersengketa berhak untuk memilih dan menunjuk mediator, atau pihak ketiga lainnya dari lembaga penyedia jasa. Penyelesaian sengketa melalui mediator atau pihak ketiga lainnya tunduk pada kesepakatan yang dibuat antara para pihak yang bersengketa dengan melibatkan mediator atau pihak ketiga lainnya. Kesepakatan tersebut memuat antara lain: a. masalah yang dipersengketakan; Volume 12, No.1 Nop 2011 lxxxviii b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; c. nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga lainnya; d. tempat para pihak melaksanakan perundingan e. batas waktu atau lamanya penyelesaian sengketa; f. pernyataan kesediaan dari mediator atau pihak ketiga lainnya; g. pernyataan kesediaan dari salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa untuk menanggung biaya; h. larangan pengungkapan dan/atau pemyataan yang menyinggung atau menyerang pribadi; i. kehadiran Pengamat, ahli dan/atau nara sumber; j. larangan pengungkapan infonnasi tertentu dalam proses penyelesaian sengketa secara musyawarah kepada masyarakat; k. larangan pengungkapan catatan dari proses serta hasil kesepakatan. Dalam proses penyelesaian sengketa, penunjukan mediator atau pihak ketiga lainnya dapat dianggap tidak sah atau batal dengan alasan: Mediator atau pihak ketiga lainnya menunjukkan keberpihakan; dan/atau Mediator atau pihak ketiga lainnya menyembunyikan informasi tentang syarat-syarat yang seharusnya dipenuhi. Apabila terjadi hal yang demikian itu maka : mediator atau pihak ketiga lainnya wajib mengundurkan diri; atau para pihak atau salah satu pihak berhak menghentikan penugasannya. Kesepakatan yang dicapai melalui proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan mediator atau pihak ketiga lainnya wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis di atas kertas bermaterai yang memuat antara lain: (a) nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; (b) nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga lainnya; (c). uraian singkat sengketa; Pendirian para pihak; Volume 12, No.1 Nop 2011 lxxxix pertimbangan dan kesimpulan mediator atau pihak ketiga lainnya; isi kesepakatan; batas waktu pelaksanaan isi kesepakatan; tempat pelaksanaan isi kesepakatan; dan pihak yang melaksanakan isi kesepakatan. Isi kesepakatan tersebut dapat berupa antara lain: bentuk dan besarnya ganti kerugian; dan/atau melakukan tindakan tertentu guna menjamin tidak terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh para pihak dan mediator atau pihak ketiga lainnya. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal ditandatanganinya kesepakatan tersebut, lembar asli atau salinan otentik kesepakatan diserahkan dan didaftarkan oleh mediator atau pihak ketiga lainnya atau salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa kepada Panitera Pengadilan Negeri. Class Action sebagai Instrumen Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup tentang Ganti Kerugian Dikaitkan dengan kompetensi absolut lembaga peradilan di Indonesia sebagaimana diatur pada Pasal 10 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan UndangUndang No. 35 Tahun 1999 tentang hal yang sama, adapun kewenangan untuk menyelesaikan perkara perdata dengan pokok gugatan ganti kerugian ditetapkan menjadi kompetensi absolut lembaga Peradilan Umum. Mengenai dasar penyebab timbulnya gugatan ganti rugi dalam Peradilan Umum dapat dijumpai pada rumusan Buku III KUH Perdata, yakni perihal Perikatan Hukum mulai Pasal 1365-1380 KUH Perdata. Berdasarkan sejumlah ketentuan itu, yang paling menarik untuk dicermati adalah Pasal 1365nya yang berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum. Pasal 1365 KUH Perdata menetapkan: “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Rumusan ini tidak menjelaskan pengertian dari perbuatan melanggar hukum, kecuali syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menuntut ganti rugi karena alasan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak tertentu. Menurut Hukum Lingkungan, pihak yang dimaksudkan tidak terbatas pada orang perorangan, lembaga dan badan hukum juga dapat diminta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang diduga melawan hukum.Syarat-syarat materiil yang harus dipenuhi untuk xc Volume 12, No.1 Nop 2011 menuntut ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum sebagaimana ditentukan pada Pasal 1365 KUH Perdata seperti berikut. Adanya perbuatan melawan hukum Pengertian hukum dalam arti luas, sehingga tidak hanya menyangkut peraturan perundang-undangan. Hal ini juga dikemukakan oleh Rachmat Setiawan yang berpendapat “perbuatan melawan hukum yaitu tidak hanya jika melawan kewajiban hukum tertulis, tetapi juga jika melanggar itikad baik yang berlaku di masyarakat” (Rachmat Setiawan; 1982 : 14). Adanya kesalahan (schuld) Kesalahan dalam hukum perdata tidaklah mengenal kualitas dan gradasi atau tingkat-tingkatan seperti halnya dalam KUH Pidana. Dengan kata lain, kualitas kesalahan yang dilakukan dengan kesengajaan (dolus) maupun kealfaan (culpa) di dalam hukum perdata diberikan akibat yang sama. Menurut hokum perdata, seseorang itu dikatakan bersalah jika terhadapnya dapat disesalkan bahwa ia telah melakukan/tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dihindarkan. Adapun perbuatan yang seharusnya dilakukan/tidak dilakukan ini tidak terlepas dari dapat hal itu dikira-kirakan dengan tolok ukur sebagai berikut. Secara objektif, artinya manusia normal dapat mengira-ngirakan dalam keadaan tertentu, perbuatan itu seharusnya dilakukan atau sebaliknya tidak dilakukan; Secara subjektif, artinya orang dalam kedudukan tertentu dapat mengira-ngirakan bahwa perbuatan itu seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan; Mampu dibertanggungjawabkan, artinya orang yang melakukan perbuatan harus dapat bertanggungjawab atau dipertanggungjawabkan, sehingga orang tersebut harus sudah dewasa, sehat akalnya, dan tidak berada dibawah pengampuan. Adanya kerugian (schade) Kerugian yang dimaksudkan dalam hal ini adalah kerugian yang timbul akibat dari perbuatan melawan hukum dan bukan kerugian yang timbul dari wanprestasi atas suatu perjanjian. Disamping itu, kerugian yang dimaksudkan dalam konteks Hukum Lingkungan dikuantitaskan berupa uang atas kerugian yang bersifat materiil dan/atau Volume 12, No.1 Nop 2011 xci immateriil, sehingga dapat meliputi beaya, kerugian yang nyata maupun tidak nyata diderita, serta keuntungan yang diharapkan. Adanya hubungan sebab akibat (causaliteit) Hal ini untuk mengetahui hubungan suatu pihak dengan kerugian yang diderita oleh pihak lain. Dengan kata lain, perlu ada benang merah antara kerugian yang terjadi sebagai akibat dari suatu perbuatan, sehingga jika tidak ada perbuatan maka tidak ada akibat (kerugian). Untuk memenuhi persyaratan ini, dalam praktek peradilan dikembangkan teori “adequate veroorzaking” Von Kries yakni, yang dianggap sebagai sebab adalah perbuatan yang menurut pengalaman manusia yang normal sepatutnya dapat diharapkan menimbulkan akibat, dalam hal ini adalah kerugian (Abdul kadir Muhammad; 1982 :148). Keempat unsur di atas sifatnya kumulatif, sehingga bila salah satu unsur tidak terpenuhi berarti pihak yang digugat bebas dari dugaan melawan hukum. Sehubungan Dengan pihak penggugatnya, dalam konsep Hukum Lingkungan tidak semata-mata hak dari pihak yang merasa dirugikan secara langsung. Sejalan dengan prinsip dasar bahwa “lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak setiap orang (sic utere tuo ut alienum non laedas)”, sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 5 UUPLH yang menyatakan bahwa “setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”, maupun Pasal 6 UUPLH yang menyatakan “setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup”. Pemerintah maupun masyarakat yang tidak merasakan secara langsung terhadap akibat kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup secara proaktif juga dapat mengajukan gugatan atau meminta pertanggungjawaban hokum kepada pihak yang diduga mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup. Dengan kata lain, proses penegakan Hukum Lingkungan sesuai dengan Pasal 5, 6, 37 dan 38 UUPLH dapat timbul atas inisiatif orang sebagai perorangan maupun pengusaha yang dirugikan secara langsung, oleh pihak masyarakat secara berkelompok (class action), pihak pemerintah, maupun pihak organisasi masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup, seperti LSM Lingkungan melalui gugatan atas nama lingkungan hidup (NGO’s to sue, legal standing atau ius standi). Mengenai masyarakat yang merasakan dirugikan oleh perbuatan pihak lain yang diduga mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, hak menggugatnya diatur dalam Pasal 37 ayat (1) UUPLH yang menetapkan: “masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan xciiVolume 12, No.1 Nop 2011 masyarakat”. Ketentuan itu menunjukkan, bahwa masyarakat yang merasakan dirugikan atas lingkungan hidupnya yang baik dan sehat dapat mengajukan gugatan perwakilan masyarakat yang juga disebut class action atau action popularis. Dengan demikian, gugatan perwakilan kelompok merupakan gugatan ganti kerugian dari sekelompok kecil masyarakat yang bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang merasa dirugikan melalui lembaga peradilan. Menurut penjelasan Pasal 37 ayat (1) UUPLH, agar kelompok perwakilan diakui memiliki hak gugat ada beberapa persyaratan yang mesti diperhatikan. Persyaratan yang dimaksudkan di dalam dan antara kelompok perwakilan dengan masyarakat yang diwakilinya, meliputi: a. adanya kesamaan permasalahan; b. adanya kesamaan fakta hukum; c. adanya kesamaan tuntutan yang ditimbulkan berkaitan dengan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang didugakan; Selanjutnya mengenai hukum acara yang mengatur gugatan perwakilan tersebut, saat ini telah ditetapkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMARI) No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Sejalan dengan penjelasan Pasal 37 ayat (1) UUPLH, Pasal 2 PERMARI No. 1 Tahun 2002 lebih memperjelas mengenai dasar pertimbangan dapat diterimanya suat gugatan kelompok, yakni bila : 71 jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan; terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya; wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya; hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya. Sehubungan dengan gugatan perwakilan yang diajukan, menurut Pasal 3 PERMARI 1 Tahun 2002 , 71 M. Yahya Harahap, Beberapa Masalah yang perlu Diperhatikan dalam Penerapan PERMA No. 1 Tahun 2002, Makalah pada Seminar Setengah Hari PERMA No. 1 Tahun 2002 , Jakarta 6 Juni 2002. Volume 12, No.1 Nop 2011 xciii di samping memenuhi ketentuan formal dalam Hukum Acara Perdata, juga diwajibkan memuat hal-hal : identitas lengkap dan jelas wakil kelompok; definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu; keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban pemberitahuan; posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok, yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan terinci; dalam satu gugatan perwakilan,dapat dikelompokan beberapa bagian kelompok atau sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda; tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci, memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian Faktor-Faktor Pendukung Penerapan Ganti Rugi untuk Menyelesaikan Sengketa Lingkungan Hidup. Untuk mendukung penerapan ganti rugi sebagai salah satu sanksi hokum dalam menyelesaikan sengketa lingkungan hidup, maka ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan baik bersifat hokum maupun non hukum. Adanya produk hukum yang mengatur secara tegas dan pasti tentang Baku Mutu Sumber Daya Lingkungan Hidup di masing-masing provinsi, mekanisme pengambilan keputusan ganti rugi oleh pihak penengah beserta kekuatan hokum dan pelaksanaan eksekusi dari penetapan ganti ruginya, prosedur pemeriksaan gugatan class action beserta mekanisme eksekusi putusan pengadilan tentang hal itu merupakan beberapa contoh persoalan hukumnya. Selanjutnya adanya instrument laboratorium yang layak, ketersediaan aparat penegak hukum yang berkualitas, kesadaran dan budaya hokum masyarakat yang peduli serta ramah lingkungan merupakan contoh beberapa faktor non hukum yang wajib diperhatikan dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui gugatan ganti kerugian. Banyak kasus lingkungan hidup yang sulit diselesaikan melalui lembaga peradilan, karena sulitnya pembuktian maupun membuktikan untuk telah terjadinya xcivVolume 12, No.1 Nop 2011 suatu tindakan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Hal ini sebagai konsekuensi masih dianutnya prinsip “yang mendalilkan yang membuktikan” dalam sebagian besar proses penegakan Hukum Lingkungan. Di samping itu, lemahnya komitmen dan persepsi dari aparat penegak hukum di bidang lingkungan hidup juga masih mewarnai penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan. Sementara untuk menutupi kelemahan-kelemahan itu, orang masih berpaling kepada penegakan produk hukum Pemerintah Daerah yang terkait dengan lingkungan hidup, seperti Perda tentang kebersihan dan ketertiban umum yang memiliki keterbatasan dalam menyadarkan pihak-pihak potensial pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup Kelebihan dan kekurangan Class Action Terdapat beberapa keuntungan/manfaat yang dapat diperoleh apabila mengajukan gugatan menggunakan prosedur class action. John Basten Q. C melihat ada lima manfaat yang dapat diperoleh yaitu (1) Mengatur penyelesaian perkara yang menyangkut banyak orang yang tidak dapat diajukan secara individual. (2) Memastikan bahwa tuntutan-tuntutan untuk ganti kerugian yang kecil serta dana yang terbatas diperlukan dengan sepantasnya. (3) mencegah putusan yang bertentangan untuk permasalahan yang sama. (4) Penggunaan administrasi peradilan yang lebih efisien dan (5) Mengembangkan proses penegakan hukum. Sedangkan Ontario Law Reform Commission melihat ada tiga manfaat yang dapat diperoleh dari prosedur class action, yakni (1) mencapai peradilan yang lebih ekonomis, (2) memberi peluang yang lebih besar ke pengadilan dan (3) merubah perilaku yang tidak pantas dari para pelanggar atau orang-orang yang potensial melakukan pelanggaran. Secara umum ada tiga manfaat yang dapat diperoleh apabila menggunakan prosedur class action, yaitu : Proses berperkara menjadi sangat ekonomis (Judicial Economy) Bukan rahasia lagi bagi masyarakat bahwa berperkara di pengadilan akan memakan biaya yang tidak sedikit. Bagi pihak penggugat, dengan melalui mekanisme class action maka biaya perkara dan biaya untuk pengacara menjadi lebih murah dibandingkan dengan dilakukan gugatan secara individu, yang kadang-kadang tidak sesuai dengan besarnya ganti kerugian yang akan diterima. Tidak sedikit pihak (individu) yang mengurungkan niatnya untuk menyelesaikan perkaranya, dengan mengajukan gugatan ke pengadilan disebabkan karena mahalnya biaya perkara dan biaya pengacara. Manfaat secara ekonomis tidak saja dirasakan oleh penggugat namun juga oleh tergugat, sebab dengan pengajuan gugatan secara class action, pihak tergugat hanya Volume 12, No.1 Nop 2011 xcv satu kali mengeluarkan biaya untuk melayani gugatan dari pihak-pihak yang dirugikan. Sedangkan bagi pengadilan sendiri sangatlah tidak ekonomis jika harus melayani gugatan yang sejenis secara satu persatu dan terus menerus serta dalam jumlah yang cukup besar. Akses terhadap keadilan (Access to Justice) Mengajukan gugatan secara class action akan lebih mudah dibandingkan dengan mengajukan gugatan secara individu-individu. Menggabungkan diri secara bersama-sama akan mengurangi hambatan-hambatan bagi penggugat individual yang umumnya dalam posisi yang lemah, baik dari segi ekonomi maupun dari segi kemampuan (psikologis) dan pengetahuan tentang hukum. Selain itu dalam class action tidak mensyaratkan pengindentifikasian nama sehingga dapat mencegah adanya intimidasi terhadap anggota kelas. Class action juga mencegah pengulangan proses perkara dan mencegah putusan- putusan yang berbeda atau putusan yang tidak konsisten apabila dilakukan gugatan secara individu. Mendorong bersikap hati-hati (Behaviour Modification) dan merubah sikap pelaku pelanggaran Pengajuan gugatan secara class action dapat “menghukum” pihak yang terbukti bersalah, bertanggung jawab membayar ganti kerugian dengan jumlah yang diperuntukkan untuk seluruh penderita korban (dengan cara yang lebih ringkas) akibat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Hal ini dapat mendorong setiap pihak atau penangung jawab usaha (swasta atau pemerintah) untuk bertindak ekstra hati-hati. Selain itu dengan sering diajukannya gugatan secara class action diharapkan merubah sikap pelaku pelanggaran sehingga menumbuhkan sikap jera bagi mereka yang berpotensi merugikan kepentingan Masyarakat luas. Meskipun ada banyak manfaat yang dapat diperoleh dalam mengajukan gugatan secara class action, namun tidak berarti tidak memiliki kelemahan. Beberapa kelemahan dari prosedur class action adalah : Kesulitan dalam mengelola. Semakin banyak jumlah anggota kelompok, semakin sulit mengelola gugatan class action. Kesulitan yang terjadi biasanya pada saat pemberitahuan Dan pendistribusian ganti kerugian. Jumlah anggota kelompok yang banyak dan menyebar di beberapa wilayah yang tidak sama akan menyulitkan dalam hal pemberitahuan dan xcviVolume 12, No.1 Nop 2011 memerlukan biaya yang tidak sedikit. Apabila gugatan dimenangkan dan ganti rugi diberikan, bukan tidak mungkin jumlah ganti kerugian tidak sebanding dengan biaya pendistribusiannya. Dapat menyebabkan ketidakadilan. Ketidakadilan ini terkait dengan masalah penentuan keanggotaan kelompok beserta daya ikatnya dari putusan hakim. Apabila prosedur yang dipilih untuk menentukan keanggotaan kelompok adalah opt in maka tidak adanya pernyataan masuk dari anggota kelompok yang sesungguhnya mempunyai kesamaan kepentingan hanya karena tidak mengetahui adanya pemberitahuan, akan mengakibatkan hilangnya hak mereka untuk menikmati keberhasilan gugatan class action, karena putusan hakim hanya akan mempunyai akibat bagi mereka yang masuk