III. KERANGKA TEORI 3.1. Pasar Tenaga Kerja Pasar tenaga kerja adalah pasar dimana ada sejumlah pembeli dan penjual faktor produksi tenaga kerja. Pembeli input tenaga kerja adalah perusahaan dan penjual input tenaga kerja adalah rumah tangga. Perusahaan diasumsikan menentukan jumlah tenaga kerja yang akan dibeli dalam upaya mendapatkan keuntungan maksimal. Sementara rumah tangga diasumsikan sebagai pihak yang memiliki input tenaga kerja untuk dijual kepada perusahaan. Dalam analisis pasar tenaga kerja, perilaku pihak pemilik input tenaga kerja diilustrasikan sebagai kurva penawaran tenaga kerja. Kurva penawaran tenaga kerja menunjukkan hubungan antara jumlah jam kerja per hari yang bersedia ditawarkan pada berbagai tingkat upah (Arfida, 2005). Upah (W) S C W2 W1 B A W0 O L0 L1 Waktu Kerja (Jam per hari) Gambar 1. Penawaran Tenaga Kerja yang Melengkung ke Belakang Sumber : Pindyck and Rubinfeld, 2001 (dimodifikasi). 38 Kurva penawaran tenaga kerja mempunyai kemiringan positif karena dengan kenaikan upah seseorang mungkin secara sukarela bersedia untuk mengurangi waktu luang (leisure) untuk bekerja lebih lama seperti pada Gambar 1. Namun, kurva penawaran tenaga kerja dapat melengkung ke belakang (backward-bending) karena bila tingkat upah terus meningkat pada akhirnya jam kerja yang ditawarkan dapat turun karena orang memilih untuk menikmati lebih banyak waktu luang dan lebih sedikit bekerja. Gambar 1 diasumsikan bahwa seorang pekerja mempunyai fleksibilitas untuk memilih berapa jam per hari harus bekerja. Upah mengukur jumlah uang yang harus dikorbankan pekerja untuk menikmati waktu luang. Pada tingkat upah di W0, jumlah jam kerja yang ditawarkan L0. Bila upah naik, misalkan di W1, jumlah jam kerja yang ditawarkan meningkat menjadi L1. Bila upah meningkat lagi, misalkan di W2, jumlah jam kerja yang ditawarkan menurun menjadi L0. Mengapa terjadi penurunan jumlah jam kerja yang ditawarkan? Hal tersebut disebabkan pada tingkat upah di W1, kebutuhan pekerja telah terpenuhi sebesar OW1BL1. Pada saat upah meningkat misalkan di W2, meskipun kebutuhan pekerja telah dapat terpenuhi perssis sebesar OW1BL1, jumlah jam kerja yang ditawarkan pekerja menurun menjadi L0 dan memilih lebih banyak menikmati waktu luang karena kebutuhan telah terpenuhi. Namun yang harus kita cermati adalah standar kebutuhan setiap individu berbeda. Studi kasus yang dilakukan di negara maju menunjukkan elastisitas peningkatan upah terhadap penawaran jam kerja pada kelompok keluarga dengan sumber penghasilan suami dan istri dengan maupun tanpa anak menunjukkan nilai negatif. Artinya kelompok keluarga tersebut berada pada bagian kurva penawaran yang melengkung ke belakang. Namun, perekonomian makro Indonesia dicirikan 39 oleh nilai upah minimum yang hanya mampu memenuhi 89.63 persen KHM dan tingkat pengangguran serta inflasi yang relatif tinggi. Dengan karakteristik tersebut untuk kasus Indonesia secara agregat, kuat dugaan nilai elastisitas penawaran jam kerja akibat kenaikan upah masih positif. Artinya penawaran agregat tenaga kerja Indonesia masih pada kurva yang melengkung ke atas. Kurva permintaan faktor input tenaga kerja adalah permintaan turunan (derived demand). Permintaan tenaga kerja bergantung pada dan berasal dari tingkat output yang dihasilkan dan biaya input tenaga kerja itu sendiri. Kurva permintaan tenaga kerja menunjukkan jumlah input tenaga kerja yang akan dibeli oleh perusahaan pada berbagai tingkat upah. Jika diasumsikan perusahaan menjual outputnya pada pasar persaingan sempurna maka perusahaan adalah sebagai penerima harga di pasar output. Dengan demikian nilai produksi marjinal tenaga kerja adalah sama dengan produk marjinal tenaga kerja (MVPL) dikalikan harga output (PY), secara matematis: MVPL = MPL .PY . Karena kenaikan hasil yang semakin berkurang terhadap input tenaga kerja maka produk marjinal tenaga kerja turun ketika jumlah jam kerja bertambah. Dengan demikian, kurva nilai produk marjinal akan turun melengkung ke bawah meskipun harga output tetap konstan. Kurva MVPL ini disebut sebagai kurva permintaan input tenaga kerja. Keseimbangan pasar tenaga kerja tercapai sebagai hasil interaksi antara rumah tangga sebagai penjual dengan perusahaan sebagai pembeli input tenaga kerja (Nicholson, 2002). Secara grafis, keseimbangan pada pasar tenaga kerja digambarkan oleh perpotongan antara kurva penawaran tenaga kerja dan kurva permintaan tenaga kerja. Dari perpotongan ini akan diperoleh jumlah tenaga kerja yang diserap pasar dan upah keseimbangan pasar seperti pada Gambar 2. 40 Upah S0 S1 E0 W0 Wminimum E1 W1 D L0 L1 Jumlah Tenaga Kerja Gambar 2. Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja Sumber : Nicholson, 2002 (dimodifikasi). Gambar 2 memperlihatkan bahwa upah keseimbangan (W0) pada pasar tenaga kerja ditentukan oleh penawaran tenaga kerja (S0) dan permintaan tenaga kerja (D). Kondisi keseimbangan E0 sangat sulit dicapai di Indonesia. Hal ini disebabkan jumlah tenaga kerja yang masuk ke pasar kerja Indonesia (S0) tidak sebanding dengan jumlah ketersediaan lapangan kerja (D). Pergeseran kurva penawaran tenaga kerja menjadi S1 akan menurunkan upah menjadi W1 meskipun jumlah tenaga kerja yang terserap di pasar kerja bertambah menjadi L1. Dalam kondisi seperti ini diperlukan kebijakan upah minimum yang merupakan standar normatif dan jaring pengaman (safety net) bagi pekerja/ buruh. Standar normatif artinya upah minimum telah ditetapkan dalam bentuk undang-undang yang memiliki aturan sanksi secara hukum bila tidak dilaksanakan oleh perusahaan. Jaring pengaman dimaksud agar tingkat upah tidak terus menurun pada level terendah dan mencegah terjadinya eksploitasi pekerja/ buruh. 