SEMINAR NASIONAL ke 8 Tahun 2013 : Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi STUDI GENESIS CO-IGNIMBRITE DAERAH PASEKAN DAN SEKITARNYA, KECAMATAN EROMOKO, KABUPATEN WONOGIRI, PROVINSI JAWA TENGAH Ari Yusliandi1), Hill. G. Hartono2), Bernadeta S.A2) 1) Mahasiswa Teknik Geologi, 2) Pengajar di Jurusan Teknik Geologi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Jalan Babarsari, Caturtunggal, Depok, Sleman email: [email protected] ABSTRAK Formasi Semilir merupakan salah satu formasi di Pegunungan Selatan yang dipercaya terbentuk dari fase destruktif gunung api. Berdasarkan peta geologi regional, formasi ini tersebar luas di Pegunungan Selatan yaitu mulai dari Kecamatan Piyungan di Kabupaten Bantul hingga Kecamatan Eromoko di Kabupaten Wonogiri. Formasi Semilir tersusun dari bahan klastika gunung api yang sangat banyak mengandung pumis (pumice rich). Batuan gunung api yang banyak mengandung pumis dipercaya menunjukkan produk letusan dahsyat. Lokasi sumber erupsi purba yang menghasilkan batuan tersebut belum diketahui secara pasti. Maksud penelitian adalah melakukan pemerian dan pengukuran fragmen batuan penyusun co-ignimbrite, sedangkan tujuannya untuk mengetahui lokasi sumber erupsi yang menghasilkan batuan penyusun utama Formasi Semilir berdasarkan arah sebaran co-ignimbrite. Daerah penelitian disusun oleh co-ignimbrite atau breksi aneka bahan dengan berbagai fragmen beragam tekstur tertanam di dalam matrik piroklastika dan berbagai variasi komposisinya. Breksi aneka bahan dijumpai di lima lokasi pengamatan daerah penelitian, hasil pengukuran dan analisis menunjukkan bahwa lokasi sumber erupsi purba berada di sekitar Waduk Parangjoho dengan sebaran co-ignimbrite disertai dengan perubahan ukuran butir fragmen menghalus ke arah barat dengan arah berkisar 270O – 290 O. Kata Kunci : Formasi Semilir, Pegunungan Selatan, co-ignimbrite, Waduk Parangjoho. PENDAHULUAN Formasi Semilir merupakan salah satu formasi di Pegunungan Selatan yang terbentuk dari fase destruktif suatu gunung api. Formasi ini berdasarkan Peta Geologi Lembar Yogyakarta (Rahardjo, 1977) dan Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro (Surono, 1992), tersebar sangat luas di wilayah Pegunungan Selatan. Wilayah sebaran formasi ini dimulai dari Kecamatan Piyungan di Kabupaten Bantul hingga Kecamatan Eromoko di Kabupaten Wonogiri. Formasi Semilir merupakan formasi yang tersusun dari bahan klastika gunung api yang sangat banyak disusun oleh pumis (pumice rich) dalam berbagai ukuran mulai dari tuf yang ukuran butirnya sangat halus hingga klastika gunung api fraksi kasar berupa breksi pumis. Akibat sifatnya yang berupa bahan piroklastika tersebut yang mudah terbawa oleh media angin pada saat erupsi, maka hingga sampai saat ini belum ditemukannya suatu sumber erupsi yang menghasilkan bahan klastika gunung api tersebut. Bahan klastika gunung api yang banyak mengandung pumis merupakan produk suatu letusan dahsyat, pada daerah penelitian terdapat breksi aneka bahan dengan berbagai fragmen yang beragam ukuran butirnya maupun komposisi. Selain itu, matriks dari breksi aneka bahan tersebut tersusun oleh material piroklastika sehingga peneliti meyakini bahwa breksi aneka bahan tersebut merupakan bagian dari Formasi Semilir yang berupa co-ignimbrite. Co-ignimbrite secara kenampakan fisik di lapangan merupakan suatu breksi yang mempunyai ukuran butir yang sangat besar-besar dengan bentuk butir very angular- angular. Apabila dilihat dari ukuran maupun bentuk butir, maka coignimbrite dapat pula dianggap sebagai suatu penunjuk fasies gunung api yang dekat dengan sumber erupsi. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin membahas lebih lanjut tentang studi genetik pembentukan dari co-ignimbrite tersebut. Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses pembentukan dari co- ignimbrite yang merupakan bagian Formasi Semilir di daerah penelitian, sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah dapat diketahui sumber erupsi alternatif dari Formasi Semilir berdasarkan sebaran coignimbrite. Lokasi penelitian terletak di wilayah Ke-camatan Eromoko, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah (Gambar 1). Waduk Parangjoho memiliki koordinat 7o56’58,9”-57’ LS dan 110o49’4,8”- 49’ BT. Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 14 Desember 2013 G 32 SEMINAR NASIONAL ke 8 Tahun 2013 : Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah dengan mengidentifikasi berbagai macam bentuk ukuran butir dan kehadiran pumis di coignimbrite sehingga akan diperoleh data statistik yang akan menunjukkan ke satu posisi titik tertentu. Batasan masalah pada penelitian ini berkaitan dengan pemahaman genetik dari pembentukan batuan hasil kegiatan gunung api yang didasarkan oleh data pemerian dan dihubungkan dengan proses vulkanisme pembentukannya. TEORI/TINJAUAN PUSTAKA Indonesia memiliki catatan erupsi gunung api eksplosif yang bersifat sangat merusak dimana letusannya dapat digolongkan sebagai letusan cataclysmic, paroxysmal ataupun colossal dan diklasifikasikan sebagai erupsi tipe Plini sampai Ultra-Plini dengan volume tefra mencapai 1010 – 1012 m3 (Bronto dkk, 2009). Letusan sangat dahsyat dengan volume sangat besar tersebut menyebabkan endapan terlampar sangat luas dan sangat tebal. Letusan-letusan tersebut seperti letusan Gunung Api Tambora di Nusa Tenggara pada 1815 dan Gunung Api Krakatau di Selat Sunda pada 1883 (Kusumadinata, 1979; Simkin dan Fiske, 1983), Kaldera Toba di Sumatera Utara, Kaldera Sunda di utara Bandung Jawa Barat, Kaldera Ijen di Jawa Timur, serta Kaldera Batur di Bali (Simkin dan Siebert, 1994). Pada saat terjadi letusan sangat besar ini, bahan yang dierupsikan tidak hanya magma, tetapi juga batuan yang lebih tua di atasnya. Batuan primer yang mewakili cairan magma pada waktu itu adalah pumis ringan (light pumice), pumis berat (dense pumice), serta bom dan blok gunung api. Keempat bahan magma itu mempunyai komposisi relatif sama sebagai fragmen batuan beku menengah – asam dan sering disebut sebagai juvenile material. Batuan tua dapat berupa batuan dasar (batuan metamorf, batuan beku intrusi dalam, batuan sedimen meta, dan accidental rock fragments) dan batuan gunung api yang sudah ada sebelumnya (accessory rock fragments), yang sebagian sudah terubah, teroksidasi atau bahan lapuk. Fragmen batuan tua dan blok gunung api hampir selalu berbentuk sangat menyudutmenyudut tajam karena terfragmentasi akibat ledakan, diendapkan secara in situ, atau belum mengalami pengerjakan ulang melalui proses sedimentasi epiklastika. Pada letusan sangat merusak, kelimpahan fragmen batuan tua bisa sangat tinggi, terutama yang diendapkan di dekat (pematang) kawah atau kaldera gunung api. Hal itu karena batuan tua pada umumnya mempunyai berat jenis lebih besar daripada material gunung