1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Demokrasi sebagai suatu proses yang telah meniscayakan semangat persamaan dan kebersamaan demi tercapainya kebaikan dalam berpolitik. Setelah sukses bangsa Indonesia menyelenggarakan pemilu 2004 secara langsung, maka disusul dengan pemilihan ditingkat lokal, yakni pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung. Hadirnya Pilkada sebagai respon atas keinginan masyarakat lokal, yang kemudian direspon kembali oleh pemerintah melalui kebijakan. Kebijakan penyelenggaraan perpolitikan di Indonesia setidaknya memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menikmati sebuah demokrasi pada tingkat lolkal yang disebut Pilkada, namun berbagai masalah kemudian muncul sebagai bagian dari dinamika politik lokal dan hal ini menjadi tantangan bagi para elite daerah untuk menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut, serta mengatur dan mengelola segala potensi daerah. Pilkada langsung merupakan arus balik politik lokal atau sering disebut pergeseran dari sistem elite vote ke popular vote. Namun, dalam realitasnya tidak jarang ditemukan permasalahan disana sini, namun permasalahan yang paling mencolok adalah benturan berbagai kepentingan politik sehingga dalam ajang pilkada terkadang terjadi konflik yang sepertinya sulit terhindarkan. 2 Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung tidak hanya merupakan format baru dalam kancah politik nasional, melainkan merupakan arus politik demokrasi pada arus lokal. Kedudukan kepala daerah sebelumnya yakni pada masa rezim orde lama dan orde baru ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat tanpa melihat aspirasi dan kebutuhan masyarakat lokal kemudian berbalik kepada masyarakat untuk secara langsung memilih pemimpin daerahnya. Dalam masa orde baru, eksistensi tokoh masyarakat ini kemudian hanya dijadikan alat untuk melegitimasi kekuasaan orde baru (Soeharto), dan menjadi instrumen yang digunakan pemerintah untuk menekan keinginan masyarakat lokal yang menginginkan pengelolaan secara mandiri atas sumber-sumber yang ada di daerahnya. Seiring dengan berlakunya kebijakan desentralisasi,kecenderungan tokoh masyarakat kemudian tidak lagi menjadi sebagai alat legitimasi pemerintah pusat tetapi tokoh masyarakat, kini lebih cenderung melihat ruang perpolitikan secara pragmatis. Namun, perebutan kekuasaan ditingkat lokal kini menciptakan kembali ruang-ruang konflik yang tajam serta memicu pula munculnya etnosentrisme dan ego kedaerahan yang berlebihan. Namun, pilkada dapat juga memberi ruang bagi tokoh-tokoh masyarakat lokal untuk mengaktualkan setiap gagasan ataupun kepentingan politik untuk kebaikan masyarakatnya. Karena tokoh masyarakat mempunyai kedekatan ikatan emosional dengan masyarakat, 3 maka untuk mengakomodir berbagai gagasan-gagasan untuk kepentingan masyarakat, tokoh masyarakat diharapkan mampu menyambut kebijakan desentralisasi tersebut. keberadaan tokoh masyarakat seperti yang ada di Kabupaten Mamuju, cenderung masih terikat oleh nilai-nilai lama yakni tradisi dan ikatan kulturalnya. kekuatan tokoh memang masih bertumpu pada ikatan primordial, khususnya ikatan keluarga (famili) dan kesukuan1. Pilkada Gubernur yang berlangsung di kabupaten Mamuju Sulawesi Barat, ini menarik untuk dicermati karena eksistensi tokoh masyarakat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat juga merupakan bagian dari partisipasi politik, ternyata dapat member kembali ruang-ruang etnisitas untuk tumbuh subur di masyarakat. Bercermin pada ajang pilkada yang telah bergulir didaerah lain, tampaknya bahwa mesin politik partai politik bukanlah satusatunya penyokong kemenangan. Popularitas tokoh masyarakat sering kali justru menentukan kemana pilihan dijatuhkan. Dalam hal ini, kualitas popularitas dan tokoh-tokoh rekam yang jejak selama bersaing ini dalam menjadi acuan kontestasi politik lokal. Disisi lain, bagi Tokoh masyarakat di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat, selain kualitas serta rekam jejak pemimpin selama ini, ikatan etnisitas dan kekerabatan masih sangat kental. Faktor-faktor semacam ini 1 M. Alfan Alfian, Harian Umum Pelita, 27 Maret 2009 4 secara langsung memberi celah bagi peranan patron sebagai pengarah opini publik yang potensial di ranah politik2. Melihat lebih seksama kontestasi politik lokal dalam pilkada Gubernur yang berlangsung di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat, tokoh masyarakat masih lebih cenderung dipengaruhi oleh ikatan-ikatan primordialnya. Adapun tokoh masyarakatnseperti tokoh adat. Tokoh agama, tokoh tokoh pemuda, dan tokoh intelektual. Perilaku memilih tokoh masyarakat dan keterlibatannya pada pilkada Gubernur di Kabupaten Mamuju, memberikan kesan bahwa pilihan rasional masyarakat dalam memilih pemimpinnya cenderung dikesampingkan. Mereka yang pada saat mencoblos, meski memilih secara sadar pilihannya, akan tetapi masih didasarkan pada pertimbangan yang bersifat subjektif emosional, memilih hanya karena masih adanya ikatan kekeluargaan, kekerabatan, persahabatan dan sebagainya3. Hal tersebut diatas disebabkan karena faktor etnisitas, ataupun kekerabatan yang masih amat kental pada perilaku memilih tokoh masyarakat, sehingga keberadaan tokoh masyarakat dengan model perilaku memilih tersebut, dapat menghambat proses demokratisasi. Sehingga, jika hal tersebut diarahkan untuk kepentingan politik kekuasaan tertentu, maka hal tersebut menjadi kekuatan politik yang besar. 2 3 Kompas.com, Sugihandari, 24 februari 2009 Ir.H.Sukman Baharuddin. M,Sc . Fajar online, 15 September 2007, Pilkada dan kecerdasan politik 5 Kuatnya Ikatan kekerabatan (darah dan kekeluargaan) dan kesamaan kesukuan, bahasa, dan adat-istiadat merupakan faktor-faktor primordial yang membentuk perilaku memilih masyarakat4. Etnisitas menjadi hal sangat mendasar dalam tingkah laku memilih tokoh masyarakat pada Pilkada Gubernur tahun 2006 yang berlangsung di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat . Berangkat dari fakta objektif yang diuraikan diatas, yang mengindikasikan bahwa perilaku memilih tokoh masyarakat di Kabupaten Mamuju, masih tergolong sektarian dan dapat menghambat proses demokratisasi di tingkat lokal. Oleh sebab itu, dalam melakukan penelitian ini dengan mengangkat judul Tokoh Masyarakat dan Perilaku Memilih. Fokus ini mengacu pada Perilaku memilh Tokoh Masyarakat pada Pilkada Gubernur tahun 2006 di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat. B. Rumusan Masalah Kecenderungan perilaku memilih tokoh masyarakat dikarenakan masih kuatnya ikatan kekerabatan, kesukuan, dan persaudaraan di kabupaten Mamuju Sulawesi barat. Oleh sebab itu, penulis berupaya mengangkat masalah yang sesuai dengan rumusan masalah diatas sebagai berikut : 4 Surbakti R, Memahami Ilmu Politik, hal 44 (Jakarta, PT.Grasindo, 1992) 6 A. Apakah faktor etnisitas menjadi penting dalam perilaku memilih tokoh masyarakat pada pilkada Gubernur 2006 di Kabupaten Mamuju ? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk menggambarkan perilaku memilih tokoh masyarakat pada pilkada tahun 2006 di Kabupaten Mamuju. 2. Untuk mengidentifikasi faKtor-faktor yang mempengaruhi perilaku memilih tokoh masyarakat terkait pilkada 2006 di Kabupaten Mamuju. D. Manfaat Penelitian Dalam hal ini manfaat penelitian diharapkan : 1. Manfaat akademis : a. Memberikan sumbangan secara ilmiah dan akademis terhadap pengembangan teori politik terkait pengaruh tokoh masyarakat. b. Sebagai bahan informasi dan bahan perbandingan bagi pembaca dan yang terkhusus tertarik mengenai peranan tokoh masyarakat terhadap pola perilaku memilih tokoh masyarakat itu sendiri. 2. Manfaat praktis a. Sebagai masukan bagi tokoh masyarakat lokal guna memberikan pendidikan politik dan pemberdayaan terhadap masyarakat agar mengubah cara pandang serta pola pikir masyarakat bahwa setiap manusia mampu memimpin suatu daerah tanpa harus melihat 7 ikatan primordial yang ada dalam masyarakat lokal juga mampu mengelola mengelola secara mandiri segala sumber daya yang ada di daerahnya. b. Sebagai bahan pertimbangan masyarakat terhadap keberadaan tokoh masyarakat dalam memahami arti kebijakan desentralisasi yang terkandung dalam pilkada. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bagian ini akan diuraikan dengan menggunakan dua kerangka dasar untuk dijadikan landasan dalam penulisan skripsi ini, kerangka dasar tersebut adalah Tokoh masyarakat dan Perilaku memilih. A. Tokoh Masyarakat Dalam kamus umum bahasa Indonesia, tokoh diartikan sebagai rupa, wujud dan keadaan, bentuk dalam arti jenis badan, perawakan, orang yang terkemuka atau kenamaan didalam lapangan politik suatu masyarakat. Sedangkan masyarakat, ialah sekumpulan individu atau sejumlah manusia yang terikat dalam satu kebudayaan yang sama. Pertanyaan yang kemudian yang muncul adalah, siapakah tokoh masyarakat itu? Apa saja kaitan antara tokoh masyarakat dengan perkembangan masyarakat? Menurut Surbakti (thn:1992) mengatakan bahwa tokoh masyarakat ialah seseorang yang disegani dan dihormati secara luas oleh masyarakat dan dapat menjadi faktor yang menyatukan suatu bangsa-negara. Tokoh masyarakat, tentunya merupakan representasi dari adanya sifat-sifat kepemimpinan yang menjadi acuan bagi masyarakat dalam mewujudkan harapan serta keinginan-keinginan masyarakat sehingga tokoh masyarakat, tidak bisa dilepaskan dari sifat kepemimpinan yang tercermin didalam diri tokoh masyarakat tersebut.Kepemimpinan ini kemudian menjadi panutan, sebab warga masyarakat mengidentifikasikan 9 diri kepada sang pemimpin, dan ia dianggap sebagai penyambung lidah masyarakat. Berdasarkan masyarakat yang tengah membebaskan diri dari belenggu penjajahan, biasanya muncul pemimpin yang kharismatik untuk menggerakkan massa rakyat mencapai kemerdekaannya. Kemudian pemimpin ini muncul sebagai simbol persatuan bangsa, seperti tokoh dwitunggal Soekarno-Hatta di Indonesia dan Joseph Bros Tito di Yugoslavia. Dalam hal ini tokoh masyarakat adalah merupakan orangorang yang dihormati dan disegani dalam masyarakatnya. Karena aktifitas dalam kelompoknya serta kecakapan-kecakapan dan sifat-sifat tertentu yang dimilikinya5. Akan tetapi, pemimpin saja mungkin tidak menjamin bagi terbentuknya suatu bangsa-negara sebab pengaruh pemimpin bersifat sementara. Dalam hal ini ada dua penyebab. Pertama, umur manusia (pemimpin) terbatas, dan khususnya pemimpin kharismatik tidak dapat di wariskan. Pemimpin tidak hanya yang masih hidup dapat berfungsi sebagai symbol persatuan bangsa, tetapi juga yang sudah menjadi pahlawan. Namun, sifat permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat memerlukan tipe kepemimpinan yang sesuai. Kedua, tipe kepemimpinan berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat. Masyarakat yang berubah menghendaki tipe pemimpin yang berubah pula. 5 http://id.wikipedia.org, diakses pada tanggal 26 april 2009 pukul 3: 46 10 Pada pihak lain tidak hanya di Negara-negara berkembang seorang pemimpin kharismatik dipandang sebagai symbol persatuan bangsa, tetapi juga di Negara-negara yang maju seorang pemimpin diharapkan tampil sebagai “wakil” atau personifikasi bangsa di dalam maupun di luar negeri.6 Ketokohan tersebut merupakan aktualisasi dari masyarakat yang mendambakan sosok pemimpin yang kharismatik, yang memungkinkan tercapainya keinginan dan harapan masyarakat di daerah tempatnya bermukim. Masyarakat tentunya menurut Wikipedia bahasa Indonesia7, Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah system semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. Menurut Taqiyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan 6 7 Surbakti “Memahami ilmu politik” hal 45, PT. Grasindo, Jakarta 1992 http://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat 11 tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan. Masyarakat dapat pula diorganisasikan berdasarkan struktur politiknya: berdasarkan urutan kompleksitas dan besar, terdapat masyarakat band, suku, chiefdom, dan masyarakat negara. Kata society berasal dari bahasa latin societas, yang berarti hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti teman, sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama. Dapat kita telaah korelasi hubungan antara ketokohan didalam masyarakat, dengan masyarakat itu sendiri. Dari sejumlah asumsi dasar tersebut maka secara esensial pendekatan secara sosiologis ini mengkaji kehidupan sosial manusia sebagai berikut: Masyarakat merupakan sistem yang kompleks yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan tergantung satu sama lain, serta setiap bagian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya. Setiap bagian dari suatu masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki fungsi dalam memelihara eksistensi dan stabilitas masyarakat secara keseluruhan. Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan dirinya yaitu mekanisme yang dapat merekatkannya menjadi satu. Mekanisme ini adalah komitmen para anggota masyarakat 12 kepada serangkaian kepercayaann dan nilai yang sama. Masyarakat cenderung mengarah pada suatu keseimbangan (equilibrium) dan gangguan pada salah satu bagiannya cenderung menimbulkan penyesuaian pada bagian lain agar tercipta harmoni atau stabilitas8. Masyarakat adalah kumpulan individu yang tinggal pada satu wilayah. Kumpulan individu ini mempunyai karakteristik tersendiri yang dapat dibedakan dengan masyarakat lain. Ia mencoba memahami tingkah laku individu dalam masyarakat, dan tingkah laku masyarakat sebagai kumpulan individu dengan kelompok masyarakat yang lain. Ia mencoba memahami, meneliti, menemukan perbedaan dan persamaan interaksi individu dalam masyarakat dan interaksi masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain9. Setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal Penghargaan tertentu yang lebih dalam masyarakat tinggi terhadap yang hal-hal bersangkutan. tertentu, akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lainnya10. Selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dihargai, dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargai, sesuatu itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya system lapisan dalam masyarakat itu. Sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat dapat 8 www. Wikipedia.Com Drs.Ng. Philipus, M.Si & Dr. Nurul Aini, M.S, Sosiologi dan Politik, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta 2006 10 Soerjono soekanto, SOSIOLOGI Suatu Pengantar, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta 2007 9 13 berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan dalam agama atau mungkin juga keturunan yang terhormat11. Hal inilah yang menjadi salah Satu faktor timbulnya pelapisan dalam masyarakat/stratifikasi social, Stratifikasi dapat terjadi dengan sendirinya sebagai bagian dari proses pertumbuhan masyarakat, juga dapat dibentuk untuk tercapainya tujuan bersama. Faktor yang menyebabkan stratifikasi sosial dapat tumbuh dengan sendirinya adalah kepandaian, usia, sistem kekerabatan, dan harta dalam batas-batas tertentu12. Tokoh masyarakat yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat itu sendiri merupakan instrumen politik yang sangat erat kaitannya dengan perkembangan masyarakat terutama masyarakat yang masih berada pada lingkungan pedesaan. Peran ini kemudian menjadi factor yang signifikan didalam proses memilih pemimpinnya. Dalam konteks pilkada Gubernur Di Mamuju Sulawesi Barat, peran tokoh masyarakat tentunya juga sedikit banyak mempengaruhi tingkah laku memilih masyarakat, dikarenakan bahwa tokoh masyarakat tersebut adalah orang-orang yang memiliki loyalitas dan kemampuan dalam memimpin masyarakat. Pada hakikatnya tokoh masyarakat ialah orang yang mempunyai peranan yang besar dalam suatu kelompok masyarakat dan memiliki 11 12 Ibid, hal 199 Blog at Wordpress.com, diakses pada tanggal 7 Mei 2009 pukul 1.50 14 kekuasaan yaitu kemampuan mempengaruhi orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dirinya13. Tentu saja ketokohan seseorang dalam masyarakat, tidak bisa dilepaskan dengan suatu kekuasaan. Sejarah menunjukan bahwa banyak kejadian diwarnai dari segi kepemimpinan seorang tokoh masyarakat. Dalam kaitannya dengan hubungan sosial-budaya dari perspektif ilmu sosial biasa disebut dengan budaya paternalistik, di mana peran seorang tokoh/ elite dalam masyarakat desa adalah sangat dominan dalam hubungan-hubungan sosial maupun dalam ranah politik yang bertalian dengan pengambilan kebijakan pada aras desa. Sementara itu, apa yang disebut dengan elit desa setidaknya dapat dipilah menjadi beberapa jenis elit, diantaranya elit pemerintahan, elit agama, elit ekonomi, elit ormas, elit intelektual, dan elit adat sebagai para stakeholders dengan fungsi dan peranan yang berbeda-beda. Elit pemerintahan ditunjukkan dengan adanya kepala desa, kepala dusun, sekretaris desa, dan perangkat desa lainnya. Elit agama adalah tokoh panutan dalam agama seperti kyai, ustadz, pendeta, romo, dan tokoh agama lainnya. Elit ekonomi adalah golongan yang kaya secara ekonomi di desa termasuk para pemilik lahan. Elit Ormas merupakan tokoh dalam organisasi kemasyarakatan atau politik yang ada di desa, elit intelektual adalah ditokohkan karena kecerdasan dan kepandaiannya atau karena 13 pendidikannya, sedangkan mereka bisa berprofesi Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar ilmu politik, PT. Gramedia Pustaka hal 10, Jakarta 1972 guru, 15 pegawai/pejabat pemerintahan, sedangkan elit adat merupakan tokoh yang sangat dihormati dalam tradisi-tradisi atau adat setempat yang masih hidup dalam keseharian masyarakat pedesaan. Berkenaan dengan posisi mereka sebagai elit desa, sangat mungkin mereka menyandang lebih dari 1 (satu) jenis elit, misalnya seorang kepala desa selain elite pemerintahan juga sebagai elit ekonomi dan elit agama, begitu pula untuk tokoh/ elit yang lain14. Kecenderungan seseorang untuk ditokohkan ialah kemampuan-kemampuan dalam berbagai hal yang terwujud lewat perilaku kehidupan praktisnya. Kecenderungan seseorang untuk ditokohkan ialah karena berbagai kelebihan yang dimiliki serta kecakapan dalam bertindak dan tentunya kemampuan intelektual, spiritual, serta komunikasinya. Manusia-manusia yang terlahir sebagai sosok cakap dalam berbagai kemampuan, kemudian menjadi perhatian masyarakat sebagai sosok yang dalam pandangan umum masyarakat sebagai manusia yang hebat. B. Perilaku Memilih Perilaku merupakan sifat alamiah manusia yang membedakannya atas manusia lain, dan menjadi ciri khas individu atas individu yang lain. Dalam konteks politik, perilaku dikategorikan sebagai interaksi antara pemerintah dan masyarakat, lembaga-lembaga pemerintah, dan diantara kelompok 14 dan individu dalam masyarakat dalam rangka Artikel oleh Agus Supriyadi, di akses pada tanggal 30 maret 2009 pukul 03.54 proses 16 pembuatan, pelaksanaan, dan penegakkan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Ditengah masyarakat, individu berperilaku dan berinteraksi, sebagian dari perilaku dan interaksi dapat ditandai akan berupa perilaku politik, yaitu perilaku yang bersangkut paut dengan proses politik. Sebagian lainnya berupa perilaku ekonomi, keluarga, agama, dan budaya. Termasuk kedalam kategori ekonomi, yakni kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa, menjual dan membeli barang dan jasa, mengkonsumsi barang dan jasa, menukar, menanam, dan menspekulasikan modal. Namun, hendaklah diketahui pula tidak semua individu ataupun kelompok masyarakat mengerjakan kegiatan politik.15. Memilih ialah suatu aktifitas yang merupakan proses menentukan sesuatu yang dianggap cocok dan sesuai dengan keinginan seseorang atau kelompok, baik yang bersifat eksklusif maupun yang inklusif. Memilih merupakan aktifitas menentukan keputusan secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Surbakti (tahun:1992) menilai perilaku memilih ialah keikutsertaan warga Negara dalam pemilihan umum merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum16 Perilaku pemilih merupakan realitas sosial politik yang tidak terlepas dari pengaruh faktor eksternal dan internal. Secara eksternal perilaku 15 16 politik merupakan hasil dari sosialisasi nilai-nilai Ramlan Surbakti “Memahami Ilmu Politik”, hal 15 PT.Grasindo, Jakarta 1992. Ibid, hal 145 dari 17 lingkungannya, sedangkan secara internal merupakan tindakan yang didasarkan atas rasionalitas berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perilaku pemilih. Misalnya saja isu-isu dan kebijakan politik, tetapi pula sekelompok orang yang memilih kandidat karena dianggap representasi dari agama atau keyakinannya, sementara kelompok lainnya memilih kandidat politik tertentu karena dianggap representasi dari kelas sosialnya bahkan ada juga kelompok yang memilih sebagai ekspresi dari sikap loyal pada ketokohan figur tertentu. Sehingga yang paling mendasar dalam mempengaruhi perilaku pemilih antara lain pengaruh elit, identifikasi kepartaian sistem sosial,media massa dan aliran politik. Pemilu, sebagai medium pilihan publik, seyogyanya mengkondisikan seluruh pihak yang terlibat untuk belajar berbagi peran sehingga tidak semuanya harus berpusat pada salah satu aktor atau salah satu lokus (Pusat)17. Dalam hal ini, proses pemilihan kepala daerah/Pilkada. Seiring dengan konstalasi politik di era reformasi penguatan demokrasi yang legitimate sebagai harapan dari ending transisi demokrasi, semakin dapat dirasakan oleh masyarakat melalui pelaksanaan pemilihan kepala daerah/pilkada 17 secara langsung. Sebagai konsekuensi logis dari Ahmad, Nadir. Pilkada Langsung Dan Masa Depan Demokrasi, hal 39, Averroes Press Malang 2005 18 perubahan atmosfir politik tersebut, maka dinamika dan intensitas artikulasi politik pun makin tampak ditengah ranah kehidupan sosial politik. Secara khusus perubahan yang terjadi dalam sistem pemilu kepala daerah, yakni dari sistem pengangkatan langsung oleh pejabat pusat, kemudian menjadi sistem pemilihan perwakilan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang senantiasa mengandung kultur vested interest (kepentingan pribadi) di kalangan elit, dan akhirnya menjadi pemilihan secara langsung oleh rakyat. Dengan demikian, pemilu kepala daerah secara langsung merupakan indikator pengembalian hak-hak dasar masyarakat di daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen politik lokal secara demokratis.18 Para ilmuwan politik kontempoter berpandangan bahwa perilaku politik berarti suatu kegiatan yang berkenaan dengan proses dan pelaksanaan keputusan politik dan yang melakukan kegiatan tersebut ialah pemerintah dan masyarakat. Warga Negara memang tidak memiliki fungsi menjalankan pemerintahan, tetapi mereka memiliki hak untuk mempengaruhi orang yang menjalankan fungsi pemerintahan (Budiarjo, 1981)19. Salah satu wujud dari perilaku sosial dalam kehidupan masyarakat adalah perilaku politik sebagai perilaku yang bersangkut paut dengan proses politik, untuk membedakannya dari perilaku ekonomi, keluarga, Ambo Upe, S.sos., M.Si. “Sosiologi Politik Kontemporer”, hal 44-45, Prestasi pustaka Jakarta 2008 19 Ibid, hal 109 18 19 agama dan budaya. Sedangkan politik adalah interaksi antara pemerintah dengan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah (Surbakti, 1992). Secara lebih rinci Popkin membedakan antara pilihan politik sebagai wujud perilaku politik dengan pilihan pribadi terhadap produkproduk konsumtif sebagaimana dalam perilaku ekonomi. Menurutnya ada empat hal yang membedakan perilaku tersebut. Pertama, memilih kandidat politik tidak langsung dirasakan manfaatnya sebagaimana pilihan terhadap pilihan konsumtif, melainkan manfaatnya diperoleh dimasa depan. Kedua, pilihan politik merupakan tindakan kolektif dimana kemenangan ditentukan oleh perolehan suara terbanyak. Jadi pilihan seseorang senantiasa mempertimbangkan pilihan orang lain. Ketiga, pilihan politik senantiasa diperhadapkan dengan ketidakpastian utamanya politisi untuk memenuhi janji politiknya. Keempat, pilihan politik membutuhkan informasi yang intensif demi tercapainya manfaat dimasa depan. Dari beberapa karakteristik tentang perilaku memilih tersebut, yang tentunya akan berimplikasi dalam pemberian suara pada proses pemilihan umum (Pemili).20 Memberikan suara adalah salah satu tindakan sosial dalam proses pemilihan Kepala Daerah, dimana pemilih banyak menggunakan pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan putusan mereka 20 Ibid, hal 110 20 dengan pemberian suara melalui pemilihan umum (Pemilu) secara langsung. Pemilihan umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini beraneka-ragam, mulai dari Presiden, wakil rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.Sistem pemilu digunakan adalah asas luber dan jurdil. Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara. Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih21. Menurut Jung membedakan dua tipe karakter utama pemilih yang ekstrovert dan introvert. Introvert berbalik kedalam diri manusia itu sendiri, kepada dunia ide tidak peduli dengan pendapat orang lain seorang 21 http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum 21 ekstrovert berminat dengan sesuatu yang berada disekirarnya, dalam kekayaan, prestise, persetujuan sosial, dan konformitasi22. Pendekatan perilaku pemilih dalam kehidupan suatu masyarakat selalu terdapat pola-pola dan cara-cara tertentu yang dianut oleh warga masyarakat. Pola dan cara-cara tersebut merupakan tingkah laku masyarakat itu dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang sukarela atau dengan terpaksa melakukan atau tidak melakukan sesuatu tindakan yang diharapkannya, maka keputusan yang diambilnya itu amat dipengaruhi oleh pola dan cara fikir yang dianutnya. Hal tersebut diatas tentu tidak bisa dilepaskan dari kondisi psikis dan pola pikir tokoh masyarakat, terlebih lagi oleh kuatnya dorongan dalam rangka memperebutkan ataupun mempertahankan sumber-sumber yang dianggap perlu. Pola dan cara berfikir menurut tokoh masyarakat itu sendiri lahir, tumbuh dan berkembang sebagai pedoman dalam kebudayaan yang ada dalam pergaulan hidup sehari-hari dengan anggota masyarakat lainnya tidak dapat disangkal bahwa manusia mempunyai bentuk-bentuk kharakteristik dalam yang terwujud kelompok-kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi dan kekuasaan. Dengan demikian, dalam melihat perilaku politik seseorang perlu menggunakan beberapa pendekatan. Dalam menganalisis perilaku pemilih dapat 22 Ibid, hal 109-111 22 digunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, dan pendekatan rasional. Pendekatan Sosiologis, pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa kharakteristik social dan pengelompokan-pengelompokan social mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan pilihan pemilih. Pendekatan sosiologis dilandasi oleh pemikiran bahwa determinan pemilih dalam respon politiknya adalah status sosio-ekonomi, afiliasi religious. Dengan kata lain, pendekatan ini didasarkan pada ikatan social pemilih dari segi etnik, ras, agama, keluarga dan pertemanan yang dialami oleh agen pemilih secara historis. Pengelompokan sosial seperti umur (tua-muda), jenis kelamin (laki-perempuan) agama dan semacamnya dianggap mempunyai membentuk keanggotaan peranan pengelompokan seseorang organisasi-organisasi sosial dalam profesi, yang dan cukup baik menentukan secara formal organisasi-organisasi sebagainya, maupun dalam seperti keagamaan, kelompok- kelompok informal seperti keluarga, pertemuan, ataupun kelompokkelompok kecil lainnya, merupakan sesuatu yang sangat vital dalam memahami perilaku politik seseorang, karena kelompok-kelompok inilah yang mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan sikap, persepsi dan orientasi seseorang. Pendekatan psikologis, pendekatan ini pada dasarnya melihat sosialisasi sebagai determinasi dalam menentukan perilaku politik pemilih, 23 bukan kharakteristik sosiologis. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap seseorang merupakan refleksi dari keperibadian seseorang yang menjadi variabel yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Oleh karena itu, pendekatan psikologi menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama, yaitu ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu dan orientasi terhadap kandidat. Pertama, sikap merupakan fungsi kepentingan, artinya penilaian terhadap suatu objek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut; kedua, sikap merupakan fungsi penyesuaian diri artinya seseorang bersikap tertentu merupakan akibat dari keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh yang dijadikan panutan; ketiga, sikap merupakan fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri, artinya sikap seseorang itu merupakan upaya utuk mengatasi konflik batin dan tekanan psikis dan eksternalisasi diri seperti proyeksi, idealisasi, rasionalisasi dan identifikasi. Kedua pendekatan tersebut diatas melihat bahwa perilaku pemilih bukanlah keputusan yang dibuat pada saat menjelang atau ketika berada dibilik suara, tapi sudah ditentukan jauh sebelumnya, bahkan sebelum kampanye dimulai. Oleh karena itu tidak cukup menjelaskan perilaku politik dengan hanya menggunakan kedua pendekatan tersebut, tetapi juga dibutuhkan pendekatan rasional. 24 Pendekatan rasional, melihat bahwa pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaiannya terhadap isu-isu politik dan kandidat yang diajukan, artinya para pemilih dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional. Dengan demikian, perilaku pemilih berdasarkan pertimbangan rasional tidak hanya berupa memilih alternative yang paling menguntungkan (maximum gained) atau mendatangkan kerugian yang paling sedikit, tetapi juga dalam memilih alternative yang menimbulkan resiko yang paling kecil yang penting mendahulukan selamat. Oleh karena itu, diasumsikan para pemilih mempunyai kemampuan untuk menilai isu-isu politik yang diajukan, begitu juga mampu menilai calon (kandidat) yang ditampilkan. Penilaian rasional terhadap isu politik atau kandidat ini dapat didasarkan pada jabatan, informasi dan pribadi yang populer atas prestasi yang dimilikinya. Beberapa pendekatan diatas sama-sama berasumsi bahwa memilih merupakan kegiatan yang otonom, dalam arti tanpa desakan dan paksaan dari pihak lain. Namun, dalam kenyataan di Negara-negara berkembang perilaku memilih bukan hanya ditentukan oleh pemilih sebagaimana disebutkan oleh beberapa pendekatan diatas, tetapi dalam banyak hal justru ditentukan oleh tekanan kelompok, intimidasi, dan paksaan dari kelompok atau pemimpin tertentu. Tokoh Masyarakat yang memandang kelompok atau publik lebih penting daripada definisi situasi yang diberikan oleh individu cenderung 25 mempersukar individu untuk membuat keputusan yang berbeda ataupun bertentangan dengan pendapat kelompok atau Negara tersebut. Oleh karena itu, perilaku memilih dibeberapa Negara berkembang harus pula ditelaah dari segi pengaruh kepemimpinan terhadap pilihan pemilih. Kepemimpinan yang dimaksud berupa kepemimpinan tradisional (kepala adat dan kepala suku), religious (pemimpin agama), patron-klien (tuan tanah-buruh penggarap), dan birokratik-otoriter (para penjabat pemerintah, polisi, dan militer). para pemimpin ini tidak selalu berupa persuasi, tetapi acap kali berupa manipulasi, intimidasi, dan ancaman paksaan. Proses pendekatan diatas tentunya akan berdampak pula pada perkembangan perilaku memilih di Mamuju Sulawesi Barat yang masih sangat dipengaruhi oleh semangat kedaerahan yang tinggi, serta para tokoh masyarakat lokal yang menjadi patron di daerah tersebut. Disamping itu menurut Kacung Marijan23, ada dua kecenderungan perilaku memilih pasca runtuhnya pemerintahan Soeharto. Pertama, adalah perilaku memilih yang bercorak suka. Perilaku demikian mengemuka pada Pemilu 1999. Para pemilih memiliki kecenderungan secara sukarela mendukung partai-partai yang didukungnya agar bisa memperoleh kemenangan dalam Pemilu 1999 saat itu. Tidak hanya dukungan suara, para pemilih itu juga secara aktif memberikan sumbangan material kepada partai-partai kesayangannya. Para pemilih 23 Kacung Marijan, Blog at wordpress.com, 26 tersebut, misalnya, aktif membiayai berdirinya posko, kampanye, kaus, pemasangan baliho, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Singkat cerita, jalinan antara pemilih dan partai cukup kuat. Kedua, adalah perilaku pemilih yang bercorak transaksional material. Gejala tersebut mulai mengemuka pada Pemilu 2004. Di antara pemilih, para pemilih tidak lagi secara suka mendukung partai. Mereka ikut mendukung, asalkan terdapat imbalan terhadap dukungan yang diberikan itu. Misalnya, mereka mau berkampanye, asalkan mendapatkan uang transpor, memperoleh kaus, dan imbalan-imbalan material lainnya. Terdapat sejumlah kondisi yang memunculkan fenomena kedua itu. Kondisi yang pertama berkaitan dengan kesadaran para pemilih bahwa politisi yang pada akhirnya memperoleh kekuasaan atas dukungan yang mereka berikan tersebut telah menikmati kekuasaan yang berdurasi cukup lama.Tetapi di balik itu semua, terdapat keinginan agar orang-orang yang memperoleh materi tersebut memilih calon itu. Demokrasi memang tidak bisa dilepaskan dari transaksi, antara yang memilih dan yang dipilih. Tetapi, di dalam demokrasi yang sehat, transaksi itu tidak berwujud material yang diberikan kepada pribadi-pribadi (private), melainkan kepada masyarakat umum (public). Yang terakhir ini, misalnya, berbentuk ikatan tentang kebijakan-kebijakan yang akan dibuat manakala calon tersebut benar-benar terpilih. Transaksi material bisa mengarah kepada kehidupan demokrasi yang tidak sehat. Pertama, transaksi itu bersifat sesaat: calon memberikan 27 sesuatu dan penerima memilihnya. Setelah itu, bisa selesai begitu saja. Konsekuensinya, disconnect electoral terjadi. Calon yang terpilih bisa saja tidak merasa harus memiliki akuntabilitas kepada pemilih. Hal demikian membawa implikasi adanya relasi yang tidak sehat antara pejabat terpilih itu dan para pemilihnya. Kedua, perilaku transaksional semacam itu cenderung hanya membuka ruang kepada orang-orang yang memiliki kekayaan besar saja yang berkesempatan menjadi elite. Minimal, hanya memberikan ruang kepada calon yang mampu mengumpulkan sumbangan dari orang-orang berduit saja. Konsekuensi semua itu, sifat kekuasaan cenderung bercorak oligarkis. Dalam model demikian, kekuasaan lebih banyak dinikmati sekelompok kecil orang saja. Sekiranya hal seperti itu yang terjadi, tujuan pilkada secara langsung menjadi sulit diwujudkan. Selain agar proses pemilihan kepala daerah berlangsung secara demokratis, mekanisme demikian dimaksudkan agar alokasi dan distribusi sumber-sumber untuk publik bisa berlangsung secara adil dan menguntungkan banyak pihak. Tetapi, kalau pilkada langsung itu hanya memproduksi kekuasan yang bercorak oligarkis, alokasi dan distribusi sumber-sumber daerah hanya akan lebih banyak menguntungkan sekelompok kecil orang tertentu saja. Situasi seperti itu bisa berubah manakala perilaku transaksi material tersebut berubah menjadi transaksi kebijakan. Para pemilih menentukan pilihannya bukan karena para calon telah memberikan 28 imbalan material, melainkan mampu memberikan imbalan berupa kebijakan publik yang menguntungkan. Selain itu, perlu ada desain ulang pilkada secara langsung untuk meminimalisasi biaya tinggi dan berlangsungnya praktik transaksi material. Misalnya, perlu ada pembatasan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh semua pasangan calon dan adanya sanksi yang berat kepada pelaku money politics24. Perilaku memilih tokoh masyarakat dilatar belakangi oleh adanya kondisi psikologis yang merupakan faktor paling berperan dalam perilaku memilih tokoh masyarakat. Kalau kita melihat dan mengamati beberapa pandangan mengenai perilaku memilih dan peran tokoh masyarakat dalam pentas politik lokal/pilkada yang berlangsung di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat, tentunya menarik untuk di teliti guna memperdalam kajian mengenai demokrasi lokal/kedaerahan yang dewasa ini, menjadi pesta politik diseluruh daerah di Indonesia. Tetapi sistem desentralisasi yang terakomodasi dalam pilkada, tentunya melahirkan suatu potensi konflik. Menurut Maswadi Rauf, bahwa konflik adalah suatu gejala social yang selalu terdapat didalam setiap masyarakat dari setiap kurun waktu. Konflik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat, karena konflik merupakan salah satu produk dari hubungan sosial (Social Relation) karena masyarakat terdiri dari sejumlah besar hubungan social, selalu saja terjadi 24 Kompas.com, 7 Agustus 2008 29 konflik antara warga-warga masyarakat yang terlibat dalam hubungan sosial.25 Hal tersebut diatas tentunya memicu suatu ketegangan sosial yang berimplikasi pada disharmonisasi kehidupan bermasyarakat, sehingga ketegangan sosial tersebut pun memicu kembali semangat etnosentrisme. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Dr. Achmad Habib, MA bahwa pada dasarnya setiap kebudayaan dalam masyarakat hampir selalu memiliki sifat ethnosentris tidak terkecuali budaya Jawa & Cina. Konflik sosial yang teradapat dalam masyarakat tentunya tidak bisa dilepaskan dari sifat etnosentris yang inheren didalam diri individu, yang kemudian melahirkan antagonisme etnis yang oleh Persell (1990 : 234) dihipotesiskan akan terjadi bila ada sejumlah prasyarat, yaitu: Pertama, adanya dua atau lebih kelompok etnik yang berbeda. Kedua, adanya perbedaan praktek budaya & cirri-ciri fisik kelompok yang bias dikenali. Ketiga, adanya persaingan antar berbagai kelompok untuk mendapatkan barang-barang atau sumber-sumber yang terbatas. Keempat, adanya ketimpangan distribusi kekuasaan dan sumber daya pada berbagai kelompok yang bersaing. Hal tersebut meniscayakan adanya potensi konflik yang nyata didalam masyarakat, sehingga benturan tersebut tidak dapat dihindarkan. Terlepas dari apakah keempat kondisi prasyarat tersebut semuanya terpenuhi atau tidak, kerusuhan antar etnik seolah-olah terus mengikuti dinamika sejarah perpolitikan di Indonesia. Etnik sebagai 25 Maswadi Rauf, Konsensus & konflik politik, Jakarta: PT. Gramedia, 2001 30 sekelompok manusia yang mempunyai kebudayaan sama, berkembang dari ranah biologis menuju ranah kebudayaan dan akhirnya bermuara pada ranah politik. Aspek sosio-politik tentang etnik ini belakangan disebut etnisitas26. Dalam hal ini sedikitnya ada dua macam tingkatan konflik yang mungkin terjadi, yakni (1) konflik dalam tingkatan yang bersifat ideologis, (2) konflik didalam tingkatan yang bersifat politis. Pada tingkatan yang bersifat ideologis, konflik tersebut terwujud didalam bentuk konflik antara system nilai yang dianut serta menjadi ideology dari berbagai kesatuan sosial. Pada tingkatan yang bersifat politis, konflik tersebut terjadi dalam bentuk pertentangan didalam pembagian status kekuasaan & sumbersumber ekonomi yang terbatas adanya didalam masyarakat.27 Dalam hal ini, menurut teori Neil J. Smelser yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang menjadi sumber ketegangan yakni (Struktural condusiveness, srtuktural strain), yang kemudian diikuti oleh adanya penyebaran kepercayaan dan kebencian. Disinilah, intervensi politik, aktivis maupun kepentingan elit, seringkali menumpangi proses-proses ketegangan, sehingga merambat menjadi kebencian dan tindakantindakan anarkis.28 26 Dr. Achmad Habib, MA, Konflik antar etnik di pedesaan, Yogyakarta: PT. LKiS, 2004 Dr. Nasikun, Sistem Sosial Indonesia: Jakarta, PT. RajaGrafindo, 2006 28 Riza Sihbudi & Moch Nurhasim: Jakarta, PT. Grasindo, 2002 27 31 C. Teori etnisitas Pada awalnya istilah etnik hanya digunakan untuk suku-suku tertentu yang dianggap bukan asli Indonesia, namun telah lama bermukim dan berbaur dalam masyarakat, serta tetap mempertahankan identitas mereka melalui cara-cara khas mereka yang dikerjakan, dan atau karena secara fisik mereka benar-benar khas. Misalnya etnik Cina, etnik Arab, dan etnik Tamil-India. Perkembangan belakangan, istilah etnik juga dipakai sebagai sinonim dari kata suku pada suku-suku yang dianggap asli Indonesia. Misalnya etnik Bugis, etnik Minang, etnik Dairi-Pakpak, etnik Dani, etnik Sasak, dan ratusan etnik lainnya. Malahan akhir-akhir ini istilah suku mulai ditinggalkan karena berasosiasi dengan keprimitifan (suku dalam bahasa inggris diterjemahkan sebagai ‘tribe’), sedangkan istilah etnik dirasa lebih netral. Istilah etnik sendiri merujuk pada pengertian kelompok orang-orang, sementara etnis merujuk pada orangorang dalam kelompok. Pengertian Etnik Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi. 32 Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Kelompok etnik adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang : Dalam populasi kelompok mereka mampu melestarikan kelangsungan kelompok dengan berkembang biak. Mempunyai nila-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.29 Etnik merupakan konsep yang pekat dari sisi pemahaman proses sosial. Istilah ‘etnik’ diserap dari kata dalam bahasa inggris ‘ethnic’ yang secara harfiah makna “Connected with or relating to different racial or cultural groups of people”. Etnik sebagai kategori untuk membedakan ‘perilaku’ orang-orang merupakan sesuatu yang telah usang. ‘Model untuk’ yang digunakan dengan mengelompokkan perilaku dan budaya tertentu diasosiasikan dengan etnik tertentu sudah tidak dapat lagi dipergunakan. Sekarang ini, etnik sebagai identitas tidak berarti harus menunjukkan adanya perbedaan budaya. Mengaku berbeda etnik bukan 29Psikologi-online.com/etnik dan etnisitas /Tanggal: 13/07/2009 33 lantas harus menunjukkan perbedaan dalam perilaku. Namun meski demikian, masyarakat umumnya tetap menganut adanya model-model perilaku dan sifat tertentu yang khas etnik tertentu, dan model tersebut digunakan untuk menjelaskan keberadaan etnik bersangkutan. Konsep etnosentrisme seringkali dipakai secara bersama-sama dengan rasisme. Konsep ini mewakili sebuah pengertian bahwa setiap kelompok etnik atau ras mempunyai semangat bahwa kelompoknyalah yang lebih superior dari kelompok lain. Definisi etnik diatas menjelaskan pembatasan-pembatasan kelompok etnik yang didasarkan pada populasi tersendiri, terpisah dari kelompok lain, dan menempati lingkungan geografis tersendiri yang berbeda dengan kelompok lain. Sebuah kelompok etnik pertama kali diidentifikasi melalui hubungan darah. Apakah seseorang tergabung dalam suatu kelompok etnik tertentu ataukah tidak tergantung apakah orang itu memiliki hubungan darah dengan kelompok etnik itu atau tidak. Meskipun seseorang mengadopsi semua nilai-nilai dan tradisi suatu etnik tertentu tetapi jika ia tidak memiliki hubungan darah dengan anggota kelompok etnik itu, maka ia tidak bisa digolongkan anggota kelompok etnik tersebut. Etnik tetap ada karena berkait dengan kebutuhan akan identitasidentitas. Meskipun terdapat kesamaan-kesamaan yang besar dengan etnik lain, hal itu tidak menghalangi untuk tetap merasa berbeda. Identitas 34 etnik yang diperkuat, dimana identitas etnik semakin kerap ditonjolkan dalam kehidupan sosial seperti yang terjadi belakangan ini, kontradiktif dengan ramalan para pemuja globalisasi. Justru, perkuatan identitas etnik lahir sebagai perlawanan atas globalisasi. Etnik dijadikan alat politik untuk mendapatkan posisi tawar yang lebih tinggi dalam meraih sumber daya tertentu. Etnisitas sebagai ikatan primordialisme terkadang digunakan oleh elit politik lokal di suatu daerah sebagai isu dalam meraup suara pada saat momentum di sebuah pemilihan. Para elit lokal terkadang mendoktrinasi anggota kelompoknya serta menyebarkan kepercayaan serta kebencian yang menjadi sumber ketegangan sosial. Segmentasi dalam bentuk terjadinya kesatuan-kesatuan social yang terikat kedalam oleh ikatan-ikatan primordial dengan sub- kebudayaan yang berbeda satu sama lain mudah sekali menimbulkan konflik-konflik diantara kesatuankesatuan sosial tersebut. Dalam hal ini sedikitnya ada dua macam tingkatan konflik yang mungkin terjadi, yakni (1) konflik dalam tingkatan yang bersifat ideologis, (2) konflik didalam tingkatan yang bersifat politis. Pada tingkatan yang bersifat ideologis, konflik tersebut terwujud didalam bentuk konflik antara system nilai yang dianut serta menjadi ideology dari berbagai kesatuan sosial. Pada tingkatan yang bersifat politis, konflik tersebut terjadi dalam 35 bentuk pertentangan didalam pembagian status kekuasaan & sumbersumber ekonomi yang terbatas adanya didalam masyarakat.30 Jadi, momentum. berbicara Hanya mengenai saja, etnisitas pemahaman tetap tidak mengenai kehilangan etnisitas perlu ditambahkan. Tidak saja etnik sebagai kategori orang-orang karena budaya dan darah, tetapi lebih penting lagi telah menjadi kategori identitas politis, dimana identitas etnis tetap dipertahankan karena memang bermanfaat. Meminjam istilah Edward Said, guru orientalisme, identitas etnikpun bisa dipilah sebagai identitas murni dan identitas politis. Identitas etnik menjadi identitas politis manakala identitas itu dipergunakan demi tujuan tertentu untuk memperoleh kemanfaatan tertentu. D. Kerangka Pemikiran Pilkada Gubernur secara langsung merupakan proses penentuan pemimpin didaerah yang dipilih langsung oleh masyarakat sesuai dengan mekanisme yang telah diatur. Proses yang dimaksudkan tetap dikemas dalam sebuah mekanisme sebagaimana pemilihan umum . Dalam proses ini, tokoh masyarakat yang sepenuhnya berhak untuk menentukan dan juga terlibat langsung untuk memilih walikota, bupati ataupun gubernur sesuai dengan pilihan mereka. Dalam konteks negara kebangsaan, sistem masa lalu yang sangat sentralistik telah digeser ke dalam sistem yang lebih demokratis. 30 Dr. Nasikun, Sistem Sosial Indonesia: Jakarta, PT. RajaGrafindo, 2006 36 Runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998, di tandai dengan masuknya era reformasi, masa ini adalah masa pembaharuan di semua dimensi kehidupan. Tidak terkecuali dalam sistem politik yang dulu sangat sentralistik dan terpusat, kemudian digeser ke sistem federalis. Adanya UU yang terus di revisi sebagai wujud dari penyempurnaan ke arah yang lebih baik, UU No. 22 tahun 1999 kemudian di revisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah secara langsung. Sehingga dalam pelaksanaannya, ,masyarakatlah yang sepenuhnya berhak untuk menentukan dan juga terlibat langsung untuk memilih walikota, bupati ataupun gubernur sesuai dengan pilihan mereka. Sistem pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah secara langsung, melibatkan masyarakat dalam pemilihan umum untuk memilih dan terlibat secara langsung. Berbagai faktor dan struktur sosial yang ada dalam tokoh masyarakat dapat menjadi variabel yang sangat berpengaruh. Dalam konteks Pilkada di Kabupaten Mamuju, perilaku memilih sangatlah di pengaruhi oleh faktor-faktor primordialisme yaitu kuatnya ikatan kekerabatan (darah dan kekeluargaan) dan kesamaan kesukuan, bahasa, dan adat-istiadat yang merupakan faktor-faktor primordial yang membentuk perilaku memilih masyarakat (Surbakti, 1992:44).31 Tokoh masyarakat sebagai representasi dari masyarakat itu sendiri, yakni individu-individu yang memiliki kemampuan dalam mengorganisasi, 31 Ibid, 44 37 memobilisasi, serta mengarahkan perilaku sosial suatu masyarakat, merupakan salah satu variabel perilaku memilih tokoh masyarakat dan merupakan salah satu faktor yang menentukan bagi tercapainya suatu kebaikan bersama dengan mengedepankan semangat serta nilai-nilai kearifan lokal sebuah masyarakat. Tokoh masyarakat tersebut diharapkan dapat menjadi model aktif dalam pengembangan sumber daya manusia yang menjadi kunci dan sebagai pengendali konflik diranah lokal. Pengendalian konflik dalam masyarakat tentunya memerlukan peranan tokoh masyarakat dengan semangat kearifan lokal serta semangat kedaerahan yang tinggi dan demokratis yang mengedepanlan nilai-nilai pluralisme agar tercipta harmoni sosial dalam masyarakat. Beberapa faktor lainnya yang kemudian mempengaruhi perilaku memilih tokoh masyarakat yaitu: faktor sosiologis, faktor psikologis, dan faktor perilaku memilih rasional. Kesemua faktor-faktor dalam perilaku memilih tersebut sangat erat kaitannya dengan proses Pemilihan Kepala Daerah secara langsung di Kabupaten Mamuju. Pada pemilihan kepala daerah Gubernur tahun 2006 di Kabupaten Mamuju dengan isu etnisitas yang sangat kuat dan merupakan faktor yang sangat erat kaitannya dalam pola perilaku memilih tokoh masyarakat. Ini terlihat dari terlibatnya beberapa tokoh masyarakat dalam pilkada Gubernur yang berlangsung dikabupaten Mamuju pada tahun 2006, 38 keterlibatan tokoh masyarakat dalam pilkada tersebut diharapkan menjadi pengarah dan mampu meminimalisir potensi konflik yang senantiasa mengancam stabilitas serta harmoni kehidupan masyarakat secara kolektif. kecenderungan etnosentrisme yang muncul dalam pilkada Gubernur 2006 di kabupaten mamuju, diharapkan mampu diarahkan untuk perbaikan oleh tokoh masyarakat sebagai patron yang mampu mengakomodir kepentingan masyarakat secara kolektif, bukan malah mempertajam sekat-sekat dan fanatisme kesukuan. penelitian tentang tokoh masyarakat dan perilaku memilih tokoh masyarakat dan bagaimana pola pilihan-pilihan politik tokoh masyarakat pada pemilihan kepala daerah dalam hal ini pemilihan gubernur Di Kabupaten/Kota Mamuju secara langsung, dititik beratkan pada proses penentuan pilihan terhadap kandidat, dan tahapan sosialisasi yang dilakukan. Dari uraian diatas maka kerangka analisis dapat dikembangkan dengan model sebagai berikut: Tokoh Masyarakat Perilaku memilih pada pilkada 2006 di Kabupaten Mamuju BAB II Sosiologis Psikologis Rasional Pilihan Tokoh masyarakat 39 BAB III METODE PENELITIAN Pada bagian ini, penulis akan menguraikan mengenai lokasi penelitian, dasar pokok penelitian, tekhnik pengumpulan data dan analisis data penelitian, definisi operasional, dan analisis data penelitian. A. Lokasi penelitian Lokasi penelitian akan dilakukan di wilayah Kota Mamuju, yang sesuai dengan judul penelitian yang diangkat oleh peneliti, yakni menyangkut tokoh masyarakat dan perilaku memilih studi tentang perilaku memilih tokoh masyarakat pada pilkada Gubernur 2006 di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat, penelitian dilakukan dan berfokus di Kabupaten/kota Mamuju Sulawesi Barat sehingga penelitian akan lebih intensifkan di Kota tersebut. B. Tipe penelitian dan dasar Penelitian Sesuai dengan tujuan serta konseptualisasinya maka penulis ingin mengetahui lebih jelas dan mendalam mengenai Tokoh masyarakat Dan perilaku memilih dalam konteks Pilkada dalam pemilihan di Kabupaten Mamuju tersebut. Tipe penelitian ialah deskriptif, yaitu mencoba membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat pada suatu obyek penelitian tertentu32. 