5. KEBIJAKAN POL.AS 1954-1962--edit-OK

advertisement
KEBIJAKAN POLITIK LUAR NEGERI AMERIKA TERHADAP INDONESIA
PADA MASA PERANG DINGIN 1945-1958
M. Bagus Sekar Alam1
Abstract
United States (US) foreign policy in Indonesia during 1945-1958 was
intended to block communism. Therefore, US supported Netherlands recolonialism on Indonesia. Indonesia fought for this re-colonialism through
battle and conference to get fair agreement. KMB (Round Table)
conference between Indonesia and Netherlands was held in Den Haag to
end Netherlands colonialism on Indonesia. PKI (Communism Party of
Indonesia) growth which could turn Indonesia to become communism
country was worried by US. Due to that, US involved actively in many
intelligent activities and political violence in Indonesia, such as Cikini
tragedy and PRR Permesta revolt.
Kata-kata kunci: Amerika, Perang Dingin, kebijakan politik luar negeri
A. Pendahuluan
Perang Dingin adalah sebutan periode dimana terjadi konflik, ketegangan, dan
kompetisi ideologi antara Amerika (AS) beserta sekutunya (Blok Barat) dengan Uni
Soviet beserta sekutunya (Blok Timur). Istilah Perang Dingin diperkenalkan pertama
kali pada tahun 1947 oleh Bernard Baruch dan Walter Lippman dari Amerika Serikat
untuk menggambarkan hubungan ketegangan dan kompetisi yang terjadi di antara kedua
negara adikuasa. Persaingan keduanya terjadi di berbagai bidang seperti dalam koalisi
militer, ideologi, psikologi, intelijen, industri dan pengembangan teknologi, pertahanan,
perlombaan nuklir, persenjataan, dan banyak lagi. Ditakutkan bahwa perang ini akan
diramalkan berakhir dengan perang nuklir. Tetapi ramalan tersebut tidak pernah terjadi.
Meskipun kedua negara adikuasa itu belum pernah bertempur secara langsung (face to
face), akan tetapi konflik di antara keduanya secara tidak langsung telah menyebabkan
berbagai konflik di belahan dunia dan perubahan tatanan dunia (world order). Seperti
pecahnya perang Korea, jatuhnya China menjadi negara komunis, invasi Soviet
1
Staf Pengajar Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS.
1
terhadap Hongaria dan Cekoslovakia, terbaginya Jerman Barat dan Jerman Timur yang
dipisahkan oleh Tembok Berlin serta meletusnya Perang Vietnam.2
Di kawasan Asia Tenggara, dan khususnya di Indonesia selama periode awal
pecah Perang Dingin memberikan makna dan dinamika tersendiri. Khususnya bagi
usaha dan strategi Indonesia mencari dukungan politik atas pengakuan kemerdekaan di
dunia internasional (1945-1949). Diawali dari periode menjelang kemerdekaan
Indonesia tahun 1945 yang ditandai peristiwa kekalahan Jepang tanpa syarat pada
sekutu (AS dan Blok Barat). Dimana gaung peristiwa itu cepat menggugah kesadaran
nilai-nilai nasionalisme rakyat Indonesia, bangkit menuju bangsa dan negara merdeka
dan berdaulat. Tepatnya tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta membacakan teks
proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia. Sejak itulah Indonesia lahir sebagai bangsa
yang merdeka dan berdaulat. Sehari kemudian disusunlah Pemerintahan Negara
Indonesia yang pertama dengan memilih Soekarno sebagai presiden dan M. Hatta
menjadi wakil presiden.3
Tetapi perjuangan Bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan tidak
berhenti sampai disitu. Bangsa Indonesia menghadapi permasalahan baru yaitu upaya
rekolonisasi Belanda atas Indonesia. Sebab Belanda yang telah menjajah Indonesia
selama tiga setengah abad tidak mengakui secara de facto dan de yure atas kemerdekaan
bekas tanah jajahannya. Belanda merasa masih punya kuasa atas Indonesia dan bertekad
ingin menguasai kembali. Melalui tentara Sekutu yang sedang melucuti tentara Jepang,
militer Belanda secara diam-diam kembali memasuki Indonesia.
Bersamaan dengan itu pemerintahan Sorkarno-Hatta terus berjuang keras
mencari dukungan, pengakuan dan bantuan dunia internasional guna penyelesaian
konflik Indonesia dan Belanda. Periode inilah mulai ada hubungan diplomasi yang aktif
antara Indonesia dengan Amerika Serikat. Peran aktif Amerika dalam memfasilitasi
penyelesaian konflik antara Indonesia-Belanda bukan tanpa kepentingan. Konflik
Perang Dingin, posisi Indonesia memiliki nilai strategis bagi kepentingan nasional
Amerika. Khususnya dalam usahanya membendung perkembangan komunisme dan
upaya menjaga kepentingan investasi ladang-ladang minyak Amerika di Indonesia.4
2
. Lynn H. Miller, Agenda Politik Internasional (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 118.
. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989)
4
. Baskara T Wardaya, Indonesia Melawan Amerika (Yogyakarta: Galang Press, 2008)
3
2
B. Konteks Perang Dingin dan Kepentingan Amerika di Asia Tenggara
Hubungan diplomasi antara Indonesia dan Amerika sebelum berakhirnya Perang
Dunia II belumlah istimewa. Seperti yang telah diketahui, kontak pertama yang secara
berkesinambungan Bangsa Indonesia dengan bangsa Barat bukanlah dengan Amerika,
tetapi dengan Belanda. Bangsa Belanda yang datang pada awal abad ke-17 kemudian
hadir menjadi penguasa atas kolonialisme Indonesia sampai pada awal abad ke-20. Tiga
setengah abad (350 tahun) kolonialisme Belanda telah berlangsung di Indonesia.
Berbagai peristiwa semangat patriotik dan perlawanan heroik Bangsa Indonesia dalam
melawan imperialisme dan kolonialisme banyak mewarnai lembaran sejarah Indonesia.
Namun demikian kontestasi politik dunia berubah menjelang berakhirnya Perang
Dunia II. Amerika berada pada posisi yang menentukan boleh tidaknya Belanda
menancapkan kembali kolonialisme dan imperialisme atas Indonesia. Belanda
menyadari untuk kembali menjajah Indonesia bukan persoalan mudah. Kondisi
Indonesia yang telah merdeka dan adanya pengakuan sebagian masyarakat internasional
atas kemerdekaan Indonesia menjadi hambatan bagi Belanda. Karena itu memperoleh
persetujuan dan dukungan Amerika Serikat dalam upaya rekolonialisasi atas Indonesia
adalah hal penting yang dilakukan Pemerintah Belanda.5
Perlu diketahui, pasca Perang Dunia II peran dan posisi Amerika di dunia
internasional menjadi sentral dalam memainkan langkah strategis kekuatan Blok Sekutu
di Eropa dan Pasifik. Bangsa Indonesia berharap kepemimpinan Amerika (Blok Barat)
pemegang kendali pasukan Sekutu bisa bertindak netral dan bersimpati atas perjuangan
Bangsa Indonesia. Harapannya misi Amerika dan tentara Sekutu tiba di Indonesia tidak
hanya melucuti tentara Jepang dan mengembalikan ke negaranya, tetapi lebih dari itu
ikut menghalangi rencana Belanda dalam upaya rekolonialisasi atas Indonesia.6
Tetapi harapan besar Indonesia pada Amerika tidak sesuai dengan kenyataannya.
Pada awalnya, sikap Amerika pada masa pemerintahan Presiden Truman (1945-1953)
relatif bersikap netral dan kurang peduli atas perjuangan Bangsa Indonesia. Amerika
sendiri merasa belum punya ancaman atas keamanan nasionalnya. Akan tetapi dampak
Peran Dingin dan perubahan politik di Asia Tenggara yang drastis, menjadikan sikap
politik Amerika di Asia Tenggara tidak netral lagi. Amerika mulai sadar atas
kepentingannya di Asia Tenggara dan nilai strategis Indonesia setelah melihat kekuatan
5
6
. Baskara T Wardaya, op. cit., hlm. 17-18.
. Baskara T. W, op. cit., hlm. 22-24.
3
komunis bangkit. Selain itu dalam pandangan Amerika, upaya rekolonialisasi Belanda
atas Indonesia akan membuka pintu kembali Bangsa Barat yang lain untuk
memaksimalkan ekspansi kapitalisme. Potensi kekayaan alam Indonesia yang melimpah
ruah diharapkan menjadi modal kapital bangsa Barat dalam usaha rekapitalisasi industri.
Bila rencana ini berhasil dengan sendirinya mengurangi beban Amerika dalam
membantu Eropa Barat di tengah upaya pemulihan ekonomi pasca perang melalui
Rencana Marshal (Marshal Plan). Dengan dasar itu, perkembangan komunisme di Asia
Tenggara khususnya di Indonesia harus dilenyapkan. Itulah alasan penting mengapa
Amerika setuju dan mendukung usaha Belanda melakukan rekolonialisasi atas
Indonesia.7
Sejalan dengan konteks kepentingan utama di atas, secara tegas dan terangterangan Amerika akan melawan penyebarluasan komunisme di manapun juga, tidak
terkecuali Indonesia. Pernyataan tersebut dinyatakan setelah mendengar laporan
intelijen Pemerintah Belanda bahwa para pemimpin nasionalis Indonesia adalah
komunis dan lebih condong ke ideologi kiri. Menindaklanjuti laporan intelijen ini,
pemerintahan Amerika melihat bahwa kemungkinan Indonesia bisa jatuh menjadi
negara komunis. Kalau hal ini benar-benar terjadi Amerika akan kehilangan kesempatan
memenangkan perang ideologi di Asia Tenggara. Dengan bercermin pengalaman pahit
atas jatuhnya Cina kepada rezim komunis di bawah Mao Zedong tahun 1949, Amerika
mendapatkan pelajaran yang mahal dalam menentukan strategi kebijakan politik baru
bagi Indonesia dan umumnya di kawasan Asia Tenggara.
Oleh karena itu, wajar jika sikap netralitas Amerika berubah dan beralih
mendukung rencana Belanda menguasai kembali bekas tanah jajahannya. Hal ini
dilakukannya semata-mata untuk mencegah terjadinya hubungan yang lebih erat antara
Indonesia dengan musuh-musuhnya, yakni Uni Sovyet dan Cina. Selain itu Belanda
adalah sekutu yang ramah bagi Amerika sekaligus mitra dalam pakta pertahanan
NATO.
