PANCASILA Catatan Kuliah VI NASIONALISME, ISLAM DAN KOLONIALISME Sila ketiga Pancasila ialah Persatuan Indonesia. Perkataan ini dipakai sebagai padanan bagi kata-kata ‘nasionalisme’ dengan alasan bahwa cita-cita akan persatuan sebenarnya telah tumbuh lama jauh sebelum munculnya kolonialisme. Masuknya faham nasionalisme atau kebangsaan yang dibawa oleh kolonial Belanda pada dasarnya hanya mengukuhkan persatuan yang telah tumbuh, walaupun coraknya sangat berbeda dengan persatuan yang terbentuk setelah diproklamasikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Karena dibentuk oleh faktor-faktor sejarah dan kenyataan budaya dan anthropologis yang berbeda dari nasionalisme yang berkembang di kalangan bangsa Eropa dan Amerika, maka ciri-ciri nasionalisme yang tumbuh di kalangan rakyat Indonesia juga berbeda. Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang terletak di antara benua Asia dan Australia. Karena letaknya yang strategis dalam lalu lintas pelayaran internasional dan sumber alamnya sangat kaya, sejak lama bangsa-bangsa asing datang untuk memperoleh barang perniagaan seperti rempah-rempah dan palawija, serta hasil tambang lainnya yang diperlukakan. Perdagangan antar pulau juga berabad-abad yang berlangsung. Interaksi antar penduduk Nusantara yang terdiri dari berbagai suku dengan demikian mulai terjalin pula. Apalagi setelah munculnya kerajaan-kerajaan pada zaman Hindu Buddha dan Islam. Munculnya kerajaan-kerajaan Nusantara yang besar dan cukup besar didahului oleh kedatangan para pedagang asing dalam jumlah besar. Bersama mereka datang pula penyebar-penyebar agama. Datangnya pedagang India pada permulaan abad Masehi diikuti oleh hadirnya para penyebar agama Hindu dan Buddha. Karena mereka harus tinggal lama di sini, terjadilah perkawinan antara pendatang itu dengan wanita pribumi. Komunitas Hindu dan Buddha segera tumbuh dan bersamaan dengan itu tumbuhlah kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha di berbagai tempat di kepulauan Nusantara. Demikianlah pada abad ke-4 – 11 M telah berdiri sejumlah kerajaan Hindu yang wilayahnya cukup luas dan penduduknya aktif melakukan kegiatan perdagangan antar pulau dan internasional. Di antara kerajaan-kerajaan Hindu yang pernah eksis ialah Kutai (abad ke-4 M), Kalingga di Jawa Timur (abad ke-5 – 6 M), Tarumanegara dan Pakuan di Jawa Barat (abad ke-6 – 10 M), Mataram di Jawa Tengah (abad ke-8 – 9 M), Kediri dan Daha di Jawa Timur (abad ke-9 – 11 M). Pada abad ke-7 sebuah kerajaan Buddhis yang besar berdiri pula di wilayah Palembang, Sumatera, bernama Sriwijaya. Sriwijaya merupakan kerajaan maritim besar pertama di Asia Tenggara yang makmur berkat kegiatan perdagangan. Selama beberapa abad ibukota kerajaan ini menjadi usat perdagangan internasional di Asia Tenggara. Pada abad ke-9 Sriwijaya berhasil meluaskan wilayahnya hingga ke Thailand, Semenanjung Malaya dan Jawa Barat, serta sebagian Jawa Tengah. Namun pada abad ke-13 Sriwijaya merosot akibat krisis ekonomi dan serbuan Singasari, sebuah kerajaan Hindu yang muncul pada awal abad ke-13 di Jawa Timur. Wilayah di Semenanjung Malaya dan Thailand dicaplok oleh sebuah kerajaan Buddhis lain, yaitu Sukhothai, yang baru muncul di Siam. Pada abad ke-14 Sriwijaya dihancurkan oleh Majapahit dan kehilangan eksistensi. Tetapi dapat dikatakan bahwa kerajaan inilah yang mula-mula merealisasikan niatnya untuk mempersatukan beberapa wilayah Nusantara bagian Barat di bawah kekuasaannya. Majapahit (1292-1518) yang muncul sebagai penerus kerajaan Singasari, merupakan kerajaan Hindu besar terakhir di Nusantara. Kerajaan ini berhasil memperluas wilayah dan menanamkan pengaruh sampai ke Filipina, Malaya, Siam dan Brunei. Tetapi pada abad ke-15 M kerajaan ini mengalami kemunduran akibat krisis internal berupa perebutan tahta dan pembrontakanpembrontakan yang muncul dari raja-raja kecil taklukannya. Munculnya kerajaan-kerajaan Islam juga didahului dengan hadirnya para pedagang Muslim Arab, Persia, Turki dan India. Kerajaan Islam yan awal ialah Peurlak di Aceh, sebuah kerajaan yang diperintah oleh Dinasti Syiah dan berdiri sekitar abad ke-10 dan 11 M dan mempunyai hubungan dengan Dinasti Fatimiyah di Mesir. Pada abad ke-13 M berdiri pula kerajaan Islam yang cukup besar, yaitu Samudra Pasai (1270-1512). Kerajaan ini tumbuh dari beberapa kerajaan kecil yang dahulunya merupanya negeri-negeri taklukan Sriwijaya. Ketika Sriwijaya mengalami kemunduran, kerajaan-kerajaan kecil ini menggalang persatuan dan bergabung di bawah satu bendera kerajaan Islam bernama Samudra Pasai. Rajanya yang pertama Meura Silu setelah masuk Islam berganti nama menjadi Sultan Malik al-Saleh (w. 1297). Pasai menggantikan peranan Palembang sebagai pelabuhan dagang terbesar di