pelaksanaan hukum waris di kalangan umat islam indonesia

advertisement
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Pelaksanaan hukum waris di kalangan umat islam Indonesia/Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Ed. I. Cet. 1. ------Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama 2010
xvi + 190 hlm; 21 x 29 cm
ISBN 978-979-797-278-3
Hak Cipta 2010, pada Penerbit
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara
apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy,
tanpa izin sah dari penerbit
Cetakan Pertama, September 2010
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
PELAKSANAAN HUKUM WARIS DI KALANGAN UMAT
ISLAM INDONESIA
Editor:
Muchith A Karim
Desain cover dan Lay out oleh:
H. Zabidi
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Gedung Bayt al-Qur’an Museum Istiqlal Komplek Taman Mini
Indonesia Indah, Jakarta Telp/Fax. (021) 87790189, 87793540
Diterbitkan oleh:
Maloho Jaya Abadi Press, Jakarta
Anggota IKAPI No. 387/DKI/09
Jl. Jatiwaringin Raya No. 55 Jakarta 13620
Telp. (021) 862 1522, 8661 0137, 9821 5932 Fax. (021) 862 1522
SAMBUTAN
KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT
KEMENTERIAN AGAMA
ompilasi Hukum Islam dalam sistem hukum
nasional relatif berumur muda, terutama di
bidang hukum kewarisan (Fiqh Mawaris), dan
keberadaannya akan dihadapkan kepada berbagai masalah.
Pertama, sosialisasi fiqh waris dalam Kompilasi Hukum Islam
kepada warga masyarakat khususnya di kalangan umat Islam.
Kedua, persepsi di kalangan pimpinan masyarakat yang tidak
terlibat dalam proses penyusunannya. Ketiga, kemungkinan
terjadi perbenturan antara Kompilasi Hukum Islam dengan
struktur dan pola budaya masyarakat khususnya di bidang
kewarisan. Kompilasi Hukum Islam disusun dan diputuskan
oleh elit-elit masyarakat di pusat pemerintahan dan
pendidikan, sementara sebagian besar warga masyarakat yang
bermukim di pedesaan masih sangat terikat kondisi lokal.
Masih besar kemungkinan masyarakat menerima hukum
kewarisan Islam secara simbolik, sedangkan substansinya
mengacu kepada kaedah-kaedah lokal yang berlaku secara
turun-temurun.
K
Oleh karena itu, kami menyambut baik diterbitkannya
buku “Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam
Indonesia”, karena beberapa alasan, Pertama, sebagai sarana
mensosialisasikan hasil penelitian Pelaksanaan Hukum Waris
di Kalangan Umat Islam Indonesia (Studi tentang Respon
Ulama dan Hakim Agama terhadap Fiqh Waris dalam
Kompilasi Hukum Islam) yang dilaksanakan Puslitbang
Kehidupan Keagamaan. Kedua, berbagai pokok persoalan
hukum waris di kalangan umat Islam perlu dikaji dan
selanjutnya perlu aktualisasi Fiqh Waris dalam Kompilasi
Hukum Islam pada tatanan hukum yang selalu mengalami
perubahan.
i
Buku ini menyajikan hasil-hasil kajian lapangan
mengenai Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap Fiqh
Waris dalam Kompilasi Hukum Islam.
1. Tingkat pengetahuan ulama, tokoh masyarakat terhadap
Kompilasi Hukum Islam masih sangat rendah. Komentar
informan dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok,
Pertama, ulama yang belum mengerti Kompilasi Hukum
Islam, Kedua, ulama yang mengetahui Kompilasi Hukum
Islam tapi tidak mengetahui secara mendalam isi
Kompilasi Hukum Islam, Ketiga, ulama yang mengetahui
dan mendalami isi Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan
hampir semua hakim dan “ulama kampus” akademisi
yang menjadi informan mengetahui dan mendalami
Kompilasi Hukum Islam kecuali bagi mereka yang jarang
menangani persoalan-persoalan kewarisan. Kategori
ulama yang belum mengerti Kompilasi Hukum Islam
umumnya berlatar belakang pendidikan pesantren
tradisional dan tidak banyak berinteraksi dengan lembaga
atau ormas keagamaan di lingkungannya. Sementara
ulama yang mengetahui Kompilasi Hukum Islam tetapi
tidak mendalami isi Kompilasi Hukum Islam umumnya
mereka adalah ulama yang berpendidikan Perguruan
Tinggi atau ulama yang tingkat interaksinya dengan
ormas keagamaan relatif intens, seperti dengan NU,
Muhammadiyah, Persis, al-Washliyah, MUI dan lain-lain.
Sedangkan ulama yang tingkat pengetahuan tentang
Kompilasi Hukum Islam relatif mendalam umumnya
selain mereka berpendidikan tinggi juga berlatar belakang
profesi guru/dosen, atau ulama yang pernah mengenyam
pendidikan tinggi agama, khususnya di Fakultas Syariah
atau di Fakultas Hukum dan banyak menyelesaikan
kasus-kasus kewarisan di masyarakat.
ii
2. Respon ulama dan Hakim Agama terhadap perbedaan
yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh
Islam/Faraid dikatagorikan menjadi 3 kelompok.
Kelompok pertama, menilai tidak semua isi Kompilasi
Hukum Islam yang terkait dengan kewarisan sesuai
dengan fiqh Islam, seperti konsep harta bersama, ahli
waris pengganti, dan wasiat wajibah untuk anak dan
bapak angkat. Dalam hal ini, mereka hanya bisa menerima
pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam yang ada rujukannya
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Kelompok kedua,
menyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam memang
sebagian besar bersumber dari kitab-kitab fiqh Islam,
hanya saja kelompok ini menolak ketentuan-ketentuan
dalam Kompilasi Hukum Islam yang tidak punya rujukan
yang jelas dalam kitab fiqh klasik, seperti konsep ahli
waris pengganti, wasiat wajibah untuk anak angkat dan
bapak angkat, kewarisan kolektif tanah kurang dari 2
hektar. Percobaan pembunuhan dan fitnah menjadi
penghalang menerima warisan. Sedangkan kelompok
ketiga menyatakan bahwa sebenarnya tidak perlu
memperhadapkan Kompilasi Hukum Islam dan fiqh Islam
karena Kompilasi Hukum Islam juga merupakan produk
fiqh khas Indonesia, termasuk dalam persoalan kewarisan.
Ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam yang
terkesan baru yang tidak ditemukan dalam kajian fiqh
klasik tidak secara otomatis bisa dikatakan menyimpang
dari hukum Islam karena ketentuan-ketentuan baru
tersebut diambil berdasarkan ijtihad kolektif ulama
Indonesia dengan memperhatikan perbedaan adat-istiadat
masyarakat
Indonesia
dan
bermuara
kepada
pertimbangan maslahah. Kelompok terakhir ini umumnya
adalah ulama akademisi/dosen dan para hakim
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
iii
3. Respon ulama dan Hakim Agama terhadap materi
Kompilasi Hukum Islam ada tiga kategori usulan untuk
perbaikan di masa mendatang; pertama, tetap
mempertahankan isi pasal tentang perdamaian, kedua,
pasal
dipertahankan
dengan
usulan
tambahan/
penyempurnaan redaksi seperti dalam persoalan harta
bersama, ahli waris pengganti, anak perempuan
menghijab saudara pewaris, dan halangan menerima
warisan karena perencanaan pembunuhan dan fitnah,
ketiga, usulan pencabutan pasal seperti pasal tentang 1/3
bagian untuk ayah bila pewaris tidak punya anak dan
pembagian warisan berupa tanah < 2 Ha. Keempat, usulan
tambahan tentang hak “ahli waris” berbeda agama dan
hasil perzinaan dimasukkan dalam kategori pihak yang
berhak atas wasiat wajibah.
4. Berkaitan dengan praktik pembagian waris di masyarakat
dan di Pengadilan Agama terdapat persamaan dan
perbedaan. Persamaannya antara lain: a) Pada perdamaian
setelah merujuk kepada Kompilasi Hukum Islam dan atau
Fiqh Waris; b) Pada keduanya terdapat kemungkinan
pembagian waris dengan adanya wasiat pewaris sebelum
meninggal dan hibah yang bisa diperhitungkan sebagai
warisan. Sedangkan perbedaannya antara lain: a) Cara
penyelesaian waris di masyarakat masih sangat bervariasi,
ada yang menggunakan hukum Islam/faraid, adat, waris
perdata (BW). Atau bahkan gabungan. Sementara di
Pengadilan Agama cara penyelesaian waris relatif seragam
karena telah ada keseragaman sumber rujukan, yaitu
Kompilasi Hukum Islam; b) Pemberian bagian dari harta
peninggalan/tirkah kepada cucu yang orang tuanya
meninggal lebih dahulu, anak atau bapak angkat, non
muslim, dan anak hasil perzinaan umumnya diberikan
iv
dengan menggunakan instrumen hukum wasiat, hibah,
atau hadiah, sedangkan di Pengadilan Agama lebih
cenderung menggunakan instrumen waris pengganti atau
wasiat wajibah. Selain itu, secara umum dapat dikatakan
bahwa masyarakat cenderung menyelesaikan perkara
warisnya di luar Pengadilan melalui tokoh masyarakat
atau tokoh agama dibandingkan melalui jalur Pengadilan
lebih-lebih di Padang/Sumatera Barat. Perkara kewarisan
di Pengadilan kebanyakan hanya berupa P3HP
(Permohonan Pertolongan Pembagian Harta Pusaka), yang
umumnya diajukan oleh kalangan keluarga kelas
menengah ke atas dan terdidik, atau dilakukan oleh
keluarga yang potensi konfliknya dalam pembagian
warisan cukup besar.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Puslitbang
Kehidupan Keagamaan yang telah melakukan penelitian
sampai terbitnya buku ini, semoga bermanfaat.
Jakarta,
September 2010
Kepala Badan Litbang dan Diklat
Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA
NIP. 19570414 198203 1 003
v
vi
KATA PENGANTAR
KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN
Assalamu`alaikum wr. wb.
P
uji syukur kehadirat Allah SWT atas segala
anugerah-Nya yang tiada terhingga, karena buku
“Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam
Indonesia” dapat diterbitkan. Buku ini berisi hasil penelitian
tentang Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap Fiqh
Waris dalam Kompilasi Hukum Islam.
Dari hasil penelitian terungkap bahwa tingkat
pengetahuan ulama dan tokoh masyarakat terhadap
Kompilasi Hukum Islam masih sangat rendah. Pandangan
mereka dapat dikategorikan kepada ulama yang belum
mengetahui Kompilasi Hukum Islam; ulama yang mengetahui
tetapi tidak mendalam isi Kompilasi Hukum Islam; ulama
yang mengetahui Kompilasi Hukum Islam secara mendalam.
Di sisi lain, hampir semua ”ulama kampus” dan Hakim
Agama mendalami tentang Kompilasi Hukum Islam kecuali
mereka yang jarang menangani masalah kewarisan. Hal
tersebut berdampak pada perbedaan respon terhadap
keberadaan hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum
Islam.
Perbedaan pemahaman terjadi pada isi materi Kompilasi
Hukum Islam yang terkait dengan kewarisan sesuai dengan
fiqh Islam, seperti konsep harta bersama, ahli waris pengganti,
dan wasiat wajibah untuk anak dan bapak angkat; mereka
selanjutnya menyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam
memang sebagian besar bersumber dari kitab-kitab Fiqh
Islam; dan sebenarnya tidak perlu mempertentangkan
vii
Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam, karena Kompilasi
Hukum Islam juga merupakan produk fiqh khas Indonesia.
Oleh karena itu para Ulama dan Hakim Agama
mengusulkan agar materi Kompilasi Hukum Islam tetap
dipertahankan, tetapi isi pasal-pasal perlu disempurnakan.
seperti pasal tentang harta bersama, ahli waris pengganti,
anak perempuan menghijab saudara pewaris, dan halangan
menerima warisan karena perencanaan pembunuhan dan
fitnah, serta pencabutan pasal-pasal seperti pasal tentang 1/3
bagian untuk ayah bila pewaris tidak punya anak dan
pembagian warisan berupa tanah < 2 ha; dan hak “ahli waris”
berbeda agama, dan anak hasil perzinaan dapat dikategorikan
sebagai pihak yang berhak atas wasiat wajibah.
Untuk
mengurangi
kesenjangan
pemahaman
masyarakat terhadap Kompilasi Hukum Islam, perlu
dilakukan sosialisasi yang intensif ke berbagai kelompok
masyarakat. Pada bagian lain diusulkan perlunya perumusan
UU terapan di bidang kewarisan dengan melibatkan berbagai
unsur-unsur di masyarakat yang pro dan kontra, baik ulama
elit maupun ulama alit. Dalam penyelesaian persoalan waris,
selain berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam para hakim
umumnya masih banyak yang merujuk ke literatur Fiqh
Klasik, serta menggali praktik hukum di masyarakat (Adat
Istiadat). Namun bagi hakim-hakim “yang mencari aman”
dari proses hukum di tingkat Pengadilan Tinggi Agama dan
Mahkamah Agung umumnya sangat patuh dengan ketentuan
Kompilasi Hukum Islam dan Yurisprudensi, karena
banyaknya sumber rujukan hakim dalam memutus perkara.
viii
Akhirnya atas partisipasi semua pihak yang terlibat
dalam kegiatan ini, kami sampaikan terima kasih serta kami
berharap, semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi
pengembangan hukum di Indonesia.
Jakarta,
Agustus 2010
Wassalam,
Kepala Puslitbang Kehidupan
Keagamaan
Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D
NIP. 19600416 198903 1 005
ix
x
KATA PENGANTAR EDITOR
ukum Islam Indonesia masa kini adalah
merupakan sebuah label yang diberikan
pada ketentuan hukum Islam yang berlaku
di Indonesia dan sekaligus menampilkan corak khas
keindonesiaan. Sistem dan budaya Indonesia akan lebih
terefleksi di dalamnya sehingga hukum Islam dimaksudkan
untuk beberapa bagian tertentu baik yang menyangkut kaidah
hukumnya maupun pola pemikiran yang mendasari, akan
menunjukkan beberapa perbedaan dengan hukum Islam yang
berlaku dalam kenyataan, sekalipun sifat dasarnya sama
karena bersumberkan pada sumber yang sama yaitu al-Qur’an
dan al-Hadits. Hukum Islam dengan daya antisipasinya yang
tinggi telah menjadikan hukum ini sangat dinamis.
H
Hukum Islam Indonesia masa kini masih belum
terwujud sebagaimana diharapkan atau belum terpolakan
secara jelas. Kompilasi Hukum Islam dianggap sebagai satu
diantara sekian banyak karya besar umat Islam Indonesia
dalam rangka kebangkitan umat Islam Indonesia secara tidak
langsung ia juga merefleksikan tingkat keberhasilan tersebut.
Namun disatu sisi bahwa ketentuan hukum kewarisan
dalam
Kompilasi
Hukum
Islam
yang
semangat
perumusannya telah mendekati sistem kekeluargaan parental
dan bilateral, ternyata kompromistis yang dianut kompilasi
hukum Islam terutama di bidang kewarisan lebih mengarah
kepada sikap modifikasi secara terbatas, selektif dan hati-hati.
Hal itu berdampak pada terobosan-terobosan yang ditempuh
Kompilasi Hukum Islam sangat tidak kentara. Bahkan
dianggap sebagai langkah surut jika dibandingkan dengan
ketentuan hukum adat atau hukum Barat.
xi
Walau begitu hukum kewarisan dalam Kompilasi
Hukum Islam juga terdapat ketentuan yang terkait dengan
masyarakat majemuk, khususnya tradisi yang berlaku dalam
berbagai satuan masyarakat lokal seperti ketentuan tentang
ahli waris pengganti, dan harta warisan berupa lahan
pertanian yang kurang dari 2 hektar sebagai warisan kolektif
serta wasiat wajibah antara anak angkat dan orang tua angkat.
Terkait dengan kajian terhadap Respon Ulama dan
Hakim Agama terhadap Fiqh Waris dalam Kompilasi Hukum
Islam, yang dilakukan oleh para peneliti Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, melalui tulisan berikut ini disajikan
beberapa informasi sebagai berikut:
1. Tingkat pengetahuan ulama, tokoh masyarakat terhadap
Kompilasi Hukum Islam masih sangat rendah. Hal di atas
berdampak terhadap Respon Ulama dan Hakim Agama
terhadap perbedaan yang ada tentang kewarisan dalam
Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam/Faraid.
2. Menyangkut perbedaan respon Ulama dan Hakim Agama
terhadap materi Kompilasi Hukum Islam dapat
dibedakan, menjadi kelompok pertama yang mengusulkan
tetap dipertahankannya isi pasal seperti yang tertera
dalam Buku II Kompilasi Hukum Islam tentang
Kewarisan. Kedua mengatakan pasal-pasal tersebut
dipertahankan dengan usulan tambahan penyempurnaan
redaksi seperti masalah harta bersama, ahli waris
pengganti dan lain-lain.
3. Mengenai praktik pembagian waris di masyarakat dan
Pengadilan Agama, terdapat persamaan dan perbedaan.
Persamaannya adalah adanya perdamaian setelah merujuk
kepada Kompilasi Hukum Islam dan atau Fiqh Waris;
keduanya terdapat kemungkinan pembagian waris
dengan adanya wasiat pewaris sebelum meninggal dan
hibah yang bisa diperhitungkan sebagai warisan.
xii
Sedangkan perbedaannya adalah cara penyelesaian waris
di masyarakat masih sangat bervariasi, ada yang
menggunakan hukum Islam, Adat, Waris Perdana (BW),
atau bahkan gabungan. Sementara di Pengadilan Agama
cara penyelesaian waris relatif seragam karena telah ada
keseragaman sumber rujukan, yaitu Kompilasi Hukum
Islam.
Terkait dengan berbagai hal di atas Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, memandang bahwa penyelesaian
persoalan waris oleh para Hakim Agama umumnya masih
banyak merujuk pada literatur fiqh waris, dan menggali
praktek hukum di masyarakat (adat-istiadat). Sehubungan
dengan itu upaya menjadikan Kompilasi Hukum Islam
sebagai hukum terapan di Pengadilan Agama perlu segera
diwujudkan untuk mengeleminir perbedaan hakim dalam
memutus perkara.
Jakarta,
Juli 2010
Editor
Muchit A Karim
xiii
xiv
DAFTAR ISI
Halaman
i
Sambutan Kepala Badan Litbang Dan Diklat ……………………
Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan …..
vii
Kata Pengantar Editor ……………………………………………..
xi
Daftar Isi …………………………………………………………….
xv
BAB I
PENDAHULUAN ……………………………………
1
BAB II
RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA
TERHADAP FIQH WARIS DALAM KOMPILASI
HUKUM ISLAM DI PROVINSI GORONTALO …..
Oleh : Muchith A Karim dan Ali Mansyur
BAB III
BAB IV
BAB V
BAB VI
RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA
TERHADAP FIQH WARIS DALAM KOMPILASI
HUKUM ISLAM DI PROVINSI KALIMANTAN
SELATAN .......................................................................
Oleh : A. Azharuddin Latif dan Sri Hidayati
RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA
TERHADAP FIQH WARIS DALAM KOMPILASI
HUKUM ISLAM DI PROVINSI SULAWESI
SELATAN ………………………………………………
Oleh : JM. Muslimin dan Jaenal Aripin
RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA
TERHADAP FIQH WARIS DALAM KOMPILASI
HUKUM ISLAM DI PROVINSI DAERAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA …………………….......
Oleh : H. Bashori A Hakim dan Wahid Sugiarto
RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA
TERHADAP FIQH WARIS DALAM KOMPILASI
HUKUM ISLAM DI PROVINSI SUMATERA
BARAT …………………………………………………
Oleh : Mazmur Sya’roni dan Imam Syaukani
xv
25
51
91
111
141
BAB VII
RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA
TERHADAP FIQH WARIS DALAM KOMPILASI
HUKUM ISLAM DI PROVINSI SUMATERA
UTARA ………………………………………………..