C. Sikap Amerika atas Agresi Belanda I Sampai Perundingan KMB
Tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration) bersama pasukan
Sekutu dibawah komando Pasukan Inggris mendarat di Indonesia pada September 1945.
7
. Baskara T. W, op. cit., hlm. 30-32.
4
Bersamaan dengan itu Belanda berhasil kembali memasuki wilayah Indonesia dan
menguasai beberapa wilayah Indonesia. Apalagi setelah komando pasukan Inggris di
Asia Tenggara menyerahkan wilayah Indonesia (kecuali Jawa dan Sumatra) kepada
Belanda pada Juli 1946. Hingga akhir tahun 1946 Belanda berhasil merebut kembali
sebagian besar wilayah Republik Indonesia yang semula meliputi wilayah bekas Hindia
Belanda kini tinggal mencakup Sumatra dan Jawa-Madura. Agresi militer Belanda atas
Indonesia tersebut diam-diam tidak dipersoalkan oleh Amerika. Hal ini menunjukkan
bahwa dari awal Amerika telah berpihak pada Belanda yang berambisi kembali
menguasai bekas tanah jajahannya dan menghiraukan tuntutan asazi Bangsa Indonesia.8
Seperti telah diketahui bahwa keinginan Belanda menguasai kembali Indonesia
sangat besar. Dengan cara membonceng tentara Sekutu, gelagat tentara Belanda sudah
tercium hangat rakyat Indonesia. Saat itu pula badan-badan keamanan rakyat dan milisi
yang terdiri atas laskar-laskar pejuang bentukan rakyat telah mempersiapkan diri
menghadapi kemungkinan terburuk jika terjadi perang. Semangat perjuangan
mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan sampai titik darah penghabisan adalah
harga mati. Karena itu kontak senjata antara Badan Keamanan Rakyat (BKR) beserta
laskar-laskar pejuang sipil dengan pasukan NICA tidak dapat dihindarkan. Maka
meletuslah pertempuran hebat rakyat Indonesia dengan tentara NICA di berbagai kota
seperti Medan, Bandung, Semarang, Ambarawa, Surakarta dan yang terhebat di
Surabaya yang di kenal dengan pertempuran 10 November. Tindakan agresor Belanda
atas Indonesia mendapat kritikan dan kecaman internasional, tetapi Amerika belum
mengambil ketegasan sikap apa pun dan terkesan membiarkan.9
Upaya penyelesaian konflik Indonesia-Belanda juga diselesaikan melalui
berbagai perundingan dengan tujuan agar sengketa kedua negara dapat diselesaikan
secara diplomatik. Tidak kurang empat kali telah diadakan perundingan. Perundingan
pertama diadakan April 1946 di Hoge Veluwe (Negara Belanda) yang tidak
menghasilkan keputusan apa pun atau dengan kata lain mengalami jalan buntu.
Kemudian tidak berselang lama diadakan perundingan lagi pada 15 November 1946
berhasil mencapai persetujuan yang dikenal dengan perjanjian Linggarjati. Namun, isi
Perjanjian Linggarjati tersebut ditolak sebagian besar rakyat Indonesia yang tidak
menghendaki terbentuknya uni Indonesia-Belanda. Akibat peristiwa ini Kabinet Syahrir
8
9
. Baskara T. W, op. cit., hlm. 50-52.
. Oey Beng To, Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia (Jakarta: LPPI Press, 1991).
5
mundur, dan kembali memburuknya hubungan Indonesia-Belanda. Amerika khawatir
kebuntuan diplomasi ini akan berujung kembali kontak senjata kedua belah pihak dan
bagi kepentingan Amerika kedepan keadaan ini jelas tidak menguntungkan.10
Pada 20 Juli 1947 Belanda melancarkan serangan militer sepihak terhadap
Republik Indonesia. Akibat agresi militer pertama tersebut, tentara Belanda menguasai
sebagian besar kota-kota besar dan kecil di Jawa dan Sumatra serta menguasai
pelabuhan-pelabuhan penting yang waktu itu telah dikuasai Republik. Aksi militer
Belanda ini mendapat kecaman pedas dan kritikan masyarakat internasional, seperti
Negara Australia, India dan Uni Sovyet. Bahkan rakyat Amerika sendiri melalui Partai
Buruh Sosialis menyatakan keprihatinannya atas situasi yang berkembang di Indonesia.
Mereka mendesak Presiden Truman (Presiden AS waktu itu) supaya Pemerintah
Belanda menghentikan serangan dan tidak lagi menggunakan persenjataan, senapan dan
pesawat terbang Amerika untuk maksud-maksud jahat terhadap Indonesia. Menariknya,
meskipun gelombang protes dan tekanan internasional terhadap aksi militer Belanda
atas Indonesia terjadi dimana-mana, tetap saja Amerika enggan untuk mengecam dan
tidak menyalahkan Belanda.11
Konflik yang semakin memanas antara Indonesia dan Belanda akibat agresi
Militer tersebut, atas permintaan India dan Australia supaya diadakan perundingan
kembali melalui jasa baik PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Permintaan tersebut di
sambut baik PBB, kemudian terbentuklah Komisi Tiga Negara (Komisi Jasa-jasa Baik)
yang terdiri atas Amerika, Australia dan Belgia. Melalui pengawasan PBB, komisi
tersebut memfasilitasi perundingan kembali antara Indonesia-Belanda di atas kapal
Renville milik Amerika yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta. Dalam perjanjian
Renville tersebut pihak Indonesia diwakili Perdana Menteri Amir Syarifuddin dan
Belanda diwakili oleh H.J. Van Mook selaku Letnan Gubernur Jenderal Belanda. Hasil
perjanjian tersebut telah disetujui dan diterima kedua belah pihak pada 19 Januari 1948.