Nusantara. Ia segera tumbuh pula menjadi pusat pendidikan dan penyebaran agama Islam. Kerajaan-kerajaan Islam lain segera berdiri pada abad ke-14 dan 15 M, dengan peran ganda, yaitu sebagai pusat kegiatan politik dan perdagangan di satu pihak, di lain pihak sebagai pusat pendidikan dan penyebaran agama Islam. Kesultanan Malaka (1400-1511) berdiri di Semenanjung Malaya. Kerajaan ini didirikan oleh keturunan raja Srwijaya terakhir, Paramaesywara, yang setelah masuk Islam mengganti namanya menjadi Muzafar Syah. Raja ini masuk Islam setelah kawin dengan putrid raja Pasai pada tahun 1511. Malaka berhasil mengislamkan sebagian besar penduduk kerajaan-kerajaan Melayu di Semenanjung dan pulau Sumatra. Di Maluku pada abad ke-16 berdiri kesultanan Tidore dan Ternate. Di Jawa menjelang akhir abad ke-15 berdiri kesultanan Demak. Kerajaan ini didirikan 1478 oleh Raden Patah, putra Prabu Brawijaya – raja Majapahit terakhir, dari hasil perkawinannya dengan putrid Cina dari Palembang yang beragama Islam. Tetapi saying kerajaan ini tidak berlangsung lama. Pada pertengahan abad ke-16 terjadi perebutan tahta. Ibukota kerajaan direbut dan dipindahkan ke Pajang, selanjutnya ke Kartasura. Pengganti Demak dan Pajang adalah Mataram. Di bawah Sultan Agung pada akhir abad ke-16 Mataram berusaha menyatukan kembali beberapa wilayah Majapahit di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia tidak berhasil karena ditahan oleh Banten. Hadirnya VOC menghambat perkembangan Mataram, bahkan membuat kerajaan-kerajaan ini terpecah belah pada abad ke-18 M. Kerajaan-kerajaan Islam besar yang sangat berpengaruh tentulah kesultanan Aceh Darussalam (1516-1904) di Sumatra dan kerajaan Gowa di Sulwesi Selatan pada abad ke-16 dan 17 M. Aceh merupakan kerajaan Islam besar pertama di Nusantara. Wilayah kekuasaannya hampir meliputi seluruh Sumatra dan sebagian Semenanjung Malaya. Pada khir abad ke-16 dia telah muncul sebagai pusat kegiatan perdagangan internasional dan pusat penyebaran agama Islam yang besar di Asia Tenggara. Dari sini syiar Islam berkembang ke seluruh wilayah Nusantara. Kehadiran bangsa Eropah seperti Portugis dan Belanda yang telah membangun koloni-koloninya dengan armada dan tentaranya yang kuat, tidak menghalangi tersebarnya agama Islam ke wilayahwilayah Nusantara yang luas. Dapat dikatakan bahwa pada abad ke-17 M sebagian besar wilayah Nusantara telah diislamkan. Di Indonesia Timur berdiri kerajaan Gowa, yang rajanya memeluk agama Islam pada awal abad ke-17 M. Kerajaan ini mempynyai pengaruh luas bukan hanya di Sulawesi tetapi di hampir seluruh wilayah Indonesia Timur (Maluku, Nusa Tenggara, Papua dan Kalimantan Timur). Tetapi pada akhir abad ke-17 kerajaan ini berhasil ditundukkan oleh VOC dan pengaruh politik dan ekonominya di Indonesia Timur dikebiri. Tetapi sebagai pusat penyebaran agama Islam, Gowa tetap memainkan peranan penting hingga abad ke-18 M. Dari apa yang telah diuraikan, nyatalah bahwa kegiatan perdagangan dan munculnya agama-agama besar seperti Hindu, Buddha dan Islam, merupakan factor-faktor penentu awal bagi tumbuhnya hasrat untuk menyatukan beberapa wilayah Nusantara yang terpencar-pencar di bawah sebuah system kekuasaan yang disebut kerajaan. Hasrat itu tentu saja muncul dari dalam pikiran raja-raja dan pemimpin politik, serta didukung oleh para saudagar dan pemimpin agama. Tetapi hadirnya kolonialisme Portugis dan Belanda telah menghambat usahausaha menyatukan wilayah ini. Pada tahun 1511 M Portugis merebut Malaka dan menjadikan kota ini sebagai pusat penyebaran agama Katholik. VOC mulai pula merebut kerajaan- kerajaan kecil yang sebagian besar penduduknya telah memeluk agama Islam. Pada awal abad ke-17 VOC berhasil merebut Sunda Kelapa dan Jepara, dan mendirikan bentengnya untuk memulai proses kolonisasinya di pulau Jawa. Perlahan-lahan namun pasti pessir pulau Jawa dikuasai hingga akhir abad ke-18. Kesultanan Banten misalnya ditaklukkan pada awal abad ke-18, disusul kerajaan-kerajaan Sumenep, Madura, Mataram, Cirebon dan lain-lain. Pada tahun 1641 Belanda merebut Malaka dari tangan Portugis, dan dengan demikiannya petualangannya di Sumatra bermula. Indonesia Timur (Maluku) telah pula direbut oleh VOC pada abad ke-17, disusul dengan Gowa dan wilayah Sulawesi yang lain serta Nusatenggara pada abad ke-18 dan 19. Sekalipun demikian kerajaan-kerajaan Islam tetap bermunculan pada abad ke-17 dan 18 di seluruh Nusantara, menjadi factor penghambat bagi Belanda/VOC untuk menguasai sepenuhnya kepulauan Nusantara dalam waktu singkat. Pada tahun 1798 VOC bangkrut disebabkan oleh faktor-faktor internal dalam perusahaan dagang Belanda tersebut. Koloninya yang luas di Nusantara di Nusantara kemudian diserahkan pada pemerintah Belanda. Sejak itu secara