Dampak Kebijakan Moneter Terhadap Kinerja Sektor Riil Di Indonesia

advertisement
II. KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Teoritis
2.1.1. Konsep dan Fungsi Uang
Uang didefinisikan sebagai sesuatu yang diterima secara umum dalam
pembayaan barang dan jasa (Mishkin, 2001).
Uang seringkali diidentikkan
dengan uang kartal (currency) yaitu uang kertas dan uang logam.
Padahal
menurut ahli ekonomi, segala sesuatu yang relatif cepat dan mudah dikonversi
menjadi uang kartal (currency) dapat dikelompokkan sebagai uang (money)
seperti cek dan giro.
Ahli ekonomi juga membedakan antara uang dan
kesejahteraan karena kesejahteraan meliputi tidak hanya uang tapi juga aset lain
seperti obligasi, saham, tanah, mobil, furnitur dan rumah. Lebih jauh lagi, ahli
ekonomi juga membedakan uang dengan pendapatan. Pendapatan didefinisikan
sebagai aliran penerimaan menurut waktu, sedangkan uang adalah cadangan.
Tiga fungsi dasar dari uang adalah (1) sebagai media pertukaran (as a
medium of xchange) , (2) sebagai satuan hitung (as a unit of account), dan (3)
sebagai alat penyimpan nilai (as a store of value).
Uang sebagai media
pertukaran yaitu uang digunakan untuk membayar barang dan jasa.
Uan
sebagai media pertukaran mengatasi permsalahan dalam pemenuhan dua
barang yang berbeda dan mendorong spesialisasi dan pembagian kerja.
Penggunaan uang sebagai media pertukaran juga mampu meningkatkan
efisiensi dalam perekonomian karena menghemat waktu saat mempertukarkan
barang dan jasa. Waktu yang diperlukan dalam bertransaksi disebut juga dengan
biaya transaksi (transaction cost).
Hal ini dapat dipahami dengan mudah bila
dibandingkan dengan perekonomian barter dimana peningkatan kesejahteraan
dilakukan dengan tukar menukar komoditas yang dibutuhkan secara langsung.
10
Hal ini sangat merepotkan karena harus ada dua keinginan yang saling bertemu
dan pada akhirnya, perekonomian barter ini meningkatkan biaya transaksi
(transaction cost).
Beberapa kelemahan perekonomian barter adalah tidak
adanya metode penyimpanan daya beli yang dapat diterima secara umum, tidak
adanya standar ukuran dan nilai dan tidak adanya alat pembayaran untuk
transaksi-transaksi dimasa mendatang.
Keterbatasan
sistem
barter
ini
mendorong
manusia
untuk
mengembangkan sistem yang memungkinkan transaksi berjalan lebih cepat dan
lancar.
Untuk mengantisipasi kelemahan sistem barter, maka barang/benda
yang dapat difungsikan sebagai uang haruslah memenuhi kriteria (1) mudah
distandarisasikan, (2) diterima secara luas oleh masyarakat sebagai alat
pembayaran, (3) dapat dipecah menjadi unit-unit yang lebih kecil, (4) mudah
dibawa, dan (5) tahan lama.
Peranan kedua dari uang sebagai satuan hitung dimana uang
digunakan untuk mengukur nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Peranan
ini menjadi semakin penting karena semakin komplek dan beragamnya barang
dan jasa yang diperdagangkan. Sebagai satuan hitung, uang mempermudah
tukar menukar dimana dua barang yang secara fisik sangat berbeda bisa
menjadi seragam apabila nilai masing-masing dinyatakan dengan uang.
Pengenalan
uang
dalam
perekonomian
sebagai
hitungan
nilai
barang
memudahkan konsumen membandingkan harga satu barang dengan barang lain
dan akhirnya mengurangi biaya transaksi dalam perekonomian.
Uang berfungsi juga sebagai alat penyimpan nilai dalam artian uang
mampu mempertahankan daya beli dari pendapatan sejak pendapatan tersebut
diterima sampai pada waktu pendapatan tersebut dibelanjakan. Fungsi uang
seperti ini sangat bermanfaat karena tidak semua orang menghabiskan
pendapatannya dalam waktu cepat dan sangat terkait dengan sifat manusia
11
sebagai pengumpul kekayaan.
Namun fungsi uang sebagai alat penyiman nilai
menjadi kurang optimal jika dala perekonomian terjadi peningkatan harga secara
terus menerus (inflasi).
2.1.2. Uang Beredar
Secara umum terdapat dua definisi jumlah uang beredar yang banyak
dipakai dimana definisi ini dibangun berdasarkan dua pendekatan, yaitu
pendekatan transaksional (transactional approach) dan pendekatan likuiditas
(liquidity approach).
Pendekatan transaksional memandang jumlah uang beredar dihitung dari
jumlah uang yang dibutuhkan untuk keperluan transaksi.
Dalam prakteknya,
pendekatan tersebut digunakan untuk menghitung jumlah uang beredar dalam
arti sempit yang dikenal sebagai M1. Yang tercakup dalam M1 adalah uang
kartal (uang kertas dan uang logam yang berlaku) dan uang giral (rekening giro,
kiriman uang, simpanan berjangka dan tabungan dalam rupiah yang sudah jatuh
tempo).
Pendekatan likuiditas mendefinisikan jumlah uang beredar sebagai
jumlah uang untuk kebutuhan transaksi ditambah uang kuasi. Pertimbangannya
adalah sekalipun uang kuasi merupakan aset finansial yang kurang likuid
dibandingkan uang kertas, uang logam dan rekening giro, tapi sangat mudah
diubah menjadi uang yang dapat digunakan untuk kebutuhan transaksi. Dalam
praktek, pendekatan ini digunakan untuk menghitung jumlah uang beredar dalam
arti luas yaitu M2. Uang kuasi adalah simpanan rupiah dan valuta asing milik
penduduk pada sistem moneter yang untuk sementara waktu kehilangan
fungsinya sebagai alat tukar meliputi simpanan berjangka dan tabungan
penduduk pada bank umum baik dalam rupiah maupun valuta asing. Jumlah M2
ini sering juga disebut sebagai likuiditas perekonomian (Mishkin, 2001).
12
Untuk memudahkan pembahasan, Mc Callum (1989) mendefinisikan
uang beredar terdiri dari uang kartal (currency) dan giro (checkable deposits)
dengan rumusan:
M = C + D ...............................................................................................(1)
dimana:
M
C
D
=
=
=
Uang beredar
Uang kartal
Deposito
Rasio uang kartal dan deposito (C/D) sepenuhnya berada dalam
pengawasan masyarakat dengan notasi
cr = C/D .................................................................................................(2)
dimana:
cr
C
D
=
=
=
Rasio uang kartal dan deposito
Uang kartal
Deposito
Berdasarkan persamaan (1) dan (2) dapat ditulis ulang persamaan uang
beredar sebagai berikut:
M = (cr + 1) D ..........................................................................................(3)
Uang beredar (money supply) dapat dikendalikan oleh Bank sentral
melalui uang primer (high power money) karena uang beredar memiliki kaitan
yang erat dengan uang primer.
Uang primer merupakan penjumlahan uang
kartal dalam peredaran dan cadangan perbankan (TR) dengan rumusan :
H = C + TR .............................................................................................(4)
dimana:
H
C
TR
=
=
=
Uang primer (high power money)
Uang kartal
Cadangan perbankan
Jika rasio cadangan perbankan terhadap deposito sebagai rr = TR/D, maka uang
persamaan uang primer dapat ditulis menjadi:
13
H = (cr+rr) D ............................................................................................(5)
Dari persamaan (3) dan (5) dapat dibuatkan hubungan uang beredar dan uang
primer sebagai berikut:
M
cr + 1
=
H cr + rr
........................................................................................(6)
Menurut Mishkin (2001), kaitan uang primer dengan uang beredar dapat
juga dirumuskan sebagai berikut:
M = m X H ...............................................................................................(7)
dimana m adalah angka pengganda uang (money multiplier) yang didefinisikan
sebagai besaran perubahan uang beredar akibat perubahan uang primer pada
tingkat tertentu.
Selanjutnya angka pengganda uang (money multiplier)
dirumuskan sebagai berikut:
m=
1 + (C / D)
………………………………………………...(8)
rD + ( ER / D) + (C / D)
artinya money multiplier merupakan fungsi dari currency ratio yang diatur
sepenuhnya oleh penabung, excess reserve ratio yang diatur oleh bank dan
required reserve ratio yang diatir oleh bank sentral. Dari rumusan diatas dapat
pula dikatakan bahwa :
1. Jika rasio cadangan wajib minimum yang ditetapkan oleh bank sentral
meningkat maka akan mendorong perbankan untuk mengurangi alokasi
kredit untuk mempertahankan kemampuan cadangan perbankan dan
selanjutnya menurunkan nilai angka pengganda uang (m) dan menurunkan
pula jumlah uang beredar (M).
2. Ketika penabung meningkatkan ratio uang kartal per deposito dengan
mengkoversi deposito ke uang kartal akan mendorong penurunan penciptaan
uang sehingga angka pengganda uang menjadi lebih rendah dan jumlah
uang beredar akan berkurang.
14
3. Ketika bank meningkatkan jumlah cadangan yang dipegang relatif terhadap
deposit atau tabungan maka bank akan mengurangi penyaluran kredit
sehingga angka pengganda uang menjadi lebih rendah dan mengurangi uang
beredar.
Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa uang beredar berhubungan
negatif dengan cadangan wajib minimum, rasio uang kartal (C/D) dan rasio
cadangan perbankan (ER/D). Sementara itu, uang beredar berhubungan positif
dengan uang primer yang ditentukan oleh bank sentral melalui operasi pasar
terbuka.
Oleh karena itu, model persamaan uang beredar haruslah
mempertimbangkan perilaku bank sentral yang mengatur giro wajib minimum dan
suku bunga diskonto, perilaku penabung melalui keputusan dalam memegang
uang kartal, perilaku bank melalui keputusan rasio cadangan perbankan dan
perilaku peminjam yang mempengaruhi suku bunga pasar yang akan
mempengaruhi keputusan bank terkait dengan jumlah cadangan yang dipegang.
2.1.3. Teori Permintaan Uang
Pandangan para ekonom Klasik di abad 19 dan awal abad 20 dalam
Teori Kuantitas Uang memfokuskan fungsi uang sebagai alat tukar dan pengukur
nilai sehingga uang bersifat netral dan tidak mempengaruhi perekonomian riil.
Dengan demikian dalam teori ini dikatakan bahwa suku bunga tidak memiliki
pengaruh apapun terhadap permintaan uang (Mishkin, 2001).
Irving Fisher dalam bukunya ”Purchasing Power of Money” mengatakan
bahwa permintaan uang dari masyarakat merupakan suatu proporsi tertentu dari
nilai transaksi (PY).
Artinya permintaan uang timbul dari penggunaan uang
dalam proses transaksi yang merupakan suatu proporsi konstan dari tingkat
output masyarakat (pendapatan nasional). Hal ini dijelaskan dengan persamaan
15
yang menunjukkan hubungan uang dengan tingkat harga dan pendapatan
nasional sebagai berikut:
MV = PY ................................................................................................(9)
dimana:
M
V
P
Y
=
=
=
=
Uang beredar
Tingkat perputaran uang
Tingkat output
Harga
dimana jumlah uang beredar (M) dikalikan dengan tingkat perputaran uang (V)
sama dengan jumlah output atau transaksi ekonomi riil (Y) dikalikan dengan
tingkat harga (P). Dengan kata lain, dalam keseimbangan jumlah uang beredar
yang digunakan dalam seluruh kegiatan transaksi ekonomi (MV) sama dengan
jumlah
output
yang
dihitung
dengan
harga
berlaku
(PY).
Dengan
mentransformasikan persamaan diatas, maka:
Md = 1/V PY ..........................................................................................(10)
Dari persamaan diatas, permintaan uang murni ditentukan oleh tingkat
pendapatan nasional dan tidak dipengaruhi oleh faktor lain seperti bunga. Fisher
menyusun kesimpulan seperti ini karena kepercayaannya bahwa orang-orang
memegang uang hanya untuk transaksi sehingga permintaan uang dtentukan
oleh dua variabel yaitu (1) jumlah transaksi yang diwakilkan oleh tingkat
pendapatan PY dan (2) institusi perekonomian yang mempengaruhi cara orangorang melakukan transaksi yang akan menentukan tingkat perputaran uang
(velocity of money).
Teori permintaan uang Cambridge menekankan pada perilaku individu
dalam mengalokasikan kekayaan salah satunya dalam bentuk uang dengan
memperhitungkan untung rugi pemegangan kekayaan tersebut.
Cambridge
mengatakan bahwa kelebihan memegang uang adalah kemudahan dalam
proses transaksi, namun di pihak lain memegang uang berarti mengorbankan
16
kemungkinan mendapatkan penghasilan dalam bentuk bunga atau keuntungan
kapital bila memegang kekayaan dalam bentuk surat berharga. Pandangan ini
sangat berbeda dengan teori Fisher yang menekankan permintaan uang hanya
merupakan proporsi konstan dari volume transaksi.
