pancasila-nasionalisme

advertisement
PANCASILA
Catatan Kuliah VI
NASIONALISME, ISLAM
DAN KOLONIALISME
Sila ketiga Pancasila ialah Persatuan Indonesia. Perkataan ini dipakai
sebagai padanan bagi kata-kata ‘nasionalisme’ dengan alasan bahwa cita-cita
akan persatuan sebenarnya telah tumbuh lama jauh sebelum munculnya
kolonialisme. Masuknya faham nasionalisme atau kebangsaan yang dibawa oleh
kolonial Belanda pada dasarnya hanya mengukuhkan persatuan yang telah
tumbuh, walaupun coraknya sangat berbeda dengan persatuan yang terbentuk
setelah diproklamasikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17
Agustus 1945. Karena dibentuk oleh faktor-faktor sejarah dan kenyataan budaya
dan anthropologis yang berbeda dari nasionalisme yang berkembang di
kalangan bangsa Eropa dan Amerika, maka ciri-ciri nasionalisme yang tumbuh
di kalangan rakyat Indonesia juga berbeda.
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang terletak di antara benua
Asia dan Australia. Karena letaknya yang strategis dalam lalu lintas pelayaran
internasional dan sumber alamnya sangat kaya, sejak lama bangsa-bangsa asing
datang untuk memperoleh barang perniagaan seperti rempah-rempah dan
palawija, serta hasil tambang lainnya yang diperlukakan. Perdagangan antar
pulau juga berabad-abad yang
berlangsung. Interaksi antar penduduk
Nusantara yang terdiri dari berbagai suku dengan demikian mulai terjalin pula.
Apalagi setelah munculnya kerajaan-kerajaan pada zaman Hindu Buddha dan
Islam.
Munculnya kerajaan-kerajaan Nusantara yang besar dan cukup besar
didahului oleh kedatangan para pedagang asing dalam jumlah besar. Bersama
mereka datang pula penyebar-penyebar agama. Datangnya pedagang India
pada permulaan abad Masehi diikuti oleh hadirnya para penyebar agama Hindu
dan Buddha. Karena mereka harus tinggal lama di sini, terjadilah perkawinan
antara pendatang itu dengan wanita pribumi. Komunitas Hindu dan Buddha
segera tumbuh dan bersamaan dengan itu tumbuhlah kerajaan-kerajaan Hindu
dan Buddha di berbagai tempat di kepulauan Nusantara. Demikianlah pada
abad ke-4 – 11 M telah berdiri sejumlah kerajaan Hindu yang wilayahnya cukup
luas dan penduduknya aktif melakukan kegiatan perdagangan antar pulau dan
internasional.
Di antara kerajaan-kerajaan Hindu yang pernah eksis ialah Kutai (abad
ke-4 M), Kalingga di Jawa Timur (abad ke-5 – 6 M), Tarumanegara dan Pakuan
di Jawa Barat (abad ke-6 – 10 M), Mataram di Jawa Tengah (abad ke-8 – 9 M),
Kediri dan Daha di Jawa Timur (abad ke-9 – 11 M).
Pada abad ke-7 sebuah kerajaan Buddhis yang besar berdiri pula di
wilayah Palembang, Sumatera, bernama Sriwijaya. Sriwijaya merupakan
kerajaan maritim besar pertama di Asia Tenggara yang makmur berkat kegiatan
perdagangan. Selama beberapa abad ibukota kerajaan ini menjadi usat
perdagangan internasional di Asia Tenggara. Pada abad ke-9 Sriwijaya berhasil
meluaskan wilayahnya hingga ke Thailand, Semenanjung Malaya dan Jawa
Barat, serta sebagian Jawa Tengah. Namun pada abad ke-13 Sriwijaya merosot
akibat krisis ekonomi dan serbuan Singasari, sebuah kerajaan Hindu yang
muncul pada awal abad ke-13 di Jawa Timur. Wilayah di Semenanjung Malaya
dan Thailand dicaplok oleh sebuah kerajaan Buddhis lain, yaitu Sukhothai, yang
baru muncul di Siam. Pada abad ke-14 Sriwijaya dihancurkan oleh Majapahit
dan kehilangan eksistensi. Tetapi dapat dikatakan bahwa kerajaan inilah yang
mula-mula merealisasikan niatnya untuk mempersatukan beberapa wilayah
Nusantara bagian Barat di bawah kekuasaannya.
Majapahit (1292-1518) yang muncul sebagai penerus kerajaan Singasari,
merupakan kerajaan Hindu besar terakhir di Nusantara. Kerajaan ini berhasil
memperluas wilayah dan menanamkan pengaruh sampai ke Filipina, Malaya,
Siam dan Brunei. Tetapi pada abad ke-15 M kerajaan ini mengalami
kemunduran akibat krisis internal berupa perebutan tahta dan pembrontakanpembrontakan yang muncul dari raja-raja kecil taklukannya.
Munculnya kerajaan-kerajaan Islam juga didahului dengan hadirnya para
pedagang Muslim Arab, Persia, Turki dan India. Kerajaan Islam yan awal ialah
Peurlak di Aceh, sebuah kerajaan yang diperintah oleh Dinasti Syiah dan berdiri
sekitar abad ke-10 dan 11 M dan mempunyai hubungan dengan Dinasti
Fatimiyah di Mesir. Pada abad ke-13 M berdiri pula kerajaan Islam yang cukup
besar, yaitu Samudra Pasai (1270-1512). Kerajaan ini tumbuh dari beberapa
kerajaan kecil yang dahulunya merupanya negeri-negeri taklukan Sriwijaya.
