BAB 21 PENINGKATAN PENGELOLAAN BUMN Badan usaha milik negara (BUMN) merupakan salah satu pelaku dalam perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN. Keberadaan BUMN diharapkan antara lain untuk (1) memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; (2) menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; dan (3) menjadi perintis kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi. Sejak tahun 2005 hingga 2009, peningkatan pengelolaan BUMN dilaksanakan dengan melengkapi peraturan perundangundangan mengenai BUMN dan berbagai kegiatan untuk lebih menyehatkan usaha BUMN. Pembinaan usaha dilaksanakan melalui upaya penciptaan sinergi, transformasi bisnis, pengelompokan usaha, pemisahan fungsi komersial dan pelayanan masyarakat, serta optimalisasi pelaksanaan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. I. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Pembinaan dan pengelolaan BUMN menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan yang, antara lain, besarnya kebutuhan pendanaan pembangunan nasional memerlukan peningkatan peran BUMN sebagai sumber penerimaan bagi APBN sehingga dapat menurunkan kemampuan BUMN melakukan investasi bagi pengembangan usahanya. Di samping itu, tugas BUMN sebagai penyedia layanan bagi masyarakat (public service obligation/PSO) belum seimbang dengan pembiayaan dari APBN yang pada akhirnya dapat menghambat peningkatan pelayanan masyarakat itu sendiri. Jika dibandingkan dengan pelaku ekonomi nasional lainnya, BUMN menghadapi rentang regulasi yang lebih luas yang, antara lain, mencakup regulasi sektoral, regional, serta regulasi badan usaha, yang membuat BUMN kurang leluasa dalam operasi bisnisnya. II. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN HASIL YANG DICAPAI DAN HASIL- Untuk dapat melaksanakan UU. No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, diperlukan perangkat peraturan pelaksana yang mengatur lebih lanjut mengenai ketentuan-ketentuan teknis. Untuk itu, telah diselesaikan lima Peraturan Menteri Negara BUMN sebagai pelaksanaan UU No. 19 Tahun 2003 yaitu (a) Keputusan Menteri Negara BUMN nomor: KEP-09A/MBU/2005 tentang Penilaian Kelayakan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Calon Anggota Direksi BUMN, (b) Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER05/MBU/2006 tentang Komite Audit Bagi Badan Usaha Milik Negara, (c) Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor : PER05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, (d) Peraturan Menteri Negara Nomor PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Barang dan Jasa BUMN, dan (e) Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-02/MBU/2009 tentang Pedoman Penetapan Penghasilan Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN. Dengan adanya Peraturan Menteri Negara BUMN tersebut, pembinaan dan pengelolaan BUMN diharapkan akan dapat berjalan lebih baik. Selanjutnya, pada tahun 2008, dengan ditetapkannya UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, telah dilakukan penyesuaian anggaran dasar bagi 129 BUMN yang berbentuk perseroan. Di samping regulasi-regulasi di atas, pembinaan BUMN sejak tahun 2005 hingga 2009 dilaksanakan melalui restrukturisasi, 21 - 2 privatisasi, pelaksanaan tata kelola yang baik, pembinaan pelaksanaan PSO, penyelesaian masalah strategis, dan restrukturisasi utang BUMN. Restrukturisasi BUMN dilaksanakan dengan tujuan antara lain untuk memperbaiki kinerja dan nilai perusahaan dengan menciptakan jumlah perusahaan yang tepat (rightsizing). Sejak tahun 2005, pedoman restrukturisasi telah selesai disusun bagi 6 sektor dari 36 sektor BUMN yang meliputi sektor kehutanan, perkebunan dan holding RNI, farmasi, konstruksi, industri strategis, dan pertambangan. Sebagai tindak lanjut telah diselesaikan proses merger PT Perikanan Samodra Besar, PT Perikani, PT Usaha Mina, dan PT Tirta Raya Mina menjadi satu BUMN Perikanan dengan nama PT Perikanan Nusantara. Selain itu, saat ini sedang berlangsung proses likuidasi PT Industri