komparasi sistem pengendalian internal pengelolaan lembaga amil

advertisement
KOMPARASI SISTEM PENGENDALIAN INTERNAL
PENGELOLAAN LEMBAGA AMIL ZAKAT
Nikmatuniayah
Politeknik Negeri Semarang,
Jl Prof. Sudarto SH Tembalang Semarang
Surel: [email protected]
Abstrak: Komparasi Sistem Pengendalian Internal Pengelolaan Lembaga
Amil Zakat. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi praktik sistem pengendalian internal pengelolaan zakat dalam rangka meninjau akuntabilitas beberapa
Lembaga Amil Zakat (LAZ) di Kota Semarang. Metode penelitian menggunakan
multiple case study dengan analisis kualitatif deskriptif. Hasil riset menunjukkan LAZ telah memiliki prosedur penerimaan dan pengeluaran zakat yang sederhana. Namun demikian masih terdapat kelemahan dalam kepatuhan terhadap
pengendalian internal, yaitu pemisahan fungsi akuntansi, pemegang otorisasi,
rotasi jabatan, tersedianya divisi khusus akuntansi yang terpisah, dan pengawasan internal.
Abstract: Comparation of Internal Control System of Zakat Management
Institution. The aim of this research is to evaluate the internal control system of
management practices of zakat institution (LAZ) in Semarang in term of their accountability. The research method used is multiple case study through descriptive
qualitative approach. The result indicates that most zakat institutions have weak
and simple procedures in accepting and distributing zakat. Moreover, there are
also other weaknesses in internal control, in term of separation of accounting function, position rotation, and also the availability of specific accounting division and
internal auditor.
Kata kunci : Sistem pengendalian internal, Akuntabilitas, Lembaga Amil Zakat
Jurnal Akuntansi Multiparadigma
JAMAL
Volume 5
Nomor 3
Halaman 345-510
Malang, Desember 2014
pISSN 2086-7603
eISSN 2089-5879
Tanggal Masuk:
masuk:
21
2014
26 Agustus
Maret 2014
Tanggal Revisi:
revisi:
20
14 Oktober
Mei 20142014
Tanggal
Tanggal Diterima:
diterima:
23
21 Desember
Mei 2014 2014
demikian, rata-rata tingkat serapan ZIS oleh Lembaga Amil
Zakat Jawa Tengah masih rendah,
yaitu hanya 0,1 persen. Hal ini
membuktikan bahwa kolektivitas
pengumpulan zakat masih jauh
dari harapan.
Banyak faktor yang menjadi
penyebab rendahnya penerimaan
zakat di Indonesia. Rulian (2014)
menjelaskan bahwa faktor-faktor
yang memengaruhi muzaki dalam
memilih organisasi pengelola zakat terdiri dari variabel pendidikan, penghasilan, pengetahuan,
citra lembaga, reliability, responsiveness, akses dan promosi
lembaga. Hasil temuan menunjukkan, bahwa muzaki cenderung membayar zakat langsung
ke mustahik daripada melalui
lembaga amil zakat. Pembayaran
Lembaga Amil Zakat (LAZ)
yang mengelola Zakat Infak
Sedekah (ZIS) ikut berperan dalam
program pengentasan kemiskinan
nasional melalui distribusi ekonomi kuat ke ekonomi lemah.
Sugiyo et al. (2009) menyatakan
bahwa potensi ZIS di Jawa Tengah
sebesar
Rp4.017.638.091.692.
Secara khusus, bahkan Kota
Semarang saja memiliki potensi
sebesar Rp153.445.980.564. Dari
data tersebut dapat dikatakan
bahwa pengumpulan ZIS di Jawa Tengah sangat potensial.
Namun
faktanya, dari jumlah
potensial tersebut, ternyata ZIS
yang dapat digali di wilayah
Jawa Tengah hanya sebesar
Rp4.082.637.195, sementara ZIS
Kota Semarang hanya terkumpul
sebesar Rp2.013.776.252. Dengan
498
Nikmatuniayah, Komparasi Sistem Pengendalian Internal Pengelolaan...499
zakat melalui mustahik, masjid, atau pun
panitia Amil bentukan masyarakat menyebabkan penerimaan zakat menjadi tidak
terdata secara valid. Belum lagi BAZ atau
LAZ yang belum mampu melaporkan penerimaan dan distribusi zakat secara publish.
Berdasarkan penelitian Rulian (2014)
tersebut diketahui, bahwa ada kecenderungan muzaki kurang percaya dengan LAZ.
Ada apa dengan LAZ?
Salah satu cara meningkatkan kepercayaan penyaluran zakat para muzaki di
Indonesia melalui lembaga amil zakat,
adalah dengan menerapkan sistem pengendalian intern. Konsekuensinya, dana yang
terkumpul dapat dipertanggungjawabkan
dengan baik pula (Novatiani dan Feriansyah
2012). Pengendalian intern organisasi yang
baik dapat dilakukan dengan cara: (1)
menjalankan organisasi secara efektif dan
efisien, (2) membuat Laporan Keuangan
secara akuntabel, (3) mematuhi hukum
dan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Berdasarkan alasan tersebut di atas
menjadi sangat penting melakukan evaluasi
pengendalian internal Lembaga Amil Zakat.
Pembenahan organisasi LAZ penting
dilakukan dalam upaya untuk menjadikan
LAZ sebagai lembagai profesional pengelola dana ZIS. Manajemen profesional tidak
hanya membutuhkan sumber daya manusia
yang terampil di bidangnya, tetapi juga
dalam hal pengelolaan dana ZIS. Beberapa
hal yang berkenaan profesionalitas pengelolaan seperti sistem pengendalian dan pengawasan distribusi dana ZIS (outstanding ZIS
funds), Sistem Pengendalian Intern (SPI),
Sistem Informasi Akuntansi (SIA), Sistem
dan Mekanisme Pemeriksaan (auditing), serta
mekanisme akuntabilitas (accountabilility).
Penelitian Pusat Bahasa dan Budaya
(PBB) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta (2005) menunjukkan
bahwa dari berbagai lembaga zakat yang
memiliki laporan keuangan, pengumpulan
zakat BAZIZ mencapai 94%, LAZIS 100%,
sedangkan ZIS Masjid sebanyak 97%.
