BAB I PENDAHULUAN

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang melaksanakan
pembangunan di berbagai bidang dihadapkan dengan permasalahan perilaku
korupsi yang kompleks dan selalu berkembang modus operandinya. Tindak
pidana korupsi di Indonesia perkembangannya terus meningkat dari tahun ke
tahun, dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta
lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Adapun
jumlah kerugian keuangan negara akibat perbuatan tindak pidana korupsi
semakin bertambah besar.Keterpurukan perekonomian diyakini sebagai
resultan
dari
adanya
tindak
pidana
korupsi
yang
sistematis
dan
meluas.1Sistematisnya tindak pidana korupsi sebagai bagian kejahatan
terstruktural, berakar kuat dan permanen sifatnya, sehingga korupsi sudah
menjadi bahagian dari sistem yang ada.2Dewasa ini upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi masih mengalami kendala, yakni dengan berbagai macam
kecanggihan modus operandi korupsi dan perlindungan aset perolehan
hasilkorupsi didukung oleh teknologi informasi modern telah diakui sangat
menyulitkan pemberantasan tindak pidana korupsi hampir di semua negara
terutama dalam proses pembuktiannya dan
pengembalian perolehan hasil
korupsi.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (United
Nations Convention Against Corruption,2003)3mendeskripsikan masalah
1
Tindak pidana korupsi yang sebelumnya banyak dilakukan oleh para pejabat publik di
tingkat pusat, seiring pemekaran daerah dan otonomi daerah dengan besarnya anggaran
yang diperuntukkan untuk pembangunan daerah, maka banyak kesempatan korupsi yang
dilakukan oleh pejabat publik di tingkat daerah.
2
Indriyanto Seno Adji. Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian. Oemar Seno Adji&
Rekan, Jakarta, 2006.hlm.1.
3
Romli Atmasasmita, “Strategi dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pasca Konvensi
PBB Menentang Korupsi Tahun 2003: Melawan Kejahatan Korporasi”, Paper, Jakarta,
2006, hlm. 1; Romli Atmasasmita, “Strategi dan Kebijakan Hukum dalam Pemberantasan
1
korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas, keamanan
masyarakat nasional dan internasional, telah melemahkan institusi, nilai-nilai
demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan
maupun penegakan hukum.Karena itu tindak pidana korupsi telah dianggap
sebagai suatu perkara “seriousness crime”, “extra ordinary crime”, atau
“criminal stellionatus”, suatu kejahatan luar biasa yang sangat mengganggu hak
ekonomi dan hak sosial masyarakat dan negara dalam skala yang besar serta
sangat sulit pembuktiannya, sehingga langkah penanganannya memerlukan
pola “extra ordinary”.4
Salah satu permasalahan yang sangat sulit dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi adalah menyangkut pengembalian kerugian keuangan
negara.5Para pelaku tindak pidana korupsi sangat pandai menyimpan,
Korupsi Melawan Kejahatan Korporasi di Indonesia: Membentuk Ius Constituendum
Pasca Ratifikasi Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003”, Paper, Jakarta, 2006,
hlm.1.
4
Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Disebut extra ordinary crime menunjukkan bahwa pemberantasan tindak
pidana korupsi dilakukan dengan “cara luar biasa” dan “cara yang khusus”. Maksudnya
adalah pembalikan beban pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa, alat bukti
elektronik, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai delik formil, korporasi
sebagai subyek tindak pidana korupsi, ancaman pidana minimum, pidana penjara bagi
terpidana yang tidak dapat membayar uang pengganti, perluasan pengertian pegawai
negeri, gugatan perdata untuk mengembalikan kerugian keuangan negara dan sebagainya.
5
Dalam peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia memang sudah
sejak lama dikenal ketentuan mengenai “perampasan aset”. Peraturan Penguasa Perang
Pusat Nomor: PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan
Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda, adalah ketentuan yang pertama sekali
menggunakan istilah “korupsi”. Didalamnya terdapat pengaturan yang memberikan
kekuasaan kepada pemilik harta benda untuk menyita harta benda seseorang atau suatu
badan apabila setelah mengadakan penyelidikan yang seksama berdasarkan keadaan
tertentu dan bukti-bukti lainnya memperoleh dugaan yang kuat, bahwa harta benda itu
termasuk dalam harta yang dapat disita dan dirampas.Kemudian ada pula Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur segala harta benda
yang diperoleh dari korupsi dirampas, dan terdakwa dapat juga diwajibkan membayar uang
pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi.
