ISSN 2086-1575 Vol. 5, No. 1, Maret 2013 jesp Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan Vol. 5, No. 1, Maret 2013 Jurusan Ekonomi Pembangunan FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI MALANG ISSN 2086-1575 Jurnal EKONOMI & STUDI PEMBANGUNAN Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan (JESP) terbit dua kali setahun memuat artikel hasil pemikiran filosofis, konseptual, teoritis, telaah kritis (critical review), dan penelitian di bidang ekonomi pembangunan ( development economics) dan pembangunan ekonomi (economic development). Ketua Penyunting Dr. Hari Wahyono, M.Pd Wakil Ketua Penyunting Dr. Hadi Sumarsono, S.T., M.Si Penyunting Pelaksana Dr. Mit Witjaksono, MS.Ed Dr. Sugeng Hadi Utomo, M.S Dr. Nasikh, SE, M.P., M.Pd Dr. Imam Mukhlis, SE, MSi Grisvia Agustin, SE., M.Sc Pelaksana Administrasi Tutut Boedyo Wibowo, S.Kom, MT Syahrul, S.Pd, MP.d Alamat Redaksi/TU Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang (FE UM) Jl. Semarang 5. Malang 65145. Gedung E3 Lantai 2 Tlp/Fax (0341) 585-911 E-mail: [email protected], [email protected], [email protected] Site: www.fe.um.ac.id Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan (JESP) dikelola oleh Jurusan Ekonomi Pembangunan. Diterbitkan oleh Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Malang (FE UM). Dekan: Prof.Dr.Budi Eko Soetjipto M.Ed., M.Si Pembantu Dekan I: Dr. Mit Witjaksono, MS.Ed. Pembantu Dekan II: Dr. Tuhardjo, SE., M.Si.Ak. Pembantu Dekan III: Drs. Djoko Dwi Kusumayanto, M.Si. Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan: Dr. Sri Umi Mintarti Wijaya, SE, MP, Ak Naskah artikel yang disumbangkan kepada JESP harus mengikuti aturan dalam Petunjuk bagi Kontributor JESP yang dilampirkan pada setiap nomor penerbitan. Isi artikel beserta akibat yang ditimbulkan oleh artikel itu menjadi tanggung jawab penuh penulisnya (kontributor). JESP-Vol. 5, No. 1, 2013 ISSN 2086-1575 EDITORIAL __________________________________________________________________________________________ Pengantar Seperti pada pengantar edisi perdana, JESP (baca: jès pé) memuat karya tulis: 1. Artikel pemikiran filosofis, teoritis, konseptual, atau telaah kritis (critical reviews), yang selanjutnya diberi label kelompok: ARTIKEL. 2. Artikel hasil penelitian, yang selanjutnya diberi label kelompok:PENELITIAN. 3. Artikel tinjauan buku (book review), yang diberi label kelompok: TINJAUAN BUKU. Artikel dalam kelompok 1 memaparkan pemikiran konseptual, telaah kritis, atau analisis kontekstual tentang teori ekonomi, pemikiran, paradigma, atau filsafat ekonomi, dan aplikasinya dalam ekonomi pembangunan. Artikel dalam kelompok 2 memaparkan hasil kajian (penelitian) empiris tentang penerapan lapangan, atau simulasi lab (ekonomi eksperimental) terhadap isu, kasus, atau implementasi kebijakan ekonomi. Artikel dalam kelompok 3 menelaah isi, cakupan, manfaat, dan kritik buku yang dipandang penting dalam kajian ekonomi dan studi pembangunan . Dalam edisi ini dapat dihasilkan 2 artikel konseptual, 10 hasil penelitian empiris dan 1 tinjauan buku. Kepada para penulis yang telah memberikan kontribusinya, dan rekan-rekan "Penyunting Pelaksana", "Pelaksana Administrasi", serta semua pihak yang telah membantu mewujudkan penerbitan jurnal ini, tak lupa kami mengucapkan terimakasih dan apresiasi yang tinggi. 1 JESP-Vol. 5, No. 1, 2013 ISSN 2086-1575 Tentang Nomor Ini Pada edisi nomor 1 tahun 2013 ini diwarnai dengan berbagai pemikiran dan kajian empiris tentang berbagai dimensi dalam pembangunan dalam konstelasi perekonomian regional, nasional dan global. Dalam perspektif regional banyak dikupas tentang perkembangan perekonomian regional Jawa Timur. Dalam perspektif nasional banyak dibahas tentang kondisi perekonomian nasional. Dalam skala perekonomian internasional, dianalisis konstelasi perekonomian internasional dalam perkembangan ekonomi nasional. Bagian pertama dalam jurnal ini diawali dengan hasil karya pemikiran teoretis dan konseptual. Dalam kajian konseptual ini banyak dibahas tentang berbagai hasil penelitian yang dilakukan baik dalam skala regional, nasional maupun nasional. Dalam konteks internasional, tulisan dari saudara Imam memaparkan secara deskriptif implikasi dari perdagangan bebas terhadap stabilitas harga pangan di Indonesia. Keterbukaan perekonomian Indonesia telah membawa dampak pada perkembangan harga-harga komoditi pangan di Indonesia. Dalam konteks perekonomian secara makro, tulisan dari Indra menganalisis tentang kondisi dan permasalahan kelistrikan di Indonesia. Dalam paparan hasil penelitian, tulisan dari Basuki dan Haris menganalisis tentang kondisi perkembangan perekonomian daerah di Jawa Timur. Dalam perspektif regional perekonomian Jawa Timur menunjukkan kinerja yang cukup positif. Penelitian yang lain oleh Fitra, Citra, Rita, Lia, dan Siti M mempertegas kembali analisisnya tentang kinerja perekonomian daerah di Jawa Timur dalam perspektif yang lebih luas. Sedangkan dalam konteks makro, hasil penelitian oleh Zulfikar dan Abid menganalisis dinamika perekonomian makroekonomi dalam perspektif uang dan nilai tukar mata uang Rp/US$. Hasil penelitian lain oleh Y uldi tentang pelaksanaan program PNPM mandiri mengkritisi lagi tentang aspek akuntabilitas dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan. Bagian akhir dari tulisan ini adalah sebuah hasil resensi buku tentang perekonomian internasional. Pada edisi ini, hasil resensi disampaikan oleh Subagyo tentang buku yang berjudul Dinamika Perekonomian Internasional Indonesia dalam Perspektif T eoretis dan Empiris. Buku tersebut merupakan hasil kajian teoretis dan empiris tentang perekonomian Indonesia dalam kancah perekonomian global. Pada akhirnya semangat yang dibangun oleh tim JESP pada edisi 1 tahun 2013 ini semoga memberikan kontribusi pemikiran yang konstruktif dalam membangun masyarakat yang madani dan berkeadilan sosial. Malang, 31 Maret 2013 Penyunting __________________________________________________________________________________________ 2 JESP-Vol. 5, No. 1, 2013 ISSN 2086-1575 DAFTAR ISI __________________________________________________________________________________________ EDITORIAL Pengantar 1 Tentang Nomor Ini 2 __________________________________________________________________________________________ A RTIKEL Perdagangan Bebas dan Stabilitas Harga Komoditi Pangan Imam Mukhlis Kondisi dan Permasalahan Listrik di Indonesia Indra Darmawan 5 11 _________________________________________________________________________________________ PENELITIAN Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi dan Peran Karakteristik Regional di Jawa Timur (Periode 2000-2009) Basuki Prasetiyo Kurniawan & Mardhono 21 Analisis Derajat Desentralisasi Fiskal Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Daerah Di Kota Malang Haris Galih Wardana & Nasikh 31 Analisis Keberadaan Industri Kerajinan Rotan Dalam Penyerapan Tenaga Kerja (Studi Kasus Industri Kerajinan Rotan Kel. Balearjosari Kec. Blimbing Kota Malang) Fitra Ria Silvida & Y ohanes Hadi Susilo 39 Analisis Produktivitas Sektor Pertanian Komoditi Tanaman Padi Berbasis Agribisnis Dalam Peningkatan Ekonomi. (Studi Kasus di Desa Jati Tengah, Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar) Citra Agung Triyanto & Prih Hardinto 53 Analisis Sektor-Sektor Ekonomi Dalam Rangka Pengembangan Pebijakan Pembangunan Ekonomi Kota Kediri Rita Erika & Sri Umi Mintarti W 63 Pelaksanaan Pengembangan Kawasan Agropolitan Kabupaten Malang (Studi Kasus Kecamatan Poncokusumo) Lia Sunfianah & Ali Wafa 79 Pemetaan Potensi Rawan Pangan PadaPerek onomian Daerah Siti Muslihah & Sugeng Hadi Utomo 91 3 JESP-Vol. 5, No. 1, 2013 ISSN 2086-1575 Dampak Fluktuasi Indeks Harga Saham Dan Ekspor Netto Terhadap Kurs Rupiah Pada Masa Krisis Global Zulfikar Fatoni & Hadi Sumarsono 101 Analisis Permintaan Uang di Indonesia Periode Tahun 2000.I-2009.IV Abid Muhtarom 118 Pengaruh Akuntabilitas Terhadap Pelaksanaan Kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan Di Badan Keswadayaan Masyarakat Kota Palu Y uldi Mile 133 _________________________________________________________________________________________ TINJAUAN BUKU Dinamika Ekonomi Internasional Indonesia, dalam Perspektif Teoritis dan Empiris Subagyo 141 __________________________________________________________________________________________ 4 JESP Vol. 5, No.1, 2013 PERDAGANGAN BEBAS DAN STABILITAS HARGA KOMODITI PANGAN Imam Mukhlis Abstract This research aims to analyze the relationship between free trade with price stability of food commodity. The method of analyze is descriptive with presenting the economic data. The result show that scarcity of food commodity can be solved by import from abroad in the short run. This policy in the short run will provide food commodity needed by people. But in the long run, this policy will reduce the competitiveness of agricultural sector in Indonesia. Keywords: Food Commodity, Scarcity, Free Trade Pendahuluan Dalam sebuah perekonomian yang menganut keterbukaan (economic opennes), ketergantungan diatara perekonomian dunia menjadi sebuah fenomena yang lazim. Keterbukaan tersebut mencerminkan adanya interaksi ekonomi yang semakin luas yang dilakukan oleh pelaku ekonomi masingmasing negara. Melalui keterbukaan ekonomi tersebut, setiap pelaku ekonomi dapat mengakses sumber daya yang tersedia di berbagai negara. Selain itu, pelaku ekonomi juga dapat memasarkan berbagai produk yang dihasilkannya ke pasar global. Interaksi ini menimbulkan sebuah kegiatan ekonomi yang terjadi secara lintas negara yang didukung oleh adanya mobilitas faktor produksi/sumber daya ekonomi dan juga output di berbagai negara. Dalam era perekonomian yang semakin mengglobal dewasa ini, keterbukaan perekonomian memiliki legitimasi yang semakin kuat seiring dengan implementasi globalisasi dan liberalisasi dalam bentuk pembentukan blok perdagangan/kawasan perdagangan di berbagai kawasan perekonomian dunia. Setiap kawasan perekonomian memiliki ikatan formal dalam bentuk blok-blok perdagangan dalam berbagai institusi yang dikembangkannya. Dalam kawasan Asia Pasifik terbentuklah APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), dalam kawasan ASEAN terbentuklah AFTA (Asean Free Trade Area) dan kerjasama ekonomi China dan ASEAN terjalin lebih erat melalui pembentukan ACFTA (Asean China Free Trade Area). Pembentukan berbagai kelembagaan ekonomi tersebut dimaksudkan untuk tercapainya manfaat integrasi ekonomi dalam bentuk trade creation (Mukhlis, 2009). Salah satu output perekonomian yang memiliki tingkat mobilitas yang tinggi di berbagai dunia adalah komoditi pangan. Komoditi ini memiliki karakteristik yang unik dibandingkan dengan komoditi yang lainnya. Keunikannya terletak pada kekuatannya dalam mempengaruhi stabilitas perekonomian suatu negara bahkan dunia. Komoditi pangan merupakan jenis komoditi yang dibutuhkan oleh banyak orang. Dalam hal ini pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah indikator penting yang digunakan untuk __________________________________________ Alamat Korespondensi : Imam Mukhlis: Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang Email: [email protected] JESP Vol. 5, No. 1, 2013 menilai kinerja pemerintahan suatu negara. Dalam hal ini ketersediaan pangan yang memadai mencerminkan adanya kemampuan negara dalam memenuhi kebutuhan dasar penduduknya dalam pencapaian kesejahteraan hidup yang semakin meningkat. Dalam perkembangannya, harga komoditi pangan di berbagai dunia mengalami fluktasi yang cenderung ekstrim. Kenaikan sebuah komoditi yang tidak terkendali ini dapat mengakibatkan ketersediaan pangan menjadi sangat rawan terhadap berbagai gejolak yang terjadi di berbagai kawasan dunia. Dalam hal ini seiring dengan keterbukaan perekonomian dan juga proses integrasi ekonomi yang terus mendunia, fleksibilitas harga pangan dunia merupakan sebuah kondisi yang dapat terjadi setiap saat. Kondisi ini manakala terjadi secara berkelanjuta dalam perekonomian, maka situai krisis ekonomi dapat terjadi pada keadaan ketidakstabilan pangan yang terjadi. Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat populasi yang tinggi di dunia membutuhkan ketahanan pangan pada berbagai komoditi yang ada. Dalam hal ini beberapa komoditi pangan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat dikenal dengan istilah sembako (sembilan bahan pokok), yang meliputi : beras , sagu dan jagung;gula pasir;sayur-sayuran dan buah-buahan;daging sapi dan ayam;minyak goreng dan margarin;susu;telur;minyak tanah atau gas ELPIJI;garam beriodium dan bernatrium Dalam beberapa periode waktu yang terjadi di Indonesia menunjukkan adanya kelangkaan terhadap komoditi bawang merah, bawang putih, daging sapi dan komoditi cabe. Berbagai komoditi tersebut merupakan bahan kebutuhan penting yang menjadi rujukan bagi berbagai menu makanan khas di Indonesia. Manakala harga dari berbagai komoditi tersebut mengalami fluktuasi, maka hal tersebut dapat menyebabkan multipler efek yang luar biasa dalam kehidupan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan 6 hidupnya. Dalam hal ini masalah ketersediaan terhadap berbagai komoditi tersebut di pasar sangat penting dalam menjaga stabilitas harga dan juga stabilitas perekonomian secara makro. Inflasi Komoditi Pangan Inflasi merupakan sebuah peristiwa dimana terjadi kenaikan harga-harga secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu untuk sekelompok komoditi. Terdapat berbagai pemikiran yang menjelaskan fenomena inflasi yang terjadi dalam perekonomian. Dalam hal ini menurut Totonchi (2011) studi mengenai inflasi menyebabkan debat secara makroekonomi dalam konteks Ilmu Ekonomi. Debat tersebut berkenaan dengan munculnya berbagai hipotesis terkait dengan berbagai pandangan mengenai inflasi dan juga ukuran untuk mengontrol inflasi. Inflasi di negara belum berkembang lebih banyak disebabkan oleh pertumbuhan jumlah uang beredar, sedangkan di negara sedang berkembang bukan persoalan moneter. Dalam hal ini menurut Friedman inflasi dapat terjadi karena adanya pertumbuhan yang cepat pada peredaran uang yang melebihi ketersediaan output dalam perekonomian. Sedangkan menurut John Maynard Keynes (1883-1946) peningkatan dalam permintaan agregat (aggregate demand) yang meliputi komponen konsumsi, investasi dan pengeluaran pemerintah merupakan sumber terjadinya demand pull inflation. Oleh karena itulah menurut Keynes, upaya yang cukup elegan untuk mengurangi inflasi adalah dengan mengurangi tekanan terhadap komponenkomponen dalam permintaan agregat. Dalam persepektif lain juga dapat dijelaskan bahwa inflasi merupakan imbas dari situasi politik yang terjadi di suatu negara, yang meliputi waktu terjadinya pemilihan, kinerja pembuat kebijakan, ketidakstabilan politik dan kredibilitas kebijakan dan juga reputasi dari pembuat kebijakan. Dalam hal ini menurut Sims (1980) terjadinya defisit anggaran negara JESP Vol. 5, No.1, 2013 juga dapat menyebabkan terjadinya inflasi. Defisit anggara tersebut dapat terjadi karena adanya proses politik dan lobi-lobi terhadap anggaran pemerintah sehingga mengakibatkan pengeluaran negara yang melebihi kapasitas penerimaan negara. Salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk menilai kinerja dalam perkembangan inflasi adalah dengan ukuran Indeks Harga Konsumen (consumer price index). Menurut Akhtar (2006) Consumer Price Index (CPI) merupakan alat ukur yang penting dalam mengukur perubahan harga dan juga mengukur perubahan biaya pembeliaan pada sekelompok barang dan jasa yang diperdagangkan. Namun demikian juga terdapat berbagai ukuran yang dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan inflasi, yakni melalui indeks harga produsen (Producer Price Index). Berbagai kajian empiris dikembangkan guna mengidentifikasi faktor-faktor penentu inflasi di berbagai negara. Jongwanich and Park (2009) dalam penelitiannya memberikan kesimpulan bahwa inflasi di negara sedang berkembang di Asia disebabkan adanya ekspektasi inflasi dan juga terjadinya excess aggregate demand. Hasil penelitian lain Oleh Hassan and Alogeel (2008) menunjukkan adanya cost push factors yang mempengaruhi terjadinya inflasi di Saudi dan Kuwait. Sedangkan hasil penelitiannya Javed, dkk (2010) memberikan kesimpulan bahwa cost-push factors are not less important than demandpull factors yang menyebabkan terjadinya inflasi di Pakistan. Perkembangan inflasi di Indonesia dalam kurun waktu awal tahun 2013 menunjukkan adanya trend kenaikan harga. Dalam hal ini beberapa komoditas yang mengalami kenaikan harga pada Maret 2013 antara lain: bawang merah, bawang putih, cabai rawit, jeruk, tarif sewa rumah, daging sapi, ikan diawetkan, jagung muda, nangka muda, tomat sayur, apel, pisang, nasi dengan lauk, rokok kretek filter, tarif air minum P AM, bahan bakar rumah tangga, upah pembantu rumah tangga, dan bensin. Sedangkan komoditas yang mengalami penurunan harga adalah: telur ayam ras, emas perhiasan, beras, daging ayam ras, ikan segar, cabai merah, bayam, kacang panjang, dan wortel (BPS, 2013). Dalam hal ini inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan indeks beberapa kelompok pengeluaran, yaitu: kelompok bahan makanan 2,04 persen; kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau 0,40 persen; kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 0,21 persen; kelompok kesehatan 0,24 persen; kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga 0,12 persen; dan kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan 0,19 persen. Sedangkan kelompok yang mengalami penurunan indeks adalah kelompok sandang 0,70 persen. Dari 11 subkelompok dalam kelompok bahan makanan, 6 subkelompok mengalami inflasi dan 5 subkelompok mengalami deflasi. Subkelompok yang mengalami inflasi tertinggi adalah subkelompok bumbu-bumbuan 30,58 persen dan terendah terjadi pada subkelompok sayursayuran dan subkelompok kacangkacangan masing-masing 0,14 persen. Kelompok ini pada Maret 2013 memberikan sumbangan inflasi sebesar 0,51 persen. Komoditas yang dominan memberikan sumbangan inflasi antara lain: bawang merah 0,44 persen; bawang putih 0,20 persen; cabai rawit 0,05 persen; jeruk 0,02 persen; daging sapi, ikan diawetkan, jagung muda, nangka muda, tomat sayur, apel, dan pisang masing-masing 0,01 persen (BPS, 2013). Berdasarkan pada deskripsi perkembangan harga tersebut menunjukkan bahwa inflasi yang terjadi pada komoditi bahan pangan memiliki kontribusi yang cukup kuat dalam mendorong terjadinya inflasi di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa komoditi bahan makanan yang ditopang oleh 7 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 bumbu-bumbu, sayur-sayur, dan daging merupakan bahan dasar dalam pembuatan berbagai aneka menu di Indonesia. Dengan kata lain differentiated product dari komoditi pangan tersebut sangat luas sekali, sehingga dapat menimbulkan adanya multiplier effect yang luas dalam perekonomian nasional. Dalam konteks terjadinya inflasi yang bersumber pada bahan pangan tersebut menunjukkan adanya demand over supply terhadap komoditi tersebut. Sebagaimana diketahui komoditi pangan merupakan kebutuhan pokok yang menaungi hajat hidup orang banyak. Adanya permintaan yang tetap dan cenderung bertambah yang tidak dapat diimbangi dengan ketersediaan komoditi di pasar, maka logika ekonomi akan mengatakan terjadi inflasi. Kondisi ini merupakan sebuah fenomena alamiah yang terjadi, manakala kelangkaan yang ada tidak dapat teratasi. Penyelesaian masalah inflasi yang mengandalkan kekuatan demand dan supply di pasar akan berdampak pada ketidakstabilan pada perekonomian nasional. Dalam hal ini mekanisme invisible hand hanya akan menyebabkan banyak orang akan mengalami dampak negatif dari inflasi, yakni berkurangnya daya beli mereka dalam pemenuhan kebutuhan hidup dan kepuasannya. Adalah John Maynard Keynes yang menganjurkan adanya campur tangan pemerintah dalam mengatasi situasi ketidakstabilan dan cenderung mengarah pada terjadinya krisis ekonomi. Dalam hal ini ketidkastabilan dalam bentuk inflasi yang tinggi dapat diatasi dengan mengandalkan kekuatan kebijakan pemerintah dalam pengendalian harga dalam negeri. Salah satu obat mujarab yang sering berhasil dalam mengatasi situasi ini adalah impor komoditi yang mengalami kelangkaan. Impor dilakukan dengan tujuan untuk mendistorsi pasar yang mengalami kekakuan harga pada level tertinggi (price rigidity). Impor dilakukan untuk menambah stok barang di 8 pasar dalam negeri guna mencukupi lonjakan permintaan yang ada. Dalam konteks ini pada dasarnya inflasi yang disebabkan oleh adanya excess demand pada komponen aggregate demand dapat diatasi dengan mengendalikan konsumsi masyarakat. Namun demikian upaya ini akan sulit diterapkan dalam kondisi kelangkaan yang terjadi pada komoditi pokok dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat Indonesia. Adanya kebijakan impor tersebut menandakan adanya interaksi ekonomi secara internasional yang dilakukan dalam kawasan regional. Integrasi ekonomi yang dibalut dengan perjanjian dalam kerjasama ekonomi secara bilateral/multilateral pada dasarnya dapat bermanfaat pada situasi seperti terjadinya kelangkaan barang. Dalam skema perjanjian kerjasama ekonomi, pelaksanaan kegiatan perdagangan antar negara akan memiliki perlakuan khusus yang mengikat antar negara anggotanya. Perlakuan khusus ini menyangkut berbagai kemudahan dalam proses perdagangan internasional dan yang lebih penting adalah perlakukan khusus dalam bentu pengurangan/penghapusan tarif dalam perdagangan barang/jasa. Upaya ini merupakan bentuk dari penghapusan berbagai hambatan perdagangan dalam bentuk tarif (tariff barrier). Dalam kasus pelaksanaan impor komoditi pangan dalam bentuk impor bawang putih dari China merupakan bentuk dari terjadinya trade creation dalam proses integrasi antara China dengan negara-negara ASEAN. Memang diperlukan analisis tentang berbagai komoditi yang masuk dalam ranah perjanjian ACFTA. Namun demikian secara eksplisit adanya pelaksanaan dalam kerjasama ekonomi antara China dan Asean tersebut memberikan bukti akan terciptanya kemanfaatan secara positif dalam mengintegrasikan perekonomian antara negara di berbagai kawasan dunia. Dalam hal ini manfaat integrasi dalam bentuk trade creation terjadi manakala JESP Vol. 5, No.1, 2013 negara yang terlibat dalam perjanjian kerjasama akan mendapatkan manfaat positif dalam bentuk supply barang dari negara anggota kerjasama yang harganya relatif lebih murah dibandingkan manakala barang tersebut dihasilkan sendiri oleh negara yang bersangkutan. Dalam konteks impor komoditi bawang putih, komoditi tersebut apabila dihasilkan dihasilkan oleh Indonesia akan memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan dengan hasil pertanian yang dihasilkan di China. Dengan kata lain komoditi pertanian (bawang putih) dari China memiliki harga lebih murah dibandingkan dengan komoditi bawang yang dihasilkan oleh Indonesia. Tentunya akan banyak faktor yang dapat mempengaruhi perbedaan harga dari komoditi bawang putih tersebut di Indonesia dan di China. Oleh karena itulah dengan proses impor komoditi bawang putih.yang dilakukan Indonesia dari China, maka Indonesia dapat mendapatkan manfaat dalam bentuk trade creation. Penutup Inflasi yang terjadi dalam kurun waktu awal tahun 2013 disebabkan oleh adanya kelangkaan komoditi pangan yang terjadi dalam perekonomian nasional. Kelangkaan tersebut dapat terjadi karena adanya excess demand yang tidak dapat dipenuhi oleh kapasitas output nasional. Kondisi tersebut secara eksplisit telah menimbulkan kegalaun dari masyarakat kelas bawah dan juga pelaku ekonomi akan kemampuan pemerintah dalam mengatasi problematika pangan yang dihadapi oleh masyarakat. Implementasi dari integrasi ekonomi dalam bentuk pembentukan kawasan perdagangan bebas memberikan manfaat positif bagi perekonomian nasional. Dalam kasus terjadinya kelangkaan komoditi pangan untuk jenis bawang putih, solusi yang diambil oleh pemerintah menggunakan pendekatan impor dari luar negeri. Impor bawang putih dari China menunjukkan adanya berbagai kemudahan dan harga yang bersaing, sehingga kelangkaan bawang putih dalam negeri dapat segera diatasi. Kebijakan ini dipandang sebagai sebuah pilihan yang rasional mengingat China dengan segenap comparative advantage yang dimilikinya mampu menghasilkan berbagai komoditi yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia dengan harga bersaing dan supply tidak terbatas. Tentunya kondisi ini memberikan jaminan dalam jangka pendek akan ketersediaan pangan dalam negeri. Namun dalam jangka panjang kebijakan untuk terus menerus mengimpor barang dari luar negeri memberikan sinyal akan rendahnya produktifitas sektor pertanian yang notabene merupakan sektor penting dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Kelangkaan yang terjadi pada komoditi pangan yang berbasis pertanian perlu segera untuk dicarikan solusi yang berkelanjutan. Dalam kaitannya dengan peningkatan produktifitas dan daya saing komoditi pangan yang dihasilkan oleh sektor pertanian dalam negeri, maka perlu dilakukan kebijakan yang pro supply side. Kebijakan ini terkait dengan dorongan untuk meningkatkan minat petani untuk kembali menanam bawang putih pada areal pertanian yang tersedia. Salah satu upaya riil adalah dengan merealisasikan program subsidi pupuk ataupun pupuk gratis bagi petani bawang putih, sehingga dalam jangka pendek mereka memiliki insentif riil dalam pertanian bawang putihnya. Selain itu pula perlu dilakukan restrukturisasi tata niaga bawang putih yang dapat mengedepankan kepentingan petani guna mensuplai kebutuhan pangan bagi masyarakat Indonesia. Dalam era perdagangan bebas yang sedang berlangsung, hanya komoditi yang memiliki daya saing tinggi yang dapat menembus pasar global. Hal inilah kiranya 9 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 yang patut untuk diperhatikan agar komoditi pangan nasional dapat mensuplai kebutuhan dalam negeri dan juga pasar luar negeri. Daftar Pustaka Akhtar Q,2006. “Inflation in Pakistan”, diakses dari website dengan alamat www.pide.org.pk/index.php?optio n=com_content&task=view&id.ta nggal 6 Maret C. A. Sims,1980." A Comparison of Interwar and Postwar Business Cycles: Monetarism Reconsidered", Amsterdam, Elsevier Science, and Journal of Economic Review, Annual Papers and Proceedings 70,:250-257 Hasan M, Alogeel H,2008. Understanding The Inflationary Process in Hellwig C (2002). Public Announcements, Adjustment Delays and the Business Cycle.Mimeo. Available at http://www.econ.ucla. edu/people/papers/Hellwig/Hellwi g208.pdf. 10 Javed, Zahoor Hussain, Muhammad Farooq and Shama Akram, 2010. “Cost-push shocks and inflation: An empirical analysis from the economy of Pakistan”, Journal of Economics and International Finance V ol. 2(12), pp. 308-312, December, ISSN 2006-9812 Jongwanich, Juthathip and Donghyun Park,2009. “Inflation in Developing Asia”, Journal of Asian Economics V olume 20, Issue 5, September:507–518 Mukhlis, Imam, 2009. Integrasi Ekonomi Dalam Perspektif T eori, Tulungagung:Cahaya Abadi Totonchi, Jalil, 2011. Macroeconomic Theories of Inflation, Academic Paper International Conference on Economics and Finance Research, IPEDR vol.4, IACSIT Press, Singapore ----------, 2013.”Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi”, Beritas Resmi Statistik, BPS, No. 22/04/Th. XVI, diakses dari website, www.bps.go.id JESP V ol. 5, No.1, 2013 KONDISI DAN PERMASALAHAN LISTRIK DI INDONESIA Indra Darmawan Abstract Electrical problems in Indonesia can be categorized into the demand side and the supply side. From the demand side can be analyzed from the electrification ratio, number of customers, and the demand for electricity. From the supply side can be analyzed from a number of power plants, types of power plants and transmission lines. Some fundamental problems such as low electrification ratio, low levels of per capita consumption, distribution inequality, the lack of utilization of renewable energy sources such as geothermal, slow growth of the construction and installed capacity, production cost structure, and network maintenance. Some alternative solution to do in the short and long term. Keywords: Electrification Ratio, Energy Sources, Power Plants Dewasa ini energi listrik telah dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat. Hampir semua kegiatan masyarakat seharihari tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan akan tenaga listrik. Sehingga jika ada daerah atau sekelompok masyarakat yang belum menikmati aliran listrik maka dapat dipastikan daerah atau masyarakat tersebut berada dalam kondisi keterbelakangan. Energi adalah kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi. Energi adalah sarana yang penting untuk mendukung pembangunan sosial dan ekonomi manusia (World Bank, 2005). Masyarakat Indonesia juga semakin banyak yang telah menikmati aliran listrik untuk menunjang aktivitas sehari-hari. Namun demikian, Bank Dunia mensinyalir bahwa lebih dari 70 juta penduduk Indonesia yang belum mendapat akses energi listrik. Sekitar 80 persen masyarakat yang belum menikmati listrik adalah mereka yang tinggal di daerah pedalaman yang lebih dari separuhnya tinggal di luar kawawan pertumbuhan Jawa-Bali. Dengan rasio elektrifikasi 67,2 pada tahun 2010, mengakibatkan konsumsi listrik per kapita pun masih tergolong rendah yaitu 641 kWh. Dengan konsumsi per kapita sebesar itu, kita jelas tertinggal dengan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN dan Cina (lihat Tabel1). __________________________________________ Alamat Korespondensi : Indra Darmawan: adalah staf pengajar pada Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Email: [email protected] JESP V ol. 5, No. 1, 2013 Tabel 1. Konsumsi Listrik Rata-rata Penduduk (kWh per penduduk) Negara 1998 2000 Cina 722 827 Indonesia 325 384 Malaysia 2.554 2.628 Filipina 466 477 Thailand 1.345 1.448 Vietnam 232 286 Singapura 6.966 7.575 Sumber: World Bank, World Development Indicator database Dari sisi penawaran, pasokan energi listrik di Indonesia tampaknya juga menghadapi masalah yang tidak ringan. Pasokan energi listrik di Indonesia tidak dapat diandalkan. Menurut survey Bank Dunia yang dilakukan tahun 2004, kerugian dunia usaha dari buruknya kualitas pasokan listrik (electricity outage) di Indonesia telah mencapai di atas 6 persen dari total penjualan. Tingkat kerugian yang sama juga dialami oleh para pengusaha di Malaysia, Cina, dan Kamboja namun dengan nilai yang lebih rendah daripada Indonesia (Basri, 2009). Masalah listrik di Indonesia dapat diamati dari dua sudut pandang yaitu dari sisi permintaan dan penawaran energi listrik. 2010 2.943 641 4.117 643 2.243 1.035 8.306 Artikel ini mencoba melihat berbagai permasalahan seputar energi listrik di Indonesia dari kedua aspek tersebut. Situasi Kelistrikan di Indonesia Rasio elektrifikasi adalah tingkat perbandingan jumlah penduduk suatu negara yang menikmati listrik dengan jumlah total penduduk di negara tersebut. Rasio elektrisifikasi nasional memang telah meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan rasio elektrifikasi tersebut dilakukan melalui sambungan baru pelanggan PLN dan pemanfaatan energi setempat seperti PLTMH yang khusus diperuntukkan bagi daerah-daerah terpencil. Tabel 2. Rasio Elektrifikasi di Indonesia (%) Tahun Rasio Elektrifikasi 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012*) 8,0 16,0 28,0 43,0 57,0 62,0 63,0 64,3 65,1 65,8 67,2 72,9 75,3 *) perencanaan Sumber: Statistik PLN 2012, Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero) Pengguna listrik dari kalangan rumah tangga kebanyakan membutuhkan listrik untuk memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga akan penerangan yang memungkinkan masyarakat dapat melakukan berbagai kegiatan pada malam hari. Dengan pertumbuhan jumlah pelanggan rumah tangga dari 39.324.520 pelanggan pada akhir tahun 2010 menjadi 45.829.980 pelanggan 12 pada akhir tahun 2011, rasio elektrifikasi meningkat dari 67,2 pada tahun 2010 menjadi 72,9 pada tahun 2011 (lihat Tabel 2). Namun jika dilihat dari rasio elektrifikasi berdasarkan wilayah maka masih terdapat kesenjangan yang cukup mencolok. Beberapa daerah seperti Nusa Tenggara, Maluku dan Papua menunjukkan angka yang sangat rendah dalam hal ini. Bahkan JESP V ol. 5, No.1, 2013 Sumatera dan Kalimantan yang notabene sebagai daerah penghasil sumber energi pun menunjukkan rasio elektrifikasi yang rendah (lihat Tabel 3). Tabel 3. Rasio Elektrifikasi berdasarkan Pulau Utama (2004) Pulau Jumlah Penduduk (juta jiwa) Rasio Elektrifikasi (%) 74 128,7 Jawa 86 3,4 Bali 57 45,3 Sumatera 59 11,9 Kalimantan 61 15,6 Sulawesi 33 8,2 Nusa Tenggara 54 2,1 Maluku 22 2,3 Papua Total 217,7 Rata-rata = 67 Sumber: World Bank, 2005 Bahkan di Jawa sendiri juga masih banyak daerah yang belum terjangkau oleh jaringan listrik khususnya di daerah pedesaan. Sebagai contoh pembangunan jaringan listrik pedesaan di Jawa Barat dan Banten tersendat karena PT PLN (persero) tidak memiliki anggaran untuk program itu. Padahal dari sisi pembangkitan, PLN tidak kekurangan karena masih tersedia 27.000 unit pembangkit yang cukup untuk memeratakan elektrifikasi ke seluruh pedesaan. Dampaknya, selain rasio elektrifikasi rendah, konsumsi per kapita juga masih rendah dan hingga akhir tahun 2012, tingkat elektrifikasi di Jawa Barat dan Banten baru 73 persen. Sungguh ironis mengingat Jawa Barat dan Banten yang jaraknya tidak jauh dari Jakarta, tingkat elektrifikasinya lebih rendah dari Provinsi Aceh yang sudah mencapai 95 persen. Apalagi Jawa Barat memiliki tiga PLTA besar yang bersumber dari sungai Citarum, yaitu Jatiluhur, Saguling, dan Cirata. Kebutuhan energi listrik pada suatu daerah didorong oleh tiga faktor utama antara lain: pertumbuhan ekonomi, program elektrifikasi, dan pengalihan captive power ke jaringan PLN. Ketika terjadi proses pertumbuhan ekonomi maka terjadilah peningkatan produksi barang dan jasa. Proses tersebut jelas membutuhkan tenaga listrik sebagai salah satu input dalam proses produksi – disamping berbagai input lainnya. Dampak lain dari pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan masyarakat yang memicu peningkatan permintaan terhadap barangbarang/peralatan yang membutuhkan energi listrik untuk mengoperasikannya seperti radio, TV, AC, lemari es dan lainnya. Akibatnya permintaan tenaga listrik akan meningkat. PT PLN dalam RUPTL 2010-2019 berencana untuk menambah pelanggan baru yang besar, yaitu rata-rata 2,6 juta per tahun, sehingga rasio elektrifikasi akan mencapai 91% pada tahun 2019. Penambahan pelanggan baru tersebut tidak hanya mencakup mereka yang berada di wilayah usaha PLN saat ini tetapi juga mencakup mereka yang berada di luar wilayah usaha. Namun target ini tampaknya terlihat ambisius mengingat jumlah pelanggan untuk kategori industri dan bisnis selama ini pertumbuhannya cukup rendah (lihat Tabel4). 13 JESP V ol. 5, No. 1, 2013 Tabel 4. Jumlah Pelanggan per Kelompok Pelanggan Tahun Rumah Tangga Industri Bisnis Sosial 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 29.997.554 31.095.970 32.174.922 33.118.262 34.684.540 36.025.071 37.099.830 39.324.520 42.577.542 46.818 46.520 46.475 46.366 46.818 47.536 47.900 48.675 50.365 1.310.686 1.382.416 1.455.797 1.655.325 1.610.574 1.716.046 1.879.429 1.912.150 2.049.361 659.034 686.851 716.194 748.558 790.781 838.129 861.067 909.312 963.766 Gedung Kantor Pemerintah 83.810 87.187 89.533 92.395 97.886 103.821 114.971 113.676 120.246 Penerangan Jalan Umum 53.514 67.502 76.432 90.318 103.130 113.483 114.488 127.054 133.865 Jumlah ∆% 32.151.416 33.366.446 34.559.353 35.751.224 37.333.729 38.844.086 40.117.685 42.435.387 45.895.145 3,87 3,78 3,58 3,45 4,43 4,05 3,28 5,78 8,15 Sumber: Statistik PLN 2011, Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero) Faktor ketiga yang menjadi pendorong pertumbuhan permintaan tenaga listrik PLN adalah pengalihan dari captive power (penggunaan pembangkit sendiri berbahan bakar minyak) menjadi pelanggan PLN. Captive power ini timbul sebagai dampak dari ketidakmampuan PLN memenuhi permintaan pelanggan di suatu daerah, terutama pelanggan industri dan bisnis. Pengalihan captive power ke PLN juga didorong oleh tingginya harga BBM untuk membangkitkan tenaga listrik milik konsumen industri/bisnis, sementara harga jual listrik PLN relatif lebih murah. Namun tampaknya, kondisi sistem kelistrikan PLN saat ini belum memungkinkan melayani pengalihan dari captive power menjadi pelanggan PLN. Konsumsi listrik di Indonesia kurun waktu 10 tahun terakhir mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan ratarata 6,5% per tahun. Konsumen utama energi listrik yaitu sektor industri, rumah tangga dan komersial. Sektor transportasi 14 (Kereta Rel Listrik, KRL) juga menjadi salah satu konsumen energi listrik meski tingkat konsumsinya sangat kecil dan tidak signifikan karena KRL masih terbatas di kota-kota besar saja. Secara historis pangsa konsumsi listrik didominasi oleh sektor industri, diikuti oleh sektor rumah tangga dan komersial. Namun sejak tahun 2007, pangsa konsumsi sektor rumah tangga sedikit melampaui pangsa sektor industri. Hal ini kemungkinan terjadi karena keterbatasan pasokan listrik PLN sehingga banyak industri membangkitkan listrik untuk konsumsi sendiri. Kemungkinan lainnya adalah terjadinya perlambatan pertumbuhan permintaan listrik terkait dengan perlambatan pertumbuhan sektor industri itu sendiri. Dari segi pertumbuhan, sektor konsumen listrik yang mengalami pertumbuhan paling pesat akhir-akhir ini adalah sektor komersial. Dalam 10 tahun terakhir konsumsi listrik di sektor ini tumbuh rata-rata 9,8% per tahun. JESP V ol. 5, No.1, 2013 Gambar 1. Perkembangan Konsumsi Listrik di Indonesia Sumber: Indonesia Energy Outlook 2010 Dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan dinyatakan bahwasanya pembangunan ketenagalistrikan ditujukan untuk menjamin ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah yang cukup (availability), kualitas yang baik (acceptability) dan harga yang wajar (affordability). Dalam pengadaannya, Undang-Undang mengenai Energi nomor 30 tahun 2007 menyatakan bahwa penyediaan energi oleh Pemerintah (baik Pusat maupun Daerah) diutamakan di daerah yang belum berkembang, daerah terpencil, dan daerah perdesaan dengan menggunakan sumber energi setempat, khususnya sumber energi terbarukan. Beberapa program memang telah diluncurkan untuk mengimplementasikan hal tersebut meski tingkat keberhasilannya cukup rendah. Tabel 5 menunjukkan kekurangan pasokan listrik konsumsi bagi masyarakat Indonesia. Tabel ini juga menunjukkan bahwa tidak semua orang di Indonesia dapat menikmati listrik. Jumlah penduduk Indonesia yang belum bisa menikmati listrik ini, menunjukkan bahwa Indonesia masih kekurangan pasokan listrik. Tabel 5. Konsumsi Listrik di Indonesia serta Estimasi Kekurangan Pasokan Listrik (GWh) Sumber: Tumiwa, Fabby & Henriette Imelda. 2011 15 JESP V ol. 5, No. 1, 2013 Tabel 6 menunjukkan penjualan listrik per sektor pelanggan. Terjadi pergeseran persentase penjualan energi listrik dari yang semula sebagian besar pembeli dari sektor industri, sejak tahun 2007 terjadi pergeseran ke sektor rumah tangga. Dari tabel tersebut juga dapat dicermati bahwa dengan didominasinya penjualan listrik oleh sektor rumah tangga berarti sektor inilah sebenarnya yang juga menyerap subsidi listrik terbanyak. Kenaikan harga tarif dasar listrik bagi kelompok komersial dan industri – yang digunakan untuk menutup subsidi bagi sektor rumah tangga, pada akhirnya menambah beban bagi sektor industri dan komersial. Tabel 6. Penjualan Listrik per Sektor Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012*) Rumah Tangga GWh % 38.588 39 41.184 38 43.753 39 47.325 39 50.184 39 54.945 41 59.825 41 65.110 41 40.905 41 Komersial GWh % 15.258 15 17.023 16 18.416 16 20.608 17 22.926 18 24.825 18 27.157 18 28.309 18 17.659 18 Industri GWh % 40.324 40 42.448 40 43.615 39 45.803 38 47.969 37 46.204 34 50.985 35 54.725 35 34.763 35 Penerangan GWh % 2.045 2 2.221 2 2.414 2 2.586 2 2.761 2 2.888 2 3.000 2 3.064 2 1.820 2 Sosial GWh 2.238 2.430 2.604 2.909 3.082 3.384 3.700 3.994 2.560 % 2 2 2 2 2 3 3 3 3 Pemerintahan GWh % 1.645 2 1.726 2 1.808 2 2.016 2 2.096 2 2.335 2 2.630 2 2.790 2 1.779 2 *) Data realisasi sales PLN status Juli 2012 Sumber: Statistik PLN 2012, Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero) Masalah lain yang sangat dirasakan oleh sejumlah pengusaha dan pelanggan rumah tangga adalah biaya instalasi yang tidak adil dan besaran daya listrik yang tidak sepenuhnya dapat dipakai. Beberapa waktu yang lalu KADIN Jawa Timur menyampaikan bahwa sebagian besar dari perusahaan Jepang di Jawa Timur mengeluhkan besarnya biaya instalasi untuk penambahan daya listrik sebuah pabrik. Untuk penambahan daya itu, sebuah perusahaan dapat mengeluarkan biaya hingga ratusan juta rupiah untuk pembelian trafo, kabel, dan tiang listrik. Para pengusaha umumnya keberatan karena perangkat listrik yang harus dibayar itu dipasang di luar pabrik hingga sejauh 1 kilometer. Jika perangkat itu berada di dalam area pabrik, pengusaha tidak akan keberatan. Para pengusaha dari luar negeri menganggap pembelian perangkat listrik di tempat public merupakan tanggung jawab pemerintah atau perusahaan listrik. 16 Kebutuhan akan listrik yang semakin meningkat tentu membutuhkan adanya penambahan unit pembangkit listrik yang memadai. Tabel 7 menggambarkan perkembangan jumlah unit pembangkit listrik di Indonesia tahun 2003-2011. Data menunjukkan bahwa justru beberapa tahun menunjukkan adanya penurunan jumlah unit pembangkit yaitu tahun 2006 turun 3,32 persen dan tahun 2008 turun 1,26 persen. Dari semua jenis unit pembangkit masih didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Diesel yang menggunakan BBM. Pembangkit lain yang juga menyumbang kontribusi besar terhadap pasokan listrik adalah PLTU dan PLTG. Sehingga batubara, gas bumi, dan minyak bumi saat ini masih berperan sebagai sumber energi primer yang menjadi tulang punggung ketenagalistrikan Indonesia. Kebergantungan terhadap minyak bumi untuk pembangkitan listrik sangat memberatkan karena meroketnya harga minyak bumi saat ini. JESP V ol. 5, No.1, 2013 Tabel 7. Jumlah Unit Pembangkit Listrik di Indonesia Tahun PLTA PLTU PLTG PLTGU PLTP PLTD PLTMG 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 185 190 191 203 196 189 201 199 213 40 41 41 43 45 48 49 55 59 47 55 60 60 54 58 63 73 71 56 51 51 53 60 61 59 50 61 8 8 8 8 9 9 9 11 10 4.543 4.776 4.859 4.670 4.705 4.635 4.626 4.619 4.842 2 2 2 2 2 4 8 4 PLT Surya 4 8 PLT Bayu 1 4 3 4 1 Jumlah ∆% 4.879 5.123 5.212 5.039 5.072 5.008 5.014 5.023 5.269 2,37 5,00 1,74 (3,32) 0,65 (1,26) 0,16 0,18 4,90 Sumber: Statistik PLN 2011, Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero) Pembangkit listrik di Indonesia terdiri atas pembangkit listrik PLN, pembangkit listrik swasta, dan sebagian kecil berupa captive power. Captive power merupakan pembangkit listrik yang umumnya dioperasikan oleh pihak industri dan produksi listriknya selain digunakan sendiri oleh sektor industry – sebagian di jual ke PLN. Kapasitas pembangkit PLN pada tahun 1995 mencapai 14.970 MW meningkat menjadi 25.593 MW pada tahun 2008 sementara kapasitas IPP tahun 1995 sebesar 1.184 MW , tahun 2008 meningkat menjadi 8.518 MW . Sedangkan produksi listrik PLN tahun 1995 sebesar 52.832 GWh meningkat menjadi 118.047 GWh pada tahun 2008. Sementara produksi listrik IPP pada tahun 2005 sebesar 1.288 GWh meningkat menjadi 31.390 GWh pada tahun 2008. Tabel 8. Kapasitas T erpasang menurut Jenis Pembangkit (MW) Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 PLTA 3.167,93 3.199,44 3.220,96 3.529,11 3.501,54 3.504,28 3.508.45 3.522,57 3.511,20 PLTU 6.900,00 6.900,00 6.900,00 8.220,00 8.534,00 8.764,00 8.764,00 9.451,50 12.052.50 PLTG 1.224,72 1.481,57 2.723,63 2.727,22 2.783,62 2.496,69 2.570,59 3.223,68 2.839,44 PLTGU 6.863,22 6.560,97 6.280,97 7.020,97 7.020,97 7.370,97 7.370,97 6.951,32 7.833,97 PLTP 380,00 395,00 395,00 395,00 415,00 415,0 415,00 438,75 435,00 PLTD 2.670,42 2.911,43 2.994,54 2.941,91 2.956,25 3.020,88 2.980,63 3.267,79 2.568,54 PLTMG 12,00 12,00 12,00 12,00 21,84 26,00 38,84 25,94 PLT Surya 0,19 1,23 PLT Bayu 0,10 0,26 1,06 0,34 0,34 Jumlah 21.206,29 21.470,41 22.515,09 24.834,21 25.223,48 25.593,92 25.636,70 26.894,98 29.268,16 ∆% 0,45 1,25 4,87 10,30 1,57 1,47 0,17 4,91 8,82 Sumber: Statistik PLN 2011, Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero) Selama ini energi panas bumi utamanya dimanfaatkan untuk pembangkit listrik. Dibandingkan sumberdaya yang dimiliki, kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Indonesia masih rendah yaitu hanya 1052 MWe (4% dari total sumberdaya). Selain untuk pembangkit listrik energi panas bumi dapat juga dimanfaatkan untuk penyediaan energi thermal pada proses-proses pengolahan produk pertanian. Produksi listrik panas bumi pada tahun 2000 adalah sebesar 4869 GWh. Pada tahun 2009 produksi listrik panas bumi mencapai 9295 GWh. Produksi listrik panas bumi cenderung meningkat namun pangsa listrik panas bumi cenderung menurun. Hal ini disebabkan pertumbuhan PLTP kalah cepat dibandingkan dengan pertumbuhan pembangkit lainnya. 17 JESP V ol. 5, No. 1, 2013 Tabel 9. Energi yang Diproduksi (GWh) *) termasuk PLTMG Sumber: Statistik PLN 2011, Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero) Secara geografis letak Indonesia yang berada di cincin api penuh dengan gunung berapi ternyata tidak selalu berada dalam keadaan yang membahayakan. Di balik berbagai risiko bencana alam ternyata juga menyimpan potensi sumber energi yang luar biasa besarnya. Panas bumi yang berlimpah di dalamnya menjadi sumber listrik yang tidak akan habis dan bisa menjadi salah satu solusi dari krisis energi listrik di Indonesia. Indonesia tercatat memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia, yakni 28.000 megawatt (MW) atau 40 persen cadangan dunia, yang tersebar di 250 lapangan. Namun, upaya pemanfaatan energi panas bumi berjalan sangat lambat. Kapasitas terpasang saat ini baru 1.226 MW atau 4 persen dari total potensi. Posisi Indonesia jauh di bawah Filipina sebesar 2.000 MW (33 persen) dari potensi 6.000 MW dan AS 2.700 MW (13 persen) dari potensi 23.000 MW . Berdasarkan distribusi produksi energi listrik tahun 2012, panas bumi memberi 18 kontribusi sebesar 4,79 persen. Kontribusi terbesar masih dipegang oleh batubara sebesar 51,40 persen, disusul dengan gas (23,18 persen) dan BBM (13,83 persen). Perhatian pemerintah pada pemanfaatan potensi panas bumi masih sangat kurang. Harta ini dibiarkan terkubur daripada dimunculkan sebagai penyelamat defisit APBN akibat impor BBM. Setiap tahun, negara menghabiskan triliuan rupiah untuk subsidi listrik. Pada APBN 2012, subsidi energi Rp168,5 triliun yang terdiri dari subsidi BBM Rp123,5 triliun dan subsidi listrik Rp45 triliun. Dalam APBN Perubahan 2012, subsidi energy membengkak menjadi Rp225 triliun untuk subsidi BBM Rp137,37 triliun dan listrik Rp65 triliun (cadangan fikcal Rp 23 triliun). Dalam APBN 2013, subsidi energi menjadi Rp274,7 triliun. Dari besaran itu, subsidi BBM Rp 193,8 triliun dan subsidi listrik Rp80,9 triliun. Mutlak diperlukan peningkatan efisiensi terhadap biaya operasional PT PLN. Temuan audit BPK JESP V ol. 5, No.1, 2013 tentang pemborosan pengelolaan energi primer di PLN tahun 2009/2010 yang mencapai Rp37 triliun tidak dapat dipandang enteng. Kapasitas terpasang panas bumi mestinya dapat ditingkatkan sampai 800 persen, yakni dari 300 MWe (setara megawatt) menjadi 2.090 MWe tahun 20142015 untuk memenuhi kebutuhan listrik yang meningkat dan efisiensi biaya pembangkitan energi listrik. Dengan pengembangan itu, kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi ditingkatkan dari 402 MW menjadi 8001.000 MW . Akan ada penghematan minyak mentah sebanyak 50.000 barrel per hari atau senilai 1,82 miliar dollar AS per tahun. Hal ini didasarkan pada biaya pembangkitan yang sangat murah untuk PLTP (lihat Tabel 10) Tabel 10. Biaya Pembangkitan Rata-rata (Rp/kWh) Tahun PLTA PLTU PLTD PLTG 2006 143,19 389,48 1.631,36 1.999,15 2007 118,80 405,91 2.438,47 2.155,67 2008 131,60 597,26 3.578,25 3.298,03 2009 139,48 598,31 2.696,52 1.422,71 2010 98,02 559,22 2.043,71 *) 1.594,93 2011**) 155,79 588,47 2.536,85 2.260,96 *) Angka revisi tahun 2010 **) tahun 2011 tidak termasuk sewa pembangkit Sumber: Statistik PLN 2011, Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero) Penutup Beberapa alternatif penyelesaian dalam jangka pendek dan panjang terkait dengan permintaan dan penawaran energi listrik antara lain: pertama, terus mendorong upaya penghematan energi oleh semua segmen konsumen. Pemerintah sendiri dapat melakukan persuasi penghematan melalui berbagai insentif dan peraturan yang lebih nyata misalnya dimulai dengan penghematan di kantor-kantor pemerintah, BUMN, dan fasilitas umum. Upaya menghemat 1 MW energi listrik jauh lebih mudah dan murah daripada membangkitkannya Kedua, mengupayakan pengurangan beban puncak dengan memanfaatkan pembangkit cadangan yang banyak dimiliki konsumen. Pemanfaatan pembangkit cadangan bisa menunda perlunya pembangunan pembangkit dan saluran transmisi. Beban puncak juga bisa dikurangi dengan menerapkan sistem insentif bagi pelanggan yang mengurangi penggunaan PLTP 579,74 615,10 746,61 639,87 701,39 792,61 PLTGU 889,33 873,80 1.278,45 739,79 788,46 960,58 Rata-rata 705,96 706,62 1.051,84 767,79 795,59 1.051,14 listriknya di waktu beban puncak. Langkah ini bisa segera diambil untuk mengatasi pemadaman bergilir yang sering terjadi dan mengurangi antrian pelanggan baru. Langkah ini memang terkesan mengalihkan tanggung jawab pemerintah ketika tidak mampu menyediakan listrik dengan baik. Namun dalam jangka pendek alternatif ini dapat dilaksanakan dengan catatan tidak boleh terus-menerus. Ketiga, mendorong munculnya produsen listrik swasta yang mampu menjual listrik berdasarkan kwalitas tanpa subsidi. Pemerintah dapat memberikan insentif bagi mereka yang dapat memproduksi listrik dengan memanfaatkan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Potensi panas bumi dan gas di Indonesia sangatlah luar biasa, tinggal bagaimana pemerintah memfasilitasi pemanfaatannya. Program membangun pembangkit dengan memanfaatkan energi terbarukan yang sesuai untuk masing-masing daerah juga perlu ditingkatkan. Banyak 19 JESP V ol. 5, No. 1, 2013 daerah yang belum mendapatkan akses listrik, namun memiliki potensi yang cukup besar untuk dibangun PL TMH. Keempat, memaksimumkan produksi dari pembangkit dan saluran transmisi eksisting yang telah ada. Fasilitas yang sudah dibangun dengan biaya mahal harus dipelihara dan dimanfaatkan secara maksimum. Pemerintah harus meminta PLN menurunkan losses jaringan yang saat ini masih di atas 10 persen. Penurunan kapasitas pembangkit hidro karena pendangkalan harus segera diperbaiki. Kelima, dalam jangka panjang, pemerintah dapat mendorong penggunaan sumber-sumber energi yang tersedia lokal di setiap daerah. Setiap daerah mempunyai potensi yang berbeda-beda. Setiap daerah diupayakan untuk mengandalkan energi lokal sebagai sumber energi utama. Sat ini, subsidi sangat besar karena setiap daerah dipaksa menggunakan pembangkit yang bahan bakarnya tidak terdapat di daerah tersebut. Di samping itu, selama ini tingkat losses jaringan yang tinggi disebabkan jarak yang sangat jauh antara pembangkit dengan konsumen yang menggunakannya. Keenam, terkait dengan Sumber Daya Manusia yang ahli di dunia kelistrikan perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Pemerintah perlu menyiapkan SDM yang mampu bekerja dengan iklim kelistrikan yang baru melalui penyediaan layanan pendidikan yang handal di bidang kelistrikan. Perkembangan kebutuhan energi listrik secara nasional jelas akan membutuhkan semakin banyak SDM yang handal. Sementara pemenuhan kebutuhan 20 SDM yang handal akhir-akhir ini kurang mendapat perhatian yang memadai. Daftar Pustaka Basri, Faisal & Haris Munandar. 2009. Lanskap Ekonomi Indonesia: Kajian dan Renungan terhadap Masalahmasalah Struktural, Transformasi Baru, dan Prospek Perekonomian Indonesia. Cetakan ke-1. Jakarta: Kencana Data Pokok APBN 2006-2012. Kementerian Keuangan Republik Indonesia Indonesia Energy Outlook 2010. Pusat Data dan Informasi Energi Sumber Daya Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 20102019 Statistik PLN 2009. Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero) Statistik PLN 2010. Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero) Statistik PLN 2011. Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero) Tumiwa, Fabby & Henriette Imelda. 2011. Kemiskinan Energi: Fakta-fakta yang Ada di Masyarakat. Institute for Essential Services Reform (IESR) Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan World Bank. 2005. Electricity for All: Option for Increasing Access in Indonesia. 2005 JESP V ol. 5, No.1, 2013 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PERAN KARAKTERISTIK REGIONAL DI JA W A TIMUR (PERIODE 2000-2009) Basuki Prasetiyo Kurniawan Mardhono Abstract The aims of this study is to know the influence of agglomeration in East Java. The data consists of 38 regions in which 29 of them are districts and 8 of them are cities during the 2000-2009 periods. The data used in this study is secondary data in the form of numbers so that this study will lead to quantitative study. Based on the characteristics of the problem, this study is categorized into causal-comparative study. The type of the data is panel data and the method used is GLS (General Least Square) to process the panel data calculation. Several factors which influence the economic growth are the agglomeration (X1), the labor (X2), the inflation (X3), openness rate (X4), and human capital (X5). The conclusion of this study is that the economic growth in East Java is influenced by either agglomeration and education (human capital) that have positive effect with significant value, and also the inflation and export (openness rate), although the value is not significant. Agglomeration, labor , and education (human capital) are the ones which have the positive relationship with the economic growth. Therefore, it is expected that the local government can create employments in industrial sector and increase the quality of the education in East Java so that the good economic growth can be obtained. Keywords: Agglomeration, Human Capital, Economic Growth, and Pane Data. Aglomerasi dan pertumbuhan ekonomi sudah menjadi fakta, yaitu sebagai cermin atau gambaran perbedaan pembangunan di Indonesia. Disparitas antar daerah tidak terlepas dari perbedaan pembangunan yang ada di tiap-tiap daerah. Ketimpangan yang terjadi di Indonesia jelas memberikan masalah dalam hubungan antar daerah. Perbedaan yang terjadi tidak terlepas dari fenomena aglomerasi dan pertumbuhan ekonomi di tiap-tiap daerah. Persebaran sumber daya yang tidak merata dapat menimbulkan perbedaan dalam laju pertumbuhan ekonomi antar daerah. Aglomerasi, baik itu aktifitas ekonomi dan penduduk di perkotaan menjadi obyek pembahasan dalam pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh pembangunan kota (Krugman, 1998). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa aglomerasi dan pertumbuhan ekonomi mampu menjelaskan perbedaan pembangunan yang ada di Indonesia. Terdapat kesamaan karakteristik kota/kabupaten di Jawa Timur di antaranya adalah pengalaman historis, kawasan (administrasi Provinsi Jawa Timur), dan kekuasaan pemerintahan tingkat provinsi. Nilai positif dari kesamaan karakteristik regional Jawa Timur. Pertama, Jawa Timur memiliki kesamaan historis dari setiap daerah di wilayahnya (kota/kabupaten) dimana hal ini akan mempengaruhi interaksi antar kota/kabupaten di wilayahnya. Kesamaan historis dan __________________________________________ Alamat Korespondensi : Basuki Prasetiyo K: Mahasiwa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang Email : [email protected] Mardhono. Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang Email : [email protected] JESP Vol. 5, No. 1, 2013 masalah yang dihadapi akan mendorong terciptanya kesadaran regional dan identitas yang sama. Kedua, terdapat keterkaitan yang sangat erat di antara kota/kabupaten di Jawa Timur, dengan kata lain terdapat sebuah batas kawasan dalam interaksi di antra mereka atau dimensi ruang. Ketiga, terdapat kebutuhan bagi kota/kabupaten untuk menciptakan propinsi yang dapat membentuk kerangka aturan untuk mengatur interaksi di antara mereka dalam rangka menujuk pembangunan ekonomi yang lebih baik. Skripsi ini akan memfokuskan pada analisis aglomerasi dengan memadukan peran karakteristik Propinsi Jawa Timur yaitu berdasarkan laju angkatan kerja, laju inflasi, laju Openness, dan human capital terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Timur (laju pertumbuhan PDRB berdasarkan harga kostan 2000) menurut kota/kabupaten.Dari fenomena di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian aglomerasi, pertutumbuhan ekonomi, dan faktor lain yang berkaitan, di mana masih terdapat banyak perbedaat antar daerah di Jawa Timur. Jawa Timur dipilih karean Jawa Timur merupakan provinsi yang memiliki perekonomian yang kuat dan telah mengimbangi kondisi perekonomian DKI Jakarta. Jawa Timur, berdasarkan 9 kota dan 29 kabupaten merupakan objek penelitian karena peneliti berasumsi bahwa perubahan dalam taraf regional akan menjadi penentu gerbang perekonomian suatu negara, sehingga pengkajian lebih mendalam dalam lingkup kecil dalam hal ini regional akan dapat membawa dampak besar bagi negara. Metode Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dalam bentuk angka sehingga penelitian ini mengarah kepada penelitian kuantitatif. Menurut desain penelitiannya, penelitian ini termasuk penelitian eksplanatif (explanatory research) . Penelitian eksplanatif merupakan penelitian yang menguji hubungan antar variabel. Dalam 22 penelitian ini terdapat lima variabel bebas yaitu aglomerasi, pendidikan, tenaga kerja, inflasi, dan ekspor yang akan diteliti untuk mengetahui hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi (PDRB) yang merupakan variabel terikat. Jadi penelitian ini termasuk penelitian eksplanatif karena dirancang untuk menguji pengaruh antar variabel yaitu aglomerasi (X1), tenaga kerja (X2) ekspor (X 3), inflasi(X4), dan pendidikan (X5) sebagai variabel bebas, serta pertumbuhan ekonomi (Y) sebagai variabel terikat melalui pengujian suatu hipotesis. Berdasarkan karakteristik masalah, penelitian ini tergolong penelitian kausalkomparatif (Causal-Comparative Research) yakni tipe penelitian dengan karakteristik masalah berupa hubungan sebab-akibat antara dua variabel atau lebih (Indriantoro dan Supomo, 1999: 27). Sedangkan apabila dilihat dari bentuk data yang diambil, penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, yaitu penelitian yang menggunakan “data yang berbentuk angka. Jenis data untuk penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari pihak lain atau data yang sudah diolah atau dipublikasikan oleh berbagai instansi pemerintah dan data primer, yaitu data yang diambil secara langsung pada tempat yang diteliti (BPS Provinsi Jawa Timur).Sedangkan datayang utama digunakan dalam penelitian adalah data sekunder berupa data panel dengan kurun waktu 2000 – 2009 untuk Provinsi Jawa Timur. Metode yang digunakan dalam menganalisis data pada penelitian ini dengan menggunakan Software Ekonometrika yaitu Eviews 7 untuk melakukan uji asumsi klasik, serta uji regresi terhadap variabel bebas yang ada. Dalam penelitian ini, menggunakan metode Commonyang diestimasi menggunakan metode GeneralizedLeastSquare (CrossSection Weighting). JESP V ol. 5, No.1, 2013 Hasil dan Pembahasan Gambaran Umum Provinsi Jawa Timur Pemerintahan Propinsi Jawa Timur dibentuk dengan Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1950, yang ditetapkan tanggal 2 Februari 1950, merupakan gabungan dari pemerintahan daerah karisidenan Surabaya, Madura, Besuki, Malang, Kediri, Madiun, dan Bojonegoro. Ibukota propinsi Jawa Timur adalah Surabaya. Provinsi Jawa Timur, sedangkan luas Pulau Madura hanya sekirtar 10 persen. Luas wilayah Provinsi Jawa Timur yang mencapai 47.156 km2 yang hingga sampai karya skripsi ini ditulis, Provinsi Jawa Timur terbagi menjadi 38 Kabupaten/Kota dimana 29 adalah Kabupaten dan 9 adalah Kota. Secara umum, wilayah Provinsi Jawa Timur terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu Jawa Timur daratan dan Pulau Madura. Keseluruhan luas wilayah Jawa Timur daratan hampir mencakup 90 persen dari seluruh Provinsi Jawa Timur yang merupakan salah satu bagian dari NKRI, tentu memiliki system pemerintahan yang sama dengan kebanyakan provinsi-provinsi lainnya di NKRI. Unit pemerintahan yang dikoordinir oleh provinsi secara langsung adalah kabupaten/kota terdiri dari beberapa kecamatan. Sedangkan kecamatan terbagi lagi menjadi beberapa desa. Deskripsi Variabel Perekonomian di Jawa Timur sampai tahun 2009 didasarkan pada PDRB atas harga konstan 2000 menunjukkan kondisi yang menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dalam kurun waktu 10 tahun (2000 – 2009) telah terjadi peningkatan PDRB dari RP202.830.063,03 pada tahun 2009 menjadi Rp 320.210.547,65 atau naik sebesar Rp 117380484.62. Gambar 1 : Struktur PDRB Jawa Timur 23 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 Analisis aglomerasi menggunakan indeks balasa, semakin tinggi nilai indeks Balasa menunjukkan aglomerasi yang semakin kuat. Aglomerasi dikatak kuat apabila angka indeks balassa di ata 4, ratarata atau sedang bila nilainya antara 2 dan 4, lemahbila nilainya diantara 1 sampai 2, sedangkan nilai 0 sampai satu berate tidak terjadi aglomerasi atau wilayah tersebut tidak memiliki keunggulan komeratif untuk terjadinya aglomerasi. Tenaga kerja disadari merupakan salah satu modal utama dalampembangunan. Definisi yang diberikan BPS mengenai penduduk usia kerja adalah mereka yang berumur 10 tahun ke atas, dan dibedakan lagi menjadi angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja adalah penduduk pada usia kerja yang sedang atau mencari pekerjaan. Laju pertumbuhan penduduk tentunya juga akan mempengaruhi keadaan angkatan kerja. Dalam susenas kependudukan dan tenaga kerja, di Jawa Timur hingga tahun 2009 terdapat 19,3 juta jiwa tenaga kerja. Bila melihat tenaga kerja sektor industry berdasarkan data Susenas maka dapat disimpulkan bahwa jumlah tenaga kerja sektor industry antara tahun 2000 – 2009 cenderung stagnan. Dapat diketahui bahwa pada tahun 2000 jumlah tenaga kerja di sektor industry 2223662 pekerja dan pada tahun 2009 jumlahnya menjadi 2385686. Jadi dapat disimpulkan perkembangan tenaga kerja industri di Jawa Timur selama periode 2000 – 2009 pertumbuhannya tidak terlalu besar. Perkembangan jumlah murid SMA/Sederajad cenderung fluktuatif. Sepanjang tahun 2000 hingga 2009 terjadi peningkatan jumlah murid SMA/sederad. Pada tahun 2004 terjadi penurunan jumlah murid. Namun pada tahun 2005 ke atas jumlah murid mengalami pertumbuhan positif. Perkembangan nilai ekspor Jawa Timur terus mengalami peningkatatan secara signifikan mulai tahun 2003. 24 Namun peningkatan yang ini terhenti ketika memasuki nilai puncak sepanjang tahuyn 2007. Pada tahun 2008 nilai ekspor Jawa Timur terus mengalami penurunan. Keaadaan inflasi Jawa Timur cenderung fluktuatif. Titik tertinggi inflasi antara tahun 2000 – 2009 terjadi pada bulan oktober tahun 2005. Uji Asumsi Klasik Uji Multikolinieritas Menurut Winarno (2007:5.1) multikolinieritas adalah kondisi adanya hubungan linier variabel independen. Karena melibatkan beberapa variabel independen, maka multikolinieritas tidak akan terjadi pada persamaan regresi sederhana. Kodisi terjdainya multikolinieritas ditunjukkan dengan berbagai informasi beriku: a. Nilai R2 tinggi tetapi variabel independen banyak yang tidak signifikan. b. Dengan menghitung koefisien korelasi antarvariabel independen. Apabila koefisiennya rendah, maka tidak terdapat multikolinieritas. c. Dengan melakukan regresi auxiliary. Regresi jenis ini dapat digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua (atau lebih). Ada beberapa alternatif untuk menghadapi masalah multikolinieritas. Seperti diungkapkan oleh Winarno (2007:5.7) yaitu: a. Membiarkan model mengandung multikolinieritas, karena estimatornya masih dapat bersifat BLUE. Sifat BLUE tidak terpengaruh oleh ada tidaknya korelasi antarvariabel independen. Namun harus diketahui bahwa multikolinieritas akan menyebabkan standart error yang besar. b. Menambahkan data bila memungkinkan, karena masalah multikolinieritas biasanya muncul karena jumlah observasinya sedikit. Apabila datanya tidak dapat ditambah, JESP V ol. 5, No.1, 2013 teruskan dengan model yang sekarang digunakan. c. Hilangkan salah satu variabel independen, terutama yang memiliki hubungan linier yang kuat dengan variabel lain. Namun apabila menurut teori variabel independen tersebut tidak mungkin dihilangkan, berarti harus tetap dipakai. d. Transformasikan salah satu atau beberapa variabel. menunjukkan ketidaksesuaian model dengan keadaan yang sesungguhnya. Penggunaan Software Ekonometrika Eviews yang digunakan dalam penelitian ini yang telah menggunakan metode Generalized Least Square (Cross Section Weighting) yang mengasumsikan bahwa residual observasi crosssectional bersifat heteroscedastik dan tidak mengandung autokorelasi seperti diungkapkan dalam Hadi (2008). Uji Heterokedastisitas dan Uji Autokorelasi Dalam penelitian ini, analisis dilakukan dengan data panel dengan model regresi fixed effect (efek tetap). Menurut Winarno (2007:9.14) menjelaskan bahwa model regresi fixed effect (efek tetap) merupakan model regresi yang dapat menunjukkan perbedaan konstan antarobjek meskipun dengan koefisien regresor yang sama. Efek tetap dimaksudkan bahwa satu objek memiliki konstan yang tetap besarnya untuk berbagai periode waktu. Motode ini digunakan untuk mengatasi kelemahan asumsi metode common effect di mana Pengujian Hipotesis Penelitian Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis data panel (pooleddata). Pengujian ini bertujuan untuk melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen baik secara langsung maupun tidak langsung serta kemampuan model dalam menjelaskan pengaruh aglomerasi, tenaga kerja, ekspor, inflasi, dan pendidikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah (PDRB). Model Persamaan Regresi Untuk mengetahui persamaan regresi dari penelitian ini, dapat dilihat dalam tabel berikut. 25 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 Dependent V ariable: PDRB Method: Panel EGLS (Period weights) Date: 12/18/11 Time: 19:14 Sample: 2000 2009 Periods included: 10 Cross-sections included: 35 Total panel (unbalanced) observations: 348 Linear estimation after one-step weighting matrix V ariable Coefficient C -5970009. AGGLOMERASI 2831784. TENAGA_KERJA 4.237149 EKSPOR -0.095872 INFLASI -439534.7 PENDIDIKAN 343.4049 Std. Error t-Statistic 1697920. -3.516073 730963.5 3.874044 1.388746 3.051060 0.164070 -0.584340 1110495. -0.395801 19.24204 17.84659 Prob. 0.0005 0.0001 0.0025 0.5594 0.6925 0.0000 W eighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) 0.701797 0.697438 6262448. 160.9743 0.000000 Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat 7318379. 11375096 1.34E+16 0.201663 Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid 0.693406 1.35E+16 Dari hasil perhitungan regresi dengan Eviews menggunakan metode Generalized Least Square (Cross Section Weighting) dalam tabel 4.6 tersebut di atas dapat diperoleh persamaan regresi sebagai berikut: Y = -5970009 + 2831784 X1 + 4,237149 X2 - 0,095872 X3 - 439534,7 X4 + 343,4049 X5 26 Mean dependent var Durbin-Watson stat 7097304. 0.258552 Adjusted R Square Berdasarkan tabel diatas, diperoleh nilai adjusted R square sebesar 0,697438. Hal ini berarti bahwa pengaruh variabel aglomerasi, tenaga kerja, ekspor, inflasi, dan pendidikan mampu menjelaskan variabel pertumbuhan ekonomi sebesar 69%. Sedangkan sisa Adjusted R square sebesar31% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model persamaan. JESP V ol. 5, No.1, 2013 Uji t (Uji Regresi secara Parsial) Berdasarkan hasil analisis uji t di atas, diketahui bahwa variabel aglomerasi mempunyai nilai t hitung 3,874044> dari t tabel sebesar 1,960 dengan tingkat signifikansi 0,0001 lebih kecil dari α = 0,05 berarti H 0 ditolak dan menerima H1. Hal ini menunjukkan bahwa variabel aglomerasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB). V ariabel tenaga kerja mempunyai nilai t hitung 3,051060> dari t tabel sebesar 1,960 dengan tingkat signifikansi 0,0025lebih kecil dari α = 0,05 berarti H 0 ditolak dan menerima H1. Hal ini menunjukkan bahwa variabel tenaga kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB). V ariabel ekspor mempunyai nilai t hitung 0,584340< dari t tabel sebesar 1,960 dengan tingkat signifikansi 0,5594 lebih besar dari α = 0,05 berarti H 0 diterima dan menolak H1. Hal ini menunjukkan bahwa variabel ekspor tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB). V ariabel inflasi mempunyai nilai t hitung -0,395801< dari t tabel sebesar 1,960 dengan tingkat signifikansi 0,6925 lebih besar dari α = 0,05 berarti H 0 diterima dan menolak H1. Hal ini menunjukkan bahwa variabel efisiensi sektor publik tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB). V ariabel efisiensi sektor pendidikan mempunyai nilai t hitung 17,84659> dari t tabel sebesar 1,960 dengan tingkat signifikansi 0,0000 lebih kecil dari α = 0,05 berarti H 0 ditolak dan memenerima H1. Hal ini menunjukkan bahwa variabel efisiensi sektor publik mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB). Ini berarti variabel aglomerasi, tenaga kerja, dan pendidikan berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah(PDRB). Uji F (Uji Regresi secara Simultan) Uji F digunakan untuk menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara bersama-sama dan menguji hipotesis: Ho : aglomerasi, tenaga kerja, ekspor, inflasi, dan pendidikan tidak berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB). Ha : aglomerasi, tenaga kerja, ekspor, inflasi, dan pendidikan berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB). Berdasarkan hasil analisis uji F , diperoleh nilai F hitung > F tabel (160,9743> 2,55) dengan tingkat signifikansi 0.000000, maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti ada pengaruh yang signifikan dari , tenaga kerja, ekspor, inflasi, dan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB). Nilai positif pada F hitung menunjukkan pengaruh yang searah. Berdasarkan analisis tersebut, maka dapat disusun hipotesisi sebagai berikut. 27 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 SIMPULAN 1 PERNYATAAN Aglomerasi berdampak positif-tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB) 2 Tenaga Kerja berdampak positif-signifikan pertumbuhan ekonomi (PDRB) terhadap 3 Ekspor berpengaruh negatif-tidak pertumbuhan ekonomi (PDRB) signifikan terhadap 4 Inflasi berpengaruh negatif-tidak pertumbuhan ekonomi (PDRB) signifikan terhadap 5 Pendidika berpengaruh positif-signifikan pertumbuhan ekonomi (PDRB) Penutup Berdasarakan uraian pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi (PDRB) Jawa Timur ditentukan baik oleh aglomerasi, tenaga kerja, pendidikan yang berpengaruh positif dengan nilai yang signifikan serta ekspor dan inflasi walaupun nilainya tidak signifikan. Secara parsial, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Dari analisa dan pembahasan, dapat ditari kesimpulan bahwa pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. 2. Pertumbuhan ekonomi berbanding lurus dengan glomerasi, tenaga kerja, dan pendidikan. 3. Jawa Timur cenderung katagori propinsi yang belum terjadi aglomerasi, karena sekala angka aglomerasi hanya sekitar 0 samai dengan 2. 4. Aglomerasi di Provinsi Jawa Timur memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Timur. 5. V ariable ekspor memiliki pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Timur. Pengaruh negatif ekspor tidak sepenuhnya mutak benar, karena pengaruh yang 28 terhadap diberikan terhadap pertumbuhan ekonomi tidak signifikan. 6. V ariabel pendidikan berpengaruh sangat signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. 7. V ariable tenaga kerja berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasakan pada hasil penelitian juga dapat dirumuskan berbagai rekomendasi sebagai berikut ini : 1. Pemerintah sebaiknya memperhatikan masalah pendidikan. Karana pendidikan sudah sangat jelas memberikan dampak yang positif bagi perekonomian misalnya saja pertumbuhan ekonomi. 2. Pentingnya peningkatan kualitas dan pelatihan tanaga kerja agar tenaga kerja memberikan kontribusi yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. 3. Aglomerasi sebaiknya dapat ditingkatkan dengan cara membangun sentra-sentra atau kahwasan yang dikususkan untuk industri. Oleh karena itu penting sekali suatu hubungan kerjasama yang baik antara propinsi dan kabupaten/kota mengenai infrastruktur yang mendukung terjadinya pertumbuhan industry di Provinsi Jawa Timur. JESP V ol. 5, No.1, 2013 4. Perusahaan perlu memikirkan upayaupaya untuk lebih meningkatkan semangat kerja karyawannya, yaitu dengan memperhatikan faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi semangat kerja karyawan. Contohnya, gaji yang diberikan harus sesuai dengan UMR (upah minimum regional) serta fasilitas yang disediakan harus dapat memberikan keamanan dan kenyamanan bagi karyawan. Daftar Rujukan Adisasmita, Raharjo H. 2005. DasarDasar Ekonomi Wilayah. Graha Ilmu: Yogyakarta. Arikunto, Suharsini. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Edisi Revisi VI). Jakarta: PT. Rineka Cipta. Bradley, Rebecca & Gans, Joshua S. 1996. Growth in Australian Cities, the Economic Record, the Economic Society of Australia, V ol. 74 (226). Badan Pusat Statistik. 2006. Produk Domestik regional Bruto Kabupaten/Kota se Jawa Timur 2000 - 2005. Surabaya. Badan Pusat Statistik. 2008. Produk Domestik regional Bruto Kabupaten/Kota se Jawa Timur 2003 - 2007. Surabaya. Badan Pusat Statistik. 2010. Produk Domestik regional Bruto Kabupaten/Kota se Jawa Timur 2005 - 2009. Surabaya. Dajan , Anto. 2006. Pengantar Metode Statistik Jilid II. No. 59, V ol. 24. 2006, Hall.1-3. Surabaya: UNISA. Dewi, Tutut dan Asih, Di I Maruddani . 2009. Analisis Data Panel Untuk Menguji Pengaruh Risiko Terhadap Return Saham Sektor Farmasi dengan Least Square Dummy V ariable. No. 2, V ol. 2. Desember 2009, 71-80. Media Statistika. Ghozali, Imam. 2007. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Glaeser, Kallal H.D, Scheinkman J.A, & Shleifer A. 1992. Growth in Cities, Journal of Political economy, 100 (6), 1126-1152. Gudjarati, Damodar N, 1995. Basic Econometric, 4rd edition, Mc. Graw Hill, Heridiana, Ika. 2009. Analisis FaktorFaktor Aglomerasi Industri di Kawasan PER Kecamatan Rembang Kabupaten Pasuruan . Skripsi tidak diterbitkan. Malang. FMIPA UM. Hidayati, kuncoro. Konsentrasi Geografis Industri Manufaktur Di Greater Jakarta dan Bandung Periode 1980-2000: Menuju Satu Daerah Aglomerasi?. Krugman. 1998. Space: the Final Frontier. Journal of Economic Perspectives, 12(2), 161-174. Kuncoro, Mudrajat. 2006. Aglomerasi perkotaan Di DIY: Apa, Di Mana, Dan Mengapa? . No. 59, V ol. 24. 2006, Hall.1-3. Surabaya: UNISA. Landiyanto, Erlangga Agustiono. Spesialisasi dan Konsentrasi Spasial Pada Sektor Industri Manufaktur Di Jawa Timur. Jakarta: Pararel Sesion VIB: Industry And Trade, Hotel Borobudur. Matitaputty, Shandy Jannifer. 2010. Analisis Pengaruh Faktor Aglomerasi Industri Manufaktur Terhadap Hubungan Antara Pertumbuhan Dengan Ketimpangan Regional Antar Kabupaten/Kota Di Jawa 29 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 Tengah Tahun 1994 – 2007. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang. FE UNDIP . Nuryadin, Sodik. 2007. Aglomerasi dan Pertumbuhan Ekonomi: Peran 30 Karakteristik Regional Di Indonesia. Depok: Parallel Sesion IV A: Urban & Regional, Kampus UI. JESP Vol. 5, No.1, 2013 ANALISIS DERAJAT DESENTRALISASI FISKAL KEUANGAN DAERAH SEBELUM DAN SESUDAH PELAKSANAAN KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DI KOTA MALANG Haris Galih Wardana Nasikh Abstract By going into effect law of Number . 22 & 25 Year 1999 about Autonomy Area, governmental in area claimed to run effective governance wheel, efesien and can push role of society in improving justice and generalization by developing all potency had by each area. Efficacy of Autonomy Area is not quit of ability in the field of finance. Especial characteristic of area which can for have autonomy to laying in ability of area to defray management of governance in its area with storey; level depended to Central Government have proportion which smaller . Its meaning that of monetary independence of area expected can be created by after existence of Autonomy Area and expected by ( Earnings of Genuiness Area ) have to become better part in fund mobilization management of governance of area and have appropriately P AD made by reference in execution of Autonomy Area. Keywords : Regional Autonomy, Fiscal Desentralization and Regional Income. Tuntutan reformasi disegala bidang yang didukung oleh seluruh masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir-akhir ini membawa dampak terhadap hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Otonomi yang luas serta perimbangan keuangan yang lebih adil, proposional dan transparan antar tingkat pemerintah menjadi salah satu tuntutan daerah dan masyarakat. Oleh karena itu, MPR sebagai wakil-wakil rakyat menjawab tuntutan tersebut dengan menghasilkan beberapa ketetapan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Salah satu ketetapan MPR dimaksud adalah Ketetaapan MPR nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Nasional yang berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Berdasarkan ketetapan MPR tersebut pemerintah telah mengeluarkan satu paket kebijakan tentang otonomi daerah yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. 2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah-Daerah Y ang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Pada Tahun 2004, dikeluarkan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang menggantikan UU No.22 Tahun 1999. Begitu pula UU No.25 Tahun 1999 digantikan oleh UU No.33 Tahun __________________________________________ Alamat Korespondensi : Haris Galih W .: Mahasiwa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang Nasikh. Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang Email: [email protected] JESP Vol. 5, No. 1, 2013 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dengan daerah. Dalam UU No.32 Tahun 2004 disebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah, pemerintah pusat akan mentransfer dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Disamping dana perimbangan tersebut, pemerintah daerah mempunyai sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pembiayaan, dan lain-lain (Maimunah, 2006). Konsekuensi dari pelaksanaan undang-undang tersebut adalah bahwa daerah harus mampu mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat serta seluruh potensial masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disisi lain, saat ini kemampuan keuangan beberapa pemerintah daerah masih sangat bergantung pada penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat, oleh karena itu bersamaan dengan semakin sulitnya keuangan negara dan pelaksanaaan otonomi daerah itu sendiri, maka kepada setiap daerah dituntut harus dapat membiayai diri melalui sumber-sumber keuangan yang dikuasainya. Peranan pemerintah daerah dalam menggali dan mengembangkan berbagai potensi daerah sebagai sumber penerimaan daerah akan sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas pemerintah dalam hal pembangunan dan pelayanan masyarakat didaerah. Pemberian kewenangan yang diberikan kepada daerah dalam era otonomi daerah harus dilaksanakan secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, perimbangan keuangan pusat dan daerah. 32 Adapun maksud dari pemberian otonomi daerah adalah untuk pembangunan dalam arti luas yang meliputi segala segi kehidupan, dimana dalam pelaksanaannya diharapkan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan, potensi dan keanekaragaman daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik (Halim, 2004). Dengan adanya otonomi daerah, kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah akan semakin besar sehingga tanggung jawab yang diembannya akan bertambah banyak. Implikasi dari adanya kewenangan urusan pemerintahan yang semakin luas yang diberikan pemerintah daerah dalam rangka otonomi daerah dapat menjadi suatu berkah bagi daerah. Namun disisi lain bertambahnya kewenangan daerah tersebut juga merupakan beban yang menuntut kesiapan daerah untuk pelaksanaanya, karena semakin besar urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Oleh karena itu ada beberapa aspek yang harus disiapkan antara lain; sumber daya manusia, sumber daya keuangan, sarana dan prasarana daerah. Aspek keuangan merupakan salah satu dasar kriteria untuk dapat mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Kemampuan daerah yang dimaksud adalah sampai sejauh mana daerah dapat menggali sumber-sumber keuangan sendiri guna membiayai kebutuhan keuangan daerah tanpa harus menggantungkan diri pada bantuan dan subsidi dari pemerintah pusat. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat kuantitatif deskriptif artinya berusaha untuk menghitung, menggambarkan dan menganalisis data komponen keuangan daerah Kota Malang sebelum era otonomi daerah dan sesudah era otonomi daerah. JESP Vol. 5, No.1, 2013 Data dihitung menggunakan analisis derajat desentralisasi fiskal kemudian ditarik kesimpulan mengenai tingkat kemandirian pemerintah daerah dengan pemerintah pusat sebelum era otonomi daerah dan sesudah otonomi daerah. Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari laporan tahunan keuangan daerah yang dipublikasikan setiap tahun. Tika (2006:58) menyebutkan data sekunder adalah data yang lebih dahulu dikumpulkan dan dilaporkan oleh orang atau instansi di luar dari peneliti sendiri, walaupun yang dikumpulkan itu sesungguhnya adalah data asli. Data yang diambil adalah PAD Kota Malang Tahun 1994-1998 adalah tahun sebelum dikeluarkannya UU.No 22 dan 25 Tahun 1999 tentang Kebijakan Otonomi Daerah dan Tahun 2005-2009 adalah tahun sesudah dilakukan kebijakan otonomi daerah, data Sumbangan Daerah dan juga data Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak untuk daerah Tahun 1994-1998 adalah data tahun sebelum ditetapkan Undang-Undang Kebijakan Otonomi Daerah dan data tahun 2005-2009 adalah data sesudah ditetapkannya Undang-Undang Kebijakan Otonomi Daerah. Ada dua teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: a. Studi Lapangan Studi Lapangan dilakukan guna mengumpulkan data-data mengenai perolehan PAD, perolehan Sumbangan Daerah, perolehan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, serta juga wawancara terhadap beberapa informan terkait dalam permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Teknik wawancara yang dilakukan adalah teknik wawancara mendalam dan tidak berstruktur. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang lengkap dan memperoleh informasi sebanyak mungkin. b. Studi Pustaka Studi pustaka bertujuan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas, komprehensif, mengenai peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya, serta referensi-referensi lain yang berkaitan dengan masalah penelitian yang diangkat dalam permasalahan penulisan penelitian ini yang diambil dari buku, jurnal penelitian, media berita khususnya media cetak dan juga melalui website situs Internet. Tahapan analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Data Reduction (Reduksi Data) Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, kemudian data terpilih tersebut dihitung sesuai dengan kebutuhan penelitian. Dalam hal ini adalah menghitung tingkat kemandirian dengan formula di bawah ini. Derajat desentralisasi fiskal: P AD X 100% , TPD SB atau X 100% TPD DF = BHPBP X 100% , TPD Keterangan: P AD :digunakan untuk mengetahui peran TPD P AD terhadap Penerimaan daerah BHPBP :digunakan untuk mengetahui peran TPD Bagi Hasil pajak dan Bukan Pajak SB TPD :digunakan untuk mengetahui kontribusi pemerintah ke daerah melalui sumbangan daerah yang diperoleh dari akumulasi Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Dengan TPD = PAD + BHPBP + SB, jika hasil perhitungan PAD lebih tinggi daripada SB ditambah dengan BHPBP maka desentralisasinya tinggi (mandiri). Semakin tinggi derajat kemandirian suatu daerah menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa 33 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 bantuan dari pemerintah pusat. Setelah diketahui hasil dari masing-masing perhitungan, kemudian dihitung prosentase peningkatannya dari tahun ke tahun dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Simanjuntak (2003) sebagai berikut. PKD = KDTn − KDTn −1 x100% KDTn −1 Keterangan: PKD KDTn : Peningkatan Kemandirian Daerah : Kemandirian Daerah tahun yang bersangkutan Tabel 1. Tabulasi Komponen Data Keuangan TAHUN 1994 1995 PAD 38 % 34 % BHPBP 11 % 14 % SD 51 % 52 % TPD 100 % 100 % Sumber: Data Olahan Dari data diatas dapat dilihat bahwa secara umum proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) masih relatif kecil bila dibandingkan dengan dana perimbangan dari pemerintah pusat yaitu proporsi Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak ( BHPBP) ditambah dengan Sumbangan Daerah (SD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD). Hal tersebut dapat dikatakan bahwa Kota Malang masih dikatakan belum mandiri sebelum adanya kebijakan otonomi daerah. Dari hasil penelitian dan perhitungan data yang dilakukan dengan Tabel 2. Tabulasi Komponen Data Keuangan TAHUN 2005 2006 PAD 15 % 11 % BHPBP 10 % 8% SD 75 % 81 % TPD 100 % 100 % Sumber: Data Olahan. 34 KDTn-1 : Kemandirian sebelumnya Daerah tahun Hasil Penelitian Dari hasil penelitian dan perhitungan data yang dilakukan dengan menggunakan analisis derajat desentralisasi fiskal dapat diketahui bahwa keadaan keuangan sebelum kebijakan otonomi daerah masih belum mandiri, artinya bahwa secara umum kontribusi PAD lebih kecil bila dibandingkan dengan dana perimbangan dari pemerintah pusat. Hasil perhitungan derajat desentralisasi fiskal keuangan daerah Kota Malang sebelum pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dapat dilihat di tabel di bawah ini. 1996 37 % 16 % 47 % 100 % 1997 39 % 13 % 48 % 100 % 1998 17 % 16 % 67 % 100 % menggunakan analisis derajat desentralisasi fiskal dapat diketahui bahwa keadaan keuangan Kota Malang sesudah pelaksanaan kebijakan otonomi daerah yaitu Tahun 2005-2009 masih belum mandiri, artinya bahwa secara umum kontribusi PAD lebih kecil bila dibandingkan dengan dana perimbangan dari pemerintah pusat. Hasil perhitungan derajat desentralisasi fiskal keuangan daerah Kota Malang sebelum pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dapat dilihat di tabel di bawah ini. 2007 13,5 % 9,7 % 76,8 % 100 % 2008 11,5 % 10 % 78,5 % 100 % 2009 11,5 % 13,3 % 75,2 % 100 % JESP Vol. 5, No.1, 2013 Dari data di atas dapat dilihat bahwa secara umum kondisi keuangan Kota Malang sesudah otonomi daerah yaitu data Tahun 2005-2009 menunjukkan bahwa proporsi Pendapatan Asli Daerah (P AD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) masih relatif kecil bila dibandingkan dengan dana perimbangan dari pemerintah pusat yaitu proporsi dari Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak ( BHPBP) ditambah dengan proporsi Sumbangan Daerah (SD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD). Hal tersebut juga dikatakan bahwa keadaan keuangan Kota Malang masih belum mandiri. Pembahasan Dari hasil perhitungan diketahui bahwa kondisi keuangan daerah Pemerintah Kota Malang baik itu sebelum adanya otonomi daerah maupun sesudah adanya otonomi daerah secara umum sama-sama menunjukkan ketidakmandirian. Proporsi dana perimbangan yang diberikan pemerintah pusat masih dominan dalam penerimaan keuangan daerah. Dari perhitungan diketahui bahwa rata-rata derajat desentralisasi fiskal sebelum otonomi daerah adalah sebesar 33 % sedangkan sesudah otonomi daerah adalah sebear 12,50 %. Dan bila dilihat dari peningkatan kemandirian daerah, data keuangan sebelum adanya otonomi daerah menunjukkan progres yang sangat baik untuk menuju kemandirian daerah. Sedangkan data keuangan sesudah adanya otonomi daerah dari hasil perhitungan menunjukkan kondisi yang labil dan buruk. Dapat disimpulkan bahwa derajat desentralisasi fiskal keuangan Kota Malang sebelum adaya kebijakan otonomi daerah lebih baik daripada derajat desentralisasi fiskal sesudah adanya otonomi daerah. Salah satu aspek untuk melihat kinerja keuangan daerah yaitu dapat dilihat dari sumbangsih Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah. Pendapatan Asli Daerah menjadi bagian terbesar dalam mobilisasi dana penyelenggaraan pemerintahan daerah. PAD juga dijadikan tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah karena suatu daerah otonom mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan didaerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat mempunyai proporsi yang semakin kecil. Kinerja keuangan daerah Kota Malang sebelum adanya kebijakan otonomi daerah menunjukkan progress yang positif dari tahun ke tahun. Hal tersebut dilihat dari sumbangsih proporsi Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah yang terus naik dari tahun data 1994-1997. Meskipun dalam perhitungan kemandirian daerah menunjukkan ketidakmandirian dalam keuangan daerah namun kondisi keuangan cukup baik bila dibandingkan dengan keadaan keuangan di daerah lain di Indonesia. Hal tersebut dilihat dari Proporsi PAD yang memberikan kontribusi rata-rata 33 % terhadap Total Penerimaan Daerah. Jumlah tersebut termasuk besar jika dibandingkan dengan rata-rata nasional yang sebesar 5 % sampai 6 % pertahun. Meskipun dengan jumlah ratarata 33 % pertahun, P AD Kota Malang juga belum bisa sepenuhnya membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah karena 60 % lebih Total Penerimaan Daerah masih bergantung terhadap bantuan dari pemerintah pusat. Hanya di Tahun 1998 PAD Kota Malang mengalami penurunan yang drastis, dikarenakan krisis moneter yang melanda Indonesia sehingga imbas dari krisis tersebut mengganggu penyelenggaraan pemerintahan di daerah di segala aspek bidang. Maka oleh karena itu, sumbangan daerah yang merupakan bantuan dari pemerintah pusat di Tahun 1998 mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Sedangkan kondisi kinerja keuangan daerah Kota Malang sesudah pelaksanaan otonomi daerah secara umum juga masih belum mandiri. Sumbangan 35 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 pemerintah pusat masih mendominasi dalam Total Penerimaan Daerah, hamper 85 % lebih penyelenggaraan pemerintahan di Kota Malang masih bergantung kepada bantuan dari pemerintah pusat. Dari data Tahun 2004-2009 Pendapatan Asli Daerah Kota Malang juga mengalami kondisi yang labil, sumbangsih Pendapatan Asli Daerah rata-rata pertahun dari data Tahun 20042009 hanya berkisar 13 % terhadap Total Penerimaan Daerah dan juga tidak pernah lebih dari 15 %. Kondisi tersebut jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan kinerja keuangan daerah Kota Malang sebelum adanya otonomi daerah. Sumbangsih P AD sebelum adanya otonomi daerah masih lebih besar daripada sumbangsih PAD sesudah otonomi daerah, jadi dapat dikatakan bahwa kondisi kinerja keuangan daerah Kota Malang sebelum adanya kebijakan otonomi daerah masih lebih baik bila dibandingkan dengan kondisi kinerja keuangan daerah Kota Malang sesudah adanya kebijakan otonomi daerah. Di sini Pemerintah Kota Malang harus lebih jeli dalam mengelola keuangan daerah kedepannya karena pengertian dari otonomi daerah sendiri adalah pemberian wewenang yang lebih luas kepada daerah dalam mengatur, mengelola, rumah tangganya sendiri agar tercipta kemadirian dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Tujuan dari otonomi daerah sendiri juga cukup jelas yaitu menurut UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 pada dasarnya adalah otonomi daerah diarahkan untuk memacu pemeratan pembangunan dan hasil-hasilnnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran aktif masyarakat serta peningkatan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu, secara nyata, dinamis, dan bertanggung jawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan di daerah yang akan memberikan peluang untuk pengkordinasian di tingkat lokal. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah Pemerintah Kota Malang mempunyaai 36 wewenang dalam pengamilan keputusan kebijakan, pengelolan dana publik dan pengaturan kegiatan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Pemerintah Kota Malang harus bisa mengidentisifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah serta jenis dan besar belanja yang dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan efesien, sehingga dapat memacu dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dan juga bila Pendapatan Asli Daerah meningkat dari tahun ke tahun maka kemandirian keuangan daerah akan tercipta di Kota Malang. Penutup Dengan memperhatikan hasil penelitian yang berkaitan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan hasil penelitian sebagai berikut. 1. Dengan menggunakan alat analisis derajat desentralisasi fiskal dapat diketahui bahwa tingkat derajat desentralisasi fiskal atau kemandirian daerah Kota Malang sebelum adanya kebijakan otonomi daerah masih belum mandiri. Artinya prosentase dari PAD terhadap Total Penerimaan Daerah masih relatif kecil bila dibandingkan dengan dana perimbangan dari pemerintah pusat. Dari hasil perhitungan diketahui rata-rata derajat desentralisasi fiskal sebelum otonomi daerah adalah sebesar 33 %. Bantuan pemerintah pusat masih mendominasi dari Total Penerimaan Daerah yaitu rata-rata sebesar 60 % setiap tahunnya. Dari hasil perhitungan Peningkatan Kemandirian Daerah sebelum adanya kebijakan otonomi daerah diketahui bahwa secara umum terjadi peningkatan kemandirian daerah di Kota Malang dari tahun 1994 sampai dengan tahun 1997. Namun di tahun 1998 terjadi penurunan kemandirian daerah yang sangat drastis yang JESP Vol. 5, No.1, 2013 disebabkan oleh krisis moneter yang melanda bangsa Indonesia. 2. Dengan menggunakan alat analisis derajat desentralisasi fiskal dapat diketahui bahwa tingkat derajat desentralisasi fiskal atau kemandirian daerah Kota Malang sesudah adanya kebijakan otonomi daerah masih belum mandiri. Artinya prosentase dari PAD terhadap Total Penerimaan Daerah masih relatif kecil bila dibandingkan dengan dana perimbangan dari pemerintah pusat. Dari hasil perhitungan diketahui rata-rata derajat desentralisasi fiskal sesudah otonomi daerah adalah sebesar 12,50 %. Bantuan dari pemerintah pusat juga masih mendominasi dari Total Penerimaan Daerah yaitu sebesar 85 % setiap tahunnya. Dari hasil perhitungan Peningkatan Kemandirian Daerah sesudah adanya kebijakan otonomi daerah diketahui bahwa secara umum kondisi kemandirian daerah di Kota Malang dari Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2009 sangtlah buruk. Terjadi ketidakstabilan dalam kemandirian keuangan Kota Malang sehingga dalam perhitungan peningkatan kemandirian daerah menunjukkan keadaan yang fluktuatif. Dari hasil perhitungan diketahui seringnya terjadi penurunan daripada peningkatan kemandirian daerah. Hal tersebut menujukkan kondisi yang kurang baik untuk menuju kemandirian daerah. 3. Kinerja keuangan daerah Kota Malang dilihat dari perbandingan derajat desentralisasi fiskal keuangan daerah sebelum adanya kebijakan otonomi daerah lebih baik bila dibandingkan dengan sesudah otonomi daerah. Hal tersebut dilihat dari derajat desentralisasi fiskal keuangan daerah. Derajat desentralisasi fiskal sebelum otonomi daerah rata-rata sebesar 33 % sedangkan derajat desentralisasi fiskal sesudah otonomi daerah rata-rata sebesar 12,5%. Dengan memperhatikan hasil temuan dari penelitian ini, maka penulis bermaksud menyampaikan saran-saran dengan harapan agar memiliki manfaat yang sangat berarti bagi banyak pihak. 1. Bagi Pemerintah Kota Malang Pemerintah Kota Malang hendaknya segera mengkaji tentang kebijakan- kebijakan yang jangka panjang yang berhubungan dengan penyerapan sumber-sumber pendapatan asli daerah agar penerimaan dari sektor asli daerah bisa meningkat, misalnya dengan mengeluarakan perangkat hukum berupa Perda. Dibutuhkan pengawasan yang ketat baik itu dalam pemungutan, penarikan, ataupun pemberian izin agar sumbersumber Pendapatan Asli Daerah bisa memberikan kontribusi yang maksimal terhadap Total Penerimaan Daerah. Jika semua dijalankan sesuai dengan prosedur yang benar dan dijalankan secara efektif dan efesien maka Pendapatan Asli Daerah Kota Malang akan meningkat dari tahun ke tahun dan kemandirian keuangan daerah Kota Malang akan tercapai seiring dengan peningkatan PAD. 2. Bagi Peneliti selanjutnya Bagi Peneliti selanjutnya semoga hasil penelitian ini bisa menjadi bahan referensi dan agar memasukkan komponen lain untuk menghitung kemandirian keuangan daerah, bukan hanya dilihat dari sisi kontribusi indikator Penerimaan Daerah. Daftar Pustaka Abdullah, Rozali. 2002. Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagai suatu Alternatif. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. APBD 1994 -1998. Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Departemen Perimbangan Keuangan Negara Republik Indonesia. (Online), 37 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 (http:/www.djpk.go.id), diakses tanggal 20 Oktober 2010. Chalid, Pheni.2005. Keuangan Daerah,Investasi, dan Desentralisasi. Jakarta: Kemitraan untuk pemerintahan yang baik. Hariyati, Sri. 2006. Perbandingan Kinerja Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Kebijakan Otonomi Daerah Kabupaten Sleman Tahun 1998-2000 dan 2001-2003. Jogjakarta. Skripsi tidak diterbitkan http://rac.uii.ac.id/server/document/Private /2008042103365201313206.pdf (diakses tanggal 08 Oktober 2010) Halim,Abdul.Prof,Dr.2004. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah.Yogyakarta: (UPP) AMP YKPN. Harris, Syamsudin.2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah . Jakarta: LIPI Press. Kaho, Josef Riwu. 1988. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Landiyanto, E.A. 2005. Kinerja Keuangan dan Strategi Pembangunan Kota di Era Otonomi Daerah. Jurnal Ekonomi, ( Online) No.05. (http// kinerja keuangan dan strategi pembangunan kota di era otonomi daerah.e-jurnal), diakses 7 Januari 2011. Munawir, S. 1985. Pokok-Pokok Perpajakan. Yogyakarta: Liberty. Mardiasmo.2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah.Yogyakarta: Andi Pamudji, S. 1985. Pembinaan Perkotaan di Indonesia.Jakarta: PT. Bina Aksara. Resmi, Siti. 2003. Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat. 38 Reksohadiprodjo, Sukanto.2002. Ekonomi publik. Yogyakarta: BPFE. Simanjuntak, A. Robert. 2003. Kebutuhan fiskal, Kapasitas fiskal, dan optimalisasi Potensi PAD http://www.lpem.org/admin/upload/File/pu blication/WP%205.pdf (diakses pada tanggal 06 Oktober 2010) Sugiyono. 2004. Metode Penelitian Pendidikan ( Pendidikan Kuantitatif,Kualitatif dan R&D). Bandung: CV . Alfabeta. Tika, Moh.Pabundu. 2006. Metodologi Riset dan Bisnis. Jakarta: Binarupa Aksara. Universitas Negeri Malang.2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Laporan Penelitian, Edisi Keempat. Malang: Biro Administrasi Akademik, Perencanaan, dan Sisitem Informasi bekerjasama dengan Penerbit Universitas Negeri Malang. Undang-Undang Otonomi Daerah: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat. Bandung: Nuansa Aulia. Undang-Undang Otonomi Daerah: Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat. Surabaya: Serba Jaya. Widjaja, HA W.2005.Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia .Jakarta: Raja Grafindo Perkasa. JESP V ol. 5, No.1, 2013 ANALISIS KEBERADAAN INDUSTRI KERAJINAN ROTAN DALAM PENYERAPAN TENAGA KERJA (Studi Kasus Industri Kerajinan Rotan Kelurahan Balearjosari Kecamatan Blimbing Kota Malang) Fitra Ria Silvida Y ohanes Hadi Susilo Abstract This research aims to analysize the role of Rotan regional industry to labor force in Balearjosari rattan crafts industry, Malang municipality, East Java. The method of analyze is qualitative approach. The procedure used to collect the data was interview and documentation. The data were analyzed using data reduction, data presentation, and conclusion. The result of this study showed that Balearjosari rattan crafts industry had a big role into the absorption of labors. From 11 producers, they employ 99 labors. However , when we take a look at the precentatation of labour arbsorption, it shows that rattan craft industry has a role in it. The precentation is at 0,0005% on employment in Malang municipality (except Balearjosari village); 0,004% on employment in Malang regency; and 2,652% on employment in Balearjosari village. Besides, this study also found that there were many obstacles faced by the producers: the difficulty to get and the expensive price of rattan as the most basic material, the late coming of the rattan and aluminums, no organization of rattan crafts producers, some producers have some obstacles in selling their products, the limited capital, and the different perception between Koperasi, UMKM Department and the producers. The policy recommendation, it is hoped that the government of Malang municipality from the related departments will help the producers to make an organization so there will be a standard of prices. It will minimize the competition of prices. Furthermore, it is hoped that the producers will cooperate more to develop a good competition and the rattan crafts industry will be developed more. Keywords: Absorption of Labour, Rattan Crafts Industry, Regional Economy. Indonesia hingga saat ini merupakan negara penghasil rotan terbesar dunia. Diperkirakan 85% bahan baku rotan di seluruh dunia dihasilkan oleh Indonesia. Tercatat sebanyak 516 spesies rotan (dari sejumlah 600 spesies di dunia) yang terdiri dari 9 genus (The International Tropical Timber Organization 2007 dalam Sumardjani, 2009) telah ditemukan di Asia Tenggara Sebanyak 350 spesies diketahui dapat ditemukan di Indonesia, namun demikian baru 53 spesies yang diketahui telah diperjualbelikan di pasar lokal maupun internasional. Sisanya dihasilkan oleh negara lain seperti Filipina, Vietnam dan negara-negara Asean lainnya. Potensi yang sangat besar ini dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menggerakkan ekspor rotan Indonesia. Namun seperti halnya negara sedang berkembang lainnya, Indonesia hanya mampu mengekspor bahan mentah (rotan asalan dan setengah jadi) karena keterbatasan modal, sumberdaya manusia, dan sebagainya. Tetapi setelah dikeluarkannya peraturan pemerintah mengenai larangan ekspor rotan asalan dan setengah jadi pada tahun 1979, masyarakat mulai banyak memproduksi rotan menjadi __________________________________________ Alamat Korespondensi : Fitra Ria Silvida: Mahasiwa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang Y ohanes Hadi Susilo. Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang Email : [email protected] JESP Vol. 5, No. 1, 2013 kerajinan tangan, hiasan, dan mebel. Hal ini mengakibatkan industrialisasi rotan mulai berkembang pesat di Indonesia. Industrialisasi memiliki peran yang strategis untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi secara berkelanjutan dan meningkatkan produksi fisik masyarakat melalui perluasan usaha dan memperluas kesempatan kerja, meningkatkan serta menghemat devisa, mendorong pembangunan daerah, meningkatkan dan meratakan pendapatan masyarakat serta mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Menurut Kuncoro (2007), pengembangan industri kecil adalah cara yang dinilai besar peranannya dalam pengembangan industri manufaktur. Pengembangan industri kecil akan membantu mengatasi masalah pengangguran mengingat teknologi yang digunakan adalah teknologi padat karya sehingga bisa memperbesar lapangan kerja dan kesempatan usaha, yang pada gilirannya mendorong pembangunan daerah dan kawasan pedesaan. Sektor industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar kedua setelah Perdagangan, Hotel, dan Restoran bagi PDRB kota Malang. Namun apabila dilihat pada subsektor barang kayu dan hasil hutan, terjadi penurunan dari tahun ke tahun. Hal ini dimungkinkan karena terjadi penurunan jumlah pengusaha yang mengolah barang kayu dan hasil hutan (khususnya rotan) di kota Malang. Ini sebanding dengan data disperindagkop yang menyatakan pada tahun 2000 jumlah pengusaha (pengrajin dan penjual) kerajinan rotan berjumlah ±300 pengusaha dan hanya terdapat sekitar ±35 orang pengusaha di tahun penelitian 2010 (Nugroho, 2010) Di kota Malang terdapat beberapa industri baik dalam skala besar,sedang atau kecil. Salah satu industri kecil dan rumah tangga tersebut adalah industri kerajinan rotan di kelurahan Balearjosari kecamatan Blimbing. Sentra industri kerajinan rotan ini terletak tepat di gerbang pintu masuk 40 kota Malang di jalan raya Balearjosari dan di dalam gang tersebar di wilayah kelurahan Balearjosari. Usaha yang terletak di samping jalan raya Balearjosari berupa showroom berjajar sedangkan usaha yang terletak di dalam gang berupa tempat pembuatan kerajinan rotan. Ada 2 jenis pengusaha kerajinan rotan di Balearjosari, yakni penjual dan pengrajin. Penjual adalah pengusaha yang menjual barang kerajinan rotan tanpa memproduksinya. Pengusaha ini mendapatkan barang kerajinan rotan dengan membeli dari pengrajin. Sedangkan pengrajin adalah pengusaha yang memproduksi kerajian rotan dan memasarkan sendiri hasil produksinya. Sentra industri kerajinan rotan Balearjosari bersifat padat karya yang menggunakan jasa manusia untuk menghasilkan berbagai macam produk kerajinan rotan. Hal ini mengisyaratkan adanya tenaga kerja yang diserap oleh tiap-tiap pengrajin. Namun sangat disayangkan sejak keberadaannya mulai tahun 1960an sampai sekarang, jumlah pengrajin telah mengalami penurunan sehingga hanya tinggal 11 orang di tahun 2012. Penurunan jumlah pengrajin ini mengisyaratkan bahwa terdapat banyak hambatan dalam usaha yang dijalankan. Hambatan yang ada apabila tidak ditangani dengan serius maka akan memunculkan pengangguran dengan jumlah tertentu, mengingat industri kerajinan rotan Balearjosari adalah industri padat karya. Kemampuan industri rotan Balearjosari dalam menyerap tenga kerja ini sangatlah potensial untuk dipertahankan keberadaannya yang secara tidak langsung membantu pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan. Hambatan yang ada tentunya cukup berpengaruh terhadap perkembangan usaha kerajinan rotan di Balearjosari. Semakin berkembangnya suatu usaha biasanya ditandai dengan banyaknya order yang berakibat pada penambahan jumlah tenaga kerja. Selama ini order yang diterima pengrajin selalu naik turun. Naik turunnya JESP V ol. 5, No.1, 2013 jumlah order berpengaruh terhadap jumlah pekerja yang dipekerjakan oleh pengrajin. Semakin berkembang usaha kerajinan rotan Balearjosari ditandai dengan banyaknya jumlah pekerja dan jangkauan pemasarannya. Industri rotan Balearjosari adalah industri kecil yang mempunyai kemampuan ekspor. Eksistensi perkembangan usaha sangat erat kaitannya dengan bagaimana pengrajin mempertahankan usahanya yang didalamnya memuat faktorfaktor pendorong pengrajin untuk tetap mempertahankan usahanya. Jika jumlah pengrajin rotan di Balearjosari tetap bertahan, berkembang, dan bertambah jumlahnya maka akan lebih banyak lagi tenaga kerja yang akan diserap. Maka dari itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan, (1) Menjelaskan peranan industri kerajinan rotan Balearjosari terhadap penyerapan tenaga kerja; (2) Menjelaskan faktor-faktor penghambat kemajuan industri rotan Balearjosari kecamatan Blimbing, kota Malang; (3) Menjelaskan faktor-faktor pendorong pengrajin mempertahankan industri usaha pembuatan rotan Balearjosari kecamatan Blimbing, kota Malang Metode Penelitian Data Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yakni penelitian tentang data yang dikumpulkan dan dinyatakan dalam bentuk kata-kata dan atau gambar, kata-kata disusun dalam kalimat, misalnya kalimat hasil wawancara antara peneliti dan informan. Penelitian ini ditujukan untuk memahami fenomena-fenomena sosial dari sudut perspektif partisipan. Partisipan adalah orang-orang yang diajak berwawancara, diobservasi, diminta memberikan data, pendapat, pemikiran, persepsinya (Sukmadinata, 2010). Pendekatan kualitatif dipakai dalam penelitian ini adalah dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Penelitian ini berusaha mendapatkan informasi selengkap mungkin mengenai jumlah tenaga kerja yang terserap pada tiap-tiap unit usaha yang memproduksi kerajinan rotan di Balearjosari dan memasarkan sendiri produknya, faktor penghambat kemajuan usaha dan faktor yang mendorong pengrajin tetap memper-tahankan usaha. Dalam penelitian ini peneliti datang ke lapangan dan mendatangi satu persatu pengrajin yang memproduksi kerajinan rotan dan memasarkan sendiri hasil produksinya serta bertemu langsung dengan pemilik usaha. Peneliti juga datang ke kantor kelurahan Balearjosari serta Dinas Koperasi dan UMKM kota Malang dalam rangka pengumpulan data. Lokasi penelitian merupakan fokus dimana penelitian akan dilaksanakan oleh peneliti yang sesuai dengan fokus dari penelitian. Maka penentuan dari lokasi penelitian ini adalah unit usaha milik pengrajin yang memproduksi kerajinan rotan, yang terletak di kelurahan Balearjosari kecamatan Blimbing kota Malang. Sumber data utama dalam penelitian ini adalah kata-kata dari responden, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer yang diperlukan untuk analisis penelitian ini berasal dari wawancara dan dokumentasi terhadap pengrajin di Balearjosari kecamatan Blimbing kota Malang serta wawancara dan dokumentasi yang dilakukan di Dinas Koperasi dan UMKM kota Malang. Selain data primer penelitian ini juga menggunakan data sekunder yang dikumpulkan untuk mendukung analisis penelitian, yakni (1) Jumlah angkatan kerja kelurahan Balearjosari tahun 2010; (2) Jumlah angkatan kerja kota malang tahun 2010; (3) Jumlah angkatan kerja kabupaten malang tahun 2010. Pengambilan sampel ditetapkan dengan cara sampel purposif (purposional sampling) yaitu ditetapkan dengan sengaja pada subjek yang dianggap menguasai dan memiliki kemampuan untuk memberikan 41 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 informasi tentang masalah yang diteliti sesuai dengan gejala dan fakta-fakta yang ada. Yang menjadi sampel adalah pengrajin kerajinan rotan Balearjosari yang dalam kegiatan usahanya memproduksi kerajinan rotan dan memasarkan sendiri hasil produksinya. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Prosedur/teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif. Pengumpulan data sekunder diperoleh dari BPS kota malang, dan kantor kelurahan Balearjosari kota Malang. Pengupulan data primer diperoleh dari wawancara terhadap pengrajin kerajinan rotan di Balerjosari yang dalam kegiatan usahanya memproduksi kerajinan rotan dan memasarkan sendiri hasil produksinya. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur dan terbuka. Peneliti memberikan pertanyaan tanpa memberikan pilihan jawaban dan memberikan keleluasaan kepada informan untuk menjawab dengan panjang lebar. Cara lain dalam memperoleh data primer adalah dengan dokumentasi berupa foto, rekaman suara, peta lokasi, catatan wawancara, surat-surat dan lain-lain. Analisis data yang diperoleh dari lapangan dalam penelitian ini, baik yang berupa data sekunder maupun data primer akan disusun dan disajikan serta dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang dipaparkan dan dianalisis dengan cara reduksi data, penyajian data, dan pengambilan kesimpulan. Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data yang muncul dari catatancatatan lapangan. Reduksi data berlangsung secara terus-menerus selama pengumpulan data berlangsung. Pada penelitian ini data-data hasil wawancara tidak langsung diterima tetapi mencocokkan juga dengan keterangan pengrajin lainnya. Pada pertanyaan yang jawabannya sama (data jenuh) maka pertanyaan tersebut tidak akan ditanyakan lagi kepada 42 informan berikutnya. Langkah ini merupakan bagian dari analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan diverifikasi. Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data dalam penelitian ini adalah dengan teks naratif yang disertai dengan bantuan tabel. Setelah mereduksi data dan menyajikannya dalam bentuk teks naratif maka langkah selanjutnya adalah menarik kesimpulan. Pengecekan Keabsahan Temuan Pengecekan keabsahan temuan adalah proses pengecekan hasil penelitian untuk mengatasi keraguan terhadap setiap hasil penelitian kualitatif. Ketekunan pengamatan bermaksud menemukan ciriciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Dalam penelitian ini triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber, yang mana peneliti menggunakan satu teknik yang sama yakni wawancara dan digunakan sebagai media pengumpul data kepada seluruh informan. Focus Group Discussion dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh kemudian mendiskusikan dengan rekan sejawat. Dengan kata lain pemeriksaan sejawat berarti pemeriksaan yang dilakukan dengan jalan mengumpulkan rekan-rekan yang sebaya, yang memiliki pengetahuan umum yang sama tentang apa yang sedang diteliti, sehingga bersama mereka peneliti JESP V ol. 5, No.1, 2013 dapat me-review persepsi, pandangan dan analisis yang sedang dilakukan. Tahap-Tahap Penelitian Tahap pra-lapangan terdapat enam tahap yang dilakukan peneliti ditambah satu pertimbangan etika penelitian lapangan yakni menyusun rancangan penelitian, pemilihan lapangan penelitian, mengurus perijinan, menjajaki dan menilai lapangan, memilih dan memanfaatkan informan, dan menyiapkan perlengkapan penelitian. Menyusun rancangan penelitian adalah langkah awal yang penting dilaksanakan agar diketahui secara pasti dan agar penelitian yang dilakukan tidak menjadi lebar dan terarah. Pemilihan lapangan penelitian diawali dengan ketertarikan peneliti dengan kenampakan showroom produk kerajinan rotan di jalan raya Balearjosari, kemudian menentukan rumusan masalah berdasarkan observasi awal serta mempertimbangkan mengenai keterbatasan waktu, biaya, dan tenaga. Setelah lapangan penelitian telah ditentukan, peneliti mengurus perijinan dari fakultas ekonomi Universitas Negeri Malang kemudian dilanjutkan ke Bakesbang Polinmas kota Malang. Perijinan ini berupa surat yang ditujukan kepada kantor kelurahan balearjosari serta Dinas Koperasi dan UMKM. Hal ini dilakukan agar pihak yang berwenang memberikan ijin bagi kelancaran pelaksanaan penelitian. Menjajaki dan menilai lapangan merupakan tahap orientasi lapangan dan dalam hal-hal tertentu telah menilai keadaan lapangan. Sebelum memulai penjajakan dan penilaian lapangan, peneliti membaca terlebih dahulu dari kepustakaan dan mengetahui dari orang lain tentang situasi dan kondisi daerah tempat penelitian dilakukan. Hal ini dilakukan peneliti untuk menyiapkan diri baik mental maupun fisik serta menyiapkan perlengkapan yang diperlukan. Informan adalah orang yang berada dalam latar penelitian yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian (Moleong, 2004). Peneliti memilih informan yang mengetahui banyak tentang latar penelitian. Informan yang dimaksud peneliti adalah pengrajin yang dalam usahanya memproduksi kerajinan rotan dan memasarkan sendiri hasil produksinya, kelurahan Balearjosari, serta Dinas Koperasi dan UMKM kota Malang. Sebelum penelitian dimulai, perlengkapan penelitian yang dipersiapkan peneliti diantaranya adalah mengurus ijin mengadakan penelitian, kontak dengan subjek yang menjadi latar penelitian melalui surat ijin yang telah dibuat. Salah satu ciri utama penelitian kualitatif ialah orang sebagai alat atau sebagai instrumen yang mengumpulkan data. Hal itu dilakukan dalam pengamatan berperan serta, wawancara mendalam, pengumpulan dokumen, foto dan sebagainya. Seluruh metode yang dilakukan tersebut pada dasarnya menyangkut hubungan peneliti dengan orang atau subjek penelitian. Persoalan etika akan timbul ketika peneliti tidak menghormati, tidak mematuhi, dan tidak mengindahkan nilai-nilai masyarakat dan pribadi tersebut. Untuk menghindari konflik yang mungkin timbul maka peneliti berusaha untuk berlaku ramah dan sopan saat melakukan penelitian. Tahap yang dilakukan dalam tahap pekerjaan lapangan adalah dengan terjun langsung atau memasuki lapangan. Pada tahap ini diperlukan adanya jalinan hubungan yang akrab dengan objek atau informan kunci dalam penelitian. Keakraban ini perlu karena mengingat betapa pentingnya informan guna mendapatkan data-data yang dibutuhkan di dalam penelitian dan keakraban ini dipelihara selama dan bahkan setelah tahap pengumpulan data selesai. 43 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 Hasil Penelitian Deskripsi data Industri rotan Balearjosari adalah salah satu sentra industri yang ada di kota Malang selain kripik tempe Sanan, keramik Dinoyo, dan sanitair. Kerajinan rotan Balearjosari terletak di jalan raya Balearjosari tepat di samping jalan raya besar ke arah Surabaya. Letak industri ini amat strategis, letaknya berada di jalur arteri Surabaya–Malang yang secara tidak langsung bermanfaat sebagai promosi kepada siapapun yang melihatnya. Sekilas letak usaha ini berjajar di sebelah barat jalan raya dan sebelah timur jalan raya Balerjosari namun ada pula pengrajin yang berada di dalam (masuk gang) yang semuanya saat ini berjumlah 11 pengrajin. Ada dua jenis pengusaha kerajinan rotan di Balearjosari, yaitu penjual dan pengrajin. Pengrajin yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengusaha yang memproduksi barang kerajinan rotan baik itu rotan asli maupun rotan imitasi (sintetis). Sedangkan penjual adalah pengusaha yang dalam usahanya menjual kerajinan rotan dan barang kerajinan rotan dibeli dari pengrajin. Barang yang dihasilkan oleh pengrajin tidak hanya berbahan rotan namun digunakan pula bahan penunjang lain seperti mendong (eceng gondog), pelepah pisang, kayu dan alumunium. Bahan baku penunjang ini dimaksudkan sebagai rangka dan variasi anyaman selain rotan, selain itu harga bahan penunjang yang lebih murah ini bisa meminimalkan harga.akhir produk. Untuk bahan baku rotan imitasi (sintetis) digunakan oleh pengrajin karena semakin sulitnya bahan baku rotan berkualitas baik di pasaran. Munculnya bahan baku penunjang ini dikarenakan permintaan konsumen sebagai variasi hiasan kerajinan rotan. Bahan baku rotan didapat pengrajin dari Surabaya. Selain rotan, digunakan pula bahan baku penunjang seperti mendong (eceng gondog), pelepah pisang, 44 rotan imitasi (sintetis), kayu dan alumunium (untuk rangka) yang di dapat berturut–turut dari malang di daerah wajak, Blimbing, Tangerang, Surabaya, Ngoro– Mojokerto. Bahan–bahan selain rotan ini dianyam digunakan sebagai hiasan dan atau pengganti rotan. Bahkan ada barang yang dihasilkan berupa set kursi meja yang semuanya dari anyaman mendong dan rotan sintetis. Sedangkan alat-alat yang digunakan untuk membuat barang kerajinan tersebut diantaranya: gerinda, amplas, dempulan, gergaji, cat plitur, staples tembak, gunting, paku, palu, penyembur api, meteran, pensil, dll. Proses pembuatan kerajinan rotan secara garis besar dimulai dari tahap desain/pencarian desain – pengerjaan finishing. Untuk lama pengerjaan tergantung dari barang yang dihasilkan. Untuk 1 penyekat pintu misalnya bisa selesai dalam 1-2 hari. Untuk pengerjaannya dimulai dari pengukuran kayu lalu dipotong sesuai pola. Setelah itu disatukan dengan sekrup (paku tembak)–didempul– di grinda supaya kayu terasa halus–di okir untuk menutup serat kayu–penganyaman rotan pada bingkai kayu–mewarna bingkai kayu–menyatukan semua bingkai kayu– finishing yakni dikeringkan kemudian menyetel dengan cara menggergaji kaki bingkai agar sama panjang. Selain penyekat pintu, barang yang dihasilkan pengrajin rotan diantaranya adalah: basket, piring, tikar, tempat majalah, set meja kursi, hiasan lampu, guci hiasan, dipan, dll. Kebanyakan pengrajin memproduksi berbagai jenis barang sekaligus namun ada beberapa yang khusus memproduksi 1 barang saja. Barang yang dihasilkan antara satu pengrajin dengan yang lain sekilas terlihat sama namun apabila dilihat secara seksama, terlihat perbedaan dalam segi detail bentuk dan hiasannya. Pengrajin biasanya mendapat ide bentuk dan jenis suatu produk dari internet, ide sendiri, pengrajin lain, dan keinginan pasar. JESP V ol. 5, No.1, 2013 Pemasaran adalah proses akhir dari rantai produksi yang sangat penting. Pemasaran pada produk kerajinan di Industri rotan Balearjosari dilakukan dengan cara mulut ke mulut, penjualan online, bekerjasama dengan mitra dagang dari daerah lain, atau pembeli datang langsung ke tempat pengrajin/penjual. Jangkauan pemasaran bervariasi antara satu pengrajin dengan yang lainnya. Perbedaan jangkauan pemasaran ini dipengaruhi oleh perkembangan usaha tiap-tiap pengrajin. Sebagian pengrajin jangkauan pemasarannya berada di sekitar lokal Malang, sebagian pengrajin lain sudah memasarkan barangnya ke seluruh wilayah Jawa Timur, sebagian besar wilayah Indonesia, bahkan ada pengrajin rotan yang jangkauan pemasarannya sampai Eropa. Untuk pengiriman barang di area Malang dikirim dengan mobil pick-up, sedangkan untuk pengiriman di luar propinsi atau pulau dikirim dengan truk atau jasa cargo. Proses pembayarannya macam-macam, ada yang cash, ada yang 50% di muka dan sisanya setelah barang selesai, serta ada pula yang membayar dengan mentransfer via bank.. Dari data tersebut diatas diketahui bahwa jumlah tenaga kerja yang terserap oleh 11 pengrajin adalah 99 orang. Dari 99 orang tenaga kerja tersebut, warga kelurahan Balearjosari yang terserap adalah 40 orang. Sedangkan 59 orang lainnya dari warga luar kelurahan Balearjosari. Ini menunjukkan bahwa industri kerajinan rotan yang ada di Balearjosari tidak hanya membuka kesempatan kerja bagi warga kelurahan Balearjosari sendiri namun juga bagi warga luar kelurahan. Jumlah pekerja pada tiap unit pengrajin berbeda-beda tergantung pada perkembangan usaha dan turun naiknya order. Semakin banyak jumlah order yang didapat maka semakin banyak pula pekerja yang dibutuhkan pengrajin. Dilihat dari aspek kesempatan kerja, industri kerajinan rotan Balearjosari mempekerjakan 99 orang dari sekian jumlah angkatan kerja di kelurahan Balearjosari, kota Malang, dan kabupaten Malang. Peranan industri kerajinan rotan Balearjosari dalam penyerapan tenaga kerja di kelurahan Balearjosari, kota Malang dan kabupaten Malang bisa dikatakan kecil. Hal ini dikarenakan jumlah pekerja yang terserap di industri rotan Balearjosari bila dibandingkan dengan jumlah keseluruhan pekerja (di semua sektor) di kelurahan Balearjosari, kota Malang, dan Kabupaten Malang masih terbilang kecil. Peningkatan prosentase penyerapan tenaga kerja di industri kerajinan rotan balearjosari tergantung pada kemampuan pengrajin dalam menyerap tenaga kerja. Jumlah pekerja yang terserap akan semakin bertambah seiring perkembangan usaha pengrajin dan order yang dikerjakan. Sehingga apabila ingin meningkatkan penyerapan tenaga kerja, dapat dilakukan dengan jalan menambah jumlah unit atau mengembangkan usaha yang telah ada. Secara umum pengrajin menetapkan pekerja untuk masuk pada jam 7 pagi dan pulang pukul 4 sore. Namun apabila lembur jam pulang kerja bisa sampai pukul 10 malam. Hal ini dilakukan untuk mengejar deadline pesanan. Pengrajin lebih suka membayar upah pekerja dengan sistem kerja borongan atau harian karena minim resiko. Meskipun begitu ada sebagian pengrajin yang membayar upah pekerja secara bulanan. Selain itu lembur bisa dilihat sebagai pilihan menambah penghasilan bagi karyawan borongan walaupun tidak ada deadline dari konsumen. Kendala yang dihadapai pelaku usaha selama menggeluti usaha pembuatan dan penjualan kerajinan rotan Pembukaan kran ekspor rotan oleh pemerintah membuat pengrajin rotan di Balearjosari kesulitan mendapat bahan baku rotan. Hal ini dikarenakan rotan asalan dari petani rotan diekspor ke luar negeri. Kualitas rotan yang bagus dikirim keluar negeri menyebabkan pasokan rotan berkualitas baik di dalam negeri menjadi 45 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 sedikit. Untuk mencari bahan baku rotan yang berkualitas menjadi sangat susah karena kelangkaan. Mengingat banyaknya pengrajin rotan di Indonesia membuat demand terhadap rotan tetap tinggi. Ketidakseimbangan ini membuat naiknya harga rotan. Kenaikan harga rotan secara otomatis membuat para pengrajin rotan di Balearjosari menggunakan bahan–bahan substitusi dan penunjang seperti pelepah pisang, eceng gondog, dll untuk menekan harga produk akhir mereka agar tidak terlalu tinggi. Susahnya memperoleh bahan baku stidak hanya dialami pada bahan baku rotan, bahan baku alumunium yang digunakan untuk rangka pun susah karena harus antri 2-3 minggu dan terkadang mengalai keterlambatan. Hal ini dikarenakan banyaknya permintaan terhadap bahan-bahan tersebut. Keterlambatan ini sering membuat pengrajin terlambat memenuhi pesanan. Tidak adanya perkumpulan membuat para pengrajin berjalan sendirisendiri. Pada tahun 2004 pernah didirikan paguyuban namun bubar pada tahun 2010. Hal ini dikarenakan paguyuban tidak mampu membuat semacam media untuk promosi sehingga masalah perbedaan kemampuan memasarkan produk di kalangan pengrajin tidak terpecahkan. Kemudian tidak adanya stakeholder, membuat paguyuban tidak mampu menyediakan bahan baku untuk para pengrajin. Permasalahan–permasalahan ini kemudian membuat pengrajin berjalan sendiri-sendiri dan menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Sekilas lokasi indsutri kerajinan rotan Balearjosari terletak di samping jalan raya Balearjosari, namun sebenarnya ada pula unit-unit industri yang terletak tersebar di wilayah kelurahan Balearjosari. Kebanyakan pembeli hanya tahu showroom yang di pinggir jalan sehingga para pengrajin yang keberadaannya di dalam tidak bisa dijangkau oleh pembeli. Hal ini berpengaruh terhadap volume penjualan padahal volume penjualan adalah salah 46 satu aspek penting keberlangsungan usaha. Kemampuan menghasilkan produk tetapi tidak disertai kemampuan memasarkan adalah sebuah kehancuran. Permasalahan pemasaran ini sangat besar dampaknya bagi perkembangan usaha kerajinan rotan Balearjosari. Dalam hal pemasaran tidak ada kerjasama antar pengrajin. Keadaan ini menimbulkan kesenjangan antar pengrajin. Sebagian pengrajin sukses, mempekerjakan banyak pekerja, telah mampu mengekspor produknya bahkan mempunyai cabang usaha di tempat lain, sedangkan sebagian pengrajin sebaliknya. Bagi pengembangan usaha, masalah dana merupakan hambatan yang penting disamping pemasaran. Sebagian besar pengrajin rotan di Balearjosari mengeluh tentang terbatasnya dana yang mereka miliki. Hal ini sangat mempengaruhi keputusan pengrajin dalam menerima pesanan dalam jumlah besar karena terkendala dana. Ini dikarenakan pembeli dalam jumlah besar melakukan pembayaran di belakang. Beberapa pengusaha mendapatkan dana dari pinjaman Bank, beberapa lainnya dari uang pribadi ditambah uang DP dari pembeli. Pemerintah kota Malang melalui Dinas Koperasi dan UMKM berusaha untuk menjangkau setiap industri kecil dan menengah di kota Malang, tidak terkecuali indusri kerajinan rotan Balearjosari. Peran Dinas Koperasi dan UMKM kota Malang untuk industri kerajinan rotan Balearjosari meliputi upaya pengembangan usaha melalui peningkatan mutu dan informasi bisnis. Dinas beberapa kali memberikan pelatihan mengenai manajemen pengelolaan keuangan serta mengajak pengrajin untuk pameran. Sementara untuk bantuan modal, Dinas Koperasi dan UMKM bekerjasama dengan bank-bank konvensional dalam KUR (kredit usaha rakyat) dimana bank sebagai pihak yang menyalurkan dana sedangkan Dinas Koperasi dan UMKM sebagai pihak yang memberikan informasi kepada para pengrajin. Dalam pameran misalnya, terjadi perbedaan persepsi/pandangan JESP V ol. 5, No.1, 2013 antara pihak dinas dengan pihak pengrajin. Di pihak dinas, pameran adalah media promosi yang bertujuan untuk memberitahukan keberadaan kerajinan rotan di kota Malang. Pameran ini bersifat long term karena biasanya barang tidak banyak terjual di setiap pameran. Sedangkan di pihak pengrajin, pameran diartikan sebagai jualan. Sehingga timbul persepsi bahwa kalau ikut pameran berarti harus laku. Sehingga akibatnya seperti sekarang, pengrajin merasa malas untuk mengikuti pameran karena ruginya sudah pasti namun lakunya belum tentu. Latar Belakang Pengrajin Mempertahankan Usaha Kerajinan Rotan Berbagai hambatan yang dihadapi tidak membuat para pengrajin kerajinan rotan Balearjosari mundur dari usaha pembuatan dan penjualan kerajinan rotan. Bahkan ada pengrajin yang baru memulai usahanya di bulan november tahun 2011 lalu. Ini mengisyaratkan bahwa walaupun sulit menjalankan usaha rotan namun ada beberapa hal menarik yang membuat para pengrajin tetap bertahan menjalankan usaha ini. Salah satu alasan paling dominan yang melatarbelakangi tetap dijalankannya usaha kerajinan rotan adalah karena pengrajin telah memiliki pasar dan pelanggan, kenyataan bahwa usaha industri kerajinan rotan dinilai menjanjikan dan mempunyai peluang laba yang besar karena rotan termasuk barang sekunder di pasaran serta tidak ada patokan harganya sehingga tidak banyak orang tahu mengenai harga pastinya. Pengrajin mempunyai peluang untuk memainkan harga. Alasan bagi sebagian pengusaha lainnya adalah karena minimnya keahlian pengrajin untuk menekuni usaha di luar rotan, serta karena usaha yang dijalankan adalah usaha turun temurun keluarga sehingga pengrajin merasa perlu untuk tetap mempertahankan mengembangkannya. Peran Industri Kerajinan Rotan Balearjosari dalam Penyerapan Tenaga Kerja Industri kerajinan rotan Balearjosari adalah salah satu sentra industri yang ada di kota Malang. Sentra industri ini terletak di jalan raya Balearjosari, tepat di pintu masuk kota Malang serta tersebar di wilayah kelurahan Balearjosari. Di jalan raya Balearjosari kenampakan industri ini adalah berupa showroom yang menjual beraneka ragam barang kerajinan rotan baik itu rotan alami maupun sintetis. Sedangkan yang ada di dalam (masuk gang) kenampakannya adalah tempat pembuatan kerajinan rotan dan tersebar di wilayah kelurahan Balearjosari. Industri kerajinan rotan Balearjosari adalah industri yang berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada kerjasama antar pengrajin dalam menjalankan usaha. Masing-masing pengrajin mencari, mengembangkan, atau memperluas pasarpasar mereka sendiri. akibatnya terjadi kesenjangan antara satu pengrajin dengan yang lainnya. Di satu sisi sebagian pengrajin sukses dan memiliki cabang usaha di tempat lain dengan jangkauan pemasaran meliputi Eropa dan sebagian besar wilayah Indonesia, sedangkan di sisi lain sebagian pengrajin yang lain memiliki order lebih kecil serta jangkauan pemasaranya di area Malang dan sebagian wilayah Jawa Timur. Dari segi ekonomi, industri ini memainkan peran yang sangat penting bukan karena perluasan aktifitas produksinya saja. Namun juga karena kemampuan mereka dalam menyerap tenaga kerja dan membantu memecahkan masalah ketenegakerjaan dimana industri kerajinan rotan ini berada. Peranan industri kecil terhadap ekonomi lokal pada tingkat desa di satu sisi tergantung terutama apakah industri ini memakai lebih banyak orang lokal sebagai pekerja. Seperti industri kecil lainnya, industri kerajinan rotan Balearjosari bersifat padat karya, yakni menonjol pada penggunaan tenaga manual dalam proses 47 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 produksinya. Tidak seperti kebanyakan industri besar yang bersifat padat modal. Jadi dalam proses produksi menggunakan peralatan canggih yang hanya perlu dioperasikan sedikit tenaga kerja. Karena sifatnya ini, industri kerajinan rotan Balearjosari berperan dalam menyerap tenaga kerja dan membantu pemerintah mengurangi pengangguran. Industri rotan Balearjosari menyerap sebanyak 99 orang pekerja yang berasal dari warga kelurahan Balearjosari sendiri dan dari luar kelurahan. Sebanyak 40 orang berasal dari kelurahan Balearjosari dan 2 orang berasal dari kota Malang (selain kelurahan Balearjosari), dan 57 orang lainnya berasal dari kabupaten Malang. Jumlah pekerja tersebut adalah jumlah keseluruhan yang saat ini dipekerjakan oleh 11 pengrajin. Dilihat dari aspek prosentase penyerapan tenaga kerja, peran industri kerajinan rotan Balearjosari dalam menyerap tenaga kerja terbilang kecil yakni 0,0005% pada kota Malang (selain kelurahan Balearjosari), 0,004% pada kabupaten Malang, dan 2,652% pada kelurahan Balearjosari. Dari 11 pengrajin yang ada, jumlah pekerja yang paling banyak terserap adalah sebanyak 26 orang sedangkan yang paling sedikit adalah 1 orang pekerja. Banyak sedikitnya pekerja yang dipekerjakan ini tergantung pada perkembangan usaha. Semakin banyak order dan semakin luas jangkauan pasar (yang artinya semakin berkembang suatu usaha) maka akan semakin banyak pula barang yang diproduksi sehingga berpengaruh pada jumlah pekerja yang diperlukan untuk menyelesaikan pesanan. Pekerja yang diserap pengrajin adalah pekerja yang sudah ahli. Artinya, pekerja yang pada awal masuk menjadi pekerja sudah bisa menganyam ataupun membuat barang kerajinan rotan. Dengan kata lain, pengrajin tidak mempermasalahkan daerah asal pekerja tetapi lebih mempertimbangkan kemampuan yang dimiliki oleh pekerja. Pekerjaan dilakukan dengan sistem borongan dan harian. 48 Kemudian untuk pembayaran upah diberikan setiap minggu dan setiap bulan. Pekerja dengan sistem borongan di upah sesuai dengan jumlah unit yang dihasilkan dalam 1 minggu. Untuk harian, pekerja di upah dengan perhitungan selama berapa hari ia bekerja. Pekerja harian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pekerja yang dipekerjakan saat banyak pesanan dan ketika jumlah barang yang dihasilkan masih tidak mencukupi apabila diselesaikan hanya dengan lembur, sehingga dibutuhkan tenaga ekstra. Setelah order dari pelanggan sudah selesai dikerjakan selanjutnya upah dihitung berdasarkan berapa hari pekerja tersebut bekerja. Sedangkan upah bulanan diberikan kepada pekerja di bagian anyam atau pembuatan rangka. Naik turunnya order ini menyebabkan naik turunnya jumlah pekerja yang dibutuhkan. Karena ketika penjualan sedang sepi sebagian besar pengrajin akan mengurangi produksi dan memberhentikan sebagian pekerja. Faktor Penghambat Usaha Industri Kerajianan Rotan Balearjosari Karena beberapa alasan, membuat banyak pengusaha gulung tikar. Dari jumlah ratusan (menurut Disperindagkop dalam Nugroho, 2010) hingga cuma tertinggal 11 orang pengrajin saja di tahun 2012. Penurunan ini otomatis berdampak kepada berkurangnya jumlah tenaga kerja. Dari jumlah pekerja yang terserap pada 11 unit usaha pengrajin, 7 diantaranya mempunyai pekerja kurang dari 10. Sedikitnya pekerja yang terserap menunjukkan terdapatnya hambatan-hambatan usaha yang diantaranya adalah: sebagian pengrajin mengalami kesulitan pemasaran, terbatasnya dana yang dimiliki sehingga untuk memproduksi pesanan dalam jumlah besar pengrajin akan terbentur dengan masalah biaya. Hal ini dikarenakan sebagian konsumen yang membeli dalam jumlah besar melakukan pembayaran di belakang. Mayoritas pengrajin mengaku kesulitan dalam permodalan. JESP V ol. 5, No.1, 2013 Selama ini sebagian besar pengrajin meminjam uang dari Bank untuk menjalankan usaha sedangkan sebagian lainnya mengaku tidak meminjam uang dari bank karena takut bunga yang tinggi (lihat lampiran 3). Sehingga untuk mensiasati minimnya dana yang dimiliki ini pelaku usaha meminta DP sebelum pengerjaan atau bayar cash ketika barang diambil. Kurangnya informasi mengenai dana bantuan usaha berbunga rendah seperti KUR membuat para pelaku usaha mengandalkan uang pribadi yang terbatas. Sehingga usaha yang mereka jalankan tidak banyak mengalami kemajuan. Koperasi dan UMKM telah memberikan informasi mengenai adanya dana KUR ini namun untuk pencairan dananya yang berwenang adalah pihak Bank melalui KKMB, mengingat peran Dinas Koperasi dan UMKM memang sebatas pada informasi bisnis, program pengembangan dan peningkatan mutu usaha. Hambatan lainnya adalah adanya perbedaan persepsi antara Dinas Koperasi dan UMKM dengan pengrajin serta tidak adanya perkumpulan. Peran dinas koperasi dan UMKM meliputi aspek pemberian informasi bisnis, upaya pengembangan usaha dan peningkatan mutu melalui manajemen keuangan dan upaya promosi keluar daerah malalui pameran. Upaya– upaya pelatihan manajemen keuangan dan pameran ini diperuntukkan untuk semua UMKM yang ada di kota Malang. Karena jumlahnya yang banyak dan tempat yang terbatas sehingga setiap penyelenggaraannya tidak bisa dihadiri oleh seluruh UMKM yang ada namun hanya beberapa yang menjadi perwakilan. Unit UMKM yang hadir ini, datang tidak hanya membawa produk mereka sendiri namun juga membawa produk dari unit UMKM yang sejenis untuk dipamerkan. Dalam kasus kerajinan rotan Balearjosari, pengrajin merasa enggan untuk mengikuti undangan pameran karena berbagai alasan seperti sudah terciptanya pasar mereka sendiri, sudah adanya langganan, dan merasa rugi ketika pameran karena belum tentu laku namun barang– barang sudah pasti penyok (rusak) ketika pameran. Pengrajin beranggapan bahwa pameran adalah jualan. Jadi ketika pameran barang harus laku. Sedangkan bagi Dinas koperasi dan UMKM, pameran adalah sebuah media untuk promosi yang sifatnya long term. Sebuah media untuk memberitahu tentang adanya kerajinan rotan Balearjosari di kota Malang. Sedangkan mengenai adanya perkumpulan, perkumpulan pengrajin dan pengusaha rotan di Balearjosari pernah ada di tahun 2004 namun bubar pada tahun 2010 karena berbagai alasan. Seperti peran paguyuban yang tidak menghandle kebutuhan para pelaku usaha seperti kebutuhan dalam hal promosi sehingga masalah perbedaan kemampuan promosi di kalangan pengrajin tidak terpecahkan, serta tidak adanya kemampuan untuk memasok bahan baku membuat para anggota ini mengundurkan diri. Faktor Pendorong Pengrajin Mempertahankan Industri Usaha Pembuatan Kerajinan Rotan Balearjosari Industri kerajinan rotan Balearjosari menghasilkan berbagai macam barang–barang seperti hiasan ataupun barang fungsional lainnya yang unik dan bagus dengan anyaman-anyaman. Misalnya kursi dan meja yang dibuat dari anyaman–anyaman dan diberi warna menarik, rak pojok, lampu hias, dsb. Barang–barang tersebut terbuat dari rotan, mendong, pelepah pisang, alumunium, dan kayu yang merupakan barang-barang tidak umum, artinya tidak ada patokan harga di pasaran. Sehingga ketika sudah jadi sebuah barang kerajinan maka disinilah permainan harga dimulai. Pengrajin mempunyai peluang untuk mendapatkan laba yang lebih banyak. Masih diminatinya produk kerajinan rotan dan adanya langganan yang sudah dimiliki pengrajin membuat bisnis ini masih menjanjikan sampai sekarang. Selain faktor tidak adanya patokan harga di pasaran dan sudah adanya langganan, faktor pendorong bagi sebagian 49 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 pengrajin untuk tetap mempertahankan usaha kerajinan rotan ini adalah karena mereka sudah memiliki keterampilan menganyam dan membuat barang kerajinan rotan sejak kecil karena generasi sebelumnya sudah menekuni usaha kerajinan rotan ini. Dipelajarinya manajemen operasional usaha sejak kecil, sudah adanya langganan, dan nama usaha yang sudah dikenal orang membuat pengrajin tersebut tersebut merasa penting sekali untuk mempertahankan usaha kerajinan rotan ini. Serta disamping alasan lain bahwa kebanyakan mereka sudah mahir dalam usaha tersebut dan minimnya keahlian pengrajin untuk menekuni usaha di luar rotan. Berbagai upaya dilakukan pengrajin untuk tetap mempertahankan usaha. Upaya–upaya tersebut diantaranya adalah dengan menggunakan bahan baku berkualitas ekspor seperti sintetis yang didatangkan langsung dari Tangerang yang dilakukan dalam rangka untuk membedakan mutu produk pengrajin tersebut dengan pengrajin yang lain, menggunakan rangka kayu untuk meminimalkan harga, memberi variasi anyaman dengan menggunakan mendong dan pelepah pisang, menciptakan produk baru seperti tikar yang terbuat dari mendong, dan menempatkan satu pekerja untuk melakukan finishing di depan showroom untuk menarik pembeli. Penempatan satu orang pekerja untuk melakukan finishing di depan showroom ini diyakini pengrajin bisa menciptakan sugesti kepada pembeli bahwa showroom tersebut mempunyai harga yang lebih murah karena terlihat memproduksi barang sendiri. Penutup Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Peran industri kerajinan rotan Balearjosari dalam penyerapan tenaga kerja dikatakan kecil apabila dilihat dari prosentase penyerapan tenaga kerjanya. 50 Hal ini dikarenakan jumlah pekerja yang terserap di industri rotan Balearjosari bila dibandingkan dengan jumlah keseluruhan pekerja (di semua sektor) di kelurahan Balearjosari, kota Malang, dan Kabupaten Malang masih terbilang kecil. Penyerapan tenaga kerja bisa ditingkatkan dengan cara mengembangkan usaha atau menambah jumlah unit usaha yang ada. Dilihat dari kesempatan kerja, industri kerajinan rotan balearjosari memberikan kesempatan kerja tidak hanya bagi warga kelurahan Balearjosari tetapi juga warga dari luar kelurahan. Besarnya peran industri kerajinan rotan Balearjosari dalam menyerap tenaga kerja sangat dipengaruhi oleh perkembangan usaha yang dijalankan oleh pengrajin. Semakin berkembang usaha pengrajin maka akan berbanding lurus dengan jumlah pekerja yang dipekerjakan. Usaha kerajinan rotan Balearjosari tidak selalu berjalan lancar. Banyak hambatan yang dialami pengrajin. Hambatan tersebut diantaranya adalah: susah dan mahalnya bahan baku rotan, keterlambatan bahan baku alumunium dan rotan, tidak adanya perkumpulan, sebagian pengrajin mengalami kesulitan pemasaran, terbatasnya dana, serta perbedaan persepsi antara Dinas Koperasi dan UMKM. Banyaknya hambatan yang mengancam keberlangsungan usaha kerajinan rotan di Balearjosari tidak menyurutkan semangat pengrajin untuk tetap bertahan dengan usaha yang dijalankan. Faktor-faktor pendorong yang membuat pengrajin mempertahankan usaha kerajinan rotan diantaranya adalah: usaha yang dijalankan merupakan usaha turun-temurun sehingga pengrajin merasa perlu untuk mempertahankan usaha warisan keluarga, sudah adanya langganan, barang kerajinan rotan di pasaran tidak ada patokan harganya sehingga dinilai menjanjikan dan mempunyai peluang laba yang besar, dan minimnya keahlian pengrajin untuk menekuni usaha di luar rotan. JESP V ol. 5, No.1, 2013 Daftar Pustaka Anoraga, Pandji dan Djoko Sudantoko. 2002. koperasi, kewirausahaan, dan usaha kecil. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Arfida. 2003. Ekonomi Sumberdaya Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia Arikunto,Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT.Rineka Cipta BPS. 2005. Profil Industri Kecil dan Rumah tangga tahun 2005 . CV .Ray Sarana Kreasi. BPS. 2010. Kota Malang dalam Angka (Malang City in Figures) 2010. Badan Pusat Statistik BPS. 2011. Kota Malang dalam Angka (Malang City in Figures) 2011. Badan Pusat Statistik BPS. 2011. Kabupaten Malang dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik Bungin, M. Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Guritno, Sri dan Binsar Manullang. 1998/1999. Budaya Masyarakat di Lingkungan Industri Rotan Desa T egalwangi, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Jakarta: CV . Bupara Nugraha. Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 12/M-DAG/Kep/6/2005. tentang Kebijakan Membuka Kembali Kran Ekspor Rotan dalam Jumlah dan Ketentuan Tertentu. (online). (Diakses 26 Mei 2012). Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 35/M-DAG/PER/11/2011. tentang Ketentuan Ekspor Rotan dan Produk Rotan. (online). (Diakses 26 Mei 2012). Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 355/MPP/Kep/5/2004. tentang Pengaturan Ekspor Rotan. (online). (Diakses 26 Mei 2012). Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 440/MPP/Kep/9/1998. tentang Ketentuan Ekspor Rotan Bulat. (online). (Diakses 26 Mei 2012). Kuncoro, Mudrajat. 2007. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta: Erlangga. Moleong, L. J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Pusdakarya. Nugroho, David. 2010. Analisis strategi pengusaha rotan dalam mengembangkan usaha (studi kasus pada industri rotan di kelurahan Balearjosari kecamatan Blimbing kota Malang). Malang: Program Studi IESP Universitas Negeri Malang. Patilima, Hamid. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Allfabeta Payaman, J Simanjuntak. 1985. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia . Jakarta: BPFE UI. Rahman, Fitria. 2011. Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Penyerapan T enaga Kerja pada Industri Kecil Kripik Tempe di Sanan, Kelurahan Purwantoro, Kota Malang. Malang: Program Studi S1 IESP Universitas Negeri Malang. Rejekiningsih, Tri Wahyu. 2004. Mengukur Besarnya Peranan Industri Kecil dalam Perekonomian di Propinsi Jawa Tengah. (online). (Diakses 29 Juni 2011). Saleh, Irsan Azhari. 1986. Industri kecil, Sebuah Tinjauan dan Perbandingan. Jakarta: LP3ES. Setiyadi, Heru. 2008. Penyerapan Tenaga Kerja pada Industri Kecil Konveksi (Studi Kasus desa Sendang kec. Kalinyamatan kab. Jepara) . 51 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 Semarang: Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. (online). (Diakses 29 Juni 2011). Subri, Mulyadi. 2003. Ekonomi Sumberdaya Manusia dalam Perspektif Pembangunan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Suci, Rahayu Puji. 2009. Pengaruh Orientasi Kewirausahaan, Dinamika Lingkungan, Kemampuan Manajemen, serta Strategi Bisnis terhadap Kinerja: Studi Pada Industri Kecil Menengah Bordir Jawa Timur. Sidoarjo: Dian Prima Lestari. Sukmadinata, Nana Syaodih. Metodologi Penelitian Pendidikan. 2010. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sumardjani, Lisman. 2009. Konsep Lima Kekuatan Porter untuk Membedah Kondisi Industri Rotan Indonesia . (online). (Diakses 18 juli 2011). Undang-Undang No.20 tahun 2008. Usaha Mikro, kecil, dan Menengah . (online). (Diakses 19 juli 2011). Undang-Undang Pokok Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003. (online). (Diakses 19 juli 2011). Zamrowi, Taufik.M. 2007. Analisis Penyerapan Tenaga Kerja pada Industri kecil (studi di Industri kecil mebel di kota Semarang) . Semarang: Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. (online). (Diakses 20 Agustus 2011). 52 JESP V ol. 5, No.1, 2013 ANALISIS PRODUKTIVITAS SEKTOR PERTANIAN KOMODITI TANAMAN PADI BERBASIS AGRIBISNIS DALAM PENINGKATAN EKONOMI. (Studi Kasus di Desa Jati T engah, Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar) Citra Agung Triyanto Prih Hardinto Abstract Indonesia is referred to Agricultural Country as 75% of the population live in rural and predominantly (54%) earn the life on agriculture sector . Agriculture has gave impetus to the national economy. In Regency of Blitar , one of priority sector is agricultural and one of main comodity is paddy rice plant. The importance of accomplishment of rice plant has encourage rice plant agribusiness policy to be applied in village of Jati T engah subdistrict of Selopuro regency of Blitar. This research aimed to study about agriculture productivity of rice plant based on agribusiness in economic improvement. The method used was qualitatif descriptive. The instrument of research was interview and field survey. The sample of informan was the farmer in the village of Jati Tengah subdistrict of Selopuro. The result of research showed that rice plant agribusiness activities in village of Jati Tengah subdistric of Selopuro regency of Blitar was able to improve rural economy. It was shown from farm income of plant production and rough rice value in every crop season. The average of yield production per 100 RU of paddy field was 852,6 kg with amount 5.968 kg or 5,9 ton for every harvest. Keywords: Productivity, Rice Plant, Agribusiness, Economic Improvement Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada masa lalu hingga terjadinya krisis ekonomi kembali di awal tahun 2010 telah menyebabkan pemerintah dan para pengambil kebijaksanaan kembali berpikir ulang tentang arah perekonomian yang selama ini ditempuh. Kini timbul kemauan politik yang kuat untuk membenahi inefisiensi dan mis-alokasi sumberdaya (misallocation of resources) yang terjadi di sektor riil yang selama ini dibiarkan saja terjadi. Guna mengantisipasi krisis ekonomi, kebijaksanaan ekonomi harus menganut paradigma baru dimana ekonomi rakyat harus menjadi perhatian utama. Karena sebagian besar rakyat hidup pada sektor pertanian yang masih memberikan kontribusi yang besar pada perekonomian negara, maka pemberdayaan ekonomi rakyat juga berarti membangun ekonomi pertanian (backward linkage) dengan sektor pertanian atau sektor primer. Sedangkan keterkaitan kedepan (forward lingkage) harus memperhatikan pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah dan pemasaran yang baik sehingga produk yang dihasilkan tidak sia-sia. Cara yang paling efektif dan efisien untuk memberdayakan ekonomi rakyat adalah mengembangkan kegiatan ekonomi yang menjadi tumpuan kehidupan ekonomi sebagian besar rakyat yaitu sektor agribisnis. Dengan perkataan lain, pembangunan ekonomi nasional yang __________________________________________ Alamat Korespondensi : Citra Agung Triyanto: Mahasiwa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang Prih Hardinto. Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang Email: [email protected] JESP V ol. 5, No. 1, 2013 memberikan prioritas pada pengembangan sektor agribisnis merupakan syarat keharusan bagi pemberdayaan ekonomi rakyat, bahkan pemberdayaan ekonomi nasional. Saat ini sektor agribisnis di Indonesia memungkinkan untuk mampu bersaing guna merebut peluang pasar pada era perdagangan bebas. Di luar sektor agribisnis, bukan hanya sulit bersaing tetapi juga tidak mampu memberdayakan ekonomi rakyat bahkan cenderung memperdaya rakyat. Pengembangan komoditas pertanian yang sesuai secara biofisik dan menguntungkan secara ekonomi, sangat penting dalam perencanaan pengkajian teknologi untuk pengembangan komoditas unggulan dengan mempertimbangkan kemampuan sumberdaya lahan, sumberdaya manusia dan kelembagaan sehingga pengembangan suatu komoditas unggulan dapat berkelanjutan. Di Kabupaten Blitar, perubahan konsep suatu wilayah menekankan pada kegiatan agribisnis khususnya pertanian disebabkan karena laju pertumbuhan atau produktivitas pertanian semakin turun atau cenderung melandai, system intensifikasi yang telah diterapkan sebagai panca usaha tani tidak mampu meningkatkan produktivitas dan daya saing hasil. Selain karena permasalahan tersebut untuk mempertahankan produktivitas yang tinggi diperlukan input yang tinggi yaitu berupa bibit unggul dan pupuk. Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran penting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja dan sebagian besar penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya pada sektor agribisnis. Dengan demikian sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi rakyat Indonesia yang menjadi tumpuan kehidupan ekonomi sebagian besar rakyat dan merupakan syarat keharusan bagi pemberdayaan ekonomi nasional. Berdasarkan hal tersebut maka pengembangan sektor agribisnis harus 54 berbasis pada potensi dan kewenangan yang dimiliki oleh daerah agar pengembangan potensi ekonomi berbasis agribisnis khususnya pada sektor pertanian komoditi tanaman padi ini dapat dilaksanakan dengan baik. Pemerintah daerah beserta seluruh elemen masyarakat memiliki kewenangan dalam merencanakan dan melaksanakan pengembangan agribisnis didaerahnya sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki. Perubahan tersebut tertuang dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2004 tenang sistem perencanaan pembangunan nasional, maka setiap pemerintah daerah diharuskan menyusun rancangan pembangunan yang sistematis, terarah, terpadu, dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan keunggulan komparatif wilayah dan kemampuan sumberdaya daerah yaitu sektor pertanian komoditi tanaman padi. Potensi daerah Kabupaten Blitar mencakup potensi ekonomi yang meliputi Produk Domestik Regional Bruto, Pertumbuhan Ekonomi, dan tingkat Inflasi. Selain potensi ekonomi tersebut, Kabupaten Blitar juga memiliki Produk Unggulan strategis yang menjadi andalan dan mempunyai potensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pendapatan daerah apabila dapat dikelola secara benar, tepat dan profesional. Pada Tahun 2007, secara sektoral penyumbang terbesar dan unggulan terhadap pertumbuhan PDRB Kabupaten Blitar masih sektor Pertanian sebesar 47,31% dan komoditi dari sektor pertanian yang sedang dikembangkan yaitu komoditi tanaman padi. Alasan pemilihan tanaman pertanian komoditi tanaman pangan berjenis padi dalam penelitian ini dikarenakan proses tanamnya sangat mudah dan tidak memerlukan banyak tenaga. Selain itu dalam kehidupan sehari-hari karbohidrat merupakan salah satu zat yang sangat penting bagi tubuh dan sangat mutlak diperlukan setiap hari. Karbohidrat merupakan senyawa organik karbon, hydrogen, dan oksigen, yang terdiri atas JESP V ol. 5, No.1, 2013 satu molekul gula sederhana atau lebih yang merupakan bahan makanan penting sebagai sumber energy atau tenaga. Karbohidrat kita peroleh dari makanan pokok sehari-hari seperti padi, jagung, ketela pohon, kentang, sagu, gandum, ubi jalar dan lain-lain. Dari sekian banyak sumber karbohidrat, padi ternyata merupakan sumber karbohidrat yang ideal bagi kita. Itulah sebabnya padi menjadi sangat penting bagi bangsa Indonesia khususnya di Kabupaten Blitar dan sekitarnya. Pentingnya akan pemenuhan kebutuhan akan tanaman padi ini menyebabkan adanya kebijakan pengadaan agribisnis tanaman padi untuk dikembangkan di Desa Jati Tengah Kecamatan Selopuro Kabupaen Blitar. Berdasarkan paparan diatas Desa Jati Tengah Kecamatan Selopuro Kabupaen Blitar termasuk salah satu desa yang sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup sebagai petani, hal ini disebabkan kondisi daerah tersebut sangat mendukung untuk dijadikan sebagai tempat industri pertanian, selain kondisi tanahnya yang subur juga terdapat sarana irigasi yang memadai. Prospek pengembangan agribisnis desa Jati Tengah, Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar ini dinilai dimasa datang menjadi sangat baik, hal ini disebabkan keadaan geografis dan letaknya yang strategis. Faktor lain yang mendukung prospek pengembangan agribisnis di desa Jati Tengah, Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar ini adalah penduduk yang semakin bertambah sehingga kebutuhan pangan juga bertambah dan meningkatnya pendapatan masyarakat akan meningkatkan kebutuhan pangan berkualitas dan beragam. Metode Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dimana penelitian tersebut dilakukan menggunakan pendekatan dan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang diperoleh di Desa Jati Tengah berupa katakata tertulis atau lisan dari informan yaitu para petani padi dan perilaku bercocok tanam padi, pendekatan ini di arahkan pada latar belakang pemilihan tanaman padi yang diagrabisniskan, bagaimana proses pdoduksi, dan apakah tanaman padi agribisnis tersebut dapat meningkatkan ekonomi petaninya. Jenis metode yang digunakan dalam peneitian ini adalah jenis metode penelitian studi kasus. Studi kasus adalah suatu pendekatan yang dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam dimana suatu penelitian disini menggunakan studi kasus di Desa Selopuro Kabupaten Blitar dengan menggunakan instrmen dalam penelitian berupa para petani padi di desa tersebut dengan alat ukur berupa kegiatan wawancara pada petani. Sumber data dalam penelitian ini dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya (misalnya dokumen) merupakan data tambahan. Pembahasan Latar belakang para petani di Desa Jati Tengah dalam pemilihan tanaman padi yang di agribisniskan adalah mempunyai latar belakang yang secara garis besar sama, yaitu lahan pertanian di Desa Jati Tengah cocok ditanami padi, karena sistem irigasi atau pengairan sangat mudah dan sudah tertata sejak dulu. Selain itu tidak memerlukan banyak tenaga, tidak memerlukan biaya produksi yang banyak. Dilihat dari produktivitas, hasil produksi tanaman padi ini lebih banyak dibandingkan sebelum agribisnis. Di Desa Jati Tengah ini sangat cocok ditanami padi karena letak geografisnya sangat strategis yaitu terletak di sebelah timur sungai lekso dan bentang alamnya yang sebagian besar adalah lahan persawahan sehingga sangat menguntungkan jika lahan ini ditanami padi. Selain itu system irigasinya yang sudah tertata sejak dulu sehingga para petani sangat mudah melakukan pengairan atau pengelepan lahan. Dilihat dari tenaga 55 JESP V ol. 5, No. 1, 2013 kerja, padi agribisnis tidak memerlukan banyak tanaga kerja, hal ini dikarenakan padi dengan system agribisnis ini sangat tahan terhadap serangan hama, sehingga dapat menekan biaya produksi yaitu pembelian obat-obetan. Dari latar belakang tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh hermawan dalam jurnal agribisnis. Agribisnis terdiri dari berbagai sub sistem diantaranya subsistem usaha tani atau proses produksi. Sub sistem ini mencakup kegiatan pembinaan dan pengembangan usahatani dalam rangka meningkatkan produksi primer pertanian. Disini ditekankan pada usahatani yang intensif dan sustainable (lestari), artinya meningkatkan produktivitas lahan semaksimal mungkin dengan cara intensifikasi tanpa meninggalkan kaidahkaidah pelestarian sumber daya alam yaitu tanah dan air. Disamping itu juga ditekankan usahatani yang berbentuk komersial bukan usahatani yang subsistem, artinya produksi primer yang akan dihasilkan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam artian ekonomi terbuka. Gambaran Proses Produksi Tanaman Padi Proses produksi pada kegiatan usaha bercocok tanam tanaman padi merupakan suatu rangkaian kegiatan unik dan menarik untuk dicermati, prosesnya membutuhkan waktu cukup lama yaitu berbulan-bulan dan tidak bisa diselesaikan dalam satu hari saja, untuk memproduksi hasil-hasil pertanian memerlukan keuletan, ketelatenan dan kesabaran tersendiri karena keberhasilan dari kegiatan usaha ini tidak hanya ditentukan oleh petani sebagai produsen saja melainkan sangat tergantung pada alam. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar proses kegiatan usaha bercocok tanam padi dapat berjalan dengan baik dan lancar antara lain: teknik produksi, tanah atau lahan, tenaga kerja, modal. 