SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 14 Desember

advertisement
SEMINAR NASIONAL ke 8 Tahun 2013 : Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
STUDI GENESIS CO-IGNIMBRITE DAERAH PASEKAN DAN SEKITARNYA,
KECAMATAN EROMOKO, KABUPATEN WONOGIRI, PROVINSI JAWA TENGAH
Ari Yusliandi1), Hill. G. Hartono2), Bernadeta S.A2)
1)
Mahasiswa Teknik Geologi, 2) Pengajar di Jurusan Teknik Geologi
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional
Jalan Babarsari, Caturtunggal, Depok, Sleman
email: [email protected]
ABSTRAK
Formasi Semilir merupakan salah satu formasi di Pegunungan Selatan yang dipercaya terbentuk dari fase
destruktif gunung api. Berdasarkan peta geologi regional, formasi ini tersebar luas di Pegunungan Selatan yaitu mulai dari
Kecamatan Piyungan di Kabupaten Bantul hingga Kecamatan Eromoko di Kabupaten Wonogiri. Formasi Semilir tersusun
dari bahan klastika gunung api yang sangat banyak mengandung pumis (pumice rich). Batuan gunung api yang banyak
mengandung pumis dipercaya menunjukkan produk letusan dahsyat. Lokasi sumber erupsi purba yang menghasilkan batuan
tersebut belum diketahui secara pasti.
Maksud penelitian adalah melakukan pemerian dan pengukuran fragmen batuan penyusun co-ignimbrite,
sedangkan tujuannya untuk mengetahui lokasi sumber erupsi yang menghasilkan batuan penyusun utama Formasi Semilir
berdasarkan arah sebaran co-ignimbrite. Daerah penelitian disusun oleh co-ignimbrite atau breksi aneka bahan dengan
berbagai fragmen beragam tekstur tertanam di dalam matrik piroklastika dan berbagai variasi komposisinya.
Breksi aneka bahan dijumpai di lima lokasi pengamatan daerah penelitian, hasil pengukuran dan analisis
menunjukkan bahwa lokasi sumber erupsi purba berada di sekitar Waduk Parangjoho dengan sebaran co-ignimbrite disertai
dengan perubahan ukuran butir fragmen menghalus ke arah barat dengan arah berkisar 270O – 290 O.
Kata Kunci : Formasi Semilir, Pegunungan Selatan, co-ignimbrite, Waduk Parangjoho.
PENDAHULUAN
Formasi Semilir merupakan salah satu
formasi di Pegunungan Selatan yang terbentuk dari
fase destruktif suatu gunung api. Formasi ini
berdasarkan Peta Geologi Lembar Yogyakarta
(Rahardjo, 1977) dan Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro (Surono, 1992), tersebar sangat
luas di wilayah Pegunungan Selatan. Wilayah sebaran formasi ini dimulai dari Kecamatan Piyungan
di Kabupaten Bantul hingga Kecamatan Eromoko
di Kabupaten Wonogiri.
Formasi Semilir merupakan formasi yang
tersusun dari bahan klastika gunung api yang
sangat banyak disusun oleh pumis (pumice rich)
dalam berbagai ukuran mulai dari tuf yang ukuran
butirnya sangat halus hingga klastika gunung api
fraksi kasar berupa breksi pumis. Akibat sifatnya
yang berupa bahan piroklastika tersebut yang
mudah terbawa oleh media angin pada saat erupsi,
maka hingga sampai saat ini belum ditemukannya
suatu sumber erupsi yang menghasilkan bahan
klastika gunung api tersebut.
Bahan klastika gunung api yang banyak
mengandung pumis merupakan produk suatu
letusan dahsyat, pada daerah penelitian terdapat
breksi aneka bahan dengan berbagai fragmen yang
beragam ukuran butirnya maupun komposisi.
Selain itu, matriks dari breksi aneka bahan tersebut
tersusun oleh material piroklastika sehingga peneliti meyakini bahwa breksi aneka bahan tersebut
merupakan bagian dari Formasi Semilir yang
berupa co-ignimbrite.