Penandatanganan Perjanjian Renville mendapat pujian yang luar biasa dari Presiden
Amerika Truman. Menurutnya keberhasilan Perjanjian Renville mencerminkan sebuah
keberhasilan dalam menghentikan permusuhan dan membantu prinsip politik yang
berdasarkan kebebasan, demokrasi dan kemerdekaan bagi Republik Indonesia Serikat.
Di sisi lain persetujuan Renville yang telah ditandatangani Amir Syarifuddin tersebut
10
11
. Oey Beng To, op. cit., hlm.
. Baskara T. W, op. cit., hlm 54-60.
6
menimbulkan krisis kepercayaan para pemimpin Indonesia pada Kabinet Syarifuddin.
Kecaman senada juga ditujukan kepada Amerika yang telah mendukung hasil
perundingan dengan menyebutnya sebagai bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan
revolusioner Indonesia. Peristiwa ini berujung meningkatkan rasa tidak suka rakyat
Indonesia kepada Amerika dan secara politis menguntungkan Uni Soviet dan PKI.12
Sikap pesimis para pemimpin Indonesia terbukti terjadi ketika H.J.Van Mook
secara sepihak melanggar hasil perundingan dengan menciptakan negara-negara bagian
seperti Pasundan dan Madura yang tidak lain boneka-boneka Belanda semata. Sebagai
kelanjutan dari pembentukan negara boneka Belanda tersebut pada 9 Maret 1948 Van
Mook mengumumkan bahwa “Pemerintah Federal Sementara” telah terbentuk.
Peristiwa ini kembali menciptakan ketegangan suhu politik dan memperburuk hubungan
Indonesia-Belanda.
Di sisi lain para pemimpin komunis Indonesia (PKI) memanfaatkan krisis
kepercayaan tersebut dengan berbagai propaganda anti pemerintah dan sentimen anti
Amerika. Harapan kaum komunis tertuju pada rakyat dan faksi militer yang kecewa dan
mengalihkan dukungan mereka pada PKI yang waktu itu sedang berusaha mencari
dukungan rakyat. Dengan menguatnya dukungan rakyat dan sebagian faksi militer pasca
Perjanjian Renville, para pemimpin komunis yakin pada saatnya nanti dapat memainkan
peranan yang lebih pada pemerintahan. Sekalipun pada medio 1948 anggota PKI baru
berjumlah 3.000 orang, tetapi dengan melihat krisis kepercayaan rakyat pada
pemerintah pusat, tidak mustahil rakyat akan beralih mendukungnya. Perkembangan
situasi yang demikian itu membuat Konsul Amerika di Jakarta Charles Livengood
sangat khawatir melihat terus meningkatnya popularitas PKI di mata rakyat.
Dengan meningkatnya popularitas komunis di Indonesia menjadi dilema bagi
para pejabat Washington. Di satu sisi, kebijakan Amerika di Eropa Barat menekan
Amerika mendukung rekolonialisasi Belanda atas Indonesia. Di sisi lain, dalam usaha
memuluskan rencana tersebut, Belanda terus-menerus melanggar hasil Perjanjian
Renville yang akhirnya menghasilkan kekecewaan rakyat Indonesia yang meluas
kepada Kabinet Hatta. Kalau ini tidak hati-hati disikapi oleh Amerika maka dapat
dimanfaatkan oleh kaum komunis (PKI) untuk menggulingkan pemerintahan.
12
. F. Gouda dan T.B. Zaalberg, Indonesia Merdeka karena Amerika (Jakarta, Serambi, 2008.), hlm. 24i
7
Dalam suasana krisis kepemimpinan nasional, peristiwa kudeta yang tidak
diduga sebelumnya meletus di Madiun. Pada tanggal 18 September 1948 terjadi
pemberontakan PKI yang dipimpin oleh Musso, Amir dan Sumarsono dengan tujuan
mengulingkan Pemerintahan Hatta. Presiden Sukarno dan M. Hatta mengutuk keras
Musso beserta rencananya mendirikan pemerintahan bergaya Soviet. Presiden Sukarno
menugaskan Komandan Divisi Siliwangi (Kodam Siliwangi) Kolonel. A.H. Nasution
memadamkan pemberontakan. Dibutuhkan dua setengah bulan untuk memadamkan
pemberontakan tersebut dan pada 1 Desember para pimpinan PKI beserta 300
pengikutnya tertangkap sedangkan Musso sendiri tertembak dalam pertempuran.
Setidaknya tercatat 8.000 rakyat Indonesia terbunuh dalam peristiwa tersebut.
