BAB I - Repository | UNHAS

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Demokrasi sebagai suatu proses yang telah meniscayakan
semangat persamaan dan kebersamaan demi tercapainya kebaikan
dalam berpolitik. Setelah sukses bangsa Indonesia menyelenggarakan
pemilu 2004 secara langsung, maka disusul dengan pemilihan ditingkat
lokal, yakni pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung. Hadirnya
Pilkada sebagai respon atas keinginan masyarakat lokal, yang kemudian
direspon kembali oleh pemerintah melalui kebijakan.
Kebijakan penyelenggaraan perpolitikan di Indonesia setidaknya
memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menikmati sebuah
demokrasi pada tingkat lolkal yang disebut Pilkada, namun berbagai
masalah kemudian muncul sebagai bagian dari dinamika politik lokal dan
hal ini menjadi tantangan bagi para elite daerah untuk menyelesaikan
berbagai permasalahan tersebut, serta mengatur dan mengelola segala
potensi daerah.
Pilkada langsung merupakan arus balik politik lokal atau sering
disebut pergeseran dari sistem elite vote ke popular vote. Namun, dalam
realitasnya tidak jarang ditemukan permasalahan disana sini, namun
permasalahan
yang
paling
mencolok
adalah
benturan
berbagai
kepentingan politik sehingga dalam ajang pilkada terkadang terjadi konflik
yang sepertinya sulit terhindarkan.
2
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung
tidak hanya merupakan format baru dalam kancah politik nasional,
melainkan merupakan arus politik demokrasi pada arus lokal. Kedudukan
kepala daerah sebelumnya yakni pada masa rezim orde lama dan orde
baru ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat tanpa melihat aspirasi dan
kebutuhan masyarakat lokal kemudian berbalik kepada masyarakat untuk
secara langsung memilih pemimpin daerahnya.
Dalam masa orde baru, eksistensi tokoh masyarakat ini kemudian
hanya dijadikan alat untuk melegitimasi kekuasaan orde baru (Soeharto),
dan menjadi instrumen yang digunakan pemerintah untuk menekan
keinginan masyarakat lokal yang menginginkan pengelolaan secara
mandiri atas sumber-sumber yang ada di daerahnya.
Seiring dengan berlakunya kebijakan desentralisasi,kecenderungan
tokoh masyarakat kemudian tidak lagi menjadi sebagai alat legitimasi
pemerintah pusat tetapi tokoh masyarakat, kini lebih cenderung melihat
ruang perpolitikan secara pragmatis. Namun, perebutan kekuasaan
ditingkat lokal kini menciptakan kembali ruang-ruang konflik yang tajam
serta memicu pula munculnya etnosentrisme dan ego kedaerahan yang
berlebihan.
Namun, pilkada dapat juga memberi ruang bagi tokoh-tokoh
masyarakat
lokal
untuk
mengaktualkan
setiap
gagasan
ataupun
kepentingan politik untuk kebaikan masyarakatnya. Karena tokoh
masyarakat mempunyai kedekatan ikatan emosional dengan masyarakat,
3
maka untuk mengakomodir berbagai gagasan-gagasan untuk kepentingan
masyarakat, tokoh masyarakat diharapkan mampu menyambut kebijakan
desentralisasi tersebut. keberadaan tokoh masyarakat seperti yang ada di
Kabupaten Mamuju, cenderung masih terikat oleh nilai-nilai lama yakni
tradisi dan ikatan kulturalnya. kekuatan tokoh memang masih bertumpu
pada ikatan primordial, khususnya ikatan keluarga (famili) dan kesukuan1.
Pilkada Gubernur yang berlangsung di kabupaten Mamuju
Sulawesi Barat, ini menarik untuk dicermati karena eksistensi tokoh
masyarakat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat juga
merupakan bagian dari partisipasi politik, ternyata dapat member kembali
ruang-ruang etnisitas untuk tumbuh subur di masyarakat.
Bercermin pada ajang pilkada yang telah bergulir didaerah
lain, tampaknya bahwa mesin politik partai politik bukanlah satusatunya
penyokong
kemenangan.
Popularitas
tokoh
masyarakat
sering kali justru menentukan kemana pilihan dijatuhkan. Dalam
hal
ini,
kualitas
popularitas
dan
tokoh-tokoh
rekam
yang
jejak
selama
bersaing
ini
dalam
menjadi
acuan
kontestasi
politik
lokal.
Disisi lain, bagi Tokoh masyarakat di Kabupaten Mamuju Sulawesi
Barat, selain kualitas serta rekam jejak pemimpin selama ini, ikatan
etnisitas dan kekerabatan masih sangat kental. Faktor-faktor semacam ini
1
M. Alfan Alfian, Harian Umum Pelita, 27 Maret 2009
4
secara langsung memberi celah bagi peranan patron sebagai pengarah
opini publik yang potensial di ranah politik2.
Melihat lebih seksama kontestasi politik lokal dalam pilkada
Gubernur yang berlangsung di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat, tokoh
masyarakat masih lebih cenderung dipengaruhi oleh ikatan-ikatan
primordialnya. Adapun tokoh masyarakatnseperti tokoh adat. Tokoh
agama, tokoh tokoh pemuda, dan tokoh intelektual.
Perilaku memilih tokoh masyarakat dan keterlibatannya pada
pilkada Gubernur di Kabupaten Mamuju, memberikan kesan bahwa
pilihan rasional masyarakat dalam memilih pemimpinnya cenderung
dikesampingkan. Mereka yang pada saat mencoblos, meski memilih
secara sadar pilihannya, akan tetapi masih didasarkan pada pertimbangan
yang bersifat subjektif emosional, memilih hanya karena masih adanya
ikatan kekeluargaan, kekerabatan, persahabatan dan sebagainya3.
Hal tersebut diatas disebabkan karena faktor etnisitas, ataupun
kekerabatan yang masih amat kental pada perilaku memilih tokoh
masyarakat, sehingga keberadaan tokoh masyarakat
dengan model
perilaku memilih tersebut, dapat menghambat proses demokratisasi.
Sehingga, jika hal tersebut diarahkan untuk kepentingan politik kekuasaan
tertentu, maka hal tersebut menjadi kekuatan politik yang besar.
2
3
Kompas.com, Sugihandari, 24 februari 2009
Ir.H.Sukman Baharuddin. M,Sc . Fajar online, 15 September 2007, Pilkada dan
kecerdasan politik
5
Kuatnya
Ikatan
kekerabatan
(darah
dan
kekeluargaan)
dan
kesamaan kesukuan, bahasa, dan adat-istiadat merupakan faktor-faktor
primordial yang membentuk perilaku memilih masyarakat4.
Etnisitas menjadi hal sangat mendasar dalam tingkah laku memilih
tokoh masyarakat pada Pilkada Gubernur tahun 2006 yang berlangsung
di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat .
Berangkat
dari
fakta
objektif
yang
diuraikan
diatas,
yang
mengindikasikan bahwa perilaku memilih tokoh masyarakat di Kabupaten
Mamuju, masih tergolong sektarian dan dapat menghambat proses
demokratisasi di tingkat lokal.
Oleh sebab itu, dalam melakukan penelitian ini dengan mengangkat
judul Tokoh Masyarakat dan Perilaku Memilih. Fokus ini mengacu pada
Perilaku memilh Tokoh Masyarakat pada Pilkada Gubernur tahun 2006 di
Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat.
B.
Rumusan Masalah
Kecenderungan perilaku memilih tokoh masyarakat dikarenakan
masih kuatnya ikatan kekerabatan, kesukuan, dan persaudaraan di
kabupaten Mamuju Sulawesi barat.
Oleh sebab itu, penulis berupaya mengangkat masalah yang sesuai
dengan rumusan masalah diatas sebagai berikut :
4
Surbakti R, Memahami Ilmu Politik, hal 44 (Jakarta, PT.Grasindo, 1992)
6
A. Apakah faktor etnisitas menjadi penting dalam perilaku
memilih tokoh masyarakat pada pilkada Gubernur 2006 di
Kabupaten Mamuju ?
C.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk menggambarkan perilaku memilih tokoh masyarakat
pada pilkada tahun 2006 di Kabupaten Mamuju.
2. Untuk mengidentifikasi faKtor-faktor yang mempengaruhi
perilaku memilih tokoh masyarakat terkait pilkada 2006 di
Kabupaten Mamuju.
D.
Manfaat Penelitian
Dalam hal ini manfaat penelitian diharapkan :
1. Manfaat akademis :
a. Memberikan sumbangan secara ilmiah dan akademis terhadap
pengembangan teori politik terkait pengaruh tokoh masyarakat.
b. Sebagai bahan informasi dan bahan perbandingan bagi pembaca
dan yang terkhusus tertarik mengenai peranan tokoh masyarakat
terhadap pola perilaku memilih tokoh masyarakat itu sendiri.
2. Manfaat praktis
a. Sebagai masukan bagi tokoh masyarakat lokal guna memberikan
pendidikan politik dan pemberdayaan terhadap masyarakat agar
mengubah cara pandang serta pola pikir masyarakat bahwa setiap
manusia mampu memimpin suatu daerah tanpa harus melihat
7
ikatan primordial yang ada dalam masyarakat lokal juga mampu
mengelola mengelola secara mandiri segala sumber daya yang ada
di daerahnya.
b. Sebagai bahan pertimbangan masyarakat terhadap keberadaan
tokoh masyarakat dalam memahami arti kebijakan desentralisasi
yang terkandung dalam pilkada.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini akan diuraikan dengan menggunakan dua kerangka
dasar untuk dijadikan landasan dalam penulisan skripsi ini, kerangka
dasar tersebut adalah Tokoh masyarakat dan Perilaku memilih.
A. Tokoh Masyarakat
Dalam kamus umum bahasa Indonesia, tokoh diartikan sebagai
rupa, wujud dan keadaan, bentuk dalam arti jenis badan, perawakan,
orang yang terkemuka atau kenamaan didalam lapangan politik suatu
masyarakat. Sedangkan masyarakat, ialah sekumpulan individu atau
sejumlah manusia yang terikat dalam satu kebudayaan yang sama.
Pertanyaan yang kemudian yang muncul adalah, siapakah tokoh
masyarakat itu? Apa saja kaitan antara tokoh masyarakat dengan
perkembangan masyarakat? Menurut Surbakti (thn:1992) mengatakan
bahwa tokoh masyarakat ialah seseorang yang disegani dan dihormati
secara luas oleh masyarakat dan dapat menjadi faktor yang menyatukan
suatu bangsa-negara.
Tokoh masyarakat, tentunya merupakan representasi dari adanya
sifat-sifat kepemimpinan yang menjadi acuan bagi masyarakat dalam
mewujudkan harapan serta keinginan-keinginan masyarakat sehingga
tokoh masyarakat, tidak bisa dilepaskan dari sifat kepemimpinan yang
tercermin didalam diri tokoh masyarakat tersebut.Kepemimpinan ini
kemudian menjadi panutan, sebab warga masyarakat mengidentifikasikan
9
diri kepada sang pemimpin, dan ia dianggap sebagai penyambung lidah
masyarakat.
Berdasarkan masyarakat
yang tengah membebaskan diri dari
belenggu penjajahan, biasanya muncul pemimpin yang kharismatik untuk
menggerakkan massa rakyat mencapai kemerdekaannya. Kemudian
pemimpin ini muncul sebagai simbol persatuan bangsa, seperti tokoh
dwitunggal Soekarno-Hatta di Indonesia dan Joseph Bros Tito di
Yugoslavia. Dalam hal ini tokoh masyarakat adalah merupakan orangorang yang dihormati dan disegani dalam masyarakatnya. Karena aktifitas
dalam kelompoknya serta kecakapan-kecakapan dan sifat-sifat tertentu
yang dimilikinya5.
Akan tetapi, pemimpin saja mungkin tidak menjamin bagi
terbentuknya suatu bangsa-negara sebab pengaruh pemimpin bersifat
sementara. Dalam hal ini ada dua penyebab. Pertama, umur manusia
(pemimpin) terbatas, dan khususnya pemimpin kharismatik tidak dapat di
wariskan. Pemimpin tidak hanya yang masih hidup dapat berfungsi
sebagai symbol persatuan bangsa, tetapi juga yang sudah menjadi
pahlawan. Namun, sifat permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat
memerlukan tipe kepemimpinan yang sesuai. Kedua, tipe kepemimpinan
berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat. Masyarakat yang
berubah menghendaki tipe pemimpin yang berubah pula.
5
http://id.wikipedia.org, diakses pada tanggal 26 april 2009 pukul 3: 46
10
Pada pihak lain tidak hanya di Negara-negara berkembang seorang
pemimpin kharismatik dipandang sebagai symbol persatuan bangsa,
tetapi juga di Negara-negara yang maju seorang pemimpin diharapkan
tampil sebagai “wakil” atau personifikasi bangsa di dalam maupun di luar
negeri.6
Ketokohan tersebut merupakan aktualisasi dari masyarakat yang
mendambakan sosok pemimpin yang kharismatik, yang memungkinkan
tercapainya keinginan dan harapan masyarakat di daerah tempatnya
bermukim. Masyarakat tentunya menurut Wikipedia bahasa Indonesia7,
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang
yang membentuk sebuah system semi tertutup (atau semi terbuka),
dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang
berada dalam kelompok tersebut.
Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab,
musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan
hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah
komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain).
Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok
orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Menurut
Taqiyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat
dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran,
perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan
6
7
Surbakti “Memahami ilmu politik” hal 45, PT. Grasindo, Jakarta 1992
http://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat
11
tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan
kemaslahatan. Masyarakat dapat pula diorganisasikan berdasarkan
struktur politiknya: berdasarkan urutan kompleksitas dan besar, terdapat
masyarakat band, suku, chiefdom, dan masyarakat negara.
Kata society berasal dari bahasa latin societas, yang berarti
hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata
socius yang berarti teman, sehingga arti society berhubungan erat dengan
kata sosial. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa
setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama
dalam mencapai tujuan bersama.
Dapat kita telaah korelasi hubungan antara ketokohan didalam
masyarakat, dengan masyarakat itu sendiri. Dari sejumlah asumsi dasar
tersebut maka secara esensial pendekatan secara sosiologis ini mengkaji
kehidupan sosial manusia sebagai berikut:
Masyarakat merupakan sistem yang kompleks yang terdiri dari
bagian-bagian yang saling berhubungan dan tergantung satu sama lain,
serta setiap bagian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap
bagian-bagian lainnya. Setiap bagian dari suatu masyarakat eksis karena
bagian tersebut memiliki fungsi dalam memelihara eksistensi dan stabilitas
masyarakat secara keseluruhan.