41 3.2. Kebijakan Upah Minimum Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan memberi pengertian pada upah sebagai hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan (Depnakertrans, 2004b). Pemerintah Indonesia telah melakukan intervensi terhadap penentuan upah dalam bentuk penetapan kebijakan upah minimum sejak tahu 1970. Pada tahun 1970 sampai tahun 1980-an kebijakan upah minimum belum bersifat normatif. Disamping itu pemerintah mengontrol secara ketat (hanya ada satu serikat pekerja). Ada dua alasan utama mengapa sejak awal tahun 1990-an terjadi perubahan besar pada kebijakan ketenagakerjaan. Pertama, serikat independen mulai didirikan yang hingga saat ini sudah mencapai 68 organisasi pekerja (Smeru Research Team, 2004). Kedua, pemerintah mulai memperkuat pelaksanaan upah minimum dan nilai upah minimum terus meningkat karena adanya tekanan dari dalam dan luar negri. Dari dalam negri, pengambil keputusan dalam pemerintahan bependapat bahwa para pekerja tidak memperoleh bagian yang adil dari kue pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang pernah dialami Indonesia. Dari luar negri, Amerika Utara dan Uni Eropa menuduh Indonesia mengeksploitasi para pekerja dengan memberikan kondisi kerja buruk, upah rendah, dan menghalangi hak pekerja untuk membentuk serikat pekerja. Dengan latar belakang tersebut, kebijakan ketenagakerjaan dituangkan dalam bentuk peraturan perundang- 42 undangan dan telah mengalami beberapa perubahan perundang-undangan yang berlaku seperti pada Tabel 8. Tabel 8. Perubahan Perundang-undangan tentang Kebijakan Upah Minimum di Indonesia. No. Bentuk Peraturan Tanggal 1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-01/ Men/ 12 januari 1999 1999 2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI 5 Oktober 2000 No. Kep-226/ men/ 2000 Sumber : Depnakertrans, 2005. Pada dasarnya, kebijakan upah minimum di Indonesia merupakan salah satu upaya perlindungan terhadap para pekerja/ buruh baru yang berpendidikan rendah, tidak mempunyai pengalaman, mempunyai masa kerja di bawah satu tahun, dan lajang/ belum berkeluarga (Priyono, 2002). Tujuannya untuk mencegah tindakan sewenang-wenang dari pihak perusahaan dalam memberikan upah kepada pekerja/ buruh baru dengan kondisi tersebut. Namun dalam pelaksanaannya penegakan kebijakan upah minimum ini telah melatarbelakangi keputusan pengusaha yang mempekerjakan buruh untuk menaikkan upah secara individu di semua golongan pekerja (Wirahyoso, 2002). Fenomena ini disebut upah sundulan, yaitu mengacu pada fenomena pendorong naiknya upah semua buruh sebagai dampak naiknya upah buruh yang sebelumnya berada di bawah upah minimum akibat kebijakan upah minimum (Priyono, 2002). 43 3.2.1. Pasar Tenaga Kerja yang Bersaing Studi terdahulu juga secara teori belum dapat menyimpulkan secara pasti besarnya dampak kebijakan upah minimum terhadap kesempatan kerja di Indonesia. Namun secara teoritis dapat dipastikan bahwa kebijakan upah minimum akan memberikan dampak yang berbeda pada struktur pasar yang berbeda. Dalam pasar tenaga kerja yang kompetitif, penetapan upah minimum di atas tingkat upah keseimbangan pasar akan mengurangi jumlah tenaga kerja yang terserap oleh pasar tenaga kerja sehingga akan menyebabkan pengangguran. Kajian teoritis ini dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 3. Upah Upah S WM F ’ ME = AE’= S’ Upah minimum E * WC = MVPL* ME= AE= S D = MVPL LM LC * LM’ (a) Jumlah Tenaga Kerja D = MVPL LM LC * Jumlah Tenaga Kerja (b) Gambar 3. Dampak Kebijakan Upah Minimum di Pasar Tenaga Kerja Bersaing Sumber : Nicholson, 2002 (dimodifikasi). Gambar 3 memperlihatkan bahwa (a) keseimbangan pasar tenaga kerja dalam struktur persaingan sempurna dan (b) penggunaan input tenaga kerja oleh 44 perusahaan dengan modal tetap pada struktur persaingan sempurna. Pada struktur pasar tenaga kerja yang bersaing, penawaran tenaga kerja yang dihadapi perusahaan bersifat elastis sempurna dan identik dengan kurva pengeluaran marjinal (ME) dan juga kurva pengeluaran rata-rata (AE). Pada upah keseimbangan pasar (WC*) perusahaan akan memepekerjakan input tenaga kerja sebanyak LC*. Pada struktur pasar tenaga kerja yang bersaing ini jelas terlihat bahwa upah buruh dibayar sesuai dengan produktifitas buruh tersebut ( WC* = MVPL* ). Intervensi pemerintah pada upah dalam bentuk kebijakan upah minimum pada struktur pasar persaingan sempurna akan menyebabkan tingkat upah WM berada di atas upah keseimbangan. Pada tingkat upah WM (Gambar 3.2.b), perusahaan akan mengurangi penggunaan input tenaga kerja dari LC* menjadi LM. Jika perusahaan tetap menggunakan tenaga kerja sebanyak LC*, perusahaan tidak akan memaksimumkan keuntungan. Hal ini disebabkan pada tingkat upah minimum yang lebih tinggi tersebut, tenaga kerja yang digunakan dapat lebih