Keberhasilan Pemerintah RI menumpas pemberontakan PKI disambut gembira
oleh Amerika. Tindakan tegas Pemerintah RI terhadap kaum komunis meyakinkan
pejabat Amerika bahwa para pemimpin Republik bukanlah orang-orang komunis.
Peristiwa tersebut menjadi pukulan telak bagi upaya Belanda yang dari awal
meyakinkan dan mempengaruhi pejabat Washington bahwa para pemimpin nasional
Indonesia adalah orang komunis.
Dalam kesempatan yang sama PBB terus mengupayakan cara tepat dan terbaik
atas penyelesaian konflik Indonesia-Belanda pasca Perjanjian Renville yang mengalami
kebuntuan. Namun tiba-tiba secara sepihak Belanda pada tanggal 19 Desember 1948
melakukan agresi militer yang kedua. Agresi Belanda II tersebut telah menangkap dan
memenjarakan Presiden Sukarno, wakil Presiden Hatta, Syahrir dan para pemimpin
nasional lain. Sebelum meninggalkan Yogyakarta, Presiden Soekarno memerintahkan
Syarifuddin Prawiranegara untuk sementara membentuk Pemerintah Darurat RI di Bukit
Tinggi Sumatra Barat. Dengan adanya peristiwa Agresi Belanda II tersebut rakyat
Indonesia sadar untuk mempertahankan kemerdekaan tidak hanya mengandalkan
perjuangan diplomasi tetapi, juga dibarengi perlawanan senjata (menerapkan strategi
perang gerilya).13
Peristiwa agresi Belanda kedua tersebut membuat PBB mendapat tekanan luar
biasa dari Pemerintah Inggris, Liga Arab, India, Partai Komunis Belanda, maupun
rakyat Amerika sendiri untuk segera menengahi sekaligus mengakhiri konflik
13
. Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia (Yogyakarta: UGM Press,
1982), hlm. 60-61.
8
Indonesia-Belanda dengan jalan mengembalikan kedaulatan RI. Tekanan dunia
internasional tersebut menjadikan Amerika dan PBB sepakat menekan Belanda segera
berunding kembali dengan Indonesia dan membatalkan keinginan merebut kembali
bekas tanah jajahannya. Dan pada tanggal 28 Januari 1949 Dewan Keamanan (DK)
PBB mengeluarkan resolusi yang menyerukan genjatan senjata dan dibukanya negoisasi
kembali Indonesia-Belanda. Untuk memfasilitasi negoisasi kembali tersebut PBB
membentuk UNCI (United Nations Commission for Indonesia) yang diberi wewenang
yang lebih besar dalam penyelesaian konflik antarkeduannya.
Pada tanggal 23 Agustus 1949 diadakan perundingan kembali penyelesaian
konflik Indonesia-Belanda di Den Haag yang dikenal dengan konferensi Meja Bundar
(KMB). Dalam perundingan kali ini pemerintahan Truman mengisyaratkan perubahan
sikap beralih mendukung perjuangan Bangsa Indonesia dan ingin secepatnya
mengakhiri konflik diantara keduanya. Amerika menghendaki perundingan kali ini
membahas dan mengatur berbagai hal menyangkut peralihan kekuasaan dari Belanda ke
Indonesia. Sekalipun demikian dalam konferensi tersebut Amerika masih saja
melindungi posisi Belanda dalam hal persoalan pengalihan tanggung jawab hutang
kolonial, bentuk Uni Indonesia-Belanda, dan status Irian Barat. Pembicaraan mengenai
masalah ini ternyata mengalami tarik ulur walaupun akhirnya permasalahan tersebut
dapat disepakati. Pada tanggal 27 September !949 dilakukan seremonial secara
bersamaan (di Belanda dan di Jakarta) peralihan kekuasaan secara resmi dari Belanda
kepada Indonesia. Peristiwa ini merupakan lembaran baru sejarah Bangsa Indonesia
setelah berabad-abad lamanya berada dalam kekuasaan kolonialisme, kini rakyat
Indonesia secara resmi menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat. Menyusul
pengakuan Amerika terhadap kemerdekaan Indonesia, H.Merle Cochran diangkat
menjadi duta besar pertama Amerika untuk Indonesia.
D. Amerika Dan Pemilu 1955: Kecenderungan Indonesia Ke Kiri
Amerika di bawah pemerintahan Dwight D. Eisenhower (1953-1957) tetap
melanjutkan kebijakan Perang-Dingin melawan kubu komunisme di Asia Tenggara.
Mengenai kebijakan politik luar negeri terhadap Indonesia, presiden Eisenhower
mempunyai pemikiran yang berbeda dengan pendahulunya Truman. Ia tidak ingin
mengulangi kegagalan yang sama dengan Pemerintahan Truman dalam upayanya
9
menarik Indonesia ke Blok Barat tahun 1952. Karena itu Eisenhower berusaha
menghindari campur tangan langsung yang tidak perlu atas politik dalam negeri
Indonesia. Garis politik non-intervensi itu terlihat dari sikap Pemerintahan Eisenhower
terhadap masalah Irian Barat. Dari awal Pemerintah RI menentang ketetapan KMB
dalam urusan Irian Barat yang menurut perjanjiannya, setahun kemudian akan
dibicarakan kembali. Indonesia mengklaim bahwa Irian Barat adalah bagian tak
terpisahkan dari Indonesia. Ketika Presiden Sukarno meminta dukungan Amerika untuk
klaim tersebut, pemerintahan Eisenhower menolak. Begitu juga ketika persoalan
tersebut di bawa ke PBB pemerintahan Eisenhower memilih abstain. Sikap Amerika
yang dingin dalam penyelesaian Irian Barat membuat pemerintahan Sukarno kecewa.