Oleh : Hj. Suhanah dan Reslawati
xvi
177
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
S
ebagai konsekwensi logis dari negara kebangsaan
(nation-state), dimana Islam tidak menjadi dasar
negara, tetapi Islam setara dengan agama lain dan
mendapat tempat terhormat dalam konstitusi bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia bukanlah negara sekuler dan
bukan negara agama, hukum Islam tidaklah mungkin dapat
secara formil/langsung menjadi sumber otoritatif satusatunya bagi hukum nasional. Tetapi, hukum Islam, dalam
kontestasinya dengan hukum Barat dan hukum adat, dapat
menjadi sumber materiil dan persuasif bagi hukum nasional.1
Dalam wacana tentang sumber hukum, kita mengenal
berbagai klasifikasi dan teori sumber hukum. Ahli hukum dan
ilmu kenegaraan Joseph Raz membantah jika dikatakan
bahwa dalam suatu komunitas (termasuk negara) selalu hanya
ada satu sumber hukum yang monolitik. Ibarat akar dari
suatu pohon, bisa jadi pada satu pohon di bawahnya terdapat
berbagai akar norma yang terkadang saling berkompetisi,
tetapi tidak jarang juga saling menguatkan untuk menyuplai
bahan makanan bagi tegak dan tumbuhnya pohon tersebut.2
Dari konteks sejarah, sosial, filsafat, dan hukum
ketatanegaraan, setidaknya ada dua klasifikasi penting
sumber hukum: sumber hukum formil (sources of law in its
formal sense) dan sumber hukum materiil (sources of law in its
1
2
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Nomor 12/PUU-V/2007 tentang UU Perkawinan,
jo Putusan MK Nomor 19/PUU-VI/2008 tentang Kewenangan Peradilan Agama, Jimly
Asshiddiqie, Masa Depan Kebhinnekaan dan Konstitusionalisme di Indonesia: Peluang,
Tantangan, dan Solusi, Seminar Internasional ICIP, Jakarta, 22 Juli 2008.
Joseph Raz, The Concept of a Legal System: An Introduction to the Theory of a Legal
System, (Oxford: Clarendon Press, 1978), hal. 93-101.
1
material sense).3 Secara ringkas, sumber hukum formil adalah
proses yang resmi disusun untuk berlakunya suatu kaedah
hukum. Hal ini secara dominan terkait dengan bentuk dan
cara yang menyebabkan hukum itu secara formal berlaku.
Sementara sumber hukum materiil lebih banyak terkait
dengan asal dari mana materi (isi) hukum diambil.
Sumber hukum formil, lazimnya terdiri dari: konstitusi,
undang-undang, kebiasaan, perjanjian, keputusan pengadilan,
hukum internasional, doktrin ilmu hukum. Sedangkan
sumber hukum materiil lebih banyak terdiri dari: nilai dan
norma hukum yang hidup sebagai konstitusi yang tidak
tertulis, hubungan dan konsensus sosial, hubungan antar
kekuatan politik, situasi demografis, sosial dan ekonomi,
tradisi yang melembaga bersumberkan dari pandangan
keagamaan dan kesusilaan, interpretasi dan pendapat ahli.4
Dalam konteks demikian, sumber hukum materiil
bersifat sangat holistik, sosiologis dan filosofis. Sumber
hukum ini juga terkait erat dengan penyebab hukum itu dapat
mengikat serta dijalankan dan dipatuhi. Meski sumber ini
seolah tidak berbentuk, terstruktur dan tersusun seperti
sumber hukum formal, namun relevansi sosiologis, filosofis
dan yuridis suatu hukum tidak dapat dipisahkan dari apakah
hukum yang ditulis di dalam kenyataannya benar-benar
secara materiil telah mengacu kepada sumber hukum materiil
tersebut atau tidak: semakin dekat, merujuk dan paralel
dengan sumber materiil, maka akan semakin menemukan
relevansi tersebut.
3
4
2
John Alder, Constitutional and Administrative Law, (London: Mcmillan, 1989), hal. 23-24.
Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, (Yogyakarta: UII Press, 2006), hal. 7-8; E.
Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ichtisar, 1990), hal. 133-134;
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tatanegara, (Jakarta: UI Press), hal. 45,
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Konstitusi Press), Jilid I,
hal. 157, Moh. Mahfudz, MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2007), hal. 241.
Oleh karenanya, dalam pengertian yang demikian, benar
adanya jika dikatakan bahwa negara hukum Pancasila, pasca
amandemen keempat UUD 1945, pada dasarnya bersifat
prismatik: terdiri dari serangkaian sumber hukum (yang tidak
mustahil saling bertentangan), tetapi pada saat yang sama
akan ditimbang dan bertemu dalam garis kebersesuaiannya
secara sosiologis dan natural.
Maka peluang hukum Islam untuk menjadi sumber
hukum materiil bahkan formil tetaplah terbuka, mungkin
malah lebih terbuka di era reformasi ini. Namun, peluang
tersebut secara lebih intens akan dan tetap berkompetisi
dengan sumber-sumber hukum yang lain. Dengan format dan
kerangka demikian, output islamisasi hukum Indonesia pada
dasarnya akan secara paralel, sistemik dan alamiah berjalan
searah dengan Indonesianisasi Hukum Islam.
Hukum Islam Indonesia masa kini masih belum
terwujud sebagaimana yang diharapkan bersama atau
mungkin juga belum terpolakan secara jelas. Kompilasi
Hukum Islam yang lahir pada tahun 1991 dianggap sebagai
satu diantara sekian banyak karya besar umat Islam Indonesia
dalam rangka kebangkitan umat Islam Indonesia. Bahkan,
lebih jauh, adanya Kompilasi Hukum Islam juga
merefleksikan tingkat integrasi yang tinggi antara visi
keislaman, keindonesiaan dan kemodernan.5
Secara substansial perumusan Kompilasi Hukum Islam
dilakukan mengacu pada sumber hukum Islam, yakni alQur’an dan Sunnah Rasul, dan secara herarkial mengacu pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.6 Di samping
5
6
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akadernika Pressindo, 1992),
Cet. 1, hal. 6
Ketika Kompilasi Hukum Islam disebarluaskan dengan dasar Intruksi Presiden dan
Keputusan Menteri Agama, UU Nomor 7 tahun 1989 telah disahkan dan diundangkan.
Namun demikian karena penyusunan Rancangan Kompilasi Hukum Islam telah disiapkan
3
itu, para perumus Kompilasi Hukum Islam juga
memperhatikan perkembangan yang berlaku secara global
serta memperhatikan tatanan hukum Barat tertulis (terutama
Hukum Eropa Kontinental) dan tatanan hukum adat, yang
memiliki titik temu dengan tatanan Hukum Islam. Berkenaan
dengan hal itu, dalam beberapa hal, maka terjadi adaptasi dan
modifikasi tatanan hukum lainnya itu ke dalam Kompilasi
Hukum Islam. Dengan demikian, Kompilasi Hukum Islam
merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang khas di
Indonesia. Atau dengan perkataan lain, Kompilasi Hukum
Islam merupakan wujud hukum Islam yang bercorak keIndonesiaan.
Berkenaan dengan kedudukan Kompilasi Hukum Islam
dalam sistem hukum nasional, dapat diukur oleh unsur-unsur
sistem hukum nasional antara lain:
Pertama, landasan ideal dan konstitusional Kompilasi
Hukum Islam adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945. Hal itu dimuat dalam konsiderans instruksi Presiden
dan dalam Penjelasan Umum Kompilasi Hukum Islam. Ia
disusun sebagai bagian dari sistem hukum nasional yang
menjamin kelangsungan hidup beragama berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan
perwujudan kesadaran hukum masyarakat dan bangsa
Indonesia.
Kedua, ia dilegalisasi oleh Instrumen Hukum dalam
bentuk Instruksi Presiden yang dilaksanakan oleh Keputusan
Menteri Agama, yang merupakan bagian dari rangkaian
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketiga, ia dirumuskan dari tatanan hukum Islam yang
bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Oleh karenanya,
sebelumnya, maka dalam penjelasan beberapa pasal Kompilasi Hukum Islam ditulis: Pasal
ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-Undang Peradilan Agama.
4
ia merupakan perwujudan hukum Islam yang bercorak keIndonesiaan.
Keempat, saluran dalam aktualisasi Kompilasi Hukum
Islam antara lain pengadilan dalam lingkungan Pengadilan
Agama, sebagaimana dapat ditafsirkan secara theologis dari
penjelasan umum Kompilasi Hukum Islam. Di Bidang
Kewarisan (Buku II) pola dasarnya merupakan suatu
peralihan bentuk dari kewarisan menurut pandangan fuqoha
(dalam lingkungan ”tradisi besar”, meminjam istilah Redfield)
ke dalam bentuk qanun.7
Meskipun pada satu sisi landasan semangat
perumusannya telah mendekati sistem kekeluargaan parental
dan bilateral seperti dalam sistem kekeluargaan yang umum
dalam kehidupan masyarakat Indonesia, dalam kenyataannya
sifat kompromistis yang dianut Kompilasi Hukum Islam
dalam masalah kewarisan lebih mengarah pada sikap
modifikasi secara terbatas.
Dalam Kompilasi Hukum Islam juga terdapat ketentuan
yang terkait dengan masyarakat majemuk, diantaranya
ketentuan pasal 185 tentang Ahli Waris Pengganti atau
”Penggantian Ahli Waris”, pasal 189 tentang Harta Warisan
berupa lahan pertanian yang kurang dari 2 hektar sebagai
warisan ”kolektif” dan pada pasal 209 tentang Wasiat Wajibah
antara orang tua angkat dan anak angkat.
Dalam pasal 185 dinyatakan:
1. Ahli waris yang meninggal terlebih dahulu dari pada
sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh
anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.
7
Cik Hasan Bisri (Penyunting) Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem
Hukum Nasional, (Logos, Jakarta, 1999), hal. 12.
5
2. Bagian bagi Ahli Waris Pengganti tidak boleh melebihi dari
bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Dalam pasal 189 dinyatakan:
1. Bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian
yang luasnya kurang dari 2 ha, supaya dipertahankan
kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan
untuk kepentingan bersama pada ahli waris yang
bersangkutan.
2. Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak
memungkinkan karena diantara para ahli waris yang
bersangkutan ada yang memerlukan uang maka lahan
tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris
dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang
berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.
Dalam pasal 209 dinyatakan:
1.
Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasalpasal 176 sampai pasal 193. Sedangkan terhadap orang
tua angkat, yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta peninggalan
anak angkatnya tersebut.
2.
Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
peninggalan orang tua angkatnya.
Ketentuan-ketentuan itu menjadi menarik oleh karena
merupakan gagasan baru yang dituangkan menjadi kaidah
hukum yang mengacu kepada kemaslahatan. Gagasan tentang
Ahli Waris Pengganti kurang mendapat perhatian dan respon
dari para Ahli Hukum Islam oleh karena dalam tradisi
pemikiran fuqaha ia tidak begitu dikenal.
6
Ketentuan pasal 189 merupakan upaya untuk
menghindarkan terjadinya pemilikan lahan pertanian (sebagai
modal usaha di kalangan petani) yang fragmentaris, yang
dapat menjadi salah satu penyebab kemiskinan tiada ujung.
Hal itu menunjukkan bahwa hukum Islam saling terkait
dengan unsur non hukum, seperti ekonomi, struktur dan pola
budaya umat Islam dalam sistem masyarakat Indonesia yang
menempatkan harta warisan sebagai simbol benturan
keluarga (dalam arti keluarga luas).
Ketentuan pasal 209 merupakan suatu gagasan baru
yang didasarkan kepada suatu kenyataan bahwa
pengangkatan anak (adopsi) merupakan suatu gejala yang
hidup di dalam kehidupan masyarakat Islam, meskipun hal
itu tidak dengan sendirinya terjadi hubungan hukum (baca:
saling mewarisi) antara anak angkat dengan orang tua
angkatnya. Anak yang diangkat tetap memiliki hubungan
hukum dengan orang tua kandungnya. Dari hubungan sosial
antara anak angkat dengan orang tua angkat, melahirkan
ketentuan tentang wasiat wajibah. Ia merupakan ketentuan
hukum Islam yang khas Indonesia.8
Perlu diketahui bahwa keberadaan Kompilasi Hukum
Islam dalam sistem hukum nasional relatif berumur muda,
terutama di Bidang Hukum Kewarisan (Fiqh Mawaris). Ia
akan dihadapkan dengan berbagai masalah (di samping
harapan-harapan), baik di kalangan pemimpin masyarakat,
maupun para pengikut mereka. Adapun masalah-masalah
yang mungkin muncul adalah sebagai berkut:
Pertama, sosialisasi Fiqh Waris dalam Kompilasi Hukum
Islam kepada warga masyarakat, khususnya di kalangan umat
8
Ketika Atha Mudzhar (Enonimus, 1994: XVII) menyampaikan informasi tentang ketentuan
itu kepada Thohir muhammad, beliau terperanjat karena pengertian wasiat wajibah yang
demikian tidak dikenal di negara manapun.
7
Islam. Dalam hal ini, para pejabat pemerintah yang terlibat
dalam penyusunan Kompilasi Hukum Islam dituntut untuk
memainkan peranannya sebagai penyuluh dan pengambil
keputusan yang konsisten. Demikian pula para ulama dan
umara’ dituntut untuk mensosialisasikannya dalam
lingkungan masing-masing. Sosialisasi akan mudah dilakukan
manakala mereka memiliki persepsi yang sama tentang
substansi urgensi dan misi Kompilasi Hukum Islam.
Kedua, persepsi di kalangan pemimpin masyarakat
terhadap Kompilasi Hukum Islam, khususnya di kalangan
mereka yang tidak terlibat dalam proses penyusunannya,
sementara mereka memiliki keterikatan yang ketat terhadap
ajaran fuqaha dan memiliki pengaruh yang kuat di kalangan
para pengikut mereka.
Ketiga, kemungkinan terjadi perbenturan antara
Kompilasi Hukum Islam dengan struktur dan pola budaya
masyarakat, khususnya di bidang kewarisan. Kompilasi
Hukum Islam disusun dan diputuskan oleh elit-elit
masyarakat di pusat pemerintahan dan pendidikan, sementara
sebagian besar warga masyarakat bermukim di pedesaan yang
sangat terikat dengan kondisi lokal. Masih besar
kemungkinan, masyarakat menerima hukum kewarisan Islam
secara simbolik, sedangkan subsistemnya mengacu kepada
kaidah lokal yang berlaku secara turun temurun.9
Mengacu kepada berbagai persoalan dan pemikiran di
atas, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama merasa perlu untuk melakukan
kajian secara cermat tentang pokok persoalan hukum waris di
kalangan umat Islam (Studi tentang Respon Ulama dan
Hakim Agama terhadap Fiqh Waris dalam Kompilasi Hukum
Islam). Masalah ini penting untuk dikaji karena diharapkan
9
8
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam.... , hal. 17.
akan menjadi bahan untuk dipahami dalam upaya
mengaktualisasikan Fiqh Waris dalam Kompilasi Hukum
Islam, pada tatanan hukum yang selalu mengalami
perubahan. Bahkan, ia menjadi lapangan yang membutuhkan
pemecahan dan menjadi ajang untuk melakukan amal shalih.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas dirumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Adakah perbedaan mendasar antara kewarisan dalam fiqh
dan Kompilasi Hukum Islam?
2. Bagaimana sikap dan pandangan Ulama dan para Hakim
Pengadilan Agama merespon perbedaan tersebut?
3. Adakah perbedaan praktik penyelesaian kewarisan Islam
antara di masyarakat dan di Pengadilan Agama?
4. Apa solusi yang ditawarkan dalam
perbedaan praktik kewarisan tersebut?
penyelesaian
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui perbedaan mendasar antara kewarisan dalam
fiqh dan Kompilasi Hukum Islam
2. Mengungkap sikap dan pandangan ulama dan para hakim
Pengadilan Agama merespon perbedaan tersebut
3. Mengetahui perbedaan praktik penyelesaian kewarisan
Islam antara di masyarakat dan di Pengadilan Agama
4. Mencari solusi dari perbedaan praktik penyelesaian
kewarisan di masyarakat dan di Pengadilan Agama
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai:
9
1. Bahan penyempurnaan Kompilasi Hukum Islam oleh
pemerintah
2. Bahan pertimbangan MUI dalam memantapkan
keberadaan Kompilasi Hukum Islam sebagai acuan
hukum waris Islam
3. Bahan untuk mengkritisi beberapa yurisprudensi tentang
pembagian harta waris di lingkungan Peradilan Agama.
E. Kerangka Konseptual dan Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan beberapa konsep penting
dan kunci untuk menghindarkan terjadinya miss interpretation,
maka perlu dijelaskan batasan operasional konsep-konsep
tersebut.
1. Pengertian Hukum Kewarisan
Dalam lapangan hukum perdata non Islam, hukum
waris didefinisikan dengan kumpulan peraturan, yang
mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya
seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang
ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi
orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan
antara mereka dengan pihak ketiga.10
Dalam Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa
”Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris.11 menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris12 dan berapa bagian masing-masing. Hukum kewarisan
10
11
12
A. Pilio, Hukum Waris, (Jakarta: t.pn, 1997), hal 1.
Pewaris dalam istilah fiqih adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan
meninggal berdasarkan Pengadilan beragama Islam meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan (Kompilasi Hukum Islam ) Bagian II Bab I.
Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta
benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya (Kompilasi Hukum Islam). Selanjutnya
ditulis KHI Buku I Bab I Pasal 171 huruf b.
10
di atas pada dasarnya telah cukup memadai. Hanya saja,
menurut Muhammad Amin Summa, masih ada hal penting
yang belum tercover di dalamnya terutama jika dihubungkan
dengan ayat mawaris yang ada dalam al-Qur’an (An-Nissa 4 :
12).
Sehubungan dengan itu maka dia lebih cenderung untuk
merumuskannya sebagai berikut: ”Hukum Waris adalah
hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta peninggalan
tirkah pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi
ahli waris, menentukan berapa bagiannya, masing-masing ahli
waris, dan mengatur kapan waktu pembagian harta kekayaan
pewaris itu dilaksanakan.13
Dalam istilah fiqh Islam, kewarisan (al-mawaris – kata
tunggalnya al-mirats) juga disebut dengan faraidl, jamak dari
kata ”faridhah”, kata faridhah diambil dari kata fardl dengan
makna ketentuan (takdir) Al-Faridlah dalam terminologi
syariah ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris.14
Ilmu yang membahas perihal kewarisan yang umum dikenal
dengan sebutan ilmu kewarisan (ilmu mirats/al-mawarits
atau ilmu faraid.
2. Pengertian Respon Ulama
Respon, reaksi yang dinyatakan dalam bentuk ucapan,
sikap (kejiwaan) dan tindakan oleh seseorang atau
sekelompok orang atau para ulama akibat dari stimulus dalam
bentuk informasi, ucapan atau tindakan yang dilakukan oleh
orang atau kelompok lain. Sementara itu ulama menurut
Kamus Arab Indonesia karangan Mahmud Yunus berasal dari
kata ’ulama yang artinya orang yang berilmu, alim, yang
13
14
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja
Presindo, ) hal. 108.
Sayid Syabiq, Fiqh Al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.tp ), hal 602
11
tahu.15 Sedangkan WJS Poerwadarminta dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia, yang diolah kembali oleh Pusat Pembinaan
dan
Pengembangan
Bahasa
Indonesia
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan bahwa ulama
mempunyai arti ahli ilmu pengetahuan agama Islam, orang
pandai-pandai dalam hal agama Islam; alim.16
Dari definisi di atas, maka yang dimaksud dengan
respon ulama dalam kajian ini adalah reaksi yang dinyatakan
dalam bentuk ucapan, sikap atau tindakan terhadap Fiqh
Waris dalam Kompilasi Hukum Islam.
Seorang atau sekelompok ulama atau mereka yang ahli
di bidang pengetahuan agama, terutama di bidang hukum
Islam (ulama fiqh) meliputi
a. Ulama Pimpinan Pondok Pesantren, Majelis Ulama
Indonesia (MUI), Majelis Tarjih Muhammadiyah, Lajnah
Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama dan lain-lain.
b. Pakar hukum Islam di lingkungan yang mengajar di
Fakultas Hukum dan Fakultas Syariah
c. Para hakim Pengadilan Agama yang menangani bidang
kewarisan.
3. Pengertian Fiqh Waris
15
16
Prof. H. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: yayasan Penyelenggara
Penterjemahan Penafsiran Al Qur’an, ), hal. 278.
WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976),
hal. 1120.
12
Fiqh secara etimologis berarti fahm (pemahaman),
mengerti,17 seperti terlihat dalam firman Allah dalam al
Qur’an surat Hud 11 : 91 yang artinya; ”Mereka berkata” Hai
Syuaib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu
katakan” dan firman Allah dalam Qs An Nissa 4 : 78 yang
artinya;
”Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir
tidak memahami pembicaraan (sedikitpun).
Pengetian fiqh di dalam al Qur’an tidak terbatas hanya
pada pemahaman tentang masalah-masalah yang menyangkut
hukum saja, tetapi juga pemahaman agama dalam pengertian
yang lebih luas, yakni menyangkut berbagai aspeknya.