Semua
masyarakat
mempunyai
mekanisme
untuk
mengintegrasikan dirinya yaitu mekanisme yang dapat merekatkannya
menjadi satu. Mekanisme ini adalah komitmen para anggota masyarakat
12
kepada serangkaian kepercayaann dan nilai yang sama. Masyarakat
cenderung mengarah pada suatu keseimbangan (equilibrium) dan
gangguan
pada
salah
satu
bagiannya
cenderung
menimbulkan
penyesuaian pada bagian lain agar tercipta harmoni atau stabilitas8.
Masyarakat adalah kumpulan individu yang tinggal pada satu
wilayah. Kumpulan individu ini mempunyai karakteristik tersendiri yang
dapat dibedakan dengan masyarakat lain. Ia mencoba memahami tingkah
laku individu dalam masyarakat, dan tingkah laku masyarakat sebagai
kumpulan individu dengan kelompok masyarakat yang lain. Ia mencoba
memahami, meneliti, menemukan perbedaan dan persamaan interaksi
individu dalam masyarakat dan interaksi masyarakat dengan kelompok
masyarakat yang lain9.
Setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu
terhadap
hal-hal
Penghargaan
tertentu
yang
lebih
dalam
masyarakat
tinggi
terhadap
yang
hal-hal
bersangkutan.
tertentu,
akan
menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal
lainnya10.
Selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dihargai, dan
setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargai, sesuatu itu
akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya system lapisan
dalam masyarakat itu. Sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat dapat
8
www. Wikipedia.Com
Drs.Ng. Philipus, M.Si & Dr. Nurul Aini, M.S, Sosiologi dan Politik, PT.RajaGrafindo
Persada, Jakarta 2006
10 Soerjono soekanto, SOSIOLOGI Suatu Pengantar, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta
2007
9
13
berupa
uang
atau
benda-benda
yang
bernilai
ekonomis,
tanah,
kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan dalam agama atau mungkin
juga keturunan yang terhormat11.
Hal inilah yang menjadi salah Satu faktor timbulnya pelapisan
dalam masyarakat/stratifikasi social, Stratifikasi dapat terjadi dengan
sendirinya sebagai bagian dari proses pertumbuhan masyarakat, juga
dapat
dibentuk
untuk
tercapainya
tujuan
bersama.
Faktor
yang
menyebabkan stratifikasi sosial dapat tumbuh dengan sendirinya adalah
kepandaian, usia, sistem kekerabatan, dan harta dalam batas-batas
tertentu12.
Tokoh masyarakat yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
masyarakat itu sendiri merupakan instrumen politik yang sangat erat
kaitannya dengan perkembangan masyarakat terutama masyarakat yang
masih berada pada lingkungan pedesaan. Peran ini kemudian menjadi
factor yang signifikan didalam proses memilih pemimpinnya.
Dalam konteks pilkada Gubernur Di Mamuju Sulawesi Barat, peran
tokoh masyarakat tentunya juga sedikit banyak mempengaruhi tingkah
laku memilih masyarakat, dikarenakan bahwa tokoh masyarakat tersebut
adalah orang-orang yang memiliki loyalitas dan
kemampuan dalam
memimpin masyarakat.
Pada hakikatnya tokoh masyarakat ialah orang yang mempunyai
peranan yang besar dalam suatu kelompok masyarakat dan memiliki
11
12
Ibid, hal 199
Blog at Wordpress.com, diakses pada tanggal 7 Mei 2009 pukul 1.50
14
kekuasaan yaitu kemampuan mempengaruhi orang atau kelompok lain
sesuai dengan keinginan dirinya13.
Tentu saja ketokohan seseorang dalam masyarakat, tidak bisa
dilepaskan dengan suatu kekuasaan. Sejarah menunjukan bahwa banyak
kejadian diwarnai dari segi kepemimpinan seorang tokoh masyarakat.
Dalam kaitannya dengan hubungan sosial-budaya dari perspektif
ilmu sosial biasa disebut dengan budaya paternalistik, di mana peran
seorang tokoh/ elite dalam masyarakat desa adalah sangat dominan
dalam hubungan-hubungan sosial maupun dalam ranah politik yang
bertalian dengan pengambilan kebijakan pada aras desa. Sementara itu,
apa yang disebut dengan elit desa setidaknya dapat dipilah menjadi
beberapa jenis elit, diantaranya elit pemerintahan, elit agama, elit
ekonomi, elit ormas, elit intelektual, dan elit adat sebagai para
stakeholders dengan fungsi dan peranan yang berbeda-beda.
Elit pemerintahan ditunjukkan dengan adanya kepala desa, kepala
dusun, sekretaris desa, dan perangkat desa lainnya. Elit agama adalah
tokoh panutan dalam agama seperti kyai, ustadz, pendeta, romo, dan
tokoh agama lainnya. Elit ekonomi adalah golongan yang kaya secara
ekonomi di desa termasuk para pemilik lahan. Elit Ormas merupakan
tokoh dalam organisasi kemasyarakatan atau politik yang ada di desa, elit
intelektual adalah ditokohkan karena kecerdasan dan kepandaiannya atau
karena
13
pendidikannya,
sedangkan
mereka
bisa
berprofesi
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar ilmu politik, PT. Gramedia Pustaka hal 10, Jakarta 1972
guru,
15
pegawai/pejabat pemerintahan, sedangkan elit adat merupakan tokoh
yang sangat dihormati dalam tradisi-tradisi atau adat setempat yang masih
hidup dalam keseharian masyarakat pedesaan.
Berkenaan dengan posisi mereka sebagai elit desa, sangat
mungkin mereka menyandang lebih dari 1 (satu) jenis elit, misalnya
seorang kepala desa selain elite pemerintahan juga sebagai elit ekonomi
dan elit agama, begitu pula untuk tokoh/ elit yang lain14. Kecenderungan
seseorang untuk ditokohkan ialah kemampuan-kemampuan dalam
berbagai hal yang terwujud lewat perilaku kehidupan praktisnya.
Kecenderungan seseorang untuk ditokohkan ialah karena berbagai
kelebihan yang dimiliki serta kecakapan dalam bertindak dan tentunya
kemampuan intelektual, spiritual, serta komunikasinya. Manusia-manusia
yang terlahir sebagai sosok cakap dalam berbagai kemampuan, kemudian
menjadi perhatian masyarakat sebagai sosok yang dalam pandangan
umum masyarakat sebagai manusia yang hebat.
B. Perilaku Memilih
Perilaku merupakan sifat alamiah manusia yang membedakannya
atas manusia lain, dan menjadi ciri khas individu atas individu yang lain.
Dalam konteks politik, perilaku dikategorikan sebagai interaksi antara
pemerintah dan masyarakat, lembaga-lembaga pemerintah, dan diantara
kelompok
14
dan
individu
dalam
masyarakat
dalam
rangka
Artikel oleh Agus Supriyadi, di akses pada tanggal 30 maret 2009 pukul 03.54
proses
16
pembuatan, pelaksanaan, dan penegakkan keputusan politik pada
dasarnya merupakan perilaku politik.
Ditengah masyarakat, individu berperilaku dan berinteraksi, sebagian
dari perilaku dan interaksi dapat ditandai akan berupa perilaku politik,
yaitu perilaku yang bersangkut paut dengan proses politik. Sebagian
lainnya berupa perilaku ekonomi, keluarga, agama, dan budaya.
Termasuk kedalam kategori ekonomi, yakni kegiatan yang menghasilkan
barang dan jasa, menjual dan membeli barang dan jasa, mengkonsumsi
barang dan jasa, menukar, menanam, dan menspekulasikan modal.
Namun, hendaklah diketahui pula tidak semua individu ataupun kelompok
masyarakat mengerjakan kegiatan politik.15.
Memilih ialah suatu aktifitas yang merupakan proses menentukan
sesuatu yang dianggap cocok dan sesuai dengan keinginan seseorang
atau kelompok, baik yang bersifat eksklusif maupun yang inklusif.
Memilih
merupakan
aktifitas
menentukan
keputusan
secara
langsung maupun tidak langsung. Menurut Surbakti (tahun:1992) menilai
perilaku memilih ialah keikutsertaan warga Negara dalam pemilihan umum
merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah
memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum16
Perilaku pemilih merupakan realitas sosial politik yang tidak
terlepas dari pengaruh faktor eksternal dan internal. Secara eksternal
perilaku
15
16
politik
merupakan
hasil
dari
sosialisasi
nilai-nilai
Ramlan Surbakti “Memahami Ilmu Politik”, hal 15 PT.Grasindo, Jakarta 1992.
Ibid, hal 145
dari
17
lingkungannya, sedangkan secara internal merupakan tindakan yang
didasarkan atas rasionalitas berdasarkan pengetahuan dan pengalaman
yang dimiliki.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perilaku pemilih.
Misalnya saja isu-isu dan kebijakan politik, tetapi pula sekelompok orang
yang memilih kandidat karena dianggap representasi dari agama atau
keyakinannya, sementara kelompok lainnya memilih kandidat politik
tertentu karena dianggap representasi dari kelas sosialnya bahkan ada
juga kelompok yang memilih sebagai ekspresi dari sikap loyal pada
ketokohan figur tertentu. Sehingga yang paling mendasar dalam
mempengaruhi perilaku pemilih antara lain pengaruh elit, identifikasi
kepartaian sistem sosial,media massa dan aliran politik.
Pemilu,
sebagai
medium
pilihan
publik,
seyogyanya
mengkondisikan seluruh pihak yang terlibat untuk belajar berbagi peran
sehingga tidak semuanya harus berpusat pada salah satu aktor atau salah
satu lokus (Pusat)17.
Dalam hal ini, proses pemilihan kepala daerah/Pilkada. Seiring
dengan konstalasi politik di era reformasi penguatan demokrasi yang
legitimate sebagai harapan dari ending transisi demokrasi, semakin dapat
dirasakan oleh masyarakat melalui pelaksanaan pemilihan kepala
daerah/pilkada
17
secara
langsung.
Sebagai
konsekuensi
logis
dari
Ahmad, Nadir. Pilkada Langsung Dan Masa Depan Demokrasi, hal 39, Averroes Press
Malang 2005
18
perubahan atmosfir politik tersebut, maka dinamika dan intensitas
artikulasi politik pun makin tampak ditengah ranah kehidupan sosial politik.
Secara khusus perubahan yang terjadi dalam sistem pemilu kepala
daerah, yakni dari sistem pengangkatan langsung oleh pejabat pusat,
kemudian menjadi sistem pemilihan perwakilan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) yang senantiasa mengandung kultur vested
interest (kepentingan pribadi) di kalangan elit, dan akhirnya menjadi
pemilihan secara langsung oleh rakyat.
Dengan
demikian,
pemilu
kepala
daerah
secara
langsung
merupakan indikator pengembalian hak-hak dasar masyarakat di daerah
dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen
politik lokal secara demokratis.18
Para ilmuwan politik kontempoter berpandangan bahwa perilaku
politik berarti suatu kegiatan yang berkenaan dengan proses dan
pelaksanaan keputusan politik dan yang melakukan kegiatan tersebut
ialah pemerintah dan masyarakat. Warga Negara memang tidak memiliki
fungsi menjalankan pemerintahan, tetapi mereka memiliki hak untuk
mempengaruhi orang yang menjalankan fungsi pemerintahan (Budiarjo,
1981)19.
Salah satu wujud dari perilaku sosial dalam kehidupan masyarakat
adalah perilaku politik sebagai perilaku yang bersangkut paut dengan
proses politik, untuk membedakannya dari perilaku ekonomi, keluarga,
Ambo Upe, S.sos., M.Si. “Sosiologi Politik Kontemporer”, hal 44-45, Prestasi pustaka
Jakarta 2008
19 Ibid, hal 109
18
19
agama dan budaya. Sedangkan politik adalah interaksi antara pemerintah
dengan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan
keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang
tinggal dalam suatu wilayah (Surbakti, 1992).
Secara lebih rinci Popkin membedakan antara pilihan politik
sebagai wujud perilaku politik dengan pilihan pribadi terhadap produkproduk konsumtif sebagaimana dalam perilaku ekonomi. Menurutnya ada
empat hal yang membedakan perilaku tersebut. Pertama, memilih
kandidat politik tidak langsung dirasakan manfaatnya sebagaimana pilihan
terhadap pilihan konsumtif, melainkan manfaatnya diperoleh dimasa
depan. Kedua, pilihan politik merupakan tindakan kolektif dimana
kemenangan ditentukan oleh perolehan suara terbanyak. Jadi pilihan
seseorang senantiasa mempertimbangkan pilihan orang lain. Ketiga,
pilihan politik senantiasa diperhadapkan dengan ketidakpastian utamanya
politisi
untuk
memenuhi
janji
politiknya.
Keempat,
pilihan
politik
membutuhkan informasi yang intensif demi tercapainya manfaat dimasa
depan. Dari beberapa karakteristik tentang perilaku memilih tersebut, yang
tentunya akan berimplikasi dalam pemberian suara pada proses pemilihan
umum (Pemili).20
Memberikan suara adalah salah satu tindakan sosial dalam proses
pemilihan
Kepala
Daerah,
dimana
pemilih
banyak
menggunakan
pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan putusan mereka
20
Ibid, hal 110
20
dengan pemberian suara melalui pemilihan umum (Pemilu) secara
langsung. Pemilihan umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana para
pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu.
Jabatan-jabatan yang disini beraneka-ragam, mulai dari Presiden, wakil
rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa.
Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses
mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun
untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.Sistem pemilu digunakan
adalah asas luber dan jurdil.
Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen,
dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan
program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama
waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara. Setelah
pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai.
Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem
penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui
oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih21.
Menurut Jung membedakan dua tipe karakter utama pemilih yang
ekstrovert dan introvert. Introvert berbalik kedalam diri manusia itu sendiri,
kepada dunia ide tidak peduli dengan pendapat orang lain seorang
21
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum
21
ekstrovert berminat dengan sesuatu yang berada disekirarnya, dalam
kekayaan, prestise, persetujuan sosial, dan konformitasi22.
Pendekatan perilaku pemilih dalam kehidupan suatu masyarakat
selalu terdapat
pola-pola dan cara-cara tertentu yang dianut oleh warga
masyarakat. Pola dan cara-cara tersebut merupakan tingkah laku
masyarakat itu dalam kehidupan sehari-hari.
Seseorang yang sukarela atau dengan terpaksa melakukan atau
tidak melakukan sesuatu tindakan yang diharapkannya, maka keputusan
yang diambilnya itu amat dipengaruhi oleh pola dan cara fikir yang
dianutnya.