Dengan demikian teori Cambridge mengatakan bahwa permintaan uang
selain dipengaruhi oleh volume transaksi juga dipengaruhi oleh tingkat bunga,
kekayaan dan ekspektasi masyarakat mengenai masa depan. Jadi dalam jangka
pendek, Cambridge menganggap bahwa jumlah kekayaan, volume transaksi dan
pendapatan nasional mempunyai hubungan yang proporsional konstan. Hal ini
digambarkan pada persamaan sebagai berikut :
Md = k P Y ...........................................................................................(11)
Teori Cambridge ini menyatakan pula bahwa terdapat kemungkinan
pengaruh faktor lain seperti tingkat bunga yang diwakilkan oleh variabel k.
Artinya jika tingkat bunga naik ada kecenderungan masyarakat mengurangi
permintaan uang dan jika di masa datang diharapkan ada kenaikan tingkat bunga
maka orang akan cenderung menambah jumlah uang tunai yang mereka
pegang.
John Maynard Keynes memperluas pendekatan Cambridge dengan
mengemukakan tiga motif memegang uang (Mishkin, 2001). Dalam teori yang
dikenal dengan nama Liquidity Preference mengatakan bahwa permintaan uang
bukan semata-mata sebagai alat tukar atau motif transaksi dan berjaga-jaga
tetapi dapat digunakan lebih luas untuk tujuan spekulasi. Teori ini memprlihatkan
bahwa motif transaksi dan berjaga-jaga sebagai komponen permintaan uang
proporsional terhadap tingkat pendapatan. Sementara itu, motif memegang uang
untuk spekulasi sangat sensitif terhadap suku bunga dan ekspektasi pergerakan
suku bunga di waktu mendatang.
17
Rumusan teori liquidity preference yang dikembangkan oleh Keynes
adalah sebagai berikut :
Md/P = f (i, Y) .......................................................................................(12)
Suku bunga memiliki tanda yang negatif yang artinya permintaan uang
secara riil berhubungan negatif dengan suku bunga dan sebaliknya permintaan
uang berhubungan positif dengan pendapatan nasional (tingkat output). Artinya,
Keynes menyimpulkan permintaan uang berhubungan tidak hanya dengan
pendapatan nasional namun juga dengan suku bunga.
Penurunan fungsi liquidity preference untuk melihat tingkat perputaran
uang (PY/M) akan menunjukkan bahwa tingkat perputaran uang menurut Keynes
tidaklah konstan tetapi berfluktuasi mengikuti pergerakan suku bunga.
P
1
=
………………………………………………….....………(13)
Md f (i, Y )
mengalikan kedua sisi dengan Y maka didapatkan persamaan tingkat perputaran
uang (velocity of money) sebagai berikut:
V=
PY
Y
=
…………………………………………………..……..(14)
Md f (i, Y )
artinya ketika suku bunga naik akan mendorong orang memegang uang lebih
sedikit sehingga tingkat perputaran uang akan meningkat yang berarti velocity of
money meningkat.
Pendekatan Keynesian terus mengalami penyempurnaaan diantaranya
oleh William Baumol dan James Tobin yang menggambarkan bahwa uang yang
dipegang untuk transaksi sebenarnya sensitif terhadap suku bunga. Ketika suku
bunga meningkat maka jumlah uang kas yang dipegang untuk tujuan transaksi
akan menurun yang selanjutnya akan meningkatkan tingkat perputaran uang.
18
Artinya, komponen transaksi dalam fungsi permintaan uang berhubungan negatif
dengan suku bunga (Mishkin, 2001).
Ide dasar dalam analisis Baumol-Tobin ini adalah adanya biaya
oportunitas dalam memegang uang yaitu keuntungan yang mungkin diperoleh
dari aset lainnya dan keuntungan memegang uang adalah menghindari biaya
transaksi.
Ketika
suku
bunga
naik,
masyarakat
akan
mencoba
mengekonomiskan pemegangan uang untuk tujuan transaksi karena biaya
oportunitas yang menjadi mahal.
Teori kuantitas modern yang dipelopori oleh Milton Friedman merupakan
penyempurnaan dari teori kuantitas klasik. Friedman (1991) menyusun formulasi
permintaan uang sebagai berikut:
Md/P = f(Yp, rb-rm, re-rm, πe-rm) ...............................................................(15)
Persamaan ini menunjukkan bahwa permintaan uang merupakan fungsi dari
keuntungan yang diharapkan dari aset lain relatif terhadap keuntungan yang
diharapkan dari uang dan pendapatan permanen. Friedman berpendapat bahwa
permintaan uang relatif stabil dan tidak sensitif terhadap suku bunga, tingkat
perputaran uang dapat diprediksi.
2.1.4. Hubungan Uang dan Kegiatan Ekonomi
Hubungan antara uang dengan kegiatan perekonomian khususnya
pertumbuhan ekonomi dan inflasi menjadi perdebatan antara kelompok
Keynesian dan Monetarist (Friedman, 1991). Kelompok Monetarist berpendapat
bahwa uang hanya berpengaruh pada tingkat inflasi dan tidak ada pengaruhnya
pada pertumbuhan ekonomi riil. Dalam hal ini, kelompok Monetarist berasumsi
bahwa mekanisme pasar dalam perekonomian dapat berjalan secara sempurna
sehingga harga-harga segera menyesuaikan apabila terjadi perbedaan antara
permintaan dan penawaran di pasar. Dengan kondisi ini, kelompok Monetarist
19
berpendapat bahwa kebijakan moneter hanya berpengaruh terhadap nilai
nominal permintaan agregat melalui perubahan harga-harga tersebut dengan
pengaruh yang relatif stabil. Implikasinya, kebijakan moneter diarahkan hanya
untuk pengendalian inflasi dan tidak bisa diarahkan untuk mempengaruhi
kegiatan ekonomi riil.
Pada sisi lain kelompok Keynesian berpendapat bahwa uang dapat
mempengaruhi kegiatan ekonomi riil disamping pengaruhnya terhadap inflasi.
Keynes berpendapat bahwa sebelum full employment dicapai maka perubahan
jumlah uang beredar bersama-sama dengan permintaan uang mempengaruhi
tingkat bunga, selanjutnya perubahan tingkat bunga mempengaruhi tingkat
investasi riil yang kemudian melalui proses multiplier mempengaruhi tingkat
output
masyarakat.
Artinya
perubahan
dalam
sektor
moneter
dapat
mempengaruhi sektor riil (Mankiw, 2000).
Implikasinya adalah kebijakan moneter dapat digunakan sebagai salah
satu instrumen kebijakan untuk mempengaruhi naik turunnya kegiatan ekonomi
riil.
Dengan
kata
lain,
bank
sentral
mempunyai
discreation
untuk
mempergunakan kebijakan moneter secara aktif untuk membantu upaya-upaya
mempengaruhi kegiatan ekonomi riil. Apabila kegiatan ekonomi riil dirasakan
terlalu lesu, kebijakan moneter dapat dilonggarkan sehingga jumlah uang
beredar dalam perekonomian bertambah dan dapat mendorong peningkatan
kegiatan ekonomi riil.
Sebaliknya, apabila kegiatan ekonomi riil dinilai terlalu
cepat dan cenderung memanas, kebijakan moneter perlu diketatkan sehingga
terjadi penurunan kegiatan ekonomi riil dan tingkat inflasi.
Kelompok Keynesian juga memandang bahwa permasalahan dalam
suatu perekonomian pada dasarnya sangat kompleks sehingga tidak hanya uang
yang berperan penting dalam mendorong kegiatan ekonomi, tetapi juga variabelvariabel lain.
Dalam hal ini, kelompok Keynesian berasumsi bahwa terjadi
20
sejumlah kekakuan dalam bekerjanya mekanisme pasar di dalam perekonomian
sehingga pasar tidak selalu dalam kondisi keseimbangan. Apabila terjadi kejutan
(shock) dalam perekonomian, misalnya kebijakan moneter yang secara aktif
melakukan
pelonggaran
atau
pengetatan
akan
berpengaruh
terhadap
pertumbuhan ekonomi riil dalam jangka pendek, meskipun pada akhirnya dalam
jangka menengah-panjang perkembangan harga juga akan terpengaruh.
2.1.5. Teori Permintaan Agregat
Kurva permintaan agregat menggambarkan hubungan antara tingkat
harga dengan tingkat pendapatan nasional.
Keseimbangan makroekonomi
secara simultan ditentukan oleh perpotongan permintaan agregat (AD) dan
penawaran agregat (AS).
Shock yang terjadi pada permintaan agregat akan
menyebabkan terjadinya perubahan harga. Shock ini dapat diantisipasi melalui
kebijakan moneter yang mempengaruhi kurva LM.
Ketika perekonomian berada pada kesimbangan jangka pendek pada
titik K dan tingkat harga P1 menunjukkan perekonomian sedang resesi. Apabila
dalam jangka pendek diasumsikan tingkat harga tetap, terjadi penurunan biaya
input maka output dapat diproduksi dengan biaya yang lebih rendah sehingga
biaya output turun. Kondisi ini menggeser kurva AS jangka pendek ke bawah
pada tingkat harga yang lebih murah P2. Keseimbangan jangka panjang pada
kurva IS-LM terjadi ketika harga turun menyebabkan keseimbangan uang riil
(daya beli) meningkat melalui pergeseran kurva LM ke kanan bawah LM(P2)
dengan suku bunga yang lebih rendah.
Biaya output yang lebih murah
meningkatkan kembali perekonomian pada tingkat keseimbangan alamiah di titik
C pada kurva SRAS2 (Gambar 1).
21
Tingkat
LRAS
Tingkat
bunga, r
LM (P1)
LRAS
harga,P
LM (P2)
K
P1
SRAS1
C
SRAS2
P2
IS
Y
AD
Pendapatan (Y)
Y
Pendapatan (Y)
Sumber: Mankiw (2000)
Gambar 1. Model IS-LM : Model Penawaran Agregat dan Permintaan
Agregat dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Analisis
ini
menunjukkan
bahwa
dalam
jangka
pendek,
proses
penyesuaian belum sempurna karena harga masih kaku terhadap adanya
perubahan perekonomian. Sementara itu, dalam jangka panjang penyesuaian
terjadi secara sempurna karena adanya penyesuaian pada tingkat harga
sehingga keseimbangan perekonomian kembali pada posisi alamiah atau pada
titik keseimbangan baru.
Pengaruh shock kebijakan moneter terhadap permintaan agregat dalam
perekonomian sangat tergantung pada posisi kurva penawaran agregat (AS).
Apabila kurva AS vertikal (asumsi Klasik), shock kebijakan moneter akan
menyebabkan tingkat harga berubah dengan pendapatan nasional yang tetap.
Tetapi apabila kurva AS horisontal (asumsi Keynesian) maka shock kebijakan
moneter akan menyebabkan perubahan pada tingkat pendapatan dari posisi
alamiah sementara tingkat harga tetap. Penyesuaian antara tingkat harga dan
pertumbuhan ekonomi, sangat tergantung pada kebijakan bank sentral dalam
melakukan shock terhadap kebijakan moneter yang berpengaruh terhadap
22
pergeseran kurva permintaan agregat (AD).
Kemiringan kurva IS (elastisitas
pengeluaran investasi terhadap suku bunga) dan kemiringan kurva LM
(elastisitas permintaan uang terhadap suku bunga) menjadi faktor yang
mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter.
Ekspansi kebijakan moneter
dengan menambah jumlah uang beredar pada kurva IS yang datar meningkatkan
pertumbuhan ekonomi sebesar Y2 dan pada kurva IS yang tegak pertumbuhan
ekonomi lebih rendah yaitu hanya Y1.
Dilihat pada kurva LM, kebijakan moneter akan kurang efektif dalam
mempengaruhi
pertumbuhan
ekonomi
pada
pertumbuhan ekonomi hanya sebesar Y0 – Y1.
kurva
LM
datar
dengan
Sementara itu pada kurva LM
yang tegak maka pengaruh terhadap perekonomian lebih besar yaitu sebesar
Y0–Y2. Kebijakan moneter bahkan tidak efektif sama sekali pada kurva LM yang
horizontal karena Y tidak berubah dan menyebabkan terjadinya liquidy trap yaitu
kebijakan moneter gagal mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (output) tetapi
justru menimbulkan dampak terhadap inflasi. Gambaran lebih detail disajikan
pada Gambar 2.
LMTo
LMT1
Tingkat
bunga ( r )
Tingkat
bunga ( r )
LM0
LMD0
LM1
LMD1
IS datar
IS
IS tegak
Y0 Y1 Y2
Y
Yo
Y1Y2
Y
Sumber : Mankiw (2000)
Gambar 2. Efektivitas kebijakan moneter dalam mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi pada kurva IS-LM
23
2.1.6. Suku Bunga
Suku bunga menggambarkan biaya pinjaman yang menjadi indikator
melakukan pinjaman atau indikator bagi yang meminjamkan (Mishkin, 2001).
Dalam perkembangannya, suku bunga riil menjadi lebih penting dibandingkan
suku bunga nominal karena suku
bunga riil sudah mempertimbangkan
perkembangan harga sebagaimana tampak pada rumus:
Suku bunga riil = suku bunga nominal –inflasi
Dalam Liquidity Preference Framework keseimbangan suku bunga
tercapai saat terjadi perpotongan uang beredar dan permintaan uang. Jumlah
uang beredar (MS) ditentukan oleh bank sentral sehingga kurva MS tegak.