Haluan politik luar negeri Indonesia dalam menyikapi arus Perang Dingin
berubah ketika di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo. Kabinet
Ali ingin menempuh strategi politik luar negeri bebas aktif, dimana Indonesia
memainkan peran lebih aktif dalam masalah-masalah internasional, khususnya diantara
negara-negara Asia-Afrika yang baru merdeka. Politik luar negeri yang diambil
Indonesia tersebut membuat pejabat Washington gelisah. Menteri Luar Negeri Amerika
Dulles waktu itu menanggapi netralitas tidak memihak Blok Amerika atau Blok Soviet
sebagai sesuatu yang tidak bisa diterima. Indonesia harus memilih salah satu Blok Barat
atau Blok Timur. Dulles khawatir netralitas Indonesia hanya menguntungkan kubu
komunis. Rasa curiga dan khawatir ini menjadi pendorong kebijakan Washington
terhadap Indonesia berubah dari non-intervensi menjadi penuh intervensi.
Dalam tahun 1950-an PKI secara mengejutkan tampil kembali dalam panggung
perpolitikan Indonesia. Bertambahnya dukungan rakyat khususnya di pedesaan Jawa
Tengah dan Jawa Timur menunjukkan PKI berhasil melakukan pendekatan aksi dan
propaganda di akar rumput. Selain itu keberhasilan ahli propaganda PKI dalam menarik
dukungan dari serikat sekerja (SOBSI) menjadikan jumlah anggota PKI meningkat
tajam sekitar 850.000 di tahun 1954. Meningkatnya jumlah anggota PKI juga
dipengaruhi faktor merosotnya ekonomi Indonesia yang secara struktural dan
kondisional rakyat bawah mudah tersulut emosinya. Selain itu, faktor membaiknya
hubungan pribadi dan kedekatan ideologis antara Presiden Sukarno dengan elit komunis
membuat terbukanya ruang gerak aksi infiltrasi dan propaganda PKI. Jumlah anggota
partai komunis yang terus berkembang secara signifikan ini memberi sinyal negatif bagi
10
pejabat Washington melalui statement Menlu Amerika bahwa Indonesia dalam bahaya
komunis. Karena itu Menteri Luar Negeri Dulles menyampaikan peringatan kepada para
pejabat Amerika jangan ragu-ragu untuk menumbangkan pemerintahan yang sekarang
ada sekiranya Indonesia mengarah menjadi negara komunis.
Pada tahun 1955 Indonesia melangsungkan hajat besar pesta demokrasi pemilu
yang pertama. Pemilu ini berjalan demokratis dan sukses, tercatat 91,5 persen dari 39
juta orang memberikan hak suaranya. Empat partai besar memperoleh suara terbanyak
dimulai dari yang pertama PNI (22,3 %), partai Masyumi (20,9 %), partai NU (18,4 %)
dan PKI (16,4 %).14 Pemerintah Washington terkejut dengan hasil prestasi yang
ditunjukkan PKI, mengingat bahwa mereka telah ditekan pemerintah tahun 1948 ketika
terjadi pemberontakan PKI di Madiun yang gagal. Mengomentari hasil pemilu tersebut,
John F. Dulles menyatakan keprihatinannya bahwa Indonesia sedang berada dalam
kepungan komunis. Beberapa pejabat Washington juga merasa khawatir sebab Masyumi
yang sudah mereka bantu dengan sumbangan kampanye senilai 1 juta dolar AS, gagal
menjadi pemenang pertama. Kekhawatiran ini cukup beralasan, perolehan suara PKI
yang besar akan meningkatkan pengaruh komunis yang mendorongnya semakin jauh ke
kiri. Di sisi lain, para elit PKI menafsirkan perolehan suara pemilu 1955 memberi sinyal
bahwa waktunya telah tiba bagi mereka untuk memainkan politik praktis yang jauh
lebih besar. Misalnya saja merancang pidato profokatif tentang peringatan kepada
rakyat supaya waspada pada “kaum reaksioner” dalam negeri yang mau dimanfaatkan
kapitalis asing (Amerika dan Belanda) untuk merongrong kedaulatan negara. Wacanawacana seperti ini terus dipropagandakan untuk menekan pemerintah dan menambah
dukungan rakyat bagi PKI dalam penyelesaian Irian Barat yang terkatung-katung. Hal
ini semakin menjelaskan sikap bahwa apa yang menjadi keprihatinan dan tantangan
Presiden Sukarno juga menjadi keprihatinan PKI. Dengan cara seperti ini PKI berhasil
mengambil hati Presiden Sukarno dan berharap kedepan semakin diberi keleluasaan
menari di panggung politik nasional. Kedekatan Sukarno dan PKI ini membuat pejabat
Washington cemas dan berfikir keras memasang strategi baru menyelamatkan Sukarno
dari pengaruh kaum komunis melalui cara membangun hubungan pribadi lebih hangat
dengannya.