Hal tersebut diatas tentu tidak bisa dilepaskan dari kondisi psikis dan
pola pikir tokoh masyarakat, terlebih lagi oleh kuatnya dorongan dalam
rangka memperebutkan ataupun mempertahankan sumber-sumber yang
dianggap perlu.
Pola dan cara berfikir menurut tokoh masyarakat itu sendiri lahir,
tumbuh dan berkembang sebagai pedoman dalam kebudayaan yang ada
dalam pergaulan hidup sehari-hari dengan anggota masyarakat lainnya
tidak dapat disangkal bahwa
manusia mempunyai bentuk-bentuk
kharakteristik
dalam
yang
terwujud
kelompok-kelompok
sosial,
kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi dan kekuasaan. Dengan
demikian, dalam melihat perilaku politik seseorang perlu menggunakan
beberapa pendekatan. Dalam menganalisis perilaku pemilih dapat
22
Ibid, hal 109-111
22
digunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan sosiologis, pendekatan
psikologis, dan pendekatan rasional.
Pendekatan Sosiologis, pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan
bahwa kharakteristik social dan pengelompokan-pengelompokan social
mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan pilihan
pemilih.
Pendekatan
sosiologis
dilandasi
oleh
pemikiran
bahwa
determinan pemilih dalam respon politiknya adalah status sosio-ekonomi,
afiliasi religious.
Dengan kata lain, pendekatan ini didasarkan pada ikatan social
pemilih dari segi etnik, ras, agama, keluarga dan pertemanan yang dialami
oleh agen pemilih secara historis. Pengelompokan sosial seperti umur
(tua-muda), jenis kelamin (laki-perempuan) agama dan semacamnya
dianggap
mempunyai
membentuk
keanggotaan
peranan
pengelompokan
seseorang
organisasi-organisasi
sosial
dalam
profesi,
yang
dan
cukup
baik
menentukan
secara
formal
organisasi-organisasi
sebagainya,
maupun
dalam
seperti
keagamaan,
kelompok-
kelompok informal seperti keluarga, pertemuan, ataupun kelompokkelompok kecil lainnya, merupakan sesuatu yang sangat vital dalam
memahami perilaku politik seseorang, karena kelompok-kelompok inilah
yang mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan sikap,
persepsi dan orientasi seseorang.
Pendekatan psikologis, pendekatan ini pada dasarnya melihat
sosialisasi sebagai determinasi dalam menentukan perilaku politik pemilih,
23
bukan kharakteristik sosiologis. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap
seseorang merupakan refleksi dari keperibadian seseorang yang menjadi
variabel yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik
seseorang.
Oleh karena itu, pendekatan psikologi menekankan pada tiga aspek
psikologis sebagai kajian utama, yaitu ikatan emosional pada suatu partai
politik, orientasi terhadap isu-isu dan orientasi terhadap kandidat.
Pertama, sikap merupakan fungsi kepentingan, artinya penilaian terhadap
suatu objek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang
tersebut; kedua, sikap
merupakan fungsi penyesuaian diri artinya
seseorang bersikap tertentu merupakan akibat dari keinginan orang itu
untuk sama atau tidak sama dengan tokoh yang dijadikan panutan; ketiga,
sikap merupakan fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri, artinya sikap
seseorang itu merupakan upaya utuk mengatasi konflik batin dan tekanan
psikis dan eksternalisasi diri seperti proyeksi, idealisasi, rasionalisasi dan
identifikasi.
Kedua pendekatan tersebut diatas melihat bahwa perilaku pemilih
bukanlah keputusan yang dibuat pada saat menjelang atau ketika berada
dibilik suara, tapi sudah ditentukan jauh sebelumnya, bahkan sebelum
kampanye dimulai. Oleh karena itu tidak cukup menjelaskan perilaku
politik dengan hanya menggunakan kedua pendekatan tersebut, tetapi
juga dibutuhkan pendekatan rasional.
24
Pendekatan rasional, melihat bahwa pemilih akan menentukan
pilihan berdasarkan penilaiannya terhadap isu-isu politik dan kandidat
yang diajukan, artinya para pemilih dapat menentukan pilihannya
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional.
Dengan demikian, perilaku pemilih berdasarkan pertimbangan
rasional
tidak
hanya
berupa
memilih
alternative
yang
paling
menguntungkan (maximum gained) atau mendatangkan kerugian yang
paling sedikit, tetapi juga dalam memilih alternative yang menimbulkan
resiko yang paling kecil yang penting mendahulukan selamat.
Oleh karena itu, diasumsikan para pemilih mempunyai kemampuan
untuk menilai isu-isu politik yang diajukan, begitu juga mampu menilai
calon (kandidat) yang ditampilkan. Penilaian rasional terhadap isu politik
atau kandidat ini dapat didasarkan pada jabatan, informasi dan pribadi
yang populer atas prestasi yang dimilikinya.
Beberapa pendekatan diatas sama-sama berasumsi bahwa memilih
merupakan kegiatan yang otonom, dalam arti tanpa desakan dan paksaan
dari pihak lain. Namun, dalam kenyataan di Negara-negara berkembang
perilaku memilih bukan hanya ditentukan oleh pemilih sebagaimana
disebutkan oleh beberapa pendekatan diatas, tetapi dalam banyak hal
justru ditentukan oleh tekanan kelompok, intimidasi, dan paksaan dari
kelompok atau pemimpin tertentu.
Tokoh Masyarakat yang memandang kelompok atau publik lebih
penting daripada definisi situasi yang diberikan oleh individu cenderung
25
mempersukar individu untuk membuat keputusan yang berbeda ataupun
bertentangan dengan pendapat kelompok atau Negara tersebut. Oleh
karena itu, perilaku memilih dibeberapa Negara berkembang harus pula
ditelaah dari segi pengaruh kepemimpinan terhadap pilihan pemilih.
Kepemimpinan yang dimaksud berupa kepemimpinan tradisional
(kepala adat dan kepala suku), religious (pemimpin agama), patron-klien
(tuan tanah-buruh penggarap), dan birokratik-otoriter (para penjabat
pemerintah, polisi, dan militer). para pemimpin ini tidak selalu berupa
persuasi, tetapi acap kali berupa manipulasi, intimidasi, dan ancaman
paksaan.
Proses pendekatan diatas tentunya akan berdampak pula pada
perkembangan perilaku memilih di Mamuju Sulawesi Barat yang masih
sangat dipengaruhi oleh semangat kedaerahan yang tinggi, serta para
tokoh masyarakat lokal yang menjadi patron di daerah tersebut.
Disamping itu menurut Kacung Marijan23, ada dua kecenderungan
perilaku memilih pasca runtuhnya pemerintahan Soeharto. Pertama,
adalah
perilaku
memilih
yang
bercorak
suka.
Perilaku
demikian
mengemuka pada Pemilu 1999. Para pemilih memiliki kecenderungan
secara sukarela mendukung partai-partai yang didukungnya agar bisa
memperoleh kemenangan dalam Pemilu 1999 saat itu. Tidak hanya
dukungan suara, para pemilih itu juga secara aktif memberikan
sumbangan material kepada partai-partai kesayangannya. Para pemilih
23
Kacung Marijan, Blog at wordpress.com,
26
tersebut, misalnya, aktif membiayai berdirinya posko, kampanye, kaus,
pemasangan baliho, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Singkat cerita, jalinan
antara pemilih dan partai cukup kuat. Kedua,
adalah perilaku pemilih
yang bercorak transaksional material.
Gejala tersebut mulai mengemuka pada Pemilu 2004. Di antara
pemilih, para pemilih tidak lagi secara suka mendukung partai. Mereka ikut
mendukung, asalkan terdapat imbalan terhadap dukungan yang diberikan
itu. Misalnya, mereka mau berkampanye, asalkan mendapatkan uang
transpor, memperoleh kaus, dan imbalan-imbalan material lainnya.
Terdapat sejumlah kondisi yang memunculkan fenomena kedua
itu. Kondisi yang pertama berkaitan dengan kesadaran para pemilih
bahwa politisi yang pada akhirnya memperoleh kekuasaan atas dukungan
yang mereka berikan tersebut telah menikmati kekuasaan yang berdurasi
cukup lama.Tetapi di balik itu semua, terdapat keinginan agar orang-orang
yang memperoleh materi tersebut memilih calon itu. Demokrasi memang
tidak bisa dilepaskan dari transaksi, antara yang memilih dan yang dipilih.
Tetapi, di dalam demokrasi yang sehat, transaksi itu tidak berwujud
material yang diberikan kepada pribadi-pribadi (private), melainkan
kepada masyarakat umum (public). Yang terakhir ini, misalnya, berbentuk
ikatan tentang kebijakan-kebijakan yang akan dibuat manakala calon
tersebut benar-benar terpilih.
Transaksi material bisa mengarah kepada kehidupan demokrasi
yang tidak sehat. Pertama, transaksi itu bersifat sesaat: calon memberikan
27
sesuatu dan penerima memilihnya. Setelah itu, bisa selesai begitu saja.
Konsekuensinya, disconnect electoral terjadi. Calon yang terpilih bisa saja
tidak merasa harus memiliki akuntabilitas kepada pemilih. Hal demikian
membawa implikasi adanya relasi yang tidak sehat antara pejabat terpilih
itu dan para pemilihnya. Kedua, perilaku transaksional semacam itu
cenderung hanya membuka ruang kepada orang-orang yang memiliki
kekayaan besar saja yang berkesempatan menjadi elite. Minimal, hanya
memberikan
ruang
kepada
calon
yang
mampu
mengumpulkan
sumbangan dari orang-orang berduit saja. Konsekuensi semua itu, sifat
kekuasaan cenderung bercorak oligarkis.
Dalam
model
demikian,
kekuasaan
lebih
banyak
dinikmati
sekelompok kecil orang saja. Sekiranya hal seperti itu yang terjadi, tujuan
pilkada secara langsung menjadi sulit diwujudkan.
Selain agar proses pemilihan kepala daerah berlangsung secara
demokratis, mekanisme demikian dimaksudkan agar alokasi dan distribusi
sumber-sumber untuk publik bisa berlangsung
secara adil dan
menguntungkan banyak pihak. Tetapi, kalau pilkada langsung itu hanya
memproduksi kekuasan yang bercorak oligarkis, alokasi dan distribusi
sumber-sumber daerah hanya akan lebih banyak menguntungkan
sekelompok kecil orang tertentu saja.
Situasi seperti itu bisa berubah manakala perilaku transaksi
material tersebut berubah menjadi transaksi kebijakan. Para pemilih
menentukan pilihannya bukan karena para calon telah memberikan
28
imbalan material, melainkan mampu memberikan imbalan berupa
kebijakan publik yang menguntungkan.
Selain itu, perlu ada desain ulang pilkada secara langsung untuk
meminimalisasi biaya tinggi dan berlangsungnya praktik transaksi
material. Misalnya, perlu ada pembatasan jumlah biaya yang dikeluarkan
oleh semua pasangan calon dan adanya sanksi yang berat kepada pelaku
money politics24. Perilaku memilih tokoh masyarakat dilatar belakangi oleh
adanya kondisi psikologis yang merupakan faktor paling berperan dalam
perilaku memilih tokoh masyarakat.
Kalau kita melihat dan mengamati beberapa pandangan mengenai
perilaku memilih dan peran tokoh masyarakat dalam pentas politik
lokal/pilkada yang berlangsung di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat,
tentunya menarik untuk di teliti guna memperdalam kajian mengenai
demokrasi lokal/kedaerahan yang dewasa ini, menjadi pesta politik
diseluruh daerah di Indonesia.
Tetapi sistem desentralisasi yang terakomodasi dalam pilkada,
tentunya melahirkan suatu potensi konflik. Menurut Maswadi Rauf, bahwa
konflik adalah suatu gejala social yang selalu terdapat didalam setiap
masyarakat dari setiap kurun waktu. Konflik merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat, karena konflik merupakan
salah satu produk dari hubungan sosial (Social Relation) karena
masyarakat terdiri dari sejumlah besar hubungan social, selalu saja terjadi
24
Kompas.com, 7 Agustus 2008
29
konflik antara warga-warga masyarakat yang terlibat dalam hubungan
sosial.25
Hal tersebut diatas tentunya memicu suatu ketegangan sosial yang
berimplikasi pada disharmonisasi kehidupan bermasyarakat, sehingga
ketegangan sosial tersebut pun memicu kembali semangat etnosentrisme.
Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Dr. Achmad Habib, MA bahwa pada
dasarnya setiap kebudayaan dalam masyarakat hampir selalu memiliki
sifat ethnosentris tidak terkecuali budaya Jawa & Cina. Konflik sosial yang
teradapat dalam masyarakat tentunya tidak bisa dilepaskan dari sifat
etnosentris yang inheren didalam diri individu, yang kemudian melahirkan
antagonisme etnis yang oleh Persell (1990 : 234) dihipotesiskan akan
terjadi bila ada sejumlah prasyarat, yaitu: Pertama, adanya dua atau lebih
kelompok etnik yang berbeda. Kedua, adanya perbedaan praktek budaya
& cirri-ciri fisik kelompok yang bias dikenali. Ketiga, adanya persaingan
antar berbagai kelompok untuk mendapatkan barang-barang atau
sumber-sumber yang terbatas. Keempat, adanya ketimpangan distribusi
kekuasaan dan sumber daya pada berbagai kelompok yang bersaing. Hal
tersebut meniscayakan adanya potensi konflik yang nyata didalam
masyarakat, sehingga benturan tersebut tidak dapat dihindarkan.
Terlepas
dari
apakah
keempat
kondisi
prasyarat
tersebut
semuanya terpenuhi atau tidak, kerusuhan antar etnik seolah-olah terus
mengikuti dinamika sejarah perpolitikan di Indonesia. Etnik sebagai
25
Maswadi Rauf, Konsensus & konflik politik, Jakarta: PT. Gramedia, 2001
30
sekelompok manusia yang mempunyai kebudayaan sama, berkembang
dari ranah biologis menuju ranah kebudayaan dan akhirnya bermuara
pada ranah politik. Aspek sosio-politik tentang etnik ini belakangan disebut
etnisitas26.
