II. KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Konsep dan Fungsi Uang Uang didefinisikan sebagai sesuatu yang diterima secara umum dalam pembayaan barang dan jasa (Mishkin, 2001). Uang seringkali diidentikkan dengan uang kartal (currency) yaitu uang kertas dan uang logam. Padahal menurut ahli ekonomi, segala sesuatu yang relatif cepat dan mudah dikonversi menjadi uang kartal (currency) dapat dikelompokkan sebagai uang (money) seperti cek dan giro. Ahli ekonomi juga membedakan antara uang dan kesejahteraan karena kesejahteraan meliputi tidak hanya uang tapi juga aset lain seperti obligasi, saham, tanah, mobil, furnitur dan rumah. Lebih jauh lagi, ahli ekonomi juga membedakan uang dengan pendapatan. Pendapatan didefinisikan sebagai aliran penerimaan menurut waktu, sedangkan uang adalah cadangan. Tiga fungsi dasar dari uang adalah (1) sebagai media pertukaran (as a medium of xchange) , (2) sebagai satuan hitung (as a unit of account), dan (3) sebagai alat penyimpan nilai (as a store of value). Uang sebagai media pertukaran yaitu uang digunakan untuk membayar barang dan jasa. Uan sebagai media pertukaran mengatasi permsalahan dalam pemenuhan dua barang yang berbeda dan mendorong spesialisasi dan pembagian kerja. Penggunaan uang sebagai media pertukaran juga mampu meningkatkan efisiensi dalam perekonomian karena menghemat waktu saat mempertukarkan barang dan jasa. Waktu yang diperlukan dalam bertransaksi disebut juga dengan biaya transaksi (transaction cost). Hal ini dapat dipahami dengan mudah bila dibandingkan dengan perekonomian barter dimana peningkatan kesejahteraan dilakukan dengan tukar menukar komoditas yang dibutuhkan secara langsung. 10 Hal ini sangat merepotkan karena harus ada dua keinginan yang saling bertemu dan pada akhirnya, perekonomian barter ini meningkatkan biaya transaksi (transaction cost). Beberapa kelemahan perekonomian barter adalah tidak adanya metode penyimpanan daya beli yang dapat diterima secara umum, tidak adanya standar ukuran dan nilai dan tidak adanya alat pembayaran untuk transaksi-transaksi dimasa mendatang. Keterbatasan sistem barter ini mendorong manusia untuk mengembangkan sistem yang memungkinkan transaksi berjalan lebih cepat dan lancar. Untuk mengantisipasi kelemahan sistem barter, maka barang/benda yang dapat difungsikan sebagai uang haruslah memenuhi kriteria (1) mudah distandarisasikan, (2) diterima secara luas oleh masyarakat sebagai alat pembayaran, (3) dapat dipecah menjadi unit-unit yang lebih kecil, (4) mudah dibawa, dan (5) tahan lama. Peranan kedua dari uang sebagai satuan hitung dimana uang digunakan untuk mengukur nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Peranan ini menjadi semakin penting karena semakin komplek dan beragamnya barang dan jasa yang diperdagangkan. Sebagai satuan hitung, uang mempermudah tukar menukar dimana dua barang yang secara fisik sangat berbeda bisa menjadi seragam apabila nilai masing-masing dinyatakan dengan uang. Pengenalan uang dalam perekonomian sebagai hitungan nilai barang memudahkan konsumen membandingkan harga satu barang dengan barang lain dan akhirnya mengurangi biaya transaksi dalam perekonomian. Uang berfungsi juga sebagai alat penyimpan nilai dalam artian uang mampu mempertahankan daya beli dari pendapatan sejak pendapatan tersebut diterima sampai pada waktu pendapatan tersebut dibelanjakan. Fungsi uang seperti ini sangat bermanfaat karena tidak semua orang menghabiskan pendapatannya dalam waktu cepat dan sangat terkait dengan sifat manusia 11 sebagai pengumpul kekayaan. Namun fungsi uang sebagai alat penyiman nilai menjadi kurang optimal jika dala perekonomian terjadi peningkatan harga secara terus menerus (inflasi). 2.1.2. Uang Beredar Secara umum terdapat dua definisi jumlah uang beredar yang banyak dipakai dimana definisi ini dibangun berdasarkan dua pendekatan, yaitu pendekatan transaksional (transactional approach) dan pendekatan likuiditas (liquidity approach). Pendekatan transaksional memandang jumlah uang beredar dihitung dari jumlah uang yang dibutuhkan untuk keperluan transaksi. Dalam prakteknya, pendekatan tersebut digunakan untuk menghitung jumlah uang beredar dalam arti sempit yang dikenal sebagai M1. Yang tercakup dalam M1 adalah uang kartal (uang kertas dan uang logam yang berlaku) dan uang giral (rekening giro, kiriman uang, simpanan berjangka dan tabungan dalam rupiah yang sudah jatuh tempo). Pendekatan likuiditas mendefinisikan jumlah uang beredar sebagai jumlah uang untuk kebutuhan transaksi ditambah uang kuasi. Pertimbangannya adalah sekalipun uang kuasi merupakan aset finansial yang kurang likuid dibandingkan uang kertas, uang logam dan rekening giro, tapi sangat mudah diubah menjadi uang yang dapat digunakan untuk kebutuhan transaksi. Dalam praktek, pendekatan ini digunakan untuk menghitung jumlah uang beredar dalam arti luas yaitu M2. Uang kuasi adalah simpanan rupiah dan valuta asing milik penduduk pada sistem moneter yang untuk sementara waktu kehilangan fungsinya sebagai alat tukar meliputi simpanan berjangka dan tabungan penduduk pada bank umum baik dalam rupiah maupun valuta asing. Jumlah M2 ini sering juga disebut sebagai likuiditas perekonomian (Mishkin, 2001). 12 Untuk memudahkan pembahasan, Mc Callum (1989) mendefinisikan uang beredar terdiri dari uang kartal (currency) dan giro (checkable deposits) dengan rumusan: M = C + D ...............................................................................................(1) dimana: M C D = = = Uang beredar Uang kartal Deposito Rasio uang kartal dan deposito (C/D) sepenuhnya berada dalam pengawasan masyarakat dengan notasi cr = C/D .................................................................................................(2) dimana: cr C D = = = Rasio uang kartal dan deposito Uang kartal Deposito Berdasarkan persamaan (1) dan (2) dapat ditulis ulang persamaan uang beredar sebagai berikut: M = (cr + 1) D ..........................................................................................(3) Uang beredar (money supply) dapat dikendalikan oleh Bank sentral melalui uang primer (high power money) karena uang beredar memiliki kaitan yang erat dengan uang primer. Uang primer merupakan penjumlahan uang kartal dalam peredaran dan cadangan perbankan (TR) dengan rumusan : H = C + TR .............................................................................................(4) dimana: H C TR = = = Uang primer (high power money) Uang kartal Cadangan perbankan Jika rasio cadangan perbankan terhadap deposito sebagai rr = TR/D, maka uang persamaan uang primer dapat ditulis menjadi: 13 H = (cr+rr) D ............................................................................................(5) Dari persamaan (3) dan (5) dapat dibuatkan hubungan uang beredar dan uang primer sebagai berikut: M cr + 1 = H cr + rr ........................................................................................(6) Menurut Mishkin (2001), kaitan uang primer dengan uang beredar dapat juga dirumuskan sebagai berikut: M = m X H ...............................................................................................(7) dimana m adalah angka pengganda uang (money multiplier) yang didefinisikan sebagai besaran perubahan uang beredar akibat perubahan uang primer pada tingkat tertentu. Selanjutnya angka pengganda uang (money multiplier) dirumuskan sebagai berikut: m= 1 + (C / D) ………………………………………………...(8) rD + ( ER / D) + (C / D) artinya money multiplier merupakan fungsi dari currency ratio yang diatur sepenuhnya oleh penabung, excess reserve ratio yang diatur oleh bank dan required reserve ratio yang diatir oleh bank sentral. Dari rumusan diatas dapat pula dikatakan bahwa : 1. Jika rasio cadangan wajib minimum yang ditetapkan oleh bank sentral meningkat maka akan mendorong perbankan untuk mengurangi alokasi kredit untuk mempertahankan kemampuan cadangan perbankan dan selanjutnya menurunkan nilai angka pengganda uang (m) dan menurunkan pula jumlah uang beredar (M). 2. Ketika penabung meningkatkan ratio uang kartal per deposito dengan mengkoversi deposito ke uang kartal akan mendorong penurunan penciptaan uang sehingga angka pengganda uang menjadi lebih rendah dan jumlah uang beredar akan berkurang. 14 3. Ketika bank meningkatkan jumlah cadangan yang dipegang relatif terhadap deposit atau tabungan maka bank akan mengurangi penyaluran kredit sehingga angka pengganda uang menjadi lebih rendah dan mengurangi uang beredar. Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa uang beredar berhubungan negatif dengan cadangan wajib minimum, rasio uang kartal (C/D) dan rasio cadangan perbankan (ER/D). Sementara itu, uang beredar berhubungan positif dengan uang primer yang ditentukan oleh bank sentral melalui operasi pasar terbuka. Oleh karena itu, model persamaan uang beredar haruslah mempertimbangkan perilaku bank sentral yang mengatur giro wajib minimum dan suku bunga diskonto, perilaku penabung melalui keputusan dalam memegang uang kartal, perilaku bank melalui keputusan rasio cadangan perbankan dan perilaku peminjam yang mempengaruhi suku bunga pasar yang akan mempengaruhi keputusan bank terkait dengan jumlah cadangan yang dipegang. 2.1.3. Teori Permintaan Uang Pandangan para ekonom Klasik di abad 19 dan awal abad 20 dalam Teori Kuantitas Uang memfokuskan fungsi uang sebagai alat tukar dan pengukur nilai sehingga uang bersifat netral dan tidak mempengaruhi perekonomian riil. Dengan demikian dalam teori ini dikatakan bahwa suku bunga tidak memiliki pengaruh apapun terhadap permintaan uang (Mishkin, 2001). Irving Fisher dalam bukunya ”Purchasing Power of Money” mengatakan bahwa permintaan uang dari masyarakat merupakan suatu proporsi tertentu dari nilai transaksi (PY). Artinya permintaan uang timbul dari penggunaan uang dalam proses transaksi yang merupakan suatu proporsi konstan dari tingkat output masyarakat (pendapatan nasional). Hal ini dijelaskan dengan persamaan 15 yang menunjukkan hubungan uang dengan tingkat harga dan pendapatan nasional sebagai berikut: MV = PY ................................................................................................(9) dimana: M V P Y = = = = Uang beredar Tingkat perputaran uang Tingkat output Harga dimana jumlah uang beredar (M) dikalikan dengan tingkat perputaran uang (V) sama dengan jumlah output atau transaksi ekonomi riil (Y) dikalikan dengan tingkat harga (P). Dengan kata lain, dalam keseimbangan jumlah uang beredar yang digunakan dalam seluruh kegiatan transaksi ekonomi (MV) sama dengan jumlah output yang dihitung dengan harga berlaku (PY). Dengan mentransformasikan persamaan diatas, maka: Md = 1/V PY ..........................................................................................(10) Dari persamaan diatas, permintaan uang murni ditentukan oleh tingkat pendapatan nasional dan tidak dipengaruhi oleh faktor lain seperti bunga. Fisher menyusun kesimpulan seperti ini karena kepercayaannya bahwa orang-orang memegang uang hanya untuk transaksi sehingga permintaan uang dtentukan oleh dua variabel yaitu (1) jumlah transaksi yang diwakilkan oleh tingkat pendapatan PY dan (2) institusi perekonomian yang mempengaruhi cara orangorang melakukan transaksi yang akan menentukan tingkat perputaran uang (velocity of money). Teori permintaan uang Cambridge menekankan pada perilaku individu dalam mengalokasikan kekayaan salah satunya dalam bentuk uang dengan memperhitungkan untung rugi pemegangan kekayaan tersebut. Cambridge mengatakan bahwa kelebihan memegang uang adalah kemudahan dalam proses transaksi, namun di pihak lain memegang uang berarti mengorbankan 16 kemungkinan mendapatkan penghasilan dalam bentuk bunga atau keuntungan kapital bila memegang kekayaan dalam bentuk surat berharga. Pandangan ini sangat berbeda dengan teori Fisher yang menekankan permintaan uang hanya merupakan proporsi konstan dari volume transaksi. Dengan demikian teori Cambridge mengatakan bahwa permintaan uang selain dipengaruhi oleh volume transaksi juga dipengaruhi oleh tingkat bunga, kekayaan dan ekspektasi masyarakat mengenai masa depan. Jadi dalam jangka pendek, Cambridge menganggap bahwa jumlah kekayaan, volume transaksi dan pendapatan nasional mempunyai hubungan yang proporsional konstan. Hal ini digambarkan pada persamaan sebagai berikut : Md = k P Y ...........................................................................................