Ketika Sriwijaya mengalami kemunduran, kerajaan-kerajaan kecil ini
menggalang persatuan dan bergabung di bawah satu bendera kerajaan Islam
bernama Samudra Pasai. Rajanya yang pertama Meura Silu setelah masuk Islam
berganti nama menjadi Sultan Malik al-Saleh (w. 1297). Pasai menggantikan
peranan Palembang sebagai pelabuhan dagang terbesar di Nusantara. Ia segera
tumbuh pula menjadi pusat pendidikan dan penyebaran agama Islam.
Kerajaan-kerajaan Islam lain segera berdiri pada abad ke-14 dan 15 M,
dengan peran ganda, yaitu sebagai pusat kegiatan politik dan perdagangan di
satu pihak, di lain pihak sebagai pusat pendidikan dan penyebaran agama Islam.
Kesultanan Malaka (1400-1511) berdiri di Semenanjung Malaya. Kerajaan ini
didirikan oleh keturunan raja Srwijaya terakhir, Paramaesywara, yang setelah
masuk Islam mengganti namanya menjadi Muzafar Syah. Raja ini masuk Islam
setelah kawin dengan putrid raja Pasai pada tahun 1511. Malaka berhasil
mengislamkan sebagian besar penduduk kerajaan-kerajaan Melayu di
Semenanjung dan pulau Sumatra.
Di Maluku pada abad ke-16 berdiri kesultanan Tidore dan Ternate. Di
Jawa menjelang akhir abad ke-15 berdiri kesultanan Demak. Kerajaan ini
didirikan 1478 oleh Raden Patah, putra Prabu Brawijaya – raja Majapahit
terakhir, dari hasil perkawinannya dengan putrid Cina dari Palembang yang
beragama Islam. Tetapi saying kerajaan ini tidak berlangsung lama. Pada
pertengahan abad ke-16 terjadi perebutan tahta. Ibukota kerajaan direbut dan
dipindahkan ke Pajang, selanjutnya ke Kartasura. Pengganti Demak dan Pajang
adalah Mataram. Di bawah Sultan Agung pada akhir abad ke-16 Mataram
berusaha menyatukan kembali beberapa wilayah Majapahit di Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Ia tidak berhasil karena ditahan oleh Banten. Hadirnya VOC
menghambat perkembangan Mataram, bahkan membuat kerajaan-kerajaan ini
terpecah belah pada abad ke-18 M.
Kerajaan-kerajaan Islam besar yang sangat berpengaruh tentulah
kesultanan Aceh Darussalam (1516-1904) di Sumatra dan kerajaan Gowa di
Sulwesi Selatan pada abad ke-16 dan 17 M. Aceh merupakan kerajaan Islam
besar pertama di Nusantara. Wilayah kekuasaannya hampir meliputi seluruh
Sumatra dan sebagian Semenanjung Malaya. Pada khir abad ke-16 dia telah
muncul sebagai pusat kegiatan perdagangan internasional dan pusat penyebaran
agama Islam yang besar di Asia Tenggara. Dari sini syiar Islam berkembang ke
seluruh wilayah Nusantara. Kehadiran bangsa Eropah seperti Portugis dan
Belanda yang telah membangun koloni-koloninya dengan armada dan
tentaranya yang kuat, tidak menghalangi tersebarnya agama Islam ke wilayahwilayah Nusantara yang luas. Dapat dikatakan bahwa pada abad ke-17 M
sebagian besar wilayah Nusantara telah diislamkan.
Di Indonesia Timur berdiri kerajaan Gowa, yang rajanya memeluk agama
Islam pada awal abad ke-17 M. Kerajaan ini mempynyai pengaruh luas bukan
hanya di Sulawesi tetapi di hampir seluruh wilayah Indonesia Timur (Maluku,
Nusa Tenggara, Papua dan Kalimantan Timur). Tetapi pada akhir abad ke-17
kerajaan ini berhasil ditundukkan oleh VOC dan pengaruh politik dan
ekonominya di Indonesia Timur dikebiri. Tetapi sebagai pusat penyebaran
agama Islam, Gowa tetap memainkan peranan penting hingga abad ke-18 M.
Dari apa yang telah diuraikan, nyatalah bahwa kegiatan perdagangan dan
munculnya agama-agama besar seperti Hindu, Buddha dan Islam, merupakan
factor-faktor penentu awal bagi tumbuhnya hasrat untuk menyatukan beberapa
wilayah Nusantara yang terpencar-pencar di bawah sebuah system kekuasaan
yang disebut kerajaan. Hasrat itu tentu saja muncul dari dalam pikiran raja-raja
dan pemimpin politik, serta didukung oleh para saudagar dan pemimpin agama.
Tetapi hadirnya kolonialisme Portugis dan Belanda telah menghambat usahausaha menyatukan wilayah ini. Pada tahun 1511 M Portugis merebut Malaka
dan menjadikan kota ini sebagai pusat penyebaran agama Katholik. VOC mulai
pula merebut kerajaan- kerajaan kecil yang sebagian besar penduduknya telah
memeluk agama Islam. Pada awal abad ke-17 VOC berhasil merebut Sunda
Kelapa dan Jepara, dan mendirikan bentengnya untuk memulai proses
kolonisasinya di pulau Jawa. Perlahan-lahan namun pasti pessir pulau Jawa
dikuasai hingga akhir abad ke-18. Kesultanan Banten misalnya ditaklukkan pada
awal abad ke-18, disusul kerajaan-kerajaan Sumenep, Madura, Mataram,
Cirebon dan lain-lain.
Pada tahun 1641 Belanda merebut Malaka dari tangan Portugis, dan
dengan demikiannya petualangannya di Sumatra bermula. Indonesia Timur
(Maluku) telah pula direbut oleh VOC pada abad ke-17, disusul dengan Gowa
dan wilayah Sulawesi yang lain serta Nusatenggara pada abad ke-18 dan 19.