Sementara Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, memberikan kewenangan kepada Hakim untuk melakukan perampasan aset atas
seorang yang meninggal dunia, sebelum atas perkaranya ada putusan yang tidak dapat
diubah lagi, telah melakukan suatu tindak pidana korupsi, maka Hakim atas tuntutan
Penuntut Umum, dengan putusan Pengadilan dapat memutuskan perampasan barangbarang yang telah disita. Putusan ini dikeluarkan sebagai suatu penetapan hakim
(beschikking) dan juga perampasan aset sebagai bentuk hukuman tambahan.Selanjutnya
2
menyembunyikan dan mengalihkan aset perolehan hasil tindak pidana
korupsi.Kasus-kasus penyembunyian aset seringkali melibatkan negara-negara
berkembang atau negara miskin sebagai korban yang harta atau kekayaannya
dirampas dan kemudian disembunyikan di negara-negara maju (negara
perbankan).Negara-negara Afrika dan Asia dengan kekayaan alam yang
melimpah seperti Nigeria dan Indonesia adalah salah satu contoh negara yang
menjadi korban atas kejahatan para pemimpinnya yang korup sehingga
menyebabkan rakyat miskin yang menderita di dalam negara (yang seharusnya)
makmur.
Menurut laporan Word Banktahun 2014, kerugian yang diderita oleh
dunia secara global akibat praktik korupsi mencapai 1 hingga 1,6 triliun USD
setiap tahun,dimana 20 - 40 milyar USD diderita oleh negara-negara
berkembang dan negara transisi.6Angka ini setara dengan Gross Domestic
Product (GDP) negara ke-12 termiskin di dunia dengan penduduk 240 juta
orang.7Kerugian akibat praktik korupsi tentunya sangat berdampak terhadap
lemahnya kondisi (kemampuan) ekonomi suatu negara, terlebih lagi bagi
negara berkembang, termasuk Indonesia.
Indonesia masih termasuk dalam kategori negara dengan tingkat korupsi
yang tinggi.Salah satu ukuran yang terkenal adalah Corruption Perception
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur secara
relatif lebih lengkap mengenai penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak
pidana korupsi. Undang-Undang ini telah mengatur ketentuan mengenai pembalikan beban
pembuktian terhadap perolehan harta yang kekayaan.Dalam hal terdakwa tidak dapat
membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber
penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat
alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37
ayat (4)). Ketentuan pembebanan bukti terbalik dalam Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) tersebut dilakukan dalam proses perkara pidana dan
dikaitkan dengan proses pidana itu sendiri. Sehingga, apabila terdakwa dibebaskan atau
dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan
perampasan harta benda harus ditolak oleh hakim (Pasal 37 B).
6
World Bank, Stolen Assets Recovery Initiatives: Challenges, Opportunities, Action Plans.
www.unodc.org. Diakses tanggal 2 Januari 2014, jam: 14.15 WIB.
7
Theodore S. Greenberg, http://www.eurospanbookstore.com. Diakses tanggal 2 Januari
2014, jam: 20.30 WIB.
3
Index
(CPI)
yang
dilakukan
secara
regular
oleh
Transparency
Internationalkepada beberapa negara yang dilakukan survei. Pada tahun 2013,
skor Indonesia meningkat dari 30 di tahun 2012 menjadi 32 di tahun 2013
dengan peringkat 114. Pada tahun 2014 ini, skor CPI Indonesia sebesar 34.
Skor pada tahun 2014 naik kembali 2 poin, sementara untuk peringkat naik 7
peringkat dari tahun sebelumnya (2013). Indonesia masih berada di peringkat
107 dari 175 negara yang disurvei.Meskipun mengalami peningkatan,
sebetulnya situasi Indonesia belum beranjak jauh.Indonesia masih masuk dalam
kategori negara dengan tingkat korupsi yang tinggi.8
Tabel 1. Skor Peringkat KorupsiIndonesia Tahun 2015
No
Rangking
Negara
CPI
1
8
Singapura
85
2
61
Brunei
60
3
54
Malaysia
50
4
76
Thailand
38
5
88
Indonesia
36
6
95
Philipina
35
7
112
Vietnam
21
8
139
Laos
25
9
147
Myanmar
22
10
150
Kamboja
21
(Sumber: Corruption Perception Index Tahun 2015)
Indonesia menunjukkan kenaikan konsisten dalam pemberantasan
korupsi, namun terhambat oleh masih tingginya korupsi di sektor penegakan
hukum dan politik. Tanpa kepastian hukum dan pengurangan penyalahgunaan
kewenangan politik, kepercayaan publik terhadap pemerintah akan turun dan
8
Corruption Perception Index 2014, http://www.ti.or.id/index. Diakses tanggal 15 Maret
2015, jam: 12.41 WIB.