sedikit karena perusahaan mampu mendapatkan produktifitas fisik marjinal yang lebih tinggi dari tenaga kerja yang digunakannya. Ketika hanya ada satu input yang dapat dirubah, asumsi produktifitas marjinal tenaga kerja menjamin bahwa peningkatan upah tenaga kerja akan menyebabkan lebih sedikit tenaga kerja yang digunakan perusahaan (Nicholson, 2002). Pada saat yang bersamaan (Gambar 3.2.a), lebih banyak tenaga kerja yang ditawarkan pada tingkat upah WM. Dalam struktur pasar tenaga kerja yang bersaing sempurna, intervensi pemerintah dalam bentuk penetapan upah minimum dapat menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran tenaga kerja sebesar LM’-LM. Dapat disimpulkan bahwa pada pasar 45 tenaga kerja yang bersaing, penerapan kebijakan upah minimum dapat menyebabkan pengangguran sebesar LM’- LM. 3.2.2. Pasar Tenaga Kerja Monopsoni Perusahaan yang berada dalam struktur pasar tenaga kerja monopsoni menghadapi kurva penawaran pasar untuk seluruh input dan berslope positif. Namun pada struktur pasar monopsoni, kurva penawaran tenaga kerja yang dihadapi perusahaan tidak identik dengan kurva pengeluaran marjinal. Kurva penawaran pasar tenaga kerja tersebut memperlihatkan berapa banyak tenaga kerja yang harus perusahaan bayarkan per unit sebagai fungsi jumlah total unit tenaga kerja yang dibeli perusahaan. Dengan kata lain kurva penawaran tenaga kerja tersebut adalah kurva pengeluaran rata-rata perusahaan (AE). Karena kurva AE berslope positif maka kurva pengeluaran marginal perusahaan (ME) harus terletak di atas kurva S. Keputusan untuk membeli satu unit tambahan tenaga kerja menaikkan harga yang harus dibayarkan untuk semua unit tenaga kerja, bukan hanya untuk satu unit tambahan tenaga kerja tersebut. Untuk memperoleh kurva pengeluaran marjinal secara matematis adalah sebagai berikut: E = W ⋅ L ................................................................................................. (1) Pengeluaran marjinalnya: ME = ∂E ⎛ ∂W = W + L⎜ ∂L ⎝ ∂L ⎞ ⎟ ......................................................................... (2) ⎠ Karena kurva penawaran berslope positif maka ∂W/∂L adalah positif dan pengeluaran marjinalnya lebih besar daripada pengeluaran rata-rata. 46 Selanjutnya jika perusahaan bertujuan untuk mencapai manfaat ekonomi semaksimal mungkin, maka secara defenisi perusahaan akan berusaha membuat perbedaan sebesar mungkin antara nilai penerimaan dan nilai pengeluaran dari pembelian tenaga erja. Secara matematis, manfaat bersih (NB) perusahaan dari pembelian tenaga kerja adalah sebagai berikut: NB = V − E ............................................................................................. (3) Keterangan: V = nilai penerimaan perusahaan dari pembelian tenaga kerja E = nilai pengeluaran perusahaan dari pembelian tenaga kerja Manfaat bersih dapat dimaksimalkan apabila: ∂NB ∂L = 0 , maka: ∂NB ∂L = ∂V ∂E − ∂L ∂L = 0 ...................................................................... (4) MV − ME = 0 ...................................................................... (5) MV = ME .................................................................. (6) Persamaan (6) menunjukkan bahwa untuk memaksimumkan manfaat, perusahaan seharusnya mempekerjakan tenaga kerja dimana manfaat tambahan pembelian satu tenaga kerja adalah tepat sama dengan biaya marjinal atas penggunaan tambahan satu tenaga kerja. Namun, pada kasus dimana perusahaan mempunyai kekuatan monopsoni, perusahaan akan menghadapi kurva penawaran tenaga kerja yang berarah positif. Akibatnya perusahaan membeli tenaga kerja dengan jumlah yang lebih sedikit dan upah yang lebih rendah dibandingkan yang terjadi dalam struktur pasar tenaga kerja yang bersaing. Selanjutnya juga akan diuraikan secara teoritis bahwa dalam pasar tenaga kerja dimana perusahaan mempunyai kekuatan monopsoni, 47 penetapan upah minimum di atas tingkat upah monopsoni tetapi masih di bawah tingkat upah struktur pasar bersaing akan meningkatkan kesempatan kerja seperti pada Gambar 4. Upah ME S = AE E MVPL F WM WN Upah Minimum * D = MVPL LN * LM Jumlah Tenaga Kerja Gambar 4. Dampak Kebijakan Upah Minimum di Pasar Tenaga Kerja Monopsoni Sumber : Nicholson, 2002 (dimodifikasi). Gambar 4 memperlihatkan bahwa pada syarat keseimbangan ME = MVPL jumlah tenaga kerja yang dapat dipekerjakan perusahaan adalah sebanyak LN* dan upah yang dibayarkan adalah sebesar WN*. Upah yang dibayarkan oleh perusahaan monopsoni ditentukan dari kurva penawarannya (upah WN* sendirilah yang menimbulkan penawaran LN*). Akibatnya terlihat bahwa biaya marjinal atas penggunaan tambahan satu tenaga kerja melebihi upah pasar. Demikian pula WN* dan LN* lebih sedikit dibandingkan dengan upah dan jumlah tenaga kerja yang seharusnya berlaku dalam suatu pasar yang bersaing. Dapat dikatakan bahwa pada LN* perusahaan membayar upah buruh kurang dari yang seharusnya dibayarkan. Perbedaan antara produktifitas buruh dengan upah yang diterima tersebut menggambarkan eksploitasi tenaga kerja (buruh). 