Sekalipun demikian kerajaan-kerajaan Islam tetap bermunculan pada abad ke-17
dan 18 di seluruh Nusantara, menjadi factor penghambat bagi Belanda/VOC
untuk menguasai sepenuhnya kepulauan Nusantara dalam waktu singkat.
Pada tahun 1798 VOC bangkrut disebabkan oleh faktor-faktor internal
dalam perusahaan dagang Belanda tersebut. Koloninya yang luas di Nusantara
di Nusantara kemudian diserahkan pada pemerintah Belanda. Sejak itu secara
resmi yang berkuasa adalah pemerintah Hindia Belanda. Melalui berbagai
peperangan yang dihadapinya melawan pembrontakan-pembrontakan local,
pada akhirnya pemerintah Hindia Belanda dapat menguasai seluruh wilayah
Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Wilayah yang dikuasainya diberi nama
Hindia Belanda atau Pax Netherlandica, yaitu wiilayah di kepulauan Nusantara
yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Nederland.
Perang-perang anti-kolonial yang terpenting pada abad ke-19 pada
umumnya melibatkan raja-raja Muslim dan pemimpin agama, khususnya
peminpin tariqat sufi yang dominan dalam kehidupan masyarakat Muslim di
Indonesia pada abad ke-18 dan 19 M. Perang terbesar dan sangat berat dihadapi
oleh Belanda antara lain ialah Perang Cirebon di Jawa (1802-1806), Perang Padri
di Sumatra (1821-1838), Perang Diponegoro di Jawa Tengah (1825-1830 M),
Perang Bali (1846-1849), Perang Banjarmasin (1850-60) dan Perang Aceh (18721908). Asal usul munculnya istilah Islam Militan berkaitan dengan kenyataan
histories ini, yaitu bahwa perlawanan paling sengit yang dihadapi pemerintah
kolonial terutama datang dari raja-raja Muslim dan pemimpin agama bersama
rakyat dan pengikut mereka.
Bahasa Melayu dan Persatuan Indonesia
Bahasa Melayu, yang kemudian diangkat menjadi bahasa persatuan pada
tahun 1928 dalam Sumpah Pemuda dan diberi nama bahasa Indonesia,
mempunyai peranan yang tidak kecil dalam memperkokoh pertalian dan
persatuan bangsa Indonesia. Pada abad ke-7 M Sriwijaya telah menghidupkan
bahasa Melayu Kuno sebagai lingua franca (bahasa pergaulan) di bidang
perdagangan. Sampai abad ke-13 M penggunaan bahasa Melayu sebagai lingua
franca itu semakin meluas, terutama dengan berkembangnya agama.
Kerajaan-kerajaan Islam awal yang semuanya tumbuh di kepulauan
Melayu – Samudra Pasai, Malaka, Aceh Darussalam, Palembang, Johor Riau dan
Banjarmasin – menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di lembaga
pendidikan Islam. Kitab-kitab agama dan ilmu-ilmu keagamaan ditulis dalam
bahasa ini untuk disebarkan di seluruh kepulauan Nusantara. Huruf Arab
gundul – yang lazim dikenal sebagai huruf Jawi, Pegon atau Arab Melayu –
diperkenalkan dan disebar luaskan. Lambat laun bahasa ini memasukkan
banyak perbendaharaan kata-kata Arab, karena hanya dengan kata-kata dan
istilah-istilah Arab, agama Islam dan ilmu-ilmu keagamaan yang muncul dalam
Islam itu dapat diterangkan an diuraikan kepada pemeluknya. Dengan demikian
bahasa ini pun tumbuh menjadi bahasa pergaulan utama di bidang politik,
intelektual dan keagamaan, bukan saja di bidang perdagangan. Karena luasnya
pemakaian bahasa Melayu pada abad-abad tersebut, pemerintah kolonial pun
mau tidak mau menggunakan bahasa ini di bidang administrasi dan
pemerintahan, begitu pula halnya dengan misi-misi agama Kristen Protestan dan
Katholik. Raja-raja Nusantara juga saling berhubungan satu sama lain, dan
dengan pemerintah kolonial, menggunakan bahasa Melayu. Begitu pula halnya
para ulama dan pemimpin agama di berbagai pelosok Nusantara berhubungan
satu dengan yang lain melalui bahasa ini, sedangkan kitab-kitab yan mereka
tulis menggunakan baik bahasaMelayu maupun bahasa Arab.
Tidaklah terlalu mengejutkan apabila pada tahun 1928 Kongres Pemuda
Indonesia II memilih bahasa ini menjadi bahasa persatuan bangsa Indonesia
sebagaimana dicantumkan dalam Sumpah Pemuda. Bahasa ini pun setelah
berkembang menjadi bahasa Indonesia tumbuh menjadi bahasa modern dan
harus menyerap lebih banyak lagi kata-kata asing dari bahasa-bahasa Eropa –
mula-mula dari bahasa Portugis dan Beland, kemudian dari bahasa Inggris dan
Latin. Semakin besar tumbuhnya lembaga pendidikan modern, menyebabkan
faham-faham dan ideologi modern dari Barat juga berpengaruh bagi
perkembangan bahasa Indonesia sebagaimana juga pada pemikiran dan
pandangan hidup kaum terpelajar Indonesia. Berkembangnya media cetak
seperti suratkabar, majalah dan buku-buku berbahasa Indonesia, begitu pula
berkembangnya media audio visual seperti radio, film dan vcd sekarang ini,
yang semuanya menggunakan bahasa Indonesia, menyebabkan bahasa ini
menjadi dominan dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Demikianlah, jauh sebelum lahirnya gerakan kebangsaan dan
kemerdekaan pada abad ke-20 bangsa Indonesia telah memiliki sarana-sarana
perekat yang ampuh dalam mengikat tali persatuan. Ikatan-ikatan itu tidak
hanya berupa ikatan social politik, tetapi juga berupa ikatan kepeningan
ekonomi dan perdagangan, ikatan budaya dan agama, serta ikatan
keserumpunan dari etnik yang anekaragam yang menjadi penduduk Nusantara.
