TINJAUAN PUSTAKA Sistem Pencernaan Ruminansia Domba sama dengan kambing merupakan ternak ruminansia kecil yang memiliki organ pencernaan yang terdiri atas empat bagian penting, yaitu mulut, perut, usus halus, dan organ pencernaan bagian belakang. Kambing memiliki abomasum (perut sejati) dan lambung muka yang terdiri atas tiga bagian, yaitu rumen (perut beludru), retikulum (perut jala), dan omasum (perut buku). Pada tiga bagian utama tersebut tidak terdapat mucus dan enzim pencernaan atau asam, akan tetapi pencernaan bisa terjadi karena adanya aktivitas mikroorganisme di dalam rumen dan retikulum (Annison 1965). Pada ternak ruminansia muda, rumen dan retikulum masih kecil dan belum berkembang. Bila ternak muda tersebut mulai mengkonsumsi makanan padat terutama hijauan, bagian retikulorumen mulai membesar sehingga berukuran daya tampung isi makanan yang mencapai 60 – 65% dari seluruh saluran pencernaan (Tillman et al. 1998). Pencernaan merupakan rangkaian proses perubahan fisik dan kimia yang dialami oleh bahan makanan di dalam alat pencernaan. Proses pencernaan makanan pada ternak ruminansia relatif lebih kompleks dibandingkan dengan proses pencernaan pada jenis ternak lainnya. Menurut Sutardi (1980) proses pencernaan pada ternak ruminansia terjadi secara mekanis di dalam mulut, secara fermentatif (oleh enzim-enzim yang berasal dari mikroba rumen) dan secara hidrolisis (oleh enzim-enzim pencernaan induk semang). Proses pencernaan domba dimulai dari mulut. Di dalam ruang mulut ransum yang berbentuk kasar dipecah menjadi partikel-partikel kecil dengan cara pengunyahan dan pengeluaran saliva. Sebelum ditelan masuk ke dalam ruang retikulorumen cairan ini mengandung 85% air dan terdapat dalam dua bagian, yaitu bagian bawah dan bagian atas. Bagian bawah cair dan mengandung makanan halus dalam suspensi, sedangkan bagian atas lebih kering yang terdiri atas makanan kasar dan padat seperti hijauan. Ternak ruminansia mempunyai kemampuan mengembalikan makanan dari retikulorumen ke mulut (regurgitasi) untuk dikunyah kembali. Tillman et al. 5 (1998) menyatakan bahwa para ahli telah menemukan bolus-bolus dikunyah ulang 40 – 50 kali sebelum ditelan kembali. Pada studi fisiologi pencernaan ternak ruminansia, rumen dan retikulum sering dipandang sebagai organ tunggal dengan sebutan retikulorumen. Omasum disebut sebagai perut buku karena dipenuhi oleh lembaran jaringan (tissue leaves), yaitu sekitar 100 lembar. Fungsi omasum belum terungkap dengan jelas, tetapi pada organ tersebut ada penyerapan air, amonia, asam lemak terbang dan elektrolit, serta ada produksi amonia dan mungkin asam lemak terbang (Forbes & France 1993). Termasuk organ pencernaan bagian belakang adalah sekum, kolon, rektum. Proses pencernaan fermentatif di dalam retikulorumen terjadi sangat intensif dan dalam kapasitas yang sangat besar. Proses pencernaan tersebut terletak sebelum usus halus (organ penyerapan utama). fermentasi adalah Keuntungan produk mudah diserap usus, dapat mencerna selulosa, dapat menggunakan non-protein nitrogen seperti urea, dan dapat memperbaiki kualitas protein pakan yang nilai hayatinya rendah. Kerugiannya adalah banyak energi yang terbuang sebagai methan dan panas, protein bernilai hayati tinggi mengalami degradasi menjadi amonia (NH3) sehingga menurunkan nilai protein, dan peka terhadap ketosis atau keracunan asam yang paling sering terjadi pada domba (Siregar 1994). Retikulorumen