Sebuah Kerangka Konseptual ILO dan Proses PRSP Pengentasan

advertisement
Hak Cipta © Kantor Perburuhan Internasional 2004
Pertama terbit tahun 2004
Publikasi Kantor Perburuhan Internasional dilindungi oleh Protokol 2 dari Konvensi Hak Cipta Dunia (Universal
Copyright Convention). Walaupun begitu, kutipan singkat yang diambil dari publikasi tersebut dapat diperbanyak
tanpa otorisasi dengan syarat agar menyebutkan sumbernya. Untuk mendapatkan hak perbanyakan dan
penerjemahan, surat lamaran harus dialamatkan kepada Publications Bureau (Rights and Permissions),
International Labour Office, CH 1211 Geneva 22, Switzerland. Kantor Perburuhan Internasional akan menyambut
baik lamaran tersebut.
ILO
“Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia”.
ISBN 92-2-115538-2
Sesuai dengan tata cara Perserikatan Bangsa Bangsa, pencantuman informasi dalam publikasi publikasi ILO
beserta sajian bahan tulisan yang terdapat di dalamnya sama sekali tidak mencerminkan opini apapun dari
Kantor Perburuhan Internasional (International Labour Office) mengenai informasi yang berkenaan dengan status
hukum suatu negara, daerah atau wilayah atau kekuasaan negara tersebut, atau status hukum pihak pihak yang
berwenang dari negara tersebut, atau yang berkenaan dengan penentuan batas batas negara tersebut.
Dalam publikasi publikasi ILO sebut, setiap opini yang berupa artikel, kajian dan bentuk kontribusi tertulis
lainnya, yang telah diakui dan ditandatangani oleh masing masing penulisnya, sepenuhnya menjadi tanggung
jawab masing masing penulis tersebut. Pemuatan atau publikasi opini tersebut tidak kemudian dapat ditafsirkan
bahwa Kantor Perburuhan Internasional menyetujui atau menyarankan opini tersebut.
Penyebutan nama perusahaan, produk dan proses yang bersifat komersil juga tidak berarti bahwa Kantor
Perburuhan Internasional mengiklankan atau mendukung perusahaan, produk atau proses tersebut. Sebaliknya,
tidak disebutnya suatu perusahaan, produk atau proses tertentu yang bersifat komersil juga tidak dapat dianggap
sebagai tanda tidak adanya dukungan atau persetujuan dari Kantor Perburuhan Internasional.
Publikasi publikasi ILO dapat diperoleh melalui penyalur penyalur buku utama atau melalui kantor kantor
perwakilan ILO di berbagai negara atau langsung melalui Kantor Pusat ILO dengan alamat ILO Publications,
International Labour Office, CH 1211 Geneva 22, Switzerland atau melalui Kantor ILO di Jakarta dengan alamat
Gedung PBB, Lantai 5, Jl. M.H. Thamrin 14, Jakarta 10340. Katalog atau daftar publikasi terbaru dapat diminta
secara cuma cuma pada alamat tersebut, atau melalui e mail: [email protected]; [email protected]
Kunjungi website kami: www.ilo.org/publns ; www.un.or.id;
Dicetak di Jakarta, Indonesia
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
Daftar Isi
iv
v
1
5
9
s Pendahuluan
s Krisis, pemulihan ekonomi dan pasar tenaga kerja Indonesia:
kelemahan struktural yang permanen
s Pengentasan dari kemiskinan melalui penciptaan kesempatan
lapangan kerja berbasis luas: beberapa rekomendasi kebijakan
s Menciptakan kesempatan saling berbagi manfaat pembangunan di
Indonesia yang terdesentralisasi: peran MDGs
9
10
13
21
25
s Pendahuluan
s Dialog sosial sebagai instrumen vital untuk meningkatkan tata
pemerintahan yang baik di pasar tenaga kerja
s Tantangan dialog sosial di Indonesia: menuju keprihatinan terkini
yang mendalam tentang kekacauan tenaga kerja dan upah minimum
s Rekomendasi Kebijakan
25
28
30
34
37
s
s
s
s
s
Pendahuluan
Pekerja anak: isu dan rekomendasi kebijakan
Pendidikan dasar: masalah dan rekomendasi kebijakan
Pelatihan teknik dan kejuruan: isu dan rekomendasi kebijakannya
Menyiapkan kaum muda memasuki dunia kerja: persoalan dan
rekomendasi kebijakan
37
38
40
43
45
47
s Pendahuluan
s Perlindungan sosial di Indonesia
s Agenda reformasi perlindungan sosial di Indonesia:
laporan kemajuan
s Menuju perlindungan sosial bagi semua di Indonesia: melihat ke
depan
s Rekomendasi Kebijakan
Lampiran 1: Monitoring dan Evaluasi: Usulan Indikator
Lampiran 2. Usulan Matriks Kebijakan
47
50
54
55
57
59
61
Akronim
ADB
Asian Development Bank (Bank Pembangunan Asia)
APINDO
Asosiasi Pengusaha Indonesia
DEPNAKERTRANS
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
FSPSI
Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia
GDI
Gender Development Index (Indeks Pembangunan Gender)
GDP
Gross Domestic Product (Produk Domestik Bruto)
GNP
Gross National Product (Produk Nasional Bruto)
HDI
Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia)
IDPs
Internally Displaced Persons (Penduduk yang dipindahkan secara internal)
ILO
International Labour Organization (Organisasi Perburuhan Internasional)
IMR
Infant Mortality Rate (Tingkat Kematian Bayi)
KILM
Key Indicators of Labor Market (Indikator Kunci Pasar Kerja)
KSBSI
Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
KSPSI
Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia
KSPI
Kongres Serikat Pekerja Indonesia
LMIS
Labour Market Information System (Sistim Informasi Pasar Kerja)
MDGs
Millenium Development Goals (Sasaran Pembangunan Milenium)
MMR
Maternal Mortality Rate (Tingkat Kematian Ibu)
NTC
National Tripartite Council (Dewan Tripartit Nasional)
PRSP
Poverty Reduction Strategy Paper (Dokumen Strategi Penanggulangan
Kemiskinan)
SMEs
Small and Medium Enterprises (Usaha Kecil dan Menengah)
SUSENAS
Survei Sosial Ekonomi Nasional
PBB
Perserikatan Bangsa Bangsa
UNCTAD
United Nations Conference on Trade and Development (Konperensi
Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Perdagangan dan Pembangunan)
UNDP
United Nations Development Program (Program Pembangunan Perserikatan
Bangsa Bangsa)
UNSFIR
United Nations Supports Facility for Indonesia Recovery (Fasilitas Dukungan
Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Pemulihan Indonesia)
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
Prakata
Banyak penduduk Indonesia perempuan dan laki-laki masih hidup
dalam kemiskinan. Pemerintah telah memberikan komitmennya dengan
sungguh-sungguh untuk melaksanakan kebijakan pertumbuhan ekonomi
yang berpihak kepada kaum miskin yang memungkinkan rakyat
Indonesia keluar dari kemiskinan. International Labour Organization/
ILO (Organisasi Perburuhan Internasional) sangat mendukung
sepenuhnya kebijakan-kebijakan tersebut dan juga dalam pembentukan
serta pelaksanaan Dokumen Strategi Pengentasan Kemiskinan (Poverty
Reduction Strategy Paper - PRSP) di Indonesia.
Bagi ILO, pengentasan kemiskinan merupakan tema sentral dari
misinya untuk menciptakan kesempatan kerja yang layak bagi semua
orang. Laporan ILO tahun 2003, Working Out of Poverty (Terbebas dari
Kemiskinan) menyatakan bahwa:
Bagi seseorang, kemiskinan merupakan mimpi buruk. Kemiskinan
adalah sebuah lingkaran setan buruknya tingkat kesehatan,
menurunnya kemampuan bekerja, produktivitas yang rendah serta
pendeknya usia harapan hidup. Sedangkan bagi keluarga,
kemiskinan merupakan sebuah perangkap. Kemiskinan
menyebabkan tingkat pendidikan yang tidak memadai, keterampilan
yang rendah, pendapatan yang tidak pasti, menjadi orang tua usia
dini, serta memburuknya kesehatan. Bagi masyarakat, kemiskinan
merupakan sebuah kutukan. Ia akan menghalangi pertumbuhan,
memicu ketimpangan sosial dan menghambat negara-negara
berkembang menuju pembangunan yang berkelanjutan.
Namun terdapat juga wajah kemiskinan yang lainnya. Orang-orang
yang hidup dalam kondisi sangat kekurangan sangat
mengandalkan keberanian, kejelian serta keteguhan dan saling
mendukung untuk tetap bertahan dalam pusaran hidup yang keras.
Ketahanan hidup dalam kemiskinan menunjukkan keuletan dan
kreatifitas semangat manusia. Dalam banyak hal, orang-orang
miskin yang bekerja merupakan wirausahawan sejati.
Dalam mendukung proses PRSP di Indonesia, ILO memusatkan
perhatian kepada dua wilayah:
Pertama, mendukung proses keikutsertaan yang menjadi inti dalam
PRSP. ILO telah bekerja sama dengan mitra utamanya, Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serikat-serikat pekerja/buruh, dan
organisasi pengusaha untuk membawa suara dunia kerja ke meja
perundingan. Agar mitra-mitra utama ILO bisa menjadi peserta yang
efektif, sebuah program pengembangan kapasitas dilaksanakan pada
level nasional maupun daerah.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) telah menyatakan
dukungan yang kuat terhadap strategi pengentasan kemiskinan yang
akan menghasilkan kesempatan kerja baru serta peluang kewirausahaan.
Para serikat pekerja/buruh telah membentuk Jaringan Serikat Pekerja/
Buruh PRSP (KSBSI, KSPI dan KSPSI) untuk bekerja bersama agar suara
anggotanya didengar dalam proses PRSP.
Kedua, memberikan rekomendasi-rekomendasi yang praktis dan
realistis untuk pengentasan kemiskinan. Berdasar misi ILO di seluruh
dunia untuk mempromosikan Pekerjaan yang Layak bagi Semua, ILO
telah menyiapkan sejumlah Paparan Teknis Singkat (Technical Briefing
Notes - TBN) yang mencakup kebijakan-kebijakan kunci dan
rekomendasi kebijakan di berbagai hal yang terkait dengan pengentasan
kemiskinan. Esensi dari rekomendasi ini dimasukkan dalam laporan ini,
mengikuti empat tema utama PRSP di Indonesia.
Bagi ILO, perumusan PRSP hanyalah merupakan suatu langkah
dari sebuah proses yang panjang. Tantangan yang akan dihadapi
meliputi penerapan kebijakan-kebijakan, pengalokasian sumber daya,
pemantauan proses dan perwujudan dampak jangka panjang. ILO dan
mitra-mitra utamanya di Indonesia siap memberikan sumbangsihnya,
menghadapi tantangan pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Alan J. Boulton
Direktur
Kantor ILO Jakarta
Februari 2004
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
Pekerjaan yang Layak dan Kemiskinan
di Indonesia: Sebuah Kerangka Konseptual
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) berusaha terlibat dalam
proses-proses PRSP (Poverty Reduction Strategy Paper—Dokumen Strategi
Pengentasan Kemiskinan) melalui pengembangan dan peningkatan
strategi-strategi lintas sektoral dan kerangka kerja terpadu yang akan
mengaitkan kemiskinan dan Agenda Pekerjaan yang Layak di tingkat
nasional. Upaya ini berpusat pada tiga tujuan umum:
•
Memberdayakan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
serikat pekerja/buruh serta organisasi pengusaha untuk
mempengaruhi penyusunan serta penerapan strategi pengentasan
kemiskinan melalui dialog sosial;
•
Memadukan aspek-aspek pekerjaan yang layak ke dalam PRSP
melalui pengkajian teknis; dan
•
Mempengaruhi organisasi-organisasi pengembangan dan lembaga
pemerintah yang terlibat dalam perancangan dan pelaksanaan
strategi-strategi pengentasan kemiskinan untuk memenuhi prinsipprinsip dan hak-hak di tempat kerja, kebijakan-kebijakan
ketenagakerjaan, dan perlindungan sosial sebagai strategi
pengentasan kemiskinan dan untuk mendengarkan aspirasi mitra
sosial.
Kerangka konseptual untuk melaksanakan upaya-upaya ILO dalam
pengentasan kemiskinan didasarkan pada konsep kembar dari hak
(entitlement) dan kesetaraan (equity), dan pada kenyataan bahwa bagi
masyarakat miskin, pekerjaan merupakan satu-satunya jalan untuk keluar
dan menjauhi kemiskinan. ILO sangat memperhatikan keadilan sosial.
Berkaitan dengan kemiskinan, keadilan sosial ini bisa diungkapkan sebagai
hak untuk mengikuti (organisasi) atau berpartisipasi, perlindungan, akses
ke pekerjaan yang layak dan pendapatan yang layak. Penduduk miskin
menderita ‘keterbatasan hak’ karena kemampuan mereka untuk mengatur,
misalnya, pekerjaan yang layak, bergantung pada hubungan antara apa
yang dimiliki pemerintah dan yang digunakan di masyarakat. Bagi
perempuan miskin, akses mereka kepada pekerjaan yang layak bergantung
pada apa yang mereka punyai (yang tidak banyak), apa yang mungkin
ditawarkan kepadanya (yang sangat terbatas), apa yang diberikan kepada
mereka (yang sebenarnya tidak ada sama sekali), dan apa yang diambil
dari mereka (banyak). Karena itu, pengentasan kemiskinan sesungguhnya
adalah tentang peningkatan baik kualitas aset maupun hak kaum miskin
melakukan pertukaran.
Pemenuhan hak-hak tesebut bergantung pada prakondisi ekonomi
tertentu. Untuk memenuhi prakondisi tersebut sangat penting
membangun kapasitas masyarakat untuk menjamin peningkatan
kesejahteraan dan kehidupan mereka serta membangun sistem
pengaturan yang baik yang mendefinisikan, antara lain, pasar untuk
buruh. Jadi, pencapaian atas hak-hak melibatkan baik pengembangan
kemampuan sosial maupun ekonomi. Keterlibatan (inclusion), integrasi,
dan tentu saja, akses untuk memperoleh pendapatan, semuanya
menjelaskan bagaimana penciptaan lapangan kerja merupakan prioritas
ekonomi. Yang lebih umum, kebutuhan untuk memasukkan tujuantujuan sosial ke dalam kebijakan makro ekonomi memberikan implikasi
pada penekanan terhadap redistribusi pendapatan, kesetaraan, dan
solidaritas. Dalam terminologi sistem pembagian kerja internasional
mengentaskan kemiskinan, disanalah keunggulan komparatif dan nilai
tambah ILO memainkan peranan.
Kerangka konseptual ini menggarisbawahi pendapat bahwa
pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang sangat penting, tapi tidak
cukup untuk menghapuskan kemiskinan. Pengentasan kemiskinan
melibatkan pertumbuhan dengan reorientasi yang mendasar yang
berpihak kepada masyarakat miskin (apa yang sering dirujuk sebagai
“pro-poor growth”). Hal ini mencakup perubahan-perubahan pada
lembaga, undang-undang, peraturan dan praktek-praktek yang menjadi
bagian dari proses yang menciptakan dan memperparah kemiskinan
(misalnya pelecehan terhadap kelompok miskin dan pembatasan kegiatan
kehidupan mereka), dan pada intervensi yang rinci dan terarah yang
memungkinkan semua kategori kemiskinan diintegrasikan ke dalam
proses ekonomi. Dengan cara demikian, mereka dapat mengambil
manfaat dari peluang meningkatkan kehidupan sosial dan ekonomi
mereka, seperti dalam kualitas aset dan hak mereka untuk melakukan
pertukaran. Pendekatan ini menempatkan penekanan yang diperbarui
terhadap kebijakan-kebijakan yang bisa mendorong kesetaraan dan
memerangi ketidakadilan dan ketimpangan global maupun nasional.
Di antara perubahan-perubahan struktural paling penting yang
diperlukan untuk mengurangi tingkat kemiskinan di negara-negara
berpendapatan rendah adalah bergerak dari masyarakat di mana
peluang ekonomi dan kesempatan kerja dialokasikan atas dasar peran
dan tanggung jawab menuju masyarakat yang lebih mendasarkan diri
pada prestasi dan keterbukaan. Selain itu, juga perlu diperkenalkan
sistem fiskal yang lebih mementingkan kesetaraan yang akan menjadikan
fungsi-fungsi kemasyarakatan tidak hanya adil (fair), tapi juga lebih
efektif dan lebih efisien (ada kaitan yang kuat antara praktek kebijakan
fiskal yang baik dan tata pemerintahan yang baik). Pendekatan ini
menghendaki peran aktif kebijakan pasar tenaga kerja dalam
memanfaatkan manajemen permintaan, instrumen fiskal dan moneter
untuk memandu kebijakan makroekonomi. Itu berarti penyesuaian
struktural, restrukturisasi sosial-ekonomi, dan reformasi pasar (termasuk
di dalamnya privatisasi dan kebijakan liberalisasi yang lain) harus
ditingkatkan demi tujuan penciptaan lapangan kerja yang layak.
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
Dengan demikian, pekerjaan yang layak menjadi bagian dari
strategi pengentasan kemiskinan yang sangat penting. Pekerjaan yang
layak merupakan konsep menyeluruh yang saling bersinggungan yang
memberikan dampak lebih besar dibandingkan dengan penjumlahan
atas empat unsurnya (hak di tempat kerja, lapangan kerja, perlindungan
sosial; dan dialog sosial). Dengan demikian pekerjaan yang layak juga
melingkupi hal atau bidang lain seperti jender, sebagai bagian dari upaya
mencapai hasil-hasil pendidikan dan kesehatan dan tujuan-tujuan lain
yang disepakati dalam konteks delapan Sasaran Pembangunan Milenium
atau “MDGs” (Millenium Development Goals). Khususnya, pekerjaan yang
layak mempunyai peranan yang vital dalam mencapai tujuan utama
MDG untuk memberantas kemiskinan dan kelaparan yang parah pada
tahun 2015, dan juga untuk mencapai MDG 3 dalam mempromosikan
kesetaraan jender dan memberdayakan para perempuan dan target 16
dari MDG 8 tentang pengangguran kaum muda.
Laporan inidibangun berdasar pada kerangka konseptual ini dan
berusaha m em etakan jenis-jenis persoalan yang m engaitkan em pat
tujuan strategis ILO dengan struktur yang diusulkan Pem erintah
Indonesia tentang perancangan dan penyusunan PRSP.
4 Tujuan Strategis ILO:
•
•
•
•
Mempromosikan dan mewujudkan prinsip-prinsip dan hak
mendasar di tempat kerja.
Menciptakan kesempatan lebih besar bagi perempuan dan lakilaki dalam mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang
layak.
Meningkatkan cakupan dan efektifitas perlindungan sosial bagi
semua.
Memperkuat tripartisme dan dialog sosial.
Struktur/Gugus Tugas PRSP Indonesia:
•
•
•
•
Penciptaan Kesempatan.
Pemberdayaan Masyarakat.
Pengembangan Kapasitas.
Perlindungan Sosial.
Setiap bab dalam laporan ini secara garis besar mengikuti struktur
yang sama, yang dimulai dengan sebuah analisis terhadap situasi dari
sebuah perspektif kemiskinan, diikuti dengan sebuah analisis tentang
berbagai pilihan untuk mencapai pengentasan kemiskinan melalui
strategi pekerjaan yang layak. Akhirnya, masing-masing bab berisi
serangkaian rekomendasi yang diharapkan akan membantu Pemerintah
dalam merancang PRSP, dan lebih luas lagi, untuk menjawab berbagai
tantangan kemiskinan di Indonesia.
Bab I memfokuskan diri pada penciptaan peluang melalui dimensi
ketenagakerjaan dalam kebijakan makro dan sektoral. Bab ini
menganalisis hal-hal yang berhubungan dengan dunia kerja dari
perspektif desentralisasi dan Tujuan Pembangunan Milenium dan strategi
perluasan lapangan kerja melalui pengembangan usaha dan pasar kerja
yang fleksibel namun adil. Di Bab II, fokus diarahkan pada tata
pemerintahan yang baik dalam kaitannya dengan pasar kerja, termasuk
hak di tempat kerja dan persoalan hubungan industri. Sejumlah
rekomendasi dibuat, diajukan dengan pandangan bahwa memperbaiki
tata pemerintahan dalam lapangan kerja merupakan kondisi penting
untuk menarik investasi dan untuk meningkatkan persaingan, yang pada
gilirannya akan menjadi sangat vital untuk meningkatkan pertumbuhan.
Bab III difokuskan pada pembangunan modal manusia dan
penguatan kemampuan yang mencakup hal-hal yang berhubungan
dengan pendidikan dasar, keterampilan dan pendidikan kejuruan,
pekerja anak dan pekerja muda. Di Bab IV, terdapat sebuah analisis
mengenai perlindungan sosial di Indonesia dan serangkaian rekomendasi
untuk memperkuat mekanisme perlindungan sosial, khususnya bagi
kelompok-kelompok rentan. Secara keseluruhan, laporan ini memberikan
gambaran tentang pentingnya penggabungan kebijakan sosial dan
ekonomi untuk mencapai hasil-hasil program pengentasan kemiskinan.
Laporan inipun berulang kali merujuk pada tema-tema umum yang
penting bagi Indonesia seperti kesempatan untuk kaum muda,
desentralisasi yang efektif dan efisien, serta kesetaraan jender.
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
Proses Keterlibatan ILO dalam PRSP
di Indonesia
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Dokumen Strategi
Pengentasan Kemiskinan Sementara (Interim Poverty Reduction Strategy
Paper - PRSP) pada bulan Januari 2003, dan dokumen PRSP tersebut
saat ini sedang dalam tahap penyelesaian yang dijadwalkan pada Juni
2004. Pemerintah telah membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan
Nasional yang dipimpin Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat yang
akan membawahi empat gugus tugas yang akan menggarap tema-tema
PRSP, yakni ‘Menciptakan Kesempatan’, Pemberdayaan Masyarakat’,
‘Pengembangan Kapasitas’, dan ‘Perlindungan Sosial’. Masing-masing
dari gugus tugas ini beranggotakan perwakilan dari Pemerintah,
masyarakat sipil dan perguruan tinggi.
Dukungan ILO terhadap strategi pengentasan kemiskinan di
Indonesia dimulai dengan komentar teknis atas PRSP Sementara, dan
setelah itu disepakati bahwa ILO akan menyediakan bantuan lebih lanjut
sesuai permintaan dari Komite Penanggulangan Kemiskinan Nasional.
Kontribusi ILO terhadap proses PRSP di Indonesia mencakup dua jenis
pendekatan. Pertama, upaya berkesinambungan untuk membangun dan
mendukung kapasitas serikat-serikat pekerja/buruh dan organisasi
pengusaha untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses PRSP. Kedua,
ILO memberikan kontribusi teknis substansial dalam proses penyusunan
paparan teknis singkat (Technical Briefing Notes - TBNs) dan laporan
komprehensif yang berisi serangkaian rekomendasi kebijakan. Berbagai
rekomendasi ini menekankan perlunya menempatkan persoalan
ketenagakerjaan sebagai strategi utama pengentasan kemiskinan, yang
didasarkan pada kerangka konseptual “Pekerjaan yang Layak untuk
Semua”.
Partisipasi para pelaku dari berbagai kalangan dalam perumusan
dan penerapan PRSP merupakan hal yang sangat mendasar karena
keterkaitan mereka dengan PRSP dan demi keberhasilan pelaksanaan
PRSP itu sendiri. ILO telah bekerja sama dengan konstituen utamanya,
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serikat-serikat pekerja/
buruh, dan organisasi pengusaha untuk mendukung keterlibatan mereka
yang substantif dan bisa dipercaya dalam proses pelaksanaan PRSP.