api berkomposisi asam, apalagi berupa fragmen pumis dan abu gunung api. Pada saat letusan dan terbentuk awan panas atau aliran piroklastika besar (block and ash flows, pumice flows atau ignimbrites), fragmen batuan tua yang berukuran bongkah (diamater >64 mm) tertinggal di dekat kawah, sedangkan sebagian pumis, lapili, dan abu gunung api mengalir menjauhi sumber erupsi (Wright dan Walker 1977), Wright (1981), serta Walker (1985) menyebut endapan ekor aliran piroklastika kaya fragmen batuan tua ini dengan nama a coignimbrite lag-fall deposit, sedangkan Cas dan Wright (1987) memberikan nama coignimbrite breccias (breksi ko-ignimbrit). HASIL/PEMBAHASAN a. Lokasi Pengamatan Terpilih Untuk mengetahui sebaran lateral fragmen batuan telah dipilih lima lokasi pengamatan singkapan di Waduk Parangjoho serta beberapa yang menjauhinya (Gambar 2 dan Tabel 1). Hal ini dimaksudkan agar didapat gambaran perubahan ukuran butir dan kelimpahannya, mulai dari lokasi dekat sampai jauh dari perkiraan sumber erupsi. Jumlah lokasi sangat terbatas karena sebagian sebaran Formasi Semilir di daerah ini tertutup oleh Formasi Nglanggran dan Formasi Wonosari yang berada di atasnya. Gambar 2. Lokasi pengamatan terpilih daerah penelitian. b. Litologi Dari pemerian singkapan batuan breksi aneka bahan di lokasi pengamatan terpilih (Tabel 1), diketahui bahwa adanya perubahan ukuran butir fragmen batuan terutama fragmen batuan aksesori (batuan gunung api yang sudah ada sebelumnya) berdasarkan pengukuran yang peneliti telah lakukan di keenam lokasi singkapan tersebut. Perubahan itu terjadi dari Waduk Parangjoho hingga lokasi yang menjauhinya. Selain itu, terdapat orientasi arah dari fragmen batuan (Gambar 3). Tabel 1. Posisi, Jarak, dan variasi ukuran rata-rata fragmen singkapan co-ignimbrite. No 1 Posisi Koordinat Jarak dari Waduk Parangjoho Kehadiran Pumis Ukuran rata-rata fragmen S 7 57 12,3 E110 49 29,7 ± 339 m Minim 58,85 cm SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 14 Desember 2013 G 33 SEMINAR NASIONAL ke 8 Tahun 2013 : Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi 2 S 7 57 00.1 E110 49 07.1 ± 10 m Sangat Melimpah 70,80 cm 3 S 7 56 23.6 E110 48 44.2 ± 1300 m Melimpah 31,85 cm 4 S 7 56 29.4 E110 48 17.3 ± 1800 m Hadir 24,40 cm 5 S 7 56 53.1 E110 47 50.0 ± 2400 m Minim 14,40 cm Gambar 3. Arah umum orientasi fragmen. Perubahan itu terjadi dari Waduk Parangjoho hingga lokasi yang menjauhinya. Pada dinding timur Waduk Parangjoho tersingkap perselingan breksi aneka bahan yang mempunyai ketebalan kurang lebih 10 meter. Breksi aneka bahan ini merupakan endapan gunung api masif, terpilah sangat buruk-buruk, kemas terbuka, tersusun atas fragmen batuan aksesori, pumis, lapilli tuf (Gambar 4). seperti halnya bom gunung api, tidak terubah, dan tidak teroksidasi. Gambar 5. Kenampakan berbagai ukuran fragmen batuan di breksi ko-ignimbrit. Lensa menghadap ke utara (Foto diambil di LP 66, sebelah timur Waduk Parangjoho), koordinat 07o 57’ 00,1” LS dan 110o 49’ 07,1”. Sebaliknya, fragmen batuan aksesori sudah mengalami ubahan hidrotermal, oksidasi, dan bahkan sebagian telah mengalami pelapukan. Sebagai fragmen breksi aneka bahan, batuan aksesori dan blok gunung api tersebut mempunyai ragam komposisi, yakni dasit, pumis, dan andesit. Untuk pumis sendiri, karena banyak mengandung kuarsa diperkirakan mempunyai komposisi dasit sampai riolit. Baik fragmen batuan aksesori