jurnal “yustitia” - Fakultas Hukum

advertisement
 Hukuman Mati Dan Hak Asasi Manusia
Dalam Peraturan Perundang-undangan;
 Label
Pangan
Sebagai
Bentuk
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen;
 Implikasi Hukum Penerapan Class Action
Dalam
Penyelesaian
Sengketa
Lingkungan Hidup;
 Sistem Bagi Hasil Antara Pajak Provinsi
Dengan
Kabupaten
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009;
 Implementasi Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2001 Tentang Transfer Dana
Dalam Rangka Menuju Kepastian
Hukum Bertransaksi Dana.
 Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana
di Bidang Perpajakan;
Volume 12, No.1 Nop 2011
Volume 12, No.1 Nop 2011
ISSN 1412-2928
i
JURNAL “YUSTITIA”
Pimpinan Umum/Penanggung Jawab
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Madura
Pimpinan Redaksi
Muhammad, S.H.,MH.
Wakil Pimpinan Redaksi
Achmad Rifai, S.H., M.Hum.
M.Amin Rachman, S.H., MH.
Sekretaris Redaksi
Sri Sulastri, S.H.,M.Hum.
Konsultan Redaksi
Drs. H. Kutwa, M.Pd.
Drs. H. Abd. Roziq, MH.
Dr. H. Akh. Munif, S.H.,M.Hum.
Redaksi Pelaksana
H. Gatot Subroto, S.H.,M.Hum.
Dr. Ummi Supratiningsih, S.H.,M.Hum.
Win Yuli Wardani, S.H.,M.Hum.
Adriana Pakendek, S.H., MH.M.Si.,MM.
Anni Puji Astutik, S.H., MH.
Pembantu Umum
Hj.Wasilaning Rahayu
Toyyib Muniri
Alamat Redaksi
Jl. Raya Panglegur Km.3,5 Telp. (0324) 322231, Fax. (0324) 327417 Pamekasan
E-mail: [email protected]
Yustitia diterbitkan satu kali dalam setahun, sebagai media komunikasi ilmu pengetahuan hukum dan
pembangunan. Untuk itu, redaksi menerima sumbangan tulisan ilmiah yang belum pernah diterbitkan dalam
media lain, dengan persyaratan seperti yang tercantum pada halaman sampul belakang.
ii
Volume 12, No.1 Nop 2011
EDITORIAL
Pencantuman hukuman mati dalam beberapa Undang-undang yang berlaku di
Indonesia merupakan bentuk inkonsistensi negara terhadap ideologi dan konstitusi
negaranya sendiri. Dalam Pancasila dan UUD 1945 ditegaskan bahwa hak hidup
merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan
oleh siapapun. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa negara menjamin hak hidup dari
setiap warga negaranya. Tetapi dalam perundang-undangan Indonesia masih banyak
Undang-undang yang mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu ancaman
hukumannya..Hal ini diangkat sebagai tulisan utama dalam volume ini.
Tulisan ke dua memaparkan tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan
Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan merupakan suatu
undang-undang dan peraturan pemerintah yang mengatur tentang label pangan sebagai
bentuk perlindungan hukum bagi konsumen namun masih banyak pelanggaran dan
ditemukan makanan dan minuman yang dijual tidak berlabel terutama mamin produk
rumah tangga.
Dampak yang mempengaruhi penerapan class action tentunya sangat signifikan
baik ditinjau dari sisi kebaikannya dimana denagan adanya class action mempermudah
perkara ke pengadilan, memperingan biaya dan pemahaman pengetahuan tentang
hukum namun demikian dari sisi lain masih ada kelemahan dimana publikasi gugatan
terhadap tergugat sangat menyudutkan, serta pengelolaan keuangan sangat sulit dalam
pembagiannya.
Tulisan ke empat pajak tiada lain adalah mengambil hak rakyat, oleh karena itu
maka setiap pungutan pajak harus dilaksanakan secara hati-hati. Namun terhadap wajib
pajak berdasarkan ketentuan kena pajak, maka wajib pajak harus membayar pajak.
Berbeda halnya jika wajib pajak dikenakan pajak sebagaimana mestinya, maka wajib
pajak dapat mengajukan upaya hukum.
Kegiatan transfer dana di lndonesia telah menunjukkan peningkatan, baik dari
jumlah transaksi, jumlah nilai nominal transaksi, maupun jenis media yang digunakan,
perkembangan media transfer dana dan permasalahan yang terjadi, diperlukan
pengaturan yang menjamin keamanan dan kelancaran transaksi transfer dana serta
memberikan kepastian bagi pihak yang terkait.
Adapun tulisan yang ke enam adalah mengenai keberadaan pengadilan pajak,
yang menurut Mahkamah Agung lembaga peradilan tersebut inkonstitusional. Sehingga
segala akibat hukum yang dilahirkan oleh lembaga peradilan itu adalah illegal. Namun
nyatanya hingga saat ini lembaga peradilan tersebut masih ada dan melakukan
aktifitasnya sebagai lembaga peradilan.
Editor
Volume 12, No.1 Nop 2011
iii
DAFTAR ISI
……………………………………………………
ii
1. Mohammad, S.H.,MH.
Hukuman Mati Dan Hak Asasi Manusia Dalam Peraturan PerundanganUndangan …………………………………………………………………….
1
2. Adriana Pakendek, S.H. MH, M.Si.,MM.
Label Pangan Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Konsumen ….
23
3. M.Amin Rachman, SH.,MH.
Implikasi Hukum Penerapan Class Action Dalam Penyelesaian
Sengketa Lingkungan Hidup .........................................................................
55
4. H. Akh. Munif.
Sistem Bagi Hasil Antara Pajak Provinsi Dengan Kabupaten
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 ................................
96
5. Agus Tri Purwandi, S.H.,MH.
Implementasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Transfer
Dana Dalam Rangka Menuju Kepastian Hukum Bertransaksi Dana ........
127
6. Anni Puji Astutik, SH.,MH.
Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana di Bidang Perpajakan .............
136
EDITORIAL
iv
Volume 12, No.1 Nop 2011
HUKUMAN MATI DAN HAK ASASI MANUSIA
DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Oleh :
Mohammad, S.H.,M.H.1
ABSTRAK
Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan
sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat
perbuatannya. Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti
sistem KUHP. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian
besar merupakan narapidana politik. Walaupun amandemen kedua konstitusi
UUD 1945, Pasal 28 ayat (1), menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, tapi
peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman
hukuman mati.
Kata Kunci: Hukuman Mati – Hak Asasi Manusia – Perundangundangan.
A. Pendahuluan
Perdebatan tentang pidana mati sudah cukup lama berlangsung, tidak
terkecuali Indonesia yang masih mencantumkan pidana mati dalam hukum positifnya.
Pembicaraan hukuman mati kembali muncul ketika pada tahun 2003 Presiden
Megawati menolak grasi empat terpidana mati karena kasus narkotika. Terakhir adanya
permohonan Judicial Review terhadap Undang-Undang Narkotika kepada Mahkamah
Konstitusi pada bulan Juli 2007 lalu. Perdebatan terjadi dua kelompok yang masingmasing kelompok mengemukakan argumentasinya secara logis. Perlu atau tidak sanksi
pidana dapat dilihat dari apakah pidana mati dapat berperan sebagai sarana prevensi dan
represi.
Hal ini sangat dipengaruhi oleh sifat hakekat sanksi, persepsi terhadap
sanksi itu sendiri dan kepastian pelaksanaan sanksi, serta kecepatan penindakan /
1
Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Madura-Pamekasan.
Volume 12, No.1 Nop 2011
v
penerapan sanksi, sehingga hal ini mempengaruhi efektivitas sanksi pidana mati sebagai
sarana prevensi dan revrensi. Efektivitas pidana mati di Indonesia, kendalanya terletak
pada subtansi peraturan, terdapat kelemahan pada pengaturan permohonan peninjauan
kembali dan grasi. Sehingga terdapat tenggang waktu yang relative lama untuk sampai
pada penerapan eksekusi. Namun demikian, kajian ini perlu dibuktikan secara emperis
dan faktual.
Hukuman mati (the death penalty), sekalipun sudah memicu perdebatan
sejak ratusan tahun lalu, namun tetap menjadi sorotan publik bahkan memicu kerusuhan
yang berujung pada tindakan perusakan terhadap sejumlah kantor pemerintah. Setidaktidaknya, reaksi itulah yang terjadi pada hari-hari pasca eksekusi terhadap Fabianus
Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, terpidana mati dalam kasus kerusuhan
Poso, yang “diakhiri’ nyawanya oleh regu tembak pada tanggal 22 September 2006.
Putusan pidana mati juga diberikan pada Kolonel Laut (S) M. Irfan
Djumroni. Dia divonis mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti)
III-Surabaya pada 2 Februari 2006. Dia dipecat dari kesatuan TNI-AL karena
membunuh isterinya Ny Eka Suhartini dan Ahmad Taufik SH, hakim pada Pengadilan
Agama Sidoarjo, pada 21 September 2005 bersamaan sidang putusan gono gini
perceraiannya di Pengadilan Agama Sidoarjo. Dia dinilai melanggar pasal 340 KUHP
tentang pembunuhan berencana, pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, dan melanggar
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1951 tentang kepemilikan senjata tanpa izin.
Kemudian hukuman mati yang paling mendapatkan perhatian publik yakni
ketika pelaksanaan hukuman mati terhadap pelaku bom Bali Amrozi Cs, Hukuman mati
terhadap Amrozi, Cs bukanlah terpidana terakhir yang harus menghadapi hukuman
mati, tetapi masih ada ratusan terpidana mati lain yang kini sedang menunggu
pelaksanaan hukuman mati. Angka ini jelas bukan merupakan jumlah yang kecil, bila
mengingat Indonesia –menurut catatan Amnesty International- tergolong sebagai salah
satu negara yang paling minim menerapkan hukuman mati sampai tahun 2001,
dikaitkan pula dengan jumlah negara penganut hukuman mati (retentionist countries)
yang terus-menerus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bisa jadi, kini
Indonesia menjadi salah satu negara yang paling banyak menjatuhkan hukuman mati
dibanding negara lain di dunia.
Secara yuridis, pelaksanaan hukuman mati, didasarkan pada putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewssdje). Putusan mana
didasarkan pada ketentuan hukum positif yang berlaku, seperti KUHP, Undang-Undang
Nomor 7/Drt/1955, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000, dan lain sebagainya. Dari kenyataan ini, terlihat bahwa penerapan
hukuman mati di Indonesia semakin menunjukkan kecenderungan yang meningkat
dilihat dari peningkatan jumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur hukuman
mati. Persoalannya, apakah penerapan hukuman mati, memang masih layak
dipertahankan? Sejalankah praktek penghukuman seperti itu dilihat dari perspektif hak
asasi manusia dan tujuan penghukuman itu sendiri?.
vi
Volume 12, No.1 Nop 2011
Beberapa filsafat memandang tujuan penghukuman atau pidana sebagai
bentuk pembalasan dan pemberi rasa takut atau efek pencegah (deterrent effect) bagi
orang lain agar tidak melakukan kejahatan serupa di kemudian hari. Di sisi lain, ada
pula yang memandang hukuman sebagai cara untuk memperbaiki dan memberi efek
jera bagi si pelaku sehingga tidak mau lagi melakukan perbuatan serupa di kemudian
hari.
Menurut pandangan pertama, tujuan hukuman baru akan terwujud apabila
pelaku kejahatan diganjar dengan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya dan
semakin berat hukuman akan semakin membuat orang takut melakukan kejahatan.
Masalahnya, apakah filosofi deterrent effect itu berjalan efektif? Melihat praktek
pelaksanaan pidana mati yang ada di Inggris, dimana pada saat orang ramai berkerumun
untuk menyaksikan penggantungan sang pencopet, para pencopet lain justeru
menggunakan kesempatan itu untuk menggerayangi saku para penonton, melahirkan
keraguan apakah penerapan hukuman mati akan membuat orang takut atau justeru
semakin berani untuk melakukan kejahatan.
Bila penerapan hukuman mati itu dimaksudkan sebagai ketentuan hukum
tertulis yang berfungsi untuk menakut-nakuti (sock therapy law), justeru semakin
banyak orang yang tidak takut melakukan korupsi, membunuh secara berencana,
melakukan kejahatan terorisme, pelanggaran hak asasi manusia, dan sebagainya.
Hukuman mati, mungkin akan membuat kejahatan si pelaku terbalaskan
setidaknya bagi keluarga korban dan akan membuat orang lain takut melakukan
kejahatan karena akan diancam dengan hukuman serupa. Namun hal itu jelas tidak akan
dapat memperbaiki diri si pelaku dan membuat dirinya jera untuk kemudian hidup
menjadi orang baik-baik, karena kesempatan itu sudah tidak ada lagi disebabkan dirinya
sudah dimatikan sebelum sempat memperbaiki diri. Sebaliknya, tanpa dihukum mati
pun, seorang pelaku kejahatan dapat merasakan pembalasan atas tindakannya dengan
bentuk hukuman lain, misalnya dihukum seumur hidup dengan atau tanpa pencabutan
beberapa hak tertentu atau penjara di tempat yang jauh dan terpencil. Begitu juga bagi
masyarakat, penjatuhan hukuman penjara untuk waktu tertentu di suatu tempat tertentu
atau perampasan beberapa barang tertentu, dapat memberi rasa takut bagi seseorang
untuk melakukan kejahatan.
Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang
meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis
hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan
antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktek
hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera
pada pidana pembunuhan. Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah
kesejahteraan atau kemiskinan suatu masyarakat dan berfungsi atau tidaknya institusi
penegakan hukum.
Dukungan hukuman mati didasari argumen diantaranya bahwa hukuman
mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh karena
gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara penjahat bisa jera
Volume 12, No.1 Nop 2011
vii
dan bisa juga membunuh lagi jika tidak jera,pada hukuman mati penjahat pasti tidak
akan bisa membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara
kehidupan yang lebih luas. Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang
merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya
hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan
terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri,keluarga, kerabat
ataupun masyarakat yang tergantung pada korban.Lain halnya bila memang keluarga
korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa diubah dengan prasyarat yang jelas.
Hingga Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktek
hukuman mati, termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah
menghapuskan praktek hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan
hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman
mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium
(de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan
abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati.
Praktek hukuman mati juga kerap dianggap bersifat bias, terutama bias kelas
dan bias ras. Di Amerika Serikat, sekitar 80% terpidana mati adalah orang non kulit
putih dan berasal dari kelas bawah. Sementara di berbagai negara banyak terpidana mati
yang merupakan warga negara asing tetapi tidak diberikan penerjemah selama proses
persidangan.
Berangkat dari pemahaman tersebut, jelas bahwa pelaksanaan hukuman mati
sampai saat ini masih menimbulkan pro dan kontra, untuk itu penulis ingin mengangkat
persoalan ini dalam sudut pandang hak asasi manusia, sebagaimana diketahui bahwa
setiap orang memiliki hak yang sama atas hak hidup dan hak atas perlindungan hukum.
Namun ada hal-hal lain yang menjadikan persoalan ini semakin menarik ketika
pelaksanaan hukuman mati dilakukan kepada pasangan pelaku bom Bali, Amrozi, Cs,
bahkan dunia internasionalpun mengamati pelaksanaan hukuman mati terhadap pelaku
teroris tersebut.
Pidana mati adalah sebagai suatu Social Defence yaitu suatu pertahanan sosial untuk
menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman bahaya
besar yang mungkin terjadi yang akan menimpa masyarakat, yang akan mengakibatkan
kesengsaraan dan mengganggu ketertiban serta keamanan rakyat umum dalam
pergaulan hidup manusia bermasyarakat dan beragama / bernegara
Pidana mati adalah The Right of The Social Defence, yaitu suatu hak di dalam
pertahanan sosial. Hukuman ini diperlukan karena hukuman konvensional sudah tidak
dapat lagi untuk menanggulangi tindak pidana yang dilakukan disamping itu, hukuman
mati ini diperlukan untuk mempertahankan suatu ketertiban dan keamanan dalam suatu
masyarakat dan demi keutuhan sistem yang dianut dalam suatu masyarakat atau negara. 2
2
Hartawi A.W, The Death Penalty, Majalah Universitas Diponegoro, Tahun I No. 5,
dalam Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati Di Indonesia, Dimasa Lalu, Kini Dan Di
Masa Depan, Cet. Kedua, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, h. 29-30
viii Volume 12, No.1 Nop 2011
Hak Asasi Manusia sesuai dengan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ditegaskan bahwa Hak Asasi Manusia
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP
peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi
sebagian besar merupakan narapidana politik. Walaupun amandemen kedua konstitusi
UUD '45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan
ancaman hukuman mati.
Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya
pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga
punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka
pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.
Hingga tahun 2006 tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang
masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti: KUHP, Undang-Undang Narkotika,
Undang-Undang Anti Korupsi, Undang-Undang Anti terorisme, dan Undang-Undang
Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya Undang-Undang
Intelijen dan Undang-Undang Rahasia Negara.
Pembicaraan tentang pidana mati akhir-akhir ini menjadi marak kembali,
terutama setelah para penganjur hak-hak asasi manusia, misalnya lembaga Kontras,
yang meyakini bahwa hak hidup adalah hak paling asasi dan secara kodrati melekat
dalam diri setiap manusia, yang oleh sebab itu tak dapat dikurangi ataupun dirampas
menyatakan bahwa penerapan pidana mati benar-benar bertentangan dengan ide dasar
hak-hak asasi manusia . Untuk itu mereka berkampanye akan pengahapusan hukuman
mati.
Di negeri-negeri dimana penerapan hukuman mati masih dimungkinkan
demi hukum, gerakan sosial politik untuk penghapusan pidana mati banyak pula
diperjuangkan oleh lembaga lembaga advokasi Hak Asasi Manusia . Para Human rights
defenders ini menggolongkan hukuman mati sebagai pelanggaran prinsip Hak Asasi
Manusia yang bernilai universal yang mana hak-hak kodrati manusia juga untuk hidup
tidaklah boleh dirampas dan tidak bisa dicabut oleh kekuasaan politik manapun juga
berada.
Perjuangan seperti itu telah memetik hasilnya di negara-negara industri maju
yang sudah pada dasawarsa-dasawarsa pertama seusai perang dunia II menghapus
pidana mati dari khazanah perundang-undangan nasionalnya. Di negeri yang resmi
penerapan hukum positifnya masih mengenal pidana mati, pun penerapannya telah amat
Volume 12, No.1 Nop 2011
ix
dibatasi, dan andaikata pidana ini telah terlanjur dijatuhkan, tapi eksekusinya tidak
segera untuk dilakukan.
Dari perspektif hak asasi manusia, penerapan hukuman mati dapat
digolongkan sebagai bentuk hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kehidupan,
kebebasan dan keselamatan sebagai individu”. Jaminan ini dipertegas dengan Pasal 5
DUHAM dan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
(International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR) yang berbunyi, “Tidak
seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum
secara tidak manusiawi atau dihina“ dan dikuatkan dengan Protokol Opsional Kedua
atas Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik tahun 1989 tentang
Penghapusan Hukuman Mati.
Sekalipun instrumen hukum internasional yang mengatur persoalan hak asasi
manusia tersebut tidak dapat memaksa suatu negara untuk mematuhinya kecuali negara
yang bersangkutan telah menandatangani rumusan hukum yang tertuang dalam
perjanjian internasional yang dibuat untuk itu, namun sebagai bagian dari masyarakat
bangsa-bangsa yang berkomitmen memajukan hak asasi manusia, Indonesia wajib
menghormati dan melindungi hak asasi manusia setiap warga negaranya tanpa pandang
bulu.
B. Fungsionalisasi Hukum Pidana
Sifat hukum pidana sebagai ultimum remedium 3, masih banyak diikuti
sebagian besar ahli hukum dan praktisi hukum di Indonesia, meskipun pemberlakuan
sejumlah Undang-undang yang termasuk dalam kategori hukum-hukum sektoral seperti
Undang-undang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Perlindungan Anak,
Undang-undang Hak Asasi Manusia, telah meretas suatu dimensi baru dari hukum
pidana. Bila semula hukum pidana mempunyai fungsi yang subsider, artinya sanksi
dalam hukum pidana, berupa sanksi yang negatif, baru diterapkan bila sarana-sarana
atau upaya-upaya yang ada, seperti instrumen-instrumen hukum perdata, hukum
administrasi negara, dianggap belum dapat memberikan pemecahan masalah-masalah
hukum yang ada didalam masyarakat secara memadai, sekarang mulai diperkenalkan
bahwa fungsi yang subsider itu berjalan bersama-sama dengan instrumen-instrumen
hukum yang lainnya dalam penegakan hukum. Ada kemungkinan ia tidak lagi hanya
mengemban yang subsider itu.
Jadi, bagaimana cara pandang masyarakat terhadap hukum pidana sebagai
sarana pengendalian social dalam penegakan hukum, tergantung pada pandangan-
x
3
Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hal. 50
Volume 12, No.1 Nop 2011
pandangan yang melatarbelakangi cara pandang itu. Menurut Sudarto ada tiga
pandangan tentang hukum yaitu :
a.
b.
c.
pandangan legalistis (ajaran legalisme)
pandangan fungsional (ajaran hukum yang fungsional), dan
pandangan kritis (ajaran hukum yang kritis) 4
Pandangan yang legalistis ini tercermin dalam adagium “ setiap orang
dianggap mengetahui undang-undang”. Dalam pandangan ini, hukum diidentifikkan
dengan undang-undang. Menurut Sudarto, ahli hukum yang bekerja dengan cara
pandang ini, akan mengalami kesulitan untuk mengatur dan memecahkan masalahmasalah masyarakat yang semula homogen, kini menjadi heterogen.
Dalam konteks hukum pidana, norma-norma hukum pidana hanya ada dalam
ketentuan-ketentuan tertulis yang dibuat dan diberlakukan institusi negara, diluar itu
tidak ada hukum pidana. Pandangan bahwa hukum pidana harus selalu tertulis demi
menjaga dan menegakkan asas legalitas dalam hukum pidana, masih dapat diterima.
Namun ketika dinamika masyarakat begitu cepat, ajaran ini tidak dapat memberikan
jawaban bagaimanakah hukumnya yang seharusnya. Persoalan-persoalan keadilan
mungkin saja dapat diselesaikan dengan dijatuhkannya pidana, karena penjatuhannya
semata-mata ditujukan untuk memuaskan keadilan, memberikan balasan setimpal atas
kejahatan yang dilakukan pelaku tindak pidana, seperti barang siapa yang berbuat
kejahatan yang berat maka akan dijatuhi hukuman mati. Sebaliknya ajaran ini tidak
memberikan jawaban apakah penjatuhan hukuman mati itu akan dapat melindungi
masyarakat dari berbagai bentuk dinamika kejahatan.
Menurut Muladi, penerapan pendekatan yang bersifat tradisional itu
membawa konsekuensi fungsi hukum pidana akan selalu diarahkan terutama untuk
mempertahankan dan melindungi naili-nilai moral. Ada tidaknya unsur kesalahan (guilt)
merupakan unsur utama dalam syarat pemidanaan dan biasanya hal ini berkaitan erat
dengan teori pemidanaan yang bersifat retributive. 5
Menurut teori retributive (teori absolut; teori pembalasan), pidana dijatuhkan
karena semata-mata orang telah melakukan kejahatan / tindak pidana. Pembalasan
dendam merupakan suatu pembalasan yang berusaha memuaskan hasrat balas dendam
para korban atau orang-orang yang bersimpati kepada korban sedangkan hukuman /
pidana yang merupakan penebusan (retribution) tak berusaha memenangkan atau
menghilangkan emosi para korban, namun lebih bertujuan untuk memuaskan tuntutan
keadilan.
4
Ibid, hal. 32
Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana Di Dalam Kejahatan Yang Dilakukan Oleh
Korporasi, makalah pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, Fak. Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang, 1989, hal. 4
Volume 12, No.1 Nop 2011
xi
5
Dalam pada itu, adanya pemanfaatan hukum pidana bagi masyarakat,
tercermin pada pandangan-pandangan Bentham tentang tujuan-tujuan dari pidana,
yaitu :
a.
b.
c.
d.
mencegah semua pelanggaran,
mencegah pelanggaran yang paling jahat,
menekan kejahatan
menekan kerugian / biaya sekecil-kecilnya.6
Memperhatikan tujuan-tujuan dari pidana tersebut, terlihat bahwa betapa
besar peranan hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi
suatu system hukum. Penggunaan hukum pidana menurut pandangan fungsional
dititikberatkan pada penilaian apakah sanksi pidana itu dapat menciptakan kondisi yang
lebih baik, ekuivalen dengan pandangan utilitarian. Pandangan ini melihat ketertiban
umum (public order) sebagai sarana perlindungan masyarakat, dengan demikian
pembenaran penggunaan hukum pidana bukanlah karena orang melakukan kejahatan,
melainkan supaya orang tidak melakukan kejahatan.
Selanjutnya, menyangkut ajaran hukum kritis, sebagaimana telah
dikemukakan diatas, bahwa ajaran hukum kritis ini memandang hukum sebagai bagian
dari masyarakat. Hukum dikaji dengan menggunakan ukuran-ukuran yang digunakan
oleh hukum itu sendiri, yaitu sejauhmana isi yang khas yang tersembunyi dibalik bentuk
yuridis yang universal itu itu ditentukan oleh perbandingan kekuatan dan struktur
kepentingan yang ada di masyarakat.
Sehingga watak hukum yang sebenarnya dapat dipahami melalui aspirasiaspirasi menuju ke hukum yang optimal, yang melekat pada asas-asas hukum, yang
ditujukan mengurangi kesewenang-wenangan penguasa dan melindungi hak-hak asasi
manusia. Berangkat dari konsep pemahaman ini maka setiap penjatuhan pidana, baik itu
berupa hukuman penjara, bahkan sampai pada penjatuhan berupa hukuman mati harus
tetap mengacu kepada kedua konsep diatas, yaitu harus menjunjung rasa keadilan dan
hak-hak asasi manusia.7
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
Kemudian, dalam pasal 17 dan pasal 18 Undang-undang tersebut
menegaskan bahwa setiap orang :
6
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung, 1992, hal. 30
7
Sudarto, op.cit, hal. 17
Volume
12, No.1 Nop 2011
xii
“… tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan
permohonan, pengaduan, dan gugatan, dalam perkara pidana, perdata, maupun
administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak,
sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim
yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar “
“…yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak
pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah
dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan
untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Berangkat dari kedua pasal tersebut, maka penjatuhan hukuman mati dalam
system hukum pidana di Indonesia masih memerlukan beberapa renungan kembali,
Terlebih dalam pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 menegaskan
bahwa “setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan
taraf kehidupannya.” Untuk itu, tidaklah heran jika terjadi polemik tentang hukuman
mati di Indonesia. Perdebatan antara kubu yang mendukung dan menolak hukuman mati
kembali menghangat minggu-minggu belakangan ini.
C. Beberapa Pandangan Atas Tujuan Pemidanaan
Dalam teori hukum terdapat tujuan pemidanaan yang secara garis besar
dapat dibagai kedalam tiga kelompok teori yaitu :
1.
Teori Absolut atau Mutlak atau Teori Pembalasan
Menurut teori ini absolut ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana,
tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seorang mendapat pidanapun karena telah
melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang mungkin akan timbul
akibat adanya penjatuhan pidana ini. Teori ini terkesan pembalasan (vergelding) oleh
banyak orang dikemukakan sebagai alasan untuk mempidana suatu kejahatan. Kepuasan
hatilah yang dikejar, selain itu tidak ada.8
Dengan meluasnya pembalasan kepuasan hati ini pada sekelompok orang
maka meluas pula sasaran dari pembalasan kepada orang-orang lain dari si penjahat,
yaitu pada sanak saudara atau kawan-kawan dekatnya. Jadi, teori pembalasan ini
berpendapat bahwa pidana perlu dikenakan sebagai bentuk pembalasan atas apa yang
telah diperbuat oleh si penjahat. Jadi dasar keadilan dari hukum adalah terletak pada
perbuatan jahat itu sendiri, seseorang telah dijatuhi hukuman karena telah berbuat jahat,
sehingga hakekat dari pemidanaan adalah semata-mata untuk menghukum dan
membalas perbuatan yang telah dilakukan.
8
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Eresco, Bandung,
1989, hal. 21
Volume 12, No.1 Nop 2011
xiii
2.
Teori Relatif atau Teori Tujuan
Menurut teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu
pidana. Untuk itu tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, melainkan harus dipersoalkan
perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri, jadi
adanya pemidanaan ini harus dikaji dari peristiwa-peristiwa masa lampau dan juga
tujuannya untuk masa depan si terpidana. Maka harus ada tujuan lebih jauh daripada
hanya menjatuhkan pidana saja. Dengan demikian teori-teori ini juga dinamakan teori
tujuan. Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada usaha agar dikemudian hari,
kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang lagi (prevensi).9
Prevensi ini ada dua macam yaitu prevensi khusus atau special dan prevensi
umum atau general. Keduanya berdasar atas gagasan bahwa mulai dengan ancaman
akan dipidana dan kemudian dengan dijatuhkannya pidana, orang akan takut
menjalankan kejahatan.10 Dalam prevensi special, hal membuat takut ini ditujukan
kepada si penjahat, sedangkan dalam prevensi umum diusahakan agar para oknum
semua sama takut akan menjalankan kejahatan.
Teori tujuan ini, disamping memiliki konsep seperti diatas juga melihat
bahwa dengan menjatuhkan pidana ditujukan agar memperbaiki si penjahat menjadi
orang baik, yang tidak akan lagi melakukan kejahatan. Memperbaiki si penjahat disini
terdapat tiga hal pokok yaitu perbaikan yuridis, perbaikan intelektual dan perbaikan
moral.
Perbaikan yuridis mengenai sikap si penjahat dalam hal mentaati undangundang, perbaikan intelektual mengenai cara berpikir si penjahat agar ia insyaf akan
buruknya kejahatan, sedangkan perbaikan moral mengenai rasa kesusilaan si penjahat,
agar ia menjadi orang yang bermoral tinggi.
3.
Teori Gabungan
Disamping ada teori-teori absolut dan teori-teori relatif tentang hukum
pidana, kemudian muncul teori ketiga, yang disatu pihak mengakui adanya unsure
pembalasan dalam hukum pidana, tetapi dilain pihak mengakui pula unsur prevensi dan
unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana. Jadi didalam teori
gabungan ini mendasarkan pandangannya pada teori pembalasan dan teori tujuan. Hal
ini berarti bahwa dalam teori gabungan ini yang menjadi dasar dari pemidanaan,
disamping terletak pada kejahatan itu sendiri yaitu pembalasan, juga diakuinya maksud
atau tujuan dari pemidanaan yang mencari manfaat dari penjatuhan hukuman yang
diberikan kepada si penjahat.
Dari uraian diatas, dapatlah disimpulkan bahwa yang menjadi dasar dari
hukum bukanlah hak individu, melainkan hak yang pokok bagi kebutuhan penghidupan
masyarakat bahwa hukum timbul karena manusia hidup bersama dan hanya dapat hidup
bersama, dan hukum itu tidak tergantung pada kehendak penguasa. Denmgan demikian,
9
Ibid, hal. 23
Ibid
Volume 12, No.1 Nop 2011
10
xiv
tujuan hukum pidana berkembang menjadi untuk melindungi individu dan sekaligus
masyarakat terhadap kejahatan dan penjahat itu haruslah disertai penentuan tujuan
pemidanaan yang tidak klasik dengan pidana tidak hanya semata-mata sebagai
pembalasan.
Setelah memahami bahwa pemidanaan (penghukuman secara legal di bidang
hukum pidana) mempunyai sejumlah tujuan, diantaranya menakut-nakuti warga
masyarakat luas agar tidak melakukan suatu tindak kriminal, membuat jera si pelaku,
merehabilitasi si pelaku agar tidak lagi berbuat kejahatan. Namun, dalam kenyataannya
tujuan pemidanaan ini pun banyak yang tidak mampu diwujudkan karena vonis
pengadilan, yang tidak jarang terlalu kontras dengan rasa keadilan. Adanya putusan
bebas terhadap pelaku kejahatan, jelas sangat melukai rasa keadilan masyarakat.
Dampak langsung dari fenomena itu adalah membawa masyarakat membuat bentuk
social control.
Oleh karena itu jika dicermati beberapa kasus kekerasan di Indonesia yang
mengakibatkan hilangnya nyawa manusia adalah salah satu dari lemahnya penegakan
hukum. Kasus yang paling hangat saat ini adalah peledakan bom di Bali merupakan
suatu kejahatan. Pelakunya diancam dengan hukuman mati dalam KUHP pasal 340 dan
masuk dalam pembunuhan yang direncanakan (mood). Apabila Undang-undang
Antiterorrisme pun digunakan sebagai dasar putusan kemungkinan tidak jauh ada
perbedaan karena KUHP adalah landasan pokok dari segala bentuk perundangundangan pidana (dogmatik hukum). Untuk itu tentunya dibutuhkan para hakim yang
berwawasan luas, memiliki kedalaman ilmu hukum, memiliki kedekatan dengan rasa
keadilan rakyat banyak dan tidak berkiblat pada kepentingan politik partai atau
golongan tertentu. Karena para hakim inilah sebagai ujung tombak untuk memulihkan
kepercayaan warga masyarakat terhadap law enforcement di Indonesia.
D. Pidana Mati Dalam Perundang-undangan Indonesia
Secara etimologis istilah “hukum” telah menjadi bahasa nasional Indonesia.
Istilah hukum sering kali disinonimkan dengan “recht” {Belanda}, ‘law’ {Inggris} dan
lain sebagainya. Keragaman disiplin ilmu serta latar belakang pengalaman seseorang,
menyebabkan beragam pula dalam memberikan arti tentang hukum. Namun telah kita
sepakati bersama bahwa pengertian hukum adalah aturan atau norma yang dibuat oleh
pihak berwenang yang bersifat mengikat dan memaksa dan bertujuan menciptakan
ketertiban dan keamanan dalam masyarakat.11
Setelah kita menyepakati bahwa sifat hukum adalah mengatur dan memaksa,
oleh karena itu, barang siapa yang melakukan pelanggaran terhadap hukum wajib
mempertanggungjawabkan secara hukum dan dapat dikenai sanksi atau hukuman sesuai
dengan pelanggarannya. Agar hukum tetap ditaati oleh setiap orang maka kualitas
11
Dirdjosisworo, Soedjono, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2002, hal. 12
Volume 12, No.1 Nop 2011
xv
hukum harus dijaga. Hukum yang berkualitas adalah hukum yang mengandung nilainilai keadilan bagi seluruh masyarakat dan sesuai dengan kehendak / aspirasi mereka.
Sebab, hukum yang baik akan menjamin kepastian hak dan kewajiban secara seimbang
kepada tiap-tiap orang. Oleh karena itu, tujuan hukum adalah di samping akan menjaga
kepastian hukum juga menjaga sendi-sendi keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Begitu pula terhadap pertanggungjawaban atas pelaku tindak pidana tertentu
yang menimbulkan kerugian yang besar baik jiwa, materi dan kelangsungan kehidupan
generasi kedepan. Seperti tindak pidana terorisme, narkotika dan sebagainya. Sudah
terang, hukuman mati untuk kejahatan tersebut berdasar atas pembalasan terhadap
perbuatan yang sangat kejam dari seorang manusia. Tujuan menjatuhkan dan
menjalankan hukuman mati selalu diarahkan kepada khalayak ramai agar mereka,
dengan ancaman hukuman mati, akan takut melakukan perbuatan-perbuatan kejam yang
akan mengakibatkan mereka dihukum mati. Berhubungan dengan inilah pada jaman
dahulu hukuman mati dilaksanakan dimuka umum.
Di Indonesia pemerintah kolonial Belanda pada waktu membentuk KUHP
pada tahun 1915 menyimpang dari sikapnya dinegaranya sendiri, dan mempertahankan
hukuman mati di Indonesia untuk kejahatan-kejahatan berat. Bahwa menurut surat
penjelasan atas rancangan KUHP diancam dengan hukuman mati, yaitu :
a. kejahatan berat terhadap keamanan negara (pasal-pasal 104, 105, 111 ayat 2,
pasal 124 ayat 3 dan pasal 129)
b. pembunuhan berencana (pasal-pasal 130 ayat 3, pasal 140 ayat 3, pasal 340 )
c. pencurian dan pemerasan dalam keadaan memberatkan (pasal 365 ayat 4 dan
pasal 368 ayat 2)
d. bajak laut, perampokan dipantai, perampokan ditepi laut dalam air surut, dan
perampokan disungai, dilakukan dalam keadaan tersebut dalam pasal 444
KUHP. 12
Sementara itu, menurut KUHP, di Indonesia ada sembilan macam kejahatan
yang diancam pidana mati, yaitu :
a. Makar dengan maksud membunuh presiden dan wakil presiden (Pasal 104
KUHP);
b. Melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang (Pasal 111
Ayat 2 KUHP);
c. Pengkhianatan memberitahukan kepada musuh di waktu perang (Pasal 124 Ayat
3 KUHP);
d. Menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara (Pasal 124 bis KUHP);
e. Pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat (Pasal 140 Ayat 3
KUHP);
f. Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP);
12
Ibid, hal. 165
Volume
12, No.1 Nop 2011
xvi
g.
Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau
mati (Pasal 365 Ayat 4 KUHP);
h. Pembajakan di laut mengakibatkan kematian (Pasal 444 KUHP);
i. Kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan (Pasal 149 K Ayat 2 & Pasal
149 O Ayat 2 KUHP).
Di luar yang disebutkan diatas, masih ada ancaman pidana mati lainnya yaitu
terdapat didalam :
a. Tindak Pidana Ekonomi ( Undang-undang Nomor 7/Drt/1955 );
b. Tindak Pidana Narkotik & Psikotropika (Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997
& Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997);
c. Tindak Pidana Korupsi (Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001);
d. Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia (Undang-undang Nomor 26 Tahun
2000);
e. Tindak Pidana Terorisme ( Perpu No 1 Tahun 2002).
Hingga 2009 tercatat lebih dari sepuluh peraturan perundang-undangan yang
masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti KUHP, Undang-Undang Narkotika,
Undang-Undang Anti Korupsi, Undang-Undang Anti terorisme, dan Undang-Undang
Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan
RUU Rahasia Negara, kemudian terhadap kasus penebangan kayu illegal.
Dalam setiap ancaman pidana mati tersebut selalu dicantumkan alternatif
berupa pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama dua puluh tahun.
Bentuk-bentuk pemidanaan yang dijatuhkan tidaklah terlepas dari latar belakang filosofi
yang melahirkan teori-teori tujuan pemidanaan.
Tujuan pemidanaan lebih menitikberatkan sebagai prevensi dengan maksud
agar orang lain jera untuk tidak melakukan kejahatan. Tujuan pemidanaan selain
memiliki unsur sebagai pencegahan, juga untuk memperbaiki terpidana, di samping
mempertahankan tata tertib hukum. Pidana mati apabila bertujuan sebagai pembalasan
maupun pembelajaran bagi masyarakat atau agar masyarakat menjadi jera untuk tidak
mengulangi atau meniru tindakan yang melanggar hukum, ternyata maksud dan tujuan
itu tidaklah tercapai seperti yang diharapkan, karena pada kenyataannya kasus tindak
pidana pembunuhan dan kejahatan narkoba tidak menjadi berkurang, bahkan
meningkat, sekalipun sudah terjadi pemidanaan mati yang dijatuhkan terhadap pelaku
kejahatan tersebut.
Dalam kasus tindak pidana narkoba yang dianggap sebagai kejahatan yang
paling serius dan dapat menjadi alat subversi, bahkan akibat yang ditimbulkan dapat
menghancurkan masa depan anak bangsa. Namun, dalam sejumlah riset menunjukkan,
ternyata tidak ada korelasi antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan
tersebut, di Indonesia justru menunjukkan peningkatan dari pengguna dan pengedar,
sampai pada adanya produsen. Dalam kaitan ini, upaya penanggulangan narkoba di
negara-negara maju sudah mulai dilakukan dengan meningkatkan pendidikan sejak dini
dan melakukan kampanye antinarkoba, serta penyuluhan tentang bahayanya. Demikian
Volume 12, No.1 Nop 2011
xvii
seriusnya penanggulangan masalah narkoba bagi kehidupan manusia sudah mendorong
kerja sama internasional dalam memerangi kejahatan narkoba tersebut.
Filosofis pidana mati bagi bangsa Indonesia tidaklah terlepas dari pandangan
dan sikap bangsa Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1998 yang menyebutkan bahwa pandangan dan sikap bangsa Indonesia
mengenai hak asasi manusia adalah bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal,
dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan Pancasila. Sehingga hak asasi manusia
dirumuskan secara substansi dengan menggunakan pendekatan normatif, empiris,
deskriptif, dan analitis, antara lain disebutkan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar
yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup,
kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan,
dirampas atau diganggu gugat oleh siapa pun.
Karena itu, dalam Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tersebut Pasal 1
menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur pemerintah,
untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman hak asasi manusia
kepada seluruh masyarakat. Pandangan dan sikap bangsa Indonesia ini di samping
termuat dalam Piagam Hak Asasi Manusia, juga terangkat dalam amandemen kedua
UUD 1945 Pasal 28 A, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup,
mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dengan pendekatan filosofis yuridis tersebut
di atas, maka seluruh produk hukum yang ada maupun yang akan ada seharusnya tidak
boleh bertentangan dengan jiwa, pandangan dan sikap bangsa tersebut.
E. Efektifitas Penjatuhan Hukuman Mati Di Indonesia
Bahwa hukuman mati yang diterapkan oleh pemerintah dengan harapan
adanya efek jera bagi masyarakat ternyata disisi lain masih banyak tindak pidana yang
serupa dilakukan oleh orang lain, belum lagi adanya perbedaan pendapat tentang
penerapan hukuman ini. Di Indonesia, sejumlah perundangan menetapkan adanya
hukuman mati pada para pelaku kasus pidana. Beberapa vonis mati pernah dijatuhkan
hakim antara lain:
a. Kolonel Laut (S) M. Irfan Djumroni. Dia divonis mati oleh Majelis Hakim
Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti) III-Surabaya pada 2 Februari 2006. Dia
dipecat dari kesatuan TNI-AL karena membunuh isterinya Ny Eka Suhartini dan
Ahmad Taufik SH, hakim pada Pengadilan Agama Sidoarjo, pada 21 September
2005 bersamaan sidang putusan gono gini perceraiannya di Pengadilan Agama
Sidoarjo. Dia dinilai melanggar pasal 340 KUHP tentang pembunuhan
berencana, pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, dan melanggar UU Nomor 12
tahun 1951 tentang kepemilihan senjata tanpa izin.
b. Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Dijatuhi vonis mati pada
April 2001 di Pengadilan Negeri Palu, dan ditegaskan kembali dengan
Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara pada 17 Mei 2001. Pengadilan
xviiiVolume 12, No.1 Nop 2011
memutuskan bahwa mereka bersalah atas tuduhan pembunuhan, penganiayaan,
dan perusakan di tiga desa di Poso, yakni Desa Sintuwu Lemba, Kayamaya, dan
Maengko Baru. Kasus vonis mati mereka menimbulkan banyak kontroversi
sehingga menyebabkan rencana vonis mati mereka tertunda beberapa kali.
Ketiganya dieksekusi mati pada dinihari 22 September 2006 di Palu. Meskipun
kasus ini sejak awal mengundang kontroversi mengenai keterlibatan ketiganya
dalam peristiwa yang didakwakan tersebut.
Kedua contoh kasus hukuman mati diatas merupakan bentuk pemidanaan di
Indonesia dengan harapan menimbulkan efek jera bagi masayarakat luas agar tidak
melakukan perbuatan yang sama seperti terpidana. Namun kasus-kasus serupa tetap
masih bermunculan sampai saat ini. Bahkan kualitas kejahatannya lebih berat lagi
seperti kasus pembunuhan mutilasi yang memakan korban sampai belasan orang, Ryan
dari Jombang. Belum lagi kasus-kasus mutilasi lainnya yang lebih sadis.
Jadi hukuman mati belum tentu akan membuat angka kejahatan akan
berkurang atau membuat seseorang merasa takut untuk melakukan kejahatan sejenis
dengan terpidana mati. Seperti kita ketahui pada kasus Poso, eksekusi mati terhadap
Tibo Cs tidak membuat warga Poso takut untuk terlibat konflik antar kelompok seperti
yang dilakukan Tibo Cs, tetapi justru memicu konflik antara kelompok pendukung dan
kelompok penentang eksekusi mati terhadap Tibo Cs. Dari kasus ini terlihat bahwa
tidak ada korelasi antara hukuman mati dengan upaya pencegahan tindak kejahatan.
Namun, saat ini di Indonesia hukuman mati sebenarnya tidak menjadi isu
kontroversial bila pelaksanaannya segera dilakukan sejak putusan berkekuatan tetap.
Seperti pelaksanaan hukuman mati terhadap Amrozi Cs yang berlarut-larut sehingga
menimbulkan banyak kontroversi.
Belum lagi terhadap hukuman mati yang baru dilaksanakan setelah terpidana
menjalani pidana bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Pelaksanaan hukuman mati
pun masih tertunda. Misalnya, terpidana mati Ibrahim bin Ujang dan Jurit bin Abdullah
yang permohonan grasinya ditolak Presiden, langsung mengajukan upaya hukum
Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Akibatnya, Kejaksaan Negeri Sekayu,
Sumatera Selatan, menangguhkan pelaksanaan hukuman mati, mengingat Pasal 14 ayat
(2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang grasi, mensyaratkan adanya salinan
putusan PK diterima Presiden. Artinya, eksekusi dapat tertunda sampai dengan putusan
PK diterima Presiden bagi terpidana yang mengajukan PK.
Polemik berkepanjangan mengenai hukuman mati ini menimbulkan berbagai
pendapat. Pendapat pertama, hukuman mati menjadi bagian hukum (pidana) positif
Indonesia, karenanya masih relevan untuk dilaksanakan. Pendapat kedua, hukuman mati
bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM) yang menjamin hak untuk hidup sesuai
Perubahan Kedua UUD 1945. Persoalannya, apakah sistem hukuman mati yang diatur
dalam KUHP bertentangan dengan Amandemen Kedua Pasal 28 A dan Pasal 28 I UUD
1945
Polemik berlakunya hukuman mati dalam suatu negara selalu menjadi isu
rutinitas dari sistem hukum. Betapa tidak. Berlakunya hukuman mati merupakan bagian
Volume 12, No.1 Nop 2011
xix
sistem hukum pidana sekaligus merupakan pelaksanaan State Policy atau Staatsbeleid
(Kebijakan Negara). Hukuman mati sebagai bagian Sistem Hukum Pidana hanya
merupakan pelaksanaan dari kebijakan negara, yang harus diakui bahwa kebijakan
negara yang temporer sifatnya ini sering mengalami pembaruan konsep. Belanda,
misalnya, sistem hukuman mati berubah sejalan perubahan kebijakan negara tentang
hukuman mati yang kini tidak dikenal dalam sistem hukum pidananya.
Adanya dinamisasi pembaharuan sistem pemidanaan ini berpengaruh pada
penghapusan sistem hukuman mati seperti Brasil, negara-negara Skandinavia, Austria,
bahkan Amnesty International melalui Deklarasi Stockholm pada 11 Desember 1977
menyerukan penghapusan pidana mati.
Dari pendekatan historis, kebijakan hukuman (pidana) mati merupakan
pengembangan dari teori absolut yang mendekatkan diri dengan deterrence effect (efek
jera). Namun, sejalan dinamisasi hukum pidana, pemidanaan lebih ditujukan kepada
teori rehabilitation, yaitu pemulihan terpidana agar dapat kembali bersosialisasi dengan
masyarakat bila terpidana telah menjalani hukumannya sehingga terfokus pada clinic
treatment terhadap terpidana.
Wajar bagi Indonesia yang masih mengakui legalitas hukuman mati melalui
Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Tenaga Atom, Narkotika dan Psikotropika,
Korupsi dan terakhir Perpu Terorisme yang semua perbuatannya dianggap sebagai suatu
extra ordinary crimes yang membahayakan kehidupan bangsa dan negara sebagai alasan
eksepsional dan limitatif sifatnya. Sebaliknya, dipahami bersama, konstitusi memberi
perlindungan dan hak hidup kepada warganya sebagai hak asasi.
Dalam pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945
secara tegas menyatakan, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya, karena itu non-derogable human right
sifatnya atau merupakan HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Sesuai asas konstitusionalitas, legalitas produk hukum positif di atas yang masih
mempertahankan hukuman mati, seharusnya menyesuaikan dengan amandemen
konstitusi agar tidak bertentangan dengan asas ketatanegaraan lex superiori berdasar
Pasal 2 juncto Pasal 4 ayat (1) TAP MPR No III/MPR/2000, karena legalitas hukuman
mati sebagai produk hukum yang lebih rendah bertentangan dengan produk hukum yang
lebih tinggi.
Dalam kaitan dengan sistem hukum pidana, pengecualian pada pasal 28 J
ayat (2) yang berbunyi "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang …", makna
"pembatasan", tentu tidak diartikan dalam posisi yang merugikan status tersangka sesuai
Pasal 1 ayat (2) KUHP. Makna "pembatasan" atau "limitatif" ini dapat dipastikan lebih
dulu bahwa tidak mungkinlah perundang-undangan pidana menghukum segala tindakan
yang merupakan pembatasan terhadap hak hidup dan kebebasannya. Tetapi tidak juga
berarti, tidak mungkin konstitusi memberikan suatu pengecualian terhadap pembatasan
HAM, sepanjang pembatasan itu sesuai prinsip lex certa sehingga tidak menimbulkan
polemik dan multi-interpretatif seperti soal hukuman mati ini.
xx
Volume 12, No.1 Nop 2011
F. Hukuman Mati Ditinjau Dari Penegakan HAM Di Indonesia
Pro dan kontra mengenai hukuman mati akhir-akhir ini kembali mencuat
setelah sembilan hakim konstitusi berbeda pendapat ketika melakukan pengujian
Undang-Undang Narkotika terhadap UUD 1945 khususnya mengenai penerapan
hukuman mati dalam Undang-undang Narkotika. Mahkamah Konstitusi, berpendapat
bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan pasal 28 A dan pasal 28 I UUD 1945.
Sedangkan tiga hakim lainnya, yaitu Laica Marzuki, Achmad Roestandi dan Maruarar
Siahaan, menyatakan ketidak-setujuannya atas eksistensi hukuman mati.
Perlu diketahui bahwa tujuan pemidanaan dalam sistem hukum kita ini adalah
untuk memasyarakatkan terpidana sehingga menjadi orang yang baik dan berguna,
membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan pemidanaan tidak dimaksudkan untuk
menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Hukuman mati bukan cara yang
tepat untuk membebaskan rasa bersalah terhadap terpidana dan dengan eksekusi mati,
tujuan untuk memasyarakatkan terpidana agar menjadi orang yang baik dan berguna
serta dapat diterima kembali di masyarakat tidak dapat tercapai. Hukuman mati ini juga
mendatangkan penderitaan yang sangat berat bagi terpidana, baik pada saat menunggu
eksekusi maupun pada saat eksekusi itu sendiri. Pada saat menunggu eksekusi,
terpidana mati mengalami tekanan mental atas hukuman yang akan dijalaninya dan pada
saat dilaksanakannya eksekusi, yang bersangkutan mengalami penderitaan fisik.
Sehingga muncul pendapat bahwa apabila seseorang dijatuhi hukuman mati maka yang
bersangkutan menjalani double punishment.
Sesuai dengan Pancasila yang memiliki kedudukan sebagai dasar filsafat
kenegaraan dan merupakan guiding principle dalam menjalankan kegiatan bernegara di
Indonesia, khususnya sila pertama dan kedua, dalam UUD 1945 pasal 28 A disebutkan
bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya. Selanjutnya pasal 28 I ayat 1 menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Selain pasal 28 UUD 1945, hak untuk hidup juga diatur dalam UndangUNdang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam pasal 4 UndangUndang HAM dinyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun (non-derogable rights). Dengan
dipertahankannya hukuman mati dalam sistem hukum di Indonesia berarti negara telah
mengabaikan kewajibannya untuk menjamin hak hidup dari setiap warga negaranya.
Pencantuman hukuman mati dalam beberapa Undang-undang yang berlaku di
Indonesia merupakan bentuk inkonsistensi negara terhadap ideologi dan konstitusi
Volume 12, No.1 Nop 2011
xxi
negaranya sendiri. Dalam Pancasila dan UUD 1945 ditegaskan bahwa hak hidup
merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan
oleh siapapun. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa negara menjamin hak hidup dari
setiap warga negaranya. Tetapi dalam perundang-undangan Indonesia masih banyak
Undang-undang yang mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu ancaman
hukumannya.
Dalam forum internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah melakukan
penelitian mengenai hukuman mati pada tahun 1988 dan memperbaharuinya pada tahun
2002. Dalam kesimpulannya dinyatakan "…it is not prudent to accept the hypothesis
that capital punishment deters murder to a marginally greater extent than does the
threat and application of the supposedly lesser punishment of life imprisonment".
Berdasarkan penelitian tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerukan agar setiap
negara menghapuskan hukuman mati dari sistem hukum nasionalnya, serta tidak perlu
khawatir akan terjadinya peningkatan tindak kejahatan apabila hukuman mati tersebut
dihapuskan.
Kesadaran akan pentingnya HAM dalam wacana global muncul bersamaan
dengan kesadaran akan pentingnya menempatkan manusia sebagai titik sentral
pembangunan (human centred development). Konsep HAM menempatkan manusia
sebagai subyek, bukan obyek dan memandang manusia sebagai makhluk berharga dan
dihormati tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, jenis gender, suku bangsa,
bahasa, maupun agamanya. Sebagai makhluk bermartabat, manusia memiliki sejumlah
hak dasar yang wajib dilindungi, seperti hak hidup, hak beropini, hak berkumpul, serta
hak beragama dan berkepercayaan. Nilai-nilai HAM mengajarkan agar hak-hak dasar
yang asasi tersebut dilindungi dan dimuliakan.
HAM (Hak Asasi Manusia) merupakan suatu konsep etika politik modern
dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan
kemanusiaan. Gagasan ini membawa kepada sebuah tuntutan moral tentang bagaimana
seharusnya manusia memperlakukan sesamanya. Tuntutan moral tersebut sejatinya
merupakan ajaran inti dari semua agama. Sebab, semua agama mengajarkan pentingnya
penghargaan dan penghormatan terhadap manusia, tanpa ada pembedaan dan
diskriminasi sedikit pun. Tuntutan moral itu diperlukan, terutama dalam rangka
melindungi seseorang atau suatu kelompok yang lemah atau dilemahkan dan semenamena yang biasanya datang dari pihak penguasa.
Pemberlakuannya di Indonesia tidak dapat dibenarkan atau bertentangan
dengan prinsip-prinsip HAM maupun hak sipil karena membatasi Hak hidup seseorang
dimana hak tesebut tidak dapat dicabut atau direnggut dalam keadaan atau dengan
alasan apapun (non-derogable rights) dan tidak ada satu manusia atau suatu lembaga
pun yang berhak membatasi hak hidup seseorang termasuk sebuah negara walau dengan
alasan hukum. Memang ada betulnya jika disinggungkan dengan Hak Asasi Manusia
karena dalam Dalam Pasal 9 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 disebutkan bahwa : "
Setiap orang berhak untuk hidup.... "
xxiiVolume 12, No.1 Nop 2011
Jika lebih diteliti lagi Hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi
manusia yang paling penting, yaitu hak untuk hidup (right to life). Hak fundamental
(non-derogable rights) ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar,dikurangi,atau
dibatasi dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila
seseorang menjadi narapidana.
Indonesia sendiri ikut menandatangani Deklarasi Universal HAM dan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah meratifikasi Konvensi Internasional Hak
Sipil Politik, keduanya secara jelas menyatakan hak atas hidup merupakan hak setiap
manusia dalam keadaan apapun dan adalah kewajiban negara untuk menjaminnya.
Sayangnya ratifikasi Konvensi Sipil Politik ini tidak diikuti pula dengan ratifikasi
Protokal Tambahan Kedua Konvensi Internasional tentang Hak Sipil Politik tentang
Pengahapusan Hukuman Mati. Hukuman mati memiliki turunan pelanggaran HAM
serius lainnya, yaitu pelanggaran dalam bentuk tindak penyiksaan (psikologis), kejam
dan tidak manusiawi. Hal ini bisa terjadi karena umumnya rentang antara vonis
hukuman mati dengan eksekusinya berlangsung cukup lama.
Tragisnya Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dan
mengadopsinya menjadi Undang-Undang Anti Penyiksaan (Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1998). Namun perlu diteliti lebih jauh lagi bahwa hukuman mati masih sangat
diperlukan di negara kita. Undang-Undang HAM memang melindungi hak hidup setiap
orang tapi Undang-Undang tersebut tidak menjelaskan secara detail hak hidup untuk
siapa jika setiap orang yang dimaksud masing-masing berada pada posisi pelaku
pebunuhan serta korban pembunuhan, jika hak hidup ditujukan untuk korban karena
berada pada posisi yang lemah.
Berbagai alasan dikeluarkan untuk menentang hukuman mati. Alasan
utamanya adalah melanggar hak hidup dan tidak memberi kesempatan bagi sang
terpidana untuk memperbaiki diri. Mereka mungkin akan bersuara lain bila berada pada
pihak yang dirugikan oleh terpidana, terdengar pihak keluarga seorang korban
pembunuhan dengan keras menuntut pelaku dihukum mati. Orang-orang yang
menderita secara langsung atau tidak dengan narkoba, menuntut pengedar narkoba
dihukum mati. Tak sedikit pula yang menuntut para koruptor dihukum mati, Dan juga
soal hukuman mati kepada para teroris. Jadi Layak atau tidaknya hukuman mati
seharusnya ditilik dari kejahatan yang dilakukan.
Sebagai contoh. Kasus Ryan sang pembunuh berantai yang dengan teganya
menghabiskan 11 orang yang salah 1 diantaranya adalah balita. Jika pengadilan nanti
akan mengganjar dia dengan hukuman seumur hidup, artinya hak hidup dia dapatkan,
lalu masih menjadi beban negara dan bahkan mungkin mendapatkan fasilitas tambahan
entah dari mana. Oleh karena ia cukup mendapat hukuman penjara. Padahal dampak
yang diharapkan dari hukuman mati sebetulnya bukanlah tidak sekedar untuk membayar
kejahatannya saja, melainkan juga untuk memberikan semacam warning agar
masyarakat tidak melakukan kejahatan yang sama.
Hukuman mati persis menunjukkan adanya kewenangan mencabut hak untuk
hidup. Pidana mati dianggap sebagai hukuman yang kejam, tak berperikemanusiaan
Volume 12, No.1 Nop 2011
xxiii
serta menghina martabat manusia. Hukuman ini jelas melanggar hak untuk hidup.
Eksekusi mati memang pelanggaran serius oleh negara betapa pun seriusnya perbuatan
pidana yang dilakukan seseorang.
Jika UUD 1945 dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia melindungi hak
untuk hidup bagi setiap orang, seharusnya Undang-Undang lainnya mematuhi perintah
yang terdapat di dalamnya. Tapi persoalannya justru masih banyak ketentuan pidana
yang tidak konsisten atau bertentangan dengan UUD dan Undang-Undang HAM
tersebut. Bahkan ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
sama tak konsistennya dengan ketentuan pidana mati. Dalam sistem peradilan pidana,
penerapan hukuman mati dapat berbuah kegagalan yang tak mungkin diperbaiki.
Kekhawatiran ini ditambah lagi dengan masalah "mafia peradilan" dan kelemahan
lainnya yang masih melekat dalam sistem peradilan di Indonesia.
Sejumlah kasus dalam peradilan pidana, persoalan yang dihadapi terdakwa
adalah akses pada pengacara. Bagi warga asing, menghadapi kesulitan akses untuk
mendapatkan penerjemah. Selain itu, telah menjadi kebiasaan dan praktek penyiksaan
atas tersangka dan terdakwa yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1998 Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Hukuman atau Perlakuan
yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.
Dengan menyimak masih adanya ketentuan pidana mati dan kelemahan
sitem peradilan, setiap orang yang dijatuhi hukuman mati perlu mengajukan grasi
kepada presiden. Ketika grasi diajukan sudah seharusnya aparat yang berwenang
menunda eksekusi sampai presiden memutuskan apakah memberikan grasi atau tidak.
Namun sudah jelas dalam KUHP disebutkan hukuman mati ialah suatu
hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan sebagai bentuk hukuman terberat yang
dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. Di Indonesia sudah puluhan orang
dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP. Bahkan selama Orde Baru korban yang
dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik. Walaupun amandemen kedua
konstitusi UUD 1945, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun”, tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya
tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.
G. Penutup
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dijelaskan bahwa
hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan sebagai
bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. Di
Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP. Bahkan
selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana
politik. Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD 1945, Pasal 28 ayat (1),
xxivVolume 12, No.1 Nop 2011
menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, tapi
peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman
mati.
Pencantuman hukuman mati dalam beberapa Undang-undang yang berlaku di
Indonesia merupakan bentuk inkonsistensi negara terhadap ideologi dan konstitusi
negaranya sendiri. Dalam Pancasila dan UUD 1945 ditegaskan bahwa hak hidup
merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan
oleh siapapun. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa negara menjamin hak hidup dari
setiap warga negaranya. Tetapi dalam perundang-undangan Indonesia masih banyak
Undang-undang yang mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu ancaman
hukumannya.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. HAM (Hak Asasi Manusia) merupakan
suatu konsep etika politik modern dengan gagasan pokok penghargaan dan
penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Gagasan ini membawa kepada
sebuah tuntutan moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan
sesamanya. Tuntutan moral tersebut sejatinya merupakan ajaran inti dari semua agama.
Sebab, semua agama mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap
manusia, tanpa ada pembedaan dan diskriminasi sedikit pun. Tuntutan moral itu
diperlukan, terutama dalam rangka melindungi seseorang atau suatu kelompok yang
lemah atau dilemahkan dan semena-mena yang biasanya datang dari pihak penguasa.
Sedangkan tujuan pemidanaan lebih menitikberatkan sebagai prevensi
dengan maksud agar orang lain jera untuk tidak melakukan kejahatan. Tujuan
pemidanaan selain memiliki unsur sebagai pencegahan, juga untuk memperbaiki
terpidana, di samping mempertahankan tata tertib hukum. Pidana mati apabila bertujuan
sebagai pembalasan maupun pembelajaran bagi masyarakat atau agar masyarakat
menjadi jera untuk tidak mengulangi atau meniru tindakan yang melanggar hukum,
ternyata maksud dan tujuan itu tidaklah tercapai seperti yang diharapkan, karena pada
kenyataannya kasus tindak pidana pembunuhan dan kejahatan narkoba tidak menjadi
berkurang, bahkan meningkat, sekalipun sudah terjadi pemidanaan mati yang dijatuhkan
terhadap pelaku kejahatan tersebut.
Disamping itu perlu diketahui bahwa tujuan pemidanaan dalam sistem hukum
kita ini adalah untuk memasyarakatkan terpidana sehingga menjadi orang yang baik dan
berguna, membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan pemidanaan tidak
dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Hukuman mati
Volume 12, No.1 Nop 2011
xxv
bukan cara yang tepat untuk membebaskan rasa bersalah terhadap terpidana dan dengan
eksekusi mati, tujuan untuk memasyarakatkan terpidana agar menjadi orang yang baik
dan berguna serta dapat diterima kembali di masyarakat tidak dapat tercapai. Hukuman
mati ini juga mendatangkan penderitaan yang sangat berat bagi terpidana, baik pada saat
menunggu eksekusi maupun pada saat eksekusi itu sendiri. Pada saat menunggu
eksekusi, terpidana mati mengalami tekanan mental atas hukuman yang akan
dijalaninya dan pada saat dilaksanakannya eksekusi, yang bersangkutan mengalami
penderitaan fisik. Sehingga muncul pendapat bahwa apabila seseorang dijatuhi
hukuman mati maka yang bersangkutan menjalani double punishment.
xxviVolume 12, No.1 Nop 2011
LABEL PANGAN SEBAGAI BENTUK PERLINDUNG HUKUM
BAGI KONSUMEN
Oleh:
Adriana Pakendek, S.H.,MH, M.Si, MM.13
ABSTRAK
Pemberian label pangan adalah suatu bentuk perlindungan hukum bagi
konsumen.Tujuan pemberian label pangan yang dikemas adalah agar
masyarakat yang membeli dan atau mengkonsumsi pangan memperoleh
informasi yang benar dan jelas tentang setiap produk pangan yang
dikemas,baik menyangkut asal,keamanan,mutu,kandungan gizi maupun
keterangan lain yang diperlukan sebelum memutuskan akan membeli dan atau
mengkonsumsi pangan tersebut, karena masih banyak juga produsen maupun
konsumen tidak memperhatikan walaupun sudah ada aturannya.
Kata kunci: Label Pangan,Perlindungan Hukum, Konsumen
LATAR BELAKANG
Di media masa atau di media elektronik sering diberitakan kejadian-kejadian
keracunan makanan atau minuman (mamin) yang menimpa tidak hanya anak-anak
tetapi juga orang dewasa. Kasus keracunan mungkin bukanlah suatu kesengajaan tetapi
keteledoran dan ketidakhati-hatian berbagai pihak seperti pengusaha makanan dan
minuma14n (mamin), penjaja mamin, atau pembeli/konsumen yang tidak waspada akan
itikad buruk para penjual.
Suatu keanehan yang ditemukan bahwa bungkus atau kemasan produk
makanan-minuman jeli tersebut ternyata ada labelnya dan peredarannya resmi karena
punya izin Departemen Kesehatan serta batas kedaluwarsanya masih jauh. Tentunya
pertanyaan akan muncul di benak kita bahwa ternyata mamin ber-label pun tidak aman
dan bukan jaminan untuk tidak menyebabkan hal buruk bagi kesehatan.
Untuk melacak penyebab keracunan tersebut maka sampel mamin yang
disuguhkan haruslah dibawa ke laboratorium yang sudah memenuhi persyaratan. Selain
itu setiap mamin yang berlabel harus dicatat apakah mamin itu layak dikonsumsi
13
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira.
Volume 12, No.1 Nop 2011
xxvii
manusia. Yang jelas di sini bahwa kasus keracunan sangat mudah terjadi di tengah
masyarakat atau konsumen.
Suatu kasus yang pernah dimuat di harian Jawa Pos, 15 Maret 2004,
menyebutkan di Amerika sekitar 50 berondong jagung bermerek yang berlabel, mulai
dari popcorn super buttery (asin) sampai sugery sweet (manis) sedang diperiksa
kandungannya. Hal ini menyusul laporan suatu penelitian yang dilakukan EPA’S yang
mengatakan bahwa popcorn alias berondong jagung bisa mencemari lingkungan, oleh
karena beberapa bahan kimia yang dilepaskan ke udara ketika sekantung plastik
popcorn dibuka1.
Dalam berdagang mamin para pelaku usaha selain memproduksi barang
dagangannya sendiri tetapi ada juga yang hanya menampung dari pelaku usaha rumah
tangga kemudian seolah-olah hasil produksinya sendiri lalu mengemasnya dan
diperjual-belikan. Cara yang dilakukan para pengusaha atau pedagang yang mengambil
produk mamin dari masyarakat dan dikemas oleh pedagang tersebut bahkan diberi
embel-embel label dan dijamin halal merupakan perbuatan yang sudah lazim ditemukan.
Perbuatan pelaku usaha dengan menempeli sendiri label mungkin masih
dianggap kurang penting bagi pelaku usaha atau kurang disadari manfaat dan fungsinya,
bahwa pencantuman label tidak sembarangan saja tetapi ada aturan yang harus diikuti.
Lebih ironis lagi masih banyak masyarakat yang mengkonsumsinya mungkin dengan
alasan murah dan sederhana serta turut memajukan usaha rumah tangga. Tetapi
perbuatan masyarakat tersebut ternyata malah mendukung menjamurnya usaha ‘illegal’
mereka.
Sehubungan dengan label, masyarakat perlu informasi yang benar, jelas serta
lengkap dan bagi pelaku usaha dengan pencantuman label ini dapat memperoleh
perlindungan dan jaminan kepastian hukum. Di Negara kita Indonesia yang mayoritas
masyarakatnya beragama Islam secara khusus dan non diskriminatif perlu dilindungi
dengan adanya jaminan halal melalui pencantuman label halal. Dengan demikian
pencantuman label yang jujur sangat diharapkan sebab label tidak hanya berhubungan
dengan kesehatan tetapi juga jaminan perlindungan secara batiniah yang harus diberikan
kepada masyarakat.
Sehubungan dengan itu maka Pemerintah sangat peduli akan keselamatan
konsumen oleh karenanya dibentuklah suatu undang-undang tentang perlindungan
konsumen. Tepatnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, dimana dalam undang-undang ini ada larangan bagi pelaku usaha untuk
1
Adriana Pakendek, Pencantuman Label Pangan Pada Produk-Produk
Pangan/Camilan di Pamekasan Ditinjau Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang
Label dan Iklan Pangan, Skripsi, Universitas Madura, Pamekasan, 2004, h.33
Volume 12, No.1 Nop 2011
xxviii
tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa dan tidak memasang label yang disertai
dengan penjelasan.
Selain itu disebutkan juga bahwa perlindungan konsumen berdasarkan asas
kepastian hukum. Dalam penjelasannya asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik
pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Sebagai tindak lanjut dari adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut
maka dibuatlah peraturan tentang label dan iklan pangan yaitu Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Bahwa label
pangan merupakan sarana dalam kegiatan perdagangan pangan yang memiliki arti
penting, sehingga perlu diatur dan dikendalikan agar informasi mengenai pangan yang
disampaikan kepada masyarakat adalah benar dan tidak menyesatkan.
RUMUSAN MASALAH
Adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 tahun 1999 tentang
Label dan Iklan Pangan belumlah menjadi jaminan yang betul-betul bagi para
konsumen.
Dalam kehidupan masyarakat sangat mudah terancam dengan berbagai
perbuatan yang jelas-jelas atau terselubung dapat meracuni kesehatan mereka melalui
mamin yang tidak dijamin mutunya. Karena perilaku dan itikad baik para pelaku usaha
sangat dituntut untuk menaati peraturan tersebut.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapatlah memunculkan
beberapa pertanyaan: Bagaimanakah perlindungan hukum bagi konsumen dengan
adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
SUMBER-SUMBER HUKUM KONSUMEN
Di samping Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hukum konsumen
“ditemukan” di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di dalam
pasal 64 (Bab Ketentuan Peralihan) disebutkan bahwa segala ketentuan peraturan
perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat
Undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara
khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
Dengan demikian dapat diartikan bahwa untuk “membela” konsumen masih
harus dipelajari semua peraturan perundang-undangan umum yang berlaku. Peraturan
perundang-undangan umum yang berlaku, memuat juga berbagai kaidah menyangkut
hubungan dan masalah konsumen.
Volume 12, No.1 Nop 2011
xxix
Sekalipun peraturan perundang-undangan itu tidak khusus diterbitkan untuk
konsumen atau perlindungan konsumen, setidak-tidaknya ia merupakan sumber juga
dari hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen. Beberapa di antaranya
akan diuraikan berikut ini 2.
1.
Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR
Hukum Konsumen, terutama Hukum Perlindungan Konsumen mendapatkan
landasan hukumnya pada Unadng-Undang Dasar 1945, Pembukaan, Alinea ke-4
berbunyi:
“…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia…”
Umumnya sampai saat ini, orang bertumpu pada kata “segenap bangsa”
sehingga ia diambil sebagai asas tentang persatuan seluruh bangsa Indonesia (asas
persatuan bangsa). Tetapi di samping itu dari kata “melindungi”, di dalamnya
terkandung pula asas perlindungan (hukum) pada segenap bangsa. Perlindungan hukum
pada segenap bangsa itu, tanpa kecuali laki-laki atau perempuan, orang kaya atau
miskin, orang kota atau orang desa, orang asli atau orang keturunan, dan
pengusaha/pelaku usaha atau konsumen.
Landasan hukum lainnya termuat dalam pasal 27 ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945, yang berbunyi:
“Tiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
Apabila kehidupan seseorang terganggu atau diganggu oleh pihak/pihak-pihak
lain maka alat-alat negara akan turun tangan, baik diminta atau tidak, untuk melindungi
dan atau mencegah terjadinya gangguan tersebut. Untuk melaksanakan perintah UUD
1945 melindungi segenap bangsa, dalam hal ini khususnya melindungi konsumen, maka
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menetapkan berbagai Ketetapan MPR,
khususnya sejak tahun 1978. Pada TAP MPR tahun 1993 makin jelas kehendak rakyat
atas adanya perlindungan konsumen, sekalipun dengan kualifikasi yang berbeda-beda.
Pada TAP MPR 1978 digunakan istilah “menguntungkan” konsumen, TAP
MPR 1988 “menjamin” kepentingan konsumen, dan TAP MPR 1993 digunakan istilah
“melindungi” kepentingan konsumen.
2. Hukum Konsumen dalam Hukum Perdata
Hukum perdata yang dimaksudkan di sini adalah hukum perdata dalam arti
luas, termasuk hukum perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang
2
Az. Nasution,
Jakarta, 1999, h. 31-43
Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, Daya Widya,
xxxVolume 12, No.1 Nop 2011
termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Baik hukum perdata
tertulis maupun hukum perdata tidak tertulis (hukum adat).
Kaidah-kaidah hukum perdata umumnya termuat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPer), juga kaidah-kaidah hukum perdata adat yang tidak tertulis
tetapi ditunjuk oleh pengadilan-pengadilan dalam perkara-perkara tertentu.
Di samping itu dalam berbagai peraturan perundang-undangan lain, tampaknya
termuat pula kaidah-kaidah hukum yang mempengaruhi dan/atau termasuk dalam
bidang hukum perdata. Antara lain tentang siapa yang dimaksudkan sebagai subjek
hukum dalam suatu hubungan hukum konsumen, hak-hak dan kewajiban masingmasing, serta tata cara penyelesaian masalah yang terjadi dalam sengketa antara
konsumen dan penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan bersangkutan.
3. Hukum Konsumen dalam Hukum Publik
Dengan hukum publik dimaksudkan hukum yang mengatur hubungan antara
negara dan alat-alat perlengkapannya atau hubungan antara negara dengan perorangan.
Termasuk hukum publik, dan terutama dalam kerangka hukum konsumen dan atau
hukum perlindungan konsumen, adalah hukum administrasi negara, hukum pidana,
hukum acara perdata, dan atau hukum acara pidana dan hukum internsional khususnya
hukum perdata internasional.
Segala kaidah hukum maupun asas-asas hukum ke semua cabang-cabang
hukum publik itu sepanjang berkaitan dengan hukum konsumen dan/atau masalahnya
dengan penyedia barang atau penyelenggara jasa, dapat pula diberlakukan.
Beberapa Aspek Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen
1.
Aspek Keperdataan
Aspek keperdataan dimaksudkan segala hal berkaitan dengan hak-hak dan
kewajiban konsumen yang bersifat keperdataan. Hal-hal yang penting dalam hubungan
konsumen dan penyedia barang dan atau penyelenggara jasa (pelaku usaha) antara
lain 3:
1.1.
erkaitan dengan Informasi
Bagi konsumen, informasi tentang barang dan atau jasa merupakan kebutuhan
pokok sebelum ia menggunakan sumber dananya (gaji, upah, honor, dll) untuk
mengadakan transaksi konsumen tentang barang/jasa tersebut. Informasi dapat
diperoleh dari keterangan atau bahan-bahan, lisan atau tertulis, baik dari pelaku usaha
atau kalangan pemerintah dan dari konsumen itu sendiri.
3
Ibid., h. 55-68
Volume 12, No.1 Nop 2011
xxxi
Dari kalangan pelaku usaha umumnya dari berbagai bentuk iklan baik melalui
media non-elektronik atau elektronik, label termasuk pembuatan berbagai selebaran,
seperti brosur, pamflet, katalog, dan lain-lain. Informasi dari kalangan pemerintah dapat
diserap dari berbagai penjelasan, siaran, keterangan, penyusunan peraturan perundangundangan atau tindakan pemerintah terhadap sesuatu produk konsumen.
Sedangkan informasi dari konsumen atau organisasi konsumen berasal dari
pembicaraan dari mulut ke mulut tentang suatu produk konsumen, surat-surat pembaca
pada media massa, berbagai siaran kelompok tertentu, tanggapan atau protes organisasi
konsumen. Siaran organisasi konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI) tentang hasil-hasil penelitian dan atau riset produk konsumen tertentu.
1.2. Bentuk Informasi
Sepertinya yang paling berpengaruh adalah informasi yang bersumber dari
kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan dan label. Iklan adalah bentuk
informasi yang umumnya bersifat sukarela, sekalipun pada akhir-akhir ini termasuk
juga yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (pasal 9,10, 12, 13,
17, dan pasal 20).
Sedangkan label merupakan informasi yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pengaturan tentang informasi yang disebut dengan
berbagai istilah seperti penandaan, label, atau etiket.
2.
Aspek Hukum Publik
2.1. Aspek Hukum Administrasi
Hukum administrasi mengatur kegiatan penataan dan kendali pemerintah
terhadap berbagai kegiatan kehidupan kemasyarakatan termasuk di antaranya membuat
peraturan perundang-undangan, pemberian izin atau lisensi, mengadakan perencanaan,
dan pemberian subsidi 4.
2.2. Aspek Hukum Pidana
Sebagaimana diketahui tiap aturan pidana berlaku terhadap setiap orang
dan/atau badan usaha yang berada di Indonesia. Tetapi untuk kejahatan-kejahatan dan
atau pelanggaran tertentu setiap orang di luar Indonesia juga dapat dikenakan tindak
pidana tertentu berdasarkan KUHP Indonesia 5.
Suatu contoh kasus yaitu putusan pengadilan berkenaan dengan pelanggaran
pasal 205 KUHP adalah dalam kasus biskuit Super Marie beracun (Putusan Pengadilan
Negeri No. 30/Pid.B/1990/PN.TNG. jo Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No.
4
5
Ibid., h. 111
Ibid., h. 133
Volume 12, No.1 Nop 2011
xxxii
60/Pid/1991/PT.Bdg. dan Putusan Mahkamah Agung No. 675 K/Pid/1994), di mana
pelakunya dipidana penjara 6 bulan dengan masa percobaan setahun.
Pasal 205 KUHP yang berbunyi:
Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan bahwa barang-barang yang
berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, dijual, diserahkan atau
dibagi-bagikan, tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh yang
membeli atau yang memperoleh, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan
atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau kurungan
paling lama satu tahun.
Barang-barang itu dapat disita.
1.3. Aspek Hukum Perdata Internasional
Yang dimaksud Hukum Perdata Internasional (HPI) menurut Prof. Mochtar
Kusumaatmadja 6 adalah:
Keseluruhan kaedah-kaedah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata
yang melintasi batas-batas negara-negara. Dengan perkataan lain hukum yang
mengatur hubungan hukum perdata antara pelaku-pelaku hukum yang masingmasing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan.
Saling berhubungannya warga negara sesuatu negara dengan warga negara
lainnya, pada suatu saat akan menimbulkan berbagai permasalahan. Hal ini karena
globalisasi di segala bidang kehidupan makin mendorong terjadinya hubunganhubungan antar-pribadi atau perusahaan satu sama lain 7.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen terdapat ketentuan-ketentuan
dengan hukum perdata internasional. Hal ini dapat dilihat pada pasal 8 ayat (1) huruf j
yang berbunyi:
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk
penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
A. Perlindungan Konsumen
Hubungan antara produsen (perusahaan penghasil barang dan atau jasa) dengan
konsumen (pemakai akhir dari barang atau jasa untuk diri sendiri atau keluarganya)
merupakan hubungan yang terus menerus dan kesinambungan. Hubungan berkelanjutan
6
7
Ibid., h. 180
Ibid., h. 181
Volume 12, No.1 Nop 2011
xxxiii
ini terjadi sejak proses produksi, distribusi di pemasaran dan penawaran. Rangkaian
kegiatan tersebut merupakan rangkaian perbuatan dan perbuatan hukum yang tidak
mempunyai akibat hukum dan yang mempunyai akibat hukum baik terhadap semua
pihak maupun hanya kepada pih-pihak tertentu.
Sampai pada tahapan hubungan penyaluran atau distribusi tersebut
menghasilkan suatu hubungan yang sifatnya massal. Karena itulah maka peran negara
sangat dibutuhkan dalam rangka melindungi kepentingan konsumen 8. Karena
kompleksnya hubungan antara produsen dan konsumen serta banyaknya mata rantai
penghubung keduanya, maka untuk melindungi konsumen sebagai pemakai akhir dari
produk barang atau jasa membutuhkan berbagai aspek hukum agar benar-benar dapat
dilindungi dengan adil, bahkan sejak awal produksi perlindungan konsumen sudah
harus dimulai.
Pada era pasar bebas sekarang ini, di mana lalu lintas hubungan produsen dan
konsumen menjadi makin dekat dan makin terbuka, maka campur tangan negara,
kerjasama antar negara dan kerjasama internasional sangat dibutuhkan, yaitu guna
mengatur pola hubungan produsen, konsumen dan sistem perlindungan konsumen.
Sampai tanggal 20 April 1999, hukum positif Indonesia belum mengenal istilah
konsumen meskipun umumnya masyarakat Indonesia sudah memahaminya. Faktanya
adalah sampai pada saat itu belum ada suatu peraturan perundang-undangan yang
menggunakannya sehingga menimbulkan berbagai kesulitan dalam menentukan
siapakah konsumen itu dan bagaimana perlindungan hukumnya.
Istilah konsumen tergantung dalam posisi mana ia berada. Dalam UU Barang
menyebutkan tentang rakyat yang oleh undang-undang harus dijaga agar terjamin
kesehatan dan keselamatannya. Menurut UU Kesehatan, tidak menggunakan istilah
konsumen untuk pemakai. Pengguna barang dan/atau pemanfaat jasa kesehatan, tetapi
menggunakan istilah setiap orang (pasal 1 angka 1, pasal 3, 4, 5, dan pasal 56); juga
istilah masyarakat (pasal 9, 10, dan 21), dan dalam Kitab UU Hukum Perdata
(KUHPer), terdapat istilah pembeli, penyewa, penerima hibah, peminjam pakai,
peminjam dan sebagainya yang di satu sisi dapat merupakan konsumen tetapi di sisi lain
sebagai pelaku usaha9.
Menurut UU Perlindungan Konsumen, istilah konsumen adalah Pasal 1, butir
2, berbunyi demikian:
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
8
Sri Redjeki Hartono, Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen pada Era
Perdagangan Bebas, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2002, h. 36
9
Az. Nasution, op.cit., h. 3-8
Volume 12, No.1 Nop 2011
xxxiv
Dalam penjelasannya: di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah
konsumen akhir dan konsumen perantara. Konsumen akhir adalah pengguna
dan pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah
konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu
produksi lainnya.
Tentang istilah pelaku dapat dijelaskan dari pengertian UU Perlindungan
Konsumen yang terdapat dalam Pasal 1, butir 3 berbunyi demikian:
Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Dalam penjelasannya: pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, Badan
Usaha Milik Negara, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.
Dengan demikian dalam kegiatan bisnis terdapat hubungan yang saling
membutuhkan antara pelaku usaha dengan konsumen. Kepentingan pelaku usaha adalah
memperoleh laba dari transaksi dengan konsumen, sedangkan kepentingan konsumen
adalah memperoleh kepuasan melalui pemenuhan kebutuhannya terhadap produk
tersebut. Menurut Purba terdapat sendi-sendi pokok pengaturan perlindungan
konsumen, sebagai berikut:
Kesederajatan antara konsumen dan pengusaha.
Konsumen mempunyai hak.
Pengusaha mempunyai kewajiban.
Pengaturan mengenai perlindungan konsumen menyumbang pada pembangunan
nasional.
Pengaturan tidak merupakan syarat.
Perlindungan konsumen dalam iklan hubungan bisnis yang sehat.
Keterbukaan dalam promosi produk.
Pemerintah berperan aktif.
Peran serta masyarakat.
Implementasi asas kesadaran hukum.
Perlindungan konsumen memerlukan penerobosan konsep-konsep hukum
tradisional.
12. Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap 10.
10
Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2002, h. 27
Volume 12, No.1 Nop 2011
xxxv
Secara universal diakui adanya hak-hak konsumen yang harus dilindungi dan
dihormati, yaitu:
Hak keamanan dan keselamatan
Hak atas informasi
Hak untuk memilih
Hak untuk didengar
5. Hak atas lingkungan hidup 11
