2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Klasifikasi Unit Penangkapan Ikan Definisi unit penangkapan ikan berdasarkan statistik perikanan tangkap Indonesia adalah kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan, terdiri atas satu kapal penangkap ikan beserta nelayannya dan satu jenis alat penangkapan ikan yang dilengkapi dengan alat bantu penangkapan ikan. Menurut Monintja (1989), unit penangkapan ikan dapat juga didefinisikan sebagai kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan, terdiri atas nelayan dan satu jenis alat penangkap ikan yang dapat dilengkapi dengan alat bantu penangkapan ikan tanpa menggunakan kapal penangkap ikan. 2.1.1 Alat penangkapan ikan Alat penangkapan ikan merupakan sarana yang diperlukan nelayan, melakukan aktivitas penangkapan ikan. Menurut Diniah (2008), alat penangkapan ikan adalah alat atau peralatan yang digunakan untuk menangkap atau mengumpulkan ikan. Alat tangkap ini biasanya disesuaikan dengan tingkah laku ikan yang menjadi target penangkapan dan habitatnya. Alat penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan di zona dalam Teluk Jakarta berdasarkan Badan Pusat Statistik Jakarta (2007) adalah payang, dogol, jaring rampus, bagan tancap dan alat pengumpul kerang. 2.1.1.1 Payang Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (2005), payang merupakan alat penangkapan ikan berbentuk kantong yang terbuat dari jaring. Payang terdiri atas dua bagian sayap, jaring bawah (bosoom), badan serta kantong jaring. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (2005), payang dioperasikan dengan cara melingkari gerombolan ikan yang berada di permukaan perairan menggunakan tali selambar. Penurunan jaring dilaksanakan pada sisi kiri buritan kapal. Dengan gerakan maju kapal membentuk lingkaran pelayaran atau melingkari gerombolan ikan sesuai dengan panjang tali selambar, yaitu 50-100 meter dengan kecepatan kapal 1-1,5 knot. Penarikan dan pengangkatan jaring (hauling) dilakukan dari buritan kapal tanpa menggunakan mesin bantu penangkapan ikan. Menurut Subani dan Barus (1989), payang (Gambar 1) merupakan alat penangkap ikan yang terdiri atas badan, kantong dan sayap. Sayap dipasang pada kedua sisi mulut jaring dengan ciri khusus adalah bibir bawah dari mulut jaring lebih menonjol keluar dibandingkan bibir atas atau tali ris atas lebih panjang dari tali ris bawah. Jenis ikan yang biasa tertangkap oleh payang antara lain ikan layang (Decapterus ruselli), ikan selar (Selaroides sp), kembung (Rastrelliger sp), lemuru (Sardinella longiceps), tembang (Sardinella fimbriata) dan japuh (Dussumieria spp). Sumber : Subani dan Barus (1989) Gambar 1 Payang 2.1.1.2 Dogol Dogol (Gambar 2) merupakan alat penangkapan ikan terdiri dari badan, kantong dan sayap yang dipasang pada kedua sisi mulut jaring. Pengoperasiannya dilakukan dengan cara melingkari gerombolan ikan dan menariknya ke kapal 5 melalui kedua bagian sayap dan tali selambar (Subani dan Barus 1989). Menurut Subani dan Barus (1989) dan Monintja (1989), ciri khusus alat ini adalah bibir atas dari mulut jaring lebih menonjol keluar dibandingkan bibir bawah atau tali ris bawah lebih panjang dari tali ris atas. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah larinya ikan ke arah vertikal. Menurut Subani dan Barus (1989), dogol terdiri dari bagian-bagian kantong, kaki, tali-temali, pelampung dan pemberat. Di samping tali ris atas, ris bawah dan slambar terdapat “tali pengotot”. Tali ini fungsinya sebagai pembantu bila jaring sewaktu-waktu tersangkut sesuatu di dasar pada waktu penangkapan. Tali ini terbuat dari ijuk yang panjangnya ± sama dengan panjang jaring. Usaha penangkapan dengan dogol menggunakan perahu layar/motor, hasil tangkapan terutama udang, ikan demersal. Menurut Monintja (1989), sayap pada dogol memiliki ukuran mata jaring yang lebih besar dari bagian lain pada dogol. Sayap pada dogol berfungsi sebagai dinding penghadang atau sebagai penggiring dan pengejut ikan. Sumber Subani dan Barus (1989) Gambar 2 Dogol 6 2.1.1.3 Jaring rampus Menurut Subani dan Barus (1989), jaring rampus (Gambar 