Konsumsi Dan Kecernaan Nutrien Serta Kualitas

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Pencernaan Ruminansia
Domba sama dengan kambing merupakan ternak ruminansia kecil yang
memiliki organ pencernaan yang terdiri atas empat bagian penting, yaitu mulut,
perut, usus halus, dan organ pencernaan bagian belakang. Kambing memiliki
abomasum (perut sejati) dan lambung muka yang terdiri atas tiga bagian, yaitu
rumen (perut beludru), retikulum (perut jala), dan omasum (perut buku). Pada tiga
bagian utama tersebut tidak terdapat mucus dan enzim pencernaan atau asam,
akan tetapi pencernaan bisa terjadi karena adanya aktivitas mikroorganisme di
dalam rumen dan retikulum (Annison 1965).
Pada ternak ruminansia muda,
rumen dan retikulum masih kecil dan belum berkembang. Bila ternak muda
tersebut mulai mengkonsumsi makanan padat terutama hijauan, bagian
retikulorumen mulai membesar sehingga berukuran daya tampung isi makanan
yang mencapai 60 – 65% dari seluruh saluran pencernaan (Tillman et al. 1998).
Pencernaan merupakan rangkaian proses perubahan fisik dan kimia yang
dialami oleh bahan makanan di dalam alat pencernaan.
Proses pencernaan
makanan pada ternak ruminansia relatif lebih kompleks dibandingkan dengan
proses pencernaan pada jenis ternak lainnya.
Menurut Sutardi (1980) proses
pencernaan pada ternak ruminansia terjadi secara mekanis di dalam mulut, secara
fermentatif (oleh enzim-enzim yang berasal dari mikroba rumen) dan secara
hidrolisis (oleh enzim-enzim pencernaan induk semang).
Proses pencernaan domba dimulai dari mulut.
Di dalam ruang mulut
ransum yang berbentuk kasar dipecah menjadi partikel-partikel kecil dengan cara
pengunyahan dan pengeluaran saliva. Sebelum ditelan masuk ke dalam ruang
retikulorumen cairan ini mengandung 85% air dan terdapat dalam dua bagian,
yaitu bagian bawah dan bagian atas.
Bagian bawah cair dan mengandung
makanan halus dalam suspensi, sedangkan bagian atas lebih kering yang terdiri
atas makanan kasar dan padat seperti hijauan.
Ternak ruminansia mempunyai kemampuan mengembalikan makanan dari
retikulorumen ke mulut (regurgitasi) untuk dikunyah kembali. Tillman et al.
5
(1998) menyatakan bahwa para ahli telah menemukan bolus-bolus dikunyah ulang
40 – 50 kali sebelum ditelan kembali.
Pada studi fisiologi pencernaan ternak ruminansia, rumen dan retikulum
sering dipandang sebagai organ tunggal dengan sebutan retikulorumen. Omasum
disebut sebagai perut buku karena dipenuhi oleh lembaran jaringan (tissue leaves),
yaitu sekitar 100 lembar. Fungsi omasum belum terungkap dengan jelas, tetapi
pada organ tersebut ada penyerapan air, amonia, asam lemak terbang dan
elektrolit, serta ada produksi amonia dan mungkin asam lemak terbang (Forbes &
France 1993). Termasuk organ pencernaan bagian belakang adalah sekum, kolon,
rektum.
Proses pencernaan fermentatif di dalam retikulorumen terjadi sangat
intensif dan dalam kapasitas yang sangat besar.
Proses pencernaan tersebut
terletak sebelum usus halus (organ penyerapan utama).
fermentasi adalah
Keuntungan produk
mudah diserap usus, dapat mencerna selulosa, dapat
menggunakan non-protein nitrogen seperti urea, dan dapat memperbaiki kualitas
protein pakan yang nilai hayatinya rendah. Kerugiannya adalah banyak energi
yang terbuang sebagai methan dan panas, protein bernilai hayati tinggi mengalami
degradasi menjadi amonia (NH3) sehingga menurunkan nilai protein, dan peka
terhadap ketosis atau keracunan asam yang paling sering terjadi pada domba
(Siregar 1994).
Retikulorumen merupakan tempat utama terjadinya proses fermentasi dan
didalamnya terdapat 1010 – 1011 bakteri dan lebih dari 107 protozoa per gram isi
rumen (Annison 1965, Banerjee 1978).