4
memicu memburuknya iklim usaha di Indonesia. Demikian temuan utama
Transparency International (TI) dalam Corruption Perception Index (CPI)
2015.skor Indonesia menjadi 36 dan menempati urutan 88 dari 168 negara yang
diukur. Skor Indonesia secara pelan naik 2 poin, dan naik cukup tinggi 19
peringkat dari tahun sebelumnya. Skor CPI berada pada rentang 0-100. 0 berarti
negara dipersepsikan sangat korup, sementara skor 100 berarti dipersepsikan
sangat bersih.9
Upaya pengembalian aset negara ‘yang dicuri’ (stolen asset recovery)
melalui tindak pidana korupsi cenderung tidak mudah untuk dilakukan. Para
pelaku tindak pidana korupsi memiliki akses yang luar biasa luas dan sulit
dijangkau dalam menyembunyikan maupun melakukan pencucian uang (money
laundering) hasil tindak pidana korupsinya. Kondisi asset recovery pada tahun
2015 yang telah dilakukan oleh tiga lembaga penyidik korupsi ( Polri,
Kejaksaan dan KPK) masih belum optimal. Uang negara yang telah
diselamatkan sejumlah Rp, 1,2 triliun (Polri Rp 437.066.578.685, Kejaksaan
Rp.604.461.049.374 dan KPK Rp 198 Milyar), namun dibandingkan dengan
jumlah perkara yang ditangani dan jumlah kerugian negara yang timbul akibat
tindak pidana korupsi tahun 2015 yang mencapai Rp. 3,1 triliun masih belum
maksimal dan tidak sebanding dengan kerugian negara yang timbul akibat
korupsi.10 Pengembalian aset keuangan negara menjadi penting, terutama bagi
negara berkembang seperti Indonesia, didasarkan pada kenyataan bahwa tindak
pidana korupsi telah merampas kekayaan negara, sementara sumber daya
sangat dibutuhkan untuk merekonstruksi dan merehabilitasi masyarakat melalui
pembangunan perekonomian.
Dalam memberantas aktifitas ilegal, masyarakat anti korupsi internasional
telah mengembangkan berbagai perangkat, instrumen, peraturan, dan strategi
yang menargetkan korupsi, pencucian uang, dan praktik-praktik ilegal
di
9
http://www.ti.or.id/index.php/publication/2016/01/27/corruption-perceptions-index-2015.
Diakses tanggal 25 Februari 2016 , jam; 05.00.WIB.
10
http://www.antikorupsi.org/id/content/kerugian-negara-akibat-korupsi-2015-sebesar-31-triliun.
Di akses tanggal 11 April 2016, jam: 10.00.Wib.
5
kalangan gatekeeper.11Sejalan dengan itu, dewasa ini pemberantasan korupsi
difokuskan kepada tiga isu pokok, yaitu pencegahan, pemberantasan, dan
pengembalian aset hasil korupsi (asset recovery).Perkembangan itu bermakna,
pemberantasan korupsi tidak hanya terletak pada upaya pencegahan maupun
pemidanaan para koruptor saja, tetapi juga meliputi tindakan yang dapat
mengembalikan kerugian keuangan negara akibat dari kejahatan extraordinary
tersebut. Kegagalan pengembalian asset hasil korupsi dapat mengurangi makna
penghukuman terhadap para koruptor.12
Upaya pengembalian aset negara ‘yang dicuri’ (stolen asset recovery)
melalui tindak pidana korupsi cenderung tidak mudah untuk dilakukan.Para
pelaku tindak pidana korupsi memiliki akses yang luar biasa luas dan sulit
dijangkau dalam menyembunyikan maupun melakukan pencucian uang (money
laundering) hasil tindak pidana korupsinya. Sebuah lembaga internasional,
Basel Institute on Governance, International Centre for Asset Recovery
mengemukakan mengenai hal tersebut bahwa:
“Asset recovery is a difficult task and is fraught with the complicity of the
banks involved, the navigation of a costly international legal labyrinth
and the fact that those implicated in public looting are usually those with
the most power and influence”.13
11
Pihak yang menggunakan keahliannya untuk menutupi kejahatan-kejahatan korupsinya dan
menyamarkan (layering) aset kekayaan hasil korupsi. Di antara langkah-langkah tersebut
adalah aturan perbankan Kenali Nasabah Anda (Know Your Customer), dan aturan-aturan
berkaitan dengan Uji Ketuntasan Nasabah (Customer Due Diligence), yang ditetapkan oleh
Rekomendasi 40-9 dari Gugus Tugas Aksi Keuangan (FATF), dan dirancang untuk
pelaksanaan pada skala global. Selain itu, terdapat banyak instrument teknis internasional
lain yang tersedia seperti Konvensi PBB Melawan Korupsi yang telah diratifikasi oleh
mayoritas negara, yang berfungsi sebagai standar dan kerangka kerja yang berharga untuk
pengembangan dan penyempurnaan praktik dan instrimen standar. Lebih lanjut lihat: Paku
Utama. 2013. Memahami Asset Recovery & Gatekeeper, Ctk. Pertama, Jakarta: Indonesian
Legal Rountable, hlm.4-5.