Co-ignimbrite secara kenampakan fisik di
lapangan merupakan suatu breksi yang mempunyai
ukuran butir yang sangat besar-besar dengan
bentuk butir very angular- angular. Apabila dilihat
dari ukuran maupun bentuk butir, maka coignimbrite dapat pula dianggap sebagai suatu penunjuk fasies gunung api yang dekat dengan
sumber erupsi. Berdasarkan hal tersebut, peneliti
ingin membahas lebih lanjut tentang studi genetik
pembentukan dari co-ignimbrite tersebut.
Maksud dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui proses pembentukan dari co- ignimbrite yang merupakan bagian Formasi Semilir di
daerah penelitian, sedangkan tujuan dari penelitian
ini adalah dapat diketahui sumber erupsi alternatif
dari Formasi Semilir berdasarkan sebaran coignimbrite. Lokasi penelitian terletak di wilayah
Ke-camatan Eromoko, Kabupaten Wonogiri,
Provinsi Jawa Tengah (Gambar 1). Waduk Parangjoho memiliki koordinat 7o56’58,9”-57’ LS dan
110o49’4,8”- 49’ BT.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 14 Desember 2013 G 32
SEMINAR NASIONAL ke 8 Tahun 2013 : Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah
dengan mengidentifikasi berbagai macam bentuk
ukuran butir dan kehadiran pumis di coignimbrite sehingga akan diperoleh data statistik
yang akan menunjukkan ke satu posisi titik tertentu.
Batasan masalah pada penelitian ini
berkaitan dengan pemahaman genetik dari
pembentukan batuan hasil kegiatan gunung api
yang didasarkan oleh data pemerian dan dihubungkan dengan proses vulkanisme pembentukannya.
TEORI/TINJAUAN PUSTAKA
Indonesia memiliki catatan erupsi gunung api
eksplosif yang bersifat sangat merusak dimana
letusannya dapat digolongkan sebagai letusan
cataclysmic, paroxysmal ataupun colossal dan
diklasifikasikan sebagai erupsi tipe Plini sampai
Ultra-Plini dengan volume tefra mencapai 1010 –
1012 m3 (Bronto dkk, 2009). Letusan sangat
dahsyat dengan volume sangat besar tersebut
menyebabkan endapan terlampar sangat luas dan
sangat tebal. Letusan-letusan tersebut seperti
letusan Gunung Api Tambora di Nusa Tenggara
pada 1815 dan Gunung Api Krakatau di Selat
Sunda pada 1883 (Kusumadinata, 1979; Simkin
dan
Fiske, 1983), Kaldera Toba di Sumatera
Utara, Kaldera Sunda di utara Bandung Jawa
Barat, Kaldera Ijen di Jawa Timur, serta
Kaldera Batur di Bali (Simkin dan Siebert, 1994).
Pada saat terjadi letusan sangat besar
ini, bahan yang dierupsikan tidak hanya magma,
tetapi juga batuan yang lebih tua di atasnya.
Batuan primer yang mewakili cairan magma pada
waktu itu adalah pumis ringan (light pumice),
pumis berat (dense pumice), serta bom dan blok
gunung api. Keempat bahan magma itu mempunyai komposisi relatif sama sebagai fragmen
batuan beku menengah – asam dan sering disebut
sebagai juvenile material. Batuan tua dapat berupa
batuan dasar (batuan metamorf, batuan beku intrusi
dalam, batuan sedimen meta, dan accidental rock
fragments) dan batuan gunung api yang sudah ada
sebelumnya (accessory rock fragments), yang
sebagian sudah terubah, teroksidasi atau bahan
lapuk. Fragmen batuan tua dan blok gunung api
hampir selalu berbentuk sangat menyudutmenyudut tajam karena terfragmentasi akibat
ledakan, diendapkan secara in situ, atau belum
mengalami pengerjakan ulang melalui proses
sedimentasi epiklastika. Pada letusan sangat merusak, kelimpahan fragmen batuan tua bisa sangat
tinggi, terutama yang diendapkan di dekat
(pematang) kawah atau kaldera gunung api. Hal itu
karena batuan tua pada umumnya mempunyai berat
jenis lebih besar daripada material gunung api
berkomposisi asam, apalagi berupa fragmen pumis
dan abu gunung api. Pada saat letusan dan terbentuk awan panas atau aliran piroklastika besar
(block and ash flows, pumice flows atau ignimbrites), fragmen batuan tua yang berukuran
bongkah (diamater >64 mm) tertinggal di dekat
kawah, sedangkan sebagian pumis, lapili, dan abu
gunung api mengalir menjauhi sumber erupsi
(Wright dan Walker 1977), Wright (1981), serta
Walker (1985) menyebut endapan ekor aliran
piroklastika kaya fragmen batuan tua ini dengan
nama a coignimbrite lag-fall deposit, sedangkan
Cas dan Wright (1987) memberikan nama coignimbrite breccias (breksi ko-ignimbrit).
