ambiguitas politik luar negeri bebas aktif

advertisement
AMBIGUITAS POLITIK LUAR NEGERI BEBAS AKTIF: TERBELENGGU
ATAU MERDEKA?
Yosua Febro Peranginangin
Pendahuluan
Setelah memerdekakan diri pada 17 Agustus 1945, Indonesia menghadapi banyak
tantangan dalam politik internasional. Untuk menentukan sikapnya di kancah internasional,
Indonesia mengadopsi sebuah konsep dari Pembukaan UUD 1945, terutama pada alinea
pertamanya yang berisi:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu,
maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Konsep ini kemudian dimaknai dengan bebas dari berbagai bentuk penjajahan; dan
Indonesia bertekad untuk aktif dalam upaya menghapuskan penjajahan dari muka bumi. Definisi
ini sangatlah luhur, ambisius, dan berwawasan keluar.
70 tahun setelahnya, makna bebas dan aktif ini mengalami beberapa perubahan agar tetap
relevan dan menyesuaikan dinamika politik global. Dalam Pernyataan Pers Tahunan 2016, Menteri
Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan kembali komitmen Indonesia dalam memegang teguh
prinsip politik luar negeri "bebas-aktif". Prinsip ini menegaskan komitmen Indonesia untuk
"bebas" dalam menentukan sikap atas masalah-masalah internasional dan terlepas dari kutubkutub kekuatan dunia, serta "aktif" berkontribusi dalam menyelesaikan berbagai permasalahan
dunia.1 Terdapat sedikit anomali pada pemaknaan “bebas” karena disatu sisi Indonesia bebas
menentukan sikap, namun disisi lain Indonesia juga memegang teguh prinsip untuk tidak memihak
kutub-kutub kekuatan dunia. Apakah prinsip politik luar negeri “Bebas Aktif” masih relevan di
dalam era kapitalisme global?
1
Kemlu. “Seminar Internasional Mengkaji Prinsip “Bebas Aktif” Indonesia”
http://www.kemlu.go.id/id/berita/siaran-pers/Pages/Seminar-Internasional-Mengkaji-Prinsip-%E2%80%9CBebasdan-Aktif%E2%80%9D-Indonesia.aspx diakses 4 September 2017 pukul 10:14 WIB
Perubahan makna Bebas Aktif dari masa ke masa.
Prinsip politik luar negeri Bebas Aktif Indonesia mengalami beberapa perubahan makna dari
masa ke masa. Pada tahun 1947, PM Amir Sjarifuddin memberi makna baru dari kata bebas
dengan tidak memihak blok kapitalis maupun blok komunis. PM Amir menganggap Indonesia
bukan saja bebas dari imperialism, namun juga bebas dari keterlibatan persaingan antara kubu
kapitalis dan komunis. Setahun setelahnya, PM Mohammad Hatta menyampaikan pidato terkenal
didepan Badan Pekerja KNIP yang berjudul Mendayung di antara Dua Karang. Dalam pidatonya,
PM Hatta menyatakan bahwa makna Bebas Aktif merujuk pada Indonesia adalah subjek dalam
konstelasi politik global, bukan sebaliknya. PM Hatta mengharapkan Indonesia dapat menggali
kesempatan untuk tampil sebagai subjek yang berpengaruh diantara badai perselisihan Blok Barat
dan Blok Timur. Pada era PM Hatta lah nama Bebas Aktif di tetapkan sebagai prinsip politik luar
negeri Indonesia
PM Ali Sastroadmijojo memperluas makna Bebas Aktif dengan bukan menghindar, namun
terlibat dalam persaingan dua kubu. PM Ali Sastro menginginkan dibangunnya hubungan baik
Indonesia pada kubu yang sedang bersaing. Pada praktiknya, terjadi anomali yang melanggar
prinsip Non Blok Indonesia. Indonesia malah membangun blok baru yang dinamakan Gerakan
Non Blok bersama beberapa negara yang pernah menjadi negara jajahan.
Di era PM Djuanda, Bebas Aktif tidak mengalami perubahan makna signifikan, namun
melakukan terobosan dalam praktiknya. Indonesia sangat berwatak pragmatis dan realis pada masa
ini. Konsep bargaining dengan memanfaatkan dukungan kedua kubu Perang Diningin untuk
mengamankan kepentingan nasional Indonesia. Dengan upaya diplomatik, Indonesia mendapat
tiga hasil kemenangan yaitu modernisasi arsenal militer (dari Uni Soviet setelah AS menolak
mengekspor persenjataan ke Indonesia), penambahan perairan nusantara, dan pembebasan Papua
Barat dengan dukungan AS (kekhawatiran Presiden AS John F. Kennedy jika Indonesia memihak
kubu Uni Soviet, sehingga perlu memihak untuk mempertahankan status quo).