12
Saldi Isra, “Asset Recovery Tindak Pidana Korupsi Melalui Kerjasama Internasional”,
Makalah disampaikan dalam Lokakarya tentang Kerjasama Internasional dalam
Pemberantasan Korupsi, diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum Universias
Diponegoro dan Kanwil Depkumham Prov. Jawa Tengah, Semarang, tanggal 22 Mei 2008.
13
www.baselgovernance.org/icar. Diakses tanggal 3 Januari 2014, Jam: 14.00 WIB.
6
Upaya pengembalian aset perolehan hasil korupsi kepada negara asal
berasal dan lahir dari kesadaran atas kerugian suatu negara yang diderita karena
korupsi.14Kerugian akibat korupsi ini secara signifikan mengurangi kapasitas
negara
dalam
membangun
perekonomian
dan
menyediakan
fasilitas
kesejahteraan social, seperti yang dipaparkan oleh United Nations Development
Programme bahwa akibat dari korupsi melemahkan kesejahteraan dari suatu
negara.15
Permasalahan menjadi semakin sulit untuk upaya recoveryassets
dikarenakan tempat penyembunyian (safe haven) hasil kejahatan tersebut yang
melampaui lintas batas wilayah negara. Bagi negara-negara berkembang untuk
menembus pelbagai permasalahan pengembalian aset yang menyentuh
ketentuan-ketentuan hukum negara-negara besar akan terasa teramat sulit,
apalagi negara berkembang tersebut tidak memiliki hubungan kerjasama yang
baik dengan negara tempat aset curian disimpan. Belum lagi kemampuan
tekhnologi negara berkembang sangat terbatas, padahal salah satu sifat
kejahatan korupsi menurut Taufiequrahman Ruki adalah kemampuan para
pelakunya untuk memanfaatkan kemajuan teknologi dibidang perbankan karena
transaksinya bersifat rahasia, cepat, mudah dan tidak memerlukan uang kartal.16
Pentingnya pengembalian aset keuangan negara ini, terutama bagi negara
berkembang seperti Indonesia, didasarkan pada kenyataan bahwa tindak pidana
korupsi telah merampas kekayaan negara, sementara sumber daya sangat
dibutuhkan untuk merekonstruksi dan merehabilitasi masyarakat melalui
pembangunan perekonomian. Terkait dengan
perkembangan di bidang
perekonomian ini, tidak dapat dihindari adanya berbagai kriminalisasi maupun
14
Paku Utama, op.cit., hlm. 6.
15
Ibid, hlm.7.
16
Sambutan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiqurrahman Ruki pada Pembukaan
Seminar Tentang “Implikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 terhadap Sistem Hukum
Nasional”, BPHN Depkumham RI dan FH Universitas Udayana, di Hotel Sahid Jaya,
Denpasar-Bali, 14 Juni 2006.
7
dekriminalisasi.17Persoalan ini menjadi sangat penting dalam pembahasan
hukum pidana. Dikatakan demikian, oleh karena keberadaan hukum pidana
akan difungsikan dalam pengaturan kegiatan di bidang perekonomian. Hukum
pidana
dimanfaatkan
perekonomian,
dalam
untuk
rangka
menegakkan
norma-norma
di
bidang
kebijakan
pembangunan
di
bidang
ekonomi.18Salah satu permasalahan dalam memfungsikan hukum pidana adalah
ditujukan dalam kejahatan tindak pidana korupsi dalam upaya penelusuran aset
dan penyelamatannya.
Berdasarkan Undang - Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC/Konvensi Anti
Korupsi) telah membuat terobosan besar mengenai pengembalian aset kekayaan
negara yang telah dikorupsi, meliputi sistem pencegahan dan deteksi hasil
tindak pidana korupsi;19 sistem pengembalian aset secara langsung;20 sistem
pengembalian aset secara tidak langsung dan kerjasama internasional untuk
tujuan penyitaan.21Ketentuan esensial yang teramat penting dalam konteks ini
adalah ditujukan khusus terhadap pengembalian aset-aset hasil korupsi
darinegara ketempatan (custodial state) kepada negara asal (country of
origin)aset korupsi.
17
Bahkan, perlu dipikirkan proses penalisasi maupun depenalisasi. Penentuan ketercelaan
terhadap suatu perbuatan sulit untuk mengukurnya. Satu pihak menganggap bahwa
perbuatan tertentu masih beruang lingkup yang dibenarkan dalam dunia usaha, tetapi pihak
lain berpendapat perbuatan tersebut sudah merupakan perbuatan yang tercela. Sudut
pandang yang berbeda ini akan mempersulit penentuan ukuran proses kriminalisasi dan
dekriminalisasi. Lihat: Loebby Luqman, Hukum Pidana di Bidang Perekonomian, Majalah
Hukum dan Pembangunan, No.5 Tahun XXIV Oktober, Fak.Hukum UI, Jakarta,1994,
hlm.390.