56 a. Teknik produksi Sebelum memulai kegiatan usaha tanam padi seorang petani tentu memilih bibit, pupuk, serta obat-obatan apa yang akan digunakan. Bibit yang sering ditanam petani jenis ciherang, adirasa, ciboga, mikongga, waiapu, 64. Padi jenis tersebut termasuk jenis bibit padi unggulan karena cocok ditanam pada berbagai musim dimana pohonnya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah, produktifitasnya tinggi, nasinya enak, dan disukai para pedagang. Untuk tahap pengolahan lahan para petani di Desa Jati Tengah ini sudah menggunakan alat yang lebih modern yaitu menggunakan traktor. Sehingga pembajakan lahan dapat dilakukan dengan waktu yang lebih singkat. Pengolahan lahan yang singkat ini dapat mempercepat masa tanam. Pada tahap pemeliharaan yaitu pemberian pupuk dan obat-obatan pembasmi hama. Pupuk yang digunakan sebagian besar petani adalah pupuk organik, ini merupakan salah satu ciri utama dalam pengembangan agribisnis tanaman padi di Desa Jati Tengah Kecaman Selopuro. Pupuk ini terbuat dari pupuk kandang yang diolah dengan femmentasi EM4 dan super metor atau super degra. Tujuannya untuk menyuburkan tanah, dan pembenahan tanah untuk meningkatkan unsur organik dalam tanah agar penyerapan pupuk kimia lebih efektif dan terurai lebih sempurna sehingga mempercepat pertumbuhan tanaman. Untuk tambahannya menggunakan pupuk ZA, pupuk ponska, dan sebagai campuran menggunakan urea. Selain diberi pupuk juga diberikan obatobatan yang terdiri dari clupindo, applaud, dan dicampur obat nyamuk autan. Harga obat-obatan semakain lama semakin mahal namun demikian petani tetap membelinya jika tidak tanaman mereka tidak akan menghasilkan padi yang berkualitas baik. Pupuk yang digunakan petani merupakan pupuk bersubsidi pemerintah sehingga harga sedikit lebih murah dibandingkan JESP V ol. 5, No.1, 2013 pupuk yang tidak bersubsidi. Para petani di desa ini mayoritas sudah menggunakan pupuk organik karena harga pupuk tersebut lebih murah begitu juga kualitas tidak kalah dengan pupuk kimia, hal ini sudah diuji dilaboratorium pertanian Kabupaten Blitar dan dibuktikan oleh petani di Desa jati Tengah yang hasilnya produksi tinggi dan berkualitas bagus. Sesuai pembahasan diatas dapat dihubungkan dengan teori yang dikemukakan Suyatno dalam jurnal agribisnis, yaitu “Dalam kegiatan agribisnis akan ada hubungan antara manusia dengan lingkungan dan upaya untuk memanfaatkan serta menata lingkngan tersebut sedapat mungkin sesuai dengan tujuan kegunaan yang diinginkan. Y ang dimaksud “memanfaatkan” dalam hal ini adalah seperti member pupuk, unsur kimiawi yang dibutuhkan, irigasi,dan perlindungan lahan.” Dalam penggunaan pupuk organik maupun non organik, pembeliannya sudah di koordinir oleh kelompok tani. Sehingga semua anggota kelompok tani dapat menggunakan pupuk tersebut. Dan harga yang diberikan kepada anggota kelompok juga lebih murah dibandingkan pupuk yang dijual di luar. b. Hasil panen Dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti bahwa hasil panen atau hasil produksi yang diperoleh petani tiap 100 RU rata-rata 852 kg. Hasil panen masih berupa gabah kering sawah, yaitu padi yang baru dipanen dari sawah lalu hasilnya dikumpulkan dan ditimbang. Dari proses agribisnis ini hasil panen petani mengalami peningkatan dibanding sebelum menggunakan proses agribisnis yaitu pada waktu sebelum agribisnis petani hanya memperoleh per 100 RU rata-rata 700 kg. c. Tanah Tanah atau lahan pertanian yang dugunakan petani untuk menanam padi adalah lahan persawahan dan paling cocok ditanami padi, karena pada lahan persawahan ini memudahkan para petani dalam melaksanakan pengairan (pengelepan). Hal diatas berkaitan dengan kutipan dari Garutkab (2011), yaitu “Padi sawah ditanam disawah, yaitu lahan yang cukup memperoleh air. Padi sawah pada waktuwaktu tertentu memerlukan genangan air, terutama sejak musim tanam sampai mulai berbuah. “ d. Tenaga kerja Dalam kegiatan produksi tanaman padi keberadaan tenaga kerja tidaklah diperlukan setiap hari tetapi hanya pada saat-saat tertentu saja misalnya: pada pengolahan tanah sebelum tanam, penanaman bibit, penyiangan, pemupukan, dan pemanenan. Tenaga kerja yang dibutuhkan para petani bukanlah tenaga kerja yang memiliki pendidikan tertentu atau memiliki keahlian khusus melainkan mereka yang mempunyai tubuh yang kuat dan tahan terhadap panas teriknya matahari (tergolong tenaga kerja kasar). Tenaga kerja yang digunakan para petani tidak hanya tenaga kerja laki-laki saja tetapi juga tenaga kerja perempuan. Untuk mencari tenaga kerja para petani tidak pernah menemui kesulitan hal ini dikarenakan di desa Jati Tengah mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan menyesuaikan dengan luas lahan yang digarap, semakin luas lahan semakin banyak tenaga kerja yang dibutuhkan begitu juga sebaliknya. Untuk menggarap lahan seluas satu hektar petani membutuhkan 3 sampai 7 orang saja karena jumlah tersebut sudah mampu menyelesaikan disetiap pekerjaan, sedangkan pada waktu panen yang telah mencapai puncaknya para petani menambah beberapa pekerja karena pemanenan dituntut supaya dapat selesai pada hari itu juga, berbeda dengan pekerjaan lain seperti penyiangan, 57 JESP V ol. 5, No. 1, 2013 pemupukan, bila tidak selesai dapat diselesaikan pada keesokan harinya. Sistem upah yang diberikan kepada para tenaga kerja (buruh tani) digolongkan menjadi dua macam, sistem upah borongan. Namun para petani di desa Jati Tengah mayoritas menggunakan sistem upah borongan karena sistem upah ini dirasa saling menguntungkan dan biaya yang dikeluarkan petani tidak terlalu besar. Mengenai lama waktu bekerja untuk lahan seluas satu hektar pembajakan mulai dua hari sampai empat hari. Biasanya para pemilik lahan juga ikut bekerja agar pekerjaan menggarap lahan dapat terselesaikan lebih cepat. e. Modal Dalam melaksanakan kegiatan usaha suatu perusaahaan dapat berjalan dengan lancar apabila didukung modal yang mencukupi, baik modal yang berupa peralatan maupun modal yang berupa dana. Begitu juga untuk menjalankan usaha tanam padi ini, modal berupa peralatan seperti cangkul, bajak, sabit tidak harus disediakan oleh petani sebagai pemilik lahan tetapi peralatan tersebut sudah disediakan sendiri oleh para tenaga kerja. Sedangkan modal yang berupa dana/uang dibedakan menjadi dua yaitu modal pribadi dan modal pinjaman. Modal pinjaman petani berasal dari Bank Rakyat Indonesia (BRI) unit Selopuro. Besarnya modal yang digunakan masing-masing petani menyesuaikan luas lahan. Semakin luas lahan semakin besar modal yang digunakan. Ada sebagian petani yang merinci modal yang digunakan untuk usaha tanam padi, dan ada juga yang jarang merinci modal yang digunakan. f. Penjualan hasil produksi Tujuan utama seorang petani melaksanakan kegiatan usaha taninya tidak lain adalah memproduksikan hasil-hasil pertanian yang kemudian dijual, agar mendapatkan uang. Petani tidak secara langsung menjual hasil produksinya kekonsumen tetapi melalui tengkulak atau 58 pedagang agen terebih dahulu selanjutnya disalurkan kekonsumen. Padi hasil produksi dijual ketengkulak atau pedagang masih berupa gabah. Harga gabah didesa ini bervariasi tergantung dari jenis bibit yang ditanam. Gabah yang diperoleh tengkulak digiling atau diselep menjadi beras sebelum disalurkan kekonsumen melalui pasar atau toko-toko. g. Pendapatan Petani Sebagian petani selalu membuat catatan secara rinci mengenai biaya pengeluran dan uang pemasukan, mereka menghitung biaya produksi yang dikeluarkan, sehingga dapat diketahui berapa besarnya keuntungan atau kerugian yang diterima atau diderita dari kegagalan usaha. Namun ada juga petani yang tidak pernah sama sekali merinci pengeluaran dan pemasukan, mereka hanya mengetahui selesai menjual hasil produksi dan memperoleh uang, tidak mengetahui berapa besarnya keuntungan atau kerugian yang diterima atau diderita. Pendapatan yang diterima petani selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga digunakan sebagai persiapan biaya produksi pada musim tanam yang akan datang. Peningkatan Ekonomi Petani dari Kegiatan Agribisnis Tanaman Padi Seperti yang telah digambarkan diatas, bahwa sebagian besar masyarakat di Desa Jati Tengah Kecamatan Selopuro sebagian besar adalah bermatapencaharian sebagai petani, Maka dari itu dalam penelitian ini ingin melihat apakah dengan cara beragribisnis tanaman pertanian khususnya padi yang menjadi komoditi utama dengan cara diagribisniskan dengan pola memperbaiki kualitas proses produksinya dapat meningkatkan ekonomi petani dengan indikator melihat jumlah pendapatan petani yang beragribisnis tanaman padi dari hasil panen yang didapat. Dalam melihat peningkatan ekonomi petani khususnya peningkatan JESP V ol. 5, No.1, 2013 taraf hidup dan pendapatan petani di Desa Jati Tengah Kecamatan Selopuro berdasarkan hasil penelitian ini dapat dilihat berdasarkan hasil produksi atau hasil panen yaitu hasil dari penjualan panen petani yang berupa gabah kering sawah. 1) Berdasarkan hasil produksi. Di Desa Jati Tengah produktifitas padi tergolong tinggi. Hal ini berdasarkan perolehan panen atau produksi yang dihasilkan petani. Tiap 100 RU menghasilkan gabah sebanyak rata-rata 852 kg atau 8 kwintal. Faktor yang mempengaruhi peningkatan hasil produksi selain dari kondisi alam atau cuaca juga dari teknik produksi yang penggunaan pupuk oraganik dalam proses pengagribisnisan tanaman padi di Desa Jati Tengah. Petani di Desa Jati Tengah sudah tidak bergantung pada pupuk kimia saja tetapi juga menggunakan pupuk organik. Bahkan porsi yang paling banyak digunakan adalah pupuk organik. Selain dapat meningkatkan produktifitas tanaman padi, dan dapat meningkatkan kandungan unsur hara dan organik dalam tanah, harganyapun jauh lebih murah dibandingkan dengan pupuk kimia yang harganya semakin lama semakin mahal. 2) Kondisi Pendapatan Petani setelah Mengagribisniskan Tanaman Padi Berdasarkan hasil penelitian bahwa ternyata hasil pendapatan petani dari hasil penjualan gabah kering dari padi yang telah diagribisnikan mencapai 8,52 kwintal per 100 RU. Dari hasil penelitian dapat dilihat cenderung mengalami peningkatan pendapatan dari hasil panen jika tanaman padi diagribisniskan dengan cara produksi yang terstruktur. Dalam hal ini dapat dilihat jika hasil panen untuk tanaman padi yang tidak diagribisniskan berdasarkan penelitian dinas pertanian tahun 2010 setiap 100 RUnya hanya memperoleh ratarata 700 kg (Daftar Isian data base pertanian Desa Jati Tengah, Dinas Pertanian Kabupaten Blitar, Propinsi Jawa Timur 2010). Dari hasil tersebut tentu dapat disimpulkan melalui penelitian ini, bahwa penggunaan sistem agribisnis untuk tanaman pertanian komoditi padi lebih dapat meningkatkan hasil pendapatan petani padi jika dibandingkan dengan sistem penanaman padi tanpa menggunakan sistem agribisnis. 3) Faktor penghambat usaha tani. Dalam setiap jenis usaha yang menjadi faktor penghambat pasti selalu menyertai, tidak terkecuali kegiatan usaha tani yang ada di Desa Jati Tengah Kecamatan Selopuro, beberapa penghambat usaha ini yaitu, pertama hama tikus, tetapi yang paling parah adalah hama wereng. Untuk menanggulangi hama ini para petani di desa ini melakukan semprot masal yang dilakukan diseluruh area persawahan yang ada di Desa Jati Tengah. Kedua adalah cuaca atau iklim yang tidak menentu. Hambatan ini termasuk ciri khas usaha tani yang keberhasilannya tergantung pada kondisi alam karena tempat produksinya berada di alam terbuka sehingga gangguan yang berasal dai alam langsung menerpa, berbeda dengan usaha lain yang tempat produksinya berada didalam ruangan atau gedung sehingga faktor cuaca dapat diminimalisir. 4) Faktor Pendukung Usaha Tani Berdasarkan hasil penelitian dilapangan bahwa yang menjadi faktor pendukung usaha tani padi ini adalah pertama pengairan lancar, karena saluran irigasi sudah tertata sejak dulu, dan letak desa ini dilalui sungai Lekso yang menurut sejarahnya sungai ini tidak pernah kehabisan air walaupun pada musim kemarau. Kedua, untuk mencari tenaga kerja mudah, hal ini dikarenakan mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Ketiga, untuk penetapan harga juga mudah, karena penetapan harga selalu mengikuti harga pasar. Keempat, pupuk sudah di siapi kelompok tani. Jadi petani tidak perlu 59 JESP V ol. 5, No. 1, 2013 susah mencari pupuk keluar desa. Kelima, adanya penyuluhan dari Penyuluh Pertanian Lapangan masalah penanggulangan hama, pola cocok tanam, dan bantuan bibit. 5) Peran pemerintah dalam bantuan dan pembinaan. Peran pemerintah dalam hal bantuan sudah baik. Bantuan pemerintah yang diberikan berupa alat bajak atau traktok. Namun penggunaannya terkendala pada perawatan dan jumlah traktok yang diberikan, sehingga penggunaanya masih belum bisa maksimal. Selain berupa traktor, pemerintah juga memberikan bantuan bibit padi. Bantuan bibit ini disalurkan melalui kelompok tani dan disalurkan kepada para anggotanya. Sedangkan dalam hal pembinaan, pemerintah sangat perhatian kepada petani melalui Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) atau mantri tani. PPL ini bertugas untuk memberikan penyuluhan, pembinaan, membantu mengatasi masalah penanggulangan hama, dan penyuluhan pola cocok tanam. Penutup Berdasarkan pada pemaparan data dan pembahasan di atas, maka dapat dirumuksn kesimpulan : 1. Latar belakang pemilihan tanaman padi yang diagribisniskan karena kebutuhan akan konsumsi produksi pertanian khususnya padi di Desa Jati Tengah Kecamatan Selopuro Kabupaten Blitar sangat tinggi, dan lahan pertanian di Desa Jati Tengah cocok ditanami padi. Selain itu pengairannya pun juga sangat mudah, hasil panen selain sebagian untuk dikonsumsi sendiri juga untuk persiapan biaya produksi pada musim tanam selanjutnya. Selain itu teknik tanamnya mudah dan tidak memerlukan banyak tenaga. Adanya kegiatan agribisnis pertanian di Desa Jati Tengah Kecamatan Selopuro Kabupaten Blitar ini juga dikarenakan produktivitas 60 tanaman padi cenderung melandai yang mengakibatkan minimnya pendapatan petani. 2. Proses produksi kegiatan penanaman padi di Desa Jati Tengah Kecamatan Selopuro Kabupaten Blitar menerapkan sistem pengagribisnisan penanaman padi dengan proses agribisnis tanaman padi dengan cara pemilihan bibit berkualitas dengan pola pembibitan sendiri, pengolahan tanah yang memperhitungkan kualitas kesuburan tanah untuk jangka panjang dan pemeliharaan tanaman padi dengan menggunakan pupuk organik untuk peningkatan hasil produksi. 3. Kegiatan agribisnis tanaman padi di Desa Jati Tengah Kecamatan Selopuro Kabupaten Blitar dalam penelitian menunjukkan hasil dimana agrbisnis tanaman padi dapat meningkatkan perekonomian petani dilihat tingkat pendapatan petani dari hasil produksi atau hasil panen serta penjualan gabah kering yang dihasilkan dalam setiap kali panen. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil penelitian yang mana rata-rata hasil panen dalam setiap 100 RU untuk tanahnya memperoleh hasil rata-rata 852,6 kg dengan jumlah 5.968 kg atau 5,9 ton setiap kali panen. Untuk hasil tersebut dalam penelitian ini petani lebih untung jika dibandingkan dengan penanaman padi tanpa menggunakan sistem agribisnis. Berkenaan dengan hasil temua di atas maka dapat dirumuskan berbagai masukan, yakni : 1. Bagi Pemerintah, dalam rangka peningkatan taraf hidup petani melalui perbaikan kualitas produksi yang telah dilakukan selama ini melalui berbagai penyuluhan, maka untuk selanjutnya juga perlu dilakukan pemberian penyuluhan tentang administrasi keuangan untuk para petani khususnya petani yang berada di daerah yang terpencil, karena saat ini penyuluhan untuk kepentingan JESP V ol. 5, No.1, 2013 administrasi keuangan ini dinilai masih sangat kurang. Hal ini sangatlah perlu dilakukan agar kualitas proses produksi atau usaha pertaniannya semakin baik dan berkembang. 2. Bagi petani, diharapkan untuk dapat bekerja sama dengan sesama petani dan juga penyuluh dari pihak dinas pertanian untuk dapat mengembangkan pola atau tata cara pertanian yang disesuaikan dengan kondisi cuaca dan tanah sehingga hasil produksi yang dihasilkan optimal serta menjadikan pendapatan petani dari hasil panen semakin meningkat. Selain itu bagi petani bisa lebih mengembangkan pola kegiatan agribisnis hingga ke tahap pengolahan agribisnis hasil produksi atau pertanian dengan cara pendistribusian hasil dengan bentuk yang lebih memiliki nilai jual tinggi. 3. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat menarik minat bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian selanjutnya baik dengan permasalahan berbeda terkait dengan masalah penelitian ini, sehingga penelitian tentang usaha tani ini tidak berhenti sampai disini saja. Daftar Pustaka Dukat. 2010. Pengembangan Pertanian T anaman Pangan di Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon. (Online). (http://www.google.co.id/jurnal.html diakses 14 Maret 2011) Garutkab. 2010. Peluang Investasi Agrobisnis Padi Sawah. (Online). (http://www.google.co.id/jurnalperta nian.html diakses 28 Januari 2011) Siagian, Renville. 2003. Pengantar Manajemen Agribisnis. Y ogyakarta: Gajah Mada University Press. MB-IPB. 2010. Jurnal. (Online). (http://www.google.co.id/jurnal.html diakses 14 Maret 2011) Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Bandung. Mubyarto. 1985. Pengantar Ekonomi Pertanian, Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan, Ekonomi dan Sosial. Mosher, A. T .1966. Menggerakkan dan Membangun Pertanian . Jakarta: CV Y asaguna Mukhyi, Muhammad Abdul. 2007. Analisis Peranan Subsektor Pertanian dan Sektor Unggulan Terhadap Pembangunan Kawasan Ekonomi Propinsi Jawa Barat: Pendekatan Analisis IRIO, (Online), (http://www.google.com/jurnalpert anian.html diakses 8 Januari 2011) PPKI. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Edisi Kelima. Malang: Universitas Negeri Malang. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: CV . Alfabeta Suyatno, Yulistyo. 2008. Penguatan Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Peningkatan Daya Saing Produk Agribisnis Unggulan Di Kabupaten Semarang . (Online). (http://www.google.co.id/jurnal.html diakses 14 Maret 2011) Syahza, Almasdi. 2003. Analisis Ekonomi Usahatani Hortikultura sebagai 61 JESP V ol. 5, No. 1, 2013 Komoditi Unggulan Agribisnis di Daerah Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau, (online), (http://www.google.com/jurnalpertan ian.html diakses 8 Januari 2011) Tanti, Hak Denny M S. 2009. Arahan Pengembangan Usahatani Tanaman Pangan Berbasis Agribisnis di Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan, (Online), 62 (http://www.google.com/jurnalpertan ian.html diakses 8 Januari 2011) Zarkasih, Khamim. 2008. Analisis Kegiatan Bercocok Tanam (Studi Kasus) Pada Petani di Desa Sukonolo Kecamatan Bululawang Kabupaten Malang. Skripsi tidak diterbikan. Malang: Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang JESP Vol. 5, No.1, 2013 ANALISIS SEKTOR-SEKTOR EKONOMI DALAM RANGKA PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KOTA KEDIRI Rita Erika Sri Umi Mintarti W Abstract This study aims to determine (1) economic sectors that have the potential to be excellent in the city of Kediri, (2) the suitability of economic development policy Kediri sector analysis results are to be seeded. This research uses descriptive quantitative method. Subjects in this study is GDP Kediri and East Java Province sector is calculated based on constant prices of 2000 the period 2006-2010 by using the method of documentation, observation, and interviews. This paper uses an analytical tool, namely the analysis of Location Quotient (LQ), Model Growth Ratio and Klaassen Typology. Based on the results of data analysis, two conclusions obtained the following results. First, the city of Kediri has four major sectors that be a flagship (leading sector) of the manufacturing sector , financial sector , leasing and business services, construction, and services sector . Where the four sectors in the city of Kediri have the opportunity to further develop as a determinant of sector priorities in developing economic development policies. Second, economic development policy Kediri existing foundation that is contained in the Tri Bina Kediri development in education, are still have not suitable and a difference with the results of the analysis of the four sectors of the seed sector . Thus, in determining the priority of economic development policy, should consider of growth rate and the basic level of each sector. So that would be obtained development in accordance with the conditions and potential of each sector. Keywords: Economic Sectors, Economic Development Faktor terpenting yang mendorong usaha yang lebih besar untuk mewujudkan pembangunan ekonomi juga bersumber dari keinginan negara-negara yang baru mencapai kemerdekaan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakatnya (Sukirno, 2006:6). Pelaksanaan pembangunan Indonesia selama ini juga tidak terlepas dari pandangan tersebut. Pembangunan nasional mempunyai dampak atas pembangunan daerah, sebab daerah adalah bagian integral dari suatu negara. Indonesia sebagai suatu negara kesatuan, rencana pembangunannya meliputi rencana pembangunan nasional maupun rencana pembangunan dalam lingkup regional. Pembangunan ekonomi nasional mempunyai dampak atas struktur ekonomi nasional dan struktur ekonomi daerah. Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah. Menurut UU Otonomi daerah Nomor 32 Tahun 2004, otonomi daerah didefinisikan sebagai berikut: Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masya-rakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. __________________________________________ Alamat Korespondensi : Rita Erika: Mahasiwa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang Sri Umi Mintarti W. Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang Email : [email protected] JESP Vol. 5, No. 1, 2013 Melalui otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut kreatif dalam mengembangkan perekonomian, peranan investasi swasta dan perusahaan milik daerah sangat diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Investasi akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan dapat menimbulkan multiplier effect terhadap sektor-sektor lainnya. Dengan adanya strategi pembangunan ekonomi akan memudahkan penetapan prioritas pembangunan ekonomi suatu daerah. Sehingga diperlukan pemetaan kondisi, kekhasan dan potensi yang ada. Selanjutnya, kondisi kekhasan dan potensi tersebut diberdayakan guna menjamin terciptanya fundamental ekonomi yang kuat. Pemberdayaan potensi dan ciri khas daerah akan dapat berjalan jika sektorsektor ekonomi khususnya yang berpotensi menjadi unggulan (leading sektor) dapat dioptimalkan. Sektor-sektor ekonomi yang berpotensi menjadi unggulan ini penting untuk menentukan skala prioritas pembangunan. Sektor yang menjadi unggulan ini adalah sektor yang memiliki potensi yang lebih untuk berkembang dibandingkan dengan sektor lainnya. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Kota Kediri pada dasarnya terdiri atas 9 (sembilan) sektor, yaitu (1) sektor pertanian; (2) pertambangan dan penggalian; (3) industri pengolahan; (4) listrik dan air minum; (5) konstruksi; (6) perdagangan, hotel dan restoran; (7) pengangkutan dan komunikasi; (8) keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan (9) jasa-jasa. Kota Kediri merupakan salah satu daerah yang berada di Propinsi Jawa Timur yang memiliki luas wilayah 63,40 Km2. Kota Kediri sebagai salah satu daerah otonom yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan serta memberikan pelayanan kepada masyarakat, memiliki kewenangan yang luas untuk mengelola, merencanakan dan memanfaatkan potensi ekonomi secara 64 optimal, yang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat di Kota Kediri. Kota Kediri memiliki Produk Domestik Regional Bruto menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 secara rata-rata dari tahun 2008-2010 sebesar Rp 22.102.550,84 juta. Kontribusi sektor ekonomi Kota Kediri sangat dipengaruhi oleh sektor industri pengolahan. Selama kurun waktu tahun 2008 hingga 2010 kontribusinya mengalami peningkatan meskipun sektor pertambangan dan penggalian kontribusinya mengalami penurunan. Pada tahun 2008 hingga 2010 sektor perdagangan, hotel dan restoran juga mengalami penurunan. Secara umum perekonomian Kota Kediri tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan PT Gudang Garam. PDRB sebagai indikator perekonomian menunjukkan ketergantungan masih diatas 70%. Ketergantungan yang cukup besar tersebut mengakibatkan rentannya aktivitas perekonomian dari gejolak perekonomian global. Hal tersebut secara tidak langsung mengurangi daya saing pelaku ekonomi yang ada di kota Kediri (RPJMD, 20102014). Salah satu cara untuk menjalankan pembangunan ekonomi yaitu dengan menentukan prioritas kebijakan pembangunan ekonomi yang tepat. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti sektorsektor ekonomi yang menjadi unggulan untuk dikembangkan guna dapat dijadikan acuan sebagai pendukung dalam pengembangan kebijakan pembangunan ekonomi Kota Kediri. Selain itu, apakah kebijakan pembangunan yang ada sekarang sudah sesuai dengan hasil analisis sektor yang menjadi unggulan. Harapannya adalah melalui strategi pengembangan kebijakan yang diambil dapat mengoptilmalkan seluruh potensi dari masingmasing sektor ekonomi tersebut. Sehingga terjadi percepatan pembangunan dalam menggerakkan ekonomi Kota Kediri yang JESP Vol. 5, No.1, 2013 pada akhirnya dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Kota Kediri. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil pokok permasalahan sektorsektor ekonomi manakah yang berpotensi menjadi unggulan dalam pembangunan ekonomi Kota Kediri dan apakah kebijakan pembangunan ekonomi Kota Kediri sudah sesuai dengan hasil analisis sektor yang menjadi unggulan. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif deskriptif. Data yang diperoleh diolah dan dianalisis menurut model statistik atau model matematik. Pendekatakan kuantitatif yang dimaksud adalah perhitungan terhadap data-data sekunder, yakni data PDRB Kota Kediri dan data PDRB Jawa Timur. Sedangkan yang dimaksud dengan pendekatan deskriptif adalah penjelasan dari hasil-hasil perhitungan yang dilakukan melalui analisis dokumen data sekunder. Populasi dalam penelitian ini adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Kediri sebagai obyek/subyek yang mempunyai kualitas atau karakteristik tertentu yang ditetapkan peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulan. Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Kediri tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 sebagai wakil populasi yang diteliti. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sample yaitu cara pengambilan sampel didasarkan atas dasar adanya tujuan tertentu. Teknik ini dilakukan karena beberapa pertimbangan yaitu karena keterbatasan tenaga, waktu dan dana sehingga tidak dapat mengambil sampel secara besar dan jauh. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi. Prosedur pengembangannya yaitu data sekunder dan data primer. Sedangkan data yang utama digunakan dalam penelitian adalah data sekunder berdasarkan urutan waktu (time series data) untuk kurun waktu 2006-2010. Sumber data dari data sekunder diperoleh dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Kediri di Bidang Statistik dan Perencanaan Strategis, dan Badan Pusat Statistik Kota Kediri. Data yang digunakan PDRB atas dasar harga konstan Kota Kediri dan PDRB atas dasar harga konstan Jawa Timur. Data sekunder yang merupakan variabel dalam penelitian ini akan diolah dan dihitung menggunakan analisis Location Quotient (LQ), Model Rasio Pertumbuhan (MRP), dan Klaassen Typology. Sedangkan sumber data untuk data primer berupa hasil observasi/ pengamatan secara langsung dan wawancara yang dilakukan pada pihakpihak yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Kediri di Bidang Perekonomian dan Bidang Perindustrian di Dinas Perindustrian, Perdagangan, Pertambangan dan Energi. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang telah tersedia pada; (1) Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Kediri, (2) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Kediri. Data yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan data runtun waktu (time series), dengan periode penelitian selama 5 tahun yaitu antara tahun 2006 sampai tahun 2010. V ariabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas;(1) Produk Domestik Regional Bruto Kota Kediri Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2006-2010, (2) Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jawa Timur Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2006-2010. Metode lain yang digunakan adalah observasi dan metode interview/ wawancara yaitu teknik komunikasi secara langsung dari sumber yang akan diteliti. Hasil wawancara pada pihak terkait digunakan untuk menambah pembahasan pada hasil analisis penelitian. Pihak terkait dalam penelitian ini adalah pejabat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah 65 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 (BAPPEDA) Kota Kediri di Bidang Perekonomian dan pejabat Dinas Perindustrian, Perdagangan, Pertambangan dan Energi di Bidang Perindustrian. Dalam penelitian ini menggunakan metode analisis kuantitatif. Metode analisis kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Location Quotient (LQ) Locatin Quotient (LQ) adalah suatu metode untuk menghitung perbandingan kemampuan suatu sektor antara daerah yang diteliti (Kota Kediri) dengan kemampuan suatu sektor yang sama pada daerah yang lebih tinggi tingkatannya (dalam hal ini adalah provinsi Jawa Timur). Rumus yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Dimana : perubahan pendapatan kegiatan i di wilayah studi pada periode waktu t dan t + n. perubahan pendapatan kegiatan i di wilayah referensi pada periode waktu t dan t + n. = pendapatan kegiatan i di wilayah studi. pendapatan kegiatan i di wilayah referensi. b. Rasio Pertumbuhan Wilayah Referensi (RPR), adalah perbandingan laju pertumbuhan sektor i di wilayah referensi dengan laju pertumbuhan total kegiatan (PDRB di wilayah referensi). Formulasi yang digunakan adalah : Dimana : Keterangan: Apabila LQ>1, maka peranan sektor i di Kota Kediri lebih menonjol daripada peranan sektor tersebut di Jawa Timur, sehingga daerah tersebut surplus akan produk sektor i dan mengkespornya ke daerah lain dan daerah tersebut memiliki keunggulan komperatif untuk sektor i dimaksud (Tarigan, 2009:82). Sebaliknya, apbila LQ<1 maka peranan sektor i di Kota Kediri lebih kecil daripada peranan sektor tersebut di Jawa Timur. 2. Model Rasio Pertumbuhan (MRP) Model Rasio Pertumbuhan adalah membandingkan pertumbuhan suatu kegiatan dalam wilayah referensi dan wilayah studi. Dalam analisis tersebut terdapat dua rasio pertumbuhan yaitu : a. Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi (RPs), adalah perbandingan antara laju pertumbuhan sektor i di wilayah studi dengan laju pertumbuhan sektor yang sama di wilayah referensi. Formulasi matematis yang digunakan adalah: 66 perubahan pendapatan kegiatan i di wilayah referensi. perubahan PDRB di wilayah referensi. PDRB di wilayah referensi. jumlah tahun antara dua periode. Jika nilai RPR atau RP s > 1, maka RPR atau RPS dikatakan positif (+) dan jika RPR atau RPS < 1, maka RP R atau RPS dikatakan negatif (-). RPR (+) menunjukkan pertumbuhan suatu kegiatan tertentu dalam tingkat provinsi atau kabupaten/kota lebih tinggi dari pertumbuhan PDRB provinsi atau PDRB kabupaten/kota dan sebaliknya. Sedangkan RPS membandingkan pertumbuhan kegiatan dalam tingkat wilayah kabupaten/kota dengan partumbuhan kegiatan yang bersangkutan pada tingkat propinsi. Jika pertumbuhan suatu kegiatan pada tingkat wilayah kabupaten/ kota lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kegiatan tersebut pada tingkat provinsi diidentifikasikan (+) dan sebaliknya. JESP Vol. 5, No.1, 2013 Dari analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP) akan diperoleh deskripsi kegiatan ekonomi yang potensial pada wilayah studi yang terdiri dari 4 klasifikasi yaitu: 1. Kriteria I: RPR (+) dan RP S (+) berarti kegiatan tersebut pada tingkat wilayah referensi mempunyai pertumbuhan menonjol demikian pula pada tingkat wilayah studi. Kegiatan ini selanjutnya disebut dominan pertumbuhan. 2. Kriteria II: RPR (-) dan RP S (+) Berarti kegiatan tersebut pada tingkat wilayah referensi pertumbuhannya tidak menonjol, akan tetapi pada tingkat wilayah studi pertumbuhannya menonjol. 3. Kriteria III: RPR (+) dan RPS (-) berarti kegiatan tersebut pada tingkat wilayah referensi mempunyai pertumbuhan menonjol namun pada tingkat wilayah studi tidak menonjol. 4. Kriteria IV: RPR (-) dan RP S(-) berarti kegiatan tersebut baik di tingkat wilayah referensi maupun wilayah studi pertumbuhannya tidak menonjol. 3. Klaassen Typology Analisis Klaassen merupakan gabungan atau perpaduan antara hasil analisis LQ dengan MRP. Klaassen Typology dapat digunakan melalui dua pendekatan, yaitu sektoral maupun daerah. Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sektoral. Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data PDRB. Klasifikasi sektoral berdasarkan Klaassen Typology dapat dilihat pada tabel berikut: T abel 1. Klasifikasi Pendekatan Sektoral Kuadran I Sektor maju dan tumbuh dengan pesat RPS > RPR, LQ > 1 KUADRAN III Sektor potensial RPS > RPR , LQ < 1 Klaassen Typology Kuadran II Sektor maju tapi tertekan RPS <RPR, LQ > 1 Kuadran IV Sektor relatif tertinggal RPS < RPR, LQ< 1 Klaassen Typology dengan pendekatan sektoral menghasilkan empat klasifikasi sektor dengan karakteristik yang berbeda sebagia berikut: 1. Sektor maju dan tumbuh pesat (kuadran I) memiliki laju pertumbuhan terhadap PDRB di wilayah studi lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan sektor yang sama terhadap PDRB di wilayah referensi dan merupakan sektor basis. 2. Sektor maju tapi tertekan (Kuadran II) memiliki laju pertumbuhan terhadap PDRB di wilayah studi lebih rendah dibandingkan laju pertumbuhan sektor yang sama di wilayah referensi. Sektor dalam kategori ini dikatakan sebagai sektor yang telah jenuh. 3. Sektor potensial atau masih dapat berkembang dengan pesat (kuadran III) memiliki laju pertumbuhan terhadap PDRB di wilayah studi lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan sektor yang sama di wilayah referensi. Akan tetapi, tingkat kebasisan sektor di kuadran ini bukan sektor basis. Sektor ini dapat diartikan sebagai sektor yang sedang berkembang (booming). 4. Sektor relatif tertinggal (kuadran IV) ditempati oleh sektor yang laju pertumbuhannya lebih rendah dibanding daerah referensi dan bukan merupakan sektor basis. Hasil Penelitian Kota Kediri berjarak ± 128 km dari arah barat daya Kota Surabaya, ibu kota Propinsi Jawa Timur. Letak Kota Kediri dilintasi 7 jalur lintasan primer di Provinsi Jawa Timur, salah satunya adalah jalur arteri primer Kota Surabaya-Kabupaten Tulungagung. Kota ini terletak pada koordinat 07°45'-07°55' Lintang Selatan dan 111°05'-112°3' Bujur Timur. Struktur wilayah Kota Kediri terbelah menjadi 2 bagian oleh sungai Brantas, yaitu sebelah timur dan barat sungai. Banyaknya Pencari Kerja, Penempatan dan Permintaan/Lowongan 67 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 Menurut Jenis Kelamin tahun 2009 hingga 2010 dapat dilihat pada Tabel 4.2 di bawah ini. ekonomi masyarakat Kota Kediri juga ditandai Pendapatan per kapita yang terus mengalami peningkatan dari tahun 2007 T abel 2. Banyaknya Pencari Kerja, Penempatan dan Permintaan/Lowongan Menurut Jenis Kelamin, 2010 Uraian 2009 2010 Laki-laki Perempun Jumlah (1) (2) (3) (4) (5) 1. Pencari kerja 2.181 1.224 1.020 2.244 2. Penempatan 642 346 345 691 3. Permintaan/Lowongan 1.496 632 496 1.119 4. Persentase Penempatan Terhadap Lowongan 42,9 55,5 69,5 61,7 Sumber : Kota Kediri dalam Angka, 2011 Tingkat kenaikan jumlah pencari kerja ini nampaknya tidak sebanding dengan tingkat pertumbuhan permintaan/ lowongan kerja. Kondisi Ekonomi di Kota Kediri Kondisi perekonomian Kota Kediri didominasi oleh sektor perindustrian yang merupakan sektor utama dalam pembangunan ekonomi di Kota Kediri. Mengingat Kota Kediri memiliki pabrik rokok besar PT. Gudang Garam dan dua pabrik gula besar. Sebagian besar masyarakat bekerja pada sektor industri yang jumlah tenaga kerjanya mencapai 46.248 orang. PDRB sebagai indikator perekonomian menunjukkan ketergantungan terhadap sektor industri masih diatas 70%. Namun selain itu, sebagian masyarakat Kota Kediri juga mengembangkan sektor-sektor perekonomian dibidang Industri Kecil dan Menengah (IKM) yang mampu menghasilkan komoditas-komoditas unggulan yang sangat potensial untuk dikembangkan. Jika potensi tersebut bisa dimaksimalkan, maka unit-unit usaha IKM akan semakin berkembang dan pada akhirnya memberikan keuntungan bersama yang optimal bagi investor, pelaku usaha, pemerintah daerah serta masyarakat pada umumnya. Berbagai produk unggulan Kota Kediri banyak tersebar merata di seluruh penjuru daerah. Tingkat kesejahteraan 68 sampai dengan 2010. Pendapatan Regional Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Data IPM dapat digunakan untuk mengetahui tingkatan status pembangunan manusia di suatu kabupaten/kota pada periode tertentu. Komponen Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Kediri dapat dilihat pada tabel 4.5 di bawah ini. T abel 3. Komponen Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Kediri T ahun 2004-2010 No. T ahun Indeks Indeks Indeks Harapan Pendidikan PPP Hidup (1) (2) (3) (4) (5) 1 2004 73,50 84,40 56,17 2 2005 73,83 83,66 57,21 3 2006 74,00 82,85 56,30 4 2007 74,13 85,99 57,34 5 2008* 74,71 86,80 58,66 6 2009** 75,00 86,51 64,75 7 2010*** 75,66 87,72 65,13 Sumber: Kota Kediri dalam Angka, 2011 Keterangan: *) angka diperbaiki **) angka sementara ***) angka sangat sementara Analisis Sektor-Sektor Ekonomi yang Berpotensi Menjadi Unggulan dalam Pembangunan Ekonomi Kota Kediri Kota Kediri memiliki satu sektor basis, yaitu sektor industri pengolahan dengan nilai LQ rata-rata sebesar 2,75. Sektor tersebut memiliki kekuatan IPM (6) 71,36 71,57 71,05 72,49 73,39 75,42 76,17 JESP Vol. 5, No.1, 2013 ekonomi yang cukup baik di Kota Kediri dan memiliki peran yang cukup menonjol sehingga Kota Kediri surplus akan produk sektor tersebut. Artinya, kebutuhan Kota Kediri akan produk dari sektor tersebut sudah dapat terpenuhi. Dengan demikian, sektor industri tersebut berpotensi untuk di ekspor ke daerah lain sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Kota Kediri. Kemudian, dari sembilan sektor tersebut yang termasuk sektor non-basis di Kota Kediri ada delapan. Kedelapan sektor tersebut adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan nilai LQ rata-rata sebesar 0,71. Sektor non-basis kedua adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dengan nilai LQ rata-rata sebesar 0,69. Ketiga adalah sektor listrik, gas dan air bersih dengan nilai LQ rata-rata sebesar 0,18. Keempat adalah sektor jasajasa dengan nilai LQ rata-rata sebesar 0,14. Kelima adalah sektor pengangkutan dan komunikasi dengan nilai LQ rata-rata sebesar 0,13. Keenam adalah sektor konstruksi dengan nilai LQ rata-rata sebesar 0,06. Ketujuh adalah sektor pertanian dengan nilai LQ rata-rata sebesar 0,013 dan yang terakhir adalah sektor pertambangan dan penggalian dengan nilai LQ sebesar 0,0019. Sektor non-basis mengidentifikasikan bahwa sektor tersebut tidak memiliki kekuatan ekonomi yang cukup baik di Kota Kediri. Peran ke delapannya kurang menonjol dan belum mengalami surplus produksi. Artinya, bahwa produk dari sektor-sektor tersebut hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan lokal dan tidak memiliki keunggulan komperatif. Dengan demikian kedelapannya belum berpotensi untuk di ekspor. Beberapa upaya pemerintah untuk meningkatkan sektor non basis agar memiliki kontribusi besar dan menjadi sektor basis disampaikan oleh Bapak Hidayanto Agus, bahwa: “Upayanya pemerintah lebih mempermudah dan mempercepat proses perijinan investasi melalui perbaikan pelayanan perijinan. Peningkatan mutu pelayanan perijinan dilakukan melalui pelayanan publik keliling (mobile public service) dan pelayanan perijinan ekstra sampai malam hari oleh Kantor Pelayanan Perijinan”. “Terus melakukan pembenahan dan perbaikan infrastruktur ekonomi, seperti perbaikan kualitas jalan, jembatan, air bersih, maupun sarana dan prasarana transportasi”. Dapat disimpulkan bahwa dengan meningkatkan kualitas pelayanan perijinan di Kota Kediri dan terus melakukan perbaikan infrastruktur ekonomi maka akan dapat mendorong sektor non basis tersebut menjadi basis. Analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP) Sektor-sektor ekonomi yang memiliki laju pertumbuhan lebih tinggi dari pertumbuhan total PDRB Provinsi Jawa Timur yaitu, sektor pengangkutan dan komunikasi dengan nilai RPR rata-rata sebesar 1,86. Sektor kedua yaitu sektor pertambangan dan penggalian dengan nilai RPR rata-rata sebesar 1,48. Sektor ketiga yaitu sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dengan nilai RPR rata-rata sebesar 1,32. Sektor keempat yaitu sektor jasa-jasa dengan nilai rata-rata RPR 1,30. Sektor kelima yaitu sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan nilai rata-rata RPR 1,20. Selanjutnya, dari kesembilan sektor ekonomi tersebut, yang mempunyai laju pertumbuhan lebih rendah dibandingkan pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Timur ada empat sektor. Sektor tersebut yaitu sektor konstruksi dengan nilai RPR ratarata sebesar 0,73. Sektor kedua yaitu sektor industri pengolahan dengan nilai RPR ratarata sebesar 0,72. Sektor ketiga yaitu sektor pertanian dengan nilai RPR rata-rata sebesar 0,50 dan yang terakhir yaitu sektor listrik, gas dan air bersih dengan nilai RPR rata-rata sebesar 0,04. Sektor-sektor ekonomi di Kota Kediri yang memiliki laju pertumbuhan 69 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 tinggi dibandingkan sektor yang sama di Jawa Timur yaitu sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dengan nilai RPS rata-rata sebesar 1,59. Sektor kedua yaitu sektor konstruksi dengan nilai RPS rata-rata sebesar 1,54. Sektor ketiga yaitu sektor jasa-jasa dengan nilai RPS ratarata sebesar 1,49. Sementara itu, sektor-sektor yang pertumbuhannya lebih rendah dibanding Jawa Timur ada enam sektor. Sektor-sektor tersebut adalah sektor listrik, gas dan air bersih dengan nilai RPS rata-rata sebesar 0,92. Sektor kedua yaitu sektor pengangkutan dan komunikasi dengan nilai RPS rata-rata sebesar 0,83. Sektor ketiga yaitu sektor pertanian dengan nilai RPS rata-rata sebesar 0,76. Sektor keempat yaitu sektor industri pengolahan dengan nilai RPS rata-rata sebesar 0,64. Sektor kelima yaitu sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan nilai RPS rata-rata sebesar -0,04. Sektor keenam yaitu sektor pertambangan dan penggalian dengan nilai RPS rata-rata sebesar -1,27. Analisis Klaassen Typology Sektor yang termasuk dalam kuadran I yang merupakan sektor maju dan tumbuh pesat tidak ada. Sedangkan sektor yang masuk dalam kuadran II yaitu hanya sektor industri pengolahan, sektor tersebut bisa dikatakan sektor yang sedang mengalami kejenuhan. Selanjutnya, yang termasuk sektor potensial di Kota Kediri adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, sektor konstruksi, sektor jasa-jasa. Sektor ini merupakan sektor yang lagi booming di Kota Kediri dan sektor ini akan masih dapat berkembang dengan cepat. Sedangkan sektor yang relatif tertinggal adalah adalah sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor pertanian; sektor listrik, gas dan air bersih; dan sektor pertambangan dan penggalian. Sektor yang termasuk basis adalah sektor industri pengolahan. Sektor yang memiliki laju pertumbuhan lebih tinggi di 70 Kota Kediri dibanding sektor yang sama di tingkat propinsi yaitu sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; sektor konstruksi dan sektor jasa-jasa. Kemudian berdasarkan analisis Klaassen Typology yang merupakan gabungan dari analisis Location Quotient (LQ) dan Model Rasio Pertumbuhan (MRP) dapat ditetapkan skala prioritas sektor dalam rangka penyusunan kebijakan pembangunan ekonomi daerah. Dengan merujuk hasil analisis sebelumnya, maka kebijakan pembangunan berdasarkan prioritas sektoral Kota Kediri adalah sebagai berikut. 1. Sektor-sektor yang maju dalam kategori ini adalah sektor basis dan memiliki laju pertumbuhan lebih tinggi dibanding laju pertumbuhan sektor yang sama di Jawa Timur. Namun Kota Kediri belum memiliki sektor yang maju dan tumbuh dengan pesat. 2. Sektor yang termasuk dalam kategori maju tetapi tertekan adalah sektor basis namun memiliki laju pertumbuhan lebih rendah dibanding sektor yang sama di Jawa Timur. Sektor yang termasuk dalam kategori ini adalah sektor industri pengolahan. Dalam pembangunan sektoral, sektor tersebut menjadi prioritas kedua setelah sektor dalam kategori maju dan tumbuh dengan pesat. Namun, yang perlu diperhatikan bahwa laju pertumbuhan sektor tersebut lebih rendah jika dibandingkan sektor yang sama ditingkat Jawa Timur. 3. Kategori sektor potensial adalah sektor yang memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding sektor yang sama di tingkat Jawa Timur. Sektor yang termasuk dalam kategori ini adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; sektor konstruksi dan sektor jasa-jasa. Sektor ini memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan sektor yang sama di Jawa Timur. Dalam prioritas pem- JESP Vol. 5, No.1, 2013 bangunan, sektor ini layak dipertimbangkan dan menjadi prioritas ketiga setelah sektor yang termasuk maju dan tumbuh dengan pesat dan sektor yang maju tapi tertekan. Alasan tersebut adalah meskipun memiliki laju pertumbuhan tinggi namun belum memiliki tingkat kebasisan. 4. Sektor relatif tertinggal ini dikatakan tertinggal karena sangat tidak competitive. Sektor dalam kategori ini bukan merupakan sektor basis dan memiliki laju pertumbuhan yang rendah. Sektor yang termasuk dalam kategori ini adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor listrik, gas dan air bersih; sektor pertanian; dan sektor pertambangan dan penggalian Untuk menjadi sektor unggulan atau leading sector, tidak cukup hanya dilihat dari sisi tingkat kebasisan namun juga dilihat dari sisi laju pertumbuhannya yang dibandingkan dengan Jawa Timur. Dengan demikian, sektor tersebut akan memiliki daya saing tinggi dan mampu bersaing dengan daerah lain. Maka, sektor ini dalam prioritas pembangunan dijadikan prioritas terakhir setelah sektor yang termasuk dalam kategori di atas. Upaya pemerintah untuk meningkatkan sektor relatif tertinggal agar dapat menjadi sektor potensial disampaikan oleh bapak Hidayanto Agus Surno selaku Kepala Bidang Perekonomian Bappeda, menyatakan bahwa: “Dengan melakukan penentuan prioritas kebijakan pembangunan ekonomi Kota Kediri yang di dasarkan pada seluruh potensipotensi yang ada di Kota Kediri. Melakukan kajian-kajian kebijakan ekonomi terkait sektor-sektor tertentu yang masih relatif belum tertangani, misalnya kajian-kajian terkait UMKM, kajian Ekonomi Kreatif, Kajian Revitalisasi Pasar Tradisional, dll”. Dengan memperhatikan tingkat basis dan laju pertumbuhannya suatu sektor akan memiliki daya saing yang tinggi jika dibandingkan dengan sektor yang sama di daerah lain sehingga dapat dijadikan andalan dalam pengembangan pembangunan. Sehingga penentuan prioritas sektor yang menjadi unggulan untuk pengembangan kebijakan pembangunan ekonomi Kota Kediri dilihat berdasarkan hasil analisis Klaassen Typology, merupakan gabungan dari Location Quotient (LQ) dan Model Rasio Pertumbuhan (MRP). Dari hasil analisis klaassen typology di atas dapat dihasilkan empat sektor ekonomi yang menjadi unggulan berdasarkan sektor yang maju tapi tertekan dan sektor potensial yaitu sektor industri pengolahan; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; sektor konstruksi; dan sektor jasa-jasa. Sebaiknya, skala prioritas kebijakan pembangunan ekonomi Kota Kediri di dasarkan pada empat sektor yang menjadi unggulan yaitu sektor industri pengolahan; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; sektor konstruksi; dan sektor jasa-jasa. Kesesuaian Kebijakan Pembangunan Ekonomi Kota Kediri Terhadap Hasil Analisis Sektor yang Menjadi Unggulan Sedikit mengulas RPJMD Kota Kediri 2010-2014, kebijakan pembangunan ekonomi di Kota Kediri diupayakan untuk dapat mewujudkan perekonomian yang adil, merata dan berdaya saing dan berbasis efisien yang menjamin pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup milik sendiri secara berkelanjutan dengan semakin meningkatnya peran serta seluruh lapisan masyarakat guna mendukung terwujudnya Tri Bina Kota yang merupakan landasan pembangunan Kota Kediri yaitu Kediri sebagai Kota Pendidikan, Perdagangan serta Jasa dan Industri. Melalui pendekatan sektoral, tiaptiap sektor di analisis sehingga akan 71 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 memberikan jawaban yang dapat digunakan untuk menentukan skala prioritas pembangunan ekonomi, yaitu: 1. Sektor yang akan memiliki competitive advantage di wilayah tersebut, artinya komoditi tersebut dapat bersaing di pasar global. 2. Sektor yang basis dan non-basis. 3. Sektor yang memiliki nilai tambah/ kontribusi yang tinggi. 4. Sektor yang perlu dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan minimal wilayah tersebut. Sehingga mengacu pada hasil analisis dan fakta empiris Kota Kediri, ada empat sektor yang dapat dijadikan sebagai sektor yang menjadi unggulan sebagai prioritas kebijakan pembangunan ekonomi yaitu sektor industri pengolahan; sektor persewaan, keuangan dan jasa perusahaan; sektor konstruksi; dan sektor jasa-jasa. Jika dikaitkan dengan kebijakan landasan pembangunan Tri Bina Kota Kediri yaitu bidang pendidikan, perdagangan serta jasa dan industri yang sudah ada sejak pergantian beberapa kali wali Kota Kediri terdapat perbedaan (gap) antara hasil analisis sektor yang menjadi unggulan yaitu sektor konstruksi dan sektor persewaan, keuangan dan jasa perusahaan yang tidak dicantumkan pada landasan pembangunan Tri Bina Kota Kediri. Sedangkan sektor perdagangan yang terdapat pada Tri Bina Kota tidak ditemukan pada hasil analisis sektor yang menjadi unggulan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan pembangunan ekonomi Kota Kediri yaitu Tri Bina Kota belum sesuai dengan hasil analisis sektor yang menjadi unggulan (leading sector). Sektor-Sektor Ekonomi yang Berpotensi Menjadi Unggulan dalam Pembangunan Ekonomi Kota Kediri Sektor industri pengolahan merupakan sektor yang memiliki kontribusi besar dan dapat dijadikan sebagai sektor unggulan di Kota Kediri. Hal ini 72 disebabkan adanya industri rokok dan tembakau yang merupakan primadona bagi Kota Kediri sehingga perkembangannya mampu mewarnai perkembangan ekonomi Kota Kediri dan penyumbang PDRB terbesar. Hal ini faktor keberhasilan sektor industri pengolahan memiliki kontribusi paling besar juga diperkuat dengan pernyataan Bapak Budi Irianto dari Dinas Perindustrian yang menyampaikan bahwa: “Hubungannya lebih identik dengan adanya PT.Gudang Garam yang letaknya di wilayah Kota Kediri. Serta infrastruktur, transportasi dan fasilitas bank yang mendukung”. Pendukung sektor industri pengolahan menjadi sektor basis juga adanya produk industri kecil lainnya yang saat ini berkembang adalah yang merupakan sub sektor tekstil, barang dari kulit dan alas kaki atau industri kerajinan. Industri berskala Kecil dan Menengah (IKM) tersebut saat ini merupakan program utama pemerintah untuk meningkatkan sektor industri agar tidak hanya mengandalkan pada sektor industri besar saja. Salah satunya pemerintah melakukan pemberdayaan kerajinan tenun ikat Bandar Kidul yang sudah dikenal masyarakat luas. Namun sektor industri pengolahan ini masih masuk dalam prioritas sektoral yang maju tetapi tertekan. Hal ini diduga tertekannya sektor industri pengolahan ini ada hubungannya dengan perolehan bahan baku sehingga mengalami penurunan produksi khususnya pada tanaman tembakau di beberapa daerah di Provinsi Jawa Timur karena pengaruh musim hujan yang panjang. Selain itu juga disebabkan adanya krisis finansial dan krisis energi. Faktor lain yang menyebabkan sektor ini maju tapi tertekan juga diperkuat dengan pernyataan Bapak Hidayanto Agus Surno Kepala Bidang Perekonomian Bappeda menyampaikan bahwa: “Kelemahan pengembangan sektor industri pengolahan, dikarenakan Luas wilayah Kota Kediri yang terbatas. Dalam mendapatkan bahan baku industri masih mengandalkan JESP Vol. 5, No.1, 2013 pasokan dari daerah lain, sehingga meningkatkan biaya produksi terutama bagi UMKM”. Kondisi yang demikian mengidentifikasikan bahwa jika pertumbuhannya tidak segera didorong, kontribusinya terhadap PDRB dapat dipastikan akan mengalami penurunan. Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian akhir tahun 2011, jumlah perusahaan industri sebesar 563 unit dan jumlah pekerja sampai 46.248 orang. Sektor industri pengolahan juga memberikan kontribusi yang sangat besar pada pendapatan daerah dan meningkatkan income perkapita penduduk. Jenis industri yang berkembang di Kota Kediri adalah industri besar, sedang dan kecil. Pengembangan industri ini sudah berkembang di semua kecamatan yang ada di Kota Kediri. Dengan semakin meningkatnya produksi, maka kebutuhan masyarakat Kota Kediri akan dapat dipenuhi sendiri. Diharapkan pula dengan semakin membaiknya sektor industri pengolahan bisa menyerap tenaga kerja lebih banyak sehingga mengurangi angka pengangguran di Kota Kediri. Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan merupakan sektor yang menjadi unggulan. Hal ini disebabkan laju pertumbuhan sektor ini terbilang tinggi jika dibandingkan dengan laju partumbuhan sektor yang sama di Jawa Timur meskipun sektor ini masih non basis. Berangkat dari kondisi tersebut, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dikategorikan sebagai sektor potensial yang masih dapat berkembang pesat. Hal ini memungkinkan mengingat Kota Kediri ditandai dengan mulai menjamurnya penyewaan ruko-ruko baru, jasa TKI, jasa notaris dan cabang bank baru yaitu BRI dan Bank Mandiri yang membuka cabang di tiap kecamatan; bank asing baru Common W ealth dan BPR. Pegadaian sebagai salah satu lembaga keuangan bukan bank juga sudah merambah ke tingkat kelurahan. Banyaknya koperasi yang sudah berbadan hukum sebanyak 361 pada tahun 2010 juga merupakan nilai tambah di sektor lembaga keuangan bukan bank. Karena banyaknya sektor jasa yang berpusat di Kecamatan Kota, sehingga wilayah tersebut dinamakan sebagai kawasan CBD (Centra Bussiness District). Faktor penyebab tingginya laju pertumbuhan sektor tersebut juga didukung pernyataan Bapak Hidayanto Agus Surno selaku Kepala Bidang Perekonomian Bappeda yang menyampaikan bahwa: “Faktor keberhasilan sektor tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi masyarakat Kota Kediri yang cukup tinggi, sehingga kebutuhan masyarakat akan jasa keuangan, persewaan, konstruksi, dan jasa-jasa lainnya semakin meningkat. Pertumbuhan jumlah penduduk dan arus urbanisasi ke Kota Kediri mendorong naiknya tingkat kebutuhan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, seperti kebutuhan akan perumahan (property), fasilitas jasa-jasa berbagai keperluan, dan perputaran perdagangan. Keunggulan komparatif perekonomian Kota Kediri relatif lebih baik dibandingkan daerahdaerah lain dalam skala regional sehingga mendorong pertumbuhan sektor keuangan, jasa, maupun konstruksi lebih cepat dibanding daerah sekitarnya”. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa yang menyebabkan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan menjadi sektor unggulan ditandai dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat Kota Kediri yang cukup tinggi sehingga mendorong sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan pertumbuhannya juga meningkat. Sektor Konstruksi 73 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 Sektor konstruksi merupakan sektor yang dapat menjadi unggulan. Hal ini disebabkan sektor konstruksi merupakan sektor potensial yang sedang booming atau masih dapat berkembang pesat meskipun masih non basis. Kriteria sektor potensial tersebut berdasarkan laju pertumbuhan sektor konstruksi di Kota Kediri cenderung lebih tinggi dibanding di tingkat provinsi. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya laju pertumbuhan sektor konstruksi di Kota Kediri adalah adanya pembangunan fisik yang berupa sarana dan prasarana. Pembangunan tersebut antara lain pembangunan perumahan-perumahan baru, tempat usaha, mall, rumah sakit umum, maupun pembangunan infrastruktur di Kota Kediri. Membaiknya iklim usaha di Kota Kediri berimbas pula pada peningkatan output di sektor konstruksi. Ditandai adanya pembangunan pusat belanja Kediri Mall; Kediri Town Square; dan Ramayana; tempat wisata Waterpark Tirtayasa; kawasan wisata Goa Selomangleng; pembangunan RS.Gambiran II; perbaikan RS.Baptis; pembangunan pasar grosir buah dan sayuran ngronggo; pembangunan rumah susun dekat Pabrik Rokok Gudang Garam serta pembangunan jembatan baru Brawijaya dan GOR Jayabaya. Pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana cukup banyak terjadi di wilayah Kota Kediri. Sektor tersebut juga memiliki peran penting untuk percepatan pengembangan perekonomian. Oleh karena itu, momentum Kota Kediri harus terus dijaga supaya nilai tambah sektor ini terhadap PDRB terus bertambah. Dengan demikian sektor ini dapat berkembang dengan cepat. Sektor Jasa-Jasa Sektor jasa-jasa merupakan sektor yang menjadi unggulan di Kota Kediri berdasarkan hasil analisis. Hal ini disebabkan tingginya laju pertumbuhan sektor jasa-jasa terutama sub sektor jasa sosial kemasyarakatan yang mencakup 74 bidang pendidikan dan kesehatan kemudian disusul oleh sub sektor jasa hiburan dan kebudayaan. Meskipun kontribusi sektor jasa-jasa masih non basis tetapi sektor ini menempati kuadran III pada prioritas sektoral. Sehingga sektor jasa-jasa tersebut merupakan sektor potensial yang masih dapat berkembang pesat dan dapat dijadikan sebagai sektor unggulan. Dengan semakin sadarnya masyarakat akan pentingnya pendidikan dan kesehatan, menjadikan nilai tambah pada sektor ini semakin besar. Sekolah-sekolah favorit yang berstandar Internasional mulai dari SMP dan SMA serta sampai dengan perguruan tinggi favorit semakin kebanjiran murid maupun mahasiswa baru dari luar daerah meskipun biaya yang dikeluarkan cukup besar. Dilengkapi dengan membanjirnya Lembaga Bimbingan Belajar(LBB) dari luar kota yang membuka cabang di Kota Kediri. Pemerintah juga memberikan program ijin belajar kepada pegawai dan mengikutsertakan dalam berbagai pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan dibidang kesehatan, kenaikan nilai tambah lebih dikarenakan oleh munculnya apotek 24 jam dan puskesmas baru yang melayani 24 jam dan pengobatan gratis yang banyak diminati oleh golongan masyarakat menengah ke bawah. Sementara itu, golongan masyarakat menengah ke atas lebih memilih berobat ke rumah sakit swasta yang pelayanannya cepat dan ke dokter-dokter praktek umum. Untuk menjadi sektor unggulan tidak cukup hanya dilihat dari tingkat kebasisan namun juga harus dilihat dari tingkat pertumbuhannya yang disbandingkan dengan Jawa Timur. Dengan demikian, sektor tersebut akan memiliki daya saing tinggi dan mampu bersaing dengan daerah lain. Maka, ke empat sektor di atas yaitu sektor industri pengolahan; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; sektor konstruksi; dan sektor jasa-jasa dalam prioritas pembangunan JESP Vol. 5, No.1, 2013 dapat dijadikan sebagai penentu prioritas kebijakan pembangunan ekonomi Kota Kediri di tahun berikutnya. Kesesuaian Kebijakan Pembangunan Ekonomi Kota Kediri terhadap Hasil Analisis Sektor yang Menjadi Unggulan Kebijakan pembangunan ekonomi Kota Kediri didasarkan pada landasan pembangunan Tri Bina Kota Kediri yaitu bidang pendidikan, perdagangan serta jasa dan industri yang sudah ada sejak pergantian beberapa kali wali Kota Kediri. Sedangkan hasil analisis sektor yang menjadi unggulan yaitu sektor industri pengolahan; sektor persewaan, keuangan dan jasa perusahaan; sektor konstruksi; dan sektor jasa-jasa. Antara kebijakan pembangunan ekonomi Kota Kediri dengan hasil analisis sektor yang menjadi unggulan terdapat perbedaan (gap) sehingga kebijakan pembangunan ekonomi yang sudah ada belum sesuai dengan sektor-sektor ekonomi yang menjadi unggulan di Kota Kediri. Hasil analisis sektor ekonomi yang menjadi unggulan yaitu sektor industri pengolahan; sektor keuangan, persewaan, jasa perusahaan; sektor konstruksi; dan sektor jasa-jasa. Namun, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor konstruksi belum tercantum pada landasan pembangunan Tri Bina Kota Kediri. Hal ini disebabkan bahwa landasan pembangunan Kota Kediri yaitu Tri Bina Kota Kediri hanya didasarkan pada perkembangan kontribusi sektoralnya terhadap PDRB dan kondisi sosialnya. Sehingga tidak dilihat laju pertumbuhan dan tingkat kebasisannya. Sedangkan sektor perdagangan yang ada dalam Tri Bina Kota Kediri tidak terdapat pada hasil analisis sektor yang menjadi unggulan karena pada skala prioritas sektoral termasuk sektor yang relatif tertinggal. Meskipun sektor perdagangan memiliki kontribusi terbesar kedua setelah sektor industri pengolahan di dalam PDRB Kota Kediri namun laju pertumbuhannya di Kota Kediri diban- dingkan dengan jawa timur masih terbilang rendah atau lambat, maka hal ini akan menghambat tingkat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Sehingga sektor perdagangan kurang sesuai jika dijadikan sebagai landasan pembangunan Kota Kediri. Upaya pemerintah sebaiknya lebih meningkatkan kebijakannya yaitu dalam mengembangkan pemberdayaan pasar dalam negeri dan ekspor; meningkatkan penganekaragaman produk dan pasar ekspor daerah serta menggalakkan upaya pelatihan calon eksportir; memperluas jaringan pelayanan konsumen pada tingkat regional sampai nasional; melakukan pmbangunan/peningkatan pasar yang memadai di setiap kelurahan; peningkatan kuantitas kerjasama (kemitraan) dengan pengusaha besar. Sedangkan landasan pembangunan Tri Bina Kota Kediri di bidang pendidikan termasuk salah satu sub sektor jasa sosial kemasyarakatan sehingga sudah sesuai dengan hasil analisis. Jika dilihat pada fakta empiris bidang pendidikan di Kota Kediri juga semakin berkembang pesat. Dilihat dari data perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada bab empat tabel 4.5 tersebut terlihat bahwa nilai IPM cenderung meningkat. Naiknya nilai IPM mengidentifikasikan pembangunan manusia di Kota Kediri sudah cukup berhasil. Selain itu, dalam rangka meningkatkan aksesibilitas pelayanan pendidikan yang murah dan bermutu, maka pemerintah menetapkan program prioritas yang akan dilaksanakan melalui programprogram (1) Program Peningkatan Aksesibilitas dan Kualitas Pendidikan Dasar, Menengah dan Kejuruan; (2) Program Peningkatan Manajemen Pendidikan. Melalui majunya sektor industri dan keuangan di Kota Kediri, maka salah satu program dasar dari pembangunan ekonomi Kota Kediri adalah melakukan pengembangan koperasi dan UMKM dengan meningkatkan iklim investasi dan realisasi investasi sebagai modal dasar pertumbuhan pembangunan. Pengem- 75 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 bangan koperasi dan UMKM ini termasuk dalam sub sektor keuangan. Tujuannya adalah untuk meningkatnya posisi serta menguatnya kelembagaan koperasi dan meningkatkan perekonomian berbasis kerakyatan dan akan dilaksanakan melalui program (1) Program Pengembangan koperasi &UKM; (2) Program Pengembangan kewirausahaan dan keunggulan kompetetif KUKM. Sedangkan pada sub sektor jasa perusahaan, program pemerintah adalah meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui perbaikan kualitas lembaga pelatihan tenaga kerja meningkatkan peran lembaga penempatan kerja (UP3 dan Penciptaan Kegiatan). Untuk sektor konstruksi kebijakan pemerintah untuk meningkatkan sektor tersebut adalah meningkatkan sarana dan prasarana daerah serta aksesibilitas kota melalui dukungan pelayanan prasarana jalan dan jembatan yang sesuai dengan perkembangan kebutuhan transportasi baik dalam hal kecepatan maupun kenyamanan. Adanya gap kebijakan pembangunan ekonomi Kota Kediri dengan hasil analisis tersebut bukanlah hal yang buruk melainkan dapat dijadikan bahan pertimbangan lagi terhadap perencanaan pembangunan Kota Kediri ke depannya. Harapan kedepannya, kebijakan yang dibuat benar-benar didasarkan atas faktafakta yang ada di lapangan. Sehingga kebijakan yang dibuat benar-benar dapat menjamin kesejahteraan masyarakatnya. Sehingga arah landasan kebijakan pembangunan ekonomi Kota Kediri sebaiknya ditambahkan sektor keuangan dan sektor konstruksi sebagai pendukung berkembangnya sektor industri dan sektor jasa. Hasil penelitian sektor yang menjadi unggulan yaitu sektor industri pengolahan; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; sektor konstruksi dan sektor jasa-jasa menunjukkan bahwa keempat sektor tersebut memiliki prospek yang lebih baik dibandingkan dengan 76 sektor-sektor lainnya untuk dijadikan sektor unggulan. Melihat kondisi di atas, sudah sepatutnya jika Kota Kediri dijadikan sebagai Kota yang bergerak di bidang industri, keuangan, konstruksi dan jasajasa. Jika mereview teori pertumbuhan jalur cepat Samuelson, dengan mengembangkan sektor yang berpotensi besar di suatu wilayah agar pertumbuhannya lebih cepat guna sektor yang satu dapat mendorong pertumbuhan sektor yang lain, begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini sektor yang memiliki potensi paling besar adalah sektor industri. Majunya sektor industri tersebut dapat mendorong sektor lainnya untuk berkembang. Seperti di dukung oleh perkembangan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, sektor jasa-jasa dan sektor konstruksi. Jika mereview teori transformasi sektoral Fisher, bahwa semakin maju suatu daerah, keberadaan sektor sekunder dan tersier semakin mendominasi perekonomian. Dalam hal ini sektor industri dan sektor konstruksi merupakan golongan sektor sekunder dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dan sektor jasa-jasa merupakan sektor tersier. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa struktur perekonomian Kota Kediri di dominasi oleh sektor sekunder dan tersier. Dengan demikian hasil penelitian ini di dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan pembangunan Kota Kediri di tahun berikutnya. Penutup Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan mengenai analisis sektorsektor ekonomi dalam rangka pengembangan kebijakan pembangunan ekonomi Kota Kediri, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut;(1) Kota Kediri memiliki empat sektor yang menjadi sektor unggulan yang dilihat dari tingkat kebasisan dan laju pertumbuhan yang dibandingkan dengan Provinsi Jawa Timur JESP Vol. 5, No.1, 2013 setelah dianalisis menggunakan Klaassen Typology yaitu sektor industri pengolahan; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; sektor konstruksi; dan sektor jasa–jasa. Sektor unggulan pertama adalah sektor industri pengolahan karena merupakan sektor basis dan memiliki kontribusi besar terhadap pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Kediri. Sektor yang menjadi unggulan kedua adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dimana di Kota Kediri meskipun masih sektor yang non basis namun laju pertumbuhannya di Kota Kediri cukup tinggi jika dibandingkan dengan Propinsi Jawa Timur sehingga sektor ini merupakan sektor potensial yang masih dapat berkembang cepat. Sektor yang menjadi unggulan ketiga dan keempat adalah sektor konstruksi dan sektor jasa–jasa, tidak berbeda jauh dengan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, sektor tersebut juga merupakan sektor potensial yang memiliki peluang masih dapat berkembang lagi walaupun nilai kontribusinya masih kecil, (2) Kebijakan pembangunan ekonomi Kota Kediri yaitu yang tertuang dalam landasan pembangunan Tri Bina Kota Kediri di bidang pendidikan, perdagangan serta jasa dan industri, jika dikaitkan dengan hasil analisis sektor ekonomi yang menjadi unggulan yaitu sektor industri pengolahan, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, sektor konstruksi dan sektor jasa-jasa masih terdapat perbedaan (gap). Sehingga kebijakan pembangunan ekonomi Kota Kediri yang tertuang dalam landasan pembangunan Tri Bina Kota belum sesuai dengan hasil analisis sektor yang menjadi unggulan. Karena arah kebijakan pembangunan Kota Kediri tersebut hanya melihat dari sisi internalnya saja, yaitu kontribusi sektoral dan kondisi sosial. Berdasarkan pada hasil tersebut maka perlu bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiata pada sector-sektor yang memiliki potensi ekonomi. Hal ini penting karena dalam era perekonomian global dewasa ini dibutuhkan ketahanan perekonomian yang berbasispada kemandirian dan kapasitas perekonomian daerahnya. Daftar Pustaka (http://www.deptan.go.id/bpsdm/agropoli tan.htm. diakses 17 agustus 2011) Kecamatan Poncokusumo, 2010. Kecamatan Poncokusumo Dalam Angka 2010. Moleong, Lexy J, 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Pemerintah Provinsi Jawa Timur., 2011.Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan Provinsi Jawa Timur Tahun 2011. (Online) (http://app1.agropolitanjatim.net/upload/cms/Pedum%20Agro% 202011.pdf. Di akses 03 Februari 2012) Rahardjo, Mudjia, 2010. Jenis dan Metode Penelitian Kualitatif. (online) (http://mudjiarahardjo.com/materikuliah/215-jenis-dan-metode-penelitiankualitatif.pdf diakses 17 agustus 2011) Sugiyono, 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV . Alfabeta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2007. Masterplan Agropolitan Kabupaten Malang. Kabupaten Malang: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2007. Agropolitan Poncokusumo dan Perkembangannya. Kabupaten Malang: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Budi Santosa, Purbayu, 2009. Paradigma Penelitian Kualitatif. (Online) (http://www.scribd.com/doc/51268701/ Metode-Penelitian-Kualitatif. Di akses 18 agustus 2011) Departemen Pertanian. Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. Bappenas (online) 77 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 Sulistiono. Tinjauan Pustaka Konsep Wilayah dan acara Focus Group Discussion tentang Pusat Pertumbuhan.(online) Pengentasan Kemiskinan (http://www.damandiri.or.id/file/sulistion Diselenggarakan oleh BPS Kabupaten oipbbab2.pdf diakses 18 agustus 2011) Malang. Malang, 2011. Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Wahjoedi. 2010. Pembangunan Bidang Pertanian Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Sebagai Sektor Basis Untuk Kesempatan Disertasi, Artikel, Makalah, Tugas Akhir , Kerja dan Pengentasan Kemiskinan di Laporan Penelitian. Edisi Kelima. Kabupaten Malang. Makalah disajikan Malang: Penerbit UM. dalam acara Focus Group Discussion W ahjoedi. 2011. Pengembangan Pariwisata tentang Pengentasan Kemiskinan Berbasis Pertanian dan Potensinya Diselenggarakan oleh BPS Kabupaten dalam Menurunkan Angka Kemiskinan Malang. Malang, 14 Oktober 2010 di Kota Batu. Makalah disajikan dalam 78 JESP Vol. 5, No.1, 2013 PELAKSANAAN PENGEMBANGAN KA W ASAN AGROPOLITAN KABUPATEN MALANG (STUDI KASUS KECAMATAN PONCOKUSUMO) Lia Sunfianah Ali Wafa Abstract The focus of this study are discover how far the implementation of agropolitan in Poncokusumo district of Malang regency and to find out the agropolitan development prospect in Poncokusumo district of Malang regency. This study used qualitative approach. Purphose the authors use a qualitative approach is to give systematic, factual and accurate information about the implementation agropolitan area development in Poncokusumo district of Malang regency. The type of data used in this study were secondary data which was documents gotten from BAPPEDA of Malang regency and Poncokusumo district. The primary data were collected from interviews and observation. The result of this study describes that the implementation of agropolitan area development of Poncokusumo district, when this study was done, was in the infrastructure betterment and the improvement of agricultural production and the advancement of supporting subsystem of agricultural production. In the long run, it is hoped that the agropolitan area development of poncokusumo will be able to be a agro-tourism area. The conclusion taken from this study is Poncokusumo district of Malang regency has not fully been an agropolitan area because the development is not maximum. The implementation of agropolitan area development from 2008 to 2010 was still focus on the development of its infrastructure to support the advancement of agricultural production. In 2011, the improvement of agricultural production and the supporting sub system advancement program of agricultural production were begun. The government hopes later on this agropolitan area will be an agro-tourism area and will be a hinterland area for area around it. Keywords: Agropolitan, Economic Development, Agricultural Sector , Rural and Urban Economy. Kebijakan otonomi daerah yang diberlakukan di Indonesia membawa dampak bagi perencanaan pembangunan perekonomian di Kabupaten Malang. Hal tersebut dikarenakan bahwa dengan adanya kebijakan tersebut, Kabupaten Malang mempunyai kesempatan untuk melakukan pembangunan sesuai dengan potensi ekonomi yang dimiliki. Potensi ekonomi terbesar di Kabupaten Malang berasal dari sektor pertanian, karena posisinya sebagai leading sector dalam perekonomian wilayah. Namun, kendala utama yang dihadapi adalah tidak semua komoditas pertanian mempunyai kontribusi yang sama dalam perekonomian wilayah, sedangkan masyarakat membutuhkan hasil pembangunan yang tepat sasaran. Oleh karena itu, diperlukan identifikasi komoditas unggulan yang menjadi prioritas utama dalam pembangunan pertanian. Kemudian, guna mempertahankan posisi komoditas dalam perekonomian, langkah berikutnya adalah penentuan pengembangan wilayah bagi komoditas unggulan, yakni dengan adanya pengembangan kawasan agropolitan. Pada tahun 2007 Kabupaten Malang mulai mengembangkan kawasan agropolitan, tepatnya di Kecamatan Ponco- Alamat Korespondensi : Lia Sunfianah: Mahasiwa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang Sugeng Hadi Utomo. Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang Email : [email protected] JESP Vol. 5, No. 1, 2013 kusumo. Latar belakang mengenai dikembangkannya kawasan agropolitan di Kabupaten Malang ini adalah berdasarkan rencana perwilayahan dalam rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Timur. Dalam arahan pengembangan kawasan yang diprioritaskan, Kabupaten Malang termasuk dalam Kawasan Ekonomi Potensial yang mencakup KAPUK (Kawasan Pengembangan Utama Komoditi). KAPUK adalah kawasan ekonomi yang didominasi oleh satu komoditi dalam satu wilayah kabupaten/kota. KAPUK yang ada di Kabupaten Malang meliputi KAPUK Tembakau yang berpusat di Kecamatan Dampit, KAPUK Kapuk yang terpusat di Kecamatan Bantur, KAPUK Jagung yang berpusat di Kecamatan Kalipare, KAPUK Hortikultura yang berpusat di Kecamatan Poncokusumo, KAPUK susu atau peternakan sapi perah di Kecamatan Pujon (BAPPEDA 2007) Sebagai kabupaten dengan basis perekonomian di sektor pertanian, maka model pembangunan regional yang tepat adalah dengan model Agropolitan. Model ini merupakan salah satu upaya mempercepat pembangunan perdesaan dan pertanian,dimana kabupaten sebagai pusat kawasan (growth center) dengan ketersediaan sumberdaya, tumbuh dan berkembang dengan mengakses, melayani, mendorong dan memacu usaha agribisnis di desa-desa (hinterland) (BAPPEDA, 2007). Konsep agropolitan mencoba untuk mengakomodasi dua hal utama, yaitu menetapkan sektor pertanian sebagai sumber pertumbuhan ekonomi utama dan diberlakukannya ketentuan-ketentuan mengenai otonomi daerah. Agropolitan selain merupakan konsep berpikir, cara pandang, atau strategi untuk melakukan pembangunan di daerah, baik di perkotaan maupun sub perkotaan dengan pertanian berkelanjutan, juga merupakan pendorong proses restrukturisasi perdesaan oleh masyarakat dan berkemampuan membangun interdepensi antara pembangunan 80 perdesaan dan perkotaan secara serasi dan saling mendukung. Pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Malang khususnya di kecamatan Poncokusumo yang sudah berjalan, dalam pelaksanaannya diharapkan dapat mengurangi kesenjangan pertumbuhan kawasan perdesaan dan perkotaan, dan dengan adanya pengembangan kawasan agropolitan ini juga diharapkan bisa mengintegrasikan pembangunan perdesaan dengan pembangunan perkotaan agar taraf hidup masyarakat desa dapat meningkat. Berdasarkan dari penjelasan pada di atas, maka fokus dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan agropolitan di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang dan untuk mengetahui bagaimana prospek pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten malang. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan metode penelitian kualitatif yaitu metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah atau obyek yang apa adanya, tidak dimanipulasi sehingga kondisi pada saat peneliti memasuki obyek, setelah berada di obyek dan setelah keluar dari obyek relatif tidak berubah (Sugiyono, 2008). Pendekatan kualitatif difokuskan untuk mengidentifikasi berbagai faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan pengembangan kawasan agropolitan pada Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data tersebut. Teknik ini dilakukan dengan membandingkan dan mengecek informasi yang didapat dari informan satu dengan cara memperoleh data dari informan kedua. Apabila dalam data tersebut berbeda antara informan satu JESP Vol. 5, No.1, 2013 dengan informan dua maka dilakukan pemeriksaan informan ketiga. Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian studi kasus yaitu penelitian yang mendalam tentang individu, satu kelompok, satu organisasi, satu program kegiatan, dan sebagainya dalam waktu tertentu. Tujuannya untuk memperoleh diskripsi yang utuh dan mendalam dari sebuah entitas Sebagaimana prosedur perolehan data penelitian kualitatif, data studi kasus diperoleh dari wawancara, observasi, dan arsip (Rahardjo, 2010). Hasil Penelitian Gambaran Umum Kecamatan Poncokusumo Kecamatan Poncokusumo terletak pada urutan terbesar ketiga dari luas wilayah kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten Malang, yaitu dengan luas wilayah sebesar 22.250 Ha dan berjarak ± 27 km dari Ibukota Kabupaten Malang. Kecamatan Poncokusumo terletak di bagian timur Kabupaten Malang dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Lumajang. Secara administrasi Kecamatan ini dibagi menjadi 17 desa yang terdiri dari 179 RW, 849 RT, memiliki batas-batas administrasi sebelah utara dengan Kecamatan Tumpang, sebelah selatan dengan Kecamatan Wajak dan Kecamatan Ampelgading, sebelah timur dengan Kabupaten Lumajang, dan sebelah barat dengan Kecamatan Tajinan. Berdasarkan letak geografisnya, wilayah Kecamatan Poncokusumo merupakan daerah dataran dan perbukitan yang bergelombang kerena berbatasan langsung dengan daerah pegunungan yaitu pegunungan Tengger. Kecamatan Poncokusumo memiliki ketinggian ratarata ± 842 meter diatas permukaan laut, dimana wilayah dengan topografi tertinggi yaitu Desa Ngadas dengan ketinggian 2.100 mdpl. Di sebelah timur, Kecamatan Poncokusumo terletak di kaki Gunung Semeru (3.676 mdpl) dengan bentuk topografi yang didominasi oleh lahan dengan tingkat kelerangan sebesar >400. Desa-desa yang memiliki kondisi geografis berupa daerah perbukitan umumnya desa yang terletak di wilayah bagian timur Kecamatan Poncokusumo yaitu meliputi Desa Dawuhan, Sumberejo, Pandansari, Ngadireso, Poncokusumo, Wringinanom, Gubukklakah dan Ngadas. Berdasarkan kondisi geologinya, Kecamatan Poncokusumo sebagian besar terdiri dari hasil gunung api kwarter tua dan sebagian kecil hasil gunung api kwarter muda dengan jenis tanah yang terdiri dari asosiasi andosol, kambisol dan latosol. Dengan kondisi tanah yang demikian ini, kemampuan dan daya dukung tanah tergolong sedang dan baik. Sungai-sungai yang melintasi Kecamatan Poncokusumo dikelompokkan dalam sungai yang mengalir dengan debit air besar sepanjang tahun yaitu Sungai Amprong dan Sungai Lajing, sedangkan sungai dengan debit air relatif kecil adalah Sungai Manten. Sungai-sungai ini sekaligus digunakan penduduk untuk mengairi sawah dan kebutuhan sehari-hari seperti mandi dan mencuci. Namun sebagian besar penduduk juga menggunakan pipanisasi yang dikelola secara swadaya masyarakat setempat dan kemudian dialirkan menuju rumah-rumah penduduk. Selain itu disekitar Sungai Amprong terdapat kegiatan penambangan pasir dan batu kali. Sektor pertanian merupakan sektor andalan dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Lahan pertanian sawah hampir ada di semua desa di wilayah Kecamatan Poncokusumo, yaitu lahan sawah dengan pengairan diusahakan baik dengan irigasi teknis, setengah teknis maupun non teknis. Lahan sawah terluas terdapat di desa Argosuko seluas 196 ha sedangkan empat desa yaitu Poncokusumo, Wringinanom, Gubukklakah dan Ngadas tidak ada lahan sawah karena kondisi topografi yang tidak mendukung. Penggunaan lahan kering di Kecamatan Poncokusumo meliputi untuk permukiman, tegal/kebun, perkebunan dan 81 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 lain-lain. Sebagian besar penggunaan lahan kering di Kecamatan ini adalah untuk tegal atau kebun yaitu seluas 6.473,39 ha dimana Desa Sumberejo memiliki luas tegal/kebun terluas dibandingkan desa yang lain yaitu 977,0 ha. Penggunaan lahan untuk permukiman seluas 1.846,43 ha dimana wilayah permukiman terluas terdapat di Desa Pandansari seluas 500,4 ha. Sedangkan penggunaan lahan untuk keperluan seperti jalan, fasilitas umum dan sebagainya seluas 1.123,64 ha. Aspek kependudukan merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan perencanaan di masa mendatang. Jumlah penduduk di Kecamatan Poncokusumo pada tahun 2009 sebesar 93.243 jiwa, dengan tingkat rasio jenis kelamin sebesar 100,90%. Desa dengan jumlah penduduk terbesar di Kecamatan Poncokusumo adalah Desa Karangnongko, dengan jumlah penduduk pada Tahun 2009 sebesar 7.711 jiwa, sedangkan desa dengan jumlah penduduk terkecil adalah Desa Ngadas yang pada Tahun 2009 penduduknya berjumlah 831 jiwa. Rasio jenis kelamin tertinggi adalah desa Gubugklakah sebesar 106,75%, sedangkan rasio jenis kelamin terendah adalah desa Pajaran sebesar 92,62%. Produksi tanaman pangan yang berpotensial di Kecamatan Poncokusumo adalah jenis komoditi padi dan palawija, dengan total luas tanam padi pada Tahun 2009 seluas 1.321 ha. Produksi tanaman padi di Kecamatan ini pada tahun 2009 sebesar 8.079 ton dengan tingkat produktifitas sebesar 103,71 kw/ha. Meskipun kondisi wilayah Kecamatan ini sebagian besar berupa perbukitan ataupun pegunungan, tetapi pada wilayah datarannya dimanfaatkan sebagai lahan persawahan untuk budidaya tanaman padi, sedangkan pada wilayah dengan topografi berbukit dan lebih tinggi seperti Desa Poncokusumo, Wringinanom, Gubukklakah dan Ngadas tidak terdapat areal persawahan. 82 Jenis tanaman pangan lain yang ada di Kecamatan Poncokusumo adalah tanaman jagung yang terdapat di tiap desa. Luas areal tanaman Jagung di Kecamatan ini pada Tahun 2009 seluas 3.006 ha dengan produksi sebesar 17.024 ton dan produktivitas sebesar 116,71 kw/ha. Tanaman jagung sebagai salah satu jenis tanaman palawija umumnya ditanam bergiliran setelah tanaman padi atau awal musim hujan. Selain sebagai tanaman pangan, daun tanaman jagung juga banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak khususnya sapi perah atau sapi potong yang cukup banyak terdapat di Kecamatan Poncokusumo. Tanaman hortikultura yang potensial di Kecamatan Poncokusumo meliputi jenis komoditi sayur dan jenis komoditi buah. Kecamatan ini sudah sangat dikenal sebagai daerah utama penghasil Apel di Kabupaten Malang dan sebagai salah satu wilayah sentra pengembangan tanaman hortikultura. Tanaman perkebunan yang ada di Kecamatan Poncokusumo berupa cengkeh, kakao/coklat, kopi, tebu, kelapa, kapuk randu, vanelli dan tembakau. Sebagian besar perkebunan yang ada adalah perkebunan rakyat yang merupakan milik masyarakat di Kecamatan ini. Jenis perkebunan Kopi yang dikembangkan oleh masyarakat di Kecamatan Poncokusumo yaitu jenis Kopi Arabika dan Kopi Robusta. Tanaman Kopi Arabika yang dikembangkan di Kecamatan ini, rata-rata produksinya sebesar 3.367,50 kuintal dengan jumlah 449 pohon pada tahun 2009. Dalam perkembangannya, Kopi Robusta cenderung dikembangkan oleh masyarakat. Jenis tanaman perkebunan lain yang banyak dibudidayakan oleh penduduk adalah tanaman Tebu, dimana hasil produksinya merupakan yang paling tinggi di antara jenis tanaman yang lain yaitu sebesar 51.656,20 kuintal. JESP Vol. 5, No.1, 2013 Pelaksanaan Agropolitan di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang Program pembangunan agropolitan merupakan implementatif dari rencana pengembangan yang telah disusun. Pada dasarnya program-program pengembangan yang terkandung didalam Masterplan Kawasan Agropolitan adalah untuk menciptakan Kawasan Agropolitan yang berkelanjutan dengan bentuk perencanaan yang bertahap. Kawasan agropolitan merupakan alternatif solusi untuk pengembangan wilayah (pedesaan) yang diartikan sebagai sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa yakni dengan adanya pusat agropolitan dan desa-desa di sekitarnya yang membentuk kawasan agropolitan. Kawasan agropolitan dicirikan dengan kawasan pertanian yang tumbuh dan berkembang sebagai akibat dari berjalannya sistem dan usaha agribisnis di pusat agropolitan. Pengembangan Kawasan Agropolitan Poncokusumo merupakan gerakan dari dan untuk masyarakat di wilayah kawasan Poncokusmo, oleh karena itu dalam pelaksanaan program pembangunan Agropolitan, masyarakat harus ditempatkan sebagai pelaku utama sedangkan peran institusi pemerintah lebih diarahkan pada tindakan motivasi, fasilitasi, stimulasi dan stabilisasi, sehingga dicapai keberhasilan yang lebih optimal. Secara garis besar mengenai program-program yang terkait dengan Masterplan Kawasan Agropolitan yang perlu diprioritaskan dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun adalah Program 5 Tahun Pertama (2008 - 2012) dan Program 5 Tahun Kedua (2013 – 2017). Pengembangan agribis meliputi Sub Sistem Pra Produksi (Hulu), Sub Sistem Produksi (Tengah), Sub Sistem Pasca Produksi (Hilir), dan Sub Sistem Pendukung. Pada saat ini pelaksanaan agropolitan masih difokuskan pada pelatihan-pelatihan pengolahan produk unggulan terhadap kelompok tani setempat. Pembangunan fasilitas agropolitan sangat diperlukan dalam menunjang kegiatan pertanian, industri, dan pariwisata. Program pembangunan kawasan agropolitan dalam pengembangan fasilitas agropolitan di Kecamatan Ponco-kusumo diantaranya adalah; (1) pem-bangunan gudang pupuk, (2) pembangunan balai penelitian dan pembenihan, (3) pembuatan bangunan konservasi air, (4) pembangunan ST A, (5) pengadaan Koperasi Unit Desa, (6) pembangunan Greenhouse, (7) pembangunan Landmark Agropolitan, (8) pengadaan Warnet Tani, (9) pembangunan laboratorium bersama, dan (10) pembangunan Tourist Information Centre. Pembangunan infrastruktur jalan merupakan prasarana wilayah yang pokok dalam pengembangan kawasan agropolitan sebagai jalur mobilitas, yang diantaranya adalah pelebaran dan perkerasan jalan kunci jalur Poncokusumo-Wringinanom, pembangunan jalan tembus PandansariNgadireso-Karanganyar, pelebaran dan perkerasan Jalan Jalur PoncokusumoPandansari, pelebaran Jalan GubuklakahNgadas, Wringanom-Wonorejo, dan perbaikan Jalan Lintas Agrosuko-NgebrukJambesari. Program pembangunan kawasan agropolitan dalam pengembangan pariwisata di Kecamatan Poncokusumo diantaranya adalah; (1) Pembangunan jalan tembus Coban Pelangi, (2) Pembangunan tempat parkir Coban Pelangi, (3) Pembangunan Home Stay, (4) Pembangunan sentra tanaman hias, (5) Pengembangan Agrowisata Apel (Realisasi Pelaksanaan, 2011). Prospek Pengembangan Kawasan agropolitan di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang Potensi-potensi kawasan pedesaan terutama kawasan-kawasan yang mempunyai produk unggulan harus terus dikembangkan, karena keberhasilan petani dalam peningkatan produksi ternyata tidak 83 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 serta merta dapat meningkatkan pendapatan usaha tani. Nilai tambah ekonomi ternyata tidak hanya berasal dari usaha tani tapi juga dari kegiatan di luar pertaniannya. Maka dari itu paradigma pendekatan pembangunan ekonomi berbasis pertanian harus dirubah, dari yang semula lebih banyak bertumpu pada pembangunan produksi ke pembangunan sistem dan usaha agribisnis dimana seluruh sub sistem agribisnis (budidaya, sarana prasarana produksi, pengolahan hasil, pemasaran, dan jasa) dibangun secara simultan dan harmonis. Dalam mempercepat pembangunan perdesaan dan pertanian diperlukan komitmen dan tanggungjawab moral pembangunan dari segenap aparatur pemerintah, masyarakat maupun swasta, sehingga pembangunan pertanian dapat dilakukan secara efektif, efisien, terintergrasi dan sinkron dengan pembangunan sektor lainnya dan berwawasan lingkungan. Salah satu program keterpaduan tersebut adalah pengembangan Kawasan Agropolitan yang dilakukan pada daerah pemasok hasil produksi pertanian melalui pengembangan DPP (Desa Pusat Pertumbuhan) yang diharapkan dapat mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan agribisnis di desa-desa hinterland. Program ini pada dasarnya merupakan program pembangunan ekonomi berbasis pertanian di Kawasan Agribisnis yang dirancang dan dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan desentralisasi yang digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah. Program Agropolitan bukanlah konsep baru, tetapi merupakan pengembangan dan optimalisasi dari hasil-hasil pembangunan pada kawasan-kawasan andalan, kawasan sentra produksi, kawasan pengembangan ekonomi terpadu, serta mengoptimalkan program-program yang 84 sudah ada sebelumnya, seperti Program Bimas, Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (Kimbun), Kawasan Usaha Peternakan (Kunak), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program penyediaan Sarana dan Prasarana Desa (PPSD), Kemitraan petani dengan pengusaha agribisnis, kemitraan peternak/ nelayan dengan pengusaha industri makanan/eksportir, pengembangan prasarana dan sarana penunjang pertumbuhan ekonomi, serta program-program interdependen lainnya. Prospek pengembangan agropolitan di Kecamatan Poncokusumo pada tahun 2012 merupakan kelanjutan rencana di periode sebelumnya dan tetap berdasarkan pada Masterplan Agropolitan Kabupaten Malang yang dibuat tahun 2007, lebih khusus lagi ditambahkan bahwa pentingnya akses kemudahan pemasaran hasil produksi dan peningkatan pendapatan per kapita merupakan harapan dari sebagian besar petani di Kecamatan ini. Rencana struktur ruang kawasan agropolitan didasarkan pada potensi kawasan terutama dari aspek pertanian, daya dukung lahan sampai pada aksesbilitas serta sarana-prasarana yang mendukung atau perlu dikembangkan. Berdasarkan hasil analisa terhadap struktur ruang wilayah, Kecamatan Poncokusumo dibagi menjadi 2 yaitu wilayah pusat kegiatan dan wilayah pendukung. Adanya hierarki berarti ada keterkaitan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Wilayah dengan tingkat hierarki yang lebih tinggi akan lebih besar pengaruh jangkauannya dan akan mempengaruhi wilayah yang hierarkinya lebih rendah. Berdasarkan hierarki struktur ruang kawasan tersebut, maka penetapan fungsi dari masing-masing kawasan adalah sebagai berikut: Ø Sebagai Daerah Pusat Pertumbuhan Berdasarkan hasil kajian, pusat pengembangan kawasan agropolitan secara regional berada di Kecamatan Poncokusumo. Pada kawasan ini direncanakan terdapat dua wilayah pusat utama pertumbuhan yaitu di Desa Poncokusumo dan JESP Vol. 5, No.1, 2013 Desa Wonomulyo yang berfungsi sebagai kawasan penggerak kegiatan ekonomi bagi kawasan-kawasan pendukung disekitarnya. Ø Sebagai Daerah Pendukung Daerah pendukung pada kawasan agropolitan ini meliputi desa-desa di sekitar wilayah inti pusat pertumbuhan yaitu meliputi Desa Dawuhan, Sumberejo, Pandansari, Ngadireso, Karanganyar, Jambesari, Pajaran, Argosuko, Ngebruk, Karangnongko, Belung, Wonorejo, Wringinanom, Gubuklakah dan Ngadas. Untuk mencapai sasaran pengembangan kawasan agropolitan Kabupaten Malang perlu dilakukan serangkaian penyusunan kebijaksanaan pemerintah daerah dalam perencanaan dan kegiatan pengembangan Agropolitan, yang harus mencakup aspek sektoral dan spasial dalam hal ini bidang ekonomi, sosial, lingkungan hidup dan penataan ruang. Karenanya maka kebijakan perencanaan Agropolitan Kabupaten Malang diarahkan pada strategi sebagai berikut; (1) Tidak boleh dikembangkannya industri yang bersifat Polutif pada zona agropolitan. Karena telah di ketahui bahwa industri yang bersifat polutif banyak merugikan lingkungan sekitar, dari limbah industri akan berdampak pada proses pengembangan agropolitan di sektor pertanian, (2) Alokasi sentra-sentra produksi pertanian. Pada saat ini alokasi sentra produksi pertanian sudah ada, misalnya sentra bunga krisan ada di desa poncokusumo dan sentra buah apel di desa Pandansari, (3) Pengaturan (rute) transportasi sebagai akses pendukung kawasan Agropolitan. Untuk sementara ini tidak sedikit rute transportasi yang perlu adanya pembenahan, (4) Perlu adanya sistem tarif. Untuk saat ini sistem tarif belum di berlakukan di kecamatan Poncokusumo, (5) Tata Air (pengolahan terhadap sumberdaya air yang berkelanjutan), dan (6) Perlu menarik investor/ investor besar. Diharapkan dengan semakin meningkatnya investasi, akan semakin mempercepat pengembangan kawasan Agropolitan Kecamatan Poncokusumo. Pelaksanaan Agropolitan di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang Realisasi dari Masterplan pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Poncokusumo yang dibuat oleh BAPPEDA, pada tahun 2008-2010 masih tahap pembangunan fisik guna untuk melengkapi sarana dan prasarana untuk mendukung program pengembangan kawasan agropolitan. Pada tahun 2008 pembangunan yang dilakukan pemerintah setempat meliputi pemeliharaan saluran irigasi, jalan, pembangunan dinding penahan, pembangunan MCK di rest area, dan pembangunan mushola dikawasan wisata, rehabilitasi tandon air baku, jembatan, duiker, polindes, serta sekolah dasar, peningkatan jalan, pembangunan jembatan, pembangunan saluran. Pada tahun 2009 pembangunan yang dilakukan masih berlanjut pada pembangunan fisik yaitu, rehabilitasi ruang sekolah dasar negeri, jalan, gedung UPTD Dinas Pertanian, kantor kecamatan Poncokusumo, Peningkatan polindes, peningkatan jalan, Pemeliharaan jalan, pelebaran jalan, pemasangan petunjuk jalan umum, pembangunan drainase, pembangunan trotoar, pembangunan jalan lingkungan, saluran irigasi Sumber, pemeliharaan saluran Sumber, pembangunan kios Rest Area di desa gubugklakah, pembangunan Tourist Information Center, pembangunan gedung balai penyuluhan pertanian didesa Wonorejo. Pada tahun 2010 pembangunan yang dilakukan didesa Ngadas adalah pembangunan plengsengan, pembangunan gedung TK, pengepresan jalan, pembangunan rabat beton, rehabilitasi jalan, dan pembangunan jalan kampung. Didesa dawuhan pembangunan yang dilakukan adalah rehabilitasi balai desa, damping saluran irigasi, drainase, makadam jalan, rehabilitasi rumah keluarga miskin, plesterisasi, dan pengaspalan jalan. Pembangunan di desa Wringinanom, pengecoran jalan, pipanisasi, 85 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 pembangunan musholah, pembnagunan drainase, rehabilitasi jalan, rehabilitasi masjid, rehabilitasi madrasah, penyemiran jalan, pembangunan gorong-gorong, pembangunan makadam jalan ladang, dan rehabilitasi rumah keluarga miskin. Pembangunan di desa Belung meliputi pembangunan TK, pembangunan drainase, pavingisasi, damping jalan, pembangunan gorong-gorong, penyemiran jalan, dan rehabilitasi poskesdes. Pembangunan didesa Ngadireso meliputi pengaspalan jalan, pemeliharaan aspal jalan plengsengan, pembangunan gorong-gorong, rehabilitasi kantor desa, penyemiran jalan aspal, dan pembuatan jembatan bambu. Pembangunan didesa Argosuko meliputi pengaspalan jalan didusun W angkal Lor, makadam jalan didusun Keden, drainase jalan dan pembangunan jembatan didusun Wangkal Lor, dan rehabilitasi balai desa Argosuko. Pembangunan didesa Gubugklakah meliputi pembangunan gedung TK, rehabilitasi gedung TK, rehabilitasi sekolah madrasah, pembangunan rabat beton jalan kebun didusun Pagar Bumi, dan rehabilitasi jalan Gubugklakah-Ngadas. Pembangunan didesa Karangnongko meliputi penyemiran jalan dijalan Poros-Nongkosewu, rehabilitasi saluran irigasi, pembangunan gedung TK didusun Baran, rehabilitasi gedung balai desa, rehabilitasi mushola didusun Tenggeran, rehabilitasi sekolah madrasah diidusun Paras, bantuan rehabilitasi rumah keluarga miskin didusun Paras dan Nongkosewu, kebersihan rehabilitasi saluran irigasi didusun Paras dan Nongkosewu, dan penyemiran jalan didusun Tenggeran dan Baran. Pembangunan didesa Wonorejo meliputi rehabilitasi jaringan irigasi, pembangunan pendopo, rehabilitasi jaringan irigasi, pembangunan saluran irigasi, pembangunan drainase, rehabilitasi gedung sekolah madrasah, pembangunan pipanisani, makadam jalan, dan pavingisasi. 86 Pembangunan didesa pandansari meliputi pembangunan gedung PAUD didusun Wonosari, pembangunan rabat beton, pengaspalan, pelebaran jalan protokol, pembangunan gapura, pembangunan gorong-gorong, pembangunan gedung NU, rehabilitasi masjid didusun Sukosari, plesterisasi, dan rehabilitasi rumah keluarga miskin. Pembangunan didesa Poncokusumo meliputi pembangunan klengsengan, rehabilitasi rumah keluarga miskin, pembangunan drainase, perbaikan jalan, pengaspalan jalan, pelebaran jalan, dan pembangunan gorong-gorong. Pembangunan didesa Wonomulyo meliputi pembangunan musholah, pembangunan plengsengan, rehabilitasi gedung TK, rehabilitasi kantor desa, dan pembangunan makadam jalan. Selanjutnya pada tahun 2011 pembangunan infrastruktur didesa-desa di kecamatan Poncokusumo masih terus berjalan diantaranya didesa Wonomulyo, pembangunan irigasi dan trotoar, penyemiran jalan kampung, pembangunan rumah makam, pembangunan irigasi dan penyemiran jalan protokol. Di desa Ngebruk pembangunannya meliputi pengaspalan jalan, penyemiran jalan, makadam jalan, dan pembangunan irigasi. Di desa karangnongko pembangunannya meliputi pengaspalan jalan, penyemiran jalan, makadam jalan, pembangunan TK, pembangunan kantor desa, pembangunan musholah dan masjid, dan pembangunan irigasi. Di desa Jambesari pembangunannya meliputi pengaspalan jalan, penyemiran jalan, dan pembangunan biogester. Di desa Pandansari pembangunannya meliputi rabat beton, pembangunan gorong-gorong, pembangunan musholah, plesterisasi, rehabilitasi rumah keluarga miskin, pembangunan jembatan, pipanisasi, pembangunan balai desa, pemasangan listrik desa. Di desa Pajaran pembangunannya meliputi makadam jalan, pembangunan MCK, rehabilitasi gedung TK, rehabilitasi JESP Vol. 5, No.1, 2013 tugu perbatasan, rehabilitasi musholah, rehabilitasi rumah keluarga miskin, pembangunan pos kamling, pengaspalan jalan Pajaran-Ngebruk, pembangunan jembatan jalan tani, drainase jalan kampung, dan penyemiran jalan. Di desa Wonorejo pembangunannya meliputi pembangunan balai desa, drainase dan rabat beton, pembangunan kantor SD, penyemiran jalan, pengaspalan jalan Wonorejo-Putuk, pembangunan drainase lingkungan, pembangunan drainase jalan protokol, dan pavingisasi. Di desa Ngadireso pembangunannya meliputi rehabilitasi rumah keluarga miskin, tambal sulam aspal, makadam dan pengaspalan jalan, drainase jalan, pembangunan pagar kantor desa, pavingisasi, dan pembangunan gorong-gorong sawah. Di desa Wringinanom pembangunannya meliputi pembangunan jembatan, rabat jalan, pengaspalan jalan, drainase lingkungan, pembangunan rumah keluarga miskin, pembangunan tandon air, dan pembangunan saluran air. Di desa Argosuko pembangunannya meliputi pembangunan saluran irigasi, pembangunan embung, pengaspalan jalan, penyemiran jalan, pavingisasi, dan pembangunan kantor desa. Didesa Belung pembangunannya meliputi rehabilitasi kantor desa, pembangunan tembok penahan tebing (TPT), pavingisasi, penyemiran jalan kampung, pembangunan saluran irigasi, pembangunan drainase, rehabilitasi rumah keluarga miskin, dan pemasangan petunjuk jalan umum. Di desa Ngadas pembangunannya meliputi pengerasan jalan, pembersihan jalan, pembangunan plengsengan jalan, dan pembangunan tandon air. Didesa Dawuhan pembangunannya meliputi pembuatan jalan tembusan, makadam jalan, saluran irigasi, pipanisasi, rehabilitasi rumah keluarga miskin, pembangunan instalasi biogas, pem-bangunan jembatan, pembangunan TPT/plengsengan, dan perbaikan kantor desa. Di desa Sumberejo pembangunannya meliputi pembangunan drainase, pipanisasi, dan plengsengan. Didesa Karanganyar pembangunannya meliputi pembangunan drainase, penyemiran jalan, perbaikan jembatan irigasi, pipanisasi, dan rehabilitasi rumah keluarga miskin. Di desa Poncokusumo pembangunannya meliputi pembangunan drainase, penyemiran jalan, pembangunan gorong-gorong, makadam, rabat beton, rehabilitasi rumah keluarga miskin, pembangunan jalan telford, pembangunan talut penahan jalan, pembangunan pipanisasi air minum, dan PNPM pariwisata. Selain pembangunan infrastruktur, pada tahun 2011 juga terdapat program yang termasuk dalam sub sistem pendukung pengembangan kawasan agropolitan di kecamatan Poncokusumo, yaitu Program Pengembangan Wilayah Terpadu Antar Desa (PWTAD) didesa Wringinanom, Ngadas dan Gubugklakah, Program Pengembangan Keberdayaan Masyarakat (PPKM) didesa Poncokusumo, Program Sistem Manajemen Pembangunan Partisipatif (SMPP) didesa Wringinanom, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) di semua desa, Program Jalin Kesra di semua desa, Program Komunitas Adat Terpencil (KA T) didesa Pandansari, bantuan sapi perah didesa Wringinanom, bantuan pembuatan instalasi biogas didesa Dawuhan, Program Aksi Mandiri Pangan didesa Ngadireso, bantuan sosial lumbung pangan didesa Jambesari, Program Percepatan Konsumsi Pangan (P2KP) didesa Argosuko dan Wonomulyo, bantuan Hand Traktor didesa Wonorejo, Wringinanom, dan Argosuko, kegiatan hutan rakyat didesa Pandansari, Kegiatan Kebun Bibit Rakyat (KBR) didesa Sumberejo, Dawuhan, Karangnongko dan Wringinanom, dan bantuan bagi Kelompok Usaha Bersama (KUBE) didesa Pandansari dan Dawuhan. Selanjutnya adalah program peningkatan produksi pertanian yang juga dilaksanakan pada tahun 2011, meliputi penyediaan sarana produksi pertanian/ 87 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 perkebunan, pengembangan pertanian pada lahan kering, peningkatan kualitas bahan baku, peningkatan produksi, produktivitas dan mutu produk hortikultura berkelanjutan, peningkatan produksi, produktivitas mutu produk tanaman sayuran berkelanjutan pengembangan sayur organik, peningkatan produksi, produktivitas mutu produk tanaman buah berkelanjutan pengembangan kawasan apel, peningkatan produksi, produktivitas mutu produk tanaman hias pengembangan kawasan hias tanaman bunga Krisan, penyediaan dan pengembangan sarana dan prasarana pertanian, pengepakan kripik, pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alat (UPJA), Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) jagung dan padi, Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) padi dan jagung hibrida. Dari paparan diatas dapat dilihat bahwa pada saat ini pembangunan kawasan Agropolitan di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang pada tahun 2008-2010 di fokuskan pada pembangunan infrastruktur, yang mengarah pada pengembangan pariwisata-nya. Salah satu pariwisata yang paling terkenal adalah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) yang merupakan tempat wisata skala regional bahkan internasional. Y ang untuk saat ini, kunjungan wisatawan ke TNBTS masih terbatas melewati kabupaten Lumajang dan Probolinggo saja. Hal ini dikarenakan kondisi aksesibilitas transportasi menuju ke TNBTS lebih baik melalui kabupaten tersebut. Padahal jika dibandingkan dengan jarak tempuhnya, jarak tempuh ke TNBTS melalui Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo lebih singkat. Jarak dari Kota Malang ke TNBTS adalah ± 32 km yang dapat ditempuh dalam waktu kurang dari 2 jam. Untuk menunjang pariwisata TNBTS, telah dilakukan pembenahan infrastrukutur yakni pelebaran jalan di desa Ngadas oleh pemerintah desa setempat. Hal ini diharapkan bisa meningkatkan pengunjung TNBTS yang lewat di desa ngadas. 88 Selain TNBTS tempat pariwasata lain yang ada di kecamatan poncokusumo adalah pemandian sumberagung yang terletak di desa Argosuko, dan air terjun Cobanpelangi di desa Gubugklakah, yang juga sudah dalam proses perbaikan infrastrukturnya. Keberadaan wisata Cuban Pelangi merupakan salah satu daerah tujuan wisata keluarga maupun perorangan di Kabupaten Malang. W alaupun berskala lokal, akan tetapi jumlah wisatawan yang berkunjung cukup banyak atau dapat dikatakan setara dengan jumlah wisatawan ke TNBTS. Hal ini dikarenakan wisatawan yang akan atau setelah mengunjungi TNBTS melalui Desa Ngadas kecamatan Poncokusumo, biasanya juga mengunjungi wisata air terjun Coban Pelangi di Desa Gubugklakah kecamatan Poncokusumo. Selain pembangunan infrastuktur, pelaksanaan pengembangan kawasan agropolitan pada saat ini juga dilakukan dengan peningkatan produksi pertanian dan peningkatan sub sistem pendukung peningkatan produksi pertanian. Dalam perencanaan pembangunan kawasan agropolitan pada tahun 20082012, program-program yang belum tercapai adalah pembangunan gudang pupuk, pembangunan balai penelitian, dan pembenihan, pembangunan landmark Agropolitan, pengadaan warnet tani, dan pembangunan laboratorium bersama. Berdasarkan pada informasi yang peneliti peroleh, kemungkinan program-program itu akan direalisasikan pada tahun 2012. Kawasan agropolitan di kecamatan poncokusumo ini, diharapkan akan menjadi seperti kota Batu yang telah menjadi kota agrowisata. Untuk mengarah ke hal tersebut di perlukan beberapa persiapan diantaranya, sumberdaya alam harus dikelola secara berkelanjutan, menuju terbukanya lapangan kerja, fasilitasi kegiatan investasi, kemitraan usaha antara pengusaha besar dengan UMKM dan Koperasi, akses sarana dan prasarana ditingkatkan, penggunaan produk barang dan jasa ditingkatkan, JESP Vol. 5, No.1, 2013 terjaminnya rasa aman pengunjung, kesadaran masyarakat sebagai tuan rumah yang baik bagi pengunjung harus ditingkatkan, dan layanan prima harus dapat diwujudkan pada segala lini (Wahjoedi, 2011). Prospek Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang Pembangunan kawasan agropolitan merupakan pendekatan wilayah atau tata ruang yang memadukan pembangunan perdesaan dan perkotaan yang saling menguntungkan, berbasis pada potensi pertanian atau agribisnis secara optimal dengan tetap memelihara kelestarian dan fungsi-fungsi lingkungan hidup. Pada bab sebelumnya sudah dijelaskan bahwa suatu kawasan agropolitan yang sudah berkembang memiliki ciri-ciri sebagai berikut; (a) Sebagian besar masyarakat dikawasan tersebut memperoleh pendapatan dari kegiatan pertanian (agribisnis), (b) Kegiatan dikawasan tersebut sebagian besar didominasi oleh kegiatan pertanian atau agribisnis, termasuk didalamnya usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasilhasil pertanian (termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor), perdagangan agribisnis hulu (sarana pertanian dan permodalan), agrowisata dan jasa pelayanan, (c) Hubungan antara kota dan daerah-daerah hinterland/daerah-daerah sekitarnya dikawasan agropolitan bersifat timbal balik yang harmonis dan saling membutuhkan, dimana kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya (on farm) dan produk olahan skala rumah tangga (Off farm). Sebaliknya kota menyediakan fasilitas untuk berkembangnya usaha budidaya dan agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi pengolahan dan pemasaran hasil produksi/produk pertanian, (d) Kehidupan masyarakat dikawasan agropolitan mirip dengan suasana kota karena keadaan sarana yang ada dikawasan agropolitan tidak jauh berbeda dengan di kota. Kondisi di Kecamatan Poncokusumo sekarang ini hampir mendekati ciri-ciri diatas pada (poin 1 dan 2). Dalam hasil observasi yang peneliti lakukan, hampir di semua desa sumber pendapatan utama masyarakatnya diperoleh dari kegiatan pertanian. Untuk menjadi kawasan agropolitan secara seutuhnya (poin 1-4), masih harus melakukan beberapa tahapan lagi. Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan, dijelaskan bahwa harapannya di masa yang akan datang khususnya setahun ke depan program pengembangan kawasan agropolitan ini bisa lebih mengangkat pertaniannya. Menurut W ahjoedi (2010), meskipun corak Kabupaten Malang adalah pertanian, namun apabila dapat dikelola secara terpadu dan menyeluruh, maka akan bisa memberi kesempatan pada semua pelaku ekonomi, baik swasta, pemerintah, dan koperasi; atau baik besar, menengah, dan kecil untuk berperan serta, bermitra untuk mengembangkan perekonomian wilayah. Dilihat dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa kawasan agropolitan di kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang semakin meningkat. Hal ini tentu saja akan sangat relevan untuk terus dikembangkan karena banyaknya dukungan dari masyarakat yang mempunyai harapan besar terhadap adanya pengembangan kawasan agropolitan di kecamatan poncokusumo. Penutup Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut; (1) Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang belum sepenuhnya menjadi kawasan agropolitan dikarenakan pengembangannya yang belum maksimal, (2) Pelaksanaan pengembangan kawasan agropolitan pada tahun 2008-2010 masih difokuskan pada pembangunan sarana dan prasarana guna menunjang produksi pertanian, sedangkan 89 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 untuk tahun 2011 sudah mulai dilakukan program peningkatan produksi pertanian dan program peningkatan sub sistem pendukung peningkatan produksi pertanian, (3) Pada tahun 2008 sampai sekarang pengembangan konsep kawasan agropolitan di Kecamatan Poncokusumo relevan dan prospektif berdasarkan potensi dan kapasitas daerahnya, (4) Pemerintah setempat mengharapkan di masa mendatang daerah kawasan Agropolitan ini akan menjadi daerah agrowisata dan akan menjadi daerah hinterland untuk kawasan di sekitarnya. Daftar Pustaka Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2007. Masterplan Agropolitan Kabupaten Malang. Kabupaten Malang: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2007. Agropolitan Poncokusumo dan Perkembangannya. Kabupaten Malang: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Budi Santosa, Purbayu, 2009. Paradigma Penelitian Kualitatif. (Online) (http://www.scribd.com/doc/51268701 /Metode-Penelitian-Kualitatif. Di akses 18 agustus 2011) Departemen Pertanian. Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. Bappenas (online) (http://www.deptan.go.id/bpsdm/agrop olitan.htm. diakses 17 agustus 2011) Kecamatan Poncokusumo, 2010. Kecamatan Poncokusumo Dalam Angka 2010 . Moleong, Lexy J, 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Pemerintah Provinsi Jawa Timur., 2011. Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan Provinsi Jawa Timur Tahun 2011. (Online) (http://app1.agropolitanjatim.net/upload/cms/Pedum%20Agro %202011.pdf. Di akses 03 Februari 2012) Rahardjo, Mudjia, 2010. Jenis dan Metode Penelitian Kualitatif. (online) (http://mudjiarahardjo.com/materikuliah/215-jenis-dan-metodepenelitian-kualitatif.pdf diakses 17 agustus 2011) Sugiyono, 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV . Alfabeta Sulistiono. Tinjauan Pustaka Konsep Wilayah dan Pusat Pertumbuhan.(online) (http://www.damandiri.or.id/file/sulisti onoipbbab2.pdf diakses 18 agustus 2011) Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, T esis, Disertasi, Artikel, Makalah, Tugas Akhir , Laporan Penelitian. Edisi Kelima. Malang: Penerbit UM. Wahjoedi. 2011. Pengembangan Pariwisata Berbasis Pertanian dan Potensinya dalam Menurunkan Angka Kemiskinan di Kota Batu. Makalah disajikan dalam acara Focus Group Discussion tentang Pengentasan Kemiskinan Diselenggarakan oleh BPS Kabupaten Malang. Malang, 2011. Wahjoedi. 2010. Pembangunan Bidang Pertanian Sebagai Sektor Basis Untuk Kesempatan Kerja dan Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Malang. Makalah disajikan dalam acara Focus Group Discussion tentang Pengentasan Kemiskinan Diselenggarakan oleh BPS Kabupaten Malang. Malang, 14 Oktober 2010. 90 JESP Vol. 5, No.1, 2013 PEMETAAN POTENSI RA W AN PANGAN PADA PEREKONOMIAN DAERAH Siti Muslihah Sugeng Hadi Utomo Abstract This research aims to : (1) identifying and mapping regional of potency food gristle in district of Jabung. Besides that ; ( 2) Identifying about local characteristic of food gristle region in district of Jabung; ( 3) Formulate instruct policy of degradation level of insecurity in district of Jabung. The research method is qualitative descriptive In this research, analyse data which obtained and interview with District of Jabung to get fact information in field. The Result of this research mapping of food gristle potency by using 12 indicators in District of Jabung have not village which enter priority handling of very area gristle, gristle and rather gristle. But that way in analysis each of indicator of course thera are still rather area of gristle, gristle or even very gristle. Policy direction of which can do is maximizing area potency district of Jabung either from facilities and basic facilities aspect and also the make-up of agricultural produce. Keywords: Regional Economic, Gristle Food Potency, Policy Direction Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling mendasar dalam menjalani kehidupanya, sehingga pangan dapat disebut sebagai kebutuhan hakatas hidup manusia. Menyadari sepenuhnya akan kenyataan tersebut maka pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas, mandiri, dan sejahtera melalui perwujudan ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Selanjutnya masyarakat berperan dalam dalam menyelenggarakan produksi penyediaan perdagangan dan distribusi srta berhak memperoleh pangan yang aman dan bergizi. Kunci sukses pembangunan ketahanan pangan yang dilakukan oleh pemerintah pada tahap awalnya adalah meletakan landasan yang kuat untuk pembangunan pangan, sehinga kebutuhan dasar yang paling esensial yang dibutuhkan masyarakat dapat terpenuhi secara mantap dan berkesimbungan (Bappeda Kabupaten Malang : 2007) Hasil studi Dewan Ketahanan Pangan Republik Indonesia 2003 dan Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa dari 29 kabupaten di Jawa Timur, 40 persen atau sebanyak 12 kabupaten termasuk daerah rawan pangan. Hal tersebut seperti yang digambarkan dalam Peta Kerawanan Pangan Indonesia Tahap Satu Propinsi Jawa Timur (Jatim) Tahun 2003. Kedua belas kabupaten di Jatim yang dinyatakan rawan pangan adalah Alamat Korespondensi : Siti Muslihah: Mahasiwa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang Sugeng Hadi Utomo. Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang Email : [email protected] JESP Vol. 5, No. 1, 2013 Bangkalan, Sampang, Sumenep, Pamekasan, Tuban, Bojonegoro, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Lumajang, Malang, dan Pacitan. (Badan Ketahanan Pangan Nasional, 2006). Dalam hal ini kabupaten Malang termasuk dalam peta daerah rawan pangan dengan perkembangan penduduk, pertanian dan perekonomian maka tidak menutup kemungkinan dapat terjadi rawan pangan kembali pada saat ini. Jika dilihat dari struktur ekonominya, Kabupaten Malang merupakan daerah yang memiliki struktur ekonomi pertanian sebagai sektor primer. Hal ini ditunjukkan oleh pertumbuhan sektor pertanian dari tahun ke tahun yang terus meningkat akan tetapi pada kenyataanya kontribusinya masih rendah. Namun yang perlu digaris bawahi disini yaitu masalah distribusi produksi atau hasil produksinya. Ada kemungkinan produksi sektor ini banyak dihasilkan oleh daerah tertentu saja. Selain itu, distribusinya kemungkinan juga tidak merata karena berbagai alasan, terutama dari kondisi ekonomi sebagian anggota masyarakat strata tertentu. Berdasarkan RPJMD 2010 untuk memudahkan masalah distribusi dan memudahkan untuk pengembangan wilayah maka pemerintah Kabupaten Malang membagi daerah kabupaten Malang menjadi enam Sub Satuan Wilayah Pengembangan (SSWP) yaitu: 1. SWP I lingkar kota Malang melipuri Kecamatan: Dau, Karangploso, Lawang, Singosari, Pakisaji, W agir, Tajinan dan Pakis. 2. SWP II Kepanjen meliputi kecamatan Kepanjen, Wonosri, Ngajum, Kromengan, Pagak, sumberpucung, Kalipare, Donomulyo, Gondanglegi dan Pagelaran. 3. SWP III Ngantang meliputi kecamatan Ngantang, Pujon dan Kasembon. 4. SWP IV Tumpang meliputi Kecamatan Poncokusumo, Wajak dan Jabung. 92 5. SWP V Dampit meliputi kecamatan Turen, Dampit, Ampelgading dan Tirtoyudo. 6. SWP VI Sumbermanjing Wetan meliputi kecamatan Sumbermanjing Wetan, Gedangan, dan Bantur. Kabupaten Malang dengan keanekaragaman potensi sumberdaya alamnya dan memiliki lahan pertanian yang cukup luas, ternyata masih mempunyai beberapa wilayah yang masih rawan pangan untuk mengalami ketidaktahanan terhadap pangan. Hasil peta rawan pangan yaitu kecamatan Donomulyo, kecamatan Jabung, kecamatan Tajinan, kecamatan Pagelaran dengan penyebab kerawanan pangan adalah kemiskinan, akses listrik yang rendah, cakupan air bersih masih relatif tinggi. Menurut Kepala Bidang Perekonomian dan kesejahteraan Kabupaten Malang bahwa dalam hal ini daerah SWP-II dan SWP-IV masih di dominasi oleh sektor pertanian namun peranya lambat laun berkurang. Hal ini disebabkan oleh pengaruh aktivitas pusat perkotaan di kota Malang yaitu pergeseran lahan pertanian menjadi kawasan permukiman baru untuk penyangga kebutuhan perkotaan. Sedangkan, SWP-III secara sektoral dalam dalam struktur PDRB memberikan kontribusi paling besar terhadap sektor industri pengolahan. SWPII dan SWP-III dikategorikan sebagai kawasan cepat tumbuh dan cepat maju. Adapun SWP-IV dikategorikan sebagai kawasan tertinggal. Permasalahan kerawanan pangan memerlukan penanggulangan yang serius dan menyeluruh, mengingat kerawanan pangan tidak hanya menyangkut aspek ketersediaan pangan, namun juga akses pangan dan penyerapan pangan (Mulia: 332-333). Dengan dilakukan analisis situasi kerawanan pangan di kabupaten Malang, akan diketahui penyebab dan faktor-faktor yang mempengaruhi kerawanan pangan, sehingga dapat JESP Vol. 5, No.1, 2013 dijadikan pedoman penyusunan strategi penurunan tingkat kerawanan pangan di kabupaten Malang dalam rangka mengentas kemiskinan. Dalam rangka melakukan upaya antisipasi tersebut, maka pemerintah daerah perlu melakukan pemetaan daerah/wilayah rawan pangan di Kabupaten Malang yang nantinya akan dikaitkan dengan kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah kabupaten Malang. Mengacu pada hasil analisis pemetaan yang dilakukan oleh pihak Bappeda Kabupaten Malang (2007) dan hasil Peta daerah rawan pangan, kecamatan Jabung menjadi prioritas dalam penanganan daerah rawan pangan. Kecamatan Jabung merupakan kecamatan yang memiliki fasilitas fisik dan non fisik paling minim. Oleh karena itu, menurut peneliti perlu adanya kajian terkait dengan potensi wilayah serta karakteristik lokal yang berperan penting dalam pengembangan wilayah di kawasan tertinggal kabupaten Malang. Selain itu, pada saat ini Kecamatan Jabung merupakan satu SWP dengan kecamatan Poncokusumo yang menjadi kawasan agropolitan dan Kecamatan wajak yang menjadi kawasan Minapolitan di Kabupaten Malang. Dengan adanya pengembangan kawasan ini juga menimbulkan pengaruh terhadap wilayah disekitarnya. Tidak menutup kemungkinan juga tidak memberikan pengaruh yang baik terhadap kecamatan Jabung yang memiliki sarana yang kurang. Kekurangan sarana ini juga bisa dikatakan sebagai indikator untuk mengukur wilayah Kecamatan Jabung yang rawan pangan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dirasa perlu untuk meneliti lebih jauh tentang pemetaan potensi rawan pangan sesuai dengan isu strategis Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2010-2015 Kabupaten Malang peningkatan produksi dan ketahanan pangan dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi dan menjamin ketahanan pangan masyarakat. Metode Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan yang telah dikemukan, maka penelitian ini menggunakan pendekatan metode penelitian Kualitatif Deskriptif. Jenis Penelitian yang digunakan adalah Deskriptif Eksplanatori yaitu menggambarkan dan menjelaskan polapola yang terkait dengan fenomena serta mengidentifikasi hubungan-hubungan yang mempengaruhi fenomena. Mengacu pada pendekatan tersebut, yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah. Obyek yang alamiah adalah obyek yang apa adanya, tidak dimanipulasi sehingga kondisi pada saat peneliti memasuki obyek, setelah berada di obyek dan setelah keluar dari obyek relatif tidak berubah. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data tersebut. Triangulasi disini membandingkan dan mengecek informasi yang didapat dari informan satu dengan cara memperoleh data dari informan kedua, apabila dalam data tersebut berbeda antara informan satu dengan informan dua maka dilakukan pemeriksaan informan ketiga. Triangulasi ini digunakan juga untuk membandingkan hasil wawancara dengan data yang ada. Metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna. Makna adalah data yang sebenarnya, data yang pasti yang merupakan suatu nilai di balik data yang tampak. Oleh karena itu dalam penelitian kualitatif tidak menekankan pada generalisasi, tetapi lebih menekankan pada makna. Generalisasi dalam penelitian kualitatif dinamakan transferability, artinya hasil penelitian tersebut dapat digunakan di tempat lain, manakala tempat 93 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 tersebut memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda. Moleong (2009) mengatakan bahwa penelitian kualitatif dari sisi definisi lainnya dikemukakan bahwa hal itu merupakan penelitian ynag memanfaatkan wawancara terbuka untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan, perasaan, dan perilaku individu atau sekelompok orang. Dalam penelitian ini akan mencoba menemukan fenomena-fenomena yangada di Kecamatan Jabung Kabupaten Malang yang berkaitan dengan pemetaan potensi daerah rawan pangan. Peneliti akan mencoba untuk mendeskripsikan kondisi yang ada di Kecamatan Jabung sesuai dengan hasil temuan penelitian serta kondisi rawan pangan dan arah kebijakan yang akan dilakukan. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai instrumen dan pengumpul data. Kehadiran peneliti di lapangan sebagai pengamat partisipan dalam hal ini pihak Kecamatan Jabung. Status kehadiran peneliti dalam penelitian ini sebagai peneliti dalam pemetaan potensi rawan pangan dan arah kebijakan di Kecamatan Jabung Kabupaten Malang. Lokasi Penelitian Lokasi pelaksanaan penelitian ini adalah di kecamatan Jabung, Kabupaten Malang. Sumber Data Data yang penulis gunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer didapat dari wawancara secara langsung dengan pihak kecamatan Jabung yaitu Bapak Suprihadi Kepala UPT Balai Penyuluhan Pertanian dan Bapak Budi Setya Bakti Kepala Sesi Pembangunan Kecamatan Jabung. Sedangkan data sekunder, didapatkan dari kecamatan dalam angka 2010, artikel, literatur kepustakaan, media massa, arsip-arsip tentang pemetaan daerah rawan pangan di Indonesia, internet dan data-data lain yang mendukung. 94 Prosedur Pengumpulan Data Untuk pengumpulan data, penelitian ini menggunakan beberapa teknik yakni suvey primer, yang terdiri atas wawancara dan observasi, serta survey sekunder. Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kuantitatif. Analisis data secara kuantitatif yang digunakan hanya untuk mengetahui gambaran keadaan daerah rawan pangan di suatu yang diteliti. Peneliti menjelaskan atau mencari hubungan, tidak menguji hipotesis atau melakukan prediksi sehingga menyajikan hubungan antara indikator yang mendukung kerawanan pangan. Analisis data pada penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang jelas dari keadaan yang diteliti. Analisis yang digunakan adalah analisis indikator. Untuk analisis indikator penelitian ini akan merujuk pada standar Food Insecurity Atlas (FIA). FIA adalah sebuah alat (tool) pemantauan dan analisis rawan pangan, dalam memberi informasi bagi pengambil kebijakan di tingkat pusat, provinsi, maupun Kabupaten agar mampu menyusun perencanaan yang lebih baik dan tepat sasaran, efektif dan efisien dalam mengatasi permasalahan kerawanan pangan baik yang transient maupun kronis. Sedangkan untuk menentukan strategi yang dapat ditempuh agar Pemerintah Kabupaten Malang dapat melakukan kebijakan terhadap daerah yang rawan pangan menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT digunakan untuk mengembangkan alternatif kebijakan atau strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Malang yang berkaitan dengan Kebijakan dalam penanganan daerah rawan pangan. Analisis SWOT meliputi beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Berdasarkan matrik SWOT diperoleh faktor-faktor yang menjadi kekuatan (streght), JESP Vol. 5, No.1, 2013 2. 3. 4. 5. kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats). Cocokan kekuatan internal dan peluang eksternal dan catat hasilnya di sel strategi SO. Cocokan kelemahan internal dan peluang eksternal dan catat hasilnya di sel strategi WO. Cocokan kekuatan internal dan ancaman eksternal dan catat hasilnya di sel strategi ST. Cocokan kelemahan internal dan ancaman eksternal dan catat hasilnya di sel strategi WT. Hasil Dari hasil perhitungan pemetaan potensi rawan pangan dengan menggunakan 12 indikator, berikut ini adalah hasil analisis yang telah dilakukan melalui pengolahan data kemudian dilakukan studi langsung ke lapangan yaitu dengan melakukan wawancara langsung dengan pihak kecamatan Jabung. Ketersediaan pangan dalam hal ini komoditas yang dipertimbangkan adalah padi,jagung, ubi kayu dan ubi jalar. Berdasarkan perhitungan mempunyai nilai sebesar 0,001 dan termasuk dalam kategori daerah yang sangat tahan dalam ketersediaan pangan. Berdasarkan hasil analisa dilapangan bahwa desa yang mempunyai potensi komoditas padi paling besar adalah di desa Sukopuro, Sidomulyo, Sidorejo dan kemantren karena di desa ini banyak lahan sawah yang sudah beririgasi. Untuk komoditas ubi jalar dan ubi kayu menurut pihak kecamatan sendiri bahwa kecamatan Jabung dan Pakis merupakan sentra dari ubi jalar dan ubi kayu. Komoditas Jagung berada di lahan kering dan kondisi air yang kurang atau musiman, potensi yang paling besar berada di desa Sukolilo, Kemantren, Gading Kembar dan Jabung. Kebijakan maupun program yang dilakukan oleh pihak kecamatan dalam ketersediaan pangan ini berupa penyuluhan langsung kepada petani dan pelaksanaanya dilakukan langsung oleh Dinas Pertanian maupun dari instansi terkait. Salah satunya adalah kegiatan P2BN (Peningkatan Produksi Beras Nasional) kegiatan swasembada beras ini dilakukan kegiatan sekolah lapangan dengan membentuk usaha kelompok tani di semua desa. Peningkatan pada komoditas Jagung, ubi jalar dan ubi kayu dilakukan dengan memberikan bibit unggul. Kendala dalam peningkatan komoditas padi, jagung, ubi jalar dan ubi kayu ini karena petani enggan menggunakan benih yang telah disediakan karena mahalnya harga benih yang nantinya akan digunakan secara asalasalan. Misalnya untuk harga benih jagung hibrida sebesar Rp.50.000 dan benih jagung biasa hanya Rp.5000. Ketimpangan harga yang cukup jauh inilah yang membuat petani asal-asalan dalam menanam komoditas ini. Untuk komoditas ubi jalar dan ubi kayu petani lebih banyak langsung menjualnya dengan harga yang murah daripada dikonsumsi sendiri. Harapan dari pihak kecamatan dalam mengatasi hal ini adalah dengan diadakanya pembenihan secara kelompok oleh kelompok petani untuk meminimalkan harga bibit yang cukup mahal. Namun, menurut pihak kecamatan dalam konsumsi normativ atau ketersedian pangan secara keseluruhan dapat dikatakan cukup. Pelayanan toko berdasarkan perhitungan, desa yang termasuk kategori sangat tahan ada 11 desa yaitu desa Kenongo,Ngadirejo,Taji, Sukopuro, Sidorejo, Sukolilo, Gading Kembar, Kemantren,Argosari, Slamparejo dan Kemiri. Namun, menurut pihak kecamatan desa yang ketersediaan pelayanan toko paling besar adalah di desa Kemiri, Jabung, Kemantren, Sukolilo karena merupakan desa yang cukup ramai. Sedangkan, desa yang paling minim pelayanan tokonya adalah di desa Taji 95 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 dengan akses jalan yang melewati hutan dan kebiasaan masyarakat desa Taji sendiri dalam mengelola dan memenuhi kebutuhan pangan dengan hasil kebun sendiri. Berdasarkan data yang peneliti peroleh bahwa di desa Taji ada 331 KK dengan 15 ketersediaan toko. Namun, berdasarkan keterangan dari pihak kecamatan Jabung untuk ketersediaan toko di desa Taji hanya ada dua toko dan tidak ada warung. Rata-rata masyarakat desa Taji mengkonsumsi jagung dan sayuran sendiri dan untuk padi mereka membelinya di desa lain Keadaan pelayanan toko secara keseluruhan sudah banyak digantikan oleh pedagang keliling yang masuk ke semua desa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di desa. Salah satu faktor yang menyebabkan rasio pelayanan took tidak begitu besar adalah faktor daya beli masyarakat yang kurang karena pendapatan masyarakat yang cukup rendah. Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan ada beberapa desa yang lahannya tidak beririgasi dan termasuk daerah yang sangat rawan yaitu desa Ngadirejo, Kemiri, Gunungjati, Taji dengan tingkat 100% tidak ada yang beririgasi kemudian diikuti desa Sukopuro, Selamparejo dan Jabung. Hal ini karena sulitnya air maupun kurangnya pengolahan air. Dalam kategori ini lahan tegal tidak beririgasi karena sulitnya air cocok untuk ditanami jagung dan untuk sawah merupakan lahan yang berigasi digunakan untuk menanam padi. Untuk desa yang termasuk kategori agak rawan adalah desa Kenongo. Desa Pandansari Lor, Gading kembar, Kemantren dan Argosari termasuk kategori rawan dan untuk desa Sukolilo termasuk kategori daerah yang cukup tahan. Sedangkan untuk desa yang beririgasi hanya ada dua desa yaitu desa Sidorejo dan Sidomulyo. Menurut pihak kecamatan lahan yang tidak beririgasi ini karena tidak adanya sumber air yang besar untuk dilakukan irigasi. Persediaan air hanya 96 cukup untuk minum dan kurang untuk area pertanian. Salah satu daerah yang kurang air adalah desa Taji yang mendapat bantuan dari pihak Pemerintah Kabupaten dengan dibuatnya pengairan dengan menggunakan pipa yang kemudian disalurkan ke lahan masyarakat. Sumber air yang cukup besar ini musiman sehingga ketika sumber air besar dilakukan penyaluran air melalui pipa. Indeks Komposit Indikator Rawan Pangan dan Prioritasnya Setelah diperhitungkan nilai indeks komposit untuk kategori daerah yang relatif tahan pangan dan menjadi prioritas penanganan 5 adalah desa Kenongo,Ngadirejo, Taji, Sukopuro, Sidorejo, Sukolilo, Sidomulyo, Kemantren, Argosari, Kemiri, Jabung dan Gunungjati . Untuk prioritas penanganan 4 untuk kategori daerah yang cukup tahan adalah desa Pandansari Lor, Gading Kembar, dan Slamparejo. Penanganan prioritas 6 ada pada desa Sidomulyo yang termasuk dalam daerah yang tahan Menurut pihak kecamatan desa yang potensi rawan pangan adalah desa Slamparejo dan Kemiri. Di desa slamparejo potensi pangan sangat sedikit akan tetapi penduduknya mempunyai sapi perah sehingga setidaknya tiap 10 hari ada pendapatan yang akan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Untuk desa kemiri juga banyak KK miskin dan kurangnya pendidikan sehingga penduduknya mempunyai pendapatan yang cukup rendah. Secara keseluruhan di Kecamatan Jabung semua desa masih relatif tahan pangan dan tidak ada desa yang beresiko rawan pangan Analisis Kebijakan Analisis kebijakan yang dilakukan adalah dengan menggunakan analisis SWOT yaitu kekuatan (strenght), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats). Analisis ini dilakuakn setelah memperhatikan dari keadaan semua JESP Vol. 5, No.1, 2013 indikator rawan dilakukan. pangan yang telah 1. Strenght (Kekuatan) Merupakan kondisi kekuatan yang terdapat dalam pemetaan potensi rawan pangan yang ada. Kekuatan yang di analisis merupakan faktor yang terdapat dalam potensi rawan pangan itu sendiri sebagai berikut : a. Instansi BAPPEDA Kabupaten Malang dan Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksanaan Penyuluhan (BKP3) Dalam UU no.68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan. Hal ini akan menguatkan pemetaan potensi daerah rawan pangan yang dilakukan karena dikelola oleh BKP3 dan kebijakan dalam menanganinya dikelola langsung oleh Bappeda sehingga kedua instansi dapat bekerjasama dalam menangani daerah rawan untuk mengentas kemiskinan. b. Kecamatan Jabung merupakan salah satu sentra ubi kayu dan ubi jalar potensi yang dimiliki ini dapat dikembangkan dengan berbagai macam pengolahan dan meningkatkan pendapatan masyarakat terutama bagi petani. c. Adanya kelompok tani Pengurus dan kelompok tani dapat melakukan peningkatan roduktivitas dan mampu mengadakan kemitraan dengan pengusaha atau agroindustri dengan prinsip saling menguntungkan. 2. Weakness (Kelemahan) Merupakan kondisi kelemahan yang terdapat dalam analisis pemetaan potensi rawan pangan. Kelemahan yang di analisis merupakan faktor yang terdapat konteks maslah ini sebagai berikut : a. Tingkat pendapatan masyarakat yang rendah mengakibatkan daya b. c. d. e. beli masyarakat yang rendah. Daya beli masyarakat yang rendah mengakibatkan keterbatasan dalam mengakses bahan pangan yang dibutuhkan. Rendahnya pendidikan yang ditempuh dapat mengakibatkan minimnya pengetahuan akan kemajuan baik bidang teknologi, sosial maupun ekonomi. Pada daerah ini para petani hanya menempuh pendidikan sampai lulus SD. Rendahnya pendidikan juga dapat mengakibatkan masyarakat tidak dapat membaca dan memperoleh penghasilan untuk kehidupan yang lebih layak. Keterbatasan sarana dan prasarana yang kurang dapat menghambat proses distribusi maupun akses dalam memperoleh pangan. Kurangnya sumber air ini menyebabkan masyarakat hanya dapat mememnuhi kebutuhan sehari-hari untuk minum dan mandi. Untuk pengairan lahan yang beririgasi masih kurang. Petani masih menjual hasil pertanian dalm bentuk pangan terutama untuk petani ubi jalar dan ubi kayu 3. Opportunities (Peluang) Merupakan kondisi peluang berkembang dimasa yang akan terjadi. Kondidi yang terjadi merupakan peluang dari luar proyek atau konsep bisnis itu sendiri. Misalnya kompetitor, kebijakan pemerintah, kondisi lingkungan sekitar. a. Adanya UU no.68 tahun 2002 Keberadaan UU No.68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan memberikan penyempurnaan aturan yang terkait dengan potensi daerah yang rawan pangan untuk menyempurnakan kebijakan sesuai dengan permaslahan di lapangan 97 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 b. Penganekaragaman hasil produksi ubi kayu dan ubi jalar Pengelolaan ubi jalar dan ubi kayu dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan. Hasil pertanian ini dpat diolah menjadi berbagai macam olahan yang dapat dipakai sebagai peluang bisnis dan menimbulkan lapangan kerja baru sebagai upaya dalam mengentas kemiskinan. 4. Threats (Ancaman) Merupakan kondisi yang mengancam dari luar. Ancaman ini dapat mengganggu konsep bisnis itu sendiri. Ancaman tersebut sebagai berikut. a. Mahalnya harga bibit Mahalnya harga bibit dari pemerintah ini membuat petani enggan untuk memakainya dalam pertanianya,para petani lebih banyak memakai bibit yang lebih murah karena lebih terjangkau daripada yang dari pemerintah. Sehingga hasil yang diperoleh tidak begitu memuaskan. b. Kualitas SDM yang masih rendah Kualitas SDM yang masih rendah, baik dari segi pendidikan mengakibatkan kurang sadranya akan pendidikan dan inovasi yang akan diterpakan. Misalnya rendahnya tingkat pendidikan yang dtempuh oleh petani hingga mereka enggan untuk memakai alat teknologi dalam pertanian misalnnya penggunaan traktor. c. Tidak adanya aturan kelompok tani yang mengikat, sehinngga petani belum mampu melaksanakan penggunaan pupuk secara berimbang sesuai anjuran dan penggunaan bibit unggul yang kurang memadai. 98 Penutup Pemetaan potensi rawan pangan dengan menggunakan 12 indikator di Kecamatan Jabung tidak memiliki desa yang masuk prioritas yang masuk prioritas penanganan daerah yang sangat rawan, rawan dan agak rawan. Namun demikian dalam analisis per indikator tentu masih dijumpai daerah yang agak rawan, rawan atau bahkan sangat rawan. Hal ini memberikan informasi awal untuk ditindaklanjuti dalam pembangunan daerah selanjutnya. Arah kebijakan yang dapat dilakukan adalah dengan memaksimalkan potensi daerah kecamatan Jabung baik dari aspek sarana dan prasarana serta peningkatan hasil pertanian. Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yang menganalisis tentang analisis pemetaan potensi rawan pangan dan arah kebiajakan (sudi kasus kecamatan Jabung Kabupaten Malang) maka saran untuk penelitian ini didasarkan pada beberapa hal, antara lain: a. Prioritas program pengentasan kerawanan pangan hendaknya diberikan pada aspek akses pangan seperti keberadaan pasar di setiap desa untuk memperlancar distribusi pangan, perluasan jangkauan listrik, penempatan fasilitas kesehatan di desa-desa, serta aspek penyerapan pangan seperti pembangunan instalasi air bersih untuk mencapai pelosok daerah. b. Prioritas berikutnya dapat diberikan pada program pemenuhan produksi pangan dengan menjaga dan memperluas keberadaan lahan pertanian bahan pangan agar pertumbuhan produksi pangan tetap dapat mengiringi pertumbuhan penduduk. Hal lain terkait ketersediaan pangan adalah pengembangan pemanfaatan pangan lokal . c. Pembangunan fasilitas pendukung meliputi akses jalan ke seluruh desa, fasilitas kesehatan dan pendidikan serta pelaksanaan program-program berbasis perdesaan hendaknya JESP Vol. 5, No.1, 2013 mendapat perhatian serius untuk memeratakan kesempatan mencapai ketahanan pangan. d. Seleksi indikator untuk pemetaan daerah rawan pangan hendaknya dikaji kembali dan disesuaikan dengan keadaan daerah yang ditelili. Hal ini karena ketika peneliti melakukan penelitian ada data yang dianggap bias dan tidak sesuai lagi. Daftar Pustaka Ariani, Mewa,Handewi. P dkk.2006. Analisis wilayah Pangandan Rawan Gizi Kronis serta alternatif penanggulanganya .Pusat Analisis dan pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Arsyad, L yncolin.2010. Ekonomi Pembangunan. Universitas Gajah Mada Badan Bimas Ketahanan Pangan.2005. Indikator Kerawanan Pangan. Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten Malang.2012.Programa Penyuluhan Balai Penyuluhan Kecamatan Jabung tahin 2012. BKP3. Badan Ketahanan Pangan. 2006. Atlas Kerawanan Pangan Indonesia. David.2009.Matrik SWOT. Skripsi Hanani AR,Nuhfil .2009. Monitoring Dan Evaluasi Ketahanan Pangan .Jurnal Hanani AR,Nuhfil . Pengertian Ketahanan Pangan.Jurnal. Inove.2009. Hubungan antara pekerjaan sosial,ilmu kesejahteraan sosial,dan psikologi. (http://wordpreess.com/ antara pekerjaan sosial,ilmu kesejahteraan sosial,dan psikologi) di akses pada 20 Desember 2011 Mulia, Aryago. 2007. Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Penduduk Berdasarkan Peta Kerawanan Pangan Indonesia.Jurnal Pemerintah Kabupaten Malang. 2010. Kabupaten Malang Dalam Angka 2010. Kabupaten Malang: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Moeleong. 2009.Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung: Remaja Rosda Karya Nainggolan, Kaman. Program Akselerasi Pemantapan Ketahanan Pangan Berbasis Pedesaan. (http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdff iles/Pros_Kaman_06.pdf ) diakses pada 15 Oktober 2011 Pemerintah Republik Indonesia.2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Undang-Undang Ketahanan Pangan No.68 tahun.2002. Pemerintah Republik Indonesia Provinsi Jatim.2007. Analisis Kerawanan Pangan Level Desa.Provinsi Jatim ___________.2010. Penyusunan Indikator dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan di Kabupaten Ponorogo. Bappeda Ponorogo Publikasi UN.1961.International Definition and Measurement of Level living:An interim Guide (http://www.tripod.com/kemiskinan) diakses pada tanggal 15 Oktober 2011 Rifki Febrianto,Ahmad .2010. Determinan Ketahanan Pangan Tingkat Kabupaten Di Indonesia Tahun 2007( Pendekatan Multivariate Adaptive Regression Spline).Skripsi Pemerintah Kabupaten Malang. 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Malang tahun 2010-2015. 99 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 Kabupaten Malang: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Pemerintah Kabupaten Malang.2010. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Malang.2010 . Kabupaten Malang: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Suryana, Achmad.2008. Menelisik ketahanan pangan, Kebijakan 100 Pangan, dan Swasembada Beras.Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Universitas Negeri Malang. 2008. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Tugas Akhir, Laporan Penelitian.Edisi Keempat. Malang: Penerbit UM. JESP Vol. 5, No.1, 2013 DAMPAK FLUKTUASI INDEKS HARGA SAHAM DAN EKSPOR NETTO TERHADAP KURS RUPIAH PADA MASA KRISIS GLOBAL Zulfikar Fatoni Hadi Sumarsono Abstract This study aims to determine the impact of fluctuations in the stock price index and net exports that occurs in the global crisis period on the rupiah exchange rate. The research data is secondary data obtained using the instrument check list. The collected data were analyzed mathematically by multiple linear regression techniques. The results showed that the fluctuation of stock price index relates the direction of the rupiah exchange rate and do not have a significant impact, fluctuations in net exports had a negative relationship with exchange rate of rupiah and has a significant impact, global crisis has a positive relationship with exchange rate of rupiah and have a significant impact. In general, fluctuations in stock price index, net exports, and global crises simultaneously have a significant effect on the rupiah exchange rate. Writer’ s advice is that institution, State University of Malang should us these results as material information, literature, and is expected to be donated for the benefit or development institutions, especially in the field of study of economic problems. The next researcher should be able to explain in more detail the relationship of each dependent variable against the rupiah exchange rate and to institute policy makers should these results be used as reference and also referral for consideration during a global crisis in the future. Keywords: Stock Price Index, Net Export, Global Crisis, Rupiah Exchange Rate. Kurs atau nilai tukar memiliki peranan yang penting bagi perekonomian suatu negara. Apresiasi dan depresiasi nilai tukar mata uang suatu negara akan sangat mempengaruhi aktivitas dan stabilitas perekonomian negara tersebut. Simorangkir dan Suseno (2005:3) menjelaskan bahwa berdasarkan data-data empiris dapat disimpulkan bahwa krisis nilai tukar berpengaruh negatif pada perekonomian suatu negara, seperti fenomena yang telah dirasakan beberapa negara Asia pada tahun 1997/1998. Lebih lanjut Simorangkir dan Suseno (2005:3) menerangkan bahwa melemahnya nilai tukar tidak hanya menaikkan harga barang produksi dalam dan luar negeri tetapi juga dapat mengakibatkan kontraksi perekonomian yang cukup dalam. Sedangkan secara umum faktor yang dapat mempengaruhi kurs mata uang suatu negara adalah jumlah permintaan dan penawaran terhadap mata uang asing relatif terhadap mata uang domestik. Secara lebih spesifik permintaan dan penawaran valuta asing bergantung pada kegiatan perdagangan internasional dan aliran modal suatu negara. Pada tahun 2008 dunia dikejutkan dengan krisis finansial yang dialami oleh Amerika Serikat. Krisis tersebut bermula dari kerugian surat berharga property atau yang biasa disebut subprime mortgage __________________________________________ Alamat Korespondensi : Zulfikar Fatoni. Alumni Jurusan Ekonomi Pembangunan FE-UM Email: [email protected] Hadi Sumarsono: Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang Email: [email protected] JESP Vol. 5, No. 1, 2013 yang dialami oleh lembaga-lembaga keuangan Amerika Serikat. Krisis ini pada akhirnya menjadi krisis keuangan global yang ikut mempengaruhi perekonomian negara-negara lain di seluruh dunia termasuk Indonesia. Hal ini terbukti dari data yang dipublikasikan leh Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik yang menunjukkan anjloknya IHSG bulanan hingga level 1200 pada bulan November 2008 dan kinerja ekspor netto Indonesia yang mengalami minus 725.029.687 US$ pada bulan April 2008. Dengan adanya penurunan nilai IHSG dan juga nilai ekspor netto maka akan ikut mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dolar. Menurut Tim Studi Tentang Analisis Hubungan Kointegrasi dan Kausalitas serta Hubungan Dinamis antara Aliran Modal Asing, Perubahan Nilai Tukar dan Pergerakan IHSG di Pasar Modal Indonesia (2008) apabila terdapat kecenderungan penurunan harga saham, maka akan menyebabkan kekayaan riil investor menurun, sehingga menyebabkan penurunan permintaan uang. Penurunan permintaan uang mengakibatkan penurunan suku bunga, yang berdampak pada capital outflow, yang akhirnya akan menyebabkan terjadinya depresiasi mata uang domestik. Sedangkan dari sisi ekspor netto yang minus akan mengakibatkan penurunan nilai tukar rupiah, hal ini disebabkan karena nilai impor yang lebih besar dari nilai ekspor sehingga permintaan terhadap valuta asing akan naik dan nilai tukar rupiah akan melemah. Akan tetapi berdasarkan data yang telah ada terjadi beberapa anomali yang cukup bertentangan dengan teori yang telah disebutkan. Sepanjang periode krisis (Oktober 2008-Desember 2009) menurut data yang dipublikasikan dalam situs resmi Badan Pusat Statistik dan situs resmi Bank Indonesia, terdapat pergerakan positif ekspor netto yang tidak sejalan dengan penguatan nilai tukar rupiah. Sebagai contohnya yaitu nilai ekspor netto pada bulan November 2008 yang mencapai kisaran 584 juta dolar Amerika Serikat 102 setelah pada bulan sebelumnya hanya surplus di kisaran 57 juta dolar Amerika Serikat tetapi nilai tukar rupiah secara bulanan justru mengalami depresiasi menjadi Rp 11.769,9 setelah pada bulan sebelumnya berada pada kisaran Rp 10.098,7. Begitu juga pada bulan Januari 2009, saat ekpor netto mencatatkan pertumbuhan negatif di kisaran 470 juta dolar Amerika Serikat tetapi rupiah justru menguat di kisaran 300 poin dari bulan sebelumnya. Begitu juga dengan nilai indeks harga saham tertimbang yang dapat mencerminkan aliran modal ke dalam negeri. Berdasarkan data dari situs Y ahoo Finance dan situs resmi Bank Indonesia, pada bulan Februari 2009 terjadi penurunan nilai indeks tertimbang indeks harga saham gabungan New Y ork terhadap indeks harga saham gabungan Indonesia yang berarti bahwa terdapat lebih banyak capital inflow, akan tetapi nilai tukar rupiah justru mengalami depresiasi di kisaran 700 poin dari bulan sebelumnya. Sedangkan pada bulan Agustus 2009 justru mengalami hal yang sebaliknya, ketika indeks harga saham tertimbang naik yang berarti lebih banyak capital outflow, nilai tukar rupiah justru apresiasi di kisaran 100 poin. Metode Penelitian Sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian, maka penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Rancangan atau desain penelitian ini adalah non experiment longitudinal ex-post-facto research, dan termasuk dalam jenis penelitian korelasional. Penelitian non experiment adalah penelitian yang dilakukan tanpa memberikan sebuah perlakuan pada variabel penelitian Wiyono (2007:28). Pengambilan data menggunakan pendekatan logitudinal yakni pengambilan data dilakukan pada subjek yang sama dalam kurun waktu yang berbeda. Selanjutnya Wiyono ( 2007:29) menjelaskan bahwa ex-post-facto research adalah penelitian yang bertujuan untuk menguji hipotesis, baik hubungan maupun JESP Vol. 5, No.1, 2013 perbedaan tanpa melalui sebuah eksperimen, sasaran variabel yang diteliti sudah terjadi pada masa yang sebelumnya, semua variabel independent tidak diberi perlakuan tetapi diukur bersama-sama dengan variabel dependent. Penelitian korelasional menurut Wiyono (2007:28) adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara 2 atau lebih variabel yang dapat diukur secara kuantitatif. Dengan kata lain untuk menyelidiki sejauh mana variasi dalam suatu variabel berhubungan dengan variasi dari variabel lain berdasarkan koefisien korelasi. Teknik korelasi yang digunakan adalah teknik korelasi multivariat karena terdiri dari tiga variabel bebas dan satu variabel terikat. Penelitian ini mengkaji tentang dampak fluktuasi indeks harga saham (X1), ekspor netto (X 2), dan krisis global (X3) sebagai variabel bebas (independent variable); dengan kurs rupiah (Y) sebagai variabel terikatnya (dependent variable). Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari data Statistik Keuangan Bank Indonesia tahun 20062009, data Badan Pusat Statistik tahun 2006-2009, dan data Y ahoo Finance 20062009. Dengan demikian penelitian ini menggunakan instrumen penelitian check list karena menggunakan metode dokumentasi dalam mengumpulkan data (Arikunto, 2002). Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif rasio. Sehubungan dengan hal tersebut, data kuantitatif adalah data yang bisa diukur atau dihitung. Sedangkan data rasio adalah data yang memiliki nilai nol mutlak dan merupakan tipe skala pengukuran yang paling tinggi. Sumber data dalam penelitian ini adalah data Statistik Keuangan Bank Indonesia tahun 20062009, data Badan Pusat Statistik tahun 2006-2009, dan data Y ahoo Finance 20062009. Pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi karena data yang digunakan adalah data sekuder atau data yang diperoleh dari pihak lain. Dalam melaksanakan metode dokumentasi peneliti menyelidiki bahan-bahan tertulis seperti dokumen, laporan, hasil penelitian, dan sebagainya. Sehubungan dengan penelitian ini maka data dikumpulkan dari data Statistik Keuangan Bank Indonesia tahun 2006-2009, data Badan Pusat Statistik tahun 2006-2009, dan data Y ahoo Finance 2006-2009. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Juni 2010. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis regresi ganda. Teknik analisis regresi ganda digunakan untuk menganalisis dua atau lebih variabel bebas dengan satu variabel terikat. Dalam penelitian ini analisis regresi ganda (multiple regression analysis) digunakan untuk menguji hipotesis yang meliputi pengujian pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat secara parsial dan pengujian pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat secara simultan (serentak). Pengolahan data untuk analisis regresi ganda dalam penelitian ini menggunakan bantuan komputer denngan menggunnakan program Statistical Package for Social Science (SPSS) 13.0 for Windows. Analisis Regresi Linier Berganda Formula yang digunakan untuk menguji persamaan regresi antara variabel indeks harga saham (X1), variabel ekpor netto (X2), dan variabel krisis global (X3) dengan variabel kurs rupiah (Y), adalah rumus persamaan regresi ganda dengan tiga variabel bebas dan satu variabel terikat, yakni: Y = k + a1 x1 + a2 x2 + a3 x3 Keterangan: Y = nilai variabel Y X= nama variabel a = koefisien variabel X k = bilangan konstanta Uji Asumsi Klasik Uji asumsi klasik digunakan untuk menganalisis penyakit statistik yang ada pada model regresi yang telah diperoleh 103 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 dan selanjutnya menghilangkan penyakit tersebut. Dalam penelitian ini uji asumsi klasik yang digunakan antara lain uji normalitas, uji multikolinearitas, uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas. Uji normalitas digunakan untuk mengetahui normal tidaknya data yang akan diperoleh. Uji normalitas dilakukan dengan uji nilai Kolmogorov Smirnov menggunakan program analisis statistik SPSS 13 for windows. Apabila nilai probabilitas ≥ 0,05 maka data dinyatakan berdistribusi normal, sebaliknya jika nilai probabilitas < 0,05 maka data dinyatakan berdistribusi tidak normal. Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (Ghozali, 2007). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel independen. Untuk mengujinya digunakan dengan melihat nilai variance inflation factor (VIF) dan tolerance. Berdasarkan hasil output SPSS, apabila nilai VIF < 10 dan nilai tolerance > 0,1 dapat disimpulkan bahwa asumsi adanya multikolinieritas ditolak. Uji Autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan penggangu pada periode sebemumnya (Ghozali, 2007). Untuk menguji autokorelasi digunakan Run T est, jika hasil test memiliki signifikansi < 5% maka model regresi mengandung masalah autokorelasi dan sebaliknya jika hasil test memiliki signifikansi > 5% maka model regresi tidak mengandung masalah autokorelasi. Uji Heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidak samaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain (Ghozali, 2007). Untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dalam model regresi peneliti menggunakan Uji Glejser dengan meregres nilai absolut residual terhadap variabel independen. Jika variabel independen signifikan secara statistik mempe- 104 ngaruhi variabel dependen, maka ada indikasi terjadi heteroskedastisitas dan sebaliknya jika variabel independen tidak signifikan secara statistik mempengaruhi variabel dependen maka model regresi tidak mengandung heterokedastisitas. Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat secara parsial menggunakan uji t dengan taraf signifikansi 0,05. Dasar pengambilan keputusan dilakukan dengan membandingkan nilai signifikansi dengan nilai α sebesar 5%, jika nilai signifikansi > α maka variabel independen tidak mempunyai pengaruh terhadap variabel dependen (H0 diterima), sedangkan jika nilai signifikansi < α maka variabel independen mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen (H1 diterima) (Ghozali, 2007). Pengujian hipotesis pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat secara parsial dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui: (1) dampak fluktuasi indeks harga saham (X1) terhadap kurs rupiah (Y) dengan mengabaikan variabel ekspor netto (X2) dan krisis global (X3); (2) dampak ekspor netto (X 2 ) terhadap kurs rupiah (Y) dengan mengabaikan variabel indeks harga saham (X1) dan krisis global (X3); (3) dampak krisis global (X3) terhadap kurs rupiah (Y) dengan mengabaikan variabel indeks harga saham (X1) dan ekspor netto (X 2 ). Pengujian hipotesis pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat secara simultan (serentak) menggunakan uji F dengan taraf signifikansi 0,05. Dasar pengambilan keputusan yaitu jika nilai F > 4 maka secara bersamaan semua variabel independen mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen, atau dengan kata lain H0 ditolak dan H1 diterima (Ghozali, 2007). Koefisien Determinasi (R 2) Koefisien determinasi (R2) menunjukkan besar sumbangan efektif seluruh variabel bebas: nilai indeks harga saham JESP Vol. 5, No.1, 2013 tertimbang (X1), ekpor netto (X 2), dan krisis global (X3) terhadap variabel kurs rupiah (Y). Semakin tinggi nilai koefisien determinasi (R2) berarti model semakin mampu menerangkan variabel dependent. Koefisien Determinasi Parsial (R 2 parsial) Koefisien determinasi parsial sebetulnya mengukur secara terpisah dampak satu variabel independen terhadap variabel dependen. Pengukuran dilakukan dengan menghilangkan tendensi linier variabel independen yang lain (Dajan, 1986). Rumusan pengukuran R2 parsial secara umum sebagai berikut: R2 x1-x2 = Hasil Penelitian Deskripsi Data 1. Data Indeks Harga Saham Indeks harga saham adalah indikator atau cerminan dari fluktuasi harga saham. Indeks merupakan salah satu pedoman bagi para investor untuk melakukan investasi di pasar modal, khususnya saham. Dalam penelitian ini indeks harga saham yang digunakan adalah indeks harga saham tertimbang yang merupakan perbandingan antara Indeks Harga Saham Gabungan New Y ork (New York Composite Index) dengan Indeks Harga Saham Gabungan Indonesia (Jakarta Composite Index/Indonesia Composite Index). Berikut ini disajikan data indeks harga saham tertimbang dari Januari 2006 sampai dengan Desember 2009. Tingkat indeks harga saham tertimbang bergerak secara fluktuatif. Indeks harga saham tertimbang tertinggi terjadi pada bulan Januari 2006 yaitu sebesar 6,58 sementara untuk yang terendah terjadi pada bulan Juli 2009 sebesar 2,77. Tahun 2006 nilai indeks harga saham tertimbang bergerak pada kisaran 5,06 hingga 6,58. Pada bulan Januari nilai indeks harga saham tertimbang sebesar 6,58 yang merupakan nilai tertinggi pada tahun ini, kemudian terus menurun hingga 5,78 pada bulan April. Pada bulan Mei nilai indeks harga saham tertimbang naik menjadi 6,16 dan pada bulan Juni mencapai nilai 6,23. Namun pada bulan Juli nilai indeks harga saham tertimbang terus menurun hingga nilai 5,06 pada bulan Desember. Rata-rata nilai indeks harga saham tertimbang pada tahun 2006 sebesar 5,90. Tahun 2007 nilai indeks harga saham tertimbang bergerak pada kisaran 3,55 hingga 5,27. Pada bulan Januari nilai indeks harga saham tertimbang sebesar 5,27 yang merupakan nilai tertinggi pada tahun ini, kemudian terus berangsur-angsur menurun hingga mencapai nilai terendah sebesar 3,55 pada bulan Desember. Ratarata nilai indeks harga saham tertimbang pada tahun 2007 sebesar 4,47. Tahun 2008 nilai indeks harga saham tertimbang bergerak pada kisaran 3,29 hingga 4,82. Pada bulan Januari nilai indeks harga saham tertimbang sebesar 3,47 kemudian turun menjadi 3,29 pada bulan Februari. Pada bulan Maret nilai indeks harga saham tertimbang naik menjadi 3,59 dan pada bulan April mencapai nilai 4,04. Pada bulan Mei hingga Juli terjadi penurunan berturut-turut dari 3,85; 3,69; dan 3,66 akan tetapi pada bulan Agustus kembali meningkat menjadi 3,87 dan mencapai nilai 4,82 pada bulan Oktober. Pada bulan November hingga Desember nilai indeks harga saham tertimbang kembali mengalami penurunan hingga mencapai nilai 4,25 pada bulan Desember. Rata-rata nilai indeks harga saham tertimbang pada tahun 2008 sebesar 3,93. Tahun 2009 nilai indeks harga saham tertimbang bergerak pada kisaran 2,80 hingga 3,90. Pada bulan Januari nilai indeks harga saham tertimbang sebesar 3,90 yang merupakan nilai tertinggi pada tahun ini, kemudian nilai indeks harga saham tertimbang terus mengalami penurunan hingga mencapai nilai 2,80 pada bulan September. Pada bulan Oktober 105 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 hingga November nilai indeks harga saham tertimbang naik hingga mencapai nilai 2,94 dan pada bulan Desember kembali turun menjadi 2,84. Rata-rata nilai indeks harga saham tertimbang pada tahun 2009 sebesar 3,10. Berdasarkan paparan data di atas dapat dilihat bahwa nilai indeks harga saham tertimbang mengalami perubahan yang fluktuatif dari tahun ke tahun. Ratarata dari nilai indeks harga saham tertimbang secara keseluruhan mulai tahun 2006-2009 sebesar 4,35. 2. Data Ekspor Netto Tahun 2006 nilai ekspor netto bergerak pada kisaran 2,73 hingga 5,86 milyar USD. Pada bulan Januari nilai ekspor netto sebesar 3,17 milyar USD dan turun menjadi 2,87 milyar USD pada bulan Februari. Pada bulan Maret nilai ekspor netto naik menjadi 3,09 milyar USD dan mencapai nilai tertinggi 5,86 milyar USD pada bulan April. Pada bulan Mei nilai ekspor netto kembali menurun hingga nilai terendah 2,73 milyar USD pada bulan Juni. Sejak bulan Juli nilai ekspor netto terus mengalami fluktuasi dan berakhir pada kisaran 4,64 milyar USD pada Bulan Desember. Rata-rata nilai ekspor netto pada tahun 2006 sebesar 3,56 milyar USD. Tahun 2007 nilai ekspor netto bergerak pada kisaran 2,30 hingga 4,10 milyar USD. Pada bulan Januari nilai ekspor netto sebesar 3,04 milyar USD kemudian naik menjadi 3,53 milyar USD pada bulan Februari. Sejak bulan Maret nilai ekspor netto terus mengalami fluktuasi dengan nilai tertinggi tercatat pada bulan Desember dengan nilai 4,10 milyar USD yang merupakan lonjakan tinggi dari nilai terendah 2,30 milyar USD pada bulan November. Rata-rata nilai ekspor netto pada tahun 2007 sebesar 3,30 milyar USD. Tahun 2008 nilai ekspor netto bergerak pada kisaran minus 730 juta USD hingga 1,73 milyar USD, hal ini disebabkan karena imbas krisis global yang mulai melanda perekonomian 106 Indonesia. Pada bulan Januari nilai ekspor netto sebesar 1,58 milyar dolar USD kemudian setelah mencapai nilai tertinggi 1,73 milyar USD pada bulan Maret nilai ekspor netto turun drastis menjadi minus 730 juta USD pada bulan April. Pada bulan Mei nilai ekspor netto kembali naik hingga 1,25 milyar USD dan kembali turun drastis menjadi minus 340 juta USD pada bulan Juli. Sejak bulan Agustus nilai ekspor netto terus berfluktuasi dan pada akhirnya mencatatkan nilai 1,15 milyar USD pada bulan Desember. Rata-rata nilai ekspor netto pada tahun 2008 sebesar 650 juta USD. Tahun 2009 nilai ekspor netto bergerak pada kisaran 680 juta USD hingga 3,65 milyar USD, pada periode ini nilai ekspor netto mulai meningkat seiring dengan usaha pemulihan dari dampak krisis global. Pada bulan Januari nilai ekspor netto sebesar 680 juta USD kemudian terus meningkat hingga mencapai nilai 2,06 milyar USD pada bulan Maret. Pada bulan April nilai ekspor netto mulai mengalami penurunan hingga mencapai nilai 840 juta USD pada bulan Agustus. Sejak bulan September nilai ekspor netto kembali bergerak positif hingga mencapai nilai 3,05 milyar USD pada bulan Desember. Rata-rata nilai ekspor netto pada tahun 2009 sebesar 1,64 milyar USD. Berdasarkan paparan data di atas dapat dilihat bahwa nilai ekpor netto Indonesia selalu mengalami fluktuasi dengan nilai terendah tercatat pada periode krisis pada tahun 2008 dan 2009. Rata-rata dari nilai ekpor netto Indonesia secara keseluruhan mulai tahun 2006-2009 sebesar 2,29 milyar USD. 3. Data Krisis Global Berdasarkan Laporan Perekonomian Indonesia 2008 oleh Bank Indonesia, krisis global mulai memberikan pengaruh pada perekonomian Indonesia pada trimester IV tahun 2008 sedangkan akhir dari krisis global diasumsikan pada 31 Desember 2009. Asumsi ini diambil JESP Vol. 5, No.1, 2013 berdasarkan Laporan Perekonomian Indonesia oleh 2009 Bank Indonesia dan juga berdasarkan dari pernyataan Chief Economist BNI, A. Tony Prasetiantono. V ariabel krisis global merupakan variabel dummy dengan nilai 0 untuk menunjukkan masa sebelum krisis global yang dimulai pada bulan Januari 2006 sampai bulan September 2008 dan nilai 1 untuk periode krisis global yang dimulai pada bulan Oktober 2008 sampai bulan Desember 2009. Pada tabel berikut akan dipaparkan nilai dummy pada masingmasing periode. T abel 1. Data Dummy Krisis Global 2006-2009 PERIODE 2006 2007 2008 2009 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 4. Data Kurs Rupiah Pada penelitian ini kurs yang digunakan adalah kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dolar Amerika Serikat dipilih sebagai pembanding karena mata uang tersebut merupakan mata uang internasional dan juga krisis global tersebut berawal dari Amerika Serikat. Kurs yang dijadikan acuan adalah kurs bulanan yang diperoleh dari rata-rata kurs harian dalam satu bulan. Pada tabel berikut ini disajikan kurs bulanan dari periode Januari 2006 sampai dengan Desember 2009. Tahun 2006 kurs rupiah terhadap dolar AS berada pada kisaran Rp 8981,67 hingga Rp 9540,40. Pada bulan Januari kurs rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp 9540,40 kemudian terus menguat hingga mencapai Rp 8981,67 pada bulan April. Pada bulan Mei kurs rupiah terhadap dolar AS kembali melemah hingga mencapai nilai Rp 9409,64 pada bulan Juni, mulai bulan Juli kurs rupiah terhadap dolar AS terus mengalami fluktuasi dan ditutup menguat pada nilai Rp 9132,15 di bulan Desember. Rata-rata nilai kurs rupiah terhadap dolar AS pada tahun 2006 sebesar Rp 9210,33. Tahun 2007 kurs rupiah terhadap dolar AS berada pada kisaran Rp 8888,48 hingga Rp 9380,27. Pada bulan Januari kurs rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp 9111,82 kemudian terus melemah hingga mencapai nilai Rp 9209,95 pada bulan Maret, namun kurs rupiah terhadap dolar AS kembali menguat hingga mencapai nilai Rp 8888,48 pada bulan Mei. Sejak bulan Juni kurs rupiah terhadap dolar AS terus mengalami fluktuasi hingga ditutup pada posisi melemah di bulan Desember dengan nilai Rp 9380,27. Rata-rata nilai kurs rupiah terhadap dolar AS pada tahun 2007 sebesar Rp 9185,05. Tahun 2008 kurs rupiah terhadap dolar AS berada pada kisaran Rp 9195,10 hingga Rp 11769,90. Pada bulan Januari kurs rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp 9453,30 kemudian terus mengalami mengalami fluktuasi hingga menguat menjadi Rp 9195,10 pada bulan Agustus. Akan tetapi sejak bulan September kurs rupiah terhadap dolar AS terus melemah sebagai akibat dari krisis global hingga mencapai Rp 11381,50 pada bulan Desember. Rata-rata nilai kurs rupiah terhadap dolar AS pada tahun 2008 sebesar Rp 9740.61. Tahun 2009 kurs rupiah terhadap dolar AS berada pada kisaran Rp 9504,85 hingga Rp 11912,20. Pada bulan Januari kurs rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp 11223,10 dan melemah menjadi Rp 11912,20 pada bulan Februari. Akan tetapi sejak bulan Maret kurs rupiah terhadap dolar AS terus menguat hingga ditutup pada nilai Rp 9504,85. Rata-rata nilai kurs rupiah terhadap dolar AS pada tahun 2009 sebesar Rp 10459,88. 