Berkenaan dengan keberadaan supervisi, LAZIZ dan ZIS Masjid masing-masing
memiliki 93% dan ZIS Masjid 65% supervisi internal; sedangkan keseluruhan BAZIS
hanya memiliki 54% supervisi eksternal.
Kendala utama yang dihadapi OPZ dalam
penyusunan laporan keuangan adalah
belum adanya standar pelaporan keuangan
OPZ dari pemerintah maupun IAI dan terbatasnya pengetahuan sumber daya manusia
yang menjadi operator administrasi penyusunan laporan keuangan. Penelitian
Tjiptohadi dan Huda (2013) mengenai akuntabilitas pengelolaan zakat menunjukkan (1)
program pemberdayaan antar organisasi
pengelola zakat saling tumpang tindih; (2)
data muzaki dan mustahik tidak akurat; (3)
kemitraan OPZ sangat terbatas; (4) kebijakan
pemerintah bertentangan dengan program
pendayagunaan; (5) belum terdapat model
promosi yang murah; dan (6) profesionalitas
amil terbatas.
Berdasarkan temuan-temuan di atas,
evaluasi pengendalian internal sistem
pengelolaan zakat menjadi sangat mendesak
dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi praktik sistem pengendalian
intern pengelolaan zakat untuk akuntabi­
litas LAZ, khusus di kota Semarang. Evaluasi
Sistem Pengendalian Internal LAZ dilihat
dari empat aspek, yaitu struktur organisasi,
(Fungsi, Tugas, Pemisahan Tugas, Otorisasi
pihak
berwenang),
sistem
akuntansi
(prosedur, flowchart, kelengkapan dokumen,
jurnal, buku besar, dan laporan keuangan),
pengendalian (deskripsi pekerjaan, rotasi
kerja, dokumen bernomor urut tercetak,
divisi khusus akuntansi, auditor internal,
dan laporan keuangan yang diaudit), dan
akuntabilitas laporan keuangan
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan
multiple case study yang bersifat kualitatifdeskriptif. Subyek yang diteliti adalah
Lembaga Amil Zakat di Kota Semarang
yang mempunyai sumber penerimaan
zakat terbesar dan distribusi terluas, yaitu
LAZIS Kota, LAZ Masjid Agung (LAZiMAS),
serta Lembaga Amil Zakat Infak dan
Sedekah Baiturrahman (LAZISBA) Masjid
Baiturrahman Simpang Lima Semarang.
Penelitian mengunakan data primer
dan sekunder. Data primer diperoleh secara
mendalam melalui teknik pengamatan dan
kuesioner. Peneliti mengadakan peninjauan (survey lapangan) ke objek penelitian dengan melakukan wawancara secara
langsung kepada pihak-pihak yang terlibat
dengan pengelolaan zakat. Melalui teknik
pengamatan dapat dilihat prosedur penerimaan dan pengeluaran zakat secara nyata.
Kuesioner digunakan untuk memperoleh
data mengenai sejauh mana proses pengelolaan dana LAZ, pertanggungjawabannya
kepada masyarakat sesuai dengan prinsip
syariah, keadaan manajemen LAZ, dan sistem
500
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 5, Nomor 3, Desember 2014, Hlm. 498-510
dan prosedur akuntansi yang diterapkan
dalam pengelolaan dana. Data sekunder
diperoleh dalam bentuk laporan keuangan,
publikasi-publikasi dan SOP. Selanjutnya
data-data tersebut diklasifikasikan sesuai
dengan pokok bahasan penelitian.
Data
sekunder
kualitatif
adalah
kenyataan sosial organisasi berupa model
organisasi, manajemen, operasi, sistem
informasi akuntansi, dan lain lainnya.
Unsur-unsur
yang dinilai meliputi: (1)
Ketersediaan Laporan Keuangan, (2) Aspek
sistem akuntansi, (3) Sistem pengendalian
internal, (4) Aspek Akuntabilitas. Butir-butir
pertanyaan kuesioner diadopsi dari penelitian Roekhuddin dan Triyuwono (2000)
dengan penyesuaian standar COSO.
Pendekatan
studi
menghendaki
adanya kedekatan jarak antara objek studi
(yaitu organisasi yang menjadi obyek studi
dan individu-individu yang terlibat langsung dalam operasi organisasi) dengan
peneliti. Secara epistemologis pendekatan
ini mengklaim bahwa kenyataan sosial pada
dasarnya ada dan hanya dapat dimengerti
oleh subjek secara langsung, dan masuk
dalam kerangka referensi di mana organisasi
berada dan bekerja.
Pemahaman sangat mendalam akan
kenyataan sosial organisasi sangat penting
mengingat bahwa pemahaman ini merupakan pengetahuan yang diperoleh secara
langsung dari dunia nyata yang nantinya
menjadi bahan baku dalam merumuskan
konsep-konsep
praktis.
Konsep-konsep
praksis dideskripsikan melalui kombinasi temuan dan atau pemahaman atas
kenyataan empiris organisasi dengan
merujuk pada konsep sistem pengendalian
intern, akuntabilitas, dan konsep lain yang
terkait. Cara ini diturunkan dari prinsip
epistemologi “berpasangan” (Al-Faruqi 1992;
Al ‘Ali 1993; Dhaouadi 1993), yaitu epistemologi yang mengakui adanya sinergi dari
beberapa hal yang berbeda dan bertentangan. Penggunaan prinsip berpasangan,
konsep-konsep praksis yang dihasilkan akan
memancarkan kekuatan karena formulasi
ini bersifat lebih komprehensif dan dimungkinkan sesuai kultur organisasi bersangkutan. Dokumen-dokumen yang terkumpul
dilakukan analisis kajian isi. Wawancara
dilakukan terhadap tokoh kunci pengelola
LAZ dengan berpegangan pada kuesioner
yang telah disiapkan peneliti. Selanjutnya
dilakukan
kajian
deskriptif
terhadap
penerapan pengendalian intern LAZ dan
dilanjutkan kajian refleksi untuk mengembangkan temuan kebaruan penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis
Deskriptif
Organisasi.