18
Bandingkan dengan Supanto.Kejahatan Ekonomi Global dan Kebijakan Hukum Pidana,
Bandung: Ctk Pertama, Alumni, 2010. hlm.7.
19
Lihat: Pasal 52 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United
Nations Convention Against Corruption.
20
Lihat: Pasal 53 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United
Nations Convention Against Corruption.
21
Lihat: Pasal 55 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United
Nations Convention Against Corruption.
8
Strategi pengembalian aset hasil korupsi secara eksplisit diatur dalam
pembukaan Konvensi Anti Korupsi (KAK) tahun 2003, tepatnya pada Pasal 8
yang merumuskan: “Bertekad untuk mencegah, melacak, dan menghalangi
dengan cara yang lebih efektif transfer-transfer inernasional atas aset-aset yang
diperoleh dengan tidak sah, dan untuk memperkuat kerjasama internasional
dalam pengembalian aset.” Dalam praktiknya, ketentuan tentang pengembalian
aset akibat tindak pidana korupsi menghadapi kendala dalam pelaksanaannya.
Kendala dimaksud antara lain perbedaan sistem hukum dinegara-negara,
kemauan
politik
negara-negara
penerima
asset
hasil
tindak
pidana
korupsi.Pentingnya masalah pengembalian aset bagi negara-negara berkembang
yang mengalami kerugian karena tindak pidana korupsi, menjadikan masalah
ini sebagai hal yang harus mendapat perhatian serius.Bahkan sebenarnya
beberapa negara menginginkan agar pengembalian aset diperlakukan sebagai
hak yang tidak dapat dihapus atau dicabut.22
Pengembalian aset perolehan hasil korupsi dapat dilakukan melalui jalur
pidana (asset recovery) secara tidak langsung melalui criminal recovery dan
jalur perdata (asset recovery) secara langsung melalui civil recovery.
Melalui jalur pidana, proses pengembalian aset lazimnya dapat dilakukan
melalui 4 (empat) tahapan, yaitu :
1.
Pelacakan aset (asset tracing)dengan tujuan untuk mengidentifikasi aset,
bukti kepemilikan aset, lokasi penyimpanan aset dalam kapasitas
hubungan dengan tindak pidana yang dilakukan;
2.
Pembekuan atau perampasan aset dimana menurut Bab I Pasal 2 huruf f
KAK 2003 aspek ini ditentukan meliputi larangan sementara untuk
menstransfer, konversi, disposisi, atau memindahkan kekayaan atau untuk
sementara menanggung beban dan tanggung jawab untuk mengurus dan
22
Purwaning M Yanuar. Pengembalian Aset Hasil Korupsi (Berdasarkan Konvensi PBB Anti
Korupsi 2003) Dalam Sistem Hukum Indonesia, Alumni, Bandung 2007. hlm. 10-11.
9
memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan
atau penetapan lain yang mempunyai otoritas yang berkompenten;
3.
Penyitaan aset dimana menurut Bab I Pasal 2 huruf g KAK 2003 diartikan
sebagai pencabutan kekayaan uuntuk selamanya berdasarkan penetapan
pengadilan atau otoritas lain yang berkompeten;
4.
Pengembalian dan penyerahan aset kepada korban.
Dalam hukum pidana Indonesia telah memperkenalkan adanya suatu
kumulasi dari pidana-pidana pokok yang telah diancamkan bagi suatu tindak
pidana tertentu, misalnya dalam Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Tindak Pidana Korupsi, Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971 telah diperkenalkan pidana tambahan berupa pembayaran
pengganti. Pembayaran
uang
uang pengganti ini juga tetap dipertahankan oleh
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Dalam Pasal 18 disebutkan salah satu pidana tambahan selain yang
disebutkan dalam Pasal 10 KUHPidana adalah pidana pembayaran uang
pengganti.
Di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi menyangkut pengembalian kerugian keuangan negara
(asset recovery) tidak akan berhenti meskipun pelaku dijatuhi hukuman bebas.
Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU Tipikor disebutkan:
“Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak
untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.”
Bunyi Pasal 32 ayat (2) UU Tipikor tersebut mengisyaratkan, bahwa
persoalan pemberantasan korupsi tidak semata-mata terletak pada upaya
menghukum
pelaku
tetapi lebih jauh dari itu adalah upaya untuk
10
mengembalikan kerugian negara yang timbul dari terjadinya tindak pidana
korupsi tersebut.
