Hak Cipta © Kantor Perburuhan Internasional 2004 Pertama terbit tahun 2004 Publikasi Kantor Perburuhan Internasional dilindungi oleh Protokol 2 dari Konvensi Hak Cipta Dunia (Universal Copyright Convention). Walaupun begitu, kutipan singkat yang diambil dari publikasi tersebut dapat diperbanyak tanpa otorisasi dengan syarat agar menyebutkan sumbernya. Untuk mendapatkan hak perbanyakan dan penerjemahan, surat lamaran harus dialamatkan kepada Publications Bureau (Rights and Permissions), International Labour Office, CH 1211 Geneva 22, Switzerland. Kantor Perburuhan Internasional akan menyambut baik lamaran tersebut. ILO “Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia”. ISBN 92-2-115538-2 Sesuai dengan tata cara Perserikatan Bangsa Bangsa, pencantuman informasi dalam publikasi publikasi ILO beserta sajian bahan tulisan yang terdapat di dalamnya sama sekali tidak mencerminkan opini apapun dari Kantor Perburuhan Internasional (International Labour Office) mengenai informasi yang berkenaan dengan status hukum suatu negara, daerah atau wilayah atau kekuasaan negara tersebut, atau status hukum pihak pihak yang berwenang dari negara tersebut, atau yang berkenaan dengan penentuan batas batas negara tersebut. Dalam publikasi publikasi ILO sebut, setiap opini yang berupa artikel, kajian dan bentuk kontribusi tertulis lainnya, yang telah diakui dan ditandatangani oleh masing masing penulisnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab masing masing penulis tersebut. Pemuatan atau publikasi opini tersebut tidak kemudian dapat ditafsirkan bahwa Kantor Perburuhan Internasional menyetujui atau menyarankan opini tersebut. Penyebutan nama perusahaan, produk dan proses yang bersifat komersil juga tidak berarti bahwa Kantor Perburuhan Internasional mengiklankan atau mendukung perusahaan, produk atau proses tersebut. Sebaliknya, tidak disebutnya suatu perusahaan, produk atau proses tertentu yang bersifat komersil juga tidak dapat dianggap sebagai tanda tidak adanya dukungan atau persetujuan dari Kantor Perburuhan Internasional. Publikasi publikasi ILO dapat diperoleh melalui penyalur penyalur buku utama atau melalui kantor kantor perwakilan ILO di berbagai negara atau langsung melalui Kantor Pusat ILO dengan alamat ILO Publications, International Labour Office, CH 1211 Geneva 22, Switzerland atau melalui Kantor ILO di Jakarta dengan alamat Gedung PBB, Lantai 5, Jl. M.H. Thamrin 14, Jakarta 10340. Katalog atau daftar publikasi terbaru dapat diminta secara cuma cuma pada alamat tersebut, atau melalui e mail: [email protected]; [email protected] Kunjungi website kami: www.ilo.org/publns ; www.un.or.id; Dicetak di Jakarta, Indonesia Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia Daftar Isi iv v 1 5 9 s Pendahuluan s Krisis, pemulihan ekonomi dan pasar tenaga kerja Indonesia: kelemahan struktural yang permanen s Pengentasan dari kemiskinan melalui penciptaan kesempatan lapangan kerja berbasis luas: beberapa rekomendasi kebijakan s Menciptakan kesempatan saling berbagi manfaat pembangunan di Indonesia yang terdesentralisasi: peran MDGs 9 10 13 21 25 s Pendahuluan s Dialog sosial sebagai instrumen vital untuk meningkatkan tata pemerintahan yang baik di pasar tenaga kerja s Tantangan dialog sosial di Indonesia: menuju keprihatinan terkini yang mendalam tentang kekacauan tenaga kerja dan upah minimum s Rekomendasi Kebijakan 25 28 30 34 37 s s s s s Pendahuluan Pekerja anak: isu dan rekomendasi kebijakan Pendidikan dasar: masalah dan rekomendasi kebijakan Pelatihan teknik dan kejuruan: isu dan rekomendasi kebijakannya Menyiapkan kaum muda memasuki dunia kerja: persoalan dan rekomendasi kebijakan 37 38 40 43 45 47 s Pendahuluan s Perlindungan sosial di Indonesia s Agenda reformasi perlindungan sosial di Indonesia: laporan kemajuan s Menuju perlindungan sosial bagi semua di Indonesia: melihat ke depan s Rekomendasi Kebijakan Lampiran 1: Monitoring dan Evaluasi: Usulan Indikator Lampiran 2. Usulan Matriks Kebijakan 47 50 54 55 57 59 61 Akronim ADB Asian Development Bank (Bank Pembangunan Asia) APINDO Asosiasi Pengusaha Indonesia DEPNAKERTRANS Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi FSPSI Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia GDI Gender Development Index (Indeks Pembangunan Gender) GDP Gross Domestic Product (Produk Domestik Bruto) GNP Gross National Product (Produk Nasional Bruto) HDI Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia) IDPs Internally Displaced Persons (Penduduk yang dipindahkan secara internal) ILO International Labour Organization (Organisasi Perburuhan Internasional) IMR Infant Mortality Rate (Tingkat Kematian Bayi) KILM Key Indicators of Labor Market (Indikator Kunci Pasar Kerja) KSBSI Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia KSPSI Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia KSPI Kongres Serikat Pekerja Indonesia LMIS Labour Market Information System (Sistim Informasi Pasar Kerja) MDGs Millenium Development Goals (Sasaran Pembangunan Milenium) MMR Maternal Mortality Rate (Tingkat Kematian Ibu) NTC National Tripartite Council (Dewan Tripartit Nasional) PRSP Poverty Reduction Strategy Paper (Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan) SMEs Small and Medium Enterprises (Usaha Kecil dan Menengah) SUSENAS Survei Sosial Ekonomi Nasional PBB Perserikatan Bangsa Bangsa UNCTAD United Nations Conference on Trade and Development (Konperensi Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Perdagangan dan Pembangunan) UNDP United Nations Development Program (Program Pembangunan Perserikatan Bangsa Bangsa) UNSFIR United Nations Supports Facility for Indonesia Recovery (Fasilitas Dukungan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Pemulihan Indonesia) Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia Prakata Banyak penduduk Indonesia perempuan dan laki-laki masih hidup dalam kemiskinan. Pemerintah telah memberikan komitmennya dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan kebijakan pertumbuhan ekonomi yang berpihak kepada kaum miskin yang memungkinkan rakyat Indonesia keluar dari kemiskinan. International Labour Organization/ ILO (Organisasi Perburuhan Internasional) sangat mendukung sepenuhnya kebijakan-kebijakan tersebut dan juga dalam pembentukan serta pelaksanaan Dokumen Strategi Pengentasan Kemiskinan (Poverty Reduction Strategy Paper - PRSP) di Indonesia. Bagi ILO, pengentasan kemiskinan merupakan tema sentral dari misinya untuk menciptakan kesempatan kerja yang layak bagi semua orang. Laporan ILO tahun 2003, Working Out of Poverty (Terbebas dari Kemiskinan) menyatakan bahwa: Bagi seseorang, kemiskinan merupakan mimpi buruk. Kemiskinan adalah sebuah lingkaran setan buruknya tingkat kesehatan, menurunnya kemampuan bekerja, produktivitas yang rendah serta pendeknya usia harapan hidup. Sedangkan bagi keluarga, kemiskinan merupakan sebuah perangkap. Kemiskinan menyebabkan tingkat pendidikan yang tidak memadai, keterampilan yang rendah, pendapatan yang tidak pasti, menjadi orang tua usia dini, serta memburuknya kesehatan. Bagi masyarakat, kemiskinan merupakan sebuah kutukan. Ia akan menghalangi pertumbuhan, memicu ketimpangan sosial dan menghambat negara-negara berkembang menuju pembangunan yang berkelanjutan. Namun terdapat juga wajah kemiskinan yang lainnya. Orang-orang yang hidup dalam kondisi sangat kekurangan sangat mengandalkan keberanian, kejelian serta keteguhan dan saling mendukung untuk tetap bertahan dalam pusaran hidup yang keras. Ketahanan hidup dalam kemiskinan menunjukkan keuletan dan kreatifitas semangat manusia. Dalam banyak hal, orang-orang miskin yang bekerja merupakan wirausahawan sejati. Dalam mendukung proses PRSP di Indonesia, ILO memusatkan perhatian kepada dua wilayah: Pertama, mendukung proses keikutsertaan yang menjadi inti dalam PRSP. ILO telah bekerja sama dengan mitra utamanya, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serikat-serikat pekerja/buruh, dan organisasi pengusaha untuk membawa suara dunia kerja ke meja perundingan. Agar mitra-mitra utama ILO bisa menjadi peserta yang efektif, sebuah program pengembangan kapasitas dilaksanakan pada level nasional maupun daerah. Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) telah menyatakan dukungan yang kuat terhadap strategi pengentasan kemiskinan yang akan menghasilkan kesempatan kerja baru serta peluang kewirausahaan. Para serikat pekerja/buruh telah membentuk Jaringan Serikat Pekerja/ Buruh PRSP (KSBSI, KSPI dan KSPSI) untuk bekerja bersama agar suara anggotanya didengar dalam proses PRSP. Kedua, memberikan rekomendasi-rekomendasi yang praktis dan realistis untuk pengentasan kemiskinan. Berdasar misi ILO di seluruh dunia untuk mempromosikan Pekerjaan yang Layak bagi Semua, ILO telah menyiapkan sejumlah Paparan Teknis Singkat (Technical Briefing Notes - TBN) yang mencakup kebijakan-kebijakan kunci dan rekomendasi kebijakan di berbagai hal yang terkait dengan pengentasan kemiskinan. Esensi dari rekomendasi ini dimasukkan dalam laporan ini, mengikuti empat tema utama PRSP di Indonesia. Bagi ILO, perumusan PRSP hanyalah merupakan suatu langkah dari sebuah proses yang panjang. Tantangan yang akan dihadapi meliputi penerapan kebijakan-kebijakan, pengalokasian sumber daya, pemantauan proses dan perwujudan dampak jangka panjang. ILO dan mitra-mitra utamanya di Indonesia siap memberikan sumbangsihnya, menghadapi tantangan pengentasan kemiskinan di Indonesia. Alan J. Boulton Direktur Kantor ILO Jakarta Februari 2004 Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia Pekerjaan yang Layak dan Kemiskinan di Indonesia: Sebuah Kerangka Konseptual Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) berusaha terlibat dalam proses-proses PRSP (Poverty Reduction Strategy Paper—Dokumen Strategi Pengentasan Kemiskinan) melalui pengembangan dan peningkatan strategi-strategi lintas sektoral dan kerangka kerja terpadu yang akan mengaitkan kemiskinan dan Agenda Pekerjaan yang Layak di tingkat nasional. Upaya ini berpusat pada tiga tujuan umum: • Memberdayakan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serikat pekerja/buruh serta organisasi pengusaha untuk mempengaruhi penyusunan serta penerapan strategi pengentasan kemiskinan melalui dialog sosial; • Memadukan aspek-aspek pekerjaan yang layak ke dalam PRSP melalui pengkajian teknis; dan • Mempengaruhi organisasi-organisasi pengembangan dan lembaga pemerintah yang terlibat dalam perancangan dan pelaksanaan strategi-strategi pengentasan kemiskinan untuk memenuhi prinsipprinsip dan hak-hak di tempat kerja, kebijakan-kebijakan ketenagakerjaan, dan perlindungan sosial sebagai strategi pengentasan kemiskinan dan untuk mendengarkan aspirasi mitra sosial. Kerangka konseptual untuk melaksanakan upaya-upaya ILO dalam pengentasan kemiskinan didasarkan pada konsep kembar dari hak (entitlement) dan kesetaraan (equity), dan pada kenyataan bahwa bagi masyarakat miskin, pekerjaan merupakan satu-satunya jalan untuk keluar dan menjauhi kemiskinan. ILO sangat memperhatikan keadilan sosial. Berkaitan dengan kemiskinan, keadilan sosial ini bisa diungkapkan sebagai hak untuk mengikuti (organisasi) atau berpartisipasi, perlindungan, akses ke pekerjaan yang layak dan pendapatan yang layak. Penduduk miskin menderita ‘keterbatasan hak’ karena kemampuan mereka untuk mengatur, misalnya, pekerjaan yang layak, bergantung pada hubungan antara apa yang dimiliki pemerintah dan yang digunakan di masyarakat. Bagi perempuan miskin, akses mereka kepada pekerjaan yang layak bergantung pada apa yang mereka punyai (yang tidak banyak), apa yang mungkin ditawarkan kepadanya (yang sangat terbatas), apa yang diberikan kepada mereka (yang sebenarnya tidak ada sama sekali), dan apa yang diambil dari mereka (banyak). Karena itu, pengentasan kemiskinan sesungguhnya adalah tentang peningkatan baik kualitas aset maupun hak kaum miskin melakukan pertukaran. Pemenuhan hak-hak tesebut bergantung pada prakondisi ekonomi tertentu. Untuk memenuhi prakondisi tersebut sangat penting membangun kapasitas masyarakat untuk menjamin peningkatan kesejahteraan dan kehidupan mereka serta membangun sistem pengaturan yang baik yang mendefinisikan, antara lain, pasar untuk buruh. Jadi, pencapaian atas hak-hak melibatkan baik pengembangan kemampuan sosial maupun ekonomi. Keterlibatan (inclusion), integrasi, dan tentu saja, akses untuk memperoleh pendapatan, semuanya menjelaskan bagaimana penciptaan lapangan kerja merupakan prioritas ekonomi. Yang lebih umum, kebutuhan untuk memasukkan tujuantujuan sosial ke dalam kebijakan makro ekonomi memberikan implikasi pada penekanan terhadap redistribusi pendapatan, kesetaraan, dan solidaritas. Dalam terminologi sistem pembagian kerja internasional mengentaskan kemiskinan, disanalah keunggulan komparatif dan nilai tambah ILO memainkan peranan. Kerangka konseptual ini menggarisbawahi pendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang sangat penting, tapi tidak cukup untuk menghapuskan kemiskinan. Pengentasan kemiskinan melibatkan pertumbuhan dengan reorientasi yang mendasar yang berpihak kepada masyarakat miskin (apa yang sering dirujuk sebagai “pro-poor growth”). Hal ini mencakup perubahan-perubahan pada lembaga, undang-undang, peraturan dan praktek-praktek yang menjadi bagian dari proses yang menciptakan dan memperparah kemiskinan (misalnya pelecehan terhadap kelompok miskin dan pembatasan kegiatan kehidupan mereka), dan pada intervensi yang rinci dan terarah yang memungkinkan semua kategori kemiskinan diintegrasikan ke dalam proses ekonomi. Dengan cara demikian, mereka dapat mengambil manfaat dari peluang meningkatkan kehidupan sosial dan ekonomi mereka, seperti dalam kualitas aset dan hak mereka untuk melakukan pertukaran. Pendekatan ini menempatkan penekanan yang diperbarui terhadap kebijakan-kebijakan yang bisa mendorong kesetaraan dan memerangi ketidakadilan dan ketimpangan global maupun nasional. Di antara perubahan-perubahan struktural paling penting yang diperlukan untuk mengurangi tingkat kemiskinan di negara-negara berpendapatan rendah adalah bergerak dari masyarakat di mana peluang ekonomi dan kesempatan kerja dialokasikan atas dasar peran dan tanggung jawab menuju masyarakat yang lebih mendasarkan diri pada prestasi dan keterbukaan. Selain itu, juga perlu diperkenalkan sistem fiskal yang lebih mementingkan kesetaraan yang akan menjadikan fungsi-fungsi kemasyarakatan tidak hanya adil (fair), tapi juga lebih efektif dan lebih efisien (ada kaitan yang kuat antara praktek kebijakan fiskal yang baik dan tata pemerintahan yang baik). Pendekatan ini menghendaki peran aktif kebijakan pasar tenaga kerja dalam memanfaatkan manajemen permintaan, instrumen fiskal dan moneter untuk memandu kebijakan makroekonomi. Itu berarti penyesuaian struktural, restrukturisasi sosial-ekonomi, dan reformasi pasar (termasuk di dalamnya privatisasi dan kebijakan liberalisasi yang lain) harus ditingkatkan demi tujuan penciptaan lapangan kerja yang layak. Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia Dengan demikian, pekerjaan yang layak menjadi bagian dari strategi pengentasan kemiskinan yang sangat penting. Pekerjaan yang layak merupakan konsep menyeluruh yang saling bersinggungan yang memberikan dampak lebih besar dibandingkan dengan penjumlahan atas empat unsurnya (hak di tempat kerja, lapangan kerja, perlindungan sosial; dan dialog sosial). Dengan demikian pekerjaan yang layak juga melingkupi hal atau bidang lain seperti jender, sebagai bagian dari upaya mencapai hasil-hasil pendidikan dan kesehatan dan tujuan-tujuan lain yang disepakati dalam konteks delapan Sasaran Pembangunan Milenium atau “MDGs” (Millenium Development Goals). Khususnya, pekerjaan yang layak mempunyai peranan yang vital dalam mencapai tujuan utama MDG untuk memberantas kemiskinan dan kelaparan yang parah pada tahun 2015, dan juga untuk mencapai MDG 3 dalam mempromosikan kesetaraan jender dan memberdayakan para perempuan dan target 16 dari MDG 8 tentang pengangguran kaum muda. Laporan inidibangun berdasar pada kerangka konseptual ini dan berusaha m em etakan jenis-jenis persoalan yang m engaitkan em pat tujuan strategis ILO dengan struktur yang diusulkan Pem erintah Indonesia tentang perancangan dan penyusunan PRSP. 4 Tujuan Strategis ILO: • • • • Mempromosikan dan mewujudkan prinsip-prinsip dan hak mendasar di tempat kerja. Menciptakan kesempatan lebih besar bagi perempuan dan lakilaki dalam mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang layak. Meningkatkan cakupan dan efektifitas perlindungan sosial bagi semua. Memperkuat tripartisme dan dialog sosial. Struktur/Gugus Tugas PRSP Indonesia: • • • • Penciptaan Kesempatan. Pemberdayaan Masyarakat. Pengembangan Kapasitas. Perlindungan Sosial. Setiap bab dalam laporan ini secara garis besar mengikuti struktur yang sama, yang dimulai dengan sebuah analisis terhadap situasi dari sebuah perspektif kemiskinan, diikuti dengan sebuah analisis tentang berbagai pilihan untuk mencapai pengentasan kemiskinan melalui strategi pekerjaan yang layak. Akhirnya, masing-masing bab berisi serangkaian rekomendasi yang diharapkan akan membantu Pemerintah dalam merancang PRSP, dan lebih luas lagi, untuk menjawab berbagai tantangan kemiskinan di Indonesia. Bab I memfokuskan diri pada penciptaan peluang melalui dimensi ketenagakerjaan dalam kebijakan makro dan sektoral. Bab ini menganalisis hal-hal yang berhubungan dengan dunia kerja dari perspektif desentralisasi dan Tujuan Pembangunan Milenium dan strategi perluasan lapangan kerja melalui pengembangan usaha dan pasar kerja yang fleksibel namun adil. Di Bab II, fokus diarahkan pada tata pemerintahan yang baik dalam kaitannya dengan pasar kerja, termasuk hak di tempat kerja dan persoalan hubungan industri. Sejumlah rekomendasi dibuat, diajukan dengan pandangan bahwa memperbaiki tata pemerintahan dalam lapangan kerja merupakan kondisi penting untuk menarik investasi dan untuk meningkatkan persaingan, yang pada gilirannya akan menjadi sangat vital untuk meningkatkan pertumbuhan. Bab III difokuskan pada pembangunan modal manusia dan penguatan kemampuan yang mencakup hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan dasar, keterampilan dan pendidikan kejuruan, pekerja anak dan pekerja muda. Di Bab IV, terdapat sebuah analisis mengenai perlindungan sosial di Indonesia dan serangkaian rekomendasi untuk memperkuat mekanisme perlindungan sosial, khususnya bagi kelompok-kelompok rentan. Secara keseluruhan, laporan ini memberikan gambaran tentang pentingnya penggabungan kebijakan sosial dan ekonomi untuk mencapai hasil-hasil program pengentasan kemiskinan. Laporan inipun berulang kali merujuk pada tema-tema umum yang penting bagi Indonesia seperti kesempatan untuk kaum muda, desentralisasi yang efektif dan efisien, serta kesetaraan jender. Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia Proses Keterlibatan ILO dalam PRSP di Indonesia Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Dokumen Strategi Pengentasan Kemiskinan Sementara (Interim Poverty Reduction Strategy Paper - PRSP) pada bulan Januari 2003, dan dokumen PRSP tersebut saat ini sedang dalam tahap penyelesaian yang dijadwalkan pada Juni 2004. Pemerintah telah membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan Nasional yang dipimpin Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat yang akan membawahi empat gugus tugas yang akan menggarap tema-tema PRSP, yakni ‘Menciptakan Kesempatan’, Pemberdayaan Masyarakat’, ‘Pengembangan Kapasitas’, dan ‘Perlindungan Sosial’. Masing-masing dari gugus tugas ini beranggotakan perwakilan dari Pemerintah, masyarakat sipil dan perguruan tinggi. Dukungan ILO terhadap strategi pengentasan kemiskinan di Indonesia dimulai dengan komentar teknis atas PRSP Sementara, dan setelah itu disepakati bahwa ILO akan menyediakan bantuan lebih lanjut sesuai permintaan dari Komite Penanggulangan Kemiskinan Nasional. Kontribusi ILO terhadap proses PRSP di Indonesia mencakup dua jenis pendekatan. Pertama, upaya berkesinambungan untuk membangun dan mendukung kapasitas serikat-serikat pekerja/buruh dan organisasi pengusaha untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses PRSP. Kedua, ILO memberikan kontribusi teknis substansial dalam proses penyusunan paparan teknis singkat (Technical Briefing Notes - TBNs) dan laporan komprehensif yang berisi serangkaian rekomendasi kebijakan. Berbagai rekomendasi ini menekankan perlunya menempatkan persoalan ketenagakerjaan sebagai strategi utama pengentasan kemiskinan, yang didasarkan pada kerangka konseptual “Pekerjaan yang Layak untuk Semua”. Partisipasi para pelaku dari berbagai kalangan dalam perumusan dan penerapan PRSP merupakan hal yang sangat mendasar karena keterkaitan mereka dengan PRSP dan demi keberhasilan pelaksanaan PRSP itu sendiri. ILO telah bekerja sama dengan konstituen utamanya, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serikat-serikat pekerja/ buruh, dan organisasi pengusaha untuk mendukung keterlibatan mereka yang substantif dan bisa dipercaya dalam proses pelaksanaan PRSP. Sebuah upaya khusus telah dilaksanakan untuk meningkatkan kapasitas serikat-serikat pekerja/buruh. ILO memberikan pelatihanpelatihan teknis sehingga perwakilan serikat pekerja/buruh di gugus tugas PRSP akan bisa berperan aktif dalam diskusi dengan latar belakang yang mereka miliki dan kontribusi mereka yang berarti. Peristiwaperistiwa penting dalam kerjasamanya dengan serikat pekerja/buruh berupa Seminar Serikat Pekerja/Buruh Nasional tentang PRSP pada bulan September 2003, dengan tujuan utama meningkatkan kesadaran tentang strategi pengentasan kemiskinan. Seminar ini melahirkan jaringan serikat pekerja/buruh di bidang PRSP. Jaringan ini berfungsi sebagai saluran yang mewakili perhatian dan pendapat para pekerja dalam mengembangkan strategi pengentasan kemiskinan bagi Indonesia. Dimensi penting lainnya adalah lokakarya-lokakarya peningkatan kapasitas untuk serikat pekerja/buruh yang berlangsung di tingkat provinsi, yang sejalan dengan program pemerintah untuk merumuskan strategi-strategi pengentasan kemiskinan di tingkat regional. ILO juga telah memfasilitasi Asosiasi Pengusaha menyelenggarakan seminar Asosiasi Pengusaha Indonesia Nasional (APINDO) mengenai PRSP pada Oktober 2003. Seminar ini menjadi forum bagi para pengusaha untuk menyuarakan keprihatinan dan pendapat mereka berkaitan dengan pengembangan strategi pengentasan kemiskinan. Berbagai upaya ini telah menghasilkan perumusan baik oleh serikat pekerja/buruh maupun pengusaha mengenai posisi mereka dalam PRSP. Lebih jauh lagi, semua konstituen ILO secara bersama-sama telah mendiskusikan PRSP dan pentingnya ketenagakerjaan dan pekerjaan yang layak dalam forum nasional “Terbebas dari Kemiskinan” yang diselenggarakan pada Oktober 2003 dalam kaitannya dengan peringatan Hari Internasional Penghapusan Kemiskinan. Pada Desember 2003, diselenggarakan sebuah seminar tripartit dengan tema “Rekomendasi-rekomendasi kebijakan tentang Pekerjaan yang Layak dan Strategi Pengentasan Kemiskinan”. Seminar ini menghasilkan umpan balik teknis yang sangat bermanfaat mengenai pilihan dan implikasi kebijakan. Hasil seminar ini telah diambil sebagai bahan dalam penyiapan usulan ILO tentang PRSP. ILO telah menyiapkan serangkaian paparan teknis yang pendek dan terfokus (Lihat tabel 1) yang melayani dua tujuan: i) Sebagai dokumen latar belakang tentang persoalan dan pilihanpilihan kebijakan yang amat penting bagi pengentasan kemiskinan. Contohnya: ‘Dimensi ketenagakerjaan dalam Kebijakan Makro dan Sektoral’, ‘Lapangan kerja bagi Kaum Muda: Jalan Setapak dari Sekolah Menuju Pekerjaan’, ‘Meningkatkan Tata Pemerintahan yang Baik dalam Pasar tenaga Kerja’; ‘Jender dan Kemiskinan’. ii) Sebagai pondasi bagi pembuatan laporan komprehensif sebagai sumbangan ILO untuk proses PRSP, yang akan menyediakan rekomendasi spesifik kepada masing-masing gugus tugas dalam Komite Penanggulangan Kemiskinan Nasional. Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia Konstituen-konstituen ILO telah dimintai nasihat secara intensif dalam penyiapan kontribusi teknis kepada PRSP dan pada kenyataannya menjadi panduan dalam proses penyusunannya. Kantor ILO di Jakarta telah melibatkan diri secara aktif dalam usaha membangkitkan kesadaran dan mempromosikan pekerjaan yang layak sebagai komponen penghapusan kemiskinan melalui strategi komunikasi PRSP yang bagus. Strategi ini mencakup penerbitan berbagai brosur, buku panduan, poster, dan bahkan agenda kerja, dan juga meluncurkan sampul peringatan hari pertama dengan tajuk “ILO Mendukung Indonesia Menanggulangi Kemiskinan’, yang semuanya telah membantu meningkatkan citra komitmen ILO terhadap pengentasan kemiskinan. Peluang ke Depan: Di samping perumusan PRSP, ILO mencari jalan untuk mendukung proses implementasi, khususnya dengan melibatkan serikat pekerja/ buruh dan organisasi pengusaha dalam strategi-strategi dan program yang relevan yang terkait dengan lapangan kerja dan pekerjaan yang layak. ILO akan mendukung usaha-usaha pengembangan indikator untuk memantau dan meninjau kembali implementasi PRSP (lihat Lampiran 1) dan meneruskan pengembangan kapasitas kapan dan bilamana diperlukan. 1. 2. 3. 4 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Dimensi Ketenagakerjaan dalam Kebijakan Makro dan Sektoral Desentralisasi dan pekerjaan yang layak: Mengaitkannya dengan MDGs Penciptaan Pekerjaan dan Pengembangan Usaha Kecil, Menengah, dan Ekonomi Lokal Lapangan Kerja bagi Kaum Muda: Jalan Setapak dari Sekolah Menuju Pekerjaan Infrastruktur Pedesaan: Akses, Ketenagakerjaan dan Peluang Meraih Pendapatan Pengembangan Keterampilan untuk Pertumbuhan Ekonomi dan Kehidupan yang Berkelanjutan Mempromosikan Deklarasi ILO mengenai Prinsip-prinsip dan Hak-hak Dasar di Tempat Kerja Memberantas Bentuk-bentuk Terburuk Pekerja Anak Perlindungan Sosial bagi Semua Meningkatkan Tata Pemerintahan yang Baik di Pasar Tenaga Kerja dengan Memperkuat Tripartisme dan Dialog Sosial Migrasi: Peluang dan Tantangan bagi Pengentasan Kemiskinan Jender dan Kemiskinan Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia Menciptakan Kesempatan: Pertumbuhan dan Lapangan kerja Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh stabilitas makro ekonomi dan situasi investasi yang lebih baik diperlukan bagi pengentasan dari kemiskinan. Namun, itu saja tidaklah cukup. Semua orang Indonesia, yang bersedia dan mampu bekerja, harus memiliki peluang mendapatkan pekerjaan yang produktif dan langgeng di dalam suasana yang bebas, bermartabat, setara dan aman. Ini semua merupakan esensi dari pertumbuhan ekonomi yang berpihak pada kaum miskin. Ini juga merupakan sebuah etos dari ‘pekerjaan yang layak’. Hal ini diatur dalam konstitusi Indonesia, dan mewakili visi ILO yang hendak diraih. Mengapa kita harus fokus pada penciptaan kesempatan lapangan kerja dalam skala luas sebagai salah satu pilar strategi pengentasan dari kemiskinan? Terdapat cukup bukti untuk mendukung pandangan bahwa di Indonesia dan di mana saja, keterkaitan antara lapangan kerja dengan kemiskinan sangat kuat. Pada fase pertumbuhan yang cepat pada era Suharto, kemiskinan menurun secara berkelanjutan sejalan dengan perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian yang lebih produktif, ukuran sektor usaha yang menyediakan pekerjaan bergaji makin besar, keterampilan pekerja meningkat sampai tahap tertentu, dan upah makin tinggi seiring dengan naiknya produktivitas. Sayangnya, krisis keuangan tahun 1997 telah membalikan berbagai kemajuan itu. Kendati krisis tidak menguras seluruh prestasi yang dicapai pada masa sebelum krisis, dan meskipun terjadi pemulihan di sana-sini setelah lima tahun, pasar tenaga kerja Indonesia masih memperlihatkan banyak kelemahan. Bab ini akan menyoroti kelemahan itu dan menjelaskan ciri-ciri utama dari kerangka kebijakan yang berfokus pada penciptaan lapangan kerja, yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi yang penting bagi pembaharuan komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengentaskan kemiskinan. Bab ini juga mengajukan usulan bagaimana masyarakat regional Indonesia bisa mendaki tangga peluang melalui komitmen pemerintah terhadap desentralisasi yang demokratis. Salah satu cara untuk melaksanakan tugas yang sangat mendasar ini adalah melalui penyelarasan tujuan desentralisasi dengan MDGs (Millennium Development Goals—Sasaran Pembangunan Milenium) yang diadopsi oleh masyarakat internasional di sidang umum PBB pada September 2000 sebagai bagian dari upaya bersama untuk menurunkan tingkat kemiskinan global. MDGs ini secara jelas menetapkan target untuk menghapuskan kemiskinan pendapatan, kelaparan, buta aksara, 1 penyakit, diskriminasi terhadap perempuan dan kerusakan lingkungan hidup pada tahun 2015. Ketika tingkat kemiskinan meningkat tajam pada saat krisis ekonomi memuncak, banyak tenaga kerja kembali ke sektor pertanian dan ukuran sektor informal perkotaan membesar. Kondisi ini pada gilirannya menciptakan deindustrialisasi. Upahpun menurun tajam sekitar 40 persen. Sejak itu, tampaknya seperti terjadi pemulihan ekonomi dalam taraf tertentu. Kemiskinan (pendapatan/konsumsi) menurun dari puncaknya pada tahun 1998/1999 dan saat ini (data tahun 2002) posisinya sama dengan tingkat kemiskinan pada tahun 1996.1 Estimasi awal dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan pada tahun 2002 adalah 17,6 persen, sama dengan yang dicatat pada tahun 1996.2 Upah riil kembali naik dan pada tahun 2002 mencapai 1030 persen di atas upah sebelum krisis. 3 Hasil Moderat Pasar Tenaga Kerja pada era paska-krisis4 Walaupun ada tanda-tanda pemulihan yang menjanjikan ini, berbagai indikator pasar tenaga kerja menunjukkan bahwa pemulihan itu masih rapuh. Simak beberapa angka statistik penting berikut. Pangsa lapangan pekerjaan sektor pertanian menurun sampai 40,1 persen pada tahun 1997, namun pada tahun 2001 naik menjadi 43,3 persen. Pangsa lapangan kerja bergaji mencapai 35,5 persen pada tahun 1997, namun menurun sedikit menjadi 33,3 persen tahun 2001. Bukti-bukti yang ada juga menunjukkan bahwa tingkat penggunaan kapasitas di sektor manufaktur anjlok menjadi 66 persen pada 2001 dari puncaknya, yaitu 78 persen pada 1996, sedangkan pertumbuhan lapangan kerja manufaktur menyurut drastis dari 2.8 persen pada masa 1994-1997 menjadi 0.6 persen pada masa 1998 –2001.5 Dengan kata lain, tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa kondisi ketenagakerjaan yang memburuk pada tahun 1998 ketika Indonesia dilanda resesi akibat krisis ekonomi itu telah berhasil diatasi. Perhatian juga mesti diberikan pada fakta-fakta mengenai pengangguran terbuka yang naik tajam dalam beberapa tahun terakhir ini. Tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2002 mencapai sembilan persen, bandingkan dengan tahun 1997 yang hanya 4,7 persen.6 1 Batas garis kemiskinan Indonesia menggambarkan kombinasi komponen makanan dan non-makanan dasar. Batas kemiskinan ini diperbarui lagi pada 1996 dan nilainya setara dengan $1,50 sen per hari. 2 3 Angka-angka ini didapatkan dari Mr. Brasukra Sudjana dari ILO (UNSFIR-UNDP, Jakarta). Alisjahbana, Armida S. and Chris Manning. 2002. “Survey of Recent Developments.” Bulletin of Indonesian Economic Studies, 38(3): 277-305. December 2002. 4 Statistik pasar tenaga kerja yang dilaporkan di sini berdasarkan tabulasi khusus yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik - BPS dengan menggunakan format global ILO ‘Key Indikators of the Labour Market - KILM).’ Mr. Puguh Irawan menjadi penanggung jawab formal untuk mengelola proyek-proyek KILM di BPS. 5 Data-data statistik disiapkan dan disuplai oleh Dr Shafiq Dhanani, konsultan ILO berbasis di Jakarta. Asia Recovery Information Centre database for 2003 (www.aric.adb.org). 6 Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia Harus diakui bahwa pengangguran terbuka di Indonesia justru banyak dialami oleh mereka yang berpendidikan. Data lain menunjukkan bahwa tingkat pengangguran didominasi oleh kaum muda. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Tingkat pengangguran kaum muda pada tahun 2001 tercatat 24,1 persen dibanding dengan 15,5 persen pada tahun 1997. Lebih dari 60 persen orang yang tidak memiliki pekerjaan adalah kaum muda. Kecilnya peluang pekerjaan produktif bagi kaum muda ini Indonesia bisa berkembang menjadi sumber keresahan sosial. Kesenjangan jender tetap terjadi pada pasar tenaga kerja Indonesia. Walaupun perbedaan upah laki-laki-perempuan terus mengecil dalam beberapa tahun terakhir, tinjauan sekilas atas data yang ada menunjukkan bahwa pada beberapa indikator penting pasar tenaga kerja, pekerja perempuan tertinggal dari pekerja laki-laki. 7 Pada tahun 2001, misalnya, tingkat partisipasi tenaga kerja (mereka yang berusia 15-64 tahun) untuk perempuan adalah 53,3 persen dibanding dengan 87,3 persen untuk laki-laki. Perempuan pekerja juga kurang terwakili pada sektor pekerjaan bergaji (29,3 persen dibanding 35,6 persen). Pekerja perempuan justru lebih terwakili dalam lapangan kerja paruhwaktu (56,4 persen) dan di sektor informal perkotaan (49,9 persen dibanding 42,2 persen), tingkat pengangguran terpaksa (11,5 persen dibanding 7,6 persen) dan lebih rendahnya pencapaian pendidikan (15,5 persen pekerja perempuan berpendidikan menengah dibanding 21,1 persen pekerja laki-laki). 8 Kesenjangan jender di pasar tenaga kerja Kesenjangan jender di pasar tenaga kerja juga tercermin pada berbagai hambatan yang dihadapi oleh wirausahawan perempuan. Mereka tidak memiliki cukup akses untuk mendapatkan pelatihan keterampilan di bidang pemasaran, akuntansi dan manajemen. Mereka juga tidak memiliki jaringan kerja yang cukup luas dan informasi bisnis yang bisa membekali mereka untuk bersaing dan untuk memenuhi perubahan-perubahan tuntutan konsumen dan teknologi. Mereka menghadapi kesulitan untuk mendapatkan kredit, khususnya bila kebutuhan mereka melebihi apa yang bisa ditawarkan kepada kelompok perempuan oleh koperasi dan sumber kredit mikro. Aspek-aspek lain dari pasar tenaga kerja Indonesia perlu diteropong. Sebagai permulaan, setiap pemahaman tentang kaitan yang erat antara kemiskinan dengan pasar tenaga kerja di Indonesia memerlukan pengakuan mengenai betapa besar dan beragamnya perekonomian informal. Sektor ini juga mendorong kegiatan ekonomi pedesaan dan perkotaan dan menyerap 67% dari total tenaga kerja Indonesia. Statistik resmi menunjukkan bahwa besaran sektor informal perkotaan telah 7 8 Kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan ditelaah oleh Dhanani, S. & Islam, I. (2001) dalam ‘Indonesian Wage Structure and Trends, 1976-2000’. Makalah yang disiapkan untuk Infocus Socio-Economic Security Program (ILO/SES), Geneva: International Labor Organization. Satu-satunya pengecualian adalah pekerja perempuan dengan pendidikan sarjana yang mampu berdiri sejajar dengan mitra laki-lakinya (5,0 persen). Implikasi ekonomi informal yang besar dan beragam meningkat lima tahun belakangan ini. Pekerjaan di sektor informal sering ditandai dengan ciri-ciri tingkat keterampilan dan produktivitas yang rendah, pendapatan yang rendah atau tidak menentu, jam kerja yang panjang, tempat kerja yang sempit atau tidak menentu, kondisi kerja yang tidak aman dan tidak sehat, dan kurangnya akses ke informasi, pasar, keuangan, pelatihan dan teknologi. Pekerja di sektor ekonomi informal tidak diakui, didaftar, diatur atau dilindungi oleh peraturan ketenagakerjaan dan perlindungan sosial, seringkali karena status ketenagakerjaan mereka kabur. Sebagian besar dari mereka yang menderita dalam kondisi seperti ini adalah anak-anak dan perempuan. Dimensi mobilitas spasial pekerja Mobilitas spasial yang tinggi menjadi ciri utama pasar tenaga kerja Indonesia. Mobilitas seperti ini telah meningkat secara tajam pada tahuntahun terakhir ini, baik dalam skala maupun keberagamannya. Statistik yang tersedia menunjukkan bahwa dalam tiga tahun terakhir ini, jumlah laki-laki Indonesia yang pernah tinggal di provinsi yang bukan asal mereka naik 68 persen, sedangkan untuk perempuan angka ini lebih mengejutkan, yaitu 98 persen. Kebijakan transmigrasi yang dikembangkan dengan baik telah mendorong penduduk Indonesia berpindah dari pulau-pulau di luar Jawa-Bali untuk pindah ke Jawa dan Bali. Namun, kecenderungan tersebut terlihat berbalik, paling tidak untuk sementara waktu. Sensus tahun 2000 mencatat kenaikan migrasi ke pulau-pulau terpencil. Cukup masuk akal untuk mengaitkan perkembangan ini dengan penurunan tajam peluang kerja di Jawa setelah krisis moneter 1997. Juga terdapat banyak migrasi pedesaan-perkotaan yang menyebabkan penduduk perkotaan tumbuh sekitar 5 persen per tahun dalam tiga dekade terakhir. Namun demikian, sebagian besar migrasi jenis ini terdiri dari migrasi musiman dan tidak permanen. Ada kecenderungan khusus di mana sebagian pekerja migran meninggalkan keluarga mereka di komunitasnya selama mereka bekerja di tempat tujuan dalam rentang waktu satu minggu sampai dua tahun. Paling tidak ada 25 persen keluarga pedesaan bekerja di daerah perkotaan selama beberapa waktu dalam setahun. Selain itu, mobilitas tenaga kerja yang cukup signifikan di Indonesia adalah meningkatnya kecenderungan penduduknya untuk mencari pekerjaan di luar negeri. Misalnya, pada tahun 1997-98, jumlah Tenaga Kerja Indonesia (pekerja migran), yang kebanyakan perempuan, mencapai 232.275 orang, namun pada tahun 2000 jumlah ini meningkat menjadi 435.219 orang. Krisis 1997 nampaknya telah menyebabkan banyak orang untuk mencari pekerjaan di luar negeri karena kesempatan kerja di dalam negeri telah menyurut. Indonesia kini menjadi salah satu negara pemasok tenaga kerja kontrak di dunia. Tapi, kebanyakan mereka tergolong pekerja tidak terampil, yang kebanyakan bekerja di negaranegara Asia lain serta di Timur Tengah. Sayangnya ada dua ciri pasar kerja Indonesia yang telah menyebabkan citra Indonesia memburuk. Satu hal berkaitan dengan Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia praktek perdagangan anak-anak dan perempuan yang kejam. Sedangkan yang lainnya adalah masalah kontroversial yang berkaitan dengan munculnya lebih dari dua juta IDPs (internally displaced persons – pencari suaka internal) – salah satu jumlah yang tertinggi, kalau tidak yang paling tinggi, di dunia. Ini kebanyakan merupakan fenomena paska krisis 1997 – di mana mereka melarikan diri dari konflik separatisme, antar-suku, dan juga antar-agama yang meningkat dengan tajam di daerah-daerah tertentu. Dimensi pasar tenaga kerja Indonesia yang amat penting yang diteliti pada bagian sebelumnya memberikan kita sebuah konteks untuk mengungkapkan pandangan bahwa peluasan lapangan kerja harus menjadi unsur inti strategi pengentasan kemiskinan nasional. Khususnya, terdapat kebutuhan untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang bisa bertahan lama setiap tahunnya (berdasarkan perkiraan terkini, pemerintah harus menyediakan paling tidak dua juta lapangan kerja) baik untuk menyerap masuknya tenaga baru ke dalam pasar tenaga kerja dan untuk menutup para pengangguran dan setengah pengangguran yang tidak diserap pasar kerja pada tahun-tahun sebelumnya. Terkait dengan tujuan penciptaan lapangan kerja baru, ada serangkaian rekomendasi yang bisa dibuat. Dalam tujuan peluasan lapangan kerja tersisip sederet rekomendasi kebijakan yang bisa dibuat. Berikut adalah pembahasannya. Dalam kurun waktu 1999-2002, tingkat pertumbuhan rata-rata Indonesia adalah 3,2 persen. Kondisi tersebut sangat kontras dengan pertumbuhan 7,0 persen dalam kurun waktu 1994 sampai 1997.9 Tingkat pertumbuhan setelah krisis yang dicatat sampai sekarang belum cukup untuk menciptakan lapangan kerja bagi tenaga kerja baru sebanyak dua juta orang dan untuk menutup akumulasi penganggur dan setengah penganggur yang tidak diserap pasar pada tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan estimasi terkini elastisitas lapangan kerja tingkat pertumbuhan minimal lima persen dalam jangka pendek dan jangka menengah merupakan titik kritis dalam menunjang strategi berfokus penciptaan lapangan kerja untuk mengurangi tingkat kemiskinan pada masa paska krisis di Indonesia.10 Indonesia membutuhkan kembali pertumbuhan cepat dan berkelanjutan Sulit untuk menetapkan secara tegas mengenai pemulihan yang dimotori ketenagakerjaan dari krisis keuangan 1997 dan konsekuensinya yang berat, kecuali jika perhatian terhadap ketenagakerjaan secara formal dimasukkan menjadi bagian dari target dan tujuan kebijakan makro Merefleksikan sasaran ketenagakerjaan dalam kebijakan makro 9 Estimasi pertumbuhan terakhir tersedia di situs Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id) 10 Angka lima persen disorot dalam laporan ILO (1999a), Indonesia: Strategies for Employmentled Recovery and Reconstruction, Jakarta dan Jenewa: ILO. Juga lihat Islam, I dan Nazara, S (2000) ekonomi. Otoritas moneter Indonesia, seperti halnya otoritas yang sama di banyak negara, ditugaskan untuk mengendalikan inflasi pada tingkat yang dikehendaki. Dalam jangka menengah, tujuannya adalah untuk mempertahankan tingkat inflasi di bawah 5 persen.11 Pada saat yang sama, kebijakan fiskal terhambat oleh kebutuhan melakukan “konsolidasi fiskal” untuk mengendalikan ledakan utang dalam negeri pemerintah yang disebabkan oleh krisis. Hal ini diyakini akan menciptakan kerangka kebijakan ekonomi makro yang diarahkan untuk memantau berbagai variabel keuangan dan fiskal. Dalam kurun waktu 2001-2002, Indonesia mengalami inflasi dua digit (berkisar 11,5-11,9 persen), sementara itu tingkat suku bunga nominal, sebagaimana dicatat pada pertengahan 2001, adalah yang tertinggi di Asia Tenggara. Sejak itu, tingkat bunga nominal turun 350 basis poin dan penurunan tersebut memberikan implikasi pada penurunan tingkat inflasi tahun yang sekarang berkisar pada angka enam persen (seperti tercatat pada Oktober 2003).12 Pada titik tertentu, pejabat moneter perlu membuat suatu resolusi untuk memecahkan beberapa isu yang fundamental. Apa keuntungan sosial dari upaya mempertahankan inflasi tetap berada di bawah 5 persen, atau sebaliknya, apa biaya sosialnya bila inflasi dibiarkan naik melebihi 5 persen pada jangka menengah? Apakah mereka telah mempertimbangkan pelajaran dari bukti-bukti internasional bahwa tingkat inflasi menengah (di bawah 15 persen) tidak merugikan bagi pertumbuhan dan juga tidak memperburuk kondisi kelompok miskin? 