Sedangkan permintaan uang ditentukan oleh pendapatan dan tingkat harga.
Oleh karena itu, perubahan suku bunga dalam keyakinan Liquidity Preference
Framework dapat dipahami dengan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan jumlah uang beredar dan permintaan uang.
Dua faktor yang mempengaruhi permintaan uang adalah pendapatan dan
harga. Disaat perekonomian bagus maka pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat meningkat yang mendorong masyarakat memegang uang lebih
banyak sehingga permintaan uang meningkat. Sedangkan saat harga meningkat
maka nilai nominal uang terhadap harga barang akan turun.
Kondisi ini
mendorong masyarakat untuk menambah uang yang dipegang sehingga
permintaan uang meningkat.
Dalam
Mishkin
(2001)
disebutkan
bahwa
jumlah
uang
beredar
berhubungan dengan uang primer (monetary base) dengan rumus:
MS = m x MB .............................................................................(16)
dimana:
MS
M
MB
=
=
=
Uang beredar
Angka pengganda uang
Uang primer
24
Dari rumusan diatas dapat diketahui uang beredar memiliki hubungan
yang positif dengan uang primer. Disamping itu angka pengganda uang (m)
menjadi faktor yang turut mempengaruhi jumlah uang beredar karena m
menunjukkan seberapa banyak perubahan MS untuk nilai MB tertentu dengan
rumus:
m=
1 + C/D
rD + (ER/D) + (C/D)
....................................................(17)
artinya money multiplier (angka pengganda uang) merupakan fungsi dari
currency ratio yang diatur oleh penabung, excess reserve ratio yang diatur oleh
bank dan required reserve ratio yang diatur oleh Bank sentral.
1. Perubahan Required Reserve
Jika required reserve naik maka jumlah cadangan perbankan menjadi
tidak cukup untuk melindungi deposito sehingga perbankan membutuhkan
cadangan yang lebih banyak dengan mengurangi jumlah pinjaman yang
disalurkan yang mendorong penurunan angka pengganda uang dan akhirnya
jumlah uang beredar menjadi lebih rendah. Kesimpulannya adalah money
multiplier dan MS berhubungan negatif dengan Required Reserve
2. Perubahan Currency Ratio
Ketika penabung meningkatkan uang kas yang dipegang dengan
merubah deposito menjadi uang kas (C/D meningkat) maka money multiplier
akan turun
karena deposito berperan dalam menciptakan perluasan uang
sedangkan uang kas tidak mampu menciptakan perluasan uang. Artinya, money
multiplier dan MS berhubungan negatif dengan currency ratio.
3. Perubahan Excess Reserve Ratio
Ketika perbankan meningkatkan jumlah cadangan yang dipegang relatif
terhadap dana pihak ketiga yang dipegang pada jumlah MB tertentu, maka bank
25
menurunkan jumlah pinjaman sehingga MS menurun.
Preferensi bank
memegang cadangan lebih banyak atau lebih sedikit dipengaruhi oleh biaya dan
manfaatnya.
Ketika biaya memegang cadangan meningkat maka bank
menurunkan cadangan yang dipegang dan sebaliknya. Faktor yang
menjadi
acuan perbankan adalah suku bunga pasar, dimana ketika suku bunga pasar
meningkat maka biaya memegang cadangan meningkat sehingga bank
menurunkan jumlah cadangan yang dipegang (dengan meningkatkan jumlah
pinjaman) dan money multiplier meningkat yang selanjutnya meningkatkan MS
2.1.7. Investasi dan Ekspor Netto
Dalam sistem perekonomian tertutup jumlah tabungan masyarakat
merupakan jumlah modal yang dapat digunakan untuk melakukan investasi
(Mankiw, 2000).
jumlah tabungan
Pada tingkat keseimbangan jumlah investasi sama dengan
(I
= S).
Namun pada sistem ekonomi terbuka dimana
dimungkinkan terjadinya transaksi antar negara dalam bentuk barang (eksporimpor) maupun aliran modal antar negara, investasi bisa lebih besar dari
akumulasi tabungan domestik.
Hal ini dapat diturunkan dari persamaan
pendapatan nasional,
Y = C + I + G + NX …………………………………………….............. (18)
Y – C – G = I + NX;
dimana : Y – C – G adalah simpanan nasional sehingga:
S = I + NX ………………………………..........……….............……….. (19)
NX = S – I .....…………………………..……………..................... .........(20)
dimana NX adalah net ekspor yang menunjukkan neraca perdagangan, dan S – I
menunjukkan net foreign investment (NFI). Dengan demikian NFI adalah selisih
antara tabungan domestik dikurangi dengan investasi domestik. Jika NFI positif
26
artinya jumlah tabungan domestik lebih besar dari investasi, dan sebaliknya jika
NFI negatif artinya investasi domestik
lebih besar
dari tabungan domestik,
dimana selisih investasi dibiayai dari pinjaman luar negeri.
Ekspor bersih (NX)
merupakan selisih antara ekspor dan impor.
Besaran NX dipengaruhi oleh nilai tukar mata uang domestik terhadap mata
uang asing. Jika mata uang domestik nilai tukarnya rendah, barang domestik
relatif lebih murah dibandingkan dengan barang asing sehingga ekspor
meningkat dan impor menurun sehingga NX akan meningkat, sebaliknya jika nilai
tukar tinggi, barang domestik menjadi lebih mahal dibandingkan dengan barang
impor sehingga ekspor berkurang dan impor meningkat akibatnya NX menurun.
Investasi dipengaruhi oleh tingkat suku bunga, karena tingkat bunga merupakan
opportunity cost seseorang melakukan investasi. Semakin tinggi tingkat bunga
pasar opportunity kegiatan investasi semakin mahal dan sebaliknya.
Dalam
bentuk persamaan dapat dituliskan:
S = I (r) + NX (∈) ……………………………............….………………… (21)
dimana:
S
I
NX
=
=
=
Tabungan
Investasi
Ekspor netto
2.1.8. Kerangka Strategis Kebijakan Moneter
Perhatian utama dalam penyusunan strategi kebijakan moneter di seluruh
negara adalah dasar acuan (nominal anchor) yaitu variabel nominal yang
digunakan oleh pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan akhir kebijakan
moneter (Mishkin, 2000).
pencapaian
tujuan
Dasar acuan (nominal anchor) ini membantu
kebijakan
moneter
karena
mampu
meminimalisasi
permasalahan ketidakkonsistenan waktu penetapan kebijakan dimana kebijakan
27
moneter yang ditetapkan otoritas moneter tidak memberikan dampak jangka
panjang.
Tujuan akhir yang ingin dicapai oleh kebijakan moneter terkait dengan
pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Namun permasalahan selama ini adalah
pencapaian pertumbuhan ekonomi dan inflasi tidak dapat dilakukan secara
bersamaan karena pencapaian sasaran akhir ini bersifat kontradiktif.
Oleh
karena itu, dalam perkembangannya bank sentral lebih cenderung memilih salah
satu sasaran untuk dicapai secara optimal dengan mengabaikan sasaran lainnya
dan dewasa ini beberapa negara secara bertahap telah menggeser penerapan
kebijakan moneter yang lebih memfokuskan pada sasaran tunggal yaitu stabilitas
harga.
Secara prinsip terdapat beberapa strategi dalam mencapai tujuan
kebijakan moneter. Masing-masing strategi memiliki karakteristik sesuai dengan
indikator nominal yang digunakan sebagai nominal anchor (dasar acuan) atau
sasaran antara dalam mencapai tujuan akhir. Beberapa strategi pelaksanaan
kebijakan moneter tersebut antara lain (1) penargetan nilai tukar (exchange rate
targeting), (2) penargetan besaran moneter, (3) penargetan inflasi, dan (4)
strategi kebijakan moneter tanpa jangkar yang tegas.
1. Penargetan Nilai Tukar
Strategi kebijakan moneter dengan penargetan nilai tukar didasari
pemikiran bahwa nilai tukarlah yang paling dominan pengaruhnya terhadap
pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter. Dalam pelaksanaannya, terdapat
tiga alternatif yang dapat ditempuh, yaitu (1) menetapkan nilai mata uang
domestik terhadap harga komoditas tertentu yang diakui secara internasional
seperti emas, (2) menetapkan nilai mata uang domestik terhadap mata uang
negara-negara besar yang mempunyai laju inflasi yang rendah dan (3)
menyesuaikan nilai mata uang domestik terhadap mata uang negara tertentu
28
ketika perubahan nilai mata uang diperkenankan sejalan dengan perbedaan laju
inflasi antara dua negara.
Penargetan nilai tukar memiliki beberapa keuntungan yaitu (1) dapat
meredam laju inflasi yang berasal dari perubahan harga barang-barang impor,
(2) dapat mengarahkan ekspektasi masyarakat terhadap inflasi dan mengurangi
masalah ketidakkonsistenan waktu kebijakan moneter, dan (3) bersifat cukup
sederhana dan jelas sehingga mudah dipahami oleh masyarakat (Mishkin, 2001)
Namun kebijakan ini juga memiliki kelemahan yaitu (1) penargetan nilai
tukar dalam kondisi perekonomian suatu negara sangat terbuka dan mobilitas
dana luar negeri sangat tinggi akan menghilangkan independensi kebijakan
moneter domestik dari pengaruh luar negeri, dimana setiap gejolak struktural
yang terjadi di negara acuan akan ditransmisikan pada stabilitas perekonomian
domestik, (2) rentan terhadap tindakan spekulasi dalam pemegangan mata uang
domestik, dan (3) memperlemah akuntabilitas pembuatan kebijakan moneter
karena hilangnya sinyal nilai tukar yang menjadi perhatian masyarakat dan
pasar.
2. Penargetan Besaran Moneter
Penargetan
besaran
moneter
dilakukan
dengan
menetapkan
pertumbuhan jumlah uang beredar sebagai sasaran antara, misalnya uang
beredar dalam arti sempit (M1) dan dalam arti luas (M2) serta kredit. Kelebihan
utama dari penargetan besaran moneter adalah kebijakan moneter lebih
independen sehingga bank sentral dapat memfokuskan pencapaian tujuan yang
ditetapkan seperti laju inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan.
Strategi ini sangat bergantung pada kestabilan hubungan antara besaran
moneter dengan sasaran akhir kebijakan.
Stratgi kebijakan ini akan menjadi
kurang optimal jika tidak ada hubungan yang erat antara besaran moneter
29
dengan
sasaran
akhir
diantaranya
tingkat
inflasi.
Dengan
semakin
berkembangnya instrumen keuangan dan semakin terintegrasinya perekonomian
domestik dengan internasional, maka kestabilan hubungan tersebut terganggu
sehingga menjadi alasan strategi ini kurang banyak diadopsi.
3. Penargetan Inflasi
Penargetan inflasi dilakukan dengan mengumumkan kepada publik
mengenai target inflasi jangka menengah dan komitmen bank sentral untuk
mencapai stabilitas harga sebagai tujuan jangka panjang dari kebijakan moneter.
Untuk mencapai sasaran inflasi tersebut, strategi ini tidak mendasarkan pada
satu indikator saja tetapi mengevaluasi berbagai indikator kunci dan relevan
untuk perumusan kebijakan moneter.
Yang diutamakan adalah pencapaian
sasaran akhir inflasi dan bukan pencapaian sasaran antara seperti uang beredar
atau nilai tukar sehingga dengan menargetkan inflasi sebagai acuan nominal,
bank sentral dapat menjadi lebih kredibel dan lebih fokus di dalam mencapai
kestabilan harga sebagai tujuan akhir.
Kelebihan penargetan inflasi adalah (1) memungkinkan otoritas moneter
untuk lebih fokus pada pertimbangan kondisi dalam negeri, (2) stabilitas
hubungan antara uang dan inflasi tidak menjadi penting dalam keberhasilan
penargetan inflasi, (3) mudah dipahami oleh publik dan lebih transparan, (4)
meningkatkan akuntabilitas otoritas moneter, dan (5) mampu mengurangi
goncangan harga. Namun strategi kebijakan penargetan inflasi ini juga memiliki
kelemahan yaitu: (1) inflasi tidak mudah dikontrol oleh otoritas moneter sehingga
sinyal penargetan inflasi tidak dapat disampaikan dengan cepat kepada publik
dan pasar, (2) strategi ini seringkali membutuhkan aturan yang rumit, dan (3)
fokus tunggal pada inflasi akan mendorong fluktuasi output yang sangat besar.
Walaupun
mengabaikan
penargetan
pencapaian
dilakukan
tujuan
pada
kebijakan
inflasi,
moneter
strategi
lainnya
ini
tidak
seperti
30
perkembangan output dan kesempatan kerja.
Dalam hal ini, bank sentral
senantiasa berupaya untuk memperhitungkan stabilitas perkembangan output
dan kesempatan kerja dalam jangka pendek dalam penetapan sasaran inflasi
jangka menengah yang ingin dicapai. Selain itu, dalam rangka meminimumkan
penurunan perkembangan output, bank sentral melakukan penyesuaian secara
bertahap sasaran inflasi jangka pendek menuju ke arah pencapaian sasaran
inflasi jangka menengah-panjang yang lebih rendah.