32 Dr. Ir. Mansyuri, MP dan Drs.M.Zainuddin,MA.METODOLOGI Pendekatan Praktis,PT. Refika Aditama, Malang 2008. PENELITIAN 40 C. Penentuan informan Dalam studi penelitian ini, peneliti ingin mengetahui tentang tokoh masyarakat dalam perilaku memilih dan keterlibatannya dalam pilkada Gubernur 2006 di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat. Pemilihan informan yang akan peneliti wawancarai ialah para tokoh adat, tokoh agama,tokoh intelektual dan tokoh pemuda. Dan yang dijadikan informan dari penelitian ini adalah individu-individu yang berkaitan dengan fokus penelitian. Pemilihan informan yang akan peneliti wawancarai pada penelitian ini menggunakan metode dengan cara pemilihan secara purposive, informan dipilih berdasarkan pada tujuan penelitian dan beberapa pertimbangan tertentu. Informan dipilih dari 4 kategori Tokoh di Mamuju yakni: 1. Tokoh adat (Drs. Tamrin Syakur, H. Andi maksum da’i) alasan dipilihnya tokoh adat dalam penelitian ini ialah, karena tokoh adat dianggap mampu menjaga tradisi serta nilai-nilai budaya kesukuan/etnosentrisme. 2. Tokoh Agama, (Drs, Muh yahya dan Drs.H.M kamil) alasan dipilihnya tokoh agama, karena tokoh agama dianggap mampu memberi pengaruh dalam konteks keagamaan. 3. Tokoh Pemuda, (Ali candra pattihasan,Irwan pababari) alasan dipilihnya tokoh pemuda ialah dikarenakan tokoh pemuda mempunyai kedekatan dengan beberapa kepemudaan yang ada di Kabupaten Mamuju. aliansi organisasi 41 4. Tokoh Intelektual (Almalik Pababari) alasan dipilihnya tokoh intelektual ialah dikarenakan mempunyai pengaruh penting dalam mengkritisi setiap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. D. Tekhnik Pengumpulan Data Tekhnik pengumpulan data yang direncanakan untuk digunakan dilapangan adalah sebagai berikut : 1. Wawancara Mendalam Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Dalam hal ini Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan pertanyaan yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu dan merupakan proses untuk mendapatkan informasi untuk kepentingan penelitian dengan cara dialog antara peneliti sebagai pewawancara dengan informan atau yang memberi informasi untuk mendapatkan data yang akurat dan kongkrit33 Wawancara ini merupakan suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan infofmasi yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan atau Tanya jawab. Wawancara dalam penelitian kualitatif sifatnya mendalam karena ingin menggali informasi secara langsung dan jelas dari informan. 33 Prof. Dr. Djam ‘an Satori, M.A. dan Dr. Aan Komariah, M.Pd. METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF. Penerbit ALFABETA,Bandung,2009 42 2. Studi pustaka dan dokumen Tekhnik ini peneliti gunakan untuk memperkuat validitas data primer atau data utama yang peneliti peroleh dari para informan. Teknik ini kemudian membantu peneliti didalam menelusuri pembahasan melalui tulisan-tulisan yang telah ada sebelumnya tentang tokoh masyarakat dan perilaku memilih. E. Jenis data 1. Data primer, yaitu data yang diperoleh melalui studi lapangan dengan menggunakan tekhnik wawancara. Dalam pelaksanaan tekhnik ini, penulis mengumpulkan data mentah dan mengolah data tersebut. 2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara membaca buku, literatur-literatur serta informasi tertulis lainnya yang berkenaan dengan masalah yang diteliti, dan selain itu dapat juga melihat situs-situs atau website yang diakses untuk memperoleh data yang lebih akurat. Data sekunder ini dimaksudkan sebagai data-data penunjang untuk dapat melengkapi hasil penelitian ini. Data sekunder juga diperoleh dari beberapa sumber, termasuk BPS (Badan Pusat Statistik). F. Analisis data Adapun tekhnik pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian secara kualitatif untuk mendapatkan penjelasan mengenai perilaku memilih tokoh 43 masyarakat dan keterlibatannya pada pilkada 2006 dikota Mamuju. Adapun angka-angka yang muncul dalam penelitian ini tidak dimaksudkan untuk dianalisa secara kuantitatif, akan tetapi hanya sebagai pelengkap untuk memperkuat analisis data kualitatif demi pencapaian tujuan penelitian. 44 BAB IV GAMBARAN UMUM WLAYAH A. Gambaran Singkat Kabupaten Mamuju Keadaan geografis Kota Mamuju adalah ibukota provinsi Sulawesi Barat, Indonesia. Kota Mamuju sampai saat ini bukanlah sebagai daerah otonom yang memiliki walikota ataupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota sendiri, melainkan masih menjadi bagian dari Kabupaten Mamuju. Kota ini diapit pantai dan perbukitan berlapis cokelat. Bukit berkelok sepanjang 500 kilometer selepas Kabupaten Barru (Sulawesi Selatan) dan deretan kapal nelayan khas Mandar menambah indahnya panorama alam. Kota ini berada di antara Palu (Sulawesi Tengah) dan Makassar (Sulawesi Selatan). Ibukota ini akan menjadi jembatan ekonomi atau pun budaya Kota Palu dan Makassar. Mamuju juga potret dari dua wilayah tersebut, karena penduduknya yang dominan etnik Mandar dengan beberapa sub-etnik kecil, seperti Bugis, Toraja, Makassar, dan Jawa. Dengan kata lain, Kabupaten Mamuju terletak di sebelah barat Pulau Sulawesi, berdasarkan UU RI no.26 Tahun 2004 tanggal 5 45 Oktober 2004 maka Kabupaten Mamuju bersama 4 Kabupaten lainnya yaitu; Polmas, Majene, Mamasa dan Mamuju Utara. Resmi menjadi sebuah Propinsi Sulawesi Barat dan ibukota Propinsi terletak di Kabupaten Mamuju. Kabupaten Mamuju merupakan daerah yang terluas di Provinsi.Sulawesi Barat. Secara geografis Kabupaten Mamuju terletak di posisi : 00 45' sampai 20 55' Lintang Selatan dan 45' sampai 1190 50' Bujur Timur. Kabupaten Mamuju berbatasan dengan : 1. Disebelah Utara : Kabupaten Mamuju Utara 2. Disebelah Timur :Kabupaten Luwu Utara ( Prop.Sulsel) 3. Disebelah Selatan :Kab.Majene,Polmas dan Tator (prop.Sul-sel) 4 Disebelah Barat : Selat Makassar (Prop.Kaltim) Kabupaten Mamuju memiliki luas 801.406 Ha. Secara administrasi, Pemerintahan Kabupaten Mamuju terbagi atas 15 Kecamatan, 103 Desa, 8 Kelurahan dan 2 UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi). Adapun beberapa kecamatan meliputi kabupaten Mamuju adalah sebagai berikut : 46 Tabel I Kecamatan Luas (km²) Jumlah Desa. Kelurahan 1. Tapalang 26.971 6 2. Tapalang Barat 15.976 5 8.465 6 4. Mamuju 21.104 5 5. Kalukku 48.050 9 6. Bonehau 96.176 6 173.171 7 8. Papalang 15.562 6 9. Sampaga 15.509 6 10. Pangale 12.193 7 11. Tommo 61.001 9 12. Budong-budong 24.882 7 13. Tobadak 65.704 9 14. Topoyo 94.842 12 15. Karossa 160.997 11 Jumlah 840.603 111 3. Simboro dan Kepulauan 7. Kalumpang (Sumber Data :Badan Statistik Pemkab. Mamuju 2009) Data diatas menunjukkan bahwa luasnya wilayah yang meliputi seluruh kecamatan yang ada di kabupaten Mamuju, dan akan memicu 47 datangnya berbagai masyarakat dari luar Kabupaten Mamuju untuk bermukim dan menetap. Disamping pula letak geografisnya yang berada diantara Sulawesi tengah dan Sulawesi Selatan dengan berbagai potensi sumber daya alam yang melimpah. Kependudukan Kabupaten Mamuju yang memiliki letak geografis yang strategis dan merupakan daerah terluas di Sulawesi Barat, memiliki penduduk yang selama satu tahun terakhir mengalami pertumbuhan sekitar 7,35% dari 264123 jiwa pada tahun 2004 menjadi 283.528 jiwa pada tahun 2005. Sementara rata-rata pertumbuhan periode 2001-2005 tercatat sebesar 5,40% per tahun. Jumlah penduduk terbesar terdapat di dua kecamatan yaitu Kecamatan Mamuju dengan penduduk sebesar 37,739 jiwa (13,31%) dan kecamatan Kalukku dengan penduduk sebesar 36.878 jiwa (13,01%). Masih ada satu kecamatan dengan jumlah penduduk relatif sedikit yaitu Kecamatan Bonehau dengan jumlah penduduk sebesar 7.436 jiwa. Dengan luas wilayah 8.014,06 Km2, berarti tingkat kepadatan penduduk daerah ini sekitar 35,4 jiwa/Km2. ada tiga kecamatan yang tingkat kepadatan penduduknya di atas 200 yaitu Kecamatan Mamuju (235,5 jiwa/Km2), Kecamatan Simboro dan Kepulauan (215,7 jiwa/Km) dan Kecamatan Tobadak (208,4 jiwa/Km2). Sementara itu, kecamatan yang kepadatan penduduknya tergolong rendah dengan kepadatan di 48 bawah 10 adalah Kecamatan Bonehau dan Kecamatan Kalumpang dengan tingkat kepadatan penduduk masing-masing 7,8 dan 6 jiwa/Km2.34 Data diatas menunjukkan bahwa besarnya luas wilayah kabupaten Mamuju, maka besar kemungkinan akan bertambahnya penduduk dari luar kabupaten Mamuju. Maka dapat disimpulkan bahwa hadirnya penduduk-penduduk transmigran tersebut, akan membentuk kelompokkelompok baru yang akan mewarnai dinamika kemasyarakatan yang multikultural. Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Kabupaten Mamuju terdiri dari beberapa etnis yang hidup berdampingan seperti etnik Mandar, etnis Mamuju dan diikuti beberapa sub-sub etnik kecil yakni Bugis, Toraja, Makassar, dan Jawa. Adapun etnis thionghoa yang jumlahnya relatif kecil hanya terdapat didaerah perkotaan saja. Penduduk kabupaten Mamuju yang mayoritas beretnis MandarMamuju dalam kehidupan sehari-harinya, masih banyak yang terikat sistem norma dan aturan-aturan yang menjadi falsafah hidup bagi masyarakat Mamuju. Sistem adat yang menjadi falsafah hidup masyarakat Mamuju terungkap dalam mutiara hikmah nilai budaya dan tradisi masyarakat Mamuju yang mengatakan: "Todiari Teppo Dolu, Parallu 34 (Sumber Data: resmi Pemkab. Mamuju). 49 Nikilalai Sule Wattu Ia Te'e, Laiyalai Mendiari Peppondonganna Katuoatta'ilalan Era Laittingayoaianna". Masyarakat Mamuju mempunyai keunikan dalam kehidupan kebudayaan mereka, yakni mereka sangat menghargai angka 7(tujuh) atau dalam bahasa keseharian mereka yakni pitu. Begitu sakralnya angka 7(tujuh) dalam kebudayaan masyarakat Mamuju, inilah yang membentuk identitas kultural kebudayaan masyarakat Mamuju. Yakni tergambarnya dasar-dasar pemikiran penetapan waktu yang diambil sebagai Hari Jadi Mamuju dan peristiwa yang menjadi patokan penetapannya adalah terbentuknya Kerajaan Mamuju dari hasil perpaduan tiga buah kerajaan Kurri-Kurri, Langgamonar dan Managallang. Selanjutnya, dasar pemikiran dan pertimbangan penetapan waktu tersebut secara terinci dari tanggal, bulan dan tahun yang diambil diungkapkan sebagai berikut : 1. Tanggal 14 (empat belas). a. Angka 14 adalah angka kelipatan dua dari tujuh, yang oleh tradisi Masyarakat Mamuju menyebutnya Penduang Pitu. b. Jumlah hari dalam sebulan bergerak antara 28/29 dan 30/31 hari dengan demikian, posisi tanggal 14 berada pada posisi tengah yang diapit 14/15 hari sebelum dan 15/16 hari sesudahnya. c. Tanggal 14 akan selalu berada pada posisi mendekati kebenaran, karena keseimbangan jumlah hari sebelum dan sesudahnya dalam sebulan. 50 d. Nilai-nilai tradisi yang lekat dengan tanggal 14 adalah perhitungan hari ke-14 dengan posisi bulan situru' yang berarti mufakat bulan malam ke14 adalah purnama. e. Angka 14 disimbolkan dengan 14 Distrik Swapraja di Mamuju. 2. Bulan Juli a. Bulan Juli adalah bulan berada pada posisi urutan 7 dari 12 bulan setahun. Nilai tradisi angka 7 bagi Masyarakat Mamuju dipandang amat sakral penuh makna. Demikian letaknya angka 7 dengan masyarakat Mamuju di bawah ini terinventarisir dengan angka 7 sebagai berikut : 1.) Ada' Gala'gar Pitu (7 Pemangku Adat). 2.) Pitu Ba'bana Binanga (7 Kerajaan di pesisir). 3.) Pitu Ulunna Salu' (7 Kerajaan di Hulu Sungai). 4.) Penduang Pitu (14 sebagai kelipatan 2 dari 7). 5.) Nene Pitullapis (Nenek tujuh turunan). 6.) Ampo Pitullapis (Cucu tujuh turunan). 7.) Langi' Pitussusung (Langit tujuh susun). 8.) Tanpo Pitullapis (Tanah tujuh lapis). 9.) Tanete Pituttodong (Gunung tujuh bersusun). 10.) Tobo Lengkong Pitu (Keris berlekuk tujuh). 51 11.) Nambo Pitundappa (Kedalaman tujuh depaan). 12.) Pitu Tokke Pitu Sassa (Tujuh Tokke dan tujuh Cecak). 13.) Anjoro Pitu (Kelapa 7). 14.) Belua' bare pitu (Rambut terbelah tujuh). 15.) Orang Lanta' Pitu (Tangga beranak tujuh). 16.) Mingguling Pempitu Dapurang (Mengelilingi dapur hingga 7 kali). 17.) Pitumbongi, Pitungallo (7 hari 7 malam). b. Bulan Juli adalah bulan saat diundangkannya UU Nomor 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat II di Sulawesi. c. Bulan dengan posisi urutan 7 berada pada posisi tengah yang diapit oleh 6 bulan sebelumnya dan 6 bulan sesudahnya termasuk bulan Juli itu sendiri dari 12 bulan dalam setahun. d. Dengan bulan Juli akan selalu berada pada posisi tengah yang mendekati kebenaran karena keseimbangan jumlah bulan sebelum dan sesudahnya dalam setahun. e. Bulan Juli adalah bulan yang berada pada posisi urutan ke-7 dari 12 bulan dalam setahun. 3. Tahun 1540 52 a. Tahun 1540 adalah tahun terbentuknya kerajaan Mamuju dari hasil perpaduan dari tiga buah kerajaan di Rante Lisuang Ada' Kurungan Bassi, yakni Kurri-Kurri, Langgamonar dan Managgallangoleh Pue Tunileo. b. Tahun 1540 didasarkan atas pemikiran dan fakta sejarah bahwa pada tahun tersebut, tercatat dalam sejarah Pelabuhan Kurri-Kurri sebagai pelabuhan Internasional yang telah menjadi persinggahan Portugis membawa barang komoditas pada Rute Karajaan Siang di Pangkaje'ne sebelum Gowa dan Manado Tua (Sulawesi Utara). c. Tahun 1540 adalah tahun kesepakatan sebagai kesimpulan hasil seminar Hari Jadi Mamuju yang diselenggarakan oleh Hipermaju dan Persukma Makassar, berkerja sama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Mamuju.35 Dengan demikian penulis menilai bahwa masyarakat kabupaten Mamuju yang notabene dominan beretnis Mamuju-Mandar, tidak bisa terlepas dari sistem adat yang menjadi norma dan falsafah hidup masyarakat Mamuju. Maka kuatnya sistem adat yang ada di masyarakat Mamuju, memungkinkan kuatnya pula kekuatan sukuisme 35 (Sumber Data: Situs resmi Pemkab. Mamuju). 53 yang tentunya termanifestasi ke panggung politik lokal di kabupaten Mamuju. B. Posisi Tokoh Masyarakat dalam Masyarakat Mamuju Masyarakat Mamuju sebagaimana lazimnya masyarakat lainnya, tentunya juga memiliki tokoh idola yang dijadikan representasi masyarakat untuk mewakili masyarakat. Masyarakat kabupaten Mamuju, dengan keunikan budaya serta terikat secara primordial memandang tokoh adat, tokoh agama, tokoh-tokoh yang dianggap mempunyai keturunan darah raja atau bangsawan dan menyebut mereka dengan sapaan yang santun pue yakni orang-orang yang tergolong masyarakat asli yang berpengaruh dan disegani oleh masyarakat dan terkadang menjadi pemangku adat. Sedangkan sapaan bagi mereka yang dianggap lebih tua dan berada dibawah hierarki pue’ disapa dengan sapaan uwe’. Uwe adalah sapaan terhadap orang yang dituakan baik laki-laki maupun perempuan dan kata uwe merupakan gelaran yang diberikan bagi masyarakat Mamuju. Namun, tidak serta merta gelaran tersebut diberikan. Hanya yang memiliki ikatan darah ataupun sesepuh kerajaan masyarakat asli keturunan Mamuju yang telah memasuki usia tua. Hal demikian merupakan sebuah nilai dari tradisi masyarakat Mamuju yang senantiasa hadir didalam masyarakat dan masih terus terjaga hingga sekarang. 54 Adapun tokoh masyarakat adalah orang yang keturunan asli Mamuju terkadang mereka disapa dengan sapaan daeng atau kakak. Adapun tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh dikabupaten Mamuju, itu karena mendapat legitimasi dari masyarakat secara formal konstitusional, sedangkan pengaruh yang dimiliki oleh petuah-petuah seperti pue’ dan uwe’ adalah sumber pengaruh yang mendapat legitimasi nonkonstitusional, yakni secara subjektif psikologis. Gambaran Singkat Tokoh-tokoh Masyarakat Mamuju Munculnya beberapa tokoh masyarakat merupakan suatu keniscayaan didalam masyarakat yang multikultural layaknya yang ada dikabupaten Mamuju, tokoh-tokoh masyarakat tersebut meliputi tokoh masyarakat adat, tokoh agama, tokoh pemuda, serta tokoh intelektual yang senantiasa mengkontribusikan buah pemikiran serta ide-ide cemerlang demi pembangunan dan kesejahteraan bagi kabupaten Mamuju. Tokoh-tokoh masyarakat ini merupakan tokoh yang berperan penting dalam setiap kegiatan yang ada di Mamuju bukan hanya dalam hal pilkada. Dari berbagai segmen masyarakat tentunya ada yang memiliki kemampuan yang lebih dari sebagian besar masyarakat yang ada, dari beberapa tokoh masyarakat tersebut ada yang berorientasi politik praktis dengan bergabung di partai politik, namun ada juga yang tidak bergabung sama sekali. 55 Tokoh-tokoh masyarakat tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tokoh adat yang ada dikabupaten Mamuju yang juga merupakan salah satu tokoh senior yakni H. Andi maksum da’i, Thamrin Syakur, sebagai salah satu tokoh adat. 2. Tokoh agama yakni (M. Yahya Amin, H. Muh Kamil) merupakan tokoh agama Islam yang berpengaruh, beliau dikenal sebagai sosok baik dan rendah hati. 3. Tokoh pemuda yakni M. Ali Candra Pattihasan,Irwan Pababari), melakukan beliau dikenal aktifitas sebagai kepemudaan sosok dan yang biasa organisasi kemahasiswaan. 4. Tokoh intelektual yakni Al-Malik pababari, yakni sosok yang dikenal sebagai sosok yang kritis, beliau juga merupakan kader partai Hanura di Kabupaten Mamuju Sulawesi barat. 56 BAB V PEMBAHASAN Proses pilkada Gubernur tahun 2006 yang berlangsung dikota Mamuju, membawa peran serta tokoh masyarakat lokal dalam pergulatan politik yang sedang menuju babak baru yakni politik identitas.Hal ini yang kemudian menjadi topik penelitian penulis dalam rangka menambah khasanah ilmu-ilmu sosial terutama dibidang sosiologi politik. Merespon kebijakan desentralisasi yang dewasa ini telah banyak diselenggarakan diberbagai daerah di indonesia. Peranan tokoh masyarakat tersebut kemudian mendapat perhatian berbagai partai politik besar guna sebagai mesin pendongkrak suara pada setiap pemilihan umum yang digelar disetiap daerah, tetapi tidak sedikit pula tokoh masyarakat yang berpengaruh juga menolak untuk bergabung dengan partai politik, setelah melakukan penelitian penulis melihat ada seorang tokoh agama yang kurang tertarik bergabung dalam sebuah partai politik. Pada saat pilkada Gubernur tahun 2006 dikabupaten Mamuju dilangsungkan bahwa pada pemilihan kepala daerah di Mamuju masih kuatnya hubungan ikatan primordialisme yang sangat kental dalam melakukan suatu resume poilitik. Seorang tokoh masyarakat dianggap mampu dalam mewakili harapan dan keinginan masyarakat. masyarakat merupakan representasi ketokohan seseorang dalam atau perwakilan kepentingan 57 masyarakat itu sendiri, maka dari itu sesuai yang dikemukakan bahwa tokoh masyarakat ialah orang yang dianggap sebagai perwujudan dari masyarakat itu sendiri. Begitupun juga menurut Ramlan Surbakti bahwa kepemimpinan dari seorang tokoh yang disegani dan dihormati secara luas oleh masyarakat dapat menjadi faktor yang menyatukan suatu bangsa-negara. Fakta objektif tersebut, beranggapan bahwa peranan tokoh masyarakat bersentuhan langsung dengan sistem politik yang terdesentralisir di daerah. Sehingga dari hasil penelitian selama dikota Mamuju dalam studi tentang tokoh masyarakat dan perilaku memilih pada pilkada Gubernur tahun 2006 dikota Mamuju mengindikasikan bahwa beberapa tokoh masyarakat, diantaranya tokoh adat, tokoh pemuda dan tokoh intelektual memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pilkada yang berlangsung di kabupaten Mamuju. Adapun tokoh agama, alasan tidak memasukkan peranannya dikarenakan beliau tidak aktif dalam arti tidak memihak secara langsung dalam kapasitasnya sebagai tokoh agama. Tetapi secara personal beliau mengatakan bahwa hak-hak politiknya sebagai warga negara itu ada, sehingga beliau menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada Gubernur yang berlangsung dikabupaten Mamuju. Tokoh-tokoh masyarakat sebagai perwakilan kepentingan dari semua elemen didalam masyarakat itu kemudian mewujud dalam rangka mengakomodir setiap kepentingan-kepentingan masyarakat serta 58 senantiasa menjadi yang terdepan dalam proses pengembangan sumber daya manusia yang ada dalam masyarakatnya. Tokoh-tokoh masyarakat di daerah dan kaum muda yang dikenal oleh khalayak memiliki kredibilitas, diharapkan berani tampil dan membawa aspirasi dan harapan masyarakat dalam berkompetisi di pilkada yang berlangsung tersebut, hal ini memungkinkan keterberhentian kepenatan setelah melihat figur-figur yang ada dan belum dirasa/ diyakini maksimal dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan warganya, sebagaimana impian demokrasi yang menekankan adanya perwujudan kesejahteraan yang sejati. Disamping itu, tokoh-tokoh masyarakat di daerah dan kaum muda hendaknya bersama-sama para penyelenggara pilkada dan seluruh elemen yang erat kaitannya terhadap momentum pilkada seperti panwaslu, parpol, perguruan tinggi, LSM, masyarakat adat dan lain sebagainya, Tidak hanya memposisikan masyarakat menjadi penonton semata dalam momentum pilkada. Tetapi proaktif memberikan pentingnya Voter education dan Politik bagi masyarakat yang menekankan pada ranah kesadaran kritis, kesadaran berpolitik rakyat, dan yang lebih mendasar yakni pentingnya partisipasi masyarakat. Begitu pentingnya sebuah kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam proses Pemilihan Kepala Daerah, memungkinkan terciptanya suatu sistem pemilihan umum yang demokratis, jujur dan adil agar tercipta pula tatanan tokoh masyarakat yang lebih baik. Partisipasi tokoh masyarakat 59 dalam momentum pilkada langsung menjadi landasan dasar bagi bangunan demokrasi. Bangunan demokrasi tidak akan kokoh manakala kualitas partisipasi masyarakat diabaikan. Karena itu, proses demokratisasi yang sejatinya menegakkan kedaulatan rakyat menjadi semu dan hanya menjadi ajang rekayasa bagi mesin-mesin politik tertentu. Format demokrasi pada arus lokal (pilkada) meniscayakan adanya kadar dan derajat kualitas partisipasi masyarakat yang baik. Apabila demokrasi yang totalitas bermetamorfosis menjadi kongkrit dan nyata, atau semakin besar dan baik kualitas partisipasi masyarakat, maka kelangsungan demokrasi akan semakin baik pula. Demikian juga sebaliknya, semakin kecil dan rendahnya kualitas partisipasi masyarakat maka semakin rendah kadar dan kualitas demokrasi tersebut. Sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan mengenai studi Perilaku memilih tokoh masyarakat pada pilkada Gubernur 2006 di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat, dimana lebih memfokuskan penelitian pada perilaku memilih tokoh masyarakat terhadap pada pilgub 2006 dikabupaten Mamuju.perilaku memilih tokoh masyarakat masih sangat didominasi system kekerabatan/kesukuan sehingga ini menjadi suatu hal yang sangat mendasar pada saat pilkada yang berlangsung di kabupaten Mamuju. Tokoh Masyarakat pada umumnya merupakan suatu kolektifitas dari individu-individu yang tinggal dan menetap pada suatu wilayah yang 60 sama dan saling berinteraksi satu sama lain, sehingga kumpulan individuindividu ini mempunyai karakteristik tersendiri yang dapat dibedakan dengan masyarakat lain. Maka dari itu sesuai yang dikemukakan oleh Drs.Ng. Philipus,M.si. dan Dr. Nurul Aini, M.S. bahwa ilmu sosial mencoba memahami, menelaah, meneliti, mencari persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Ia mencoba memahami tingkah laku individu dalam masyarakat, dan tingkah laku masyarakat dengan masyarakat yang lain. Ia mencoba memahami tingkah laku individu dalam masyarakat, dan tingkah laku masyarakat sebagai kumpulan individu dengan kelompok masyarakat yang lain. Ia mencoba memahami, meneliti, menemukan perbedaan dan persamaan interaksi individu dalam masyarakat dan interaksi masyarakat dengan kelompok masyarakat lain. Ia juga mencoba memahami pikiran, ide, gagasan; lembaga-lembaga yang mewujudkan ide, gagasan dan pikiran itu; struktur sosial yang muncul akibat dari perbedaan pemilikan atas barang-barang yang dianggap bernilai; persaingan dan konflik yang timbul akibat dari usaha memperebutkan nilai-nilai yang dianggap bernilai; perubahan-perubahan sosial, baik dalam artian pikiran, gagasan, struktur sosial maupun dalam artian lembaga sosial secara keseluruhan.36 Eksistensi tokoh masyarakat sebagai perwujudan dari masyarakat itu sendiri sebagaimana halnya penelitian yang telah lakukan di kabupaten Mamuju bahwa identifikasi partai politik dengan latar belakang ideologis 36 Sosiologi dan Politik, RAJAWALIPERS, Jakarta : 2006 61 bahkan politis, tidak menjamin adanya suatu kekuatan yang menggerakkan masyarakat apalagi mempengaruhi perilaku memilih masyarakat. Terkadang eksistensi tokoh masyarakatlah yang menentukan kemana pilihan masyarakat dijatuhkan. Hubungan antara tokoh masyarakat dengan masyarakat itu sendiri, yakni hubungan antara tokoh masyarakat yang memiliki sumber kekuasaan dan kekuasaan aktual dengan masyarakat yang dikuasai. Ini juga sangat relevan dari apa yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto yang memberikan diferensiasi antara kekuasaan dengan kewenangan (authority atau legalized power) ialah bahwa kemampuan untuk memengaruhi pihak lain dapat dinamakan kekuasaan. Sementara itu, wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau kelompok orang, yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat. Legitimasi yang diberikan oleh masyarakat kepada figur idolanya, biasanya menjadi barometer kekuasaan sang elit. Dalam hal ini, kekuasaan yang dimiliki oleh tokoh masyarakat tersebut, tidak serta merta termanifestasi kedalam suatu bentuk wewenang yang legitimate secara konstitusional. Melainkan hanya berkisar pada sesuatu pengaruh yang bersifat otokratis-tradisional, bukan secara eksplisit termaktub dalam aturan-aturan konstitusional. Legitimasi terhadap figur tokoh masyarakat tentunya tidak bisa lepas dari suatu pahaman bahwa dominasi etnisitas yang dewasa ini muncul sebagai 62 kekuatan politik mampu mendongkrak suatu bangunan politik didaerahnya. Suatu kekuatan yang bersifat sakralistik yang mengiringi arus demokratisasi di tingkat lokal. Perilaku memilih tokoh masyarakat cenderung diarahkan oleh kuatnya ikatan subjektif-psikologis yang syarat dengan primordialisme radikal. Dengan kata lain, bahwa kuatnya ikatan yang membentuk perilaku masyarakat yang dapat melegitimasi suatu rejim atau sistem politik tersebut dikemukakan dengan baik oleh Gabriel A. Almond dan mengatakan bahwa, berbagai mithos, doktrin dan filsafat politik menanamkan suatu penafsiran tertentu mengenai tujuan-tujuan dan norma-norma kepada setiap generasi. Unsur-unsur yang sangat menentukan dalam proses penanaman atau pewarisan nilai-nilai itu adalah orang tua, saudara, teman sepergaulan, guru, organisasi dan pemimpin masyarakat, disamping juga lambang-lambang fisik seperti bendera dan upacara-upacara yang dipenuhi dengan makna politik. Proses menanamkan rasa-terikat (attachment) pada diri anggota masyarakat ini kemudian menjadi berakar sangat kuat, sehingga kadar legitimasi pada sistem politik tersebut menjadi sangat tinggi pula. Secara empiris terbukti bahwa dalam sistem politik yang dapat bertahan hidup 63 paling lama, pasti terdapat dukungan yang ditumbuhkan dan dipelihara oleh keyakinan yang mendalam.37 Kecenderungan budaya sukuisme (ethnic group) yang terasa pada pilkada di kabupaten Mamuju mengindikasikan bahwa demokratisasi di tingkat lokal yang diharapkan mampu memberikan dampak yang positif didaerah, itu kemudian jauh dari apa yang menjadi cita-cita demokrasi itu sendiri. Hal ini membawa kita kepada perspektif sempit dari makna politik yang lebih luas. Hadirnya pilkada sebagai tuntutan di ranah lokal yang merupakan manifesto kebijakan desentralisasi yang diselenggarakan oleh mulai hampir sebagian besar daerah di indonesia. Itu terlihat dari beberapa tokoh masyarakat yang berperan serta dalam politik praktis pada pilkada 2006 dikabupaten Mamuju Kecenderungan perilaku sukuisme yang melatarbelakangi perilaku memilih tokoh masyarakat ini termanifestasi dalam bentuknya yang konkrit, yakni pola berpikir serta tindakan masyarakat yang cenderung melihat cara pandang figur idolanya adalah cara pandang yang harus diikuti seluruh masyarakat secara kolektif. Adanya suatu Kecenderungan perilaku yang bersifat umum (general will), dan terkontruksi secara sistematis dan mengakar dan merupakan hal yang wajar, karena menurut Gene Sharp dan David Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews: PERBANDINGAN SISTEM POLITIK, (Yogyakarta:Gadjah Mada University, 1990) 37 64 Easton bahwa alasan tersebut dilatarbelakangi oleh adanya suatu tradisi yang mengikat, kesetiaan pada kelompok, dan kesadaran hukum. Maka eksistensi tokoh masyarakat yang representatif mewakili keberadaan masyarakat itu sendiri, merupakan hal yang mendorong munculnya semangat kesukuan yang etnosentristik. Hal inilah yang juga dapat menghambat terwujud masyarakat yang multikultural sebagai keniscayaan yang terdapat didaerah yang baru terbentuk sebagai ibukota propinsi Sulawesi Barat. A. Etnisitas dalam perilaku memilih Tokoh Masyarakat pada pilkada Gubernur 2006 di Kabupaten Mamuju. Perilaku memilih Tokoh masyarakat masih sangat dipengaruh system kerabatan/kekeluargaan dalam hal ini kesukuan yang terjadi di Mamuju pada saat Pilkada Gubernur 2006. Berikut uraian wawancara terhadap beberapa informan baik itu tokoh adat, agama, pemuda dan intelektual. Persoalan ini menjadi hal penting, manakala dalam meneliti dan mengamati etnisitas perilaku memilih tokoh masyarakat pada piilkada 2006 di kabupaten Mamuju, hal ini merupakan salah satu bukti peranan tokoh masyarakat dalam perilaku memilih. Dalam wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat yang dijadikan sebagai informan pada penelitian yang dilakukan di kabupaten Mamuju. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan baik itu tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda, dan tokoh intelektual, mereka 65 sangat antusias dalam menjawab setiap pertanyaan-pertanyaan yang penulis berikan. Namun menganggap bahwa masih banyak terdapat ketertutupan informan dalam menjawab pertanyaan dari penulis mengenai keterlibatannya pada pilkada 2006 di kabupaten Mamuju, dalam hal ini adalah tokoh agama yakni Bapak M. Yahya Amin saat penulis bertanya mengenai keterlibatan beliau pada pilkada 2006, beliau menjawab: “Saya tidak terlibat secara langsung misalnya saya mendukung salah satu calon, dalam kapasitas saya sebagai tokoh Agama saya tidak menggunakan itu, tapi secara personal saya sebagai warga negara yang mempunyai hak pilih, maka saya menggunakan hak pilih tersebut. Saya sangat mendukung kalo putra asli daerah yang jadi pemimpin, tapi kalo saya pemimpin itu harus punya kemampuan, akhlak yang baik, integritas, dan punya visimisi yang jelas”.38 Selain tokoh agama yang cukup dekat masyarakat, M. Yahya Amin juga merupakan seorang pegawai negeri sipil departemen agama kabupaten Mamuju Sulawesi Barat, jadi akses informasi mengenai pilkada tentunya menjadi sesuatu yang memungkinkan masyarakat untuk menjadikannya sebagai sumber pilihan masyarakat dalam memilih pemimpin. Jika kita menyimak argumen yang dikeluarkan responden tersebut, bahwa pilihan M. Yahya Amin pada prinsipnnya cukup rasional namun masih terkesan terikat dengan ikatan-ikatan primordialisme kedaerahan. Menurut Pareto, mereka yang menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu yang terbaik. Merekalah yang dikenal sebagai elit. 38 Interview terhadap Tokoh Agama (M. Yahya Amin) 11 april 2009 Pukul: 14.07 WITA 66 Informan lain yang juga merupakan tokoh agama berpendapat bahwa pada prinsipnya pemimpin itu mesti dekat dengan masyarakat, dan memiliki kecerdasan serta aklhak yang baik untuk dijadikan panutan bagi masyarakat. Hal tersebut diungkapkan oleh Muh. Anwar Kamil saat ditemui di rumahnya: “Saya tidak terlibat secara langsung dengan kapasitas saya sebagai seorang tokoh agama, tapi apabila secara personal iya saya terlibat dan mendukung salah satu calon. Saya sangat mendukung ketika putera dan puteri daerah yang memimpin daerahnya sendiri dan menjadi seorang pemimpin bukan hanya cerdas tapi dia mempunyai akhlak yang baik yang bisa menjadi panutan nantinya.”39 Berdasarkan hasil wawancara tersebut bahwa tokoh Agama tersebut cenderung memberikan legitimasi kepada salah satu calon, walaupun tidak secara langsung mendukung tetapi ini menunjukkan dan menganggap bahwa apa yang dibahasakan oleh tokoh Agama tersebut syarat dengan dukungan yang terselubung. Berbeda dengan beberapa tokoh masyarakat yang lain, yang dengan tegas memperlihatkan secara langsung dukungannya bahkan dari mereka ada yang menjadi tim pemenangan salah satu kandidat, tokoh tersebut merupakan salah satu tokoh Pemuda yakni, Muh. Ali Candra Pattihasan. 39 Interview terhadap tokoh agama (H. Muh.Anwar Kamil) 2 Juni 2010 pukul: 16. 00 WITA 67 Berikut petikan wawancara singkat dengan beliau : “Saya terlibat pada pilkada 2006 disini, tetapi Menang dan kalah itu biasa dalam percaturan politik, sosok pemimpin itu tidak harus mempunyai pendidikan akademis yang tinggi. Bagi saya,seorang pemimpin itu harus memilki semangat atas perjuangan, dekat secara emosional dengan masyarakat, selalu mendukung aktifitas kepemudaan, serta memiliki semangat mau memajukan daerah dan memiliki pula kearifan lokal sebagai putra daerah”.40 Pendapat serupa disampaikan salah satu tokoh pemuda Irwan Pababari “Keterlibatan saya pada saat pemilihan pilkada pada tahun 2006 dan saya mendukung salah satu calon, bahwa saya sebagai salah satu tokoh pemuda terlibat langsung dalam pesta politik tersebut bahwa pengaruh tokoh pemuda sangat berperan penting bahwa memilih pemimpin harus mempunyai integritas yang tinggi dalam mempengaruhi masyarakat, terutama dalam kegiatan kepemudaan dan pemimpin bukan hanya cerdas tapi mampu memahami apa yang diinginkan masyarakatnya.”41 Wawancara singkat dengan tokoh pemuda diatas, semakin memperkuat asumsi bahwa tokoh masyarakat cenderung mengarahkan pandangan politik masyarakat pada wacana kesukuan yang ter-cover dalam kearifan lokal. Sebagai otoritas berpengaruh, tokoh masyarakat sebagai patron yang mempunyai sumber kekuasaan dalam mengarahkan opini publik, tetapi hal ini berbeda dari apa yang dikemukakan oleh Prof. Kuntowijoyo yang mengatakan bahwa bangkitnya kebudayaan modern di kota-kota –Kebudayaan sejak lahirnya– merebut tempat kebudayaan tradisional sebagai budaya yang sah bagi generasi mendatang. 40 Interview terhadap Tokoh Pemuda (Muh. Ali Candra Pattihasan) 11 april 2009 Pukul: 16.30 WITA 41 Interview terhadap tokoh pemuda (Irwan Pababari) 4 Juni 2010 Pukul: 11. 30 WITA 68 Beliau menambahkan bahwa terjadi erosi pada kebudayaan tradisional, menuju kebudayaan nasional.42 Memang benar apa yang dikatakan oleh Kuntowijoyo, bahwa telah terjadi pergeseran budaya tradisional menuju budaya nasional. Di selenggarakannya pilkada diberbagai daerah, inilah yang memicu lahirnya politik identitas melalui retradisionalisasi budaya yang dicover sedemikian rupa agar terkesan berwajah nasional. Munculnya kebijakan desentralisasi, memicu pula lahirnya budaya politik identitas. Di kabupaten Mamuju sendiri, isu-isu etnisitas menjadi isu yang mencuat kepermukaan pada saat pilkada 2006 dikabupaten Mamuju. Ini terlihat oleh hadirnya beberapa tokoh masyarakat lokal sebagai patron yang mengangkat etnisitas sebagai sebuah kekuatan politik dalam merebut kekuasaan. Ini terlihat dari terlibatnya tokoh adat (Tamrin Syakur) dalam pergulatan politik di kabupaten Mamuju.Berikut hasil wawancara dengan beliau: “Keterlibatan saya pada waktu pilkada 2006 itu merupakan panggilan hati saya, bahkan saya berharap pilkada ini berjalan dengan baik. Bahkan saya dengan berbagai elemen masyarakat yang lain untuk menandatangani kesepakatan damai guna menjaga ketentraman dan ketertiban. Harus saya akui bahwa pengaruh adat masih sangat kental disini, tapi itu saja tidak cukup, pasti harus ada uang sebagai motor penggerak tim sukses”. Kalo saya sendiri memilih pemimpin, sudah tentu orang yang saya kenal baik. yang bisa menjaga tradisi, adat, dan dekat dengan kita secara emosional. persoalan adat menjadi cita-cita luhur yang harus dijaga oleh orang Mamuju.”43 42 43 Prof.Kuntowijoyo: Budaya Dan Masyarakat (Yogyakarta, Tiara Wacana. 