Penyerapan Zat-zat Nutrisi
Dalam tubuh akan terjadi proses metabolisme apabila ada asupan pakan dari
luar. Proses metabolime ini terdiri atas dua proses yaitu proses pembentukan
(anabolisme) dan proses pemecahan (katabolisme). Metabolisme dalam tubuh
berfungsi untuk menghasilkan energi yang diperlukan untuk aktivitas sehari-hari
dan untuk produktifitas. Beberapa makro nutrien yang mengalami proses
metabolisme dalam tubuh adalah karbohidrat, protein, lemak, air dan mikro
nutrien yang terdiri dari vitamin dan mineral.
6
Karbohidrat merupakan zat makanan yang cepat mensuplai energi sebagai
bahan bakar tubuh, terutama jika tubuh dalam keadaan lapar (Piliang 2006).
Karbohidrat diklasifikasikan sebagai monosakarida, disakarida dan polisakarida.
Monosakarida utama yang terdapat dalam bentuk bebas dalam makanan ialah
glukosa.
Pada hewan ruminansia apabila kadar glukosa darah sangat sedikit
sekali maka glukosa didapatkan dari pemecahan asam laktat menjadi propionat.
Semua volatile fatty acid (VFA) yang diproduksi dalam rumen dapat
menghasilkan energi, yaitu asetat, propionat dan butirat,
tetapi propionat
merupakan satu-satunya sumber utama glukosa.
Zat makanan penghasil energi lainnya adalah lemak. Banyak fungsi-fungsi
tubuh yang sangat bergantung pada lemak. Beberapa komponen lemak adalah
trigliserida dan kolesterol. Lemak tidak dapat larut dalam air, sehingga molekul
lemak harus diemulsifikasi terlebih dahulu agar dapat bercampur dengan air.
Suatu zat pengemulsi (emulsifier) adalah suatu molekul yang mengandung
kelompok yang larut air dan kelompok yang larut dalam lemak. Kemudian lemak
dibawa melalui plasma dalam bentuk lipoprotein. Oleh karena plasma merupakan
media bersifat air (aqueous), maka lemak tidak dapat ditranspor tanpa adanya
suatu zat perantara, yaitu kelompok protein yang mempunyai kemampuan untuk
mengikat lemak, yang dalam hal ini suatu kelompok protein khusus berfungsi
untuk mengangkut atau mentransport lemak, diantaranya adalah low density
lipoprotein (LDL), mempunyai fungsi utama untuk mentransport fosfolipid dan
kolesterol ester, dan high density lipoprotein (HDL), mempunyai fungsi untuk
mentransport fosfolipid dan kolesterol lipid (Piliang 2006).
Selain makro nutrien, tubuh juga membutuhkan mikro nutrien untuk
stabilitas fungsi sel, salah satu mikro nutrien yang diperlukan adalah mineral.
Mineral merupakan unsur kimiawi yang diperlukan oleh jaringan hidup untuk
fungsi biologis normal.
Berdasarkan jumlahnya, unsur-unsur tersebut
dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu unsur makro dan unsur mikro.
Unsur mineral makro diperlukan tubuh dalam jumlah relatif besar,
mencakup K, Na, Ca, P, Mg, S, dan Cl, mineral mikro yang diperlukan dalam
jumlah relatif jauh lebih sedikit dibandingkan mineral makro mencakup Zn, Cu,
Fe, I, Mn, Se, Mo, Cr, dan Ni.
7
Tillman et al. (1998) menyatakan secara umum mineral-mineral
mempunyai fungsi yaitu sebagai bahan pembentukan tulang dan gigi (menguatkan
dan mengeraskan jaringan), memelihara keseimbangan asam basa dalam tubuh,
sebagai aktivator sistem enzim tertentu, sebagai komponen suatu enzim dan
mempunyai sifat yang spesifik terhadap kepekaan otot dan syaraf.
Annekov
(1982) menambahkan, faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan ternak akan
mineral yaitu tingkat produksi, umur, adaptasi, bangsa ternak, dan kandungan
berbagai zat makanan yang diberikan pada ternak.