Berdasarkan temuan, ketiga LAZ berbentuk
yayasan, bedanya LAZIS merupakan badan
amil zakat yang mandiri, sedang LAZISBA
dan LAZiMAS
berada di bawah organisasi masjid besar di kota Semarang, yaitu
Masjid Baiturrahman dan Masjid Agung
Semarang. LAZISBA dibuka pertama kali
pada tanggal 10 Agustus 2010, dengan SK
Yayasan Masjid Baiturrahman: tanggal
23 Maret 2006 atau 22 Shafar 1427 H
dengan Nomor 015/ SKEP/ YMB/ III /2006.
Lembaga ini di bawah pembinaan Yayasan
Masjid Baiturrahman, Semarang. Program
yang diusung tidak hanya berupa program
penyaluran, tetapi lebih pada pemberdayaan
masyarakat, khususnya ekonomi. LAZISBA
berusaha menjadikan zakat sebagai sarana
pengentasan kemiskinan, yaitu merubah
Nikmatuniayah, Komparasi Sistem Pengendalian Internal Pengelolaan...501
Tabel 1. Pokok bahasan Penelitian
Unsur-unsur
Bagian
Pengukuran
1.Struktur Organisasi
a Fungsi dan Tugas
b Pemisahan Tugas
c Otorisasi pihak berwenang
Diukur dengan analisis
deskriptif organisasi dengan
skala ordinal:
1 = Tersedia
2 = Tidak tersedia
2.Aspek Sistem Akuntansi
a
b
c
d
e
f
Diukur dengan analisis
deskriptif organisasi dengan
skala ordinal:
1 = Tersedia
2 = Tidak tersedia
3.Sistem Pengendalian
Intern
a
b
c
d
Ketersediaan Job deskripsi
Rotasi kerja dan cuti berkala
Dokumen dengan nomor tercetak
Divisi khusus akuntansi yang
terpisah
e Ketersediaan Auditor internal
f Laporan keuangan yang diaudit
akuntan publik
Diukur dengan analisis
deskriptif organisasi Diukur
dengan skala ordinal:
1 = Tersedia
2 = Tidak tersedia
4.Aspek Akuntabilitas
a Aspek Fisik (Muzakki , munfiq,
musaddiq)
b Pertanggungjawaban kepada
Dewan Penasehat
c Aspek Spiritual
(Pertanggungjawaban kepada
Tuhan)
Diukur dengan analisis
deskriptif
Prosedur (SOP)
Flowchart
Kelengkapan dokumen
Jurnal
Buku Besar
Laporan Keuangan
Mustahik (ekonomi lemah) menjadi Muzaki
(ekonomi mandiri). Inilah yang menjadi inti
program LAZISBA.
Yayasan
LAZIS
Kota
Semarang
bertanggung jawab kepada dewan pembina
yang
merupakan
representasi
para
pendiri yayasan. Dewan pembina berhak
mengangkat dan memberhentikan dewan
pengawas syariah dan dewan pengurus
harian. Dewan pengawas dalam LAZ terdiri
dari dewan pengawas syariah dan dewan
pengawas manajemen. Struktur pokok
pengurus harian terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara, namun biasanya LAZ
terdiri dari ketua, kepala bidang penghimpunan dana, kepala bidang administrasi dan
keuangan, dan kepala bidang pendistribusian dan pendayagunaan dana zakat. Dalam
hal sumber daya manusia, sebagian besar
LAZ memiliki amil zakat dengan status full
time. Posisi-posisi seperti ketua dan kepala
bidang biasanya ditempati amil zakat yang
full time mengingat tanggung jawab kerja
yang besar.
Ketiga LAZ memiliki fungsi yang
sama yaitu melakukan penghimpunan
dana, melakukan fungsi administrasi dan
keuangan, dan fungsi pendistribusian dana.
Fungsi penghimpunan dana oleh lembaga
amil zakat (LAZ) dilakukan dengan berbagai
cara antara lain: mengambil langsung ke
muzaki sesuai permintaan muzaki ke kantor
LAZ atau dengan mengirimkan zakat tersebut
melalui wesel pos atau rekening bank yang
ditunjuk LAZ tersebut. LAZ juga melakukan
fungsi administrasi dan keuangan. Muzaki
yang melakukan pembayaran zakat akan
dicatat dan didokumentasikan oleh LAZ.
Dana yang berhasil dihimpun oleh LAZ
akan dicatat sesuai dengan jenisnya. Selain
mencatat dana-dana yang dihimpun, LAZ
juga menyiapkan laporan keuangan sebagai
pertanggung jawaban kepada publik.
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa
semua LAZ telah memiliki struktur organisasi yang jelas, meskipun sebanyak 66%
belum memiliki fungsi pemisahan tugas
dan otorisasi. LAZ Masjid Agung Semarang
belum dilakukan pemisahan petugas antara
penerima zakat, pencatat, dan pengeluaran
zakat. Otorisasi pengeluaran zakat dibuat
oleh pengurus harian bukan petugas khusus
(manajer) yang mendapat wewenang. Bisa
jadi pengeluaran zakat dibayarkan oleh
orang berbeda-beda. Padahal pengeluaran
zakat tanpa otorisasi pihak yang berwenang,
502
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 5, Nomor 3, Desember 2014, Hlm. 498-510
mengakibatkan distribusi ZIS menjadi salah
sasaran.
Makna dari temuan di atas, yaitu
masih terdapat kekurangan dalam praktik
struktur organisasi, yaitu pemisahan tugas
(34%) dan otorisasi pihak berwenang (34%).
Struktur organisasi LAZiMAS menunjukkan pemisahan tugas dan wewenang
belum dapat dilaksanakan dengan tegas.
Hal ini dapat dimaklumi karena pengurus
harian LAZiMAS masih terbatas, sehingga
tidak mungkin dilakukan pemisahan tugas.
Pengurus harian dipegang orang yang
berfungsi sebagai penerima donasi maupun
pencatat buku zakat. Diungkapkan oleh
Muhaimin, pengurus LAZiMAS bahwa:
Sumber: LAZIS Jateng
“Di LAZiMAS pemisahan tugas belum dilakukan karena petugasnya
satu orang. Satu orang itu mengurus semua penerimaan zakat atau
penyaluran zakat. Administrasi
dipegang satu orang, tapi dalam
pelaksanaan harian ada pengurus
yang piket Jumatan. Setiap Jumat
para pengurus berkumpul untuk
menghitung uang kotak amal dan
atau rapat pengurus Jumatan”.