2.1.9. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
Mekanisme transmisi kebijakan moneter terkait dengan bagaimana
kebijakan moneter dapat mempengaruhi pendapatan nominal dan kegiatan
sektor riil secara keseluruhan. Mekanisme transmisi kebijakan moneter awalnya
mengacu pada peranan uang dalam perekonomian yang pertama kali dijelaskan
oleh teori kuantitas uang. Teori kuantitas uang menggambarkan kerangka kerja
yang jelas mengenai analisis hubungan langsung yang sistematis antara
pertumbuhan jumlah uang beredar dan inflasi yang dinyatakan dalam suatu
identitas the equation of exchange:
MV = PT
dimana jumlah uang beredar (M) dikalikan dengan tingkat perputaran uang (V)
sama dengan jumlah output atau transaksi ekonomi riil (T) dikalikan dengan
tingkat harga (P). Dengan kata lain, dalam keseimbangan jumlah uang beredar
yang digunakan dalam seluruh kegiatan transaksi ekonomi (MV) sama dengan
jumlah output yang dihitung dengan harga berlaku (PT).
Berdasarkan mekanisme transmisi ini, maka dalam jangka pendek
pertumbuhan jumlah uang beredar hanya mempengaruhi perkembangan output
riil, selanjutnya dalam jangka menengah pertumbuhan jumlah uang beredar akan
mendorong kenaikan harga yang pada gilirannya menyebabkan penurunan
31
perkembangan output riil menuju posisi semula.
Dalam jangka panjang,
pertumbuhan jumlah uang beredar tidak berpengaruh terhadap perkembangan
output riil tetapi mendorong kenaikan laju inflasi secara proporsional.
Dalam perkembangannya, penjelasan transmisi kebijakan moneter
terhadap produksi terbagi atas dua arah pemikiran yaitu (1) pemikiran monetarist
yang cenderung menggunakan model reduced-form yang tidak menggambarkan
secara spesifik jalur pengaruh uang beredar terhadap output melainkan
menganalisis efek uang beredar terhadap output dalam suatu kotak hitam, (2)
pemikiran Keynesian yang mengaplikasikan pendekatan model struktural untuk
memahami jalur transmisi secara lebih baik.
Menurut pemikiran Keynesian, jalur transmisi dikelompokkan atas tiga
jalur utama yaitu (1) jalur suku bunga, (2) jalur harga aset, dan (3) jalur transmisi
dari sisi kredit. (Mishkin, 2001).
2.1.9.1. Jalur Suku Bunga
Mekanisme transmisi melalui jalur suku bunga menekankan bahwa
kebijakan moneter dapat mempengaruhi kebijakan agregat melalui perubahan
suku bunga. Artinya, jika bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif
melalui peningkatan uang beredar akan mendorong penurunan suku bunga riil
yang mengindikasikan biaya modal yang lebih murah dan mendorong
peningkatan pengeluaran investasi yang merupakan komponen dari permintaan
agregat sehingga akhirnya meningkatkan total produksi (output riil) dalam suatu
perekonomian.
Investasi dalam bahasan ini tidak hanya keputusan investasi
oleh sektor usaha melainkan juga pengeluaran rumah tangga untuk barangbarang tahan lama seperti pengeluaran perumahan dan automobil.
Perubahan suku bunga jangka pendek ditransmisikan pada suku bunga
jangka menengah atau jangka panjang melalui mekanisme penyeimbangan sisi
32
permintaan dan penawaran di pasar uang. Dalam hal ini, apabila perubahan
harga bersifat kaku, perubahan suku bunga nominal jangka pendek yang
dipengaruhi oleh kebijakan moneter akan mendorong perubahan suku bunga riil
jangka pendek dan panjang.
Artinya, jika bank sentral melakukan kebijakan
moneter ekspansif akan mendorong penurunan suku bunga riil jangka pendek
dan selanjutnya menurunkan suku bunga riil jangka panjang yang selanjutnya
meningkatkan investasi (investasi sektor usaha dan pengeluaran rumah tangga
untuk barang-barang tahan lama). Pentingnya suku bunga riil dalam analisis
jalur suku bunga dapat dijelaskan persamaan berikut ini.
i = ir + πe .............................................................................................(22)
atau sama juga dengan :
ir = i - πe ................................................................................................(23)
sehingga transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga dapat
disederhanakan seperti berikut ini
M Æ Pe Æ πe Æ ir Æ IÆ Y ...........................................(24)
2.1.9.2. Jalur Harga Aset
Mekanisme transmisi melalui jalur harga aset dibedakan menjadi tiga
jalur pengaruh yaitu (1) pengaruh nilai tukar terhadap ekspor netto, (2) Teory
Tobin, dan (3) efek kekayaan.
Mekanisme transmisi melalui jalur nilai tukar
menekankan bahwa pergerakan nilai tukar dapat mempengaruhi perkembangan
penawaran dan permintaan agregat dan selanjutnya mempengaruhi output dan
harga. Namun besar kecilnya pengaruh pergerakan nilai tukar terhadap output
tergantung pada sistem nilai tukar yang dianut oleh suatu negara. Misalnya,
dalam sistem nilai tukar mengambang, kebijakan moneter ekspansif oleh bank
sentral akan mendorong depresiasi mata uang domestik karena penurunan suku
33
bunga riil yang
mendorong
terjadinya capital outflow
dan selanjutnya
meningkatkan harga barang impor dan nilai ekspor netto menjadi lebih rendah.
Selain itu, pengaruh pergerakan nilai tukar dapat terjadi secara tidak
langsung melalui perubahan permintaan agregat (indirect pass through).
Sementara itu dalam sistem nilai tukar mengambang terkendali, pengaruh
kebijakan moneter pada perkembangan output riil dan inflasi menjadi semakin
lemah terutama apabila terdapat subtitusi yang tidak sempurna antara aset
domestik dan aset luar negeri.
Mekanisme
transmisi
menurut
Teori
Tobin
dan
efek
kekayaan
menekankan bahwa kebijakan moneter berpengaruh pada perubahan harga
asset dan kekayaan masyarakat yang selanjutnya mempengaruhi pengeluaran
investasi. Apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter kontraktif, maka
terjadi peningkatan suku bunga yang pada gilirannya akan menekan harga aset
perusahaan.
Penurunan harga aset berakibat pada dua hal, yaitu (1)
mengurangi kemampuan perusahaan untuk melakukan ekspansi sehingga
kegiatan investasi menurun, dan (2) menurunkan nilai kekayaan dan pendapatan
sehingga mengurangi pengeluaran konsumsi. Secara keseluruhan kedua hal
tersebut berdampak pada penurunan pengeluaran agregat.
2.1.9.3. Jalur Kredit
Mekanisme transmisi melalui jalur kredit dapat dibedakan menjadi lima
jalur, yaitu (1) jalur pinjaman bank (bank lending channel) yang menekankan
pengaruh kebijakan moneter pada kondisi keuangan bank khususnya sisi asset.,
(2) jalur neraca perusahaan (balance sheet channel) yang menekankan
pengaruh
kebijakan
moneter
pada
kondisi
keuangan
perusahaan
dan
selanjutnya mempengaruhi akses perusahaan untuk mendapatkan kredit , (3)
jalur aliran kas (cash flow channel) yang menekankan pada pengaruh kebijakan
34
moneter terhadap aliran kas yang selanjutnya mempengaruhi tindakan adverse
selection dan moral hazard oleh perusahaan dalam mendapatkan kredit, (4) jalur
ekspektasi harga (unanticipated price level channel) yang menekankan pada
pengaruh kebijakan moneter terhadap ekspektasi harga yang selanjutnya
mempengaruhi akses perusahaan untuk mendapatkan kredit, dan (5) pengaruh
likuiditas rumah tangga (household liquidity effect) yang menekankan pada
pengaruh kebijakan moneter terhadap kekayaan finansial rumah tangga yang
mempengaruhi kemungkinan kesulitan keuangan rumah tangga yang selanjutnya
berpengaruh pada pengeluaran rumah tangga untuk perumahan dan barang
tahan lama.
Menurut jalur pinjaman bank, sisi liabilitas bank juga menjadi komponen
penting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter. Apabila bank sentral
melakukan kebijakan moneter kontraktif misalnya melalui peningkatan rasio
cadangan minimum di bank sentral, maka cadangan yang ada di bank akan
menurun sehingga dana yang dapat dipinjamkan (loanable fund) juga mengalami
penurunan.
Apabila hal tersebut tidak dapat diatasi dengan melakukan
penambahan dana/pengurangan surat-surat berharga maka kemampuan bank
untuk memberikan pinjaman akan menurun yang pada gilirannya menyebabkan
penurunan investasi dan mendorong penurunan output.
Sementara itu, jalur neraca perusahaan menekankan bahwa kebijakan
moneter akan mempengaruhi kondisi keuangan perusahaan. Sebagai contoh,
apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif, maka suku bunga
di pasar uang akan turun dan mendorong kenaikan harga saham. Kondisi ini
meningkatkan nilai bersih perusahaan yang selanjutnya mengurangi tindakan
adverse selection
dan moral hazard oleh perusahaan sehingga mendorong
peningkatan pemberian kredit oleh bank. Tahap selanjutnya akan meningkatkan
investasi dan output.
35
Adverse selection merujuk pada situasi ketika dalam suatu transaksi
ekonomi masing-masing individu memiliki informasi yang berbeda/asimetris
mengenai beberapa aspek terkait dengan kualitas produk. Dengan kondisi ini,
individu yang memiliki informasi lebih banyak memperoleh keuntungan lebih
besar dari negosiasi yang dilakukan. Sementara itu moral hazard, merujuk pada
situasi ketika pelaku ekonomi yang satu tidak mengetahui tindakan yang
dilakukan oleh pelaku ekonomi lainnya sehingga menyebabkan adanya
pengambilan keputusan yang salah yang pada gilirannya memberikan hasil yang
tidak baik.
Menurut jalur aliran kas, kebijakan moneter mempengaruhi kondisi aliran
kas perusahaan melalui suku bunga nominal yang selanjutnya menjadi
gambaran bagi pihak pemberi pinjaman tentang kemampuan membayar kredit
oleh perusahaan/ rumah tangga. Apabila bank sentral melakukan kebijakan
moneter ekspansif yang mendorong penurunan suku bunga nominal, maka
kondisi aliran kas perusahaan membaik dan begitu juga dengan neraca
keuangannya.
Perbaikan kondisi keuangan (aliran kas) ini meningkatkan
keyakinan pemberi pinjaman terhadap kemampuan membayar pinjaman
sehingga mengurangi tindakan adverse selection
meningkatkan
pemberian
kredit
oleh
bank.
dan moral hazard dan
Tahap
selanjutnya
akan
meningkatkan investasi dan output.
Jalur ekspektasi menekankan bahwa kebijakan moneter dapat diarahkan
untuk mempengaruhi pembentukan ekspektasi terhadap inflasi dan kegiatan
ekonomi yang akhirnya berpengaruh terhadap keputusan konsumsi dan
investasi. Sebagai contoh, dalam hal bank sentral menempuh kebijakan moneter
ekspansif maka kenaikan jumlah uang beredar akan mendorong kenaikan harga
yang tidak terduga yang selanjutnya meningkatkan nilai bersih perusahaan.
Perbaikan nilai bersih riil perusahaan ini akan mengurangi tindakan adverse
36
selection dan moral hazard dan meningkatkan pemberian kredit oleh bank yang
mampu mendorong peningkatan investasi dan output.
Jalur likuiditas rumah tangga menjelaskan bahwa kebijakan moneter
akan mempengaruhi harga saham dimana kebijakan moneter ekspansif yang
mendorong penurunan suku bunga mampu meningkatkan nilai saham.
Peningkatan nilai saham ini berlanjut pada pebaikan kekayaan finansial rumah
tangga yang menurunkan kemungkinan kesulitan keuangan rumah tangga dan
selanjutnya meningkatkan keyakinan rumah tangga untuk meningkatkan
pengeluaran perumahan dan barang-barang tahan lama yang dimasukkan
sebagai pengeluaran investasi sehingga meningkatkan output dari permintaan
agregat. Mekanisme transmisi kebijakan moneter secara lebih rinci disajikan
pada Gambar 3.
2.1.10. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter
Kerangka operasional kebijakan moneter merupakan langkah-langkah
bank sentral dari penentuan dan prakiraan sasaran antara, pemantauan variabelvariabel ekonomi keuangan yang dijadikan dasar perumusan kebijakan moneter
hingga pelaksanaan pengendalian moneter di pasar uang untuk mencapai
sasaran akhir. Kerangka operasional kebijakan moneter mencakup instrumen,
sasaran operasional dan sasaran antara yang dipergunakan untuk mencapai
sasaran akhir yang telah ditetapkan.
Sasaran antara diperlukan karena untuk mecapai sasaran akhir yang
ditetapkan, terdapat tenggang waktu antara pelaksanaan kebijakan moneter dan
hasil pencapaian sasaran akhir dari kebijakan tersebut.