Dalam ayat (1) pasal 25 Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia
disebutkan bahwa:
Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan dan keadaan
baik untuk dirinya dan keluarganya, termasuk soal makanan, pakaian,
perumahan dan perawatan kesehatannya ….
Namun dalam kenyataannya posisi konsumen biasanya berada pada posisi
tawar-menawar yang lemah dan karenanya dapat menjadi eksploitasi dari pelaku usaha
yang secara sosial dan ekonomi memiliki posisi yang kuat 12. Di tengah masyarakat,
banyak produk pangan yang beredar tanpa mengindahkan ketentuan pencantuman label.
Hal tersebut akan meresahkan konsumen. Perbuatan yang meresahkan konsumen
tersebut seperti produk pangan yang kadaluarsa, kesengajaan pemakaian bahan
pewarna/pengawet yang tidak diperuntukkan bagi pangan tetapi untuk tekstil atau
perbuatan-perbuatan lain yang akibatnya sangat merugikan masyarakat.
Ancaman kesehatan dan keselamatan jiwa manusia ada di sekitar kita karena
produk pangan yang tidak aman atau diragukan keamanannya dengan mudahnya
ditemukan dan dijual dengan harga yang terjangkau oleh anak-anak dengan uang jajan
mereka. Anak-anak mudah terpengaruh akan iklan yang sering dilihatnya di manamana. Sudah barang tentu anak-anak menjadi korban penipuan label dan iklan pangan
yang tidak jujur atau menyesatkan.
Dengan hal-hal tersebut, masyarakat dunia sangat perhatian dan penuh
keprihatinan terhadap konsumen sebagai korban. Wujud dari perhatian tersebut tertuang
dalam Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/248 tanggal 16 April 1985
tentang Perlindungan Konsumen 13.
Adapun kepentingan konsumen yang dilindungi menurut resolusi itu antara
lain: perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat (public health) serta pelanggaran terhadap ketentuan/persyaratan barang dan
11
Sri Redjeki Hartono, op.cit., h. 39
Sanusi Bintang dan Dahlan, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2000, h. 107
13
Yusuf Shofie, op.cit., h. 12
12
Volume 12, No.1 Nop 2011
xxxvi
jasa bagi para konsumen (offences against the provision of good and services to
consummers).
Kepentingan-kepentingan konsumen yang seyogyanya dilindungi menurut
resolusi itu adalah sebagai berikut:
Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya.
Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen.
Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan
kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan
kebutuhan pribadi.
Pendidikan konsumen.
Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif.
6. Keberhasilan untuk membentuk organisasi konsumen dan atau organisasi
lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut
untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang
menyangkut kepentingan mereka 14.
Kegiatan perlindungan konsumen berfungsi sebagai pendorong efesiensi dalam
kegiatan usaha dan kesejahteraan masyarakat. Jika konsumen diberi perlindungan
tentunya perlindungan yang sama pada pengusaha yang jujur dan beritikad baik juga
harus diberikan kepada mereka. Sebagai konsumen suatu produk pangan, masyarakat
berhak untuk memperoleh informasi yang benar, jelas, dan lengkap baik mengenai
kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukannya. Informasi tersebut
hendaknya tidak menyesatkan mengenai pangan yang akan dikonsumsinya, khususnya
yang disampaikan melalui label dan iklan pangan.
Suatu informasi yang tidak jelas akan memudahkan terjadinya kecurangankecurangan dari pihak pelaku usaha. Padahal informasi yang merupakan salah satu
kewajiban pelaku usaha seperti yang terdapat dalam pasal 7 huruf a UU Perlindungan
Konsumen menyebutkan bahwa kewajiban pelaku usaha memberikan informasi yang
benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan. Manusia
berkepentingan untuk mendapatkan perlindungan melalui produk pangan yang
ditawarkan. Dengan mewujudkan perlindungan konsumen berarti mewujudkan
hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling
ketergantungan antara konsumen, pengusaha, dan pemerintah 15.
Bentuk perlindungan konsumen dapat dilihat dalam Undang-undang Nomor 10
tahun 1961 Tentang Barang, dimana pada pasal 2 ayat (4) menyebutkan:
14
Ibid., h. 12
Nurmadjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang
Perlindungan Konsumen dalam menghadapi Era Perdagangan Bebas, Hukum Perlindungan
Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2002, h. 7
15
Volume 12, No.1 Nop 2011
xxxvii
Pemberian nama dan/atau tanda-tanda yang menunjukkan asal, sifat susunan
bahan, bentuk banyaknya dan/atau kegunaan barang-barang yang baik
diharuskan maupun tidak diperbolehkan dibubuhkan atau dilekatkan pada
barang pembungkusannya, tempat barang-barang itu diperdagangkan dan alatalat reklame, pun cara pembubuhan atau melekatkan nama dan/atau tandatanda. Untuk produk makanan dan obat diwajibkan mencantumkan label pada
wadah atau pembungkusnya.
Di negara kita perlindungan terhadap konsumen telah diatur dalam Undangundang Perlindungan Konsumen yang kemudian ditindaklanjuti melalui Peraturan
Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan. Perlindungan hukum konsumen sangat
penting mengingat pembangunan perekonomian nasional di era globalisasi semakin
mendukung tumbuhnya dunia usaha yang menghasilkan beraneka ragam produk yang
memiliki kandungan teknologi.
Menyangkut perlindungan hukum kepada konsumen, disebabkan faktor-faktor,
antara lain:
kedudukan konsumen yang relatif lemah dibandingkan produsen;
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai motor penggerak
produktifitas dan efesiensi produsen dalam menghasilkan barang/jasa;
perubahan konsep pemasaran yang mengarah pada pelanggan dalam kontek
lingkungan eksternal yang lebih luas pada situasi ekonomi global.
Selain itu perlindungan konsumen diarahkan untuk tercapainya tujuan, yaitu:
menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan
akses dan informasi serta menjamin kepastian hukum;
melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan seluruh pelaku usaha;
meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa;
d. memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang menipu
dan menyesatkan 16.
Pemberian label pangan adalah satu bentuk perlindungan hukum konsumen.
Tujuan pemberian label pada pangan yang dikemas adalah agar masyarakat yang
membeli dan atau mengkonsumsi pangan memperoleh informasi yang benar dan jelas
tentang setiap produk pangan yang dikemas, baik menyangkut asal, keamanan, mutu,
kandungan gizi, maupun keterangan lain yang diperlukan sebelum memutuskan akan
membeli dan atau mengkonsumsi pangan tersebut.
16
Romli Atmasasmita, Bentuk-Bentuk Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Produsen
pada Era Perdagangan Bebas: Suatu Upaya Antisipatif Preventif dan Represif, Hukum
Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2002, h. 93
Volume 12, No.1 Nop 2011
xxxviii
Di pasar-pasar atau tempat-tempat berjualan sering ditemukan produk pangan
yang dikemas di tempat atau di hadapan pembeli. Tentang produk pangan tersebut tidak
digolongkan ke dalam produk pangan yang dikemas/kemasan. Tentang hal ini diatur
dalam Ketentuan Khusus Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan, pasal
63 yang menyebutkan ketentuan tentang label sebagaimana yang dimaksud dalam
peraturan ini tidak berlaku bagi:
pangan yang kemasannya terlalu kecil sehingga tidak mungkin dicantumkan
seluruh keterangan dimaksud dalam Peraturan Pemerintah;
pangan yang dijual dikemas secara langsung dihadapan pembeli dalam jumlah
kecil-kecil;
pangan yang dijual dalam jumlah besar (curah).
Dalam penjelasannya disebutkan pengecualian pada huruf a dimaksudkan
hanya bagi produk pangan yang kemasannya terlalu kecil, sehingga secara teknis sulit
memuat seluruh keterangan yang diwajibkan sebagaimana berlaku bagi produk pangan
lainnya, yang lazimnya oleh pihak yang memproduksi pangan yang bersangkutan,
pangan tersebut dimasukkan ke dalam kemasan yang lebih besar yang memungkinkan
untuk memuat keterangan. Sedangkan untuk huruf c pangan dalam jumlah besar (curah)
adalah pangan yang dikemas dalam wadah, sehingga volume bersih pangan yang
bersangkutan lebih dari 500 liter atau berat bersih pangan yang berangkutan lebih dari
500 kilogram.
Jaminan perlindungan terhadap konsumen adalah salah satunya dapat dilihat
pada pencantuman label. Menurut Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan
Pangan, pasal 1 angka 3 dikatakan bahwa label pangan adalah setiap keterangan
mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau berbentuk
lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan kepada, atau
merupakan bagian kemasan pangan. Sedangkan dalam pasal 5 ayat (1) Peraturan
Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan disebutkan keterangan dan atau pernyataan
tentang pangan dalam label harus benar dan tidak menyesatkan. Yang dimaksudkan
‘keterangan dianggap tidak benar’ apabila keterangan tersebut bertentangan dengan
kenyataan sebenarnya atau tidak memuat keterangan yang diperlukan agar keterangan
tersebut dapat memberikan gambaran atau kesan yang sebenarnya tentang pangan.
Yang dimaksudkan ‘keterangan yang menyesatkan’ adalah pernyataan yang
berkaitan dengan hal-hal seperti sifat, harga, bahan, mutu, komposisi, manfaat, atau
keamanan pangan yang meskipun benar, dapat menimbulkan gambaran yang
menyesatkan pemahaman mengenai pangan yang bersangkutan. Selanjutnya pasal 6
ayat (1) Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan menegaskan bahwa
pencantuman pernyataan tentang manfaat pangan bagi kesehatan dalam label hanya
dapat dilakukan apabila didukung oleh fakta ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Pangan, pada labelnya harus
dicantumkan nama golongan BTP, seperti golongan antioksidan, pemanis buatan,
Volume 12, No.1 Nop 2011
xxxix
pengawet, pewarna, dan lain-lain. Begitu juga pada wadah BTP harus dicantumkan
label yang memenuhi ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Republik IndonesiaI
tentang Label dan Periklanan Pangan yaitu harus mencantumkan:
Tulisan “Bahan Tambahan Pangan” atau “Food Additive”,
Nama BTP, khusus untuk pewarna dicantumkan pula nomer indeksnya,
Nama golongan BTP,
Nomor pendaftaran produsen,
e. Nomor pendaftaran produk, untuk BTP yang harus didaftarkan 17
B. Pelaku Usaha
Di dalam UU Perlindungan Konsumen, norma-norma (hukum materiel)
perlindungan konsumen dikelompokkan ke dalam dua kelompok sebagai berikut: 1).
Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha (Bab IV); dan 2). Ketentuan pencantuman
klausula baku (Bab V). Namun demikian pengelompokan ini belum menggambarkan
mata rantai hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen, dari mulai kegiatan proses
produksi barang dan jasa sampai ke tangan konsumen, baik melalui transaksi atau
peralihan lainnya yang dibenarkan hukum 18.
Dalam perdagangan pangan yang berlangsung jujur dan bertanggungjawab
tidak hanya untuk melindungi kepentingan masyarakat yang mengkonsumsi pangan.
Tetapi melalui pengaturan yang tepat disertai sanksi-sanksi hukum yang berat,
diharapkan setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan dapat
memperoleh perlindungan dan jaminan kepastian hukum. Peraturan hendak
memberikan perlindungan hukum baik kepada konsumen maupun pelaku usaha.
Dengan demikian terciptanya saling menghormati dan menghargai di kedua belah
pihak. Pelaku usaha tidak menginginkan keuntungan sesaat dan kerugian
berkepanjangan dengan tidak dipercayainya konsumen akan produknya demikian juga
konsumen tidak menginginkan ada efek negatif terhadap kesehatannya akibat
mengkonsumsi suatu produk dan tidak menghendaki ketidakjujuran dari pelaku usaha.
Saling percaya mempercayai antara produsen dan konsumen sangat penting demi
berkesinambungannya transaksi di antara mereka.
Sebagai pelaku usaha dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi,
BUMN, koperasi, importer, pedagang, distributor, dan lain-lain, diberikan suatu hak
dalam rangka menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan
keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen kepada pelaku 19.
17
Balai Besar POM, Bahan Tambahan Pangan (BTP), Surabaya, 2003, h.83
Yusuf Shofie, op.cit., h. 33
19
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,
Gramedia, Jakarta, 2003, h. 33
18
xl
Volume 12, No.1 Nop 2011
C. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Adapun hak-hak pelaku usaha sesuai pasal 6 Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen yaitu:
menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai
tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen
tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
Sebagai konsekuensi dari hak tersebut di atas maka kepada pelaku usaha
dibebankan kewajiban-kewajiban sesuai dengan pasal 7 Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen sebagai berikut:
beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
pengguanaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
D. Larangan bagi Pelaku Usaha
Agar pelaku usaha selalu instropeksi diri dan tidak merugikan konsumen maka
perlu diberikan larangan-larangan dalam berusaha. Larangan tersebut diatur pada pasal
8 sampai dengan pasal 18 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Beberapa
larangan tersebut, misalnya diatur pasal 8 ayat (1) sebagai berikut:
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundangan-undangan;
tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
Volume 12, No.1 Nop 2011
xli
tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran sebenarnya;
tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan
barang dan/atau jasa tersebut;
tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
tidak
mencantumkan
tanggal
kadaluarsa
atau
jangka
waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
“halal” yang dicantumkan dalam label;
tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan,
akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
LABEL SEBAGAI PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pengamanan makanan dan minuman sesuai dengan pasal 21 ayat (1) UndangUndang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, diselenggarakan untuk melindungi
masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan mengenai
standar dan atau persyaratan kesehatan. Dalam penjelasan ayat (1) ini bertujuan agar
masyarakat terhindar dari makanan dan minuman yang dapat membahayakan kesehatan.
Pemerintah menetapkan standar dan persyaratan agar makanan dan minuman yang
bersangkutan aman dan layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
Selanjutnya ayat (2) pasal 21 UU Kesehatan menyebutkan setiap makanan dan
minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi:
bahan yang dipakai;
komposisi setiap bahan;
tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa;
ketentuan lainnya.
Menurut UU Kesehatan makanan dan minuman yang dikemas adalah makanan
dan minuman hasil produksi perusahaan yang tergolong industri berskala besar dan
tidak termasuk hasil industri kecil atau rumah tangga. Dengan demikian industri kecil,
atau industri rumah tangga, baik yang menggunakan merek dagang maupun tidak,
belum dikenakan sanksi pidana.
Ayat (3) pasal 21 UU Kesehatan menerangkan bahwa makanan dan minuman
yang tidak memenuhi ketentuan standar dan atau persyaratan kesehatan dan atau
xlii Volume 12, No.1 Nop 2011
membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang untuk
diedarkan, ditarik dari peredaran, dan disita untuk dimusnahkan. Penjelasan ayat (3) ini
adalah untuk melindungi masyarakat, peredaran makanan dan minuman hasil produksi
berskala besar dengan menggunakan teknologi maju yang tidak memenuhi ketentuan
standar dan atau persyaratan kesehatan dilarang peredarannya.
Syarat-syarat Label
Istilah label atau disebut juga penandaan atau etiket adalah informasi produk
kepada konsumen 20. Apabila memperhatikan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 79 Tahun 1978 tentang Label dan Periklanan Makanan, pada pasal 1
angka 2 menyebutkan etiket adalah label yang dilekatkan, dicetak, diukir atau
dicantumkan dengan jalan apapun pada wadah atau pembungkus.
Tentang syarat-syarat label dapat dilihat dan tercantum dalam pasal 3 ayat (1)
Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan yang menyebutkan bahwa label
berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan. Selanjutnya pada ayat (2)
dinyatakan bahwa keterangan tersebut sekurang-kurangnya mencantumkan:
a. Nama produk;
b. Daftar bahan yang digunakan;
c. Berat bersih atau isi bersih;
d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke
dalam wilayah Indonesia;
e. Tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.
Bagian Utama Label dan Tulisan pada Label
Bagian utama label adalah bagian dari label yang memuat keterangan paling
penting untuk diketahui oleh konsumen, pada pasal 12 Peraturan Pemerintah tentang
Label dan Iklan Pangan, menyebutkan bagian utama label sekurang-kurangnya memuat:
nama produk;
berat bersih; dan
nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam
wilayah Indonesia.
Sepertinya ada pertentangan antara pasal 12 dengan pasal 3 ayat (2) Peraturan
Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan yang juga memuat sekurang-kurangnya
tentang label. Bila dalam pasal 3 ayat (2) menyebutkan sekurang-kurangnya lima
persyaratan label tetapi pada pasal 12 menyebutkan sekurang-kurangnya tiga bagian
utama label saja.
Penulisan keterangan pada label haruslah teratur, tidak berdesak-desakan, jelas,
dan dapat dibaca. Selanjutnya ditempatkan pada sisi kemasan pangan yang paling
20
Az. Nasution, op.cit, h. 70
Volume 12, No.1 Nop 2011
xliii
mudah dilihat, diamati, dan atau dibaca oleh masyarakat. Selain itu keterangan pada
label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf
Latin.
Bahasa sangat penting untuk mengetahui tentang produk yang akan
dikonsumsi. Apabila tidak mengetahui atau mengerti bahasa pada produk yang akan
dibeli maka akan menimbulkan resiko pada pembeli sendiri. Oleh karena itu
mengertilah bahasa pada label sebelum membeli produk tersebut. Jangan tergiur dengan
produk luar negeri dengan bahasa tidak dimengerti seperti bahasa Cina, Arab, dan lainlain.
Tidak jarang ada orang membeli produk Cina yang bertuliskan bahasa Cina
dan ketika ditanya untuk apa produk itu, maka jawabnya adalah tidak tahu! Mengapa
tidak tahu? Karena konsumen hanya membeli dan mengkonsumsi produk tersebut
berdasarkan: katanya orang produk itu cocok untuk itu dan ini, katanya …katanya…
dan seterusnya. Bukankah ketidakmengertian akan mengorbankan diri sendiri dan
kesehatannya?
Bahasa yang digunakan pada label sangat penting. Bila tidak mengerti atau
memahami bahasanya lebih baik tidak membeli dan bisa mencari produk sejenis dengan
bahasa yang dimengerti. Keterangan pada label ditulis dan dicetak dengan
menggunakan bahasa Indonesia atau dengan istilah asing yang tidak ada padanannya.
Dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh konsumen maka dapat
dihindari misinformasi terutama dalam cara penyimpanan, mengolah, dan masa
kedaluwarsa 21.
Label dan Keterangan-keterangannya
Nama Produk Pangan
Nama sangat penting untuk menandai sesuatu dan membedakan dengan produk
yang lain. Tidak ada nama produk pangan yang sama dan serupa, karena masing-masing
pelaku usaha punya merk tersendiri dalam usahanya. Nama produk pangan
menunjukkan sifat dan atau keadaan yang sebenarnya. Produk pangan haruslah telah
memenuhi persyaratan tentang nama produk pangan yang ditetapkan dalam Standar
Nasional Indonesia (SNI).
Keterangan tentang Bahan yang Digunakan
Menurut penjelasan ayat (3) butir a pasal 21 UU Kesehatan, bahan yang
dipakai meliputi bahan pokok, bahan tambahan, dan bahan penolong. Yang dimaksud
komposisi bahan adalah jumlah setiap bahan dalam makanan dan minuman.
Dalam kegiatan atau proses produksi pangan suatu keterangan tentang bahan
yang digunakan dicantumkan pada label. Daftar bahan yang digunakan diurut secara
21
YLKI, Siapa Raja Konsumen atau Produsen? Kumpulan Rubrik Advokasi
Konsumen, Kompas, Jakarta, 2000, h. 86
xlivVolume 12, No.1 Nop 2011
berurutan dan daftar bahan pangan diurut/ dimulai dari bagian yang terbanyak. Khusus
untuk air yang ditambahkan harus dicantumkan sebagai komposisi pangan, kecuali
apabila air itu merupakan bagian dari bahan yang digunakan.
Bahan pengawetan pangan yang sudah lama dikenal dan masih digunakan
sampai sekarang adalah penggaraman (digunakan pada pengawetan ikan, daging, dll),
pengasaman (digunakan pada pengawetan produk sayur-sayuran, mentimun, dll), dan
pengawetan dengan menggunakan gula (seperti dalam pembuatan selai, jeli, sari buah
pekat, sirup buah-buahan, susu kental manis, dan madu).
Sedangkan bahan pengawet kimia adalah bahan-bahan kimia yang
ditambahkan ke dalam bahan pangan atau ada di dalam bahan pangan sebagai akibat
dari perlakuan prapengolahan, pengolahan, atau penyimpanan. Untuk penyesuaian
dengan penggunaannya dalam pengolahan secara baik, penggunaan bahan pengawet
kimia, seharusnya:
1.
Tidak menimbulkan penipuan;
2.
Tidak menurunkan nili gizi dari bahan pangan;
3.
Tidak
memungkinkan
pertumbuhan
organisme
yang
menimbulkan keracunan 22
Mengenai pangan yang telah ditambah, diperkaya atau difortifikasi dengan
vitamin, mineral, atau zat penambah gizi lainnya tidak dilarang, sepanjang hal tersebut
benar dilakukan pada saat pengolahan pangan tersebut, dan tidak menyesatkan.
Pernyataan tersebut turut dicantumkan pada label. Adanya larangan untuk tujuan
tertentu seperti menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak
memenuhi persyaratan, menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara
produksi yang baik untuk pangan, dan untuk menyembunyikan kerusakan pangan.
Larangan tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Pangan.
c. Keterangan tentang Berat Bersih atau Isi Bersih
Berat bersih atau isi bersih harus dicantumkan dalam satuan metrik: dengan
ukuran isi untuk makanan cair; dengan ukuran berat untuk makanan padat; dan dengan
ukuran isi atau berat untuk makanan semi padat atau kental.
d. Keterangan tentang Nama dan Alamat
Nama dan alamat sangat penting untuk melacak dimana produk tersebut
dibuat. Selain itu apabila ada kepentingan untuk transaksi akan mudah dihubungi. Oleh
karena itu nama dan alamat pihak yang memproduksi pangan wajib dicantumkan pada
22
K.A.Buckle, ..et al, Ilmu Pangan, Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono,
Universitas Indonesia, Jakarta, 1985, h, 166, 173-174
Volume 12, No.1 Nop 2011
xlv
label. Ketentuan tersebut agar konsumen dapat memperoleh informasi tentang produsen
asal pangan.
e. Tanggal Kedaluarsa
Penjelasan butir c ayat (2) pasal 21 UU Kesehatan adalah ketentuan tanggal,
bulan, dan tahun kedaluwarsa dimaksudkan agar makanan dan minuman yang
bersangkutan digunakan sebelum tanggal, bulan, dan tahun yang dicantumkan dalam
label. Pengecualian dari ini adalah untuk makanan dan minuman yang tidak mempunyai
batas waktu penggunaannya.
Melalui Keputusan Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan Depkes Republik
Indonesia Nomor 01323/B/SK/V/1985 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 180/Men.Kes/Per/IV/1985 Tentang Makanan
Daluwarsa, disebutkan bahwa perlunya pencantuman tanggal daluwarsa dalam rangka
melindungi konsumen dari akibat yang dapat merugikan kesehatan.
Yang menentukan/menetapkan tanggal daluwarsa adalah produsen sendiri,
yang menunjukkan bahwa produknya masih memenuhi persyaratan mutu hingga
tanggal tersebut. Pengertian tanggal kadaluarsa/daluarsa adalah batas akhir suatu
makanan dijamin mutunya sepanjang penyimpanannya mengikuti petunjuk yang
diberikan oleh produsen. Pencantuman tanggal daluwarsa dinyatakan dalam tanggal,
bulan, dan tahun untuk makanan yang daya simpannya sampai dengan 3 bulan,
sedangkan untuk yang lebih dari 3 bulan dinyatakan dalam bulan dan tahun.
Setiap pelaku usaha atau produsen wajib mencantumkan tanggal, bulan dan
tahun kedaluwarsa produk pangan yang diproduksinya. Penulisan waktu kedaluwarsa
tidak seenaknya saja tetapi ada tata caranya yaitu pencantuman tanggal daluwarsa
dilakukan setelah pencantuman tulisan “Baik Digunakan Sebelum” sesuai dengan jenis
dan daya tahan pangan yang bersangkutan. Meskipun keterangan yang digunakan
adalah kata “Baik Digunakan Sebelum”, namun hal tersebut tidak mengurangi makna
ketentuan yang menyatakan tentang larangan memperdagangkan pangan yang
melampaui saat kedaluwarsanya.
Larangan bagi setiap orang dalam hal tanggal kedaluwarsa adalah: menghapus,
mencabut, menutup, mengganti label, melabel kembali pangan yang diedarkan; menukar
tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa pangan yang diedarkan. Kewaspadaan bagi
konsumen sebelum membeli suatu produk pangan berlabel adalah memperhatikan waktu
kedaluwarsanya apakah ada tanda-tanda kecurigaan pada label tersebut.
Tanggal kedaluarsa merupakan suatu petunjuk bahwa makanan dan minuman
yang kita beli aman untuk dikonsumsi. Kedaluarsa untuk makanan/minuman berbeda
dengan tanggal kadaluarsa (expiry date) pada obat yang sifatnya mutlak harus
diperhatikan oleh konsumen, karena obat yang melewati tanggal kadaluarsa dapat
menjadi racun. Sedang untuk makanan dan minuman, tanggal kadaluarsa lebih tepat
disebut best before atau “lebih baik dikonsumsi sebelum” tanggal tersebut.
Sebagian makanan/minuman yang sudah lewat tanggal best before bisa saja
tetap dikonsumsi walaupun rasanya mungkin sudah kurang seenak produk yang masih
baru diproduksi. Namun harus diingat, walaupun makanan/minuman belum melewati
xlviVolume 12, No.1 Nop 2011
tanggal best before, jika kemasannya sudah cacat, penyok, atau menggelembung, dapat
saja produk itu sudah tercemar bakteri yang memproduksi racun botulinum yang
mematikan 23.
Makanan tertentu sebagaimana diatur dalam Permenkes RI Nomor
346/Men.Kes/Per/IX/1983 yaitu berbagai jenis susu (cair, bubuk, fermentasi, steril,
pasteurisasi), makanan bayi dan anak-anak, maupun minuman serbuk dan ringan yang
mengandung susu, harus mencantumkan tanggal daluwarsa, karena jenis makanan
tersebut dapat mengalami perubahan dalam waktu yang cepat 24.
Pencantuman Tulisan Halal
Agar adanya kepastian bagi pemeluk Agama Islam tentang halal tidaknya
makanan dan minuman yang beredar maka perlu pencantuman tulisan halal pada label.
Oleh karena itu perlu diatur melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
82/MENKES/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” Pada Label Makanan. Pasal 1
butir 2 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 82/MENKES/I/1996 tentang Pencantuman
Tulisan “Halal” Pada Label Makanan berbunyi:
Makanan halal adalah semua jenis makanan dan minuman yang tidak
mengandung unsur atau bahan yang terlarang/haram dan atau yang
diolah/diproses menurut hukum Agama Islam.
Produk makanan yang mencantumkan tulisan “Halal” sesuai ayat (1) pasal 3
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 82/MENKES/I/1996 adalah:
Mie;
Bumbu masak;
Kecap;
Biskuit;
Minyak goreng;
Coklat/permen;
Susu, es krim;
Daging dan hasil olahannya;
Produk yang mengandung minyak hewan, gelatin, shortening, lechitin;
Produk lain yang dianggap perlu.
Pasal 10 dan 11 Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan memuat
mengenai pencantuman label halal pada produk pangan bagi umat Islam. Dalam
penjelasannya disebutkan bahwa kebenaran suatu pernyataan halal pada label pangan
tidak hanya dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu
23
24
YLKI, op.cit., h. 99-100
Ibid.., h. 83
Volume 12, No.1 Nop 2011
xlvii
yang digunakan dalam memproduksi pangan, tetapi harus pula dapat dibuktikan dalam
proses produksinya.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 82/MENKES/I/1996 prosedur
pencantuman tulisan halal harus melalui persetujuan Tim Penilai yang terdiri dari unsur
Departemen Kesehatan dan Departemen Agama. Hasil dari Tim Penilai disampaikan
kepada Dewan Fatwa untuk memperoleh persetujuan atau penolakan. Sedangkan menurut
penjelasan Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan, pemeriksaan terhadap
pangan untuk dinyatakan halal terlebih dahulu pada lembaga yang telah terakreditasi oleh
Komite Akreditasi Nasional (KAN). Di mana lembaga keagamaan yang dimaksud adalah
Majelis Ulama Indonesia.
Maksud dari pemeriksaan tersebut adalah untuk memberikan ketentraman dan
keyakinan umat Islam bahwa pangan yang akan dikonsumsi memang aman dari segi
agama.
5. Pengemasan Produk Makanan dan Minuman
Pengemasan penting juga dipahami oleh pelaku usaha dan konsumen.
Pengemasan yang kurang baik akan mempengaruhi apa yang dikemasnya. Dalam pasal
1 PP tentang Label dan Iklan Pangan butir 8 disebutkan bahwa kemasan pangan adalah
bahan yang digunakan untuk mewadahi dan atau membungkus pangan, baik yang
bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak.
Pengemasan suatu produk tidak boleh asal-asalan saja seperti yang sering
ditemukan. Atau pengemasan yang nampaknya sudah bagus tetapi tetap saja tidak
memenuhi syarat-syarat yang berlaku. Kesalahan dalam penggunaan pengemas dapat
mempersingkat waktu simpan, terutama bahan-bahan segar, juga merubah proses
pembusukan yang normal. Ada standar mutu yang harus dipenuhi dalam pengemasan.
Pengaturan standar mutu dari pengemasan sangat penting seperti halnya pengaturan
standar mutu bahan pangan itu sendiri.
Selain produk pangan yang mengancam kesehatan karena terdapatnya zat
berbahaya ternyata juga wadah makan dan minum yang sering digunakan anak-anak
terbuat dari campuran formalin. Wadah tersebut misalnya mangkok dan piring melamin
serta mug yang punya tutup. Kandungan formaldehid pada rebusan produk melamin
sekitar 0,05 mg atau lebih besar dari ambang batas bahaya. Dari hasil uji laboratorium,
produk formalin yang dipakai adalah produk dengan merk W Melamin dengan kadar
formalin 8,82 mg per liter, dan Huamei dengan kadar formalin mencapai 7,72 mg per
liter. Perlu diketahui ciri-ciri melamin yang memakai formalin biasanya harganya lebih
murah, warnanya beragam dan menarik 25 .
Untuk membuktikan bahwa bahan pengemas cukup memadai dilakukan secara
teknik laboratorium kemudian dilakukan percobaan di lapangan, apakah bahan pangan
yang telah dikemas dan disimpan tersebut dalam kondisi dan jangka waktu tertentu
tidak rusak. Jenis pengemasan dapat secara vakum dalam kantung plastik yang tembus
25
Surabaya Post, Beredar Mangkok Melamin Berformalin, 20 Januari 2006, h. 22
Volume
12, No.1 Nop 2011
xlviii
cahaya dan penyimpanannya dalam lemari pendingin bukan dijual di atas meja atau rak
di toko. Ada lima fungsi utama pengemasan, yaitu:
1)
Harus dapat mempertahankan produk agar bersih dan memberikan
perlindungan terhadap kotoran dan pencemaran lainnya;
2)
Harus memberi perlindungan pada bahan pangan terhadap kerusakan
fisik, air, oksigen dan sinar;
3)
Harus berfungsi secara benar, efesien, dan ekonomis dalam proses
pengepakan yaitu selama pemasukan bahan pangan ke dalam kemasan;
4)
Harus mempunyai suatu tingkat kemudahan untuk dibentuk menurut
rancangan yaitu memberi kemudahan kepada konsumen dalam membuka dan
menutup kembali wadah;
5)
Harus memberi pengenalan, keterangan dan daya tarik penjualan26.
6. Pembinaan dan Pengawasan
Dalam UU Perlindungan Konsumen masalah pembinaan dan perlindungan
konsumen dijelaskan sebagai berikut. Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa pemerintah
bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang
menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya
kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Pembinaan penyelengaraan perlindungan
konsumen meliputi upaya, untuk:
a.
terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang
sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
b.
berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat;
c.
meningkatnya sumber daya manusia serta meningkatnya
kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
Sesuai pasal 30 ayat (1) dan (2) untuk pengawasan dapat dilakukan oleh pihak
pemerintah yaitu Menteri dan/atau menteri teknis, masyarakat, dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
Dalam penjelasan ayat (3) pasal 30 UU Perlindungan Konsumen disebutkan
bahwa pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat dilakukan atas barang dan/atau jasa yang beredar di
pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei. Aspek pengawasan meliputi
pemuatan informasi tentang resiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan
label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktek dunia usaha.
Penjelasan ayat (3) pasal 21 UU Kesehatan menyebutkan makanan dan
minuman yang diproduksi oleh masyarakat seperti industri rumah tangga adalah
26
K.A.Buckle, op.cit., h.179-181
Volume 12, No.1 Nop 2011
xlix
pengrajin makanan dan minuman yang masih dalam taraf pembinaan dan pengawasan
perlu diterapkan persyaratan yang menyangkut kebersihan dan sanitasi agar tidak
tercemar kotoran, jasad renik dan bahan yang berbahaya.
Di daerah pembinaan dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan
Dinas Kesehatan. Dinas Perindustrian dan Perdagangan akan mengeluarkan Surat Ijin
Usaha Perdagangn (SIUP) dan Tanda Daftar Industri (TDI) sedangkan Dinas Kesehatan
akan memberikan ijin dalam bentuk Sertifikat Penyuluhan (SP).
Namun demikian tidak semua pelaku usaha dibina oleh pihak terkait.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis dtemukan 66,7% pelaku usaha yang
dibina dan sisanya mengaku tidak dibina. Akibatnya pelaku usaha yang tidak dibina
tidak mau mengurus ijin, padahal mereka terus menjual produk mereka kepada orang
banyak 27. Kemungkinan lain kurangnya kesadaran pelaku usaha terhadap pentingnya
labelisasi produk dan pengenaan persyaratan seperti pajak, kena biaya SIUP, biaya TDI,
dan biaya ijin SP. Dalam hal ini pentingnya sosialisasi dinas terkait kepada para pelaku
usaha.
Satu temuan yang menarik pada penelitian tersebut adalah ditolaknya produk
yang tidak mempunyai SP oleh satu supermarket alasannya bahwa produk tersebut
belum dijamin keamanannya. Tentunya tindakan supermarket tersebut memaksa pelaku
usaha untuk mengurus perijinan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila pelaku usaha tidak melengkapi labelnya akan merugikan pelaku usaha itu
sendiri karena produknya dijual terbatas.
Sertifikat Penyuluhan (SP) yang diterbitkan oleh Dinas Kesehatan mempunyai
arti adanya jaminan keamanan suatu produk tentang kualitas hygiene sanitasi. Untuk
mendapatkan SP ini pihak Dinas Kesehatan terlebih dahulu memeriksa tempat pengrajin
makanan/camilan apakah telah memenuhi Laik Hygiene Sanitasi. Berdasarkan itu
kemudian pengrajin makanan/camilan baru dapat diberikan SP.
SENGKETA KOMSUMEN DAN PENYELESAIANNYA
Sengketa dalam bisnis dapat terjadi karena adanya kesalahpahaman,
pelanggaran perundang-undangan, ingkar janji, kepentingan yang berlawanan, dan atau
kerugian pada salah satu pihak. Apakah yang dimaksud dengan sengketa konsumen?
Sengketa terjadi apabila terdapat perbedaan pandangan atau pendapat antara para pihak
tertentu tentang hal tertentu. Satu pihak merasa dirugikan hak-haknya oleh pihak yang
lain, sedang yang lain tidak merasa demikian. Oleh karena itu batasan sengketa
konsumen perlu didefenisikan. Menurut Az. Nasution, sengketa konsumen adalah:
Sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha (publik atau privat) tentang
produk konsumen, barang dan/atau jasa konsumen tertentu 28.
27
Adriana Pakendek, op.cit., h. 30
Az. Nasution, op.cit., h. 221
Volume 12, No.1 Nop 2011
28
l
Penyelesaian sengketa konsumen dengan menggunakan hukum acara yang
umumnya berlaku, membawa padanya segala keuntungan dan kerugian bagi konsumen
dalam proses perkaranya. Antara lain beban pembuktian dan biaya pada pihak yang
menggugat secara perdata, atau mengajukan tuntutan administratif atau pidana,
sebagaimana ditentukan dalam hukum acara perdata, hukum acara administratif atau
hukum acara pidana.
Keadaan seperti diuraikan di atas pada umumnya lebih berfungsi
“melemahkan” dan “tidak memberdayakan” konsumen sesuai kehendak unadngundang, karena membebankan kesulitan pada mereka dalam membuktikan niat pelaku
usaha, apakah sengaja, alpa, atau tidak hati-hati dalam menjalankan usahanya.
Proses perkara sengketa konsumen harus mengikuti proses perkara perdata,
administratif atau pidana yang berlaku dengan segala konsekuensi beban pembuktian
dan pembiayaannya. Dapat dibayangkan betapa sulitnya “keadilan” yang harus dicari
konsumen dalam sengketa yang timbul dan merugikan kepentingannya, khususnya
kepentingan-kepentingan konsumen yang kecil baik dalam nilai maupun jumlahnya 29.
Keadaan hukum di negara kita masih mengawetkan pola hubungan penjual dan
pembeli yang tradisional. Posisi konsumen sebagai penggugat dalam hubungan
kontraktual yang berkualifikasi perbuatan melawan hukum sangatlah lemah. Ini terlihat
jelas dari pasal 1365 KUH Perdata yang mengharuskan konsumen melakukan
pembuktian unsur-unsur:
adanya perbuatan melawan hukum
adanya kesalahan atau kelalaian produsen
adanya kerugian yang diderita konsumen
hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang dideritanya
Tidaklah adil mengharuskan konsumen membuktikan kelalaian atau kesalahan
produsen dalam proses produksi makanan sebab yang mengetahui proses produksi
justru produsen sendiri. Bila menerapkan doktrin product liability (tanggung jawab
produk), maka konsumen tidak lagi dibebani untuk membuktikan kelalaian atau
kesalahan produsen, melainkan produsenlah yang harus membuktikan ada tidaknya
kesalahan atau kelalaian yang ia lakukan selama produksi.
Dalam doktrin product liability, tergugat dianggap telah melakukan kesalahan
(presumption of equality) kecuali produsen dapat membuktikan kalau dirinya tidak
melakukan kelalaian atau kesalahan sebagaimana yang dituduhkan. Bila produsen gagal
membuktikan bahwa ia tidak salah atau tidak lalai, ia berkewajiban memikul resiko
mengganti kerugian yang diderita konsumen setelah mengkonsumsi produknya30.
Di dalam UU Perlindungan Konsumen tidak mencantumkan unsur kesalahan
(unsur opzet atau unsur culpa) sehingga masih belum jelas apakah UU Perlindungan
Konsumen menganut doktrin strict liability atau tidak. Apalagi dalam pasal 22 UU
29
Ibid., h. 223
YLKI, op.cit., h. 63-64
Volume 12, No.1 Nop 2011
30
li
Perlindungan Konsumen pada pasal 19 ayat (4) mengetengahkan sistem pembuktian
terbalik yang menegaskan ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus-kasus pidana
(kewajiban pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi tidak menghapuskan tuntutan
pidana). Menurut doktrin strict liability (tanggungjawab mutlak), suatu tindakan dapat
dihukum atas dasar perilaku berbahaya yang merugikan (harmful conduct), tanpa
mempersoalkan ada tidaknya kesengajaan (opzet; intention) atau kelalaian (culpa;
neglicence) 31.
Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak maka setiap
orang/konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau barang yang cacat atau tidak
aman dapat menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidak
adanya unsur kesalahan di pihak produsen. Alasan strict liability diterapkan dalam
dalam hukum tentang product liability adalah:
1. Di antara korban/konsumen di satu pihak dan produsen di lain pihak, beban
kerugian
(resiko)
seharusnya
ditanggung
oleh
pihak
yang
memproduksi/mengeluarkan barang-barang cacat/berbahaya di pasaran.
2. Dengan menempatkan barang-barang tersebut di pasaran, berarti produsen
menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan,
dan bilamana tidak demikian maka dia harus bertanggung jawab.
3. Tanpa menerapkan prinsip tanggungjawab mutlak pun, produsen yang
melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan
beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir,
grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agem kepada produsen.
Penerapan strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang
panjang ini 32.
Sistem tanggungjawab pada product liability berlaku prinsip strict liability,
pihak produsen dapat membebaskan diri dari tanggungjawabnya, baik untuk seluruhnya
atau untuk sebagian. Hal-hal yang dapat membebaskan tanggungjawab produsen
tersebut adalah:
Jika produsen tidak mendengarkan produknya (put into circulation).
Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk diedarkan
oleh produsen, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian.
Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau diedarkan
untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka bisnis.
Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi
kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
31
Yusuf Shofie, op.cit., h. 33-34
E. Saefullah, Tanggung jawab Produsen (Product Liability) dalam Era Perdagangan
Bebas, dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Penyunting: Husni Syawali dan Neni Sri
Imaniyati, Mandar Maju, Bandung, 2000, h. 53-54
lii Volume 12, No.1 Nop 2011
32
Bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scientific and technical knowledge, state of
art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin terjadi cacat.
Dalam hal produsen dari suatu komponen, bahwa cacat tersebut disebabkan oleh
desain dari produk itu sendiri dimana komponen telah dicocokkan atau
disebabkan kesalahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak produsen
produk tersebut.
Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut menyebabkan terjadinya
kerugian tersebut (contributory negligence).
h. Kerugian yang terjadi akibat oleh Art of God atau force majeur 33.
Sampai saat ini Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang
khusus mengatur tentang tanggungjawab produsen (product liability). Oleh karena itu
bila seorang konsumen menderita kerugian akibat produk yang cacat dan ingin
menuntut produsen, maka jalan hukum yang dapat ditempuh adalah berdasarkan
perbuatan melawan hukum (pasal 1365 KUH Perdata). Undang-Undang Perlindungan
Konsumen tidak memberikan batasan apakah yang dimaksud dengan sengketa
konsumen. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ayat (1) Pasal 45
menyebutkan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
Dalam prakteknya kadangkala konsumen sebagai korban yang dirugikan tidak
melaporkan tindakan yang dialaminya karena korban yang sifatnya abstrak (abstract
victim) dan karena itu sukar ditentukan secara jelas (misalnya masyarakat konsumen) 34.
Namun demikian penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan
atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa,
seperti yang terdapat dalam ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen. Dalam
penjelasan Undang-undang Perlindungan Konsumen dikatekan bahwa penyelesaian
sengketa konsumen tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak
yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian
damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Yang dimaksud dengan penyelesaian
secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang
bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan
penyelesaian sengketa konsumen dan tidak bertentangan dengan undang-undang.
Di samping memberikan dasar hukum terhadap tuntutan pidana kepada pelaku
usaha juga mengatur tentang penyelesaian sengketa melalui gugatan perdata dan
penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha
dapat mengajukan gugatan perdata ke lingkungan peradilan umum (Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung).
33
Ibid., h. 57-58
Yusuf Shofie, op.cit., h. 70
Volume 12, No.1 Nop 2011
34
liii
Hubungan konsumen secara individual dengan produsen (termasuk pedagang,
grosir, distributor, agen) merupakan hubungan perdata. Sehingga sering kali
perlindungan konsumen dilihat dari segi hukum perdata seperti ganti rugi. Hal demikian
tidaklah benar karena perlindungan konsumen merupakan juga kewajiban pemerintah
maka peranan pemerintah dalam menerapkan sanksi pidana dan administratif, sangatlah
penting. Dalam hubungan dengan perlindungan konsumen sering terjadi adalah tuntutan
hak yang dikemukakan oleh konsumen karena merasa dirugikan oleh suu produk barang
atau jasa.
Ada tiga masalah yang menjadi bahan diskusi yaitu: Pertama, masalah prinsip
ganti rugi yang di dalamnya mencakup sistem pembuktian. Kedua, masalah lembaga
tempat penyelesaian sengketa, termasuk di dalamnya peranan lembaga-lembaga di luar
pengadilan. Ketiga, bagaimana cara mengajukan tuntutan hak (gugatan) apakah harus
selalu individual atau boleh berkelompok (class/representative action)35. Dalam
mengajukan gugatan perdata di samping gugatan konvensional, juga diperkenankan
gugatan kelompok (class action)36.
Class action adalah suatu cara yang diberikan kepada sekelompok orang yang
mempunyai kepentingan dalam suatu masalah, baik seorang atau lebih anggotanya
menggugat atau digugat sebagai perwakilan kelompok tanpa harus turut serta dari setiap
anggota kelompok.
Dari pengertian class or representative action tersebut dapat diartikan adanya
gugatan yang mencakup kepentingan orang banyak yang mempunyai kesamaan
kepentingan dan diharapkan lebih praktis daripada gugatan individual dan tidak perlu
setiap orang turut serta dalam proses gugatan.
Menurut Gregory, class action sebagai “beberapa orang yang merasa dirugikan
oleh suatu produk menuntut ganti rugi di pengadilan bukan untuk diri mereka sendiri
akan tetapi juga untuk semua orang yang telah mengalami kerugian yang sama37.
Ketentuan gugatan perwakilan/kelompok (class action) diatur dalam diatur dalam pasal
46 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu ayat (1) merumuskan: Gugatan atas
pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: ….b). sekelompok konsumen yang
mempunyai kepentingan yang sama. Pada ayat (2) menentukan: Gugatan yang diajukan
sekelompok konsumen …sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ….diajukan
kepada peradilan umum. Pada penjelasannya dinyatakan bahwa gugatan kelompok
(class action) diakui undang-undang ini. Selanjutnya dalam penjelasannya bahwa
35
Toto Tahir, Kemungkinan Gugatan Class Action Dalam Upaya Perlindungan Hukum
Pada Era Perdagangan Bebas, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000,
h. 68-69
36
Sanusi Bintang dan Dahlan, op.cit. h. 111
37
Toto Tahir, op.cit., h. 71
liv Volume 12, No.1 Nop 2011
gugatan harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat
dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya transaksi 38.
Penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui dua cara yaitu: 1). Peradilan
(litigasi); dan 2). Di luar peradilan (nonlitigasi) atau alternative dispute resolution
(ADR)39 Atau dengan kata lain: a). Penyelesaian sengketa secara damai, dan b).
Penyelesaian melalui lembaga atau instansi yang berwenang40.
Peradilan merupakan jalur penyelesaian konvensional untuk menyelesaikan
berbagai macam sengketa. Terdapat tiga tingkatan lembaga peradilan yaitu peradilan
tingkat pertama di Pengadilan Negeri (PN), peradilan tingkat kedua atau banding di
Pengadilan Tinggi (PT), dan peradilan kasasi di Mahkamah Agung (MA). Karena
penyelasaian suatu perkara dari tingkat pertama sampai kasasi membutuhkan rata-rata
antara 7-12 tahun sehingga dikhawatirkan berkurangnya kepercayaan masyarakat
terutama masyarakat bisnis terhadap lembaga peradilan. Juga tidak sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menegaskan bahwa peradilan
dilaksanakan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Apa itu penyelesaian sengketa secara damai? Penyelesaian sengketa secara
damai dimaksudkan penyelesaian sengketa antar pihak, dengan atau tanpa
kuasa/pendamping bagi masing-masing pihak, melalui cara-cara damai. Perundingan
secara musyawarah dan atau mufakat antar para pihak bersangkutan. Penyelesaian
sengketa dengan cara ini disebut pula “penyelesaian secara kekeluargaan”. Banyak
sengketa yang dapat atau tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan cara ini.
Cara penyelesaian sengketa secara damai sesungguhnya ingin diusahakan
bentuk penyelesaian yang “mudah, murah, dan (relatif) lebih cepat”. Dasar hukum
penyelesaian tersebut terdapat dalam KUHPerdata Indonesia (Buku III, Bab 18, pasal
1851-1854 tentang perdamaian/dading) dan dalam UU Perlindungan Konsumen N0. 8
tahun 1999, pasal 45 ayat (2) jo pasal 47.
Selain itu adanya gejala pengaruh dari luar negeri untuk penyelesaian sengketa
alternatif dan menampung kebutuhan para pelaku bisnis terhadap penyelesaian sengketa
yang lebih menguntungkan. Cara penyelesaian sengketa alternatif tersebut dinamakan
alternative dispute resolution (ADR).
ADR mencakup antara lain negosiasi, mediasi, dan arbitrase. Negosiasi
merupakan proses tawar menawar antara pihak-pihak yang bersengketa dimana masingmasing berusaha untuk mencapai kesepakatan tentang persolan tertentu yang
dipersengketakan, tanpa adanya campur tangan pihak ketiga.
Mediasi/Penengahan (mediation) merupakan kelanjutan proses negosiasi. Di
mana para pihak yang bersengketa menggunakan jasa pihak ketiga yang netral untuk
38
Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang
Perlindungan Konsumen (UUPK), Teori & Praktek Penegakan Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003, h. 80
39
Sanusi Bintang dan Dahlan, op.cit h. 113
40
Az. Nasution, op.cit,., h. 224
Volume 12, No.1 Nop 2011
lv
membantunya menyelesaikan sengketa itu. Apabila upaya perdamaian tidak berhasil
maka para pihak didasarkan kesepakatan tertulis dapat menyelesaikan melalui suatu
lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc. Di Indonesia sudah ada Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) yang merupakan suatu badan peradilan yang berfungsi
menyelesaikan sengketa-sengketa perdata yang timbul dalam soal perdagangan, baik
nasional maupun internasional.
Mengapa harus arbitrse? Beberapa pertimbangan yang mendorong kalangan
bisnis memilih cara arbitrase adalah:
1. Untuk menghindari publisitas;
Untuk menekan biaya penyelesaian sengketa;
Untuk menyelesaikan sengketa secara cepat;
Untuk menyelesaikan sengketa melalui penggunaan para ahli di bidangnya; dan
2. Untuk menghindari penyelesaian sengketa yang tidak adil 41.
3. Tidak banyak formalitas dan murah bila dihubungkan dengan proses dan
prosedur arbitrase yang sederhana dan memungkinkan biaya arbitrase tidak
3. semahal biaya peradilan biasa42.
Ilustrasi berikut menunjukkan suatu kategorisasi sederhana mengenai proses
penyelesaian sengketa yang paling umum digunakan, yang tersusun dari konflik atau
pertikaian yang paling hebat sampai kepada kerja sama atau kolaborasi yang paling
baik. Ilustrasi tersebut juga menunjukkan apakah para pihak menyelesaikan sengketanya
sendiri atau melalui jasa baik pihak ketiga, dan apakah bila pihak ketiga terlibat, pihak
ketiga tersebut benar-benar memutuskan sengketa atau semata-mata membantu para
pihak untuk memutuskan sengketa tersebut demi kepentingan mereka sendiri 43
SANKSI-SANKSI
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 79 Tahun 1978 tentang Label dan
Periklanan Makanan pada pasal 41-45 mengatur tentang perbuatan mengedarkan
makanan tanpa label yang menyatakan dilarang dan dapat diancam dengan sanksisanksi sebagaimana termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan atau
tindakan administratif berupa penarikan nomor daftar produk dan atau tindakan lain
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hukum pidana yang dilakukan
oleh pengusaha dikenakan sanksi pidana sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang
tersebut dan di sisi lain konsumen yang dirugikan tidak memiliki hak apapun atas
pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha tersebut . Dari sisi hukum administrasi
41
Sanusi Bintang dan Dahlan, op.cit. , h. 119
Ida Bagus Wyasa Putra, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional, dalam Transaksi
Bisnis Internasionl, Refika Aditama, Bandung, 2000, h. 78
43
Gary Goodpaster, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, Arbitrase Di
Indonesia, Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, h. 3
lvi Volume 12, No.1 Nop 2011
42
umumnya peraturan atau keputusan menetapkan sanksi administrasi kepada pengusaha
seperti pencabutan ijin atau pembekuan ijin usaha 44.
Sanksi-sanksi atas atas pelanggaran kewajiban memasang label makanan
(dalam Kemasan) diatur dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan pada pasal 84 ayat (1) menyebutkan barangsiapa mengedarkan
makanan dan atau minuman yang dikemas tanpa mencantumkan tanda atau label
sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas
juta rupiah).
Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sanksi administratif dan
sanksi pidana dapat dijatuhkan terhadap pelaku usaha yang melanggar, sedangkan
dalam Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan, tindakan administratif
dikenakan kepada setiap orang yang melanggar. Peringatan tersebut sebanyakbanyaknya tiga kali.
Dalam pasal 60 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen, sanksi
administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00,- (dua ratus
juta rupiah), sedangkan pasal 62 ayat (1) Undang-undang Perlindungan Konsumen,
sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 2.000.000.000,00,- (dua miliar rupiah) kepada pelaku usaha yang
melanggar pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat (2), pasal 15, pasal 17 ayat (1) huruf
a, huruf b, huruf, c, huruf e, ayat (2) dan pasal 18.
Sedangkan pasal 62 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen, sanksi
pidana berupa pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp. 500.000.000,00,- (lima ratus juta rupiah) kepada pelaku usaha yang
melanggar pasal 11, pasal 12, pasal 13 ayat (1), pasal 14, pasal 16, dan pasal 17 ayat (1)
huruf d dan huruf f.
Dalam Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan, pasal 61 ayat (2)
disebutkan bahwa tindakan administratif yang dikenakan meliputi:
peringatan secara tertulis;
larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik
produk pangan peredaran;
pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia;
penghentian produksi untuk sementara waktu;
pengenaan denda paling tinggi Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), dan atau;
pencabutan izin produksi atau izin usaha.
KESIMPULAN
44
Adriana Pakendek, op.cit., h. 25-26
Volume 12, No.1 Nop 2011
lvii
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
merupakan suatu undang-undang dan peraturan pemerintah yang mengatur tentang label
pangan sebagai bentuk perlindungan hukum bagi konsumen namun masih banyak
pelanggaran dan ditemukan makanan dan minuman yang dijual tidak berlabel terutama
mamin produk rumah tangga (home industry).
SARAN
Hendaknya produsen memperhatikan pencantuman label pada suatu produk
yang di produksi sesuai dengan standar yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah Nomor 69
Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan merupakan suatu undang-undang dan
peraturan pemerintah yang mengatur tentang label pangan dan bagi konsumen agar
memperhatikan label pangan dan informasi tentang produk tersebut sebelum membeli
apalagi mengkonsumsi .
lviiiVolume 12, No.1 Nop 2011
IMPLIKASI HUKUM PENERAPAN CLASS ACTION DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
Oleh:
M. AMIN RAHMAN, SH.,MH.
Abstraction
This Watchfulness aim gets objective description about accusation
arrangement class action follow number law 32 year 2009 with impact evoked. To
achieve aim that formulated this watchfulness is used good law sources data comes
from documentation, also book related this writing .
As to this watchfulness conclusion accusation class action is right procedural in the
form of accusation by society group passes the representation, on the basis of problem
sameness, law fact, and importance sameness, to get to change to lost and/or certain
action from (rubber) is accused to pass civil jurisdiction process. While impact that
influence applications class action of course very significant good reviewed from where
with existence class action simplify case to court, lighten cost and erudition
comprehension about law but such from side other still there where does accusation
publication towards accused very put into corner; with finance management very
difficult in the distribution.
Keyword : Law implication - Applications class action - Environment quarrel
completion.
LATAR BELAKANG
Pencemaran lingkungan berkaitan dengan hubungan masyarakat manusia dan
alam lingkungan secara kodrati, sebenarnya keduanya merupakan satu kesatuan
kehidupan sebagai biotic community.
Menurut Siti Sundari Rangkuti, keberadaan hukum bagi masyarakat
diharapkan dapat berperan sebagai “agent of stability” dengan fungsi perlindungan dan
kepastian bagi masyarakat, serta sebagai “agent of development” atau “agent of change”
dengan fungsi sebagai sarana pembangunan. Fungsi-fungsi seperti itu dimaksudkan
untuk dapat mencapai tujuan hukum itu sendiri, yakni mencapai ketertiban, keadilan
dan kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa serta bernegara.
Volume 12, No.1 Nop 2011
lix
Dalam pada itu, aparatur pemerintah berkewajiban mengusahakan agar setiap kaidah
dapat ditaati masyarakat menurut tata cara yang telah ditentukan. 59
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran objektif tentang
pengaturan gugatan class action menurut Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 serta
dampak yang ditimbulkannya. Untuk mencapai tujuan yang dirumuskan penelitian ini
digunakan penelitian yuridis normatif. Data diperoleh berupa data sumber-sumber
hukum baik berasal dari dokumentasi, jurnal maupun buku-buku berkaitan penulisan
ini.
Adapun kesimpulan penelitian ini adalah gugatan Class Action merupakan hak
prosedural dalam bentuk gugatan oleh kelompok masyarakat melalui perwakilannya,
atas dasar kesamaan masalah, fakta hukum, dan kesamaan kepentingan, untuk
memperoleh ganti rugi dan/atau tindakan tertentu dari (para) tergugat melalui proses
peradilan perdata. Sedangkan dampak yang mempengaruhi penerapan class action
tentunya sangat signifikan baik ditinjau dari sisi kebaikannya dimana dengan adanya
class action mempermudah perkara ke pengadilan, memperingan biaya dan pemahaman
pengetahuan tentang hukum namun demikian dari sisi lain masih ada kelemahan dimana
publikasi gugatan terhadap tergugat sangat menyudutkan, serta pengelolaan keuangan
sangat sulit dalam pembagiannya.
Sehubungan dengan upaya perlindungan kelestarian lingkungan hidup beserta
fungsinya, salah satu instrumen yang dapat dilakukan melalui penerapan sanksi hukum,
seperti sanksi hukum administrasi, sanksi perdata (tanggung jawab perdata) serta sanksi
pidana.60
Membatasi pada sanksi perdata atau tanggung jawab perdata, dikaji dari
bentuknya adalah berupa ganti rugi. Adapun pihak yang berkewajiban membayar ganti
rugi adalah pihak yang karena perbuatannya diduga atau telah menimbulkan perusakan
dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berakibat kepada kerugian pihak lain.
59
Rangkuti, Siti Sundari, Hukum Lingkungan Dan Kebijaksanaan Lingkungan Dalam
Proses Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya,
1986.
60
Hamzah, A., Penegakan Hukum Lingkungan, Penerbit Arikha Media Cipta, Cet. ke1, Jakarta, 1995.
lx
Volume 12, No.1 Nop 2011
Kewajiban membayar kerugian ini sejalan dengan prinsip pencemar membayar (polluter
pays principle) yang dikembangkan dalam Hukum Lingkungan.61
Selanjutnya jika dikaji dari proses kelahirannya, ganti rugi sebagai suatu
sanksi yang dibebankan kepada seseorang dapat timbul melalui 2 (dua) jalur, yakni jalur
proses di luar lembaga peradilan dan jalur proses melalui badan peradilan. Kedua jalur
tersebut, dalam rangka penegakan hukum lingkungan merupakan hal yang menarik,
minimal bilamana dikaji dari kelembagaan, proses beserta faktor-faktor penghambatnya.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam alinea-alinea diatas,
terdapat beberapa permasalahan yang dianggap relevan untuk mendapatkan pembahasan
dalam penulisan ini.
a. Bagaimana pengaturan gugatan perwakilan kelompok atau class action menurut
Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang lingkungan hidup?
b. Bagaimana dampak yang mempengaruhi penerapan class action dalam penyelesaian
sengketa lingkungan hidup?
PENGATURAN GUGATAN CLASS ACTION
Sejarah Perkembangan Class Action di Indonesia Sejarah class action di
Indonesia dibagi menjadi dua periode: Periode sebelum adanya pengakuan class action.
Periode setelah adanya pengakuan class action.
Yang menjadi tolak ukur dari pengakuan class action adalah dengan
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
pengelolahan Lingkungan Hidup.
Periode sebelum adanya pengakuan class action
Sebelum tahun 1997, meskipun belum ada aturan hukum yang mengatur
mengenai class action, namun gugatan class action sudah pernah dipraktekkan dalam
dunia peradilan di Indonesia. Gugatan class action yang pertama di Indonesia dimulai
pada tahun 1987 terhadap Kasus R.O. Tambunan melawan Bentoel Remaja, Perusahaan
61
Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University
Prress, 1985, hal 23
Volume 12, No.1 Nop 2011
lxi
Iklan, dan Radio Swasta Niaga Prambors. Perkara Bentoel Remaja yang diajukan di PN
Jakarta Pusat.
Menyusul kemudian Kasus Muchtar Pakpahan melawan Gubernur DKI Jakarta
& Kakanwil Kesehatan DKI (kasus Endemidemam Berdarah) di PN Jakarta Pusat pada
tahun 1988 dan Kasus YLKI melawan PT.PLN Persero (kasus pemadaman listrik seJawa Bali tanggal 13 April 1997) pada tahun 1997di PN Jakarta Selatan. Dalam
gugatan Bentoel Remaja, Pengacara R.O.Tambunan mendalilkan dalam gugatannya
bahwa ia tidak hanya mewakili dirinya sebagai orang tua dari anaknya namun juga
mewakili seluruh generasi muda yang diracuni karena iklan perusahaan rokok Bentoel.
Dari ketiga kasus class action di atas sayangnya tidak ada satupun gugatan
yang dapat diterima oleh pengadilan dengan pertimbangan :
Gugatan class action bertentangan dengan adagium hukum yang berlaku
bahwa tidak ada kepentingan maka tidak aksi (point d’intetrest, point d’action). Hal ini
diperkuat dalam yurisprudensi MA dalam putusannya pada tahun 1971 yang
mengisyaratkan bahwa gugatan harus diajukan oleh orang yang memiliki hubungan
hukum. Pihak penggugat tidak berdasarkan pada suatu Surat Khusus, dalam 123 HIR
disebutkan bahwa untuk dapat mewakili pihak lain yang tidak ada hubungan hukum
diperlukan suatu Surat Khusus. Belum ada hukum positif di Indonesia yang mengatur
mengenai gugatan class action, baik soal definisi maupun prosedural mengajukan
gugatan class action ke pengadilan
Periode setelah adanya pengakuan class action
Class Action dalam Hukum Positif di Indonesia baru diberikan pengakuan
setelah diundangkannya Undang-undang Lingkungan Hidup pada tahun 2009 kemudian
diatur pula dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang
Kehutanan pada tahun 1999.
Namun pengaturan Class Action hanya terbatas dan diatur dalam beberapa
pasal saja. Selain itu ketiga Undang-undang tersebut tidak mengatur secara rinci
mengenai prosedur dan acara dalam gugatan perwakilan kelompok (Class Action).
Sebelum tahun 2002, gugatan secara class action umumnya dilakukan tanpa adanya
mekanisme pemberitahuan bagi anggota kelompok dan pernyataan keluar dari anggota
kelompok. Gugatan secara class action dilaksanakan melalui prosedur yang sama
dengan gugatan perdata biasa.
Ketentuan yang secara khusus mengenai acara dan prosedur Class Action baru
diatur pada tahun 2002 dengan dikeluarkannya PERMA No. I Tahun 2002 tentang
lxii Volume 12, No.1 Nop 2011
Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 mengatur
tentang kewajiban pemberitahuan bagi wakil kelompok dan membuka kesempatan
keluar dari gugatan class action bagi anggota kelompok (opt out).
Pengertian Class Action62
Ada beberapa definisi yang mencoba menjelaskan istilah class action, baik
menurut kamus hukum, peraturan perundangan maupun dari ahli hukum, diantaranya:
Meriam Webster Colegiate Dictionary Dalam Meriam Webster Colegiate
Dictionary edisi ke-10 tahun 1994 disebutkan yang dimaksud class action : a legal
action under taken by one or more plaintiffs on behalf of themselves and all other
persons havings an identical interest in alleged wrong. 63
Black’s law dictionary, Class action adalah sekelompok besar orang yang
berkepentingan dalam suatu perkara, satu atau lebih dapat menuntut atau dituntut
mewakili kelompok besar orang tersebut tanpa perlu menyebut satu peristiwa satu
anggota yang diwakili.
Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan
Lingkungan Hidup. Class action adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak
mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan
permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup.64
PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Di
Indonesia terminologi class action diubah menjadi Gugatan Perwakilan Kelompok.
PERMA No. 1 Tahun 2002 merumuskan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action)
sebagai suatu prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili
kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili
sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau
kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
Sumber Hukum Class Action di Indonesia
62
Indra Soerjanto, Pengertian Umum, Manfaat dan Dasar Hukum Class Action di
Indonesia, bahan makalah tanggal 6 September 2002.
63
Kamus Webster Colegiate Dictionary edisi ke-10 tahun 1994
64
Penjelasan Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Volume 12, No.1 Nop 2011
lxiii
Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan
Lingkungan Hidup
Dalam pasal 37 ayat 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 disebutkan bahwa
masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan
ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan
perikehidupan masyarakat.
Dalam penjelasan pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud hak
mengajukan gugatan perwakilan pada ayat ini adalah hak kelompok kecil masyarakat
untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar
kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang ditimbulkan karena
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 46 ayat 1 huruf b UU No. 8 Tahun1999 menyebutkan bahwa gugatan
atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh kelompok konsumen yang
mempunyai kepentingan yang sama. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 46 ayat 1
Huruf b menjelaskan bahwa Undang-undang ini (Perlindungan Konsumen) mengakui
gugatan kelompok atau class action. Gugatan kelompok atau class action harus diajukan
oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah
satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.
Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
Dalam pasal 38 ayat 1 UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
disebutkan bahwa masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan secara: (a) orang perorangan; (b)
kelompok orang dengan pemberian kuasa;(c) kelompok orang tidak dengan kuasa
melalui gugatan perwakilan.
Sedangkan dalam penjelasan pasal 38 ayat (1) UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “hak mengajukan gugatan
perwakilan” adalah hak sekelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili
masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan,
faktor hukum, dan ketentuan yang ditimbulkan karena kerugian atau gangguan sebagai
akibat kegiatan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
lxivVolume 12, No.1 Nop 2011
Dalam pasal 39 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 disebutkan bahwa
gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 ayat (1) adalah tuntutan untuk
melakukan tindakan tertentu dan/atau berupa biaya atau pengeluaran nyata, dengan
tidak menutup kemungkinan tuntutan lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku. Penjelasan pasal 39 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 disebutkan
bahwa khusus gugatan perwakilan yang diajukan oleh masyarakat tidak dapat berupa
tuntutan membayar ganti rugi, melainkan hanya terbatas gugatan lain, yaitu :
Memohon kepada pengadilan agar salah satu pihak dalam penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi untuk melakukan tindakan hukum tertentu yang berkaitan dengan
kewajibannya atau tujuan dari kontrak kerja konstruksi;
Menyatakan seseorang (salah satu pihak) telah melakukan perbuatan melawan
hukum karena melanggar kesepakatan yang telah ditetapkan bersama dalam kontrak
kerja konstruksi;
Memerintahkan seseorang (salah satu orang) yang melakukan usaha/kegiatan
jasa konstruksi untuk membuat atau memperbaiki atau mengadakan penyelamatan bagi
para pekerja jasa konstruksi.
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Pengaturan mengenai gugatan class action dalam Undang-Undang No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan diatur dalam Pasal 71 ayat 1 yang menyatakan bahwa
masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan
ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok.65 PERMA ini mengatur mengenai prosedur atau tata cara
gugatan perwakilan kelompok (Class Action). PERMA ini terdiri dari enam bab, yaitu:
Bab I : Ketentuan umum.
Dalam bab ini mengatur mengenai definisi beberapa elemen penting dari gugatan
perwakilan kelompok seperti definisi dari gugatan perwakilan kelompok, wakil
kelompok, anggota kelompok, sub kelompok, pemberitahuan dan pernyataan keluar.
Bab II : Tata Cara dan Persyaratan Gugatan Perwakilan Kelompok.
65
PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok
Volume 12, No.1 Nop 2011
lxv
Dalam bab ini diatur masalah kriteria gugatan perwakilan kelompok, persyaratan
formal, surat kuasa, penetapan hakim dikabulkannya/ditolaknya gugatan perwakilan
kelompok, penyelesaian perdamaian.
Bab III: Pemberitahuan/ Notifikasi.
Dalam bab ini diatur mengenai tata cara pemberitahuan bagi anggota kelompok,
sehingga anggota kelompok dapat menyatakan dirinya keluar keanggotaan apabila tidak
menghendaki hak-haknya diperjuangkan melalui gugatan perwakilan kelompok serta
sarana pemberitahuan.
Bab IV : Pernyataan Keluar.
Didalamnya dijelaskan bahwa hanya anggota kelompok yang ingin menyatakan dirinya
keluar wajib memberitahukan secara tertulis dan bagi yang tetap ingin bergabung tidak
perlu melakukan tindakan apa-apa.
Bab V : Putusan.
Putusan dalam gugatan perwakilan kelompok wajib mengatur hal-hal seperti jumlah
ganti kerugian secara rinci, penentuan kelompok dan atau sub kelompok yang berhak,
mekanisme pendistribusian ganti kerugian dan langkah-langkah yang wajib ditempuh
oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian.
Bab VI : Ketentuan Penutup.
Dalam bab ini disebutkan bahwa ketentuan lain yang telah diatur dalam hukum acara
perdata tetap berlaku di samping ketentuan dalam PERMA ini.
Unsur-unsur Class Action
Adapun unsur-unsur Class Action adalah sebagai berikut:
Gugatan secara perdata
Gugatan dalam class action masuk dalam lapangan hukum perdata. Istilah
gugatan dikenal dalam hukum acara perdata sebagai suatu tindakan yang bertujuan
untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk menghindari
adanya upaya main hakim sendiri (eigenechting).
lxviVolume 12, No.1 Nop 2011
Gugatan yang merupakan bentuk tuntutan hak yang mengandung sengketa,
pihak-pihaknya adalah pengugat dan tergugat. Pihak disini dapat berupa orang
perseorangan maupun badan hukum. Umumnya tuntutan dalam gugatan perdata adalah
ganti rugi berupa uang.
Wakil Kelompok (Class Representative)
Adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan
gugatan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.Untuk
menjadi wakil kelompok tidak disyaratkan adanya suatu surat kuasa khusus dari
anggota Kelompok. Saat gugatan class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan
dari wakil Kelompok sebagai penggugat aktif.
Anggota Kelompok (Class members)
Adalah sekelompok orang dalam jumlah yang banyak yang menderita kerugian
yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan. Apabila class action
diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari anggota kelompok adalah sebagai
penggugat pasif.
Adanya kerugian
Untuk dapat mengajukan class action, baik pihak wakil kelompok (class
repesentatif) maupun anggota kelompok (class members) harus benar-benar atau
Kesamaan peristiwa atau fakta dan dasar hukum.
Terdapat kesamaan fakta (peristiwa)dan kesamaan dasar hukum (question
oflaw) antara pihak yang mewakili (class representative) dan pihak yang diwakili (class
members).
Ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam menggunakan
prosedur class action. Tidak terpenuhi persyaratan ini dapat mengakibatkan gugatan
yang diajukan tidak dapat diterima. Dibeberapa negara yang menggunakan prosedur
class action pada umumnya memiliki persyaratan umum yang sama yaitu :
Adanya sejumlah anggota yang besar (Numerosity)
Jumlah anggota kelompok (classmembers) harus sedemikan banyak sehingga
tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri (individual).
Volume 12, No.1 Nop 2011
lxvii
Adanya kesamaan (Commonality)
Terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum (question of
law) antara pihak yang mewakilili (class representative) dan pihak yang diwakili (class
members).Wakil Kelompok dituntut untuk menjelaskan adanya kesamaan ini.
Sejenis (Typicality)
Tuntutan (bagi plaintiff Class Action) maupun pembelaan (bagi defedant Class
Action) dari seluruh anggota yang diwakili (class members) haruslah sejenis. Pada
umumnya dalam class action, jenis tuntutan yang dituntut adalah pembayaran ganti
kerugian.
Wakil kelompok yang jujur (Adequacyof Repesentation)
Wakil kelompok harus memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi
kepentingan anggota kelompok yang diwakili. Untuk menentukan apakah wakil
kelompok memiliki kriteria Adequacy of Repesentation tidaklah mudah, hal ini sangat
tergantung dari penilaian hakim. Untuk mewakili kepentingan hukumanggota
kelompok, wakil kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari
anggota kelompok. Namun, dalam hal wakil kelompok mewakilkan proses beracara
kepada pengacara, maka wakil kelompok harus memberikan surat kuasa khusus kepada
pengacara pilihannya.
Jenis-jenis Class Action66
Plaintiff Class Action dan Defendant Class Action
Dilihat dari para pihak yang saling berhadapan, di beberapa negara class action
dapat dibagi menjadi dua jenis class action yaitu Plaintiff class action dan Defendant
class action. Plaintiff class action adalah pengajuan gugatan secara perwakilan oleh
seorang untuk kepentingan sendiri dan kepentingan kelompok dalam jumlah yang besar.
Defendant class action adalah pengajuan gugatan secara perwakilan oleh
seorang atau lebih yang ditunjuk untuk membela kepentingan sendiri dan kepentingan
66
Kadir Mappong, Prosedur Gugatan Perwakilan (Class Action) dan Kaitannya dengan
Hukum Acara Perdata, bahan makalah Seminar Sehari : Meningkatkan Peran Serta Masyarakat
dalam Rangka Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Negara Melalui PERMA No. 1/2002,
Oktober 2002.
Volume 12, No.1 Nop 2011
lxviii
kelompok dalam jumlah yang besar. Negara-negara seperti Inggris, Australia, India,
Amerika Serikat dan Kanada serta Indonesia menggunakan Defendant class action.
Public Class Action dan Private ClassAction
Menurut kepentingan pihak yang dilindungi dan siapa yang berwenang
menuntutnya, di negara bagian Ontario Kanada berdasarkan Ontario Law Reform
Commission, gugatan class action dibagi menjadi Public class action dan Private class
action. Pembagian ini didasarkan pada siapa yang akan mewakili untuk menuntut ke
pengadilan dalam hal terjadi ketidakadilan bagi masyarakat luas.
Public class action adalah class action yang diajukan terhadap pelanggaran
kepentingan publik. Class action ini diajukan oleh instansi pemerintah yang mempunyai
kapasitas (biasanya jaksa/penuntut umum) dimana instansi pemerintah tersebut bukan
anggota atau bagian dari suatu kelompok yang secara langsung dirugikan.Private class
action adalah class action yang diajukan terhadap pelanggaran hak-hak perorangan
yang dialami oleh sejumlah besar orang. Class action ini diajukan oleh perorangan yaitu
oleh seorang atau beberapa orang yang menjadi bagian dari suatu kelompok atas dasar
kesamaan permasalahan hukum dan tuntutan.
True Class Action, Hybrid Class Action dan Spurious Class Action
Di samping dua kriteria pembagian class action tersebut, Amerika berdasarkan
Federal Rule of Civil Procedure tahun 1938 pernah membagi class action ke dalam tiga
jenis class action yaitu true class action, hybrid class action dan spurious class action.
True class action adalah class action dimana dalam suatu kelompok seluruh
anggotanya mempunyai kepentingan yang sama atau mempunyai hak yang diperoleh
bersama-sama dan atas kasus yang sama. Contoh class action jenis ini adalah kasus para
konsumen di perumahan yang mengalami kerusakan pada bagian rumahnya karena
wanprestasi dari pengembang dan tuntutan yang diajukan adalah berupa ganti kerugian.
Hybrid class action adalah class action dimana hak yang dituntut oleh suatu
kelompok orang ada beberapa tetapi objek gugatannya adalah untuk memperoleh
putusan hakim tentang tuntutan terhadap suatu barang atau hak milik tertentu dari
tergugat. Contoh kasus class action jenis ini adalah ada desain setir mobil yang
berbentuk tanduk rusa yang membahayakan para konsumennya apabila ada kecelakaan.
Sudah banyak korban yang mengalami kecelakaan akibat tertusuk setir berbentuk
tanduk rusa tersebut. Oleh karena itu baik pengemudi yang telah atau belum mengalami
kecelakaan dapat mengajukan gugatan ke perusahaan setir mobil tersebut, dengan
beberapa tuntutan: ada yang menuntut supaya diganti dengan desain yang aman, ada
Volume 12, No.1 Nop 2011
lxix
yang menuntut ganti setir yang lain yang aman, dan ada yang menuntut ganti rugi
berupa uang karena telah mengalami kecelakaan.
class action adalah class action dimana beberapa kepentingan dari para
anggota kelompok yang tidak saling berhubungan satu sama dengan yang lain dalam
permasalahan yang sama terhadap seorang tergugat. Contoh gugatan ini adalah
misalnya adanya permasalahan dari konsumen suatu perumahan. Para konsumen Blok
A mengeluhkan belum adanya sarana air bersih seperti yang dijanjikan pengembang.
Para konsumen Blok B mengeluhkan tidak adanya taman bermain dan para konsumen
Blok C mengeluhkan tidak ada sarana jalan yang baik. Para konsumen Blok A, B, C
dapat mengajukan gugatan class action berdasarkan permasalahan yang dialaminya.
Namun setelah ketentuan dalam Federal Ruleof Civil Procedure tahun 1938 direvisi
pada tahun 1966, pembagian tersebut ditiadakan karena seringkali membingungkan
dalam penerapannya. Namun meski dalam sistem hukum federal telah ditiadakan, ada
beberapa Negara bagian yang masih menganutnya, meskipun tidak semua jenis.Negara
bagian Lousiana masih menganutTrue class action dan negara bagian Georgia masih
menganut Spurious class action.
Jenis Gugatan diluar Class Action67
Negara-negara yang tidak menganut sistem hukum Common Law tidak
mengenal prosedur class action, namun mereka mempunyai suatu prosedur pengajuan
gugatan yang melibatkan sejumlah besar orang secara perwakilan. Berikut adalah
gugatan–gugatan yang berdimensi kepentingan umum di luar class action :
Actio Popularis
Menurut Gokkel, actio popularis adalah gugatan yang dapat diajukan oleh
setiap orang, tanpa ada pembatasan, dengan pengaturan oleh negara. Menurut
Kotenhagen-Edzes, dalam actio popularis setiap orang dapat menggugat atas nama
kepentingan umum dengan menggunakan pasal 1401 Niew BW (pasal 1365 BW). Dari
kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa action popularis adalah suatu
gugatan yang dapat diajukan oleh setiap orang terhadap suatu perbuatan melawan
hokum dengan mengatasnamakan kepentingan umum, berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang mengatur adanya prosedur tersebut.
67
Alder, John & David Wilkinson (1998), Environmental Law & Ethics, Macmillan
Inc. New York.
lxx Volume 12, No.1 Nop 2011
Dalam Black’s Law Dictionary, public interest atau kepentingan umum adalah
kepentingan masyarakat luas atau warga negara secara umum yang berkaitan dengan
Negara atau pemerintah. Namun pengertian yang lebih mudah mengenai kepentingan
umum adalah kepentingan yang harus didahulukan dari kepentingan pribadi atau
individu atau kepentingan lainnya, yang meliputi kepentingan bangsa dan negara,
pelayanan umum dalam masyarakat luas, rakyat banyak dan atau pembangunan di
berbagai bidang. Penyelenggaraan kepentingan umum merupakan tugas dari
pemerintah, sehingga gugatan secara actio popularis pada umumnya ditujukan kepada
pemerintah. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa pelayanan umum juga
dilaksanakan oleh pihak swasta, sehingga gugatan actio popularis dapat diajukan pula
kepada swasta yang ikut menyelenggarakan kepentingan umum tersebut.
Actio Popularis memiliki kesamaan dengan class action, yaitu sama-sama
merupakan gugatan yang melibatkan kepentingan sejumlah besar orang secara
perwakilan oleh seorang atau lebih. Yang membedakan dengan class action adalah
dalam actio popularis yang berhak mengajukan gugatan adalah setiap orang atas dasar
bahwa ia adalah anggota masyarakat tanpa mensyaratkan bahwa ia adalah orang yang
menderita kerugian secara langsung. Dalam class action tidak setiap orang dapat
mengajukan gugatan, melainkan hanya satu atau beberapa orang yang merupakan
anggota kelompok yang mengalami kerugian secara langsung. Kepentingan yang
dituntut dalam action popularis adalah kepentingan umum yang dianggap kepentingan
setiap anggota masyarakat juga, sedangkan dalam class action kepentingan yang
dituntut adalah kepentingan yang sama dalam suatu permasalahan yang menimpa
kelompok tersebut.
Citizen Law Suit
Prinsip actio popularis dalam system hukum civil law sama denga prinsip
citizen law suit terhadap pelanggaran pencemaran lingkungan yang diajukan oleh warga
negara, lepas apakah warga Negara tersebut mengalami secara langsung atau tidak
langsung dari pencemaran tersebut. Hal ini dikarenakan masalah perlindungan
lingkungan merupakan kepentingan umum atau kepentingan masyarakat luas, maka
setiap warga negara berhak menuntutnya.
Groep Acties
Gugatan yang hampir mirip dengan gugatan class action adalah yang dalam
terminologi hukum di negara Belanda dikenal dengan groep acties yang mempunyai
pengertian sebagai suatu hak yang diberikan oleh suatu badan hukum untuk mengajukan
gugatan mewakili orang banyak. Dalam prinsip groep acties, badan hukum dapat
mewakili kepentingan orang banyak apabila dalam anggaran dasarnya mencantumkan
Volume 12, No.1 Nop 2011
lxxi
kepentingan yang serupa dengan yang diperjuangkannya di pengadilan, yaitu
memperjuangkan kepentingan orang banyak yang diwakilinya namun tidak boleh
menuntut ganti rugi berupa uang.
Legal Standing
Tidak sedikit praktisi hukum yang mencampuradukkan antara pengertian
gugatan perwakilan kelompok (class action) dan konsep hak gugat lembaga swadaya
masyarakat (LSM). Sesungguhnya gugatan perwakilan kelompok /class action dan hak
gugat LSM memiliki perbedaan. Gugatan perwakilan kelompok terdiri dari unsur wakil
kelas yang berjumlah satu orang atau lebih (class representative) dan anggota kelas
yang pada umumnya berjumlah besar (class members). Baik wakil kelas maupun
anggota kelas pada umumnya merupakan pihak korban atau yang mengalami kerugian