HASIL/PEMBAHASAN
a. Lokasi Pengamatan Terpilih
Untuk mengetahui sebaran lateral fragmen
batuan telah dipilih lima lokasi pengamatan
singkapan di Waduk Parangjoho serta beberapa
yang menjauhinya (Gambar 2 dan Tabel 1). Hal
ini dimaksudkan agar didapat gambaran perubahan
ukuran butir dan kelimpahannya, mulai dari lokasi
dekat sampai jauh dari perkiraan sumber erupsi.
Jumlah lokasi sangat terbatas karena sebagian
sebaran Formasi Semilir di daerah ini tertutup
oleh Formasi Nglanggran dan Formasi Wonosari
yang berada di atasnya.
Gambar 2. Lokasi pengamatan terpilih daerah
penelitian.
b.
Litologi
Dari pemerian singkapan batuan breksi aneka
bahan di lokasi pengamatan terpilih (Tabel 1),
diketahui bahwa adanya perubahan ukuran butir
fragmen batuan terutama fragmen batuan aksesori
(batuan gunung api yang sudah ada sebelumnya)
berdasarkan pengukuran yang peneliti telah lakukan
di keenam lokasi singkapan tersebut. Perubahan itu
terjadi dari Waduk Parangjoho hingga lokasi yang
menjauhinya. Selain itu, terdapat orientasi arah dari
fragmen batuan (Gambar 3).
Tabel 1. Posisi, Jarak, dan variasi ukuran rata-rata
fragmen singkapan co-ignimbrite.
No
1
Posisi
Koordinat
Jarak dari
Waduk
Parangjoho
Kehadiran
Pumis
Ukuran
rata-rata
fragmen
S 7 57 12,3
E110 49 29,7
± 339 m
Minim
58,85 cm
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 14 Desember 2013 G 33
SEMINAR NASIONAL ke 8 Tahun 2013 : Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
2
S 7 57 00.1
E110 49 07.1
± 10 m
Sangat
Melimpah
70,80 cm
3
S 7 56 23.6
E110 48 44.2
± 1300 m
Melimpah
31,85 cm
4
S 7 56 29.4
E110 48 17.3
± 1800 m
Hadir
24,40 cm
5
S 7 56 53.1
E110 47 50.0
± 2400 m
Minim
14,40 cm
Gambar 3. Arah umum orientasi fragmen.
Perubahan itu terjadi dari Waduk Parangjoho hingga lokasi yang menjauhinya. Pada dinding
timur Waduk Parangjoho tersingkap perselingan
breksi aneka bahan yang mempunyai ketebalan
kurang lebih 10 meter. Breksi aneka bahan ini
merupakan endapan gunung api masif, terpilah
sangat buruk-buruk, kemas terbuka, tersusun atas
fragmen batuan aksesori, pumis, lapilli tuf (Gambar
4).
seperti halnya bom gunung api, tidak terubah, dan
tidak teroksidasi.
Gambar 5. Kenampakan berbagai ukuran fragmen
batuan di breksi ko-ignimbrit. Lensa menghadap ke
utara (Foto diambil di LP 66, sebelah timur Waduk
Parangjoho), koordinat 07o 57’ 00,1” LS dan 110o
49’ 07,1”.
Sebaliknya, fragmen batuan aksesori sudah
mengalami ubahan hidrotermal, oksidasi, dan
bahkan sebagian telah mengalami pelapukan.
Sebagai fragmen breksi aneka bahan, batuan
aksesori dan blok gunung api tersebut mempunyai
ragam komposisi, yakni dasit, pumis, dan andesit.