Pengertian umum Nasionalisme
Ruslan Abdulgani (1976), seorang perumus Pancasila pada zaman
Sukarno, mengatakan bahwa “Lima asas
(dalam sidang Badan Persiapan
Kemerdekaan pada bulan Juni 1945) yang dikemukakan Sukarno adalah
nasionalisme, internasionalisme atau kemanusiaan, demokrasi, keadilan social,
dan last but not least – terakhir tetapi bukan tidak penting – ialah kepercayaan
kepada Tuhan yang Maha Esa”. Dari segi politik, menurutnya lagi, Pancasila
merup[akan lambing rekonsiliasi dan sintesos tiga arus politik utama dalam
kehidupan Indonesia modern, yaitu nasionalisme, Islamisme dan Marxisme
(baca: sosialisme, agar lebih netral). Arus sentralnya adalah nasionalisme.
Kita bisa memberi tafsir beranekaragam terhadap pernyataan ini, sesuai
dari sudut pandang mana kita melihatnya. Ruslan Abdulgani sendiri
menafsirkan sedemikian rupa dengan menekankan pada ‘rekonsiliasi’.
Alasannya, menurut belia, konsep nasionalisme Indonesia harus sesuai dengan
pandangan hidup bangsa Indonesia yang lebih menekankan keselarasan dan
keserasian dibanding dialektika dan konflik. Dalam kenyataannya, disebabkan
interes dan ideologi politik yang berbeda-beda itu pula sampai sekarang tidak
pernah golongan-golongan politik di Indonesia melihat pentingnya keselarasan
dan keserasian. Nasionalisme sendiri, sebab dipaksakan, sering menjadi sumber
konflik dalam kehidupan bangsa Indonesia semenjak awal kemerdekaan.
Lalu apakah nasionalisme itu? Walaupun semangat persatuan bangsa
Indonesia telah bertunas dalam sejarah bangsa Indonesia jauh sebelum
datangnya peradaban Barat, akan tetapi pada umumnya konsep nasionalisme
yang hidup dalam pikiran pemimpin dan kaum terpelajar Indonesia pada abad
ke-20 mengacu pada konsep yang muncul di Eropa. Karena itu marilah kita lihat
bagaimana perkembangan konsep ini di Eropa dan Amerika, sebelum
membicarakan penerapannya di Indonesia.
Sebagai ideology modern di bidang social politik dan kenegaraan,
nasionalisme muncul sekitar tahun 1779 dan dominan di Eropa pada tahun 1830.
Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18 sangat besar pengaruhnya
berkembangnya gagasan nasionalisme tersebut. Semenjak itu beberapa kerajaan
feudal mengalami proses integrasi menjadi ‘negara kebangsaan’ atau nation state
yang wilayahnya menjadi lebih luas dan hidup dalam system pemerintahan
yang sama. Sejak itu di negara-negara Eropa dan Amerika bermunculan pula
gerakan-gerakan kebangsaan, dan segera menjalar ke Asia. Hal ini disebabkan
ampuhnya nasionalisme sebagai ideology yang dapat mempersatukan banyak
orang di negeri-negeri jajahan dalam menentang kolonialisme.
Hans Kohn, seorang ahli ethnografi atau anthropologi budaya abad ke-19
dari Jerman mengatakan bahwa apa yang disebut bangsa ialah himpunan
komunitas yang memiliki persamaan bahasa, ras, agama dan peradaban. Mereka
hidup dalam sebuah wilayah dan mempunyai yang sama. Suatu bangsa tumbuh
dan berkembang, menurut Hans Kohn, karena adanya unsure-unsur dan akarakar sejarah yang membentuknya. Teori yang didasarkan pada persamaan ras
dan etnik dan unsur-unsur lain yang bersifat primordial agaknya kurang
mendapat tempat, walaupun ada beberapa yang melaksanakannya seperti
Jepang dan Israel. Serbia telah berusaha membentuk negara-bangsa seperti ini,
dan di bawah Slobodan Milosevic melakukan pembersihan etnis Bosnia pada
tahun 1995, namun gagal dan ditentang oleh banyak negara dunia. Jepang
berhasil karena tumbuh secara natural dari sebuah kerajaan feodal kuna yang
kuat dan mampu memordernisikan diri sejak dini. Tetapi warga keturunan
Korea dan Cina, dianggap sebagai warganegara kelas dua di Jepang. Contoh
lain ialah Israel yang didirikan berdasarkan gagasan Zionisme Raya. Sejak
kemunculannya, negara ini menjadi sumber kemelut dan kekacauan di Timur
Tengah hingga sekarang.
Teori lain dikemukakan oleh Ernest Renan, seorang filosof Perancis akhir
abad ke-19. Teorinya mendapat penerimaan luas dan didasarkan atas evolusi
masyarakat Eropa dalam sejarahnya hingga pertengahan abad ke-19, masa
berkembang luasnya faham nasionalisme di Eropa. Evolusi yang dimaksud ialah
timbul tenggelamnya bangsa-bangsa di benua itu sejak zaman pra-Sejarah
hingga zaman modern. Unsur-unsur yang membentuk suatu bangsa atau negara
bangsa ialah: (1) Jiwa atau asas kerohanian yang sama, berupa pandangan hidup
dan system nilai; (2) Memiliki solidaritas besar, misalnya disebabkan persamaan
nasib dalam sejarah; (3) Munculnya suatu bangsa merupakan hasil Dario sejarah;
(4) Karena merupakan hasil suatu sejarag apa yang disebut bangsa itu
sebenarnya tidaklah abadi atau kekal; (5) Wilayah dan ras bukanlah suatu
peyebab timbulnya bangsa. Wilayah hanya memberi ruang untuk menjalankan
kehidupan, sedangkan jiwa bangsa dibentuk oleh pemikiran, system
kepercayaan, kebudayaan dan agama. Karena itu ia menyebut bangsa sebagai
‘suatu asas kerohanian yang sama’.