Terdapat keunikan di LAZiMAS, yaitu
bahwa para pengurusnya yang berjumlah
tujuh orang adalah tokoh kyai Masjid
dan ustadz muda. Setiap Jumat mengadakan pertemuan di kantor dengan tujuan
Nikmatuniayah, Komparasi Sistem Pengendalian Internal Pengelolaan...503
menghitung kotak amal dan rapat Jumatan.
Rata-rata penerimaan kotak amal sebesar 2
juta sampai 4 jutaan, maka biasanya penghitung uang kotak amal dibantu sukarelawan
dari anggota Jamaah, dengan dasar ikhlas.
Sedangkan baik LAZISBA maupun
LAZIS pengurus zakat dipegang oleh orang
tersendiri yang lebih profesional. Tokoh kyai
Masjid Baiturrahman sebatas menjadi dewan
pengawas. Untuk LAZIS sebagai lembaga
zakat swasta yang terorganisir yang memang
bermotif pemberdayaan zakat, Tim Pengelola
dirasakan paling solid dan profesional.
Sistem Pengelolaan Zakat. Sistem
pengelolaan zakat terdiri dari prosedur
penerimaan zakat, prosedur pengeluaran
zakat, dan prosedur pelaporan zakat untuk
publik. Prosedur penerimaan zakat meliputi
proses yang mengatur bagian penerimaan
menerima zakat dan mencatatnya dalam
buku sumber penerimaan zakat. Sebaliknya
prosedur pengeluaran zakat menggambarkan alur bagian pengeluaran ketika
mengeluarkan dana zakat dan mencatatnya
dalam buku pengeluaran zakat. Kemudian
pada akhir periode dilanjutkan prosedur
pelaporan zakat yang tujuannya melaporkan
penerimaan dan penyaluran zakat untuk
publik.
Unsur-unsur yang harus dimiliki
oleh sebuah sistem adalah: dokumen yang
terkait, catatan yang terkait, bagian dan
fungsi yang melaksanakan sistem, prosedur
yang membentuk sistem, dan laporan yang
Tabel 2 Ringkasan Ketersediaan Struktur Organisasi
Struktur Organisasi
Tersedia (persen)
Tidak tersedia (persen)
Fungsi dan Tugas
100
0
Pemisahan Tugas
66
34
Otorisasi pihak berwenang
66
34
504
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 5, Nomor 3, Desember 2014, Hlm. 498-510
dihasilkan. Berdasarkan pengamatan diketahui, bahwa semua LAZ sudah memiliki
prosedur (SOP) yang baku, namun belum
semua digambarkan dalam arus dokumen
(flowchart).
Untuk hal-hal lain seperti:
kelengkapan dokumen dan laporan keuangan
baru 66%, sedang pencatatan dalam jurnal
dan buku besar baru dilaksanakan 62%.
Dari ketiga LAZ, LAZIS
Semarang dan
LAZISBA yang sudah mengikuti standar
SOP, dokumen, pencatatan, dan laporan.
Sedang pada LAZ masjid Agung Semarang
karena hanya menerima zakat dan mengeluarkan zakat dengan uang saja, maka bagi
mereka belum dipandang perlu. Namun oleh
pengelola dikatakan, bahwa LAZiMAS mulai
berbenah dalam persiapan menuju pelebaran produk-produk kreatif zakat.
“Nuwun sewu, kalau LAZiMAS ini
hanya menerima zakat dalam bentuk uang. Kami sangat konservatif dalam hukum syariah, bahwa
zakat adalah kelebihan rejeki dari
orang kaya yang dibayarkan untuk kaum dhuafa dalam bentuk
uang. Karena itu zakat dibayarkan
dalam bentuk uang, kami belum
berpikir untuk program lain seperti kesehatan, bantuan pinjaman
atau beasiswa pendidikan. Untuk
klinik dan ambulan diambilkan
dari SPBU. Pinjaman modal tanpa
modal diberikan oleh KOSAMAS”.
Berbeda dengan LAZiMAS, kedua LAZ
yang lain yaitu LAZISBA dan LAZIS lebih
banyak memiliki varian produk. Zakat
tidak hanya disalurkan dalam bentuk uang
santunan belaka, melainkan programprogram kreatif seperti ambulance, klinik
sehat, beasiswa pendidikan, atau bantuan
lunak tanpa bunga. Seperti LAZISBA ini
menyediakan celengan untuk beasiswa
pendidikan anak dhuafa, dan memiliki
binaan group usaha rumah tangga. Bantuan
kredit tanpa bunga ini dibedakan meliputi
kredit usaha kecil sebesar lima jutaan dan
kredit usaha kelas menengah sampai 10
jutaan.
Sistem Pengendalian Intern. Sistem
pengendalian intern bertujuan untuk
menjaga kekayaan organisasi, memeriksa
keakuratan data akuntansi, mendorong
efisiensi, dan mendorong manajemen organisasi untuk mengikuti kebijakan organisasi. Komponen model pengendalian intern
tersebut terdiri dari lingkungan pengendalian, aktivitas pengendalian, perhitungan
resiko, informasi dan komunikasi, dan
pemantauan (Krismiaji 2002). Berdasarkan
definisi dari AICPA terdapat empat fungsi
sistem pengendalian intern, yaitu: (1)
menjaga aset (safeguarding of assets), (2)
mengecek keakuratan dan reliabilitas data
akuntansi (cheking the accuracy and reliability of its accounting data), (3) meningkatkan efisiensi operasional (promoting
Nikmatuniayah, Komparasi Sistem Pengendalian Internal Pengelolaan...505
Tabel 3 Ringkasan Pertanyaan Aspek Akuntansi
Aspek Sistem Akuntansi
Tersedia (persen)
Prosedur (SOP)
Tidak tersedia (pesen)
100
0
37,5
62,5
Kelengkapan Dokumen
66
34
Jurnal
62
36
Buku Besar
62
36
Laporan Keuangan
66
34
Flowchart
operational efficiency), dan (4) mendorong
ditaatinya kebijakan manajemen (encourage
aderence to prescribed managerial policies).