resmi yang berkuasa adalah pemerintah Hindia Belanda. Melalui berbagai peperangan yang dihadapinya melawan pembrontakan-pembrontakan local, pada akhirnya pemerintah Hindia Belanda dapat menguasai seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Wilayah yang dikuasainya diberi nama Hindia Belanda atau Pax Netherlandica, yaitu wiilayah di kepulauan Nusantara yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Nederland. Perang-perang anti-kolonial yang terpenting pada abad ke-19 pada umumnya melibatkan raja-raja Muslim dan pemimpin agama, khususnya peminpin tariqat sufi yang dominan dalam kehidupan masyarakat Muslim di Indonesia pada abad ke-18 dan 19 M. Perang terbesar dan sangat berat dihadapi oleh Belanda antara lain ialah Perang Cirebon di Jawa (1802-1806), Perang Padri di Sumatra (1821-1838), Perang Diponegoro di Jawa Tengah (1825-1830 M), Perang Bali (1846-1849), Perang Banjarmasin (1850-60) dan Perang Aceh (18721908). Asal usul munculnya istilah Islam Militan berkaitan dengan kenyataan histories ini, yaitu bahwa perlawanan paling sengit yang dihadapi pemerintah kolonial terutama datang dari raja-raja Muslim dan pemimpin agama bersama rakyat dan pengikut mereka. Bahasa Melayu dan Persatuan Indonesia Bahasa Melayu, yang kemudian diangkat menjadi bahasa persatuan pada tahun 1928 dalam Sumpah Pemuda dan diberi nama bahasa Indonesia, mempunyai peranan yang tidak kecil dalam memperkokoh pertalian dan persatuan bangsa Indonesia. Pada abad ke-7 M Sriwijaya telah menghidupkan bahasa Melayu Kuno sebagai lingua franca (bahasa pergaulan) di bidang perdagangan. Sampai abad ke-13 M penggunaan bahasa Melayu sebagai lingua franca itu semakin meluas, terutama dengan berkembangnya agama. Kerajaan-kerajaan Islam awal yang semuanya tumbuh di kepulauan Melayu – Samudra Pasai, Malaka, Aceh Darussalam, Palembang, Johor Riau dan Banjarmasin – menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan Islam. Kitab-kitab agama dan ilmu-ilmu keagamaan ditulis dalam bahasa ini untuk disebarkan di seluruh kepulauan Nusantara. Huruf Arab gundul – yang lazim dikenal sebagai huruf Jawi, Pegon atau Arab Melayu – diperkenalkan dan disebar luaskan. Lambat laun bahasa ini memasukkan banyak perbendaharaan kata-kata Arab, karena hanya dengan kata-kata dan istilah-istilah Arab, agama Islam dan ilmu-ilmu keagamaan yang muncul dalam Islam itu dapat diterangkan an diuraikan kepada pemeluknya. Dengan demikian bahasa ini pun tumbuh menjadi bahasa pergaulan utama di bidang politik, intelektual dan keagamaan, bukan saja di bidang perdagangan. Karena luasnya pemakaian bahasa Melayu pada abad-abad tersebut, pemerintah kolonial pun mau tidak mau menggunakan bahasa ini di bidang administrasi dan pemerintahan, begitu pula halnya dengan misi-misi agama Kristen Protestan dan Katholik. Raja-raja Nusantara juga saling berhubungan satu sama lain, dan dengan pemerintah kolonial, menggunakan bahasa Melayu. Begitu pula halnya para ulama dan pemimpin agama di berbagai pelosok Nusantara berhubungan satu dengan yang lain melalui bahasa ini, sedangkan kitab-kitab yan mereka tulis menggunakan baik bahasaMelayu maupun bahasa Arab. Tidaklah terlalu mengejutkan apabila pada tahun 1928 Kongres Pemuda Indonesia II memilih bahasa ini menjadi bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana dicantumkan dalam Sumpah Pemuda. Bahasa ini pun setelah berkembang menjadi bahasa Indonesia tumbuh menjadi bahasa modern dan harus menyerap lebih banyak lagi kata-kata asing dari bahasa-bahasa Eropa – mula-mula dari bahasa Portugis dan Beland, kemudian dari bahasa Inggris dan Latin. Semakin besar tumbuhnya lembaga pendidikan modern, menyebabkan faham-faham dan ideologi modern dari Barat juga berpengaruh bagi perkembangan bahasa Indonesia sebagaimana juga pada pemikiran dan pandangan hidup kaum terpelajar Indonesia. Berkembangnya media cetak seperti suratkabar, majalah dan buku-buku berbahasa Indonesia, begitu pula berkembangnya media audio visual seperti radio, film dan vcd sekarang ini, yang semuanya menggunakan bahasa Indonesia, menyebabkan bahasa ini menjadi dominan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Demikianlah, jauh sebelum lahirnya gerakan kebangsaan dan kemerdekaan pada abad ke-20 bangsa Indonesia telah memiliki sarana-sarana perekat yang ampuh dalam mengikat tali persatuan. Ikatan-ikatan itu tidak hanya berupa ikatan social politik, tetapi juga berupa ikatan kepeningan ekonomi dan perdagangan, ikatan budaya dan agama, serta ikatan keserumpunan dari etnik yang anekaragam yang menjadi penduduk Nusantara. Pengertian umum Nasionalisme Ruslan Abdulgani (1976), seorang perumus Pancasila pada zaman Sukarno, mengatakan bahwa “Lima asas (dalam sidang Badan Persiapan Kemerdekaan pada bulan