Sebuah upaya khusus telah dilaksanakan untuk meningkatkan
kapasitas serikat-serikat pekerja/buruh. ILO memberikan pelatihanpelatihan teknis sehingga perwakilan serikat pekerja/buruh di gugus
tugas PRSP akan bisa berperan aktif dalam diskusi dengan latar belakang
yang mereka miliki dan kontribusi mereka yang berarti. Peristiwaperistiwa penting dalam kerjasamanya dengan serikat pekerja/buruh
berupa Seminar Serikat Pekerja/Buruh Nasional tentang PRSP pada
bulan September 2003, dengan tujuan utama meningkatkan kesadaran
tentang strategi pengentasan kemiskinan. Seminar ini melahirkan
jaringan serikat pekerja/buruh di bidang PRSP. Jaringan ini berfungsi
sebagai saluran yang mewakili perhatian dan pendapat para pekerja
dalam mengembangkan strategi pengentasan kemiskinan bagi Indonesia.
Dimensi penting lainnya adalah lokakarya-lokakarya peningkatan
kapasitas untuk serikat pekerja/buruh yang berlangsung di tingkat
provinsi, yang sejalan dengan program pemerintah untuk merumuskan
strategi-strategi pengentasan kemiskinan di tingkat regional.
ILO juga telah memfasilitasi Asosiasi Pengusaha menyelenggarakan
seminar Asosiasi Pengusaha Indonesia Nasional (APINDO) mengenai
PRSP pada Oktober 2003. Seminar ini menjadi forum bagi para
pengusaha untuk menyuarakan keprihatinan dan pendapat mereka
berkaitan dengan pengembangan strategi pengentasan kemiskinan.
Berbagai upaya ini telah menghasilkan perumusan baik oleh serikat
pekerja/buruh maupun pengusaha mengenai posisi mereka dalam PRSP.
Lebih jauh lagi, semua konstituen ILO secara bersama-sama telah
mendiskusikan PRSP dan pentingnya ketenagakerjaan dan pekerjaan
yang layak dalam forum nasional “Terbebas dari Kemiskinan” yang
diselenggarakan pada Oktober 2003 dalam kaitannya dengan peringatan
Hari Internasional Penghapusan Kemiskinan.
Pada Desember 2003, diselenggarakan sebuah seminar tripartit
dengan tema “Rekomendasi-rekomendasi kebijakan tentang Pekerjaan
yang Layak dan Strategi Pengentasan Kemiskinan”. Seminar ini
menghasilkan umpan balik teknis yang sangat bermanfaat mengenai
pilihan dan implikasi kebijakan. Hasil seminar ini telah diambil sebagai
bahan dalam penyiapan usulan ILO tentang PRSP.
ILO telah menyiapkan serangkaian paparan teknis yang pendek
dan terfokus (Lihat tabel 1) yang melayani dua tujuan:
i)
Sebagai dokumen latar belakang tentang persoalan dan pilihanpilihan kebijakan yang amat penting bagi pengentasan kemiskinan.
Contohnya: ‘Dimensi ketenagakerjaan dalam Kebijakan Makro dan
Sektoral’, ‘Lapangan kerja bagi Kaum Muda: Jalan Setapak dari
Sekolah Menuju Pekerjaan’, ‘Meningkatkan Tata Pemerintahan yang
Baik dalam Pasar tenaga Kerja’; ‘Jender dan Kemiskinan’.
ii)
Sebagai pondasi bagi pembuatan laporan komprehensif sebagai
sumbangan ILO untuk proses PRSP, yang akan menyediakan
rekomendasi spesifik kepada masing-masing gugus tugas dalam
Komite Penanggulangan Kemiskinan Nasional.
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
Konstituen-konstituen ILO telah dimintai nasihat secara intensif
dalam penyiapan kontribusi teknis kepada PRSP dan pada kenyataannya
menjadi panduan dalam proses penyusunannya.
Kantor ILO di Jakarta telah melibatkan diri secara aktif dalam usaha
membangkitkan kesadaran dan mempromosikan pekerjaan yang layak
sebagai komponen penghapusan kemiskinan melalui strategi komunikasi
PRSP yang bagus. Strategi ini mencakup penerbitan berbagai brosur,
buku panduan, poster, dan bahkan agenda kerja, dan juga meluncurkan
sampul peringatan hari pertama dengan tajuk “ILO Mendukung
Indonesia Menanggulangi Kemiskinan’, yang semuanya telah membantu
meningkatkan citra komitmen ILO terhadap pengentasan kemiskinan.
Peluang ke Depan:
Di samping perumusan PRSP, ILO mencari jalan untuk mendukung
proses implementasi, khususnya dengan melibatkan serikat pekerja/
buruh dan organisasi pengusaha dalam strategi-strategi dan program
yang relevan yang terkait dengan lapangan kerja dan pekerjaan yang
layak. ILO akan mendukung usaha-usaha pengembangan indikator
untuk memantau dan meninjau kembali implementasi PRSP (lihat
Lampiran 1) dan meneruskan pengembangan kapasitas kapan dan
bilamana diperlukan.
1.
2.
3.
4
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Dimensi Ketenagakerjaan dalam Kebijakan Makro dan
Sektoral
Desentralisasi dan pekerjaan yang layak: Mengaitkannya
dengan MDGs
Penciptaan Pekerjaan dan Pengembangan Usaha Kecil,
Menengah, dan Ekonomi Lokal
Lapangan Kerja bagi Kaum Muda: Jalan Setapak dari Sekolah
Menuju Pekerjaan
Infrastruktur Pedesaan: Akses, Ketenagakerjaan dan Peluang
Meraih Pendapatan
Pengembangan Keterampilan untuk Pertumbuhan Ekonomi
dan Kehidupan yang Berkelanjutan
Mempromosikan Deklarasi ILO mengenai Prinsip-prinsip
dan Hak-hak Dasar di Tempat Kerja
Memberantas Bentuk-bentuk Terburuk Pekerja Anak
Perlindungan Sosial bagi Semua
Meningkatkan Tata Pemerintahan yang Baik di Pasar Tenaga
Kerja dengan Memperkuat Tripartisme dan Dialog Sosial
Migrasi: Peluang dan Tantangan bagi Pengentasan
Kemiskinan
Jender dan Kemiskinan
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
Menciptakan Kesempatan:
Pertumbuhan dan Lapangan kerja
Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh stabilitas makro ekonomi
dan situasi investasi yang lebih baik diperlukan bagi pengentasan dari
kemiskinan. Namun, itu saja tidaklah cukup. Semua orang Indonesia,
yang bersedia dan mampu bekerja, harus memiliki peluang mendapatkan
pekerjaan yang produktif dan langgeng di dalam suasana yang bebas,
bermartabat, setara dan aman. Ini semua merupakan esensi dari
pertumbuhan ekonomi yang berpihak pada kaum miskin. Ini juga
merupakan sebuah etos dari ‘pekerjaan yang layak’. Hal ini diatur dalam
konstitusi Indonesia, dan mewakili visi ILO yang hendak diraih.
Mengapa kita harus fokus pada penciptaan kesempatan lapangan
kerja dalam skala luas sebagai salah satu pilar strategi pengentasan dari
kemiskinan? Terdapat cukup bukti untuk mendukung pandangan bahwa
di Indonesia dan di mana saja, keterkaitan antara lapangan kerja dengan
kemiskinan sangat kuat. Pada fase pertumbuhan yang cepat pada era
Suharto, kemiskinan menurun secara berkelanjutan sejalan dengan
perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian
yang lebih produktif, ukuran sektor usaha yang menyediakan pekerjaan
bergaji makin besar, keterampilan pekerja meningkat sampai tahap
tertentu, dan upah makin tinggi seiring dengan naiknya produktivitas.
Sayangnya, krisis keuangan tahun 1997 telah membalikan berbagai
kemajuan itu. Kendati krisis tidak menguras seluruh prestasi yang dicapai
pada masa sebelum krisis, dan meskipun terjadi pemulihan di sana-sini
setelah lima tahun, pasar tenaga kerja Indonesia masih memperlihatkan
banyak kelemahan. Bab ini akan menyoroti kelemahan itu dan
menjelaskan ciri-ciri utama dari kerangka kebijakan yang berfokus pada
penciptaan lapangan kerja, yang pada gilirannya dapat memberikan
kontribusi yang penting bagi pembaharuan komitmen Pemerintah
Indonesia untuk mengentaskan kemiskinan.
Bab ini juga mengajukan usulan bagaimana masyarakat regional
Indonesia bisa mendaki tangga peluang melalui komitmen pemerintah
terhadap desentralisasi yang demokratis. Salah satu cara untuk
melaksanakan tugas yang sangat mendasar ini adalah melalui
penyelarasan tujuan desentralisasi dengan MDGs (Millennium
Development Goals—Sasaran Pembangunan Milenium) yang diadopsi oleh
masyarakat internasional di sidang umum PBB pada September 2000
sebagai bagian dari upaya bersama untuk menurunkan tingkat
kemiskinan global. MDGs ini secara jelas menetapkan target untuk
menghapuskan kemiskinan pendapatan, kelaparan, buta aksara,
1
penyakit, diskriminasi terhadap perempuan dan kerusakan lingkungan
hidup pada tahun 2015.
Ketika tingkat kemiskinan meningkat tajam pada saat krisis ekonomi
memuncak, banyak tenaga kerja kembali ke sektor pertanian dan ukuran
sektor informal perkotaan membesar. Kondisi ini pada gilirannya
menciptakan deindustrialisasi. Upahpun menurun tajam sekitar 40
persen. Sejak itu, tampaknya seperti terjadi pemulihan ekonomi dalam
taraf tertentu. Kemiskinan (pendapatan/konsumsi) menurun dari
puncaknya pada tahun 1998/1999 dan saat ini (data tahun 2002)
posisinya sama dengan tingkat kemiskinan pada tahun 1996.1 Estimasi
awal dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan
pada tahun 2002 adalah 17,6 persen, sama dengan yang dicatat pada
tahun 1996.2 Upah riil kembali naik dan pada tahun 2002 mencapai 1030 persen di atas upah sebelum krisis. 3
Hasil Moderat Pasar
Tenaga Kerja pada era
paska-krisis4
Walaupun ada tanda-tanda pemulihan yang menjanjikan ini,
berbagai indikator pasar tenaga kerja menunjukkan bahwa pemulihan
itu masih rapuh. Simak beberapa angka statistik penting berikut. Pangsa
lapangan pekerjaan sektor pertanian menurun sampai 40,1 persen pada
tahun 1997, namun pada tahun 2001 naik menjadi 43,3 persen. Pangsa
lapangan kerja bergaji mencapai 35,5 persen pada tahun 1997, namun
menurun sedikit menjadi 33,3 persen tahun 2001. Bukti-bukti yang ada
juga menunjukkan bahwa tingkat penggunaan kapasitas di sektor
manufaktur anjlok menjadi 66 persen pada 2001 dari puncaknya, yaitu
78 persen pada 1996, sedangkan pertumbuhan lapangan kerja
manufaktur menyurut drastis dari 2.8 persen pada masa 1994-1997
menjadi 0.6 persen pada masa 1998 –2001.5 Dengan kata lain, tidak ada
bukti yang meyakinkan bahwa kondisi ketenagakerjaan yang memburuk
pada tahun 1998 ketika Indonesia dilanda resesi akibat krisis ekonomi
itu telah berhasil diatasi.
Perhatian juga mesti diberikan pada fakta-fakta mengenai
pengangguran terbuka yang naik tajam dalam beberapa tahun terakhir
ini. Tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2002 mencapai sembilan
persen, bandingkan dengan tahun 1997 yang hanya 4,7 persen.6
1
Batas garis kemiskinan Indonesia menggambarkan kombinasi komponen makanan dan
non-makanan dasar. Batas kemiskinan ini diperbarui lagi pada 1996 dan nilainya setara
dengan $1,50 sen per hari.
2
3
Angka-angka ini didapatkan dari Mr. Brasukra Sudjana dari ILO (UNSFIR-UNDP, Jakarta).
Alisjahbana, Armida S. and Chris Manning. 2002. “Survey of Recent Developments.” Bulletin
of Indonesian Economic Studies, 38(3): 277-305. December 2002.
4
Statistik pasar tenaga kerja yang dilaporkan di sini berdasarkan tabulasi khusus yang
dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik - BPS dengan menggunakan format global ILO ‘Key
Indikators of the Labour Market - KILM).’ Mr. Puguh Irawan menjadi penanggung jawab
formal untuk mengelola proyek-proyek KILM di BPS.
5
Data-data statistik disiapkan dan disuplai oleh Dr Shafiq Dhanani, konsultan ILO berbasis
di Jakarta.
Asia Recovery Information Centre database for 2003 (www.aric.adb.org).
6
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
Harus diakui bahwa pengangguran terbuka di Indonesia justru
banyak dialami oleh mereka yang berpendidikan. Data lain menunjukkan
bahwa tingkat pengangguran didominasi oleh kaum muda. Kondisi ini
tentu sangat memprihatinkan. Tingkat pengangguran kaum muda pada
tahun 2001 tercatat 24,1 persen dibanding dengan 15,5 persen pada
tahun 1997. Lebih dari 60 persen orang yang tidak memiliki pekerjaan
adalah kaum muda. Kecilnya peluang pekerjaan produktif bagi kaum
muda ini Indonesia bisa berkembang menjadi sumber keresahan sosial.
Kesenjangan jender tetap terjadi pada pasar tenaga kerja Indonesia.
Walaupun perbedaan upah laki-laki-perempuan terus mengecil dalam
beberapa tahun terakhir, tinjauan sekilas atas data yang ada
menunjukkan bahwa pada beberapa indikator penting pasar tenaga
kerja, pekerja perempuan tertinggal dari pekerja laki-laki. 7 Pada tahun
2001, misalnya, tingkat partisipasi tenaga kerja (mereka yang berusia
15-64 tahun) untuk perempuan adalah 53,3 persen dibanding dengan
87,3 persen untuk laki-laki. Perempuan pekerja juga kurang terwakili
pada sektor pekerjaan bergaji (29,3 persen dibanding 35,6 persen).
Pekerja perempuan justru lebih terwakili dalam lapangan kerja paruhwaktu (56,4 persen) dan di sektor informal perkotaan (49,9 persen
dibanding 42,2 persen), tingkat pengangguran terpaksa (11,5 persen
dibanding 7,6 persen) dan lebih rendahnya pencapaian pendidikan (15,5
persen pekerja perempuan berpendidikan menengah dibanding 21,1
persen pekerja laki-laki). 8
Kesenjangan jender di
pasar tenaga kerja
Kesenjangan jender di pasar tenaga kerja juga tercermin pada
berbagai hambatan yang dihadapi oleh wirausahawan perempuan.
Mereka tidak memiliki cukup akses untuk mendapatkan pelatihan
keterampilan di bidang pemasaran, akuntansi dan manajemen. Mereka
juga tidak memiliki jaringan kerja yang cukup luas dan informasi bisnis
yang bisa membekali mereka untuk bersaing dan untuk memenuhi
perubahan-perubahan tuntutan konsumen dan teknologi. Mereka
menghadapi kesulitan untuk mendapatkan kredit, khususnya bila
kebutuhan mereka melebihi apa yang bisa ditawarkan kepada kelompok
perempuan oleh koperasi dan sumber kredit mikro.
Aspek-aspek lain dari pasar tenaga kerja Indonesia perlu diteropong.
Sebagai permulaan, setiap pemahaman tentang kaitan yang erat antara
kemiskinan dengan pasar tenaga kerja di Indonesia memerlukan
pengakuan mengenai betapa besar dan beragamnya perekonomian
informal. Sektor ini juga mendorong kegiatan ekonomi pedesaan dan
perkotaan dan menyerap 67% dari total tenaga kerja Indonesia. Statistik
resmi menunjukkan bahwa besaran sektor informal perkotaan telah
7
8
Kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan ditelaah oleh Dhanani, S. & Islam, I.
(2001) dalam ‘Indonesian Wage Structure and Trends, 1976-2000’. Makalah yang disiapkan
untuk Infocus Socio-Economic Security Program (ILO/SES), Geneva: International Labor
Organization.
Satu-satunya pengecualian adalah pekerja perempuan dengan pendidikan sarjana yang
mampu berdiri sejajar dengan mitra laki-lakinya (5,0 persen).
Implikasi ekonomi
informal yang besar dan
beragam
meningkat lima tahun belakangan ini. Pekerjaan di sektor informal sering
ditandai dengan ciri-ciri tingkat keterampilan dan produktivitas yang
rendah, pendapatan yang rendah atau tidak menentu, jam kerja yang
panjang, tempat kerja yang sempit atau tidak menentu, kondisi kerja
yang tidak aman dan tidak sehat, dan kurangnya akses ke informasi,
pasar, keuangan, pelatihan dan teknologi. Pekerja di sektor ekonomi
informal tidak diakui, didaftar, diatur atau dilindungi oleh peraturan
ketenagakerjaan dan perlindungan sosial, seringkali karena status
ketenagakerjaan mereka kabur. Sebagian besar dari mereka yang
menderita dalam kondisi seperti ini adalah anak-anak dan perempuan.
Dimensi mobilitas
spasial pekerja
Mobilitas spasial yang tinggi menjadi ciri utama pasar tenaga kerja
Indonesia. Mobilitas seperti ini telah meningkat secara tajam pada tahuntahun terakhir ini, baik dalam skala maupun keberagamannya. Statistik
yang tersedia menunjukkan bahwa dalam tiga tahun terakhir ini, jumlah
laki-laki Indonesia yang pernah tinggal di provinsi yang bukan asal
mereka naik 68 persen, sedangkan untuk perempuan angka ini lebih
mengejutkan, yaitu 98 persen. Kebijakan transmigrasi yang
dikembangkan dengan baik telah mendorong penduduk Indonesia
berpindah dari pulau-pulau di luar Jawa-Bali untuk pindah ke Jawa
dan Bali. Namun, kecenderungan tersebut terlihat berbalik, paling tidak
untuk sementara waktu. Sensus tahun 2000 mencatat kenaikan migrasi
ke pulau-pulau terpencil. Cukup masuk akal untuk mengaitkan
perkembangan ini dengan penurunan tajam peluang kerja di Jawa setelah
krisis moneter 1997.
Juga terdapat banyak migrasi pedesaan-perkotaan yang
menyebabkan penduduk perkotaan tumbuh sekitar 5 persen per tahun
dalam tiga dekade terakhir. Namun demikian, sebagian besar migrasi
jenis ini terdiri dari migrasi musiman dan tidak permanen. Ada
kecenderungan khusus di mana sebagian pekerja migran meninggalkan
keluarga mereka di komunitasnya selama mereka bekerja di tempat tujuan
dalam rentang waktu satu minggu sampai dua tahun. Paling tidak ada
25 persen keluarga pedesaan bekerja di daerah perkotaan selama
beberapa waktu dalam setahun.
Selain itu, mobilitas tenaga kerja yang cukup signifikan di Indonesia
adalah meningkatnya kecenderungan penduduknya untuk mencari
pekerjaan di luar negeri. Misalnya, pada tahun 1997-98, jumlah Tenaga
Kerja Indonesia (pekerja migran), yang kebanyakan perempuan,
mencapai 232.275 orang, namun pada tahun 2000 jumlah ini meningkat
menjadi 435.219 orang. Krisis 1997 nampaknya telah menyebabkan
banyak orang untuk mencari pekerjaan di luar negeri karena kesempatan
kerja di dalam negeri telah menyurut. Indonesia kini menjadi salah satu
negara pemasok tenaga kerja kontrak di dunia. Tapi, kebanyakan mereka
tergolong pekerja tidak terampil, yang kebanyakan bekerja di negaranegara Asia lain serta di Timur Tengah.
Sayangnya ada dua ciri pasar kerja Indonesia yang telah
menyebabkan citra Indonesia memburuk. Satu hal berkaitan dengan
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
praktek perdagangan anak-anak dan perempuan yang kejam. Sedangkan
yang lainnya adalah masalah kontroversial yang berkaitan dengan
munculnya lebih dari dua juta IDPs (internally displaced persons – pencari
suaka internal) – salah satu jumlah yang tertinggi, kalau tidak yang paling
tinggi, di dunia. Ini kebanyakan merupakan fenomena paska krisis 1997
– di mana mereka melarikan diri dari konflik separatisme, antar-suku,
dan juga antar-agama yang meningkat dengan tajam di daerah-daerah
tertentu.
Dimensi pasar tenaga kerja Indonesia yang amat penting yang diteliti
pada bagian sebelumnya memberikan kita sebuah konteks untuk
mengungkapkan pandangan bahwa peluasan lapangan kerja harus
menjadi unsur inti strategi pengentasan kemiskinan nasional. Khususnya,
terdapat kebutuhan untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang bisa
bertahan lama setiap tahunnya (berdasarkan perkiraan terkini,
pemerintah harus menyediakan paling tidak dua juta lapangan kerja)
baik untuk menyerap masuknya tenaga baru ke dalam pasar tenaga
kerja dan untuk menutup para pengangguran dan setengah
pengangguran yang tidak diserap pasar kerja pada tahun-tahun
sebelumnya.
Terkait dengan tujuan penciptaan lapangan kerja baru, ada
serangkaian rekomendasi yang bisa dibuat. Dalam tujuan peluasan
lapangan kerja tersisip sederet rekomendasi kebijakan yang bisa dibuat.
Berikut adalah pembahasannya.
Dalam kurun waktu 1999-2002, tingkat pertumbuhan rata-rata
Indonesia adalah 3,2 persen. Kondisi tersebut sangat kontras dengan
pertumbuhan 7,0 persen dalam kurun waktu 1994 sampai 1997.9 Tingkat
pertumbuhan setelah krisis yang dicatat sampai sekarang belum cukup
untuk menciptakan lapangan kerja bagi tenaga kerja baru sebanyak dua
juta orang dan untuk menutup akumulasi penganggur dan setengah
penganggur yang tidak diserap pasar pada tahun-tahun sebelumnya.
Berdasarkan estimasi terkini elastisitas lapangan kerja tingkat
pertumbuhan minimal lima persen dalam jangka pendek dan jangka
menengah merupakan titik kritis dalam menunjang strategi berfokus
penciptaan lapangan kerja untuk mengurangi tingkat kemiskinan pada
masa paska krisis di Indonesia.10
Indonesia membutuhkan
kembali pertumbuhan
cepat dan berkelanjutan
Sulit untuk menetapkan secara tegas mengenai pemulihan yang
dimotori ketenagakerjaan dari krisis keuangan 1997 dan konsekuensinya
yang berat, kecuali jika perhatian terhadap ketenagakerjaan secara formal
dimasukkan menjadi bagian dari target dan tujuan kebijakan makro
Merefleksikan sasaran
ketenagakerjaan dalam
kebijakan makro
9
Estimasi pertumbuhan terakhir tersedia di situs Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id)
10
Angka lima persen disorot dalam laporan ILO (1999a), Indonesia: Strategies for Employmentled Recovery and Reconstruction, Jakarta dan Jenewa: ILO. Juga lihat Islam, I dan Nazara,
S (2000)
ekonomi. Otoritas moneter Indonesia, seperti halnya otoritas yang sama
di banyak negara, ditugaskan untuk mengendalikan inflasi pada tingkat
yang dikehendaki. Dalam jangka menengah, tujuannya adalah untuk
mempertahankan tingkat inflasi di bawah 5 persen.11 Pada saat yang
sama, kebijakan fiskal terhambat oleh kebutuhan melakukan
“konsolidasi fiskal” untuk mengendalikan ledakan utang dalam negeri
pemerintah yang disebabkan oleh krisis. Hal ini diyakini akan
menciptakan kerangka kebijakan ekonomi makro yang diarahkan untuk
memantau berbagai variabel keuangan dan fiskal.