48 Kondisi perbedaan antara upah dan produktifitas akan semakin merugikan pekerja bila kurva penawaran tenaga kerja yang dihadapi perusahaan monopsoni semakin inelastis. Jika penawaran tenaga kerja semakin kurang responsif terhadap upah rendah maka perusahaan monopsoni dapat mengambil keuntungan yang semakin banyak pada situasi tersebut (Pindyck, 2001). Pendekatan matematis dari kenyataan ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Bila persamaan (2) dikalikan W dan dibagi W maka akan menjadi: ⎛ L ∆W ⎞ ME = W + W ⎜ ⋅ ⎟ ......................................................................... (7) ⎝ W ∆L ⎠ berdasarkan persamaan (6) maka: ⎛ 1 MV = W + W ⎜⎜ ⎝ εS MV − W ⎛ 1 = ⎜⎜ W ⎝ εS ⎞ ⎟⎟ ................................................................................. (8) ⎠ ⎞ ⎟⎟ .................................................................................... (9) ⎠ Berdasarkan persamaan (9), suatu pasar yang bersaing memiliki elastisitas penawaran tenaga kerja ε S = 0 sehingga MV = W . Namun, jika perusahaan memiliki kekuatan monopsoni, maka perusahaan dapat membeli tenaga kerja dengan upah di bawah nilai marjinalnya. Sejauhmana upah diturunkan di bawah nilai marjinalnya bergantung pada elastisitas penawaran tenaga kerja yang dihadapi perusahaan sebagai pembeli. Jika penawaran sangat leastis ( ε S besar ) maka penurunan upah akan kecil dan perusahaan akan mempunyai kekuatan monopsoni yang kecil (upah akan mendekati apa yang seharusnya terjadi dalam pasar persaingan sempurna). Sebaliknya jika elastisitas penawaran tenaga kerja tidak elastis maka penurunan upah menjadi besar dan perusahaan sebagai pembeli tenaga kerja akan mempunyai kekuatan monopsoni yang sangat besar. 49 3.2.3. Dampak Kebijakan Upah minimum di Indonesia Penjelasan sebelumnya telah membuktikan bahwa kekuatan monopsoni mengakibatkan upah dan penyerapan tenaga kerja yang lebih rendah. Pemerintah dapat melakukan intervensi untuk membuat posisi pekerja tidak terlalu dirugikan. Akan dilakukan pendekatan secara teoritis alasan pentingnya penetapan kebijakan upah minimum terhadap pekerja dengan status 4 (buruh/ karyawan) di Indonesia. Pendekatan yang akan digunakan adalah dengan membandingkan surplus konsumen dan surplus produsen yang berasal dari struktur pasar persaingan sempurna dengan surplus yang terjadi ketika perusahaan monopsoni adalah satusatunya pembeli seperti pada Gambar 5. Upah ME S = AE A B WC WN * Deadweight Loss C D E D = MVPL LN * LC Jumlah Tenaga Kerja Gambar 5. Surplus Produsen dan Konsumen pada Pasar Monopsoni Sumber : Nicholson, 2002 (dimodifikasi). Gambar 5 memperlihatkan keuntungan perusahaan monopsoni dapat dimaksimumkan dengan membeli tenaga kerja sebanyak LN* dengan upah WN* sehingga nilai penerimaan marjinal akan sama dengan nilai pengeluaran marjinal 50 perusahaan. Selanjutnya akan dianalisis bagaimana surplus konsumen dan produsen berubah bila upah dan jumlah tenaga kerja pada pasar yang bersaing (WC dan LC) kita rubah menjadi upah dan jumlah tenaga kerja pada pasar monopsoni (WN* dan LN* ), seperti pada Tabel 9. Tabel 9. Analisis Surplus Produsen dan Surplus Konsumen dari Kekuatan Monopsoni Surplus Pasar Persaingan Pasar Monopsoni Sempurna Selisih Konsumen (Perusahaan) A+B A+D +D-B Produsen (Pekerja) E -C-D C+D+E Surplus Bersih -B-C Sumber : Gambar 5. Dengan monopsoni maka upah akan lebih rendah dan tenaga kerja yang terserap di pasar kerja lebih sedikit. Karena upah yang lebih rendah, pekerja kehilangan sejumlah surplus yang diberikan oleh segi empat D. Selain itu, pekerja sebagai penjual jasa tenaga kerja kehilangan surplus yang diberikan oleh segi tiga C karena penjualan yang berkurang. Oleh karena itu, total kerugian surplus pekerja sebagai produsen jasa tenaga kerja adalah sebesar C+D. Perusahaan sebagai pembeli jasa tenaga kerja memperoleh surplus yang diberikan oleh segi empat D dengan membeli tenaga kerja dengan upah yang lebih rendah. Namun, perusahaan membeli lebih sedikit tenaga kerja (LN*-LC) sehingga kehilangan surplus sebesar segi tiga B. Total kelebihan surplus bagi perusahaan adalah D-B. Secara keseluruhan terdapat kerugian bersih surplus sebesar luas segi tiga B+C (deadweight loss) akibat kekuatan monopsoni. Deadweight loss adalah 51 biaya sosial yang ditanggung oleh pekerja karena adanya ketidakefisienan pasar monopsoni tenaga kerja. Dari perbandingan teoritis dua struktur pasar di atas jelas terlihat bahwa pada pasar tenaga kerja monopsoni, adalah beralasan bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan upah minimum sebesar WM = WC untuk menghilangkan deadweight loss dari kekuatan monopsoni. Dengan penetapan ini dapat meningkatkan upah dari WN* menjadi WM sementara penyerapan tenaga kerja juga akan meningkat dari LN* menjadi LM. Berbeda dengan dampak penetapan kebijakan upah minimum pada struktur pasar persaingan sempurna, kebijakan upah minimum pada pasar monopsoni justru berdampak pada peningkatan upah maupun penyerapan tenaga kerja. Menurut hasil kajian Suryahadi (2003) belum ada bukti empiris yang menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja di Indonesia secara umum bersifat monopsoni. Ada beberapa kecenderungan adanya kekuatan monopsoni pada perusahaan-perusahaan besar di daerah-daerah yang relatif terisolasi di luar jawa. Namun, untuk membangun gambaran realistis tentang bagaimana identifikasi struktur pasar tenaga kerja secara umum di Indonesia dapat diamati melalui data jumlah pencari kerja dan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Data