Soda Indonesia (ISI). Selanjutnya, akan dilaksanakan pembentukan holding berdasarkan sektor usaha, yaitu sektor perkebunan, konstruksi, hotel, kehutanan, pelayaran, dan kepelabuhanan. Selain itu, diupayakan merger/konsolidasi sektor kertas, farmasi, pertanian, perdagangan, dok dan perkapalan, penunjang pertanian, dan pergudangan, serta melakukan likuidasi untuk beberapa BUMN yang tidak prospektif lagi. Di samping penggabungan dan likuidasi, restrukturisasi juga dilakukan melalui privatisasi yang dimaksudkan untuk memperluas kepemilikan saham BUMN oleh masyarakat umum melalui pasar modal dan untuk penyehatan perusahaan. Sejak tahun 2005, dimulai kebijakan penerimaan negara dari BUMN dengan mengandalkan pembagian laba (deviden) yang sebelumnya adalah privatisasi. Hal ini membuat pelaksanaan privatisasi melalui pasar modal lebih leluasa. Realisasi privatisasi tahun 2006 berupa pelepasan saham PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk sebesar Rp2,088 triliun, pada tahun 2007 PT BNI Tbk dalam bentuk divestasi sebesar Rp3,13 triliun, dan dalam bentuk saham baru sebesar Rp3,99 triliun, PT Wijaya Karya Tbk dalam bentuk saham baru sebesar Rp0,78 triliun, dan PT Jasa Marga Tbk dalam bentuk saham baru sebesar Rp3,47 triliun. Sejak tahun 2006, hasil privatisasi diutamakan untuk pengembangan BUMN itu sendiri dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN) yang pada tahun 2006 diberikan kepada 14 BUMN 21 - 3 dan pada tahun 2007 kepada 9 BUMN. Pada tahun 2008 hingga pertengahan tahun 2009 Kementerian Negara BUMN tidak melakukan privatisasi BUMN meskipun privatisasi beberapa BUMN tahun 2008 telah memperoleh persetujuan DPR. Hal ini disebabkan oleh kondisi pasar modal yang kurang kondusif mulai dari pertengahan tahun 2008 hingga awal tahun 2009. Ke depan, privatisasi akan terus dijalankan untuk pengembangan BUMN itu sendiri. Sejak tahun 2005 Kementerian Negara BUMN melanjutkan upaya pembinaan pelaksanan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance, GCG). Pembinaan ini, antara lain, dalam bentuk sosialisasi, pengkajian, dan review termasuk memberikan gambaran kepada publik mengenai pelaksanaan dan penerapan GCG di BUMN. Untuk memantapkan pelaksanaannya, telah dilaksanakan penandatanganan Statement of Corporate Intent (SCI) oleh 16 perusahaan yang merupakan wujud transparansi pengelolaan usaha oleh BUMN. Sebagai tindak lanjutnya, Kementerian Negara BUMN terus memantau dan menilai pelaksanaan GCG, antara lain, melalui assessment yang sampai dengan tahun 2008 telah dilakukan terhadap 94 BUMN dan review yang sampai dengan tahun 2008 telah dilakukan terhadap terhadap 47 BUMN. Dalam rangka meningkatkan efektivitas penilaian terhadap praktik GCG pada BUMN dilakukan penyederhanaaan indikator dan parameter dalam rangka assessment dan review GCG, yaitu indikator yang semula sebanyak 86 item menjadi 50 item, dan parameter yang semula 253 item menjadi 160 item. Sejak tahun 2005 hingga 2008, pengelolaan pelaksanaan PSO terus disempurnakan, antara lain, melalui (1) pemetaan kegiatan BUMN dalam rangka pemisahan administrasi pengelolaan yang bersifat PSO dan administrasi pengelolaan yang bersifat komersial; dan (2) mulai diterapkannya ketentuan Pasal 66 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang menegaskan bahwa jika Pemerintah dalam hal ini kementerian/lembaga menugasi BUMN untuk melaksanakan sebagian dari tugasnya, konsekuensi penugasan tersebut berikut margin yang diharapkan ditanggung oleh Kementerian/ Lembaga pemberi tugas. Pelaksanaan PSO didasarkan pada penugasan dari pemerintah kepada BUMN dengan tetap 21 - 4 memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN. Pelaksanaan PSO dan penyaluran subsidi dilaksanakan melalui: PT Merpati Nusantara Airlines, PT Kereta Api Indonesia, PT Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI), PT Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (ASDP), Perum DAMRI, PT Askes, PT Pos Indonesia, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT PERTAMINA, PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) Holding, PT Sang Hyang Seri, PT Pertani, Perum Badan Urusan Logistik (Bulog), Perum Jasa Tirta I, Perum Jasa Tirta II, dan Perum Perumnas, yang sesuai dengan jenis usahanya. Pelaksanaan PSO oleh BUMN tersebut meliputi lima prinsip tepat yaitu tepat sasaran, tepat kualitas, tepat kuantitas, tepat waktu, dan tepat harga. Dengan semangat untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, dilakukan pemantauan terhadap pelaksanaan PSO oleh BUMN dalam tahun 2008 yang hasilnya secara umum telah dilaksanakan dengan baik dan tepat walaupun muncul berbagai kendala di lapangan. Untuk memperbaiki struktur permodalan BUMN dan/atau meningkatkan kapasitas usaha BUMN, pada tahun 2006 – 2009 dilakukan penambahan penyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN. Pada Tahun 2006 dilakukan penambahan dana penyertaan modal negara (PMN) kepada 14 BUMN dengan nilai sebesar Rp1,97 triliun. Pada tahun 2007 sebesar Rp2,7 trilun digunakan untuk tambahan penyertaan modal negara pada 9 BUMN yang mencakup, antara lain, Perum Sarana Pengembangan Usaha (sekarang Perum Jamkrindo) dan PT Askrindo dalam rangka pelaksanaan Inpres No. 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, serta PT Kereta Api Indonesia guna pembayaran past service liability (PSL) selebihnya diberikan dalam rangka restrukturisasi/penyehatan 6 BUMN lainnya. Pada Tahun 2008 PMN yang diberikan sebesar Rp1,5 triliun untuk PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) yang alokasinya diprioritaskan untuk restrukturisasi beberapa BUMN dengan pola bergulir. Salah satu upaya penyehatan BUMN dilakukan melalui restrukturisasi keuangan terkait dengan penyelesaian utang rekening dana investasi dan Subsidiary Loan Agreement (RDI/SLA) pada BUMN. Berdasarkan hasil inventarisasi pada tahun 2005, pinjaman 21 - 5 RDI/SLA pada BUMN berjumlah kurang lebih Rp40 triliun yang terdiri atas RDI lancar sebesar Rp23,5 triliun dan RDI tidak lancar sebesar Rp16,5 triliun. Pada tahun 2006 jumlah pinjaman RDI/SLA pada BUMN meningkat menjadi Rp 50,65 triliun. Pada tahun 2007 terdapat 85 BUMN penerima pinjaman RDI/ SLA dengan nilai Rp49,79 triliun. Sebanyak 44 BUMN mengalami kesulitan pengembalian dengan nilai pinjaman sebesar Rp15,47 triliun, sedangkan 41 BUMN dalam kategori lancar dengan nilai pinjaman sebesar Rp34,32 triliun. Terkait dengan pinjaman tersebut, upaya yang telah dilakukan adalah koordinasi dengan berbagai instansi dan penyiapan kerangka hukum bagi penyelesaiannya. Hasilnya adalah telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.05/2007 yang membuka kesempatan penyelesaian utang RDI/SLA BUMN. Berdasarkan peraturan tersebut, pada tahun 2008, Kementerian Negara BUMN telah melakukan langkah-langkah dan koordinasi intensif dengan Departemen Keuangan, pihak legislatif, instansi terkait lainnya, serta berbagai BUMN dengan hasil antara lain (a) penyelesaian oleh Kementerian Negara BUMN (2 BUMN), (b) penyelesaian secara struktural (1 BUMN), (c) pembahasan di Komite Kebijakan (3 BUMN), (d) pembahasan di komite teknis (4 BUMN), (e) proses analisis di tim kerja (3 BUMN), (f). revisi RPKP, kelengkapan data dan dokumen dari BUMN (17 BUMN), (g). tidak memenuhi syarat (1 BUMN), (h) batal cut off date (2 BUMN), dan (i) menunggu proses penyelesaian kewajiban lain terlebih dahulu (1BUMN). Karena mengingat diperlukan waktu untuk menyelesaikan permasalahan RDI/SLA di berbagai BUMN, koordinasi intensif dan langkah-langkah lanjutan untuk penyelesaian kewajiban oleh BUMN di tahun 2009 terus dilakukan. Diharapkan berbagai permasalahan dapat diminimalisir dan kewajiban ataupun utang BUMN pada RDI/SLA makin menurun. Di samping itu, Pemerintah juga berupaya melakukan penyelesaian terhadap bantuan Pemerintah yang belum ditetapkan statusnya (BPYBDS). Adanya langkah-langkah kebijakan pembinaan BUMN tersebut di atas telah menunjukkan hasil positif. Dari tahun 2005 hingga tahun 2008 dari sejumlah 139 BUMN yang merugi makin sedikit, yaitu 36 BUMN pada tahun 