Menurut Muhammad Rasyid Ridla, hampir semua kata fiqh
yang terdapat dalam al-Qur’an berarti pemahaman yang rinci
dan pengetahuan yang mendalam tentang urusan agama dan
urusan dunia yang erat hubungannya dengan agama serta
kesempurnaan jiwa.18 Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah
pada QS At Taubah 9 : 122 yang artinya:
”Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi
semuanya (ke medan perang) mengapa tiap-tiap golongan dari
mereka tidak tinggal untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama
dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Firman Allah li yatafaqqahu fi ad din dalam ayat di atas
menunjukkan bahwa kata fiqih tidak hanya dimaksudkan
pemahaman dari aspek hukum tetapi pemahaman agama
secara mendalam dari berbagai seginya. Pengertian fiqh yang
seperti inilah yang dikenal dan dipakai pada masa-masa awal
17
Isnawati Rais, Pemikiran Fiqh Abdul Hamid Hakim, Program Peningkatan Kualitas
Pelajaran Publik Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan haji Departemen Agama, Jakarta,
2005, hal. 173
18
Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir Qur’an al-Hakim (Tafsir al Manar) (Beirut, Dar al Ma’rifah,
1993 m/ 1414 H), Jilid IX, hal. 421 dan 425
13
Islam. Dan ini masih berlangsung sampai dengan abad kedua
hijriyah.19 Jadi yang dimaksud dengan fiqh pada waktu itu
adalah pengetahuan tentang hukum-hukum agama (al ’ilmi bi
ahkam ad-din), yang dinamakan oleh Imam Abu Hanifah
sebagai ”al Fiqh al Akbar”. Yang dimaksud dengan
pengetahuan tentang hukum-hukum agama itu, adalah semua
ilmu tentang syariah, dan bukan hanya tentang hukum
syariah yang terperinci, yang bersifat praktis saja. Imam Abu
Hanifah, salah seorang ulama besar fiqh dan Imam Madzhab
Hanafi yang hidup pada tahun 80 – 150 H mengatakan bahwa
yang dikatakan fiqh adalah: 20 ”Pengetahuan terhadap apa
yang menjadi hak dan kewajiban diri (an-nafs). Yang
dimaksud dengan pengetahuan (ma’rifah) dalam definisi di
atas adalah memperoleh yang ”juz’iyah” dari dalil, artinya
sesuatu yang biasanya diperoleh dari memeriksa dan
membahas kaidah demi kaidah.21
Definisi atau batasan arti fiqh yang diberikan oleh Imam
Abu Hanifah ini menurut Wahbah az-Zuhaily mengandung
pengertian yang mencakup hukum-hukum tentang i’tiqad,
seperti wajib beriman dan lain sebagainya, hukum-hukum
tentang perasaan hati (wijdaniyat), yaitu masalah akhlak dan
tasawuf, dan hukum-hukum amali, seperti shalat, puasa, jual
beli dan lain sebagainya.22 Pengertian seperti inilah yang
dikenal dengan al– fiqh al-Akbar, seperti telah disebutkan di
atas.
Batasan arti seperti ini dipakai sebelum fiqh menjadi
ilmu yang terpisah dari ilmu-ilmu agama (syar’iah) yang
lainnya. Setelah ada pemisahan, maka jadilah masalah i’tiqad
19
Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprundence. Terjemahan Carmadi,
(Bandung: Pustaka, 1984), hal. 3
Ad-Duraini, al-Fiqh al -Islamy al-Muqarin, hal 2.
21
Wahbah Az-Zuhaily, al-Wasit, hal. 16
22
Ibid
20
14
dibahas dalam Ilmu Kalam atau Ilmu Tauhid, zuhud, sabar
ridla dan yang serupa dibahas dalam ilmu wijdaniyyat
sedangkan fiqh pun telah menjadi suatu ilmu yang berdiri
sendiri, sehingga pengertiannyapun menjadi telah terbatas,
seperti definisi berikut ini;
”Pengetahuan terhadap apa yang menjadi hak dan kewajiban
diri dari hukum amali (yang bersifat praktis’).
Sejalan dengan definisi di atas ulama-ulama Hanafiyah
menambahkan kata ”amalan” terhadap definisi yang diberikan
oleh Imam Abu Hanifah. Penambahan ini dimaksudkan untuk
mengeluarkan masalah-masalah yang berhubungan dengan
”al-i”tiqadiyyat” dan ”al Wijdaniyyat” yang dicakup oleh
definisi yang diberikan oleh Imam Abu Hanifah yang dikenal
dengan al-Fiqh al- Akbar itu.23
Pembahasan definisi fiqih sebagaimana disebutkan
terakhir, juga terlihat pada berbagai definisi yang
dikemukakan oleh ulama ushul fiqh, yang antara lain adalah:
a. Menurut Asy-Subki, Fiqh adalah ilmu tentang hukumhukum seperti syari’at yang amali (praktis) yang diperoleh
dari dalil-dalil yang terperinci.24
b. Menurut Asy-Syaukani, fiqh adalah ilmu tentang hukumhukum syari’at dari dalil-dalilnya yang terperinci
diperoleh dengan cara beristidlal.
Sementara itu di kalangan fuqaha ulama fiqh, fiqh
dikenal dengan dua pengertian berikut: 25
23
24
25
Ibid
Al-Barmawi, Hasyi al-allamat al Barmawi ‘ala mani Jami’ al-Juwaini, (Dari Ihya al-Kutub
al Arrabiyah, tth), Jilid I Hal. 42 - 43
Asy-Syaukani, Irsyad al-Fukhul, hal3. Definisi ini yang dipilih oleh Hakim, Lihat Hakim, al
Bayan, hal. 6
15
a. Memelihara hukum-hukum furu’ secara mutlak atau
sebagian (sekelompok) dari padanya.
b. Materi hukum-hukum syari’at baik yang qat’i (pasti)
ataupun yang dzanni (yang tidak pasti)
Definisi-definisi fiqh di atas, baik yang dikemukakan
oleh ulama ushul maupun ulama fiqh, memberikan gambaran
bahwa kedua kelompok ulama ini, kelihatannya sama-sama
setuju untuk membatasi tentang lingkup pengertian fiqh.
Pengertian fiqh hanya pada masalah-masalah hukum saja.
Sampai sekarangpun batasan arti yang seperti itulah
yang dikenal luas di masyarakat. Bila disebut kata fiqh, maka
tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud adalah hukum
Islam. Pengertian seperti ini pulalah yang dipahami dan
dipakai oleh Hakim dalam buku fiqhnya, dan yang akan
dipakai dalam kajian ini. Seperti ulama-ulama lainya. Hakim
memandang bahwa Hukum Islam (fiqh) merupakan bagian
penting dalam syari’at Islam, karena disamping sebagai salah
satu aspek ajaran Islam, hukum ini juga merupakan suatu
yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Hukum
merupakan alat pengatur dan pengontrol yang perlu
diketahui, dipahami, dan dilaksanakan oleh setiap muslim.
Ketentuan yang terdapat di dalam Hukum Islam (fiqh), seperti
yang telah dijelaskan dalam definisi fiqh, adalah merupakan
ketentuan hukum yang diperoleh dari dalil.26
Dalam pada itu sebagaimana dikemukakan Muhammad
Amin Summa di atas bahwa ”hukum waris ialah hukum yang
mengatur peralihan kepemilikan harta peninggalan (berhak)
pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris, menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris,
26
Isnawati Rais, Op. Cit, Hal. 177.
16
dan mengatur kapan waktu pembagian harta kekayaan
pewaris itu dilaksanakan.
Dari beberapa definisi tersebut di atas, maka yang
dimaksud fiqh waris dalam kajian ini adalah hukum Islam
yang mengatur tentang harta waris dalam Kompilasi Hukum
Islam.
4. Pengertian Kompilasi Hukum Islam
Dalam kamus lengkap Inggris Indonesia – Indonesia
Inggris yang disusun oleh S. Wojowasito dan WJS
Poerwadarminta disebutkan kata ”compilation” dengan
terjemahan karangan tersusun dan kutipan buku-buku lain
(Wojowasito, 1982: 88). Sedangkan dalam Kamus Umum
Belanda Indonesia yang disusun oleh Wojowasito kata
”compilatie” dalam bahasa Belanda diterjemahkan menjadi
”kompilasi” dengan keterangan tambahan ”kumpulan dan
lain-lain karangan Wojowasito (1981; 123).
Berdasarkan keterangan tersebut dapatlah diketahui
bahwa ditinjau dari sudut bahasa kompilasi itu adalah
kegiatan pengumpulan dari berbagai bahan tertulis yang
diambil dari berbagai buku/tulisan mengenai sesuatu
persoalan tertentu. Pengumpulan dari berbagai sumber yang
dibuat oleh beberapa penulis yang berbeda untuk ditulis
dalam suatu buku tertentu, sehingga dengan kegiatan ini
semua bahan yang diperlukan dapat ditemukan dengan
mudah.
Bilamana kita melihat pengertian kompilasi menurut arti
bahasa sebagaimana dikemukakan di atas, maka kompilasi itu
bukanlah selalu merupakan suatu produk hukum sebagai
mana halnya dengan sebuah kodifikasi. Dalam pengertian
hukum, maka kompilasi adalah sebuah buku hukum atau
kesimpulan yang menurut uraian atau bahan-bahan hukum
17
tertentu, pendapat hukum atau juga aturan hukum.
Pengertiannya memang berbeda dengan kodifikasi, namun
kompilasi dalam pengertian ini juga merupakan sebuah buku
hukum.
Kompilasi hukum Islam yang ditetapkan pada tahun
1991 tidak secara tegas menyebutkan bagaimana pengertian
kompilasi dan Kompilasi Hukum Islam. Dari sejarah
penyusunannya juga tidak nampak munculnya pemikiran
yang kontroversial mengenai apa yang dimaksudkan dengan
kompilasi itu. Dengan demikian, penyusunan kompilasi tidak
secara tegas menganut suatu paham apa yang dibuatnya
tersebut, namun kenyataan ini kelihatannya tidak
mengundang reaksi dari pihak manapun. Akan tetapi dilihat
dari rencana kegiatan yang bersangkutan yaitu untuk
menghimpun bahan-bahan hukum yang diperlukan sebagai
pedoman dalam bidang hukum materiil bagi para Hakim di
lingkungan Peradilan Agama. Bahan-bahan dimaksud
diangkat dari berbagai kitab yang bisa digunakan sebagai
sumber pengambilan dalam penetapan hukum yang
dilakukan oleh para hakim dan bahan-bahan lainnya yang
berhubungan dengan itu, maka dapat dikemukakan bahwa
yang diartikan dengan Kompilasi Hukum Islam ini adalah
merupakan rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang
diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh para Ulama Fiqh
yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Peradilan
Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke
dalam sebuah buku. Himpunan tersebut itulah yang
kemudian disebut dengan kompilasi.
Materi atau bahan hukum dimaksud telah diolah melalui
proses dan metode tertentu, kemudian dirumuskan dalam
bentuk yang serupa dengan peraturan perundang-undangan
(yaitu dalam pasal-pasal tertentu). Bahkan ini kemudian
ditetapkan berlakunya melalui sebuah keputusan Presiden
18
yang untuk selanjutnya dapat dipergunakan oleh para Hakim
Peradilan Agama dalam memeriksa, mengadili dan
memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya sebagai
pedoman.27
F. Metode Penelitian
1. Bidang penelitian
Dalam studi imu-ilmu keislaman, penelitian tentang
pelaksanaan hukum waris di kalangan umat Islam Indonesia
(Studi tentang Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap
Fiqh Waris dalam Kompilasi Hukum Islam) dapat
dimasukkan dalam bidang penelitian hukum Islam dan
pranata sosial. Cik Hasan Bisri dalam ”Pilar-pilar Penelitian
Hukum Islam dan Pranata Sosial memetakan bahwa ada
sebelas wilayah penelitian hukum Islam dan pranata sosial,
yaitu pranata peribadatan, kekerabatan, pendidikan,
penyiaran, keilmuan, hukum politik, hukum ekonomi,
kesehatan, perawatan, dan kesenian. Apabila memperhatikan
substansi dan ruang lingkupnya, maka waris dapat
dimasukkan pranata ekonomi kekerabatan dalam hukum
Islam.28
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Kalimantan
Selatan, Sulawesi Selatan, DI Yogyakarta, Sumatera Barat,
Sumatera Utara dan Gorontalo, terpilihnya provinsi ini, lebih
pada pertimbangan bahwa daerah-daerah tersebut adalah
merupakan provinsi yang mayoritas penduduknya beragama
Islam, sehingga diperkirakan pelaksanaan hukum waris Islam
di daerah tersebut cukup signifikan.
27
28
Abdurrahman, Op Cit, hal. 14
Selengkapnya baca Cik Hasan Bisri, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata
Sosial, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004), h.
19
3. Pendekatan
Penelitian ini lebih banyak mengeksplorasi data yang
sifatnya empirik deskriptif analitis dan menjadikan fiqh waris
dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai obyek kajian.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
studi kasus. Pendekatan ini dipilih atas dasar pertimbangan
bahwa apa yang akan diteliti menyangkut pengungkapan
fenomena sosial yang sangat beragam. Dalam penelitian ini
berusaha mengungkapkan alasan-alasan (reasons) yang
tersembunyi dibalik tindakan para pelaku sosial akan
bermuara pada ”makna sosial” (social meaning) dari suatu
fenomena sosial.
Melalui pendekatan ini peneliti sendiri menjadi alat
pengumpul data utama, karena dia yang akan memahami
secara mendalam tentang obyek yang diteliti dengan intensip.
Sedangkan bentuk studi kasus dipilih atas dasar
pertimbangan bahwa obyek penelitiannya begitu beragam,
berusaha menelusuri dan menghubungkan berbagai variabel
yang kemungkinan saling berkaitan, tetapi hasil eksplorasinya
tidak dapat digeneralisir29. Alasan lain digunakan penelitian
kualitatif ialah, pertama, peneliti harus mampu menyesuaikan
diri di lapangan apabila berhadapan dengan kenyataan ganda;
kedua, metode ini mengujikan secara langsung hakekat
penelitian dengan informan dan; ketiga, lebih peka dan lebih
dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh
terhadap pola nilai-nilai yang dihadapi.30 Di samping itu
karena sifat penelitian kualitatif memahami makna atau
menuju pemahaman yang mendalam, maka berlaku cara kerja
29
30
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,, 2000), h.
Sanafiah Faisal, “Varian-varian Kontemporer Penelitian Sosial”, dalam Burhan Bungiin,
Ed Metodologi Penelitian Kualitatif: Metodologi Penelitian Ke Arah Ragam Kontemporer,
(Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004), Hal. 29
20
menajamkan penciuman terhadap siapa yang dapat
memberikan informasi untuk melengkapi hasil penelitian
yang telah dilaksanakan.
4. Data yang Dihimpun dan Sumber Data
Data yang akan dihimpun dalam penelitian ini adalah
Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap Fiqh Waris dalam
Kompilasi Hukum Islam dengan variabel sebagai berikut:
a. Persyaratan Ahli Waris.
1) Beragama Islam
2) Tidak terhalang sebagai ahli waris karena putusan
hakim yang telah memiliki kekuatan hukum yang
tetap, karena dipersoalkan
a) Telah membunuh, mencoba membunuh, dan
menganiaya berat para pewaris.
b) Memfitnah, bahwa pewaris telah melakukan
kejahatan dengan ancaman hukuman 5 tahun
penjara atau lebih berat.
3) Ahli waris mempunyai:
a) Hubungan darah, golongan laki-laki terdiri dari;
ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan
kakek. Sedangkan dari golongan perempuan terdiri
dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan
nenek.
b) Menurut hubungan perkawinan
c) Jika semua ahli waris lengkap masih hidup, maka
yang berhak mendapat waris adalah anak, ayah,
ibu, janda atau duda.
b. Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:
1) Mengurus dan menyelesaikan pemakaman jenazah
21
2)
3)
4)
5)
Menyelesaikan hutang-hutang pewaris
Menyelesaikan wasiat pewaris
Membagi warisan di antara ahli waris yang berhak
Tanggungjawab ahli waris terhadap hutang sebatas
nilai harta peninggalan.
c. Besarnya bagian warisan
1) Porsi perbandingan bagian wanita dan bagian laki-laki
dua banding satu untuk laki-laki;
2) Prinsip musyawarah dalam pembagian waris
dimungkinkan
3) Pembagian dari masing-masing ahli waris sudah
sesuai dengan ketentuan faraid.
d. Tatacara pembagian waris
1) Harus dikaitkan dengan ketentuan pasal 192 dan 193,
melalui Aul dan Rad.
2) Pembagian warisan bagi mereka yang mempunyai
isteri lebih dari seorang.
3) Ahli waris pengganti seperti diatur dalam pasal 185
e. Pengaturan tentang wasiat (pasal 194-209)
1)
2)
3)
4)
5)
Mereka yang berhak untuk berwasiat
Bentuk wasiat
Jenis-jenis wasiat
Hal yang boleh dan tidak boleh dalam wasiat
Hibah diatur secara singkat
5. Sumber Data
Sumber data dalam pengkajian ini terdiri atas studi
kepustakaan dan dokumen, serta penelitian lapangan. Studi
kepustakaan dengan melakukan kajian terhadap buku,
laporan penelitian, majalah surat kabar dan dokumen lain
yang relevan, terutama dari Peradilan Agama, Perguruan
22
Tinggi Agama Islam terutama Fakultas Hukum dan Syariah,
Kantor Kementerian Agama, dan Pondok Pesantren yang ada
di daerah penelitian, dokumen dari ormas keagamaan seperti
Lajnah Bakhtsul Masail NU, dan Majelis Tarjih
Muhammadiyah dan lain-lain.
6. Tehnik Pengumpulan dan Analisis Data
a. Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri
atas;
1) Studi kepustakaan dan dokumen pada sumber sebagai
mana tersebut di atas;
2) Wawancara dengan informan tersebut diatas dengan
menggunakan Pedoman Pengumpulan Data
b. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang terkumpul diolah dengan melakukan seleksi
dan klasifikasi data. Selanjutnya di analisis dengan melakukan
komparasi dan interpretasi.
23
24
BAB II
RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA TERHADAP
FIQH WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM
DI GORONTALO
Oleh: Muchit A Karim dan Ali Mansyur
I.
Gambaran Umum Wilayah Penelitian
A. Kondisi Geografis
ilayah Provinsi Gorontalo berada diantara 0.19’1,15’ Lintang Utara dan 121,23’-123,43’ Bujur
Timur. Posisi provinsi ini berada di bagian Utara
Pulau Sulawesi. Yaitu berbatasan langsung dengan Provinsi
Sulawesi Utara di sebelah Timur dan Provinsi Sulawesi
Tengah di sebelah Barat. Sedangkan di sebelah Utara
berhadapan dengan Laut Sulawesi dan di sebelah Selatan
berhadapan dengan Teluk Tomini.
W
Secara keseluruhan Provinsi Gorontalo memiliki wilayah
seluas 12.215,44 km2. Jika dibandingkan dengan wilayah
Indonesia, luas Provinsi Gorontalo hanya 0,64%. Provinsi
Gorontalo terdiri atas 5 kabupaten dan 1 kota. Yaitu:
Kabupaten Bolemo, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten
Pohuwato, Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Gorontalo
Utara dan Kota Gorontalo.
Letak wilayah Provinsi Gorontalo yang berada di
ketinggian 0-1000 M dan letaknya di dekat garis khatulistiwa
menjadikan daerah ini mempunyai suhu udara yang cukup
panas, suhu minimum berkisar 22,6º, sampai dengan 24,0º,
suhu maksimum yang tercatat pada tahun 2007 pada siang
hari berkisar 30,9ºC-33,5ºC. Provinsi Gorontalo mempunyai
kelembaban yang relatif tinggi, rata-rata mencapai 80,17
persen, sedangkan curah hujan tertinggi sebanyak 400 mm di
bulan Desember dengan hujan sebanyak 24 hari.
25
B. Kependudukan dan Kehidupan Keagamaan
Adapun jumlah penduduk berdasarkan pendataan pada
Tahun 2007 sebanyak 960.335 jiwa, jumlah pemeluk agama
97,5% penduduk Provinsi Gorontalo memeluk agama Islam,
1.3% agama Protestan, selebihnya sebanyak 1% memeluk
agama Katolik, Hindu dan Budha.