maupun blok gunung api sering membentuk kekar prisma (prismatic joints) atau rekahan gergaji (jigsaw-cracks) (Gambar 6) akibat terhempas setelah dilontarkan dari bawah permukaan pada waktu terjadi letusan. Selain itu, peneliti juga menemukan histometabasis yang mengindikasikan endapan gunung api tersebut terbentuk di lingkungan darat (Gambar 7). Gambar 4. Berbagai fragmen yang menyusun breksi aneka bahan di daerah penelitian. Lensa menghadap ke utara (Foto diambil di LP 66, sebelah timur Waduk Parangjoho), koordinat 07o57’00,1” LS dan 110o49’07,1”. Bentuk butir fragmen batuan aksesori dan blok andesit sangat menyudut sampai menyudut, ukuran butir terbesar mencapai 80 – 150 cm. Seluruh fragmen batuan tersebut tertanam dalam matriks tuf lapili pumis (Gambar 5). Perbedaan yang mencolok antara fragmen batuan aksesori dengan blok andesit yaitu pada tingkat kesegarannya. Blok gunung api sebagai bahan magmatik primer pada letusan waktu itu tampak segar Gambar 6. Kenampakkan struktur jigsaw cracks pada fragmen andesit. Lensa menghadap ke utara (Foto diambil di LP 66, sebelah timur Waduk Parangjoho), koordinat 07o 57’ 00,1” LS dan 110o 49’ 07,1”. SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 14 Desember 2013 G 34 SEMINAR NASIONAL ke 8 Tahun 2013 : Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi Gambar 7. Kenampakkan histometabasis yang mengindikasikan lingkungan pengendapan batuan gunung api berada di lingkungan darat. Lensa menghadap ke utara (Foto diambil di LP 66, sebelah timur Waduk Parangjoho), koordinat 07 o 57’ 00,1” LS dan 110o 49’ 07,1” BT. c. Pembahasan Breksi aneka bahan dijumpai di enam lokasi yang berada di daerah penelitian. Breksi ini tersusun oleh pumis, bom, dan blok gunung api berkomposisi andesit-dasit sebagai material magma pada saat itu (juvenile material), fragmen andesit basal, andesit, dan ubahan hidrotermal sebagai material aksesori batuan gunung api yang lebih tua (accessory rock fragments). Seluruh fragmen batuan tersebut tertanam di dalam matriks tuf lapili pumis. Campuran aneka bahan mulai dari pumis, bom, dan blok gunung api, dan material aksesori yang masih berbentuk sangat menyudut sampai menyudut, berstruktur kekar prisma dan rekahan gergaji diinterpretasikan sebagai produk letusan gunung api yang membentuk breksi co-ignimbrite. Pendapat ini juga sudah mempertimbangkan aspek sedimentologi secara umum, yang menyangkut dua hal. Pertama secara sedimentasi epiklastika tidak mungkin pumis yang relatif lunak bercampur dengan fragmen batuan pejal yang keras dan tahan erosi. Kedua, fragmen batuan masih berbentuk sangat menyudut sampai menyudut, dan sebagian mengalami kekar prisma serta rekahan gergaji yang mengindikasikan belum mengalami proses pengerjaan ulang. Secara vulkanologis, melimpahnya pumis dalam berbagai ukuran bersama-sama dengan bom dan blok gunung api menjadi ciri khas bahan piroklastika. Fragmen batuan gunung api tua (batuan aksesori) di dalam bahan piroklastika tersebut yang berbentuk sangat menyudut - menyudut dan sebagian mengalami kekar prisma dan rekahan gergaji, diyakini berasal dari batuan gunung api tua di daerah itu (Bronto dkk, 2009). Suatu produk gunung api yang mempunyai produk batuan dengan fragmen yang beraneka bahan tersebut tentunya harus melalui proses letusan yang bersifat eksplosif. Hal ini juga diperkuat dengan hadirnya pumis yang sangat melimpah. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan suatu gunung api dapat meletus secara eksplosif tentunya dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu seperti suhu magma, tekanan gas magma, dan viskositas magma. Temperatur magma berpengaruh terhadap suatu letusan gunung api. Hal itu berkaitan dengan jenis magma yang dibentuk. Semakin tinggi suhu magma maka semakin basa pula magma tersebut. Sebaliknya semakin rendah suhu magma, maka magma tersebut akan bersifat asam. Kaitan antara suhu magma dengan letusan eksplosif suatu gunungapi adalah magma yang bersifat asam. Breksi co-ignimbrite dalam hal ini diletuskan oleh gunung api yang magmanya mempunyai temperatur berkisar 700 – 900oC dan komposisi magma bersifat asam yaitu andesitik-riolitik. Tekanan gas akan sangat berpengaruh terhadap letusan gunung api yang bersifat eksplosif. Semakin tinggi tekanan gas suatu magma, maka akan sangat besar letusan gunung api. Breksi koignimbrit dihasilkan oleh letusan gunung api yang bersifat plinian yang dihasilkan oleh tekanan magma yang besar. Viskositas magma sangat terpengaruh oleh suhu dan tekanan gas. Semakin tinggi suhu magma, maka semakin rendah viskositas magma. Semakin rendah tekanan gas suatu magma, maka semakin rendah pula viskositas suatu magma. Breksi koignimbrit yang dihasilkan oleh gunung api yang letusan eksplosif mempunyai karakteristik magma yang suhunya rendah, tekanan tinggi, dan mempunyai viskositas tinggi pula. Hasil pengukuran fragmen batuan pejal di dalam Satuan Breksi Ko-Ignimbrit Semilir ini menunjukkan bahwa fragmen batuan berukuran butir paling besar (60 - 150 cm) terkonsentrasi di sekitar Waduk Parangjoho, serta menghalus di Dusun Jatiharjo, Desa Pasekan (berukuran butir rata-rata 25 – 50 cm), yang terletak 2,5 km di sebelah barat Waduk Parangjoho. Kenyataan ini memberikan dua penalaran. Pertama, baik secara sedimentologis maupun vulkanologis, breksi koignimbrit di daerah penelitian diinterpretasikan berasal dari kawah purba Waduk Parangjoho, sebagai sumber alternatif batuan piroklastika kaya akan pumis di dalam Formasi Semilir. Jelasnya, dengan didukung oleh bentuk bentang alam Cekungan Waduk Parangjoho, breksi co-ignimbrite berasal dari erupsi eksplosif di kawah purba Parangjoho. Lebih jauh lagi, perlapisan breksi coignimbrite di Waduk Parangjoho, yang mencapai ketebalan 5 - 10 m dan totalnya lebih dari 35 m, tetapi menipis di Dusun Jatiharjo (30 - 50 cm), ikut mendukung interpretasi tersebut di atas. Apabila ada sumber lain, tentunya akan ditunjukkan oleh sebaran ukuran butir rata-rata terbesar di luar Waduk Parangjoho. Kedua, secara stratigrafis, breksi co-ignimbrite di Waduk Parangjoho, yang SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 14 Desember 2013 G 35 SEMINAR NASIONAL ke 8 Tahun 2013 : Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi menghalus ke arah Jatiharjo dan hanya berjarak 2,5 km ke barat, diperkirakan selain dari sumber yang sama juga mempunyai umur yang sama. Bronto dkk, 2009 pernah melakukan penelitian tentang breksi co-ignimbrite dimana penelitian tersebut menemukan adanya breksi aneka bahan di Formasi Semilir di Ngreco, Sunggingan, dan Gajahmungkur, yang berjarak 8 - 15 km dari Waduk Parangjoho, mungkin saja mempunyai umur berbeda dan sumber berbeda. Kalau anggapan ini benar, tentunya sumber erupsinya berada di luar daerah penelitian. Untuk melakukan verifikasi terhadap permasalahan ini masih