Dalam hal ini sedikitnya ada dua macam tingkatan konflik yang
mungkin terjadi, yakni (1) konflik dalam tingkatan yang bersifat ideologis,
(2) konflik didalam tingkatan yang bersifat politis. Pada tingkatan yang
bersifat ideologis, konflik tersebut terwujud didalam bentuk konflik antara
system nilai yang dianut serta menjadi ideology dari berbagai kesatuan
sosial. Pada tingkatan yang bersifat politis, konflik tersebut terjadi dalam
bentuk pertentangan didalam pembagian status kekuasaan & sumbersumber ekonomi yang terbatas adanya didalam masyarakat.27
Dalam hal ini, menurut teori Neil J. Smelser yang menyatakan
bahwa faktor-faktor yang menjadi sumber ketegangan yakni (Struktural
condusiveness, srtuktural strain), yang kemudian diikuti oleh adanya
penyebaran kepercayaan dan kebencian. Disinilah, intervensi politik,
aktivis maupun kepentingan elit, seringkali menumpangi proses-proses
ketegangan, sehingga merambat menjadi kebencian dan tindakantindakan anarkis.28
26
Dr. Achmad Habib, MA, Konflik antar etnik di pedesaan, Yogyakarta: PT. LKiS, 2004
Dr. Nasikun, Sistem Sosial Indonesia: Jakarta, PT. RajaGrafindo, 2006
28 Riza Sihbudi & Moch Nurhasim: Jakarta, PT. Grasindo, 2002
27
31
C. Teori etnisitas
Pada awalnya istilah etnik hanya digunakan untuk suku-suku
tertentu yang dianggap bukan asli Indonesia, namun telah lama bermukim
dan berbaur dalam masyarakat, serta tetap mempertahankan identitas
mereka melalui cara-cara khas mereka yang dikerjakan, dan atau karena
secara fisik mereka benar-benar khas. Misalnya etnik Cina, etnik Arab,
dan etnik Tamil-India. Perkembangan belakangan, istilah etnik juga
dipakai sebagai sinonim dari kata suku pada suku-suku yang dianggap
asli Indonesia. Misalnya etnik Bugis, etnik Minang, etnik Dairi-Pakpak,
etnik Dani, etnik Sasak, dan ratusan etnik lainnya. Malahan akhir-akhir ini
istilah suku mulai ditinggalkan karena berasosiasi dengan keprimitifan
(suku dalam bahasa inggris diterjemahkan sebagai ‘tribe’), sedangkan
istilah etnik dirasa lebih netral. Istilah etnik sendiri merujuk pada
pengertian kelompok orang-orang, sementara etnis merujuk pada orangorang dalam kelompok.
Pengertian Etnik
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnik berarti
kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai
arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan
sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan
dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun
tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.
32
Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnik menunjuk pada suatu
kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa,
ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai
budayanya. Kelompok etnik adalah kelompok orang-orang sebagai suatu
populasi yang :

Dalam populasi kelompok mereka mampu melestarikan
kelangsungan kelompok dengan berkembang biak.

Mempunyai nila-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa
kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya.

Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.

Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok
lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.29
Etnik merupakan konsep yang pekat dari sisi pemahaman proses
sosial. Istilah ‘etnik’ diserap dari kata dalam bahasa inggris ‘ethnic’ yang
secara harfiah makna “Connected with or relating to different racial or
cultural groups of people”. Etnik sebagai kategori untuk membedakan
‘perilaku’ orang-orang merupakan sesuatu yang telah usang. ‘Model
untuk’ yang digunakan dengan mengelompokkan perilaku dan budaya
tertentu diasosiasikan dengan etnik tertentu sudah tidak dapat lagi
dipergunakan. Sekarang ini, etnik sebagai identitas tidak berarti harus
menunjukkan adanya perbedaan budaya. Mengaku berbeda etnik bukan
29Psikologi-online.com/etnik
dan etnisitas /Tanggal: 13/07/2009
33
lantas harus menunjukkan perbedaan dalam perilaku. Namun meski
demikian, masyarakat umumnya tetap menganut adanya model-model
perilaku dan sifat tertentu yang khas etnik tertentu, dan model tersebut
digunakan untuk menjelaskan keberadaan etnik bersangkutan.
Konsep etnosentrisme seringkali dipakai secara bersama-sama
dengan rasisme. Konsep ini mewakili sebuah pengertian bahwa setiap
kelompok etnik atau ras mempunyai semangat bahwa kelompoknyalah
yang lebih superior dari kelompok lain.
Definisi
etnik
diatas
menjelaskan
pembatasan-pembatasan
kelompok etnik yang didasarkan pada populasi tersendiri, terpisah dari
kelompok lain, dan menempati lingkungan geografis tersendiri yang
berbeda dengan kelompok lain. Sebuah kelompok etnik pertama kali
diidentifikasi melalui hubungan darah. Apakah seseorang tergabung
dalam suatu kelompok etnik tertentu ataukah tidak tergantung apakah
orang itu memiliki hubungan darah dengan kelompok etnik itu atau tidak.
Meskipun seseorang mengadopsi semua nilai-nilai dan tradisi suatu etnik
tertentu tetapi jika ia tidak memiliki hubungan darah dengan anggota
kelompok etnik itu, maka ia tidak bisa digolongkan anggota kelompok
etnik tersebut.
Etnik tetap ada karena berkait dengan kebutuhan akan identitasidentitas. Meskipun terdapat kesamaan-kesamaan yang besar dengan
etnik lain, hal itu tidak menghalangi untuk tetap merasa berbeda. Identitas
34
etnik yang diperkuat, dimana identitas etnik semakin kerap ditonjolkan
dalam kehidupan sosial seperti yang terjadi belakangan ini, kontradiktif
dengan ramalan para pemuja globalisasi. Justru, perkuatan identitas etnik
lahir sebagai perlawanan atas globalisasi. Etnik dijadikan alat politik untuk
mendapatkan posisi tawar yang lebih tinggi dalam meraih sumber daya
tertentu.
Etnisitas sebagai ikatan primordialisme terkadang digunakan oleh
elit politik lokal di suatu daerah sebagai isu dalam meraup suara pada
saat momentum di sebuah pemilihan. Para elit lokal terkadang
mendoktrinasi anggota kelompoknya serta menyebarkan kepercayaan
serta kebencian yang menjadi sumber ketegangan sosial. Segmentasi
dalam bentuk terjadinya kesatuan-kesatuan social yang terikat kedalam
oleh ikatan-ikatan primordial dengan sub- kebudayaan yang berbeda satu
sama lain mudah sekali menimbulkan konflik-konflik diantara kesatuankesatuan sosial tersebut.
Dalam hal ini sedikitnya ada dua macam tingkatan konflik yang
mungkin terjadi, yakni (1) konflik dalam tingkatan yang bersifat ideologis,
(2) konflik didalam tingkatan yang bersifat politis. Pada tingkatan yang
bersifat ideologis, konflik tersebut terwujud didalam bentuk konflik antara
system nilai yang dianut serta menjadi ideology dari berbagai kesatuan
sosial. Pada tingkatan yang bersifat politis, konflik tersebut terjadi dalam
35
bentuk pertentangan didalam pembagian status kekuasaan & sumbersumber ekonomi yang terbatas adanya didalam masyarakat.30
Jadi,
momentum.
berbicara
Hanya
mengenai
saja,
etnisitas
pemahaman
tetap
tidak
mengenai
kehilangan
etnisitas
perlu
ditambahkan. Tidak saja etnik sebagai kategori orang-orang karena
budaya dan darah, tetapi lebih penting lagi telah menjadi kategori identitas
politis, dimana identitas etnis tetap dipertahankan karena memang
bermanfaat. Meminjam istilah Edward Said, guru orientalisme, identitas
etnikpun bisa dipilah sebagai identitas murni dan identitas politis. Identitas
etnik menjadi identitas politis manakala identitas itu dipergunakan demi
tujuan tertentu untuk memperoleh kemanfaatan tertentu.
D.
Kerangka Pemikiran
Pilkada Gubernur secara langsung merupakan proses penentuan
pemimpin didaerah yang dipilih langsung oleh masyarakat sesuai dengan
mekanisme yang telah diatur. Proses yang dimaksudkan tetap dikemas
dalam sebuah mekanisme sebagaimana pemilihan umum .
Dalam proses ini, tokoh masyarakat yang sepenuhnya berhak untuk
menentukan dan juga terlibat langsung untuk memilih walikota, bupati
ataupun gubernur sesuai dengan pilihan mereka.
Dalam konteks negara kebangsaan, sistem masa lalu yang sangat
sentralistik telah digeser ke dalam sistem yang lebih demokratis.
30
Dr. Nasikun, Sistem Sosial Indonesia: Jakarta, PT. RajaGrafindo, 2006
36
Runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998, di tandai dengan masuknya
era reformasi, masa ini adalah masa pembaharuan di semua dimensi
kehidupan. Tidak terkecuali dalam sistem politik yang dulu sangat
sentralistik dan terpusat, kemudian digeser ke sistem federalis. Adanya
UU yang terus di revisi sebagai wujud dari penyempurnaan ke arah yang
lebih baik, UU No. 22 tahun 1999 kemudian di revisi menjadi UU No. 32
tahun 2004 tentang otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah secara
langsung.
Sehingga
dalam
pelaksanaannya,
,masyarakatlah
yang
sepenuhnya berhak untuk menentukan dan juga terlibat langsung untuk
memilih walikota, bupati ataupun gubernur sesuai dengan pilihan mereka.
Sistem pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah secara
langsung, melibatkan masyarakat dalam pemilihan umum untuk memilih
dan terlibat secara langsung.
Berbagai faktor dan struktur sosial yang ada dalam tokoh
masyarakat dapat menjadi variabel yang sangat berpengaruh. Dalam
konteks Pilkada di Kabupaten Mamuju, perilaku memilih sangatlah di
pengaruhi
oleh
faktor-faktor
primordialisme
yaitu
kuatnya
ikatan
kekerabatan (darah dan kekeluargaan) dan kesamaan kesukuan, bahasa,
dan
adat-istiadat
yang
merupakan
faktor-faktor
primordial
yang
membentuk perilaku memilih masyarakat (Surbakti, 1992:44).31
Tokoh masyarakat sebagai representasi dari masyarakat itu sendiri,
yakni individu-individu yang memiliki kemampuan dalam mengorganisasi,
31
Ibid, 44
37
memobilisasi, serta mengarahkan perilaku sosial suatu masyarakat,
merupakan salah satu variabel perilaku memilih tokoh masyarakat dan
merupakan salah satu faktor yang menentukan bagi tercapainya suatu
kebaikan bersama dengan mengedepankan semangat serta nilai-nilai
kearifan lokal sebuah masyarakat.
Tokoh masyarakat tersebut diharapkan dapat menjadi model aktif
dalam pengembangan sumber daya manusia yang menjadi kunci dan
sebagai pengendali konflik diranah lokal.
Pengendalian konflik dalam masyarakat tentunya
memerlukan
peranan tokoh masyarakat dengan semangat kearifan lokal serta
semangat kedaerahan yang tinggi dan demokratis yang mengedepanlan
nilai-nilai pluralisme agar tercipta harmoni sosial dalam masyarakat.
Beberapa faktor lainnya yang kemudian mempengaruhi perilaku
memilih tokoh masyarakat yaitu: faktor sosiologis, faktor psikologis, dan
faktor perilaku memilih rasional.
Kesemua faktor-faktor dalam perilaku memilih tersebut sangat erat
kaitannya dengan proses Pemilihan Kepala Daerah secara langsung di
Kabupaten Mamuju.
Pada pemilihan kepala daerah Gubernur tahun 2006 di Kabupaten
Mamuju dengan isu etnisitas yang sangat kuat dan merupakan faktor yang
sangat erat kaitannya dalam pola perilaku memilih tokoh masyarakat. Ini
terlihat dari terlibatnya beberapa tokoh masyarakat dalam pilkada
Gubernur yang berlangsung dikabupaten Mamuju pada tahun 2006,
38
keterlibatan tokoh masyarakat dalam pilkada tersebut diharapkan menjadi
pengarah dan mampu meminimalisir potensi konflik yang senantiasa
mengancam stabilitas serta harmoni kehidupan masyarakat secara
kolektif.
kecenderungan
etnosentrisme
yang
muncul
dalam
pilkada
Gubernur 2006 di kabupaten mamuju, diharapkan mampu diarahkan
untuk perbaikan oleh tokoh masyarakat sebagai patron yang mampu
mengakomodir kepentingan masyarakat secara kolektif, bukan malah
mempertajam sekat-sekat dan fanatisme kesukuan.
penelitian tentang tokoh masyarakat dan perilaku memilih tokoh
masyarakat dan bagaimana pola pilihan-pilihan politik tokoh masyarakat
pada pemilihan kepala daerah dalam hal ini pemilihan gubernur Di
Kabupaten/Kota Mamuju secara langsung, dititik beratkan pada proses
penentuan pilihan terhadap kandidat, dan tahapan sosialisasi yang
dilakukan.
Dari uraian diatas maka kerangka analisis dapat dikembangkan
dengan model sebagai berikut:
Tokoh
Masyarakat
Perilaku memilih
pada pilkada 2006 di
Kabupaten Mamuju
BAB II
Sosiologis
Psikologis
Rasional
Pilihan Tokoh
masyarakat
39
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bagian ini, penulis akan menguraikan mengenai lokasi
penelitian, dasar pokok penelitian, tekhnik pengumpulan data dan analisis
data penelitian, definisi operasional, dan analisis data penelitian.
A. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian akan
dilakukan di wilayah Kota Mamuju, yang
sesuai dengan judul penelitian yang diangkat oleh peneliti, yakni
menyangkut tokoh masyarakat dan perilaku memilih studi tentang perilaku
memilih tokoh masyarakat pada pilkada Gubernur 2006 di Kabupaten
Mamuju
Sulawesi Barat,
penelitian
dilakukan
dan
berfokus
di
Kabupaten/kota Mamuju Sulawesi Barat sehingga penelitian akan lebih
intensifkan di Kota tersebut.
B. Tipe penelitian dan dasar Penelitian
Sesuai dengan tujuan serta konseptualisasinya maka penulis ingin
mengetahui lebih jelas dan mendalam mengenai Tokoh masyarakat Dan
perilaku memilih dalam konteks Pilkada dalam pemilihan di Kabupaten
Mamuju tersebut. Tipe penelitian ialah deskriptif, yaitu mencoba membuat
gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan
sifat-sifat pada suatu obyek penelitian tertentu32.
32
Dr. Ir. Mansyuri, MP dan Drs.M.Zainuddin,MA.METODOLOGI
Pendekatan Praktis,PT. Refika Aditama, Malang 2008.
PENELITIAN
40
C. Penentuan informan
Dalam studi penelitian ini, peneliti ingin mengetahui tentang tokoh
masyarakat dalam perilaku memilih dan keterlibatannya dalam pilkada
Gubernur 2006 di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat. Pemilihan informan
yang akan peneliti wawancarai ialah para tokoh adat, tokoh agama,tokoh
intelektual dan tokoh pemuda. Dan yang dijadikan informan dari penelitian
ini adalah individu-individu yang berkaitan dengan fokus penelitian.