Untuk pumis sendiri, karena banyak mengandung
kuarsa diperkirakan mempunyai komposisi dasit
sampai riolit. Baik fragmen batuan aksesori
maupun blok gunung api sering membentuk kekar
prisma (prismatic joints) atau rekahan gergaji
(jigsaw-cracks) (Gambar 6) akibat terhempas
setelah dilontarkan dari bawah permukaan pada
waktu terjadi letusan. Selain itu, peneliti juga
menemukan histometabasis yang mengindikasikan
endapan gunung api tersebut terbentuk di
lingkungan darat (Gambar 7).
Gambar 4. Berbagai fragmen yang menyusun
breksi aneka bahan di daerah penelitian. Lensa
menghadap ke utara (Foto diambil di LP 66,
sebelah timur Waduk Parangjoho), koordinat
07o57’00,1” LS dan 110o49’07,1”.
Bentuk butir fragmen batuan aksesori dan
blok andesit sangat menyudut sampai menyudut,
ukuran butir terbesar mencapai 80 – 150 cm.
Seluruh fragmen batuan tersebut tertanam dalam
matriks tuf lapili pumis (Gambar 5). Perbedaan
yang mencolok antara fragmen batuan aksesori
dengan blok andesit yaitu pada tingkat kesegarannya. Blok gunung api sebagai bahan magmatik primer pada letusan waktu itu tampak segar
Gambar 6. Kenampakkan struktur jigsaw cracks
pada fragmen andesit. Lensa menghadap ke utara
(Foto diambil di LP 66, sebelah timur Waduk
Parangjoho), koordinat 07o 57’ 00,1” LS dan 110o
49’ 07,1”.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 14 Desember 2013 G 34
SEMINAR NASIONAL ke 8 Tahun 2013 : Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 7. Kenampakkan histometabasis yang
mengindikasikan lingkungan pengendapan batuan
gunung api berada di lingkungan darat. Lensa
menghadap ke utara (Foto diambil di LP 66,
sebelah timur Waduk Parangjoho), koordinat 07 o
57’ 00,1” LS dan 110o 49’ 07,1” BT.
c. Pembahasan
Breksi aneka bahan dijumpai di enam
lokasi yang berada di daerah penelitian. Breksi ini
tersusun oleh pumis, bom, dan blok gunung api
berkomposisi andesit-dasit sebagai material magma
pada saat itu (juvenile material), fragmen andesit
basal, andesit, dan ubahan hidrotermal sebagai
material aksesori batuan gunung api yang lebih tua
(accessory rock fragments). Seluruh fragmen
batuan tersebut tertanam di dalam matriks tuf lapili
pumis. Campuran aneka bahan mulai dari pumis,
bom, dan blok gunung api, dan material aksesori
yang masih berbentuk sangat menyudut sampai
menyudut, berstruktur kekar prisma dan rekahan
gergaji diinterpretasikan sebagai produk letusan
gunung api yang membentuk breksi co-ignimbrite.
Pendapat ini juga sudah mempertimbangkan aspek sedimentologi secara umum, yang
menyangkut dua hal. Pertama secara sedimentasi
epiklastika tidak mungkin pumis yang relatif lunak
bercampur dengan fragmen batuan pejal yang keras
dan tahan erosi. Kedua, fragmen batuan masih
berbentuk sangat menyudut sampai menyudut, dan
sebagian mengalami kekar prisma serta rekahan
gergaji yang mengindikasikan belum mengalami
proses pengerjaan ulang. Secara vulkanologis,
melimpahnya pumis dalam berbagai ukuran
bersama-sama dengan bom dan blok gunung api
menjadi ciri khas bahan piroklastika. Fragmen
batuan gunung api tua (batuan aksesori) di dalam
bahan piroklastika tersebut yang berbentuk sangat
menyudut - menyudut dan sebagian mengalami
kekar prisma dan rekahan gergaji, diyakini berasal
dari batuan gunung api tua di daerah itu (Bronto
dkk, 2009).
Suatu produk gunung api yang mempunyai
produk batuan dengan fragmen yang beraneka
bahan tersebut tentunya harus melalui proses
letusan yang bersifat eksplosif. Hal ini juga
diperkuat dengan hadirnya pumis yang sangat
melimpah. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan suatu gunung api dapat meletus secara
eksplosif tentunya dipengaruhi oleh faktor-faktor
tertentu seperti suhu magma, tekanan gas magma,
dan viskositas magma.
Temperatur magma berpengaruh terhadap
suatu letusan gunung api. Hal itu berkaitan dengan
jenis magma yang dibentuk. Semakin tinggi suhu
magma maka semakin basa pula magma tersebut.
Sebaliknya semakin rendah suhu magma, maka
magma tersebut akan bersifat asam. Kaitan antara
suhu magma dengan letusan eksplosif suatu
gunungapi adalah magma yang bersifat asam.
Breksi co-ignimbrite dalam hal ini diletuskan oleh
gunung api yang magmanya mempunyai temperatur
berkisar 700 – 900oC dan komposisi magma
bersifat asam yaitu andesitik-riolitik.
Tekanan gas akan sangat berpengaruh
terhadap letusan gunung api yang bersifat eksplosif.
Semakin tinggi tekanan gas suatu magma, maka
akan sangat besar letusan gunung api. Breksi koignimbrit dihasilkan oleh letusan gunung api yang
bersifat plinian yang dihasilkan oleh tekanan
magma yang besar.
Viskositas magma sangat terpengaruh oleh
suhu dan tekanan gas. Semakin tinggi suhu magma,
maka semakin rendah viskositas magma. Semakin
rendah tekanan gas suatu magma, maka semakin
rendah pula viskositas suatu magma. Breksi koignimbrit yang dihasilkan oleh gunung api yang
letusan eksplosif mempunyai karakteristik magma
yang suhunya rendah, tekanan tinggi, dan mempunyai viskositas tinggi pula.
Hasil pengukuran fragmen batuan pejal di
dalam Satuan Breksi Ko-Ignimbrit Semilir ini
menunjukkan bahwa fragmen batuan berukuran
butir paling besar (60 - 150 cm) terkonsentrasi di
sekitar Waduk Parangjoho, serta menghalus di
Dusun Jatiharjo, Desa Pasekan (berukuran butir
rata-rata 25 – 50 cm), yang terletak 2,5 km di
sebelah barat Waduk Parangjoho. Kenyataan ini
memberikan dua penalaran. Pertama, baik secara
sedimentologis maupun vulkanologis, breksi
koignimbrit di daerah penelitian diinterpretasikan
berasal dari kawah purba Waduk Parangjoho,
sebagai sumber alternatif batuan piroklastika kaya
akan pumis di dalam Formasi Semilir. Jelasnya,
dengan didukung oleh bentuk bentang alam
Cekungan Waduk Parangjoho, breksi co-ignimbrite
berasal dari erupsi eksplosif di kawah purba
Parangjoho. Lebih jauh lagi, perlapisan breksi coignimbrite di Waduk Parangjoho, yang mencapai
ketebalan 5 - 10 m dan totalnya lebih dari 35 m,
tetapi menipis di Dusun Jatiharjo (30 - 50 cm), ikut
mendukung interpretasi tersebut di atas. Apabila
ada sumber lain, tentunya akan ditunjukkan oleh
sebaran ukuran butir rata-rata terbesar di luar
Waduk Parangjoho. Kedua, secara stratigrafis,
breksi co-ignimbrite di Waduk Parangjoho, yang
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 14 Desember 2013 G 35
SEMINAR NASIONAL ke 8 Tahun 2013 : Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
menghalus ke arah Jatiharjo dan hanya berjarak 2,5
km ke barat, diperkirakan selain dari sumber yang
sama juga mempunyai umur yang sama. Bronto
dkk, 2009 pernah melakukan penelitian tentang
breksi co-ignimbrite dimana penelitian tersebut
menemukan adanya breksi aneka bahan di Formasi
Semilir di Ngreco, Sunggingan, dan Gajahmungkur,
yang berjarak 8 - 15 km dari Waduk Parangjoho,
mungkin saja mempunyai umur berbeda dan