13 Kecuali bila terdapat jawaban yang meyakinkan terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar di atas, inflation targeting yang kaku seperti ini mungkin bukannya akan memecahkan masalah, namun sebaliknya, hanya akan memperparahnya saja. Pertimbangkan juga implikasi dari penerapan kebijakan fiskal yang ketat pada waktu pertumbuhan ekonomi melesu. Pemerintah Indonesia telah mengisyaratkan niatnya untuk mencapai defisit anggaran 1,3 persen dari PDB pada tahun 2003, dengan tujuan menyeimbangkan anggaran pada tahun 2004.14 Untuk mencapai tujuan fiskal tersebut, pemerintah telah mengasumsikan tingkat pertumbuhan 5 persen untuk tahun 2003, mengusulkan peningkatan pendapatan pajak sebesar 18,7 persen dan telah mengisyaratkan niatnya untuk mengurangi berbagai subsidi bahan bakar, listrik dan subsidi lain sebesar 39 persen. Perlunya mengurangi 11 Catatan teknis ‘Pasar Kerja Indonesia: Estimasi Elastisitas Lapangan Kerja untuk Ekonomi Indonesia’, Kantor ILO Jakarta. 12 Asia Recovery Information Centre July Update (pembaruan Juli 2003 dari Pusat Informasi Pemulihan Asia) (www.aric.adb.org). Estimasi inflasi tersedia di situs Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id). Bukti-bukti ini diulas ulang dalam Islam, I (2003) ‘Avoiding the Stabilisation Trap: Towards a Macroeconomic Policy Framework for Growth, Employment and Poverty Reduction (Menghindari Jebakan Stabilisasi: Menuju Kerangka Kebijakan Makro ekonomi bagi Pertumbuhan, Ketenagakerjaan dan Pengentasan dari Kemiskinan), Employment Paper 2003/54, Jenewa: ILO 13 14 Pemerintah dituntut untuk menjalankan surplus utama (setingkat dua persen dari GDP) beberapa tahun mendatang. Lihat Bank Dunia (2000), Indonesia: Managing Government Debt and its Risks , 22 Mei, Kawasan Asia Timur dan Pasifik, Washington DC: Bank Dunia. Rancangan anggaran untuk 2003 dikaji di Jakarta Post, 19 Agustus, 2002. Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia subsidi didorong oleh perlunya mengarahkan anggaran belanja ke tujuan yang sesuai. Walaupun tujuannya cukup baik, beberapa pengamat mengungkapkan keprihatinan mereka dengan mengemukakan argumentasi bahwa semua tujuan itu, termasuk proyeksi tingkat pertumbuhan, terlalu ambisius. 15 Dengan tingkat pertumbuhan sebesar 3,8 persen dalam triwulan kedua tahun 2003 (sebagaimana dikemukakan di atas), pandangan ini tampaknya cukup dapat diterima. Lebih penting lagi, kita dapat berargumentasi bahwa walaupun komposisi anggaran itu penting artinya, jumlah keseluruhan anggaran itu bila dikaitkan dengan kebutuhan keuangan dalam strategi nasional mengentaskan kemiskinan, tidak bisa diabaikan. Tampaknya ada keharusan untuk menyeimbangkan fokus pada variabel keuangan dan fiskal dalam manajemen makro ekonomi dengan komitmen yang yang bisa dipercaya dalam penyediaan kesempatan kerja produktif dan langgeng bagi semua penduduk Indonesia. Komitmen demikian dapat terwujud dalam bentuk ‘bursa kerja tahunan’ yang diselenggarakan dalam konteks kesepakatan publik tentang berbagai persoalan yang berkaitan dengan penciptaan lapangan kerja baik di tingkat nasional maupun lokal. Ini dapat meliputi penetapan target penciptaan lapangan kerja secara eksplisit yang konsisten dengan penyerapan tenaga kerja baru serta pengurangan jumlah penganggur yang ada sekarang (dengan asumsi tentang parameter struktural dalam ekonomi). Target-target utama ini akan menetapkan tingkat pertumbuhan, inisiatif kebijakan yang diperlukan dalam penyusunan anggaran belanja yang berpihak kepada kaum miskin. Penggunaan target penciptaan lapangan kerja sebagai bentuk manajemen ekonomi makro pada gilirannya akan menyediakan lingkup pencarian cara-cara dimana proses pertumbuhan dijadikan berbasis tenaga kerja (employmentintensive) atau padat karya, dan dengan demikian mengurangi beban tingkat pertumbuhan itu sendiri untuk menciptakan jumlah kesempatan kerja yang diperlukan untuk memenuhi sasaran kebijakan. Setiap upaya untuk merancang kerangka kebijakan berfokus ketenagakerjaan harus dipersiapkan oleh kerangka statistik yang tepat yang memungkinkan pemerintah memantau lapangan kerja. Sebagai permulaan, indikator kunci pasar tenaga kerja perlu diperbarui secara teratur. Hal ini yang bisa dilengkapi dengan memperhatikan rekomendasi-rekomendasi yang amat beragam dari studi ILO untuk memperbaiki sistim informasi pasar tenaga kerja (labour market information system - LMIS).16 Ini mencakup perbaikan dalam perancangan dan pengumpulan data lapangan kerja, upaya-upaya yang lebih keras untuk mengumpulkan informasi tentang pekerjaan mandiri (yang mencakup 40 persen dari keseluruhan tenaga kerja), sistim peringatan dini untuk 15 16 Lihat Jakarta Post, 18 Agustus 2002. Rizal Ramli adalah kritikus terkemuka terhadap manajemen makro ekonomi pemerintah dan berpendapat bahwa makro ekonomi pemerintah berbasis pada usaha pemerintah untuk membayar tunggakan hutangnya. Lihat Komentar Ramli di Business Times, 16 Augustus 2002. Dhanani, S (2002), ‘Strengthening the Indonesian labour market information system’. Laporan disiapkan untuk Departemen Pemulihan dan Rekonstruksi,ILO, Jenewa Mengembangkan sistim informasi pasar tenaga kerja untuk melengkapi manajemen makroekonomi yang berfokus pada ketenagakerjaan memantau standar hidup kelompok pekerja miskin dengan cara memfokuskan pada data upah bulanan dari kelompok rentan di angkatan tenaga kerja, memadukan data lapangan kerja dengan indikator kemiskinan, penurunan kesenjangan waktu antara pembuatan, pemrosesan serta penyebaran data, memperkuat kemampuan pejabatpejabat di tingkat daerah dalam menciptakan data lapangan kerja, dan memastikan bahwa pengumpulan dan pembuatan statistik tenaga kerja didanai sepenuhnya oleh sumber anggaran biasa dari pemerintah. Sebagai tambahan, informasi pasar tenaga kerja yang relevan harus dikembangkan demi kepentingan para pencari kerja, siswa-siswa, peserta pelatihan dan pengusaha. LMIS untuk Indonesia dalam bentuk apapun yang bisa dipercaya harus mempertimbangkan dimensi jender lapangan kerja. Sebagaimana dicatat, walaupun terdapat kemajuan, kesenjangan jender yang signifikan masih saja terjadi. Aspek lapangan kerja ini harus dipantau secara teratur untuk meningkatkan kesadaran baik pengusaha maupun pembuat kebijakan dan untuk mendukung debat publik yang berdasar. Tanpa persyaratan di atas perbaikan kebijakan seperti itu akan sulit disebarluaskan. Menciptakan kesempatan bagi penduduk Indonesia yang miskin: mengidentifikasi sektorsektor yang memiliki potensi ketenagakerjaan Strategi yang diyakini bisa mengentaskan kemiskinan dalam jenis apapun di Indonesia harus fokus pada sektor agrikultur, karena sektor ini mendominasi arena lapangan kerja nasional sebesar 41 juta pekerja, 80 persen di antaranya berkaitan erat dengan sektor informal. Lagipula, kemiskinan merupakan fenomena pedesaan, karena sekitar 75 persen dari jumlah semua keluarga miskin tinggal di daerah pedesaan dan bergantung pada sektor pertanian sebagai sumber penghidupan utama mereka. Penduduk desa yang miskin seringkali dihadapkan pada hambatanhambatan berupa keterpencilan, kurangnya tingkat pendidikan dan perawatan kesehatan, pekerjaan yang tidak menentu dan tidak produktif, dan angka kesuburan yang tinggi dan diskriminasi terhadap perempuan atau terhadap minoritas etnis. Dengan demikian, kebijakan dan program pengentasan dari kemiskinan harus memberikan fokus strategis pada pembangunan pedesaan dan harus menciptakan kesempatan yang lebih banyak kepada laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan pekerjaan di daerah pedesaan. Kebijakan demikian tidak hanya akan mempromosikan pertumbuhan ekonomi namun juga akan mengurangi kemiskinan kota dengan cara menahan migrasi pedesaan–perkotaan pada tingkat yang lebih berkesinambungan. Dengan kaitan yang sangat erat antara ekonomi pedesaan dengan kemiskinan, tidaklah mengherankan bahwa pemerintah Indonesia telah mencanangkan komitmen resmi bagi pembangunan pedesaan dengan cara mencari cara untuk mengimplementasikan upaya-upaya yang akan mendorong kesempatan lapangan kerja di luar ladang. Khususnya, White Paper (Kertas Kerja) pemerintah kini telah fokus pada pengembangan aktivitas agribisnis berskala kecil. Ini merupakan suatu inisiatif awal, Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia namun rincian kebijakan yang tepat perlu dijabarkan. 17 Contoh-contoh intervensi yang berhati-hati yang bisa dipertimbangkan oleh pemerintah mencakup perbaikan di bidang keamanan pemilikan lahan, yang memungkinkan para petani mengembangkan diri ke agribisnis melalui pemberian informasi yang lebih banyak dan pembangunan kapasitas dan meningkatkan hubungan antara usaha besar maupun kecil. Tonggak pengembangan pedesaan lainnya adalah investasi di infrastruktur pedesaan. Kertas Kerja pemerintah telah membuat pengumuman awal dalam bidang ini, misalnya pengembangan infrastruktur pedesaan, Program Pembangunan Kecamatan, Program Pemberantasan Kemiskinan Pedesaan, dan pelaksanaan program sanitasi dan air bersih. Perihal investasi di dalam infrastruktur pedesaan dan implikasinya terhadap lapangan kerja saling terkait dengan masalahmasalah investasi publik yang lebih luas dalam infrastruktur dan dibahas secara lebih mendalam pada tahap lebih lanjut. Di sektor manufaktur, sub-sektor tertentu memainkan peranan penting dalam peluasan lapangan kerja. Misalnya, bukti-bukti yang tersedia menunjukkan bahwa produksi garmen, sepatu dan perabot serta elektronika merupakan sub-sektor di dalam manufaktur yang memiliki kelenturan lapangan kerja yang ‘tinggi’ (di atas 0,5 untuk periode tahun 1985-1997).18 Statistik resmi menunjukkan bahwa hampir semua – atau lebih dari 99 persen–dari pekerja Indonesia dipekerjakan di perusahaanperusahaan kecil dan menengah atau UKM (small and medium-sized enterprises — SME). Dengan demikian maka tidaklah mengherankan bahwa pengembangan UKM harus menjadi bagian utama dari strategi pengentasan dari kemiskinan di Indonesia. Menciptakan kesempatan bagi penduduk miskin: peranan pengembangan perusahaan di dalam penciptaan lapangan kerja. Pemerintah bisa melaksanakan beragam inisiatif dalam pengembangan UKM yang mencakup: perlunya untuk memperkuat kerangka koordinasi kebijakan, menumbuhkan bakat kewirausahaan para anak muda baik laki-laki maupun perempuan, mengulang kembali model koperasi, dan mengembangkan kapasitas bagi lapangan kerja dan pembangunan lokal. Untuk bisa memanfaatkan kesempatan-kesempatan untuk mempromosikan inisiatif pengembangan UKM, harus ada koordinasi kebijakan dan program yang lebih kuat di antara pemegang kepentingan di tingkat nasional, maupun di antara pemerintah daerah dan sektor swasta. Tambahan pula, amatlah penting bagi pemerintah nasional dengan kekuatan yang dimilikinya untuk menjamin program dan kebijakan di tingkat daerah secara ekonomi sehat dan sesuai dengan 17 18 Pemerintah Indonesia (2003), ‘Economic policy package in conjunction with the completion of the government’s program with the IMF’, Jakarta Islam, I (2002), ‘Poverty, employment and wages: an Indonesian perspective’, laporan disiapkan untuk Departemen Pemulihan dan Rekonstruksi, ILO, Jenewa Mengembangkan kerangka koordinasi kebijakan UKM. Inisiatif-inisatif seperti itu secara sistematis harus mampu menyerap praktek-praktek bisnis yang baik (international best practice) dan keahlian bisnis setempat dan asosiasinya. Fokus pada pembinaan kewirausahaan pemuda Kaum muda, baik laki-laki maupun perempuan haruslah menjadi kelompok target yang penting dalam pengembangan perusahaan. Dengan cara itu, kaum muda akan memberikan kontribusinya untuk menciptakan pekerjaan mereka sendiri, dan Indonesia akan mendapatkan manfaat dari bakat-bakat kaum muda yang kreatif ini. Strategi seperti itu harus melibatkan partisipasi dari sektor swasta dan organisasi masyarakat untuk memberikan pelatihan, pemagangan dan akses untuk mendapatkan kredit bagi wirausahawan muda. Strategi ini juga bisa melibatkan promosi kewirausahaan di sekolah-sekolah dan institusi pendidikan kejuruan. Membangun kemampuan untuk pengembangan ekonomi lokal Hampir semua program UKM di masa depan akan terdesentralisasi, sehingga penting untuk memperkuat kemampuan institusi-institusi di semua tingkat kepemerintahan, sehingga memungkinkan mereka mengambil manfaat potensial dari desentralisasi, dan otonomi regional bisa memberikan keuntungan bagi penduduk lokal maupun di tingkat nasional secara keseluruhan. Dalam kaitan ini diperlukan program peningkatan kemampuan yang sungguh-sungguh bagi pemerintah daerah dan mitra-mitra lain dalam penciptaan kebijakan dan pengembangan program. Saat ini banyak koperasi terdaftar di Indonesia yang tidak aktif akibat rendahnya keterampilan kepemimpinan dan keahlian bisnis dan besarnya tunggakan pinjaman yang tak terbayar. Namun demikian, citra dan nilai-nilai koperasi yang positif bagi model berbasis masyarakat untuk pembangunan berkelanjutan tidak boleh diabaikan. Kekuatan finansial dan kemandirian merupakan potensi penting bagi penciptaan lapangan kerja di sektor ekonomi informal perkotaan dan agrikultur. Strategi pembangunan di Indonesia perlu menjadikan kembali koperasi sebagai model bagi pembangunan lokal. Ini bukan merupakan tugas yang mudah karena praktek-praktek di masa lalu secara luas telah gagal dan mengakibatkan upaya-upaya ini tidak bernilai dan bercitra jelek. Menciptakan kesempatan bagi penduduk Indonesia miskin: penciptaan lapangan kerja melalui investasi publik di sektor infrastruktur Sebuah studi terkini menunjukkan bahwa terdapat kelemahan yang signifikan dalam penyediaan fasilitas-fasilitas infrastruktur di Indonesia. 19 Sekitar 50 persen rumah tangga di Indonesia tidak mempunyai akses ke listrik, dan hanya ada 9,1 telepon per 100 penduduk. Angka-angka itu sangat rendah jika dibandingkan dengan yang terjadi di kawasan regional. 19 Bank Dunia (2003), ‘Averting an infrastructure crisis: a framework for policy action’, Jakarta: Bank Dunia. Juga lihat The Jakarta Post, 3 Desember 2003. Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia Kita bisa mempertimbangkan statistik berikut yang menyoroti hubungan antara terjadinya kemiskinan dan akses ke fasilitas infrastruktur. Diperkirakan 50 persen penduduk Indonesia yang berada di kawasan yang paling miskin tidak mempunyai akses ke jalan beraspal sebagai jalan utama menuju tempat tinggal mereka. Antara 6 sampai 11 juta penduduk Indonesia tidak mempunyai jalur jalan yang layak atau jaringan transportasi kendaraan bermotor yang memadai. Kelompok penduduk ini cenderung tinggal di daerah yang paling terpencil dan tertinggal di negara ini. Alokasi belanja publik di masa datang harus difokuskan pada pengadaan fasilitas infrastruktur pedesaan. Menghubungkan penduduk pedesaan miskin ke pasar dan pelayanan-pelayanan melalui jaringan jalan pedesaan yang memiliki standar memadai akan membentuk pondasi bagi strategi pengetasan kemiskinan pemerintah. Investasi publik dalam fasilitas infrastruktur – baik di daerah pedesaan maupun di mana saja – bisa dirancang sebagai peranti kebijakan ketenagakerjaan yang penting. Satu studi ILO menunjukkan bahwa metode-metode produksi berbasis tenaga kerja dalam investasi infrastruktur di Indonesia bisa menghasilkan 1,2 juta pekerjaan yang langgeng dalam jangka empat tahun tanpa harus mempertimbangkan standar kualitas yang diasosiasikan dengan teknik produksi yang bertumpu pada peralatan (equipment intensive). Ini berarti bahwa, perluasan lapangan kerja didorong pertumbuhan ekonomi mampu mencapai dua juta pertahunnya, jumlah tenaga kerja yang diserap akan naik menjadi 2,3 juta jika kita mengadopsi metode produksi berbasis tenaga kerja dalam kebijakan investasi publik. 20 Bukti-bukti internasional mengkonfirmasi temuan-temuan positif ini. Studi-studi menunjukkan bahwa program infrastruktur berbasis tenaga kerja menghabiskan biaya 10-30 persen lebih rendah dibandingkan dengan yang berbasis teknis peralatan intensif, menurunkan kebutuhan mata uang asing sampai 50-60 persen, dan bisa menciptakan lapangan kerja lima kali lebih besar untuk jumlah investasi yang sama.21 Terdapat pertalian yang kuat antara kemiskinan dan migrasi. Kemiskinan yang terjadi di komunitas setempat mendorong penduduk Indonesia mencari kesempatan yang lebih baik di tempat lain, apakah itu di Indonesia maupun di luar negeri. Data-data yang tersedia menujukkan bahwa sebagian besar mereka yang berpartisipasi dalam migrasi internasional datang dari strata masyarakat Indonesia yang lebih miskin. Perlu dicatat juga bahwa sebagian besar mereka yang dipindahkan secara internal (IDPs) adalah perempuan dan anak-anak. Ini menjadikan mereka salah satu kelompok masyarakat yang paling rentan. 20 21 ILO (1999b), Dokumen proyek untuk dukungan dan pelatihan teknis dengan target penciptaan 1.2 juta pekerjaan, kerjasama dengan AusAID, Jenewa dan Bangkok, ILO dan Canbera, AusAID ILO (2000), Employment-intensive investment in infrastructure: jobs to build society, Jenewa: ILO Menciptakan kesempatan bagi penduduk Indonesia miskin: memanfaatkan mobilitas tenaga kerja Migrasi tidak tetap dan musiman di Indonesia juga merupakan sarana penting dari diversifikasi risiko di Indonesia. Migrasi sementara seperti ini memungkinkan rumah tangga miskin menciptakan banyak sumber pendapatan sehingga mengurangi ketergantungan hanya pada satu orang. Dan pada saat yang sama, kiriman uang dari para pekerja migran memainkan peranan penting dalam mengatasi kemiskinan dengan memberikan dampak langsung terhadap standar hidup keluarga dan saudara para migran yang menerima kiriman uang tersebut. Konsumsi dan investasi kiriman uang tersebut memberikan pengaruh berganda (multiplier). Belanja seperti ini bisa merangsang perekonomian lokal dan menciptakan berbagai jenis lapangan pekerjaan. Seperti yang sudah dicatat, jutaan orang penduduk Indonesia dan yang miskin bepergian ke berbagai tempat di Indonesia atau luar negeri untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Dengan hubungan yang erat antara kemiskinan dan migrasi, pilihan-pilihan kebijakan berikut ini bisa dieksploitasi karena keterkaitan itu akan membantu pemerintah menciptakan lapangan kerja bagi kaum miskin di Indonesia dan meningkatkan kehidupan dan standar hidup mereka. Menghilangkan hambatan perjalanan Kita harus mempertimbangkan berbagai faktor yang menghambat baik tren bermigrasi maupun kesejahteraan para pekerja migran. Salah satu hambatan ini berupa prosedur birokrasi yang amat berbelit-belit yang menyulitkan seseorang melakukan perjalanan, khususnya bagi para pencari kerja di luar negeri. Jaringan transportasi dan komunikasi yang buruk bisa menghambat mobilitas tenaga kerja di dalam Indonesia. Dengan demikian, diperlukan upaya untuk menghilangkan hambatan birokratis untuk bepergian dan untuk menanamkan investasi publik yang berkesinambungan di bidang transportasi dan komunikasi. Mengatur ‘industri migrasi’ Kita bisa mendokumentasi berbagai contoh praktek intermediasi yang rakus yang kini sudah menjadi bagian dari “industri migrasi” seperti lembaga rekrutmen tenaga kerja dan penyedia jasa angkutan. Mereka ini bisa menggunakan kekuatan pasar dan pengetahuan khusus mereka untuk menarik ongkos yang sangat tinggi, bagi pelayanan yang mereka berikan kepada para calon pekerja migran ini. Kerangka peraturan yang berfungsi dengan baik akan bisa memantau secara efisien dan menciptakan standar bagi para penyedia pelayanan dalam industri migrasi. Hal ini tentu akan menguntungkan penduduk Indonesia miskin yang mencari kesempatan kerja di luar komunitas mereka. Memastikan pengiriman uang yang aman, cepat dan mudah Kesejahteraan para migran dan tanggungan mereka juga sangat terpengaruh bila tidak tersedia cara pengiriman uang yang secara relatif aman dan mudah. Dengan demikian, pemerintah bisa menerapkan kerangka kebijakan ‘ramah migrasi’ dengan memastikan bahwa pekerja migran mempunyai akses untuk mengirimkan uang dengan cara yang cukup aman, cepat dan mudah. Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia Dibutuhkan peningkatan sistem informasi pasar tenaga kerja yang bisa dipercaya, komprehensif dan tepat waktu. Sistem informasi ini akan menyediakan informasi mengenai lowongan pekerjaan baik di dalam maupun di luar Indonesia. Dengan demikian, para calon pekerja migran bisa mengambil keputusan atas dasar informasi yang masuk akal. Memperbaiki sistim informasi pasar lapangan kerja bagi calon pekerja migran Akhirnya, persoalan kelompok rentan di antara komunitas pekerja migran yang berbeda-beda harus disoroti. Pemerintah perlu memberikan perhatian khusus pada pemberantasan praktek-praktek perdagangan anak-anak dan perempuan, pada pemberian perlindungan TKI di luar negeri dari resiko eksploitasi dan kekerasan, dan menjamin bahwa IDPs direhabilitasi. Ini merupakan inisiatif-inisiatif penting yang bisa mendorong penyediaan kesempatan bagi penduduk Indonesia untuk mencari pekerjaan di berbagai tempat di Indonesia dan di luar negeri dengan penuh kebebasan, bermartabat, setara, dan aman. Melindungi pekerja migran yang rentan Meskipun pada mulanya ada kegamangan bahwa desentralisasi regional di Indonesia yang baru belajar berdemokrasi ini akan menimbulkan salah kelola, agenda desentralisasi sejauh ini telah berlangsung tanpa gangguan yang berarti baik terhadap prosesnya maupun terhadap keseluruhan integrasi fiskal pemerintah. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa masalah utama kesenjangan regional di Indonesia — ketegangan regional, komunal dan ras — telah ditangani dengan memuaskan di bawah kerangka desentralisasi yang ada. Belakangan ini juga terlihat adanya kesulitan untuk menyeimbangkan antara melayani kepentingan status quo dengan kepentingan bagian-bagian negara ini yang kaya. Walaupun terdapat usaha-usaha untuk mengurang ketidakpuasan di provinsi-provinsi yang memiliki sumber daya yang kaya melalui Dana Perimbangan, tetap muncul kekhawatiran bahwa hal ini akan menjadi permasalahan pembagian yang ‘terlalu kecil dan terlalu terlambat’.22 Pada saat yang sama, kekhawatiran awal bahwa aliran fiskal pusat-daerah yang direkstrukturisasi mungkin tidak cukup melindungi kepentingan bagian Indonesia yang lebih miskin, ternyata juga bukan kekhawatiran yang mengada-ada. Pengkajian awal menunjukkan bahwa Dana Perimbangan sejauh yang dioperasikan selama ini bisa memperburuk tingkat ketidaksetaraan antardaerah yang tinggi. 23 Bagaimana kita bisa menciptakan kesempatan bagi masyakarat daerah untuk saling berbagi kue pembangunan ini? Salah satu cara adalah dengan menyelaraskan Millennium Development Goals (MDGs – Sasaran Pembangunan Milenium) dengan agenda desentralisasi yang demokratis. Seperti yang telah sangat diketahui, MDGs memerlukan 22 23 Prediksi ini dibuat di laporan media masa ketika UU Desentralisasi pertama kali diumumkan. Lihat Far Eastern Economic Review, 13 Mei 1999 (John McBeth, Too Little, Too Late: Revenue Law May Not Appease Restive Provinces’ Suyarho, W (2002), ‘Indonesia’s fiscal decentralisation: a preliminary assessment of the first year experience’, Jakarta, UNSFIR Working Paper 02/07 konsensus global sehingga masyarakat internasional bersatu dalam usahanya meraih target untuk menurunkan tingkat kemiskinan (pendapatan maupun non-pendapatan) pada tahun 2015 (dengan menggunakan tahun 1990 sebagai basis). Indonesia, seperti halnya lebih dari 180 negara lainnya, telah mencanangkan tujuan dan target ini. Fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa meskipun Indonesia sempat mengalami kemunduran akibat krisis moneter pada 1997, Indonesia tampaknya tetap berada dalam jalur yang tepat untuk mencapai MDGs pokok pada tahun 2015. Keyakinan itu mensyaratkan bahwa Indonesia harus memiliki tingkat pertumbuhan enam persen dan asumsi bahwa kecenderungan penurunan tingkat kemiskinan baik dalam dimensi pendapatan maupun non-pendapatan tetap seperti sekarang. Namun demikian, pencapaian di tingkat nasional bisa mengelabui kita, khususnya di negara Indonesia yang demikian besar dan memiliki keragaman ini. Pemantauan terhadap tujuan dan target 2015 sehubungan dengan pengentasan kemiskinan di tingkat nasional tidak bisa dipisahkan dari masalah kesenjangan antardaerah. Pada dasarnya ada beberapa provinsi —dan banyak daerah di dalam provinsi— tidak akan mampu mencapai sekurang-kurangnya satu target dari MDGs (atau target serupa lainnya) pada tahun 2015. Hal ini bisa terbaca dalam bagan 1.24 25 Jumlah Provi nsi 20 15 10 5 0 24 Kemis- Pendaftaran Melek Poverty Net Enrol Literacy kinan Netto huruf Jender Gender IMR IMR MMR MMR Air Perumahan bersih Safewater Housing Istilah yang digunakan di bagan 1 harus diintepretasikan sebagai berikut. Kemiskinan = setengah dari kemiskinan yang ekstrim pada tahun 2015; Keterlibatan Bersih (net enroll) = seluruh penduduk sudah mengecap pendidikan dasar pada 2015; Melek aksara = seluruh orang dewasa melek aksara pada 2015; IMR = penurunan tingkat mortalitas bayi sebesar 75 persen pada 2015; MMR = penurunan tingkat kematian ibu melahirkan sebesar 75 persen pada 2015; Air sehat = seluruh penduduk sudah memiliki akses ke air minum yang aman pada 2015; Perumahan = seluruh penduduk sudah memiliki akses rumah yang berlantai semen pada 2015. Tahun dasar dari masing-masing angka di atas adalah tahun 1993. Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia Temuan bahwa keberagaman regional yang signifikan yang berkaitan dengan pencapaian target MDGs pada tahun 2015 harus mengilhami para pembuat kebijakan untuk mengambil tindakan yang memadai dan menggunakan hal itu sebagai dasar desentralisasi regional– ide yang diajukan pertama kali pada Laporan Pengembangan Manusia Nasional 2001.25 Dengan kata lain, alasan filosofis dari desentralisasi haruslah mengacu pada pemahaman bahwa semua orang Indonesia, sebagai penduduk Indonesia, berhak atas standar sosial dan ekonomi minimum. Salah satu jalan untuk menetapkan standar sosial dan ekonomi minimum adalah dengan cara menghubungkannya dengan MDGs. Dengan demikian, kita bisa mengajukan visi strategis pengentasan kemiskinan di mana pemerintah pusat, melalui kerjasama dengan mitra regional, menyusun kembali MDGs sehingga target dan sasaran pada tahun 2015 juga ditetapkan untuk wilayah kabupaten/ kotamadya. Perumusan kembali seperti itu harus bisa menjelaskan bahwa MDGs merupakan standar minimum yang menjadi hak masyarakat regional di Indonesia, dan pada saat yang sama memberikan peluang kepada daerah-daerah yang lebih dinamis dan memiliki jiwa kewirausahawan untuk mencapai hasil yang melebihi standar-standar tersebut. Dengan demikian, kerangka pencapaian yang lebih jauh bisa ditetapkan di mana kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan administrasi, program dan anggaran bisa disebarkan untuk menciptakan kesempatan kepada seluruh masyarakat daerah di Indonesia menikmati buah pertumbuhan ekonomi. 25 BPS/BAPPENAS/UNDP (2001) ‘Towards a new consensus: democracy and human development in Indonesia, Indonesia Human Development Report’, Jakarta: BPS-Statistik Indonesia, BAPPENAS dan UNDP Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia 2 Memberdayakan Kaum Miskin: Meningkatkan Tata Pemerintahan yang Baik di Pasar Tenaga Kerja Indonesia harus mempercepat pertumbuhannya untuk menciptakan kondisi-kondisi yang diperlukan untuk menurunkan tingkat dan untuk mencapai MDGs. Untuk mencapai pertumbuhan tersebut, perlu dibangun iklim investasi yang kuat. Dengan tanpa mengabaikan kemajuan yang dicapai sampai saat ini, harus diakui iklim investasi di Indonesia masih tetap lemah. Walaupun kondisi pasar finansial telah membaik begitu pesat, sejumlah pengamat melihat beberapa kasus hukum tingkat tinggi telah menjadi penyebab lambatnya laju reformasi di bidang hukum dan dunia peradilan. Pembentukan Komisi Antikorupsi belum lama ini banyak disambut dengan gembira, namun hasilnya akan sangat bergantung pada penerapan dan kegiatan operasionalnya (hal yang sama juga berlaku bagi Komisi Pengawasan Persaingan Usaha-KPPU). Desentralisasi yang secara keseluruhan telah berlangsung relatif bagus, juga telah memunculkan masalah-masalah baik bagi perusahaan yang sudah ada maupun calon investor, dalam bentuk peraturan dan perpajakan baru yang saling bertentangan. Para investor juga telah menyuarakan keprihatinan mereka tentang peraturan ketenagakerjaan dan kecenderungan makin tingginya upah minimum. Serangan teroris baru-baru ini telah mempertinggi keprihatinan berkaitan dengan keamanan dalam negeri. Pembuat kebijakan harus berusaha sekeras mungkin untuk memperbaiki iklim investasi, meningkatkan daya saing Indonesia dan membangun prospek pertumbuhan untuk periode mendatang. Dari sejarahnya, kekuatan ekonomi Indonesia yang besar telah membuat negara ini menjadi tujuan menarik bagi investasi asing: pasar domestik dan tenaga kerja yang besar, sumber daya alam yang berlimpah, infrastruktur yang kokoh, dan lokasi strategis di antara jalur perdagangan utama di dunia. Namun, aliran investasi asing langsung (foreign direct investment-FDI) ke Indonesia masih tetap lebih kecil dan hanya setengah dari kondisi sebelum krisis moneter. Investasi oleh investor Indonesia sendiri juga lesu, dengan pembentukan modal tetap kotor (gross fixed capital formation) secara signifikan tetap di bawah laju pada tahun 1997 (sumbangan FDI terhadap pembentukan GDP cenderung terus menurun dan pada tahun 2002 jatuh pada posisi 32,2% dari sebelumnya 40,4% pada tahun 2000) 1 . Berdasarkan Inward FDI Performance Index terbaru yang dirilis UNCTAD,2 Indonesia menempati ranking ke-138 (dari 196 negara). Dalam soal daya saing, peringkat 1 2 UNCTAD World Investment Report, 2003 Ibid, ranking 1999-2001: rasio aliran FDI global terhadap GDP global Pendahuluan Indonesia juga anjlok dari posisi ke- 25 pada tahun 2002 menjadi nomor 28 pada tahun 2003 (dari 30 negara yang berpenduduk lebih dari 20 juta jiwa) dalam the IMD World Competitiveness (Cina menempati peringkat 12, Korea Selatan ke-15 dan Filipina ke-22). Sedangkan dalam hal efisiensi bisnis (yang mencakup indeks gabungan pasar tenaga kerja), Indonesia menduduki posisi paling rendah dari 49 negara yang disurvei. 3 Jadi, apa yang paling dibutuhkan untuk memulihkan kepercayaan pasar, untuk mendorong persaingan yang lebih sehat dan untuk mendukung investasi di Indonesia? Ada konsensus yang muncul bahwa Indonesia harus menumbuhkan tata pemerintahan yang baik (good governance ) dalam spektrum yang luas —lihat Boks 1 mengenai pembahasan atribut-atribut penting dari tata pemerintahan yang baik. harus menjadi unsur yang paling penting dari berbagai strategi untuk menciptakan perbaikan-perbaikan iklim investasi secara berkelanjutan. Memastikan berlangsungnya tata kerja yang efektif dari Komisi Anti Korupsi yang baru-baru ini dibentuk, disetujuinya amandemen hukum kepailitan, dan upaya-upaya yang terus menerus untuk memperkuat peradilan niaga harus menjadi prioritas khusus. Perhatian yang terus-menerus harus diberikan untuk menjamin tidak akan mengarah pada kerangka peraturan yang terlalu rumit dan tidak stabil yang bisa membuat investor raguragu. yang sering dilaporkan makin memburuk dalam soal transparansi, makin sulit diprediksi dan makin tidak adil sering disebut-sebut sebagai kendala bagi investasi. Sementara elemen-elemen agenda tata pemerintahan yang baik di atas merupakan sesuatu yang penting, kita perlu memberikan perhatian yang lebih besar pada tata pemerintahan yang baik di pasar tenaga kerja. yang masuk akal, yang bisa mempertemukan keseimbangan antara kepentingan melindungi hak-hak pekerja dan melayani lingkungan yang memperhatikan pertumbuhan dalam konteks kebijakan hubungan industrial yang kuat, merupakan titik kritis dalam berbagai keperihatinan yang sudah diungkapkan selama ini. Pemerintah perlu membuat komitmen yang serius di berbagai bidang untuk menyelesaikan pelbagai masalah yang bisa menimbulkan dampak yang signifikan terhadap iklim investasi secara keseluruhan: kebijakan hubungan kerja industrial yang baik adalah salah satunya. Tata pemerintahan yang baik adalah unsur yang amat penting dalam strategi pengentasan kemiskinan Indonesia. Persoalan-persoalan pemerintahan yang tidak terpecahkan akan menghalangi kebanyakan orang mendapatkan kesempatan-kesempatan, keadilan dan akses ke sumber daya kehidupan. Hambatan-hambatan ini menciptakan dan memperparah kemiskinan. Tata pemerintahan yang lebih 3 Lihat IMD World Competitiveness Yearbook 2003 Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia baik merupakan kunci penyelesaian konflik, pertumbuhan dan pengentasan kemiskinan. UNSUR-UNSUR TATA KEPEMERINTAHAN YANG BAIK 1. Partisipasi Semua laki-laki maupun perempuan harus memiliki suara dalam proses pembuatan keputusan, apakah itu secara langsung atau melalui institusi perantara yang legal yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi yang luas seperti ini dibangun berdasarkan kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berkumpul — yang menandaskan perlunya penerapan secara penuh Konvensi ILO No. 87 — dan juga kemampuan untuk berpartisipasi secara konstruktif. 2. Peraturan hukum Kerangka hukum harus bersifat adil dan menegakkan ketidakberpihakan, khususnya hukum-hukum hak azasi manusia. 3. Transparansi Transparansi dibangun atas dasar alur informasi yang bebas. Proses-proses, institusi dan informasi bisa diakses secara langsung oleh mereka yang memiliki perhatian terhadap masalah ini. Dan informasi yang cukup disediakan untuk memahami dan memantau hal itu. Ini merupakan hal yang krusial bagi keberhasilan proses PRSP: informasi harus tersedia pada waktu yang tepat sehingga para mitra utama bisa berpartisipasi dan memberikan kontribusinya sebagaimana seharusnya. 4. Daya tanggap Institusi dan proses berusaha melayani semua mitra utama. 5. Orientasi pada konsensus Tata pemerintahan yang baik menengahi kepentingankepentingan yang berbeda untuk mencapai sebuah konsensus tentang apa yang terbaik bagi kelompok dan, di mana mungkin, tentang kebijakan dan prosedur. Ini merupakan tujuan kunci dari dialog sosial dan sebuah tantangan khusus yang penting bagi mitra sosial karena basis keanggotaan mereka yang heterogen. 6. Kesetaraan Semua laki-laki dan perempuan mempunyai peluang yang sama untuk memperbaiki atau menjaga kesejahteraan mereka dan diberi suara melalui keanggotaan dari organisasi perwakilan, misalnya serikat kerja/buruh dan organisasi pengusaha. 7. Efektifitas dan efisiensi Proses dan institusi menciptakan hasil-hasil yang sesuai dengan kebutuhan dan pada waktu yang sama memanfaatkan sumber daya-sumber daya dengan cara terbaik. 8. Akuntabilitas Pembuat kebijakan dalam sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil – termasuk serikat pekerja/buruh dan organisasi pengusaha memiliki tanggung jawab kepada publik, juga kepada mitra-mitra institusional. Akuntabilitas ini berbedabeda tergantung pada organisasi dan apakah keputusannya menyangkut kepentingan internal atau eksternal organisasi. 9. Visi strategis Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan memiliki jangka panjang mengenai tata pemerintahan yang baik dan pengembangan manusia, sejalan dengan apa yang yang diperlukan oleh pengembangan seperti itu. Terdapat juga pemahaman tentang kerumitan-kerumitan sejarah, kultural dan sosial yang mendasari perspektif di atas. Sumber: diadaptasi dari ‘Good Governance for the People Involving the People: Partnership for Governance Reform’, Sekretariant Kemitraan Reformasi Tata Pemerintahan, UNDP Indonesia. . Dialog sosial memainkan peranan kunci dalam mencapai tujuan ILO untuk mempromosikan peluang-peluang bagi kaum perempuan dan laki-laki untuk meraih pekerjaan yang layak dan produktif dalam kondisi penuh kebebasan, bermartabat, setara, dan aman. Dialog sosial yang didefinisikan oleh ILO mencakup semua jenis negosiasi, konsultasi atau sekadar pertukaran informasi antara perwakilan-perwakilan pemerintah, pengusaha dan pekerja, tentang isu-isu yang menjadi kepentingan bersama yang berkaitan dengan kebijakan sosial dan ekonomi. Dialog ini bisa sebagai proses tripartit, dengan pemerintah berperan sebagai pihak resmi untuk dialog tersebut; atau dialog ini bisa merupakan hubungan bipartit antara tenaga kerja dan manajemen (atau serikat pekerja/buruh dan organisasi pengusaha), dengan atau tanpa keterlibatan tidak langsung. Konsultasi bisa bersifat informal atau institusional, dan seringkali dialog ini bersifat kombinasi antara keduanya. Dialog ini bisa berlangsung pada tingkat nasional, regional atau perusahaan; antarprofesional, antarsektoral atau kombinasi dari semuanya. Pada masing-masing kasus, dialog sosial merupakan upaya untuk membangun kepercayaan di antara pihak-pihak yang memiliki kepentingan berbeda yang berupaya untuk melakukan aktivitas ekonomi bersama dengan kehadiran informasi yang tidak sama (asimetrik). Pada umumnya, alat utama dialog sosial adalah komite bipartit dan tripartit. Undang-undang 13/2003 mengenai Ketenegakerjaan yang Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia baru menyebutkan bahwa semua perusahaan yang memiliki lebih dari 50 pekerja diwajibkan membentuk komite kerjasama bipartit yang harus berfungsi sebagai forum komunikasi, konsultasi dan perundingan dengan tujuan untuk memecahkan masalah-masalah ketenagakerjaan di tingkat perusahaan. Bagaimanapun juga, pada kenyataannya, kebanyakan perusahaan tidak memiliki komite semacam ini dan di hampir semua perusahaan yang memiliki komite ini, komite tersebut tidak berfungsi dengan efektif.4 Hal yang serupa, Dewan Tripartit Nasional harus diperkuat dan (mungkin dengan lebih signifikan karena adanya proses desentralisasi), demikian juga komite-komite tripartit regional. Kondisi-kondisi yang memungkinkan dialog sosial adalah sebagai berikut: • • • • Organisasi pekerja dan pengusaha yang kuat dengan kemampuan teknis dan akses ke informasi yang relevan untuk berpartisipasi dalam dialog sosial. Kemauan dan komitmen politik semua pihak untuk terlibat dalam dialog sosial. Penghormatan terhadap hak-hak dasar seperti hak untuk berserikat dan melakukan perundingan bersama. Dukungan institusional yang tepat. Institusi dialog sosial seringkali didefinisikan dari komposisinya. Institusi-institusi ini bisa berupa bipartit, tripartit atau ‘tripartit plus’. Pelaku-pelaku utama tripartit merupakan perwakilan dari pemerintah, pengusaha dan pekerja. Pada waktu tertentu, dan tergantung pada konteks nasional yang spesifik, mitra tripartit mungkin bisa membuka dialog bagi pelaku lain di masyarakat yang relevan dalam upaya untuk mendapatkan pandangan yang lebih luas serta untuk memasukkan pandangan yang beragam dari pelaku sosial lainnya guna membangun konsensus yang lebih luas. Dialog sosial dapat mengambil bentuk yang berbeda-beda, mulai dari aktivitas sederhana seperti pertukaran informasi ke bentuk konsultasi yang lebih maju. Berikut ini adalah daftar pendek dari bentuk-bentuk dialog sosial yang paling umum. • • • 4 Saling berbagi informasi merupakan salah satu unsur dialog sosial efektif yang paling mendasar dan penting. Pada dasarnya, pertukaran informasi ini tidak mengharuskan adanya pembahasan atau tindakan terhadap persoalannya, namun pertukaran informasi ini merupakan bagian tak terpisahkan dari proses-proses di mana dialog dan keputusan bisa dibuat. Konsultasi bukan hanya saling berbagi informasi saja tetapi juga membutuhkan keterlibatan para pihak melalui pertukaran pandangan yang pada gilirannya bisa mengarah pada dialog yang lebih mendalam. Badan-badan tripartit atau bipartit bisa terlibat dalam negosiasi dan kesepakatan. Sementara banyak organisasi memanfaatkan ILO/USDOL Declaration Project research • konsultasi dan saling berbagi informasi, beberapa darinya diberdayakan untuk mencapai kesepakatan yang mengikat . Lembaga dialog sosial yang tidak memiliki mandat seperti itu biasanya menjalankan fungsi kepenasehatan bagi Departemen, Parlemen, atau pembuat kebijakan dan pengambilan keputusan yang lain. Perundingan bersama tidak hanya sebagai bentuk dialog sosial yang integral dan salah satu yang paling tersebar luas, tapi juga bisa dilihat sebagai indikator yang berguna untuk melihat kemampuan di satu negara untuk terlibat dalam tripartisme tingkat nasional. Para pihak bisa melibatkan diri dalam perundingan bersama di tingkat perusahaan, sektoral, regional, nasional bahkan multinational. Tujuan utama dari dialog sosial itu sendiri adalah untuk meningkatkan dan mengembangkan konsensus dan keterlibatan demokratis di antara para mitra di dunia kerja. Struktur dan proses dialog sosial yang berhasil memiliki potensi untuk memecahkan isu-isu sosial dan ekonomi yang penting, mendorong tata pemerintahan yang baik, mempromosikan kedamaian dan stabilitas sosial dan industrial dan mendorong kemajuan ekonomi. Dengan demikian, dialog sosial merupakan sarana dan akhir dari upaya pengentasan kemiskinan. Dialog ini merupakan komponen amat penting dari proses-proses partisipatif yang termaktub dalam perancangan PRSP yang bersifat inklusif dan bermakna, dan merupakan landasan di mana fondasi diletakkan bagi masyarakat demokratis, transparan dan terbuka. Efektifitas struktur tripartit ILO bergantung pada kekuatan dan kapasitas konstituen-konstituennya, yakni: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans), Organisasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan berbagai organisasi pekerja (federasi-federasi serikat pekerja/buruh). Kekuatan dan kelemahan relatif dari masing-masing organisasi ini didokumentasikan dengan baik5 . Disepakati bersama bahwa organisasi-organisasi tersebut perlu memperluas basis keanggotaan mereka, terutama bagi pekerja dan pengusaha perempuan. Namun, bisa dikatakan bahwa kedua mitra sosial ini menghadapi tantangan-tantangan institusional dan organisatoris yang serupa sebagai akibat dari proses demokratisasi dan desentralisasi yang telah mengubah Indonesia belakangan ini. Juga bisa disimpulkan bahwa Undang-undang No. 13/2003 mengenai Ketenagakerjaan, dan Undang-undang No. 21/ 2000 mengenai Serikat pekerja/buruh membuka peluang besar untuk memperkuat kerangka hubungan kerja industrial di Indonesia. UU No. 21/2000 menetapkan kewajiban-kewajiban Indonesia di bawah Konvensi No. 87, dan UU No. 13/2003 memberikan kerangka legal sehubungan dengan upah, jaminan sosial, keselamatan dan kesehatan kerja, jam kerja dan liburan. Undang-undang ini mengatur hubungan kerja industrial dan rincian-rincian prosedur tentang bagaimana menghadapi kesepakatan kerja kolektif dan peraturan-peraturan perusahaan. 