Pemilihan informan yang akan peneliti wawancarai pada penelitian
ini menggunakan metode dengan cara pemilihan secara purposive,
informan dipilih berdasarkan pada tujuan penelitian dan beberapa
pertimbangan tertentu.
Informan dipilih dari 4 kategori Tokoh di Mamuju yakni:
1. Tokoh adat (Drs. Tamrin Syakur, H. Andi maksum da’i) alasan
dipilihnya tokoh adat dalam penelitian ini ialah, karena tokoh adat
dianggap mampu menjaga
tradisi serta
nilai-nilai budaya
kesukuan/etnosentrisme.
2. Tokoh Agama, (Drs, Muh yahya dan Drs.H.M kamil) alasan
dipilihnya tokoh agama, karena tokoh agama dianggap mampu
memberi pengaruh dalam konteks keagamaan.
3. Tokoh Pemuda, (Ali candra pattihasan,Irwan pababari) alasan
dipilihnya tokoh pemuda ialah dikarenakan tokoh pemuda
mempunyai kedekatan dengan beberapa
kepemudaan yang ada di Kabupaten Mamuju.
aliansi organisasi
41
4. Tokoh Intelektual (Almalik Pababari) alasan dipilihnya tokoh
intelektual
ialah dikarenakan mempunyai pengaruh penting
dalam mengkritisi setiap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah.
D. Tekhnik Pengumpulan Data
Tekhnik pengumpulan data yang direncanakan untuk digunakan
dilapangan adalah sebagai berikut :
1. Wawancara Mendalam
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Dalam hal ini Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu
pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang
memberikan pertanyaan yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu
dan merupakan proses untuk mendapatkan informasi untuk kepentingan
penelitian dengan cara dialog antara peneliti sebagai pewawancara
dengan informan atau yang memberi informasi untuk mendapatkan data
yang akurat dan kongkrit33
Wawancara ini merupakan suatu teknik pengumpulan data
untuk mendapatkan infofmasi yang digali dari sumber data langsung
melalui percakapan atau Tanya jawab. Wawancara dalam penelitian
kualitatif sifatnya mendalam karena ingin menggali informasi secara
langsung dan jelas dari informan.
33
Prof. Dr. Djam ‘an Satori, M.A. dan Dr. Aan Komariah, M.Pd. METODOLOGI
PENELITIAN KUALITATIF. Penerbit ALFABETA,Bandung,2009
42
2. Studi pustaka dan dokumen
Tekhnik ini peneliti gunakan untuk memperkuat validitas data
primer atau data utama yang peneliti peroleh dari para informan. Teknik ini
kemudian membantu peneliti didalam menelusuri pembahasan melalui
tulisan-tulisan yang telah ada sebelumnya tentang tokoh masyarakat dan
perilaku memilih.
E. Jenis data
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh melalui studi lapangan
dengan menggunakan tekhnik wawancara. Dalam pelaksanaan
tekhnik ini, penulis mengumpulkan data mentah dan mengolah data
tersebut.
2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan
dengan cara membaca buku, literatur-literatur serta informasi
tertulis lainnya yang berkenaan dengan masalah yang diteliti, dan
selain itu dapat juga melihat situs-situs atau website yang diakses
untuk memperoleh data yang lebih akurat. Data sekunder ini
dimaksudkan sebagai data-data penunjang untuk dapat melengkapi
hasil penelitian ini. Data sekunder juga diperoleh dari beberapa
sumber, termasuk BPS (Badan Pusat Statistik).
F. Analisis data
Adapun
tekhnik
pengolahan
data
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian secara
kualitatif untuk mendapatkan penjelasan mengenai perilaku memilih tokoh
43
masyarakat dan keterlibatannya pada pilkada 2006 dikota Mamuju.
Adapun angka-angka yang muncul dalam penelitian ini tidak dimaksudkan
untuk dianalisa secara kuantitatif, akan tetapi hanya sebagai pelengkap
untuk memperkuat analisis data kualitatif demi pencapaian tujuan
penelitian.
44
BAB IV
GAMBARAN UMUM WLAYAH
A. Gambaran Singkat Kabupaten Mamuju
Keadaan geografis
Kota
Mamuju
adalah
ibukota
provinsi
Sulawesi
Barat,
Indonesia. Kota Mamuju sampai saat ini bukanlah sebagai daerah
otonom yang memiliki walikota ataupun Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kota sendiri, melainkan masih menjadi bagian dari Kabupaten
Mamuju.
Kota ini diapit pantai dan perbukitan berlapis cokelat. Bukit
berkelok sepanjang 500 kilometer selepas Kabupaten Barru (Sulawesi
Selatan) dan deretan kapal nelayan khas Mandar menambah indahnya
panorama alam. Kota ini berada di antara Palu (Sulawesi Tengah) dan
Makassar (Sulawesi Selatan).
Ibukota ini akan menjadi jembatan ekonomi atau pun budaya Kota Palu
dan Makassar. Mamuju juga potret dari dua wilayah tersebut, karena
penduduknya yang dominan etnik Mandar dengan beberapa sub-etnik
kecil, seperti Bugis, Toraja, Makassar, dan Jawa.
Dengan kata lain, Kabupaten Mamuju terletak di sebelah barat
Pulau Sulawesi, berdasarkan UU RI no.26 Tahun 2004 tanggal 5
45
Oktober 2004 maka Kabupaten Mamuju bersama 4 Kabupaten lainnya
yaitu; Polmas, Majene, Mamasa dan Mamuju Utara. Resmi menjadi
sebuah Propinsi Sulawesi Barat dan ibukota Propinsi terletak di
Kabupaten Mamuju.
Kabupaten Mamuju merupakan daerah yang terluas di
Provinsi.Sulawesi Barat. Secara geografis Kabupaten Mamuju terletak
di posisi : 00 45' sampai 20 55' Lintang Selatan dan 45' sampai 1190
50' Bujur Timur.
Kabupaten Mamuju berbatasan dengan :
1. Disebelah Utara : Kabupaten Mamuju Utara
2. Disebelah Timur :Kabupaten Luwu Utara ( Prop.Sulsel)
3. Disebelah Selatan :Kab.Majene,Polmas dan Tator (prop.Sul-sel)
4 Disebelah Barat : Selat Makassar (Prop.Kaltim)
Kabupaten Mamuju memiliki luas 801.406
Ha. Secara
administrasi, Pemerintahan Kabupaten Mamuju terbagi atas 15
Kecamatan, 103 Desa, 8 Kelurahan dan 2 UPT (Unit Pemukiman
Transmigrasi).
Adapun beberapa kecamatan meliputi kabupaten Mamuju adalah
sebagai berikut :
46
Tabel I
Kecamatan
Luas (km²)
Jumlah Desa.
Kelurahan
1. Tapalang
26.971
6
2. Tapalang Barat
15.976
5
8.465
6
4. Mamuju
21.104
5
5. Kalukku
48.050
9
6. Bonehau
96.176
6
173.171
7
8. Papalang
15.562
6
9. Sampaga
15.509
6
10. Pangale
12.193
7
11. Tommo
61.001
9
12. Budong-budong
24.882
7
13. Tobadak
65.704
9
14. Topoyo
94.842
12
15. Karossa
160.997
11
Jumlah
840.603
111
3. Simboro dan Kepulauan
7. Kalumpang
(Sumber Data :Badan Statistik Pemkab. Mamuju 2009)
Data diatas menunjukkan bahwa luasnya wilayah yang meliputi
seluruh kecamatan yang ada di kabupaten Mamuju, dan akan memicu
47
datangnya berbagai masyarakat dari luar Kabupaten Mamuju untuk
bermukim dan menetap. Disamping pula letak geografisnya yang
berada diantara Sulawesi tengah dan Sulawesi Selatan dengan
berbagai potensi sumber daya alam yang melimpah.
Kependudukan
Kabupaten Mamuju yang memiliki letak geografis yang strategis dan
merupakan daerah terluas di Sulawesi Barat, memiliki penduduk yang
selama satu tahun terakhir mengalami pertumbuhan sekitar 7,35% dari
264123 jiwa pada tahun 2004 menjadi 283.528 jiwa pada tahun 2005.
Sementara rata-rata pertumbuhan periode 2001-2005 tercatat sebesar
5,40% per tahun. Jumlah penduduk terbesar terdapat di dua kecamatan
yaitu Kecamatan Mamuju dengan penduduk sebesar 37,739 jiwa
(13,31%) dan kecamatan Kalukku dengan penduduk sebesar 36.878 jiwa
(13,01%). Masih ada satu kecamatan dengan jumlah penduduk relatif
sedikit yaitu Kecamatan Bonehau dengan jumlah penduduk sebesar 7.436
jiwa.
Dengan luas wilayah 8.014,06 Km2, berarti tingkat kepadatan
penduduk daerah ini sekitar 35,4 jiwa/Km2. ada tiga kecamatan yang
tingkat kepadatan penduduknya di atas 200 yaitu Kecamatan Mamuju
(235,5 jiwa/Km2), Kecamatan Simboro dan Kepulauan (215,7 jiwa/Km)
dan Kecamatan Tobadak (208,4 jiwa/Km2). Sementara itu, kecamatan
yang kepadatan penduduknya tergolong rendah dengan kepadatan di
48
bawah 10 adalah Kecamatan Bonehau dan Kecamatan Kalumpang
dengan tingkat kepadatan penduduk masing-masing 7,8 dan 6 jiwa/Km2.34
Data diatas menunjukkan bahwa besarnya luas wilayah kabupaten
Mamuju, maka besar kemungkinan akan bertambahnya penduduk dari
luar kabupaten Mamuju. Maka dapat disimpulkan bahwa hadirnya
penduduk-penduduk transmigran tersebut, akan membentuk kelompokkelompok baru yang akan mewarnai dinamika kemasyarakatan yang
multikultural.
Kehidupan Sosial Budaya
Masyarakat Kabupaten Mamuju terdiri dari beberapa etnis yang
hidup berdampingan seperti etnik Mandar, etnis Mamuju dan diikuti
beberapa sub-sub etnik kecil yakni Bugis, Toraja, Makassar, dan Jawa.
Adapun etnis thionghoa yang jumlahnya relatif kecil hanya terdapat
didaerah perkotaan saja.
Penduduk kabupaten Mamuju yang mayoritas beretnis MandarMamuju dalam kehidupan sehari-harinya, masih banyak yang terikat
sistem norma dan aturan-aturan yang menjadi falsafah hidup bagi
masyarakat Mamuju. Sistem adat yang menjadi falsafah hidup masyarakat
Mamuju terungkap dalam mutiara hikmah nilai budaya dan tradisi
masyarakat Mamuju yang mengatakan: "Todiari Teppo Dolu, Parallu
34
(Sumber Data: resmi Pemkab. Mamuju).
49
Nikilalai Sule Wattu Ia Te'e, Laiyalai Mendiari Peppondonganna
Katuoatta'ilalan Era Laittingayoaianna".
Masyarakat
Mamuju
mempunyai
keunikan
dalam
kehidupan
kebudayaan mereka, yakni mereka sangat menghargai angka 7(tujuh)
atau dalam bahasa keseharian mereka yakni pitu. Begitu sakralnya angka
7(tujuh) dalam kebudayaan masyarakat Mamuju, inilah yang membentuk
identitas kultural kebudayaan masyarakat Mamuju. Yakni tergambarnya
dasar-dasar pemikiran penetapan waktu yang diambil sebagai Hari Jadi
Mamuju dan peristiwa yang menjadi patokan penetapannya adalah
terbentuknya Kerajaan Mamuju dari hasil perpaduan tiga buah kerajaan
Kurri-Kurri, Langgamonar dan Managallang. Selanjutnya, dasar pemikiran
dan pertimbangan penetapan waktu tersebut secara terinci dari tanggal,
bulan dan tahun yang diambil diungkapkan sebagai berikut :
1. Tanggal 14 (empat belas).
a. Angka 14 adalah angka kelipatan dua dari tujuh, yang oleh tradisi
Masyarakat Mamuju menyebutnya Penduang Pitu.
b. Jumlah hari dalam sebulan bergerak antara 28/29 dan 30/31 hari
dengan demikian, posisi tanggal 14 berada pada posisi tengah yang
diapit 14/15 hari sebelum dan 15/16 hari sesudahnya.
c. Tanggal 14 akan selalu berada pada posisi mendekati kebenaran,
karena keseimbangan jumlah hari sebelum dan sesudahnya dalam
sebulan.
50
d. Nilai-nilai tradisi yang lekat dengan tanggal 14 adalah perhitungan hari
ke-14 dengan posisi bulan situru' yang berarti mufakat bulan malam ke14 adalah purnama.
e. Angka 14 disimbolkan dengan 14 Distrik Swapraja di Mamuju.
2. Bulan Juli
a. Bulan Juli adalah bulan berada pada posisi urutan 7 dari 12 bulan
setahun. Nilai tradisi angka 7 bagi Masyarakat Mamuju dipandang amat
sakral penuh makna. Demikian letaknya angka 7 dengan masyarakat
Mamuju di bawah ini terinventarisir dengan angka 7 sebagai berikut :
1.) Ada' Gala'gar Pitu (7 Pemangku Adat).
2.) Pitu Ba'bana Binanga (7 Kerajaan di pesisir).
3.) Pitu Ulunna Salu' (7 Kerajaan di Hulu Sungai).
4.) Penduang Pitu (14 sebagai kelipatan 2 dari 7).
5.) Nene Pitullapis (Nenek tujuh turunan).
6.) Ampo Pitullapis (Cucu tujuh turunan).
7.) Langi' Pitussusung (Langit tujuh susun).
8.) Tanpo Pitullapis (Tanah tujuh lapis).
9.) Tanete Pituttodong (Gunung tujuh bersusun).
10.) Tobo Lengkong Pitu (Keris berlekuk tujuh).
51
11.) Nambo Pitundappa (Kedalaman tujuh depaan).
12.) Pitu Tokke Pitu Sassa (Tujuh Tokke dan tujuh Cecak).
13.) Anjoro Pitu (Kelapa 7).
14.) Belua' bare pitu (Rambut terbelah tujuh).
15.) Orang Lanta' Pitu (Tangga beranak tujuh).
16.) Mingguling Pempitu Dapurang (Mengelilingi dapur hingga 7 kali).
