jesp - Fakultas Ekonomi - Universitas Negeri Malang

advertisement
ISSN 2086-1575
Vol. 5, No. 1, Maret 2013
jesp
Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan
Vol. 5, No. 1, Maret 2013
Jurusan Ekonomi Pembangunan
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
ISSN 2086-1575
Jurnal EKONOMI & STUDI PEMBANGUNAN
Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan (JESP) terbit dua kali setahun
memuat artikel hasil pemikiran filosofis, konseptual, teoritis, telaah kritis
(critical review), dan penelitian di bidang ekonomi pembangunan ( development
economics) dan pembangunan ekonomi (economic development).
Ketua Penyunting
Dr. Hari Wahyono, M.Pd
Wakil Ketua Penyunting
Dr. Hadi Sumarsono, S.T., M.Si
Penyunting Pelaksana
Dr. Mit Witjaksono, MS.Ed
Dr. Sugeng Hadi Utomo, M.S
Dr. Nasikh, SE, M.P., M.Pd
Dr. Imam Mukhlis, SE, MSi
Grisvia Agustin, SE., M.Sc
Pelaksana Administrasi
Tutut Boedyo Wibowo, S.Kom, MT
Syahrul, S.Pd, MP.d
Alamat Redaksi/TU
Jurusan Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang (FE UM)
Jl. Semarang 5. Malang 65145. Gedung E3 Lantai 2
Tlp/Fax (0341) 585-911
E-mail: [email protected], [email protected], [email protected]
Site: www.fe.um.ac.id
Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan (JESP) dikelola oleh Jurusan Ekonomi Pembangunan.
Diterbitkan oleh Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Malang (FE UM).
Dekan: Prof.Dr.Budi Eko Soetjipto M.Ed., M.Si
Pembantu Dekan I: Dr. Mit Witjaksono, MS.Ed.
Pembantu Dekan II: Dr. Tuhardjo, SE., M.Si.Ak.
Pembantu Dekan III: Drs. Djoko Dwi Kusumayanto, M.Si.
Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan: Dr. Sri Umi Mintarti Wijaya, SE, MP, Ak
Naskah artikel yang disumbangkan kepada JESP harus mengikuti aturan dalam Petunjuk
bagi Kontributor JESP yang dilampirkan pada setiap nomor penerbitan.
Isi artikel beserta akibat yang ditimbulkan oleh artikel itu menjadi tanggung jawab penuh
penulisnya (kontributor).
JESP-Vol. 5, No. 1, 2013
ISSN 2086-1575
EDITORIAL
__________________________________________________________________________________________
Pengantar
Seperti pada pengantar edisi perdana, JESP (baca: jès pé) memuat karya tulis:
1. Artikel pemikiran filosofis, teoritis, konseptual, atau telaah kritis (critical reviews),
yang selanjutnya diberi label kelompok: ARTIKEL.
2. Artikel hasil penelitian, yang selanjutnya diberi label kelompok:PENELITIAN.
3. Artikel tinjauan buku (book review), yang diberi label kelompok: TINJAUAN BUKU.
Artikel dalam kelompok 1 memaparkan pemikiran konseptual, telaah kritis, atau analisis
kontekstual tentang teori ekonomi, pemikiran, paradigma, atau filsafat ekonomi, dan aplikasinya dalam ekonomi pembangunan.
Artikel dalam kelompok 2 memaparkan hasil kajian (penelitian) empiris tentang
penerapan lapangan, atau simulasi lab (ekonomi eksperimental) terhadap isu, kasus, atau
implementasi kebijakan ekonomi.
Artikel dalam kelompok 3 menelaah isi, cakupan, manfaat, dan kritik buku yang
dipandang penting dalam kajian ekonomi dan studi pembangunan .
Dalam edisi ini dapat dihasilkan 2 artikel konseptual, 10 hasil penelitian empiris dan 1
tinjauan buku.
Kepada para penulis yang telah memberikan kontribusinya, dan rekan-rekan "Penyunting
Pelaksana", "Pelaksana Administrasi", serta semua pihak yang telah membantu mewujudkan
penerbitan jurnal ini, tak lupa kami mengucapkan terimakasih dan apresiasi yang tinggi.
1
JESP-Vol. 5, No. 1, 2013
ISSN 2086-1575
Tentang Nomor Ini
Pada edisi nomor 1 tahun 2013 ini diwarnai dengan berbagai pemikiran dan kajian
empiris tentang berbagai dimensi dalam pembangunan dalam konstelasi perekonomian
regional, nasional dan global. Dalam perspektif regional banyak dikupas tentang perkembangan perekonomian regional Jawa Timur. Dalam perspektif nasional banyak dibahas tentang
kondisi perekonomian nasional. Dalam skala perekonomian internasional, dianalisis konstelasi perekonomian internasional dalam perkembangan ekonomi nasional.
Bagian pertama dalam jurnal ini diawali dengan hasil karya pemikiran teoretis dan
konseptual. Dalam kajian konseptual ini banyak dibahas tentang berbagai hasil penelitian
yang dilakukan baik dalam skala regional, nasional maupun nasional. Dalam konteks
internasional, tulisan dari saudara Imam memaparkan secara deskriptif implikasi dari perdagangan bebas terhadap stabilitas harga pangan di Indonesia. Keterbukaan perekonomian
Indonesia telah membawa dampak pada perkembangan harga-harga komoditi pangan di Indonesia. Dalam konteks perekonomian secara makro, tulisan dari Indra menganalisis tentang
kondisi dan permasalahan kelistrikan di Indonesia.
Dalam paparan hasil penelitian, tulisan dari Basuki dan Haris menganalisis tentang kondisi perkembangan perekonomian daerah di Jawa Timur. Dalam perspektif regional perekonomian Jawa Timur menunjukkan kinerja yang cukup positif. Penelitian yang lain oleh Fitra,
Citra, Rita, Lia, dan Siti M mempertegas kembali analisisnya tentang kinerja perekonomian
daerah di Jawa Timur dalam perspektif yang lebih luas. Sedangkan dalam konteks makro,
hasil penelitian oleh Zulfikar dan Abid menganalisis dinamika perekonomian makroekonomi
dalam perspektif uang dan nilai tukar mata uang Rp/US$. Hasil penelitian lain oleh Y uldi
tentang pelaksanaan program PNPM mandiri mengkritisi lagi tentang aspek akuntabilitas
dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan.
Bagian akhir dari tulisan ini adalah sebuah hasil resensi buku tentang perekonomian
internasional. Pada edisi ini, hasil resensi disampaikan oleh Subagyo tentang buku yang berjudul Dinamika Perekonomian Internasional Indonesia dalam Perspektif T eoretis dan
Empiris. Buku tersebut merupakan hasil kajian teoretis dan empiris tentang perekonomian
Indonesia dalam kancah perekonomian global.
Pada akhirnya semangat yang dibangun oleh tim JESP pada edisi 1 tahun 2013 ini
semoga memberikan kontribusi pemikiran yang konstruktif dalam membangun masyarakat
yang madani dan berkeadilan sosial.
Malang, 31 Maret 2013
Penyunting
__________________________________________________________________________________________
2
JESP-Vol. 5, No. 1, 2013
ISSN 2086-1575
DAFTAR ISI
__________________________________________________________________________________________
EDITORIAL
Pengantar
1
Tentang Nomor Ini
2
__________________________________________________________________________________________
A RTIKEL
Perdagangan Bebas dan Stabilitas Harga Komoditi Pangan
Imam Mukhlis
Kondisi dan Permasalahan Listrik di Indonesia
Indra Darmawan
5
11
_________________________________________________________________________________________
PENELITIAN
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
dan Peran Karakteristik Regional di Jawa Timur (Periode 2000-2009)
Basuki Prasetiyo Kurniawan & Mardhono
21
Analisis Derajat Desentralisasi Fiskal Keuangan Daerah Sebelum dan
Sesudah Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Daerah Di Kota Malang
Haris Galih Wardana & Nasikh
31
Analisis Keberadaan Industri Kerajinan Rotan Dalam Penyerapan Tenaga Kerja
(Studi Kasus Industri Kerajinan Rotan Kel. Balearjosari Kec. Blimbing Kota Malang)
Fitra Ria Silvida & Y ohanes Hadi Susilo
39
Analisis Produktivitas Sektor Pertanian Komoditi Tanaman Padi
Berbasis Agribisnis Dalam Peningkatan Ekonomi.
(Studi Kasus di Desa Jati Tengah, Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar)
Citra Agung Triyanto & Prih Hardinto
53
Analisis Sektor-Sektor Ekonomi Dalam Rangka Pengembangan
Pebijakan Pembangunan Ekonomi Kota Kediri
Rita Erika & Sri Umi Mintarti W
63
Pelaksanaan Pengembangan Kawasan Agropolitan Kabupaten Malang
(Studi Kasus Kecamatan Poncokusumo)
Lia Sunfianah & Ali Wafa
79
Pemetaan Potensi Rawan Pangan PadaPerek onomian Daerah
Siti Muslihah & Sugeng Hadi Utomo
91
3
JESP-Vol. 5, No. 1, 2013
ISSN 2086-1575
Dampak Fluktuasi Indeks Harga Saham Dan Ekspor Netto
Terhadap Kurs Rupiah Pada Masa Krisis Global
Zulfikar Fatoni & Hadi Sumarsono
101
Analisis Permintaan Uang di Indonesia Periode Tahun 2000.I-2009.IV
Abid Muhtarom
118
Pengaruh Akuntabilitas Terhadap Pelaksanaan Kegiatan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri Perkotaan Di Badan Keswadayaan Masyarakat Kota Palu
Y uldi Mile
133
_________________________________________________________________________________________
TINJAUAN BUKU
Dinamika Ekonomi Internasional Indonesia, dalam Perspektif Teoritis dan Empiris
Subagyo
141
__________________________________________________________________________________________
4
JESP Vol. 5, No.1, 2013
PERDAGANGAN BEBAS DAN STABILITAS HARGA
KOMODITI PANGAN
Imam Mukhlis
Abstract
This research aims to analyze the relationship between free trade with price stability of
food commodity. The method of analyze is descriptive with presenting the economic
data. The result show that scarcity of food commodity can be solved by import from
abroad in the short run. This policy in the short run will provide food commodity
needed by people. But in the long run, this policy will reduce the competitiveness of
agricultural sector in Indonesia.
Keywords: Food Commodity, Scarcity, Free Trade
Pendahuluan
Dalam sebuah perekonomian yang
menganut
keterbukaan
(economic
opennes),
ketergantungan
diatara
perekonomian dunia menjadi sebuah
fenomena yang lazim. Keterbukaan
tersebut mencerminkan adanya interaksi
ekonomi yang semakin luas yang
dilakukan oleh pelaku ekonomi masingmasing negara. Melalui keterbukaan
ekonomi tersebut, setiap pelaku ekonomi
dapat mengakses sumber daya yang
tersedia di berbagai negara. Selain itu,
pelaku ekonomi juga dapat memasarkan
berbagai produk yang dihasilkannya ke
pasar global. Interaksi ini menimbulkan
sebuah kegiatan ekonomi yang terjadi
secara lintas negara yang didukung oleh
adanya mobilitas faktor produksi/sumber
daya ekonomi dan juga output di berbagai
negara.
Dalam era perekonomian yang
semakin
mengglobal
dewasa
ini,
keterbukaan
perekonomian
memiliki
legitimasi yang semakin kuat seiring
dengan implementasi globalisasi dan
liberalisasi dalam bentuk pembentukan
blok perdagangan/kawasan perdagangan di
berbagai kawasan perekonomian dunia.
Setiap kawasan perekonomian memiliki
ikatan formal dalam bentuk blok-blok
perdagangan dalam berbagai institusi yang
dikembangkannya. Dalam kawasan Asia
Pasifik terbentuklah APEC (Asia Pacific
Economic Cooperation), dalam kawasan
ASEAN terbentuklah AFTA (Asean Free
Trade Area) dan kerjasama ekonomi China
dan ASEAN terjalin lebih erat melalui
pembentukan ACFTA (Asean China Free
Trade Area). Pembentukan berbagai
kelembagaan
ekonomi
tersebut
dimaksudkan untuk tercapainya manfaat
integrasi ekonomi dalam bentuk trade
creation (Mukhlis, 2009).
Salah satu output perekonomian
yang memiliki tingkat mobilitas yang
tinggi di berbagai dunia adalah komoditi
pangan.
Komoditi
ini
memiliki
karakteristik yang unik dibandingkan
dengan
komoditi
yang
lainnya.
Keunikannya terletak pada kekuatannya
dalam
mempengaruhi
stabilitas
perekonomian suatu negara bahkan dunia.
Komoditi pangan merupakan jenis
komoditi yang dibutuhkan oleh banyak
orang. Dalam hal ini pemenuhan
kebutuhan pangan merupakan salah
indikator penting yang digunakan untuk
__________________________________________
Alamat Korespondensi :
Imam Mukhlis: Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang
Email: [email protected]
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
menilai kinerja pemerintahan suatu negara.
Dalam hal ini ketersediaan pangan yang
memadai
mencerminkan
adanya
kemampuan negara dalam memenuhi
kebutuhan dasar penduduknya dalam
pencapaian kesejahteraan hidup yang
semakin meningkat.
Dalam perkembangannya, harga
komoditi pangan di berbagai dunia
mengalami fluktasi yang cenderung
ekstrim. Kenaikan sebuah komoditi yang
tidak terkendali ini dapat mengakibatkan
ketersediaan pangan menjadi sangat rawan
terhadap berbagai gejolak yang terjadi di
berbagai kawasan dunia. Dalam hal ini
seiring dengan keterbukaan perekonomian
dan juga proses integrasi ekonomi yang
terus mendunia, fleksibilitas harga pangan
dunia merupakan sebuah kondisi yang
dapat terjadi setiap saat. Kondisi ini
manakala terjadi secara berkelanjuta dalam
perekonomian, maka situai krisis ekonomi
dapat terjadi pada keadaan ketidakstabilan
pangan yang terjadi.
Indonesia sebagai salah satu negara
dengan tingkat populasi yang tinggi di
dunia membutuhkan ketahanan pangan
pada berbagai komoditi yang ada. Dalam
hal ini beberapa komoditi pangan yang
merupakan kebutuhan pokok masyarakat
dikenal dengan istilah sembako (sembilan
bahan pokok), yang meliputi : beras , sagu
dan jagung;gula pasir;sayur-sayuran dan
buah-buahan;daging sapi dan ayam;minyak
goreng dan margarin;susu;telur;minyak
tanah atau gas ELPIJI;garam beriodium
dan bernatrium
Dalam beberapa periode waktu
yang terjadi di Indonesia menunjukkan
adanya kelangkaan terhadap komoditi
bawang merah, bawang putih, daging sapi
dan komoditi cabe. Berbagai komoditi
tersebut merupakan bahan kebutuhan
penting yang menjadi rujukan bagi
berbagai menu makanan khas di Indonesia.
Manakala harga dari berbagai komoditi
tersebut mengalami fluktuasi, maka hal
tersebut dapat menyebabkan multipler efek
yang luar biasa dalam kehidupan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
6
hidupnya. Dalam hal ini masalah
ketersediaan terhadap berbagai komoditi
tersebut di pasar sangat penting dalam
menjaga stabilitas harga dan juga stabilitas
perekonomian secara makro.
Inflasi Komoditi Pangan
Inflasi merupakan sebuah peristiwa
dimana terjadi kenaikan harga-harga secara
terus menerus dalam kurun waktu tertentu
untuk sekelompok komoditi. Terdapat
berbagai pemikiran yang menjelaskan
fenomena inflasi yang terjadi dalam
perekonomian. Dalam hal ini menurut
Totonchi (2011) studi mengenai inflasi
menyebabkan debat secara makroekonomi
dalam konteks Ilmu Ekonomi. Debat
tersebut berkenaan dengan munculnya
berbagai hipotesis terkait dengan berbagai
pandangan mengenai inflasi dan juga
ukuran untuk mengontrol inflasi. Inflasi di
negara belum berkembang lebih banyak
disebabkan oleh pertumbuhan jumlah uang
beredar, sedangkan di negara sedang
berkembang bukan persoalan moneter.
Dalam hal ini menurut Friedman inflasi
dapat terjadi karena adanya pertumbuhan
yang cepat pada peredaran uang yang
melebihi ketersediaan output dalam
perekonomian.
Sedangkan menurut John Maynard
Keynes (1883-1946) peningkatan dalam
permintaan agregat (aggregate demand)
yang meliputi komponen konsumsi,
investasi dan pengeluaran pemerintah
merupakan sumber terjadinya demand pull
inflation. Oleh karena itulah menurut
Keynes, upaya yang cukup elegan untuk
mengurangi
inflasi
adalah
dengan
mengurangi tekanan terhadap komponenkomponen dalam permintaan agregat.
Dalam persepektif lain juga dapat
dijelaskan bahwa inflasi merupakan imbas
dari situasi politik yang terjadi di suatu
negara, yang meliputi waktu terjadinya
pemilihan, kinerja pembuat kebijakan,
ketidakstabilan politik dan kredibilitas
kebijakan dan juga reputasi dari pembuat
kebijakan. Dalam hal ini menurut Sims
(1980) terjadinya defisit anggaran negara
JESP Vol. 5, No.1, 2013
juga dapat menyebabkan terjadinya inflasi.
Defisit anggara tersebut dapat terjadi
karena adanya proses politik dan lobi-lobi
terhadap anggaran pemerintah sehingga
mengakibatkan pengeluaran negara yang
melebihi kapasitas penerimaan negara.
Salah satu ukuran yang dapat
digunakan untuk menilai kinerja dalam
perkembangan inflasi adalah dengan
ukuran
Indeks
Harga
Konsumen
(consumer price index). Menurut Akhtar
(2006) Consumer Price Index (CPI)
merupakan alat ukur yang penting dalam
mengukur perubahan harga dan juga
mengukur perubahan biaya pembeliaan
pada sekelompok barang dan jasa yang
diperdagangkan. Namun demikian juga
terdapat berbagai ukuran yang dapat
digunakan
untuk
mengetahui
perkembangan inflasi, yakni melalui
indeks harga produsen (Producer Price
Index).
Berbagai
kajian
empiris
dikembangkan guna mengidentifikasi
faktor-faktor penentu inflasi di berbagai
negara. Jongwanich and Park (2009) dalam
penelitiannya memberikan kesimpulan
bahwa
inflasi
di
negara
sedang
berkembang di Asia disebabkan adanya
ekspektasi inflasi dan juga terjadinya
excess aggregate demand. Hasil penelitian
lain Oleh Hassan and Alogeel (2008)
menunjukkan adanya cost push factors
yang mempengaruhi terjadinya inflasi di
Saudi dan Kuwait. Sedangkan hasil
penelitiannya
Javed,
dkk
(2010)
memberikan kesimpulan bahwa cost-push
factors are not less important than
demandpull factors yang menyebabkan
terjadinya inflasi di Pakistan.
Perkembangan inflasi di Indonesia
dalam kurun waktu awal tahun 2013
menunjukkan adanya trend kenaikan
harga. Dalam hal ini beberapa komoditas
yang mengalami kenaikan harga pada
Maret 2013 antara lain: bawang merah,
bawang putih, cabai rawit, jeruk, tarif sewa
rumah, daging sapi, ikan diawetkan,
jagung muda, nangka muda, tomat sayur,
apel, pisang, nasi dengan lauk, rokok
kretek filter, tarif air minum P AM, bahan
bakar rumah tangga, upah pembantu rumah
tangga, dan bensin. Sedangkan komoditas
yang mengalami penurunan harga adalah:
telur ayam ras, emas perhiasan, beras,
daging ayam ras, ikan segar, cabai merah,
bayam, kacang panjang, dan wortel (BPS,
2013).
Dalam hal ini inflasi terjadi karena
adanya kenaikan harga yang ditunjukkan
oleh kenaikan indeks beberapa kelompok
pengeluaran, yaitu: kelompok bahan
makanan 2,04 persen; kelompok makanan
jadi, minuman, rokok, dan tembakau 0,40
persen; kelompok perumahan, air, listrik,
gas, dan bahan bakar 0,21 persen;
kelompok
kesehatan
0,24
persen;
kelompok pendidikan, rekreasi, dan
olahraga 0,12 persen; dan kelompok
transpor, komunikasi, dan jasa keuangan
0,19 persen. Sedangkan kelompok yang
mengalami penurunan indeks adalah
kelompok sandang 0,70 persen. Dari 11
subkelompok dalam kelompok bahan
makanan, 6 subkelompok mengalami
inflasi dan 5 subkelompok mengalami
deflasi. Subkelompok yang mengalami
inflasi tertinggi adalah subkelompok
bumbu-bumbuan 30,58 persen dan
terendah terjadi pada subkelompok sayursayuran dan subkelompok
kacangkacangan masing-masing 0,14 persen.
Kelompok ini pada Maret 2013
memberikan sumbangan inflasi sebesar
0,51 persen. Komoditas yang dominan
memberikan sumbangan inflasi antara lain:
bawang merah 0,44 persen; bawang putih
0,20 persen; cabai rawit 0,05 persen; jeruk
0,02 persen; daging sapi, ikan diawetkan,
jagung muda, nangka muda, tomat sayur,
apel, dan pisang masing-masing 0,01
persen (BPS, 2013).
Berdasarkan
pada
deskripsi
perkembangan
harga
tersebut
menunjukkan bahwa inflasi yang terjadi
pada komoditi bahan pangan memiliki
kontribusi yang cukup kuat dalam
mendorong terjadinya inflasi di Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa komoditi
bahan makanan yang ditopang oleh
7
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
bumbu-bumbu, sayur-sayur, dan daging
merupakan bahan dasar dalam pembuatan
berbagai aneka menu di Indonesia. Dengan
kata lain differentiated product dari
komoditi pangan tersebut sangat luas
sekali, sehingga dapat menimbulkan
adanya multiplier effect yang luas dalam
perekonomian nasional.
Dalam konteks terjadinya inflasi
yang bersumber pada bahan pangan
tersebut menunjukkan adanya demand over
supply terhadap komoditi tersebut.
Sebagaimana diketahui komoditi pangan
merupakan kebutuhan pokok yang
menaungi hajat hidup orang banyak.
Adanya permintaan yang tetap dan
cenderung bertambah yang tidak dapat
diimbangi dengan ketersediaan komoditi di
pasar, maka logika ekonomi akan
mengatakan terjadi inflasi. Kondisi ini
merupakan sebuah fenomena alamiah yang
terjadi, manakala kelangkaan yang ada
tidak dapat teratasi. Penyelesaian masalah
inflasi yang mengandalkan kekuatan
demand dan supply di pasar akan
berdampak pada ketidakstabilan pada
perekonomian nasional. Dalam hal ini
mekanisme invisible hand hanya akan
menyebabkan
banyak
orang
akan
mengalami dampak negatif dari inflasi,
yakni berkurangnya daya beli mereka
dalam pemenuhan kebutuhan hidup dan
kepuasannya.
Adalah John Maynard Keynes yang
menganjurkan adanya campur tangan
pemerintah dalam mengatasi situasi
ketidakstabilan dan cenderung mengarah
pada terjadinya krisis ekonomi. Dalam hal
ini ketidkastabilan dalam bentuk inflasi
yang tinggi dapat diatasi dengan
mengandalkan
kekuatan
kebijakan
pemerintah dalam pengendalian harga
dalam negeri. Salah satu obat mujarab
yang sering berhasil dalam mengatasi
situasi ini adalah impor komoditi yang
mengalami kelangkaan. Impor dilakukan
dengan tujuan untuk mendistorsi pasar
yang mengalami kekakuan harga pada
level tertinggi (price rigidity). Impor
dilakukan untuk menambah stok barang di
8
pasar dalam negeri guna mencukupi
lonjakan permintaan yang ada. Dalam
konteks ini pada dasarnya inflasi yang
disebabkan oleh adanya excess demand
pada komponen aggregate demand dapat
diatasi dengan mengendalikan konsumsi
masyarakat. Namun demikian upaya ini
akan sulit diterapkan dalam kondisi
kelangkaan yang terjadi pada komoditi
pokok dalam pemenuhan kebutuhan hidup
masyarakat Indonesia.
Adanya kebijakan impor tersebut
menandakan adanya interaksi ekonomi
secara internasional yang dilakukan dalam
kawasan regional. Integrasi ekonomi yang
dibalut dengan perjanjian dalam kerjasama
ekonomi secara bilateral/multilateral pada
dasarnya dapat bermanfaat pada situasi
seperti terjadinya kelangkaan barang.
Dalam skema perjanjian kerjasama
ekonomi,
pelaksanaan
kegiatan
perdagangan antar negara akan memiliki
perlakuan khusus yang mengikat antar
negara anggotanya. Perlakuan khusus ini
menyangkut berbagai kemudahan dalam
proses perdagangan internasional dan yang
lebih penting adalah perlakukan khusus
dalam bentu pengurangan/penghapusan
tarif dalam perdagangan barang/jasa.
Upaya ini merupakan bentuk dari
penghapusan
berbagai
hambatan
perdagangan dalam bentuk tarif (tariff
barrier).
Dalam kasus pelaksanaan impor
komoditi pangan dalam bentuk impor
bawang putih dari China merupakan
bentuk dari terjadinya trade creation dalam
proses integrasi antara China dengan
negara-negara
ASEAN.
Memang
diperlukan analisis tentang berbagai
komoditi yang masuk dalam ranah
perjanjian ACFTA. Namun demikian
secara eksplisit adanya pelaksanaan dalam
kerjasama ekonomi antara China dan
Asean tersebut memberikan bukti akan
terciptanya kemanfaatan secara positif
dalam mengintegrasikan perekonomian
antara negara di berbagai kawasan dunia.
Dalam hal ini manfaat integrasi dalam
bentuk trade creation terjadi manakala
JESP Vol. 5, No.1, 2013
negara yang terlibat dalam perjanjian
kerjasama akan mendapatkan manfaat
positif dalam bentuk supply barang dari
negara anggota kerjasama yang harganya
relatif lebih murah dibandingkan manakala
barang tersebut dihasilkan sendiri oleh
negara yang bersangkutan. Dalam konteks
impor komoditi bawang putih, komoditi
tersebut apabila dihasilkan dihasilkan oleh
Indonesia akan memiliki harga yang lebih
mahal dibandingkan dengan hasil pertanian
yang dihasilkan di China. Dengan kata lain
komoditi pertanian (bawang putih) dari
China memiliki harga lebih murah
dibandingkan dengan komoditi bawang
yang dihasilkan oleh Indonesia. Tentunya
akan
banyak
faktor
yang
dapat
mempengaruhi perbedaan harga dari
komoditi bawang putih tersebut di
Indonesia dan di China. Oleh karena itulah
dengan proses impor komoditi bawang
putih.yang dilakukan Indonesia dari China,
maka Indonesia dapat mendapatkan
manfaat dalam bentuk trade creation.
Penutup
Inflasi yang terjadi dalam kurun
waktu awal tahun 2013 disebabkan oleh
adanya kelangkaan komoditi pangan yang
terjadi dalam perekonomian nasional.
Kelangkaan tersebut dapat terjadi karena
adanya excess demand yang tidak dapat
dipenuhi oleh kapasitas output nasional.
Kondisi tersebut secara eksplisit telah
menimbulkan kegalaun dari masyarakat
kelas bawah dan juga pelaku ekonomi akan
kemampuan pemerintah dalam mengatasi
problematika pangan yang dihadapi oleh
masyarakat. Implementasi dari integrasi
ekonomi dalam bentuk pembentukan
kawasan perdagangan bebas memberikan
manfaat positif bagi perekonomian
nasional.
Dalam kasus terjadinya kelangkaan
komoditi pangan untuk jenis bawang putih,
solusi yang diambil oleh pemerintah
menggunakan pendekatan impor dari luar
negeri. Impor bawang putih dari China
menunjukkan adanya berbagai kemudahan
dan harga yang bersaing, sehingga
kelangkaan bawang putih dalam negeri
dapat segera diatasi. Kebijakan ini
dipandang sebagai sebuah pilihan yang
rasional mengingat China dengan segenap
comparative advantage yang dimilikinya
mampu menghasilkan berbagai komoditi
yang
dibutuhkan
oleh
masyarakat
Indonesia dengan harga bersaing dan
supply tidak terbatas. Tentunya kondisi ini
memberikan jaminan dalam jangka pendek
akan ketersediaan pangan dalam negeri.
Namun dalam jangka panjang kebijakan
untuk terus menerus mengimpor barang
dari luar negeri memberikan sinyal akan
rendahnya produktifitas sektor pertanian
yang notabene merupakan sektor penting
dalam menopang pertumbuhan ekonomi
nasional.
Kelangkaan yang terjadi pada
komoditi pangan yang berbasis pertanian
perlu segera untuk dicarikan solusi yang
berkelanjutan. Dalam kaitannya dengan
peningkatan produktifitas dan daya saing
komoditi pangan yang dihasilkan oleh
sektor pertanian dalam negeri, maka perlu
dilakukan kebijakan yang pro supply side.
Kebijakan ini terkait dengan dorongan
untuk meningkatkan minat petani untuk
kembali menanam bawang putih pada areal
pertanian yang tersedia. Salah satu upaya
riil adalah dengan merealisasikan program
subsidi pupuk ataupun pupuk gratis bagi
petani bawang putih, sehingga dalam
jangka pendek mereka memiliki insentif
riil dalam pertanian bawang putihnya.
Selain
itu
pula
perlu
dilakukan
restrukturisasi tata niaga bawang putih
yang dapat mengedepankan kepentingan
petani guna mensuplai kebutuhan pangan
bagi masyarakat Indonesia. Dalam era
perdagangan
bebas
yang
sedang
berlangsung, hanya komoditi yang
memiliki daya saing tinggi yang dapat
menembus pasar global. Hal inilah kiranya
9
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
yang patut untuk diperhatikan agar
komoditi pangan nasional dapat mensuplai
kebutuhan dalam negeri dan juga pasar
luar negeri.
Daftar Pustaka
Akhtar Q,2006. “Inflation in Pakistan”,
diakses dari website dengan
alamat
www.pide.org.pk/index.php?optio
n=com_content&task=view&id.ta
nggal 6 Maret
C. A. Sims,1980." A Comparison of
Interwar and Postwar Business
Cycles:
Monetarism
Reconsidered",
Amsterdam,
Elsevier Science, and Journal of
Economic Review, Annual Papers
and Proceedings 70,:250-257
Hasan M, Alogeel H,2008. Understanding
The Inflationary Process in
Hellwig
C (2002).
Public
Announcements,
Adjustment
Delays
and
the
Business
Cycle.Mimeo.
Available
at
http://www.econ.ucla.
edu/people/papers/Hellwig/Hellwi
g208.pdf.
10
Javed,
Zahoor Hussain, Muhammad
Farooq and Shama Akram, 2010.
“Cost-push shocks and inflation:
An empirical analysis from the
economy of Pakistan”, Journal of
Economics and International
Finance V ol. 2(12), pp. 308-312,
December, ISSN 2006-9812
Jongwanich, Juthathip and Donghyun
Park,2009.
“Inflation
in
Developing Asia”, Journal of
Asian Economics V olume 20,
Issue 5, September:507–518
Mukhlis, Imam, 2009. Integrasi Ekonomi
Dalam
Perspektif
T eori,
Tulungagung:Cahaya Abadi
Totonchi, Jalil, 2011. Macroeconomic
Theories of Inflation, Academic
Paper International Conference on
Economics and Finance Research,
IPEDR vol.4, IACSIT Press,
Singapore
----------, 2013.”Perkembangan Indeks
Harga Konsumen/Inflasi”, Beritas
Resmi Statistik, BPS, No.
22/04/Th. XVI, diakses dari
website,
www.bps.go.id
JESP V ol. 5, No.1, 2013
KONDISI DAN PERMASALAHAN LISTRIK DI INDONESIA
Indra Darmawan
Abstract
Electrical problems in Indonesia can be categorized into the demand side and the
supply side. From the demand side can be analyzed from the electrification ratio,
number of customers, and the demand for electricity. From the supply side can be
analyzed from a number of power plants, types of power plants and transmission
lines. Some fundamental problems such as low electrification ratio, low levels of
per capita consumption, distribution inequality, the lack of utilization of renewable
energy sources such as geothermal, slow growth of the construction and installed
capacity, production cost structure, and network maintenance. Some alternative
solution to do in the short and long term.
Keywords: Electrification Ratio, Energy Sources, Power Plants
Dewasa ini energi listrik telah
dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat.
Hampir semua kegiatan masyarakat seharihari tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan
akan tenaga listrik. Sehingga jika ada daerah
atau sekelompok masyarakat yang belum
menikmati aliran listrik maka dapat
dipastikan daerah atau masyarakat tersebut
berada dalam kondisi keterbelakangan.
Energi adalah kebutuhan pokok manusia
yang harus dipenuhi. Energi adalah sarana
yang
penting
untuk
mendukung
pembangunan sosial dan ekonomi manusia
(World Bank, 2005).
Masyarakat Indonesia juga semakin
banyak yang telah menikmati aliran listrik
untuk menunjang aktivitas sehari-hari.
Namun demikian, Bank Dunia mensinyalir
bahwa lebih dari 70 juta penduduk Indonesia
yang belum mendapat akses energi listrik.
Sekitar 80 persen masyarakat yang belum
menikmati listrik adalah mereka yang
tinggal di daerah pedalaman yang lebih dari
separuhnya tinggal di luar kawawan
pertumbuhan Jawa-Bali. Dengan rasio
elektrifikasi 67,2 pada tahun 2010,
mengakibatkan konsumsi listrik per kapita
pun masih tergolong rendah yaitu 641 kWh.
Dengan konsumsi per kapita sebesar itu, kita
jelas tertinggal dengan negara-negara
tetangga di kawasan ASEAN dan Cina (lihat
Tabel1).
__________________________________________
Alamat Korespondensi :
Indra Darmawan: adalah staf pengajar pada Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Email: [email protected]
JESP V ol. 5, No. 1, 2013
Tabel 1.
Konsumsi Listrik Rata-rata Penduduk (kWh per penduduk)
Negara
1998
2000
Cina
722
827
Indonesia
325
384
Malaysia
2.554
2.628
Filipina
466
477
Thailand
1.345
1.448
Vietnam
232
286
Singapura
6.966
7.575
Sumber: World Bank, World Development Indicator database
Dari sisi penawaran, pasokan energi listrik di
Indonesia tampaknya juga menghadapi
masalah yang tidak ringan. Pasokan energi
listrik di Indonesia tidak dapat diandalkan.
Menurut survey Bank Dunia yang dilakukan
tahun 2004, kerugian dunia usaha dari
buruknya kualitas pasokan listrik (electricity
outage) di Indonesia telah mencapai di atas 6
persen dari total penjualan. Tingkat kerugian
yang sama juga dialami oleh para pengusaha
di Malaysia, Cina, dan Kamboja namun
dengan nilai yang lebih rendah daripada
Indonesia (Basri, 2009).
Masalah listrik di Indonesia dapat
diamati dari dua sudut pandang yaitu dari
sisi permintaan dan penawaran energi listrik.
2010
2.943
641
4.117
643
2.243
1.035
8.306
Artikel ini mencoba melihat berbagai
permasalahan seputar energi listrik di
Indonesia dari kedua aspek tersebut.
Situasi Kelistrikan di Indonesia
Rasio elektrifikasi adalah tingkat
perbandingan jumlah penduduk suatu negara
yang menikmati listrik dengan jumlah total
penduduk di negara tersebut. Rasio
elektrisifikasi nasional memang telah
meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan
rasio elektrifikasi tersebut dilakukan melalui
sambungan baru pelanggan PLN dan
pemanfaatan energi setempat seperti
PLTMH yang khusus diperuntukkan bagi
daerah-daerah terpencil.
Tabel 2.
Rasio Elektrifikasi di Indonesia (%)
Tahun
Rasio
Elektrifikasi
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012*)
8,0
16,0
28,0
43,0
57,0
62,0
63,0
64,3
65,1
65,8
67,2
72,9
75,3
*) perencanaan
Sumber: Statistik PLN 2012, Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero)
Pengguna listrik dari kalangan rumah
tangga kebanyakan membutuhkan listrik
untuk memenuhi kebutuhan dasar rumah
tangga
akan
penerangan
yang
memungkinkan masyarakat dapat melakukan
berbagai kegiatan pada malam hari. Dengan
pertumbuhan jumlah pelanggan rumah
tangga dari 39.324.520 pelanggan pada akhir
tahun 2010 menjadi 45.829.980 pelanggan
12
pada akhir tahun 2011, rasio elektrifikasi
meningkat dari 67,2 pada tahun 2010
menjadi 72,9 pada tahun 2011 (lihat Tabel
2). Namun jika dilihat dari rasio elektrifikasi
berdasarkan wilayah maka masih terdapat
kesenjangan
yang
cukup
mencolok.
Beberapa daerah seperti Nusa Tenggara,
Maluku dan Papua menunjukkan angka
yang sangat rendah dalam hal ini. Bahkan
JESP V ol. 5, No.1, 2013
Sumatera dan Kalimantan yang notabene
sebagai daerah penghasil sumber energi pun
menunjukkan rasio elektrifikasi yang rendah
(lihat Tabel 3).
Tabel 3.
Rasio Elektrifikasi berdasarkan Pulau Utama (2004)
Pulau
Jumlah Penduduk (juta jiwa) Rasio Elektrifikasi (%)
74
128,7
Jawa
86
3,4
Bali
57
45,3
Sumatera
59
11,9
Kalimantan
61
15,6
Sulawesi
33
8,2
Nusa Tenggara
54
2,1
Maluku
22
2,3
Papua
Total
217,7
Rata-rata = 67
Sumber: World Bank, 2005
Bahkan di Jawa sendiri juga masih
banyak daerah yang belum terjangkau oleh
jaringan listrik khususnya di daerah
pedesaan. Sebagai contoh pembangunan
jaringan listrik pedesaan di Jawa Barat dan
Banten tersendat karena PT PLN (persero)
tidak memiliki anggaran untuk program itu.
Padahal dari sisi pembangkitan, PLN tidak
kekurangan karena masih tersedia 27.000
unit pembangkit yang cukup untuk
memeratakan elektrifikasi ke seluruh
pedesaan.
Dampaknya,
selain
rasio
elektrifikasi rendah, konsumsi per kapita
juga masih rendah dan hingga akhir tahun
2012, tingkat elektrifikasi di Jawa Barat dan
Banten baru 73 persen. Sungguh ironis
mengingat Jawa Barat dan Banten yang
jaraknya tidak jauh dari Jakarta, tingkat
elektrifikasinya lebih rendah dari Provinsi
Aceh yang sudah mencapai 95 persen.
Apalagi Jawa Barat memiliki tiga PLTA
besar yang bersumber dari sungai Citarum,
yaitu Jatiluhur, Saguling, dan Cirata.
Kebutuhan energi listrik pada suatu
daerah didorong oleh tiga faktor utama
antara lain: pertumbuhan ekonomi, program
elektrifikasi, dan pengalihan captive power
ke jaringan PLN. Ketika terjadi proses
pertumbuhan ekonomi maka terjadilah
peningkatan produksi barang dan jasa.
Proses tersebut jelas membutuhkan tenaga
listrik sebagai salah satu input dalam proses
produksi – disamping berbagai input
lainnya. Dampak lain dari pertumbuhan
ekonomi adalah peningkatan pendapatan
masyarakat yang memicu peningkatan
permintaan
terhadap
barangbarang/peralatan yang membutuhkan energi
listrik untuk mengoperasikannya seperti
radio, TV, AC, lemari es dan lainnya.
Akibatnya permintaan tenaga listrik akan
meningkat.
PT PLN dalam RUPTL 2010-2019
berencana untuk menambah pelanggan baru
yang besar, yaitu rata-rata 2,6 juta per tahun,
sehingga rasio elektrifikasi akan mencapai
91% pada tahun 2019. Penambahan
pelanggan baru tersebut tidak hanya
mencakup mereka yang berada di wilayah
usaha PLN saat ini tetapi juga mencakup
mereka yang berada di luar wilayah usaha.
Namun target ini tampaknya terlihat
ambisius mengingat jumlah pelanggan untuk
kategori industri dan bisnis selama ini
pertumbuhannya cukup rendah (lihat
Tabel4).
13
JESP V ol. 5, No. 1, 2013
Tabel 4.
Jumlah Pelanggan per Kelompok Pelanggan
Tahun
Rumah
Tangga
Industri
Bisnis
Sosial
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
29.997.554
31.095.970
32.174.922
33.118.262
34.684.540
36.025.071
37.099.830
39.324.520
42.577.542
46.818
46.520
46.475
46.366
46.818
47.536
47.900
48.675
50.365
1.310.686
1.382.416
1.455.797
1.655.325
1.610.574
1.716.046
1.879.429
1.912.150
2.049.361
659.034
686.851
716.194
748.558
790.781
838.129
861.067
909.312
963.766
Gedung
Kantor
Pemerintah
83.810
87.187
89.533
92.395
97.886
103.821
114.971
113.676
120.246
Penerangan
Jalan
Umum
53.514
67.502
76.432
90.318
103.130
113.483
114.488
127.054
133.865
Jumlah
∆%
32.151.416
33.366.446
34.559.353
35.751.224
37.333.729
38.844.086
40.117.685
42.435.387
45.895.145
3,87
3,78
3,58
3,45
4,43
4,05
3,28
5,78
8,15
Sumber: Statistik PLN 2011, Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero)
Faktor
ketiga
yang
menjadi
pendorong pertumbuhan permintaan tenaga
listrik PLN adalah pengalihan dari captive
power (penggunaan pembangkit sendiri
berbahan bakar minyak) menjadi pelanggan
PLN. Captive power ini timbul sebagai
dampak dari
ketidakmampuan
PLN
memenuhi permintaan pelanggan di suatu
daerah, terutama pelanggan industri dan
bisnis. Pengalihan captive power ke PLN
juga didorong oleh tingginya harga BBM
untuk membangkitkan tenaga listrik milik
konsumen industri/bisnis, sementara harga
jual listrik PLN relatif lebih murah. Namun
tampaknya, kondisi sistem kelistrikan PLN
saat ini belum memungkinkan melayani
pengalihan dari captive power menjadi
pelanggan PLN.
Konsumsi listrik di Indonesia kurun
waktu 10 tahun terakhir mengalami
peningkatan dengan laju pertumbuhan ratarata 6,5% per tahun. Konsumen utama
energi listrik yaitu sektor industri, rumah
tangga dan komersial. Sektor transportasi
14
(Kereta Rel Listrik, KRL) juga menjadi
salah satu konsumen energi listrik meski
tingkat konsumsinya sangat kecil dan tidak
signifikan karena KRL masih terbatas di
kota-kota besar saja. Secara historis pangsa
konsumsi listrik didominasi oleh sektor
industri, diikuti oleh sektor rumah tangga
dan komersial. Namun sejak tahun 2007,
pangsa konsumsi sektor rumah tangga
sedikit melampaui pangsa sektor industri.
Hal ini kemungkinan terjadi karena
keterbatasan pasokan listrik PLN sehingga
banyak industri membangkitkan listrik untuk
konsumsi sendiri. Kemungkinan lainnya
adalah terjadinya perlambatan pertumbuhan
permintaan
listrik
terkait
dengan
perlambatan pertumbuhan sektor industri itu
sendiri. Dari segi pertumbuhan, sektor
konsumen
listrik
yang
mengalami
pertumbuhan paling pesat akhir-akhir ini
adalah sektor komersial. Dalam 10 tahun
terakhir konsumsi listrik di sektor ini
tumbuh rata-rata 9,8% per tahun.
JESP V ol. 5, No.1, 2013
Gambar 1.
Perkembangan Konsumsi Listrik di Indonesia
Sumber: Indonesia Energy Outlook 2010
Dalam Undang-Undang Nomor 30
tahun 2009 tentang ketenagalistrikan
dinyatakan
bahwasanya
pembangunan
ketenagalistrikan ditujukan untuk menjamin
ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah
yang cukup (availability), kualitas yang baik
(acceptability) dan harga yang wajar
(affordability).
Dalam
pengadaannya,
Undang-Undang mengenai Energi nomor 30
tahun 2007 menyatakan bahwa penyediaan
energi oleh Pemerintah (baik Pusat maupun
Daerah) diutamakan di daerah yang belum
berkembang, daerah terpencil, dan daerah
perdesaan dengan menggunakan sumber
energi setempat, khususnya sumber energi
terbarukan. Beberapa program memang telah
diluncurkan untuk mengimplementasikan hal
tersebut meski tingkat keberhasilannya
cukup rendah. Tabel 5 menunjukkan
kekurangan pasokan listrik konsumsi bagi
masyarakat Indonesia. Tabel ini juga
menunjukkan bahwa tidak semua orang di
Indonesia dapat menikmati listrik. Jumlah
penduduk Indonesia yang belum bisa
menikmati listrik ini, menunjukkan bahwa
Indonesia masih kekurangan pasokan listrik.
Tabel 5.
Konsumsi Listrik di Indonesia serta Estimasi Kekurangan Pasokan Listrik (GWh)
Sumber: Tumiwa, Fabby & Henriette Imelda. 2011
15
JESP V ol. 5, No. 1, 2013
Tabel 6 menunjukkan penjualan listrik per
sektor pelanggan. Terjadi pergeseran
persentase penjualan energi listrik dari yang
semula sebagian besar pembeli dari sektor
industri, sejak tahun 2007 terjadi pergeseran
ke sektor rumah tangga. Dari tabel tersebut
juga dapat dicermati bahwa dengan
didominasinya penjualan listrik oleh sektor
rumah tangga berarti sektor inilah
sebenarnya yang juga menyerap subsidi
listrik terbanyak. Kenaikan harga tarif dasar
listrik bagi kelompok komersial dan industri
– yang digunakan untuk menutup subsidi
bagi sektor rumah tangga, pada akhirnya
menambah beban bagi sektor industri dan
komersial.
Tabel 6.
Penjualan Listrik per Sektor
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012*)
Rumah Tangga
GWh
%
38.588
39
41.184
38
43.753
39
47.325
39
50.184
39
54.945
41
59.825
41
65.110
41
40.905
41
Komersial
GWh
%
15.258
15
17.023
16
18.416
16
20.608
17
22.926
18
24.825
18
27.157
18
28.309
18
17.659
18
Industri
GWh
%
40.324
40
42.448
40
43.615
39
45.803
38
47.969
37
46.204
34
50.985
35
54.725
35
34.763
35
Penerangan
GWh
%
2.045
2
2.221
2
2.414
2
2.586
2
2.761
2
2.888
2
3.000
2
3.064
2
1.820
2
Sosial
GWh
2.238
2.430
2.604
2.909
3.082
3.384
3.700
3.994
2.560
%
2
2
2
2
2
3
3
3
3
Pemerintahan
GWh
%
1.645
2
1.726
2
1.808
2
2.016
2
2.096
2
2.335
2
2.630
2
2.790
2
1.779
2
*) Data realisasi sales PLN status Juli 2012
Sumber: Statistik PLN 2012, Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero)
Masalah lain yang sangat dirasakan
oleh sejumlah pengusaha dan pelanggan
rumah tangga adalah biaya instalasi yang
tidak adil dan besaran daya listrik yang tidak
sepenuhnya dapat dipakai. Beberapa waktu
yang
lalu
KADIN
Jawa
Timur
menyampaikan bahwa sebagian besar dari
perusahaan Jepang di Jawa Timur
mengeluhkan besarnya biaya instalasi untuk
penambahan daya listrik sebuah pabrik.
Untuk penambahan daya itu, sebuah
perusahaan dapat mengeluarkan biaya
hingga ratusan juta rupiah untuk pembelian
trafo, kabel, dan tiang listrik. Para pengusaha
umumnya keberatan karena perangkat listrik
yang harus dibayar itu dipasang di luar
pabrik hingga sejauh 1 kilometer. Jika
perangkat itu berada di dalam area pabrik,
pengusaha tidak akan keberatan. Para
pengusaha dari luar negeri menganggap
pembelian perangkat listrik di tempat public
merupakan tanggung jawab pemerintah atau
perusahaan listrik.
16
Kebutuhan akan listrik yang semakin
meningkat tentu membutuhkan adanya
penambahan unit pembangkit listrik yang
memadai.
Tabel
7
menggambarkan
perkembangan jumlah unit pembangkit
listrik di Indonesia tahun 2003-2011. Data
menunjukkan bahwa justru beberapa tahun
menunjukkan adanya penurunan jumlah unit
pembangkit yaitu tahun 2006 turun 3,32
persen dan tahun 2008 turun 1,26 persen.
Dari semua jenis unit pembangkit masih
didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga
Diesel
yang
menggunakan
BBM.
Pembangkit lain yang juga menyumbang
kontribusi besar terhadap pasokan listrik
adalah PLTU dan PLTG. Sehingga batubara,
gas bumi, dan minyak bumi saat ini masih
berperan sebagai sumber energi primer yang
menjadi tulang punggung ketenagalistrikan
Indonesia. Kebergantungan terhadap minyak
bumi untuk pembangkitan listrik sangat
memberatkan karena meroketnya harga
minyak bumi saat ini.
JESP V ol. 5, No.1, 2013
Tabel 7.
Jumlah Unit Pembangkit Listrik di Indonesia
Tahun
PLTA
PLTU
PLTG
PLTGU
PLTP
PLTD
PLTMG
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
185
190
191
203
196
189
201
199
213
40
41
41
43
45
48
49
55
59
47
55
60
60
54
58
63
73
71
56
51
51
53
60
61
59
50
61
8
8
8
8
9
9
9
11
10
4.543
4.776
4.859
4.670
4.705
4.635
4.626
4.619
4.842
2
2
2
2
2
4
8
4
PLT
Surya
4
8
PLT
Bayu
1
4
3
4
1
Jumlah
∆%
4.879
5.123
5.212
5.039
5.072
5.008
5.014
5.023
5.269
2,37
5,00
1,74
(3,32)
0,65
(1,26)
0,16
0,18
4,90
Sumber: Statistik PLN 2011, Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero)
Pembangkit listrik di Indonesia
terdiri atas pembangkit listrik PLN,
pembangkit listrik swasta, dan sebagian
kecil berupa captive power. Captive power
merupakan
pembangkit
listrik
yang
umumnya dioperasikan oleh pihak industri
dan produksi listriknya selain digunakan
sendiri oleh sektor industry – sebagian di
jual ke PLN. Kapasitas pembangkit PLN
pada tahun 1995 mencapai 14.970 MW
meningkat menjadi 25.593 MW pada tahun
2008 sementara kapasitas IPP tahun 1995
sebesar 1.184 MW , tahun 2008 meningkat
menjadi 8.518 MW . Sedangkan produksi
listrik PLN tahun 1995 sebesar 52.832 GWh
meningkat menjadi 118.047 GWh pada
tahun 2008. Sementara produksi listrik IPP
pada tahun 2005 sebesar 1.288 GWh
meningkat menjadi 31.390 GWh pada tahun
2008.
Tabel 8.
Kapasitas T erpasang menurut Jenis Pembangkit (MW)
Tahun
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
PLTA
3.167,93
3.199,44
3.220,96
3.529,11
3.501,54
3.504,28
3.508.45
3.522,57
3.511,20
PLTU
6.900,00
6.900,00
6.900,00
8.220,00
8.534,00
8.764,00
8.764,00
9.451,50
12.052.50
PLTG
1.224,72
1.481,57
2.723,63
2.727,22
2.783,62
2.496,69
2.570,59
3.223,68
2.839,44
PLTGU
6.863,22
6.560,97
6.280,97
7.020,97
7.020,97
7.370,97
7.370,97
6.951,32
7.833,97
PLTP
380,00
395,00
395,00
395,00
415,00
415,0
415,00
438,75
435,00
PLTD
2.670,42
2.911,43
2.994,54
2.941,91
2.956,25
3.020,88
2.980,63
3.267,79
2.568,54
PLTMG
12,00
12,00
12,00
12,00
21,84
26,00
38,84
25,94
PLT
Surya
0,19
1,23
PLT Bayu
0,10
0,26
1,06
0,34
0,34
Jumlah
21.206,29
21.470,41
22.515,09
24.834,21
25.223,48
25.593,92
25.636,70
26.894,98
29.268,16
∆%
0,45
1,25
4,87
10,30
1,57
1,47
0,17
4,91
8,82
Sumber: Statistik PLN 2011, Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero)
Selama ini energi panas bumi
utamanya dimanfaatkan untuk pembangkit
listrik. Dibandingkan sumberdaya yang
dimiliki, kapasitas terpasang Pembangkit
Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)
Indonesia masih rendah yaitu hanya 1052
MWe (4% dari total sumberdaya). Selain
untuk pembangkit listrik energi panas bumi
dapat juga dimanfaatkan untuk penyediaan
energi
thermal
pada
proses-proses
pengolahan produk pertanian. Produksi
listrik panas bumi pada tahun 2000 adalah
sebesar 4869 GWh. Pada tahun 2009
produksi listrik panas bumi mencapai 9295
GWh. Produksi listrik panas bumi cenderung
meningkat namun pangsa listrik panas bumi
cenderung menurun. Hal ini disebabkan
pertumbuhan
PLTP
kalah
cepat
dibandingkan
dengan
pertumbuhan
pembangkit lainnya.
17
JESP V ol. 5, No. 1, 2013
Tabel 9.
Energi yang Diproduksi (GWh)
*) termasuk PLTMG
Sumber: Statistik PLN 2011, Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero)
Secara geografis letak Indonesia
yang berada di cincin api penuh dengan
gunung berapi ternyata tidak selalu berada
dalam keadaan yang membahayakan. Di
balik berbagai risiko bencana alam ternyata
juga menyimpan potensi sumber energi yang
luar biasa besarnya. Panas bumi yang
berlimpah di dalamnya menjadi sumber
listrik yang tidak akan habis dan bisa
menjadi salah satu solusi dari krisis energi
listrik di Indonesia.
Indonesia tercatat memiliki potensi
panas bumi terbesar di dunia, yakni 28.000
megawatt (MW) atau 40 persen cadangan
dunia, yang tersebar di 250 lapangan.
Namun, upaya pemanfaatan energi panas
bumi berjalan sangat lambat. Kapasitas
terpasang saat ini baru 1.226 MW atau 4
persen dari total potensi. Posisi Indonesia
jauh di bawah Filipina sebesar 2.000 MW
(33 persen) dari potensi 6.000 MW dan AS
2.700 MW (13 persen) dari potensi 23.000
MW . Berdasarkan distribusi produksi energi
listrik tahun 2012, panas bumi memberi
18
kontribusi sebesar 4,79 persen. Kontribusi
terbesar masih dipegang oleh batubara
sebesar 51,40 persen, disusul dengan gas
(23,18 persen) dan BBM (13,83 persen).
Perhatian
pemerintah
pada
pemanfaatan potensi panas bumi masih
sangat kurang. Harta ini dibiarkan terkubur
daripada dimunculkan sebagai penyelamat
defisit APBN akibat impor BBM. Setiap
tahun, negara menghabiskan triliuan rupiah
untuk subsidi listrik. Pada APBN 2012,
subsidi energi Rp168,5 triliun yang terdiri
dari subsidi BBM Rp123,5 triliun dan
subsidi listrik Rp45 triliun. Dalam APBN
Perubahan
2012,
subsidi
energy
membengkak menjadi Rp225 triliun untuk
subsidi BBM Rp137,37 triliun dan listrik
Rp65 triliun (cadangan fikcal Rp 23 triliun).
Dalam APBN 2013, subsidi energi menjadi
Rp274,7 triliun. Dari besaran itu, subsidi
BBM Rp 193,8 triliun dan subsidi listrik
Rp80,9
triliun.
Mutlak
diperlukan
peningkatan efisiensi terhadap biaya
operasional PT PLN. Temuan audit BPK
JESP V ol. 5, No.1, 2013
tentang pemborosan pengelolaan energi
primer di PLN tahun 2009/2010 yang
mencapai Rp37 triliun tidak dapat dipandang
enteng.
Kapasitas terpasang panas bumi
mestinya dapat ditingkatkan sampai 800
persen, yakni dari 300 MWe (setara
megawatt) menjadi 2.090 MWe tahun 20142015 untuk memenuhi kebutuhan listrik
yang meningkat dan efisiensi biaya
pembangkitan energi listrik. Dengan
pengembangan itu, kapasitas terpasang
pembangkit listrik tenaga panas bumi
ditingkatkan dari 402 MW menjadi 8001.000 MW . Akan ada penghematan minyak
mentah sebanyak 50.000 barrel per hari atau
senilai 1,82 miliar dollar AS per tahun. Hal
ini didasarkan pada biaya pembangkitan
yang sangat murah untuk PLTP (lihat Tabel
10)
Tabel 10.
Biaya Pembangkitan Rata-rata (Rp/kWh)
Tahun
PLTA
PLTU
PLTD
PLTG
2006
143,19
389,48
1.631,36
1.999,15
2007
118,80
405,91
2.438,47
2.155,67
2008
131,60
597,26
3.578,25
3.298,03
2009
139,48
598,31
2.696,52
1.422,71
2010
98,02
559,22
2.043,71 *)
1.594,93
2011**)
155,79
588,47
2.536,85
2.260,96
*) Angka revisi tahun 2010
**) tahun 2011 tidak termasuk sewa pembangkit
Sumber: Statistik PLN 2011, Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero)
Penutup
Beberapa alternatif penyelesaian
dalam jangka pendek dan panjang terkait
dengan permintaan dan penawaran energi
listrik antara lain: pertama, terus mendorong
upaya penghematan energi oleh semua
segmen konsumen. Pemerintah sendiri dapat
melakukan persuasi penghematan melalui
berbagai insentif dan peraturan yang lebih
nyata misalnya dimulai dengan penghematan
di kantor-kantor pemerintah, BUMN, dan
fasilitas umum. Upaya menghemat 1 MW
energi listrik jauh lebih mudah dan murah
daripada membangkitkannya
Kedua, mengupayakan pengurangan
beban puncak dengan memanfaatkan
pembangkit cadangan yang banyak dimiliki
konsumen.
Pemanfaatan
pembangkit
cadangan
bisa
menunda
perlunya
pembangunan pembangkit dan saluran
transmisi. Beban puncak juga bisa dikurangi
dengan menerapkan sistem insentif bagi
pelanggan yang mengurangi penggunaan
PLTP
579,74
615,10
746,61
639,87
701,39
792,61
PLTGU
889,33
873,80
1.278,45
739,79
788,46
960,58
Rata-rata
705,96
706,62
1.051,84
767,79
795,59
1.051,14
listriknya di waktu beban puncak. Langkah
ini bisa segera diambil untuk mengatasi
pemadaman bergilir yang sering terjadi dan
mengurangi antrian pelanggan baru.
Langkah ini memang terkesan mengalihkan
tanggung jawab pemerintah ketika tidak
mampu menyediakan listrik dengan baik.
Namun dalam jangka pendek alternatif ini
dapat dilaksanakan dengan catatan tidak
boleh terus-menerus.
Ketiga,
mendorong
munculnya
produsen listrik swasta yang mampu menjual
listrik berdasarkan kwalitas tanpa subsidi.
Pemerintah dapat memberikan insentif bagi
mereka yang dapat memproduksi listrik
dengan memanfaatkan energi terbarukan
yang ramah lingkungan. Potensi panas bumi
dan gas di Indonesia sangatlah luar biasa,
tinggal bagaimana pemerintah memfasilitasi
pemanfaatannya. Program membangun
pembangkit dengan memanfaatkan energi
terbarukan yang sesuai untuk masing-masing
daerah juga perlu ditingkatkan. Banyak
19
JESP V ol. 5, No. 1, 2013
daerah yang belum mendapatkan akses
listrik, namun memiliki potensi yang cukup
besar untuk dibangun PL TMH.
Keempat, memaksimumkan produksi
dari pembangkit dan saluran transmisi
eksisting yang telah ada. Fasilitas yang
sudah dibangun dengan biaya mahal harus
dipelihara
dan
dimanfaatkan
secara
maksimum. Pemerintah harus meminta PLN
menurunkan losses jaringan yang saat ini
masih di atas 10 persen. Penurunan kapasitas
pembangkit hidro karena pendangkalan
harus segera diperbaiki.
Kelima, dalam jangka panjang,
pemerintah dapat mendorong penggunaan
sumber-sumber energi yang tersedia lokal di
setiap daerah. Setiap daerah mempunyai
potensi yang berbeda-beda. Setiap daerah
diupayakan untuk mengandalkan energi
lokal sebagai sumber energi utama. Sat ini,
subsidi sangat besar karena setiap daerah
dipaksa menggunakan pembangkit yang
bahan bakarnya tidak terdapat di daerah
tersebut. Di samping itu, selama ini tingkat
losses jaringan yang tinggi disebabkan jarak
yang sangat jauh antara pembangkit dengan
konsumen yang menggunakannya.
Keenam, terkait dengan Sumber
Daya Manusia yang ahli di dunia kelistrikan
perlu mendapat perhatian dari pemerintah.
Pemerintah perlu menyiapkan SDM yang
mampu bekerja dengan iklim kelistrikan
yang baru melalui penyediaan layanan
pendidikan yang handal di bidang
kelistrikan. Perkembangan kebutuhan energi
listrik
secara
nasional
jelas
akan
membutuhkan semakin banyak SDM yang
handal. Sementara pemenuhan kebutuhan
20
SDM yang handal akhir-akhir ini kurang
mendapat perhatian yang memadai.
Daftar Pustaka
Basri, Faisal & Haris Munandar. 2009.
Lanskap Ekonomi Indonesia: Kajian
dan Renungan terhadap Masalahmasalah Struktural, Transformasi
Baru, dan Prospek Perekonomian
Indonesia. Cetakan ke-1. Jakarta:
Kencana
Data Pokok APBN 2006-2012. Kementerian
Keuangan Republik Indonesia
Indonesia Energy Outlook 2010. Pusat Data
dan Informasi Energi Sumber Daya
Mineral Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral Republik
Indonesia.
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
(RUPTL) PT PLN (Persero) 20102019
Statistik PLN 2009. Sekretariat Perusahaan
PT PLN (Persero)
Statistik PLN 2010. Sekretariat Perusahaan
PT PLN (Persero)
Statistik PLN 2011. Sekretariat Perusahaan
PT PLN (Persero)
Tumiwa, Fabby & Henriette Imelda. 2011.
Kemiskinan Energi: Fakta-fakta yang
Ada di Masyarakat. Institute for
Essential Services Reform (IESR)
Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang
Energi
Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan
World Bank. 2005. Electricity for All:
Option for Increasing Access in
Indonesia.
2005
JESP V ol. 5, No.1, 2013
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PERAN
KARAKTERISTIK REGIONAL DI JA W A TIMUR
(PERIODE 2000-2009)
Basuki Prasetiyo Kurniawan
Mardhono
Abstract
The aims of this study is to know the influence of agglomeration in East Java. The data
consists of 38 regions in which 29 of them are districts and 8 of them are cities during the
2000-2009 periods. The data used in this study is secondary data in the form of numbers so
that this study will lead to quantitative study. Based on the characteristics of the problem,
this study is categorized into causal-comparative study. The type of the data is panel data
and the method used is GLS (General Least Square) to process the panel data calculation.
Several factors which influence the economic growth are the agglomeration (X1), the labor
(X2), the inflation (X3), openness rate (X4), and human capital (X5). The conclusion of this
study is that the economic growth in East Java is influenced by either agglomeration and
education (human capital) that have positive effect with significant value, and also the
inflation and export (openness rate), although the value is not significant. Agglomeration,
labor , and education (human capital) are the ones which have the positive relationship with
the economic growth. Therefore, it is expected that the local government can create
employments in industrial sector and increase the quality of the education in East Java so
that the good economic growth can be obtained.
Keywords: Agglomeration, Human Capital, Economic Growth, and Pane Data.