(11) Teori Cambridge ini menyatakan pula bahwa terdapat kemungkinan pengaruh faktor lain seperti tingkat bunga yang diwakilkan oleh variabel k. Artinya jika tingkat bunga naik ada kecenderungan masyarakat mengurangi permintaan uang dan jika di masa datang diharapkan ada kenaikan tingkat bunga maka orang akan cenderung menambah jumlah uang tunai yang mereka pegang. John Maynard Keynes memperluas pendekatan Cambridge dengan mengemukakan tiga motif memegang uang (Mishkin, 2001). Dalam teori yang dikenal dengan nama Liquidity Preference mengatakan bahwa permintaan uang bukan semata-mata sebagai alat tukar atau motif transaksi dan berjaga-jaga tetapi dapat digunakan lebih luas untuk tujuan spekulasi. Teori ini memprlihatkan bahwa motif transaksi dan berjaga-jaga sebagai komponen permintaan uang proporsional terhadap tingkat pendapatan. Sementara itu, motif memegang uang untuk spekulasi sangat sensitif terhadap suku bunga dan ekspektasi pergerakan suku bunga di waktu mendatang. 17 Rumusan teori liquidity preference yang dikembangkan oleh Keynes adalah sebagai berikut : Md/P = f (i, Y) .......................................................................................(12) Suku bunga memiliki tanda yang negatif yang artinya permintaan uang secara riil berhubungan negatif dengan suku bunga dan sebaliknya permintaan uang berhubungan positif dengan pendapatan nasional (tingkat output). Artinya, Keynes menyimpulkan permintaan uang berhubungan tidak hanya dengan pendapatan nasional namun juga dengan suku bunga. Penurunan fungsi liquidity preference untuk melihat tingkat perputaran uang (PY/M) akan menunjukkan bahwa tingkat perputaran uang menurut Keynes tidaklah konstan tetapi berfluktuasi mengikuti pergerakan suku bunga. P 1 = ………………………………………………….....………(13) Md f (i, Y ) mengalikan kedua sisi dengan Y maka didapatkan persamaan tingkat perputaran uang (velocity of money) sebagai berikut: V= PY Y = …………………………………………………..……..(14) Md f (i, Y ) artinya ketika suku bunga naik akan mendorong orang memegang uang lebih sedikit sehingga tingkat perputaran uang akan meningkat yang berarti velocity of money meningkat. Pendekatan Keynesian terus mengalami penyempurnaaan diantaranya oleh William Baumol dan James Tobin yang menggambarkan bahwa uang yang dipegang untuk transaksi sebenarnya sensitif terhadap suku bunga. Ketika suku bunga meningkat maka jumlah uang kas yang dipegang untuk tujuan transaksi akan menurun yang selanjutnya akan meningkatkan tingkat perputaran uang. 18 Artinya, komponen transaksi dalam fungsi permintaan uang berhubungan negatif dengan suku bunga (Mishkin, 2001). Ide dasar dalam analisis Baumol-Tobin ini adalah adanya biaya oportunitas dalam memegang uang yaitu keuntungan yang mungkin diperoleh dari aset lainnya dan keuntungan memegang uang adalah menghindari biaya transaksi. Ketika suku bunga naik, masyarakat akan mencoba mengekonomiskan pemegangan uang untuk tujuan transaksi karena biaya oportunitas yang menjadi mahal. Teori kuantitas modern yang dipelopori oleh Milton Friedman merupakan penyempurnaan dari teori kuantitas klasik. Friedman (1991) menyusun formulasi permintaan uang sebagai berikut: Md/P = f(Yp, rb-rm, re-rm, πe-rm) ...............................................................(15) Persamaan ini menunjukkan bahwa permintaan uang merupakan fungsi dari keuntungan yang diharapkan dari aset lain relatif terhadap keuntungan yang diharapkan dari uang dan pendapatan permanen. Friedman berpendapat bahwa permintaan uang relatif stabil dan tidak sensitif terhadap suku bunga, tingkat perputaran uang dapat diprediksi. 2.1.4. Hubungan Uang dan Kegiatan Ekonomi Hubungan antara uang dengan kegiatan perekonomian khususnya pertumbuhan ekonomi dan inflasi menjadi perdebatan antara kelompok Keynesian dan Monetarist (Friedman, 1991). Kelompok Monetarist berpendapat bahwa uang hanya berpengaruh pada tingkat inflasi dan tidak ada pengaruhnya pada pertumbuhan ekonomi riil. Dalam hal ini, kelompok Monetarist berasumsi bahwa mekanisme pasar dalam perekonomian dapat berjalan secara sempurna sehingga harga-harga segera menyesuaikan apabila terjadi perbedaan antara permintaan dan penawaran di pasar. Dengan kondisi ini, kelompok Monetarist 19 berpendapat bahwa kebijakan moneter hanya berpengaruh terhadap nilai nominal permintaan agregat melalui perubahan harga-harga tersebut dengan pengaruh yang relatif stabil. Implikasinya, kebijakan moneter diarahkan hanya untuk pengendalian inflasi dan tidak bisa diarahkan untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi riil. Pada sisi lain kelompok Keynesian berpendapat bahwa uang dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi riil disamping pengaruhnya terhadap inflasi. Keynes berpendapat bahwa sebelum full employment dicapai maka perubahan jumlah uang beredar bersama-sama dengan permintaan uang mempengaruhi tingkat bunga, selanjutnya perubahan tingkat bunga mempengaruhi tingkat investasi riil yang kemudian melalui proses multiplier mempengaruhi tingkat output masyarakat. Artinya perubahan dalam sektor moneter dapat mempengaruhi sektor riil (Mankiw, 2000). Implikasinya adalah kebijakan moneter dapat digunakan sebagai salah satu instrumen kebijakan untuk mempengaruhi naik turunnya kegiatan ekonomi riil. Dengan kata lain, bank sentral mempunyai discreation untuk mempergunakan kebijakan moneter secara aktif untuk membantu upaya-upaya mempengaruhi kegiatan ekonomi riil. Apabila kegiatan ekonomi riil dirasakan terlalu lesu, kebijakan moneter dapat dilonggarkan sehingga jumlah uang beredar dalam perekonomian bertambah dan dapat mendorong peningkatan kegiatan ekonomi riil. Sebaliknya, apabila kegiatan ekonomi riil dinilai terlalu cepat dan cenderung memanas, kebijakan moneter perlu diketatkan sehingga terjadi penurunan kegiatan ekonomi riil dan tingkat inflasi. Kelompok Keynesian juga memandang bahwa permasalahan dalam suatu perekonomian pada dasarnya sangat kompleks sehingga tidak hanya uang yang berperan penting dalam mendorong kegiatan ekonomi, tetapi juga variabelvariabel lain. Dalam hal ini, kelompok Keynesian berasumsi bahwa terjadi 20 sejumlah kekakuan dalam bekerjanya mekanisme pasar di dalam perekonomian sehingga pasar tidak selalu dalam kondisi keseimbangan. Apabila terjadi kejutan (shock) dalam perekonomian, misalnya kebijakan moneter yang secara aktif melakukan pelonggaran atau pengetatan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi riil dalam jangka pendek, meskipun pada akhirnya dalam jangka menengah-panjang perkembangan harga juga akan terpengaruh. 2.1.5. Teori Permintaan Agregat Kurva permintaan agregat menggambarkan hubungan antara tingkat harga dengan tingkat pendapatan nasional. Keseimbangan makroekonomi secara simultan ditentukan oleh perpotongan permintaan agregat (AD) dan penawaran agregat (AS). Shock yang terjadi pada permintaan agregat akan menyebabkan terjadinya perubahan harga. Shock ini dapat diantisipasi melalui kebijakan moneter yang mempengaruhi kurva LM. Ketika perekonomian berada pada kesimbangan jangka pendek pada titik K dan tingkat harga P1 menunjukkan perekonomian sedang resesi. Apabila dalam jangka pendek diasumsikan tingkat harga tetap, terjadi penurunan biaya input maka output dapat diproduksi dengan biaya yang lebih rendah sehingga biaya output turun. Kondisi ini menggeser kurva AS jangka pendek ke bawah pada tingkat harga yang lebih murah P2. Keseimbangan jangka panjang pada kurva IS-LM terjadi ketika harga turun menyebabkan keseimbangan uang riil (daya beli) meningkat melalui pergeseran kurva LM ke kanan bawah LM(P2) dengan suku bunga yang lebih rendah. Biaya output yang lebih murah meningkatkan kembali perekonomian pada tingkat keseimbangan alamiah di titik C pada kurva SRAS2 (Gambar 1). 21 Tingkat LRAS Tingkat bunga, r LM (P1) LRAS harga,P LM (P2) K P1 SRAS1 C SRAS2 P2 IS Y AD Pendapatan (Y) Y Pendapatan (Y) Sumber: Mankiw (2000) Gambar 1. Model IS-LM : Model Penawaran Agregat dan Permintaan Agregat dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang Analisis ini menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, proses penyesuaian belum sempurna karena harga masih kaku terhadap adanya perubahan perekonomian. Sementara itu, dalam jangka panjang penyesuaian terjadi secara sempurna karena adanya penyesuaian pada tingkat harga sehingga keseimbangan perekonomian kembali pada posisi alamiah atau pada titik keseimbangan baru. Pengaruh shock kebijakan moneter terhadap permintaan agregat dalam perekonomian sangat tergantung pada posisi kurva penawaran agregat (AS). Apabila kurva AS vertikal (asumsi Klasik), shock kebijakan moneter akan menyebabkan tingkat harga berubah dengan pendapatan nasional yang tetap. Tetapi apabila kurva AS horisontal (asumsi Keynesian) maka shock kebijakan moneter akan menyebabkan perubahan pada tingkat pendapatan dari posisi alamiah sementara tingkat harga tetap. Penyesuaian antara tingkat harga dan pertumbuhan ekonomi, sangat tergantung pada kebijakan bank sentral dalam melakukan shock terhadap kebijakan moneter yang berpengaruh terhadap 22 pergeseran kurva permintaan agregat (AD). Kemiringan kurva IS (elastisitas pengeluaran investasi terhadap suku bunga) dan kemiringan kurva LM (elastisitas permintaan uang terhadap suku bunga) menjadi faktor yang mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter. Ekspansi kebijakan moneter dengan menambah jumlah uang beredar pada kurva IS yang datar meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar Y2 dan pada kurva IS yang tegak pertumbuhan ekonomi lebih rendah yaitu hanya Y1. Dilihat pada kurva LM, kebijakan moneter akan kurang efektif dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada pertumbuhan ekonomi hanya sebesar Y0 – Y1. kurva LM datar dengan Sementara itu pada kurva LM yang tegak maka pengaruh terhadap perekonomian lebih besar yaitu sebesar Y0–Y2. Kebijakan moneter bahkan tidak efektif sama sekali pada kurva LM yang horizontal karena Y tidak berubah dan menyebabkan terjadinya liquidy trap yaitu kebijakan moneter gagal mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (output) tetapi justru menimbulkan dampak terhadap inflasi. Gambaran lebih detail disajikan pada Gambar 2. LMTo LMT1 Tingkat bunga ( r ) Tingkat bunga ( r ) LM0 LMD0 LM1 LMD1 IS datar IS IS tegak Y0 Y1 Y2 Y Yo Y1Y2 Y Sumber : Mankiw (2000) Gambar 2. Efektivitas kebijakan moneter dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada kurva IS-LM 23 2.1.6. Suku Bunga Suku bunga menggambarkan biaya pinjaman yang menjadi indikator melakukan pinjaman atau indikator bagi yang meminjamkan (Mishkin, 2001). Dalam perkembangannya, suku bunga riil menjadi lebih penting dibandingkan suku bunga nominal karena suku bunga riil sudah mempertimbangkan perkembangan harga sebagaimana tampak pada rumus: Suku bunga riil = suku bunga nominal –inflasi Dalam Liquidity Preference Framework keseimbangan suku bunga tercapai saat terjadi perpotongan uang beredar dan permintaan uang. Jumlah uang beredar (MS) ditentukan oleh bank sentral sehingga kurva MS tegak. Sedangkan permintaan uang ditentukan oleh pendapatan dan tingkat harga. Oleh karena itu, perubahan suku bunga dalam keyakinan Liquidity Preference Framework dapat dipahami dengan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan jumlah uang beredar dan permintaan uang. Dua faktor yang mempengaruhi permintaan uang adalah pendapatan dan harga. Disaat perekonomian bagus maka pendapatan dan kesejahteraan masyarakat meningkat yang mendorong masyarakat memegang uang lebih banyak sehingga permintaan uang meningkat. Sedangkan saat harga meningkat maka nilai nominal uang terhadap harga barang akan turun. Kondisi ini mendorong masyarakat untuk menambah uang yang dipegang sehingga permintaan uang meningkat. Dalam Mishkin (2001) disebutkan bahwa jumlah uang beredar berhubungan dengan uang primer (monetary base) dengan rumus: MS = m x MB .............................................................................