17.) Pitumbongi, Pitungallo (7 hari 7 malam).
b. Bulan Juli adalah bulan saat diundangkannya UU Nomor 29 Tahun
1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat II di Sulawesi.
c. Bulan dengan posisi urutan 7 berada pada posisi tengah yang diapit
oleh 6 bulan sebelumnya dan 6 bulan sesudahnya termasuk bulan Juli
itu sendiri dari 12 bulan dalam setahun.
d. Dengan bulan Juli akan selalu berada pada posisi tengah yang
mendekati kebenaran karena keseimbangan jumlah bulan sebelum dan
sesudahnya dalam setahun.
e. Bulan Juli adalah bulan yang berada pada posisi urutan ke-7 dari 12
bulan dalam setahun.
3. Tahun 1540
52
a. Tahun 1540 adalah tahun terbentuknya kerajaan Mamuju dari hasil
perpaduan dari tiga buah kerajaan di Rante Lisuang Ada' Kurungan
Bassi, yakni Kurri-Kurri, Langgamonar dan Managgallangoleh Pue
Tunileo.
b. Tahun 1540 didasarkan atas pemikiran dan fakta sejarah bahwa pada
tahun tersebut, tercatat dalam sejarah Pelabuhan Kurri-Kurri sebagai
pelabuhan Internasional yang telah menjadi persinggahan Portugis
membawa
barang
komoditas
pada
Rute
Karajaan
Siang
di
Pangkaje'ne sebelum Gowa dan Manado Tua (Sulawesi Utara).
c.
Tahun 1540 adalah tahun kesepakatan sebagai kesimpulan hasil
seminar Hari Jadi Mamuju yang diselenggarakan oleh Hipermaju dan
Persukma Makassar, berkerja sama dengan Pemerintah Daerah
Kabupaten Mamuju.35
Dengan demikian penulis menilai bahwa masyarakat kabupaten
Mamuju yang notabene dominan beretnis Mamuju-Mandar, tidak bisa
terlepas dari sistem adat yang menjadi norma dan falsafah hidup
masyarakat Mamuju. Maka
kuatnya sistem adat yang ada di
masyarakat Mamuju, memungkinkan kuatnya pula kekuatan sukuisme
35 (Sumber Data: Situs resmi Pemkab. Mamuju).
53
yang tentunya termanifestasi ke panggung politik lokal di kabupaten
Mamuju.
B. Posisi Tokoh Masyarakat dalam Masyarakat Mamuju
Masyarakat
Mamuju
sebagaimana
lazimnya
masyarakat
lainnya, tentunya juga memiliki tokoh idola yang dijadikan representasi
masyarakat untuk mewakili masyarakat. Masyarakat kabupaten
Mamuju, dengan keunikan budaya serta terikat secara primordial
memandang tokoh adat, tokoh agama, tokoh-tokoh yang dianggap
mempunyai keturunan darah raja atau bangsawan dan menyebut
mereka dengan sapaan yang santun pue yakni orang-orang yang
tergolong masyarakat asli yang berpengaruh dan disegani oleh
masyarakat dan terkadang menjadi pemangku adat. Sedangkan
sapaan bagi mereka yang dianggap lebih tua dan berada dibawah
hierarki pue’ disapa dengan sapaan uwe’.
Uwe adalah sapaan terhadap orang yang dituakan baik laki-laki
maupun perempuan dan kata uwe merupakan gelaran yang diberikan
bagi masyarakat Mamuju. Namun, tidak serta merta gelaran tersebut
diberikan. Hanya yang memiliki ikatan darah ataupun sesepuh
kerajaan masyarakat asli keturunan Mamuju yang telah memasuki usia
tua. Hal demikian merupakan sebuah nilai dari tradisi masyarakat
Mamuju yang senantiasa hadir didalam masyarakat dan masih terus
terjaga hingga sekarang.
54
Adapun tokoh masyarakat adalah orang yang keturunan asli
Mamuju terkadang mereka disapa dengan sapaan daeng atau kakak.
Adapun tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh dikabupaten
Mamuju, itu karena mendapat legitimasi dari masyarakat secara formal
konstitusional, sedangkan pengaruh yang dimiliki oleh petuah-petuah
seperti pue’ dan uwe’ adalah sumber pengaruh yang mendapat
legitimasi nonkonstitusional, yakni secara subjektif psikologis.
Gambaran Singkat Tokoh-tokoh Masyarakat Mamuju
Munculnya beberapa tokoh masyarakat merupakan suatu
keniscayaan didalam masyarakat yang multikultural layaknya yang
ada dikabupaten Mamuju, tokoh-tokoh masyarakat tersebut meliputi
tokoh masyarakat adat, tokoh agama, tokoh pemuda, serta tokoh
intelektual yang senantiasa mengkontribusikan buah pemikiran
serta ide-ide cemerlang demi pembangunan dan kesejahteraan
bagi kabupaten Mamuju. Tokoh-tokoh masyarakat ini merupakan
tokoh yang berperan penting dalam setiap kegiatan yang ada di
Mamuju bukan hanya dalam hal pilkada.
Dari berbagai segmen masyarakat tentunya ada yang
memiliki kemampuan yang lebih dari sebagian besar masyarakat
yang ada, dari beberapa tokoh masyarakat tersebut ada yang
berorientasi politik praktis dengan bergabung di partai politik,
namun ada juga yang tidak bergabung sama sekali.
55
Tokoh-tokoh masyarakat tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Tokoh adat yang ada dikabupaten Mamuju yang juga
merupakan salah satu tokoh senior yakni H. Andi maksum
da’i, Thamrin Syakur, sebagai salah satu tokoh adat.
2.
Tokoh agama yakni (M. Yahya Amin, H. Muh Kamil)
merupakan tokoh agama Islam yang berpengaruh, beliau
dikenal sebagai sosok baik dan rendah hati.
3.
Tokoh pemuda yakni M. Ali Candra Pattihasan,Irwan
Pababari),
melakukan
beliau
dikenal
aktifitas
sebagai
kepemudaan
sosok
dan
yang
biasa
organisasi
kemahasiswaan.
4.
Tokoh intelektual yakni Al-Malik pababari, yakni sosok yang
dikenal sebagai sosok yang kritis, beliau juga merupakan
kader partai Hanura di Kabupaten Mamuju Sulawesi barat.
56
BAB V
PEMBAHASAN
Proses pilkada Gubernur tahun 2006 yang berlangsung dikota
Mamuju, membawa peran serta tokoh masyarakat lokal dalam pergulatan
politik yang sedang menuju babak baru yakni politik identitas.Hal ini yang
kemudian menjadi topik penelitian penulis dalam rangka menambah
khasanah ilmu-ilmu sosial terutama dibidang sosiologi politik. Merespon
kebijakan desentralisasi yang dewasa ini telah banyak diselenggarakan
diberbagai daerah di indonesia.
Peranan tokoh masyarakat tersebut kemudian mendapat perhatian
berbagai partai politik besar guna sebagai mesin pendongkrak suara pada
setiap pemilihan umum yang digelar disetiap daerah, tetapi tidak sedikit
pula tokoh masyarakat yang berpengaruh juga menolak untuk bergabung
dengan partai politik, setelah melakukan penelitian penulis melihat ada
seorang tokoh agama yang kurang tertarik bergabung dalam sebuah
partai politik.
Pada saat pilkada Gubernur tahun 2006 dikabupaten Mamuju
dilangsungkan bahwa pada pemilihan kepala daerah di Mamuju masih
kuatnya hubungan ikatan primordialisme yang sangat kental dalam
melakukan suatu resume poilitik.
Seorang tokoh masyarakat dianggap mampu dalam mewakili
harapan dan keinginan masyarakat.
masyarakat
merupakan
representasi
ketokohan seseorang dalam
atau
perwakilan
kepentingan
57
masyarakat itu sendiri, maka dari itu sesuai yang dikemukakan bahwa
tokoh masyarakat ialah orang yang dianggap sebagai perwujudan dari
masyarakat itu sendiri. Begitupun juga menurut Ramlan Surbakti bahwa
kepemimpinan dari seorang tokoh yang disegani dan dihormati secara
luas oleh masyarakat dapat menjadi faktor yang menyatukan suatu
bangsa-negara.
Fakta objektif tersebut, beranggapan bahwa peranan tokoh
masyarakat
bersentuhan
langsung
dengan
sistem
politik
yang
terdesentralisir di daerah. Sehingga dari hasil penelitian selama dikota
Mamuju dalam studi tentang tokoh masyarakat dan perilaku memilih pada
pilkada Gubernur tahun 2006 dikota Mamuju mengindikasikan bahwa
beberapa tokoh masyarakat, diantaranya tokoh adat, tokoh pemuda dan
tokoh intelektual memiliki peranan yang sangat penting dalam proses
pilkada yang berlangsung di kabupaten Mamuju.
Adapun tokoh agama, alasan tidak memasukkan peranannya
dikarenakan beliau tidak aktif dalam arti tidak memihak secara langsung
dalam kapasitasnya sebagai tokoh agama. Tetapi secara personal beliau
mengatakan bahwa hak-hak politiknya sebagai warga negara itu ada,
sehingga beliau menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada Gubernur yang
berlangsung dikabupaten Mamuju.
Tokoh-tokoh masyarakat sebagai perwakilan kepentingan dari
semua elemen didalam masyarakat itu kemudian mewujud dalam rangka
mengakomodir
setiap
kepentingan-kepentingan
masyarakat
serta
58
senantiasa menjadi yang terdepan dalam proses pengembangan sumber
daya manusia yang ada dalam masyarakatnya.
Tokoh-tokoh masyarakat di daerah dan kaum muda yang dikenal
oleh khalayak memiliki kredibilitas, diharapkan berani tampil dan
membawa aspirasi dan harapan masyarakat dalam berkompetisi di
pilkada yang berlangsung tersebut, hal ini memungkinkan keterberhentian
kepenatan setelah melihat figur-figur yang ada dan belum dirasa/ diyakini
maksimal dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan warganya,
sebagaimana impian demokrasi yang menekankan adanya perwujudan
kesejahteraan yang sejati.
Disamping itu, tokoh-tokoh masyarakat di daerah dan kaum muda
hendaknya bersama-sama para penyelenggara pilkada dan seluruh
elemen yang erat kaitannya terhadap momentum pilkada seperti
panwaslu, parpol, perguruan tinggi, LSM, masyarakat adat dan lain
sebagainya, Tidak hanya memposisikan masyarakat menjadi penonton
semata dalam momentum pilkada. Tetapi proaktif memberikan pentingnya
Voter education dan Politik bagi masyarakat yang menekankan pada
ranah kesadaran kritis, kesadaran berpolitik rakyat, dan yang lebih
mendasar yakni pentingnya partisipasi masyarakat.
Begitu pentingnya sebuah kesadaran dan partisipasi masyarakat
dalam proses Pemilihan Kepala Daerah, memungkinkan terciptanya suatu
sistem pemilihan umum yang demokratis, jujur dan adil agar tercipta pula
tatanan tokoh masyarakat yang lebih baik. Partisipasi tokoh masyarakat
59
dalam momentum pilkada langsung menjadi landasan dasar bagi
bangunan demokrasi. Bangunan demokrasi tidak akan kokoh manakala
kualitas
partisipasi
masyarakat
diabaikan.
Karena
itu,
proses
demokratisasi yang sejatinya menegakkan kedaulatan rakyat menjadi
semu dan hanya menjadi ajang rekayasa bagi mesin-mesin politik
tertentu.
Format demokrasi pada arus lokal (pilkada) meniscayakan adanya
kadar dan derajat kualitas partisipasi masyarakat yang baik. Apabila
demokrasi yang totalitas bermetamorfosis menjadi kongkrit dan nyata,
atau semakin besar dan baik kualitas partisipasi masyarakat, maka
kelangsungan demokrasi akan semakin baik pula. Demikian juga
sebaliknya, semakin kecil dan rendahnya kualitas partisipasi masyarakat
maka semakin rendah kadar dan kualitas demokrasi tersebut.
Sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan mengenai studi
Perilaku memilih tokoh masyarakat
pada pilkada Gubernur 2006 di
Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat, dimana
lebih memfokuskan
penelitian pada perilaku memilih tokoh masyarakat terhadap pada pilgub
2006 dikabupaten Mamuju.perilaku memilih tokoh masyarakat masih
sangat didominasi system kekerabatan/kesukuan sehingga ini menjadi
suatu hal yang sangat mendasar pada saat pilkada yang berlangsung di
kabupaten Mamuju.
Tokoh Masyarakat pada umumnya merupakan suatu kolektifitas
dari individu-individu yang tinggal dan menetap pada suatu wilayah yang
60
sama dan saling berinteraksi satu sama lain, sehingga kumpulan individuindividu ini mempunyai karakteristik tersendiri yang dapat dibedakan
dengan masyarakat lain. Maka dari itu sesuai yang dikemukakan oleh
Drs.Ng. Philipus,M.si. dan Dr. Nurul Aini, M.S. bahwa ilmu sosial mencoba
memahami, menelaah, meneliti, mencari persamaan-persamaan dan
perbedaan-perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang
lain. Ia mencoba memahami tingkah laku individu dalam masyarakat, dan
tingkah laku masyarakat dengan masyarakat yang lain. Ia mencoba
memahami tingkah laku individu dalam masyarakat, dan tingkah laku
masyarakat sebagai kumpulan individu dengan kelompok masyarakat
yang lain. Ia mencoba memahami, meneliti, menemukan perbedaan dan
persamaan interaksi individu dalam masyarakat dan interaksi masyarakat
dengan kelompok masyarakat lain. Ia juga mencoba memahami pikiran,
ide, gagasan; lembaga-lembaga yang mewujudkan ide, gagasan dan
pikiran itu; struktur sosial yang muncul akibat dari perbedaan pemilikan
atas barang-barang yang dianggap bernilai; persaingan dan konflik yang
timbul akibat dari usaha memperebutkan nilai-nilai yang dianggap bernilai;
perubahan-perubahan sosial, baik dalam artian pikiran, gagasan, struktur
sosial maupun dalam artian lembaga sosial secara keseluruhan.36
Eksistensi tokoh masyarakat sebagai perwujudan dari masyarakat
itu sendiri sebagaimana halnya penelitian yang telah lakukan di kabupaten
Mamuju bahwa identifikasi partai politik dengan latar belakang ideologis
36
Sosiologi dan Politik, RAJAWALIPERS, Jakarta : 2006
61
bahkan
politis,
tidak
menjamin
adanya
suatu
kekuatan
yang
menggerakkan masyarakat apalagi mempengaruhi perilaku memilih
masyarakat. Terkadang eksistensi tokoh masyarakatlah yang menentukan
kemana pilihan masyarakat dijatuhkan.
Hubungan antara tokoh masyarakat dengan masyarakat itu
sendiri, yakni hubungan antara tokoh masyarakat yang memiliki sumber
kekuasaan dan kekuasaan aktual dengan masyarakat yang dikuasai. Ini
juga sangat relevan dari apa yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto
yang memberikan diferensiasi antara kekuasaan dengan kewenangan
(authority atau legalized power) ialah bahwa kemampuan untuk
memengaruhi pihak lain dapat dinamakan kekuasaan.