Dalam kurun waktu 2001-2002, Indonesia mengalami inflasi dua
digit (berkisar 11,5-11,9 persen), sementara itu tingkat suku bunga
nominal, sebagaimana dicatat pada pertengahan 2001, adalah yang
tertinggi di Asia Tenggara. Sejak itu, tingkat bunga nominal turun 350
basis poin dan penurunan tersebut memberikan implikasi pada
penurunan tingkat inflasi tahun yang sekarang berkisar pada angka
enam persen (seperti tercatat pada Oktober 2003).12 Pada titik tertentu,
pejabat moneter perlu membuat suatu resolusi untuk memecahkan
beberapa isu yang fundamental. Apa keuntungan sosial dari upaya
mempertahankan inflasi tetap berada di bawah 5 persen, atau sebaliknya,
apa biaya sosialnya bila inflasi dibiarkan naik melebihi 5 persen pada
jangka menengah? Apakah mereka telah mempertimbangkan pelajaran
dari bukti-bukti internasional bahwa tingkat inflasi menengah (di bawah
15 persen) tidak merugikan bagi pertumbuhan dan juga tidak
memperburuk kondisi kelompok miskin? 13 Kecuali bila terdapat jawaban
yang meyakinkan terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar di atas,
inflation targeting yang kaku seperti ini mungkin bukannya akan
memecahkan masalah, namun sebaliknya, hanya akan memperparahnya
saja.
Pertimbangkan juga implikasi dari penerapan kebijakan fiskal yang
ketat pada waktu pertumbuhan ekonomi melesu. Pemerintah Indonesia
telah mengisyaratkan niatnya untuk mencapai defisit anggaran 1,3 persen
dari PDB pada tahun 2003, dengan tujuan menyeimbangkan anggaran
pada tahun 2004.14 Untuk mencapai tujuan fiskal tersebut, pemerintah
telah mengasumsikan tingkat pertumbuhan 5 persen untuk tahun 2003,
mengusulkan peningkatan pendapatan pajak sebesar 18,7 persen dan
telah mengisyaratkan niatnya untuk mengurangi berbagai subsidi bahan
bakar, listrik dan subsidi lain sebesar 39 persen. Perlunya mengurangi
11
Catatan teknis ‘Pasar Kerja Indonesia: Estimasi Elastisitas Lapangan Kerja untuk Ekonomi
Indonesia’, Kantor ILO Jakarta.
12
Asia Recovery Information Centre July Update (pembaruan Juli 2003 dari Pusat Informasi
Pemulihan Asia) (www.aric.adb.org). Estimasi inflasi tersedia di situs Badan Pusat Statistik
(www.bps.go.id).
Bukti-bukti ini diulas ulang dalam Islam, I (2003) ‘Avoiding the Stabilisation Trap: Towards
a Macroeconomic Policy Framework for Growth, Employment and Poverty Reduction
(Menghindari Jebakan Stabilisasi: Menuju Kerangka Kebijakan Makro ekonomi bagi
Pertumbuhan, Ketenagakerjaan dan Pengentasan dari Kemiskinan), Employment Paper
2003/54, Jenewa: ILO
13
14
Pemerintah dituntut untuk menjalankan surplus utama (setingkat dua persen dari GDP)
beberapa tahun mendatang. Lihat Bank Dunia (2000), Indonesia: Managing Government
Debt and its Risks , 22 Mei, Kawasan Asia Timur dan Pasifik, Washington DC: Bank Dunia.
Rancangan anggaran untuk 2003 dikaji di Jakarta Post, 19 Agustus, 2002.
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
subsidi didorong oleh perlunya mengarahkan anggaran belanja ke tujuan
yang sesuai. Walaupun tujuannya cukup baik, beberapa pengamat
mengungkapkan keprihatinan mereka dengan mengemukakan
argumentasi bahwa semua tujuan itu, termasuk proyeksi tingkat
pertumbuhan, terlalu ambisius. 15 Dengan tingkat pertumbuhan sebesar
3,8 persen dalam triwulan kedua tahun 2003 (sebagaimana dikemukakan
di atas), pandangan ini tampaknya cukup dapat diterima. Lebih penting
lagi, kita dapat berargumentasi bahwa walaupun komposisi anggaran
itu penting artinya, jumlah keseluruhan anggaran itu bila dikaitkan
dengan kebutuhan keuangan dalam strategi nasional mengentaskan
kemiskinan, tidak bisa diabaikan.
Tampaknya ada keharusan untuk menyeimbangkan fokus pada
variabel keuangan dan fiskal dalam manajemen makro ekonomi dengan
komitmen yang yang bisa dipercaya dalam penyediaan kesempatan kerja
produktif dan langgeng bagi semua penduduk Indonesia. Komitmen
demikian dapat terwujud dalam bentuk ‘bursa kerja tahunan’ yang
diselenggarakan dalam konteks kesepakatan publik tentang berbagai
persoalan yang berkaitan dengan penciptaan lapangan kerja baik di
tingkat nasional maupun lokal. Ini dapat meliputi penetapan target
penciptaan lapangan kerja secara eksplisit yang konsisten dengan
penyerapan tenaga kerja baru serta pengurangan jumlah penganggur
yang ada sekarang (dengan asumsi tentang parameter struktural dalam
ekonomi). Target-target utama ini akan menetapkan tingkat
pertumbuhan, inisiatif kebijakan yang diperlukan dalam penyusunan
anggaran belanja yang berpihak kepada kaum miskin. Penggunaan
target penciptaan lapangan kerja sebagai bentuk manajemen ekonomi
makro pada gilirannya akan menyediakan lingkup pencarian cara-cara
dimana proses pertumbuhan dijadikan berbasis tenaga kerja (employmentintensive) atau padat karya, dan dengan demikian mengurangi beban
tingkat pertumbuhan itu sendiri untuk menciptakan jumlah kesempatan
kerja yang diperlukan untuk memenuhi sasaran kebijakan.
Setiap upaya untuk merancang kerangka kebijakan berfokus
ketenagakerjaan harus dipersiapkan oleh kerangka statistik yang tepat
yang memungkinkan pemerintah memantau lapangan kerja. Sebagai
permulaan, indikator kunci pasar tenaga kerja perlu diperbarui secara
teratur. Hal ini yang bisa dilengkapi dengan memperhatikan
rekomendasi-rekomendasi yang amat beragam dari studi ILO untuk
memperbaiki sistim informasi pasar tenaga kerja (labour market information
system - LMIS).16 Ini mencakup perbaikan dalam perancangan dan
pengumpulan data lapangan kerja, upaya-upaya yang lebih keras untuk
mengumpulkan informasi tentang pekerjaan mandiri (yang mencakup
40 persen dari keseluruhan tenaga kerja), sistim peringatan dini untuk
15
16
Lihat Jakarta Post, 18 Agustus 2002. Rizal Ramli adalah kritikus terkemuka terhadap
manajemen makro ekonomi pemerintah dan berpendapat bahwa makro ekonomi pemerintah
berbasis pada usaha pemerintah untuk membayar tunggakan hutangnya. Lihat Komentar
Ramli di Business Times, 16 Augustus 2002.
Dhanani, S (2002), ‘Strengthening the Indonesian labour market information system’. Laporan
disiapkan untuk Departemen Pemulihan dan Rekonstruksi,ILO, Jenewa
Mengembangkan sistim
informasi pasar tenaga
kerja untuk melengkapi
manajemen
makroekonomi yang
berfokus pada
ketenagakerjaan
memantau standar hidup kelompok pekerja miskin dengan cara
memfokuskan pada data upah bulanan dari kelompok rentan di angkatan
tenaga kerja, memadukan data lapangan kerja dengan indikator
kemiskinan, penurunan kesenjangan waktu antara pembuatan,
pemrosesan serta penyebaran data, memperkuat kemampuan pejabatpejabat di tingkat daerah dalam menciptakan data lapangan kerja, dan
memastikan bahwa pengumpulan dan pembuatan statistik tenaga kerja
didanai sepenuhnya oleh sumber anggaran biasa dari pemerintah.
Sebagai tambahan, informasi pasar tenaga kerja yang relevan harus
dikembangkan demi kepentingan para pencari kerja, siswa-siswa,
peserta pelatihan dan pengusaha.
LMIS untuk Indonesia dalam bentuk apapun yang bisa dipercaya
harus mempertimbangkan dimensi jender lapangan kerja. Sebagaimana
dicatat, walaupun terdapat kemajuan, kesenjangan jender yang
signifikan masih saja terjadi. Aspek lapangan kerja ini harus dipantau
secara teratur untuk meningkatkan kesadaran baik pengusaha maupun
pembuat kebijakan dan untuk mendukung debat publik yang berdasar.
Tanpa persyaratan di atas perbaikan kebijakan seperti itu akan sulit
disebarluaskan.
Menciptakan
kesempatan bagi
penduduk Indonesia
yang miskin:
mengidentifikasi sektorsektor yang memiliki
potensi ketenagakerjaan
Strategi yang diyakini bisa mengentaskan kemiskinan dalam jenis
apapun di Indonesia harus fokus pada sektor agrikultur, karena sektor
ini mendominasi arena lapangan kerja nasional sebesar 41 juta pekerja,
80 persen di antaranya berkaitan erat dengan sektor informal. Lagipula,
kemiskinan merupakan fenomena pedesaan, karena sekitar 75 persen
dari jumlah semua keluarga miskin tinggal di daerah pedesaan dan
bergantung pada sektor pertanian sebagai sumber penghidupan utama
mereka.
Penduduk desa yang miskin seringkali dihadapkan pada hambatanhambatan berupa keterpencilan, kurangnya tingkat pendidikan dan
perawatan kesehatan, pekerjaan yang tidak menentu dan tidak produktif,
dan angka kesuburan yang tinggi dan diskriminasi terhadap perempuan
atau terhadap minoritas etnis. Dengan demikian, kebijakan dan program
pengentasan dari kemiskinan harus memberikan fokus strategis pada
pembangunan pedesaan dan harus menciptakan kesempatan yang lebih
banyak kepada laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan pekerjaan
di daerah pedesaan. Kebijakan demikian tidak hanya akan
mempromosikan pertumbuhan ekonomi namun juga akan mengurangi
kemiskinan kota dengan cara menahan migrasi pedesaan–perkotaan
pada tingkat yang lebih berkesinambungan.
Dengan kaitan yang sangat erat antara ekonomi pedesaan dengan
kemiskinan, tidaklah mengherankan bahwa pemerintah Indonesia telah
mencanangkan komitmen resmi bagi pembangunan pedesaan dengan
cara mencari cara untuk mengimplementasikan upaya-upaya yang akan
mendorong kesempatan lapangan kerja di luar ladang. Khususnya, White
Paper (Kertas Kerja) pemerintah kini telah fokus pada pengembangan
aktivitas agribisnis berskala kecil. Ini merupakan suatu inisiatif awal,
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
namun rincian kebijakan yang tepat perlu dijabarkan. 17 Contoh-contoh
intervensi yang berhati-hati yang bisa dipertimbangkan oleh pemerintah
mencakup perbaikan di bidang keamanan pemilikan lahan, yang
memungkinkan para petani mengembangkan diri ke agribisnis melalui
pemberian informasi yang lebih banyak dan pembangunan kapasitas
dan meningkatkan hubungan antara usaha besar maupun kecil.
Tonggak pengembangan pedesaan lainnya adalah investasi di
infrastruktur pedesaan. Kertas Kerja pemerintah telah membuat
pengumuman awal dalam bidang ini, misalnya pengembangan
infrastruktur pedesaan, Program Pembangunan Kecamatan, Program
Pemberantasan Kemiskinan Pedesaan, dan pelaksanaan program sanitasi
dan air bersih. Perihal investasi di dalam infrastruktur pedesaan dan
implikasinya terhadap lapangan kerja saling terkait dengan masalahmasalah investasi publik yang lebih luas dalam infrastruktur dan dibahas
secara lebih mendalam pada tahap lebih lanjut.
Di sektor manufaktur, sub-sektor tertentu memainkan peranan
penting dalam peluasan lapangan kerja. Misalnya, bukti-bukti yang
tersedia menunjukkan bahwa produksi garmen, sepatu dan perabot serta
elektronika merupakan sub-sektor di dalam manufaktur yang memiliki
kelenturan lapangan kerja yang ‘tinggi’ (di atas 0,5 untuk periode tahun
1985-1997).18
Statistik resmi menunjukkan bahwa hampir semua – atau lebih dari
99 persen–dari pekerja Indonesia dipekerjakan di perusahaanperusahaan kecil dan menengah atau UKM (small and medium-sized
enterprises — SME). Dengan demikian maka tidaklah mengherankan
bahwa pengembangan UKM harus menjadi bagian utama dari strategi
pengentasan dari kemiskinan di Indonesia.
Menciptakan
kesempatan bagi
penduduk miskin:
peranan pengembangan
perusahaan di dalam
penciptaan lapangan
kerja.
Pemerintah bisa melaksanakan beragam inisiatif dalam
pengembangan UKM yang mencakup: perlunya untuk memperkuat
kerangka koordinasi kebijakan, menumbuhkan bakat kewirausahaan
para anak muda baik laki-laki maupun perempuan, mengulang kembali
model koperasi, dan mengembangkan kapasitas bagi lapangan kerja dan
pembangunan lokal.
Untuk bisa memanfaatkan kesempatan-kesempatan untuk
mempromosikan inisiatif pengembangan UKM, harus ada koordinasi
kebijakan dan program yang lebih kuat di antara pemegang kepentingan
di tingkat nasional, maupun di antara pemerintah daerah dan sektor
swasta. Tambahan pula, amatlah penting bagi pemerintah nasional
dengan kekuatan yang dimilikinya untuk menjamin program dan
kebijakan di tingkat daerah secara ekonomi sehat dan sesuai dengan
17
18
Pemerintah Indonesia (2003), ‘Economic policy package in conjunction with the completion
of the government’s program with the IMF’, Jakarta
Islam, I (2002), ‘Poverty, employment and wages: an Indonesian perspective’, laporan
disiapkan untuk Departemen Pemulihan dan Rekonstruksi, ILO, Jenewa
Mengembangkan
kerangka koordinasi
kebijakan
UKM. Inisiatif-inisatif seperti itu secara sistematis harus mampu
menyerap praktek-praktek bisnis yang baik (international best practice)
dan keahlian bisnis setempat dan asosiasinya.
Fokus pada pembinaan
kewirausahaan pemuda
Kaum muda, baik laki-laki maupun perempuan haruslah menjadi
kelompok target yang penting dalam pengembangan perusahaan.
Dengan cara itu, kaum muda akan memberikan kontribusinya untuk
menciptakan pekerjaan mereka sendiri, dan Indonesia akan
mendapatkan manfaat dari bakat-bakat kaum muda yang kreatif ini.
Strategi seperti itu harus melibatkan partisipasi dari sektor swasta dan
organisasi masyarakat untuk memberikan pelatihan, pemagangan dan
akses untuk mendapatkan kredit bagi wirausahawan muda. Strategi ini
juga bisa melibatkan promosi kewirausahaan di sekolah-sekolah dan
institusi pendidikan kejuruan.
Membangun
kemampuan untuk
pengembangan ekonomi
lokal
Hampir semua program UKM di masa depan akan terdesentralisasi,
sehingga penting untuk memperkuat kemampuan institusi-institusi di
semua tingkat kepemerintahan, sehingga memungkinkan mereka
mengambil manfaat potensial dari desentralisasi, dan otonomi regional
bisa memberikan keuntungan bagi penduduk lokal maupun di tingkat
nasional secara keseluruhan. Dalam kaitan ini diperlukan program
peningkatan kemampuan yang sungguh-sungguh bagi pemerintah
daerah dan mitra-mitra lain dalam penciptaan kebijakan dan
pengembangan program.
Saat ini banyak koperasi terdaftar di Indonesia yang tidak aktif
akibat rendahnya keterampilan kepemimpinan dan keahlian bisnis dan
besarnya tunggakan pinjaman yang tak terbayar. Namun demikian, citra
dan nilai-nilai koperasi yang positif bagi model berbasis masyarakat untuk
pembangunan berkelanjutan tidak boleh diabaikan. Kekuatan finansial
dan kemandirian merupakan potensi penting bagi penciptaan lapangan
kerja di sektor ekonomi informal perkotaan dan agrikultur. Strategi
pembangunan di Indonesia perlu menjadikan kembali koperasi sebagai
model bagi pembangunan lokal. Ini bukan merupakan tugas yang mudah
karena praktek-praktek di masa lalu secara luas telah gagal dan
mengakibatkan upaya-upaya ini tidak bernilai dan bercitra jelek.
Menciptakan
kesempatan bagi
penduduk Indonesia
miskin: penciptaan
lapangan kerja melalui
investasi publik di sektor
infrastruktur
Sebuah studi terkini menunjukkan bahwa terdapat kelemahan yang
signifikan dalam penyediaan fasilitas-fasilitas infrastruktur di Indonesia.
19
Sekitar 50 persen rumah tangga di Indonesia tidak mempunyai akses
ke listrik, dan hanya ada 9,1 telepon per 100 penduduk. Angka-angka
itu sangat rendah jika dibandingkan dengan yang terjadi di kawasan
regional.
19
Bank Dunia (2003), ‘Averting an infrastructure crisis: a framework for policy action’, Jakarta:
Bank Dunia. Juga lihat The Jakarta Post, 3 Desember 2003.
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
Kita bisa mempertimbangkan statistik berikut yang menyoroti
hubungan antara terjadinya kemiskinan dan akses ke fasilitas
infrastruktur. Diperkirakan 50 persen penduduk Indonesia yang berada
di kawasan yang paling miskin tidak mempunyai akses ke jalan beraspal
sebagai jalan utama menuju tempat tinggal mereka. Antara 6 sampai 11
juta penduduk Indonesia tidak mempunyai jalur jalan yang layak atau
jaringan transportasi kendaraan bermotor yang memadai. Kelompok
penduduk ini cenderung tinggal di daerah yang paling terpencil dan
tertinggal di negara ini.
Alokasi belanja publik di masa datang harus difokuskan pada
pengadaan fasilitas infrastruktur pedesaan. Menghubungkan penduduk
pedesaan miskin ke pasar dan pelayanan-pelayanan melalui jaringan
jalan pedesaan yang memiliki standar memadai akan membentuk
pondasi bagi strategi pengetasan kemiskinan pemerintah.
Investasi publik dalam fasilitas infrastruktur – baik di daerah
pedesaan maupun di mana saja – bisa dirancang sebagai peranti kebijakan
ketenagakerjaan yang penting. Satu studi ILO menunjukkan bahwa
metode-metode produksi berbasis tenaga kerja dalam investasi
infrastruktur di Indonesia bisa menghasilkan 1,2 juta pekerjaan yang
langgeng dalam jangka empat tahun tanpa harus mempertimbangkan
standar kualitas yang diasosiasikan dengan teknik produksi yang
bertumpu pada peralatan (equipment intensive). Ini berarti bahwa,
perluasan lapangan kerja didorong pertumbuhan ekonomi mampu
mencapai dua juta pertahunnya, jumlah tenaga kerja yang diserap akan
naik menjadi 2,3 juta jika kita mengadopsi metode produksi berbasis
tenaga kerja dalam kebijakan investasi publik. 20
Bukti-bukti internasional mengkonfirmasi temuan-temuan positif ini.
Studi-studi menunjukkan bahwa program infrastruktur berbasis tenaga
kerja menghabiskan biaya 10-30 persen lebih rendah dibandingkan
dengan yang berbasis teknis peralatan intensif, menurunkan kebutuhan
mata uang asing sampai 50-60 persen, dan bisa menciptakan lapangan
kerja lima kali lebih besar untuk jumlah investasi yang sama.21
Terdapat pertalian yang kuat antara kemiskinan dan migrasi.
Kemiskinan yang terjadi di komunitas setempat mendorong penduduk
Indonesia mencari kesempatan yang lebih baik di tempat lain, apakah itu
di Indonesia maupun di luar negeri. Data-data yang tersedia menujukkan
bahwa sebagian besar mereka yang berpartisipasi dalam migrasi
internasional datang dari strata masyarakat Indonesia yang lebih miskin.
Perlu dicatat juga bahwa sebagian besar mereka yang dipindahkan secara
internal (IDPs) adalah perempuan dan anak-anak. Ini menjadikan mereka
salah satu kelompok masyarakat yang paling rentan.
20
21
ILO (1999b), Dokumen proyek untuk dukungan dan pelatihan teknis dengan target
penciptaan 1.2 juta pekerjaan, kerjasama dengan AusAID, Jenewa dan Bangkok, ILO dan
Canbera, AusAID
ILO (2000), Employment-intensive investment in infrastructure: jobs to build society, Jenewa:
ILO
Menciptakan
kesempatan bagi
penduduk Indonesia
miskin: memanfaatkan
mobilitas tenaga kerja
Migrasi tidak tetap dan musiman di Indonesia juga merupakan
sarana penting dari diversifikasi risiko di Indonesia. Migrasi sementara
seperti ini memungkinkan rumah tangga miskin menciptakan banyak
sumber pendapatan sehingga mengurangi ketergantungan hanya pada
satu orang. Dan pada saat yang sama, kiriman uang dari para pekerja
migran memainkan peranan penting dalam mengatasi kemiskinan
dengan memberikan dampak langsung terhadap standar hidup keluarga
dan saudara para migran yang menerima kiriman uang tersebut.
Konsumsi dan investasi kiriman uang tersebut memberikan pengaruh
berganda (multiplier). Belanja seperti ini bisa merangsang perekonomian
lokal dan menciptakan berbagai jenis lapangan pekerjaan.
Seperti yang sudah dicatat, jutaan orang penduduk Indonesia dan
yang miskin bepergian ke berbagai tempat di Indonesia atau luar negeri
untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Dengan hubungan
yang erat antara kemiskinan dan migrasi, pilihan-pilihan kebijakan
berikut ini bisa dieksploitasi karena keterkaitan itu akan membantu
pemerintah menciptakan lapangan kerja bagi kaum miskin di Indonesia
dan meningkatkan kehidupan dan standar hidup mereka.
Menghilangkan
hambatan perjalanan
Kita harus mempertimbangkan berbagai faktor yang menghambat
baik tren bermigrasi maupun kesejahteraan para pekerja migran. Salah
satu hambatan ini berupa prosedur birokrasi yang amat berbelit-belit
yang menyulitkan seseorang melakukan perjalanan, khususnya bagi para
pencari kerja di luar negeri. Jaringan transportasi dan komunikasi yang
buruk bisa menghambat mobilitas tenaga kerja di dalam Indonesia.
Dengan demikian, diperlukan upaya untuk menghilangkan hambatan
birokratis untuk bepergian dan untuk menanamkan investasi publik yang
berkesinambungan di bidang transportasi dan komunikasi.
Mengatur ‘industri
migrasi’
Kita bisa mendokumentasi berbagai contoh praktek intermediasi
yang rakus yang kini sudah menjadi bagian dari “industri migrasi” seperti
lembaga rekrutmen tenaga kerja dan penyedia jasa angkutan. Mereka
ini bisa menggunakan kekuatan pasar dan pengetahuan khusus mereka
untuk menarik ongkos yang sangat tinggi, bagi pelayanan yang mereka
berikan kepada para calon pekerja migran ini. Kerangka peraturan yang
berfungsi dengan baik akan bisa memantau secara efisien dan
menciptakan standar bagi para penyedia pelayanan dalam industri
migrasi. Hal ini tentu akan menguntungkan penduduk Indonesia miskin
yang mencari kesempatan kerja di luar komunitas mereka.
Memastikan pengiriman
uang yang aman, cepat
dan mudah
Kesejahteraan para migran dan tanggungan mereka juga sangat
terpengaruh bila tidak tersedia cara pengiriman uang yang secara relatif
aman dan mudah. Dengan demikian, pemerintah bisa menerapkan
kerangka kebijakan ‘ramah migrasi’ dengan memastikan bahwa pekerja
migran mempunyai akses untuk mengirimkan uang dengan cara yang
cukup aman, cepat dan mudah.