Parakkasi (1985) menyatakan kebutuhan mineral dari ternak dipengaruhi
beberapa faktor, yaitu jenis dan tingkat produksi, tingkat dan bentuk ikatan
konsumsi, umur dan hubungan dengan zat makanan lain.
Defisiensi
ketidakserasian atau keracunan mineral dapat menghambat produksi ternak dan
berakibat buruk pada penggunaan pakan (Sutardi 1980).
Mineral mikro yang mempunyai fungsi penting salah satunya adalah Zn.
Zink (Zn) terlibat terutama dalam metabolisme asam nukleat dan metabolisme
protein dan juga dalam proses penggantian sel. Zn juga penting untuk aktifitas
enzim.
Enzim yang mengandung Zn antara lain anhidrase karbonat, urease,
dehidrogenase alkohol, dehidrogenase glutamat dan polimerase RNA dan DNA.
Zn ditemukan terikat dengan kelenjar insulin dan juga digunakan dalam
metabolisme vitamin A (Church 1988).
Pemberian mineral Zn dapat memacu pertumbuhan mikroba rumen dan
meningkatkan penampilan ternak (Hartati 1998). Little et al. (1986) melaporkan
bahwa kandungan Zn pada pakan ruminansia di Indonesia berkisar antara 20 – 38
mg/kg bahan kering ransum, nilai ini jauh dibawah kebutuhan ruminansia seperti
yang direkomendasikan NRC (1985) 40 – 50 mg/kg bahan kering ransum.
Jumlah penyerapan tergantung kepada jumlah dalam makanan dan permintaan
fisiologis. Hal ini berarti bahwa penyerapan meningkat bila jumlahnya dalam
makanan yang dikonsumsi dibawah kebutuhan. Penyerapan Zn akan menurun
bila kadar Ca tinggi. Defisiensi Zn dapat lebih ditoleransi oleh ternak bila kadar
Ca lebih rendah. Fosfor mempunyai pengaruh yang sama dengan Ca terhadap
penyerapan Zn. (Supriyati 2000).
Tempat utama penyerapan Zn pada
monogastrik di bagian atas usus halus, sedangkan pada ruminansia penyerapan di
8
rumen lebih besar dibandingkan usus halus (McDowell 1992).
Ruminansia
dewasa mampu menyerap 20 – 40% Zn asal ransum, pada ternak muda lebih
tinggi lagi (Georgievskii et al. 1982). Masuknya Zn ke dalam membran sel usus
relatif cepat, sedangkan ketika masuk ke aliran darah relatif lambat.
Zn juga sangat diperlukan dalam fungsinya untuk sistem reproduksi, Zn
diperlukan dalam produksi sperma, perkembangan embrio dan tumbuh kembang
anak.
Kekurangan Zn akan mengganggu proses pembentukan sperma dan
perkembangan organ seks primer dan sekunder pada hewan jantan. Kekurangan
zat gizi Zn tersebut pada pejantan menyebabkan menurunnya fungsi testikular
(testicular
hypofunction)
yang
berdampak
pada
terganggunya
proses
spermatogenesis dan produksi hormon testosteron oleh sel-sel Leydig. Testosteron
adalah hormon yang mempengaruhi libido dan ciri-ciri kelamin sekunder jantan.
Dilaporkan, kekurangan zat gizi seng akan merusak perkembangan dan fungsi
organ reproduksi pria/jantan pada hewan dan manusia. Dalam uji coba pada
hewan dengan memberikan diet rendah seng (2 ppm) selama 20 – 24 minggu
menyebabkan rusaknya perkembangan testikular dan proses pembentukan sperma
terhenti. Oleh karena itu, pria yang mengalami gangguan ereksi dan mandul
diduga kuat penyebabnya antara lain adalah kekurangan mineral seng.
Keseimbangan Asam Basa pada Ternak Ruminansia
Secara normal, di dalam tubuh ternak asam akan terus menerus diproduksi
dalam proses metabolisme dan yang paling banyak diproduksi adalah asam
karbonat, sedangkan pembentukan asam laktat dan asam keto merupakan
metabolit perantara. Produksi asam yang terus menerus ini menuntut agar ion
hidrogen dapat dipisahkan tanpa menyebabkan perubahan lingkungan.
Sistem buffer dalam mempertahankan pH akibat penambahan asam (H+)
atau basa (OH-) terdiri dari asam lemah (donor proton) dan basa konyugat
(akseptor proton) dan kekuatan buffer bukan merupakan sesuatu yang istimewa.