3) merupakan alat tangkap yang termasuk ke dalam kelompok jaring insang. Jaring rampus dioperasikan di dasar perairan dengan target tangkapan utama adalah udang. Satu set jaring rampus terdiri dari 14 – 25 piece dengan panjang 45 meter dan lebar 3,5 meter per piece. Setiap set jaring rampus terdiri atas jaring berbahan PA monofilament, tali ris atas dan tali ris bawah berbahan PE multifilament, pelampung yang terbuat dari karet, pemberat yang terbuat dari timah, pelampung tanda, tali selambar berbahan PE multifilament, tali jangkar berbahan PE multifilament dan jangkar. Sumber : Subani dan Barus (1989) Gambar 3 Jaring rampus 2.1.1.4 Bagan tancap Menurut Subani dan Barus (1989), bagan tancap (Gambar 4) kedudukannya tidak dapat dipindah-pindahkan dan sekali dipasang berarti berlaku untuk selama musim penangkapan ikan. Rumah bagan tancap berupa anjang-anjang berbentuk piramid terpancung, bagian atas berupa pelataran dimana terdapat gulungan dan tempat nelayan melakukan kegiatan penangkapan ikan. Ciri khas penangkapan ikan menggunakan alat bantu lampu petromaks. Jika telah banyak terkumpul kawanan ikan kemudian dilakukan pengangkatan jaring dan begitu seterusnya. Hasil tangkapannya diantaranya adalah tembang, teri, japuh, selar, petek, kapas-kapas dan cumi-cumi. 7 Sumber : Subani dan Barus (1989) Gambar 4 Bagan tancap 2.1.1.5 Alat pengumpul kerang Menurut Subani dan Barus (1989), alat pengumpul kerang (Gambar 5) adalah alat yang digunakan untuk mengambil dan mengumpulkan kerang yang terdiri dari alat penggaruk yang memiliki bingkai dari besi. Cara mengumpulkannya menggunakan tangan dan alat penggaruk, kemudian kerang yang telah dikumpulkan dimasukkan ke dalam keranjang. Hasil tangkapannya adalah kerang darah (Anadara sp.). Sumber : Subani dan Barus (1989) Gambar 5 Pengumpul kerang 8 2.1.2 Kapal penangkapan ikan Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang dimaksud dengan kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi perikanan. Perahu atau kapal penangkapan ikan di laut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori sebagai berikut (Direktorat Jendral Perikanan Tangkap, 2008): 1) Perahu tanpa motor, yaitu perahu yang tidak menggunakan tenaga mesin sebagai tenaga penggerak, tetapi menggunakan layar atau dayung untuk menggerakkan kapal. 2) Perahu motor tempel adalah perahu yang menggunakan mesin atau motor tempel sebagai tenaga penggerak yang diletakkan di bagian luar perahu, baik diletakkan di buritan maupun di sisi perahu. 3) Kapal motor, yaitu kapal yang menggunakan mesin sebagai tenaga penggerak yang diletakkan di dalam kapal. 2.1.3 Nelayan Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang dimaksud dengan nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Berdasarkan waktu yang dipergunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan, nelayan dapat diklasifikasikan menjadi (Direktorat Jendral Perikanan Tangkap 2008): 1) Nelayan penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. 2) Nelayan sambilan utama, yaitu nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. Selain nelayan sebagai pekerjaan utama, pada kategori ini nelayan tersebut juga mempunyai pekerjaan lain. 9 3) Nelayan sambilan tambahan, yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan, sedangkan sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan lain. 2.1.4 Daerah dan musim penangkapan ikan Menurut Ayodhyoa (1981), daerah penangkapan ikan merupakan suatu wilayah perairan yang digunakan sebagai tempat pelaksanaan kegiatan penangkapan ikan atau daerah yang diduga terdapat gerombolan ikan, karena ikan yang menjadi tujuan berada di dalam air dan tidak terlihat dari permukaan air, sedangkan kemampuan mata manusia untuk melihat kedalam air terbatas. Jenisjenis ikan yang hidup di perairan amat beragam serta menempati fishing ground yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhannya, sehingga dalam usaha penangkapannya mempunyai banyak variasi baik dalam bentuk alat tangkap, metode penangkapan, maupun struktur organisasi usahanya. Di Teluk Jakarta terjadi tiga musim penangkapan setiap tahunnya yaitu musim barat, musim peralihan dan musim timur. Musim barat terjadi pada bulan Desember-Maret, sedangkan musim timur terjadi pada Juni-September. Musim peralihan terjadi antara pergantian musim barat ke musim timur atau sebaliknya (Badan Pusat Statistik Administratif Kepulauan Seribu, 2007). 