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
Dibutuhkan peningkatan sistem informasi pasar tenaga kerja yang
bisa dipercaya, komprehensif dan tepat waktu. Sistem informasi ini akan
menyediakan informasi mengenai lowongan pekerjaan baik di dalam
maupun di luar Indonesia. Dengan demikian, para calon pekerja migran
bisa mengambil keputusan atas dasar informasi yang masuk akal.
Memperbaiki sistim
informasi pasar
lapangan kerja bagi
calon pekerja migran
Akhirnya, persoalan kelompok rentan di antara komunitas pekerja
migran yang berbeda-beda harus disoroti. Pemerintah perlu memberikan
perhatian khusus pada pemberantasan praktek-praktek perdagangan
anak-anak dan perempuan, pada pemberian perlindungan TKI di luar
negeri dari resiko eksploitasi dan kekerasan, dan menjamin bahwa IDPs
direhabilitasi. Ini merupakan inisiatif-inisiatif penting yang bisa
mendorong penyediaan kesempatan bagi penduduk Indonesia untuk
mencari pekerjaan di berbagai tempat di Indonesia dan di luar negeri
dengan penuh kebebasan, bermartabat, setara, dan aman.
Melindungi pekerja
migran yang rentan
Meskipun pada mulanya ada kegamangan bahwa desentralisasi
regional di Indonesia yang baru belajar berdemokrasi ini akan
menimbulkan salah kelola, agenda desentralisasi sejauh ini telah
berlangsung tanpa gangguan yang berarti baik terhadap prosesnya
maupun terhadap keseluruhan integrasi fiskal pemerintah. Namun
demikian, dapat dikatakan bahwa masalah utama kesenjangan regional
di Indonesia — ketegangan regional, komunal dan ras — telah
ditangani dengan memuaskan di bawah kerangka desentralisasi yang
ada. Belakangan ini juga terlihat adanya kesulitan untuk
menyeimbangkan antara melayani kepentingan status quo dengan
kepentingan bagian-bagian negara ini yang kaya. Walaupun terdapat
usaha-usaha untuk mengurang ketidakpuasan di provinsi-provinsi yang
memiliki sumber daya yang kaya melalui Dana Perimbangan, tetap
muncul kekhawatiran bahwa hal ini akan menjadi permasalahan
pembagian yang ‘terlalu kecil dan terlalu terlambat’.22 Pada saat yang
sama, kekhawatiran awal bahwa aliran fiskal pusat-daerah yang
direkstrukturisasi mungkin tidak cukup melindungi kepentingan bagian
Indonesia yang lebih miskin, ternyata juga bukan kekhawatiran yang
mengada-ada. Pengkajian awal menunjukkan bahwa Dana Perimbangan
sejauh yang dioperasikan selama ini bisa memperburuk tingkat
ketidaksetaraan antardaerah yang tinggi. 23
Bagaimana kita bisa menciptakan kesempatan bagi masyakarat
daerah untuk saling berbagi kue pembangunan ini? Salah satu cara
adalah dengan menyelaraskan Millennium Development Goals (MDGs –
Sasaran Pembangunan Milenium) dengan agenda desentralisasi yang
demokratis. Seperti yang telah sangat diketahui, MDGs memerlukan
22
23
Prediksi ini dibuat di laporan media masa ketika UU Desentralisasi pertama kali diumumkan.
Lihat Far Eastern Economic Review, 13 Mei 1999 (John McBeth, Too Little, Too Late: Revenue
Law May Not Appease Restive Provinces’
Suyarho, W (2002), ‘Indonesia’s fiscal decentralisation: a preliminary assessment of the first
year experience’, Jakarta, UNSFIR Working Paper 02/07
konsensus global sehingga masyarakat internasional bersatu dalam
usahanya meraih target untuk menurunkan tingkat kemiskinan
(pendapatan maupun non-pendapatan) pada tahun 2015 (dengan
menggunakan tahun 1990 sebagai basis). Indonesia, seperti halnya lebih
dari 180 negara lainnya, telah mencanangkan tujuan dan target ini.
Fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa meskipun Indonesia sempat
mengalami kemunduran akibat krisis moneter pada 1997, Indonesia
tampaknya tetap berada dalam jalur yang tepat untuk mencapai MDGs
pokok pada tahun 2015. Keyakinan itu mensyaratkan bahwa Indonesia
harus memiliki tingkat pertumbuhan enam persen dan asumsi bahwa
kecenderungan penurunan tingkat kemiskinan baik dalam dimensi
pendapatan maupun non-pendapatan tetap seperti sekarang. Namun
demikian, pencapaian di tingkat nasional bisa mengelabui kita,
khususnya di negara Indonesia yang demikian besar dan memiliki
keragaman ini. Pemantauan terhadap tujuan dan target 2015
sehubungan dengan pengentasan kemiskinan di tingkat nasional tidak
bisa dipisahkan dari masalah kesenjangan antardaerah. Pada dasarnya
ada beberapa provinsi —dan banyak daerah di dalam provinsi— tidak
akan mampu mencapai sekurang-kurangnya satu target dari MDGs
(atau target serupa lainnya) pada tahun 2015. Hal ini bisa terbaca dalam
bagan 1.24
25
Jumlah Provi nsi
20
15
10
5
0
24
Kemis- Pendaftaran Melek
Poverty Net Enrol Literacy
kinan
Netto
huruf
Jender
Gender
IMR
IMR
MMR
MMR
Air
Perumahan
bersih
Safewater Housing
Istilah yang digunakan di bagan 1 harus diintepretasikan sebagai berikut. Kemiskinan =
setengah dari kemiskinan yang ekstrim pada tahun 2015; Keterlibatan Bersih (net enroll) =
seluruh penduduk sudah mengecap pendidikan dasar pada 2015; Melek aksara = seluruh
orang dewasa melek aksara pada 2015; IMR = penurunan tingkat mortalitas bayi sebesar
75 persen pada 2015; MMR = penurunan tingkat kematian ibu melahirkan sebesar 75
persen pada 2015; Air sehat = seluruh penduduk sudah memiliki akses ke air minum yang
aman pada 2015; Perumahan = seluruh penduduk sudah memiliki akses rumah yang
berlantai semen pada 2015. Tahun dasar dari masing-masing angka di atas adalah tahun
1993.
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
Temuan bahwa keberagaman regional yang signifikan yang
berkaitan dengan pencapaian target MDGs pada tahun 2015 harus
mengilhami para pembuat kebijakan untuk mengambil tindakan yang
memadai dan menggunakan hal itu sebagai dasar desentralisasi regional–
ide yang diajukan pertama kali pada Laporan Pengembangan Manusia
Nasional 2001.25 Dengan kata lain, alasan filosofis dari desentralisasi
haruslah mengacu pada pemahaman bahwa semua orang Indonesia,
sebagai penduduk Indonesia, berhak atas standar sosial dan ekonomi
minimum. Salah satu jalan untuk menetapkan standar sosial dan
ekonomi minimum adalah dengan cara menghubungkannya dengan
MDGs. Dengan demikian, kita bisa mengajukan visi strategis
pengentasan kemiskinan di mana pemerintah pusat, melalui kerjasama
dengan mitra regional, menyusun kembali MDGs sehingga target dan
sasaran pada tahun 2015 juga ditetapkan untuk wilayah kabupaten/
kotamadya. Perumusan kembali seperti itu harus bisa menjelaskan bahwa
MDGs merupakan standar minimum yang menjadi hak masyarakat
regional di Indonesia, dan pada saat yang sama memberikan peluang
kepada daerah-daerah yang lebih dinamis dan memiliki jiwa
kewirausahawan untuk mencapai hasil yang melebihi standar-standar
tersebut. Dengan demikian, kerangka pencapaian yang lebih jauh bisa
ditetapkan di mana kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan
administrasi, program dan anggaran bisa disebarkan untuk menciptakan
kesempatan kepada seluruh masyarakat daerah di Indonesia menikmati
buah pertumbuhan ekonomi.
25
BPS/BAPPENAS/UNDP (2001) ‘Towards a new consensus: democracy and human
development in Indonesia, Indonesia Human Development Report’, Jakarta: BPS-Statistik
Indonesia, BAPPENAS dan UNDP
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
2
Memberdayakan Kaum Miskin:
Meningkatkan Tata Pemerintahan
yang Baik di Pasar Tenaga Kerja
Indonesia harus mempercepat pertumbuhannya untuk menciptakan
kondisi-kondisi yang diperlukan untuk menurunkan tingkat dan untuk
mencapai MDGs. Untuk mencapai pertumbuhan tersebut, perlu
dibangun iklim investasi yang kuat. Dengan tanpa mengabaikan
kemajuan yang dicapai sampai saat ini, harus diakui iklim investasi di
Indonesia masih tetap lemah. Walaupun kondisi pasar finansial telah
membaik begitu pesat, sejumlah pengamat melihat beberapa kasus
hukum tingkat tinggi telah menjadi penyebab lambatnya laju reformasi
di bidang hukum dan dunia peradilan. Pembentukan Komisi Antikorupsi belum lama ini banyak disambut dengan gembira, namun
hasilnya akan sangat bergantung pada penerapan dan kegiatan
operasionalnya (hal yang sama juga berlaku bagi Komisi Pengawasan
Persaingan Usaha-KPPU). Desentralisasi yang secara keseluruhan telah
berlangsung relatif bagus, juga telah memunculkan masalah-masalah
baik bagi perusahaan yang sudah ada maupun calon investor, dalam
bentuk peraturan dan perpajakan baru yang saling bertentangan. Para
investor juga telah menyuarakan keprihatinan mereka tentang peraturan
ketenagakerjaan dan kecenderungan makin tingginya upah minimum.
Serangan teroris baru-baru ini telah mempertinggi keprihatinan berkaitan
dengan keamanan dalam negeri. Pembuat kebijakan harus berusaha
sekeras mungkin untuk memperbaiki iklim investasi, meningkatkan daya
saing Indonesia dan membangun prospek pertumbuhan untuk periode
mendatang.
Dari sejarahnya, kekuatan ekonomi Indonesia yang besar telah
membuat negara ini menjadi tujuan menarik bagi investasi asing: pasar
domestik dan tenaga kerja yang besar, sumber daya alam yang
berlimpah, infrastruktur yang kokoh, dan lokasi strategis di antara jalur
perdagangan utama di dunia. Namun, aliran investasi asing langsung
(foreign direct investment-FDI) ke Indonesia masih tetap lebih kecil dan
hanya setengah dari kondisi sebelum krisis moneter. Investasi oleh
investor Indonesia sendiri juga lesu, dengan pembentukan modal tetap
kotor (gross fixed capital formation) secara signifikan tetap di bawah laju
pada tahun 1997 (sumbangan FDI terhadap pembentukan GDP
cenderung terus menurun dan pada tahun 2002 jatuh pada posisi 32,2%
dari sebelumnya 40,4% pada tahun 2000) 1 . Berdasarkan Inward FDI
Performance Index terbaru yang dirilis UNCTAD,2 Indonesia menempati
ranking ke-138 (dari 196 negara). Dalam soal daya saing, peringkat
1
2
UNCTAD World Investment Report, 2003
Ibid, ranking 1999-2001: rasio aliran FDI global terhadap GDP global
Pendahuluan
Indonesia juga anjlok dari posisi ke- 25 pada tahun 2002 menjadi nomor
28 pada tahun 2003 (dari 30 negara yang berpenduduk lebih dari 20
juta jiwa) dalam the IMD World Competitiveness (Cina menempati
peringkat 12, Korea Selatan ke-15 dan Filipina ke-22). Sedangkan dalam
hal efisiensi bisnis (yang mencakup indeks gabungan pasar tenaga kerja),
Indonesia menduduki posisi paling rendah dari 49 negara yang disurvei. 3
Jadi, apa yang paling dibutuhkan untuk memulihkan kepercayaan
pasar, untuk mendorong persaingan yang lebih sehat dan untuk
mendukung investasi di Indonesia? Ada konsensus yang muncul bahwa
Indonesia harus menumbuhkan tata pemerintahan yang baik (good
governance ) dalam spektrum yang luas —lihat Boks 1 mengenai
pembahasan atribut-atribut penting dari tata pemerintahan yang baik.
harus menjadi unsur yang paling
penting dari berbagai strategi untuk menciptakan perbaikan-perbaikan
iklim investasi secara berkelanjutan. Memastikan berlangsungnya tata
kerja yang efektif dari Komisi Anti Korupsi yang baru-baru ini dibentuk,
disetujuinya amandemen hukum kepailitan, dan upaya-upaya yang
terus menerus untuk memperkuat peradilan niaga harus menjadi
prioritas khusus. Perhatian yang terus-menerus harus diberikan untuk
menjamin
tidak akan mengarah pada kerangka peraturan
yang terlalu rumit dan tidak stabil yang bisa membuat investor raguragu.
yang sering dilaporkan makin
memburuk dalam soal transparansi, makin sulit diprediksi dan makin
tidak adil sering disebut-sebut sebagai kendala bagi investasi.
Sementara elemen-elemen agenda tata pemerintahan yang baik di
atas merupakan sesuatu yang penting, kita perlu memberikan perhatian
yang lebih besar pada tata pemerintahan yang baik di pasar tenaga kerja.
yang masuk akal, yang bisa
mempertemukan keseimbangan antara kepentingan melindungi hak-hak
pekerja dan melayani lingkungan yang memperhatikan pertumbuhan
dalam konteks kebijakan hubungan industrial yang kuat, merupakan
titik kritis dalam berbagai keperihatinan yang sudah diungkapkan selama
ini. Pemerintah perlu membuat komitmen yang serius di berbagai bidang
untuk menyelesaikan pelbagai masalah yang bisa menimbulkan dampak
yang signifikan terhadap iklim investasi secara keseluruhan: kebijakan
hubungan kerja industrial yang baik adalah salah satunya.
Tata pemerintahan yang baik adalah unsur yang amat
penting dalam strategi pengentasan kemiskinan Indonesia.
Persoalan-persoalan pemerintahan yang tidak terpecahkan
akan menghalangi kebanyakan orang mendapatkan
kesempatan-kesempatan, keadilan dan akses ke sumber daya
kehidupan. Hambatan-hambatan ini menciptakan dan
memperparah kemiskinan. Tata pemerintahan yang lebih
3
Lihat IMD World Competitiveness Yearbook 2003
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
baik merupakan kunci penyelesaian konflik, pertumbuhan dan
pengentasan kemiskinan.
UNSUR-UNSUR TATA KEPEMERINTAHAN YANG BAIK
1.
Partisipasi
Semua laki-laki maupun perempuan harus memiliki suara
dalam proses pembuatan keputusan, apakah itu secara
langsung atau melalui institusi perantara yang legal yang
mewakili kepentingan mereka. Partisipasi yang luas seperti ini
dibangun berdasarkan kebebasan untuk menyatakan pendapat
dan berkumpul — yang menandaskan perlunya penerapan
secara penuh Konvensi ILO No. 87 — dan juga kemampuan
untuk berpartisipasi secara konstruktif.
2.
Peraturan hukum
Kerangka hukum harus bersifat adil dan menegakkan
ketidakberpihakan, khususnya hukum-hukum hak azasi
manusia.
3.
Transparansi
Transparansi dibangun atas dasar alur informasi yang bebas.
Proses-proses, institusi dan informasi bisa diakses secara
langsung oleh mereka yang memiliki perhatian terhadap
masalah ini. Dan informasi yang cukup disediakan untuk
memahami dan memantau hal itu. Ini merupakan hal yang
krusial bagi keberhasilan proses PRSP: informasi harus tersedia
pada waktu yang tepat sehingga para mitra utama bisa
berpartisipasi dan memberikan kontribusinya sebagaimana
seharusnya.
4.
Daya tanggap
Institusi dan proses berusaha melayani semua mitra utama.
5.
Orientasi pada konsensus
Tata pemerintahan yang baik menengahi kepentingankepentingan yang berbeda untuk mencapai sebuah konsensus
tentang apa yang terbaik bagi kelompok dan, di mana mungkin,
tentang kebijakan dan prosedur. Ini merupakan tujuan kunci
dari dialog sosial dan sebuah tantangan khusus yang penting
bagi mitra sosial karena basis keanggotaan mereka yang
heterogen.
6.
Kesetaraan
Semua laki-laki dan perempuan mempunyai peluang yang
sama untuk memperbaiki atau menjaga kesejahteraan mereka
dan diberi suara melalui keanggotaan dari organisasi
perwakilan, misalnya serikat kerja/buruh dan organisasi
pengusaha.
7.
Efektifitas dan efisiensi
Proses dan institusi menciptakan hasil-hasil yang sesuai dengan
kebutuhan dan pada waktu yang sama memanfaatkan sumber
daya-sumber daya dengan cara terbaik.
8.
Akuntabilitas
Pembuat kebijakan dalam sektor swasta dan organisasi
masyarakat sipil – termasuk serikat pekerja/buruh dan
organisasi pengusaha memiliki tanggung jawab kepada publik,
juga kepada mitra-mitra institusional. Akuntabilitas ini berbedabeda tergantung pada organisasi dan apakah keputusannya
menyangkut kepentingan internal atau eksternal organisasi.
9.
Visi strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas
dan memiliki jangka panjang mengenai tata pemerintahan yang
baik dan pengembangan manusia, sejalan dengan apa yang
yang diperlukan oleh pengembangan seperti itu. Terdapat juga
pemahaman tentang kerumitan-kerumitan sejarah, kultural
dan sosial yang mendasari perspektif di atas.
Sumber: diadaptasi dari ‘Good Governance for the People Involving
the People: Partnership for Governance Reform’, Sekretariant Kemitraan
Reformasi Tata Pemerintahan, UNDP Indonesia.
.
Dialog sosial memainkan peranan kunci dalam mencapai tujuan
ILO untuk mempromosikan peluang-peluang bagi kaum perempuan dan
laki-laki untuk meraih pekerjaan yang layak dan produktif dalam kondisi
penuh kebebasan, bermartabat, setara, dan aman. Dialog sosial yang
didefinisikan oleh ILO mencakup semua jenis negosiasi, konsultasi atau
sekadar pertukaran informasi antara perwakilan-perwakilan
pemerintah, pengusaha dan pekerja, tentang isu-isu yang menjadi
kepentingan bersama yang berkaitan dengan kebijakan sosial dan
ekonomi. Dialog ini bisa sebagai proses tripartit, dengan pemerintah
berperan sebagai pihak resmi untuk dialog tersebut; atau dialog ini bisa
merupakan hubungan bipartit antara tenaga kerja dan manajemen (atau
serikat pekerja/buruh dan organisasi pengusaha), dengan atau tanpa
keterlibatan tidak langsung. Konsultasi bisa bersifat informal atau
institusional, dan seringkali dialog ini bersifat kombinasi antara keduanya.
Dialog ini bisa berlangsung pada tingkat nasional, regional atau
perusahaan; antarprofesional, antarsektoral atau kombinasi dari
semuanya. Pada masing-masing kasus, dialog sosial merupakan upaya
untuk membangun kepercayaan di antara pihak-pihak yang memiliki
kepentingan berbeda yang berupaya untuk melakukan aktivitas ekonomi
bersama dengan kehadiran informasi yang tidak sama (asimetrik).
Pada umumnya, alat utama dialog sosial adalah komite bipartit dan
tripartit. Undang-undang 13/2003 mengenai Ketenegakerjaan yang
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
baru menyebutkan bahwa semua perusahaan yang memiliki lebih dari
50 pekerja diwajibkan membentuk komite kerjasama bipartit yang harus
berfungsi sebagai forum komunikasi, konsultasi dan perundingan dengan
tujuan untuk memecahkan masalah-masalah ketenagakerjaan di tingkat
perusahaan. Bagaimanapun juga, pada kenyataannya, kebanyakan
perusahaan tidak memiliki komite semacam ini dan di hampir semua
perusahaan yang memiliki komite ini, komite tersebut tidak berfungsi
dengan efektif.4 Hal yang serupa, Dewan Tripartit Nasional harus
diperkuat dan (mungkin dengan lebih signifikan karena adanya proses
desentralisasi), demikian juga komite-komite tripartit regional.
Kondisi-kondisi yang memungkinkan dialog sosial adalah sebagai
berikut:
•
•
•
•
Organisasi pekerja dan pengusaha yang kuat dengan kemampuan
teknis dan akses ke informasi yang relevan untuk berpartisipasi
dalam dialog sosial.
Kemauan dan komitmen politik semua pihak untuk terlibat dalam
dialog sosial.
Penghormatan terhadap hak-hak dasar seperti hak untuk berserikat
dan melakukan perundingan bersama.
Dukungan institusional yang tepat.
Institusi dialog sosial seringkali didefinisikan dari komposisinya.
Institusi-institusi ini bisa berupa bipartit, tripartit atau ‘tripartit plus’.
Pelaku-pelaku utama tripartit merupakan perwakilan dari pemerintah,
pengusaha dan pekerja. Pada waktu tertentu, dan tergantung pada
konteks nasional yang spesifik, mitra tripartit mungkin bisa membuka
dialog bagi pelaku lain di masyarakat yang relevan dalam upaya untuk
mendapatkan pandangan yang lebih luas serta untuk memasukkan
pandangan yang beragam dari pelaku sosial lainnya guna membangun
konsensus yang lebih luas.
Dialog sosial dapat mengambil bentuk yang berbeda-beda, mulai
dari aktivitas sederhana seperti pertukaran informasi ke bentuk konsultasi
yang lebih maju. Berikut ini adalah daftar pendek dari bentuk-bentuk
dialog sosial yang paling umum.
•
•
•
4
Saling berbagi informasi merupakan salah satu unsur dialog sosial
efektif yang paling mendasar dan penting. Pada dasarnya,
pertukaran informasi ini tidak mengharuskan adanya pembahasan
atau tindakan terhadap persoalannya, namun pertukaran informasi
ini merupakan bagian tak terpisahkan dari proses-proses di mana
dialog dan keputusan bisa dibuat.
Konsultasi bukan hanya saling berbagi informasi saja tetapi juga
membutuhkan keterlibatan para pihak melalui pertukaran
pandangan yang pada gilirannya bisa mengarah pada dialog yang
lebih mendalam.
Badan-badan tripartit atau bipartit bisa terlibat dalam negosiasi dan
kesepakatan. Sementara banyak organisasi memanfaatkan
ILO/USDOL Declaration Project research
•
konsultasi dan saling berbagi informasi, beberapa darinya
diberdayakan untuk mencapai kesepakatan yang mengikat .
Lembaga dialog sosial yang tidak memiliki mandat seperti itu
biasanya menjalankan fungsi kepenasehatan bagi Departemen,
Parlemen, atau pembuat kebijakan dan pengambilan keputusan
yang lain.
Perundingan bersama tidak hanya sebagai bentuk dialog sosial yang
integral dan salah satu yang paling tersebar luas, tapi juga bisa dilihat
sebagai indikator yang berguna untuk melihat kemampuan di satu
negara untuk terlibat dalam tripartisme tingkat nasional. Para pihak
bisa melibatkan diri dalam perundingan bersama di tingkat
perusahaan, sektoral, regional, nasional bahkan multinational.
Tujuan utama dari dialog sosial itu sendiri adalah untuk
meningkatkan dan mengembangkan konsensus dan keterlibatan
demokratis di antara para mitra di dunia kerja. Struktur dan proses dialog
sosial yang berhasil memiliki potensi untuk memecahkan isu-isu sosial
dan ekonomi yang penting, mendorong tata pemerintahan yang baik,
mempromosikan kedamaian dan stabilitas sosial dan industrial dan
mendorong kemajuan ekonomi. Dengan demikian, dialog sosial
merupakan sarana dan akhir dari upaya pengentasan kemiskinan. Dialog
ini merupakan komponen amat penting dari proses-proses partisipatif
yang termaktub dalam perancangan PRSP yang bersifat inklusif dan
bermakna, dan merupakan landasan di mana fondasi diletakkan bagi
masyarakat demokratis, transparan dan terbuka.