(16) dimana: MS M MB = = = Uang beredar Angka pengganda uang Uang primer 24 Dari rumusan diatas dapat diketahui uang beredar memiliki hubungan yang positif dengan uang primer. Disamping itu angka pengganda uang (m) menjadi faktor yang turut mempengaruhi jumlah uang beredar karena m menunjukkan seberapa banyak perubahan MS untuk nilai MB tertentu dengan rumus: m= 1 + C/D rD + (ER/D) + (C/D) ....................................................(17) artinya money multiplier (angka pengganda uang) merupakan fungsi dari currency ratio yang diatur oleh penabung, excess reserve ratio yang diatur oleh bank dan required reserve ratio yang diatur oleh Bank sentral. 1. Perubahan Required Reserve Jika required reserve naik maka jumlah cadangan perbankan menjadi tidak cukup untuk melindungi deposito sehingga perbankan membutuhkan cadangan yang lebih banyak dengan mengurangi jumlah pinjaman yang disalurkan yang mendorong penurunan angka pengganda uang dan akhirnya jumlah uang beredar menjadi lebih rendah. Kesimpulannya adalah money multiplier dan MS berhubungan negatif dengan Required Reserve 2. Perubahan Currency Ratio Ketika penabung meningkatkan uang kas yang dipegang dengan merubah deposito menjadi uang kas (C/D meningkat) maka money multiplier akan turun karena deposito berperan dalam menciptakan perluasan uang sedangkan uang kas tidak mampu menciptakan perluasan uang. Artinya, money multiplier dan MS berhubungan negatif dengan currency ratio. 3. Perubahan Excess Reserve Ratio Ketika perbankan meningkatkan jumlah cadangan yang dipegang relatif terhadap dana pihak ketiga yang dipegang pada jumlah MB tertentu, maka bank 25 menurunkan jumlah pinjaman sehingga MS menurun. Preferensi bank memegang cadangan lebih banyak atau lebih sedikit dipengaruhi oleh biaya dan manfaatnya. Ketika biaya memegang cadangan meningkat maka bank menurunkan cadangan yang dipegang dan sebaliknya. Faktor yang menjadi acuan perbankan adalah suku bunga pasar, dimana ketika suku bunga pasar meningkat maka biaya memegang cadangan meningkat sehingga bank menurunkan jumlah cadangan yang dipegang (dengan meningkatkan jumlah pinjaman) dan money multiplier meningkat yang selanjutnya meningkatkan MS 2.1.7. Investasi dan Ekspor Netto Dalam sistem perekonomian tertutup jumlah tabungan masyarakat merupakan jumlah modal yang dapat digunakan untuk melakukan investasi (Mankiw, 2000). jumlah tabungan Pada tingkat keseimbangan jumlah investasi sama dengan (I = S). Namun pada sistem ekonomi terbuka dimana dimungkinkan terjadinya transaksi antar negara dalam bentuk barang (eksporimpor) maupun aliran modal antar negara, investasi bisa lebih besar dari akumulasi tabungan domestik. Hal ini dapat diturunkan dari persamaan pendapatan nasional, Y = C + I + G + NX …………………………………………….............. (18) Y – C – G = I + NX; dimana : Y – C – G adalah simpanan nasional sehingga: S = I + NX ………………………………..........……….............……….. (19) NX = S – I .....…………………………..……………..................... .........(20) dimana NX adalah net ekspor yang menunjukkan neraca perdagangan, dan S – I menunjukkan net foreign investment (NFI). Dengan demikian NFI adalah selisih antara tabungan domestik dikurangi dengan investasi domestik. Jika NFI positif 26 artinya jumlah tabungan domestik lebih besar dari investasi, dan sebaliknya jika NFI negatif artinya investasi domestik lebih besar dari tabungan domestik, dimana selisih investasi dibiayai dari pinjaman luar negeri. Ekspor bersih (NX) merupakan selisih antara ekspor dan impor. Besaran NX dipengaruhi oleh nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing. Jika mata uang domestik nilai tukarnya rendah, barang domestik relatif lebih murah dibandingkan dengan barang asing sehingga ekspor meningkat dan impor menurun sehingga NX akan meningkat, sebaliknya jika nilai tukar tinggi, barang domestik menjadi lebih mahal dibandingkan dengan barang impor sehingga ekspor berkurang dan impor meningkat akibatnya NX menurun. Investasi dipengaruhi oleh tingkat suku bunga, karena tingkat bunga merupakan opportunity cost seseorang melakukan investasi. Semakin tinggi tingkat bunga pasar opportunity kegiatan investasi semakin mahal dan sebaliknya. Dalam bentuk persamaan dapat dituliskan: S = I (r) + NX (∈) ……………………………............….………………… (21) dimana: S I NX = = = Tabungan Investasi Ekspor netto 2.1.8. Kerangka Strategis Kebijakan Moneter Perhatian utama dalam penyusunan strategi kebijakan moneter di seluruh negara adalah dasar acuan (nominal anchor) yaitu variabel nominal yang digunakan oleh pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan akhir kebijakan moneter (Mishkin, 2000). pencapaian tujuan Dasar acuan (nominal anchor) ini membantu kebijakan moneter karena mampu meminimalisasi permasalahan ketidakkonsistenan waktu penetapan kebijakan dimana kebijakan 27 moneter yang ditetapkan otoritas moneter tidak memberikan dampak jangka panjang. Tujuan akhir yang ingin dicapai oleh kebijakan moneter terkait dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Namun permasalahan selama ini adalah pencapaian pertumbuhan ekonomi dan inflasi tidak dapat dilakukan secara bersamaan karena pencapaian sasaran akhir ini bersifat kontradiktif. Oleh karena itu, dalam perkembangannya bank sentral lebih cenderung memilih salah satu sasaran untuk dicapai secara optimal dengan mengabaikan sasaran lainnya dan dewasa ini beberapa negara secara bertahap telah menggeser penerapan kebijakan moneter yang lebih memfokuskan pada sasaran tunggal yaitu stabilitas harga. Secara prinsip terdapat beberapa strategi dalam mencapai tujuan kebijakan moneter. Masing-masing strategi memiliki karakteristik sesuai dengan indikator nominal yang digunakan sebagai nominal anchor (dasar acuan) atau sasaran antara dalam mencapai tujuan akhir. Beberapa strategi pelaksanaan kebijakan moneter tersebut antara lain (1) penargetan nilai tukar (exchange rate targeting), (2) penargetan besaran moneter, (3) penargetan inflasi, dan (4) strategi kebijakan moneter tanpa jangkar yang tegas. 1. Penargetan Nilai Tukar Strategi kebijakan moneter dengan penargetan nilai tukar didasari pemikiran bahwa nilai tukarlah yang paling dominan pengaruhnya terhadap pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter. Dalam pelaksanaannya, terdapat tiga alternatif yang dapat ditempuh, yaitu (1) menetapkan nilai mata uang domestik terhadap harga komoditas tertentu yang diakui secara internasional seperti emas, (2) menetapkan nilai mata uang domestik terhadap mata uang negara-negara besar yang mempunyai laju inflasi yang rendah dan (3) menyesuaikan nilai mata uang domestik terhadap mata uang negara tertentu 28 ketika perubahan nilai mata uang diperkenankan sejalan dengan perbedaan laju inflasi antara dua negara. Penargetan nilai tukar memiliki beberapa keuntungan yaitu (1) dapat meredam laju inflasi yang berasal dari perubahan harga barang-barang impor, (2) dapat mengarahkan ekspektasi masyarakat terhadap inflasi dan mengurangi masalah ketidakkonsistenan waktu kebijakan moneter, dan (3) bersifat cukup sederhana dan jelas sehingga mudah dipahami oleh masyarakat (Mishkin, 2001) Namun kebijakan ini juga memiliki kelemahan yaitu (1) penargetan nilai tukar dalam kondisi perekonomian suatu negara sangat terbuka dan mobilitas dana luar negeri sangat tinggi akan menghilangkan independensi kebijakan moneter domestik dari pengaruh luar negeri, dimana setiap gejolak struktural yang terjadi di negara acuan akan ditransmisikan pada stabilitas perekonomian domestik, (2) rentan terhadap tindakan spekulasi dalam pemegangan mata uang domestik, dan (3) memperlemah akuntabilitas pembuatan kebijakan moneter karena hilangnya sinyal nilai tukar yang menjadi perhatian masyarakat dan pasar. 2. Penargetan Besaran Moneter Penargetan besaran moneter dilakukan dengan menetapkan pertumbuhan jumlah uang beredar sebagai sasaran antara, misalnya uang beredar dalam arti sempit (M1) dan dalam arti luas (M2) serta kredit. Kelebihan utama dari penargetan besaran moneter adalah kebijakan moneter lebih independen sehingga bank sentral dapat memfokuskan pencapaian tujuan yang ditetapkan seperti laju inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Strategi ini sangat bergantung pada kestabilan hubungan antara besaran moneter dengan sasaran akhir kebijakan. Stratgi kebijakan ini akan menjadi kurang optimal jika tidak ada hubungan yang erat antara besaran moneter 29 dengan sasaran akhir diantaranya tingkat inflasi. Dengan semakin berkembangnya instrumen keuangan dan semakin terintegrasinya perekonomian domestik dengan internasional, maka kestabilan hubungan tersebut terganggu sehingga menjadi alasan strategi ini kurang banyak diadopsi. 3. Penargetan Inflasi Penargetan inflasi dilakukan dengan mengumumkan kepada publik mengenai target inflasi jangka menengah dan komitmen bank sentral untuk mencapai stabilitas harga sebagai tujuan jangka panjang dari kebijakan moneter. Untuk mencapai sasaran inflasi tersebut, strategi ini tidak mendasarkan pada satu indikator saja tetapi mengevaluasi berbagai indikator kunci dan relevan untuk perumusan kebijakan moneter. Yang diutamakan adalah pencapaian sasaran akhir inflasi dan bukan pencapaian sasaran antara seperti uang beredar atau nilai tukar sehingga dengan menargetkan inflasi sebagai acuan nominal, bank sentral dapat menjadi lebih kredibel dan lebih fokus di dalam mencapai kestabilan harga sebagai tujuan akhir. Kelebihan penargetan inflasi adalah (1) memungkinkan otoritas moneter untuk lebih fokus pada pertimbangan kondisi dalam negeri, (2) stabilitas hubungan antara uang dan inflasi tidak menjadi penting dalam keberhasilan penargetan inflasi, (3) mudah dipahami oleh publik dan lebih transparan, (4) meningkatkan akuntabilitas otoritas moneter, dan (5) mampu mengurangi goncangan harga. Namun strategi kebijakan penargetan inflasi ini juga memiliki kelemahan yaitu: (1) inflasi tidak mudah dikontrol oleh otoritas moneter sehingga sinyal penargetan inflasi tidak dapat disampaikan dengan cepat kepada publik dan pasar, (2) strategi ini seringkali membutuhkan aturan yang rumit, dan (3) fokus tunggal pada inflasi akan mendorong fluktuasi output yang sangat besar. Walaupun mengabaikan penargetan pencapaian dilakukan tujuan pada kebijakan inflasi, moneter strategi lainnya ini tidak seperti 30 perkembangan output dan kesempatan kerja. Dalam hal ini, bank sentral senantiasa berupaya untuk memperhitungkan stabilitas perkembangan output dan kesempatan kerja dalam jangka pendek dalam penetapan sasaran inflasi jangka menengah yang ingin dicapai. Selain itu, dalam rangka meminimumkan penurunan perkembangan output, bank sentral melakukan penyesuaian secara bertahap sasaran inflasi jangka pendek menuju ke arah pencapaian sasaran inflasi jangka menengah-panjang yang lebih rendah. 2.1.9. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Mekanisme transmisi kebijakan moneter terkait dengan bagaimana kebijakan moneter dapat mempengaruhi pendapatan nominal dan kegiatan sektor riil secara keseluruhan. Mekanisme transmisi kebijakan moneter awalnya mengacu pada peranan uang dalam perekonomian yang pertama kali dijelaskan oleh teori kuantitas uang. Teori kuantitas uang menggambarkan kerangka kerja yang jelas mengenai analisis hubungan langsung yang sistematis antara pertumbuhan jumlah uang beredar dan inflasi yang dinyatakan dalam suatu identitas the equation of exchange: MV = PT dimana jumlah uang beredar (M) dikalikan dengan tingkat perputaran uang (V) sama dengan jumlah output atau transaksi ekonomi riil (T) dikalikan dengan tingkat harga (P). Dengan kata lain, dalam keseimbangan jumlah uang beredar yang digunakan dalam seluruh kegiatan transaksi ekonomi (MV) sama dengan jumlah output yang dihitung dengan harga berlaku (PT). Berdasarkan mekanisme transmisi ini, maka dalam jangka pendek pertumbuhan jumlah uang beredar hanya mempengaruhi perkembangan output riil, selanjutnya dalam jangka menengah pertumbuhan jumlah uang beredar akan mendorong kenaikan harga yang pada gilirannya menyebabkan penurunan 31 perkembangan output riil menuju posisi semula. Dalam jangka panjang, pertumbuhan jumlah uang beredar tidak berpengaruh terhadap perkembangan output riil tetapi mendorong kenaikan laju inflasi secara proporsional. Dalam perkembangannya, penjelasan transmisi kebijakan moneter terhadap produksi terbagi atas dua arah pemikiran yaitu (1) pemikiran monetarist yang cenderung menggunakan model reduced-form yang tidak menggambarkan secara spesifik jalur pengaruh uang beredar terhadap output melainkan menganalisis efek uang beredar terhadap output dalam suatu kotak hitam, (2) pemikiran Keynesian yang mengaplikasikan pendekatan model struktural untuk memahami jalur transmisi secara lebih baik. Menurut pemikiran Keynesian, jalur transmisi dikelompokkan atas tiga jalur utama yaitu (1) jalur suku bunga, (2) jalur harga aset, dan (3) jalur transmisi dari sisi kredit. (Mishkin, 2001). 2.1.9.1. Jalur Suku Bunga Mekanisme transmisi melalui jalur suku bunga menekankan bahwa kebijakan moneter dapat mempengaruhi kebijakan agregat melalui perubahan suku bunga. Artinya, jika bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif melalui peningkatan uang beredar akan mendorong penurunan suku bunga riil yang mengindikasikan biaya modal yang lebih murah dan mendorong peningkatan pengeluaran investasi yang merupakan komponen dari permintaan agregat sehingga akhirnya meningkatkan total produksi (output riil) dalam suatu perekonomian. Investasi dalam bahasan ini tidak hanya keputusan investasi oleh sektor usaha melainkan juga pengeluaran rumah tangga untuk barangbarang tahan lama seperti pengeluaran perumahan dan automobil. Perubahan suku bunga jangka pendek ditransmisikan pada suku bunga jangka menengah atau jangka panjang melalui mekanisme penyeimbangan sisi 32 permintaan dan penawaran di pasar uang. Dalam hal ini, apabila perubahan harga bersifat kaku, perubahan suku bunga nominal jangka pendek yang dipengaruhi oleh kebijakan moneter akan mendorong perubahan suku bunga riil jangka pendek dan panjang. Artinya, jika bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif akan mendorong penurunan suku bunga riil jangka pendek dan selanjutnya menurunkan suku bunga riil jangka panjang yang selanjutnya meningkatkan investasi (investasi sektor usaha dan pengeluaran rumah tangga untuk barang-barang tahan lama). Pentingnya suku bunga riil dalam analisis jalur suku bunga dapat dijelaskan persamaan berikut ini. i = ir + πe .............................................................................................(22) atau sama juga dengan : ir = i - πe ................................................................................................(23) sehingga transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga dapat disederhanakan seperti berikut ini M Æ Pe Æ πe Æ ir Æ IÆ Y ...........................................(24) 2.1.9.2. Jalur Harga Aset Mekanisme transmisi melalui jalur harga aset dibedakan menjadi tiga jalur pengaruh yaitu (1) pengaruh nilai tukar terhadap ekspor netto, (2) Teory Tobin, dan (3) efek kekayaan. Mekanisme transmisi melalui jalur nilai tukar menekankan bahwa pergerakan nilai tukar dapat mempengaruhi perkembangan penawaran dan permintaan agregat dan selanjutnya mempengaruhi output dan harga. Namun besar kecilnya pengaruh pergerakan nilai tukar terhadap output tergantung pada sistem nilai tukar yang dianut oleh suatu negara. Misalnya, dalam sistem nilai tukar mengambang, kebijakan moneter ekspansif oleh bank sentral akan mendorong depresiasi mata uang domestik karena penurunan suku 33 bunga riil yang mendorong terjadinya capital outflow dan selanjutnya meningkatkan harga barang impor dan nilai ekspor netto menjadi lebih rendah. Selain itu, pengaruh pergerakan nilai tukar dapat terjadi secara tidak langsung melalui perubahan permintaan agregat (indirect pass through). Sementara itu dalam sistem nilai tukar mengambang terkendali, pengaruh kebijakan moneter pada perkembangan output riil dan inflasi menjadi semakin lemah terutama apabila terdapat subtitusi yang tidak sempurna antara aset domestik dan aset luar negeri. Mekanisme transmisi menurut Teori Tobin dan efek kekayaan menekankan bahwa kebijakan moneter berpengaruh pada perubahan harga asset dan kekayaan masyarakat yang selanjutnya mempengaruhi pengeluaran investasi. Apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter kontraktif, maka terjadi peningkatan suku bunga yang pada gilirannya akan menekan harga aset perusahaan. Penurunan harga aset berakibat pada dua hal, yaitu (1) mengurangi kemampuan perusahaan untuk melakukan ekspansi sehingga kegiatan investasi menurun, dan (2) menurunkan nilai kekayaan dan pendapatan sehingga mengurangi pengeluaran konsumsi. Secara keseluruhan kedua hal tersebut berdampak pada penurunan pengeluaran agregat. 2.1.9.3. Jalur Kredit Mekanisme transmisi melalui jalur kredit dapat dibedakan menjadi lima jalur, yaitu (1) jalur pinjaman bank (bank lending channel) yang menekankan pengaruh kebijakan moneter pada kondisi keuangan bank khususnya sisi asset., (2) jalur neraca perusahaan (balance sheet channel) yang menekankan pengaruh kebijakan moneter pada kondisi keuangan perusahaan dan selanjutnya mempengaruhi akses perusahaan untuk mendapatkan kredit , (3) jalur aliran kas (cash flow channel) yang menekankan pada pengaruh kebijakan 34 moneter terhadap aliran kas yang selanjutnya mempengaruhi tindakan adverse selection dan moral hazard oleh perusahaan dalam mendapatkan kredit, (4) jalur ekspektasi harga (unanticipated price level channel) yang menekankan pada pengaruh kebijakan moneter terhadap ekspektasi harga yang selanjutnya mempengaruhi akses perusahaan untuk mendapatkan kredit, dan (5) pengaruh likuiditas rumah tangga (household liquidity effect) yang menekankan pada pengaruh kebijakan moneter terhadap kekayaan finansial rumah tangga yang mempengaruhi kemungkinan kesulitan keuangan rumah tangga yang selanjutnya berpengaruh pada pengeluaran rumah tangga untuk perumahan dan barang tahan lama. Menurut jalur pinjaman bank, sisi liabilitas bank juga menjadi komponen penting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter. Apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter kontraktif misalnya melalui peningkatan rasio cadangan minimum di bank sentral, maka cadangan yang ada di bank akan menurun sehingga dana yang dapat dipinjamkan (loanable fund) juga mengalami penurunan. Apabila hal tersebut tidak dapat diatasi dengan melakukan penambahan dana/pengurangan surat-surat berharga maka kemampuan bank untuk memberikan pinjaman akan menurun yang pada gilirannya menyebabkan penurunan investasi dan mendorong penurunan output. Sementara itu, jalur neraca perusahaan menekankan bahwa kebijakan moneter akan mempengaruhi kondisi keuangan perusahaan. Sebagai contoh, apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif, maka suku bunga di pasar uang akan turun dan mendorong kenaikan harga saham. Kondisi ini meningkatkan nilai bersih perusahaan yang selanjutnya mengurangi tindakan adverse selection dan moral hazard oleh perusahaan sehingga mendorong peningkatan pemberian kredit oleh bank. Tahap selanjutnya akan meningkatkan investasi dan output. 35 Adverse selection merujuk pada situasi ketika dalam suatu transaksi ekonomi masing-masing individu memiliki informasi yang berbeda/asimetris mengenai beberapa aspek terkait dengan kualitas produk. Dengan kondisi ini, individu yang memiliki informasi lebih banyak memperoleh keuntungan lebih besar dari negosiasi yang dilakukan. Sementara itu moral hazard, merujuk pada situasi ketika pelaku ekonomi yang satu tidak mengetahui tindakan yang dilakukan oleh pelaku ekonomi lainnya sehingga menyebabkan adanya pengambilan keputusan yang salah yang pada gilirannya memberikan hasil yang tidak baik. Menurut jalur aliran kas, kebijakan moneter mempengaruhi kondisi aliran kas perusahaan melalui suku bunga nominal yang selanjutnya menjadi gambaran bagi pihak pemberi pinjaman tentang kemampuan membayar kredit oleh perusahaan/ rumah tangga. Apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif yang mendorong penurunan suku bunga nominal, maka kondisi aliran kas perusahaan membaik dan begitu juga dengan neraca keuangannya. Perbaikan kondisi keuangan (aliran kas) ini meningkatkan keyakinan pemberi pinjaman terhadap kemampuan membayar pinjaman sehingga mengurangi tindakan adverse selection meningkatkan pemberian kredit oleh bank. dan moral hazard dan Tahap selanjutnya akan meningkatkan investasi dan output. Jalur ekspektasi menekankan bahwa kebijakan moneter dapat diarahkan untuk mempengaruhi pembentukan ekspektasi terhadap inflasi dan kegiatan ekonomi yang akhirnya berpengaruh terhadap keputusan konsumsi dan investasi. Sebagai contoh, dalam hal bank sentral menempuh kebijakan moneter ekspansif maka kenaikan jumlah uang beredar akan mendorong kenaikan harga yang tidak terduga yang selanjutnya meningkatkan nilai bersih perusahaan. Perbaikan nilai bersih riil perusahaan ini akan mengurangi tindakan adverse 36 selection dan moral hazard dan meningkatkan pemberian kredit oleh bank yang mampu mendorong peningkatan investasi dan output. Jalur likuiditas rumah tangga menjelaskan bahwa kebijakan moneter akan mempengaruhi harga saham dimana kebijakan moneter ekspansif yang mendorong penurunan suku bunga mampu meningkatkan nilai saham. Peningkatan nilai saham ini berlanjut pada pebaikan kekayaan finansial rumah tangga yang menurunkan kemungkinan kesulitan keuangan rumah tangga dan selanjutnya meningkatkan keyakinan rumah tangga untuk meningkatkan pengeluaran perumahan dan barang-barang tahan lama yang dimasukkan sebagai pengeluaran investasi sehingga meningkatkan output dari permintaan agregat. Mekanisme transmisi kebijakan moneter secara lebih rinci disajikan pada Gambar 3. 2.1.10. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter Kerangka operasional kebijakan moneter merupakan langkah-langkah bank sentral dari penentuan dan prakiraan sasaran antara, pemantauan variabelvariabel ekonomi keuangan yang dijadikan dasar perumusan kebijakan moneter hingga pelaksanaan pengendalian moneter di pasar uang untuk mencapai sasaran akhir. Kerangka operasional kebijakan moneter mencakup instrumen, sasaran operasional dan sasaran antara yang dipergunakan untuk mencapai sasaran akhir yang telah ditetapkan. Sasaran antara diperlukan karena untuk mecapai sasaran akhir yang ditetapkan, terdapat tenggang waktu antara pelaksanaan kebijakan moneter dan hasil pencapaian sasaran akhir dari kebijakan tersebut. Tenggang waktu pengaruh kebijakan moneter terjadi karena diperlukan waktu : (1) merumuskan kebijakan moneter di bank sentral (inside lag), baik dalam mengetahui masalah KEBIJAKAN MONETER JALUR SUKU BUNGA JALUR HARGA ASSET LAIN JALUR KREDIT Dampak Suku Bunga Tradisional Dampak Nilai Tukar Terhadap Ekspor Neto Teori Thobin q DAMPAK KEKAYAAN JALUR PINJAMAN BANK JALUR NERACA PERUSAHAAN JALUR ALIRAN KAS JALUR EKSPEKTASI HARGA DAMPAK LIKUIDITAS RUMAH TANGGA KEBIJAKAN MONETER KEBIJAKAN MONETER KEBIJAKAN MONETER KEBIJAKAN MONETER KEBIJAKAN MONETER KEBIJAKAN MONETER KEBIJAKAN MONETER KEBIJAKAN MONETER KEBIJAKAN MONETER Suku Bunga Ril Suku Bunga Ril Harga Saham Harga Saham Simpanan Bank Harga Saham Suku Bunga Nominal Tingkat Ekspektasi Harga Harga Saham Nilai Tukar Tobin’s q Kekayaan Finansial Pinjaman Bank INVESTASI Pengeluaran Rumah Tangga Konsumsi Barang Tahan Lama INVESTASI EKSPOR NETO INVESTASI KONSUMSI Moral Hazard Adverse Selection Moral Hazard Adverse Selection Moral Hazard Adverse Selection AktifitasPinjaman Aktifitas Pinjaman Aktifitas Pinjaman INVESTASI INVESTASI INVESTASI Pengeluaran Rumah Tangga PRODUK DOMESTIK BRUTO Sumber : Frederic S. Mishkin (2001) Gambar 3. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Kekayaan Finansial Aliran Kas Peluang Kesulitan Keuangan Pengeluaran Rumah Tangga Konsumsi Barang Tahan Lama 37 (recognition lag), memutuskan kebijakan (decision lag), dan melaksanakan kebijakan moneter (action lag), dan (2) kebijakan moneter berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi (outside lag). Oleh karena itu, diperlukan adanya indikator-indikator yang lebih segera dapat dilihat untuk mengetahui indikasi arah pergerakan ekonomi dan inflasi ke depan dan respon kebijakan moneter yang diperlukan dan indikator ini yang disebut sebagai sasaran antara. Sasaran antara yang dipilih harus memiliki kestabilan hubungan dengan sasaran akhir diantaranya adalah M1, M2 atau suku bunga. Untuk mencapai sasaran antara tersebut, bank sentral memerlukan sasaran yang bersifat operasional agar proses transmisi dapat berjalan sesuai dengan rencana. Sasaran operasional yang dipilih harus memiliki kestabilan hubungan dengan sasaran antara, dapat dikendalikan bank sentral dan informasi tersedia lebih awal daripada sasaran antara. Beberapa pilihan sasaran operasional yang dapat digunakan antara lain uang primer (M0), cadangan dan suku bunga jangka pendek. Sementara itu, instrumen moneter adalah instrumen yang dimiliki oleh bank sentral yang dapat digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mempengaruhi sasaran operasional yang telah ditetapkan. Beberapa pilihan instrumen yang digunakan antara lain operasi pasar terbuka (open market operation), cadangan wajib minimum (reserve requirement) dan fasilitas diskonto (discount policy). Kerangka operasional yang dilakukan bank sentral akan ditentukan oleh pendekatan yang dianut, yaitu (1) pendekatan kuantitas besaran moneter (quantity-basec approach) dan (2) pendekatan suku bunga sebagai harga besaran moneter (price based approach). Secara lebih rinci, kerangka operasional kebijakan moneter melalui kedua pendekatan tersebut yang 38 mencerminkan keterkaitan antara instrumen, sasaran operasional, sasaran antara dan sasaran akhir disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5. Instrumen Sasaran Operasional - Operasi pasar terbuka - Uang Primer - Cadangan wajib - Cadangan minimum Bank - Fasilitas Diskonto Sasaran Akhir Sasaran Antara - Besaran Moneter (M1, M2, M3) - Stabilitas harga - Stabilitas pasar uang - Pertumbuhan ekonomi - Kesempatan Kerja Sumber : Mishkin (2001) Gambar 4. Kerangka Operasional dengan Pendekatan Kuantitas Besaran Moneter Sasaran Operasional Instrumen - Operasi pasar terbuka - Cadangan wajib minimum - Fasilitas Diskonto - Suku bunga jangka pendek (suku bunga bank sentral) Sasaran Antara Sasaran Akhir - Suku bunga jangka pendek dan jangka panjang - Stabilitas harga - Stabilitas pasar uang - Pertumbuhan ekonomi - Kesempatan Kerja Sumber : Mishkin (2001) Gambar 5. Kerangka Operasional dengan Pendekatan Suku Bunga Penggunaan dua pendekatan ini tidak bisa dilakukan secara bersamaan karena penggunaan besaran moneter sebagai variabel sasaran akan menghilangkan kontrol terhadap suku bunga. Dengan kata lain, pada besaran moneter tertentu, permintaan uang tetap akan berfluktuasi karena perubahan 39 yang tidak diharapkan pada output dan harga yang akhirnya akan mendorong perubahan pada suku bunga. Sementara itu, ketika bank sentral menggunakan suku bunga sebagai variabel target, fluktuasi permintaan uang direspon oleh bank sentral dengan membeli atau menjual obligasi pada operasi pasar terbuka sampai jumlah uang beredar dan suku bunga kembali pada tingkat tertentu. 2.2. Tinjauan Pustaka 2.2.1. Evolusi Pelaksanaan Kebijakan Moneter di Indonesia Pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang moneter mengalami evolusi sesuai dengan pasang surut perkembangan ekonomi dan iklim politik di Indonesia. Perkembangan ekonomi sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan kebijakan moneter tidak hanya karena kebijakan moneter diarahkan untuk mempengaruhi berbagai variabel ekonomi makro khususnya inflasi dan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga karena perkembangan ekonomi akan menentukan bagaimana reaksi Bank Indonesia merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneternya. Secara khusus perkembangan sektor keuangan sangat mempengaruhi pelaksanaan kebijakan moneter karena mekanisme transmisi kebijakan moneter pada dasarnya terjadi melalui sektor keuangan sesuai fungsinya sebagai lembaga intermediasi. Perkembangan kebijakan moneter di Indonesia cukup beragam yang dapat dilihat pada tiga periode waktu yang berbeda yaitu tahun 1968-1972, periode 1973-1982, periode 1983-1997 dan periode setelah krisis yaitu setelah tahun 1997 (Solikin, 2000). 2.2.1.1. Periode Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi (1968-1972) Pada akhir tahun 1960-an perkembangan ekonomi dan keuangan terus berkembang. Awalnya kebijakan pemerintah lebih diprioritaskan untuk 40 pemulihan stabilitas ekonomi yang sempat terancam pada pertengahan tahun 1960-an. Pengeluaran anggaran diseleksi secara ketat, defisit anggaran pemerintah dikendalikan dan pembiayaan diupayakan dari pinjaman lunak luar negeri sehingga tidak mengancam stabilitas ekonomi. Di sisi moneter, pencetakan uang untuk pembiayaan defisit anggaran pemerintah dihentikan dan jumlah uang beredar dikendalikan. Dengan upaya ini stabilitas ekonomi secara cepat dipulihkan yang terlihat dari menurunnya laju inflasi hingga dibawah 10 persen. Penataan ekonomi khususnya di sektor moneter dan perbankan lebih disempurnakan dengan dikeluarkannya UU. No. 13 tahun 1963 tentang Bank Sentral. Dalam hal ini tugas Bank Indonesia adalah membantu pemerintah dalam mengatur, menjaga dan memelihara stabilitas nilai rupiah dan mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. 2.2.1.2. Periode Pertumbuhan Ekonomi melalui Kontribusi Minyak (1973-1982) Peningkatan kegiatan perekonomian nasional dalam periode ini mendapat dukungan dari hasil minyak yang meningkat khususnya pada tahun 1970-an. Kondisi ini memberikan dampak positif dan negatif dimana pada satu sisi hasil minyak menjadi sumber penerimaan pemerintah dalam membiayai pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan di sisi fiskal sehingga mendorong pertumbuhan kegiatan sektor riil. Namun di sisi lain peningkatan penerimaan devisa hasil minyak dan pengeluaran pemerintah telah menyebabkan ekspansi jumlah uang beredar dari sisi fiskal yang mengharuskan otoritas moneter untuk melakukan penyerapan ekspansi fiskal tersebut untuk 41 mencegah timbulnya kelebihan likuiditas dalam perekonomian yang dapat mendorong peningkatan inflasi. Oleh karena itu, pada tahun 1974 pemerintah mulai menempuh kebijakan kredit selektif dari sisi moneter dengan tujuan untuk mengendalikan jumlah uang beredar. Langkah utama yang ditempuh adalah melakukan pengaturan terhadap besarnya ekspansi kredit yang boleh disalurkan oleh perbankan atau sering dikenal dengan pagu ekspansi aktiva neto. Meskipun peran sektor perbankan menjadi berkurang karena kelangkaan sumber dana akibat menurunnya penghimpunan dana masyarakat dan adanya pembatasan dalam pemberian kredit, kegiatan investasi terus berlanjut khususnya investasi pemerintah. Dalam rangka memberikan keleluasaan kepada perbankan terutama dalam pemberian kredit kepada sektor swasta, pada tahun 1978 Bank Indonesia menurunkan reserve requirement bank dari 30 persen menjadi 15 persen. 2.2.1.3. Periode Deregulasi, Debirokratisasi dan Liberalisasi Ekonomi (1983-1997) Pada awal dekade 1980-an harga minyak di pasar dunia mengalami kemerosotan akibat adanya kecenderungan terjadinya resesi dunia sehingga menurunkan penerimaan negara. Oleh karena itu, pemerintah melakukan serangkaian kebijakan reformasi di bidang ekonomi untuk mengatasi ancaman krisis dengan tujuan untuk menumbuhkan, mendorong dan meningkatkan peran sektor swasta dalam pembangunan ekonomi. Kebijakan reformasi ini mulai diterapkan sejak awal dekade 1980-an dalam bentuk kebijakan deregulasi, debirokratisasi dan liberalisasi baik di sektor perbankan dan keuangan, perdagangan, investasi dan sebagainya. 42 Pada tanggal 1 Juni 1983 pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi perbankan yang berpengaruh pada pesatnya perkembangan sektor perbankan dan keuangan saat itu yang dapat dilihat dari jumlah bank yang beroperasi, besarnya dana masyarakat yang dapat dimobilisasi baik dalam bentuk giro, tabungan dan deposito, maupun kredit dan jenis pembiayaan lainnya. Di pasar keuangan juga terjadi perkembangan yang pesat baik dari sisi volume transaksi keuangan maupun berbagai produk keuangan (saham, obligasi, surat-surat berharga dan produk-produk derivatif) yang diperdagangkan. Dengan kondisi ini, semakin banyak dana yang berputar di sektor keuangan dan mempengaruhi keeratan hubungan antara uang, inflasi dan output. Kebijakan moneter pun mengalami perubahan dimana kebijakan moneter sebelumnya dilakukan secara langsung dengan selection credit policy beralih ke cara tidak langsung dan berorientasi pasar dengan melakukan operasi pasar terbuka. Pengendalian moneter diarahkan pada jumlah uang beredar (M1 dan M2) sebagai sasaran antara dan uang primer (M0) sebagai sasaran operasional. Sementara itu, operasi di pasar uang dilakukan melalui lelang SBI yang mulai diterbitkan pada tahun 1984 sebagai instrumen utama kebijakan moneter. Pengendalian likuiditas juga dibantu dengan intervensi di pasar uang rupiah dengan cara memberi pinjaman jangka pendek atau overnight hingga tujuh hari (Warjiyo, 2000). Dalam perkembangan selanjutnya pemerintah mengeluarkan paket kebijakan 27 Oktober 1988 yang secara umum merupakan penyempurnaan kebijakan bidang keuangan, moneter dan perbankan. Dalam upaya peningkatan efektivitas pengendalian moneter, langkah yang ditempuh diantaranya adalah penurunan reserve requirement dari 15 persen menjadi 2 persen. Di bidang perbankan, dilakukan penciptaan iklim persaingan yang lebih kondusif melalui pelonggaran izin pendirian bank-bank baru dan bank campuran. 