Juni 1945) yang dikemukakan Sukarno adalah nasionalisme, internasionalisme atau kemanusiaan, demokrasi, keadilan social, dan last but not least – terakhir tetapi bukan tidak penting – ialah kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa”. Dari segi politik, menurutnya lagi, Pancasila merup[akan lambing rekonsiliasi dan sintesos tiga arus politik utama dalam kehidupan Indonesia modern, yaitu nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (baca: sosialisme, agar lebih netral). Arus sentralnya adalah nasionalisme. Kita bisa memberi tafsir beranekaragam terhadap pernyataan ini, sesuai dari sudut pandang mana kita melihatnya. Ruslan Abdulgani sendiri menafsirkan sedemikian rupa dengan menekankan pada ‘rekonsiliasi’. Alasannya, menurut belia, konsep nasionalisme Indonesia harus sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang lebih menekankan keselarasan dan keserasian dibanding dialektika dan konflik. Dalam kenyataannya, disebabkan interes dan ideologi politik yang berbeda-beda itu pula sampai sekarang tidak pernah golongan-golongan politik di Indonesia melihat pentingnya keselarasan dan keserasian. Nasionalisme sendiri, sebab dipaksakan, sering menjadi sumber konflik dalam kehidupan bangsa Indonesia semenjak awal kemerdekaan. Lalu apakah nasionalisme itu? Walaupun semangat persatuan bangsa Indonesia telah bertunas dalam sejarah bangsa Indonesia jauh sebelum datangnya peradaban Barat, akan tetapi pada umumnya konsep nasionalisme yang hidup dalam pikiran pemimpin dan kaum terpelajar Indonesia pada abad ke-20 mengacu pada konsep yang muncul di Eropa. Karena itu marilah kita lihat bagaimana perkembangan konsep ini di Eropa dan Amerika, sebelum membicarakan penerapannya di Indonesia. Sebagai ideology modern di bidang social politik dan kenegaraan, nasionalisme muncul sekitar tahun 1779 dan dominan di Eropa pada tahun 1830. Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18 sangat besar pengaruhnya berkembangnya gagasan nasionalisme tersebut. Semenjak itu beberapa kerajaan feudal mengalami proses integrasi menjadi ‘negara kebangsaan’ atau nation state yang wilayahnya menjadi lebih luas dan hidup dalam system pemerintahan yang sama. Sejak itu di negara-negara Eropa dan Amerika bermunculan pula gerakan-gerakan kebangsaan, dan segera menjalar ke Asia. Hal ini disebabkan ampuhnya nasionalisme sebagai ideology yang dapat mempersatukan banyak orang di negeri-negeri jajahan dalam menentang kolonialisme. Hans Kohn, seorang ahli ethnografi atau anthropologi budaya abad ke-19 dari Jerman mengatakan bahwa apa yang disebut bangsa ialah himpunan komunitas yang memiliki persamaan bahasa, ras, agama dan peradaban. Mereka hidup dalam sebuah wilayah dan mempunyai yang sama. Suatu bangsa tumbuh dan berkembang, menurut Hans Kohn, karena adanya unsure-unsur dan akarakar sejarah yang membentuknya. Teori yang didasarkan pada persamaan ras dan etnik dan unsur-unsur lain yang bersifat primordial agaknya kurang mendapat tempat, walaupun ada beberapa yang melaksanakannya seperti Jepang dan Israel. Serbia telah berusaha membentuk negara-bangsa seperti ini, dan di bawah Slobodan Milosevic melakukan pembersihan etnis Bosnia pada tahun 1995, namun gagal dan ditentang oleh banyak negara dunia. Jepang berhasil karena tumbuh secara natural dari sebuah kerajaan feodal kuna yang kuat dan mampu memordernisikan diri sejak dini. Tetapi warga keturunan Korea dan Cina, dianggap sebagai warganegara kelas dua di Jepang. Contoh lain ialah Israel yang didirikan berdasarkan gagasan Zionisme Raya. Sejak kemunculannya, negara ini menjadi sumber kemelut dan kekacauan di Timur Tengah hingga sekarang. Teori lain dikemukakan oleh Ernest Renan, seorang filosof Perancis akhir abad ke-19. Teorinya mendapat penerimaan luas dan didasarkan atas evolusi masyarakat Eropa dalam sejarahnya hingga pertengahan abad ke-19, masa berkembang luasnya faham nasionalisme di Eropa. Evolusi yang dimaksud ialah timbul tenggelamnya bangsa-bangsa di benua itu sejak zaman pra-Sejarah hingga zaman modern. Unsur-unsur yang membentuk suatu bangsa atau negara bangsa ialah: (1) Jiwa atau asas kerohanian yang sama, berupa pandangan hidup dan system nilai; (2) Memiliki solidaritas besar, misalnya disebabkan persamaan nasib dalam sejarah; (3) Munculnya suatu bangsa merupakan hasil Dario sejarah; (4) Karena merupakan hasil suatu sejarag apa yang disebut bangsa itu sebenarnya tidaklah abadi atau kekal; (5) Wilayah dan ras bukanlah suatu peyebab timbulnya bangsa. Wilayah hanya memberi ruang untuk menjalankan kehidupan, sedangkan jiwa bangsa dibentuk oleh pemikiran, system kepercayaan, kebudayaan dan agama. Karena itu ia menyebut bangsa sebagai ‘suatu asas kerohanian yang sama’. Renan juga mengemukakan beberapa