nyata. Sedangkan dalam konsep Legal Standing, LSM sebagai penggugat bukan sebagai
pihak yang mengalami kerugian nyata. Namun karena kepentingannya ia mengajukan
gugatannya. Misalkan dalam perkara perlindungan lingkungan hidup, LSM sebagai
penggugat mewakili kepentingan perlindungan lingkungan hidup yang perlu
diperjuangkan karena posisi lingkungan hidup sebagai ekosistem sangat penting.
Lingkungan Hidup tentu tidak dapat memperjuangkan kepentingannya sendiri
karena sifatnya yang in-animatif (tidak dapat berbicara) sehingga perlu ada pihak yang
memperjuangkan. Pihak yang dapat mengajukan class action dapat orang perorangan
atau beberapa orang atau kelompok orang yang mewakili beberapa orang dalam jumlah
yang banyak. Sedangkan pihak yang dapat mengajukan legal standing hanyalah
LSM/Kelompok Organisasi yang memenuhi syarat-syarat. Perbedaan lainnya adalah
tuntutan ganti rugi dalam class action pada umumnya adalah berupa ganti rugi berupa
uang, sedangkan dalam legal standing tidak dikenal tuntutan ganti kerugian uang. Ganti
rugi dapat dimungkinkan sepanjang atau terbatas pada ongkos atau biaya yang telah
dikeluarkan oleh organisasi tersebut.
Dalam hukum di Indonesia tidak ditemukan definisi secara jelas dan rinci
mengenai pengertian legal standing. Beberapa perundang-undangan memberikan istilah
legal standing secara berbeda-beda. Legal standing dalam UU Lingkungan Hidup
diistilahkan sebagai Hak Gugat Organisasi Lingkungan.
Dalam UU Perlindungan Konsumen dikenal sebagai gugatan atas pelanggaran
pelaku usaha yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat. Sedangkan dalam UU Kehutanan, Legal Standing diistilahkan sebagai
gugatan perwakilan oleh organisasi bidang kehutanan. Definisi secara bebas dari legal
standing adalah suatu tata cara pengajuan gugatan secara perdata yang dilakukan oleh
satu atau lebih lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat atas suatu tindakan
lxxiiVolume 12, No.1 Nop 2011
atau perbuatan atau keputusan orang perorangan atau lembaga atau pemerintah yang
telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Tidak semua organisasi atau LSM yang dapat mengajukan hak gugat LSM
(legal standing). Untuk bidang Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa hanya
organisasi Lingkungan Hidup /LSM Lingkungan Hidup yang memenuhi beberapa
persyaratan yang dapat mengajukan gugatan Legal Standing, yaitu :
Berbentuk badan hukum atau yayasan
Dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan
menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; Telah melaksanakan kegiatan sesuai
dengan anggaran dasarnya. Tidak setiap organisasi lingkungan hidup dapat
mengatasnamakan lingkungan hidup, melainkan harus memenuhi persyaratan tertentu.
Dengan adanya persyaratan tersebut, maka secara selektif keberadaan
organisasi lingkungan hidup diakui memiliki ius standi untuk mengajukan gugatan atas
nama lingkungan hidup ke pengadilan, baik ke peradilan umum ataupun peradilan tata
usaha Negara tergantung pada kompetensi peradilan yang bersangkutan dalam
memeriksa dan mengadili perkara yang dimaksud.
Pada lingkup Perlindungan Konsumen, gugatan pelanggaran perilaku usaha
dapat dilakukan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran
dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut
adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan
sesuai dengan anggaran dasarnya. Dalam gugatan pada lingkungan Hidup, hak
mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu
tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
Prosedur pelaksanaan Class Action
Ketentuan hukum acara dalam class action di Indonesia diatur secara khusus
dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok. Namun
sepanjang tidak diatur PERMA No. 1 Tahun 2002, maka untuk hukum acara dalam
Volume 12, No.1 Nop 2011
lxxiii
classaction berlaku juga ketentuan dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku
(HIR/RBg).68
Untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok tidak
dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok (pasal 4 PERMA
No. 1 Tahun 2002). Dalam ketentuan hukum acara perdata diIndonesia, tidak ada
kewajiban bagi para pihak (baik penggugat maupun tergugat) untuk diwakili oleh orang
lain atau pengacara selama pemeriksaan dipersidangan. Para pihak dapat secara
langsung maju dalam proses pemeriksaan di persidangan. Namun seperti halnya proses
persidangan yang lazim dilakukan, para pihak biasanya diwakili atau memberikan kuasa
kepada pengacara untuk maju dalam persidangan.
Dalam kasus class action, berlaku juga ketentuan hukum acara perdata yang
mensyaratkan, apabila wakil kelompok pihak diwakili atau didampingi oleh pengacara
maka diwajibkan untuk membuat surat kuasa khusus antara wakil kelompok kepada
pengacara. Hal yang menarik berkaitan dengan pengacara pada class action adalah
dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 pasal 2 huruf d menyebutkan bahwa hakim dapat
menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara, jika
pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela
dan melindungi kepentingan anggota kelompok. Disini terlihat bahwa hakim memiliki
kewenangan untuk menilai dan menganjurkan penggantian terhadap pengacara dalam
perkara class action. Hal ini tidak dapat ditemukan dalam perkara biasa.
Prosedur dalam class action dilakukan dengan melalui tahapan-tahapan:
a. Permohonan pengajuan gugatan secara class action;
b. Proses sertifikasi;
c. Pemberitahuan;
d. Pemeriksaan dan Pembuktian dalam class action;
e. Pelaksanaan Putusan.
Untuk lebih jelasnya maka tahapan-tahapan tersebut akan diuraikan di bawah ini.
68
Susanti Adi Nugroho, Pedoman Prosedur Gugatan Perwakilan Kelompok (class
action) di Indonesia, makalah pada Seminar Setengah Hari PERMA No. 1 Tahun 2002 , Jakarta 6
Juni 2002.
Volume 12, No.1 Nop 2011
lxxiv
Permohonan Pengajuan Gugatan Secara Class Action
Selain harus memenuhi persyaratan-persyaratan formal surat gugatan yang diatur dalam
Hukum Acara Perdata yang berlaku seperti mencantumkan identitas dari pada para
pihak, dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta
alasan-alasan dari pada tuntutan (fundamentum petendi) dan tuntutan, surat Gugatan
perwakilan kelompok (class action ) harus memuat hal-hal sebagai berikut :
Identitis lengkap dan jelas wakil kelompok.
Identitas biasanya memuat nama, pekerjaan dan alamat lengkap.
Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama
anggota kelompok satu persatu.
Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban
melakukan pemberitahuan. Contoh dari kasus Gugatan class action Banjir di Jakarta
2008, di dalam gugatannya disebutkan selain bertindak atas nama sendiri juga bertindak
mewakili kepentingan seluruh kelompok masyarakat korban banjir.
Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok.
Yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan Secara
jelas dan terperinci. Penggugat harus menjelaskan aspek kesamaan kepentingan yaitu
faktor kesamaan fakta, kesamaan dasar hukum dan kesamaan tuntutan yang digunakan
sebagai dasar gugatan. Selain itu penggugat memberikan usulan tentang mekanisme
pendistribusian ganti kerugian dan usulan tentang pembentukan komisi yang akan
membantu kelancaran pendistribusian ganti kerugian .
Dalam suatu gugatan dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau
sub-kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda.
Dalam class action kasus Banjir di Jakarta misalnya disebutkan masing-masing
wakil kelompok mewakili anggota yang korban banjir yang menderita kerugian yang
berbeda. Para penggugat dibagi dalam lima bagian kelompok :
1.
Penggugat yang mewakili anggota kelompok masyarakat korban banjir yang
menderita kerugian dengan meninggalnya sanak keluarganya;
Volume 12, No.1 Nop 2011
lxxv
2.
Penggugat yang mewakili anggota kelompok masyarakat korban banjir yang
menderita sakit;
3.
Penggugat yang mewakili anggota kelompok masyarakat korban banjir yang
menderita kerugian kehilangan harta benda;
4.
Penggugat yang mewakili anggota kelompok masyarakat korban banjir yang
menderita kerugian kerusakan harta benda;
5.
Penggugat yang mewakili anggota kelompok masyarakat korban banjir yang
menderita kerugian kehilangan keuntungan yang seharusnya diperoleh.
Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci
memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada
keseluruhan anggota kelompok.
Proses Sertifikasi atau Pemberian Ijin
Berdasarkan permohonan pengajuan gugatan secara class action tersebut,
pengadilan kemudian memeriksa apakah wakil tersebut dijinkan untuk menjadi wakil
kelompok, apakah syarat-syarat untuk mengajukan gugatan class action sudah
terpenuhi, dan apakah class action merupakan prosedur yang tepat dalam melakukan
gugatan dengan kepentingan yang sama tersebut.
Setelah Hakim memeriksa dan mempertimbangkan kriteria gugatan class action, maka
:
Apabila hakim memutuskan bahwa penggunaan Tata cara Gugatan perwakilan
kelompok (class action) dinyatakan tidak sah maka pemeriksaan gugatan dihentikan
dengan suatu putusan hakim dengan amar putusan menyatakan gugatan tidak dapat
diterima (NO), demikian pula jika hakim berpendapat bahwa pengadilan tidak
berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, maka amar putusannya akan
menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa perkara tersebut.
Atas putusan ini maka pihak penggugat dapat mengajukan upaya hukum.
Apabila hakim menyatakan sah maka gugatan Class Action tersebut
dituangkan dalam penetapan pengadilan kemudian hakim memerintahkan penggugat
mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim.
Setelah model pemberitahuan memperoleh persetujuan hakim pihak penggugat
Volume 12, No.1 Nop 2011
lxxvi
melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompok sesuai dengan jangka waktu yang
ditentukan oleh hakim.
Pemberitahuan
Setelah hakim memutuskan bahwa pengajuan tata cara gugatan perwakilan
Kelompok dinyatakan sah, hakim memerintahkan kepada penggugat/pihak yang
melakukan class action untuk mengajukan usulan model pemberitahuan untuk
memperoleh persetujuan hakim. Setelah usulan model tersebut disetujui oleh hakim
maka penggugat dengan jangka waktu yang ditentukan oleh hakim melakukan
pemberitahuan kepada anggota kelompok.
Pemberitahuan kepada anggota kelompok adalah mekanisme yang diperlukan
untuk memberikan kesempatan bagi anggota kelompok untuk menentukan apakah
mereka menginginkan untuk ikut serta dan terikat dengan putusan dalam perkara
tersebut atau tidak menginginkan yaitu dengan cara menyatakan keluar (opt out) dari
keanggotaan kelompok.
Dalam pemberitahuan tersebut juga memuat batas waktu anggota kelas untuk
keluar dari keanggotaan (opt out), lengkap dengan tanggal dan alamat yang dituju untuk
menyatakan opt out. Dengan demikian pihak yang menyatakan keluar dari keanggotaan
kelompok tidak terikat dengan putusan dalam perkara tersebut. Menurut pasal 1 huruf
PERMA No. 1 Tahun 2002 yang melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompok
adalah panitera berdasarkan perintah hakim.
Cara pemberitahuan kepada anggota kelompok dapat dilakukan melalui media
cetak dan atau elektronik, kantor-kantor pemerintah seperti kecamatan, kelurahan atau
desa, kantor pengadilan, atau secara langsung kepada anggota yang bersangkutan
sepanjang dapat diindentifikasi berdasarkan persetujuan hakim. Pemberitahuan wajib
dilakukan oleh penggugat atau para penggugat sebagai wakil kelompok kepada anggota
kelompok pada tahap-tahap :
Segera setelah hakim memutuskan bahwa pengajuan tata cara gugatan
perwakilan kelompok dinyatakan sah (pada tahap ini harus juga memuat mekanisme
pernyataan keluar).
Pada tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti kerugian ketika gugatan
dikabulkan. Namun apabila dalam proses pemeriksaan, pihak tergugat mengajukan
perdamaian maka pihak Penggugat untuk dapat menerima atau menolak tawaran
perdamaian tersebut juga harus melakukan pemberitahuan kepada anggota
kelompoknya.
Volume 12, No.1 Nop 2011
lxxvii
Berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2002, Pemberitahuan yang dilakukan harus
memuat :
1.
Nomor gugatan dan identitas penggugat atau para penggugat sebagai wakil
kelompok serta pihak tergugat atau para tergugat;
2.
Penjelasan singkat tentang kasus;
3.
Penjelasan tentang pendefinisian kelompok;
4.
Penjelasan dari implikasi keturutsertaan sebagai anggota kelompok;
5.
Penjelasan tentang kemungkinan anggota kelompok yang termasuk dalam definisi
kelompok untuk keluar dari keanggotaan kelompok;
6. Penjelasan tentang waktu yaitu bulan, tanggal, jam, pemberitahuan penyataan keluar
dapat diajukan ke pengadilan;
7. Penjelasan tentang alamat yang ditujukan untuk mengajukan penyataan keluar;
8. Apabila dibutuhkan oleh anggota kelompok tentang siapa dan tempat yang tersedia
bagi penyedian informasi tambahan;
9. Formulir isian tentang pernyataan keluar anggota kelompok sebagaimana yang diatur
dalam lampiran PERMA No. 1 Tahun 2002;
Penjelasan tentang jumlah ganti rugi yang akan diajukan.
Menurut Mas Acmad Santosa apabila class action tidak menyangkut tuntutan
uang (monetary damages) dan hanya mengajukan permintaan deklaratif atau injuction,
pemberitahuan (notice) terhadap anggota kelompok (untuk mendapatkan rekonfirmasi)
tidak perlu dilakukan.
Namun apabila tuntutan menyangkut ganti rugi dalam bentuk uang,
pemberitahuan kepada masyarakat atau masing-masing anggota kelompok untuk
mengambil sikap (opt in atau opt out) harus disampaikan. Opt in adalah mekanisme
dimana anggota kelompok memberikan penegasan bahwa mereka benar-benar
merupakan bagian dari class action. Sedangkan Opt ot adalah kesempatan untuk
anggota kelompok menyatakan diri keluar dari class action apabila tidak menghendaki
menjadi bagian dari gugatan.
Volume 12, No.1 Nop 2011
lxxviii
PERMA No. 1 Tahun 2002 sendiri hanya mengatur mengenai pemberitahuan
dan pernyataaan keluar (opt out), sedangkan mengenai pernyataan yang menyatakan
sebagai bagian class action (opt in) tidak diatur. Pada mekanisme pemberitahuan ini
membuka kesempatan bagi anggota kelompok untuk menyatakan diri keluar dari class
action apabila tidak menghendaki menjadi bagian dari gugatan.
Dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 disebutkan bahwa pernyataan keluar adalah
suatu bentuk pernyataan tertulis yang ditandatangani dan diajukan kepada pengadilan
dan/atau pihak penggugat oleh anggota kelompok yang menginginkan diri keluar dari
keanggotaan gerakan perwakilan kelompok /class action . Pihak yang menyatakan diri
keluar dari keanggotaan gerakan perwakilan kelompok /class action, maka secara
hukum tidak terikat dengan putusan atas gugatan tersebut.
Sedang pihak lain (penggugat pasif) yang tidak menyatakan keluar (tidak opt
out) akan terikat dalam putusan class action tersebut, baik gugatan dikabulkan maupun
gugatan tidak dikabulkan. Dalam hal tuntutan class action ditolak, penggugat pasif ini
tidak dapat lagi mengajukan gugatan untuk kasus yang sama. Sebaliknya jika tuntutan
class action dikabulkan ia berhak menerima ganti kerugian yang ditetapkan.
Pemeriksaan dan pembuktian dalam class action
Proses pemeriksaan dan pembuktiaan dalam gugatan class action adalah sama seperti
dalam perkara perdata pada umumnya seperti :
a. Pembacaan surat gugatan oleh penggugat;
b. Jawaban dari tergugat;
c. Replik atau tangkisan Penggugat atas jawaban yang telah disampaikan oleh Tergugat;
d. Duplik atau jawaban Tergugat atas tanggapan penggugat dalam replik;
e. Pembuktian yang merupakan penyampaian bukti-bukti dan mendengarkan saksisaksi;
f. Kesimpulan yang merupakan resume dan secara serentak dibacakan oleh kedua belah
pihak.
Namun karena gugatan yang akan diperiksa adalah gugatan class action, ada beberapa
hal yang memerlukan pemeriksaan lebih khusus lagi seperti :
Volume 12, No.1 Nop 2011
lxxix
Pemeriksaan apakah wakil yang maju dianggap jujur dan benar-benar mewakili
kepentingan kelompok.
Pemeriksaan ini tidak hanya dilakukan pada saat sertifikasi akan tetapi juga dilakukan
pada tahap pemeriksaan, dengan cara memberikan kesempatan kepada anggota
kelompok untuk mengajukan keberatan terhadap wakil kelompok yang maju di
persidangan.
Atas dasar keberatan ini, hakim dapat mengganti wakil kelompok ini dengan yang lain.
Sebelum wakil kelompok diganti, maka ia tidak boleh mengundurkan terlebih dahulu.
Pemeriksaan apakah ada persamaan dalam hukum dan fakta serta tuntutan pada seluruh
anggota kelompok.
Pembuktian khusus untuk membuktikan masalah yang sama yang menimpa banyak
orang.
Mekanisme pembagian uang ganti kerugian untuk sejumlah besar uang.
Pelaksanaan putusan
Setelah proses pemeriksaan telah selesai selanjutnya hakim menjatuhkan suatu
putusan. Sama halnya dengan putusan hakim dalam perkara perdata biasa maka putusan
hakim dalam gugatan class action dapat berupa putusan yang mengabulkan gugatan
penggugat ( baik sebagian maupun seluruhnya) atau menolak gugatan penggugat.
Dalam hal gugatan ganti kerugian dikabulkan, hakim wajib memutuskan
jumlah kerugian secara rinci, penentuan kelompok dan atau sub-kelompok yang berhak
menerima, mekanisme pendistribusian ganti kerugian dan langkah- langkah yang wajib
ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian.
Pada dasarnya eksekusi putusan perkara gugatan class action dilakukan atas
perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan atas permohonan pihak yang menang
seperti diatur dalam hukum acara perdata. Namun mengingat bahwa eksekusi putusan
harus dilakukan sesuai dengan amar putusan dalam perkara yang bersangkutan,
sedangkan dalam amar putusan gugatan class action yang mengabulkan gugatan ganti
kerugian memuat pula perintah agar penggugat melakukan pemberitahuan kepada
anggota kelompok, serta perintah pembentukan komisi independen yang komposisi
keanggotaannya ditentukan dalam amar putusannya guna membantu kelancaran
pendistribusian, maka eksekusi dilakukan setelah diadakannya pemberitahuan kepada
lxxxVolume 12, No.1 Nop 2011
anggota kelompok, komisi telah terbentuk, tidak tercapai kesepakatan anatara kedua
belah pihak tentang penyelesaian ganti kerugian dan tergugat tidak bersedia secara
sukarela melaksanakan putusan.
Dalam eksekusi tersebut paket ganti kerugian yang harus dibayar oleh tergugat
akan dikelola oleh komisi yang secara administratif di bawah koordinasi panitera
pengadilan agar pendistribusian uang ganti kerugian dapat berjalan dengan lancar sesuai
dengan besarnya kerugian yang dialami oleh kelompok.
Perdamaian
Dalam gugatan class action dimungkinkan terjadi perdamaian (dading) antara
penggugat dengan tergugat. Hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk
menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal persidangan
maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara (pasal 6 PERMA No. 1 Tahun
2002 ).
Sebelum dilakukan upaya perdamaian dalam class action, pihak penggugat
(wakil kelompok) harus mendapatkan persetujuan dari anggota kelompok. Persetujuan
ini dapat menggunakan mekanisme pemberitahuan. Umumnya upaya perdamaian
dilakukan di luar proses persidangan. Apabila pihak penggugat (wakil kelompok) dan
tergugat sepakat dilakukan perdamaian maka diantara para pihak dilakukan perjanjian
perdamaian. Lazimnya perjanjian perdamaian dibuat secara tertulis di atas kertas
bermaterai. Berdasarkan perjanjian perdamaian antara kedua belah pihak maka hakim
menjatuhkan putusannya (acte van vergelijk) yang isinya menghukum kedua belah
pihak mematuhi isi perdamaian yang telah dibuat. Kekuatan putusan perdamaian sama
dengan putusan biasa dan dapat dilaksanakan seperti putusan-putusan lainnya. Dalam
hal para pihak sepakat melakukan perdamaian maka tidak dimungkinkan upaya
banding.
DAMPAK YANG MEMPENGARUHI
LINGKUNGAN DENGAN CLASS ACTION
PENYELESAIAN
SENGKETA
Seperti yang telah disinggung dalam pembahasan sebelumya, bahwa class
action sebagai suatu prosedur dalam mengajukan gugatan keperdataan lebih dikenal
negara-negara yang menganut sistem hukum common law. Negara-negara lain yang
menganut sistem hukum civil law seperti Indonesia kemudian mengadopsi ke dalam
sistem hukum dinegaranya masing-masing.
Indonesia telah mengadopsi prinsip-prinsip gugatan class action melalui
beberapa peraturan perundang-undangan seperti Undang-undang Nomor 32 tahun 2009
Volume 12, No.1 Nop 2011
lxxxi
tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
Proses adopsi prosedur class action tersebut ternyata banyak menimbulkan
masalah dalam prakteknya, karena peraturan yang telah mengadopsi ketentuan class
action tersebut menentukan bahwa hukum acara yang dipergunakan adalah hukum acara
yang berlaku di Indonesia dalam hal ini adalah Het Herziene Indonesisch Regelement
(HIR) dan Regelement op de Burgelijk Rechtsvordering (RBg), padahal HIR dan RBg
tidak mengenal prosedur class action.
Permasalahan yang timbul akibat tidak adanya ketentuan mengenai prosedur
class action ini terlihat dari beberapa putusan pengadilan yang memeriksa dan
mengadili gugatan perdata yang menggunakan prosedur class action.
Hasil kajian dari tim ICEL pada tahun 2002 terhadap beberapa kasus class
action yang sedang atau dalam proses di peradilan sebelum terbitnya PERMA No. 1
Tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok, menemukan beberapa
permasalahan yang sering terjadi dalam praktek gugatan class action di peradilan di
Indonesia, antara lain :69
Tentang surat kuasa dari anggota kelompok kepada perwakilan kelompok.
Dari keseluruhan putusan pengadilan yang dianalisa, dapat dicatat bahwa
bantahan pertama yang sering dikemukakan oleh tergugat terhadap penggunaan
prosedur class action adalah tidak adanya surat kuasa dari anggota kelompok kepada
anggota kelompok.
Dalam ketentuan hukum acara perdata yang berlaku (HIR/RBg) mensyaratkan
bahwa untuk dapat bertindak sebagai wakil atau kuasa, seseorang harus memperoleh
suart kuasa istimewa dari orang/pihak yang diwakilinya.
Tentang surat gugatan.
69
Santosa, Mas Achmad (2001), Good Governance & Hukum Lingkungan, ICEL,
Jakarta.
Volume 12, No.1 Nop 2011
lxxxii
Dalam surat gugatan yang diajukan pada umumnya tidak menjelaskan
karakteristik dari sebuah gugatan yang menggunakan prosedur class action,dalam hal
ini tidak mendeskripsikan secara jelas definisi kelas, posita gugatan tidak menjelaskan
secara rinci dan jelas kesamaan tentang fakta dan hukum serta kesamaan tuntutan antara
wakil kelompok dengan anggota kelompok, serta tata cara pendistribusian ganti
kerugian. Disamping itu, dalam menentukan wakil kelompok, penggugat cenderung
mengajukan jumlah wakil kelompok dalam jumlah yang besar. Hal ini akan
menyulitkan penggugat dalam membuktikan adanya unsur kesamaan kepentingan antara
wakil kelompok dengan anggota kelompok.
Mempersamakan gugatan class action dengan gugatan legal standing.
Dalam beberapa putusan baik penggugat, tergugat maupun pengadilan masih
terjebak pada pemikiran bahwa gugatan dengan prosedur class action adalah identik
dengan gugatan atas dasar hak gugat LSM atau “NGO’s standing to sue”.
Tentang prosedur acara pemeriksaan.
Penentuan pengakuan atau keabsahan dari suatu gugatan yang menggunakan
prosedur class action dalam berbagai putusan, dilakukan dalam tahap pemeriksaan yang
berbeda-beda. Ada yang mengesahkan penggunaan prosedur ini diperiksa dan diputus
pada akhir putusan bersama-sama dengan pokok perkara, sedangkan pada putusan
perkara lainnya diputus pada tahapan putusan sela.
Tentang notifikasi atau pemberitahuan.
Belum adanya aturan atau petunjuk mengenai tata cara pengadilan dalam
memeriksa dan mengadili perkara gugatan perdata melalui prosedur classaction,
mengakibatkan perintah notifikasi atrau pemberitahuan (yang dalam sistem hukum
negara lain merupakan suatu kewajiban) tidak menjadi suatu prioritas atau suatu
keharusan.
Tentang implemantasi putusan pengadilan dalam hal distribusi ganti kerugian.
Dalam pengajuan gugatan secara classaction, yang khususnya mengajukan
tuntutan ganti rugi berbentuk uang, posita penggugat tidak secara jelas tentang usulan
mekanisme distribusi ganti kerugian.
Dengan lahirnya PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan
kelompok, sebagai suatu terobosan hukum diharapkan di masa datang dapat mengatasi
Volume 12, No.1 Nop 2011
lxxxiii
permasalahan dan memenuhi kebutuhan hukum dalam praktek pengajuan dan
pemeriksaan gugatan class action diIndonesia.
Jenis-Jenis Penyelesaian Sengketa
Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang
ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup. Adapun jenis-jenis penyelesaian sengketa adalah:70
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup melalui Pengadilan (Litigasi).
Tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang,
masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum Acara Perdata
yang berlaku. Hak Masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup untuk Mengajukan
Gugatan Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan (gugatan class action) ke
pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah
lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat. Jika diketahui bahwa
masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka
instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat
bertindak untuk kepentingan masyarakat.
Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup
sesuai dengan pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan
untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Hak mengajukan gugatan tersebut terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan
tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan tersebut (gugatan legal
standing) apabila memenuhi persyaratan:
a. Berbentuk badan hukum atau yayasan;
70
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty
Yogyakarta, 1998,
Volume 12, No.1 Nop 2011
lxxxiv
b. Dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan
dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup;
c.
Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
d.
Daluwarsa untuk Pengajuan Gugatan
Tenggang daluwarsa hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan mengikuti
tenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan Hukum Acara Perdata yang
berlaku, dan dihitung sejak saat korban mengetahui adanya pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup. Ketentuan mengenai tenggang daluwarsa tersebut tidak
berlaku terhadap pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan
oleh usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau
menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun.
Tanggung Jawab Mutlak
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang
menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan
berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang
ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada
saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban
membayar ganti rugi jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini:
a. Adanya bencana alam atau peperangan; atau
b. Adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
c. Adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup.
Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga, pihak ketiga
bertanggung jawab membayar ganti rugi. Setiap perbuatan melanggar hukum berupa
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada
orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau
Volume 12, No.1 Nop 2011
lxxxv
kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. Selain
pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu tersebut, hakim dapat menetapkan
pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu
tersebut.
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan (Non Litigasi)
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan pilihan
para pihak dan bersifat sukarela. Para pihak juga bebas untuk menentukan lembaga
penyedia jasa yang membantu penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Lembaga
penyedia jasa menyediakan pelayanan jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup
dengan menggunakan bantuan arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya.
Apabila para pihak telah memilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan
hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila
upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak
yang bersengketa atau salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik diri dari
perundingan.
Berdasarkan Pasal 30 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang
perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, Penyelesaian sengketa lingkungan
hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan
secara sukarela para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam
Undang-undang ini. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan
hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila
upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang
bersengketa.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan
untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau
mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya
dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Dalam penyelesaian sengketa lingkungan
hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki
kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil
keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.
Dalam rangka menyelesaikan sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan,
maka mekanismenya menggunakan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian
Volume 12, No.1 Nop 2011
lxxxvi
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi,
atau penilaian ahli.
Mekanisme penyelesaian sengketa dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui
alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan
mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian
sengketa sebagaimana dimaksud di atas diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh
para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan
dalam suatu kesepakatan tertulis. Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana
dimaksud di atas tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak,
sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat
ahli maupun melalui seorang mediator.
Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator
tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan
kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau
lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus
sudah dapat dimulai. Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator
dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh ) hari
harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak
yang terkait.
Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah
final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib
didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
penandatanganan.
Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat wajib selesai dilaksanakan
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
Volume 12, No.1 Nop 2011
lxxxvii
Apabila usaha perdamaian tersebut tidak dapat dicapai, maka para pihak
berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya
melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad–hoc.
Tata Cara Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup melalui Lembaga Penyedia Jasa
Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat
digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil
keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu
menyelesaikan sengketa lingkungan hidup. Dengan demikian salah satu yang ditempuh
yaitu melalui Lembaga Penyedia Jasa.
Para pihak atau salah satu pihak yang bersengketa dapat mengajukan
Permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup kepada lembaga
penyedia jasa dengan tembusan disampaikan kepada instansi yang bertangung jawab di
bidang Pengendalian Dampak Lingkungan atau instansi yang bertanggung jawab di
bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah yang bersangkutan.
Instansi yang menerima tembusan permohonan bantuan untuk penyelesaian
sengketa lingkungan hidup dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari wajib
melakukan verifikasi tentang kebenaran fakta-fakta mengenai permohonan penyelesaian
sengketa lingkungan hidup dan menyampaikan hasilnya kepada lembaga penyedia jasa
yang menerima permohonan bantuan penyelesaian sengketa lingkungan hidup.
Lembaga penyedia jasa dalam waktu tidak lebih dari 14 (empat belas) hari sejak
menerima hasil verifikasi wajib mengundang para pihak yang bersengketa.
Apabila cara ini tidak berhasil menyelesaikan masalah maka para pihak dapat
menggunakan mekanisme arbitrase atau menggunakan mediator. Tata cara penyelesaian
sengketa lingkungan hidup melalui arbiter tunduk pada ketentuan arbitrase. Sedangkan
penyelesaian dengan menggunakan Mediator atau Pihak Ketiga Lainnya dilakukan
sebagai berikut.
Para pihak yang bersengketa berhak untuk memilih dan menunjuk mediator,
atau pihak ketiga lainnya dari lembaga penyedia jasa. Penyelesaian sengketa melalui
mediator atau pihak ketiga lainnya tunduk pada kesepakatan yang dibuat antara para
pihak yang bersengketa dengan melibatkan mediator atau pihak ketiga lainnya.
Kesepakatan tersebut memuat antara lain:
a. masalah yang dipersengketakan;
Volume 12, No.1 Nop 2011
lxxxviii
b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga lainnya;
d. tempat para pihak melaksanakan perundingan
e. batas waktu atau lamanya penyelesaian sengketa;
f. pernyataan kesediaan dari mediator atau pihak ketiga lainnya;
g. pernyataan kesediaan dari salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa untuk
menanggung biaya;
h. larangan pengungkapan dan/atau pemyataan yang menyinggung atau menyerang
pribadi;
i. kehadiran Pengamat, ahli dan/atau nara sumber;
j. larangan pengungkapan infonnasi tertentu dalam proses penyelesaian sengketa secara
musyawarah kepada masyarakat;
k. larangan pengungkapan catatan dari proses serta hasil kesepakatan.
Dalam proses penyelesaian sengketa, penunjukan mediator atau pihak ketiga lainnya
dapat dianggap tidak sah atau batal dengan alasan:
Mediator atau pihak ketiga lainnya menunjukkan keberpihakan; dan/atau
Mediator atau pihak ketiga lainnya menyembunyikan informasi tentang syarat-syarat
yang seharusnya dipenuhi. Apabila terjadi hal yang demikian itu maka : mediator atau
pihak ketiga lainnya wajib mengundurkan diri; atau para pihak atau salah satu pihak
berhak
menghentikan
penugasannya.
Kesepakatan yang dicapai melalui proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan
mediator atau pihak ketiga lainnya wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis di
atas kertas bermaterai yang memuat antara lain: (a) nama lengkap dan tempat tinggal
para pihak; (b) nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga lainnya; (c).
uraian singkat sengketa;
Pendirian para pihak;
Volume 12, No.1 Nop 2011
lxxxix
pertimbangan dan kesimpulan mediator atau pihak ketiga lainnya; isi kesepakatan; batas
waktu pelaksanaan isi kesepakatan; tempat pelaksanaan isi kesepakatan; dan pihak yang
melaksanakan isi kesepakatan.
Isi kesepakatan tersebut dapat berupa antara lain:
bentuk dan besarnya ganti kerugian; dan/atau
melakukan tindakan tertentu guna menjamin tidak terjadinya atau terulangnya dampak
negatif terhadap lingkungan hidup.
Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh para pihak dan mediator atau pihak
ketiga lainnya. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
ditandatanganinya kesepakatan tersebut, lembar asli atau salinan otentik kesepakatan
diserahkan dan didaftarkan oleh mediator atau pihak ketiga lainnya atau salah satu pihak
atau para pihak yang bersengketa kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Class Action sebagai Instrumen Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup tentang
Ganti Kerugian
Dikaitkan dengan kompetensi absolut lembaga peradilan di Indonesia
sebagaimana diatur pada Pasal 10 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan UndangUndang No. 35 Tahun 1999 tentang hal yang sama, adapun kewenangan untuk
menyelesaikan perkara perdata dengan pokok gugatan ganti kerugian ditetapkan
menjadi kompetensi absolut lembaga Peradilan Umum. Mengenai dasar penyebab
timbulnya gugatan ganti rugi dalam Peradilan Umum dapat dijumpai pada rumusan
Buku III KUH Perdata, yakni perihal Perikatan Hukum mulai Pasal 1365-1380 KUH
Perdata. Berdasarkan sejumlah ketentuan itu, yang paling menarik untuk dicermati
adalah Pasal 1365nya yang berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum. Pasal 1365
KUH Perdata menetapkan: “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut”.
Rumusan ini tidak menjelaskan pengertian dari perbuatan melanggar hukum,
kecuali syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menuntut ganti rugi karena alasan
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak tertentu. Menurut Hukum
Lingkungan, pihak yang dimaksudkan tidak terbatas pada orang perorangan, lembaga
dan badan hukum juga dapat diminta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya
yang diduga melawan hukum.Syarat-syarat materiil yang harus dipenuhi untuk
xc
Volume 12, No.1 Nop 2011
menuntut ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum sebagaimana ditentukan
pada Pasal 1365 KUH Perdata seperti berikut.
Adanya perbuatan melawan hukum
Pengertian hukum dalam arti luas, sehingga tidak hanya menyangkut peraturan
perundang-undangan. Hal ini juga dikemukakan oleh Rachmat Setiawan yang
berpendapat “perbuatan melawan hukum yaitu tidak hanya jika melawan kewajiban
hukum tertulis, tetapi juga jika melanggar itikad baik yang berlaku di masyarakat”
(Rachmat Setiawan; 1982 : 14).
Adanya kesalahan (schuld)
Kesalahan dalam hukum perdata tidaklah mengenal kualitas dan gradasi atau
tingkat-tingkatan seperti halnya dalam KUH Pidana. Dengan kata lain, kualitas
kesalahan yang dilakukan dengan kesengajaan (dolus) maupun kealfaan (culpa) di
dalam hukum perdata diberikan akibat yang sama. Menurut hokum perdata, seseorang
itu dikatakan bersalah jika terhadapnya dapat disesalkan bahwa ia telah melakukan/tidak
melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dihindarkan.
Adapun perbuatan yang seharusnya dilakukan/tidak dilakukan ini tidak terlepas
dari dapat hal itu dikira-kirakan dengan tolok ukur sebagai berikut.
Secara objektif, artinya manusia normal dapat mengira-ngirakan dalam keadaan
tertentu, perbuatan itu seharusnya dilakukan atau sebaliknya tidak dilakukan;
Secara subjektif, artinya orang dalam kedudukan tertentu dapat mengira-ngirakan
bahwa perbuatan itu seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan;
Mampu dibertanggungjawabkan, artinya orang yang melakukan perbuatan harus dapat
bertanggungjawab atau dipertanggungjawabkan, sehingga orang tersebut harus sudah
dewasa, sehat akalnya, dan tidak berada dibawah pengampuan.
Adanya kerugian (schade)
Kerugian yang dimaksudkan dalam hal ini adalah kerugian yang timbul akibat
dari perbuatan melawan hukum dan bukan kerugian yang timbul dari wanprestasi atas
suatu perjanjian. Disamping itu, kerugian yang dimaksudkan dalam konteks Hukum
Lingkungan dikuantitaskan berupa uang atas kerugian yang bersifat materiil dan/atau
Volume 12, No.1 Nop 2011
xci
immateriil, sehingga dapat meliputi beaya, kerugian yang nyata maupun tidak nyata
diderita, serta keuntungan yang diharapkan.
Adanya hubungan sebab akibat (causaliteit)
Hal ini untuk mengetahui hubungan suatu pihak dengan kerugian yang
diderita oleh pihak lain. Dengan kata lain, perlu ada benang merah antara kerugian yang
terjadi sebagai akibat dari suatu perbuatan, sehingga jika tidak ada perbuatan maka tidak
ada akibat (kerugian). Untuk memenuhi persyaratan ini, dalam praktek peradilan
dikembangkan teori “adequate veroorzaking” Von Kries yakni, yang dianggap
sebagai sebab adalah perbuatan yang menurut pengalaman manusia yang normal
sepatutnya dapat diharapkan menimbulkan akibat, dalam hal ini adalah kerugian (Abdul
kadir Muhammad; 1982 :148). Keempat unsur di atas sifatnya kumulatif, sehingga bila
salah satu unsur tidak terpenuhi berarti pihak yang digugat bebas dari dugaan melawan
hukum.
Sehubungan Dengan pihak penggugatnya, dalam konsep Hukum Lingkungan
tidak semata-mata hak dari pihak yang merasa dirugikan secara langsung. Sejalan
dengan prinsip dasar bahwa “lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak setiap
orang (sic utere tuo ut alienum non laedas)”, sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 5
UUPLH yang menyatakan bahwa “setiap orang mempunyai hak yang sama atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat”, maupun Pasal 6 UUPLH yang menyatakan
“setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup”.
Pemerintah maupun masyarakat yang tidak merasakan secara langsung terhadap akibat
kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup secara proaktif juga dapat
mengajukan gugatan atau meminta pertanggungjawaban hokum kepada pihak yang
diduga mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup.
Dengan kata lain, proses penegakan Hukum Lingkungan sesuai dengan Pasal
5, 6, 37 dan 38 UUPLH dapat timbul atas inisiatif orang sebagai perorangan maupun
pengusaha
yang
dirugikan secara langsung, oleh pihak masyarakat secara
berkelompok (class action), pihak pemerintah, maupun pihak organisasi masyarakat
yang bergerak di bidang lingkungan hidup, seperti LSM Lingkungan melalui gugatan
atas nama lingkungan hidup (NGO’s to sue, legal standing atau ius standi).
Mengenai masyarakat yang merasakan dirugikan oleh perbuatan pihak lain
yang diduga mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, hak menggugatnya
diatur dalam Pasal 37 ayat (1) UUPLH yang menetapkan: “masyarakat berhak
mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum
mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan
xciiVolume 12, No.1 Nop 2011
masyarakat”. Ketentuan itu menunjukkan, bahwa masyarakat yang merasakan
dirugikan atas lingkungan hidupnya yang baik dan sehat dapat mengajukan gugatan
perwakilan masyarakat yang juga disebut class action atau action popularis. Dengan
demikian, gugatan perwakilan kelompok merupakan gugatan ganti kerugian dari
sekelompok kecil masyarakat yang bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar
yang merasa dirugikan melalui lembaga peradilan.
Menurut penjelasan Pasal 37 ayat (1) UUPLH, agar kelompok perwakilan
diakui memiliki hak gugat ada beberapa persyaratan yang mesti diperhatikan.
Persyaratan yang dimaksudkan di dalam dan antara kelompok perwakilan dengan
masyarakat yang diwakilinya, meliputi: a. adanya kesamaan permasalahan; b. adanya
kesamaan fakta hukum; c. adanya kesamaan tuntutan yang ditimbulkan berkaitan
dengan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang didugakan;
Selanjutnya mengenai hukum acara yang mengatur gugatan perwakilan
tersebut, saat ini telah ditetapkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
(PERMARI) No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Sejalan
dengan penjelasan Pasal 37 ayat (1) UUPLH, Pasal 2 PERMARI No. 1 Tahun 2002
lebih memperjelas mengenai dasar pertimbangan dapat diterimanya suat gugatan
kelompok, yakni bila : 71
jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien
apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu
gugatan;
terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan
yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil
kelompok dengan anggota kelompoknya;
wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan
anggota kelompok yang diwakilinya;
hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian
pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya. Sehubungan
dengan gugatan perwakilan yang diajukan, menurut Pasal 3 PERMARI 1 Tahun 2002 ,
71
M. Yahya Harahap, Beberapa Masalah yang perlu Diperhatikan dalam Penerapan
PERMA No. 1 Tahun 2002, Makalah pada Seminar Setengah Hari PERMA No. 1 Tahun 2002 ,
Jakarta 6 Juni 2002.
Volume 12, No.1 Nop 2011
xciii
di samping memenuhi ketentuan formal dalam Hukum Acara Perdata, juga diwajibkan
memuat hal-hal :
identitas lengkap dan jelas wakil kelompok;
definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota
kelompok satu persatu;
keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban
pemberitahuan;
posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok, yang
teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan terinci;
dalam satu gugatan perwakilan,dapat dikelompokan beberapa bagian kelompok atau sub
kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda;
tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci,
memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada
keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel
yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian
Faktor-Faktor Pendukung Penerapan Ganti Rugi untuk Menyelesaikan Sengketa
Lingkungan Hidup.
Untuk mendukung penerapan ganti rugi sebagai salah satu sanksi hokum dalam
menyelesaikan sengketa lingkungan hidup, maka ada beberapa faktor yang perlu
diperhatikan baik bersifat hokum maupun non hukum. Adanya produk hukum yang
mengatur secara tegas dan pasti tentang Baku Mutu Sumber Daya Lingkungan Hidup di
masing-masing provinsi, mekanisme pengambilan keputusan ganti rugi oleh pihak
penengah beserta kekuatan hokum dan pelaksanaan eksekusi dari penetapan ganti
ruginya, prosedur pemeriksaan gugatan class action beserta mekanisme eksekusi
putusan pengadilan tentang hal itu merupakan beberapa contoh persoalan hukumnya.
Selanjutnya adanya instrument laboratorium yang layak, ketersediaan aparat
penegak hukum yang berkualitas, kesadaran dan budaya hokum masyarakat yang
peduli serta ramah lingkungan merupakan contoh beberapa faktor non hukum yang
wajib diperhatikan dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui gugatan
ganti kerugian. Banyak kasus lingkungan hidup yang sulit diselesaikan melalui lembaga
peradilan, karena sulitnya pembuktian maupun membuktikan untuk telah terjadinya
xcivVolume 12, No.1 Nop 2011
suatu tindakan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Hal ini sebagai
konsekuensi masih dianutnya prinsip “yang mendalilkan yang membuktikan” dalam
sebagian besar proses penegakan Hukum Lingkungan. Di samping itu, lemahnya
komitmen dan persepsi dari aparat penegak hukum di bidang lingkungan hidup juga
masih mewarnai penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan. Sementara untuk
menutupi kelemahan-kelemahan itu, orang masih berpaling kepada penegakan produk
hukum Pemerintah Daerah yang terkait dengan lingkungan hidup, seperti Perda
tentang kebersihan dan ketertiban umum yang memiliki keterbatasan dalam
menyadarkan pihak-pihak potensial pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup
Kelebihan dan kekurangan Class Action
Terdapat beberapa keuntungan/manfaat yang dapat diperoleh apabila
mengajukan gugatan menggunakan prosedur class action. John Basten Q. C melihat ada
lima manfaat yang dapat diperoleh yaitu (1) Mengatur penyelesaian perkara yang
menyangkut banyak orang yang tidak dapat diajukan secara individual. (2) Memastikan
bahwa tuntutan-tuntutan untuk ganti kerugian yang kecil serta dana yang terbatas
diperlukan dengan sepantasnya. (3) mencegah putusan yang bertentangan untuk
permasalahan yang sama. (4) Penggunaan administrasi peradilan yang lebih efisien dan
(5) Mengembangkan proses penegakan hukum.
Sedangkan Ontario Law Reform Commission melihat ada tiga manfaat yang
dapat diperoleh dari prosedur class action, yakni (1) mencapai peradilan yang lebih
ekonomis, (2) memberi peluang yang lebih besar ke pengadilan dan (3) merubah
perilaku yang tidak pantas dari para pelanggar atau orang-orang yang potensial
melakukan pelanggaran. Secara umum ada tiga manfaat yang dapat diperoleh apabila
menggunakan prosedur class action, yaitu :
Proses berperkara menjadi sangat ekonomis (Judicial Economy)
Bukan rahasia lagi bagi masyarakat bahwa berperkara di pengadilan akan
memakan biaya yang tidak sedikit. Bagi pihak penggugat, dengan melalui mekanisme
class action maka biaya perkara dan biaya untuk pengacara menjadi lebih murah
dibandingkan dengan dilakukan gugatan secara individu, yang kadang-kadang tidak
sesuai dengan besarnya ganti kerugian yang akan diterima. Tidak sedikit pihak
(individu) yang mengurungkan niatnya untuk menyelesaikan perkaranya, dengan
mengajukan gugatan ke pengadilan disebabkan karena mahalnya biaya perkara dan
biaya pengacara.
Manfaat secara ekonomis tidak saja dirasakan oleh penggugat namun juga oleh
tergugat, sebab dengan pengajuan gugatan secara class action, pihak tergugat hanya
Volume 12, No.1 Nop 2011
xcv
satu kali mengeluarkan biaya untuk melayani gugatan dari pihak-pihak yang dirugikan.
Sedangkan bagi pengadilan sendiri sangatlah tidak ekonomis jika harus melayani
gugatan yang sejenis secara satu persatu dan terus menerus serta dalam jumlah yang
cukup besar.
Akses terhadap keadilan (Access to Justice)
Mengajukan gugatan secara class action akan lebih mudah dibandingkan
dengan mengajukan gugatan secara individu-individu. Menggabungkan diri secara
bersama-sama akan mengurangi hambatan-hambatan bagi penggugat individual yang
umumnya dalam posisi yang lemah, baik dari segi ekonomi maupun dari segi
kemampuan (psikologis) dan pengetahuan tentang hukum.
Selain itu dalam class action tidak mensyaratkan pengindentifikasian nama
sehingga dapat mencegah adanya intimidasi terhadap anggota kelas. Class action juga
mencegah pengulangan proses perkara dan mencegah putusan- putusan yang berbeda
atau putusan yang tidak konsisten apabila dilakukan gugatan secara individu.
Mendorong bersikap hati-hati (Behaviour Modification) dan merubah sikap pelaku
pelanggaran
Pengajuan gugatan secara class action dapat “menghukum” pihak yang
terbukti bersalah, bertanggung jawab membayar ganti kerugian dengan jumlah yang
diperuntukkan untuk seluruh penderita korban (dengan cara yang lebih ringkas) akibat
dari perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Hal ini dapat mendorong setiap
pihak atau penangung jawab usaha (swasta atau pemerintah) untuk bertindak ekstra
hati-hati. Selain itu dengan sering diajukannya gugatan secara class action diharapkan
merubah sikap pelaku pelanggaran sehingga menumbuhkan sikap jera bagi mereka yang
berpotensi merugikan kepentingan Masyarakat luas.
Meskipun ada banyak manfaat yang dapat diperoleh dalam mengajukan
gugatan secara class action, namun tidak berarti tidak memiliki kelemahan. Beberapa
kelemahan dari prosedur class action adalah :
Kesulitan dalam mengelola.
Semakin banyak jumlah anggota kelompok, semakin sulit mengelola gugatan
class action. Kesulitan yang terjadi biasanya pada saat pemberitahuan Dan
pendistribusian ganti kerugian. Jumlah anggota kelompok yang banyak dan menyebar di
beberapa wilayah yang tidak sama akan menyulitkan dalam hal pemberitahuan dan
xcviVolume 12, No.1 Nop 2011
memerlukan biaya yang tidak sedikit. Apabila gugatan dimenangkan dan ganti rugi
diberikan, bukan tidak mungkin jumlah ganti kerugian tidak sebanding dengan biaya
pendistribusiannya.
Dapat menyebabkan ketidakadilan.
Ketidakadilan ini terkait dengan masalah penentuan keanggotaan kelompok
beserta daya ikatnya dari putusan hakim. Apabila prosedur yang dipilih untuk
menentukan keanggotaan kelompok adalah opt in maka tidak adanya pernyataan masuk
dari anggota kelompok yang sesungguhnya mempunyai kesamaan kepentingan hanya
karena tidak mengetahui adanya pemberitahuan, akan mengakibatkan hilangnya hak
mereka untuk menikmati keberhasilan gugatan class action, karena putusan hakim
hanya akan mempunyai akibat bagi mereka yang masuk sebagai anggota kelompok.
Sedangkan apabila prosedur yang dipilih untuk menentukan keanggotaan
adalah dengan prosedur opt out maka tidak ada pernyataan opt out dari orang Yang
potensial menjadi anggota kelompok, hanya karena tidak tahu adanya pemberitahuan
akan mengakibatkan mereka Menjadi anggota kelompok dengan segala
konsekuensinya. Konsekuensinya adalah mereka akan terikat dengan putusan yang
dijatuhkan oleh hakim. Yang menjadi persoalan adalah apabila gugatan dikalahkan atau
digugat balik maka anggota kelompok juga harus menanggung akibatnya.
Dapat menyebabkan kebangkrutan pada tergugat.
Jumlah tuntutan ganti kerugian pada gugatan class action dapat mengakibatkan
Tergugat bangkrut apabila gugatan dikabulkan, dimana tergugat wajib memberikan
ganti kerugian atau melakukan tindakan Tertentu kepada seluruh anggota kelompok
yang jumlahnya sangat banyak.
Publikasi gugatan class action dapat menyudutkan pihak tergugat.
Pemberitaan media massa dan adanya pemberitahuan gugatan class action di
media massa dapat menjadi serangan bagi kedudukan atau kekuasaan pihak tergugat.
Biasanya pembaca media akan mempunyai prasangka yang tidak baik. Padahal belum
tentu tergugat adalah pihak yang bersalah karena benar tidaknya tergugat masih harus
dibuktikan oleh pengadilan.
Berdasarkan uraian diatas, penerapan class action disatu sisi memberikan
penguatan bagi masyarakat dalam mencari keadilan dan kepastian hukum namun perlu
diperhatikan sisi keadilan dan martabat pihak tergugat.
Volume 12, No.1 Nop 2011
xcvii
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, penulis simpulkan penulisan ini sebagai
berikut:
Gugatan Class Action merupakan hak prosedural dalam bentuk gugatan oleh kelompok
masyarakat (Class Members) melalui perwakilannya (Class Representatives), atas dasar
kesamaan masalah (commonality of legal problem), fakta hukum (question of law), dan
kesamaan kepentingan (common of interest), untuk memperoleh ganti rugi dan/atau
tindakan tertentu dari (para) tergugat melalui proses peradilan perdata.
Dampak yang mempengaruhi penerapan class action tentunya sangat signifikan baik
ditinjau dari sisi kebaikannya dimana denagan adanya class action mempermudah
perkara ke pengadilan, memperingan biaya dan pemahaman pengetahuan tentang
hukum namun demikian dari sisi lain masih ada kelemahan dimana publikasi gugatan
terhadap tergugat sangat menyudutkan, serta pengelolaan keuangan sangat sulit dalam
pembagiannya.
Ketentuan mengenai gugatan Class Action dalam praktik peradilan perdata
sesungguhnya belum merupakan hak prosedural yang bersifat operasional, karena
ketentuan Pasal 37 (1) UULH; Pasal 71 (1) UUK; dan Pasal 46 (1) hurup b UUPK
secara eksplisit dinyatakan masih membutuhkan aturan pelaksanaan lebih lanjut dalam
bentuk peraturan pemerintah (yang sampai sekarang belum diterbitkan oleh
pemerintah). Sejak tahun 2002 dasar hukum yang dapat digunakan untuk mengajukan
gugatan Class Action sejauh ini bukan diatur dalam Peraturan Pemerintah, tetapi dalam
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Tatacara
Pengajuan Hak Gugat Perwakilan Masyarakat (Class Action).
Meskipun demikian penerapan class action tentunya memberikan ruang kebebasan hak
asasi bagi masyarakat dalam mengevaluasi kebijakan hukum yang kurang memberikan
rasa keadilan.
SARAN
Penulis mengharapkan dan menyarankan dalam penulisan ini adalah:
Sejalan dengan amanat Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan: “Dalam perkara perdata Pengadilan membantu para pencari keadilan dan
berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapai peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Volume 12, No.1 Nop 2011
xcviii
Hendaklah supremasi hukum dan kepastian hukum selalu dijunjung tinggi demi
tercapainya keadilan.
Daftar Rujukan
Alder, John & David Wilkinson. 1998. Environmental Law & Ethics, Macmillan Inc.
New York.
Adi Nugroho, Susanti. 2002. Pedoman Prosedur Gugatan Perwakilan Kelompok (class
action) di Indonesia, makalah pada Seminar Setengah Hari PERMA No. 1
Tahun 2002 Jakarta. 2002.
Hamzah, A., 1985. Penegakan Hukum Lingkungan, Penerbit Arikha Media Cipta. Cet.
ke-1. Jakarta.
Hardjasoemantri, 1985. Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University
Prress. Yogyakarta.
Harahap, M. Yahya. 2002. Beberapa Masalah yang perlu Diperhatikan dalam
Penerapan PERMA No. 1 Tahun 2002, Makalah pada Seminar Setengah
Hari PERMA No. 1 Tahun 2002 , Jakarta 6 Juni 2002.
Indra Soerjanto, 2002. Pengertian Umum, Manfaat dan Dasar Hukum Class Action di
Indonesia, bahan makalah tanggal 6 September 2002.
Kamus Webster Colegiate Dictionary edisi ke-10 tahun 1994
Kadir Mappong, 2002. Prosedur Gugatan Perwakilan (Class Action) dan Kaitannya
dengan Hukum Acara Perdata, bahan makalah Seminar Sehari :
Meningkatkan Peran Serta Masyarakat dalam Rangka Pengawasan
terhadap Penyelenggaraan Negara Melalui PERMA No. 1/2002, Oktober
2002.
Mertokusumo, Sudikno.1998. Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty
Yogyakarta.
Rangkuti, Siti Sundari, 1986. Hukum Lingkungan Dan Kebijaksanaan Lingkungan
Dalam Proses Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, Disertasi,
Universitas Airlangga, Surabaya, 1986.
Santosa, Mas Achmad. 2001. Good Governance & Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta.
SISTEM BAGI HASIL ANTARA PAJAK PROVINSI DENGAN KABUPATEN
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009
Volume 12, No.1 Nop 2011
xcix
Oleh:
H. Akh. Munif.*72
ABSTRAK
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat
penting artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan Pembangunan
Nasional sebagai pengamalan Pancasila yang bertujuan untuk
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, dan oleh karena
itu dikelola dengan meningkatkan peran serta masyarakat sesuai dengan
kemakmurannya.
Kata Kunci : Sistem Bagi Hasil – Pajak Provinsi – Pajak Kabupan.
PENDAHULUAN
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan
bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan, maka begitu banyak gagasan
tentang keadilan dan terlalu banyak untuk dikemukakan secara sederhana gagasan
tentang “keadilan”.1
Secara konstitusional UUD 1945 memberikan landasannya yang termaktub
didalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi ”Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Dengan menimbang bahwa di dalam negara Republik Indonesia
yang susunan kehidupan rakyatnya, perekonomiannya masih bercorak agraris, dengan
adanya bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai
arti yang sangat penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur.2
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting
artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan Pembangunan Nasional sebagai pengamalan
Pancasila yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,
*1 Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira.
1
Hans Kelsen, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, Cetakan Ketiga, Bee Media
Indonesia, Jakarta, hlm. 9.
2
Muchsin, H., Imam Koeswahyono, Soimin, 2007, Hukum Agraria Indonesia Dalam
Perspektif Sejarah, Cetakan Pertama, Refika Aditama, Bandung, hlm.39.
c Volume 12, No.1 Nop 2011
dan oleh karena itu dikelola dengan meningkatkan peran serta masyarakat sesuai dengan
kemakmurannya.3
Sebagai realisasi dan amanat GBHN tahun 1999-2004, merupakan bagian dari
paket pembaruan sistem perpajakan nasional, maksud dari pembaharuan sistem
perpajakan nasional ini adalah untuk meningkatkan penerimaan pajak sehingga negara
mampu membiayai pembangunan dari sumber-sumber penerimaan dalam negeri.
Dengan demikian pembangunan itu sendiri terjamin kelangsungannya. 4 Dengan
mengadakan pembaharuan sistem perpajakan melalui macam-macam pungutan atas
tanah dan atau bangunan tarif pajak dan cara pembayarannya, diharapkan kesadaran
untuk membayar pajak dari masyarakat akan meningkat sehingga penerimaan pajak
akan meningkat pula, dan meningkat pula pembangunan negara terutama daerah itu
sendiri.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undangundang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 tentang Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan
Daerah, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan
kewenangan yang seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara. Oleh karena itu hasil penerimaan pajak ini diarahkan kepada
tujuan untuk kepentingan masyarakat di daerah yang bersangkutan dan sebagian besar
hasil penerimaan pajak ini diserahkan kepada Pemerintah Daerah.
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan
daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Dalam rangka
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan
perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dan pemberian diskresi dalam
penetapan tarif. Oleh karena itu kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah
dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta
masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.
Sistem bagi hasil penerimaan pajak Provinsi dengan kabupaten seperti pajak
kendaraan bermotor dan pajak rokok sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/kota di
wilayah provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan sebagai berikut : Hasil pajak
kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor diserahkan kepada
kabupaten/kota sebesar 30%(tiga puluh persen), dan hasil penerimaan pajak rokok
diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (Tujuh puluh persen).
3
Kasiyanto, 2004, Masalah dan Strategi Pembangunan Indonesia, Cet. Keempat, PT.
Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara, Jakarta, hlm. 103.
4
Direktorat Jenderal Pajak dan Yayasan Rina Pembangunan, 2005, Buku Panduan
PBB, Cet. Ketiga, Penerbit Bina Rena Pembangunan, hlm. 23.
Volume 12, No.1 Nop 2011
ci
Kebijakan pajak daerah/kabupaten kota dan retribusi daerah dilaksanakan
berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan,5 Sedangkan Daerah
Kabupaten adalah sebagai salah satu kota di awasan Pulau Madura/Pulau Garam. 6
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat
Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. Pajak Daerah, yang
selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepala Daerah yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pajak merupakan peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor Pemerintah
(publik) dengan berdasarkan Undang-undang tertentu, meskipun tidak dapat
ditunjukkan secara langsung prestasinya oleh Pemerintah. Berbeda dengan apa yang
disebut retribusi, kalau retribusi ialah pengalihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor
pemerintah berdasarkan Undang-undang tertentu untuk membiayai pengeluaran negara
yang pembayaran itu dapat ditunjukkan prestasi kepada sebagian tertentu dari penduduk
yang diwajibkan untuk membayar.
Prestasi dan negara seperti hak untuk
mempergunakan hak-hak untuk keamanan sudah barang tentu diperoleh pihak
membayar pajak itu akan tetapi di perolehnya itu secara individual dan tidak ada
hubungan langsung dengan pembayaran itu, hal ini dibuktikan bahwa orang yang tidak
membayar pajakpun dapat mengenyam kenikmatan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat penulis rumuskan
permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimana pelaksanaan pemungutan pajak berdasarkan Undang-undang Nomor
28 Tahun 2009 ?
b. Bagaimanakah sistem pembagian bagi hasil antara Pajak Provinsi dengan
Kabupaten berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 ?
SISTEM PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK
A. Pengertian Pajak dan Hukum Pajak
Sekedar untuk perbandingan berikut ini disajikan definisi dari beberapa
sarjana, yaitu :
a. Pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
5
Mohammad Zain, AK dan Dodo Syarief Hidayat, 2005, Himpunan UU Perpajakan,
Cet. III, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 225.
6
BPS Statistics Tge Pamekasan Regency, 2004, Pamekasan Regency In Figures, Cet.
Ketiga, Penerbit CV. Sarana Cipta Karya, hlm. 19.
cii
Volume 12, No.1 Nop 2011
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat . ( Pasal 1 angka 1 UU Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan).
b. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasrkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontra prestasi), yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum. (Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH.).
Definisi tersebut diatas kemudian dipertahankan sebagai koreksi dari bagian
pertama dari definisinya semula dapat disimpulkan dari uraiannya dalam buku
Pajak dan Pembangunan. Definisi tersebut kurang lebih dapat berbunyi sebagai
berikut : ” Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara
untuk membiayai pengeluaran rutin dan ” surpulus”-nya digunakan untuk
Public Saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai Public Invesment.7
Perlu kiranya dicatat, bahwa definisi-definisi tersebut umumnya kurang lengkap,
bahkan seperti halnya pula dengan Adriani, ia baru kemudian di dalam bukunya
termaksud mengupasnya panjang lebar tentang ”funksi mengatur”.
c. Prof. Dr. P.J.A.Adriani Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat peraturan,
dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung
dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.8
d. Dr. Soeparman Soemahamidjaja (dalam disertasinya yang berjudul : ”Pajak
berdasarkan azas Gotong Royong” (Universitas Pejajaran, Bandung – 1964) : ”
Pajak adalah iuan wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh Penguasa
berdasarkan norma-norm hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang
dan jasa-jasa kolektip dalam mencapai kesejahtteraan umum”.9
Dengan mencantumkan istilah Iuran Wajib, ia mengharapkan terpenuhinya
ciri, ahwa pajak dipungut dengan bantuan dari dan kerjasama dengan wajib-pajak,
sehingga perlu pula dihindari penggunaan istilah ”paksaan” . Lebih-lebih
(demikian pula menurut beberapa sarjana lainnya) bilamana suatu kewajiban harus
dilaksanakan berdasarkan Undang-undang: dalam hal kewajiban tersebut tidak
dilaksanakan, maka Undang-undang menunjukkan cara pelaksanaannya yang lain,
hal ini tidak mengenai pajak saja (dan cara ini biasanya adalah untuk memaksa) .
Selanjutnya (menurut pendapatnya) berkelebihanlah kiranya, kalau khusus
mengenai pajak, sekali lagi ditekankan pentingnya paksaan itu, seakan-akan tidak
ada kesadaran masyarakat
untuk melakukan kewajibannya). Ia sudah
menganggapnya cukup dengan menyatakan bahwa pajak adalah : ”Iuran Wajib”
dus, tidak tidak usah diberi tmbahan : ”yang dapat dipaksakan”. Adapun mengenai
7
Santoso Brotodihardjo, R., 2005,
Bandung, hlm. 1
8
Ibid., hlm. 2.
9
Ibid., hlm. 4.
Volume 12, No.1 Nop 2011
Ilmu Hukum Pajak, Cetakan XII, PT. Eresco,
ciii
”kontra prestasi” Dr. Soeparman berpendirian bahwa justru untuk
menyelenggarakan kontra-prestasi itulah perlu dipungut pajak : bukanlah
pengeluaran-pengeluaran Pemerintah bagi penyelenggaraan bidang keamanan,
kesejahteraan, kehakiman, pembangunan dan hal-hal lainnya merupakan pemberian
kontra prestasi bagi pembayar pajak selaku anggota masyarakat.
e. Definisi Perancis, termuat dalam buku Leroy Beaulieu yang berjudul : Traid de la
Scienncedes Finances, 1906, L ’ impot et la contribution, soit directe soit
dissimulee, que La Puissance Publique exige des habitants ou des biens pur
subvenir aux depences du Couvernment, Pajak adalah bantuan, baik secara langung
maupun tidak, yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari
barang, untuk menutup belanja pemerintah.10
Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak yang tersimpul dalam berbagai definisi itu
adalah :
1. Iuran Rakyat kepada negara;
2. Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan Undang-undang serta aturan
pelaksanaannya;
3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi individuil
oleh Pemerintah;
4. Pajak dipungut oleh Negara (baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah;
5. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran pembayaran Pemerintah, yang bila dari
pemasukannya masih terdapat ” surplus”, dipergunakan untuk membiayai ”public
investment”;
6. Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgeter yitu : ”mengatur”.,
Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan daerah
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan /
atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
(Pasal 1 angka 27 UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah).
Retribusi itu berdasarkan pada atas peraturan-peraturan yang berlaku umum,
dan untuk menaatinya yang berkepentingan dapat pula dipaksa, yaitu barang siapa
yang ingin mendapat suatu prestasi tertentu dari Pemerintah harus membayar. Cara
membayarnya ini bermacam-macam, kadang-kadang tidak dengan uang melainkan
dengan material, misalnya akte-akte untuk berburu dn akte untuk menangkap ikan,
bahkann ada yang dengan memakai cara seperti pemungutan pajak-langsung, misalnya
di Nederland : pemungutan uang sekolah, yaitu orang tua/wali murid yang
berkepentingan setiap tahun menerima semacam surat ketetapan pajak. Dengan
demikian dapat dikatakan disini, bahwa dari cara membayarnya saja,pada umumnya
tidaklah dapat diketahui, apakah kita berhadapan dengan suatu retribusi ataupun dengan
suatu pajak.11
10
civ
Ibid., hlm. 3.
11
Kasiyanto, Op. Cit., hlm. 6.
Volume 12, No.1 Nop 2011
Sedangkan pengertian Hukum Pajak, yang juga disebut Hukum Fiskal adalah
keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang Pemerintah untuk
mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat
dengan melalui Kas Negara, sehingga ia merupakan bagian dari Hukum Publik, yang
mengatur hubungan-hubungan hukum antara Negara dan orang-orang atau badan-badan
(hukum) yang berkewajiban membayar pajak yang selanjutnya disebut wajib pajak.12
Dan tugasnya adalah menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dapat
dihubungkan dengan pengenaa pajak, merumuskannya dalam peraturan-peraturan
hukum dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum ini, dalam pada itu adalah penting
sekali bahwa tidak harus diabaikan begitu saja latar belakang ekonomis dari keadaankeadaan dalam masyarakat tersebut.
Hukum Pajak memuat pula unsur-unsur Hukum Tatanegara dan Hukum Pidana
dengan Acara Pidananya.13 Dalam lapangan lain dari Hukum Administratif, unsurunsur tadi tidak begitu nampak seperti dalam Hukum Pajak ini, juga peradilan
administratifnya diatur dengan sangat rapinya. Justru inilah ditambah dengan luasnya
lapangannya karena eratnya hubungannya dengan kehidupan-ekonomi, karena banyak
sarjana hukum dan sarjana ekonomi serta para cendikiawan mencurahkan perhatiannya
yang cukup terhadap Hukum Pajak ini, yang kini dalam beberapa negara telah
merupakan ilmu yang berdiri sendiri.
Yang menarik perhatian para cendikiawan adalah seringnya berubah peraturanperaturannya yaitu sebagai akibat dari perubahan yang terdapat pada kehidupanekonomi dalam masyarakat dimana perubahan ini mengharuskan pengubahan peraturanperaturan pajaknya. Demikian halnya dengan Negara-negara lain yang telah maju (juga
dalam caranya mengatur pajaknya), yang telah dapat menyesuaikan segala aparaturnya
dengan kebutuhan masyarakatnya untuk secepat mungkin mempunyai reaksi terhadap
segala perubahan, trutama yang termasuk dalam lapangan perekonomian. Kemudian
dapatlah dimengerti tentang pentingnya suatu ilmu seperti Hukum Pajak ini untuk
dipelajari dan disempurnakannya.
B. Jenis dan Fungsi Pajak
Dalam literatur diadakan pembedaan pajak antara lain adalah 14
a. Pajak Langsung dan pajak tidak langsung
1. Pajak langsung adalah pajak yang dikenakan secara periodik (berulang-ulang)
yang mempunyai kohir dan pembayarannya tidak dapat dilimpahkan kepada
orang lain.
12
Santoso Brotodihardjo, R., 2005, Ilmu Hukum Pajak, Loc. Cit,.
Oyok Abuyamin, 2010, Perpajakan Pusat dan Daerah, Cetakan Pertama, Humaniora,
Bandung, hlm. 14.
14
Rapat Koordinasi dan Evaluasi Pungutan Pajak PBB dan RPHTB Propensi Jawa
Timur, Tahun Anggaran 2001, Surabaya, 11-13 September 2001.
13
Volume 12, No.1 Nop 2011
cv
b.
c.
d.
e.
2. Pajak tidak langsung adalah pajak yang dikenakan insidental, yaitu pada saat
dipenuhi tarbestand (keadaan, perbuatan, peristiwa) yang ditentukan dalam
undang-undang pajak, tidak mempunyai kohir / daftar dan jumlahnya dapat
dilimpahkan kepada orang lain (Bea materai, Bea lelang, Pajak Pertambahan
Nilai, Bea balik nama cukai tembakau dan lain sebagainya). Pada galibnya
pajak tidak langsung dimasukkan dalam harga sehingga konsumen tidak
menyadari bahwa ia juga membayar pajak (contoh cukai tembakau).
Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat
Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang hasilnya masuk dalam kas negara
yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, baik
pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Pajak yang dipungut oleh
pemerintah daerah harus didasarkan pada perda (setelah mendapat persetujuan
Dewan Persetujuan Dewan Perwakilan Daerah dan diumumkannya). 20
Pajak daerah tidak boleh bertentangan dengan pajak pemerintah pusat, maka oleh
sebab itu sebelum pajak daerah diumumkan harus mendapat persetujuan terlebih
dahulu dari pemerintah yang lebih atas. Pajak daerah tidak memasuki lapangan
yang sudah atau akan dikenakan pajak oleh pemerintah pusat. Jika demikian maka
hal itu dapat dilakukan dengan memungut “Opcenten” artinya kenaikan/tambahan
pajak pada pajak pemerintah pusat.
Pajak yang dipungut atau pendapatan (income), dan ada yang dipungut atas
kekayaan, ada juga pajak yang dipungut atas lalu lintas barang. Ada pajak yang
dipungut dimuka seperti pajak kekayaan, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan ada
pajak yang dipungut dibelakang, seperti pajak penghasilan, pajak perseroan, pajak
pendapatan.
Pajak yang dipungut sekali.
Seperti bea balik nama kendaraan / bea balik nama kapal, dan ada yang
dipungut secara berulang-ulang seperti pajak penghasilan, Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), ada juga yang dipungut secara kontan pada saat terjadinya
transaksi, seperti bea lelang, bea balik nama.
Pajak yang sifatnya pribadi (persoonlijke belasting) dan pajak yang sifatnya
kebendaan (zakelijk). Pajak yang sifat pribadi mengenakan pajak atas
individu/orang yang status dan keadaan wajib pajak ikut menentukan besarnya
jumlah pajak (seperti bunga hutang pribadi, kewajiban dan membayar nafkah isteri
yang diceraikan).
Jadi dalam pajak yang sifatnya pribadi dari wajib pajak yang utama sedangkan
obyeknya adalah sekunder. Pada pajak yang sifatnya kebendaan, keadaan status
wajib pajak tidak mempengaruhi besarnya jumlah pajak, titik berat pajak diletakkan
pada obyeknya, yaitu barang hal yang dikenakan pajak, sedangkan subyeknya atau
wajib pajaknya adalah sekunder, maka oleh sebab itu pajak yang sifatnya pribadi
20
Penjelasan Kepala Dipenda tanggal 11 April 2011.
cvi Volume 12, No.1 Nop 2011
disebut pajak obyektif, dan pajak yang sifatnya pribadi sering disebut pajak yang
subyektif.21
f. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Pajak Bumi dan Bangunan disingkat PBB adalah pajak atas harta tidak
bergerak yang terdiri dari tanah dan bangunan (property tax), peraturan pelaksanaan
yang telah ada di bidang Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1994 tentang PBB tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan
belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-undang,
perubahan Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan mulai berlaku pada tanggal
1 Januari 1995.
Dengan mengadakan pembaharuan sistem perpajakan melalui penyederhanaan
yang meliputi macam-macam pungutan, tarif pajak dan cara pembayarannya,
diharapkan kesadaran perpajakan masyarakat akan meningkat sehingga penerimaan
pajak akan pemerintah meningkat pula. Demikian pula yang diharapkan oleh
pemerintah dalam hal Pajak Bumi dan Bangunan yang telah diatur dalam Undangundang Nomor 12 Tahun 1994 tentang perubahan Undang-undang Nomor 12 Tahun
1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tersebut, Bumi dan atau
Bangunan yang dimilki oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dikenakan pajak,
pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan atas obyek negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan, diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah, dan hasil penerimaan
pajak ini diarahkan kepada yang bersangkutan.
Ada beberapa faktor mendorong lahirnya Undang-undang tentang Pajak Bumi
dan bangunan, antara lain karena landasan hukum IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah)
itu kurang jelas, misalnya beberapa macam pungutan pajak dan bangunan serta pajak
yang bertumpuk pada obyek yang sama atas tanah dan bangunan serta pajak rumah
tangga, sangat memberatkan masyarakat.22
Pajak Bumi dan Bangunan perlu dimantapkan pelaksanaannya karena tidak
dapat disangkal lagi bahwa bumi dan bangunan dapat memberikan keuntungan dan atau
kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai
suatu hak atasnya / memperoleh manfaat dari padanya.
Faktor lain yang turut mendorong lahirnya pajak bumi dan bangunan yaitu
perundang-undangan yang selama ini menjadi dasar pemungutan pajak atas tanah dan
atau kedudukan sosial ekonomi yang baik bagi orang atau bangunan yang disusun pada
zaman kolonial tidak sesuai lagi dengan falsafah Pancasila tuntutan pembangunan yang
terus meningkat. Undang-undang yang mengatur pungutan atas obyek yang sama,
terlalu banyak jumlahnya sehingga membingungkan masyarakat.
21
22
Santoso Brotodihardjo, R., Op. Cit., 211.
Ibid, hlm. 24.
Volume 12, No.1 Nop 2011
cvii
Fungsi pajak diperlukan untuk menjalankan kegiatan pemerintah yang selalu
membutuhkan biaya yang secara tradisional terutama bersumber dari pajak. Fungsi dari
pajak khususnya untuk negara sedang berkembang seperti Indonesia adalah sebagai
berikut23 :
a. Pajak merupakan alat atau instrumen penerimaan negara untuk menjalankan tugastugas rutin negara diperlukan biaya, demikian juga dalam rangka melaksanakan
pembangunan Nasional, dewasa ini pajak sebagian besar dipergunakan untuk
pembiayaan rutin seperti belanja pegawai negeri, belanja barang, pemeliharaan dan
lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan sebagian besar berasal dari
tabungan pemerintah ini, dari tahun ketahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan
pembiayaan pembangunan semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari
sektor pajak.
b. Pajak merupakan alat untuk mendorong investasi menciptakan iklim investasi yang
lebih baik dengan memberikan insentif perpajakan sedemikian rupa sehingga dapat
mendorong peningkatan investasi.
c. Pajak merupakan alat redistribusi.
Pengenakan pajak dengan tarif progesif dimaksudkan untuk pengenaan pajak
yang lebih tinggi pada golongan yang lebih mampu untuk membayar pajak. Dana yang
dipindahkan dari sektor swasta ke sektor pemerintah dipergunakan pertama untuk
membiayai proyek-proyek yang terutama diminati masyarakat yang berpengetahuan
rendah seperti pembangunan, waduk-waduk seluruh irigasi, SD Impres, Puskesmas dan
sebagainya.
Dalam tulisannya yang berjudul , Perdagangan dan Ekonomi Nasional, yang
dimuat dalam Majalah Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Agustus 1956, Barlin Halim
mengutip pernyataan Romesh Dutt yang menyatakan, pajak yang ditarik oleh raja dapat
dimisalkan sebagai embun di atas tanah yang dihisap matahari, lalu dikembalikan
sebagai hujan yang menyuburkan. 24
Fungsi budgetair/fungsi untuk mengisi kas negara dari pajak adalah dalam
usaha untuk memupuk dana demi memperlancar usaha dalam menjalankan roda
pemerintahan, serta usaha atau pelaksanaan pembangunan. Oleh karena itu demi
memperlancar pembangunan maka penerimaan termasuk didalamnya penerimaan dari
sektor perpajakan harus berhasil. Dengan berhasilnya pemerintah memupuk dana berarti
pemerintah berhasil pula memperlancar roda pemerintahan dan dapat mencukupi
kebutuhan rutinnya, kelebihannya merupakan sumber dana bagi pembiayaan lainnya.
Penerimaan-penerimaan pemerintah sebagian besar dihasilkan dari
pemungutan pajak, walaupun pada kenyataannya kesadaran masyarakat terhadap pajak
masih perlu pula ditingkatkan, dengan demikian dapat dikatakan bahwa melakukan
pajak, pemerintah dapat mengisi kas negara yang dapat dipergunakan untuk memenuhi
23
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1007/KMK 05/1985.
Chadir Ali, 2003, Pajak Elementer, PT. Eresco, Bandung, hlm. 1.
cviiiVolume 12, No.1 Nop 2011
24
kebutuhan rutin, sedangkan kelebihannya merupakan tabungan pemerintah yang
disediakan untuk memenuhi pembiayaan pembangunan untuk berbagai sektor.
Fungsi yang cukup penting dari pajak yang tidak mudah dirasakan adalah
fungsi mengatur dari fungsi inilah pemerintah dapat memanfaatkan untuk mengarahkan
kebijaksanaan fiskalnya sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah dibidang ekonomi
sosialnya.
Melalui kebijaksanaan perpajakan pemerintah juga telah berusaha melakukan
pemerataan pendapatan yang seimbang, hal ini dengan diperlukan tarif progresif
terhadap jenis pajak tertentu, seperti misalnya pajak penghasilan, Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) yang mana pajak yang terakhir tersebut merupakan sumber besar
pendapatan dalam pembangunan.25 Oleh karena itu maka perlu juga diatur dengan
diberlakukannya beberapa Undang-undang khusus yang mengatur tentang pajak itu,
seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tersebut yang merupakan sumber terbesar
pendapatan bagi pemerintah dalam pembangunan khusunya untuk daerah itu sendiri.
Dilihat dari sudut ekonomi, pajak adalah penerimaan negara yang digunakan
untuk mengarahkan kehidupan masyarakat menuju kesejahteraan dengan melakukan
pembangunan. Pajak adalah “motor” penggerak kehidupan masyarakat, meskipun
kehidupan ekonomi sebagian besar dijalankan dengan mengandalkan mekanisme pasar
bebas, mekanisme tadi tidak akan berjalan kalau tidak ada pemerintah di daerah itu, jadi
mekanisme pasar harus dibantu oleh kegiatan pemerintahan. Untuk menjalankan roda
pemerintahan di daerah tersebut, yang mampu menggerakkan secara efektif mekanisme
pasar bebas tadi pemerintah memerlukan pajak dari masyarakat.
Pelayanan yang diberikan oleh pemerintah merupakan suatu kepentingan
umum (Publik Utilitis) untuk kepuasan bersama, sehingga pajak yang mengalir dari
masyarakat akhirnya kembali lagi untuk masyarakat, dalam hal ini erat kaitannya
dengan kebijaksanaan ekonomi yang mengarah pada dukungan pemenuhan kenaikan
pendapatan masyarakat melalui distribusi pendapatan. Dengan demikian tanpa pajak
serta kesadaran membayar pajak yang tinggi, khususnya Pajak Bumi dan (PBB)
mustahil pulalah pemerintah dapat menjalankan rodanya serta pelaksanaan
pembangunan daerahnya.
C. Asas-asas Dalam Pemungutan Pajak
Dalam literatur tentang pemungtan pajak ada yang menggunakan terminologi
asas-asas pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan beberapa sarjana sebagai
berikut :
1. Asas-Asas Keadilan
25
Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Op. Cit., hlm. 124.
Volume 12, No.1 Nop 2011
cix
R. Santoso Brotodihardjo26 mengemukakan bahwa : Dalam asas-asas menurut falsafah
hukum dinyatakan, hukum pajak harus mengabdi kepada keadilan. Keadilan inilah
yang dinamakan “asas pemungutan pajak” menurut falsafah hukum yang dalam The
Four Maxim termasuk maxim pertama, disamping asas-asas lainnya seperti yuridis,
ekonomis, dan finansial. Karenanya semenjak abad ke-18 timbullah berbagai teori guna