2.1.5 Hasil tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh dapat dikategorikan ke dalam hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan. Hasil tangkapan utama merupakan hasil tangkapan yang menjadi tujuan utama nelayan, sedangkan hasil tangkapan sampingan merupakan tangkapan yang tidak sengaja tertangkap sewaktu alat tangkap dioperasikan (Rachmawati, 2008). Menurut Monintja (1989), sumber daya perikanan laut dapat digolongkan dalam lima kelompok besar, yaitu: 1) Ikan Jenis ikan yang hidupnya di lapisan dasar perairan disebut ikan demersal. Contohnya ikan sebelah, ikan lidah, manyung, belosok, biji nangka, ikan gerotgerot, ikan bambangan, kerapu, kakap, kurisi, cucut, pari, bawal hitam dan 10 bawal putih. Ikan pelagis adalah ikan yang hidupnya di lapisan permukaan air. Contohnya ikan layang, selar, belanak, julung-julung, teri,tembang, lemuru, layur, tuna, cakalang dan tongkol. 2) Binatang berkulit keras Yang termasuk binatang berkulit keras diantaranya adalah rajungan, kepiting, udang barong, udang windu dan udang putih. 3) Binatang lunak Yang termasuk binatang lunak diantaranya adalah tiram, simping, remis, kerang darah, cumi-cumi, sotong dan gurita. 4) Binatang lainnya Yang termasuk binatang lainnya diantaranya adalah penyu, teripang dan uburubur. 5) Tanaman air Yang termasuk tanaman air adalah rumput laut. Aspek biologi dari beberapa jenis ikan yang biasa tertangkap di Perairan Teluk Jakarta diuraikan lebih lanjut. Ikan teri galer (Stolephorus sp.) Ikan teri galer memiliki ciri- ciri morfologis tubuh tidak berwarna dengan garis berwarna hitam atau putih keperakan di sepanjang gurat sisi, bentuk tubuh bulat memanjang, sisik kecil dan tipis serta mudah lepas, mulut agak tersayat dalam, mencapai hingga belakang mata dan rahang bawah lebih pendek dari rahang atas. Teri galer termasuk jenis ikan yang hidup bergerombol hingga mencapai ribuan ekor. Ikan teri umumnya berkelompok (schooling) dan memiliki respon yang positif terhadap cahaya. Ikan teri galer tersebar di wilayah IndoPacifik, mulai dari laut India bagian barat dari Cochin selatan India sampai Myanmar dan perairan Pasifik bagian barat dari Thailand, Laut Jawa, Filipina, hingga Papua New Guinea (Froese and Pauly, 2010). Ikan teri galer termasuk jenis ikan musiman. Musim penangkapannya antara bulan April sampai Agustus. Secara umum makanan Stolephorus didominasi oleh copepoda (Hutomo et al. 1987). 11 Ikan belanak (Valamugil sp.) Ikan belanak merupakan jenis ikan demersal dan termasuk jenis ikan bergerombol. Ikan ini merupakan jenis ikan laut tetapi sering masuk ke daerah estuaria bahkan ke perairan sungai. Ikan belanak mempunyai panjang maksimum 40 cm. Sirip punggung pertama dengan garis tepi hitam, sedangkan sirip lainnya berwarna kehitam–hitaman. Ikan belanak merupakan ikan yang memiliki tingkat pertumbuhan yang baik. Ikan ini dapat tumbuh mencapai panjang 40 cm dan umumnya biasanya berukuran 20 - 35 cm. Ikan belanak akan meninggalkan tempat hidupnya menjauhi pantai apabila akan memijah. Juvenil ikan belanak ditemukan di rawa bakau. Ikan belanak sering tertangkap nelayan di saat memijah. Secara umum ikan belanak memakan mikroalga, alga yang mengapung, dan zat organik lainnya seperti diatom. Daerah penyebaran ikan belanak yaitu di daerah pantai seluruh perairan Indonesia. Distribusi ikan ini tersebar di semua perairan terutama di daerah estuari dan laut di daerah tropis dan subtropis yaitu di Indo - Pasifik, Filipina, dan Laut Cina Selatan, hingga Australia. Ikan ini termasuk ikan yang bersifat non predator (Froese and Pauly, 2010). Ikan tembang (Sardinella sp.) Ikan tembang termasuk ikan pelagis kecil pemakan plankton. Hidupnya bergerombol, badannya bulat memanjang, bagian perut agak membulat dengan sisik duri yang agak tumpul dan tidak menonjol. Panjang badannya dapat mencapai 23 cm, namun umumnya 17-18 cm (Froese and Pauly, 2010). Ikan kembung perempuan (Rastrelliger sp.) Menurut Saanin (1984), ikan kembung banjar merupakan merupakan salah satu ikan pelagis yang sangat potensial di Indonesia dan hampir di seluruh perairan Indonesia. Ikan ini tertangkap baik dalam jumlah besar maupun sedikit. Berdasarkan klasifikasi Saanin (1984), di perairan Indonesia terdapat tiga spesies ikan kembung, yaitu Rastrelliger brachysoma, Rastrelliger neglectus, Rastrelliger kanagurta. Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) secara sepintas sama dengan ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma). Ikan kembung lelaki 12 mempunyai punggung berwarna biru kehijauan dan bawahnya berwarna putih kekuningan serta dihiasi totol hitam pada bagian punggungnya dari depan ke belakang. Ikan kembung perempuan mempunyai warna biru kehijauan pada punggungnya dan putih perak pada bagian perutnya serta terdapat totol hitam pada bagian punggung di atas garis rusuk. Warna sirip punggung pertama kuning keabuan dan gelap pada pinggirnya, kuning muda pada sirip dada dan sirip perut, sedangkan sirip dubur dan sirip ekornya kuning bening. Ikan kembung perempuan terdapat di daerah pantai. Ikan kembung perempuan hidup perairan dekat pantai pada kadar garam rendah (Kriswantoro dan Sunyoto 1986). Ikan pepetek (Leiognathus sp. ) Menurut Froese and Pauly (2010), ikan pepetek merupakan ikan demersal yang hidup di pesisir atau teluk perairan dengan dasar perairan berupa pasir atau lumpur, tetapi terkadang ikan pepetek juga beruaya memasuki perairan payau (estuaria). Ikan pepetek memakan crustacea kecil, polychaeta, remis, foraminifera, gastropoda dan nematoda yang menempel di dasar perairan. Ikan pepetek memiliki tubuh pipih berwarna keperakan dengan panjang maksimal mencapai 14 cm dengan panjang dewasa rata-rata 11 cm. Ikan pepetek hidup secara bergerombol. Ikan kuniran (Upeneus sp.) Menurut Froese and Pauly (2010), ikan kuniran merupakan ikan demersal yang hidup pada perairan pesisir atau teluk perairan dengan kedalaman 10 - 30 meter. Ikan kuniran memiliki ciri-ciri fisik yaitu badan berwarna merah dengan gurat sisi berwarna hitam dan sirip dorsal berwarna kehitaman dengan sirip ventral berwarna putih. Dalam keadaan lingkungan optimum ikan kuniran dapat tumbuh mencapai 23 cm dengan panjang rata-rata dewasa 20 cm. Ikan kuniran hidup secara bergerombol dan terkadang beruaya memasuki wilayah estuari. Ikan kurisi (Nemipterus sp. ) Menurut Froese and Pauly (2010), ikan kurisi merupakan ikan demersal yang hidup pada kedalaman perairan 5 – 50 meter. Ikan kurisi memiliki ciri-ciri fisik yaitu badan berwarna merah pucat dengan beberapa garis sepanjang gurat 13 sisi berwarna kuning dan sirip pectoral lebih panjang dari sirip anal dengan sirip ekor yang tidak simetris, ikan kurisi memiliki warna perut perak pucat. Ikan kurisi hidup secara bergerombol di dasar perairan berlumpur dan memakan ikan kecil, crustacea, molluska, polychaeta dan echinodermata. Ikan kurisi dapat mencapai panjang 32 cm dengan panjang dewasa rata-rata ialah 25 cm. Ikan kuro (Eleutheronema sp.) Menurut Froese and Pauly (2010), ikan kuro atau kurau merupakan jenis ikan pelagis yang hidup pada perairan dengan kedalaman 5 - 25 meter. Ikan kuro memiliki ciri-ciri fisik badan berwarna perak gelap dengan sirip pectoral, anal, dorsal dan caudal berukuran besar. Ikan kurau dapat mencapai ukuran 60 cm dengan ukuran dewasa rata-rata 40 cm. Ikan kurau hidup berkelompok tetapi saat dewasa ikan kurau cenderung soliter. Ikan kurau memakan udang dan ikan dari anggota Mugilidae, Engraulidae dan Sciaenidae. Ikan kurau terkadang memakan polychaetes. Ikan sembilang (Euristhmus sp.) Menurut Froese and Pauly (2010), ikan sembilang ialah ikan demersal yang hidup di perairan dengan kedalaman 10 – 30 meter dan memiliki dasar perairan berupa lumpur. Ikan sembilang memiliki ciri-ciri seperti lele air tawar dengan ukuran panjang mencapai 40 cm dan panjang dewasa rata-rata 30 cm. Menurut Froese and Pauly (2011), ikan sembilang bersifat detrifor dan memakan