Berdasarkan ringkasan sistem pengendalian intern pada Tabel 4, hampir semua
LAZ telah memiliki struktur organisasi yang
baku dengan pemisahan wewenang dan
tanggung jawab yang dijabarkan dalam job
description, kecuali LAZiMAS. Pada LAZiMAS
belum dilakukan pemisahan tugas dan
wewenang
yang
tegas.
Pertimbangan
pengurus karena zakat di LAZiMAS hanya
menyalurkan dalam bentuk uang saja,
sehingga job distribution belum dilakukan
sepenuhnya. Artinya dibandingkan dengan
LAZISBA atau LAZIS yang menyalurkan
zakat dalam berba­gai bentuk macam
produk (kartu sehat, beasiswa pendidikan,
ambulan, atau kredit tanpa bunga dan lainlain) LAZiMAS ini mendistribusikan zakat
uang dalam bentuk pemberian hibah uang.
Sedangkan untuk klinik sehat, mobil ambulance, dan kredit tanpa bunga diambil dari
unit usaha badan pengelola masjid, SPBU.
Berkaitan dengan rotasi kerja dan cuti
berkala ternyata 62,5% LAZ yang memiliki kebijakan tersebut untuk memberikan
penyegaran bagi pengelolanya serta untuk
menjamin akurasi dan kevalidan datadata keuangan yang ada. Dalam rotasi
kerja biasanya dipertimbangkan kualifikasi personal masing-masing yang sesuai
dengan keahlian, sehingga tidak mungkin
terjadi adanya rotasi antara pengelola
divisi pemberdayaan ekonomi dengan latar
belakang pendidikan di luar ekonomi.
Berkaitan
dengan
ketersediaan
dokumen dengan nomor urut tercetak
khususnya
kuitansi
penerimaan
dan
pembayaran, hanya 25% LAZ yang belum
menerapkan dokumen tercetak dengan
alasan keterbatasan SDM dan pengetahuan
mengenai fungsi adanya dokumen bernomor
urut tercetak. Selanjutnya tentang ketersediaan divisi khusus akuntansi yang terpisah
baru 62,5% yang dilakukan oleh LAZ. Seperti
LAZiMAS bagian pencatat zakat memang
berasal dari disiplin ilmu Akuntansi, tetapi
Tabel 4 Ringkasan Sistem Pengendalian Internal
Tersedia
(peren)
Tidak Tersedia
(peren)
Ketersediaan job deskripsi
87,5
12,5
Adanya rotasi kerja dan cuti berkala
62,5
37,5
Ketersediaan dokumen dengan nomer urut tercetak
75
25
Ketersediaan divisi khusus akuntansi yang terpisah
62,5
37,5
Ketersediaan auditor internal
62,5
37,5
25
75
Aspek Pengendalian Internal
Laporan keuangan yang diaudit akuntan publik
506
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 5, Nomor 3, Desember 2014, Hlm. 498-510
bagian tersebut juga merangkap operasional penerimaan dan pengeluaran zakat.
Alasannya, bagi mereka dengan pengelola
yang berjumlah 20 (aktif 15) orang, tentu
sangat belum memadai untuk menangani
unit-unit sosial Masjid Agung Semarang
yang sedemikian banyak. Lagi pula pengelolaan zakat bagi mereka hanya sebagai
menjadi perantara uang dari muzaki ke
penerima zakat.
Sehubungan
dengan
ketersediaan
auditor internal, hanya 62% LAZ yang
memiliki auditor internal. Seperti halnya
LAZiMAS, sebenarnya auditor internal dalam
struktur organisasi adalah BAWASDA, tetapi
frekuensi pelaksanaan audit tidak kontinyu.
Laporan keuangan yang telah diaudit baru
25% laporan keuangan LAZ yang telah
diaudit oleh auditor independen.
Seperti diungkapkan Slamet seorang
pengurus LAZISBA ketika diwawancarai
menyatakan, bahwa meski Lembaga sudah
memiliki laporan keuangan zakat, namun
dirinya belum memiliki tenaga profesional
akuntansi yang dapat menyusun laporan
keuangan zakat. Seperti LAZISBA pengurus
hanya mencatat transaksi pemasukan dan
pengeluaran harian, sedangkan untuk
menyajikan laporan keuangan dimintakan
kantor konsultan keuangan. LAZIS Kota
Semarang dapat dikatakan sebagai LAZ yang
paling profesional diantara ketiganya. Hal ini
ditegaskan Diah, seorang pengurus LAZIS
Kota Semarang, ketika diwawancarai:
“Hal ini dapat dimaklumi karena
LAZIS adalah lembaga zakat yang
publish, yang tentunya pengelolaan harus terorganisasi secara
lembaga tidak hanya mengandalkan keikhlasan semata”.
Secara umum dapat dilihat bahwa
kesungguhan
dalam
mengelola
zakat
sudah ada dalam semua LAZ yang ada di
Kota Semarang, terlihat dari kepemilikan
struktur organisasi yang jelas dan peletakan
divisi yang khusus menangani akuntansi,
meskipun disana sini masih ada perangkapan jabatan. Namun ada wacana semua
masing-masing LAZ mengembangkan organisasinya menjadi organisasi pengelola zakat
yang memadai.
Akuntabilitas Publik. Penetapan akuntabilitas mekanisme pemeriksaan sangat
penting dilakukan, terutama yang berkaitan
dengan upaya memastikan bahwa apa yang
telah dilakukan oleh agent benar-benar dapat
dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan
dan profesional. Pengelolaan profesionalitas
ini, pada nantinya akan berdampak positif
terhadap kepercayaan masyarakat terhadap
LAZ.
Akuntabilitas timbul sebagai konsekuensi logis atas adanya hubungan antara
manajemen (agent) dan pemilik (principal)
sehingga muncul hubungan yang dinamis
berupa agent-principal relationship. Principal
dalam hal ini memberikan kewenangan
Nikmatuniayah, Komparasi Sistem Pengendalian Internal Pengelolaan...507
penuh pada agent untuk melakukan aktivitas
operasi organisasi. Sebagai konsekuensi atas
wewenang ini, maka agen harus mempertanggungjawabkan
aktivitasnya
kepada
principal.
Agent-principal
relationship
dalam
kajian ini (dalam konteks LAZ) lebih luas
dibandingkan dengan pengertian di atas.