Sementara itu, wewenang adalah kekuasaan yang ada pada
seseorang atau kelompok orang, yang mempunyai dukungan atau
mendapat pengakuan dari masyarakat. Legitimasi yang diberikan oleh
masyarakat
kepada
figur
idolanya,
biasanya
menjadi
barometer
kekuasaan sang elit.
Dalam hal ini, kekuasaan yang dimiliki oleh tokoh masyarakat
tersebut, tidak serta merta termanifestasi kedalam suatu bentuk
wewenang yang legitimate secara konstitusional. Melainkan hanya
berkisar pada sesuatu pengaruh yang bersifat otokratis-tradisional, bukan
secara eksplisit termaktub dalam aturan-aturan konstitusional. Legitimasi
terhadap figur tokoh masyarakat tentunya tidak bisa lepas dari suatu
pahaman bahwa dominasi etnisitas yang dewasa ini muncul sebagai
62
kekuatan
politik
mampu
mendongkrak
suatu
bangunan
politik
didaerahnya. Suatu kekuatan yang bersifat sakralistik yang mengiringi
arus demokratisasi di tingkat lokal.
Perilaku memilih tokoh masyarakat
cenderung diarahkan oleh
kuatnya ikatan subjektif-psikologis yang syarat dengan primordialisme
radikal. Dengan kata lain, bahwa kuatnya ikatan yang membentuk perilaku
masyarakat yang dapat melegitimasi suatu rejim atau sistem politik
tersebut dikemukakan dengan baik oleh Gabriel A. Almond dan
mengatakan
bahwa,
berbagai
mithos,
doktrin
dan
filsafat
politik
menanamkan suatu penafsiran tertentu mengenai tujuan-tujuan dan
norma-norma kepada setiap generasi.
Unsur-unsur yang sangat menentukan dalam proses penanaman
atau pewarisan nilai-nilai itu adalah orang tua, saudara, teman
sepergaulan, guru, organisasi dan pemimpin masyarakat, disamping juga
lambang-lambang fisik seperti bendera dan upacara-upacara yang
dipenuhi dengan makna politik.
Proses menanamkan rasa-terikat (attachment) pada diri anggota
masyarakat ini kemudian menjadi berakar sangat kuat, sehingga kadar
legitimasi pada sistem politik tersebut menjadi sangat tinggi pula. Secara
empiris terbukti bahwa dalam sistem politik yang dapat bertahan hidup
63
paling lama, pasti terdapat dukungan yang ditumbuhkan dan dipelihara
oleh keyakinan yang mendalam.37
Kecenderungan budaya sukuisme (ethnic group) yang terasa pada
pilkada di kabupaten Mamuju mengindikasikan bahwa demokratisasi di
tingkat lokal yang diharapkan mampu memberikan dampak yang positif
didaerah, itu kemudian jauh dari apa yang menjadi cita-cita demokrasi itu
sendiri.
Hal ini membawa kita kepada perspektif sempit dari makna politik
yang lebih luas. Hadirnya pilkada sebagai tuntutan di ranah lokal yang
merupakan manifesto kebijakan desentralisasi yang diselenggarakan oleh
mulai hampir sebagian besar daerah di indonesia. Itu terlihat dari
beberapa tokoh masyarakat yang berperan serta dalam politik praktis
pada pilkada 2006 dikabupaten Mamuju
Kecenderungan perilaku sukuisme yang melatarbelakangi perilaku
memilih tokoh masyarakat ini termanifestasi dalam bentuknya yang
konkrit, yakni pola berpikir serta tindakan masyarakat yang cenderung
melihat cara pandang figur idolanya adalah cara pandang yang harus
diikuti seluruh masyarakat secara kolektif.
Adanya suatu Kecenderungan perilaku yang bersifat umum
(general will), dan terkontruksi secara sistematis dan mengakar dan
merupakan hal yang wajar, karena menurut Gene Sharp dan David
Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews: PERBANDINGAN SISTEM POLITIK,
(Yogyakarta:Gadjah Mada University, 1990)
37
64
Easton bahwa alasan tersebut dilatarbelakangi oleh adanya suatu tradisi
yang mengikat, kesetiaan pada kelompok, dan kesadaran hukum.
Maka eksistensi tokoh masyarakat yang representatif mewakili
keberadaan masyarakat itu sendiri, merupakan hal yang mendorong
munculnya semangat kesukuan yang etnosentristik.
Hal inilah yang juga dapat menghambat terwujud masyarakat yang
multikultural sebagai keniscayaan yang terdapat didaerah yang baru
terbentuk sebagai ibukota propinsi Sulawesi Barat.
A. Etnisitas dalam perilaku memilih Tokoh Masyarakat pada pilkada
Gubernur 2006 di Kabupaten Mamuju.
Perilaku memilih Tokoh masyarakat masih sangat dipengaruh
system kerabatan/kekeluargaan dalam hal ini kesukuan yang terjadi di
Mamuju pada saat Pilkada Gubernur 2006. Berikut uraian wawancara
terhadap beberapa informan baik itu tokoh adat, agama, pemuda dan
intelektual.
Persoalan ini menjadi hal penting, manakala dalam meneliti dan
mengamati etnisitas perilaku memilih tokoh masyarakat pada piilkada
2006 di kabupaten Mamuju, hal ini merupakan salah satu bukti peranan
tokoh masyarakat dalam perilaku memilih. Dalam wawancara dengan
beberapa tokoh masyarakat yang dijadikan sebagai informan pada
penelitian yang dilakukan di kabupaten Mamuju.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan baik itu
tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda, dan tokoh intelektual, mereka
65
sangat antusias dalam menjawab setiap pertanyaan-pertanyaan yang
penulis berikan. Namun menganggap bahwa masih banyak terdapat
ketertutupan informan dalam menjawab pertanyaan dari penulis mengenai
keterlibatannya pada pilkada 2006 di kabupaten Mamuju, dalam hal ini
adalah tokoh agama yakni Bapak M. Yahya Amin saat penulis bertanya
mengenai keterlibatan beliau pada pilkada 2006, beliau menjawab:
“Saya tidak terlibat secara langsung misalnya saya
mendukung salah satu calon, dalam kapasitas saya sebagai
tokoh Agama saya tidak menggunakan itu, tapi secara
personal saya sebagai warga negara yang mempunyai hak
pilih, maka saya menggunakan hak pilih tersebut. Saya
sangat mendukung kalo putra asli daerah yang jadi
pemimpin, tapi kalo saya pemimpin itu harus punya
kemampuan, akhlak yang baik, integritas, dan punya visimisi yang jelas”.38
Selain tokoh agama yang cukup dekat masyarakat, M. Yahya Amin
juga merupakan seorang pegawai negeri sipil departemen agama
kabupaten Mamuju Sulawesi Barat, jadi akses informasi mengenai pilkada
tentunya menjadi sesuatu yang memungkinkan masyarakat untuk
menjadikannya sebagai sumber pilihan masyarakat dalam memilih
pemimpin. Jika kita menyimak argumen yang dikeluarkan responden
tersebut, bahwa pilihan M. Yahya Amin pada prinsipnnya cukup rasional
namun masih terkesan terikat dengan ikatan-ikatan primordialisme
kedaerahan. Menurut Pareto, mereka yang menjangkau pusat kekuasaan
adalah selalu yang terbaik. Merekalah yang dikenal sebagai elit.
38
Interview terhadap Tokoh Agama (M. Yahya Amin) 11 april 2009 Pukul: 14.07 WITA
66
Informan lain yang juga merupakan tokoh agama berpendapat
bahwa pada prinsipnya pemimpin itu mesti dekat dengan masyarakat, dan
memiliki kecerdasan serta aklhak yang baik untuk dijadikan panutan bagi
masyarakat. Hal tersebut diungkapkan oleh Muh. Anwar Kamil saat
ditemui di rumahnya:
“Saya tidak terlibat secara langsung dengan kapasitas saya
sebagai seorang tokoh agama, tapi apabila secara personal iya
saya terlibat dan mendukung salah satu calon. Saya sangat
mendukung ketika putera dan puteri daerah yang memimpin
daerahnya sendiri dan menjadi seorang pemimpin bukan hanya
cerdas tapi dia mempunyai akhlak yang baik yang bisa menjadi
panutan nantinya.”39
Berdasarkan hasil wawancara tersebut bahwa tokoh Agama
tersebut cenderung memberikan legitimasi kepada salah satu calon,
walaupun tidak secara langsung mendukung tetapi ini menunjukkan dan
menganggap bahwa apa yang dibahasakan oleh tokoh Agama tersebut
syarat dengan dukungan yang terselubung.
Berbeda dengan beberapa tokoh masyarakat yang lain, yang
dengan tegas memperlihatkan secara langsung dukungannya bahkan dari
mereka ada yang menjadi tim pemenangan salah satu kandidat, tokoh
tersebut merupakan salah satu tokoh Pemuda yakni, Muh. Ali Candra
Pattihasan.
39
Interview terhadap tokoh agama (H. Muh.Anwar Kamil) 2 Juni 2010 pukul: 16. 00 WITA
67
Berikut petikan wawancara singkat dengan beliau :
“Saya terlibat pada pilkada 2006 disini, tetapi Menang dan
kalah itu biasa dalam percaturan politik, sosok pemimpin itu
tidak harus mempunyai pendidikan akademis yang tinggi. Bagi
saya,seorang pemimpin itu harus memilki semangat atas
perjuangan, dekat secara emosional dengan masyarakat,
selalu mendukung aktifitas kepemudaan, serta memiliki
semangat mau memajukan daerah dan memiliki pula kearifan
lokal sebagai putra daerah”.40
Pendapat serupa disampaikan salah satu tokoh pemuda Irwan
Pababari
“Keterlibatan saya pada saat pemilihan pilkada pada tahun
2006 dan saya mendukung salah satu calon, bahwa saya
sebagai salah satu tokoh pemuda terlibat langsung dalam
pesta politik tersebut bahwa pengaruh tokoh pemuda sangat
berperan penting bahwa memilih pemimpin harus mempunyai
integritas yang tinggi dalam mempengaruhi masyarakat,
terutama dalam kegiatan kepemudaan dan pemimpin bukan
hanya cerdas tapi mampu memahami apa yang diinginkan
masyarakatnya.”41
Wawancara singkat dengan tokoh pemuda diatas, semakin
memperkuat asumsi bahwa tokoh masyarakat cenderung mengarahkan
pandangan politik masyarakat pada wacana kesukuan yang ter-cover
dalam kearifan lokal. Sebagai otoritas berpengaruh, tokoh masyarakat
sebagai patron yang mempunyai sumber kekuasaan dalam mengarahkan
opini publik, tetapi hal ini berbeda dari apa yang dikemukakan oleh Prof.
Kuntowijoyo yang mengatakan bahwa bangkitnya kebudayaan modern di
kota-kota –Kebudayaan sejak lahirnya– merebut tempat kebudayaan
tradisional sebagai budaya yang sah bagi generasi mendatang.
40
Interview terhadap Tokoh Pemuda (Muh. Ali Candra Pattihasan) 11 april 2009 Pukul:
16.30 WITA
41 Interview terhadap tokoh pemuda (Irwan Pababari) 4 Juni 2010 Pukul: 11. 30 WITA
68
Beliau menambahkan bahwa terjadi erosi pada kebudayaan tradisional,
menuju kebudayaan nasional.42 Memang benar apa yang dikatakan oleh
Kuntowijoyo, bahwa telah terjadi pergeseran budaya tradisional menuju
budaya nasional.
Di selenggarakannya pilkada diberbagai daerah, inilah yang
memicu lahirnya politik identitas melalui retradisionalisasi budaya yang
dicover sedemikian rupa agar terkesan berwajah nasional. Munculnya
kebijakan desentralisasi, memicu pula lahirnya budaya politik identitas. Di
kabupaten Mamuju sendiri, isu-isu etnisitas menjadi isu yang mencuat
kepermukaan pada saat pilkada 2006 dikabupaten Mamuju. Ini terlihat
oleh hadirnya beberapa tokoh masyarakat lokal sebagai patron yang
mengangkat etnisitas sebagai sebuah kekuatan politik dalam merebut
kekuasaan. Ini terlihat dari terlibatnya tokoh adat (Tamrin Syakur) dalam
pergulatan politik di kabupaten Mamuju.Berikut hasil wawancara dengan
beliau:
“Keterlibatan saya pada waktu pilkada 2006 itu merupakan
panggilan hati saya, bahkan saya berharap pilkada ini
berjalan dengan baik. Bahkan saya dengan berbagai
elemen masyarakat yang lain untuk menandatangani
kesepakatan damai guna menjaga ketentraman dan
ketertiban. Harus saya akui bahwa pengaruh adat masih
sangat kental disini, tapi itu saja tidak cukup, pasti harus
ada uang sebagai motor penggerak tim sukses”.
Kalo saya sendiri memilih pemimpin, sudah tentu orang
yang saya kenal baik. yang bisa menjaga tradisi, adat, dan
dekat dengan kita secara emosional. persoalan adat
menjadi cita-cita luhur yang harus dijaga oleh orang
Mamuju.”43
42
43
Prof.Kuntowijoyo: Budaya Dan Masyarakat (Yogyakarta, Tiara Wacana. 2006)
Interview tehadap Tokoh Adat (uwe’ Tamrin Syakur), pukul 14.00 Wita,13 april 2009
69
Pendapat serupapun diungkapkapkan oleh salah satu tokoh adat dan
beliau juga sebagai ketua adat mamuju menegaskan bahwa:
“ Saya terlibat secara langsung,sebagai tokoh adat dan
sekaligus sebagai ketua adat mamuju saya mendukung
salah satu calon tapi saya tidak mengkapasitaskan diri saya
selaku tokoh adat, pengaruh adat sangat penting
bagaimana seorang pemimpin mengetahui budaya dan adat
istiadat daerahnya, alangkah lebih bagus ketika putera
daerah yang menjadi pemimpin didaerahnya sendiri”44
Setelah mewawancarai tokoh adat yang biasa disapa dengan
sapaan uwe’ dan maksum da’i. kuatnya isu-isu primordialisme yang
muncul pada saat pilkada 2006 dikabupaten Mamuju mengindikasikan
kuatnya faktor etnisitas dalam perilaku memilih masyarakat.