Sementara jumlah rumah ibadat di Provinsi Gorontalo
terdiri atas: 1.602 masjid, 145 Mushollah, 107 Gereja Protestan,
21 Gereja Katolik, 9 Pura, dan 4 Vihara.
Adapun sarana dan prasarana pendidikan berdasarkan
data tahun 2007, jumlah sekolah dasar 910 buah, dengan total
murid 145,234 dan 7.140 guru. Jumlah sekolah lanjutan tingkat
Pertama 248 buah dengan jumlah murid 44.648 dan 4.169
guru, serta sejumlah sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA).
Adapun etnik yang ada adalah 80% Gorontalo, 10%
Arab, 10% Cina dan lainnya.
Hubungan kekerabatan masyarakat Gorontalo sangat
kuat, dan sebagian besar masih memegang dan konsisten
terhadap adat, termasuk dalam hal penghormatan antar
sesama dalam satu keluarga terutama penghormatan kepada
orang tua. Hal ini terlihat jelas dalam hal pembagian waris,
hampir 80% diselesaikan secara musyawarah keluarga.
Berdasarkan data pada tahun 2007 jumlah penduduk
yang berusia 15 ke atas yang bekerja sejumlah 362.676 jiwa.
Bila dibedakan menurut lapangan kerja sebagai berikut: 47,9%
bekerja di sektor pertanian, 15,2% bekerja di sektor jasa, 14,7
bekerja di sektor perdagangan, sisanya di tempat lain
termasuk bekerja di instansi pemerintah.
Lembaga keagamaan di daerah ini meliputi Nahdhatul
Ulama, Muhammadiyah, Al-Irsyad, Al-Islah, Tarbiyah
Islamiyah Al-Khairaat, Yayasan ini sebenarnya memiliki
26
kultur keagamaan Nahdlatul Ulama, namun karena sudah
mengakar di tengah masyarakat sehingga masyarakat
cenderung untuk tidak menyamakan dengan Nahdlatul
Ulama, Alkhairat berpusat di Palu Sulawesi Tengah)
C. Falsafah Adat Bersendi Syara’ dan Syara’ Bersendikan
Kitabullah (Al-Qur’an)
Konsekwensi dari falsafah kehidupan yang dianut
masyarakat Gorontalo seperti di atas menimbulkan proses
transformasi nilai-nilai syara’ atau ajaran Islam kedalam
sistem adat dan budaya masyarakat Gorontalo menjadi luas
mencakup berbagai aspek kehidupan. Kalau dalam
pelaksanaan hukum adat berpedoman kepada “Wu’udu,
bubalata, Tineko dan Tambola’o, pada aspek ekonomi mengenal
kebiasaan “Toyade” (sistem bagi hasil), “Pokuloo” (sistem gadai
tanah atau barang) “Hujula” (sistem gotong royong) dan
sebagainya. Berdasar data-data yang dapat dilihat di
masyarakat dan penuturan (uulito) orang-orang tua,
menunjukkan bagaimana proses transformasi nilai-nilai ajaran
Islam ke dalam sistem adat atau budaya masyarakat
Gorontalo, khususnya dalam aspek hukum dan ekonomi.
Jika dilihat proses masuknya Islam di daerah Gorontalo
pada abad 16 telah berdiri kerajaan Limutu (Limboto) pada
tahun 1330, kerajaan Gorontalo pada tahun 1385. Keberadaan
kerajaan ini mempermudah penyebaran Islam di daerah
Gorontalo.
Pengaruh Islam yang begitu luas ke dalam adat
Gorontalo karena Islam memiliki cakupan ajaran yang
universal berdimensi luas tidak terbatas pada masalah aqidah
dan ahlak, tetapi meliputi semua aspek kehidupan maupun
benda. Manusia merupakan mahluk berbudi, dengan akalnya
mampu menciptakan hal-hal yang baru oleh karena itu
manusia disebut mahluk berbudaya, dan manusia sangat
27
menjunjung tinggi nilai-nilai yang diperoleh melalui akal dan
perasaannya yang dinamakan budaya (cultura).
Kebudayaan merupakan nilai yang dihasilkan oleh akal
pikiran dan perasaan manusia telah membentuk kesatuan
sosial yang disebut masyarakat. Namun demikian
kebudayaan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat bermacam-macam bentuk tergantung pada
tingkat perkembangan berfikir serta kebutuhan spiritual yang
mempunyai hubungan yang erat dengan karakteristik
lingkungan sosialnya.
Dalam kaitan ini Islam sebagai agama yang bersifat
akomodatif terhadap budaya lokal (adat kebiasaan)
menjadikannya sebagai salah satu sumber hukum Islam. Hal
ini bisa dilihat dalam kaidah Usul Fiqh bahwa “Al-Adaatu
Muhak-kamatun” (adat itu bisa menjadi hukum).
Gorontalo yang memiliki falsafah hidup adat“Bersendi
Syara’ dan Syara’ bersendi Kitabullah (Al-Qur’an) dalam
penelusuran sejarah sejak masuknya agama Islam yakni sejak
Maharajá Amai sampai Maharajá Papa Eyato berkuasa telah
terbentuk pola-pola hidup yang dijiwai oleh Hukum Islam
dalam peradaban Gorontalo melalui jalur adaptasi.
Keberhasilan Motolodulakiki mensejajarkan Hukum Islam
dengan hukum adat dengan falsafah “Sara’a kulakula’a lo adati.
Adat kula kula’a to sara’a” Adat Bersendikan Syara’ dan Syara’
Bersendikan Kitabullah semakin mendekatkan masyarakat
kepada ajaran Islam yang dalam perkembangannya
melahirkan adanya nilai-nilai adat yang diIslamkan dan
pelaksanaan nilai-nilai Islam diadatkan.
Masuknya nilai-nilai hukum dan ekonomi Islam dalam
sistem adat Gorontalo terdapat hubungan yang transformatif,
dimana nilai-nilai syara’ tercermin dan mewarnai praktekpraktek adat melalui proses awal dengan pola adaptasi,
28
kemudian nilai hukum dan ekonomi Islam itu menjadi bagian
dan ciri khas praktek-praktek hukum dan ekonomi dalam tata
budaya dan adat Gorontalo. Data menunjukkan bahwa pola
praktek yang berkaitan dengan Hukum Adat Gorontalo
mencerminkan nilai-nilai hukum Islam dan bahkan institusiinstitusi hukum, seperti Qadhi, Mufti dan Imam yang sampai
sekarang masih ada. Demikian pula dalam kegiatan ekonomi,
yakni dengan pola institusi ekonomi yang berkembang dalam
masyarakat menunjukkan relevansinya dengan sistem
ekonomi Islam.1
II. Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap Fiqh Waris
dalam Kompilasi Hukum Islam di Provinsi Gorontalo
A. Pengetahuan tentang Kompilasi Hukum Islam
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa baik di kalangan
ulama maupun Hakim Agama sudah mengetahui keberadaan
Hukum Waris dalam Kompilasi Hukum Islam. Terlebih bagi
Hakim Agama yang berada di lingkungan Peradilan Agama
yang tersebar di Provinsi yang baru dimekarkan dari Provinsi
Sulawesi Utara ini.
Dari hasil penelitian diperoleh keterangan bahwa semua
Hakim Agama menggunakan Kompilasi Hukum Islam dalam
proses pengambilan keputusan terhadap perkara-perkara
yang menjadi kewenangan Peradilan Agama terutama perkara
waris. Menurut Hakim Pengadilan Agama, bahwa kehadiran
Kompilasi Hukum Islam ternyata meringankan tugas Hakim
Agama dalam memutuskan perkara, sebab dengan adanya
Kompilasi Hukum Islam, Hakim Agama tidak perlu lagi
menggali hukum sendiri dari kitab-kitab fiqh klasik,
walaupun prosedur penggalian hukum tersebut masih
1
Ismail Y. Pahi, Drs, MA, dkk; Penelitian tentang Nilai-nilai Falsafah Adat Bersendikan
Syara’, Syara’ Bersendikan Kitabullah Ditinjau dari Aspek Hukum dan Ekoomi; Lemlit
IAIN Sultan Amai, Gorontalo, 2008, h. 81.
29
dibenarkan untuk dilakukan oleh para Hakim. Selain itu
dengan dijadikannya Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum
terapan khususnya dalam perkara waris, maka hal ini turut
meminimalisir terjadinya disparitas putusan di Pengadilan
Agama, dengan demikian akan terjadi kepastian hukum, yang
pada akhirnya akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat
terhadap Peradilan Agama itu sendiri, sebab keinginan
mereka mencari keadilan di Peradilan Agama, tercapai
sebagaimana yang diharapkan masyarakat pada umumnya.
Selain alasan tersebut, menurut para Hakim Agama setempat,
bahwa kandungan hukum waris yang terdapat di dalam
Kompilasi Hukum Islam, pada banyak point bahasan sudah
sesuai dengan Fiqh Islam, terutama pada sifatnya yang adaptif
dengan kondisi sosial kemasyarakatan di Indonesia pada
umumnya. Namun demikian menurut mereka jika pada
proses berikutnya, Kompilasi Hukum Islam akan dijadikan
Undang-Undang maka perbaikan tetap harus dilakukan.
Walaupun penerapannya tidak mendapat resistensi
masyarakat, bukan berarti Kompilasi Hukum Islam sudah
sempurna, sebab dalam beberapa pasal masih ada yang multi
interpretatif, dalam hal ini Mahkamah Agung Republik
Indonesia sebagai pihak yang sangat berkepentingan
sekaligus memiliki kompetensi dalam perbaikan Kompilasi
Hukum Islam, sudah mengambil langkah-langkah taktis
seperti memberikan Surat Edaran kepada para Hakim Agama
di seluruh Indonesia, sebagai pedoman dalam mengambil
keputusan yang dasar hukumnya digali dari Kompilasi
Hukum Islam.
Sebagai hukum terapan yang digunakan di Pengadilan
Agama, keberadaan Kompilasi Hukum Islam belum
disosialisasi secara maksimal, hal ini terlihat dari penjelasan
yang peneliti temukan di lapangan. Sekurangnya sosialisasi
Kompilasi Hukum Islam hanya terjadi pada saat Pengadilan
30
Agama masih berada di lingkungan Kementerian Agama
Republik Indonesia. Sedangkan saat Peradilan Agama sudah
di bawah Mahkamah Agung, menurut Hakim belum ada
sosialisasi tentang Kompilasi Hukum Islam, diantara alasan
yang dikemukakan adalah tidak adanya anggaran khusus
sosialisasi yang dialokasikan oleh Mahkamah Agung Republik
Indonesia. (Menurut Drs. Syihabuddin, SH, MH, saat ditemui
bersama enam orang Hakim Tinggi di ruang Wakil Ketua
Pengadilan Tinggi Agama Gorontalo).
Hakim Pengadilan Tinggi Agama Provinsi Gorontalo
menganggap bahwa keberadaan hukum waris dalam
Kompilasi Hukum Islam sudah tepat dan merupakan
keharusan, bahkan kalau sekiranya bisa, agar hukum waris
segera diupayakan menjadi Undang-Undang yang memiliki
kekuatan hukum yang sifatnya pasti dan mengikat. Hal ini
diperlukan untuk meminimalisir kebingungan umat Islam
dalam menghadapi persoalan waris, sebab masih terjadi
kesimpangsiuran dan disparitas putusan masalah waris di
Pengadilan Agama, yang disebabkan oleh beragamnya dasar
hukum yang digunakan oleh Hakim Agama dalam
memutuskan perkara waris di Pengadilan Agama.2
B. Pandangan dan Sikap Ulama dan Hakim Agama
terhadap Perbedaan Hukum Waris dalam Fiqh Islam dan
Kompilasi Hukum Islam
1. Perbedaan antara Fiqh Klasik dan Kompilasi Hukum
Islam
Dari perspektif ulama dan Hakim Agama di Provinsi
Gorontalo bahwa perbedaan keduanya tidak menyentuh
aturan-aturan dasar hukum waris, dengan pengertian bahwa
perbedaan tersebut tidak menyentuh persoalan subtansi dari
2
Hakim Agama Pengadilan Tinggi Agama, Wawancara tanggal 24 April 2009.
31
pembagian warisan. Misalnya pada Ahli Waris Pengganti,
dalam Fiqh Klasik diakui keberadaan Ahli Waris Pengganti,
akan tetapi yang masuk dalam kategori ini sangat terbatas,
khususnya penggunaan garis keturunan laki-laki saja. Model
fiqh seperti ini lebih dipengaruhi oleh sistem patriarki di tanah
Arab,
sehingga
hak-hak
wanita
dalam
persoalan
kemasyarakatan selalu saja mendapat diskriminasi. Berbeda
dengan kandungan Kompilasi Hukum Islam, di mana sudah
beradaptasi dengan kondisi sosial kemasyarakatan di
Indonesia, dengan sendirinya mengakomodir kepentingan
kaum perempuan, khususnya dalam kasus Ahli Waris
Pengganti.
Jika perbedaan tersebut masih dalam batas-batas yang
bisa ditolerir, tentunya akan disikapi secara positif. Terutama
di daerah Gorontalo yang selalu mengedepankan
musyawarah yang berujung pada perdamaian di antara ahli
waris, semaksimal mungkin ada upaya meminimalisir
terjadinya sengketa di antara para Ahli Waris.3
Perbedaan pasti ada, namun dalam proses penyelesaian
harta warisan, masyarakat Gorontalo lebih mendudukannya
pada skala prioritas, dengan mengedepankan penyelesaian
yang lebih bersifat kekeluargaan di antara Ahli Waris, setelah
tidak ditemui jalan keluar seperti yang diharapkan, baru
kemudian mereka memilih alternatif kedua (sesuai faraid di
tingkatan ulama/tokoh masyarakat yang dianggap ahli dalam
bidang faraid. Jika masih tidak mendapat kesepakatan, maka
sengketa waris akan menempuh alternatif ketiga, yaitu
ditingkat Pengadilan Agama.4
3
4
Karim Bateda, Ketua NU, Tokoh Adat, Sekretaris Daerah Provinsi Gorontalo, Wawancara
23 April 2009.
Azhar Mayang, Ketua Pengadilan Agama Limboto, Wawancara tanggal 21 April 2009.
32
2. Perbedaan Praktek Penyelesaian
Masyarakat dan Pengadilan Agama
Waris
Islam
di
a. Harta Bersama
Masyarakat Gorontalo tidak melakukan pembagian
harta warisan menjadi dua bagian terlebih dahulu, sebelum
dibagi kepada semua ahli waris, sebagaimana dianjurkan oleh
Kompilasi Hukum Islam. Praktek yang terjadi di dalam
masyarakat bermacam-macam, sebagian langsung membagi
rata harta warisan kepada semua Ahli Waris setelah
disisihkan harta untuk pengurusan pewaris dan acara ritual
yang berkenaan dengan meninggalnya pewaris, temasuk
biaya peringatan haul. Sebagian ada yang tidak menyegerakan
(menunda) pembagian harta warisan sampai salah satu orang
tua yang masih hidup meninggal dunia, hal ini lebih
disebabkan penghormatan dan rasa sungkan kepada orang
tua yang masih hidup.
Sedangkan praktek yang terjadi di Pengadilan Agama
yang tersebar di Provinsi Gorontalo, sebelum memutuskan
untuk membagi harta warisan kepada masing-masing Ahli
Waris sesuai kadar bagian masing-masing, para hakim
terlebih dahulu membagi harta warisan tersebut menjadi dua
bagian yang diperuntukkan bagi salah satu dari suami atau
istri yang masih hidup sebagai harta gono gini. Setelah itu
setengah bagian yang lain adalah harta yang harus dibagikan
kepada semua ahli waris yang berhak.5
b. Ahli Waris Pengganti.
Praktek pembagian harta warisan yang terjadi di dalam
masyarakat Gorontalo khususnya yang berkenaan dengan
bagian cucu yang orang tuanya terlebih dahulu telah
meninggal dunia. Cucu yang berada pada kondisi seperti ini,
5
Hakim Pengadilan Tinggi Agama Provinsi Gorontalo, Wawancara, 21 April 2009.
33
menurut kebiasaan yang terjadi di dalam masyarakat
Gorontalo, tetap mendapat bagian dari harta warisan yang
ditinggalkan kakeknya. Anak yang dalam posisi seperti ini,
masyarakat menyebutnya dengan wala’a milate “anak mayit”.
Praktek seperti ini sudah sesuai dengan kandungan Kompilasi
Hukum Islam.6
Ahli Waris pengganti dalam praktek kewarisan dalam
masyarakat Gorontalo pada hakikatnya sudah menjadi
kebiasaan, yakni seorang cucu tetap diberikan bagian
sebagaimana hak orang tuannya, walupun penyebutannya
tidak menggunakan istilah Ahli Waris Pengganti. Sedangkan
alasan yang sering digunakan adalah didasari pada rasa
kasihan dan kemanusiaan.7
c. Wasiat Wajibah terhadap Anak Angkat.
Anak angkat dalam masyarakat Gorontalo adalah
termasuk dalam kategori yang wajib diberi wasiat, sebab
peranan dan posisi anak angkat cukup signifikan di dalam
keluarga. Dari temuan di lapangan terdapat beberapa faktor
yang mendasari: a) Rasa kasihan; b) kemanusiaan; c)
kedekatan emosional dengan pewaris dan pada kasus tertentu
pengabdiannya melebihi dari pengabdian anak kandung.8
Bapak Angkat bisa menerima Wasiat Wajibah
sebagaimana ketentuan terhadap anak angkat tidak lebih dari
1/3 hal itu berlaku terhadap bapak angkat, jika secara
finansial bapak angkat tidak memiliki kecukupan, maka anak
6
7
8
Hasil wawancara dengan para tokoh masyarakat Gorontalo: 1. H. Yamin Husain,
Budayawan Gorontalo. 2. Wahab Ahmad SHI, Guru Pesantren Hubulloh/Cakim PA
Limboto) 3. Ust.Abd Basith, SE. MPd. Pimpinan Pesantren Hubulloh, tanggal 27 April
2009.
Hasil wawancara dengan para guru-guru pesantren Hubulloh Gorontalo: (ust. Abd Basith
dan Ust. Ruli, Pengasuh Pondok Pesantren Hubuloh Gorontalo & KH. Rasyid Kamaro
Ketua MUI dan Qadhi Gorontalo).
Karim Pateda dan Guru-guru Pondok Pesantren Hubullah, wawancara 26 April 2009.
34
angkat memiliki kewajiban moral untuk memberikan wasiat
kepada bapak angkat.
d. Waris Berbeda Agama
Kompilasi Hukum Islam tidak menegaskan secara
eksplisit perbedaan agama antara ahli waris dan pewarisnya
sebagai penghalang mewarisi, kompilasi hanya menegaskan
bahwa ahli waris beragama Islam pada saat meninggalnya
pewaris (pasal 171 huruf e). Untuk mengidentifikasikan
seorang ahli waris beragama Islam, pasal 172 menyatakan:
“Ahli Waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari
kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian,
sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum
dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.
Sedangkan identitas pewaris hanya dijelaskan dalam
ketentuan umum huruf b yaitu orang yang ada pada saat
meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan
Putusan Pengadilan, beragama Islam meninggalkan ahli waris
dan harta peninggalan (pasal 171). Yang dimaksud berbeda
agama disini adalah antara orang Islam dan non Islam. Dasar
hukum berbeda agama sebagai penghalang saling mewarisi
adalah Hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim, yang artinya
“Orang Islam tidak berhak mewarisi harta orang kafir dan
orang kafir tidak berhak mewarisi harta orang Islam”
(Riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
Sementara masyarakat Gorontalo menganggap bahwa
perbedaan
agama
sebagai
salah satu
penghalang
mendapatkan bagian warisan. Namun dalam prakteknya,
masalah anak yang murtad yang terjadi di masyarakat
Gorontalo terbagi dua, sebagian masyarakat adat beranggapan
bahwa anak murtad tidak mendapat bagian dari harta
warisan, dengan istilah “buang anak”. Sebagian masyarakat
35
tetap memberikan bagian anak murtad namun harus melalui
kesepakatan ahli waris lainnya.9
Sedangkan bagi Hakim Agama, menganggap bahwa
pelarangan terhadap ahli waris yang bukan beragama Islam
adalah final dan tidak dapat diganggu, sebab sudah memiliki
dalil yang kuat. Sedangkan dalam prakteknya di Pengadilan
Agama, Ahli Waris yang tidak beragama Islam atau dengan
istilah lain “berbeda agama”, mereka mendapat bagian akan
tetapi bagian tersebut bukan dalam konteks waris, tetapi
dikategorikan ke dalam Wasiat Wajibah.10 Menurut informasi,
bahwa putusan yang serupa sudah memiliki yurisprudensi di
Mahkamah Agung, salah satu yang menjadi alasan adalah
bahwa yang dilarang adalah waris mewarisi dengan orang
yang beda agama, sedangkan wasiat tidak dilarang secara
jelas, bahkan jika tidak ditemukan wasiat, maka hal ini
dikategorikan sebagai wasiat wajibah yang harus diberikan
kepada ahli waris beda agama.