43 Sejalan dengan pesatnya perkembangan perbankan dan pasar keuangan di Indonesia, timbul permasalahan baru dalam pelaksanaan kebijakan moneter khususnya berkaitan dengan upaya pengendalian jumlah uang beredar (M1 dan M2). Operasi dan produk perbankan baik dalam mobilisasi dana maupun dalam pembiayaan dunia usaha tidak hanya terbatas pada rekening giro, tabungan, deposito ataupun kredit tetapi juga telah bervariasi dalam berbagai bentuk instrumen pasar seperti negotiable certificate of deposits, commercial papers, promissory notes dan di sisi lain perkembangan pasar modal juga cukup pesat baik dalam bentuk volume transaksi maupun jenis surat-surat berharga yang diperdagangkan. Akibatnya terjadi kecenderungan adanya pelepasan keterkaitan antara sektor keuangan dan sektor riil yang menyebabkan semakin renggangnya hubungan antara uang beredar dengan inflasi dan output riil khususnya dalam jangka pendek. Sebagai dampak dari liberalisasi sektor keuangan, aliran dana yang masuk ke perekonomian Indonesia khususnya pinjaman luar negeri swasta menjadi sangat besar. Pada satu sisi, besarnya aliran dana luar negeri tersebut mampu menutup kesenjangan tabungan dan investasi sehingga dapat mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Namun di sisi lain aliran dana luar negeri yang pada umumnya berupa pinjaman luar negeri swasta berjangka pendek, tidak memperhitungkan risiko perubahan nilai tukar dan banyak dimanfaatkan untuk membiayai proyek-proyek swasta yang berjangka panjang dan tidak menghasilkan devisa. Dari sisi moneter, mobilitas aliran dana luar negeri tersebut juga mempersulit pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia. Untuk menghindari dampak negatif dari ekspansi uang beredar yang berasal dari aliran dana luar negeri tersebut terhadap peningkatan inflasi dan kestabilan nilai tukar rupiah, Bank Indonesia melakukan penyerapan kelebihan 44 likuiditas dalam perekonomian sehingga mendorong kenaikan suku bunga dalam negeri. Namun kenaikan suku bunga ini semakin mendorong masuknya aliran dana luar negeri khususnya dalam bentuk surat-surat berharga yang berjangka pendek dan akibatnya jumlah pinjaman luar negeri swasta dalam berbagai bentuk semakin besar jumlahnya dan hal ini menjadi penyebab utama krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. 2.2.1.4. Periode Setelah Krisis Ekonomi Krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997 pada dasarnya dipicu oleh adanya kelangkaan dana perbankan sebagai akibat penarikan dana oleh masyarakat yang sangat besar dan melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS yang pada akhirnya semakin menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap rupiah yang membuat nilai tukar rupiah terus menurun. Dengan pertimbangan pengalaman tersebut, maka perlu diwujudkan sistem perekonomian yang lebih tangguh. Kebijakan moneter yang merupakan salah satu bagian penting dari kebijakan pembangunan ekonomi nasional harus lebih diarahkan pada upaya menciptakan dan menjaga stabilitas moneter. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai pengganti UU No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral (Bank Indonesia, 2000). Dalam landasan hukum yang baru ini Bank Indonesia mempunyai tujuan yang lebih terfokus yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Hal ini berbeda dengan UU No. 13/1968 yang menyatakan bahwa tugas Bank Indonesia adalah membantu pemerintah dalam mencapai multiple objectives (beberapa tujuan) yaitu menjaga dan memelihara stabilitas nilai rupiah, mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat. 45 Kestabilan nilai rupiah secara teoritis mempunyai makna ganda yaitu stabilitas harga barang dan jasa (inflasi) di dalam negeri dan stabilitas harga mata uang domestik (nilai tukar). Warjiyo (2000) menyatakan bahwa dalam jangka panjang, pencapaian stabilitas harga akan mendorong stabilitas nilai tukar dan kestabilan nilai rupiah ini merupakan prasyarat bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Untuk mencapai tujuan diatas, Bank Indonesia melaksanakan tiga tugas pokok, yaitu (1) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, (2) mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, dan (3) mengatur dan mengawasi sistem perbankan. Pada dasarnya pelaksanaan ketiga tugas pokok ini mempunyai keterkaitan erat dalam upaya pencapaian kestabilan nilai rupiah tersebut. Selanjutnya sesuai amandemen UU No.3 tahun 2004 ditegaskan bahwa sasaran laju inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter ditetapkan oleh pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan koordinasi antara kebijakan moneter Bank Indonesia dengan kebijakan fiskal yang ditempuh pemerintah dalam mencapai sasaran ekonomi makro. Disamping itu, perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperkuar komitmen dan dukungan pemerintah dalam pencapaian sasaran inflasi oleh Bank Indonesia. 2.2.2. Penerapan Inflation Targeting di Indonesia Pemberlakuan Undang-undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia membawa perubahan mendasar pada perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter di Indonesia. Undang-undang ini memberikan landasan hukum yang jelas menyangkut kewenangan dan independensi Bank Indonesia dalam melaksanakan tugas di bidang moneter yaitu mencapai dan memelihara 46 kestabilan nilai rupiah. Undang-undang tersebut secara implisit mengamanatkan kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia berdasarkan pada kerangka kerja yang dikenal dengan sebutan Inflation Targeting. Prinsip dasar yang melandasi kerangka kerja Inflation Targeting tersebut adalah sasaran akhir dari kebijakan moneter diutamakan untuk mencapai dan memelihara laju inflasi yang rendah dan stabil. Hal ini didasarkan pada dua pertimbangan pokok, yaitu (1) laju inflasi yang tinggi menimbulkan biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat karena menurunnya daya beli atas pendapatan yang diperolehnya maupun meningkatnya ketidakpastian yang dapat mempersulit perencanaan usaha dan memperburuk kegiatan ekonomi, dan (2) perkembangan teori ekonomi dalam literatur dan temuan empiris di berbagai negara menunjukkan bahwa kebijakan moneter dalam jangka menengahpanjang hanya berpengaruh pada inflasi dan bukan pada pertumbuhan ekonomi meskipun belum terdapat kesepakatan mengenai bagaimana pengaruh kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Pokok-pokok konsep dasar penerapan inflation targeting di Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Sasaran Inflasi Sejak tahun 2000, Bank Indonesia menetapkan dan mengumumkan sasaran inflasi yang akan dicapai melalui kebijakan moneternya. Sasaran inflasi ditetapkan untuk jangka menengah-panjang (3-5 tahun ke depan), yang untuk saat ini adalah 6 persen pada tahun 2006. Jenis inflasi yang digunakan adalah Indeks Harga Konsumen (IHK), terutama untuk memudahkan komunikasi dengan Pemerintah dan masyarakat. Akan tetapi, untuk dasar perumusan kebijakan moneter secara internal, Bank Indonesia mengembangkan jenis inflasi yang dapat dikendalikan oleh kebijakan moneter dan dikenal dengan sebutan inflasi inti. Terkait dengan penetapan inflasi, amandemen UU No. 3 tahun 2004 47 terhadap UU No. 23 tahun 1999, sasaran inflasi yang semula ditetapkan sendiri oleh Bank Indonesia ditetapkan oleh pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia. 2. Kebijakan moneter mengarah ke depan Kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan ke depan. Pentingnya kebijakan moneter yang berorientasi masa depan dilatarbelakangi fakta empiris bahwa terdapat tenggang waktu yang relatif lama dari pengaruh kebijakan moneter terhadap perkembangan berbagai variabel ekonomi-keuangan dan sasaran akhir inflasi. Orientasi kebijakan moneter yang demikian mengharuskan bank sentral untuk dapat ; (1) memprakirakan pergerakan inflasi ke depan untuk dibandingkan dengan sasaran yang ditetapkan, (2) mengetahui seberapa lama tenggang waktu dari pengaruh kebijakan moneter saat ini dengan infllasi di masa yang akan datang, dan (3) mengetahui dengan baik bagaimana mekanisme transmisi kebijakan moneter dalam mempengaruhi inflasi dan perekonomian. Untuk itu, Bank Indonesia telah mengembangkan model-model proyeksi ekonomi, nilai tukar dan inflasi serta berbagai penelitian yang diperlukan untuk memperkuat perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter secara foorward looking. 3. Transparansi Penjelasan secara periodik mengenai pelaksanaan kebijakan moneter dilakukan oleh Bank Indonesia baik pada setiap awal tahun, triwulan, bulanan maupun mingguan. Dalam penjelasan setiap awal tahun dan triwulanan dikemukakan mengenai perkembangan pencapaian inflasi dan pelaksanaan kebijakan moneter yang telah dilakukan serta proyeksi ekonomi dan inflasi ke depan dan arah kebijakan moneter yang akan ditempuh sebagaimana dibahas dan diputuskan dalam Rapat Dewan Gubernur. 48 4. Akuntabilitas Sesuai UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan UU No. 3 tahun 2004, Bank Indonesia diwajibkan untuk menyampaikan laporan tahunan dan laporan triwulanan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang termasuk kebijakan moneter kepada DPR. Laporan tersebut dievaluasi DPR dalam rangka penilaian secara tahunan atas kinerja dewan gubernur dan Bank Indonesia. Perubahan dalam undang-undang tersebut dimaksudkan untuk memperkuat mekanisme akuntabilitas pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia, termasuk dalam pelaksanaan kebijakan moneter. Selanjutnya, berdasarkan sasaran inflasi yang ditetapkan serta proyeksi pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, suku bunga dan variabel ekonomi makro lainnya, maka Bank Indonesia dapat memperkirakan permintaan uang yang sesuai dengan kebutuhan riil perekonomian dan memperhitungkan pertumbuhan jumlah uang beredar (M1 dan M2) yang dibutuhkan masyarakat. Dengan mengendalikan uang primer (M0) sebagai sasaran operasional yang dapat ditentukan baik secara tahunan, kuartalan, bulanan maupun mingguan, maka jumlah uang beredar di masyarakat dapat dipengaruhi. Berdasarkan sasaran uang primer yang ditetapkan, Bank Indonesia melakukan Operasi Pasar Terbuka (OPT) sebagai instrumen utama pengendalian moneter melalui tiga cara yaitu (1) lelang SBI, (2) Fasilitas Bank Indonesia, dan (3) sterilisasi/intervensi di pasar valuta asing. Sebagai contoh, jika Bank Indonesia ingin mengurangi jumlah uang beredar (kebijakan uang ketat) maka Bank Indonesia mendorong masyarakat untuk membeli SBI dengan cara menaikkan suku bunga SBI. Sebaliknya jika pemerintah ingin ekspansi uang beredar maka Bank Indonesia menarik SBI yang berada di tangan 49 masyarakat dengan cara membelinya. Agar semakin banyak SBI yang dijual, maka Bank Indonesia menurunkan tingkat suku bunga SBI. Instrumen utama kebijakan moneter lain yang dilakukan Bank Indonesia adalah melalui fasilitas diskonto yaitu fasilitas pinjaman yang diberikan Bank Indonesia kepada bank umum. Ekspansi jumlah uang beredar diupayakan melalui peningkatan daya ekspansi kredit bank umum melalui penurunan tingkat bunga pinjaman fasilitas diskonto, dan sebaliknya. Giro wajib minimum mempengaruhi daya ekspansi kredit. Jika Bank Indonesia menurunkan giro wajib minimum maka daya ekspansi kredit bank umum akan meningkat sehingga jumlah uang beredar bertambah. Sebaliknya jika giro wajib minimum ditingkatkan maka daya ekspansi kredit bank umum menurun dan jumlah uang beredar berkurang. Sementara itu, imbauan digunakan oleh Bank Indonesia dengan tujuan agar semua bank mengikuti langkah kebijakan moneter yang diinginkan Bank Indonesia. Meskipun berbagai langkah persiapan dan penguatan kebijakan moneter telah dilakukan Bank Indonesia, penerapan kerangka inflation targeting di Indonesia tidaklah mudah karena terkait dengan kondisi perekonomian dan sistem perbankan yang sedang mengalami perubahan struktural. Permasalahan fungsi intermediasi perbankan yang belum berjalan optimal mempengaruhi efektivitas mekanisme transmisi dan kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia. Dengan kondisi demikian, langkah-langkah kebijakan moneter Bank Indonesia misalnya perubahan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tidak selalu dapat secara efektif mempengaruhi perkembangan suku bunga perbankan maupun berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan secara keseluruhan yang diperlukan dalam mencapai sasaran inflasi yang telah ditetapkan. 