sebagai anggota kelompok. Sedangkan apabila prosedur yang dipilih untuk menentukan keanggotaan adalah dengan prosedur opt out maka tidak ada pernyataan opt out dari orang Yang potensial menjadi anggota kelompok, hanya karena tidak tahu adanya pemberitahuan akan mengakibatkan mereka Menjadi anggota kelompok dengan segala konsekuensinya. Konsekuensinya adalah mereka akan terikat dengan putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Yang menjadi persoalan adalah apabila gugatan dikalahkan atau digugat balik maka anggota kelompok juga harus menanggung akibatnya. Dapat menyebabkan kebangkrutan pada tergugat. Jumlah tuntutan ganti kerugian pada gugatan class action dapat mengakibatkan Tergugat bangkrut apabila gugatan dikabulkan, dimana tergugat wajib memberikan ganti kerugian atau melakukan tindakan Tertentu kepada seluruh anggota kelompok yang jumlahnya sangat banyak. Publikasi gugatan class action dapat menyudutkan pihak tergugat. Pemberitaan media massa dan adanya pemberitahuan gugatan class action di media massa dapat menjadi serangan bagi kedudukan atau kekuasaan pihak tergugat. Biasanya pembaca media akan mempunyai prasangka yang tidak baik. Padahal belum tentu tergugat adalah pihak yang bersalah karena benar tidaknya tergugat masih harus dibuktikan oleh pengadilan. Berdasarkan uraian diatas, penerapan class action disatu sisi memberikan penguatan bagi masyarakat dalam mencari keadilan dan kepastian hukum namun perlu diperhatikan sisi keadilan dan martabat pihak tergugat. Volume 12, No.1 Nop 2011 xcvii KESIMPULAN Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, penulis simpulkan penulisan ini sebagai berikut: Gugatan Class Action merupakan hak prosedural dalam bentuk gugatan oleh kelompok masyarakat (Class Members) melalui perwakilannya (Class Representatives), atas dasar kesamaan masalah (commonality of legal problem), fakta hukum (question of law), dan kesamaan kepentingan (common of interest), untuk memperoleh ganti rugi dan/atau tindakan tertentu dari (para) tergugat melalui proses peradilan perdata. Dampak yang mempengaruhi penerapan class action tentunya sangat signifikan baik ditinjau dari sisi kebaikannya dimana denagan adanya class action mempermudah perkara ke pengadilan, memperingan biaya dan pemahaman pengetahuan tentang hukum namun demikian dari sisi lain masih ada kelemahan dimana publikasi gugatan terhadap tergugat sangat menyudutkan, serta pengelolaan keuangan sangat sulit dalam pembagiannya. Ketentuan mengenai gugatan Class Action dalam praktik peradilan perdata sesungguhnya belum merupakan hak prosedural yang bersifat operasional, karena ketentuan Pasal 37 (1) UULH; Pasal 71 (1) UUK; dan Pasal 46 (1) hurup b UUPK secara eksplisit dinyatakan masih membutuhkan aturan pelaksanaan lebih lanjut dalam bentuk peraturan pemerintah (yang sampai sekarang belum diterbitkan oleh pemerintah). Sejak tahun 2002 dasar hukum yang dapat digunakan untuk mengajukan gugatan Class Action sejauh ini bukan diatur dalam Peraturan Pemerintah, tetapi dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Tatacara Pengajuan Hak Gugat Perwakilan Masyarakat (Class Action). Meskipun demikian penerapan class action tentunya memberikan ruang kebebasan hak asasi bagi masyarakat dalam mengevaluasi kebijakan hukum yang kurang memberikan rasa keadilan. SARAN Penulis mengharapkan dan menyarankan dalam penulisan ini adalah: Sejalan dengan amanat Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan: “Dalam perkara perdata Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapai peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Volume 12, No.1 Nop 2011 xcviii Hendaklah supremasi hukum dan kepastian hukum selalu dijunjung tinggi demi tercapainya keadilan. Daftar Rujukan Alder, John & David Wilkinson. 1998. Environmental Law & Ethics, Macmillan Inc. New York. Adi Nugroho, Susanti. 2002. Pedoman Prosedur Gugatan Perwakilan Kelompok (class action) di Indonesia, makalah pada Seminar Setengah Hari PERMA No. 1 Tahun 2002 Jakarta. 2002. Hamzah, A., 1985. Penegakan Hukum Lingkungan, Penerbit Arikha Media Cipta. Cet. ke-1. Jakarta. Hardjasoemantri, 1985. Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Prress. Yogyakarta. Harahap, M. Yahya. 2002. Beberapa Masalah yang perlu Diperhatikan dalam Penerapan PERMA No. 1 Tahun 2002, Makalah pada Seminar Setengah Hari PERMA No. 1 Tahun 2002 , Jakarta 6 Juni 2002. Indra Soerjanto, 2002. Pengertian Umum, Manfaat dan Dasar Hukum Class Action di Indonesia, bahan makalah tanggal 6 September 2002. Kamus Webster Colegiate Dictionary edisi ke-10 tahun 1994 Kadir Mappong, 2002. Prosedur Gugatan Perwakilan (Class Action) dan Kaitannya dengan Hukum Acara Perdata, bahan makalah Seminar Sehari : Meningkatkan Peran Serta Masyarakat dalam Rangka Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Negara Melalui PERMA No. 1/2002, Oktober 2002. Mertokusumo, Sudikno.1998. Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty Yogyakarta. Rangkuti, Siti Sundari, 1986. Hukum Lingkungan Dan Kebijaksanaan Lingkungan Dalam Proses Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya, 1986. Santosa, Mas Achmad. 2001. Good Governance & Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta. SISTEM BAGI HASIL ANTARA PAJAK PROVINSI DENGAN KABUPATEN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 Volume 12, No.1 Nop 2011 xcix Oleh: H. Akh. Munif.*72 ABSTRAK Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan Pembangunan Nasional sebagai pengamalan Pancasila yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, dan oleh karena itu dikelola dengan meningkatkan peran serta masyarakat sesuai dengan kemakmurannya. Kata Kunci : Sistem Bagi Hasil – Pajak Provinsi – Pajak Kabupan. PENDAHULUAN Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan, maka begitu banyak gagasan tentang keadilan dan terlalu banyak untuk dikemukakan secara sederhana gagasan tentang “keadilan”.1 Secara konstitusional UUD 1945 memberikan landasannya yang termaktub didalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi ”Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dengan menimbang bahwa di dalam negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, perekonomiannya masih bercorak agraris, dengan adanya bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai arti yang sangat penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur.2 Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan Pembangunan Nasional sebagai pengamalan Pancasila yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, *1 Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 1 Hans Kelsen, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, Cetakan Ketiga, Bee Media Indonesia, Jakarta, hlm. 9. 2 Muchsin, H., Imam Koeswahyono, Soimin, 2007, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, Cetakan Pertama, Refika Aditama, Bandung, hlm.39. c Volume 12, No.1 Nop 2011 dan oleh karena itu dikelola dengan meningkatkan peran serta masyarakat sesuai dengan kemakmurannya.3 Sebagai realisasi dan amanat GBHN tahun 1999-2004, merupakan bagian dari paket pembaruan sistem perpajakan nasional, maksud dari pembaharuan sistem perpajakan nasional ini adalah untuk meningkatkan penerimaan pajak sehingga negara mampu membiayai pembangunan dari sumber-sumber penerimaan dalam negeri. Dengan demikian pembangunan itu sendiri terjamin kelangsungannya. 4 Dengan mengadakan pembaharuan sistem perpajakan melalui macam-macam pungutan atas tanah dan atau bangunan tarif pajak dan cara pembayarannya, diharapkan kesadaran untuk membayar pajak dari masyarakat akan meningkat sehingga penerimaan pajak akan meningkat pula, dan meningkat pula pembangunan negara terutama daerah itu sendiri. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undangundang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Oleh karena itu hasil penerimaan pajak ini diarahkan kepada tujuan untuk kepentingan masyarakat di daerah yang bersangkutan dan sebagian besar hasil penerimaan pajak ini diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dan pemberian diskresi dalam penetapan tarif. Oleh karena itu kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah. Sistem bagi hasil penerimaan pajak Provinsi dengan kabupaten seperti pajak kendaraan bermotor dan pajak rokok sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan sebagai berikut : Hasil pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 30%(tiga puluh persen), dan hasil penerimaan pajak rokok diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (Tujuh puluh persen). 3 Kasiyanto, 2004, Masalah dan Strategi Pembangunan Indonesia, Cet. Keempat, PT. Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara, Jakarta, hlm. 103. 4 Direktorat Jenderal Pajak dan Yayasan Rina Pembangunan, 2005, Buku Panduan PBB, Cet. Ketiga, Penerbit Bina Rena Pembangunan, hlm. 23. Volume 12, No.1 Nop 2011 ci Kebijakan pajak daerah/kabupaten kota dan retribusi daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan,5 Sedangkan Daerah Kabupaten adalah sebagai salah satu kota di awasan Pulau Madura/Pulau Garam. 6 Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepala Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak merupakan peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor Pemerintah (publik) dengan berdasarkan Undang-undang tertentu, meskipun tidak dapat ditunjukkan secara langsung prestasinya oleh Pemerintah. Berbeda dengan apa yang disebut retribusi, kalau retribusi ialah pengalihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor pemerintah berdasarkan Undang-undang tertentu untuk membiayai pengeluaran negara yang pembayaran itu dapat ditunjukkan prestasi kepada sebagian tertentu dari penduduk yang diwajibkan untuk membayar. Prestasi dan negara seperti hak untuk mempergunakan hak-hak untuk keamanan sudah barang tentu diperoleh pihak membayar pajak itu akan tetapi di perolehnya itu secara individual dan tidak ada hubungan langsung dengan pembayaran itu, hal ini dibuktikan bahwa orang yang tidak membayar pajakpun dapat mengenyam kenikmatan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat penulis rumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimana pelaksanaan pemungutan pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 ? b. Bagaimanakah sistem pembagian bagi hasil antara Pajak Provinsi dengan Kabupaten berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 ? SISTEM PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK A. Pengertian Pajak dan Hukum Pajak Sekedar untuk perbandingan berikut ini disajikan definisi dari beberapa sarjana, yaitu : a. Pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi 5 Mohammad Zain, AK dan Dodo Syarief Hidayat, 2005, Himpunan UU Perpajakan, Cet. III, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 225. 6 BPS Statistics Tge Pamekasan Regency, 2004, Pamekasan Regency In Figures, Cet. Ketiga, Penerbit CV. Sarana Cipta Karya, hlm. 19. cii Volume 12, No.1 Nop 2011 sebesar-besarnya kemakmuran rakyat . ( Pasal 1 angka 1 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan). b. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasrkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontra prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. (Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH.). Definisi tersebut diatas kemudian dipertahankan sebagai koreksi dari bagian pertama dari definisinya semula dapat disimpulkan dari uraiannya dalam buku Pajak dan Pembangunan. Definisi tersebut kurang lebih dapat berbunyi sebagai berikut : ” Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ” surpulus”-nya digunakan untuk Public Saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai Public Invesment.7 Perlu kiranya dicatat, bahwa definisi-definisi tersebut umumnya kurang lengkap, bahkan seperti halnya pula dengan Adriani, ia baru kemudian di dalam bukunya termaksud mengupasnya panjang lebar tentang ”funksi mengatur”. c. Prof. Dr. P.J.A.Adriani Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.8 d. Dr. Soeparman Soemahamidjaja (dalam disertasinya yang berjudul : ”Pajak berdasarkan azas Gotong Royong” (Universitas Pejajaran, Bandung – 1964) : ” Pajak adalah iuan wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh Penguasa berdasarkan norma-norm hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektip dalam mencapai kesejahtteraan umum”.9 Dengan mencantumkan istilah Iuran Wajib, ia mengharapkan terpenuhinya ciri, ahwa pajak dipungut dengan bantuan dari dan kerjasama dengan wajib-pajak, sehingga perlu pula dihindari penggunaan istilah ”paksaan” . Lebih-lebih (demikian pula menurut beberapa sarjana lainnya) bilamana suatu kewajiban harus dilaksanakan berdasarkan Undang-undang: dalam hal kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka Undang-undang menunjukkan cara pelaksanaannya yang lain, hal ini tidak mengenai pajak saja (dan cara ini biasanya adalah untuk memaksa) . Selanjutnya (menurut pendapatnya) berkelebihanlah kiranya, kalau khusus mengenai pajak, sekali lagi ditekankan pentingnya paksaan itu, seakan-akan tidak ada kesadaran masyarakat untuk melakukan kewajibannya). Ia sudah menganggapnya cukup dengan menyatakan bahwa pajak adalah : ”Iuran Wajib” dus, tidak tidak usah diberi tmbahan : ”yang dapat dipaksakan”. Adapun mengenai 7 Santoso Brotodihardjo, R., 2005, Bandung, hlm. 1 8 Ibid., hlm. 2. 9 Ibid., hlm. 4. Volume 12, No.1 Nop 2011 Ilmu Hukum Pajak, Cetakan XII, PT. Eresco, ciii ”kontra prestasi” Dr. Soeparman berpendirian bahwa justru untuk menyelenggarakan kontra-prestasi itulah perlu dipungut pajak : bukanlah pengeluaran-pengeluaran Pemerintah bagi penyelenggaraan bidang keamanan, kesejahteraan, kehakiman, pembangunan dan hal-hal lainnya merupakan pemberian kontra prestasi bagi pembayar pajak selaku anggota masyarakat. e. Definisi Perancis, termuat dalam buku Leroy Beaulieu yang berjudul : Traid de la Scienncedes Finances, 1906, L ’ impot et la contribution, soit directe soit dissimulee, que La Puissance Publique exige des habitants ou des biens pur subvenir aux depences du Couvernment, Pajak adalah bantuan, baik secara langung maupun tidak, yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah.10 Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak yang tersimpul dalam berbagai definisi itu adalah : 1. Iuran Rakyat kepada negara; 2. Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan Undang-undang serta aturan pelaksanaannya; 3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi individuil oleh Pemerintah; 4. Pajak dipungut oleh Negara (baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah; 5. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran pembayaran Pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat ” surplus”, dipergunakan untuk membiayai ”public investment”; 6. Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgeter yitu : ”mengatur”., Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan / atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. (Pasal 1 angka 27 UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah). Retribusi itu berdasarkan pada atas peraturan-peraturan yang berlaku umum, dan untuk menaatinya yang berkepentingan dapat pula dipaksa, yaitu barang siapa yang ingin mendapat suatu prestasi tertentu dari Pemerintah harus membayar. Cara membayarnya ini bermacam-macam, kadang-kadang tidak dengan uang melainkan dengan material, misalnya akte-akte untuk berburu dn akte untuk menangkap ikan, bahkann ada yang dengan memakai cara seperti pemungutan pajak-langsung, misalnya di Nederland : pemungutan uang sekolah, yaitu orang tua/wali murid yang berkepentingan setiap tahun menerima semacam surat ketetapan pajak. Dengan demikian dapat dikatakan disini, bahwa dari cara membayarnya saja,pada umumnya tidaklah dapat diketahui, apakah kita berhadapan dengan suatu retribusi ataupun dengan suatu pajak.11 10 civ Ibid., hlm. 3. 11 Kasiyanto, Op. Cit., hlm. 6. Volume 12, No.1 Nop 2011 Sedangkan pengertian Hukum Pajak, yang juga disebut Hukum Fiskal adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang Pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui Kas Negara, sehingga ia merupakan bagian dari Hukum Publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara Negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak yang selanjutnya disebut wajib pajak.12 Dan tugasnya adalah menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaa pajak, merumuskannya dalam peraturan-peraturan hukum dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum ini, dalam pada itu adalah penting sekali bahwa tidak harus diabaikan begitu saja latar belakang ekonomis dari keadaankeadaan dalam masyarakat tersebut. Hukum Pajak memuat pula unsur-unsur Hukum Tatanegara dan Hukum Pidana dengan Acara Pidananya.13 Dalam lapangan lain dari Hukum Administratif, unsurunsur tadi tidak begitu nampak seperti dalam Hukum Pajak ini, juga peradilan administratifnya diatur dengan sangat rapinya. Justru inilah ditambah dengan luasnya lapangannya karena eratnya hubungannya dengan kehidupan-ekonomi, karena banyak sarjana hukum dan sarjana ekonomi serta para cendikiawan mencurahkan perhatiannya yang cukup terhadap Hukum Pajak ini, yang kini dalam beberapa negara telah merupakan ilmu yang berdiri sendiri. Yang menarik perhatian para cendikiawan adalah seringnya berubah peraturanperaturannya yaitu sebagai akibat dari perubahan yang terdapat pada kehidupanekonomi dalam masyarakat dimana perubahan ini mengharuskan pengubahan peraturanperaturan pajaknya. Demikian halnya dengan Negara-negara lain yang telah maju (juga dalam caranya mengatur pajaknya), yang telah dapat menyesuaikan segala aparaturnya dengan kebutuhan masyarakatnya untuk secepat mungkin mempunyai reaksi terhadap segala perubahan, trutama yang termasuk dalam lapangan perekonomian. Kemudian dapatlah dimengerti tentang pentingnya suatu ilmu seperti Hukum Pajak ini untuk dipelajari dan disempurnakannya. B. Jenis dan Fungsi Pajak Dalam literatur diadakan pembedaan pajak antara lain adalah 14 a. Pajak Langsung dan pajak tidak langsung 1. Pajak langsung adalah pajak yang dikenakan secara periodik (berulang-ulang) yang mempunyai kohir dan pembayarannya tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain. 12 Santoso Brotodihardjo, R., 2005, Ilmu Hukum Pajak, Loc. Cit,. Oyok Abuyamin, 2010, Perpajakan Pusat dan Daerah, Cetakan Pertama, Humaniora, Bandung, hlm. 14. 