Keluasan ini terletak pada pengertian principal, atau siapa sebetulnya principal dari
organisasi LAZ ini. Dalam pengertian yang
umum seperti di atas, principal adalah para
pemegang saham (stockholders). Sedangkan
prinsipal dalam kontel LAZ terdiri dari: (1)
muzakki, munfiq, dan musaddiq, (2) Dewan
Penasehat, dan (3) Tuhan. Hal ini berarti
manejemen/pengelola LAZ dalam hal ini
sebagai agent harus bertanggung jawab
atas penggunaan sumberdaya kepada pihak
tersebut di atas.
Dalam konteks LAZ, dapat dipersepsikan bahwa orang-orang yang telah mempercayakan amanahnya adalah orang-orang
yang memiliki kepentingan atau harapan
di lembaga LAZ tersebut. Mereka adalah
orang-orang yang menyedekahkan sebagian
hartanya dengan mengharap ridho Allah.
Meskipun orang-orang penyetor sedekah/
zakat tersebut ikhlas, dan sebetulnya
mereka tidak mengharapkan balasan atau
imbalan jasa (ucapan terimakasih), tetapi
pengelola zakat tetap wajib melaporkan dana
zakat kepada publik, khususnya pembayar
zakat. Dengan mengetahui penggunaan dan
penyaluran dana zakat dengan benar, maka
prinsipal/publik akan menjadi percaya
kepada Amil Zakat. Dengan kepercayaan
itu, semakin besar zakat yang dapat dikumpulkan untuk kemakmuran masyarakat.
Informasi
yang
diberikan
agen
kepada prinsipal biasanya berupa laporan
keuangan. Dengan kata lain manajemen
LAZ mempunyai kewajiban untuk membuat
laporan keuangan kepada muzakki, munfiq,
dan musaddiq. Pada organisasi bisnis
secara formal laporan keuangan terdiri dari
Neraca, Laporan, Laba Rugi, Laporan Arus
Dana, dan catatan atas laporan keuangan
dapat diterbitkan setiap bulan. Laporan
keuangan tersebut dibuat dalam format
yang baku sesuai dengan Standar Akuntansi
Keuangan (SAK) ETAP yang ditetapkan
oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Tetapi
sebaliknya organisasi LAZ yang menjadi
sasaran utama dalam penelitian ini tidak
mempunyai laporan keuangan yang baku.
Pada umumnya mereka membuat laporan
keuangan yang sangat sederhana dalam
bentuk laporan sumber dan penggunaan
dana (Funds Statemens).
Laporan keuangan merupakan media
fisik yang menghubungkan manajemen
LAZ dengan para muzakki, munfiq, dan
musaddiq. Secara ideal dan harus dipraktekkan oleh LAZ adalah bahwa hubungan
tersebut tidak terbatas pada hubungan fisik,
tetapi juga hubungan moral dan spritual.
Dengan demikian akan tercipta suatu keterikatan yang erat antara manajemen dengan
muzakki, munfiq, dan musaddiq. Dan keterikatan inilah yang membuahkan kepercayaan
muzakki, munfiq, dan musaddiq atau publik
terhadap LAZ.
Pertanggungjawaban kepada Dewan
Penasehat.
Dewan
penasehat
dapat
diibaratkan sebagai Dewan Komisaris pada
organisasi bisnis. Anggota dewan ini merupakan orang-orang yang dipercaya oleh
pemegang saham, atau merupakan wakil
pemegang saham, untuk menentukan arah
kemana perusahaan beroperasi. Demikian
pula dengan LAZ, dewan penasehat tersebut
bertindak sebagai wakil dari muzakki,
munfiq, dan musaddiq yang juga berfungsi
sebagai badan yang mengontrol aktivitas
manajemen.
Manajemen
harus
bertanggung
jawab terhadap dewan komisaris, atau
dalam konteks LAZ, manajemen juga
harus bertanggung jawab kepada dewan
penase­hat. Bentuk akuntabilitas manajemen terhadap dewan penasehat tidak
terbatas pada laporan ditetapkan laporan
kuantitatif, yaitu: laporan keuangan, tetapi
juga laporan lainnya yang bersifat kualitatif.
Laporan kualitatif dapat berupa laporan
tentang pencapaian program-program kualitatif yang telah ditetapkan sebelumnya.
Dewan penasehat dapat menilai kinerja
manajemen dengan menggunakan bentuk
laporan tersebut.
Pertanggungjawaban kepada Tuhan.
Di samping bertanggung jawab kepada
muzakki, munfiq, dan musaddiq atau publik,
manajemen juga harus mempertanggungjawabkan semua bentuk operasinya kepada
Tuhan. Bentuk akuntabilitas ini memang
tidak dalam bentuk fisik berupa laporan
keuangan atau laporan bentuk lainnya,
tetapi secara moral dan spiritual manajemen
bertanggung jawab atas semua aktivitas yang
dilakukannya. Dalam agama Islam moral
yang dimaksud dapat diartikan sebagai
akhlak. Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah
508
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 5, Nomor 3, Desember 2014, Hlm. 498-510
menyebutkan dalam Mukhtasar Minhaj
Al-Qashidin, bahwa akhlak merupakan
ungkapan tentang kondisi jiwa, yang begitu
mudah bisa menghasilkan perbuatan, tanpa
membutuhkan pemikiran dan pertimbangan
(Gasim 2009). Jika perbuatan itu baik,
maka disebut akhlak yang baik dan jika
buruk disebut akhlak yang buruk.
Akhlak juga dapat berarti dien
(agama) sebagaimana firman Allah dalam
QS. Al-Qalam:4 yang artinya ”Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak
yang agung”. Terdapat hadis dalam Shahih
Muslim,
bahwa
Aisyah
Radhiyallahu
Anha pernah ditanya tentang akhlak Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu beliau
menjawab bahwa akhlak Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam adalah Al-Qur’an (Gasim
2009).
Dengan demikian, akhlak pada dasarnya adalah sikap yang melekat pada diri
seseorang yang secara spontan diwujudkan
dalam tingkah laku atau perbuatan (Pramono
dan Purwanto 2006). Apabila perbuatan
spontan itu baik menurut akal dan agama,
maka tindakan itu disebut akhlak yang baik
atau akhlakhul karimah. Sebaliknya, akhlak
yang buruk disebut akhlak mazmumah.