memberi “dasar-menyatakan keadilan” (justification) kepada hak negara memungut
pajak dari rakyatnya. Untuk memberi dasar menyatakan-keadilannya ada teori pajak
yang dilancarkan dari zaman ke zaman, yaitu : Teori Asuransi, Teori Kepentingan,
Teori Gaya Pikul, Teori Kewajiban Pajak Mutlak atau Teori Bakti, Teori Asas Gaya
Beli.
Hukum Pajak haruslah mengabdi kepada terwujudnya “Keadilan”. Keadilan horozontal,
dalam pemungutan pajak tidak ada diskriminasi. Keadilan vertikal, dalam pemungutan
pajak disesuaikan dengan kemampuan WP. Selanjutnya Chaidir Ali mengemukakan
bahwa27 : Secara historis, dapatlah digabungkan ke dalam dua kelompok besar dari
sekian banyak teori, yaitu Pertama, kelompok teori berusaha ”mempertahankan
persoalan pembenaran dasar keadilan kepada tindakan negara untuk memungut pajak;
antara lain didukung oleh teori-teori terkenal, yaitu : Teori Kepentingan, Teori Asuransi,
Teori Wajib Bayar Pajak Mutlak, Teori Daya Pikul, dan lain sebagainya. Kedua, adanya
aliran yang berusaha ke arah ”peniadaan persoalan pembenaran dasar keadilan” kepada
tindakan negara yang memungut pajak, seperti yang kini dianut adalah ajaran asas daya
beli dari Prof Adriani, yaitu :
a. Kelompok Teori Berusaha, ”mempertahankan persoalan pembenaran dasar keadilan”,
Terdiri atas :
Pertama, Teori Kepentingan. Teori ini menyatakan, karena rakyat mempunyai
kepentingan bagi keamanan atau perlindungan atas keselamatan jiwa, dan raganya, serta
keamanan bagi harta bendanya maka adalah suatu yang wajar, adil dan dapat
dibenarkan apabila negara memungut pajak dari wajib pajak (rakyat), karena negara
memerlukan biaya untuk menjaga keamanan, untuk melindungi keselamatan rakyat dan
harta bendanya. Biaya tersebut diperoleh dari hasil pemungutan pajak. Besarnya pajak
yang dibayar sesuai tingkat kepentingan wajib pajak (rakyat).
Kedua, Teori Asuransi. Teori ini menyatakan, pajak disamakan dengan asuransi, yaitu
pembayaran pajak oleh wajib pajak (rakyat) kepada negara sama dengan pembayaran
premi oleh tertanggung kepada perusahaan asuransi.
Ketiga, Teori Wajib Bayar Mutlak atau Teori Bakti Pemungutan pajak didasarkan pada
hubungan negara dengan wajib pajak (rakyat) yang dihubungan dengan organik. Teori
ini merupakan kelanjutan dari Teori Kepentingan sehingga negara mempunyai hak
mutlak memungut pajak, karena wajar, adil dan seharusnya rakyat berbakti kepada
negara dengan membayar pajak.
26
27
cx
Chadir Ali, Op. Cit., hlm. 29.
Ibidt., hlm. 100.
Volume 12, No.1 Nop 2011
Keempat, Teori daya Pikul. Adalah adil, pajak dipungut berasarkan, ”kemampuan
memikul beban pajak yang harus dibayar”. Kemampuan memikul ini diwujudkan dalam
bentuk penghasilan atau kekayaan dihubungkan dengan beban (biaya) kehidupannya.
Dengan demikian, pajak dipungut sesuai dengan daya pikul WP (rakyat).
b. Aliran yang berusaha ke arah ”peniadaan persoalan-persoalan pembenaran dasar
keadilan”. Terdiri dari :
Asas -Teori daya Beli. Teori ini menyatakan, negara menggunakan
kemampuan WP (rakyat) berupa daya beli untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan/negara memungut pajak dari WP (rakyat) karena oleh negara akan
dikembalikan lagi kepada WP berupa pelayanan kepentingan umum dan pemeliharaan
kesejahteraan. Pemungutan pajak sebagai gejala dalam masyarakat yang diidentikan
dengan pompa, bukan penyelenggaraan kepentingan individu maupun kepentingan
negara semata-mata, tetapi penyelenggaraan kepentingan itu dan memusatkan kepada
fungsi mengatur. Berlaku tanpa batas waktu, baik masa ekonomi liberal, ekonomi
terpimpin maupun sosialistis. Ajaran asas daya beli ini telah mendapat kecamankecaman tajam dari para pendukung yang berusaha mempertahankan teori-teori yang
membenarkan dasar keadilan pemungutan pajak, mereka beranggapan, ajaran asas daya
beli ini tidaklah memberi pembenaran dasar keadilan pemungutan pajak, atau tidak
menjelaskan dasar bukunya.28
2. Asas Yuridis
Hukum harus dapat menjamin kepastian terwujudnya keadilan dihadapan
hukum. Demikian juga Hukum Pajak harus dapat memberikan jaminan kepastian
terwujudnya keadilan dihadapan hukum pajak bagi bagi pemerintah/negara sebagai
pemungut pajak. Di Indonesia asas yuridis ini dinyatakan dalam UUD 1945 : Pasal 23 A
bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan undang-undang.
3. Asas Ekonomis
Fungsi regulator dari pajak adalah merupakan fungsi pajak yang ditujukan
untuk mengatur politik perekonomian . Untuk mencapai tujuan tersebut implementasi
pemungutan pajak : (a) harus menjamin tidak terganggunya kepentingan umum; (b)
Harus menjadi instrument yang dapat memperlancar roda produksi dan perdagangan
dalam arti jangan sampai menghambat proses produksi dan jalannya perdagangan; (c)
Harus menjamin terlaksananya upaya masyarakat warga negara untuk mencapai tujuan
hidup, pemungutan pajak dipungut sesuai penghasilannya dan dipungut dalam waktu
yang tepat.29
4. Asas Finansial
28
Ibid., hlm. 116-117.
Oyok Abuyamin, Op. Cit., hlm. 8.
Volume 12, No.1 Nop 2011
29
cxi
Asas Finansial. Pemungutan pajak oleh negara adalah bertujuan menghimpun
dana sebanyak-banyaknya untuk biaya anggaran negara. Ini berarti sejalan dengan
fungsi budgetair dari pajak.
5. Asas Menurut Adam Smith
Dasar hukum umum yang menjadi fundamen pemungutan pajak berdasarkan :
Asas Menurut Adam Smith : (a). Equality and equity ; (b). Certain; (c). Convenince of
paymen; (d). Economics of collection. 30 Pada abad ke-18 Adam smith (1723-1790)
dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Cauces of the Wealth of Nations (
terkenal dengan nama Wealth of Nations) melancarkan ajarannya sebagai asas
pemungutan pajak yang dinamai The Four Maxims dengan uraiannya sebagai berikut :
Equality and equity (Keadilan/kesamaan). Pembagian tekanan pajak di antara subyek
pajak masing-masing hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya , yaitu
seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya masing-masing, dibawah
perlindungan pemerintah (asas pembagian/asas kepentingan). Dalam asas equality ini
tidak diperbolehkan suatu Negara mengadakan diskriminasi diantara sesame wajib
pajak. Dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama
pula.
Certainty (Kepastian hukum). Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang
(certain) dan tidak mengenal kompromis (non arbitrary). Dalam asas certainty ini,
kepastian hokum yang dipentingkan adalah yang mengenai subyek-obyek, besarnya
pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya.
Convenince of paymen (saat paling tepat). Every tax ought to be leveied at the time, or
in the manner, in wicht it is most likely to be convenint for the contribution to pay it.
Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang juga disebut confinence of
payment), merupakan bahwa pajak , yaitu saat sedekat dekatnya dengan detik
diterimanya penghasilan yang bersangkutan.
Economics of collection (Efisien). Asas efisiensi ini menetapkan, pemungutan pajak
hendaknya dilakukan sehemat-hematnya; jangan sekali-kali biaya pemungutan melebihi
pemasukan pajaknya.31
6. Asas Menurut Sommerfield Ray M, dkk.
Sommerfield Ray M, dkk., mengungkapkan, dalam rangka mendesain suatu
system perpajakan, criteria tidak lagi terbatas kepada, the canons of taxation, yaitu
equality, certainty, convenience, dan economy, yang dicetuskan oleh Adam smith, tetapi
saat ini perlu ditambah dengan productivity, visibility, dan political considerations.
Productivity, dimaksudkan secara relative berapa besar jumlah pajak yang dapat
dihasilkan yang umumnya disorot oleh para politikus dalam rangka mengevaluasi
30
Chadir Ali, Op. Cit., hlm.27-29.
Oyok Abuyamin, Op. Cit., hlm.9.
cxiiVolume 12, No.1 Nop 2011
31
kinerja pemerintahan tanpa mempersoalkan apakah itu memenuhi persyaratan the
canons of taxation atau tidak.
Vasibility disini lebih bersifat ukuran yang dipakai pembayar pajak, berapa besar
kenikmatan yang dapat diperolehnya dan jumlah pembayaran pajaknya yang seringkali
dieksploitir politikus untuk menabur janji-janji peningkatan kesejahteraan disbanding
dengan bagaimana usaha meningkatkan penerimaan pajak.
Political considerations lebih mencerminkan bagaimana para anggota perwakilan rakyat
melobi dan melakukan pendekatan agar ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan tersebut menguntungkan kelompoknya. 32
7. Asas Menurut Richard A. Musgrave dan Peggy B.
Menurut Richard A. Musgrave dan Peggy B. dalam bukunya Public Finance in
Theory and Practice, terdapat dua macam asas keadilan pemungutan pajak, sebagai
berikut : Pertama, Benefit Principle. Dalam sistem perpajakan yang adil, setiap wajib
pajak harus membayar pajak sejalan dengan manfaat yang dinikmatinya dari
pemerintah. Pendekatan ini disebut evenue and Expenditure. Kedua, Ability Principle.
Dalam pendekatan ini menyarankan agar pajak dibebankan kepada wajib pajak atas
dasar kemampuan membayar. 33
8. Asas Domicili / Asas Tempat Tinggal
Pemungutan pajak dikenakan berdasarkan domicili / tempat tinggal wajib pajak yang
bersangkutan.
9. Asas Kebangsaan atau Asas Nasional
Menurut asas Kebangsaan pemungutan pajak dihubungkan dengan kebangsaan
dari suatu negara. Jadi negara dapat mengenakan pajak terhadap orang asing yang
bertempat tinggal/berdomicili di Indonesia, contohnya pajak bangsa asing. Misalnya,
Belanda ketika Perang Dunia II mewajibkan pembayaran pajak bagi warga negara
Belanda atas pendapatannya termasuk warga negara Belanda yang berdomicili di luar
negara Belanda.
10. Asas Sumbar
Pemungutan pajak dilakukan di negara yang menjadi sumber penghasilan. Dengan
demikian, seseorang (tidak berdomicili di Indonesia) yang mendapat penghasilan dari
sumber di Indonesia wajib membayar pajak di Indonesia. 34
32
Diana Sari, 2006, Perpajakan, Bandung, hlm. 15.
Waluyo, 2008, Perpajakan Indonesia, Salemba Jakarta, hlm. 14.
34
Oyok Abuyamin, Op. Cit., hlm. 11.
Volume 12, No.1 Nop 2011
33
cxiii
D. Hak dan Kewajiban Pajak
Dalam dunia perpajakan, setiap penguasaha yang telah dikukuhkan sebagai
pengusaha kena pajak, minimal mempunyai 3 (tiga) hak, yaitu :
1. hak pengkreditan atas pajak masukan;
2. hak atas kompensasi atau restitusi; dan
3. hak keberatan atau banding.
Kewajiban para pengusaha yang diwajibkan oleh UU ada 6 (enam) yang harus
dilaksanakan wajib pajak,yaitu :
a. melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP;
b. membuat faktur pajak atas setiap penyerahan kena pajak;
c. membuat nota retur dalam hal terdapat pengembalian barang kena pajak;
d. melakukan pencatatan dalam pembukuan mengenai kegiatan usahanya;
e. menyetor pajak yang terutang;
f. Menyampaikan surat pemberitahuan masa PPN
Sedangkan kewajiban membayar pajak dan Penetapan Pajak seperti yang
disebutkan dalam Pasal 12 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah sebagai
berikut :
Kewajiban Membayar Pajak Tidak Bergantung Surat Ketetapan Pajak (SKP). Setiap
wajib pajak membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya SKP;
Pajak Terutang adalah menurut UU Perpajakan. Jumlah pajak yang terutang menurut
surat pemberitahuan (SPT) yang disampaikan oleh wajib pajak adalah jumlah pajak
yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
Surat Pemberitahuan (SPT) wajib pajak Tidak benar. Apabila Direktur Jenderal Pajak
mendapatkan bukti bahwa jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
tidak benar maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak terutang yang
semestinya.35
Kewajiban pajak ada dua macam yaitu :
1. Kewajiban Pajak Subyektif
Ialah kewajiban pajak yang melekat pada subyeknya, pada umumnya setiap orang
yang bertempat tinggal di Indonesia memenuhi kewajiban pajak subyektif, anakanak, orang dewasa, wanita yang sudah kawin. Sedangkan untuk orang di luar
Indonesia kewajiban subyektif ada kalau mempunyai hubungan ekonomidengan
Indonesia (mempunyai perusahaan disini);
2. Kewajiban Pajak Obyektif
Ialah kewajiban pajak yang melekat pada obyeknya, seorang memenuhi kewajiban
pajak obyektif jika ia mendapat penghasilan atau mempunyai kekayaan yang
memenuhi syarat menurut undang-undang.36
35
Ibid., hlm. 46
Hamdan Aini, H., 2003, Perpajakan, PT. Bina Aksara, Jakarta, hlm. 19.
cxivVolume 12, No.1 Nop 2011
36
E. Sistem Pelaksanaan Pemungutan Pajak
Dalam pelaksanaan sistem pemungutan pajak ada 3 (tiga) macam yaitu :
1. Official Assessment System
Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak
berdasarkan UU pemerintah (fiskus) diberi untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang.
Ciri Official Assessment System adalah sebagai berikut :
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada fiskus;
Wajib pajak bersifat menunggu (pasif);
Utang pajak yang harus dibayar olh wajib pajak timbul setelah diterbitkannya surat
ketetapan pajak (SKP) oleh fiskus.
2. Self Assessment System
Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
berdasarkan UU memberikan epercayaan kepada wajib pajak untuk melaksanakan hak
dan kewajibannya dibidang perpajakan.
Ciri Self Assessment System adalah sebagai berikut :
Wajib Pajak (WP) menghitung dan memperhitungkan sendiri oleh WP, pajak yang
harus dibayar/ pajak yang terutang;
Wajib pajak (WP) membayar / menyetor sendiri pajak yang harus dibayar / pajak yang
terutang ke bank / Kantor Pos;
Wajib Pajak (WP) melaporkan sendiri pajak yang harus dibayar / pajak yang terutang;
Pemerintah (Fiskus) mengawasi pelaksanaan hak dan kewajiban WP di bidang
perpajakan.
3. With Holding System
With Holding System adalah suatu system pemungutan pajak yang berdasarkan
UU memberi kepercayaan / wewenang kepada pihak ketiga (bukan pemerintah dan
bukan WP yang bersangkutan) untuk memotong atau memungut pajak yang wajib
dipotong/dipungut dari WP yang wajib membayarnya. Pihak ketiga wajib menyetorkan
hasil pemotongan / pemungutan pajak tersebut.
Ciri With Holding System adalah sebagai berikut :
a. Pemotongan / Pemungutan pajak dilakukan oleh pihak ketiga (bukan
pemerintah/bukan fiskus);
b. Pemotong / Pemungut pajak wajib menyetorkan hasil pemotongan /pemungutan
pajak tersebut;
c. Pemerintah (fiskus) mengawasi pelaksanaan pemotongan / pemungutan dan
penyetoran oleh pihak ketiga.
BAGI HASIL PAJAK PROVINSI DENGAN KABUPATEN
A. Tata Cara Pemungutan Pajak
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxv
Pelaksanakan pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara kepada rakyatnya
ada beberapa metode atau cara yaitu37 :
1. Riel Stelsel (Stelsel Nyata)
Riel Stelsel (Stelsel Nyata) merupakan pemungutan pajak berdasarkan dan
memperhatikan obyek berupa penghasilan yang sudah nyata-nyata diterima oleh wajib
pajak (WP) selama tahun pajak yang baru diketahui pada akhir tahun. Oleh karena itu,
pemungutannya baru dilaksanakan setelah tahun pajak berakhir.
Metode ini mendasarkan kepada pelaksanaan pemungutan pajak berdasaarkan objek
pajak (penghasilan) yang sesungguhnya (nyata) diperoleh wajib pajak. Sehingga
perhitungan beban pajak atau pemungutan pajak dapat dilakukan pada akhir tahun
pajak.Kelebihan stelsel ini pemungutan pajak dihitung secara nyata berdasarkan
realisasi penghasilan. Kelemahannya adalah negara dalam perolehan pajak pada akhir
tahun pajak padahal biaya pembangunan dimulai pada awal tahun takwim.
2. Fictive Stelsel (Stelsel Anggapan)
Fictive Stelsel (Stelsel Anggapan) merupakan pemungutan pajak yang
dilakukan berdasarkan anggapan menurut ketentuan hukum pajak. Di awal tahun, pajak
dihitung dengan anggapan melalui perbandingan dengan penghasilan tahun sebelumnya.
Stelsel ini menentukan pajak yang harus dibayar dalam tahun berjalan dan di akhir
tahun pajak baru disesuaikan dengan penghasilan yang sebenarnya diterima wajib pajak
(WP). Dalam metode (cara) ini pengenaan pajak kepada wajib pajak atas objek pajak
(penghasilan) didasarkan pada suatu anggapan tentang besarnya penghasilan yang bisa
diperoleh sama dengan tahun pajak sebelumnya, sehingga awal tahun pajak bisa
ditetapkan jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak.
Kelebihan stelsel ini cara ini adalah bahwa jumlah pajak dapat ditetapkan pada awal
tahun pajak, sehingga penerimaan negara dari pajak bisa diperoleh pada awal tahun
pajak, dan pembayaran pajak bisa dilakukan selama tahun pajak. Kelemahannya cara ini
adalah pajak tidak berdasarkan objek pajak (penghasilan) yang sesungguhnya diperoleh
oleh wajib pajak.
3. Stelsesl Campuran
Cara ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan,
pada awal tahun pajak ditetapkan/ dihitung berdasar pajak tahun sebelumnya kemudian
pada akhir tahun pajak ditetapkan/dihitug berdasarkan keadaan yang sebenarnya.
37
Oyok Abuyamin, Op. Cit., hlm. 17-18.
cxviVolume 12, No.1 Nop 2011
Apabila terjadi kelebihan atau kekurangan pajak yang dibayar maka wajib pajak harus
menyesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. 38
Berdasarkan lembaga/wewenang pemungutan pajak pusat atau pajak negara
dipungut dan dikelola oleh pemerintah pusat (Departemen Keuangan, Direktorat
Jenderal Pajak) dan hasil penerimaannya sebagai sumber utama bagi APBN yang
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, baik biaya rutin maupun biaya
pembangunan. Contoh :PPh, PPN/PPn BM,BM. Sedangkan Pajak Daerah dipungut dan
dikelola oleh pemerintah daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) dan hasil penerimaannya
sebagai sumber utama APBD digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah, baik
biaya rutin maupun biaya pembangunan. Contoh : Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak
Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, dll.
Berdasarkan cara pemungutan, pajak langsung dipungut secara pereodik
(berkala). Pajak langsung ini harus dipikul sendiri oleh wajib pajak (WP) dan tidak
dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh pajak penghasilan.
Sedangkan pada pajak tidak langsung dipungut karena perbuatan atau peristiwa tertentu
dan pada akhirnya pembayar pajak dapat membebankan atau melimpahkan beban
pajaknya kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai.
Sedangkan yang ersifat memaksa menjadi dasar hukum Pemungutan Pajak di
Indonesia adalah Pasal 23 A UUD 1945 yang menyatakan bahwa : ” Pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undangundang.”39
B. Surat Tagihan Pajak ( STP )
Surat Tagihan Pajak ( STP ) dinyatakan dalam Pasal 1 dan Pasal 14 UU
Ketentuan Umum Perpajakan, yaitu :
1. Pengertian STP. STP adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan / atau
sanksi administrasi berupa bunga dan / atau denda.
2. Penerbitan STP. Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan STP apabila :
(a) PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
(b) Dari hasil penelitian terdapat kekurangan pajak sebagai akibat salah tulis dan /
atau salah hitung;
(c) WP dikenai sanksi administrasi berupa denda dan / atau bunga;
(d) Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak
membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;
(e) Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak
mengisi faktur secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5)
UU PPH 1984 dan perubahannya, selain (e.1.) Identitas pembeli sebagaimana
38
Mohammad Zain, AK dan Dodo Syarief Hidayat, Op. Cit., hlm. 226-227.
UUD 1945 , 2005, Amandemen Pertama 1999-Keempat 2002, CV. Aneka Ilmu,
Semarang, hlm. 1-12
39
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxvii
dimaksu dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b UU PPN 1984 dan perubahannya.
(e.2.) Identitas pembeli serta nama dan tanda tangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g UU PPN 1984 dan perubahannya,
dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran.
(f) Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan nama
penerbitan faktur pajak. (g) Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan
telah diberikan pengembalian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (6a) UU PPN 1984 dan perubahannya.
3. Kekuatan Hukum STP. STP mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat
ketetapan pajak.
Sedangkan sanksi Surat Tagihan Pajak ( STP ) adalah sebagai berikut :
PPh Kurang Bayar dan Kurang Bayar karena Salah Tulis dan / atau Salah Hitung :
Sanksi Administrasi Bunga 2 % Per Bulan. Jumlah kekurangan pajak yang terutang
dalam STP sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (1) huruf a dan huruf b UU KUP
ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) per bulan
untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, ditung sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa pajak, Bagian Tahun Pajak, atau tahun Pajak sampai dengan
diterbitkannya STP;
PPN dan PPh BM: Sanksi Denda 2 % dari DPP. Terhadap pengusaha atau Pengusaha
Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (1) huruf d, huruf e, atau huruf f
UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) masing-masing, selain wajib menyetor pajak
yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 % (dua persen) dari
dasar Pengenaan Pajak;
Setelah Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak ( SKPKPP)
PKP gagal berproduksi Kena Sanksi Bunga 2 %. Terhadap Pengusaha Kena pajak
(PKP) sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (1) huruf g UU KUP (yaitu setelah
SKPKPP PKP gagal berproduksi) dikenal sanksi administrasi berupa bunga 2 % (dua
persen) per bulan dari jumlah pajak yang ditagih kembali, dihitung dari tanggal
penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP)
sampai dengan tanggal penerbitan SPT dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan.
Menurut Pasal 1 UU No. 19 Tahun 2000 dan Pasal 18 UU Ketentuan Umum Perpajakan
aturan tentang penagihan pajak hádala sebagai berikut :
1. Pengertian Penagihan Pajak
Yang dimaksud dengan penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar
penanggung pajak melunasi uang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur
atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitauan
surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan
penyanderaan, menjual barang yang disita ( Pasal 1 UU No. 19 Tahun 2000 Tentang
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa).
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxviii
2. Dasar Penagihan pajak
Yang menjadi dasar penagihan pajak adalah Surat Tagihan Pajak , Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang
menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.
3. Bunga Penagihan Pajak
Dalam Pasal 19 UU KUP aturan tentang bunga penagihan pajak dinyatakan :
a. Pajak terutang pada saat jatuh tempo tidak / kurang dibayar kena sanksi bunga 2 %
(Dua Persen) per bulan. Apabila SKPKB atau SKPKBT serta SK Pembetulan, SK
Keberatan, Putusan Banding atau Putusan peninjauan Kembali, yang menyebabkan
jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan
tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau barang yang dibayar itu
dikenal sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) per bulan untuk
seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan
atau tanggal diterbitkannya STP, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
b. Wajib Paja (WP) mengangsur atau menunda pembayaran kena sanksi sebesar 2%
(dua persen) per bulan. Dalam hal WP diperbolehkan mengangsur atau menunda
pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (sat) bulan.
c. WP menunda penyampaian SPT Tahunan kena sanksi bunga 2% (dua persen) per
bulan per bulan. Dalam hal WP diperbolehkan menunda penyampaian SPT tahun dan
ternyata penghitngan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (5) UU KUP kurang jumlah pajak yang sebenarnya terutang atas
kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan yang dihitung dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan hurufc UU KUP smpai
dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan bagian dari
bulandihitung penuh 1 (satu) bulan.
4. Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
Pasal 20 UU KUP dan penjelasannya menyatakan bahwa aturan tentang
penagihan pajak dengan surat paksa adalah :
Pengertian Surat Paksa. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan
biaya penagihan pajak (Pasal 1 UU KUP).
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Atas jumah pajak yang masih harus dibayar, yang
berdasarkan STP, SKPKB, serta SKPKBT, dan SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan
Banding serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak masih
harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penaggung Pajak sesuai dengan
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) (harus dilunasi 1 bulan),
atau ayat (3a) UU KUP (WP Usaha Kecil dan WP di daerah tertentu dapat diperpanjang
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxix
2 bulan), dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus. Dikecualikan dari ketentuan penagihan dengan
surat paksa sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (1) UU KUP, penagihan seketika
dan sekaligus dilakukan apabila :
Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat
untuk itu;
Penanggung pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam
rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang
dilakukannya di Indonesia;
Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha atau
menggabungkan atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan perusahaan yang
dimiliki atau yang dikuasainya, atau yang melakukan perubahan bentuk lainnya;
Badan Usaha akan dibubarkan oleh negara;
Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tandatanda kepailitan.
Yang dimaksud dengan ”penagihan seketika dan sekaligus” adalah tindakan penagihan
pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung pajak tanpa menunggu
tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis
pajak, Masa Pajak, dan Tahun pajak.
Penanggung pajak menurut Pasal 1 UU KUP adalah orang pribadi atau badan yang
bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan
memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.
5. Negara Mempunyai Hak Mendahului
Menurut Pasal 21 UU KUP aturan tentang negara mempunyai hak mendahului,
diatur dengan ketentuan :
Hak Mendahului. Negara mempunyai hak mendahului untuk utang pajak atas barangbarang milik Penanggung Pajak, yang meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa
bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak;
Dikecualikan Dari hak Mendahului. Hak mendahului untuk utang pajak melebihi segala
hak mendahului lainnya, kecuali terhadap :
Biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu
barang bergerak dan / atau barang tidak bergerak;
Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan / atau;
Biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
c. WP Pailit, Bubar atau Dilikwidasi Dilarang, Membagikan Hartanya Kepada
Pemegang Saham Atau Kreditor Sebelum Membayar Utang Pajak. Dalam hal WP
dinyatakan pailit, bubar, atau dilikwidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau
badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta WP
cxx Volume 12, No.1 Nop 2011
dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya
sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak WP tersebut.
d. Hak Mendahulu Hilang. Hak Mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima)
tahun sejak tanggal diterbitkan STP, SKPKB, SKPKBT, SK Pembetulan, SK
Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan peninjauan Kembali yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
e.
Perhitungan jangka waktu Hak Mendahulu. Perhitungan jangka waktu hak
mendahulu ditetapkan sebagai berikut :
(1) Dalam hal Surat paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka
waktu 5 (lima) tahun dihitung sejak pemberitahuan Surat Paksa; atau
(2) Dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran, maka
jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan.
6. Daluarsa Penagihan pajak .
Dalam Pasal 22 UU KUP aturan tentang daluarsa penagihan pajak
dinyatakan :
a. Daluarsa Setelah Melampaui 5 (lima) Tahun. Hak untuk melakukan penagihan pajak,
termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah
melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitun g penerbitan STP, SKPKB, serta SKPKBT,
dan SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan
Kembali;.
b. Daluwarsa Penagihan Pajak Tertangguh. Daluarsa penagihan pajak tertangguh
apabila :
(1) Diterbitkan Surat paksa;
(2) Ada Pengakuan uang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
(3) Diterbitkan SKPKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU KUP, atau
SKPKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) UU KUP; atau
(4) Dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
7. Gugatan Wajib pajak
Gugatan WP atau penanggung pajak diajukan terhadap :
Pelaksanaan Surat paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman
Lelang;
Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang
ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP (yaitu keputusan keberatan);
atau
Penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam
penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan hanya dapat diajukan kepada
badan peradilan pajak ( Pasal 23 UU KUP).
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxxi
C. Kendala Pemungutan Pajak
Timbulnya utang pajak berdasarkan ajaran formil adalah wujud dari sistem
pemungutan pajak yang berdasarkan Oficial Assesment System. Menurut ajaran ini
utang pajak timbul karena diterbitkannya penetapan dan ketetapan pajak. Penetapan dan
ketetapan pajak ini dapat berupa : surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak
Kurang bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang bayar Tambahan (SKPKBT).
Pemungutan pajak tidak populer / tidak disenangi oleh karena itu timbul adanya
kendala, yaitu hambatan pemungutan pajak berupa perlawanan terhadap pemungutan
pajak, yaitu berupa : (1) Perlawanan Pasif dan (2) Perlawanan aktif.
Secara pasif wajib pajak (WP) tidak bayar pajak karena natara lain : (a) Pemahaman
terhadap hukum pajak yang masih kurang karena sulit dimengerti; (b) Tingkat
kepedulian dan kesadaran terhadap pajak yang masih perlu ditingkatkan; (c)
Pengawasan pemungutan pajak belum berjalan efektif; (d) Pengawasan penggunaan
hasil pemungutan pajak belum efektif.
Secara aktif wajib pajak (WP) bertujuan menghindari pembayaran pajak melalui
perbuatan dan semua usaha yang ditujukan secara langsung kepada pemerintah / fiskus.
Ada dua jenis perlawanan aktif, yaitu : (a) Tidak melanggar hukum pajak (Tax
Avoidance): perbuatan dan semua usaha untuk mengurangi/meringankan pembayaran
pajak dengan tidak melanggar hukum pajak; (b) Melanggar hukum pajak (Tax Evasion)
: perbuatan dan semua usaha untuk mengurangi / meringankan pembayaran pajak
dengan cara melanggar hukum pajak.40
D. Bagi Hasil Pajak Provinsi Dengan Kabupaten
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(PDRD) dinyatakan bahwa : Pajak-Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah
kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imlabalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Dalam Pasal 2 UU No. 28 dan UU No. 29 Tentang Pajak Derah dan Retribuís Daerah
disebutkan bahwa :
1. Jenis Pajak Daerah Provinsi antara lain :
(1) Pajak Kendaraan Bermotor;
(2) Bea balik nama Kendaraan Bermotor;
(3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
(4) Pajak Air Permukaan; dan
(5) Pajak Rokok.
2. Jenis Pajak Daerah Kabupaten / Kota, antara lain :
(1) Pajak Hotel;
40
Oyok Abuyamin, Op. Cit., hlm. 19.
cxxiiVolume 12, No.1 Nop 2011
(2) Pajak Restoran;
(3) Pajak Hiburan;
(4) Pajak Reklame;
(5) Pajak Penerangan Jalan;
(6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ;
(7) Pajak Parkir;
(8) Pajak Air Tanah;
(9) Pajak Sarang Burung Walet;
(10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;
(11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
a. Pajak Kendaraan Bermotor
Dalam Pasal 3 UU DPRD disebutkan bahwa obyek pajak kendaraan bermotor
adalah kepemilikan dan /atau penguasaan Kendaraan Bermotor. Yang termasuk dalam
pengertian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada angka (1) tersebut diatas
adalah kendaraan bermotor beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan di semua
jenis jalan darat dan kendaraan bermotor yang dioperasikan di air dengan ukuran isi
kotor GT 5 (lima Gross Tonnage) sampai dengan GT 7 (tujuh Gross Tonnage).
Subyek Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau badan yang memiliki dan /
atau menguasai kendaraan Bermotor. Wajib Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang
pribadi atau badan yang memiliki Kendaraan Bermotor, dalam hal wajib pajak badan,
kewajiban perpajakannya diwakili oleh pengurus atau kuasa badan tersebut ( Pasal 4
UU DPRD). Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah hasil perkalian dari 2
(dua) unsur pokok, yaitu : (a) nilai jual kendaraan bermotor, dan (b) bobot yang
mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan / atau pencemaran lingkungan
akibat penggunaan Kendaraan Bermotor ( Pasal 5 UU DPRD).
Tarif Pajak Kendaraan Bermotor pribadi ditetapkan sebagai berikut : (a) untuk
kepemilikan kendaraan bermotor pertama paling rendah sebesar 1 % (satu persen) dan
paling tinggi sebesar 2 % (dua persen); (b) untuk kepemilikan kendaraan bermotor
kedua dan seterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresif paling rendah sebesar 2 %
(dua persen) dan paling tinggi sebesar 10 % (sepuluh persen). Sedangkan kepemilikan
kendaraan bermotor didasarkan atas nama dan / atau alamat yang sama (Pasal 6 UU
DPRD).
Cara menghitung dan Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 7 UU PDRD : (1) Besaran pokok Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang
dihitung dengan cara mengalihkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5)
UU PDRD dengan dasar pengenaan bermotor terdaftar pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (9) UU PDRD; (2) Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang
dipungut di wilayah daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar; (3) Pemungutan pajak
Kendaraan Bermotor dilakukan bersamaan dengan penerbitan Surat tanda Nomor
Kendaraan Bermotor.
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxxiii
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN KB)
Objek Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 9 UU PDRD: (1) Objek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah
penyerahan kepemilikan Kendaraan Bermotor; (2) Termasuk dalam pengertian
Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud adalah kendaraan bermotor beroda beserta
gandengannya, yang dioperasikan di semua jenis jalan darat dan kendaraan bermotor
yang dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT5 (5 Gross Tannge) sampai dengan
GT7 (tujuh Gross Tonnage): (3) Dikecualikan dari pengertian kendaraan bermotor
sebagaimana dimaksud pada angka (2) tersebut di atas yaitu :
Kereta api;
Kendaraan bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan
keamanan negara;
Kendaraan bermotor yang dimiliki dan / atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan
negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lemabaga internasional yang
memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah, dan
Objek pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
Subyek Pajak dan wajib pajak BBN KB sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 UU
PDRD yaitu : (1) Subjek pajak Bea balik Nama Kendaraan Bermotor adalah orang
pribadi atau badan yang dapat menerima penyerahan kendaraan bermotor; (2) Wajib
Pajak Bea Balik nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau badan yang
menerima penyerahan kendaraan bermotor. Dasar pengenaan BBN KB sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 11 UU PDRD adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (9) UU PDRD.
Tarif BBN KB sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12 UU PDRD yaitu : (1) Tarif Bea
balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi masing-masing sebagai
berikut : a. Penyerahan pertama sebesar 20 % (dua puluh persen; dan b. penyerahan
kedua dan seterusnya sebesar 1 % (satu persen); (2) Khusus untuk kendaraan bermotor
alat-alat berat dan alat-alat besar yang tidak menggunakan jalan umum tarif pajak
ditetapkan paling tinggi sebagai berikut : a. Penyerahan pertama sebesar 0,75 % (nol
koma tujuh puluh lima persen); dan b. Penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 0,075
% (nol koma nol tujuh puluh lima persen); (3) Tarif Bea balik nama Kendaraan
Bermotor ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Cara Menghitung , Pemungutan, dan Pembayaran BBNKB sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 13 UU PDRD adalah sebagai berikut : (1) Besaran Pokok Pajak Bea Balik
nama Kendaraan Bermotor yang terutang dihitung dengan ara mengalihkan tarif
sebagaimana imaksud dalam Pasal 12 ayat (3) UU PDRD dengan dasar pengenaan
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 UU PDRD; (2) Bea balik Nama
Kendaraan Bermotor yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Kendaraan
Bermotor terdaftar; (3) Pembayaran Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dilakukan
pada saat pendaftaran.
Wajib Mendaftarkan Penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 14 UU PDRD bahwa wajib pajak bea balik nama kendaraan bermotor wajib
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxxiv
mendaftarkan penyerahan kendaraan bermotor dalam jangka waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja sejak saat penyerahan. Dan melaporkan Penyerahan Kendaraan
Bermotor Kepada Gubernur atau Pejabat.41
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
Objek Pajak Bahan bakar Kendaraan Bermotor adalah bahan bakar kendaraan
bermotor yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor,
termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan di air ( Pasal 16 UU PDRD).
Subyek Pajak, Wajib pajak, dan Pemungutan PBBKB sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 17 UU PDRD adalah sebagai berikut :
Subjek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalam konsumen Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor;
Wajib Pajak Bahan bakar Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang
menggunakan Bahan Bakar Kendaraan bermotor;
Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan oleh penyedia Bahan
Bakar Kendaraan Bermotor;
Penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada angka (3)
tersebut di atas adalah produsen dan / atau importir Bahan Bakar Kendaraan Bermotor,
baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.
Dasar Pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotot (PBBKB) adalah Nilai Jual
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebelum dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) (
Pasal 18 UU PDRD).
Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) sebagaimana disebutkan
dalam pasal 19 UU PDRD adalah sebagai berikut :
Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi sebesar 10 %
(sepuluh persen);
Khusus tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk bahan bakar kendaraan
umum dapat ditetapkan paling sedikit 50 % (lima piluh persen) lebih rendah dari tarif
Pajak Bahan bakar Kendaraan Bermotor untuk kendaraan pribadi;
Pemerintah dapat mengubah tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang sudah
ditetapkan dalam Peraturan Daerah dengan Peraturan Presiden;
Kewenangan Pemerintah untuk mengubah tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor dilakukan dalam hal :
Terjadi kenaikan harga minyak dunia melebihi 130 % (seratus tiga puluh persen) dari
asumsi harga minyak dunia yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan; atau
Diperlukan stabilisasi harga bahan bakar minyak untuk jangka waktu paling lama 3
(tiga) tahun sejak ditetapkannya Undang-Undang PDRD.
41
Oyok Abuyamin, Ibid., hlm. 207.
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxxv
Dalam hal harga minyak dunia sebagaimana dimaksud pada angka (4) huruf a tersebut
di atas sudah normal kembali, Peraturan Presiden sebagaimana dimaksud pada angka
(3) tersebut di atas, dicabut dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.
Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Cara Menghitung Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 20 UU PDRD adalah bahwa besaran pokok Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6) UU PDRD dengan dasar pengenaan
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UU PDRD. 42
d. Pajak Air Permukaan
Obyek Pajak Air Permukaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 UU
PDRD adalah sebagai berikut :
Objek Pajak Air Permukaan adalah pengambilan dan / atau pemanfaatan air permukaan;
Dikecualikan dari objek Pajak Air Permukaan adalah :
Pengambilan dan / atau pemanfaatan air permukaan untuk keperluan dasar rumah
tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, dengan tetap memperhatikan
kelestarian lingkungan dan peraturan perundang-undangan; dan
Pengambilan dan / atau pemanfaatan air permukaan lainnya ditetapkan dalam Peraturan
Daerah.
Subyek Pajak dan Wajib Pajak Permukaan Air sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22
UU PDRD adalah sebagai berikut :
Subyek Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau badan yang dapat melakukan
pengambilan dan / atau pemanfaatan air permukaan;
Wajib Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau badan yang melakukan
pengambilan dan / atau pemanfaatan air permukaan.
Dasar Pengenaan Pajak air Permukaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 23 UU
PDRD adalah sebagai berikut :
Dasar pengenaan Pajak Air Permukaan adalah Nilai Perolehan Air Permukaan;
Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada angka (1) tersebut di atas
dinyatakan dalam rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau
seluruh factor-faktor berikut :
Jenis sumber air;
Lokasi sumber air;
Tujuan pengambilan dan / atau pemanfaatan air;
Volume air yang diambil dan / atau dimanfaatkan;
Kualitas air;
Luas areal tempat pengambilan dan / atau pemanfaatan air; dan
Tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan / atau
pemanfaatan air.
42
Ibid., hlm. 409.
Volume
12, No.1 Nop 2011
cxxvi
Penggunaan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada angka (2) tersebut di atas
disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah.
Besarnya Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada angka (1)
tersebut di atas ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
Tarif Pajak Air Permukaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 UU PDRD adalah
sebagai berikut : (1) Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi sebesar 10 %
(sepuluh persen); (2) tariff Pajak Air Permukaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Cara Menghitung Pajak Air Permukaan disebutkan didalam pasal 25 UU PDRD adalah
: (1) Besaran pokok Pajak Air Permukaan yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tariff sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (2) UU PDRD dengan
dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) UU PDRD; (2)
Pajak Air Permukaan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat air berada. 43
e. Pajak Rokok
Obyek Pajak Rokok sebagaimana disebutkan dalam Pasal 26 UU PDRD adalah
sebagai berikut :
Obyek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok;
Wajib pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok / produsen dan importir rokok yang
memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai;
Pajak Rokok dipungut oleh instansi pemerintah yang berwenang memungut cukai
bersamaan dengan pemungutan cukai rokok;
Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada
angka (3) tersebut di atas disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara
proporsional berdasarkan junlah penduduk;
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyerahan Pajak Rokok
diatur dengan peraturan Menteri Keuangan.
Dasar Pengenaan Pajak Rokok seperti disebutkan dalam pasal 28 UU PDRD
adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok. Tarif pajak Rokok
seperti disebutkan dalam Pasal 29 UU PDRD adalah ditetapkan sebesar 10 5 (sepuluh
persen) dari cukai rokok.
Cara menghitung Pajak Rokok disebutkan dalam Pasal 30 UU PDRD adalah :
Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 UU PDRD dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU PDRD. Seangkan Alokasi Penerimaan Pajak
Rokok disebutkan dalam pasal 31 UU PDRD adalah Penerimaan Pajak Rokok, baik
Provinsi maupun bagian Kabupaten / Kota, dialokasikan paling sedikit 50 % (lima
puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum
oleh aparat yang berwenang.
Sedangkan Bagi Hasil antara Pajak Provinsi dengan Kabupaten sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 94 UU PDRD adalah sebagai berikut :
43
Ibid., hlm. 411.
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxxvii
Hasil penerimaan Pajak Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
sebagian diperuntukkan bagi Kabupaten / Kota di wilayah provinsi yang bersangkutan
dengan ketentuan sebagai berikut :
hasil penerimaan pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
diserahkan kepada Kabupaten / Kota sebesar 30 % (tiga puluh persen);
hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor diserahkan kepada
Kabupaten / Kota sebesar 70 % (tujuh puluh persen);
hasil penerimaan Pajak Rokok diserahkan kepada Kabupaten / Kota sebesar 70 % (tujuh
puluh persen);
hasil penerimaan Pajak air Permukaan diserahkan kepada Kabupaten / Kota sebesar 50
% (lima puluh persen).
Khusus untuk penerimaan Pajak Air Permukaan dari sumber air yang berada hanya pada
1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota, hasil penerimaan pajak Air Permukaan dimaksud
diserahkan kepada Kabupaten/Kota yang bersangkutan sebesar 80 % (delapan puluh
persen);
Bagian Kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
memperhatikan aspek pemerataan dan / atau potensi antar kabupaten/kota;
Ketentuan lebih lanjut mengenai bagi hasil penerimaan Pajak Provinsi yang
diperuntukkan bagi Kabuapten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan tersebut diatas maka dapat ditarik kesimpulan
antara lain :
1. Pelaksanaan pemungutan pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun
2009 adalah berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta
masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah. Dalam
pelaksanaan sistem pemungutan pajak ada 3 (tiga) macam yaitu :
a. Official Assessment System
Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak
berdasarkan UU pemerintah (fiskus) diberi untuk menentukan besarnya pajak
yang terutang. Dengan ciri-ciri sebagai berikut : (a) Wewenang untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada fiskus; (b) Wajib pajak
bersifat menunggu (pasif); (c) Utang pajak yang harus dibayar olh wajib pajak
timbul setelah diterbitkannya surat ketetapan pajak (SKP) oleh fiskus.
b. Self Assessment System
Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
berdasarkan UU memberikan epercayaan kepada wajib pajak untuk
melaksanakan hak dan kewajibannya dibidang perpajakan. Dengan ciri-ciri
sebagai berikut : (a) Wajib Pajak (WP) menghitung dan memperhitungkan
sendiri oleh WP, pajak yang harus dibayar/ pajak yang terutang; (b) Wajib
pajak (WP) membayar / menyetor sendiri pajak yang harus dibayar / pajak
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxxviii
yang terutang ke bank / Kantor Pos; (c) Wajib Pajak (WP) melaporkan sendiri
pajak yang harus dibayar / pajak yang terutang; (d) Pemerintah (Fiskus)
mengawasi pelaksanaan hak dan kewajiban WP di bidang perpajakan.
c. With Holding System
With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang berdasarkan
UU memberi kepercayaan / wewenang kepada pihak ketiga (bukan pemerintah
dan bukan WP yang bersangkutan) untuk memotong atau memungut pajak
yang wajib dipotong/dipungut dari WP yang wajib membayarnya. Pihak ketiga
wajib menyetorkan hasil pemotongan / pemungutan pajak tersebut. Dengan
cirri-ciri sebagai berikut : (a) Pemotongan / Pemungutan pajak dilakukan oleh
pihak ketiga (bukan pemerintah/bukan fiskus); (b) Pemotong / Pemungut pajak
wajib menyetorkan hasil pemotongan /pemungutan pajak tersebut; (c)
Pemerintah (fiskus) mengawasi pelaksanaan pemotongan / pemungutan dan
penyetoran oleh pihak ketiga.
2. Bagi Hasil antara Pajak Provinsi dengan Kabupaten sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 94 UU PDRD adalah sebagai berikut :
a. Hasil penerimaan Pajak Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
sebagian diperuntukkan bagi Kabupaten / Kota di wilayah provinsi yang
bersangkutan dengan ketentuan sebagai berikut :
1). hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor diserahkan kepada Kabupaten / Kota sebesar 30 %
(tiga puluh persen);
2). hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor diserahkan
kepada Kabupaten / Kota sebesar 70 % (tujuh puluh persen);
3). hasil penerimaan Pajak Rokok diserahkan kepada Kabupaten / Kota sebesar
70 % (tujuh puluh persen);
4). hasil penerimaan Pajak air Permukaan diserahkan kepada Kabupaten / Kota
sebesar 50 % ( puluh persen).
b. Khusus untuk penerimaan Pajak Air Permukaan dari sumber air yang berada
hanya pada 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota, hasil penerimaan pajak Air
Permukaan dimaksud diserahkan kepada Kabupaten/Kota yang bersangkutan
sebesar 80 % (delapan puluh persen);
c. Bagian Kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
memperhatikan aspek pemerataan dan / atau potensi antar kabupaten/kota;
d. Ketentuan lebih lanjut mengenai bagi hasil penerimaan Pajak Provinsi yang
diperuntukkan bagi Kabuapten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.
SARAN
Atas dasar perimbangan dalam kesimpulan di atas, maka penulis dapat
kemukakan beberapa saran sebagai berikut:
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxxix
a. Untuk pelaksanaan pemungutan Pajak, khususnya Pajak Kendaraan Bermotor, Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak
Air Permukaan dan Pajak Rokok, hendaknya perlu ditingkatkan sesuai dengan
peraturan Undang-undang yang berlaku, sehingga akan dapat mewujudkan arah dan
tujuan dari kebijaksanaan pembangunan yang jelas dan berhasil guna, disamping itu
untuk memperlancar pembangunan di Kabupaten/Kota.
b. Kegiatan-kegiatan yang mengandung unsur peningkatan kesadaran bagi wajib pajak
(WP) hendaknya lebih ditingkatkan seperti diadakan penyuluhan/penerangan
tentang Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok, demi
lancarnya pembangunan daerah khususnya pada Kabupaten/Kota. Selain itu juga
bisa memasang baliho (poster-poster) di tempat yang ramai dan sering dilewati
masyarakat.
cxxxVolume 12, No.1 Nop 2011
IMPLEMENTASI UU NO 3 TAHUN 2011 TENTANG TRANSFER DANA DALAM
RANGKA MENUJU KEPASTIAN HUKUM BERTRANSAKSI DANA
Oleh :
AGUS TRI PURWANDI, SH, MH.
ABSTRAK
Kegiatan transfer dana di lndonesia telah menunjukkan peningkatan,
baik dari jumlah transaksi, jumlah nilai nominal transaksi, maupun jenis
media yang digunakan, perkembangan media transfer dana dan
permasalahan yang terjadi, diperlukan pengaturan yang menjamin
keamanan dan kelancaran transaksi transfer dana serta memberikan
kepastian bagi pihak yang terkait dalam penyelenggaraan kegiatan
transfer dana bahwa penyelenggaraan transfer dana yang aman, lancar
dan memberikan kepastian bagi pihak terkait diharapkan dapat
mewujudkan kelancaran sistem pembayaran nasional.
Kegiatan transfer dana sudah menjadi bagian dari keseharian hidup
sebagian besar masyarakat Indonesia. Media maupun mekanisme yang
digunakan dalam melakukan kegiatan transfer dana juga sudah sangat
beragam. Pihak yang menyediakan jasa transfer dana juga sudah
bergerak dari yang dahulu didominasi oleh kalangan perbankan,
sekarang mulai dilakukan pula oleh pihak selain bank, khususnya dalam
jasa Kegiatan usaha pengiriman uang atau Kupu.
Kata Kunci: Implementasi – Transfer Dana – Kepastian Hukum.
PENDAHULUAN
Setelah disetujui oleh seluruh fraksi mini dalam rapat Pansus DPR RI tentang
Transfer dana pada tanggal 17 Februari 2011, Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 22
Februari 2011 akhirnya mengesahkan Rancangan undang-undang tentang transfer dana
(RUU Transfer dana) yang diajukan oleh Pemerintah RI menjadi Undang-undang,
pengesahan RUU transfer dana menjadi undang-undang ini menandai dimulainya era
baru dalam penyelenggaraan transfer dana di Indonesia. Transfer Dana (untuk
selanjutnya disingkat (UU-TD) dari konsideran UU-TD dapat diketahui yang menjadi
pertimbangan dibentuknya UU-TD, yaitu bahwa kegiatan transfer dana di lndonesia
telah menunjukkan peningkatan, baik dari jumlah transaksi, jumlah nilai nominal
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxxxi
transaksi, maupun jenis media yang digunakan, bahwa seiring dengan peningkatan
transaksi, perkembangan media transfer dana dan permasalahan yang terjadi, diperlukan
pengaturan yang menjamin keamanan dan kelancaran transaksi transfer dana serta
memberikan kepastian bagi pihak yang terkait dalam penyelenggaraan kegiatan transfer
dana bahwa penyelenggaraan transfer dana yang aman, lancar dan memberikan
kepastian bagi pihak terkait diharapkan dapat mewujudkan kelancaran sistem
pembayaran nasional.
Berikut Posisi dari UU-TD dikaitkan dengan UU laon di bidang sistem
pembayaran yaitu :
- UU Perbankan/ Perbankan Syariah : Kewenangan bank dan bank
syariah melakukan kegiatan pemindahan dana.
- UU LPS
: Pengaturan Status dana transfer.
- UU Kepailitan
: Pengecualian prinsip zero hour rules damal sistem
pembayaran.
- UU Arbitrase dan ADR
: Dasar hukum pengaturan dan pelaksanaan
penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
- UU Perlindungan Konsumen : Dasar hukum pengaturan dan penerapan
prinsip perlindungan konsumen dalam SP.
- UU Transfer Dana
:
Prinsip-prinsip
transfer
dana,
pelaksanaan, perizinan, pengawasan, sanksi pidana dan administratif.
- UU Perseroan Terbatas
: Pengaturan bentuk penyelenggara sistem
pembayaran , baik bank maupun non bank.
- UU ITE
: Pengakuan Dok/ Info elektronik sebagai bukti sah serta
kriteria tanda tagan elektronik.
- UU Pembentukan Per-UU-an: Pengakuan ketentuan BI dalam hierarki
peraturan perundangan Indonesia.
- UU Bank Indonesia : meletakkan dasar kewenangan BI sebagai
regulator, licensor, operator dan overseer di bidang SP + Pengertian SP/
- UU TPPT : KYC dan laporan atas suspicious transaction dalam transfer
dana.
Sebagaimana kita ketahui, kegiatan transfer dana sudah menjadi bagian dari
keseharian hidup sebagian besar masyarakat Indonesia. Media maupun mekanisme yang
digunakan dalam melakukan kegiatan transfer dana juga sudah sangat beragam. Pihak
yang menyediakan jasa transfer dana juga sudah bergerak dari yang dahulu didominasi
oleh kalangan perbankan, sekarang mulai dilakukan pula oleh pihak selain bank,
khususnya dalam jasa Kegiatan usaha pengiriman uang atau Kupu.
Jika dilihat dari data statistik, transfer dana yang dilakukan melalui sistem Real
Time Gross Settlement atau RTGS misalnya, rata-rata bulanannya pada satu tahun
terakhir mencapai lebih dari Rp 5.OOO triliun per bulan. Belum lagi transfer yang
dilakukan melalui kliring, yang rata-rata bulanannya pada satu tahun terakhir mencapai
lebih dari Rp. 160 triliun per bulan, serta melalui alat pembayaran dengan menggunakan
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxxxii
kartu yang mencapai lebih dari Rp. 2OO triliun setiap bulannya. Di sisi lain, sampai saat
ini telah terdapat 78 penyelenggara transfer dana di luar perbankan, yang dikenal
sebagai money remitters atau penyelenggara KUPU. Hal ini menunjukan perkembangan
transfer dana yang teramat pesat di masyarakat.
Perkembangan transfer dana tersebut menuntut adanya kepastian hukum yang
efektif bagi seluruh pihak terkait. Ragam mekanisme dan penyelengara transfer dana
membutuhkan adanya kesetaraan pengaturan hak dan kewajiban yang tegas, yang
berlaku untuk semua pihak tanpa kecuali. Tuntutan-tuntutan tersebut dijawab dengan
kehadiran Undang-Undang tentang Transfer Dana.
Kehadiran Undang-Undang Transfer Dana memberikan kepastian hukum bagi
pelaku kegiatan transfer dana dengan memberikan dasar pengaturan yang jelas
mengenai hak dan kewajiban para pihak, baik bagi nasabah sebagai pengguna maupun
bagi bank atau lembaga selain bank sebagai penyelenggara transfer dana. Adanya hak
dan kewajiban yang jelas ini menjadi penting, karena dasar dari pelaksanaan kegiatan
transfer dana adalah adanya perjanjian antara para pihak tersebut. Dalam UndangUndang Transfer Dana bahkan secara jelas diatur bahwa sarana perintah transfer dana
yang disampaikan oleh nasabah pengirim dan telah diaksep oleh penyelenggara
merupakan perjanjian yang sah dan mengikat.
PERMASALAHAN
Hal ini tentunya akan memberikan kepastian dan rasa aman bagi nasabah,
bahwa dana yang ia transfer akan dikirimkan oleh penyelenggara secara bertanggung
jawab. Di sisi lain, bagi bank dan lembaga selain bank sebagai penyelenggara,
kehadiran Undang-Undang Transfer Dana juga memberikan kepastian mengenai
bagaimana melaksanakan perintah transfer dana yang telah ia terima, serta apa yang
menjadi hak dan kewajibannya dalam melaksanakan perintah transfer dana tersebut.
PEMBAHASAN
Pengaturan mengenai hak dan kewajiban para pelaku dalam undang-Undang
Transfer Dana bersifat komprehensif, dimulai dengan pengaturan mengenai pemberian
perintah transfer dana dari nasabah pengirim kepada penyelenggara pengirim, sampai
dengan pengaturan mengenai penyampaian dana kepada nasabah penerima. Dalam
materi pengaturan undang-undang ini juga dimuat beberapa pengaturan rinci, seperti
informasi-informasi apa saja yang harus dilengkapi oleh seorang nasabah pengirim
dalam sebuah perintah transfer dana. Kewajiban pengisian informasi oleh nasabah
sesuai Undang-Undang Transfer Dana ini juga diatur sejalan dengan peraturan
perundang-undangan terkait seperti Undang-Undang mengenai Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxxxiii
Sinergi antara Undang-Undang Transfer Dana dengan UU TPPU ini dipandang
sebagai dukungan yang penting dalam memerangi dan memberantas kejahatan
pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Pengaturan penting lainnya yang dimuat dalam Undang-Undang Transfer Dana
adalah adanya ketegasan mengenai siapakah yang dapat menjadi penyelenggara
kegiatan transfer dana. Dalam Undang-Undang ini jelas disebutkan bahwa pihak yang
dapat menjadi penyelenggara transfer dana adalah Bank dan badan usaha berbadan
hukum Indonesia bukan Bank.
Selain memberikan kesetaraan level of playing field bagi para penyelenggara
kegiatan transfer dana, juga ditujukan untuk meningkatkan rasa aman dan nyaman
pengguna jasa transfer dana. Selain itu, dengan ditetapkannya pengaturan bahwa
kegiatan transfer dana harus dilakukan oleh Bank atau badan usaha berbadan hukum,
maka tingkat layanan dan tanggung jawab penyelenggara dalam melaksanakan
kegiatannya diharapkan menjadi meningkat. Dengan meningkatnya tanggung jawab
penyelenggara, maka kepastian dalam penyelesaian transfer dana diharapkan juga akan
meningkat.
Hal lainnya yang tak kalah penting adalah pengaturan mengenai alat bukti dan
beban pembuktian dalam transfer dana, serta aturan pemidanaan untuk kejahatan
transfer dana. Sejalan dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, Undang-undang Transfer Dana mengatur bahwa informasi
elektronik dalam transfer dana, dan/atau hasil cetaknya, merupakan alat bukti yang sah,
Di sisi lain, untuk lebih melindungi masyarakat pengguna, maka Undang-Undang
Transfer Dana meletakkan beban pembuktian kepada pihak penyelenggara yang
memiliki sistem transfer dana. Selain itu, untuk mencegah dan menimbulkan efek jera,
Undang-Undang Transfer Dana mengatur kembali aspek pemidanaan untuk kejahatan
transfer dana. Dengan demikian, ketentuan pidana dalam Undang-Undang Transfer
Dana bersifat Lex Specialist dari pidana umum sebagaimana diatur dalam KUHP.
Serangkaian pengaturan dalam undang-undang Transfer Dana merupakan
upaya dalam memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan transfer dana.
Dengan adanya kepastian hukum, diharapkan hal tersebut dapat meningkatkan rasa
aman dan nyaman dalam penyelenggaraan transfer dana, baik dari sisi penyelenggara
maupun dari sisi pengguna. Dengan demikian, diharapkan nilai transaksi transfer dana
juga akan meningkat, yang pada akhirnya dapat mendorong dan meningkatkan
perekonomian Indonesia.
Kiriman uang dari luar negeri ke lndonesia khususnya oleh TKI seperti pada
salah satu harian di Jawa Tengah menunjukkan angka yang cukup menakjubkan.
Kiriman uang atau remitansi TKI dari luar negeri ke Tanah Air hingga Oktober 2011
mencapai 5,6 milyar dollar AS atau sekitar 55,4 triliun rupiah yang berasal dari Timur
Tengah, Asia Pasifik, AS, Eropa, dan Australia. Uang tersebut dikirim melalui jasa
perbankan. Perinciannya, dari TKI di Timur Tengah 2,2 milyar dollar AS, Asia Pasifik
3,2 dollar AS, AS 111,7 juta dollar AS, serta Eropa dan Australia 19,5 dollar AS (Suara
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxxxiv
Merdeka, 10-12-2011:4). Pengiriman uang atau remitansi oleh TKI ada yang dikirim
melalui kurir khusus di samping menggunakan jasa keuangan non perbankan.
Menurut Prof Sudarto "Politik Hukum" adalah kebijaksanaan dari negara
dengan perantaraan badan-badan yang benrenang untuk menetapkan peraturan,
peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan
apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Pembentukan undang-undang merupakan proses sosial dan proses politik yang sangat
penting artinya dan mempunyai pengaruh yang luas, karena itu (undang-undang) akan
memberi bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang-Undang oleh
penguasa digunakan untuk mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan sesuai dengan
yang dicita-citakan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa undang-undang mampunyai dua
fungsi, yaitu;
a. Fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai, dan
b. Fungsi instrumental.
Berpijak pada kedua fungsi hukum di atas, maka dapat dikatakan bahwa hukum bukan
merupakan suatu tujuan, melainkan sebagai sarana untuk mewujudkan apa yang dicitacitakan. lni berarti, apabila kita mau membicarakan “Politik Hukum di lndonesia", maka
mau tidak mau kita harus memahami terlebih dahulu "apa yang menjadi cita-cita dari
bangsa lndonesia merdeka". Cita-cita inilah yang harus diwujudkan melalui sarana
undang-undang (hukum). Dengan mengetahui masyarakat yang bagaimana yang dicitacitakan oleh bangsa lndonesia, maka dapat ditentukan "sistem hukum" yang bagaimana
yang dapat mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan tersebut, dan sekaligus juga
dapat dicari politik hukum yang bagaimana yang dapat mendorong terciptanya sistem
hukum yang mampu menjadi sarana untuk mewuiudkan masyarakat yang dicita-citakan
oleh bangsa lndonesia.
UU-TD memberikan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang
melakukan kegiatan transfer dana baik pihak dalam negeri maupun luar negeri dan
memberikan rasa aman bagi kegiatan transfer dana tidak hanya di dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik lndonesia serta dari dalam ke luar wilayah Negara Kesatuan
Republik ndonesia dan sebaliknya, sehingga berdampak pada meningkatnya transaksi
transfer dana yang pada akhirnya akan mendorong kelancaran perkembangan ekonomi
tanah air.
Asas perlindungan ini terlihat dari ketentuan Pasal 2 UU-TD yang menentukan
Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku untuk :
a. Transfer Dana antar-Penyelenggara atau intra-Penyelenggara dalam rupiah
atau valuta asing yang Penyelenggara Pengirim dan Penyelenggara
Penerima seluruhnya berada di wilayah Negara Kesatuan Republik
lndonesia; dan/atau
b. Transfer Dana antar-Penyelenggara atau intra-Penyelenggara ke luar wilayah
Negara Kesatuan Republik lndonesia atau dari wilayah Negara Kesatuan
Republik lndonesia yang melibatkan Penyelenggara di lndonesia baik
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxxxv
sebagai Penyelenggara Pengirim Asal, Penyelenggara Penerus, maupun
Penyelenggara Penerima Akhir, sepanjang Perintah Transfer Dana telah
atau masih berada di wilayah Negara Kesatuan Republik lndonesia.
UU-TD dalam rangka pembuktian dan beban pembuktian dalam kegiatan transfer dana
mengatur sendiri dan beban pembuktian jika terjadi keterlambatan atau kesalahan yang
menimbulkan kerugian pada pihak lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 76, Pasal 77,
dan Pasal 78.
- Pasal 76 UU-TD :
(1) lnformasi elektronik, dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya dalam
kegiatan Transfer Dana merupakan alat bukti yang sah.
(2) lnformasi elektronik, dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang
sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku.
- Pasal 77 UU-TD : Tanda tangan elektronik dalam kegiatan Transfer Dana memiliki
kekuatan hukum yang sah.
- Pasal 78 UU-TD : Dalam hal terjadi keterlambatan atau kesalahan Transfer Dana yang
menimbulkan kerugian pada Pengirim Asal atau penerima, Penyelenggara dan/atau
pihak lain yang mengendalikan Sistem Transfer Dana dibebani kewajiban untuk
membuktikan ada atau tidaknya keterlambatan atau kesalahan Transfer dana
tersebut.
Dengan demikian, terdapat perluasan mengenai alat-alat bukti yang selama di diatur
dalam hukum acara yang berlaku (Hukum Acara Pidana maupun Hukum Acara
Perdata).
Kebijakan Kriminal dalam UU No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana {UU-TD).
Dalam rangka menanggulangi perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain atau
pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan Transfer Dana tidak bisa lepas dari
pembicaraan "kebijakan kriminal" atau criminal policy". Guna memberikan pemahaman
mengenai kebijakan kriminal ini akan dikemukakan pengertian yang dberikan oleh
Hoefnagels, sebagai berikut : "Criminal Policy is the science of crime prevention .,..
Criminal Policy as a science of policy is part of a larger policy : the law enforcement
policy ..,.. Criminal policy is also manifest as science and as application The legislative
and enforcement policy is ini turn part of social policy" {Hoefnagels, 1 969:58).
Dengan pernyataan bahwa "Criminal policy as a part of social policy", menurut Muladi
sangat penting dan akan dapat menghindarkan hal-hal sebagai berikut:
a. Pendekatan kebijakan sosial yang terlalu berorientasi pada "social welfare" dan
kurang memperhatikan "social defence policy".
b. Keragu-raguan untuk selalu melakukan evaluasi dan pembaharuan terhadap
produk-produk legislatif yang berkaitan dengan perlindungan sosial yang
merupakan sub sistem dari "national social defence policy".
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxxxvi
c. Perumusan kebijakan sosial yang segmental, baik nasional maupun daerah,
khususnya dalam kaitan dengan dimensi kesejahteraan dan perlindungan.
Pemahaman bersama akhir-akhir ini terhadap UU Pemerintahan di Daerah
(sekarang Pemerintahan Daerah) merupakan langkah yang baik untuk
meningkatkan koordinasi.
d. Pemikiran yang sempit tentang kebijakan kriminal, yang seringkali hanya
melihat kaitannya dengan penegakan hukum pidana. Padahal sebagai bagian
dari kebijakan sosial, penegakan hukum pidana merupakan sub sistem pula
dari penegakan hukum dalam arti luas yang meliputi penegakan hukum perdata
dan penegakan hukum administrasi.
e. Kebijakan legislatif ("legislative policy") yang kurang memperhalikan keserasian
aspirasi baik dari suprastruktur, infrastruktur, kepakaran maupun pelbagai
kecendrungan internasional (Muladi, 1gg7:gT).
Pemerintah lndonesia bersama-sama DPR seperti telah dikemukakan di atas, telah
berhasil membentuk UU-TD, di mana dalam UU-TD ini membuktikan adanya peranan
hukum di bidang perekonomian, sehingga dapat dikatakan sebagai ikut campur
pemerintah atau penguasa di bidang perekonomian dengan cara mengeluarkan peraturan
yang oleh Sudarto disebut "hukum perekonomian sosial" yang dapat diartikan sebagai
keseluruhan peraturan khususnya yang dibuat oleh pemerintah atau badan pemerintah,
yang secara langsung atau tidak langsung bertujuan untuk mempengaruhi perbandingan
ekonomi di pasar-pasar. Pasar dalam arti pertemuan antara penawaran dan permintaan
(Sudarto, 1986:73). Peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi ini seperti
halnya peraturan perundang-undangan di bidang lainnya perlu ditegakkan, mengingat
setiap peraturan yang dikeluarkan pasti ada yang melanggarnya. penegakan peraturan
perundang-undangan pada umumnya dengan menetapkan sanksi yang akan dikenakan
kepada para pelanggarnya. pada umumnya peraturan perundang-undangan (hukum)
mengenal tiga sistem sanksi yang dapat digunakan oleh aparat penegak hukum ialah
sistem sanksi hukum perdata, sistem sanksi hukum administrasi, dan sistem sanksi
hukum pidana.
UU-TD di dalam mempertahankan norma-norma di bidang Transfer Dana,
nampaknya menggunakan ketiga sistem sanksi tersebut, seperti adanya sanksi berupa
cara pembayaran besarnya jasa, bunga atau kompensasi serta sanksi administrasi berupa
(a) teguran tertulis,
(b) denda administratif,
(c) pembekuan sementara kegiatan usaha Transfer Dana, atau
(d) pencabutan izin kegiatan usaha Transfer Dana. Kewenangan ini ada pada
Bank lndonesia.
Fenomena akhir-akhir ini termasuk UU-TD menampilkan satu Bab tentang
"Ketentuan Pidana", hal ini menunjukkan sanksi hukum pidana dipanggil guna
mempertahankan norma-norma administratif. lni berarti terjadi pergeseran fungsi sanksi
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxxxvii
pidana dari semula "ultimum remedium" menjadi "primum remedium" yang sangat
tergantung pada pilihan pembentuk peraturan perundang-undangan.
Ketentuan pidana dalam UU-TD diatur dalam Bab Xll dari Pasal 79 sampai
dengan Pasal 88, yang untuk lengkapnya sebagaimana paparan berikut ini.
a. Pasal 79 UU -TD
(1) Subjeknya : Setiap orang.
- Perbuatan yang dilarang : melakukan kegiatan penyelenggaraan
- Transfer Dana tanpa izin dalam Pasal 69 (1).
- Ancaman pidana berupa pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling
banyak tiga milyar rupiah.
(2) Sanksi lain di samping pidana berupa wajib menghentikan seluruh kegiatan
penyelenggaraan Transfer Dana.
b. Pasal 80 UU -TD
(1) Subjeknya : Setiap orang.
- Perbuatan yang dilarang : secara melawan hukum membuat atau menyimpan
sarana Perintah Transfer Dana -dengan maksud untuk menggunakan atau
menyuruh orang lain untuk menggunakan.
. Ancaman pidana berupa pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling
banyak 2 milyar rupiah.
(2) Subjeknya : Setiap orang.
- Perbuatan yang dilarang : menggunakan dan/atau menyerahkan sarana Perintah
Transfer Dana sebagaimana ayat (1).
- Ancaman pidana berupa pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling
banyak 4 milyar rupiah.
KESIMPULAN
1.
2.
3.
UU transfer dana menunjukkan adanya politik hukum pemerintah yang
memberikan rasa aman, dan keyakinan bagi pihak-pihak yang melakukan
kegiatan transfer dana baik dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia maupun dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
karena kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang
terlibat.
UU – TD memperluas keberlakuan atau ruang lingkup berlakunya tidak hanya
terbatas pada wilayah NKRI, tetapi juga di luar wilayah NKRI sepanjang
perintah transfer dana dilakukan di wilayah NKRI.
UU – TD memberikan wewenang kepada Bank Indonesia guna melaksanakan
beberapa ketentuan dalam pasal-pasal UU-TD denga bentuk peraturan Bank
Indonesia.
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxxxviii
4.
5.
Sasaran UU-TD tidak hanya pihak-pihak yang melakukan kegiatan transfer
dana perseorangan tetapi juga korporasi.
Dalam UU-TD khususnya berkaitan yang berkaitan dengan ketentuan pidana,
tidak ada pasal yang mengkualifikasi tindak pidana transfer dana sebagai
kejahatan atau pelanggaran, sehingga membawa konsekuensi yuridis dalam hal
adanya percobaan, kadaluawarsa dan sebagainya.
SARAN
1.
2.
Dengan diberlakukannya Undang-undang transfer dana saya mengharap,
adanya kepastian hukum yang lebih baik lagi terhadap para nasabah
perseorangan maupun korporasi agar mendapatkan pelayanan dan jawaban
yang memuaskan terhadap perbuatan administrasi yang dilakukan oleh pihak
perbankan yang berorientasi hanya kepada nilai profit atas lembaganya saja.
Undang-undang Transfer dana dalam mempertahankan norma-normanya agar
ditaati oleh pihak-pihak yang melakukan transfer dana dengan menggunakan
tiga sistem sanksi, yaitu Sistem sanksi hukum perdata, Sistem Sanksi hukum
administrasi, dan Sistem Sanksi pidana.
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxxxix
PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA
DI BIDANG PERPAJAKAN
Oleh :
Anni Puji Astutik, S.H., MH.
ABSTRAK
Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara Indonesia terbesar,
pada tahun 2006 porsenteasenya mencapai 80% dibandingkan dengan sumber
pendapatan yang lain. Semakin besar pendapatan yang melalui pajak seimbang dengan
permasalahan yang ada dalam perpajakan itu sendiri. Permaslahan yang sering terjadi
adalah kejahatan/tindak pidana dalam perpajakan yang sering dilakukan oleh wajib
pajak itu sendiri atau oleh fiskus pejabat dalam pajak atau bekerja sama antara fiskus
dengan wajib pajak untuk bersama-sama melakukan kejahatan/tindak pidana pajak.
Unsur
kealpaan (yaitu ketidaksengajaan, kelalaian, ketidakhati-hatian, kurang
mengindahkan kewajibannya dalam perpajakan), ini sifatnya masih pelanggaran
perpajakan. Sedangkan unsur kesengajaan (dengan sengaja melakukan pelanggaran atas
ketentuan perundang-undangan perpajakan), hal ini sifatnya sudah kejahatan/pidana
perpajakan. Terhadap unsur kesengajaan atau kejahatan/tindak pidana ini perlu
dilakukan tindakan yang tegas dari pemerintah karena berakibat pada kelangsungan
negara, sehingga kejahatan ini digolongkan dalam tindak pidana luar biasa. Upaya
penegakan hukum dilakukan melalui Pemeriksaan, Penagihan dan Penyidikan. Dimana
sasarannya ditujukan pada Wajib Paja, Fiskus dan Pedoman Kode Etik dalam
perpajakan.
Kata kunci: penegakan hukum, tindak pidana, pajak
PENDAHULUAN
Pajak merupakan gejala dalam masyarakat, artinya pajak hanya terdapat dalam
masyarakat. Jika tidak ada masyarakat maka tidak akan ada pemungutan pajak.
Masyarakat adalah kumpulan manusia yang pada suatu waktu berkumpul disuatu tempat
dengan tujuan tertentu.
Negara adalah masyarakat yang mempunyai tujuan bersama, tujuan dan citacita bangsa Indonesia tersirat dalam landasan ideologi Pancasila sila 5 yaitu
cxl Volume 12, No.1 Nop 2011
mewujudkan negara yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk
mewujudkan tujuan tersebut negara membutuhkan biaya.
Dalam menjalankan roda pemerintahan dan biaya pembangunan, maka setiap
negara membutuhkan dana yang cukup banyak, sebagai syarat mutlak agar
pembangunan bisa berjalan lancar dan berhasil. Dana tersebut dikumpulkan dari
segenap potensi sumber-sumber penghasilan yang dimiliki oleh negara, seperti di
Indonesia sumber-sumber penghasilan terdiri dari :
 Bumi, air dan kekayaan alam
 Pajak-pajak, bea dan cukai
 Retribusi
 Sumbangan
 Hasil perusahaan negara
 Sumber-sumber lain
Menurut pendapat Rochmat Soemitro, dari ke-6 sumber penghasilan negara
yang merupakan sumber utama untuk membiayai publik investement adalah pajak.
Penerimaan pajak mempunyai peranan yang sangat penting sebagai salah satu
sumber pendapatan negara terbesar, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan
negara. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana
yang kurang. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang
diberlakukan oleh hampir seluruh Negara di dunia. Selain sebagai salah satu sumber
penerimaan Negara, pajak juga bermanfaat sebagai alat pemerataan pendapatan dan
pendorong investasi. Namun masih rendahnya pemahaman masyarakat akan pajak
menyebabkan pajak masih dianggap sebagai suatu beban, sehingga seringkali
ditemukan wajib pajak yang tidak melunasi pajak yang menjadi kewajibannya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Wajib pajak sering berupaya untuk menghindari pajak
yang dikenakan kepadanya, hal ini tentunya merugikan Negara karena Negara akan
kehilangan potensi pemasukan dari sektor pajak.
Berbicara tentang Kejahatan di Bidang Perpajakan, hal tersebut tidak akan
terlepas dari pengertian tentang Tindak Pidana Perpajakan itu sendiri, yakni suatu
perbuatan yang berhubungan dengan tindak kejahatan di bidang perpajakan yang
pelakunya dapat dikenakan hukum pidana sesuai ketentuan Undang-undang yang
berlaku. Biasanya kejahatan perpajakan ini dilakukan tanpa kekerasan, sehingga
kejahatan ini masuk dalam kelompok kejahatan jenis Concursus Idealis, artinya
memiliki basis dasar dari kejahatan tertentu seperti: penggelapan, penipuan, pemalsuan
dan pencurian dsb.
Kejahatan/tindak pidana perpajakan ini dapat disebut pula kejahatan luar bisa
(Extra Ordinary Crimes), atau lebih familiar disebut pula sebagai kejahatan kerah putih
(White Collar Crime), yang mana kejahatan/tindak pidana perpajakan ini agak sulit
diditeksi karena dilakukan oleh orang-orang yang sangat piawai (skill person), kadang
kala kejahatan ini dilakukan oleh orang-orang di luar Institusi pajak itu sendiri, atau
juga dapat dilakukan bersama-sama (berkolusi) dengan orang-orang yang terkait dengan
Intitusi Perpajakan dengan berselimut Yuridis Formil baik bersama-sama dengan
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxli
pemufakatan jahat dengan Wajib Pajak, baik sebagai pelaku utama, pelaku pembantu,
pelaku penyuruh maupun pelaku intelektualnya. Di samping itu hasil dari kejahatan
perpajakan ini, nilainya sangat material, yang diperkirakan kerugian negara akibat
kejahatan/tindak pidana perpajakan bisa mencapai puluhan bahkan ratusan trilyun
rupiah, suatu nilai yang sangat material bagi pembiayaan suatu negara seperti Indonesia.
Oleh karena Perpajakan di Indonesia tersebut merupakan sesuatu yang terkait
dengan unsur tulang punggung penerimaan negara (80% penerimaan APBN 2005), jika
hal ini tidak ditangani dengan serius, maka kejahatan di bidang perpajakan ini jelas-jelas
akan mengurangi potensi penerimaan negara di APBN bahkan bisa mengganggu
kestabilitasan negara nantinya. Banyak kalangan yang sampai dengan saat sekarang
masih mempunyai pemikiran bahwa kejahatan (khususnya KKN) bisa terjadi karena
adanya penyelewengan/penggelapan dari sisi pengeluaran keuangannya saja, padahal
banyak hal dari Kejahatan/KKN tersebut terjadi/bersumber dari penyelewengan dari sisi
penerimaanya yakni dari hilangnya suatu potensi penerimaan negara atau potensi
penerimaan negara tersebut belum tergali dan diselewengkan/dikorupsi oleh oknumoknum yang bermain dalam aspek perpajakan ini, sehingga potensi penerimaan Negara
khususnya dari aspek pajak ini akhirnya tidak masuk ke kas negara sebagai mana
mestinya. Namun apapun bentuknya kejahatan di bidang perpajakan ini, harus dapat
dijerat dengan Undang-undang Khusus (UU Perpajakan yang bersifat Lex Specialis)
maupun Undang-undang umum/KUHP & KUHAP (Lex Generalis), akan tetapi
permasalahannya sekarang adalah apakah sistem perpajakan yang ada di Indonesia serta
Law Enforcement atas Undang-undang tersebut terhadap keiahatan perpajakan itu
sendiri sudah cukup efektif sehingga bisa berdaya guna dalam pencesahan keiahatan
perpajakan itu nantinya
Kondisi ini membuat diperlukannya ketegasan terhadap wajib pajak dalam
pemungutan pajak dengan menerapkan ketentuan hukum (law enforcement) sesuai
ketentuan undang-undang yang berlaku. Adanya kekuatan hukum mengikat dalam
bentuk undang-undang menjadikan pajak memiliki sifat dasar dipaksakan yang berarti
apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban pembayaran pajak, maka dapat dikenai
sanksi terhadapnya. Oleh karena itu peran negara sangatlah penting dalam upaya
penegakan hukum terhadap permasalahan-permasalahan di bidang perpajakan.
Permasalahan dalam pajak akan berakibat pada penerapan sanki terhadap
pelakunya. Dalam hukum pajak disamping sanki administratif terdapat juga sanki
pidana. Sanki administratif dijatuhkan oleh administrasi untuk pelanggaran-pelanggaran
yang sifatnya ringan dan diberikan dalam bentuk denda. Sedangkan sanki pidana
dijatuhkan untuk pelanggaran-pelanggaran pidana dan kejahatan.
Dan untuk mengetahui telah terjadinya suatu tindak pidana di bidang
perpajakan maka perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari, mengumpulkan,
mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. Khusus untuk pemeriksa pajak adalah PNS
di lingkungan DJP atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak yang diberi tugas
cxliiVolume 12, No.1 Nop 2011
wewenang, dan tanggungjawab untuk melaksanakan pemeriksaan di bidang perpajakan.
Tujuan pemeriksaan yaitu untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepada wajib
pajak. Tujuan lainnya adalah dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Ruang lingkup pemeriksaan meliputi pemeriksaan lapangan terhadap suatu
jenis pajak atau seluruh jenis pajak, untuk tahun berjalan dan atau tahun-tahun
sebelumnya lain yang dilakukan di tempat wajib pajak, dan pemeriksaan kantor
terhadap suatu jenis pajak tertentu baik tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya
yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak.
Sebenarnya hukum pidan fiskal itu bukan merupakan hukum pidana khusus,
seperti Undang-undang anti korupsi atau Undang-undang subversi, melainkan
merupakan hukum pidana umum terhadap tindak pidana yang dilakukan dalam bidang
perpajakan. Sebetulnya ancaman terdapat dalam KUHP, dan tidak perlu diatur lagi
secara khusus dalam Undang-undang pajak. Tetapi dalam UU no.28 Tahun 2007
tentang perubahan ketiga Undang-undang Nomor . 6 Tahun 1983 tentang ketentuan
umum tata cara perpajakan, mencantumkan dalam pasal 38 sampai pasal 43 A.
Ketentuan-ketentuan pidana dicantumkan dalam UU no. 28 Tahun 2007 ialah
karena sanki pidana yang dicantumkan adalah lebih ringan atau lebih berat dari pada
yang dicantumkan dalam KHUP.
Sebagai contoh ancaman lebih ringan dapat penulis kemukakan, bahwa
menyampaikan dengan sengaja surat pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar (palsu atau dipalsukan) dalam
KUHP pasal 242 diancam dengan pidan penjara paling lama 7 tahun. Sedangkan dalam
pajak setiap orang yang karena kealpaannya pasal 38 UU no. 28 Tahun 2007
menyebutkan bahwa:
“Setiap orang yang karena kealpaannya:
 tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan
 menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak
benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan
yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut
merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling
sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana
kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1
(satu) tahun.”
Contoh ancaman yang lebih berat dapat penulis kemukakan, jika pelanggaran
rahasia jabatan dalam KUHP (pasal 322 ) diancam dengan pidana penjara paling lama 9
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxliii
bulan atau pidana denda paling tinggi paling tinggi 9 ribu rupiah. Sedangkan dalam
pajak pasal 41(ayat 2) UU no. 28 Tahun 2007
“Pejabat
yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyeba

dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana pen
lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).”
DASAR HUKUM (UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN) DAN TERJADINYA
KEJAHATAN/TINDAK PIDANA PERPAJAKAN.
Definisi tindak pidana perpajakan secara jelas dapat dilihat pada penjelasan
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
Berikut kutipan lengkapnya:
“Yang dimaksud dengan “tindak pidana perpajakan” adalah informasi yang
tidak benar mengenai laporan yang terkait dengan pemungutan pajak dengan
menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap atau melampirkan keterangan keterangan yang tidak benar sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada negara dan kejahatan lain yang diatur
dalam undang-undang yang mengatur perpajakan.”
Di dalam Undang-undang perpajakan no.28 tahun 2007 (perubahan ketiga atas
UU no 6 tahun 1983, tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan), diatur
bebarapa pasal yang menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan terjadinya dan
sanki-sanki atas pidana perpajakan yakni dalam pasal 38 sampai 43 A, yang intinya
dapat penulis ikhtisarkan sebagai berikut. kejahatan/tindak pidana perpajakan dapat
terjadi dikarenakan:
 Adanya unsur kealpaan (yaitu ketidaksengajaan, kelalaian,
ketidakhati-hatian, kurang mengindahkan kewajibannya dalam
perpajakan), ini sifatnya masih pelanggaran perpajakan.
 Adanya unsur kesengajaan (dengan sengaja melakukan pelanggaran
atas ketentuan perundang-undangan perpajakan), hal ini sifatnya
sudah kejahatan/pidana perpajakan.
Unsur kealpaan (pada point no. 1) dalam perpajakan terjadi dalam hal:
 Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) ke Direktorat
Jenderal Pajak.
 Menyampaikan
SPT
tetapi
isinya
tidak
benar/tidak
lengkap/melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
Atas kealpaan yang menimbulkan kerugian negara, pelakunya dapat dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun, dan / atau denda paling tinggi 2 kali
jumlah pajak terutang.
Unsur kesengajaan dalam perpajakan terjadi dalam hal:
cxlivVolume 12, No.1 Nop 2011