5 Lihat, misalnya, Peggy Kelly, ‘Promoting Democracy and Peace through Social Dialogue’, Program Infokus tentang Peningkatan Dialog Sosial, ILO Januari 2002. Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia Pada era pra-krisis, sistem hubungan kerja dalam industri berpusat pada peraturan yang birokratis, kurangnya transparansi dan keterbukaan, dan kebijakan-kebijakannya cenderung otokratik dan kadang bersifat memaksa. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat banyak perbaikan dan fakta bahwa Indonesia telah meratifikasi delapan Konvensi Inti ILO (negara pertama di Asia yang melakukannya) memberikan dasar yang baik untuk meningkatkan dialog sosial dan tata pemerintahan yang baik di pasar tenaga kerja (lihat boks 2). Namun demikian, terdapat juga berita-berita buruk tentang Indonesia seperti dilaporkan dalam berbagai media dalam beberapa tahun ini bahwa banyak perusahaan yang menutup usahanya di Indonesia atau mengancam keluar dari Indonesia karena negara ini dianggap tidak lagi menjadi tempat yang layak untuk membuka usaha. Konvensi ILO no. 87 Konvensi ILO no. 98 Konvensi ILO no. 29 Konvensi ILO no. 105 Konvensi ILO no.100 Konvensi ILO no. 111 Konvensi ILO no. 138 Konvensi ILO no. 182 (1998) Kebebasan untuk Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi, 1948 (1957) Hak untuk Berorganisasi dan untuk Melakukan Perundingan Bersama, 1949 (1950) Kerja Paksa, 1930 (1999) Penghapusan Kerja Paksa, 1957 (1958) Kesamaan Pengupahan antara Buruh Pria dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Sederajat, 1951 (1999) Diskriminasi dalam Hal Pekerjaan dan Jabatan, 1958 (1999) Usia Minimum untuk diperbolehkan Masuk Kerja, 1973 (2000) Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Menghapuskan Bentuk- bentuk Terburuk Pekerjaan Anak, 1999 *Tahun dalam kurung menunjukkan tahun ratifikasi oleh Indonesia Berbagai laporan media menunjukkan adanya peningkatan ongkos tenaga kerja, problem-problem perselisihan perburuhan, dan lingkungan hubungan industrial yang tidak menentu. Semua itu membuat para investor sangat gamang melakukan bisnis di Indonesia.6 Namun, antara fakta dan apa yang dilihat sebagai fakta seringkali tidak selalu sama. Misalnya, secara keseluruhan tidak terdapat bukti-bukti yang menunjukkan adanya peningkatan jumlah perselisihan perburuhan. 6 Patrick Quinn, ‘Freedom of Association and Collective Bargaining: A Study of Indonesia Experience 1998-2003’, Makalah Kerja Deklarasi ILO 2003 Data-data resmi menunjukkan bahwa pada periode 1998-2002, jumlah pemogokan lebih dibandingkan dengan pada periode 1993-1997.7 Tidak jelas juga apakah kenaikan tingkat upah minimum membuat Indonesia tidak lagi kompetitif dibanding negara-negara tetangganya. Namun demikian, adalah kenyataan bahwa upah minimum di Indonesia masih berada di bawah Filipina dan Thailand dan agak lebih tinggi dibandingkan Vietnam, dan bila dibandingkan dengan GNP per kapita —suatu indikator kasar untuk produktivitas—upah minimum yang ditetapkan Indonesia tampaknya tidak berbeda jauh dengan beberapa pesaingnya.8 Perlu diingat juga bahwa agak sulit membicarakan aturan tunggal upah minimum di Indonesia karena sebagai bagian dari proses desentralisasi, tanggung jawab menetapkan upah minimum telah diserahkan ke pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Ketimbang menyebut “masalah pasar tenaga kerja”, tampaknya yang lebih menjadi keprihatinan bagi kebanyakan perusahaan dan investor adalah ketidakpastian, masalah keamanan dan korupsi. Walaupun pada kenyataanya bahwa persepsi investor atas keprihatinan tentang upah minimum dibesar-besarkan ketimbang faktorfaktor lain yang sebetulnya memiliki dampak lebih merugikan, kita tidak boleh menyepelekan pandangan-pandangan yang diungkapkan oleh beberapa analis tentang hubungan antara upah minimum dan ketenagakerjaan dalam konteks Indonesia. Para analis ini menunjukkan temuan-temuan statistik yang kuat bahwa kenaikan upah minimum yang tajam terhadap pertumbuhan yang moderat bisa menghalangi peluasan lapangan kerja, khususnya di sektor-sektor ekonomi yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan skala kecil dan menengah.9 Hal ini tidak berarti bahwa kebijakan upah minimum harus ditinggalkan, namun terdapat kasus yang penting yang memerlukan pendekatan yang lebih kreatif dan bijaksana. Yang lebih penting, kebijakan upah minimum harus dilihat sebagai bagian dari agenda yang jauh lebih luas untuk pengembangan sistem hubungan kerja yang menyeluruh, dapat dipercaya, dan ramah. 7 Ibid 8 Brifing Bank Dunia untuk Kelompok Konsultatif Indonesia (CGI): ‘Maintaining Stability, Deepening Reforms’, Januari 2003. Rama (1996), SMERU (2001) dan Widianto (2003) menyimpulakan bahwa kenaikan upah minimum menurunkan pertumbuhan kesempatan kerja sektor formal, namun Alatas dan Cameron (2003) membuat kesimpulan yang lebih berhati-hati. Mereka mencatat bahwa tidak terdapat dampak yang signifikan dari upah minimum terhadap ketenagakerjaan di perusahaan-perusahaan yang besar di sektor formal, namun potensi untuk menciptakan kesempatan kerja pada perusahaan–perusahaan kecil terkena dampak dari kenaikan upah minimum. Lihat Rama, M (1996), ‘The consequences of doubling the minimum wage: the case of Indonesia’, World Bank Policy Research Paper No. 1643; SMERU (2001),’ Wage and employment effect of minimum wage policy in the Indonesian labour market’, Maret, Jakarta; Alatas, V dan Cameron, L (2003), ‘The impact of minimum wages in a low-income country: an evaluation using the difference-in-difference approach’, World Bank Policy Research Paper no 2985; Widianto, B (2003), ‘Making the most of minimum wage policy’’, Jakarta, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Islam, I dan Nazara, S (2000) ‘Minimum wage and the welfare of Indonesian workers’, Occasional Paper Series No.3, Jakarta, ILO, mencatat terhadap hakekat hubungan pekerjaan–upah minimum yang secara statistik membingungkan, dan bahwa kemungkinan kenaikan upah minimum tergantung pada kondisi makro ekonomi. 9 Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia Statistik resmi menunjukkan bahwa 27,3 juta orang Indonesia bekerja di sektor formal (dari 98 juta angkatan kerja). Tetapi adalah salah bila mengatakan bahwa dialog sosial yang baik hanya menguntungkan sejumlah kecil dari mereka yang mempunyai hubungan kerja formal karena —di antara alasan-alasan lain— mereka yang mempunyai hubungan kerja formal cenderung mempunyai banyak tanggungan keluarga. Ini artinya, “multiplier effects” (efek ganda) yang signifikan dari semua kebijakan yang menyangkut pasar tenaga kerja formal. Sifat alami yang sulit digambarkan dari pasar tenaga kerja di negara-negara berpenghasilan rendah memiliki implikasi bahwa manfaat moneter yang diperoleh pekerja yang terorganisasi kemungkinan akan diteruskan kepada yang lainnya melalui, misalnya, kiriman uang ke daerah pedesaan, modal untuk kegiatan usaha mikro, pemberian subsidi dari anggota-anggota keluarga besar, investasi dalam modal sosial, dan sebagainya. Bila dampak yang lebih luas seperti ini diperhitungkan, dapat dikemukakan argumentasi bahwa suatu komponen yan seringkali tidak ada dalam strategi pengentasan kemiskinan adalah pengaturan pasar tenaga kerja. Sebenarnya, faktor utama yang membedakan antara negara-negara yang berhasil mengentaskan kemiskinan dan negaranegara yang tidak berhasil dalam hal ini adalah pengaturan (governance) pasar tenaga kerja. Dengan demikian, investasi dalam dialog sosial menjadi unsur utama dalam meningkatkan proses perubahan kelembagaan untuk meningkatkan kinerja pasar tenaga kerja dan dengan demikian menghasilkan pertumbuhan yang memihak pada kaum miskin. Pandangan konvensional (The Conventional Wisdom) yang mengatakan bahwa dialog sosial (dan, bila diperluas, Standar Perburuhan) cenderung menaikkan biaya tenaga kerja (lebih tinggi dari produktivitas) dan secara otomatis menurunkan daya saing, tidak dilandasi bukti-bukti. Dalam soal “Standar Perburuhan”, suatu studi yang baru-baru ini dilaksanakan, menyimpulkan bahwa tidak ada bukti kuat yang mendukung pandangan konvensional bahwa investor asing lebih menghendaki negara-negara dengan standar perburuhan yang lebih rendah, dan bukti-bukti statistik malah menunjukkan kenyataan yang sebaliknya.10 Temuan ini lebih diperkuat lagi oleh sebuah penelitian lain yang menyimpulkan bahwa bukti-bukti internasional yang mendukung pandangan bahwa pasar yang diregulasi dan lebih lentur memberikan hasil pekerjaan yang lebih baik dibandingkan dengan lapangan kerja yang lebih terinstitusional, ternyata tidak sekokoh yang dibayangkan.11 Penegakan Standar Perburuhan harus dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari tanggungjawab sosial korporat. Memperlakukan pekerja dengan baik dan menghormati hak-hak mereka mencerminkan pelaksanaan undang-undang oleh komunitas bisnis karena mempromosikan solidaritas sosial dan memberikan kontribusi demi keharmonisan industrial. 10 David Kucera, ‘Core labour standards and foreign direct investment’ (Standar Ketenagakerjaan Inti dan Investasi Asing Langsung)’, International Labour Review, 141, (1-2) 11 Baker, D et al (2002) ‘Labour market institutions and unemployment: a critical assessment of the cross-country evidence’ (Institusi lapangan kerja dan pengangguran: pengkajian kritis terhadap bukti-bukti lintas negara), CEPA working paper no. 2002-17, New York, New School University Jadi sekarang bisa kita katakan bahwa PRSP Indonesia harus menekankan pada peningkatan promosi investasi dan kompetisi melalui hubungan kerja yang kuat. Hal ini berarti akan meningkatkan dialog sosial dan tripartisme. Dalam melaksanakan tugas-tugas penting ini, Pemerintah akan: • • • • Membantu meningkatkan stabilitas sosial dan ekonomi (investor asing sangat mengutamakan kondisi yang dapat diprediksi dan stabil karena keduanya memperkecil risiko); Membuat pasar kerja lebih baik dengan meningkatkan transparansi, arus informasi dan check and balances kelembagaan; Mengurangi pemborosan keterampilan dan kemampuan karena terjadinya gangguan, besarnya arus keluar masuk tenaga kerja (labour turn-over) dan diskriminasi di tempat kerja; dan Meningkatkan pembentukan modal manusia dengan mengeliminasi bentuk-bentuk tekanan pada pekerja (buruh anak, buruh kerja paksa, dan sebagainya. Selain itu, bila hubungan industrial yang kuat membantu menghapus diskriminasi di tempat kerja, ini akan dapat menciptakan peluang-peluang baru untuk kelompok-kelompok yang terpinggirkan —termasuk perempuan dan penduduk asli— sehingga meningkatkan partisipasi pasar tenaga kerja secara keseluruhan. Pemerintah Indonesia telah mengambil sejumlah langkah besar dalam memberlakukan undang-undang untuk memperkuat kebijakan hubungan industrial yang sehat dan telah meratifikasi semua standar peraturan perburuhan serta Konvensi 144 tentang Konsultasi Tripartit. Ada dasar yang kuat untuk mengintegrasikan dialog sosial ke dalam strategi pengentasan kemiskinan dan dengan demikian menggalakkan suatu lingkungan yang lebih baik untuk menarik investasi dan mempertajam persaingan di bidang ekonomi. Namun demikian, penerapan Standar Perburuhan yang tepat tidak akan terjadi dengan sendirinya. Pemerintah dengan jelas memainkan peranan kunci dalam merealisasikan hak-hak ini, dan kenyataan yang sama juga menunjukkan bahwa pembangunan kemampuan diperlukan untuk membuat pemerintah mampu mengimplementasikan undang-undang dan kebijakan ketenagakerjaan dengan tepat dan efektif. Secara jelas, kewajiban ini juga bisa diperluas sampai pemerintah daerah. Mereka harus memikul tanggungjawab sesuai dengan yang diamanatkan oleh undang-undang tentang desentralisasi. Salah satu peran terpenting yang terkait dengan realisasi hak-hak dasar di tempat kerja adalah pengawasan tenaga kerja dan administrasi ketenagakerjaan untuk menegakkan peraturan-peraturan yang mencakup persyaratan kerja, dan untuk membantu pengusaha dan pekerja menaati hukum. Pengawasan tenaga kerja yang memadai merupakan sesuatu yang sangat penting untuk menjamin ketaatan terhadap undang-undang dan peraturan-peraturan ketenagakerjaan dan untuk memberikan informasi teknis serta nasehat-nasehat yang tepat Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia kepada pekerja dan pengusaha. Pengumpulan dan analisis data mengenai pelanggaran undang-undang ketenagakerjaan tentang kebebasan untuk berserikat, diskriminasi (termasuk terhadap perempuan) dan kerja paksa juga merupakan fungsi dari pengawasan tenaga kerja. Sebelum diterapkannya Undang-undang Otonomi Daerah 12 , pejabat pengawasan tenaga kerja berada di bawah kewenangan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Namun, karena adanya otonomi daerah, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi tidak memiliki hubungan formal langsung dengan semua pengawas tenaga kerja di lapangan. Situasi ini memerlukan penjelasan dan reformasi. Sistem penyelesaian perselisihan yang efektif juga merupakan hal yang penting untuk mempromosikan hubungan kerja industrial yang stabil dan baik. Kapasitas dan efektifitas pemerintah dalam menetapkan dan menerapkan sebuah sistim modern yang baru di bawah undang-undang yang diusulkan harus diperbaiki secara radikal. Pemerintah harus mampu menunjukkan bahwa sistem baru yang berisi konsiliasi, mediasi dan arbitrasi, dan hakim-hakim yang menangani ketenagakerjaan akan mampu menegakkan keadilan dengan cepat, tidak mahal dan adil ketika mereka menangani perselisihan ketenagakerjaan. Mitra sosial secara jelas memiliki peranan yang penting dalam penerapan standar ketenagakerjaan internasional dan peningkatan hubungan tempat kerja yang baik. Jumlah anggota serikat-serikat pekerja/buruh Indonesia naik pesat, walaupun keanggotaan serikat pekerja/buruh pada tahun 2002 hanya menjangkau 10% dari total angkatan tenaga kerja yang ada di Indonesia. Baik serikat pekerja/buruh dan APINDO perlu meningkatkan keanggotaan mereka (khususnya perempuan dan sektor-sektor dan kelompok yang sampai sekarang kurang terwakili) dan memperbaiki mutu pelayanan yang mereka berikan kepada anggota-anggotanya. Peranan serikat pekerja/buruh dan organisasi pengusaha serta potensi perundingan bersama untuk meningkatkan kesetaraan jender dalam persyaratan kerja, misalnya gaji yang setara, perlindungan terhadap pelecehean seksual dan persalinan, perlu ditingkatkan. Serikat pekerja/buruh memikul tanggung jawab untuk melindungi dan mempromosikan kepentingan-kepentingan pekerja perempuan di tempat kerja. Walaupun partisipasi ketenagakerjaan perempuan naik, dapat dilihat bahwa mereka belum cukup terwakili dalam keanggotaan dan kepemimpinan serikat pekerja/ buruh. Serikat pekerja/buruh dan pengusaha perlu mempromosikan partisipasi perempuan dan menjamin bahwa mereka terwakili dan terlibat aktif di semua aspek dunia pekerjaan. Serikat pekerja/buruh dan pengusaha juga harus mengembangkan kapasitas mereka untuk bertindak berdasarkan amanat, hak-hak dan tanggung jawab organisasi mereka dan anggotanya, serta juga kemampuan untuk memberi masukan tentang undang-undang dan kebijakan hubungan ketenagakerjaan, dan untuk merencanakan, mengorganisasi dan melaksanakan pelatihan hubungan kerja industrial. Hampir semua serikat pekerja/buruh juga 12 Pada 1999, UU Pemerintahan Daerah disahkan (UU No. 22 1999), yang mendesentralisasi beberapa kantor dan fungsi pemerintah pusat, termasuk di dalamnya beberapa kantor yang dulu di bawah wewenang Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi perlu mengembangkan keterampilan penelitian, advokasi dan pembuatan jaringan kerja dalam upaya untuk memperbaiki mutu partisispasi mereka dalam dialog-dialog tentang kebijakan, termasuk seputar proses PRSP. Berkenaan dengan pembahasan di atas, inisiatif kebijakan berikut ini bisa dipakai untuk mempromosikan tata pemerintahan yang baik di pasar tenaga kerja, dan pada waktunya akan memberdayakan penduduk Indonesia untuk berpartisipasi secara produktif di tempat kerja. Memperkuat Dewan Tripartit Nasional (National Tripartit Council—NTC) Jaminan bahwa NTC mewakili (sejalan dengan rumusan yang disepakati pada akhir tahun 2002 di mana masing-masing memiliki kedudukan yang setara) kepentingan anggotanya dengan mempertimbangkan keseimbangan jender dan beroperasi sesuai dengan mandat yang diberikan kepadanya. Komite tripartit juga berfungsi di tingkat provinsi dan kabupaten/kotamadya, dan sejalan dengan desentralisasi Indonesia, sangatlah penting untuk memperkuat struktur di bawah tripartit nasional. Karena sekitar 90 persen perselisihan perburuhan terkonsentrasi di 20 kabupaten/kotamadya di seluruh Indonesia,13 mungkin masuk akal bila kita sangat memfokuskan perhatian pada peningkatan struktur tripartit di daerah-daerah tersebut. Komite teknis pengupahan bisa didirikan untuk mendukung Dewan Upah Nasional (National Wages Council). Perlunya penerapan reformasi undangundang ketenagakerjaan dan rancangan undangundang yang diusulkan baru-baru ini, persoalan upah minimum mesti ditinjau ulang. Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13/2003 membutuhkan banyak keputusan dan aturan pelaksanaan, seperti Keputusan Presiden dan lain-lain. Namun, lebih banyak pekerjaan dibutuhkan untuk mengembangkan infrastruktur mediasi, konsiliasi dan arbitrasi seperti yang tercantum dalam Undang–Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Pemantauan penerapan dan dampak dari undang-undang baru sangat penting untuk mengkaji sejauh mana undang-undang tersebut mendukung Standar Perburuhan dan meningkatkan lingkungan hubungan kerja industrial. Perkembangan agenda reformasi hukum ketenagakerjaan memberikan sebuah kesempatan bagi pemerintah untuk memperluas pendekatan guna menyesuaikan upah minimum. Ada kasus yang memerlukan penilaian yang hati-hati berkaitan dengan penyesuaian biaya hidup yang dijadikan pembenaran atas kenaikan upah minimum dengan memperhatikan kondisi makroekonomi, terutama dampaknya terhadap penciptaan lapangan pekerjaan. Kebijakan upah minimum harus dilihat sebagai bagian dari agenda yang lebih luas untuk mengembangkan sistem hubungan industrial yang menyeluruh, dapat dipercaya, ramah, serta melindungi hak buruh, tapi juga memperhatikan aspek pertumbuhan. Pelaksanaan agenda ini akan memakan waktu bertahun-tahun melalui proses panjang dalam diskursus publik dan pengalaman institusional. 