Renan juga mengemukakan beberapa faktor penting terbentuknya jiwa
atau semangat suatu bangsa: (1) Kejayaan dan kemuliaan di masa lampau; (2)
Suatu keinginan hidup bersama baik pada masa sekarang maupun pada masa
yang akan datang; (3) Penderitaan bersama atau rasa senasib sepenanggungan
sehingga menimbulkan solidaritas besar untuk bangkit; (4) Penderitaan besar
yang dialami bersama dalam sejarah melahirkan pula apa yang disebut ‘Le capital
social’ (modal sosial) . Ini berguna bagi pembentukan dan pembinaan faham
kebangsaan. Tetapi apa yang terjadi di masa lalu tidaklah sepenting apa yang
diharapkan di masa depan; (5) Karena yang penting ialah apa yang dihasratkan
di masa depan maka terbentuknya suatu bangsa yang kuat memerlukan
“persetujuan bersama pada waktu sekarang”, beru[a musyawarah untuk
mencapai kesepakatan bersama; (6) Adanya keinginan untuk hidup bersama; (7)
Jika demikian halnya, maka harus bersedia pula untuk memberikan
pengorbanan. Kesediaan berkorban ini penting dikembangkan agar semangat
kebangsaan tetap kuat; (8) Pemilihan umum merupakan syarat mutlak yang
menentukan kehidupan suatu bangsa. Apa yang dikemukakan Renan ini terkait
dengan tuntutan akan demokrasi dan keadilain.
Teori lain dikemukakan oleh Friedrich Razel disebut teori Geopolitik
karena didasarkan atas hubungan wilayah geografis yang didiami oleh suatu
komunitas bangsa. Dalam bukunya Political Geography (terbitan terbaru 1987) dia
mengatakan bahwa suatu negara adalah sebuah organisme hidup. Agar suatu
bangsa bias tumbuh subur dan kuat, serta berjaya, ia memerlukan ruangan yang
luas untuk mengembangkan hidupnya (lebenstraum, dalam bahasa Jerman).
Negara-negara besar, menurut Razel, harus memiliki semangat ekspansi dan
optimisme yang besar, serta bersifat militeristik. Di masa lalu semangat seperti
dimiliki oleh kekaisaran Romawi dan Persia, yang bersaing selama beberapa
abad untuk merebut hegemoni atas wlayah yang luas di Eropa, Afrika dan Asia.
Teori Razel melahirkan semangat chauvinistic seperti dimiliki Jerman, Inggeris,
Italia dan Perancis pada abad ke-20, dan juga Amerika Serikat seusai Perang
Dunia II.
Di antara teori-teori yang telah disebutkan itu, yang sangat berpengaruh
pada pemikiran tokoh-tokoh gerakan kebangsaan Indonesia termasuk Sukarno
dan Hatta ialah teori Ernest Renan.
Nasionalisme Indonesia
Walaupun persatuan Indonesia telah bertunas lama dalam sejarah bangsa
Indonesia, akan tetapi semangat kebangsaan atau nasionalisme dalam arti yang
sebenarnya seperti kita pahami sekarang ini, secara resminya baru lahir pada
permulaan abad ke-20. Ia lahir terutama sebagai reaksi atau perlawanan
terhadap kolonialisme dan karenanya merupakan kelanjutan dari gerakangerakan perlawanan terhadap kolonial VOC dan Belanda, yang terutama
digerakkan oleh raja-raja dan pemimpin-pemimpin agama Islam. Hubungan erat
gerakan perlawanan kaum Muslimin dan nasionalisme ini telah diuraikan oleh
banyak pakar, misalnya oleh G. H. Jansen dalam bukunya Militant Islam (1979).
Namun sebelum menguraikan hubungan ini akan kita lihat dulu unsure-unsur
kolonialisme yang menimbulkan semangat perlawanan terhadapnya.
Kolonialisme modern, sebagaimana diterapkan VOC dan Belanda di
Indonesia mengandung setidak-tidaknya tiga unsure penting:
(1)
Politik dominasi oleh pemerintahan asing dan hegemoni
pemerintahan asing tersebut terhadap berbagai aspek
kehidupan bangsa Indonesia, termasuk wacana, pemikiran dan
kehidupan sosial budayanya. Jadi bukan semata-mata dominasi
danhegemoni dalam kehidupan soial politik;
(2)
Eksploitasi ekonomi. Setiap pemerintahan kolonial berusaha
mengeksplotasi sumber alam negeri yang dijajahnya untuk
kemakmuran dirinya, bukan untuk kemakmuran negeri jajahan.
Rakyat juga diperas dan dipaksa bekerja untuk kepentingan
ekonomi kolonial, misalnya seperti terlihat system tanam paksa
(culturstelsel) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda di
Jawa pada awal abad ke-19 dan menimbulkan perlawanan
seperti Perang Diponegoro.
(3)
Penetrasi budaya.
Kolonialisme juga secara sistematis
menghapuskan jatidiri suatu bangsa dengan menghancurkan
kebudayaan dan budaya bangsa yang dijajahnya, termasuk
agama yang dianutnya. Caranya dengan melakukan penetrasi
budaya, terutama melalui system pendidikan.
Karena nasionalisme Indonesia bangkit sebagai bentuk perlawanan atau
Penentangan terhadap kolonialisme, maka nasionalisme Indonesia dengan
sendirinya juga mengandung tiga aspek penting:
(1) Politik: Nasionalisme Indonesia bertujuan menghilangkan dominasi
politik bangsa asing dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang
berkedaulatan rakyat (lihat pidato-pidato Bung Karno, Hatta, dan pemimpin
yang lain seperti Ruslan Abdulgani).