2006) Interview tehadap Tokoh Adat (uwe’ Tamrin Syakur), pukul 14.00 Wita,13 april 2009 69 Pendapat serupapun diungkapkapkan oleh salah satu tokoh adat dan beliau juga sebagai ketua adat mamuju menegaskan bahwa: “ Saya terlibat secara langsung,sebagai tokoh adat dan sekaligus sebagai ketua adat mamuju saya mendukung salah satu calon tapi saya tidak mengkapasitaskan diri saya selaku tokoh adat, pengaruh adat sangat penting bagaimana seorang pemimpin mengetahui budaya dan adat istiadat daerahnya, alangkah lebih bagus ketika putera daerah yang menjadi pemimpin didaerahnya sendiri”44 Setelah mewawancarai tokoh adat yang biasa disapa dengan sapaan uwe’ dan maksum da’i. kuatnya isu-isu primordialisme yang muncul pada saat pilkada 2006 dikabupaten Mamuju mengindikasikan kuatnya faktor etnisitas dalam perilaku memilih masyarakat. Berbeda dengan tokoh yang satu ini, yang juga merupakan kader partai Golkar yang dikenal sebagai sosok yang kritis, pemikir, serta merupakan juga tokoh organisasi pemuda dan mahasiswa. Tokoh tersebut merupakan tokoh intelektual dan masyarakat biasanya menyapa beliau dengan sapaan daeng Al MalikPababari, sesaat ditanya mengenai keterlibatan beliau pada pilkada 2006 dengan tegas beliau mengatakan : “Iya saya terlibat pada pilkada 2006 itu, saya juga merupakan tim penggerak mesin partai politik. Bagi saya pemimpin itu harus mempunyai visi-misi dan harus terpenuhi, demi kesejahteraan masyarakat. Harus responsif dan peka terhadap kebutuhan masyarakat, membangun prasarana seperti, perbaikan jalanan sehingga transportasi darat menjadi lancar, mengelola dengan baik sektor pertanian, pertanahan, dan peternakan.” Kalo saya pribadi, memilih pemimpin itu sederhana saja. Dia harus cerdas, berpikir sehat terutama Pendekatan terhadap masyarakat” 44 Interview terhadap tokoh adat(H. maksun Da’i),pukul 10.15.wita 7 Juni 2010 70 Tetapi setelah menanyakan apakah dia sepakat kalo pemimpin itu harus orang lokal? Beliau menambahkan “persoalan siapa yang memimpin orang lokal atau bukan tidak jadi masalah tapi disepanjang orang lokal masih ada yang kapabel kenapa harus orang lain,Yah.. karena pertalian darah dan kedekatan etnis itu penting guna menjaga prinsip yang berlaku didaerah ini”45 Pendapat serupapun diungkapkan salah satu tokoh intelektual Muhaimin Bahwa: “Sebagai warga Negara yang memiliki hak pilih dan dipilih, saya terlibat secara langsung pada pilkada 2006 yang sekaligus pilkada Pertama disulawesi barat, sebenarnya tidak masalah siapapun yang memimpin baik yang lokal maupun bukan lokal disepanjang mampu mengayomi masyarakatnya tapi kalo bisa orang lokal sendiri yang sudah mengetahui kondisi daerahnya dan salah satu yang terpenting menjunjung tinggi budaya lokal yang ada khususnya dikabupaten mamuju ini”46 Berdasarkan hasil wawancara langsung dengan beberapa tokoh masyarakat yang jadikan sebagai informan maka menemukan sebuah fakta konkrit bahwa ikatan-ikatan primordialisme seperti ikatan darah, kesukuan, kekeluargaan (famili) menjadi faktor yang berpengaruh dalam perilaku memilih masyarakat. Kuatnya ikatan etnisitas dan kekerabatan menjadi hal yang fundamental pada pilkada 2006 di kabupaten Mamuju. Etnisitas semakin menguat dan memperoleh tempatnya dalam dinamika politik lokal di Indonesia seiring dengan penerapan sistem desentralisasi pasca tumbangnya orde baru Tahun 1998. 45 46 Interview terhadap tokoh intelektual(Almalik Pababari) Pukul 10.17 Wita, 13 April 2009 Interview terhadap tokoh intelektual(muhaimin) Pukul 09.05 Wita 2 juni 2010 71 Dalam perkembangan di Indonesia etnisitas telah mengalami proses pemanipulasian oleh elite dan dijadikan instrumen perjuangan politik dan budaya untuk memperebutkan kekuasaan. Di tingkat lokal terutama pada masyarakat dimana sistem primordial etnis masih kuat berpengaruh, identitas etnis masih menjadi daya tawar yang menarik. Mengedepankan politik etnisitas sebagai alat negosiasi politik, bagi elite ternyata masih dianggap sebagai sarana efektif untuk merealisasikan tujuan politiknya tetapi di sisi lain upaya itu ternyata bisa menimbulkan dampak negatif berupa lahir dan tumbuhnya benih-benih konflik horizontal antar etnis yang justru menjadi faktor penghambat pencapaian tujuan.47 Konflik tersebut senantiasa hadir sebagai sosial yang tidak bisa dilepaskan, ini tergambar dengan jelas oleh apa yang dikemukakan oleh Agus Salim, bahwa setiap kelompok etnis atau komunitas menempati sebuah wilayah yang menjadi tempat hidupnya, yang secara tradisional diterima dan diakui kelompok etnis sebagai hak ulayat. Konsep hak ulayat ini secara politik menjadikan hubungan antar etnis berkembang menjadi pembedaan yang tajam dan diskriminasi antara warga etnis asli setempat dan etnis pendatang. Dalam hal ini terjadi akibat perbedaan akses terhadap sumber-sumber alam yang dikuasai. Berbagai bentuk diskriminasi muncul diantara mereka “yang asli” dengan “pendatang”, dalam hal ini pihak asli harus unggul dan pendatang harus lebih rendah.48 47 48 Blogspot: Diakses melalui internet pada pukul 22.50 WIB Dr. Agus Salim, MS: Stratifikasi Etnik (Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana, 2006) 72 Tanggal 24 juli 2006 hasil perolehan suara pada pilkada Gubernur 2006 di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat, terpilihlah Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2006-2011 yakni Anwar Adnan Saleh dan Amri Sanusi. Jumlah perolehan suara pada masing-masing calon adalah: Tabel II PROVIN SI PASANGAN CALON GUBERNUR Sulawes i Barat Jumlah Suara Sah Drs. Anwar Adnan Saleh Mayjen TNI Salim S. Mengga Kol. (Purn) Hasyim Manggabara ni Jumlah Suara Sah PARTAI PENGUSUNG PEROLEH AN SUARA % PEMENANG PILKADA PARTISIP ASI PEMILIH WAKIL GUBERNUR Drs.H.M.Amri Sabusi Drs. HM Hatta Dai Partai Golkar Partai PDK, PKS dan PDIP 298.858 100% 220.076 46,26% Drs. Anwar Adnan SalehDrs.H.M.Amri Sanusi,M.Si 165.094 Arifuddin Katta, SH, MM 336.646 59,84% 100% Sumber: Candidate Center Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa pada Pilkada Gubernur tanggal 24 juli 2006 Di Kabupaten Mamuju Sulawesi barat, mayoritas masyarakat memilih pasangan Anwar Adnan Saleh dan Amri Sanusi sebagai Gubernur periode 2006-2011. Alasan masyarakat memilih pasangan tersebut karena adanya ikatan primordial/kesukuan sehingga masyarakat Mamuju lebih dominan memilih pasangan Anwar Adnan Saleh dan Amri Sanusi karena masyarakat menganggap bahwa putera daerahlah yang seharusnya yang menjadi pemimpin didaerahnya sendiri. 73 Ketika putera-puteri daerah yang memimpin, nilai-nilai tradisi budaya yang ada di Mamuju tidak tergeser oleh budaya yang lain. Masyarakat mamuju menganggap pasangan Anwar Adnan Saleh dan Amri Sanusi pasangan yang cocok untuk memimpin Sulawesi Barat kedepan karena menganggap pasangan ini adalah putera daerah Mamuju yang memberi warna baru untuk Sulawesi Barat kedepannya dan dapat mengayomi rakyatnya. 74 BAB VI PENUTUP Kesimpulan Tokoh masyarakar sebagai pelaku pengarah opini publik harus tetap menjaga tatanan kehidupan masyarakat seningga konflik horizontal yang terkadang melibatkan beberapa kelompok etnis dapat terhindarkan. Dalam konteks pilkada gubernur 2006 di kabupaten Mamuju tokoh masyarakat bukan hanya sekedar pengarah dan pengendali konflik,tetapi tokoh masyarakat diharapkan membawa semangat kedaerahan yang teraktual dalam sifat etnosentrisme. Etnosentrisme sebagai bangunan ideology local yaitu sikap mengrdepankan nilai-nilai kesukuan,kekerabatan,kekeluargaan(family, dan tradisi kedaerahan yang menjadi sebuah kekuatan politik kedaerahan. Perilaku memilih tokoh masyarakat masih sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatan/kedaerahan dalam hal ini kesukuan yang terjadi di Mamuju pada pilkada gubernur 2006. Pada pilkada 2006 di kabupaten Mamuju besarnya kecenderungan etnis dalam perilaku memilih tokoh masyarakat membuat pilihan-pilihan rasional menjadi hal yang urgen, hal demikiankan dikarenakan kuatnya pengaruh kesukuan yang membentuk pribadi dan tindakan masyarakat. Tatanan nilai tradisi yang merupakan identitas kultur masyarakat Mamuju tidak akan bisa dilepaskan dari kehidupan mereka 75 karena,merupakan wajah kebudayaan masyarakat Mamuju yang sudah mengakar sejak dulu sampai sekarang. Kekuatan-kekuatan primordial di tingkat lokal telah menjelma menjadi kekuatan politik yang terus direproduksi dan dimainkan oleh elite sehingga mampu mempengaruhi aktivitas politik ditingkat lokal. Menguatnya isu etinisitas ini dilakukan oleh elite antara lain dengan upaya membenturkan keberadaan satu etnis yang merasa tidak diuntungkan oleh keberadaan etnis lain sehingga mampu membangkitkan sentimen antar etnis di suatu daerah. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah lakukan, menunjukkan adanya suatu kecenderungan dominasi kelompok etnis yang satu dengan kelompok sub-etnis yang lain. Dalam perilaku memilih tokoh masyarakat pada pilkada 2006 dikabupaten Mamuju dibutuhkan kolektivitas, dan merupakan salah satu wujud bahwa dalam tokoh masyarakat dalam perilaku memilih tokoh masyarakat itu sendiri sangat berdampak pada hubungan ikatan emosional dalam hal ini ikatan kedaerahan itu sendiri. Untuk itu, ada beberapa saran yang dianggap penting dalam mewujudkan terciptanya suatu kearifan local yang demokratis, sehingga tatanan nilai local yang tertuang dalam bidang politik dapat terealisasi sesuai dengan aturan-aturan konstitusional Negara Republik Indonesia. 76 1. Tokoh masyarakat sebagai mainstream politik lokal harusnya bersikap pluralis, sehingga tercipta dan terbina harmoni kehidupan masyarakat yang multicultural dan mendorong terwujudnya tatanan nilai kearifan yang berorientasi lokal dan sesuai dengan cita-cita demokratisasi. 2. Fanatisme kesukuan ditingkat daerah yang menjadi hambatan integrasi bangsa, semangat ini harusnya di formulasikan lebih demokratis dengan nilai-nilai kearifan lokal sehingga anggapan bahaya etnosentrisme dapat dihindari. 77 DAFTAR PUSTAKA Badan Statistik Pemkab. Mamuju 2009 Habib, Achmad.2004. Konflik Antar etnik dipedesaan. PT. LKiS, Yogyakarta. Kaloh, J. 2008. Demokrasi dan Kearifan local Pada Pilkada Langsung , Kata Hasta Pustaka, Jakarta. Kompas, 7 Agustus 2008. Kuntowijoyo, 2006. Budaya & Masyarakat. Penerbit Tiara Wacana. Yogyakarta. Mansyuri dan Zainuddin M, 2008. METODOLOGI PENELITIAN Pendekatan Praktis dan Aplikatif. Refika Aditama, Malang. Mas’oed, Mohtar dan MacAndrews, Colin. 1990. Perbandingan Sistem Politik. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Nadir, Ahmad. 2005. Pilkada Langsung dan masa depan Demokrasi, Averroes press, Malang. Nasikun, 2006. Sistem Sosial Indonesia. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta Rauf, Maswadi. 2001. KONSENSUS & KONFLIK POLITIK. PT. Grasindo. Jakarta Satori, Djam’an dan Komariah, Aan. 2009. METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF, Penerbit Alfabeta, Bandung. 78 Sumartias, Suwandi. 4 November 2008. Pilkada Langsung dan Teori Konflik, blog at wordpress.com. Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik, PT. Grasindo, Jakarta. Setiaman, Agus. 25 November 2008. Sosiologi Komunikasi, blog at wordpress.com. Soekanto, Soerjono. 2007. SOSIOLOGI Suatu Pengantar . PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Sihbudi, Riza & Nurhasim, Moch. 2002. Kerusuhan sosial di Indonesia. PT. Grasindo, Jakarta. Salim, Agus. 2006. Stratifikasi Etnik (Kajian mikro sosiologi interaksi etnis Jawa dan Cina). Penerbit Tiara Wacana. Yogyakarta. Salossa S, Daniel. 2005. Pilkada Langsung . Penerbit Media Pressindo.Yogyakarta Philipus, Ng & Aini, Nurul. 2006. Sosiologi dan Politik. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Syarbaini, Syahrial. Rahman, A. dan Djihado Monang. Sosiologi dan Politik.. Penerbit Ghalia Indonesia, Ciawi-Bogor Selatan. Soekanto, Soerjono. 2002. Mengenal tujuh tokoh Sosiologi. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Upe, Ambo. 2008. Sosiologi politik kontemporer, Prestasi Pustakarya, Jakarta Mas’oed Mohtar dan MacAndrews Colin. 1990. Perbandingan Sistem Politik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 79 Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah secara langsung. www. Wikipedia.Com/wiki/masyarakat. http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan umum Website resmi Pemkab. Mamuju 80 Nama-nama Informan Nama Informan Kapasitas dan kegiatan Pend. Terakhir H. Andi Maksum Da’i Ketua Adat mamuju Strata Satu Tamrin Syakur Kepala Dinas Perhubungan Strata Satu Prov/Tokoh adat H. Abd Kamil Tokoh Agama Strata Satu H. Yahya amin Kepala KUA Kab. Strata Satu Mamuju/Tokoh Agama Muh. Ali Candra Tokoh Pemuda Strata Satu Anggota DPRD/tokoh StrataSatu Pattihasan Irwan pababari pemuda H. Almalik pababari Anggota DPRD Prov/Tokoh Strata Satu Intelektual Muhaimin Tokoh Intelektual Strata satu