hampir setiap organisme yang menempel di dasar perairan. Walaupun sebagian sumber daya perikanan laut dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kebutuhan hidup terutama dalam peningkatan gizi yang berasal dari protein hewani, namun dalam pengelolaannya perlu adanya prioritas yang disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan (Subani dan Barus, 1989). Menurut Manalu (2003) ditinjau dari pemanfaatannya hasil tangkapan dibagi menjadi dua jenis, yaitu: 14 1) Hasil tangkapan utama (target catch) Hasil tangkapan utama adalah komponen dari stok ikan yang utama dicari dari operasi penangkapan ikan. Hasil tangkapan utama merupakan sasaran target utama dari alat penangkapan ikan yang digunakan. 2) Hasil tangkapan sampingan (by-catch target) Hasil tangkapan sampingan adalah ikan non target yang tertangkap dalam operasi penangkapan ikan. Tertangkapnya spesies ikan non target ini dapat disebabkan karena adanya tumpang tindih habitat antara ikan target dan non target serta kurang selektifnya alat tangkap yang digunakan. Menurut Hakim (2006) hasil tangkapan sampingan atau disingkat HTS merupakan istilah yang pada awalnya dikenal di kalangan nelayan. HTS merupakan bagian dari hasil tangkapan total yang tertangkap secara bersamaan dengan spesies target yang diupayakan. Menurut Hall (1999), kategori hasil tangkapan sampingan (by-catch) dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) Spesies yang kebetulan tertangkap, yaitu hasil tangkapan yang tertahan dan bukan merupakan spesies target dari operasi penangkapan ikan. Spesies yang kebetulan tertangkap ini ada yang dimanfaatkan oleh nelayan dan ada yang dibuang bergantung pada nilai ekonominya. 2) Spesies yang dikembalikan ke laut atau discard catch, yaitu bagian dari hasil tangkapan sampingan yang dikembalikan ke laut karena pertimbangan ekonomi bernilai rendah atau karena spesies yang dilindungi oleh hukum. 2.2 Keanekaragaman Hasil Tangkapan Keanekaragaman hayati adalah istilah untuk derajat keanekaragaman sumberdaya alam yang mencakup jumlah dan frekuensi ekologis spesies dan genetik yang terdapat dalam wilayah tertentu. Pengukuran keanekaragaman diperlukan untuk mengestimasi arti penting suatu spesies dalam komunitas tertentu. Komponen utama dari keanekaragaman yaitu kesamarataan dalam pembagian individu-individu merata diantara jenis (Krebs, 1989). 15 2.3 Rantai Makanan di Laut Menurut Michael (1995), rantai makanan adalah perpindahan energi makanan melalui sederetan makhluk hidup. Umumnya terdapat lebih dari 4 atau 5 makhluk hidup terkait dalam satu rantai makanan. Rantai rantai makanan ini tidak merupakan satuan yang terisolasi, namun saling berkaitan dalam suatu komunitas. Pola yang demikian disebut jaring makanan. Beberapa tingkatan trofik dapat dikenali dalam setiap jaring makanan yang rumit. Menurut Heddy dan Kurniati (1994), rantai makanan merupakan proses perpindahan energi makanan dari sumberdaya tumbuhan melalui seri organisme atau melalui jalur makan-memakan (tumbuhan-herbivora-carnivora). Menurut Romimohtarto dan Juwana (2005), rantai makanan merupakan proses pemindahan energi makanan dari sumbernya melalui serangkaian jasad-jasad dengan cara makan-dimakan yang berulangkali. Sumber energi yang dimaksud adalah tumbuh-tumbuhan yang mampu merubah zat anorganik menjadi zat organik melalui proses fotosintesis. Hewan memanfaatkan zat organik dengan memakan tumbuh-tumbuhan. Pada gilirannya hewan ini dimakan oleh hewan yang lebih besar dan seterusnya. Hewan terbesar yang tak dimakan akhirnya akan mati dan terurai oleh bakteri menjadi zat anorganik kembali untuk dimanfaatkan oleh tumbuh-tumbuhan dan seterusnya. Pada setiap pemindahan energi, sebagian energi hilang sebagai panas, karenanya makin pendek rantai makanan makin sedikit energi yang hilang. Pada habitat akuatik, herbivora umumnya berukuran sangat kecil rantai makanannya panjang, terdiri dari lima mata rantai atau lebih untuk mengubah zat tumbuh-tumbuhan menjadi hewan yang tidak lagi mempunyai musuh yang lebih besar. Jika hubungan makan-dimakan sedemikian rupa sehingga setiap pemangsa