14 Rapat Koordinasi dan Evaluasi Pungutan Pajak PBB dan RPHTB Propensi Jawa Timur, Tahun Anggaran 2001, Surabaya, 11-13 September 2001. 13 Volume 12, No.1 Nop 2011 cv b. c. d. e. 2. Pajak tidak langsung adalah pajak yang dikenakan insidental, yaitu pada saat dipenuhi tarbestand (keadaan, perbuatan, peristiwa) yang ditentukan dalam undang-undang pajak, tidak mempunyai kohir / daftar dan jumlahnya dapat dilimpahkan kepada orang lain (Bea materai, Bea lelang, Pajak Pertambahan Nilai, Bea balik nama cukai tembakau dan lain sebagainya). Pada galibnya pajak tidak langsung dimasukkan dalam harga sehingga konsumen tidak menyadari bahwa ia juga membayar pajak (contoh cukai tembakau). Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang hasilnya masuk dalam kas negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah harus didasarkan pada perda (setelah mendapat persetujuan Dewan Persetujuan Dewan Perwakilan Daerah dan diumumkannya). 20 Pajak daerah tidak boleh bertentangan dengan pajak pemerintah pusat, maka oleh sebab itu sebelum pajak daerah diumumkan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah yang lebih atas. Pajak daerah tidak memasuki lapangan yang sudah atau akan dikenakan pajak oleh pemerintah pusat. Jika demikian maka hal itu dapat dilakukan dengan memungut “Opcenten” artinya kenaikan/tambahan pajak pada pajak pemerintah pusat. Pajak yang dipungut atau pendapatan (income), dan ada yang dipungut atas kekayaan, ada juga pajak yang dipungut atas lalu lintas barang. Ada pajak yang dipungut dimuka seperti pajak kekayaan, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan ada pajak yang dipungut dibelakang, seperti pajak penghasilan, pajak perseroan, pajak pendapatan. Pajak yang dipungut sekali. Seperti bea balik nama kendaraan / bea balik nama kapal, dan ada yang dipungut secara berulang-ulang seperti pajak penghasilan, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), ada juga yang dipungut secara kontan pada saat terjadinya transaksi, seperti bea lelang, bea balik nama. Pajak yang sifatnya pribadi (persoonlijke belasting) dan pajak yang sifatnya kebendaan (zakelijk). Pajak yang sifat pribadi mengenakan pajak atas individu/orang yang status dan keadaan wajib pajak ikut menentukan besarnya jumlah pajak (seperti bunga hutang pribadi, kewajiban dan membayar nafkah isteri yang diceraikan). Jadi dalam pajak yang sifatnya pribadi dari wajib pajak yang utama sedangkan obyeknya adalah sekunder. Pada pajak yang sifatnya kebendaan, keadaan status wajib pajak tidak mempengaruhi besarnya jumlah pajak, titik berat pajak diletakkan pada obyeknya, yaitu barang hal yang dikenakan pajak, sedangkan subyeknya atau wajib pajaknya adalah sekunder, maka oleh sebab itu pajak yang sifatnya pribadi 20 Penjelasan Kepala Dipenda tanggal 11 April 2011. cvi Volume 12, No.1 Nop 2011 disebut pajak obyektif, dan pajak yang sifatnya pribadi sering disebut pajak yang subyektif.21 f. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak Bumi dan Bangunan disingkat PBB adalah pajak atas harta tidak bergerak yang terdiri dari tanah dan bangunan (property tax), peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang PBB tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-undang, perubahan Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995. Dengan mengadakan pembaharuan sistem perpajakan melalui penyederhanaan yang meliputi macam-macam pungutan, tarif pajak dan cara pembayarannya, diharapkan kesadaran perpajakan masyarakat akan meningkat sehingga penerimaan pajak akan pemerintah meningkat pula. Demikian pula yang diharapkan oleh pemerintah dalam hal Pajak Bumi dan Bangunan yang telah diatur dalam Undangundang Nomor 12 Tahun 1994 tentang perubahan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tersebut, Bumi dan atau Bangunan yang dimilki oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dikenakan pajak, pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan atas obyek negara untuk menyelenggarakan pemerintahan, diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah, dan hasil penerimaan pajak ini diarahkan kepada yang bersangkutan. Ada beberapa faktor mendorong lahirnya Undang-undang tentang Pajak Bumi dan bangunan, antara lain karena landasan hukum IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) itu kurang jelas, misalnya beberapa macam pungutan pajak dan bangunan serta pajak yang bertumpuk pada obyek yang sama atas tanah dan bangunan serta pajak rumah tangga, sangat memberatkan masyarakat.22 Pajak Bumi dan Bangunan perlu dimantapkan pelaksanaannya karena tidak dapat disangkal lagi bahwa bumi dan bangunan dapat memberikan keuntungan dan atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya / memperoleh manfaat dari padanya. Faktor lain yang turut mendorong lahirnya pajak bumi dan bangunan yaitu perundang-undangan yang selama ini menjadi dasar pemungutan pajak atas tanah dan atau kedudukan sosial ekonomi yang baik bagi orang atau bangunan yang disusun pada zaman kolonial tidak sesuai lagi dengan falsafah Pancasila tuntutan pembangunan yang terus meningkat. Undang-undang yang mengatur pungutan atas obyek yang sama, terlalu banyak jumlahnya sehingga membingungkan masyarakat. 21 22 Santoso Brotodihardjo, R., Op. Cit., 211. Ibid, hlm. 24. Volume 12, No.1 Nop 2011 cvii Fungsi pajak diperlukan untuk menjalankan kegiatan pemerintah yang selalu membutuhkan biaya yang secara tradisional terutama bersumber dari pajak. Fungsi dari pajak khususnya untuk negara sedang berkembang seperti Indonesia adalah sebagai berikut23 : a. Pajak merupakan alat atau instrumen penerimaan negara untuk menjalankan tugastugas rutin negara diperlukan biaya, demikian juga dalam rangka melaksanakan pembangunan Nasional, dewasa ini pajak sebagian besar dipergunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai negeri, belanja barang, pemeliharaan dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan sebagian besar berasal dari tabungan pemerintah ini, dari tahun ketahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak. b. Pajak merupakan alat untuk mendorong investasi menciptakan iklim investasi yang lebih baik dengan memberikan insentif perpajakan sedemikian rupa sehingga dapat mendorong peningkatan investasi. c. Pajak merupakan alat redistribusi. Pengenakan pajak dengan tarif progesif dimaksudkan untuk pengenaan pajak yang lebih tinggi pada golongan yang lebih mampu untuk membayar pajak. Dana yang dipindahkan dari sektor swasta ke sektor pemerintah dipergunakan pertama untuk membiayai proyek-proyek yang terutama diminati masyarakat yang berpengetahuan rendah seperti pembangunan, waduk-waduk seluruh irigasi, SD Impres, Puskesmas dan sebagainya. Dalam tulisannya yang berjudul , Perdagangan dan Ekonomi Nasional, yang dimuat dalam Majalah Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Agustus 1956, Barlin Halim mengutip pernyataan Romesh Dutt yang menyatakan, pajak yang ditarik oleh raja dapat dimisalkan sebagai embun di atas tanah yang dihisap matahari, lalu dikembalikan sebagai hujan yang menyuburkan. 24 Fungsi budgetair/fungsi untuk mengisi kas negara dari pajak adalah dalam usaha untuk memupuk dana demi memperlancar usaha dalam menjalankan roda pemerintahan, serta usaha atau pelaksanaan pembangunan. Oleh karena itu demi memperlancar pembangunan maka penerimaan termasuk didalamnya penerimaan dari sektor perpajakan harus berhasil. Dengan berhasilnya pemerintah memupuk dana berarti pemerintah berhasil pula memperlancar roda pemerintahan dan dapat mencukupi kebutuhan rutinnya, kelebihannya merupakan sumber dana bagi pembiayaan lainnya. Penerimaan-penerimaan pemerintah sebagian besar dihasilkan dari pemungutan pajak, walaupun pada kenyataannya kesadaran masyarakat terhadap pajak masih perlu pula ditingkatkan, dengan demikian dapat dikatakan bahwa melakukan pajak, pemerintah dapat mengisi kas negara yang dapat dipergunakan untuk memenuhi 23 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1007/KMK 05/1985. Chadir Ali, 2003, Pajak Elementer, PT. Eresco, Bandung, hlm. 1. cviiiVolume 12, No.1 Nop 2011 24 kebutuhan rutin, sedangkan kelebihannya merupakan tabungan pemerintah yang disediakan untuk memenuhi pembiayaan pembangunan untuk berbagai sektor. Fungsi yang cukup penting dari pajak yang tidak mudah dirasakan adalah fungsi mengatur dari fungsi inilah pemerintah dapat memanfaatkan untuk mengarahkan kebijaksanaan fiskalnya sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah dibidang ekonomi sosialnya. Melalui kebijaksanaan perpajakan pemerintah juga telah berusaha melakukan pemerataan pendapatan yang seimbang, hal ini dengan diperlukan tarif progresif terhadap jenis pajak tertentu, seperti misalnya pajak penghasilan, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang mana pajak yang terakhir tersebut merupakan sumber besar pendapatan dalam pembangunan.25 Oleh karena itu maka perlu juga diatur dengan diberlakukannya beberapa Undang-undang khusus yang mengatur tentang pajak itu, seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tersebut yang merupakan sumber terbesar pendapatan bagi pemerintah dalam pembangunan khusunya untuk daerah itu sendiri. Dilihat dari sudut ekonomi, pajak adalah penerimaan negara yang digunakan untuk mengarahkan kehidupan masyarakat menuju kesejahteraan dengan melakukan pembangunan. Pajak adalah “motor” penggerak kehidupan masyarakat, meskipun kehidupan ekonomi sebagian besar dijalankan dengan mengandalkan mekanisme pasar bebas, mekanisme tadi tidak akan berjalan kalau tidak ada pemerintah di daerah itu, jadi mekanisme pasar harus dibantu oleh kegiatan pemerintahan. Untuk menjalankan roda pemerintahan di daerah tersebut, yang mampu menggerakkan secara efektif mekanisme pasar bebas tadi pemerintah memerlukan pajak dari masyarakat. Pelayanan yang diberikan oleh pemerintah merupakan suatu kepentingan umum (Publik Utilitis) untuk kepuasan bersama, sehingga pajak yang mengalir dari masyarakat akhirnya kembali lagi untuk masyarakat, dalam hal ini erat kaitannya dengan kebijaksanaan ekonomi yang mengarah pada dukungan pemenuhan kenaikan pendapatan masyarakat melalui distribusi pendapatan. Dengan demikian tanpa pajak serta kesadaran membayar pajak yang tinggi, khususnya Pajak Bumi dan (PBB) mustahil pulalah pemerintah dapat menjalankan rodanya serta pelaksanaan pembangunan daerahnya. C. Asas-asas Dalam Pemungutan Pajak Dalam literatur tentang pemungtan pajak ada yang menggunakan terminologi asas-asas pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan beberapa sarjana sebagai berikut : 1. Asas-Asas Keadilan 25 Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Op. Cit., hlm. 124. Volume 12, No.1 Nop 2011 cix R. Santoso Brotodihardjo26 mengemukakan bahwa : Dalam asas-asas menurut falsafah hukum dinyatakan, hukum pajak harus mengabdi kepada keadilan. Keadilan inilah yang dinamakan “asas pemungutan pajak” menurut falsafah hukum yang dalam The Four Maxim termasuk maxim pertama, disamping asas-asas lainnya seperti yuridis, ekonomis, dan finansial. Karenanya semenjak abad ke-18 timbullah berbagai teori guna memberi “dasar-menyatakan keadilan” (justification) kepada hak negara memungut pajak dari rakyatnya. Untuk memberi dasar menyatakan-keadilannya ada teori pajak yang dilancarkan dari zaman ke zaman, yaitu : Teori Asuransi, Teori Kepentingan, Teori Gaya Pikul, Teori Kewajiban Pajak Mutlak atau Teori Bakti, Teori Asas Gaya Beli. Hukum Pajak haruslah mengabdi kepada terwujudnya “Keadilan”. Keadilan horozontal, dalam pemungutan pajak tidak ada diskriminasi. Keadilan vertikal, dalam pemungutan pajak disesuaikan dengan kemampuan WP. Selanjutnya Chaidir Ali mengemukakan bahwa27 : Secara historis, dapatlah digabungkan ke dalam dua kelompok besar dari sekian banyak teori, yaitu Pertama, kelompok teori berusaha ”mempertahankan persoalan pembenaran dasar keadilan kepada tindakan negara untuk memungut pajak; antara lain didukung oleh teori-teori terkenal, yaitu : Teori Kepentingan, Teori Asuransi, Teori Wajib Bayar Pajak Mutlak, Teori Daya Pikul, dan lain sebagainya. Kedua, adanya aliran yang berusaha ke arah ”peniadaan persoalan pembenaran dasar keadilan” kepada tindakan negara yang memungut pajak, seperti yang kini dianut adalah ajaran asas daya beli dari Prof Adriani, yaitu : a. Kelompok Teori Berusaha, ”mempertahankan persoalan pembenaran dasar keadilan”, Terdiri atas : Pertama, Teori Kepentingan. Teori ini menyatakan, karena rakyat mempunyai kepentingan bagi keamanan atau perlindungan atas keselamatan jiwa, dan raganya, serta keamanan bagi harta bendanya maka adalah suatu yang wajar, adil dan dapat dibenarkan apabila negara memungut pajak dari wajib pajak (rakyat), karena negara memerlukan biaya untuk menjaga keamanan, untuk melindungi keselamatan rakyat dan harta bendanya. Biaya tersebut diperoleh dari hasil pemungutan pajak. Besarnya pajak yang dibayar sesuai tingkat kepentingan wajib pajak (rakyat). Kedua, Teori Asuransi. Teori ini menyatakan, pajak disamakan dengan asuransi, yaitu pembayaran pajak oleh wajib pajak (rakyat) kepada negara sama dengan pembayaran premi oleh tertanggung kepada perusahaan asuransi. Ketiga, Teori Wajib Bayar Mutlak atau Teori Bakti Pemungutan pajak didasarkan pada hubungan negara dengan wajib pajak (rakyat) yang dihubungan dengan organik. Teori ini merupakan kelanjutan dari Teori Kepentingan sehingga negara mempunyai hak mutlak memungut pajak, karena wajar, adil dan seharusnya rakyat berbakti kepada negara dengan membayar pajak. 26 27 cx Chadir Ali, Op. Cit., hlm. 29. Ibidt., hlm. 100. Volume 12, No.1 Nop 2011 Keempat, Teori daya Pikul. Adalah adil, pajak dipungut berasarkan, ”kemampuan memikul beban pajak yang harus dibayar”. Kemampuan memikul ini diwujudkan dalam bentuk penghasilan atau kekayaan dihubungkan dengan beban (biaya) kehidupannya. Dengan demikian, pajak dipungut sesuai dengan daya pikul WP (rakyat). b. Aliran yang berusaha ke arah ”peniadaan persoalan-persoalan pembenaran dasar keadilan”. Terdiri dari : Asas -Teori daya Beli. Teori ini menyatakan, negara menggunakan kemampuan WP (rakyat) berupa daya beli untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan/negara memungut pajak dari WP (rakyat) karena oleh negara akan dikembalikan lagi kepada WP berupa pelayanan kepentingan umum dan pemeliharaan kesejahteraan. Pemungutan pajak sebagai gejala dalam masyarakat yang diidentikan dengan pompa, bukan penyelenggaraan kepentingan individu maupun kepentingan negara semata-mata, tetapi penyelenggaraan kepentingan itu dan memusatkan kepada fungsi mengatur. Berlaku tanpa batas waktu, baik masa ekonomi liberal, ekonomi terpimpin maupun sosialistis. Ajaran asas daya beli ini telah mendapat kecamankecaman tajam dari para pendukung yang berusaha mempertahankan teori-teori yang membenarkan dasar keadilan pemungutan pajak, mereka beranggapan, ajaran asas daya beli ini tidaklah memberi pembenaran dasar keadilan pemungutan pajak, atau tidak menjelaskan dasar bukunya.28 2. Asas Yuridis Hukum harus dapat menjamin kepastian terwujudnya keadilan dihadapan hukum. Demikian juga Hukum Pajak harus dapat memberikan jaminan kepastian terwujudnya keadilan dihadapan hukum pajak bagi bagi pemerintah/negara sebagai pemungut pajak. Di Indonesia asas yuridis ini dinyatakan dalam UUD 1945 : Pasal 23 A bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. 3. Asas Ekonomis Fungsi regulator dari pajak adalah merupakan fungsi pajak yang ditujukan untuk mengatur politik perekonomian . Untuk mencapai tujuan tersebut implementasi pemungutan pajak : (a) harus menjamin tidak terganggunya kepentingan umum; (b) Harus menjadi instrument yang dapat memperlancar roda produksi dan perdagangan dalam arti jangan sampai menghambat proses produksi dan jalannya perdagangan; (c) Harus menjamin terlaksananya upaya masyarakat warga negara untuk mencapai tujuan hidup, pemungutan pajak dipungut sesuai penghasilannya dan dipungut dalam waktu yang tepat.29 4. Asas Finansial 28 Ibid., hlm. 116-117. Oyok Abuyamin, Op. Cit., hlm. 8. Volume 12, No.1 Nop 2011 29 cxi Asas Finansial. Pemungutan pajak oleh negara adalah bertujuan menghimpun dana sebanyak-banyaknya untuk biaya anggaran negara. Ini berarti sejalan dengan fungsi budgetair dari pajak. 5. Asas Menurut Adam Smith Dasar hukum umum yang menjadi fundamen pemungutan pajak berdasarkan : Asas Menurut Adam Smith : (a). Equality and equity ; (b). Certain; (c). Convenince of paymen; (d). Economics of collection. 30 Pada abad ke-18 Adam smith (1723-1790) dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Cauces of the Wealth of Nations ( terkenal dengan nama Wealth of Nations) melancarkan ajarannya sebagai asas pemungutan pajak yang dinamai The Four Maxims dengan uraiannya sebagai berikut : Equality and equity (Keadilan/kesamaan). Pembagian tekanan pajak di antara subyek pajak masing-masing hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya , yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya masing-masing, dibawah perlindungan pemerintah (asas pembagian/asas kepentingan). Dalam asas equality ini tidak diperbolehkan suatu Negara mengadakan diskriminasi diantara sesame wajib pajak. Dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama pula. Certainty (Kepastian hukum). Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan tidak mengenal kompromis (non arbitrary). Dalam asas certainty ini, kepastian hokum yang dipentingkan adalah yang mengenai subyek-obyek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya. Convenince of paymen (saat paling tepat). Every tax ought to be leveied at the time, or in the manner, in wicht it is most likely to be convenint for the contribution to pay it. Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang juga disebut confinence of payment), merupakan bahwa pajak , yaitu saat sedekat dekatnya dengan detik diterimanya penghasilan yang bersangkutan. Economics of collection (Efisien). Asas efisiensi ini menetapkan, pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-hematnya; jangan sekali-kali biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya.31 6. Asas Menurut Sommerfield Ray M, dkk. Sommerfield Ray M, dkk., mengungkapkan, dalam rangka mendesain suatu system perpajakan, criteria tidak lagi terbatas kepada, the canons of taxation, yaitu equality, certainty, convenience, dan economy, yang dicetuskan oleh Adam smith, tetapi saat ini perlu ditambah dengan productivity, visibility, dan political considerations. Productivity, dimaksudkan secara relative berapa besar jumlah pajak yang dapat dihasilkan yang umumnya disorot oleh para politikus dalam rangka mengevaluasi 30 Chadir Ali, Op. Cit., hlm.27-29. Oyok Abuyamin, Op. Cit., hlm.9. cxiiVolume 12, No.1 Nop 2011 31 kinerja pemerintahan tanpa mempersoalkan apakah itu memenuhi persyaratan the canons of taxation atau tidak. Vasibility disini lebih bersifat ukuran yang dipakai pembayar pajak, berapa besar kenikmatan yang dapat diperolehnya dan jumlah pembayaran pajaknya yang seringkali dieksploitir politikus untuk menabur janji-janji peningkatan kesejahteraan disbanding dengan bagaimana usaha meningkatkan penerimaan pajak. Political considerations lebih mencerminkan bagaimana para anggota perwakilan rakyat melobi dan melakukan pendekatan agar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut menguntungkan kelompoknya. 32 7. Asas Menurut Richard A. Musgrave dan Peggy B. Menurut Richard A. Musgrave dan Peggy B. dalam bukunya Public Finance in Theory and Practice, terdapat dua macam asas keadilan pemungutan pajak, sebagai berikut : Pertama, Benefit Principle. Dalam sistem perpajakan yang adil, setiap wajib pajak harus membayar pajak sejalan dengan manfaat yang dinikmatinya dari pemerintah. Pendekatan ini disebut evenue and Expenditure. Kedua, Ability Principle. Dalam pendekatan ini menyarankan agar pajak dibebankan kepada wajib pajak atas dasar kemampuan membayar. 33 8. Asas Domicili / Asas Tempat Tinggal Pemungutan pajak dikenakan berdasarkan domicili / tempat tinggal wajib pajak yang bersangkutan. 9. Asas Kebangsaan atau Asas Nasional Menurut asas Kebangsaan pemungutan pajak dihubungkan dengan kebangsaan dari suatu negara. Jadi negara dapat mengenakan pajak terhadap orang asing yang bertempat tinggal/berdomicili di Indonesia, contohnya pajak bangsa asing. Misalnya, Belanda ketika Perang Dunia II mewajibkan pembayaran pajak bagi warga negara Belanda atas pendapatannya termasuk warga negara Belanda yang berdomicili di luar negara Belanda. 10. Asas Sumbar Pemungutan pajak dilakukan di negara yang menjadi sumber penghasilan. Dengan demikian, seseorang (tidak berdomicili di Indonesia) yang mendapat penghasilan dari sumber di Indonesia wajib membayar pajak di Indonesia. 34 32 Diana Sari, 2006, Perpajakan, Bandung, hlm. 15. Waluyo, 2008, Perpajakan Indonesia, Salemba Jakarta, hlm. 14. 34 Oyok Abuyamin, Op. Cit., hlm. 11. Volume 12, No.1 Nop 2011 33 cxiii D. Hak dan Kewajiban Pajak Dalam dunia perpajakan, setiap penguasaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, minimal mempunyai 3 (tiga) hak, yaitu : 1. hak pengkreditan atas pajak masukan; 2. hak atas kompensasi atau restitusi; dan 3. hak keberatan atau banding. Kewajiban para pengusaha yang diwajibkan oleh UU ada 6 (enam) yang harus dilaksanakan wajib pajak,yaitu : a. melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP; b. membuat faktur pajak atas setiap penyerahan kena pajak; c. membuat nota retur dalam hal terdapat pengembalian barang kena pajak; d. melakukan pencatatan dalam pembukuan mengenai kegiatan usahanya; e. menyetor pajak yang terutang; f. Menyampaikan surat pemberitahuan masa PPN Sedangkan kewajiban membayar pajak dan Penetapan Pajak seperti yang disebutkan dalam Pasal 12 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah sebagai berikut : Kewajiban Membayar Pajak Tidak Bergantung Surat Ketetapan Pajak (SKP). Setiap wajib pajak membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya SKP; Pajak Terutang adalah menurut UU Perpajakan. Jumlah pajak yang terutang menurut surat pemberitahuan (SPT) yang disampaikan oleh wajib pajak adalah jumlah pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; Surat Pemberitahuan (SPT) wajib pajak Tidak benar. Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti bahwa jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan tidak benar maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak terutang yang semestinya.35 Kewajiban pajak ada dua macam yaitu : 1. Kewajiban Pajak Subyektif Ialah kewajiban pajak yang melekat pada subyeknya, pada umumnya setiap orang yang bertempat tinggal di Indonesia memenuhi kewajiban pajak subyektif, anakanak, orang dewasa, wanita yang sudah kawin. Sedangkan untuk orang di luar Indonesia kewajiban subyektif ada kalau mempunyai hubungan ekonomidengan Indonesia (mempunyai perusahaan disini); 2. Kewajiban Pajak Obyektif Ialah kewajiban pajak yang melekat pada obyeknya, seorang memenuhi kewajiban pajak obyektif jika ia mendapat penghasilan atau mempunyai kekayaan yang memenuhi syarat menurut undang-undang.36 35 Ibid., hlm. 46 Hamdan Aini, H., 2003, Perpajakan, PT. Bina Aksara, Jakarta, hlm. 19. cxivVolume 12, No.1 Nop 2011 36 E. Sistem Pelaksanaan Pemungutan Pajak Dalam pelaksanaan sistem pemungutan pajak ada 3 (tiga) macam yaitu : 1. Official Assessment System Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak berdasarkan UU pemerintah (fiskus) diberi untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Ciri Official Assessment System adalah sebagai berikut : Wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada fiskus; Wajib pajak bersifat menunggu (pasif); Utang pajak yang harus dibayar olh wajib pajak timbul setelah diterbitkannya surat ketetapan pajak (SKP) oleh fiskus. 2. Self Assessment System Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang berdasarkan UU memberikan epercayaan kepada wajib pajak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya dibidang perpajakan. Ciri Self Assessment System adalah sebagai berikut : Wajib Pajak (WP) menghitung dan memperhitungkan sendiri oleh WP, pajak yang harus dibayar/ pajak yang terutang; Wajib pajak (WP) membayar / menyetor sendiri pajak yang harus dibayar / pajak yang terutang ke bank / Kantor Pos; Wajib Pajak (WP) melaporkan sendiri pajak yang harus dibayar / pajak yang terutang; Pemerintah (Fiskus) mengawasi pelaksanaan hak dan kewajiban WP di bidang perpajakan. 3. With Holding System With Holding System adalah suatu system pemungutan pajak yang berdasarkan UU memberi kepercayaan / wewenang kepada pihak ketiga (bukan pemerintah dan bukan WP yang bersangkutan) untuk memotong atau memungut pajak yang wajib dipotong/dipungut dari WP yang wajib membayarnya. Pihak ketiga wajib menyetorkan hasil pemotongan / pemungutan pajak tersebut. Ciri With Holding System adalah sebagai berikut : a. Pemotongan / Pemungutan pajak dilakukan oleh pihak ketiga (bukan pemerintah/bukan fiskus); b. Pemotong / Pemungut pajak wajib menyetorkan hasil pemotongan /pemungutan pajak tersebut; c. Pemerintah (fiskus) mengawasi pelaksanaan pemotongan / pemungutan dan penyetoran oleh pihak ketiga. BAGI HASIL PAJAK PROVINSI DENGAN KABUPATEN A. Tata Cara Pemungutan Pajak Volume 12, No.1 Nop 2011 cxv Pelaksanakan pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara kepada rakyatnya ada beberapa metode atau cara yaitu37 : 1. Riel Stelsel (Stelsel Nyata) Riel Stelsel (Stelsel Nyata) merupakan pemungutan pajak berdasarkan dan memperhatikan obyek berupa penghasilan yang sudah nyata-nyata diterima oleh wajib pajak (WP) selama tahun pajak yang baru diketahui pada akhir tahun. Oleh karena itu, pemungutannya baru dilaksanakan setelah tahun pajak berakhir. Metode ini mendasarkan kepada pelaksanaan pemungutan pajak berdasaarkan objek pajak (penghasilan) yang sesungguhnya (nyata) diperoleh wajib pajak. Sehingga perhitungan beban pajak atau pemungutan pajak dapat dilakukan pada akhir tahun pajak.Kelebihan stelsel ini pemungutan pajak dihitung secara nyata berdasarkan realisasi penghasilan. Kelemahannya adalah negara dalam perolehan pajak pada akhir tahun pajak padahal biaya pembangunan dimulai pada awal tahun takwim. 2. Fictive Stelsel (Stelsel Anggapan) Fictive Stelsel (Stelsel Anggapan) merupakan pemungutan pajak yang dilakukan berdasarkan anggapan menurut ketentuan hukum pajak. Di awal tahun, pajak dihitung dengan anggapan melalui perbandingan dengan penghasilan tahun sebelumnya. Stelsel ini menentukan pajak yang harus dibayar dalam tahun berjalan dan di akhir tahun pajak baru disesuaikan dengan penghasilan yang sebenarnya diterima wajib pajak (WP). Dalam metode (cara) ini pengenaan pajak kepada wajib pajak atas objek pajak (penghasilan) didasarkan pada suatu anggapan tentang besarnya penghasilan yang bisa diperoleh sama dengan tahun pajak sebelumnya, sehingga awal tahun pajak bisa ditetapkan jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Kelebihan stelsel ini cara ini adalah bahwa jumlah pajak dapat ditetapkan pada awal tahun pajak, sehingga penerimaan negara dari pajak bisa diperoleh pada awal tahun pajak, dan pembayaran pajak bisa dilakukan selama tahun pajak. Kelemahannya cara ini adalah pajak tidak berdasarkan objek pajak (penghasilan) yang sesungguhnya diperoleh oleh wajib pajak. 3. Stelsesl Campuran Cara ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan, pada awal tahun pajak ditetapkan/ dihitung berdasar pajak tahun sebelumnya kemudian pada akhir tahun pajak ditetapkan/dihitug berdasarkan keadaan yang sebenarnya. 37 Oyok Abuyamin, Op. Cit., hlm. 17-18. cxviVolume 12, No.1 Nop 2011 Apabila terjadi kelebihan atau kekurangan pajak yang dibayar maka wajib pajak harus menyesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. 38 Berdasarkan lembaga/wewenang pemungutan pajak pusat atau pajak negara dipungut dan dikelola oleh pemerintah pusat (Departemen Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak) dan hasil penerimaannya sebagai sumber utama bagi APBN yang digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, baik biaya rutin maupun biaya pembangunan. Contoh :PPh, PPN/PPn BM,BM. Sedangkan Pajak Daerah dipungut dan dikelola oleh pemerintah daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) dan hasil penerimaannya sebagai sumber utama APBD digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah, baik biaya rutin maupun biaya pembangunan. Contoh : Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, dll. Berdasarkan cara pemungutan, pajak langsung dipungut secara pereodik (berkala). Pajak langsung ini harus dipikul sendiri oleh wajib pajak (WP) dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh pajak penghasilan. Sedangkan pada pajak tidak langsung dipungut karena perbuatan atau peristiwa tertentu dan pada akhirnya pembayar pajak dapat membebankan atau melimpahkan beban pajaknya kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai. Sedangkan yang ersifat memaksa menjadi dasar hukum Pemungutan Pajak di Indonesia adalah Pasal 23 A UUD 1945 yang menyatakan bahwa : ” Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undangundang.”39 B. Surat Tagihan Pajak ( STP ) Surat Tagihan Pajak ( STP ) dinyatakan dalam Pasal 1 dan Pasal 14 UU Ketentuan Umum Perpajakan, yaitu : 1. Pengertian STP. STP adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan / atau sanksi administrasi berupa bunga dan / atau denda. 2. Penerbitan STP. Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan STP apabila : (a) PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar; (b) Dari hasil penelitian terdapat kekurangan pajak sebagai akibat salah tulis dan / atau salah hitung; (c) WP dikenai sanksi administrasi berupa denda dan / atau bunga; (d) Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu; (e) Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPH 1984 dan perubahannya, selain (e.1.) Identitas pembeli sebagaimana 38 Mohammad Zain, AK dan Dodo Syarief Hidayat, Op. Cit., hlm. 226-227. UUD 1945 , 2005, Amandemen Pertama 1999-Keempat 2002, CV. Aneka Ilmu, Semarang, hlm. 1-12 39 Volume 12, No.1 Nop 2011 cxvii dimaksu dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b UU PPN 1984 dan perubahannya. (e.2.) Identitas pembeli serta nama dan tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g UU PPN 1984 dan perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran. (f) Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan nama penerbitan faktur pajak. (g) Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a) UU PPN 1984 dan perubahannya. 3. Kekuatan Hukum STP. STP mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak. Sedangkan sanksi Surat Tagihan Pajak ( STP ) adalah sebagai berikut : PPh Kurang Bayar dan Kurang Bayar karena Salah Tulis dan / atau Salah Hitung : Sanksi Administrasi Bunga 2 % Per Bulan. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STP sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (1) huruf a dan huruf b UU KUP ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, ditung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa pajak, Bagian Tahun Pajak, atau tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya STP; PPN dan PPh BM: Sanksi Denda 2 % dari DPP. Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (1) huruf d, huruf e, atau huruf f UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 % (dua persen) dari dasar Pengenaan Pajak; Setelah Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak ( SKPKPP) PKP gagal berproduksi Kena Sanksi Bunga 2 %. Terhadap Pengusaha Kena pajak (PKP) sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (1) huruf g UU KUP (yaitu setelah SKPKPP PKP gagal berproduksi) dikenal sanksi administrasi berupa bunga 2 % (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang ditagih kembali, dihitung dari tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP) sampai dengan tanggal penerbitan SPT dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Menurut Pasal 1 UU No. 19 Tahun 2000 dan Pasal 18 UU Ketentuan Umum Perpajakan aturan tentang penagihan pajak hádala sebagai berikut : 1. Pengertian Penagihan Pajak Yang dimaksud dengan penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi uang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitauan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang disita ( Pasal 1 UU No. 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa). Volume 12, No.1 Nop 2011 cxviii 2. Dasar Penagihan pajak Yang menjadi dasar penagihan pajak adalah Surat Tagihan Pajak , Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah. 3. Bunga Penagihan Pajak Dalam Pasal 19 UU KUP aturan tentang bunga penagihan pajak dinyatakan : a. Pajak terutang pada saat jatuh tempo tidak / kurang dibayar kena sanksi bunga 2 % (Dua Persen) per bulan. Apabila SKPKB atau SKPKBT serta SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding atau Putusan peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau barang yang dibayar itu dikenal sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya STP, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. b. Wajib Paja (WP) mengangsur atau menunda pembayaran kena sanksi sebesar 2% (dua persen) per bulan. Dalam hal WP diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (sat) bulan. c. WP menunda penyampaian SPT Tahunan kena sanksi bunga 2% (dua persen) per bulan per bulan. Dalam hal WP diperbolehkan menunda penyampaian SPT tahun dan ternyata penghitngan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) UU KUP kurang jumlah pajak yang sebenarnya terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan hurufc UU KUP smpai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan bagian dari bulandihitung penuh 1 (satu) bulan. 4. Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Pasal 20 UU KUP dan penjelasannya menyatakan bahwa aturan tentang penagihan pajak dengan surat paksa adalah : Pengertian Surat Paksa. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak (Pasal 1 UU KUP). Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Atas jumah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan STP, SKPKB, serta SKPKBT, dan SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penaggung Pajak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) (harus dilunasi 1 bulan), atau ayat (3a) UU KUP (WP Usaha Kecil dan WP di daerah tertentu dapat diperpanjang Volume 12, No.1 Nop 2011 cxix 2 bulan), dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus. Dikecualikan dari ketentuan penagihan dengan surat paksa sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (1) UU KUP, penagihan seketika dan sekaligus dilakukan apabila : Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu; Penanggung pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia; Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha atau menggabungkan atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau yang melakukan perubahan bentuk lainnya; Badan Usaha akan dibubarkan oleh negara; Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tandatanda kepailitan. Yang dimaksud dengan ”penagihan seketika dan sekaligus” adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun pajak. Penanggung pajak menurut Pasal 1 UU KUP adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. 