Tidak
mendaftarkan
diri
sebagai
WP/PKP,
atau
menyalahgunakan/menggunakan tanpa hak NPWP/Pengukuhan PKP.
 Tidak menyampaikan SPT.
 Menyampaikan SPT / keterangan yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap.
 Menolak untuk dilakukan pemeriksaan.
 Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang
palsu / dipalsukan seolah-olah benar.
 Tidak menyelenggarakan pembukuan / pencatatan, tidak
memperlihatkan / tidak meminjamkan buku, catatan, dokumen
lainnya.
 Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong / dipungut.
Atas unsur kesengajaan di atas yang menimbulkan kerugian negara, pelakunya
dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 tahun, dan / atau denda paling
tinggi 4 kali jumlah pajak terutang. Ancaman pidana tersebut bagi wajib pajak yang
bertindak tidak jujur.
Jika dilihat uraian yang menjadi dasar hukum atas kejahatan/pidana perpajakan
sangatlah jelas sekali penyebab terjadinya dan konsekuensi hukumnya. Oleh karena itu
jika sistem perpajakan ini sudah bisa memberikan iklim yang kondusif bagi "insan
perpajakan" dalam melaksanakan tugas dan perannya dalam berusahan, sehingga tidak
ada alasan lagi bagi wajib pajak untuk tidak memenuhi segala sesuatu yang menjadi
kewajibannya, begitu juga dengan aparat pajak/fiscusnya dalam melaksanakan
kewajibannya dalam fungsi pelayanan publik serta dalam penegakan hukum pajak itu
sendiri (Law Enforcement).
Dalam waktu belakangan ini terdapat beberapa kasus pajak yang diajukan
dihadapan pengadilan dan telah dijatuhi hukuman berat. Hal ini memberikan dampak
psikologis kepada masyarakat, sehingga banyak orang ketakutan, dan dengan senang
hati mengajukan permohonan pengampunan pajak.
LAW ENFORCEMENT DALAM PERPAJAKAN
Reformasi perpajakan di Indonesia dimulai dengan diterapkannya sistem self
assessment (kesadaran diri sendiri). Sistem ini menghendaki setiap Wajib Pajak untuk
menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Dengan demikian
pelaksanaan kewajiban perpajakan berawal dari wajib pajak sendiri. Namun demikian
perhitungan, pembayaran atau penyetoran, dan pelaporan pajak yang terutang tetap
harus sesuai dengan UU perpajakan.
Dalam sistem self assessment, pelaksanaan kewajiban perpajakan diawali dari
wajib pajak. Mulai dari mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP , mendaftarkan diri
untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak , dan melaporkan pajak yang terutang
yang timbul karena adanya surat ketetapan pajak.
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxlv
Secara umum dapat dikatakan kewajiban fiskus (atau DJP sebagai lembaga) di
bidang law enforcement adalah mengawasi agar proses dan pelaksanaan sistem self
assessment tetap berada pada koridor peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku. Pilar utama penerapan law enforcement di bidang perpajakan adalah kegiatan
pemeriksaan, penyidikan, dan penagihan pajak. Jadi kegiatan pemeriksaan, penyidikan,
dan penagihan pajak harus dilihat sebagai upaya DJP (yang telah diamanatkan UU
perpajakan) dalam menjalankan fungsinya secara konsisten dan konsekuen, baik oleh
Wajib pajak maupun oleh aparat DJP sendiri.
Bagaimana dengan fiskus dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak
hukum (law enforcer) utama di bidang perpajakan? UU perpajakan kita juga telah
“menyediakan” seperangkat ketentuan yang harus dilaksanakan oleh fiskus dalam
rangka melaksanakan UU perpajakan. Misalnya, pasal 17 Undang-undang no. 28 tahun
2007 mensyaratkan Dirjen pajak untuk melakukan pemeriksaan lebih dahulu sebelum
menertibkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB). Artinya apabila ada SKPLB
yang diterbitkan tanpa melalui pemeriksaan, dapat dikatakan Dirjen pajak tidak
melaksanakan hukum sesuai dengan yang dimaui oleh UU dalam hal ini UU KUP.
Dalam pelaksanaannya, law enforcement di bidang perpajakan harus dilihat
secara luas baik dari sisi wajib pajak maupun dari sisi fiskus sebagai law enforcer utama
di bidang perpajakan. Secara garis besar law enforcement terhadap wajib pajak
dilakuakan oleh fiskus
melalui kegiatan pemeriksaan, penyidikan, dan penagihan pajak.
PEMERIKSAAN
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,
keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional
berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan
yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi
tindak pidana di bidang perpajakan.
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam
rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Untuk
keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa
dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada
Wajib Pajak yang diperiksa.Wajib Pajak yang diperiksa wajib :
 memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang
menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan
yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang
terutang pajak.
 memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang
perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan
cxlviVolume 12, No.1 Nop 2011