tenaga kerja (BPS, 2005) menunjukkan bahwa jumlah lapangan pekerjaan formal yang tersedia (29.2 juta pekerja) jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pencari kerja (102.9 juta pekerja). Diperkuat pula dengan studi empiris oleh Priyono (2002) bahwa indikasi di lapangan memperlihatkan bahwa kekuatan tawar menawar (bargaining power) pengusaha di Indonesia lebih besar dibandingkan dengan 52 kekuatan buruh. Dari dua karakteristik di atas dapat diasumsikan bahwa struktur pasar tenaga kerja Indonesia cenderung mengarah pada struktur pasar monopsoni. Pemerintah Indonesia telah menetapkan sistem pengupahan yaitu Upah Minimum yang terdiri dari upah pokok ditambah tunjangan tetap. Penetapan upah minimum pada prinsipnya didasarkan atas faktor-faktor : (1) Kebutuhan dasar hidup pekerja dengan keluarganya, (2) Tingkat upah pada sektor-sektor industri dan usaha-usaha lainnya, (3) Keadaan perekonomian pada umumnya dan perusahaan pada khususnya yang dikaitkan dengan pembangunan daerah dan pembangunan nasional, (4) Kemampuan perusahaan di sektor yang bersangkutan. Dalam penetapan upah minimum di Indonesia didasarkan pada kebutuhan hidup pekerja lajang yang telah mengalami dua kali perubahan. penetapan upah minimum yang didasarkan (KFM) dan kedua, didasarkan Pertama, pada Kebutuhan Fisik Minimum pada Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Kebutuhan fisik Minimum adalah kebutuhan minimum seorang pekerja yang diukur menurut jumlah kalori, protein, vitamin-vitamin, dan bahan mineral lainnya yang diperlukan sesuai dengan tingkat kebutuhan minimum seorang pekerja dengan syarat-syarat kesehatan (Depnakertrans, 2004b). Menurut Depnakertrans, dengan perkembangan teknologi dan sosial ekonomi yang cukup pesat maka dirasakan penetapan upah minimum didasarkan pada KFM sudah tidak sesuai lagi. Pemerintah beranggapan dasar kebutuhan hidup layak dapat lebih meningkatkan produktifitas kerja dan produktifitas perusahaan sehingga pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan produktifitas nasional. Namun pada awalnya penetapan upah minimum berdasarkan KHM 53 mendapat koreksi yang relatif besar dari pekerja karena mereka beranggapan hal tersebut dapat berimplikasi pada rendahnya daya beli dan kesejahteraan masyarakat terutama para pekerja level bawah. 3.3. Keterkaitan Pasar Tenaga Kerja dan Keseimbangan Ekonomi Makro Teori ekonomi makro tradisional difokuskan pada analisis variabel ekonomi agregat tertentu. Teori tersebut cenderung mengagregatkan ekonomi menjadi empat pasar yaitu : (1) Pasar barang, (2) Pasar uang, (3) Pasar Obligasi dan (4) pasar tenaga kerja. Terkait dengan hukum Walras maka hanya tiga dari keempat pasar ini yang independen. Dengan demikian salah satu dari pasar ini dapat dihapuskan, karena keseimbangannya dapat dijamin oleh keseimbangan ketiga pasar yang lainnya. Secara tradisional, pasar obligasilah yang akan dihilangkan dan analisisnya difokuskan pada ketiga pasar yang lainnya. Dengan demikian, defenisi teori ekonomi makro dapat dikembangkan dalam konteks pasar barang, pasar uang, dan pasar tenaga kerja. Menurut Romer (1996) dikotomi dalam sistem klasik sudah pecah. Perubahan keseimbangan pada salah satu pasar dapat menyebabkan perubahan keseimbangan di pasar lainnya melalui mekanisme transmisi. Secara keseluruhan sistem dalam ekonomi makro saling berhubungan (Mankiw, 2000). Pasar tenaga kerja dan pasar lainnya secara makro ikut menentukan jumlah penyerapan tenaga kerja. Pada khususnya, ini berarti bahwa kebijakan moneter dan fiskal dapat mempengaruhi tingkat pengangguran dan output nasional begitu pula sebaliknya. Sebagai contoh, diberlakukannya kebijakan peningkatan upah minimum. Secara makro, upah berpengaruh terhadap pendapatan nasional baik secara 54 langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, upah akan mempengaruhi produktivitas kerja dan mengakibatkan output yang dihasilkan meningkat. Secara kumulatif hal ini akan meningkatkan produksi nasional dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan nasional. Secara tidak langsung, peningkatan upah akan meningkatkan daya beli pekerja untuk mengkonsumsi barang-barang. Hal ini mengakibatkan permintaan barang meningkat, sehingga mendorong pengusaha untuk meningkatkan produksinya. Peningkatan produksi akan memperluas kesempatan kerja, dan akhirnya akan meningkatkan pendapatan nasional. Hubungan ini dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 6. AE=C+I+G+X-M Eq Ps IS AE=Y AD MD=L(r,Y) Eq Ps Uang Equilibrium Makro LM MS/P=MD AS = AD Fungsi Produksi AS Indikator Makro: 1. Pengangguran 2. Inflasi 3. Output nasional DTK=P.f(L) Eq Ps TK STK = DTK STK=Pe.g(L) Gambar 6. Skema Hubungan Pasar Tenaga Kerja dan Keseimbangan Ekonomi Makro Sumber: Mankiw, 2000. 