5. Negara Mempunyai Hak Mendahului Menurut Pasal 21 UU KUP aturan tentang negara mempunyai hak mendahului, diatur dengan ketentuan : Hak Mendahului. Negara mempunyai hak mendahului untuk utang pajak atas barangbarang milik Penanggung Pajak, yang meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak; Dikecualikan Dari hak Mendahului. Hak mendahului untuk utang pajak melebihi segala hak mendahului lainnya, kecuali terhadap : Biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan / atau barang tidak bergerak; Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan / atau; Biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. c. WP Pailit, Bubar atau Dilikwidasi Dilarang, Membagikan Hartanya Kepada Pemegang Saham Atau Kreditor Sebelum Membayar Utang Pajak. Dalam hal WP dinyatakan pailit, bubar, atau dilikwidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta WP cxx Volume 12, No.1 Nop 2011 dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak WP tersebut. d. Hak Mendahulu Hilang. Hak Mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan STP, SKPKB, SKPKBT, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. e. Perhitungan jangka waktu Hak Mendahulu. Perhitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan sebagai berikut : (1) Dalam hal Surat paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka waktu 5 (lima) tahun dihitung sejak pemberitahuan Surat Paksa; atau (2) Dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran, maka jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan. 6. Daluarsa Penagihan pajak . Dalam Pasal 22 UU KUP aturan tentang daluarsa penagihan pajak dinyatakan : a. Daluarsa Setelah Melampaui 5 (lima) Tahun. Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitun g penerbitan STP, SKPKB, serta SKPKBT, dan SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali;. b. Daluwarsa Penagihan Pajak Tertangguh. Daluarsa penagihan pajak tertangguh apabila : (1) Diterbitkan Surat paksa; (2) Ada Pengakuan uang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung; (3) Diterbitkan SKPKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU KUP, atau SKPKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) UU KUP; atau (4) Dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. 7. Gugatan Wajib pajak Gugatan WP atau penanggung pajak diajukan terhadap : Pelaksanaan Surat paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang; Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak; Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP (yaitu keputusan keberatan); atau Penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak ( Pasal 23 UU KUP). Volume 12, No.1 Nop 2011 cxxi C. Kendala Pemungutan Pajak Timbulnya utang pajak berdasarkan ajaran formil adalah wujud dari sistem pemungutan pajak yang berdasarkan Oficial Assesment System. Menurut ajaran ini utang pajak timbul karena diterbitkannya penetapan dan ketetapan pajak. Penetapan dan ketetapan pajak ini dapat berupa : surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang bayar Tambahan (SKPKBT). Pemungutan pajak tidak populer / tidak disenangi oleh karena itu timbul adanya kendala, yaitu hambatan pemungutan pajak berupa perlawanan terhadap pemungutan pajak, yaitu berupa : (1) Perlawanan Pasif dan (2) Perlawanan aktif. Secara pasif wajib pajak (WP) tidak bayar pajak karena natara lain : (a) Pemahaman terhadap hukum pajak yang masih kurang karena sulit dimengerti; (b) Tingkat kepedulian dan kesadaran terhadap pajak yang masih perlu ditingkatkan; (c) Pengawasan pemungutan pajak belum berjalan efektif; (d) Pengawasan penggunaan hasil pemungutan pajak belum efektif. Secara aktif wajib pajak (WP) bertujuan menghindari pembayaran pajak melalui perbuatan dan semua usaha yang ditujukan secara langsung kepada pemerintah / fiskus. Ada dua jenis perlawanan aktif, yaitu : (a) Tidak melanggar hukum pajak (Tax Avoidance): perbuatan dan semua usaha untuk mengurangi/meringankan pembayaran pajak dengan tidak melanggar hukum pajak; (b) Melanggar hukum pajak (Tax Evasion) : perbuatan dan semua usaha untuk mengurangi / meringankan pembayaran pajak dengan cara melanggar hukum pajak.40 D. Bagi Hasil Pajak Provinsi Dengan Kabupaten Menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) dinyatakan bahwa : Pajak-Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imlabalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam Pasal 2 UU No. 28 dan UU No. 29 Tentang Pajak Derah dan Retribuís Daerah disebutkan bahwa : 1. Jenis Pajak Daerah Provinsi antara lain : (1) Pajak Kendaraan Bermotor; (2) Bea balik nama Kendaraan Bermotor; (3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; (4) Pajak Air Permukaan; dan (5) Pajak Rokok. 2. Jenis Pajak Daerah Kabupaten / Kota, antara lain : (1) Pajak Hotel; 40 Oyok Abuyamin, Op. Cit., hlm. 19. cxxiiVolume 12, No.1 Nop 2011 (2) Pajak Restoran; (3) Pajak Hiburan; (4) Pajak Reklame; (5) Pajak Penerangan Jalan; (6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ; (7) Pajak Parkir; (8) Pajak Air Tanah; (9) Pajak Sarang Burung Walet; (10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; (11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. a. Pajak Kendaraan Bermotor Dalam Pasal 3 UU DPRD disebutkan bahwa obyek pajak kendaraan bermotor adalah kepemilikan dan /atau penguasaan Kendaraan Bermotor. Yang termasuk dalam pengertian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada angka (1) tersebut diatas adalah kendaraan bermotor beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan di semua jenis jalan darat dan kendaraan bermotor yang dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT 5 (lima Gross Tonnage) sampai dengan GT 7 (tujuh Gross Tonnage). Subyek Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau badan yang memiliki dan / atau menguasai kendaraan Bermotor. Wajib Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau badan yang memiliki Kendaraan Bermotor, dalam hal wajib pajak badan, kewajiban perpajakannya diwakili oleh pengurus atau kuasa badan tersebut ( Pasal 4 UU DPRD). Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah hasil perkalian dari 2 (dua) unsur pokok, yaitu : (a) nilai jual kendaraan bermotor, dan (b) bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan / atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor ( Pasal 5 UU DPRD). Tarif Pajak Kendaraan Bermotor pribadi ditetapkan sebagai berikut : (a) untuk kepemilikan kendaraan bermotor pertama paling rendah sebesar 1 % (satu persen) dan paling tinggi sebesar 2 % (dua persen); (b) untuk kepemilikan kendaraan bermotor kedua dan seterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresif paling rendah sebesar 2 % (dua persen) dan paling tinggi sebesar 10 % (sepuluh persen). Sedangkan kepemilikan kendaraan bermotor didasarkan atas nama dan / atau alamat yang sama (Pasal 6 UU DPRD). Cara menghitung dan Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 UU PDRD : (1) Besaran pokok Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang dihitung dengan cara mengalihkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) UU PDRD dengan dasar pengenaan bermotor terdaftar pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (9) UU PDRD; (2) Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar; (3) Pemungutan pajak Kendaraan Bermotor dilakukan bersamaan dengan penerbitan Surat tanda Nomor Kendaraan Bermotor. Volume 12, No.1 Nop 2011 cxxiii b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN KB) Objek Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 9 UU PDRD: (1) Objek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah penyerahan kepemilikan Kendaraan Bermotor; (2) Termasuk dalam pengertian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud adalah kendaraan bermotor beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan di semua jenis jalan darat dan kendaraan bermotor yang dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT5 (5 Gross Tannge) sampai dengan GT7 (tujuh Gross Tonnage): (3) Dikecualikan dari pengertian kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada angka (2) tersebut di atas yaitu : Kereta api; Kendaraan bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara; Kendaraan bermotor yang dimiliki dan / atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lemabaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah, dan Objek pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah. Subyek Pajak dan wajib pajak BBN KB sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 UU PDRD yaitu : (1) Subjek pajak Bea balik Nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau badan yang dapat menerima penyerahan kendaraan bermotor; (2) Wajib Pajak Bea Balik nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor. Dasar pengenaan BBN KB sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 UU PDRD adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (9) UU PDRD. Tarif BBN KB sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12 UU PDRD yaitu : (1) Tarif Bea balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi masing-masing sebagai berikut : a. Penyerahan pertama sebesar 20 % (dua puluh persen; dan b. penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1 % (satu persen); (2) Khusus untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar yang tidak menggunakan jalan umum tarif pajak ditetapkan paling tinggi sebagai berikut : a. Penyerahan pertama sebesar 0,75 % (nol koma tujuh puluh lima persen); dan b. Penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 0,075 % (nol koma nol tujuh puluh lima persen); (3) Tarif Bea balik nama Kendaraan Bermotor ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Cara Menghitung , Pemungutan, dan Pembayaran BBNKB sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 13 UU PDRD adalah sebagai berikut : (1) Besaran Pokok Pajak Bea Balik nama Kendaraan Bermotor yang terutang dihitung dengan ara mengalihkan tarif sebagaimana imaksud dalam Pasal 12 ayat (3) UU PDRD dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 UU PDRD; (2) Bea balik Nama Kendaraan Bermotor yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar; (3) Pembayaran Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dilakukan pada saat pendaftaran. Wajib Mendaftarkan Penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 UU PDRD bahwa wajib pajak bea balik nama kendaraan bermotor wajib Volume 12, No.1 Nop 2011 cxxiv mendaftarkan penyerahan kendaraan bermotor dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak saat penyerahan. Dan melaporkan Penyerahan Kendaraan Bermotor Kepada Gubernur atau Pejabat.41 c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) Objek Pajak Bahan bakar Kendaraan Bermotor adalah bahan bakar kendaraan bermotor yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan di air ( Pasal 16 UU PDRD). Subyek Pajak, Wajib pajak, dan Pemungutan PBBKB sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17 UU PDRD adalah sebagai berikut : Subjek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalam konsumen Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; Wajib Pajak Bahan bakar Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Bahan Bakar Kendaraan bermotor; Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan oleh penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; Penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada angka (3) tersebut di atas adalah produsen dan / atau importir Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri. Dasar Pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotot (PBBKB) adalah Nilai Jual Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebelum dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ( Pasal 18 UU PDRD). Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) sebagaimana disebutkan dalam pasal 19 UU PDRD adalah sebagai berikut : Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi sebesar 10 % (sepuluh persen); Khusus tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan paling sedikit 50 % (lima piluh persen) lebih rendah dari tarif Pajak Bahan bakar Kendaraan Bermotor untuk kendaraan pribadi; Pemerintah dapat mengubah tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Daerah dengan Peraturan Presiden; Kewenangan Pemerintah untuk mengubah tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan dalam hal : Terjadi kenaikan harga minyak dunia melebihi 130 % (seratus tiga puluh persen) dari asumsi harga minyak dunia yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan; atau Diperlukan stabilisasi harga bahan bakar minyak untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak ditetapkannya Undang-Undang PDRD. 41 Oyok Abuyamin, Ibid., hlm. 207. Volume 12, No.1 Nop 2011 cxxv Dalam hal harga minyak dunia sebagaimana dimaksud pada angka (4) huruf a tersebut di atas sudah normal kembali, Peraturan Presiden sebagaimana dimaksud pada angka (3) tersebut di atas, dicabut dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun. Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Cara Menghitung Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20 UU PDRD adalah bahwa besaran pokok Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6) UU PDRD dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UU PDRD. 42 d. Pajak Air Permukaan Obyek Pajak Air Permukaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 UU PDRD adalah sebagai berikut : Objek Pajak Air Permukaan adalah pengambilan dan / atau pemanfaatan air permukaan; Dikecualikan dari objek Pajak Air Permukaan adalah : Pengambilan dan / atau pemanfaatan air permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan peraturan perundang-undangan; dan Pengambilan dan / atau pemanfaatan air permukaan lainnya ditetapkan dalam Peraturan Daerah. Subyek Pajak dan Wajib Pajak Permukaan Air sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 UU PDRD adalah sebagai berikut : Subyek Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau badan yang dapat melakukan pengambilan dan / atau pemanfaatan air permukaan; Wajib Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan / atau pemanfaatan air permukaan. Dasar Pengenaan Pajak air Permukaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 23 UU PDRD adalah sebagai berikut : Dasar pengenaan Pajak Air Permukaan adalah Nilai Perolehan Air Permukaan; Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada angka (1) tersebut di atas dinyatakan dalam rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh factor-faktor berikut : Jenis sumber air; Lokasi sumber air; Tujuan pengambilan dan / atau pemanfaatan air; Volume air yang diambil dan / atau dimanfaatkan; Kualitas air; Luas areal tempat pengambilan dan / atau pemanfaatan air; dan Tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan / atau pemanfaatan air. 42 Ibid., hlm. 409. Volume 12, No.1 Nop 2011 cxxvi Penggunaan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada angka (2) tersebut di atas disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah. Besarnya Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada angka (1) tersebut di atas ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. Tarif Pajak Air Permukaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 UU PDRD adalah sebagai berikut : (1) Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi sebesar 10 % (sepuluh persen); (2) tariff Pajak Air Permukaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Cara Menghitung Pajak Air Permukaan disebutkan didalam pasal 25 UU PDRD adalah : (1) Besaran pokok Pajak Air Permukaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tariff sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (2) UU PDRD dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) UU PDRD; (2) Pajak Air Permukaan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat air berada. 43 e. Pajak Rokok Obyek Pajak Rokok sebagaimana disebutkan dalam Pasal 26 UU PDRD adalah sebagai berikut : Obyek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok; Wajib pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok / produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai; Pajak Rokok dipungut oleh instansi pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok; Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada angka (3) tersebut di atas disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan junlah penduduk; Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyerahan Pajak Rokok diatur dengan peraturan Menteri Keuangan. Dasar Pengenaan Pajak Rokok seperti disebutkan dalam pasal 28 UU PDRD adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok. Tarif pajak Rokok seperti disebutkan dalam Pasal 29 UU PDRD adalah ditetapkan sebesar 10 5 (sepuluh persen) dari cukai rokok. Cara menghitung Pajak Rokok disebutkan dalam Pasal 30 UU PDRD adalah : Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 UU PDRD dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU PDRD. Seangkan Alokasi Penerimaan Pajak Rokok disebutkan dalam pasal 31 UU PDRD adalah Penerimaan Pajak Rokok, baik Provinsi maupun bagian Kabupaten / Kota, dialokasikan paling sedikit 50 % (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. Sedangkan Bagi Hasil antara Pajak Provinsi dengan Kabupaten sebagaimana disebutkan dalam Pasal 94 UU PDRD adalah sebagai berikut : 43 Ibid., hlm. 411. Volume 12, No.1 Nop 2011 cxxvii Hasil penerimaan Pajak Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) sebagian diperuntukkan bagi Kabupaten / Kota di wilayah provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan sebagai berikut : hasil penerimaan pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diserahkan kepada Kabupaten / Kota sebesar 30 % (tiga puluh persen); hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor diserahkan kepada Kabupaten / Kota sebesar 70 % (tujuh puluh persen); hasil penerimaan Pajak Rokok diserahkan kepada Kabupaten / Kota sebesar 70 % (tujuh puluh persen); hasil penerimaan Pajak air Permukaan diserahkan kepada Kabupaten / Kota sebesar 50 % (lima puluh persen). Khusus untuk penerimaan Pajak Air Permukaan dari sumber air yang berada hanya pada 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota, hasil penerimaan pajak Air Permukaan dimaksud diserahkan kepada Kabupaten/Kota yang bersangkutan sebesar 80 % (delapan puluh persen); Bagian Kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan / atau potensi antar kabupaten/kota; Ketentuan lebih lanjut mengenai bagi hasil penerimaan Pajak Provinsi yang diperuntukkan bagi Kabuapten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan tersebut diatas maka dapat ditarik kesimpulan antara lain : 1. Pelaksanaan pemungutan pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah. Dalam pelaksanaan sistem pemungutan pajak ada 3 (tiga) macam yaitu : a. Official Assessment System Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak berdasarkan UU pemerintah (fiskus) diberi untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Dengan ciri-ciri sebagai berikut : (a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada fiskus; (b) Wajib pajak bersifat menunggu (pasif); (c) Utang pajak yang harus dibayar olh wajib pajak timbul setelah diterbitkannya surat ketetapan pajak (SKP) oleh fiskus. b. Self Assessment System Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang berdasarkan UU memberikan epercayaan kepada wajib pajak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya dibidang perpajakan. Dengan ciri-ciri sebagai berikut : (a) Wajib Pajak (WP) menghitung dan memperhitungkan sendiri oleh WP, pajak yang harus dibayar/ pajak yang terutang; (b) Wajib pajak (WP) membayar / menyetor sendiri pajak yang harus dibayar / pajak Volume 12, No.1 Nop 2011 cxxviii yang terutang ke bank / Kantor Pos; (c) Wajib Pajak (WP) melaporkan sendiri pajak yang harus dibayar / pajak yang terutang; (d) Pemerintah (Fiskus) mengawasi pelaksanaan hak dan kewajiban WP di bidang perpajakan. c. With Holding System With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang berdasarkan UU memberi kepercayaan / wewenang kepada pihak ketiga (bukan pemerintah dan bukan WP yang bersangkutan) untuk memotong atau memungut pajak yang wajib dipotong/dipungut dari WP yang wajib membayarnya. Pihak ketiga wajib menyetorkan hasil pemotongan / pemungutan pajak tersebut. Dengan cirri-ciri sebagai berikut : (a) Pemotongan / Pemungutan pajak dilakukan oleh pihak ketiga (bukan pemerintah/bukan fiskus); (b) Pemotong / Pemungut pajak wajib menyetorkan hasil pemotongan /pemungutan pajak tersebut; (c) Pemerintah (fiskus) mengawasi pelaksanaan pemotongan / pemungutan dan penyetoran oleh pihak ketiga. 