Aglomerasi
dan
pertumbuhan
ekonomi sudah menjadi fakta, yaitu
sebagai cermin atau gambaran perbedaan
pembangunan di Indonesia. Disparitas
antar daerah tidak terlepas dari perbedaan
pembangunan yang ada di tiap-tiap daerah.
Ketimpangan yang terjadi di Indonesia
jelas
memberikan
masalah
dalam
hubungan antar daerah. Perbedaan yang
terjadi tidak terlepas dari fenomena
aglomerasi dan pertumbuhan ekonomi di
tiap-tiap daerah. Persebaran sumber daya
yang tidak merata dapat menimbulkan
perbedaan dalam laju pertumbuhan
ekonomi antar daerah. Aglomerasi, baik itu
aktifitas ekonomi dan penduduk di
perkotaan menjadi obyek pembahasan
dalam pemecahan permasalahan yang
dihadapi
oleh
pembangunan
kota
(Krugman, 1998). Oleh karena itu dapat
dikatakan
bahwa
aglomerasi
dan
pertumbuhan
ekonomi
mampu
menjelaskan perbedaan pembangunan yang
ada di Indonesia.
Terdapat
kesamaan
karakteristik
kota/kabupaten di Jawa Timur di antaranya
adalah pengalaman historis, kawasan
(administrasi Provinsi Jawa Timur), dan
kekuasaan pemerintahan tingkat provinsi.
Nilai positif dari kesamaan karakteristik
regional Jawa Timur. Pertama, Jawa Timur
memiliki kesamaan historis dari setiap
daerah di wilayahnya (kota/kabupaten)
dimana hal ini akan mempengaruhi
interaksi
antar
kota/kabupaten
di
wilayahnya. Kesamaan historis dan
__________________________________________
Alamat Korespondensi :
Basuki Prasetiyo K: Mahasiwa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang
Email : [email protected]
Mardhono. Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang
Email : [email protected]
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
masalah yang dihadapi akan mendorong
terciptanya kesadaran regional dan
identitas yang sama. Kedua, terdapat
keterkaitan yang sangat erat di antara
kota/kabupaten di Jawa Timur, dengan
kata lain terdapat sebuah batas kawasan
dalam interaksi di antra mereka atau
dimensi ruang. Ketiga, terdapat kebutuhan
bagi kota/kabupaten untuk menciptakan
propinsi yang dapat membentuk kerangka
aturan untuk mengatur interaksi di antara
mereka
dalam
rangka
menujuk
pembangunan ekonomi yang lebih baik.
Skripsi ini akan memfokuskan pada
analisis aglomerasi dengan memadukan
peran karakteristik Propinsi Jawa Timur
yaitu berdasarkan laju angkatan kerja, laju
inflasi, laju Openness, dan human capital
terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa
Timur
(laju
pertumbuhan
PDRB
berdasarkan harga kostan 2000) menurut
kota/kabupaten.Dari fenomena di atas,
peneliti
tertarik
untuk
melakukan
penelitian aglomerasi, pertutumbuhan
ekonomi, dan faktor lain yang berkaitan, di
mana masih terdapat banyak perbedaat
antar daerah di Jawa Timur. Jawa Timur
dipilih karean Jawa Timur merupakan
provinsi yang memiliki perekonomian
yang kuat dan telah mengimbangi kondisi
perekonomian DKI Jakarta. Jawa Timur,
berdasarkan 9 kota dan 29 kabupaten
merupakan objek penelitian karena peneliti
berasumsi bahwa perubahan dalam taraf
regional akan menjadi penentu gerbang
perekonomian suatu negara, sehingga
pengkajian lebih mendalam dalam lingkup
kecil dalam hal ini regional akan dapat
membawa dampak besar bagi negara.
Metode Penelitian
Data yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan data sekunder
dalam bentuk angka sehingga penelitian ini
mengarah kepada penelitian kuantitatif.
Menurut desain penelitiannya, penelitian
ini termasuk penelitian eksplanatif
(explanatory research) . Penelitian
eksplanatif merupakan penelitian yang
menguji hubungan antar variabel. Dalam
22
penelitian ini terdapat lima variabel bebas
yaitu aglomerasi, pendidikan, tenaga kerja,
inflasi, dan ekspor yang akan diteliti untuk
mengetahui
hubungannya
dengan
pertumbuhan ekonomi (PDRB) yang
merupakan variabel terikat. Jadi penelitian
ini termasuk penelitian eksplanatif karena
dirancang untuk menguji pengaruh antar
variabel yaitu aglomerasi (X1), tenaga
kerja (X2) ekspor (X 3), inflasi(X4), dan
pendidikan (X5) sebagai variabel bebas,
serta pertumbuhan ekonomi (Y) sebagai
variabel terikat melalui pengujian suatu
hipotesis.
Berdasarkan karakteristik masalah,
penelitian ini tergolong penelitian kausalkomparatif
(Causal-Comparative
Research) yakni tipe penelitian dengan
karakteristik masalah berupa hubungan
sebab-akibat antara dua variabel atau lebih
(Indriantoro dan Supomo, 1999: 27).
Sedangkan apabila dilihat dari bentuk data
yang diambil, penelitian ini merupakan
penelitian kuantitatif, yaitu penelitian yang
menggunakan “data yang berbentuk angka.
Jenis data untuk penelitian ini
adalah data sekunder yaitu data yang
diperoleh dari pihak lain atau data yang
sudah diolah atau dipublikasikan oleh
berbagai instansi pemerintah dan data
primer, yaitu data yang diambil secara
langsung pada tempat yang diteliti (BPS
Provinsi Jawa Timur).Sedangkan datayang
utama digunakan dalam penelitian adalah
data sekunder berupa data panel dengan
kurun waktu 2000 – 2009 untuk Provinsi
Jawa Timur.
Metode yang digunakan dalam
menganalisis data pada penelitian ini
dengan
menggunakan
Software
Ekonometrika yaitu Eviews 7 untuk
melakukan uji asumsi klasik, serta uji
regresi terhadap variabel bebas yang ada.
Dalam penelitian ini, menggunakan
metode
Commonyang
diestimasi
menggunakan
metode
GeneralizedLeastSquare
(CrossSection
Weighting).
JESP V ol. 5, No.1, 2013
Hasil dan Pembahasan
Gambaran Umum Provinsi Jawa Timur
Pemerintahan
Propinsi Jawa Timur dibentuk dengan
Undang-undang
Negara
Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 1950, yang
ditetapkan tanggal 2 Februari 1950,
merupakan gabungan dari pemerintahan
daerah karisidenan Surabaya, Madura,
Besuki, Malang, Kediri, Madiun, dan
Bojonegoro. Ibukota propinsi Jawa Timur
adalah Surabaya. Provinsi Jawa Timur,
sedangkan luas Pulau Madura hanya
sekirtar 10 persen. Luas wilayah Provinsi
Jawa Timur yang mencapai 47.156 km2
yang hingga sampai karya skripsi ini
ditulis, Provinsi Jawa Timur terbagi
menjadi 38 Kabupaten/Kota dimana 29
adalah Kabupaten dan 9 adalah Kota.
Secara umum, wilayah Provinsi Jawa
Timur terbagi menjadi 2 bagian besar,
yaitu Jawa Timur daratan dan Pulau
Madura. Keseluruhan luas wilayah Jawa
Timur daratan hampir mencakup 90 persen
dari seluruh
Provinsi
Jawa
Timur
yang
merupakan salah satu bagian dari NKRI,
tentu memiliki system pemerintahan yang
sama dengan kebanyakan provinsi-provinsi
lainnya di NKRI. Unit pemerintahan yang
dikoordinir oleh provinsi secara langsung
adalah kabupaten/kota terdiri dari beberapa
kecamatan. Sedangkan kecamatan terbagi
lagi menjadi beberapa desa.
Deskripsi Variabel
Perekonomian di Jawa Timur
sampai tahun 2009 didasarkan pada PDRB
atas harga konstan 2000 menunjukkan
kondisi yang menggembirakan. Hal ini
dapat dilihat dalam kurun waktu 10 tahun
(2000 – 2009) telah terjadi peningkatan
PDRB dari RP202.830.063,03 pada tahun
2009 menjadi Rp 320.210.547,65 atau naik
sebesar
Rp
117380484.62.
Gambar 1 :
Struktur PDRB Jawa Timur
23
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
Analisis aglomerasi menggunakan
indeks balasa, semakin tinggi nilai indeks
Balasa menunjukkan aglomerasi yang
semakin kuat. Aglomerasi dikatak kuat
apabila angka indeks balassa di ata 4, ratarata atau sedang bila nilainya antara 2 dan
4, lemahbila nilainya diantara 1 sampai 2,
sedangkan nilai 0 sampai satu berate tidak
terjadi aglomerasi atau wilayah tersebut
tidak memiliki keunggulan komeratif
untuk terjadinya aglomerasi.
Tenaga kerja disadari merupakan
salah
satu
modal
utama
dalampembangunan.
Definisi
yang
diberikan BPS mengenai penduduk usia
kerja adalah mereka yang berumur 10
tahun ke atas, dan dibedakan lagi menjadi
angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.
Angkatan kerja adalah penduduk pada usia
kerja yang sedang atau mencari pekerjaan.
Laju pertumbuhan penduduk tentunya juga
akan mempengaruhi keadaan angkatan
kerja. Dalam susenas kependudukan dan
tenaga kerja, di Jawa Timur hingga tahun
2009 terdapat 19,3 juta jiwa tenaga kerja.
Bila melihat tenaga kerja sektor industry
berdasarkan data Susenas maka dapat
disimpulkan bahwa jumlah tenaga kerja
sektor industry antara tahun 2000 – 2009
cenderung stagnan.
Dapat diketahui bahwa pada tahun
2000 jumlah tenaga kerja di sektor industry
2223662 pekerja dan pada tahun 2009
jumlahnya menjadi 2385686. Jadi dapat
disimpulkan perkembangan tenaga kerja
industri di Jawa Timur selama periode
2000 – 2009 pertumbuhannya tidak terlalu
besar.
Perkembangan
jumlah
murid
SMA/Sederajad cenderung fluktuatif.
Sepanjang tahun 2000 hingga 2009 terjadi
peningkatan jumlah murid SMA/sederad.
Pada tahun 2004 terjadi penurunan jumlah
murid. Namun pada tahun 2005 ke atas
jumlah murid mengalami pertumbuhan
positif.
Perkembangan nilai ekspor Jawa
Timur terus mengalami peningkatatan
secara signifikan mulai tahun 2003.
24
Namun peningkatan yang ini terhenti
ketika memasuki nilai puncak sepanjang
tahuyn 2007. Pada tahun 2008 nilai ekspor
Jawa Timur terus mengalami penurunan.
Keaadaan inflasi Jawa Timur
cenderung fluktuatif. Titik tertinggi inflasi
antara tahun 2000 – 2009 terjadi pada
bulan oktober tahun 2005.
Uji Asumsi Klasik
Uji Multikolinieritas
Menurut
Winarno
(2007:5.1)
multikolinieritas adalah kondisi adanya
hubungan linier variabel independen.
Karena melibatkan beberapa variabel
independen, maka multikolinieritas tidak
akan terjadi pada persamaan regresi
sederhana.
Kodisi
terjdainya
multikolinieritas
ditunjukkan
dengan
berbagai informasi beriku:
a. Nilai R2 tinggi tetapi variabel
independen
banyak
yang tidak
signifikan.
b. Dengan menghitung koefisien korelasi
antarvariabel
independen.
Apabila
koefisiennya rendah, maka tidak
terdapat multikolinieritas.
c. Dengan melakukan regresi auxiliary.
Regresi jenis ini dapat digunakan untuk
mengetahui hubungan antara dua (atau
lebih).
Ada beberapa alternatif untuk
menghadapi masalah multikolinieritas.
Seperti diungkapkan oleh Winarno
(2007:5.7) yaitu:
a. Membiarkan
model
mengandung
multikolinieritas, karena estimatornya
masih dapat bersifat BLUE. Sifat BLUE
tidak terpengaruh oleh ada tidaknya
korelasi
antarvariabel
independen.
Namun
harus
diketahui
bahwa
multikolinieritas akan menyebabkan
standart error yang besar.
b. Menambahkan
data
bila
memungkinkan,
karena
masalah
multikolinieritas
biasanya
muncul
karena jumlah observasinya sedikit.
Apabila datanya tidak dapat ditambah,
JESP V ol. 5, No.1, 2013
teruskan dengan model yang sekarang
digunakan.
c. Hilangkan
salah
satu
variabel
independen, terutama yang memiliki
hubungan linier yang kuat dengan
variabel lain. Namun apabila menurut
teori variabel independen tersebut
tidak mungkin dihilangkan, berarti
harus tetap dipakai.
d. Transformasikan salah satu atau
beberapa variabel.
menunjukkan
ketidaksesuaian
model
dengan keadaan yang sesungguhnya.
Penggunaan
Software
Ekonometrika Eviews yang digunakan
dalam
penelitian
ini
yang
telah
menggunakan metode Generalized Least
Square (Cross Section Weighting) yang
mengasumsikan bahwa residual observasi
crosssectional bersifat heteroscedastik dan
tidak mengandung autokorelasi seperti
diungkapkan dalam Hadi (2008).
Uji Heterokedastisitas dan Uji
Autokorelasi
Dalam penelitian ini, analisis
dilakukan
dengan data panel dengan
model regresi fixed effect (efek tetap).
Menurut Winarno (2007:9.14) menjelaskan
bahwa model regresi fixed effect (efek
tetap) merupakan model regresi yang dapat
menunjukkan
perbedaan
konstan
antarobjek meskipun dengan koefisien
regresor
yang
sama.
Efek
tetap
dimaksudkan bahwa satu objek memiliki
konstan yang tetap besarnya untuk
berbagai periode waktu. Motode ini
digunakan untuk mengatasi kelemahan
asumsi metode common effect di mana
Pengujian Hipotesis Penelitian
Pengujian
hipotesis
dalam
penelitian ini menggunakan analisis data
panel (pooleddata). Pengujian ini bertujuan
untuk
melihat
pengaruh
variabel
independen terhadap variabel dependen
baik secara langsung maupun tidak
langsung serta kemampuan model dalam
menjelaskan pengaruh aglomerasi, tenaga
kerja, ekspor, inflasi, dan pendidikan
terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah
(PDRB).
Model Persamaan Regresi
Untuk
mengetahui
persamaan
regresi dari penelitian ini, dapat dilihat
dalam tabel berikut.
25
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
Dependent V ariable: PDRB
Method: Panel EGLS (Period weights)
Date: 12/18/11 Time: 19:14
Sample: 2000 2009
Periods included: 10
Cross-sections included: 35
Total panel (unbalanced) observations: 348
Linear estimation after one-step weighting matrix
V ariable
Coefficient
C
-5970009.
AGGLOMERASI 2831784.
TENAGA_KERJA 4.237149
EKSPOR
-0.095872
INFLASI
-439534.7
PENDIDIKAN
343.4049
Std. Error
t-Statistic
1697920. -3.516073
730963.5 3.874044
1.388746 3.051060
0.164070 -0.584340
1110495. -0.395801
19.24204 17.84659
Prob.
0.0005
0.0001
0.0025
0.5594
0.6925
0.0000
W eighted Statistics
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.701797
0.697438
6262448.
160.9743
0.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
7318379.
11375096
1.34E+16
0.201663
Unweighted Statistics
R-squared
Sum squared resid
0.693406
1.35E+16
Dari hasil perhitungan regresi
dengan Eviews menggunakan metode
Generalized Least Square (Cross Section
Weighting) dalam tabel 4.6 tersebut di atas
dapat diperoleh persamaan regresi sebagai
berikut:
Y = -5970009 + 2831784 X1 + 4,237149
X2 - 0,095872 X3 - 439534,7 X4 +
343,4049 X5
26
Mean dependent var
Durbin-Watson stat
7097304.
0.258552
Adjusted R Square
Berdasarkan tabel diatas, diperoleh
nilai adjusted R square sebesar 0,697438.
Hal ini berarti bahwa pengaruh variabel
aglomerasi, tenaga kerja, ekspor, inflasi,
dan pendidikan mampu menjelaskan
variabel pertumbuhan ekonomi sebesar
69%. Sedangkan sisa Adjusted R square
sebesar31% dijelaskan oleh variabel lain
yang tidak dimasukkan dalam model
persamaan.
JESP V ol. 5, No.1, 2013
Uji t (Uji Regresi secara Parsial)
Berdasarkan hasil analisis uji t di
atas, diketahui bahwa variabel aglomerasi
mempunyai nilai t hitung 3,874044> dari t
tabel sebesar 1,960 dengan tingkat
signifikansi 0,0001 lebih kecil dari α =
0,05 berarti H 0 ditolak dan menerima H1.
Hal ini menunjukkan bahwa variabel
aglomerasi mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
(PDRB). V ariabel tenaga kerja mempunyai
nilai t hitung 3,051060> dari t tabel sebesar
1,960
dengan
tingkat
signifikansi
0,0025lebih kecil dari α = 0,05 berarti H 0
ditolak dan menerima H1. Hal ini
menunjukkan bahwa variabel tenaga kerja
mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB).
V ariabel ekspor mempunyai nilai t hitung 0,584340< dari t tabel sebesar 1,960
dengan tingkat signifikansi 0,5594 lebih
besar dari α = 0,05 berarti H 0 diterima dan
menolak H1. Hal ini menunjukkan bahwa
variabel ekspor tidak mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi (PDRB). V ariabel
inflasi
mempunyai nilai t hitung -0,395801< dari t
tabel sebesar 1,960 dengan tingkat
signifikansi 0,6925 lebih besar dari α =
0,05 berarti H 0 diterima dan menolak H1.
Hal ini menunjukkan bahwa variabel
efisiensi sektor publik tidak mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi (PDRB). V ariabel
efisiensi sektor pendidikan mempunyai
nilai t hitung 17,84659> dari t tabel sebesar
1,960 dengan tingkat signifikansi 0,0000
lebih kecil dari α = 0,05 berarti H 0 ditolak
dan memenerima H1. Hal ini menunjukkan
bahwa variabel efisiensi sektor publik
mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB).
Ini berarti variabel aglomerasi, tenaga
kerja, dan pendidikan berpengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
daerah(PDRB).
Uji F (Uji Regresi secara Simultan)
Uji F digunakan untuk menguji
pengaruh variabel independen terhadap
variabel dependen secara bersama-sama
dan menguji hipotesis:
Ho : aglomerasi, tenaga kerja, ekspor,
inflasi, dan pendidikan tidak
berpengaruh
positif
signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi
(PDRB).
Ha : aglomerasi, tenaga kerja, ekspor,
inflasi, dan pendidikan berpengaruh
positif
signifikan
terhadap
pertumbuhan ekonomi (PDRB).
Berdasarkan hasil analisis uji F ,
diperoleh nilai F hitung
> F tabel
(160,9743>
2,55)
dengan
tingkat
signifikansi 0.000000, maka dapat
disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha
diterima yang berarti ada pengaruh yang
signifikan dari , tenaga kerja, ekspor,
inflasi,
dan
pendidikan
terhadap
pertumbuhan ekonomi (PDRB). Nilai
positif pada F hitung menunjukkan
pengaruh yang searah. Berdasarkan
analisis tersebut, maka dapat disusun
hipotesisi sebagai berikut.
27
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
SIMPULAN
1
PERNYATAAN
Aglomerasi berdampak positif-tidak signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi (PDRB)
2
Tenaga Kerja berdampak positif-signifikan
pertumbuhan ekonomi (PDRB)
terhadap
3
Ekspor berpengaruh negatif-tidak
pertumbuhan ekonomi (PDRB)
signifikan
terhadap
4
Inflasi berpengaruh negatif-tidak
pertumbuhan ekonomi (PDRB)
signifikan
terhadap
5
Pendidika
berpengaruh
positif-signifikan
pertumbuhan ekonomi (PDRB)
Penutup
Berdasarakan uraian pembahasan
pada bab sebelumnya, maka dapat
disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi
(PDRB) Jawa Timur ditentukan baik oleh
aglomerasi, tenaga kerja, pendidikan yang
berpengaruh positif dengan nilai yang
signifikan serta ekspor dan inflasi
walaupun nilainya tidak signifikan. Secara
parsial, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Dari analisa dan pembahasan, dapat
ditari
kesimpulan
bahwa
pertumbuhan ekonomi di Jawa
Timur
cenderung
mengalami
kenaikan dari tahun ke tahun.
2. Pertumbuhan ekonomi berbanding
lurus dengan glomerasi, tenaga kerja,
dan pendidikan.
3. Jawa Timur cenderung katagori
propinsi
yang
belum
terjadi
aglomerasi, karena sekala angka
aglomerasi hanya sekitar 0 samai
dengan 2.
4. Aglomerasi di Provinsi Jawa Timur
memiliki pengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi Jawa Timur.
5. V ariable ekspor memiliki pengaruh
yang negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi Jawa Timur. Pengaruh
negatif ekspor tidak sepenuhnya
mutak benar, karena pengaruh yang
28
terhadap
diberikan terhadap pertumbuhan
ekonomi tidak signifikan.
6. V ariabel pendidikan berpengaruh
sangat
signifikan
terhadap
pertumbuhan ekonomi.
7. V ariable tenaga kerja berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi.
Berdasakan pada hasil penelitian juga
dapat dirumuskan berbagai rekomendasi
sebagai berikut ini :
1. Pemerintah
sebaiknya
memperhatikan masalah pendidikan.
Karana pendidikan sudah sangat
jelas memberikan dampak yang
positif bagi perekonomian misalnya
saja pertumbuhan ekonomi.
2. Pentingnya peningkatan kualitas dan
pelatihan tanaga kerja agar tenaga
kerja memberikan kontribusi yang
positif
terhadap
pertumbuhan
ekonomi.
3. Aglomerasi
sebaiknya
dapat
ditingkatkan
dengan
cara
membangun
sentra-sentra
atau
kahwasan yang dikususkan untuk
industri. Oleh karena itu penting
sekali suatu hubungan kerjasama
yang baik antara propinsi dan
kabupaten/kota
mengenai
infrastruktur
yang
mendukung
terjadinya pertumbuhan industry di
Provinsi Jawa Timur.
JESP V ol. 5, No.1, 2013
4.
Perusahaan perlu memikirkan upayaupaya untuk lebih meningkatkan
semangat kerja karyawannya, yaitu
dengan memperhatikan faktor-faktor
lain yang turut mempengaruhi
semangat
kerja
karyawan.
Contohnya, gaji yang diberikan harus
sesuai dengan UMR (upah minimum
regional)
serta fasilitas
yang
disediakan harus dapat memberikan
keamanan dan kenyamanan bagi
karyawan.
Daftar Rujukan
Adisasmita, Raharjo H. 2005. DasarDasar Ekonomi Wilayah. Graha
Ilmu: Yogyakarta.
Arikunto, Suharsini. 2006. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik (Edisi Revisi VI).
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Bradley, Rebecca & Gans, Joshua S. 1996.
Growth in Australian Cities, the
Economic
Record,
the
Economic Society of Australia,
V ol. 74 (226).
Badan Pusat Statistik.
2006. Produk
Domestik
regional
Bruto
Kabupaten/Kota se Jawa Timur
2000 - 2005. Surabaya.
Badan Pusat Statistik.
2008. Produk
Domestik
regional
Bruto
Kabupaten/Kota se Jawa Timur
2003 - 2007. Surabaya.
Badan Pusat Statistik.
2010. Produk
Domestik
regional
Bruto
Kabupaten/Kota se Jawa Timur
2005 - 2009. Surabaya.
Dajan , Anto. 2006. Pengantar Metode
Statistik Jilid II. No. 59, V ol.
24. 2006, Hall.1-3. Surabaya:
UNISA.
Dewi, Tutut dan Asih, Di I Maruddani .
2009. Analisis Data Panel
Untuk Menguji Pengaruh Risiko
Terhadap Return Saham Sektor
Farmasi dengan Least Square
Dummy V ariable. No. 2, V ol. 2.
Desember 2009, 71-80. Media
Statistika.
Ghozali, Imam. 2007. Aplikasi Analisis
Multivariate dengan Program
SPSS.
Semarang:
Badan
Penerbit
Universitas
Diponegoro.
Glaeser, Kallal H.D, Scheinkman J.A,
& Shleifer A. 1992. Growth
in Cities, Journal of Political
economy, 100 (6), 1126-1152.
Gudjarati, Damodar N, 1995.
Basic
Econometric, 4rd edition, Mc.
Graw Hill,
Heridiana, Ika. 2009. Analisis FaktorFaktor Aglomerasi Industri di
Kawasan PER Kecamatan
Rembang Kabupaten Pasuruan .
Skripsi
tidak
diterbitkan.
Malang. FMIPA UM.
Hidayati, kuncoro. Konsentrasi Geografis
Industri Manufaktur Di Greater
Jakarta dan Bandung Periode
1980-2000:
Menuju
Satu
Daerah Aglomerasi?.
Krugman. 1998. Space: the Final
Frontier. Journal of Economic
Perspectives, 12(2), 161-174.
Kuncoro, Mudrajat. 2006. Aglomerasi
perkotaan Di DIY: Apa, Di
Mana, Dan Mengapa? . No. 59,
V ol. 24. 2006, Hall.1-3.
Surabaya: UNISA.
Landiyanto,
Erlangga
Agustiono.
Spesialisasi dan Konsentrasi
Spasial Pada Sektor Industri
Manufaktur Di Jawa Timur.
Jakarta: Pararel Sesion VIB:
Industry And Trade, Hotel
Borobudur.
Matitaputty, Shandy Jannifer.
2010.
Analisis
Pengaruh
Faktor
Aglomerasi Industri Manufaktur
Terhadap Hubungan Antara
Pertumbuhan
Dengan
Ketimpangan Regional Antar
Kabupaten/Kota
Di
Jawa
29
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
Tengah Tahun 1994 – 2007.
Skripsi
tidak
diterbitkan.
Semarang. FE UNDIP .
Nuryadin, Sodik. 2007. Aglomerasi dan
Pertumbuhan Ekonomi: Peran
30
Karakteristik
Regional
Di
Indonesia. Depok: Parallel
Sesion IV A: Urban & Regional,
Kampus
UI.
JESP Vol. 5, No.1, 2013
ANALISIS DERAJAT DESENTRALISASI FISKAL
KEUANGAN DAERAH SEBELUM DAN SESUDAH
PELAKSANAAN KEBIJAKAN
OTONOMI DAERAH DI KOTA MALANG
Haris Galih Wardana
Nasikh
Abstract
By going into effect law of Number . 22 & 25 Year 1999 about Autonomy Area, governmental
in area claimed to run effective governance wheel, efesien and can push role of society in
improving justice and generalization by developing all potency had by each area. Efficacy of
Autonomy Area is not quit of ability in the field of finance. Especial characteristic of area
which can for have autonomy to laying in ability of area to defray management of
governance in its area with storey; level depended to Central Government have proportion
which smaller . Its meaning that of monetary independence of area expected can be created
by after existence of Autonomy Area and expected by ( Earnings of Genuiness Area ) have to
become better part in fund mobilization management of governance of area and have
appropriately P AD made by reference in execution of Autonomy Area.
Keywords : Regional Autonomy, Fiscal Desentralization and Regional Income.
Tuntutan reformasi disegala bidang
yang didukung oleh seluruh masyarakat
Indonesia dalam menyikapi berbagai
permasalahan daerah akhir-akhir ini
membawa dampak terhadap hubungan
keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah. Otonomi yang luas serta
perimbangan keuangan yang lebih adil,
proposional dan transparan antar tingkat
pemerintah menjadi salah satu tuntutan
daerah dan masyarakat. Oleh karena itu,
MPR
sebagai
wakil-wakil
rakyat
menjawab tuntutan tersebut dengan
menghasilkan beberapa ketetapan yang
harus dilaksanakan oleh pemerintah. Salah
satu ketetapan MPR dimaksud adalah
Ketetaapan MPR nomor XV/MPR/1998
tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah;
Pengaturan dan Pemanfaatan Sumber Daya
Alam Nasional yang berkeadilan; serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Berdasarkan ketetapan MPR tersebut
pemerintah telah mengeluarkan satu paket
kebijakan tentang otonomi daerah yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah dan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa.
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai
pengganti Undang-Undang nomor 32
Tahun 1956 tentang Perimbangan
Keuangan antara Negara dengan
Daerah-Daerah Y ang berhak mengurus
rumah tangganya sendiri.
Pada Tahun 2004, dikeluarkan UU
No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah yang menggantikan UU No.22
Tahun 1999. Begitu pula UU No.25 Tahun
1999 digantikan oleh UU No.33 Tahun
__________________________________________
Alamat Korespondensi :
Haris Galih W .: Mahasiwa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang
Nasikh. Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang
Email: [email protected]
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
2004 tentang perimbangan keuangan
pemerintah pusat dengan daerah. Dalam
UU No.32 Tahun 2004 disebutkan bahwa
untuk
pelaksanaan
kewenangan
pemerintah daerah, pemerintah pusat akan
mentransfer dana perimbangan yang terdiri
dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana
Alokasi Khusus (DAK), dan dana Bagi
Hasil yang bersumber dari pajak dan
sumber daya alam. Disamping dana
perimbangan tersebut, pemerintah daerah
mempunyai sumber pendanaan sendiri
berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD),
Pembiayaan, dan lain-lain (Maimunah,
2006).
Konsekuensi dari pelaksanaan
undang-undang tersebut adalah bahwa
daerah harus mampu mengembangkan
otonomi daerah secara luas, nyata dan
bertanggung
jawab
dalam
rangka
pemberdayaan
masyarakat,
lembaga
ekonomi, lembaga politik, lembaga
hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat
dan lembaga swadaya masyarakat serta
seluruh potensial masyarakat dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Disisi lain, saat ini kemampuan keuangan
beberapa pemerintah daerah masih sangat
bergantung pada penerimaan yang berasal
dari pemerintah pusat, oleh karena itu
bersamaan dengan semakin sulitnya
keuangan negara dan pelaksanaaan
otonomi daerah itu sendiri, maka kepada
setiap daerah dituntut harus dapat
membiayai diri melalui sumber-sumber
keuangan yang dikuasainya. Peranan
pemerintah daerah dalam menggali dan
mengembangkan berbagai potensi daerah
sebagai sumber penerimaan daerah akan
sangat
menentukan
keberhasilan
pelaksanaan tugas pemerintah dalam hal
pembangunan dan pelayanan masyarakat
didaerah.
Pemberian
kewenangan
yang
diberikan kepada daerah dalam era
otonomi daerah harus dilaksanakan secara
proporsional yang diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan
sumber daya nasional yang berkeadilan,
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
32
Adapun maksud dari pemberian otonomi
daerah adalah untuk pembangunan dalam
arti luas yang meliputi segala segi
kehidupan, dimana dalam pelaksanaannya
diharapkan sesuai dengan prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan,
keadilan,
potensi
dan
keanekaragaman daerah dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi
otonomi daerah merupakan sarana untuk
meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang semakin baik (Halim,
2004).
Dengan adanya otonomi daerah,
kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah
daerah akan semakin besar sehingga
tanggung jawab yang diembannya akan
bertambah banyak. Implikasi dari adanya
kewenangan urusan pemerintahan yang
semakin luas yang diberikan pemerintah
daerah dalam rangka otonomi daerah dapat
menjadi suatu berkah bagi daerah. Namun
disisi lain bertambahnya kewenangan
daerah tersebut juga merupakan beban
yang menuntut kesiapan daerah untuk
pelaksanaanya, karena semakin besar
urusan pemerintahan yang menjadi
tanggung jawab pemerintah daerah. Oleh
karena itu ada beberapa aspek yang harus
disiapkan antara lain; sumber daya
manusia, sumber daya keuangan, sarana
dan prasarana daerah. Aspek keuangan
merupakan salah satu dasar kriteria untuk
dapat mengetahui secara nyata kemampuan
daerah dalam mengurus rumah tangganya
sendiri.
Kemampuan
daerah
yang
dimaksud adalah sampai sejauh mana
daerah dapat menggali sumber-sumber
keuangan sendiri
guna membiayai
kebutuhan keuangan daerah tanpa harus
menggantungkan diri pada bantuan dan
subsidi dari pemerintah pusat.
Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat kuantitatif
deskriptif
artinya berusaha untuk
menghitung,
menggambarkan
dan
menganalisis data komponen keuangan
daerah Kota Malang sebelum era otonomi
daerah dan sesudah era otonomi daerah.
JESP Vol. 5, No.1, 2013
Data dihitung menggunakan analisis
derajat desentralisasi fiskal kemudian
ditarik kesimpulan mengenai tingkat
kemandirian pemerintah daerah dengan
pemerintah pusat sebelum era otonomi
daerah dan sesudah otonomi daerah. Jenis
data yang dibutuhkan dalam penelitian ini
adalah data sekunder yang diperoleh dari
laporan tahunan keuangan daerah yang
dipublikasikan
setiap
tahun.
Tika
(2006:58) menyebutkan data sekunder
adalah
data
yang
lebih
dahulu
dikumpulkan dan dilaporkan oleh orang
atau instansi di luar dari peneliti sendiri,
walaupun
yang
dikumpulkan
itu
sesungguhnya adalah data asli. Data yang
diambil adalah PAD Kota Malang Tahun
1994-1998
adalah
tahun
sebelum
dikeluarkannya UU.No 22 dan 25 Tahun
1999 tentang Kebijakan Otonomi Daerah
dan Tahun 2005-2009 adalah tahun
sesudah dilakukan kebijakan otonomi
daerah, data Sumbangan Daerah dan juga
data Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
untuk daerah Tahun 1994-1998 adalah data
tahun sebelum ditetapkan Undang-Undang
Kebijakan Otonomi Daerah dan data tahun
2005-2009 adalah
data sesudah
ditetapkannya Undang-Undang Kebijakan
Otonomi Daerah.
Ada dua teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
a. Studi Lapangan
Studi Lapangan dilakukan guna
mengumpulkan
data-data
mengenai
perolehan PAD, perolehan Sumbangan
Daerah, perolehan Bagi Hasil Pajak dan
Bukan Pajak, serta juga wawancara
terhadap beberapa informan terkait dalam
permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini. Teknik wawancara yang
dilakukan adalah teknik wawancara
mendalam dan tidak berstruktur. Hal ini
dimaksudkan untuk memperoleh data yang
lengkap dan memperoleh informasi
sebanyak mungkin.
b. Studi Pustaka
Studi
pustaka
bertujuan
untuk
memperoleh gambaran yang lebih jelas,
komprehensif,
mengenai
peraturan
perundang-undangan
dan
peraturan
pelaksanaannya, serta referensi-referensi
lain yang berkaitan dengan masalah
penelitian
yang
diangkat
dalam
permasalahan penulisan penelitian ini yang
diambil dari buku, jurnal penelitian, media
berita khususnya media cetak dan juga
melalui website situs Internet.
Tahapan analisis data dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Data Reduction (Reduksi Data)
Mereduksi data berarti merangkum,
memilih
hal-hal
yang
pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting,
kemudian data terpilih tersebut dihitung
sesuai dengan kebutuhan penelitian. Dalam
hal ini adalah menghitung tingkat
kemandirian dengan formula di bawah ini.
Derajat desentralisasi fiskal:
P AD
X 100% ,
TPD
SB
atau
X 100%
TPD
DF =
BHPBP
X 100% ,
TPD
Keterangan:
P AD
:digunakan untuk mengetahui peran
TPD
P AD terhadap Penerimaan daerah
BHPBP
:digunakan untuk mengetahui peran
TPD
Bagi Hasil pajak dan Bukan Pajak
SB
TPD
:digunakan
untuk
mengetahui
kontribusi pemerintah ke daerah
melalui sumbangan daerah yang
diperoleh dari akumulasi Dana
Alokasi Umum (DAU) dan Dana
Alokasi Khusus (DAK)
Dengan TPD = PAD + BHPBP +
SB, jika hasil perhitungan PAD lebih
tinggi daripada SB ditambah dengan
BHPBP maka desentralisasinya tinggi
(mandiri).
Semakin
tinggi
derajat
kemandirian suatu daerah menunjukkan
bahwa daerah tersebut semakin mampu
membiayai pengeluarannya sendiri tanpa
33
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
bantuan dari pemerintah pusat. Setelah
diketahui hasil dari masing-masing
perhitungan, kemudian dihitung prosentase
peningkatannya dari tahun ke tahun
dengan menggunakan rumus yang
dikemukakan oleh Simanjuntak (2003)
sebagai berikut.
PKD =
KDTn − KDTn −1
x100%
KDTn −1
Keterangan:
PKD
KDTn
: Peningkatan Kemandirian Daerah
: Kemandirian Daerah tahun yang
bersangkutan
Tabel 1. Tabulasi Komponen Data Keuangan
TAHUN
1994
1995
PAD
38 %
34 %
BHPBP
11 %
14 %
SD
51 %
52 %
TPD
100 %
100 %
Sumber: Data Olahan
Dari data diatas dapat dilihat bahwa
secara umum proporsi Pendapatan Asli
Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan
Daerah (TPD) masih relatif kecil bila
dibandingkan dengan dana perimbangan
dari pemerintah pusat yaitu proporsi Bagi
Hasil Pajak dan Bukan Pajak ( BHPBP)
ditambah dengan Sumbangan Daerah (SD)
terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD).
Hal tersebut dapat dikatakan bahwa Kota
Malang masih dikatakan belum mandiri
sebelum adanya kebijakan otonomi daerah.
Dari
hasil
penelitian
dan
perhitungan data yang dilakukan dengan
Tabel 2. Tabulasi Komponen Data Keuangan
TAHUN
2005
2006
PAD
15 %
11 %
BHPBP
10 %
8%
SD
75 %
81 %
TPD
100 %
100 %
Sumber: Data Olahan.
34
KDTn-1
:
Kemandirian
sebelumnya
Daerah
tahun
Hasil Penelitian
Dari
hasil
penelitian
dan
perhitungan data yang dilakukan dengan
menggunakan
analisis
derajat
desentralisasi fiskal dapat diketahui bahwa
keadaan keuangan sebelum kebijakan
otonomi daerah masih belum mandiri,
artinya bahwa secara umum kontribusi
PAD lebih kecil bila dibandingkan dengan
dana perimbangan dari pemerintah pusat.
Hasil perhitungan derajat desentralisasi
fiskal keuangan daerah Kota Malang
sebelum pelaksanaan kebijakan otonomi
daerah dapat dilihat di tabel di bawah ini.
1996
37 %
16 %
47 %
100 %
1997
39 %
13 %
48 %
100 %
1998
17 %
16 %
67 %
100 %
menggunakan
analisis
derajat
desentralisasi fiskal dapat diketahui bahwa
keadaan keuangan Kota Malang sesudah
pelaksanaan kebijakan otonomi daerah
yaitu Tahun 2005-2009 masih belum
mandiri, artinya bahwa secara umum
kontribusi PAD lebih kecil bila
dibandingkan dengan dana perimbangan
dari pemerintah pusat.
Hasil
perhitungan
derajat
desentralisasi fiskal keuangan daerah Kota
Malang sebelum pelaksanaan kebijakan
otonomi daerah dapat dilihat di tabel di
bawah ini.
2007
13,5 %
9,7 %
76,8 %
100 %
2008
11,5 %
10 %
78,5 %
100 %
2009
11,5 %
13,3 %
75,2 %
100 %
JESP Vol. 5, No.1, 2013
Dari data di atas dapat dilihat
bahwa secara umum kondisi keuangan
Kota Malang sesudah otonomi daerah
yaitu data Tahun 2005-2009 menunjukkan
bahwa proporsi Pendapatan Asli Daerah
(P AD) terhadap Total Penerimaan Daerah
(TPD)
masih
relatif
kecil
bila
dibandingkan dengan dana perimbangan
dari pemerintah pusat yaitu proporsi dari
Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (
BHPBP) ditambah dengan proporsi
Sumbangan Daerah (SD) terhadap Total
Penerimaan Daerah (TPD). Hal tersebut
juga dikatakan bahwa keadaan keuangan
Kota Malang masih belum mandiri.
Pembahasan
Dari hasil perhitungan diketahui
bahwa
kondisi
keuangan
daerah
Pemerintah Kota Malang baik itu sebelum
adanya otonomi daerah maupun sesudah
adanya otonomi daerah secara umum
sama-sama
menunjukkan
ketidakmandirian.
Proporsi
dana
perimbangan yang diberikan pemerintah
pusat masih dominan dalam penerimaan
keuangan daerah. Dari perhitungan
diketahui
bahwa
rata-rata
derajat
desentralisasi fiskal sebelum otonomi
daerah adalah sebesar 33 % sedangkan
sesudah otonomi daerah adalah sebear
12,50 %. Dan bila dilihat dari peningkatan
kemandirian daerah, data keuangan
sebelum
adanya
otonomi
daerah
menunjukkan progres yang sangat baik
untuk menuju kemandirian daerah.
Sedangkan data keuangan sesudah adanya
otonomi daerah dari hasil perhitungan
menunjukkan kondisi yang labil dan buruk.
Dapat
disimpulkan
bahwa
derajat
desentralisasi fiskal keuangan Kota
Malang sebelum adaya kebijakan otonomi
daerah lebih baik daripada derajat
desentralisasi fiskal sesudah adanya
otonomi daerah.
Salah satu aspek untuk melihat
kinerja keuangan daerah yaitu dapat dilihat
dari sumbangsih Pendapatan Asli Daerah
terhadap Total Penerimaan Daerah.
Pendapatan Asli Daerah menjadi bagian
terbesar
dalam
mobilisasi
dana
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
PAD juga dijadikan tolak ukur dalam
pelaksanaan otonomi daerah karena suatu
daerah otonom mampu berotonomi terletak
pada kemampuan keuangan daerah untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan
didaerahnya
dengan
tingkat
ketergantungan kepada pemerintah pusat
mempunyai proporsi yang semakin kecil.
Kinerja keuangan daerah Kota
Malang sebelum adanya kebijakan
otonomi daerah menunjukkan progress
yang positif dari tahun ke tahun. Hal
tersebut dilihat dari sumbangsih proporsi
Pendapatan Asli Daerah terhadap Total
Penerimaan Daerah yang terus naik dari
tahun data 1994-1997. Meskipun dalam
perhitungan
kemandirian
daerah
menunjukkan ketidakmandirian dalam
keuangan daerah namun kondisi keuangan
cukup baik bila dibandingkan dengan
keadaan keuangan di daerah lain di
Indonesia. Hal tersebut dilihat dari
Proporsi PAD yang memberikan kontribusi
rata-rata 33 % terhadap Total Penerimaan
Daerah. Jumlah tersebut termasuk besar
jika dibandingkan dengan rata-rata
nasional yang sebesar 5 % sampai 6 %
pertahun. Meskipun dengan jumlah ratarata 33 % pertahun, P AD Kota Malang
juga belum bisa sepenuhnya membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerah
karena 60 % lebih Total Penerimaan
Daerah masih bergantung terhadap bantuan
dari pemerintah pusat. Hanya di Tahun
1998 PAD Kota Malang mengalami
penurunan yang drastis, dikarenakan krisis
moneter yang melanda Indonesia sehingga
imbas dari krisis tersebut mengganggu
penyelenggaraan pemerintahan di daerah
di segala aspek bidang. Maka oleh karena
itu, sumbangan daerah yang merupakan
bantuan dari pemerintah pusat di Tahun
1998 mengalami kenaikan dari tahun
sebelumnya.
Sedangkan
kondisi
kinerja
keuangan daerah Kota Malang sesudah
pelaksanaan otonomi daerah secara umum
juga masih belum mandiri. Sumbangan
35
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
pemerintah pusat masih mendominasi
dalam Total Penerimaan Daerah, hamper
85 % lebih penyelenggaraan pemerintahan
di Kota Malang masih bergantung kepada
bantuan dari pemerintah pusat. Dari data
Tahun 2004-2009 Pendapatan Asli Daerah
Kota Malang juga mengalami kondisi yang
labil, sumbangsih Pendapatan Asli Daerah
rata-rata pertahun dari data Tahun 20042009 hanya berkisar 13 % terhadap Total
Penerimaan Daerah dan juga tidak pernah
lebih dari 15 %. Kondisi tersebut jauh
lebih buruk bila dibandingkan dengan
kinerja keuangan daerah Kota Malang
sebelum
adanya
otonomi
daerah.
Sumbangsih P AD sebelum adanya
otonomi daerah masih lebih besar daripada
sumbangsih PAD sesudah otonomi daerah,
jadi dapat dikatakan bahwa kondisi kinerja
keuangan daerah Kota Malang sebelum
adanya kebijakan otonomi daerah masih
lebih baik bila dibandingkan dengan
kondisi kinerja keuangan daerah Kota
Malang sesudah adanya kebijakan otonomi
daerah. Di sini Pemerintah Kota Malang
harus lebih jeli dalam mengelola keuangan
daerah kedepannya karena pengertian dari
otonomi daerah sendiri adalah pemberian
wewenang yang lebih luas kepada daerah
dalam mengatur, mengelola, rumah
tangganya sendiri agar tercipta kemadirian
dalam penyelenggaraan pemerintahan di
daerah. Tujuan dari otonomi daerah sendiri
juga cukup jelas yaitu menurut UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 pada
dasarnya adalah otonomi daerah diarahkan
untuk memacu pemeratan pembangunan
dan
hasil-hasilnnya,
meningkatkan
kesejahteraan
rakyat,
menggalakkan
prakarsa dan peran aktif masyarakat serta
peningkatan
pendayagunaan
potensi
daerah secara optimal dan terpadu, secara
nyata, dinamis, dan bertanggung jawab
sehingga memperkuat persatuan dan
kesatuan bangsa, mengurangi beban
pemerintah pusat dan campur tangan di
daerah yang akan memberikan peluang
untuk pengkordinasian di tingkat lokal.
Dengan adanya kebijakan otonomi daerah
Pemerintah Kota Malang mempunyaai
36
wewenang dalam pengamilan keputusan
kebijakan, pengelolan dana publik dan
pengaturan kegiatan dalam rangka
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
pelayanan masyarakat. Pemerintah Kota
Malang harus bisa mengidentisifikasi
sumber-sumber pembiayaan daerah serta
jenis dan besar belanja yang dikeluarkan
agar
perencanaan
keuangan
dapat
dilaksanakan secara efektif dan efesien,
sehingga dapat memacu dan meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah dan juga bila
Pendapatan Asli Daerah meningkat dari
tahun ke tahun maka kemandirian
keuangan daerah akan tercipta di Kota
Malang.
Penutup
Dengan
memperhatikan
hasil
penelitian yang berkaitan dengan rumusan
masalah dan tujuan penelitian ini, maka
dapat ditarik beberapa kesimpulan hasil
penelitian sebagai berikut.
1. Dengan menggunakan alat analisis
derajat desentralisasi fiskal dapat
diketahui bahwa tingkat derajat
desentralisasi fiskal atau kemandirian
daerah Kota Malang sebelum adanya
kebijakan otonomi daerah masih belum
mandiri. Artinya prosentase dari PAD
terhadap Total Penerimaan Daerah
masih relatif kecil bila dibandingkan
dengan dana perimbangan dari
pemerintah
pusat.
Dari
hasil
perhitungan diketahui rata-rata derajat
desentralisasi fiskal sebelum otonomi
daerah adalah sebesar 33 %. Bantuan
pemerintah pusat masih mendominasi
dari Total Penerimaan Daerah yaitu
rata-rata sebesar 60 % setiap tahunnya.
Dari hasil perhitungan Peningkatan
Kemandirian Daerah sebelum adanya
kebijakan otonomi daerah diketahui
bahwa
secara
umum
terjadi
peningkatan kemandirian daerah di
Kota Malang dari tahun 1994 sampai
dengan tahun 1997. Namun di tahun
1998 terjadi penurunan kemandirian
daerah yang sangat drastis yang
JESP Vol. 5, No.1, 2013
disebabkan oleh krisis moneter yang
melanda bangsa Indonesia.
2. Dengan menggunakan alat analisis
derajat desentralisasi fiskal dapat
diketahui bahwa tingkat derajat
desentralisasi fiskal atau kemandirian
daerah Kota Malang sesudah adanya
kebijakan otonomi daerah masih belum
mandiri. Artinya prosentase dari PAD
terhadap Total Penerimaan Daerah
masih relatif kecil bila dibandingkan
dengan dana perimbangan dari
pemerintah
pusat.
Dari
hasil
perhitungan diketahui rata-rata derajat
desentralisasi fiskal sesudah otonomi
daerah adalah sebesar 12,50 %.
Bantuan dari pemerintah pusat juga
masih mendominasi dari
Total
Penerimaan Daerah yaitu sebesar 85 %
setiap
tahunnya.
Dari
hasil
perhitungan Peningkatan Kemandirian
Daerah
sesudah adanya kebijakan
otonomi daerah diketahui bahwa secara
umum kondisi kemandirian daerah di
Kota Malang dari Tahun 2005 sampai
dengan Tahun 2009 sangtlah buruk.
Terjadi
ketidakstabilan
dalam
kemandirian keuangan Kota Malang
sehingga
dalam
perhitungan
peningkatan
kemandirian
daerah
menunjukkan keadaan yang fluktuatif.
Dari hasil perhitungan diketahui
seringnya terjadi penurunan daripada
peningkatan kemandirian daerah. Hal
tersebut menujukkan kondisi yang
kurang baik untuk menuju kemandirian
daerah.
3. Kinerja keuangan daerah Kota Malang
dilihat dari perbandingan derajat
desentralisasi fiskal keuangan daerah
sebelum adanya kebijakan otonomi
daerah lebih baik bila dibandingkan
dengan sesudah otonomi daerah. Hal
tersebut
dilihat
dari
derajat
desentralisasi fiskal keuangan daerah.
Derajat desentralisasi fiskal sebelum
otonomi daerah rata-rata sebesar 33 %
sedangkan derajat desentralisasi fiskal
sesudah otonomi daerah rata-rata
sebesar 12,5%.
Dengan memperhatikan hasil temuan
dari penelitian ini, maka penulis
bermaksud menyampaikan saran-saran
dengan harapan agar memiliki manfaat
yang sangat berarti bagi banyak pihak.
1. Bagi Pemerintah Kota Malang
Pemerintah
Kota
Malang
hendaknya segera mengkaji tentang
kebijakan- kebijakan yang jangka panjang
yang berhubungan dengan penyerapan
sumber-sumber pendapatan asli daerah
agar penerimaan dari sektor asli daerah
bisa
meningkat,
misalnya
dengan
mengeluarakan perangkat hukum berupa
Perda. Dibutuhkan pengawasan yang ketat
baik itu dalam pemungutan, penarikan,
ataupun pemberian izin agar sumbersumber Pendapatan Asli Daerah bisa
memberikan kontribusi yang maksimal
terhadap Total Penerimaan Daerah. Jika
semua dijalankan sesuai dengan prosedur
yang benar dan dijalankan secara efektif
dan efesien maka Pendapatan Asli Daerah
Kota Malang akan meningkat dari tahun ke
tahun dan kemandirian keuangan daerah
Kota Malang akan tercapai seiring dengan
peningkatan PAD.
2. Bagi Peneliti selanjutnya
Bagi Peneliti selanjutnya semoga
hasil penelitian ini bisa menjadi bahan
referensi dan agar memasukkan komponen
lain untuk menghitung kemandirian
keuangan daerah, bukan hanya dilihat dari
sisi kontribusi indikator Penerimaan
Daerah.
Daftar Pustaka
Abdullah, Rozali. 2002. Pelaksanaan
Otonomi
Luas
dan
Isu
Federalisme
Sebagai
suatu
Alternatif.
Jakarta:
PT.Raja
Grafindo Persada.
APBD 1994 -1998. Jaringan Dokumentasi
dan
Informasi
Hukum
Departemen
Perimbangan
Keuangan
Negara
Republik
Indonesia.
(Online),
37
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
(http:/www.djpk.go.id), diakses
tanggal 20 Oktober 2010.
Chalid,
Pheni.2005.
Keuangan
Daerah,Investasi,
dan
Desentralisasi.
Jakarta:
Kemitraan untuk pemerintahan
yang baik.
Hariyati, Sri. 2006. Perbandingan Kinerja
Keuangan Daerah Sebelum dan
Sesudah Kebijakan Otonomi
Daerah Kabupaten Sleman Tahun
1998-2000
dan
2001-2003.
Jogjakarta.
Skripsi
tidak
diterbitkan
http://rac.uii.ac.id/server/document/Private
/2008042103365201313206.pdf
(diakses tanggal 08 Oktober 2010)
Halim,Abdul.Prof,Dr.2004. Bunga Rampai
Manajemen
Keuangan
Daerah.Yogyakarta: (UPP) AMP
YKPN.
Harris, Syamsudin.2005. Desentralisasi
dan Otonomi Daerah . Jakarta:
LIPI Press.
Kaho, Josef Riwu. 1988. Prospek Otonomi
Daerah di Negara Republik
Indonesia. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Landiyanto, E.A. 2005. Kinerja Keuangan
dan Strategi Pembangunan Kota
di Era Otonomi Daerah. Jurnal
Ekonomi, ( Online) No.05. (http//
kinerja keuangan dan strategi
pembangunan kota di era otonomi
daerah.e-jurnal), diakses 7 Januari
2011.
Munawir,
S.
1985.
Pokok-Pokok
Perpajakan. Yogyakarta: Liberty.
Mardiasmo.2002.
Otonomi
dan
Manajemen
Keuangan
Daerah.Yogyakarta: Andi
Pamudji, S. 1985. Pembinaan Perkotaan di
Indonesia.Jakarta:
PT.
Bina
Aksara.
Resmi, Siti. 2003. Perpajakan. Jakarta:
Salemba Empat.
38
Reksohadiprodjo, Sukanto.2002. Ekonomi
publik. Yogyakarta: BPFE.
Simanjuntak, A. Robert. 2003. Kebutuhan
fiskal, Kapasitas fiskal, dan
optimalisasi Potensi PAD
http://www.lpem.org/admin/upload/File/pu
blication/WP%205.pdf (diakses
pada tanggal 06 Oktober 2010)
Sugiyono. 2004. Metode Penelitian
Pendidikan
(
Pendidikan
Kuantitatif,Kualitatif dan R&D).
Bandung: CV . Alfabeta.
Tika, Moh.Pabundu. 2006. Metodologi
Riset
dan
Bisnis.
Jakarta:
Binarupa Aksara.
Universitas Negeri Malang.2010. Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi,
Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah,
Laporan
Penelitian,
Edisi
Keempat.
Malang:
Biro
Administrasi
Akademik,
Perencanaan,
dan
Sisitem
Informasi bekerjasama dengan
Penerbit
Universitas
Negeri
Malang.
Undang-Undang
Otonomi
Daerah:
Undang-Undang
Nomor
22
Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah dan Undang-Undang
No.25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat. Bandung:
Nuansa Aulia.
Undang-Undang
Otonomi
Daerah:
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah dan Undang-Undang
No.33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat. Surabaya:
Serba Jaya.
Widjaja, HA W.2005.Penyelenggaraan
Otonomi di Indonesia .Jakarta:
Raja Grafindo Perkasa.
JESP V ol. 5, No.1, 2013
ANALISIS KEBERADAAN INDUSTRI KERAJINAN ROTAN
DALAM PENYERAPAN TENAGA KERJA
(Studi Kasus Industri Kerajinan Rotan Kelurahan Balearjosari
Kecamatan Blimbing Kota Malang)
Fitra Ria Silvida
Y ohanes Hadi Susilo
Abstract
This research aims to analysize the role of Rotan regional industry to labor force in
Balearjosari rattan crafts industry, Malang municipality, East Java. The method of analyze
is qualitative approach. The procedure used to collect the data was interview and
documentation. The data were analyzed using data reduction, data presentation, and
conclusion. The result of this study showed that Balearjosari rattan crafts industry had a
big role into the absorption of labors. From 11 producers, they employ 99 labors.
However , when we take a look at the precentatation of labour arbsorption, it shows that
rattan craft industry has a role in it. The precentation is at 0,0005% on employment in
Malang municipality (except Balearjosari village); 0,004% on employment in Malang
regency; and 2,652% on employment in Balearjosari village. Besides, this study also found
that there were many obstacles faced by the producers: the difficulty to get and the
expensive price of rattan as the most basic material, the late coming of the rattan and
aluminums, no organization of rattan crafts producers, some producers have some
obstacles in selling their products, the limited capital, and the different perception between
Koperasi, UMKM Department and the producers. The policy recommendation, it is hoped
that the government of Malang municipality from the related departments will help the
producers to make an organization so there will be a standard of prices. It will minimize
the competition of prices. Furthermore, it is hoped that the producers will cooperate more
to develop a good competition and the rattan crafts industry will be developed more.
Keywords: Absorption of Labour, Rattan Crafts Industry, Regional Economy.
Indonesia hingga saat ini merupakan
negara penghasil rotan terbesar dunia.
Diperkirakan 85% bahan baku rotan di
seluruh dunia dihasilkan oleh Indonesia.
Tercatat sebanyak 516 spesies rotan (dari
sejumlah 600 spesies di dunia) yang terdiri
dari 9 genus (The International Tropical
Timber
Organization
2007
dalam
Sumardjani, 2009) telah ditemukan di Asia
Tenggara Sebanyak 350 spesies diketahui
dapat ditemukan di Indonesia, namun
demikian baru 53 spesies yang diketahui
telah diperjualbelikan di pasar lokal
maupun internasional. Sisanya dihasilkan
oleh negara lain seperti Filipina, Vietnam
dan negara-negara Asean lainnya.
Potensi yang sangat besar ini
dimanfaatkan oleh pemerintah untuk
menggerakkan ekspor rotan Indonesia.
Namun seperti halnya negara sedang
berkembang lainnya, Indonesia hanya
mampu mengekspor bahan mentah (rotan
asalan dan setengah jadi) karena
keterbatasan modal, sumberdaya manusia,
dan sebagainya. Tetapi setelah dikeluarkannya peraturan pemerintah mengenai
larangan ekspor rotan asalan dan setengah
jadi pada tahun 1979, masyarakat mulai
banyak memproduksi rotan menjadi
__________________________________________
Alamat Korespondensi :
Fitra Ria Silvida: Mahasiwa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang
Y ohanes Hadi Susilo. Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang
Email : [email protected]
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
kerajinan tangan, hiasan, dan mebel. Hal
ini mengakibatkan industrialisasi rotan
mulai berkembang pesat di Indonesia.
Industrialisasi memiliki peran yang
strategis untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi secara
berkelanjutan dan meningkatkan produksi
fisik masyarakat melalui perluasan usaha
dan memperluas kesempatan kerja,
meningkatkan serta menghemat devisa,
mendorong pembangunan daerah, meningkatkan
dan
meratakan
pendapatan
masyarakat serta mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.
Menurut Kuncoro (2007), pengembangan industri kecil adalah cara yang
dinilai besar peranannya dalam pengembangan industri manufaktur. Pengembangan industri kecil akan membantu
mengatasi masalah pengangguran mengingat teknologi yang digunakan adalah
teknologi padat karya sehingga bisa
memperbesar lapangan kerja dan kesempatan usaha, yang pada gilirannya
mendorong pembangunan daerah dan
kawasan pedesaan.
Sektor
industri
pengolahan
memberikan kontribusi terbesar kedua
setelah Perdagangan, Hotel, dan Restoran
bagi PDRB kota Malang. Namun apabila
dilihat pada subsektor barang kayu dan
hasil hutan, terjadi penurunan dari tahun ke
tahun. Hal ini dimungkinkan karena terjadi
penurunan jumlah pengusaha yang
mengolah barang kayu dan hasil hutan
(khususnya rotan) di kota Malang. Ini
sebanding dengan data disperindagkop
yang menyatakan pada tahun 2000 jumlah
pengusaha (pengrajin dan penjual)
kerajinan rotan berjumlah ±300 pengusaha
dan hanya terdapat sekitar ±35 orang
pengusaha di tahun penelitian 2010
(Nugroho, 2010)
Di kota Malang terdapat beberapa
industri baik dalam skala besar,sedang atau
kecil. Salah satu industri kecil dan rumah
tangga tersebut adalah industri kerajinan
rotan di kelurahan Balearjosari kecamatan
Blimbing. Sentra industri kerajinan rotan
ini terletak tepat di gerbang pintu masuk
40
kota Malang di jalan raya Balearjosari dan
di dalam gang tersebar di wilayah
kelurahan Balearjosari. Usaha yang terletak di samping jalan raya Balearjosari
berupa showroom berjajar sedangkan
usaha yang terletak di dalam gang berupa
tempat pembuatan kerajinan rotan.
Ada 2 jenis pengusaha kerajinan
rotan di Balearjosari, yakni penjual dan
pengrajin. Penjual adalah pengusaha yang
menjual barang kerajinan rotan tanpa
memproduksinya. Pengusaha ini mendapatkan barang kerajinan rotan dengan
membeli dari pengrajin. Sedangkan
pengrajin
adalah
pengusaha
yang
memproduksi kerajian rotan dan memasarkan sendiri hasil produksinya.
Sentra industri kerajinan rotan
Balearjosari bersifat padat karya yang
menggunakan jasa manusia untuk menghasilkan berbagai macam produk kerajinan
rotan. Hal ini mengisyaratkan adanya
tenaga kerja yang diserap oleh tiap-tiap
pengrajin. Namun sangat disayangkan
sejak keberadaannya mulai tahun 1960an
sampai sekarang, jumlah pengrajin telah
mengalami penurunan sehingga hanya
tinggal 11 orang di tahun 2012.
Penurunan jumlah pengrajin ini
mengisyaratkan bahwa terdapat banyak
hambatan dalam usaha yang dijalankan.
Hambatan yang ada apabila tidak ditangani
dengan serius maka akan memunculkan
pengangguran dengan jumlah tertentu,
mengingat industri kerajinan rotan Balearjosari adalah industri padat karya.
Kemampuan industri rotan Balearjosari
dalam menyerap tenga kerja ini sangatlah
potensial untuk dipertahankan keberadaannya yang secara tidak langsung
membantu pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan.
Hambatan yang ada tentunya cukup
berpengaruh terhadap perkembangan usaha
kerajinan rotan di Balearjosari. Semakin
berkembangnya suatu usaha biasanya
ditandai dengan banyaknya order yang
berakibat pada penambahan jumlah tenaga
kerja. Selama ini order yang diterima
pengrajin selalu naik turun. Naik turunnya
JESP V ol. 5, No.1, 2013
jumlah order berpengaruh terhadap jumlah
pekerja yang dipekerjakan oleh pengrajin.
Semakin berkembang usaha kerajinan
rotan Balearjosari ditandai dengan
banyaknya jumlah pekerja dan jangkauan
pemasarannya. Industri rotan Balearjosari
adalah industri kecil yang mempunyai
kemampuan ekspor. Eksistensi perkembangan usaha sangat erat kaitannya dengan
bagaimana pengrajin mempertahankan
usahanya yang didalamnya memuat faktorfaktor pendorong pengrajin untuk tetap
mempertahankan usahanya. Jika jumlah
pengrajin rotan di Balearjosari tetap
bertahan, berkembang, dan bertambah
jumlahnya maka akan lebih banyak lagi
tenaga kerja yang akan diserap.
Maka dari itu penelitian ini
dilakukan dengan tujuan, (1) Menjelaskan
peranan
industri
kerajinan
rotan
Balearjosari terhadap penyerapan tenaga
kerja; (2) Menjelaskan faktor-faktor
penghambat kemajuan industri rotan
Balearjosari kecamatan Blimbing, kota
Malang; (3) Menjelaskan faktor-faktor
pendorong pengrajin mempertahankan
industri
usaha
pembuatan
rotan
Balearjosari kecamatan Blimbing, kota
Malang
Metode Penelitian
Data Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yakni penelitian tentang
data yang dikumpulkan dan dinyatakan
dalam bentuk kata-kata dan atau gambar,
kata-kata disusun dalam kalimat, misalnya
kalimat hasil wawancara antara peneliti
dan informan. Penelitian ini ditujukan
untuk memahami fenomena-fenomena
sosial dari sudut perspektif partisipan.