Baik dan buruk akhlak didasarkan kepada
sumber nilai, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa
bentuk akuntabilitas ini diapresiasikan
dengan dipraktekkannya prinsip-prinsip
etika syariah berdasarkan akhlak yang
bersumber Al-Qur’an dan Sunah Rasul.
Dari deskripsi di atas dapat dilihat
bahwa bentuk akuntabilitas dari organisasi
LAZ ini terdiri dari tiga lapisan, yaitu fisik,
moral, dan spritual. Secara hierarkis bentuk
akuntabilitas LAZ terlihat dalam gambar 6.
Pada tingkat pertama, akuntabilitas manajemen LAZ adalah kepada para muzakki,
munfiq, dan musaddiq. Media yang dapat
dipergunakan dalam hal ini adalah laporan
keuangan dan laporan lainnya yang bersifat
kuantitatif (laporan fisik).
Pada tingkat kedua, akuntabilitas
manajemen diarahkan kepada Dewan
Penasehat. Media yang dipergunakan terdiri
dari laporan keuangan (kuantitatif) dan
laporan lainnya yang bersifat kualitatif.
Bentuk laporan ini dapat berupa laporan
tentang pencapaian program-program kualitatif yang ditetapkan dewan penasehat, atau
laporan ditaatinya dan dipraktikkannya
prinsip-prinsip syariah.
Sedangkan pada tingkat tiga, akuntabi­
litas manajemen berupa pertanggungjawaban kepada Tuhan. Bentuk akuntabilitas pada tingkat ini tidak dapat diukur
secara kuantitatif, melainkan apresiasi
terhadap pengamalan nilai-nilai akhlak
Islam yang diperankan oleh manajemen
LAZ. Implementasi pertanggungjawaban
kepada Tuhan dapat dilihat dari rasa
nyaman, ilkhlas, dan amal pengelola LAZ.
Indikator tersebut tidak dapat dilihat secara
kasat mata, melainkan kepercayaan publik
yang diberikan kepada manajemen LAZ itu
sendiri.
Evaluasi Pengendalian Intern Berdasarkan pembahasan sebelumnya dikatakan, bahwa praktik akuntabilitas pada
LAZ memiliki tiga tingkatan, yaitu: (1)
muzakki, munfiq, dan musaddiq, (2) dewan
pengawas, dan (3) Tuhan. Pengertian akunta­
bilitas ini lebih luas bila dibandingkan
dengan organisasi bisnis, karena tidak
saja menyangkut aspek fisik dan mental,
tetapi juga spiritual. Pada tingkat fisik dan
mental dimana akuntabilitas ditujukan pada
muzakki, munfiq, dan musaddiq, dan dewan
penasehat, terdapat praktik yang tidak
konsisten, karena ada konsep dan praktik
sistem pengendalian intern yang lemah.
Berdasarkan hasil pengamatan, masih
terdapat kelemahan dalam kepatuhan
dap pengendalian intern, antara
terha­
lain ditunjukkan dalam hal melemahnya
pemisahan tugas, pemegang otorisasi,
rotasi jabatan, dan pengawasan internal.
Fakta ini memperkuat temuan Roekhudin
dan Triyuwono (2000), yang menyatakan
bahwa sumber daya manusia pengelola
LAZ yang lemah. Hal ini telah diakui oleh
manajemen LAZ Masjid Agung Semarang
yang kekurangan tenaga ahli (Ekonomi,
Manajemen dan Akuntansi syariah). Untuk
organisasi LAZ yang lainnya juga, kalaupun
ada tenaga ahli itu pun tenaga part time,
dan dewan penasehat pun rata-rata diambil
dari Takhmir Masjid yang relatif tidak
ekonomi syariah.
berpenga­laman dalam
Sehubungan dengan standar akuntansi
zakat yang tertuang dalam PSAK 109,
Istutik (2013) menyatakan bahwa lembaga
amil belum menerapkan standar akuntansi
ZIS (PSAK 109) untuk penyusunan laporan
ke­uangannya. Di sisi lain pertanggungjawaban keuangan yang dimaksud masih
sebatas laporan penerimaan dan pengeluaran kas.
Nikmatuniayah, Komparasi Sistem Pengendalian Internal Pengelolaan...509
Refleksi. Zakat infak shodaqoh atau
dikenal dengan nama ZIS adalah suatu amal
yang tidak berwujud dan konpensasinya
yang disebut pahala tidak berwujud pula.
Kompensasi yang tidak berwujud ini menjadikan pembayar zakat kurang semangat,
terlihat dari masih jauh dari harapan terkumpulnya zakat berdasarkan potensinya. Ratarata tingkat serapan ZIS oleh Lembaga Amil
Zakat Jawa tengah masih rendah, yaitu
hanya 0,1 persen (Soegiyo 2009).
Bisa jadi jika setiap pembayar zakat
langsung mendapat hadiah, seperti halnya
penabung di bank, bisa jadi zakat yang
terkumpul lebih banyak. Namun ide ini
dapat menjadi
kontroversial di antara
umat Islam. Karena hadiah berupa materi
yang diberikan, walaupun kecil nilainya
tetap akan mengurangi keikhlasan muzaki.
Sebagaimana yang tertulis dalam Al-Qur’an
Surat Az Zalzalah: ayat 8, “Dan barang
siapa yang mengerjakan kejahatan seberat
dzarahpun niscaya dia akan melihat
(balasan) nya pula”. Keikhlasan itu ibarat
semut hitam yang berada di batu hitam pada
waktu malam hari, sehingga betul-betul
tanpa pamrih tidak mengharapkan hadiah.
Muzaki jika dirangsang dengan hadiah, akan
mengurangi keikhlasan amal.
Produk-produk
yang
ditawarkan
LAZiMAS kurang variatif dan sebaran area
muzaki kurang luas dibandingkan dengan
LAZISBA atau LAZIS Kota Semarang.
LAZiMAS tidak memiliki website sebagaimana
LAZISBA atau LAZIS Kota Semarang.
Namun, LAZiMAS memiliki pengurus yang
memiliki keikhlasan yang tinggi, karena
pengurus sebagian besar adalah kyai
atau ustazd Masjid Agung Kota Semarang.