2. Bagi Hasil antara Pajak Provinsi dengan Kabupaten sebagaimana disebutkan dalam Pasal 94 UU PDRD adalah sebagai berikut : a. Hasil penerimaan Pajak Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) sebagian diperuntukkan bagi Kabupaten / Kota di wilayah provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan sebagai berikut : 1). hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diserahkan kepada Kabupaten / Kota sebesar 30 % (tiga puluh persen); 2). hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor diserahkan kepada Kabupaten / Kota sebesar 70 % (tujuh puluh persen); 3). hasil penerimaan Pajak Rokok diserahkan kepada Kabupaten / Kota sebesar 70 % (tujuh puluh persen); 4). hasil penerimaan Pajak air Permukaan diserahkan kepada Kabupaten / Kota sebesar 50 % ( puluh persen). b. Khusus untuk penerimaan Pajak Air Permukaan dari sumber air yang berada hanya pada 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota, hasil penerimaan pajak Air Permukaan dimaksud diserahkan kepada Kabupaten/Kota yang bersangkutan sebesar 80 % (delapan puluh persen); c. Bagian Kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan / atau potensi antar kabupaten/kota; d. Ketentuan lebih lanjut mengenai bagi hasil penerimaan Pajak Provinsi yang diperuntukkan bagi Kabuapten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi. SARAN Atas dasar perimbangan dalam kesimpulan di atas, maka penulis dapat kemukakan beberapa saran sebagai berikut: Volume 12, No.1 Nop 2011 cxxix a. Untuk pelaksanaan pemungutan Pajak, khususnya Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok, hendaknya perlu ditingkatkan sesuai dengan peraturan Undang-undang yang berlaku, sehingga akan dapat mewujudkan arah dan tujuan dari kebijaksanaan pembangunan yang jelas dan berhasil guna, disamping itu untuk memperlancar pembangunan di Kabupaten/Kota. b. Kegiatan-kegiatan yang mengandung unsur peningkatan kesadaran bagi wajib pajak (WP) hendaknya lebih ditingkatkan seperti diadakan penyuluhan/penerangan tentang Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok, demi lancarnya pembangunan daerah khususnya pada Kabupaten/Kota. Selain itu juga bisa memasang baliho (poster-poster) di tempat yang ramai dan sering dilewati masyarakat. cxxxVolume 12, No.1 Nop 2011 IMPLEMENTASI UU NO 3 TAHUN 2011 TENTANG TRANSFER DANA DALAM RANGKA MENUJU KEPASTIAN HUKUM BERTRANSAKSI DANA Oleh : AGUS TRI PURWANDI, SH, MH. ABSTRAK Kegiatan transfer dana di lndonesia telah menunjukkan peningkatan, baik dari jumlah transaksi, jumlah nilai nominal transaksi, maupun jenis media yang digunakan, perkembangan media transfer dana dan permasalahan yang terjadi, diperlukan pengaturan yang menjamin keamanan dan kelancaran transaksi transfer dana serta memberikan kepastian bagi pihak yang terkait dalam penyelenggaraan kegiatan transfer dana bahwa penyelenggaraan transfer dana yang aman, lancar dan memberikan kepastian bagi pihak terkait diharapkan dapat mewujudkan kelancaran sistem pembayaran nasional. Kegiatan transfer dana sudah menjadi bagian dari keseharian hidup sebagian besar masyarakat Indonesia. Media maupun mekanisme yang digunakan dalam melakukan kegiatan transfer dana juga sudah sangat beragam. Pihak yang menyediakan jasa transfer dana juga sudah bergerak dari yang dahulu didominasi oleh kalangan perbankan, sekarang mulai dilakukan pula oleh pihak selain bank, khususnya dalam jasa Kegiatan usaha pengiriman uang atau Kupu. Kata Kunci: Implementasi – Transfer Dana – Kepastian Hukum. PENDAHULUAN Setelah disetujui oleh seluruh fraksi mini dalam rapat Pansus DPR RI tentang Transfer dana pada tanggal 17 Februari 2011, Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 22 Februari 2011 akhirnya mengesahkan Rancangan undang-undang tentang transfer dana (RUU Transfer dana) yang diajukan oleh Pemerintah RI menjadi Undang-undang, pengesahan RUU transfer dana menjadi undang-undang ini menandai dimulainya era baru dalam penyelenggaraan transfer dana di Indonesia. Transfer Dana (untuk selanjutnya disingkat (UU-TD) dari konsideran UU-TD dapat diketahui yang menjadi pertimbangan dibentuknya UU-TD, yaitu bahwa kegiatan transfer dana di lndonesia telah menunjukkan peningkatan, baik dari jumlah transaksi, jumlah nilai nominal Volume 12, No.1 Nop 2011 cxxxi transaksi, maupun jenis media yang digunakan, bahwa seiring dengan peningkatan transaksi, perkembangan media transfer dana dan permasalahan yang terjadi, diperlukan pengaturan yang menjamin keamanan dan kelancaran transaksi transfer dana serta memberikan kepastian bagi pihak yang terkait dalam penyelenggaraan kegiatan transfer dana bahwa penyelenggaraan transfer dana yang aman, lancar dan memberikan kepastian bagi pihak terkait diharapkan dapat mewujudkan kelancaran sistem pembayaran nasional. Berikut Posisi dari UU-TD dikaitkan dengan UU laon di bidang sistem pembayaran yaitu : - UU Perbankan/ Perbankan Syariah : Kewenangan bank dan bank syariah melakukan kegiatan pemindahan dana. - UU LPS : Pengaturan Status dana transfer. - UU Kepailitan : Pengecualian prinsip zero hour rules damal sistem pembayaran. - UU Arbitrase dan ADR : Dasar hukum pengaturan dan pelaksanaan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. - UU Perlindungan Konsumen : Dasar hukum pengaturan dan penerapan prinsip perlindungan konsumen dalam SP. - UU Transfer Dana : Prinsip-prinsip transfer dana, pelaksanaan, perizinan, pengawasan, sanksi pidana dan administratif. - UU Perseroan Terbatas : Pengaturan bentuk penyelenggara sistem pembayaran , baik bank maupun non bank. - UU ITE : Pengakuan Dok/ Info elektronik sebagai bukti sah serta kriteria tanda tagan elektronik. - UU Pembentukan Per-UU-an: Pengakuan ketentuan BI dalam hierarki peraturan perundangan Indonesia. - UU Bank Indonesia : meletakkan dasar kewenangan BI sebagai regulator, licensor, operator dan overseer di bidang SP + Pengertian SP/ - UU TPPT : KYC dan laporan atas suspicious transaction dalam transfer dana. Sebagaimana kita ketahui, kegiatan transfer dana sudah menjadi bagian dari keseharian hidup sebagian besar masyarakat Indonesia. Media maupun mekanisme yang digunakan dalam melakukan kegiatan transfer dana juga sudah sangat beragam. Pihak yang menyediakan jasa transfer dana juga sudah bergerak dari yang dahulu didominasi oleh kalangan perbankan, sekarang mulai dilakukan pula oleh pihak selain bank, khususnya dalam jasa Kegiatan usaha pengiriman uang atau Kupu. Jika dilihat dari data statistik, transfer dana yang dilakukan melalui sistem Real Time Gross Settlement atau RTGS misalnya, rata-rata bulanannya pada satu tahun terakhir mencapai lebih dari Rp 5.OOO triliun per bulan. Belum lagi transfer yang dilakukan melalui kliring, yang rata-rata bulanannya pada satu tahun terakhir mencapai lebih dari Rp. 160 triliun per bulan, serta melalui alat pembayaran dengan menggunakan Volume 12, No.1 Nop 2011 cxxxii kartu yang mencapai lebih dari Rp. 2OO triliun setiap bulannya. Di sisi lain, sampai saat ini telah terdapat 78 penyelenggara transfer dana di luar perbankan, yang dikenal sebagai money remitters atau penyelenggara KUPU. Hal ini menunjukan perkembangan transfer dana yang teramat pesat di masyarakat. Perkembangan transfer dana tersebut menuntut adanya kepastian hukum yang efektif bagi seluruh pihak terkait. Ragam mekanisme dan penyelengara transfer dana membutuhkan adanya kesetaraan pengaturan hak dan kewajiban yang tegas, yang berlaku untuk semua pihak tanpa kecuali. Tuntutan-tuntutan tersebut dijawab dengan kehadiran Undang-Undang tentang Transfer Dana. Kehadiran Undang-Undang Transfer Dana memberikan kepastian hukum bagi pelaku kegiatan transfer dana dengan memberikan dasar pengaturan yang jelas mengenai hak dan kewajiban para pihak, baik bagi nasabah sebagai pengguna maupun bagi bank atau lembaga selain bank sebagai penyelenggara transfer dana. Adanya hak dan kewajiban yang jelas ini menjadi penting, karena dasar dari pelaksanaan kegiatan transfer dana adalah adanya perjanjian antara para pihak tersebut. Dalam UndangUndang Transfer Dana bahkan secara jelas diatur bahwa sarana perintah transfer dana yang disampaikan oleh nasabah pengirim dan telah diaksep oleh penyelenggara merupakan perjanjian yang sah dan mengikat. PERMASALAHAN Hal ini tentunya akan memberikan kepastian dan rasa aman bagi nasabah, bahwa dana yang ia transfer akan dikirimkan oleh penyelenggara secara bertanggung jawab. Di sisi lain, bagi bank dan lembaga selain bank sebagai penyelenggara, kehadiran Undang-Undang Transfer Dana juga memberikan kepastian mengenai bagaimana melaksanakan perintah transfer dana yang telah ia terima, serta apa yang menjadi hak dan kewajibannya dalam melaksanakan perintah transfer dana tersebut. PEMBAHASAN Pengaturan mengenai hak dan kewajiban para pelaku dalam undang-Undang Transfer Dana bersifat komprehensif, dimulai dengan pengaturan mengenai pemberian perintah transfer dana dari nasabah pengirim kepada penyelenggara pengirim, sampai dengan pengaturan mengenai penyampaian dana kepada nasabah penerima. Dalam materi pengaturan undang-undang ini juga dimuat beberapa pengaturan rinci, seperti informasi-informasi apa saja yang harus dilengkapi oleh seorang nasabah pengirim dalam sebuah perintah transfer dana. Kewajiban pengisian informasi oleh nasabah sesuai Undang-Undang Transfer Dana ini juga diatur sejalan dengan peraturan perundang-undangan terkait seperti Undang-Undang mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Volume 12, No.1 Nop 2011 cxxxiii Sinergi antara Undang-Undang Transfer Dana dengan UU TPPU ini dipandang sebagai dukungan yang penting dalam memerangi dan memberantas kejahatan pencucian uang dan pendanaan terorisme. Pengaturan penting lainnya yang dimuat dalam Undang-Undang Transfer Dana adalah adanya ketegasan mengenai siapakah yang dapat menjadi penyelenggara kegiatan transfer dana. Dalam Undang-Undang ini jelas disebutkan bahwa pihak yang dapat menjadi penyelenggara transfer dana adalah Bank dan badan usaha berbadan hukum Indonesia bukan Bank. Selain memberikan kesetaraan level of playing field bagi para penyelenggara kegiatan transfer dana, juga ditujukan untuk meningkatkan rasa aman dan nyaman pengguna jasa transfer dana. Selain itu, dengan ditetapkannya pengaturan bahwa kegiatan transfer dana harus dilakukan oleh Bank atau badan usaha berbadan hukum, maka tingkat layanan dan tanggung jawab penyelenggara dalam melaksanakan kegiatannya diharapkan menjadi meningkat. Dengan meningkatnya tanggung jawab penyelenggara, maka kepastian dalam penyelesaian transfer dana diharapkan juga akan meningkat. Hal lainnya yang tak kalah penting adalah pengaturan mengenai alat bukti dan beban pembuktian dalam transfer dana, serta aturan pemidanaan untuk kejahatan transfer dana. Sejalan dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-undang Transfer Dana mengatur bahwa informasi elektronik dalam transfer dana, dan/atau hasil cetaknya, merupakan alat bukti yang sah, Di sisi lain, untuk lebih melindungi masyarakat pengguna, maka Undang-Undang Transfer Dana meletakkan beban pembuktian kepada pihak penyelenggara yang memiliki sistem transfer dana. Selain itu, untuk mencegah dan menimbulkan efek jera, Undang-Undang Transfer Dana mengatur kembali aspek pemidanaan untuk kejahatan transfer dana. Dengan demikian, ketentuan pidana dalam Undang-Undang Transfer Dana bersifat Lex Specialist dari pidana umum sebagaimana diatur dalam KUHP. Serangkaian pengaturan dalam undang-undang Transfer Dana merupakan upaya dalam memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan transfer dana. Dengan adanya kepastian hukum, diharapkan hal tersebut dapat meningkatkan rasa aman dan nyaman dalam penyelenggaraan transfer dana, baik dari sisi penyelenggara maupun dari sisi pengguna. Dengan demikian, diharapkan nilai transaksi transfer dana juga akan meningkat, yang pada akhirnya dapat mendorong dan meningkatkan perekonomian Indonesia. Kiriman uang dari luar negeri ke lndonesia khususnya oleh TKI seperti pada salah satu harian di Jawa Tengah menunjukkan angka yang cukup menakjubkan. Kiriman uang atau remitansi TKI dari luar negeri ke Tanah Air hingga Oktober 2011 mencapai 5,6 milyar dollar AS atau sekitar 55,4 triliun rupiah yang berasal dari Timur Tengah, Asia Pasifik, AS, Eropa, dan Australia. Uang tersebut dikirim melalui jasa perbankan. Perinciannya, dari TKI di Timur Tengah 2,2 milyar dollar AS, Asia Pasifik 3,2 dollar AS, AS 111,7 juta dollar AS, serta Eropa dan Australia 19,5 dollar AS (Suara Volume 12, No.1 Nop 2011 cxxxiv Merdeka, 10-12-2011:4). Pengiriman uang atau remitansi oleh TKI ada yang dikirim melalui kurir khusus di samping menggunakan jasa keuangan non perbankan. Menurut Prof Sudarto "Politik Hukum" adalah kebijaksanaan dari negara dengan perantaraan badan-badan yang benrenang untuk menetapkan peraturan, peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Pembentukan undang-undang merupakan proses sosial dan proses politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh yang luas, karena itu (undang-undang) akan memberi bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang-Undang oleh penguasa digunakan untuk mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan sesuai dengan yang dicita-citakan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa undang-undang mampunyai dua fungsi, yaitu; a. Fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai, dan b. Fungsi instrumental. Berpijak pada kedua fungsi hukum di atas, maka dapat dikatakan bahwa hukum bukan merupakan suatu tujuan, melainkan sebagai sarana untuk mewujudkan apa yang dicitacitakan. lni berarti, apabila kita mau membicarakan “Politik Hukum di lndonesia", maka mau tidak mau kita harus memahami terlebih dahulu "apa yang menjadi cita-cita dari bangsa lndonesia merdeka". Cita-cita inilah yang harus diwujudkan melalui sarana undang-undang (hukum). Dengan mengetahui masyarakat yang bagaimana yang dicitacitakan oleh bangsa lndonesia, maka dapat ditentukan "sistem hukum" yang bagaimana yang dapat mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan tersebut, dan sekaligus juga dapat dicari politik hukum yang bagaimana yang dapat mendorong terciptanya sistem hukum yang mampu menjadi sarana untuk mewuiudkan masyarakat yang dicita-citakan oleh bangsa lndonesia. UU-TD memberikan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang melakukan kegiatan transfer dana baik pihak dalam negeri maupun luar negeri dan memberikan rasa aman bagi kegiatan transfer dana tidak hanya di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik lndonesia serta dari dalam ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik ndonesia dan sebaliknya, sehingga berdampak pada meningkatnya transaksi transfer dana yang pada akhirnya akan mendorong kelancaran perkembangan ekonomi tanah air. Asas perlindungan ini terlihat dari ketentuan Pasal 2 UU-TD yang menentukan Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku untuk : a. Transfer Dana antar-Penyelenggara atau intra-Penyelenggara dalam rupiah atau valuta asing yang Penyelenggara Pengirim dan Penyelenggara Penerima seluruhnya berada di wilayah Negara Kesatuan Republik lndonesia; dan/atau b. Transfer Dana antar-Penyelenggara atau intra-Penyelenggara ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik lndonesia atau dari wilayah Negara Kesatuan Republik lndonesia yang melibatkan Penyelenggara di lndonesia baik Volume 12, No.1 Nop 2011 cxxxv sebagai Penyelenggara Pengirim Asal, Penyelenggara Penerus, maupun Penyelenggara Penerima Akhir, sepanjang Perintah Transfer Dana telah atau masih berada di wilayah Negara Kesatuan Republik lndonesia. UU-TD dalam rangka pembuktian dan beban pembuktian dalam kegiatan transfer dana mengatur sendiri dan beban pembuktian jika terjadi keterlambatan atau kesalahan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 76, Pasal 77, dan Pasal 78. - Pasal 76 UU-TD : (1) lnformasi elektronik, dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya dalam kegiatan Transfer Dana merupakan alat bukti yang sah. (2) lnformasi elektronik, dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku. - Pasal 77 UU-TD : Tanda tangan elektronik dalam kegiatan Transfer Dana memiliki kekuatan hukum yang sah. - Pasal 78 UU-TD : Dalam hal terjadi keterlambatan atau kesalahan Transfer Dana yang menimbulkan kerugian pada Pengirim Asal atau penerima, Penyelenggara dan/atau pihak lain yang mengendalikan Sistem Transfer Dana dibebani kewajiban untuk membuktikan ada atau tidaknya keterlambatan