Partisipan adalah orang-orang yang diajak
berwawancara,
diobservasi,
diminta
memberikan data, pendapat, pemikiran,
persepsinya (Sukmadinata, 2010). Pendekatan kualitatif dipakai dalam penelitian
ini adalah dengan maksud menafsirkan
fenomena yang terjadi dan dilakukan
dengan jalan melibatkan berbagai metode
yang ada. Penelitian ini berusaha
mendapatkan informasi selengkap mungkin mengenai jumlah tenaga kerja yang
terserap pada tiap-tiap unit usaha yang
memproduksi kerajinan rotan di Balearjosari dan memasarkan sendiri produknya, faktor penghambat kemajuan usaha
dan faktor yang mendorong pengrajin tetap
memper-tahankan usaha.
Dalam penelitian ini peneliti datang
ke lapangan dan mendatangi satu persatu
pengrajin yang memproduksi kerajinan
rotan dan memasarkan sendiri hasil
produksinya serta bertemu langsung
dengan pemilik usaha. Peneliti juga datang
ke kantor kelurahan Balearjosari serta
Dinas Koperasi dan UMKM kota Malang
dalam rangka pengumpulan data.
Lokasi penelitian merupakan fokus
dimana penelitian akan dilaksanakan oleh
peneliti yang sesuai dengan fokus dari
penelitian. Maka penentuan dari lokasi
penelitian ini adalah unit usaha milik
pengrajin yang memproduksi kerajinan
rotan, yang terletak di kelurahan Balearjosari kecamatan Blimbing kota Malang.
Sumber data utama dalam penelitian ini adalah kata-kata dari responden,
selebihnya adalah data tambahan seperti
dokumen dan lain-lain. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer. Data primer yang diperlukan untuk
analisis penelitian ini berasal dari
wawancara dan dokumentasi terhadap
pengrajin di Balearjosari kecamatan
Blimbing kota Malang serta wawancara
dan dokumentasi yang dilakukan di Dinas
Koperasi dan UMKM kota Malang.
Selain data primer penelitian ini
juga menggunakan data sekunder yang
dikumpulkan untuk mendukung analisis
penelitian, yakni (1) Jumlah angkatan kerja
kelurahan Balearjosari tahun 2010; (2)
Jumlah angkatan kerja kota malang tahun
2010; (3) Jumlah angkatan kerja kabupaten
malang tahun 2010.
Pengambilan sampel ditetapkan
dengan cara sampel purposif (purposional
sampling) yaitu ditetapkan dengan sengaja
pada subjek yang dianggap menguasai dan
memiliki kemampuan untuk memberikan
41
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
informasi tentang masalah yang diteliti
sesuai dengan gejala dan fakta-fakta yang
ada. Yang menjadi sampel adalah
pengrajin kerajinan rotan Balearjosari yang
dalam kegiatan usahanya memproduksi
kerajinan rotan dan memasarkan sendiri
hasil produksinya.
Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Prosedur/teknik pengumpulan data
dalam penelitian ini dilakukan dengan
metode kualitatif. Pengumpulan data
sekunder diperoleh dari BPS kota malang,
dan kantor kelurahan Balearjosari kota
Malang. Pengupulan data primer diperoleh
dari wawancara terhadap pengrajin
kerajinan rotan di Balerjosari yang dalam
kegiatan usahanya memproduksi kerajinan
rotan dan memasarkan sendiri hasil
produksinya. Jenis wawancara yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara terstruktur dan terbuka.
Peneliti memberikan pertanyaan tanpa
memberikan
pilihan
jawaban
dan
memberikan keleluasaan kepada informan
untuk menjawab dengan panjang lebar.
Cara lain dalam memperoleh data primer
adalah dengan dokumentasi berupa foto,
rekaman suara, peta lokasi, catatan
wawancara, surat-surat dan lain-lain.
Analisis data yang diperoleh dari
lapangan dalam penelitian ini, baik yang
berupa data sekunder maupun data primer
akan disusun dan disajikan serta dianalisis
dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang dipaparkan dan dianalisis dengan
cara reduksi data, penyajian data, dan
pengambilan kesimpulan.
Reduksi data adalah proses
pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data yang muncul dari catatancatatan lapangan. Reduksi data berlangsung
secara
terus-menerus
selama
pengumpulan data berlangsung. Pada
penelitian ini data-data hasil wawancara
tidak langsung diterima tetapi mencocokkan juga dengan keterangan pengrajin
lainnya. Pada pertanyaan yang jawabannya
sama (data jenuh) maka pertanyaan
tersebut tidak akan ditanyakan lagi kepada
42
informan
berikutnya.
Langkah
ini
merupakan bagian dari analisis yang
menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan
mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan
akhirnya dapat ditarik dan diverifikasi.
Penyajian data adalah sekumpulan
informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan. Penyajian data
dalam penelitian ini adalah dengan teks
naratif yang disertai dengan bantuan tabel.
Setelah mereduksi data dan
menyajikannya dalam bentuk teks naratif
maka langkah selanjutnya adalah menarik
kesimpulan.
Pengecekan Keabsahan Temuan
Pengecekan keabsahan temuan
adalah proses pengecekan hasil penelitian
untuk mengatasi keraguan terhadap setiap
hasil penelitian kualitatif. Ketekunan
pengamatan bermaksud menemukan ciriciri dan unsur-unsur dalam situasi yang
sangat relevan dengan persoalan atau isu
yang sedang dicari dan kemudian
memusatkan diri pada hal-hal tersebut
secara rinci.
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data itu untuk
keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data itu. Dalam
penelitian ini triangulasi yang digunakan
adalah triangulasi sumber, yang mana
peneliti menggunakan satu teknik yang
sama yakni wawancara dan digunakan
sebagai media pengumpul data kepada
seluruh informan.
Focus Group Discussion dilakukan
dengan cara mengekspos hasil sementara
atau hasil akhir yang diperoleh kemudian
mendiskusikan dengan rekan sejawat.
Dengan kata lain pemeriksaan sejawat
berarti pemeriksaan yang dilakukan
dengan jalan mengumpulkan rekan-rekan
yang sebaya, yang memiliki pengetahuan
umum yang sama tentang apa yang sedang
diteliti, sehingga bersama mereka peneliti
JESP V ol. 5, No.1, 2013
dapat me-review persepsi, pandangan dan
analisis yang sedang dilakukan.
Tahap-Tahap Penelitian
Tahap pra-lapangan terdapat enam
tahap yang dilakukan peneliti ditambah
satu pertimbangan etika penelitian
lapangan yakni menyusun rancangan
penelitian, pemilihan lapangan penelitian,
mengurus perijinan, menjajaki dan menilai
lapangan, memilih dan memanfaatkan
informan, dan menyiapkan perlengkapan
penelitian.
Menyusun rancangan penelitian adalah
langkah awal yang penting dilaksanakan
agar diketahui secara pasti dan agar
penelitian yang dilakukan tidak menjadi
lebar dan terarah.
Pemilihan lapangan penelitian
diawali dengan ketertarikan peneliti
dengan kenampakan showroom produk
kerajinan rotan di jalan raya Balearjosari,
kemudian menentukan rumusan masalah
berdasarkan
observasi
awal
serta
mempertimbangkan mengenai keterbatasan
waktu, biaya, dan tenaga.
Setelah lapangan penelitian telah
ditentukan, peneliti mengurus perijinan
dari fakultas ekonomi Universitas Negeri
Malang
kemudian
dilanjutkan
ke
Bakesbang Polinmas kota Malang.
Perijinan ini berupa surat yang ditujukan
kepada kantor kelurahan balearjosari serta
Dinas Koperasi dan UMKM. Hal ini
dilakukan agar pihak yang berwenang
memberikan
ijin
bagi
kelancaran
pelaksanaan penelitian.
Menjajaki dan menilai lapangan
merupakan tahap orientasi lapangan dan
dalam hal-hal tertentu telah menilai
keadaan lapangan. Sebelum memulai
penjajakan dan penilaian lapangan, peneliti
membaca terlebih dahulu dari kepustakaan
dan mengetahui dari orang lain tentang
situasi dan kondisi daerah tempat
penelitian dilakukan. Hal ini dilakukan
peneliti untuk menyiapkan diri baik mental
maupun fisik serta menyiapkan perlengkapan yang diperlukan.
Informan adalah orang yang berada
dalam latar penelitian yang dimanfaatkan
untuk memberikan informasi tentang
situasi dan kondisi latar penelitian
(Moleong, 2004). Peneliti memilih
informan yang mengetahui banyak tentang
latar penelitian. Informan yang dimaksud
peneliti adalah pengrajin yang dalam
usahanya memproduksi kerajinan rotan
dan memasarkan sendiri hasil produksinya,
kelurahan Balearjosari, serta Dinas
Koperasi dan UMKM kota Malang.
Sebelum
penelitian
dimulai,
perlengkapan penelitian yang dipersiapkan
peneliti diantaranya adalah mengurus ijin
mengadakan penelitian, kontak dengan
subjek yang menjadi latar penelitian
melalui surat ijin yang telah dibuat.
Salah satu ciri utama penelitian
kualitatif ialah orang sebagai alat atau
sebagai instrumen yang mengumpulkan
data. Hal itu dilakukan dalam pengamatan
berperan serta, wawancara mendalam,
pengumpulan
dokumen,
foto
dan
sebagainya. Seluruh metode yang dilakukan tersebut pada dasarnya menyangkut
hubungan peneliti dengan orang atau
subjek penelitian. Persoalan etika akan
timbul ketika peneliti tidak menghormati,
tidak mematuhi, dan tidak mengindahkan
nilai-nilai masyarakat dan pribadi tersebut.
Untuk menghindari konflik yang mungkin
timbul maka peneliti berusaha untuk
berlaku ramah dan sopan saat melakukan
penelitian.
Tahap yang dilakukan dalam tahap
pekerjaan lapangan adalah dengan terjun
langsung atau memasuki lapangan. Pada
tahap ini diperlukan adanya jalinan
hubungan yang akrab dengan objek atau
informan
kunci
dalam
penelitian.
Keakraban ini perlu karena mengingat
betapa pentingnya informan guna mendapatkan data-data yang dibutuhkan di dalam
penelitian dan keakraban ini dipelihara
selama dan bahkan setelah tahap
pengumpulan data selesai.
43
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
Hasil Penelitian
Deskripsi data
Industri rotan Balearjosari adalah
salah satu sentra industri yang ada di kota
Malang selain kripik tempe Sanan,
keramik Dinoyo, dan sanitair. Kerajinan
rotan Balearjosari terletak di jalan raya
Balearjosari tepat di samping jalan raya
besar ke arah Surabaya. Letak industri ini
amat strategis, letaknya berada di jalur
arteri Surabaya–Malang yang secara tidak
langsung bermanfaat sebagai promosi
kepada siapapun yang melihatnya. Sekilas
letak usaha ini berjajar di sebelah barat
jalan raya dan sebelah timur jalan raya
Balerjosari namun ada pula pengrajin yang
berada di dalam (masuk gang) yang
semuanya saat ini berjumlah 11 pengrajin.
Ada dua jenis pengusaha kerajinan rotan di
Balearjosari, yaitu penjual dan pengrajin.
Pengrajin yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah pengusaha yang memproduksi
barang kerajinan rotan baik itu rotan asli
maupun rotan imitasi (sintetis). Sedangkan
penjual adalah pengusaha yang dalam
usahanya menjual kerajinan rotan dan
barang kerajinan rotan dibeli dari
pengrajin.
Barang yang dihasilkan oleh
pengrajin tidak hanya berbahan rotan
namun digunakan pula bahan penunjang
lain seperti mendong (eceng gondog),
pelepah pisang, kayu dan alumunium.
Bahan baku penunjang ini dimaksudkan
sebagai rangka dan variasi anyaman selain
rotan, selain itu harga bahan penunjang
yang lebih murah ini bisa meminimalkan
harga.akhir produk. Untuk bahan baku
rotan imitasi (sintetis) digunakan oleh
pengrajin karena semakin sulitnya bahan
baku rotan berkualitas baik di pasaran.
Munculnya bahan baku penunjang ini
dikarenakan permintaan konsumen sebagai
variasi hiasan kerajinan rotan.
Bahan baku rotan didapat pengrajin
dari Surabaya. Selain rotan, digunakan
pula bahan baku penunjang seperti
mendong (eceng gondog), pelepah pisang,
44
rotan imitasi (sintetis), kayu dan
alumunium (untuk rangka) yang di dapat
berturut–turut dari malang di daerah wajak,
Blimbing, Tangerang, Surabaya, Ngoro–
Mojokerto.
Bahan–bahan selain rotan ini
dianyam digunakan sebagai hiasan dan
atau pengganti rotan. Bahkan ada barang
yang dihasilkan berupa set kursi meja yang
semuanya dari anyaman mendong dan
rotan sintetis. Sedangkan alat-alat yang
digunakan untuk
membuat barang
kerajinan tersebut diantaranya: gerinda,
amplas, dempulan, gergaji, cat plitur,
staples tembak, gunting, paku, palu,
penyembur api, meteran, pensil, dll.
Proses pembuatan kerajinan rotan
secara garis besar dimulai dari tahap
desain/pencarian desain – pengerjaan finishing. Untuk lama pengerjaan tergantung dari barang yang dihasilkan.
Untuk 1 penyekat pintu misalnya bisa
selesai dalam 1-2 hari. Untuk pengerjaannya dimulai dari pengukuran kayu lalu
dipotong sesuai pola. Setelah itu disatukan
dengan sekrup (paku tembak)–didempul–
di grinda supaya kayu terasa halus–di okir
untuk menutup serat kayu–penganyaman
rotan pada bingkai kayu–mewarna bingkai
kayu–menyatukan semua bingkai kayu–
finishing yakni dikeringkan kemudian
menyetel dengan cara menggergaji kaki
bingkai agar sama panjang.
Selain penyekat pintu, barang yang
dihasilkan pengrajin rotan diantaranya
adalah: basket, piring, tikar, tempat
majalah, set meja kursi, hiasan lampu, guci
hiasan, dipan, dll. Kebanyakan pengrajin
memproduksi berbagai jenis barang
sekaligus namun ada beberapa yang
khusus memproduksi 1 barang saja.
Barang yang dihasilkan antara satu
pengrajin dengan yang lain sekilas terlihat
sama namun apabila dilihat secara seksama, terlihat perbedaan dalam segi detail
bentuk dan hiasannya. Pengrajin biasanya
mendapat ide bentuk dan jenis suatu
produk dari internet, ide sendiri, pengrajin
lain, dan keinginan pasar.
JESP V ol. 5, No.1, 2013
Pemasaran adalah proses akhir dari
rantai produksi yang sangat penting.
Pemasaran pada produk kerajinan di
Industri rotan Balearjosari dilakukan
dengan cara mulut ke mulut, penjualan
online, bekerjasama dengan mitra dagang
dari daerah lain, atau pembeli datang
langsung ke tempat pengrajin/penjual.
Jangkauan pemasaran bervariasi antara
satu pengrajin dengan yang lainnya.
Perbedaan jangkauan pemasaran ini
dipengaruhi oleh perkembangan usaha
tiap-tiap pengrajin. Sebagian pengrajin
jangkauan pemasarannya berada di sekitar
lokal Malang, sebagian pengrajin lain
sudah memasarkan barangnya ke seluruh
wilayah Jawa Timur,
sebagian besar
wilayah Indonesia, bahkan ada pengrajin
rotan yang jangkauan pemasarannya
sampai Eropa.
Untuk pengiriman barang di area
Malang dikirim dengan mobil pick-up,
sedangkan untuk pengiriman di luar
propinsi atau pulau dikirim dengan truk
atau jasa cargo. Proses pembayarannya
macam-macam, ada yang cash, ada yang
50% di muka dan sisanya setelah barang
selesai, serta ada pula yang membayar
dengan mentransfer via bank..
Dari data tersebut diatas diketahui
bahwa jumlah tenaga kerja yang terserap
oleh 11 pengrajin adalah 99 orang. Dari 99
orang tenaga kerja tersebut, warga
kelurahan Balearjosari yang terserap
adalah 40 orang. Sedangkan 59 orang
lainnya dari warga luar kelurahan Balearjosari. Ini menunjukkan bahwa industri
kerajinan rotan yang ada di Balearjosari
tidak hanya membuka kesempatan kerja
bagi warga kelurahan Balearjosari sendiri
namun juga bagi warga luar kelurahan.
Jumlah pekerja pada tiap unit pengrajin
berbeda-beda tergantung pada perkembangan usaha dan turun naiknya order.
Semakin banyak jumlah order yang
didapat maka semakin banyak pula pekerja
yang dibutuhkan pengrajin.
Dilihat dari aspek kesempatan
kerja, industri kerajinan rotan Balearjosari
mempekerjakan 99 orang dari sekian
jumlah angkatan kerja di kelurahan
Balearjosari, kota Malang, dan kabupaten
Malang. Peranan industri kerajinan rotan
Balearjosari dalam penyerapan tenaga
kerja di kelurahan Balearjosari, kota
Malang dan kabupaten Malang bisa
dikatakan kecil. Hal ini dikarenakan
jumlah pekerja yang terserap di industri
rotan Balearjosari bila dibandingkan
dengan jumlah keseluruhan pekerja (di
semua sektor) di kelurahan Balearjosari,
kota Malang, dan Kabupaten Malang
masih terbilang kecil. Peningkatan prosentase penyerapan tenaga kerja di industri
kerajinan rotan balearjosari tergantung
pada kemampuan pengrajin dalam
menyerap tenaga kerja. Jumlah pekerja
yang terserap akan semakin bertambah
seiring perkembangan usaha pengrajin dan
order yang dikerjakan. Sehingga apabila
ingin meningkatkan penyerapan tenaga
kerja, dapat dilakukan dengan jalan menambah jumlah unit atau mengembangkan
usaha yang telah ada.
Secara umum pengrajin menetapkan pekerja untuk masuk pada jam 7 pagi
dan pulang pukul 4 sore. Namun apabila
lembur jam pulang kerja bisa sampai pukul
10 malam. Hal ini dilakukan untuk
mengejar deadline pesanan. Pengrajin
lebih suka membayar upah pekerja dengan
sistem kerja borongan atau harian karena
minim resiko. Meskipun begitu ada
sebagian pengrajin yang membayar upah
pekerja secara bulanan. Selain itu lembur
bisa dilihat sebagai pilihan menambah
penghasilan bagi karyawan borongan
walaupun tidak ada deadline dari
konsumen.
Kendala yang dihadapai pelaku usaha
selama menggeluti usaha pembuatan
dan penjualan kerajinan rotan
Pembukaan kran ekspor rotan oleh
pemerintah membuat pengrajin rotan di
Balearjosari kesulitan mendapat bahan
baku rotan. Hal ini dikarenakan rotan
asalan dari petani rotan diekspor ke luar
negeri. Kualitas rotan yang bagus dikirim
keluar negeri menyebabkan pasokan rotan
berkualitas baik di dalam negeri menjadi
45
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
sedikit. Untuk mencari bahan baku rotan
yang berkualitas menjadi sangat susah
karena kelangkaan. Mengingat banyaknya
pengrajin rotan di Indonesia membuat
demand terhadap rotan tetap tinggi.
Ketidakseimbangan ini membuat naiknya
harga rotan. Kenaikan harga rotan secara
otomatis membuat para pengrajin rotan di
Balearjosari menggunakan bahan–bahan
substitusi dan penunjang seperti pelepah
pisang, eceng gondog, dll untuk menekan
harga produk akhir mereka agar tidak
terlalu tinggi.
Susahnya memperoleh bahan baku
stidak hanya dialami pada bahan baku
rotan, bahan baku alumunium yang
digunakan untuk rangka pun susah karena
harus antri 2-3 minggu dan terkadang
mengalai keterlambatan. Hal ini dikarenakan banyaknya permintaan terhadap
bahan-bahan tersebut. Keterlambatan ini
sering membuat pengrajin terlambat
memenuhi pesanan.
Tidak adanya perkumpulan membuat para pengrajin berjalan sendirisendiri. Pada tahun 2004 pernah didirikan
paguyuban namun bubar pada tahun 2010.
Hal ini dikarenakan paguyuban tidak
mampu membuat semacam media untuk
promosi sehingga masalah perbedaan
kemampuan memasarkan produk di kalangan
pengrajin
tidak
terpecahkan.
Kemudian tidak adanya stakeholder,
membuat paguyuban tidak mampu
menyediakan bahan baku untuk para
pengrajin. Permasalahan–permasalahan ini
kemudian membuat pengrajin berjalan
sendiri-sendiri dan menimbulkan persaingan yang tidak sehat.
Sekilas lokasi indsutri kerajinan
rotan Balearjosari terletak di samping jalan
raya Balearjosari, namun sebenarnya ada
pula unit-unit industri yang terletak
tersebar di wilayah kelurahan Balearjosari.
Kebanyakan pembeli hanya tahu showroom yang di pinggir jalan sehingga para
pengrajin yang keberadaannya di dalam
tidak bisa dijangkau oleh pembeli. Hal ini
berpengaruh terhadap volume penjualan
padahal volume penjualan adalah salah
46
satu aspek penting keberlangsungan usaha.
Kemampuan menghasilkan produk tetapi
tidak disertai kemampuan memasarkan
adalah sebuah kehancuran. Permasalahan
pemasaran ini sangat besar dampaknya
bagi perkembangan usaha kerajinan rotan
Balearjosari. Dalam hal pemasaran tidak
ada kerjasama antar pengrajin. Keadaan ini
menimbulkan kesenjangan antar pengrajin.
Sebagian pengrajin sukses, mempekerjakan banyak pekerja, telah mampu
mengekspor produknya bahkan mempunyai cabang usaha di tempat lain,
sedangkan sebagian pengrajin sebaliknya.
Bagi pengembangan usaha, masalah dana
merupakan hambatan yang
penting disamping pemasaran. Sebagian
besar pengrajin rotan di Balearjosari
mengeluh tentang terbatasnya dana yang
mereka miliki. Hal ini sangat mempengaruhi keputusan pengrajin dalam
menerima pesanan dalam jumlah besar
karena terkendala dana. Ini dikarenakan
pembeli dalam jumlah besar melakukan
pembayaran di belakang. Beberapa
pengusaha mendapatkan dana dari
pinjaman Bank, beberapa lainnya dari uang
pribadi ditambah uang DP dari pembeli.
Pemerintah kota Malang melalui
Dinas Koperasi dan UMKM berusaha
untuk menjangkau setiap industri kecil dan
menengah di kota Malang, tidak terkecuali
indusri kerajinan rotan Balearjosari. Peran
Dinas Koperasi dan UMKM kota Malang
untuk industri kerajinan rotan Balearjosari
meliputi upaya pengembangan usaha
melalui peningkatan mutu dan informasi
bisnis. Dinas beberapa kali memberikan
pelatihan mengenai manajemen pengelolaan keuangan serta mengajak pengrajin
untuk pameran. Sementara untuk bantuan
modal, Dinas Koperasi dan UMKM
bekerjasama dengan bank-bank konvensional dalam KUR (kredit usaha rakyat)
dimana bank sebagai pihak yang
menyalurkan dana sedangkan Dinas
Koperasi dan UMKM sebagai pihak yang
memberikan informasi kepada para
pengrajin. Dalam pameran misalnya,
terjadi perbedaan persepsi/pandangan
JESP V ol. 5, No.1, 2013
antara pihak dinas dengan pihak pengrajin.
Di pihak dinas, pameran adalah media
promosi yang bertujuan untuk memberitahukan keberadaan kerajinan rotan di kota
Malang. Pameran ini bersifat long term
karena biasanya barang tidak banyak
terjual di setiap pameran. Sedangkan di
pihak pengrajin, pameran diartikan sebagai
jualan. Sehingga timbul persepsi bahwa
kalau ikut pameran berarti harus laku.
Sehingga akibatnya seperti sekarang,
pengrajin merasa malas untuk mengikuti
pameran karena ruginya sudah pasti namun
lakunya belum tentu.
Latar Belakang Pengrajin Mempertahankan Usaha Kerajinan Rotan
Berbagai hambatan yang dihadapi
tidak membuat para pengrajin kerajinan
rotan Balearjosari mundur dari usaha
pembuatan dan penjualan kerajinan rotan.
Bahkan ada pengrajin yang baru memulai
usahanya di bulan november tahun 2011
lalu. Ini mengisyaratkan bahwa walaupun
sulit menjalankan usaha rotan namun ada
beberapa hal menarik yang membuat para
pengrajin tetap bertahan menjalankan
usaha ini. Salah satu alasan paling
dominan yang melatarbelakangi tetap
dijalankannya usaha kerajinan rotan adalah
karena pengrajin telah memiliki pasar dan
pelanggan, kenyataan bahwa usaha industri
kerajinan rotan dinilai menjanjikan dan
mempunyai peluang laba yang besar
karena rotan termasuk barang sekunder di
pasaran serta tidak ada patokan harganya
sehingga tidak banyak orang tahu
mengenai harga pastinya. Pengrajin mempunyai peluang untuk memainkan harga.
Alasan bagi sebagian pengusaha lainnya
adalah
karena
minimnya
keahlian
pengrajin untuk menekuni usaha di luar
rotan, serta karena usaha yang dijalankan
adalah usaha turun temurun keluarga
sehingga pengrajin merasa perlu untuk
tetap mempertahankan mengembangkannya.
Peran Industri Kerajinan Rotan
Balearjosari dalam Penyerapan Tenaga
Kerja
Industri
kerajinan
rotan
Balearjosari adalah salah satu sentra
industri yang ada di kota Malang. Sentra
industri ini terletak di jalan raya
Balearjosari, tepat di pintu masuk kota
Malang serta tersebar di wilayah kelurahan
Balearjosari. Di jalan raya Balearjosari
kenampakan industri ini adalah berupa
showroom yang menjual beraneka ragam
barang kerajinan rotan baik itu rotan alami
maupun sintetis. Sedangkan yang ada di
dalam (masuk gang) kenampakannya
adalah tempat pembuatan kerajinan rotan
dan tersebar di wilayah kelurahan Balearjosari.
Industri kerajinan rotan Balearjosari adalah industri yang berjalan
sendiri-sendiri. Tidak ada kerjasama antar
pengrajin dalam menjalankan usaha.
Masing-masing
pengrajin
mencari,
mengembangkan, atau memperluas pasarpasar mereka sendiri. akibatnya terjadi
kesenjangan antara satu pengrajin dengan
yang lainnya. Di satu sisi sebagian pengrajin sukses dan memiliki cabang usaha di
tempat lain dengan jangkauan pemasaran
meliputi Eropa dan sebagian besar wilayah
Indonesia, sedangkan di sisi lain sebagian
pengrajin yang lain memiliki order lebih
kecil serta jangkauan pemasaranya di area
Malang dan sebagian wilayah Jawa Timur.
Dari segi ekonomi, industri ini
memainkan peran yang sangat penting
bukan karena perluasan aktifitas produksinya saja. Namun juga karena kemampuan
mereka dalam menyerap tenaga kerja dan
membantu memecahkan masalah ketenegakerjaan dimana industri kerajinan rotan
ini berada.
Peranan industri kecil terhadap
ekonomi lokal pada tingkat desa di satu
sisi tergantung terutama apakah industri ini
memakai lebih banyak orang lokal sebagai
pekerja. Seperti industri kecil lainnya,
industri kerajinan rotan Balearjosari
bersifat padat karya, yakni menonjol pada
penggunaan tenaga manual dalam proses
47
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
produksinya. Tidak seperti kebanyakan
industri besar yang bersifat padat modal.
Jadi dalam proses produksi menggunakan
peralatan canggih yang hanya perlu
dioperasikan sedikit tenaga kerja. Karena
sifatnya ini, industri kerajinan rotan
Balearjosari berperan dalam menyerap
tenaga kerja dan membantu pemerintah
mengurangi pengangguran.
Industri rotan Balearjosari menyerap sebanyak 99 orang pekerja yang
berasal dari warga kelurahan Balearjosari
sendiri dan dari luar kelurahan. Sebanyak
40 orang berasal dari kelurahan
Balearjosari dan 2 orang berasal dari kota
Malang (selain kelurahan Balearjosari),
dan 57 orang lainnya berasal dari
kabupaten Malang. Jumlah pekerja
tersebut adalah jumlah keseluruhan yang
saat ini dipekerjakan oleh 11 pengrajin.
Dilihat dari aspek prosentase penyerapan
tenaga kerja, peran industri kerajinan rotan
Balearjosari dalam menyerap tenaga kerja
terbilang kecil yakni 0,0005% pada kota
Malang (selain kelurahan Balearjosari),
0,004% pada kabupaten Malang, dan
2,652% pada kelurahan Balearjosari. Dari
11 pengrajin yang ada, jumlah pekerja
yang paling banyak terserap adalah
sebanyak 26 orang sedangkan yang paling
sedikit adalah 1 orang pekerja. Banyak
sedikitnya pekerja yang dipekerjakan ini
tergantung pada perkembangan usaha.
Semakin banyak order dan semakin luas
jangkauan pasar (yang artinya semakin
berkembang suatu usaha) maka akan
semakin banyak pula barang yang
diproduksi sehingga berpengaruh pada
jumlah pekerja yang diperlukan untuk
menyelesaikan pesanan.
Pekerja yang diserap pengrajin
adalah pekerja yang sudah ahli. Artinya,
pekerja yang pada awal masuk menjadi
pekerja sudah bisa menganyam ataupun
membuat barang kerajinan rotan. Dengan
kata lain, pengrajin tidak mempermasalahkan daerah asal pekerja tetapi lebih
mempertimbangkan kemampuan yang
dimiliki oleh pekerja. Pekerjaan dilakukan
dengan sistem borongan dan harian.
48
Kemudian untuk pembayaran upah
diberikan setiap minggu dan setiap bulan.
Pekerja dengan sistem borongan di upah
sesuai dengan jumlah unit yang dihasilkan
dalam 1 minggu. Untuk harian, pekerja di
upah dengan perhitungan selama berapa
hari ia bekerja. Pekerja harian yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah
pekerja yang dipekerjakan saat banyak
pesanan dan ketika jumlah barang yang
dihasilkan masih tidak mencukupi apabila
diselesaikan hanya dengan lembur,
sehingga dibutuhkan tenaga ekstra. Setelah
order dari pelanggan sudah selesai
dikerjakan selanjutnya upah dihitung
berdasarkan berapa hari pekerja tersebut
bekerja.
Sedangkan
upah
bulanan
diberikan kepada pekerja di bagian anyam
atau pembuatan rangka. Naik turunnya
order ini menyebabkan naik turunnya
jumlah pekerja yang dibutuhkan. Karena
ketika penjualan sedang sepi sebagian
besar pengrajin akan mengurangi produksi
dan memberhentikan sebagian pekerja.
Faktor Penghambat Usaha Industri
Kerajianan Rotan Balearjosari
Karena beberapa alasan, membuat
banyak pengusaha gulung tikar. Dari
jumlah ratusan (menurut Disperindagkop
dalam Nugroho, 2010) hingga cuma
tertinggal 11 orang pengrajin saja di tahun
2012. Penurunan ini otomatis berdampak
kepada berkurangnya jumlah tenaga kerja.
Dari jumlah pekerja yang terserap pada 11
unit usaha pengrajin, 7 diantaranya
mempunyai pekerja kurang dari 10.
Sedikitnya pekerja yang terserap menunjukkan terdapatnya hambatan-hambatan
usaha yang diantaranya adalah: sebagian
pengrajin mengalami kesulitan pemasaran,
terbatasnya dana yang dimiliki sehingga
untuk memproduksi pesanan dalam jumlah
besar pengrajin akan terbentur dengan
masalah biaya. Hal ini dikarenakan
sebagian konsumen yang membeli dalam
jumlah besar melakukan pembayaran di
belakang. Mayoritas pengrajin mengaku
kesulitan dalam permodalan.
JESP V ol. 5, No.1, 2013
Selama ini sebagian besar pengrajin
meminjam uang dari Bank untuk
menjalankan usaha sedangkan sebagian
lainnya mengaku tidak meminjam uang
dari bank karena takut bunga yang tinggi
(lihat lampiran 3). Sehingga untuk
mensiasati minimnya dana yang dimiliki
ini pelaku usaha meminta DP sebelum
pengerjaan atau bayar cash ketika barang
diambil. Kurangnya informasi mengenai
dana bantuan usaha berbunga rendah
seperti KUR membuat para pelaku usaha
mengandalkan uang pribadi yang terbatas.
Sehingga usaha yang mereka jalankan
tidak banyak mengalami kemajuan.
Koperasi dan UMKM telah memberikan
informasi mengenai adanya dana KUR ini
namun untuk pencairan dananya yang
berwenang adalah pihak Bank melalui
KKMB, mengingat peran Dinas Koperasi
dan UMKM memang sebatas pada
informasi bisnis, program pengembangan
dan peningkatan mutu usaha.
Hambatan lainnya adalah adanya
perbedaan persepsi antara Dinas Koperasi
dan UMKM dengan pengrajin serta tidak
adanya perkumpulan. Peran dinas koperasi
dan UMKM meliputi aspek pemberian
informasi bisnis, upaya pengembangan
usaha dan peningkatan mutu melalui
manajemen keuangan dan upaya promosi
keluar daerah malalui pameran. Upaya–
upaya pelatihan manajemen keuangan dan
pameran ini diperuntukkan untuk semua
UMKM yang ada di kota Malang. Karena
jumlahnya yang banyak dan tempat yang
terbatas sehingga setiap penyelenggaraannya tidak bisa dihadiri oleh seluruh
UMKM yang ada namun hanya beberapa
yang menjadi perwakilan. Unit UMKM
yang hadir ini, datang tidak hanya
membawa produk mereka sendiri namun
juga membawa produk dari unit UMKM
yang sejenis untuk dipamerkan.
Dalam kasus kerajinan rotan Balearjosari, pengrajin merasa enggan untuk
mengikuti undangan pameran karena
berbagai alasan seperti sudah terciptanya
pasar mereka sendiri, sudah adanya
langganan, dan merasa rugi ketika pameran
karena belum tentu laku namun barang–
barang sudah pasti penyok (rusak) ketika
pameran. Pengrajin beranggapan bahwa
pameran adalah jualan. Jadi ketika
pameran barang harus laku. Sedangkan
bagi Dinas koperasi dan UMKM, pameran
adalah sebuah media untuk promosi yang
sifatnya long term. Sebuah media untuk
memberitahu tentang adanya kerajinan
rotan Balearjosari di kota Malang.
Sedangkan mengenai adanya perkumpulan, perkumpulan pengrajin dan
pengusaha rotan di Balearjosari pernah ada
di tahun 2004 namun bubar pada tahun
2010 karena berbagai alasan. Seperti peran
paguyuban yang tidak menghandle
kebutuhan para pelaku usaha seperti
kebutuhan dalam hal promosi sehingga
masalah perbedaan kemampuan promosi di
kalangan pengrajin tidak terpecahkan, serta
tidak adanya kemampuan untuk memasok
bahan baku membuat para anggota ini
mengundurkan diri.
Faktor Pendorong Pengrajin Mempertahankan Industri Usaha Pembuatan
Kerajinan Rotan Balearjosari
Industri kerajinan rotan Balearjosari menghasilkan berbagai macam
barang–barang seperti hiasan ataupun
barang fungsional lainnya yang unik dan
bagus dengan anyaman-anyaman. Misalnya kursi dan meja yang dibuat dari
anyaman–anyaman dan diberi warna
menarik, rak pojok, lampu hias, dsb.
Barang–barang tersebut terbuat dari rotan,
mendong, pelepah pisang, alumunium, dan
kayu yang merupakan barang-barang tidak
umum, artinya tidak ada patokan harga di
pasaran. Sehingga ketika sudah jadi sebuah
barang kerajinan maka disinilah permainan
harga dimulai. Pengrajin mempunyai
peluang untuk mendapatkan laba yang
lebih banyak. Masih diminatinya produk
kerajinan rotan dan adanya langganan yang
sudah dimiliki pengrajin membuat bisnis
ini masih menjanjikan sampai sekarang.
Selain faktor tidak adanya patokan
harga di pasaran dan sudah adanya
langganan, faktor pendorong bagi sebagian
49
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
pengrajin untuk tetap mempertahankan
usaha kerajinan rotan ini adalah karena
mereka sudah memiliki keterampilan
menganyam dan membuat barang kerajinan rotan sejak kecil karena generasi
sebelumnya sudah menekuni usaha
kerajinan rotan ini. Dipelajarinya manajemen operasional usaha sejak kecil, sudah
adanya langganan, dan nama usaha yang
sudah dikenal orang membuat pengrajin
tersebut tersebut merasa penting sekali
untuk mempertahankan usaha kerajinan
rotan ini. Serta disamping alasan lain
bahwa kebanyakan mereka sudah mahir
dalam usaha tersebut dan minimnya
keahlian pengrajin untuk menekuni usaha
di luar rotan.
Berbagai upaya dilakukan pengrajin untuk tetap mempertahankan usaha.
Upaya–upaya tersebut diantaranya adalah
dengan
menggunakan
bahan
baku
berkualitas ekspor seperti sintetis yang
didatangkan langsung dari Tangerang yang
dilakukan dalam rangka untuk membedakan mutu produk pengrajin tersebut
dengan pengrajin yang lain, menggunakan
rangka kayu untuk meminimalkan harga,
memberi variasi anyaman dengan menggunakan mendong dan pelepah pisang,
menciptakan produk baru seperti tikar
yang terbuat dari mendong, dan
menempatkan
satu
pekerja
untuk
melakukan finishing di depan showroom
untuk menarik pembeli. Penempatan satu
orang pekerja untuk melakukan finishing
di depan showroom ini diyakini pengrajin
bisa menciptakan sugesti kepada pembeli
bahwa showroom tersebut mempunyai
harga yang lebih murah karena terlihat
memproduksi barang sendiri.
Penutup
Berdasarkan uraian pada bab
sebelumnya,
maka
dapat
ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
Peran industri kerajinan rotan
Balearjosari dalam penyerapan tenaga
kerja dikatakan kecil apabila dilihat dari
prosentase penyerapan tenaga kerjanya.
50
Hal ini dikarenakan jumlah pekerja yang
terserap di industri rotan Balearjosari bila
dibandingkan dengan jumlah keseluruhan
pekerja (di semua sektor) di kelurahan
Balearjosari, kota Malang, dan Kabupaten
Malang masih terbilang kecil. Penyerapan
tenaga kerja bisa ditingkatkan dengan cara
mengembangkan usaha atau menambah
jumlah unit usaha yang ada. Dilihat dari
kesempatan kerja, industri kerajinan rotan
balearjosari memberikan kesempatan kerja
tidak hanya bagi warga kelurahan
Balearjosari tetapi juga warga dari luar
kelurahan. Besarnya peran industri
kerajinan rotan Balearjosari dalam
menyerap tenaga kerja sangat dipengaruhi
oleh perkembangan usaha yang dijalankan
oleh pengrajin. Semakin berkembang
usaha pengrajin maka akan berbanding
lurus dengan jumlah pekerja yang
dipekerjakan.
Usaha kerajinan rotan Balearjosari
tidak selalu berjalan lancar. Banyak
hambatan
yang
dialami
pengrajin.
Hambatan tersebut diantaranya adalah:
susah dan mahalnya bahan baku rotan,
keterlambatan bahan baku alumunium dan
rotan, tidak adanya perkumpulan, sebagian
pengrajin mengalami kesulitan pemasaran,
terbatasnya dana, serta perbedaan persepsi
antara Dinas Koperasi dan UMKM.
Banyaknya
hambatan
yang
mengancam
keberlangsungan
usaha
kerajinan rotan di Balearjosari tidak
menyurutkan semangat pengrajin untuk
tetap bertahan dengan usaha yang
dijalankan. Faktor-faktor pendorong yang
membuat pengrajin
mempertahankan
usaha kerajinan rotan diantaranya adalah:
usaha yang dijalankan merupakan usaha
turun-temurun sehingga pengrajin merasa
perlu untuk mempertahankan usaha
warisan keluarga, sudah adanya langganan,
barang kerajinan rotan di pasaran tidak ada
patokan
harganya sehingga dinilai
menjanjikan dan mempunyai peluang laba
yang besar, dan minimnya keahlian
pengrajin untuk menekuni usaha di luar
rotan.
JESP V ol. 5, No.1, 2013
Daftar Pustaka
Anoraga, Pandji dan Djoko Sudantoko.
2002. koperasi, kewirausahaan,
dan usaha kecil. Jakarta : PT.
Rineka Cipta.
Arfida. 2003. Ekonomi Sumberdaya
Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia
Arikunto,Suharsimi.
2002.
Prosedur
Penelitian. Jakarta: PT.Rineka
Cipta
BPS. 2005. Profil Industri Kecil dan
Rumah tangga tahun 2005 . CV .Ray
Sarana Kreasi.
BPS. 2010. Kota Malang dalam Angka
(Malang City in Figures) 2010.
Badan Pusat Statistik
BPS. 2011. Kota Malang dalam Angka
(Malang City in Figures) 2011.
Badan Pusat Statistik
BPS. 2011. Kabupaten Malang dalam
Angka 2011. Badan Pusat Statistik
Bungin, M. Burhan. 2007. Penelitian
Kualitatif komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial
Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Guritno, Sri dan Binsar Manullang.
1998/1999. Budaya Masyarakat di
Lingkungan Industri Rotan Desa
T egalwangi, Kabupaten Cirebon,
Provinsi Jawa Barat. Jakarta: CV .
Bupara Nugraha.
Keputusan Menteri Perdagangan RI No.
12/M-DAG/Kep/6/2005.
tentang
Kebijakan Membuka Kembali Kran
Ekspor Rotan dalam Jumlah dan
Ketentuan
Tertentu.
(online).
(Diakses 26 Mei 2012).
Keputusan Menteri Perdagangan RI No.
35/M-DAG/PER/11/2011. tentang
Ketentuan Ekspor Rotan dan
Produk Rotan. (online). (Diakses
26 Mei 2012).
Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan
RI
No.
355/MPP/Kep/5/2004.
tentang
Pengaturan Ekspor Rotan. (online).
(Diakses 26 Mei 2012).
Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan
RI
No.
440/MPP/Kep/9/1998.
tentang
Ketentuan Ekspor Rotan Bulat.
(online). (Diakses 26 Mei 2012).
Kuncoro, Mudrajat. 2007. Otonomi dan
Pembangunan Daerah: Reformasi,
Perencanaan,
Strategi
dan
Peluang. Jakarta: Erlangga.
Moleong, L. J. 2004. Metodologi
Penelitian Kualitatif Edisi Revisi.
Bandung: PT Remaja Pusdakarya.
Nugroho, David. 2010. Analisis strategi
pengusaha
rotan
dalam
mengembangkan usaha (studi
kasus pada industri rotan di
kelurahan Balearjosari kecamatan
Blimbing kota Malang). Malang:
Program Studi IESP Universitas
Negeri Malang.
Patilima, Hamid. 2005. Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung: Allfabeta
Payaman, J Simanjuntak. 1985. Pengantar
Ekonomi Sumber Daya Manusia .
Jakarta: BPFE UI.
Rahman, Fitria. 2011. Analisis FaktorFaktor
yang
Mempengaruhi
Penyerapan T enaga Kerja pada
Industri Kecil Kripik Tempe di
Sanan, Kelurahan Purwantoro,
Kota Malang. Malang: Program
Studi S1 IESP Universitas Negeri
Malang.
Rejekiningsih,
Tri
Wahyu.
2004.
Mengukur
Besarnya
Peranan
Industri Kecil dalam Perekonomian
di Propinsi Jawa Tengah. (online).
(Diakses 29 Juni 2011).
Saleh, Irsan Azhari. 1986. Industri kecil,
Sebuah
Tinjauan
dan
Perbandingan. Jakarta: LP3ES.
Setiyadi, Heru. 2008. Penyerapan Tenaga
Kerja pada Industri Kecil Konveksi
(Studi Kasus desa Sendang kec.
Kalinyamatan
kab.
Jepara) .
51
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
Semarang: Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro. (online).
(Diakses 29 Juni 2011).
Subri,
Mulyadi.
2003.
Ekonomi
Sumberdaya
Manusia
dalam
Perspektif Pembangunan. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Suci, Rahayu Puji. 2009. Pengaruh
Orientasi
Kewirausahaan,
Dinamika
Lingkungan,
Kemampuan Manajemen, serta
Strategi Bisnis terhadap Kinerja:
Studi
Pada
Industri
Kecil
Menengah Bordir Jawa Timur.
Sidoarjo: Dian Prima Lestari.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Metodologi
Penelitian
Pendidikan.
2010.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sumardjani, Lisman. 2009. Konsep Lima
Kekuatan Porter untuk Membedah
Kondisi Industri Rotan Indonesia .
(online). (Diakses 18 juli 2011).
Undang-Undang No.20 tahun 2008. Usaha
Mikro, kecil, dan Menengah .
(online). (Diakses 19 juli 2011).
Undang-Undang Pokok Ketenagakerjaan
No.13 tahun 2003. (online).
(Diakses 19 juli 2011).
Zamrowi, Taufik.M. 2007. Analisis
Penyerapan Tenaga Kerja pada
Industri kecil (studi di Industri kecil
mebel
di
kota
Semarang) .
Semarang: Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro. (online).
(Diakses 20 Agustus 2011).
52
JESP V ol. 5, No.1, 2013
ANALISIS PRODUKTIVITAS SEKTOR PERTANIAN
KOMODITI TANAMAN PADI BERBASIS AGRIBISNIS
DALAM PENINGKATAN EKONOMI.
(Studi Kasus di Desa Jati T engah, Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar)
Citra Agung Triyanto
Prih Hardinto
Abstract
Indonesia is referred to Agricultural Country as 75% of the population live in rural and
predominantly (54%) earn the life on agriculture sector . Agriculture has gave impetus to
the national economy. In Regency of Blitar , one of priority sector is agricultural and one of
main comodity is paddy rice plant. The importance of accomplishment of rice plant has
encourage rice plant agribusiness policy to be applied in village of Jati T engah subdistrict of
Selopuro regency of Blitar. This research aimed to study about agriculture productivity of
rice plant based on agribusiness in economic improvement. The method used was qualitatif
descriptive. The instrument of research was interview and field survey. The sample of
informan was the farmer in the village of Jati Tengah subdistrict of Selopuro. The result of
research showed that rice plant agribusiness activities in village of Jati Tengah subdistric
of Selopuro regency of Blitar was able to improve rural economy. It was shown from farm
income of plant production and rough rice value in every crop season. The average of yield
production per 100 RU of paddy field was 852,6 kg with amount 5.968 kg or 5,9 ton for
every harvest.
Keywords: Productivity, Rice Plant, Agribusiness, Economic Improvement
Krisis ekonomi yang melanda
Indonesia pada masa lalu hingga terjadinya
krisis ekonomi kembali di awal tahun 2010
telah menyebabkan pemerintah dan para
pengambil kebijaksanaan kembali berpikir
ulang tentang arah perekonomian yang
selama ini ditempuh. Kini timbul kemauan
politik yang kuat untuk membenahi
inefisiensi dan mis-alokasi sumberdaya
(misallocation of resources) yang terjadi di
sektor riil yang selama ini dibiarkan saja
terjadi. Guna mengantisipasi krisis
ekonomi, kebijaksanaan ekonomi harus
menganut paradigma baru dimana ekonomi
rakyat harus menjadi perhatian utama.
Karena sebagian besar rakyat hidup pada
sektor pertanian yang masih memberikan
kontribusi yang besar pada perekonomian
negara, maka pemberdayaan ekonomi
rakyat juga berarti membangun ekonomi
pertanian (backward linkage) dengan
sektor pertanian atau sektor primer.
Sedangkan keterkaitan kedepan (forward
lingkage)
harus
memperhatikan
pengolahan untuk meningkatkan nilai
tambah dan pemasaran yang baik sehingga
produk yang dihasilkan tidak sia-sia. Cara
yang paling efektif dan efisien untuk
memberdayakan ekonomi rakyat adalah
mengembangkan kegiatan ekonomi yang
menjadi tumpuan kehidupan ekonomi
sebagian besar rakyat yaitu sektor
agribisnis. Dengan perkataan
lain,
pembangunan ekonomi nasional yang
__________________________________________
Alamat Korespondensi :
Citra Agung Triyanto: Mahasiwa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang
Prih Hardinto. Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang
Email: [email protected]
JESP V ol. 5, No. 1, 2013
memberikan prioritas pada pengembangan
sektor agribisnis merupakan syarat
keharusan bagi pemberdayaan ekonomi
rakyat, bahkan pemberdayaan ekonomi
nasional. Saat ini sektor agribisnis di
Indonesia memungkinkan untuk mampu
bersaing guna merebut peluang pasar pada
era perdagangan bebas. Di luar sektor
agribisnis, bukan hanya sulit bersaing
tetapi juga tidak mampu memberdayakan
ekonomi rakyat bahkan cenderung
memperdaya rakyat.
Pengembangan
komoditas
pertanian yang sesuai secara biofisik dan
menguntungkan secara ekonomi, sangat
penting dalam perencanaan pengkajian
teknologi untuk pengembangan komoditas
unggulan dengan mempertimbangkan
kemampuan
sumberdaya
lahan,
sumberdaya manusia dan kelembagaan
sehingga pengembangan suatu komoditas
unggulan dapat berkelanjutan.
Di Kabupaten Blitar, perubahan
konsep suatu wilayah menekankan pada
kegiatan agribisnis khususnya pertanian
disebabkan karena laju pertumbuhan atau
produktivitas pertanian semakin turun atau
cenderung melandai, system intensifikasi
yang telah diterapkan sebagai panca usaha
tani
tidak
mampu
meningkatkan
produktivitas dan daya saing hasil. Selain
karena permasalahan tersebut untuk
mempertahankan produktivitas yang tinggi
diperlukan input yang tinggi yaitu berupa
bibit unggul dan pupuk.
Sektor agribisnis merupakan sektor
ekonomi terbesar dan terpenting dalam
perekonomian nasional. Peran penting
sektor agribisnis saat ini adalah
kemampuannya dalam menyerap tenaga
kerja dan sebagian besar penduduk
Indonesia menggantungkan hidupnya pada
sektor agribisnis. Dengan demikian sektor
agribisnis merupakan sektor ekonomi
rakyat Indonesia yang menjadi tumpuan
kehidupan ekonomi sebagian besar rakyat
dan merupakan syarat keharusan bagi
pemberdayaan ekonomi nasional.
Berdasarkan hal tersebut maka
pengembangan sektor agribisnis harus
54
berbasis pada potensi dan kewenangan
yang
dimiliki
oleh
daerah
agar
pengembangan potensi ekonomi berbasis
agribisnis khususnya pada sektor pertanian
komoditi tanaman padi ini dapat
dilaksanakan dengan baik. Pemerintah
daerah beserta seluruh elemen masyarakat
memiliki
kewenangan
dalam
merencanakan
dan
melaksanakan
pengembangan agribisnis didaerahnya
sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang
dimiliki. Perubahan tersebut tertuang
dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2004
tenang sistem perencanaan pembangunan
nasional, maka setiap pemerintah daerah
diharuskan
menyusun
rancangan
pembangunan yang sistematis, terarah,
terpadu, dan berkelanjutan dengan
mempertimbangkan
keunggulan
komparatif wilayah dan kemampuan
sumberdaya daerah yaitu sektor pertanian
komoditi tanaman padi.
Potensi daerah Kabupaten Blitar
mencakup potensi ekonomi yang meliputi
Produk Domestik Regional
Bruto,
Pertumbuhan Ekonomi, dan tingkat Inflasi.
Selain
potensi
ekonomi
tersebut,
Kabupaten Blitar juga memiliki Produk
Unggulan strategis yang menjadi andalan
dan mempunyai potensi meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan pendapatan
daerah apabila dapat dikelola secara benar,
tepat dan profesional. Pada Tahun 2007,
secara sektoral penyumbang terbesar dan
unggulan terhadap pertumbuhan PDRB
Kabupaten Blitar masih sektor Pertanian
sebesar 47,31% dan komoditi dari sektor
pertanian yang sedang dikembangkan yaitu
komoditi tanaman padi.
Alasan
pemilihan
tanaman
pertanian komoditi tanaman pangan
berjenis padi dalam penelitian ini
dikarenakan proses tanamnya sangat mudah
dan tidak memerlukan banyak tenaga.
Selain itu dalam kehidupan sehari-hari
karbohidrat merupakan salah satu zat yang
sangat penting bagi tubuh dan sangat
mutlak diperlukan setiap hari. Karbohidrat
merupakan senyawa organik karbon,
hydrogen, dan oksigen, yang terdiri atas
JESP V ol. 5, No.1, 2013
satu molekul gula sederhana atau lebih
yang merupakan bahan makanan penting
sebagai sumber energy atau tenaga.
Karbohidrat kita peroleh dari makanan
pokok sehari-hari seperti padi, jagung,
ketela pohon, kentang, sagu, gandum, ubi
jalar dan lain-lain. Dari sekian banyak
sumber
karbohidrat,
padi
ternyata
merupakan sumber karbohidrat yang
ideal bagi kita. Itulah sebabnya padi
menjadi sangat penting bagi bangsa
Indonesia khususnya di Kabupaten Blitar
dan sekitarnya. Pentingnya akan pemenuhan
kebutuhan akan tanaman padi ini
menyebabkan adanya kebijakan pengadaan
agribisnis
tanaman
padi
untuk
dikembangkan di Desa Jati Tengah
Kecamatan Selopuro Kabupaen Blitar.
Berdasarkan paparan diatas Desa
Jati
Tengah
Kecamatan
Selopuro
Kabupaen Blitar termasuk salah satu desa
yang
sebagian besar penduduknya
menggantungkan hidup sebagai petani, hal
ini disebabkan kondisi daerah tersebut
sangat mendukung untuk dijadikan sebagai
tempat industri pertanian, selain kondisi
tanahnya yang subur juga terdapat sarana
irigasi
yang
memadai.
Prospek
pengembangan agribisnis desa Jati Tengah,
Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar ini
dinilai dimasa datang menjadi sangat baik,
hal ini disebabkan keadaan geografis dan
letaknya yang strategis. Faktor lain yang
mendukung
prospek
pengembangan
agribisnis di desa Jati Tengah, Kecamatan
Selopuro, Kabupaten Blitar ini adalah
penduduk yang semakin bertambah
sehingga
kebutuhan
pangan
juga
bertambah dan meningkatnya pendapatan
masyarakat akan meningkatkan kebutuhan
pangan berkualitas dan beragam.
Metode Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah jenis penelitian
kualitatif dimana penelitian tersebut
dilakukan menggunakan pendekatan dan
jenis penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif
yang
diperoleh di Desa Jati Tengah berupa katakata tertulis atau lisan dari informan yaitu
para petani padi dan perilaku bercocok
tanam padi, pendekatan ini di arahkan pada
latar belakang pemilihan tanaman padi
yang diagrabisniskan, bagaimana proses
pdoduksi, dan apakah tanaman padi
agribisnis tersebut dapat meningkatkan
ekonomi petaninya.
Jenis metode yang digunakan
dalam peneitian ini adalah jenis metode
penelitian studi kasus. Studi kasus adalah
suatu pendekatan yang dilakukan secara
intensif, terperinci dan mendalam dimana
suatu penelitian disini menggunakan studi
kasus di Desa Selopuro Kabupaten Blitar
dengan menggunakan instrmen dalam
penelitian berupa para petani padi di desa
tersebut dengan alat ukur berupa kegiatan
wawancara pada petani. Sumber data
dalam penelitian ini dalam
penelitian
kualitatif adalah kata-kata dan tindakan,
selebihnya
(misalnya
dokumen)
merupakan data tambahan.
Pembahasan
Latar belakang para petani di Desa
Jati Tengah dalam pemilihan tanaman padi
yang di agribisniskan adalah mempunyai
latar belakang yang secara garis besar
sama, yaitu lahan pertanian di Desa Jati
Tengah cocok ditanami padi, karena sistem
irigasi atau pengairan sangat mudah dan
sudah tertata sejak dulu. Selain itu tidak
memerlukan
banyak
tenaga,
tidak
memerlukan biaya produksi yang banyak.
Dilihat dari produktivitas, hasil produksi
tanaman
padi
ini
lebih
banyak
dibandingkan sebelum agribisnis.
Di Desa Jati Tengah ini sangat
cocok ditanami padi karena letak
geografisnya sangat strategis yaitu terletak
di sebelah timur sungai lekso dan bentang
alamnya yang sebagian besar adalah lahan
persawahan
sehingga
sangat
menguntungkan jika lahan ini ditanami
padi. Selain itu system irigasinya yang
sudah tertata sejak dulu sehingga para
petani sangat mudah melakukan pengairan
atau pengelepan lahan. Dilihat dari tenaga
55
JESP V ol. 5, No. 1, 2013
kerja, padi agribisnis tidak memerlukan
banyak tanaga kerja, hal ini dikarenakan
padi dengan system agribisnis ini sangat
tahan terhadap serangan hama, sehingga
dapat menekan biaya produksi yaitu
pembelian obat-obetan.
Dari latar belakang tersebut sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh
hermawan dalam jurnal agribisnis.
Agribisnis terdiri dari berbagai sub sistem
diantaranya subsistem usaha tani atau
proses produksi. Sub sistem ini mencakup
kegiatan pembinaan dan pengembangan
usahatani dalam rangka meningkatkan
produksi
primer
pertanian.
Disini
ditekankan pada usahatani yang intensif
dan
sustainable
(lestari),
artinya
meningkatkan
produktivitas
lahan
semaksimal
mungkin
dengan
cara
intensifikasi tanpa meninggalkan kaidahkaidah pelestarian sumber daya alam yaitu
tanah dan air. Disamping itu juga
ditekankan usahatani yang berbentuk
komersial bukan usahatani yang subsistem,
artinya produksi primer yang akan
dihasilkan diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan pasar dalam artian ekonomi
terbuka.
Gambaran Proses Produksi Tanaman
Padi
Proses produksi pada kegiatan usaha
bercocok tanam tanaman padi merupakan
suatu rangkaian kegiatan unik dan menarik
untuk dicermati, prosesnya membutuhkan
waktu cukup lama yaitu berbulan-bulan
dan tidak bisa diselesaikan dalam satu hari
saja, untuk memproduksi hasil-hasil
pertanian
memerlukan
keuletan,
ketelatenan dan kesabaran tersendiri
karena keberhasilan dari kegiatan usaha ini
tidak hanya ditentukan oleh petani sebagai
produsen saja melainkan sangat tergantung
pada alam. Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan agar proses kegiatan usaha
bercocok tanam padi dapat berjalan dengan
baik dan lancar antara lain: teknik
produksi, tanah atau lahan, tenaga kerja,
modal.
56
a. Teknik produksi
Sebelum memulai kegiatan usaha
tanam padi seorang petani tentu memilih
bibit, pupuk, serta obat-obatan apa yang
akan digunakan. Bibit yang sering ditanam
petani jenis ciherang, adirasa, ciboga,
mikongga, waiapu, 64. Padi jenis tersebut
termasuk jenis bibit padi unggulan karena
cocok ditanam pada berbagai musim
dimana pohonnya tidak terlalu tinggi dan
tidak terlalu rendah, produktifitasnya
tinggi, nasinya enak, dan disukai para
pedagang.
Untuk tahap pengolahan lahan para
petani di Desa Jati Tengah ini sudah
menggunakan alat yang lebih modern yaitu
menggunakan
traktor.
Sehingga
pembajakan lahan dapat dilakukan dengan
waktu yang lebih singkat. Pengolahan
lahan yang singkat ini dapat mempercepat
masa tanam.
Pada tahap pemeliharaan yaitu
pemberian pupuk dan obat-obatan
pembasmi hama. Pupuk yang digunakan
sebagian besar petani adalah pupuk
organik, ini merupakan salah satu ciri
utama dalam pengembangan agribisnis
tanaman padi di Desa Jati Tengah
Kecaman Selopuro. Pupuk ini terbuat dari
pupuk kandang yang diolah dengan
femmentasi EM4 dan super metor atau
super
degra.
Tujuannya
untuk
menyuburkan tanah, dan pembenahan
tanah untuk meningkatkan unsur organik
dalam tanah agar penyerapan pupuk kimia
lebih efektif dan terurai lebih sempurna
sehingga
mempercepat
pertumbuhan
tanaman.
Untuk
tambahannya
menggunakan pupuk ZA, pupuk ponska,
dan sebagai campuran menggunakan urea.
Selain diberi pupuk juga diberikan obatobatan yang terdiri dari clupindo, applaud,
dan dicampur obat nyamuk autan. Harga
obat-obatan semakain lama semakin mahal
namun demikian petani tetap membelinya
jika tidak tanaman mereka tidak akan
menghasilkan padi yang berkualitas baik.
Pupuk yang digunakan petani merupakan
pupuk bersubsidi pemerintah sehingga
harga sedikit lebih murah dibandingkan
JESP V ol. 5, No.1, 2013
pupuk yang tidak bersubsidi. Para petani di
desa ini mayoritas sudah menggunakan
pupuk organik karena harga pupuk tersebut
lebih murah begitu juga kualitas tidak
kalah dengan pupuk kimia, hal ini sudah
diuji dilaboratorium pertanian Kabupaten
Blitar dan dibuktikan oleh petani di Desa
jati Tengah yang hasilnya produksi tinggi
dan berkualitas bagus.
Sesuai pembahasan diatas dapat
dihubungkan
dengan
teori
yang
dikemukakan Suyatno dalam jurnal
agribisnis,
yaitu
“Dalam
kegiatan
agribisnis akan ada hubungan antara
manusia dengan lingkungan dan upaya
untuk memanfaatkan serta menata
lingkngan tersebut sedapat mungkin sesuai
dengan tujuan kegunaan yang diinginkan.
Y ang dimaksud “memanfaatkan” dalam
hal ini adalah seperti member pupuk, unsur
kimiawi yang dibutuhkan, irigasi,dan
perlindungan lahan.”
Dalam penggunaan pupuk organik
maupun non organik, pembeliannya sudah
di koordinir oleh kelompok tani. Sehingga
semua anggota kelompok tani dapat
menggunakan pupuk tersebut. Dan harga
yang diberikan kepada anggota kelompok
juga lebih murah dibandingkan pupuk
yang dijual di luar.
b. Hasil panen
Dari
hasil
penelitian
yang
dilakukan peneliti bahwa hasil panen atau
hasil produksi yang diperoleh petani tiap
100 RU rata-rata 852 kg. Hasil panen
masih berupa gabah kering sawah, yaitu
padi yang baru dipanen dari sawah lalu
hasilnya dikumpulkan dan ditimbang. Dari
proses agribisnis ini hasil panen petani
mengalami
peningkatan
dibanding
sebelum menggunakan proses agribisnis
yaitu pada waktu sebelum agribisnis petani
hanya memperoleh per 100 RU rata-rata
700 kg.
c. Tanah
Tanah atau lahan pertanian yang
dugunakan petani untuk menanam padi
adalah lahan persawahan dan paling cocok
ditanami padi, karena pada lahan
persawahan ini memudahkan para petani
dalam
melaksanakan
pengairan
(pengelepan).