14
. M.C. Ricklefs, op.cit, hlm. 363.
11
E. Amerika dan Keterlibatan Gerakan Separatis di Berbagai Daerah
Awal tahun 1957 pamor PKI terus bersinar di panggung politik nasional.
Apalagi setelah Presiden Sukarno mengumumkan gagasan politiknya yang dikenal
dengan Konsepsi Presiden dimana nantinya kabinet terbentuk akan merangkul semua
kekuatan partai politik yang ada, tidak terkecuali PKI. Haluan politik Sukarno ini
merupakan kesempatan bagi PKI memperkuat posisi dan di sisi lain Masyumi, NU.
Perkembangan situasi dan kondisi internal perpolitikan Indonesia yang dramatis bagi
Amerika ini semakin membuat pejabat Washington khawatir langkah Sukarno semakin
jauh ke kiri. Sebagai contoh, usaha Sukarno memperoleh bantuan militer dari negaranegara Blok Soviet. Mendorong segala upaya CIA (Intelijen AS) menghentikan
manuver politiknya dan saatnya Amerika memanggang kaki Sukarno. Dinas intelijen
(CIA) di Indonesia mulai agresif melakukan operasi intelijen termasuk skenario
pembunuhan karakter Sukarno (film jorok) sampai upaya percobaan pembunuhan
Sukarno (peristiwa Cikini). Namun upaya CIA menggulingkan Sukarno gagal.15
Sementara itu pada tanggal 15 Februari 1958 dideklarasikan suatu pemerintahan
pemberontak di Sumatra yang bermarkas di Bukittinggi dengan nama PRRI (Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia). Dua hari kemudian kelompok pemberontak Semesta
di Sulawesi ikut bergabung dengan PRRI. Pemberontakan ini kemudian di kenal
PRRI/Permesta. Gerakan ini muncul sebagai bentuk ketidakpuasaan segelintir elit partai
Masyumi (Syafrudin, Natsir, dll) dan beberapa perwira menengah TNI (Simbolon,
Lubis, dll) di Sumatra terhadap situasi politik yang ada termasuk didalamnya usaha
Hatta merasionalisasi di tubuh militer. Kelompok pemberontak menuntut dan
mengultimatum lima hari agar pemerintah di Jakarta segera membubarkan kabinet,
meminta Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX ditunjuk kabinet karya baru sampai
pemilu yang segera dilakukan dan dikembalikannya sistem pemerintahan parlementer.
Terhadap tuntutan pemberontak tersebut Pemerintah Jakarta mengambil sikap tegas
melakukan tindakan militer terhadap kelompok pemberontak. Operasi militer yang
dilakukan TNI dibawah komando Ahmad Yani sebagai bentuk penegakan wibawa
pemerintah di daerah konflik yang dikuasai PRRI. Berbagai instalasi-instalasi
PRRI/Permesta di Padang Bukittinggi dihancurkan melalui operasi serangan udara.
Seiring dengan serangan udara, Angkatan Darat (Divisi Siliwangi dan Divisi
15
. Baskara T. W, op. cit., hlm. 71-72.
12
Diponegoro) diterjunkan langsung di daerah konflik dan dengan cepat menguasai dan
memulihkan keadaan. Tidak ada perlawanan berarti yang dilakukan kelompok
pemberontak PRRI/Permesta sekalipun bantuan persenjataan dari CIA sudah mereka
terima. Sedangkan operasi militer kepada pemberontak Permesta di Sulawesi diserahkan
pada Divisi Brawijaya, Jawa Timur. Secara keseluruhan pada pertengahan tahun 1958
pemberontakan PRRI/Permesta sudah dapat dipadamkan. Peristiwa ini telah
menyebabkan terbunuhnya ribuan jiwa dan membawa kerugian materiel yang cukup
besar.
Pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatra dan Sulawesi tidak lepas dari
dukungan dan peran pejabat Washington. Strategi ini memang diarahkan pihak Amerika
untuk menghapus komunis, memperlemah kekuatan AD di Jawa dan kalau perlu
menjatuhkan Soekarno yang condong komunis. Dukungan dan keterlibatan Amerika
kepada kelompok pemberontak PRRI/Permesta secara langsung dilakukan melalui aksi
CIA yang telah terencana dengan kelompok pemberontak. Bahkan Inggris juga
membantu CIA dengan menyediakan markas operasi di Singapura yang nota bene dekat
dengan Sumatra. Untuk memaksimalkan keberhasilan operasi ini, CIA juga
menggunakan Angkatan Laut Amerika yang berpusat di Filipina untuk membantu
pengiriman
persenjataan
beserta
amunisinya
pada
kelompok
pemberontak
PRRI/Permesta. Sekalipun demikian pejabat Washington tidak pernah menyampaikan
pernyataan resmi menyangkut campur tangan Amerika dalam pemberontakan di daerah.