Paling tidak, kasus pemberian wasiat wajibah kepada
orang yang beda agama ini menunjukan bahwa makna wasiat
wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam ini masih sangat luas
dan belum mendapat pembatasan, sehingga masih ada celah
yang masih bisa ditafsirkan dan dimaknai lain oleh Hakim.
Celah tersebut kemudian dimanfaatkan untuk memberikan
bagian tertentu kepada ahli waris yang berbeda agama.
e. Membunuh, Penganiayaan dan Memfitnah
Ketiga perbuatan di atas dianggap sebagai penghalang
mendapat bagian dari harta warisan, hal ini dimaksudkan
untuk memberi hukuman bagi pelaku pembunuhan dan
9
10
Abdul Basit, Pimpinan Pondok Pesantren Hubullah, wawancara tanggal 23 April 2009.
Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Provinsi Gorontalo, wawancara tanggal 21 April
2009.
36
sebagai shock therapy bagi masyarakat lainnya.11 Namun pada
beberapa kejadian yang sifatnya kasuistik, bahwa pelaku
pembunuhan bisa mendapatkan bagian warisan dengan
persetujuan ahli waris dengan mekanisme musyawarah di
antara keluarga. Sama halnya dengan penganiayaan dan
fitnah, bahkan dua yang belakang dianggap lebih ringan dari
membunuh.
Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap
pewarisnya menyebabkan ia terhalang haknya untuk
mewarisi. Kompilasi Hukum Islam merumuskan dalam Pasal
173 berbunyi:
“Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan
putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau
menganiaya berat pada pewaris; dipersalahkan secara
memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah
melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat.
Rumusan tersebut menurut para ulama sudah cukup
lengkap dapat merangkum kategori atau klasifikasi
pembunuhan dalam terminologi fiqh seperti pembunuhan
sengaja atau menyerupai sengaja. Di sisi lain rumusan tersebut
merupakan perubahan hukum yang apabila dilacak dasardasarnya, karena memfitnah adalah perbuatan yang resikonya
lebih berat dari pada membunuh. (QS. 2: 191).12
f.
Porsi Perbandingan Bagian Anak Laki-Laki dan Perempuan.
Praktek pembagian harta warisan di kalangan
masyarakat, pembagian harta warisan selalu didahului
11
Wawacara dengan Pimpinan Daerah Nahdhatul Ulama (NU), Sekwilda Kabupaten
Bonebulango Abdul Karim Pateda
12
Si Oka HI, Bob; Pembagian Warisan terhadap Anak Diluar Nikah; IAIN Gorontalo, 2006,
hal. 29.
37
dengan musyawarah, sehingga pada akhirnya pembagian
harta warisan tersebut dilakukan dengan cara sama rata di
antara ahli waris.
Gorontalo adalah satu dari sekian banyak daerah di
Indonesia yang masyarakatnya masih memegang teguh adat
istiadat. Adat berperan dan bahkan mendominasi kehidupan
masyarakat secara turun temurun serta memiliki kebiasaan
yang terimplementasi dalam adat-istiadat dan mengembalikan
permasalahan kemasyarakatan kepada lembaga adat.
Menurut beberapa informan, bahwa masyarakat Gorontalo
sudah memiliki lembaga adat secara permanen dengan
spesifikasi tugas dan kewenangan yang sudah disepakati.
Pada persoalan waris, khususnya pada masalah
pembagian
harta
warisan,
masyarakat
Gorontalo
mendasarkan pada perasaan. Keadilan menurut mereka
adalah sama-rata atau satu banding satu. namum tetap
melihat pokok permasalahan dari kasus yang ada, dan
semuanya diselesaikan di tingkat keluarga atau ahli waris
dengan cara musyawarah. Fenomena semacam ini
menggambarkan bahwa pola kekerabatan di Gorontalo masih
sangat kuat.13
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa dalam
masalah pembagian harta waris yang dijunjung tinggi adalah
musyawarah yang otoritasnya di pegang oleh ketua adat
sebagai representasi dari Lembaga Adat. Untuk memudahkan
pemahaman, berikut akan diilustrasikan sebagai berikut:
Jika dalam musyawarah keluarga tidak ada kesepakatan
dan terjadi sengketa maka permasalahan akan dibawa ke
tingkat Ketua Adat, maka Ketua Adat akan membawa perkara
ke tempat persidangan yang dalam bahasa Gorontalo
13
Abdul Basit, Pimpinan Pondok Pesantren Hubullah, wawancara, tanggal 22 April 2009.
38
menggunakan istilah Bantayo Popo Ide, dan dasar hukum yang
dipergunakan adalah hukum faraid atau sesuai dengan Fiqh
Klasik dengan menggunakan satu banding satu. Semua proses
sengketa waris penyelesaiannya hanya sampai di tingkat
kepala kampung, jika sudah ada hasil maka kepala kampung
akan mengeluarkan surat, dan surat tersebut dianggap
memiliki
kekuatan
hukum
yang
mengikat
dan
konsekwensinya masyarakat harap mentaatinya. Namun jika
hal ini masih belum mendapatkan kesepakatan maka hal itu
bisa diajukan ke lembaga adat yang di atasnya, yaitu Camat
atau Asisten Wedono.14
g. Wasiat yang Menyimpang
Menurut informan di Wilayah Gorontalo tidak terdapat
wasiat yang menyimpang, peneliti hanya menemukan adanya
kebiasaan turun temurun dalam masyarakat Gorontalo yaitu:
penunjukan langsung oleh pewaris terhadap harta yang akan
menjadi bagian ahli waris, terkadang oleh Ahli Waris
dianggap sebagai wasiat yang harus dijalankan, Dalam
praktek pembagian waris di masyarkat Gorontalo terdapat
tiga tahap pembagian waris.
a. Pembagian harta dilakukan pada saat pemilik harta masih
hidup, dilakukan dengan cara penunjukan bagian masingmasing, dan merupakan hak pemilik harta, dan disepakati
oleh masing-masing pihak;
b. Pembagian harta dilakukan setelah salah satu pemilik
harta meninggal dunia;
c. Pembagian harta dilakukan setelah pihak terakhir pemilik
harta meninggal dunia.
h. Pembagian Waris terhadap Anak Angkat
14
Ketua Adat, wawancara tanggal 22 April 2009.
39
Praktek yang terjadi di dalam masyarakat Gorontalo
bahwa mereka mengakui bagian harta untuk anak angkat.
Praktek semacam ini telah terjadi sejak lama, sedangkan
mekanismenya melalui wasiat. Adapun dasar yang dijadikan
pertimbangan dalam mengeluarkan wasiat adalah:
Perasaan, seperti kasihan, hibah, dll.
Pertimbangan kemanusiaan
Kedekatan yang sudah terbangun sejak lama.
Pada kasus tertentu pengabdian anak angkat melebihi dari
anak hakiki.
5. Diperkuat dengan surat kepala kampung dan surat asisten
widono.
1.
2.
3.
4.
i. Pembagian Waris terhadap Anak diluar Nikah
Anak diluar nikah hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dengan demikian maka
anak yang lahir diluar pernikahan tidak dinyatakan sebagai
anak yang sah menurut hukum, sehingga pada dasarnya
ketentuan anak yang lahir di luar nikah hanya mempunyai
hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga
ibunya, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 186 Kompilasi
Hukum Islam sebagai berikut: “Anak yang lahir diluar nikah
hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya
dan keluarga pihak ibunya”.
Demikian dalam pendapat mazhab Hambali yang
mengatakan bahwa anak zina apabila diakui oleh ayahnya,
meskipun dengan jelas diakuinya pula berasal dari hubungan
zina tetapi ibunya dalam perkawinan dengan suami lain atau
tidak dalam iddah dari suami lain, adalah anak sah bagi
ayahnya, dan terjadi hubungan saling mewarisi.15
15
Basyir Ahmad Anhar, Hukum Waris, Cet. 14 UII Press (Yogyakarta, UII Press 2001, hal.
98).
40
Pada bagian lain dikatakan bahwa anak yang tidak
diakui oleh ayahnya (si suami) yang dilakukan dengan hasil
perzinahan, maka tidak saling mewarisi (dengan ayahnya)
dan ayahnya juga tidak wajib memberikan nafkah baginya
tetapi hendaknya tetap diperlakukan sebagai anak, demi
kehati-hatian. Begitu pula anak yang lahir di tengah-tengah
suami isteri yang saling menuduh berzina, anak juga mewarisi
ibunya saja.
Sementara hukum adat menunjukkan bila seorang ibu
tidak menikah, tapi ia melahirkan anak, maka dalam
hubungan hukum, anak yang lahir itu hanya mempunyai ibu
dan tidak mempunyai ayah. Hal yang semacam itu sangat
dicela oleh masyarakat, oleh sebab itu diusahakan jangan
sampai terjadi peristiwa semacam itu.
Adapun pembagian waris terhadap anak di luar nikah,
apabila yang bersangkutan mewarisi bersama-sama dengan
satu atau beberapa orang keturunan yang sah dari pewaris
atau dengan suami isteri dari pewaris, maka anak di luar
nikah mendapat 1/3 dari pada yang akan diterimanya apabila
ia anak sah. Apabila kedua anak luar nikah itu anak yang sah,
maka masing-masing akan menerima 1/6 bagian.
Apabila pewaris meninggalkan seorang anak di luar
nikah dan sanak keluarga, maka anak luar nikah akan
mewarisi setengah dari apa yang akan diterimanya, apabila ia
menjadi anak yang sah. Sehingga anak di luar nikah mewarisi
bersama-sama dengan golongan keempat, maka ia menerima
¾ dari pada yang akan diterimanya apabila ia anak sah.16
16
Sioka HI. Bob; Pembagian Warisan terhadap Anak di luar Nikah; IAIN Sultan Amai,
Gorontalo, 2006, h. 50.
41
j.
Keberatan Hakim
Kompilasi Hukum Islam lahir berdasarkan Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penjabaran Kompilasi
Hukum Islam yang telah ditindak lanjuti dengan Kompilasi
Hukum Islam No. 154/1991 tentang Pelaksanaan Instruksi
Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 tanggal 10
Januari 1991, namun statusnya masih sebatas Instruksi
Presiden, sejak digulirkan, Kompilasi Hukum Islam di
kalangan Hakim Pengadilan Agama sudah digunakan sebagai
Hukum Terapan. Menurut Hakim Peradilan Agama bahwa
Kompilasi Hukum Islam adalah hasil rumusan banyak Ulama
Indonesia yang bersumber dari banyak kitab-kitab fiqh.
Bahwa dalam upaya penyusunannya Kompilasi Hukum Islam
berusaha mengadaptasi budaya-budaya yang hidup di
masyarakat dan menyesuaikan diri dengan kondisi
masyarakat Indonesia. Sudah barang tentu kalau didahului
oleh pengamatan dan penelitian yang mendalam di semua
wilayah dan daerah. Kondisi ini yang kemudian menjadikan
Kompilasi Hukum Islam mudah diterima oleh masyarakat
Indonesia.
Walupun para ulama sudah menunjukan keseriusan dan
kemampuan dalam merumuskan, namun menurut beberapa
Hakim, untuk beberapa hal perlu diperbaiki, seperti Ahli
Waris Pengganti harus diperjelas lagi bagian yang dapat dan
siapa saja yang boleh diganti. Pembatasan Wasiat Wajibah,
sehingga tidak ada celah untuk mewasiatkan harta warisan
kepada Ahli Waris yang non muslim. Karena yang terjadi
selama ini bahwa yang dilarang oleh al-Quran adalah
mewariskan harta kepada orang kafir, sedang wasiat tidak
dilarang. Dan oleh Kompilasi Hukum Islam masih
dimungkinkan hal itu, sebab belum ada pembatasan siapa saja
42
yang tidak boleh mendapatkan Wasiat Wajibah, termasuk di
dalamnya anak di luar nikah. Dalam Kompilasi Hukum Islam
juga belum diatur ashobah, sebagai contoh pasal 178 Kompilasi
Hukum Islam, dalam posisi kasus seperti ini harusnya ayah
mendapat ashobah.
Harapan Hakim agar status Kompilasi Hukum Islam
ditingkatkan dari Instruksi Presiden menjadi UndangUndang, supaya memiliki kekuatan hukum yang tetap.
Namun demikian diupayakan penyebutannya tidak
menggunakan Undang-Undang Hukum Islam, tetapi harus
dicari kata-kata yang tidak mengandung kontrversi.
Sedangkan terhadap masyarakat Gorontalo, para Hakim
Agama melihat bahwa masyarakat belum konsisten dengan
moto masyarakat Adat Bersendikan Syara’, Syara’ Bersendikan
Kitabullah, hal ini terbukti dalam masalah pembagian waris
belum sejalan dengan syariah. Sebelum tahun 2006 ketika
masih berlaku pilihan hukum dalam perkara pembagian harta
waris, hasil penelitian Drs. Sihabuddin, SH, MA menunjukkan
bahwa 80% masyarakat mengajukan perkara waris ke
Pengadilan Negeri, dan sisanya 20 % mengajukan ke
Pengadilan Agama.
Tingginya kepercayaan masyarakat kepada hukum adat,
tidak diiringi oleh pengetahuan para tokoh adat yang baik
tentang Hukum Islam, sehingga hal ini kemudian menjadi
penyebab Hukum waris Islam tidak diterapkan di masyarakat
Gorontalo.
III. Penutup
A. Kesimpulan
1. Tingkat pengetahuan Ulama atau Tokoh Masyarakat
terhadap Kompilasi Hukum Islam masih sangat rendah.
Dari informan yang memberikan komentar dapat
43
dikategorikan menjadi tiga kelompok: Pertama, Ulama
yang belum mengerti Kompilasi Hukum Islam, kedua,
Ulama yang mengetahui Kompilasi Hukum Islam tapi
tidak mengetahui secara mendalam isi Kompilasi Hukum
Islam, ketiga, Ulama yang mengetahui dan mendalami isi
Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan hampir semua
Hakim dan “Ulama kampus”/akademisi yang menjadi
informan mengetahui secara mendalam Kompilasi Hukum
Islam kecuali mereka yang jarang menangani persoalanpersoalan kewarisan. Kategori ulama yang belum
mengerti Kompilasi Hukum Islam umumnya berlatar
belakang pendidikan pesantren tradisional dan tidak
banyak berinteraksi dengan lembaga atau ormas
keagamaaan di lingkungannya. Sementara ulama yang
mengetahui Kompilasi Hukum Islam tetapi tidak
mendalami isi Kompilasi Hukum Islam umumnya mereka
adalah ulama yang berpendidikan Perguruan Tinggi atau
ulama yang tingkat interaksinya dengan ormas
keagamaan relatif intens, seperti dengan NU,
Muhammadiyah, Persis, washliyah, MUI dan lain-lain.
Sedangkan ulama yang tingkat pengetahuan tentang
Kompilasi Hukum Islam relatif mendalam umumnya
selain mereka berpendidikan tinggi juga berlatarbelakang
profesi guru/ dosen, atau ulama yang pernah mengenyam
pendidikan tinggi agama, khususnya di Fakultas Syariah
atau di Fakultas Hukum dan banyak menyelesaikan kasuskasus kewarisan di masyarakat.
2. Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap perbedaan
yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh
Islam/faraid. Pendapat mereka dapat dikategorikan
menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama, menilai tidak
semua isi Kompilasi Hukum Islam yang terkait dengan
kewarisan sesuai dengan fiqh Islam, seperti Konsep Harta
44
Bersama, Ahli Waris Pengganti, dan Wasiat Wajibah untuk
Anak dan Bapak Angkat. Dalam hal ini, mereka hanya bisa
menerima pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam yang ada
rujukannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Sementara
kelompok kedua, menyatakan bahwa bahwa Kompilasi
Hukum Islam memang sebagian besar bersumber dari
Kitab-kitab Fiqh Islam, hanya saja kelompok ini menolak
ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam yang
tidak punya rujukan yang jelas dalam Kitab Fiqh Klasik,
seperti Konsep Ahli Waris Pengganti, Wasiat Wajibah
untuk Anak Angkat dan Bapak Angkat, kewarisan kolektif
tanah kurang 2 ha., Percobaan Pembunuhan dan Fitnah
menjadi penghalang menerima warisan. Sedangkan
kelompok ketiga, menyatakan bahwa sebenarnya tidak
perlu memperhadapkan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh
Islam karena Kompilasi Hukum Islam juga merupakan
produk Fiqh khas Indonesia, termasuk dalam persoalan
kewarisan. Ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi Hukum
Islam yang terkesan baru yang tidak ditemukan dalam
kajian Fiqh Klasik tidak secara otomatis bisa dikatakan
menyimpang dari Hukum Islam, karena ketentuanketentuan baru tersebut diambil berdasarkan Ijtihad
Kolektif Ulama Indonesia dengan memperhatikan
perbedaan adat-istiadat masyarakat Indonesia dan
bermuara kepada pertimbangan maslahah. Kelompok
terakhir ini umumnya adalah ulama akademisi/Dosen dan
para Hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama.
3. Menyangkut respon Ulama dan Hakim terhadap materi
Kompilasi Hukum Islam ada empat kategori usulan untuk
perbaikan
di
masa
mendatang;
pertama,
tetap
mempertahankan isi pasal sebagai adanya seperti pasal
tentang perdamaian, kedua, pasal dipertahankan dengan
45
usulan tambahan/penyempurnaan redaksi seperti dalam
persoalan Harta Bersama, Ahli Waris Pengganti, Anak
Perempuan Menghijab Saudara Pewaris, dan halangan
menerima warisan karena Perencanaan Pembunuhan dan
Fitnah, ketiga, usulan pencabutan pasal seperti pasal
tentang 1/3 bagian untuk ayah bila pewaris tidak punya
anak dan pembagian warisan berupa tanah < 2 Ha.,
keempat, usulan tambahan tentang hak “Ahli Waris” beda
agama dan anak hasil perzinaan dimasukkan kategori
pihak yang berhak atas Wasiat Wajibah.
4. Berkaitan dengan praktik pembagian waris di masyarakat
dan di Pengadilan Agama terdapat persamaan dan
perbedaan. Persamaannya antara lain: 1) Pada keduanya
terdapat kemungkinan melakukan pembagian warisan
secara perdamaian setelah merujuk kepada Kompilasi
Hukum Islam dan atau Fiqh Waris, 2) Pada keduanya
terdapat kemungkinan pembagian waris dengan adanya
wasiat pewaris sebelum meninggal dan hibah yang bisa
diperhitungkan
sebagai
warisan.
Sedangkan
perbedaannya antara lain: 1) Cara penyelesaian waris di
masyarakat masih sangat bervariasi, ada yang
menggunakan hukum Islam/faraid, adat, Waris Perdata
(BW). Atau bahkan gabungan. Sementara di Pengadilan
Agama cara penyelesaian waris relatif seragam karena
telah ada keseragaman sumber rujukan, yaitu Kompilasi
Hukum Islam, 2) Pemberian bagian dari harta
peninggalan/tirkah kepada cucu yang orang tuanya
meninggal lebih dahulu, Anak atau Bapak Angkat, non
muslim, dan anak hasil perzinaan umumnya diberikan
dengan menggunakan instrumen hukum wasiat, hibah,
atau hadiah, sementara di pengadilan lebih cenderung
menggunakan instrumen waris pengganti atau wasiat
wajibah. Selain itu, secara umum dapat dikatakan bahwa
46
masyarakat cenderung menyelesaikan perkara warisnya di
luar pengadilan melalui tokoh masyarakat atau tokoh
agama dibandingkan melalui jalur Pengadilan. Perkara
kewarisan di Pengadilan kebanyakan hanya berupa P3HP
(Permohonan Pertolongan Pembagian Harta Pusaka), yang
umumnya diajukan oleh kalangan keluarga kelas
menengah ke atas dan terdidik, atau dilakukan oleh
keluarga yang potensi konflik dalam pembagian warisan
besar
B. Rekomendasi
1. Untuk mengurangi kesenjangan pemahaman masyarakat
terhadap Kompilasi Hukum Islam, perlu dilakukan
sosialisasi yang intensif ke berbagai kalangan atau
kelompok dalam masyarakat. Oleh karena itu, perlu
dialokasikan anggaran khusus seperti pada awal kelahiran
Kompilasi Hukum Islam.