Tenggang waktu
pengaruh kebijakan moneter terjadi karena diperlukan waktu : (1) merumuskan
kebijakan moneter di bank sentral (inside lag), baik dalam mengetahui masalah
KEBIJAKAN MONETER
JALUR SUKU BUNGA
JALUR HARGA ASSET LAIN
JALUR KREDIT
Dampak Suku Bunga
Tradisional
Dampak Nilai
Tukar Terhadap
Ekspor Neto
Teori Thobin q
DAMPAK
KEKAYAAN
JALUR
PINJAMAN
BANK
JALUR NERACA
PERUSAHAAN
JALUR
ALIRAN KAS
JALUR
EKSPEKTASI
HARGA
DAMPAK
LIKUIDITAS
RUMAH TANGGA
KEBIJAKAN
MONETER
KEBIJAKAN
MONETER
KEBIJAKAN
MONETER
KEBIJAKAN
MONETER
KEBIJAKAN
MONETER
KEBIJAKAN
MONETER
KEBIJAKAN
MONETER
KEBIJAKAN
MONETER
KEBIJAKAN
MONETER
Suku Bunga Ril
Suku Bunga Ril
Harga Saham
Harga Saham
Simpanan Bank
Harga Saham
Suku Bunga
Nominal
Tingkat Ekspektasi
Harga
Harga Saham
Nilai Tukar
Tobin’s q
Kekayaan
Finansial
Pinjaman Bank
INVESTASI
Pengeluaran Rumah
Tangga
Konsumsi Barang
Tahan Lama
INVESTASI
EKSPOR NETO
INVESTASI
KONSUMSI
Moral Hazard
Adverse Selection
Moral Hazard
Adverse Selection
Moral Hazard
Adverse Selection
AktifitasPinjaman
Aktifitas Pinjaman
Aktifitas Pinjaman
INVESTASI
INVESTASI
INVESTASI
Pengeluaran
Rumah Tangga
PRODUK DOMESTIK BRUTO
Sumber : Frederic S. Mishkin (2001)
Gambar 3. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
Kekayaan
Finansial
Aliran Kas
Peluang Kesulitan
Keuangan
Pengeluaran
Rumah Tangga
Konsumsi Barang
Tahan Lama
37
(recognition lag), memutuskan kebijakan (decision lag), dan melaksanakan
kebijakan
moneter (action lag),
dan (2) kebijakan moneter berpengaruh
terhadap kegiatan ekonomi (outside lag).
Oleh karena itu, diperlukan adanya indikator-indikator yang lebih segera
dapat dilihat untuk mengetahui indikasi arah pergerakan ekonomi dan inflasi ke
depan dan respon kebijakan moneter yang diperlukan dan indikator ini yang
disebut sebagai sasaran antara.
Sasaran antara yang dipilih harus memiliki
kestabilan hubungan dengan sasaran akhir diantaranya adalah M1, M2 atau
suku bunga.
Untuk mencapai sasaran antara tersebut, bank sentral memerlukan
sasaran yang bersifat operasional agar proses transmisi dapat berjalan sesuai
dengan rencana.
Sasaran operasional yang dipilih harus memiliki kestabilan
hubungan dengan sasaran antara, dapat dikendalikan bank sentral dan informasi
tersedia lebih awal daripada sasaran antara.
Beberapa pilihan sasaran
operasional yang dapat digunakan antara lain uang primer (M0), cadangan dan
suku bunga jangka pendek.
Sementara itu, instrumen moneter adalah instrumen yang dimiliki oleh
bank sentral yang dapat digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung
untuk mempengaruhi sasaran operasional yang telah ditetapkan.
Beberapa
pilihan instrumen yang digunakan antara lain operasi pasar terbuka (open market
operation), cadangan wajib minimum (reserve requirement) dan fasilitas diskonto
(discount policy).
Kerangka operasional yang dilakukan bank sentral akan ditentukan oleh
pendekatan yang dianut, yaitu (1) pendekatan kuantitas besaran moneter
(quantity-basec approach) dan (2) pendekatan suku bunga sebagai harga
besaran moneter (price based approach).
Secara lebih rinci, kerangka
operasional kebijakan moneter melalui kedua pendekatan tersebut yang
38
mencerminkan keterkaitan antara instrumen, sasaran operasional, sasaran
antara dan sasaran akhir disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5.
Instrumen
Sasaran
Operasional
- Operasi pasar terbuka - Uang Primer
- Cadangan wajib
- Cadangan
minimum
Bank
- Fasilitas Diskonto
Sasaran
Akhir
Sasaran
Antara
- Besaran
Moneter (M1,
M2, M3)
- Stabilitas harga
- Stabilitas pasar
uang
- Pertumbuhan
ekonomi
- Kesempatan Kerja
Sumber : Mishkin (2001)
Gambar 4. Kerangka Operasional dengan Pendekatan Kuantitas Besaran
Moneter
Sasaran
Operasional
Instrumen
- Operasi pasar
terbuka
- Cadangan wajib
minimum
- Fasilitas Diskonto
- Suku bunga
jangka pendek
(suku bunga
bank sentral)
Sasaran
Antara
Sasaran
Akhir
- Suku bunga
jangka
pendek dan
jangka
panjang
- Stabilitas harga
- Stabilitas pasar
uang
- Pertumbuhan
ekonomi
- Kesempatan Kerja
Sumber : Mishkin (2001)
Gambar 5. Kerangka Operasional dengan Pendekatan Suku Bunga
Penggunaan dua pendekatan ini tidak bisa dilakukan secara bersamaan
karena
penggunaan
besaran
moneter
sebagai
variabel
sasaran
akan
menghilangkan kontrol terhadap suku bunga. Dengan kata lain, pada besaran
moneter tertentu, permintaan uang tetap akan berfluktuasi karena perubahan
39
yang tidak diharapkan pada output dan harga yang akhirnya akan mendorong
perubahan pada suku bunga. Sementara itu, ketika bank sentral menggunakan
suku bunga sebagai variabel target, fluktuasi permintaan uang direspon oleh
bank sentral dengan membeli atau menjual obligasi pada operasi pasar terbuka
sampai jumlah uang beredar dan suku bunga kembali pada tingkat tertentu.
2.2. Tinjauan Pustaka
2.2.1. Evolusi Pelaksanaan Kebijakan Moneter di Indonesia
Pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang moneter mengalami evolusi
sesuai dengan pasang surut perkembangan ekonomi dan iklim politik di
Indonesia. Perkembangan ekonomi sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan
kebijakan moneter tidak hanya karena kebijakan moneter diarahkan untuk
mempengaruhi berbagai variabel ekonomi makro khususnya inflasi dan
pertumbuhan ekonomi, tetapi juga karena perkembangan ekonomi akan
menentukan bagaimana reaksi Bank Indonesia merumuskan dan melaksanakan
kebijakan moneternya. Secara khusus perkembangan sektor keuangan sangat
mempengaruhi pelaksanaan kebijakan moneter karena mekanisme transmisi
kebijakan moneter pada dasarnya terjadi melalui sektor keuangan sesuai
fungsinya sebagai lembaga intermediasi.
Perkembangan kebijakan moneter di Indonesia cukup beragam yang
dapat dilihat pada tiga periode waktu yang berbeda yaitu tahun 1968-1972,
periode 1973-1982, periode 1983-1997 dan periode setelah krisis yaitu setelah
tahun 1997 (Solikin, 2000).
2.2.1.1. Periode Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi (1968-1972)
Pada akhir tahun 1960-an perkembangan ekonomi dan keuangan terus
berkembang.
Awalnya kebijakan pemerintah lebih diprioritaskan untuk
40
pemulihan stabilitas ekonomi yang sempat terancam pada pertengahan tahun
1960-an.
Pengeluaran anggaran diseleksi secara ketat, defisit anggaran
pemerintah dikendalikan dan pembiayaan diupayakan dari pinjaman lunak luar
negeri sehingga tidak mengancam stabilitas ekonomi.
Di sisi moneter,
pencetakan uang untuk pembiayaan defisit anggaran pemerintah dihentikan dan
jumlah uang beredar dikendalikan. Dengan upaya ini stabilitas ekonomi secara
cepat dipulihkan yang terlihat dari menurunnya laju inflasi hingga dibawah 10
persen.
Penataan ekonomi khususnya di sektor moneter dan perbankan lebih
disempurnakan dengan dikeluarkannya UU. No. 13 tahun 1963 tentang Bank
Sentral.
Dalam hal ini tugas Bank Indonesia adalah membantu pemerintah
dalam mengatur, menjaga dan memelihara stabilitas nilai rupiah dan mendorong
kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.
2.2.1.2. Periode Pertumbuhan Ekonomi melalui Kontribusi Minyak
(1973-1982)
Peningkatan
kegiatan
perekonomian
nasional
dalam
periode
ini
mendapat dukungan dari hasil minyak yang meningkat khususnya pada tahun
1970-an. Kondisi ini memberikan dampak positif dan negatif dimana pada satu
sisi hasil minyak menjadi sumber penerimaan pemerintah dalam membiayai
pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan di sisi fiskal sehingga
mendorong pertumbuhan kegiatan sektor riil. Namun di sisi lain peningkatan
penerimaan
devisa
hasil
minyak
dan
pengeluaran
pemerintah
telah
menyebabkan ekspansi jumlah uang beredar dari sisi fiskal yang mengharuskan
otoritas moneter untuk melakukan penyerapan ekspansi fiskal tersebut untuk
41
mencegah timbulnya kelebihan likuiditas dalam perekonomian yang dapat
mendorong peningkatan inflasi.
Oleh karena itu, pada tahun 1974 pemerintah mulai menempuh kebijakan
kredit selektif dari sisi moneter dengan tujuan untuk mengendalikan jumlah uang
beredar. Langkah utama yang ditempuh adalah melakukan pengaturan terhadap
besarnya ekspansi kredit yang boleh disalurkan oleh perbankan atau sering
dikenal dengan pagu ekspansi aktiva neto.
Meskipun peran sektor perbankan menjadi berkurang karena kelangkaan
sumber dana akibat menurunnya penghimpunan dana masyarakat dan adanya
pembatasan dalam pemberian kredit, kegiatan investasi terus berlanjut
khususnya investasi pemerintah.
Dalam rangka memberikan keleluasaan
kepada perbankan terutama dalam pemberian kredit kepada sektor swasta, pada
tahun 1978 Bank Indonesia menurunkan reserve requirement bank dari 30
persen menjadi 15 persen.
2.2.1.3. Periode Deregulasi, Debirokratisasi dan Liberalisasi Ekonomi
(1983-1997)
Pada awal dekade 1980-an harga minyak di pasar dunia mengalami
kemerosotan akibat adanya kecenderungan terjadinya resesi dunia sehingga
menurunkan penerimaan negara.
Oleh karena itu, pemerintah melakukan
serangkaian kebijakan reformasi di bidang ekonomi untuk mengatasi ancaman
krisis dengan tujuan untuk menumbuhkan, mendorong dan meningkatkan peran
sektor swasta dalam pembangunan ekonomi.
Kebijakan reformasi ini mulai
diterapkan sejak awal dekade 1980-an dalam bentuk kebijakan deregulasi,
debirokratisasi dan liberalisasi baik di sektor perbankan dan keuangan,
perdagangan, investasi dan sebagainya.
42
Pada tanggal 1 Juni 1983 pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi
perbankan yang berpengaruh pada pesatnya perkembangan sektor perbankan
dan keuangan saat itu yang dapat dilihat dari jumlah bank yang beroperasi,
besarnya dana masyarakat yang dapat dimobilisasi baik dalam bentuk giro,
tabungan dan deposito, maupun kredit dan jenis pembiayaan lainnya. Di pasar
keuangan juga terjadi perkembangan yang pesat baik dari sisi volume transaksi
keuangan maupun berbagai produk keuangan (saham, obligasi, surat-surat
berharga dan produk-produk derivatif) yang diperdagangkan. Dengan kondisi ini,
semakin banyak dana yang berputar di sektor keuangan dan mempengaruhi
keeratan hubungan antara uang, inflasi dan output.
Kebijakan moneter pun mengalami perubahan dimana kebijakan moneter
sebelumnya dilakukan secara langsung dengan selection credit policy beralih ke
cara tidak langsung dan berorientasi pasar dengan melakukan operasi pasar
terbuka. Pengendalian moneter diarahkan pada jumlah uang beredar (M1 dan
M2) sebagai sasaran antara dan uang primer (M0) sebagai sasaran operasional.
Sementara itu, operasi di pasar uang dilakukan melalui lelang SBI yang mulai
diterbitkan pada tahun 1984 sebagai instrumen utama kebijakan moneter.
Pengendalian likuiditas juga dibantu dengan intervensi di pasar uang rupiah
dengan cara memberi pinjaman jangka pendek atau overnight hingga tujuh hari
(Warjiyo, 2000).
Dalam perkembangan selanjutnya pemerintah mengeluarkan paket
kebijakan 27 Oktober 1988 yang secara umum merupakan penyempurnaan
kebijakan bidang keuangan, moneter dan perbankan. Dalam upaya peningkatan
efektivitas pengendalian moneter, langkah yang ditempuh diantaranya adalah
penurunan reserve requirement dari 15 persen menjadi 2 persen. Di bidang
perbankan, dilakukan penciptaan iklim persaingan yang lebih kondusif melalui
pelonggaran izin pendirian bank-bank baru dan bank campuran.