Efektifitas struktur tripartit ILO bergantung pada kekuatan dan
kapasitas konstituen-konstituennya, yakni: Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi (Depnakertrans), Organisasi Pengusaha Indonesia
(APINDO) dan berbagai organisasi pekerja (federasi-federasi serikat
pekerja/buruh). Kekuatan dan kelemahan relatif dari masing-masing
organisasi ini didokumentasikan dengan baik5 . Disepakati bersama
bahwa organisasi-organisasi tersebut perlu memperluas basis
keanggotaan mereka, terutama bagi pekerja dan pengusaha perempuan.
Namun, bisa dikatakan bahwa kedua mitra sosial ini menghadapi
tantangan-tantangan institusional dan organisatoris yang serupa sebagai
akibat dari proses demokratisasi dan desentralisasi yang telah mengubah
Indonesia belakangan ini. Juga bisa disimpulkan bahwa Undang-undang
No. 13/2003 mengenai Ketenagakerjaan, dan Undang-undang No. 21/
2000 mengenai Serikat pekerja/buruh membuka peluang besar untuk
memperkuat kerangka hubungan kerja industrial di Indonesia. UU No.
21/2000 menetapkan kewajiban-kewajiban Indonesia di bawah
Konvensi No. 87, dan UU No. 13/2003 memberikan kerangka legal
sehubungan dengan upah, jaminan sosial, keselamatan dan kesehatan
kerja, jam kerja dan liburan. Undang-undang ini mengatur hubungan
kerja industrial dan rincian-rincian prosedur tentang bagaimana
menghadapi kesepakatan kerja kolektif dan peraturan-peraturan
perusahaan.
5
Lihat, misalnya, Peggy Kelly, ‘Promoting Democracy and Peace through Social Dialogue’,
Program Infokus tentang Peningkatan Dialog Sosial, ILO Januari 2002.
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
Pada era pra-krisis, sistem hubungan kerja dalam industri berpusat
pada peraturan yang birokratis, kurangnya transparansi dan
keterbukaan, dan kebijakan-kebijakannya cenderung otokratik dan
kadang bersifat memaksa. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat
banyak perbaikan dan fakta bahwa Indonesia telah meratifikasi delapan
Konvensi Inti ILO (negara pertama di Asia yang melakukannya)
memberikan dasar yang baik untuk meningkatkan dialog sosial dan tata
pemerintahan yang baik di pasar tenaga kerja (lihat boks 2). Namun
demikian, terdapat juga berita-berita buruk tentang Indonesia seperti
dilaporkan dalam berbagai media dalam beberapa tahun ini bahwa
banyak perusahaan yang menutup usahanya di Indonesia atau
mengancam keluar dari Indonesia karena negara ini dianggap tidak lagi
menjadi tempat yang layak untuk membuka usaha.
Konvensi ILO no. 87
Konvensi ILO no. 98
Konvensi ILO no. 29
Konvensi ILO no. 105
Konvensi ILO no.100
Konvensi ILO no. 111
Konvensi ILO no. 138
Konvensi ILO no. 182
(1998) Kebebasan untuk Berserikat dan
Perlindungan Hak untuk Berorganisasi,
1948
(1957) Hak untuk Berorganisasi dan untuk
Melakukan Perundingan Bersama, 1949
(1950) Kerja Paksa, 1930
(1999) Penghapusan Kerja Paksa, 1957
(1958) Kesamaan Pengupahan antara
Buruh Pria dan Perempuan untuk
Pekerjaan yang Sederajat, 1951
(1999) Diskriminasi dalam Hal Pekerjaan
dan Jabatan, 1958
(1999)
Usia
Minimum
untuk
diperbolehkan Masuk Kerja, 1973
(2000) Pelarangan dan Tindakan Segera
untuk Menghapuskan Bentuk- bentuk
Terburuk Pekerjaan Anak, 1999
*Tahun dalam kurung menunjukkan tahun ratifikasi oleh Indonesia
Berbagai laporan media menunjukkan adanya peningkatan ongkos
tenaga kerja, problem-problem perselisihan perburuhan, dan lingkungan
hubungan industrial yang tidak menentu. Semua itu membuat para
investor sangat gamang melakukan bisnis di Indonesia.6 Namun, antara
fakta dan apa yang dilihat sebagai fakta seringkali tidak selalu sama.
Misalnya, secara keseluruhan tidak terdapat bukti-bukti yang
menunjukkan adanya peningkatan jumlah perselisihan perburuhan.
6
Patrick Quinn, ‘Freedom of Association and Collective Bargaining: A Study of Indonesia
Experience 1998-2003’, Makalah Kerja Deklarasi ILO 2003
Data-data resmi menunjukkan bahwa pada periode 1998-2002, jumlah
pemogokan lebih dibandingkan dengan pada periode 1993-1997.7
Tidak jelas juga apakah kenaikan tingkat upah minimum membuat
Indonesia tidak lagi kompetitif dibanding negara-negara tetangganya.
Namun demikian, adalah kenyataan bahwa upah minimum di Indonesia
masih berada di bawah Filipina dan Thailand dan agak lebih tinggi
dibandingkan Vietnam, dan bila dibandingkan dengan GNP per kapita
—suatu indikator kasar untuk produktivitas—upah minimum yang
ditetapkan Indonesia tampaknya tidak berbeda jauh dengan beberapa
pesaingnya.8
Perlu diingat juga bahwa agak sulit membicarakan aturan tunggal
upah minimum di Indonesia karena sebagai bagian dari proses
desentralisasi, tanggung jawab menetapkan upah minimum telah
diserahkan ke pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Ketimbang
menyebut “masalah pasar tenaga kerja”, tampaknya yang lebih menjadi
keprihatinan bagi kebanyakan perusahaan dan investor adalah ketidakpastian, masalah keamanan dan korupsi.
Walaupun pada kenyataanya bahwa persepsi investor atas
keprihatinan tentang upah minimum dibesar-besarkan ketimbang faktorfaktor lain yang sebetulnya memiliki dampak lebih merugikan, kita tidak
boleh menyepelekan pandangan-pandangan yang diungkapkan oleh
beberapa analis tentang hubungan antara upah minimum dan
ketenagakerjaan dalam konteks Indonesia. Para analis ini menunjukkan
temuan-temuan statistik yang kuat bahwa kenaikan upah minimum yang
tajam terhadap pertumbuhan yang moderat bisa menghalangi peluasan
lapangan kerja, khususnya di sektor-sektor ekonomi yang didominasi
oleh perusahaan-perusahaan skala kecil dan menengah.9 Hal ini tidak
berarti bahwa kebijakan upah minimum harus ditinggalkan, namun
terdapat kasus yang penting yang memerlukan pendekatan yang lebih
kreatif dan bijaksana. Yang lebih penting, kebijakan upah minimum
harus dilihat sebagai bagian dari agenda yang jauh lebih luas untuk
pengembangan sistem hubungan kerja yang menyeluruh, dapat
dipercaya, dan ramah.
7
Ibid
8
Brifing Bank Dunia untuk Kelompok Konsultatif Indonesia (CGI): ‘Maintaining Stability,
Deepening Reforms’, Januari 2003.
Rama (1996), SMERU (2001) dan Widianto (2003) menyimpulakan bahwa kenaikan upah
minimum menurunkan pertumbuhan kesempatan kerja sektor formal, namun Alatas dan
Cameron (2003) membuat kesimpulan yang lebih berhati-hati. Mereka mencatat bahwa
tidak terdapat dampak yang signifikan dari upah minimum terhadap ketenagakerjaan di
perusahaan-perusahaan yang besar di sektor formal, namun potensi untuk menciptakan
kesempatan kerja pada perusahaan–perusahaan kecil terkena dampak dari kenaikan upah
minimum. Lihat Rama, M (1996), ‘The consequences of doubling the minimum wage: the
case of Indonesia’, World Bank Policy Research Paper No. 1643; SMERU (2001),’ Wage and
employment effect of minimum wage policy in the Indonesian labour market’, Maret, Jakarta;
Alatas, V dan Cameron, L (2003), ‘The impact of minimum wages in a low-income country:
an evaluation using the difference-in-difference approach’, World Bank Policy Research
Paper no 2985; Widianto, B (2003), ‘Making the most of minimum wage policy’’, Jakarta,
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Islam, I dan Nazara, S (2000)
‘Minimum wage and the welfare of Indonesian workers’, Occasional Paper Series No.3,
Jakarta, ILO, mencatat terhadap hakekat hubungan pekerjaan–upah minimum yang secara
statistik membingungkan, dan bahwa kemungkinan kenaikan upah minimum tergantung
pada kondisi makro ekonomi.
9
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
Statistik resmi menunjukkan bahwa 27,3 juta orang Indonesia
bekerja di sektor formal (dari 98 juta angkatan kerja). Tetapi adalah salah
bila mengatakan bahwa dialog sosial yang baik hanya menguntungkan
sejumlah kecil dari mereka yang mempunyai hubungan kerja formal
karena —di antara alasan-alasan lain— mereka yang mempunyai
hubungan kerja formal cenderung mempunyai banyak tanggungan
keluarga. Ini artinya, “multiplier effects” (efek ganda) yang signifikan dari
semua kebijakan yang menyangkut pasar tenaga kerja formal. Sifat alami
yang sulit digambarkan dari pasar tenaga kerja di negara-negara
berpenghasilan rendah memiliki implikasi bahwa manfaat moneter yang
diperoleh pekerja yang terorganisasi kemungkinan akan diteruskan
kepada yang lainnya melalui, misalnya, kiriman uang ke daerah
pedesaan, modal untuk kegiatan usaha mikro, pemberian subsidi dari
anggota-anggota keluarga besar, investasi dalam modal sosial, dan
sebagainya. Bila dampak yang lebih luas seperti ini diperhitungkan, dapat
dikemukakan argumentasi bahwa suatu komponen yan seringkali tidak
ada dalam strategi pengentasan kemiskinan adalah pengaturan pasar
tenaga kerja. Sebenarnya, faktor utama yang membedakan antara
negara-negara yang berhasil mengentaskan kemiskinan dan negaranegara yang tidak berhasil dalam hal ini adalah pengaturan (governance)
pasar tenaga kerja. Dengan demikian, investasi dalam dialog sosial
menjadi unsur utama dalam meningkatkan proses perubahan
kelembagaan untuk meningkatkan kinerja pasar tenaga kerja dan dengan
demikian menghasilkan pertumbuhan yang memihak pada kaum miskin.
Pandangan konvensional (The Conventional Wisdom) yang
mengatakan bahwa dialog sosial (dan, bila diperluas, Standar
Perburuhan) cenderung menaikkan biaya tenaga kerja (lebih tinggi dari
produktivitas) dan secara otomatis menurunkan daya saing, tidak
dilandasi bukti-bukti. Dalam soal “Standar Perburuhan”, suatu studi
yang baru-baru ini dilaksanakan, menyimpulkan bahwa tidak ada bukti
kuat yang mendukung pandangan konvensional bahwa investor asing
lebih menghendaki negara-negara dengan standar perburuhan yang
lebih rendah, dan bukti-bukti statistik malah menunjukkan kenyataan
yang sebaliknya.10 Temuan ini lebih diperkuat lagi oleh sebuah penelitian
lain yang menyimpulkan bahwa bukti-bukti internasional yang
mendukung pandangan bahwa pasar yang diregulasi dan lebih lentur
memberikan hasil pekerjaan yang lebih baik dibandingkan dengan
lapangan kerja yang lebih terinstitusional, ternyata tidak sekokoh yang
dibayangkan.11 Penegakan Standar Perburuhan harus dilihat sebagai
bagian tak terpisahkan dari tanggungjawab sosial korporat.
Memperlakukan pekerja dengan baik dan menghormati hak-hak mereka
mencerminkan pelaksanaan undang-undang oleh komunitas bisnis
karena mempromosikan solidaritas sosial dan memberikan kontribusi
demi keharmonisan industrial.
10
David Kucera, ‘Core labour standards and foreign direct investment’ (Standar Ketenagakerjaan Inti dan Investasi Asing Langsung)’, International Labour Review, 141, (1-2)
11
Baker, D et al (2002) ‘Labour market institutions and unemployment: a critical assessment
of the cross-country evidence’ (Institusi lapangan kerja dan pengangguran: pengkajian kritis
terhadap bukti-bukti lintas negara), CEPA working paper no. 2002-17, New York, New
School University
Jadi sekarang bisa kita katakan bahwa PRSP Indonesia harus
menekankan pada peningkatan promosi investasi dan kompetisi melalui
hubungan kerja yang kuat. Hal ini berarti akan meningkatkan dialog
sosial dan tripartisme. Dalam melaksanakan tugas-tugas penting ini,
Pemerintah akan:
•
•
•
•
Membantu meningkatkan stabilitas sosial dan ekonomi (investor
asing sangat mengutamakan kondisi yang dapat diprediksi dan stabil
karena keduanya memperkecil risiko);
Membuat pasar kerja lebih baik dengan meningkatkan transparansi,
arus informasi dan check and balances kelembagaan;
Mengurangi pemborosan keterampilan dan kemampuan karena
terjadinya gangguan, besarnya arus keluar masuk tenaga kerja
(labour turn-over) dan diskriminasi di tempat kerja; dan
Meningkatkan pembentukan modal manusia dengan mengeliminasi
bentuk-bentuk tekanan pada pekerja (buruh anak, buruh kerja
paksa, dan sebagainya.
Selain itu, bila hubungan industrial yang kuat membantu
menghapus diskriminasi di tempat kerja, ini akan dapat menciptakan
peluang-peluang baru untuk kelompok-kelompok yang terpinggirkan
—termasuk perempuan dan penduduk asli— sehingga meningkatkan
partisipasi pasar tenaga kerja secara keseluruhan.
Pemerintah Indonesia telah mengambil sejumlah langkah besar
dalam memberlakukan undang-undang untuk memperkuat kebijakan
hubungan industrial yang sehat dan telah meratifikasi semua standar
peraturan perburuhan serta Konvensi 144 tentang Konsultasi Tripartit.
Ada dasar yang kuat untuk mengintegrasikan dialog sosial ke dalam
strategi pengentasan kemiskinan dan dengan demikian menggalakkan
suatu lingkungan yang lebih baik untuk menarik investasi dan
mempertajam persaingan di bidang ekonomi. Namun demikian,
penerapan Standar Perburuhan yang tepat tidak akan terjadi dengan
sendirinya. Pemerintah dengan jelas memainkan peranan kunci dalam
merealisasikan hak-hak ini, dan kenyataan yang sama juga menunjukkan
bahwa pembangunan kemampuan diperlukan untuk membuat
pemerintah mampu mengimplementasikan undang-undang dan
kebijakan ketenagakerjaan dengan tepat dan efektif. Secara jelas,
kewajiban ini juga bisa diperluas sampai pemerintah daerah. Mereka
harus memikul tanggungjawab sesuai dengan yang diamanatkan oleh
undang-undang tentang desentralisasi.
Salah satu peran terpenting yang terkait dengan realisasi hak-hak
dasar di tempat kerja adalah pengawasan tenaga kerja dan administrasi
ketenagakerjaan untuk menegakkan peraturan-peraturan yang
mencakup persyaratan kerja, dan untuk membantu pengusaha dan
pekerja menaati hukum. Pengawasan tenaga kerja yang memadai
merupakan sesuatu yang sangat penting untuk menjamin ketaatan
terhadap undang-undang dan peraturan-peraturan ketenagakerjaan
dan untuk memberikan informasi teknis serta nasehat-nasehat yang tepat
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
kepada pekerja dan pengusaha. Pengumpulan dan analisis data
mengenai pelanggaran undang-undang ketenagakerjaan tentang
kebebasan untuk berserikat, diskriminasi (termasuk terhadap
perempuan) dan kerja paksa juga merupakan fungsi dari pengawasan
tenaga kerja. Sebelum diterapkannya Undang-undang Otonomi
Daerah 12 , pejabat pengawasan tenaga kerja berada di bawah
kewenangan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Namun,
karena adanya otonomi daerah, Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi tidak memiliki hubungan formal langsung dengan semua
pengawas tenaga kerja di lapangan. Situasi ini memerlukan penjelasan
dan reformasi. Sistem penyelesaian perselisihan yang efektif juga
merupakan hal yang penting untuk mempromosikan hubungan kerja
industrial yang stabil dan baik. Kapasitas dan efektifitas pemerintah
dalam menetapkan dan menerapkan sebuah sistim modern yang baru
di bawah undang-undang yang diusulkan harus diperbaiki secara
radikal. Pemerintah harus mampu menunjukkan bahwa sistem baru
yang berisi konsiliasi, mediasi dan arbitrasi, dan hakim-hakim yang
menangani ketenagakerjaan akan mampu menegakkan keadilan dengan
cepat, tidak mahal dan adil ketika mereka menangani perselisihan
ketenagakerjaan.
Mitra sosial secara jelas memiliki peranan yang penting dalam
penerapan standar ketenagakerjaan internasional dan peningkatan
hubungan tempat kerja yang baik. Jumlah anggota serikat-serikat
pekerja/buruh Indonesia naik pesat, walaupun keanggotaan serikat
pekerja/buruh pada tahun 2002 hanya menjangkau 10% dari total
angkatan tenaga kerja yang ada di Indonesia. Baik serikat pekerja/buruh
dan APINDO perlu meningkatkan keanggotaan mereka (khususnya
perempuan dan sektor-sektor dan kelompok yang sampai sekarang
kurang terwakili) dan memperbaiki mutu pelayanan yang mereka berikan
kepada anggota-anggotanya. Peranan serikat pekerja/buruh dan
organisasi pengusaha serta potensi perundingan bersama untuk
meningkatkan kesetaraan jender dalam persyaratan kerja, misalnya gaji
yang setara, perlindungan terhadap pelecehean seksual dan persalinan,
perlu ditingkatkan. Serikat pekerja/buruh memikul tanggung jawab
untuk melindungi dan mempromosikan kepentingan-kepentingan
pekerja perempuan di tempat kerja. Walaupun partisipasi
ketenagakerjaan perempuan naik, dapat dilihat bahwa mereka belum
cukup terwakili dalam keanggotaan dan kepemimpinan serikat pekerja/
buruh. Serikat pekerja/buruh dan pengusaha perlu mempromosikan
partisipasi perempuan dan menjamin bahwa mereka terwakili dan
terlibat aktif di semua aspek dunia pekerjaan. Serikat pekerja/buruh
dan pengusaha juga harus mengembangkan kapasitas mereka untuk
bertindak berdasarkan amanat, hak-hak dan tanggung jawab organisasi
mereka dan anggotanya, serta juga kemampuan untuk memberi masukan
tentang undang-undang dan kebijakan hubungan ketenagakerjaan, dan
untuk merencanakan, mengorganisasi dan melaksanakan pelatihan
hubungan kerja industrial. Hampir semua serikat pekerja/buruh juga
12
Pada 1999, UU Pemerintahan Daerah disahkan (UU No. 22 1999), yang mendesentralisasi
beberapa kantor dan fungsi pemerintah pusat, termasuk di dalamnya beberapa kantor yang
dulu di bawah wewenang Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
perlu mengembangkan keterampilan penelitian, advokasi dan
pembuatan jaringan kerja dalam upaya untuk memperbaiki mutu
partisispasi mereka dalam dialog-dialog tentang kebijakan, termasuk
seputar proses PRSP.
Berkenaan dengan pembahasan di atas, inisiatif kebijakan berikut ini
bisa dipakai untuk mempromosikan tata pemerintahan yang baik di pasar
tenaga kerja, dan pada waktunya akan memberdayakan penduduk
Indonesia untuk berpartisipasi secara produktif di tempat kerja.
Memperkuat Dewan
Tripartit Nasional
(National Tripartit
Council—NTC)
Jaminan bahwa NTC mewakili (sejalan dengan rumusan yang
disepakati pada akhir tahun 2002 di mana masing-masing memiliki
kedudukan yang setara) kepentingan anggotanya dengan
mempertimbangkan keseimbangan jender dan beroperasi sesuai dengan
mandat yang diberikan kepadanya. Komite tripartit juga berfungsi di
tingkat provinsi dan kabupaten/kotamadya, dan sejalan dengan
desentralisasi Indonesia, sangatlah penting untuk memperkuat struktur
di bawah tripartit nasional. Karena sekitar 90 persen perselisihan
perburuhan terkonsentrasi di 20 kabupaten/kotamadya di seluruh
Indonesia,13 mungkin masuk akal bila kita sangat memfokuskan perhatian
pada peningkatan struktur tripartit di daerah-daerah tersebut. Komite
teknis pengupahan bisa didirikan untuk mendukung Dewan Upah
Nasional (National Wages Council).
Perlunya penerapan
reformasi undangundang ketenagakerjaan
dan rancangan undangundang yang diusulkan
baru-baru ini, persoalan
upah minimum mesti
ditinjau ulang.
Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13/2003 membutuhkan
banyak keputusan dan aturan pelaksanaan, seperti Keputusan Presiden
dan lain-lain. Namun, lebih banyak pekerjaan dibutuhkan untuk
mengembangkan infrastruktur mediasi, konsiliasi dan arbitrasi seperti
yang tercantum dalam Undang–Undang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (PPHI). Pemantauan penerapan dan dampak dari
undang-undang baru sangat penting untuk mengkaji sejauh mana
undang-undang tersebut mendukung Standar Perburuhan dan
meningkatkan lingkungan hubungan kerja industrial.
Perkembangan agenda reformasi hukum ketenagakerjaan
memberikan sebuah kesempatan bagi pemerintah untuk memperluas
pendekatan guna menyesuaikan upah minimum. Ada kasus yang
memerlukan penilaian yang hati-hati berkaitan dengan penyesuaian
biaya hidup yang dijadikan pembenaran atas kenaikan upah minimum
dengan memperhatikan kondisi makroekonomi, terutama dampaknya
terhadap penciptaan lapangan pekerjaan. Kebijakan upah minimum
harus dilihat sebagai bagian dari agenda yang lebih luas untuk
mengembangkan sistem hubungan industrial yang menyeluruh, dapat
dipercaya, ramah, serta melindungi hak buruh, tapi juga memperhatikan
aspek pertumbuhan. Pelaksanaan agenda ini akan memakan waktu
bertahun-tahun melalui proses panjang dalam diskursus publik dan
pengalaman institusional.
13
Employment friendly labour policies’, Direktorat Tenaga Kerja dan Analisis Ekonomi,
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), hal. 27
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
Mengembangkan Kemampuan –
memperkuat modal manusia
Dua aspek keberagaman kemiskinan di Indonesia sangat menyolok.
Pertama, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa 87 persen dari
penduduk miskin Indonesia hanya mengenyam pendidikan dasar atau
yang lebih rendah. Hanya dengan meningkatkan pendidikan kepala
rumah tangga sampai tingkat sekolah menengah pertama, tingkat
kemiskinan bisa diturunkan dari 30 persen menjadi 17 persen.1 Kedua,
statistik juga menunjukkan bahwa 62 persen penduduk miskin berusia
di bawah 30 tahun. Anak-anak menjadi kelompok yang paling terkena
dampak kemiskinan, diikuti kelompok kaum muda (didefinisikan sebagai
kelompok usia 15-29 tahun).2
Korelasi yang kuat antara pendidikan dan kemiskinan maupun
antara usia dan kemiskinan menandakan beberapa pesan kebijakan yang
penting. Sebagai permulaan, semua penduduk Indonesia perlu
mengenyam pendidikan, paling tidak sampai tingkat menengah pertama
—yang sebetulnya sudah menjadi target pemerintah. Target ini sejalan
dengan komunitas internasional yang mempercayai perlunya
‘pendidikan bagi semua’.3 Hal ini mengundang tantangan kebijakan
utama: bagaimana menjamin partisipasi yang luas kaum miskin dalam
sistim pendidikan dan pelatihan. Khususnya, perhatian perlu banyak
diberikan kepada tujuan untuk menghapuskan kesenjangan jender
dalam sistim pendidikan dan pelatihan yang termaktub dalam MDGs .