Dua reaksi kuilibrium timbal balik mendasar yang terjadi di dalam larutan donor
proton dan akseptor proton terjadi jika keduanya terdapat pada konsentrasi yang
sama.
9
Sistem buffer yang paling penting pada mamalia adalah sistem fosfat dan
bikarbonat (Lehninger 1990). Pada hewan mamalia, cairan tubuh total (total body
fluid) terdiri dari 1/3 bagian cairan ekstraseluler, yaitu cairan yang ada di luar sel,
terdiri dari plasma darah (blood plasma) dan interstitial (interstitial fluid), dan 2/3
cairan intraseluler yaitu cairan yang ada di dalam sel (cell fluid). Hampir 25%
dari komponen ekstraseluler adalah cairan intravaskuler yaitu cairan yang ada di
dalam sistem vaskuler dan 75% adalah cairan interstitial yaitu cairan cairan yang
ada di luar sistem vaskuler dan menggenangi sel.
Kadar elektrolit dalam berbagai kompartemen sangat jelas berbeda dalam
kandungan anion protein yang relatif rendah di dalam cairan interstitial
dibandingkan dengan di dalam cairan intrasel dan plasma. Selanjutnya Na+ dan
Cl- lebih banyak di cairan ekstrasel, dan K+ di cairan intrasel.
Perbedaan utama dalam komposisi kompartemen cairan tubuh (Tabel 1)
menunjukkan K+ sebagai kation penting dalam sel dan perpindahan Na+ secara
terus menerus ke dalam sel mendapatkan reaksi angkutan aktif kembali ke
ruangan ekstrasel mempertahankan konsentrasi K+ dalam kompartemen intrasel.
Tabel 1. Perbedaan utama komposisi kompartemen cairan tubuh
Cairan
Plasma
ekstrasel
Interstitial
Cairan intrasel
Air (% berat
badan tanpa
lemak
Kation utama
Anion utama
5
15
45 – 50
Na+
Cl-
K+
HPO4=
Lain-lain
Protein, glukosa
Na+
ClSedikit protein,
glukosa
Sumber : Montgomery et al. 1993.
Gangguan Terhadap Keseimbangan Asam Basa
Dobson (1980) mengklasifikasikan gangguan terhadap keseimbangan asam
basa atas dua kategori, yaitu asidosis dan alkalosis dengan kondisi normal pH
darah 7.4 (Tabel 2).
10
Tabel 2. Status asam basa dan pH darah, urine, cairan rumen serta respirasi pada
ruminansia
Darah
pH
(HCO3-) : (H2CO3)
Urine
pH
Rumen
pH
Respirasi Ventilasi
Sumber : Kronfeld 1976.
Normal
7.4
20
7.5 – 8.5
5.5 – 7.0
normal
Alkalosis
> 7.4
> 20
> 8.5
> 7.0
hiper
Asidosis
< 7.4
< 20
< 7.5
< 5.5
hipo
Perubahan diakibatkan bekerjanya oleh fungsi pulmonarik atau fungsi
metabolik, atau keduanya menghasilkan asidosis atau alkalosis oleh kenaikan atau
penurunan dalam salah satu [HCO3] atau tekanan CO2.
Ketidakseimbangan
disebabkan oleh perubahan tekanan CO2 terkait dengan fungsi respirasi dan
sebaliknya ketidakseimbangan oleh perubahan HCO3- penyebabnya adalah fungsi
metabolisme. Dengan demikian ada empat kondisi yang terjadi pada gangguan
keseimbangan asam basa yaitu asidosis dan alkalosis respiratori (respiratory
acidosis and alkalosis) dan asidosis dan alkalosis metabolitik (metabolic acidosis
and alkalosis).
Dietary Cation-Anion Balance (DCAB)
Dietary cation anion balance (DCAB) atau yang disebut pula sebagai
ransum berkeseimbangan kation-anion mengacu pada status asam basa hewan.
Status ini tidak berhadapan dengan tingkatan pH rumen, tetapi lebih ke systemic
(darah) asam basa. Ada empat mineral yang melibatkan perhitungan DCAB.