(2). Sosial ekonomi: nasionalisme Indonesia muncul untuk menghentikan
eksploitasi ekonomi asing dan membangun masyarakat baru yang bebas dari
kemelaratan dan kesengsaraan.
(3). Budaya. Nasionalisme Indonesia bertujuan menghidupkan kembali
kepribadian bangsa yang harus diselaraskan dengan perubahan zaman. Ia tidak
menolak pengaruh kebudayaan luar, tetapi dengan menyesuaikannya dengan
pandangan hidup, sistem nilai dan gambaran dunia (worldview, Weltanschauung)
bangsa Indonesia. Juga tidak dimaksudkan untuk mengingkari kebhinnekaan
yang telah sedia ada sebagai realitas sosial budaya dan realitas anthropologis
bangsa Indonesia.
Ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan dalam konteks nasionalisme
Indonsia (pidato Ruslan Abdulgani dalam Sidang Konstituante 1957).
Pandangan ini merujuk pada pidato Bung Karno (7 Mei 1953) di Universitas
Indonesia, yang intinya ialah: Pertama, nasionalisme Indonesia bukan
nasionalisme sempit (chauvinism) tetapi nasionalisme yang mencerminkan
perikemanusiaan (humanisme, internasionalisme); Kedua, kemerdekaan
Indonesia tidak hanya bertujuan untuk menjadikan negara yang berdaulat secara
politik dan ekonomi, tetapi juga mengembangkan kepribadian sendiri atau
kebudayaan yang berpijak pada sistem nilai dan pandangan hidup bangsa
Indonesia sendiri yang ‘bhinneka tunggal ika’. Budaya dan agama yang dianut
bangsa Indonesia merupakan sumber rujukan bagi terciptanya kepribadian
bangsa Indonesia.
Dalam pidatonya itu Bung Karno mengatakan bahwa nasionalisme
Indonesia tampil dalam sejarahnya didorong oleh tiga faktor, yaitu
“economische uitbuilding” (eksploitasi ekonomi yang dilakukan kolonialisme
Belanda), “political frustratioen” (kekecewaan politik disebabkan dominasi
kekuasaan asing, yaitu kolonial Belanda) dan “ hilangnya kebudayaan yang
berkepribadian” disebabkan oleh sistem pendidikan dan tiadanya hak-hak
budaya bagi masyarakat Indonesia untuk melindungi dan mengembangkan
kebudayaannya. Yang pertama, menghendaki sistem ekonomi terpimpin sebagai
tandingan ekonomi kapitalis yang menimbulkan “lexploitation de l’homme par
l‘homme” (penindasan manusia atas manusia). Sedangkan kekecewaan politik
menghendaki sistem pemerintahan yang didasarkan atas kedaulatan rakyat
(demokrasi) dan bebas dari dominasi asing.
Harus ditambahkan di sini bahwa disebabkan oleh perjalanannya itu
maka komponen yang membentuk gerakan kebangsaan di Indonesia juga
berbeda dengan komponen nasionalisme Eropa dan Amerika. Komponen yang
membentuk masyarakat Indonesia ialah Islam, kemajemukan etnik dan budaya
bangsa Indonesia dan faham-faham atau ideology Barat yang mempengaruhi
perkembangnya pada abad ke-20 seperti humanisme, sosialisme, Marxisme dan
marhaenisme. Komponen Islam penting, karena semangat kebangsaan mencapai
bentuknya yang tersendiri di bumi Indonesia setelah diantar oleh gerakan
perlawanan anti-kolonial pada abad ke-18 dan 19 yang digerakkan oleh
pemimpin Islam. Gerakan-gerakan ini dijiwai oleh ajaran dan semangat Islam
tentang pembebasan manusia dari perbudakan dan eksploitasi. Selain itu juga
terdapat komponen penting lain berupa realitas anthropologis masyarakat
Indonesia yang multi-etnik dan multi-agama, serta ideogi-ideologoi modern
yang berpengaruh munculnya gerakan kebangsan pada abad ke-10. Misalnya
Marxisme dan sosialisme, melengkapi komponen humanisme dan sejenisnya.
Ahli sejarah terkemuka Sartono Kartodirdjo mengemukakan bahwa yang
disebut “nation” dalam konteks nasionalisme Indonesia ialah suatu konsep yang
dialamatkan pada suatu suatu komunitas sebagai kesatuan kehidupan bersama,
yang mencakup berbagai unsur yang berbeda dalam aspek etnis, kelas atau
golongan sosial, sistem kepercayaan, kebudayaan, bahasa dan lain-lain
sebagainya. Kesemuanya terintegrasikan dalam perkembangan sejarah sebagao
kesatuan sistem politik berdasarkan solidaritas yang ditopang oleh kemauan
politik bersama” (dalam “Nasionalisme, Lampau dan Kini” Seminar Tentang
Nasionalisme 1983 di Yogyakarta).
Pengertian yang diberikan Sartono Kartodirdjo didasarkan pada
perkembangan sejarah bangsa Indonesia dan realitas sosial budayanya, serta
berdasarkan berbagai pernyataan politik pemimpin Indonesia sebelum
kemerdekaan, seperti manifesto Perhimpunan Indonesia dan Sumpah Pemuda
1928. Unsur-unsur nasionalisme Indonesia mencakup hal-hal seperti berikut:
1. Kesatuan (unity) yang mentransformasikan hal-hal yang bhinneka
menjadi seragam sebagai konsekwensi dari proses integrasi. Tetapi
persatuan dan kesatuan tidak boleh disamakan dengan penyeragaman
dan keseragaman.