faktor penting terbentuknya jiwa atau semangat suatu bangsa: (1) Kejayaan dan kemuliaan di masa lampau; (2) Suatu keinginan hidup bersama baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang; (3) Penderitaan bersama atau rasa senasib sepenanggungan sehingga menimbulkan solidaritas besar untuk bangkit; (4) Penderitaan besar yang dialami bersama dalam sejarah melahirkan pula apa yang disebut ‘Le capital social’ (modal sosial) . Ini berguna bagi pembentukan dan pembinaan faham kebangsaan. Tetapi apa yang terjadi di masa lalu tidaklah sepenting apa yang diharapkan di masa depan; (5) Karena yang penting ialah apa yang dihasratkan di masa depan maka terbentuknya suatu bangsa yang kuat memerlukan “persetujuan bersama pada waktu sekarang”, beru[a musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama; (6) Adanya keinginan untuk hidup bersama; (7) Jika demikian halnya, maka harus bersedia pula untuk memberikan pengorbanan. Kesediaan berkorban ini penting dikembangkan agar semangat kebangsaan tetap kuat; (8) Pemilihan umum merupakan syarat mutlak yang menentukan kehidupan suatu bangsa. Apa yang dikemukakan Renan ini terkait dengan tuntutan akan demokrasi dan keadilain. Teori lain dikemukakan oleh Friedrich Razel disebut teori Geopolitik karena didasarkan atas hubungan wilayah geografis yang didiami oleh suatu komunitas bangsa. Dalam bukunya Political Geography (terbitan terbaru 1987) dia mengatakan bahwa suatu negara adalah sebuah organisme hidup. Agar suatu bangsa bias tumbuh subur dan kuat, serta berjaya, ia memerlukan ruangan yang luas untuk mengembangkan hidupnya (lebenstraum, dalam bahasa Jerman). Negara-negara besar, menurut Razel, harus memiliki semangat ekspansi dan optimisme yang besar, serta bersifat militeristik. Di masa lalu semangat seperti dimiliki oleh kekaisaran Romawi dan Persia, yang bersaing selama beberapa abad untuk merebut hegemoni atas wlayah yang luas di Eropa, Afrika dan Asia. Teori Razel melahirkan semangat chauvinistic seperti dimiliki Jerman, Inggeris, Italia dan Perancis pada abad ke-20, dan juga Amerika Serikat seusai Perang Dunia II. Di antara teori-teori yang telah disebutkan itu, yang sangat berpengaruh pada pemikiran tokoh-tokoh gerakan kebangsaan Indonesia termasuk Sukarno dan Hatta ialah teori Ernest Renan. Nasionalisme Indonesia Walaupun persatuan Indonesia telah bertunas lama dalam sejarah bangsa Indonesia, akan tetapi semangat kebangsaan atau nasionalisme dalam arti yang sebenarnya seperti kita pahami sekarang ini, secara resminya baru lahir pada permulaan abad ke-20. Ia lahir terutama sebagai reaksi atau perlawanan terhadap kolonialisme dan karenanya merupakan kelanjutan dari gerakangerakan perlawanan terhadap kolonial VOC dan Belanda, yang terutama digerakkan oleh raja-raja dan pemimpin-pemimpin agama Islam. Hubungan erat gerakan perlawanan kaum Muslimin dan nasionalisme ini telah diuraikan oleh banyak pakar, misalnya oleh G. H. Jansen dalam bukunya Militant Islam (1979). Namun sebelum menguraikan hubungan ini akan kita lihat dulu unsure-unsur kolonialisme yang menimbulkan semangat perlawanan terhadapnya. Kolonialisme modern, sebagaimana diterapkan VOC dan Belanda di Indonesia mengandung setidak-tidaknya tiga unsure penting: (1) Politik dominasi oleh pemerintahan asing dan hegemoni pemerintahan asing tersebut terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia, termasuk wacana, pemikiran dan kehidupan sosial budayanya. Jadi bukan semata-mata dominasi danhegemoni dalam kehidupan soial politik; (2) Eksploitasi ekonomi. Setiap pemerintahan kolonial berusaha mengeksplotasi sumber alam negeri yang dijajahnya untuk kemakmuran dirinya, bukan untuk kemakmuran negeri jajahan. Rakyat juga diperas dan dipaksa bekerja untuk kepentingan ekonomi kolonial, misalnya seperti terlihat system tanam paksa (culturstelsel) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda di Jawa pada awal abad ke-19 dan menimbulkan perlawanan seperti Perang Diponegoro. (3) Penetrasi budaya. Kolonialisme juga secara sistematis menghapuskan jatidiri suatu bangsa dengan menghancurkan kebudayaan dan budaya bangsa yang dijajahnya, termasuk agama yang dianutnya. Caranya dengan melakukan penetrasi budaya, terutama melalui system pendidikan. Karena nasionalisme Indonesia bangkit sebagai bentuk perlawanan atau Penentangan terhadap kolonialisme, maka nasionalisme Indonesia dengan sendirinya juga mengandung tiga aspek penting: (1) Politik: Nasionalisme Indonesia bertujuan menghilangkan dominasi politik bangsa asing dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang berkedaulatan rakyat (lihat pidato-pidato Bung Karno, Hatta, dan pemimpin yang lain seperti Ruslan Abdulgani). (2). Sosial ekonomi: nasionalisme Indonesia muncul untuk menghentikan eksploitasi ekonomi asing dan membangun masyarakat baru yang bebas dari kemelaratan dan kesengsaraan. (3). Budaya. Nasionalisme Indonesia bertujuan menghidupkan kembali kepribadian bangsa yang harus diselaraskan dengan perubahan zaman. Ia tidak menolak pengaruh kebudayaan luar, tetapi dengan menyesuaikannya dengan pandangan hidup, sistem nilai dan gambaran dunia (worldview, Weltanschauung) bangsa Indonesia. Juga tidak dimaksudkan untuk mengingkari kebhinnekaan yang telah sedia ada sebagai realitas sosial budaya dan realitas anthropologis bangsa Indonesia. Ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan dalam konteks nasionalisme Indonsia (pidato Ruslan Abdulgani dalam Sidang Konstituante 1957). Pandangan ini merujuk pada pidato Bung Karno (7 Mei 1953) di Universitas Indonesia, yang intinya ialah: Pertama, nasionalisme Indonesia bukan nasionalisme sempit (chauvinism) tetapi nasionalisme yang mencerminkan perikemanusiaan (humanisme, internasionalisme); Kedua, kemerdekaan Indonesia tidak hanya bertujuan untuk menjadikan negara yang berdaulat secara politik dan ekonomi, tetapi juga mengembangkan kepribadian sendiri atau kebudayaan yang berpijak pada sistem nilai dan pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri yang ‘bhinneka tunggal ika’. Budaya dan agama yang dianut bangsa Indonesia merupakan sumber rujukan bagi terciptanya kepribadian bangsa Indonesia. Dalam pidatonya itu Bung Karno mengatakan bahwa nasionalisme Indonesia tampil dalam sejarahnya didorong oleh tiga faktor, yaitu “economische uitbuilding” (eksploitasi ekonomi yang dilakukan kolonialisme Belanda), “political frustratioen” (kekecewaan politik disebabkan dominasi kekuasaan asing, yaitu kolonial Belanda) dan “ hilangnya kebudayaan yang berkepribadian” disebabkan oleh sistem pendidikan dan tiadanya hak-hak budaya bagi masyarakat Indonesia untuk melindungi dan mengembangkan kebudayaannya. Yang pertama, menghendaki sistem ekonomi terpimpin sebagai tandingan ekonomi kapitalis yang menimbulkan “lexploitation de l’homme par l‘homme” (penindasan manusia atas manusia). Sedangkan kekecewaan politik menghendaki sistem pemerintahan yang didasarkan atas kedaulatan rakyat (demokrasi) dan bebas dari dominasi asing. Harus ditambahkan di sini bahwa disebabkan oleh perjalanannya itu maka komponen yang membentuk gerakan kebangsaan di Indonesia juga berbeda dengan komponen nasionalisme Eropa dan Amerika. Komponen yang membentuk masyarakat Indonesia ialah Islam, kemajemukan etnik dan budaya bangsa Indonesia dan faham-faham atau ideology Barat yang mempengaruhi perkembangnya pada abad ke-20 seperti humanisme, sosialisme, Marxisme dan marhaenisme. Komponen Islam penting, karena semangat kebangsaan mencapai bentuknya yang tersendiri di bumi Indonesia setelah diantar oleh gerakan perlawanan anti-kolonial pada abad ke-18 dan 19 yang digerakkan oleh pemimpin Islam. Gerakan-gerakan ini dijiwai oleh ajaran dan semangat Islam tentang pembebasan manusia dari perbudakan dan eksploitasi. Selain itu juga terdapat komponen penting lain berupa realitas anthropologis masyarakat Indonesia yang multi-etnik dan multi-agama, serta ideogi-ideologoi modern yang berpengaruh munculnya gerakan kebangsan pada abad ke-10. Misalnya Marxisme dan sosialisme, melengkapi komponen humanisme dan sejenisnya. Ahli sejarah terkemuka Sartono Kartodirdjo mengemukakan bahwa yang disebut “nation” dalam konteks nasionalisme Indonesia ialah suatu konsep yang dialamatkan pada suatu suatu komunitas sebagai kesatuan kehidupan bersama, yang mencakup berbagai unsur yang berbeda dalam aspek etnis, kelas atau golongan sosial, sistem kepercayaan, kebudayaan, bahasa dan lain-lain sebagainya. Kesemuanya terintegrasikan dalam perkembangan sejarah sebagao kesatuan sistem politik berdasarkan solidaritas yang ditopang oleh kemauan politik bersama” (dalam “Nasionalisme, Lampau dan Kini” Seminar Tentang Nasionalisme 1983 di Yogyakarta). Pengertian yang diberikan Sartono Kartodirdjo didasarkan pada perkembangan sejarah bangsa Indonesia dan realitas sosial budayanya, serta berdasarkan berbagai pernyataan politik pemimpin Indonesia sebelum kemerdekaan, seperti manifesto Perhimpunan Indonesia dan Sumpah Pemuda 1928. Unsur-unsur nasionalisme Indonesia mencakup hal-hal seperti berikut: 1. Kesatuan (unity) yang mentransformasikan hal-hal yang bhinneka menjadi seragam sebagai konsekwensi dari proses integrasi. Tetapi persatuan dan kesatuan tidak boleh disamakan dengan penyeragaman dan keseragaman. 2. Kebebasan (liberty) yang merupakan keniscayaan bagi negeri-negeri yang terjajah agar bebas dari dominasi asing secara politik dan eksploitasi ekonomi serta terbebas pula dari kebijakan yang menyebabkan hancurnya kebudayaan yang berkepribadian. 