Pertanggungjawaban pengurus pertama ditujukan kepada Tuhan. Berikutnya akunta­
bilitas laporan keuangan dana ZIS ditujukan kepada pemangku kepentingan LAZ.
Pemangku kepentingan
yang dimaksud
disini adalah pembayar zakat (muzaki),
masyarakat, dan pemerintah. Pembayar
zakat perlu mengetahui laporan distribusi
dana ZIS apakah sudah disalurkan pada
yang berhak secara benar. Masyarakat perlu
mempercayai LAZ bahwa organisasi ini
sudah memenuhi kewajibannya melayani
masyarakat secara syariah. Bertanggung
jawab kepada pemerintah artinya LAZ juga
melaporkan penggunaan dana ZIS kepada
pemerintah, sebagaimana UU Nomor 23
Tahun 2011, yang mensyaratkan manajemen dan akuntabilitas laporan keuangan
LAZ dengan baik.
Gambar 7 memperlihatkan rangkaian
pertanggungjawaban LAZ kepada Tuhan
dan pemangku kepentingan LAZ. Pengurus
LAZ melalui pengawasan Dewan Pengawas
Syariah bertanggung jawab kepada Zat yang
paling tinggi, yaitu Tuhan SWT. Berikutnya
secara horisontal pengurus LAZ bertanggung jawab kepada masyarakat dan peme­
rintah. Bentuk pertanggungjawaban LAZ
kepada masyarakat dapat berupa publikasi
laporan keuangan zakat, sedang pertanggungjawaban LAZ kepada pemerintah dalam
bentuk kepatuhan terhadap UU Nomor 23
Tahun 2011 tentang pengelolaan Zakat,
atau laporan pengurang pajak dari zakat
yang dibayar.
510
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 5, Nomor 3, Desember 2014, Hlm. 498-510
SIMPULAN
Pada dasarnya semua LAZ di kota
Semarang telah memenuhi kaidah sistem
pengelolaan zakat, hal ini dapat ditunjukkan dengan ketersediaan struktur
organi­sasi yang lengkap beserta fungsi dan
tugas terkait. Dipenuhinya standar prosedur ope­rasional sistem akuntansi zakat
meskipun secara sederhana. Berdasarkan
pengamatan, ditemukan bahwa LAZ memiliki prosedur penerimaan dan pengeluaran
zakat yang sederhana.
Hasil pengamatan juga menunjukkan,
masih terdapat kelemahan dalam kepatuhan
terhadap pengendalian intern, antara
lain ditunjukkan dalam hal melemahnya
pemisahan tugas, pemegang otorisasi,
rotasi jabatan, dokumen tidak bernomor
urut tercetak, dan pengawasan internal.
Fakta ini memperkuat temuan Roekhudin
dan Triyuwono (2000) yang menyatakan
lemahnya sumber daya manusia pengelola LAZ. Berdasarkan analisis wawancara
mendalam dengan tokoh LAZ disimpulkan,
bahwa kelemahan tersebut masih dapat
dikuatkan dengan adanya akuntabilitas
dari manajemen LAZ yang tidak dapat diragukan, yaitu akuntabilitas terhadap Tuhan.
Manajemen LAZ sangat bertanggung jawab
kepada Tuhannya, mereka tidak berharap
imbalan atau balas jasa.
Seiring dengan tumbuhnya LAZ dan
meningkatnya kesadaran masyarakat, maka
kinerja LAZ dapat ditingkatkan akuntabilitasnya terhadap pemangku kepentingan
ZIS. Pengendalian internal dapat diperbaiki
dengan digunakannya tenaga ahli ekonomi,
manajemen, atau akuntansi syariah secara
full time. Dengan bekerja penuh waktu,
mereka dapat mencurahkan segenap daya
untuk meningkatkan eksistensi akuntabilitas LAZ. Dewan pengawas syariah dapat
menjadi
jembatan
pertanggungjawaban
kepada pemangku kepentingan.
DAFTAR RUJUKAN
Al-A’li. E. 1993. “Assumptions concerning
the social sciences: a comparative perspective”. The American Journal of Islamic Social Sciences, Vol.10, No. 4, hlm
485-90.
Al-Faruqi, I. R. 1992. Al Tawhid: Its Implications for Thought and Life. The International Institute of Islamic Though.
Herndon
Dhaouadi, M. 1993. “Reflections into the
spirit of the islamic corpus of knowledge and rise of the new science”. The
American Journal of Islamic Social Science, Vol. 10, No. 2, hlm 153-64.
Istutik. 2013. “Analisis Implementasi Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah (PSAK:
109) pada Lembaga Amil Zakat di Kota
Malang”. Jurnal Akuntansi Aktual, Vol.
2, No.1, hlm 19–24
Krismiaji. 2002. Sistem Informasi Akuntansi.
Penerbit YKPN. Yogyakarta
Novatiani, A.R. dan I. Feriansyah. 2012.
”Efect of Internal Control on the Improvement of Public Trust (Case Study
at the Institute of Amil Zakat)”. Proceedings Seminar Nasional Akuntansi dan
Bisnis (SNAB) 2012. Universitas Widyatama. Bandung
Pramono, W. dan S.K. Purwanto. 2006. Etika – Membangun Masyarakat Islam Modern. Graha Ilmu. Yogyakarta
Roekhudin dan I. Triyuwono. 2000. “Konsistensi Praktik Sistem Pengendalian
Intern dan Akuntabilitas pada LAZIS
– Studi kasus di LAZIS X Jakarta”. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 3,
No. 2, hlm 151-167.
Rulian, N.A. 2014. “Analisis Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Muzaki dalam memilih OPZ: Studi Kasus BAZNAZ Kota
Bogor”. Skripsi Tidak Dipublikasikan.
IPB.
Sawarjuwono, T. dan N. Huda. 2013.
“Akuntabilitas Pengelolaan Zakat Melalui Pendekatan Modifikasi Action Research”. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol. 3, No. 3, hlm 376-388.
Sugiyo, H.A. Setyawan, dan A. Pujiono.
2009. Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin Binaan Lembaga Amil Zakat
Jawa Tengah dalam Mengentaskan Kemiskinan yang Bersumber dari Dana
Zakat Infak dan Sedekah. Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Download