Hal diatas berkaitan dengan kutipan
dari Garutkab (2011), yaitu “Padi sawah
ditanam disawah, yaitu lahan yang cukup
memperoleh air. Padi sawah pada waktuwaktu tertentu memerlukan genangan air,
terutama sejak musim tanam sampai mulai
berbuah. “
d. Tenaga kerja
Dalam kegiatan produksi tanaman
padi keberadaan tenaga kerja tidaklah
diperlukan setiap hari tetapi hanya pada
saat-saat tertentu saja misalnya: pada
pengolahan
tanah
sebelum
tanam,
penanaman bibit, penyiangan, pemupukan,
dan pemanenan. Tenaga kerja yang
dibutuhkan para petani bukanlah tenaga
kerja yang memiliki pendidikan tertentu
atau memiliki keahlian khusus melainkan
mereka yang mempunyai tubuh yang kuat
dan tahan terhadap panas teriknya matahari
(tergolong tenaga kerja kasar). Tenaga
kerja yang digunakan para petani tidak
hanya tenaga kerja laki-laki saja tetapi juga
tenaga kerja perempuan.
Untuk mencari tenaga kerja para
petani tidak pernah menemui kesulitan hal
ini dikarenakan di desa Jati Tengah
mayoritas
penduduknya
bermata
pencaharian sebagai petani dan buruh tani.
Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan
menyesuaikan dengan luas lahan yang
digarap, semakin luas lahan semakin
banyak tenaga kerja yang dibutuhkan
begitu juga sebaliknya. Untuk menggarap
lahan
seluas
satu
hektar
petani
membutuhkan 3 sampai 7 orang saja
karena jumlah tersebut sudah mampu
menyelesaikan
disetiap
pekerjaan,
sedangkan pada waktu panen yang telah
mencapai
puncaknya
para
petani
menambah beberapa pekerja karena
pemanenan dituntut supaya dapat selesai
pada hari itu juga, berbeda dengan
pekerjaan
lain seperti penyiangan,
57
JESP V ol. 5, No. 1, 2013
pemupukan, bila tidak selesai dapat
diselesaikan pada keesokan harinya.
Sistem upah yang diberikan kepada
para tenaga kerja (buruh tani) digolongkan
menjadi dua macam, sistem upah
borongan. Namun para petani di desa Jati
Tengah mayoritas menggunakan sistem
upah borongan karena sistem upah ini
dirasa saling menguntungkan dan biaya
yang dikeluarkan petani tidak terlalu besar.
Mengenai lama waktu bekerja untuk lahan
seluas satu hektar pembajakan mulai dua
hari sampai empat hari. Biasanya para
pemilik lahan juga ikut bekerja agar
pekerjaan
menggarap
lahan
dapat
terselesaikan lebih cepat.
e. Modal
Dalam melaksanakan kegiatan
usaha suatu perusaahaan dapat berjalan
dengan lancar apabila didukung modal
yang mencukupi, baik modal yang berupa
peralatan maupun modal yang berupa
dana. Begitu juga untuk menjalankan
usaha tanam padi ini, modal berupa
peralatan seperti cangkul, bajak, sabit tidak
harus disediakan oleh petani sebagai
pemilik lahan tetapi peralatan tersebut
sudah disediakan sendiri oleh para tenaga
kerja. Sedangkan modal yang berupa
dana/uang dibedakan menjadi dua yaitu
modal pribadi dan modal pinjaman. Modal
pinjaman petani berasal dari Bank Rakyat
Indonesia (BRI) unit Selopuro.
Besarnya modal yang digunakan
masing-masing petani menyesuaikan luas
lahan. Semakin luas lahan semakin besar
modal yang digunakan. Ada sebagian
petani yang merinci modal yang digunakan
untuk usaha tanam padi, dan ada juga yang
jarang merinci modal yang digunakan.
f. Penjualan hasil produksi
Tujuan utama seorang petani
melaksanakan kegiatan usaha taninya tidak
lain adalah memproduksikan hasil-hasil
pertanian yang kemudian dijual, agar
mendapatkan uang. Petani tidak secara
langsung menjual hasil produksinya
kekonsumen tetapi melalui tengkulak atau
58
pedagang agen terebih dahulu selanjutnya
disalurkan kekonsumen. Padi hasil
produksi dijual ketengkulak atau pedagang
masih berupa gabah. Harga gabah didesa
ini bervariasi tergantung dari jenis bibit
yang ditanam. Gabah yang diperoleh
tengkulak digiling atau diselep menjadi
beras sebelum disalurkan kekonsumen
melalui pasar atau toko-toko.
g. Pendapatan Petani
Sebagian petani selalu membuat
catatan secara rinci mengenai biaya
pengeluran dan uang pemasukan, mereka
menghitung
biaya
produksi
yang
dikeluarkan, sehingga dapat diketahui
berapa besarnya keuntungan atau kerugian
yang diterima atau diderita dari kegagalan
usaha. Namun ada juga petani yang tidak
pernah sama sekali merinci pengeluaran
dan pemasukan, mereka hanya mengetahui
selesai menjual hasil produksi dan
memperoleh uang, tidak mengetahui
berapa besarnya keuntungan atau kerugian
yang diterima atau diderita. Pendapatan
yang diterima petani selain digunakan
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
juga digunakan sebagai persiapan biaya
produksi pada musim tanam yang akan
datang.
Peningkatan Ekonomi Petani dari
Kegiatan Agribisnis Tanaman Padi
Seperti yang telah digambarkan
diatas, bahwa sebagian besar masyarakat di
Desa Jati Tengah Kecamatan Selopuro
sebagian besar adalah bermatapencaharian
sebagai petani, Maka dari itu dalam
penelitian ini ingin melihat apakah dengan
cara beragribisnis tanaman pertanian
khususnya padi yang menjadi komoditi
utama dengan cara diagribisniskan dengan
pola
memperbaiki
kualitas
proses
produksinya dapat meningkatkan ekonomi
petani dengan indikator melihat jumlah
pendapatan petani yang beragribisnis
tanaman padi dari hasil panen yang
didapat. Dalam melihat peningkatan
ekonomi petani khususnya peningkatan
JESP V ol. 5, No.1, 2013
taraf hidup dan pendapatan petani di Desa
Jati
Tengah
Kecamatan
Selopuro
berdasarkan hasil penelitian ini dapat
dilihat berdasarkan hasil produksi atau
hasil panen yaitu hasil dari penjualan
panen petani yang berupa gabah kering
sawah.
1) Berdasarkan hasil produksi.
Di Desa Jati Tengah produktifitas
padi tergolong tinggi. Hal ini berdasarkan
perolehan panen atau produksi yang
dihasilkan petani. Tiap 100 RU
menghasilkan gabah sebanyak rata-rata
852 kg atau 8 kwintal. Faktor yang
mempengaruhi peningkatan hasil produksi
selain dari kondisi alam atau cuaca juga
dari teknik produksi yang penggunaan
pupuk
oraganik
dalam
proses
pengagribisnisan tanaman padi di Desa Jati
Tengah.
Petani di Desa Jati Tengah sudah
tidak bergantung pada pupuk kimia saja
tetapi juga menggunakan pupuk organik.
Bahkan porsi yang paling banyak
digunakan adalah pupuk organik. Selain
dapat meningkatkan produktifitas tanaman
padi, dan dapat meningkatkan kandungan
unsur hara dan organik dalam tanah,
harganyapun jauh
lebih murah
dibandingkan dengan pupuk kimia yang
harganya semakin lama semakin mahal.
2) Kondisi Pendapatan Petani setelah
Mengagribisniskan
Tanaman
Padi
Berdasarkan hasil penelitian bahwa
ternyata hasil pendapatan petani dari hasil
penjualan gabah kering dari padi yang
telah diagribisnikan mencapai 8,52 kwintal
per 100 RU. Dari hasil penelitian dapat
dilihat cenderung mengalami peningkatan
pendapatan dari hasil panen jika tanaman
padi diagribisniskan dengan cara produksi
yang terstruktur. Dalam hal ini dapat
dilihat jika hasil panen untuk tanaman padi
yang tidak diagribisniskan berdasarkan
penelitian dinas pertanian tahun 2010
setiap 100 RUnya hanya memperoleh ratarata 700 kg (Daftar Isian data base
pertanian Desa Jati Tengah, Dinas
Pertanian Kabupaten Blitar, Propinsi Jawa
Timur 2010). Dari hasil tersebut tentu
dapat disimpulkan melalui penelitian ini,
bahwa penggunaan sistem
agribisnis
untuk tanaman pertanian komoditi padi
lebih dapat meningkatkan hasil pendapatan
petani padi jika dibandingkan dengan
sistem
penanaman
padi
tanpa
menggunakan sistem agribisnis.
3) Faktor penghambat usaha tani.
Dalam setiap jenis usaha yang
menjadi faktor penghambat pasti selalu
menyertai, tidak terkecuali kegiatan usaha
tani yang ada di Desa Jati Tengah
Kecamatan
Selopuro,
beberapa
penghambat usaha ini yaitu, pertama hama
tikus, tetapi yang paling parah adalah hama
wereng. Untuk menanggulangi hama ini
para petani di desa ini melakukan semprot
masal yang dilakukan diseluruh area
persawahan yang ada di Desa Jati Tengah.
Kedua adalah cuaca atau iklim yang tidak
menentu. Hambatan ini termasuk ciri khas
usaha
tani
yang
keberhasilannya
tergantung pada kondisi alam karena
tempat produksinya berada di alam terbuka
sehingga gangguan yang berasal dai alam
langsung menerpa, berbeda dengan usaha
lain yang tempat produksinya berada
didalam ruangan atau gedung sehingga
faktor cuaca dapat diminimalisir.
4) Faktor Pendukung Usaha Tani
Berdasarkan hasil penelitian dilapangan
bahwa yang menjadi faktor pendukung
usaha tani padi ini adalah pertama
pengairan lancar, karena saluran irigasi
sudah tertata sejak dulu, dan letak desa ini
dilalui sungai Lekso yang menurut
sejarahnya sungai ini tidak pernah
kehabisan air walaupun pada musim
kemarau. Kedua, untuk mencari tenaga
kerja mudah, hal ini dikarenakan mayoritas
penduduknya bermata pencaharian sebagai
petani dan buruh tani. Ketiga, untuk
penetapan harga juga mudah, karena
penetapan harga selalu mengikuti harga
pasar. Keempat, pupuk sudah di siapi
kelompok tani. Jadi petani tidak perlu
59
JESP V ol. 5, No. 1, 2013
susah mencari pupuk keluar desa. Kelima,
adanya
penyuluhan
dari
Penyuluh
Pertanian
Lapangan
masalah
penanggulangan hama, pola cocok tanam,
dan bantuan bibit.
5) Peran pemerintah dalam bantuan dan
pembinaan.
Peran pemerintah dalam hal bantuan sudah
baik. Bantuan pemerintah yang diberikan
berupa alat bajak atau traktok. Namun
penggunaannya terkendala pada perawatan
dan jumlah traktok yang diberikan,
sehingga penggunaanya masih belum bisa
maksimal.
Selain
berupa
traktor,
pemerintah juga memberikan bantuan bibit
padi. Bantuan bibit ini disalurkan melalui
kelompok tani dan disalurkan kepada para
anggotanya.
Sedangkan dalam hal pembinaan,
pemerintah sangat perhatian kepada petani
melalui Penyuluh Pertanian Lapangan
(PPL) atau mantri tani. PPL ini bertugas
untuk
memberikan
penyuluhan,
pembinaan, membantu mengatasi masalah
penanggulangan hama, dan penyuluhan
pola cocok tanam.
Penutup
Berdasarkan pada pemaparan data
dan pembahasan di atas, maka dapat
dirumuksn kesimpulan :
1. Latar belakang pemilihan tanaman padi
yang diagribisniskan karena kebutuhan
akan konsumsi produksi pertanian
khususnya padi di Desa Jati Tengah
Kecamatan Selopuro Kabupaten Blitar
sangat tinggi, dan lahan pertanian di
Desa Jati Tengah cocok ditanami padi.
Selain itu pengairannya pun juga sangat
mudah, hasil panen selain sebagian
untuk dikonsumsi sendiri juga untuk
persiapan biaya produksi pada musim
tanam selanjutnya. Selain itu teknik
tanamnya mudah dan tidak memerlukan
banyak tenaga. Adanya kegiatan
agribisnis pertanian di Desa Jati Tengah
Kecamatan Selopuro Kabupaten Blitar
ini juga dikarenakan produktivitas
60
tanaman padi cenderung melandai yang
mengakibatkan minimnya pendapatan
petani.
2. Proses produksi kegiatan penanaman
padi di Desa Jati Tengah Kecamatan
Selopuro Kabupaten Blitar menerapkan
sistem pengagribisnisan penanaman
padi dengan proses agribisnis tanaman
padi dengan cara pemilihan bibit
berkualitas dengan pola pembibitan
sendiri, pengolahan
tanah
yang
memperhitungkan kualitas kesuburan
tanah untuk jangka panjang dan
pemeliharaan tanaman padi dengan
menggunakan pupuk organik untuk
peningkatan hasil produksi.
3. Kegiatan agribisnis tanaman padi di
Desa Jati Tengah Kecamatan Selopuro
Kabupaten Blitar dalam penelitian
menunjukkan hasil dimana agrbisnis
tanaman padi dapat meningkatkan
perekonomian petani dilihat tingkat
pendapatan petani dari hasil produksi
atau hasil panen serta penjualan gabah
kering yang dihasilkan dalam setiap kali
panen. Hal tersebut dapat terlihat dari
hasil penelitian yang mana rata-rata
hasil panen dalam setiap 100 RU untuk
tanahnya memperoleh hasil rata-rata
852,6 kg dengan jumlah 5.968 kg atau
5,9 ton setiap kali panen. Untuk hasil
tersebut dalam penelitian ini petani
lebih untung jika dibandingkan dengan
penanaman padi tanpa menggunakan
sistem agribisnis.
Berkenaan dengan hasil temua di
atas maka dapat dirumuskan berbagai
masukan, yakni :
1. Bagi Pemerintah, dalam rangka
peningkatan taraf hidup petani
melalui perbaikan kualitas produksi
yang telah dilakukan selama ini
melalui berbagai penyuluhan, maka
untuk selanjutnya juga perlu
dilakukan pemberian penyuluhan
tentang administrasi keuangan
untuk para petani khususnya petani
yang berada di daerah yang
terpencil,
karena
saat
ini
penyuluhan untuk kepentingan
JESP V ol. 5, No.1, 2013
administrasi keuangan ini dinilai
masih sangat kurang. Hal ini
sangatlah perlu dilakukan agar
kualitas proses produksi atau usaha
pertaniannya semakin baik dan
berkembang.
2. Bagi petani, diharapkan untuk
dapat bekerja sama dengan sesama
petani dan juga penyuluh dari pihak
dinas pertanian untuk dapat
mengembangkan pola atau tata cara
pertanian yang disesuaikan dengan
kondisi cuaca dan tanah sehingga
hasil produksi yang dihasilkan
optimal
serta
menjadikan
pendapatan petani dari hasil panen
semakin meningkat. Selain itu bagi
petani bisa lebih mengembangkan
pola kegiatan agribisnis hingga ke
tahap pengolahan agribisnis hasil
produksi atau pertanian dengan
cara pendistribusian hasil dengan
bentuk yang lebih memiliki nilai
jual tinggi.
3. Bagi
peneliti
selanjutnya,
diharapkan dapat menarik minat
bagi peneliti selanjutnya untuk
melakukan penelitian selanjutnya
baik dengan permasalahan berbeda
terkait dengan masalah penelitian
ini, sehingga penelitian tentang
usaha tani ini tidak berhenti sampai
disini saja.
Daftar Pustaka
Dukat. 2010. Pengembangan Pertanian
T anaman Pangan di Kecamatan
Losari,
Kabupaten
Cirebon.
(Online).
(http://www.google.co.id/jurnal.html
diakses 14 Maret 2011)
Garutkab. 2010.
Peluang Investasi
Agrobisnis Padi Sawah. (Online).
(http://www.google.co.id/jurnalperta
nian.html diakses 28 Januari 2011)
Siagian, Renville. 2003. Pengantar
Manajemen Agribisnis. Y ogyakarta:
Gajah Mada University Press.
MB-IPB.
2010.
Jurnal.
(Online).
(http://www.google.co.id/jurnal.html
diakses 14
Maret 2011)
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi
Penelitian Kualitatif Edisi Revisi.
Bandung:
PT.
Remaja
Rosdakarya Bandung.
Mubyarto. 1985. Pengantar Ekonomi
Pertanian,
Jakarta:
Lembaga
Penelitian, Pendidikan, Penerangan,
Ekonomi dan Sosial.
Mosher, A. T .1966. Menggerakkan dan
Membangun Pertanian . Jakarta: CV
Y asaguna
Mukhyi, Muhammad Abdul. 2007.
Analisis
Peranan
Subsektor
Pertanian dan Sektor
Unggulan
Terhadap Pembangunan Kawasan
Ekonomi Propinsi
Jawa Barat:
Pendekatan Analisis IRIO, (Online),
(http://www.google.com/jurnalpert
anian.html diakses 8 Januari 2011)
PPKI. 2010. Pedoman Penulisan Karya
Ilmiah Edisi Kelima. Malang:
Universitas Negeri Malang.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan R & D.
Bandung: CV . Alfabeta
Suyatno, Yulistyo. 2008. Penguatan
Strategi Pengembangan Kawasan
Agropolitan Berbasis Peningkatan
Daya Saing Produk Agribisnis
Unggulan Di Kabupaten Semarang .
(Online).
(http://www.google.co.id/jurnal.html
diakses 14 Maret 2011)
Syahza, Almasdi. 2003. Analisis Ekonomi
Usahatani Hortikultura sebagai
61
JESP V ol. 5, No. 1, 2013
Komoditi Unggulan Agribisnis di
Daerah
Kabupaten
Pelalawan
Propinsi
Riau,
(online),
(http://www.google.com/jurnalpertan
ian.html diakses 8 Januari 2011)
Tanti, Hak Denny M S. 2009. Arahan
Pengembangan Usahatani Tanaman
Pangan Berbasis Agribisnis di
Kecamatan
Toroh,
Kabupaten
Grobogan,
(Online),
62
(http://www.google.com/jurnalpertan
ian.html diakses 8 Januari 2011)
Zarkasih, Khamim. 2008. Analisis
Kegiatan Bercocok Tanam (Studi
Kasus) Pada Petani di Desa
Sukonolo Kecamatan Bululawang
Kabupaten Malang. Skripsi tidak
diterbikan.
Malang:
Fakultas
Ekonomi Universitas Negeri Malang
JESP Vol. 5, No.1, 2013
ANALISIS SEKTOR-SEKTOR EKONOMI
DALAM RANGKA PENGEMBANGAN KEBIJAKAN
PEMBANGUNAN EKONOMI KOTA KEDIRI
Rita Erika
Sri Umi Mintarti W
Abstract
This study aims to determine (1) economic sectors that have the potential to be excellent
in the city of Kediri, (2) the suitability of economic development policy Kediri sector
analysis results are to be seeded. This research uses descriptive quantitative method.
Subjects in this study is GDP Kediri and East Java Province sector is calculated based
on constant prices of 2000 the period 2006-2010 by using the method of documentation,
observation, and interviews. This paper uses an analytical tool, namely the analysis of
Location Quotient (LQ), Model Growth Ratio and Klaassen Typology. Based on the
results of data analysis, two conclusions obtained the following results. First, the city of
Kediri has four major sectors that be a flagship (leading sector) of the manufacturing
sector , financial sector , leasing and business services, construction, and services sector .
Where the four sectors in the city of Kediri have the opportunity to further develop as a
determinant of sector priorities in developing economic development policies. Second,
economic development policy Kediri existing foundation that is contained in the Tri Bina
Kediri development in education, are still have not suitable and a difference with the
results of the analysis of the four sectors of the seed sector . Thus, in determining the
priority of economic development policy, should consider of growth rate and the basic
level of each sector. So that would be obtained development in accordance with the
conditions and potential of each sector.
Keywords: Economic Sectors, Economic Development
Faktor terpenting yang mendorong
usaha yang lebih besar untuk mewujudkan
pembangunan ekonomi juga bersumber
dari keinginan negara-negara yang baru
mencapai kemerdekaan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakatnya (Sukirno,
2006:6).
Pelaksanaan pembangunan Indonesia selama ini juga tidak terlepas dari
pandangan
tersebut.
Pembangunan
nasional mempunyai dampak atas pembangunan daerah, sebab daerah adalah
bagian integral dari suatu negara.
Indonesia sebagai suatu negara kesatuan,
rencana pembangunannya meliputi rencana
pembangunan nasional maupun rencana
pembangunan dalam lingkup regional.
Pembangunan ekonomi nasional mempunyai dampak atas struktur ekonomi
nasional dan struktur ekonomi daerah.
Pembangunan
daerah
sebagai
bagian integral dari pembangunan nasional
dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi
daerah. Menurut UU Otonomi daerah
Nomor 32 Tahun 2004, otonomi daerah
didefinisikan sebagai berikut:
Otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah
otonom
untuk
mengatur
dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masya-rakat
setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
__________________________________________
Alamat Korespondensi :
Rita Erika: Mahasiwa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang
Sri Umi Mintarti W. Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang
Email : [email protected]
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
Melalui otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut kreatif dalam mengembangkan perekonomian, peranan investasi
swasta dan perusahaan milik daerah sangat
diharapkan sebagai pemacu utama
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Investasi akan mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi daerah dan dapat
menimbulkan multiplier effect terhadap
sektor-sektor lainnya.
Dengan adanya strategi pembangunan ekonomi akan memudahkan
penetapan prioritas pembangunan ekonomi
suatu daerah. Sehingga diperlukan
pemetaan kondisi, kekhasan dan potensi
yang ada. Selanjutnya, kondisi kekhasan
dan potensi tersebut diberdayakan guna
menjamin
terciptanya
fundamental
ekonomi yang kuat.
Pemberdayaan potensi dan ciri khas
daerah akan dapat berjalan jika sektorsektor ekonomi khususnya yang berpotensi
menjadi unggulan (leading sektor) dapat
dioptimalkan. Sektor-sektor ekonomi yang
berpotensi menjadi unggulan ini penting
untuk
menentukan
skala
prioritas
pembangunan. Sektor yang menjadi
unggulan ini adalah sektor yang memiliki
potensi yang lebih untuk berkembang
dibandingkan dengan sektor lainnya.
Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) di Kota Kediri pada dasarnya
terdiri atas 9 (sembilan) sektor, yaitu (1)
sektor pertanian; (2) pertambangan dan
penggalian; (3) industri pengolahan; (4)
listrik dan air minum; (5) konstruksi; (6)
perdagangan, hotel dan restoran; (7)
pengangkutan dan komunikasi; (8)
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan,
dan (9) jasa-jasa.
Kota Kediri merupakan salah satu
daerah yang berada di Propinsi Jawa Timur
yang memiliki luas wilayah 63,40 Km2.
Kota Kediri sebagai salah satu daerah
otonom yang memiliki kewenangan untuk
menyelenggarakan pemerintahan dan
pembangunan serta memberikan pelayanan
kepada masyarakat, memiliki kewenangan
yang luas untuk mengelola, merencanakan
dan memanfaatkan potensi ekonomi secara
64
optimal, yang dapat dinikmati oleh seluruh
masyarakat di Kota Kediri. Kota Kediri
memiliki Produk Domestik Regional Bruto
menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga
Konstan Tahun 2000 secara rata-rata dari
tahun
2008-2010
sebesar
Rp
22.102.550,84 juta.
Kontribusi sektor ekonomi Kota
Kediri sangat dipengaruhi oleh sektor
industri pengolahan. Selama kurun waktu
tahun 2008 hingga 2010 kontribusinya
mengalami peningkatan meskipun sektor
pertambangan dan penggalian kontribusinya mengalami penurunan. Pada tahun
2008 hingga 2010 sektor perdagangan,
hotel dan restoran juga mengalami
penurunan.
Secara umum perekonomian Kota
Kediri tidak dapat dipisahkan dengan
keberadaan PT Gudang Garam. PDRB
sebagai indikator perekonomian menunjukkan ketergantungan masih diatas 70%.
Ketergantungan yang cukup besar tersebut
mengakibatkan
rentannya
aktivitas
perekonomian dari gejolak perekonomian
global. Hal tersebut secara tidak langsung
mengurangi daya saing pelaku ekonomi
yang ada di kota Kediri (RPJMD, 20102014).
Salah satu cara untuk menjalankan
pembangunan ekonomi yaitu dengan
menentukan prioritas kebijakan pembangunan ekonomi yang tepat. Oleh karena
itu peneliti tertarik untuk meneliti sektorsektor ekonomi yang menjadi unggulan
untuk dikembangkan guna dapat dijadikan
acuan
sebagai
pendukung
dalam
pengembangan kebijakan pembangunan
ekonomi Kota Kediri. Selain itu, apakah
kebijakan pembangunan yang ada sekarang
sudah sesuai dengan hasil analisis sektor
yang menjadi unggulan. Harapannya
adalah melalui strategi pengembangan
kebijakan yang diambil dapat mengoptilmalkan seluruh potensi dari masingmasing sektor ekonomi tersebut. Sehingga
terjadi percepatan pembangunan dalam
menggerakkan ekonomi Kota Kediri yang
JESP Vol. 5, No.1, 2013
pada akhirnya dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Kota Kediri.
Penelitian ini dilakukan dengan
mengambil pokok permasalahan sektorsektor ekonomi manakah yang berpotensi
menjadi unggulan dalam pembangunan
ekonomi Kota Kediri dan
apakah
kebijakan pembangunan ekonomi Kota
Kediri sudah sesuai dengan hasil analisis
sektor yang menjadi unggulan.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode
kuantitatif deskriptif. Data yang diperoleh
diolah dan dianalisis menurut model
statistik
atau
model
matematik.
Pendekatakan kuantitatif yang dimaksud
adalah perhitungan terhadap data-data
sekunder, yakni data PDRB Kota Kediri
dan data PDRB Jawa Timur. Sedangkan
yang dimaksud dengan pendekatan
deskriptif adalah penjelasan dari hasil-hasil
perhitungan yang dilakukan melalui
analisis dokumen data sekunder.
Populasi dalam penelitian ini
adalah Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) Kota Kediri sebagai obyek/subyek
yang mempunyai kualitas atau karakteristik tertentu yang ditetapkan peneliti
untuk dipelajari dan ditarik kesimpulan.
Sedangkan sampel dalam penelitian ini
adalah Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) Kota Kediri tahun 2006 sampai
dengan tahun 2010 sebagai wakil populasi
yang diteliti. Teknik pengambilan sampel
dalam penelitian ini adalah purposive
sample yaitu cara pengambilan sampel
didasarkan atas dasar adanya tujuan
tertentu. Teknik ini dilakukan karena
beberapa pertimbangan yaitu karena
keterbatasan tenaga, waktu dan dana
sehingga tidak dapat mengambil sampel
secara besar dan jauh.
Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan metode
dokumentasi. Prosedur pengembangannya
yaitu data sekunder dan data primer.
Sedangkan data yang utama digunakan
dalam penelitian adalah data sekunder
berdasarkan urutan waktu (time series
data) untuk kurun waktu 2006-2010.
Sumber data dari data sekunder
diperoleh dari
Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota
Kediri di Bidang Statistik dan Perencanaan
Strategis, dan Badan Pusat Statistik Kota
Kediri. Data yang digunakan PDRB atas
dasar harga konstan Kota Kediri dan
PDRB atas dasar harga konstan Jawa
Timur. Data sekunder yang merupakan
variabel dalam penelitian ini akan diolah
dan dihitung menggunakan analisis
Location Quotient (LQ), Model Rasio
Pertumbuhan (MRP), dan Klaassen
Typology. Sedangkan sumber data untuk
data primer berupa hasil observasi/
pengamatan
secara
langsung
dan
wawancara yang dilakukan pada pihakpihak yang berkaitan dengan penelitian ini
yaitu Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (BAPPEDA) Kota Kediri di
Bidang Perekonomian dan Bidang
Perindustrian di Dinas Perindustrian,
Perdagangan, Pertambangan dan Energi.
Penelitian ini menggunakan data
sekunder yang telah tersedia pada; (1)
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Kediri,
(2) Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (BAPPEDA) Kota Kediri.
Data yang digunakan dalam
penelitian ini berdasarkan data runtun
waktu (time series), dengan periode
penelitian selama 5 tahun yaitu antara
tahun 2006 sampai tahun 2010. V ariabel
yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
atas;(1) Produk Domestik Regional Bruto
Kota Kediri Atas Dasar Harga Konstan
Tahun 2006-2010, (2) Produk Domestik
Regional Bruto Provinsi Jawa Timur Atas
Dasar Harga Konstan Tahun 2006-2010.
Metode lain yang digunakan adalah
observasi
dan
metode
interview/
wawancara yaitu teknik komunikasi secara
langsung dari sumber yang akan diteliti.
Hasil wawancara pada pihak terkait
digunakan untuk menambah pembahasan
pada hasil analisis penelitian. Pihak terkait
dalam penelitian ini adalah pejabat Badan
Perencanaan
Pembangunan
Daerah
65
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
(BAPPEDA) Kota Kediri di Bidang
Perekonomian
dan
pejabat
Dinas
Perindustrian, Perdagangan, Pertambangan
dan Energi di Bidang Perindustrian.
Dalam penelitian ini menggunakan
metode analisis kuantitatif. Metode analisis
kuantitatif
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah:
1. Location Quotient (LQ)
Locatin Quotient (LQ) adalah suatu
metode untuk menghitung perbandingan
kemampuan suatu sektor antara daerah
yang diteliti (Kota Kediri) dengan
kemampuan suatu sektor yang sama pada
daerah yang lebih tinggi tingkatannya
(dalam hal ini adalah provinsi Jawa
Timur). Rumus yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
Dimana :
perubahan pendapatan kegiatan i di
wilayah studi pada periode waktu t
dan t + n.
perubahan pendapatan kegiatan i di
wilayah referensi pada periode waktu
t dan t + n.
= pendapatan kegiatan i di wilayah studi.
pendapatan kegiatan i di wilayah
referensi.
b. Rasio Pertumbuhan Wilayah Referensi
(RPR), adalah perbandingan laju
pertumbuhan sektor i di wilayah
referensi dengan laju pertumbuhan total
kegiatan (PDRB di wilayah referensi).
Formulasi yang digunakan adalah :
Dimana :
Keterangan:
Apabila LQ>1, maka peranan
sektor i di Kota Kediri lebih menonjol
daripada peranan sektor tersebut di Jawa
Timur, sehingga daerah tersebut surplus
akan produk sektor i dan mengkespornya
ke daerah lain dan daerah tersebut
memiliki keunggulan komperatif untuk
sektor i dimaksud (Tarigan, 2009:82).
Sebaliknya, apbila LQ<1 maka peranan
sektor i di Kota Kediri lebih kecil daripada
peranan sektor tersebut di Jawa Timur.
2. Model Rasio Pertumbuhan (MRP)
Model Rasio Pertumbuhan adalah
membandingkan
pertumbuhan
suatu
kegiatan dalam wilayah referensi dan
wilayah studi. Dalam analisis tersebut
terdapat dua rasio pertumbuhan yaitu :
a. Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi
(RPs), adalah perbandingan antara laju
pertumbuhan sektor i di wilayah studi
dengan laju pertumbuhan sektor yang
sama di wilayah referensi. Formulasi
matematis yang digunakan adalah:
66
perubahan pendapatan kegiatan i di
wilayah referensi.
perubahan
PDRB
di
wilayah
referensi.
PDRB di wilayah referensi.
jumlah tahun antara dua periode.
Jika nilai RPR atau RP s > 1, maka
RPR atau RPS dikatakan positif (+) dan jika
RPR atau RPS < 1, maka RP R atau RPS
dikatakan negatif (-).
RPR (+) menunjukkan pertumbuhan
suatu kegiatan tertentu dalam tingkat
provinsi atau kabupaten/kota lebih tinggi
dari pertumbuhan PDRB provinsi atau
PDRB kabupaten/kota dan sebaliknya.
Sedangkan RPS membandingkan
pertumbuhan kegiatan dalam tingkat
wilayah kabupaten/kota dengan partumbuhan kegiatan yang bersangkutan pada
tingkat propinsi. Jika pertumbuhan suatu
kegiatan pada tingkat wilayah kabupaten/
kota lebih tinggi dibandingkan dengan
pertumbuhan kegiatan tersebut pada
tingkat provinsi diidentifikasikan (+) dan
sebaliknya.
JESP Vol. 5, No.1, 2013
Dari
analisis
Model
Rasio
Pertumbuhan (MRP) akan diperoleh
deskripsi kegiatan ekonomi yang potensial
pada wilayah studi yang terdiri dari 4
klasifikasi yaitu:
1. Kriteria I: RPR (+) dan RP S (+) berarti
kegiatan tersebut pada tingkat wilayah
referensi mempunyai pertumbuhan
menonjol demikian pula pada tingkat
wilayah studi. Kegiatan ini selanjutnya
disebut dominan pertumbuhan.
2. Kriteria II: RPR (-) dan RP S (+) Berarti
kegiatan tersebut pada tingkat wilayah
referensi
pertumbuhannya
tidak
menonjol, akan tetapi pada tingkat
wilayah
studi
pertumbuhannya
menonjol.
3. Kriteria III: RPR (+) dan RPS (-)
berarti kegiatan tersebut pada tingkat
wilayah
referensi
mempunyai
pertumbuhan menonjol namun pada
tingkat wilayah studi tidak menonjol.
4. Kriteria IV: RPR (-) dan RP S(-) berarti
kegiatan tersebut baik di tingkat
wilayah referensi maupun wilayah studi
pertumbuhannya tidak menonjol.
3. Klaassen Typology
Analisis Klaassen
merupakan
gabungan atau perpaduan antara hasil
analisis LQ dengan MRP. Klaassen
Typology dapat digunakan melalui dua
pendekatan, yaitu sektoral maupun daerah.
Dalam penelitian ini, pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan sektoral.
Data yang digunakan dalam analisis ini
adalah data PDRB. Klasifikasi sektoral
berdasarkan Klaassen Typology dapat
dilihat pada tabel berikut:
T abel 1. Klasifikasi
Pendekatan Sektoral
Kuadran I
Sektor
maju
dan
tumbuh dengan pesat
RPS > RPR, LQ > 1
KUADRAN III
Sektor potensial
RPS > RPR , LQ < 1
Klaassen
Typology
Kuadran II
Sektor
maju
tapi
tertekan
RPS <RPR, LQ > 1
Kuadran IV
Sektor relatif tertinggal
RPS < RPR, LQ< 1
Klaassen
Typology
dengan
pendekatan sektoral menghasilkan empat
klasifikasi sektor dengan karakteristik yang
berbeda sebagia berikut:
1. Sektor maju dan tumbuh pesat
(kuadran I) memiliki laju pertumbuhan terhadap PDRB di wilayah
studi lebih tinggi dibandingkan laju
pertumbuhan sektor yang sama
terhadap PDRB di wilayah referensi
dan merupakan sektor basis.
2. Sektor maju tapi tertekan (Kuadran II)
memiliki laju pertumbuhan terhadap
PDRB di wilayah studi lebih rendah
dibandingkan laju pertumbuhan sektor
yang sama di wilayah referensi.
Sektor dalam kategori ini dikatakan
sebagai sektor yang telah jenuh.
3. Sektor potensial atau masih dapat
berkembang dengan pesat (kuadran
III) memiliki laju pertumbuhan
terhadap PDRB di wilayah studi lebih
tinggi dibandingkan dengan laju
pertumbuhan sektor yang sama di
wilayah referensi. Akan tetapi, tingkat
kebasisan sektor di kuadran ini bukan
sektor basis. Sektor ini dapat diartikan
sebagai
sektor
yang
sedang
berkembang (booming).
4. Sektor relatif tertinggal (kuadran IV)
ditempati oleh sektor yang laju
pertumbuhannya
lebih
rendah
dibanding daerah referensi dan bukan
merupakan sektor basis.
Hasil Penelitian
Kota Kediri berjarak ± 128 km dari
arah barat daya Kota Surabaya, ibu kota
Propinsi Jawa Timur. Letak Kota Kediri
dilintasi 7 jalur lintasan primer di Provinsi
Jawa Timur, salah satunya adalah jalur
arteri primer Kota Surabaya-Kabupaten
Tulungagung. Kota ini terletak pada
koordinat 07°45'-07°55' Lintang Selatan
dan 111°05'-112°3' Bujur Timur. Struktur
wilayah Kota Kediri terbelah menjadi 2
bagian oleh sungai Brantas, yaitu sebelah
timur dan barat sungai.
Banyaknya
Pencari
Kerja,
Penempatan dan Permintaan/Lowongan
67
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
Menurut Jenis Kelamin tahun 2009 hingga
2010 dapat dilihat pada Tabel 4.2 di bawah
ini.
ekonomi masyarakat Kota Kediri juga
ditandai Pendapatan per kapita yang terus
mengalami peningkatan dari tahun 2007
T abel 2. Banyaknya Pencari Kerja, Penempatan dan Permintaan/Lowongan
Menurut Jenis Kelamin, 2010
Uraian
2009
2010
Laki-laki
Perempun
Jumlah
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
1. Pencari kerja
2.181
1.224
1.020
2.244
2. Penempatan
642
346
345
691
3. Permintaan/Lowongan
1.496
632
496
1.119
4. Persentase Penempatan Terhadap Lowongan
42,9
55,5
69,5
61,7
Sumber : Kota Kediri dalam Angka, 2011
Tingkat kenaikan jumlah pencari
kerja ini nampaknya tidak sebanding
dengan tingkat pertumbuhan permintaan/
lowongan kerja.
Kondisi Ekonomi di Kota Kediri
Kondisi perekonomian Kota Kediri
didominasi oleh sektor perindustrian yang
merupakan
sektor
utama
dalam
pembangunan ekonomi di Kota Kediri.
Mengingat Kota Kediri memiliki pabrik
rokok besar PT. Gudang Garam dan dua
pabrik gula besar. Sebagian besar
masyarakat bekerja pada sektor industri
yang jumlah tenaga kerjanya mencapai
46.248 orang. PDRB sebagai indikator
perekonomian menunjukkan ketergantungan terhadap sektor industri masih
diatas 70%.
Namun selain itu, sebagian
masyarakat Kota Kediri juga mengembangkan
sektor-sektor
perekonomian
dibidang Industri Kecil dan Menengah
(IKM) yang mampu menghasilkan
komoditas-komoditas
unggulan
yang
sangat potensial untuk dikembangkan. Jika
potensi tersebut bisa dimaksimalkan, maka
unit-unit usaha IKM akan semakin
berkembang
dan
pada
akhirnya
memberikan keuntungan bersama yang
optimal bagi investor, pelaku usaha,
pemerintah daerah serta masyarakat pada
umumnya.
Berbagai produk unggulan Kota
Kediri banyak tersebar merata di seluruh
penjuru daerah. Tingkat kesejahteraan
68
sampai dengan 2010. Pendapatan Regional
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Data IPM dapat digunakan untuk
mengetahui tingkatan status pembangunan
manusia di suatu kabupaten/kota pada
periode tertentu. Komponen Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Kota Kediri
dapat dilihat pada tabel 4.5 di bawah ini.
T abel 3. Komponen Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) Kota Kediri T ahun 2004-2010
No. T ahun
Indeks
Indeks
Indeks
Harapan Pendidikan PPP
Hidup
(1) (2)
(3)
(4)
(5)
1
2004
73,50
84,40
56,17
2
2005
73,83
83,66
57,21
3
2006
74,00
82,85
56,30
4
2007
74,13
85,99
57,34
5
2008*
74,71
86,80
58,66
6
2009**
75,00
86,51
64,75
7
2010*** 75,66
87,72
65,13
Sumber: Kota Kediri dalam Angka, 2011
Keterangan:
*)
angka diperbaiki
**)
angka sementara
***)
angka sangat sementara
Analisis Sektor-Sektor Ekonomi yang
Berpotensi Menjadi Unggulan dalam
Pembangunan Ekonomi Kota Kediri
Kota Kediri memiliki satu sektor
basis, yaitu sektor industri pengolahan
dengan nilai LQ rata-rata sebesar 2,75.
Sektor tersebut memiliki kekuatan
IPM
(6)
71,36
71,57
71,05
72,49
73,39
75,42
76,17
JESP Vol. 5, No.1, 2013
ekonomi yang cukup baik di Kota Kediri
dan memiliki peran yang cukup menonjol
sehingga Kota Kediri surplus akan produk
sektor tersebut. Artinya, kebutuhan Kota
Kediri akan produk dari sektor tersebut
sudah dapat terpenuhi. Dengan demikian,
sektor industri tersebut berpotensi untuk di
ekspor ke daerah lain sehingga dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi Kota
Kediri.
Kemudian, dari sembilan sektor
tersebut yang termasuk sektor non-basis di
Kota Kediri ada delapan. Kedelapan sektor
tersebut adalah sektor perdagangan, hotel
dan restoran dengan nilai LQ rata-rata
sebesar 0,71. Sektor non-basis kedua
adalah sektor keuangan, persewaan dan
jasa perusahaan dengan nilai LQ rata-rata
sebesar 0,69. Ketiga adalah sektor listrik,
gas dan air bersih dengan nilai LQ rata-rata
sebesar 0,18. Keempat adalah sektor jasajasa dengan nilai LQ rata-rata sebesar 0,14.
Kelima adalah sektor pengangkutan dan
komunikasi dengan nilai LQ rata-rata
sebesar 0,13. Keenam adalah sektor
konstruksi dengan nilai LQ rata-rata
sebesar 0,06. Ketujuh adalah sektor
pertanian dengan nilai LQ rata-rata sebesar
0,013 dan yang terakhir adalah sektor
pertambangan dan penggalian dengan nilai
LQ sebesar 0,0019.
Sektor non-basis mengidentifikasikan bahwa sektor tersebut tidak
memiliki kekuatan ekonomi yang cukup
baik di Kota Kediri. Peran ke delapannya
kurang menonjol dan belum mengalami
surplus produksi. Artinya, bahwa produk
dari sektor-sektor tersebut hanya mampu
untuk memenuhi kebutuhan lokal dan tidak
memiliki keunggulan komperatif. Dengan
demikian kedelapannya belum berpotensi
untuk di ekspor. Beberapa upaya
pemerintah untuk meningkatkan sektor non
basis agar memiliki kontribusi besar dan
menjadi sektor basis disampaikan oleh
Bapak Hidayanto Agus, bahwa:
“Upayanya
pemerintah
lebih
mempermudah dan mempercepat
proses perijinan investasi melalui
perbaikan pelayanan perijinan.
Peningkatan mutu pelayanan perijinan dilakukan melalui pelayanan
publik keliling (mobile public
service) dan pelayanan perijinan
ekstra sampai malam hari oleh
Kantor Pelayanan Perijinan”.
“Terus melakukan pembenahan dan
perbaikan infrastruktur ekonomi,
seperti perbaikan kualitas jalan,
jembatan, air bersih, maupun sarana
dan prasarana transportasi”.
Dapat disimpulkan bahwa dengan
meningkatkan kualitas pelayanan perijinan
di Kota Kediri dan terus melakukan
perbaikan infrastruktur ekonomi maka
akan dapat mendorong sektor non basis
tersebut menjadi basis.
Analisis Model Rasio Pertumbuhan
(MRP)
Sektor-sektor
ekonomi
yang
memiliki laju pertumbuhan lebih tinggi
dari pertumbuhan total PDRB Provinsi
Jawa Timur yaitu, sektor pengangkutan
dan komunikasi dengan nilai RPR rata-rata
sebesar 1,86. Sektor kedua yaitu sektor
pertambangan dan penggalian dengan nilai
RPR rata-rata sebesar 1,48. Sektor ketiga
yaitu sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan dengan nilai RPR rata-rata
sebesar 1,32. Sektor keempat yaitu sektor
jasa-jasa dengan nilai rata-rata RPR 1,30.
Sektor kelima yaitu sektor perdagangan,
hotel dan restoran dengan nilai rata-rata
RPR 1,20.
Selanjutnya, dari kesembilan sektor
ekonomi tersebut, yang mempunyai laju
pertumbuhan lebih rendah dibandingkan
pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Timur
ada empat sektor. Sektor tersebut yaitu
sektor konstruksi dengan nilai RPR ratarata sebesar 0,73. Sektor kedua yaitu sektor
industri pengolahan dengan nilai RPR ratarata sebesar 0,72. Sektor ketiga yaitu
sektor pertanian dengan nilai RPR rata-rata
sebesar 0,50 dan yang terakhir yaitu sektor
listrik, gas dan air bersih dengan nilai RPR
rata-rata sebesar 0,04.
Sektor-sektor ekonomi di Kota
Kediri yang memiliki laju pertumbuhan
69
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
tinggi dibandingkan sektor yang sama di
Jawa Timur yaitu sektor keuangan,
persewaan dan jasa perusahaan dengan
nilai RPS rata-rata sebesar 1,59. Sektor
kedua yaitu sektor konstruksi dengan nilai
RPS rata-rata sebesar 1,54. Sektor ketiga
yaitu sektor jasa-jasa dengan nilai RPS ratarata sebesar 1,49.
Sementara itu, sektor-sektor yang
pertumbuhannya lebih rendah dibanding
Jawa Timur ada enam sektor. Sektor-sektor
tersebut adalah sektor listrik, gas dan air
bersih dengan nilai RPS rata-rata sebesar
0,92. Sektor kedua yaitu sektor
pengangkutan dan komunikasi dengan nilai
RPS rata-rata sebesar 0,83. Sektor ketiga
yaitu sektor pertanian dengan nilai RPS
rata-rata sebesar 0,76. Sektor keempat
yaitu sektor industri pengolahan dengan
nilai RPS rata-rata sebesar 0,64. Sektor
kelima yaitu sektor perdagangan, hotel dan
restoran dengan nilai RPS rata-rata sebesar
-0,04. Sektor keenam yaitu sektor
pertambangan dan penggalian dengan nilai
RPS rata-rata sebesar -1,27.
Analisis Klaassen Typology
Sektor yang termasuk dalam
kuadran I yang merupakan sektor maju dan
tumbuh pesat tidak ada. Sedangkan sektor
yang masuk dalam kuadran II yaitu hanya
sektor industri pengolahan, sektor tersebut
bisa dikatakan sektor yang sedang
mengalami kejenuhan.
Selanjutnya, yang termasuk sektor
potensial di Kota Kediri adalah sektor
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan,
sektor konstruksi, sektor jasa-jasa. Sektor
ini merupakan sektor yang lagi booming di
Kota Kediri dan sektor ini akan masih
dapat berkembang dengan cepat.
Sedangkan sektor yang relatif
tertinggal adalah adalah sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor
pertanian; sektor listrik, gas dan air bersih;
dan sektor pertambangan dan penggalian.
Sektor yang termasuk basis adalah
sektor industri pengolahan. Sektor yang
memiliki laju pertumbuhan lebih tinggi di
70
Kota Kediri dibanding sektor yang sama di
tingkat propinsi yaitu sektor keuangan,
persewaan dan jasa perusahaan; sektor
konstruksi dan sektor jasa-jasa.
Kemudian berdasarkan analisis
Klaassen Typology yang merupakan
gabungan dari analisis Location Quotient
(LQ) dan Model Rasio Pertumbuhan
(MRP) dapat ditetapkan skala prioritas
sektor dalam rangka penyusunan kebijakan
pembangunan ekonomi daerah. Dengan
merujuk hasil analisis sebelumnya, maka
kebijakan
pembangunan
berdasarkan
prioritas sektoral Kota Kediri adalah
sebagai berikut.
1. Sektor-sektor yang maju dalam
kategori ini adalah sektor basis dan
memiliki laju pertumbuhan lebih
tinggi dibanding laju pertumbuhan
sektor yang sama di Jawa Timur.
Namun Kota Kediri belum memiliki
sektor yang maju dan tumbuh dengan
pesat.
2. Sektor yang termasuk dalam kategori
maju tetapi tertekan adalah sektor
basis namun memiliki laju pertumbuhan lebih rendah dibanding sektor
yang sama di Jawa Timur. Sektor yang
termasuk dalam kategori ini adalah
sektor industri pengolahan. Dalam
pembangunan sektoral, sektor tersebut
menjadi prioritas kedua setelah sektor
dalam kategori maju dan tumbuh
dengan pesat. Namun, yang perlu
diperhatikan bahwa laju pertumbuhan
sektor tersebut lebih rendah jika
dibandingkan sektor yang sama
ditingkat Jawa Timur.
3. Kategori sektor potensial adalah sektor
yang memiliki laju pertumbuhan yang
lebih tinggi dibanding sektor yang
sama di tingkat Jawa Timur. Sektor
yang termasuk dalam kategori ini
adalah sektor keuangan, persewaan
dan jasa perusahaan; sektor konstruksi
dan sektor jasa-jasa. Sektor ini
memiliki laju pertumbuhan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan laju
pertumbuhan sektor yang sama di
Jawa Timur. Dalam prioritas pem-
JESP Vol. 5, No.1, 2013
bangunan, sektor ini layak dipertimbangkan dan menjadi prioritas
ketiga setelah sektor yang termasuk
maju dan tumbuh dengan pesat dan
sektor yang maju tapi tertekan. Alasan
tersebut adalah meskipun memiliki
laju pertumbuhan tinggi namun belum
memiliki tingkat kebasisan.
4. Sektor relatif tertinggal ini dikatakan
tertinggal
karena sangat
tidak
competitive. Sektor dalam kategori ini
bukan merupakan sektor basis dan
memiliki laju pertumbuhan yang
rendah. Sektor yang termasuk dalam
kategori ini adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor
pengangkutan dan komunikasi; sektor
listrik, gas dan air bersih; sektor
pertanian; dan sektor pertambangan
dan penggalian
Untuk menjadi sektor unggulan
atau leading sector, tidak cukup hanya
dilihat dari sisi tingkat kebasisan namun
juga dilihat dari sisi laju pertumbuhannya
yang dibandingkan dengan Jawa Timur.
Dengan demikian, sektor tersebut akan
memiliki daya saing tinggi dan mampu
bersaing dengan daerah lain. Maka, sektor
ini dalam prioritas pembangunan dijadikan
prioritas terakhir setelah sektor yang
termasuk dalam kategori di atas.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan sektor relatif tertinggal agar dapat
menjadi sektor potensial disampaikan oleh
bapak Hidayanto Agus Surno selaku
Kepala Bidang Perekonomian Bappeda,
menyatakan bahwa:
“Dengan melakukan penentuan
prioritas kebijakan pembangunan
ekonomi Kota Kediri yang di
dasarkan pada seluruh potensipotensi yang ada di Kota Kediri.
Melakukan kajian-kajian kebijakan
ekonomi
terkait
sektor-sektor
tertentu yang masih relatif belum
tertangani, misalnya kajian-kajian
terkait UMKM, kajian Ekonomi
Kreatif, Kajian Revitalisasi Pasar
Tradisional, dll”.
Dengan memperhatikan tingkat
basis dan laju pertumbuhannya suatu
sektor akan memiliki daya saing yang
tinggi jika dibandingkan dengan sektor
yang sama di daerah lain sehingga dapat
dijadikan andalan dalam pengembangan
pembangunan.
Sehingga penentuan prioritas sektor
yang menjadi unggulan untuk pengembangan kebijakan pembangunan ekonomi
Kota Kediri dilihat berdasarkan hasil
analisis Klaassen Typology, merupakan
gabungan dari Location Quotient (LQ) dan
Model Rasio Pertumbuhan (MRP).
Dari hasil analisis klaassen
typology di atas dapat dihasilkan empat
sektor ekonomi yang menjadi unggulan
berdasarkan sektor yang maju tapi tertekan
dan sektor potensial yaitu sektor industri
pengolahan; sektor keuangan, persewaan
dan jasa perusahaan; sektor konstruksi; dan
sektor jasa-jasa.
Sebaiknya, skala prioritas kebijakan pembangunan ekonomi Kota Kediri di
dasarkan pada empat sektor yang menjadi
unggulan yaitu sektor industri pengolahan;
sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan; sektor konstruksi; dan sektor
jasa-jasa.
Kesesuaian Kebijakan Pembangunan
Ekonomi Kota Kediri Terhadap Hasil
Analisis Sektor yang Menjadi Unggulan
Sedikit mengulas RPJMD Kota
Kediri 2010-2014, kebijakan pembangunan
ekonomi di Kota Kediri diupayakan untuk
dapat mewujudkan perekonomian yang
adil, merata dan berdaya saing dan
berbasis efisien yang menjamin pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan
hidup milik sendiri secara berkelanjutan
dengan semakin meningkatnya peran serta
seluruh
lapisan
masyarakat
guna
mendukung terwujudnya Tri Bina Kota
yang merupakan landasan pembangunan
Kota Kediri yaitu Kediri sebagai Kota
Pendidikan, Perdagangan serta Jasa dan
Industri.
Melalui pendekatan sektoral, tiaptiap sektor di analisis sehingga akan
71
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
memberikan jawaban yang dapat digunakan untuk menentukan skala prioritas
pembangunan ekonomi, yaitu:
1. Sektor
yang
akan
memiliki
competitive advantage di wilayah
tersebut, artinya komoditi tersebut
dapat bersaing di pasar global.
2. Sektor yang basis dan non-basis.
3. Sektor yang memiliki nilai tambah/
kontribusi yang tinggi.
4. Sektor yang perlu dikembangkan
untuk memenuhi kebutuhan minimal
wilayah tersebut.
Sehingga mengacu pada hasil
analisis dan fakta empiris Kota Kediri, ada
empat sektor yang dapat dijadikan sebagai
sektor yang menjadi unggulan sebagai
prioritas kebijakan pembangunan ekonomi
yaitu sektor industri pengolahan; sektor
persewaan, keuangan dan jasa perusahaan;
sektor konstruksi; dan sektor jasa-jasa.
Jika dikaitkan dengan kebijakan
landasan pembangunan Tri Bina Kota
Kediri yaitu bidang pendidikan, perdagangan serta jasa dan industri yang sudah
ada sejak pergantian beberapa kali wali
Kota Kediri terdapat perbedaan (gap)
antara hasil analisis sektor yang menjadi
unggulan yaitu sektor konstruksi dan
sektor persewaan, keuangan dan jasa
perusahaan yang tidak dicantumkan pada
landasan pembangunan Tri Bina Kota
Kediri. Sedangkan sektor perdagangan
yang terdapat pada Tri Bina Kota tidak
ditemukan pada hasil analisis sektor yang
menjadi unggulan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
kebijakan pembangunan ekonomi Kota
Kediri yaitu Tri Bina Kota belum sesuai
dengan hasil analisis sektor yang menjadi
unggulan (leading sector).
Sektor-Sektor Ekonomi yang Berpotensi
Menjadi Unggulan dalam Pembangunan
Ekonomi Kota Kediri
Sektor industri pengolahan merupakan sektor yang memiliki kontribusi
besar dan dapat dijadikan sebagai sektor
unggulan di Kota Kediri. Hal ini
72
disebabkan adanya industri rokok dan
tembakau yang merupakan primadona bagi
Kota Kediri sehingga perkembangannya
mampu mewarnai perkembangan ekonomi
Kota Kediri dan penyumbang PDRB
terbesar. Hal ini faktor keberhasilan sektor
industri pengolahan memiliki kontribusi
paling besar juga diperkuat dengan
pernyataan Bapak Budi Irianto dari Dinas
Perindustrian yang menyampaikan bahwa:
“Hubungannya lebih identik dengan
adanya PT.Gudang Garam yang
letaknya di wilayah Kota Kediri.
Serta infrastruktur, transportasi dan
fasilitas bank yang mendukung”.
Pendukung
sektor
industri
pengolahan menjadi sektor basis juga
adanya produk industri kecil lainnya yang
saat ini berkembang adalah yang
merupakan sub sektor tekstil, barang dari
kulit dan alas kaki atau industri kerajinan.
Industri berskala Kecil dan Menengah
(IKM) tersebut saat ini merupakan program utama pemerintah untuk meningkatkan sektor industri agar tidak hanya
mengandalkan pada sektor industri besar
saja. Salah satunya pemerintah melakukan
pemberdayaan kerajinan tenun ikat Bandar
Kidul yang sudah dikenal masyarakat luas.
Namun sektor industri pengolahan
ini masih masuk dalam prioritas sektoral
yang maju tetapi tertekan. Hal ini diduga
tertekannya sektor industri pengolahan ini
ada hubungannya dengan perolehan bahan
baku sehingga mengalami penurunan
produksi
khususnya pada tanaman
tembakau di beberapa daerah di Provinsi
Jawa Timur karena pengaruh musim hujan
yang panjang. Selain itu juga disebabkan
adanya krisis finansial dan krisis energi.
Faktor lain yang menyebabkan sektor ini
maju tapi tertekan juga diperkuat dengan
pernyataan Bapak Hidayanto Agus Surno
Kepala Bidang Perekonomian Bappeda
menyampaikan bahwa:
“Kelemahan pengembangan sektor
industri pengolahan, dikarenakan
Luas wilayah Kota Kediri yang
terbatas. Dalam mendapatkan bahan
baku industri masih mengandalkan
JESP Vol. 5, No.1, 2013
pasokan dari daerah lain, sehingga
meningkatkan
biaya
produksi
terutama bagi UMKM”.
Kondisi yang demikian mengidentifikasikan bahwa jika pertumbuhannya
tidak segera didorong, kontribusinya
terhadap PDRB dapat dipastikan akan
mengalami penurunan.
Berdasarkan data dari Dinas
Perindustrian akhir tahun 2011, jumlah
perusahaan industri sebesar 563 unit dan
jumlah pekerja sampai 46.248 orang.
Sektor industri pengolahan juga memberikan kontribusi yang sangat besar pada
pendapatan daerah dan meningkatkan
income perkapita penduduk. Jenis industri
yang berkembang di Kota Kediri adalah
industri besar, sedang dan kecil.
Pengembangan industri ini sudah berkembang di semua kecamatan yang ada di
Kota Kediri. Dengan semakin meningkatnya
produksi,
maka
kebutuhan
masyarakat Kota Kediri akan dapat
dipenuhi sendiri. Diharapkan pula dengan
semakin membaiknya sektor industri
pengolahan bisa menyerap tenaga kerja
lebih banyak sehingga mengurangi angka
pengangguran di Kota Kediri.
Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan
Sektor keuangan, persewaan dan
jasa perusahaan merupakan sektor yang
menjadi unggulan. Hal ini disebabkan laju
pertumbuhan sektor ini terbilang tinggi
jika dibandingkan dengan laju partumbuhan sektor yang sama di Jawa Timur
meskipun sektor ini masih non basis.
Berangkat dari kondisi tersebut, sektor
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
dikategorikan sebagai sektor potensial
yang masih dapat berkembang pesat.
Hal ini memungkinkan mengingat
Kota Kediri ditandai dengan mulai
menjamurnya penyewaan ruko-ruko baru,
jasa TKI, jasa notaris dan cabang bank
baru yaitu BRI dan Bank Mandiri yang
membuka cabang di tiap kecamatan; bank
asing baru Common W ealth dan BPR.
Pegadaian sebagai salah satu lembaga
keuangan bukan bank juga sudah
merambah
ke
tingkat
kelurahan.
Banyaknya koperasi yang sudah berbadan
hukum sebanyak 361 pada tahun 2010 juga
merupakan nilai tambah di sektor lembaga
keuangan bukan bank. Karena banyaknya
sektor jasa yang berpusat di Kecamatan
Kota,
sehingga
wilayah
tersebut
dinamakan sebagai kawasan CBD (Centra
Bussiness District). Faktor penyebab
tingginya laju pertumbuhan sektor tersebut
juga
didukung
pernyataan
Bapak
Hidayanto Agus Surno selaku Kepala
Bidang Perekonomian Bappeda yang
menyampaikan bahwa:
“Faktor keberhasilan sektor tersebut
dapat dilihat dari pertumbuhan
ekonomi masyarakat Kota Kediri
yang cukup tinggi, sehingga
kebutuhan masyarakat akan jasa
keuangan, persewaan, konstruksi,
dan jasa-jasa lainnya semakin
meningkat. Pertumbuhan jumlah
penduduk dan arus urbanisasi ke
Kota Kediri mendorong naiknya
tingkat
kebutuhan
pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat, seperti
kebutuhan akan perumahan (property), fasilitas jasa-jasa berbagai
keperluan, dan perputaran perdagangan. Keunggulan komparatif
perekonomian Kota Kediri relatif
lebih baik dibandingkan daerahdaerah lain dalam skala regional
sehingga mendorong pertumbuhan
sektor keuangan, jasa, maupun
konstruksi lebih cepat dibanding
daerah sekitarnya”.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan
bahwa
yang
menyebabkan
sektor
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
menjadi sektor unggulan ditandai dengan
pertumbuhan ekonomi masyarakat Kota
Kediri yang cukup tinggi sehingga
mendorong sektor keuangan, persewaan
dan jasa perusahaan pertumbuhannya juga
meningkat.
Sektor Konstruksi
73
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
Sektor
konstruksi
merupakan
sektor yang dapat menjadi unggulan. Hal
ini disebabkan sektor konstruksi merupakan sektor potensial yang sedang
booming atau masih dapat berkembang
pesat meskipun masih non basis. Kriteria
sektor potensial tersebut berdasarkan laju
pertumbuhan sektor konstruksi di Kota
Kediri cenderung lebih tinggi dibanding di
tingkat provinsi. Salah satu faktor yang
mempengaruhi tingginya laju pertumbuhan
sektor konstruksi di Kota Kediri adalah
adanya pembangunan fisik yang berupa
sarana dan prasarana. Pembangunan
tersebut
antara
lain
pembangunan
perumahan-perumahan baru, tempat usaha,
mall, rumah sakit umum, maupun
pembangunan infrastruktur di Kota Kediri.
Membaiknya iklim usaha di Kota Kediri
berimbas pula pada peningkatan output di
sektor konstruksi. Ditandai adanya
pembangunan pusat belanja Kediri Mall;
Kediri Town Square; dan Ramayana;
tempat wisata Waterpark Tirtayasa;
kawasan wisata Goa Selomangleng;
pembangunan RS.Gambiran II; perbaikan
RS.Baptis; pembangunan pasar grosir buah
dan sayuran ngronggo; pembangunan
rumah susun dekat Pabrik Rokok Gudang
Garam serta pembangunan jembatan baru
Brawijaya dan GOR Jayabaya.
Pembangunan dan perbaikan sarana
dan prasarana cukup banyak terjadi di
wilayah Kota Kediri. Sektor tersebut juga
memiliki peran penting untuk percepatan
pengembangan perekonomian. Oleh karena
itu, momentum Kota Kediri harus terus
dijaga supaya nilai tambah sektor ini
terhadap PDRB terus bertambah. Dengan
demikian sektor ini dapat berkembang
dengan cepat.
Sektor Jasa-Jasa
Sektor jasa-jasa merupakan sektor
yang menjadi unggulan di Kota Kediri
berdasarkan hasil analisis. Hal ini
disebabkan tingginya laju pertumbuhan
sektor jasa-jasa terutama sub sektor jasa
sosial kemasyarakatan yang mencakup
74
bidang
pendidikan
dan
kesehatan
kemudian disusul oleh sub sektor jasa
hiburan dan kebudayaan. Meskipun
kontribusi sektor jasa-jasa masih non basis
tetapi sektor ini menempati kuadran III
pada prioritas sektoral. Sehingga sektor
jasa-jasa tersebut merupakan sektor
potensial yang masih dapat berkembang
pesat dan dapat dijadikan sebagai sektor
unggulan.
Dengan semakin sadarnya masyarakat akan pentingnya pendidikan dan
kesehatan, menjadikan nilai tambah pada
sektor ini semakin besar. Sekolah-sekolah
favorit yang berstandar Internasional mulai
dari SMP dan SMA serta sampai dengan
perguruan
tinggi
favorit
semakin
kebanjiran murid maupun mahasiswa baru
dari luar daerah meskipun biaya yang
dikeluarkan cukup besar. Dilengkapi
dengan membanjirnya Lembaga Bimbingan Belajar(LBB) dari luar kota yang
membuka cabang di Kota Kediri.
Pemerintah juga memberikan program ijin
belajar kepada pegawai dan mengikutsertakan dalam berbagai pendidikan dan
pelatihan sesuai dengan kemampuannya.