13 Employment friendly labour policies’, Direktorat Tenaga Kerja dan Analisis Ekonomi, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), hal. 27 Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia Mengembangkan Kemampuan – memperkuat modal manusia Dua aspek keberagaman kemiskinan di Indonesia sangat menyolok. Pertama, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa 87 persen dari penduduk miskin Indonesia hanya mengenyam pendidikan dasar atau yang lebih rendah. Hanya dengan meningkatkan pendidikan kepala rumah tangga sampai tingkat sekolah menengah pertama, tingkat kemiskinan bisa diturunkan dari 30 persen menjadi 17 persen.1 Kedua, statistik juga menunjukkan bahwa 62 persen penduduk miskin berusia di bawah 30 tahun. Anak-anak menjadi kelompok yang paling terkena dampak kemiskinan, diikuti kelompok kaum muda (didefinisikan sebagai kelompok usia 15-29 tahun).2 Korelasi yang kuat antara pendidikan dan kemiskinan maupun antara usia dan kemiskinan menandakan beberapa pesan kebijakan yang penting. Sebagai permulaan, semua penduduk Indonesia perlu mengenyam pendidikan, paling tidak sampai tingkat menengah pertama —yang sebetulnya sudah menjadi target pemerintah. Target ini sejalan dengan komunitas internasional yang mempercayai perlunya ‘pendidikan bagi semua’.3 Hal ini mengundang tantangan kebijakan utama: bagaimana menjamin partisipasi yang luas kaum miskin dalam sistim pendidikan dan pelatihan. Khususnya, perhatian perlu banyak diberikan kepada tujuan untuk menghapuskan kesenjangan jender dalam sistim pendidikan dan pelatihan yang termaktub dalam MDGs . Korelasi yang erat antara usia dan kemiskinan mengharuskan adanya pendekatan sepanjang hidup (life cycle approach) terhadap pengentasan kemiskinan: menargetkan keluarga miskin yang memiliki banyak anak dan remaja yang berada dalam masa transisi dari sekolah ke pekerjaan. Penjaminan akses ke pendidikan yang bermutu dan keterampilan yang relevan merupakan hal vital untuk memutus polapola kemiskinan lintas generasi dan untuk mengurangi kerentanan dan kemiskinan sementara yang dialami kaum muda laki-laki maupun 1 Bukti-bukti ini ditelaah dalam Islam (2002). Lihat Islam, I: ‘Poverty, employment and wages: an Indonesian perspective’ Laporan dipersiapkan untuk Departemen Pemulihan dan Rekonstruksi, Jenewa. 2 Hubungan usia-kemiskinan berdasarkan tabulasi khusus pada Survei Sosio Ekonomi Nasioanal 2002 (SUSENAS - the 2002 National Socio-economic Survey), diberikan ke ILO kantor Jakarta ILO oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Mingat dan Winters (2002) memaparkan perhatiannya tentang terhadap kebutuhan akan pendidikan untuk semua pada tahun 2015 –tujuan ini dibuat oleh 180 negara yang tergabung dalam Forum Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal, pada tahun 2000. Tujuan semacam itu merupakan kelanjutan dari agenda yang ditetapkan dalam konferensi dunia “Pendidikan untuk Semua” yang diselenggarakan di Thailand pada tahun 1990. Lihat Mingat, A dan Winter, C : ‘Education for all by 2015’, Finance and Development, 39 (1). 3 3 perempuan dalam proses transisi sekolah–pekerjaan. Memang, penurunan pengangguran pemuda merupakan target dari MDGs dan dengan demikian mencerminkan aspirasi komunitas internasional untuk menjamin bahwa keterampilan dan bakat pemuda betul-betul dimanfaatkan secara produktif. Tujuan dari bab ini adalah membahas pesan ganda ‘pendidikan untuk semua’ dan pendekatan sepanjang hidup terhadap pengentasan kemiskinan dengan cara menangani beberapa persoalan yang relevan dengan pekerja anak, pendidikan dasar, pendidikan dan pelatihan kejuruan, dan persiapan pemuda memasuki dunia kerja. Berbagai persoalan itu akan diatur dalam sebuah konteks untuk mengidentifikasi prioritas-prioritas dalam pelaksanaan kebijakan. Estimasi terkini menunjukkan bahwa 4,2 juta anak di bawah usia 18 tahun berada dalam barisan angkatan kerja di Indonesia.4 Kebanyakan di antara anak-anak tersebut terlibat dalam pekerjaan berbahaya yang diklasifikasikan sebagai bentuk terburuk dari pekerjaan untuk anak. Prevalensi pekerjaan anak di Indonesia mempunyai beberapa alasan. Keluarga miskin dalam batas hidup minimal harus menimbang-nimbang biaya sekolah anak-anaknya atau untuk menambah pendapatan keluarga jika anak tersebut bekerja. Dengan demikian, salah satu tujuan kebijakan menghapuskan pekerja anak adalah dengan cara membuat keluarga itu lebih mudah memilih pendidikan daripada pekerjaan. Akses ke sekolah merupakan hal yang vital, namun ini juga tergantung dari biaya pendidikan – sebuah masalah yang akan kita bahas nanti. Yang juga sama-sama penting adalah relevansi pendidikan. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa ketika kualitas pengajar rendah dan kurikulumnya tidak relevan dengan kebutuhan kelompok miskin, serta peralatan tidak diperbarui atau diperbaiki selama bertahun-tahun, maka keluarga miskin akan berpikir dua kali untuk memasukkan anaknya ke sekolah. Tidak mengherankan jika para orang tua miskin memandang penyekolahan di lingkungan demikian sebagai hal yang menghamburkan waktu dan uang yang tidak mereka punyai. Sebaliknya, bila penyekolahan dianggap bisa menolong anak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, dan pada waktunya mereka akan bisa membantu orang tuanya ketika kemampuan orang tua untuk mendapatkan uang mulai mengecil sejalan dengan usianya, opsi pendidikan mulai kelihatan semakin menarik. 5 Mengurangi permintaan pekerja anak juga merupakan hal yang sangat penting. Perusahaan-perusahaan kecil dan pelaku ekonomi informal mempekerjakan anak-anak karena mereka tidak mampu membayar pekerja dewasa yang mereka butuhkan. Mereka mempekerjakan anak4 5 ‘PRSP Technical Briefing Note on Child Labour in Indonesia’ (Paparan Teknis Singkat PRSP mengenai Pekerjaan Anak di Indonesia) ILO Jakarta, 2003. Lihat Working out of Poverty, ILO, 2003. Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia anak yang gajinya jauh lebih kecil. Memperbaiki kinerja dan aspek-aspek lain dari usaha kecil dengan meningkatkan kemampuannya meraih keuntungan bisa membatu perusahaan-perusahaan tersebut beralih dari posisi marjinal ke posisi yang lebih aman, di mana tingkat produktivitasnya lebih tinggi karena pekerjanya terdiri dari kaum dewasa yang mendapatkan gaji lebih baik, jauh lebih berguna ketimbang memperkerjakan anak bergaji kecil tapi dengan produktivitas yang rendah. Tambahan pula, jika semua atau kebanyakan perusahaan di sektor perekonomian lokal mulai meningkatkan produktivitasnya dan upahnya serta mempekerjakan kebih banyak pekerja dewasa, pendapatan keluarga pada komunitas itu juga akan meningkat dan mengurangi kebutuhan mencari pendapatan tambahan dengan mempekerjakan anaknya.6 Membantu pelaku sektor informal dan perusahaan kecil untuk meningkatkan teknologi mereka dan memperbaiki produktivitasnya —sering menjadi bagian dari inisiatif pengembangan lokal— merupakan hal mendasar yang bisa mengurangi permintaan atas pekerja anak. Organisasi-organisasi pengusaha memiliki peranan kunci dalam proses ini. Pemerintah Indonesia telah membuat kemajuan yang berarti dalam mengubah kebijakan-kebijakan dan meningkatkan kesadaran tentang perburuhan anak. Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimum, dan Konvensi No. 182 mengenai Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan Anak, merupakan contoh nyata dari upaya-upaya ini. Indonesia pada 2002 juga telah mengeluarkan Keputusan Presiden mengenai Rencana Aksi Nasional tentang Bentuk-bentuk Terburuk untuk Pekerja Anak. Rencana Aksi Nasional ini mengidentifikasi tiga belas bentuk terburuk pekerja anak dan menargetkan penghapusan bentuk terburuk pekerja anak dalam waktu dua puluh tahun mendatang. Dalam jangka pendek, rencana aksi ini mempunyai sasaran untuk menghilangkan lima bentuk terburuk pekerja anak tersebut (anak-anak yang terlibat dalam produksi, penjualan dan perdagangan narkoba, anak yang diperdagangkan untuk dilacurkan, pekerjaa anak di perikanan lepas pantai, pertambangan, dan alas kaki). Implementasi Rencana Aksi Nasional membutuhkan upaya-upaya khusus untuk memilah isu pekerjaa anak ke dalam rencana pembangunan provinsi dan daerah. Pada gilirannya, hal ini memerlukan peningkatan kemampuan dan mobilisasi para mitra untuk mengambil tindakan. Mengurangi dan memberantas pekerja anak bisa sangat berhasil bila komunitas daerah berbasis luas berupaya meningkatkan akses ke sekolah, memperbaiki pendapatan keluarga dengan cara memberikan kesempatan kerja bagi orang dewasa, serta mengubah sikap pengusaha dan keluarga terhadap pekerja anak dikombinasikan dengan implementasi kerangka legislasi yang tepat. Beberapa provinsi dan daerah telah mengambil langkah-langkah inovatif, misalnya menetapkan komite daerah untuk meningkatkan kesadaran, menetapkan rencana aksi provinsi, memadukan isu-isu pekerjaan anak ke dalam inisiatif 6 Ibid Mempromosikan implementasi Rencana Aksi Nasional mengenai Bentuk Terburuk Pekerja Anak di Tingkat Lokal pembangunan ekonomi lokal dan menargetkan sektor-sektor khusus. 7 Di negara yang besar dan beragam seperti Indonesia ini, pengidentifikasian dan penerapan contoh-contoh positif bisa mendorong inovasi dan merangsang proses pembelajaran dan pengembangan kebijakan di seluruh daerah. Investasi menyeluruh di bidang pendidikan sebagai bagian dari GDP di Indonesia tetap yang paling rendah di kawasan ini dan di antara negara-negara yang penerimaannya setara. Pada tahun 2000, hanya 1,2 persen dari GDP yang digunakan bagi pendidikan, sepertiga lebih kecil dari negara–negara di kawasan ini seperti Cina, India, Filipina dan Thailand. Angka ini sebetulnya stabil jika dibandingkan dengan masa sebelum krisis 8 Hal yang sama pentingnya adalah bahwa Indonesia tidak hanya memiliki investasi yang relatif kecil di bidang pendidikan, namun apa yang sudah disediakan negara pun tidak dimanfaatkan secara optimal. Dengan demikian, walaupun investasi untuk pendidikan ditingkatkan menjadi tujuan utama untuk negara yang menginginkan kemajuan lebih tinggi lagi, tujuan itu tidak akan memberikan hasil nyata tanpa ada perbaikan manajemen, efektifitas, dan mutu sistem pendidikan yang terdesentralisasi lebih dahulu. Lagi pula, untuk mencapai tujuan pendidikan dasar universal (sembilan tahun sekolah) pada tahun 2010, dibutuhkan upaya-upaya untuk memperbaiki akses kelompok miskin sampai sekolah menengah pertama. Pada tahun 2000, rasio partisipasi sekolah dasar untuk anak-anak usia sekolah berkisar 90 persen dan pada sekolah menengah pertama 59 persen. Angka-angka untuk murid-murid perempuan sama baik di SD maupun di SMP. Menurut satu penelitian, tantangannya sekarang adalah (a) mengatasi kebutuhan khusus untuk sisa 10 persen (hampir seluruhnya miskin dan rentan) yang belum bersekolah atau putus sekolah. Ini untuk memastikan bahwa mereka yang mulai belajar paling tidak menyelesaikan pendidikan dasar, dan (b) untuk meningkatkan jumlah siswa yang setelah menyelesaikan SD akan meneruskan ke tingkat SMP. Hal ini khususnya amat penting bagi keluarga miskin. Rasio partisipasi sekolah di tingkat SD di kalangan kaum miskin setara dengan kelompok kaya (yang jumlahnya seperlima dari populasi penduduk). Namun ada kesenjangan yang lebar di tingkat SMP antara kelompok miskin dan berpunya.9 7 Untuk contoh khusus, lihat Matsuno A: ‘PRSP Technical Briefing Note on Child Labour in Indonesia’ (Paparan Teknis Singkat PRSP mengenai Perburuhan Anak di Indonesia) ILO Jakarta, 2003. 8 Education at a Glance: OECD Indicators, 2002, OECD, Paris, 2002 9 ‘Indonesia and EFA’ World Bank, 2002; dan ‘Indonesia, World Bank, Country Assistance Strategy, FY04-07’ Indonesia Country Unit, Oktober 2003. Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia Jumlah SMP negeri yang tidak mencukupi tentunya adalah hambatan yang besar. Namun bagi keluarga miskin, alasan lain untuk pekerja anak dan rendahnya tingkat partisipasi di SMP adalah tingginya biaya pendidikan. Seharusnya pendidikan sampai SMP cuma-cuma. Namun, bukti-bukti menyebutkan bahwa orang tua seringkali harus merogoh sakunya untuk memberikan sumbangan ke sekolah — yang menjadi praktek yang membebani kelompok miskin.10 Sebuah penelitian terkini tentang transisi dari sekolah ke dunia kerja menemukan mendapati bahwa lebih dari 40 persen pencari pekerja muda dan hampir 60 persen pekerja mandiri muda meninggalkan sekolah, karena alasan finansial. 11 Ini disebabkan keluarga mereka tidak mampu lagi membayar pendidikan atau mereka diminta untuk membantu orang tua untuk menambah nafkah hidup bagi keluarga mereka. Menjadikan pendidikan dasar terjangkau oleh kelompok miskin Menghilangkan biaya-biaya tersembunyi bagi semua dan memperkecil biaya tambahan bagi kelompok miskin, misalnya untuk membeli pakaian seragam dan buku-buku, merupakan upaya penting. Beasiswa dengan target kaum miskin berprestasi bisa memainkan peranan penting. Evaluasi Program Beasiswa dan Hibah yang merupakan salah satu komponen dari Jaringan Pengamanan Sosial Indonesia menunjukkan bahwa badan ini tengah mencoba mengurangi dampak krisis ekonomi atas sistem sekolah, dan membantu mempertahankan tingkat pendaftaran anak di sekolah.12 Komitmen pemerintah untuk menyediakan dukungan kepada kelompok anak sekolah yang paling miskin dan sekolah-sekolah yang kini didanai oleh program bantuan adalah hal yang sangat kritis. Perubahan-perubahan dalam program ini mungkin juga harus dipertimbangkan. Misalnya, program bisa menetapkan target, bukan hanya mereka bagi yang sudah berada di dalam pendidikan, namun juga berupa insentif finansial kepada keluarga miskin yang memiliki anak di luar sekolah sehingga mereka bisa mengirim lagi anaknya ke sekolah. Desentralisasi telah mengalihkan tanggung jawab dalam soal pendidikan dan pelatihan ke tingkat daerah. Hal ini bisa menawarkan kesempatan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat, partisipasi dan akuntabilitas 10 11 12 Lihat ‘Indonesia: Maintaining Stability, Deepening Reforms’, Brifing dari Bank Dunia bagi CGI (Consultative Group mengenai Indonesia), 2003. Sebagai tambahan, SMERU (2001) telah mengeluarkan sebuah newsletter di mana dia menyoroti kesulitan yang dialami oleh kelompok miskin dalam mendapatkan akses ke sekolah menengah pertama. Penulis, OeyMayling Gardiner, berpendapat bahwa terdapat dua hambatan yang dihadapi oleh kelompok miskin (a) terbatasnya SMP negeri; (b) tingginya biaya, bahkan di sektor yang dibiayai oleh negara, yang mendiskriminasi kaum miskin. Lihat ‘Education difficulties for the poor: if they can be exploited, why not?’, SMERU Newsletter, no. 03, Mei-Juni. Laporan media terkini, yang memfokuskan kepada pengalaman satu daerah Indonesia tertentu (Banjarnegara), juga menyoroti hambatan-hambatan yang cukup sulit yang dihadapi oleh keluarga biasa dalam mendidik anak-anak mereka di tingkat SMP. Tingkat putusa sekolah bagi tempat ini pada SMP hampir mendekati 50 persen! Lihat Jakarta Post , 25 Maret 2002. Sziraczki, G and Reerink A: ‘School-to-Work Transition in Indonesia’, Laporan tidak diterbitkan, ILO, Oktober 2003. Hartono, D dan Ehrmann, D: ‘The Indonesian Economic Crisis and its Impact on Educational Enrollment and Quality’, Trends in Southeast Asia, No. 7, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, Mei 2001. Desentralisasi dan penyediaan pendidikan dasar akan makin lebih baik. Pada saat yang sama, banyak tantangan yang masih tersisa, misalnya pemisahan yang jelas antara peranan pemerintah daerah dan pemerintah pusat, menetapkan batas pelayanan minimum di seluruh negeri, standar pengakuan kualifikasi dan keterampilan. Standar-standar seperti ini bisa berguna untuk memperkecil kesenjangan antara wilayah miskin dan wilayah lainnya di negara ini. Bagaimana dan sampai pada tingkat apa standar minimum ini harus ditetapkan, membutuhkan kerjasama erat antara pemerintah pusat maupun daerah. Penghapusan prasangka (stereotype) berdasarkan jenis kelamin dalam kurikulum juga perlu mendapatkan perhatian khusus, karena hal ini memiliki dampak jauh terhadap pilihan pendidikan lanjutan dan ketenagakerjaan bagi remaja perempuan. Hal ini akan memberikan kontribusi kepada MDGs sehingga memastikan bahwa semua anak lakilaki maupun perempuan menyelesaikan sekolah dasar dan menghapus kesenjangan jender dalam pendidikan. Untuk memperbaiki manajemen sistem pendidikan yang terdesentralisasi membutuhkan pengembangan kemampuan di tingkat daerah dan pusat/provinsi. Pusat dan provinsi harus mengubah peranan mereka sebagai penyedia langsung jasa pendidikan menjadi regulator, pemantau kualitas dan fasilitator, yang menawarkan layanan-layanan pendukung kepada pejabat-pejabat lokal yang sesuai. 13 Komite dan dewan sekolah yang baru-baru ini ditetapkan, yang sekarang tidak hanya melibatkan para guru dan orang tua namun juga para mitra di komunitas lokal, bisa memainkan peranan sangat penting dalam akuntabilitas manajemen sekolah dan menuntut kinerja yang lebih baik. Meningkatkan kualitas pendidikan Kunci utama lain adalah kualitas pendidikan. Bukti-bukti menunjukkan bahwa hasil pendidikan di Indonesia baik di SD maupun SMP sangat ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ini. Hal itu disebabkan oleh rendahnya infrastruktur, bahanbahan belajar dan kualitas pengajar.14 Tingkat anak yang mengulang di tingkat yang sama di SD sampai pada kelas 5 (standar terendah untuk mencapai tingkat melek huruf) lebih tinggi di Indonesia dibandingkan semua negara-negara Asia tenggara, kecuali Kamboja dan Laos. Yang agak positif adalah bahwa siswa perempuan memiliki tingkat bertahan di sekolah (sampai di kelas 5) yang lebih tinggi dibandingkan siswa lakilaki.15 Terdapat juga masalah yang berat karena tidak cukupnya kompensasi guru dan staf lainnya, pelatihan guru dan manajemen, termasuk distribusi guru yang tidak seimbang di antara berbagai jenis sekolahan (yang biasanya berupa faktor yang berkaitan dengan kurangnya dukungan finansial dan professional). Akhirnya, hasilnya adalah pengajaran yang buruk dan demikian hasil pembelajarannyapun rendah. 13 ‘Indonesia, World Bank, Country Assistance Strategy, FY04-07’, Indonesia Country Unit, Oktober 2003. 14 15 “EFA di Indonesia: ‘Hard Lessons About Quality’, World Bank, 2003. EFA Global Monitoring Report, 2003/04, UNESCO, 2003. Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia Faktor penting yang menentukan mutu pendidikan adalah masalah status dan profesionalisme para guru. Di Indonesia, tingkat pelatihan pra-kerja telah meningkat akhir-akhir ini. Namun kurang dari 50 persen guru SD dan SMP yang memenuhi persyaratan. Kualifikasi guru di sekolah swasta juga sama rendahnya. Penyediaan jasa pelatihan di tempat kerja tidak bisa memperbaiki keadaan, dan setelah desentralisasi malah memberikan hasil yang tidak menentu.16 Semua ini menjadikan pondasi yang ringkih bagi pengajaran yang berkualitas. Struktur gaji bagi guru di Indonesia berdasarkan skala gaji yang ditetapkan pemerintah tidak mempertimbangkan kompetensi dan persyaratan kerja khusus. Lagipula, gaji guru Indonesia yang terendah di ASEAN, yang mengakibatkan sulitnya menarik dan mempertahankan individu-individu terbaik dalam pengajaran.17 Dengan demikian, perlu dipertimbangkan untuk menaikkan gaji guru secara bertahap, yang dikombinasikan dengan perbaikan-perbaikan substansial dalam status guru, kompetensi profesional, dan bahan-bahan pengajaran. Inilah langkah-langkah kunci untuk mencapai pendidikan yang bermutu. Untuk menetapkan prioritas dalam kebijakan pelatihan teknik dan kejuruan bagi pengentasan kemiskinan di Indonesia, kita perlu mempertimbangkan sistem pelatihan di Indonesia yang statusnya rendah dan bahwa sistem pelatihan dan pendidikan kejuruan yang efektif membutuhkan lebih banyak sumber daya ketimbang pendidikan dasar. Secara tradisional, pemerintah bertanggungjawab atas pelatihan yang menyebar ke berbagai instansi, seperti di sejumlah kementrian. Sebagai tambahan, tidak terdapat cukup koordinasi nasional dalam perancangan kebijakan bagi pelatihan kerja; koordinasi yang terbatas antara pemasok swasta dan publik, partisipasi yang terbatas dari industri dalam kebijakan dan perencanaan; tidak adanya standar dan sertifikasi nasional; ketergantungan yang berlebihan pada dana dari para pendonor; dan terlalu fokus pada lapangan kerja sektor formal; dan ketidakpedulian pada ekonomi informal. Lebih lanjut, walaupun ada upaya-upaya untuk membuat sistem pelatihan lebih tanggap, pelatihan tersebut masih tetap tergantung pada pasokan dan terbebani masalah kurangnya pendanaan serta kurangnya informasi pasar tenaga kerja. Tidak adanya sistem pelacakan yang bisa mengetahui keberadaan para lulusan, sehingga informasi mengenai mereka sangat terbatas, bagaimana mereka terserap ke dalam lapangan kerja, dan seberapa jauh pendidikan mereka mempunyai relevansi dengan kebutuhan usaha. Pemerintah Indonesia saat ini tengah berada dalam proses mereformasi sistem pelatihan kejuruan dan teknik. Proses ini mencakup pengembangan Kerangka Sertifikasi Profesional Nasional, diikuti dengan pengembangan standar kualifikasi bagi keterampilan-keterampilan inti, 16 17 Untuk melihat lebih banyak tentang status, kualitas, gaji dan kondisi kerja guru, lihat Ratteree, B: ‘PRSP and education in Indonesia’(PRSP dan Pendidikan di Idonesia), Technical Briefing Note, ILO, 2003. Education at a Glance: OECD Indicators, OECD, Paris, 2002. sistim akreditasi dan pengakuan keterampilan dan pengaturan pendanaan yang baru. Proses ini