2. Perlu adanya ketegasan/kejelasan pasal dalam Kompilasi
Hukum Islam sehingga tidak menimbulkan multi tafsir.
Misalnya dalam hal Ahli Waris Pengganti, anak
perempuan menghijab saudara pewaris, bagian 1/3 ayah
bila tidak punya anak, hak Ahli Waris beda agama dan
anak hasil perzinaan terhadap harta peninggalan/tirkah.
3. Dalam perumusan UU Terapan di Bidang Kewarisan
hendaknya melibatkan sebanyak mungkin unsur-unsur di
masyarakat baik yang pro dan kontra, baik ulama elit
maupun ulama alit
4. Kajian yang lebih intens tentang persoalan-persoalan
kewarisan perlu dilakukan untuk lebih mendekatkan
kesepahaman kelompok-kelompok yang belum seutuhnya
mau mengikuti Kompilasi Hukum Islam.
47
5. Dalam menyelesaikan persoalan waris, selain berpedoman
pada Kompilasi Hukum Islam para hakim umumnya
masih banyak yang merujuk ke literatur fiqh klasik, selain
juga menggali praktik hukum di masyarakat (adat
istiadat). Namun, demikian bagi para hakim “yang
mencari aman” dari proses hukum di tingkat Pengadilan
Tinggi Agama dan Mahkamah Agung umumnya sangat
patuh dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam dan
Yurisprudensi, oleh karena itu upaya untuk menjadikan
Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum terapan di
Pengadilan Agama harus segera diwujudkan guna
megeliminir perbedaan hakim dalam memutus perkara
karena banyaknya sumber rujukan hakim sebelum
memutus pekara yang ditangani.
Adanya ruang kebebasan/kreatifitas hakim dalam
menggali hukum yang hidup di masyarakat untuk
mencapai keadilan yang sejati. Ini karena tidak sedikit dari
kalangan ulama yang belum setuju terhadap semua isi
dari Kompilasi Hukum Islam. Walaupun dalam
kenyataannya seringkali kreatifitas Hakim di tingkat
Pengadilan Agama dibatalkan oleh Hakim Pengadilan
Tinggi Agama/ Mahkamah Agung karena “menyimpang”
dari ketentuan perundang-undangan atau yurisprudensi.
48
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar Jabir; El-Jazary; Minhajul Muslimin, Prof. DR. Jatniko,
Pola Hidup Muslim, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1991.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia; Akademika,
Pressindo, Jakarta, 1992;
Bashir Muhammad Azahar; Hukum Waris, UII Press Yogyakarta,
2001.
Cik Hasan Basri, (Penyunting Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan
Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Logos, Jakarta, 1999.
Muhammad Amin Summa; Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam;
Jakarta, PT. Raja Pressindo.
Muhammad Rasyid Ridho, Tafsir al-Qur’anul Hakim (Tafsir AlManar); 1993.
Syayyid Sabiq; Fiqh Sunnah, Ghoirud-Dar al-Fikry.
Ismawati Rais; Pemikiran Fiqh, Abdul Hamid Hakim, Program
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Ditjen Bimas Islam dan
Penyelenggara Haji, Departemen Agama RI, Jakarta, 2005.
Lexy Moleong; Metodologi Penelitian Kualitatif, Metodologi Penelitian
ke Ragam Kontemporer; Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2004.
Sioka Hi Bob; Pembagian Warisan terhadap Anak di Luar Nikah; IAIN
Gorontalo, 2006.
49
50
BAB III
RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA TERHADAP
FIQH WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM
DI KALIMANTAN SELATAN
Oleh: A. Azharuddin Latif dan Sri Hidayati
A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
1. Geografi dan Kependudukan
P
rovinsi Kalimantan Selatan dengan ibukotanya
Banjarmasin terletak di sebelah Selatan pulau
Kalimantan dengan batas-batas: sebelah Barat
Provinsi Kalimantan Tengah, sebelah Timur dengan Selat
Makasar, sebelah Selatan dengan Laut Jawa dan di sebelah
Utara berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur.
Provinsi Kalimantan Selatan secara geografis terletak di
antara 114 19" 33" BT - 116 33' 28 BT dan 1 21' 49" LS 1 10" 14"
LS, dengan luas wilayah 37.377,53 km² atau hanya 6,98% dari
luas Pulau Kalimantan.
Kabupaten Kotabaru merupakan daerah paling luas
yakni 13.044,50 km², Kabupaten Banjar dengan luas 5.039,90
km² dan Kabupaten Tabalong dengan luas 3.039,90 km²,
sedangkan daerah yang paling sempit adalah Kota
Banjarmasin dengan luas 72,00 km².
Secara geografis Kalimantan Selatan terletak di sebelah
selatan pulau Kalimantan dengan luas wilayah 37.530,52 km2
atau 3.753.052 ha., termasuk wilayah laut. Sampai dengan
tahun 2004, provinsi ini membawahi 11 kabupaten/kota dan
pada tahun 2005 menjadi 13 kabupaten/kota akibat dari
adanya pemekaran wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara
menjadi Kabupaten Balangan dan Kabupaten Kotabaru
menjadi Kabupaten Tanah Bumbu.
51
Jika dilihat pada masing-masing Kabupaten Tanah Laut
9,94%; Tanah Bumbu 13,50%; Kotabaru 25,11%; Banjar 12,45%;
Tapin 5,80%; Tabalong 9,59%; Balangan 5,00%; Batola 6,33%;
Banjarbaru 0,97% dan Banjarmasin 0,19%.
Daerah aliran sungai yang terdapat di Provinsi
Kalimantan Selatan adalah: Barito, Tabanio, Kintap, Satui,
Kusan, Batulicin, Pulau Laut, Pulau Sebuku, Cantung,
Sampanahan, Manunggal dan Cengal. Kalimantan juga
memiliki catchment area sebanyak 10 (sepuluh) lokasi yaitu
Binuang, Tapin, Telaga Langsat, Mangkuang, Haruyan Dayak,
Intangan, Kahakan, Jaro, Batulicin dan Riam Kanan.
Adapun penduduk Kalimantan Selatan berjumlah
3.537.841 jiwa. Bagian terbesar penduduk 3.461.602 (97,87%)
menganut agama Islam, selain itu sisanya secara berututan
menganut agama Protestan 25.944 (0,73%) jiwa, Katolik 18.589
(0,53%) jiwa, Hindu 13.792 (0,39%) jiwa, Budha 12.486 (0,35%)
jiwa, dan lainnya 4.428 (0,13%) jiwa.1
Kalimantan Selatan terdapat sejumlah etnik meliputi:
Suku Banjar 417.309 jiwa, Jawa 56.513 jiwa, Bugis 2.861 jiwa,
Madura 12.759 jiwa, Bukit 7.836 jiwa, Mandar 105 jiwa,
Bakumpai 1.048 jiwa, Sunda 2.319 jiwa, dan lainnya 26.500
jiwa.
Rumah ibadat yang terdapat di Kalimantan Selatan,
adalah: 2.311 masjid, 6.925 Surau/langgar, 88 Gereja Protestan,
26 Gereja Katolik, 4 Klenteng, 35 Pura, dan 13 Vihara.2
Sedangkan, paham keagamaan yang berkembang dalam
masyarakat Islam umumnya menganut paham teologi
Asy’ariyah-Maturidiyah dan dalam Fiqh Madzhab Imam
1
2
Kanwil Depag Banjarmasin Kalimantan Selatan Th. 2007. Ibid. 52
Syafi’i. Oleh karena itu, tidak aneh kalau menurut KH.
Abdurrahman,3 hampir 70% penduduk muslim berafiliasi
kepada organisasi sosial keagamaan Nadhatul Ulama (NU),
20% Muhammadiyah dan sisanya organisasi sosial keagamaan
lainnya, seperti Hizbut Tahrir, Persis, Lembaga Dakwah Islam
Indonesia (LDII) dan bahkan Ahmadiyah.
2. Adat Istiadat Banjar Di Kalimantan Selatan
Adat Banjar adalah hukum asli yang berlaku pada
masyarakat Banjar, sifatnya tidak tertulis dan mengandung
unsur agama (agama Islam)”. Sedangkan masyarakat Banjar
adalah masyarakat yang mendiami wilayah Kalimantan
Selatan, yang menurut Mallinckrodict disebutnya sebagai
suku Banjar, suatu nama yang diberikan untuk menyebut
suku-suku Melayu terutama yang berasal dari daerah
penguasaan Hindu Jawa, dan sebagian besar berdiam di
pesisir Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Timur dan Kalimantan Barat.4
Asal-usul suku Banjar menurut J.J Ras berasal dari
konsentrasi koloni Melayu yang pertama terdapat di daerah
Tabalong. Kemudian berkembang menjadi suku Banjar, yang
disebutnya sebagai Bandjar on the coast.5 Mereka berimigrasi
dari Indonesia Bagian Barat pada permulaan abad pertama
Masehi. Mereka memasuki bagian Timur “Teluk Besar” pada
lereng-lereng kaki Pegunungan Meratus sebagai Pantainya,
yang danau dan dataran rendahnya disebut Banua Lima atau
Banua Empat. Dalam wilayah tua inilah golongan Melayu
berbaur dengan kelompok Olo Maanyan dan orang-orang
Bukit, telah mengeluarkan inti pertama suku Banjar dengan
3
4
5
KH. Abdurrahman, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Falah Banjar, Wawancara Pribadi, 19
Juni 2009 Mallincrodt, Het Adatrecht van Borneo I – II, M. Dubbeldeman, Leiden, 1928, hal. 48 J.J. Ras, Hikayat Banjar A Study In Malay Historie, Graphy Nartinus Nijhoof, The Haguw,
1966, hal. 53
mendirikan Kerajaan Tanjung Pura dengan Ibukota Tanjung
Puri yang mungkin sekali terletak di Tanjung Kabupaten
Tabalong sekarang.
Istilah “Banjar” itu sendiri ditemukan dalam hikayat
Banjar, dengan asal istilah “Banjarmasih”, yang umumnya
dipakai untuk menyebut “Negeri Banjarmasih. Disebut nama
Banjarmasih karena nama orang besar yang ada di Banjar
adalah Patih Masih. Banjar sendiri mengandung makna
berderet-deret sebagai letak perumahan kampung yang
pendukuhan atau desanya terletak di atas air sepanjang
pinggir sungai. Nama Patih Masih adalah nama sebutan dari
Patih “Oloh Matih” yang artinya Patih orang Melayu sebagai
sebutan yang ditujukan kepada Kepala suatu kelompok etnis
di daerah Kalimantan.6 Sehingga istilah “Banjar” dan
“Banjarmasih” dalam hikayat Banjar menunjuk kepada nama
desa yang terletak disekitar Cerucuk sekarang daerah tersebut
berada di samping Desa Serapat, Tamban, Kuin dan Belitung.
Di samping itu pedagang dari Jawa yang tiap tahun ke
Banjarmasin lebih mengenal daerah ini dengan istilah nama
“Negeri Banjar”, “Kota Banjar”, dan “Tanah Banjar”.
Kalau disimak lebih jauh, “Orang Banjar” (Urang Banjar)
sebenarnya terdiri dari beberapa kelompok suku bangsa, yaitu
dari etnik Melayu yang merupakan etnik dominan, ditambah
etnik lainnya yaitu etnik Bukit, Ngaju dan Maanyan. Konsep
itu kemudian dipakai untuk menyebut penduduk asli
Kalimantan, mereka itu termasuk dalam kelompok Melayu
muda yang umumnya tinggal di sekitar pantai dan menganut
agama Islam. Agama Islam merupakan karakter khusus dari
masyarakat Banjar, karena sejarah masuknya agama Islam
dalam masyarakat Banjar bersamaan dengan berdirinya
6
Idwar Saleh, Sejarah Singkat Mengenai Bangkit dan Berkembangnya Kota Banjarmasin
serta Wilayah Sekitarnya Sampai Tahun 1950, Banjarmasin, 1975, hal. 17 54
Kerajaan Banjar. Walaupun agama Islam sudah masuk dan
berkembang terbatas di Kalimantan.
Melekatnya agama Islam pada masyarakat Banjar
ditandai oleh suatu peristiwa sejarah Kerajaan Daha, yang
diceritakan bahwa suatu ketika terjadi pertentangan antara
Raden Samudera, waris sah Kerajaan Daha dengan pamannya
Pangeran Tumenggung yang ingin mengambil alih Karajaan.
Pangeran Samudera bersama-sama Patih Masih menyusun
kekuatan di daerah Banjar untuk menghadapi pamannya
tersebut, karena masih kurang berimbangnya kekuatan, maka
atas saran Patih Masih, Raden Samudera meminta bantuan
pada Sultan Demak. Agar Sultan Demak bersedia memeluk
agama Islam. Syarat tersebut disanggupi oleh Raden
Samudera, dan Sultan Demak mengirimkan pasukannya
untuk membantu Raden Samudera di bawah pimpinan Khatib
Samudera, iapun memeluk agama Islam, yang kemudian
diikuti oleh seluruh penduduk Banjar (24 September 1524).7
Orang Banjar tersebut tersebar di berbagai daerah
Kalimantan Selatan, sehingga mereka terbagi menjadi
beberapa kelompok, yang menurut Mallinckrodt apabila
didasarkan atas bahasa dapat dibagi menjadi:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Banjar Kota, yaitu mereka yang ada di Banjarmasin;
Orang Negara, yaitu mereka yang ada di Negara;
Alabio, yaitu mereka yang ada di Alabio;
Pamangkih, yaitu mereka yang ada di Pamangkih;
Amuntai, yaitu mereka yang ada di Amuntai;
Kandangan, yaitu mereka yang ada di Kandangan;
Barabai, yaitu mereka yang ada di Barabai; dan
Martapura, yaitu mereka yang ada di Martapura.8
7
Abdurrahman, Studi Tentang Undang – undang Sultan Adam 1835, STIH Sultan Adam,
Banjarmasin, 1989, hal. 15 8
Mallinrodt, op cit., hal. 47 55
Menurut
Alfani
Daud
orang
Banjar
dapat
dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu Banjar Hulu, Banjar
Kuala dan Banjar Batang Banyu untuk menggambarkan
adanya beberapa pembauran dalam masyarakat Banjar
tersebut. Khususnya tentang masyarakat Banjar Batang Banyu
disebutnya sebagai masyarakat Banjar dari Banjar Hulu yang
bermukim di Lembah Tabalong dan bergerak ke hilir
berdasarkan pergeseran ibukota di daerah Candi Agung
Amuntai.9
Sebenarnya secara sederhana orang Banjar dapat
dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu: Banjar Kuala, dan
Banjar Hulu.
Banjar Kuala adalah mereka yang tinggal di Kota
Banjarmasin dan daerah sekitarnya, termasuk orang Banjar
Martapura yang bahasanya digunakan dalam UndangUndang Sultan Adam. Sedangkan Banjar Hulu adalah mereka
yang bermukim di daerah Hulu Sungai, yang terkenal dengan
istilah “Benua Lima”, seperti Rantau, Kandangan, Barabai,
Amuntai dan lain-lain.
Dengan karakter melekatnya agama Islam dalam
masyarakat Banjar tersebut, berarti sejalan dengan pengertian
hukum adat yang telah digariskan dalam seminar hukum adat
tahun 1976. Hal ini perlu ditegaskan dalam melihat hukum
adat yang ada di Kalimantan Selatan, karena dilihat dari
penelitian yang dilakukan oleh Mallincrodt yang disebut
dengan Adatrech Van Borneo pada dasarnya adalah hukum
adat Dayak bukan berasal dari Islam. Begitu pula Van
Vollenhoven dalam pembagian wilayah berlakunya hukum
adat (Adatrechtskring) menyebutkan Adatrechskring Borneo yang
dimaksudkan adalah hukum adat Dayak, dan untuk orang
9
Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 44. 56
Banjar Melayu dimasukannya
Adatrechtskring Melayu.10
ke
dalam
kelompok
Penekanan karakter agama Islam dalam membahas
hukum adat Banjar berarti memasuki pembahasan dalam
hukum adat tentang agama (Islam) dengan hukum yang
berlaku dalam masyarakat. Dalam kerangka ini sebagaimana
diketahui terdapat teori yang saling bertentangan, yaitu teori
receptio in complexu dan receptie theorie, serta receptio a contrario.
Para ahli hukum Belanda seperti Carel Frederik Winter
(1799-1859) dan Salomon Keyzer (1823-1368) mengatakan
bahwa “hukum Islamiah adalah hukum yang berlaku di
kalangan orang-orang Jawa (Indonesia)”. Pendapat ini
kemudian diperkuat oleh Lodewijk Willian Christian van den
Berg (1845-1927) yang menyatakan bahwa “hukum mengikuti
agama yang dianutnya”, sehingga bagi penduduk Indonesia
yang beragama Islam, hukum yang berlaku baginya adalah
hukum Islam. Hal ini berarti orang Islam Indonesia telah
melakukan resepsi hukum Islam secara keseluruhan dan satu
kesatuan.11
Setengah abad kemudian Christian Snouck Hourgronje
(1857-1936) menentang pendapat teori di atas, ia
mengemukakan berdasarkan hasil penelitiannya terhadap
orang-orang Aceh (1981-1982) dan Gayo (1898-1903) di Banda
Aceh, bahwa “hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah
bukan Hukum Islam tetapi hukum adat, diakui dalam hukum
adat ada pengaruh hukum Islam. Akan tetapi hukum Islam
baru dianggap sebagai hukum apabila telah diresepsi oleh
hukum adat”.12
10
11
12
Van Vollenhoven, Op cit., hal. 288 - 310 Neng Djubaidah, ”Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Masyarakat Muslim
Indonesia Suatu Harapan”, Mimbar Hukum No. 40 Th. 1998, Al-Hikmah & Ditbinbapera,
h. 6-7 Ibid., 57
Setelah kemerdekaan Hazairin menentang keras teori
receptie, yang dinyatakannya sebagai “teori iblis”,
dinyatakannya setelah berlakunya UUD 1945 maka Hukum
Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam
karena kedudukan hukum itu sendiri, bukan karena Hukum
Islam telah diterima oleh hukum adat.13 Pendapat Hazairin ini
kemudian dikembangkan oleh muridnya Sajuti Thalib dengan
menamakannya teori receptio a contrario, yang merupakan
kebalikan dari teri receptie.
Sehubungan dengan permasalahan hubungan antara
hukum Islam dengan hukum adat yang dilihat dari kerangka
teori di atas, ternyata penelitian hukum adat pada masyarakat
Banjar yang pernah dilakukan telah menunjukkan adanya
variasi yang berbeda. Seperti Penelitian bidang hukum waris
adat yang dilakukan oleh IAIN Antasari Banjarmasin (tahun
1980) menyimpulkan bahwa “hukum waris yang berlaku
dalam masyarakat Banjar pada dasarnya adalah hukum
Islam”.14 Hasil penelitian tersebut ternyata berbeda dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung
(tahun 1980), yang menyimpulkan bahwa “hukum yang
berlaku dikalangan masyarakat Banjar adalah hukum adat
yang telah banyak mendapat pengaruh dari hukum Islam”.
Begitu pula hasil penelitian Tim Pusat Penelitian Universitas
Lambung Mangkurat menyimpulkan bahwa “Hukum Adat
yang berlaku dikalangan suku Banjar banyak dipengaruhi
oleh Hukum Islam”.15
13
14
15
Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, Yayasan
Risalah, Jakarta, hal. 226-227. Lihat pula, Hazairin, Hukum Kekeluarga Nasional, Tintamas,
Jakarta, 1968, hal. 5-7 Tim Peneliti
IAIN Antasari, Pewarisan Di Kalimantan Selatan, IAIN Antasari,
Banjarmasin, 1980, hal. 52-53 Tim Peneliti Puslit Unlam, Hukum Adat Kalimantan Selatan, BAPEDA Tingkat I Kal-Sel,
Banjarmasin, 1990, hal. 14-15 58
B. Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap Kompilasi
Hukum Islam
1. Pengetahuan tentang Kompilasi Hukum Islam
Pada umumnya aturan kewarisan yang ada dalam
Kompilasi Hukum Islam belum dipahami oleh mayoritas
masyarakat, termasuk didalamnya para tokoh masyarakat,
pemangku adat atau tuan guru/ulama. Kompilasi Hukum
Islam baru dipahami oleh sebagian kecil ulama atau tokoh
masyarakat yang berlatarbelakang pendidikan kampus.
Dalam kaitan ini, Ahmad Khusaini, Pemangku adat
Banjar di Yayasan Sultan Suriansyah menyatakan bahwa
selama ini belum pernah ada sosialisasi Kompilasi Hukum
Islam kepada masyarakat atau tokoh masyarakat. Yang saya
tahu Kompilasi Hukum Islam adalah hukum untuk orang
yang akan berperkara di Pengadilan Agama. Untuk
pembagian warisan di masyarakat umumnya meminta
bantuan pada tuan guru.
Sementara, Drs. KH. Abdurrahman, pimpinan Pesantren
Al-Falah, Drs, Fathurrahman, M.Ag, wakil Ketua NU Wilayah
Kalimantan Selatan, dan Drs. Zaenal Abidin, Salah seorang
pengurus Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Selatan,
menyatakan bahwa sosialisasi Kompilasi Hukum Islam
memang tidak pernah dilakukan di masyarakat, tetapi ada
forum yang membahas Kompilasi Hukum Islam di Kampus
IAIN Antasari Banjarmasin, itupun sudah lama sekali
pelaksanaannya yaitu sekitar tahun 1990-an, pada awal
kelahiran Kompilasi Hukum Islam. Pendapat yang sama juga
disampaikan oleh para Hakim Tinggi Agama dan para Dosen
Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin,16 mereka
16
Hasil diskusi beberapa orang Dosen Ilmu Waris di IAIN Antasari Banjarmasin tanggal 24
Juni 2009, bertempat di Ruang Dekan Fakultas Syariah, Peserta Diskusi adalah Gusti
59
membenarkan kurangnya sosialisasi Kompilasi Hukum Islam,
apalagi sejak Pengadilan Agama berada dibawah administrasi
Mahkamah Agung. Mereka mengharapkan agar Mahkamah
Agung dan Kementerian Agama, Direktorat Urusan Agama
dan Pembinaan Syariah, tetap melakukan sosialisasi
Kompilasi Hukum Islam untuk lebih memperkenalkan
produk Fiqh Indonesia kepada masyarakat luas.
2. Perbedaan Kompilasi Hukum Islam dengan Fiqh Islam
Menurut keterangan beberapa tanggapan yang
merespon pertanyaan tentang perbedaan dalam Kompilasi
Hukum Islam dan Fiqh Islam. Pendapat mereka dapat
dikategorikan menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama
diwakili Drs. Ahmad Yamin, pengikut Jamaah Persis yang
juga sebagai pegawai Pengadilan Tinggi Agama Kalimantan
Selatan, menilai tidak semua isi Kompilasi Hukum Islam yang
terkait dengan kewarisan sesuai dengan fiqh Islam, seperti
konsep harta bersama, ahli waris pengganti, wasiat wajibah
untuk anak dan bapak angkat. Dalam hal ini, mereka hanya
bisa menerima pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam yang ada
rujukannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Sementara
kelompok kedua, diwakili beberapa Tuan Guru/Kyai Muda
di Pesantren Darussalam Martapura, Pesantren yang didirikan
Syekh Arsyad Al-Banjari, menyatakan bahwa Kompilasi
Hukum Islam memang bersumber dari kitab-kitab fiqh Islam,
termasuk tentang konsep harta bersama yang terdapat dalam
kitab faraid syekh Arsyad al-Banjari, demikian juga konsep
wasiat wajibah untuk ahli waris cucu yang bapaknya lebih
dahulu meninggal yang terdapat dalam kajian fiqh
kontemporer. Hanya saja konsep ahli waris pengganti bagi
mereka tidak punya rujukan yang jelas dalam kitab fiqh
klasik, karena itu tidak bisa diterima.
Muzainah, SH, MH, Dra. Norwahidah, M.Ag, H.A. Sukris Sarmadi, S.Ag, MH, Drs. HM.
Fahmi Al-Amruzi, M.H 60
Sedangkan kelompok ketiga, yang antara lain diwakili
Prof. Drs. H.M. Aswadhi Syukur, Lc17 Ketua Umum Majelis
Ulama Indonesia Kalimantan Selatan, dan Dra. Norwahidah,
M.Ag. Dosen Hukum Waris IAIN Antasari, serta Drs. HM.
Fahmi Al-Amruzi, M.H, menyatakan bahwa sebenarnya tidak
perlu memperhadapkan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh
Islam karena Kompilasi Hukum Islam juga merupakan
produk Fiqh khas Indonesia, termasuk dalam persoalan
kewarisan. Ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi Hukum
Islam yang terkesan baru yang tidak ditemukan dalam kajian
Fiqh Klasik tidak secara otomatis bisa dikatakan menyimpang
dari Hukum Islam karena ketentuan-ketentuan baru tersebut
diambil berdasarkan ijtihad kolektif ulama Indonesia dengan
memperhatikan perbedaan adat-istiadat masyarakat Indonesia
dan bermuara kepada pertimbangan maslahah. Di samping
itu, ketentuan-ketentuan baru tersebut juga ada sandaran
dalilnya walaupun mungkin sifatnya interpretatif yang sangat
memungkinkan mengundang perdebatan. Misalnya dalam
persoalan harta bersama, konsep ini didasarkan pada qiyas
dengan konsep syirkah dalam kajian Fiqh Muamalat, di
samping juga didasarkan pada ayat 32 surat an-Nisa.
“….bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang
mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Sedangkan, bagi para Hakim Tinggi Agama di
Pengadilan Tinggi Agama Banjarmasin,18 Kompilasi Hukum
17
18
Prof. Drs. H.M. Aswadi Syukur, Lc, Wawancara Pribadi, 25 Juni 2009, di Fakultas Da’wah
IAIN Antasari Banjarmasin. Hasil diskusi dengan Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banjarmasin tanggal 23 Juni 2009,
bertempat di ruang Pan/Sek PTA, Peserta Diskusi adalah; Drs. H. M. Tarsi Hawi, SH, Drs.
H. Fahruddin Hamid, SH, Drs. H. M . Thahir Aidy, SH, Drs. Nashrullah Syarqawi, SH, Drs.
H. Masruyani Syamsuri, SH, MH, Drs. H. Ahmad Sayuti. S.H., M.H., Drs. H. Syarkawi,
61
Islam merupakan produk hukum yang sangat sesuai dengan
kultur dan budaya di Indonesia, bahkan sering disebut-sebut
sebagai produk fiqh yang genuine Indonesia. Menurut mereka
ketentuan-ketentuan yang ada di Kompilasi Hukum Islam
memang ada yang perlu disempurnakan misalnya dalam
persoalan kriteria Ahli Waris Pengganti, kreteria anak angkat,
dan ketentuan harta gono gini yang dibagi 50% untuk masingmasing pasangan. Akan tetapi ketentuan yang ada secara
umum sudah selaras dengan maqasid syariah. Oleh karena itu,
kalaupun ada rencana perbaikan hendaknya jangan sampai
terjadi langkah mundur (Set back), justru yang mereka
harapkan harus lebih progresif. Persoalan ada kelompok yang
menolak, menurut mereka hal itu biasa dalam fiqh. Namun
demikian
pihak-pihak
yang
menolak
seharusnya
memperhatikan kaidah fiqh yang menyatakan “hukmul hakim
yarfaul khilaf, yakni keputusan hakim atau penguasa
menghilangkan perbedaan. Artinya Fiqh yang diambil
menjadi ketetapan hukum oleh pemerintah dalam hal ini
Kompilasi Hukum Islam itulah yang harus dijadikan
pegangan. Walaupun demikian, untuk penyelesaian sengketa
waris di luar Pengadilan yang tidak mengikuti Kompilasi
Hukum Islam, tidak menjadi persoalan.
Sementara ketika ditanyakan mana yang lebih adil
antara ketentuan di Kompilasi Hukum Islam dan dalam Fiqh
klasik, hampir semua informan menyatakan bahwa penilaian
adil atau tidak adil itu relatif. Penilaian tersebut terkait
dengan siapa yang menyatakan, dalam konteks apa, dan
dimana penilaian itu terjadi. Tetapi para Hakim Pengadilan
Tinggi Agama secara tegas menyatakan bahwa ketentuanketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam tentu diambil
SH, MHI, Drs. H. Abdul Kadir Ahmadie, SH, Drs. E. Saefuddin, M.H, Drs. H. M. Yusuf
Was Syarief, dan Drs. H. S. Bakir, SH. 62
karena ada maslahah yang lebih besar dibandingkan dengan
ketentuan-ketentuan lain yang tidak ada dalam Kompilasi
Hukum Islam, boleh jadi hal itu bertentangan dengan
Kompilasi Hukum Islam. Apalagi dalam penyusunan
Kompilasi Hukum Islam melibatkan banyak unsur baik dari
masyarakat, unsur akademisi, tokoh masyarakat, para praktisi
hukum dan lain-lain.
3.
Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap Beberapa
Materi dan Praktik KHI
a.
Harta Bersama
Harta bersama dalam masyarakat Banjar dikenal
dengan “harta papantangan”. Perkataan harta papantangan
berasal dari istilah bahasa Banjar yang berarti "semua
harta yang diperoleh dari hasil kerja sama suami isteri
selama berlangsungnya perkawinan".19
Keberadaan harta bersama (papantangan) telah
menjadi budaya dalam masyarakat Kalimantan Selatan
sejak lama. Karena itu, semua informan sepakat
menyatakan bahwa apabila dalam keluarga terjadi
peristiwa perceraian atau kematian salah seorang dari
suami isteri, maka harta mereka dibagi menjadi dua
bagian yang sama, kecuali harta bawaan atau warisan,
tetap menjadi harta pribadi masing-masing.
Harta papantangan yang telah menjadi ketentuan adat
Banjar telah mendapatkan legalitas fiqhnya dari fatwa
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Menurut Prof. Drs.
KH. Aswadhi Syukur, Lc, dan Drs. KH. Noval, fatwa
tentang harta papantangan tersebut dikeluarkan setelah
Syekh bermukim selama 40 tahun di Makkah dan
19
Muhammad Sanusi. (tanpa tahun) Suatu Tinjauan terhadap Harta Bersama dalam Hukum
Keluarga dan Hukum Waris Suku Banjar, Prasaran pada Diskusi Hakim/Calon Hakim pada
Pengadilan Negeri Banjarmasin 63
mengamati kehidupan keluarga di sana dan mencoba
membandingkan dengan kehidupan keluarga di
masyarakat Banjar, Syekh melihat kehidupan keluarga di
kalangan masyarakat Arab berbeda dengan masyarakat
Banjar. Di Saudi Arabia memang perempuan (isteri) tidak
bekerja, karena itu apabila suami meninggal dan
mempunyai anak, si isteri hanya mendapat seperdelapan
dari harta warisan, kalau tidak ada anak mendapat
seperempat dari harta warisan (peninggalan suami),
berbeda dengan masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan)
isteri ikut bekerja bersama suami sekalipun hanya bekerja
di rumah saja, selama masih sebagai suami isteri
dinamakan harta papantangan atau harta bersama. Apabila
salah satu meninggal maka yang masih hidup lebih
dahulu mengambil 50% (lima puluh persen) dari harta
bersama dan sisanya baru dibagi sesuai dengan ketentuan
hukum Faraidh. Harta bersama ini di-qias-kan dengan
Syirkatu al abdan.
Pendapat Syekh Al-Banjari tersebut di atas hingga
saat ini belum diketemukan dalam kitab yang beliau tulis,
tetapi menurut Prof. Drs. KH. Aswadhi Syukur, Lc,
pendapat tersebut terdapat dalam kitab faraidh karya
Tuan Guru Abdurrahman Sapat dari Tembilahan.
Menurutnya, boleh jadi kitab itu dari Syekh Arsyad,
namun ketika akan diterbitkan dipakai nama Syekh
Abdurrahman yang merupakan keturunan Datuk
Kalampaian.
Sedangkan dalam hal menentukan yang termasuk
harta papantangan jarang sekali masyarakat menelusuri
asal-usul harta tirkah. Ini terjadi karena dalam adat Banjar
tidak mengenal pemisahan harta dan perjanjian
64
perkawinan, disamping karena keterbatasan pengetahuan
masyarakat akan hak-haknya.20
Masalah harta papantangan ini berkaitan erat dengan
kedudukan isteri dalam rumah tangga serta haknya atas
harta yang diperoleh selama berumah tangga tersebut.
Suatu harta dianggap harta papantangan, kalau dalam
rumah tangga tersebut si isteri turut bekerja (kantor,
dagang atau tani), sehingga nantinya mereka ini (si-isteri)
berhak separo atas harta bersama tersebut. Dalam hal
pembagian waris nantinya sisanya yang separo setelah
diambil oleh isteri itulah yang akan dijadikan harta
warisan.
Sehubungan kondisi isteri yang bekerja atau tidak
bekerja dan seberapa besar ia akan mendapatkan harta
papantangan, dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu:
1. Bahwa isteri tidak mendapat harta papantangan, atau
harta itu bukan harta papantangan, karena isteri
dianggap tidak bekerja. Dalam hal ini isteri hanya
mendapat bagian waris sesuai dengan kedudukannya
sebagai ahli waris.
2. Bahwa isteri mendapatkan harta papantangan, akan
tetapi isteri tidak mendapaatkan separo, besarnya
ditentukan dalam permusyawaratan pembagian harta
peninggalan.
3. Bahwa sekalipun isteri tidak bekerja secara nyata,
karena hanya sebagai ibu rumah tangga, akan tetapi
hakikatnya ia bekerja. Hakikat bekerja ini dikarenakan
si isteri melakukan pekerjaan di
rumah diluar
pekerjaan yang seharusnya ia tidak lakukan (ada
20
Gusti Muzainah, SH, MH, Dosen Hukum Adat IAIN Antasari, Wawancara Pribadi, 26 Juni
2009 65
kewajiban suami menyediakan pembantu dalam
rumah tangga), oleh karena itu tidak akan mungkin
seorang suami dapat bekerja dengan baik tanpa
dibantu oleh isteri di rumah. Dengan demikian isteri
yang hanya sebagai ibu rumah tangga pun berhak atas
harta papantangan.21
Atas dasar pertimbangan di atas, para Hakim
Pengadilan Tinggi Agama Kalimantan Selatan mengusulkan
pada pasal 96-97 yang mengatur harta bersama agar porsi
bagian pasangan yang masih hidup tidak ditentukan secara
pasti 50%/separuh, tetapi diserahkan pada hakim
berdasarkan kontribusi/saham riil masing-masing pasangan.
Hal ini sesuai dengan konsep syirkah abdan: porsi keuntungan
seimbang dengan kontribusi. Selama ini, hakim-hakim di
Peradilan Agama juga tidak selalu memberikan porsi bagian
harta bersama sesuai ketentuan Kompilasi Hukum Islam,
tetapi lebih mempertimbangkan kondisi obyektif keluarga
yang ada, terutama kondisi obyektif kontribusi masingmasing pasangan dalam keluarga.22
b. Ahli Waris Pengganti
Ahli Waris Pengganti adalah ahli waris yang
menggantikan posisi orang tuanya yang terlebih dahulu
meninggal dari pada pewaris.
Ketentuan tentang Ahli Waris Pengganti terdapat pada
pasal 185 ayat (1) Buku II Kompilasi Hukum Islam yaitu:
1) Ahli Waris yang meninggal lebih dahulu daripada si
Pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh
anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.
21
22
Fitrian Noor, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Hukum Kewarisan Adat
Banjar (Studi Komparatif tentang Sistem dan Pembagian Kewarisan, Tesis Unlam, 2007. Diskusi dengan Hakim Pengadilan Tinggi Agama, tgl. 23 Juni 66
2) Bagian bagi Ahli Waris Pengganti tidak boleh melebihi
dari bagian Ahli Waris yang sederajat dengan yang
diganti.
Berdasarkan pasal tersebut maka cucu berhak
memperoleh
bagian
warisan
yang
ditinggalkan
kakek/neneknya apabila orang tua cucu tersebut lebih dahulu
atau
bersama-sama
meninggal
dunia
dengan
kakek/neneknya, dengan perolehan sebesar bagian yang
didapatkan orang tuanya jika masih hidup.
Menurut Prof. Drs. H.M. Aswadhi Syukur, Lc, ketentuan
tentang Ahli Waris Pengganti tersebut sudah tepat
menggunakan sistem penggantian, bukan sistem Wasiat
Wajibah seperti yang diberlakukan di Mesir dan beberapa
negara Timur Tengah lainnya, Ini karena wasiat hanya untuk
orang-orang yang tidak tergolong ahli waris, sedangkan cucu
merupakan Ahli Waris. Hadits Rasulullah menyatakan la
washiyyata liwaritsin, tidak ada wasiat untuk ahli waris. Di
samping itu, lanjutnya, ijtihad tentang Ahli Waris Pengganti
tersebut didasarkan pada hasil pemikiran Hazairin dalam
menafsirkan ayat QS. An-Nisa ayat 33; “Bagi tiap harta
peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib
kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya (mawali)”.
Sementara, KH. Abdurrahaman, KH. Noval, dan Drs.
Mahlan Umar, SH, MH mereka sepakat bahwa istilah Ahli
Waris Pengganti tidak dikenal dalam kajian Fiqh Klasik.
Walaupun demikian ini bukan berarti fiqh tidak ada solusi
untuk kasus di atas. Dengan menggunakan wasiat wajibah
menurut mereka lebih tepat seperti yang dilakukan oleh Mesir
yang mendasarkan pada pendapat Ibnu Hazm yang
menyatakan bahwa untuk kerabat dekat yang tidak
mendapatkan warisan, seorang wajib memberi wasiat.
67
Perbedaan di atas, pada gilirannya akan membawa
konsekuensi terhadap batas maksimal harta warisan yang bisa
diperoleh cucu. Bila menggunakan instrumen wasiat maka
yang didapat cucu tidak boleh lebih dari 1/3 harta. Sedangkan
melalui sistem waris pengganti cucu bisa mendapatkan lebih
dari 1/3 harta. Hanya saja Kompilasi Hukum Islam
membatasi bahwa bagian bagi Ahli Waris Pengganti tidak
boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan
yang diganti.
Sedangkan Drs. H. Ma’sum, SH, MH, Hakim Pengadilan
Agama Kelas IA Banjarmasin, Dra. Norwahidah, M.Ag, Dosen
Ilmu Waris IAIN Antasari, dan para Hakim Agama
Pengadilan Tinggi Agama Banjarmasin menyampaikan usulan
terkait dengan rencana peningkatan status Kompilasi Hukum
Islam menjadi Undang-Undang Terapan, yaitu:
1)
Pada Ketentuan Umum Buku II Kompilasi Hukum Islam,
perlu ditambahkan pengertian Ahli Waris Pengganti yang
hanya dibatasi pada cucu dari anak laki-laki atau anak
perempuan, tidak diperluas hingga keponakan (anak dari
saudara pewaris).
2)
Pada Pasal 185 tentang waris pengganti agar ditambahkan
point tentang syarat terjadinya Ahli Waris Pengganti,
yaitu Ahli Waris Pengganti baru terjadi apabila tanpa
sistem Ahli Waris Pengganti. cucu tidak mendapatkan
warisan karena adanya Ahli Waris lain yang
menghijabnya.
Praktik pembagian warisan dalam adat Banjar tidak
mengenal istilah Ahli Waris Pengganti, akan tetapi dalam
proses pembagian harta peninggalan, cucu yang terhalang
karena bapak/ibunya terlebih dahulu meninggal tetap saja
diberikan dalam bentuk hibah atau wasiat.
68
Sedangkan dalam praktik di Pengadilan Agama atau
Pengadilan Tinggi Agama, sistem Ahli Waris Pengganti sudah
berlaku, dan selama ini tidak pernah ada keberatan dari para
ulama’, kecuali pada saat awal sosialisasi Kompilasi Hukum
Islam. Itu pun terjadi karena belum adanya pemahaman yang
cukup dikalangan ulama. Kalau ada yang mengusulkan agar
menggunakan sistem wasiat wajibah seperti di Mesir bagi
para Hakim Pengadilan Agama/Pengadilan Tinggi Agama
tidak jadi persoalan. Hanya yang mereka inginkan agar siapa
saja yang berhak menjadi Ahli Waris Pengganti perlu
diperjelas dalam undang-undang.
c.
Anak Perempuan Menghijab Saudara Pewaris
Menurut para Hakim Agama Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama Kalimantan Selatan, persoalan anak
perempuan pewaris menghijab saudara pewaris tidak diatur
secara eksplisit dalam Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi
ketentuan ini didapatkan dari dua yurisprudensi berupa
Keputusan Mahkamah Agung RI, pertama, Keputusan MA No.