43
Sejalan dengan pesatnya perkembangan perbankan dan pasar keuangan
di Indonesia, timbul permasalahan baru dalam pelaksanaan kebijakan moneter
khususnya berkaitan dengan upaya pengendalian jumlah uang beredar (M1 dan
M2). Operasi dan produk perbankan baik dalam mobilisasi dana maupun dalam
pembiayaan dunia usaha tidak hanya terbatas pada rekening giro, tabungan,
deposito ataupun kredit tetapi juga telah bervariasi dalam berbagai bentuk
instrumen pasar seperti negotiable certificate of deposits, commercial papers,
promissory notes dan di sisi lain perkembangan pasar modal juga cukup pesat
baik dalam bentuk volume transaksi maupun jenis surat-surat berharga yang
diperdagangkan. Akibatnya terjadi kecenderungan adanya pelepasan keterkaitan
antara sektor keuangan dan sektor riil yang menyebabkan semakin renggangnya
hubungan antara uang beredar dengan inflasi dan output riil khususnya dalam
jangka pendek.
Sebagai dampak dari liberalisasi sektor keuangan, aliran dana yang
masuk ke perekonomian Indonesia khususnya pinjaman luar negeri swasta
menjadi sangat besar. Pada satu sisi, besarnya aliran dana luar negeri tersebut
mampu menutup kesenjangan tabungan dan investasi sehingga dapat
mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional.
Namun di sisi lain aliran dana luar negeri yang pada umumnya berupa pinjaman
luar negeri swasta berjangka pendek, tidak memperhitungkan risiko perubahan
nilai tukar dan banyak dimanfaatkan untuk membiayai proyek-proyek swasta
yang berjangka panjang dan tidak menghasilkan devisa.
Dari sisi moneter,
mobilitas aliran dana luar negeri tersebut juga mempersulit pelaksanaan
kebijakan moneter oleh Bank Indonesia.
Untuk menghindari dampak negatif dari ekspansi uang beredar yang
berasal dari aliran dana luar negeri tersebut terhadap peningkatan inflasi dan
kestabilan nilai tukar rupiah, Bank Indonesia melakukan penyerapan kelebihan
44
likuiditas dalam perekonomian sehingga mendorong kenaikan suku bunga dalam
negeri. Namun kenaikan suku bunga ini semakin mendorong masuknya aliran
dana luar negeri khususnya dalam bentuk surat-surat berharga yang berjangka
pendek dan akibatnya jumlah pinjaman luar negeri swasta dalam berbagai
bentuk semakin besar jumlahnya dan hal ini menjadi penyebab utama krisis
ekonomi yang terjadi di Indonesia.
2.2.1.4. Periode Setelah Krisis Ekonomi
Krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997 pada dasarnya dipicu oleh
adanya kelangkaan dana perbankan sebagai akibat penarikan dana oleh
masyarakat yang sangat besar dan melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS
yang pada akhirnya semakin menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap
rupiah yang membuat nilai tukar rupiah terus menurun. Dengan pertimbangan
pengalaman tersebut, maka perlu diwujudkan sistem perekonomian yang lebih
tangguh.
Kebijakan moneter yang merupakan salah satu bagian penting dari
kebijakan pembangunan ekonomi nasional harus lebih diarahkan pada upaya
menciptakan dan menjaga stabilitas moneter.
Oleh karena itu pemerintah
mengeluarkan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai pengganti
UU No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral (Bank Indonesia, 2000). Dalam
landasan hukum yang baru ini Bank Indonesia mempunyai tujuan yang lebih
terfokus yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Hal ini berbeda
dengan UU No. 13/1968 yang menyatakan bahwa tugas Bank Indonesia adalah
membantu pemerintah dalam mencapai multiple objectives (beberapa tujuan)
yaitu menjaga dan memelihara stabilitas nilai rupiah, mendorong kelancaran
produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna
meningkatkan taraf hidup rakyat.
45
Kestabilan nilai rupiah secara teoritis mempunyai makna ganda yaitu
stabilitas harga barang dan jasa (inflasi) di dalam negeri dan stabilitas harga
mata uang domestik (nilai tukar).
Warjiyo (2000) menyatakan bahwa dalam
jangka panjang, pencapaian stabilitas harga akan mendorong stabilitas nilai tukar
dan
kestabilan
nilai
rupiah
ini
merupakan
prasyarat
bagi
tercapainya
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Untuk mencapai tujuan diatas, Bank Indonesia melaksanakan tiga tugas
pokok, yaitu (1) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, (2) mengatur
dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, dan (3) mengatur dan mengawasi
sistem perbankan. Pada dasarnya pelaksanaan ketiga tugas pokok ini
mempunyai keterkaitan erat dalam upaya pencapaian kestabilan nilai rupiah
tersebut.
Selanjutnya sesuai amandemen UU No.3 tahun 2004 ditegaskan bahwa
sasaran laju inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter ditetapkan oleh
pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
Perubahan ini
bertujuan untuk meningkatkan koordinasi antara kebijakan moneter Bank
Indonesia dengan kebijakan fiskal yang ditempuh pemerintah dalam mencapai
sasaran ekonomi makro. Disamping itu, perubahan tersebut dimaksudkan untuk
memperkuar komitmen dan dukungan pemerintah dalam pencapaian sasaran
inflasi oleh Bank Indonesia.
2.2.2. Penerapan Inflation Targeting di Indonesia
Pemberlakuan Undang-undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia membawa perubahan mendasar pada perumusan dan pelaksanaan
kebijakan moneter di Indonesia.
Undang-undang ini memberikan landasan
hukum yang jelas menyangkut kewenangan dan independensi Bank Indonesia
dalam melaksanakan tugas di bidang moneter yaitu mencapai dan memelihara
46
kestabilan nilai rupiah. Undang-undang tersebut secara implisit mengamanatkan
kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia berdasarkan pada kerangka
kerja yang dikenal dengan sebutan Inflation Targeting.
Prinsip dasar yang melandasi kerangka kerja Inflation Targeting tersebut
adalah sasaran akhir dari kebijakan moneter diutamakan untuk mencapai dan
memelihara laju inflasi yang rendah dan stabil. Hal ini didasarkan pada dua
pertimbangan pokok, yaitu (1) laju inflasi yang tinggi menimbulkan biaya sosial
yang harus ditanggung oleh masyarakat karena menurunnya daya beli atas
pendapatan yang diperolehnya maupun meningkatnya ketidakpastian yang dapat
mempersulit perencanaan usaha dan memperburuk kegiatan ekonomi, dan (2)
perkembangan teori ekonomi dalam literatur dan temuan empiris di berbagai
negara menunjukkan bahwa kebijakan moneter dalam jangka menengahpanjang hanya berpengaruh pada inflasi dan bukan pada pertumbuhan ekonomi
meskipun belum terdapat kesepakatan mengenai bagaimana pengaruh kebijakan
moneter terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.
Pokok-pokok konsep dasar penerapan inflation targeting di Indonesia
adalah sebagai berikut:
1. Sasaran Inflasi
Sejak tahun 2000, Bank Indonesia menetapkan dan mengumumkan
sasaran inflasi yang akan dicapai melalui kebijakan moneternya. Sasaran inflasi
ditetapkan untuk jangka menengah-panjang (3-5 tahun ke depan), yang untuk
saat ini adalah 6 persen pada tahun 2006. Jenis inflasi yang digunakan adalah
Indeks Harga Konsumen (IHK), terutama untuk memudahkan komunikasi dengan
Pemerintah dan masyarakat.
Akan tetapi, untuk dasar perumusan kebijakan
moneter secara internal, Bank Indonesia mengembangkan jenis inflasi yang
dapat dikendalikan oleh kebijakan moneter dan dikenal dengan sebutan inflasi
inti.
Terkait dengan penetapan inflasi, amandemen UU No. 3 tahun 2004
47
terhadap UU No. 23 tahun 1999, sasaran inflasi yang semula ditetapkan sendiri
oleh Bank Indonesia ditetapkan oleh pemerintah setelah berkoordinasi dengan
Bank Indonesia.
2. Kebijakan moneter mengarah ke depan
Kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia diarahkan untuk
mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan ke depan.
Pentingnya kebijakan
moneter yang berorientasi masa depan dilatarbelakangi fakta empiris bahwa
terdapat tenggang waktu yang relatif lama dari pengaruh kebijakan moneter
terhadap perkembangan berbagai variabel ekonomi-keuangan dan sasaran akhir
inflasi.
Orientasi kebijakan moneter yang demikian mengharuskan bank sentral
untuk dapat ; (1) memprakirakan pergerakan inflasi ke depan untuk dibandingkan
dengan sasaran yang ditetapkan, (2) mengetahui seberapa lama tenggang waktu
dari pengaruh kebijakan moneter saat ini dengan infllasi di masa yang akan
datang, dan (3) mengetahui dengan baik bagaimana mekanisme transmisi
kebijakan moneter dalam mempengaruhi inflasi dan perekonomian. Untuk itu,
Bank Indonesia telah mengembangkan model-model proyeksi ekonomi, nilai
tukar dan inflasi serta berbagai penelitian yang diperlukan untuk memperkuat
perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter secara foorward looking.
3. Transparansi
Penjelasan secara periodik mengenai pelaksanaan kebijakan moneter
dilakukan oleh Bank Indonesia baik pada setiap awal tahun, triwulan, bulanan
maupun mingguan.
Dalam penjelasan setiap awal tahun dan triwulanan
dikemukakan mengenai perkembangan pencapaian inflasi dan pelaksanaan
kebijakan moneter yang telah dilakukan serta proyeksi ekonomi dan inflasi ke
depan dan arah kebijakan moneter yang akan ditempuh sebagaimana dibahas
dan diputuskan dalam Rapat Dewan Gubernur.
48
4. Akuntabilitas
Sesuai UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
diubah dengan UU No. 3 tahun 2004, Bank Indonesia diwajibkan untuk
menyampaikan laporan tahunan dan laporan triwulanan mengenai pelaksanaan
tugas dan wewenang termasuk kebijakan moneter kepada DPR.
Laporan
tersebut dievaluasi DPR dalam rangka penilaian secara tahunan atas kinerja
dewan gubernur dan Bank Indonesia.
Perubahan dalam undang-undang
tersebut dimaksudkan untuk memperkuat mekanisme akuntabilitas pelaksanaan
tugas dan wewenang Bank Indonesia, termasuk dalam pelaksanaan kebijakan
moneter.
Selanjutnya, berdasarkan sasaran inflasi yang ditetapkan serta proyeksi
pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, suku bunga dan variabel ekonomi makro
lainnya, maka Bank Indonesia dapat memperkirakan permintaan uang yang
sesuai dengan kebutuhan riil perekonomian dan memperhitungkan pertumbuhan
jumlah uang beredar (M1 dan M2) yang dibutuhkan masyarakat.
Dengan
mengendalikan uang primer (M0) sebagai sasaran operasional yang dapat
ditentukan baik secara tahunan, kuartalan, bulanan maupun mingguan, maka
jumlah uang beredar di masyarakat dapat dipengaruhi.
Berdasarkan sasaran uang primer yang ditetapkan, Bank Indonesia
melakukan
Operasi
Pasar
Terbuka
(OPT)
sebagai
instrumen
utama
pengendalian moneter melalui tiga cara yaitu (1) lelang SBI, (2) Fasilitas Bank
Indonesia, dan (3) sterilisasi/intervensi di pasar valuta asing. Sebagai contoh,
jika Bank Indonesia ingin mengurangi jumlah uang beredar (kebijakan uang
ketat) maka Bank Indonesia mendorong masyarakat untuk membeli SBI dengan
cara menaikkan suku bunga SBI.
Sebaliknya jika pemerintah ingin ekspansi
uang beredar maka Bank Indonesia menarik SBI yang berada di tangan
49
masyarakat dengan cara membelinya. Agar semakin banyak SBI yang dijual,
maka Bank Indonesia menurunkan tingkat suku bunga SBI.
Instrumen utama kebijakan moneter lain yang dilakukan Bank Indonesia
adalah melalui fasilitas diskonto yaitu fasilitas pinjaman yang diberikan Bank
Indonesia kepada bank umum.
Ekspansi jumlah uang beredar diupayakan
melalui peningkatan daya ekspansi kredit bank umum melalui penurunan tingkat
bunga pinjaman fasilitas diskonto, dan sebaliknya.
Giro wajib minimum mempengaruhi daya ekspansi kredit.
Jika Bank
Indonesia menurunkan giro wajib minimum maka daya ekspansi kredit bank
umum akan meningkat sehingga jumlah uang beredar bertambah. Sebaliknya
jika giro wajib minimum ditingkatkan maka daya ekspansi kredit bank umum
menurun dan jumlah uang beredar berkurang.
Sementara itu, imbauan
digunakan oleh Bank Indonesia dengan tujuan agar semua bank mengikuti
langkah kebijakan moneter yang diinginkan Bank Indonesia.