107 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 Berdasarkan paparan data di atas dapat dilihat bahwa kurs rupiah terhadap dolar AS bergerak stabil pada masa sebelum krisis (2006-2007) kemudian mengalami kenaikan yang signifikan pada periode krisis di tahun 2008 dan mulai kembali normal di akhir tahun 2009. Ratarata dari kurs rupiah terhadap dolar AS secara keseluruhan mulai tahun 2006-2009 sebesar Rp 9648,97. Hasil Analisis Statistik 1. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda Berdasarkan hasil analisis regresi, maka dapat dirumuskan suatu persamaan regresi berganda sebagai berikut: Kurs Rupiah = 8776,377 + 161,716 indeks harga saham- 122,046 ekspor netto + 1435,156 krisis global Nilai konstanta a=8776,377 dan bertanda positif menandakan bahwa apabila variabel ekspor netto, indeks harga saham, dan krisis global dianggap tetap atau nol maka konstanta akan dapat menaikkan kurs rupiah sebesar 8776,377. Nilai koefisien b1=161,716 dari variabel indeks harga saham dengan tanda positif menunjukkan bahwa indeks harga saham memiliki hubungan yang positif atau searah dengan kurs rupiah. Semakin tinggi nilai indeks harga saham tertimbang maka semakin tinggi kurs rupiah (rupiah melemah), sebaliknya semakin rendah nilai indeks harga saham tertimbang maka semakin rendah kurs rupiah (rupiah menguat) dengan besaran pengaruh 161,716 satuan. Nnilai koefisien b2= -122,046 dari variabel ekspor netto dengan tanda negatif menunjukkan bahwa ekspor netto memiliki hubungan yang negatif atau berkebalikan dengan kurs rupiah. Semakin tinggi nilai ekspor netto maka semakin rendah kurs rupiah (rupiah menguat), sebaliknya semakin rendah nilai ekspor netto maka semakin tinggi kurs rupiah (rupiah melemah) dengan besaran pengaruh 122,046 satuan. 108 Nilai koefisien b3=1435,156 dari variabel krisis global dengan tanda positif menunjukkan bahwa krisis global memiliki hubungan yang positif atau searah dengan kurs rupiah. Semakin tinggi nilai krisis global (periode krisis) maka semakin tinggi kurs rupiah (rupiah melemah), sebaliknya semakin rendah nilai krisis global (periode sebelum krisis) maka semakin rendah kurs rupiah (rupiah menguat) dengan besaran pengaruh 1435,156 satuan. 2. Hasil Uji Asumsi Klasik a. Hasil Uji Normalitas Data dikatakan berdistribusi normal jika signifikansi variabel dependen memiliki nilai signifikansi lebih dari 5 %. Pada data diperoleh nilai signifikansi (2tailed) 28.5%, sehingga dapat dikatakan bahwa data yang digunakan dalam penelitian ini berdistribusi normal. b. Uji Multikolinearitas Uji multikolinieritas dilakukan untuk melihat adanya keterkaitan antara variabel independen, atau dengan kata lain setiap variabel independen dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Berdasarkan hasil output SPSS, apabila nilai VIF < 10 dan nilai tolerance > 0,1 dapat disimpulkan bahwa asumsi adanya multikolinieritas ditolak. Berdasarkan hasil uji multikolinearitas, diperoleh nilai VIF < 10 dan nilai tolerance > 0,1 untuk semua variabel independen yang berarti bahwa model regresi tidak mengandung multikolinieritas. c. Hasil Uji Autokorelasi Uji autokorelasi menggu-nakan Run Test, jika hasil test memiliki signifikansi < 5% maka model regresi mengandung masalah autokorelasi. Berdasarkan tabel hasil uji autokorelasi di atas, diperoleh nilai tes adalah -27,63933 dengan signifikansi 0,058 (lebih besar dari 5%) yang berarti bahwa model regresi tidak mengandung autokorelasi. JESP Vol. 5, No.1, 2013 d. Hasil Uji Heteroskedastisitas Berdasarkan hasil uji heteroskedastisitas, diperoleh nilai signifikansi > 0,05 untuk semua variabel independen yang berarti bahwa model regresi tidak mengandung heteroskedastisitas. 3. Hasil Uji Hipotesis a. Uji Parsial (Uji t) Dari hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan bahwa secara parsial indeks harga saham mempunyai pengaruh yang tidak signifikan terhadap kurs rupiah. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi sebesar 0,055 > nilai α , dengan demikian H0 diterima dan H1 ditolak. Jadi fluktuasi indeks harga saham tidak mempunyai dampak yang signifikan terhadap kurs rupiah. Dari hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan bahwa secara parsial ekspor netto mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kurs rupiah. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi sebesar 0,044 < nilai α , dengan demikian H0 ditolak dan H1 diterima. Jadi fluktuasi ekspor netto mempunyai dampak yang signifikan terhadap kurs rupiah. Dari hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan bahwa secara parsial krisis global mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kurs rupiah. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi sebesar 0,000 < nilai α , dengan demikian H0 ditolak dan H1 diterima. Jadi krisis global mempunyai dampak yang signifikan terhadap kurs rupiah. b. Uji Simultan (Uji F) Berdasarkan hasil analisis uji F, diperoleh nilai F sebesar 29,573 > 4 sehingga H0 ditolak dan H1 diterima. Jadi fluktuasi nilai indeks harga saham, ekspor netto, dan krisis global secara bersamaan mempunyai dampak yang signifikan terhadap kurs rupiah. 4. Uji Koefisien Determinasi (R 2) Nilai R2 sebesar 0,668 atau 66,8% menyatakan bahwa informasi yang terkandung dalam data sebesar 66,8% dapat dijelaskan oleh model regresi diatas. Sedangkan sisanya sebesar 33,2% dijelaskan oleh variabel lain (yang belum terdapat dalam model regresi diatas). Menurut Lipsey, Steiner, dan Purvis (1993) variabel lain yang dapat mempengaruhi nilai tukar tersebut adalah laju inflasi relatif dan tingkat suku bunga relatif. Selain itu variabel lain yang kemungkinan dapat mempengaruhi kurs yaitu tingkat pendapatan relatif, kontrol pemerintah terhadap kurs, dan ekpektasi pasar. 5. Koefisien Determinasi Parsial (R 2 parsial) = = 1- 0,919 = R2 = 0,081 = 8,1% Hasil perhitungan di atas berarti bahwa fluktuasi indeks harga saham mampu menerangkan hubungannya dengan kurs rupiah dengan proporsi 8,1%, dan 91,9% kurs rupiah diterangkan oleh variabel lain. R2 = = = 1- 0,912 = 0,088 = 8,8% Hasil perhitungan di atas berarti bahwa fluktuasi nilai eksor netto mampu menerangkan hubungannya dengan kurs rupiah dengan proporsi 8,8%, dan 91,2% kurs rupiah diterangkan oleh variabel lain. R2 = = = 1- 0,426 = 0,574 = 57,4% Hasil perhitungan di atas berarti bahwa krisis global mampu menerangkan hubungannya dengan kurs rupiah dengan proporsi 57,4%, dan 44,6% kurs rupiah diterangkan oleh variabel lain. Dampak Fluktuasi Indeks Harga Saham terhadap Kurs Rupiah Berdasarkan hasil penelitian diperoleh fakta bahwa fluktuasi indeks harga saham berhubungan positif atau searah dengan kurs rupiah dengan besaran pengaruh 161,716 satuan. Hal tersebut terjadi karena variabel indeks harga saham ini merupakan indeks harga saham 109 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 tertimbang yang merupakan perbandingan antara indeks harga saham gabungan New Y ork dengan indeks harga saham Indonesia, variabel ini mencerminkan pengaruh krisis global dari luar negeri dan juga mencerminkan aliran modal ke dalam pasar finansial Indonesia, dalam hal ini dapat kita pahami bahwa saat harga saham dalam negeri bagus maka kekayaan riil investor naik sehingga mengakibatkan banyaknya permintaan terhadap mata uang rupiah oleh para investor. Ketika permintaan terhadap rupiah naik maka suku bunga akan naik dan mengakibatkan banyak aliran modal yang masuk dalam pasar finansial Indonesia sehingga secara otomatis nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing termasuk dolar Amerika akan mengalami apresiasi, sebaliknya saat harga saham anjlok maka kekayaan riil investor menurun sehingga permintaan terhadap rupiah menurun. Turunnya permintaan terhadap rupiah mengakibatkan suku bunga turun sehingga investor akan lebih memilih menempatkan modalnya di luar negeri, dengan demikian maka rupiah akan mengalami depresiasi. Penjelasan tersebut mengacu pada teori yang dinyatakan oleh Lipsey, Steiner, dan Purvis (1993:385) yang menyatakan bahwa aliran modal yang besar dapat berpengaruh kuat pada nilai tukar. Aliran dana investasi akan mengakibatkan apresiasi mata uang negara yang mendapat aliran dana dan depresiasi mata uang negara yang menginvestasikan modalnya. Selain dari pendapat Lipsey, Steiner, dan Purvis hubungan positif ini juga sejalan dengan teori dari Simorangkir dan Suseno (2005) yang menjelaskan indeks harga saham sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi nilai tukar dengan pendekatan permintaan dan penawaran valuta asing, semakin besar aliran modal keluar maka semakin besar permintaan terhadap valuta asing sehingga akan memperlemah nilai tukar. Sebaliknya, jika semakin besar aliran modal masuk maka semakin besar penawaran valuta asing sehingga akan memperkuat nilai tukar. 110 Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian terdahulu dari Tim Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Departemen Keuangan Republik Indonesia (2008) yang berjudul “Analisis Hubungan Kointegrasi dan Kausalitas serta Hubungan Dinamis antara Aliran Modal Asing, Perubahan Nilai Tukar dan Pergerakan IHSG di Pasar Modal Indonesia” yang menunjukkan bahwa IHSG lebih mampu menjelaskan pengaruhnya terhadap aliran modal asing (capital inflow) yang masuk ke Indonesia, sedangkan aliran modal asing (capital inflow) mampu menjelaskan pengaruhnya terhadap pergerakan nilai tukar rupiah, aliran modal asing (capital inflow) yang masuk ke Indonesia pada periode penelitian memberikan pengaruh yang positif terhadap pergerakan indeks harga saham gabungan, dan juga memberikan pengaruh yang positif terhadap perubahan nilai tukar rupiah. Begitu pula dengan hasil penelitian dari Maskie dan Satria (2003) yang berjudul “Analisis Asosiasi Kurs dan Harga Saham: Pendekatan Error Correction Model (Periode 2000 ‐2003)” di mana pergerakan indeks saham berpengaruh kuat terhadap fluktuasi kurs. Meskipun hubungan variabel indeks harga saham terhadap kurs rupiah sudah sesuai dengan teori akan tetapi dampak dari fluktuasi indeks harga saham terhadap kurs rupiah tidak signifikan, hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi 0,055 > nilai α . Hal tersebut bisa terjadi karena kapitalisasi pasar modal Indonesia masih belum terlalu besar bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya, seperti yang dijelaskan oleh Bapepam (2005) yang menyatakan bahwa apabila dibandingkan dengan bursa regional lainnya, peranan pasar modal Indonesia terhadap perekonomian negara, yang terlihat dari perbandingan nilai kapitalisasi pasar terhadap produk domestik bruto (PDB), masih berada pada posisi yang cukup rendah. Pada tahun 2004, rasio nilai kapitalisasi pasar terhadap PDB di Indonesia hanya mencapai 29,5%, JESP Vol. 5, No.1, 2013 sementara beberapa bursa regional lainnya telah melampui 100%. Pada periode selanjutnya Basri (2008) juga menyatakan bahwa perekonomian Indonesia dan sektor keuangannya tak terkait erat dengan sektor finansial, pasar bursa tidak akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap gejolak ekonomi dalam negeri. Pasalnya, pelaku pasar bursa hanya sekitar 0,5 persen dari penduduk Indonesia, senada dengan hal tersebut Kalla (2008) juga menyatakan bahwa perekonomian kita lebih banyak menggantungkan diri pada ekonomi domestik. Di Amerika Serikat, pengaruh bursa mencapai 1,5 kali dari produk domestik bruto sedangkan di Indonesia pengaruhnya hanya 20 persen. Selain itu fenomena ini juga dijelaskan oleh peranan dari faktor-faktor domestik yang mampu mengurangi gejolak sektor finansial, hal ini dijelaskan dalam Laporan Perekonomian Indonesia 2009 yang menyatakan bahwa beberapa faktor domestik terlihat menjadi bantalan yang cukup efektif dalam menyerap pengaruh gejolak ekonomi global. Faktor domestik domestik tersebut berkaitan dengan karakteristik perbankan dan lembaga keuangan domestik yang masih cenderung konvensional dengan exposure terhadap sekuritas-sekuritas asing bermasalah yang minimal sehingga mengakibatkan pengaruh langsung gejolak pasar keuangan global juga tidak terlalu besar. Satu hal lain yang memengaruhi ketahanan perbankan tersebut adalah dampak positif berbagai upaya penguatan dan konsolidasi sistem perbankan pascakrisis tahun 1997/1998 . Dampak Fluktuasi Ekspor Netto terhadap Kurs Rupiah Dari hasil penelitian diperoleh fakta bahwa fluktuasi ekspor netto memiliki hubungan yang negatif atau berkebalikan dengan kurs rupiah dengan besaran pengaruh - 122,046 satuan. V ariabel ekspor netto mewakili pengaruh krisis global dari dalam negeri dan juga mencerminkan pengaruh dari sektor riil. Dalam hal ini dapat kita pahami bahwa ketika kinerja sektor riil sedang bagus maka kapasitas produksi dalam negeri meningkat sehingga nilai ekspor akan meningkat sedangkan impor akan cenderung menurun karena kebutuhan dalam negeri sudah mampu terpenuhi oleh produsen dalam negeri, dengan demikian maka nilai ekspor netto akan meningkat. Saat nilai ekspor netto naik maka secara otomatis negara mempunyai devisa dalam bentuk valuta asing dengan jumlah yang besar dengan demikian maka kurs rupiah terhadap mata uang asing akan turun (rupiah menguat), sebaliknya jika kinerja sektor riil memburuk maka produksi dalam negeri akan kesulitan menjalankan aktivitas ekonominya sehingga nilai ekspor akan cenderung turun dan kebutuhan dalam negeri lebih banyak dipenuhi dengan cara mengimpor dari produsen luar negeri, dengan demikian maka permintaan terhadap valuta asing oleh pengusaha dalam negeri akan meningkat dan cadangan devisa dalam bentuk mata uang asing akan menurun, sehingga kurs rupiah terhadap mata uang asing akan naik (rupiah melemah). Hubungan negatif antara fluktuasi ekspor netto terhadap kurs rupiah tersebut sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh Salvatore (1997:42) yang menjelaskan bahwa menurut pendekatan perdagangan, kurs ekuilibrium adalah kurs yang menyeimbangkan nilai impor dan ekspor dari suatu negara. Jika nilai impor suatu negara lebih besar dari nilai ekspor negara tersebut maka kurs mata uangnya akan mengalami peningkatan (artinya mata uang tersebut mengalami depresiasi). Sejalan dengan hal itu Simorangkir dan Suseno (2005) menjelaskan hubungan perdagangan internasional dengan nilai tukar melalui teori permintaan dan penawaran valuta asing, semakin tinggi nilai impor maka permintaan valuta asing akan naik sehingga nilai tukar akan melemah, sebaliknya jika semakin tinggi nilai ekspor suatu negara maka semakin besar jumlah valuta asing yang dimiliki negara tersebut, sehingga nilai tukar mata 111 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 uang negara yang bersangkutan cenderung menguat terhadap valuta asing. Hubungan variabel ekspor netto terhadap kurs rupiah sudah sesuai dengan teori dan dampak dari fluktuasi ekspor netto terhadap kurs rupiah signifikan, hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi sebesar 0,044 < nilai α . Fenomena ini disebabkan karena ekspor netto mampu menunjang perbaikan perekonomian Indonesia pada masa krisis global. Hal tersebut dapat kita lihat dalam Laporan Perekonomian Indonesia 2009 oleh Bank Indonesia yang mencatat bahwa peningkatan surplus neraca transaksi berjalan 2009 didukung oleh kinerja ekspor, yang meskipun mengalami kontraksi akibat penurunan pertumbuhan ekonomi global, tercatat tidak sebesar kontraksi pada impor. Kinerja ekspor tidak terlepas dari pengaruh permintaan ekspor untuk barang berbasis sumber daya alam, khususnya barang pertambangan, yang tetap tumbuh positif dalam periode kontraksi ekonomi global. Kinerja ekspor juga ditopang oleh ekspor manufaktur pada akhir tahun 2009 sejalan dengan semakin cepatnya pemulihan ekonomi negara maju terutama di AS dan Jepang. Sementara itu, impor melambat cukup signifikan terutama dipengaruhi oleh menurunnya permintaan domestik sejalan dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi domestik. Kontraksi impor juga terjadi akibat penurunan kebutuhan bahan baku untuk barang manufaktur yang berorientasi ekspor, yang biasanya berkandungan impor tinggi. Selain itu kinerja ekspor netto mengalami perkembangan yang positif pada masa krisis global karena dipengaruhi oleh permintaan global yang mulai meningkat kuat, terutama dari China dan negara Asia non Jepang, serta tren pelemahan dolar AS yang masih terjadi. Selain itu, beberapa harga komoditas utama Indonesia yang juga mulai meningkat sejak triwulan II 2009, cukup kondusif menopang perbaikan kinerja ekspor hingga akhir tahun 2009. Membaiknya permintaan dunia menyebabkan pertumbuhan ekspor 112 nonmigas kembali mencatat pertumbuhan positif sebesar 17,6% (yoy) pada triwulan IV 2009 (Bank Indonesia, 2009). Dampak Krisis Global terhadap Kurs Rupiah Dari hasil penelitian diperoleh fakta bahwa krisis global memiliki hubungan yang positif atau searah dengan kurs rupiah dengan besaran pengaruh 1435,156. Dampak krisis global terhadap kurs rupiah juga menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi sebesar 0,000 < nilai α . Krisis global merupakan krisis yang dialami oleh negara-negara di dunia yang berawal dari krisis finansial di Amerika Serikat. Krisis global mulai memberikan pengaruh pada perekonomian Indonesia pada trimester IV tahun 2008 dan akhir dari krisis global diasumsikan pada 31 Desember 2009. Hal tersebut disebabkan karena krisis global memberikan pengaruh terhadap perekonomian dalam negeri melalui dua jalur, yaitu jalur finansial dan jalur perdagangan. Saat krisis global terjadi pasar modal Indonesia mengalami guncangan karena persepsi risiko yang cukup tinggi dan juga kebanyakan pemodal asing menarik dananya dari Indonesia untuk memperkuat perusahaannya masing-masing sehingga terjadi capital outflow besar-besaran sehingga rupiah melemah. Dari sisi perdagangan, pada saat krisis global daya beli konsumen baik dalam maupun luar negeri akan berkurang, hal ini akan mengakibatkan penurunan permintaan terhadap barang dan jasa sehingga produsen dalam negeri mengalami kesulitan dalam menjalankan aktivitas usahanya. Ketika produsen mengalami kesulitan dan penurunan produktivitas maka kebutuhan dalam negeri akan sulit dipenuhi sehingga nilai impor akan meningkat dan nilai ekspor pasti mengalami penurunan signifikan. Pada saat hal tersebut terjadi nilai devisa dalam bentuk mata uang asing menurun dan permintaan terhadap mata uang asing JESP Vol. 5, No.1, 2013 melonjak sehingga kurs rupiah mengalami depresiasi. Secara riil fenomena tersebut dijelaskan oleh Bank Indonesia (2009) yang menyatakan bahwa ekonomi global yang mendapat tekanan kuat tidak dapat dihindari telah menurunkan kinerja perekonomian Indonesia pada tahun 2009. Tekanan berat tersebut sangat terasa pada triwulan I 2009. Sejalan dengan karakter ekonomi Indonesia yang cukup terbuka, pengaruh gejolak ekonomi global tertransmisikan melalui dua jalur yaitu jalur finansial dan jalur perdagangan. Dari jalur finansial, gejolak yang masih terjadi di pasar keuangan global mengakibatkan risiko di pasar keuangan domestik dan penanaman modal di Indonesia tetap tinggi pada triwulan I 2009. Persepsi risiko yang masih tinggi di pasar keuangan tersebut pada gilirannya mengakibatkan masih kuatnya aliran keluar modal asing jangka pendek dan memberikan tekanan kepada stabilitas sistem keuangan domestik di triwulan I 2009. Sementara itu, dampak dari jalur perdagangan ditunjukkan oleh pertumbuhan ekspor barang dan jasa yang mengalami kontraksi cukup besar, yang pada akhirnya berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Dari dua hal tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa saat krisis global terjadi kelebihan permintaan terhadap dolar karena adanya tekanan pada stabilitas keuangan sehingga banyak investor asing yang menarik dana investasinya dari Indonesia dan lebih memilih menanamkan modalnya di luar negeri. Tekanan terhadap sektor riil mengakibatkan turunnya produktifitas perusahaan dalam negeri sehingga kinerja ekspor netto mengalami penurunan dan mengakibatkan turunnya permintaan terhadap mata uang rupiah. Dampak Fluktuasi Nilai Indeks Harga Saham, Ekspor Netto, dan Krisis Global Secara Bersamaan terhadap Kurs Rupiah Dari hasil penelitian diperoleh fakta bahwa fluktuasi nilai indeks harga saham, ekspor netto, dan krisis global secara bersamaan berpengaruh signifikan terhadap kurs rupiah. Kesimpulan tersebut berdasarkan hasil analisis uji F, diperoleh nilai F sebesar 29,573 > 4 sehingga H0 ditolak dan H1 diterima. Jadi fluktuasi nilai indeks harga saham, ekspor netto, dan krisis global secara bersamaan mempunyai dampak yang signifikan terhadap kurs rupiah. Hal ini bisa dipahami karena pada masa krisis global terjadi penurunan nilai investasi di pasar modal sehingga IHSG menjadi anjlok, dengan demikian modal akan lebih banyak mengalir ke luar negeri sehingga permintaan terhadap valuta asing meningkat dan rupiah menjadi mengalami depresiasi. Bencana yang melanda sektor finansial (pasar modal) pada akhirnya ikut menerpa sektor riil. Para pengusaha dalam negeri akan sulit mendapatkan dana segar karena investasi yang minim, dengan demikian maka produsen tidak mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri sehingga harus memenuhi kebutuhan dengan cara impor. Hal tersebut mengakibatkan neraca pembayaran negatif karena nilai impor lebih besar daripada ekspor sehingga permintaan terhadap valuta asing meningkat pula dan pada akhirnya kurs rupiah mengalami depresiasi. Di sisi lain penurunan daya beli konsumen baik domestik maupun internasional juga turut mempengaruhi penurunan kinerja sektor riil. Senada dengan persepsi tersebut, Sugema (2008) menyatakan bahwa sektor riil domestik dan internasional terhubung secara langsung melalui aktivitas ekspor dan impor. Karena sebagian besar negara maju mulai mengalami resesi, otomatis permintaan ekspor komoditas Indonesia akan berkurang. Negara-negara maju memiliki pangsa sekitar 60 persen terhadap 113 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 GDP dunia. Adalah sulit untuk membayangkan bahwa resesi yang dialami oleh negara maju tidak akan mengganggu negara kita. Memang bisa dicari alternatif pasar. Tetapi, jelas tidak ada pasar yang mampu menggantikan peran mereka. Bahkan, semua negara tentunya akan melakukan hal yang sama, yaitu semaksimal mungkin mengalihkan ekspor ke negara mana pun yang memungkinkan. Karena itu, Indonesia menghadapi persaingan yang lebih keras di pasar ekspor nontradisional. Bahkan, pasar domestik akan dibanjiri oleh produkproduk impor dari Cina dan Vietnam. Lebih lanjut Sugema (2008) menyatakan bahwa pada kenyataannya sebagaimana telah terjadi terhadap Grup Bakrie dan beberapa grup bisnis lainnya, ternyata anjloknya harga saham telah ikut menurunkan akses mereka terhadap kredit dan pasar modal. Ketika harga saham turun, net worth mereka otomatis juga turun sehingga credit-worthiness perusahaan-perusahaan mereka juga melemah. Pada gilirannya, mereka akan mengalami kesulitan untuk melakukan roll over dan refinancing untuk kredit yang telah jatuh tempo. V olatilitas di pasar keuangan juga akan meningkatkan persepsi risiko yang ada. Akibatnya, perusahaan menjadi lebih sulit untuk mencari dana. Bahkan pada saat krisis global, JP Morgan Chase merekomendasikan bahwa obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia sebaiknya dihindari. Penilaian tersebut jelas membuktikan bahwa pemerintah sekalipun akan mengalami kesulitan dalam pembiayaan. Dunia usaha tentunya akan menghadapi kesulitan yang jauh lebih parah, kesulitan likuiditas perbankan mengakibatkan kredit menjadi lebih sulit untuk diperoleh. Penutup Dengan memperhatikan hasil analisis yang berkaitan dengan rumusan masalah dan tujuan dalam penelitian ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan hasil penelitian sebagai berikut: 114 1. Fluktuasi indeks harga saham memiliki hubungan yang searah dengan kurs rupiah, semakin tinggi nilai flukuasi indeks harga saham maka kurs rupiah terhadap dolar mengalami kenaikan akan tetapi variabel tidak berdampak signifikan terhadap pergerakan kurs rupiah, hal ini disebabkan karena kapitalisasi pasar modal Indonesia yang tidak terlalu besar. 2. Fluktuasi ekspor netto memiliki hubungan berkebalikan dengan kurs rupiah, semakin tinggi nilai ekspor netto maka kurs rupiah terhadap dolar akan semakin menurun dan variabel ini berdampak signifikan terhadap pergerakan kurs rupiah. Hal tersebut disebabkan karena ekspor merupakan penunjang utama perbaikan ekonomi Indonesia pada masa krisis terutam ekspor bahan mentah dan mineral. 3. Krisis global memiliki hubungan searah dengan kurs rupiah, semakin tinggi nilai krisis maka nilai kurs rupiah terhadap dolar juga mengalami kenaikan dan variabel ini berdampak signifikan terhadap pergerakan kurs rupiah. Hal ini disebabkan karena krisis global memberikan dampak terhadap perekonoian Indonesia melalui 2 jalur sekaligus, yaitu jalur finansial dan perdagangan internasioanal. 4. Fluktuasi nilai indeks harga saham, ekspor netto, dan krisis global secara bersamaan mempunyai dampak yang signifikan terhadap kurs rupiah. Hal ini disebabkan karena pada masa krisis sektor finansial mengalami penurunan kinerja, penurunan sektor finansial mengakibatkan sektor riil juga mengalami penurunan karena kurangnya investasi modal, di sisi lain daya beli konsumen baik domestik maupun internasional yang turun turut memberikan dampak buruk bagi sektor riil. Penurunan kinerja sektor finansial dan sektor riil pada akhirnya ikut mengakibatkan kurs rupiah terhadap dolar mengalami kenaikan. JESP Vol. 5, No.1, 2013 Daftar Pustaka Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Badan Pengawas Pasar Modal Departemen Keuangan Republik Indonesia. 2009. Master Plan Pasar Modal Indonesia 2005-2009 , (Online), (www.idx.co.id, diakses 15 Juli 2010) Bank Indonesia. 2008. Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2008, (Online). (www.bi.go.id, diakses 23 Juni 2010). Bank Indonesia. 2009. Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2009, (Online) , (www.bi.go.id, diakses 23 Juni 2010). Basri, F . 2008. Diuntungkan Krisis Global, (Online), (www. dexton. adexindo. com, diakses 30 Juni 2010). Bursa Efek Indonesia. 2007a. Indeks Harga Saham & Obligasi, (Online), (www.idx.co.id, diakses 20 Juni 2010). Bursa Efek Indonesia. 2007b. What is Equities?, (Online), (www.idx.co.id, diakses 20 Juni 2010). Dajan, A. 1986. Pengantar Metode Statistik Jilid II. Jakarta: PT Pustaka LP3ES. Ghozali, I. 2007. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Hadi, D. D. 2008. Dampak Krisis Keuangan Global Bagi Indonesia , (Online), (didik2h.web.ugm.ac.id, diakses 20 Juni 2010). Kalla, J. 2008. Pengaruh Krisis Global di Indonesia Tidak Besar, (Online), (www.padangkini.com, diakses 1 Agustus 2010). Lipsey, R. G. Steiner, P . O. & Purvis, D. D. 1987. Pengantar Makroekonomi Edisi Kedelapan. Terjemahan oleh Jaka W asana dan Kirbrandoko. 1993. Jakarta: Erlangga. Maskie, G. & Satria, D. 2003. Analisis Asosiasi Kurs dan Harga Saham : Pendekatan Error Correction Model (Periode 2000-2003), (Online), (www.diassatria.web.id, diakses 20 Juni 2010). Mutakin, F . Salam, A. R. & Driyo, A. D. 2008. Peta Ekspor-Impor 2008 dan Proyeksi Ekspor Indonesia Tahun 2009, (Online), (www.bni.co.id, diakses 23 Juni 2010). Prasetiantono, A. R. 2009. “Road to Recovery” dan Prospek Ekonomi 2010. (Online), (www.bni.co.id, diakses 23 Juni 2010). Salvatore, D. 1996. Ekonomi Internasional/Edisi Kelima/Jilid 2. Terjemahan oleh Haris Munandar. 1997. Jakarta: Erlangga. Sasadara, R. N. 2008. Dampak Krisis Finansial Global terhadap Sektor Ekonomi dan Perbankan, (Online), (www.bni.co.id, diakses 1 Agustus 2010). Simorangkir, I. & Suseno. 2005. Sistem dan Kebijakan Nilai Tukar. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan. Sugema, I. 2008. Dampak Krisis Terhadap Sektor Riil, (Online), (www.artikelmadani.com, diakses 1 Agustus 2010). Tim Studi Tentang Analisis Hubungan Kointegrasi dan Kausalitas serta Hubungan Dinamis antara Aliran Modal Asing, Perubahan Nilai Tukar dan Pergerakan IHSG di Pasar Modal Indonesia. 2008. Analisis Hubungan Kointegrasi dan Kausalitas serta Hubungan Dinamis antara Aliran Modal Asing, Perubahan Nilai Tukar dan Pergerakan IHSG di Pasar Modal Indonesia, (Online), (www.bapepam.go.id, diakses 20 Juni 2010). Triandaru, S. & Budisantoso, T. 2006. Bank dan Lembaga Keuangan Lain . Jakarta: Salemba Empat. 115 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 Universitas Negeri Malang. 2003. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, T esis, Disertasi, Artikel, Makalah, dan Laporan Penelitian. Malang: Penerbit UM. Wiyono, B. B. 2007. Metodologi Penelitian (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan Action Research). Malang: Rosindo. 116 JESP Vol. 5, No.1, 2013 ANALISIS PERMINTAAN UANG DI INDONESIA PERIODE TAHUN 2000.I-2009.IV Abid Muhtarom Abstract This research aims to analysis the factors affect money demand in Indonesia for 2000.I-2009.IV . The technique analysis used to estimate the parameters in the model is the Ordinary Least Square (OLS). Based on the analysis of regression calculations described earlier , the proof of the hypothesis can be summarized as follows: (a). In the first model, variables that significantly affect the demand for M1 money is gross domestic product and one month deposit interest rate, while the variables that do not significantly affect the M1 is the consumer price index. (b). In the second model, variables that significantly affect the M2 money demand is gross domestic product and the rate of 1-month deposit interest rate, while the variables that do not significantly affect the M2 is the consumer price index. Keywords: Money Demand, Deposit Interest Rate, Consumer Price Index, Ordinary Least Square Pembangunan ekonomi Indonesia tidak terlepas dari keterlibatan sektor moneter. Sektor moneter melalui kebijakan moneter digunakan untuk memecahkan berbagai masalah ekonomi meliputi investasi, produksi, dan konsumsi. Peranan uang dalam perekonomian dapat diamati dari dua sektor yang saling terkait, yaitu sektor riil (pasar barang dan jasa) dan sektor moneter (pasar uang). Ketidakseimbangan uang beredar (excess demand for money or excess money supply) di pasar uang mempengaruhi tingkat bunga melalui interaksi pasar uang dan pasar barang ini, maka perubahan permintaan uang atau penawaran uang akan berpengaruh pada perubahan harga barang dan jasa. Kenaikan harga terus-menerus merupakan fenomena ekonomi yang mempunyai dampak terhadap daya saing barang di pasar internasional (ekspor), distribusi pendapatan dan mobilisasi dana lewat lembaga keuangan. Inflasi merupakan opportunity cost bagi masyarakat dalam memegang aset financial. Semakin tinggi perubahan tingkat harga maka makin tinggi pula opportunity cost untuk memegang aset financial, artinya masyarakat akan merasa lebih beruntung jika memegang aset riil dibandingkan aset financial pada saat terjadi inflasi tinggi. Salah satu fungsi uang yaitu sebagai penyimpan kekayaan, dimana orang menempatkan uang pada lembaga keuangan yang dipercayai, bahwa uang yang ditempatkan tersebut mampu memberikan nilai lebih tinggi daripada nilai uang sebelumnya. Fungsi uang lain sebagai alat pembayaran untuk pembelian barang dan jasa, pembayaran utang, pajak, dan lainnya (Purwanto, 2007:2) Makin tinggi tingkat bunga, maka makin rendah keinginan masyarakat untuk memegang uang dalam bentuk tunai karena ongkos memegang uang tunai (opportunity cost holding of money ) makin tinggi dan sebaliknya makin rendah tingkat bunga maka makin besar keinginan masyarakat untuk memegang uang tunai. Tingkat bunga mempengaruhi keputusan individu terhadap pilihan membelanjakan uang lebih banyak atau menyimpan uangnya dalam bentuk tabungan. Tingkat bunga juga merupakan sebuah harga yang menghubungkan masa kini dengan masa Alamat Korespondensi : Abid Muhtarom: Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya Email : [email protected] JESP Vol. 5, No. 1, 2013 depan melalui interaksi permintaan dan penawaran uang (Suhaidi, 2000:3). Jumlah uang tunai yang dipegang masyarakat (jumlah uang beredar) sebagai indikator inflasi. Keynes dalam buku Mankiw (2000:144-145) menyebutkan bahwa inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya. Naiknya jumlah uang beredar akan menaikkan permintaan agregat (agregat demand), apabila tidak diikuti pertumbuhan sektor riil akan menyebabkan naiknya tingkat harga. Hal ini berarti jika pertumbuhan di sektor moneter diikuti oleh meningkatnya pertumbuhan output maka inflasi bisa diminimalisir. Dalam analisis kurva pasar barang dan pasar uang (ISLM), keseimbangan kegiatan perekonomian ditentukan oleh interaksi keadaan di pasar uang dan pasar barang. Keseimbangan menunjukkan tercapainya kondisi yang stabil baik suku bunga dan pendapatan nasional yang berlaku di pasar uang dan pasar barang. Tingkat bunga juga digunakan pemerintah untuk mengendalikan tingkat harga. Ketika tingkat harga tinggi dimana jumlah uang beredar di masyarakat banyak sehingga, konsumsi masyarakat tinggi akan diantisipasi oleh pemerintah dengan menetapkan tingkat bunga yang tinggi. Dengan tingkat bunga yang tinggi diharapkan dapat mengurangi jumlah uang beredar sehingga permintaan agregat pun akan berkurang dan kenaikan harga bisa diatasi. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 tidak saja meruntuhkan industri perbankan nasional tetapi juga menggoyahkan perekonomian melalui pertumbuhan ekonomi. Krisis moneter berdampak langsung terhadap permintaan uang. Naik turunnya tingkat bunga SBI yang diikuti oleh naik turunnya tingkat bunga deposito dan kredit perbankan yang pada gilirannya berdampak pada volume dana yang dihimpun dan kredit yang diberikan pada masyarakat. Kebijakan tingkat bunga menjadi pilihan penting bagi 118 bank sentral dalam upaya mengendalikan gejolak moneter. Tingginya laju inflasi menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat (Syahril, 2003:17). Pada saat krisis, terjadi peningkatan keinginan masyarakat untuk memegang uang tunai disebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan yang ada dengan terjadinya rush (pengambilan uang besar-besaran secara serentak oleh masyarakat di berbagai bank di seluruh Indonesia. Keynes menyatakan bahwa permintaan uang kas untuk tujuan transaksi tergantung dari pendapatan (Nopirin, 1992:11). Makin tinggi pendapatan, makin besar keinginan akan uang kas untuk transaksi. Seseorang atau masyarakat yang tinggi tingkat pendapatannya, biasanya melakukan transaksi yang lebih banyak dibandingkan seseorang atau masyarakat yang pendapatannya lebih rendah. Penduduk yang tinggal di kota besar cenderung melakukan transaksi lebih besar dibanding yang tinggal di desa (Lestari, 2006:3) Bank sentral mempunyai peran dalam mengedarkan uang. Bank sentral merupakan lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan mata uang sebagai sarana pembayaran yang sah di suatu negara (Doriyanto, 2001:2). Kestabilan nilai mata uang sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Nilai uang yang stabil dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan dunia usaha dalam melakukan kegiatan perekonomian, baik konsumsi maupun investasi sehingga perekonomian nasional dapat bergairah, selain itu, inflasi yang terkendali dan rendah dapat mendukung terpeliharanya daya beli masyarakat, khususnya yang berpendapatan tetap seperti pegawai negeri dan masyarakat kecil. Bagi golongan masyarakat ini, yang umumnya mencakup sebagian besar penduduk, harga-harga JESP Vol. 5, No.1, 2013 yang terus meningkat menyebabkan kemampuan daya beli untuk memenuhi kebutuhan dasar akan semakin rendah, demikian pula inflasi yang tidak stabil akan mempersulit keadaan dunia usaha Jumlah uang beredar diluar kendali dapat menimbulkan pengaruh buruk bagi perekonomian secara keseluruhan. Pengaruh yang buruk dari kurang terkendalinya jumlah uang beredar tersebut antara lain dapat dilihat pada kurang terkendalinya perkembangan variabel ekonomi utama, yaitu inflasi. Peningkatan jumlah uang beredar yang berlebihan dapat mendorong peningkatan harga melebihi tingkat yang diharapkan sehingga dalam jangka panjang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, apabila peningkatan jumlah uang beredar rendah maka kelesuan ekonomi akan terjadi. Apabila hal ini berlangsung terus menerus, kemakmuran masyarakat secara keseluruhan akan mengalami penurunan. Kondisi tersebut antara lain melatarbelakangi upaya yang dilakukan oleh otoritas moneter dalam mengendalikan jumlah uang beredar dalam perekonomian. Kegiatan mengendalikan jumlah uang beredar tersebut disebut kebijakan moneter, yang merupakan salah satu dari kebijakan ekonomi makro yang digunakan oleh otoritas moneter (Bank Indonesia, 2003:62). Permintaan uang di Indonesia mengalami perkembangan sesuai dengan berkembangnya kebijakan bank sentral yang memungkinkan berkembangnya jenis simpanan di perbankan. Keinginan masyarakat untuk menabung dan mendepositokan uangnya sangat dipengaruhi oleh kemudahan dalam memperolehnya dan berbagai fasilitas yang ditawarkan perbankan. Jumlah uang beredar (M1 dan M2) selama tahun 2000-2009 cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, seperti terlihat pada tabel 1.1, dimana M1 cenderung meningkat jumlahnya dari sebesar Rp 124.663 miliar pada periode triwulan I tahun 2000 meningkat hingga mencapai Rp 515.824 miliar pada triwulan IV tahun 2009. Sedangkan perkembangan M2 Indonesia selama tahun 2000-2009 juga cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Seperti terlihat pada tabel 1.1, dimana M2 cenderung meningkat jumlahnya dari sebesar Rp 656.451 miliar pada triwulan I tahun 2000 meningkat hingga mencapai Rp 2.141.380 miliar pada triwulan IV tahun 2009. Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka rumusan masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah PDB nominal, tingkat bunga deposito satu bulan, dan indeks harga konsumen, berpengaruh terhadap permintaan uang M1 pada periode tahun 2000-2009 ? 2. Apakah PDB nominal, tingkat bunga deposito satu bulan, dan indeks harga konsumen berpengaruh terhadap permintaan uang M2 pada periode tahun 2000-2009 ? Metode Penelitian Teknik analisis yang digunakan untuk estimasi parameter dalam model adalah dengan Ordinary Least Square (OLS) merupakan model regresi untuk melihat hubungan antar dua variabel. Salah satu variabel menjadi variabel bebas (Independent variable) dan variabel yang lain menjadi variabel terikat (Dependent variable). Model persamaan dasar penelitian ini menggunakan fungsi dari Aggregate Demand yang dinamakan ‘Permintaan Uang Indonesia’. Berikut adalah model yang dilakukan dalam penelitian ini: Model 1: M1d = f(Y , r, π) ...(2.1) Model 2 :M2d = f Y , r, π) …(2.2) Keterangan : M1d = Permintaan uang nominal (M1) M2d = Permintaan uang nominal (M2) Y = PDB nominal r = Tingkat bunga deposito satu bulan = Indeks harga konsumen Indonesia 119 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 Model di atas akan diestimasi dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Sebelum metode OLSditerapkan, maka dilakukan pengujian stasioneritas terhadap data penelitian. Uji stasionaritas yang digunakan adalah uji Augmented Dickey Fuller (ADF). Hasil uji akar unit menunjukkan bahwa sebagian data tidak stasioner pada tingkat level. Sehingga dilakukan dengan uji derajat integrasi berdasarkan ADF pada bentuk first different, serta apabila pada tingkat first different data belum stasioner maka dilakukan uji ADF pada tingkat second different data ini dilakukan dengan uji akar Unit Root Test dengan menggunakan metode Augmented Dickey Fuller (ADF). Setelah diperoleh hasil uji ADF statistik, kemudian dibandingkan dengan MacKinnon critical value. Jika ADF tstatistik lebih kecil daripada MacKinnon critical value maka Ho ditolak dan sebaliknya H1 diterima. Hal itu berarti bahwa data dinyatakan stasioner. Pengujian ini akan dimulai pada bentuk level. Bila masih belum stasioner, maka pengujian akan dilanjutkan dalam bentuk first different. Hasil dan Pembahasan Perkembangan M1 Indonesia Nilai M1 pada periode penelitian (2000-2009) cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, seperti terlihat pada grafik 4.1 dimana M1 cenderung meningkat jumlahnya dari sebesar Rp 124.663 miliar rupiah pada triwulan pertama tahun 2000 meningkat hingga mencapai Rp 515.824 miliar rupiah di akhir periode penelitian. Tahun 2000, M1 didominasi dengan uang giral 55,38%, dan uang kartal sebesar 44,62%. Pertumbuhan M1 cenderung berfluktuasi.Periode 2000-2001 pertumbuhan M1 cenderung stabil dikisaran 4-8%, pada triwulan IV tahun 2000 terjadi kenaikan M1 sangat tinggi sebesar 19,75%. Tahun 2001 didominasi oleh uang giral dengan 57,04%, sedang uang kartal 42,96%. Pada tahun 2002 120 likuiditas perekonomian menunjukkan perkembangan mulai meningkat, namun demikian, perkembangan tersebut masih harus diwaspadai akibat terus menurunnya pertumbuhan tahunan semua agregat moneter yang dikhawatirkan dapat memperlambat proses pertumbuhan ekonomi di tahun 2002. Pertumbuhan M1 pada tahun 2002, triwulan I, II, III, dan IV sebesar -6,5%, 4,72%, 4,46%, dan 5,58%. Peningkatan M1 terjadi pada peningkatan uang giral terutama pada rekening giro milik pemerintah yaitu 57,96%. Pada tahun 2003 pertumbuhan M1 sebesar -5,57%, 7,71%, 6,33%, dan 7,80%. Pada triwulan II, III, dan IV mulai membaik dan menunjukkan peningkatan. Peningkatan terjadi pada uang giral yaitu sejalan dengan peningkatan kegiatan dunia usaha dan inflasi turun sehingga menyebabkan meningkatnya permintaan uang M1 mencerminkan tanda-tanda membaiknya daya beli di perekonomian. Tahun 2003, uang M1 didominasi oleh uang giral yaitu 57,75%. Pada tahun 2004 pertumbuhan M1 triwulan I, II, III, dan IV adalah -2,1%, 3,22%, 3,77%, 4,80%, menunjukkan bahwa pertumbuhan M1 lebih rendah dari tahun sebelumnya. Tahun 2004, pertumbuhan M1 didominasi oleh uang giral sebesar 56,95%. Pada tahun 2005 triwulan I, II, III, dan IV pertumbuhan M1 sebesar -0,79%, 7,29%, 2,27%, 1,27%. Pada triwulan II tahun 2005 pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh dengan adanaya peran investasi yang semakin besar. Peningkatan terjadi pada uang giral. Tahun 2006 kondisi likuiditas M1, tumbuh cukup tinggi sepanjang tahun, M1 tumbuh mencapai 28,1% jauh lebih tinggidibanding pertumbuhan pada 2005 yakni 11,1%. Tahun 2007 sampai dengan tahun 2008 pada pertumbuhan M1 berfluktuatif. Pada tahun 2007 triwulan II, III, IV , pertumbuhan M1 mengalami kenaikan cukup tinggi berturut-turut yaitu sebesar 12,07%, 7,61%, dan 12,49% yang didominasi oleh uang giral. Hal ini JESP Vol. 5, No.1, 2013 didorong karena perkembangan makro ekonomi serta moneter yang membaik, serta laju inflasi yang relatif stabil yaitu sebesar 0,30% (mtm). Berdasarkan diagram pada triwulan I tahun 2008 pertumbuhan M1 mengalami penurunan hingga mencapai 8,95%. Turunnya tingkat pertumbuhan ini dikarenakan likuiditas perekonomian tumbuh melambat, sehingga pertumbuhan M1 mengalami penurunan. Pada tahun 2009 triwulan I, II, III, IV pertumbuhan M1 sebesar -1,91%, 7,72%, 1,53%, 5,26%. Tahun 2009 kurang stabil menunjukkan likuiditas perekonomian masyarakat mengalami penurunan (tumbuh rendah). Perkembangan M2 Indonesia Permintaan uang M2 terus mengalami pertumbuhan yang positif. Hal ini didorong oleh peningkatan kegiatan perekonomian nasional, dan berkembangnya pasar keuangan serta semakin meningkatnya arus modal. Perkembangan M2 Indonesia pada periode penelitian (2000-2009) cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.Seperti terlihat pada grafik 4.2, dimana tingkat M2 cenderung meningkat jumlahnya dari sebesar Rp 656.451 miliar rupiah pada triwulan I tahun 2000 meningkat hingga mencapai Rp 2.141.380 miliar rupiah diakhir periode penelitian.Tahun 2000-2009 triwulan I, II, III, IV berturut-turut mengalami pertumbuhan permintaan M2 yang berberfluktuatif.Pada tahun 2000 M2 didominasi uang rupiah yaitu kuasi sebesar 59,52%, valas 40,48%. Pada triwulan III tahun 2001 terjadi penurunan sebesar 1,67%. Pada periode triwulan II tahun 2001 sampai triwulan I tahun 2008 mulai terjadi pertumbuhan M2 yang berfluktuatif .Pada tahun 2001, M2 didominasi oleh time deposit.Pada tahun yang sama yakni 2001, triwulan II terjadi kenaikan M2 sebesar 3,86%, triwulan III terjadi penurunan -1,67%, triwulan IV naik menjadi 7,78% dan pada tahun 2002 triwulan I kembali turun -1,49%, triwulan II naik kembali sebesar 0,87%. Dari tahun 2002 sampai dengan triwulan I tahun 2008 terjadi selalu fluktuatif pada tiap tahun pada awal periode triwulan, pada akhirnya periode triwulan II tahun 2008 sampai dengan periode triwulan IV tahun2009, perkembangan M2 selalu mengalami kenaikan, yang dapat dilihat pada tabel 4.2.Sedangkan periode 2000-2001 pertumbuhan M2 cenderung stabil dikisaran 2-8%. Pada tahun 2005 triwulan II, III, dan IV terjadi peningkatan M2 sebesar 5,26%, 7,20%, 4,22% disebabkan oleh meningkatnya kegiatan ekonomi, kondisi likuiditas perekonomian yang tercermin pada pengaruh ekspansi tagihan perbankan pada sektor swasta ditambah dengan ekspansi tagihan bersih kepada pemerintah. Meskipun demikian, secara riil kondisi likuiditas perbankan belum mampu diserap secara optimal untuk pembiayaan ekonomi, karena kondisi internal perbankan dan permasalahan di sektor riil.(Laporan Bank Indonesia Triwulanan, 2005) Pada tahun 2006, pertumbuhan M2 sedikit lebih rendah pada tahun 2005, yang dapat dilihat pada grafik 4.2 Sedangkan pada triwulan selanjutnya mulai pada triwulan IV kembali positif.Kenaikan pertumbuhan M2 didukung oleh meningkatnya pertumbuhan tabungan, sementara deposito mulai tumbuh stabil setelah cenderung menurun sejak awal tahun 2006.Sementara itu, berlebihnya kondisi likuiditas di pasar uang di tengah belum cukup tingginya akses akselerasi penyaluran kredit tercermin pada masih rendah serta cenderung melambat penciptaan M2. Pada tahun 2007, pertumbuhan likuiditas M2 dikategorikan tinggi pada triwulan II, III, dan IV yakni 5,46%, 4,28%, dan 8,75%, BI rate cukup kuat mempengaruhi perkembangan komponen likuiditas perekonomaian. Penurunan BI rate mempengaruhi komponen likuiditas perekonomian. Pada tahun 2008, pertumbuahan M2 berturut-turut mencapai -3,83%, 6,83%, 4,38%, dan 6,62% pada triwulan I, 121 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 II, III, dan IV . Pada triwulan pertama mengalami penurunan hingga -3,83% dikarenakan lambatnya likuiditas uang beredar yaitu pada tabungan dan simpanan valas. Pada triwulan II, III, dan IV mengalami kenaikan karena terjadi pelemahan nilai tukar yang cukup tajam. Pada tahun 2009 berturut-turut pertumbuhan M2 pada triwulan I, II, III, dan IV yakni 1,1%, 3,17%, 2,04%, dan 6,11% mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan likuiditas perekonomian itu juga searah dengan pola musimannya yang cenderung turun di awal tahun, hampir seluruh komponen M2 mengalami penurunan yakni pada uang kartal dan tabungan.Padatriwulan III, dan IV mengalami kenaikan pada uang kuasi masyarakat terkait dengan suku bunga deposito yang relatif masih tinggi.Berbagai kondisi di atas mencerminkan belum kuatnya indikasi peningkatan aktivitas perekonomian masyarakat yang tampak pada pertumbuhan M2. Perkembangan Produk Domestik Bruto Indonesia Kondisi ekonomi suatu wilayah secara umum dapat ditunjukkan oleh Produk Domestik Bruto. Besaran nilai Produk Domestik Bruto (PDB) ini secara nyata mampu memberikan gambaran mengenai nilai tambah bruto yang dihasilkan unit-unit produksi pada suatu negara dalam periode tertentu. Lebih jauh, perkembangan besaran nilai PDRB merupakan salah satu indikator yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai keberhasilan pembangunan ekonomi suatu wilayah yang tercermin melalui pertumbuhan ekonomi. Nilai PDB atas dasar harga berlakudisajikan dalam grafik di bawah ini. Besarnya PDB dalam dua dasawarsa terakhir menunjukkan trend yang terus meningkat. Nilai PDB tertinggi terjadi pada tahun 2009 dengan nilai PDB mencapai Rp. 1.884.118,58 miliar. Tahun 1999-2000, seiring dengan berbagai kebijakan pemerintah yang 122 diimplementasikan untuk keluar dari krisis moneter, pertumbuhan GDP menunjukkan trend peningkatan. Tahun 2000 kuartal 3, pertumbuhan GDP meningkat menjadi sebesar 4,55 % dengan GDP sebesar Rp. 307.162,99 miliar.Grafik 4.3 menunjukkan bahwa periode tahun 2001-2002 perkembangan GDP mengalami peningkatan. Perkembangan GDP tahun 2001 kuartal 1 sampai dengan berturutturut sebesar (dalam miliar) Rp. 308.660,96; Rp. 311.743,09; Rp. 319.090,63; dan Rp. 309.372,90 dengan pertumbuhan GDP rata-rata sebesar 0,28% pada tahun yang sama. Pada tahun berikutnya (2002), perkembangan GDP kuartal I sampai dengan IV berturut-turut sebesar (dalam miliar) Rp. 317.146,94; Rp. 324.212,51; Rp. 336.175,89 dan Rp. 324.468,95 dengan pertumbuhan GDP rata-rata sebesar 1,24%. Fluktuasi pada pertumbuhan GDP periode tahun 19992002 ini menunjukkan kepercayaan masyarakat yang belum pulih terhadap proses pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung.. Perkembangan GDP tahun 2003 sampai dengan 2006 cenderung stabil dan meningkat. Berdasarkan tabel 4.3 tingkat GDP tahun 2003-2006 berturut-turut sebesar (dalam miliar) Rp. 1.367.069,34; Rp. 1.433.941,76; Rp. 1.515.149,66; Rp. 1.598.234,25 dengan pertumbuhan GDP sebesar 5%, 4,89%; 5,66%; dan 5,48%. Hal ini membuktikan bahwa upaya pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan cukup berhasil, karena bila kita lihat pola pertumbuhan beberapa tahun terakhir ini sudah mengalami perbaikan. Semuanya ini dipacu oleh membaiknya kondisi perekonomian. Perkembangan Indeks Harga Konsumen Indonesia Permasalahan umum yang dihadapi oleh hampir semua negara di dunia adalah masalah inflasi. Hal ini karena jumlah uang beredar yang tinggi dapat menyebabkan inflasi. Inflasi yang JESP Vol. 5, No.1, 2013 tinggi dapat menimbulkan berbagai akibat buruk pada perekonomian seperti pertumbuhan ekonomi yang lambat serta tingkat pengangguran yang terus meningkat. Inflasi yang serius adalah tingkat inflasi yang kelajuannya tidak dapat dikendalikan, sehingga akan mengurangi tabungan, mengurangi gairah perusahaan untuk melakukan investasi yang produktif, dan dapat mengakibatkan merosotnya nilai mata uang dan defisit dalam neraca pembayaran. Pada penelitian ini, laju inflasi diukur berdasarkan Indeks Harga Konsumen dengan tahun dasar tahun 2002 kuartal I. Penghitungan IHK ini didasarkan pada perubahan harga-harga konsumen di Indonesia. Perkembangan indeks harga konsumen di Indonesia periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 disajikan di bawah ini. Laju indeks harga konsumen tahun 2000 yang berada pada kisaran yang rendah. Trend laju IHK tahun 2000 menunjukkan pola yang meningkat bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini tidak terlepas dari kepercayaan publik yang belum pulih terhadap proses pemulihan ekonomi. Pada tahun 2000 IHK berada pada level 97,45% pada kuartal I dan sebesar 103,49% pada kuartal IV . Periode 2003-2004 pemerintah berhasil menekan laju kenaikan harga sehingga IHK berada pada kisaran 131,5%. Rendahnya laju IHK ini dipacu oleh membaiknya kondisi perekonomian. Namun seiring dengan kenaikan harga BBM yang diterapkan oleh pemerintah sebagai akibat naiknya harga minyak dunia menyebabkan laju IHK meroket pada tahun 2005 sebesar 170,03%. Laju kenaikan IHK akibat kenaikan bahan bakar minyak dunia trus terjadi hingga tahun 2007 sebesar 192,45%. Tahun 2008 laju IHK dapat ditekan meskipun telah terjadi krisis global dunia ”SubrimeMortgage” menjadi 135,19%. Tahun 2009 dengan berbagai strategi yang diterapkan pemerintah, laju IHK kemudian kembali turun sampai mencapai level 137,2% pada kuartal III. Perkembangan Tingkat Bunga Deposito Satu Bulan Perkembangan suku bunga deposito dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 mengalami fluktuatif. Krisis moneter tahun tahun 1997-1998 menyebabkan kenaikan drastis pada tingkat bunga SBI yang akhirnya berpengaruh pada tingkat bunga deposito satu bulan. Kondisi perekonomian yang tidak stabil, pada masa krisis masa itu tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang negatif, nilai tukar yang berfluktuasi tak menentu, jumlah uang beredar yang terus meningkat, dan inflasi yang terus melambung tinggi. Pada tahun 2000 tingkat bunga 5,25%, pada triwulan II tahun 2000, dimana kondisi nilai tukar dollar Amerika terhadap rupiah stabil. Tingkat bunga tahun 2001 menjadi 6,00% dimana tingkat inflasi masih cukup tinggi. Pada tahun 2004 kondisi pertumbuhan ekonomi rendah, maka tingkat bunga diturunkan menjadi 1,5% untuk tetap menjaga kegiatan perekonomian (investasi) dapat berjalan stabil. Pada tahun 2005 terjadi kenaikan harga minyak dunia yang mempengaruhi tingkat inflasi dalam negeri, sehingga tingkat bunga naik menjadi 2,37-3,68%. Pada tahun 2006 tingkat bunga deposito satu bulanan mengalami kenaikan dari tahun 2005 menjadi 3,8-4,1%, kondisi makroekonomi belum stabil tahun 2006 ditandai dengan tingginya inflasi dan masih rentannya pasar finansial, sehingga Bank Indonesia menerapkan kebijakan moneter ketat. Pada tahun 2007 permasalahan subprime mortgage semakin menguat dan meluas sehingga mewarnai perkembangan BI Rate, sejalan dengan itu agar investasi tetap berjalan baik, tingkat bunga deposito sebesar 4,18-4,26%. Pada tahun 2008-2009 Bank Indonesia mempertahankan BI Rate yang berpengaruh pada tingkat bunga deposito bulanan sebesar 7,26-11,16% untuk menjaga perkembangan ekonomi 123 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 dan keuangan serta arah perkembangan inflasi dalm menghadapi gejolak keuangan global yang berlanjut dan perlambatan ekonomi dunia. Hasil Uji Stasioneritas Data Uji ini menggunakan data time series, karena jika variabel yang diteliti bersifat non stasionery digunakan dalam pengujian maka akan menimbulkan permasalahan yang disebut regresi lancung atau spurious regression. V ariabel yang digunakan pada penelitian ini ada 6 variabel, yang meliputi M1, M2, PDB nominal, Suku bunga deposito 1 bulan, dan indeks harga konsumen. Hasil pengujian secara lengkap disajikan pada tabel di bawah ini: Tabel 1. Hasil Uji ADF Pada Tingkat Level- Intercept Variabel M1 M2 PDB Tingkat suku bunga dep 1 bln IHK ADF t-statistik Probabilitas MacKinnon Critical V alue 0.699813 5.818459 1.699884 0.9906 1.0000 0.9994 1% -3.61045 -3.62678 -3.63290 5% -2.9389 -2.9458 -2.9484 10% -2.6079 -2.6115 -2.61287 -1.2555 0.63996 -3.61556 -2.9411 -2.60906 -0.4436 0.8889 -3.67017 -2.9639 -2.62100 Sumber: Olah Data, Eviews 4.1 Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa semua variabel yang diuji tidak stationer pada tingkat level-intercept. Hal ini ditunjukkan oleh nilai ADF statistik yang lebih besar dari MacKinnon Critical valuenya baik pada derajat kesalahan 1%, 5% ataupun 10%. V ariabel M1, M2, PDB, IHK, dan tingkat suku bunga deposito 1 Variabel M1 2 PDB Tingkat suku bunga dep 1 bln IHK bulan tidak stasioner di tingkat levelintercept baik di tingkat kesalahan 1%, 5% maupun 10%. Hal ini disebabkan, nilai ADF t-statistikM1, M2, PDB, IHK dan tingkat suku bunga deposito 1 bulan yang lebih besar dari nilai MacKinnon Critical V alue baik pada derajat kesalahan 1%, 5%, maupun 10%. Tabel 2. Hasil Uji ADF Pada Tingkat 1st-difference-intercept MacKinnon Critical V alue ADF t-statistik Probabilitas 1% 5% 10% -8.272556 0.0000 -3.61558 -2.9411 -2.60906 0.9155 -3.63940 -2.9511 -2.6143 -0.294955 -1.788956 0.3796 -3.63290 -2.9484 -2.61287 -3.980985 0.0038 -3.61558 -2.9411 -2.60906 -8.964494 0.0000 -3.67017 -2.9389 -2.60793 Sumber: Olah Data, Eviews 4.1 Pada uji ADF t-statistik tingkat 1 st difference- Intercept, variabel M2 dan PDB belum stasioner yakni dengan nilai probabilitas 0,9155; 0,3796, nilai yang melebihi nilai kritisnya. M1, tingkat suku bunga deposito 1 bulanan, dan IHK telah stasioner di tingkat 1 st differenceIntercept, yakni nilai ADF t-statistik yang 124 lebih kecil dari nilai MacKinnon Critical V alue Nilai M2, PDB belum stasioner baik di tingkat level maupun 1 st difference, oleh karena itu dilakukan uji ADF di tingkat 2nd difference- Intercept, dan hasilnya menunjukkan M2, PDB telah stasioner dengan nilai probabilitas yang lebih kecil dari MacKinnon Critical V alue. JESP Vol. 5, No.1, 2013 Tabel 3. Hasil Uji ADF Pada Tingkat 2nd difference- Intercept MacKinnon Critical V alue Variabel ADF t-statistik Probabilitas 1% 5% 10% -6.583132 0.0000 -3.63940 -2.9511 -2.61430 M2 -30.14133 0.0001 -3.63290 -2.9484 -2.61287 PDB Sumber: Olah Data, Eviews 4.1 Hasil Uji Estimasi Regresi Untuk mengetahui variabel berupa PDB, indeks harga konsumen, dan tingkat bunga deposito 1 bulan berpengaruh terhadap permintaan uang M1 dan permintaan uang M2 di Indonesia, maka dalam penelitian ini digunakan analisa kuantitatif dan alat uji statistik yang dipilih yaitu regresi linear berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Berdasarkan hasil analisa regresi linear berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS), yang diolah dengan menggunakan program Eviews 4.1, dapat dikemukakan hasil perhitungan seperti tertera pada tabel berikut: Tabel 4. Hasil Estimasi Model Regresi OLS Model I Dependent V ariable: M1 Method: Least Squares Date: 01/05/11 Time: 20:20 Sample: 2000:1 2009:4 Included observations: 40 V ariable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. DEP_1_BLN01 GDP IHK C 5481.902 1.908909 62.56797 -472035.7 2232.080 0.121267 220.9501 22106.00 2.455961 15.74140 0.283177 -21.35328 0.0190 0.0000 0.7787 0.0000 R-squared Adjusted R-squared Prob(F-statistic) Durbin-Watson stat Sumber: Olah Data, Eviews 4.1 0.975425 0.973378 0.000000 2.018061 Tabel 5. Hasil Estimasi Model Regresi OLS Model II Dependent V ariable: M2 Method: Least Squares Date: 01/05/11 Time: 20:22 Sample: 2000:1 2009:4 Included observations: 40 V ariable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. DEP_1_BLN01 GDP IHK C 29800.70 6.529514 -73.96510 -1397510. 