55 3.3.1. Shock di Pasar Tenaga Kerja dan Transmisinya Teori ekonomi makro tradisional dapat dirangkumkan sebagai berikut (Mankiw, 2000): Keseimbangan pasar tenaga kerja : Pe . g (L) = P . f (L) Fungsi produksi : Y = f (L) Keseimbangan pasar barang (IS) : Y = C (Y – T) + I (r) + G + X – M Keseimbangan pasar uang (LM) : MS/P = MD (r,Y) Keterangan: Pe = Ekspektasi indeks harga umum. P = Indeks harga umum. L = Jumlah tenaga kerja. Y = Output nasional. C = Konsumsi. T = Pajak. I = Investasi. r = Suku bunga. G = Pengeluaran pemerintah. X = Ekspor. M = Impor. MS/P = Penawaran uang riil. MD = Permintaan uang. Secara teoritis, idealnya output selalu berada pada tingkat penggunaan tenaga kerja penuh atau full employment (Branson, 1976). Namun pada kenyataannya kondisi ketenagakerjaan (digambarkan oleh pasar tenaga kerja) tampaknya menyesuaikan diri secara lambat terhadap perubahan permintaan agregat. Dalam dunia nyata informasi adalah tidak sempurna. Para pengusaha mengetahui informasi harga dengan sempurna sementara tidak demikian halnya dengan para pekerja. Akibatnya besar pergeseran kurva permintaan tenaga kerja tidak sama besar dengan pergeseran kurva penawaran tenaga kerja. Keadaan ini lebih jelas diperlihatkan pada contoh kasus seperti pada Gambar 7. 56 WS1 = P1e.g(L) W WS0 = P0e.g(L) W0 B W2 A 1 W 1 WD0 = P0.f(L) WD1 = P1.f(L) L2 AS L1 L0 A Y Y0 L Y= f (L) B Y1 (a) Pasar TK dan Fungsi Produksi L2 L1 r r L0 L LM (P1) r LM (P0) r2 r0 B r2 A r2 A r0 I (r) I1 I0 M P0 r1 B r0 M P1 B A IS Y1 I Y0 Yriil LD0 LD1 MS, MD P AS1 AS0 P1 B P0 A A (b) Pasar Barang, Pasar Uang dan Keseimbangan Makro AD0 Y1 Y0 Yriil Gambar 7. Shock di Pasar Tenaga Kerja dan Transmisi 57 Gambar 7 memperlihatkan keseimbangan awal pada setiap pasar berada pada titik A. Adanya kebijakan pemerintah yang menyesuaikan Upah Minimum Propinsi (UMP) dengan tingkat inflasi ditambah kebijakan-kebijakan ketenagakerjaan antara lain: (i) Keputusan Menteri no. 150 tahun 2000 tentang pengawasan ketenagakerjaan dalam industri dan perdagangan, (ii) Undang-undang ketenagakerjaan no 13 tahun 2003 tentang aturan mempekerjakan perempuan dan (iii) Undang-undang no 2 / 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat meningkatkan biaya operasional perusahaan sehingga menjadi pemicu berkurangnya permintaan tenaga kerja. Mekanisme perubahan keseimbangan di pasar tenaga kerja akan mempengaruhi keseimbangan di semua pasar secara makro. Permintaan tenaga kerja berkurang, kurva permintaan tenaga kerja bergeser ke kiri (D0 ke D1). Pada saat upah tetap di W0 akan terjadi kelebihan penawaran tenaga kerja sehingga upah keseimbangan cenderung turun menjadi W1. Bila diasumsikan adanya kebijakan upah minimum merupakan kendala bagi perusahaan untuk menurunkan upah sementara diasumsikan informasi bersifat tidak sempurna dan adanya kekuatan serikat pekerja untuk menuntut kenaikan upah maka kurva penawaran tenaga kerja akan bergeser ke kiri atas (S0 ke S1). Kesempatan kerja berkurang. Keseimbangan di pasar tenaga kerja terjadi pada titik B (W2,L2). Pada fungsi produksi terlihat output berkurang (Y0 ke Y1). Pada keseimbangan makro, penurunan output nasional karena efek di pasar tenaga kerja di ilustrasikan dari pergeseran penawaran agregat AS ke kiri atas (AS0 ke AS1). Pada indeks harga umum yang konstan di P0 terjadi kelebihan 58 (P0 ke P1). permintaan agregat sehingga harga cenderung meningkat Keseimbangan makro bergeser ke titik B (P1,Y1). Peningkatan indeks harga-harga umum ke P1 menyebabkan perubahan keseimbangan di pasar uang dan pasar barang. Kurva penawaran uang bergeser ke kiri (M/P0 ke M/P1), LM bergeser ke kiri (LM(P0) ke LM(P1)). Keseimbangan IS-LM bergeser ke titik B(r2,Y1). Kesimpulan dari adanya pemberlakuan kebijakan ketenagakerjaan pada kasus di atas menimbulkan beberapa dampak secara makro. Dampak tersebut adalah : i) penurunan growth dari Y0 ke Y1, ii) inflasi karena peningkatan indeks harga-harga umum dari P0 ke P1, iii) penurunan kesempatan kerja dari L0 ke L2, dan iv) peningkatan jumlah pengangguran sebesar selisih L0 dan L2. 3.3.2. Pengangguran Dalam pembahasan ekonomi makro dibedakan berbagai jenis pengangguran. Keynes membedakan pengangguran berdasarkan kesediaan bekerja menjadi pengangguran yang disengaja (voluntary unemployment) dan pengangguran yang tidak disengaja (unvoluntary unemployment). Pengangguran yang disengaja terjadi bila ada pekerjaan tetapi orang yang menganggur tidak mau menerima pekerjaan dengan upah yang berlaku untuk pekerjaan tersebut. Pengangguran yang tidak disengaja terjadi bila seseorang bersedia menerima pekerjaan dengan upah yang berlaku tetapi pekerjaannya tidak ada. Menurut Lucas dalam Romer (1996), pengangguran disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pekerja dan pengusaha. Pekerja membuat kesalahan mengenai upah riil dan melepas pekerjaannya atau menolak pekerjaan 59 yang ditawarkan karena upah yang terlalu rendah. Pengusaha juga membuat kesalahan tentang permintaan dan kadang-kadang memproduksi dalam jumlah yang terlalu kecil dan terlalu sedikit mempekerjakan pekerja. Tetapi karena manusia adalah mahluk rasional, yang melihat kedepan dalam membuat pengharapan, kesalahan akan diperbaiki dengan segera dan pengangguran akan hilang. Keynes mengemukakan pendapat mengawali “The General Theory” -nya dengan menyerang Hukum Say, yaitu pandangan bahwa “penawaran menciptakan permintaannya sendiri”. Menurut hukum ini, pengangguran adalah hal yang tidak mungkin, karena setiap ada penawaran tenaga kerja (atau setiap ada penawaran barang dalam ekonomi) maka akan ada permintaan untuk tenaga kerja tersebut (atau permintaan untuk barang tersebut). Keynes kemudian berpendapat bahwa permintaan agregat atau permintaan total menentukan penawaran dari output dan tingkat tenaga kerja. Ketika permintaan tinggi, ekonomi akan makmur, perusahaan akan berkembang dan mempekerjakan lebih banyak lagi tenaga kerja dan masalah pengangguran akan terpecahkan. Tetapi ketika permintaan rendah, perusahaan tidak akan mampu menjual barang mereka sehingga terpaksa mengurangi produksi dan tenaga kerja. Apabila keadaan semakin memburuk, maka akan tejadi pemecatan besar-besaran dan pengangguran yang tinggi. Kondisi tingkat permintaan tenaga kerja yang rendah dibandingkan dengan penawaran tenaga kerja tercermin di pasar tenaga kerja Indonesia. Pertumbuhan angkatan kerja Indonesia yang tinggi tidak dibarengi dengan pertumbuhan dan skala ekonomi yang tinggi. Kondisi seperti ini terus berlangsung di Indonesia. 