merupakan tempat utama terjadinya proses fermentasi dan didalamnya terdapat 1010 – 1011 bakteri dan lebih dari 107 protozoa per gram isi rumen (Annison 1965, Banerjee 1978). Penyerapan Zat-zat Nutrisi Dalam tubuh akan terjadi proses metabolisme apabila ada asupan pakan dari luar. Proses metabolime ini terdiri atas dua proses yaitu proses pembentukan (anabolisme) dan proses pemecahan (katabolisme). Metabolisme dalam tubuh berfungsi untuk menghasilkan energi yang diperlukan untuk aktivitas sehari-hari dan untuk produktifitas. Beberapa makro nutrien yang mengalami proses metabolisme dalam tubuh adalah karbohidrat, protein, lemak, air dan mikro nutrien yang terdiri dari vitamin dan mineral. 6 Karbohidrat merupakan zat makanan yang cepat mensuplai energi sebagai bahan bakar tubuh, terutama jika tubuh dalam keadaan lapar (Piliang 2006). Karbohidrat diklasifikasikan sebagai monosakarida, disakarida dan polisakarida. Monosakarida utama yang terdapat dalam bentuk bebas dalam makanan ialah glukosa. Pada hewan ruminansia apabila kadar glukosa darah sangat sedikit sekali maka glukosa didapatkan dari pemecahan asam laktat menjadi propionat. Semua volatile fatty acid (VFA) yang diproduksi dalam rumen dapat menghasilkan energi, yaitu asetat, propionat dan butirat, tetapi propionat merupakan satu-satunya sumber utama glukosa. Zat makanan penghasil energi lainnya adalah lemak. Banyak fungsi-fungsi tubuh yang sangat bergantung pada lemak. Beberapa komponen lemak adalah trigliserida dan kolesterol. Lemak tidak dapat larut dalam air, sehingga molekul lemak harus diemulsifikasi terlebih dahulu agar dapat bercampur dengan air. Suatu zat pengemulsi (emulsifier) adalah suatu molekul yang mengandung kelompok yang larut air dan kelompok yang larut dalam lemak. Kemudian lemak dibawa melalui plasma dalam bentuk lipoprotein. Oleh karena plasma merupakan media bersifat air (aqueous), maka lemak tidak dapat ditranspor tanpa adanya suatu zat perantara, yaitu kelompok protein yang mempunyai kemampuan untuk mengikat lemak, yang dalam hal ini suatu kelompok protein khusus berfungsi untuk mengangkut atau mentransport lemak, diantaranya adalah low density lipoprotein (LDL), mempunyai fungsi utama untuk mentransport fosfolipid dan kolesterol ester, dan high density lipoprotein (HDL), mempunyai fungsi untuk mentransport fosfolipid dan kolesterol lipid (Piliang 2006). Selain makro nutrien, tubuh juga membutuhkan mikro nutrien untuk stabilitas fungsi sel, salah satu mikro nutrien yang diperlukan adalah mineral. Mineral merupakan unsur kimiawi yang diperlukan oleh jaringan hidup untuk fungsi biologis normal. Berdasarkan jumlahnya, unsur-unsur tersebut dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu unsur makro dan unsur mikro. Unsur mineral makro diperlukan tubuh dalam jumlah relatif besar, mencakup K, Na, Ca, P, Mg, S, dan Cl, mineral mikro yang diperlukan dalam jumlah relatif jauh lebih sedikit dibandingkan mineral makro mencakup Zn, Cu, Fe, I, Mn, Se, Mo, Cr, dan Ni. 7 Tillman et al. (1998) menyatakan secara umum mineral-mineral mempunyai fungsi yaitu sebagai bahan pembentukan tulang dan gigi (menguatkan dan mengeraskan jaringan), memelihara keseimbangan asam basa dalam tubuh, sebagai aktivator sistem enzim tertentu, sebagai komponen suatu enzim dan mempunyai sifat yang spesifik terhadap kepekaan otot dan syaraf. Annekov (1982) menambahkan, faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan ternak akan mineral yaitu tingkat produksi, umur, adaptasi, bangsa ternak, dan kandungan berbagai zat makanan yang diberikan pada ternak. Parakkasi (1985) menyatakan kebutuhan mineral dari ternak dipengaruhi beberapa faktor, yaitu jenis dan tingkat produksi, tingkat dan bentuk ikatan konsumsi, umur dan hubungan dengan zat makanan lain. Defisiensi ketidakserasian atau keracunan mineral dapat menghambat produksi ternak dan berakibat buruk pada penggunaan pakan (Sutardi 1980). Mineral mikro yang mempunyai fungsi penting salah satunya adalah Zn. Zink (Zn) terlibat terutama dalam metabolisme asam nukleat dan metabolisme protein dan juga dalam proses penggantian sel. Zn juga penting untuk aktifitas enzim. Enzim yang mengandung Zn antara lain anhidrase karbonat, urease, dehidrogenase alkohol, dehidrogenase glutamat dan polimerase RNA dan DNA. Zn ditemukan terikat dengan kelenjar insulin dan juga digunakan dalam metabolisme vitamin A (Church 1988). Pemberian mineral Zn dapat memacu pertumbuhan mikroba rumen dan meningkatkan penampilan ternak (Hartati 1998). Little et al. (1986) melaporkan bahwa kandungan Zn pada pakan ruminansia di Indonesia berkisar antara 20 – 38 mg/kg bahan kering ransum, nilai ini jauh dibawah kebutuhan ruminansia seperti yang direkomendasikan NRC (1985) 40 – 50 mg/kg bahan kering ransum. Jumlah penyerapan tergantung kepada jumlah dalam makanan dan permintaan fisiologis. Hal ini berarti bahwa penyerapan meningkat bila jumlahnya dalam makanan yang dikonsumsi dibawah kebutuhan. Penyerapan Zn akan menurun bila kadar Ca tinggi. Defisiensi Zn dapat lebih ditoleransi oleh ternak bila kadar Ca lebih rendah. Fosfor mempunyai pengaruh yang sama dengan Ca terhadap penyerapan Zn. (Supriyati 2000). Tempat utama penyerapan Zn pada monogastrik di bagian atas usus halus, sedangkan pada ruminansia penyerapan di 8 rumen lebih besar dibandingkan usus halus (McDowell 1992). Ruminansia dewasa mampu menyerap 20 – 40% Zn asal ransum, pada ternak muda lebih tinggi lagi (Georgievskii et al. 1982). Masuknya Zn ke dalam membran sel usus relatif cepat, sedangkan ketika masuk ke aliran darah relatif lambat. Zn juga sangat diperlukan dalam fungsinya untuk sistem reproduksi, Zn diperlukan dalam produksi sperma, perkembangan embrio dan tumbuh kembang anak. Kekurangan Zn akan mengganggu proses pembentukan sperma dan perkembangan organ seks primer dan sekunder pada hewan jantan. Kekurangan zat gizi Zn tersebut pada pejantan menyebabkan menurunnya fungsi testikular (testicular hypofunction) yang berdampak pada terganggunya proses spermatogenesis dan produksi hormon testosteron oleh sel-sel Leydig. Testosteron adalah hormon yang mempengaruhi libido dan ciri-ciri kelamin sekunder jantan. Dilaporkan, kekurangan zat gizi seng akan merusak perkembangan dan fungsi organ reproduksi pria/jantan pada hewan dan manusia. Dalam uji coba pada hewan dengan memberikan diet rendah seng (2 ppm) selama 20 – 24 minggu menyebabkan rusaknya perkembangan testikular dan proses pembentukan sperma terhenti. Oleh karena itu, pria yang mengalami gangguan ereksi dan mandul diduga kuat penyebabnya antara lain adalah kekurangan mineral seng. Keseimbangan Asam Basa pada Ternak Ruminansia Secara normal, di dalam tubuh ternak asam akan terus menerus diproduksi dalam proses metabolisme dan yang paling banyak diproduksi adalah asam karbonat, sedangkan pembentukan asam laktat dan asam keto merupakan