Korelasi yang erat antara usia dan kemiskinan mengharuskan
adanya pendekatan sepanjang hidup (life cycle approach) terhadap
pengentasan kemiskinan: menargetkan keluarga miskin yang memiliki
banyak anak dan remaja yang berada dalam masa transisi dari sekolah
ke pekerjaan. Penjaminan akses ke pendidikan yang bermutu dan
keterampilan yang relevan merupakan hal vital untuk memutus polapola kemiskinan lintas generasi dan untuk mengurangi kerentanan dan
kemiskinan sementara yang dialami kaum muda laki-laki maupun
1
Bukti-bukti ini ditelaah dalam Islam (2002). Lihat Islam, I: ‘Poverty, employment and
wages: an Indonesian perspective’ Laporan dipersiapkan untuk Departemen Pemulihan
dan Rekonstruksi, Jenewa.
2
Hubungan usia-kemiskinan berdasarkan tabulasi khusus pada Survei Sosio Ekonomi
Nasioanal 2002 (SUSENAS - the 2002 National Socio-economic Survey), diberikan ke ILO
kantor Jakarta ILO oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Mingat dan Winters (2002) memaparkan perhatiannya tentang terhadap kebutuhan akan
pendidikan untuk semua pada tahun 2015 –tujuan ini dibuat oleh 180 negara yang tergabung
dalam Forum Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal, pada tahun 2000. Tujuan semacam itu
merupakan kelanjutan dari agenda yang ditetapkan dalam konferensi dunia “Pendidikan
untuk Semua” yang diselenggarakan di Thailand pada tahun 1990. Lihat Mingat, A dan
Winter, C : ‘Education for all by 2015’, Finance and Development, 39 (1).
3
3
perempuan dalam proses transisi sekolah–pekerjaan. Memang,
penurunan pengangguran pemuda merupakan target dari MDGs dan
dengan demikian mencerminkan aspirasi komunitas internasional untuk
menjamin bahwa keterampilan dan bakat pemuda betul-betul
dimanfaatkan secara produktif.
Tujuan dari bab ini adalah membahas pesan ganda ‘pendidikan
untuk semua’ dan pendekatan sepanjang hidup terhadap pengentasan
kemiskinan dengan cara menangani beberapa persoalan yang relevan
dengan pekerja anak, pendidikan dasar, pendidikan dan pelatihan
kejuruan, dan persiapan pemuda memasuki dunia kerja. Berbagai
persoalan itu akan diatur dalam sebuah konteks untuk mengidentifikasi
prioritas-prioritas dalam pelaksanaan kebijakan.
Estimasi terkini menunjukkan bahwa 4,2 juta anak di bawah usia
18 tahun berada dalam barisan angkatan kerja di Indonesia.4 Kebanyakan
di antara anak-anak tersebut terlibat dalam pekerjaan berbahaya yang
diklasifikasikan sebagai bentuk terburuk dari pekerjaan untuk anak.
Prevalensi pekerjaan anak di Indonesia mempunyai beberapa alasan.
Keluarga miskin dalam batas hidup minimal harus menimbang-nimbang
biaya sekolah anak-anaknya atau untuk menambah pendapatan
keluarga jika anak tersebut bekerja. Dengan demikian, salah satu tujuan
kebijakan menghapuskan pekerja anak adalah dengan cara membuat
keluarga itu lebih mudah memilih pendidikan daripada pekerjaan. Akses ke
sekolah merupakan hal yang vital, namun ini juga tergantung dari biaya
pendidikan – sebuah masalah yang akan kita bahas nanti. Yang juga
sama-sama penting adalah relevansi pendidikan. Pengalaman
internasional menunjukkan bahwa ketika kualitas pengajar rendah dan
kurikulumnya tidak relevan dengan kebutuhan kelompok miskin, serta
peralatan tidak diperbarui atau diperbaiki selama bertahun-tahun, maka
keluarga miskin akan berpikir dua kali untuk memasukkan anaknya ke
sekolah. Tidak mengherankan jika para orang tua miskin memandang
penyekolahan di lingkungan demikian sebagai hal yang
menghamburkan waktu dan uang yang tidak mereka punyai. Sebaliknya,
bila penyekolahan dianggap bisa menolong anak untuk mendapatkan
pekerjaan yang layak, dan pada waktunya mereka akan bisa membantu
orang tuanya ketika kemampuan orang tua untuk mendapatkan uang
mulai mengecil sejalan dengan usianya, opsi pendidikan mulai kelihatan
semakin menarik. 5
Mengurangi permintaan pekerja anak juga merupakan hal yang sangat
penting. Perusahaan-perusahaan kecil dan pelaku ekonomi informal
mempekerjakan anak-anak karena mereka tidak mampu membayar
pekerja dewasa yang mereka butuhkan. Mereka mempekerjakan anak4
5
‘PRSP Technical Briefing Note on Child Labour in Indonesia’ (Paparan Teknis Singkat PRSP
mengenai Pekerjaan Anak di Indonesia) ILO Jakarta, 2003.
Lihat Working out of Poverty, ILO, 2003.
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
anak yang gajinya jauh lebih kecil. Memperbaiki kinerja dan aspek-aspek
lain dari usaha kecil dengan meningkatkan kemampuannya meraih
keuntungan bisa membatu perusahaan-perusahaan tersebut beralih dari
posisi marjinal ke posisi yang lebih aman, di mana tingkat
produktivitasnya lebih tinggi karena pekerjanya terdiri dari kaum
dewasa yang mendapatkan gaji lebih baik, jauh lebih berguna ketimbang
memperkerjakan anak bergaji kecil tapi dengan produktivitas yang
rendah. Tambahan pula, jika semua atau kebanyakan perusahaan di
sektor perekonomian lokal mulai meningkatkan produktivitasnya dan
upahnya serta mempekerjakan kebih banyak pekerja dewasa,
pendapatan keluarga pada komunitas itu juga akan meningkat dan
mengurangi kebutuhan mencari pendapatan tambahan dengan
mempekerjakan anaknya.6 Membantu pelaku sektor informal dan
perusahaan kecil untuk meningkatkan teknologi mereka dan
memperbaiki produktivitasnya —sering menjadi bagian dari inisiatif
pengembangan lokal— merupakan hal mendasar yang bisa mengurangi
permintaan atas pekerja anak. Organisasi-organisasi pengusaha memiliki
peranan kunci dalam proses ini.
Pemerintah Indonesia telah membuat kemajuan yang berarti dalam
mengubah kebijakan-kebijakan dan meningkatkan kesadaran tentang
perburuhan anak. Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia
Minimum, dan Konvensi No. 182 mengenai Penghapusan Bentuk-bentuk
Terburuk Pekerjaan Anak, merupakan contoh nyata dari upaya-upaya
ini. Indonesia pada 2002 juga telah mengeluarkan Keputusan Presiden
mengenai Rencana Aksi Nasional tentang Bentuk-bentuk Terburuk untuk
Pekerja Anak. Rencana Aksi Nasional ini mengidentifikasi tiga belas
bentuk terburuk pekerja anak dan menargetkan penghapusan bentuk
terburuk pekerja anak dalam waktu dua puluh tahun mendatang. Dalam
jangka pendek, rencana aksi ini mempunyai sasaran untuk
menghilangkan lima bentuk terburuk pekerja anak tersebut (anak-anak
yang terlibat dalam produksi, penjualan dan perdagangan narkoba, anak
yang diperdagangkan untuk dilacurkan, pekerjaa anak di perikanan
lepas pantai, pertambangan, dan alas kaki).
Implementasi Rencana Aksi Nasional membutuhkan upaya-upaya
khusus untuk memilah isu pekerjaa anak ke dalam rencana
pembangunan provinsi dan daerah. Pada gilirannya, hal ini memerlukan
peningkatan kemampuan dan mobilisasi para mitra untuk mengambil
tindakan. Mengurangi dan memberantas pekerja anak bisa sangat
berhasil bila komunitas daerah berbasis luas berupaya meningkatkan
akses ke sekolah, memperbaiki pendapatan keluarga dengan cara
memberikan kesempatan kerja bagi orang dewasa, serta mengubah sikap
pengusaha dan keluarga terhadap pekerja anak dikombinasikan dengan
implementasi kerangka legislasi yang tepat. Beberapa provinsi dan daerah
telah mengambil langkah-langkah inovatif, misalnya menetapkan komite
daerah untuk meningkatkan kesadaran, menetapkan rencana aksi
provinsi, memadukan isu-isu pekerjaan anak ke dalam inisiatif
6
Ibid
Mempromosikan
implementasi Rencana
Aksi Nasional mengenai
Bentuk Terburuk Pekerja
Anak di Tingkat Lokal
pembangunan ekonomi lokal dan menargetkan sektor-sektor khusus. 7
Di negara yang besar dan beragam seperti Indonesia ini,
pengidentifikasian dan penerapan contoh-contoh positif bisa mendorong
inovasi dan merangsang proses pembelajaran dan pengembangan
kebijakan di seluruh daerah.
Investasi menyeluruh di bidang pendidikan sebagai bagian dari GDP
di Indonesia tetap yang paling rendah di kawasan ini dan di antara
negara-negara yang penerimaannya setara. Pada tahun 2000, hanya
1,2 persen dari GDP yang digunakan bagi pendidikan, sepertiga lebih
kecil dari negara–negara di kawasan ini seperti Cina, India, Filipina dan
Thailand. Angka ini sebetulnya stabil jika dibandingkan dengan masa
sebelum krisis 8
Hal yang sama pentingnya adalah bahwa Indonesia tidak hanya
memiliki investasi yang relatif kecil di bidang pendidikan, namun apa yang
sudah disediakan negara pun tidak dimanfaatkan secara optimal. Dengan
demikian, walaupun investasi untuk pendidikan ditingkatkan menjadi
tujuan utama untuk negara yang menginginkan kemajuan lebih tinggi
lagi, tujuan itu tidak akan memberikan hasil nyata tanpa ada perbaikan
manajemen, efektifitas, dan mutu sistem pendidikan yang
terdesentralisasi lebih dahulu. Lagi pula, untuk mencapai tujuan
pendidikan dasar universal (sembilan tahun sekolah) pada tahun 2010,
dibutuhkan upaya-upaya untuk memperbaiki akses kelompok miskin
sampai sekolah menengah pertama.
Pada tahun 2000, rasio partisipasi sekolah dasar untuk anak-anak
usia sekolah berkisar 90 persen dan pada sekolah menengah pertama 59
persen. Angka-angka untuk murid-murid perempuan sama baik di SD
maupun di SMP. Menurut satu penelitian, tantangannya sekarang
adalah (a) mengatasi kebutuhan khusus untuk sisa 10 persen (hampir
seluruhnya miskin dan rentan) yang belum bersekolah atau putus
sekolah. Ini untuk memastikan bahwa mereka yang mulai belajar paling
tidak menyelesaikan pendidikan dasar, dan (b) untuk meningkatkan
jumlah siswa yang setelah menyelesaikan SD akan meneruskan ke
tingkat SMP. Hal ini khususnya amat penting bagi keluarga miskin. Rasio
partisipasi sekolah di tingkat SD di kalangan kaum miskin setara dengan
kelompok kaya (yang jumlahnya seperlima dari populasi penduduk).
Namun ada kesenjangan yang lebar di tingkat SMP antara kelompok
miskin dan berpunya.9
7
Untuk contoh khusus, lihat Matsuno A: ‘PRSP Technical Briefing Note on Child Labour in
Indonesia’ (Paparan Teknis Singkat PRSP mengenai Perburuhan Anak di Indonesia) ILO
Jakarta, 2003.
8
Education at a Glance: OECD Indicators, 2002, OECD, Paris, 2002
9
‘Indonesia and EFA’ World Bank, 2002; dan ‘Indonesia, World Bank, Country Assistance
Strategy, FY04-07’ Indonesia Country Unit, Oktober 2003.
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
Jumlah SMP negeri yang tidak mencukupi tentunya adalah
hambatan yang besar. Namun bagi keluarga miskin, alasan lain untuk
pekerja anak dan rendahnya tingkat partisipasi di SMP adalah tingginya
biaya pendidikan. Seharusnya pendidikan sampai SMP cuma-cuma.
Namun, bukti-bukti menyebutkan bahwa orang tua seringkali harus
merogoh sakunya untuk memberikan sumbangan ke sekolah — yang
menjadi praktek yang membebani kelompok miskin.10 Sebuah penelitian
terkini tentang transisi dari sekolah ke dunia kerja menemukan
mendapati bahwa lebih dari 40 persen pencari pekerja muda dan hampir
60 persen pekerja mandiri muda meninggalkan sekolah, karena alasan
finansial. 11 Ini disebabkan keluarga mereka tidak mampu lagi membayar
pendidikan atau mereka diminta untuk membantu orang tua untuk
menambah nafkah hidup bagi keluarga mereka.
Menjadikan pendidikan
dasar terjangkau oleh
kelompok miskin
Menghilangkan biaya-biaya tersembunyi bagi semua dan
memperkecil biaya tambahan bagi kelompok miskin, misalnya untuk
membeli pakaian seragam dan buku-buku, merupakan upaya penting.
Beasiswa dengan target kaum miskin berprestasi bisa memainkan
peranan penting. Evaluasi Program Beasiswa dan Hibah yang
merupakan salah satu komponen dari Jaringan Pengamanan Sosial
Indonesia menunjukkan bahwa badan ini tengah mencoba mengurangi
dampak krisis ekonomi atas sistem sekolah, dan membantu
mempertahankan tingkat pendaftaran anak di sekolah.12 Komitmen
pemerintah untuk menyediakan dukungan kepada kelompok anak
sekolah yang paling miskin dan sekolah-sekolah yang kini didanai oleh
program bantuan adalah hal yang sangat kritis. Perubahan-perubahan
dalam program ini mungkin juga harus dipertimbangkan. Misalnya,
program bisa menetapkan target, bukan hanya mereka bagi yang sudah
berada di dalam pendidikan, namun juga berupa insentif finansial kepada
keluarga miskin yang memiliki anak di luar sekolah sehingga mereka
bisa mengirim lagi anaknya ke sekolah.
Desentralisasi telah mengalihkan tanggung jawab dalam soal
pendidikan dan pelatihan ke tingkat daerah. Hal ini bisa menawarkan
kesempatan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, yang
disesuaikan dengan kebutuhan setempat, partisipasi dan akuntabilitas
10
11
12
Lihat ‘Indonesia: Maintaining Stability, Deepening Reforms’, Brifing dari Bank Dunia bagi
CGI (Consultative Group mengenai Indonesia), 2003. Sebagai tambahan, SMERU (2001)
telah mengeluarkan sebuah newsletter di mana dia menyoroti kesulitan yang dialami oleh
kelompok miskin dalam mendapatkan akses ke sekolah menengah pertama. Penulis, OeyMayling Gardiner, berpendapat bahwa terdapat dua hambatan yang dihadapi oleh kelompok
miskin (a) terbatasnya SMP negeri; (b) tingginya biaya, bahkan di sektor yang dibiayai oleh
negara, yang mendiskriminasi kaum miskin. Lihat ‘Education difficulties for the poor: if
they can be exploited, why not?’, SMERU Newsletter, no. 03, Mei-Juni. Laporan media
terkini, yang memfokuskan kepada pengalaman satu daerah Indonesia tertentu
(Banjarnegara), juga menyoroti hambatan-hambatan yang cukup sulit yang dihadapi oleh
keluarga biasa dalam mendidik anak-anak mereka di tingkat SMP. Tingkat putusa sekolah
bagi tempat ini pada SMP hampir mendekati 50 persen! Lihat Jakarta Post , 25 Maret 2002.
Sziraczki, G and Reerink A: ‘School-to-Work Transition in Indonesia’, Laporan tidak
diterbitkan, ILO, Oktober 2003.
Hartono, D dan Ehrmann, D: ‘The Indonesian Economic Crisis and its Impact on Educational
Enrollment and Quality’, Trends in Southeast Asia, No. 7, Institute of Southeast Asian
Studies, Singapore, Mei 2001.
Desentralisasi dan
penyediaan pendidikan
dasar
akan makin lebih baik. Pada saat yang sama, banyak tantangan yang
masih tersisa, misalnya pemisahan yang jelas antara peranan pemerintah
daerah dan pemerintah pusat, menetapkan batas pelayanan minimum
di seluruh negeri, standar pengakuan kualifikasi dan keterampilan.
Standar-standar seperti ini bisa berguna untuk memperkecil kesenjangan
antara wilayah miskin dan wilayah lainnya di negara ini. Bagaimana
dan sampai pada tingkat apa standar minimum ini harus ditetapkan,
membutuhkan kerjasama erat antara pemerintah pusat maupun daerah.
Penghapusan prasangka (stereotype) berdasarkan jenis kelamin
dalam kurikulum juga perlu mendapatkan perhatian khusus, karena
hal ini memiliki dampak jauh terhadap pilihan pendidikan lanjutan dan
ketenagakerjaan bagi remaja perempuan. Hal ini akan memberikan
kontribusi kepada MDGs sehingga memastikan bahwa semua anak lakilaki maupun perempuan menyelesaikan sekolah dasar dan menghapus
kesenjangan jender dalam pendidikan.
Untuk memperbaiki manajemen sistem pendidikan yang
terdesentralisasi membutuhkan pengembangan kemampuan di tingkat
daerah dan pusat/provinsi. Pusat dan provinsi harus mengubah peranan
mereka sebagai penyedia langsung jasa pendidikan menjadi regulator,
pemantau kualitas dan fasilitator, yang menawarkan layanan-layanan
pendukung kepada pejabat-pejabat lokal yang sesuai. 13 Komite dan dewan
sekolah yang baru-baru ini ditetapkan, yang sekarang tidak hanya
melibatkan para guru dan orang tua namun juga para mitra di komunitas
lokal, bisa memainkan peranan sangat penting dalam akuntabilitas
manajemen sekolah dan menuntut kinerja yang lebih baik.
Meningkatkan kualitas
pendidikan
Kunci utama lain adalah kualitas pendidikan. Bukti-bukti
menunjukkan bahwa hasil pendidikan di Indonesia baik di SD maupun
SMP sangat ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain di
kawasan ini. Hal itu disebabkan oleh rendahnya infrastruktur, bahanbahan belajar dan kualitas pengajar.14 Tingkat anak yang mengulang di
tingkat yang sama di SD sampai pada kelas 5 (standar terendah untuk
mencapai tingkat melek huruf) lebih tinggi di Indonesia dibandingkan
semua negara-negara Asia tenggara, kecuali Kamboja dan Laos. Yang
agak positif adalah bahwa siswa perempuan memiliki tingkat bertahan
di sekolah (sampai di kelas 5) yang lebih tinggi dibandingkan siswa lakilaki.15 Terdapat juga masalah yang berat karena tidak cukupnya
kompensasi guru dan staf lainnya, pelatihan guru dan manajemen,
termasuk distribusi guru yang tidak seimbang di antara berbagai jenis
sekolahan (yang biasanya berupa faktor yang berkaitan dengan
kurangnya dukungan finansial dan professional). Akhirnya, hasilnya
adalah pengajaran yang buruk dan demikian hasil pembelajarannyapun
rendah.
13
‘Indonesia, World Bank, Country Assistance Strategy, FY04-07’, Indonesia Country Unit,
Oktober 2003.
14
15
“EFA di Indonesia: ‘Hard Lessons About Quality’, World Bank, 2003.
EFA Global Monitoring Report, 2003/04, UNESCO, 2003.
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
Faktor penting yang menentukan mutu pendidikan adalah masalah
status dan profesionalisme para guru. Di Indonesia, tingkat pelatihan
pra-kerja telah meningkat akhir-akhir ini. Namun kurang dari 50 persen
guru SD dan SMP yang memenuhi persyaratan. Kualifikasi guru di
sekolah swasta juga sama rendahnya. Penyediaan jasa pelatihan di
tempat kerja tidak bisa memperbaiki keadaan, dan setelah desentralisasi
malah memberikan hasil yang tidak menentu.16 Semua ini menjadikan
pondasi yang ringkih bagi pengajaran yang berkualitas.
Struktur gaji bagi guru di Indonesia berdasarkan skala gaji yang
ditetapkan pemerintah tidak mempertimbangkan kompetensi dan
persyaratan kerja khusus. Lagipula, gaji guru Indonesia yang terendah
di ASEAN, yang mengakibatkan sulitnya menarik dan mempertahankan
individu-individu terbaik dalam pengajaran.17 Dengan demikian, perlu
dipertimbangkan untuk menaikkan gaji guru secara bertahap, yang
dikombinasikan dengan perbaikan-perbaikan substansial dalam status
guru, kompetensi profesional, dan bahan-bahan pengajaran. Inilah
langkah-langkah kunci untuk mencapai pendidikan yang bermutu.
Untuk menetapkan prioritas dalam kebijakan pelatihan teknik dan
kejuruan bagi pengentasan kemiskinan di Indonesia, kita perlu
mempertimbangkan sistem pelatihan di Indonesia yang statusnya rendah
dan bahwa sistem pelatihan dan pendidikan kejuruan yang efektif
membutuhkan lebih banyak sumber daya ketimbang pendidikan dasar.
Secara tradisional, pemerintah bertanggungjawab atas pelatihan yang
menyebar ke berbagai instansi, seperti di sejumlah kementrian. Sebagai
tambahan, tidak terdapat cukup koordinasi nasional dalam perancangan
kebijakan bagi pelatihan kerja; koordinasi yang terbatas antara pemasok
swasta dan publik, partisipasi yang terbatas dari industri dalam kebijakan
dan perencanaan; tidak adanya standar dan sertifikasi nasional;
ketergantungan yang berlebihan pada dana dari para pendonor; dan
terlalu fokus pada lapangan kerja sektor formal; dan ketidakpedulian
pada ekonomi informal. Lebih lanjut, walaupun ada upaya-upaya untuk
membuat sistem pelatihan lebih tanggap, pelatihan tersebut masih tetap
tergantung pada pasokan dan terbebani masalah kurangnya pendanaan
serta kurangnya informasi pasar tenaga kerja. Tidak adanya sistem
pelacakan yang bisa mengetahui keberadaan para lulusan, sehingga
informasi mengenai mereka sangat terbatas, bagaimana mereka terserap
ke dalam lapangan kerja, dan seberapa jauh pendidikan mereka
mempunyai relevansi dengan kebutuhan usaha.
Pemerintah Indonesia saat ini tengah berada dalam proses
mereformasi sistem pelatihan kejuruan dan teknik. Proses ini mencakup
pengembangan Kerangka Sertifikasi Profesional Nasional, diikuti dengan
pengembangan standar kualifikasi bagi keterampilan-keterampilan inti,
16
17
Untuk melihat lebih banyak tentang status, kualitas, gaji dan kondisi kerja guru, lihat
Ratteree, B: ‘PRSP and education in Indonesia’(PRSP dan Pendidikan di Idonesia), Technical
Briefing Note, ILO, 2003.
Education at a Glance: OECD Indicators, OECD, Paris, 2002.
sistim akreditasi dan pengakuan keterampilan dan pengaturan
pendanaan yang baru. Proses ini merupakan tugas yang sangat besar,
yang akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk
mengimplementasikannya, dan yang tentunya di luar lingkup PRSP.