Persen yang berkenaan dengan aturan penggunaan dua kation, sodium ( Na) dan
potassium ( K) dan dua anion, klorid ( Cl) dan belerang
menghitung: DCAB= ( Na+ K)-
(S) digunakan untuk
( Cl+ S) dimana DCAB dinyatakan dalam
milliequivalent ( meq) setiap 100 g bahan kering (BK). Milliequivalen untuk
masing-masing mineral sebagai berikut: Na, 0.023; K, 0.039; Cl, 0.0355; dan,
0.016. Kelebihan Na dan K adalah alkalogenic dan mendorong kearah suatu
peningkatan pH darah. Anion berkenaan dengan aturan penggunaan pakan, Cl
adalah acidogenic dan akan menurunkan pH darah (Ballantine 1998). Pada sapi
yang mengalami masa transisi dari kebuntingan menjelang laktasi, kebutuhan Ca
11
akan berhenti pada placenta, tetapi pada saat laktasi kebutuhan akan Ca akan
semakin meningkat.
Hypocalcemia parturien
paresis merupakan kesalahan
metabolisme yang disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan pool Ca dalam
plasma, yang sekarang dikenal dengan istilah milk fever (Roche et al. 2003).
Parturien paresis diderita oleh sekitar 2 sampai 5% sapi-sapi di Australia (Caple
1987) dan 2% sapi-sapi di New Zealand (McDougall 2001).
Konsentrasi plasma Ca dibawah kontrol dari parathyroid hormone (PTH),
calcitonin, dan metabolisme vitamin D (Lindsay & Pethick 1983). Kehilangan Ca
dari plasma merupakan tanda kesalahan pada mekanisme homeostasis yang
merupakan akibat dari pemeliharaan eucalcemia (Ramberg et al. 1984).
Pembentukan
hypocalcemia
pada
beberapa
memperlambat mekanisme timbal balik ini.
sapi
sebagai
akibat
untuk
Bagaimanapun, pada beberapa
hewan, hypocalcemia tidak sepenuhnya menjadi tanda klinis dan level Ca darah
secepatnya akan kembali normal.
Stewart (1983) menunjukkan bahwa dengan penambahan anion merupakan
suatu solusi untuk menurunkan pH darah. Penambahan anion kedalam cairan
tubuh melalui suplementasi pakan dapat menurunkan pH cairan tubuh. Meskipun
demikian, pH darah yang tinggi telah diatur, variasi yang rendah dapat
mempengaruhi metabolisme Ca dan pakan prepartum dengan negatif dietary
cation-anion balance telah dapat menunjukkan peningkatan homeostasis calcium
periparturien. Rendahnya pH urine, merupakan indikator dari pH darah (Vagnoni
& Oetzel 1998), yang berhubungan dengan peningkatan absorbsi gastrointestinal
dan pengeluaran Ca.
Pada sapi perah, apabila keseimbangan kation-anion positif dalam ransum
semakin ditingkatkan, maka terjadi peningkatan pH darah dan urin (Hu & Murphy
2004), Na/creat, Cl/creat, dan S/creat (Roche et al. 2003a), jumlah konsumsi
ransum, jumlah produksi susu dan kandungan protein susu.
Akan tetapi,
menurunkan K dan Cl darah (Hu & Murphy 2004), konsumsi bahan kering,
pertambahan bobot badan, dan kandungan protein susu (Roche et al. 2003a).
Sebaliknya, tidak mempengaruhi Na darah (Hu & Murphy 2004), P dalam feces
dan urin (Castro et al. 2004).
12
Apabila dilakukan penurunan keseimbangan kation-anion ransum sampai
menjadi negatif (dari +69 menjadi -12 meq/100 BK), maka terjadi peningkatan
Mg dan Ca darah, Ca/creat, Mg/creat, Cl/creat, S/creat, tetapi menurunkan
Na/creat dan jumlah konsumsi ransum (Roche et al. 2003b), pH darah dan urin
(Roche et al. 2003b; Castro et al. 2004).
Gambaran Umum Semen dan Reproduksi Domba
Organ kelamin domba jantan terdiri atas tiga komponen yaitu : (a) organ
kelamin primer yaitu testes, (b) kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap yaitu
kelenjar vesikularis, kelenjar prostat, kelenjar bulbourethralis dan saluran-saluran
terdiri atas epididimis serta duktus deferen, (c) alat kelamin luar yaitu penis
(Toelihere 1993).