memangsa beberapa jenis makanan dan setiap jenis makanan dimakan oleh banyak jenis hewan, maka yang demikian itu tidak dapat dinyatakan sebagai deretan-deretan mata rantai yang terletak bersebelahan. Jika digambarkan maka jumlah seluruh rantai makanan dalam suatu komunitas dinamakan jaringan makanan (food web). Menurut Nebel et al. (1998), suatu populasi herbivora memakan berbagai jenis tumbuhan, dan kemudian herbivora ini dimangsa oleh beberapa konsumen sekunder atau omnivora. Sebagai konsekuensinya, 16 sebenarnya seluruh rantai-rantai makanan saling berkaitan dan membentuk suatu “complex web of feeding relationship”. Istilah food web dipakai untuk menyatakan jaringan yang kompleks dari rantai-rantai makanan yang saling berkaitan (interconnected). Gambar 6 dinamakan piramida makanan, jika jumlah energi yang dimasukkan ke dalam sistem berubah pada setiap langkah atau tingkat trofik dan seterusnya, maka tingkat-tingkat trofik berikutnya harus menyesuaikan dengan keadaan perubahan tersebut. Menurut Romimohtarto dan Juwana (2005), yang teramat rentan adalah jika sesuatu faktor mempengaruhi tingkat trofik dasar dari piramida, misalnya pencemaran laut atau penangkapan ikan secara berlebih pada suatu tingkat trofik maka akan berpengaruh pada keseimbangan hewanhewan tingkat trofik berikutnya. Gambar 6 Rantai makanan Rantai makanan ini mencerminkan kebutuhan makhluk hidup akan makanan untuk mempertahankan hidupnya. Menurut sifat sumbernya, rantai makanan dapat dibagi menjadi dua, yakni rantai makanan meramban atau merumput dan rantai makanan detritus (Romimohtarto dan Juwana, 2005). 2.3.1 Rantai makanan meramban atau merumput Menurut Romimohtarto dan Juwana (2005), dalam rantai makanan meramban semua kehidupan hewan tergantung pada kemampuan tumbuhan hijau untuk berfotosintesis. Di laut, fitoplankton merupakan produsen makanan yang 17 utama, tingkat selanjutnya adalah pemindahan energi dari makanan utama ke dalam rantai makanan. Plankton dapat memproduksi zat organik dari bahan anorganik, maka plankton tersebut dinamakan penghasil awal atau primary producer. Plankton ini akan dimakan oleh zooplankton. Zooplankton berperan penting karena penghubung antara fitoplankton dengan hewan laut lain yang lebih besar. Diantara zooplankton laut, copepoda adalah yang dominan, yaitu copepoda karnivor, copepoda omnivor yang mengambil makanan langsung dari diatom dan dinoflagellata. Zooplankton lain adalah crustacea planktonic dan yang terpenting adalah Cladocera yang herbivor dan makanannya fitoplankton berukuran kecil. Kelompok hewan lain yang lebih besar adalah euphasid atau krill atau udang plankton yang membentuk makanan yang terpendek, yakni fitoplankton-euphasidMystacoceti. Selain itu tidak semua rantai makanan sependek itu, biasanya larva ikan yang gerakannya sangat terbatas tergantung pada jumlah plankton yang ada di sekitarnya. Ikan pemakan plankton adalah mangsa dari bermacam-macam pemangsa seperti kembung, tongkol dan barakuda. Pemangsa-pemangsa ini dapat dianggap sebagai akhir dari rantai makanan (Romimohtarto dan Juwana, 2005). 2.3.2 Rantai makanan detritus Menurut Romimohtarto dan Juwana (2005), rantai makanan detritus terjadi pada ekosistem estuaria dan mangrove. Sumber utama detritus berasal dari daundaun dan ranting-ranting bakau yang telah membusuk. Daun-daun yang gugur dan sebagian alga yang gugur dimakan oleh jenis-jenis bakteri dan fungi. Bakteri dan fungi ini akan dimakan oleh sebagian Protozoa dan Avertebrata lainnya dan kemudian Protozoa dan Avertebrata tersebut akan dimakan oleh karnivor sedang, kemudian karnivor sedang ini akan dimakan oleh karnivor yang lebih tinggi. Menurut Nebel et al. (1998), banyak organisme yang terkhususkan pemakan detritus, yang kemudian consumers jenis ini disebut sebagai detritus feeders atau detrivores. 