merupakan tugas yang sangat besar, yang akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengimplementasikannya, dan yang tentunya di luar lingkup PRSP. Dalam konteks PRSP, Pemerintah Indonesia mungkin perlu memberikan prioritas pada dua hal: (a) memperkuat ikatan antara pelatihan dan bisnis, dan (b) memperbaiki pelatihan bagi perusahaanperusahaan kecil dan pelaku ekonomi informal melalui pengidentifikasian contoh-contoh yang sudah berhasil. Kedua proposal ini hanya menelan biaya amat rendah, dengan hasil yang sangat besar. Memperkuat kemitraan antara pendidikan dan dunia usaha Pemaparan ke dunia kerja merupakan bagian penting dari persiapan kaum muda memasuki dunia kerja. Bukan hanya untuk membentuk karir pendidikan mereka pada titik awal, namun juga untuk memfasilitasi transisi dari sistem pendidikan ke dunia kerja di mana keterampilanketerampilan baru dan sikap-sikap yang berbeda dibutuhkan. Meski demikian, hanya terdapat 38 persen pemuda yang dicakup survei transisi sekolah-ke-pekerjaan berpartisipasi dalam program pengalaman kerja sebagai bagian dari pelatihan atau pendidikan mereka. Temuan-temuan survei juga mempertanyakan tentang efektivitas program, pengalaman kerja dan magang yang ada. Lagipula, selain menawarkan program pengalaman kerja dan pemagangan, perusahaan-perusahaan yang disurvei jarang mempunyai kerjasama dengan sektor pendidikan. Akibatnya, ada ketidakcocokan antara apa yang disediakan oleh sekolah kejuruan dengan apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja dalam hal pengetahuan, keterampilan dan sikap. Mereka yang meninggalkan sekolah tanpa persiapan akan menjadi biaya bagi pengusaha, dan menjadi penghambat pertumbuhan produktivitas, peningkatan teknologi atau produksi modern.18 Menjalin kerjasama erat dengan sekolah, dunia usaha bisa menjamin bahwa masa depan tenaga kerja sudah disiapkan dengan baik melalui program pengalaman kerja yang efektif, yang bisa membantu siswa-siswa melihat hubungan antara belajar dan bekerja, memahami bagaimana pengetahuan dan keterampilan khusus diaplikasikan di konteks dunia nyata, serta mengembangkan sikap baru dan mendapatkan kepercayaan diri. Di luar pemagangan (internship), terdapat berbagai cara untuk mendekatkan siswa ke dunia kerja nyata, misalnya pembahasan karir dan program pemagangan (apprenticeship programs). Pengusaha juga bisa mendukung pekerjaan para guru melalui nasehat-nasehat di berbagai hal, misalnya standar teknologi dan industri, dan upaya-upaya pengembangan kurikulum. Organisasi pengusaha memiliki peranan kunci dalam menjembatani pendidikan dengan dunia usaha. Program-program seperti ini bisa diselenggarakan sejalan dengan jenis industri atau sebagai bagian dari inisiatif pengembangan ekonomi 18 Sziraczki, G dan Reerink A: ‘school-to-Work Transition in Indonesia’, Laporan tidak diterbitkan, ILO, Oktober 2003 Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia lokal. Program ini juga harus menjadi bagian dari upaya berkesinambungan untuk mengembangkan pusat-pusat pelatihan dan pendidikan kejuruan yang bermutu di tingkat provinsi dan daerah — lembaga teladan yang bisa menawarkan contoh dan pelajaran yang bisa dipetik untuk mereformasi sistem pelatihan nasional. Semua inisiatif ini perlu memberikan perhatian kepada kesetaraan jender untuk mendorong partisipasi anak perempuan dalam pelatihan dan untuk menghapuskan pemisahan jender dalam pendidikan kejuruan yang cenderung mengarahkan anak perempuan ke industri dengan upah rendah, yang banyak didominasi oleh perempuan. Untuk mengkaji sejauh mana pendidikan kejuruan melayani kebutuhan perusahaan-perusahaan kecil dan pelaku ekonomi informal cukup sulit karena terbatasnya informasi dan data. Hal yang sama berlaku untuk program-program khusus yang menawarkan keterampilan dasar dan pelatihan kewirausahaan ke kelompok sasaran yang berbeda untuk memulai pekerjaan mandiri dan menjalankan bisnis kecil. Pelacakan atas hasil program pelatihan dan kejuruan, bersamasama dengan survei mengenai kisah sukses pengusaha informal bermodal kecil, dapat menjadi contoh dan disebarluaskan kepada yang lain. Hanya studi inilah yang bisa memberikan informasi tentang produk-produk, teknologi dan pasar yang terkait dengan keterampilan-keterampilan; sumber-sumber keterampilan dari wirausahawan informal; dan efektivitas program pelatihan dan kejuruan terkini, termasuk inisiatif berbasis masyarakat.19 Identifikasi kisah sukses (di mana pelatihan merupakan bagian dan paket dari pendekatan yang lebih luas, termasuk pemberian kredit, bantuan teknis, informasi pasar dan pelayanan dukungan lainnya) dan menyebarkan informasi ini bisa mendorong proses pembelajaran, membantu menggandakan contoh-contoh yang bagus serta mempromosikan inovasi di seluruh Indonesia. Membangun modal manusia tidak hanya berarti mengembangkan keterampilan dan pendidikan dasar, tapi juga memberdayakan kelompok miskin, khususnya kaum muda, sehingga mereka bisa memanfaatkan kesempatan kerja yang ada. Pembangunan ini memerlukan persiapan pemuda untuk memasuki dunia kerja. Menurut data survei, kurang dari 30 persen pemuda di sekolah, pencari kerja dan pemuda kerja mandiri yang mendapatkan nasehat/konseling tentang peluang kerja/karir. 20 Tak mengherankan jika banyak para pemuda yang menghadapi kondisi yang tidak menentu dan memiliki harapan yang berlebihan, namun tidak mengetahui bagaimana cara mendapatkan pekerjaan. 19 Untuk lebih jelasnya, lihat House, J W: ‘Decent work deficit in the informal economy in Indonesia’, Laporan tidak diterbitkan, ILO, Oktober 2003. 20 Sziraczki, G and Reerink A: ‘School-to-Work Transition in Indonesia’ Laporan tidak diterbitkan, ILO, Oktober 2003 Peningkatan pelatihan bagi perusahaan kecil dan pelaku sektor informal Memperbaiki persiapan mereka yang putus sekolah untuk masuk dunia kerja Persiapan yang lebih baik bagi mereka yang meninggalkan sekolah untuk masuk ke dunia kerja bisa membantu proses penyesuaian antara hasil pendidikan dan pelatihan dengan apa yang dibutuhkan dunia kerja, serta mengurangi masa pengangguran. Hal ini membutuhkan informasi penawaran lowongan pekerjaan dan panduan karir peka-jender di sekolah-sekolah melalui sistem pendidikan dan pelatihan, dan kepada pencari kerja muda melalui media masa. Tambahan pula, kaum muda membutuhkan bantuan untuk mempelajari teknik-teknik mencari pekerjaan. Karena kurang berkembangnya pelayanan tenaga kerja, mungkin sangat baik kalau panduan karir, teknik mencari kerja dan infomasi pasar kerja diberikan melalui sistem pendidikan kepada mereka yang putus sekolah. Pada gilirannya, hal ini akan membutuhkan peningkatan pelayanan bimbingan karir di sekolah, yang tersedia di hampir semua SMP dan SMU. Selain itu, migrasi tingkat tinggi di antara mereka yang putus sekolah dan yang meninggalkan sekolah di kawasan pedesaan miskin ke pusat-pusat kota memberikan tantangan tambahan kepada pelayanan-pelayanan seperti itu. Penanaman kesadaran dari jaringan dukungan yang ada bagi para migran harus dilaksanakan pada tahap awal siklus pendidikan supaya bisa menjangkau mereka yang mungkin akan berpindah (yang kurang terdidik). Ini merupakan hal yang secara khusus penting dalam kasus migran perempuan muda yang sering menghadapi risiko diperdagangkan. Sebaliknya, pengusaha perlu didorong menggunakan praktek perekrutan yang lebih terbuka, ketimbang sangat menggantungkan diri pada saluran perekrutan informal. Secara umum, informasi pasar kerja yang lebih baik dan transparansi membantu kelompok muda miskin dan rentan untuk mendapatkan kerja. Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia Menyediakan perlindungan sosial bagi semua Istilah perlindungan sosial mencakup dua hal yaitu, bantuan sosial (biasanya disponsori oleh pemerintah, bukan merupakan iuran, dan dirancang untuk memenuhi kebutuhan pokok dan bukannya jenis bantuan khusus tertentu) dan asuransi sosial (di mana pekerja dan pengusaha membayar iuran asuransi yang ditujukan jika ada kejadian tertentu). Perlindungan sosial; dalam konteksnya juga mengandung pemahaman tentang jaring pengaman sosial – lihat Boks 1 dan 2 juga bagan 2 di bawah. Jaring pengaman sosial merupakan kebijakan jangka pendek yang dirancang untuk menghadapi perubahan struktural dan ekonomi, misalnya transisi dari ekonomi komando ke ekonomi pasar dan dampak krisis ekonomi, seperti yang telah terjadi di Asia Tenggara pada 1997. Tujuan ganda dari perlindungan sosial adalah untuk mencegah terjadinya deprivisasi—untuk mempromosikan standar hidup yang lebih baik, dan memperkecil kerentanan—untuk melindungi diri dari risiko-risiko penurunan standar hidup, baik yang bersifat sementara maupun yang permanen. Kita mungkin bisa beralasan bahwa negara-negara berkembang tidak mampu menerapkan sistem perlindungan sosial yang komprehensif. Risiko-risiko pasar tenaga kerja (misalnya pengangguran dan setengah pengangguran) merupakan bagian dari dinamika normal ekonomi pasar dan sebaiknya dipenuhi oleh sistem informal dari perlindungan sosial (mengharuskan adanya kombinasi keuletan individu dan dukungan berbasis masyararakat). Sistem formal dari perlindungan sosial dalam pandangan ini sebaiknya diprioritaskan untuk kelompok yang betul-betul miskin dan tidak berkecukupan di masyarakat. Namun, terdapat sebuah opini professional yang tumbuh bahwa mekanisme yang lebih formal diperlukan untuk membantu orang-perorang, rumah tangga, dan masyarakat untuk bertahan terhadap perubahan, khususnya bila perubahan tersebut tidak diperkirakan sebelumnya.1 Jikalau tidak, kemiskinan yang bersifat sementara bisa berubah menjadi kemiskinan jangka panjang. Memang, bukti-bukti terkini dari negara-negara industri menunjukkan, dengan tidak adanya sistem perlindungan sosial yang formal, kemiskinan jangka panjang yang berkisar 47 persen di Amerika Serikat dan 91 persen di Finlandia lebih tinggi dari apa yang biasanya diamati. 2 1 2 Morduch, J (1999) ‘Between the state and the market: can informal patch up the market’ Lokakarya Stiglitz Summer Research tentang Kemiskinan, 6-8 Juli, Washington DC, World Bank ILO (2000) World Labour Report: Income security and social protection in a changing world, Geneva, ILO, pp.40-41. 4 Juga terdapat opini profesional lain yang muncul bahwa laju globalisasi yang pesat telah meningkatkan kerentanan perekonomian nasional terhadap krisis yang datang dari luar. Risiko-risiko ini menciptakan potensi reaksi besar terhadap globalisasi. Dengan demikian, perlindungan sosial mungkin bisa dipandang sebagai sebuah upaya oleh negara untuk membatasi risiko-risiko yang terkait dengan ekonomi dunia yang semakin menyatu ini. 3 Situasi ini pada waktunya akan menjadi sebuah instrumen untuk memobilisasi komitmen politik dalam upaya menyatukan potensi manfaat-manfaat dari globalisasi. Berkenaan dengan munculnya konsensus tentang peranan yang bisa dimainkan oleh sistem perlindungan sosial komprehensif di sebuah pasar ekonomi, bab ini menawarkan perlunya Indonesia berupaya memberikan perlindungan sosial bagi semua penduduk sebagai unsur utama dari strategi pengentasan kemiskinan dalam periode 10 sampai 15 tahun. Data yang tersedia menunjukkan bahwa salah satu tujuan utama perlindungan sosial, yaitu membuat individu bertahan menghadapi kerentanan, merupakan hal yang sangat relevan dalam kasus Indonesia. Dengan demikian, selagi tingkat kemiskinan saat ini mencapai sekitar 16 persen, terdapat sekitar 40 persen penduduk ‘hampir miskin’, yang membuat mereka rentan, paling tidak, terhadap kemiskinan sementara. 4 Jaminan Sosial menggambarkan semua program sosial untuk pengentasan kemiskinan. Jaminan Sosial dikenal sejak Konferensi ILO tahun 1952 ketika standar-standar Jaminan Sosial mulai diterapkan. Jaminan tersebut mencakup Asuransi Sosial (di mana pekerja dan pengusaha membentuk asuransi untuk kejadian-kejadian tertentu), dan Bantuan Sosial (biasanya disponsori oleh pemerintah, bukan berupa iuran, dan dirancang untuk memenuhi kebutuhan dasar bukan kebutuhan/keperluan darurat). Jaring Pengaman Sosial berkaitan dengan kebijakan-kebijakan jangka pendek untuk mengantisipasi perubahan-perubahan struktural dan ekonomi seperti transisi dari ekonomi komando ke ekonomi pasar atau ketika terjadi krisis ekonomi seperti yang melanda Asia pada tahun 1997. Perlindungan Sosial adalah istilah yang lebih luas yang mencakup Jaminan Sosial; yang sangat erat kaitannya dengan pengentasan kemiskinan (berbeda dengan Asuransi Sosial tetapi sama dengan Bantuan Sosial) dan menjamin akses ke pelayanan kesehatan melalui inisiatif yang berbasis publik, perorangan, atau masyarakat. Bagan 1 merupakan rangkuman dari peristilahan dimaksud. 3 Lihat Bergsten (2000) ‘The backlash against globalization’, Pernyataan yang diberikan pada Komisi Trilateral, Tokyo; Rodrik, D (1999) ‘The global economy and developing countries: making openness work’, Washington DC, Dewan Pembangunan Luar Negeri. 4 Batas garis kemiskinan nasional ditetapkan sekitar US$ 1,5 per hari. Jika angka dini dijadikan patokan, jumlah orang miskin di Indonesia sekitar 16 persen dari total penduduk. Dengan menaikkan batas garis kemiskinan ke US$ 2 per hari, tingkat kemiskinan melonjak sampai lebih dari 50 persen. Di antara dua angka ini terdapat kelompok yang masuk kategori ‘hampir miskin’. Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia Perlindungan yang disediakan oleh masyarakat kepada warganya melalui serangkaian langkah-langkah sosial terhadap hambatanhambatan yang mungkin disebabkan oleh terhentinya atau berkurangnya pendapatan secara substansial. Perlindungan ini juga memberikan sejumlah manfaat, perawatan kesehatan dan subsidi rumah tangga. Untuk menghindari deprivasi (meningkatkan standar hidup) dan kerawanan terhadap deprivasi (melindungi dari turunnya standar hidup). Jaminan Sosial Asuransi Sosial Dukungan Sosial Tunjangan Keluarga Dana Masa Depan Perlindungan Sosial Kompensasi Masa Depan Program Dasar Tenaga Kerja Skema Swasta dan yang tidak diatur oleh UU/peraturan Skema berbasis pekerjaan/ profesi dan pengusaha Dukungan berbasis masyarakat Contoh Tunjangan · Dana Pensiun · Invaliditas Pensiun · Tunjangan Pengangguran · Tunjangan Sakit · Tunjangan Kehamilan/ Melahirkan · Tunjangan Keluarga · Perawatan Kesehatan · Pembayaran Penuh · Subsidi Perumahan · Tunjangan Pendidikan Skema Asuransi Mikro Layanan Sosial seperti tempat penitipan anak dan bantuan ke rumah-rumah Ketika orang berbicara tentang pendanaan jaminan sosial, mereka mungkin berbicara tentang salah satu dari topik-topik berikut ini: • apakah pekerja dan pengusaha membayar iuran agar mereka berhak mendapat tunjangan (asuransi sosial) atau apakah pemerintah mendanai skim-skim tersebut dari pendapatan pajak (skim umum). Dana asuransi sosial bisa semi independen dari pemerintah dan digunakan hanya untuk pembayaran tunjangan dan tidak terpengaruh oleh perubahan situasi ekonomi. Skim universal biasanya menyediakan santunan tetap kepada semua warga negara yang jumlahnya dihitung berdasarkan pengujian statistik. • apakah uang pensiun seseorang harus dikelola oleh pemerintah, oleh perusahaan swasta atau dana perwalian (Trust Funds) yang dikelola oleh badan tripartit yang terpisah dari pemerintah. • apakah uang pensiun seseorang harus didasarkan atas iuran yang dibayarkan oleh atau untuknya di muka, sebelum ia pensiun? Atau dibayarkan dari iuran para pekerja pada saat sekarang (dibayar selagi Anda bekerja) • apakah dana-dana tersebut harus dibatasi dalam bentuk obligasi pemerintah atau apakah, dan sejauh mana danadana tersebut harus diinvestasikan dalam bentuk saham. Investasi di pasar modal memberikan lebih banyak keuntungan dibandingkan dengan obligasi pemerintah, tapi investasi di pasar modal terlalu berisiko dan sering naik turun. • masih ada perdebatan berkaitan dengan cara dana pensiun dihitung — apakah uang pensiun seseorang harus dibatasi sampai pada apa yang telah mereka bayarkan (ditambah bunga dari uang tersebut), ini disebut sebagai iuran tetap. Atau apakah uang pensiun tersebut harus merupakan jumlah yang terkait dengan variabel lain (misalnya besarnya gaji terakhir atau gaji ratarata), ini disebut sebagai tunjangan tetap. Dalam prakteknya, sistem jaminan sosial di kebanyakan negara merupakan gabungan dari beberapa komponen. Perkembangan kebijakan perlindungan sosial terus meningkat dengan tanggung jawab yang tersebar pada berbagai elemen yang ada, seperti beberapa departemen dan organisasi kemasyarakatan serta tanpa strategi dan mekanisme koordinasi yang jelas. Karakteristik sistem tersebut adalah: • • • • • • Ketergantungan yang kuat terhadap keluarga luas (extended family) dan komunitas sebagai jaring pengaman sosial jika terjadi kehilangan pendapatan, sakit dan musibah lain. Ketergantungan yang terbatas pada pengusaha melalui organisasi perburuhan yang diperkuat oleh kesepakatan bersama, yang secara langsung menyediakan sejumlah keuntungan, seperti upah selama sakit dan persalinan/melahirkan atau ketika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Untuk sektor swasta ada asuransi yang menyediakan jasa pengelolaan tunjangan hari tua yang memberikan pembayaran uang pensiun secara sekaligus; hal ini diperburuk oleh opsi penarikan dana pada saat tidak lagi bekerja. Paket layanan dan tunjangan terpadu untuk pegawai negeri dan anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian. Layanan yang tidak memadai untuk kaum miskin berdasarkan subsidi tapi distribusinya sering tidak merata tergantung pada kemampuan pendanaan pemerintah daerah; dan Pelayanan kesehatan yang memadai dan dukungan melalui asuransi terbatas hanya diberikan kepada pekerja sektor formal dan bantuan pemerintah hanya untuk kaum miskin. Tidak ada bantuan untuk sektor informal. Jaminan sosial yang disediakan Taspen, Asabri dan Jamsostek hanya mencakup 13,5 juta pekerja dari total tenaga kerja sebanyak 100 juta orang. Artinya, hanya sekitar 14% pekerja yang saat ini memperoleh skim jaminan sosial kelembagaan. Ini di luar asuransi kesehatan yang memiliki cakupan yang lebih luas melalui skim pemerintah, swasta dan mikro. Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia Sektor tenaga kerja formal yang dicakup oleh Jamsostek adalah sekitar 30% dari seluruh tenaga kerja. Jamsostek tidak menjangkau perusahaan dengan jumlah tenaga kerja di bawah 10 orang atau pekerjanya hanya mendapatkan upah di bawah Rp 1 juta per bulan (Pada kenyataannya, banyak sekali perusahaan yang hanya memiliki dua atau lebih pekerja). Penafsiran yang lebih tegas atas undang-undang yang mengatur soal ini dapat menaikkan cakupan Jamsostek sampai 70%. Bagan 2 memperlihatkan kondisi tenaga kerja. 