Sedangkan dibidang kesehatan,
kenaikan nilai tambah lebih dikarenakan
oleh munculnya apotek 24 jam
dan
puskesmas baru yang melayani 24 jam dan
pengobatan gratis yang banyak diminati
oleh golongan masyarakat menengah ke
bawah. Sementara itu, golongan masyarakat menengah ke atas lebih memilih
berobat ke rumah sakit swasta yang
pelayanannya cepat dan ke dokter-dokter
praktek umum.
Untuk menjadi sektor unggulan
tidak cukup hanya dilihat dari tingkat
kebasisan namun juga harus dilihat dari
tingkat pertumbuhannya yang disbandingkan dengan Jawa Timur. Dengan
demikian, sektor tersebut akan memiliki
daya saing tinggi dan mampu bersaing
dengan daerah lain. Maka, ke empat sektor
di atas yaitu sektor industri pengolahan;
sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan; sektor konstruksi; dan sektor
jasa-jasa dalam prioritas pembangunan
JESP Vol. 5, No.1, 2013
dapat dijadikan sebagai penentu prioritas
kebijakan pembangunan ekonomi Kota
Kediri di tahun berikutnya.
Kesesuaian Kebijakan Pembangunan
Ekonomi Kota Kediri terhadap Hasil
Analisis Sektor yang Menjadi Unggulan
Kebijakan pembangunan ekonomi
Kota Kediri didasarkan pada landasan
pembangunan Tri Bina Kota Kediri yaitu
bidang pendidikan, perdagangan serta jasa
dan industri yang sudah ada sejak
pergantian beberapa kali wali Kota Kediri.
Sedangkan hasil analisis sektor yang
menjadi unggulan yaitu sektor industri
pengolahan; sektor persewaan, keuangan
dan jasa perusahaan; sektor konstruksi; dan
sektor
jasa-jasa.
Antara
kebijakan
pembangunan ekonomi Kota Kediri
dengan hasil analisis sektor yang menjadi
unggulan terdapat perbedaan (gap)
sehingga kebijakan pembangunan ekonomi
yang sudah ada belum sesuai dengan
sektor-sektor ekonomi yang menjadi
unggulan di Kota Kediri.
Hasil analisis sektor ekonomi yang
menjadi unggulan yaitu sektor industri
pengolahan; sektor keuangan, persewaan,
jasa perusahaan; sektor konstruksi; dan
sektor jasa-jasa. Namun, sektor keuangan,
persewaan dan jasa perusahaan serta sektor
konstruksi belum tercantum pada landasan
pembangunan Tri Bina Kota Kediri. Hal
ini disebabkan bahwa landasan pembangunan Kota Kediri yaitu Tri Bina Kota
Kediri hanya didasarkan pada perkembangan kontribusi sektoralnya terhadap
PDRB dan kondisi sosialnya. Sehingga
tidak dilihat laju pertumbuhan dan tingkat
kebasisannya.
Sedangkan sektor perdagangan
yang ada dalam Tri Bina Kota Kediri tidak
terdapat pada hasil analisis sektor yang
menjadi unggulan karena pada skala
prioritas sektoral termasuk sektor yang
relatif tertinggal. Meskipun sektor perdagangan memiliki kontribusi terbesar kedua
setelah sektor industri pengolahan di dalam
PDRB
Kota
Kediri
namun
laju
pertumbuhannya di Kota Kediri diban-
dingkan dengan jawa timur masih terbilang
rendah atau lambat, maka hal ini akan
menghambat
tingkat
pertumbuhan
ekonomi secara keseluruhan. Sehingga
sektor perdagangan kurang sesuai jika
dijadikan sebagai landasan pembangunan
Kota Kediri. Upaya pemerintah sebaiknya
lebih meningkatkan kebijakannya yaitu
dalam mengembangkan pemberdayaan
pasar dalam negeri dan ekspor; meningkatkan penganekaragaman produk dan
pasar ekspor daerah serta menggalakkan
upaya pelatihan calon eksportir; memperluas jaringan pelayanan konsumen pada
tingkat
regional
sampai
nasional;
melakukan pmbangunan/peningkatan pasar
yang memadai di setiap kelurahan;
peningkatan
kuantitas
kerjasama
(kemitraan) dengan pengusaha besar.
Sedangkan landasan pembangunan
Tri Bina Kota Kediri di bidang pendidikan
termasuk salah satu sub sektor jasa sosial
kemasyarakatan sehingga sudah sesuai
dengan hasil analisis. Jika dilihat pada
fakta empiris bidang pendidikan di Kota
Kediri juga semakin berkembang pesat.
Dilihat dari data perkembangan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) pada bab
empat tabel 4.5 tersebut terlihat bahwa
nilai IPM cenderung meningkat. Naiknya
nilai IPM mengidentifikasikan pembangunan manusia di Kota Kediri sudah
cukup berhasil. Selain itu, dalam rangka
meningkatkan aksesibilitas pelayanan
pendidikan yang murah dan bermutu, maka
pemerintah menetapkan program prioritas
yang akan dilaksanakan melalui programprogram
(1) Program Peningkatan
Aksesibilitas dan Kualitas Pendidikan
Dasar, Menengah dan Kejuruan; (2)
Program
Peningkatan
Manajemen
Pendidikan.
Melalui majunya sektor industri
dan keuangan di Kota Kediri, maka salah
satu program dasar dari pembangunan
ekonomi Kota Kediri adalah melakukan
pengembangan koperasi dan UMKM
dengan meningkatkan iklim investasi dan
realisasi investasi sebagai modal dasar
pertumbuhan pembangunan. Pengem-
75
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
bangan koperasi dan UMKM ini termasuk
dalam sub sektor keuangan. Tujuannya
adalah untuk meningkatnya posisi serta
menguatnya kelembagaan koperasi dan
meningkatkan perekonomian berbasis
kerakyatan dan akan dilaksanakan melalui
program (1) Program Pengembangan
koperasi &UKM; (2) Program Pengembangan kewirausahaan dan keunggulan
kompetetif KUKM.
Sedangkan pada sub sektor jasa
perusahaan, program pemerintah adalah
meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui
perbaikan kualitas lembaga pelatihan
tenaga kerja meningkatkan peran lembaga
penempatan kerja (UP3 dan Penciptaan
Kegiatan).
Untuk sektor konstruksi kebijakan
pemerintah untuk meningkatkan sektor
tersebut adalah meningkatkan sarana dan
prasarana daerah serta aksesibilitas kota
melalui dukungan pelayanan prasarana
jalan dan jembatan yang sesuai dengan
perkembangan kebutuhan transportasi baik
dalam hal kecepatan maupun kenyamanan.
Adanya gap kebijakan pembangunan ekonomi Kota Kediri dengan hasil
analisis tersebut bukanlah hal yang buruk
melainkan
dapat
dijadikan
bahan
pertimbangan lagi terhadap perencanaan
pembangunan Kota Kediri ke depannya.
Harapan kedepannya, kebijakan yang
dibuat benar-benar didasarkan atas faktafakta yang ada di lapangan. Sehingga
kebijakan yang dibuat benar-benar dapat
menjamin kesejahteraan masyarakatnya.
Sehingga arah landasan kebijakan
pembangunan ekonomi Kota Kediri
sebaiknya ditambahkan sektor keuangan
dan sektor konstruksi sebagai pendukung
berkembangnya sektor industri dan sektor
jasa.
Hasil penelitian sektor yang menjadi unggulan yaitu sektor industri
pengolahan; sektor keuangan, persewaan
dan jasa perusahaan; sektor konstruksi dan
sektor jasa-jasa menunjukkan bahwa
keempat sektor tersebut memiliki prospek
yang lebih baik dibandingkan dengan
76
sektor-sektor lainnya untuk dijadikan
sektor unggulan.
Melihat kondisi di atas, sudah
sepatutnya jika Kota Kediri dijadikan
sebagai Kota yang bergerak di bidang
industri, keuangan, konstruksi dan jasajasa. Jika mereview teori pertumbuhan
jalur cepat Samuelson, dengan mengembangkan sektor yang berpotensi besar di
suatu wilayah agar pertumbuhannya lebih
cepat guna sektor yang satu dapat
mendorong pertumbuhan sektor yang lain,
begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini
sektor yang memiliki potensi paling besar
adalah sektor industri. Majunya sektor
industri tersebut dapat mendorong sektor
lainnya untuk berkembang. Seperti di
dukung oleh perkembangan sektor
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan,
sektor jasa-jasa dan sektor konstruksi.
Jika mereview teori transformasi
sektoral Fisher, bahwa semakin maju suatu
daerah, keberadaan sektor sekunder dan
tersier semakin mendominasi perekonomian. Dalam hal ini sektor industri dan
sektor konstruksi merupakan golongan
sektor sekunder dan sektor keuangan,
persewaan dan jasa perusahaan dan sektor
jasa-jasa merupakan sektor tersier. Hasil
penelitian memperlihatkan bahwa struktur
perekonomian Kota Kediri di dominasi
oleh sektor sekunder dan tersier.
Dengan demikian hasil penelitian
ini di dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam pembuatan kebijakan
pembangunan Kota Kediri di tahun
berikutnya.
Penutup
Berdasarkan hasil analisis dan
pembahasan mengenai analisis sektorsektor
ekonomi
dalam
rangka
pengembangan kebijakan pembangunan
ekonomi Kota Kediri, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut;(1) Kota Kediri
memiliki empat sektor yang menjadi sektor
unggulan yang dilihat dari tingkat
kebasisan dan laju pertumbuhan yang
dibandingkan dengan Provinsi Jawa Timur
JESP Vol. 5, No.1, 2013
setelah dianalisis menggunakan Klaassen
Typology yaitu sektor industri pengolahan;
sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan; sektor konstruksi; dan sektor
jasa–jasa. Sektor unggulan pertama adalah
sektor
industri
pengolahan karena
merupakan sektor basis dan memiliki
kontribusi besar terhadap pembentukan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Kota Kediri.
Sektor yang menjadi unggulan
kedua adalah sektor keuangan, persewaan
dan jasa perusahaan, dimana di Kota
Kediri meskipun masih sektor yang non
basis namun laju pertumbuhannya di Kota
Kediri cukup tinggi jika dibandingkan
dengan Propinsi Jawa Timur sehingga
sektor ini merupakan sektor potensial yang
masih dapat berkembang cepat. Sektor
yang menjadi unggulan ketiga dan
keempat adalah sektor konstruksi dan
sektor jasa–jasa, tidak berbeda jauh dengan
sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan,
sektor
tersebut
juga
merupakan sektor potensial yang memiliki
peluang masih dapat berkembang lagi
walaupun nilai kontribusinya masih kecil,
(2) Kebijakan pembangunan ekonomi Kota
Kediri yaitu yang tertuang dalam landasan
pembangunan Tri Bina Kota Kediri di
bidang pendidikan, perdagangan serta jasa
dan industri, jika dikaitkan dengan hasil
analisis sektor ekonomi yang menjadi
unggulan yaitu sektor industri pengolahan,
sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan, sektor konstruksi dan sektor
jasa-jasa masih terdapat perbedaan (gap).
Sehingga
kebijakan
pembangunan
ekonomi Kota Kediri yang tertuang dalam
landasan pembangunan Tri Bina Kota
belum sesuai dengan hasil analisis sektor
yang menjadi unggulan. Karena arah
kebijakan pembangunan Kota Kediri
tersebut hanya melihat dari sisi internalnya
saja, yaitu kontribusi sektoral dan kondisi
sosial.
Berdasarkan pada hasil tersebut
maka perlu bagi pemerintah daerah untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas
kegiata pada sector-sektor yang memiliki
potensi ekonomi. Hal ini penting karena
dalam era perekonomian global dewasa
ini dibutuhkan ketahanan perekonomian
yang berbasispada kemandirian dan
kapasitas
perekonomian
daerahnya.
Daftar Pustaka
(http://www.deptan.go.id/bpsdm/agropoli
tan.htm. diakses 17 agustus 2011)
Kecamatan Poncokusumo, 2010. Kecamatan
Poncokusumo Dalam Angka 2010.
Moleong, Lexy J, 2004. Metodologi Penelitian
Kualitatif.
Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur., 2011.Pedoman
Umum
Pengembangan
Kawasan
Agropolitan Provinsi Jawa Timur Tahun
2011. (Online) (http://app1.agropolitanjatim.net/upload/cms/Pedum%20Agro%
202011.pdf. Di akses 03 Februari 2012)
Rahardjo, Mudjia, 2010. Jenis dan Metode
Penelitian
Kualitatif.
(online)
(http://mudjiarahardjo.com/materikuliah/215-jenis-dan-metode-penelitiankualitatif.pdf diakses 17 agustus 2011)
Sugiyono, 2008. Memahami Penelitian Kualitatif.
Bandung: CV . Alfabeta
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2007.
Masterplan Agropolitan Kabupaten
Malang. Kabupaten Malang: Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2007.
Agropolitan
Poncokusumo
dan
Perkembangannya. Kabupaten Malang:
Badan
Perencanaan
Pembangunan
Daerah.
Budi Santosa, Purbayu, 2009. Paradigma
Penelitian
Kualitatif.
(Online)
(http://www.scribd.com/doc/51268701/
Metode-Penelitian-Kualitatif. Di akses
18 agustus 2011)
Departemen Pertanian. Badan Pengembangan
Sumberdaya
Manusia
Pertanian.
Bappenas
(online)
77
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
Sulistiono. Tinjauan Pustaka Konsep Wilayah dan
acara Focus Group Discussion tentang
Pusat
Pertumbuhan.(online)
Pengentasan
Kemiskinan
(http://www.damandiri.or.id/file/sulistion
Diselenggarakan oleh BPS Kabupaten
oipbbab2.pdf diakses 18 agustus 2011)
Malang. Malang, 2011.
Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Wahjoedi. 2010. Pembangunan Bidang Pertanian
Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis,
Sebagai Sektor Basis Untuk Kesempatan
Disertasi, Artikel, Makalah, Tugas Akhir ,
Kerja dan Pengentasan Kemiskinan di
Laporan Penelitian. Edisi Kelima.
Kabupaten Malang. Makalah disajikan
Malang: Penerbit UM.
dalam acara Focus Group Discussion
W ahjoedi. 2011. Pengembangan Pariwisata
tentang
Pengentasan
Kemiskinan
Berbasis Pertanian dan Potensinya
Diselenggarakan oleh BPS Kabupaten
dalam Menurunkan Angka Kemiskinan
Malang. Malang, 14 Oktober 2010
di Kota Batu. Makalah disajikan dalam
78
JESP Vol. 5, No.1, 2013
PELAKSANAAN PENGEMBANGAN KA W ASAN
AGROPOLITAN KABUPATEN MALANG
(STUDI KASUS KECAMATAN PONCOKUSUMO)
Lia Sunfianah
Ali Wafa
Abstract
The focus of this study are discover how far the implementation of agropolitan in
Poncokusumo district of Malang regency and to find out the agropolitan development
prospect in Poncokusumo district of Malang regency. This study used qualitative
approach. Purphose the authors use a qualitative approach is to give systematic, factual
and accurate information about the implementation agropolitan area development in
Poncokusumo district of Malang regency. The type of data used in this study were
secondary data which was documents gotten from BAPPEDA of Malang regency and
Poncokusumo district. The primary data were collected from interviews and observation.
The result of this study describes that the implementation of agropolitan area
development of Poncokusumo district, when this study was done, was in the infrastructure
betterment and the improvement of agricultural production and the advancement of
supporting subsystem of agricultural production. In the long run, it is hoped that the
agropolitan area development of poncokusumo will be able to be a agro-tourism area.
The conclusion taken from this study is Poncokusumo district of Malang regency has not
fully been an agropolitan area because the development is not maximum. The
implementation of agropolitan area development from 2008 to 2010 was still focus on the
development of its infrastructure to support the advancement of agricultural production.
In 2011, the improvement of agricultural production and the supporting sub system
advancement program of agricultural production were begun. The government hopes
later on this agropolitan area will be an agro-tourism area and will be a hinterland area
for area around it.
Keywords: Agropolitan, Economic Development, Agricultural Sector , Rural and Urban
Economy.
Kebijakan otonomi daerah yang
diberlakukan di Indonesia membawa
dampak bagi perencanaan pembangunan
perekonomian di Kabupaten Malang. Hal
tersebut dikarenakan bahwa dengan adanya
kebijakan tersebut, Kabupaten Malang
mempunyai kesempatan untuk melakukan
pembangunan sesuai dengan potensi
ekonomi yang dimiliki. Potensi ekonomi
terbesar di Kabupaten Malang berasal dari
sektor pertanian, karena posisinya sebagai
leading sector dalam perekonomian
wilayah. Namun, kendala utama yang
dihadapi adalah tidak semua komoditas
pertanian mempunyai kontribusi yang
sama dalam perekonomian wilayah,
sedangkan masyarakat membutuhkan hasil
pembangunan yang tepat sasaran. Oleh
karena itu, diperlukan identifikasi komoditas unggulan yang menjadi prioritas
utama dalam pembangunan pertanian.
Kemudian, guna mempertahankan posisi
komoditas dalam perekonomian, langkah
berikutnya adalah penentuan pengembangan wilayah bagi komoditas unggulan,
yakni dengan adanya pengembangan
kawasan agropolitan.
Pada tahun 2007 Kabupaten
Malang mulai mengembangkan kawasan
agropolitan, tepatnya di Kecamatan Ponco-
Alamat Korespondensi :
Lia Sunfianah: Mahasiwa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang
Sugeng Hadi Utomo. Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang
Email : [email protected]
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
kusumo. Latar belakang mengenai dikembangkannya kawasan agropolitan di
Kabupaten Malang ini adalah berdasarkan
rencana perwilayahan dalam rencana Tata
Ruang Wilayah Propinsi Jawa Timur.
Dalam arahan pengembangan kawasan
yang diprioritaskan, Kabupaten Malang
termasuk dalam Kawasan Ekonomi Potensial yang mencakup KAPUK (Kawasan
Pengembangan Utama Komoditi). KAPUK
adalah kawasan ekonomi yang didominasi
oleh satu komoditi dalam satu wilayah
kabupaten/kota. KAPUK yang ada di
Kabupaten Malang meliputi KAPUK
Tembakau yang berpusat di Kecamatan
Dampit, KAPUK Kapuk yang terpusat di
Kecamatan Bantur, KAPUK Jagung yang
berpusat di Kecamatan Kalipare, KAPUK
Hortikultura yang berpusat di Kecamatan
Poncokusumo,
KAPUK
susu
atau
peternakan sapi perah di Kecamatan Pujon
(BAPPEDA 2007)
Sebagai kabupaten dengan basis
perekonomian di sektor pertanian, maka
model pembangunan regional yang tepat
adalah dengan model Agropolitan. Model
ini merupakan salah satu upaya mempercepat pembangunan perdesaan dan
pertanian,dimana kabupaten sebagai pusat
kawasan (growth center) dengan ketersediaan sumberdaya, tumbuh dan berkembang dengan mengakses, melayani,
mendorong dan memacu usaha agribisnis
di desa-desa (hinterland) (BAPPEDA,
2007).
Konsep agropolitan mencoba untuk
mengakomodasi dua hal utama, yaitu
menetapkan sektor pertanian sebagai
sumber pertumbuhan ekonomi utama dan
diberlakukannya
ketentuan-ketentuan
mengenai otonomi daerah. Agropolitan
selain merupakan konsep berpikir, cara
pandang, atau strategi untuk melakukan
pembangunan di daerah, baik di perkotaan
maupun sub perkotaan dengan pertanian
berkelanjutan, juga merupakan pendorong
proses restrukturisasi perdesaan oleh
masyarakat dan berkemampuan membangun interdepensi antara pembangunan
80
perdesaan dan perkotaan secara serasi dan
saling mendukung.
Pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Malang khususnya di
kecamatan Poncokusumo yang sudah
berjalan, dalam pelaksanaannya diharapkan dapat mengurangi kesenjangan
pertumbuhan kawasan perdesaan dan
perkotaan, dan dengan adanya pengembangan kawasan agropolitan ini juga
diharapkan bisa mengintegrasikan pembangunan perdesaan dengan pembangunan
perkotaan agar taraf hidup masyarakat desa
dapat meningkat.
Berdasarkan dari penjelasan pada
di atas, maka fokus dalam penelitian ini
adalah untuk mengetahui pelaksanaan
agropolitan di Kecamatan Poncokusumo
Kabupaten Malang dan untuk mengetahui
bagaimana
prospek
pengembangan
kawasan agropolitan di Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten malang.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan metode penelitian kualitatif yaitu
metode penelitian yang digunakan untuk
meneliti pada kondisi obyek yang alamiah
atau obyek yang apa adanya, tidak
dimanipulasi sehingga kondisi pada saat
peneliti memasuki obyek, setelah berada di
obyek dan setelah keluar dari obyek relatif
tidak
berubah
(Sugiyono,
2008).
Pendekatan kualitatif difokuskan untuk
mengidentifikasi berbagai faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan
pengembangan kawasan agropolitan pada
Kecamatan Poncokusumo Kabupaten
Malang.
Teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi yaitu teknik
pemeriksaan
keabsahan
data
yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar
data itu untuk keperluan pengecekan atau
pembanding terhadap data tersebut. Teknik
ini dilakukan dengan membandingkan dan
mengecek informasi yang didapat dari
informan satu dengan cara memperoleh
data dari informan kedua. Apabila dalam
data tersebut berbeda antara informan satu
JESP Vol. 5, No.1, 2013
dengan informan dua maka dilakukan
pemeriksaan informan ketiga.
Jenis penelitian ini adalah jenis
penelitian studi kasus yaitu penelitian yang
mendalam
tentang
individu,
satu
kelompok, satu organisasi, satu program
kegiatan, dan sebagainya dalam waktu
tertentu. Tujuannya untuk memperoleh
diskripsi yang utuh dan mendalam dari
sebuah entitas Sebagaimana prosedur
perolehan data penelitian kualitatif, data
studi kasus diperoleh dari wawancara,
observasi, dan arsip (Rahardjo, 2010).
Hasil Penelitian
Gambaran Umum Kecamatan Poncokusumo
Kecamatan Poncokusumo terletak
pada urutan terbesar ketiga dari luas
wilayah kecamatan-kecamatan yang ada di
Kabupaten Malang, yaitu dengan luas
wilayah sebesar 22.250 Ha dan berjarak ±
27 km dari Ibukota Kabupaten Malang.
Kecamatan Poncokusumo terletak
di bagian timur Kabupaten Malang dan
berbatasan langsung dengan Kabupaten
Lumajang. Secara administrasi Kecamatan
ini dibagi menjadi 17 desa yang terdiri dari
179 RW, 849 RT, memiliki batas-batas
administrasi sebelah utara
dengan
Kecamatan Tumpang, sebelah selatan
dengan Kecamatan Wajak dan Kecamatan
Ampelgading, sebelah timur dengan
Kabupaten Lumajang, dan sebelah barat
dengan Kecamatan Tajinan.
Berdasarkan letak geografisnya,
wilayah
Kecamatan
Poncokusumo
merupakan daerah dataran dan perbukitan
yang bergelombang kerena berbatasan
langsung dengan daerah pegunungan yaitu
pegunungan
Tengger.
Kecamatan
Poncokusumo memiliki ketinggian ratarata ± 842 meter diatas permukaan laut,
dimana wilayah dengan topografi tertinggi
yaitu Desa Ngadas dengan ketinggian
2.100 mdpl. Di sebelah timur, Kecamatan
Poncokusumo terletak di kaki Gunung
Semeru (3.676 mdpl) dengan bentuk
topografi yang didominasi oleh lahan
dengan tingkat kelerangan sebesar >400.
Desa-desa yang memiliki kondisi geografis
berupa daerah perbukitan umumnya desa
yang terletak di wilayah bagian timur
Kecamatan Poncokusumo yaitu meliputi
Desa Dawuhan, Sumberejo, Pandansari,
Ngadireso, Poncokusumo, Wringinanom,
Gubukklakah dan Ngadas.
Berdasarkan kondisi geologinya,
Kecamatan Poncokusumo sebagian besar
terdiri dari hasil gunung api kwarter tua
dan sebagian kecil hasil gunung api
kwarter muda dengan jenis tanah yang
terdiri dari asosiasi andosol, kambisol dan
latosol. Dengan kondisi tanah yang
demikian ini, kemampuan dan daya
dukung tanah tergolong sedang dan baik.
Sungai-sungai
yang
melintasi
Kecamatan Poncokusumo dikelompokkan
dalam sungai yang mengalir dengan debit
air besar sepanjang tahun yaitu Sungai
Amprong dan Sungai Lajing, sedangkan
sungai dengan debit air relatif kecil adalah
Sungai
Manten.
Sungai-sungai
ini
sekaligus digunakan penduduk untuk
mengairi sawah dan kebutuhan sehari-hari
seperti mandi dan mencuci. Namun
sebagian besar penduduk juga menggunakan pipanisasi yang dikelola secara
swadaya masyarakat setempat dan
kemudian dialirkan menuju rumah-rumah
penduduk. Selain itu disekitar Sungai
Amprong terdapat kegiatan penambangan
pasir dan batu kali.
Sektor pertanian merupakan sektor
andalan dalam pembangunan ekonomi
masyarakat. Lahan pertanian sawah hampir
ada di semua desa di wilayah Kecamatan
Poncokusumo, yaitu lahan sawah dengan
pengairan diusahakan baik dengan irigasi
teknis, setengah teknis maupun non teknis.
Lahan sawah terluas terdapat di desa
Argosuko seluas 196 ha sedangkan empat
desa yaitu Poncokusumo, Wringinanom,
Gubukklakah dan Ngadas tidak ada lahan
sawah karena kondisi topografi yang tidak
mendukung.
Penggunaan lahan kering di
Kecamatan Poncokusumo meliputi untuk
permukiman, tegal/kebun, perkebunan dan
81
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
lain-lain. Sebagian besar penggunaan lahan
kering di Kecamatan ini adalah untuk tegal
atau kebun yaitu seluas 6.473,39 ha
dimana Desa Sumberejo memiliki luas
tegal/kebun terluas dibandingkan desa
yang lain yaitu 977,0 ha. Penggunaan
lahan untuk permukiman seluas 1.846,43
ha dimana wilayah permukiman terluas
terdapat di Desa Pandansari seluas 500,4
ha. Sedangkan penggunaan lahan untuk
keperluan seperti jalan, fasilitas umum dan
sebagainya seluas 1.123,64 ha.
Aspek kependudukan merupakan
salah satu faktor utama dalam menentukan
perencanaan di masa mendatang. Jumlah
penduduk di Kecamatan Poncokusumo
pada tahun 2009 sebesar 93.243 jiwa,
dengan tingkat rasio jenis kelamin sebesar
100,90%.
Desa dengan jumlah penduduk
terbesar di Kecamatan Poncokusumo
adalah Desa Karangnongko, dengan
jumlah penduduk pada Tahun 2009 sebesar
7.711 jiwa, sedangkan desa dengan jumlah
penduduk terkecil adalah Desa Ngadas
yang pada Tahun 2009 penduduknya
berjumlah 831 jiwa. Rasio jenis kelamin
tertinggi adalah desa Gubugklakah sebesar
106,75%, sedangkan rasio jenis kelamin
terendah adalah desa Pajaran sebesar
92,62%.
Produksi tanaman pangan yang
berpotensial di Kecamatan Poncokusumo
adalah jenis komoditi padi dan palawija,
dengan total luas tanam padi pada Tahun
2009 seluas 1.321 ha. Produksi tanaman
padi di Kecamatan ini pada tahun 2009
sebesar 8.079 ton dengan tingkat
produktifitas sebesar 103,71 kw/ha.
Meskipun kondisi wilayah Kecamatan ini
sebagian besar berupa perbukitan ataupun
pegunungan,
tetapi
pada
wilayah
datarannya dimanfaatkan sebagai lahan
persawahan untuk budidaya tanaman padi,
sedangkan pada wilayah dengan topografi
berbukit dan lebih tinggi seperti Desa
Poncokusumo, Wringinanom, Gubukklakah dan Ngadas tidak terdapat areal
persawahan.
82
Jenis tanaman pangan lain yang ada
di Kecamatan Poncokusumo adalah
tanaman jagung yang terdapat di tiap desa.
Luas areal tanaman Jagung di Kecamatan
ini pada Tahun 2009 seluas 3.006 ha
dengan produksi sebesar 17.024 ton dan
produktivitas sebesar 116,71 kw/ha.
Tanaman jagung sebagai salah satu jenis
tanaman palawija umumnya ditanam
bergiliran setelah tanaman padi atau awal
musim hujan. Selain sebagai tanaman
pangan, daun tanaman jagung juga banyak
dimanfaatkan sebagai pakan ternak
khususnya sapi perah atau sapi potong
yang cukup banyak terdapat di Kecamatan
Poncokusumo.
Tanaman hortikultura yang potensial di Kecamatan Poncokusumo meliputi
jenis komoditi sayur dan jenis komoditi
buah. Kecamatan ini sudah sangat dikenal
sebagai daerah utama penghasil Apel di
Kabupaten Malang dan sebagai salah satu
wilayah sentra pengembangan tanaman
hortikultura.
Tanaman perkebunan yang ada di
Kecamatan Poncokusumo berupa cengkeh,
kakao/coklat, kopi, tebu, kelapa, kapuk
randu, vanelli dan tembakau. Sebagian
besar perkebunan yang ada adalah
perkebunan rakyat yang merupakan milik
masyarakat di Kecamatan ini.
Jenis perkebunan Kopi yang
dikembangkan oleh masyarakat di
Kecamatan Poncokusumo yaitu jenis Kopi
Arabika dan Kopi Robusta. Tanaman Kopi
Arabika yang dikembangkan di Kecamatan
ini, rata-rata produksinya sebesar 3.367,50
kuintal dengan jumlah 449 pohon pada
tahun 2009. Dalam perkembangannya,
Kopi Robusta cenderung dikembangkan
oleh masyarakat.
Jenis tanaman perkebunan lain yang
banyak dibudidayakan oleh penduduk
adalah tanaman Tebu, dimana hasil
produksinya merupakan yang paling tinggi
di antara jenis tanaman yang lain yaitu
sebesar 51.656,20 kuintal.
JESP Vol. 5, No.1, 2013
Pelaksanaan Agropolitan di Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang
Program pembangunan agropolitan
merupakan implementatif dari rencana
pengembangan yang telah disusun. Pada
dasarnya program-program pengembangan
yang terkandung didalam Masterplan
Kawasan Agropolitan adalah untuk
menciptakan Kawasan Agropolitan yang
berkelanjutan dengan bentuk perencanaan
yang bertahap.
Kawasan agropolitan merupakan
alternatif solusi untuk pengembangan
wilayah (pedesaan) yang diartikan sebagai
sistem
fungsional
desa-desa
yang
ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan
desa yakni dengan adanya pusat
agropolitan dan desa-desa di sekitarnya
yang membentuk kawasan agropolitan.
Kawasan agropolitan dicirikan dengan
kawasan pertanian yang tumbuh dan
berkembang
sebagai
akibat
dari
berjalannya sistem dan usaha agribisnis di
pusat agropolitan.
Pengembangan Kawasan Agropolitan Poncokusumo merupakan gerakan
dari dan untuk masyarakat di wilayah
kawasan Poncokusmo, oleh karena itu
dalam pelaksanaan program pembangunan
Agropolitan,
masyarakat harus ditempatkan sebagai pelaku utama sedangkan peran institusi pemerintah lebih
diarahkan pada tindakan motivasi,
fasilitasi,
stimulasi
dan
stabilisasi,
sehingga dicapai keberhasilan yang lebih
optimal.
Secara garis besar mengenai
program-program yang terkait dengan
Masterplan Kawasan Agropolitan yang
perlu diprioritaskan dalam kurun waktu 10
(sepuluh) tahun adalah Program 5 Tahun
Pertama (2008 - 2012) dan Program 5
Tahun Kedua (2013 – 2017).
Pengembangan agribis meliputi Sub
Sistem Pra Produksi (Hulu), Sub Sistem
Produksi (Tengah), Sub Sistem Pasca
Produksi (Hilir), dan Sub Sistem
Pendukung. Pada saat ini pelaksanaan
agropolitan masih difokuskan pada
pelatihan-pelatihan pengolahan produk
unggulan
terhadap
kelompok
tani
setempat.
Pembangunan fasilitas agropolitan
sangat diperlukan dalam menunjang
kegiatan pertanian, industri, dan pariwisata. Program pembangunan kawasan
agropolitan dalam pengembangan fasilitas
agropolitan di Kecamatan Ponco-kusumo
diantaranya adalah; (1) pem-bangunan
gudang pupuk, (2) pembangunan balai
penelitian dan pembenihan, (3) pembuatan
bangunan konservasi air, (4) pembangunan
ST A, (5) pengadaan Koperasi Unit Desa,
(6) pembangunan Greenhouse, (7) pembangunan Landmark Agropolitan, (8)
pengadaan Warnet Tani, (9) pembangunan
laboratorium bersama, dan (10) pembangunan Tourist Information Centre.
Pembangunan infrastruktur jalan
merupakan prasarana wilayah yang pokok
dalam pengembangan kawasan agropolitan
sebagai jalur mobilitas, yang diantaranya
adalah pelebaran dan perkerasan jalan
kunci jalur Poncokusumo-Wringinanom,
pembangunan jalan tembus PandansariNgadireso-Karanganyar, pelebaran dan
perkerasan Jalan Jalur PoncokusumoPandansari, pelebaran Jalan GubuklakahNgadas,
Wringanom-Wonorejo,
dan
perbaikan Jalan Lintas Agrosuko-NgebrukJambesari.
Program pembangunan kawasan
agropolitan dalam pengembangan pariwisata di Kecamatan Poncokusumo
diantaranya adalah; (1) Pembangunan jalan
tembus Coban Pelangi, (2) Pembangunan
tempat parkir Coban Pelangi, (3) Pembangunan Home Stay, (4) Pembangunan
sentra tanaman hias, (5) Pengembangan
Agrowisata Apel (Realisasi Pelaksanaan,
2011).
Prospek
Pengembangan
Kawasan
agropolitan di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang
Potensi-potensi kawasan pedesaan
terutama kawasan-kawasan yang mempunyai produk unggulan harus terus
dikembangkan, karena keberhasilan petani
dalam peningkatan produksi ternyata tidak
83
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
serta merta dapat meningkatkan pendapatan usaha tani. Nilai tambah ekonomi
ternyata tidak hanya berasal dari usaha tani
tapi juga dari kegiatan di luar
pertaniannya. Maka dari itu paradigma
pendekatan
pembangunan
ekonomi
berbasis pertanian harus dirubah, dari yang
semula lebih banyak bertumpu pada
pembangunan produksi ke pembangunan
sistem dan usaha agribisnis dimana seluruh
sub sistem agribisnis (budidaya, sarana
prasarana produksi, pengolahan hasil,
pemasaran, dan jasa) dibangun secara
simultan dan harmonis.
Dalam mempercepat pembangunan
perdesaan dan pertanian diperlukan
komitmen dan tanggungjawab moral
pembangunan dari segenap aparatur
pemerintah, masyarakat maupun swasta,
sehingga pembangunan pertanian dapat
dilakukan
secara
efektif,
efisien,
terintergrasi dan sinkron dengan pembangunan sektor lainnya dan berwawasan
lingkungan.
Salah
satu
program
keterpaduan tersebut adalah pengembangan Kawasan Agropolitan yang
dilakukan pada daerah pemasok hasil
produksi pertanian melalui pengembangan
DPP (Desa Pusat Pertumbuhan) yang
diharapkan dapat mendorong, menarik,
menghela kegiatan pembangunan agribisnis di desa-desa hinterland. Program ini
pada dasarnya merupakan program
pembangunan ekonomi berbasis pertanian
di Kawasan Agribisnis yang dirancang dan
dilaksanakan dengan jalan mensinergikan
berbagai potensi yang ada untuk
mendorong berkembangnya sistem dan
usaha agribisnis yang berdaya saing,
berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan
desentralisasi yang digerakkan oleh
masyarakat
dan
difasilitasi
oleh
pemerintah.
Program Agropolitan bukanlah
konsep baru, tetapi merupakan pengembangan dan optimalisasi dari hasil-hasil
pembangunan pada kawasan-kawasan
andalan, kawasan sentra produksi, kawasan
pengembangan ekonomi terpadu, serta
mengoptimalkan program-program yang
84
sudah ada sebelumnya, seperti Program
Bimas, Kawasan Industri Masyarakat
Perkebunan (Kimbun), Kawasan Usaha
Peternakan (Kunak), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program
penyediaan Sarana dan Prasarana Desa
(PPSD),
Kemitraan
petani
dengan
pengusaha agribisnis, kemitraan peternak/
nelayan dengan pengusaha industri
makanan/eksportir, pengembangan prasarana dan sarana penunjang pertumbuhan
ekonomi, serta program-program interdependen lainnya.
Prospek pengembangan agropolitan
di Kecamatan Poncokusumo pada tahun
2012 merupakan kelanjutan rencana di
periode sebelumnya dan tetap berdasarkan
pada Masterplan Agropolitan Kabupaten
Malang yang dibuat tahun 2007, lebih
khusus lagi ditambahkan bahwa pentingnya akses kemudahan pemasaran hasil
produksi dan peningkatan pendapatan per
kapita merupakan harapan dari sebagian
besar petani di Kecamatan ini.
Rencana struktur ruang kawasan
agropolitan didasarkan pada potensi
kawasan terutama dari aspek pertanian,
daya dukung lahan sampai pada
aksesbilitas serta sarana-prasarana yang
mendukung atau perlu dikembangkan.
Berdasarkan hasil analisa terhadap struktur
ruang wilayah, Kecamatan Poncokusumo
dibagi menjadi 2 yaitu wilayah pusat
kegiatan dan wilayah pendukung. Adanya
hierarki berarti ada keterkaitan antara satu
wilayah dengan wilayah lainnya. Wilayah
dengan tingkat hierarki yang lebih tinggi
akan lebih besar pengaruh jangkauannya
dan akan mempengaruhi wilayah yang
hierarkinya lebih rendah. Berdasarkan
hierarki struktur ruang kawasan tersebut,
maka penetapan fungsi dari masing-masing
kawasan adalah sebagai berikut:
Ø Sebagai Daerah Pusat Pertumbuhan
Berdasarkan hasil kajian, pusat
pengembangan kawasan agropolitan secara
regional berada di Kecamatan Poncokusumo. Pada kawasan ini direncanakan
terdapat dua wilayah pusat utama pertumbuhan yaitu di Desa Poncokusumo dan
JESP Vol. 5, No.1, 2013
Desa Wonomulyo yang berfungsi sebagai
kawasan penggerak kegiatan ekonomi bagi
kawasan-kawasan pendukung disekitarnya.
Ø Sebagai Daerah Pendukung
Daerah pendukung pada kawasan
agropolitan ini meliputi desa-desa di
sekitar wilayah inti pusat pertumbuhan
yaitu meliputi Desa Dawuhan, Sumberejo,
Pandansari,
Ngadireso, Karanganyar,
Jambesari, Pajaran, Argosuko, Ngebruk,
Karangnongko,
Belung,
Wonorejo,
Wringinanom, Gubuklakah dan Ngadas.
Untuk mencapai sasaran pengembangan kawasan agropolitan Kabupaten
Malang perlu dilakukan serangkaian
penyusunan kebijaksanaan pemerintah
daerah dalam perencanaan dan kegiatan
pengembangan Agropolitan, yang harus
mencakup aspek sektoral dan spasial
dalam hal ini bidang ekonomi, sosial,
lingkungan hidup dan penataan ruang.
Karenanya maka kebijakan perencanaan
Agropolitan Kabupaten Malang diarahkan
pada strategi sebagai berikut; (1) Tidak
boleh dikembangkannya industri yang
bersifat Polutif pada zona agropolitan.
Karena telah di ketahui bahwa industri yang
bersifat
polutif
banyak
merugikan
lingkungan sekitar, dari limbah industri akan
berdampak pada proses pengembangan
agropolitan di sektor pertanian, (2) Alokasi
sentra-sentra produksi pertanian. Pada saat
ini alokasi sentra produksi pertanian sudah
ada, misalnya sentra bunga krisan ada di
desa poncokusumo dan sentra buah apel di
desa Pandansari, (3) Pengaturan (rute)
transportasi sebagai akses pendukung
kawasan Agropolitan. Untuk sementara ini
tidak sedikit rute transportasi yang perlu
adanya pembenahan, (4) Perlu adanya
sistem tarif. Untuk saat ini sistem tarif
belum di berlakukan di kecamatan
Poncokusumo, (5) Tata Air (pengolahan
terhadap sumberdaya air yang berkelanjutan), dan (6) Perlu menarik investor/
investor besar. Diharapkan dengan semakin
meningkatnya investasi, akan semakin
mempercepat pengembangan kawasan
Agropolitan Kecamatan Poncokusumo.
Pelaksanaan Agropolitan di Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang
Realisasi dari Masterplan pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan
Poncokusumo
yang
dibuat
oleh
BAPPEDA, pada tahun 2008-2010 masih
tahap pembangunan fisik guna untuk
melengkapi sarana dan prasarana untuk
mendukung
program
pengembangan
kawasan agropolitan.
Pada tahun 2008 pembangunan
yang dilakukan pemerintah setempat
meliputi pemeliharaan saluran irigasi,
jalan, pembangunan dinding penahan,
pembangunan MCK di rest area, dan
pembangunan mushola dikawasan wisata,
rehabilitasi tandon air baku, jembatan,
duiker, polindes, serta sekolah dasar,
peningkatan jalan, pembangunan jembatan,
pembangunan saluran.
Pada tahun 2009 pembangunan
yang dilakukan masih berlanjut pada
pembangunan fisik yaitu, rehabilitasi ruang
sekolah dasar negeri, jalan, gedung UPTD
Dinas Pertanian, kantor kecamatan
Poncokusumo, Peningkatan polindes,
peningkatan jalan, Pemeliharaan jalan,
pelebaran jalan, pemasangan petunjuk
jalan umum, pembangunan drainase,
pembangunan trotoar, pembangunan jalan
lingkungan, saluran irigasi Sumber,
pemeliharaan saluran Sumber, pembangunan kios Rest Area di desa gubugklakah, pembangunan Tourist Information
Center, pembangunan gedung balai
penyuluhan pertanian didesa Wonorejo.
Pada tahun 2010 pembangunan
yang dilakukan didesa Ngadas adalah
pembangunan plengsengan, pembangunan
gedung TK, pengepresan jalan, pembangunan rabat beton, rehabilitasi jalan, dan
pembangunan jalan kampung.
Didesa dawuhan
pembangunan
yang dilakukan adalah rehabilitasi balai
desa, damping saluran irigasi, drainase,
makadam jalan, rehabilitasi rumah
keluarga
miskin,
plesterisasi,
dan
pengaspalan jalan.
Pembangunan di desa Wringinanom, pengecoran jalan, pipanisasi,
85
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
pembangunan musholah, pembnagunan
drainase, rehabilitasi jalan, rehabilitasi
masjid, rehabilitasi madrasah, penyemiran
jalan, pembangunan gorong-gorong, pembangunan makadam jalan ladang, dan
rehabilitasi rumah keluarga miskin.
Pembangunan di desa Belung
meliputi pembangunan TK, pembangunan
drainase, pavingisasi, damping jalan, pembangunan gorong-gorong, penyemiran
jalan, dan rehabilitasi poskesdes.
Pembangunan didesa Ngadireso
meliputi pengaspalan jalan, pemeliharaan
aspal jalan plengsengan, pembangunan
gorong-gorong, rehabilitasi kantor desa,
penyemiran jalan aspal, dan pembuatan
jembatan bambu.
Pembangunan didesa Argosuko
meliputi pengaspalan jalan didusun
W angkal Lor, makadam jalan didusun
Keden, drainase jalan dan pembangunan
jembatan didusun Wangkal Lor, dan
rehabilitasi balai desa Argosuko.
Pembangunan didesa Gubugklakah
meliputi pembangunan gedung TK, rehabilitasi gedung TK, rehabilitasi sekolah
madrasah, pembangunan rabat beton jalan
kebun didusun Pagar Bumi, dan rehabilitasi jalan Gubugklakah-Ngadas.
Pembangunan didesa Karangnongko meliputi penyemiran jalan dijalan
Poros-Nongkosewu, rehabilitasi saluran
irigasi, pembangunan gedung TK didusun
Baran, rehabilitasi gedung balai desa,
rehabilitasi mushola didusun Tenggeran,
rehabilitasi sekolah madrasah diidusun
Paras, bantuan rehabilitasi rumah keluarga
miskin didusun Paras dan Nongkosewu,
kebersihan rehabilitasi saluran irigasi
didusun Paras dan Nongkosewu, dan
penyemiran jalan didusun Tenggeran dan
Baran.
Pembangunan didesa Wonorejo
meliputi rehabilitasi jaringan irigasi,
pembangunan pendopo, rehabilitasi jaringan irigasi, pembangunan saluran irigasi,
pembangunan drainase, rehabilitasi gedung
sekolah madrasah, pembangunan pipanisani, makadam jalan, dan pavingisasi.
86
Pembangunan didesa pandansari
meliputi pembangunan gedung PAUD
didusun Wonosari, pembangunan rabat
beton, pengaspalan, pelebaran jalan
protokol, pembangunan gapura, pembangunan gorong-gorong, pembangunan
gedung NU, rehabilitasi masjid didusun
Sukosari, plesterisasi, dan rehabilitasi
rumah keluarga miskin.
Pembangunan didesa Poncokusumo
meliputi pembangunan klengsengan, rehabilitasi rumah keluarga miskin, pembangunan drainase, perbaikan jalan,
pengaspalan jalan, pelebaran jalan, dan
pembangunan gorong-gorong.
Pembangunan didesa Wonomulyo
meliputi pembangunan musholah, pembangunan plengsengan, rehabilitasi gedung
TK, rehabilitasi kantor desa, dan
pembangunan makadam jalan.
Selanjutnya pada tahun 2011
pembangunan infrastruktur didesa-desa di
kecamatan Poncokusumo masih terus
berjalan diantaranya didesa Wonomulyo,
pembangunan
irigasi
dan
trotoar,
penyemiran jalan kampung, pembangunan
rumah makam, pembangunan irigasi dan
penyemiran jalan protokol. Di desa
Ngebruk
pembangunannya
meliputi
pengaspalan jalan, penyemiran jalan,
makadam jalan, dan pembangunan irigasi.
Di desa karangnongko pembangunannya meliputi pengaspalan jalan,
penyemiran jalan, makadam jalan,
pembangunan TK, pembangunan kantor
desa, pembangunan musholah dan masjid,
dan pembangunan irigasi. Di desa Jambesari pembangunannya meliputi pengaspalan jalan, penyemiran jalan, dan
pembangunan biogester.
Di desa Pandansari pembangunannya meliputi rabat beton, pembangunan
gorong-gorong, pembangunan musholah,
plesterisasi, rehabilitasi rumah keluarga
miskin, pembangunan jembatan, pipanisasi, pembangunan balai desa, pemasangan
listrik desa.
Di desa Pajaran pembangunannya
meliputi makadam jalan, pembangunan
MCK, rehabilitasi gedung TK, rehabilitasi
JESP Vol. 5, No.1, 2013
tugu perbatasan, rehabilitasi musholah,
rehabilitasi rumah keluarga miskin,
pembangunan pos kamling, pengaspalan
jalan Pajaran-Ngebruk, pembangunan
jembatan jalan tani, drainase jalan
kampung, dan penyemiran jalan.
Di desa Wonorejo pembangunannya meliputi pembangunan balai desa,
drainase dan rabat beton, pembangunan
kantor SD, penyemiran jalan, pengaspalan
jalan Wonorejo-Putuk, pembangunan
drainase
lingkungan,
pembangunan
drainase jalan protokol, dan pavingisasi.
Di desa Ngadireso pembangunannya meliputi rehabilitasi rumah keluarga
miskin, tambal sulam aspal, makadam dan
pengaspalan jalan, drainase jalan, pembangunan pagar kantor desa, pavingisasi,
dan pembangunan gorong-gorong sawah.
Di desa Wringinanom pembangunannya
meliputi
pembangunan
jembatan, rabat jalan, pengaspalan jalan,
drainase lingkungan, pembangunan rumah
keluarga miskin, pembangunan tandon air,
dan pembangunan saluran air.
Di desa Argosuko pembangunannya meliputi pembangunan saluran irigasi,
pembangunan embung, pengaspalan jalan,
penyemiran jalan, pavingisasi, dan pembangunan kantor desa. Didesa Belung
pembangunannya meliputi rehabilitasi
kantor desa, pembangunan tembok
penahan tebing (TPT), pavingisasi,
penyemiran jalan kampung, pembangunan
saluran irigasi, pembangunan drainase,
rehabilitasi rumah keluarga miskin, dan
pemasangan petunjuk jalan umum.
Di desa Ngadas pembangunannya
meliputi pengerasan jalan, pembersihan
jalan, pembangunan plengsengan jalan,
dan pembangunan tandon air. Didesa
Dawuhan
pembangunannya
meliputi
pembuatan jalan tembusan, makadam
jalan, saluran irigasi, pipanisasi, rehabilitasi rumah keluarga miskin, pembangunan instalasi biogas, pem-bangunan
jembatan, pembangunan TPT/plengsengan,
dan perbaikan kantor desa.
Di desa Sumberejo pembangunannya meliputi pembangunan drainase,
pipanisasi, dan plengsengan. Didesa
Karanganyar pembangunannya meliputi
pembangunan drainase, penyemiran jalan,
perbaikan jembatan irigasi, pipanisasi, dan
rehabilitasi rumah keluarga miskin.
Di desa Poncokusumo pembangunannya
meliputi
pembangunan
drainase, penyemiran jalan, pembangunan
gorong-gorong, makadam, rabat beton,
rehabilitasi rumah keluarga miskin,
pembangunan jalan telford, pembangunan
talut penahan
jalan,
pembangunan
pipanisasi air minum, dan PNPM
pariwisata.
Selain pembangunan infrastruktur,
pada tahun 2011 juga terdapat program
yang termasuk dalam sub sistem
pendukung
pengembangan
kawasan
agropolitan di kecamatan Poncokusumo,
yaitu Program Pengembangan Wilayah
Terpadu Antar Desa (PWTAD) didesa
Wringinanom, Ngadas dan Gubugklakah,
Program Pengembangan Keberdayaan
Masyarakat (PPKM) didesa Poncokusumo,
Program Sistem Manajemen Pembangunan
Partisipatif (SMPP) didesa Wringinanom,
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) di
semua desa, Program Jalin Kesra di semua
desa, Program Komunitas Adat Terpencil
(KA T) didesa Pandansari, bantuan sapi
perah didesa Wringinanom, bantuan
pembuatan
instalasi
biogas
didesa
Dawuhan, Program Aksi Mandiri Pangan
didesa Ngadireso, bantuan sosial lumbung
pangan didesa Jambesari, Program
Percepatan Konsumsi Pangan (P2KP)
didesa Argosuko dan Wonomulyo, bantuan
Hand Traktor didesa Wonorejo, Wringinanom, dan Argosuko, kegiatan hutan
rakyat didesa Pandansari, Kegiatan Kebun
Bibit Rakyat (KBR) didesa Sumberejo,
Dawuhan, Karangnongko dan Wringinanom, dan bantuan bagi Kelompok Usaha
Bersama (KUBE) didesa Pandansari dan
Dawuhan.
Selanjutnya
adalah
program
peningkatan produksi pertanian yang juga
dilaksanakan pada tahun 2011, meliputi
penyediaan sarana produksi pertanian/
87
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
perkebunan, pengembangan pertanian pada
lahan kering, peningkatan kualitas bahan
baku, peningkatan produksi, produktivitas
dan mutu produk hortikultura berkelanjutan, peningkatan produksi, produktivitas mutu produk tanaman sayuran
berkelanjutan
pengembangan sayur
organik, peningkatan produksi, produktivitas mutu produk tanaman buah
berkelanjutan
pengembangan kawasan
apel, peningkatan produksi, produktivitas
mutu produk tanaman hias pengembangan
kawasan hias tanaman bunga Krisan,
penyediaan dan pengembangan sarana dan
prasarana pertanian, pengepakan kripik,
pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alat
(UPJA), Bantuan Langsung Benih Unggul
(BLBU) jagung dan padi, Sekolah Lapang
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT)
padi dan jagung hibrida.
Dari paparan diatas dapat dilihat
bahwa pada saat ini pembangunan
kawasan Agropolitan di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang pada tahun
2008-2010 di fokuskan pada pembangunan
infrastruktur, yang mengarah pada
pengembangan pariwisata-nya. Salah satu
pariwisata yang paling terkenal adalah
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
(TNBTS) yang merupakan tempat wisata
skala regional bahkan internasional. Y ang
untuk saat ini, kunjungan wisatawan ke
TNBTS
masih
terbatas
melewati
kabupaten Lumajang dan Probolinggo saja.
Hal ini dikarenakan kondisi aksesibilitas
transportasi menuju ke TNBTS lebih baik
melalui kabupaten tersebut. Padahal jika
dibandingkan dengan jarak tempuhnya,
jarak tempuh ke TNBTS melalui Desa
Ngadas Kecamatan Poncokusumo lebih
singkat. Jarak dari Kota Malang ke
TNBTS adalah ± 32 km yang dapat
ditempuh dalam waktu kurang dari 2 jam.
Untuk
menunjang
pariwisata
TNBTS, telah dilakukan pembenahan
infrastrukutur yakni pelebaran jalan di desa
Ngadas oleh pemerintah desa setempat.
Hal ini diharapkan bisa meningkatkan
pengunjung TNBTS yang lewat di desa
ngadas.
88
Selain TNBTS tempat pariwasata
lain yang ada di kecamatan poncokusumo
adalah pemandian sumberagung yang
terletak di desa Argosuko, dan air terjun
Cobanpelangi di desa Gubugklakah, yang
juga sudah dalam proses perbaikan
infrastrukturnya.
Keberadaan wisata Cuban Pelangi
merupakan salah satu daerah tujuan wisata
keluarga maupun perorangan di Kabupaten
Malang. W alaupun berskala lokal, akan
tetapi jumlah wisatawan yang berkunjung
cukup banyak atau dapat dikatakan setara
dengan jumlah wisatawan ke TNBTS. Hal
ini dikarenakan wisatawan yang akan atau
setelah mengunjungi TNBTS melalui Desa
Ngadas kecamatan Poncokusumo, biasanya juga mengunjungi wisata air terjun
Coban Pelangi di Desa Gubugklakah
kecamatan Poncokusumo.
Selain pembangunan infrastuktur,
pelaksanaan
pengembangan
kawasan
agropolitan pada saat ini juga dilakukan
dengan peningkatan produksi pertanian
dan peningkatan sub sistem pendukung
peningkatan produksi pertanian.
Dalam perencanaan pembangunan
kawasan agropolitan pada tahun 20082012, program-program yang belum
tercapai adalah pembangunan gudang
pupuk, pembangunan balai penelitian, dan
pembenihan, pembangunan landmark
Agropolitan, pengadaan warnet tani, dan
pembangunan
laboratorium bersama.
Berdasarkan pada informasi yang peneliti
peroleh, kemungkinan program-program
itu akan direalisasikan pada tahun 2012.
Kawasan agropolitan di kecamatan
poncokusumo ini, diharapkan akan
menjadi seperti kota Batu yang telah
menjadi kota agrowisata. Untuk mengarah
ke hal tersebut di perlukan beberapa
persiapan diantaranya, sumberdaya alam
harus dikelola secara berkelanjutan,
menuju terbukanya lapangan kerja,
fasilitasi kegiatan investasi, kemitraan
usaha antara pengusaha besar dengan
UMKM dan Koperasi, akses sarana dan
prasarana
ditingkatkan,
penggunaan
produk barang dan jasa ditingkatkan,
JESP Vol. 5, No.1, 2013
terjaminnya rasa aman pengunjung,
kesadaran masyarakat sebagai tuan rumah
yang baik bagi pengunjung harus
ditingkatkan, dan layanan prima harus
dapat diwujudkan pada segala lini
(Wahjoedi, 2011).
Prospek
Pengembangan
Kawasan
Agropolitan di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang
Pembangunan kawasan agropolitan
merupakan pendekatan wilayah atau tata
ruang yang memadukan pembangunan
perdesaan dan perkotaan yang saling
menguntungkan, berbasis pada potensi
pertanian atau agribisnis secara optimal
dengan tetap memelihara kelestarian dan
fungsi-fungsi lingkungan hidup.
Pada bab sebelumnya sudah
dijelaskan bahwa suatu kawasan agropolitan yang sudah berkembang memiliki
ciri-ciri sebagai berikut; (a) Sebagian besar
masyarakat dikawasan tersebut memperoleh pendapatan dari kegiatan pertanian
(agribisnis), (b) Kegiatan dikawasan
tersebut sebagian besar didominasi oleh
kegiatan pertanian atau
agribisnis,
termasuk didalamnya usaha industri
(pengolahan) pertanian, perdagangan hasilhasil pertanian (termasuk perdagangan
untuk kegiatan ekspor), perdagangan
agribisnis hulu (sarana pertanian dan
permodalan),
agrowisata
dan
jasa
pelayanan, (c) Hubungan antara kota dan
daerah-daerah
hinterland/daerah-daerah
sekitarnya dikawasan agropolitan bersifat
timbal balik yang harmonis dan saling
membutuhkan, dimana kawasan pertanian
mengembangkan usaha budidaya (on farm)
dan produk olahan skala rumah tangga (Off
farm). Sebaliknya kota menyediakan
fasilitas untuk berkembangnya usaha
budidaya dan agribisnis seperti penyediaan
sarana pertanian, modal, teknologi,
informasi pengolahan dan pemasaran hasil
produksi/produk pertanian, (d) Kehidupan
masyarakat dikawasan agropolitan mirip
dengan suasana kota karena keadaan
sarana yang ada dikawasan agropolitan
tidak jauh berbeda dengan di kota.
Kondisi di Kecamatan Poncokusumo sekarang ini hampir mendekati
ciri-ciri diatas pada (poin 1 dan 2). Dalam
hasil observasi yang peneliti lakukan,
hampir di semua desa sumber pendapatan
utama masyarakatnya diperoleh dari
kegiatan pertanian.
Untuk menjadi kawasan agropolitan secara seutuhnya (poin 1-4), masih
harus melakukan beberapa tahapan lagi.
Berdasarkan wawancara yang peneliti
lakukan, dijelaskan bahwa harapannya di
masa yang akan datang khususnya setahun
ke depan program pengembangan kawasan
agropolitan ini bisa lebih mengangkat
pertaniannya.
Menurut
W ahjoedi
(2010),
meskipun corak Kabupaten Malang adalah
pertanian, namun apabila dapat dikelola
secara terpadu dan menyeluruh, maka akan
bisa memberi kesempatan pada semua
pelaku ekonomi, baik swasta, pemerintah,
dan koperasi; atau baik besar, menengah,
dan kecil untuk berperan serta, bermitra
untuk mengembangkan perekonomian
wilayah.
Dilihat dari hasil analisis diatas
dapat disimpulkan bahwa kawasan
agropolitan di kecamatan Poncokusumo
Kabupaten Malang semakin meningkat.
Hal ini tentu saja akan sangat relevan
untuk
terus
dikembangkan
karena
banyaknya dukungan dari masyarakat yang
mempunyai harapan besar terhadap adanya
pengembangan kawasan agropolitan di
kecamatan poncokusumo.
Penutup
Berdasarkan uraian pada bab
sebelumnya,
maka
dapat
ditarik
kesimpulan sebagai berikut; (1) Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang belum
sepenuhnya menjadi kawasan agropolitan
dikarenakan
pengembangannya
yang
belum maksimal, (2) Pelaksanaan pengembangan kawasan agropolitan pada tahun
2008-2010 masih difokuskan pada
pembangunan sarana dan prasarana guna
menunjang produksi pertanian, sedangkan
89
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
untuk tahun 2011 sudah mulai dilakukan
program peningkatan produksi pertanian
dan program peningkatan sub sistem
pendukung
peningkatan
produksi
pertanian, (3) Pada tahun 2008 sampai
sekarang pengembangan konsep kawasan
agropolitan di Kecamatan Poncokusumo
relevan dan prospektif berdasarkan potensi
dan kapasitas daerahnya, (4) Pemerintah
setempat mengharapkan di masa mendatang daerah kawasan Agropolitan ini akan
menjadi daerah agrowisata dan akan
menjadi daerah hinterland untuk kawasan
di sekitarnya.
Daftar Pustaka
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
2007.
Masterplan
Agropolitan
Kabupaten
Malang.
Kabupaten
Malang:
Badan
Perencanaan
Pembangunan Daerah.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
2007. Agropolitan Poncokusumo dan
Perkembangannya.
Kabupaten
Malang:
Badan
Perencanaan
Pembangunan Daerah.
Budi Santosa, Purbayu, 2009. Paradigma
Penelitian
Kualitatif.
(Online)
(http://www.scribd.com/doc/51268701
/Metode-Penelitian-Kualitatif.
Di
akses 18 agustus 2011)
Departemen
Pertanian.
Badan
Pengembangan Sumberdaya Manusia
Pertanian.
Bappenas
(online)
(http://www.deptan.go.id/bpsdm/agrop
olitan.htm. diakses 17 agustus 2011)
Kecamatan Poncokusumo, 2010. Kecamatan
Poncokusumo Dalam Angka 2010 .
Moleong, Lexy J, 2004. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur., 2011.
Pedoman Umum Pengembangan
Kawasan Agropolitan Provinsi Jawa
Timur
Tahun
2011.
(Online)
(http://app1.agropolitanjatim.net/upload/cms/Pedum%20Agro
%202011.pdf. Di akses 03 Februari
2012)
Rahardjo, Mudjia, 2010. Jenis dan Metode
Penelitian
Kualitatif.
(online)
(http://mudjiarahardjo.com/materikuliah/215-jenis-dan-metodepenelitian-kualitatif.pdf diakses 17
agustus 2011)
Sugiyono, 2008. Memahami Penelitian
Kualitatif. Bandung: CV . Alfabeta
Sulistiono. Tinjauan Pustaka Konsep
Wilayah
dan
Pusat
Pertumbuhan.(online)
(http://www.damandiri.or.id/file/sulisti
onoipbbab2.pdf diakses 18 agustus
2011)
Universitas
Negeri
Malang. 2010.
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah:
Skripsi, T esis, Disertasi, Artikel,
Makalah, Tugas Akhir , Laporan
Penelitian. Edisi Kelima. Malang:
Penerbit UM.
Wahjoedi.
2011.
Pengembangan
Pariwisata Berbasis Pertanian dan
Potensinya dalam Menurunkan Angka
Kemiskinan di Kota Batu. Makalah
disajikan dalam acara Focus Group
Discussion
tentang
Pengentasan
Kemiskinan Diselenggarakan oleh
BPS Kabupaten Malang. Malang,
2011.
Wahjoedi. 2010. Pembangunan Bidang
Pertanian Sebagai Sektor Basis Untuk
Kesempatan Kerja dan Pengentasan
Kemiskinan di Kabupaten Malang.
Makalah disajikan dalam acara Focus
Group
Discussion
tentang
Pengentasan
Kemiskinan
Diselenggarakan oleh BPS Kabupaten
Malang. Malang, 14 Oktober 2010.