Komponen-komponen yang penting pada gonad jantan adalah tubulus
seminiferus yang mensekresi sperma, dan sel Leydig yang terdapat pada jaringan
interstitial yang mensekresi androgen. Hal ini mudah ditunjukkan bahwa (kecuali
pada ayam) LH saja menstimulasi sel Leydig untuk mensekresi androgen, tetapi
untuk spermatogenesis yang sempurna diperlukan FSH, LH, dan mungkin juga
androgen. Androgen mempertahankan sifat seks sekunder (jenggot, suara, tanduk,
jengger, agresivitas, dan sebagainya) dan kelenjar aksesori (kelenjar-kelenjar
prostat, vesikula seminalis, dan kelenjar Cowper).
Sekresi kelenjar aksesori
merupakan komponen essensial semen.
Menurut Toelihere (1993), semen adalah sekresi kelamin jantan yang
diejakulasikan ke dalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi, tetapi dapat
pula ditampung dengan berbagai cara untuk keperluan inseminasi buatan (IB).
Semen terdiri atas massa spermatozoa yang bersuspensi didalam medium
semigelatinous yang disebut plasma semen. Spermatozoa diproduksi didalam
tubuli seminiferi testes, sedangkan plasma semen disekresikan oleh epididymis
dan kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap lainnya, yaitu vesikularis dan prostata.
Menurut analisa kimia sperma dan plasma semen terdiri atas rangkaian zat-zat
organik tertentu, misalnya sekresi kelenjar vesika seminalis pada kambing
mengandung prostaglandin, suatu asam lemak tidak jenuh dengan C-20, yang
dianggap berperan dalam kapasitasi sperma sebelum membuahi sel telur.
13
Proses pembentukan spermatozoa didalam tubuli seminiferi testes disebut
spermatogenesis. Siklus spermatogenesis pada ternak/hewan terdiri atas dua
tahapan, yaitu spermatositogenesis, dan spermiogenesis.
Kedua tahapan ini
dicirikan oleh adanya pembelahan mitosis pada spermatogonia (2n) dan
pembelahan meiosis pada spermatosit (n) dan metamorfosis dari spermatid tanpa
ekor menjadi spermatozoa (n) dengan ekornya yang siap bergabung dengan oosit
(n) dalam proses fertilisasi untuk membentuk mahluk baru (2n) yang mewarisi
sifat-sifat genetik tetuanya. Waktu yang dibutuhkan mulai dari aktivasi ”stemcell” sampai pelepasan spermatozoa ke dalam tubuli seminiferi mencapai 22 hari
pada kambing (Evans & Maxwell 1987), sedangkan pada domba dapat mencapai
46-49 hari (Toelihere 1993) dan dikontrol melalui mekanisme hormonal.
Pengamatan terhadap motilitas spermatozoa merupakan indikator fertilitas
spermatozoa yang dapat diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya.
Motilitas spermatozoa pada semen segar domba mempunyai rata-rata sekitar 6080% (Garner & Hafez 2000), >90% (Arthur et al. 1996) dan 75% (Bearden &
Fuquay 1997).
Motilitas spermatozoa sangat sensitif terhadap panas yang
berlebihan dan keberadaan benda asing serta bahan-bahan kimia yang dapat
mengganggu kelangsungan hidup spermatozoa (Ax et al. 2000).
Semen domba yang fertil secara normal tidak boleh mengandung lebih dari
15% spermatozoa abnormal (Ax et al. 2000). Menurut Bearden dan Fuquay
(1997), angka morfologi abnormal 8-10% tidak memberi pengaruh yang cukup
berarti bagi fertilitas, namun jika abnormalitas lebih dari 25% dari satu ejakulat
maka penurunan fertilitas tidak dapat diantisipasi.
Secara normal, rata-rata volume semen domba per ejakulasi adalah 0.8 -1.2
ml (Toelihere 1993), 0.5 – 2.0 ml (Arthur et al. 1996) dan 0.8 – 1.2 ml (Garner &
Hafez 2000). Menurut Toelihere (1993) semen domba memiliki volume yang
rendah tetapi konsentrasi yang tinggi, sehingga memperlihatkan warna krem/putih
susu. Konsentrasi spermatozoa domba yang normal adalah 2x109 – 3x109/ml
(Garner & Hafez 2000), 1.25x109 – 3x109/ml (Arthur et al. 1996) dan 2x109/ml
(Bearden & Fuquay 1997).