3. Kesamaan (equality) yang merupakan bagian implisit dari masyarakat demokratis dan merupakan sesuatu yang berlawanan dengan politik kolonial yang diskriminatif dan otoriter. 4. Kepribadian (identity) yang lenyap disebabkan ditiadakan dan dimarginalkan secara sistematis oleh pemerintah kolonial Belanda. 5. Pencapaian-pencapaian dalam sejarah yang memberikan inspirasi dan kebanggaan bagi suatu bangsa sehingga bangkit semangatnya untuk berjuang menegakkan kembali harga diri dan martabatnya di tengah bangsa-bangsa lain di dunia. Konsepnya itu didasarkan atas pengamatannya terhadap sejarah Indonsia khususnya sejak masa penjajahan. Ia jelas sekali menerima beberapa pandangan yang dikemukakan oleh Ernest Renan. Notonagoro, seorang ahli falsafah dan hukum terkmuka dari Universitas Gajah Mada, mengemukakan bahwa nasionalisme dalam konteks Pancasila bersifat “majemuk tunggal” (bhinneka tunggal ika). Unsur-unsur yang membentuk nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Kesatuan Sejarah, yaitu kesatuan yang dibentuk dalam perjalanan sejasrahnya yang panjang sejak zaman Sriwijaya, Majapahit dan munculnya kerajaan-kerajaan Islam hingga akhirnya muncul penjajahan VOC dan Belanda. Secara terbuka nasionalisme mula pertama dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1945 dan mencapai puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. 2. Kesatuan Nasib. Bangsa Indonesia terbentuk karena memiliki persamaan nasib, yaitu penderitaan selama masa penjajahan dan perjuangan merebut kemerdekaan secara terpisah dan bersama-sama, sehingga berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dapat memproklmasikan kemerdekaan menjelang berakhirnya masa pendudukan tentara Jepang. 3. Kesatuan Kebudayaan. Walaupun bangsa Indonesia memiliki keragaman kebudayaan dan menganut agama yang berbeda, namun keseluruhannya itu merupakan satu kebudayaan yang serumpun dan mempunyai kaitan dengan agama-agama besar yang dianut bangsa Indonesia, khususnya Hindu dan Islam. 4. Kesatuan Wilayah. Bangsa ini hidup dan mencari penghidupan di wilayah yang sama yaitu tumpah darah Indonesia. 5. Kesatuan Asas Kerohanian. Bangsa ini memiliki kesamaan cia-cita, pandangan hidup dan falsafah kenegaraan yang berakar dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri di masa lalu maupun pada masa kini. Dalam kaitannya dengan bentuk pemerintahan atau negara, Soepomo dan Mohamad Yamin mengemukakan agar bangsa Indonesia menganut faham integralistik, dalam arti bahwa negara yang didiami bangsa Indonesia merupakan suatu kesatuan integral dari unsur-unsur yang menyusunnya. Faham integralistik mengandaikan bahwa negara harus mengatasi semua golongan, tidak memihak pada mayoritas. Tetapi dalam kenyataan justru inilah yang menimbulkan masalah, karena kemudian yang terjadi adalah Tirani Minoritas dalam berbagai hal, termasuk dalam wacana kehidupan berbangsa, pemikiran dan ideology. Notonagoro di lain mengusulkan agar NKRI menjadi negara yang berasaskan kekeluargaan, tetapi diartikan oleh oleh Suharto dan rezimnya selama lebih 30 tahun. Nasionalisme dan Ekonomi Terpimpin Jika di bidang politik dan system pemerintahan Pancasila menerima demokrasi, maka di bidang ekonomi nasionalisme Indonesia merupakan penjelmaan dari semangat menentang eksploitasi yang dilakukan pemerintah kolonial di bawah bendera kapitalisme perdagangan atau kapitalisme liberal. Karena system ekonomi yang sesuai dengan Pancasila, seperti dikatakan Mubyarto bukanlah kapitalisme liberal yang berorientasi pada pasar bebas. Yan lebih sesuai ialah ekonomi yang bercorak sosialis, tanpa membuang seluruhnya perangkat-perangkat yang disediakan oleh kapitalisme. Para pakar biasa menyebutnya sebagai Ekonomi erpimpin. Istilah ‘ekonomi terpimpin’ dikemukakan oleh Bung Hatta. Ia merupakan konsekwensi dari nasionalisme Indonesia yang timbul sebagai perlawanan menentang kolonialisme dan imperialisme. Dalam menancapkan kekuasaannya pemerintah kolonial Belanda menggunakan sistem kapitalisme perdagangan yang eksploitatif dan menjadikan Indonesia sebagai perkebunan raksasa. Dengan itu rakyat Indonesia dieksplotasi sebagai buruh perkebunan dengan gaji rendah, sedangkan pemerintah Belanda memperoleh keuntungan yang besar. Menurut Bung Hatta ekonomi terpimpin adalah lawan dari ekonomi liberal yang melahirkan sistem kapitalisme. Semboyannya ialah ‘laissez faire’ (‘Biarkan saja’), artinya biarkan pasar bertindak bebas dalam membangun kehidupan ekonomi dan perdagangan. Ekonomi liberal menghendaki pemerintah tidak campur tanganm dalam perekonomian rakyat dengan membuat peraturan-peraturan ketat (regulasi) yang membatasi gerak bebas pasar. Ekonomi terpimpin adalah sebaliknya. Pemerintah harus aktif bertindak dan memberlakukan