metabolit perantara. Produksi asam yang terus menerus ini menuntut agar ion hidrogen dapat dipisahkan tanpa menyebabkan perubahan lingkungan. Sistem buffer dalam mempertahankan pH akibat penambahan asam (H+) atau basa (OH-) terdiri dari asam lemah (donor proton) dan basa konyugat (akseptor proton) dan kekuatan buffer bukan merupakan sesuatu yang istimewa. Dua reaksi kuilibrium timbal balik mendasar yang terjadi di dalam larutan donor proton dan akseptor proton terjadi jika keduanya terdapat pada konsentrasi yang sama. 9 Sistem buffer yang paling penting pada mamalia adalah sistem fosfat dan bikarbonat (Lehninger 1990). Pada hewan mamalia, cairan tubuh total (total body fluid) terdiri dari 1/3 bagian cairan ekstraseluler, yaitu cairan yang ada di luar sel, terdiri dari plasma darah (blood plasma) dan interstitial (interstitial fluid), dan 2/3 cairan intraseluler yaitu cairan yang ada di dalam sel (cell fluid). Hampir 25% dari komponen ekstraseluler adalah cairan intravaskuler yaitu cairan yang ada di dalam sistem vaskuler dan 75% adalah cairan interstitial yaitu cairan cairan yang ada di luar sistem vaskuler dan menggenangi sel. Kadar elektrolit dalam berbagai kompartemen sangat jelas berbeda dalam kandungan anion protein yang relatif rendah di dalam cairan interstitial dibandingkan dengan di dalam cairan intrasel dan plasma. Selanjutnya Na+ dan Cl- lebih banyak di cairan ekstrasel, dan K+ di cairan intrasel. Perbedaan utama dalam komposisi kompartemen cairan tubuh (Tabel 1) menunjukkan K+ sebagai kation penting dalam sel dan perpindahan Na+ secara terus menerus ke dalam sel mendapatkan reaksi angkutan aktif kembali ke ruangan ekstrasel mempertahankan konsentrasi K+ dalam kompartemen intrasel. Tabel 1. Perbedaan utama komposisi kompartemen cairan tubuh Cairan Plasma ekstrasel Interstitial Cairan intrasel Air (% berat badan tanpa lemak Kation utama Anion utama 5 15 45 – 50 Na+ Cl- K+ HPO4= Lain-lain Protein, glukosa Na+ ClSedikit protein, glukosa Sumber : Montgomery et al. 1993. Gangguan Terhadap Keseimbangan Asam Basa Dobson (1980) mengklasifikasikan gangguan terhadap keseimbangan asam basa atas dua kategori, yaitu asidosis dan alkalosis dengan kondisi normal pH darah 7.4 (Tabel 2). 10 Tabel 2. Status asam basa dan pH darah, urine, cairan rumen serta respirasi pada ruminansia Darah pH (HCO3-) : (H2CO3) Urine pH Rumen pH Respirasi Ventilasi Sumber : Kronfeld 1976. Normal 7.4 20 7.5 – 8.5 5.5 – 7.0 normal Alkalosis > 7.4 > 20 > 8.5 > 7.0 hiper Asidosis < 7.4 < 20 < 7.5 < 5.5 hipo Perubahan diakibatkan bekerjanya oleh fungsi pulmonarik atau fungsi metabolik, atau keduanya menghasilkan asidosis atau alkalosis oleh kenaikan atau penurunan dalam salah satu [HCO3] atau tekanan CO2. Ketidakseimbangan disebabkan oleh perubahan tekanan CO2 terkait dengan fungsi respirasi dan sebaliknya ketidakseimbangan oleh perubahan HCO3- penyebabnya adalah fungsi metabolisme. Dengan demikian ada empat kondisi yang terjadi pada gangguan keseimbangan asam basa yaitu asidosis dan alkalosis respiratori (respiratory acidosis and alkalosis) dan asidosis dan alkalosis metabolitik (metabolic acidosis and alkalosis). Dietary Cation-Anion Balance (DCAB) Dietary cation anion balance (DCAB) atau yang disebut pula sebagai ransum berkeseimbangan kation-anion mengacu pada status asam basa hewan. Status ini tidak berhadapan dengan tingkatan pH rumen, tetapi lebih ke systemic (darah) asam