60 Sekarang Indonesia dikategorikan sebagai Labour Surplus Economy Depnakertrans dan BPPS, 1999) Pengangguran di Indonesia merupakan masalah ketenagakerjaan dan masalah ekonomi yang serius karena menyangkut pemborosan dalam penggunaan sumberdaya (Depnakertrans dan BPPS, 1999). Pemborosan ini terjadi sebagai akibat belum dimanfaatkannya sumberdaya tenaga kerja ke arah kegiatan produktif. Kerugian akibat pemborosan akan merupakan beban yang harus ditanggung negara, masyarakat dan individu. Beban yang ditanggung negara menyangkut biaya pemeliharaan keamanan, ketenangan dan stabilitas kehidupan masyarakat yang harus dikeluarkan sebagai akibat dari pengangguran. Masyarakat harus mengeluarkan biaya untuk penghidupan tenaga kerja yang belum dimanfaatkan secara produktif. Individu akan menanggung beban moral, merasa terasing, rendah diri, kehilangan kepercayaan dan penghargaan keluarga dan masyarakat. Dari berbagai pengalaman menunjukkan bahwa pengangguran dapat menyebabkan timbulnya keresahan dalam kehidupan masyarakat. Pengangguran juga telah menyebabkan masyarakat kehilangan sebagian produksi barang dan jasa akibat belum digunakannya sumberdaya tenaga kerja tersebut. Sebagai contoh, kerugian akibat pengangguran siklis bagi masyarakat adalah adanya output yang hilang karena perekonomian tidak beroperasi pada tingkat penggunaan tenaga kerja penuh. Ukuran pertama atas kerugian itu adalah seperti pada hukum Okun. Hukum Okun menyatakan bahwa untuk setiap laju pertumbuhan GNP riil sebesar 2.2 persen di atas tingkat trend yang telah dicapai 61 pada tahun tertentu tingkat pengangguran akan menurun sebesar 1 persen (Mankiw, 2000). Terdapat kerugian tambahan bagi masyarakat akibat pengangguran, yang sangat sulit untuk diukur. Kerugian itu timbul dari distribusi beban pengangguran yang tidak merata antar penduduk yang ada. Pengangguran cenderung terpusat pada kaum miskin dan hal ini membuat aspek distribusi pengangguran menjadi masalah yang serius. Pengangguran ini tidak dapat kita ukur secara mudah meskipun seharusnya tidak boleh diabaikan. 3.3.3. Inflasi Menurut Mankiw (2000) inflasi adalah peningkatan dalam seluruh tingkat harga. Inflasi dapat disebabkan oleh reaksi dari sisi permintaan dan sisi penawaran. Inflasi dorongan biaya disebut juga inflasi dari sisi penawaran (supply shock inflation). Ada tiga faktor yang menyebabkan inflasi dari sisi penawaran. Pertama, disebabkan oleh kenaikan upah yang merupakan tuntutan serikat pekerja, yang disebut juga wage-push inflation. Kedua, disebabkan penetapan harga yang tinggi oleh industri monopolistik atau oligopolistik, yang disebut juga profit-push inflation. Ketiga, disebabkan adanya transmisi inflasi dari negara pengekspor ke negara pengimpor (import driven). Prasyarat terjadinya wage-push adanya pasar tenaga kerja yang tidak kompetitif, terutama dengan adanya serikat pekerja. Sementara prasyarat profit- push inflation adanya pasar persaingan tidak sempurna. Penetapan harga, melalui administered price yang jauh lebih besar dari biaya, dapat juga menyebabkan 62 inflasi. Peningkatan harga faktor, dengan cara yang sama seperti wage-push menyebabkan bergesernya kurva penawaran agregat ke kiri menyebabkan inflasi yang disebut cost-push inflation (Shapiro, 1978). Mekanisme pergeseran kurva penawaran agregat, akibat terjadi perubahan di pasar tenaga kerja, dalam hal ini tuntutan serikat pekerja untuk menaikan upah dapat dilihat pada Gambar 8. S1 W P AS1 S0 AS0 B B W1 P1 A W0 A P0 D0 L1 Y L0 A Y0 Y1 AD0 L Y = f (L) Y0 Y1 Yriil Y Y0 B A B Y1 Gambar 8. Inflasi Dorongan-Biaya akibat Tuntutan Kenaikan Upah oleh Serikat L L L Pekerja Y Y Y 1 0 1 0 riil Sumber : Shapiro, 1978. Gambar 8 memperlihatkan pada kondisi kurva AD tertentu, keseimbangan awal terjadi pada saat kurva AD0 berpotongan dengan kurva AS0 pada tingkat upah W0, tenaga kerja L0, produksi Y0 dan harga P0. Jika serikat pekerja 63 menuntut kenaikan upah, pada tingkat harga tetap di P0, permintaan tenaga kerja tetap di D0, sedangkan upah meningkat dari W0 ke W1. penawaran tenaga kerja bergeser ke kiri dari S0 ke S1. Akibatnya kurva Peregeseran kurva penawaran tenaga kerja ke kiri menyebabkan jumlah faktor yang digunakan menurun dari L0 ke L1, sehingga output menurun dari Y0 ke Y1. Dengan harga tetap di P0, penurunan output dari Y0 ke Y1 menyebabkan kurva penawaran agregat bergeser dari AS0 ke AS1. Akibatnya terjadi excess demand yang menyebabkan harga meningkat dari P0 ke P1. Kenaikan harga ini disebut wage- push inflation. Grafik sebelah kiri bawah merupakan kurva produksi dan grafik di kiri atas merupakan kurva penawaran dan permintaan tenaga kerja di pasar tenaga kerja. Pada permintaan tenaga kerja yang tetap, perubahan W menyebabkan pergeseran kurva penawaran tenaga kerja, S. Hal ini menyebabkan kurva AS bergeser. Dengan demikian shifter AS adalah upah, W. Jika dianalogkan upah sebagai input, maka harga input lain juga merupakan shifter kurva AS. Dalam jangka panjang, perubahan teknologi juga akan menggeser kurfa AS ke kanan yang dapat menurunkan tingkat harga. 3.3.4. Kurva Phillips Kurva Phillips dapat diterjemahkan kedalam kurva yang mengaitkan perubahan upah dengan senjang keluaran dengan memperhatikan bahwa pengangguran dan senjang ini mempunyai hubungan negatif. Senjang resesi berkaitan dengan tingkat pengangguran tinggi, dan senjang inflasi berkaitan 64 dengan tingkat pengangguran rendah. Kurva Phillips diperlihatkan pada Gambar 9. (+) (+) Laju Perubahan Laju Perubahan W0 0 U0 U* W0 0 Tingkat Pengangguran (%) (-) Y* Y0 Pendapatan Nasional Riil (-) Gambar 9. Kurva Phillips Sumber: Mankiw, 2000. Kedua kurva di atas memberikan informasi yang sama. Senjang inflasi (yang berkaitan dengan pengangguran rendah) berkaitan dengan kenaikan upah relatif terhadap produktifitas. Sementara senjang resesi (yang berkaitan dengan tingkat pengangguran tinggi) berkaitan dengan penurunan upah relatif terhadap produktifitas. Kurva Phillips menunjukkan bahwa laju inflasi upah menurun dengan naiknya pengangguran. Laju inflasi upah dapat dinyatakan sebagai berikut (Dornbusch, 1997): gW = W − W−1 W−1 …………………………………………………….. (10) keterangan : gW = Laju inflasi upah W = Tingkat upah dalam periode ini 65 W-1 = Tingkat upah periode yang lalu Kurva Phillips menyiratkan bahwa upah dan harga-harga menyesuaikan diri secara lambat terhadap perubahan permintaan agregrat. Mengapa bisa demikian? Dimisalkan perekonomian berada dalam keadaan equilibrium dengan tingkat harga yang stabil dan pengangguran dengan tingkat alamiahnya. Sekarang ada kenaikan uang beredar sebanyak 10 persen. Harga-harga dan upah semestinya naik sebesar 10 persen agar perekonomian tersebut kembali kepada keadaan equilibriumnya. Akan tetapi kurva Phillips menunjukkan bahwa bila upah naik 10 persen angka pengangguran akan merosot. Ini akan mengakibatkan tingkat upah mulai menanjak. Tingkat upah mulai naik, harga juga meningkat, dan akhirnya perekonomian akan kembali kepada kondisi permulaan tenaga kerja penuh. Namun sementara itu, kenaikan jumlah uang beredar menyebabkan turunnya jumlah pengangguran. Kurva Phillips yang digunakan para ekonom dewasa ini berbeda dalam tiga hal dari hubungan yang dipelajari Phillips. Pertama, kurva Phillips modern mensubtitusi inflasi harga untuk inflasi upah. Perbedaan ini tidak penting, karena inflasi harga dan inflasi upah terkait erat. Dalam periode ketika upah meningkat pesat, harga-harga juga meningkat pesat. Kedua, kurva Phillips modern mencakup inflasi yang diharapkan. Penambahan ini mengacu pada hasil kerja Milton Friedman dan Edmund Phelps. Dalam mengembangkan model kesalahan persepsi pekerja pada tahun 1960-an kedua ekonom ini menekankan pentingnya harapan pada penawaran agregrat. Ketiga, kurva Phillips modern mencakup goncangan penawaran. Kredit untuk penambahan ini diberikan kepada OPEC, 66 organisasi negara-negara pengekspor minyak. Pada tahun 1970-an, OPEC menyebabkan kenaikan besar dalam harga minyak dunia yang membuat para ekonom lebih menyadari pentingnya goncangan terhadap penawaran agregrat. Kurva Phillips dalam bentuk modernnya menyatakan bahwa tingkat inflasi tergantung pada tiga kekuatan yaitu : 1). Inflasi yang diharapkan (expected inflation), 2). Defiasi pengangguran dari tingkat alamiah atau disebut pengangguran siklikal (cyclical unemployment) dan 3). Goncangan penawaran (supply shock). Tiga kekuatan ini ditunjukan dalam persamaan berikut (Mankiw, 2000): π = π e − β (u − u n ) + v …………………………………..………….. (11) dimana : π = Tingkat inflasi aktual πe = Tinggat inflasi yang diharapkan β = Parameter yang mengukur respon inflasi terhadap pengangguran siklikal u = tingkat pengangguran aktual un = tingkat pengangguran alamiah v = goncangan tingkat pengangguran 3.4. Bagan Alur Penelitian Berdasarkan kerangka teori tentang keterkaitan pasar tenaga kerja dengan keseimbangan di pasar uang, pasar barang dan keseimbangan makro maka penelitian ini diharapkan mampu menjawab dampak kebijakan ketenagakerjaan 67 terhadap perubahan di pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era otonomi daerah. Bagan alur penelitian diilustrasikan seperti pada Gambar 10. KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN 1. Upah Minimum: → 89.63 % KHM. → Upah sundulan → Peningkatan W. 2. Kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial: Pekerja dan pengusaha sama-sama diberatkan dengan argumen berbeda → Pemogokan dan unjuk rasa. → Maraknya sistem kontrak dan Outsourching. Produksi Sektoral Keseimbangan Pasar TK Penawaran Agregat Permintaan Agregat Keseimbangan Pasar Barang Keseimbangan Makro Keseimbangan Pasar Uang Indikator: 1. Tingkat Pengangguran 2. Tingkat Inflasi 3. Output Nasional Gambar 10. Kerangka dan Bagan Alur Penelitian