Persoalan pengembalian kerugian
keuangan negara (asset recovery)
dalam praktek penanganan perkara koruspi telah menjadi persoalan serius,
sebab berdasarkan beberapa fakta yang terjadi banyak perkara korupsi yang
telah dijatuhi vonis, jumlah asset recovery nya sangat sedikit sekali tidak
sebanding dengan kerugian keuangan negara yang telah timbul.Pidana uang
denda dan uang pengganti sebagai sarana asset recovery ternyata dalam hal
pelaksanaannya sulit untuk terwujud.Pelaksanaan pidana uang pengganti tidak
semudah yang dibayangkan.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-UndangNomor 20 Tahun 2001tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, terhadap pidana uang pengganti ini sedikit mengalami perubahan.
Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, hakim dalam putusannya dapat menjatuhkan
pidana tambahan berupa perintah kepada Jaksa Penuntut Umum untuk
melakukan penyitaan terhadap harta benda terpidana
untuk dilelang guna
menutupi kerugian negara yang tidak dibayarkan oleh terpidana. Pada Pasal 18
ayat (3) tersebut menyebutkan pula bahwa bila terdakwa tidak memiliki harta,
maka dalam putusan akan ditambah dengan pidana penjara yang lamanya tidak
melebihi ancaman maksimum dari pidana pokok.Pasal 18 ayat (2) memberikan
kemungkinan untuk segera menyita harta benda milik terpidana guna
membayar pidana uang pengganti, namun masalahnya tidak semudah itu. Pada
saat jaksa akan melakukan penyitaan harta benda milik terpidana, ternyata
sudah tidak ada, pada saat proses sidang terdakwa telah mengalihkan atau
menjual harta benda miliknya sehingga ketika jaksa akan melakukan penyitaan
terhadap putusan yang telah incracht tetap tidak akan bisa berjalan.
Pemberantasan tindak pidana korupsi tidak semata-mata terletak pada
dipidananya pelaku, tetapi bagaimana kerugian keuangan negara dapat
dikembalikan. Oleh sebab itu dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
11
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pembayaran uang pengganti
pelaksanaannya telah diperluas yaitu hakim dapat menjatuhkan putusan berupa
penyitaan
harta-harta
terpidana
untuk
pembayaran
pidana
uang
pengganti.Kendatipun dalam putusan, hakim dapat menjatuhkan putusan
penyitaan terhadap barang-barang milik terpidana, persoalannya adalah
bagaimana bila selama proses sidang ternyata terdakwa telah mengalihkan harta
bendanya, tentu putusan perintah untuk melakukan penyitaan terhadap harta
milik terpidana akanmenjadi sia-sia.Berdasarkan hal tersebut, maka konsep
penyitaan perlu diperluas.
Dalam Pasal 39 ayat(1) KUHAP menyebutkan limitisasi penyitaan benda
yaitu penyitaan hanya dapat dilakukan terhadap:
1.
Benda hasil dari kejahatan;
2.
Benda yang digunakan untuk melakukan kejahatan;
3.
Benda yang digunakan untuk menghalangi penyidikan;
4.
Benda yang khusus dibuat untuk melakukan tindak pidana; dan
5.
Benda lain yang mempunyai hubungan lain dengan tindak pidana.
Ketentuan Pasal 39 KUHAP tersebut tidak membenarkan melakukan
penyitaan terhadap benda yang tidak ada kaitannya dengan kejahatan atau
tindak pidana yang dilakukan.
Perluasan penyitaan yang penulis maksud adalah menerapkan konsep sita
jaminan (conservatoir beslag) sebagaimana yang dikenal dalam Hukum
Perdata.Dalam konsep hukum perdata, tujuan diletakannya sita jaminan
terhadap harta milik tergugat adalah agar barang tersebut tidak dapat dialihkan
tergugat kepada pihak ketiga, sehingga tetap utuh sampai putusan berkekuatan
hukum tetap.Apabila tergugat tidak memenuhi pembayaran secara sukarela;
pelunasan utang atau ganti rugi itu, diambil secara paksa dari barang sitaan
melalui penjualan lelang.23
23
Sudikno Mertokusomo.Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta, 1998, hlm.65.
12
Tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crimes sehingga
diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa
(extra ordinary
enforcement) dan tindakan-tindakan luar biasa pula (extra ordinary measures),
salah satunya dengan penerimaan sistem sita jaminan sebagai salah satu
alternatif dalam pengembalian aset perolehan hasil korupsi yang dituangkan
dalam peraturan perundangan.Diperlukan juga lembaga pengelola aset yang
mendapatkan kewenangan oleh undang-undang sebagai lembaga yang
mengelola aset hasil dari tindakan penyelamatan aset.Semuanya aturan tersebut
harus dituangkan juga dalam Undang-Undang tentang Pengelolaan dan
Pengembalian Aset.