basa. Ada empat mineral yang melibatkan perhitungan DCAB. Persen yang berkenaan dengan aturan penggunaan dua kation, sodium ( Na) dan potassium ( K) dan dua anion, klorid ( Cl) dan belerang menghitung: DCAB= ( Na+ K)- (S) digunakan untuk ( Cl+ S) dimana DCAB dinyatakan dalam milliequivalent ( meq) setiap 100 g bahan kering (BK). Milliequivalen untuk masing-masing mineral sebagai berikut: Na, 0.023; K, 0.039; Cl, 0.0355; dan, 0.016. Kelebihan Na dan K adalah alkalogenic dan mendorong kearah suatu peningkatan pH darah. Anion berkenaan dengan aturan penggunaan pakan, Cl adalah acidogenic dan akan menurunkan pH darah (Ballantine 1998). Pada sapi yang mengalami masa transisi dari kebuntingan menjelang laktasi, kebutuhan Ca 11 akan berhenti pada placenta, tetapi pada saat laktasi kebutuhan akan Ca akan semakin meningkat. Hypocalcemia parturien paresis merupakan kesalahan metabolisme yang disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan pool Ca dalam plasma, yang sekarang dikenal dengan istilah milk fever (Roche et al. 2003). Parturien paresis diderita oleh sekitar 2 sampai 5% sapi-sapi di Australia (Caple 1987) dan 2% sapi-sapi di New Zealand (McDougall 2001). Konsentrasi plasma Ca dibawah kontrol dari parathyroid hormone (PTH), calcitonin, dan metabolisme vitamin D (Lindsay & Pethick 1983). Kehilangan Ca dari plasma merupakan tanda kesalahan pada mekanisme homeostasis yang merupakan akibat dari pemeliharaan eucalcemia (Ramberg et al. 1984). Pembentukan hypocalcemia pada beberapa memperlambat mekanisme timbal balik ini. sapi sebagai akibat untuk Bagaimanapun, pada beberapa hewan, hypocalcemia tidak sepenuhnya menjadi tanda klinis dan level Ca darah secepatnya akan kembali normal. Stewart (1983) menunjukkan bahwa dengan penambahan anion merupakan suatu solusi untuk menurunkan pH darah. Penambahan anion kedalam cairan tubuh melalui suplementasi pakan dapat menurunkan pH cairan tubuh. Meskipun demikian, pH darah yang tinggi telah diatur, variasi yang rendah dapat mempengaruhi metabolisme Ca dan pakan prepartum dengan negatif dietary cation-anion balance telah dapat menunjukkan peningkatan homeostasis calcium periparturien. Rendahnya pH urine, merupakan indikator dari pH darah (Vagnoni & Oetzel 1998), yang berhubungan dengan peningkatan absorbsi gastrointestinal dan pengeluaran Ca. Pada sapi perah, apabila keseimbangan kation-anion positif dalam ransum semakin ditingkatkan, maka terjadi peningkatan pH darah dan urin (Hu & Murphy 2004), Na/creat, Cl/creat, dan S/creat (Roche et al. 2003a), jumlah konsumsi ransum, jumlah produksi susu dan kandungan protein susu. Akan tetapi, menurunkan K dan Cl darah (Hu & Murphy 2004), konsumsi bahan kering, pertambahan bobot badan, dan kandungan protein susu (Roche et al. 2003a). Sebaliknya, tidak mempengaruhi Na darah (Hu & Murphy 2004), P dalam feces dan urin (Castro et al. 2004). 12 Apabila dilakukan penurunan keseimbangan kation-anion ransum sampai menjadi negatif (dari +69 menjadi -12 meq/100 BK), maka terjadi peningkatan Mg dan Ca darah, Ca/creat, Mg/creat, Cl/creat, S/creat, tetapi menurunkan Na/creat dan jumlah konsumsi ransum (Roche et al. 2003b), pH darah dan urin (Roche et al. 2003b; Castro et al. 2004). Gambaran Umum Semen dan Reproduksi Domba Organ kelamin domba jantan terdiri atas tiga komponen yaitu : (a) organ kelamin primer yaitu testes, (b) kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap yaitu