8002.529 0.434770 792.1580 79255.19 3.723910 15.01833 -0.093372 -17.63303 0.0007 0.0000 0.9261 0.0000 R-squared Adjusted R-squared Prob(F-statistic) Durbin-Watson stat Sumber: Olah Data, Eviews 4.1 0.974915 0.972825 0.000000 1.792440 125 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 Berdasarkan hasil perhitungan regresi pada tabel 4.1 didapat suatu persamaan regresi sebagai berikut: Log(M1) = 5481.902*SB DEPOSITO 1 BLN + .908909*log(GDP) + 62.56797*IHK - 72035.7 Log(M2) = 29800.7*SB DEPOSITO 1 BLN+ .529514*log(GDP) – 73.96510*IHK – 1397510 Bentuk persamaan ini menggambarkan secara keseluruhan hubungan variabel-variabel bebas yaitu: PDB, indeks harga konsumen, dan tingkat bunga deposito 1 bulan dengan variabel terikat yaitu M1 dan M2. Untuk melihat seberapa jauh pengaruh parameter yang dihasilkan maka dilakukan pengujian statistik Pengujian statistik dilakukan secara keseluruhan (uji R2) , (uji F) dan secara parsial (uji t) Nilai R-squared (R2) pada model 1 sebesar 0.975425 mempunyai arti bahwa variabel PDB, indeks harga konsumen, dan tingkat bunga deposito 1 bulan secara bersama-sama mempunyai pengaruh dan memberikan kontribusi pada M1 sebesar 97,54 persen sedangkan sisanya sebesar 2,46 persen dijelaskan oleh variabel bebas lain yang tidak dimasukkan ke dalam model persamaan. Sedangkan Nilai Rsquared (R 2) pada model 2 sebesar 0.974915 mempunyai arti bahwa variabel PDB, indeks harga konsumen, dan tingkat bunga deposito 1 bulan secara bersamasama mempunyai pengaruh dan memberikan kontribusi pada M2 sebesar 97,49 persen sedangkan sisanya sebesar 2,51 persen dijelaskan oleh variabel bebas lain yang tidak dimasukkan ke dalam model persamaan. Pada model 1 untuk variabel log(GDP), dengan nilai t hitung 15,74140> t tabel 2,021artinya terdapat hubungan antara GDP dengan permintaan uang M1. Pada variabel indeks harga konsumen, dengan nilai t hitung 0,283177< t tabel 2,021 artinya tidak terdapat hubungan antara variabel indeks harga konsumen dengan permintaan uang M1. Pada variabel 126 DEP 1 bulan, dengan nilai t hitung 2,455961> 2.021, artinya terdapat hubungan antara variabel DEP 1 bulan dengan permintaan uang M1. Disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara variabel GDP dan DEP 1 bulan dengan permintaan uang M1. Pada model 2 untuk variabel log(GDP), dengan nilai t hitung 15,01833> t tabel 2,021 artinya terdapat hubungan antara variabel GDP dengan permintaan uang M2. Untuk variabel indeks harga konsumen dengan nilai t hitung 0.093372< t tabel 2,021 artinya tidak terdapat hubungan antara variabel indeks harga konsumen dengan permintaan uang M2. Untuk variabel DEP 1 bulan dengan nilai t hitung 3,723910> t tabel 2,021 artinya terdapat hubungan antara variabel DEP 1 bulan dengan permintaan uang M2. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara variabel GDP dan DEP 1 bulan terhadap permintaan uang M2. Berdasarkan hasil regresi di atas, pada model 1 diketahui bahwa nilai prob (F-statistik) sebesar 0.000000. Pada model 2 diketahui bahwa nilai prob(F-statistik sebesar 0.000000. Dengan melihat hasil prob (F-statistik) < level signifikan 5 persen, maka hipotesa HO ditolak dan H1 diterima. Hal ini menunjukkan bahwa secara simultan atau bersama-sama variabel-variabel independen yang ditentukan dalam model signifikan mempengaruhi variabel dependen dengan berbagai tingkat keyakinan. Uji Multikolinearitas Tabel 6.Correlation Matrix SB__DEP 1BLN GDP_ IHK SB__DEP 1BLN GDP_ IHK 1.000000 0.564936 0.180273 0.564936 -0.180273 1.000000 0.576927 0.576927 1.000000 Sumber: Olah Data, Eviews 4.1 Tabel Correlation matrix digunakan untuk mengetahui adanya suatu pelanggaran terhadap uji asumsi klasik multikolinearitas. Dari tampilan di atas terlihat bahwa antara variabel GDP , indeks JESP Vol. 5, No.1, 2013 harga konsumen, dan tingkat bunga deposito 1 bulan mempunyai nilai Correlation matrixdi bawah 0,8, yang berarti tidak terjadi multikolinearitas. Dari uji White Heteroskedasticity Test (cross term), dari Obs*R-squared model 1 dapat dilihat kondisi yang tidak signifikan sebesar 0.208369, ini mengindikasikan dalam model ini tidak terdapat masalah heteroskedastisitas. Dalam grafik terlihat bahwa residual bergerak di sekitar mean (rata-rata) berarti tidak terdapat hetero. Uji Heteroskedastisitas T abel 7. White Heteroskedasticity T est model 1 White Heteroskedasticity Test: F-statistic 1.443662 Obs*R-squared 12.08845 Probability Probability 0.214307 0.208369 Sumber: Olah Data, Eviews 4.1 Grafik Residual Model 1 600000 500000 400000 80000 300000 200000 40000 100000 0 -40000 00 01 02 03 Residual 04 05 Actual 06 07 08 09 Fitted Sumber: Olah Data, Eviews 4.1 127 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 Tabel 8. White Heteroskedasticity Test model 2 White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared 1.784393 13.94676 Probability Probability 0.113105 0.124232 Sumber: Olah Data, Eviews 4.1 Dari uji White Heteroskedasicity Test (cross term), dari Obs*R-squared model 2 dapat dilihat kondisi yang tidak signifikan sebesar 0,124232, ini mengindikasikan dalam model ini tidak terdapat masalah heteroskedastisitas. Dalam grafik 4.7 bahwa residual bergerak di sekitar mean (rata-rata) berarti tidak terdapat heteroskedastisitas. Uji Autokorelasi . Dari uji Breussch-Godfrey Langrange Multiplier menunjukkan kondisi tidak signifikan yaitu dapat dilihat dari nilai Obs*R-squared model 1 sebesar 0,066460 ini mengindikasikan dalam model ini tidak terdapat masalah autokorelasi. Tabel 9.Uji Autokorelasi Model 1 Breusch-Godfrey Serial Correlation LM T est: F-statistic Obs*R-squared 2.665866 5.422321 Dari uji Breussch-Godfrey Langrange Multiplier menunjukkan kondisi tidak signifikan yaitu dapat dilihat dari nilai Obs*R-squared model 2 sebesar 0,340351 ini mengindikasikan dalam model ini tidak Probability Probability 0.084045 0.066460 terdapat masalah autokorelasi. Terdapat masalah autokorelasi dapat dilihat dari nilai Obs*R-squared lebih kecil dari 5 persen. Tabel 10.Uji Autokorelasi Model 2 Breusch-Godfrey Serial Correlation LM T est: F-statistic Obs*R-squared 0.968292 2.155558 Probability Probability 0.389956 0.340351 Sumber: Olah Data, Eviews 4.1 Berdasarkan pada pemaparan di atas Berdasarkan tiga uji asumsi klasik diindikasikan bahwa tidak terdapat penyakit pada variabel yang diuji yaitu M1,M2, PDB, IHK, dan DEP 1 bulan baik melalui uji multikolinearitas, heteroskedastisitas, maupun autokorelasi. Pada model 1 dijelaskan bahwa variabel PDB nominal memiliki tanda signifikan dan positif berpengaruh pada 128 permintaan uang M1 di Indonesia, ini sesuai dengan teori yang ada yakni teory Keynes, yaitu “Permintaan uang untuk transaksi dan berjaga-jaga tergantung pada tingkat pendapatan, semakin besar pendapatan seseorang atau masyarakat, semakin besar permintaan uang untuk tujuan transaksi”. Sedangkan menurut teory Friedman “Permintaan uang ditentukan oleh faktor salah satunya JESP Vol. 5, No.1, 2013 pendapatan”. Pada saat pendapatan tinggi, lebih banyak uang yang diminta untuk motif transaksi dan berjaga-jaga, maka pada saat pendapatan naik akan menyebabkan permintaan uang mengalami peningkatan. Produk Domestik Bruto yang signifikan dikarenakan pendapatan nasional mempengaruhi tingkat transaksi di masyarakat. Permintaan uang di suatu masyarakat merupakan proporsi tertentu dari volume transaksi dan volume transaksi merupakan suatu proporsi konstan dari tingkat pendapatan nasional. Indeks harga konsumen (IHK) memiliki nilai tidak signifikan, artinya indeks harga konsumen tidak mempunyai pengaruh pada permintaan uang M1. Hal ini tidak sesuai dengan teori Kuantitas Uang (Quantity Theory of Money), dalam teory Kuantitas Uang, bahwa uang yang dipegang masyarakat itu tergantung dengan inflasi (indeks harga konsumen) yang terjadi. Dengan kata lain indeks harga konsumen (IHK) berpengaruh positif terhadap permintaan uang M1. Menurut Fisher “MVt = PT, jika percepatan perputaran uang (V) dan jumlah transaksi (T) konstan, maka kenaikan harga indeks harga konsumen P akan menyebabkan kenaikan M (jumlah permintaan uang)”. Nilai uang ditentukan oleh supply dan demand terhadap uang. Jumlah uang beredar ditentukan oleh bank Sentral, sementara jumlah uang yang diminta (money demand ) ditentukan beberapa faktor, antara lain tingkat harga rata-rata dalam perekonomian. Jumlah uang yang diminta masyarakat untuk melakukan transaksi bergantung pada tingkat harga barang dan jasa yang tersedia. Semakin tinggi tingkat harga, semakin besar jumlah uang yang diminta. Tidak signifikannya IHK terhadap permintaan M1 berarti mencerminkan tidak ada pengaruh antara indeks harga konsumen dengan permintaan uang M1. Pada tahun 2000-2009 tingkat inflasi yang ditandai dengan indeks harga konsumen menunjukkan nilai di bawah 200%, sehingga tidak direspon oleh masyarakat dan tetap menggunakan uangnya sebagai alat untuk bertransaksi. Membaiknya indeks harga konsumen dikarenakan membaiknya kinerja pemerintah dalam perekonomian, di tengah krisis global. Permintaan uang M1 yang meliputi uang kertas, uang logam, dan rekening koran (demand deposit). Orang menggunakan uang M1 lebih cenderung untuk transaksi, berjaga-jaga, sehingga orang tetap menggunakan uangnya untuk transaksi dan berjaga-jaga tanpa memperhatikan kondisi indeks harga konsumen. Pada model 1 bahwa tingkat bunga deposito 1 bulanan signifikan dan positif, artinya ada hubungan antara tingkat suku bunga deposito 1 bulan dengan permintaan uang M1 pada periode tahun 2000-2009.. Pada periode penelitian 2000-2009, tingkat suku berpengaruh positif, yang artinya ketika tingkat suku bunga tinggi, permintaan uang untuk dipegang masyarakat juga tinggi. Antara tahun 2000-2009, masyarakat lebih memilih bertransaksi menggunakan giral karena lebih praktis dan aman dengan presentase rata-rata penggunaan di atas 50% dibanding uang kartal. Giral memberikan tingkat bunga walaupun kecil, tingkat bunga giral mengikuti perkembangan ekonomi, dengan persentase tingkat bunga di bawah deposito. Pada tahun 2007-2008 terjadi kenaikan harga minyak dunia yang berakibat pada kenaikan harga barang kebutuhan pokok, menyebabkan masyarakat tetap membutuhkan uang kas sebagai transaksi disamping menggunakan uang giral. Tingginya permintaan uang giral pada tahun 20002009 oleh masyarakat menyebabkan kenaikan permintaan uang pada M1. Pada model 2 bahwa produk domestik bruto berpengaruh signifikan dan positif mempengaruhi permintaan uang M2. Produk domestik bruto yang signifikan dikarenakan bahwa pendapatan nasional mempengaruhi tingkat transaksi dan plus deposito berjangka dan tabungan milik masyarakat pada bank-bank. Apabila 129 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 jumlah PDB naik akan menyebabkan kenaikan permintaan uang M2. Hasil dari PDB ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Keynes tentang motif transaksi dan berjaga-jaga yang ditentukan oleh tingkat pendapatan, pada saat pendapatan tinggi lebih banyak uang yang diminta untuk motif transaksi, berjagajaga, dan spekulasi maka pada saat pendapatan naik akan menyebabkan permintaan uang akan mengalami kenaikan. Indeks harga konsumen (IHK) memiliki nilai tidak signifikan, artinya indeks harga konsumen tidak mempunyai pengaruh pada permintaan uang M2. M2 ini meliputi M1+rekening tabungan+deposito berjangka. Dalam teori permintaan uang untuk tujuan spekulasi, indeks harga konsumen berpengaruh negatif terhadap permintaan uang M2. Menurut Friedman, “peranan harga dalam permintaan uang merupakan salah satu cara untuk menyimpan kekayaan, semakin tinggi indeks harga konsumen, makin tinggi orang menyimpan uang pada institusi keuangan karena bunganya yang tinggi”. Ketika terjadi inflasi tinggi yang ditandai dengan tingginya nilai indeks harga konsumen terjadi kenaikan harga pada barang-barang komoditi dan jasa, orang membutuhkan uang sebagai transaksi semakin tinggi, sehingga uang yang dipegang masyarakat semakin besar, sehingga berpengaruh deposito pada permintaan M2 yang menurun dan berakibat pada M2 yang menurun. Tidak signifikannya IHK terhadap permintaan M2 berarti mencerminkan tidak ada pengaruh antara indeks harga konsumen terhadap permintaan uang M2. Pada periode tahun 2006-2009 Bank Indonesia mampu mengendalikan nilai inflasi yang ditunjukkan melalui indeks harga konsumen dengan indeks di bawah 200%. Kenaikan harga komoditi dunia terutama minyak dan pangan berdampak pada kenaikan harga barang yang ditentukan pemerintah, seiring dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM 130 bersubsidi. Pada bulan September, tingkat inflasi mulai turun karena turunnya harga komoditi internasional, pangan, dan energi dunia. Penyebab lain dari terus menurunnya tingkat inflasi ditandai dengan indeks harga konsumen adalah melalui kebijakan yang ditempuh pemerintah. Pemerintah menurunkan harga BBM jenis solar dan premium pada desember 2008 dan produksi pangan dalam negeri yang relatif bagus. Pada model 2 bahwa tingkat bunga deposito positif dan signifikan. Ini berarti ketika tingkat bunga deposito 1 bulanan mengalami kenaikan, simpanan deposito pada bank mengalami kenaikan, akhirnya nilai M2 naik. Masyarakat mempercayai kondisi lembaga perbankan yang memberikan tingkat bunga tinggi dengan menabungkan uangnya di bank. M2 ini meliputi M1+tabungan+deposito berjangka. Hal ini sesuai dengan teori yang ada yakni teory Friedman “Komponen transaksi dari permintaan uang akan berhubungan positif dengan tingkat suku bunga untuk tujuan spekulasi, makin tinggi tingkat bunga, makin besar orang menginginkan uangnya untuk disimpan pada bank”. Permintaan uang M2 ini dipengaruhi oleh tingkat bunga, jika tingkat bunga tinggi maka semakin tinggi permintaan uang M2 karena lebih baik disimpan di bank. Jika tingkat bunga rendah, maka orang akan kurang berminat untuk menyimpan uang di bank karena hasil yang diperoleh sedikit, sehingga orang akan menyimpan uang secara kontan. Pada tahun 2005-2007 terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak di dunia, sehingga berimbas pada perekonomian Indonesia yakni permintaan uang, karena diikuti peningkatan harga kebutuhan pokok, dan harga minyak dunia yang tinggi menyebabkan meningkatnya permintaan uang di masyarakat sebagai transaksi. Untuk meredam jumlah uang beredar yang tinggi di masyarakat, maka otoritas moneter menaikkan tingkat suku bunga, hal ini juga untuk mengurangi tingkat inflasi yang tinggi akibat kenaikan JESP Vol. 5, No.1, 2013 harga bahan bakar minyak ini. Secara ekonomi perubahan tingkat bunga deposito menjadi faktor yang mengakibatkan perubahan jumlah uang yang diminta.. Sepanjang tahun 2008 perkembangan berbagai indikator moneter juga tidak terlepas dari pengaruh faktor global dan dinamika perekonomian domestik. Keketatan likuiditas di pasar keuangan dunia yang dipicu oleh permasalahan “Subprime mortgage”, meluas menjadi krisis kepercayaan. Tahun 2008 pada paruh kedua, pada saat terjadinya krisis global, terjadi penguatan tekanan global yang berdampak pada pasar uang. Pada saat itu diberlakukan tingkat bunga tinggi oleh pemerintah, melalui kebijakan moneter tersebut, mempengaruhi preferensi masyarakat untuk menabungkan uangnya pada perbankan. Penutup Berdasarkan pada hasil analisis di atas menunjukkan bahwa permintaan uang di Indonesia dalam kurun waktu 2000.12009.IV dipengaruhi oleh beberapa variabel. Adapun secara lebih lengkap sebagai berikut ini : 1. Pada model 1 variabel yang signifikan mempengaruhi permintaan uang M1 adalah produk domestik bruto dan tingkat bunga deposito 1 bulan, sedangkan variabel yang tidak signifikan mempengaruhi M1 adalah indeks harga konsumen. 2. Pada model 2 variabel yang signifikan mempengaruhi permintaan uang M2 adalah produk domestik bruto dan tingkat suku bunga deposito 1 bulan, sedangkan variabel yang tidak signifikan mempengaruhi M2 adalah indeks harga konsumen. Daftar Pustaka Arsyad, Lincolin,1998. Ekonomi Pembangunan. Edisi kedua, Y ogyakarta: BPFE-Y ogyakarta Arief, Sritua. 2000. Metodologi Penelitian Ekonomi. Jakarta: Penerbit UI (UIPress). Arif yusuf, Muhammad. 2008. “Analisis Pengaruh Investasi, Inflasi, Pengeluaran Pemerintah, Penawaran Uang Dan Ekspor Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 1981-2006” skripsi yang diterbitkan (http://ums.com/skrispsi/article/vie wPDFInterstitial/,diakses 19 Januari 2010) Sodik, Jamzani,dkk. 2005. “Investasi Dan Pertumbuhan Ekonomi Regional (Studi Kasus Pada 26 Propinsi Di Indonesia, Pra Dan Pasca Otonomi) “Jurnal Ekonomi pembangunan.(Online),vol.10,No.2 (http://upn.ac.id/ejournal/ article/viewPDFInterstitial/, diakses 20 Januari 2010) Ashari,dkk.2005. Analisis Statistik dengan MS. Excel dan SPSS. Yogyakarta: ANDI Y ogyakarta. Boediono,2001. Ekonomi Makro. Y ogyakarta: BPFE-Y ogyakarta. Dajan, Anto. 1984. Pengantar Metode Statistik. Jilid 2. Jakarta: LP3ES. Gujarati, Domoar, 1995. Ekonometrika Dasar. Jakarta: Erlangga. Irwan dan Suparmoko,1992. Ekonomika Pembangunan. Edisi lima, Y ogyakarta: BPFE-Y ogyakarta. Kuntjoro Jakti, Dorojatun,2003. Mau kemana Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Prenada Media. Lipsey, Richard G dkk, 1991. Pengatar Makro Ekonomi. Edisi kedelapan, Jakarta: Erlangga. Noerdhus dan samuelson, 2000. Ilmu Makro Ekonomi. Jakarta: Media Global Edukasi. Pujiati, Amin.2007. “Analisis Pertumbuhan Ekonomi Di Karesidenan Semarang Era 131 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 Desentralisasi Fiskal " Jurnal Pembangunan. (Online),hal: 6170,(http://uns.ac.id/ejournal/index.p hp/aku/article/viewPDFInterstitial/ 15656/15648/, diakses 20 Januari 2010) Rosyidi, Suherman.2000. Pengantar Ilmu Ekonomi. Jakarta:Erlangga. Sarwoko, 2005. Dasar-Dasar ekonometrika. Yogyakarta: Andi. Sukirno, Sadono.1981. Pengantar Teori Makroeskonomi. Jakarta: Bima Grafika Sukirno, Sadono.2004. Makroekonomi T eori Pengantar. Jakarta: Bima Grafika. Suparmoko.1996. Pengantar Ekonometrika Makro. Edisi ketiga, Y ogyakarta: BPFE-Yogyakarta. Syamsiyah, Siti. 2007. “Analisis Kualitas T enaga Kerja Dan Investasi 132 T erhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Karanganyar”. skripsi yang diterbitkan (http://ums.com/skrispsi/article/vie wPDFInterstitial/,diakses 19 Januari 2010) Santoso, A. 2000. Buku Latihan SPSS Parametrik. Jakarta: PT Elex Media Computindo. Sukirno,Sadono.1985. Ekonomi Pembangunan Proses, Masalah dan Dasar Kebijaksanaan. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI dengan Bima Grafika. Tarmidi,T Lepi.1992. Ekonomi Pembangunan. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI. www.bi.go.id www. ADB.com JESP Vol. 5, No.1, 2013 PENGARUH AKUNTABILITAS TERHADAP PELAKSANAAN KEGIATAN PROGRAM NASIONAL PEMBERDAY AAN MASYARAKAT MANDIRI PERKOTAAN DI BADAN KESW ADAY AAN MASYARAKAT KOTA PALU Y uldi Mile Abstract The aim of this research is to know how the influence of accountability for implementation of the Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan on Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Palu City. The research method cencus respondent and using simple linear analysis. The data were obtained by questionnaires, interviews, and documentation. The result of this research is accountability influence on the implementation of the Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan on Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Palu City. The suggestion of the research that the application of accountability should be further enhanced for example prepare reports timely. Keywords : Accountability, Empowerment Implementation Tujuan utama dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri adalah untuk membantu kesejahteraan masyarakat miskin. Melalui berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat miskin. Kegiatan PNPM Mandiri dilaksanakan sesuai dengan kegiatan yang diusulkan oleh Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang berada di kelurahan lokasi sasaran PNPM Mandiri. BKM berfungsi untuk merencanakan kegiatan mensejahterakan masyarakat miskin dengan melihat apa yang dibutuhkan oleh masyarakat miskin di kelurahan tersebut. Program Nasional Pemberdayaan Mandiri (PNPM) Perkotaan di Kota Palu diselenggarakan dengan sasaran 4 (empat) kecamatan di Kota Palu yaitu Kecamatan Palu Barat, Palu Timur, Palu Selatan dan Palu Utara. Di empat kecamatan tersebut, terdapat 43 Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). of PNPM/BKM, People Dalam program PNPM Mandiri, sangat diharapkan partisipasi masyarakat agar tercipta program kemasyarakatan yang mandiri sehingga program tersebut berjalan dengan lancar. Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) merupakan lembaga masyarakat yang berada di tiap kelurahan. Lembaga ini berfungsi mengkoordinir masyarakat yang berada dalam kelurahan tersebut untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri. Tiap BKM bersama masyarakat melakukan proses perencanaan dan partisipatif dengan menyusun perencanaan jangka menengah dan rencana tahunan program penanggulangan kemiskinan. Sebagai prakarsa masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan di wilayahnya secara mandiri. Dalam pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri, akuntabilitas diperlukan sebagai pertanggungjawaban atas semua kegiatan yang telah dilaksanakan dengan __________________________________________ Alamat Korespondensi : Y uldi Mile. Dosen Fakultas Ekonomi Universitas T adulako Palu Email: [email protected] JESP Vol. 5, No. 1, 2013 jumlah dana yang telah digunakan sehingga program ini dapat berjalan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Akuntabilitas dilakukan dengan memberikan informasi dan pengungkapan atas aktivitas dan kinerja finansial kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Tinjauan Pustaka Akuntabilitas Akuntabilitas (accountability) diartikan sebagai yang dapat dipertanggung jawabkan. Dalam istilah kamus Akuntansi, akuntabilitas merupakan tanggung jawab individu atau bagian/departemen terhadap kinerja suatu fungsi tertentu akuntabilitas bisa ditetapkan melalui aturan hukum atau perjanjian. Menurut Hansen dan Mowen (2005 : 117), akuntabilitas secara tidak langsung mencerminkan pengukuran kinerja, yang berarti bahwa hasil aktual dibandingkan dengan hasil yang diperkirakan atau dianggarkan. Akuntansi pertanggung jawaban merupakan suatu segmen bisnis yang manejernya bertanggung jawab terhada serangkaian kegiatan-kegiatan tertentu. Akuntabilitas adalah pertanggung jawaban yang dilakukan oleh seseorang atau suatu lembaga atas segala tindakannya yang ditujukan kepada yang memberi wewenang (Abdul Halim 2007 : 319). Akuntabilitas merupakan asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Gusti Agung 2008 : 277). Sehubungan dengan pentingnya diterapkan prinsip akuntabilitas (Elwood dalam Setiawan 2009 : 22) menjelaskan tentang empat dimensi akuntabilitas, yaitu: 1. Akuntabilitas kejujuran dan Akuntabilitas hukum 134 Akuntabilitas kejujuran (accountability for probity) terkait dengan penghindaran penyalahgunaan jabatan, sedangkan akuntabilitas hukun (legal accountability) terkait dengan jaminan adanya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang disyaratkan dalam penggunaan sumber dana publik. 2. Akuntabilitas Proses Akuntabilitas proses terkait dengan apakah prosedur yang digunakan dalam melaksanakan tugas sudah cukup baik dalam hal kecukupan sistem informasi akuntansi, sistem informasi manajemen, dan prosedur administrasi. 3. Akuntabilitas Program Akuntabilitas program terkait dengan pertimbangan apakah tujuan yang ditetapkan dapat dicapai atau tidak, dan apakah telah mempertimbangkan alternatif program yang memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang minimal. 4. Akuntabilitas Kebijakan Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggung jawaban pemerintah, baik pusat maupun daerah, atas kebijakankebijakan yang diambil pemerintah terhadap DPR/DPRD dan masyarakat luas. Indikator akuntabilitas menurut Lalolo (2009 : 27) didasarkan pada tahapan setiap program dari akuntabilitas itu sendiri, yaitu: 1. Pada tahap proses pembuatan sebuah keputusan, beberapa indikator untuk menjamin akuntabilitas adalah: a. Pembuatan sebuah keputusan harus dibuat secara tertulis dan tersedia bagi setiap yang membutuhkan. b. Pembuatan keputusan sudah memenuhi standar etika dan nilainilai yang berlaku, artinya sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi. c. Adanya kejelasan dari sasaran kebijakan yang diambil, dan sudah sesuai dengan visi dan misi JESP Vol. 5, No.1, 2013 organisasi, serta standar yang berlaku. d. Adanya mekanisme yang menjamin bahwa standar telah terpenuhi, dengan konsekuensi pertanggungjawaban jika standar tersebut tidak dipenuhi. 2. Pada tahap sosialisasi kebijakan, beberapa indikator untuk menjamin akuntabilitas adalah: a. Penyebaran informasi mengenai suatu keputusan, melalui media massa. b. Akurasi dan kelengkapan informasi yang berhubungan dengan cara-cara mencapai sasaran suatu program c. Akses publik pada informasi atas suatu keputusan setelah keputusan dibuat dan mekanisme pengaduan masyarakat. d. Ketersediaan sistem informasi manajemen dan monitoring hasil yang telah dicapai oleh pemerintah. Pertanggungjawaban atas Semua Aktivitas pemerintahan. Dalam hal ini, memiliki kemampuan untuk menjawab pencapaian tujuan (dengan memperhatikan biaya dan manfaatnya) dan tidak hanya sekedar kepatuhan terhadap hirarki atau prosedur. Efektivitas yang harus dicapai bukan hanya berupa output akan tetapi yang lebih penting adalah efektivitas dari sudut pandang outcome. Akuntabilitas manfaat hampir sama dengan akuntabilitas program. 3. Akuntabilitas prosedural Akuntabilitas prosedural merupakan pertanggung jawaban mengenai apakah suatu prosedur penetapan dan pelaksanaan suatu kebijakan telah mempertimbangkan masalah moralitas, etika, kepastian hukum, dan ketaatan pada keputusan politis untuk mendukung pencapaian tujuan akhir yang telah dietapkan. Pengertian akuntabilitas prosedural ini adalah sebagaimana dengan akuntabilitas proses. Pertanggungjawaban menyajikan dan melaporkan segala aktivitas dan kegiatan yang terkait dengan pengelolaan uang publik kepada pihak yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggung jawaban tersebut (DPR dan masyarakat luas). Adapun Kriteria dari akuntabilitas, LAN RI dan BPKP (http//tesisdisertasi.blogspot.com/2010/05/ definisi-akuntabilitas.html): 1. Akuntabilitas keuangan Akuntabilitas keuangan merupakan pertanggung jawaban mengenai integritas keuangan, pengangkatan dan ketaatan terhadap peraturan perundangan. Sasaran pertanggung jawaban ini adalah laporan keuangan yang disajikan dan peraturan perundangan yang berlaku yang mencangkup penerimaan, penyimpanan dan pengeluaran uang. 2. Akuntabilitas manfaat Akuntabilitas manfaat (efektifitas) pada dasarnya memberi perhatian kepada hasil dari kegiatan-kegiatan PNPM Mandiri dan Badan Keswadayaan Masyarakat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) merupakan program pemerintah yang secara subtansial berupaya memberdayakan masyarakat dan pelaku pembangunan lokal lainnya, termaksud pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat sehingga dapat dibangun gerakan bersama. Pelaksanaan program-program pemberdayaan yang dilakukan oleh berbagai pihak belum dapat menyentuh semua lapisan masyarakat dimana hanya sebagian kecil yang diuntungkan dan ini merupakan golongan kecil dari masyarakat. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. (Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat 135 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 Selaku Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan : 2007). Ruang lingkup kegiatan PNPM Mandiri pada dasarnya terbuka bagi semua kegiatan penanggulangan kemiskinan yang diusulkan dan disepakati masyarakat meliputi: a. Penyediaan dan perbaikan prasarana/sarana lingkungan permukiman, sosial, dan ekonomi secara padat karya; b. Penyediaan sumber daya keuangan melalui dana bergulir dan kredit mikro untuk mengembangkan kegiatan ekonomi masyarakat miskin. Perhatian yang lebih besar perlu diberikan bagi kaum perempuan dalam memanfaatkan dana bergulir ini; c. Kegiatan terakhir peningkatan kualitas sumberdaya manusia, terutama yang bertujuan mempercepat pencapaian target MDGs; d. Peningkatan kapasitas masyarakat dan pemerintahan lokal melalui penyadaran kritis, pelatihan keterampilan usaha, manajemen organisasi dan keuangan, serta penerapan tata kepemerintahan yang baik. Sumber dana pelaksanaan PNPM Mandiri berasal dari: 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik yang bersumber dari Rupiah Murni maupun dari pinjaman/hibah; 2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi, terutama untuk mendukung penyediaan dana pendamping bagi kabupaten dengan kapasitas fiskal rendah; 3. APBD Kabupaten/Kota sebagai dana pendamping, dengan ketentuan minimal 20 (dua puluh) persen bagi kabupaten /kota dengan kapasitas fiskal rendah dan minimum 50 (lima puluh) persen bagi kabupaten/kota dengan kapasitas fiskal menengah ke atas dari total BLM kabupaten/kota; 4. Kontribusi swasta sebagai perwujudan tanggung jawab sosial perusahaan 136 5. Swadaya masyarakat (asosiasi profesi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan individu/kelompok peduli lainnya). Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) merupakan badan musyawarah dan pengambilan keputusan yang kondusif untuk pengembangan keswadayaan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan khususnya dan pembangunan masyarakat kelurahan pada umumnya (P2KP 2008: 36). BKM bertanggung jawab menjamin keterlibatan semua lapisan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang kondusif untuk pengembangan keswadayaan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan khususnya dan pembangunan masyarakat kelurahan pada umumnya (Pedoman Umum PNPM Mandiri P2KP 2008:36). Fungsi BKM antara lain: a. Mengorganisasikan warga secara partisipatif untuk merumuskan rencana jangka menengah (3 tahun) penanggulangan kemiskinan (PJM Pronangkis) dan di ajukan ke Penanggung Jawab Operasional Kegiatan (PJOK) untuk mencairkan dana BLM b. Sebagai dewan pengambilan keputusan untuk hal-hal yang menyangkut pelaksanaan PNPM Mandri pada khususnya dan penaggulangan kemiskinan pada umumnya c. Mempromosikan dan menegakkan nilai-nilai luhur (jujur, adil, transparan, demokratis) dalam setiap keputusan yang diambil dan kegiatan pembangunan yang dilaksanakan d. Menumbuhkan berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat miskin agar mampu meningkatkan kesejahteraan mereka e. Mengembangkan jaringan BKM di tingkat kecamatan, kota/kabupaten sebagai mitra kerja Pemerintah Daerah dan wahana untuk menyuarakan JESP Vol. 5, No.1, 2013 aspirasi masyarakat warga yang diwakilinya f. Menetapkan kebijakan dan mengawasi proses pemanfaatan dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian sensus yaitu penelitian yang mengambil seluruh populasi Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang ada di Kota Palu. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah sebanyak 43 BKM namun 1 BKM tidak aktif lagi. Jenis data yang dikumpulkan berupa data yang bersifat kualitatif dan kuantitatif yang diperoleh dari data primer dan data sekunder yang dianalisis dengan menggunakan analisis linier sederhana.. Metode pengumpulan data dilakukan dengan: 1. Kuesioner 2. Wawancara 3. Observasi yaitu suatu pendekatan dimana dilakukan pengamatan secara langsung pada objek penelitian 4. Studi dokumen yaitu pengumpulan data melalui dokumen-dokumen, seperti laporan responden serta informasi lainnya yang berhubungan dengan penelitian. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) di kota Palu pada empat kecamatan yaitu: kecamatan Palu Utara, Palu Timur, Palu Selatan dan Palu Barat dengan jumlah populasi sebanyak 43 Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) di tiap kelurahan kota Palu. Namun dari jumlah kuesioner yang dibagikan terdapat 1 kuesioner yang tidak dikembalikan karena BKM tersebut tidak aktif lagi. Hasil penelitian menunjukkan kegiatan yang dilaksanakan di BKM Kota Palu memiliki kesamaan dalam hal penentuan kegiatannya. Misalnya pada program lingkungan, kegiatan yang dilakukan BKM pada umumnya dalam bentuk perbaikan dan pembuatan sarana prasarana yakni pembuatan paving blok, wc umum, drainase, tempat sampah, pembuatan pebampungan air bersih. Demikian pula untuk program ekonomi kegiatan yang dilakukan adalah pemberian dana bergulir. Dana bergulir diberikan ke masyarakat pra sejahtera yang memiliki kemauan dan kemampuan untuk mendirikan usaha kecil sehingga dana bergulir tersebut dapat dijadikan sebagai modal awal mereka untuk berusaha. Selanjutnya dana tersebut dikembalikan dalam waktu yang telah ditentukan dengan tujuan dana tersebut akan diberikan lagi ke masyarakat lain yang membutuhkan. Pada program sosial kegiatan BKM yang dilakukan yaitu berupa pelatihanpelatihan keterampilan seperti menjahit, kecantikan, perbengkelan, sablon dan lainlain, yang diharapkan keterampilan ini dapat menjadi modal masyarakat pra sejahtera untuk membuka usaha. Selain pelatihan, ada juga beasiswa yang diberikan pada anak-anak pra sejahtera dengan harapan anak-anak tersebut tetap dapat bersekolah dengan baik. Anggota BKM adalah masyarakat setempat yang bersedia menjadi relawan yang mampu meluangkan waktunya untuk membantu masyarakat pra sejahtera di lingkungan tempat tinggal. Anggota inti dari BKM sendiri berjumlah 13 orang yang melakukan operasional di BKM. Mereka memiliki tanggungjawab masing-masing dalam menjalankan kegiatan PNPM Mandiri di BKM. Dana yang digunakan dalam kegiatan PNPM Mandiri di BKM merupakan dana yang diperoleh dari APBN dan APBD yang merupakan dana hibah untuk pelaksanaan kegiatan membantu masyarakat kurang mampu sekaligus untuk mendukung MDG’s. 137 JESP Vol. 5, No. 1, 2013 Tabel 1.Responden PNPM Mandiri/ BKM Kota Palu Keterangan Pembentukan BKM Tahun 2004 2005 2007 2008 Total Palu Utara Palu Timur Palu Selatan Palu Barat Kecamatan Total Hasil penelitian menunjukkan variabel akuntabilitas memberikan pengaruh secara positif dan signifikan terhadap pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri di BKM Kota Palu. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri di Badan Keswadayaan Masyarakat Kota Palu memiliki dan menerapkan akuntabilitas yang baik dan akuntabel dalam aktivitasnya. Semakin baik penerapan akuntabilitas dalam BKM, maka akan semakin baik pula pelaksanaan kegiatan BKM. Pelaksanaan program dan kegiatan BKM juga dibantu oleh fasilitator yang melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan program yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu bidang sosial, fisik/lingkungan maupun ekonomi seperti memberikan masukan dalam melakukan pencatatan sesuai dengan akuntansi organisasi yang disyaratkan dalam pelaporan keuangan, serta selalu memberikan peringatan untuk melakukan pencatatan atas pengeluaran BKM dengan tepat waktu. Selain itu pengaruh positif variabel akuntabilitas terhadap pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri di BKM tidak lepas dari usaha dan ketekunan para anggota BKM yang melaksanakan program sesuai dengan prosedur yang diterapkan di PNPM Mandiri. Mereka bekerja dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh sebuah perubahan dan perbaikan dan saling peduli dalam bermasyarakat. Hal ini menjadikan BKM semakin termotivasi untuk menerapkan 138 Jumlah 1 18 22 1 42 8 8 12 14 42 % 2,38 42,86 55,38 2,38 100 19,04 19,04 28,57 33,34 100 akuntabilitas dengan baik sehingga dapat melaporkan kegiatan yang telah di jalankan dengan baik pula. Penutup Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri di BKM Kota Palu. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik penerapan akuntabilitas dalam BKM, maka akan semakin baik pula pelaksanaan kegiatan BKM. Hal ini dapat terlaksana karena anggota BKM bekerja dengan sungguhsungguh dan ada rasa saling peduli dalam bermasyarakat. Saran yang dapat direkomendasikan yaitu sebaiknya penerapan akuntabilitas dapat lebih ditingkatkan dengan menyiapkan laporan pertanggungjawaban lebih tepat waktu. Daftar Pustaka Agoes, Sukrisno. 2004. Auditing: Pemeriksaan Akuntan. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta Halim, Abdul. 2007. Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta Hansen, R Don dan Mowen, M Maryanne. 2005. Management Accounting. Salemba Empat Jakarta JESP Vol. 5, No.1, 2013 Kuncoro, Mudrajat. 2009. Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi. Edisi 3. Penerbit Erlangga. Jakarta. Lan RI Dan BPKP , http://tesisdisertasi.blogspot.com/201 0/05/definisi-akuntabilitas.html Loina, Lalolo. 2003. Indikator Dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi Dan Partisipasi. Bappenas. Jakarta Mulyadi, James R Davis, C Wayne Alderman Dan Leonard A Robinson Dan Coso, Perbandingan Sistem Pengendalian Intern http://mohamadprawignyo .blokspot.com / 2007/11/perbandingan-sistempengendalian-intern.html Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Pengawasan BPKP Dalam Rangka Diklat Sertifikasi JFA Tingkat Pembentukan Auditor. Akuntabilitas Instansi Pemerintahan, Edisi Kelima. 2007 Rai, I Gusti Agung. 2008. Audit Kinerja Pada Sektor Publik. Jakarta Subiyanto, Ibnu. 2000. Metode Penelitian Manajemen dan Akuntansi. Edisi 3. Penerbit UPP AMP YKPN. Yogyakarta. 139 JESP Vol.5, No.1, 2013 Tinjauan Buku Judul :Dinamika Ekonomi Internasional Indonesia, Dalam Perspektif Teoritis dan Empiris Penulis : Dr . Imam Mukhlis, SE., M.Si Penerbit : Cahaya Abadi Tulungagung Halaman : xvi dan 136 Tahun : 2012 ISBN : 978-602-8569-39-2 Peninjau : Subagyo, SE., SH,.MM Meraba dan Merasakan Geliat Indonesia Motif ekonomi merupakan salah satu musabab dari hubungan antar negara yang paling “purba”. Hasrat untuk membangun hubungan kerter-saling-an antar negara didorong oleh suatu motif ekonomi. Saat tata dan pola hubungan tersebut belum mendapatkan pranata yang pasti, maka seringkali keter-saling-an itu mewujud dalam bentuk kolonialisasi masif dari negara yang memiliki kedigdayaan lebih. Seiring dengan terbangunnya kesadaran dan pranata, maka kolonialisasi dengan penguasaan teritorial telah lama ditinggalkan. Saat ini, diperlukan suatu eksplorasi yang objektif bagaimana mutasi dari kolonialisasi teritorial menjadi kolonialisasi ekonomi terjadi. Buku “Ekonomi Internasional Indonesia, Dalam Perspektif Teoritis dan Praktis” yang ditulis oleh Imam Mukhlis (IM) ini telah mengurai dalam beberapa perspektif apakah mutasi itu terjadi, bagaimana posisi ekonomi internasional Indonesia dalam kubangan ekonomi dunia yang borderless dan “rakus” serta apa saja yang menjadi sebab faktor yang mempengaruhi posisi dan kondisi ekonomi internasional Indonesia dan yang menarik adalah “IM telah memberikan beragam rekomendasi untuk menghindarkan Indonesia dalam penetrasi dan kooptasi kolonialisasi ekonomi dari mutasi kolonialisasi teritorial”. IM memulai bukunya dengan telaah dengan Model Piramida Terbalik. IM memulai dengan penjelasan tentang kondisi perekonomian global saat ini. Beragama data ditampilkan untuk mempertegas bagaimana perekonomian global mengalami fluktuasi dinamis dalam perkembangan output internasional. Fluktuasi dinamis dalam bentuk “cakra mangilingan”, booming, resesi, depresi dan recovery. (h.2-4). Perkembangan kerjasama ekonomi dengan landasan integrasi ekonomi kawasan regional juga mendapatkan perhatian IM. (h. 5). Kondisi perekonomian global menjadi semakin dinamis serta melahirkan beragam langkah antisipatif dalam mengokohkan sekaligus mengukuhkan masing-masing negara dalam konstelasi perekonomian global tersebut. IM telah pula berbagai dengan memberikan paparan tentang beragam teori yang diperlukan oleh memotret sekaligus sebagai alat analisa empiris mengenai; Teori Ekonomi Internasional (h. 19), Perdagangan Internasional (h. 30), Kurs Nilai Tukar Mata Uang (h. 48), Foreign Subagyo, Dosen Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang. E-mail : [email protected] dan @caksucahndoko JESP Vol. 5, No. 1, 2013 Direct Investment (h. 60) dan Kerjasama Ekonomi Internasional (h. 72). Paparan ini berhasil memberikan kemudahan untuk membangun pemahaman. Beragam referensi yang selalu di-trianggulasi dalam bentuk artikulasi pemahaman diakhir setiap sub bahasan. IM dalam bukunya ini berhasil menyajikan menu dengan komposisi nutrisi yang cukup untuk membangun “kesehatan” pemahaman tentang ekonomi internasional. Saat IM bereksplorasi mengenai hubungan kausalitas antara perkembangan ekonomi internasional dengan kinerja perekonomian Indonesia, IM melakukannya dengan Uji Stasioaritas, Uji Kointegrasi dan Ganger Causality Test. (h. 92-104). Dengan uji ini IM berkesimpulan bahwa “Perkembangan net ekspor Indonesia memiliki kausalitas dalam jangka pendek dengan perkembangan PDB Indonesia dalam jangka pendek. Perkembangan kurs Rp/US$ dan perkembangan net ekspor Indonesia memiliki kausalitas satu arah dalam jangka pendek. Sedangkan dalam jangka panjang perkembangan PDB memiliki kausalitas satu arah dengan kurs Rp/US$. Dalam jangka panjang, perkembangan kurs Rp/US$ juga memiliki kausalitas dengan perkembangan net ekspor Indonesia. (h. 117). Diakhir tulisannya, IM memberikan 5 (lima) buah rekomendasi kebijakan untuk mengokoh dan mengukuhkan posisi dan peran Indonesia dalam komunitas ekonomi internasional yang hegemonik, serta rekomendasi untuk menghindarkan Indonesia dari kubangan “kolonialisasi ekonomi”. Rekomendasi yang terpapar pada halaman 119-127 antara lain; (1). Menjaga stabilitas perekonomian, (2) Peningkatan daya saing perekonomian, (3). Pengendalian volatilitas nilai tukar, (4). Insentif dalam mendorong capital inflow dalam bentuk foreign direct investment, dan (5). Mempertahankan net ekspor yang positif. Resep inilah yang mesti dilakukan agar Indonesia tidak di-kooptasi terlebih 142 di-kolonialiasasi oleh kekuatan ekonomi internasional lain. Akhirnya, Buku “Ekonomi Internasional Indonesia, Dalam Perspektif Teoritis dan Empiris” yang ditulis oleh Dr. Imam Mukhis, SE., M.Si ini dan telah pula diberikan kata sambutan oleh Dr. Johannes Sulistijawan, MBA., GM PT. Batamindo Investment Cakrawala dan Prof. Dr. Budi Eko Soejipto, MS.Ed., M.Si., Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang (UM) merupakan sebuah karya akademik IM yang berhasil membantu dalam meng-konstruksi pemahaman yang baik. Pemahaman yang sekaligus melahirkan kesadaran bahwa Indonesia, negara kita ini, jangan sampai terjerumus dalam kubangan ekonomi global dengan status “TERJAJAH”. Semoga ! JESP-Vol. 5, No. 1, 2013 ISSN 2086-1575 v Petunjuk bagi Kontributor Artikel JESP v 1. Artikel yang ditulis untuk JESP meliputi hasil pemikiran dan hasil penelitian yang berhubungan dengan ekonomi pembangunan (development economics) dan pembangunan ekonomi (economic development). Naskah diketik dengan huruf Times New Roman, ukuran 12 pts (12 poin), dengan spasi ganda, dicetak pada kertas A4, marjin kiri 4, kanan 3, atas dan bawah 3, sepanjang maksimum 30 halaman, dan diserahkan dalam bentuk print-out sebanyak 3 eksemplar beserta soft-copy-nya. Berkas (file) dibuat dengan Microsoft W ord. Pengiriman file lewat e-mail juga dapat dilakukan sebagai attachment e-mail ke alamat: [email protected], [email protected] 2. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan dibawah judul artikel. Jika penulis terdiri dari 4 orang atau lebih, yang dicantumkan di bawah judul artikel adalah nama penulis utama; nama penulis-penulis lainnya dicantumkan pada catatan kaki halaman pertama naskah. Dalam hal naskah ditulis oleh tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis dianjurkan mencantumkan alamat e-mail untuk memudahkan komunikasi. 3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris dengan format esai (essay), disertai judul pada masingmasing bagian artikel, kecuali bagian pendahuluan yang disajikan tanpa judul bagian. Judul artikel dicetak dengan huruf besar-kecil di tengah-tengah, dengan huruf sebesar 16 poin. Peringkat judul bagian dinyatakan dengan jenis huruf yang berbeda (semua judul bagian dan sub-bagian dicetak tebal atau tebal dan miring), dan tidak menggunakan angka nomor pada judul bagian: PERINGKAT 1 (HURUF BESAR SEMUA, TEBAL, RATA TEPI KIRI) Peringkat 2 (Huruf Besar Kecil, T ebal, Rata T epi Kiri) Peringkat 3 (Huruf Besar Kecil, T ebal-Miring, Rata T epi Kiri) 4. Sistematika artikel hasil pemikiran adalah: judul, nama penulis (tanpa gelar akademik); Abstract (berbahasa Inggris, maksimum 250 kata); Keywords; pendahuluan (tanpa judul) yang berisi latar belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan; bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa sub-bagian), penutup atau kesimpulan; daftar rujukan. 5. Sistematika artikel hasil penelitian adalah; judul, nama penulis (tanpa gelar akademik); Abstract (berbahasa Inggris, maksimum 250 kata) yang berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian; Keywords; pendahuluan (tanpa judul) yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian; metode; hasil; pembahasan (atau hasil dan pembahasan diintegrasikan); kesimpulan dan saran; daftar rujukan. 6. Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan yang diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis, disertasi) atau artikel-artikel penelitian dalam jurnal dan/atau majalah ilmiah. 7. Perujukan dan pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama, tahun). Pencantuman sumber pada kutipan langsung hendaknya disertai dengan keterangan tentang nomor halaman tempat asal kutipan. Contoh (Davis, 2003: 47). 8. Daftar rujukan disusun dengan tata cara seperti contoh berikut ini dan diurutkan secara alfabetis dan kronologis. Buku: Mubyarto. 2000. Membangun Sistem Ekonomi . Y ogyakarta: BPFE. Buku Kumpulan Artikel: Saukah, A. & Waseso, MG. (Eds.). 2002. Menulis Artikel untuk Jurnal Ilmiah (Edisi ke-4, cetakan ke-1) . Malang: UM Press. Artikel dalam buku kumpulan artikel: Uphoff, N. (1999). Understanding Social Capital: Learning from the Analysis and Experience of Participation. Dalam P . Dasgupta & I. Serageldin (Eds.). Social Capital: A Multifaceted Perspective (hlm. 215-249). Washington, D.C: The World Bank. Artikel dalam jurnal atau majalah: Witjaksono, M. 2006. Simulasi Teori Permainan Cooperative 3-IPD: Contoh Kasus Pengelolaan Usaha Penambangan di Kecamatan Panggungrejo, Blitar. EKONOMI BISNIS. Th. 11, No. 1, hlm. 168-191. JESP-Vol. 5, No. 1, 2013 ISSN 2086-1575 Artikel dalam koran: Pitunov, B. 13 Desember, 2002. Sekolah Unggulan ataukah Sekolah Peunggulan? Majapahit Pos, hlm. 4 & 11. T ulisan/berita dalam koran (tanpa nama pengarang): KOMP AS-Cybermedia. "Industri Komponen Ngingas Meradang, T api Masih Mampu Bertahan". 02 April 2004. Kapanlagi.Com. "Lima UKM Logam Harus Bayar Royalti." Rabu, 17 September 2008. Dokumen Resmi: BSNP. 2006. Standar Isi Mata Pelajaran Ekonomi SMA/MA. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan. Buku terjemahan: Skousen, M. 2001. Sang Maestro "Teori-teori Ekonomi Modern": Sejarah Pemikiran Ekonomi. Terjemahan dari "The Making of Modern Economics - The Lives and Ideas of the Great Thinkers" oleh T.W.B. Santoso, 2005. Jakarta: Prenada. Pass, C. & Lowes, B. 1988. Kamus Lengkap Ekonomi, Edisi Kedua . Terjemahan dari "Dictionary of Economics, 2nd Ed." oleh T. Rumapea & P . Haloho, 1994. Jakarta: Erlangga. Skripsi, T esis, Disertasi, Laporan penelitian: Witjaksono, M. 2008. Modal Sosial dalam Dinamika Perkembangan Sentra Industri Logam W aru Sidoarjo. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Makalah, Seminar , Lokakarya, Penataran: Waseso, M.G. 2001. Isi dan Format Jurnal Ilmiah. Makalah disajikan dalam Seminar Lokakarya Penulisan Artikel dan Pengelolaan Jurnal Ilmiah, Universitas Lambungmangkurat, Banjarmasin, 9- 11 Agustus. Internet (karya individual): Hitchcock, S., Carr, L. & Hall, W . 1996. A Survey of STM Online Journals. 1990- 1995: the Calm before the Storm, (online), (http://journal.ecs.soton.ac.uk/survey.htm, diakses 12 Juni 1996). Internet (artikel dalam jurnal online): Angresano, J. 2007. Orthodox Economic Education, Ideology and Commercial Interests: Relationships that Inhibit Poverty Alleviation. Post-Autistic Economics Review, Issue no. 44, 9 December 2007, pp. 37-58 , (http://www.paecon.net/P AEReview/issue44/Angresano44.pdf, diakses 02 April 2009). Internet (bahan diskusi): Wilson, D. 20 November 1995. Summary of Citing Internet Sites. NETTRAIN Discussion List, (online), ([email protected]. buffalo.edu, diakses 22 November 1995). Internet (e-mail/blog pribadi): Naga, D.S. ([email protected]). 1 Oktober 1997. Artikel untuk JIP . E- mail kepada Ali Saukah ([email protected]). 9. Tata cara penyajian rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Negeri Malang (Edisi terbaru), atau mencontoh langsung tata cara yang digunakan dalam artikel yang dimuat. Artikel berbahasa Indonesia menggunakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan (Depdikbud, 1987). Artikel Berbahasa Inggris menggunakan ragam baku, seperti yang disarankan dalam: Menulis artikel untuk Jurnal Ilmiah, Edisi Juli 2006 . Editor: A. Saukah & M.G. Waseso. Malang: Universitas Negeri Malang. 10. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (peer reviewers) yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi) naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari atau penyunting. 11. Pemeriksaan atau penyuntingan cetak-coba (pre-print) dikerjakan oleh penyunting dan/atau dengan melibatkan penulis. Artikel yang sudah dalam bentuk cetak-coba dapat dibatalkan pemuatannya oleh penyunting jika diketahui bermasalah. Penyunting tidak berkewajiban mengembalikan artikel yang tidak dimuat. 12. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan atau penggunaan software komputer untuk pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HaKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggung jawab penulis artikel tersebut. _______ jesp Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan Vol. 5, No. 1, Maret 2013 Cover design: ©Van Mit 2012