1 Populasi berusia 15 tahun atau lebih 148.729 2 3 Tenaga kerja (aktif secara ekonomi) Tingkat partisipasi tenaga kerja 100.779 67,76% 4 Tenaga kerja yang dipekerjakan 91.647 5 6 · Pengusaha · Sektor Formal (pengusaha berbadan hukum) 2.786 33.123 7 8 o Pekerja formal perkotaan · Pekerja lepas perkotaan 22.022 3.559 9 o Pekerja formal pedesaan 13.101 · Pekerja biasa di bidang agrikultur · Pekerja lepas di bidang agrikultur 2.238 4.513 10 11 12 13 14 · Pekerja di pedesaan yang tidak dalam bidang agrikultur · Sektor Informal (pengusaha bukan badan hukum) 6.258 58.524 Pekerja informal perkotaan 17.069 15 Pekerja informal pedesaan Pencari kerja 41.454 9.132 16 17 Populasi di bawah garis kemiskinan usia 15 tahun atau lebih Anggota Jamsostek (dari data yang tersimpan) 38.000 18.6 18 Perkiraan jumlah Kontributor individu Jamsostek 9.3 19 Pelayanan pegawai negeri (Taspen, Asabri dan skema kontributor polisi) 6.3 20 21 Pensiunan Taspen Pelayanan kesehatan (termasuk Jamsostek, Askes dan skema swasta) 1.78 14.0 22 Pembayar pajak (pemegang nomer pajak – mencakup 600,000 perusahaan) o o 2.2 Jadi, tingkat kepatuhan pada undang-undang jaminan sosial terbukti masih sangat rendah. Tingkat perolehan pendapatan pajak juga masih rendah dengan hanya ada 2,2 juta nomor pokok wajib pajak (NPWP). Itu sudah termasuk badan usaha. Dan banyak sumber-sumber pendapatan yang penting (seperti dari investasi) yang tidak dikenakan pajak. Kenaikan pajak dapat berdampak buruk pada perekonomian, namun demikian hal itu dikompensasi dengan adanya perlindungan sosial yang berkelanjutan. Dampak dan implikasi otonomi daerah Otonomi daerah telah menyebabkan terjadinya pendelegasian wewenang dari kementerian dan departemen kepada pemerintah provinsi dan juga meningkatkan jumlah provinsi menjadi 33. Pemerintah daerah bertanggung jawab atas kegiatan sektor publik dalam bidang kesehatan, pendidikan, prasarana desa dan kota, serta berwenang atas lebih dari 2,3 juta mantan pegawai pemerintah pusat. Hal ini diterapkan untuk mendorong partisipasi dan keterkaitan daerah dengan layanan serta inisiatif sektor publik. Pemerintahan yang lebih baik dan dukungan terhadap program-program daerah untuk kaum miskin tampaknya cenderung lebih berkelanjutan ketimbang kebijakan pusat-daerah (top down) yang terbukti telah gagal di masa lalu karena penetapan sasaran yang salah dan kebijakan yang tidak sesuai dengan daerah sasaran. Dampak serius dari otonomi daerah terhadap layanan untuk kaum miskin belum begitu dirasakan, tapi kesenjangan tampaknya terus melebar, lebih karena bervariasinya kemampuan, pemerintah provinsi, pendapatan, distribusi kaum miskin, pendanaan lokal, dan keberhasilan program pengentasan kemiskinan. Kesenjangan hanya akan hilang jika ada standar minimum nasional berkaitan dengan program pengentasan kemiskinan. Perlindungan sosial dan tantangan dari kelompok mayoritas yang tidak tercakup Tantangan utama yang dihadapi para pembuat kebijakan yang berkeinginan mengembangkan sistem perlindungan sosial yang dapat dipercaya dan menyeluruh diwakili oleh kelompok yang disebut ‘mayoritas yang tidak tercakup’ (excluded majority).5 Istilah ‘mayoritas yang tidak tercakup’ ini diilustrasikan dengan sangat baik melalui pembahasan ringkas tentang berbagai kelompok rentan di masyarakat. Kelemahan dalam soal kepatuhan di sektor formal telah meningkatkan kerentanan terhadap kemiskinan jika terjadi kecelakaan, kematian, atau penggangguran. Jika kelompok pekerja mandiri, dan pekerja migran yang jumlahnya besar juga dimasukkan, banyak pekerja di sektor formal tidak tercakup oleh skim jaminan sosial yang wajib sekalipun. Kemungkinan meningkatnya kemiskinan, jika terjadi krisis ekonomi seperti yang terjadi pada 1997, juga masih tinggi. Pertimbangan khusus harus diberikan pada masalah jender. Perempuan memperoleh bantuan dan kesempatan lebih sedikit dibanding pria, dan mereka tidak terwakilkan secara seimbang dalam sektor ekonomi formal. Perempuan lebih mendominasi pada pekerjaan yang tidak digaji, kalangan pekerja migran, dan rata-rata mereka menerima pendapatan yang lebih rendah dibandingkan pria. Banyak 5 Tantangan dari ‘mayoritas yang tidak tercakup’ dalam merancang sistim perlindungan sosial di negara berkembang dibahas di ILO (2000) (op.cit), Beattie, R (2000) ‘Social protection for all: but how’ International Labour Review, 139 (2); ESCAP (2000) ‘Social security and safety nets ’ di Economic and Social Survey of the Asia and the Pacific, Bangkok; Bank Dunia (2000) ‘Keamanan’, di World Development Report: Attacking Poverty, Washington DC Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia program pengentasan kemiskinan dan program pembangunan sosial yang terfokus pada rumah tangga dan tidak mempertimbangkan perbedaan-perbedaan antar rumah tangga. Kalaupun perhatian khusus diberikan kepada masalah dan pola-pola hidup perempuan ketika mengembangkan program dan kebijakan perlindungan soal, pendekatan yang kelihatannya netral pada kenyataannya justru akan merugikan perempuan. Jaminan sosial belum diberikan untuk kelompok pekerja sektor informal, walaupun jumlah mereka hampir 65 juta pekerja atau 65,7% dari total angkatan kerja. Keluarga mereka sangat rentan terkena dampak buruk akibat hilangnya pendapatan untuk sementara waktu atau bahkan untuk selamanya. Pada gilirannya, hal itu akan menyebabkan mereka dengan cepat jatuh ke jurang kemiskinan. Meskipun kapasitas pekerja sektor informal di pedesaan sangat terbatas untuk mempraktekkan pertanian subsisten (memenuhi kebutuhan sendiri) untuk mengkompensasi hilangnya pendapatan, hal yang sama tidak dimiliki pekerja informal di perkotaan. Berusia lanjut, cacat, janda, pengangguran, dan perempuan merupakan bagian terbesar dari kaum miskin. Program jaring pengaman sosial untuk kaum miskin dan program pengentasan kemiskinan yang berkesinambungan telah berhasil memperbaiki kondisi mereka. Keberhasilan itu antara lain dalam soal pemberian subsidi beras, subsidi pendidikan, dan layanan kesehatan di daerah terpencil setelah krisis ekonomi tahun 1997. Namun, problem pengidentifikasian dan penggolongan kaum paling miskin di antara kaum miskin belum bisa dipecahkan baik karena beragamnya wilayah maupun karena kegagalan mendefinisikan level kemiskinan untuk menentukan perbedaanperbedaannya. Langkah-langkah untuk mengatasi ketidakmampuan dan kerentanan ini perlu diperbaiki jika ingin program bantuan sosial untuk kaum miskin lebih akurat dan tingkat kebocorannya minimal. Orang tanpa pendapatan tetap dan kelompok miskin Indonesia, yang merupakan negara yang jumlah penduduknya terbanyak keempat di dunia sedang menghadapi kecenderungan infeksi HIV yang makin tinggi. Diperkirakan secara resmi terdapat 90.000 sampai 130.000 orang yang saat ini hidup dengan HIV/AIDS. Sekitar 90 % dari kasus ini melibatkan orang dalam usia produktif (20-50 tahun). Untuk mengurangi dampak sosial dan ekonomi dari epidemi ini, ILO membantu pemerintah, pengusaha dan pekerja untuk mengatasi masalah HIV/AIDS melalui program peningkatan kesadaran yang mencakup pelatihan dan pemanduan tentang pencegahan, perawatan dan dukungan, dan memerangi stigma yang terkait dengan penyakit ini. Sebagai tindak lanjut, seminar nasional pada awal 2003, mitra sosial ILO menandatangani Deklarasi pada Komitmen Tripartit untuk memerangi HIV/AIDS di dunia kerja dengan menggunakan Kaidah ILO tentang HIV/AIDS. Bagaimanapun juga, orang dengan HIV/AIDS di Indonesia tidak tercakup dalam bentuk jaminan sosial apapun misalnya Orang yang hidup dengan HIV/AIDS tunjangan sakit dan perawatan kesehatan. ILO terus mendukung pengembangan pemberian jaminan sosial bagi seluruh anggota masyarakat. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat bertanggungjawab atas segala upaya memberdayakan kaum miskin melalui kebijakan-kebijakan pengentasan kemiskinan dan telah membentuk Gugus Tugas untuk Reformasi Jaminan Sosial dan Pengentasan Kemiskinan untuk mengkoordinir proses reformasi. Gugus Tugas dan menteri koordinator bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia. Gugus Tugas Reformasi Jaminan Sosial telah menyelesaikan rancangan undang-undang dan makalah yang berisi konsep syaratsyarat sistem jaminan sosial di masa depan di Indonesia. Rekomendasi penting dalam rancangan tersebut diyakini bisa memberikan perlindungan sosial bagi seluruh warga pada akhir masa transisi antara 10-15 tahun. Juga dipahami perlunya menyediakan jaminan sosial wajib yang iurannya dari seluruh pekerja, termasuk mereka yang berada di sektor-sektor formal, sektor informal perkotaan dan pedesaan. Badan pengawas akan diberi nama Jamsosnas (Jaminan Sosial Nasional) dan nantinya badan-badan jaminan sosial yang ada sekarang ini akan diintegrasikan. Perbaikan pelayanan kesehatan telah ditetapkan sebagai prioritas utama. Pada 2002 ILO menyelesaikan sebuah proyek yang berjudul Restructuring of Social Security in Indonesia (Restrukturisasi Jaminan Sosial di Indonesia) yang merekomendasikan reformasi institusional, khususnya Jamsostek, dan mengadakan studi tentang opsi-opsi untuk memperbaiki program-program tunjangan yang mencakup: • Kelayakan untuk menggantikan skim jaminan hari tua yang ada sekarang dengan skim yang akan membayar uang pensiun secara bulanan kepada para pensiunan. Ini akan membantu mengentaskan kemiskinan di kalangan penduduk berumur karena mereka akan menerima pendapatan rutin dan bukannya pembayaran sekaligus; • Perbaikan dalam skim —memperkenalkan pensiun untuk keadaan darurat jangka panjang untuk mereka yang cacat permanen dan kematian akibat kecelakaan kerja; • Kelayakan untuk mengubah kewajiban pengusaha membayar menjadi tunjangan asuransi sosial dengan menggunakan sumber dana yang sama dengan yang dikeluarkan pengusaha selama ini—sebagai upaya mengelak dari dan menghindari diskriminasi terhadap pekerja perempuan; • Kelayakan untuk menerapkan skim yang berpotensi mengurangi krisis ekonomi masa depan dengan cara mempertahankan tingkat pendapatan di masyarakat dan mengurangi tingkat pengangguran. Perhitungan yang dilakukan aktuaris menunjukkan bahwa dengan membayar Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia empat persen dari gaji akan menghasilkan tunjangan pengangguran sebesar 70 persen dari gaji untuk jangka waktu 25 minggu setiap tahunnya. Efek skim ini untuk pengusaha bisa dikurangi dengan membagi pembayaran iurannya bersama pekerja. Lebih penting lagi, pembayaran uang pesangon akan berkurang secara signifikan karena diganti dengan Tunjangan Pengangguran ini; 6 • Kelayakan untuk menerapkan skim —membentuk jaring pengaman sosial dasar bagi kelompok miskin yang paling rentan, suatu program yang didanai oleh pemerintah di semua level. Dari studi yang dilakukan diketahui bahwa subsidi yang ada bisa diarahkan secara lebih baik lagi dengan mengurangi kebocoran — biasanya karena salah sasaran untuk orang yang tidak miskin—, dan lebih baik dukungan diberikan kepada orang miskin. Pendanaan lain yang merupakan diversifikasi dari subsidi yang sudah ada (seperti subsidi bahan bakar) dan pajak-pajak baru lainnya seperti pajak tembakau dan pajak hiburan bisa digunakan untuk pelayanan bagi kaum miskin. Hal ini juga perlu diikuti dengan memberikan fokus pada daerah, meningkatnya indeks tingkat kemiskinan dan mekanisme pengawasan baru; • Studi khusus untuk merumuskan opsi-opsi kebijakan perluasan jangkauan untuk mereka yang selama ini belum tercakup seperti mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan kecil, sektor informal, dan mereka yang membuka usaha sendiri atau bekerja sendiri. Dari studi yang dilakukan diketahui bahwa cukup layak untuk memperluas cakupan di sektor formal dengan cara menghapus opsi pengecualian untuk pengusaha seperti yang selama ini dilakukan. Sementara itu, dari survei kecil yang dilakukan menunjukkan bahwa lebih dari separuh pekerja di sektor ekonomi informal perkotaan bersedia mengikuti asuransi ini. Namun demikian, keanggotaan sukarela ini hanya dapat dilihat sebagai sebuah strategi antara dan dalam jangka panjang pemerintah harus bertanggung jawab menyediakan sistem jaminan sosial minimum untuk seluruh warganya. Keanggotaan sukarela juga disertai oleh beberapa risiko tinggi akibat seleksi yang salah sasaran, keterbatasan dalam soal-soal prinsip pengumpulan iuran, beralihnya pekerja sektor formal dari skim yang ada ke skim informal yang lebih murah dan kemudahan menarik dana dari skim sukarela. • atas program Jamsostek; dan Anggaran Sosial yang menganalisis dan memproyeksikan biaya sosial secara keseluruhan terhadap pendapatan yang bisa diperkirakan. Terdapat sejumlah proyek-proyek kunci yang harus dibentuk sebagai dasar untuk memperluas secara signifikan cakupan sistem perlindungan sosial. Berikut adalah daftar yang diusulkan. 6 Contoh-contoh dari besaran yang baik di Indonesia maupun negara Asia lainnya, lihat Lee, E (1998) The Asian Crisis: tha Challenge of Social Policy, Geneva, ILO and Vroman, W (1999) “ Unemployment and underemploym ent protection in three groups of countries, Social Protection Dicussion Paper 9911, May, Washington DC, World Bank Menuju perlindungan sosial bagi semua di Indonesia: melihat ke depan • Pembentukan Jamsosnas, penunjukan badan pengawas, sekretariat dan badan pelaksana • Peraturan khusus yang memungkinkan pengembangan tunjangan dan program-program baru dan untuk mengkoordinasikan badanbadan di bawahnya, pemerintah daerah, LSM dan lembaga donor • Memperkuat badan dan lembaga, Jamsostek dan Askes harus meningkatkan teknologi informasi, layanan, program-program baru, pelatihan staf, dan mengurangi gerai-gerai dalam jaringan pelayanan. • Mengembangkan strategi jaring pengaman yang komprehensif bagi kaum miskin yang mencakup program daerah, pendanaan, akses, dan lembaga yang akan melaksanakan program tersebut. • Meningkatkan kepatuhan untuk memperluas cakupan jaminan sosial ke ekonomi formal dan pekerja mandiri. • Mengembangkan dan menguji program-program serta metodologi untuk memperluas layanan ke ekonomi informal dan pedesaan. Dari studi-studi yang dilakukan ILO dapat dilihat bahwa untuk mencapai suatu program perlindungan sosial yang komprehensif di Indonesia dalam jangka panjang, kita perlu memperluas penyediaan asuransi sosial yang lebih baik ke semua sektor formal dan menyediakan tunjangan jaminan sosial yang lebih berarti yang akan menyediakan dukungan pembiayaan yang wajar untuk seluruh pekerja bila terjadi gangguan kerja (sakit, cedera, cacat, persalinan, melemahnya daya tahan, pensiun, dan sebagainya) Penyediaan asuransi sosial ini juga perlu diperluas dengan cepat ke sektor informal dan disokong mekanisme dukungan yang luas bagi mereka yang miskin dan rentan. Prioritas harus diberikan pada skim-skim wajib (sektor formal, wiraswastawan, dan sebagainya), pengembangan kemampuan lembaga-lembaga dan mendorong skim sektor informal melalui swadaya dan skim sukarela yang didukung pemerintah. Peringatan perlu diperhatikan. Pengalaman di pelbagai belahan dunia menunjukkan bahwa pendafataran pekerja informal pada skim pembiayaan jaminan sosial wajib bukanlah pekerjaan mudah. Pengalaman di Indonesia sejauh ini memperkuat anggapan ini. Organisasi ekonomi informal melalui pembentukan koperasi atau organisasi terdesentralisasi atas perlindungan sosial lain memungkinkan tercapainya skala ekonomis (economies of scale) sehingga cakupannya bisa diperluas. Namun demikian, penerapan yang tidak konsisten dan setengah hati merupakan masalah sistemik yang terjadi di Indonesia dan tidak terbatas pada sektor perlindungan sosial saja. Studi lanjutan perlu dilakukan untuk menemukan cara-cara untuk memperluas cakupan yang berkesinambungan dengan tujuan membuat basis bagi sistem jaminan sosial nasional. Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia Rekomendasi Kebijakan Kunci akan berdampak besar terhadap upaya pengentasan dan pencegahan kemiskinan dalam jangka pendek dan menengah seperti didiskusikan di bawah ini. • Secara bertahap program-program jaminan sosial diperluas sampai ke seluruh pekerja di —ini akan melindungi lebih dari sepertiga pekerja dari kemungkinan kehilangan pendapatan dan sekaligus memberikan pendapatan rutin secara terus-menerus pada masa pensiun mereka. Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri ini akan mengurangi tekanan terhadap sektor informal dengan cara mengurangi perpindahan mereka ke sektor informal pada saat paceklik. Stabilitas pendapatan rumah tangga juga akan mengurangi tingkat kesenjangan dan kemiskinan di kalangan perempuan. Perluasan jangkauan kepada pekerja mandiri tergantung pada identifikasi dan pendaftaran wajib yang merupakan prasyarat masuk skim jaminan sosial. • Menyediakan program jaminan sosial bagi pekerja di sektor —pengalaman di tingkat lokal maupun internasional membuktikan pentingnya sektor informal, kerentanan pekerja dan keluarganya, dan sulitnya membentuk skim jaminan sosial yang berkelanjutan. Namun demikian, strategi pengentasan kemiskinan apapun bentuknya harus mencakup sektor informal di mana sebagian besar kaum miskin terkonsentrasi. Pengalaman mengajarkan bahwa rancangan asuransi sosial sukarela harus bersifat fleksibel, dan disesuaikan dengan kebutuhan perorangan dan kelompok, serta berdasarkan pada insentif. • Mengembangkan untuk orang miskin — hal ini bisa dilaksanakan dengan mengaitkannya dengan bursa tenaga kerja, pembangunan pedesaan, pendidikan dan programprogram berbasis masyarakat. Program-program yang ditujukan pada masyarakat yang tidak mampu ini harus disokong oleh sumber daya pemerintah dan didasarkan pada peningkatan praktek pemerintahan yang baik dan pendidikan di tingkat daerah untuk menghindari terjadinya kebocoran. Untuk memberikan bantuan diperlukan upaya pengidentifikasian kaum miskin, mengetahui kebutuhan mereka dan menemukan mekanisme yang tepat di tingkat lokal. • —Akses ke perawatan kesehatan menjadi prioritas utama bagi pemerintah dan penyelenggaraannya diusulkan untuk pekerja formal dan kaum miskin. Skim alternatif harus dikembangkan sehingga mencakup ekonomi sektor informal. Skim-skim ini mencakup asuransi mikro berbasis masyarakat, ketentuan khusus untuk kepesertaan sukarela dalam skim formal, paket skim khusus untuk menyesuaikan dengan kebutuhan yang beraneka ragam di sektor informal. 7 Pekerja mandiri dengan pendapatan tetap pada pekerjaan yang bisa diidentifikasi antara lain dengan tempat usaha yang mapan, termasuk para profesional. dan pekerjaan yang dicakup bisa tercakup dalam peraturan ini. Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia Lampiran1: Monitoring dan Evaluasi: Usulan Indikator Pengembangan indikator dan sistem pemantauan untuk PRSP sangat penting untuk mengukur tingkat kemajuan. Sebagai tambahan terhadap kumpulan indikator—pemisahan data berdasarkan jenis kelamin termasuk distrik, provinsi dan nasional—yang secara luas dipaparkan dalam kerangka kerja sasaran pengembangan milennium, ILO mendorong penggunaan indikator spesifik berkenaan dengan agenda pekerjaan yang layak. Dalam hal ini, indikator kunci dari pasar kerja membentuk suatu basis yang kuat bagi pemilihan indikator yang tepat. Indikator kunci pasar kerja (KILM) 20 indikator tersebut meliputi: 1. Tingkat partisipasi tenaga kerja 2. Rasio lapangan kerja terhadap jumlah penduduk 3. Status pekerjaan 4. Pekerjaan berdasarkan sektor 5. Pekerja paruh waktu 6. Jam kerja 7. Pekerja sektor informal 8. Tingkat pengangguran 9. Pengangguran kaum muda 10. Pengangguran jangka panjang 11. Tingkat pengangguran berdasarkan tingkat pendidikan 12. Jam kerja bagi setengah pengangguran 13. Tingkat ketidakaktifan 14. Tingkat pendidikan dan buta huruf 15. Tren upah sektor manufaktur 16. Indeks upah dan pendapatan kerja 17. Biaya kompensasi perjam 18. Biaya produktivitas kerja dan tenaga kerja perunit 19. Arus pasar kerja 20. Distribusi pendapatan dan kemiskinan Berikut ini indikator-indikator yang dapat berguna sebagai acuan bagi pemerintah dalam menilai sifat dan jenis penanggulangan kemiskinan dalam konteks “Pekerjaan yang Layak” (lagi, dipisahkan berdasarkan jenis kelamin dan level pemerintahan): • Distribusi upah kerja di sektor non-agraris • Pekerja anak bergaji atau bekerja mandiri • Anak-anak yang tidak bersekolah berdasarkan status pekerjaannya • Pengawas tenaga kerja (jumlah per tenaga kerja) • Belanja jaminan sosial untuk publik (persentasi atas GDP) • Kontribusi penduduk yang aktif secara ekonomi terhadap dana pensiun • Tingkat keanggotaan serikat pekerja/buruh • Pemogokan dan penutupan (persentasi setiap 1000 pekerja) • Lapangan kerja sektor ekonomi informal • Ketidaksetaraan pendapatan Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia Lampiran 2: Usulan Matriks Kebijakan Kemiskinan (pendapatan) Menciptakan kesempatan: pertumbuhan dan ketenagakerjaan/ bab 1 • Pertumbuhan 5 sampai 6 persen untuk menciptakan lebih dari 2 juta pekerjaan per tahun • Tujuan kebijakan makroekonomi untuk menyeimbangkan baik variabel fiskal maupun finansial dengan target ketenagakerjaan • Bursa kerja tahunan untuk menanamkan kesadaran dan pengembangan konsensus • Identifikasi sektor-sektor yang memiliki potensi lapangan kerja, misalnya agribisnis • Investasi pada infrastruktur publik menggunakan program berbasis tenaga kerja • Menciptakan lingkungan kebijakan yang ramah - terhadap Usaha Kecil Menengah • Mengambil manfaat dari mobilitas tenaga kerja dengan cara menghilangkan hambatan-hambatan untuk bepergian, meregulasi, industri migrasi, memfasilitasi pengiriman uang, menangani para migran yang rentan • Memantau MDGs di tingkat daerah untuk memastikan bahwa semua komunitas regional di Indonesia bisa memetik buah dari pembangunan Keterbatasan suara dan keterwakilan Memberdayakan kelompok miskin: tata pemerintahan yang baik di pasar tenaga kerja/ bab 2 • Memperkuat Dewan Tripartit Nasional (National Tripartite Council - NTC) • Menerapkan reformasi hukum ketenagakerjaan yang diusulkan baru-baru ini namun juga mengkaji ulang masalah upah minimum Kemiskinan (pendapatan) Menciptakan kesempatan: pertumbuhan dan ketenagakerjaan/ bab 1 • Mempromosikan implementasi Rencana Aksi Nasional terhadap bentukbentuk terburuk pekerjaan anak di tingkat lokal • Membuat desentralisasi berjalan dalam memberikan pendidikan dasar dengan cara menetapkan standar dan meningkatkan kapasitas lokal • Memperbaiki mutu pendidikan • Meningkatkan pelatihan bagi perusahaan kecil dan operator sektor informal • Memperbaiki penyiapan mereka yang meninggalkan sekolah untuk memasuki dunia kerja Kerentanan Menyediakan perlindungan sosial bagi semua/ Bab 4 • Secara bertahap (dalam jangka 10 sampai 15 tahun) mengembangkan program jaminan sosial yang lebih baik bagi semua pekerja di sektor ekonomi formal, pekerja migran dan pekerja mandiri • Menyediakan program jaminan sosial kepada para pekerja di ekonomi informal • Mengembangkan program bantuan sosial bagi kelompok miskin • Mengembangkan Jaminan Kesehatan Sosial Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia