Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Puslitbang Kehidupan Keagamaan Pelaksanaan hukum waris di kalangan umat islam Indonesia/Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Ed. I. Cet. 1. ------Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama 2010 xvi + 190 hlm; 21 x 29 cm ISBN 978-979-797-278-3 Hak Cipta 2010, pada Penerbit Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa izin sah dari penerbit Cetakan Pertama, September 2010 Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama PELAKSANAAN HUKUM WARIS DI KALANGAN UMAT ISLAM INDONESIA Editor: Muchith A Karim Desain cover dan Lay out oleh: H. Zabidi Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Gedung Bayt al-Qur’an Museum Istiqlal Komplek Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Telp/Fax. (021) 87790189, 87793540 Diterbitkan oleh: Maloho Jaya Abadi Press, Jakarta Anggota IKAPI No. 387/DKI/09 Jl. Jatiwaringin Raya No. 55 Jakarta 13620 Telp. (021) 862 1522, 8661 0137, 9821 5932 Fax. (021) 862 1522 SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA ompilasi Hukum Islam dalam sistem hukum nasional relatif berumur muda, terutama di bidang hukum kewarisan (Fiqh Mawaris), dan keberadaannya akan dihadapkan kepada berbagai masalah. Pertama, sosialisasi fiqh waris dalam Kompilasi Hukum Islam kepada warga masyarakat khususnya di kalangan umat Islam. Kedua, persepsi di kalangan pimpinan masyarakat yang tidak terlibat dalam proses penyusunannya. Ketiga, kemungkinan terjadi perbenturan antara Kompilasi Hukum Islam dengan struktur dan pola budaya masyarakat khususnya di bidang kewarisan. Kompilasi Hukum Islam disusun dan diputuskan oleh elit-elit masyarakat di pusat pemerintahan dan pendidikan, sementara sebagian besar warga masyarakat yang bermukim di pedesaan masih sangat terikat kondisi lokal. Masih besar kemungkinan masyarakat menerima hukum kewarisan Islam secara simbolik, sedangkan substansinya mengacu kepada kaedah-kaedah lokal yang berlaku secara turun-temurun. K Oleh karena itu, kami menyambut baik diterbitkannya buku “Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Indonesia”, karena beberapa alasan, Pertama, sebagai sarana mensosialisasikan hasil penelitian Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Indonesia (Studi tentang Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap Fiqh Waris dalam Kompilasi Hukum Islam) yang dilaksanakan Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Kedua, berbagai pokok persoalan hukum waris di kalangan umat Islam perlu dikaji dan selanjutnya perlu aktualisasi Fiqh Waris dalam Kompilasi Hukum Islam pada tatanan hukum yang selalu mengalami perubahan. i Buku ini menyajikan hasil-hasil kajian lapangan mengenai Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap Fiqh Waris dalam Kompilasi Hukum Islam. 1. Tingkat pengetahuan ulama, tokoh masyarakat terhadap Kompilasi Hukum Islam masih sangat rendah. Komentar informan dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok, Pertama, ulama yang belum mengerti Kompilasi Hukum Islam, Kedua, ulama yang mengetahui Kompilasi Hukum Islam tapi tidak mengetahui secara mendalam isi Kompilasi Hukum Islam, Ketiga, ulama yang mengetahui dan mendalami isi Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan hampir semua hakim dan “ulama kampus” akademisi yang menjadi informan mengetahui dan mendalami Kompilasi Hukum Islam kecuali bagi mereka yang jarang menangani persoalan-persoalan kewarisan. Kategori ulama yang belum mengerti Kompilasi Hukum Islam umumnya berlatar belakang pendidikan pesantren tradisional dan tidak banyak berinteraksi dengan lembaga atau ormas keagamaan di lingkungannya. Sementara ulama yang mengetahui Kompilasi Hukum Islam tetapi tidak mendalami isi Kompilasi Hukum Islam umumnya mereka adalah ulama yang berpendidikan Perguruan Tinggi atau ulama yang tingkat interaksinya dengan ormas keagamaan relatif intens, seperti dengan NU, Muhammadiyah, Persis, al-Washliyah, MUI dan lain-lain. Sedangkan ulama yang tingkat pengetahuan tentang Kompilasi Hukum Islam relatif mendalam umumnya selain mereka berpendidikan tinggi juga berlatar belakang profesi guru/dosen, atau ulama yang pernah mengenyam pendidikan tinggi agama, khususnya di Fakultas Syariah atau di Fakultas Hukum dan banyak menyelesaikan kasus-kasus kewarisan di masyarakat. ii 2. Respon ulama dan Hakim Agama terhadap perbedaan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam/Faraid dikatagorikan menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama, menilai tidak semua isi Kompilasi Hukum Islam yang terkait dengan kewarisan sesuai dengan fiqh Islam, seperti konsep harta bersama, ahli waris pengganti, dan wasiat wajibah untuk anak dan bapak angkat. Dalam hal ini, mereka hanya bisa menerima pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam yang ada rujukannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Kelompok kedua, menyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam memang sebagian besar bersumber dari kitab-kitab fiqh Islam, hanya saja kelompok ini menolak ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam yang tidak punya rujukan yang jelas dalam kitab fiqh klasik, seperti konsep ahli waris pengganti, wasiat wajibah untuk anak angkat dan bapak angkat, kewarisan kolektif tanah kurang dari 2 hektar. Percobaan pembunuhan dan fitnah menjadi penghalang menerima warisan. Sedangkan kelompok ketiga menyatakan bahwa sebenarnya tidak perlu memperhadapkan Kompilasi Hukum Islam dan fiqh Islam karena Kompilasi Hukum Islam juga merupakan produk fiqh khas Indonesia, termasuk dalam persoalan kewarisan. Ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam yang terkesan baru yang tidak ditemukan dalam kajian fiqh klasik tidak secara otomatis bisa dikatakan menyimpang dari hukum Islam karena ketentuan-ketentuan baru tersebut diambil berdasarkan ijtihad kolektif ulama Indonesia dengan memperhatikan perbedaan adat-istiadat masyarakat Indonesia dan bermuara kepada pertimbangan maslahah. Kelompok terakhir ini umumnya adalah ulama akademisi/dosen dan para hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. iii 3. Respon ulama dan Hakim Agama terhadap materi Kompilasi Hukum Islam ada tiga kategori usulan untuk perbaikan di masa mendatang; pertama, tetap mempertahankan isi pasal tentang perdamaian, kedua, pasal dipertahankan dengan usulan tambahan/ penyempurnaan redaksi seperti dalam persoalan harta bersama, ahli waris pengganti, anak perempuan menghijab saudara pewaris, dan halangan menerima warisan karena perencanaan pembunuhan dan fitnah, ketiga, usulan pencabutan pasal seperti pasal tentang 1/3 bagian untuk ayah bila pewaris tidak punya anak dan pembagian warisan berupa tanah < 2 Ha. Keempat, usulan tambahan tentang hak “ahli waris” berbeda agama dan hasil perzinaan dimasukkan dalam kategori pihak yang berhak atas wasiat wajibah. 4. Berkaitan dengan praktik pembagian waris di masyarakat dan di Pengadilan Agama terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya antara lain: a) Pada perdamaian setelah merujuk kepada Kompilasi Hukum Islam dan atau Fiqh Waris; b) Pada keduanya terdapat kemungkinan pembagian waris dengan adanya wasiat pewaris sebelum meninggal dan hibah yang bisa diperhitungkan sebagai warisan. Sedangkan perbedaannya antara lain: a) Cara penyelesaian waris di masyarakat masih sangat bervariasi, ada yang menggunakan hukum Islam/faraid, adat, waris perdata (BW). Atau bahkan gabungan. Sementara di Pengadilan Agama cara penyelesaian waris relatif seragam karena telah ada keseragaman sumber rujukan, yaitu Kompilasi Hukum Islam; b) Pemberian bagian dari harta peninggalan/tirkah kepada cucu yang orang tuanya meninggal lebih dahulu, anak atau bapak angkat, non muslim, dan anak hasil perzinaan umumnya diberikan iv dengan menggunakan instrumen hukum wasiat, hibah, atau hadiah, sedangkan di Pengadilan Agama lebih cenderung menggunakan instrumen waris pengganti atau wasiat wajibah. Selain itu, secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat cenderung menyelesaikan perkara warisnya di luar Pengadilan melalui tokoh masyarakat atau tokoh agama dibandingkan melalui jalur Pengadilan lebih-lebih di Padang/Sumatera Barat. Perkara kewarisan di Pengadilan kebanyakan hanya berupa P3HP (Permohonan Pertolongan Pembagian Harta Pusaka), yang umumnya diajukan oleh kalangan keluarga kelas menengah ke atas dan terdidik, atau dilakukan oleh keluarga yang potensi konfliknya dalam pembagian warisan cukup besar. Kami mengucapkan terimakasih kepada Puslitbang Kehidupan Keagamaan yang telah melakukan penelitian sampai terbitnya buku ini, semoga bermanfaat. Jakarta, September 2010 Kepala Badan Litbang dan Diklat Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA NIP. 19570414 198203 1 003 v vi KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN Assalamu`alaikum wr. wb. P uji syukur kehadirat Allah SWT atas segala anugerah-Nya yang tiada terhingga, karena buku “Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Indonesia” dapat diterbitkan. Buku ini berisi hasil penelitian tentang Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap Fiqh Waris dalam Kompilasi Hukum Islam. Dari hasil penelitian terungkap bahwa tingkat pengetahuan ulama dan tokoh masyarakat terhadap Kompilasi Hukum Islam masih sangat rendah. Pandangan mereka dapat dikategorikan kepada ulama yang belum mengetahui Kompilasi Hukum Islam; ulama yang mengetahui tetapi tidak mendalam isi Kompilasi Hukum Islam; ulama yang mengetahui Kompilasi Hukum Islam secara mendalam. Di sisi lain, hampir semua ”ulama kampus” dan Hakim Agama mendalami tentang Kompilasi Hukum Islam kecuali mereka yang jarang menangani masalah kewarisan. Hal tersebut berdampak pada perbedaan respon terhadap keberadaan hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam. Perbedaan pemahaman terjadi pada isi materi Kompilasi Hukum Islam yang terkait dengan kewarisan sesuai dengan fiqh Islam, seperti konsep harta bersama, ahli waris pengganti, dan wasiat wajibah untuk anak dan bapak angkat; mereka selanjutnya menyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam memang sebagian besar bersumber dari kitab-kitab Fiqh Islam; dan sebenarnya tidak perlu mempertentangkan vii Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam, karena Kompilasi Hukum Islam juga merupakan produk fiqh khas Indonesia. Oleh karena itu para Ulama dan Hakim Agama mengusulkan agar materi Kompilasi Hukum Islam tetap dipertahankan, tetapi isi pasal-pasal perlu disempurnakan. seperti pasal tentang harta bersama, ahli waris pengganti, anak perempuan menghijab saudara pewaris, dan halangan menerima warisan karena perencanaan pembunuhan dan fitnah, serta pencabutan pasal-pasal seperti pasal tentang 1/3 bagian untuk ayah bila pewaris tidak punya anak dan pembagian warisan berupa tanah < 2 ha; dan hak “ahli waris” berbeda agama, dan anak hasil perzinaan dapat dikategorikan sebagai pihak yang berhak atas wasiat wajibah. Untuk mengurangi kesenjangan pemahaman masyarakat terhadap Kompilasi Hukum Islam, perlu dilakukan sosialisasi yang intensif ke berbagai kelompok masyarakat. Pada bagian lain diusulkan perlunya perumusan UU terapan di bidang kewarisan dengan melibatkan berbagai unsur-unsur di masyarakat yang pro dan kontra, baik ulama elit maupun ulama alit. Dalam penyelesaian persoalan waris, selain berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam para hakim umumnya masih banyak yang merujuk ke literatur Fiqh Klasik, serta menggali praktik hukum di masyarakat (Adat Istiadat). Namun bagi hakim-hakim “yang mencari aman” dari proses hukum di tingkat Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung umumnya sangat patuh dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam dan Yurisprudensi, karena banyaknya sumber rujukan hakim dalam memutus perkara. viii Akhirnya atas partisipasi semua pihak yang terlibat dalam kegiatan ini, kami sampaikan terima kasih serta kami berharap, semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan hukum di Indonesia. Jakarta, Agustus 2010 Wassalam, Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D NIP. 19600416 198903 1 005 ix x KATA PENGANTAR EDITOR ukum Islam Indonesia masa kini adalah merupakan sebuah label yang diberikan pada ketentuan hukum Islam yang berlaku di Indonesia dan sekaligus menampilkan corak khas keindonesiaan. Sistem dan budaya Indonesia akan lebih terefleksi di dalamnya sehingga hukum Islam dimaksudkan untuk beberapa bagian tertentu baik yang menyangkut kaidah hukumnya maupun pola pemikiran yang mendasari, akan menunjukkan beberapa perbedaan dengan hukum Islam yang berlaku dalam kenyataan, sekalipun sifat dasarnya sama karena bersumberkan pada sumber yang sama yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Hukum Islam dengan daya antisipasinya yang tinggi telah menjadikan hukum ini sangat dinamis. H Hukum Islam Indonesia masa kini masih belum terwujud sebagaimana diharapkan atau belum terpolakan secara jelas. Kompilasi Hukum Islam dianggap sebagai satu diantara sekian banyak karya besar umat Islam Indonesia dalam rangka kebangkitan umat Islam Indonesia secara tidak langsung ia juga merefleksikan tingkat keberhasilan tersebut. Namun disatu sisi bahwa ketentuan hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam yang semangat perumusannya telah mendekati sistem kekeluargaan parental dan bilateral, ternyata kompromistis yang dianut kompilasi hukum Islam terutama di bidang kewarisan lebih mengarah kepada sikap modifikasi secara terbatas, selektif dan hati-hati. Hal itu berdampak pada terobosan-terobosan yang ditempuh Kompilasi Hukum Islam sangat tidak kentara. Bahkan dianggap sebagai langkah surut jika dibandingkan dengan ketentuan hukum adat atau hukum Barat. xi Walau begitu hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam juga terdapat ketentuan yang terkait dengan masyarakat majemuk, khususnya tradisi yang berlaku dalam berbagai satuan masyarakat lokal seperti ketentuan tentang ahli waris pengganti, dan harta warisan berupa lahan pertanian yang kurang dari 2 hektar sebagai warisan kolektif serta wasiat wajibah antara anak angkat dan orang tua angkat. Terkait dengan kajian terhadap Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap Fiqh Waris dalam Kompilasi Hukum Islam, yang dilakukan oleh para peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan, melalui tulisan berikut ini disajikan beberapa informasi sebagai berikut: 1. Tingkat pengetahuan ulama, tokoh masyarakat terhadap Kompilasi Hukum Islam masih sangat rendah. Hal di atas berdampak terhadap Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap perbedaan yang ada tentang kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam/Faraid. 2. Menyangkut perbedaan respon Ulama dan Hakim Agama terhadap materi Kompilasi Hukum Islam dapat dibedakan, menjadi kelompok pertama yang mengusulkan tetap dipertahankannya isi pasal seperti yang tertera dalam Buku II Kompilasi Hukum Islam tentang Kewarisan. Kedua mengatakan pasal-pasal tersebut dipertahankan dengan usulan tambahan penyempurnaan redaksi seperti masalah harta bersama, ahli waris pengganti dan lain-lain. 3. Mengenai praktik pembagian waris di masyarakat dan Pengadilan Agama, terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah adanya perdamaian setelah merujuk kepada Kompilasi Hukum Islam dan atau Fiqh Waris; keduanya terdapat kemungkinan pembagian waris dengan adanya wasiat pewaris sebelum meninggal dan hibah yang bisa diperhitungkan sebagai warisan. xii Sedangkan perbedaannya adalah cara penyelesaian waris di masyarakat masih sangat bervariasi, ada yang menggunakan hukum Islam, Adat, Waris Perdana (BW), atau bahkan gabungan. Sementara di Pengadilan Agama cara penyelesaian waris relatif seragam karena telah ada keseragaman sumber rujukan, yaitu Kompilasi Hukum Islam. Terkait dengan berbagai hal di atas Puslitbang Kehidupan Keagamaan, memandang bahwa penyelesaian persoalan waris oleh para Hakim Agama umumnya masih banyak merujuk pada literatur fiqh waris, dan menggali praktek hukum di masyarakat (adat-istiadat). Sehubungan dengan itu upaya menjadikan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum terapan di Pengadilan Agama perlu segera diwujudkan untuk mengeleminir perbedaan hakim dalam memutus perkara. Jakarta, Juli 2010 Editor Muchit A Karim xiii xiv DAFTAR ISI Halaman i Sambutan Kepala Badan Litbang Dan Diklat …………………… Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan ….. vii Kata Pengantar Editor …………………………………………….. xi Daftar Isi ……………………………………………………………. xv BAB I PENDAHULUAN …………………………………… 1 BAB II RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA TERHADAP FIQH WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DI PROVINSI GORONTALO ….. Oleh : Muchith A Karim dan Ali Mansyur BAB III BAB IV BAB V BAB VI RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA TERHADAP FIQH WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN ....................................................................... Oleh : A. Azharuddin Latif dan Sri Hidayati RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA TERHADAP FIQH WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DI PROVINSI SULAWESI SELATAN ……………………………………………… Oleh : JM. Muslimin dan Jaenal Aripin RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA TERHADAP FIQH WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ……………………....... Oleh : H. Bashori A Hakim dan Wahid Sugiarto RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA TERHADAP FIQH WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DI PROVINSI SUMATERA BARAT ………………………………………………… Oleh : Mazmur Sya’roni dan Imam Syaukani xv 25 51 91 111 141 BAB VII RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA TERHADAP FIQH WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DI PROVINSI SUMATERA UTARA ……………………………………………….. Oleh : Hj. Suhanah dan Reslawati xvi 177 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah S ebagai konsekwensi logis dari negara kebangsaan (nation-state), dimana Islam tidak menjadi dasar negara, tetapi Islam setara dengan agama lain dan mendapat tempat terhormat dalam konstitusi bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan negara agama, hukum Islam tidaklah mungkin dapat secara formil/langsung menjadi sumber otoritatif satusatunya bagi hukum nasional. Tetapi, hukum Islam, dalam kontestasinya dengan hukum Barat dan hukum adat, dapat menjadi sumber materiil dan persuasif bagi hukum nasional.1 Dalam wacana tentang sumber hukum, kita mengenal berbagai klasifikasi dan teori sumber hukum. Ahli hukum dan ilmu kenegaraan Joseph Raz membantah jika dikatakan bahwa dalam suatu komunitas (termasuk negara) selalu hanya ada satu sumber hukum yang monolitik. Ibarat akar dari suatu pohon, bisa jadi pada satu pohon di bawahnya terdapat berbagai akar norma yang terkadang saling berkompetisi, tetapi tidak jarang juga saling menguatkan untuk menyuplai bahan makanan bagi tegak dan tumbuhnya pohon tersebut.2 Dari konteks sejarah, sosial, filsafat, dan hukum ketatanegaraan, setidaknya ada dua klasifikasi penting sumber hukum: sumber hukum formil (sources of law in its formal sense) dan sumber hukum materiil (sources of law in its 1 2 Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Nomor 12/PUU-V/2007 tentang UU Perkawinan, jo Putusan MK Nomor 19/PUU-VI/2008 tentang Kewenangan Peradilan Agama, Jimly Asshiddiqie, Masa Depan Kebhinnekaan dan Konstitusionalisme di Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Solusi, Seminar Internasional ICIP, Jakarta, 22 Juli 2008. Joseph Raz, The Concept of a Legal System: An Introduction to the Theory of a Legal System, (Oxford: Clarendon Press, 1978), hal. 93-101. 1 material sense).3 Secara ringkas, sumber hukum formil adalah proses yang resmi disusun untuk berlakunya suatu kaedah hukum. Hal ini secara dominan terkait dengan bentuk dan cara yang menyebabkan hukum itu secara formal berlaku. Sementara sumber hukum materiil lebih banyak terkait dengan asal dari mana materi (isi) hukum diambil. Sumber hukum formil, lazimnya terdiri dari: konstitusi, undang-undang, kebiasaan, perjanjian, keputusan pengadilan, hukum internasional, doktrin ilmu hukum. Sedangkan sumber hukum materiil lebih banyak terdiri dari: nilai dan norma hukum yang hidup sebagai konstitusi yang tidak tertulis, hubungan dan konsensus sosial, hubungan antar kekuatan politik, situasi demografis, sosial dan ekonomi, tradisi yang melembaga bersumberkan dari pandangan keagamaan dan kesusilaan, interpretasi dan pendapat ahli.4 Dalam konteks demikian, sumber hukum materiil bersifat sangat holistik, sosiologis dan filosofis. Sumber hukum ini juga terkait erat dengan penyebab hukum itu dapat mengikat serta dijalankan dan dipatuhi. Meski sumber ini seolah tidak berbentuk, terstruktur dan tersusun seperti sumber hukum formal, namun relevansi sosiologis, filosofis dan yuridis suatu hukum tidak dapat dipisahkan dari apakah hukum yang ditulis di dalam kenyataannya benar-benar secara materiil telah mengacu kepada sumber hukum materiil tersebut atau tidak: semakin dekat, merujuk dan paralel dengan sumber materiil, maka akan semakin menemukan relevansi tersebut. 3 4 2 John Alder, Constitutional and Administrative Law, (London: Mcmillan, 1989), hal. 23-24. Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, (Yogyakarta: UII Press, 2006), hal. 7-8; E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ichtisar, 1990), hal. 133-134; Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tatanegara, (Jakarta: UI Press), hal. 45, Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Konstitusi Press), Jilid I, hal. 157, Moh. Mahfudz, MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2007), hal. 241. Oleh karenanya, dalam pengertian yang demikian, benar adanya jika dikatakan bahwa negara hukum Pancasila, pasca amandemen keempat UUD 1945, pada dasarnya bersifat prismatik: terdiri dari serangkaian sumber hukum (yang tidak mustahil saling bertentangan), tetapi pada saat yang sama akan ditimbang dan bertemu dalam garis kebersesuaiannya secara sosiologis dan natural. Maka peluang hukum Islam untuk menjadi sumber hukum materiil bahkan formil tetaplah terbuka, mungkin malah lebih terbuka di era reformasi ini. Namun, peluang tersebut secara lebih intens akan dan tetap berkompetisi dengan sumber-sumber hukum yang lain. Dengan format dan kerangka demikian, output islamisasi hukum Indonesia pada dasarnya akan secara paralel, sistemik dan alamiah berjalan searah dengan Indonesianisasi Hukum Islam. Hukum Islam Indonesia masa kini masih belum terwujud sebagaimana yang diharapkan bersama atau mungkin juga belum terpolakan secara jelas. Kompilasi Hukum Islam yang lahir pada tahun 1991 dianggap sebagai satu diantara sekian banyak karya besar umat Islam Indonesia dalam rangka kebangkitan umat Islam Indonesia. Bahkan, lebih jauh, adanya Kompilasi Hukum Islam juga merefleksikan tingkat integrasi yang tinggi antara visi keislaman, keindonesiaan dan kemodernan.5 Secara substansial perumusan Kompilasi Hukum Islam dilakukan mengacu pada sumber hukum Islam, yakni alQur’an dan Sunnah Rasul, dan secara herarkial mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.6 Di samping 5 6 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akadernika Pressindo, 1992), Cet. 1, hal. 6 Ketika Kompilasi Hukum Islam disebarluaskan dengan dasar Intruksi Presiden dan Keputusan Menteri Agama, UU Nomor 7 tahun 1989 telah disahkan dan diundangkan. Namun demikian karena penyusunan Rancangan Kompilasi Hukum Islam telah disiapkan 3 itu, para perumus Kompilasi Hukum Islam juga memperhatikan perkembangan yang berlaku secara global serta memperhatikan tatanan hukum Barat tertulis (terutama Hukum Eropa Kontinental) dan tatanan hukum adat, yang memiliki titik temu dengan tatanan Hukum Islam. Berkenaan dengan hal itu, dalam beberapa hal, maka terjadi adaptasi dan modifikasi tatanan hukum lainnya itu ke dalam Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian, Kompilasi Hukum Islam merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang khas di Indonesia. Atau dengan perkataan lain, Kompilasi Hukum Islam merupakan wujud hukum Islam yang bercorak keIndonesiaan. Berkenaan dengan kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam sistem hukum nasional, dapat diukur oleh unsur-unsur sistem hukum nasional antara lain: Pertama, landasan ideal dan konstitusional Kompilasi Hukum Islam adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Hal itu dimuat dalam konsiderans instruksi Presiden dan dalam Penjelasan Umum Kompilasi Hukum Islam. Ia disusun sebagai bagian dari sistem hukum nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan perwujudan kesadaran hukum masyarakat dan bangsa Indonesia. Kedua, ia dilegalisasi oleh Instrumen Hukum dalam bentuk Instruksi Presiden yang dilaksanakan oleh Keputusan Menteri Agama, yang merupakan bagian dari rangkaian peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, ia dirumuskan dari tatanan hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Oleh karenanya, sebelumnya, maka dalam penjelasan beberapa pasal Kompilasi Hukum Islam ditulis: Pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-Undang Peradilan Agama. 4 ia merupakan perwujudan hukum Islam yang bercorak keIndonesiaan. Keempat, saluran dalam aktualisasi Kompilasi Hukum Islam antara lain pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Agama, sebagaimana dapat ditafsirkan secara theologis dari penjelasan umum Kompilasi Hukum Islam. Di Bidang Kewarisan (Buku II) pola dasarnya merupakan suatu peralihan bentuk dari kewarisan menurut pandangan fuqoha (dalam lingkungan ”tradisi besar”, meminjam istilah Redfield) ke dalam bentuk qanun.7 Meskipun pada satu sisi landasan semangat perumusannya telah mendekati sistem kekeluargaan parental dan bilateral seperti dalam sistem kekeluargaan yang umum dalam kehidupan masyarakat Indonesia, dalam kenyataannya sifat kompromistis yang dianut Kompilasi Hukum Islam dalam masalah kewarisan lebih mengarah pada sikap modifikasi secara terbatas. Dalam Kompilasi Hukum Islam juga terdapat ketentuan yang terkait dengan masyarakat majemuk, diantaranya ketentuan pasal 185 tentang Ahli Waris Pengganti atau ”Penggantian Ahli Waris”, pasal 189 tentang Harta Warisan berupa lahan pertanian yang kurang dari 2 hektar sebagai warisan ”kolektif” dan pada pasal 209 tentang Wasiat Wajibah antara orang tua angkat dan anak angkat. Dalam pasal 185 dinyatakan: 1. Ahli waris yang meninggal terlebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173. 7 Cik Hasan Bisri (Penyunting) Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, (Logos, Jakarta, 1999), hal. 12. 5 2. Bagian bagi Ahli Waris Pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Dalam pasal 189 dinyatakan: 1. Bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 ha, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama pada ahli waris yang bersangkutan. 2. Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak memungkinkan karena diantara para ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing. Dalam pasal 209 dinyatakan: 1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasalpasal 176 sampai pasal 193. Sedangkan terhadap orang tua angkat, yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta peninggalan anak angkatnya tersebut. 2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta peninggalan orang tua angkatnya. Ketentuan-ketentuan itu menjadi menarik oleh karena merupakan gagasan baru yang dituangkan menjadi kaidah hukum yang mengacu kepada kemaslahatan. Gagasan tentang Ahli Waris Pengganti kurang mendapat perhatian dan respon dari para Ahli Hukum Islam oleh karena dalam tradisi pemikiran fuqaha ia tidak begitu dikenal. 6 Ketentuan pasal 189 merupakan upaya untuk menghindarkan terjadinya pemilikan lahan pertanian (sebagai modal usaha di kalangan petani) yang fragmentaris, yang dapat menjadi salah satu penyebab kemiskinan tiada ujung. Hal itu menunjukkan bahwa hukum Islam saling terkait dengan unsur non hukum, seperti ekonomi, struktur dan pola budaya umat Islam dalam sistem masyarakat Indonesia yang menempatkan harta warisan sebagai simbol benturan keluarga (dalam arti keluarga luas). Ketentuan pasal 209 merupakan suatu gagasan baru yang didasarkan kepada suatu kenyataan bahwa pengangkatan anak (adopsi) merupakan suatu gejala yang hidup di dalam kehidupan masyarakat Islam, meskipun hal itu tidak dengan sendirinya terjadi hubungan hukum (baca: saling mewarisi) antara anak angkat dengan orang tua angkatnya. Anak yang diangkat tetap memiliki hubungan hukum dengan orang tua kandungnya. Dari hubungan sosial antara anak angkat dengan orang tua angkat, melahirkan ketentuan tentang wasiat wajibah. Ia merupakan ketentuan hukum Islam yang khas Indonesia.8 Perlu diketahui bahwa keberadaan Kompilasi Hukum Islam dalam sistem hukum nasional relatif berumur muda, terutama di Bidang Hukum Kewarisan (Fiqh Mawaris). Ia akan dihadapkan dengan berbagai masalah (di samping harapan-harapan), baik di kalangan pemimpin masyarakat, maupun para pengikut mereka. Adapun masalah-masalah yang mungkin muncul adalah sebagai berkut: Pertama, sosialisasi Fiqh Waris dalam Kompilasi Hukum Islam kepada warga masyarakat, khususnya di kalangan umat 8 Ketika Atha Mudzhar (Enonimus, 1994: XVII) menyampaikan informasi tentang ketentuan itu kepada Thohir muhammad, beliau terperanjat karena pengertian wasiat wajibah yang demikian tidak dikenal di negara manapun. 7 Islam. Dalam hal ini, para pejabat pemerintah yang terlibat dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam dituntut untuk memainkan peranannya sebagai penyuluh dan pengambil keputusan yang konsisten. Demikian pula para ulama dan umara’ dituntut untuk mensosialisasikannya dalam lingkungan masing-masing. Sosialisasi akan mudah dilakukan manakala mereka memiliki persepsi yang sama tentang substansi urgensi dan misi Kompilasi Hukum Islam. Kedua, persepsi di kalangan pemimpin masyarakat terhadap Kompilasi Hukum Islam, khususnya di kalangan mereka yang tidak terlibat dalam proses penyusunannya, sementara mereka memiliki keterikatan yang ketat terhadap ajaran fuqaha dan memiliki pengaruh yang kuat di kalangan para pengikut mereka. Ketiga, kemungkinan terjadi perbenturan antara Kompilasi Hukum Islam dengan struktur dan pola budaya masyarakat, khususnya di bidang kewarisan. Kompilasi Hukum Islam disusun dan diputuskan oleh elit-elit masyarakat di pusat pemerintahan dan pendidikan, sementara sebagian besar warga masyarakat bermukim di pedesaan yang sangat terikat dengan kondisi lokal. Masih besar kemungkinan, masyarakat menerima hukum kewarisan Islam secara simbolik, sedangkan subsistemnya mengacu kepada kaidah lokal yang berlaku secara turun temurun.9 Mengacu kepada berbagai persoalan dan pemikiran di atas, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama merasa perlu untuk melakukan kajian secara cermat tentang pokok persoalan hukum waris di kalangan umat Islam (Studi tentang Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap Fiqh Waris dalam Kompilasi Hukum Islam). Masalah ini penting untuk dikaji karena diharapkan 9 8 Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam.... , hal. 17. akan menjadi bahan untuk dipahami dalam upaya mengaktualisasikan Fiqh Waris dalam Kompilasi Hukum Islam, pada tatanan hukum yang selalu mengalami perubahan. Bahkan, ia menjadi lapangan yang membutuhkan pemecahan dan menjadi ajang untuk melakukan amal shalih. B. Perumusan Masalah Dari latar belakang masalah di atas dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Adakah perbedaan mendasar antara kewarisan dalam fiqh dan Kompilasi Hukum Islam? 2. Bagaimana sikap dan pandangan Ulama dan para Hakim Pengadilan Agama merespon perbedaan tersebut? 3. Adakah perbedaan praktik penyelesaian kewarisan Islam antara di masyarakat dan di Pengadilan Agama? 4. Apa solusi yang ditawarkan dalam perbedaan praktik kewarisan tersebut? penyelesaian C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui perbedaan mendasar antara kewarisan dalam fiqh dan Kompilasi Hukum Islam 2. Mengungkap sikap dan pandangan ulama dan para hakim Pengadilan Agama merespon perbedaan tersebut 3. Mengetahui perbedaan praktik penyelesaian kewarisan Islam antara di masyarakat dan di Pengadilan Agama 4. Mencari solusi dari perbedaan praktik penyelesaian kewarisan di masyarakat dan di Pengadilan Agama D. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai: 9 1. Bahan penyempurnaan Kompilasi Hukum Islam oleh pemerintah 2. Bahan pertimbangan MUI dalam memantapkan keberadaan Kompilasi Hukum Islam sebagai acuan hukum waris Islam 3. Bahan untuk mengkritisi beberapa yurisprudensi tentang pembagian harta waris di lingkungan Peradilan Agama. E. Kerangka Konseptual dan Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menggunakan beberapa konsep penting dan kunci untuk menghindarkan terjadinya miss interpretation, maka perlu dijelaskan batasan operasional konsep-konsep tersebut. 1. Pengertian Hukum Kewarisan Dalam lapangan hukum perdata non Islam, hukum waris didefinisikan dengan kumpulan peraturan, yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.10 Dalam Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa ”Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris.11 menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris12 dan berapa bagian masing-masing. Hukum kewarisan 10 11 12 A. Pilio, Hukum Waris, (Jakarta: t.pn, 1997), hal 1. Pewaris dalam istilah fiqih adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan Pengadilan beragama Islam meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan (Kompilasi Hukum Islam ) Bagian II Bab I. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya (Kompilasi Hukum Islam). Selanjutnya ditulis KHI Buku I Bab I Pasal 171 huruf b. 10 di atas pada dasarnya telah cukup memadai. Hanya saja, menurut Muhammad Amin Summa, masih ada hal penting yang belum tercover di dalamnya terutama jika dihubungkan dengan ayat mawaris yang ada dalam al-Qur’an (An-Nissa 4 : 12). Sehubungan dengan itu maka dia lebih cenderung untuk merumuskannya sebagai berikut: ”Hukum Waris adalah hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta peninggalan tirkah pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris, menentukan berapa bagiannya, masing-masing ahli waris, dan mengatur kapan waktu pembagian harta kekayaan pewaris itu dilaksanakan.13 Dalam istilah fiqh Islam, kewarisan (al-mawaris – kata tunggalnya al-mirats) juga disebut dengan faraidl, jamak dari kata ”faridhah”, kata faridhah diambil dari kata fardl dengan makna ketentuan (takdir) Al-Faridlah dalam terminologi syariah ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris.14 Ilmu yang membahas perihal kewarisan yang umum dikenal dengan sebutan ilmu kewarisan (ilmu mirats/al-mawarits atau ilmu faraid. 2. Pengertian Respon Ulama Respon, reaksi yang dinyatakan dalam bentuk ucapan, sikap (kejiwaan) dan tindakan oleh seseorang atau sekelompok orang atau para ulama akibat dari stimulus dalam bentuk informasi, ucapan atau tindakan yang dilakukan oleh orang atau kelompok lain. Sementara itu ulama menurut Kamus Arab Indonesia karangan Mahmud Yunus berasal dari kata ’ulama yang artinya orang yang berilmu, alim, yang 13 14 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Presindo, ) hal. 108. Sayid Syabiq, Fiqh Al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.tp ), hal 602 11 tahu.15 Sedangkan WJS Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan bahwa ulama mempunyai arti ahli ilmu pengetahuan agama Islam, orang pandai-pandai dalam hal agama Islam; alim.16 Dari definisi di atas, maka yang dimaksud dengan respon ulama dalam kajian ini adalah reaksi yang dinyatakan dalam bentuk ucapan, sikap atau tindakan terhadap Fiqh Waris dalam Kompilasi Hukum Islam. Seorang atau sekelompok ulama atau mereka yang ahli di bidang pengetahuan agama, terutama di bidang hukum Islam (ulama fiqh) meliputi a. Ulama Pimpinan Pondok Pesantren, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Majelis Tarjih Muhammadiyah, Lajnah Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama dan lain-lain. b. Pakar hukum Islam di lingkungan yang mengajar di Fakultas Hukum dan Fakultas Syariah c. Para hakim Pengadilan Agama yang menangani bidang kewarisan. 3. Pengertian Fiqh Waris 15 16 Prof. H. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: yayasan Penyelenggara Penterjemahan Penafsiran Al Qur’an, ), hal. 278. WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976), hal. 1120. 12 Fiqh secara etimologis berarti fahm (pemahaman), mengerti,17 seperti terlihat dalam firman Allah dalam al Qur’an surat Hud 11 : 91 yang artinya; ”Mereka berkata” Hai Syuaib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan” dan firman Allah dalam Qs An Nissa 4 : 78 yang artinya; ”Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir tidak memahami pembicaraan (sedikitpun). Pengetian fiqh di dalam al Qur’an tidak terbatas hanya pada pemahaman tentang masalah-masalah yang menyangkut hukum saja, tetapi juga pemahaman agama dalam pengertian yang lebih luas, yakni menyangkut berbagai aspeknya. Menurut Muhammad Rasyid Ridla, hampir semua kata fiqh yang terdapat dalam al-Qur’an berarti pemahaman yang rinci dan pengetahuan yang mendalam tentang urusan agama dan urusan dunia yang erat hubungannya dengan agama serta kesempurnaan jiwa.18 Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah pada QS At Taubah 9 : 122 yang artinya: ”Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang) mengapa tiap-tiap golongan dari mereka tidak tinggal untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. Firman Allah li yatafaqqahu fi ad din dalam ayat di atas menunjukkan bahwa kata fiqih tidak hanya dimaksudkan pemahaman dari aspek hukum tetapi pemahaman agama secara mendalam dari berbagai seginya. Pengertian fiqh yang seperti inilah yang dikenal dan dipakai pada masa-masa awal 17 Isnawati Rais, Pemikiran Fiqh Abdul Hamid Hakim, Program Peningkatan Kualitas Pelajaran Publik Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan haji Departemen Agama, Jakarta, 2005, hal. 173 18 Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir Qur’an al-Hakim (Tafsir al Manar) (Beirut, Dar al Ma’rifah, 1993 m/ 1414 H), Jilid IX, hal. 421 dan 425 13 Islam. Dan ini masih berlangsung sampai dengan abad kedua hijriyah.19 Jadi yang dimaksud dengan fiqh pada waktu itu adalah pengetahuan tentang hukum-hukum agama (al ’ilmi bi ahkam ad-din), yang dinamakan oleh Imam Abu Hanifah sebagai ”al Fiqh al Akbar”. Yang dimaksud dengan pengetahuan tentang hukum-hukum agama itu, adalah semua ilmu tentang syariah, dan bukan hanya tentang hukum syariah yang terperinci, yang bersifat praktis saja. Imam Abu Hanifah, salah seorang ulama besar fiqh dan Imam Madzhab Hanafi yang hidup pada tahun 80 – 150 H mengatakan bahwa yang dikatakan fiqh adalah: 20 ”Pengetahuan terhadap apa yang menjadi hak dan kewajiban diri (an-nafs). Yang dimaksud dengan pengetahuan (ma’rifah) dalam definisi di atas adalah memperoleh yang ”juz’iyah” dari dalil, artinya sesuatu yang biasanya diperoleh dari memeriksa dan membahas kaidah demi kaidah.21 Definisi atau batasan arti fiqh yang diberikan oleh Imam Abu Hanifah ini menurut Wahbah az-Zuhaily mengandung pengertian yang mencakup hukum-hukum tentang i’tiqad, seperti wajib beriman dan lain sebagainya, hukum-hukum tentang perasaan hati (wijdaniyat), yaitu masalah akhlak dan tasawuf, dan hukum-hukum amali, seperti shalat, puasa, jual beli dan lain sebagainya.22 Pengertian seperti inilah yang dikenal dengan al– fiqh al-Akbar, seperti telah disebutkan di atas. Batasan arti seperti ini dipakai sebelum fiqh menjadi ilmu yang terpisah dari ilmu-ilmu agama (syar’iah) yang lainnya. Setelah ada pemisahan, maka jadilah masalah i’tiqad 19 Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprundence. Terjemahan Carmadi, (Bandung: Pustaka, 1984), hal. 3 Ad-Duraini, al-Fiqh al -Islamy al-Muqarin, hal 2. 21 Wahbah Az-Zuhaily, al-Wasit, hal. 16 22 Ibid 20 14 dibahas dalam Ilmu Kalam atau Ilmu Tauhid, zuhud, sabar ridla dan yang serupa dibahas dalam ilmu wijdaniyyat sedangkan fiqh pun telah menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri, sehingga pengertiannyapun menjadi telah terbatas, seperti definisi berikut ini; ”Pengetahuan terhadap apa yang menjadi hak dan kewajiban diri dari hukum amali (yang bersifat praktis’). Sejalan dengan definisi di atas ulama-ulama Hanafiyah menambahkan kata ”amalan” terhadap definisi yang diberikan oleh Imam Abu Hanifah. Penambahan ini dimaksudkan untuk mengeluarkan masalah-masalah yang berhubungan dengan ”al-i”tiqadiyyat” dan ”al Wijdaniyyat” yang dicakup oleh definisi yang diberikan oleh Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan al-Fiqh al- Akbar itu.23 Pembahasan definisi fiqih sebagaimana disebutkan terakhir, juga terlihat pada berbagai definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh, yang antara lain adalah: a. Menurut Asy-Subki, Fiqh adalah ilmu tentang hukumhukum seperti syari’at yang amali (praktis) yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci.24 b. Menurut Asy-Syaukani, fiqh adalah ilmu tentang hukumhukum syari’at dari dalil-dalilnya yang terperinci diperoleh dengan cara beristidlal. Sementara itu di kalangan fuqaha ulama fiqh, fiqh dikenal dengan dua pengertian berikut: 25 23 24 25 Ibid Al-Barmawi, Hasyi al-allamat al Barmawi ‘ala mani Jami’ al-Juwaini, (Dari Ihya al-Kutub al Arrabiyah, tth), Jilid I Hal. 42 - 43 Asy-Syaukani, Irsyad al-Fukhul, hal3. Definisi ini yang dipilih oleh Hakim, Lihat Hakim, al Bayan, hal. 6 15 a. Memelihara hukum-hukum furu’ secara mutlak atau sebagian (sekelompok) dari padanya. b. Materi hukum-hukum syari’at baik yang qat’i (pasti) ataupun yang dzanni (yang tidak pasti) Definisi-definisi fiqh di atas, baik yang dikemukakan oleh ulama ushul maupun ulama fiqh, memberikan gambaran bahwa kedua kelompok ulama ini, kelihatannya sama-sama setuju untuk membatasi tentang lingkup pengertian fiqh. Pengertian fiqh hanya pada masalah-masalah hukum saja. Sampai sekarangpun batasan arti yang seperti itulah yang dikenal luas di masyarakat. Bila disebut kata fiqh, maka tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud adalah hukum Islam. Pengertian seperti ini pulalah yang dipahami dan dipakai oleh Hakim dalam buku fiqhnya, dan yang akan dipakai dalam kajian ini. Seperti ulama-ulama lainya. Hakim memandang bahwa Hukum Islam (fiqh) merupakan bagian penting dalam syari’at Islam, karena disamping sebagai salah satu aspek ajaran Islam, hukum ini juga merupakan suatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Hukum merupakan alat pengatur dan pengontrol yang perlu diketahui, dipahami, dan dilaksanakan oleh setiap muslim. Ketentuan yang terdapat di dalam Hukum Islam (fiqh), seperti yang telah dijelaskan dalam definisi fiqh, adalah merupakan ketentuan hukum yang diperoleh dari dalil.26 Dalam pada itu sebagaimana dikemukakan Muhammad Amin Summa di atas bahwa ”hukum waris ialah hukum yang mengatur peralihan kepemilikan harta peninggalan (berhak) pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris, menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris, 26 Isnawati Rais, Op. Cit, Hal. 177. 16 dan mengatur kapan waktu pembagian harta kekayaan pewaris itu dilaksanakan. Dari beberapa definisi tersebut di atas, maka yang dimaksud fiqh waris dalam kajian ini adalah hukum Islam yang mengatur tentang harta waris dalam Kompilasi Hukum Islam. 4. Pengertian Kompilasi Hukum Islam Dalam kamus lengkap Inggris Indonesia – Indonesia Inggris yang disusun oleh S. Wojowasito dan WJS Poerwadarminta disebutkan kata ”compilation” dengan terjemahan karangan tersusun dan kutipan buku-buku lain (Wojowasito, 1982: 88). Sedangkan dalam Kamus Umum Belanda Indonesia yang disusun oleh Wojowasito kata ”compilatie” dalam bahasa Belanda diterjemahkan menjadi ”kompilasi” dengan keterangan tambahan ”kumpulan dan lain-lain karangan Wojowasito (1981; 123). Berdasarkan keterangan tersebut dapatlah diketahui bahwa ditinjau dari sudut bahasa kompilasi itu adalah kegiatan pengumpulan dari berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai buku/tulisan mengenai sesuatu persoalan tertentu. Pengumpulan dari berbagai sumber yang dibuat oleh beberapa penulis yang berbeda untuk ditulis dalam suatu buku tertentu, sehingga dengan kegiatan ini semua bahan yang diperlukan dapat ditemukan dengan mudah. Bilamana kita melihat pengertian kompilasi menurut arti bahasa sebagaimana dikemukakan di atas, maka kompilasi itu bukanlah selalu merupakan suatu produk hukum sebagai mana halnya dengan sebuah kodifikasi. Dalam pengertian hukum, maka kompilasi adalah sebuah buku hukum atau kesimpulan yang menurut uraian atau bahan-bahan hukum 17 tertentu, pendapat hukum atau juga aturan hukum. Pengertiannya memang berbeda dengan kodifikasi, namun kompilasi dalam pengertian ini juga merupakan sebuah buku hukum. Kompilasi hukum Islam yang ditetapkan pada tahun 1991 tidak secara tegas menyebutkan bagaimana pengertian kompilasi dan Kompilasi Hukum Islam. Dari sejarah penyusunannya juga tidak nampak munculnya pemikiran yang kontroversial mengenai apa yang dimaksudkan dengan kompilasi itu. Dengan demikian, penyusunan kompilasi tidak secara tegas menganut suatu paham apa yang dibuatnya tersebut, namun kenyataan ini kelihatannya tidak mengundang reaksi dari pihak manapun. Akan tetapi dilihat dari rencana kegiatan yang bersangkutan yaitu untuk menghimpun bahan-bahan hukum yang diperlukan sebagai pedoman dalam bidang hukum materiil bagi para Hakim di lingkungan Peradilan Agama. Bahan-bahan dimaksud diangkat dari berbagai kitab yang bisa digunakan sebagai sumber pengambilan dalam penetapan hukum yang dilakukan oleh para hakim dan bahan-bahan lainnya yang berhubungan dengan itu, maka dapat dikemukakan bahwa yang diartikan dengan Kompilasi Hukum Islam ini adalah merupakan rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh para Ulama Fiqh yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Peradilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam sebuah buku. Himpunan tersebut itulah yang kemudian disebut dengan kompilasi. Materi atau bahan hukum dimaksud telah diolah melalui proses dan metode tertentu, kemudian dirumuskan dalam bentuk yang serupa dengan peraturan perundang-undangan (yaitu dalam pasal-pasal tertentu). Bahkan ini kemudian ditetapkan berlakunya melalui sebuah keputusan Presiden 18 yang untuk selanjutnya dapat dipergunakan oleh para Hakim Peradilan Agama dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya sebagai pedoman.27 F. Metode Penelitian 1. Bidang penelitian Dalam studi imu-ilmu keislaman, penelitian tentang pelaksanaan hukum waris di kalangan umat Islam Indonesia (Studi tentang Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap Fiqh Waris dalam Kompilasi Hukum Islam) dapat dimasukkan dalam bidang penelitian hukum Islam dan pranata sosial. Cik Hasan Bisri dalam ”Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial memetakan bahwa ada sebelas wilayah penelitian hukum Islam dan pranata sosial, yaitu pranata peribadatan, kekerabatan, pendidikan, penyiaran, keilmuan, hukum politik, hukum ekonomi, kesehatan, perawatan, dan kesenian. Apabila memperhatikan substansi dan ruang lingkupnya, maka waris dapat dimasukkan pranata ekonomi kekerabatan dalam hukum Islam.28 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, DI Yogyakarta, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Gorontalo, terpilihnya provinsi ini, lebih pada pertimbangan bahwa daerah-daerah tersebut adalah merupakan provinsi yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sehingga diperkirakan pelaksanaan hukum waris Islam di daerah tersebut cukup signifikan. 27 28 Abdurrahman, Op Cit, hal. 14 Selengkapnya baca Cik Hasan Bisri, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004), h. 19 3. Pendekatan Penelitian ini lebih banyak mengeksplorasi data yang sifatnya empirik deskriptif analitis dan menjadikan fiqh waris dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai obyek kajian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus. Pendekatan ini dipilih atas dasar pertimbangan bahwa apa yang akan diteliti menyangkut pengungkapan fenomena sosial yang sangat beragam. Dalam penelitian ini berusaha mengungkapkan alasan-alasan (reasons) yang tersembunyi dibalik tindakan para pelaku sosial akan bermuara pada ”makna sosial” (social meaning) dari suatu fenomena sosial. Melalui pendekatan ini peneliti sendiri menjadi alat pengumpul data utama, karena dia yang akan memahami secara mendalam tentang obyek yang diteliti dengan intensip. Sedangkan bentuk studi kasus dipilih atas dasar pertimbangan bahwa obyek penelitiannya begitu beragam, berusaha menelusuri dan menghubungkan berbagai variabel yang kemungkinan saling berkaitan, tetapi hasil eksplorasinya tidak dapat digeneralisir29. Alasan lain digunakan penelitian kualitatif ialah, pertama, peneliti harus mampu menyesuaikan diri di lapangan apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua, metode ini mengujikan secara langsung hakekat penelitian dengan informan dan; ketiga, lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh terhadap pola nilai-nilai yang dihadapi.30 Di samping itu karena sifat penelitian kualitatif memahami makna atau menuju pemahaman yang mendalam, maka berlaku cara kerja 29 30 Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,, 2000), h. Sanafiah Faisal, “Varian-varian Kontemporer Penelitian Sosial”, dalam Burhan Bungiin, Ed Metodologi Penelitian Kualitatif: Metodologi Penelitian Ke Arah Ragam Kontemporer, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004), Hal. 29 20 menajamkan penciuman terhadap siapa yang dapat memberikan informasi untuk melengkapi hasil penelitian yang telah dilaksanakan. 4. Data yang Dihimpun dan Sumber Data Data yang akan dihimpun dalam penelitian ini adalah Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap Fiqh Waris dalam Kompilasi Hukum Islam dengan variabel sebagai berikut: a. Persyaratan Ahli Waris. 1) Beragama Islam 2) Tidak terhalang sebagai ahli waris karena putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, karena dipersoalkan a) Telah membunuh, mencoba membunuh, dan menganiaya berat para pewaris. b) Memfitnah, bahwa pewaris telah melakukan kejahatan dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara atau lebih berat. 3) Ahli waris mempunyai: a) Hubungan darah, golongan laki-laki terdiri dari; ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. Sedangkan dari golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. b) Menurut hubungan perkawinan c) Jika semua ahli waris lengkap masih hidup, maka yang berhak mendapat waris adalah anak, ayah, ibu, janda atau duda. b. Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah: 1) Mengurus dan menyelesaikan pemakaman jenazah 21 2) 3) 4) 5) Menyelesaikan hutang-hutang pewaris Menyelesaikan wasiat pewaris Membagi warisan di antara ahli waris yang berhak Tanggungjawab ahli waris terhadap hutang sebatas nilai harta peninggalan. c. Besarnya bagian warisan 1) Porsi perbandingan bagian wanita dan bagian laki-laki dua banding satu untuk laki-laki; 2) Prinsip musyawarah dalam pembagian waris dimungkinkan 3) Pembagian dari masing-masing ahli waris sudah sesuai dengan ketentuan faraid. d. Tatacara pembagian waris 1) Harus dikaitkan dengan ketentuan pasal 192 dan 193, melalui Aul dan Rad. 2) Pembagian warisan bagi mereka yang mempunyai isteri lebih dari seorang. 3) Ahli waris pengganti seperti diatur dalam pasal 185 e. Pengaturan tentang wasiat (pasal 194-209) 1) 2) 3) 4) 5) Mereka yang berhak untuk berwasiat Bentuk wasiat Jenis-jenis wasiat Hal yang boleh dan tidak boleh dalam wasiat Hibah diatur secara singkat 5. Sumber Data Sumber data dalam pengkajian ini terdiri atas studi kepustakaan dan dokumen, serta penelitian lapangan. Studi kepustakaan dengan melakukan kajian terhadap buku, laporan penelitian, majalah surat kabar dan dokumen lain yang relevan, terutama dari Peradilan Agama, Perguruan 22 Tinggi Agama Islam terutama Fakultas Hukum dan Syariah, Kantor Kementerian Agama, dan Pondok Pesantren yang ada di daerah penelitian, dokumen dari ormas keagamaan seperti Lajnah Bakhtsul Masail NU, dan Majelis Tarjih Muhammadiyah dan lain-lain. 6. Tehnik Pengumpulan dan Analisis Data a. Tehnik Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri atas; 1) Studi kepustakaan dan dokumen pada sumber sebagai mana tersebut di atas; 2) Wawancara dengan informan tersebut diatas dengan menggunakan Pedoman Pengumpulan Data b. Pengolahan dan Analisis Data Data yang terkumpul diolah dengan melakukan seleksi dan klasifikasi data. Selanjutnya di analisis dengan melakukan komparasi dan interpretasi. 23 24 BAB II RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA TERHADAP FIQH WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DI GORONTALO Oleh: Muchit A Karim dan Ali Mansyur I. Gambaran Umum Wilayah Penelitian A. Kondisi Geografis ilayah Provinsi Gorontalo berada diantara 0.19’1,15’ Lintang Utara dan 121,23’-123,43’ Bujur Timur. Posisi provinsi ini berada di bagian Utara Pulau Sulawesi. Yaitu berbatasan langsung dengan Provinsi Sulawesi Utara di sebelah Timur dan Provinsi Sulawesi Tengah di sebelah Barat. Sedangkan di sebelah Utara berhadapan dengan Laut Sulawesi dan di sebelah Selatan berhadapan dengan Teluk Tomini. W Secara keseluruhan Provinsi Gorontalo memiliki wilayah seluas 12.215,44 km2. Jika dibandingkan dengan wilayah Indonesia, luas Provinsi Gorontalo hanya 0,64%. Provinsi Gorontalo terdiri atas 5 kabupaten dan 1 kota. Yaitu: Kabupaten Bolemo, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Pohuwato, Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Gorontalo Utara dan Kota Gorontalo. Letak wilayah Provinsi Gorontalo yang berada di ketinggian 0-1000 M dan letaknya di dekat garis khatulistiwa menjadikan daerah ini mempunyai suhu udara yang cukup panas, suhu minimum berkisar 22,6º, sampai dengan 24,0º, suhu maksimum yang tercatat pada tahun 2007 pada siang hari berkisar 30,9ºC-33,5ºC. Provinsi Gorontalo mempunyai kelembaban yang relatif tinggi, rata-rata mencapai 80,17 persen, sedangkan curah hujan tertinggi sebanyak 400 mm di bulan Desember dengan hujan sebanyak 24 hari. 25 B. Kependudukan dan Kehidupan Keagamaan Adapun jumlah penduduk berdasarkan pendataan pada Tahun 2007 sebanyak 960.335 jiwa, jumlah pemeluk agama 97,5% penduduk Provinsi Gorontalo memeluk agama Islam, 1.3% agama Protestan, selebihnya sebanyak 1% memeluk agama Katolik, Hindu dan Budha. Sementara jumlah rumah ibadat di Provinsi Gorontalo terdiri atas: 1.602 masjid, 145 Mushollah, 107 Gereja Protestan, 21 Gereja Katolik, 9 Pura, dan 4 Vihara. Adapun sarana dan prasarana pendidikan berdasarkan data tahun 2007, jumlah sekolah dasar 910 buah, dengan total murid 145,234 dan 7.140 guru. Jumlah sekolah lanjutan tingkat Pertama 248 buah dengan jumlah murid 44.648 dan 4.169 guru, serta sejumlah sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Adapun etnik yang ada adalah 80% Gorontalo, 10% Arab, 10% Cina dan lainnya. Hubungan kekerabatan masyarakat Gorontalo sangat kuat, dan sebagian besar masih memegang dan konsisten terhadap adat, termasuk dalam hal penghormatan antar sesama dalam satu keluarga terutama penghormatan kepada orang tua. Hal ini terlihat jelas dalam hal pembagian waris, hampir 80% diselesaikan secara musyawarah keluarga. Berdasarkan data pada tahun 2007 jumlah penduduk yang berusia 15 ke atas yang bekerja sejumlah 362.676 jiwa. Bila dibedakan menurut lapangan kerja sebagai berikut: 47,9% bekerja di sektor pertanian, 15,2% bekerja di sektor jasa, 14,7 bekerja di sektor perdagangan, sisanya di tempat lain termasuk bekerja di instansi pemerintah. Lembaga keagamaan di daerah ini meliputi Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Al-Irsyad, Al-Islah, Tarbiyah Islamiyah Al-Khairaat, Yayasan ini sebenarnya memiliki 26 kultur keagamaan Nahdlatul Ulama, namun karena sudah mengakar di tengah masyarakat sehingga masyarakat cenderung untuk tidak menyamakan dengan Nahdlatul Ulama, Alkhairat berpusat di Palu Sulawesi Tengah) C. Falsafah Adat Bersendi Syara’ dan Syara’ Bersendikan Kitabullah (Al-Qur’an) Konsekwensi dari falsafah kehidupan yang dianut masyarakat Gorontalo seperti di atas menimbulkan proses transformasi nilai-nilai syara’ atau ajaran Islam kedalam sistem adat dan budaya masyarakat Gorontalo menjadi luas mencakup berbagai aspek kehidupan. Kalau dalam pelaksanaan hukum adat berpedoman kepada “Wu’udu, bubalata, Tineko dan Tambola’o, pada aspek ekonomi mengenal kebiasaan “Toyade” (sistem bagi hasil), “Pokuloo” (sistem gadai tanah atau barang) “Hujula” (sistem gotong royong) dan sebagainya. Berdasar data-data yang dapat dilihat di masyarakat dan penuturan (uulito) orang-orang tua, menunjukkan bagaimana proses transformasi nilai-nilai ajaran Islam ke dalam sistem adat atau budaya masyarakat Gorontalo, khususnya dalam aspek hukum dan ekonomi. Jika dilihat proses masuknya Islam di daerah Gorontalo pada abad 16 telah berdiri kerajaan Limutu (Limboto) pada tahun 1330, kerajaan Gorontalo pada tahun 1385. Keberadaan kerajaan ini mempermudah penyebaran Islam di daerah Gorontalo. Pengaruh Islam yang begitu luas ke dalam adat Gorontalo karena Islam memiliki cakupan ajaran yang universal berdimensi luas tidak terbatas pada masalah aqidah dan ahlak, tetapi meliputi semua aspek kehidupan maupun benda. Manusia merupakan mahluk berbudi, dengan akalnya mampu menciptakan hal-hal yang baru oleh karena itu manusia disebut mahluk berbudaya, dan manusia sangat 27 menjunjung tinggi nilai-nilai yang diperoleh melalui akal dan perasaannya yang dinamakan budaya (cultura). Kebudayaan merupakan nilai yang dihasilkan oleh akal pikiran dan perasaan manusia telah membentuk kesatuan sosial yang disebut masyarakat. Namun demikian kebudayaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat bermacam-macam bentuk tergantung pada tingkat perkembangan berfikir serta kebutuhan spiritual yang mempunyai hubungan yang erat dengan karakteristik lingkungan sosialnya. Dalam kaitan ini Islam sebagai agama yang bersifat akomodatif terhadap budaya lokal (adat kebiasaan) menjadikannya sebagai salah satu sumber hukum Islam. Hal ini bisa dilihat dalam kaidah Usul Fiqh bahwa “Al-Adaatu Muhak-kamatun” (adat itu bisa menjadi hukum). Gorontalo yang memiliki falsafah hidup adat“Bersendi Syara’ dan Syara’ bersendi Kitabullah (Al-Qur’an) dalam penelusuran sejarah sejak masuknya agama Islam yakni sejak Maharajá Amai sampai Maharajá Papa Eyato berkuasa telah terbentuk pola-pola hidup yang dijiwai oleh Hukum Islam dalam peradaban Gorontalo melalui jalur adaptasi. Keberhasilan Motolodulakiki mensejajarkan Hukum Islam dengan hukum adat dengan falsafah “Sara’a kulakula’a lo adati. Adat kula kula’a to sara’a” Adat Bersendikan Syara’ dan Syara’ Bersendikan Kitabullah semakin mendekatkan masyarakat kepada ajaran Islam yang dalam perkembangannya melahirkan adanya nilai-nilai adat yang diIslamkan dan pelaksanaan nilai-nilai Islam diadatkan. Masuknya nilai-nilai hukum dan ekonomi Islam dalam sistem adat Gorontalo terdapat hubungan yang transformatif, dimana nilai-nilai syara’ tercermin dan mewarnai praktekpraktek adat melalui proses awal dengan pola adaptasi, 28 kemudian nilai hukum dan ekonomi Islam itu menjadi bagian dan ciri khas praktek-praktek hukum dan ekonomi dalam tata budaya dan adat Gorontalo. Data menunjukkan bahwa pola praktek yang berkaitan dengan Hukum Adat Gorontalo mencerminkan nilai-nilai hukum Islam dan bahkan institusiinstitusi hukum, seperti Qadhi, Mufti dan Imam yang sampai sekarang masih ada. Demikian pula dalam kegiatan ekonomi, yakni dengan pola institusi ekonomi yang berkembang dalam masyarakat menunjukkan relevansinya dengan sistem ekonomi Islam.1 II. Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap Fiqh Waris dalam Kompilasi Hukum Islam di Provinsi Gorontalo A. Pengetahuan tentang Kompilasi Hukum Islam Dari hasil penelitian ditemukan bahwa baik di kalangan ulama maupun Hakim Agama sudah mengetahui keberadaan Hukum Waris dalam Kompilasi Hukum Islam. Terlebih bagi Hakim Agama yang berada di lingkungan Peradilan Agama yang tersebar di Provinsi yang baru dimekarkan dari Provinsi Sulawesi Utara ini. Dari hasil penelitian diperoleh keterangan bahwa semua Hakim Agama menggunakan Kompilasi Hukum Islam dalam proses pengambilan keputusan terhadap perkara-perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama terutama perkara waris. Menurut Hakim Pengadilan Agama, bahwa kehadiran Kompilasi Hukum Islam ternyata meringankan tugas Hakim Agama dalam memutuskan perkara, sebab dengan adanya Kompilasi Hukum Islam, Hakim Agama tidak perlu lagi menggali hukum sendiri dari kitab-kitab fiqh klasik, walaupun prosedur penggalian hukum tersebut masih 1 Ismail Y. Pahi, Drs, MA, dkk; Penelitian tentang Nilai-nilai Falsafah Adat Bersendikan Syara’, Syara’ Bersendikan Kitabullah Ditinjau dari Aspek Hukum dan Ekoomi; Lemlit IAIN Sultan Amai, Gorontalo, 2008, h. 81. 29 dibenarkan untuk dilakukan oleh para Hakim. Selain itu dengan dijadikannya Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum terapan khususnya dalam perkara waris, maka hal ini turut meminimalisir terjadinya disparitas putusan di Pengadilan Agama, dengan demikian akan terjadi kepastian hukum, yang pada akhirnya akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap Peradilan Agama itu sendiri, sebab keinginan mereka mencari keadilan di Peradilan Agama, tercapai sebagaimana yang diharapkan masyarakat pada umumnya. Selain alasan tersebut, menurut para Hakim Agama setempat, bahwa kandungan hukum waris yang terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam, pada banyak point bahasan sudah sesuai dengan Fiqh Islam, terutama pada sifatnya yang adaptif dengan kondisi sosial kemasyarakatan di Indonesia pada umumnya. Namun demikian menurut mereka jika pada proses berikutnya, Kompilasi Hukum Islam akan dijadikan Undang-Undang maka perbaikan tetap harus dilakukan. Walaupun penerapannya tidak mendapat resistensi masyarakat, bukan berarti Kompilasi Hukum Islam sudah sempurna, sebab dalam beberapa pasal masih ada yang multi interpretatif, dalam hal ini Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai pihak yang sangat berkepentingan sekaligus memiliki kompetensi dalam perbaikan Kompilasi Hukum Islam, sudah mengambil langkah-langkah taktis seperti memberikan Surat Edaran kepada para Hakim Agama di seluruh Indonesia, sebagai pedoman dalam mengambil keputusan yang dasar hukumnya digali dari Kompilasi Hukum Islam. Sebagai hukum terapan yang digunakan di Pengadilan Agama, keberadaan Kompilasi Hukum Islam belum disosialisasi secara maksimal, hal ini terlihat dari penjelasan yang peneliti temukan di lapangan. Sekurangnya sosialisasi Kompilasi Hukum Islam hanya terjadi pada saat Pengadilan 30 Agama masih berada di lingkungan Kementerian Agama Republik Indonesia. Sedangkan saat Peradilan Agama sudah di bawah Mahkamah Agung, menurut Hakim belum ada sosialisasi tentang Kompilasi Hukum Islam, diantara alasan yang dikemukakan adalah tidak adanya anggaran khusus sosialisasi yang dialokasikan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. (Menurut Drs. Syihabuddin, SH, MH, saat ditemui bersama enam orang Hakim Tinggi di ruang Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Gorontalo). Hakim Pengadilan Tinggi Agama Provinsi Gorontalo menganggap bahwa keberadaan hukum waris dalam Kompilasi Hukum Islam sudah tepat dan merupakan keharusan, bahkan kalau sekiranya bisa, agar hukum waris segera diupayakan menjadi Undang-Undang yang memiliki kekuatan hukum yang sifatnya pasti dan mengikat. Hal ini diperlukan untuk meminimalisir kebingungan umat Islam dalam menghadapi persoalan waris, sebab masih terjadi kesimpangsiuran dan disparitas putusan masalah waris di Pengadilan Agama, yang disebabkan oleh beragamnya dasar hukum yang digunakan oleh Hakim Agama dalam memutuskan perkara waris di Pengadilan Agama.2 B. Pandangan dan Sikap Ulama dan Hakim Agama terhadap Perbedaan Hukum Waris dalam Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam 1. Perbedaan antara Fiqh Klasik dan Kompilasi Hukum Islam Dari perspektif ulama dan Hakim Agama di Provinsi Gorontalo bahwa perbedaan keduanya tidak menyentuh aturan-aturan dasar hukum waris, dengan pengertian bahwa perbedaan tersebut tidak menyentuh persoalan subtansi dari 2 Hakim Agama Pengadilan Tinggi Agama, Wawancara tanggal 24 April 2009. 31 pembagian warisan. Misalnya pada Ahli Waris Pengganti, dalam Fiqh Klasik diakui keberadaan Ahli Waris Pengganti, akan tetapi yang masuk dalam kategori ini sangat terbatas, khususnya penggunaan garis keturunan laki-laki saja. Model fiqh seperti ini lebih dipengaruhi oleh sistem patriarki di tanah Arab, sehingga hak-hak wanita dalam persoalan kemasyarakatan selalu saja mendapat diskriminasi. Berbeda dengan kandungan Kompilasi Hukum Islam, di mana sudah beradaptasi dengan kondisi sosial kemasyarakatan di Indonesia, dengan sendirinya mengakomodir kepentingan kaum perempuan, khususnya dalam kasus Ahli Waris Pengganti. Jika perbedaan tersebut masih dalam batas-batas yang bisa ditolerir, tentunya akan disikapi secara positif. Terutama di daerah Gorontalo yang selalu mengedepankan musyawarah yang berujung pada perdamaian di antara ahli waris, semaksimal mungkin ada upaya meminimalisir terjadinya sengketa di antara para Ahli Waris.3 Perbedaan pasti ada, namun dalam proses penyelesaian harta warisan, masyarakat Gorontalo lebih mendudukannya pada skala prioritas, dengan mengedepankan penyelesaian yang lebih bersifat kekeluargaan di antara Ahli Waris, setelah tidak ditemui jalan keluar seperti yang diharapkan, baru kemudian mereka memilih alternatif kedua (sesuai faraid di tingkatan ulama/tokoh masyarakat yang dianggap ahli dalam bidang faraid. Jika masih tidak mendapat kesepakatan, maka sengketa waris akan menempuh alternatif ketiga, yaitu ditingkat Pengadilan Agama.4 3 4 Karim Bateda, Ketua NU, Tokoh Adat, Sekretaris Daerah Provinsi Gorontalo, Wawancara 23 April 2009. Azhar Mayang, Ketua Pengadilan Agama Limboto, Wawancara tanggal 21 April 2009. 32 2. Perbedaan Praktek Penyelesaian Masyarakat dan Pengadilan Agama Waris Islam di a. Harta Bersama Masyarakat Gorontalo tidak melakukan pembagian harta warisan menjadi dua bagian terlebih dahulu, sebelum dibagi kepada semua ahli waris, sebagaimana dianjurkan oleh Kompilasi Hukum Islam. Praktek yang terjadi di dalam masyarakat bermacam-macam, sebagian langsung membagi rata harta warisan kepada semua Ahli Waris setelah disisihkan harta untuk pengurusan pewaris dan acara ritual yang berkenaan dengan meninggalnya pewaris, temasuk biaya peringatan haul. Sebagian ada yang tidak menyegerakan (menunda) pembagian harta warisan sampai salah satu orang tua yang masih hidup meninggal dunia, hal ini lebih disebabkan penghormatan dan rasa sungkan kepada orang tua yang masih hidup. Sedangkan praktek yang terjadi di Pengadilan Agama yang tersebar di Provinsi Gorontalo, sebelum memutuskan untuk membagi harta warisan kepada masing-masing Ahli Waris sesuai kadar bagian masing-masing, para hakim terlebih dahulu membagi harta warisan tersebut menjadi dua bagian yang diperuntukkan bagi salah satu dari suami atau istri yang masih hidup sebagai harta gono gini. Setelah itu setengah bagian yang lain adalah harta yang harus dibagikan kepada semua ahli waris yang berhak.5 b. Ahli Waris Pengganti. Praktek pembagian harta warisan yang terjadi di dalam masyarakat Gorontalo khususnya yang berkenaan dengan bagian cucu yang orang tuanya terlebih dahulu telah meninggal dunia. Cucu yang berada pada kondisi seperti ini, 5 Hakim Pengadilan Tinggi Agama Provinsi Gorontalo, Wawancara, 21 April 2009. 33 menurut kebiasaan yang terjadi di dalam masyarakat Gorontalo, tetap mendapat bagian dari harta warisan yang ditinggalkan kakeknya. Anak yang dalam posisi seperti ini, masyarakat menyebutnya dengan wala’a milate “anak mayit”. Praktek seperti ini sudah sesuai dengan kandungan Kompilasi Hukum Islam.6 Ahli Waris pengganti dalam praktek kewarisan dalam masyarakat Gorontalo pada hakikatnya sudah menjadi kebiasaan, yakni seorang cucu tetap diberikan bagian sebagaimana hak orang tuannya, walupun penyebutannya tidak menggunakan istilah Ahli Waris Pengganti. Sedangkan alasan yang sering digunakan adalah didasari pada rasa kasihan dan kemanusiaan.7 c. Wasiat Wajibah terhadap Anak Angkat. Anak angkat dalam masyarakat Gorontalo adalah termasuk dalam kategori yang wajib diberi wasiat, sebab peranan dan posisi anak angkat cukup signifikan di dalam keluarga. Dari temuan di lapangan terdapat beberapa faktor yang mendasari: a) Rasa kasihan; b) kemanusiaan; c) kedekatan emosional dengan pewaris dan pada kasus tertentu pengabdiannya melebihi dari pengabdian anak kandung.8 Bapak Angkat bisa menerima Wasiat Wajibah sebagaimana ketentuan terhadap anak angkat tidak lebih dari 1/3 hal itu berlaku terhadap bapak angkat, jika secara finansial bapak angkat tidak memiliki kecukupan, maka anak 6 7 8 Hasil wawancara dengan para tokoh masyarakat Gorontalo: 1. H. Yamin Husain, Budayawan Gorontalo. 2. Wahab Ahmad SHI, Guru Pesantren Hubulloh/Cakim PA Limboto) 3. Ust.Abd Basith, SE. MPd. Pimpinan Pesantren Hubulloh, tanggal 27 April 2009. Hasil wawancara dengan para guru-guru pesantren Hubulloh Gorontalo: (ust. Abd Basith dan Ust. Ruli, Pengasuh Pondok Pesantren Hubuloh Gorontalo & KH. Rasyid Kamaro Ketua MUI dan Qadhi Gorontalo). Karim Pateda dan Guru-guru Pondok Pesantren Hubullah, wawancara 26 April 2009. 34 angkat memiliki kewajiban moral untuk memberikan wasiat kepada bapak angkat. d. Waris Berbeda Agama Kompilasi Hukum Islam tidak menegaskan secara eksplisit perbedaan agama antara ahli waris dan pewarisnya sebagai penghalang mewarisi, kompilasi hanya menegaskan bahwa ahli waris beragama Islam pada saat meninggalnya pewaris (pasal 171 huruf e). Untuk mengidentifikasikan seorang ahli waris beragama Islam, pasal 172 menyatakan: “Ahli Waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya. Sedangkan identitas pewaris hanya dijelaskan dalam ketentuan umum huruf b yaitu orang yang ada pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan Putusan Pengadilan, beragama Islam meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan (pasal 171). Yang dimaksud berbeda agama disini adalah antara orang Islam dan non Islam. Dasar hukum berbeda agama sebagai penghalang saling mewarisi adalah Hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim, yang artinya “Orang Islam tidak berhak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak berhak mewarisi harta orang Islam” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim). Sementara masyarakat Gorontalo menganggap bahwa perbedaan agama sebagai salah satu penghalang mendapatkan bagian warisan. Namun dalam prakteknya, masalah anak yang murtad yang terjadi di masyarakat Gorontalo terbagi dua, sebagian masyarakat adat beranggapan bahwa anak murtad tidak mendapat bagian dari harta warisan, dengan istilah “buang anak”. Sebagian masyarakat 35 tetap memberikan bagian anak murtad namun harus melalui kesepakatan ahli waris lainnya.9 Sedangkan bagi Hakim Agama, menganggap bahwa pelarangan terhadap ahli waris yang bukan beragama Islam adalah final dan tidak dapat diganggu, sebab sudah memiliki dalil yang kuat. Sedangkan dalam prakteknya di Pengadilan Agama, Ahli Waris yang tidak beragama Islam atau dengan istilah lain “berbeda agama”, mereka mendapat bagian akan tetapi bagian tersebut bukan dalam konteks waris, tetapi dikategorikan ke dalam Wasiat Wajibah.10 Menurut informasi, bahwa putusan yang serupa sudah memiliki yurisprudensi di Mahkamah Agung, salah satu yang menjadi alasan adalah bahwa yang dilarang adalah waris mewarisi dengan orang yang beda agama, sedangkan wasiat tidak dilarang secara jelas, bahkan jika tidak ditemukan wasiat, maka hal ini dikategorikan sebagai wasiat wajibah yang harus diberikan kepada ahli waris beda agama. Paling tidak, kasus pemberian wasiat wajibah kepada orang yang beda agama ini menunjukan bahwa makna wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam ini masih sangat luas dan belum mendapat pembatasan, sehingga masih ada celah yang masih bisa ditafsirkan dan dimaknai lain oleh Hakim. Celah tersebut kemudian dimanfaatkan untuk memberikan bagian tertentu kepada ahli waris yang berbeda agama. e. Membunuh, Penganiayaan dan Memfitnah Ketiga perbuatan di atas dianggap sebagai penghalang mendapat bagian dari harta warisan, hal ini dimaksudkan untuk memberi hukuman bagi pelaku pembunuhan dan 9 10 Abdul Basit, Pimpinan Pondok Pesantren Hubullah, wawancara tanggal 23 April 2009. Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Provinsi Gorontalo, wawancara tanggal 21 April 2009. 36 sebagai shock therapy bagi masyarakat lainnya.11 Namun pada beberapa kejadian yang sifatnya kasuistik, bahwa pelaku pembunuhan bisa mendapatkan bagian warisan dengan persetujuan ahli waris dengan mekanisme musyawarah di antara keluarga. Sama halnya dengan penganiayaan dan fitnah, bahkan dua yang belakang dianggap lebih ringan dari membunuh. Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap pewarisnya menyebabkan ia terhalang haknya untuk mewarisi. Kompilasi Hukum Islam merumuskan dalam Pasal 173 berbunyi: “Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau menganiaya berat pada pewaris; dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Rumusan tersebut menurut para ulama sudah cukup lengkap dapat merangkum kategori atau klasifikasi pembunuhan dalam terminologi fiqh seperti pembunuhan sengaja atau menyerupai sengaja. Di sisi lain rumusan tersebut merupakan perubahan hukum yang apabila dilacak dasardasarnya, karena memfitnah adalah perbuatan yang resikonya lebih berat dari pada membunuh. (QS. 2: 191).12 f. Porsi Perbandingan Bagian Anak Laki-Laki dan Perempuan. Praktek pembagian harta warisan di kalangan masyarakat, pembagian harta warisan selalu didahului 11 Wawacara dengan Pimpinan Daerah Nahdhatul Ulama (NU), Sekwilda Kabupaten Bonebulango Abdul Karim Pateda 12 Si Oka HI, Bob; Pembagian Warisan terhadap Anak Diluar Nikah; IAIN Gorontalo, 2006, hal. 29. 37 dengan musyawarah, sehingga pada akhirnya pembagian harta warisan tersebut dilakukan dengan cara sama rata di antara ahli waris. Gorontalo adalah satu dari sekian banyak daerah di Indonesia yang masyarakatnya masih memegang teguh adat istiadat. Adat berperan dan bahkan mendominasi kehidupan masyarakat secara turun temurun serta memiliki kebiasaan yang terimplementasi dalam adat-istiadat dan mengembalikan permasalahan kemasyarakatan kepada lembaga adat. Menurut beberapa informan, bahwa masyarakat Gorontalo sudah memiliki lembaga adat secara permanen dengan spesifikasi tugas dan kewenangan yang sudah disepakati. Pada persoalan waris, khususnya pada masalah pembagian harta warisan, masyarakat Gorontalo mendasarkan pada perasaan. Keadilan menurut mereka adalah sama-rata atau satu banding satu. namum tetap melihat pokok permasalahan dari kasus yang ada, dan semuanya diselesaikan di tingkat keluarga atau ahli waris dengan cara musyawarah. Fenomena semacam ini menggambarkan bahwa pola kekerabatan di Gorontalo masih sangat kuat.13 Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa dalam masalah pembagian harta waris yang dijunjung tinggi adalah musyawarah yang otoritasnya di pegang oleh ketua adat sebagai representasi dari Lembaga Adat. Untuk memudahkan pemahaman, berikut akan diilustrasikan sebagai berikut: Jika dalam musyawarah keluarga tidak ada kesepakatan dan terjadi sengketa maka permasalahan akan dibawa ke tingkat Ketua Adat, maka Ketua Adat akan membawa perkara ke tempat persidangan yang dalam bahasa Gorontalo 13 Abdul Basit, Pimpinan Pondok Pesantren Hubullah, wawancara, tanggal 22 April 2009. 38 menggunakan istilah Bantayo Popo Ide, dan dasar hukum yang dipergunakan adalah hukum faraid atau sesuai dengan Fiqh Klasik dengan menggunakan satu banding satu. Semua proses sengketa waris penyelesaiannya hanya sampai di tingkat kepala kampung, jika sudah ada hasil maka kepala kampung akan mengeluarkan surat, dan surat tersebut dianggap memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan konsekwensinya masyarakat harap mentaatinya. Namun jika hal ini masih belum mendapatkan kesepakatan maka hal itu bisa diajukan ke lembaga adat yang di atasnya, yaitu Camat atau Asisten Wedono.14 g. Wasiat yang Menyimpang Menurut informan di Wilayah Gorontalo tidak terdapat wasiat yang menyimpang, peneliti hanya menemukan adanya kebiasaan turun temurun dalam masyarakat Gorontalo yaitu: penunjukan langsung oleh pewaris terhadap harta yang akan menjadi bagian ahli waris, terkadang oleh Ahli Waris dianggap sebagai wasiat yang harus dijalankan, Dalam praktek pembagian waris di masyarkat Gorontalo terdapat tiga tahap pembagian waris. a. Pembagian harta dilakukan pada saat pemilik harta masih hidup, dilakukan dengan cara penunjukan bagian masingmasing, dan merupakan hak pemilik harta, dan disepakati oleh masing-masing pihak; b. Pembagian harta dilakukan setelah salah satu pemilik harta meninggal dunia; c. Pembagian harta dilakukan setelah pihak terakhir pemilik harta meninggal dunia. h. Pembagian Waris terhadap Anak Angkat 14 Ketua Adat, wawancara tanggal 22 April 2009. 39 Praktek yang terjadi di dalam masyarakat Gorontalo bahwa mereka mengakui bagian harta untuk anak angkat. Praktek semacam ini telah terjadi sejak lama, sedangkan mekanismenya melalui wasiat. Adapun dasar yang dijadikan pertimbangan dalam mengeluarkan wasiat adalah: Perasaan, seperti kasihan, hibah, dll. Pertimbangan kemanusiaan Kedekatan yang sudah terbangun sejak lama. Pada kasus tertentu pengabdian anak angkat melebihi dari anak hakiki. 5. Diperkuat dengan surat kepala kampung dan surat asisten widono. 1. 2. 3. 4. i. Pembagian Waris terhadap Anak diluar Nikah Anak diluar nikah hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dengan demikian maka anak yang lahir diluar pernikahan tidak dinyatakan sebagai anak yang sah menurut hukum, sehingga pada dasarnya ketentuan anak yang lahir di luar nikah hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga ibunya, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 186 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut: “Anak yang lahir diluar nikah hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga pihak ibunya”. Demikian dalam pendapat mazhab Hambali yang mengatakan bahwa anak zina apabila diakui oleh ayahnya, meskipun dengan jelas diakuinya pula berasal dari hubungan zina tetapi ibunya dalam perkawinan dengan suami lain atau tidak dalam iddah dari suami lain, adalah anak sah bagi ayahnya, dan terjadi hubungan saling mewarisi.15 15 Basyir Ahmad Anhar, Hukum Waris, Cet. 14 UII Press (Yogyakarta, UII Press 2001, hal. 98). 40 Pada bagian lain dikatakan bahwa anak yang tidak diakui oleh ayahnya (si suami) yang dilakukan dengan hasil perzinahan, maka tidak saling mewarisi (dengan ayahnya) dan ayahnya juga tidak wajib memberikan nafkah baginya tetapi hendaknya tetap diperlakukan sebagai anak, demi kehati-hatian. Begitu pula anak yang lahir di tengah-tengah suami isteri yang saling menuduh berzina, anak juga mewarisi ibunya saja. Sementara hukum adat menunjukkan bila seorang ibu tidak menikah, tapi ia melahirkan anak, maka dalam hubungan hukum, anak yang lahir itu hanya mempunyai ibu dan tidak mempunyai ayah. Hal yang semacam itu sangat dicela oleh masyarakat, oleh sebab itu diusahakan jangan sampai terjadi peristiwa semacam itu. Adapun pembagian waris terhadap anak di luar nikah, apabila yang bersangkutan mewarisi bersama-sama dengan satu atau beberapa orang keturunan yang sah dari pewaris atau dengan suami isteri dari pewaris, maka anak di luar nikah mendapat 1/3 dari pada yang akan diterimanya apabila ia anak sah. Apabila kedua anak luar nikah itu anak yang sah, maka masing-masing akan menerima 1/6 bagian. Apabila pewaris meninggalkan seorang anak di luar nikah dan sanak keluarga, maka anak luar nikah akan mewarisi setengah dari apa yang akan diterimanya, apabila ia menjadi anak yang sah. Sehingga anak di luar nikah mewarisi bersama-sama dengan golongan keempat, maka ia menerima ¾ dari pada yang akan diterimanya apabila ia anak sah.16 16 Sioka HI. Bob; Pembagian Warisan terhadap Anak di luar Nikah; IAIN Sultan Amai, Gorontalo, 2006, h. 50. 41 j. Keberatan Hakim Kompilasi Hukum Islam lahir berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penjabaran Kompilasi Hukum Islam yang telah ditindak lanjuti dengan Kompilasi Hukum Islam No. 154/1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Januari 1991, namun statusnya masih sebatas Instruksi Presiden, sejak digulirkan, Kompilasi Hukum Islam di kalangan Hakim Pengadilan Agama sudah digunakan sebagai Hukum Terapan. Menurut Hakim Peradilan Agama bahwa Kompilasi Hukum Islam adalah hasil rumusan banyak Ulama Indonesia yang bersumber dari banyak kitab-kitab fiqh. Bahwa dalam upaya penyusunannya Kompilasi Hukum Islam berusaha mengadaptasi budaya-budaya yang hidup di masyarakat dan menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat Indonesia. Sudah barang tentu kalau didahului oleh pengamatan dan penelitian yang mendalam di semua wilayah dan daerah. Kondisi ini yang kemudian menjadikan Kompilasi Hukum Islam mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Walupun para ulama sudah menunjukan keseriusan dan kemampuan dalam merumuskan, namun menurut beberapa Hakim, untuk beberapa hal perlu diperbaiki, seperti Ahli Waris Pengganti harus diperjelas lagi bagian yang dapat dan siapa saja yang boleh diganti. Pembatasan Wasiat Wajibah, sehingga tidak ada celah untuk mewasiatkan harta warisan kepada Ahli Waris yang non muslim. Karena yang terjadi selama ini bahwa yang dilarang oleh al-Quran adalah mewariskan harta kepada orang kafir, sedang wasiat tidak dilarang. Dan oleh Kompilasi Hukum Islam masih dimungkinkan hal itu, sebab belum ada pembatasan siapa saja 42 yang tidak boleh mendapatkan Wasiat Wajibah, termasuk di dalamnya anak di luar nikah. Dalam Kompilasi Hukum Islam juga belum diatur ashobah, sebagai contoh pasal 178 Kompilasi Hukum Islam, dalam posisi kasus seperti ini harusnya ayah mendapat ashobah. Harapan Hakim agar status Kompilasi Hukum Islam ditingkatkan dari Instruksi Presiden menjadi UndangUndang, supaya memiliki kekuatan hukum yang tetap. Namun demikian diupayakan penyebutannya tidak menggunakan Undang-Undang Hukum Islam, tetapi harus dicari kata-kata yang tidak mengandung kontrversi. Sedangkan terhadap masyarakat Gorontalo, para Hakim Agama melihat bahwa masyarakat belum konsisten dengan moto masyarakat Adat Bersendikan Syara’, Syara’ Bersendikan Kitabullah, hal ini terbukti dalam masalah pembagian waris belum sejalan dengan syariah. Sebelum tahun 2006 ketika masih berlaku pilihan hukum dalam perkara pembagian harta waris, hasil penelitian Drs. Sihabuddin, SH, MA menunjukkan bahwa 80% masyarakat mengajukan perkara waris ke Pengadilan Negeri, dan sisanya 20 % mengajukan ke Pengadilan Agama. Tingginya kepercayaan masyarakat kepada hukum adat, tidak diiringi oleh pengetahuan para tokoh adat yang baik tentang Hukum Islam, sehingga hal ini kemudian menjadi penyebab Hukum waris Islam tidak diterapkan di masyarakat Gorontalo. III. Penutup A. Kesimpulan 1. Tingkat pengetahuan Ulama atau Tokoh Masyarakat terhadap Kompilasi Hukum Islam masih sangat rendah. Dari informan yang memberikan komentar dapat 43 dikategorikan menjadi tiga kelompok: Pertama, Ulama yang belum mengerti Kompilasi Hukum Islam, kedua, Ulama yang mengetahui Kompilasi Hukum Islam tapi tidak mengetahui secara mendalam isi Kompilasi Hukum Islam, ketiga, Ulama yang mengetahui dan mendalami isi Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan hampir semua Hakim dan “Ulama kampus”/akademisi yang menjadi informan mengetahui secara mendalam Kompilasi Hukum Islam kecuali mereka yang jarang menangani persoalanpersoalan kewarisan. Kategori ulama yang belum mengerti Kompilasi Hukum Islam umumnya berlatar belakang pendidikan pesantren tradisional dan tidak banyak berinteraksi dengan lembaga atau ormas keagamaaan di lingkungannya. Sementara ulama yang mengetahui Kompilasi Hukum Islam tetapi tidak mendalami isi Kompilasi Hukum Islam umumnya mereka adalah ulama yang berpendidikan Perguruan Tinggi atau ulama yang tingkat interaksinya dengan ormas keagamaan relatif intens, seperti dengan NU, Muhammadiyah, Persis, washliyah, MUI dan lain-lain. Sedangkan ulama yang tingkat pengetahuan tentang Kompilasi Hukum Islam relatif mendalam umumnya selain mereka berpendidikan tinggi juga berlatarbelakang profesi guru/ dosen, atau ulama yang pernah mengenyam pendidikan tinggi agama, khususnya di Fakultas Syariah atau di Fakultas Hukum dan banyak menyelesaikan kasuskasus kewarisan di masyarakat. 2. Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap perbedaan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam/faraid. Pendapat mereka dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama, menilai tidak semua isi Kompilasi Hukum Islam yang terkait dengan kewarisan sesuai dengan fiqh Islam, seperti Konsep Harta 44 Bersama, Ahli Waris Pengganti, dan Wasiat Wajibah untuk Anak dan Bapak Angkat. Dalam hal ini, mereka hanya bisa menerima pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam yang ada rujukannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Sementara kelompok kedua, menyatakan bahwa bahwa Kompilasi Hukum Islam memang sebagian besar bersumber dari Kitab-kitab Fiqh Islam, hanya saja kelompok ini menolak ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam yang tidak punya rujukan yang jelas dalam Kitab Fiqh Klasik, seperti Konsep Ahli Waris Pengganti, Wasiat Wajibah untuk Anak Angkat dan Bapak Angkat, kewarisan kolektif tanah kurang 2 ha., Percobaan Pembunuhan dan Fitnah menjadi penghalang menerima warisan. Sedangkan kelompok ketiga, menyatakan bahwa sebenarnya tidak perlu memperhadapkan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam karena Kompilasi Hukum Islam juga merupakan produk Fiqh khas Indonesia, termasuk dalam persoalan kewarisan. Ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam yang terkesan baru yang tidak ditemukan dalam kajian Fiqh Klasik tidak secara otomatis bisa dikatakan menyimpang dari Hukum Islam, karena ketentuanketentuan baru tersebut diambil berdasarkan Ijtihad Kolektif Ulama Indonesia dengan memperhatikan perbedaan adat-istiadat masyarakat Indonesia dan bermuara kepada pertimbangan maslahah. Kelompok terakhir ini umumnya adalah ulama akademisi/Dosen dan para Hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. 3. Menyangkut respon Ulama dan Hakim terhadap materi Kompilasi Hukum Islam ada empat kategori usulan untuk perbaikan di masa mendatang; pertama, tetap mempertahankan isi pasal sebagai adanya seperti pasal tentang perdamaian, kedua, pasal dipertahankan dengan 45 usulan tambahan/penyempurnaan redaksi seperti dalam persoalan Harta Bersama, Ahli Waris Pengganti, Anak Perempuan Menghijab Saudara Pewaris, dan halangan menerima warisan karena Perencanaan Pembunuhan dan Fitnah, ketiga, usulan pencabutan pasal seperti pasal tentang 1/3 bagian untuk ayah bila pewaris tidak punya anak dan pembagian warisan berupa tanah < 2 Ha., keempat, usulan tambahan tentang hak “Ahli Waris” beda agama dan anak hasil perzinaan dimasukkan kategori pihak yang berhak atas Wasiat Wajibah. 4. Berkaitan dengan praktik pembagian waris di masyarakat dan di Pengadilan Agama terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya antara lain: 1) Pada keduanya terdapat kemungkinan melakukan pembagian warisan secara perdamaian setelah merujuk kepada Kompilasi Hukum Islam dan atau Fiqh Waris, 2) Pada keduanya terdapat kemungkinan pembagian waris dengan adanya wasiat pewaris sebelum meninggal dan hibah yang bisa diperhitungkan sebagai warisan. Sedangkan perbedaannya antara lain: 1) Cara penyelesaian waris di masyarakat masih sangat bervariasi, ada yang menggunakan hukum Islam/faraid, adat, Waris Perdata (BW). Atau bahkan gabungan. Sementara di Pengadilan Agama cara penyelesaian waris relatif seragam karena telah ada keseragaman sumber rujukan, yaitu Kompilasi Hukum Islam, 2) Pemberian bagian dari harta peninggalan/tirkah kepada cucu yang orang tuanya meninggal lebih dahulu, Anak atau Bapak Angkat, non muslim, dan anak hasil perzinaan umumnya diberikan dengan menggunakan instrumen hukum wasiat, hibah, atau hadiah, sementara di pengadilan lebih cenderung menggunakan instrumen waris pengganti atau wasiat wajibah. Selain itu, secara umum dapat dikatakan bahwa 46 masyarakat cenderung menyelesaikan perkara warisnya di luar pengadilan melalui tokoh masyarakat atau tokoh agama dibandingkan melalui jalur Pengadilan. Perkara kewarisan di Pengadilan kebanyakan hanya berupa P3HP (Permohonan Pertolongan Pembagian Harta Pusaka), yang umumnya diajukan oleh kalangan keluarga kelas menengah ke atas dan terdidik, atau dilakukan oleh keluarga yang potensi konflik dalam pembagian warisan besar B. Rekomendasi 1. Untuk mengurangi kesenjangan pemahaman masyarakat terhadap Kompilasi Hukum Islam, perlu dilakukan sosialisasi yang intensif ke berbagai kalangan atau kelompok dalam masyarakat. Oleh karena itu, perlu dialokasikan anggaran khusus seperti pada awal kelahiran Kompilasi Hukum Islam. 2. Perlu adanya ketegasan/kejelasan pasal dalam Kompilasi Hukum Islam sehingga tidak menimbulkan multi tafsir. Misalnya dalam hal Ahli Waris Pengganti, anak perempuan menghijab saudara pewaris, bagian 1/3 ayah bila tidak punya anak, hak Ahli Waris beda agama dan anak hasil perzinaan terhadap harta peninggalan/tirkah. 3. Dalam perumusan UU Terapan di Bidang Kewarisan hendaknya melibatkan sebanyak mungkin unsur-unsur di masyarakat baik yang pro dan kontra, baik ulama elit maupun ulama alit 4. Kajian yang lebih intens tentang persoalan-persoalan kewarisan perlu dilakukan untuk lebih mendekatkan kesepahaman kelompok-kelompok yang belum seutuhnya mau mengikuti Kompilasi Hukum Islam. 47 5. Dalam menyelesaikan persoalan waris, selain berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam para hakim umumnya masih banyak yang merujuk ke literatur fiqh klasik, selain juga menggali praktik hukum di masyarakat (adat istiadat). Namun, demikian bagi para hakim “yang mencari aman” dari proses hukum di tingkat Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung umumnya sangat patuh dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam dan Yurisprudensi, oleh karena itu upaya untuk menjadikan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum terapan di Pengadilan Agama harus segera diwujudkan guna megeliminir perbedaan hakim dalam memutus perkara karena banyaknya sumber rujukan hakim sebelum memutus pekara yang ditangani. Adanya ruang kebebasan/kreatifitas hakim dalam menggali hukum yang hidup di masyarakat untuk mencapai keadilan yang sejati. Ini karena tidak sedikit dari kalangan ulama yang belum setuju terhadap semua isi dari Kompilasi Hukum Islam. Walaupun dalam kenyataannya seringkali kreatifitas Hakim di tingkat Pengadilan Agama dibatalkan oleh Hakim Pengadilan Tinggi Agama/ Mahkamah Agung karena “menyimpang” dari ketentuan perundang-undangan atau yurisprudensi. 48 DAFTAR PUSTAKA Abu Bakar Jabir; El-Jazary; Minhajul Muslimin, Prof. DR. Jatniko, Pola Hidup Muslim, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1991. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia; Akademika, Pressindo, Jakarta, 1992; Bashir Muhammad Azahar; Hukum Waris, UII Press Yogyakarta, 2001. Cik Hasan Basri, (Penyunting Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Logos, Jakarta, 1999. Muhammad Amin Summa; Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam; Jakarta, PT. Raja Pressindo. Muhammad Rasyid Ridho, Tafsir al-Qur’anul Hakim (Tafsir AlManar); 1993. Syayyid Sabiq; Fiqh Sunnah, Ghoirud-Dar al-Fikry. Ismawati Rais; Pemikiran Fiqh, Abdul Hamid Hakim, Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji, Departemen Agama RI, Jakarta, 2005. Lexy Moleong; Metodologi Penelitian Kualitatif, Metodologi Penelitian ke Ragam Kontemporer; Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004. Sioka Hi Bob; Pembagian Warisan terhadap Anak di Luar Nikah; IAIN Gorontalo, 2006. 49 50 BAB III RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA TERHADAP FIQH WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DI KALIMANTAN SELATAN Oleh: A. Azharuddin Latif dan Sri Hidayati A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 1. Geografi dan Kependudukan P rovinsi Kalimantan Selatan dengan ibukotanya Banjarmasin terletak di sebelah Selatan pulau Kalimantan dengan batas-batas: sebelah Barat Provinsi Kalimantan Tengah, sebelah Timur dengan Selat Makasar, sebelah Selatan dengan Laut Jawa dan di sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur. Provinsi Kalimantan Selatan secara geografis terletak di antara 114 19" 33" BT - 116 33' 28 BT dan 1 21' 49" LS 1 10" 14" LS, dengan luas wilayah 37.377,53 km² atau hanya 6,98% dari luas Pulau Kalimantan. Kabupaten Kotabaru merupakan daerah paling luas yakni 13.044,50 km², Kabupaten Banjar dengan luas 5.039,90 km² dan Kabupaten Tabalong dengan luas 3.039,90 km², sedangkan daerah yang paling sempit adalah Kota Banjarmasin dengan luas 72,00 km². Secara geografis Kalimantan Selatan terletak di sebelah selatan pulau Kalimantan dengan luas wilayah 37.530,52 km2 atau 3.753.052 ha., termasuk wilayah laut. Sampai dengan tahun 2004, provinsi ini membawahi 11 kabupaten/kota dan pada tahun 2005 menjadi 13 kabupaten/kota akibat dari adanya pemekaran wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara menjadi Kabupaten Balangan dan Kabupaten Kotabaru menjadi Kabupaten Tanah Bumbu. 51 Jika dilihat pada masing-masing Kabupaten Tanah Laut 9,94%; Tanah Bumbu 13,50%; Kotabaru 25,11%; Banjar 12,45%; Tapin 5,80%; Tabalong 9,59%; Balangan 5,00%; Batola 6,33%; Banjarbaru 0,97% dan Banjarmasin 0,19%. Daerah aliran sungai yang terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan adalah: Barito, Tabanio, Kintap, Satui, Kusan, Batulicin, Pulau Laut, Pulau Sebuku, Cantung, Sampanahan, Manunggal dan Cengal. Kalimantan juga memiliki catchment area sebanyak 10 (sepuluh) lokasi yaitu Binuang, Tapin, Telaga Langsat, Mangkuang, Haruyan Dayak, Intangan, Kahakan, Jaro, Batulicin dan Riam Kanan. Adapun penduduk Kalimantan Selatan berjumlah 3.537.841 jiwa. Bagian terbesar penduduk 3.461.602 (97,87%) menganut agama Islam, selain itu sisanya secara berututan menganut agama Protestan 25.944 (0,73%) jiwa, Katolik 18.589 (0,53%) jiwa, Hindu 13.792 (0,39%) jiwa, Budha 12.486 (0,35%) jiwa, dan lainnya 4.428 (0,13%) jiwa.1 Kalimantan Selatan terdapat sejumlah etnik meliputi: Suku Banjar 417.309 jiwa, Jawa 56.513 jiwa, Bugis 2.861 jiwa, Madura 12.759 jiwa, Bukit 7.836 jiwa, Mandar 105 jiwa, Bakumpai 1.048 jiwa, Sunda 2.319 jiwa, dan lainnya 26.500 jiwa. Rumah ibadat yang terdapat di Kalimantan Selatan, adalah: 2.311 masjid, 6.925 Surau/langgar, 88 Gereja Protestan, 26 Gereja Katolik, 4 Klenteng, 35 Pura, dan 13 Vihara.2 Sedangkan, paham keagamaan yang berkembang dalam masyarakat Islam umumnya menganut paham teologi Asy’ariyah-Maturidiyah dan dalam Fiqh Madzhab Imam 1 2 Kanwil Depag Banjarmasin Kalimantan Selatan Th. 2007. Ibid. 52 Syafi’i. Oleh karena itu, tidak aneh kalau menurut KH. Abdurrahman,3 hampir 70% penduduk muslim berafiliasi kepada organisasi sosial keagamaan Nadhatul Ulama (NU), 20% Muhammadiyah dan sisanya organisasi sosial keagamaan lainnya, seperti Hizbut Tahrir, Persis, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) dan bahkan Ahmadiyah. 2. Adat Istiadat Banjar Di Kalimantan Selatan Adat Banjar adalah hukum asli yang berlaku pada masyarakat Banjar, sifatnya tidak tertulis dan mengandung unsur agama (agama Islam)”. Sedangkan masyarakat Banjar adalah masyarakat yang mendiami wilayah Kalimantan Selatan, yang menurut Mallinckrodict disebutnya sebagai suku Banjar, suatu nama yang diberikan untuk menyebut suku-suku Melayu terutama yang berasal dari daerah penguasaan Hindu Jawa, dan sebagian besar berdiam di pesisir Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.4 Asal-usul suku Banjar menurut J.J Ras berasal dari konsentrasi koloni Melayu yang pertama terdapat di daerah Tabalong. Kemudian berkembang menjadi suku Banjar, yang disebutnya sebagai Bandjar on the coast.5 Mereka berimigrasi dari Indonesia Bagian Barat pada permulaan abad pertama Masehi. Mereka memasuki bagian Timur “Teluk Besar” pada lereng-lereng kaki Pegunungan Meratus sebagai Pantainya, yang danau dan dataran rendahnya disebut Banua Lima atau Banua Empat. Dalam wilayah tua inilah golongan Melayu berbaur dengan kelompok Olo Maanyan dan orang-orang Bukit, telah mengeluarkan inti pertama suku Banjar dengan 3 4 5 KH. Abdurrahman, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Falah Banjar, Wawancara Pribadi, 19 Juni 2009 Mallincrodt, Het Adatrecht van Borneo I – II, M. Dubbeldeman, Leiden, 1928, hal. 48 J.J. Ras, Hikayat Banjar A Study In Malay Historie, Graphy Nartinus Nijhoof, The Haguw, 1966, hal. 53 mendirikan Kerajaan Tanjung Pura dengan Ibukota Tanjung Puri yang mungkin sekali terletak di Tanjung Kabupaten Tabalong sekarang. Istilah “Banjar” itu sendiri ditemukan dalam hikayat Banjar, dengan asal istilah “Banjarmasih”, yang umumnya dipakai untuk menyebut “Negeri Banjarmasih. Disebut nama Banjarmasih karena nama orang besar yang ada di Banjar adalah Patih Masih. Banjar sendiri mengandung makna berderet-deret sebagai letak perumahan kampung yang pendukuhan atau desanya terletak di atas air sepanjang pinggir sungai. Nama Patih Masih adalah nama sebutan dari Patih “Oloh Matih” yang artinya Patih orang Melayu sebagai sebutan yang ditujukan kepada Kepala suatu kelompok etnis di daerah Kalimantan.6 Sehingga istilah “Banjar” dan “Banjarmasih” dalam hikayat Banjar menunjuk kepada nama desa yang terletak disekitar Cerucuk sekarang daerah tersebut berada di samping Desa Serapat, Tamban, Kuin dan Belitung. Di samping itu pedagang dari Jawa yang tiap tahun ke Banjarmasin lebih mengenal daerah ini dengan istilah nama “Negeri Banjar”, “Kota Banjar”, dan “Tanah Banjar”. Kalau disimak lebih jauh, “Orang Banjar” (Urang Banjar) sebenarnya terdiri dari beberapa kelompok suku bangsa, yaitu dari etnik Melayu yang merupakan etnik dominan, ditambah etnik lainnya yaitu etnik Bukit, Ngaju dan Maanyan. Konsep itu kemudian dipakai untuk menyebut penduduk asli Kalimantan, mereka itu termasuk dalam kelompok Melayu muda yang umumnya tinggal di sekitar pantai dan menganut agama Islam. Agama Islam merupakan karakter khusus dari masyarakat Banjar, karena sejarah masuknya agama Islam dalam masyarakat Banjar bersamaan dengan berdirinya 6 Idwar Saleh, Sejarah Singkat Mengenai Bangkit dan Berkembangnya Kota Banjarmasin serta Wilayah Sekitarnya Sampai Tahun 1950, Banjarmasin, 1975, hal. 17 54 Kerajaan Banjar. Walaupun agama Islam sudah masuk dan berkembang terbatas di Kalimantan. Melekatnya agama Islam pada masyarakat Banjar ditandai oleh suatu peristiwa sejarah Kerajaan Daha, yang diceritakan bahwa suatu ketika terjadi pertentangan antara Raden Samudera, waris sah Kerajaan Daha dengan pamannya Pangeran Tumenggung yang ingin mengambil alih Karajaan. Pangeran Samudera bersama-sama Patih Masih menyusun kekuatan di daerah Banjar untuk menghadapi pamannya tersebut, karena masih kurang berimbangnya kekuatan, maka atas saran Patih Masih, Raden Samudera meminta bantuan pada Sultan Demak. Agar Sultan Demak bersedia memeluk agama Islam. Syarat tersebut disanggupi oleh Raden Samudera, dan Sultan Demak mengirimkan pasukannya untuk membantu Raden Samudera di bawah pimpinan Khatib Samudera, iapun memeluk agama Islam, yang kemudian diikuti oleh seluruh penduduk Banjar (24 September 1524).7 Orang Banjar tersebut tersebar di berbagai daerah Kalimantan Selatan, sehingga mereka terbagi menjadi beberapa kelompok, yang menurut Mallinckrodt apabila didasarkan atas bahasa dapat dibagi menjadi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Banjar Kota, yaitu mereka yang ada di Banjarmasin; Orang Negara, yaitu mereka yang ada di Negara; Alabio, yaitu mereka yang ada di Alabio; Pamangkih, yaitu mereka yang ada di Pamangkih; Amuntai, yaitu mereka yang ada di Amuntai; Kandangan, yaitu mereka yang ada di Kandangan; Barabai, yaitu mereka yang ada di Barabai; dan Martapura, yaitu mereka yang ada di Martapura.8 7 Abdurrahman, Studi Tentang Undang – undang Sultan Adam 1835, STIH Sultan Adam, Banjarmasin, 1989, hal. 15 8 Mallinrodt, op cit., hal. 47 55 Menurut Alfani Daud orang Banjar dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu Banjar Hulu, Banjar Kuala dan Banjar Batang Banyu untuk menggambarkan adanya beberapa pembauran dalam masyarakat Banjar tersebut. Khususnya tentang masyarakat Banjar Batang Banyu disebutnya sebagai masyarakat Banjar dari Banjar Hulu yang bermukim di Lembah Tabalong dan bergerak ke hilir berdasarkan pergeseran ibukota di daerah Candi Agung Amuntai.9 Sebenarnya secara sederhana orang Banjar dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu: Banjar Kuala, dan Banjar Hulu. Banjar Kuala adalah mereka yang tinggal di Kota Banjarmasin dan daerah sekitarnya, termasuk orang Banjar Martapura yang bahasanya digunakan dalam UndangUndang Sultan Adam. Sedangkan Banjar Hulu adalah mereka yang bermukim di daerah Hulu Sungai, yang terkenal dengan istilah “Benua Lima”, seperti Rantau, Kandangan, Barabai, Amuntai dan lain-lain. Dengan karakter melekatnya agama Islam dalam masyarakat Banjar tersebut, berarti sejalan dengan pengertian hukum adat yang telah digariskan dalam seminar hukum adat tahun 1976. Hal ini perlu ditegaskan dalam melihat hukum adat yang ada di Kalimantan Selatan, karena dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Mallincrodt yang disebut dengan Adatrech Van Borneo pada dasarnya adalah hukum adat Dayak bukan berasal dari Islam. Begitu pula Van Vollenhoven dalam pembagian wilayah berlakunya hukum adat (Adatrechtskring) menyebutkan Adatrechskring Borneo yang dimaksudkan adalah hukum adat Dayak, dan untuk orang 9 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 44. 56 Banjar Melayu dimasukannya Adatrechtskring Melayu.10 ke dalam kelompok Penekanan karakter agama Islam dalam membahas hukum adat Banjar berarti memasuki pembahasan dalam hukum adat tentang agama (Islam) dengan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Dalam kerangka ini sebagaimana diketahui terdapat teori yang saling bertentangan, yaitu teori receptio in complexu dan receptie theorie, serta receptio a contrario. Para ahli hukum Belanda seperti Carel Frederik Winter (1799-1859) dan Salomon Keyzer (1823-1368) mengatakan bahwa “hukum Islamiah adalah hukum yang berlaku di kalangan orang-orang Jawa (Indonesia)”. Pendapat ini kemudian diperkuat oleh Lodewijk Willian Christian van den Berg (1845-1927) yang menyatakan bahwa “hukum mengikuti agama yang dianutnya”, sehingga bagi penduduk Indonesia yang beragama Islam, hukum yang berlaku baginya adalah hukum Islam. Hal ini berarti orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam secara keseluruhan dan satu kesatuan.11 Setengah abad kemudian Christian Snouck Hourgronje (1857-1936) menentang pendapat teori di atas, ia mengemukakan berdasarkan hasil penelitiannya terhadap orang-orang Aceh (1981-1982) dan Gayo (1898-1903) di Banda Aceh, bahwa “hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah bukan Hukum Islam tetapi hukum adat, diakui dalam hukum adat ada pengaruh hukum Islam. Akan tetapi hukum Islam baru dianggap sebagai hukum apabila telah diresepsi oleh hukum adat”.12 10 11 12 Van Vollenhoven, Op cit., hal. 288 - 310 Neng Djubaidah, ”Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Masyarakat Muslim Indonesia Suatu Harapan”, Mimbar Hukum No. 40 Th. 1998, Al-Hikmah & Ditbinbapera, h. 6-7 Ibid., 57 Setelah kemerdekaan Hazairin menentang keras teori receptie, yang dinyatakannya sebagai “teori iblis”, dinyatakannya setelah berlakunya UUD 1945 maka Hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam karena kedudukan hukum itu sendiri, bukan karena Hukum Islam telah diterima oleh hukum adat.13 Pendapat Hazairin ini kemudian dikembangkan oleh muridnya Sajuti Thalib dengan menamakannya teori receptio a contrario, yang merupakan kebalikan dari teri receptie. Sehubungan dengan permasalahan hubungan antara hukum Islam dengan hukum adat yang dilihat dari kerangka teori di atas, ternyata penelitian hukum adat pada masyarakat Banjar yang pernah dilakukan telah menunjukkan adanya variasi yang berbeda. Seperti Penelitian bidang hukum waris adat yang dilakukan oleh IAIN Antasari Banjarmasin (tahun 1980) menyimpulkan bahwa “hukum waris yang berlaku dalam masyarakat Banjar pada dasarnya adalah hukum Islam”.14 Hasil penelitian tersebut ternyata berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (tahun 1980), yang menyimpulkan bahwa “hukum yang berlaku dikalangan masyarakat Banjar adalah hukum adat yang telah banyak mendapat pengaruh dari hukum Islam”. Begitu pula hasil penelitian Tim Pusat Penelitian Universitas Lambung Mangkurat menyimpulkan bahwa “Hukum Adat yang berlaku dikalangan suku Banjar banyak dipengaruhi oleh Hukum Islam”.15 13 14 15 Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, Yayasan Risalah, Jakarta, hal. 226-227. Lihat pula, Hazairin, Hukum Kekeluarga Nasional, Tintamas, Jakarta, 1968, hal. 5-7 Tim Peneliti IAIN Antasari, Pewarisan Di Kalimantan Selatan, IAIN Antasari, Banjarmasin, 1980, hal. 52-53 Tim Peneliti Puslit Unlam, Hukum Adat Kalimantan Selatan, BAPEDA Tingkat I Kal-Sel, Banjarmasin, 1990, hal. 14-15 58 B. Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap Kompilasi Hukum Islam 1. Pengetahuan tentang Kompilasi Hukum Islam Pada umumnya aturan kewarisan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam belum dipahami oleh mayoritas masyarakat, termasuk didalamnya para tokoh masyarakat, pemangku adat atau tuan guru/ulama. Kompilasi Hukum Islam baru dipahami oleh sebagian kecil ulama atau tokoh masyarakat yang berlatarbelakang pendidikan kampus. Dalam kaitan ini, Ahmad Khusaini, Pemangku adat Banjar di Yayasan Sultan Suriansyah menyatakan bahwa selama ini belum pernah ada sosialisasi Kompilasi Hukum Islam kepada masyarakat atau tokoh masyarakat. Yang saya tahu Kompilasi Hukum Islam adalah hukum untuk orang yang akan berperkara di Pengadilan Agama. Untuk pembagian warisan di masyarakat umumnya meminta bantuan pada tuan guru. Sementara, Drs. KH. Abdurrahman, pimpinan Pesantren Al-Falah, Drs, Fathurrahman, M.Ag, wakil Ketua NU Wilayah Kalimantan Selatan, dan Drs. Zaenal Abidin, Salah seorang pengurus Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Selatan, menyatakan bahwa sosialisasi Kompilasi Hukum Islam memang tidak pernah dilakukan di masyarakat, tetapi ada forum yang membahas Kompilasi Hukum Islam di Kampus IAIN Antasari Banjarmasin, itupun sudah lama sekali pelaksanaannya yaitu sekitar tahun 1990-an, pada awal kelahiran Kompilasi Hukum Islam. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh para Hakim Tinggi Agama dan para Dosen Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin,16 mereka 16 Hasil diskusi beberapa orang Dosen Ilmu Waris di IAIN Antasari Banjarmasin tanggal 24 Juni 2009, bertempat di Ruang Dekan Fakultas Syariah, Peserta Diskusi adalah Gusti 59 membenarkan kurangnya sosialisasi Kompilasi Hukum Islam, apalagi sejak Pengadilan Agama berada dibawah administrasi Mahkamah Agung. Mereka mengharapkan agar Mahkamah Agung dan Kementerian Agama, Direktorat Urusan Agama dan Pembinaan Syariah, tetap melakukan sosialisasi Kompilasi Hukum Islam untuk lebih memperkenalkan produk Fiqh Indonesia kepada masyarakat luas. 2. Perbedaan Kompilasi Hukum Islam dengan Fiqh Islam Menurut keterangan beberapa tanggapan yang merespon pertanyaan tentang perbedaan dalam Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam. Pendapat mereka dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama diwakili Drs. Ahmad Yamin, pengikut Jamaah Persis yang juga sebagai pegawai Pengadilan Tinggi Agama Kalimantan Selatan, menilai tidak semua isi Kompilasi Hukum Islam yang terkait dengan kewarisan sesuai dengan fiqh Islam, seperti konsep harta bersama, ahli waris pengganti, wasiat wajibah untuk anak dan bapak angkat. Dalam hal ini, mereka hanya bisa menerima pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam yang ada rujukannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Sementara kelompok kedua, diwakili beberapa Tuan Guru/Kyai Muda di Pesantren Darussalam Martapura, Pesantren yang didirikan Syekh Arsyad Al-Banjari, menyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam memang bersumber dari kitab-kitab fiqh Islam, termasuk tentang konsep harta bersama yang terdapat dalam kitab faraid syekh Arsyad al-Banjari, demikian juga konsep wasiat wajibah untuk ahli waris cucu yang bapaknya lebih dahulu meninggal yang terdapat dalam kajian fiqh kontemporer. Hanya saja konsep ahli waris pengganti bagi mereka tidak punya rujukan yang jelas dalam kitab fiqh klasik, karena itu tidak bisa diterima. Muzainah, SH, MH, Dra. Norwahidah, M.Ag, H.A. Sukris Sarmadi, S.Ag, MH, Drs. HM. Fahmi Al-Amruzi, M.H 60 Sedangkan kelompok ketiga, yang antara lain diwakili Prof. Drs. H.M. Aswadhi Syukur, Lc17 Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Kalimantan Selatan, dan Dra. Norwahidah, M.Ag. Dosen Hukum Waris IAIN Antasari, serta Drs. HM. Fahmi Al-Amruzi, M.H, menyatakan bahwa sebenarnya tidak perlu memperhadapkan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam karena Kompilasi Hukum Islam juga merupakan produk Fiqh khas Indonesia, termasuk dalam persoalan kewarisan. Ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam yang terkesan baru yang tidak ditemukan dalam kajian Fiqh Klasik tidak secara otomatis bisa dikatakan menyimpang dari Hukum Islam karena ketentuan-ketentuan baru tersebut diambil berdasarkan ijtihad kolektif ulama Indonesia dengan memperhatikan perbedaan adat-istiadat masyarakat Indonesia dan bermuara kepada pertimbangan maslahah. Di samping itu, ketentuan-ketentuan baru tersebut juga ada sandaran dalilnya walaupun mungkin sifatnya interpretatif yang sangat memungkinkan mengundang perdebatan. Misalnya dalam persoalan harta bersama, konsep ini didasarkan pada qiyas dengan konsep syirkah dalam kajian Fiqh Muamalat, di samping juga didasarkan pada ayat 32 surat an-Nisa. “….bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” Sedangkan, bagi para Hakim Tinggi Agama di Pengadilan Tinggi Agama Banjarmasin,18 Kompilasi Hukum 17 18 Prof. Drs. H.M. Aswadi Syukur, Lc, Wawancara Pribadi, 25 Juni 2009, di Fakultas Da’wah IAIN Antasari Banjarmasin. Hasil diskusi dengan Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banjarmasin tanggal 23 Juni 2009, bertempat di ruang Pan/Sek PTA, Peserta Diskusi adalah; Drs. H. M. Tarsi Hawi, SH, Drs. H. Fahruddin Hamid, SH, Drs. H. M . Thahir Aidy, SH, Drs. Nashrullah Syarqawi, SH, Drs. H. Masruyani Syamsuri, SH, MH, Drs. H. Ahmad Sayuti. S.H., M.H., Drs. H. Syarkawi, 61 Islam merupakan produk hukum yang sangat sesuai dengan kultur dan budaya di Indonesia, bahkan sering disebut-sebut sebagai produk fiqh yang genuine Indonesia. Menurut mereka ketentuan-ketentuan yang ada di Kompilasi Hukum Islam memang ada yang perlu disempurnakan misalnya dalam persoalan kriteria Ahli Waris Pengganti, kreteria anak angkat, dan ketentuan harta gono gini yang dibagi 50% untuk masingmasing pasangan. Akan tetapi ketentuan yang ada secara umum sudah selaras dengan maqasid syariah. Oleh karena itu, kalaupun ada rencana perbaikan hendaknya jangan sampai terjadi langkah mundur (Set back), justru yang mereka harapkan harus lebih progresif. Persoalan ada kelompok yang menolak, menurut mereka hal itu biasa dalam fiqh. Namun demikian pihak-pihak yang menolak seharusnya memperhatikan kaidah fiqh yang menyatakan “hukmul hakim yarfaul khilaf, yakni keputusan hakim atau penguasa menghilangkan perbedaan. Artinya Fiqh yang diambil menjadi ketetapan hukum oleh pemerintah dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam itulah yang harus dijadikan pegangan. Walaupun demikian, untuk penyelesaian sengketa waris di luar Pengadilan yang tidak mengikuti Kompilasi Hukum Islam, tidak menjadi persoalan. Sementara ketika ditanyakan mana yang lebih adil antara ketentuan di Kompilasi Hukum Islam dan dalam Fiqh klasik, hampir semua informan menyatakan bahwa penilaian adil atau tidak adil itu relatif. Penilaian tersebut terkait dengan siapa yang menyatakan, dalam konteks apa, dan dimana penilaian itu terjadi. Tetapi para Hakim Pengadilan Tinggi Agama secara tegas menyatakan bahwa ketentuanketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam tentu diambil SH, MHI, Drs. H. Abdul Kadir Ahmadie, SH, Drs. E. Saefuddin, M.H, Drs. H. M. Yusuf Was Syarief, dan Drs. H. S. Bakir, SH. 62 karena ada maslahah yang lebih besar dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan lain yang tidak ada dalam Kompilasi Hukum Islam, boleh jadi hal itu bertentangan dengan Kompilasi Hukum Islam. Apalagi dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam melibatkan banyak unsur baik dari masyarakat, unsur akademisi, tokoh masyarakat, para praktisi hukum dan lain-lain. 3. Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap Beberapa Materi dan Praktik KHI a. Harta Bersama Harta bersama dalam masyarakat Banjar dikenal dengan “harta papantangan”. Perkataan harta papantangan berasal dari istilah bahasa Banjar yang berarti "semua harta yang diperoleh dari hasil kerja sama suami isteri selama berlangsungnya perkawinan".19 Keberadaan harta bersama (papantangan) telah menjadi budaya dalam masyarakat Kalimantan Selatan sejak lama. Karena itu, semua informan sepakat menyatakan bahwa apabila dalam keluarga terjadi peristiwa perceraian atau kematian salah seorang dari suami isteri, maka harta mereka dibagi menjadi dua bagian yang sama, kecuali harta bawaan atau warisan, tetap menjadi harta pribadi masing-masing. Harta papantangan yang telah menjadi ketentuan adat Banjar telah mendapatkan legalitas fiqhnya dari fatwa Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Menurut Prof. Drs. KH. Aswadhi Syukur, Lc, dan Drs. KH. Noval, fatwa tentang harta papantangan tersebut dikeluarkan setelah Syekh bermukim selama 40 tahun di Makkah dan 19 Muhammad Sanusi. (tanpa tahun) Suatu Tinjauan terhadap Harta Bersama dalam Hukum Keluarga dan Hukum Waris Suku Banjar, Prasaran pada Diskusi Hakim/Calon Hakim pada Pengadilan Negeri Banjarmasin 63 mengamati kehidupan keluarga di sana dan mencoba membandingkan dengan kehidupan keluarga di masyarakat Banjar, Syekh melihat kehidupan keluarga di kalangan masyarakat Arab berbeda dengan masyarakat Banjar. Di Saudi Arabia memang perempuan (isteri) tidak bekerja, karena itu apabila suami meninggal dan mempunyai anak, si isteri hanya mendapat seperdelapan dari harta warisan, kalau tidak ada anak mendapat seperempat dari harta warisan (peninggalan suami), berbeda dengan masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan) isteri ikut bekerja bersama suami sekalipun hanya bekerja di rumah saja, selama masih sebagai suami isteri dinamakan harta papantangan atau harta bersama. Apabila salah satu meninggal maka yang masih hidup lebih dahulu mengambil 50% (lima puluh persen) dari harta bersama dan sisanya baru dibagi sesuai dengan ketentuan hukum Faraidh. Harta bersama ini di-qias-kan dengan Syirkatu al abdan. Pendapat Syekh Al-Banjari tersebut di atas hingga saat ini belum diketemukan dalam kitab yang beliau tulis, tetapi menurut Prof. Drs. KH. Aswadhi Syukur, Lc, pendapat tersebut terdapat dalam kitab faraidh karya Tuan Guru Abdurrahman Sapat dari Tembilahan. Menurutnya, boleh jadi kitab itu dari Syekh Arsyad, namun ketika akan diterbitkan dipakai nama Syekh Abdurrahman yang merupakan keturunan Datuk Kalampaian. Sedangkan dalam hal menentukan yang termasuk harta papantangan jarang sekali masyarakat menelusuri asal-usul harta tirkah. Ini terjadi karena dalam adat Banjar tidak mengenal pemisahan harta dan perjanjian 64 perkawinan, disamping karena keterbatasan pengetahuan masyarakat akan hak-haknya.20 Masalah harta papantangan ini berkaitan erat dengan kedudukan isteri dalam rumah tangga serta haknya atas harta yang diperoleh selama berumah tangga tersebut. Suatu harta dianggap harta papantangan, kalau dalam rumah tangga tersebut si isteri turut bekerja (kantor, dagang atau tani), sehingga nantinya mereka ini (si-isteri) berhak separo atas harta bersama tersebut. Dalam hal pembagian waris nantinya sisanya yang separo setelah diambil oleh isteri itulah yang akan dijadikan harta warisan. Sehubungan kondisi isteri yang bekerja atau tidak bekerja dan seberapa besar ia akan mendapatkan harta papantangan, dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu: 1. Bahwa isteri tidak mendapat harta papantangan, atau harta itu bukan harta papantangan, karena isteri dianggap tidak bekerja. Dalam hal ini isteri hanya mendapat bagian waris sesuai dengan kedudukannya sebagai ahli waris. 2. Bahwa isteri mendapatkan harta papantangan, akan tetapi isteri tidak mendapaatkan separo, besarnya ditentukan dalam permusyawaratan pembagian harta peninggalan. 3. Bahwa sekalipun isteri tidak bekerja secara nyata, karena hanya sebagai ibu rumah tangga, akan tetapi hakikatnya ia bekerja. Hakikat bekerja ini dikarenakan si isteri melakukan pekerjaan di rumah diluar pekerjaan yang seharusnya ia tidak lakukan (ada 20 Gusti Muzainah, SH, MH, Dosen Hukum Adat IAIN Antasari, Wawancara Pribadi, 26 Juni 2009 65 kewajiban suami menyediakan pembantu dalam rumah tangga), oleh karena itu tidak akan mungkin seorang suami dapat bekerja dengan baik tanpa dibantu oleh isteri di rumah. Dengan demikian isteri yang hanya sebagai ibu rumah tangga pun berhak atas harta papantangan.21 Atas dasar pertimbangan di atas, para Hakim Pengadilan Tinggi Agama Kalimantan Selatan mengusulkan pada pasal 96-97 yang mengatur harta bersama agar porsi bagian pasangan yang masih hidup tidak ditentukan secara pasti 50%/separuh, tetapi diserahkan pada hakim berdasarkan kontribusi/saham riil masing-masing pasangan. Hal ini sesuai dengan konsep syirkah abdan: porsi keuntungan seimbang dengan kontribusi. Selama ini, hakim-hakim di Peradilan Agama juga tidak selalu memberikan porsi bagian harta bersama sesuai ketentuan Kompilasi Hukum Islam, tetapi lebih mempertimbangkan kondisi obyektif keluarga yang ada, terutama kondisi obyektif kontribusi masingmasing pasangan dalam keluarga.22 b. Ahli Waris Pengganti Ahli Waris Pengganti adalah ahli waris yang menggantikan posisi orang tuanya yang terlebih dahulu meninggal dari pada pewaris. Ketentuan tentang Ahli Waris Pengganti terdapat pada pasal 185 ayat (1) Buku II Kompilasi Hukum Islam yaitu: 1) Ahli Waris yang meninggal lebih dahulu daripada si Pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173. 21 22 Fitrian Noor, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Hukum Kewarisan Adat Banjar (Studi Komparatif tentang Sistem dan Pembagian Kewarisan, Tesis Unlam, 2007. Diskusi dengan Hakim Pengadilan Tinggi Agama, tgl. 23 Juni 66 2) Bagian bagi Ahli Waris Pengganti tidak boleh melebihi dari bagian Ahli Waris yang sederajat dengan yang diganti. Berdasarkan pasal tersebut maka cucu berhak memperoleh bagian warisan yang ditinggalkan kakek/neneknya apabila orang tua cucu tersebut lebih dahulu atau bersama-sama meninggal dunia dengan kakek/neneknya, dengan perolehan sebesar bagian yang didapatkan orang tuanya jika masih hidup. Menurut Prof. Drs. H.M. Aswadhi Syukur, Lc, ketentuan tentang Ahli Waris Pengganti tersebut sudah tepat menggunakan sistem penggantian, bukan sistem Wasiat Wajibah seperti yang diberlakukan di Mesir dan beberapa negara Timur Tengah lainnya, Ini karena wasiat hanya untuk orang-orang yang tidak tergolong ahli waris, sedangkan cucu merupakan Ahli Waris. Hadits Rasulullah menyatakan la washiyyata liwaritsin, tidak ada wasiat untuk ahli waris. Di samping itu, lanjutnya, ijtihad tentang Ahli Waris Pengganti tersebut didasarkan pada hasil pemikiran Hazairin dalam menafsirkan ayat QS. An-Nisa ayat 33; “Bagi tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya (mawali)”. Sementara, KH. Abdurrahaman, KH. Noval, dan Drs. Mahlan Umar, SH, MH mereka sepakat bahwa istilah Ahli Waris Pengganti tidak dikenal dalam kajian Fiqh Klasik. Walaupun demikian ini bukan berarti fiqh tidak ada solusi untuk kasus di atas. Dengan menggunakan wasiat wajibah menurut mereka lebih tepat seperti yang dilakukan oleh Mesir yang mendasarkan pada pendapat Ibnu Hazm yang menyatakan bahwa untuk kerabat dekat yang tidak mendapatkan warisan, seorang wajib memberi wasiat. 67 Perbedaan di atas, pada gilirannya akan membawa konsekuensi terhadap batas maksimal harta warisan yang bisa diperoleh cucu. Bila menggunakan instrumen wasiat maka yang didapat cucu tidak boleh lebih dari 1/3 harta. Sedangkan melalui sistem waris pengganti cucu bisa mendapatkan lebih dari 1/3 harta. Hanya saja Kompilasi Hukum Islam membatasi bahwa bagian bagi Ahli Waris Pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Sedangkan Drs. H. Ma’sum, SH, MH, Hakim Pengadilan Agama Kelas IA Banjarmasin, Dra. Norwahidah, M.Ag, Dosen Ilmu Waris IAIN Antasari, dan para Hakim Agama Pengadilan Tinggi Agama Banjarmasin menyampaikan usulan terkait dengan rencana peningkatan status Kompilasi Hukum Islam menjadi Undang-Undang Terapan, yaitu: 1) Pada Ketentuan Umum Buku II Kompilasi Hukum Islam, perlu ditambahkan pengertian Ahli Waris Pengganti yang hanya dibatasi pada cucu dari anak laki-laki atau anak perempuan, tidak diperluas hingga keponakan (anak dari saudara pewaris). 2) Pada Pasal 185 tentang waris pengganti agar ditambahkan point tentang syarat terjadinya Ahli Waris Pengganti, yaitu Ahli Waris Pengganti baru terjadi apabila tanpa sistem Ahli Waris Pengganti. cucu tidak mendapatkan warisan karena adanya Ahli Waris lain yang menghijabnya. Praktik pembagian warisan dalam adat Banjar tidak mengenal istilah Ahli Waris Pengganti, akan tetapi dalam proses pembagian harta peninggalan, cucu yang terhalang karena bapak/ibunya terlebih dahulu meninggal tetap saja diberikan dalam bentuk hibah atau wasiat. 68 Sedangkan dalam praktik di Pengadilan Agama atau Pengadilan Tinggi Agama, sistem Ahli Waris Pengganti sudah berlaku, dan selama ini tidak pernah ada keberatan dari para ulama’, kecuali pada saat awal sosialisasi Kompilasi Hukum Islam. Itu pun terjadi karena belum adanya pemahaman yang cukup dikalangan ulama. Kalau ada yang mengusulkan agar menggunakan sistem wasiat wajibah seperti di Mesir bagi para Hakim Pengadilan Agama/Pengadilan Tinggi Agama tidak jadi persoalan. Hanya yang mereka inginkan agar siapa saja yang berhak menjadi Ahli Waris Pengganti perlu diperjelas dalam undang-undang. c. Anak Perempuan Menghijab Saudara Pewaris Menurut para Hakim Agama Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama Kalimantan Selatan, persoalan anak perempuan pewaris menghijab saudara pewaris tidak diatur secara eksplisit dalam Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi ketentuan ini didapatkan dari dua yurisprudensi berupa Keputusan Mahkamah Agung RI, pertama, Keputusan MA No. 84/K/AG/1995/MA yang membatalkan Keputusan Pengadilan Agama Pekalongan dan Pengadilan Tinggi Agama Semarang. Kedua, Keputusan MA: No. 86/K/AG/1994/MA yang membatalkan Keputusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama Mataram. Kedua putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan bahwa anak perempuan bisa menghijab saudara-saudara pewaris/paman dan bibinya. Menurut mereka kasus seperti dalam keputusan Mahkamah Agung di atas belum pernah terjadi di wilayah Kalimantan Selatan. Menurut Prof. Drs. H.M. Aswadhi Syukur, Lc dan Norwahidah, Dosen IAIN Antasari, ketentuan tentang anak perempuan bisa menghijab saudara pewaris/paman dan bibinya adalah didasarkan pada pendapat Syiah Imamiyah. Sementara Jumhur Ulama Ahli Sunnah mengatakan yang bisa 69 menghijab saudara adalah anak laki-laki. Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena perbedaan dalam menafsirkan kata “walad” pada surat An-Nisa ayat 76. Bagi Syiah Imamiyah “walad” dalam ayat tersebut berarti anak laki-laki dan perempuan. Sementara Jumhur Ahli Sunnah mengartikan walad hanya untuk anak laki-laki. Dalam Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang bagian waris saudara terdapat dalam pasal 182 Kompilasi Hukum Islam, selengkapnya adalah sebagai berikut: Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan. Pasal 182 di atas juga sangat umum ketika menyebutkan kata anak. Oleh karena itu wajar kalau terjadi perbedaan hakim dalam memahaminya. Dalam kaitan ini, Hakim Pengadilan Tinggi Agama Kalimantan Selatan hanya mengharapkan agar dalam Perumusan Undang Undang terapan di bidang kewarisan, anak dalam pasal di atas dibunyikan secara eksplisit, yang terdiri dari anak laki-laki dan perempuan. Hal ini sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung di atas. Namun demikian, dalam praktik pembagian warisan di Banjar, menurut Gusti Muzainah,SH, MH, Saudara pewaris hanya bisa dihijab oleh anak laki-laki dan ayah sesuai dengan ketentuan waris Islam (pendapat Jumhur Ahli Sunnah). 70 d. Wasiat Wajibah Untuk Anak Angkat Anak angkat menurut adat Banjar adalah anak benarbenar tidak lahir dari kedua orang tua yang mengasuhnya tersebut, akan tetapi anak ini dipelihara dan dibesarkan dari kecil, sehingga anak tersebut sudah menyebut dan menjadikan pihak yang mengasuh sebagai orang tua sendiri (‘’kuitan’’). Anak angkat ini disebut dengan istilah ‘’anak pintaan’’. “Anak pintaan” ini dalam masyarakat Banjar tidak berkedudukan sebagai ahli waris, akan tetapi ia dalam pembagian warisan adalah pihak yang dipertimbangkan untuk mendapatkan bagian dari harta waris.23 Anak angkat ini tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya, akan tetapi tetap berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya sendiri. Dalam hal ini pengangkatan anak tidak bersifat memutuskan hubungan antara anak angkat tersebut dengan orang tuanya. Sehingga dengan demikian tidak dikenal konsep “adopsi“ seperti dalam hukum Barat. Sementara menurut Prof. Drs. H.M. Aswadhi Syukur, Lc, ketentuan Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 yang memberikan bagian anak angkat melalui wasiat wajibah dari harta peninggalan orang tua angkatnya sudah tepat. Karena wasiat memang diperuntukkan pada orang-orang yang tidak tergolong ahli waris tetapi masih punya hubungan dekat dengan pewaris. Mengenai istilah “Wasiat Wajibah” ini merujuk pada pendapat madzhab Dhahiriyah. 23 Fitrian Noor, SHI, SH, MH, Kasubag Keuangan Pengadilan Agama Kelas I A Banjarmasin, Wawancara Pribadi, Tanggal 21 Juni 2009, Lihat juga Fitrian Noor, SHI, SH, MH, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dan Hukum Kewarisan Adat Banjar (Studi Komparatif Tentang Sistem Dan Pembagian Kewarisan, Tesis Unlam, 2007 71 Para Hakim Agama Pengadilan Agama maupun Pengadilan Tinggi Agama sepakat bahwa Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam tersebut tetap dipertahankan. Hanya saja para Hakim Agama Pengadilan Tinggi Agama menghendaki agar pengertian anak angkat harus ditegaskan dalam UndangUndang karena dalam pratiknya banyak anak asuh yang mengaku-ngaku sebagai anak angkat. Misalnya, anak angkat adalah anak yang diangkat secara resmi melalui proses Peradilan atau proses lain yang diakui secara sah oleh hukum yang berlaku. e. Waris Beda Agama Semua informan sepakat bahwa beda agama menghalangi seseorang mendapatkan harta waris. Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi SAW “Seorang yang non muslim tidak mewarisi seorang muslim dan seorang muslim tidak mewarisi non muslim”. Namun demikian, mereka pun sepakat bahwa seorang yang beda agama bisa mendapatkan harta peninggalan melalui cara lain, selain warisan, misalnya melalui hibah atau wasiat. Menurut Prof. Drs. H.M. Aswadhi Syukur, Lc, kasus pemberian harta peninggalan kepada non muslim pernah terjadi ketika salah seorang muslim yang mengalami kecelakaan Pesawat Colombia meninggal, ia meninggalkan ahli waris non muslim, yaitu orang tuanya. Ketika dimintakan fatwa ke Pengadilan Agama, orang tuanya tersebut mendapatkan harta peninggalan pewaris, anaknya yang muslim tersebut melalui wasiat wajibah. Hal yang sama, pernah diputuskan Hakim Agama Pengadilan Agama Martapura Kalimantan Selatan dan juga Hakim Agama Pengadilan Agama Kalimantan Tengah yang memberikan bagian harta peninggalan kepada non muslim melalui wasiat wajibah. Oleh karena itu, para Hakim Agama 72 Pengadilan Tinggi Agama dan juga Prof. Drs. H.M. Aswadhi Syukur, Lc, mengusulkan agar bagian untuk “ahli waris” non muslim ditegaskan di dalam Undang-Undang melalui instrumen wasiat wajibah. f. Halangan Menerima Warisan Pembunuhan dan Fitnah Karena Perencanaan Menurut Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam, Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena: a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris; b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Dalam pasal di atas membunuh sebagai penghalang menerima harta waris sudah sesuai dengan fiqh. Akan tetapi percobaan pembunuhan, penganiayaan berat, apalagi memfitnah sebagai halangan mewaris, menurut pendapat Amir Syarifuddin, jelas tidak ditemukan rujukannya dalam fiqh madzhab manapun.24 Menyikapi persoalan ini, Drs. H. Abdul Halim, SH, Hakim Agama Pengadilan Agama Kelas IA Banjarmasin, menyatakan bahwa pasal di atas, semangatnya adalah untuk mencegah semakin maraknya kejahatan berupa percobaan pembunuhan dan penganiayaan berat yang dilakukan ahli waris kepada “calon pewaris”. Sedangkan batasan fitnah yang menyebabkan pewaris diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat dalam Pasal 173 24 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 200), cet-3, h. 328 73 Kompilasi Hukum Islam di atas, jelas dimaksudkan untuk pre empetive, Sadduz zariah. Dalam kaitan ini Prof. Drs. H.M. Aswadhi Syukur, Lc menyatakan bahwa fitnah yang menyebabkan terhalang menerima harta waris adalah memfitnah yang meyebabkan pewaris dikenakan hukuman had. Sedangkan Drs. Fathurrahman, M.Ag, wakil ketua NU Wilayah Kalimantan Selatan, mengharapkan agar pasal 173 Kompilasi Hukum Islam di atas diberikan penjelasan yang kongkrit tentang kriteria atau parameter dari perencanaan pembunuhan dan memfitnah yang menjadi penghalang mendapatkan warisan. g. Sepertiga (1/3) Bagian untuk Ayah Bila Pewaris tidak Punya Anak Dalam Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam disebutkan: “Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian”. Ketentuan pasal di atas, secara sepintas bertentangan dengan hukum waris Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an. Terkait dengan bagian ayah, surat an-Nisa ayat 11 menyatakan : “……dan untuk kedua ibu bapak, bagian masingmasing seperenam dari harta yang ditinggalkan jika pewaris mempunyai anak. Jika pewaris tidak mempunyai anak, maka harta diwarisi untuk kedua orang tuanya dan ibunya mendapat sepertiga….”(An-Nisa:11). Berdasarkan ayat tersebut, maka bagian ayah hanya dua kemungkinan, yaitu seperenam (1/6) jika pewaris mempunyai anak, dan asabah jika pewaris tidak mempunyai anak. Mengomentari persoalan tersebut, informan sepakat bahwa ketentuan di atas tidak memiliki rujukan yang jelas 74 baik dalam Al-Qur’an, Hadits maupun ijtihad para fuqaha. Oleh karena itu, mereka mengharap agar ketentuan ini dicabut dan tidak dimasukkan dalam rancangan Rancangan Undang-Undang Terapan Bidang Kewarisan. Sementara itu, para Hakim Agama Pengadilan Tinggi Agama, Dosen IAIN Antasari dan Prof. Drs. H.M. Aswadhi Syukur, LC menyatakan bahwa Pasal 177 dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut telah disempurnakan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1994 tanggal 28 Juni 1994. Berdasarkan SEMA tersebut pasal 177 disempurnakan menjadi: “ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian”. Ini berarti bahwa ayah akan mendapatkan 1/3 bagian hanya dalam kondisi khusus, yaitu ketika pewaris tidak meninggalkan anak dan ahli waris hanya terdiri dari ayah, suami, dan ibu. Formasi atau bentuk kewarisan ini dalam kajian fiqh mawaris dikenal dengan kasus gharawaian atau umaryatain.25 h. Porsi Perbandingan Perempuan Bagian Anak Laki-Laki dan Menurut Gusti Muzainah, SH, MH dalam adat Banjar wanita dan laki-laki sama berkedudukan sebagai ahli waris, walaupun dalam hukum Islam wanita lebih sedikit mendapatkan bagian, 2 bagian untuk laki-laki, 1 bagian untuk perempuan, tetapi dalam pelaksanaannya tidak selalu demikian. Wanita dan laki-laki terlebih dahulu tahu haknya atas bagian warisan masing-masing, setelah itu mereka 25 Dalam kasus tersebut, kalau dihitung berdasarkan ketentuan dasar waris Islam maka bagian suami ½, ibu 1/3, ayah ashabah (nilainya sama dengan 1/6). Jadi bagian ayah lebih kecil dari ibu. Atas dasar ijtihad Umar maka yang dimaksud 1/3 bagian ibu adalah 1/3 bagian setelah dikurangi untuk suami ½. Jadi dalam hal ini ibu menerima 1/3 x ½ = 1/6 sedangkan sisanya untuk ayah (nilainya sama dengan 2/3 x ½ = 2/6 atau 1/3). Sedangkan pendapat yang berbeda dipelopori Ali Bin Abi Thalib yang tetap memberikan bagian ibu 1/3 keseluruhan harta, bukan sepertiga sisa setelah diberikan ½ untuk suami. 75 sepakat untuk membagi sama bagian wanita dengan bagian laki-laki.26 Lebih jauh, menurut Drs. Suhaili, SH, MH, Hakim Agama Pengadilan Agama Kelas IA Banjarmasin, praktik pembagian waris secara damai yang berakhir pada perolehan yang sama bagi anak laki-laki dan perempuan sering terjadi juga setelah mereka mendapatkan fatwa waris dari Pengadilan Agama. Padahal dalam fatwa waris tersebut Pengadilan Agama telah memberikan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan, tetapi selanjutnya mereka memusyawarahkan ulang untuk dibagi secara merata atau dengan caracara lain sesuai dengan kesepakatan. i. Wasiat Pembagian Warisan Sebelum Pewaris Meninggal Praktik wasiat pembagian warisan dalam adat Banjar dikenal dengan “amanat” atau “ba’amanah” atau “ba’amanat” adalah pesan (amanat) dari pewaris (almarhum), yang isinya barupa penunjukkan benarnya bagian pada ahli waris tertentu, orang tertentu (penerima warisan) lainnya, ataupun juga berisi larangan untuk membagi harta peninggalan tertentu.27 Wasiat umumnya dilakukan secara lisan kepada ahli waris dan penerima warisan lainnya yang disaksikan oleh orang-orang tertentu, seperti kerabat dekat dan “tuan guru”. Namun demikian wasiat ini terkadang hanya disampaikan kepada “tuan guru” atau kerabat dekat, tanpa diketahui oleh ahli waris atau sebagian dari ahli waris. 26 27 Gusti Muzainah,SH, MH, Dosen Hukum Adat IAIN Antasari, Wawancara Pribadi, 26 Juni 2009 Prof. Drs. H.M. Aswadhi Syukur, Lc, Wawancara Pribadi, 25 Juni 2009, di Fakultas Da’wah IAIN Antasari Banjarmasin, Fitrian Noor, SHI, SH, MH, Kasubag Keuangan PA Kelas IA Banjarmasin, Wawancara Pribadi, Tanggal 21 Juni 2009 76 Penentuan ada tidaknya suatu wasiat ditentukan dalam musyawarah pembagian harta warisan, dimana masingmasing akan mengemukakan ada tidaknya wasiat (pesan/ amanah) yang diminta oleh pewaris (almarhum) terhadap pembagian harta warisan tersebut. Suatu wasiat (pesan) dianggap sah kalau wasiat itu minimal diketahui oleh seorang saksi, oleh karena itu wasiat akan dianggap tidak sah atau tidak ada kalau hanya dikemukakan oleh satu orang, baik ia langsung sebagai yang ditunjuk dalam wasiat ataupun orang lain. Substansi dari wasiat berupa penunjukkan bagianbagian dari ahli waris dan penerima warisan lainnya mengacu kepada prakondisi yang melatarbelakangi adanya wasiat tersebut, sehingga besarnya bagian atau jenis-jenis harta yang didapatkan tidak terlepas dari penilaian-penilaian pewaris (almarhum) terhadap kondisi keluarganya. Oleh karena itu bagian ahli waris dan pewaris lainnya mengacu kepada kondisi keluarga pewaris tersebut, yang dalam hal ini harta yang didapatkan sesuai dengan kebutuhan ahli waris dan penerima waris lain tersebut sebagaimana juga dalam hibah, seperti harta berupa perhiasan untuk Si X dan harta berupa rumah untuk Si Y dan seterusnya. Adapun juga yang perlu dicatat adalah gagasan untuk membuat wasiat melibatkan “tuan guru”, dimana biasanya saran dapat datang dari “tuan guru” itu sendiri ataupun juga pewaris (almarhum) yang meminta pertimbangan kepada “tuan guru” terhadap kebaikan-kebaikan yang akan ia tinggalkan untuk keluarganya dengan prakondisi yang ada pada keluarganya tersebut. Dengan keterlibatan “tuan guru” tersebut, maka substansi wasiat akan berpedoman kepada syari’at Islam, termasuk nanti dalam pelaksanaannya yang juga akan melibatkan “tuan guru” tersebut. 77 Adapun yang menjadi tujuan utama dalam masyarakat Banjar dari adanya wasiat ini adalah agar para ahli waris dan penerima warisan lainnya tidak terjadi perselisihan berupa “barabut” (memperebutkan) harta warisan, yang menurut keyakinan bahwa adanya perselisihan tersebut akan mengakibatkan tidak tentramnya pewaris (almarhum) di alam kubur. Oleh karena itu ketaatan para ahli waris dan penerima warisan lainnya didasarkan kepada rasa taat dan hormat terhadap orang tua (asas kebersamaan) dalam rangka keselamatannya menjalani tahap kehidupan di alam kubur. Dengan demikian perbuatan para ahli waris dan penerima warisan lainnya yang tidak berpijak kepada apa-apa yang diwasiatkan pewaris diyakini membawa dampak ganda, yaitu: 1) Pewaris (almarhum) menjadi terhalang atau terganggu atau tidak tentram menjalani kehidupan di alam kuburnya; dan 2) Ahli waris dan pewaris lainnya menjadi tidak tenang atau tentram hidupnya, yang biasanya akan selalu merasa didatangi oleh orang tuanya (almarhum) dalam mimpi. Menurut para informan Hakim Agama Pengadilan Agama/Pengadilan Tinggi Agama dan Dosen IAIN Antasari praktik wasiat pembagian warisan sebelum pewaris meninggal tidak pernah menjadi persoalan yang diperbincangkan. Selain karena masyarakat Banjar banyak yang mempraktikannya, dari segi ketentuan Kompilasi Hukum Islam (Pasal 195) pun tidak jadi persoalan. Hanya saja Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa wasiat kepada ahli waris harus disetujui semua ahli waris. j. Praktik Hibah Dihitung sebagai Bagian Waris Di antara praktik pembagian harta sebelum pewaris meninggal di Banjar adalah melalui Hibah atau dalam bahasa Banjar disebut Dibari’i, yaitu suatu cara di mana harta dibagi 78 bagi oleh pewaris (sebelum meninggal) kepada anak-anaknya (ahli waris) dan kepada pihak-pihak lain (penerima warisan) sesuai dengan apa yang diinginkan pewaris. Proses pemberiannya dilakukan dengan cara pewaris mengumpulkan semua ahli waris dengan atau tanpa penerima warisan lainnya, setelah semuanya berkumpul pewaris mengemukakan keinginannya membagi harta kepada ahli waris dan penerima warisan lainnya. Dalam kondisi seperti ini ahli waris umumnya menyetujui pembagian yang dilakukan oleh orang tuanya sebagai wujud dari penghormatan dan baktinya terhadap orang tua tersebut. Dalam proses penghibahan itu biasanya diundang seseorang yang menjadi tokoh dalam masyarakat seperti “tuan guru” atau tokoh formal seperti Ketua Rukun Tetangga atau Lurah dimana mereka diminta untuk menyaksikan apa-apa yang telah dihibahkan tersebut. Dalam proses penghibahan ini pula manakala ahli waris ada yang tidak hadir, maka pewaris berpesan kepada yang hadir untuk menyampaikan apa-apa yang sudah menjadi kehendaknya dalam pembagian harta tersebut. Adapun besarnya bagian masing-masing dalam penghibahan ini tidak ditemukan norma yang pasti, yang menjadi tolak ukur hanyalah asas “kepatutan” atau asas “keadilan” yang ada dalam benak pewaris. Dalam hal ini pra kondisi tersebut di atas sangat mempengaruhi besarnya penerimaan harta yang diterima oleh para ahli waris dan pewaris lainnya. Harta yang dihibahkan tersebut akan dibagibagi sesuai dengan kondisi hartanya, seperti X menerima rumah, Y menerima perahu, N menerima perhiasaan dan seterusnya. Kehadiran tokoh masyarakat (“tuan guru”) tersebut sangat berperan dalam mengimplementasikan asas kepatutan 79 dalam pembagian tersebut. Maksudnya prinsip-prinsip pembagian yang menyangkut hak-hak waris menurut hukum Islam menjadi pertimbangan utama dari pewaris dalam menetapkan bagian dari masing-masing ahli waris dan penerima warisan lainnya. Di samping prinsip-prinsip hukum Islam yang terjadi patokan dasar oleh pewaris dalam menentukan bagian, juga hal yang sangat penting adalah penerimaan dari ahli waris terhadap apa yang diputuskan oleh pewaris tersebut. Oleh karena itu dalam pemberian harta ini (hibah) biasanya disertai dengan musyawarah, sehingga apa yang sudah diputuskan pewaris dapat diterima oleh ahli waris. Manakala harta yang sudah dihibahkan tersebut masih berada dalam penguasaan pewaris, maka ahli waris merelakannya, (membiarkannya) karena mereka masih beranggapan bahwa pewaris berhak menikmati harta tersebut, terlebih pula hal ini dikaitkan dengan penghargaan atau wujud kebaktian mereka terhadap orang tua. Meskipun tradisi hibah di atas banyak dipraktikan masyarakat, akan tetapi menurut Prof. Drs. H.M. Aswadhi Syukur, Lc pernah ada kasus di Pengadilan dimana ada orang tua yang telah membagi-bagikan hartanya lewat hibah kepada kedua anaknya, laki-laki dan perempuan sebelum meninggal. Ketika orang tua tersebut meninggal harta anak laki-laki telah habis dan dia menggugat ke pengadilan agar harta adiknya perempuan yang didapatkan dari hibah di atas dijadikan sebagai harta warisan yang ia mengharap dapat bagian darinya. Akhirnya, Pengadilan menolak gugatan anak lakilaki dan menguatkan hibah yang pernah dilakukan orang tua keduanya semasa hidup, dan dianggap sebagai bagian warisan. Menurut para Hakim Agama Pengadilan Tinggi Agama dan Dosen IAIN Antasari, hibah yang dihitung sebagai 80 warisan tidak menjadi masalah, hal ini diatur dalam pasal 211 Kompilasi Hukum Islam yaitu “Hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan”. k. Praktik Penyelesaian Warisan yang Unik Ada beberapa hal yang unik dalam pembagian harta waris di Banjarmasin, yaitu: 1) Harta yang tidak Dibagi karena untuk Kegiatan Haul Ditemukan sejumlah harta peninggalan yang tidak dibagi kepada ahli waris, seperti harta peninggalan untuk keperluan “bahaul” atau “haulan” setiap tahun, biasanya berupa tanah, sehingga tanah tersebut disebut “tanah tunggu haul”. Di samping tanah juga terdapat barang lain seperti perahu, dimana hasil dari perahu ini sebagian disisihkan untuk keperluan “haulan”. Selain itu, kadangkala digunakan untuk santunan anak yatim, bahkan bisa juga untuk beasiswa. 2) Harta Peninggalan Belum Dibagi Karena Salah Satu Orang Tua yang masih ada Ditemukan harta peninggalan yang belum dibagi. Harta peninggalan yang belum dibagi ini berkaitan dengan suatu sebab, yaitu masih adanya salah satu dari orang tua mereka (ayah atau ibu). Dalam hal ini para waris dalam rangka menghormati orang tuanya merasa tidak tega membagi harta yang ditinggalkan, mereka yang menggugat untuk membagi harta peninggalan tersebut, oleh masyarakat digolongkan sebagai anak yang tak tahu diri (durhaka). Oleh karena itu merupakan pantangan membagi harta peninggalan sementara salah seorang dari orang tua mereka masih ada. Pengecualian dari hal ini dapat saja terjadi kalau memang salah satu dari orang tua 81 yang bersangkutan menghendaki sendiri pembagian harta peninggalan tersebut.28 adanya 3) Harta Peningggalan yang Dibagi tetapi Tidak Diserahkan Kepada yang Bersangkutan Dalam hal tertentu ada pula harta peninggalan yang dibagi, tapi tidak diserahkan kepada yang bersangkutan seperti dalam hal salah seorang dari ahli waris masih belum dewasa atau dianggap masih belum dapat mengurus harta sendiri. Terhadap masalah ini harta peninggalan yang dibagi, tetapi tidak diserahkan tersebut akan dikuasai oleh saudara tertua atau paman dari ahli waris tersebut.29 4) Praktik Perdamaian Warisan Perdamaian warisan merupakan perwujudan dari budaya “badamai” dalam adat Banjar. Dalam pembagian harta waris, adat badamai ini diwujudkan dari pola pembagian waris secara faraid-islah dan islah. a) Fara’id-Islah Dalam pola ini, akan dilakukan pembagian menurut fara’id atau hukum waris Islam, setelah itu dilakukan pembagian dengan cara musyawarah mufakat atau “islah”. Dalam pola ini “Tuan Guru” memperhitungkan siapa saja yang mendapat warisan, dan berapa besar bagian masing-masing ahli waris tersebut. Setelah Tuan Guru menentukan siapa yang menjadi ahli waris atau penerima waris lainnya, berdasarkan wasiat atau 28 29 Ahmad Khusaini, Pemangku Adat Banjar Yayasan Pangeran Suriansah Banjarmasin, Wawancara Pribadi, Tanggal 18 Juni 2009 Hasil Diskusi dengan Dosen IAIN Antasari, Wawancara dengan Ketua MUI, dan Pemangku Adat 82 hibah wasiat, dari mereka sudah mengetahui besarnya bagian harta warisan yang akan diterima, kemudian mereka menyatakan untuk menerimanya. Kemudian mereka “islah” sepakat untuk memberikan harta waris yang merupakan bagiannya kepada ahli waris lain. Dalam kerangka “islah” inilah seseorang ahli waris yang seharusnya mendapat bagian warisan sesuai ketentuan syariat Islam, akhirnya mendapatkan harta waris sesuai kesepakatan. Dengan cara “islah” tersebut mereka sudah merasa telah melaksanakan ketentuan norma yang ditetapkan agama, karena pembagian menurut faraid (Hukum Waris Islam) telah mereka lakukan, walaupun kemudian atas kerelaan masing-masing, membagi kembali bagian waris tersebut sesuai kesepakatan. Berdasarkan pada “islah” ini kemaslahatan keluarga ahli waris lainnya menjadi pertimbangan utama. Artinya seseorang ahli waris yang menurut faraid mendapatkan bagian lebih besar, akan sama kehidupan ekonominya, dan pada akhirnya akan sukses mendapatkan bagian harta waris lebih sedikit atau bahkan tidak mendapat bagian sama sekali. Begitulah seterusnya akibatnya prosentasi pembagian menurut ilmu faraid dipakai lagi. b) Islah Pola ini dilakukan hanya dengan cara musyawarah mufakat atau tanpa melalui proses penghitungan faraid terlebih dahulu. Dalam masalah ini ahli waris bermusyawarah menentukan besarnya bagian masing-masing. Pertimbangan besarnya bagian masing-masing adalah kondisi objektif ahli waris dan penerima waris lainnya. Oleh karena itu bagian yang 83 diterima oleh masing-masing ahli waris sangat bervariatif tidak memakai prosentasi dan ukuran tertentu. Proses pembagian waris pada pola “Islah”, terlihat adanya kekhawatiran ahli waris dianggap tidak melaksanakan syari’at agama Islam, sebab rasa keberagamaan mereka menjadi taruhan utama dalam kehidupannya. Dalam pelaksanaan pembagian waris yang menggunakan “fara’id-islah” mereka merasa sudah melaksanakan syari’at agama, walaupun kemudian mereka memilih untuk melakukan islah agar pembagian tersebut dapat menyentuh aspek kemaslahatan keluarga. Sedangkan pembagian waris yang hanya dengan menggunakan cara islah, mereka menganggap lembaga “islah” ini juga dibenarkan oleh syari’at Islam. Karena masalah warisan adalah masalah muamalah yang pelaksanaannya diserahkan kepada umat. Praktik pembagian waris dengan pola islah ini telah diakomodir dalam Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam yaitu “para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya”. l. Pembagian Waris Berupa Tanah < 2 Ha. Ketentuan tentang larangan membagi harta peninggalan berupa tanah yang kurang dari 2 hektar terdapat dalam Pasal 189 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut: (1) Bila harta waris yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan 84 (2) Bila ketentuan tersebut tidak memungkinkan karena diantara ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris yang dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagian masing-masing. Selama ini pembagian harta waris berupa tanah < 2 ha. tidak pernah diperjual belikan oleh masyarakat Banjar. bahkan tokoh adat dan beberapa ulama mengharapkan agar pasal yang mengatur tentang larangan membagi waris berupa tanah yang < 2 ha. itu dicabut. Selain sulit untuk diterapkan karena perbedaan keinginan para ahli waris, juga dalam kenyataannya larangan tersebut selama ini tidak efektif bahkan tidak pernah terjadi sanksi atas pelanggaran pasal tersebut. Drs. Suhaeli, SH, MH, Hakim Agama Pengadilan Agama dan Drs. H. Fahruddin Hamid, SH, Hakim Agama Pengadilan Tinggi Agama berkomentar bahwa pasal tersebut hanya cocok diterapkan di pulau Jawa yang kekurangan lahan pertanian. m. Kewarisan Anak Hasil Perzinaan Dalam masyarakat Banjar, menurut Noor Fitrian, anak hasil perzinaan dikenal dengan istilah “anak kampang”, yaitu anak yang lahir dari perbuatan zina yang dilakukan oleh ibunya, yang suaminya tidak diketahui (biasanya ditinggalkan pergi). Walaupun ibunya sudah kawin dengan laki-laki lain, anak ini biasa disebut “anak kampang”. Anak kampang ini dianggap hanya sebagai ahli waris dari ibunya, tetapi dalam praktek mereka tetap mendapat bagian waris dari orang tua “biologisnya”.30 30 Fitrian Noor, SHI, SH, MH, Kasubag Keuangan PA Kelas I A Banjarmasin, Wawancara Pribadi, Tanggal 21 Juni 2009 85 Sementara, Drs. KH. Abdurrahman dan Drs. Fathurrahman, M.Ag berpendapat bahwa anak hasil perzinaan yang tidak bisa mendapatkan harta waris dari ayah biologisnya merupakan ketentuan Hukum Islam yang syarat dengan maqasid syariah, yaitu untuk mendidik bagi para pelaku zina agar tidak melakukan perzinaan yang akan berakibat pada hilangnya nasab anak biologis dengan ayah biologisnya. Oleh karena itu, kedua informan ini cenderung untuk tidak memberikan bagian dari harta peninggalan secara eksplisit dalam Undang-Undang. Sedangkan Prof. Drs. H.M. Aswadhi Syukur, Lc, Dosen IAIN Antarasari, dan para Hakim Agama pada Pengadilan Tinggi Agama, berpendapat bahwa anak hasil perzinaan bisa mendapat harta peninggalan ayah “biologisnya” melalui wasiat wajibah. Dalam kaitan ini, para hakim Pengadilan Tinggi Agama mengharapkan agar bagian harta peninggalan untuk anak hasil perzinaan ditegaskan secara eksplisit dalam pasal Undang-Undang Terapan Bidang Kewarisan yang akan datang. C. Refleksi untuk Penyempurnaan Kompilasi Hukum Islam menjadi Undang-Undang Terapan di Bidang Kewarisan Seiring dengan laju reformasi hukum di Indonesia pasca reformasi sistem kenegaraan dan kepemerintahan sejak tahun 1998, peluang dan kesempatan untuk mewujudkan cita-cita menjadikan Kompilasi Hukum Islam sebagai Undang-Undang mulai terbuka lebar. Namun sejak lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Bagi orang-orang yang beragama Islam Undang-Undang ini adalah satu-satunya dalam penyelesaian perkawinan, perwakafan, hibah, wasiat bahkan kewarisan hingga persoalan sadaqah, infak, zakat dan ekonomi syariah. Ini berarti penyelesaian kewarisan umat Islam tidak boleh diputuskan di Pengadilan Umum. 86 Sebagai upaya menguatan institusi Peradilan Agama, sebelum tahun 2006 pun Badan Pembinaan Peradilan Agama Kementerian Agama telah menyiapkan Rancangan UndangUndang Terapan Peradilan Agama khususnya di Bidang Perkawinan. Rancangan Undang-Undang ini telah masuk dalam daftar Rancangan Undang-undang Program Legislasi Nasional 2005-2009 dengan nomor urut 124.31 Sedangkan terkait Rancangan Undang-Undang Hukum Terapan Bidang Kewarisan saat ini baru pada tahap kajian di Badan Pembinaan Hukum Nasional. Sehubungan dengan Rancangan Undang-Undang Hukum Terapan Bidang Kewarisan yang sumber utamanya adalah Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa saran dan masukan tokoh masyarakat, cendekiawan, para praktisi hukum terutama hakim Peradilan Agama dan Peradilan Tinggi Agama Kalimantan Selatan, sebagai berikut: 1. Perlu adanya kejelasan pasal dalam Kompilasi Hukum Islam sehingga tidak menimbulkan multi tafsir. Misalnya dalam hal Ahli Waris Pengganti, anak perempuan menghijab saudara pewaris, bagian 1/3 ayah bila tidak punya anak. 2. Adanya ruang kebebasan atau kreatifitas hakim dalam menggali hukum yang hidup di masyarakat untuk mencapai keadilan yang sejati. Ini karena tidak sedikit dari kalangan ulama di Banjar yang belum setuju semua isi dari Kompilasi Hukum Islam. Walaupun dalam kenyataannya seringkali kreatifitas hakim di tingkat Pengadilan Agama dibatalkan oleh Hakim Pengadilan Tinggi Agama/ Mahkamah Agung karena dianggap “menyimpang” dari ketentuan perundang-undangan atau yurisprudensi. 31 Diakses dari ttp://www.dpr.go.id/assets/berkas/badan_legislatif/prolegnas/PROLEGNAS % 20 2005-2009 Prolegnas % 20, 2005-2009. pdf , tanggal 25 Juli 2009 87 Saran Untuk mengurangi kesenjangan pemahaman masyarakat terhadap ketentuan hukum di Pengadilan Agama dan yang berkembang di masyarakat maka perlu dilakukan sosialisasi Kompilasi Hukum Islam secara intensif dengan para ulama. Dalam perumusan Undang Undang Terapan Peradilan Agama Bidang Kewarisan hendaknya melibatkan masyarakat baik yang pro dan kontra. 1. Pada pasal 174 tentang kelompok ahli waris agar dijelaskan secara rinci sesuai dengan yang ada dalam ketentuan faraid; 2. Agar yang sudah ada di Kompilasi Hukum Islam minimal dipertahankan dan kalau mungkin dilakukan langkahlangkah yang lebih progresif; 3. Perlu dibentuk lembaga Baitul Maal untuk menampung harta waris yang tidak ada ahli warisnya. Penegasan tentang lembaga ini perlu ditetapkan kedalam undangundang; 4. Umumnya masyarakat menyelesaikan kewarisan secara faraidh walaupun dalam masyarakat Banjar lebih mengedepankan semangat adat bedamai, sehingga memunculkan pola faraidh-ishlah atau ishlah saja. Oleh karena itu, pasal 183 Kompilasi Hukum Islam tentang perdamaian hendaknya tetap dipertahankannya; 5. Dalam menyelesaikan persoalan waris, selain berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam para hakim umumnya masih banyak yang merujuk ke literatur Fiqh Klasik, selain juga menggali praktik hukum di masyarakat (adat istiadat). Namun, demikian bagi hakim-hakim “yang mencari aman” dari proses hukum di tingkat Pengadilan 88 Tinggi Agama dan Mahkamah Agung umumnya sangat patuh dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam dan Yurisprudensi, oleh karena itu upaya untuk menjadikan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum terapan di Pengadilan Agama harus segera diwujudkan guna megeliminir perbedaan hakim dalam memutus perkara karena banyaknya sumber rujukan hakim sebelum memutus perkara yang ditanganinya. D. Kesimpulan 1. Aturan kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam pada umumnya belum dipahami oleh mayoritas masyarakat, termasuk didalamnya para Tokoh Masyarakat, Pemangku Adat atau Tuan Guru/Ulama. Kompilasi Hukum Islam baru dipahami oleh sebagian kecil ulama atau tokoh masyarakat yang berlatarbelakang pendidikan kampus. 2. Pendapat Ulama yang memahami Kompilasi Hukum Islam terpola menjadi 3 bagian: pertama, ulama tradisional cendrung setuju dengan materi Kompilasi Hukum Islam yang ada rujukannya dalam kitab-kitab ulama klasik, kedua, ulama “Fundamentalis” cendrung menolak materi Kompilasi Hukum Islam yang tidak ada rujukannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, ketiga, ulama kampus/ moderat, cendrung dapat menerima materi Kompilasi Hukum Islam karena di nilai sesuai dengan tuntutan keadilan hukum dan maslahah yang berkembang di masyarakat. 3. Masyarakat umumnya menyelesaikan kewarisan secara faraidh walaupun dalam masyarakat Banjar lebih mengedepankan semangat adat badamai, sehingga memunculkan pola faraidh-ishlah atau ishlah saja. 4. Perkara kewarisan di Pengadilan kebanyakan hanya berupa P3HP (Permohonan Pertolongan Pembagian Harta 89 Pusaka), yang umumnya diajukan oleh kalangan keluarga kelas menengah ke atas dan terdidik, atau dilakukan oleh keluarga yang memiliki potensi konflik dalam pembagian warisan besar. 5. Dalam menyelesaikan persoalan waris, selain berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam para Hakim Agama umumnya masih banyak yang merujuk ke literatur Fiqh Klasik, selain juga menggali praktik hukum di masyarakat (adat istiadat). Namun, demikian bagi Hakim-Hakim “yang mencari aman” dari proses hukum di tingkat Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung umumnya sangat patuh dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam dan Yurisprudensi 6. Menyangkut materi Kompilasi Hukum Islam ada tiga kategori usulan untuk perbaikan di masa mendatang; pertama, tetap mempertahankan isi pasal sebagai adanya seperti pasal tentang perdamaian, kedua, pasal dipertahankan dengan usulan dan penyempurnaan redaksi seperti dalam persoalan Harta Bersama, Ahli Waris Pengganti, Anak Perempuan Menghijab Saudara Pewaris, dan Halangan Menerima Warisan karena Perencanaan Pembunuhan dan Fitnah, ketiga, usulan pencabutan pasal seperti pasal tentang 1/3 Bagian Untuk Ayah Bila Pewaris Tidak Punya Anak dan Pembagian Warisan Berupa tanah < 2 ha, keempat, usulan tambahan tentang hak “ahli waris” beda agama dan anak hasil perzinaan dimasukkan kategori pihak yang berhak atas wasiat wajibah. 90 BAB IV RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA TERHADAP FIQH WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DI MAKASSAR SULAWESI SELATAN Oleh: JM. Muslimin Jaenal Aripin A. Deskripsi Georeligius1 S ecara administratif, Kota Makassar terdiri atas 11 kecamatan dan 62 kelurahan dengan luas wilayah 175, 77 km². Dengan posisinya sebagai Ibukota Sulawesi Selatan, Kota Makassar menjadi kota strategis dan terpenting di kawasan Indonesia Timur. Lalu lintas perdagangan melalui pelabuhan Makassar cukup ramai, dimana berlabuh kapal‐kapal dalam negeri maupun kapal asing. Empat suku utama yang dominan di Makassar, yakni Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Sektor industri pada beberapa tahun terakhir ini berkembang pesat, baik industri besar, sedang maupun kecil (home industry). Industri besar meliputi pabrik terigu, pabrik besi baja, pabrik tripleks, pabrik seng, pabrik pengolahan ikan/udang. Sementara industri 1 Dirangkum dari sejumlah sumber: Biro Pusat Statistik, Karakteristik Penduduk Sulawesi Selatan, Makasar: BPS, 2001, hal. 15, ---, Sulawesi Selatan Dalam Angka, hal. 90; Suriadi Mappangara dan Irwan Abbas, Sejarah Islam di Sulawesi Selatan, Makassar: LAMACCA Press, 2003; Abu Hamid, “Sistem Nilai Islam dalam Budaya Bugis Makassar” dalam Aswab Mahasin (ed.,), Ruh Islam dalam Budaya Bangsa: Aneka Budaya Nusantara, Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, hal. 170-171; Abd Kadir Ahmad, (ed.), Varian Gerakan Keagamaan di Sulawesi Selatan, Makassar: Balitbang Dep. Agama, 2007, hal. 1-20; Abd Kadir Ahmad, Potret KPPSI dari Perspektif Tokoh, Makassar: Balitbang Dep. Agama, 2007. 91 menengah, antara lain pabrik pengolahan bahan makanan dan minuman. Sedangkan industri kecil yang terkenal adalah peleburan logam mulia (emas dan perak) di Kelurahan Tallo Baru. Di sektor pendidikan, Kota Makassar memiliki sarana pendidikan yang cukup baik. Tidak kurang dari 580 buah sekolah formal, dari tingkat dasar hingga SLTA. Ada 30 Perguruan Tinggi dan 3 diantaranya adalah Perguruan Tinggi Negeri: Universitas Hasanuddin, Universitas Islam Negeri (UIN) dan Universitas Negeri Makassar (UNM). Dilihat dari sisi agama, masyarakat Makassar bersifat heterogen. Angka kuantitatif dari keberagamaan terdiri atas: Islam sebanyak 1. 045.886 (89.5%), Katolik 29. 769 (2.5%), Protestan 70.991 (6.1%), Hindu 4. 844 (0.4%), dan Budha 17.025 (1.4%). Masyarakat suku Bugis, Makassar dan Mandar adalah pemeluk Islam secara turun temurun sejak Islam masuk pada awal abad ke‐17 dan menjadikan syariat Islam sebagai kesatuan dalam sistem sosial yang disebut pangadereng (adat istiadat). Dilihat dari polarisasi internal dalam masyarakat Islam sendiri, maka seperti umumnya masyarakat Islam Indonesia, dikenal istilah orang NU dan orang Muhammadiyah. Kebanyakan masyarakat menggunakan klasifikasi yang sederhana dalam membedakan dua entitas tersebut. Jika orang masih terlibat dan ikut dalam membaca barzanji serta membacakan tahlil untuk yang sudah meninggal, maka ia digolongkan sebagai orang NU. Demikian kebalikannya. Satu hal yang unik, sebutan untuk orang NU biasanya dan seringkali dinyatakan sebagai orang Sunni. Orang yang bukan 92 Sunni (biasanya ditandai dengan tidak membaca tahlil dan barzanji), disebut dengan orang Muhammadiyah. Secara organisatoris dan kelembagaan, Muhammadiyah dianggap lebih terasa pengaruhnya. Khususnya dalam bentuk lembaga‐lembaga pendidikan dan kuantitas orang‐orang yang menamatkan jenjang pendidikan formal. Tetapi, di tengah‐ tengah masyarakat kebanyakan, pengaruh NU sangat besar. Di berbagai pelosok dan sudut kota, amalan warga Makassar lebih identik dengan tradisi dan amalan Kaum Nahdliyyin. Di samping dua entitas tersebut, terdapat beberapa kelompok Tarekat dan organisasi keislaman minoritas. Setidaknya ada Tarekat Khalwatiyyah Samman dan Tarekat Naqsabandiyah Muzhariyyah. Ada kelompok Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Wahdah Islamiyyah, Ahmadiyah, Jamaah Tabligh dan beberapa kelompok kecil lainnya. Berbeda dengan daerah lain di luar Makassar (Sulawesi Selatan), dewasa ini muncul Gerakan Penerapan Syariat Islam yang menggema dan menggebu. Gerakan tersebut dimotori utamanya oleh Komite Penerapan dan Penegakan Syariat Islam (KPPSI). Komite ini didirikan pada tanggal 23 Rajab 1421 H bertepatan dengan 21 Oktober 2000 M dalam Kongres Umat Islam se‐Sulawesi Selatan di Makassar. Gerakan ini tidak dapat dipahami sebagai suatu gerakan biasa, karena munculnya gerakan ini didukung oleh beberapa akademisi, khususnya dari Universitas Hasanuddin, UIN Alauddin dan Universitas Negeri Makasar serta relatif mendapatkan sambutan yang hangat dari kalangan masyarakat Islam umumnya. Diantara bukti dari adanya dukungan tersebut 93 adalah ramainya orang menghadiri acara‐acara yang diadakan oleh KPPSI ini. B. Adat dan Syariah Perkembangan adat kebiasaan dari keempat suku tersebut, dalam banyak hal dipengaruhi oleh agama. Masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar sangat dipengaruhi oleh syariat Islam, sementara masyarakat Toraja dipengaruhi dan mempengaruhi agama Protestan dan Katolik. Diantara inti dari adat Bugis adalah prinsip dan pandangan tentang harga diri (siri’). Harga diri ini seringkali digunakan sebagai bagian dari landasan bertindak dan cara pikir, baik yang memaknainya dengan positif maupun negatif. Secara positif, karena perasaan dan prinsip ini, maka individu selalu tertantang untuk bekerja keras dan meraih kehormatan yang diinginkan, berlandaskan prinsip harga diri. Tetapi, secara negatif, adakalanya prinsip ini dijadikan sebagai tameng untuk tidak mau merintis sesuatu dari bawah atau bertindak asal menang sendiri atas nama harga diri (siri’). Prinsip lain yang menjadi penyeimbang dari harga diri adalah passe (Bugis) atau pacce (Makassar). Makna dari prinsip ini adalah rasa iba, kemanusiaan, dan soliditas komunal. Perasaan dan prinsip ini mendorong orang untuk berbuat yang terbaik, mengabdi, dan melakukan kerja kemanusiaan atas dasar cinta kasih kepada sesama. Syariat Islam telah menyatu dengan adat. Ibarat mata uang, maka sudah ada persenyawaan dan pembaruan yang lekat dari dua sisi dalam satu mata uang. Sifat dan corak kemenyatuan inilah yang akhirnya membuat paralelisme kultural: Islam yang melekat dan paralel dengan adat. Islam 94 berjalan seiring dan berkelindan dengan adat dan tradisi. Identitas kultural pada saat yang sama adalah identitas agama. Secara historis dua Kerajaan utama Gowa dan Tallo pada tanggal 9 Rajab 1016 H/9 Nopember 1607 M tercatat pernah menyatakan diri sebagai kerajaan Islam yang menjalankan syariat Islam. Pernyataan tersebut tampak dalam sebuah upacara yang ditandai dengan pelaksanaan shalat Jumat di Masjid Tallo.2 Sumber‐sumber kesejarahan lain menyebutkan bahwa meski dua kerajaan Islam tersebut telah menjadikan syariat sebagai hukum positifnya bukan berarti mereka telah meninggalkan tradisi dan adat lokal. Justru mereka berhasil menyatukan antara adat dan syariat dalam satu kesatuan yang integratif dan komplementer.3 Integrasi syariah ke dalam adat menyebabkan komponen hukum adat, yaiu panggadereng untuk suku Bugis dan panggadakkang untuk suku Makassar yang semula terdiri dari empat komponen ditambah menjadi lima unsur; ade, bicara, wari, rappang dan sara’. Panggadereng atau panggadakkang adalah wujud kebudayaan yang mencakup pengertian sistem norma dan aturan‐aturan adat serta tata tertib yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia bertingkahlaku dan mengatur prasarana kehidupan baik materiil maupun non‐materiil. Ade adalah pemangku adat atau pemberian bentuk dalam wujud watak masyarakat dan 2 3 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo , 2000, hal. 210230. Taufiq Abdullah, “Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara”, dalam Taufik Abdullah dan Sharon Shiddique (eds,), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1989, hal. 83. 95 kebudayaan. Bicara yakni bagian dari hukum acara untuk menentukan prosedur hak dan kewajiban seseorang yang mengajukan kasusnya kepada Pengadilan tatkala ada suatu perkara dan gugatan. Wari adalah klasifikasi dari segala benda, peristiwa dan segenap aktivitas dalam kehidupan masyarakat. Sementara rappang berarti perumpamaan atau analog dan Sara’ adalah syariah Islam.4 Karena menyatunya unsur adat dan syariah inilah, maka pada masa puncak kejayaan kerajaan‐kerajaan Islam di Sulawesi Selatan, orang Bugis, Makassar, dan Mandar mengatakan: ”bukan orang Bugis kalau tidak muslim”. C. Praktek Penerapan Kompilasi Hukum Islam 1. Fitnah sebagai Penghalang Proses Pewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat pasal 173 yang berbunyi: ”Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena; a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris; b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat”. Perbuatan memfitnah bersinggungan dengan Pidana. Buku kedua KUH Pidana, pasal 311 dengan tegas menyatakan bahwa fitnah adalah satu tindak Pidana yang dapat diancam hukuman selama‐lamanya empat tahun. Kata ”dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan....” maksud‐ 4 Mattulada, Satu Lukisan Analitis Terhadap Politik Antropologi Orang Bugis, Yogyakarta: Gadjahmada Univ. Press, 1985, hal. 17. 96 nya adalah yang bersangkutan melalui mekanisme formil Hukum Pidana mengajukan pengaduan bahwa si pewaris telah melakukan kejahatan yang dapat diancam dengan hukuman 5 tahun atau lebih berat. Kejahatan memfitnah dianggap sebagai Tindak Pidana berat sebab ancaman hukuman memfitnah sendiri bisa 4 tahun penjara. Sesuai dengan dasar dan prinsip hukum, tentu fitnah tersebut haruslah terbukti secara sah di Pengadilan. Dan vonis yang ditetapkan atas upaya fitnah tersebut juga telah memiliki kekuatan hukum tetap. Artinya, pembuktian dan putusan itu, menurut undang‐undang tidak dapat direvisi lagi. Dengan kata lain, tidak ada lagi celah untuk dilakukan upaya hukum yang memungkinkan untuk merevisi atau mengkoreksi bagi perbuatan memfitnah tersebut.5 Dengan demikian, maka tidaklah cukup untuk menyatakan bahwa fitnah dapat menjadi penghalang untuk mewarisi dengan asumsi subyektif semata, dengan menyatakan yang bersangkutan telah membuat berita bohong dan semisalnya. Tetapi fitnah itu harus menjadi suatu ”fakta” dan ”peristiwa” yang obyektif dan terukur. Proses obyektivikasi perkara itu dapat dilakukan melalui Pengadilan sehingga sampai kepada keputusan hukum tetap yang menyatakan bahwa perbuatan memfitnah tersebut nyata dan faktual adanya. Fitnah dijadikan sebagai penghalang mewarisi didasarkan atas interpretasi analogis yang dapat dipersamakan dengan pembunuhan itu sendiri. Dasar analogi ini berangkat dari prinsip preventif, yang dalam bahasa ushul 5 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 1990, hal. 174-175. 97 fiqh dikenal dengan istilah syad al‐dzariah. Orang yang membunuh tidak dapat mewarisi sebab yang membunuh itu sesungguhnya telah merekayasa hukum agar secepatnya peristiwa hukum (mewarisi) itu terjadi. Jika dianalisis, perbuatan memfitnah juga memiliki tujuan yang simetris dengan membunuh. Artinya, sangat boleh jadi dengan memfitnah, maka akan muncul peristiwa‐pristiwa hukum yang menyebabkan adanya percepatan mewarisi atau mengambilalih kepemilikan harta benda dari si pewaris secara lebih cepat. Model analogi yang demikian, dikenal juga dengan isitilah shul qiyas aula, masawi dan adna.6 Tentu, disamping dasar dan metode qiyas, secara tersurat al‐Quran menyatakan bahwa fitnah lebih keji daripada pembunuhan (QS al‐Baqarah, 191‐217). Jika kita membandingkan hal tersebut dengan beberapa ketentuan yang tersurat di dalam kitab‐kitab fiqh klasik (sunni), maka kita tidak mendapatkan ketentuan eksplisit yang menyatakan bahwa memfitnah termasuk dari hal yang menghalangi proses kewarisan. Di dalam kitab‐kitab tersebut hanya disebutkan bahwa yang termasuk penghalang pewarisan adalah: perbudakan, pembunuhan, perbedaan agama dan perbedaan negara.7 Maka, apa yang ditetapkan di dalam Kompilasi Hukum Islam merupakan pendapat baru yang dihasilkan dari konvergensi ide dari hukum Islam, adat 6 7 Wahbah al-Zukhaily, Ushul fiqh al-Islami, Damascus: Dar al-Fikr, 1986, cet.1, hal. 702. M. Ali al-Shabuni, al-Mawarits fi al-Syariah al-Islamiyyah fi daui al-Kitab wa alSunnah, Beirut: Alam al-Kutb, 1985, cet, ke 2, hal. 38-41; Hasanain Muhammad Mkhluf, al-Mawarits fi al-Syariah al-Islamiyyah, Mesir: Mathbaah al-Madani, 1976, hal. 24-33; Isawi Ahmasd Isawi, Ahkam al-Mawarits fi al-Syariah al_islamiyyah, Mesir: Dar al-Talif, 1954, hal. 19-31; Muhammad Abu Zahrah, Ahkam al-Tirkah wa al-Mawarits, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1963, hal. 111138; 98 dan Barat. Proses konvergensi itu diramu dengan pertimbangan sosiologis yang mengacu kepada praktek hukum dan rasa keadilan masyarakat, untuk kemudian dilakukan proses legal drafting. Apa yang ada di KHI tersebut pada dasarnya sudah menjadi hukum yang hidup (living law) di tengah masyarakat Makassar. Prof. Andi Rusydiana, Hakim Pengadilan Tiggi Agama, Drs. Chairul SH, dan seorang hakim Pengadilan Agama Gowa, M. Irsyad menerangkan bahwa terkait dengan fitnah seolah sudah disepakati bahwa yang memfitnah tidak dapat mewarisi. Hanya saja, proses pembuktian adanya fitnah itu masih menjadi kesulitan, karena seringkali pernyataan adanya fitnah belum didukung dengan keputusan hukum tetap dan hanya semata subyektif dan perasaan like and dislike saja. Ahli Waris Pengganti Dalam Kamus Hukum disebutkan bahwa pengertian Ahli Waris Pengganti adalah: ”pengganti dalam pembagian warisan bilamana Ahli Waris tersebut lebih dahulu meninggal dunia dari si pewaris, maka harta warisannya dapat diterima kan kepada anak‐anak ahli waris yang meninggal”.8 Menurut Hazairin, cucu yang terlebih dahulu orang tuanya meninggal dunia dari kakek dan neneknya, secara umum (tidak dengan membedakan jenis kelamin), dapat menggantikan kedudukan orangtuanya dalam memperoleh warisan secara umum. Pemahaman ini didasarkan atas ayat 33 surat al‐Nisa. Bagi Hazairin terjemahan yang tepat dari ayat tersebut adalah: ”Bagi setiap orang Allah mengadakan mawali 8 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Semarang: CV Aneka Ilmu, 1977, hal. 320. 99 (pengganti) bagi harta peninggalan oranguta dari keluarga dekat, dan (jika ada) orang‐orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala seauatu”. Terjemahan dan pengertian yang diberikan Hazairin tersebut berbeda dengan terjemahan baku para ulama, termasuk terjemah al‐Quran Departemen Agama. Secara dominan para ulama menterjemahkan mawali lebih kepada orang‐orang yang di bawah ampuan/kekuasaan sang majikan. Berbeda dengan para ulama tersebut, dalam hal ini Hazairin memiliki interpretasi yang lebih menekankan kepada fungsi pewarisan dan tidak secara tekstual kepada hubungan tradsional hamba dan majikan.9 Dalam Kompilasi Hukum Islam Ahli Waris Pengganti disebutkan pada pasal 185 yang berbunyi: 1. Ahli Waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173; 2. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. 9 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Quran dan Hadits, Jakarta: Tintamas, 1982, cet. Ke-6, hal. 29-31; Ismail Muhamad Syah, Penggantian Tempat dalam Hukum Waris Menurut KUH Perdata, Hukum Adat dan Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, cet. 1, hal-81-83; Departemen Agama RI, Laporan Hasil Seminar Hukum Waris Islam, Jakarta: Ditbinpera Depag RI, 1982, hal. 76; Tim Penyusun, Perdebatan dalam Seminar Hukum Nasional tentang Faraid, Jakarta: Tintamas, 1964, hal. 49-54; Bandingkan dengan Rasyid Ridha, Tafsir al_manar, Kairo: Darul Manar, 1367 H, jilid 5, hal. 64; Ibn Jarir alThabari, Jami al-Bayan fi Tafsir al-Quran, Mesir: al-Halabi wa awladuhu, 1959, jilid 5, hal. 32. 100 Dengan demikian, maka Ahli Waris Pengganti adalah Ahli Waris yang menduduki tempat seseorang yang telah meninggal dunia terlebih dulu dari pewaris, karena haknya. Seorang cucu misalnya, dia menempati tempat ayah atau ibu yang telah meninggal dunia terlebih dulu dari kakeknya sebagai pewaris. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka yang dimaksud dengan Ahli Waris Pengganti adalah ahli waris dari orang yang diganti (yang telah meninggal terlebih dulu). Itu berarti, bisa jadi, tidak terbatas hanya ”anak dari ahli waris” yang telah meninggal, seperti tercantum dalam pasal 185 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam. Dengan makna yang demikian, maka selaras dengan pemahaman Hazairin bahwa hubungan darah menurut al‐Quran itu pada dasarnya ada empat macam: walidan, aulad, aqrabun dan ulul qurba. Kata‐kata walidan dan aqrabun adalah sebagai ahli waris, tetapi karena kata‐kata itu digunakan sebagai istilah hubungan kekeluargaan, maka selalu berarti perhubungan, dan perhubungan itu selalu bertimbalan. Walidan dapat menjadi ahli waris bagi anaknya, dan aqrabun dapat pula menjadi ahli waris bagi sesama aqrabunnya. Sementara itu, istilah ulul‐qurba, ditinjau dari sudut kedudukan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, maka jelas dia bukan ahli waris si mayit, tetapi mereka itu masih sepertalian darah dengannya. Ini berarti ulul‐qurba itu menurut al‐Quran sebagai timbalan perhubungan yang tidak mungkin menjadi pewaris bagi sesama ulul‐qurba‐nya. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa aqrabun itu berarti ”keluarga dekat” yang dapat saling mewarisi sesamanya, sedangkan ulul‐qurba sebagai keluarga jauh yang tidak mungkin saling 101 mewarisi sesama mereka (baik sebagai pewaris atau ahli waris). Beda dengan Kompilasi Hukum Islam, sebenarnya dalam fikih klasik (sunni) telah dikenal istilah Ahli Waris Pengganti, meskipun substansi masalahnya berbeda dengan yang diuraikan dalam tulisan di atas. Imam al‐Ramli menerangkan: a. Cucu laki‐laki dari anak laki‐laki dapat mengganti ayahnya, sedangkan cucu dari anak perempuan tidak mungkin. b. Cucu tersebut baru dapat menggantikan orangtuanya apabila si pewaris tidak meninggalkan anak laki‐laki yang masih hidup. c. Hak yang diperoleh pengganti belum tentu sama dengan hak orang yang digantikan tetapi mungkin berkurang.10 Jika kita kembali memperhatikan pasal 185 Kompilasi Hukum Islam ada dua kalimat penting yang perlu kita garisbawahi: 1. Kalimat ”kedudukannya dapat digantikan”, artinya Ahli Waris Pengganti itu mengambil sepenuhnya kedudukan orang yang digantikan, dalam hal ini termasuk kedudukan untuk memperoleh haknya dalam warisan. Oleh karenanya, ditetapkan bahwa seberapa besarnya bagian orang yang digantikan itu secara otomatis dialihkan kepada orang yang menggantikannya. 10 Al-Ramly, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Mesir: Musthafa al-Babi alHalabi, jilid VI, h. 17-18. Bandingkan dengan Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur, 1976, cet. Ke 5, hal. 43. 102 2. Kalimat ”bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti”. Melihat pengertian dan keterkaitan pasal tersebut dengan sistem kekerabatan pewarisan yang akan dibangun, maka ada dua emungkinan takaran dan porsi pemberian hak kepada Ahli Waris Pengganti: Pertama, sesuai dengan hak yang semestinya, bagi orang yang diganti seandainya dia masih hidup pada saat pewaris meninggal; Kedua, sesuai dengan hak yang semestinya bagi ahli waris pengganti. Bila kedua kemungkinan itu dikaitkan dengan pasal 185 Kompilasi Hukum Islam, maka bagian Ahli Waris Pengganti itu sesuai dengan bagian yang semestinya diterima oleh orang yang diganti, seandainya dia masih hidup pada saat pewaris meninggal. Maka, maksud redaksi dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut adalah pewaris pengganti mendapat bagian yang semestinya bagi orang yang digantikan seandainya dia masih hidup pada saat pewaris meninggal. Pada dasarnya tidak banyak orang yang berpikir tentang Ahli Waris Penggnti ini di lapangan. Seorang akademisi di UIN Makassar menyatakan bahwa ia sangat menghargai asas musyawarah dalam menentukan harta warisan. Dengan demikian, maka menjadi kelaziman di Makassar seorang ahli waris membagikan hartanya saat ia masih hidup dan tidak ketat seperti yang ada pada ketentuan faraid atau undang‐ undang. Pendapat demikian juga disetujui oleh seorang Kyai dari Pesantren al‐Nahdhah. Persoalannya mungkin: belum banyak disosialisasikan hal‐hal seperti detail teknis Kompilasi Hukum Islam yang nyata‐nyata sesungguhnya problemnya 103 hidup di masyarakat dan seringkali ditemukan dalam banyak kasus sengketa warisan. Wasiat Wajibah Agar tidak membingungkan yang dimaksud dengan wasiat wajibah disini adalah seperti yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam, Buku II Bab V tentang wasiat, pasal 209 ayat 1 dan 2 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal‐ pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orangtua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak‐banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak‐banyaknya 1/3 dari harta warisan orangtua angkatnya. Berdasarkan bunyi pasal 209 tersebut dapat diformulasikan bahwa wasiat wajibah yang dimaksudkan oleh Kompilasi Hukum Islam adalah wasiat yang diwajibkan berdasarkan ketentuan perundang‐undangan yang diperuntukkan bagi anak angkat atau sebaliknya orangtua angkatnya yang tidak diberi wasiat sebelumnya oleh orang tua angkat atau anak angkatnya, dengan jumlah maksimal 1/3 dari harta peninggalan. Dengan demikian, jumlah maksimal dari pemberian Wasiat Wajibah ialah 1/3 dan diberikan kepada yang asalnya tidak termasuk ke dalam ahli waris. 104 Jika hal di atas ditanyakan kepada beberapa ulama dan hakim di Makassar, maka semua mereka sependapat bahwa wasiat wajibah yang demikian sudah adil dan realistis. Drs. Muhyiddin MH, Hakim Agama di Pengadilan Agama Sungguminasa dan Drs. Anwar R dari Pengadilan Tinggi Agama Makassar menyatakan bahwa wasiat wajibah seperti yang ada di dalam Kompilasi Hukum Islam sering ia terapkan di dalam menangani berbagai kasus dan kenyataannya yang berperkara tidak naik banding. Hal ini berarti sesuai dengan perasaan keadilan sosiologis, filosofis maupun yuridis yang ada di masyarakat. Prof. Andi Rasdianah dari Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar juga sependapat bahwa Wasiat Wajibah seperti yang ada di Kompilasi Hukum Islam sudah realistis dan sesuai dengan kenyataan serta nilai keadilan yang berkembang di masyarakat. Prof. Andi Rasdianah berpendapat bahwa anak angkat itu biasanya sehari‐hari hidup dengan orangtua angkatnya dan kedekatan emosi mereka sudah seperti anak sendiri. Lebih jauh, pada umumnya anak angkat menjadi tumpuan harapan dan sandaran orangtua angkat pada saat mereka memasuki usia senja. Maka, wajar dan realistislah jika mereka mendapatkan porsi warisan seperti yang tersurat dalam Kompilasi Hukum Islam. Prof A. Rasdianah juga menggarisbawahi bahwa ketentuan anak angkat mewarisi bukan berarti anak angkat secara nasab sama dengan anak biologis langsung. Hal ini sudah jelas di dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam tersebut dan nilai demikian juga diakui di tengah‐tengah masyarakat. 105 Dr. KH. Firdaus, MA dari Pesantren an‐Nahdlah juga menyatakan hal senada. Baginya, anak angkat sudah sewajarnya mendapatkan porsi dari harta peninggalan. Hal serupa juga dapat diterima oleh orangtua angkat. Hal ini berdasarkan alasan kemanusiaan. Karena fakta yang terjadi seringkali orangtua yang hidup sebatangkara memerlukan jaminan sosial di hari tuanya. Seringkali juga hubungan antara orangtua angkat dan anak angkat sudah seperti anak dan orangtua sendiri. Dalam prakteknya di Makassar lazimnya anak angkat tersebut diambil dari saudara terdekat yang biasanya masih menjadi mahram/muhrim. Harta Gono Gini Terkait dengan harta gono gini semua hakim dan ulama sepakat bahwa harta gono gini itu harus ada di dalam suatu pernikahan dan harta tersebut harus betul‐betul dipisahkan dari harta bawaan. Drs. Anwar R Hakim Agama di Pengadilan Tinggi Agama Makassar menyatakan bahwa sangatlah wajar bila perempuan yang mendampingi suami mendapatkan bagiannya. Baginya, sebelum harta waris dibagi semua, terlebih dahulu harus dicari porsi harta bersama ini dan dibagi langsung. Jadi, setengah dari harta bersama adalah mutlak untuk istri, baru kemudian dapat dibagi harta almarhum. Pernyataan senada juga disampaikan oleh Prof. Muh. Irfan dari Pascasarjana UIN Makassar. Ditambahkan oleh Prof Irfan bahwa meski pada asalnya dalam masyarakat Bugis ini hubungan suami‐istri lebih didominasi oleh laki‐laki, tetapi sekarang pola itu sudah berubah dan kesadaran akan adanya prinsip harta bersama sudah tumbuh. Hanya saja, seringkali yang menjadi kendala adalah jika mahar dan uang pengantar 106 untuk pesta menikah dulu banyak sekali disumbang oleh laki‐ laki, maka seringkali jika terjadi perceraian, hal ini menyulitkan bagi adanya hak gono‐gini bagi pihak perempuan. Sebab, mantan suami merasa bahwa tatkala menikah dulu sudah banyak harta yang telah disumbangkan dan tatkala terjadi masalah di dalam rumah tangga sehingga menyebabkan perceraian, maka mantan suami sulit untuk kembali membagi harta pencaharian mereka. Malah, ada beberapa kasus dimana sang mantan suami tidak rela untuk membagikan harta bersama tersebut, sebab ia sudah merasa banyak memberikan uang hantaran untuk pesta pernikahan tempo dulu. Ditambahkan oleh Prof. Irfan bahwa masalah lain yang sering mengganggu pelaksanaan pembagian harta gono gini ini adalah soal surat‐surat untuk penambahan dan pembelian harta/barang berharga. Seringkali, jika pasangan suami‐istri membeli barang berharga semisal tanah, maka sertifikat kepemilikan tanah tersebut atas nama suami. Sehingga ketika terjadi perceraian, maka mantan suami sulit sekali untuk mau mengubah sertifikat kepemilikan dan membagi harta tersebut. Abdul Wahid, tokoh masyarakat dan guru agama di beberapa sekolah swasta sependapat juga dengan adanya porsi harta bersama untuk istri. Ia meyakinkan penanya bahwa ini adalah perkembangan baru dan dari hari ke hari akan semakin banyak anggota masyarakat yang akan menerima kecenderungan ini. Ia menambahkan kesulitan teknis yang muncul biasanya adalah: karena hubungan suami istri itu sudah sedemikian rupa baiknya. Keduanya mungkin tidak membayangkan jika suatu hari akan terjadi masalah. Maka, tatkala ada masalah, masing‐masing tidak dalam posisi 107 siap untuk mengambil hak masing‐masing dengan bukti‐bukti yang kuat. Hal ini juga diperparah dengan budaya masyarakat dimana jika terjadi sengketa maka sengketa itu cenderung keras, berlarut‐larut dan sulit untuk dikatakan bahwa perceraian berlangsung dengan damai. Hak Waris dan Nasab Anak Zina Semua komponen masyarakat (Ulama, Cendekiawan, Hakim) sepakat bahwa zina adalah perbuatan keji dan hina. Hanya, dalam prakteknya, sulit untuk menemukan dan atau memberikan bukti otentik bahwa si fulan adalah anak zina. Keadaan ini juga sejalan dengan prinsip siri’ (harga diri). Tidaklah mungkin untuk menyatakan bahwa si fulan tidak mendapat bagian dari hak waris karena yang bersangkutan adalah anak zina. Drs. Muhyiddin, MH, seorang Hakim Agama di Pengadilan Agama Sungguminasa Goa menyatakan bahwa seringkali jika nyata‐nyata terjadi anak di luar nikah (zina), maka orang cenderung untuk melakukan itsbat nikah dan itsbat nasab. Sehingga di mata hukum, anak tersebut tidak lagi dapat diperlakukan secara berbeda. Abdul Wahid, tokoh masyarakat juga menyatakan hal yang sama. Orang di Makasar sangat merasa terhina jika dikatakan bahwa anaknya adalah hasil dari zina. Maka, tidak mungkin hal ini dibicarakan atau diperkarakan secara terbuka. Sehingga, sangatlah sulit untuk menerapkan hukum bahwa anak zina tidak mendapatkan hak waris atau hanya mempunyai nasab kepada ibunya saja. Kesetaraan Penghijab dan Hak Waris Laki‐Perempuan Tentang porsi penerimaan harta waris yang seimbang antara laki dan perempuan, pada hakekatnya terdapat pandangan yang variatif antara Ulama, Cendekiawan dan 108 Hakim. Prof. Andi Rasdianah menyatakan bahwa kesamaan bagian antara anak laki dan perempuan tidak menjadi masalah. Hanya saja, lebih baik kesamaan itu melalui pintu hibah. Jadi, tidak mesti ada asumsi hak waris yang langsung dinyatakan porsinya sama. Prof. Andi Rasdianah juga menyatakan bahwa bisa saja perempuan sebagai ahli waris pengganti dapat menjadi hijab bagi laki‐laki. Bagi Drs Anwar R dari Pengadilan Tinggi Agama Makassar, hak waris laki dan perempuan tidaklah selalu harus disamakan. Dia menyatakan, pernah di suatu sengketa warisan ia malah memberikan harta warisan yang porsinya 2/3 bagi perempuan dan 1/3 bagi laki‐laki. Hal ini mengingat, sang perempuan itu hanyalah ibu rumahtangga biasa dan orangtua mereka sepenuhnya diasuh oleh perempuan tersebut. Jadi, pembagian harta warisan antara laki dan perempuan baginya selalu bersifat kontekstual: sangat tergantung dari situasi tertentu dan kondisi yang terjadi dalam suatu hubungan kekerabatan dan tanggungjawab masing‐masing individu. Tentang perempuan yang bisa jadi berpotensi menghijab ahli waris laki‐lakinya, baginya hal itu bisa saja terjadi. Tergantung dari kondisi dan relasi tanggungjawab yang terjadi. Disini, baginya Hakim harus benar‐benar jeli dan tidak boleh terlalu berpatokan pada teks perundang‐undangan. Prof. Irfan dari Universitas Islam Negeri Makassar sepenuhnya sependapat dengan pendapat Hakim Anwar. Baginya, fleksibilitas hukum haruslah diperhatikan jika memang situasi memaksa dan menghendaki demikian. Sebab, illah hukum itu sangat tergantung dari situasi yang ada. Situasi yang ada bisa jadi tidak dapat dirumuskan secara ketat 109 dan baku, karena memang kondisi individu di dalam suatu kasus keluarga juga sangat variatif dan heterogen. Disinilah urgensi ijtihad hakim. Undang‐Undang baginya tidak dapat mengatur semua hal. Justru disitu letak pentingnya Hakim yang cerdas, mengerti sosio‐kultural dan psikologis pencari keadilan serta peristiwa hukum yang betul‐betul terjadi di lapangan. 110 BAB V RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA TERHADAP FIQH WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DI PROVINSI DI. YOGYAKARTA Oleh: H. Bashori A Hakim Wakhid Sugiarto I. GAMBARAN UMUM WILAYAH A. Kondisi Geografi dan Demografi D aerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi terkecil kedua setelah Provinsi DKI Jakarta dan terletak di tengah Pulau Jawa, dikelilingi oleh Provinsi Jawa Tengah dan termasuk zona tengah bagian Selatan dari formasi geologi Pulau Jawa. Di sebelah selatan Provinsi terdapat garis pantai sepanjang 110 km berbatasan dengan Samudera Indonesia, di sebelah Utara menjulang tinggi gunung berapi paling aktif di dunia yaitu gunung Merapi (2.968 m). Luas keseluruhan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah 3.185,8 km² dan kurang dari 0,5% luas daratan Indonesia. Di sebelah Barat mengalir Sungai Progo, yang berawal dari Jawa Tengah, dan sungai Opak di sebelah Timur yang bermata air di puncak gunung Merapi, dan bermuara di Laut Jawa sebelah selatan. Ibukota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Yogyakarta, sedangkan kota-kota yang terdapat dalam wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Bantul, Wates, Sleman, Wonosari. Secara administratif Daerah Istimewa Yogyakarta dibagi dalam 1 (satu) kota dan 4 (empat) kabupaten, di mana Yogyakarta membentuk kesatuan adiministrasi tersendiri. 111 Yogyakarta berstatus Daerah Istimewa, sejarah terjadinya provinsi ini pada tahun 1945, wilayah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman, menggabungkan diri dengan wilayah Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Luas Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, lebih kurang 3.186 Km2 berpenduduk 3.278.599 jiwa (data Desember 1995). Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta ini berada di bagian tengah Pulau Jawa, termasuk zone tengah bagian selatan dari formasi geologi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Secara astronomi, daerah ini terletak di antara 70,33'LS80,12'LS, yang mencakup wilayah bekas Swapraja Kasultanan Yogyakarta, wilayah bekas Swapraja Kadipaten Pakualaman dan tiga daerah yang semula termasuk wilayah Jawa Tengah, yakni bekas daerah enclave Kapanewon di Gunungkidul, daerah enclave Kawedanan Imogiri dan daerah enclave Kapanewon di Bantul. Secara administratif, keseluruhan wilayah tersebut berbatasan dengan Kabupaten Magelang (di sebelah Barat laut), Kabupaten Klaten (di sebelah Timur), Kabupaten Wonogiri (di sebelah Tenggara), Samudra Indonesia (di sebelah selatan), dan Kabupaten Purworejo (di sebelah Barat). Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta terbagi dalam lima wilayah administratif daerah Tingkat II, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 112 Kotamadya Yogyakarta dengan luas 32,5 km2 Kabupaten Bantul dengan luas 506,85 km2 Kabupaten Kulonprogo dengan luas 586,27 km2 Kabupaten Gunungkidul dengan luas 1.485,36 km2 Kabupaten Sleman dengan luas 574,82 km2 Secara geografis, wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta tersusun atas empat satuan, yaitu Pegunungan Selatan, Gunung api Merapi, dataran rendah antara Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulonprogo, dan dataran rendah selatan. Secara umum keadaan geografis Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari daerah dataran yang berada pada kaki gunung Merapi (pada ketinggian 900 meter di atas permukaan air laut) dan miring kearah Selatan sampai di daerah Pantai Samudra Indonesia, yang lazim disebut pula sebagai Pantai Laut Selatan (bhs. Jawa: Segoro Kidul). Selanjutnya daerah yang terdiri dari gunung/pegunungan Selatan (gunung Kidul) di bagian sebelah Tenggara yang disebut pegunungan Seribu. Di daerah Gunung Kidul banyak hasil-hasil usaha penghijauan, pengawetan dan pelestarian sumber-sumber air. Sedangkan di bagian Utara di daerah Nglanggeran, bisa kita jumpai kenampakam singkapan batuan intrusin yang nampak sangat besar dan indah yang kini disebut gunung Kelir. Di daerah lereng gunung Merapi, di sekitar daerah rekreasi Kaliurang didapati hutan hujan tropis (tropical rain forest) dan banyak dihuni satwa langka. Di daerah Pegunungan Menoreh dijumpai daerah wisata Goa Kiskendo, Suralaya dan Gua Sumitro, di sebelah Tenggara pegunungan Menoreh didapati daerah perbukitan Sentolo yang meluas sampai wilayah Bantul. Wilayah lain adalah dataran pantai yang kebanyakan berpasir dan memiliki bukit-bukit pasir (dune). Pantai-pantai banyak yang memiliki pasir putih seperti yang bisa dilihat di Pantai Kukup, Krakal dan lain-lain. Pasir ini berasal dari pecahan batu karang dan pecahan binatang laut jenis kerangkerangan. Di Perairan Pantai Krakal terdapat sebuah gugusan pulau kecil yang ditumbuhi oleh sejenis perdu yang disebut 113 pohon "Drini". Jenis semacam ini sukar didapat di daerah lain, konon memiliki tuah sebagai sarana pengusir ular dan jenis serangga berbisa. Keadaan lautan di Ujung Timur yang merupakan bagian dari Samudra Indonesia banyak dihuni berbagai jenis ikan dan binatang laut serta biota-biota lain yang telah langka antara lain Penyu Hijau yang kini perlu tetap dijaga kelestariannya.1 B. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya 1. Kondisi Sosial. a. Pendidikan Pada periode tahun 2001-2002, di Kota Yogyakarta terdapat 48 Perguruan Tinggi yang semuanya merupakan Perguruan Tinggi Swasta. Untuk melayani keseluruhan Perguruan Tinggi yang terdiri dari 8 universitas, 8 institut/sekolah tinggi dan 32 akademi dengan 84.387 orang mahasiswa ini, digunakan sebanyak 1.399 orang dosen. Dari kondisi ini, dapat dianalisa bahwa sebagian masyarakat Kota Yogyakarta merupakan masyarakat terdidik sehingga Kota Yogyakarta dikenal dengan kota pelajar. b. Kesehatan Dalam sepuluh tahun terakhir, Kota Yogyakarta mengalami peningkatan derajat kesehatan yang cukup signifikan, antara lain ditandai dengan menurunnya angka kematian bayi (6,33 per seribu kelahiran hidup pada tahun 1995), angka kematian ibu dan meningkatnya status gizi. Secara umum, persebaran sarana dan prasarana kesehatan baik Puskesmas maupun rumah sakit telah merata. Dalam keseluruhannya, Kota Yogyakarta 1 Situs Pemerintah Kota Yogyakarta. 114 memiliki 28 Rumah Sakit yang terdiri dari 2 (dua) Rumah Sakit Pemerintah dan 19 Rumah Sakit Swasta. Sedangkan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang dimiliki adalah sebanyak 136 buah yang terdiri dari 31 Puskesmas Umum, 4 Puskesmas Radio Republik Indonesia, 68 Puskesmas Pembantu serta 33 Puskesmas Keliling. 2. Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki banyak produk unggulan, seperti Batik (Batik) Yogyakarta, textil (textile) pakaian jadi (garment) batu putih (limestone) mebel (furniture) perak (silver) gerabah (earthenware) kerajinan kayu (wooden craft) anyaman (plaited product) dan lain sebagainya. Batik yang dimiliki cukup terkenal, baik motif batik klasik maupun modern. Ada 400 motif batik khas Yogyakarta. Berikut ini adalah jenis dan sentra Industri di Kota Yogyakarta. Tabel 1 Daftar Pengusaha Kerajinan di DI Yogyakarta No. Nama Produksi Lokasi Industri 1 Perak Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta 2 Batik Desa Wijirejo dan Wukirsari, Kab. Bantul 3 Kerajinan Kayu Kerajinan Kayu Putat, Gunungkidul Kerajinan Kayu Pucung, Bantul Kerajinan Kayu Pajangan, Bantul 4 Pakaian Jadi Mlangi, Kab. Sleman Purbayan, Kotagede, Yogyakarta Imogiri, Kab. Bantul 5 Anyaman Moyudan, Kab. Sleman Minggir, Kab. Sleman Muntuk, Kab. Bantul 115 Ngawen, Kab. Gunungkidul Kerajinan Kasongan, Kab. Bantul Gerabah Pundong, Kab. Bantul Sumber: Situs Kota Yogyakarta 6 C. Budaya sebagai Sumber Devisa Sektor Pariwisata Hakekat budaya adalah hasil cipta, karsa dan rasa, yang diyakini masyarakat sebagai sesuatu yang benar dan indah. Demikian pula Budaya daerah Yogyakarta, yang diyakini masyarakat sebagai salah satu acuan dalam hidup bermasyarakat, baik ke dalam (intern) maupun ke luar (extern). Secara filosofis, budaya Jawa khususnya Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta dapat digunakan sebagai sarana untuk ”hamemayu hayuning bawana”. Ini berarti bahwa Budaya tersebut bertujuan untuk mewujudkan masyarakat ”ayom ayem tata, titi, tentrem karta raharja”. Dengan perkataan lain, budaya tersebut akan bermuara pada kehidupan masyarakat yang penuh dengan kedamaian, baik ke dalam maupun ke luar. Dasar filosofi pembangunan daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah ”Hamemayu Hayuning Bawana”, sebagai cita-cita luhur untuk menyempurnakan tata nilai kehidupan masyarakat Yogyakarta berdasarkan nilai budaya daerah yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Kota Yogyakarta memiliki cukup banyak obyek wisata yang dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu obyek wisata budaya dan obyek wisata buatan (konvensi dan wisata belanja). Potensi obyek dan daya tarik wisata di Yogyakarta adalah museum, bangunan bersejarah, bangunan budaya, kelompok kesenian/atraksi wisata di kawasan Malioboro. Yang termasuk dalam kategori obyek wisata budaya diantaranya adalah Benteng Vredenburg, Kraton Yogyakarta, 116 Taman Sari, Kraton Pakualaman dan Makam Kotagede. Sedangkan yang masuk dalam kategori obyek wisata buatan diantaranya adalah Museum Sono Budaya, Museum Sasono Wirotomo, Museum AD (Darma Wiratama), Museum Perjuangan, Biologi Universitas Gajah Mada, Purawisata, Kebun Plasma Pisang serta Kebun Binatang Gembira Loka. Kegiatan pariwisata di Kota Yogyakarta juga didukung dengan banyaknya artshop dan pedagang cinderamata dengan jenis kerajinan seperti batik dan lukisan batik, kerajinan kulit, barang antik, kerajinan bambu dan kayu, kerajinan perak dan kerajinan gerabah. D. Kehidupan Keagamaan. Mayoritas penduduk Kota Yogyakarta (404.720 orang atau 80,31%) memeluk agama Islam. Sedangkan jumlah pemeluk agama yang terkecil adalah agama Hindu. Untuk melayani seluruh pemeluk agama tersebut di atas, pemerintah Kota Yogyakarta telah menyediakan banyak sarana peribadatan yang terdiri dari 369 masjid, 401 mushalla, 7 gereja Katolik, 59 gereja Kristen serta 1 buah wihara. E. Kota Yogyakarta Menuju Cita-cita Perjuangan untuk mensejahterakan masyarakat telah diupayakan dan dilaksanakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan diteruskan oleh pengganti beliau, tetap dengan semangat “Hamemayu Hayuning Bawana”, yang artinya Kewajiban melindungi, memelihara, serta membina keselamatan dunia dan lebih mementingkan berkarya untuk masyarakat dari pada memenuhi ambisi pribadi. Dunia yang dimaksud inipun mencakup seluruh peri kehidupan dalam skala kecil, yaitu Keluarga ataupun masyarakat dan lingkungan hidupnya, dengan mengutamakan Dharma 117 Bhakti untuk kehidupan orang banyak, tidak mementingkan diri sendiri. Visi yang dimiliki Kota Yogyakarta untuk mewujudkan cita-citanya memiliki visi pembangunannya demi terwujudnya pembangunan Regional sebagai wahana menuju pada kondisi Daerah Istimewa Yogyakarta pada Tahun 2020 sebagai pusat pendidikan, budaya dan Daerah tujuan wisata terkemuka, dalam lingkungan masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera lahir batin didukung oleh nilai-nilai kejuangan dan pemerintah yang bersih dalam pemerintahan yang baik dengan mengembangkan Ketahanan Sosial Budaya dan sumberdaya berkelanjutan. Kondisi yang secara bertahap ingin dicapai dengan ditetapkannya visi tersebut, antara lain: a. Terbentuknya citra Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai wilayah pengembangan sosiokultural dan sosioekonomi yang dinamis dan inovatif, berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi maju serta moral masyarakat yang berlandaskan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. b. Tersedianya lapangan kerja yang memberikan penghasilan yang cukup bagi masyarakat secara adil dan merata . c. Terciptanya tingkat kesehatan dan gizi masyarakat yang cukup baik, sehingga sumber daya manusia yang maju, mandiri dan sejahtera dalam lingkungan yang sehat, sehingga dapat diandalkan dalam persaingan global. d. Terciptanya kondisi yang kondusif bagi partisipasi masyarakat secara luas dalam pembangunan daerah yang bertumpu pada tata nilai budaya serta sumberdaya yang berkelanjutan, dengan mengembangkan kerukunan hidup 118 antar komponen masyarakat, baik antara agama, suku dan budaya. e. Terciptanya masyarakat yang menghormati dan menegakkan Hak Azasi Manusia (HAM) dalam segala aspek kehidupan . f. Terlaksananya pelayanan pemerintah yang handal, efisien dan transparan di dalam suasana kehidupan yang aman dan tentram dalam kerangka otonomi daerah. II. RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA TERHADAP KOMPILASI HUKUM ISLAM A. Sosialisasi dan Pandangan Ulama serta Para Hakim Agama terhadap Hukum Waris yang Diatur dalam Kompilasi Hukum Islam: Sosialisasi Kompilasi Hukum Islam khususnya tentang Hukum Waris pada dasarnya telah dilakukan oleh Instansi Pemerintah Daerah dalam hal ini Pengadilan Agama Kota Yogyakarta secara terprogram kepada masyarakat di berbagai daerah. Sosialisasi dilakukan sejak Pengadilan Agama masih satu atap dengan Departemen Agama. Setelah Pengadilan Agama tidak lagi satu atap dengan Departemen Agama, sosialisasi juga telah dilakukan beberapa kali dengan mengundang para tokoh agama setempat, tokoh masyarakat, tokoh/pimpinan organisasi Islam, serta unsur pejabat setempat termasuk para Pejabat Kantor Urusan Agama dan lurah. Namun diakui, sosialisasi yang dilakukan hampir setiap tahun itu belum melibatkan masyarakat Islam secara luas. Pihak Pengadilan Agama sebenarnya mengharapkan tiap Kantor Urusan Agama meneruskan sosialisasi kepada masyarakat di wilayah masing-masing, namun terlihat belum dilakukan sehingga tidak sedikit kalangan masyarakat yang belum memahami adanya ketentuan hukum waris dalam 119 Kompilasi Hukum Islam. Kenyataan ini terlihat adanya anggota masyarakat yang menanyakan perihal hukum waris kepada ulama setempat ataupun Hakim Agama (Diolah dari hasil wawancara dengan para Hakim Agama Pengadilan Agama Kota Yogyakarta H. Damanhuri, Nasir, H. Husaini Idris dan H. Syamsuddin). Pihak Pengadilan Tinggi Agama DI. Yogyakarta melakukan sosialisasi melalui kegiatan penyuluhan hukum Islam dengan melibatkan para Hakim Agama Pengadilan Tinggi Agama sebagai tutor atau tenaga penyuluh. Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta melakukan sosialisasi Hukum Waris melalui program Penyuluhan Hukum Islam yang dilakukan setiap tahun bertempat di Pengadilan Agama secara bergilir. Pada tahun 2008 yang lalu penyuluhan dilakukan di Pengadilan Agama Kabupaten Bantul. Dalam sosialisasi Hukum Waris di atas, pihak-pihak yang telah menerima sosialisasi Hukum Waris dalam Kompilasi Hukum Islam merespon positif, sebab sebelumnya mereka hanya mengetahui Hukum Waris secara terbatas melalui sengketa waris di Pengadilan Agama. Namun bagi sebagian tokoh agama/ulama lain yang belum mengikuti sosialisasi menanggapi sosialisasi yang dilakukan pemerintah kurang maksimal. Menurut sementara Kyai, Kompilasi Hukum Islam terasa sangat elitis sehingga apabila kurang disosialisasikan maka akan sulit membumi dan masyarakat menggunakan pola lama dalam pembagian harta waris. Sementara itu sosialisasi hukum waris dilakukan melalui mata kuliah faroid di Perguruan Tinggi Islam seperti dilakukan di Fakultas Syariah UIN Yogyakarta. Demikian penuturan Supriatna, Dosen Faroid UIN Yogyakarta. 120 Hampir senada dengan para informan di atas, Prof. H. Asmuni Abdurrahman seorang pakar Hukum Waris menuturkan, sosialisasi memang telah dilakukan namun terlihat belum maksimal. Hal itu terbukti sesekali masih ada kalangan masyarakat yang meminta penjelasan kepadanya tentang waris. Karena itu menurut beliau dalam sosialisasi Kompilasi Hukum Islam harus dijelaskan kepada masyarakat luas, di samping kepada para Praktisi Hukum Islam. Tentang hukum waris yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, para Praktisi Hukum Islam dan para ulama memandang positif. Bahkan di antara mereka menganggap sebagai keharusan, karena untuk pegangan bagi para Hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama sehingga ada keseragaman dasar hukum. Kompilasi Hukum Islam dimaksudkan antara lain untuk mengisi kekosongan yang dulu belum ada. Jika tidak ada kompilasi maka para hakim agama hanya merujuk kepada fiqh sehingga terlalu bebas mengambil rujukan. Fiqh, selain pendapat ulama juga berupa keputusan perorangan/mufti sebagai Hakim, yang kemudian dijadikan dasar perundangan yang sekarang disebut sebagai yurisprudensi. Agar Kompilasi Hukum Islam mempunyai kedudukan lebih kuat menjadi pedoman secara tertulis maka sebaiknya ditingkatkan menjadi Undang-Undang. Demikian harapan Prof. H. Asmuni Abdurrahman.2 Sebagaimana telah diduga, bahwa Hukum Islam Indonesia yang berkaitan dengan masalah waris masih belum terwujud sebagaimana yang diharapkan bersama atau mungkin juga belum terpolakan secara jelas. Kompilasi Hukum Islam dianggap sebagai satu diantara sekian banyak karya besar umat Islam Indonesia dalam rangka kebangkitan 2 Asmuni Abdurrahman, wawancara, April 2009. 121 umat Islam Indonesia belum terbumikan secara memuaskan. Bahkan kebanyakan umat Islam dalam peraktiknya masih menggunakan pola pembagian secara bijaksana, tidak persis sebagaimana dalam Hukum Islam. Seberapapun masalah mereka sama-sama ridla tidak persoalan. Sementara itu menurut KH. Najib Halimi, semestinya umat Islam harus menggunakan pedoman Fiqh Mawaris ketika harus membagi harta waris. Persoalan kemudian si fulan tidak butuh harta waris atau si fulanah ingin mendapatkan lebih banyak, itu terserah nanti ketika sudah dibagi sesuai dengan Hukum Waris dalam Fiqh Mawaris. Tidak boleh umat Islam seenaknya saja membagi harta waris tersebut, mengingat pembagian itu sudah diatur sedemikian rupa dalam Fiqh Mawaris. Adalah kewajiban umat Islam untuk menegakkan Hukum Waris yang sudah disusun oleh para fuqaha masa silam dalam pembagian Harta Waris. Bagi KH, Najib Halimi, Fiqh Mawaris sudah selesai, tinggal melaksanakan dan itu kewajiban para ulama untuk menjelaskan kepada umat Islam.3 Mengapa umat Islam belum sepenuhnya mengacu kepada fiqh mawaris dalam pembagian harta waris? Ini adalah sebagian kegagalam para ulama Indonesia dalam memberi motivasi agar umat Islam dapat sepenuhnya melaksanakan Hukum Islam, terutama masalah waris ini. Menurutnya, semestinya hukum yang mengatur masalah waris di Indonesia khususnya untuk umat Islam tidak ada pilihan kecuali menjalankan Hukum Waris Islam sebagaimana dijelaskan dalam Fiqh Mawaris. Begitu menikah dengan cara Islam, maka sesungguhnya mereka sudah terikat dengan seluruh hukum Islam, terutama yang sebenarnya memang dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. 122 Untuk yang tidak dapat dilaksanakan itu tanggungjawab tokoh-tokoh Islam di Indonesia dalam memperjuangkan Hukum Islam menjadi hukum positif di Indonesia. Peluang adanya pilihan untuk menggunakan hukum lain dalam pembagian harta waris telah mengakibatkan Hukum Islam sendiri diacak-acak oleh umat Islam sendiri. Hukum waris yang lain mestinya hanya untuk yang beragama lain, bukan untuk umat Islam. Dalam penjelasannya tentang Fiqh Waris ini, KH Najib Shalimi meskipun sering mendengar tentang Kompilasi Hukum Islam, tetapi tidak mengetahui sama sekali isi dari Kompilasi Hukum Islam tersebut. Bahkan menurutnya, itulah kekurangan pemerintah dalam sosialisasi hukum-hukum yang dibuatnya kepada rakyat sangat kurang, termasuk dalam banyak hal lain kepada rakyat. Oleh karena itu masyarakat sering dibuat pusing oleh pemerintah, tiba-tiba ada perubahan-perubahan dalam banyak hal sementara rakyat tidak tahu. Dalam hal ini sarannya adalah, agar pemerintah mencetak Kompilasi Hukum Islam sebanyakbanyaknya kemudian dibagi kepada masyarakat, terutama pesantren di seluruh Indonesia. Sementara itu, bagi kalangan Fuqoha Indonesia, Fiqh Mawaris belum cukup untuk menyelesaikan masalah-masalah waris bagi umat Islam di Indonesia.4 Bisa saja penyusunan Kompilasi Hukum Islam dipandang sebagai kebangkitan Islam di Indonesia. Pertanyaannya adalah bagaimana pratik sosiologis masyarakat Indonesia, apakah sudah mencerminkan kehidupan sosial yang Islami. Pada tingkat wacana, benar sekali bahwa Kompilasi Hukum Islam sebagai kemajuan ilmu 4 Diolah dari hasil wawancara dengan KH Najib Shalimi (Pondok Pesantren Lukmaniyah Umbulharjo, Semaki, Bantul) dan KH. Abdullah Hasan (Pondok Pesantren Salafiyah Mlangi, Sleman) serta KH Mas’ud Masduki Pondok Pesantren Krapyak Wedomartani, Ngemplak, Sleman. 123 pengetahuan dan semangat umat Islam Indonesia.5 Namun secara sosiologis, ternyata belum terjadi perubahan yang signifikan. Mengapa belum terjadi perubahan mendasar dalam kehidupan sosiologis umat Islam sebagaimana diinginkan para perumus Kompilasi Hukum Islam. Tidak lain adalah karena sosialisasi Kompilasi Hukum Islam sendiri tidak pernah dilakukan, bahkan di kalangan para Kyai Pesantren. Oleh karena itu merekapun tidak tahu perbedaan antara Hukum Waris Islam dalam Fiqh Mawaris dengan Hukum Waris dalam Kompilasi Hukum Islam. Perumusan Kompilasi Hukum Islam konon dilakukan dengan mengacu pada sumber Hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dan secara herarkial mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.6 Di samping itu, para perumus Kompilasi Hukum Islam memperhatikan perkembangan yang berlaku secara global serta memperhatikan tatanan hukum Barat tertulis (terutama Hukum Eropa Kontinental) dan tatanan Hukum Adat, yang memiliki titik temu dengan tatanan hukum Islam. Berkenaan dengan hal itu, dalam beberapa hal, maka terjadi adaptasi dan modifikasi tatanan hukum lainnya itu ke dalam Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian, Kompilasi Hukum Islam merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang khas di Indonesia. Atau dengan perkataan lain, Kompilasi Hukum Islam merupakan wujud Hukum Islam yang bercorak keIndonesiaan. Menurut para Kyai itu, Kompilasi Hukum Islam sangat elitis dan sulit membumi jika tidak pernah disosialisasikan dan dipastikan Kompilasi Hukum Islam akan 5 6 Abdurrahman H. SH, MH, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Penerbit Modernika Pressindo, Jakarta, 1992, Cetajkan pertama h. 6 Ketika KHI disebarluaskan dengan dasar institusi agama, UU Nomor 7 tahun 1989 telah disahkan dan diundangkan. Namun demikian karena penyusunan Rancangan KHI telah disiapkan sebelumnya, maka dalam pemjelasan beberapa pasal KHI ditulis: Pasal ini dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang Peradilan Agama. 124 sekedar menjadi pengetahuan belaka, sementara masyarakat masih menggunakan pola lama dalam pembagian harta waris, yaitu pola kebijaksanaan. Sebuah pola yang tidak sesuai dengan Fiqh Mawaris. Berbeda dengan para Dosen Faraid dari UIN Yogyakarta, sebagaimana diungkapkan oleh Supriatna. Beliau menyatakan dengan penuh kebanggaan, bahwa Kompilasi Hukum Islam adalah Hukum Islam khas Indonesia dan telah diajarkan kepada seluruh Mahasiswa Fakultas Syariah di Indonesia. Supriatna benar-benar tahu tentang perbedaan antara Fiqh Mawaris dengan Kompilasi Hukum Islam, meskipun dalam Kompilasi Hukum Islam sendiri ada yang tidak konsisten.7 Namun beliau lupa bahwa Mahasiswa Hukum Syari’ah itu jumlahnya sedikit untuk menggambarkan jumlah mahasiswa Indonesia yang sebagian besar juga umat Islam. B. Pandangan dan Sikap Ulama dan Hakim Agama terhadap Perbedaan Hukum Waris dalam Fiqh Islam dengan Kompilasi Hukum Islam Dalam hal pandangan dan sikap Ulama dan Hakim Agama terhadap perbedaan hukum waris dalam Fiqh Islam dengan Kompilasi Hukum Islam ternyata juga berbeda. Para Ulama, menyatakan tidak tahu persis perbedaannya antara Fiqh Mawaris dengan Kompilasi Hukum Islam, karena tidak memiliki bukunya atau membacanya. Tetapi jika yang dimaksud istilah harta bawaan mereka paham benar, namun tidak mengetahui apakah itu diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Dalam hal ini beliau menyatakan bahwa harta bawaan itu bukan warisan dan tidak dibagi-bagikan atau dijadikan harta gono gini. Kerancuan masyarakat dalam hal ini sering terjadi, misalnya seorang perempuan kaya menikah dengan seorang laki-laki, kemudian keduanya bercerai, maka harta 7 Diolah dari hasil wawancara dengan Supriatna, Dosen Faraid UIN Yogyakarta. 125 perempuan tersebut harus kembali kepadanya. Sementara yang dibagi adalah harta yang mereka dapatkan selama menikah. Bahkan bagi perempuan yang bekerja, maka harta perempuan selama bekerja itu adalah miliknya dan tidak bisa dibagi-bagi. Dalam perakteknya, harta yang dicari isteri itu masuk juga dalam gono gini jika keduanya bercerai. Agar ulama dan Hakim Agama memiliki pandangan yang sama berkaitan dengan perbedaan antara Fiqh Islam dengan Kompilasi Hukum Islam itu, saran yang disampaikan adalah duduk bersama, seminar, diskusi dan dialog yang tentu saja tidak hanya sekali dilakukan. Memang kegiatan itu mahal, tetapi hanya itulah yang dapat dilakukan.8 Seberapapun peraturan dibuat dan sebaik apapun mutu peraturan jika tidak disosialisasikan menjadi tidak bermakna dan mandul serta tidak dapat dilaksanakan. Secara umum dapat dikatakan bahwa ketentuan mengenai Hukum Kewarisan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam berpedoman pada garis-garis hukum faroid, warna alam pikiran asas qoth’i agak dominan dalam perumusannya. Seluruhnya hampir mempedomani garis rumusan nash yang terdapat dalam al-Qur’an kurang tampak dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam. Perumusan yang bersifat kompromistis dengan ketentuan nilai-nilai Hukum Adat. Meskipun pada satu sisi landasan semangat perumusannya telah mendekati sistem kekeluargaan parental dan bilateral seperti dalam sistem kekeluargaan yang umum dalam masyarakat Indonesia, nyatanya sifat kompromistis yang dianut Kompilasi Hukum Islam dalam masalah kewarisan lebih mengarah pada sikap modivikasi secara terbatas. Sifat modifikasinya benar-benar selektif dan hati8 Diolah dari hasil wawancara dengan KH Najib Shalimi, Abdullah Hasan, Mas’ud Maduki, dan Supriatna 126 hati. Oleh karena itu terobosan yang dijumpai tidak sangat kentara. Malahan ada yang dianggap langkah surut jika dibandingkan dengan ketentuan adat atau hukum Barat. Langkah surut itu terutama didakwakan kelompok yang terbiasa menghayati paham emansipasi kaum wanita yang dengan gigih membela dan menegakkan persamaan hak dan derajat antara anak laki-laki dengan anak perempuan dalam pembagian harta waris. Bagi para ulama, Fiqh Waris Islam sudah selesai, tinggal kemauan untuk melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.9 Di kalangan para Praktisi Hukum Islam, yakni antara Hakim Agama di Pengadilan Agama dengan Hakim Agama di Pengadilan Tinggi Agama berbeda pendapat tentang ada tidaknya perbedaan mendasar antara Hukum Waris dalam Fiqh Islam dan dalam Kompilasi Hukum Islam. Para Hakim Agama Pengadilan Agama berpendapat bahwa ada perbedaan mendasar antara Hukum Waris dalam Fiqh Islam dan dalam Kompilasi Hukum Islam. Perbedaan mendasar dimaksud yaitu mengenai: Ahli Waris Penggganti, tentang Anak Angkat dan tentang Tanah Waris yang kurang dari dua hektar (Disarikan dari hasil wawancara dengan para Hakim Agama Pengadilan Agama Kota Yogyakarta). Tentang Ahli Waris Pengganti: dalam Fiqh Islam tidak dikenal Ahli Waris Pengganti. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat aturan tentang Ahli Waris Pengganti (Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam). Tentang Waris Anak Angkat: dalam Fiqh Islam tak dikenal waris untuk anak angkat. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam anak angkat ditetapkan mendapat bagian waris dengan jalan Wasiat Wajibah dengan ketentuan paling banyak 1/3 dari harta waris (Pasal 209 (2) Kompilasi Hukum Islam). Dalam Kompilasi 9 Cik Hasan basri, Ibid, hal. 67 127 Hukum Islam juga diatur wasiat wajibah untuk bapak angkat (Pasal 209 (1) Kompilasi Hukum Islam), yang dalam Fikih Islam hal itu tidak diatur. Tentang tanah waris yang kurang dari dua hektar: dalam Kompilasi Hukum Islam diatur, tanah waris yang kurang dari dua hektar tak perlu dibagi/dipecahpecah kepada para ahli waris (Pasal 189 (a) Kompilasi Hukum Islam). Hal ini terkonspirasi dari Undang-Undang Agraria yang menyebutkan bahwa tanah pertanian yang kurang dari dua hektar tak boleh dipecah-pecah dengan alasan untuk asas manfaat bersama. Kalau dibagi-bagi kemungkinan tak lagi menjadi tanah pertanian. Dalam Fiqh Islam tak dijumpai aturan demikian. Menurut para Hakim Agama Pengadilan Tinggi Agama tak ada perbedaan mendasar antara Fiqh Islam dengan Kompilasi Hukum Islam mengenai aturan tentang Hukum Waris, kecuali hanya satu yaitu ketentuan dalam Pasal 185 (1) Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan: ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173. Pasal 185 (1) tersebut memungkinkan seorang isteri yang meninggal dan membawa anak bawaan, maka anak bawaan tersebut berhak menjadi Ahli Waris Pengganti ibunya. Untuk menghindari terjadinya pengertian demikian maka sebaiknya pasal 185 (1) itu disempurnakan menjadi: Anak sebagai ahli waris yang meninggal terlebih dahulu daripada pewaris. Adapun ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam tentang tanah warisan kurang dari dua hektar yang tak boleh dipecah antar ahli waris, hal itu bukan perbedaan mendasar dengan Fiqh Islam karena hanya perbedaan interpretasi/ penafsiran dan merupakan pengembangan Hukum. Fiqh Islam sendiri. Jadi interpretasi tentang hukum waris dalam 128 Kompilasi Hukum Islam pada dasarnya tidak bertentangan atau sejalan dengan Fiqh Islam. Aturan dalam Kompilasi Hukum Islam tentang tanah kurang dua hektar tak diperbolehkan dibagi-bagi itu termasuk kategori aturan dari “Waliyul Amri” yang harus ditaati. Pandangan senada juga dikemukakan pakar Hukum Waris Islam H. Asmuni Abdurrahman yang menjelaskan bahwa tak ada perbedaan mendasar antara Hukum Waris dalam Kompilasi Hukum Islam dengan Fiqh Islam, sebab Kompilasi Hukum Islam disusun berdasar dari Fiqh Islam yang dikembangkan sesuai dengan tradisi umat Islam Indonesia. Para informan dalam menyikapi perbedaan antara Hukum Waris dalam Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam bukan terletak pada pengaturan baru, tetapi pada materi hukum yang ditetapkan non muslim. Pendapat yang membolehkan ahli waris non muslim bisa mendapat harta waris melalui wasiat wajibah. Perbedaan Hukum Waris yang terjadi antara penetapan Fiqh Islam dengan Kompilasi Hukum Islam, walaupun dalam penafsiran, tetapi menimbulkan konsekuensi hukum. Untuk menghindari perbedaan penetapan Hukum Waris agar menjamin kepastian hukum dalam penyelesaian pembagian waris, maka diperlukan penyuluhan hukum dalam masyarakat. C. Perbedaan Praktik Penyelesaian Masyarakat dan Pengadilan Agama. Waris Islam di Walaupun hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam juga terdapat ketentuan yang mengatur masyarakat majemuk, khususnya tradisi yang berlaku dalam masyarakat lokal, seperti ketentuan pasal 185 tentang Ahli Waris Pengganti atau ”Penggantian Ahli Waris” flaap verlling, pasal 129 189 tentang Harta Warisan berupa lahan pertanian yang kurang dari 2 hektar sebagai warisan ”kolektif” dan pada pasal 209 tentang wasiat wajibah antara orang tua angkat dan anak angkat. Dalam pasal 185 dinyatakan: a. Ahli waris yang meninggal terlebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173. b. Bagitu dari Ahli Waris Pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Dalam pasal 189 dinyatakan; a. Bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dasri 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama pada ahli waris yang bersangkutan. b. Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak memungkinkan karena diantara para ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing. Dalam pasal 209 dinyatakan; a. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasalpasal 146 sampai pasal 193 tersebut di atas. Sedangkan terhadap orang tua angkat, yang tidak menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta peninggalan anak angkatnya tersebut. 130 b. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari hartanya peninggalan orang tua angkatnya. Ketentuan-ketentuan itu menjadi menarik oleh karena merupakan gagasan baru yang dituangkan menjadi kaidah hukum yang mengacu jkepada kemaslahatannya. Gagasan tentang Ahli Waris Pengganti – ada yang membedakan dengan Pengganti Ahli Waris – pernah dikemukakan oleh Hazairin (1981: 32) bagi kelompok Ahli Waris yang disebut menilai bahwa gagasan kurang mendapat respon dari para Ahli Hukum Islam oleh karena dalam tradisi pemikiran fuqaha tidak begitu dikenal. Ketentuan pasal 189 merupakan upaya untuk menghindarkan terjadinya pemilikan lahan pertanian (sebagai modal usaha di kalangan petani) yang fragmentaris, yang dapat menjadi salah satu penyebab kemiskinan tiada ujung. Hal itu menunjukkan bahwa Hukum Islam tadi terkait dengan unsur non hukum, seperti ekonomi, struktur dan pola budaya umat Islam dalam sistem kehidupan masyarakat Indonesia yang menempatkan harta warisan sebagai simbol benturan keluarga (dalam arti keluarga luas). Ketentuan pasal 209 merupakan suatu gagasan baru yang didasarkan kepada suatu kenyataan bahwa pengangkatan anak (adopsi) merupakan suatu gejala yang hidup di dalam kehidupan masyarakat Islam, meskipun hal itu tidak dengan sendirinya terjadi hubungan hukum (baca: saling mewarisi) antara anak angkat dengan orang tua angkatnya. Anak yang diangkat tetap memiliki hubungan hukum dengan orang tua kandungnya. Dari hubungan sosial antara anak angkat dengan orang tua angkat, melahirkan 131 ketentuan tentang wasiat wajibah. Ia merupakan ketentuan hukum Islam yang khas Indonesia.10 Perlu diketahui bahwa keberadaan Kompilasi Hukum Islam dalam sistem hukum nasional relatif berumur muda, terutama di Bidang Hukum Kewarisan (Fiqh Mawaris) yang akan dihadapkan kepada berbagai masalah (di samping harapan-harapan), baik di kalangan pemimpin masyarakat, maupun para pengikut mereka. Masalah pertama adalah sosialisasi Fiqh Waris dalam Kompilasi Hukum Islam kepada warga masyarakat, khususnya di kalangan umat Islam. Dalam hal ini, para pejabat pemerintahan yang terlibat dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam dituntut untuk memainkan peran sebagai penyuluh dan pengambil keputusan yang konsisten. Pemikiran para ulama dan umara’ dituntut untuk mensosialisasikannya dalam lingkungan masing-masing. Sosialisasi akan mudah dilakukan manakala mereka memiliki persepsi yang sama tentang substansi urgensi dan missi Kompilasi Hukum Islam. Masalah kedua adalah persepsi di kalangan pemimpin masyarakat terhadap Kompilasi Hukum Islam di kalangan mereka yang tidak terlibat dalam proses penyusunannya, sementara mereka memiliki keterikatan yang ketat terhadap ajaran fuqaha dan memiliki pengaruh yang kuat di kalangan para pengikut mereka. Kelompok pemimpin itu, pada dasarnya memiliki kebebasan untuk berbeda pandangan karena hal itu berpangkal dari keyakinan yang dianutnya. Hal itu, bahkan merupakan unsur penghambat sosialisasi Kompilasi Hukum Islam, namun sebaliknya dapat juga dipandang sebagai peluang untuk melakukan dialog secara 10 Ketika Atha Mudzhar (Eetnonimus, 1994: xVii) menyampaikan informasi tentang ketentuan itu kepada Thohir Muhammad, beliau terperanjat karena pengertian wasiat wajibah yang demikian yang tidak dikenal di negara manapun. 132 terbuka dan jujur. Apabila sosialisasi Kompilasi Hukum Islam dapat memberikan getaran-getaran pesan yang Islami, dukungan mereka akan mudah diperoleh. Masalah ketiga, adalah kemungkinan terjadi perbenturan antara Kompilasi Hukum Islam dengan struktur dan pola budaya masyarakat, khususnya di bidang kewarisan. Kompilasi Hukum Islam disusun dan diputuskan oleh elit-elit masyarakat di pusat pemerintahan dan pendidikan, sementara sebagian besar warga masyarakat bermukim di pedesaan yang sangat terikat dengan kondisi lokal. Masih besar kemungkinan, masyarakat menerima secara simbolik, sedangkan subsistemnya mengacu kepada kaidah lokal yang berlaku secara turun temurun.11 Dalam praktiknya, menunjukkan perbedaan yang tajam antara praktik penyelesaian Waris Islam di masyarakat dan Pengadilan Agama. Masyarakat masih menggunakan caranya sendiri dalam melaksanakan pembagian harta waris. Hukum adat dan Islam dipadukan sedemikian rupa sehingga ada kerelaan antara ahli waris yang ada tersebut. Karena masalah waris adalah masalah muamalah, KH. Hasan Abdullah, setuju jika pembagian harta waris dilakukan dengan kebijaksanaan, bukan dihitung secara matematis sebagaimana ditulis dalam Fiqh Waris Islam dan mungkin juga Kompilasi Hukum Islam. Beliau mencontohkan, keluarga memiliki 6 orang anak. Anak pertama hingga ke keempat disekolahkan semua sampai tinggi dan dari pendidikannya itu dia bisa hidup makmur. Sementara itu anak kelima dan keenam tidak bisa sekolah tinggi, karena harta keluarga sudah habis buat menyekolahkan anak pertama hingga keempat. Sementara sewaktu sekolah keempat saudara tuanya itu tidak membantu, karena memang belum mapan. Ketika kemudian beberapa tahun 11 Cik Hasan Bisri, Op, Cit, hal. 17. 133 kemudian orang tua meninggal, maka harus dipikirkan nasib kedua anak yang sekolahnya rendah itu agar harta kekayaan tidak hanya beredar diantara orang kaya saja, tetapi juga dinikmati yang lain, yang note bene juga saudaranya sendiri. Itulah sebabnya, Hasan Abdullah sangat setuju pembagian waris kebijakasanaan ala Jawa itu.12 Tentang pembagian harta waris gono-gini: Jika ada kasus harta gono-gini, pihak Pengadilan Agama melakukan pembagian sesuai ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan praktik yang terjadi dalam masyarakat, biasanya harta tersebut dipisah terlebih dahulu dan dibagi sesuai gonogini. Selebihnya dibagi kepada ahli waris, di antaranya ada yang dibagi secara hukum waris. Dalam masyarakat, biasanya isteri yang telah ditinggal mati suami, ia hanya diberi hak untuk tinggal di rumah peninggalan suami dan mendapatkan hasil pertanian peninggalan suami (jika ada). Apabila ada kasus suami yang meninggal meninggalkan dua orang isteri (sebagaimana dalam Pasal 190 Kompilasi Hukum Islam), maka pihak Pengadilan Agama memproses sesuai ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam. Jika terjadi kasus demikian dalam masyarakat, biasanya isteri kedua tak mendapat bagian gono-gini sesuai batasan awal pernikahan dengan isteri pertama. Tentang Ahli Waris Pengganti (Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam): Apabila pewaris meninggalkan cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki/perempuan yang terlebih dahulu meninggal dunia, sementara pewaris juga masih mempunyai anak laki-laki dan perempuan yang masih hidup, maka jika Pengadilan Agama menangani kasus seperti itu, cucu laki-laki atau cucu perempuan di atas dapat memperoleh bagian waris menggantikan posisi orang tuanya. Yang diterapkan Pengadilan Agama itu sesua dengan 12 Diolah dari hasil wawancara dengan KH. Hasan Abdullah; Tahun 2009. 134 ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam. Adapun praktek dalam masyarakat mengenai hal itu tidak jelas, biasanya cucu dalam kasus itu tak mendapat bagian waris. Jika kedudukan ahli waris pengganti adalah kemenakan dari pewaris sedangkan saudara pewaris yang lain masih ada, maka Pengadilan Agama menetapkan kemenakan tersebut juga mendapat warisan, dengan catatan apabila si pewaris tak meninggalkan anak laki-laki. Penjelasan tersebut diperkuat oleh beberapa Hakim Pengadilan Tinggi Agama, dengan mengatakan bahwa kemenakan dalam posisi demikian dapat memperoleh harta waris. Dalam kaitannya dengan anak perempuan menghijab saudara laki-laki dan perempuan. Menurut para hakim Pengadilan Agama, anak perempuan tersebut tak dapat menghijab karena ia telah ada bagiannya sendiri. Pandangan demikian diperkuat H. Asmuni Abdurrahman dengan mengatakan bahwa pada prinsipnya anak perempuan tersebut tak bisa menghijab. Tentang wasiat wajibah kepada anak angkat (Pasal 209 (2) Kompilasi Hukum Islam): para hakim Pengadilan Agama menjelaskan, wasiat wajibah kepada anak angkat diberikan bagiannya sesuai ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam. Demikian pula wasiat wajibah kepada orang tua angkat (Pasal 209 (1) Kompilasi Hukum Islam), dilakukan Pengadilan Agama sesuai ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam. Tentang perbedaan agama: perbedaan agama betapapun menjadi penghalang pemberian warisan. Alasannya jelas, dasar nash dari al-Qur’an yang qoth’i. Praktek dalam masyarakat mengenai hal itu kurang jelas. Bagi masyarakat yang telah mengetahui dasar hukumnya tentu tidak akan membagi warisan. Tentang percobaan membunuh, penganiayaan berat dan memfitnah menjadi penghalang bagi pembagian waris di Pengadilan Agama. Ketentuan itu sesuai dengan ketetapan dalam Pasal 173 (a) Kompilasi Hukum Islam. Tentang 135 pembagian ayah: Pembagian dalam Pengadilan Agama, ayah mendapat waris 1/3 bagian apabila pewaris tak punya anak, dan 1/6 bagian jika punya anak. Pembagian demikian sesuai ketentuan dalam Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam. Namun pasal ini dalam Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal 28 Juni 1994, No.2 tahun 1994 telah diperbaiki, ada tambahan berikut: …. tidak punya anak “tapi meninggalkan suami dan ibu”.Tentang porsi 2:1 antara bagian laki-laki dan perempuan: Pengadilan Agama selama ini masih melakukan pembagian waris antara laki-laki dan perempuan 2:1. Praktek dalam masyarakat pada umumnya harta peninggalan dibagi secara merata antara laki-laki dan perempuan. Mengenai wasiat yang menyimpang dari ketentuan hukum Islam: Pengadilan Agama belum pernah menangani kasus seperti ini. Adapun praktek dalam masyarakat, hal itu bisa saja terjadi tanpa sepengetahuan Pengadilan Agama. Sementara hibah dihitung sebagai waris: dalam masyarakat Jawa, hibah telah menjadi bagian dari pembagian waris. Demikian pula penanganan waris yang tak sesuai dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam ada kasus rencana pembagian waris kepada non muslim dibawa ke Pengadilan Agama, tetapi Pengadilan Agama menetapkan bagi yang non muslim tak dapat waris. Sementara itu Pengadilan Agama pernah menyelesaikan sengketa pembagian harta waris secara suka rela, tetapi kemudian ada salah seorang anak yang berupaya menguasai harta, lalu anak yang lain menggugat. Dalam menangani kasus semacam itu Pengadilan Agama mendamaikan pembagian harta waris secara hukum Islam. Dalam pembagian harta waris berupa tanah kurang dari dua hektar: di wilayah Kota Yogyakarta sampai saat ini belum pernah terjadi pembagian harta waris dengan jumlah seperti itu. 136 Tetapi jika suatu saat ada kasus demikian, PA akan melakukan pembagian sesuai ketentuan Kompilasi Hukum Islam. Tentang kewarisan anak di luar perkawinan (Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam): Dalam kasus seperti itu, bapak tak dapat mewariskan. Jika terjadi kasus seperti itu, Pengadilan Agama memproses sesuai ketentuan dalam Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam, yang pada prinsipnya anak tersebut hanya saling mawaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibu.13 III. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Perbedaan Hukum Waris dengan Kompilasi Hukum Islam cukup mendasar dan bisa sangat prinsil. Sementara itu Kompilasi Hukum Islam dikesankan oleh para ulama di Yogyakarta sebagai elitis, karena hanya melibatkan ulama-ulama besar dan akademisi yang pemahamannya tentang hukum waris bisa berbeda dengan para ulama. 2. Selama ini menurut Ulama Yogyakarta tidak pernah melakukan sosialisasi Kompilasi Hukum Islam di sekitar wilayah Yogyakarta, kecuali para mahasiswa yang sedang mengenyam pendidikan tinggi . 3. Perbedaan pemahaman Fiqh Waris dan Kompilasi Hukum Islam juga memiliki perbedaan mendasar antara ulama Yogya dengan rumusan Kompilasi Hukum Islam yang disusun oleh elit agama dan akademisi 4. Sebagian ulama Yogyakarta menghendaki agar waris dikembalikan ke hukum waris dalam Ilmu Faroid yang sudah dikenal dalam Fiqh Waris berabad-abad yang lalu. 13 Hakim Agama pada Pengadilan Agama Yogyakarta, Wawancara tahun 2009. 137 Sementara itu sebagian lagi menghendaki agar penyelesaian harta waris sesuai dengan tradisi lokal; 5. Penyelesaian masalah kewarisan yang ada di Yogyakarta selama ini diselesaikan secara mufakat dalam keluarga. Jarang yang menggunakan lembaga Pengadilan Agama. Masyarakat pada umumnya masih merasa malu dan tidak terhormat jika pembagian harta waris masuk ke pengadilan. Sebab terkesan berebut harta waris. B. Rekomendasi 1. Perbedaan Hukum Waris dengan Kompilasi Hukum Islam cukup mendasar dan bisa sangat prinsil harus dijembatani dengan sosialisasi. Adapun bentuk sosialisasi bisa dilakukan dengan dialog yang melibatkan para kyai dan para akademisi di daerah. 2. Sebagian ulama Yogyakarta menghendaki seluruh hal yang berkaitan dengan waris dikembalikan ke hukum waris dalam ilmu Faroid yang sudah dikenal dalam Fiqh waris berabad-abad. Sementara itu sebagian lagi menghendaki pembagian harta waris diselesaikan sesuai dengan tradisi lokal. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman H. SH, MH, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Penerbit Akadernika Pressindo, Jakarta, 1992, Cetakan pertama Al-Barmawi, Hasyi al-Allamat al Barmawi ‘ala mani Jami’ alJuwaini, Dari Ihya al-Kutub al Arrabiyah, tth, Jilid I. Ahmad Ahsan, The Early Development of Islamic Jurisprundence. Terjemahan Cyarmadi, Bandung Pustaka, 1984. 138 A. Pilio; Hukum Waris, 1997, Jakarta, Indonesia. Prof. Muh Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, PT Raja Presindo, Jakarta. H. Mahmud Yunus Prof.; Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemahan Penafsiran al-Qur’an, Jakarta. WJS Poerwadarminta; Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1976. Isnawati Rais, DR; Pemikiran Fiqh Abdul hamid Hakim, Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan haji Departemen Agama, Jakarta, 2005. Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al Manar) Beirut, Libanon Dar al Ma’rifah, 1993 m/1414 H. Jilid IX, hal. 421 dan 425. Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000 Sanafiah Faisal, “Varian-varian Kontemporer Penelitian Sosial” dalam Burhan Bungiin, Ed Metodologi Penelitian Kualitatif: Metodologi Penelitian Kearah Ragam Kontemporer, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004. Situs Pemerintah Kota Yogyakarta. 139 140 BAB VI RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA TERHADAP FIQH WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DI PROVINSI SUMATERA BARAT Oleh: Mazmur Sya’roni Imam Syaukani A. Gambaran Umum Provinsi Sumatera Barat S umatera Barat adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di bagian Barat Indonesia. Di provinsi inilah pusat etnis dan Tradisi Minangkabau tumbuh dan berkembang. Minangkabau terletak di daerah Pegunungan Sumatera Tengah bagian barat. Luas daerah Minangkabau kira-kira 18.000 mil persegi, atau sekitar 11% dari luas keseluruhan Pulau Sumatera. Minangkabau adalah suatu wilayah lingkungan adat yang terletak kira-kira di Provinsi Sumatera Barat. Dikatakan kira-kira, karena pengertian Minangkabau tidaklah persis sama dengan pengertian Sumatera Barat. Sebabnya ialah karena kata Minangkabau lebih banyak mengandung makna sosial kultural, sedangkan kata Sumatera Barat lebih banyak mengandung makna geografis administratif. Dengan demikian dapat dipahami bahwa Minangkabau terletak dalam daerah geografis administratif Sumatera Barat dan juga menjangkau keluar daerah Sumatera Barat yaitu ke sebagian Barat Daerah Geografis Administratif Provinsi Riau dan ke sebagian barat daerah geografis administratif Jambi. Masuknya kedua bagian itu ke dalam sosial kultural Minangkabau dapat diketahui bahwa mereka secara sosial dan budaya pada umumnya sama 141 dengan yang terdapat dalam masyarakat yang berada di Sumatera Barat.1 Adapun batas-batas wilayah Minangkabau secara lebih kongkrit adalah sebagai berikut: Sebelah utara sampai dengan Sikilang Air Bangis yaitu perbatasan dengan Sumatera Utara, sebelah timur sampai Teratak Air Hitam (Inderagiri); Sialang Balantai Besi (batas dengan Pelelawan); Tenggara sampai dengan Sipisak Pisau Hanyut, Durian ditekuk Raja, Tanjung Simaledu, yang ketiganya adalah bagian barat Provinsi Jambi. Selatan sampai dengan Gunung Patah Sembilan yaitu perbatasan Jambi. Barat sampai Laut Yang Sedidih yaitu Samudera Hindia.2 Alam Minangkabau secara tradisional terbagi ke dalam dua bagian, yaitu “darek” yang merupakan daerah pedalaman dan dataran tinggi, dan “rantau” yang merupakan daerah kawasan luar dan daerah pesisir. “Darek” adalah dataran tinggi yang dikelilingi oleh tiga gunung yaitu Gunung Merapi, Gunung Sago, dan Gunung Singgalang. Orang Minang meyakini bahwa sejarah etnik mereka bermula dari sebuah pemukiman di lereng gunung Merapi, dan dari sana mereka menyebar ke daerah sekitar yang disebut dengan “luhak dan tigo”, yaitu Luhak 50 (sekarang Kabupaten 50 kota), luhak Agam (Kabupaten Agam), dan luhak Tanah Datar (Kabupaten Tanah Datar).3 Amir Syarifuddin dalam bukunya Pelaksanaan Hukum Waris Islam dalam lingkungan Adat Minangkabau menjelaskan tentang pembagian wilayah Minangkabau kepada “darek” dan “rantau” sebagai berikut : 1 2 3 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Waris Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung. 1984. hlm. 122. Ibid. hlm. 122-123. Ismail. Hukum Waris Adat Minangkabau. hlm. 12-13. 142 1. Minangkabau asli yang oleh orang Minangkabau disebut “darek” yang terdiri dari tiga luhak yaitu: Luhak Agam, Luhak Tanah Datar, dan Luhak Lima Puluh Kota. 2. Daerah Rantau yang merupakan perluasan berbentuk koloni dari setiap luhak tersebut di atas yaitu: a. Rantau Luhak Agam yang meliputi dari pesisir barat sejak Pariaman sampai Air Bangis, Lubuk Sikaping dan Pasaman. b. Rantau Luhak Lima Puluh Kota yang meliputi Bangkinang, Lembah Kampar Kiri dan Kampar Kanan, dan Rokan. c. Rantau Luhak Tanah Datar meliputi Kubung Tigabelas, Pesisir Barat/Selatan dari Padang sampai Indrapura, Kerinci dan Muara Labuh.4 Dari gambaran di atas terlihat dengan jelas bahwa wilayah Minangkabau adalah wilayah Sumatera Barat yang ada saat ini dan terambil sedikit wilayah Provinsi Riau yaitu Kampar dan Indragiri serta sebagian kecil daerah Provinsi Jambi yaitu Kerinci. B. Adat Istiadat dan Praktik Kewarisan di Masyarakat Sumatera Barat 1. Adat Istiadat Minangkabau Minangkabau merupakan salah satu dari kelompok etnik-etnik besar yang ada di Indonesia, seperti Jawa, Sunda, Madura, Batak, dan sebagainya. Etnik Minang mempunyai kecenderungan pergi merantau, sehingga dengan demikian banyak orang Minang dapat dijumpai di berbagai daerah di Indonesia khususnya dan di berbagai belahan dunia lainnya. 4 Amir Syarifuddin. Op.cit. hlm. 123. 143 Setiap suku bangsa mempunyai aturan hidup dalam masyarakatnya. Dan setiap suku bangsa itu memiliki istilah sendiri-sendiri untuk menamai aturan hidup mereka. Manusia selaku makhluk sosial selalu ingin hidup bermasyarakat, agar segala kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi. Untuk memenuhi segala kebutuhan hidup itu diperlukan pedomanpedoman dalam bertingkah laku, yang akan mengatur kehidupan antarpribadi dengan pribadi yang lain dan pribadi dengan masyarakat lingkungannya. Pedoman-pedoman hidup itu dalam kehidupan masyarakat Minangkabau disebut dengan adat. Kata adat adalah sebuah kata serapan dari bahasa Arab, yang sekaligus sebagai bukti bahwa Islam sangat mewarnai budaya masyarakat Minangkabau. Sebelumnya istilah adat itu digunakan dengan istilah buek, cupak, limbago, gantang, undang-undang, dan lain-lain.5 Kata adat yang berasal dari bahasa Arab itu secara etimologi berarti kebiasaan yang berlaku berulang-ulang. Dalam bahasa Indonesia kata adat biasa dirangkaikan dengan kata istiadat yang juga berasal dari bahasa Arab dengan arti sesuatu yang dibiasakan. Rangkaian dari dua kata itu dalam pengertian Minangkabau berarti peraturan yang mengatur cara pergaulan antara masyarakat dengan perorangan serta pergaulan antara perorangan dengan sesamanya.6 Adat merupakan aturan bertingkah laku yang didasarkan kepada nilai-nilai kesusilaan, nilai-nilai agama dan nilai-nilai kesopanan. Nilai-nilai kesusilaan merupakan pedoman yang bersumber dari hati nurani manusia, nilai-nilai agama merupakan pedoman yang bersumber dari ajaran agama Islam yakni al-Quran dan Hadis, sedangkan nilai-nilai 5 6 Ismail. Op.cit. hlm. 16. Ibid. hlm. 15-17. 144 kesopanan merupakan pedoman yang kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat.7 bersumber dari Nilai-nilai dari ketiga unsur di atas telah menyatu dalam kehidupan masyarakat Minangkabau dan sekaligus telah menjadi peraturan yang tidak tertulis yang telah mengikat seluruh masyarakat Minangkabau dalam seluruh aspek kehidupannya. Adat sebagai pedoman bertingkah laku telah bersifat mengatur dan memaksa. Mengatur karena adat memberikan bimbingan kepada masyarakatnya untuk berbuat. Dan adat juga bersifat memaksa, karena bagi siapa saja yang tidak mengindahkan aturan adat akan terkena sanksi. Sanksi dari masyarakat lingkungannya baik berupa pengucilan dari pergaulan bersama, maupun berupa denda dalam bentuk pemotongan hewan seperti kambing atau sapi/kerbau sesuai dengan tingkat pelanggaran atas adat yang berlaku. Bahkan sampai kepada pengusiran atau pembuangan dari lingkungan dan tidak diperkenankan lagi bergaulan dengan masyarakat adat setempat. Aturan-aturan yang tidak tertulis itu (adat) ternyata sampai sekarang masih mampu untuk mengatur masyarakatnya. Dengan kata lain masyarakat Minangkabau sampai saat ini masih terikat kuat dan mematuhi adat istiadatnya. Walaupun di sisi lain pemerintah telah membuat berbagai peraturan perundangan untuk menciptakan ketertiban dan ketenteraman di tengah-tengah masyarakat. Tetapi aturanaturan tidak tertulis (adat) tersebut belum dapat dikesampingkan begitu saja dalam kehidupan masyarakatnya. Hubungan kekerabatan dalam adat Minangkabau adalah berbentuk matriarchaat. Artinya bahwa garis keturunan dihitung dari garis ibu, pihak suami tidak diperhitungkan dalam menentukan garis keturunan. Seluruh anak-anak 7 Ibid. hlm. 18. 145 dibesarkan di rumah keluarga ibunya. Para suami pun tinggal di rumah isterinya. Kesatuan atas dasar keturunan itu disebut “suku”. Orang-orang yang berada dalam satu kesatuan suku itu meyakini bahwa mereka berasal dari ibu yang sama yaitu ibu yang mula-mula datang ke tempat itu untuk membangun kehidupan. Kemudian ibu asal beranak dan bercucu. Rumah yang mula-mula dibangun di tempat itu tidak dapat lagi menampung seluruh keluarga. Kemudian si cucu yang tidak mempunyai tempat lagi di rumah asal mendirikan rumah baru di sekitar rumah asal itu. Si cucu pun kemudian berkembang biak dan membutuhkan rumah tempat keluarga yang sudah berkembang itu. Dengan demikian terdapat sejumlah rumah di sekeliling rumah asal itu yang anggota-anggotanya bila ditelusuri ke atas secara garis keibuan ternyata mereka berasal dari ibu yang mula-mula mendiami rumah asal. Oleh karena itu semua keluarga yang tinggal di lingkungan itu merasa bersaudara dan terikat dalam satu kesatuan yang disebut “suku”. Dengan demikian kesatuan suku mengandung arti keturunan atau geneologis.8 Namun demikian bukan berarti bahwa yang menjadi pemimpin di lingkungan suku itu juga perempuan. Tetap yang ditunjuk untuk memimpin suku adalah anak laki-laki dari suku itu. Begitu juga yang akan menjadi pemimpin dalam suatu nagari (kumpulan dari suku-suku) juga dipilih dari anak laki-laki. Pemimpin suku itu disebut dengan “penghulu”. Apabila penghulu itu meninggal dunia dia akan digantikan lagi oleh anak laki-laki dari lingkungan kerabat suku itu, seperti adik dari penghulu yang meninggal atau anak laki-laki dari saudara perempuan dari penghulu yang meninggal itu. Dan begitu seterusnya secara turun temurun. 8 Amir Syarifuddin. Op.cit. hlm. 186. 146 Di dalam suatu nagari (desa/kelurahan) biasa terdapat sejumlah suku dengan nama-nama tertentu, seperti Budi (suku Budi), Caniago (suku Caniago), Koto, Piliang, Sikumbang, Tanjung, Pagarcancang, Jambak, dan sebagainya. Setiap suku tersebut dipimpin oleh seorang Penghulu. 2. Praktik Kewarisan Secara garis besarnya di dalam Adat Minangkabau harta pusaka itu terbagi kepada dua bagian, yaitu “harta pusaka tinggi” dan “harta pusaka rendah”. Harta pusaka tinggi itu ada juga yang menyebutnya dengan “harta tua”. Perbedaan penamaan tinggi dan rendah itu terletak pada waktu terjadinya harta itu. Menurut Hamka pusaka tinggi ialah pusaka yang “didapat dengan tembilang besi, pusaka rendah didapat dengan tembilang emas”.9 Tembilang besi maksudnya harta yang diperoleh secara turun temurun dari orang-orang terdahulu. Tembilang emas maksudnya hasil jerih payah sendiri. Selain dari itu ada juga yang menyebutnya dengan “harta bersama”, artinya harta yang diperoleh selama hidup berumah tangga. Bukan harta hasil warisan dari orang tua atau pun pemberian orang lain. Pusaka rendah dapat menjadi pusaka tinggi, sedang pusaka tinggi tidak dapat menjadi pusaka rendah, kecuali bila adat itu sudah tidak berdiri lagi. Menurut Hamka “faraidh tidak dapat masuk kemari”.10 Karena “harta pusaka tinggi” tidak dapat dibagi-bagi, tetapi diwariskan secara turun temurun kepada anak kaum (suku) tersebut. Kaum hanya dapat mengambil manfaat atau hasilnya saja dari harta peninggalan itu. Harta pusaka tinggi ialah harta yang sudah dimiliki keluarga hak penggunaannya secara turun temurun dari beberapa 9 10 Hamka. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1984, hlm. 96. Ibid. 147 generasi sebelumnya sehingga bagi penerima harta itu sudah kabur asal usulnya. Sedangkan yang dimaksud dengan harta pusaka rendah adalah harta yang dipusakai seseorang atau kelompok, yang dapat diketahui secara pasti asal-usul harta itu. Ini dapat terjadi bila harta itu diterimanya dari satu angkatan di atasnya seperti ayah atau mamaknya; begitu pula dari dua tingkat di atasnya yang masih dapat dikenalnya, seperti ninik…, harta itu didapatnya melalui usahanya sendiri” 11 Menurut Amir Syarifuddin, yang menjadi penyebab kaburnya asal-usul harta pusaka tinggi itu adalah karena dua hal. Pertama, karena sudah begitu jauh jarak antara adanya harta itu dengan pihak yang sedang mengusahakannya hingga tidak dapat lagi diperhitungkan dengan tahunan. Kedua, karena harta itu sudah bercampur baur dengan sumber lain yang datang kemudian. Menurut adat Minangkabau, harta yang diperoleh suatu kaum atau salah seorang dari anggota kaum dengan cara apa pun, sesudah diturunkan satu kali, harta itu akan bergabung dengan sendirinya dengan harta pusaka yang diterima dari generasi sebelumnya. Sebagai contoh, seseorang yang mendapatkan harta dari hasil usahanya sendiri (harta pusaka rendah), dia berhak mendapatkan manfaat dari harta itu untuk kepentingan sendiri bersama anak cucunya. Tapi bila dia telah meninggal dan harta tersebut diwarisi secara tidak berbagi oleh para ahli warisnya, maka harta itu akan digabungkan dengan harta pusaka tinggi (harta tua). Harta pusaka rendah itu akan berubah fungsi menjadi harta pusaka tinggi. Hal tersebut dapat terjadi berulang-ulang dan secara turun temurun, sehingga harta-harta pusaka rendah itu setiap generasi akan berbaur terus dengan harta pusaka tinggi. 11 Ibid. hlm. 216-217. 148 Hamka dalam bukunya “Islam dan Adat Alam Minangkabau” yang membicarakan tentang keelokan adat Minangkabau, tetapi juga sekaligus sebagai kritik beliau terhadap adat Minangkabau. Dia mengatakan bahwa “harta pusaka rendah apabila sudah sekali turun, naik dia menjadi harta pusaka tinggi.12 Jadi, harta pusaka tinggi itu secara logika lama kelamaan akan selalu bertambah, karena dalam adat harta pusaka tinggi itu pada prinsipnya tidak boleh diperjualbelikan, seperti yang tertuang dalam satu ungkapan sebagai berikut: “dijual tidak, dimakan dibeli, digadai tidak, dimakan sando”. Artinya “dijual tidak” ialah tidak boleh diperjual belikan, “dimakan dibeli” artinya untuk kebutuhan hidup sehari-hari harus dicari dengan usaha sendiri, di antaranya dengan cara membeli, “digadai tidak”, artinya harta yang ada harus tetap dipertahankan dan tidak boleh digadaikan atau dipindahtangankan, “dimakan sando” artinya harta yang ada harus dihemat sedemikian rupa sehingga tidak dengan mudah untuk menghabiskannya. Dari ungkapan tersebut dapat dipahami bahwa anak cucu dari suatu keluarga harus selalu berusaha untuk menambah dan memperbanyak hartanya dan tidak boleh ada yang berpikiran dan berusaha untuk menguranginya.13 Hukum adat Minangkabau mempunyai asas-asas tertentu dalam kewarisan. Asas-asas itu banyak bersandar kepada sistem kekerabatan dan kehartabendaan, karena hukum kewarisan suatu masyarakat ditentukan oleh struktur kemasyarakatan. Adat Minangkabau mempunyai pengertian tersendiri tentang keluarga dan tentang cara-cara perkawinan. Dari kedua hal itulah muncul ciri khas struktur kekerabatan 12 13 Ibid. hlm. 96. Ibid. hlm. 98. 149 dalam adat Minangkabau, yang menimbulkan tersendiri pula dalam hukum kewarisannya. bentuk Amir Syarifuddin menjelaskan ada 3 asas pokok dalam hukum kewarisan dalam adat Minangkabau: 1. Asas unilateral, yaitu hak kewarisan hanya berlaku dalam satu garis kekerabatan, dan satu garis kekerabatan di sini ialah garis kekerabatan melalui ibu. 2. Asas kolektif, yaitu bahwa yang berhak atas harta pusaka bukanlah orang perorang, tetapi suatu kelompok secara bersama-sama. Berdasarkan asas ini maka harta tidak dibagi-bagi dan disampaikan kepada kelompok penerimanya dalam bentuk kesatuan yang tidak terbagi. 3. Asas keutamaan, yaitu bahwa dalam penerimaan harta pusaka atau penerimaan dalam peranan untuk mengurus harta pusaka, terdapat tingkatan-tingkatan hak yang menyebabkan satu pihak lebih berhak dibandingkan dengan yang lain, dan selama yang lebih berhak itu masih ada maka yang lain belum dapat menerimanya. Kekerabatan dalam adat disebabkan karena bertali darah (dilihat dari garis ibu), bertali adat (satu suku), dan bertali emas (orang yang tidak bertali darah dan bertali suku tapi atas kehendaknya ingin masuk ke dalam suatu suku tertentu).14 Persoalan harta pusaka di Minangkabau telah menjadi perdebatan panjang di kalangan tokoh-tokoh masyarakat Minangkabau sendiri. Mulai dari Ahmad Khatib (1852-1915) yang mengatakan bahwa “harta pusaka di Minangkabau adalah harta haram dan proses pewarisannya secara adat adalah bertentangan dengan agama Islam”. Haji Abdul Karim Amarullah (1879-1949) yang semula beliau sependapat dengan 14 Amir Syarifuddin. Op.cit. hlm. 231-236. 150 Ahmad Khatib, tapi kemudian beliau mencoba memilah harta di Minangkabau menjadi dua bagian yaitu harta pusaka tua yang tidak diketahui asal usulnya dan harta pencarian yang dibagi secara Islam (faraidh). Begitu juga pendapat tokoh-tokoh Minangkabau lainnya seperti HAMKA yang juga banyak mengeritisi cara-cara pembagian harta pusaka di Minangkabau, dan yang terakhir seperti Amir Syarifuddin yang berpendapat agak lebih lentur. Pada tahun 1952 di Bukittinggi diadakan pertemuan antara ninik mamak (tokoh adat), alim ulama (tokoh agama), dan cerdik pandai (cendekiawan), dan Seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang pada tahun 1968 yang membahas tentang persoalan harta pusaka di Minangkabau. Dari hasil-hasil pertemuan tersebut semakin terkuak juga persoalan harta pusaka di Minangkabau, di mana antara harta pusaka tinggi (pusaka tua) yang telah diwarisi oleh kaum (bukan perorangan) secara turun temurun dan harta pencarian seseorang, terdapat kesepakatan untuk memisahkan antara kedua macam harta tersebut. Dalam kesepakatan tersebut ditetapkan bahwa harta pusaka tinggi tetap diwariskan secara turun temurun dari kaum ke kaum. Sedangkan harta pencarian sendiri (harta pusaka rendah) dibagi menurut hukum faraidh.15 Dalam penyelesaian perkara bila terjadi perselisihan dalam persoalah harta pusaka tersebut, maka persoalan harta pusaka tua, perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri. Sedangkan penyelesaian perkara harta pusaka rendah dilimpahkan ke Pengadilan Agama. 15 Ibid. 265. 151 C. Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap Kompilasi Hukum Islam 1. Pengetahuan tentang Kompilasi Hukum Islam Penelitian ini berupaya mengungkapkan tiga strata pemahaman informan tentang pelaksanaan hukum waris di Sumatera Barat, yaitu strata pengetahuan (kognisi), penilaian (afeksi), dan perilaku (psikomotorik). Pada strata pengetahuan, pertanyaan pertama yang diberikan kepada para informan yang terdiri atas para ulama lokal dan hakim agama adalah apakah mereka mengerti tentang Kompilasi Hukum Islam? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut secara garis besar terbagi tiga, yaitu mereka yang menjawab tidak tahu atau tidak mengerti, mengerti tapi sedikit atau sudah banyak yang lupa, dan mengerti atau paham. Mereka yang menjawab tidak tahu adalah para ulama lokal yang murni berpendidikan pesantren tradisional, sedangkan yang menjawab mengerti tapi sedikit adalah para ulama lokal yang pernah mengenyam pendidikan formal di Perguruan Tinggi Agama. Mereka mengaku pernah mempelajari Kompilasi Hukum Islam pada saat aktif kuliah tetapi tidak diteruskan kembali secara intensif. Adapun yang menjawab mengerti atau paham adalah para ulama yang berasal dari kalangan akademisi dan para Hakim Agama, baik di kalangan Pengadilan Agama Kota Padang, Payakumbuh, dan Kab. 50 Kota maupun Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Barat. Mengapa mereka tidak mengerti? Banyak faktor, di antaranya faktor dominannya tradisi pewarisan harta pusaka berdasarkan Adat Minangkabau dan kurangnya sosialisasi Kompilasi Hukum Islam yang dilakukan oleh instansi terkait, seperti Kementerian Agama, Pengadilan Agama, dan Pemerintah Daerah. Faktor dominannya tradisi pewarisan harta pusaka berdasarkan adat Minangkabau didasarkan fakta 152 bahwa tidak banyak sengketa waris yang diajukan di Pengadilan Agama. Pemantauan lapangan di Pengadilan Agama Kota Padang mengungkapkan bahwa dari rekapitulasi kasus yang masuk ke Pengadilan Agama pada tahun 2007 terungkap seluruhnya ada 585 kasus dan hanya 7 kasus yang terkait dengan masalah waris. Itupan hanya sebatas permohonan Penetapan Ahli Waris. Kasus yang diajukan di Pengadilan Agama Urusan Perceraian (501 kasus), anak angkat, isbath nikah. Penetapan Ahli Waris dimohonkan karena untuk mengurus pensiun, Taspen, pengambilan uang dari rekening pewaris yang ada di bank, dan untuk balik nama. Pada tahun 2008 terungkap seluruhnya ada 721 kasus dan hanya 8 kasus yang terkait dengan waris. Dari 8 kasus tersebut, 7 kasus terkait Penetapan Ahli Waris dan 2 sengketa waris dengan nomor registrasi No. 633/Pdt.G/2009/PA..Pdg tanggal 19 November 2008. Sidang pertama tanggal 1 Desember 2008. Kasus ini masih dalam proses penyelesaian. Dari 721 kasus, 700 kasus berbentuk gugatan dan 21 berbentuk penetapan. Pada tahun 2009 hingga pertengahan Mei (saat penelitian ini dilakukan) terungkap ada 357 kasus (319 kasus gugatan dan 38 kasus penetapan) dan hanya 8 kasus terkait waris, itupun hanya berbentuk Penetapan Ahli Waris. Ada 1 kasus gugatan waris dengan nomor registrasi No. 85/Pdt.G/2009/PA. Pdg tanggal 2 Februari 2009 dan sidang pertama tanggal 18 Februari 2009, tetapi gugatan dianggap kabur oleh hakim.16 Kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi pula di Pengadilan Agama Kab. 50 Kota. Pada tahun 2007 tercatat 261 perkara masuk ke Pengadilan Agama, tetapi hanya 3 perkara yang berkaitan dengan waris. Pada tahun 2008 tercatat 296 perkara masuk Pengadilan Agama, tetapi tidak satu pun 16 Penelusuran data dan wawancara dengan para Hakim Agama PA Kota Padang. 153 perkara yang diputus terkait dengan waris. Sedangkan di Pengadilan Agama Kota Payakumbuh, pada tahun 2007 tercatat ada 394 perkara yang masuk ke Pengadilan Agama, tetapi hanya 3 perkara saja yang menyangkut waris. Pada tahun 2008, tercatat ada kenaikan perkara yang ditangani Pengadilan Agama, yakni sebanyak 487 perkara, di mana 5 di antaranya menyangkut waris. Dari 5 perkara tersebut, pada saat penelitian ini dilakukan, 2 perkara sedang dalam proses penyelesaian, sedangkan 3 perkara telah dicabut karena menempuh jalur damai.17 Sedangkan dari hasil rekapitulasi Pengadilan Tinggi Agama Provinsi Sumatera Barat, pada tahun 2008, tercatat ada 5.407 perkara yang masuk ke Pengadilan Agama seluruh Sumatera Barat. Dari sekian perkara tersebut, hanya 29 perkara saja yang menyangkut waris (20 perkara di antaranya sudah diputus). Jadi, tidak diragukan lagi bahwa pengajuan perkara waris memang relatif jarang di Pengadilan Agama di Sumatera Barat.18 Sedikitnya perkara waris yang masuk ke Pengadilan Agama menurut para Hakim Agama yang sempat diwawancarai terkait masalah masih teguhnya masyarakat Sumatera Barat memegang tradisi. Ada rasa malu bagi kaum lelaki Minangkabau mempersoalkan masalah harta waris ke Pengadilan. Mereka sepertinya menerima taken for granted tradisi Minangkabau yang tidak menempatkan lelaki sebagai salah satu pewaris utama dalam pembagian harta pusaka. Fenomena tersebut tentu amat menarik dicermati, sebab itu menunjukan bahwa mekanisme penyelesaian masalah di masyarakat Minangkabau masih berjalan secara efektif. 17 18 Penelusuran data dan wawancara dengan para Hakim Agama Pengadilan Agama Kab. 50 Kota dan Pengadilan Agama Kota Payakumbuh. Rekapitulasi data per 31 Desember 2008 oleh Pengadilan Tinggi Agama Provinsi Sumatera Barat. 154 Adapun faktor kedua, pemantauan lapangan menemukan fakta bahwa sosialisasi Kompilasi Hukum Islam sudah relatif jarang dilakukan oleh pihak Pengadilan Agama dan Kementerian Agama. Alasannya karena tidak ada lagi pos khusus di Pengadilan Agama yang dipergunakan untuk sosialisasi peraturan perundang-undangan. Jawaban yang sama juga diungkapkan oleh pihak Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sumatera Barat dan Kantor Kementerian Agama Kota Padang. Sosialisasi Kompilasi Hukum Islam hanya gencar dilakukan ketika peraturan itu baru diterbitkan, setelah itu prosentasenya mengalami penurunan yang cukup drastis. Di Sumatera Barat tampaknya Kompilasi Hukum Islam tidak menjadi kesadaran hukum masyarakat, kecuali para Hakim Agama yang memang menggunakannya untuk memutuskan perkara. 2. Perbedaan Kompilasi Hukum Islam dengan Fiqh Waris Islam Pertanyaan selanjutnya terhadap para informan, terutama kepada mereka yang menguasai Fiqh Waris dan mengetahui Kompilasi Hukum Islam adalah, apakah perbedaan mendasar antara fiqh waris dengan Kompilasi Hukum Islam, apakah perbedaan itu saling menafikan atau malah saling mendukung, dan apakah Rumusan Hukum Waris dalam Kompilasi Hukum Islam cukup dapat mencerminkan rasa keadilan masyarakat? Para informan menjelaskan bahwa perbedaan yang mencolok sebetulnya tidak ada tetapi memang ada pengaturan hukum waris dalam Kompilasi Hukum Islam yang tidak lazim dalam madzhab Syafi`i, seperti: Pertama, Pembagian Warisan dengan Cara Damai. Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya. Cara ini 155 dimungkinkan karena adanya kebiasaan yang terjadi dan dipraktikkan berulang-ulang dan dianggap baik dalam masyarakat. Secara teknis, kebiasaan ini dalam terminologi fiqih disebut `urf atau adat. Kata `urf yang seakar kata dengan kata ma`ruf artinya baik. Jadi sesungguhnya, jika penggunaan bahasa di sini konsisten, tidak dikatakan `urf kalau tidak membawa manfaat atau kebaikan bagi masyarakat. Di kalangan ulama dikenal satu kaidah hukum al-`adatu muhakkamah (adat kebiasaan dapat dijadikan hukum). Perdamaian (dalam al-Quran, as-sulh: QS. An-Nisa: 128, alAnfal: 1, al-Hujurat: 9-10) efektif untuk meredam terjadinya konflik intern keluarga akibat pembagian harta benda (warisan) tersebut. Umar bin Khathab r.a. mengatakan: “Ruddu al-qadha bayna dzawi al-arham hatta yastalihu fa inna fasl al-khithab yuris al-daghain (kembalikan penyelesaian perkara di antara sanak keluarga sehingga mereka dapat mengadakan perdamaian, karena sesungguhnya penyelesaian Pengadilan itu menimbulkan rasa tak enak)”. Perdamaian dapat dilakukan dengan cara: selesaikan menurut ketentuan faraid, baru setelah itu masing-masing pihak berdamai, untuk menentukan penerimaan sesuai dengan kondisi perekonomian mereka masing-masing. Kiranya lebih bijaksana apabila seorang anak laki-laki yang ekonominya telah mapan, setelah ia menerima bagian warisan, memberikan kepada saudaranya yang perempuan, lebih-lebih jika ekonominya masih kekurangan. Kedua, Pembagian Kedudukan, Mawali (Plaatsvervullings). Model Ahli Waris Pengganti diatur dalam pasal 185 Kompilasi Hukum Islam: (1) Ahli Waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173, dan (2) Bagian Ahli Waris Pengganti tidak boleh melebihi dari bagian Ahli Waris yang sederajat dengan yang 156 diganti. Secara konsepsional, konsep penggantian kedudukan atau mawali mirip dengan fiqih Syiah, yang menempatkan cucu garis perempuan sebagai Ahli Waris. Dari satu sisi pemberian bagian kepada ahli waris dzawi al-arham, dekat dengan wasiat wajibah dalam hukum waris Mesir, Syria, dan juga Maroko. Akan tetapi, dalam Kompilasi Hukum Islam diperkecil lingkupnya sehingga wasiat wajibah hanya diberikan kepada orang tua dan atau anak angkat. Dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan: “(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya; (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi Wasiat Wajibah sebanyak-sebanyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. Penciutan ruang lingkup wasiat wajibah ini kelihatannya, karena dalam Kompilasi Hukum Islam telah mengakomodasi cara pemberian bagian warisan perdata, yang disebut plaatsver-vullings. Yang jelas, baik penggantian kedudukan maupun Wasiat Wajibah dimaksudkan untuk mengatasi Ahli Waris dzawi al-arham yang dalam Fiqh Sunni tidak mendapat bagian warisan, selama Ahli Waris ashab alfurudh. Ketiga, Pembagian Warisan Ketika Pewaris Masih Hidup. Pasal 187 Kompilasi Hukum Islam menyatakan: “(1) Bilamana pewaris meninggalkan harta peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnya atau oleh para Ahli Waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana pembagian warisan dengan tugas: (a) mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak yang kemudian disahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang; (b) menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai dengan 157 pasal 175 ayat (1) sub a, b dan c; (2) Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada Ahli Waris yang berhak. Dirinci lagi dalam pasal 188: “Para ahli waris, baik secara bersama-sama atau perorangan dapat mengajukan permintaan kepada Ahli Waris yang lain untuk melakukan pembagian warisan. Bila ada di antara Ahli Waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan”. Prinsipnya pembagian warisan semacam ini didasarkan pada musyawarah antara Ahli Waris yang berhak mewarisi. Ini sejalan dengan cara yang pertama, yaitu pembagian dengan cara damai. Keempat, Sistem Kewarisan Kolektif. Dinyatakan dalam pasal 189 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut: “(1) Bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari dua hektar supaya dipertahankan sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan; (2) Bila ketentuan pada ayat (1) pasal ini tidak memungkinkan karena di antara ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing, dengan cara yang memiliki lahan menggantikan atau memberikan kompensasi sebesar atau senilai bagian ahli waris yang membutuhkannya”. Sepanjang cara penyelesaian tersebut tidak menimbulkan kerugian pada sebagian ahli waris, dapat dilaksanakan dan dalam batas-batas tertentu dapat dianalogikan dengan sistem adat Minangkabau. Di Minangkabau, dikenal dua macam harta pusaka, yaitu harta pusaka rendah dan harta pusaka tinggi. Harta pusaka rendah yang diwarisi oleh anak turun dari garis ibu. Harta pusaka tinggi adalah harta benda yang sudah diwarisi turun-menurun 158 dan merupakan milik dari famili besar sebagai kesatuan dan diurus atas nama keluarga besar oleh kepala dari famili yang disebut Penghulu Andiko. Jadi, pembagian warisan dengan sistem kolektif tersebut lebih didasarkan pada musyawarah keluarga. Secara metodologis langkah ini dapat ditempuh dengan metode istihsan, yaitu meninggalkan ketentuan umum memilih ketentuan khusus, karena ada pertimbangan kemaslahatan yang lebih besar. Dalam perspektif Fiqih, cara ini adalah realisasi dari konsep bai’ syufah, yakni jual beli dengan mengutamakan saudara atau tetangga dekat, sebagai orang yang lebih dahulu berhak untuk membelinya. Kelima, Harta Bersama atau Gono-Gini. Cara pembagian gono-gini dilaksanakan sebelum harta warisan dibagi kepada ahli waris lain. Harta warisan dibagi dua atau lebih menurut jumlah isteri yang ada, sebanding dengan durasi waktu lamanya masing-masing isteri mengarungi bahtera perkawinan dengan pewaris (suaminya), baru setelah itu dibagi kepada ahli waris lain. Dalam waris 190 Kompilasi Hukum Islam disebutkan: “Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya”. Gagasan harta bersama yang diperkenalkan Kompilasi Hukum Islam, kelihatannya belum dibicarakan dalam kitab-kitab fiqih. Kelihatannya pembagian warisan harta bersama ini diakomodasi dari hukum adat yang berlaku di masyarakat, yang dikenal dengan gono-gini. Istilah gonogini telah dikenal di Jawa Timur, sebagai harta campur kaya, yang di Jawa Barat disebut dengan guna-kaya, di Minangkabau disebut harta-suarang dan di Aceh disebut hareuta seuhareukat. Harta gono-gini ini adalah harta kekayaan yang diperoleh oleh suami-isteri selama berlangsungnya perkawinan di mana kedua-duanya bekerja untuk 159 kepentingan hidup berumah tangga. Bekerja ini hendaknya diartikan secara luas, hingga seorang isteri yang pekerjaannya tidak nyata-nyata menghasilkan kekayaan, seperti memelihara dan mendidik anak-anaknya, dianggap sudah bekerja. Dan harta kekayaan yang diperoleh secara kongkret oleh suami, menjadi milik bersama.19 Para informan pada dasarnya menyambut baik pengaturan baru tersebut. Dengan pengaturan baru di atas diharapkan asas kepastian hukum yang menjamin terciptanya rasa keadilan masyarakat bisa terwujud. Harapan tersebut tentu harapan setiap orang yang berperkara di Peradilan Agama. Namun yang juga tidak kalah penting, perlu juga disadari bahwa Kompilasi Hukum Islam hanya merupakan hasil ijtihad para ulama di Indonesia pada satu masa tertentu. Sebagai sebuah hasil ijtihad maka rumusan hukum dalam Kompilasi Hukum Islam tidaklah final. Masih ada peluang bagi umat Islam untuk mengkritisi dan melakukan perbaikan terhadap rumusan hukum tersebut, sebab bisa jadi sebuah hasil ijtihad itu relevan pada satu masa dan tempat tertentu tetapi tidak relevan pada satu masa dan tempat yang lain. Berikut disajikan beberapa komentar terkait Kompilasi Hukum Islam yang disuarakan oleh para ulama dan hakim agama. Sedikitnya perkara harta waris di Payakumbuh khususnya dan Sumbar pada umumnya, bukan berarti masyarakat Minangkabau tidak melaksanakan pembagian hukum waris berdasarkan Kompilasi Hukum Islam, tetapi pada umumnya karena mereka lebih banyak menyelesaikannya melalui mufakat antara keluarga yang ada. Seperti yang terjadi di Kecamatan Maninjau di Kabupaten Agam 19 Bandingkan dengan Ahmad Rofiq. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media. 2001. hlm. 114-123. 160 (Desa Guguk Tinggi),20 mereka pada umumnya melaksanakan pembagian waris secara Kompilasi Hukum Islam/faraidh. Dan dilaksanakan dengan musyawarah mufakat saja antara para ahli waris, setelah terlebih dahulu mereka meminta fatwa kepada Pengadilan Agama atau kepada ulama setempat tentang cara-cara pembagiannya dan besaran bagian masingmasing. Kemudian setelah itu mereka laksanakan sendiri tanpa pergi lagi ke Pengadilan Agama. Sedikitnya perkara yang masuk ke Pengadilan Agama juga karena pengaruh mediasi yang dilakukan PA atau orangorang Pengadilan Agama yang tinggal di tengah-tengah masyarakat. Mereka memberikan nasihat-nasihat dan petunjuk-petunjuk bagaimana cara-cara pembagian harta waris yang benar dan baik. Di samping itu juga karena faktor adat setempat. Pada umumnya masyarakat Minangkabau merasa malu diketahui orang kalau mereka berperkara ke Pengadilan Agama. Penetapan dari Pengadilan Agama tentang anak angkat sudah pernah ada, tapi penetapan ketentuan waris menurut Kompilasi Hukum Islam terhadap anak angkat belum pernah ada. Bila ada keinginan yang berperkara untuk melaksanakan pembagian waris berdasarkan kesepakatan (terutama setelah dilakukan mediasi) antara para ahli waris yang tidak sesuai dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam/Faraidh, maka kesepakatan tersebut tidak diputuskan oleh Pengadilan Agama tetapi atas kemauan bersama antara sesama para ahli waris. Persoalah pembagian harta yang banyak muncul adalah masalah pembagian harta suami isteri yang bercerai (pembagian harta bersama). Pada prinsipnya menurut Kompilasi Hukum Islam harta bersama dibagi dua antara suami dan isteri yang bercerai, baik harta bersama itu yang 20 Masyarakat Desa Guguk Tinggi pada umumnya para pedagang dan secara lebih khusus lagi mereka itu pada umumnya para pedagang emas di pasar Bukittinggi. 161 masih tertinggal atau dalam bentuk utang piutang (dibagi bersama). Tetapi kenyataan di Minangkabau sering terjadi penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan tersebut. Antara lain suami hanya mendapat 1/3 bagian atau ¼ bagian dari harta bersama itu, dengan alasan yang khas diwarnai oleh budaya Minangkabau, bahwa pada umumnya anak-anak tinggal bersama ibu. Oleh karena itu pihak isteri menuntut lebih banyak dengan alasan meminta tambahan biaya untuk anak-anak. Bahkan ada suami yang tidak mendapat sama sekali harta bersama itu, bila harta itu dalam bentuk bangunan yang letaknya di tanah pusaka isterinya. Karena itu pada umumnya harta itu akan jatuh menjadi hak isteri dan anakanaknya. Menurut Buya H. Sya’rani Khalil (84 tahun), pimpinan Pesantren Al-Manaar Batuhampar dan sebagai seorang ulama di Kabupaten 50 Kota, sepanjang pengetahuan beliau hampir tidak pernah terjadi perkara dalam persoalan harta pusaka (harta waris) di desa tempat beliau tinggal. Masalah harta pusaka tinggi pernah terjadi satu kali perkara ke Pengadilan Negeri, dan tentang masalah harta pusaka rendah pernah terjadi pula satu kali seseorang meminta fatwa kepada ulama setempat tentang persoalan wasiat seseorang kepada ahli warisnya. Dan sepanjang pengetahuan beliau masyarakat Batuhampar belum melaksanakan pembagian waris menurut ajaran Islam (faraidh) atau pun Kompilasi Hukum Islam (Karena Kompilasi Hukum Islam itu sendiri tidak dikenal masyarakat). Pada umumnya masyarakat hanya membagi harta waris (pusaka) menurut adat Minangkabau saja. Namun demikian masih ada segelintir orang yang membagi harta waris tidak menurut adat dan tidak pula sepenuhnya berdasarkan hukum Islam (termasuk Kompilasi Hukum Islam). 162 Ismail, Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Bukittinggi, mengatakan bahwa pembagian waris di Minangkabau tidak sepenuhnya dijalankan sesuai dengan Faraidh, namun semangat pembagiannya tetap mengacu kepada Kompilasi Hukum Islam/faraid. Dan kecilnya jumlah perkara tentang waris di Pengadilan Agama antara lain disebabkan: (a) Pengaruh kekerabatan. Hubungan kekerabatan dengan saudara, baik saudara sesama “ashabul furud”, maupun dengan kerabat yang berada di bawah naungan satu persukuan (fam). Sehingga mereka bila ada masalah yang menyangkut harta waris, mereka cenderung untuk menyelesaikannya dengan jalan musyawarah mufakat. Dan karena faktor kekerabatan itu pula mereka juga ada rasa malu diketahui masyarakat bahwa mereka berperkara ke penggadilan dalam persoalan harta waris; (b) Hak milik masyarakat tersebut jumlahnya tidak besar. Jumlah atau nilai harta yang akan diperkarakan itu tidak banyak, sehingga mereka juga berhitung-hitung laba ruginya berperkara itu. Janganjangan harta yang sedikit itu nantinya habis untuk biaya perkara saja. Sehingga keuntungan yang akan diperoleh dari perkara itu tidak ada. Di samping itu masyarakat Minangkabau yang berada di Sumatera Barat, pada umumnya mata pencaharian mereka dengan bertani atau berdagang. Bagi mereka berperkara itu sama saja dengan membuangbuang waktu dan membawa kerugian belaka; dan (c) Rasa malu. Masyarakat Minangkabau pada umumnya memiliki rasa malu yang tinggi, terutama dalam hal-hal yang berhubungan dengan masalah kepribadian. Pada umumnya bila ada masalah-masalah yang muncul dalam keluarga, mereka tidak ingin diketahui oleh orang lain. Karena bila hal itu diketahui oleh orang lain, mereka khawatir hal itu akan jadi perbincangan dalam masyarakat luas. Berperkara ke pengadilan dalam persoalan apa saja bagi mereka sedapat mungkin dihindari. Itulah sebabnya jarang muncul ke 163 permukaan tentang masalah waris tersebut. Persoalahpersoalan yang muncul pun dalam masalah waris itu, biasanya kalau jumlah peninggalannya sangat besar dan peruntukkannya sangat tidak berkeadilan. Muslim Mulyani, dosen waris di STAIN Bukittinggi, mengatakan bahwa pembagian harta waris di Minangkabau berdasarkan Kompilasi Hukum Islam itu pada dasarnya sudah dilaksanakan, tetapi tidak tuntas dan tidak konsekuen (masih mendua). Menurut Muslim Mulyani ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian kita tentang Kompilasi Hukum Islam, antara lain Pasal 177, ayah mendapat 1/3 bila tidak ada anak. Itu tidak ada dasarnya. Hal itu juga dikatakan oleh Amir Syarifuddin. Beliau malah menduga bahwa ada kemungkinan salah ketik. Titik lemah dalam Kompilasi Hukum Islam menurut beliau adalah tidak adanya aturan tentang dzaw al-arham. Kerabat-kerabat yang terhijab karena ada “ashabul furud”, seperti kerabat dari pihak ibu. Sementara yang lain seperti anak angkat dan bapak angkat diatur dalam Kompilasi Hukum Islam ini. Semestinya Kompilasi Hukum Islam ini direvisi dan dibuatkan pasal yang mengatur tentang dzaw alarham itu. Menurut Salwi, hakim agama Kabupaten Payakumbuh, dengan adanya Kompilasi Hukum Islam ini berdampak kepada adanya harta “gono gini” dan hal itu bagi kaum lakilaki di Minangkabau menjadi ada harapan untuk memperoleh haknya. Karena menurut adat di Minangkabau kepemilikan harta itu lebih berpihak kepada kaum perempuan. Selanjutnya, status Kompilasi Hukum Islam sebaiknya ditingkatkan dari Inpres menjadi Undang-Undang atau setidak-tidaknya menjadi Peraturan Pemerintah. Karena Inpres tidak lagi termasuk dalam tata urutan peraturan perundangan. 164 3. Respon terhadap Beberapa Materi dan Praktik Kompilasi Hukum Islam Berikut akan disajikan respon yang dilakukan para ulama dan hakim agama di Sumatera Barat dalam menyelesaikan perkara waris, baik di masyarakat maupun di pengadilan. Tidak banyak para ulama yang dijadikan informan mengaku terlibat langsung dalam penyelesaian perkara waris, selain terkadang mereka tidak menguasai materi, jarang juga masyarakat menanyakan pada mereka. Penyelesaian di Masyarakat Beberapa contoh kasus yang terjadi dalam masyarakat antara lain adalah pembagian harta pusaka dengan cara damai dan ketika pewaris masih hidup. Dituturkan oleh Ketua Pengadilan Agama Kota Payakumbuh, bahwa kakeknya, Syekh Arsyad, pernah membagikan hartanya kepada ahli warisnya, sebelum beliau meninggal. Begitu juga M. Rahman, seorang guru dari suatu madrasah di Kota Payakumbuh, membagikan harta peninggalannya dalam bentuk wasiat tertulis kepada anak-anaknya. Wasiat tertulis itu dilaksanakan sepenuhnya oleh anak-anaknya. Kasus lainnya adalah H. Samah yang memiliki sejumlah sawah. Beliau mempunyai tiga orang anak laki-laki (Dura, Dt. Sinaro Kuning, dan Sayuthi). Ketiga orang ini adalah orangorang yang cukup alim. Beliau juga mempunyai 5 orang anak perempuan (Imas, Anir, Eri, Khairani, dan Khairiyah). Sawah tersebut diserahkan membaginya kepada salah seorang anaknya yang paling alim dan menjadi guru di Madrasah AlManaar (Dura). Ketentuan yang beliau tetapkan adalah bahwa sawah itu tidak dibagikan kepada ahli waris (tidak dipecahpecah), tetapi dengan cara mempergilirkan penggarapan sawah tersebut dengan ketentuan bagi yang laki-laki dua kali dan bagi yang perempuan satu kali. 165 Seorang ibu bernama Halimah, punya sawah sebanyak 4 petak dan mempunyai anak perempuan 4 orang, dan seorang cucu laki-laki. Ke 4 orang perempuan itu bernama Fatimah, Khadijah, Nurma, dan Rosma (biasa dipanggil uni). Sebelum meninggal si ibu membuat surat wasiat yang isinya ialah: setelah ia meninggal nanti, ke 4 petak sawahnya itu agar diberikan kepada anak perempuannya yang paling bungsu (yaitu Rosma). Setelah sang ibu meninggal, wasiatnya tidak dituruti oleh anak-anaknya yang lain dan cucunya. Persoalan tersebut akhirnya diadukan ke Majlis Ulama setempat. Oleh majlis ulama setempat wasiat itu pun ditolak secara lisan saja (surat keputusan tertulisnya tidak ada). Akhirnya ke 4 petak sawah itu dibagi masing-masing satu petak bagi ke 4 anak perempuan. Sementara cucunya tidak mendapatkannya. Pada hal dia sebenarnya berhak pula atas harta itu (selaku ashabah). Seorang ibu bernama Rosma. Memiliki harta yang cukup banyak. Beberapa puluh sertifikat tanah, beberapa buah rumah, beberapa buah bus angkutan umum, dan sejumlah harta kekayaan lainnya. Ibu tersebut mempunyai 3 orang anak : 2 orang laki-laki dan satu orang perempuan. Namanya secara berurut adalah: Eri, Zahriyah, dan Zahrul. Eri (yang tua) punya kebiasaan buruk, yaitu suka berjudi, sedangkan Zahrul bekerja di salah satu perusahaan yang cukup mapan, dan yang perempuan menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Setelah ibunya meninggal, Eri (yang tua) menghendaki harta orang tuanya itu dibagi menurut Faraid (2:1). Dan bagi Zahrul (si bungsu) mengikuti saja apa kemauan kakakkakaknya. Artinya dibagi rata boleh dan dibagi menurut faraid juga boleh. Sedangkan bagi yang perempuan menghendaki agar harta itu dibagi rata. Akhirnya sampai saat ini pembagian harta itu belum ada titik temu antara ketiga bersaudara itu. Karena pada dasarnya (kecuali bagi yang bungsu) menghendaki pembagian itu yang paling menguntungkan bagi mereka 166 masing-masing. Bagi yang tua menghendaki dibagi secara hukum Islam (faraid), sekalipun kelakuannya bertentangan dengan ajaran Islam. Bagi yang perempuan menghendaki dibagi rata, sekalipun harus melanggar ketentuan ajaran agama. Persoalan keluarga tersebut sampai sekarang belum mendapatkan kata putus, karena persoalan mereka tersebut tidak dibawa ke Pengadilan Agama. Mereka berusaha untuk menyelesaikannya secara kekeluargaan saja. Penyelesaian Waris di Peradilan Agama Menurut Ketua Pengadilan Agama Kota Payakumbuh, bahwa masalah yang muncul pada umumnya bukan pada ketentuan hukum warisnya atau “sengketa hukum” (seperti pembagian 2 : 1) tetapi lebih kepada persoalan “sengketa fakta” (klaim kepemilikian orang-orang yang berperkara pada harta yang ada). Pada umumnya para berperkara tidak mempersoalkan tentang ketentuan Hukum Waris seperti telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Beberapa perkara waris di peradilan, di antaranya terjadi di PA Kota Payakumbuh dengan Putusan Perkara No. 119/Pdt.G/ 2007/PA. Payakumbuh, tanggal 9 Agustus 2007 M bersamaan dengan 25 Rajab 1428 H. Kasus tersebut terjadi antara Rustam (78 tahun) dan Amli Darti (56 tahun). Rustam adalah anak dari Jannah dan Amli Darti adalah anak dari Eli, dan Eli anak dari Jannah (saudara perempuan dari Rustam). Amli Darti posisinya menurut Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai “ahli waris pengganti”. Jannah selaku pewaris meninggalkan 5 bidang tanah sebagai harta pusaka rendah, yang selama ini belum dibagi-bagi antara ahli waris. Keseluruhan harta waris itu saat ini dikuasasi seluruhnya oleh Amli Darti (selaku ahli waris pengganti) bersama anaknya. Rustam selaku ahli waris satu-satunya menuntut haknya ke Pengadilan Agama Kota Payakumbuh setelah upaya damai dan secara kekeluargaan yang dilakukannya dengan pihak 167 tergugat (Amli Darti) tidak memperoleh hasil kesepakatan. Akhirnya Pengadilan Agama mengabulkan tuntutan penggugat untuk membagi harta waris itu secara faraidh, di mana Rustam mendapat 2/3 dari harta yang ditinggal, dan Amli Darti (selaku ahli waris pengganti) mendapat 1/3 dari harta yang ditinggalkan. Selain itu kepada tergugat (Amli Darti) dibebankan untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.675.000,- (satu juta enam ratus tujuh puluh lima ribu rupiah). Kasus lain adalah Penetapan Pengadilan Agama Kota Payakumbuh No. 16/Pdt.P/2008/PA.Pyk, tanggal 2 April 2008. Kasus tersebut menyangkut sebidang tanah milik Rosmani. Ketika Rosmani meninggal dia belum pernah menikah, kedua orang tuanya telah meniggal terlebih dahulu, dan dia tidak pula mempunyai saudara kandung selaku ashab al-furudh. Dia hanya mempunyai 4 orang saudara sepupu (senenek) atau dzaw al-arham yaitu: 1) Dt. Patih Batudung (82 tahun), 2) Sofian (76 tahun), 3) Nurleli (60 tahun), dan Rustina (almarhum) yang meninggalkan 3 orang anak (ahli waris pengganti). Pengadilan Agama berdasarkan pasal 185 Kompilasi Hukum Islam dan ayat 75 surah al-Anfal, menetapkan ketiga orang tersebut di atas sebagai ahli waris dan ketiga anak dari Rustina sebagai ahli waris pengganti. Kasus lain, seorang laki-laki punya isteri dua. Isteri pertama meninggal dan meninggalkan beberapa orang anak. Kemudian kawin dengan isteri kedua, dan tidak punya anak. Ketika suami meninggal, harta peninggalan dikuasai seluruhnya oleh isteri kedua. Maka anak-anak dari isteri pertama mengadu ke Pengadilan Agama untuk meminta haknya. Pengadilan Agama memutuskan perkara berdasarkan Kompilasi Hukum Islam /Faraid. Kasus lain, Seorang laki-laki punya isteri 3 orang. Isteri I & II dikawini dengan tanpa surat pernikahan (karena kawinnya sebelum Undang-Undang Perkwinan ada. 168 Sedangkan isteri III dikawini setelah Undang-Undang Perkawinan ada, dan punya bukti surat nikah. Isteri I & II telah meninggal dan meninggalkan anak-anak. Dan isteri III masih hidup dan juga punya anak. Kemudian suami (laki-laki itu) meninggal, dan meninggalkan harta warisan yang cukup besar. Tetapi sebagian besar harta itu dikuasai oleh anak-anak dari isteri ke 2. Maka anak-anak dari isteri pertama dan isteri yang ketiga menuntut haknya (masih dalam proses pengadilan). Kasus lain, seorang perempuan mempunyai beberapa orang anak, dan seorang keponakan (anak dari adiknya). Keponakannya tersebut ketika masih hidup selalu menjaga dan membantu bibiknya. Sedangkan anak-anaknya tidak mau memelihara orang tuanya. Lalu bibiknya membuat surat hibah yang isinya menghibahkan seluruh hartanya kepada keponakannya. Ketika bibiknya meninggal dan pengadilan akan menerapkan surat hibah tersebut, keponakan dari bibinya tersebut menolak untuk dilaksanakan, karena ia tahu bahwa yang lebih berhak untuk menerima harta warisan itu adalah anak-anaknya. ANALISIS HASIL PENELITIAN A. Refleksi atas Tradisi Minangkabau Berdasarkan elaborasi di atas maka tampaknya sistem pembagian harta pusaka adat Minangkabau sedang dalam proses perubahan. Pada mulanya harta seorang laki-laki baik harta pusaka ataupun harta pencaharian diwariskan kepada kemenakan, atau keluarga nasab ibunya. Pada waktu itu lelaki tidak perlu bertanggung jawab atas anak dan isterinya, dan satu-satunya sumber ekonomi adalah harta pusaka. Amalan ini nyata bertentangan dengan hukum syara. Ketika sumber ekonomi telah bergantung kepada harta pencaharian, walau belum terlepas dari harta pusaka, dan kesadaran akan 169 tanggung jawab atas anak dan isteri sudah tumbuh, terjadilah pemisahan harta pencaharian dari harta pusaka. Harta pusaka tetap dibagi untuk keluarga garis ibu, dan harta pencaharian diberikan sebagian kepada anak dan sebagian untuk kemenakan. Perkembangan terakhir yang mulai dengan munculnya bentuk pencaharian yang benar-benar terlepas dari harta pusaka, akhirnya harta pencaharian telah banyak diwariskan kepada anak dan isteri. Sementara itu harta pusaka masih dibagi menurut hukum adat, dan sebagian ulama mempertahankannya dengan mengkiaskannya kepada harta milik bersama seperti wakaf dan lain-lain. Harta pusaka itu tidak sama dengan harta wakaf atau tanah Khaibar yang dikenakan kharaj, karena sebagian besar harta pusaka adalah harta pusaka rendah, yang berasal dari pencarian pribadi dan masih diketahui asal usulnya. Oleh karena itu harta pusaka tidak boleh dikecualikan dari kemestian diselesaikan dengan hukum faraidh. Hanya dalam penyelesaian harta pusaka tinggi dijumpai kesulitan, karena tidak diketahui dengan pasti pemilik sebenarnya harta itu. Dalam kasus seperti itu terlepas dari kesalahan orang tua dahulu, terpaksa diterima hukum adat dengan menganggap harta pusaka tinggi itu sebagai harta milik bersama anggota suku atau perut, atau rumah bila harta telah dibagi-bagi. Pembela hukum adat menyatakan bahwa harta pencaharian telah dibagi sesuai dengan hukum faraidh, namun pada kenyataannya belum demikian, khususnya di kampung-kampung. Harta pencaharian kebanyakan diwariskan kepada anak dan isteri saja secara kolektif, anak perempuan masih diutamakan, dan pewarisan kepada anak ini hanya terjadi untuk satu kali pewarisan. Adapun pewarisan selanjutnya dilakukan menurut hukum adat. Dasar unilateral hukum pewarisan adat atau pewarisan kepada ahli waris menurut garis ibu saja bertentangan dengan 170 hukum syara dan prinsip keadilan dalam realitas kehidupan sekarang. Ahli waris laki-laki boleh mundur dari haknya dan menyerahkan kepada ahli waris perempuan, dengan memberikan pernyataan dengan jelas. Tanpa ada bukti pasti atas penyerahan itu, tidak boleh ditetapkan bahwa ahli waris lakilaki telah menggugurkan haknya. Kesepakatan ahli waris untuk tidak membagi harta warisan antara mereka masing-masing boleh diterima, dengan syarat kesepakatan itu dibuat dengan rela hati, tanpa tekanan dan paksaan. Walaupun demikian, ketika seorang ahli waris meninggal, ia harus boleh mewariskan bagiannya kepada ahli warisnya menurut hukum faraidh. Hukum waris adat yang membatasi ahli waris kepada yang terdekat saja tidak sesuai dengan hukum syara. Syara telah menetapkan orang-orang yang mesti mendapat dan tidak terhijab/terhalang. Terakhir, mesti diperhatikan bahwa usaha untuk mengaplikasikan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat perlu dilakukan dengan bijaksana dan memelihara hal-hal yang telah baik. Dalam konteks Minangkabau, beberapa penyelesaian dan kompromi bisa dilakukan, misalnya bila dalam faraidh kemenakan yang tidak termasuk ahli waris utama, namun karena rapatnya mamak dan kemenakan, maka sebaiknya mamak tetap memberikan sebagian harta pencariannya kepada kemenakan dengan jalan hibah atau wasiat. Ulama dan cerdik pandai Minangkabau diharapkan supaya memberikan pelajaran agama dengan lebih terusterang dan tidak menutup mata terhadap aspek-aspek adat yang tidak sesuai dengan hukum syara. Dan kepada ninik mamak, para penghulu dan pemuka adat diharapkan dengan hati bersih dan cinta kebenaran untuk sama-sama meninjau kembali hukum adat yang diamalkan, sesuai dengan pepatah adat lapuk-lapuk dikajangi, yang baik diambil dengan mufakat, yang buruk dibuang dengan perhitungan. 171 B. Refleksi atas Kompilasi Hukum Islam Beberapa pasal yang perlu diperhatikan guna penyempurnaan lebih lanjut Kompilasi Hukum Islam adalah: 1. Pasal 173. Pembunuh sebagai penghalang kewarisan dalam anak pasal a. telah sejalan dengan fiqh. Namun dijadikannya percobaan pembunuhan, penganiayaan, apalagi memfitnah sebagai halangan, jelas tidak sejalan dengan fiqh madzhab manapun. Dalam fiqh hanya pembunuhan yang menyebabkan kematian yang dijadikan penghalang kewarisan, itu pun pembunuhan sengaja; sedangkan yang tidak disengaja masih merupakan perdebatan yang berujung pada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Fiqih beranggapan bahwa kewarisan itu adalah hak seseorang yang ditetapkan dalam al-Quran dan tidak dapat dicabut kecuali ada dalil yang kuat seperti hadits Nabi. Dicabutnya hak seseorang hanya karena percobaan pembunuhan atau penganiayaan, apalagi memfitnah meskipun itu merupakan kejahatan namun tidak dapat menghilangkan hak yang pasti, apalagi bila pewaris sebelum meninggal telah memberikan maaf. Oleh karena itu, pasal ini masih perlu didiskusikan. 2. Pasal 177. Walaupun rumusan pasal ini konon telah mengalami perubahan tetapi tidak mengubah secara substansial. Bahwa ayah menerima seperenam dalam keadaan pewaris ada meninggalkan anak, jelas telah sesuai dengan al-Quran, maupun rumusannya dalam fiqh. Tetapi menetapkan ayah menerima bagian (baca: furudh) sepertiga dalam keadaan tidak ada anak, tidak terdapat dalam alQuran, tidak tersebut dalam kitab fiqih mana pun, termasuk Syiah. Ayah mungkin mendapat sepertiga tetapi tidak sebagai furudh. Itu pun dalam kasus tertentu seperti bersama dengan ibu dan suami, dengan catatan ibu menerima sepertiga harta, sebagaimana yang lazim berlaku 172 dalam madzhab jumhur Ahlussunnah. Namun bukan bagian sepertiga untuk ayah yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam. Kalau al-Quran dan Fiqh yang dijadikan ukuran, pasal ini jelas salah secara substansial. 3. Pasal 183. Tentang usaha perdamaian yang menghasilkan pembagian yang berbeda dari petunjuk namun atas dasar kerelaan bersama, memang dalam kitab-kitab fiqih pada umumnya tidak dijelaskan dalam waktu pembahas kewarisan. Meskipun secara formal menyalahi ketentuan fiqih, namun dapat diterima dengan menggunakan pendekatan pemahaman takharuj yang dibenarkan dalam madzhab Hanafi. 4. Pasal 185. Pasal ini memerlukan perhatian. Anak pasal 1) secara tersurat mengakui ahli waris pengganti, yang merupakan hal baru untuk hukum kewarisan Islam. Baru karena di Timur Tengah pun belum ada negara yang melakukan hal seperti ini, sehingga mereka menampungnya dalam lembaga wasiat wajibah. Ini suatu kemajuan. Adalah bijaksana anak pasal ini menggunakan kata “dapat” yang tidak mengandung maksud imperatif. Hal ini berarti bahwa dalam keadaan tertentu yang kemaslahatan menghendaki keberadaan ahli waris pengganti dapat diakui; namun dalam keadaan tertentu bila keadaan menghendaki, tidak diberlakukan adanya ahli waris pengganti. Anak pasal ini secara tersirat mengakui hak kewarisan cucu melalui anak perempuan yang terbaca dari rumusan “ahli waris yang meninggal lebih dahulu” yang digantikan anaknya itu mungkin laki-laki dan mungkin pula perempuan. Ketentuan ini menghilangkan sifat diskriminatif yang ada pada hukum kewarisan ulama Ahlussunnah. Ketentuan ini sesuai dengan budaya Indonesia yang kebanyakan menganut kekeluargaan parental dan lebih cocok lagi dengan adat Minangkabau 173 yang justru menggunakan nama “cucu” untuk anak dari anak perempuan tersebut. Anak pasal 2) menghilangkan kejanggalan penerimaan adanya ahli waris pengganti dengan tetap menganut asas perimbangan laki-laki dan perempuan. Tanpa anak pasal ini sulit untuk dilaksanakan penggantian ahli waris karena ahli waris pengganti itu menurut asalnya hanya sesuai dengan sistem Barat yang menempatkan kedudukan anak laki-laki sama dengan anak perempuan. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pada garis besarnya, Kompilasi Hukum Islam sama dengan Fiqh Sunni (Faraidh Ahlissunnah) yang selama ini diajarkan di Indonesia. Kemudian dengan Fiqh Sunni, yakni norma-norma syariah yang terkandung dalam alQuran dan as-Sunnah oleh Kompilasi Hukum Islam diadakan pembaruan pola, yakni dari pola kewarisan patrilineal menjadi pola kewarisan bilateral sesuai dengan pola hukum perkawinan Islam yang hidup di Indonesia. 2. Jenis ahli waris yang tidak disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (termasuk di sini kelompok ahli waris yang dalam Ilmu Fiqh disebut dzawil arham) tetap diakui keberadaannya sebagai ahli waris dan untuk sebagian (yakni cucu dan keponakan pewaris) ditampung sebagai ahli waris pengganti dengan penerapan yang luwes dan fleksibel. 3. Faktor tradisi Minangkabau yang menempatkan garis keturunan perempuan sebagai sentral dalam kehidupan keluarga sangat mempengaruhi pelaksanaan hukum waris Islam di Sumatera Barat. Walaupun sudah dibuat kriteria adanya “harta pusaka tinggi” dan “harta pusaka rendah” untuk membedakan mana harta yang tidak bisa 174 diwariskan berdasarkan faraidh dan yang bisa diwariskan secara faraidh tetapi dalam praktiknya tidak serta merta bisa terlaksana. Ada kecenderungan masyarakat membagi berdasarkan hukum waris adat. B. Saran-saran Status hukum Kompilasi Hukum Islam hendaknya ditingkatkan menjadi undang-undang untuk memenuhi kebutuhan UU Terapan Peradilan Agama bidang Kewarisan. DAFTAR KEPUSTAKAAN Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Waris Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau; Jakarta 1984, Gunung Agung. Hamka, Islam dan Adat Minangkabau; Jakarta, Pustaka Panjimas, 1984. Ahmad Rafik; Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta, Gama Media, 2001. 175 176 BAB VII RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA TERHADAP FIQH WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DI PROVINSI SUMATERA UTARA Oleh: Hj. Suhanah dan Reslawati A. Gambaran Umum Wilayah 1. Geografis dan demografis Kota Medan terletak antara 2o 27 – 2o 47’ Lintang Utara98o 44’ Bujur Timur; dan berada 2,5 – 37,5 di atas permukaan laut. Daerah ini merupakan salah satu dari 25 Daerah Tingkat II di Sumatera Utara dengan luas wilayah sekitar 265,10 km2. Kota ini merupakan pusat pemerintahan Daerah Tingkat I Sumatera Utara yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Deli Serdang di sebelah Utara, Selatan, Barat dan Timur. Sebagian besar wilayahnya merupakan dataran rendah tempat pertemuan dua sungai penting yaitu sungai Babura dan Sungai Deli. Pemerintahan Kota Medan dipimpin oleh seorang Walikota, wilayahnya terbagi dalam 151 kelurahan dan 2000 lingkungan. Kota Medan dihuni 3.094.945 jiwa terdiri dari laki-laki 1.027.607 jiwa dan perempuan 2.067.288 jiwa. Kota ini merupakan kota terbesar di Sumatera dan ketiga terbesar di Indonesia, setelah Jakarta dan Surabaya. 2. Kehidupan Keagamaan Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, diperkirakan jumlah penduduk menurut agama secara keseluruhan 177 mencapai 12.962.332 jiwa, yang terdiri dari penganut agama Islam 8.483.433 jiwa (65,45%), penganut agama Kristen 3.450.407 jiwa (26,62%), Katholik 620.084 jiwa (4.78%), Budha 365.957 jiwa (2,28 %), Hindu 24.027 jiwa (0,19 %), Khonghucu 3.655 jiwa dan lainnya 4.524 jiwa. Kehidupan beragama di Kota Medan cukup marak, hal itu bukti bahwa Kota Medan tidak hanya plural dalam etnis dan budaya, melainkan juga dalam hal agama. Dalam rangka pengembangan kehidupan beragama terlihat di Kota Medan terdapat beragam organisasi sosial keagamaan, meliputi: Muhamadiyah, Nahdatul Ulama, AlWasliyah, Persis, Perti, Badan Kontak Majlis Taklim, Persatuan Gereja Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia, dan Perwalian Umat Buddha Indonesia. Begitu pula mereka memiliki organisasi pemuda seperti: Pemuda Muhamadiyah, Pemuda Al-Wasliyah, Himpunan Mahasiswa Islam, Pemuda Anshar, Nasiatul Aisyiyah, Pemuda Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Pemuda Katolik, Persatuan Mahasiswa Katollik Indonesia (PMKRI) Pemuda Hindu dan Persatuan Mahasiswa Buddhis Indonesia (PMBI). Daerah ini memiliki tempat ibadat beragam yaitu 684 masjid, 394 mushalla dan 1.348 langgar/surau. Umat Kristen memiliki 237 gereja, umat Katolik memiliki 84 gereja, umat Hindu memiliki 11 Pura dan umat Budha memiliki 52 52 vihara.1 Heteroginitas agama yang ada di Kota Medan dapat menyadarkan semua lapisan masyarakat seperti tokoh agama, tokoh masyarakat dan pemuda lintas agama untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama. Kesadaran ini 1 BPS Kota Medan; Kota Medan Dalam Angka, Tahun 2000. 178 dapat diwujudkan dalam bentuk Forum Komunikasi Antar Pemuka Agama (FKAPA). Tujuan forum ini adalah untuk menggalang massa agar masing-masing umat beragama tidak saling mengganggu. Forum Komunikasi Antar Pemuka Agama ini menurut Prof. Dr. HM. Ridwan Lubis sangat berbeda dengan Lembaga Pengkajian Kerukunan Umat Beragama yang dikesankan sebagai wadahnya kaum elit di Sumatera Utara, karena acara dialog tersebut seringkali hanya melibatkan tokoh-tokoh agama dan pemerintahan. Program Kerukunan yang dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Kerukunan Umat Beragama dalam bentuk dialog itu hanya dihadiri para elit daerah. Sebagai pembicara nara sumber dari tahun ketahun tidak berganti. B. Perbedaan Kompilasi Hukum Islam dengan Fiqh Waris Menurut ulama dan hakim agama kota Medan mengatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam adalah Fiqh Indonesia, hasil Ijtihad ulama-ulama Indonesia. Sedangkan Fiqh waris adalah pendapat-pendapat para mazhab seperti: mazhab Syafei, Hambali, Hanafi, dan Maliki. Ketua Pengadilan Tinggi Agama Kota Medan mengatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam merupakan produk hukum Indonesia yang sangat sesuai dengan kultur bangsa Indonesia. Ketentuan-ketentuan hukum yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam memamg masih ada yang perlu diberikan penjelasan-penjelasan sehingga mendapatkan suatu kesempurnaan dalam memutuskan suatu perkara. Misalnya dalam persoalan Ahli Waris Pengganti, harta gono gini dan masalah anak angkat. Di Pengadilan Tinggi Agama Kompilasi Hukum Islam merupakan suatu pegangan dalam memutuskan suatu perkara, oleh karena itu ada sebagian kecil yang perlu direvisi dan sebaiknya Kompilasi Hukum Islam ini ditingkatkan menjadi Undang-Undang. 179 Ketua Pengadilan Agama Kota Medan mengatakan bahwa tidak semua isi Kompilasi Hukum Islam yang terkait dengan hukum kewarisan sesuai dengan Fiqh Islam, seperti contoh tentang masalah Ahli Waris Pengganti, masalah harta bersama, masalah Wasiat Wajibah untuk anak dan bapak angkat. Dalam masalah-masalah tersebut Ketua Pengadilan Agama Kota Medan, dalam penerapan hukumnya melihat situasi dan kondisi di lapangan. Tidak harus mengikuti ketetapan yang ada dalam buku Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan menurut Dosen Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara mengatakan bahwa memang Kompilasi Hukum Islam bersumber dari kitab-kitab Fiqh Islam, termasuk masalah harta bersama, masalah Ahli Waris Pengganti cucu yang bapaknya telah meninggal lebih dahulu dari si pewaris dengan rujukan pemikiran Huzairin, tetapi saya tetap tidak bisa menerima ketentuan itu karena tidak berdasarkan kitab Al-Qur’an dan Al-Hadits (Ilmu Faraidh).2 C. Pengetahuan Masyarakat tentang Kompilasi Hukum Islam Sebagian ulama dan hakim agama telah mengetahui keberadaan Kompilasi Hukum Islam dan telah menerapkannya sebagai pegangan dalan penetapan hukum, terutama dalam masalah hukum waris. Namun sebagian masyarakat lainnya (kalangan pondok pesantren) belum mengetahui apa itu Kompilasi Hukum Islam dan bagaimana bukunya karena belum pernah diperlihatkan apalagi disosialisasikan. Menurut Ketua Pengadilan Agama Kota Medan mengatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam boleh sebagai referensi, tetapi jangan dipaksakan kepada para hakim agama dalam menerapkan hukum di lapangan, harus mengikuti Kompilasi Hukum Islam. Menurutnya bahwa beberapa pasal dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai 2 Nasrun Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara, Wawancara tahun 2009 180 masalah waris perlu direvisi. Sebaiknya para Hakim Agama diberi kelonggaran untuk berijtihad dalam memutuskan perkara sesuai dengan situasi keadaan di lapangan.3 Selanjutnya ia mengatakan sosialisasi Kompilasi Hukum Islam tidak terbatas pada kalangan pejabat Kanwil Kementerian Agama RI, Kepala Kantor Kementerian Agama, Kepala Kantor Urusan Agama, Peradilan Tinggi Agama, Pengadilan Agama dan sebahagian Ulama saja, tetapi untuk kalangan masyarakat luas seperti masyarakat pondok pesantren, kalangan akademisi, organisasi keagamaan dan masyarakat bawah. Menurut Ulama setempat bahwa Kompilasi Hukum Islam dianggap sebagai kebutuhan umat Islam, maka kalau terjadi revisi, perlu mengikut sertakan para Kyai, Ustaz, dan unsur terkait yang tidak ikut menyusun Kompilasi Hukum Islam. Selain itu mereka menyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam perlu ditingkatkan menjadi Undang-Undang. D. Masalah Ahli Waris Pengganti Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 185 disebutkan bahwa ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Menurut ketua MUI Kota Medan dan Nasrun (Dosen Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara bahwa dalam Fiqh tidak dikenal adanya Ahli Waris Pengganti. Ahli Waris Pengganti yang diterapkan pada putusan Mahkamah Agung Nomor 39 K/AG/2000 adalah seutuhnya menurut pemikiran Hazairin. Menurut Hazairin, sifat penggantiannya bersifat imperativ, 3 Ketua Pengadilan Negeri Kota Medan, Wawancara tahun 2009. 181 sementara pengaturan Kompilasi Hukum Islam bersifat tentatif atau fakultatif. E. Masalah Anak Perempuan Menghijab Saudara Laki-laki Kompilasi Hukum Islam Pasal 176 menyebutkan bahwa anak perempuan bila hanya seorang ia mendapatkan separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Menurut Pimpinan Wilayah Organisasi Al-Wasliyah Drs. H. Nizam Syarif bahwa dalam ajaran Islam, tidak ada perempuan menghijab saudara lakilaki, tetapi yang menghijab adalah laki-laki. Jadi menurut beliau dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa anak perempuan tidak bisa menghijab saudara laki-laki. Oleh karena itu, menurutnya untuk menentukan pembagian warisan harus mengikuti Al-Qur’an dan Hadits.4 F. Masalah Ahli Waris beda Agama Menurut Hakim Agama Kota Medan dalam Kompilasi Hukum Islam tidak ada ketentuan tentang ahli waris beda agama). Konsep dasar hukum wasiat wajibah bagi ahli waris non muslim dapat memperoleh harta peninggalan pewaris muslim melalui wasiat wajibah. Pemberian wasiat wajibah tersebut dilakukan oleh penguasa, dalam hal ini hakim melalui lembaga peradilan agama. Namun demikian ahli waris non muslim tidak dapat mewarisi harta peninggalan pewaris muslim, karena terhalang untuk saling mewarisi disebabkan perbedaan agama. Mengenai ahli waris non muslim, dalam hukum kewarisan dan wasiat wajibah, keduanya berkaitan dengan peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain. Dalam hukum kewarisan, ahli waris yang berhak menerima warisan adalah orang yang mempunyai hubungan 4 Nasrun Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara, Wawancara tahun 2009. 182 nasab (keturunan) atau hubungan perkawinan dengan pewaris beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Sedangkan yang berhak menerima wasiat wajibah adalah orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan pewaris, akan tetapi disebabkan sesuatu hal atau keadaan tidak berhak atau terhalang menerima harta peninggalan dengan jalan warisan. Dasar penetapan hukum Mahkamah Agung RI, dalam putusan nomor 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 tentang ahli waris non muslim mendapatkan harta peninggalan dari pewaris muslim melalui wasiat wajibah adalah mengadopsi pemikiran dan pendapat ahli hukum (fuqaha) Ibnu Hazm. Penerapan dan pemberlakuan wasiat wajibah bagi ahli waris non muslim dalam putusan Mahkamah Agung RI tersebut adalah merupakan pembentukan hukum baru dalam perkembangan hukum waris di Indonesia. Mahkamah Agung dalam menetapkannya telah memilih salah satu pendapat ulama yang tertuang dalam kitab fiqh. Kebijakan ini tampaknya relevan dengan rasa keadilan dan kemanusiaan serta kultur umat Islam Indonesia yang majemuk.5 (, 2006). G. Masalah Wasiat Wajibah untuk Anak Angkat Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 menyatakan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Terhadap ketentuan sebagian besar ulama dan para Hakim Agama yang ada di kota Medan sependapat dengan aturan tersebut. Begitu pula terhadap beberapa Keputusan Mahkamah Agung RI antara lain Nomor 1182 K/Pdt/1998 tanggal 22 5 Jamalaba Malau, ahli waris non muslim, Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara, Medan 183 Desember 1994 yang menyatakan bahwa anak angkat termasuk ahli waris yang berhak mendapat bagian dari harta warisan orang tua angkatnya. Menurut persfektif Islam, anak angkat tidak berhak mendapat bagian dari harta warisan orang tua angkatnya karena tidak tergolong sebagai ahli waris. Meskipun menurut Hukum Islam anak angkat tidak tergolong sebagai Ahli Waris, namun anak angkat tetap bisa mendapat sebagian harta peninggalan orang tua angkatnya melalui wasiat, wasiat wajibah atau hibah serta hibah wajibah. (Mahmud Dongoran, Hak dan Kewajiban Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum Islam, Program Magister Hukum, Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara, Medan, 2006). H. Masalah Waris Bagi Perencana Pembunuhan dan Fitnah Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 173 dinyatakan bahwa seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena: dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris; dipersalahkan dengan cara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Menurut sebagian ulama yang ada di Kota Medan mengatakan bahwa percobaan pembunuhan masih dikategorikan mendapatkan warisan asalkan dimaafkan oleh orang yang mau dibunuh, karena baru rencana, belum terjadi dan bisa saja orang tersebut menyesal atas rencananya itu. I. Masalah Waris bagi Anak Zina Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 186 disebutkan bahwa anak yang lahir di luar pernikahan, hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Dalam ajaran Islam, melakukan hubungan seks 184 antara laki-laki dan perempuan tanpa diikat dengan aqad nikah yang sah, maka hal itu disebut zinna. Oleh karenanya anak yang dilahirkan dari hubungan tersebut tidak dianggap sah tetapi dikategorikan sebagai anak zina. Salah satu solusi dari hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam yang dapat ditempuh dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang dilahirkan di luar pernikahan ialah dengan jalan wasiat wajibah, karena hal yang sama diberikan Kompilasi Hukum Islam terhadap anak angkat untuk diberlakukan di Indonesia.6). Oleh karena itu, sebagian besar ulama dan para Hakim Agama di Kota Medan dalam hal pembagian harta warisan untuk anak yang lahir di luar pernikahan, sependapat dengan aturan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam. J. Masalah praktek perdamaian warisan Para ulama dan hakim agama kota Medan berpendapat bahwa dalam prakteknya banyak masyarakat kota Medan yang menyelesaikan pembagian warisan berdasarkan perdamaian yang dilakukan, tetapi setelah diterangkan kepada ahli waris bahwa bagian porsi mereka jelas. Kemudian mereka menyatakan keinginannya (saudara laki-laki dan perempuan) pembagiannya disamakan saja. Lalu dibuatlah surat pembagian waris berdasarkan perdamaian itu. Jadi sudah banyak kasus-kasus yang dilakukan seperti itu, baik melalui putusan keluarga ataupun putusan majelis hakim. J. Masalah Praktek Penyelesaian Warisan yang Unik. Menurut ulama Kota Medan menyatakan bahwa masyarakat medan masih ada yang menerapkan pembagian waris melalui: a) melalui hukum adat yaitu pelaksanaan 6 Almihan, Kedudukan anak di luar nikah dalam kewarisan menurut KUH perdata dan Hukum Islam, Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara, 2006 185 pembagian warisan diserahkan kepada laki-laki, perempuan hanya diberi hak pakai bukan hak milik. Anak laki-laki mewarisi yang perempuan. Perempuan diberi waris sebagai rasa kasih sayang (hak pakai) bukan hak milik; b) mengikuti hukum keluarga, selagi pewaris masih hidup, warisaan sudah dibagi-bagi supaya bagian laki-laki dan perempuan sama haknya; c) mengikuti hukum faraidh berdasarkan Al Qur’an dan hadist. K. Pembagian harta waris yang dibagi, tetapi tidak diserahkan kepada yang bersangkutan Pembagian harta waris ada ketentuan yang dilakukan terhadap masyarakat dimana hak si Ahli Waris yang belum dewasa tidak diserahkan haknya kepada yang bersangkutan contoh salah seorang ahli waris yang masih kecil atau belum dewasa yang dianggap belum mampu mengurus hartanya sendiri. Dalam masalah itu, harta peninggalannya disimpan atau dipelihara oleh kakaknya sebagai ahli waris yang tertua. Setelah mereka dianggap mampu memelihara hartanya baru kemudian diserahkan haknya itu. L. Harta Waris yang Belum Dibagikan karena Salah Satu Orang Tua Masih Hidup Adanya harta warisan yang belum dapat dibagikan kepada pihak Ahli Waris karena adanya sebab yaitu: salah satu dari kedua orang tua masih hidup. Dalam rangka menghormati orang tuanya dan merasa tidak layak atau tidak tega membagi harta waris yang ditinggalkannya itu. Tetapi kebanyakan dari para ahli waris kalau yang meninggalnya itu orang tua laki-laki, maka biasanya harta waris itu langsung dibagikan walaupun orang tua perempuannya masih hidup, hal yang semacam ini biasa dilakukan masyarakat Kota Medan. Sebaliknya bila yang meninggal orang tua perempuan, maka harta waris itu belum dibagikan. 186 PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian-uraian tersebut di atas kiranya dapat disimpulkan: 1. Menurut Ulama dan Hakim Agama Kota Medan menyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam adalah Fiqh ala Indonesia, sedangkan fiqh Islam adalah pendapat para mazhab yang empat seperti: Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Hambali dan Imam Maliki. 2. Pembagian harta waris di masyarakat masih dilakukan dengan beberapa cara yaitu: pertama berdasarkan AlQur’an dan Al-Hadits dengan tidak mengesampingkan buku Kompilasi Hukum Islam asal tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits; kedua berdasarkan buku Kompilasi Hukum Islam yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi si Pewaris maupun Ahli Waris; ketiga pembagian harta waris berdasarkan hukum adat patrilenial. Selain itu masih banyak masyarakat yang menyelesaikan pembagian harta warisannya berdasarkan perdamaian setelah dijelaskan bagian dari ahli waris masing-masing menurut Hukum kekeluargaan; 3. Menurut sebagian Ulama dan Hakim Agama bahwa dalam pembagian harta warisan bagi ahli waris yang mencoba melakukan pembunuhan, tapi belum terjadi, mereka masih dikategorikan mendapatkan harta warisan, asal dimaafkan oleh orang yang mau dibunuh, sedangkan dalam pembagian harta warisan untuk anak lahir di luar pernikahan, mereka sependapat dengan aturan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam, bahkan dalam wasiat wajibah untuk anak angkat, mengikuti aturan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam pula. 187 4. Menurut Hakim Agama Kota Medan bahwa masalah pembagian harta waris kepada ahli waris beda agama tidak ada ketentuannya dalam Kompilasi Hukum Islam, oleh karena itu menurutnya ahli waris non muslim dapat memperoleh harta peninggalan pewaris muslim, melalui wasiat wajibah; 5. Menurut sebagian besar Ulama bahwa dalam ajaran Islam tidak ada perempuan menghijab saudara laki-laki tetapi yang menghijab adalah laki-laki; 6. Menurut Majelis Ulama Indonesia dan Ulama Nahdlatul Ulama menyatakan bahwa dalam rangka pembagian tidak ada istilah Ahli Waris Pengganti. Namun para Hakim Agama dalam Ahli Waris Pengganti mereka mengikuti aturan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam; 7. Sebagian ulama di Perguruan Tinggi dan para Hakim Agama telah mengetahui keberadaan Kompilasi Hukum Islam dan telah menerapkannya sebagai pegangan dalam penetapan hukum terutama dalam masalah waris dan mereka tidak mempersoalkan isi yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam. Kecuali sebagian ulama tradisional dan masyarakat lainnya belum mengetahui apa itu Kompilasi Hukum Islam. Sebagian yang telah mengetahui Kompilasi Hukum Islam karena belum pernah disosialisasikan. B. Rekomendasi 1. Buku Kompilasi Hukum Islam perlu diperbanyak dan dibagikan kepada seluruh lapisan masyarakat Islam, sehingga dalam pengaturan pembagian harta waris, masyarakat bisa merujuk pada buku Kompilasi Hukum Islam itu; Selain itu juga perlunya ditingkatkan sosialisasi tentang Kompilasi Hukum Islam kepada seluruh lapisan 188 masyarakat luas, jangan hanya sebatas pada tertentu saja; kalangan 2. Perlunya ada revisi terhadap isi Kompilasi Hukum Islam terutama pada pasal-pasal tertentu, dan bahkan Kompilasi Hukum Islam sebaiknya ditingkatkan menjadi UndangUndang. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman H. SH, MH. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Penerbit Akademika Presindo, Jakarta, 1992. Almihan, Kedudukan anak di luar nikah dalam kewarisan menurut KUH perdata dan Hukum Islam, Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Muhamadiyah, Sumatera Utara, 2006. Badan Pusat Statistik (BPS), Kota Medan Tahun 2000. Cik Hasan Bisri, Penyunting, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, Logos, Jakarta, 1999. Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama RI, 1998/1999. Jamalaba Malau, Ahli waris Non Muslim, Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Muhamadiyah, Sumatera Utara, Medan, 2006. Mahmud Dongoran, Hak dan Kewajiban Anak Angkat dalam Persfektif Hukum Islam, Program Magister Hukum 189 Islam, Universitas Muhamadiyah, Sumatera Utara, Medan, 2006. Prof. Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, PT. Raja Presindo, Jakarta. 190