sumber berbeda. Kalau anggapan ini benar,
tentunya sumber erupsinya berada di luar daerah
penelitian. Untuk melakukan verifikasi terhadap
permasalahan ini masih diperlukan penelitian lebih
lanjut, apalagi mengingat batuan gunung api
pembentuk Formasi Semilir tersebar sangat luas di
Pegunungan Selatan Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Akan tetapi, apabila batuan Formasi Semilir
mulai dari Waduk Parangjoho sampai dengan
Dusun Sunggingan, Ngreco, dan Gunung Gajahmungkur masih dalam umur yang sama, maka
model fasies breksi co-ignimbrite yang ke arah
distal berubah menjadi breksi pumis, batulapili
pumis dan tuf pumis (Gambar 2b) adalah benar
adanya. Bahan piroklastika ini setelah dilontarkan
dari lubang kawah Waduk Parangjoho kemudian
mengalir karena gravitasi, yang dikenal di antara
para ahli gunung api sebagai aliran piroklastika
(pyroclastic flows; Fisher dan Schmincke, 1984;
Cas dan Wright, 1987). Aliran gravitasi piroklastika
ini dapat dibedakan secara jelas dengan aliran
gravitasi batuan sedimen epiklastika berdasarkan
tekstur, struktur, dan komposisi bahan penyusunnya. Dengan adanya struktur antidunes, mekanisme pembentukan breksi pumis tidak hanya
mengalir karena gravitasi, tetapi juga berhembus
atau menyeruak (surging) sehingga membentuk
hembusan piroklastika (pyroclastic surge). Pada
letusan sangat besar, mekanisme aliran karena
gravitasi dan seruakan piroklastika serta bentuk
endapannya sering tidak dapat dipisahkan, dan
dikenal sebagai endapan pyroclastic density
currents (Braney drr., 2002).
Sebagai bahan klastika gunung api fraksi
halus, abu gunung api dapat berfungsi sebagai
semen dan pengisi rongga antar fragmen batuan.
Pada aliran piroklastika, sebagian besar abu gunung
api mengalir ke arah distal, sehingga breksi coignimbrite yang berada di bagian ekor aliran lebih
banyak tersusun oleh fragmen batuan dan pumis.
Fragmen batuan dan pumis yang tidak tersemenkan
atau ruang antar butirnya tidak terisi oleh abu
gunung api bersifat lepas dan banyak pori-pori
antar butir terbuka. Hal itu menyebabkan porositas
dan permeabilitas breksi co-ignimbrite sangat
tinggi. Sebagai bagian dari Formasi Mandalika,
batuan Gunung Api komposit Wuryantoro,
Wonodadi dan Manyaran yang berumur OligosenMiosen berada di bawah Formasi Semilir yang
berumur Miosen Awal – Miosen Tengah. Ini berarti
letusan dahsyat melalui kawah Parangjoho dan
Songputri terjadi setelah ketiga gunung api
komposit tersebut terbentuk. Di bawah kawah
Gunung Api Wonodadi terdapat sumbat lava yang
sudah beku dan sangat kuat. Kegiatan magma
berikutnya tidak mampu menerobos sumbat lava itu
tetapi bergerak ke samping mengikuti bidang
lemah, kemudian mengakibatkan terjadinya letusan
samping seperti erupsi tipe Gunung St. Helens
pada tahun 1980 (Voight drr., 1983). Namun,
sejauh ini belum ditemukan adanya endapan
longsoran gunung api seperti terjadi di Gunung St.
Helens (Bronto dkk, 1992).
Alternatif lain untuk menjelaskan proses
letusan yang terjadi di Waduk Parangjoho mengacu
pada erupsi tipe Katmai (Macdonald, 1972;
Williams dan McBirney, 1979). Para peneliti tersebut menjelaskan bahwa magma di bawah Gunung
Api Katmai bergerak ke permukaan tetapi di luar
kawah pusat sehingga menimbulkan letusan
dahsyat dan menyemburkan bahan piroklastika
kaya akan pumis dalam jumlah yang sangat besar.
Selama bergerak ke atas, magma mengalami
diferensiasi sehingga bagian teratas terdiri atas gas
dan busa magma yang bertekanan sangat tinggi.