kelenjar vesikularis, kelenjar prostat, kelenjar bulbourethralis dan saluran-saluran terdiri atas epididimis serta duktus deferen, (c) alat kelamin luar yaitu penis (Toelihere 1993). Komponen-komponen yang penting pada gonad jantan adalah tubulus seminiferus yang mensekresi sperma, dan sel Leydig yang terdapat pada jaringan interstitial yang mensekresi androgen. Hal ini mudah ditunjukkan bahwa (kecuali pada ayam) LH saja menstimulasi sel Leydig untuk mensekresi androgen, tetapi untuk spermatogenesis yang sempurna diperlukan FSH, LH, dan mungkin juga androgen. Androgen mempertahankan sifat seks sekunder (jenggot, suara, tanduk, jengger, agresivitas, dan sebagainya) dan kelenjar aksesori (kelenjar-kelenjar prostat, vesikula seminalis, dan kelenjar Cowper). Sekresi kelenjar aksesori merupakan komponen essensial semen. Menurut Toelihere (1993), semen adalah sekresi kelamin jantan yang diejakulasikan ke dalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi, tetapi dapat pula ditampung dengan berbagai cara untuk keperluan inseminasi buatan (IB). Semen terdiri atas massa spermatozoa yang bersuspensi didalam medium semigelatinous yang disebut plasma semen. Spermatozoa diproduksi didalam tubuli seminiferi testes, sedangkan plasma semen disekresikan oleh epididymis dan kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap lainnya, yaitu vesikularis dan prostata. Menurut analisa kimia sperma dan plasma semen terdiri atas rangkaian zat-zat organik tertentu, misalnya sekresi kelenjar vesika seminalis pada kambing mengandung prostaglandin, suatu asam lemak tidak jenuh dengan C-20, yang dianggap berperan dalam kapasitasi sperma sebelum membuahi sel telur. 13 Proses pembentukan spermatozoa didalam tubuli seminiferi testes disebut spermatogenesis. Siklus spermatogenesis pada ternak/hewan terdiri atas dua tahapan, yaitu spermatositogenesis, dan spermiogenesis. Kedua tahapan ini dicirikan oleh adanya pembelahan mitosis pada spermatogonia (2n) dan pembelahan meiosis pada spermatosit (n) dan metamorfosis dari spermatid tanpa ekor menjadi spermatozoa (n) dengan ekornya yang siap bergabung dengan oosit (n) dalam proses fertilisasi untuk membentuk mahluk baru (2n) yang mewarisi sifat-sifat genetik tetuanya. Waktu yang dibutuhkan mulai dari aktivasi ”stemcell” sampai pelepasan spermatozoa ke dalam tubuli seminiferi mencapai 22 hari pada kambing (Evans & Maxwell 1987), sedangkan pada domba dapat mencapai 46-49 hari (Toelihere 1993) dan dikontrol melalui mekanisme hormonal. Pengamatan terhadap motilitas spermatozoa merupakan indikator fertilitas spermatozoa yang dapat diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya. Motilitas spermatozoa pada semen segar domba mempunyai rata-rata sekitar 6080% (Garner & Hafez 2000), >90% (Arthur et al. 1996) dan 75% (Bearden & Fuquay 1997). Motilitas spermatozoa sangat sensitif terhadap panas yang berlebihan dan keberadaan benda asing serta bahan-bahan kimia yang dapat mengganggu kelangsungan hidup spermatozoa (Ax et al. 2000). Semen domba yang fertil secara normal tidak boleh mengandung lebih dari 15% spermatozoa abnormal (Ax et al. 2000). Menurut Bearden dan Fuquay (1997), angka morfologi abnormal 8-10% tidak memberi pengaruh yang cukup berarti bagi fertilitas, namun jika abnormalitas lebih dari 25% dari satu ejakulat maka penurunan fertilitas tidak dapat diantisipasi. Secara normal, rata-rata volume semen domba per ejakulasi adalah 