memberikan keterangan lain yang diperlukan.
Tujuan dari pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan, dan dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Dapat dialikukan melalui pemeriksaan kantor atau pemeriksaan lapangan.
Pemeriksaan dilakukan sesuai standar umum pemeriksaan, telah mendapatkan
pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup serta memiliki keterampilan sebagai
pemeriksa pajak dan menggunakan keterampilannya secara cermat dan seksama, jujur
dan bersih dari tindakan-tindakan tercela serta senantiasa mengutamakan kepentingan
Negara, taat terhadap peraturan perundangan-undangan, termasuk taat terhadap batasan
waktu yang ditetapkan.
Ruang lingkup pemeriksaan meliputi pemeriksaan lapangan terhadap suatu
jenis pajak atau seluruh jenis pajak, untuk tahun berjalan dan atau tahun-tahun
sebelumnya lain yang dilakukan di tempat wajib pajak, dan pemeriksaan kantor
terhadap suatu jenis pajak tertentu baik tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya
yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak.
Pemeriksaan Bukti Permulaan
Dalam pemeriksaan tindak pidana di bidang perpajakan terdapat pemeriksaan
bukti permulaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
Pemeriksaan bukti permulaan dilakukan oleh Kantor Wilayah atau Direktorat
Intelijen dan Penyidikan. Berdasarkan hasil pemeriksaan bukti permulaan dapat
diketahui tindak lanjut yang harus dilakukan.
Tindak lanjut dari pemeriksaan bukti permulaan adalah yaitu diusulkan
dilakukannya penyidikan, atau tindakan lain berupa: penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKP), pembuatan laporan tindak pidana selain tindak pidana di bidang
perpajakan yang akan diteruskan kepada pihak yang berwenang, pembuatan laporan
sumir apabila wajib pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya, pembuatan
laporan sumir apabila tidak ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang
perpajakan.
Bahan baku Pemeriksaan Bukti Permulaan sebenarnya berasal dari usulan
Kantor Pelayanan Pajak dan pengaduan masyarakat. Setidaknya inilah praktek yang
terjadi saat ini. Tetapi tidak semua usulan dari Kantor Pelayanan Pajak diterima dan
langsung diperiksa oleh Kanwil DJP. Ada juga yang ditolak karena dianggap tidak
layak dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Kalau di Bandung dan beberapa
Kanwil, setiap pengusul harus melakukan pemaparan dihadapan tim pemeriksa Kanwil.
Setelah itu, diputuskan diterima, atau ditunda dulu atau ditolak. Apabila dari bukti
permulaan tidak menunjukkan adanya tindak pidana yang dilakukan wajib pajak, maka
secara otomatis kasus tersebut akan ditutup.
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxlvii
PENAGIHAN
Penagihan adalah Penagihan pajak adalah serangkaian tidakan agar
penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur
atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus,
memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan,
melaksanakan penyanderaan, menjual barang-barang yang telah disita.
Penagihan Pajak dibagi 2 yaitu penagihan pajak Pasif dan penagihan pajak
aktif. Penagihan pajak pasif dilakukan dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak
(STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan yang menyebabkan pajak
terutang menjadi lebih besar, Surat Keputusan Keberatan yang menyebabkan pajak
terutang menjadi lebih besar, Surat Keputusan Banding yang menyebabkan pajak
terutang menjadi lebih besar. Jika dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tidak
dilunasi, maka 7 (tujuh) hari setelah jatuh tempo akan diikuti dengan penagihan pajak
secara aktif yang dimulai dengan menerbitkan surat teguran.
Penagihan Pajak Aktif merupakan kelanjutan dari penagihan pajak aktif,
dimana dalam upaya penagihan ini Fiskus berperan aktif dalam arti tidak hanya
mengirim surat tagihan atau surat ketetapan pajak, tetapi akan diikuti dengan tindakan
sita dan dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang. Tahapan Penagihan Pajak meliputi:
 Surat Teguran , Apabila utang pajak yang tercantum dalam Surat Tagihan
Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, tidak dilunasi sampai melewati tujuh hari dari batas waktu
jatuh tempo (satu bulan sejak tanggal diterbitkannya).