Dalam konteks PRSP, Pemerintah Indonesia mungkin perlu
memberikan prioritas pada dua hal: (a) memperkuat ikatan antara
pelatihan dan bisnis, dan (b) memperbaiki pelatihan bagi perusahaanperusahaan kecil dan pelaku ekonomi informal melalui
pengidentifikasian contoh-contoh yang sudah berhasil. Kedua proposal
ini hanya menelan biaya amat rendah, dengan hasil yang sangat besar.
Memperkuat kemitraan
antara pendidikan dan
dunia usaha
Pemaparan ke dunia kerja merupakan bagian penting dari persiapan
kaum muda memasuki dunia kerja. Bukan hanya untuk membentuk
karir pendidikan mereka pada titik awal, namun juga untuk memfasilitasi
transisi dari sistem pendidikan ke dunia kerja di mana keterampilanketerampilan baru dan sikap-sikap yang berbeda dibutuhkan. Meski
demikian, hanya terdapat 38 persen pemuda yang dicakup survei transisi
sekolah-ke-pekerjaan berpartisipasi dalam program pengalaman kerja
sebagai bagian dari pelatihan atau pendidikan mereka. Temuan-temuan
survei juga mempertanyakan tentang efektivitas program, pengalaman
kerja dan magang yang ada. Lagipula, selain menawarkan program
pengalaman kerja dan pemagangan, perusahaan-perusahaan yang
disurvei jarang mempunyai kerjasama dengan sektor pendidikan.
Akibatnya, ada ketidakcocokan antara apa yang disediakan oleh sekolah
kejuruan dengan apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja dalam hal
pengetahuan, keterampilan dan sikap. Mereka yang meninggalkan
sekolah tanpa persiapan akan menjadi biaya bagi pengusaha, dan
menjadi penghambat pertumbuhan produktivitas, peningkatan teknologi
atau produksi modern.18
Menjalin kerjasama erat dengan sekolah, dunia usaha bisa menjamin
bahwa masa depan tenaga kerja sudah disiapkan dengan baik melalui
program pengalaman kerja yang efektif, yang bisa membantu siswa-siswa
melihat hubungan antara belajar dan bekerja, memahami bagaimana
pengetahuan dan keterampilan khusus diaplikasikan di konteks dunia
nyata, serta mengembangkan sikap baru dan mendapatkan kepercayaan
diri. Di luar pemagangan (internship), terdapat berbagai cara untuk
mendekatkan siswa ke dunia kerja nyata, misalnya pembahasan karir dan
program pemagangan (apprenticeship programs). Pengusaha juga bisa
mendukung pekerjaan para guru melalui nasehat-nasehat di berbagai hal,
misalnya standar teknologi dan industri, dan upaya-upaya pengembangan
kurikulum. Organisasi pengusaha memiliki peranan kunci dalam
menjembatani pendidikan dengan dunia usaha.
Program-program seperti ini bisa diselenggarakan sejalan dengan
jenis industri atau sebagai bagian dari inisiatif pengembangan ekonomi
18
Sziraczki, G dan Reerink A: ‘school-to-Work Transition in Indonesia’, Laporan tidak
diterbitkan, ILO, Oktober 2003
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
lokal. Program ini juga harus menjadi bagian dari upaya
berkesinambungan untuk mengembangkan pusat-pusat pelatihan dan
pendidikan kejuruan yang bermutu di tingkat provinsi dan daerah —
lembaga teladan yang bisa menawarkan contoh dan pelajaran yang bisa
dipetik untuk mereformasi sistem pelatihan nasional. Semua inisiatif ini
perlu memberikan perhatian kepada kesetaraan jender untuk mendorong
partisipasi anak perempuan dalam pelatihan dan untuk menghapuskan
pemisahan jender dalam pendidikan kejuruan yang cenderung
mengarahkan anak perempuan ke industri dengan upah rendah, yang
banyak didominasi oleh perempuan.
Untuk mengkaji sejauh mana pendidikan kejuruan melayani
kebutuhan perusahaan-perusahaan kecil dan pelaku ekonomi informal
cukup sulit karena terbatasnya informasi dan data. Hal yang sama
berlaku untuk program-program khusus yang menawarkan
keterampilan dasar dan pelatihan kewirausahaan ke kelompok sasaran
yang berbeda untuk memulai pekerjaan mandiri dan menjalankan bisnis
kecil. Pelacakan atas hasil program pelatihan dan kejuruan, bersamasama dengan survei mengenai kisah sukses pengusaha informal bermodal
kecil, dapat menjadi contoh dan disebarluaskan kepada yang lain. Hanya
studi inilah yang bisa memberikan informasi tentang produk-produk,
teknologi dan pasar yang terkait dengan keterampilan-keterampilan;
sumber-sumber keterampilan dari wirausahawan informal; dan
efektivitas program pelatihan dan kejuruan terkini, termasuk inisiatif
berbasis masyarakat.19 Identifikasi kisah sukses (di mana pelatihan
merupakan bagian dan paket dari pendekatan yang lebih luas, termasuk
pemberian kredit, bantuan teknis, informasi pasar dan pelayanan
dukungan lainnya) dan menyebarkan informasi ini bisa mendorong
proses pembelajaran, membantu menggandakan contoh-contoh yang
bagus serta mempromosikan inovasi di seluruh Indonesia.
Membangun modal manusia tidak hanya berarti mengembangkan
keterampilan dan pendidikan dasar, tapi juga memberdayakan kelompok
miskin, khususnya kaum muda, sehingga mereka bisa memanfaatkan
kesempatan kerja yang ada. Pembangunan ini memerlukan persiapan
pemuda untuk memasuki dunia kerja. Menurut data survei, kurang dari
30 persen pemuda di sekolah, pencari kerja dan pemuda kerja mandiri
yang mendapatkan nasehat/konseling tentang peluang kerja/karir. 20
Tak mengherankan jika banyak para pemuda yang menghadapi kondisi
yang tidak menentu dan memiliki harapan yang berlebihan, namun tidak
mengetahui bagaimana cara mendapatkan pekerjaan.
19
Untuk lebih jelasnya, lihat House, J W: ‘Decent work deficit in the informal economy in
Indonesia’, Laporan tidak diterbitkan, ILO, Oktober 2003.
20
Sziraczki, G and Reerink A: ‘School-to-Work Transition in Indonesia’ Laporan tidak diterbitkan,
ILO, Oktober 2003
Peningkatan pelatihan
bagi perusahaan kecil
dan pelaku sektor
informal
Memperbaiki persiapan
mereka yang putus
sekolah untuk masuk
dunia kerja
Persiapan yang lebih baik bagi mereka yang meninggalkan sekolah
untuk masuk ke dunia kerja bisa membantu proses penyesuaian antara
hasil pendidikan dan pelatihan dengan apa yang dibutuhkan dunia kerja,
serta mengurangi masa pengangguran. Hal ini membutuhkan informasi
penawaran lowongan pekerjaan dan panduan karir peka-jender di
sekolah-sekolah melalui sistem pendidikan dan pelatihan, dan kepada
pencari kerja muda melalui media masa. Tambahan pula, kaum muda
membutuhkan bantuan untuk mempelajari teknik-teknik mencari
pekerjaan. Karena kurang berkembangnya pelayanan tenaga kerja,
mungkin sangat baik kalau panduan karir, teknik mencari kerja dan
infomasi pasar kerja diberikan melalui sistem pendidikan kepada mereka
yang putus sekolah. Pada gilirannya, hal ini akan membutuhkan
peningkatan pelayanan bimbingan karir di sekolah, yang tersedia di
hampir semua SMP dan SMU. Selain itu, migrasi tingkat tinggi di antara
mereka yang putus sekolah dan yang meninggalkan sekolah di kawasan
pedesaan miskin ke pusat-pusat kota memberikan tantangan tambahan
kepada pelayanan-pelayanan seperti itu. Penanaman kesadaran dari
jaringan dukungan yang ada bagi para migran harus dilaksanakan pada
tahap awal siklus pendidikan supaya bisa menjangkau mereka yang
mungkin akan berpindah (yang kurang terdidik). Ini merupakan hal
yang secara khusus penting dalam kasus migran perempuan muda yang
sering menghadapi risiko diperdagangkan. Sebaliknya, pengusaha perlu
didorong menggunakan praktek perekrutan yang lebih terbuka,
ketimbang sangat menggantungkan diri pada saluran perekrutan
informal. Secara umum, informasi pasar kerja yang lebih baik dan
transparansi membantu kelompok muda miskin dan rentan untuk
mendapatkan kerja.
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
Menyediakan perlindungan sosial
bagi semua
Istilah perlindungan sosial mencakup dua hal yaitu, bantuan sosial
(biasanya disponsori oleh pemerintah, bukan merupakan iuran, dan
dirancang untuk memenuhi kebutuhan pokok dan bukannya jenis
bantuan khusus tertentu) dan asuransi sosial (di mana pekerja dan
pengusaha membayar iuran asuransi yang ditujukan jika ada kejadian
tertentu). Perlindungan sosial; dalam konteksnya juga mengandung
pemahaman tentang jaring pengaman sosial – lihat Boks 1 dan 2 juga
bagan 2 di bawah. Jaring pengaman sosial merupakan kebijakan jangka
pendek yang dirancang untuk menghadapi perubahan struktural dan
ekonomi, misalnya transisi dari ekonomi komando ke ekonomi pasar
dan dampak krisis ekonomi, seperti yang telah terjadi di Asia Tenggara
pada 1997. Tujuan ganda dari perlindungan sosial adalah untuk
mencegah terjadinya deprivisasi—untuk mempromosikan standar hidup
yang lebih baik, dan memperkecil kerentanan—untuk melindungi diri
dari risiko-risiko penurunan standar hidup, baik yang bersifat sementara
maupun yang permanen.
Kita mungkin bisa beralasan bahwa negara-negara berkembang
tidak mampu menerapkan sistem perlindungan sosial yang
komprehensif. Risiko-risiko pasar tenaga kerja (misalnya pengangguran
dan setengah pengangguran) merupakan bagian dari dinamika normal
ekonomi pasar dan sebaiknya dipenuhi oleh sistem informal dari
perlindungan sosial (mengharuskan adanya kombinasi keuletan individu
dan dukungan berbasis masyararakat). Sistem formal dari perlindungan
sosial dalam pandangan ini sebaiknya diprioritaskan untuk kelompok
yang betul-betul miskin dan tidak berkecukupan di masyarakat. Namun,
terdapat sebuah opini professional yang tumbuh bahwa mekanisme yang
lebih formal diperlukan untuk membantu orang-perorang, rumah tangga,
dan masyarakat untuk bertahan terhadap perubahan, khususnya bila
perubahan tersebut tidak diperkirakan sebelumnya.1 Jikalau tidak,
kemiskinan yang bersifat sementara bisa berubah menjadi kemiskinan
jangka panjang. Memang, bukti-bukti terkini dari negara-negara industri
menunjukkan, dengan tidak adanya sistem perlindungan sosial yang
formal, kemiskinan jangka panjang yang berkisar 47 persen di Amerika
Serikat dan 91 persen di Finlandia lebih tinggi dari apa yang biasanya
diamati. 2
1
2
Morduch, J (1999) ‘Between the state and the market: can informal patch up the market’
Lokakarya Stiglitz Summer Research tentang Kemiskinan, 6-8 Juli, Washington DC, World
Bank
ILO (2000) World Labour Report: Income security and social protection in a changing world,
Geneva, ILO, pp.40-41.
4
Juga terdapat opini profesional lain yang muncul bahwa laju
globalisasi yang pesat telah meningkatkan kerentanan perekonomian
nasional terhadap krisis yang datang dari luar. Risiko-risiko ini
menciptakan potensi reaksi besar terhadap globalisasi. Dengan demikian,
perlindungan sosial mungkin bisa dipandang sebagai sebuah upaya oleh
negara untuk membatasi risiko-risiko yang terkait dengan ekonomi dunia
yang semakin menyatu ini. 3 Situasi ini pada waktunya akan menjadi
sebuah instrumen untuk memobilisasi komitmen politik dalam upaya
menyatukan potensi manfaat-manfaat dari globalisasi.
Berkenaan dengan munculnya konsensus tentang peranan yang bisa
dimainkan oleh sistem perlindungan sosial komprehensif di sebuah pasar
ekonomi, bab ini menawarkan perlunya Indonesia berupaya memberikan
perlindungan sosial bagi semua penduduk sebagai unsur utama dari
strategi pengentasan kemiskinan dalam periode 10 sampai 15 tahun.
Data yang tersedia menunjukkan bahwa salah satu tujuan utama
perlindungan sosial, yaitu membuat individu bertahan menghadapi
kerentanan, merupakan hal yang sangat relevan dalam kasus Indonesia.
Dengan demikian, selagi tingkat kemiskinan saat ini mencapai sekitar 16
persen, terdapat sekitar 40 persen penduduk ‘hampir miskin’, yang
membuat mereka rentan, paling tidak, terhadap kemiskinan sementara. 4
Jaminan Sosial menggambarkan semua program sosial untuk pengentasan
kemiskinan. Jaminan Sosial dikenal sejak Konferensi ILO tahun 1952 ketika
standar-standar Jaminan Sosial mulai diterapkan. Jaminan tersebut mencakup
Asuransi Sosial (di mana pekerja dan pengusaha membentuk asuransi untuk
kejadian-kejadian tertentu), dan Bantuan Sosial (biasanya disponsori oleh
pemerintah, bukan berupa iuran, dan dirancang untuk memenuhi kebutuhan
dasar bukan kebutuhan/keperluan darurat).
Jaring Pengaman Sosial berkaitan dengan kebijakan-kebijakan jangka pendek
untuk mengantisipasi perubahan-perubahan struktural dan ekonomi seperti
transisi dari ekonomi komando ke ekonomi pasar atau ketika terjadi krisis
ekonomi seperti yang melanda Asia pada tahun 1997.
Perlindungan Sosial adalah istilah yang lebih luas yang mencakup Jaminan
Sosial; yang sangat erat kaitannya dengan pengentasan kemiskinan (berbeda
dengan Asuransi Sosial tetapi sama dengan Bantuan Sosial) dan menjamin
akses ke pelayanan kesehatan melalui inisiatif yang berbasis publik,
perorangan, atau masyarakat. Bagan 1 merupakan rangkuman dari
peristilahan dimaksud.
3
Lihat Bergsten (2000) ‘The backlash against globalization’, Pernyataan yang diberikan pada
Komisi Trilateral, Tokyo; Rodrik, D (1999) ‘The global economy and developing countries:
making openness work’, Washington DC, Dewan Pembangunan Luar Negeri.
4
Batas garis kemiskinan nasional ditetapkan sekitar US$ 1,5 per hari. Jika angka dini dijadikan
patokan, jumlah orang miskin di Indonesia sekitar 16 persen dari total penduduk. Dengan
menaikkan batas garis kemiskinan ke US$ 2 per hari, tingkat kemiskinan melonjak sampai
lebih dari 50 persen. Di antara dua angka ini terdapat kelompok yang masuk kategori
‘hampir miskin’.
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
Perlindungan yang disediakan oleh masyarakat kepada warganya
melalui serangkaian langkah-langkah sosial terhadap hambatanhambatan yang mungkin disebabkan oleh terhentinya atau
berkurangnya pendapatan secara substansial. Perlindungan ini juga
memberikan sejumlah manfaat, perawatan kesehatan dan subsidi
rumah tangga.
Untuk menghindari deprivasi
(meningkatkan
standar
hidup) dan kerawanan
terhadap deprivasi (melindungi dari turunnya standar
hidup).
Jaminan Sosial
Asuransi Sosial
Dukungan Sosial
Tunjangan Keluarga
Dana Masa Depan
Perlindungan Sosial
Kompensasi Masa
Depan
Program Dasar
Tenaga Kerja
Skema Swasta dan yang tidak diatur oleh
UU/peraturan
Skema berbasis pekerjaan/ profesi dan
pengusaha
Dukungan berbasis masyarakat
Contoh Tunjangan
·
Dana Pensiun
·
Invaliditas Pensiun
·
Tunjangan
Pengangguran
·
Tunjangan Sakit
·
Tunjangan Kehamilan/
Melahirkan
·
Tunjangan Keluarga
·
Perawatan Kesehatan
·
Pembayaran Penuh
·
Subsidi Perumahan
·
Tunjangan Pendidikan
Skema Asuransi Mikro
Layanan Sosial seperti tempat penitipan anak
dan bantuan ke rumah-rumah
Ketika orang berbicara tentang pendanaan jaminan sosial, mereka
mungkin berbicara tentang salah satu dari topik-topik berikut ini:
•
apakah pekerja dan pengusaha membayar iuran agar
mereka berhak mendapat tunjangan (asuransi sosial) atau apakah
pemerintah mendanai skim-skim tersebut dari pendapatan pajak
(skim umum). Dana asuransi sosial bisa semi independen dari
pemerintah dan digunakan hanya untuk pembayaran tunjangan
dan tidak terpengaruh oleh perubahan situasi ekonomi. Skim
universal biasanya menyediakan santunan tetap kepada semua
warga negara yang jumlahnya dihitung berdasarkan pengujian
statistik.
•
apakah uang pensiun seseorang harus dikelola oleh
pemerintah, oleh perusahaan swasta atau dana perwalian (Trust
Funds) yang dikelola oleh badan tripartit yang terpisah dari
pemerintah.
•
apakah uang pensiun seseorang harus
didasarkan atas iuran yang dibayarkan oleh atau untuknya di
muka, sebelum ia pensiun? Atau dibayarkan dari iuran para
pekerja pada saat sekarang (dibayar selagi Anda bekerja)
•
apakah dana-dana tersebut harus dibatasi dalam
bentuk obligasi pemerintah atau apakah, dan sejauh mana danadana tersebut harus diinvestasikan dalam bentuk saham. Investasi
di pasar modal memberikan lebih banyak keuntungan
dibandingkan dengan obligasi pemerintah, tapi investasi di pasar
modal terlalu berisiko dan sering naik turun.
•
masih ada
perdebatan berkaitan dengan cara dana pensiun dihitung —
apakah uang pensiun seseorang harus dibatasi sampai pada
apa yang telah mereka bayarkan (ditambah bunga dari uang
tersebut), ini disebut sebagai iuran tetap. Atau apakah uang
pensiun tersebut harus merupakan jumlah yang terkait dengan
variabel lain (misalnya besarnya gaji terakhir atau gaji ratarata), ini disebut sebagai tunjangan tetap.
Dalam prakteknya, sistem jaminan sosial di kebanyakan negara
merupakan gabungan dari beberapa komponen.
Perkembangan kebijakan perlindungan sosial terus meningkat
dengan tanggung jawab yang tersebar pada berbagai elemen yang ada,
seperti beberapa departemen dan organisasi kemasyarakatan serta tanpa
strategi dan mekanisme koordinasi yang jelas. Karakteristik sistem
tersebut adalah:
•
•
•
•
•
•
Ketergantungan yang kuat terhadap keluarga luas (extended family)
dan komunitas sebagai jaring pengaman sosial jika terjadi kehilangan
pendapatan, sakit dan musibah lain.
Ketergantungan yang terbatas pada pengusaha melalui organisasi
perburuhan yang diperkuat oleh kesepakatan bersama, yang secara
langsung menyediakan sejumlah keuntungan, seperti upah selama
sakit dan persalinan/melahirkan atau ketika terjadi pemutusan
hubungan kerja (PHK).
Untuk sektor swasta ada asuransi yang menyediakan jasa
pengelolaan tunjangan hari tua yang memberikan pembayaran
uang pensiun secara sekaligus; hal ini diperburuk oleh opsi penarikan
dana pada saat tidak lagi bekerja.
Paket layanan dan tunjangan terpadu untuk pegawai negeri dan
anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian.
Layanan yang tidak memadai untuk kaum miskin berdasarkan
subsidi tapi distribusinya sering tidak merata tergantung pada
kemampuan pendanaan pemerintah daerah; dan
Pelayanan kesehatan yang memadai dan dukungan melalui asuransi
terbatas hanya diberikan kepada pekerja sektor formal dan bantuan
pemerintah hanya untuk kaum miskin. Tidak ada bantuan untuk
sektor informal.
Jaminan sosial yang disediakan Taspen, Asabri dan Jamsostek hanya
mencakup 13,5 juta pekerja dari total tenaga kerja sebanyak 100 juta
orang. Artinya, hanya sekitar 14% pekerja yang saat ini memperoleh
skim jaminan sosial kelembagaan. Ini di luar asuransi kesehatan yang
memiliki cakupan yang lebih luas melalui skim pemerintah, swasta dan
mikro.
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
Sektor tenaga kerja formal yang dicakup oleh Jamsostek adalah
sekitar 30% dari seluruh tenaga kerja. Jamsostek tidak menjangkau
perusahaan dengan jumlah tenaga kerja di bawah 10 orang atau
pekerjanya hanya mendapatkan upah di bawah Rp 1 juta per bulan
(Pada kenyataannya, banyak sekali perusahaan yang hanya memiliki
dua atau lebih pekerja). Penafsiran yang lebih tegas atas undang-undang
yang mengatur soal ini dapat menaikkan cakupan Jamsostek sampai
70%. Bagan 2 memperlihatkan kondisi tenaga kerja.
1
Populasi berusia 15 tahun atau lebih
148.729
2
3
Tenaga kerja (aktif secara ekonomi)
Tingkat partisipasi tenaga kerja
100.779
67,76%
4
Tenaga kerja yang dipekerjakan
91.647
5
6
· Pengusaha
· Sektor Formal (pengusaha berbadan hukum)
2.786
33.123
7
8
o
Pekerja formal perkotaan
· Pekerja lepas perkotaan
22.022
3.559
9
o
Pekerja formal pedesaan
13.101
· Pekerja biasa di bidang agrikultur
· Pekerja lepas di bidang agrikultur
2.238
4.513
10
11
12
13
14
· Pekerja di pedesaan yang tidak dalam bidang agrikultur
· Sektor Informal (pengusaha bukan badan hukum)
6.258
58.524
Pekerja informal perkotaan
17.069
15
Pekerja informal pedesaan
Pencari kerja
41.454
9.132
16
17
Populasi di bawah garis kemiskinan usia 15 tahun atau lebih
Anggota Jamsostek (dari data yang tersimpan)
38.000
18.6
18
Perkiraan jumlah Kontributor individu Jamsostek
9.3
19
Pelayanan pegawai negeri (Taspen, Asabri dan skema
kontributor polisi)
6.3
20
21
Pensiunan Taspen
Pelayanan kesehatan (termasuk Jamsostek, Askes
dan skema swasta)
1.78
14.0
22
Pembayar pajak (pemegang nomer pajak –
mencakup 600,000 perusahaan)
o
o
2.2
Jadi, tingkat kepatuhan pada undang-undang jaminan sosial terbukti
masih sangat rendah. Tingkat perolehan pendapatan pajak juga masih
rendah dengan hanya ada 2,2 juta nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Itu sudah termasuk badan usaha. Dan banyak sumber-sumber
pendapatan yang penting (seperti dari investasi) yang tidak dikenakan
pajak. Kenaikan pajak dapat berdampak buruk pada perekonomian,
namun demikian hal itu dikompensasi dengan adanya perlindungan
sosial yang berkelanjutan.
Dampak dan implikasi
otonomi daerah
Otonomi daerah telah menyebabkan terjadinya pendelegasian
wewenang dari kementerian dan departemen kepada pemerintah
provinsi dan juga meningkatkan jumlah provinsi menjadi 33. Pemerintah
daerah bertanggung jawab atas kegiatan sektor publik dalam bidang
kesehatan, pendidikan, prasarana desa dan kota, serta berwenang atas
lebih dari 2,3 juta mantan pegawai pemerintah pusat. Hal ini diterapkan
untuk mendorong partisipasi dan keterkaitan daerah dengan layanan
serta inisiatif sektor publik. Pemerintahan yang lebih baik dan dukungan
terhadap program-program daerah untuk kaum miskin tampaknya
cenderung lebih berkelanjutan ketimbang kebijakan pusat-daerah (top
down) yang terbukti telah gagal di masa lalu karena penetapan sasaran
yang salah dan kebijakan yang tidak sesuai dengan daerah sasaran.
Dampak serius dari otonomi daerah terhadap layanan untuk kaum
miskin belum begitu dirasakan, tapi kesenjangan tampaknya terus
melebar, lebih karena bervariasinya kemampuan, pemerintah provinsi,
pendapatan, distribusi kaum miskin, pendanaan lokal, dan keberhasilan
program pengentasan kemiskinan. Kesenjangan hanya akan hilang jika
ada standar minimum nasional berkaitan dengan program pengentasan
kemiskinan.
Perlindungan sosial dan
tantangan dari kelompok
mayoritas yang tidak
tercakup
Tantangan utama yang dihadapi para pembuat kebijakan yang
berkeinginan mengembangkan sistem perlindungan sosial yang dapat
dipercaya dan menyeluruh diwakili oleh kelompok yang disebut
‘mayoritas yang tidak tercakup’ (excluded majority).5 Istilah ‘mayoritas
yang tidak tercakup’ ini diilustrasikan dengan sangat baik melalui
pembahasan ringkas tentang berbagai kelompok rentan di masyarakat.
Kelemahan dalam soal kepatuhan di sektor formal telah
meningkatkan kerentanan terhadap kemiskinan jika terjadi kecelakaan,
kematian, atau penggangguran. Jika kelompok pekerja mandiri, dan
pekerja migran yang jumlahnya besar juga dimasukkan, banyak pekerja
di sektor formal tidak tercakup oleh skim jaminan sosial yang wajib
sekalipun. Kemungkinan meningkatnya kemiskinan, jika terjadi krisis
ekonomi seperti yang terjadi pada 1997, juga masih tinggi.
Pertimbangan khusus harus diberikan pada masalah jender.
Perempuan memperoleh bantuan dan kesempatan lebih sedikit
dibanding pria, dan mereka tidak terwakilkan secara seimbang dalam
sektor ekonomi formal. Perempuan lebih mendominasi pada pekerjaan
yang tidak digaji, kalangan pekerja migran, dan rata-rata mereka
menerima pendapatan yang lebih rendah dibandingkan pria. Banyak
5
Tantangan dari ‘mayoritas yang tidak tercakup’ dalam merancang sistim perlindungan
sosial di negara berkembang dibahas di ILO (2000) (op.cit), Beattie, R (2000) ‘Social protection
for all: but how’ International Labour Review, 139 (2); ESCAP (2000) ‘Social security and
safety nets ’ di Economic and Social Survey of the Asia and the Pacific, Bangkok; Bank Dunia
(2000) ‘Keamanan’, di World Development Report: Attacking Poverty, Washington DC
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
program pengentasan kemiskinan dan program pembangunan sosial
yang terfokus pada rumah tangga dan tidak mempertimbangkan
perbedaan-perbedaan antar rumah tangga. Kalaupun perhatian khusus
diberikan kepada masalah dan pola-pola hidup perempuan ketika
mengembangkan program dan kebijakan perlindungan soal, pendekatan
yang kelihatannya netral pada kenyataannya justru akan merugikan
perempuan.
Jaminan sosial belum diberikan untuk kelompok pekerja sektor
informal, walaupun jumlah mereka hampir 65 juta pekerja atau 65,7%
dari total angkatan kerja. Keluarga mereka sangat rentan terkena
dampak buruk akibat hilangnya pendapatan untuk sementara waktu
atau bahkan untuk selamanya. Pada gilirannya, hal itu akan
menyebabkan mereka dengan cepat jatuh ke jurang kemiskinan.
Meskipun kapasitas pekerja sektor informal di pedesaan sangat terbatas
untuk mempraktekkan pertanian subsisten (memenuhi kebutuhan
sendiri) untuk mengkompensasi hilangnya pendapatan, hal yang sama
tidak dimiliki pekerja informal di perkotaan.
Berusia lanjut, cacat, janda, pengangguran, dan perempuan
merupakan bagian terbesar dari kaum miskin. Program jaring pengaman
sosial untuk kaum miskin dan program pengentasan kemiskinan yang
berkesinambungan telah berhasil memperbaiki kondisi mereka.
Keberhasilan itu antara lain dalam soal pemberian subsidi beras, subsidi
pendidikan, dan layanan kesehatan di daerah terpencil setelah krisis
ekonomi tahun 1997. Namun, problem pengidentifikasian dan
penggolongan kaum paling miskin di antara kaum miskin belum bisa
dipecahkan baik karena beragamnya wilayah maupun karena kegagalan
mendefinisikan level kemiskinan untuk menentukan perbedaanperbedaannya. Langkah-langkah untuk mengatasi ketidakmampuan dan
kerentanan ini perlu diperbaiki jika ingin program bantuan sosial untuk
kaum miskin lebih akurat dan tingkat kebocorannya minimal.
Orang tanpa
pendapatan tetap dan
kelompok miskin
Indonesia, yang merupakan negara yang jumlah penduduknya
terbanyak keempat di dunia sedang menghadapi kecenderungan infeksi
HIV yang makin tinggi. Diperkirakan secara resmi terdapat 90.000
sampai 130.000 orang yang saat ini hidup dengan HIV/AIDS. Sekitar
90 % dari kasus ini melibatkan orang dalam usia produktif (20-50 tahun).
Untuk mengurangi dampak sosial dan ekonomi dari epidemi ini, ILO
membantu pemerintah, pengusaha dan pekerja untuk mengatasi masalah
HIV/AIDS melalui program peningkatan kesadaran yang mencakup
pelatihan dan pemanduan tentang pencegahan, perawatan dan
dukungan, dan memerangi stigma yang terkait dengan penyakit ini.
Sebagai tindak lanjut, seminar nasional pada awal 2003, mitra sosial
ILO menandatangani Deklarasi pada Komitmen Tripartit untuk
memerangi HIV/AIDS di dunia kerja dengan menggunakan Kaidah ILO
tentang HIV/AIDS. Bagaimanapun juga, orang dengan HIV/AIDS di
Indonesia tidak tercakup dalam bentuk jaminan sosial apapun misalnya
Orang yang hidup
dengan HIV/AIDS
tunjangan sakit dan perawatan kesehatan. ILO terus mendukung
pengembangan pemberian jaminan sosial bagi seluruh anggota
masyarakat.
Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat bertanggungjawab atas segala upaya memberdayakan kaum miskin melalui
kebijakan-kebijakan pengentasan kemiskinan dan telah membentuk
Gugus Tugas untuk Reformasi Jaminan Sosial dan Pengentasan
Kemiskinan untuk mengkoordinir proses reformasi. Gugus Tugas dan
menteri koordinator bertanggung jawab kepada Presiden Republik
Indonesia. Gugus Tugas Reformasi Jaminan Sosial telah menyelesaikan
rancangan undang-undang dan makalah yang berisi konsep syaratsyarat sistem jaminan sosial di masa depan di Indonesia. Rekomendasi
penting dalam rancangan tersebut diyakini bisa memberikan
perlindungan sosial bagi seluruh warga pada akhir masa transisi antara
10-15 tahun. Juga dipahami perlunya menyediakan jaminan sosial wajib
yang iurannya dari seluruh pekerja, termasuk mereka yang berada di
sektor-sektor formal, sektor informal perkotaan dan pedesaan. Badan
pengawas akan diberi nama Jamsosnas (Jaminan Sosial Nasional) dan
nantinya badan-badan jaminan sosial yang ada sekarang ini akan
diintegrasikan. Perbaikan pelayanan kesehatan telah ditetapkan sebagai
prioritas utama.
Pada 2002 ILO menyelesaikan sebuah proyek yang berjudul
Restructuring of Social Security in Indonesia (Restrukturisasi Jaminan Sosial
di Indonesia) yang merekomendasikan reformasi institusional, khususnya
Jamsostek, dan mengadakan studi tentang opsi-opsi untuk memperbaiki
program-program tunjangan yang mencakup:
•
Kelayakan untuk menggantikan skim jaminan hari tua yang ada
sekarang dengan skim
yang akan
membayar uang pensiun secara bulanan kepada para pensiunan.
Ini akan membantu mengentaskan kemiskinan di kalangan
penduduk berumur karena mereka akan menerima pendapatan
rutin dan bukannya pembayaran sekaligus;
•
Perbaikan dalam skim
—memperkenalkan
pensiun untuk keadaan darurat jangka panjang untuk mereka yang
cacat permanen dan kematian akibat kecelakaan kerja;
•
Kelayakan untuk mengubah kewajiban pengusaha membayar
menjadi tunjangan asuransi sosial dengan
menggunakan sumber dana yang sama dengan yang dikeluarkan
pengusaha selama ini—sebagai upaya mengelak dari dan
menghindari diskriminasi terhadap pekerja perempuan;
•
Kelayakan untuk menerapkan skim
yang berpotensi mengurangi krisis ekonomi masa
depan dengan cara mempertahankan tingkat pendapatan di
masyarakat dan mengurangi tingkat pengangguran. Perhitungan
yang dilakukan aktuaris menunjukkan bahwa dengan membayar
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
empat persen dari gaji akan menghasilkan tunjangan pengangguran
sebesar 70 persen dari gaji untuk jangka waktu 25 minggu setiap
tahunnya. Efek skim ini untuk pengusaha bisa dikurangi dengan
membagi pembayaran iurannya bersama pekerja. Lebih penting lagi,
pembayaran uang pesangon akan berkurang secara signifikan
karena diganti dengan Tunjangan Pengangguran ini; 6
•
Kelayakan untuk menerapkan skim
—membentuk
jaring pengaman sosial dasar bagi kelompok miskin yang paling
rentan, suatu program yang didanai oleh pemerintah di semua level.
Dari studi yang dilakukan diketahui bahwa subsidi yang ada bisa
diarahkan secara lebih baik lagi dengan mengurangi kebocoran —
biasanya karena salah sasaran untuk orang yang tidak miskin—,
dan lebih baik dukungan diberikan kepada orang miskin. Pendanaan
lain yang merupakan diversifikasi dari subsidi yang sudah ada
(seperti subsidi bahan bakar) dan pajak-pajak baru lainnya seperti
pajak tembakau dan pajak hiburan bisa digunakan untuk pelayanan
bagi kaum miskin. Hal ini juga perlu diikuti dengan memberikan
fokus pada daerah, meningkatnya indeks tingkat kemiskinan dan
mekanisme pengawasan baru;
•
Studi khusus untuk merumuskan opsi-opsi kebijakan perluasan
jangkauan untuk mereka yang selama ini belum tercakup seperti
mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan kecil, sektor
informal, dan mereka yang membuka usaha sendiri atau bekerja
sendiri. Dari studi yang dilakukan diketahui bahwa cukup layak
untuk memperluas cakupan di sektor formal dengan cara
menghapus opsi pengecualian untuk pengusaha seperti yang selama
ini dilakukan. Sementara itu, dari survei kecil yang dilakukan
menunjukkan bahwa lebih dari separuh pekerja di sektor ekonomi
informal perkotaan bersedia mengikuti asuransi ini. Namun
demikian, keanggotaan sukarela ini hanya dapat dilihat sebagai
sebuah strategi antara dan dalam jangka panjang pemerintah harus
bertanggung jawab menyediakan sistem jaminan sosial minimum
untuk seluruh warganya. Keanggotaan sukarela juga disertai oleh
beberapa risiko tinggi akibat seleksi yang salah sasaran, keterbatasan
dalam soal-soal prinsip pengumpulan iuran, beralihnya pekerja
sektor formal dari skim yang ada ke skim informal yang lebih murah
dan kemudahan menarik dana dari skim sukarela.
•
atas program Jamsostek; dan Anggaran Sosial
yang menganalisis dan memproyeksikan biaya sosial secara
keseluruhan terhadap pendapatan yang bisa diperkirakan.
Terdapat sejumlah proyek-proyek kunci yang harus dibentuk
sebagai dasar untuk memperluas secara signifikan cakupan sistem
perlindungan sosial. Berikut adalah daftar yang diusulkan.
6
Contoh-contoh dari besaran yang baik di Indonesia maupun negara Asia lainnya, lihat Lee,
E (1998) The Asian Crisis: tha Challenge of Social Policy, Geneva, ILO and Vroman, W
(1999) “ Unemployment and underemploym ent protection in three groups of countries,
Social Protection Dicussion Paper 9911, May, Washington DC, World Bank
Menuju perlindungan
sosial bagi semua di
Indonesia: melihat ke
depan
•
Pembentukan Jamsosnas, penunjukan badan pengawas, sekretariat
dan badan pelaksana
•
Peraturan khusus yang memungkinkan pengembangan tunjangan
dan program-program baru dan untuk mengkoordinasikan badanbadan di bawahnya, pemerintah daerah, LSM dan lembaga donor
•
Memperkuat badan dan lembaga, Jamsostek dan Askes harus
meningkatkan teknologi informasi, layanan, program-program baru,
pelatihan staf, dan mengurangi gerai-gerai dalam jaringan
pelayanan.
•
Mengembangkan strategi jaring pengaman yang komprehensif bagi
kaum miskin yang mencakup program daerah, pendanaan, akses,
dan lembaga yang akan melaksanakan program tersebut.
•
Meningkatkan kepatuhan untuk memperluas cakupan jaminan
sosial ke ekonomi formal dan pekerja mandiri.
•
Mengembangkan dan menguji program-program serta metodologi
untuk memperluas layanan ke ekonomi informal dan pedesaan.
Dari studi-studi yang dilakukan ILO dapat dilihat bahwa untuk
mencapai suatu program perlindungan sosial yang komprehensif di
Indonesia dalam jangka panjang, kita perlu memperluas penyediaan
asuransi sosial yang lebih baik ke semua sektor formal dan menyediakan
tunjangan jaminan sosial yang lebih berarti yang akan menyediakan
dukungan pembiayaan yang wajar untuk seluruh pekerja bila terjadi
gangguan kerja (sakit, cedera, cacat, persalinan, melemahnya daya
tahan, pensiun, dan sebagainya) Penyediaan asuransi sosial ini juga perlu
diperluas dengan cepat ke sektor informal dan disokong mekanisme
dukungan yang luas bagi mereka yang miskin dan rentan. Prioritas harus
diberikan pada skim-skim wajib (sektor formal, wiraswastawan, dan
sebagainya), pengembangan kemampuan lembaga-lembaga dan
mendorong skim sektor informal melalui swadaya dan skim sukarela
yang didukung pemerintah.
Peringatan perlu diperhatikan. Pengalaman di pelbagai belahan
dunia menunjukkan bahwa pendafataran pekerja informal pada skim
pembiayaan jaminan sosial wajib bukanlah pekerjaan mudah.
Pengalaman di Indonesia sejauh ini memperkuat anggapan ini.
Organisasi ekonomi informal melalui pembentukan koperasi atau
organisasi terdesentralisasi atas perlindungan sosial lain memungkinkan
tercapainya skala ekonomis (economies of scale) sehingga cakupannya bisa
diperluas. Namun demikian, penerapan yang tidak konsisten dan
setengah hati merupakan masalah sistemik yang terjadi di Indonesia
dan tidak terbatas pada sektor perlindungan sosial saja. Studi lanjutan
perlu dilakukan untuk menemukan cara-cara untuk memperluas
cakupan yang berkesinambungan dengan tujuan membuat basis bagi
sistem jaminan sosial nasional.
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
Rekomendasi Kebijakan Kunci akan berdampak besar terhadap
upaya pengentasan dan pencegahan kemiskinan dalam jangka pendek
dan menengah seperti didiskusikan di bawah ini.
•
Secara bertahap program-program jaminan sosial diperluas sampai
ke seluruh pekerja di
—ini akan melindungi lebih dari sepertiga pekerja dari
kemungkinan kehilangan pendapatan dan sekaligus memberikan
pendapatan rutin secara terus-menerus pada masa pensiun mereka.
Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri ini akan
mengurangi tekanan terhadap sektor informal dengan cara
mengurangi perpindahan mereka ke sektor informal pada saat
paceklik. Stabilitas pendapatan rumah tangga juga akan
mengurangi tingkat kesenjangan dan kemiskinan di kalangan
perempuan. Perluasan jangkauan kepada pekerja mandiri
tergantung pada identifikasi dan pendaftaran wajib yang
merupakan prasyarat masuk skim jaminan sosial.
•
Menyediakan program jaminan sosial bagi pekerja di sektor
—pengalaman di tingkat lokal maupun internasional
membuktikan pentingnya sektor informal, kerentanan pekerja dan
keluarganya, dan sulitnya membentuk skim jaminan sosial yang
berkelanjutan. Namun demikian, strategi pengentasan kemiskinan
apapun bentuknya harus mencakup sektor informal di mana
sebagian besar kaum miskin terkonsentrasi. Pengalaman
mengajarkan bahwa rancangan asuransi sosial sukarela harus
bersifat fleksibel, dan disesuaikan dengan kebutuhan perorangan
dan kelompok, serta berdasarkan pada insentif.
•
Mengembangkan
untuk orang miskin —
hal ini bisa dilaksanakan dengan mengaitkannya dengan bursa
tenaga kerja, pembangunan pedesaan, pendidikan dan programprogram berbasis masyarakat. Program-program yang ditujukan
pada masyarakat yang tidak mampu ini harus disokong oleh sumber
daya pemerintah dan didasarkan pada peningkatan praktek
pemerintahan yang baik dan pendidikan di tingkat daerah untuk
menghindari terjadinya kebocoran. Untuk memberikan bantuan
diperlukan upaya pengidentifikasian kaum miskin, mengetahui
kebutuhan mereka dan menemukan mekanisme yang tepat di
tingkat lokal.
•
—Akses ke perawatan kesehatan
menjadi prioritas utama bagi pemerintah dan penyelenggaraannya
diusulkan untuk pekerja formal dan kaum miskin. Skim alternatif
harus dikembangkan sehingga mencakup ekonomi sektor informal.
Skim-skim ini mencakup asuransi mikro berbasis masyarakat,
ketentuan khusus untuk kepesertaan sukarela dalam skim formal,
paket skim khusus untuk menyesuaikan dengan kebutuhan yang
beraneka ragam di sektor informal.
7
Pekerja mandiri dengan pendapatan tetap pada pekerjaan yang bisa diidentifikasi antara
lain dengan tempat usaha yang mapan, termasuk para profesional. dan pekerjaan yang
dicakup bisa tercakup dalam peraturan ini.
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
Lampiran1:
Monitoring dan Evaluasi: Usulan Indikator
Pengembangan indikator dan sistem pemantauan untuk PRSP
sangat penting untuk mengukur tingkat kemajuan. Sebagai tambahan
terhadap kumpulan indikator—pemisahan data berdasarkan jenis
kelamin termasuk distrik, provinsi dan nasional—yang secara luas
dipaparkan dalam kerangka kerja sasaran pengembangan milennium,
ILO mendorong penggunaan indikator spesifik berkenaan dengan agenda
pekerjaan yang layak. Dalam hal ini, indikator kunci dari pasar kerja
membentuk suatu basis yang kuat bagi pemilihan indikator yang tepat.
Indikator kunci pasar kerja (KILM)
20 indikator tersebut meliputi:
1.
Tingkat partisipasi tenaga kerja
2.
Rasio lapangan kerja terhadap jumlah penduduk
3.
Status pekerjaan
4.
Pekerjaan berdasarkan sektor
5.
Pekerja paruh waktu
6.
Jam kerja
7.
Pekerja sektor informal
8.
Tingkat pengangguran
9.
Pengangguran kaum muda
10. Pengangguran jangka panjang
11. Tingkat pengangguran berdasarkan tingkat pendidikan
12. Jam kerja bagi setengah pengangguran
13. Tingkat ketidakaktifan
14. Tingkat pendidikan dan buta huruf
15. Tren upah sektor manufaktur
16. Indeks upah dan pendapatan kerja
17. Biaya kompensasi perjam
18. Biaya produktivitas kerja dan tenaga kerja perunit
19. Arus pasar kerja
20. Distribusi pendapatan dan kemiskinan
Berikut ini indikator-indikator yang dapat berguna sebagai acuan
bagi pemerintah dalam menilai sifat dan jenis penanggulangan
kemiskinan dalam konteks “Pekerjaan yang Layak” (lagi, dipisahkan
berdasarkan jenis kelamin dan level pemerintahan):
•
Distribusi upah kerja di sektor non-agraris
•
Pekerja anak bergaji atau bekerja mandiri
•
Anak-anak yang tidak bersekolah berdasarkan status pekerjaannya
•
Pengawas tenaga kerja (jumlah per tenaga kerja)
•
Belanja jaminan sosial untuk publik (persentasi atas GDP)
•
Kontribusi penduduk yang aktif secara ekonomi terhadap dana
pensiun
•
Tingkat keanggotaan serikat pekerja/buruh
•
Pemogokan dan penutupan (persentasi setiap 1000 pekerja)
•
Lapangan kerja sektor ekonomi informal
•
Ketidaksetaraan pendapatan
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
Lampiran 2:
Usulan Matriks Kebijakan
Kemiskinan (pendapatan)
Menciptakan kesempatan:
pertumbuhan dan
ketenagakerjaan/ bab 1
• Pertumbuhan 5 sampai 6
persen untuk menciptakan
lebih dari 2 juta pekerjaan per
tahun
• Tujuan kebijakan
makroekonomi untuk
menyeimbangkan baik
variabel fiskal maupun
finansial dengan target
ketenagakerjaan
• Bursa kerja tahunan untuk
menanamkan kesadaran dan
pengembangan konsensus
• Identifikasi sektor-sektor yang
memiliki potensi lapangan
kerja, misalnya agribisnis
• Investasi pada infrastruktur
publik menggunakan program
berbasis tenaga kerja
• Menciptakan lingkungan
kebijakan yang
ramah - terhadap Usaha Kecil
Menengah
• Mengambil manfaat dari
mobilitas tenaga kerja dengan
cara menghilangkan
hambatan-hambatan untuk
bepergian, meregulasi,
industri migrasi,
memfasilitasi pengiriman
uang, menangani para migran
yang rentan
• Memantau MDGs di tingkat
daerah untuk memastikan
bahwa semua komunitas
regional di Indonesia bisa
memetik buah dari
pembangunan
Keterbatasan suara dan
keterwakilan
Memberdayakan kelompok
miskin: tata pemerintahan yang
baik di pasar tenaga kerja/ bab 2
• Memperkuat Dewan Tripartit
Nasional (National Tripartite
Council - NTC)
• Menerapkan reformasi hukum
ketenagakerjaan yang
diusulkan baru-baru ini
namun juga mengkaji ulang
masalah upah minimum
Kemiskinan (pendapatan)
Menciptakan kesempatan:
pertumbuhan dan
ketenagakerjaan/ bab 1
• Mempromosikan
implementasi Rencana Aksi
Nasional terhadap bentukbentuk terburuk pekerjaan
anak di tingkat lokal
• Membuat desentralisasi
berjalan dalam memberikan
pendidikan dasar dengan
cara menetapkan standar dan
meningkatkan kapasitas lokal
• Memperbaiki mutu
pendidikan
• Meningkatkan pelatihan bagi
perusahaan kecil dan operator
sektor informal
• Memperbaiki penyiapan
mereka yang meninggalkan
sekolah untuk memasuki
dunia kerja
Kerentanan
Menyediakan perlindungan sosial
bagi semua/ Bab 4
•
Secara bertahap (dalam
jangka 10 sampai 15 tahun)
mengembangkan program
jaminan sosial yang lebih baik
bagi semua pekerja di sektor
ekonomi formal, pekerja
migran dan pekerja mandiri
• Menyediakan program
jaminan sosial kepada para
pekerja di ekonomi informal
• Mengembangkan program
bantuan sosial bagi kelompok
miskin
• Mengembangkan Jaminan
Kesehatan Sosial
Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia
Download