90
JESP Vol. 5, No.1, 2013
PEMETAAN POTENSI RA W AN PANGAN PADA
PEREKONOMIAN DAERAH
Siti Muslihah
Sugeng Hadi Utomo
Abstract
This research aims to : (1) identifying and mapping regional of potency food gristle
in district of Jabung. Besides that ; ( 2) Identifying about local characteristic of
food gristle region in district of Jabung; ( 3) Formulate instruct policy of
degradation level of insecurity in district of Jabung. The research method is
qualitative descriptive In this research, analyse data which obtained and interview
with District of Jabung to get fact information in field. The Result of this research
mapping of food gristle potency by using 12 indicators in District of Jabung have
not village which enter priority handling of very area gristle, gristle and rather
gristle. But that way in analysis each of indicator of course thera are still rather
area of gristle, gristle or even very gristle. Policy direction of which can do is
maximizing area potency district of Jabung either from facilities and basic facilities
aspect and also the make-up of agricultural produce.
Keywords: Regional Economic, Gristle Food Potency, Policy Direction
Pangan merupakan kebutuhan
manusia yang paling mendasar dalam
menjalani kehidupanya, sehingga pangan
dapat disebut sebagai kebutuhan hakatas
hidup manusia. Menyadari sepenuhnya
akan kenyataan tersebut maka pemerintah
Indonesia melalui Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia nomor 68 tahun 2002
tentang
Ketahanan
Pangan
bahwa
ketahanan pangan merupakan hal yang
sangat penting dalam rangka pembangunan
nasional untuk membentuk manusia
Indonesia yang berkualitas, mandiri, dan
sejahtera melalui perwujudan ketersediaan
pangan yang cukup, aman, bermutu,
bergizi dan beragam serta tersebar merata
di seluruh wilayah Indonesia dan
terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Selanjutnya masyarakat berperan dalam
dalam
menyelenggarakan
produksi
penyediaan perdagangan dan distribusi srta
berhak memperoleh pangan yang aman
dan bergizi. Kunci sukses pembangunan
ketahanan pangan yang dilakukan oleh
pemerintah pada tahap awalnya adalah
meletakan landasan yang kuat untuk
pembangunan pangan, sehinga kebutuhan
dasar yang paling esensial yang
dibutuhkan masyarakat dapat terpenuhi
secara mantap dan berkesimbungan
(Bappeda Kabupaten Malang : 2007)
Hasil studi Dewan Ketahanan
Pangan Republik Indonesia 2003 dan
Program Pangan Dunia Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(PBB)
menunjukkan
bahwa dari 29 kabupaten di Jawa Timur,
40 persen atau sebanyak 12 kabupaten
termasuk daerah rawan pangan. Hal
tersebut seperti yang digambarkan dalam
Peta Kerawanan Pangan Indonesia Tahap
Satu Propinsi Jawa Timur (Jatim) Tahun
2003. Kedua belas kabupaten di Jatim
yang dinyatakan rawan pangan adalah
Alamat Korespondensi :
Siti Muslihah: Mahasiwa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang
Sugeng Hadi Utomo. Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang
Email : [email protected]
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
Bangkalan,
Sampang,
Sumenep,
Pamekasan,
Tuban,
Bojonegoro,
Probolinggo, Situbondo, Bondowoso,
Lumajang, Malang, dan Pacitan. (Badan
Ketahanan Pangan Nasional, 2006).
Dalam hal ini kabupaten Malang
termasuk dalam peta daerah rawan pangan
dengan
perkembangan
penduduk,
pertanian dan perekonomian maka tidak
menutup kemungkinan dapat terjadi rawan
pangan kembali pada saat ini. Jika dilihat
dari struktur ekonominya, Kabupaten
Malang merupakan daerah yang memiliki
struktur ekonomi pertanian sebagai sektor
primer. Hal ini ditunjukkan oleh
pertumbuhan sektor pertanian dari tahun
ke tahun yang terus meningkat akan tetapi
pada kenyataanya kontribusinya masih
rendah. Namun yang perlu digaris bawahi
disini yaitu masalah distribusi produksi
atau hasil produksinya. Ada kemungkinan
produksi sektor ini banyak dihasilkan oleh
daerah
tertentu
saja.
Selain
itu,
distribusinya kemungkinan juga tidak
merata karena berbagai alasan, terutama
dari kondisi ekonomi sebagian anggota
masyarakat strata tertentu. Berdasarkan
RPJMD 2010 untuk memudahkan masalah
distribusi dan
memudahkan
untuk
pengembangan
wilayah maka pemerintah Kabupaten
Malang membagi daerah kabupaten
Malang menjadi enam Sub Satuan Wilayah
Pengembangan (SSWP) yaitu:
1. SWP I lingkar kota Malang
melipuri
Kecamatan:
Dau,
Karangploso, Lawang, Singosari,
Pakisaji, W agir, Tajinan dan Pakis.
2. SWP
II
Kepanjen meliputi
kecamatan Kepanjen, Wonosri,
Ngajum,
Kromengan,
Pagak,
sumberpucung,
Kalipare,
Donomulyo, Gondanglegi dan
Pagelaran.
3. SWP III Ngantang meliputi
kecamatan Ngantang, Pujon dan
Kasembon.
4. SWP IV Tumpang meliputi
Kecamatan Poncokusumo, Wajak
dan Jabung.
92
5. SWP V Dampit meliputi kecamatan
Turen, Dampit, Ampelgading dan
Tirtoyudo.
6. SWP VI Sumbermanjing Wetan
meliputi
kecamatan
Sumbermanjing Wetan, Gedangan,
dan Bantur.
Kabupaten
Malang
dengan
keanekaragaman potensi sumberdaya
alamnya dan memiliki lahan pertanian
yang cukup luas, ternyata masih
mempunyai beberapa wilayah yang masih
rawan
pangan
untuk
mengalami
ketidaktahanan terhadap pangan. Hasil
peta rawan pangan yaitu kecamatan
Donomulyo,
kecamatan
Jabung,
kecamatan Tajinan, kecamatan Pagelaran
dengan penyebab kerawanan pangan
adalah kemiskinan, akses listrik yang
rendah, cakupan air bersih masih relatif
tinggi.
Menurut
Kepala
Bidang
Perekonomian
dan
kesejahteraan
Kabupaten Malang bahwa dalam hal ini
daerah SWP-II dan SWP-IV masih di
dominasi oleh sektor pertanian namun
peranya lambat laun berkurang. Hal ini
disebabkan oleh pengaruh aktivitas pusat
perkotaan di kota Malang yaitu pergeseran
lahan
pertanian
menjadi
kawasan
permukiman baru untuk penyangga
kebutuhan perkotaan. Sedangkan, SWP-III
secara sektoral dalam dalam struktur
PDRB memberikan kontribusi paling besar
terhadap sektor industri pengolahan. SWPII
dan SWP-III dikategorikan sebagai
kawasan cepat tumbuh dan cepat maju.
Adapun SWP-IV dikategorikan sebagai
kawasan tertinggal.
Permasalahan kerawanan pangan
memerlukan penanggulangan yang serius
dan menyeluruh, mengingat kerawanan
pangan tidak hanya menyangkut aspek
ketersediaan pangan, namun juga akses
pangan dan penyerapan pangan (Mulia:
332-333). Dengan dilakukan analisis
situasi kerawanan pangan di kabupaten
Malang, akan diketahui penyebab dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kerawanan pangan, sehingga dapat
JESP Vol. 5, No.1, 2013
dijadikan pedoman penyusunan strategi
penurunan tingkat kerawanan pangan di
kabupaten
Malang
dalam
rangka
mengentas kemiskinan. Dalam rangka
melakukan upaya antisipasi tersebut, maka
pemerintah daerah perlu melakukan
pemetaan daerah/wilayah rawan pangan di
Kabupaten Malang yang nantinya akan
dikaitkan dengan kebijakan yang akan
diambil oleh pemerintah kabupaten
Malang. Mengacu pada hasil analisis
pemetaan yang dilakukan oleh pihak
Bappeda Kabupaten Malang (2007) dan
hasil Peta daerah rawan pangan, kecamatan
Jabung
menjadi
prioritas
dalam
penanganan daerah rawan pangan.
Kecamatan Jabung merupakan kecamatan
yang memiliki fasilitas fisik dan non fisik
paling minim. Oleh karena itu, menurut
peneliti perlu adanya kajian terkait dengan
potensi wilayah serta karakteristik lokal
yang
berperan
penting
dalam
pengembangan wilayah di kawasan
tertinggal kabupaten Malang.
Selain itu, pada saat ini Kecamatan
Jabung merupakan satu SWP dengan
kecamatan Poncokusumo yang menjadi
kawasan agropolitan dan Kecamatan wajak
yang menjadi kawasan Minapolitan di
Kabupaten Malang. Dengan adanya
pengembangan
kawasan
ini
juga
menimbulkan pengaruh terhadap wilayah
disekitarnya. Tidak menutup kemungkinan
juga tidak memberikan pengaruh yang baik
terhadap kecamatan Jabung yang memiliki
sarana yang kurang. Kekurangan sarana ini
juga bisa dikatakan sebagai indikator untuk
mengukur wilayah Kecamatan Jabung
yang rawan pangan. Berdasarkan latar
belakang tersebut, maka dirasa perlu untuk
meneliti lebih jauh tentang pemetaan
potensi rawan pangan sesuai dengan isu
strategis Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) 2010-2015
Kabupaten Malang peningkatan produksi
dan ketahanan pangan dalam rangka
memacu pertumbuhan ekonomi dan
menjamin ketahanan pangan masyarakat.
Metode Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan
yang telah dikemukan, maka penelitian ini
menggunakan
pendekatan
metode
penelitian Kualitatif Deskriptif. Jenis
Penelitian
yang
digunakan
adalah
Deskriptif
Eksplanatori
yaitu
menggambarkan dan menjelaskan polapola yang terkait dengan fenomena serta
mengidentifikasi hubungan-hubungan yang
mempengaruhi fenomena. Mengacu pada
pendekatan tersebut, yang dimaksud
dengan penelitian kualitatif adalah metode
penelitian yang digunakan untuk meneliti
pada kondisi obyek yang alamiah. Obyek
yang alamiah adalah obyek yang apa
adanya, tidak dimanipulasi sehingga
kondisi pada saat peneliti memasuki
obyek, setelah berada di obyek dan setelah
keluar dari obyek relatif tidak berubah.
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan
data
dilakukan
secara
triangulasi.
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data itu untuk
keperluan pengecekan atau pembanding
terhadap data tersebut. Triangulasi disini
membandingkan dan mengecek informasi
yang didapat dari informan satu dengan
cara memperoleh data dari informan
kedua, apabila dalam data tersebut berbeda
antara informan satu dengan informan dua
maka dilakukan pemeriksaan informan
ketiga. Triangulasi ini digunakan juga
untuk membandingkan hasil wawancara
dengan data yang ada.
Metode kualitatif digunakan untuk
mendapatkan data yang mendalam, suatu
data yang mengandung makna. Makna
adalah data yang sebenarnya, data yang
pasti yang merupakan suatu nilai di balik
data yang tampak. Oleh karena itu dalam
penelitian kualitatif tidak menekankan
pada generalisasi, tetapi lebih menekankan
pada makna. Generalisasi dalam penelitian
kualitatif
dinamakan
transferability,
artinya hasil penelitian tersebut dapat
digunakan di tempat lain, manakala tempat
93
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
tersebut memiliki karakteristik yang tidak
jauh berbeda. Moleong (2009) mengatakan
bahwa penelitian kualitatif dari sisi definisi
lainnya dikemukakan bahwa hal itu
merupakan penelitian ynag memanfaatkan
wawancara terbuka untuk menelaah dan
memahami sikap, pandangan, perasaan,
dan perilaku individu atau sekelompok
orang. Dalam penelitian ini akan mencoba
menemukan fenomena-fenomena yangada
di Kecamatan Jabung Kabupaten Malang
yang berkaitan dengan pemetaan potensi
daerah rawan pangan. Peneliti akan
mencoba untuk mendeskripsikan kondisi
yang ada di Kecamatan Jabung sesuai
dengan hasil temuan penelitian serta
kondisi rawan pangan dan arah kebijakan
yang akan dilakukan. Dalam hal ini
peneliti bertindak sebagai instrumen dan
pengumpul data. Kehadiran peneliti di
lapangan sebagai pengamat partisipan
dalam hal ini pihak
Kecamatan Jabung. Status kehadiran
peneliti dalam penelitian ini sebagai
peneliti dalam pemetaan potensi rawan
pangan dan arah kebijakan di Kecamatan
Jabung Kabupaten Malang.
Lokasi Penelitian
Lokasi pelaksanaan penelitian ini
adalah di kecamatan Jabung, Kabupaten
Malang.
Sumber Data
Data yang penulis gunakan adalah
data primer dan sekunder. Data primer
didapat dari wawancara secara langsung
dengan pihak kecamatan Jabung yaitu
Bapak Suprihadi Kepala UPT Balai
Penyuluhan Pertanian dan Bapak Budi
Setya Bakti Kepala Sesi Pembangunan
Kecamatan Jabung. Sedangkan data
sekunder, didapatkan dari kecamatan
dalam angka 2010, artikel, literatur
kepustakaan, media massa, arsip-arsip
tentang pemetaan daerah rawan pangan di
Indonesia, internet dan data-data lain yang
mendukung.
94
Prosedur Pengumpulan Data
Untuk
pengumpulan
data,
penelitian ini menggunakan beberapa
teknik yakni suvey primer, yang terdiri
atas wawancara dan observasi, serta survey
sekunder.
Analisis Data
Analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis data
kuantitatif. Analisis data secara kuantitatif
yang digunakan hanya untuk mengetahui
gambaran keadaan daerah rawan pangan di
suatu yang diteliti. Peneliti menjelaskan
atau mencari hubungan, tidak menguji
hipotesis atau melakukan prediksi sehingga
menyajikan hubungan antara indikator
yang
mendukung kerawanan pangan. Analisis
data pada penelitian ini dilakukan untuk
memperoleh gambaran yang jelas dari
keadaan yang diteliti. Analisis yang
digunakan adalah analisis indikator. Untuk
analisis indikator penelitian ini akan
merujuk pada standar Food Insecurity
Atlas (FIA). FIA adalah sebuah alat (tool)
pemantauan dan analisis rawan pangan,
dalam memberi informasi bagi pengambil
kebijakan di tingkat pusat, provinsi,
maupun Kabupaten agar mampu menyusun
perencanaan yang lebih baik dan tepat
sasaran, efektif dan efisien dalam
mengatasi
permasalahan
kerawanan
pangan baik yang transient maupun kronis.
Sedangkan untuk menentukan
strategi yang dapat ditempuh agar
Pemerintah Kabupaten Malang dapat
melakukan kebijakan terhadap daerah yang
rawan pangan menggunakan analisis
SWOT. Analisis SWOT digunakan untuk
mengembangkan alternatif kebijakan atau
strategi yang dapat dilakukan oleh
pemerintah Kabupaten Malang yang
berkaitan dengan Kebijakan dalam
penanganan daerah rawan pangan. Analisis
SWOT meliputi beberapa tahapan sebagai
berikut:
1. Berdasarkan
matrik
SWOT
diperoleh
faktor-faktor
yang
menjadi
kekuatan
(streght),
JESP Vol. 5, No.1, 2013
2.
3.
4.
5.
kelemahan (weaknesses), peluang
(opportunities),
dan
ancaman
(threats).
Cocokan kekuatan internal dan
peluang eksternal dan catat
hasilnya di sel strategi SO.
Cocokan kelemahan internal dan
peluang eksternal dan catat
hasilnya di sel strategi WO.
Cocokan kekuatan internal dan
ancaman eksternal dan catat
hasilnya di sel strategi ST.
Cocokan kelemahan internal dan
ancaman eksternal dan catat
hasilnya di sel strategi WT.
Hasil
Dari hasil perhitungan pemetaan
potensi
rawan
pangan
dengan
menggunakan 12 indikator, berikut ini
adalah hasil analisis yang telah dilakukan
melalui pengolahan data kemudian
dilakukan studi langsung ke lapangan yaitu
dengan melakukan wawancara langsung
dengan
pihak
kecamatan
Jabung.
Ketersediaan pangan dalam hal ini
komoditas yang dipertimbangkan adalah
padi,jagung, ubi kayu dan ubi jalar.
Berdasarkan perhitungan mempunyai nilai
sebesar 0,001 dan termasuk dalam kategori
daerah yang sangat tahan dalam
ketersediaan pangan.
Berdasarkan
hasil
analisa
dilapangan bahwa desa yang mempunyai
potensi komoditas padi paling besar adalah
di desa Sukopuro, Sidomulyo, Sidorejo
dan kemantren karena di desa ini banyak
lahan sawah yang sudah beririgasi. Untuk
komoditas ubi jalar dan ubi kayu menurut
pihak kecamatan sendiri bahwa kecamatan
Jabung dan Pakis merupakan sentra dari
ubi jalar dan ubi kayu. Komoditas Jagung
berada di lahan kering dan kondisi air yang
kurang atau musiman, potensi yang paling
besar berada di desa Sukolilo, Kemantren,
Gading Kembar dan Jabung.
Kebijakan maupun program yang
dilakukan oleh pihak kecamatan dalam
ketersediaan pangan ini berupa penyuluhan
langsung kepada petani dan pelaksanaanya
dilakukan langsung oleh Dinas Pertanian
maupun dari instansi terkait. Salah satunya
adalah kegiatan P2BN (Peningkatan
Produksi Beras Nasional) kegiatan
swasembada beras ini dilakukan kegiatan
sekolah lapangan dengan membentuk
usaha kelompok tani di semua desa.
Peningkatan pada komoditas Jagung, ubi
jalar dan ubi kayu dilakukan dengan
memberikan bibit unggul. Kendala dalam
peningkatan komoditas padi, jagung, ubi
jalar dan ubi kayu ini karena petani enggan
menggunakan benih yang telah disediakan
karena mahalnya harga benih yang
nantinya akan digunakan secara asalasalan. Misalnya untuk harga benih jagung
hibrida sebesar Rp.50.000 dan benih
jagung biasa hanya Rp.5000. Ketimpangan
harga yang cukup jauh inilah yang
membuat petani asal-asalan dalam
menanam komoditas ini. Untuk komoditas
ubi jalar dan ubi kayu petani lebih banyak
langsung menjualnya dengan harga yang
murah daripada dikonsumsi sendiri.
Harapan dari pihak kecamatan dalam
mengatasi hal ini adalah dengan
diadakanya pembenihan secara kelompok
oleh
kelompok
petani
untuk
meminimalkan harga bibit yang cukup
mahal. Namun, menurut pihak kecamatan
dalam konsumsi normativ atau ketersedian
pangan secara keseluruhan dapat dikatakan
cukup.
Pelayanan
toko
berdasarkan
perhitungan, desa yang termasuk kategori
sangat tahan ada 11 desa yaitu desa
Kenongo,Ngadirejo,Taji,
Sukopuro,
Sidorejo, Sukolilo, Gading Kembar,
Kemantren,Argosari, Slamparejo dan
Kemiri. Namun, menurut pihak kecamatan
desa yang ketersediaan pelayanan toko
paling besar adalah di desa Kemiri,
Jabung, Kemantren, Sukolilo karena
merupakan desa yang cukup ramai.
Sedangkan, desa yang paling minim
pelayanan tokonya adalah di desa Taji
95
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
dengan akses jalan yang melewati hutan
dan kebiasaan masyarakat desa Taji sendiri
dalam
mengelola
dan
memenuhi
kebutuhan pangan dengan hasil kebun
sendiri.
Berdasarkan data yang peneliti
peroleh bahwa di desa Taji ada 331 KK
dengan 15 ketersediaan toko. Namun,
berdasarkan keterangan dari pihak
kecamatan Jabung untuk ketersediaan toko
di desa Taji hanya ada dua toko dan tidak
ada warung. Rata-rata masyarakat desa
Taji mengkonsumsi jagung dan sayuran
sendiri dan untuk padi mereka membelinya
di desa lain Keadaan pelayanan toko secara
keseluruhan sudah banyak digantikan oleh
pedagang keliling yang masuk ke semua
desa
untuk
memenuhi
kebutuhan
masyarakat di desa. Salah satu faktor yang
menyebabkan rasio pelayanan took tidak
begitu besar adalah faktor daya beli
masyarakat
yang
kurang
karena
pendapatan masyarakat yang cukup
rendah.
Berdasarkan pengolahan data yang
telah dilakukan ada beberapa desa yang
lahannya tidak beririgasi dan termasuk
daerah yang sangat rawan yaitu desa
Ngadirejo, Kemiri, Gunungjati, Taji
dengan tingkat 100% tidak ada yang
beririgasi kemudian diikuti desa Sukopuro,
Selamparejo dan Jabung. Hal ini karena
sulitnya air maupun kurangnya pengolahan
air. Dalam kategori ini lahan tegal tidak
beririgasi karena sulitnya air cocok untuk
ditanami jagung dan untuk sawah
merupakan lahan yang berigasi digunakan
untuk menanam padi. Untuk desa yang
termasuk kategori agak rawan adalah desa
Kenongo. Desa Pandansari Lor, Gading
kembar, Kemantren dan Argosari termasuk
kategori rawan dan untuk desa Sukolilo
termasuk kategori daerah yang cukup
tahan. Sedangkan untuk desa yang
beririgasi hanya ada dua desa yaitu desa
Sidorejo dan Sidomulyo.
Menurut pihak kecamatan lahan
yang tidak beririgasi ini karena tidak
adanya sumber air yang besar untuk
dilakukan irigasi. Persediaan air hanya
96
cukup untuk minum dan kurang untuk area
pertanian. Salah satu daerah yang kurang
air adalah desa Taji yang mendapat
bantuan dari pihak Pemerintah Kabupaten
dengan dibuatnya pengairan dengan
menggunakan pipa yang kemudian
disalurkan ke lahan masyarakat. Sumber
air yang cukup besar ini musiman sehingga
ketika sumber air besar dilakukan
penyaluran air melalui pipa.
Indeks Komposit Indikator Rawan
Pangan dan Prioritasnya
Setelah diperhitungkan nilai indeks
komposit untuk kategori daerah yang
relatif tahan pangan dan menjadi prioritas
penanganan
5
adalah
desa
Kenongo,Ngadirejo,
Taji,
Sukopuro,
Sidorejo, Sukolilo, Sidomulyo, Kemantren,
Argosari, Kemiri, Jabung dan Gunungjati .
Untuk prioritas penanganan 4 untuk
kategori daerah yang cukup tahan adalah
desa Pandansari Lor, Gading Kembar, dan
Slamparejo. Penanganan prioritas 6 ada
pada desa Sidomulyo yang termasuk dalam
daerah yang tahan Menurut pihak
kecamatan desa yang potensi rawan
pangan adalah desa Slamparejo dan
Kemiri. Di desa slamparejo potensi pangan
sangat sedikit akan tetapi penduduknya
mempunyai sapi perah sehingga setidaknya
tiap 10 hari ada pendapatan yang akan
digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Untuk desa kemiri juga banyak KK miskin
dan kurangnya pendidikan sehingga
penduduknya mempunyai pendapatan yang
cukup rendah. Secara keseluruhan di
Kecamatan Jabung semua desa masih
relatif tahan pangan dan tidak ada desa
yang beresiko rawan pangan
Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan yang dilakukan
adalah dengan menggunakan analisis
SWOT
yaitu
kekuatan (strenght),
kelemahan
(weaknesses),
peluang
(opportunities), dan ancaman (threats).
Analisis
ini
dilakuakn
setelah
memperhatikan dari keadaan semua
JESP Vol. 5, No.1, 2013
indikator rawan
dilakukan.
pangan
yang
telah
1. Strenght (Kekuatan)
Merupakan kondisi kekuatan yang
terdapat dalam pemetaan potensi rawan
pangan yang ada. Kekuatan yang di
analisis merupakan faktor yang terdapat
dalam potensi rawan pangan itu sendiri
sebagai berikut :
a. Instansi BAPPEDA Kabupaten
Malang dan Badan Ketahanan
Pangan
dan
Pelaksanaan
Penyuluhan (BKP3) Dalam UU
no.68
tahun
2002
tentang
ketahanan pangan. Hal ini akan
menguatkan pemetaan potensi
daerah rawan pangan
yang
dilakukan karena dikelola oleh
BKP3 dan kebijakan dalam
menanganinya dikelola langsung
oleh Bappeda sehingga kedua
instansi dapat bekerjasama dalam
menangani daerah rawan untuk
mengentas kemiskinan.
b. Kecamatan Jabung merupakan
salah satu sentra ubi kayu dan ubi
jalar potensi yang dimiliki ini dapat
dikembangkan dengan berbagai
macam
pengolahan
dan
meningkatkan
pendapatan
masyarakat terutama bagi petani.
c. Adanya kelompok tani Pengurus
dan
kelompok
tani
dapat
melakukan
peningkatan
roduktivitas
dan
mampu
mengadakan kemitraan dengan
pengusaha atau agroindustri dengan
prinsip saling menguntungkan.
2. Weakness (Kelemahan)
Merupakan kondisi kelemahan
yang terdapat dalam analisis pemetaan
potensi rawan pangan. Kelemahan yang di
analisis merupakan faktor yang terdapat
konteks maslah ini sebagai berikut :
a. Tingkat pendapatan masyarakat
yang rendah mengakibatkan daya
b.
c.
d.
e.
beli masyarakat yang rendah. Daya
beli masyarakat yang rendah
mengakibatkan keterbatasan dalam
mengakses bahan pangan yang
dibutuhkan.
Rendahnya
pendidikan
yang
ditempuh dapat mengakibatkan
minimnya
pengetahuan
akan
kemajuan baik bidang teknologi,
sosial maupun ekonomi. Pada
daerah ini para petani hanya
menempuh pendidikan sampai
lulus SD. Rendahnya pendidikan
juga
dapat
mengakibatkan
masyarakat tidak dapat membaca
dan memperoleh penghasilan untuk
kehidupan yang lebih layak.
Keterbatasan sarana dan prasarana
yang kurang dapat menghambat
proses distribusi maupun akses
dalam memperoleh pangan.
Kurangnya
sumber
air
ini
menyebabkan masyarakat hanya
dapat
mememnuhi
kebutuhan
sehari-hari untuk minum dan
mandi. Untuk pengairan lahan yang
beririgasi masih kurang.
Petani masih menjual hasil
pertanian dalm bentuk pangan
terutama untuk petani ubi jalar dan
ubi kayu
3. Opportunities (Peluang)
Merupakan
kondisi
peluang
berkembang dimasa yang akan terjadi.
Kondidi yang terjadi merupakan peluang
dari luar proyek atau konsep bisnis itu
sendiri. Misalnya kompetitor, kebijakan
pemerintah, kondisi lingkungan sekitar.
a. Adanya UU no.68 tahun 2002
Keberadaan UU No.68 tahun 2002
tentang
ketahanan
pangan
memberikan penyempurnaan aturan
yang terkait dengan potensi daerah
yang
rawan
pangan
untuk
menyempurnakan kebijakan sesuai
dengan permaslahan di lapangan
97
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
b. Penganekaragaman hasil produksi
ubi kayu dan ubi jalar
Pengelolaan ubi jalar dan ubi kayu
dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat dan meningkatkan
kesejahteraan. Hasil pertanian ini
dpat diolah menjadi berbagai
macam olahan yang dapat dipakai
sebagai peluang bisnis
dan
menimbulkan lapangan kerja baru
sebagai upaya dalam mengentas
kemiskinan.
4. Threats (Ancaman)
Merupakan
kondisi
yang
mengancam dari luar. Ancaman ini dapat
mengganggu konsep bisnis itu sendiri.
Ancaman tersebut sebagai berikut.
a. Mahalnya harga bibit
Mahalnya
harga
bibit
dari
pemerintah ini membuat petani
enggan untuk memakainya dalam
pertanianya,para
petani
lebih
banyak memakai bibit yang lebih
murah karena lebih terjangkau
daripada yang dari pemerintah.
Sehingga hasil yang diperoleh tidak
begitu memuaskan.
b. Kualitas SDM yang masih rendah
Kualitas SDM yang masih rendah,
baik
dari
segi
pendidikan
mengakibatkan kurang sadranya
akan pendidikan dan inovasi yang
akan
diterpakan.
Misalnya
rendahnya tingkat pendidikan yang
dtempuh oleh petani hingga mereka
enggan untuk memakai alat
teknologi
dalam
pertanian
misalnnya penggunaan traktor.
c. Tidak adanya aturan kelompok tani
yang mengikat, sehinngga petani
belum
mampu
melaksanakan
penggunaan
pupuk
secara
berimbang sesuai anjuran dan
penggunaan bibit unggul yang
kurang memadai.
98
Penutup
Pemetaan potensi rawan pangan
dengan menggunakan 12 indikator di
Kecamatan Jabung tidak memiliki desa yang
masuk prioritas yang masuk prioritas
penanganan daerah yang sangat rawan,
rawan dan agak rawan. Namun demikian
dalam analisis per indikator tentu masih
dijumpai daerah yang agak rawan, rawan
atau bahkan sangat rawan. Hal ini
memberikan
informasi
awal
untuk
ditindaklanjuti dalam pembangunan daerah
selanjutnya. Arah kebijakan yang dapat
dilakukan adalah dengan memaksimalkan
potensi daerah kecamatan Jabung baik dari
aspek sarana dan prasarana serta peningkatan
hasil pertanian.
Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini
yang menganalisis tentang analisis pemetaan
potensi rawan pangan dan arah kebiajakan
(sudi kasus kecamatan Jabung Kabupaten
Malang) maka saran untuk penelitian ini
didasarkan pada beberapa hal, antara lain:
a. Prioritas
program
pengentasan
kerawanan
pangan
hendaknya
diberikan pada aspek akses pangan
seperti keberadaan pasar di setiap
desa untuk memperlancar distribusi
pangan, perluasan jangkauan listrik,
penempatan fasilitas kesehatan di
desa-desa, serta aspek penyerapan
pangan seperti pembangunan instalasi
air bersih untuk mencapai pelosok
daerah.
b. Prioritas berikutnya dapat diberikan
pada program pemenuhan produksi
pangan
dengan
menjaga
dan
memperluas
keberadaan
lahan
pertanian
bahan
pangan
agar
pertumbuhan produksi pangan tetap
dapat
mengiringi
pertumbuhan
penduduk.
Hal
lain
terkait
ketersediaan
pangan
adalah
pengembangan pemanfaatan pangan
lokal .
c. Pembangunan fasilitas pendukung
meliputi akses jalan ke seluruh desa,
fasilitas kesehatan dan pendidikan
serta pelaksanaan program-program
berbasis
perdesaan
hendaknya
JESP Vol. 5, No.1, 2013
mendapat perhatian serius untuk
memeratakan kesempatan mencapai
ketahanan pangan.
d. Seleksi indikator untuk pemetaan
daerah rawan pangan hendaknya
dikaji kembali dan disesuaikan
dengan keadaan daerah yang ditelili.
Hal ini karena ketika peneliti
melakukan penelitian ada data yang
dianggap bias dan tidak sesuai lagi.
Daftar Pustaka
Ariani, Mewa,Handewi. P dkk.2006. Analisis
wilayah Pangandan Rawan Gizi
Kronis
serta
alternatif
penanggulanganya .Pusat Analisis dan
pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian.
Arsyad,
L yncolin.2010.
Ekonomi
Pembangunan. Universitas Gajah
Mada
Badan Bimas Ketahanan Pangan.2005.
Indikator Kerawanan Pangan.
Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana
Penyuluhan
Kabupaten
Malang.2012.Programa Penyuluhan
Balai Penyuluhan Kecamatan Jabung
tahin 2012. BKP3.
Badan Ketahanan Pangan. 2006. Atlas
Kerawanan Pangan Indonesia.
David.2009.Matrik SWOT. Skripsi
Hanani AR,Nuhfil .2009. Monitoring Dan
Evaluasi Ketahanan Pangan .Jurnal
Hanani AR,Nuhfil . Pengertian Ketahanan
Pangan.Jurnal.
Inove.2009. Hubungan antara pekerjaan
sosial,ilmu kesejahteraan sosial,dan
psikologi.
(http://wordpreess.com/
antara
pekerjaan
sosial,ilmu
kesejahteraan sosial,dan psikologi) di
akses pada 20 Desember 2011
Mulia, Aryago. 2007. Upaya Meningkatkan
Kesejahteraan Penduduk Berdasarkan
Peta
Kerawanan
Pangan
Indonesia.Jurnal
Pemerintah Kabupaten Malang. 2010.
Kabupaten Malang Dalam Angka
2010. Kabupaten Malang: Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah.
Moeleong. 2009.Metodologi
Penelitian
Kualitatif.Bandung:
Remaja Rosda
Karya
Nainggolan, Kaman. Program Akselerasi
Pemantapan
Ketahanan
Pangan
Berbasis
Pedesaan.
(http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdff
iles/Pros_Kaman_06.pdf ) diakses
pada 15 Oktober 2011
Pemerintah
Republik
Indonesia.2002.
Peraturan
Pemerintah
Republik
Indonesia Undang-Undang Ketahanan
Pangan No.68 tahun.2002. Pemerintah
Republik Indonesia
Provinsi Jatim.2007. Analisis Kerawanan
Pangan Level Desa.Provinsi Jatim
___________.2010. Penyusunan Indikator
dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan
di Kabupaten Ponorogo. Bappeda
Ponorogo
Publikasi UN.1961.International Definition
and Measurement of Level living:An
interim
Guide
(http://www.tripod.com/kemiskinan)
diakses pada tanggal 15 Oktober 2011
Rifki Febrianto,Ahmad .2010. Determinan
Ketahanan
Pangan
Tingkat
Kabupaten Di Indonesia Tahun
2007(
Pendekatan
Multivariate
Adaptive Regression Spline).Skripsi
Pemerintah Kabupaten Malang. 2011.
Rencana Pembangunan Jangka
Menengah
Daerah
Kabupaten
Malang
tahun
2010-2015.
99
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
Kabupaten
Malang:
Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah.
Pemerintah Kabupaten Malang.2010.
Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Malang.2010 . Kabupaten
Malang:
Badan
Perencanaan
Pembangunan Daerah.
Suryana,
Achmad.2008.
Menelisik
ketahanan
pangan,
Kebijakan
100
Pangan,
dan
Swasembada
Beras.Pusat Analisis Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian
Universitas
Negeri
Malang.
2008.
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah:
Skripsi,
Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Tugas
Akhir, Laporan Penelitian.Edisi
Keempat. Malang: Penerbit UM.
JESP Vol. 5, No.1, 2013
DAMPAK FLUKTUASI INDEKS HARGA SAHAM DAN
EKSPOR NETTO TERHADAP KURS RUPIAH
PADA MASA KRISIS GLOBAL
Zulfikar Fatoni
Hadi Sumarsono
Abstract
This study aims to determine the impact of fluctuations in the stock price index and net
exports that occurs in the global crisis period on the rupiah exchange rate. The
research data is secondary data obtained using the instrument check list. The
collected data were analyzed mathematically by multiple linear regression techniques.
The results showed that the fluctuation of stock price index relates the direction of the
rupiah exchange rate and do not have a significant impact, fluctuations in net exports
had a negative relationship with exchange rate of rupiah and has a significant impact,
global crisis has a positive relationship with exchange rate of rupiah and have a
significant impact. In general, fluctuations in stock price index, net exports, and
global crises simultaneously have a significant effect on the rupiah exchange rate.
Writer’ s advice is that institution, State University of Malang should us these results
as material information, literature, and is expected to be donated for the benefit or
development institutions, especially in the field of study of economic problems. The
next researcher should be able to explain in more detail the relationship of each
dependent variable against the rupiah exchange rate and to institute policy makers
should these results be used as reference and also referral for consideration during a
global crisis in the future.
Keywords: Stock Price Index, Net Export, Global Crisis, Rupiah Exchange Rate.
Kurs atau nilai tukar memiliki
peranan yang penting bagi perekonomian
suatu negara. Apresiasi dan depresiasi nilai
tukar mata uang suatu negara akan sangat
mempengaruhi aktivitas dan stabilitas
perekonomian
negara
tersebut.
Simorangkir
dan
Suseno
(2005:3)
menjelaskan bahwa berdasarkan data-data
empiris dapat disimpulkan bahwa krisis
nilai tukar berpengaruh negatif pada
perekonomian suatu negara, seperti
fenomena yang telah dirasakan beberapa
negara Asia pada tahun 1997/1998. Lebih
lanjut Simorangkir dan Suseno (2005:3)
menerangkan bahwa melemahnya nilai
tukar tidak hanya menaikkan harga barang
produksi dalam dan luar negeri tetapi juga
dapat mengakibatkan kontraksi perekonomian yang cukup dalam. Sedangkan secara
umum faktor yang dapat mempengaruhi
kurs mata uang suatu negara adalah jumlah
permintaan dan penawaran terhadap mata
uang asing relatif terhadap mata uang
domestik. Secara lebih spesifik permintaan
dan penawaran valuta asing bergantung
pada kegiatan perdagangan internasional
dan aliran modal suatu negara.
Pada tahun 2008 dunia dikejutkan
dengan krisis finansial yang dialami oleh
Amerika Serikat. Krisis tersebut bermula
dari kerugian surat berharga property atau
yang biasa disebut subprime mortgage
__________________________________________
Alamat Korespondensi :
Zulfikar Fatoni. Alumni Jurusan Ekonomi Pembangunan FE-UM
Email: [email protected]
Hadi Sumarsono: Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang
Email: [email protected]
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
yang dialami oleh lembaga-lembaga
keuangan Amerika Serikat. Krisis ini pada
akhirnya menjadi krisis keuangan global
yang ikut mempengaruhi perekonomian
negara-negara lain di seluruh dunia termasuk Indonesia. Hal ini terbukti dari data
yang dipublikasikan leh Bank Indonesia
dan Badan Pusat Statistik yang menunjukkan anjloknya IHSG bulanan hingga
level 1200 pada bulan November 2008 dan
kinerja ekspor netto Indonesia yang
mengalami minus 725.029.687 US$ pada
bulan April 2008. Dengan adanya penurunan nilai IHSG dan juga nilai ekspor
netto maka akan ikut mempengaruhi nilai
tukar rupiah terhadap dolar. Menurut Tim
Studi
Tentang
Analisis
Hubungan
Kointegrasi dan Kausalitas serta Hubungan
Dinamis antara Aliran Modal Asing,
Perubahan Nilai Tukar dan Pergerakan
IHSG di Pasar Modal Indonesia (2008)
apabila terdapat kecenderungan penurunan
harga saham, maka akan menyebabkan
kekayaan riil investor menurun, sehingga
menyebabkan penurunan permintaan uang.
Penurunan permintaan uang mengakibatkan penurunan suku bunga, yang
berdampak pada capital outflow, yang
akhirnya akan menyebabkan terjadinya
depresiasi mata uang domestik. Sedangkan
dari sisi ekspor netto yang minus akan
mengakibatkan penurunan nilai tukar
rupiah, hal ini disebabkan karena nilai
impor yang lebih besar dari nilai ekspor
sehingga permintaan terhadap valuta asing
akan naik dan nilai tukar rupiah akan
melemah.
Akan tetapi berdasarkan data yang
telah ada terjadi beberapa anomali yang
cukup bertentangan dengan teori yang
telah disebutkan. Sepanjang periode krisis
(Oktober 2008-Desember 2009) menurut
data yang dipublikasikan dalam situs resmi
Badan Pusat Statistik dan situs resmi Bank
Indonesia, terdapat pergerakan positif
ekspor netto yang tidak sejalan dengan
penguatan nilai tukar rupiah. Sebagai
contohnya yaitu nilai ekspor netto pada
bulan November 2008 yang mencapai
kisaran 584 juta dolar Amerika Serikat
102
setelah pada bulan sebelumnya hanya
surplus di kisaran 57 juta dolar Amerika
Serikat tetapi nilai tukar rupiah secara
bulanan justru mengalami depresiasi
menjadi Rp 11.769,9 setelah pada bulan
sebelumnya berada pada kisaran Rp
10.098,7. Begitu juga pada bulan Januari
2009, saat ekpor netto mencatatkan
pertumbuhan negatif di kisaran 470 juta
dolar Amerika Serikat tetapi rupiah justru
menguat di kisaran 300 poin dari bulan
sebelumnya. Begitu juga dengan nilai
indeks harga saham tertimbang yang dapat
mencerminkan aliran modal ke dalam
negeri. Berdasarkan data dari situs Y ahoo
Finance dan situs resmi Bank Indonesia,
pada bulan Februari 2009 terjadi penurunan nilai indeks tertimbang indeks harga
saham gabungan New Y ork terhadap
indeks harga saham gabungan Indonesia
yang berarti bahwa terdapat lebih banyak
capital inflow, akan tetapi nilai tukar
rupiah justru mengalami depresiasi di
kisaran 700 poin dari bulan sebelumnya.
Sedangkan pada bulan Agustus 2009 justru
mengalami hal yang sebaliknya, ketika
indeks harga saham tertimbang naik yang
berarti lebih banyak capital outflow, nilai
tukar rupiah justru apresiasi di kisaran 100
poin.
Metode Penelitian
Sesuai dengan masalah dan tujuan
penelitian, maka penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Rancangan
atau desain penelitian ini adalah non
experiment longitudinal ex-post-facto
research, dan termasuk dalam jenis
penelitian korelasional.
Penelitian non experiment adalah
penelitian yang dilakukan tanpa memberikan sebuah perlakuan pada variabel
penelitian Wiyono (2007:28). Pengambilan
data menggunakan pendekatan logitudinal
yakni pengambilan data dilakukan pada
subjek yang sama dalam kurun waktu yang
berbeda. Selanjutnya Wiyono ( 2007:29)
menjelaskan bahwa ex-post-facto research
adalah penelitian yang bertujuan untuk
menguji hipotesis, baik hubungan maupun
JESP Vol. 5, No.1, 2013
perbedaan tanpa melalui sebuah eksperimen, sasaran variabel yang diteliti
sudah terjadi pada masa yang sebelumnya,
semua variabel independent tidak diberi
perlakuan tetapi diukur bersama-sama
dengan variabel dependent. Penelitian
korelasional menurut Wiyono (2007:28)
adalah suatu penelitian yang bertujuan
untuk mengetahui hubungan antara 2 atau
lebih variabel yang dapat diukur secara
kuantitatif. Dengan kata lain untuk
menyelidiki sejauh mana variasi dalam
suatu variabel berhubungan dengan variasi
dari variabel lain berdasarkan koefisien
korelasi. Teknik korelasi yang digunakan
adalah teknik korelasi multivariat karena
terdiri dari tiga variabel bebas dan satu
variabel terikat.
Penelitian ini mengkaji tentang
dampak fluktuasi indeks harga saham (X1),
ekspor netto (X 2), dan krisis global (X3)
sebagai variabel bebas (independent
variable); dengan kurs rupiah (Y) sebagai
variabel terikatnya (dependent variable).
Penelitian ini menggunakan data
sekunder yang diperoleh dari data Statistik
Keuangan Bank Indonesia tahun 20062009, data Badan Pusat Statistik tahun
2006-2009, dan data Y ahoo Finance 20062009. Dengan demikian penelitian ini
menggunakan instrumen penelitian check
list karena menggunakan metode dokumentasi dalam mengumpulkan data
(Arikunto, 2002).
Jenis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data kuantitatif rasio.
Sehubungan dengan hal tersebut, data
kuantitatif adalah data yang bisa diukur
atau dihitung. Sedangkan data rasio adalah
data yang memiliki nilai nol mutlak dan
merupakan tipe skala pengukuran yang
paling tinggi. Sumber data dalam
penelitian ini adalah data Statistik
Keuangan Bank Indonesia tahun 20062009, data Badan Pusat Statistik tahun
2006-2009, dan data Y ahoo Finance 20062009.
Pengumpulan data menggunakan
metode dokumentasi karena data yang
digunakan adalah data sekuder atau data
yang diperoleh dari pihak lain. Dalam
melaksanakan metode dokumentasi peneliti menyelidiki bahan-bahan tertulis
seperti dokumen, laporan, hasil penelitian,
dan sebagainya. Sehubungan dengan
penelitian ini maka data dikumpulkan dari
data Statistik Keuangan Bank Indonesia
tahun 2006-2009, data Badan Pusat
Statistik tahun 2006-2009, dan data Y ahoo
Finance 2006-2009. Pengumpulan data
dilaksanakan pada bulan Juni 2010.
Teknik
analisis
data
yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik analisis regresi ganda. Teknik
analisis regresi ganda digunakan untuk
menganalisis dua atau lebih variabel bebas
dengan satu variabel terikat. Dalam
penelitian ini analisis regresi ganda
(multiple regression analysis) digunakan
untuk menguji hipotesis yang meliputi
pengujian pengaruh variabel bebas
terhadap variabel terikat secara parsial dan
pengujian pengaruh variabel bebas
terhadap variabel terikat secara simultan
(serentak). Pengolahan data untuk analisis
regresi ganda dalam penelitian ini
menggunakan bantuan komputer denngan
menggunnakan
program
Statistical
Package for Social Science (SPSS) 13.0
for Windows.
Analisis Regresi Linier Berganda
Formula yang digunakan untuk
menguji persamaan regresi antara variabel
indeks harga saham (X1), variabel ekpor
netto (X2), dan variabel krisis global (X3)
dengan variabel kurs rupiah (Y), adalah
rumus persamaan regresi ganda dengan
tiga variabel bebas dan satu variabel
terikat, yakni:
Y = k + a1 x1 + a2 x2 + a3 x3
Keterangan:
Y = nilai variabel Y
X=
nama variabel
a = koefisien variabel X
k = bilangan konstanta
Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik digunakan untuk
menganalisis penyakit statistik yang ada
pada model regresi yang telah diperoleh
103
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
dan selanjutnya menghilangkan penyakit
tersebut. Dalam penelitian ini uji asumsi
klasik yang digunakan antara lain uji
normalitas, uji multikolinearitas, uji
autokorelasi, uji heteroskedastisitas.
Uji normalitas digunakan untuk
mengetahui normal tidaknya data yang
akan diperoleh. Uji normalitas dilakukan
dengan uji nilai Kolmogorov Smirnov
menggunakan program analisis statistik
SPSS 13 for windows. Apabila nilai
probabilitas ≥ 0,05 maka data dinyatakan
berdistribusi normal, sebaliknya jika nilai
probabilitas < 0,05 maka data dinyatakan
berdistribusi tidak normal.
Uji multikolinearitas bertujuan
untuk menguji apakah model regresi
ditemukan adanya korelasi antar variabel
bebas (Ghozali, 2007). Model regresi yang
baik seharusnya tidak terjadi korelasi di
antara variabel independen. Untuk mengujinya digunakan dengan melihat nilai
variance inflation factor (VIF) dan
tolerance. Berdasarkan hasil output SPSS,
apabila nilai VIF < 10 dan nilai tolerance
> 0,1 dapat disimpulkan bahwa asumsi
adanya multikolinieritas ditolak.
Uji Autokorelasi bertujuan menguji
apakah dalam model regresi linear ada
korelasi antara kesalahan pengganggu pada
periode t dengan kesalahan penggangu
pada periode sebemumnya (Ghozali,
2007). Untuk menguji autokorelasi digunakan Run T est, jika hasil test memiliki
signifikansi < 5% maka model regresi
mengandung masalah autokorelasi dan
sebaliknya jika hasil test memiliki
signifikansi > 5% maka model regresi
tidak mengandung masalah autokorelasi.
Uji Heteroskedastisitas bertujuan
menguji apakah dalam model regresi
terjadi ketidak samaan variance dari
residual satu pengamatan ke pengamatan
yang lain (Ghozali, 2007).
Untuk
mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dalam model regresi peneliti
menggunakan Uji Glejser dengan meregres nilai absolut residual terhadap
variabel independen. Jika variabel independen signifikan secara statistik mempe-
104
ngaruhi variabel dependen, maka ada
indikasi terjadi heteroskedastisitas dan
sebaliknya jika variabel independen tidak
signifikan secara statistik mempengaruhi
variabel dependen maka model regresi
tidak mengandung heterokedastisitas.
Pengujian Hipotesis
Pengujian
hipotesis
pengaruh
variabel bebas terhadap variabel terikat
secara parsial menggunakan uji t dengan
taraf signifikansi 0,05. Dasar pengambilan
keputusan dilakukan dengan membandingkan nilai signifikansi dengan nilai α
sebesar 5%, jika nilai signifikansi > α
maka variabel independen tidak mempunyai pengaruh terhadap variabel dependen
(H0 diterima), sedangkan jika nilai
signifikansi < α maka variabel independen mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap variabel dependen (H1
diterima) (Ghozali, 2007).
Pengujian
hipotesis
pengaruh
variabel bebas terhadap variabel terikat
secara parsial dalam penelitian ini
digunakan untuk mengetahui: (1) dampak
fluktuasi indeks harga saham (X1) terhadap
kurs rupiah (Y) dengan mengabaikan
variabel ekspor netto (X2) dan krisis global
(X3); (2) dampak ekspor netto (X 2 )
terhadap kurs rupiah (Y) dengan
mengabaikan variabel indeks harga saham
(X1) dan krisis global (X3); (3) dampak
krisis global (X3) terhadap kurs rupiah (Y)
dengan mengabaikan variabel indeks harga
saham (X1) dan ekspor netto (X 2 ).
Pengujian
hipotesis
pengaruh
variabel bebas terhadap variabel terikat
secara simultan (serentak) menggunakan
uji F dengan taraf signifikansi 0,05. Dasar
pengambilan keputusan yaitu jika nilai F >
4 maka secara bersamaan semua variabel
independen mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap variabel dependen,
atau dengan kata lain H0 ditolak dan H1
diterima (Ghozali, 2007).
Koefisien Determinasi (R 2)
Koefisien determinasi (R2) menunjukkan besar sumbangan efektif seluruh
variabel bebas: nilai indeks harga saham
JESP Vol. 5, No.1, 2013
tertimbang (X1), ekpor netto (X 2), dan
krisis global (X3) terhadap variabel kurs
rupiah (Y). Semakin tinggi nilai koefisien
determinasi (R2) berarti model semakin
mampu menerangkan variabel dependent.
Koefisien Determinasi Parsial (R 2
parsial)
Koefisien
determinasi
parsial
sebetulnya mengukur secara terpisah
dampak satu variabel independen terhadap
variabel dependen. Pengukuran dilakukan
dengan menghilangkan tendensi linier
variabel independen yang lain (Dajan,
1986).
Rumusan pengukuran R2 parsial
secara umum sebagai berikut:
R2 x1-x2 =
Hasil Penelitian
Deskripsi Data
1. Data Indeks Harga Saham
Indeks harga saham adalah indikator atau cerminan dari fluktuasi harga
saham. Indeks merupakan salah satu
pedoman bagi para investor untuk melakukan investasi di pasar modal, khususnya
saham. Dalam penelitian ini indeks harga
saham yang digunakan adalah indeks harga
saham tertimbang yang merupakan perbandingan antara Indeks Harga Saham
Gabungan New Y ork (New York
Composite Index) dengan Indeks Harga
Saham Gabungan Indonesia (Jakarta
Composite Index/Indonesia Composite
Index).
Berikut ini disajikan data indeks
harga saham tertimbang dari Januari 2006
sampai dengan Desember 2009. Tingkat
indeks harga saham tertimbang bergerak
secara fluktuatif. Indeks harga saham
tertimbang tertinggi terjadi pada bulan
Januari 2006 yaitu sebesar 6,58 sementara
untuk yang terendah terjadi pada bulan Juli
2009 sebesar 2,77.
Tahun 2006 nilai indeks harga
saham tertimbang bergerak pada kisaran
5,06 hingga 6,58. Pada bulan Januari nilai
indeks harga saham tertimbang sebesar
6,58 yang merupakan nilai tertinggi pada
tahun ini, kemudian terus menurun hingga
5,78 pada bulan April. Pada bulan Mei
nilai indeks harga saham tertimbang naik
menjadi 6,16 dan pada bulan Juni
mencapai nilai 6,23. Namun pada bulan
Juli nilai indeks harga saham tertimbang
terus menurun hingga nilai 5,06 pada bulan
Desember. Rata-rata nilai indeks harga
saham tertimbang pada tahun 2006 sebesar
5,90.
Tahun 2007 nilai indeks harga
saham tertimbang bergerak pada kisaran
3,55 hingga 5,27. Pada bulan Januari nilai
indeks harga saham tertimbang sebesar
5,27 yang merupakan nilai tertinggi pada
tahun ini, kemudian terus berangsur-angsur
menurun hingga mencapai nilai terendah
sebesar 3,55 pada bulan Desember. Ratarata nilai indeks harga saham tertimbang
pada tahun 2007 sebesar 4,47.
Tahun 2008 nilai indeks harga
saham tertimbang bergerak pada kisaran
3,29 hingga 4,82. Pada bulan Januari nilai
indeks harga saham tertimbang sebesar
3,47 kemudian turun menjadi 3,29 pada
bulan Februari. Pada bulan Maret nilai
indeks harga saham tertimbang naik
menjadi 3,59 dan pada bulan April
mencapai nilai 4,04. Pada bulan Mei
hingga Juli terjadi penurunan berturut-turut
dari 3,85; 3,69; dan 3,66 akan tetapi pada
bulan Agustus kembali meningkat menjadi
3,87 dan mencapai nilai 4,82 pada bulan
Oktober. Pada bulan November hingga
Desember nilai indeks harga saham
tertimbang kembali mengalami penurunan
hingga mencapai nilai 4,25 pada bulan
Desember. Rata-rata nilai indeks harga
saham tertimbang pada tahun 2008 sebesar
3,93.
Tahun 2009 nilai indeks harga
saham tertimbang bergerak pada kisaran
2,80 hingga 3,90. Pada bulan Januari nilai
indeks harga saham tertimbang sebesar
3,90 yang merupakan nilai tertinggi pada
tahun ini, kemudian nilai indeks harga
saham tertimbang terus mengalami
penurunan hingga mencapai nilai 2,80
pada bulan September. Pada bulan Oktober
105
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
hingga November nilai indeks harga saham
tertimbang naik hingga mencapai nilai 2,94
dan pada bulan Desember kembali turun
menjadi 2,84. Rata-rata nilai indeks harga
saham tertimbang pada tahun 2009 sebesar
3,10.
Berdasarkan paparan data di atas
dapat dilihat bahwa nilai indeks harga
saham tertimbang mengalami perubahan
yang fluktuatif dari tahun ke tahun. Ratarata dari nilai indeks harga saham
tertimbang secara keseluruhan mulai tahun
2006-2009 sebesar 4,35.
2. Data Ekspor Netto
Tahun 2006 nilai ekspor netto
bergerak pada kisaran 2,73 hingga 5,86
milyar USD. Pada bulan Januari nilai
ekspor netto sebesar 3,17 milyar USD dan
turun menjadi 2,87 milyar USD pada bulan
Februari. Pada bulan Maret nilai ekspor
netto naik menjadi 3,09 milyar USD dan
mencapai nilai tertinggi 5,86 milyar USD
pada bulan April. Pada bulan Mei nilai
ekspor netto kembali menurun hingga nilai
terendah 2,73 milyar USD pada bulan Juni.
Sejak bulan Juli nilai ekspor netto terus
mengalami fluktuasi dan berakhir pada
kisaran 4,64 milyar USD pada Bulan
Desember. Rata-rata nilai ekspor netto
pada tahun 2006 sebesar 3,56 milyar USD.
Tahun 2007 nilai ekspor netto
bergerak pada kisaran 2,30 hingga 4,10
milyar USD. Pada bulan Januari nilai
ekspor netto sebesar 3,04 milyar USD
kemudian naik menjadi 3,53 milyar USD
pada bulan Februari. Sejak bulan Maret
nilai ekspor netto terus mengalami
fluktuasi dengan nilai tertinggi tercatat
pada bulan Desember dengan nilai 4,10
milyar USD yang merupakan lonjakan
tinggi dari nilai terendah 2,30 milyar USD
pada bulan November. Rata-rata nilai
ekspor netto pada tahun 2007 sebesar 3,30
milyar USD.
Tahun 2008 nilai ekspor netto
bergerak pada kisaran minus 730 juta USD
hingga 1,73 milyar USD, hal ini
disebabkan karena imbas krisis global
yang mulai melanda perekonomian
106
Indonesia. Pada bulan Januari nilai ekspor
netto sebesar 1,58 milyar dolar USD
kemudian setelah mencapai nilai tertinggi
1,73 milyar USD pada bulan Maret nilai
ekspor netto turun drastis menjadi minus
730 juta USD pada bulan April. Pada bulan
Mei nilai ekspor netto kembali naik hingga
1,25 milyar USD dan kembali turun drastis
menjadi minus 340 juta USD pada bulan
Juli. Sejak bulan Agustus nilai ekspor netto
terus berfluktuasi dan pada akhirnya
mencatatkan nilai 1,15 milyar USD pada
bulan Desember. Rata-rata nilai ekspor
netto pada tahun 2008 sebesar 650 juta
USD.
Tahun 2009 nilai ekspor netto
bergerak pada kisaran 680 juta USD
hingga 3,65 milyar USD, pada periode ini
nilai ekspor netto mulai meningkat seiring
dengan usaha pemulihan dari dampak
krisis global. Pada bulan Januari nilai
ekspor netto sebesar 680 juta USD
kemudian
terus
meningkat
hingga
mencapai nilai 2,06 milyar USD pada
bulan Maret. Pada bulan April nilai ekspor
netto mulai mengalami penurunan hingga
mencapai nilai 840 juta USD pada bulan
Agustus. Sejak bulan September nilai
ekspor netto kembali bergerak positif
hingga mencapai nilai 3,05 milyar USD
pada bulan Desember. Rata-rata nilai
ekspor netto pada tahun 2009 sebesar 1,64
milyar USD.
Berdasarkan paparan data di atas
dapat dilihat bahwa nilai ekpor netto
Indonesia selalu mengalami fluktuasi
dengan nilai terendah tercatat pada periode
krisis pada tahun 2008 dan 2009. Rata-rata
dari nilai ekpor netto Indonesia secara
keseluruhan mulai tahun 2006-2009
sebesar 2,29 milyar USD.
3. Data Krisis Global
Berdasarkan Laporan Perekonomian Indonesia 2008 oleh Bank Indonesia,
krisis global mulai memberikan pengaruh
pada perekonomian Indonesia pada
trimester IV tahun 2008 sedangkan akhir
dari krisis global diasumsikan pada 31
Desember 2009. Asumsi ini diambil
JESP Vol. 5, No.1, 2013
berdasarkan
Laporan
Perekonomian
Indonesia oleh 2009 Bank Indonesia dan
juga berdasarkan dari pernyataan Chief
Economist BNI, A. Tony Prasetiantono.
V ariabel krisis global merupakan
variabel dummy dengan nilai 0 untuk
menunjukkan masa sebelum krisis global
yang dimulai pada bulan Januari 2006
sampai bulan September 2008 dan nilai 1
untuk periode krisis global yang dimulai
pada bulan Oktober 2008 sampai bulan
Desember 2009. Pada tabel berikut akan
dipaparkan nilai dummy pada masingmasing periode.
T abel 1. Data Dummy Krisis Global 2006-2009
PERIODE 2006 2007 2008 2009
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
4. Data Kurs Rupiah
Pada penelitian ini kurs yang
digunakan adalah kurs rupiah terhadap
dolar Amerika Serikat, dolar Amerika
Serikat dipilih sebagai pembanding karena
mata uang tersebut merupakan mata uang
internasional dan juga krisis global
tersebut berawal dari Amerika Serikat.
Kurs yang dijadikan acuan adalah
kurs bulanan yang diperoleh dari rata-rata
kurs harian dalam satu bulan. Pada tabel
berikut ini disajikan kurs bulanan dari
periode Januari 2006 sampai dengan
Desember 2009.
Tahun 2006 kurs rupiah terhadap
dolar AS berada pada kisaran Rp 8981,67
hingga Rp 9540,40. Pada bulan Januari
kurs rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp
9540,40 kemudian terus menguat hingga
mencapai Rp 8981,67 pada bulan April.
Pada bulan Mei kurs rupiah terhadap dolar
AS kembali melemah hingga mencapai
nilai Rp 9409,64 pada bulan Juni, mulai
bulan Juli kurs rupiah terhadap dolar AS
terus mengalami fluktuasi dan ditutup
menguat pada nilai Rp 9132,15 di bulan
Desember. Rata-rata nilai kurs rupiah
terhadap dolar AS pada tahun 2006 sebesar
Rp 9210,33.
Tahun 2007 kurs rupiah terhadap
dolar AS berada pada kisaran Rp 8888,48
hingga Rp 9380,27. Pada bulan Januari
kurs rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp
9111,82 kemudian terus melemah hingga
mencapai nilai Rp 9209,95 pada bulan
Maret, namun kurs rupiah terhadap dolar
AS kembali menguat hingga mencapai
nilai Rp 8888,48 pada bulan Mei. Sejak
bulan Juni kurs rupiah terhadap dolar AS
terus mengalami fluktuasi hingga ditutup
pada posisi melemah di bulan Desember
dengan nilai Rp 9380,27. Rata-rata nilai
kurs rupiah terhadap dolar AS pada tahun
2007 sebesar Rp 9185,05.
Tahun 2008 kurs rupiah terhadap
dolar AS berada pada kisaran Rp 9195,10
hingga Rp 11769,90. Pada bulan Januari
kurs rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp
9453,30 kemudian terus mengalami
mengalami fluktuasi hingga menguat
menjadi Rp 9195,10 pada bulan Agustus.
Akan tetapi sejak bulan September kurs
rupiah terhadap dolar AS terus melemah
sebagai akibat dari krisis global hingga
mencapai Rp 11381,50 pada bulan
Desember. Rata-rata nilai kurs rupiah
terhadap dolar AS pada tahun 2008 sebesar
Rp 9740.61.
Tahun 2009 kurs rupiah terhadap
dolar AS berada pada kisaran Rp 9504,85
hingga Rp 11912,20. Pada bulan Januari
kurs rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp
11223,10 dan melemah menjadi Rp
11912,20 pada bulan Februari. Akan tetapi
sejak bulan Maret kurs rupiah terhadap
dolar AS terus menguat hingga ditutup
pada nilai Rp 9504,85. Rata-rata nilai kurs
rupiah terhadap dolar AS pada tahun 2009
sebesar Rp 10459,88.
107
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
Berdasarkan paparan data di atas
dapat dilihat bahwa kurs rupiah terhadap
dolar AS bergerak stabil pada masa
sebelum krisis (2006-2007) kemudian
mengalami kenaikan yang signifikan pada
periode krisis di tahun 2008 dan mulai
kembali normal di akhir tahun 2009. Ratarata dari kurs rupiah terhadap dolar AS
secara keseluruhan mulai tahun 2006-2009
sebesar Rp 9648,97.
Hasil Analisis Statistik
1. Hasil Analisis Regresi Linier
Berganda
Berdasarkan hasil analisis regresi,
maka dapat dirumuskan suatu persamaan
regresi berganda sebagai berikut:
Kurs Rupiah = 8776,377 + 161,716 indeks
harga saham- 122,046
ekspor netto + 1435,156
krisis global
Nilai konstanta a=8776,377 dan bertanda
positif menandakan bahwa apabila variabel
ekspor netto, indeks harga saham, dan
krisis global dianggap tetap atau nol maka
konstanta akan dapat menaikkan kurs
rupiah sebesar 8776,377.
Nilai koefisien b1=161,716 dari
variabel indeks harga saham dengan tanda
positif menunjukkan bahwa indeks harga
saham memiliki hubungan yang positif
atau searah dengan kurs rupiah. Semakin
tinggi nilai indeks harga saham tertimbang
maka semakin tinggi kurs rupiah (rupiah
melemah), sebaliknya semakin rendah nilai
indeks harga saham tertimbang maka
semakin rendah kurs rupiah (rupiah
menguat) dengan besaran pengaruh
161,716 satuan.
Nnilai koefisien b2= -122,046 dari
variabel ekspor netto dengan tanda negatif
menunjukkan bahwa ekspor netto memiliki
hubungan yang negatif atau berkebalikan
dengan kurs rupiah. Semakin tinggi nilai
ekspor netto maka semakin rendah kurs
rupiah (rupiah menguat), sebaliknya
semakin rendah nilai ekspor netto maka
semakin tinggi kurs rupiah (rupiah
melemah) dengan besaran pengaruh 122,046 satuan.
108
Nilai koefisien b3=1435,156 dari
variabel krisis global dengan tanda positif
menunjukkan bahwa krisis global memiliki
hubungan yang positif atau searah dengan
kurs rupiah. Semakin tinggi nilai krisis
global (periode krisis) maka semakin
tinggi kurs rupiah (rupiah melemah),
sebaliknya semakin rendah nilai krisis
global (periode sebelum krisis) maka
semakin rendah kurs rupiah (rupiah
menguat) dengan besaran pengaruh
1435,156 satuan.
2. Hasil Uji Asumsi Klasik
a. Hasil Uji Normalitas
Data
dikatakan
berdistribusi
normal jika signifikansi variabel dependen
memiliki nilai signifikansi lebih dari 5 %.
Pada data diperoleh nilai signifikansi (2tailed) 28.5%, sehingga dapat dikatakan
bahwa data yang digunakan dalam
penelitian ini berdistribusi normal.
b. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinieritas dilakukan
untuk melihat adanya keterkaitan antara
variabel independen, atau dengan kata lain
setiap variabel independen dijelaskan oleh
variabel independen lainnya. Berdasarkan
hasil output SPSS, apabila nilai VIF < 10
dan nilai tolerance > 0,1 dapat
disimpulkan bahwa asumsi adanya
multikolinieritas ditolak.
Berdasarkan hasil uji multikolinearitas, diperoleh nilai VIF < 10 dan
nilai tolerance > 0,1 untuk semua variabel
independen yang berarti bahwa model
regresi tidak mengandung multikolinieritas.
c. Hasil Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi menggu-nakan
Run Test, jika hasil test memiliki
signifikansi < 5% maka model regresi
mengandung masalah autokorelasi. Berdasarkan tabel hasil uji autokorelasi di atas,
diperoleh nilai tes adalah -27,63933
dengan signifikansi 0,058 (lebih besar dari
5%) yang berarti bahwa model regresi
tidak mengandung autokorelasi.
JESP Vol. 5, No.1, 2013
d. Hasil Uji Heteroskedastisitas
Berdasarkan hasil uji heteroskedastisitas, diperoleh nilai signifikansi >
0,05 untuk semua variabel independen
yang berarti bahwa model regresi tidak
mengandung heteroskedastisitas.
3. Hasil Uji Hipotesis
a. Uji Parsial (Uji t)
Dari hasil analisis regresi linier
berganda menunjukkan bahwa secara
parsial indeks harga saham mempunyai
pengaruh yang tidak signifikan terhadap
kurs rupiah. Hal ini dapat dilihat dari nilai
signifikansi sebesar 0,055 > nilai α ,
dengan demikian H0 diterima dan H1
ditolak. Jadi fluktuasi indeks harga saham
tidak mempunyai dampak yang signifikan
terhadap kurs rupiah.
Dari hasil analisis regresi linier
berganda menunjukkan bahwa secara
parsial ekspor netto mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap kurs rupiah. Hal
ini dapat dilihat dari nilai signifikansi
sebesar 0,044 < nilai α , dengan demikian
H0 ditolak dan H1 diterima. Jadi fluktuasi
ekspor netto mempunyai dampak yang
signifikan terhadap kurs rupiah.
Dari hasil analisis regresi linier
berganda menunjukkan bahwa secara
parsial krisis global mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap kurs rupiah. Hal
ini dapat dilihat dari nilai signifikansi
sebesar 0,000 < nilai α , dengan demikian
H0 ditolak dan H1 diterima. Jadi krisis
global mempunyai dampak yang signifikan
terhadap kurs rupiah.
b. Uji Simultan (Uji F)
Berdasarkan hasil analisis uji F,
diperoleh nilai F sebesar 29,573 > 4
sehingga H0 ditolak dan H1 diterima. Jadi
fluktuasi nilai indeks harga saham, ekspor
netto, dan krisis global secara bersamaan
mempunyai dampak yang signifikan
terhadap kurs rupiah.
4. Uji Koefisien Determinasi (R 2)
Nilai R2 sebesar 0,668 atau 66,8%
menyatakan bahwa informasi yang
terkandung dalam data sebesar 66,8%
dapat dijelaskan oleh model regresi diatas.
Sedangkan
sisanya sebesar
33,2%
dijelaskan oleh variabel lain (yang belum
terdapat dalam model regresi diatas).
Menurut Lipsey, Steiner, dan Purvis
(1993) variabel lain yang dapat mempengaruhi nilai tukar tersebut adalah laju
inflasi relatif dan tingkat suku bunga
relatif. Selain itu variabel lain yang
kemungkinan dapat mempengaruhi kurs
yaitu tingkat pendapatan relatif, kontrol
pemerintah terhadap kurs, dan ekpektasi
pasar.
5. Koefisien Determinasi Parsial (R 2
parsial)
=
= 1- 0,919 =
R2 =
0,081 = 8,1%
Hasil perhitungan di atas berarti
bahwa fluktuasi indeks harga saham
mampu
menerangkan
hubungannya
dengan kurs rupiah dengan proporsi 8,1%,
dan 91,9% kurs rupiah diterangkan oleh
variabel lain.
R2 =
=
= 1- 0,912 =
0,088 = 8,8%
Hasil perhitungan di atas berarti
bahwa fluktuasi nilai eksor netto mampu
menerangkan hubungannya dengan kurs
rupiah dengan proporsi 8,8%, dan 91,2%
kurs rupiah diterangkan oleh variabel lain.
R2 =
=
= 1- 0,426 =
0,574 = 57,4%
Hasil perhitungan di atas berarti
bahwa krisis global mampu menerangkan
hubungannya dengan kurs rupiah dengan
proporsi 57,4%, dan 44,6% kurs rupiah
diterangkan oleh variabel lain.
Dampak Fluktuasi Indeks Harga Saham
terhadap Kurs Rupiah
Berdasarkan
hasil
penelitian
diperoleh fakta bahwa fluktuasi indeks
harga saham berhubungan positif atau
searah dengan kurs rupiah dengan besaran
pengaruh 161,716 satuan. Hal tersebut
terjadi karena variabel indeks harga saham
ini merupakan indeks harga saham
109
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
tertimbang yang merupakan perbandingan
antara indeks harga saham gabungan New
Y ork dengan indeks harga saham
Indonesia, variabel ini mencerminkan
pengaruh krisis global dari luar negeri dan
juga mencerminkan aliran modal ke dalam
pasar finansial Indonesia, dalam hal ini
dapat kita pahami bahwa saat harga saham
dalam negeri bagus maka kekayaan riil
investor naik sehingga mengakibatkan
banyaknya permintaan terhadap mata uang
rupiah oleh para investor. Ketika
permintaan terhadap rupiah naik maka
suku bunga akan naik dan mengakibatkan
banyak aliran modal yang masuk dalam
pasar finansial Indonesia sehingga secara
otomatis nilai tukar rupiah terhadap mata
uang asing termasuk dolar Amerika akan
mengalami apresiasi, sebaliknya saat harga
saham anjlok maka kekayaan riil investor
menurun sehingga permintaan terhadap
rupiah menurun. Turunnya permintaan
terhadap rupiah mengakibatkan suku
bunga turun sehingga investor akan lebih
memilih menempatkan modalnya di luar
negeri, dengan demikian maka rupiah akan
mengalami depresiasi.
Penjelasan tersebut mengacu pada
teori yang dinyatakan oleh Lipsey, Steiner,
dan Purvis (1993:385) yang menyatakan
bahwa aliran modal yang besar dapat
berpengaruh kuat pada nilai tukar. Aliran
dana investasi akan mengakibatkan
apresiasi mata uang negara yang mendapat
aliran dana dan depresiasi mata uang
negara yang menginvestasikan modalnya.
Selain dari pendapat Lipsey, Steiner, dan
Purvis hubungan positif ini juga sejalan
dengan teori dari Simorangkir dan Suseno
(2005) yang menjelaskan indeks harga
saham sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi
nilai
tukar
dengan
pendekatan permintaan dan penawaran
valuta asing, semakin besar aliran modal
keluar maka semakin besar permintaan
terhadap valuta asing sehingga akan
memperlemah nilai tukar. Sebaliknya, jika
semakin besar aliran modal masuk maka
semakin besar penawaran valuta asing
sehingga akan memperkuat nilai tukar.
110
Hasil penelitian ini juga sesuai
dengan hasil penelitian terdahulu dari Tim
Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga
Keuangan
Departemen
Keuangan Republik Indonesia (2008) yang
berjudul “Analisis Hubungan Kointegrasi
dan Kausalitas serta Hubungan Dinamis
antara Aliran Modal Asing, Perubahan
Nilai Tukar dan Pergerakan IHSG di Pasar
Modal Indonesia” yang menunjukkan
bahwa IHSG lebih mampu menjelaskan
pengaruhnya terhadap aliran modal asing
(capital inflow) yang masuk ke Indonesia,
sedangkan aliran modal asing (capital
inflow) mampu menjelaskan pengaruhnya
terhadap pergerakan nilai tukar rupiah,
aliran modal asing (capital inflow) yang
masuk ke Indonesia pada periode
penelitian memberikan pengaruh yang
positif terhadap pergerakan indeks harga
saham gabungan, dan juga memberikan
pengaruh yang positif terhadap perubahan
nilai tukar rupiah. Begitu pula dengan hasil
penelitian dari Maskie dan Satria (2003)
yang berjudul “Analisis Asosiasi Kurs dan
Harga
Saham:
Pendekatan
Error
Correction Model (Periode 2000 ‐2003)” di
mana
pergerakan
indeks
saham
berpengaruh kuat terhadap fluktuasi kurs.
Meskipun
hubungan
variabel
indeks harga saham terhadap kurs rupiah
sudah sesuai dengan teori akan tetapi
dampak dari fluktuasi indeks harga saham
terhadap kurs rupiah tidak signifikan, hal
ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi
0,055 > nilai α . Hal tersebut bisa terjadi
karena kapitalisasi pasar modal Indonesia
masih
belum
terlalu
besar
bila
dibandingkan
dengan
negara-negara
lainnya, seperti yang dijelaskan oleh
Bapepam (2005) yang menyatakan bahwa
apabila dibandingkan dengan bursa
regional lainnya, peranan pasar modal
Indonesia terhadap perekonomian negara,
yang terlihat dari perbandingan nilai
kapitalisasi
pasar terhadap produk
domestik bruto (PDB), masih berada pada
posisi yang cukup rendah. Pada tahun
2004, rasio nilai kapitalisasi pasar terhadap
PDB di Indonesia hanya mencapai 29,5%,
JESP Vol. 5, No.1, 2013
sementara beberapa bursa regional lainnya
telah melampui 100%. Pada periode
selanjutnya Basri (2008) juga menyatakan
bahwa perekonomian Indonesia dan sektor
keuangannya tak terkait erat dengan sektor
finansial, pasar bursa tidak akan
memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap gejolak ekonomi dalam negeri.
Pasalnya, pelaku pasar bursa hanya sekitar
0,5 persen dari penduduk Indonesia,
senada dengan hal tersebut Kalla (2008)
juga menyatakan bahwa perekonomian kita
lebih banyak menggantungkan diri pada
ekonomi domestik. Di Amerika Serikat,
pengaruh bursa mencapai 1,5 kali dari
produk domestik bruto sedangkan di
Indonesia pengaruhnya hanya 20 persen.
Selain itu fenomena ini juga dijelaskan
oleh peranan dari faktor-faktor domestik
yang mampu mengurangi gejolak sektor
finansial, hal ini dijelaskan dalam Laporan
Perekonomian Indonesia 2009 yang
menyatakan bahwa beberapa faktor
domestik terlihat menjadi bantalan yang
cukup efektif dalam menyerap pengaruh
gejolak ekonomi global. Faktor domestik
domestik tersebut berkaitan dengan
karakteristik perbankan dan lembaga
keuangan domestik yang masih cenderung
konvensional dengan exposure terhadap
sekuritas-sekuritas asing bermasalah yang
minimal
sehingga
mengakibatkan
pengaruh langsung gejolak pasar keuangan
global juga tidak terlalu besar. Satu hal lain
yang memengaruhi ketahanan perbankan
tersebut adalah dampak positif berbagai
upaya penguatan dan konsolidasi sistem
perbankan pascakrisis tahun 1997/1998 .
Dampak Fluktuasi Ekspor Netto
terhadap Kurs Rupiah
Dari hasil penelitian diperoleh fakta
bahwa fluktuasi ekspor netto memiliki
hubungan yang negatif atau berkebalikan
dengan kurs rupiah dengan besaran
pengaruh - 122,046 satuan. V ariabel
ekspor netto mewakili pengaruh krisis
global dari dalam negeri dan juga
mencerminkan pengaruh dari sektor riil.
Dalam hal ini dapat kita pahami bahwa
ketika kinerja sektor riil sedang bagus
maka kapasitas produksi dalam negeri
meningkat sehingga nilai ekspor akan
meningkat
sedangkan
impor
akan
cenderung menurun karena kebutuhan
dalam negeri sudah mampu terpenuhi oleh
produsen dalam negeri, dengan demikian
maka nilai ekspor netto akan meningkat.
Saat nilai ekspor netto naik maka secara
otomatis negara mempunyai devisa dalam
bentuk valuta asing dengan jumlah yang
besar dengan demikian maka kurs rupiah
terhadap mata uang asing akan turun
(rupiah menguat), sebaliknya jika kinerja
sektor riil memburuk maka produksi dalam
negeri akan kesulitan menjalankan
aktivitas ekonominya sehingga nilai ekspor
akan cenderung turun dan kebutuhan
dalam negeri lebih banyak dipenuhi
dengan cara mengimpor dari produsen luar
negeri, dengan demikian maka permintaan
terhadap valuta asing oleh pengusaha
dalam negeri akan meningkat dan
cadangan devisa dalam bentuk mata uang
asing akan menurun, sehingga kurs rupiah
terhadap mata uang asing akan naik
(rupiah melemah).
Hubungan negatif antara fluktuasi
ekspor netto terhadap kurs rupiah tersebut
sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh
Salvatore (1997:42) yang menjelaskan
bahwa menurut pendekatan perdagangan,
kurs ekuilibrium adalah kurs yang
menyeimbangkan nilai impor dan ekspor
dari suatu negara. Jika nilai impor suatu
negara lebih besar dari nilai ekspor negara
tersebut maka kurs mata uangnya akan
mengalami peningkatan (artinya mata uang
tersebut mengalami depresiasi). Sejalan
dengan hal itu Simorangkir dan Suseno
(2005)
menjelaskan
hubungan
perdagangan internasional dengan nilai
tukar melalui teori permintaan dan
penawaran valuta asing, semakin tinggi
nilai impor maka permintaan valuta asing
akan naik sehingga nilai tukar akan
melemah, sebaliknya jika semakin tinggi
nilai ekspor suatu negara maka semakin
besar jumlah valuta asing yang dimiliki
negara tersebut, sehingga nilai tukar mata
111
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
uang negara yang bersangkutan cenderung
menguat terhadap valuta asing.
Hubungan variabel ekspor netto
terhadap kurs rupiah sudah sesuai dengan
teori dan dampak dari fluktuasi ekspor
netto terhadap kurs rupiah signifikan, hal
ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi
sebesar 0,044 < nilai α . Fenomena ini
disebabkan karena ekspor netto mampu
menunjang
perbaikan
perekonomian
Indonesia pada masa krisis global. Hal
tersebut dapat kita lihat dalam Laporan
Perekonomian Indonesia 2009 oleh Bank
Indonesia
yang
mencatat
bahwa
peningkatan surplus neraca transaksi
berjalan 2009 didukung oleh kinerja
ekspor, yang meskipun mengalami
kontraksi akibat penurunan pertumbuhan
ekonomi global, tercatat tidak sebesar
kontraksi pada impor. Kinerja ekspor tidak
terlepas dari pengaruh permintaan ekspor
untuk barang berbasis sumber daya alam,
khususnya barang pertambangan, yang
tetap tumbuh positif dalam periode
kontraksi ekonomi global. Kinerja ekspor
juga ditopang oleh ekspor manufaktur pada
akhir tahun 2009 sejalan dengan semakin
cepatnya pemulihan ekonomi negara maju
terutama di AS dan Jepang. Sementara itu,
impor melambat cukup signifikan terutama
dipengaruhi oleh menurunnya permintaan
domestik sejalan dampak perlambatan
pertumbuhan ekonomi domestik. Kontraksi
impor juga terjadi akibat penurunan
kebutuhan bahan baku untuk barang
manufaktur yang berorientasi ekspor, yang
biasanya berkandungan impor tinggi.
Selain itu kinerja ekspor netto mengalami
perkembangan yang positif pada masa
krisis global karena dipengaruhi oleh
permintaan global yang mulai meningkat
kuat, terutama dari China dan negara Asia
non Jepang, serta tren pelemahan dolar AS
yang masih terjadi. Selain itu, beberapa
harga komoditas utama Indonesia yang
juga mulai meningkat sejak triwulan II
2009, cukup kondusif menopang perbaikan
kinerja ekspor hingga akhir tahun 2009.
Membaiknya
permintaan
dunia
menyebabkan
pertumbuhan
ekspor
112
nonmigas kembali mencatat pertumbuhan
positif sebesar 17,6% (yoy) pada triwulan
IV 2009 (Bank Indonesia, 2009).
Dampak Krisis Global terhadap Kurs
Rupiah
Dari hasil penelitian diperoleh fakta
bahwa krisis global memiliki hubungan
yang positif atau searah dengan kurs rupiah
dengan besaran pengaruh 1435,156.
Dampak krisis global terhadap kurs rupiah
juga menunjukkan hasil yang signifikan.
Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi
sebesar 0,000 < nilai α . Krisis global
merupakan krisis yang dialami oleh
negara-negara di dunia yang berawal dari
krisis finansial di Amerika Serikat. Krisis
global mulai memberikan pengaruh pada
perekonomian Indonesia pada trimester IV
tahun 2008 dan akhir dari krisis global
diasumsikan pada 31 Desember 2009. Hal
tersebut disebabkan karena krisis global
memberikan
pengaruh
terhadap
perekonomian dalam negeri melalui dua
jalur, yaitu jalur finansial dan jalur
perdagangan. Saat krisis global terjadi
pasar modal Indonesia mengalami
guncangan karena persepsi risiko yang
cukup tinggi dan juga kebanyakan
pemodal asing menarik dananya dari
Indonesia
untuk
memperkuat
perusahaannya masing-masing sehingga
terjadi capital outflow besar-besaran
sehingga rupiah melemah. Dari sisi
perdagangan, pada saat krisis global daya
beli konsumen baik dalam maupun luar
negeri akan berkurang, hal ini akan
mengakibatkan penurunan permintaan
terhadap barang dan jasa sehingga
produsen dalam negeri mengalami
kesulitan dalam menjalankan aktivitas
usahanya. Ketika produsen mengalami
kesulitan dan penurunan produktivitas
maka kebutuhan dalam negeri akan sulit
dipenuhi sehingga nilai impor akan
meningkat dan nilai ekspor pasti
mengalami penurunan signifikan. Pada
saat hal tersebut terjadi nilai devisa dalam
bentuk mata uang asing menurun dan
permintaan terhadap mata uang asing
JESP Vol. 5, No.1, 2013
melonjak sehingga kurs rupiah mengalami
depresiasi.
Secara riil fenomena tersebut
dijelaskan oleh Bank Indonesia (2009)
yang menyatakan bahwa ekonomi global
yang mendapat tekanan kuat tidak dapat
dihindari telah menurunkan kinerja
perekonomian Indonesia pada tahun 2009.
Tekanan berat tersebut sangat terasa pada
triwulan I 2009. Sejalan dengan karakter
ekonomi Indonesia yang cukup terbuka,
pengaruh
gejolak
ekonomi
global
tertransmisikan melalui dua jalur yaitu
jalur finansial dan jalur perdagangan. Dari
jalur finansial, gejolak yang masih terjadi
di pasar keuangan global mengakibatkan
risiko di pasar keuangan domestik dan
penanaman modal di Indonesia tetap tinggi
pada triwulan I 2009. Persepsi risiko yang
masih tinggi di pasar keuangan tersebut
pada gilirannya mengakibatkan masih
kuatnya aliran keluar modal asing jangka
pendek dan memberikan tekanan kepada
stabilitas sistem keuangan domestik di
triwulan I 2009. Sementara itu, dampak
dari jalur perdagangan ditunjukkan oleh
pertumbuhan ekspor barang dan jasa yang
mengalami kontraksi cukup besar, yang
pada
akhirnya
berdampak
pada
perlambatan pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan. Dari dua hal tersebut kita
dapat mengambil kesimpulan bahwa saat
krisis global terjadi kelebihan permintaan
terhadap dolar karena adanya tekanan pada
stabilitas keuangan sehingga banyak
investor asing yang menarik dana
investasinya dari Indonesia dan lebih
memilih menanamkan modalnya di luar
negeri. Tekanan terhadap sektor riil
mengakibatkan turunnya produktifitas
perusahaan dalam negeri sehingga kinerja
ekspor netto mengalami penurunan dan
mengakibatkan
turunnya
permintaan
terhadap mata uang rupiah.
Dampak Fluktuasi Nilai Indeks Harga
Saham, Ekspor Netto, dan Krisis Global
Secara Bersamaan terhadap
Kurs
Rupiah
Dari hasil penelitian diperoleh fakta
bahwa fluktuasi nilai indeks harga saham,
ekspor netto, dan krisis global secara
bersamaan
berpengaruh
signifikan
terhadap kurs rupiah. Kesimpulan tersebut
berdasarkan hasil analisis uji F, diperoleh
nilai F sebesar 29,573 > 4 sehingga H0
ditolak dan H1 diterima. Jadi fluktuasi nilai
indeks harga saham, ekspor netto, dan
krisis global secara bersamaan mempunyai
dampak yang signifikan terhadap kurs
rupiah.
Hal ini bisa dipahami karena pada
masa krisis global terjadi penurunan nilai
investasi di pasar modal sehingga IHSG
menjadi anjlok, dengan demikian modal
akan lebih banyak mengalir ke luar negeri
sehingga permintaan terhadap valuta asing
meningkat dan rupiah menjadi mengalami
depresiasi. Bencana yang melanda sektor
finansial (pasar modal) pada akhirnya ikut
menerpa sektor riil. Para pengusaha dalam
negeri akan sulit mendapatkan dana segar
karena investasi yang minim, dengan
demikian maka produsen tidak mampu
mencukupi kebutuhan dalam negeri
sehingga harus memenuhi kebutuhan
dengan cara impor. Hal tersebut
mengakibatkan neraca pembayaran negatif
karena nilai impor lebih besar daripada
ekspor sehingga permintaan terhadap
valuta asing meningkat pula dan pada
akhirnya
kurs
rupiah
mengalami
depresiasi. Di sisi lain penurunan daya beli
konsumen
baik
domestik
maupun
internasional juga turut mempengaruhi
penurunan kinerja sektor riil. Senada
dengan persepsi tersebut, Sugema (2008)
menyatakan bahwa sektor riil domestik
dan internasional terhubung secara
langsung melalui aktivitas ekspor dan
impor. Karena sebagian besar negara maju
mulai
mengalami
resesi,
otomatis
permintaan ekspor komoditas Indonesia
akan berkurang. Negara-negara maju
memiliki pangsa sekitar 60 persen terhadap
113
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
GDP
dunia.
Adalah
sulit
untuk
membayangkan bahwa resesi yang dialami
oleh negara maju tidak akan mengganggu
negara kita. Memang bisa dicari alternatif
pasar. Tetapi, jelas tidak ada pasar yang
mampu menggantikan peran mereka.
Bahkan, semua negara tentunya akan
melakukan hal yang sama, yaitu
semaksimal mungkin mengalihkan ekspor
ke negara mana pun yang memungkinkan.
Karena itu, Indonesia menghadapi
persaingan yang lebih keras di pasar
ekspor nontradisional. Bahkan, pasar
domestik akan dibanjiri oleh produkproduk impor dari Cina dan Vietnam.
Lebih lanjut Sugema (2008) menyatakan
bahwa pada kenyataannya sebagaimana
telah terjadi terhadap Grup Bakrie dan
beberapa grup bisnis lainnya, ternyata
anjloknya harga saham telah ikut
menurunkan akses mereka terhadap kredit
dan pasar modal. Ketika harga saham
turun, net worth mereka otomatis juga
turun
sehingga
credit-worthiness
perusahaan-perusahaan
mereka
juga
melemah. Pada gilirannya, mereka akan
mengalami kesulitan untuk melakukan roll
over dan refinancing untuk kredit yang
telah jatuh tempo. V olatilitas di pasar
keuangan juga akan meningkatkan persepsi
risiko yang ada. Akibatnya, perusahaan
menjadi lebih sulit untuk mencari dana.
Bahkan pada saat krisis global, JP Morgan
Chase merekomendasikan bahwa obligasi
yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia
sebaiknya dihindari. Penilaian tersebut
jelas membuktikan bahwa pemerintah
sekalipun akan mengalami kesulitan dalam
pembiayaan. Dunia usaha tentunya akan
menghadapi kesulitan yang jauh lebih
parah, kesulitan likuiditas perbankan
mengakibatkan kredit menjadi lebih sulit
untuk diperoleh.
Penutup
Dengan
memperhatikan
hasil
analisis yang berkaitan dengan rumusan
masalah dan tujuan dalam penelitian ini,
maka dapat ditarik beberapa kesimpulan
hasil penelitian sebagai berikut:
114
1. Fluktuasi indeks harga saham memiliki
hubungan yang searah dengan kurs
rupiah, semakin tinggi nilai flukuasi
indeks harga saham maka kurs rupiah
terhadap dolar mengalami kenaikan
akan tetapi variabel tidak berdampak
signifikan terhadap pergerakan kurs
rupiah, hal ini disebabkan karena
kapitalisasi pasar modal Indonesia
yang tidak terlalu besar.
2. Fluktuasi ekspor netto memiliki
hubungan berkebalikan dengan kurs
rupiah, semakin tinggi nilai ekspor
netto maka kurs rupiah terhadap dolar
akan semakin menurun dan variabel ini
berdampak
signifikan
terhadap
pergerakan kurs rupiah. Hal tersebut
disebabkan karena ekspor merupakan
penunjang utama perbaikan ekonomi
Indonesia pada masa krisis terutam
ekspor bahan mentah dan mineral.
3. Krisis global memiliki hubungan
searah dengan kurs rupiah, semakin
tinggi nilai krisis maka nilai kurs
rupiah terhadap dolar juga mengalami
kenaikan dan variabel ini berdampak
signifikan terhadap pergerakan kurs
rupiah. Hal ini disebabkan karena krisis
global memberikan dampak terhadap
perekonoian Indonesia melalui 2 jalur
sekaligus, yaitu jalur finansial dan
perdagangan internasioanal.
4. Fluktuasi nilai indeks harga saham,
ekspor netto, dan krisis global secara
bersamaan mempunyai dampak yang
signifikan terhadap kurs rupiah. Hal ini
disebabkan karena pada masa krisis
sektor finansial mengalami penurunan
kinerja, penurunan sektor finansial
mengakibatkan sektor riil
juga
mengalami
penurunan
karena
kurangnya investasi modal, di sisi lain
daya beli konsumen baik domestik
maupun internasional yang turun turut
memberikan dampak buruk bagi sektor
riil. Penurunan kinerja sektor finansial
dan sektor riil pada akhirnya ikut
mengakibatkan kurs rupiah terhadap
dolar mengalami kenaikan.
JESP Vol. 5, No.1, 2013
Daftar Pustaka
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian:
Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta.
Badan Pengawas Pasar Modal Departemen
Keuangan Republik Indonesia.
2009. Master Plan Pasar Modal
Indonesia 2005-2009 , (Online),
(www.idx.co.id, diakses 15 Juli
2010)
Bank Indonesia. 2008. Laporan
Perekonomian Indonesia Tahun
2008, (Online). (www.bi.go.id,
diakses 23 Juni 2010).
Bank Indonesia. 2009. Laporan
Perekonomian Indonesia Tahun
2009, (Online) , (www.bi.go.id,
diakses 23 Juni 2010).
Basri, F . 2008. Diuntungkan Krisis Global,
(Online), (www. dexton. adexindo.
com, diakses 30 Juni 2010).
Bursa Efek Indonesia. 2007a. Indeks Harga
Saham & Obligasi, (Online),
(www.idx.co.id, diakses 20 Juni
2010).
Bursa Efek Indonesia. 2007b. What is
Equities?, (Online),
(www.idx.co.id, diakses 20 Juni
2010).
Dajan, A. 1986. Pengantar Metode Statistik
Jilid II. Jakarta: PT Pustaka
LP3ES.
Ghozali, I. 2007. Aplikasi Analisis
Multivariate dengan Program
SPSS. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Hadi, D. D. 2008. Dampak Krisis
Keuangan Global Bagi Indonesia ,
(Online), (didik2h.web.ugm.ac.id,
diakses 20 Juni 2010).
Kalla, J. 2008. Pengaruh Krisis Global di
Indonesia Tidak Besar, (Online),
(www.padangkini.com, diakses 1
Agustus 2010).
Lipsey, R. G. Steiner, P . O. & Purvis, D. D.
1987. Pengantar Makroekonomi
Edisi Kedelapan. Terjemahan oleh
Jaka W asana dan Kirbrandoko.
1993. Jakarta: Erlangga.
Maskie, G. & Satria, D. 2003. Analisis Asosiasi
Kurs dan Harga Saham : Pendekatan
Error Correction Model (Periode
2000-2003), (Online),
(www.diassatria.web.id, diakses 20
Juni 2010).
Mutakin, F . Salam, A. R. & Driyo, A. D. 2008.
Peta Ekspor-Impor 2008 dan Proyeksi
Ekspor Indonesia Tahun 2009,
(Online), (www.bni.co.id, diakses 23
Juni 2010).
Prasetiantono, A. R. 2009. “Road to Recovery”
dan Prospek Ekonomi 2010. (Online),
(www.bni.co.id, diakses 23 Juni 2010).
Salvatore, D. 1996. Ekonomi
Internasional/Edisi Kelima/Jilid 2.
Terjemahan oleh Haris Munandar.
1997. Jakarta: Erlangga.
Sasadara, R. N. 2008. Dampak Krisis Finansial
Global terhadap Sektor Ekonomi dan
Perbankan, (Online), (www.bni.co.id,
diakses 1 Agustus 2010).
Simorangkir, I. & Suseno. 2005. Sistem dan
Kebijakan Nilai Tukar. Jakarta: Pusat
Pendidikan dan Studi Kebanksentralan.
Sugema, I. 2008. Dampak Krisis Terhadap
Sektor Riil, (Online),
(www.artikelmadani.com, diakses 1
Agustus 2010).
Tim Studi Tentang Analisis Hubungan
Kointegrasi dan Kausalitas serta
Hubungan Dinamis antara Aliran
Modal Asing, Perubahan Nilai Tukar
dan Pergerakan IHSG di Pasar Modal
Indonesia. 2008. Analisis Hubungan
Kointegrasi dan Kausalitas serta
Hubungan Dinamis antara Aliran
Modal Asing, Perubahan Nilai Tukar
dan Pergerakan IHSG di Pasar Modal
Indonesia, (Online),
(www.bapepam.go.id, diakses 20 Juni
2010).
Triandaru, S. & Budisantoso, T. 2006. Bank dan
Lembaga Keuangan Lain . Jakarta:
Salemba Empat.
115
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
Universitas Negeri Malang. 2003. Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, T esis,
Disertasi, Artikel, Makalah, dan
Laporan Penelitian. Malang: Penerbit
UM.
Wiyono, B. B. 2007. Metodologi Penelitian
(Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan Action Research). Malang:
Rosindo.
116
JESP Vol. 5, No.1, 2013
ANALISIS PERMINTAAN UANG DI INDONESIA
PERIODE TAHUN 2000.I-2009.IV
Abid Muhtarom
Abstract
This research aims to analysis the factors affect money demand in Indonesia for
2000.I-2009.IV . The technique analysis used to estimate the parameters in the model is the
Ordinary Least Square (OLS). Based on the analysis of regression calculations described
earlier , the proof of the hypothesis can be summarized as follows: (a). In the first model,
variables that significantly affect the demand for M1 money is gross domestic product and
one month deposit interest rate, while the variables that do not significantly affect the M1 is
the consumer price index. (b). In the second model, variables that significantly affect the M2
money demand is gross domestic product and the rate of 1-month deposit interest rate, while
the variables that do not significantly affect the M2 is the consumer price index.
Keywords: Money Demand, Deposit Interest Rate, Consumer Price Index, Ordinary Least
Square
Pembangunan ekonomi Indonesia
tidak terlepas dari keterlibatan sektor
moneter. Sektor moneter melalui kebijakan
moneter digunakan untuk memecahkan
berbagai masalah ekonomi meliputi
investasi, produksi, dan konsumsi. Peranan
uang dalam perekonomian dapat diamati
dari dua sektor yang saling terkait, yaitu
sektor riil (pasar barang dan jasa) dan
sektor
moneter
(pasar
uang).
Ketidakseimbangan uang beredar (excess
demand for money or excess money
supply) di pasar uang mempengaruhi
tingkat bunga melalui interaksi pasar uang
dan pasar barang ini, maka perubahan
permintaan uang atau penawaran uang
akan berpengaruh pada perubahan harga
barang dan jasa.
Kenaikan harga terus-menerus
merupakan fenomena ekonomi yang
mempunyai dampak terhadap daya saing
barang di pasar internasional (ekspor),
distribusi pendapatan dan mobilisasi dana
lewat
lembaga
keuangan.
Inflasi
merupakan
opportunity
cost
bagi
masyarakat dalam memegang aset
financial. Semakin tinggi perubahan
tingkat harga maka makin tinggi pula
opportunity cost untuk memegang aset
financial, artinya masyarakat akan merasa
lebih beruntung jika memegang aset riil
dibandingkan aset financial pada saat
terjadi inflasi tinggi. Salah satu fungsi uang
yaitu sebagai penyimpan kekayaan, dimana
orang menempatkan uang pada lembaga
keuangan yang dipercayai, bahwa uang
yang ditempatkan tersebut mampu
memberikan nilai lebih tinggi daripada
nilai uang sebelumnya. Fungsi uang lain
sebagai alat pembayaran untuk pembelian
barang dan jasa, pembayaran utang, pajak,
dan lainnya (Purwanto, 2007:2)
Makin tinggi tingkat bunga, maka
makin rendah keinginan masyarakat untuk
memegang uang dalam bentuk tunai karena
ongkos memegang uang tunai (opportunity
cost holding of money ) makin tinggi dan
sebaliknya makin rendah tingkat bunga
maka makin besar keinginan masyarakat
untuk memegang uang tunai. Tingkat
bunga mempengaruhi keputusan individu
terhadap pilihan membelanjakan uang
lebih banyak atau menyimpan uangnya
dalam bentuk tabungan. Tingkat bunga
juga merupakan sebuah harga yang
menghubungkan masa kini dengan masa
Alamat Korespondensi :
Abid Muhtarom: Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya
Email : [email protected]
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
depan melalui interaksi permintaan dan
penawaran uang (Suhaidi, 2000:3).
Jumlah uang tunai yang dipegang
masyarakat (jumlah uang beredar) sebagai
indikator inflasi. Keynes dalam buku
Mankiw (2000:144-145) menyebutkan
bahwa inflasi terjadi karena masyarakat
ingin hidup di luar batas kemampuan
ekonominya. Naiknya jumlah uang beredar
akan menaikkan permintaan agregat
(agregat demand), apabila tidak diikuti
pertumbuhan sektor riil akan menyebabkan
naiknya tingkat harga. Hal ini berarti jika
pertumbuhan di sektor moneter diikuti oleh
meningkatnya pertumbuhan output maka
inflasi bisa diminimalisir. Dalam analisis
kurva pasar barang dan pasar uang (ISLM),
keseimbangan
kegiatan
perekonomian ditentukan oleh interaksi
keadaan di pasar uang dan pasar barang.
Keseimbangan menunjukkan tercapainya
kondisi yang stabil baik suku bunga dan
pendapatan nasional yang berlaku di pasar
uang dan pasar barang.
Tingkat bunga juga digunakan
pemerintah untuk mengendalikan tingkat
harga. Ketika tingkat harga tinggi dimana
jumlah uang beredar di masyarakat banyak
sehingga, konsumsi masyarakat tinggi akan
diantisipasi oleh pemerintah dengan
menetapkan tingkat bunga yang tinggi.
Dengan tingkat bunga yang tinggi
diharapkan dapat mengurangi jumlah uang
beredar sehingga permintaan agregat pun
akan berkurang dan kenaikan harga bisa
diatasi.
Krisis ekonomi yang terjadi pada
tahun 1997 tidak saja meruntuhkan industri
perbankan
nasional
tetapi
juga
menggoyahkan perekonomian melalui
pertumbuhan ekonomi. Krisis moneter
berdampak langsung terhadap permintaan
uang. Naik turunnya tingkat bunga SBI
yang diikuti oleh naik turunnya tingkat
bunga deposito dan kredit perbankan yang
pada gilirannya berdampak pada volume
dana yang dihimpun dan kredit yang
diberikan pada masyarakat. Kebijakan
tingkat bunga menjadi pilihan penting bagi
118
bank sentral dalam upaya mengendalikan
gejolak moneter.
Tingginya
laju
inflasi
menyebabkan menurunnya daya beli
masyarakat (Syahril, 2003:17). Pada saat
krisis, terjadi peningkatan keinginan
masyarakat untuk memegang uang tunai
disebabkan
hilangnya
kepercayaan
masyarakat terhadap sistem perbankan
yang ada dengan terjadinya rush
(pengambilan uang besar-besaran secara
serentak oleh masyarakat di berbagai bank
di seluruh Indonesia.
Keynes
menyatakan
bahwa
permintaan uang kas untuk tujuan transaksi
tergantung dari pendapatan (Nopirin,
1992:11). Makin tinggi pendapatan, makin
besar keinginan akan uang kas untuk
transaksi. Seseorang atau masyarakat yang
tinggi tingkat pendapatannya, biasanya
melakukan transaksi yang lebih banyak
dibandingkan seseorang atau masyarakat
yang
pendapatannya
lebih rendah.
Penduduk yang tinggal di kota besar
cenderung melakukan transaksi lebih besar
dibanding yang tinggal di desa (Lestari,
2006:3)
Bank sentral mempunyai peran
dalam mengedarkan uang. Bank sentral
merupakan lembaga yang berwenang
untuk mengeluarkan dan mengedarkan
mata uang sebagai sarana pembayaran
yang sah di suatu negara (Doriyanto,
2001:2).
Kestabilan nilai mata uang sangat
penting untuk mendukung pembangunan
ekonomi
yang
berkelanjutan
dan
peningkatan kesejahteraan rakyat. Nilai
uang yang stabil dapat menumbuhkan
kepercayaan masyarakat dan dunia usaha
dalam melakukan kegiatan perekonomian,
baik konsumsi maupun investasi sehingga
perekonomian nasional dapat bergairah,
selain itu, inflasi yang terkendali dan
rendah dapat mendukung terpeliharanya
daya beli masyarakat, khususnya yang
berpendapatan tetap seperti pegawai negeri
dan masyarakat kecil. Bagi golongan
masyarakat ini, yang umumnya mencakup
sebagian besar penduduk, harga-harga
JESP Vol. 5, No.1, 2013
yang terus meningkat menyebabkan
kemampuan daya beli untuk memenuhi
kebutuhan dasar akan semakin rendah,
demikian pula inflasi yang tidak stabil
akan mempersulit keadaan dunia usaha
Jumlah uang beredar diluar kendali dapat
menimbulkan pengaruh buruk bagi
perekonomian secara keseluruhan.
Pengaruh yang buruk dari kurang
terkendalinya jumlah uang beredar tersebut
antara lain dapat dilihat pada kurang
terkendalinya perkembangan variabel
ekonomi utama, yaitu inflasi. Peningkatan
jumlah uang beredar yang berlebihan dapat
mendorong peningkatan harga melebihi
tingkat yang diharapkan sehingga dalam
jangka panjang dapat mengganggu
pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, apabila
peningkatan jumlah uang beredar rendah
maka kelesuan ekonomi akan terjadi.
Apabila hal ini berlangsung terus menerus,
kemakmuran
masyarakat
secara
keseluruhan akan mengalami penurunan.
Kondisi
tersebut
antara
lain
melatarbelakangi upaya yang dilakukan
oleh
otoritas
moneter
dalam
mengendalikan jumlah uang beredar dalam
perekonomian. Kegiatan mengendalikan
jumlah uang beredar tersebut disebut
kebijakan moneter, yang merupakan salah
satu dari kebijakan ekonomi makro yang
digunakan oleh otoritas moneter (Bank
Indonesia, 2003:62).
Permintaan uang di Indonesia
mengalami perkembangan sesuai dengan
berkembangnya kebijakan bank sentral
yang memungkinkan berkembangnya jenis
simpanan di perbankan. Keinginan
masyarakat
untuk
menabung
dan
mendepositokan
uangnya
sangat
dipengaruhi oleh kemudahan dalam
memperolehnya dan berbagai fasilitas yang
ditawarkan perbankan.
Jumlah uang beredar (M1 dan M2)
selama tahun 2000-2009 cenderung
mengalami kenaikan dari tahun ke tahun,
seperti terlihat pada tabel 1.1, dimana M1
cenderung meningkat jumlahnya dari
sebesar Rp 124.663 miliar pada periode
triwulan I tahun 2000 meningkat hingga
mencapai Rp 515.824 miliar pada triwulan
IV tahun 2009. Sedangkan perkembangan
M2 Indonesia selama tahun 2000-2009
juga cenderung mengalami kenaikan dari
tahun ke tahun. Seperti terlihat pada tabel
1.1, dimana M2 cenderung meningkat
jumlahnya dari sebesar Rp 656.451 miliar
pada triwulan I tahun 2000 meningkat
hingga mencapai Rp 2.141.380 miliar pada
triwulan IV tahun 2009.
Berdasarkan
latar
belakang
permasalahan di atas, maka rumusan
masalah yang akan diangkat dalam
penelitian ini adalah :
1. Apakah PDB nominal, tingkat bunga
deposito satu bulan, dan indeks harga
konsumen, berpengaruh terhadap
permintaan uang M1 pada periode
tahun 2000-2009 ?
2. Apakah PDB nominal, tingkat bunga
deposito satu bulan, dan indeks harga
konsumen
berpengaruh
terhadap
permintaan uang M2 pada periode
tahun 2000-2009 ?
Metode Penelitian
Teknik analisis yang digunakan
untuk estimasi parameter dalam model
adalah dengan Ordinary Least Square
(OLS) merupakan model regresi untuk
melihat hubungan antar dua variabel. Salah
satu variabel menjadi variabel bebas
(Independent variable) dan variabel yang
lain menjadi variabel terikat (Dependent
variable).
Model
persamaan
dasar
penelitian ini menggunakan fungsi dari
Aggregate Demand yang dinamakan
‘Permintaan Uang Indonesia’. Berikut
adalah model yang dilakukan dalam
penelitian ini:
Model 1: M1d
= f(Y , r, π) ...(2.1)
Model 2 :M2d
= f Y , r, π) …(2.2)
Keterangan :
M1d = Permintaan uang nominal (M1)
M2d = Permintaan uang nominal (M2)
Y = PDB nominal
r = Tingkat bunga deposito satu bulan
= Indeks harga konsumen Indonesia
119
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
Model di atas akan diestimasi
dengan metode Ordinary Least Square
(OLS). Sebelum metode OLSditerapkan,
maka dilakukan pengujian stasioneritas
terhadap data penelitian. Uji stasionaritas
yang digunakan adalah uji Augmented
Dickey Fuller (ADF). Hasil uji akar unit
menunjukkan bahwa sebagian data tidak
stasioner pada tingkat level. Sehingga
dilakukan dengan uji derajat integrasi
berdasarkan ADF pada bentuk first
different, serta apabila pada tingkat first
different data belum stasioner maka
dilakukan uji ADF pada tingkat second
different data ini dilakukan dengan uji akar
Unit Root Test dengan menggunakan
metode Augmented Dickey Fuller (ADF).
Setelah diperoleh hasil uji ADF statistik,
kemudian
dibandingkan
dengan
MacKinnon critical value. Jika ADF tstatistik lebih kecil daripada MacKinnon
critical value maka Ho ditolak dan
sebaliknya H1 diterima. Hal itu berarti
bahwa
data
dinyatakan
stasioner.
Pengujian ini akan dimulai pada bentuk
level. Bila masih belum stasioner, maka
pengujian akan dilanjutkan dalam bentuk
first different.
Hasil dan Pembahasan
Perkembangan M1 Indonesia
Nilai M1 pada periode penelitian
(2000-2009)
cenderung
mengalami
kenaikan dari tahun ke tahun, seperti
terlihat pada grafik 4.1 dimana M1
cenderung meningkat jumlahnya dari
sebesar Rp 124.663 miliar rupiah pada
triwulan pertama tahun 2000 meningkat
hingga mencapai Rp 515.824 miliar rupiah
di akhir periode penelitian. Tahun 2000,
M1 didominasi dengan uang giral 55,38%,
dan uang kartal sebesar 44,62%.
Pertumbuhan
M1
cenderung
berfluktuasi.Periode
2000-2001
pertumbuhan M1 cenderung stabil
dikisaran 4-8%, pada triwulan IV tahun
2000 terjadi kenaikan M1 sangat tinggi
sebesar 19,75%. Tahun 2001 didominasi
oleh uang giral dengan 57,04%, sedang
uang kartal 42,96%. Pada tahun 2002
120
likuiditas perekonomian menunjukkan
perkembangan mulai meningkat, namun
demikian, perkembangan tersebut masih
harus diwaspadai akibat terus menurunnya
pertumbuhan tahunan semua agregat
moneter yang dikhawatirkan dapat
memperlambat
proses
pertumbuhan
ekonomi di tahun 2002.
Pertumbuhan M1 pada tahun 2002,
triwulan I, II, III, dan IV sebesar -6,5%,
4,72%, 4,46%, dan 5,58%. Peningkatan
M1 terjadi pada peningkatan uang giral
terutama pada rekening giro milik
pemerintah yaitu 57,96%. Pada tahun 2003
pertumbuhan M1 sebesar -5,57%, 7,71%,
6,33%, dan 7,80%. Pada triwulan II, III,
dan IV mulai membaik dan menunjukkan
peningkatan. Peningkatan terjadi pada
uang
giral
yaitu
sejalan dengan
peningkatan kegiatan dunia usaha dan
inflasi turun sehingga menyebabkan
meningkatnya permintaan uang M1
mencerminkan tanda-tanda membaiknya
daya beli di perekonomian. Tahun 2003,
uang M1 didominasi oleh uang giral yaitu
57,75%.
Pada tahun 2004 pertumbuhan M1
triwulan I, II, III, dan IV adalah -2,1%,
3,22%, 3,77%, 4,80%, menunjukkan
bahwa pertumbuhan M1 lebih rendah dari
tahun sebelumnya.
Tahun 2004,
pertumbuhan M1 didominasi oleh uang
giral sebesar 56,95%. Pada tahun 2005
triwulan I, II, III, dan IV pertumbuhan M1
sebesar -0,79%, 7,29%, 2,27%, 1,27%.
Pada triwulan II tahun 2005 pertumbuhan
ekonomi Indonesia tumbuh dengan
adanaya peran investasi yang semakin
besar. Peningkatan terjadi pada uang giral.
Tahun 2006 kondisi likuiditas M1, tumbuh
cukup tinggi sepanjang tahun, M1 tumbuh
mencapai
28,1%
jauh
lebih
tinggidibanding pertumbuhan pada 2005
yakni 11,1%. Tahun 2007 sampai dengan
tahun 2008 pada pertumbuhan M1
berfluktuatif. Pada tahun 2007 triwulan II,
III, IV , pertumbuhan M1 mengalami
kenaikan cukup tinggi berturut-turut yaitu
sebesar 12,07%, 7,61%, dan 12,49% yang
didominasi oleh uang giral. Hal ini
JESP Vol. 5, No.1, 2013
didorong karena perkembangan makro
ekonomi serta moneter yang membaik,
serta laju inflasi yang relatif stabil yaitu
sebesar 0,30% (mtm).
Berdasarkan
diagram
pada
triwulan I tahun 2008 pertumbuhan M1
mengalami penurunan hingga mencapai 8,95%. Turunnya tingkat pertumbuhan ini
dikarenakan
likuiditas
perekonomian
tumbuh melambat, sehingga pertumbuhan
M1 mengalami penurunan. Pada tahun
2009 triwulan I, II, III, IV pertumbuhan
M1 sebesar -1,91%, 7,72%, 1,53%, 5,26%.
Tahun 2009 kurang stabil menunjukkan
likuiditas
perekonomian
masyarakat
mengalami penurunan (tumbuh rendah).
Perkembangan M2 Indonesia
Permintaan
uang
M2
terus
mengalami pertumbuhan yang positif. Hal
ini didorong oleh peningkatan kegiatan
perekonomian
nasional,
dan
berkembangnya pasar keuangan serta
semakin meningkatnya arus modal.
Perkembangan M2 Indonesia pada periode
penelitian
(2000-2009)
cenderung
mengalami kenaikan dari tahun ke
tahun.Seperti terlihat pada grafik 4.2,
dimana tingkat M2 cenderung meningkat
jumlahnya dari sebesar Rp 656.451 miliar
rupiah pada triwulan I tahun 2000
meningkat hingga mencapai Rp 2.141.380
miliar
rupiah
diakhir
periode
penelitian.Tahun 2000-2009 triwulan I, II,
III,
IV
berturut-turut
mengalami
pertumbuhan permintaan M2 yang
berberfluktuatif.Pada tahun 2000 M2
didominasi uang rupiah yaitu kuasi sebesar
59,52%, valas 40,48%. Pada triwulan III
tahun 2001 terjadi penurunan sebesar 1,67%. Pada periode triwulan II tahun
2001 sampai triwulan I tahun 2008 mulai
terjadi pertumbuhan M2 yang berfluktuatif
.Pada tahun 2001, M2 didominasi oleh
time deposit.Pada tahun yang sama yakni
2001, triwulan II terjadi kenaikan M2
sebesar 3,86%, triwulan III terjadi
penurunan -1,67%, triwulan IV naik
menjadi 7,78% dan pada tahun 2002
triwulan I kembali turun -1,49%, triwulan
II naik kembali sebesar 0,87%. Dari tahun
2002 sampai dengan triwulan I tahun 2008
terjadi selalu fluktuatif pada tiap tahun
pada awal periode triwulan, pada akhirnya
periode triwulan II tahun 2008 sampai
dengan periode triwulan IV tahun2009,
perkembangan M2 selalu mengalami
kenaikan, yang dapat dilihat pada tabel
4.2.Sedangkan
periode
2000-2001
pertumbuhan M2 cenderung stabil
dikisaran 2-8%.
Pada tahun 2005 triwulan II, III,
dan IV terjadi peningkatan M2 sebesar
5,26%, 7,20%, 4,22% disebabkan oleh
meningkatnya kegiatan ekonomi, kondisi
likuiditas perekonomian yang tercermin
pada pengaruh ekspansi tagihan perbankan
pada sektor swasta ditambah dengan
ekspansi tagihan bersih kepada pemerintah.
Meskipun demikian, secara riil kondisi
likuiditas perbankan belum mampu diserap
secara optimal untuk pembiayaan ekonomi,
karena kondisi internal perbankan dan
permasalahan di sektor riil.(Laporan Bank
Indonesia Triwulanan, 2005)
Pada tahun 2006, pertumbuhan M2
sedikit lebih rendah pada tahun 2005, yang
dapat dilihat pada grafik 4.2 Sedangkan
pada triwulan selanjutnya mulai pada
triwulan IV kembali positif.Kenaikan
pertumbuhan
M2
didukung
oleh
meningkatnya pertumbuhan tabungan,
sementara deposito mulai tumbuh stabil
setelah cenderung menurun sejak awal
tahun 2006.Sementara itu, berlebihnya
kondisi likuiditas di pasar uang di tengah
belum cukup tingginya akses akselerasi
penyaluran kredit tercermin pada masih
rendah
serta
cenderung
melambat
penciptaan M2. Pada tahun 2007,
pertumbuhan likuiditas M2 dikategorikan
tinggi pada triwulan II, III, dan IV yakni
5,46%, 4,28%, dan 8,75%, BI rate cukup
kuat
mempengaruhi
perkembangan
komponen
likuiditas
perekonomaian.
Penurunan
BI
rate
mempengaruhi
komponen likuiditas perekonomian.
Pada tahun 2008, pertumbuahan
M2 berturut-turut mencapai -3,83%,
6,83%, 4,38%, dan 6,62% pada triwulan I,
121
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
II, III, dan IV . Pada triwulan pertama
mengalami penurunan hingga -3,83%
dikarenakan lambatnya likuiditas uang
beredar yaitu pada tabungan dan simpanan
valas. Pada triwulan II, III, dan IV
mengalami kenaikan karena terjadi
pelemahan nilai tukar yang cukup tajam.
Pada
tahun
2009
berturut-turut
pertumbuhan M2 pada triwulan I, II, III,
dan IV yakni 1,1%, 3,17%, 2,04%, dan
6,11%
mengalami
penurunan
dibandingkan
tahun
sebelumnya.
Penurunan likuiditas perekonomian itu
juga searah dengan pola musimannya yang
cenderung turun di awal tahun, hampir
seluruh komponen M2 mengalami
penurunan yakni pada uang kartal dan
tabungan.Padatriwulan III,
dan IV
mengalami kenaikan pada uang kuasi
masyarakat terkait dengan suku bunga
deposito yang relatif masih tinggi.Berbagai
kondisi di atas mencerminkan belum
kuatnya indikasi peningkatan aktivitas
perekonomian masyarakat yang tampak
pada pertumbuhan M2.
Perkembangan Produk Domestik Bruto
Indonesia
Kondisi ekonomi suatu wilayah
secara umum dapat ditunjukkan oleh
Produk Domestik Bruto. Besaran nilai
Produk Domestik Bruto (PDB) ini secara
nyata mampu memberikan gambaran
mengenai nilai tambah bruto yang
dihasilkan unit-unit produksi pada suatu
negara dalam periode tertentu. Lebih jauh,
perkembangan besaran nilai PDRB
merupakan salah satu indikator yang dapat
dijadikan
ukuran
untuk
menilai
keberhasilan pembangunan ekonomi suatu
wilayah
yang
tercermin
melalui
pertumbuhan ekonomi. Nilai PDB atas
dasar harga berlakudisajikan dalam grafik
di bawah ini. Besarnya PDB dalam dua
dasawarsa terakhir menunjukkan trend
yang terus meningkat. Nilai PDB tertinggi
terjadi pada tahun 2009 dengan nilai PDB
mencapai Rp. 1.884.118,58 miliar.
Tahun 1999-2000, seiring dengan
berbagai kebijakan pemerintah yang
122
diimplementasikan untuk keluar dari krisis
moneter, pertumbuhan GDP menunjukkan
trend peningkatan. Tahun 2000 kuartal 3,
pertumbuhan GDP meningkat menjadi
sebesar 4,55 % dengan GDP sebesar Rp.
307.162,99 miliar.Grafik 4.3 menunjukkan
bahwa
periode
tahun
2001-2002
perkembangan
GDP
mengalami
peningkatan. Perkembangan GDP tahun
2001 kuartal 1 sampai dengan berturutturut sebesar
(dalam miliar) Rp.
308.660,96;
Rp.
311.743,09;
Rp.
319.090,63; dan Rp. 309.372,90 dengan
pertumbuhan GDP rata-rata sebesar 0,28%
pada tahun yang sama. Pada tahun
berikutnya (2002), perkembangan GDP
kuartal I sampai dengan IV berturut-turut
sebesar (dalam miliar) Rp. 317.146,94;
Rp. 324.212,51; Rp. 336.175,89 dan Rp.
324.468,95 dengan pertumbuhan GDP
rata-rata sebesar 1,24%. Fluktuasi pada
pertumbuhan GDP periode tahun 19992002 ini menunjukkan kepercayaan
masyarakat yang belum pulih terhadap
proses pemulihan ekonomi yang sedang
berlangsung..
Perkembangan GDP tahun 2003
sampai dengan 2006 cenderung stabil dan
meningkat. Berdasarkan tabel 4.3 tingkat
GDP tahun 2003-2006 berturut-turut
sebesar (dalam miliar) Rp. 1.367.069,34;
Rp. 1.433.941,76; Rp. 1.515.149,66; Rp.
1.598.234,25 dengan pertumbuhan GDP
sebesar 5%, 4,89%; 5,66%; dan 5,48%.
Hal ini membuktikan bahwa upaya
pemerintah
dalam
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan
cukup berhasil, karena bila kita lihat pola
pertumbuhan beberapa tahun terakhir ini
sudah mengalami perbaikan. Semuanya ini
dipacu
oleh
membaiknya
kondisi
perekonomian.
Perkembangan
Indeks
Harga
Konsumen Indonesia
Permasalahan
umum
yang
dihadapi oleh hampir semua negara di
dunia adalah masalah inflasi. Hal ini
karena jumlah uang beredar yang tinggi
dapat menyebabkan inflasi. Inflasi yang
JESP Vol. 5, No.1, 2013
tinggi dapat menimbulkan berbagai akibat
buruk
pada
perekonomian
seperti
pertumbuhan ekonomi yang lambat serta
tingkat
pengangguran
yang
terus
meningkat. Inflasi yang serius adalah
tingkat inflasi yang kelajuannya tidak
dapat dikendalikan, sehingga akan
mengurangi tabungan, mengurangi gairah
perusahaan untuk melakukan investasi
yang produktif, dan dapat mengakibatkan
merosotnya nilai mata uang dan defisit
dalam neraca pembayaran.
Pada penelitian ini, laju inflasi
diukur
berdasarkan
Indeks
Harga
Konsumen dengan tahun dasar tahun 2002
kuartal I. Penghitungan IHK ini didasarkan
pada perubahan harga-harga konsumen di
Indonesia. Perkembangan indeks harga
konsumen di Indonesia periode tahun 2000
sampai dengan tahun 2009 disajikan di
bawah ini.
Laju indeks harga konsumen
tahun 2000 yang berada pada kisaran yang
rendah. Trend laju IHK tahun 2000
menunjukkan pola yang meningkat bila
dibandingkan
dengan
tahun-tahun
sebelumnya. Hal ini tidak terlepas dari
kepercayaan publik yang belum pulih
terhadap proses pemulihan ekonomi. Pada
tahun 2000 IHK berada pada level 97,45%
pada kuartal I dan sebesar 103,49% pada
kuartal IV .
Periode 2003-2004 pemerintah
berhasil menekan laju kenaikan harga
sehingga IHK berada pada kisaran 131,5%.
Rendahnya laju IHK ini dipacu oleh
membaiknya
kondisi
perekonomian.
Namun seiring dengan kenaikan harga
BBM yang diterapkan oleh pemerintah
sebagai akibat naiknya harga minyak dunia
menyebabkan laju IHK meroket pada
tahun 2005 sebesar 170,03%. Laju
kenaikan IHK akibat kenaikan bahan bakar
minyak dunia trus terjadi hingga tahun
2007 sebesar 192,45%. Tahun 2008 laju
IHK dapat ditekan meskipun telah terjadi
krisis global dunia ”SubrimeMortgage”
menjadi 135,19%. Tahun 2009 dengan
berbagai
strategi
yang
diterapkan
pemerintah, laju IHK kemudian kembali
turun sampai mencapai level 137,2% pada
kuartal III.
Perkembangan Tingkat Bunga Deposito
Satu Bulan
Perkembangan suku bunga deposito
dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2009
mengalami fluktuatif. Krisis moneter tahun
tahun 1997-1998 menyebabkan kenaikan
drastis pada tingkat bunga SBI yang
akhirnya berpengaruh pada tingkat bunga
deposito satu bulan. Kondisi perekonomian
yang tidak stabil, pada masa krisis masa itu
tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang
negatif, nilai tukar yang berfluktuasi tak
menentu, jumlah uang beredar yang terus
meningkat, dan inflasi yang terus
melambung tinggi.
Pada tahun 2000 tingkat bunga
5,25%, pada triwulan II tahun 2000,
dimana kondisi nilai tukar dollar Amerika
terhadap rupiah stabil. Tingkat bunga
tahun 2001 menjadi 6,00% dimana tingkat
inflasi masih cukup tinggi. Pada tahun
2004 kondisi pertumbuhan ekonomi
rendah, maka tingkat bunga diturunkan
menjadi 1,5% untuk tetap menjaga
kegiatan perekonomian (investasi) dapat
berjalan stabil. Pada tahun 2005 terjadi
kenaikan harga minyak dunia yang
mempengaruhi tingkat inflasi dalam
negeri, sehingga tingkat bunga naik
menjadi 2,37-3,68%. Pada tahun 2006
tingkat bunga deposito satu bulanan
mengalami kenaikan dari tahun 2005
menjadi 3,8-4,1%, kondisi makroekonomi
belum stabil tahun 2006 ditandai dengan
tingginya inflasi dan masih rentannya pasar
finansial, sehingga Bank Indonesia
menerapkan kebijakan moneter ketat. Pada
tahun 2007 permasalahan subprime
mortgage semakin menguat dan meluas
sehingga mewarnai perkembangan BI
Rate, sejalan dengan itu agar investasi
tetap berjalan baik, tingkat bunga deposito
sebesar 4,18-4,26%. Pada tahun 2008-2009
Bank Indonesia mempertahankan BI Rate
yang berpengaruh pada tingkat bunga
deposito bulanan sebesar 7,26-11,16%
untuk menjaga perkembangan ekonomi
123
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
dan keuangan serta arah perkembangan
inflasi dalm menghadapi gejolak keuangan
global yang berlanjut dan perlambatan
ekonomi dunia.
Hasil Uji Stasioneritas Data
Uji ini menggunakan data time
series, karena jika variabel yang diteliti
bersifat non stasionery digunakan dalam
pengujian maka akan menimbulkan
permasalahan yang disebut regresi lancung
atau spurious regression. V ariabel yang
digunakan pada penelitian ini ada 6
variabel, yang meliputi M1, M2, PDB
nominal, Suku bunga deposito 1 bulan, dan
indeks harga konsumen. Hasil pengujian
secara lengkap disajikan pada tabel di
bawah ini:
Tabel 1. Hasil Uji ADF
Pada Tingkat Level- Intercept
Variabel
M1
M2
PDB
Tingkat suku
bunga dep 1 bln
IHK
ADF t-statistik
Probabilitas
MacKinnon Critical V alue
0.699813
5.818459
1.699884
0.9906
1.0000
0.9994
1%
-3.61045
-3.62678
-3.63290
5%
-2.9389
-2.9458
-2.9484
10%
-2.6079
-2.6115
-2.61287
-1.2555
0.63996
-3.61556
-2.9411
-2.60906
-0.4436
0.8889
-3.67017
-2.9639
-2.62100
Sumber: Olah Data, Eviews 4.1
Berdasarkan tabel di atas terlihat
bahwa semua variabel yang diuji tidak
stationer pada tingkat level-intercept. Hal
ini ditunjukkan oleh nilai ADF statistik
yang lebih besar dari MacKinnon Critical
valuenya baik pada derajat kesalahan 1%,
5% ataupun 10%. V ariabel M1, M2, PDB,
IHK, dan tingkat suku bunga deposito 1
Variabel
M1
2
PDB
Tingkat suku
bunga dep 1 bln
IHK
bulan tidak stasioner di tingkat levelintercept baik di tingkat kesalahan 1%, 5%
maupun 10%. Hal ini disebabkan, nilai
ADF t-statistikM1, M2, PDB, IHK dan
tingkat suku bunga deposito 1 bulan yang
lebih besar dari nilai MacKinnon Critical
V alue baik pada derajat kesalahan 1%,
5%, maupun 10%.