2. Kebebasan (liberty) yang merupakan keniscayaan bagi negeri-negeri
yang terjajah agar bebas dari dominasi asing secara politik dan
eksploitasi ekonomi serta terbebas pula dari kebijakan yang
menyebabkan hancurnya kebudayaan yang berkepribadian.
3. Kesamaan (equality) yang merupakan bagian implisit dari masyarakat
demokratis dan merupakan sesuatu yang berlawanan dengan politik
kolonial yang diskriminatif dan otoriter.
4. Kepribadian (identity) yang lenyap disebabkan ditiadakan dan
dimarginalkan secara sistematis oleh pemerintah kolonial Belanda.
5. Pencapaian-pencapaian dalam sejarah yang memberikan inspirasi dan
kebanggaan bagi suatu bangsa sehingga bangkit semangatnya untuk
berjuang menegakkan kembali harga diri dan martabatnya di tengah
bangsa-bangsa lain di dunia.
Konsepnya itu didasarkan atas pengamatannya terhadap sejarah Indonsia
khususnya sejak masa penjajahan. Ia jelas sekali menerima beberapa pandangan
yang dikemukakan oleh Ernest Renan.
Notonagoro, seorang ahli falsafah dan hukum terkmuka dari Universitas
Gajah Mada, mengemukakan bahwa nasionalisme dalam konteks Pancasila
bersifat “majemuk tunggal” (bhinneka tunggal ika). Unsur-unsur yang
membentuk nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Kesatuan Sejarah, yaitu kesatuan yang dibentuk dalam perjalanan
sejasrahnya yang panjang sejak zaman Sriwijaya, Majapahit dan
munculnya kerajaan-kerajaan Islam hingga akhirnya muncul
penjajahan VOC dan Belanda. Secara terbuka nasionalisme mula
pertama dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1945 dan
mencapai puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17
Agustus 1945.
2. Kesatuan Nasib. Bangsa Indonesia terbentuk karena memiliki
persamaan nasib, yaitu penderitaan selama masa penjajahan dan
perjuangan merebut kemerdekaan secara terpisah dan bersama-sama,
sehingga berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dapat
memproklmasikan kemerdekaan menjelang berakhirnya masa
pendudukan tentara Jepang.
3. Kesatuan Kebudayaan. Walaupun bangsa Indonesia memiliki
keragaman kebudayaan dan menganut agama yang berbeda, namun
keseluruhannya itu merupakan satu kebudayaan yang serumpun dan
mempunyai kaitan dengan agama-agama besar yang dianut bangsa
Indonesia, khususnya Hindu dan Islam.
4. Kesatuan Wilayah. Bangsa ini hidup dan mencari penghidupan di
wilayah yang sama yaitu tumpah darah Indonesia.
5. Kesatuan Asas Kerohanian. Bangsa ini memiliki kesamaan cia-cita,
pandangan hidup dan falsafah kenegaraan yang berakar dalam
pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri di masa lalu maupun
pada masa kini.
Dalam kaitannya dengan bentuk pemerintahan atau negara, Soepomo dan
Mohamad Yamin mengemukakan agar bangsa Indonesia menganut faham
integralistik, dalam arti bahwa negara yang didiami bangsa Indonesia
merupakan suatu kesatuan integral dari unsur-unsur yang menyusunnya.
Faham integralistik mengandaikan bahwa negara harus mengatasi semua
golongan, tidak memihak pada mayoritas. Tetapi dalam kenyataan justru inilah
yang menimbulkan masalah, karena kemudian yang terjadi adalah Tirani
Minoritas dalam berbagai hal, termasuk dalam wacana kehidupan berbangsa,
pemikiran dan ideology. Notonagoro di lain mengusulkan agar NKRI menjadi
negara yang berasaskan kekeluargaan, tetapi diartikan oleh oleh Suharto dan
rezimnya selama lebih 30 tahun.
Nasionalisme dan Ekonomi Terpimpin
Jika di bidang politik dan system pemerintahan Pancasila menerima
demokrasi, maka di bidang ekonomi nasionalisme Indonesia merupakan
penjelmaan dari semangat menentang eksploitasi yang dilakukan pemerintah
kolonial di bawah bendera kapitalisme perdagangan atau kapitalisme liberal.
Karena system ekonomi yang sesuai dengan Pancasila, seperti dikatakan
Mubyarto bukanlah kapitalisme liberal yang berorientasi pada pasar bebas. Yan
lebih sesuai ialah ekonomi yang bercorak sosialis, tanpa membuang seluruhnya
perangkat-perangkat yang disediakan oleh kapitalisme. Para pakar biasa
menyebutnya sebagai Ekonomi erpimpin.
Istilah ‘ekonomi terpimpin’ dikemukakan oleh Bung Hatta. Ia merupakan
konsekwensi dari nasionalisme Indonesia yang timbul sebagai perlawanan
menentang kolonialisme dan imperialisme. Dalam menancapkan kekuasaannya
pemerintah kolonial Belanda menggunakan sistem kapitalisme perdagangan
yang eksploitatif dan menjadikan Indonesia sebagai perkebunan raksasa.
Dengan itu rakyat Indonesia dieksplotasi sebagai buruh perkebunan dengan gaji
rendah, sedangkan pemerintah Belanda memperoleh keuntungan yang besar.
Menurut Bung Hatta ekonomi terpimpin adalah lawan dari ekonomi
liberal yang melahirkan sistem kapitalisme. Semboyannya ialah ‘laissez faire’
(‘Biarkan saja’), artinya biarkan pasar bertindak bebas dalam membangun
kehidupan ekonomi dan perdagangan. Ekonomi liberal menghendaki
pemerintah tidak campur tanganm dalam perekonomian rakyat dengan
membuat peraturan-peraturan ketat (regulasi) yang membatasi gerak bebas
pasar.