2.4 Tingkat Trofik Menurut Froese dan Pauly (2000), tingkat trofik adalah posisi dari suatu organisme dalam jejaring makanan, konsep tingkat trofik telah membuka topik baru untuk penelitian ekologi laut, seperti: 18 1) Perbandingan berbagai ekosistem berdasarkan distribusi frekuensi tingkat trofik spesies tertentu; 2) Hubungan antara tingkat trofik dengan parameter biologi lainnya dengan ukuran tertentu. Misalnya, parameter biologi antar spesies. Menurut Michael (1995), tingkat trofik menunjukkan keberadaan ikan dan organisme lainnya yang masing-masing berperan dalam jejaring makanan (Tabel 1 dan Gambar 7). Tabel 1 menjelaskan tingkat trofik yang berhubungan dengan komponen biotik. Tabel 1 Tingkat trofik Komponen biotik Organisme Tingkat trofik Produsen Tumbuhan Hijau Tingkat trofik pertama Konsumen Primer Herbivora Tingkat trofik kedua Konsumen Sekunder Karnivora dan Parasit Tingkat trofik ketiga Konsumen Tersier Karnivora yang lebih tinggi Tingkat trofik keempat dan hiperparasit Sumber: Michael (1995) Suatu spesies tertentu dapat menghuni lebih dari satu tingkatan trofik. Ukuran hewan dalam tingkatan-tingkatan trofik yang berurutan cenderung bertambah (Michael, 1995) Tingkat trofik dibatasi jenisnya dari komposisi makanan yang meliputi seluruh bahan makanan yang dikonsumsi oleh suatu spesies pada suatu lokasi dan musim. Berdasarkan Gambar 7 suatu trofik dan penyusunnya kemudian dapat dibatasi dari rataan tingkat trofik mangsa ditambah satu (Froese and Pauly, 2000). Menurut Stergio et al. (2007), tingkat trofik yang digunakan, yaitu : 1) 2,1 – 2,9 : Omnivora yang cenderung pemakan tumbuhan; 2) 3,0 – 3,7 : Omnivora yang cenderung pemakan hewan; 3) 3,8 – 4,0 : Karnivora, menyukai decapoda dan ikan; 4) 4,1 – 4,5 : Karnivora, menyukai ikan dan Cephalopoda. 19 Sumber : Stergio et al. (2007) Gambar 7 Ilustrasi struktur tingkat trofik seimbang alamiah Menurut Nebel et al. (1998), semua rantai makanan pada dasarnya menjurus pada serangkaian tahap atau tingkatan, dari produsen kepada konsumen primer atau primary detritus feeders kemudian ke konsumen sekunder atau secondary detritus feeders, dan seterusnya. Feeding levels yang semacam ini disebut trophic levels. Menurut Bengen (2001), sumberdaya hayati wilayah pesisir dan laut merupakan satuan kehidupan organisme hidup saling berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan nir-hayatinya fisik membentuk suatu sistem trofik level. Menurut Heddy dan Kurniati (1994), organisme yang sumber makannya diperoleh dari tumbuhan dengan jumlah langkah yang sama disebut mempunyai tingkat trofik yang sama. Tingkat trofik I adalah produsen, tingkat trofik II adalah herbivora dan tingkat trofik III adalah karnivora konsumen II. Penggolongan organisme berdasar tingkat trofik jenjang makanan didasarkan atas fungsi organisme dalam rantai makanan dan bukan berdasarkan atas spesies. Oleh karena itu, satu spesies dalam populasi dapat menduduki lebih dari satu jenjang makanan. Komponen biotik yang menyusun suatu ekosistem pesisir dan laut terbagi atas empat kelompok utama: 20 (1) produsen, (2) konsumer primer, (3) konsumer sekunder, dan (4) dekomposer. Menurut Bengen (2001), sebagai produsen adalah vegetasi autrotof, algae dan fitoplankton yang menggunakan energi matahari untuk proses fotosintesis yang menghasilkan zat organik sederhana. Sebagai konsumen primer adalah hewan-hewan yang memakan produsen disebut herbivora. Herbivora ini menghasilkan materi organik tetapi herbivora ini tergantung sepenuhnya dari materi organik yang disintesa oleh tumbuhan atau fitoplankton yang dimakannya. Konsumen sekunder adalah karnivora yaitu, semua organisme yang memakan hewan. Konsumen tersier adalah yang memakan konsumer sebelumnya. Sebagai dekomposer adalah organisme avertebrata, bakteri dan cendawan yang memakan materi organik yang mati: bangkai, daun-daunan yang mati, ekskreta. Pada prinsipnya terdapat tiga proses dasar yang menyusun struktur fungsional komponen biotik: produksi, konsomasi, dan dekomposisi atau mineralisasi. Menurut Bengen (2001), proses produksi yang dilakukan oleh produsen dengan memanfaatkan energi dan nutrien yaitu komponen abiotik yang kemudian dimakan oleh konsumer pada berbagai tingkatan trofik terjadi proses konsomasi membentuk suatu piramida makanan dimana pada tingkatan trofik yang semakin tinggi terjadi pertambahan ukuran individu, namun jumlah individu semakin