50 2.2.3. Beberapa Studi Terdahulu Alkadri (1999) menganalisis tentang sumber-sumber pertumbuhan Indonesia selama 1969-1996 dengan menggunakan metode regresi kuadran terkecil (OLS). Model yang diaplikasikan dalam analisis adalah perluasan model pertumbuhan Harrod-Domar dan Rana Dowling dengan memasukkan 11 variabel penjelas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dari hasil penaksiran model diperoleh hasil bahwa utang luar negeri pemerintah, utang luar negeri swasta, investasi domestik, eskpor barang, tabungan pemerintah, tabungan swasta, pajak dan angkatan kerja memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara itu variabel investasi asing, impor barang dan pengeluaran pemerintah memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dilihat dari angka signifikansi maka meskipun utang luar negeri pemerintah dan utang luar negeri swasta memberikan dampak positif namun tidak dapat diandalkan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi selama 19691996. Begitu juga dengan investasi asing dan pengeluaran pemerintah. Dalam kenyataannya kondisi ini dipicu oleh ketidaktepatan penggunaan dana, dimana pemerintah mengalokasikan utang untuk membangun infrastruktur fisik dan non fisik sedangkan swasta mengucurkan utang yang diperoleh untuk membangun sektor properti dan sektor lain yang kurang produktif dalam jangka pendek. Padahal sebagian besar utang luar negeri berjangka waktu pengembalian yang relatif pendek (3-5 tahun) dengan bunga relatif tinggi (5-8 persen). Sebaliknya ekspor barang (migas dan non migas) menjadi kunci utama sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 1969-1996. Hal ini dibuktikan oleh hasil olahan data dimana variabel ekpor berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Sumber pokok pertumbuhan ekonomi 51 lainnya adalah tabungan pemerintah, tabungan swasta, investasi domestik dan pajak. Disamping itu angkatan kerja ternyata menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 1969-1996 meskipun secara statistik kurang berarti. Artinya apabila potensi sumberdaya dapat dikembangkan secara optimal maka besar kemungkinan variabel ini menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa mendatang. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 memberikan dampak yang signifikan terhadap kinerja perekonomian Indonesia. Terkait dengan itu Yudanto (1999) menganalisis Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil. Hal ini dilatarbelakangi kondisi penurunan pertumbuhan produksi riil sektor-sektor perekonomian sejak krisis melanda Indonesia. Sektorsektor yang selama ini memiliki pangsa cukup besar terhadap PDB seperti sektor industri pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran, bangunan dan keuangan telah mengalami kontraksi secara signifikan. Hipotesis yang digunakan adalah daya tahan setiap sektor dari tekanan nilai tukar dan tingginya suku bunga sangat tergantung pada kuatnya keterkaitan tingkat produksi sektor tersebut dengan faktor depresiasi dan suku bunga, dimana kedua faktor tersebut merupakan unsur biaya dalam proses produksi . Untuk membuktikan hipotesis tersebut dilakukan uji korelasi yang melihat seberapa jauh keterkaitan antara fluktuasi nilai tukar dan suku bunga dengan pertumbuhan produksi. Sedangkan untuk menguji tingkat kepekaannya dihitung dari koefisien elastisitas faktor-faktor tersebut. Dari hasil pengujian diketahui bahwa sektor yang terkait cukup erat dengan faktor depresiasi nilai kurs adalah sektor bangunan, industri, transportasi dan sektor bangunan. Sedangkan dari tingkat elastisitasnya ternyata sektor industri menjadi sektor yang paling elastis terhadap perubahan nilai kurs. Dua penyebab utamanya adalah saratnya kandungan input yang diimpor dan 52 besarnya sumber pembiayaan dari luar negeri. Dari sisi fluktuasi suku bunga diketahui bahwa sektor bangunan, industri, transportasi dan perdagangan merupakan sektor yang memiliki kaitan paling erat dengan gejolak suku bunga. Dilihat dari elastisitasnya maka sektor bangunan dan keuangan merupakan sektor yang paling elastis terhadap perubahan suku bunga. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa jenis usaha sektor riil yang memiliki basis sumberdaya yang kuat, berorientasi ekspor, sumber pembiayaan non rupiah yang rendah serta mempunyai korelasi maupun elastisitas yang rendah terhadap perubahan suku bunga maupun nilai tukar terbukti mampu bertahan dalam krisis bahkan masih mampu memberikan pertumbuhan secara positif selama krisis. Sejalan dengan perubahan tatanan perekonomian dunia yang semakin menglobal, maka pembangunan ekonomi Indonesia harus dibenahi sehingga selaras dengan liberalisasi dan dapat memberikan manfaat positif terhadap perekonomian. Hal ini dianalisis oleh Gonarsyah (2002) dengan judul Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Kinerja Perekonomian Indonesia dan Antisipasinya menghadapi Era Abad Asia Pasifik. Dengan menggunakan kerangka model makroekonomi Keynes-Klein atau yang dikenal model mikromakroekonomi memberikan hasil bahwa secara keseluruhan, krisis ekonomi yang terjadi menyebabkan terpuruknya perekonomian nasional seperti ditunjukkan dari memburuknya pertumbuhan beberapa indikator makroekonomi yaitu penurunan pendapatan nasional, neraca pembayaran Indonesia, nilai tukar, konsumsi agregat, distribusi pendapatan dan peningkatan inflasi. Namun satu hal yang menarik adalah saat hampir semua sektor mengalami penurunan, sektor pertanian justru menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi. Implikasi kebijakan yang dapat ditempuh untuk mengatasi krisis ekonomi di dalam atmosfir liberalisasi perdagangan adalah memprioritaskan investasi 53 pada sektor pertanian dan perdagangan yang disertai dengan kebijakan penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia dan tetap mempertahankan restriksi perdagangan pada komoditi strategis seperti beras dan gula. Kebijakan ini diperkirakan mampu menumbuhkan PDB, mampu mengurangi defisit neraca perdagangan dan jasa, meningkatkan neraca pembayaran dan menstabilkan nilai tukar serta mampu memperbaiki pemerataan pendapatan. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter melakukan perubahan yang cukup signifikan dengan mengeluarkan UU No. 23/1999 yang menyatakan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Undang-undang ini melandasi upaya penyempurnaan kebijakan moneter di Indonesia dalam kerangka kerja pentargetan inflasi (inflation targeting). Nuryati (2204) dalam tesisnya tentang ”Pelaksanaan Kebijakan Moneter Pentargetan Inflasi di Indonesia” menunjukkan bahwa pelaksanaan UU No. 23/1999 belum dapat dilaksanakan secara optimal. Tugas, fungsi dan wewenang Bank Indonesia belum terkoordinasi dalam sebuah struktur organisasi yang efektif sehingga peran Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan moneter masih terbatas yang menyebabkan tujuan kebijakan sulit tercapai. Ketidakefektifan dapat terlihat pada belum tercapainya prinsip independensi, transparansi, akuntabilitas dan kredibilitas dalam penyelenggaraan kebijakan. Dengan menggunakan metode analisis Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) melalui Vector Error Correction Model (VECM), diperoleh hasil bahwa kebijakan moneter selama krisis hanya berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi jangka pendek dan harga dalam jangka panjang tetapi rendah. Guncangan suku bunga mempengaruhi nilai tukar relatif kecil dan variabilitas nilai tukar lebih ditentukan oleh nilai tukar itu sendiri yang sesuai dengan sistem nilai tukar di Indonesia mengambang bebas. Variabilitas suku bunga dipengaruhi oleh adanya 54 guncangan permintaan uang dan agregat suplai. Sedangkan variabilitas harga dipengaruhi oleh permintaan uang. Kebijakan moneter mempengaruhi harga memerlukan lag selama 6 bulan. Implikasi umum hasil penelitian ini adalah perlu penyempurnaan kembali kebijakan moneter inflation targeting melalui arah kebijakan yang lebih transparan sehingga dampak nyata terhadap perekonomian lebih terasa. Kebijakan moneter dengan pengendalian harga tetap dipertahankan apabila di masa mendatang Bank Indonesia mempunyai instrumen yang sepenuhnya dibawah kendali Bank Indonesia. Namun kebijakan moneter dengan mengendalikan jumlah uang beredar justru lebih tepat digunakan selama proses pemulihan ekonomi. Perubahan penting yang juga dilakukan Indonesia pasca krisis adalah peralihan sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating system) menjadi sistem mengambang penuh atau bebas (freely floating system). Sistem nilai tukar baru ini diterapkan pada tanggal 14 Agustus 1997 sehingga menyebabkan posisi nilai tukar rupiah ditentukan oleh mekanisme pasar. Sistem nilai tukar mengambang penuh atau bebas ini mengasumsikan bahwa intervensi pemerintah tidak ada dalam pasar valuta asing. Artinya dalam sistem nilai tukar bebas ini tidak ada kewajiban Bank Indonesia untuk melakukan intervensi secara sistematis sehingga nilai tukar rupiah bebas bergerak dalam merespon kekuatan pasar. Penelitian yang dilakukan oleh Suhendra (2001) bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar rupiah pasca penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas yaitu faktor fundamental makroekonomi, faktor resiko dan faktor ekspektasi nilai tukar di masa depan. Dengan menggunakan dua model yaitu model persamaan kointegrasi dan model dinamis (ECM) diperoleh hasil bahwa perbedaan tingkat suku bunga, tingkat 55 harga relatif, cadangan devisa, investasi langsung dan tidak langsung luar negeri, pertumbuhan utang luar negeri, pembayaran utang swasta, ekspor, indeks resiko dan ekspektasi nilai tukar akan datang mempunyai korelasi terhadap nilai tukar dalam jangka pendek dan jangka panjang. Artinya seluruh faktor fundamental diatas berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah terhadap dollar. Sedangkan PDB riil, penawaran uang, dan impor mempunyai korelasi terhadap nilai tukar hanya dalam jangka panjang. Hasil temuan empiris dalam studi ini memunculkan beberapa implikasi pokok kebijakan pengelolaan ekonomi makro jangka pendek dan jangka panjang diantaranya : (1) melakukan upaya menciptakan stabilitas sosial-politik dan penciptaan rasa aman dalam berinvestasi, (2) menjaga kestabilan tingkat harga yang merupakan cerminan dari inflasi, (3) melakukan upaya peningkatan ekspor baik migas maupun non migas, (4) melakukan penjadwalan pembayaran utang resmi pemerintah dan penudaan pembayaran utang luar negeri swasta, dan (5) melakukan upaya pengurangan ketergantungan terhadap utang luar negeri yang dapat menganggu stabilitas nilai tukar pada saat pembayaran utang. Deregulasi moneter di Indonesia dan kaitannya dengan tingkat suku bunga menjadi topik analisis Wiranta (1995). Analisis ini dilatarbelakangi kondisi riil bahwa dalam setiap kegiatan ekonomi, tingkat suku bunga menjadi perhatian kreditur dan debitur dimana kedua belah pihak menginginkan tingkat suku bunga yang wajar. Disamping itu tingkat suku bunga merupakan salah satu indikator antara bagi otoritas moneter dalam mencapai sasaran akhir kebijakan moneter. Oleh karena itu secara lebih rinci Wiranta ingin mengetahui lebih jauh tentang kebijakan moneter yang pernah dilakukan pemerintah dan kaitannya dengan tingkat suku bunga. Dari hasil kajian diketahui bahwa tingkat suku bunga di Indonesia pada masa mendatang masih tetap tinggi yang disebabkan antara lain oleh laju inflasi 56 yang masih tinggi, overhead cost yang tinggi, faktor internal dan eksternal serta ketatnya persaingan antar bank. Disamping itu kebijakan moneter tahun 1983 merupakan awal deregulasi yang sangat penting karena bank-bank pemerintah diberikan keleluasaan menentukan suku bunga tanpa intervensi pemerintah. Diperkenalkannya SBI dan SBPU sebagai instrumen kontrol pengembangan moneter memberikan hasil cukup positif dimana jumlah bank meningkat tajam, begitu pula jumlah penyimpan dana, volume kredit dan