Pada tahun 1959, Indonesia mencondongkan dirinya ke Blok Komunis diawali dengan
ditetapkannya sistem pemerintahan presidensiil dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno.
Tahun 1966 dibawah era Presiden Soeharto, makna bebas diartikan bahwa Indonesia tidak
memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa
sebagaimana tercermin dalam Pancasila. Di era reformasi, tidak ada perubahan pandangan elit
politik Indonesia dalam kebijakan luar negerinya dari era Orde Baru. Hal tersebut dikukuhkan
dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN, Hubungan Luar Negeri. Hasil
rumusannya adalah: (1) menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif; dan (2)
dalam melakukan perjanjian dan kerja sama internasional yang menyangkut kehidupan dan hajat
hidup rakyat banyak harus dengan persetujuan lembaga perwakilan rakyat.
Merdeka atau Terbelenggu?
Dengan memaknai prinsip Bebas Aktif seperti yang dinyatakan oleh Menlu Retno Marsudi,
Indonesia tidak akan berpihak pada kubu maupun blok tertentu sembari melaksanakan perannya
untuk menghapuskan kolonialisme. Secara teoretis, terdapat anomali dalam pemaknaan ini. Sikap
Non Aligned atau Non Polar Indonesia menjadi hal yang aneh dan tidak logis – bahkan absurd.
Keadaan ekonomi Indonesia pada masa ini tidak memungkinkan Indonesia untuk lebih mandiri,
namun memilih untuk tidak berpihak. Begitu pula dengan situasi militer Indonesia pada saat ini.
Dari kacamata realis, adalah hal yang mustahil bagi Indonesia untuk memainkan peran “Aktif”nya
jika tidak memiliki – paling tidak – dua modal diatas.
Indonesia akan dengan sangat mudah menarik perhatian negara-negara hegemon global
dengan menawarkan diri sebagai aliansi bagi negara lain. Besarnya faktor luas wilayah, kekayaan
sumber daya alam, besarnya pasar, dan wilayah yang strategis membuat Indonesia sangat seksi
jika dijadikan negara mitra. Namun prinsip Non Blok membuat Indonesia tidak dapat berkubu atau
menciptakan kubu. Indonesia bisa saja untuk memanfaatkan beberapa aspek seperti
“persahabatan” dengan negara-negara tertentu karena tidak melanggar Dasa Sila Bandung yang
menjadi prinsip negara-negara Non Blok. Indonesia bisa memanfaatkan negara-negara tertentu
dan ‘mencomot’ keuntungan dari negara-negara sahabatnya. Indonesia juga bisa mengarahkan
fokus ekonominya pada negara besar seperti Tiongkok, kemudian menjadikan Amerika Serikat
sebagai mitra militernya dan sesekali memanfaatkan keduanya untuk modal yang diinginkan
menjadi negara maju. Hanya saja hal ini akan membuat Indonesia terlihat sebagai negara oportunis
sehingga hal ini dapat menjadi bumerang bagi Indonesia sendiri kedepannya.
Hal-hal seperti ini menghambat Indonesia untuk berhubungan secara bebas dan memainkan
peran aktifnya dalam konstelasi global. Padahal politik luar negeri pada hakikatnya, merupakan
alat suatu negara untuk mencapai kepentingan nasionalnya. (Mochtar Kusumaatmadja, 1983).
Dengan prinsip yang tidak tegas seperti ini, Indonesia seakan-akan membelenggu dirinya sendiri
diatas kemerdekaannya (baca: kebebasannya). Indonesia seakan-akan berada dalam situasi buah
simalakama, dilanggar berarti menjilat ludah sendiri, diikuti menyulitkan diri sendiri.
Kesimpulan
Indonesia tidak harus memakan buah simalakama yang ada ditangannya. Satu-satunya cara
agar segala sesuatunya dapat tetap berjalan adalah dengan praktik diplomasi yang baik dan hatihati. Diplomat Indonesia harus banyak belajar dari gaya diplomasi PM Djuanda. Konsep-konsep
kemitraan strategis, kuasi aliansi, diplomasi multilateral, dan rezim-rezim perdagangan harus
dimaksimalkan dalam praktiknya agar tidak menciderai kesakralan makna Bebas Aktif sendiri.
Daftar Pustaka
M Yani dan Ian M. 2016. Quo Vadis: Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
Kemlu. Seminar Internasional Mengkaji Prinsip “Bebas Aktif” Indonesia
http://www.kemlu.go.id/id/berita/siaran-pers/Pages/Seminar-Internasional-Mengkaji-Prinsip%E2%80%9CBebas-dan-Aktif%E2%80%9D-Indonesia.aspx diakses 4 September 2017 pukul 10:14 WIB
Download