sedikit. Komponen abiotik dari suatu ekosistem pesisir dan laut terbagi atas tiga komponen utama: 1) Unsur dan senyawa anorganik berupa karbon, nitrogen dan air yang terlibat dalam siklus materi di suatu ekosistem; 2) Bahan organik berupa karbohidrat, protein dan lemak yang mengikat komponen abiotik dan biotik; 3) Regim iklim seperti suhu dan faktor fisik lain yang membatasi kondisi kehidupan. Tingkat trofik dibagi menjadi empat yaitu: primary production, herbivore, predator, dan top predator (Gambar 8). Menurut Stergio et al. (2007), keunggulan dari tingkat trofik sebagai indikator ekologi ada pada efisiensinya dalam 21 mengungkapkan efek dari penangkapan ikan terhadap ekosistem, baik itu secara langsung atau tidak langsung. Efek penangkapan ikan secara langsung dapat diketahui dalam bentuk nilai tingkat trofik dari hasil tangkapan dalam kurun waktu beberapa tahun. Efek penangkapan ikan secara tidak langsung dapat diketahui dengan mengestimasi indikator lain seperti primary production yang dibutuhkan untuk mendukung penangkapan ikan dan indeks fisheries in balance. Sumber : The University of Waikato (2007-2009) Gambar 8 Tingkat trofik perairan Menurut Stergio et al. (2007), penangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan beragam jenis alat penangkapan ikan. Alat penangkapan ikan dengan sasaran tangkap yang spesifik berdasarkan ukuran dan jenis ikan, berbeda dengan tipe alat tangkap untuk beragam jenis ikan sasaran tangkapan. Contohnya, hasil tangkapan trawl lebih beragam bentuk, ukuran dan jenisnya. Sementara gillnet, ikan hasil tangkapannya memiliki ukuran yang hampir sama / satu ukuran. Dibandingkan dengan gillnet dan trammel net, longline memiliki variasi ukuran dan jenis hasil tangkapan yang jauh lebih sedikit. Sebagai tambahan, penggunaan kapal penangkapan ikan dan teknologi, membuat para penangkap ikan bisa beroperasi di wilayah penangkapan ikan yang berbeda dengan fungsi penggunaan tingkat trofik yang berbeda di tiap wilayah penangapan ikan. Hal ini memunculkan sebuah pertanyaan penting, yaitu apakah jumlah spesies yang 22 ditangkap berdasarkan kelas tingkat trofik serta rata-rata nilai tingkat trofik berbeda, sesuai dengan tipe alat penangkapan ikan, akan menunjukkan bahwa efek dari alat penangkapan ikan terhadap ekosistem memang berbeda. 2.5 Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan Menurut Martasuganda (2004), teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan adalah suatu upaya terencana dalam menggunakan alat tangkap yang berkesinambungan bertujuan dalam untuk mengelola meningkatkan sumberdaya kualitas hasil ikan tangkapan secara tanpa mengganggu atau merusak kondisi habitat sumberdaya sekitar. Pengembangan teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan perlu diarahkan agar dapat menunjang pengembangan perikanan. Oleh karena itu, diperlukan adanya kriteria-kriteria teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, serta pengawasan atas penerapan kriteria-kriteria tersebut di lapangan (Martasuganda 2004). Hal-hal penting yang harus diperhatikan agar dapat memenuhi kriteria teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan (Martasuganda 2004) antara lain adalah: 1) Mengutamakan keselamatan awak kapal di atas segala-galanya, baik pada waktu operasi penangkapan ikan maupun dalam menangani hasil tangkapan; 2) Melepaskan kembali hasil tangkapan yang belum layak ditangkap pada habitat perairan yang dilindungi; 3) Menjaga lingkungan sekitar di mana kita berada. Dalam mendukung teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan, diperlukan juga alat penangkap ikan yang ramah lingkungan yaitu alat tangkap yang tidak mengeksploitasi jenis ikan tertentu karena biasanya, ketika suatu pengeksploitasian dimulai, target pertama nelayan adalah jenis ikan yang berada pada tingkat trofik yang tinggi. Ketika jenis ini langka, nelayan berpindah operasi penangkapan ke arah jenis tingkatan trofik yang lebih rendah. Oleh karena itu, alat tangkap haruslah alat dengan jenis teknologi penangkapan ikan yang tidak merusak ekosistem dan layak untuk dikembangkan. 23