Hubungan antara kekentalan/warna dengan
konsentrasi spermatozoa domba yang dikemukakan oleh Williams (1995) dapat
dilihat pada tabel 3.
14
Tabel 3. Hubungan kekentalan/warna dengan konsentrasi spermatozoa domba
Skor
Kekentalan/warna
Konsentrasi spermatozoa (109 sperma/ml)
5
Krem tua
5.0 (4.5 – 6.0)
4
Krem
4.0 (3.5 – 4.5)
3
Krem pucat
3.0 (2.5 – 3.5)
2
Putih susu
2.0 (1.0 – 2.5)
1
Bening berwarna
0.7 (0.3 – 1.0)
0
Bening bersih
0
Sumber : Williams 1995.
Plasma semen mempunyai pH sekitar 7 dengan tekanan osmotik sama
dengan darah atau ekuivalen dengan NaCl 0.9%. Semen domba mempunyai pH
sebesar 5.9 – 7.3 (Garner & Hafez 2000; Bearden & Fuquay 1997). Semen
dengan konsentrasi yang tinggi bereaksi agak asam, sedangkan konsentrasi rendah
biasanya bereaksi agak basa.
Komponen utama plasma semen domba sebagian besar (75%) adalah air,
sedangkan natrium dan kalium merupakan kation utama dalam semen. Selain
mengandung mukoprotein, peptida, asam-asam amino bebas, lipida, asam-asam
lemak, vitamin dan berbagai enzim serta antiaglutinin (zat pelindung terhadap
aglutinasi kepala spermatozoa), dalam plasma semen juga ditemukan kandungan
persenyawaan
organik
spesifik
seperti
fruktosa,
sorbitol,
inositol,
glycerylphosphoryl-choline (GPC), ergotionin dan prostaglandin (Tabel 4).
15
Tabel 4. Sifat-sifat fisik dan kimiawi semen domba
Karakteristik dan komponen
Volume Ejakulat (ml)
Konsentrasi spermatozoa (ml)
pH
Spermatozoa motil (%)
Spermatozoa morfologi normal (%)
Natrium (mg/100 ml)
Kalsium
Potasium
Magnesium
Chlorida
Fruktosa
Sorbitol
Asam citrat
Glyceryl Phosphoryl Choline (GPC)
Inositol
Protein (gr/100 ml)
Nilai rataan
0.8 – 1.2
2x109 – 3x109
5.9 – 7.3
60 – 80
80 – 95
178 ± 11
6±2
89 ± 4
6 ± 0.8
86
250
26 – 170
110 – 260
1100 – 2100
7-14
5.0
Sumber : Garner and Hafez 2000.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi produksi semen antara lain
umur pejantan, musim, bangsa dan individu dalam bangsa (Memon & Ott 1981).
Untuk keberhasilan IB semen harus diproduksi dalam jumlah yang cukup dan
kualitas yang baik (Toelihere 1985). Selanjutnya dijelaskan bahwa kualitas semen
yang menurun dapat memperkecil angka konsepsi (angka kebuntingan) yang
dihasilkan. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap produksi semen
baik kualitas maupun kuantitas menurut Toelihere (1985) adalah makanan. Pada
prinsipnya kebutuhan makanan untuk reproduksi hewan jantan tidak melebihi
kebutuhan untuk pertumbuhan hewan muda atau untuk mempertahankan
kehidupan hewan dewasa dalam kondisi yang sehat.
Ransum harus cukup
seimbang antara karbohidrat, protein dan mineral serta suplai vitamin yang
essensial untuk reproduksi. Tingkatan makanan yang rendah dapat menurunkan
jumlah sperma per ejakulat dan kehilangan libido.
Akibat kekurangan makanan kelenjar-kelenjar pelengkap akan lebih nyata
terganggu untuk pembentukan sperma. Sedangkan tingkatan makanan yang tinggi
menyebabkan pejantan menjadi lamban, sulit untuk berkopulasi karena malas,
kelemahan kaki belakang dan penurunan libido.
Download