atau kesalahan Transfer dana tersebut. Dengan demikian, terdapat perluasan mengenai alat-alat bukti yang selama di diatur dalam hukum acara yang berlaku (Hukum Acara Pidana maupun Hukum Acara Perdata). Kebijakan Kriminal dalam UU No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana {UU-TD). Dalam rangka menanggulangi perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain atau pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan Transfer Dana tidak bisa lepas dari pembicaraan "kebijakan kriminal" atau criminal policy". Guna memberikan pemahaman mengenai kebijakan kriminal ini akan dikemukakan pengertian yang dberikan oleh Hoefnagels, sebagai berikut : "Criminal Policy is the science of crime prevention .,.. Criminal Policy as a science of policy is part of a larger policy : the law enforcement policy ..,.. Criminal policy is also manifest as science and as application The legislative and enforcement policy is ini turn part of social policy" {Hoefnagels, 1 969:58). Dengan pernyataan bahwa "Criminal policy as a part of social policy", menurut Muladi sangat penting dan akan dapat menghindarkan hal-hal sebagai berikut: a. Pendekatan kebijakan sosial yang terlalu berorientasi pada "social welfare" dan kurang memperhatikan "social defence policy". b. Keragu-raguan untuk selalu melakukan evaluasi dan pembaharuan terhadap produk-produk legislatif yang berkaitan dengan perlindungan sosial yang merupakan sub sistem dari "national social defence policy". Volume 12, No.1 Nop 2011 cxxxvi c. Perumusan kebijakan sosial yang segmental, baik nasional maupun daerah, khususnya dalam kaitan dengan dimensi kesejahteraan dan perlindungan. Pemahaman bersama akhir-akhir ini terhadap UU Pemerintahan di Daerah (sekarang Pemerintahan Daerah) merupakan langkah yang baik untuk meningkatkan koordinasi. d. Pemikiran yang sempit tentang kebijakan kriminal, yang seringkali hanya melihat kaitannya dengan penegakan hukum pidana. Padahal sebagai bagian dari kebijakan sosial, penegakan hukum pidana merupakan sub sistem pula dari penegakan hukum dalam arti luas yang meliputi penegakan hukum perdata dan penegakan hukum administrasi. e. Kebijakan legislatif ("legislative policy") yang kurang memperhalikan keserasian aspirasi baik dari suprastruktur, infrastruktur, kepakaran maupun pelbagai kecendrungan internasional (Muladi, 1gg7:gT). Pemerintah lndonesia bersama-sama DPR seperti telah dikemukakan di atas, telah berhasil membentuk UU-TD, di mana dalam UU-TD ini membuktikan adanya peranan hukum di bidang perekonomian, sehingga dapat dikatakan sebagai ikut campur pemerintah atau penguasa di bidang perekonomian dengan cara mengeluarkan peraturan yang oleh Sudarto disebut "hukum perekonomian sosial" yang dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan khususnya yang dibuat oleh pemerintah atau badan pemerintah, yang secara langsung atau tidak langsung bertujuan untuk mempengaruhi perbandingan ekonomi di pasar-pasar. Pasar dalam arti pertemuan antara penawaran dan permintaan (Sudarto, 1986:73). Peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi ini seperti halnya peraturan perundang-undangan di bidang lainnya perlu ditegakkan, mengingat setiap peraturan yang dikeluarkan pasti ada yang melanggarnya. penegakan peraturan perundang-undangan pada umumnya dengan menetapkan sanksi yang akan dikenakan kepada para pelanggarnya. pada umumnya peraturan perundang-undangan (hukum) mengenal tiga sistem sanksi yang dapat digunakan oleh aparat penegak hukum ialah sistem sanksi hukum perdata, sistem sanksi hukum administrasi, dan sistem sanksi hukum pidana. UU-TD di dalam mempertahankan norma-norma di bidang Transfer Dana, nampaknya menggunakan ketiga sistem sanksi tersebut, seperti adanya sanksi berupa cara pembayaran besarnya jasa, bunga atau kompensasi serta sanksi administrasi berupa (a) teguran tertulis, (b) denda administratif, (c) pembekuan sementara kegiatan usaha Transfer Dana, atau (d) pencabutan izin kegiatan usaha Transfer Dana. Kewenangan ini ada pada Bank lndonesia. Fenomena akhir-akhir ini termasuk UU-TD menampilkan satu Bab tentang "Ketentuan Pidana", hal ini menunjukkan sanksi hukum pidana dipanggil guna mempertahankan norma-norma administratif. lni berarti terjadi pergeseran fungsi sanksi Volume 12, No.1 Nop 2011 cxxxvii pidana dari semula "ultimum remedium" menjadi "primum remedium" yang sangat tergantung pada pilihan pembentuk peraturan perundang-undangan. Ketentuan pidana dalam UU-TD diatur dalam Bab Xll dari Pasal 79 sampai dengan Pasal 88, yang untuk lengkapnya sebagaimana paparan berikut ini. a. Pasal 79 UU -TD (1) Subjeknya : Setiap orang. - Perbuatan yang dilarang : melakukan kegiatan penyelenggaraan - Transfer Dana tanpa izin dalam Pasal 69 (1). - Ancaman pidana berupa pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak tiga milyar rupiah. (2) Sanksi lain di samping pidana berupa wajib menghentikan seluruh kegiatan penyelenggaraan Transfer Dana. b. Pasal 80 UU -TD (1) Subjeknya : Setiap orang. - Perbuatan yang dilarang : secara melawan hukum membuat atau menyimpan sarana Perintah Transfer Dana -dengan maksud untuk menggunakan atau menyuruh orang lain untuk menggunakan. . Ancaman pidana berupa pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak 2 milyar rupiah. (2) Subjeknya : Setiap orang. - Perbuatan yang dilarang : menggunakan dan/atau menyerahkan sarana Perintah Transfer Dana sebagaimana ayat (1). - Ancaman pidana berupa pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak 4 milyar rupiah. KESIMPULAN 1. 2. 3. UU transfer dana menunjukkan adanya politik hukum pemerintah yang memberikan rasa aman, dan keyakinan bagi pihak-pihak yang melakukan kegiatan transfer dana baik dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang terlibat. UU – TD memperluas keberlakuan atau ruang lingkup berlakunya tidak hanya terbatas pada wilayah NKRI, tetapi juga di luar wilayah NKRI sepanjang perintah transfer dana dilakukan di wilayah NKRI. UU – TD memberikan wewenang kepada Bank Indonesia guna melaksanakan beberapa ketentuan dalam pasal-pasal UU-TD denga bentuk peraturan Bank Indonesia. Volume 12, No.1 Nop 2011 cxxxviii 4. 5. Sasaran UU-TD tidak hanya pihak-pihak yang melakukan kegiatan transfer dana perseorangan tetapi juga korporasi. Dalam UU-TD khususnya berkaitan yang berkaitan dengan ketentuan pidana, tidak ada pasal yang mengkualifikasi tindak pidana transfer dana sebagai kejahatan atau pelanggaran, sehingga membawa konsekuensi yuridis dalam hal adanya percobaan, kadaluawarsa dan sebagainya. SARAN 1. 2. Dengan diberlakukannya Undang-undang transfer dana saya mengharap, adanya kepastian hukum yang lebih baik lagi terhadap para nasabah perseorangan maupun korporasi agar mendapatkan pelayanan dan jawaban yang memuaskan terhadap perbuatan administrasi yang dilakukan oleh pihak perbankan yang berorientasi hanya kepada nilai profit atas lembaganya saja. Undang-undang Transfer dana dalam mempertahankan norma-normanya agar ditaati oleh pihak-pihak yang melakukan transfer dana dengan menggunakan tiga sistem sanksi, yaitu Sistem sanksi hukum perdata, Sistem Sanksi hukum administrasi, dan Sistem Sanksi pidana. Volume 12, No.1 Nop 2011 cxxxix PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN Oleh : Anni Puji Astutik, S.H., MH. ABSTRAK Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara Indonesia terbesar, pada tahun 2006 porsenteasenya mencapai 80% dibandingkan dengan sumber pendapatan yang lain. Semakin besar pendapatan yang melalui pajak seimbang dengan permasalahan yang ada dalam perpajakan itu sendiri. Permaslahan yang sering terjadi adalah kejahatan/tindak pidana dalam perpajakan yang sering dilakukan oleh wajib pajak itu sendiri atau oleh fiskus pejabat dalam pajak atau bekerja sama antara fiskus dengan wajib pajak untuk bersama-sama melakukan kejahatan/tindak pidana pajak. Unsur kealpaan (yaitu ketidaksengajaan, kelalaian, ketidakhati-hatian, kurang mengindahkan kewajibannya dalam perpajakan), ini sifatnya masih pelanggaran perpajakan. Sedangkan unsur kesengajaan (dengan sengaja melakukan pelanggaran atas ketentuan perundang-undangan perpajakan), hal ini sifatnya sudah kejahatan/pidana perpajakan. Terhadap unsur kesengajaan atau kejahatan/tindak pidana ini perlu dilakukan tindakan yang tegas dari pemerintah karena berakibat pada kelangsungan negara, sehingga kejahatan ini digolongkan dalam tindak pidana luar biasa. Upaya penegakan hukum dilakukan melalui Pemeriksaan, Penagihan dan Penyidikan. Dimana sasarannya ditujukan pada Wajib Paja, Fiskus dan Pedoman Kode Etik dalam perpajakan. Kata kunci: penegakan hukum, tindak pidana, pajak PENDAHULUAN Pajak merupakan gejala dalam masyarakat, artinya pajak hanya terdapat dalam masyarakat. Jika tidak ada masyarakat maka tidak akan ada pemungutan pajak. Masyarakat adalah kumpulan manusia yang pada suatu waktu berkumpul disuatu tempat dengan tujuan tertentu. Negara adalah masyarakat yang mempunyai tujuan bersama, tujuan dan citacita bangsa Indonesia tersirat dalam landasan ideologi Pancasila sila 5 yaitu cxl Volume 12, No.1 Nop 2011 mewujudkan negara yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut negara membutuhkan biaya. Dalam menjalankan roda pemerintahan dan biaya pembangunan, maka setiap negara membutuhkan dana yang cukup banyak, sebagai syarat mutlak agar pembangunan bisa berjalan lancar dan berhasil. Dana tersebut dikumpulkan dari segenap potensi sumber-sumber penghasilan yang dimiliki oleh negara, seperti di Indonesia sumber-sumber penghasilan terdiri dari : Bumi, air dan kekayaan alam Pajak-pajak, bea dan cukai Retribusi Sumbangan Hasil perusahaan negara Sumber-sumber lain Menurut pendapat Rochmat Soemitro, dari ke-6 sumber penghasilan negara yang merupakan sumber utama untuk membiayai publik investement adalah pajak. Penerimaan pajak mempunyai peranan yang sangat penting sebagai salah satu sumber pendapatan negara terbesar, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan negara. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang diberlakukan oleh hampir seluruh Negara di dunia. Selain sebagai salah satu sumber penerimaan Negara, pajak juga bermanfaat sebagai alat pemerataan pendapatan dan pendorong investasi. Namun masih rendahnya pemahaman masyarakat akan pajak menyebabkan pajak masih dianggap sebagai suatu beban, sehingga seringkali ditemukan wajib pajak yang tidak melunasi pajak yang menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Wajib pajak sering berupaya untuk menghindari pajak yang dikenakan kepadanya, hal ini tentunya merugikan Negara karena Negara akan kehilangan potensi pemasukan dari sektor pajak. Berbicara tentang Kejahatan di Bidang Perpajakan, hal tersebut tidak akan terlepas dari pengertian tentang Tindak Pidana Perpajakan itu sendiri, yakni suatu perbuatan yang berhubungan dengan tindak kejahatan di bidang perpajakan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana sesuai ketentuan Undang-undang yang berlaku. Biasanya kejahatan perpajakan ini dilakukan tanpa kekerasan, sehingga kejahatan ini masuk dalam kelompok kejahatan jenis Concursus Idealis, artinya memiliki basis dasar dari kejahatan tertentu seperti: penggelapan, penipuan, pemalsuan dan pencurian dsb. Kejahatan/tindak pidana perpajakan ini dapat disebut pula kejahatan luar bisa (Extra Ordinary Crimes), atau lebih familiar disebut pula sebagai kejahatan kerah putih (White Collar Crime), yang mana kejahatan/tindak pidana perpajakan ini agak sulit diditeksi karena dilakukan oleh orang-orang yang sangat piawai (skill person), kadang kala kejahatan ini dilakukan oleh orang-orang di luar Institusi pajak itu sendiri, atau juga dapat dilakukan bersama-sama (berkolusi) dengan orang-orang yang terkait dengan Intitusi Perpajakan dengan berselimut Yuridis Formil baik bersama-sama dengan Volume 12, No.1 Nop 2011 cxli pemufakatan jahat dengan Wajib Pajak, baik sebagai pelaku utama, pelaku pembantu, pelaku penyuruh maupun pelaku intelektualnya. Di samping itu hasil dari kejahatan perpajakan ini, nilainya sangat material, yang diperkirakan kerugian negara akibat kejahatan/tindak pidana perpajakan bisa mencapai puluhan bahkan ratusan trilyun rupiah, suatu nilai yang sangat material bagi pembiayaan suatu negara seperti Indonesia. Oleh karena Perpajakan di Indonesia tersebut merupakan sesuatu yang terkait dengan unsur tulang punggung penerimaan negara (80% penerimaan APBN 2005), jika hal ini tidak ditangani dengan serius, maka kejahatan di bidang perpajakan ini jelas-jelas akan mengurangi potensi penerimaan negara di APBN bahkan bisa mengganggu kestabilitasan negara nantinya. Banyak kalangan yang sampai dengan saat sekarang masih mempunyai pemikiran bahwa kejahatan (khususnya KKN) bisa terjadi karena adanya penyelewengan/penggelapan dari sisi pengeluaran keuangannya saja, padahal banyak hal dari Kejahatan/KKN tersebut terjadi/bersumber dari penyelewengan dari sisi penerimaanya yakni dari hilangnya suatu potensi penerimaan negara atau potensi penerimaan negara tersebut belum tergali dan diselewengkan/dikorupsi oleh oknumoknum yang bermain dalam aspek perpajakan ini, sehingga potensi penerimaan Negara khususnya dari aspek pajak ini akhirnya tidak masuk ke kas negara sebagai mana mestinya. Namun apapun bentuknya kejahatan di bidang perpajakan ini, harus dapat dijerat dengan Undang-undang Khusus (UU Perpajakan yang bersifat Lex Specialis) maupun Undang-undang umum/KUHP & KUHAP (Lex Generalis), akan tetapi permasalahannya sekarang adalah apakah sistem perpajakan yang ada di Indonesia serta Law Enforcement atas Undang-undang tersebut terhadap keiahatan perpajakan itu sendiri sudah cukup efektif sehingga bisa berdaya guna dalam pencesahan keiahatan perpajakan itu nantinya Kondisi ini membuat diperlukannya ketegasan terhadap wajib pajak dalam pemungutan pajak dengan menerapkan ketentuan hukum (law enforcement) sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Adanya kekuatan hukum mengikat dalam bentuk undang-undang menjadikan pajak memiliki sifat dasar dipaksakan yang berarti apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban pembayaran pajak, maka dapat dikenai sanksi terhadapnya. Oleh karena itu peran negara sangatlah penting dalam upaya penegakan hukum terhadap permasalahan-permasalahan di bidang perpajakan. Permasalahan dalam pajak akan berakibat pada penerapan sanki terhadap pelakunya. Dalam hukum pajak disamping sanki administratif terdapat juga sanki pidana. Sanki administratif dijatuhkan oleh administrasi untuk pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya ringan dan diberikan dalam bentuk denda. Sedangkan sanki pidana dijatuhkan untuk pelanggaran-pelanggaran pidana dan kejahatan. Dan untuk mengetahui telah terjadinya suatu tindak pidana di bidang perpajakan maka perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Khusus untuk pemeriksa pajak adalah PNS di lingkungan DJP atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak yang diberi tugas cxliiVolume 12, No.1 Nop 2011 wewenang, dan tanggungjawab untuk melaksanakan pemeriksaan di bidang perpajakan. Tujuan pemeriksaan yaitu untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepada wajib pajak. Tujuan lainnya adalah dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Ruang lingkup pemeriksaan meliputi pemeriksaan lapangan terhadap suatu jenis pajak atau seluruh jenis pajak, untuk tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya lain yang dilakukan di tempat wajib pajak, dan pemeriksaan kantor terhadap suatu jenis pajak tertentu baik tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak. Sebenarnya hukum pidan fiskal itu bukan merupakan hukum pidana khusus, seperti Undang-undang anti korupsi atau Undang-undang subversi, melainkan merupakan hukum pidana umum terhadap tindak pidana yang dilakukan dalam bidang perpajakan. Sebetulnya ancaman terdapat dalam KUHP, dan tidak perlu diatur lagi secara khusus dalam Undang-undang pajak. Tetapi dalam UU no.28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga Undang-undang Nomor . 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum tata cara perpajakan, mencantumkan dalam pasal 38 sampai pasal 43 A. Ketentuan-ketentuan pidana dicantumkan dalam UU no. 28 Tahun 2007 ialah karena sanki pidana yang dicantumkan adalah lebih ringan atau lebih berat dari pada yang dicantumkan dalam KHUP. Sebagai contoh ancaman lebih ringan dapat penulis kemukakan, bahwa menyampaikan dengan sengaja surat pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar (palsu atau dipalsukan) dalam KUHP pasal 242 diancam dengan pidan penjara paling lama 7 tahun. Sedangkan dalam pajak setiap orang yang karena kealpaannya pasal 38 UU no. 28 Tahun 2007 menyebutkan bahwa: “Setiap orang yang karena kealpaannya: tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.” Contoh ancaman yang lebih berat dapat penulis kemukakan, jika pelanggaran rahasia jabatan dalam KUHP (pasal 322 ) diancam dengan pidana penjara paling lama 9 Volume 12, No.1 Nop 2011 cxliii bulan atau pidana denda paling tinggi paling tinggi 9 ribu rupiah. Sedangkan dalam pajak pasal 41(ayat 2) UU no. 28 Tahun 2007 “Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyeba dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana pen lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).” DASAR HUKUM (UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN) DAN TERJADINYA KEJAHATAN/TINDAK PIDANA PERPAJAKAN. Definisi tindak pidana perpajakan secara jelas dapat dilihat pada penjelasan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Berikut kutipan lengkapnya: “Yang dimaksud dengan “tindak pidana perpajakan” adalah informasi yang tidak benar mengenai laporan yang terkait dengan pemungutan pajak dengan menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi yang isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan keterangan yang tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada negara dan kejahatan lain yang diatur dalam undang-undang yang mengatur perpajakan.” Di dalam Undang-undang perpajakan no.28 tahun 2007 (perubahan ketiga atas UU no 6 tahun 1983, tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan), diatur bebarapa pasal yang menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan terjadinya dan sanki-sanki atas pidana perpajakan yakni dalam pasal 38 sampai 43 A, yang intinya dapat penulis ikhtisarkan sebagai berikut. kejahatan/tindak pidana perpajakan dapat terjadi dikarenakan: Adanya unsur kealpaan (yaitu ketidaksengajaan, kelalaian, ketidakhati-hatian, kurang mengindahkan kewajibannya dalam perpajakan), ini sifatnya masih pelanggaran perpajakan. Adanya unsur kesengajaan (dengan sengaja melakukan pelanggaran atas ketentuan perundang-undangan perpajakan), hal ini sifatnya sudah kejahatan/pidana perpajakan. Unsur kealpaan (pada point no. 1) dalam perpajakan terjadi dalam hal: Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) ke Direktorat Jenderal Pajak. Menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar/tidak lengkap/melampirkan keterangan yang isinya tidak benar Atas kealpaan yang menimbulkan kerugian negara, pelakunya dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun, dan / atau denda paling tinggi 2 kali jumlah pajak terutang. Unsur kesengajaan dalam perpajakan terjadi dalam hal: cxlivVolume 12, No.1 Nop 2011 Tidak mendaftarkan diri sebagai WP/PKP, atau menyalahgunakan/menggunakan tanpa hak NPWP/Pengukuhan PKP. Tidak menyampaikan SPT. Menyampaikan SPT / keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu / dipalsukan seolah-olah benar. Tidak menyelenggarakan pembukuan / pencatatan, tidak memperlihatkan / tidak meminjamkan buku, catatan, dokumen lainnya. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong / dipungut. Atas unsur kesengajaan di atas yang menimbulkan kerugian negara, pelakunya dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 tahun, dan / atau denda paling tinggi 4 kali jumlah pajak terutang. Ancaman pidana tersebut bagi wajib pajak yang bertindak tidak jujur. Jika dilihat uraian yang menjadi dasar hukum atas kejahatan/pidana perpajakan sangatlah jelas sekali penyebab terjadinya dan konsekuensi hukumnya. Oleh karena itu jika sistem perpajakan ini sudah bisa memberikan iklim yang kondusif bagi "insan perpajakan" dalam melaksanakan tugas dan perannya dalam berusahan, sehingga tidak ada alasan lagi bagi wajib pajak untuk tidak memenuhi segala sesuatu yang menjadi kewajibannya, begitu juga dengan aparat pajak/fiscusnya dalam melaksanakan kewajibannya dalam fungsi pelayanan publik serta dalam penegakan hukum pajak itu sendiri (Law Enforcement). Dalam waktu belakangan ini terdapat beberapa kasus pajak yang diajukan dihadapan pengadilan dan telah dijatuhi hukuman berat. Hal ini memberikan dampak psikologis kepada masyarakat, sehingga banyak orang ketakutan, dan dengan senang hati mengajukan permohonan pengampunan pajak. LAW ENFORCEMENT DALAM PERPAJAKAN Reformasi perpajakan di Indonesia dimulai dengan diterapkannya sistem self assessment (kesadaran diri sendiri). Sistem ini menghendaki setiap Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Dengan demikian pelaksanaan kewajiban perpajakan berawal dari wajib pajak sendiri. Namun demikian perhitungan, pembayaran atau penyetoran, dan pelaporan pajak yang terutang tetap harus sesuai dengan UU perpajakan. Dalam sistem self assessment, pelaksanaan kewajiban perpajakan diawali dari wajib pajak. Mulai dari mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP , mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak , dan melaporkan pajak yang terutang yang timbul karena adanya surat ketetapan pajak. Volume 12, No.1 Nop 2011 cxlv Secara umum dapat dikatakan kewajiban fiskus (atau DJP sebagai lembaga) di bidang law enforcement adalah mengawasi agar proses dan pelaksanaan sistem self assessment tetap berada pada koridor peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Pilar utama penerapan law enforcement di bidang perpajakan adalah kegiatan pemeriksaan, penyidikan, dan penagihan pajak. Jadi kegiatan pemeriksaan, penyidikan, dan penagihan pajak harus dilihat sebagai upaya DJP (yang telah diamanatkan UU perpajakan) dalam menjalankan fungsinya secara konsisten dan konsekuen, baik oleh Wajib pajak maupun oleh aparat DJP sendiri. Bagaimana dengan fiskus dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum (law enforcer) utama di bidang perpajakan? UU perpajakan kita juga telah “menyediakan” seperangkat ketentuan yang harus dilaksanakan oleh fiskus dalam rangka melaksanakan UU perpajakan. Misalnya, pasal 17 Undang-undang no. 28 tahun 2007 mensyaratkan Dirjen pajak untuk melakukan pemeriksaan lebih dahulu sebelum menertibkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB). Artinya apabila ada SKPLB yang diterbitkan tanpa melalui pemeriksaan, dapat dikatakan Dirjen pajak tidak melaksanakan hukum sesuai dengan yang dimaui oleh UU dalam hal ini UU KUP. Dalam pelaksanaannya, law enforcement di bidang perpajakan harus dilihat secara luas baik dari sisi wajib pajak maupun dari sisi fiskus sebagai law enforcer utama di bidang perpajakan. Secara garis besar law enforcement terhadap wajib pajak dilakuakan oleh fiskus melalui kegiatan pemeriksaan, penyidikan, dan penagihan pajak. PEMERIKSAAN Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa.Wajib Pajak yang diperiksa wajib : memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan cxlviVolume 12, No.1 Nop 2011 memberikan keterangan lain yang diperlukan. Tujuan dari pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, dan dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dapat dialikukan melalui pemeriksaan kantor atau pemeriksaan lapangan. Pemeriksaan dilakukan sesuai standar umum pemeriksaan, telah mendapatkan pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup serta memiliki keterampilan sebagai pemeriksa pajak dan menggunakan keterampilannya secara cermat dan seksama, jujur dan bersih dari tindakan-tindakan tercela serta senantiasa mengutamakan kepentingan Negara, taat terhadap peraturan perundangan-undangan, termasuk taat terhadap batasan waktu yang ditetapkan. Ruang lingkup pemeriksaan meliputi pemeriksaan lapangan terhadap suatu jenis pajak atau seluruh jenis pajak, untuk tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya lain yang dilakukan di tempat wajib pajak, dan pemeriksaan kantor terhadap suatu jenis pajak tertentu baik tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak. Pemeriksaan Bukti Permulaan Dalam pemeriksaan tindak pidana di bidang perpajakan terdapat pemeriksaan bukti permulaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Pemeriksaan bukti permulaan dilakukan oleh Kantor Wilayah atau Direktorat Intelijen dan Penyidikan. Berdasarkan hasil pemeriksaan bukti permulaan dapat diketahui tindak lanjut yang harus dilakukan. Tindak lanjut dari pemeriksaan bukti permulaan adalah yaitu diusulkan dilakukannya penyidikan, atau tindakan lain berupa: penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKP), pembuatan laporan tindak pidana selain tindak pidana di bidang perpajakan yang akan diteruskan kepada pihak yang berwenang, pembuatan laporan sumir apabila wajib pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya, pembuatan laporan sumir apabila tidak ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan. Bahan baku Pemeriksaan Bukti Permulaan sebenarnya berasal dari usulan Kantor Pelayanan Pajak dan pengaduan masyarakat. Setidaknya inilah praktek yang terjadi saat ini. Tetapi tidak semua usulan dari Kantor Pelayanan Pajak diterima dan langsung diperiksa oleh Kanwil DJP. Ada juga yang ditolak karena dianggap tidak layak dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Kalau di Bandung dan beberapa Kanwil, setiap pengusul harus melakukan pemaparan dihadapan tim pemeriksa Kanwil. Setelah itu, diputuskan diterima, atau ditunda dulu atau ditolak. Apabila dari bukti permulaan tidak menunjukkan adanya tindak pidana yang dilakukan wajib pajak, maka secara otomatis kasus tersebut akan ditutup. Volume 12, No.1 Nop 2011 cxlvii PENAGIHAN Penagihan adalah Penagihan pajak adalah serangkaian tidakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang-barang yang telah disita. Penagihan Pajak dibagi 2 yaitu penagihan pajak Pasif dan penagihan pajak aktif. Penagihan pajak pasif dilakukan dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan yang menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar, Surat Keputusan Keberatan yang menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar, Surat Keputusan Banding yang menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar. Jika dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tidak dilunasi, maka 7 (tujuh) hari setelah jatuh tempo akan diikuti dengan penagihan pajak secara aktif yang dimulai dengan menerbitkan surat teguran. Penagihan Pajak Aktif merupakan kelanjutan dari penagihan pajak aktif, dimana dalam upaya penagihan ini Fiskus berperan aktif dalam arti tidak hanya mengirim surat tagihan atau surat ketetapan pajak, tetapi akan diikuti dengan tindakan sita dan dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang. Tahapan Penagihan Pajak meliputi: Surat Teguran , Apabila utang pajak yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, tidak dilunasi sampai melewati tujuh hari dari batas waktu jatuh tempo (satu bulan sejak tanggal diterbitkannya). Surat Paksa Apabila utang pajak tidak melunasi setelah 21 (dua puluh satu) hari dan tanggal surat teguran, maka akan diterbitkan Surat Paksa yang disampaikan oleh Juru Sita Pajak Negara dengan dibebani biaya penagihan paksa sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah, utang pajak harus dilunasi dalam waktu 2 x 24 jam. Surat Sita Apabila utang pajak tidak juga dilunasi dalam waktu 2 x 24 jam dapat dilakukan tindakan penyitaan atas barang-barang WP, dengan dibebani biaya pelaksanaan sita sebesar Rp 100.000,00 (Seratus ribu rupiah). Lelang Dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah tindakan peyitaan, utang pajak belum dilunasi maka akan dilanjutkan dengan tindakan pelelangan melalui Kantor Lelang Negara. Dalam hal biaya penagihan paksa dan biaya pelaksanaan sita belum dibayar maka akan dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan untuk mengumumkan lelang dalam surat kabar dan biaya lelang pada saat pelelangan. PENYIDIKAN Penyidikan Tindak Pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan Volume 12, No.1 Nop 2011 cxlviii bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Wewenang Penyidik meliputi: menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan menghentikan penyidikan Penghentian Penyidikan dapat dilakukan jika dalam hal tidak terdapat cukup bukti, peristiwa yang disidik bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, peristiwanya telah daluwarsa, tersangkanya meninggal dunia, untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dengan syarat wajib pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang di bayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan ditambah sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah. Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan Wajib Pajak (WP), sepanjang menyangkut pelanggaran ketentuan administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut tindak pidana dibidang perpajakan dikenakan sanksi pidana. Sanksi Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan a. Setiap orang yang karena kealpaannya : tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan ata denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. b. Setiap orang yang dengan sengaja : tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan, atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) tidak menyampaikan SPT menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap Volume 12, No.1 Nop 2011 cxlix menolak untuk dilakukan pemeriksaan memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah olah benar tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara,di pidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. c. Apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan, dikenakan pidana 2(dua) kali lipat dari ancaman pidana yang diatur sebagaimana butir b. d. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau Pengukuhan PKP, atau menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohon dan atau kompensasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Daluwarsa Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan. Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu sepuluh tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan. Berdasarkan Pasal 22 UU KUP, hak untuk melakukan penagihan Pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan, daluwarsa setelah lampau watu 5 (lima) tahun terhitung sejak terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak yang bersangkutan. Penagihan Pajak dapat dilakukan setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun apabila: Diterbitkan Surat Teguran atau Surat paksa Daluwarsa dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut. Adanya pengakuan utang dan Wajib Pajak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini bisa terjadi apabila: Adanya permohonan angsuran atau penundaan pembayaran uatang pajak sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran. Untuk ini daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak diterima. Adanya permohonan keberatan. Untuk ini daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal surat permohonan keberatan diterima. cl Volume 12, No.1 Nop 2011 Wajib Pajak melaksanakan pembayaran sebagai utang pajaknya. Untuk itu daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal pembayaran sebagian utang pajak tersebut. Delik Aduan Dan Sanksinya Setiap pejabat baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan, dilarang mengungkapkan kerahasiaan WP yang menyangkut masalah perpajakan. Pelanggaran atas larangan mengungkapkan kerahasiaan WP tersebut dapat diancam sanksi pidana sebagai berikut: Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal kerahasiaan Wajib Pajak, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.4.000.000,00 (empat juta rupiah). sanksi tindak pidana di bidang perpajakan terhadap huruf a di atas menjadi pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). sanksi tindak pidana di bidang perpajakan terhadap huruf b di atas menjadi pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). SASARAN LAW ENFORCEMENT DALAM PERPAJAKAN Penegakan Hukum kepada Wajib Pajak Sistem perpajakan di Indonesia adalah self assessment, di mana Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar sendiri pajak yang terutang. Wajib pajak juga harus melaporkan kewajiban tersebut melalui SPT dan KPP sesuai dengan jenis pajak dan batas waktu yang telah ditentukan dalam undang-undang perpajakan. Agar pelaksanaan kewajiban perpajakan terwujud dengan baik, tidak hanya dilakukan penyuluhan dan pelayanan perpajakan kepada Wajib pajak. Tetapi juga dialksanakan tindakan penegakan hukum melalui verifikasi data, pemeriksaan pajak, penyidikan, dan penagihan pajak. Penegakan Hukum kepada Fiskus Dalam rangka penerapan Good Governance (GG) yang didukukng oleh tiga pilar yang saling berhubungan. Dalam hal ini negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha, maka terhadap aparat perpajakan (fikus) perlu dilakukan pengawasan. Penegakan hukum Volume 12, No.1 Nop 2011 cli kepada fiskus meliputi penegakan disiplin sebagai PNS serta penegakan hukum terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kode Etik Kode etik pegawai DJP adalah pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan, yang mengikat pegawai DJP dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya serta dalam pergaulan hidup sehari-hari. Kode etik disusun atas dasar kesadaran bahwa dalam pelaksanaan tugasnya, pegawai seringkali dihadapkan pada situasi yang menimbulkan pertentangan kepentingan (conflict of interest) dan situasi yang dilematis. PENUTUP Sebenarnya hukum pidan fiskal itu bukan merupakan hukum pidana khusus, seperti Undang-undang anti korupsi atau Undang-undang subversi, melainkan merupakan hukum pidana umum terhadap tindak pidana yang dilakukan dalam bidang perpajakan. Sebetulnya ancaman terdapat dalam KUHP, dan tidak perlu diatur lagi secara khusus dalam Undang-undang pajak. Tetapi dalam UU no.28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga Undang-undang Nomor . 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum tata cara perpajakan, mencantumkan dalam pasal 38 sampai pasal 43 A. Dasar hukum atas kejahatan/pidana perpajakan sangatlah jelas sekali penyebab terjadinya dan konsekuensi hukumnya. Oleh karena itu jika sistem perpajakan ini sudah bisa memberikan iklim yang kondusif bagi "insan perpajakan" dalam melaksanakan tugas dan perannya dalam berusahan, sehingga tidak ada alasan lagi bagi wajib pajak untuk tidak memenuhi segala sesuatu yang menjadi kewajibannya, begitu juga dengan aparat pajak/fiscusnya dalam melaksanakan kewajibannya dalam fungsi pelayanan publik serta dalam penegakan hukum pajak itu sendiri (Law Enforcement). Dalam pelaksanaannya, law enforcement di bidang perpajakan harus dilihat secara luas baik dari sisi wajib pajak maupun dari sisi fiskus sebagai law enforcer utama di bidang perpajakan. Secara garis besar law enforcement terhadap wajib pajak dilakuakan oleh fiskus melalui kegiatan pemeriksaan, penyidikan, dan penagihan pajak. Penegakan hukum dalam perpajakan bisa berjalan dengan baik jika ada ketegasan dari pemerintah terhadap wajib pajak, fiskus serta pedoman pelaksana dalam Direktorat Jenderal Pajak melalui pengawasan terhadap kode etik. Keberhasilan pelaksanaan kode etik tidak melekat dan hanya begantung pada badan atau unit yang berwenang mengawasi kode etik. keberhasilan juga ditentukan oleh faktor-faktor seperti pengawasan keteladanan dari atasan dan tanggung jawab seluruh pegawai DJP. Oleh karena itu pegawai diharapkan memiliki inisiatif untuk menjaga agar kode etik dapat dipatuhi antara lain dengan saling mengingatkan sesama pegawai , berkonsultasi dengan atasan, atau melaporkan apabila terjadi pelanggaran kode etik di lingkungan kerja masing-masing. clii Volume 12, No.1 Nop 2011 Volume 12, No.1 Nop 2011 cliii clivVolume 12, No.1 Nop 2011 Volume 12, No.1 Nop 2011 clv