0.8 -1.2 ml (Toelihere 1993), 0.5 – 2.0 ml (Arthur et al. 1996) dan 0.8 – 1.2 ml (Garner & Hafez 2000). Menurut Toelihere (1993) semen domba memiliki volume yang rendah tetapi konsentrasi yang tinggi, sehingga memperlihatkan warna krem/putih susu. Konsentrasi spermatozoa domba yang normal adalah 2x109 – 3x109/ml (Garner & Hafez 2000), 1.25x109 – 3x109/ml (Arthur et al. 1996) dan 2x109/ml (Bearden & Fuquay 1997). Hubungan antara kekentalan/warna dengan konsentrasi spermatozoa domba yang dikemukakan oleh Williams (1995) dapat dilihat pada tabel 3. 14 Tabel 3. Hubungan kekentalan/warna dengan konsentrasi spermatozoa domba Skor Kekentalan/warna Konsentrasi spermatozoa (109 sperma/ml) 5 Krem tua 5.0 (4.5 – 6.0) 4 Krem 4.0 (3.5 – 4.5) 3 Krem pucat 3.0 (2.5 – 3.5) 2 Putih susu 2.0 (1.0 – 2.5) 1 Bening berwarna 0.7 (0.3 – 1.0) 0 Bening bersih 0 Sumber : Williams 1995. Plasma semen mempunyai pH sekitar 7 dengan tekanan osmotik sama dengan darah atau ekuivalen dengan NaCl 0.9%. Semen domba mempunyai pH sebesar 5.9 – 7.3 (Garner & Hafez 2000; Bearden & Fuquay 1997). Semen dengan konsentrasi yang tinggi bereaksi agak asam, sedangkan konsentrasi rendah biasanya bereaksi agak basa. Komponen utama plasma semen domba sebagian besar (75%) adalah air, sedangkan natrium dan kalium merupakan kation utama dalam semen. Selain mengandung mukoprotein, peptida, asam-asam amino bebas, lipida, asam-asam lemak, vitamin dan berbagai enzim serta antiaglutinin (zat pelindung terhadap aglutinasi kepala spermatozoa), dalam plasma semen juga ditemukan kandungan persenyawaan organik spesifik seperti fruktosa, sorbitol, inositol, glycerylphosphoryl-choline (GPC), ergotionin dan prostaglandin (Tabel 4). 15 Tabel 4. Sifat-sifat fisik dan kimiawi semen domba Karakteristik dan komponen Volume Ejakulat (ml) Konsentrasi spermatozoa (ml) pH Spermatozoa motil (%) Spermatozoa morfologi normal (%) Natrium (mg/100 ml) Kalsium Potasium Magnesium Chlorida Fruktosa Sorbitol Asam citrat Glyceryl Phosphoryl Choline (GPC) Inositol Protein (gr/100 ml) Nilai rataan 0.8 – 1.2 2x109 – 3x109 5.9 – 7.3 60 – 80 80 – 95 178 ± 11 6±2 89 ± 4 6 ± 0.8 86 250 26 – 170 110 – 260 1100 – 2100 7-14 5.0 Sumber : Garner and Hafez 2000. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi produksi semen antara lain umur pejantan, musim, bangsa dan individu dalam bangsa (Memon & Ott 1981). Untuk keberhasilan IB semen harus diproduksi dalam jumlah yang cukup dan kualitas yang baik (Toelihere 1985). Selanjutnya dijelaskan bahwa kualitas semen yang menurun dapat memperkecil angka konsepsi (angka kebuntingan) yang dihasilkan. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap produksi semen baik kualitas maupun kuantitas menurut Toelihere (1985) adalah makanan. Pada prinsipnya kebutuhan makanan untuk reproduksi hewan jantan tidak melebihi kebutuhan untuk pertumbuhan hewan muda atau untuk mempertahankan kehidupan hewan dewasa dalam kondisi yang sehat. Ransum harus cukup seimbang antara karbohidrat, protein dan mineral serta suplai vitamin yang essensial untuk reproduksi. Tingkatan makanan yang rendah dapat menurunkan jumlah sperma per ejakulat dan kehilangan libido. Akibat kekurangan makanan kelenjar-kelenjar pelengkap akan lebih nyata terganggu untuk pembentukan sperma. Sedangkan tingkatan makanan yang tinggi menyebabkan pejantan menjadi lamban, sulit untuk berkopulasi karena malas, kelemahan kaki belakang dan penurunan libido.