peraturan terhadap perkembanan ekonomi dalam masyarakat agar rakyat tidak dieksploitasi, harga tidak dipermainkan dan dengan demikian tercapai keadilan sosial. Alasan mengapa ekonomi terpimpin dipandang sesuai dengan cita-cita nasionalisme Indonesia ialah: Karena membiarkan perekonomian berjalan menmurut permainan bebas dari tenagatenaga masyarakat berarti membiarkan yang lemah menjadi makanan yang kuat. Ekonomi liberal bercita-cita memberikan kemakmuran dan kemerdekaan bagi semua orang, tetapi hasilnya menimbulkan pertentangan dan kesengsaraan. Yang kaya bertambah kaya, yang miskin bertambah melarat. Sebab kebebasan atau liberalisme yang disandang oleh sistem itu dalam kenyataan hanya dimiliki ioleh segolongan kecil orang (yaitu pemilik modal atau kapital) dan kepada mereka yang segelintir itu sajalah keuntungan dan kemakmuran berpihak, bukan kepada rakyat banyak. Tetapi dalam sistem ekonomi terpimpin itu tedapat banyak aliran. Antara lain: (1) Ekonomi terpimpin menurut ideology komunisme; (2) Ekonomi terpimpin menurut pandangan sosialisme demokrasi; (3) Ekonomi terpimpin menurut solidaroisme; (4) Ekonomi Terpimpin menurut paham Kristen Sosialis; (5) Ekonomi Terpimpin berdasar ajaran Islam; (6) Ekonomi Terpimpin berdasarkan pandangan demokrasi sosial. Semua aliran ekonomi terpimpin ini menentang dasar-dasar individualisme, yang meletakkan buruk baik nasib masyarakat di tangan orangorang yang mengemudikan kehidupan dan tindakan ekonomi. Ekonomi liberal berdasarkan pada individualisme. Individu (baca kepentingan individu) didahulukan dari masyarakat. Tetapi ekonomi terpimpin mendahulukan masyarakat dari individu. Sekalipun demikian di antara paham-paham ekonomi terpimpin itu ada yang menolak kolektivisnme, karena bagi mereka kolektivisme sebenarnya hanya berlaku dalam ideologi komunisme dan sosialisme. Tetapi terdapat persamaan pula dari sistem ekonomi terpimpin yang berbeda-beda itu, yaitu: (1) Dalam hal menentang individualisme; (2) Dalam hal pemberian tempat yang istimewa kepada pemerintah untuk mengatur dan memimpin perekonomian negara. Perbedaan antara sistem-sistem itu berkenaan dengan seberapa besar campur tangan kekuasaan publik dan bagaimana coraknya campur tangan itu dalam perekonomian individu dan masyarakat. Ideologi komunisme menghendaki campur tangan besar dan menyeluruh dari pemerintah atau negara, sehingga individu ditindas. Sistem ekonomi kpmunis bersifat totaliter, dikuasai oleh negara. Tetapi ekonomi terpimpin yang lebih sesuai dalam konteks nasionalisme Indonesia ialah ekonomi bercorak sosialis, yang berkehendak melaksanakan citacita demokrasi ekonomi. Dengan diimbangi demokrasi ekonomi, maka demokrasi politik akan mengurangi sifat individualismenya yang kelewat besar dan tidak sesuai dengan asas-asas kolektivisme. Dalam sistem ekonomi terpimpin bercorak sosialis, campur tangan negara terbatas dan peranan individu tidak sepenuhnya dimusnahkan, hanya saja gerak mereka dibatasi dan diatur demi melindungi kepentingan masyarakat. Menurut Lerner dalam bukunya The Economics of Control (1919), sistem eknomi terpimpin yang bercorak sosialis menggabungkan ke dalamnya unsureunsur ekonomi kapitalis dan ekonomi kolektif. Liberalisme dan sosialisme, menurutnya, dapat didamaikan menjadi “Welfare economics” atau ekonomi kemakmuran. Masalah utamanya ialah bagaimana cara menguasai perekonomian untuk kemakmuran penduduknya secara luas. Ini dipraktekkan di AS dan beberapa negara Eropa, termasuk Skandinavia setelah Perang Dunia I (1918) bersamaan dengan runtuhnya kapitalisme liberal sebagai akibat dari peperangan.yang kejam dan bengis. Dalam sistem ekonomi seperti itu ada tiga hal yang harus dilaksanakan: Pertama, segala sumber perekonomian yang ada harus dikerjakan supaya semua orang memperoleh pekerjaan; kedua, melaksanakan pembagian pendapatan yang adil, agar perbedaan atau jurang besar dalam pendapatan dan kekayaan antara yang kaya dan yang miskin dikurangi; ketiga, menghapuskan monopoli dan oligapoli dalam perekonomian, sebab keduanya melahirkan eksploitasi yang melampaui batas dan pemborosan ekonomi yang besar pula. Tujuan ekonomi terpimpin dalam bidang demokrasi, menurut Hatta, ialah mencapai kemakmuran rakyat seluruhnya, dengan tiada menghilangkan kepribadian manusia. Masyarakat didahulukan, bukan individu. Tetapi manusia sebagai individu tidaklenyap sama sekali dalam kolektivitas. Secara umum citacita ekonomi terpimpin ialah: (1) Terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat secara keseluruhan sehingga pengangguran dikurangi; (2) Adanya standar hidup yang baik bagi masyarakat secara keseluruhan; (3) Semakin berkurangnya ketidaksamaan ekonomi dengan memperrata kemakmuran; (4) Terciptanya keadilan sosial. Abdul Hadi W. M.