Meskipun berbagai langkah persiapan dan penguatan kebijakan moneter
telah dilakukan Bank Indonesia, penerapan kerangka inflation targeting di
Indonesia tidaklah mudah karena terkait dengan kondisi perekonomian dan
sistem perbankan yang sedang mengalami perubahan struktural. Permasalahan
fungsi intermediasi perbankan yang belum berjalan optimal mempengaruhi
efektivitas mekanisme transmisi dan kebijakan moneter yang ditempuh Bank
Indonesia. Dengan kondisi demikian, langkah-langkah kebijakan moneter Bank
Indonesia misalnya perubahan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tidak
selalu dapat secara efektif mempengaruhi perkembangan suku bunga perbankan
maupun berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan secara keseluruhan yang
diperlukan dalam mencapai sasaran inflasi yang telah ditetapkan.
50
2.2.3. Beberapa Studi Terdahulu
Alkadri (1999) menganalisis tentang sumber-sumber pertumbuhan
Indonesia selama 1969-1996 dengan menggunakan metode regresi kuadran
terkecil (OLS). Model yang diaplikasikan dalam analisis adalah perluasan model
pertumbuhan Harrod-Domar dan Rana Dowling dengan memasukkan 11 variabel
penjelas pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dari hasil penaksiran model
diperoleh hasil bahwa utang luar negeri pemerintah, utang luar negeri swasta,
investasi domestik, eskpor barang, tabungan pemerintah, tabungan swasta,
pajak dan angkatan kerja memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Sementara itu variabel investasi asing, impor barang dan pengeluaran
pemerintah memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dilihat dari angka signifikansi maka meskipun utang luar negeri
pemerintah dan utang luar negeri swasta memberikan dampak positif namun
tidak dapat diandalkan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi selama 19691996. Begitu juga dengan investasi asing dan pengeluaran pemerintah.
Dalam kenyataannya kondisi ini dipicu oleh ketidaktepatan penggunaan
dana, dimana pemerintah mengalokasikan utang untuk membangun infrastruktur
fisik dan non fisik sedangkan swasta mengucurkan utang yang diperoleh untuk
membangun sektor properti dan sektor lain yang kurang produktif dalam jangka
pendek.
Padahal sebagian besar utang luar negeri berjangka waktu
pengembalian yang relatif pendek (3-5 tahun) dengan bunga relatif tinggi (5-8
persen).
Sebaliknya ekspor barang (migas dan non migas) menjadi kunci utama
sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 1969-1996. Hal ini dibuktikan
oleh hasil olahan data dimana variabel ekpor berdampak positif terhadap
pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Sumber pokok pertumbuhan ekonomi
51
lainnya adalah tabungan pemerintah, tabungan swasta, investasi domestik dan
pajak.
Disamping itu angkatan kerja ternyata menjadi salah satu sumber
pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 1969-1996 meskipun secara statistik
kurang berarti. Artinya apabila potensi sumberdaya dapat dikembangkan secara
optimal maka besar kemungkinan variabel ini menjadi sumber utama
pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa mendatang.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997
memberikan dampak yang signifikan terhadap kinerja perekonomian Indonesia.
Terkait dengan itu Yudanto (1999) menganalisis Dampak Krisis Moneter
terhadap Sektor Riil. Hal ini dilatarbelakangi kondisi penurunan pertumbuhan
produksi riil sektor-sektor perekonomian sejak krisis melanda Indonesia. Sektorsektor yang selama ini memiliki pangsa cukup besar terhadap PDB seperti sektor
industri pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran, bangunan dan keuangan
telah mengalami kontraksi secara signifikan.
Hipotesis yang digunakan adalah daya tahan setiap sektor dari tekanan
nilai tukar dan tingginya suku bunga sangat tergantung pada kuatnya keterkaitan
tingkat produksi sektor tersebut dengan faktor depresiasi dan suku bunga,
dimana kedua faktor tersebut merupakan unsur biaya dalam proses produksi .
Untuk membuktikan hipotesis tersebut dilakukan uji korelasi yang melihat
seberapa jauh keterkaitan antara fluktuasi nilai tukar dan suku bunga dengan
pertumbuhan produksi. Sedangkan untuk menguji tingkat kepekaannya dihitung
dari koefisien elastisitas faktor-faktor tersebut.
Dari hasil pengujian diketahui bahwa sektor yang terkait cukup erat
dengan faktor depresiasi nilai kurs adalah sektor bangunan, industri, transportasi
dan sektor bangunan.
Sedangkan dari tingkat elastisitasnya ternyata sektor
industri menjadi sektor yang paling elastis terhadap perubahan nilai kurs. Dua
penyebab utamanya adalah saratnya kandungan input yang diimpor dan
52
besarnya sumber pembiayaan dari luar negeri. Dari sisi fluktuasi suku bunga
diketahui bahwa sektor bangunan, industri, transportasi dan perdagangan
merupakan sektor yang memiliki kaitan paling erat dengan gejolak suku bunga.
Dilihat dari elastisitasnya maka sektor bangunan dan keuangan merupakan
sektor yang paling elastis terhadap perubahan suku bunga.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa jenis usaha sektor riil yang
memiliki basis sumberdaya yang kuat, berorientasi ekspor, sumber pembiayaan
non rupiah yang rendah serta mempunyai korelasi maupun elastisitas yang
rendah terhadap perubahan suku bunga maupun nilai tukar terbukti mampu
bertahan dalam krisis bahkan masih mampu memberikan pertumbuhan secara
positif selama krisis.
Sejalan dengan perubahan tatanan perekonomian dunia yang semakin
menglobal, maka pembangunan ekonomi Indonesia harus dibenahi sehingga
selaras dengan liberalisasi dan dapat memberikan manfaat positif terhadap
perekonomian. Hal ini dianalisis oleh Gonarsyah (2002) dengan judul Dampak
Liberalisasi Perdagangan terhadap Kinerja Perekonomian Indonesia dan
Antisipasinya menghadapi Era Abad Asia Pasifik.
Dengan menggunakan
kerangka model makroekonomi Keynes-Klein atau yang dikenal model mikromakroekonomi memberikan hasil bahwa secara keseluruhan, krisis ekonomi
yang
terjadi
menyebabkan
terpuruknya
perekonomian
nasional
seperti
ditunjukkan dari memburuknya pertumbuhan beberapa indikator makroekonomi
yaitu penurunan pendapatan nasional, neraca pembayaran Indonesia, nilai tukar,
konsumsi agregat, distribusi pendapatan dan peningkatan inflasi. Namun satu
hal yang menarik adalah saat hampir semua sektor mengalami penurunan,
sektor pertanian justru menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi.
Implikasi kebijakan yang dapat ditempuh untuk mengatasi krisis ekonomi
di dalam atmosfir liberalisasi perdagangan adalah memprioritaskan investasi
53
pada sektor pertanian dan perdagangan yang disertai dengan kebijakan
penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia dan tetap mempertahankan
restriksi perdagangan pada komoditi strategis seperti beras dan gula. Kebijakan
ini diperkirakan mampu menumbuhkan PDB, mampu mengurangi defisit neraca
perdagangan dan jasa, meningkatkan neraca pembayaran dan menstabilkan nilai
tukar serta mampu memperbaiki pemerataan pendapatan.
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter melakukan perubahan yang
cukup signifikan dengan mengeluarkan UU No. 23/1999 yang menyatakan
bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah. Undang-undang ini melandasi upaya penyempurnaan kebijakan moneter
di Indonesia dalam kerangka kerja pentargetan inflasi (inflation targeting).
Nuryati (2204) dalam tesisnya tentang ”Pelaksanaan Kebijakan
Moneter
Pentargetan Inflasi di Indonesia” menunjukkan bahwa pelaksanaan UU No.
23/1999 belum dapat dilaksanakan secara optimal.
Tugas, fungsi dan
wewenang Bank Indonesia belum terkoordinasi dalam sebuah struktur organisasi
yang efektif sehingga peran Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan
moneter masih terbatas yang menyebabkan tujuan kebijakan sulit tercapai.
Ketidakefektifan dapat terlihat pada belum tercapainya prinsip independensi,
transparansi, akuntabilitas dan kredibilitas dalam penyelenggaraan kebijakan.
Dengan menggunakan metode analisis Impulse Response Function (IRF)
dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) melalui Vector Error
Correction Model (VECM), diperoleh hasil bahwa kebijakan moneter selama
krisis hanya berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi jangka pendek dan
harga dalam jangka panjang tetapi rendah.
Guncangan suku bunga
mempengaruhi nilai tukar relatif kecil dan variabilitas nilai tukar lebih ditentukan
oleh nilai tukar itu sendiri yang sesuai dengan sistem nilai tukar di Indonesia
mengambang bebas.
Variabilitas suku bunga dipengaruhi oleh adanya
54
guncangan permintaan uang dan agregat suplai. Sedangkan variabilitas harga
dipengaruhi oleh permintaan uang.
Kebijakan moneter mempengaruhi harga
memerlukan lag selama 6 bulan.
Implikasi umum hasil penelitian ini adalah perlu penyempurnaan kembali
kebijakan moneter inflation targeting melalui arah kebijakan yang lebih
transparan sehingga dampak nyata terhadap perekonomian lebih terasa.
Kebijakan moneter dengan pengendalian harga tetap dipertahankan apabila di
masa mendatang Bank Indonesia mempunyai instrumen yang sepenuhnya
dibawah kendali Bank Indonesia.
Namun kebijakan moneter dengan
mengendalikan jumlah uang beredar justru lebih tepat digunakan selama proses
pemulihan ekonomi.
Perubahan penting yang juga dilakukan Indonesia pasca krisis adalah
peralihan sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating system)
menjadi sistem mengambang penuh atau bebas (freely floating system). Sistem
nilai tukar baru ini diterapkan pada tanggal 14 Agustus 1997 sehingga
menyebabkan posisi nilai tukar rupiah ditentukan oleh mekanisme pasar.
Sistem nilai tukar mengambang penuh atau bebas ini mengasumsikan
bahwa intervensi pemerintah tidak ada dalam pasar valuta asing. Artinya dalam
sistem nilai tukar bebas ini tidak ada kewajiban Bank Indonesia untuk melakukan
intervensi secara sistematis sehingga nilai tukar rupiah bebas bergerak dalam
merespon kekuatan pasar.
Penelitian yang dilakukan oleh Suhendra (2001) bertujuan untuk
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar rupiah pasca
penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas yaitu faktor fundamental
makroekonomi, faktor resiko dan faktor ekspektasi nilai tukar di masa depan.
Dengan menggunakan dua model yaitu model persamaan kointegrasi dan model
dinamis (ECM) diperoleh hasil bahwa perbedaan tingkat suku bunga, tingkat
55
harga relatif, cadangan devisa, investasi langsung dan tidak langsung luar
negeri, pertumbuhan utang luar negeri, pembayaran utang swasta, ekspor,
indeks resiko dan ekspektasi nilai tukar akan datang mempunyai korelasi
terhadap nilai tukar dalam jangka pendek dan jangka panjang. Artinya seluruh
faktor fundamental diatas berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah terhadap
dollar. Sedangkan PDB riil, penawaran uang, dan impor mempunyai korelasi
terhadap nilai tukar hanya dalam jangka panjang.
Hasil temuan empiris dalam studi ini memunculkan beberapa implikasi
pokok kebijakan pengelolaan ekonomi makro jangka pendek dan jangka panjang
diantaranya : (1) melakukan upaya menciptakan stabilitas sosial-politik dan
penciptaan rasa aman dalam berinvestasi, (2) menjaga kestabilan tingkat harga
yang merupakan cerminan dari inflasi, (3) melakukan upaya peningkatan ekspor
baik migas maupun non migas, (4) melakukan penjadwalan pembayaran utang
resmi pemerintah dan penudaan pembayaran utang luar negeri swasta, dan (5)
melakukan upaya pengurangan ketergantungan terhadap utang luar negeri yang
dapat menganggu stabilitas nilai tukar pada saat pembayaran utang.
Deregulasi moneter di Indonesia dan kaitannya dengan tingkat suku
bunga menjadi topik analisis Wiranta (1995). Analisis ini dilatarbelakangi kondisi
riil bahwa dalam setiap kegiatan ekonomi, tingkat suku bunga menjadi perhatian
kreditur dan debitur dimana kedua belah pihak menginginkan tingkat suku bunga
yang wajar. Disamping itu tingkat suku bunga merupakan salah satu indikator
antara bagi otoritas moneter dalam mencapai sasaran akhir kebijakan moneter.
Oleh karena itu secara lebih rinci Wiranta ingin mengetahui lebih jauh tentang
kebijakan moneter yang pernah dilakukan pemerintah dan kaitannya dengan
tingkat suku bunga.
Dari hasil kajian diketahui bahwa tingkat suku bunga di Indonesia pada
masa mendatang masih tetap tinggi yang disebabkan antara lain oleh laju inflasi
56
yang masih tinggi, overhead cost yang tinggi, faktor internal dan eksternal serta
ketatnya persaingan antar bank. Disamping itu kebijakan moneter tahun 1983
merupakan awal deregulasi yang sangat penting karena bank-bank pemerintah
diberikan keleluasaan menentukan suku bunga tanpa intervensi pemerintah.
Diperkenalkannya SBI dan SBPU sebagai instrumen kontrol pengembangan
moneter memberikan hasil cukup positif dimana jumlah bank meningkat tajam,
begitu pula jumlah penyimpan dana, volume kredit dan tabungan. Selanjutnya
manajemen perbankan dikelola secara profesional dan efisien sehingga dapat
melakukan ekspansi usaha.