Busa magma ini setelah dilontarkan ke permukaan
menjadi pumis. Di bawah gas dan busa magma
adalah cairan magma dasit atau bahkan riolit, dan
lapisan terbawah adalah magma andesit.
Perpindahan titik letusan ini mungkin juga karena
adanya magma yang sudah beku sebagai sumbat
sangat kuat di bawah Gunung Api Wonodadi
(Bronto dkk, 2009). Karena letusan terjadi bersamaan di kawah Parangjoho dan Songputri, sesuai
kelurusan bidang rekahan, maka fenomena vulkanisme ini dapat digolongkan sebagai erupsi linier.
Dari kawah Parangjoho ini terlontar bahan
piroklastika yang banyak mengandung pumis,
termasuk breksi co-ignimbrite (Gambar 8).
Gambar 8. Model letusan gunung api di kawah
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 14 Desember 2013 G 36
SEMINAR NASIONAL ke 8 Tahun 2013 : Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Parangjoho dan Songputri, yang termasuk Tipe
Katmai (McDonald, 1972). (a). Magma yang
terdifferensiasi bertekanan sangat besar naik ke
permukaan, tetapi tidak dapat menembus magma
yang telah membeku di bawah Gunung Api
Wonodadi sehingga mencari bidang lemah/ rekahan
di dekatnya. (b). Letusan besar terjadi di kawah
Parangjoho dan Songputri, sebagai erupsi linier,
melontarkan material yang membentuk breksi coignimbrite dan bahan piroklastika yang banyak
mengandung pumis.
from a major Late Quaternary Mexican
eruption, Bulletin of Volcanology, 44, h.189212.
Wright, J.V. dan Walker, G.P.L., 1977, The ignimbrite source problem: significance of a coignimbrite lag-fall deposit, Geology, 5, h.729732.
KESIMPULAN
Daerah penelitian ditemukan singkapan
breksi aneka bahan yang memiliki komposisi kaya
akan pumis (pumice rich), fragmen batuan
aksesoris, bahan primer magma dengan bentuk
menyudut-menyudut tanggung. Material tersebut
diyakini sebagai breksi co-ignimbrite. Breksi coignimbrite dihasilkan oleh letusan gunung api tipe
plini-katmai yang mempunyai karakteristik magma
bertemperatur rendah, tekanan gas tinggi, dan viskositas yang tinggi.
Berdasarkan sebaran breksi aneka bahan di
daerah penelitian, maka didapatkan kesimpulan
bahwa variasi ukuran fragmen yang berukuran
besar berada di sekitar Waduk Parangjoho. Pusat
erupsi gunung api dengan tipe letusan Katmai ini
diinterpretasikan berada di sekitar daerah Waduk
Parangjoho dan termasuk ke dalam Khuluk
Parangjoho (Ari Yusliandi, 2013).
DAFTAR PUSTAKA
Bronto, S., Mulyaningsih, S., Hartono, G.,
dan Astuti, B.S. 2009. Waduk Parangjoho
dan Songputri: Alternatif Sumber Erupsi
Formasi Semilir di Daerah Eromoko, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah., Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 4 No. 2, Hal 77-92.
McPhie, J., Doyle, M., and Allen, R., 1993, Volcanic Textures: A Guide to The Interpretation of
Textures in volcanic Rocks, Center for Ore
Deposit and Exploration Studies, University
of Tasmania, 196 hal.
Surono, Toha, B., dan Sudarno, I., 1992, Peta Geologi Lembar Surakarta – Giritontro, Jawa
Skala 1 : 100.000, P3G, Bandung.
Walker, G.P.L., 1985, Origin of Coarse Lithic
Breccias Near Ignimbrite Source Vents,
Journal of Geothermal and Volcanology
Research 25, hal. 157-171.
Walker, G.P.L., dan W i l s o n , C.J.N., 1983,
Lateral Variation in the Taupo Ignimbrite,
Journal of Volcano & Geothermal Res., no.
18, p 117-123
Williams dan Mac Birney, 1979, Volcanology,
Freeman, Cooper & Co., San Francisco, 397
hal.
Wright, J.V., 1981, The Rio Caliente ignimbrite:
analysis of a compound intraplinian ignimbrite
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 14 Desember 2013 G 37
Download