Surat Paksa Apabila utang pajak tidak melunasi setelah 21 (dua puluh satu)
hari dan tanggal surat teguran, maka akan diterbitkan Surat Paksa yang
disampaikan oleh Juru Sita Pajak Negara dengan dibebani biaya penagihan
paksa sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah, utang pajak harus dilunasi
dalam waktu 2 x 24 jam.

Surat Sita Apabila utang pajak tidak juga dilunasi dalam waktu 2 x 24 jam
dapat dilakukan tindakan penyitaan atas barang-barang WP, dengan dibebani
biaya pelaksanaan sita sebesar Rp 100.000,00 (Seratus ribu rupiah).

Lelang Dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah tindakan peyitaan, utang
pajak belum dilunasi maka akan dilanjutkan dengan tindakan pelelangan
melalui Kantor Lelang Negara. Dalam hal biaya penagihan paksa dan biaya
pelaksanaan sita belum dibayar maka akan dibebankan bersama-sama dengan
biaya iklan untuk mengumumkan lelang dalam surat kabar dan biaya lelang
pada saat pelelangan.
PENYIDIKAN
Penyidikan Tindak Pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan
yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxlviii
bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta
menemukan tersangkanya.
Wewenang Penyidik meliputi:
 menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau
laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas.
 meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau
badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak
pidana di bidang perpajakan


meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan
menghentikan penyidikan
Penghentian Penyidikan dapat dilakukan jika dalam hal tidak terdapat cukup
bukti, peristiwa yang disidik bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan,
peristiwanya telah daluwarsa, tersangkanya meninggal dunia, untuk kepentingan
penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat
menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dengan syarat wajib pajak
melunasi utang pajak yang tidak atau kurang di bayar atau yang tidak seharusnya
dikembalikan ditambah sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah.
Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan Wajib Pajak (WP),
sepanjang menyangkut pelanggaran ketentuan administrasi perpajakan dikenakan sanksi
administrasi, sedangkan yang menyangkut tindak pidana dibidang perpajakan dikenakan
sanksi pidana.
Sanksi Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan
a. Setiap orang yang karena kealpaannya :

tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)

menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan ata denda paling
tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar.
b. Setiap orang yang dengan sengaja :

tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan, atau menggunakan
tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

tidak menyampaikan SPT

menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau
tidak lengkap
Volume 12, No.1 Nop 2011
cxlix


menolak untuk dilakukan pemeriksaan
memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang
palsu atau dipalsukan seolah olah benar

tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak
memperlihatkan atau
tidak meminjamkan buku, catatan, atau
dokumen lainnya

tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara,di pidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar.
c. Apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum
lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang
dijatuhkan, dikenakan pidana 2(dua) kali lipat dari ancaman pidana yang diatur
sebagaimana butir b.
d. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau Pengukuhan PKP,
atau menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau
tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan
kompensasi pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohon dan atau
kompensasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
Daluwarsa Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan.
Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu
sepuluh tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya
Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
Berdasarkan Pasal 22 UU KUP, hak untuk melakukan penagihan Pajak,
termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan, daluwarsa setelah lampau watu
5 (lima) tahun terhitung sejak terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian
tahun pajak, atau tahun pajak yang bersangkutan. Penagihan Pajak dapat dilakukan
setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun apabila:

Diterbitkan Surat Teguran atau Surat paksa

Daluwarsa dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut.

Adanya pengakuan utang dan Wajib Pajak, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Hal ini bisa terjadi apabila:
 Adanya permohonan angsuran atau penundaan pembayaran uatang
pajak sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran. Untuk ini daluwarsa
penagihan pajak dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran
atau penundaan pembayaran utang pajak diterima.

Adanya permohonan keberatan. Untuk ini daluwarsa penagihan pajak
dihitung sejak tanggal surat permohonan keberatan diterima.
cl
Volume 12, No.1 Nop 2011
Wajib Pajak melaksanakan pembayaran sebagai utang pajaknya. Untuk itu
daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal pembayaran sebagian utang pajak
tersebut.
Delik Aduan Dan Sanksinya
Setiap pejabat baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di
bidang perpajakan, dilarang mengungkapkan kerahasiaan WP yang menyangkut
masalah perpajakan. Pelanggaran atas larangan mengungkapkan kerahasiaan WP
tersebut dapat diancam sanksi pidana sebagai berikut:
 Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan
hal kerahasiaan Wajib Pajak, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp.4.000.000,00 (empat juta rupiah).
sanksi tindak pidana di bidang perpajakan terhadap huruf a di atas menjadi
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp.25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang
yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). sanksi tindak pidana di bidang
perpajakan terhadap huruf b di atas menjadi pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
SASARAN LAW ENFORCEMENT DALAM PERPAJAKAN


Penegakan Hukum kepada Wajib Pajak
Sistem perpajakan di Indonesia adalah self assessment, di mana Wajib
Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan
nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar sendiri
pajak yang terutang. Wajib pajak juga harus melaporkan kewajiban tersebut
melalui SPT dan KPP sesuai dengan jenis pajak dan batas waktu yang telah
ditentukan
dalam
undang-undang
perpajakan.
Agar pelaksanaan kewajiban perpajakan terwujud dengan baik, tidak hanya
dilakukan penyuluhan dan pelayanan perpajakan kepada Wajib pajak. Tetapi
juga dialksanakan tindakan penegakan hukum melalui verifikasi data,
pemeriksaan pajak, penyidikan, dan penagihan pajak.
Penegakan Hukum kepada Fiskus
Dalam rangka penerapan Good Governance (GG) yang didukukng
oleh tiga pilar yang saling berhubungan. Dalam hal ini negara dan
perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan
masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha, maka terhadap
aparat perpajakan (fikus) perlu dilakukan pengawasan. Penegakan hukum
Volume 12, No.1 Nop 2011
cli

kepada fiskus meliputi penegakan disiplin sebagai PNS serta penegakan
hukum terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Kode Etik
Kode etik pegawai DJP adalah pedoman sikap, tingkah laku, dan
perbuatan, yang mengikat pegawai DJP dalam melaksanakan tugas pokok dan
fungsinya serta dalam pergaulan hidup sehari-hari. Kode etik disusun atas
dasar kesadaran bahwa dalam pelaksanaan tugasnya, pegawai seringkali
dihadapkan pada situasi yang menimbulkan pertentangan kepentingan (conflict
of interest) dan situasi yang dilematis.
PENUTUP
Sebenarnya hukum pidan fiskal itu bukan merupakan hukum pidana khusus,
seperti Undang-undang anti korupsi atau Undang-undang subversi, melainkan
merupakan hukum pidana umum terhadap tindak pidana yang dilakukan dalam bidang
perpajakan. Sebetulnya ancaman terdapat dalam KUHP, dan tidak perlu diatur lagi
secara khusus dalam Undang-undang pajak. Tetapi dalam UU no.28 Tahun 2007
tentang perubahan ketiga Undang-undang Nomor . 6 Tahun 1983 tentang ketentuan
umum tata cara perpajakan, mencantumkan dalam pasal 38 sampai pasal 43 A.
Dasar hukum atas kejahatan/pidana perpajakan sangatlah jelas sekali penyebab
terjadinya dan konsekuensi hukumnya. Oleh karena itu jika sistem perpajakan ini sudah
bisa memberikan iklim yang kondusif bagi "insan perpajakan" dalam melaksanakan
tugas dan perannya dalam berusahan, sehingga tidak ada alasan lagi bagi wajib pajak
untuk tidak memenuhi segala sesuatu yang menjadi kewajibannya, begitu juga dengan
aparat pajak/fiscusnya dalam melaksanakan kewajibannya dalam fungsi pelayanan
publik serta dalam penegakan hukum pajak itu sendiri (Law Enforcement).
Dalam pelaksanaannya, law enforcement di bidang perpajakan harus dilihat
secara luas baik dari sisi wajib pajak maupun dari sisi fiskus sebagai law enforcer utama
di bidang perpajakan. Secara garis besar law enforcement terhadap wajib pajak
dilakuakan oleh fiskus melalui kegiatan pemeriksaan, penyidikan, dan penagihan pajak.
Penegakan hukum dalam perpajakan bisa berjalan dengan baik jika ada
ketegasan dari pemerintah terhadap wajib pajak, fiskus serta pedoman pelaksana dalam
Direktorat Jenderal Pajak melalui pengawasan terhadap kode etik.
Keberhasilan pelaksanaan kode etik tidak melekat dan hanya begantung pada
badan atau unit yang berwenang mengawasi kode etik. keberhasilan juga ditentukan
oleh faktor-faktor seperti pengawasan keteladanan dari atasan dan tanggung jawab
seluruh pegawai DJP. Oleh karena itu pegawai diharapkan memiliki inisiatif untuk
menjaga agar kode etik dapat dipatuhi antara lain dengan saling mengingatkan sesama
pegawai , berkonsultasi dengan atasan, atau melaporkan apabila terjadi pelanggaran
kode etik di lingkungan kerja masing-masing.
clii Volume 12, No.1 Nop 2011
Volume 12, No.1 Nop 2011
cliii
clivVolume 12, No.1 Nop 2011
Volume 12, No.1 Nop 2011
clv
Download