Berhubung tingkat suku bunga yang tinggi kurang menguntungkan bagi
pertumbuhan ekonomi, maka beberapa kebijakan yang perlu dilakukan
diantaranya (1) kontrol moneter secara agregat guna menjaga stabilitas seperti
pengendalian laju inflasi, jumlah uang beredar, dan tabungan masyarakat, (2) BI
sebagai otoritas moneter berkewajiban menyehatkan persaingan pasar dan
melakukan intervensi jika bank menyimpang dari aturan yang ditetapkan, (3)
pinjaman luar negeri harus diatur secara lebih ketat, (4) merangsang pemasukan
kembali tabungan nasional yang ditahan dalam bentuk valuta asing, dan
(5) pemberlakukan perbedaan tingkat suku bunga kepada pelaku ekonomi.
Hamdani (2003) dalam topik Pengaruh Aliran Modal Swasta Jangka
Pendek terhadap Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Laju Inflasi di Indonesia
membangun 3 model ekonometrik yaitu (1) model perilaku aliran modal swasta,
(2) model perilaku nilai tukar, dan (3) model perilaku inflasi.
Menggunakan
metode persamaan simultan yang dianalisis dengan two stage least square
memberikan hasil bahwa laju inflasi dan nilai tukar mempunyai hubungan yang
timbal balik (2 arah).
Laju inflasi berpengaruh positif terhadap perubahan nilai tukar rupiah/US$
dengan nilai koefisien 1.01.
Hal ini sejalan dengan teori ”purchasing power
57
parity” yang menyebutkan bahwa laju inflasi doemstik yang lebih besar dari laju
inflasi luar negeri akan melemahkan nilai tukar mata uang domestik. Sedangkan
pengaruh nilai tukar terhadap inflasi juga positif dengan nilai koefisien lebih kecil
yaitu 0.72 yang berarti jika nilai tukar rupiah terdepreasiasi sebesar 1 persen
maka laju inflasi akan meningkat sebesar 0.72 persen. Pengaruh perubahan
nilai tukar terhadap laju inflasi yang positif merupakan pass-trough effect dari
barang-barang dan bahan baku impor yang harganya meningkat sehingga
mengakibatkan meningkatnya biaya produksi.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap laju inflasi adalah pertumbuhan
produk domestik bruto riil dan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia. Pengaruh
pertumbuhan PDB riil menunjukkan arah positif dengan nilai koefisien sebesar
0.46 persen. Angka ini mengisyaratkan bahwa kenaikan tingkat output riil tidak
bisa meredam laju inflasi karena perilaku masyarakat yang tidak optimis
mengharapkan laju inflasi di masa yang akan datang menurun sehingga
walaupun terjadi kenaikan output riil, laju inflasi tetap meningkat.
Untuk mengatasi laju inflasi dari sisi permintaan tersebut, maka melalui
kebijakan Bank Indonesia menaikkan suku bunga SBI.
Hasil analisis
membuktikan hal tersebut dimana suku bunga SBI berpengaruh negatif terhadap
laju inflasi dengan nilai koefisien sebesar -0.005.
Artinya sertifikat Bank
Indonesia merupakan instrumen yang cukup efektif mengendalikan inflasi
terutama demand inflation. Dasar pemikran dan mekanismenya adalah ketika
terjadi kelebihan permintaan yang diakibatkan peningkatan produk domestik
bruto riil yang berarti masyarakat memiliki pendapatan yang lebih tinggi, maka
dilakukan kebijakan meningkatkan suku bunga SBI yang berarti return yang bisa
didapatkan masyarakat juga meningkat (cateris paribus) sehingga masyarakat
tertarik menggunakan uang untuk membeli SBI yang selanjutnya mengurangi
perilaku konsumtif masyarakat dan akhirnya meredam laju inflasi.
58
Studi yang dilakukan oleh Julaihah (2004) tentang Analisis Dampak
Kebijakan
Moneter
terhadap
Variabel
Makroekonomi
di
Indonesia
mengaplikasikan Vector Error Correction Model dalam analisisnya. Berdasarkan
hasil impulse response yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak
merespon adanya kejutan satu standar deviasi dari uang primer. Sedangkan
pengaruh kejutan uang primer terhadap inflasi yang terlihat cukup signifikan,
ternyata menghasilkan prize puzzle. Prize puzzle merupakan kondisi dimana
ekspansi moneter yang dilakukan oleh otoritas moneter ternyata direspon
dengan penurunan inflasi.
Penggunaan suku bunga SBI sebagai variabel kebijakan ternyata
memberikan hasil yang lebih baik daripada penggunaan uang primer. Pada saat
suku bunga SBI dimasukkan dalam model, maka liquidity puzzle dan prize puzzle
dapat dihindari. Sehingga interpretasi ekonomi dari hasil impulse response lebih
mudah dan sesuai dengan teori. Penggunaan agregat moneter untuk kasus di
Indonesia ternyata hanya berdampak pada inflasi dan tidak memiliki pengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan variance decomposition, maka terlihat bahwa uang primer
tidak mampu memberikan kontribusi terhadap variasi pertumbuhan ekonomi,
uang primer hanya berkontribusi terhadap variabilitas inflasi. Sedangkan SBI
memiliki kemampuan untuk menjelaskan variabilitas pertumbuhan ekonomi dan
SBI terlihat lebih mampu memberi kontribusi terhadap pertumbuhan
ketika
horizon waktu semakin panjang. Hal yang menarik dari variance decomposition
adalah bahwa nilai tukar ternyata sangat dipengaruhi oleh variabel kebijakan,
yaitu baik ketika menggunakan variabel kebijakan uang primer maupun ketika
menggunakan SBI.
Jadi dapat disimpulkan bahwa adanya kejutan kebijakan
moneter ternyata direspon secara cepat oleh nilai tukar dibandingkan dengan
variabel-variabel ekonomi makro yang lain.
59
Khusus terkait dengan nilai tukar, Ekananda Mahyus (2004) melakukan
studi tentang Analisis Pengaruh Volatilitas Nilai Tukar pada Ekspor Komoditi
Manufaktur di Indonesia. Dengan menggunakan Non Linear Seemingly Unrelated
Regression di peroleh hasil bahwa komoditi manufaktur dengan kandungan impor
tinggi akan terkena dampak yang berbeda, dibandingkan dengan komoditi
manufaktur dengan kandungan impor rendah. Artinya , terdapat perbedaan
dampak volatilitas nilai tukar dan nilai tukar pada nominal ekspor komoditi
manufaktur dengan kandungan impor yang berbeda.
Fluktuasi nilai tukar dan volatilitas nilai tukar rupiah memiliki elastisitas
yang berbeda pada setiap nilai ekspor komoditi. Pengaruh ini dapat saja
signifikan atau bahkan tidak signifikan sama sekali. Setiap komoditi yang
diekspor ke berbagai negara memerlukan waktu penyesuaian yang berbeda.
Adanya impor sebagai bahan baku untuk memproduksi komoditi ekspor akan
mempengaruhi performa ekspor sebagai akibat pengaruh dari nilai tukar dan
volatilitas nilai tukar.
Pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap nilai ekspor komoditi manufaktur
pada masa nilai tukar mengambang terkendali, secara proporsional, tidak
berbeda antara komoditi manufaktur kandungan impor tinggi dan kandungan
impor rendah. Pada periode ini, kebijakan pemerintah melakukan devaluasi dan
depresiasi nilai tukar, cukup efektif meningkatkan ekspor komoditi manufaktur.
Sementara itu
pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap nilai ekspor
komoditi manufaktur pada masa nilai tukar mengambang bebas, secara
proporsional, berbeda antara komoditi manufaktur kandungan impor tinggi dan
kandungan impor rendah. Pada periode ini, pemerintah melepas rentang
intervensi sama sekali, sehingga nilai tukar ditentukan oleh mekanisme pasar.
60
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat perbedaan waktu
penyesuaian antara komoditi dengan impor tinggi dan komoditi dengan impor
rendah. Dalam hal waktu penyesuaian pengaruh dari volatilitas nilai tukar, pada
masa nilai tukar mengambang terkendali, ekspor dengan kandungan impor tinggi
memiliki waktu penyesuaian yang lebih cepat dibandingkan dengan kandungan
impor rendah.
Pada masa nilai tukar mengambang bebas, ekspor dengan kandungan
impor tinggi memiliki waktu penyesuaian yang lebih cepat dibandingkan dengan
kandungan impor rendah (6.97 bulan). Waktu penyesuaian yang berbeda
disebabkan karena adannya perbedaan jumlah kandungan impor.
2.3. Kerangka Konseptual
Pencapaian target dalam sektor riil yaitu mendorong pertumbuhan
produksi dan kesempatan kerja merupakan salah satu sasaran akhir kebijakan
moneter.
Jalur transmisi kebijakan moneter ke sektor rill yang selama ini
diadopsi berdasarkan pada paradigma jumlah uang beredar. Otoritas moneter
mengandalkan efektivitas operasi pasar terbuka dalam mengatur jumlah reserve
money (uang primer) sebagai sasaran operasional yang ditujukan untuk
mempengaruhi jumlah M1,M2 dan M3 sebagai sasaran. Selanjutnya dengan
mengasumsikan stabilitas money multiplier dan money velocity, maka target
akhir dapat dicapai.
Namun dengan adanya kemajuan industri keuangan serta makin
terintegrasinya pasar keuangan dunia membuat paradigma lama tersebut
menjadi kurang tepat dan sebagai alternatif otoritas moneter menggunakan
indikator suku bunga sebagai target operasional disamping jumlah uang beredar.
Penggunaan indikator suku bunga ini lebih unggul dari segi kecepatan informasi
yang diterima serta besarnya (magnitude pass through).
61
Selanjutnya, kebijakan moneter tersebut ditransmisikan melalui jalur-jalur
transmisi sehingga mampu mempengaruhi kinerja sektor riil dan jalur yang relatif
kuat kemampuannya dalam mempengaruhi kinerja sektor riil adalah jalur suku
bunga, jalur harga aset melalui nilai tukar dan jalur kredit khususnya dari sisi jalur
pinjaman bank. Pada jalur suku bunga, otoritas moneter dapat mempengaruhi
sisi investasi. Kebijakan moneter kontraktif akan mendorong peningkatan suku
bunga yang mempengaruhi biaya modal dan mendorong penurunan investasi.
Sedangkan transmisi melalui jalur nilai tukar ini relatif efektif jika sistem nilai tukar
yang dianut adalah nilai tukar mengambang. Hal ini telah diterapkan di Indonesia
dimana saat ini otoritas moneter membiarkan pergerakan nilai tukar berdasarkan
permintaan dan penawaran di pasar valuta asing. Disamping itu, antara jalur
suku bunga dan nilai tukar terdapat keterkaitan yang cukup erat terutama dalam
kondisi perekonomian terbuka dimana kenaikan suku bunga domestik akan
mendorong perbedaan suku bunga domestik dengan suku bunga luar negeri
yang cenderung stabil, dan daya tarik margin yang tinggi akan mendongkrak
capital inflow yang mempu memberikan tekanan apresiatif pada mata uang
domestik.
Perubahan nilai tukar ini dengan sendirinya akan mempengaruhi
kinerja perdagangan.
Kemajuan sektor keuangan juga menjadi perhatian dalam penelitian ini
karena pada dasarnya transmisi moneter dijalankan oleh sektor keuangan
menuju ke sektor riil. Otoritas moneter melalui instrumen penetapan giro wajib
minimum (GWM) di bank sentral dapat mempengaruhi kondisi keuangan bank.
Apabila Bank Indonesia melakukan kebijakan moneter kontraktif melalui
peningkatan giro wajib minimum (GWM), maka cadangan yang ada di bank akan
mengalami penurunan sehingga loanable fund mengalami penurunan. Apabila
hal tersebut tidak diatasi dengan melakukan penambahan dana/pengurangan
surat-surat berharga maka kemampuan bank memberikan pinjaman akan
62
menurun dalam arti penawaran/alokasi kredit oleh perbankan juga akan
menurun. Terkait dengan peran intermediasi yang dijalankan sektor keuangan
dan melihat kondisi perekonomian di Indonesia dimana sebagian besar sektor riil
masih tergantung pada kredit maka penurunan jumlah penawaran kredit oleh
sektor
perbankan
akan
menurunkan
investasi
yang
terkendalanya peningkatan produksi atau skala usaha.
berdampak
pada
Secara lebih rinci,
kerangka konseptual penelitian ini disajikan pada Gambar 6.
Kebijakan Moneter (Ekspansif/Kontraktif)
Instrumen : OPT, GWM
Uang Primer
(2)
(3)
(1)
Suku Bunga Riil
Dana Pihak Ketiga
(3)
(2)
Alokasi Kredit
Nilai Tukar
(1)
(2)
(3)
Ekspor Netto
Investasi
Kinerja Sektor Riil
a. Produk domestik bruto
b. Penyerapan Tenaga Kerja
c. Tingkat pengangguran
Keterangan : (1) jalur suku bunga
(2) jalur harga aset melalui nilai tukar
(3) jalur kredit
Gambar 6. Kerangka Pemikiran Penelitian Dampak Kebijakan Moneter
terhadap Kinerja Sektor Riil di Indonesia
Download