2005 menjadi 39 BUMN pada tahun 2006, 34 BUMN pada tahun 2007, dan 23 BUMN pada tahun 2008. Sejalan dengan itu, besarnya keuntungan yang diraih BUMN 21 - 6 juga meningkat dari sebesar Rp42,31 triliun pada akhir tahun 2005 menjadi Rp53,15 triliun pada tahun 2006, Rp71,59 triliun pada tahun 2007 dan Rp77,8 triliun pada tahun 2008. Dengan demikian, bagian laba BUMN yang diserahkan ke kas negara juga meningkat, yaitu dari Rp12,8 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp21,5 triliun pada tahun 2006 meningkat menjadi Rp23,8 triliun pada tahun 2007, dan Rp29,1 triliun pada tahun 2008. Jika dilihat dari kontribusi BUMN di pasar modal, kapitalisasi pasar 15 BUMN di pasar modal pada akhir tahun 2008 mencapai kurang lebih Rp386,14 triliun atau 35,87% dari nilai total kapitalisasi pasar sedangkan pada akhir Juni 2009 mencapai kurang lebih Rp504,80 triliun atau 31,49% dari nilai total kapitalisasi pasar. Kondisi itu cukup menggembirakan dan sangat kondusif untuk mendukung dinamika pasar saham dan pertumbuhan industri. Di samping dividen, sumbangan BUMN terhadap perekonomian juga melalui pajak, investasi dalam bentuk belanja modal (capital expenditure), serta penyediaan lapangan kerja. Di masa yang akan datang, BUMN akan terus dibina sehingga mampu menjadi perusahaan yang diperhitungkan di pasar global. Selanjutnya, sebagai wujud kepedulian BUMN kepada masyarakat, BUMN terus melanjutkan pelaksanaan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) BUMN. Dalam tahun 2008, dari Program Kemitraan mencapai 55.367 unit mitra binaan, penyaluran dana program kemitraan sebesar Rp1.270,75 miliar atau naik sebesar 24,93% jika dibandingkan tahun 2007 sebesar Rp1.017,1 miliar. Sementara itu, Program Bina Lingkungan dalam bentuk bantuan korban bencana alam, pendidikan/pelatihan masyarakat, dan sarana umum/ibadah telah disalurkan pada tahun 2008 oleh berbagai BUMN untuk tujuan kemanfaatan umum masyarakat di berbagai daerah mencapai sebesar Rp569,30 miliar atau naik sebesar 25,39% jika dibandingkan dengan dana yang disalurkan pada tahun 2007 sebesar Rp 454 miliar. Pelaksanaan program PKBL mengacu pada Peraturan Menteri Negara (Permeneg) BUMN Nomor: Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. 21 - 7 III. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN Kebijakan pengembangan dan pembinaan BUMN akan diarahkan untuk: a). meningkatkan kemampuan SDM dan debirokratisasi Kementerian Negara BUMN sehingga mampu melaksanakan program restrukturisasi dan revitalisasi BUMN dalam rangka meningkatkan efisiensi dan daya saing BUMN; b). profitisasi, restrukturisasi, right sizing dan privatisasi BUMN; c). melaksanakan harmonisasi peraturan perundang-undangan dalam pengelolaan BUMN; d). meningkatkan sinergi antarBUMN, terutama untuk penyediaan infrastruktur, peningkatan ketahanan energi, dan pemantapan ketahanan pangan; e). mendorong BUMN meningkatkan investasi serta meningkatkan efisiensi operasi usaha, antara lain, melalui penerapan pengadaan secara elektronik (e-procurement) dan pengendalian internal yang lebih ketat; f). melakukan optimalisasi penggunaan dan penertiban aset yang tidak/kurang produktif; g). melaksanakan restrukturisasi keuangan BUMN (RDI, SLA dan penetapan status bantuan pemerintah yang belum ditetapkan statusnya/BPYBDS); h). pengembangan dan diversifikasi usaha, terutama untuk BUMN yang berbasis SDA (Resources Based) guna meningkatkan kemampuan perusahaan untuk memperoleh pangsa pasar yang lebih luas dan penyebaran risiko usaha; i). melanjutkan upaya pemisahan administrasi yang jelas dari kegiatan BUMN yang menjalankan fungsi PSO dengan yang menjalankan fungsi komersial dalam rangka menetapkan kebijakan yang jelas bagi BUMN, serta mendorong keseragaman formulasi penetapan PSO dan subsidi sesuai dengan Pasal 6 UU Nomor 19 Tahun 2003; 21 - 8 j). menciptakan pola hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan antara BUMN pemerintah daerah melalui kerja sama terutama pada bidang ekonomi dalam rangka pembangunan daerah. 21 - 9