Berbeda dengan tokoh yang satu ini, yang juga merupakan kader
partai Golkar yang dikenal sebagai sosok yang kritis, pemikir, serta
merupakan juga tokoh organisasi pemuda dan mahasiswa. Tokoh
tersebut merupakan tokoh intelektual dan masyarakat biasanya menyapa
beliau dengan sapaan daeng Al MalikPababari, sesaat ditanya mengenai
keterlibatan beliau pada pilkada 2006 dengan tegas beliau mengatakan :
“Iya saya terlibat pada pilkada 2006 itu, saya juga merupakan
tim penggerak mesin partai politik. Bagi saya pemimpin itu
harus mempunyai visi-misi dan harus terpenuhi, demi
kesejahteraan masyarakat. Harus responsif dan peka
terhadap kebutuhan masyarakat, membangun prasarana
seperti, perbaikan jalanan sehingga transportasi darat
menjadi lancar, mengelola dengan baik sektor pertanian,
pertanahan, dan peternakan.”
Kalo saya pribadi, memilih pemimpin itu sederhana saja. Dia
harus cerdas, berpikir sehat terutama Pendekatan terhadap
masyarakat”
44
Interview terhadap tokoh adat(H. maksun Da’i),pukul 10.15.wita 7 Juni 2010
70
Tetapi setelah menanyakan apakah dia sepakat kalo pemimpin itu
harus orang lokal? Beliau menambahkan
“persoalan siapa yang memimpin orang lokal atau bukan
tidak jadi masalah tapi disepanjang orang lokal masih ada
yang kapabel kenapa harus orang lain,Yah.. karena pertalian
darah dan kedekatan etnis itu penting guna menjaga prinsip
yang berlaku didaerah ini”45
Pendapat serupapun diungkapkan salah satu tokoh intelektual
Muhaimin Bahwa:
“Sebagai warga Negara yang memiliki hak pilih dan dipilih,
saya terlibat secara langsung pada pilkada 2006 yang
sekaligus pilkada Pertama disulawesi barat, sebenarnya
tidak masalah siapapun yang memimpin baik yang lokal
maupun bukan lokal disepanjang mampu mengayomi
masyarakatnya tapi kalo bisa orang lokal sendiri yang sudah
mengetahui kondisi daerahnya dan salah satu yang
terpenting menjunjung tinggi budaya lokal yang ada
khususnya dikabupaten mamuju ini”46
Berdasarkan hasil wawancara langsung dengan beberapa tokoh
masyarakat yang jadikan sebagai informan maka menemukan sebuah
fakta konkrit bahwa ikatan-ikatan primordialisme seperti ikatan darah,
kesukuan, kekeluargaan (famili) menjadi faktor yang berpengaruh dalam
perilaku memilih masyarakat. Kuatnya ikatan etnisitas dan kekerabatan
menjadi hal yang fundamental pada pilkada 2006 di kabupaten Mamuju.
Etnisitas semakin menguat dan memperoleh tempatnya dalam
dinamika politik lokal di Indonesia seiring dengan penerapan sistem
desentralisasi pasca tumbangnya orde baru Tahun 1998.
45
46
Interview terhadap tokoh intelektual(Almalik Pababari) Pukul 10.17 Wita, 13 April 2009
Interview terhadap tokoh intelektual(muhaimin) Pukul 09.05 Wita 2 juni 2010
71
Dalam perkembangan di Indonesia etnisitas telah mengalami
proses pemanipulasian oleh elite dan dijadikan instrumen perjuangan
politik dan budaya untuk memperebutkan kekuasaan. Di tingkat lokal
terutama pada masyarakat dimana sistem primordial etnis masih kuat
berpengaruh, identitas etnis masih menjadi daya tawar yang menarik.
Mengedepankan politik etnisitas sebagai alat negosiasi politik, bagi
elite ternyata masih dianggap sebagai sarana efektif untuk merealisasikan
tujuan politiknya tetapi di sisi lain upaya itu ternyata bisa menimbulkan
dampak negatif berupa lahir dan tumbuhnya benih-benih konflik horizontal
antar etnis yang justru menjadi faktor penghambat pencapaian tujuan.47
Konflik tersebut senantiasa hadir sebagai sosial yang tidak bisa
dilepaskan, ini tergambar dengan jelas oleh apa yang dikemukakan oleh
Agus Salim, bahwa setiap kelompok etnis atau komunitas menempati
sebuah wilayah yang menjadi tempat hidupnya, yang secara tradisional
diterima dan diakui kelompok etnis sebagai hak ulayat. Konsep hak ulayat
ini secara politik menjadikan hubungan antar etnis berkembang menjadi
pembedaan yang tajam dan diskriminasi antara warga etnis asli setempat
dan etnis pendatang. Dalam hal ini terjadi akibat perbedaan akses
terhadap
sumber-sumber
alam
yang
dikuasai.
Berbagai
bentuk
diskriminasi muncul diantara mereka “yang asli” dengan “pendatang”,
dalam hal ini pihak asli harus unggul dan pendatang harus lebih rendah.48
47
48
Blogspot: Diakses melalui internet pada pukul 22.50 WIB
Dr. Agus Salim, MS: Stratifikasi Etnik (Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana, 2006)
72
Tanggal 24 juli 2006 hasil perolehan suara pada pilkada Gubernur
2006 di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat, terpilihlah Gubernur dan
Wakil Gubernur periode 2006-2011 yakni Anwar Adnan Saleh dan Amri
Sanusi. Jumlah perolehan suara pada masing-masing calon adalah:
Tabel II
PROVIN
SI
PASANGAN CALON
GUBERNUR
Sulawes
i Barat
Jumlah
Suara Sah
Drs. Anwar
Adnan Saleh
Mayjen TNI
Salim S.
Mengga
Kol. (Purn)
Hasyim
Manggabara
ni
Jumlah
Suara Sah
PARTAI
PENGUSUNG
PEROLEH
AN
SUARA
%
PEMENANG
PILKADA
PARTISIP
ASI
PEMILIH
WAKIL
GUBERNUR
Drs.H.M.Amri
Sabusi
Drs. HM
Hatta Dai
Partai
Golkar
Partai PDK,
PKS dan
PDIP
298.858
100%
220.076
46,26%
Drs. Anwar
Adnan
SalehDrs.H.M.Amri
Sanusi,M.Si
165.094
Arifuddin
Katta, SH,
MM
336.646
59,84%
100%
Sumber: Candidate Center
Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa pada Pilkada
Gubernur tanggal 24 juli 2006 Di Kabupaten Mamuju Sulawesi barat,
mayoritas masyarakat memilih pasangan Anwar Adnan Saleh dan Amri
Sanusi sebagai Gubernur periode 2006-2011. Alasan masyarakat memilih
pasangan tersebut karena adanya ikatan primordial/kesukuan sehingga
masyarakat Mamuju lebih dominan memilih pasangan Anwar Adnan Saleh
dan Amri Sanusi karena masyarakat menganggap bahwa putera
daerahlah yang seharusnya yang menjadi pemimpin didaerahnya sendiri.
73
Ketika putera-puteri daerah yang memimpin, nilai-nilai tradisi budaya yang
ada di Mamuju tidak tergeser oleh budaya yang lain.
Masyarakat mamuju menganggap pasangan Anwar Adnan Saleh
dan Amri Sanusi pasangan yang cocok untuk memimpin Sulawesi Barat
kedepan karena menganggap
pasangan ini adalah putera daerah
Mamuju yang memberi warna baru untuk Sulawesi Barat kedepannya dan
dapat mengayomi rakyatnya.
74
BAB VI
PENUTUP
Kesimpulan
Tokoh masyarakar sebagai pelaku pengarah opini publik harus
tetap menjaga tatanan kehidupan masyarakat seningga konflik horizontal
yang terkadang melibatkan beberapa kelompok etnis dapat terhindarkan.
Dalam konteks pilkada gubernur 2006 di kabupaten Mamuju tokoh
masyarakat bukan hanya sekedar pengarah dan pengendali konflik,tetapi
tokoh masyarakat diharapkan membawa semangat kedaerahan yang
teraktual dalam sifat etnosentrisme.
Etnosentrisme sebagai bangunan ideology local yaitu sikap
mengrdepankan
nilai-nilai
kesukuan,kekerabatan,kekeluargaan(family,
dan tradisi kedaerahan yang menjadi sebuah kekuatan politik kedaerahan.
Perilaku memilih tokoh masyarakat masih sangat dipengaruhi oleh
sistem kekerabatan/kedaerahan dalam hal ini kesukuan yang terjadi di
Mamuju pada pilkada gubernur 2006.
Pada pilkada 2006 di kabupaten Mamuju besarnya kecenderungan
etnis dalam perilaku memilih tokoh masyarakat membuat pilihan-pilihan
rasional menjadi hal yang urgen, hal demikiankan dikarenakan kuatnya
pengaruh kesukuan yang membentuk pribadi dan tindakan masyarakat.
Tatanan nilai tradisi yang merupakan identitas kultur masyarakat
Mamuju
tidak
akan
bisa
dilepaskan
dari
kehidupan
mereka
75
karena,merupakan wajah kebudayaan masyarakat Mamuju yang sudah
mengakar sejak dulu sampai sekarang.
Kekuatan-kekuatan primordial di tingkat lokal telah menjelma
menjadi kekuatan politik yang terus direproduksi dan dimainkan oleh elite
sehingga
mampu
mempengaruhi
aktivitas
politik
ditingkat
lokal.
Menguatnya isu etinisitas ini dilakukan oleh elite antara lain dengan upaya
membenturkan keberadaan satu etnis yang merasa tidak diuntungkan
oleh keberadaan etnis lain sehingga mampu membangkitkan sentimen
antar etnis di suatu daerah.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah lakukan, menunjukkan
adanya suatu kecenderungan dominasi kelompok etnis yang satu dengan
kelompok sub-etnis yang lain. Dalam perilaku memilih tokoh masyarakat
pada pilkada 2006 dikabupaten Mamuju dibutuhkan
kolektivitas, dan
merupakan salah satu wujud bahwa dalam tokoh masyarakat dalam
perilaku memilih tokoh masyarakat itu sendiri sangat berdampak pada
hubungan ikatan emosional dalam hal ini ikatan kedaerahan itu sendiri.
Untuk itu, ada beberapa saran yang dianggap penting dalam
mewujudkan terciptanya suatu kearifan local yang demokratis, sehingga
tatanan nilai local yang tertuang dalam bidang politik dapat terealisasi
sesuai dengan aturan-aturan konstitusional Negara Republik Indonesia.
76
1. Tokoh masyarakat sebagai mainstream politik lokal harusnya
bersikap pluralis, sehingga tercipta dan terbina harmoni kehidupan
masyarakat yang multicultural dan mendorong terwujudnya tatanan
nilai kearifan yang berorientasi lokal dan sesuai dengan cita-cita
demokratisasi.
2. Fanatisme kesukuan ditingkat daerah yang menjadi hambatan
integrasi bangsa, semangat ini harusnya di formulasikan lebih
demokratis dengan nilai-nilai kearifan lokal sehingga anggapan
bahaya etnosentrisme dapat dihindari.
77
DAFTAR PUSTAKA
Badan Statistik Pemkab. Mamuju 2009
Habib, Achmad.2004. Konflik Antar etnik dipedesaan. PT. LKiS,
Yogyakarta.
Kaloh, J. 2008. Demokrasi dan Kearifan local Pada Pilkada Langsung ,
Kata Hasta Pustaka, Jakarta.
Kompas, 7 Agustus 2008.
Kuntowijoyo, 2006. Budaya & Masyarakat. Penerbit Tiara Wacana.
Yogyakarta.
Mansyuri dan Zainuddin M, 2008. METODOLOGI PENELITIAN
Pendekatan Praktis dan Aplikatif. Refika Aditama, Malang.
Mas’oed, Mohtar dan MacAndrews, Colin. 1990. Perbandingan Sistem
Politik. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Nadir, Ahmad. 2005. Pilkada Langsung dan masa depan Demokrasi,
Averroes press, Malang.
Nasikun, 2006. Sistem Sosial Indonesia. PT. RajaGrafindo Persada.
Jakarta
Rauf, Maswadi. 2001. KONSENSUS & KONFLIK POLITIK. PT. Grasindo.
Jakarta
Satori, Djam’an dan Komariah, Aan. 2009. METODOLOGI PENELITIAN
KUALITATIF, Penerbit Alfabeta, Bandung.
78
Sumartias, Suwandi. 4 November 2008. Pilkada Langsung dan Teori
Konflik, blog at wordpress.com.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik, PT. Grasindo, Jakarta.
Setiaman, Agus. 25 November 2008. Sosiologi Komunikasi, blog at
wordpress.com.
Soekanto, Soerjono. 2007. SOSIOLOGI Suatu Pengantar . PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Sihbudi, Riza & Nurhasim, Moch. 2002. Kerusuhan sosial di Indonesia.
PT. Grasindo, Jakarta.
Salim, Agus. 2006. Stratifikasi Etnik (Kajian mikro sosiologi interaksi etnis
Jawa dan Cina). Penerbit Tiara Wacana. Yogyakarta.
Salossa S, Daniel. 2005. Pilkada Langsung . Penerbit Media
Pressindo.Yogyakarta
Philipus, Ng & Aini, Nurul. 2006. Sosiologi dan Politik. PT. RajaGrafindo
Persada,
Jakarta.
Syarbaini, Syahrial. Rahman, A. dan Djihado Monang. Sosiologi dan
Politik.. Penerbit Ghalia Indonesia, Ciawi-Bogor Selatan.
Soekanto, Soerjono. 2002. Mengenal tujuh tokoh Sosiologi. PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Upe, Ambo. 2008. Sosiologi politik kontemporer, Prestasi Pustakarya,
Jakarta
Mas’oed Mohtar dan MacAndrews Colin. 1990. Perbandingan Sistem
Politik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
79
Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah dan pemilihan
kepala daerah secara langsung.
www. Wikipedia.Com/wiki/masyarakat.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan umum
Website resmi Pemkab. Mamuju
80
Nama-nama Informan
Nama Informan
Kapasitas dan kegiatan
Pend. Terakhir
H. Andi Maksum Da’i
Ketua Adat mamuju
Strata Satu
Tamrin Syakur
Kepala Dinas Perhubungan
Strata Satu
Prov/Tokoh adat
H. Abd Kamil
Tokoh Agama
Strata Satu
H. Yahya amin
Kepala KUA Kab.
Strata Satu
Mamuju/Tokoh Agama
Muh. Ali Candra
Tokoh Pemuda
Strata Satu
Anggota DPRD/tokoh
StrataSatu
Pattihasan
Irwan pababari
pemuda
H. Almalik pababari
Anggota DPRD Prov/Tokoh
Strata Satu
Intelektual
Muhaimin
Tokoh Intelektual
Strata satu
Download