Tabel 2. Hasil Uji ADF
Pada Tingkat 1st-difference-intercept
MacKinnon Critical V alue
ADF t-statistik
Probabilitas
1%
5%
10%
-8.272556
0.0000 -3.61558 -2.9411
-2.60906
0.9155 -3.63940 -2.9511
-2.6143
-0.294955
-1.788956
0.3796 -3.63290 -2.9484
-2.61287
-3.980985
0.0038
-3.61558
-2.9411
-2.60906
-8.964494
0.0000
-3.67017
-2.9389
-2.60793
Sumber: Olah Data, Eviews 4.1
Pada uji ADF t-statistik tingkat 1 st
difference- Intercept, variabel M2 dan
PDB belum stasioner yakni dengan nilai
probabilitas 0,9155; 0,3796, nilai yang
melebihi nilai kritisnya. M1, tingkat suku
bunga deposito 1 bulanan, dan IHK telah
stasioner di tingkat
1 st differenceIntercept, yakni nilai ADF t-statistik yang
124
lebih kecil dari nilai MacKinnon Critical
V alue Nilai M2, PDB belum stasioner baik
di tingkat level maupun 1 st difference,
oleh karena itu dilakukan uji ADF di
tingkat 2nd difference- Intercept, dan
hasilnya menunjukkan M2, PDB telah
stasioner dengan nilai probabilitas yang
lebih kecil dari MacKinnon Critical V alue.
JESP Vol. 5, No.1, 2013
Tabel 3. Hasil Uji ADF
Pada Tingkat 2nd difference- Intercept
MacKinnon Critical V alue
Variabel
ADF t-statistik
Probabilitas
1%
5%
10%
-6.583132
0.0000 -3.63940 -2.9511 -2.61430
M2
-30.14133
0.0001 -3.63290 -2.9484 -2.61287
PDB
Sumber: Olah Data, Eviews 4.1
Hasil Uji Estimasi Regresi
Untuk mengetahui variabel berupa
PDB, indeks harga konsumen, dan tingkat
bunga deposito 1 bulan berpengaruh
terhadap permintaan uang M1 dan
permintaan uang M2 di Indonesia, maka
dalam penelitian ini digunakan analisa
kuantitatif dan alat uji statistik yang
dipilih yaitu regresi linear berganda dengan
metode Ordinary Least Square (OLS).
Berdasarkan hasil analisa regresi linear
berganda dengan metode Ordinary Least
Square (OLS), yang diolah dengan
menggunakan program Eviews 4.1, dapat
dikemukakan hasil perhitungan seperti
tertera pada tabel berikut:
Tabel 4. Hasil Estimasi Model Regresi OLS Model I
Dependent V ariable: M1
Method: Least Squares
Date: 01/05/11 Time: 20:20
Sample: 2000:1 2009:4
Included observations: 40
V ariable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
DEP_1_BLN01
GDP
IHK
C
5481.902
1.908909
62.56797
-472035.7
2232.080
0.121267
220.9501
22106.00
2.455961
15.74140
0.283177
-21.35328
0.0190
0.0000
0.7787
0.0000
R-squared
Adjusted R-squared
Prob(F-statistic)
Durbin-Watson stat
Sumber: Olah Data, Eviews 4.1
0.975425
0.973378
0.000000
2.018061
Tabel 5. Hasil Estimasi Model Regresi OLS Model II
Dependent V ariable: M2
Method: Least Squares
Date: 01/05/11 Time: 20:22
Sample: 2000:1 2009:4
Included observations: 40
V ariable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
DEP_1_BLN01
GDP
IHK
C
29800.70
6.529514
-73.96510
-1397510.
8002.529
0.434770
792.1580
79255.19
3.723910
15.01833
-0.093372
-17.63303
0.0007
0.0000
0.9261
0.0000
R-squared
Adjusted R-squared
Prob(F-statistic)
Durbin-Watson stat
Sumber: Olah Data, Eviews 4.1
0.974915
0.972825
0.000000
1.792440
125
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
Berdasarkan hasil perhitungan
regresi pada tabel 4.1 didapat suatu
persamaan regresi sebagai berikut:
Log(M1) = 5481.902*SB DEPOSITO 1 BLN
+ .908909*log(GDP) +
62.56797*IHK - 72035.7
Log(M2) = 29800.7*SB DEPOSITO 1 BLN+
.529514*log(GDP) –
73.96510*IHK – 1397510
Bentuk
persamaan
ini
menggambarkan
secara
keseluruhan
hubungan variabel-variabel bebas yaitu:
PDB, indeks harga konsumen, dan tingkat
bunga deposito 1 bulan dengan variabel
terikat yaitu M1 dan M2. Untuk melihat
seberapa jauh pengaruh parameter yang
dihasilkan maka dilakukan pengujian
statistik Pengujian statistik dilakukan
secara keseluruhan (uji R2) , (uji F) dan
secara parsial (uji t)
Nilai R-squared (R2) pada model 1
sebesar 0.975425 mempunyai arti bahwa
variabel PDB, indeks harga konsumen, dan
tingkat bunga deposito 1 bulan secara
bersama-sama mempunyai pengaruh dan
memberikan kontribusi pada M1 sebesar
97,54 persen sedangkan sisanya sebesar
2,46 persen dijelaskan oleh variabel bebas
lain yang tidak dimasukkan ke dalam
model persamaan. Sedangkan Nilai Rsquared (R 2) pada model 2 sebesar
0.974915 mempunyai arti bahwa variabel
PDB, indeks harga konsumen, dan tingkat
bunga deposito 1 bulan secara bersamasama
mempunyai
pengaruh
dan
memberikan kontribusi pada M2 sebesar
97,49 persen sedangkan sisanya sebesar
2,51 persen dijelaskan oleh variabel bebas
lain yang tidak dimasukkan ke dalam
model persamaan.
Pada model 1 untuk variabel
log(GDP), dengan nilai t hitung 15,74140>
t tabel 2,021artinya terdapat hubungan
antara GDP dengan permintaan uang M1.
Pada variabel indeks harga konsumen,
dengan nilai t hitung 0,283177< t tabel
2,021 artinya tidak terdapat hubungan
antara variabel indeks harga konsumen
dengan permintaan uang M1. Pada variabel
126
DEP 1 bulan, dengan nilai t hitung
2,455961>
2.021,
artinya
terdapat
hubungan antara variabel DEP 1 bulan
dengan permintaan uang M1. Disimpulkan
bahwa terdapat hubungan antara variabel
GDP dan DEP 1 bulan dengan permintaan
uang M1.
Pada model 2 untuk variabel
log(GDP), dengan nilai t hitung 15,01833>
t tabel 2,021 artinya terdapat hubungan
antara variabel GDP dengan permintaan
uang M2. Untuk variabel indeks harga
konsumen dengan nilai t hitung 0.093372< t tabel 2,021 artinya tidak
terdapat hubungan antara variabel indeks
harga konsumen dengan permintaan uang
M2. Untuk variabel DEP 1 bulan dengan
nilai t hitung 3,723910> t tabel 2,021
artinya terdapat hubungan antara variabel
DEP 1 bulan dengan permintaan uang M2.
Dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara variabel GDP dan DEP 1
bulan terhadap permintaan uang M2.
Berdasarkan hasil regresi di atas,
pada model 1 diketahui bahwa nilai prob
(F-statistik) sebesar 0.000000. Pada model
2 diketahui bahwa nilai prob(F-statistik
sebesar 0.000000. Dengan melihat hasil
prob (F-statistik) < level signifikan 5
persen, maka hipotesa HO ditolak dan H1
diterima. Hal ini menunjukkan bahwa
secara simultan atau bersama-sama
variabel-variabel
independen
yang
ditentukan dalam model signifikan
mempengaruhi variabel dependen dengan
berbagai tingkat keyakinan.
Uji Multikolinearitas
Tabel 6.Correlation Matrix
SB__DEP
1BLN
GDP_
IHK
SB__DEP
1BLN
GDP_
IHK
1.000000
0.564936
0.180273
0.564936
-0.180273
1.000000
0.576927
0.576927
1.000000
Sumber: Olah Data, Eviews 4.1
Tabel Correlation matrix digunakan untuk
mengetahui adanya suatu pelanggaran
terhadap
uji
asumsi
klasik
multikolinearitas. Dari tampilan di atas
terlihat bahwa antara variabel GDP , indeks
JESP Vol. 5, No.1, 2013
harga konsumen, dan tingkat bunga
deposito 1 bulan mempunyai nilai
Correlation matrixdi bawah 0,8, yang
berarti tidak terjadi multikolinearitas.
Dari uji White Heteroskedasticity
Test (cross term), dari Obs*R-squared
model 1 dapat dilihat kondisi yang tidak
signifikan
sebesar
0.208369,
ini
mengindikasikan dalam model ini tidak
terdapat
masalah
heteroskedastisitas.
Dalam grafik terlihat bahwa residual
bergerak di sekitar mean (rata-rata) berarti
tidak terdapat hetero.
Uji Heteroskedastisitas
T abel 7. White Heteroskedasticity T est model 1
White Heteroskedasticity Test:
F-statistic
1.443662
Obs*R-squared 12.08845
Probability
Probability
0.214307
0.208369
Sumber: Olah Data, Eviews 4.1
Grafik Residual Model 1
600000
500000
400000
80000
300000
200000
40000
100000
0
-40000
00
01
02
03
Residual
04
05
Actual
06
07
08
09
Fitted
Sumber: Olah Data, Eviews 4.1
127
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
Tabel 8. White Heteroskedasticity Test model 2
White Heteroskedasticity Test:
F-statistic
Obs*R-squared
1.784393
13.94676
Probability
Probability
0.113105
0.124232
Sumber: Olah Data, Eviews 4.1
Dari uji White Heteroskedasicity Test
(cross term), dari Obs*R-squared model 2
dapat dilihat kondisi yang tidak signifikan
sebesar 0,124232, ini mengindikasikan
dalam model ini tidak terdapat masalah
heteroskedastisitas. Dalam grafik 4.7
bahwa residual bergerak di sekitar mean
(rata-rata)
berarti
tidak
terdapat
heteroskedastisitas.
Uji Autokorelasi
. Dari uji Breussch-Godfrey Langrange
Multiplier menunjukkan kondisi tidak
signifikan yaitu dapat dilihat dari nilai
Obs*R-squared model 1 sebesar 0,066460
ini mengindikasikan dalam model ini tidak
terdapat masalah autokorelasi.
Tabel 9.Uji Autokorelasi Model 1
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM T est:
F-statistic
Obs*R-squared
2.665866
5.422321
Dari uji Breussch-Godfrey Langrange
Multiplier menunjukkan kondisi tidak
signifikan yaitu dapat dilihat dari nilai
Obs*R-squared model 2 sebesar 0,340351
ini mengindikasikan dalam model ini tidak
Probability
Probability
0.084045
0.066460
terdapat masalah autokorelasi. Terdapat
masalah autokorelasi dapat dilihat dari
nilai Obs*R-squared lebih kecil dari 5
persen.
Tabel 10.Uji Autokorelasi Model 2
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM T est:
F-statistic
Obs*R-squared
0.968292
2.155558
Probability
Probability
0.389956
0.340351
Sumber: Olah Data, Eviews 4.1
Berdasarkan pada pemaparan di atas
Berdasarkan tiga uji asumsi klasik
diindikasikan bahwa tidak terdapat
penyakit pada variabel yang diuji yaitu
M1,M2, PDB, IHK, dan DEP 1 bulan baik
melalui
uji
multikolinearitas,
heteroskedastisitas, maupun autokorelasi.
Pada model 1 dijelaskan bahwa
variabel PDB nominal memiliki tanda
signifikan dan positif berpengaruh pada
128
permintaan uang M1 di Indonesia, ini
sesuai dengan teori yang ada yakni teory
Keynes, yaitu “Permintaan uang untuk
transaksi dan berjaga-jaga tergantung pada
tingkat pendapatan, semakin besar
pendapatan seseorang atau masyarakat,
semakin besar permintaan uang untuk
tujuan transaksi”. Sedangkan menurut
teory
Friedman
“Permintaan
uang
ditentukan oleh faktor salah satunya
JESP Vol. 5, No.1, 2013
pendapatan”. Pada saat pendapatan tinggi,
lebih banyak uang yang diminta untuk
motif transaksi dan berjaga-jaga, maka
pada saat pendapatan naik akan
menyebabkan permintaan uang mengalami
peningkatan. Produk Domestik Bruto yang
signifikan
dikarenakan
pendapatan
nasional mempengaruhi tingkat transaksi
di masyarakat. Permintaan uang di suatu
masyarakat merupakan proporsi tertentu
dari volume transaksi dan volume transaksi
merupakan suatu proporsi konstan dari
tingkat pendapatan nasional.
Indeks harga konsumen (IHK)
memiliki nilai tidak signifikan, artinya
indeks harga konsumen tidak mempunyai
pengaruh pada permintaan uang M1. Hal
ini tidak sesuai dengan teori Kuantitas
Uang (Quantity Theory of Money), dalam
teory Kuantitas Uang, bahwa uang yang
dipegang masyarakat itu tergantung dengan
inflasi (indeks harga konsumen) yang
terjadi. Dengan kata lain indeks harga
konsumen (IHK) berpengaruh positif
terhadap permintaan uang M1. Menurut
Fisher “MVt = PT, jika percepatan
perputaran uang (V) dan jumlah transaksi
(T) konstan, maka kenaikan harga indeks
harga konsumen P akan menyebabkan
kenaikan M (jumlah permintaan uang)”.
Nilai uang ditentukan oleh supply dan
demand terhadap uang. Jumlah uang
beredar ditentukan oleh bank Sentral,
sementara jumlah uang yang diminta
(money demand ) ditentukan beberapa
faktor, antara lain tingkat harga rata-rata
dalam perekonomian. Jumlah uang yang
diminta masyarakat untuk melakukan
transaksi bergantung pada tingkat harga
barang dan jasa yang tersedia. Semakin
tinggi tingkat harga, semakin besar jumlah
uang yang diminta.
Tidak signifikannya IHK terhadap
permintaan M1 berarti mencerminkan tidak
ada pengaruh antara indeks harga
konsumen dengan permintaan uang M1.
Pada tahun 2000-2009 tingkat inflasi yang
ditandai dengan indeks harga konsumen
menunjukkan nilai di bawah 200%,
sehingga tidak direspon oleh masyarakat
dan tetap menggunakan uangnya sebagai
alat untuk bertransaksi. Membaiknya
indeks harga konsumen dikarenakan
membaiknya kinerja pemerintah dalam
perekonomian, di tengah krisis global.
Permintaan uang M1 yang meliputi uang
kertas, uang logam, dan rekening koran
(demand deposit). Orang menggunakan
uang M1 lebih cenderung untuk transaksi,
berjaga-jaga,
sehingga
orang
tetap
menggunakan uangnya untuk transaksi dan
berjaga-jaga tanpa memperhatikan kondisi
indeks harga konsumen.
Pada model 1 bahwa tingkat
bunga deposito 1 bulanan signifikan dan
positif, artinya ada hubungan antara
tingkat suku bunga deposito 1 bulan
dengan permintaan uang M1 pada periode
tahun 2000-2009.. Pada periode penelitian
2000-2009, tingkat suku berpengaruh
positif, yang artinya ketika tingkat suku
bunga tinggi, permintaan uang untuk
dipegang masyarakat juga tinggi. Antara
tahun 2000-2009, masyarakat lebih
memilih bertransaksi menggunakan giral
karena lebih praktis dan aman dengan
presentase rata-rata penggunaan di atas
50% dibanding uang kartal. Giral
memberikan tingkat bunga walaupun
kecil, tingkat bunga giral mengikuti
perkembangan
ekonomi,
dengan
persentase tingkat bunga di bawah
deposito. Pada tahun 2007-2008 terjadi
kenaikan harga minyak dunia yang
berakibat pada kenaikan harga barang
kebutuhan
pokok,
menyebabkan
masyarakat tetap membutuhkan uang kas
sebagai
transaksi
disamping
menggunakan uang giral. Tingginya
permintaan uang giral pada tahun 20002009 oleh masyarakat menyebabkan
kenaikan permintaan uang pada M1.
Pada model 2 bahwa produk
domestik bruto berpengaruh signifikan dan
positif mempengaruhi permintaan uang
M2. Produk domestik bruto yang
signifikan dikarenakan bahwa pendapatan
nasional mempengaruhi tingkat transaksi
dan plus deposito berjangka dan tabungan
milik masyarakat pada bank-bank. Apabila
129
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
jumlah PDB naik akan menyebabkan
kenaikan permintaan uang M2. Hasil dari
PDB ini sesuai dengan teori yang
dikemukakan Keynes tentang motif
transaksi dan berjaga-jaga yang ditentukan
oleh tingkat pendapatan, pada saat
pendapatan tinggi lebih banyak uang yang
diminta untuk motif transaksi, berjagajaga, dan spekulasi maka pada saat
pendapatan naik akan menyebabkan
permintaan
uang
akan
mengalami
kenaikan.
Indeks harga konsumen (IHK)
memiliki nilai tidak signifikan, artinya
indeks harga konsumen tidak mempunyai
pengaruh pada permintaan uang M2. M2
ini
meliputi
M1+rekening
tabungan+deposito berjangka. Dalam teori
permintaan uang untuk tujuan spekulasi,
indeks harga konsumen berpengaruh
negatif terhadap permintaan uang M2.
Menurut Friedman, “peranan harga dalam
permintaan uang merupakan salah satu
cara untuk menyimpan kekayaan, semakin
tinggi indeks harga konsumen, makin
tinggi orang menyimpan uang pada
institusi keuangan karena bunganya yang
tinggi”. Ketika terjadi inflasi tinggi yang
ditandai dengan tingginya nilai indeks
harga konsumen terjadi kenaikan harga
pada barang-barang komoditi dan jasa,
orang membutuhkan uang sebagai
transaksi semakin tinggi, sehingga uang
yang dipegang masyarakat semakin besar,
sehingga berpengaruh deposito pada
permintaan M2 yang menurun dan
berakibat pada M2 yang menurun. Tidak
signifikannya IHK terhadap permintaan
M2 berarti mencerminkan tidak ada
pengaruh antara indeks harga konsumen
terhadap permintaan uang M2. Pada
periode tahun 2006-2009 Bank Indonesia
mampu mengendalikan nilai inflasi yang
ditunjukkan
melalui
indeks
harga
konsumen dengan indeks di bawah 200%.
Kenaikan harga komoditi dunia terutama
minyak dan pangan berdampak pada
kenaikan harga barang yang ditentukan
pemerintah, seiring dengan kebijakan
pemerintah menaikkan harga BBM
130
bersubsidi. Pada bulan September, tingkat
inflasi mulai turun karena turunnya harga
komoditi internasional, pangan, dan energi
dunia. Penyebab lain dari terus
menurunnya tingkat inflasi ditandai
dengan indeks harga konsumen adalah
melalui
kebijakan
yang
ditempuh
pemerintah. Pemerintah menurunkan harga
BBM jenis solar dan premium pada
desember 2008 dan produksi pangan
dalam negeri yang relatif bagus.
Pada model 2 bahwa tingkat bunga
deposito positif dan signifikan. Ini berarti
ketika tingkat bunga deposito 1 bulanan
mengalami kenaikan, simpanan deposito
pada bank mengalami kenaikan, akhirnya
nilai M2 naik. Masyarakat mempercayai
kondisi
lembaga
perbankan
yang
memberikan tingkat bunga tinggi dengan
menabungkan uangnya di bank. M2 ini
meliputi
M1+tabungan+deposito
berjangka. Hal ini sesuai dengan teori yang
ada yakni teory Friedman “Komponen
transaksi dari permintaan uang akan
berhubungan positif dengan tingkat suku
bunga untuk tujuan spekulasi, makin tinggi
tingkat bunga, makin besar orang
menginginkan uangnya untuk disimpan
pada bank”. Permintaan uang M2 ini
dipengaruhi oleh tingkat bunga, jika
tingkat bunga tinggi maka semakin tinggi
permintaan uang M2 karena lebih baik
disimpan di bank. Jika tingkat bunga
rendah, maka orang akan kurang berminat
untuk menyimpan uang di bank karena
hasil yang diperoleh sedikit, sehingga
orang akan menyimpan uang secara
kontan. Pada tahun 2005-2007 terjadi
kenaikan harga bahan bakar minyak di
dunia,
sehingga
berimbas
pada
perekonomian Indonesia yakni permintaan
uang, karena diikuti peningkatan harga
kebutuhan pokok, dan harga minyak dunia
yang tinggi menyebabkan meningkatnya
permintaan uang di masyarakat sebagai
transaksi. Untuk meredam jumlah uang
beredar yang tinggi di masyarakat, maka
otoritas moneter menaikkan tingkat suku
bunga, hal ini juga untuk mengurangi
tingkat inflasi yang tinggi akibat kenaikan
JESP Vol. 5, No.1, 2013
harga bahan bakar minyak ini. Secara
ekonomi perubahan tingkat bunga deposito
menjadi faktor yang mengakibatkan
perubahan jumlah uang yang diminta..
Sepanjang tahun 2008 perkembangan
berbagai indikator moneter juga tidak
terlepas dari pengaruh faktor global dan
dinamika
perekonomian
domestik.
Keketatan likuiditas di pasar keuangan
dunia yang dipicu oleh permasalahan
“Subprime mortgage”, meluas menjadi
krisis kepercayaan. Tahun 2008 pada paruh
kedua, pada saat terjadinya krisis global,
terjadi penguatan tekanan global yang
berdampak pada pasar uang. Pada saat itu
diberlakukan tingkat bunga tinggi oleh
pemerintah, melalui kebijakan moneter
tersebut,
mempengaruhi
preferensi
masyarakat untuk menabungkan uangnya
pada perbankan.
Penutup
Berdasarkan pada hasil analisis di
atas menunjukkan bahwa permintaan uang
di Indonesia dalam kurun waktu 2000.12009.IV dipengaruhi oleh beberapa
variabel. Adapun secara lebih lengkap
sebagai berikut ini :
1. Pada model 1 variabel yang signifikan
mempengaruhi permintaan uang M1
adalah produk domestik bruto dan
tingkat bunga deposito 1 bulan,
sedangkan
variabel
yang
tidak
signifikan mempengaruhi M1 adalah
indeks harga konsumen.
2. Pada model 2 variabel yang signifikan
mempengaruhi permintaan uang M2
adalah produk domestik bruto dan
tingkat suku bunga deposito 1 bulan,
sedangkan variabel yang tidak signifikan
mempengaruhi M2 adalah indeks harga
konsumen.
Daftar Pustaka
Arsyad,
Lincolin,1998.
Ekonomi
Pembangunan.
Edisi
kedua,
Y ogyakarta: BPFE-Y ogyakarta
Arief, Sritua. 2000. Metodologi Penelitian
Ekonomi. Jakarta: Penerbit UI (UIPress).
Arif yusuf, Muhammad. 2008. “Analisis
Pengaruh
Investasi,
Inflasi,
Pengeluaran
Pemerintah,
Penawaran Uang Dan Ekspor
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia
Tahun
1981-2006”
skripsi
yang
diterbitkan
(http://ums.com/skrispsi/article/vie
wPDFInterstitial/,diakses
19
Januari 2010)
Sodik, Jamzani,dkk. 2005. “Investasi Dan
Pertumbuhan Ekonomi Regional
(Studi Kasus Pada 26 Propinsi Di
Indonesia,
Pra
Dan
Pasca
Otonomi)
“Jurnal
Ekonomi
pembangunan.(Online),vol.10,No.2
(http://upn.ac.id/ejournal/
article/viewPDFInterstitial/, diakses
20 Januari 2010)
Ashari,dkk.2005. Analisis Statistik dengan
MS. Excel dan SPSS. Yogyakarta:
ANDI Y ogyakarta.
Boediono,2001.
Ekonomi
Makro.
Y ogyakarta: BPFE-Y ogyakarta.
Dajan, Anto. 1984. Pengantar Metode
Statistik. Jilid 2. Jakarta: LP3ES.
Gujarati, Domoar, 1995. Ekonometrika
Dasar. Jakarta: Erlangga.
Irwan dan Suparmoko,1992. Ekonomika
Pembangunan.
Edisi
lima,
Y ogyakarta: BPFE-Y ogyakarta.
Kuntjoro Jakti, Dorojatun,2003. Mau
kemana Pembangunan Ekonomi
Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
Lipsey, Richard G dkk, 1991. Pengatar
Makro Ekonomi. Edisi kedelapan,
Jakarta: Erlangga.
Noerdhus dan samuelson, 2000. Ilmu
Makro Ekonomi. Jakarta: Media
Global Edukasi.
Pujiati,
Amin.2007.
“Analisis
Pertumbuhan
Ekonomi
Di
Karesidenan
Semarang
Era
131
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
Desentralisasi Fiskal " Jurnal
Pembangunan. (Online),hal: 6170,(http://uns.ac.id/ejournal/index.p
hp/aku/article/viewPDFInterstitial/
15656/15648/, diakses 20 Januari
2010)
Rosyidi, Suherman.2000. Pengantar Ilmu
Ekonomi. Jakarta:Erlangga.
Sarwoko,
2005.
Dasar-Dasar
ekonometrika. Yogyakarta: Andi.
Sukirno, Sadono.1981. Pengantar Teori
Makroeskonomi. Jakarta: Bima
Grafika
Sukirno, Sadono.2004. Makroekonomi
T eori Pengantar. Jakarta: Bima
Grafika.
Suparmoko.1996.
Pengantar
Ekonometrika Makro. Edisi ketiga,
Y ogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Syamsiyah, Siti. 2007. “Analisis Kualitas
T enaga Kerja Dan Investasi
132
T erhadap Pertumbuhan Ekonomi
Kabupaten Karanganyar”. skripsi
yang
diterbitkan
(http://ums.com/skrispsi/article/vie
wPDFInterstitial/,diakses
19
Januari 2010)
Santoso, A. 2000. Buku Latihan SPSS
Parametrik. Jakarta: PT Elex
Media Computindo.
Sukirno,Sadono.1985.
Ekonomi
Pembangunan Proses, Masalah
dan Dasar Kebijaksanaan. Jakarta:
Fakultas Ekonomi UI dengan Bima
Grafika.
Tarmidi,T
Lepi.1992.
Ekonomi
Pembangunan. Jakarta: Fakultas
Ekonomi UI.
www.bi.go.id
www. ADB.com
JESP Vol. 5, No.1, 2013
PENGARUH AKUNTABILITAS TERHADAP PELAKSANAAN
KEGIATAN PROGRAM NASIONAL PEMBERDAY AAN
MASYARAKAT MANDIRI PERKOTAAN DI BADAN
KESW ADAY AAN MASYARAKAT KOTA PALU
Y uldi Mile
Abstract
The aim of this research is to know how the influence of accountability for
implementation of the Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri Perkotaan on Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Palu City. The
research method cencus respondent and using simple linear analysis. The data
were obtained by questionnaires, interviews, and documentation. The result of
this research is accountability influence on the implementation of the Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan on Badan
Keswadayaan Masyarakat (BKM) Palu City. The suggestion of the research that
the application of accountability should be further enhanced for example prepare
reports timely.
Keywords
:
Accountability,
Empowerment
Implementation
Tujuan utama dari Program Nasional
Pemberdayaan
Masyarakat
(PNPM)
Mandiri
adalah
untuk
membantu
kesejahteraan masyarakat miskin. Melalui
berbagai
kegiatan
yang
dapat
meningkatkan
perekonomian
dan
kesejahteraan masyarakat miskin. Kegiatan
PNPM Mandiri dilaksanakan sesuai
dengan kegiatan yang diusulkan oleh
Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM)
yang berada di kelurahan lokasi sasaran
PNPM Mandiri. BKM berfungsi untuk
merencanakan kegiatan mensejahterakan
masyarakat miskin dengan melihat apa
yang dibutuhkan oleh masyarakat miskin
di kelurahan tersebut. Program Nasional
Pemberdayaan Mandiri (PNPM) Perkotaan
di Kota Palu diselenggarakan dengan
sasaran 4 (empat) kecamatan di Kota Palu
yaitu Kecamatan Palu Barat, Palu Timur,
Palu Selatan dan Palu Utara. Di empat
kecamatan tersebut, terdapat 43 Badan
Keswadayaan Masyarakat (BKM).
of
PNPM/BKM,
People
Dalam program PNPM Mandiri,
sangat diharapkan partisipasi masyarakat
agar tercipta program kemasyarakatan
yang mandiri sehingga program tersebut
berjalan
dengan
lancar.
Badan
Keswadayaan
Masyarakat
(BKM)
merupakan lembaga masyarakat yang
berada di tiap kelurahan. Lembaga ini
berfungsi mengkoordinir masyarakat yang
berada dalam kelurahan tersebut untuk
berpartisipasi dalam pelaksanaan kegiatan
PNPM Mandiri.
Tiap BKM bersama
masyarakat melakukan proses perencanaan
dan
partisipatif
dengan
menyusun
perencanaan jangka menengah dan rencana
tahunan
program
penanggulangan
kemiskinan. Sebagai prakarsa masyarakat
untuk menanggulangi kemiskinan di
wilayahnya secara mandiri.
Dalam
pelaksanaan
kegiatan
PNPM Mandiri, akuntabilitas diperlukan
sebagai pertanggungjawaban atas semua
kegiatan yang telah dilaksanakan dengan
__________________________________________
Alamat Korespondensi :
Y uldi Mile. Dosen Fakultas Ekonomi Universitas T adulako Palu
Email: [email protected]
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
jumlah dana yang telah digunakan
sehingga program ini dapat berjalan sesuai
dengan prosedur yang telah ditetapkan.
Akuntabilitas
dilakukan
dengan
memberikan informasi dan pengungkapan
atas aktivitas dan kinerja finansial kepada
pihak-pihak yang berkepentingan.
Tinjauan Pustaka
Akuntabilitas
Akuntabilitas
(accountability)
diartikan
sebagai
yang
dapat
dipertanggung jawabkan. Dalam istilah
kamus Akuntansi, akuntabilitas merupakan
tanggung
jawab
individu
atau
bagian/departemen terhadap kinerja suatu
fungsi
tertentu
akuntabilitas
bisa
ditetapkan melalui aturan hukum atau
perjanjian.
Menurut Hansen dan Mowen (2005
: 117), akuntabilitas secara tidak langsung
mencerminkan pengukuran kinerja, yang
berarti bahwa hasil aktual dibandingkan
dengan hasil yang diperkirakan atau
dianggarkan.
Akuntansi
pertanggung
jawaban merupakan suatu segmen bisnis
yang manejernya bertanggung jawab
terhada serangkaian kegiatan-kegiatan
tertentu.
Akuntabilitas adalah pertanggung
jawaban yang dilakukan oleh seseorang
atau suatu lembaga atas segala tindakannya
yang ditujukan kepada yang memberi
wewenang (Abdul Halim 2007 : 319).
Akuntabilitas merupakan asas yang
menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari kegiatan penyelenggara
negara
harus
dapat
dipertanggung
jawabkan kepada masyarakat atau rakyat
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Gusti
Agung 2008 : 277).
Sehubungan dengan pentingnya
diterapkan prinsip akuntabilitas (Elwood
dalam Setiawan 2009 : 22) menjelaskan
tentang empat dimensi akuntabilitas, yaitu:
1. Akuntabilitas
kejujuran
dan
Akuntabilitas hukum
134
Akuntabilitas
kejujuran
(accountability for probity) terkait
dengan penghindaran penyalahgunaan
jabatan,
sedangkan
akuntabilitas
hukun (legal accountability) terkait
dengan jaminan adanya kepatuhan
terhadap hukum dan peraturan lain
yang disyaratkan dalam penggunaan
sumber dana publik.
2. Akuntabilitas Proses
Akuntabilitas proses terkait dengan
apakah prosedur yang digunakan
dalam melaksanakan tugas sudah
cukup baik dalam hal kecukupan
sistem informasi akuntansi, sistem
informasi manajemen, dan prosedur
administrasi.
3. Akuntabilitas Program
Akuntabilitas program terkait dengan
pertimbangan apakah tujuan yang
ditetapkan dapat dicapai atau tidak,
dan apakah telah mempertimbangkan
alternatif program yang memberikan
hasil yang optimal dengan biaya yang
minimal.
4. Akuntabilitas Kebijakan
Akuntabilitas kebijakan terkait dengan
pertanggung jawaban pemerintah, baik
pusat maupun daerah, atas kebijakankebijakan yang diambil pemerintah
terhadap DPR/DPRD dan masyarakat
luas.
Indikator akuntabilitas menurut Lalolo
(2009 : 27) didasarkan pada tahapan setiap
program dari akuntabilitas itu sendiri,
yaitu:
1. Pada tahap proses pembuatan sebuah
keputusan, beberapa indikator untuk
menjamin akuntabilitas adalah:
a. Pembuatan sebuah keputusan harus
dibuat secara tertulis dan tersedia
bagi setiap yang membutuhkan.
b. Pembuatan
keputusan
sudah
memenuhi standar etika dan nilainilai yang berlaku, artinya sesuai
dengan prinsip-prinsip administrasi.
c. Adanya kejelasan dari sasaran
kebijakan yang diambil, dan sudah
sesuai dengan visi dan misi
JESP Vol. 5, No.1, 2013
organisasi, serta standar yang
berlaku.
d. Adanya mekanisme yang menjamin
bahwa standar telah terpenuhi,
dengan
konsekuensi
pertanggungjawaban jika standar
tersebut tidak dipenuhi.
2. Pada tahap sosialisasi kebijakan,
beberapa indikator untuk menjamin
akuntabilitas adalah:
a. Penyebaran informasi mengenai
suatu keputusan, melalui media
massa.
b. Akurasi dan kelengkapan informasi
yang berhubungan dengan cara-cara
mencapai sasaran suatu program
c. Akses publik pada informasi atas
suatu keputusan setelah keputusan
dibuat dan mekanisme pengaduan
masyarakat.
d. Ketersediaan
sistem
informasi
manajemen dan monitoring hasil
yang telah dicapai oleh pemerintah.
Pertanggungjawaban atas Semua Aktivitas
pemerintahan. Dalam hal ini, memiliki
kemampuan
untuk
menjawab
pencapaian
tujuan
(dengan
memperhatikan biaya dan manfaatnya)
dan tidak hanya sekedar kepatuhan
terhadap
hirarki
atau
prosedur.
Efektivitas yang harus dicapai bukan
hanya berupa output akan tetapi yang
lebih penting adalah efektivitas dari
sudut pandang outcome. Akuntabilitas
manfaat
hampir
sama
dengan
akuntabilitas program.
3. Akuntabilitas prosedural
Akuntabilitas prosedural merupakan
pertanggung jawaban mengenai apakah
suatu
prosedur
penetapan
dan
pelaksanaan suatu kebijakan telah
mempertimbangkan masalah moralitas,
etika, kepastian hukum, dan ketaatan
pada
keputusan
politis
untuk
mendukung pencapaian tujuan akhir
yang telah dietapkan. Pengertian
akuntabilitas prosedural ini adalah
sebagaimana
dengan
akuntabilitas
proses.
Pertanggungjawaban menyajikan
dan melaporkan segala aktivitas dan
kegiatan yang terkait dengan pengelolaan
uang publik kepada pihak yang memiliki
hak dan kewenangan untuk meminta
pertanggung jawaban tersebut (DPR dan
masyarakat luas). Adapun Kriteria dari
akuntabilitas, LAN RI dan BPKP
(http//tesisdisertasi.blogspot.com/2010/05/
definisi-akuntabilitas.html):
1. Akuntabilitas keuangan
Akuntabilitas keuangan merupakan
pertanggung
jawaban
mengenai
integritas keuangan, pengangkatan dan
ketaatan
terhadap
peraturan
perundangan. Sasaran pertanggung
jawaban ini adalah laporan keuangan
yang
disajikan
dan
peraturan
perundangan yang berlaku yang
mencangkup penerimaan, penyimpanan
dan pengeluaran uang.
2. Akuntabilitas manfaat
Akuntabilitas manfaat (efektifitas) pada
dasarnya memberi perhatian kepada
hasil
dari
kegiatan-kegiatan
PNPM
Mandiri
dan
Badan
Keswadayaan Masyarakat
Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) merupakan program
pemerintah
yang secara subtansial
berupaya memberdayakan masyarakat dan
pelaku pembangunan lokal lainnya,
termaksud
pemerintah
daerah
dan
kelompok peduli setempat sehingga dapat
dibangun gerakan bersama. Pelaksanaan
program-program pemberdayaan yang
dilakukan oleh berbagai pihak belum dapat
menyentuh semua lapisan masyarakat
dimana hanya sebagian kecil yang
diuntungkan dan ini merupakan golongan
kecil dari masyarakat.
Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri adalah
program nasional dalam wujud kerangka
kebijakan sebagai dasar acuan pelaksanaan
program-program
penanggulangan
kemiskinan
berbasis
pemberdayaan
masyarakat.
(Keputusan
Menteri
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
135
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
Selaku Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan : 2007).
Ruang lingkup kegiatan PNPM
Mandiri pada dasarnya terbuka bagi semua
kegiatan penanggulangan kemiskinan yang
diusulkan dan disepakati masyarakat
meliputi:
a. Penyediaan
dan
perbaikan
prasarana/sarana
lingkungan
permukiman, sosial, dan ekonomi
secara padat karya;
b. Penyediaan sumber daya keuangan
melalui dana bergulir dan kredit mikro
untuk
mengembangkan
kegiatan
ekonomi masyarakat miskin. Perhatian
yang lebih besar perlu diberikan bagi
kaum perempuan dalam memanfaatkan
dana bergulir ini;
c. Kegiatan terakhir peningkatan kualitas
sumberdaya manusia, terutama yang
bertujuan mempercepat pencapaian
target MDGs;
d. Peningkatan kapasitas masyarakat dan
pemerintahan lokal melalui penyadaran
kritis, pelatihan keterampilan usaha,
manajemen organisasi dan keuangan,
serta penerapan tata kepemerintahan
yang baik.
Sumber dana pelaksanaan PNPM
Mandiri berasal dari:
1. Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD), baik yang bersumber
dari Rupiah Murni maupun dari
pinjaman/hibah;
2. Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) Provinsi, terutama
untuk mendukung penyediaan dana
pendamping bagi kabupaten dengan
kapasitas fiskal rendah;
3. APBD Kabupaten/Kota sebagai dana
pendamping,
dengan
ketentuan
minimal 20 (dua puluh) persen bagi
kabupaten /kota dengan kapasitas fiskal
rendah dan minimum 50 (lima puluh)
persen bagi kabupaten/kota dengan
kapasitas fiskal menengah ke atas dari
total BLM kabupaten/kota;
4. Kontribusi swasta sebagai perwujudan
tanggung jawab sosial perusahaan
136
5. Swadaya masyarakat (asosiasi profesi,
perguruan tinggi, lembaga swadaya
masyarakat,
organisasi
kemasyarakatan,
dan
individu/kelompok peduli lainnya).
Badan Keswadayaan Masyarakat
(BKM) merupakan badan musyawarah dan
pengambilan keputusan yang kondusif
untuk
pengembangan
keswadayaan
masyarakat
dalam
penanggulangan
kemiskinan khususnya dan pembangunan
masyarakat kelurahan pada umumnya
(P2KP 2008: 36).
BKM bertanggung
jawab menjamin keterlibatan semua
lapisan
masyarakat
dalam
proses
pengambilan keputusan yang kondusif
untuk
pengembangan
keswadayaan
masyarakat
dalam
penanggulangan
kemiskinan khususnya dan pembangunan
masyarakat kelurahan pada umumnya
(Pedoman Umum PNPM Mandiri P2KP
2008:36).
Fungsi BKM antara lain:
a. Mengorganisasikan
warga
secara
partisipatif untuk merumuskan rencana
jangka
menengah
(3
tahun)
penanggulangan kemiskinan (PJM
Pronangkis) dan di ajukan ke
Penanggung
Jawab
Operasional
Kegiatan (PJOK) untuk mencairkan
dana BLM
b. Sebagai dewan pengambilan keputusan
untuk hal-hal yang menyangkut
pelaksanaan PNPM Mandri pada
khususnya
dan
penaggulangan
kemiskinan pada umumnya
c. Mempromosikan dan menegakkan
nilai-nilai luhur (jujur, adil, transparan,
demokratis) dalam setiap keputusan
yang
diambil
dan
kegiatan
pembangunan yang dilaksanakan
d. Menumbuhkan berbagai
kegiatan
pemberdayaan masyarakat miskin agar
mampu meningkatkan kesejahteraan
mereka
e. Mengembangkan jaringan BKM di
tingkat kecamatan, kota/kabupaten
sebagai mitra kerja Pemerintah Daerah
dan wahana untuk menyuarakan
JESP Vol. 5, No.1, 2013
aspirasi masyarakat warga yang
diwakilinya
f. Menetapkan kebijakan dan mengawasi
proses pemanfaatan dana Bantuan
Langsung Masyarakat (BLM).
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
sensus yaitu penelitian yang mengambil
seluruh populasi Badan Keswadayaan
Masyarakat (BKM) yang ada di Kota Palu.
Jumlah populasi dalam penelitian ini
adalah sebanyak 43 BKM namun 1 BKM
tidak aktif lagi.
Jenis data yang dikumpulkan
berupa data yang bersifat kualitatif dan
kuantitatif yang diperoleh dari data primer
dan data sekunder yang dianalisis dengan
menggunakan analisis linier sederhana..
Metode pengumpulan data
dilakukan
dengan:
1. Kuesioner
2. Wawancara
3. Observasi yaitu suatu pendekatan
dimana dilakukan pengamatan secara
langsung pada objek penelitian
4. Studi dokumen yaitu pengumpulan
data
melalui
dokumen-dokumen,
seperti laporan responden serta
informasi lainnya yang berhubungan
dengan penelitian.
Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada
Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM)
di kota Palu pada empat kecamatan yaitu:
kecamatan Palu Utara, Palu Timur, Palu
Selatan dan Palu Barat dengan jumlah
populasi sebanyak 43 Badan Keswadayaan
Masyarakat (BKM) di tiap kelurahan kota
Palu. Namun dari jumlah kuesioner yang
dibagikan terdapat 1 kuesioner yang tidak
dikembalikan karena BKM tersebut tidak
aktif lagi.
Hasil penelitian menunjukkan
kegiatan yang dilaksanakan di BKM Kota
Palu memiliki kesamaan dalam hal
penentuan kegiatannya. Misalnya pada
program lingkungan, kegiatan yang
dilakukan BKM pada umumnya dalam
bentuk perbaikan dan pembuatan sarana
prasarana yakni pembuatan paving blok,
wc umum, drainase, tempat sampah,
pembuatan pebampungan air bersih.
Demikian pula untuk program ekonomi
kegiatan yang dilakukan adalah pemberian
dana bergulir. Dana bergulir diberikan ke
masyarakat pra sejahtera yang memiliki
kemauan
dan
kemampuan
untuk
mendirikan usaha kecil sehingga dana
bergulir tersebut dapat dijadikan sebagai
modal awal mereka untuk berusaha.
Selanjutnya dana tersebut dikembalikan
dalam waktu yang telah ditentukan dengan
tujuan dana tersebut akan diberikan lagi ke
masyarakat lain yang membutuhkan.
Pada program sosial kegiatan BKM
yang dilakukan yaitu berupa pelatihanpelatihan keterampilan seperti menjahit,
kecantikan, perbengkelan, sablon dan lainlain, yang diharapkan keterampilan ini
dapat menjadi modal masyarakat pra
sejahtera untuk membuka usaha. Selain
pelatihan, ada juga beasiswa yang
diberikan pada anak-anak pra sejahtera
dengan harapan anak-anak tersebut tetap
dapat bersekolah dengan baik.
Anggota BKM adalah masyarakat
setempat yang bersedia menjadi relawan
yang mampu meluangkan waktunya untuk
membantu masyarakat pra sejahtera di
lingkungan tempat tinggal. Anggota inti
dari BKM sendiri berjumlah 13 orang yang
melakukan operasional di BKM. Mereka
memiliki tanggungjawab masing-masing
dalam
menjalankan kegiatan PNPM
Mandiri di BKM.
Dana yang digunakan dalam
kegiatan PNPM Mandiri di BKM
merupakan dana yang diperoleh dari
APBN dan APBD yang merupakan dana
hibah
untuk
pelaksanaan
kegiatan
membantu masyarakat kurang mampu
sekaligus untuk mendukung MDG’s.
137
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
Tabel 1.Responden PNPM Mandiri/ BKM Kota Palu
Keterangan
Pembentukan BKM
Tahun
2004
2005
2007
2008
Total
Palu Utara
Palu Timur
Palu Selatan
Palu Barat
Kecamatan
Total
Hasil penelitian menunjukkan variabel
akuntabilitas memberikan pengaruh secara
positif dan signifikan terhadap pelaksanaan
kegiatan PNPM Mandiri di BKM Kota
Palu. Hal ini menunjukkan bahwa
pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri di
Badan Keswadayaan Masyarakat Kota
Palu
memiliki
dan
menerapkan
akuntabilitas yang baik dan akuntabel
dalam
aktivitasnya.
Semakin
baik
penerapan akuntabilitas dalam BKM, maka
akan semakin baik pula pelaksanaan
kegiatan BKM.
Pelaksanaan program dan kegiatan
BKM juga dibantu oleh fasilitator yang
melakukan pekerjaan yang berhubungan
dengan program yang telah ditetapkan
sebelumnya
yaitu
bidang
sosial,
fisik/lingkungan maupun ekonomi seperti
memberikan masukan dalam melakukan
pencatatan sesuai dengan akuntansi
organisasi yang disyaratkan dalam
pelaporan
keuangan,
serta
selalu
memberikan peringatan untuk melakukan
pencatatan atas pengeluaran BKM dengan
tepat waktu. Selain itu pengaruh positif
variabel
akuntabilitas
terhadap
pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri di
BKM tidak lepas dari usaha dan ketekunan
para anggota BKM yang melaksanakan
program sesuai dengan prosedur yang
diterapkan di PNPM Mandiri. Mereka
bekerja dengan sungguh-sungguh untuk
memperoleh sebuah perubahan dan
perbaikan dan saling peduli dalam
bermasyarakat. Hal ini menjadikan BKM
semakin termotivasi untuk menerapkan
138
Jumlah
1
18
22
1
42
8
8
12
14
42
%
2,38
42,86
55,38
2,38
100
19,04
19,04
28,57
33,34
100
akuntabilitas dengan baik sehingga dapat
melaporkan kegiatan yang telah di
jalankan dengan baik pula.
Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa akuntabilitas memiliki
pengaruh positif dan signifikan terhadap
pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri di
BKM Kota Palu. Hal ini menunjukkan
bahwa
semakin
baik
penerapan
akuntabilitas dalam BKM, maka akan
semakin baik pula pelaksanaan kegiatan
BKM. Hal ini dapat terlaksana karena
anggota BKM bekerja dengan sungguhsungguh dan ada rasa saling peduli dalam
bermasyarakat.
Saran
yang
dapat
direkomendasikan
yaitu
sebaiknya
penerapan akuntabilitas dapat lebih
ditingkatkan dengan menyiapkan laporan
pertanggungjawaban lebih tepat waktu.
Daftar Pustaka
Agoes,
Sukrisno.
2004.
Auditing:
Pemeriksaan
Akuntan. Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Jakarta
Halim, Abdul. 2007. Akuntansi Sektor
Publik: Akuntansi Keuangan Daerah.
Jakarta
Hansen, R Don dan Mowen, M Maryanne.
2005. Management Accounting.
Salemba Empat Jakarta
JESP Vol. 5, No.1, 2013
Kuncoro, Mudrajat. 2009. Metode Riset
Untuk Bisnis dan Ekonomi. Edisi 3.
Penerbit Erlangga. Jakarta.
Lan
RI
Dan
BPKP ,
http://tesisdisertasi.blogspot.com/201
0/05/definisi-akuntabilitas.html
Loina, Lalolo. 2003. Indikator Dan Alat
Ukur
Prinsip
Akuntabilitas,
Transparansi
Dan
Partisipasi.
Bappenas. Jakarta
Mulyadi, James R Davis, C Wayne
Alderman Dan Leonard A Robinson
Dan Coso, Perbandingan Sistem
Pengendalian
Intern
http://mohamadprawignyo
.blokspot.com
/
2007/11/perbandingan-sistempengendalian-intern.html
Pusat
Pendidikan
Dan
Pelatihan
Pengawasan BPKP Dalam Rangka
Diklat Sertifikasi JFA Tingkat
Pembentukan Auditor. Akuntabilitas
Instansi Pemerintahan, Edisi Kelima.
2007
Rai, I Gusti Agung. 2008. Audit Kinerja
Pada Sektor Publik. Jakarta
Subiyanto, Ibnu. 2000. Metode Penelitian
Manajemen dan Akuntansi. Edisi 3.
Penerbit UPP AMP YKPN. Yogyakarta.
139
JESP Vol.5, No.1, 2013
Tinjauan Buku
Judul
:Dinamika Ekonomi Internasional
Indonesia, Dalam Perspektif Teoritis
dan Empiris
Penulis
: Dr . Imam Mukhlis, SE., M.Si
Penerbit
: Cahaya Abadi Tulungagung
Halaman
: xvi dan 136
Tahun
: 2012
ISBN
: 978-602-8569-39-2
Peninjau
: Subagyo, SE., SH,.MM
Meraba dan Merasakan Geliat Indonesia
Motif ekonomi merupakan salah
satu musabab dari hubungan antar negara
yang paling “purba”. Hasrat untuk
membangun hubungan kerter-saling-an
antar negara didorong oleh suatu motif
ekonomi. Saat tata dan pola hubungan
tersebut belum mendapatkan pranata yang
pasti, maka seringkali keter-saling-an itu
mewujud dalam bentuk kolonialisasi masif
dari negara yang memiliki kedigdayaan
lebih. Seiring dengan terbangunnya
kesadaran dan pranata, maka kolonialisasi
dengan penguasaan teritorial telah lama
ditinggalkan. Saat ini, diperlukan suatu
eksplorasi yang objektif bagaimana mutasi
dari kolonialisasi teritorial menjadi
kolonialisasi ekonomi terjadi.
Buku
“Ekonomi Internasional
Indonesia, Dalam Perspektif Teoritis dan
Praktis” yang ditulis oleh Imam Mukhlis
(IM) ini telah mengurai dalam beberapa
perspektif apakah mutasi itu terjadi,
bagaimana posisi ekonomi internasional
Indonesia dalam kubangan ekonomi dunia
yang borderless dan “rakus” serta apa saja
yang menjadi sebab faktor yang
mempengaruhi posisi dan kondisi ekonomi
internasional Indonesia dan yang menarik
adalah “IM telah memberikan beragam
rekomendasi
untuk
menghindarkan
Indonesia dalam penetrasi dan kooptasi
kolonialisasi
ekonomi
dari
mutasi
kolonialisasi teritorial”.
IM memulai bukunya dengan telaah
dengan Model Piramida Terbalik. IM
memulai dengan penjelasan tentang
kondisi perekonomian global saat ini.
Beragama
data
ditampilkan
untuk
mempertegas bagaimana perekonomian
global mengalami fluktuasi dinamis dalam
perkembangan
output
internasional.
Fluktuasi dinamis dalam bentuk “cakra
mangilingan”, booming, resesi, depresi dan
recovery.
(h.2-4).
Perkembangan
kerjasama ekonomi dengan landasan
integrasi ekonomi kawasan regional juga
mendapatkan perhatian IM. (h. 5). Kondisi
perekonomian global menjadi semakin
dinamis serta melahirkan beragam langkah
antisipatif dalam mengokohkan sekaligus
mengukuhkan
masing-masing
negara
dalam konstelasi perekonomian global
tersebut.
IM telah pula berbagai dengan
memberikan paparan tentang beragam teori
yang diperlukan oleh memotret sekaligus
sebagai alat analisa empiris mengenai;
Teori Ekonomi Internasional (h. 19),
Perdagangan Internasional (h. 30), Kurs
Nilai Tukar Mata Uang (h. 48), Foreign
Subagyo, Dosen Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang.
E-mail : [email protected] dan @caksucahndoko
JESP Vol. 5, No. 1, 2013
Direct Investment (h. 60) dan Kerjasama
Ekonomi Internasional (h. 72). Paparan ini
berhasil memberikan kemudahan untuk
membangun
pemahaman.
Beragam
referensi yang selalu di-trianggulasi dalam
bentuk artikulasi pemahaman diakhir setiap
sub bahasan. IM dalam bukunya ini
berhasil
menyajikan
menu
dengan
komposisi nutrisi yang cukup untuk
membangun “kesehatan” pemahaman
tentang ekonomi internasional.
Saat IM bereksplorasi mengenai
hubungan kausalitas antara perkembangan
ekonomi internasional dengan kinerja
perekonomian
Indonesia,
IM
melakukannya dengan Uji Stasioaritas, Uji
Kointegrasi dan Ganger Causality Test. (h.
92-104). Dengan uji ini IM berkesimpulan
bahwa
“Perkembangan
net
ekspor
Indonesia memiliki kausalitas dalam
jangka pendek dengan perkembangan PDB
Indonesia
dalam
jangka
pendek.
Perkembangan
kurs
Rp/US$
dan
perkembangan net ekspor Indonesia
memiliki kausalitas satu arah dalam jangka
pendek. Sedangkan dalam jangka panjang
perkembangan PDB memiliki kausalitas
satu arah dengan kurs Rp/US$. Dalam
jangka panjang, perkembangan kurs
Rp/US$ juga memiliki kausalitas dengan
perkembangan net ekspor Indonesia. (h.
117).
Diakhir tulisannya, IM memberikan
5 (lima) buah rekomendasi kebijakan untuk
mengokoh dan mengukuhkan posisi dan
peran Indonesia dalam komunitas ekonomi
internasional yang hegemonik, serta
rekomendasi
untuk
menghindarkan
Indonesia dari kubangan “kolonialisasi
ekonomi”. Rekomendasi yang terpapar
pada halaman 119-127 antara lain; (1).
Menjaga stabilitas perekonomian, (2)
Peningkatan daya saing perekonomian, (3).
Pengendalian volatilitas nilai tukar, (4).
Insentif dalam mendorong capital inflow
dalam bentuk foreign direct investment,
dan (5). Mempertahankan net ekspor yang
positif. Resep inilah yang mesti dilakukan
agar Indonesia tidak di-kooptasi terlebih
142
di-kolonialiasasi oleh kekuatan ekonomi
internasional lain.
Akhirnya,
Buku
“Ekonomi
Internasional Indonesia, Dalam Perspektif
Teoritis dan Empiris” yang ditulis oleh Dr.
Imam Mukhis, SE., M.Si ini dan telah pula
diberikan kata sambutan oleh Dr. Johannes
Sulistijawan, MBA., GM PT. Batamindo
Investment Cakrawala dan Prof. Dr. Budi
Eko Soejipto, MS.Ed., M.Si., Dekan
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri
Malang (UM) merupakan sebuah karya
akademik IM yang berhasil membantu
dalam meng-konstruksi pemahaman yang
baik.
Pemahaman
yang
sekaligus
melahirkan kesadaran bahwa Indonesia,
negara kita ini, jangan sampai terjerumus
dalam kubangan ekonomi global dengan
status “TERJAJAH”. Semoga !
JESP-Vol. 5, No. 1, 2013
ISSN 2086-1575
v
Petunjuk bagi Kontributor Artikel JESP
v
1.
Artikel yang ditulis untuk JESP meliputi hasil pemikiran dan hasil penelitian yang berhubungan dengan
ekonomi pembangunan (development economics) dan pembangunan ekonomi (economic development).
Naskah diketik dengan huruf Times New Roman, ukuran 12 pts (12 poin), dengan spasi ganda, dicetak pada
kertas A4, marjin kiri 4, kanan 3, atas dan bawah 3, sepanjang maksimum 30 halaman, dan diserahkan
dalam bentuk print-out sebanyak 3 eksemplar beserta soft-copy-nya. Berkas (file) dibuat dengan Microsoft
W ord. Pengiriman file lewat e-mail juga dapat dilakukan sebagai attachment e-mail ke alamat:
[email protected], [email protected]
2.
Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan dibawah judul artikel. Jika
penulis terdiri dari 4 orang atau lebih, yang dicantumkan di bawah judul artikel adalah nama penulis utama;
nama penulis-penulis lainnya dicantumkan pada catatan kaki halaman pertama naskah. Dalam hal naskah
ditulis oleh tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya
tercantum pada urutan pertama. Penulis dianjurkan mencantumkan alamat e-mail untuk memudahkan
komunikasi.
3.
Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris dengan format esai (essay), disertai judul pada masingmasing bagian artikel, kecuali bagian pendahuluan yang disajikan tanpa judul bagian. Judul artikel dicetak
dengan huruf besar-kecil di tengah-tengah, dengan huruf sebesar 16 poin. Peringkat judul bagian
dinyatakan dengan jenis huruf yang berbeda (semua judul bagian dan sub-bagian dicetak tebal atau tebal
dan miring), dan tidak menggunakan angka nomor pada judul bagian:
PERINGKAT 1 (HURUF BESAR SEMUA, TEBAL, RATA TEPI KIRI)
Peringkat 2 (Huruf Besar Kecil, T ebal, Rata T epi Kiri)
Peringkat 3 (Huruf Besar Kecil, T ebal-Miring, Rata T epi Kiri)
4.
Sistematika artikel hasil pemikiran adalah: judul, nama penulis (tanpa gelar akademik); Abstract
(berbahasa Inggris, maksimum 250 kata); Keywords; pendahuluan (tanpa judul) yang berisi latar belakang
dan tujuan atau ruang lingkup tulisan; bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa sub-bagian),
penutup atau kesimpulan; daftar rujukan.
5.
Sistematika artikel hasil penelitian adalah; judul, nama penulis (tanpa gelar akademik); Abstract
(berbahasa Inggris, maksimum 250 kata) yang berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian; Keywords;
pendahuluan (tanpa judul) yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian;
metode; hasil; pembahasan (atau hasil dan pembahasan diintegrasikan); kesimpulan dan saran; daftar
rujukan.
6.
Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan yang
diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis, disertasi) atau
artikel-artikel penelitian dalam jurnal dan/atau majalah ilmiah.
7.
Perujukan dan pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama, tahun). Pencantuman sumber
pada kutipan langsung hendaknya disertai dengan keterangan tentang nomor halaman tempat asal kutipan.
Contoh (Davis, 2003: 47).
8.
Daftar rujukan disusun dengan tata cara seperti contoh berikut ini dan diurutkan secara alfabetis dan
kronologis.
Buku:
Mubyarto. 2000. Membangun Sistem Ekonomi . Y ogyakarta: BPFE.
Buku Kumpulan Artikel:
Saukah, A. & Waseso, MG. (Eds.). 2002. Menulis Artikel untuk Jurnal Ilmiah (Edisi ke-4, cetakan ke-1) .
Malang: UM Press.
Artikel dalam buku kumpulan artikel:
Uphoff, N. (1999). Understanding Social Capital: Learning from the Analysis and Experience of
Participation. Dalam P . Dasgupta & I. Serageldin (Eds.). Social Capital: A Multifaceted Perspective (hlm.
215-249). Washington, D.C: The World Bank.
Artikel dalam jurnal atau majalah:
Witjaksono, M. 2006. Simulasi Teori Permainan Cooperative 3-IPD: Contoh Kasus Pengelolaan Usaha
Penambangan di Kecamatan Panggungrejo, Blitar. EKONOMI BISNIS. Th. 11, No. 1, hlm. 168-191.
JESP-Vol. 5, No. 1, 2013
ISSN 2086-1575
Artikel dalam koran:
Pitunov, B. 13 Desember, 2002. Sekolah Unggulan ataukah Sekolah Peunggulan? Majapahit Pos, hlm. 4 &
11.
T ulisan/berita dalam koran (tanpa nama pengarang):
KOMP AS-Cybermedia. "Industri Komponen Ngingas Meradang, T api Masih Mampu Bertahan". 02 April
2004.
Kapanlagi.Com. "Lima UKM Logam Harus Bayar Royalti." Rabu, 17 September 2008.
Dokumen Resmi:
BSNP. 2006. Standar Isi Mata Pelajaran Ekonomi SMA/MA. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan.
Buku terjemahan:
Skousen, M. 2001. Sang Maestro "Teori-teori Ekonomi Modern": Sejarah Pemikiran Ekonomi.
Terjemahan dari "The Making of Modern Economics - The Lives and Ideas of the Great Thinkers" oleh
T.W.B. Santoso, 2005. Jakarta: Prenada.
Pass, C. & Lowes, B. 1988. Kamus Lengkap Ekonomi, Edisi Kedua . Terjemahan dari "Dictionary of
Economics, 2nd Ed." oleh T. Rumapea & P . Haloho, 1994. Jakarta: Erlangga.
Skripsi, T esis, Disertasi, Laporan penelitian:
Witjaksono, M. 2008. Modal Sosial dalam Dinamika Perkembangan Sentra Industri Logam W aru
Sidoarjo. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
Makalah, Seminar , Lokakarya, Penataran:
Waseso, M.G. 2001. Isi dan Format Jurnal Ilmiah. Makalah disajikan dalam Seminar Lokakarya Penulisan
Artikel dan Pengelolaan Jurnal Ilmiah, Universitas Lambungmangkurat, Banjarmasin, 9- 11 Agustus.
Internet (karya individual):
Hitchcock, S., Carr, L. & Hall, W . 1996. A Survey of STM Online Journals. 1990- 1995: the Calm before
the Storm, (online), (http://journal.ecs.soton.ac.uk/survey.htm, diakses 12 Juni 1996).
Internet (artikel dalam jurnal online):
Angresano, J. 2007. Orthodox Economic Education, Ideology and Commercial Interests: Relationships that
Inhibit Poverty Alleviation. Post-Autistic Economics Review, Issue no. 44, 9 December 2007, pp. 37-58 ,
(http://www.paecon.net/P AEReview/issue44/Angresano44.pdf, diakses 02 April 2009).
Internet (bahan diskusi):
Wilson, D. 20 November 1995. Summary of Citing Internet Sites. NETTRAIN Discussion List, (online),
([email protected]. buffalo.edu, diakses 22 November 1995).
Internet (e-mail/blog pribadi):
Naga, D.S. ([email protected]). 1 Oktober 1997. Artikel untuk JIP . E- mail kepada Ali Saukah
([email protected]).
9.
Tata cara penyajian rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam Pedoman Penulisan Karya
Ilmiah Universitas Negeri Malang (Edisi terbaru), atau mencontoh langsung tata cara yang digunakan
dalam artikel yang dimuat. Artikel berbahasa Indonesia menggunakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang disempurnakan (Depdikbud, 1987). Artikel Berbahasa Inggris menggunakan ragam baku,
seperti yang disarankan dalam: Menulis artikel untuk Jurnal Ilmiah, Edisi Juli 2006 . Editor: A. Saukah &
M.G. Waseso. Malang: Universitas Negeri Malang.
10.
Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (peer reviewers) yang ditunjuk oleh penyunting
menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi)
naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari atau penyunting.
11.
Pemeriksaan atau penyuntingan cetak-coba (pre-print) dikerjakan oleh penyunting dan/atau dengan
melibatkan penulis. Artikel yang sudah dalam bentuk cetak-coba dapat dibatalkan pemuatannya oleh
penyunting jika diketahui bermasalah. Penyunting tidak berkewajiban mengembalikan artikel yang tidak
dimuat.
12.
Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan atau penggunaan software komputer untuk
pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HaKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut
konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggung jawab penulis artikel tersebut.
_______
jesp
Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan
Vol. 5, No. 1, Maret 2013
Cover design: ©Van Mit 2012
Download