Padahal Presiden Sukarno dan rakyat Indonesia tahu bahwa Amerika jelas-jelas
berperan dalam pemberontakan tersebut. Apalagi setelah tertangkapnya Allen Pope,
seorang pilot pesawat tempur Amerika yang bekerja untuk operasi-operasi intelijen CIA
dan termasuk upaya destruktif di Indonesia Timur. Dalam pengakuannya ia telah
bergabung dengan kelompok pemberontak Permesta dan ikut melakukan pengeboman
pos-pos militer dan kapal-kapal laut Indonesia. Satu peringatan tegas Presiden Sukarno
pada pemerintahan Eisenhower terkait keterlibatan Amerika dalam pemberontakan di
berbagai daerah supaya tidak bermain api di Indoneseia dan bila Amerika mau
menjadikan Indonesia sebagi Korea kedua atau Vietnam kedua, maka yang akan terjadi
adalah Perang Dunia Ketiga.
Sekalipun Amerika jelas-jelas terlibat dalam pemberontakan di daerah,
Washington tidak pernah menyampaikan pernyataan resmi. Sebaliknya, disaat yang
13
sama penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta oleh TNI, pemerintahan Eisenhower
berusaha memastikan bahwa informasi keterlibatan CIA tidak bocor baik kepada
pemerintah RI maupun publik Amerika sendiri. Dalam berbagai kesempatan para
pejabat
Washington
menyangkal
tudingan
keterkaitannya
dengan
kelompok
pemberontak dengan menyatakan tidak ada kekuatan asing pun apalagi Amerika.
Menanggapi
kemunafikkan
pejabat
Amerika
dalam
keterlibatannya
dalam
pemberontakan di daerah, pemerintah Indonesia bersikap moderat menginggat
pentingnya strategi diplomasi kedepan untuk perjuangan Indonesia, termasuk persoalan
tidak dipublikasiknya secara umum tertangapnya pilot AS Allan pope. Dengan
kegagalan ini Washington mengubah strategi salah satunya lewat pendekatan dan
kerjasama dengan TNI AD yang terbukti anti komunis.
F. Simpulan
Amerika dalam masa Pemerintahan Presiden Truman (1945-1953) di era Perang
Dingin menyadari bahwa Indonesia merupakan salah satu sumber pendapatan penting
yang dibutuhkan dalam recovery dan rekonstruksi ekonomi Belanda yang hancur akibat
Perang Dunia II. Karena alasan ini, dapat dipahami bahwa sejak awal Amerika
mendukung rekolonialisasi Belanda atas Indonesia. Hal ini dapat dilihat posisi Amerika
memihak kubu Belanda dalam beberapa usaha yang dilakukan untuk penyelesaian
konflik Indonesia-Belanda melalui jalur Perundingan Linggajati, Perjanjian Renville,
Peristiwa Madiun 1948, dan Agresi Belanda I dan II.
Berbeda dengan Presiden AS sebelumnya, Truman, Kebijakan politk luar negeri
Amerika di Indonesia dimasa pemerintahan Eisenhower diarahkan dalam upaya-upaya
membendung penyebaran komunisme Asia. Dalam kaitan dengan upaya ini, Amerika
ingin mencegah terjalinnya hubungan erat antara Indonesia dengan Blok Komunis
(Soviet dan Cina).
Amerika khawatir terhadap Indonesia yang kemungkinan besar jatuh menjadi
komunis setelah melihat perkembangan PKI begitu pesat. Hal ini diperkuat dengan
kenyataan bahwa dalam Pemilu 1955 PKI menjadi salah satu partai politik terbesar.
Pada saat yang sama kebijakan politik luar negeri bebas aktif yang dipilih Indonesia
menjadikan pejabat Washington menilai netralitas Indonesia dalam Perang Dingin
hanya menguntungkan Blok Komunis. Dengan meningkatnya PKI menjadi partai besar,
14
Amerika memutuskan melibatkan diri secara langsung guna mencegah jatuhnya
Indonesia ke tangan kaum komunis Indonesia. Melalui agen CIA, Washington
membantu para pemberontak di daerah untuk menentang kebijakan pemerintah pusat.
Upaya yang dilakukan Amerika dalam menghancurkan komunisme di tahun 1950-an di
Indonesia gagal.
Daftar Pustaka
Bambang Cipto, Politik dan Pemerintahan Amerika. Yogyakarta: Lingkaran, 2007.
Baskara T. Wardaya, Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953-1963.
Yogyakarta: Galang Press, 2008.
Basri, Metodologi Penelitian Sejarah: Pendekatan, Teori dan Praktek, Jakarta: Restu
Agung, 2006.
G. Moedjanto, Indonesia Abad Ke-20: dari Kebangkitan Nasional sampai Linggajati.
Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Gouda, Frances & Zaalberg, Thijs Brocades, Indonesia Merdeka Karena Amerika?,
Jakarta: Serambi, 2008.
Hans J. Margenthau, Politik Antar Bangsa. Jakarta: YOI, 1991.
Joseph S. Nye, Jr, Memimpin Dunia: Sifat Kekuatan AS yang Berubah. Jakarta: Obor,
1992.
Oey Beng To, Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia. Jakarta: LPPI Press, 1991.
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: UGM Press, 1989.
Rush, Michael & Althoff, Philip, Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: PT. Raja
Grafindo P, 2002.
Tim Weiner, Membongkar Kegagalan CIA. Jakarta: Gramedia, 2008.
Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia. Yogyakarta:
UGM Press, 1982.
15
Download