diperlukan penelitian lebih lanjut, apalagi mengingat batuan gunung api pembentuk Formasi Semilir tersebar sangat luas di Pegunungan Selatan Yogyakarta dan Jawa Tengah. Akan tetapi, apabila batuan Formasi Semilir mulai dari Waduk Parangjoho sampai dengan Dusun Sunggingan, Ngreco, dan Gunung Gajahmungkur masih dalam umur yang sama, maka model fasies breksi co-ignimbrite yang ke arah distal berubah menjadi breksi pumis, batulapili pumis dan tuf pumis (Gambar 2b) adalah benar adanya. Bahan piroklastika ini setelah dilontarkan dari lubang kawah Waduk Parangjoho kemudian mengalir karena gravitasi, yang dikenal di antara para ahli gunung api sebagai aliran piroklastika (pyroclastic flows; Fisher dan Schmincke, 1984; Cas dan Wright, 1987). Aliran gravitasi piroklastika ini dapat dibedakan secara jelas dengan aliran gravitasi batuan sedimen epiklastika berdasarkan tekstur, struktur, dan komposisi bahan penyusunnya. Dengan adanya struktur antidunes, mekanisme pembentukan breksi pumis tidak hanya mengalir karena gravitasi, tetapi juga berhembus atau menyeruak (surging) sehingga membentuk hembusan piroklastika (pyroclastic surge). Pada letusan sangat besar, mekanisme aliran karena gravitasi dan seruakan piroklastika serta bentuk endapannya sering tidak dapat dipisahkan, dan dikenal sebagai endapan pyroclastic density currents (Braney drr., 2002). Sebagai bahan klastika gunung api fraksi halus, abu gunung api dapat berfungsi sebagai semen dan pengisi rongga antar fragmen batuan. Pada aliran piroklastika, sebagian besar abu gunung api mengalir ke arah distal, sehingga breksi coignimbrite yang berada di bagian ekor aliran lebih banyak tersusun oleh fragmen batuan dan pumis. Fragmen batuan dan pumis yang tidak tersemenkan atau ruang antar butirnya tidak terisi oleh abu gunung api bersifat lepas dan banyak pori-pori antar butir terbuka. Hal itu menyebabkan porositas dan permeabilitas breksi co-ignimbrite sangat tinggi. Sebagai bagian dari Formasi Mandalika, batuan Gunung Api komposit Wuryantoro, Wonodadi dan Manyaran yang berumur OligosenMiosen berada di bawah Formasi Semilir yang berumur Miosen Awal – Miosen Tengah. Ini berarti letusan dahsyat melalui kawah Parangjoho dan Songputri terjadi setelah ketiga gunung api komposit tersebut terbentuk. Di bawah kawah Gunung Api Wonodadi terdapat sumbat lava yang sudah beku dan sangat kuat. Kegiatan magma berikutnya tidak mampu menerobos sumbat lava itu tetapi bergerak ke samping mengikuti bidang lemah, kemudian mengakibatkan terjadinya letusan samping seperti erupsi tipe Gunung St. Helens pada tahun 1980 (Voight drr., 1983). Namun, sejauh ini belum ditemukan adanya endapan longsoran gunung api seperti terjadi di Gunung St. Helens (Bronto dkk, 1992). Alternatif lain untuk menjelaskan proses letusan yang terjadi di Waduk Parangjoho mengacu pada erupsi tipe Katmai (Macdonald, 1972; Williams dan McBirney, 1979). Para peneliti tersebut menjelaskan bahwa magma di bawah Gunung Api Katmai bergerak ke permukaan tetapi di luar kawah pusat sehingga menimbulkan letusan dahsyat dan menyemburkan bahan piroklastika kaya akan pumis dalam jumlah yang sangat besar. Selama bergerak ke atas, magma mengalami diferensiasi sehingga bagian teratas terdiri atas gas dan busa magma yang bertekanan sangat tinggi. Busa magma ini setelah dilontarkan ke permukaan menjadi pumis. Di bawah gas dan busa magma adalah cairan magma dasit atau bahkan