tabungan. Selanjutnya manajemen perbankan dikelola secara profesional dan efisien sehingga dapat melakukan ekspansi usaha. Berhubung tingkat suku bunga yang tinggi kurang menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi, maka beberapa kebijakan yang perlu dilakukan diantaranya (1) kontrol moneter secara agregat guna menjaga stabilitas seperti pengendalian laju inflasi, jumlah uang beredar, dan tabungan masyarakat, (2) BI sebagai otoritas moneter berkewajiban menyehatkan persaingan pasar dan melakukan intervensi jika bank menyimpang dari aturan yang ditetapkan, (3) pinjaman luar negeri harus diatur secara lebih ketat, (4) merangsang pemasukan kembali tabungan nasional yang ditahan dalam bentuk valuta asing, dan (5) pemberlakukan perbedaan tingkat suku bunga kepada pelaku ekonomi. Hamdani (2003) dalam topik Pengaruh Aliran Modal Swasta Jangka Pendek terhadap Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Laju Inflasi di Indonesia membangun 3 model ekonometrik yaitu (1) model perilaku aliran modal swasta, (2) model perilaku nilai tukar, dan (3) model perilaku inflasi. Menggunakan metode persamaan simultan yang dianalisis dengan two stage least square memberikan hasil bahwa laju inflasi dan nilai tukar mempunyai hubungan yang timbal balik (2 arah). Laju inflasi berpengaruh positif terhadap perubahan nilai tukar rupiah/US$ dengan nilai koefisien 1.01. Hal ini sejalan dengan teori ”purchasing power 57 parity” yang menyebutkan bahwa laju inflasi doemstik yang lebih besar dari laju inflasi luar negeri akan melemahkan nilai tukar mata uang domestik. Sedangkan pengaruh nilai tukar terhadap inflasi juga positif dengan nilai koefisien lebih kecil yaitu 0.72 yang berarti jika nilai tukar rupiah terdepreasiasi sebesar 1 persen maka laju inflasi akan meningkat sebesar 0.72 persen. Pengaruh perubahan nilai tukar terhadap laju inflasi yang positif merupakan pass-trough effect dari barang-barang dan bahan baku impor yang harganya meningkat sehingga mengakibatkan meningkatnya biaya produksi. Faktor lain yang berpengaruh terhadap laju inflasi adalah pertumbuhan produk domestik bruto riil dan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia. Pengaruh pertumbuhan PDB riil menunjukkan arah positif dengan nilai koefisien sebesar 0.46 persen. Angka ini mengisyaratkan bahwa kenaikan tingkat output riil tidak bisa meredam laju inflasi karena perilaku masyarakat yang tidak optimis mengharapkan laju inflasi di masa yang akan datang menurun sehingga walaupun terjadi kenaikan output riil, laju inflasi tetap meningkat. Untuk mengatasi laju inflasi dari sisi permintaan tersebut, maka melalui kebijakan Bank Indonesia menaikkan suku bunga SBI. Hasil analisis membuktikan hal tersebut dimana suku bunga SBI berpengaruh negatif terhadap laju inflasi dengan nilai koefisien sebesar -0.005. Artinya sertifikat Bank Indonesia merupakan instrumen yang cukup efektif mengendalikan inflasi terutama demand inflation. Dasar pemikran dan mekanismenya adalah ketika terjadi kelebihan permintaan yang diakibatkan peningkatan produk domestik bruto riil yang berarti masyarakat memiliki pendapatan yang lebih tinggi, maka dilakukan kebijakan meningkatkan suku bunga SBI yang berarti return yang bisa didapatkan masyarakat juga meningkat (cateris paribus) sehingga masyarakat tertarik menggunakan uang untuk membeli SBI yang selanjutnya mengurangi perilaku konsumtif masyarakat dan akhirnya meredam laju inflasi. 58 Studi yang dilakukan oleh Julaihah (2004) tentang Analisis Dampak Kebijakan Moneter terhadap Variabel Makroekonomi di Indonesia mengaplikasikan Vector Error Correction Model dalam analisisnya. Berdasarkan hasil impulse response yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak merespon adanya kejutan satu standar deviasi dari uang primer. Sedangkan pengaruh kejutan uang primer terhadap inflasi yang terlihat cukup signifikan, ternyata menghasilkan prize puzzle. Prize puzzle merupakan kondisi dimana ekspansi moneter yang dilakukan oleh otoritas moneter ternyata direspon dengan penurunan inflasi. Penggunaan suku bunga SBI sebagai variabel kebijakan ternyata memberikan hasil yang lebih baik daripada penggunaan uang primer. Pada saat suku bunga SBI dimasukkan dalam model, maka liquidity puzzle dan prize puzzle dapat dihindari. Sehingga interpretasi ekonomi dari hasil impulse response lebih mudah dan sesuai dengan teori. Penggunaan agregat moneter untuk kasus di Indonesia ternyata hanya berdampak pada inflasi dan tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan variance decomposition, maka terlihat bahwa uang primer tidak mampu memberikan kontribusi terhadap variasi pertumbuhan ekonomi, uang primer hanya berkontribusi terhadap variabilitas inflasi. Sedangkan SBI memiliki kemampuan untuk menjelaskan variabilitas pertumbuhan ekonomi dan SBI terlihat lebih mampu memberi kontribusi terhadap pertumbuhan ketika horizon waktu semakin panjang. Hal yang menarik dari variance decomposition adalah bahwa nilai tukar ternyata sangat dipengaruhi oleh variabel kebijakan, yaitu baik ketika menggunakan variabel kebijakan uang primer maupun ketika menggunakan SBI. Jadi dapat disimpulkan bahwa adanya kejutan kebijakan moneter ternyata direspon secara cepat oleh nilai tukar dibandingkan dengan variabel-variabel ekonomi makro yang lain. 59 Khusus terkait dengan nilai tukar, Ekananda Mahyus (2004) melakukan studi tentang Analisis Pengaruh Volatilitas Nilai Tukar pada Ekspor Komoditi Manufaktur di Indonesia. Dengan menggunakan Non Linear Seemingly Unrelated Regression di peroleh hasil bahwa komoditi manufaktur dengan kandungan impor tinggi akan terkena dampak yang berbeda, dibandingkan dengan komoditi manufaktur dengan kandungan impor rendah. Artinya , terdapat perbedaan dampak volatilitas nilai tukar dan nilai tukar pada nominal ekspor komoditi manufaktur dengan kandungan impor yang berbeda. Fluktuasi nilai tukar dan volatilitas nilai tukar rupiah memiliki elastisitas yang berbeda pada setiap nilai ekspor komoditi. Pengaruh ini dapat saja signifikan atau bahkan tidak signifikan sama sekali. Setiap komoditi yang diekspor ke berbagai negara memerlukan waktu penyesuaian yang berbeda. Adanya impor sebagai bahan baku untuk memproduksi komoditi ekspor akan mempengaruhi performa ekspor sebagai akibat pengaruh dari nilai tukar dan volatilitas nilai tukar. Pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap nilai ekspor komoditi manufaktur pada masa nilai tukar mengambang terkendali, secara proporsional, tidak berbeda antara komoditi manufaktur kandungan impor tinggi dan kandungan impor rendah. Pada periode ini, kebijakan pemerintah melakukan devaluasi dan depresiasi nilai tukar, cukup efektif meningkatkan ekspor komoditi manufaktur. Sementara itu pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap nilai ekspor komoditi manufaktur pada masa nilai tukar mengambang bebas, secara proporsional, berbeda antara komoditi manufaktur kandungan impor tinggi dan kandungan impor rendah. Pada periode ini, pemerintah melepas rentang intervensi sama sekali, sehingga nilai tukar ditentukan oleh mekanisme pasar. 60 Dari hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat perbedaan waktu penyesuaian antara komoditi dengan impor tinggi dan komoditi dengan impor rendah. Dalam hal waktu penyesuaian pengaruh dari volatilitas nilai tukar, pada masa nilai tukar mengambang terkendali, ekspor dengan kandungan impor tinggi memiliki waktu penyesuaian yang lebih cepat dibandingkan dengan kandungan impor rendah. Pada masa nilai tukar mengambang bebas, ekspor dengan kandungan impor tinggi memiliki waktu penyesuaian yang lebih cepat dibandingkan dengan kandungan impor rendah (6.97 bulan). Waktu penyesuaian yang berbeda disebabkan karena adannya perbedaan jumlah kandungan impor. 2.3. Kerangka Konseptual Pencapaian target dalam sektor riil yaitu mendorong pertumbuhan produksi dan kesempatan kerja merupakan salah satu sasaran akhir kebijakan moneter. Jalur transmisi kebijakan moneter ke sektor rill yang selama ini diadopsi berdasarkan pada paradigma jumlah uang beredar. Otoritas moneter mengandalkan efektivitas operasi pasar terbuka dalam mengatur jumlah reserve money (uang primer) sebagai sasaran operasional yang ditujukan untuk mempengaruhi jumlah M1,M2 dan M3 sebagai sasaran. Selanjutnya dengan mengasumsikan stabilitas money multiplier dan money velocity, maka target akhir dapat dicapai. Namun dengan adanya kemajuan industri keuangan serta makin terintegrasinya pasar keuangan dunia membuat paradigma lama tersebut menjadi kurang tepat dan sebagai alternatif otoritas moneter menggunakan indikator suku bunga sebagai target operasional disamping jumlah uang beredar. Penggunaan indikator suku bunga ini lebih unggul dari segi kecepatan informasi yang diterima serta besarnya (magnitude pass through). 61 Selanjutnya, kebijakan moneter tersebut ditransmisikan melalui jalur-jalur transmisi sehingga mampu mempengaruhi kinerja sektor riil dan jalur yang relatif kuat kemampuannya dalam mempengaruhi kinerja sektor riil adalah jalur suku bunga, jalur harga aset melalui nilai tukar dan jalur kredit khususnya dari sisi jalur pinjaman bank. Pada jalur suku bunga, otoritas moneter dapat mempengaruhi sisi investasi. Kebijakan moneter kontraktif akan mendorong peningkatan suku bunga yang mempengaruhi biaya modal dan mendorong penurunan investasi. Sedangkan transmisi melalui jalur nilai tukar ini relatif efektif jika sistem nilai tukar yang dianut adalah nilai tukar mengambang. Hal ini telah diterapkan di Indonesia dimana saat ini otoritas moneter membiarkan pergerakan nilai tukar berdasarkan permintaan dan penawaran di pasar valuta asing. Disamping itu, antara jalur suku bunga dan nilai tukar terdapat keterkaitan yang cukup erat terutama dalam kondisi perekonomian terbuka dimana kenaikan suku bunga domestik akan mendorong perbedaan suku bunga domestik dengan suku bunga luar negeri yang cenderung stabil, dan daya tarik margin yang tinggi akan mendongkrak capital inflow yang mempu memberikan tekanan apresiatif pada mata uang domestik. Perubahan nilai tukar ini dengan sendirinya akan mempengaruhi kinerja perdagangan. Kemajuan sektor keuangan juga menjadi perhatian dalam penelitian ini karena pada dasarnya transmisi moneter dijalankan oleh sektor keuangan menuju ke sektor riil. Otoritas moneter melalui instrumen penetapan giro wajib minimum (GWM) di bank sentral dapat mempengaruhi kondisi keuangan bank. Apabila Bank Indonesia melakukan kebijakan moneter kontraktif melalui peningkatan giro wajib minimum (GWM), maka cadangan yang ada di bank akan mengalami penurunan sehingga loanable fund mengalami penurunan. Apabila hal tersebut tidak diatasi dengan melakukan penambahan dana/pengurangan surat-surat berharga maka kemampuan bank memberikan pinjaman akan 62 menurun dalam arti penawaran/alokasi kredit oleh perbankan juga akan menurun. Terkait dengan peran intermediasi yang dijalankan sektor keuangan dan melihat kondisi perekonomian di Indonesia dimana sebagian besar sektor riil masih tergantung pada kredit maka penurunan jumlah penawaran kredit oleh sektor perbankan akan menurunkan investasi yang terkendalanya peningkatan produksi atau skala usaha. berdampak pada Secara lebih rinci, kerangka konseptual penelitian ini disajikan pada Gambar 6. Kebijakan Moneter (Ekspansif/Kontraktif) Instrumen : OPT, GWM Uang Primer (2) (3) (1) Suku Bunga Riil Dana Pihak Ketiga (3) (2) Alokasi Kredit Nilai Tukar (1) (2) (3) Ekspor Netto Investasi Kinerja Sektor Riil a. Produk domestik bruto b. Penyerapan Tenaga Kerja c. Tingkat pengangguran Keterangan : (1) jalur suku bunga (2) jalur harga aset melalui nilai tukar (3) jalur kredit Gambar 6. Kerangka Pemikiran Penelitian Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor Riil di Indonesia