Konsep sita jaminan (conservatoir beslag) sebagaimana yang dikenal
dalam hukum perdata, dapat dikembangkan dalam hal sebagai jaminan untuk
pelaksanaan
pidana
uang
pengganti
dalam
perkara
tindak
pidana
korupsi.Wacana untuk penerapan konsep sita jaminan ini ternyata telah menjadi
diskursus yang sangat menarik dikalangan para ahli.Memasukkan konsep sita
jaminan(conservatoir beslag) dalam sistem penanganan perkara tindak pidana
korupsi
memang menuai
beragam
tanggapan dari kalangan praktisi
hukum.Penerapan sita jaminan memang memungkinkan harta benda yang
diperoleh secara sah pun dapat disita sejak tahap penyidikan. Namun tujuan
diletakannya sita jaminan terhadap harta milik tersangka adalah agar barang
tersebut tidak dapat dialihkan tersangka kepada pihak lain, sehingga tetap utuh
sampai putusan berkekuatan hukum tetap.
Konsep sita jaminan apabila diterapkan ke dalam proses penyidikan
tindak pidana korupsi, maka penyidik tindak pidana korupsi dari Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia dan Komisi
Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia dapat mencegah pengalihan aset
dan ‘memaksa’ terpidana korupsi membayar uang denda dan uang pengganti
setelah diputuskan oleh hakim pengadilan tindak pidana korupsi dan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Selama ini seringkali terpidana lebih
13
memilih menjalani pidana subsidair penjara ketimbang membayar uang denda
dan uang pengganti dengan alasan tidak memiliki aset.
Pada penelitian disertasi ini penulis memfokuskan penelitian terhadap
pengembalian aset (asset recovery).24Upaya pengembalian aset perolehan
tindak pidana korupsi yang telah merugikan keuangan negara dilakukan dengan
terlebih dahulu melakukan proses sita jaminan.25Keberlakuan sita jaminan
dalam proses pengembalian aset perolehan hasil korupsi, penulis yakini akan
dapat memaksimalkan penyelamatan kerugian keuangan negara dari adanya
kegiatan pengalihan aset yang selama ini sangat sulit untuk dijangkau dan
dilakukan perampasan. Dalam kaitan ini Zudan Arif Fakrullah26menyatakan
bahwa hukum itu dibuat untuk manusia sehingga hukum harus mampu
mewujudkan peningkatan martabat manusia, kesejahteraan masyarakat dan
melahirkan kebahagiaan bagi umat manusia.Keberadaan hukum juga terikat
dengan ruang dan waktu.Oleh sebab itu hukum harus dibangun secara dinamis
sesuai dengan perkembangan manusianya yang berada pada tempatnya dan
masanya sendiri-sendiri.Untuk itu, maka peranan politik hukum dalam
perumusan (formulasi) sita jaminan dalam rangka pengembalian aset perolehan
hasil korupsi menjadi sangat penting dan strategis.
24
Pengembalian aset yang akan dilakukan kajian dalam penelitian ini adalah menyangkut
aset sebagai kekayaan negara yang telah dikorup, digelapkan, dan disembunyikan sebagai
milik pribadi yang keberadaannya disamarkan dan jejaknya dihilangkan menggunakan
jalur yang terkesan sah secara hukum.
25
Dalam rezim hukum perdata sita jaminan dapat berupa jaminan berupa uang atau barang
yang dimintakan oleh penggugat kepada pengadilan untuk memastikan agar tuntutan
penggugat terhadap tergugat dapat dilaksanakan atau dieksekusi kalau pengadilan
mengabulkan tuntutan tersebut. Penyitaan dalam sita jaminan bukan dimaksudkan untuk
melelang, atau menjual barang yang disita, namun hanya disimpan (conerveer) oleh
pengadilan dan tidak boleh dialihkan atau dijual oleh termohon atau tergugat. Dengan
adanya penyitaan, tergugat kehilangan kewenangannya untuk menguasai barang, sehingga
seluruh tindakan tergugat untuk mengasingkan, atau mengalihkan barang-barang yang
disita tersebut adalah tidak sah dan dapat dikenakan pidana Pasal 231 dan Pasal 232
KUHP.
26
Zudan Arif Fakrulllah dalam Satya Arinanto & Ninuk Triyanti. Memahami Hukum, Dari
Konstruksi Sampai Implementasi, Ctk. Pertama, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011,
hlm.xviii.
14
B. Perumusan Masalah
Dalampenelitian disertasi ini, beberapa pokok masalah yang akan
dilakukan kajian lebih lanjut, adalah sebagai berikut:
1.
Apa kendala yang mempengaruhi upaya pengembalian aset perolehan
hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
sehingga sangat sulit dilakukan dan tidak optimal hasilnya?
2.
Mengapa penerapan sita jaminan (conservatoir beslag) menjadi sangat
penting untuk diterapkan dalam sistem penanganan perkara tindak pidana
korupsi di Indonesia?
3.