riolit, dan lapisan terbawah adalah magma andesit. Perpindahan titik letusan ini mungkin juga karena adanya magma yang sudah beku sebagai sumbat sangat kuat di bawah Gunung Api Wonodadi (Bronto dkk, 2009). Karena letusan terjadi bersamaan di kawah Parangjoho dan Songputri, sesuai kelurusan bidang rekahan, maka fenomena vulkanisme ini dapat digolongkan sebagai erupsi linier. Dari kawah Parangjoho ini terlontar bahan piroklastika yang banyak mengandung pumis, termasuk breksi co-ignimbrite (Gambar 8). Gambar 8. Model letusan gunung api di kawah SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 14 Desember 2013 G 36 SEMINAR NASIONAL ke 8 Tahun 2013 : Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi Parangjoho dan Songputri, yang termasuk Tipe Katmai (McDonald, 1972). (a). Magma yang terdifferensiasi bertekanan sangat besar naik ke permukaan, tetapi tidak dapat menembus magma yang telah membeku di bawah Gunung Api Wonodadi sehingga mencari bidang lemah/ rekahan di dekatnya. (b). Letusan besar terjadi di kawah Parangjoho dan Songputri, sebagai erupsi linier, melontarkan material yang membentuk breksi coignimbrite dan bahan piroklastika yang banyak mengandung pumis. from a major Late Quaternary Mexican eruption, Bulletin of Volcanology, 44, h.189212. Wright, J.V. dan Walker, G.P.L., 1977, The ignimbrite source problem: significance of a coignimbrite lag-fall deposit, Geology, 5, h.729732. KESIMPULAN Daerah penelitian ditemukan singkapan breksi aneka bahan yang memiliki komposisi kaya akan pumis (pumice rich), fragmen batuan aksesoris, bahan primer magma dengan bentuk menyudut-menyudut tanggung. Material tersebut diyakini sebagai breksi co-ignimbrite. Breksi coignimbrite dihasilkan oleh letusan gunung api tipe plini-katmai yang mempunyai karakteristik magma bertemperatur rendah, tekanan gas tinggi, dan viskositas yang tinggi. Berdasarkan sebaran breksi aneka bahan di daerah penelitian, maka didapatkan kesimpulan bahwa variasi ukuran fragmen yang berukuran besar berada di sekitar Waduk Parangjoho. Pusat erupsi gunung api dengan tipe letusan Katmai ini diinterpretasikan berada di sekitar daerah Waduk Parangjoho dan termasuk ke dalam Khuluk Parangjoho (Ari Yusliandi, 2013). DAFTAR PUSTAKA Bronto, S., Mulyaningsih, S., Hartono, G., dan Astuti, B.S. 2009. Waduk Parangjoho dan Songputri: Alternatif Sumber Erupsi Formasi Semilir di Daerah Eromoko, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah., Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 4 No. 2, Hal 77-92. McPhie, J., Doyle, M., and Allen, R., 1993, Volcanic Textures: A Guide to The Interpretation of Textures in volcanic Rocks, Center for Ore Deposit and Exploration Studies, University of Tasmania, 196 hal. Surono, Toha, B., dan Sudarno, I., 1992, Peta Geologi Lembar Surakarta – Giritontro, Jawa Skala 1 : 100.000, P3G, Bandung. Walker, G.P.L., 1985, Origin of Coarse Lithic Breccias Near Ignimbrite Source Vents, Journal of Geothermal and Volcanology Research 25, hal. 157-171. Walker, G.P.L., dan W i l s o n , C.J.N., 1983, Lateral Variation in the Taupo Ignimbrite, Journal of Volcano & Geothermal Res., no. 18, p 117-123 Williams dan Mac Birney, 1979, Volcanology, Freeman, Cooper & Co., San Francisco, 397 hal. Wright, J.V., 1981, The Rio Caliente ignimbrite: analysis of a compound intraplinian ignimbrite SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 14 Desember 2013 G 37