Ekonomi terpimpin adalah sebaliknya. Pemerintah harus aktif bertindak
dan memberlakukan peraturan terhadap perkembanan ekonomi dalam
masyarakat agar rakyat tidak dieksploitasi, harga tidak dipermainkan dan
dengan demikian tercapai keadilan sosial. Alasan mengapa ekonomi terpimpin
dipandang sesuai dengan cita-cita nasionalisme Indonesia ialah: Karena
membiarkan perekonomian berjalan menmurut permainan bebas dari tenagatenaga masyarakat berarti membiarkan yang lemah menjadi makanan yang kuat.
Ekonomi liberal bercita-cita memberikan kemakmuran dan kemerdekaan
bagi semua orang, tetapi hasilnya menimbulkan pertentangan dan kesengsaraan.
Yang kaya bertambah kaya, yang miskin bertambah melarat. Sebab kebebasan
atau liberalisme yang disandang oleh sistem itu dalam kenyataan hanya dimiliki
ioleh segolongan kecil orang (yaitu pemilik modal atau kapital) dan kepada
mereka yang segelintir itu sajalah keuntungan dan kemakmuran berpihak,
bukan kepada rakyat banyak.
Tetapi dalam sistem ekonomi terpimpin itu tedapat banyak aliran. Antara
lain: (1) Ekonomi terpimpin menurut ideology komunisme; (2) Ekonomi
terpimpin menurut pandangan sosialisme demokrasi; (3) Ekonomi terpimpin
menurut solidaroisme; (4) Ekonomi Terpimpin menurut paham Kristen Sosialis;
(5) Ekonomi Terpimpin berdasar ajaran Islam; (6) Ekonomi Terpimpin
berdasarkan pandangan demokrasi sosial.
Semua aliran ekonomi terpimpin ini menentang dasar-dasar
individualisme, yang meletakkan buruk baik nasib masyarakat di tangan orangorang yang mengemudikan kehidupan dan tindakan ekonomi. Ekonomi liberal
berdasarkan pada individualisme. Individu (baca kepentingan individu)
didahulukan dari masyarakat. Tetapi ekonomi terpimpin mendahulukan
masyarakat dari individu. Sekalipun demikian di antara paham-paham ekonomi
terpimpin itu ada yang menolak kolektivisnme, karena bagi mereka kolektivisme
sebenarnya hanya berlaku dalam ideologi komunisme dan sosialisme.
Tetapi terdapat persamaan pula dari sistem ekonomi terpimpin yang
berbeda-beda itu, yaitu: (1) Dalam hal menentang individualisme; (2) Dalam hal
pemberian tempat yang istimewa kepada pemerintah untuk mengatur dan
memimpin perekonomian negara. Perbedaan antara sistem-sistem itu berkenaan
dengan seberapa besar campur tangan kekuasaan publik dan bagaimana
coraknya campur tangan itu dalam perekonomian individu dan masyarakat.
Ideologi komunisme menghendaki campur tangan besar dan menyeluruh dari
pemerintah atau negara, sehingga individu ditindas. Sistem ekonomi kpmunis
bersifat totaliter, dikuasai oleh negara.
Tetapi ekonomi terpimpin yang lebih sesuai dalam konteks nasionalisme
Indonesia ialah ekonomi bercorak sosialis, yang berkehendak melaksanakan citacita demokrasi ekonomi. Dengan diimbangi demokrasi ekonomi, maka
demokrasi politik akan mengurangi sifat individualismenya yang kelewat besar
dan tidak sesuai dengan asas-asas kolektivisme. Dalam sistem ekonomi
terpimpin bercorak sosialis, campur tangan negara terbatas dan peranan
individu tidak sepenuhnya dimusnahkan, hanya saja gerak mereka dibatasi dan
diatur demi melindungi kepentingan masyarakat.
Menurut Lerner dalam bukunya The Economics of Control (1919), sistem
eknomi terpimpin yang bercorak sosialis menggabungkan ke dalamnya unsureunsur ekonomi kapitalis dan ekonomi kolektif. Liberalisme dan sosialisme,
menurutnya, dapat didamaikan menjadi “Welfare economics” atau ekonomi
kemakmuran. Masalah utamanya ialah bagaimana cara menguasai
perekonomian untuk kemakmuran penduduknya secara luas. Ini dipraktekkan
di AS dan beberapa negara Eropa, termasuk Skandinavia setelah Perang Dunia I
(1918) bersamaan dengan runtuhnya kapitalisme liberal sebagai akibat dari
peperangan.yang kejam dan bengis.
Dalam sistem ekonomi seperti itu ada tiga hal yang harus dilaksanakan:
Pertama, segala sumber perekonomian yang ada harus dikerjakan supaya semua
orang memperoleh pekerjaan; kedua, melaksanakan pembagian pendapatan yang
adil, agar perbedaan atau jurang besar dalam pendapatan dan kekayaan antara
yang kaya dan yang miskin dikurangi; ketiga, menghapuskan monopoli dan
oligapoli dalam perekonomian, sebab keduanya melahirkan eksploitasi yang
melampaui batas dan pemborosan ekonomi yang besar pula.
Tujuan ekonomi terpimpin dalam bidang demokrasi, menurut Hatta,
ialah mencapai kemakmuran rakyat seluruhnya, dengan tiada menghilangkan
kepribadian manusia. Masyarakat didahulukan, bukan individu. Tetapi manusia
sebagai individu tidaklenyap sama sekali dalam kolektivitas. Secara umum citacita ekonomi terpimpin ialah: (1) Terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat
secara keseluruhan sehingga pengangguran dikurangi; (2) Adanya standar
hidup yang baik bagi masyarakat secara keseluruhan; (3) Semakin berkurangnya
ketidaksamaan ekonomi dengan memperrata kemakmuran; (4) Terciptanya
keadilan sosial.
Abdul Hadi W. M.
Download