Bagaimana model sita jaminan yang dapat meningkatkan pengembalian
aset perolehan hasil tindak pidana korupsi dalam sistem hukum pidana
Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan secara umum penelitian dalam bentuk penelitian disertasi ini
diharapkan dapat memperkaya khasanah kepustakaan ilmu hukum pidana
dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi khususnya yang berkaitan
dengan upaya pengembalian aset hasil perolehan tindak pidana korupsi di
Indonesia. Di samping itu hasil penelitian ini juga diharapkan bisa menjadi
referensi bagi penelitian berikutnya.Tujuan secara khusus penelitian ini adalah:
1.
Menjelaskan
secara
utuh
tentang
permasalahan
sulitnya
upaya
pengembalian aset yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam hal
ini Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia
dan Komisi Pemberantsan Korupsi Republik Indonesia dan juga akan
ditelusuri
berbagai
kondisi
serta
faktor-faktor
apa
saja
yang
melatarbelakanginya. Kemudian menemukan suatu gambaran yang
komprehensif
sebagai
bahan
kelembagaan
penegakan
kajian
hukum
studi
dalam
perbandingan
upaya
sistem
memaksimalkan
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
15
2.
Mengetahui dan menganalisis secara mendalam pentingnya penerapan sita
jaminan (conservatoir beslag) dalam sistem penanganan perkara tindak
pidana korupsi dalam rangka mencegah pengalihan aset hasil tindak
pidana korupsi dan ‘memaksa’ terpidana korupsi membayar uang denda
dan uangpengganti, guna memaksimalkan pengembalian aset perolehan
hasil tindak pidana korupsi.
3.
Menyusun model dan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk
menerapkan model sita jaminan (conservatoir beslag) sebagai model
penyitaan padapenanganan perkara tindak pidana korupsi dalam sistem
hukum pidana di Indonesia. Penerapan model sita jaminan juga dalam
rangka memaksimalkan pengembalian aset perolehan hasil korupsi
dengan cara mencegah pengalihan aset dan “memaksa” terpidana korupsi
membayar uang pengganti sesuai putusan yang sudah ditetapkan oleh
lembaga peradilan tindak pidana korupsi.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dalam penelitian hasil disertasi ini dapat dibedakan dalam 2
(dua) bentuk yakni manfaat teoritis dan praktis. Dapat penulis jelaskan sebagai
berikut:
1.
Manfaat teoritis
a.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam pengembangan
teori-teori yang telah ada mengenai upaya penguatan pengembalian
aset perolehan hasil tindak pidana korupsi.
b.
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi pemikiran alternatif
bagi ilmuwan hukum, praktisi hukum dan mahasiswa hukum bahwa
model sita jaminan (conservatoir beslag) lebih layak untuk dikaji
dan dipilih dalam rangka mencegah pengalihan aset hasil tindak
pidana korupsi dan memaksa terpidana korupsi untuk membayar
uang denda dan uang pengganti sehingga dapat memaksimalkan
16
pengembalian aset
perolehan hasil tindak pidana korupsi dan
mengembalikan kerugian keuangan negara.
c.
Dengan melakukan kajian studi perbandingan dan pengembangan
teori dalam pengembalian aset perolehan hasil tindak pidana korupsi
diharapkan dapat menjadi rujukan (referensi) atau sebagai salah satu
sumber bacaan bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
d.
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi pemikiran alternatif
dan masukan kepada lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif
untuk lebih lanjut dikaji dan dipilih dalam rangka menyelesaikan
masalah pengembalian aset perolehan hasil tindak pidana korupsi.
2.
Manfaat praktis
a.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak yang
mempunyai kewenangan dalam perumusan peraturan perundangundangan untuk mengkaji dan memperbaiki perundang-undangan
pemberantasan tindak pidana korupsi, perampasan aset korupsi
ataupun dalam rangka pembentukan peraturan perundangan
pengelolaan dan pengembalian aset serta lembaga pengelolaan aset
yang memerlukan suatu terobosan hukum yang efektif sesuai
dengan perkembangan zaman.
b.
Hasil kajian dalam penelitian ini diharapkan dapat membentuk
keseragaman di antara aparat penegak hukum dalam proses
penanganan
perkara
tindak
pidana
korupsi
dalam
rangka
meningkatkan pengembalian aset perolehan hasil tindak pidana
korupsi.
c.
Dengan adanya suatu model sita jaminan dalam sistem penanganan
perkara tindak pidana korupsi dapat mencegah pengalihan aset
perolehan hasil tindak pidana korupsi dan memaksa terpidana
17
korupsi
untuk
membayar
uang
pengganti
dalam
rangka
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
d.
Dengan adanya upaya pengembalian aset perolehan hasil tindak
pidana korupsi, maka diharapkan dapat mengembalikan kerugian
keuangan
negara
yang
kemudian
dapat
digunakan
untuk
pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
18
Download