84/K/AG/1995/MA yang membatalkan Keputusan Pengadilan Agama Pekalongan dan Pengadilan Tinggi Agama
Semarang. Kedua, Keputusan MA: No. 86/K/AG/1994/MA
yang membatalkan Keputusan Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama Mataram. Kedua putusan
Mahkamah Agung tersebut menyatakan bahwa anak
perempuan bisa menghijab saudara-saudara pewaris/paman
dan bibinya. Menurut mereka kasus seperti dalam keputusan
Mahkamah Agung di atas belum pernah terjadi di wilayah
Kalimantan Selatan.
Menurut Prof. Drs. H.M. Aswadhi Syukur, Lc dan
Norwahidah, Dosen IAIN Antasari, ketentuan tentang anak
perempuan bisa menghijab saudara pewaris/paman dan
bibinya adalah didasarkan pada pendapat Syiah Imamiyah.
Sementara Jumhur Ulama Ahli Sunnah mengatakan yang bisa
69
menghijab saudara adalah anak laki-laki. Perbedaan pendapat
tersebut terjadi karena perbedaan dalam menafsirkan kata
“walad” pada surat An-Nisa ayat 76. Bagi Syiah Imamiyah
“walad” dalam ayat tersebut berarti anak laki-laki dan
perempuan. Sementara Jumhur Ahli Sunnah mengartikan
walad hanya untuk anak laki-laki.
Dalam Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang
bagian waris saudara terdapat dalam pasal 182 Kompilasi
Hukum Islam, selengkapnya adalah sebagai berikut:
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan
ayah, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan
kandung atau seayah, maka ia mendapat separoh bagian. Bila
saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara
perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka
mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila
saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara
laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki
dua berbanding satu dengan saudara perempuan.
Pasal 182 di atas juga sangat umum ketika menyebutkan
kata anak. Oleh karena itu wajar kalau terjadi perbedaan
hakim dalam memahaminya. Dalam kaitan ini, Hakim
Pengadilan Tinggi Agama Kalimantan Selatan hanya
mengharapkan agar dalam Perumusan Undang Undang
terapan di bidang kewarisan, anak dalam pasal di atas
dibunyikan secara eksplisit, yang terdiri dari anak laki-laki
dan perempuan. Hal ini sesuai dengan yurisprudensi
Mahkamah Agung di atas.
Namun demikian, dalam praktik pembagian warisan di
Banjar, menurut Gusti Muzainah,SH, MH, Saudara pewaris
hanya bisa dihijab oleh anak laki-laki dan ayah sesuai dengan
ketentuan waris Islam (pendapat Jumhur Ahli Sunnah).
70
d.
Wasiat Wajibah Untuk Anak Angkat
Anak angkat menurut adat Banjar adalah anak benarbenar tidak lahir dari kedua orang tua yang mengasuhnya
tersebut, akan tetapi anak ini dipelihara dan dibesarkan dari
kecil, sehingga anak tersebut sudah menyebut dan
menjadikan pihak yang mengasuh sebagai orang tua sendiri
(‘’kuitan’’). Anak angkat ini disebut dengan istilah ‘’anak
pintaan’’.
“Anak pintaan” ini dalam masyarakat Banjar tidak
berkedudukan sebagai ahli waris, akan tetapi ia dalam
pembagian warisan adalah pihak yang dipertimbangkan
untuk mendapatkan bagian dari harta waris.23
Anak angkat ini tidak berkedudukan sebagai ahli waris
dari orang tua angkatnya, akan tetapi tetap berkedudukan
sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya sendiri. Dalam
hal ini pengangkatan anak tidak bersifat memutuskan
hubungan antara anak angkat tersebut dengan orang tuanya.
Sehingga dengan demikian tidak dikenal konsep “adopsi“
seperti dalam hukum Barat.
Sementara menurut Prof. Drs. H.M. Aswadhi Syukur, Lc,
ketentuan Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 yang
memberikan bagian anak angkat melalui wasiat wajibah dari
harta peninggalan orang tua angkatnya sudah tepat. Karena
wasiat memang diperuntukkan pada orang-orang yang tidak
tergolong ahli waris tetapi masih punya hubungan dekat
dengan pewaris. Mengenai istilah “Wasiat Wajibah” ini
merujuk pada pendapat madzhab Dhahiriyah.
23
Fitrian Noor, SHI, SH, MH, Kasubag Keuangan Pengadilan Agama Kelas I A Banjarmasin,
Wawancara Pribadi, Tanggal 21 Juni 2009, Lihat juga Fitrian Noor, SHI, SH, MH,
Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dan Hukum Kewarisan Adat Banjar (Studi
Komparatif Tentang Sistem Dan Pembagian Kewarisan, Tesis Unlam, 2007 71
Para Hakim Agama Pengadilan Agama maupun
Pengadilan Tinggi Agama sepakat bahwa Pasal 209 Kompilasi
Hukum Islam tersebut tetap dipertahankan. Hanya saja para
Hakim Agama Pengadilan Tinggi Agama menghendaki agar
pengertian anak angkat harus ditegaskan dalam UndangUndang karena dalam pratiknya banyak anak asuh yang
mengaku-ngaku sebagai anak angkat. Misalnya, anak angkat
adalah anak yang diangkat secara resmi melalui proses
Peradilan atau proses lain yang diakui secara sah oleh hukum
yang berlaku.
e. Waris Beda Agama
Semua informan sepakat bahwa beda agama
menghalangi seseorang mendapatkan harta waris. Hal ini
sesuai dengan Hadits Nabi SAW “Seorang yang non muslim
tidak mewarisi seorang muslim dan seorang muslim tidak mewarisi
non muslim”. Namun demikian, mereka pun sepakat bahwa
seorang yang beda agama bisa mendapatkan harta
peninggalan melalui cara lain, selain warisan, misalnya
melalui hibah atau wasiat.
Menurut Prof. Drs. H.M. Aswadhi Syukur, Lc, kasus
pemberian harta peninggalan kepada non muslim pernah
terjadi ketika salah seorang muslim yang mengalami
kecelakaan Pesawat Colombia meninggal, ia meninggalkan
ahli waris non muslim, yaitu orang tuanya. Ketika dimintakan
fatwa ke Pengadilan Agama, orang tuanya tersebut
mendapatkan harta peninggalan pewaris, anaknya yang
muslim tersebut melalui wasiat wajibah.
Hal yang sama, pernah diputuskan Hakim Agama
Pengadilan Agama Martapura Kalimantan Selatan dan juga
Hakim Agama Pengadilan Agama Kalimantan Tengah yang
memberikan bagian harta peninggalan kepada non muslim
melalui wasiat wajibah. Oleh karena itu, para Hakim Agama
72
Pengadilan Tinggi Agama dan juga Prof. Drs. H.M. Aswadhi
Syukur, Lc, mengusulkan agar bagian untuk “ahli waris” non
muslim ditegaskan di dalam Undang-Undang melalui
instrumen wasiat wajibah.
f. Halangan Menerima Warisan
Pembunuhan dan Fitnah
Karena
Perencanaan
Menurut Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam, Seorang
terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum
karena:
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh
atau menganiaya berat para pewaris;
b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan
pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu
kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara
atau hukuman yang lebih berat.
Dalam pasal di atas membunuh sebagai penghalang
menerima harta waris sudah sesuai dengan fiqh. Akan tetapi
percobaan pembunuhan, penganiayaan berat, apalagi
memfitnah sebagai halangan mewaris, menurut pendapat
Amir Syarifuddin, jelas tidak ditemukan rujukannya dalam
fiqh madzhab manapun.24
Menyikapi persoalan ini, Drs. H. Abdul Halim, SH,
Hakim Agama Pengadilan Agama Kelas IA Banjarmasin,
menyatakan bahwa pasal di atas, semangatnya adalah untuk
mencegah semakin maraknya kejahatan berupa percobaan
pembunuhan dan penganiayaan berat yang dilakukan ahli
waris kepada “calon pewaris”. Sedangkan batasan fitnah yang
menyebabkan pewaris diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat dalam Pasal 173
24
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 200), cet-3, h. 328 73
Kompilasi Hukum Islam di atas, jelas dimaksudkan untuk pre
empetive, Sadduz zariah. Dalam kaitan ini Prof. Drs. H.M.
Aswadhi Syukur, Lc menyatakan bahwa fitnah yang
menyebabkan terhalang menerima harta waris adalah
memfitnah yang meyebabkan pewaris dikenakan hukuman
had.
Sedangkan Drs. Fathurrahman, M.Ag, wakil ketua NU
Wilayah Kalimantan Selatan, mengharapkan agar pasal 173
Kompilasi Hukum Islam di atas diberikan penjelasan yang
kongkrit tentang kriteria atau parameter dari perencanaan
pembunuhan dan memfitnah yang menjadi penghalang
mendapatkan warisan.
g. Sepertiga (1/3) Bagian untuk Ayah Bila Pewaris tidak
Punya Anak
Dalam Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam disebutkan:
“Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak
meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam
bagian”.
Ketentuan pasal di atas, secara sepintas bertentangan
dengan hukum waris Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Terkait dengan bagian ayah, surat an-Nisa ayat 11
menyatakan : “……dan untuk kedua ibu bapak, bagian masingmasing seperenam dari harta yang ditinggalkan jika pewaris
mempunyai anak. Jika pewaris tidak mempunyai anak, maka harta
diwarisi untuk kedua orang tuanya dan ibunya mendapat
sepertiga….”(An-Nisa:11).
Berdasarkan ayat tersebut, maka bagian ayah hanya dua
kemungkinan, yaitu seperenam (1/6) jika pewaris mempunyai
anak, dan asabah jika pewaris tidak mempunyai anak.
Mengomentari persoalan tersebut, informan sepakat
bahwa ketentuan di atas tidak memiliki rujukan yang jelas
74
baik dalam Al-Qur’an, Hadits maupun ijtihad para fuqaha.
Oleh karena itu, mereka mengharap agar ketentuan ini
dicabut dan tidak dimasukkan dalam rancangan Rancangan
Undang-Undang Terapan Bidang Kewarisan.
Sementara itu, para Hakim Agama Pengadilan Tinggi
Agama, Dosen IAIN Antasari dan Prof. Drs. H.M. Aswadhi
Syukur, LC menyatakan bahwa Pasal 177 dalam Kompilasi
Hukum Islam tersebut telah disempurnakan dengan Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1994
tanggal 28 Juni 1994. Berdasarkan SEMA tersebut pasal 177
disempurnakan menjadi: “ayah mendapat sepertiga bagian bila
pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan
ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian”. Ini berarti
bahwa ayah akan mendapatkan 1/3 bagian hanya dalam
kondisi khusus, yaitu ketika pewaris tidak meninggalkan anak
dan ahli waris hanya terdiri dari ayah, suami, dan ibu.
Formasi atau bentuk kewarisan ini dalam kajian fiqh mawaris
dikenal dengan kasus gharawaian atau umaryatain.25
h. Porsi Perbandingan
Perempuan
Bagian
Anak
Laki-Laki
dan
Menurut Gusti Muzainah, SH, MH dalam adat Banjar
wanita dan laki-laki sama berkedudukan sebagai ahli waris,
walaupun dalam hukum Islam wanita lebih sedikit
mendapatkan bagian, 2 bagian untuk laki-laki, 1 bagian untuk
perempuan, tetapi dalam pelaksanaannya tidak selalu
demikian. Wanita dan laki-laki terlebih dahulu tahu haknya
atas bagian warisan masing-masing, setelah itu mereka
25
Dalam kasus tersebut, kalau dihitung berdasarkan ketentuan dasar waris Islam maka bagian
suami ½, ibu 1/3, ayah ashabah (nilainya sama dengan 1/6). Jadi bagian ayah lebih kecil dari
ibu. Atas dasar ijtihad Umar maka yang dimaksud 1/3 bagian ibu adalah 1/3 bagian setelah
dikurangi untuk suami ½. Jadi dalam hal ini ibu menerima 1/3 x ½ = 1/6 sedangkan sisanya
untuk ayah (nilainya sama dengan 2/3 x ½ = 2/6 atau 1/3). Sedangkan pendapat yang
berbeda dipelopori Ali Bin Abi Thalib yang tetap memberikan bagian ibu 1/3 keseluruhan
harta, bukan sepertiga sisa setelah diberikan ½ untuk suami. 75
sepakat untuk membagi sama bagian wanita dengan bagian
laki-laki.26
Lebih jauh, menurut Drs. Suhaili, SH, MH, Hakim
Agama Pengadilan Agama Kelas IA Banjarmasin, praktik
pembagian waris secara damai yang berakhir pada perolehan
yang sama bagi anak laki-laki dan perempuan sering terjadi
juga setelah mereka mendapatkan fatwa waris dari
Pengadilan Agama. Padahal dalam fatwa waris tersebut
Pengadilan Agama telah memberikan bagian laki-laki dua kali
bagian perempuan, tetapi selanjutnya mereka memusyawarahkan ulang untuk dibagi secara merata atau dengan caracara lain sesuai dengan kesepakatan.
i. Wasiat Pembagian Warisan Sebelum Pewaris Meninggal
Praktik wasiat pembagian warisan dalam adat Banjar
dikenal dengan “amanat” atau “ba’amanah” atau “ba’amanat”
adalah pesan (amanat) dari pewaris (almarhum), yang isinya
barupa penunjukkan benarnya bagian pada ahli waris
tertentu, orang tertentu (penerima warisan) lainnya, ataupun
juga berisi larangan untuk membagi harta peninggalan
tertentu.27
Wasiat umumnya dilakukan secara lisan kepada ahli
waris dan penerima warisan lainnya yang disaksikan oleh
orang-orang tertentu, seperti kerabat dekat dan “tuan guru”.
Namun demikian wasiat ini terkadang hanya disampaikan
kepada “tuan guru” atau kerabat dekat, tanpa diketahui oleh
ahli waris atau sebagian dari ahli waris.
26
27
Gusti Muzainah,SH, MH, Dosen Hukum Adat IAIN Antasari, Wawancara Pribadi, 26 Juni
2009 Prof. Drs. H.M. Aswadhi Syukur, Lc, Wawancara Pribadi, 25 Juni 2009, di Fakultas Da’wah
IAIN Antasari Banjarmasin, Fitrian Noor, SHI, SH, MH, Kasubag Keuangan PA Kelas IA
Banjarmasin, Wawancara Pribadi, Tanggal 21 Juni 2009 76
Penentuan ada tidaknya suatu wasiat ditentukan dalam
musyawarah pembagian harta warisan, dimana masingmasing akan mengemukakan ada tidaknya wasiat (pesan/
amanah) yang diminta oleh pewaris (almarhum) terhadap
pembagian harta warisan tersebut. Suatu wasiat (pesan)
dianggap sah kalau wasiat itu minimal diketahui oleh seorang
saksi, oleh karena itu wasiat akan dianggap tidak sah atau
tidak ada kalau hanya dikemukakan oleh satu orang, baik ia
langsung sebagai yang ditunjuk dalam wasiat ataupun orang
lain.
Substansi dari wasiat berupa penunjukkan bagianbagian dari ahli waris dan penerima warisan lainnya mengacu
kepada prakondisi yang melatarbelakangi adanya wasiat
tersebut, sehingga besarnya bagian atau jenis-jenis harta yang
didapatkan tidak terlepas dari penilaian-penilaian pewaris
(almarhum) terhadap kondisi keluarganya. Oleh karena itu
bagian ahli waris dan pewaris lainnya mengacu kepada
kondisi keluarga pewaris tersebut, yang dalam hal ini harta
yang didapatkan sesuai dengan kebutuhan ahli waris dan
penerima waris lain tersebut sebagaimana juga dalam hibah,
seperti harta berupa perhiasan untuk Si X dan harta berupa
rumah untuk Si Y dan seterusnya.
Adapun juga yang perlu dicatat adalah gagasan untuk
membuat wasiat melibatkan “tuan guru”, dimana biasanya
saran dapat datang dari “tuan guru” itu sendiri ataupun juga
pewaris (almarhum) yang meminta pertimbangan kepada
“tuan guru” terhadap kebaikan-kebaikan yang akan ia
tinggalkan untuk keluarganya dengan prakondisi yang ada
pada keluarganya tersebut. Dengan keterlibatan “tuan guru”
tersebut, maka substansi wasiat akan berpedoman kepada
syari’at Islam, termasuk nanti dalam pelaksanaannya yang
juga akan melibatkan “tuan guru” tersebut.
77
Adapun yang menjadi tujuan utama dalam masyarakat
Banjar dari adanya wasiat ini adalah agar para ahli waris dan
penerima warisan lainnya tidak terjadi perselisihan berupa
“barabut” (memperebutkan) harta warisan, yang menurut
keyakinan bahwa adanya perselisihan tersebut akan
mengakibatkan tidak tentramnya pewaris (almarhum) di alam
kubur. Oleh karena itu ketaatan para ahli waris dan penerima
warisan lainnya didasarkan kepada rasa taat dan hormat
terhadap orang tua (asas kebersamaan) dalam rangka
keselamatannya menjalani tahap kehidupan di alam kubur.
Dengan demikian perbuatan para ahli waris dan penerima
warisan lainnya yang tidak berpijak kepada apa-apa yang
diwasiatkan pewaris diyakini membawa dampak ganda,
yaitu:
1) Pewaris (almarhum) menjadi terhalang atau terganggu atau
tidak tentram menjalani kehidupan di alam kuburnya; dan
2) Ahli waris dan pewaris lainnya menjadi tidak tenang atau
tentram hidupnya, yang biasanya akan selalu merasa
didatangi oleh orang tuanya (almarhum) dalam mimpi.
Menurut para informan Hakim Agama Pengadilan
Agama/Pengadilan Tinggi Agama dan Dosen IAIN Antasari
praktik wasiat pembagian warisan sebelum pewaris
meninggal
tidak
pernah
menjadi
persoalan
yang
diperbincangkan. Selain karena masyarakat Banjar banyak
yang mempraktikannya, dari segi ketentuan Kompilasi
Hukum Islam (Pasal 195) pun tidak jadi persoalan. Hanya saja
Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa wasiat kepada
ahli waris harus disetujui semua ahli waris.
j. Praktik Hibah Dihitung sebagai Bagian Waris
Di antara praktik pembagian harta sebelum pewaris
meninggal di Banjar adalah melalui Hibah atau dalam bahasa
Banjar disebut Dibari’i, yaitu suatu cara di mana harta dibagi 78
bagi oleh pewaris (sebelum meninggal) kepada anak-anaknya
(ahli waris) dan kepada pihak-pihak lain (penerima warisan)
sesuai dengan apa yang diinginkan pewaris. Proses
pemberiannya
dilakukan
dengan
cara
pewaris
mengumpulkan semua ahli waris dengan atau tanpa penerima
warisan lainnya, setelah semuanya berkumpul pewaris
mengemukakan keinginannya membagi harta kepada ahli
waris dan penerima warisan lainnya. Dalam kondisi seperti
ini ahli waris umumnya menyetujui pembagian yang
dilakukan oleh orang tuanya sebagai wujud dari
penghormatan dan baktinya terhadap orang tua tersebut.
Dalam proses penghibahan itu biasanya diundang
seseorang yang menjadi tokoh dalam masyarakat seperti “tuan
guru” atau tokoh formal seperti Ketua Rukun Tetangga atau
Lurah dimana mereka diminta untuk menyaksikan apa-apa
yang telah dihibahkan tersebut.
Dalam proses penghibahan ini pula manakala ahli waris
ada yang tidak hadir, maka pewaris berpesan kepada yang
hadir untuk menyampaikan apa-apa yang sudah menjadi
kehendaknya dalam pembagian harta tersebut.
Adapun besarnya bagian masing-masing dalam
penghibahan ini tidak ditemukan norma yang pasti, yang
menjadi tolak ukur hanyalah asas “kepatutan” atau asas
“keadilan” yang ada dalam benak pewaris. Dalam hal ini pra
kondisi tersebut di atas sangat mempengaruhi besarnya
penerimaan harta yang diterima oleh para ahli waris dan
pewaris lainnya. Harta yang dihibahkan tersebut akan dibagibagi sesuai dengan kondisi hartanya, seperti X menerima
rumah, Y menerima perahu, N menerima perhiasaan dan
seterusnya.
Kehadiran tokoh masyarakat (“tuan guru”) tersebut
sangat berperan dalam mengimplementasikan asas kepatutan
79
dalam pembagian tersebut. Maksudnya prinsip-prinsip
pembagian yang menyangkut hak-hak waris menurut hukum
Islam menjadi pertimbangan utama dari pewaris dalam
menetapkan bagian dari masing-masing ahli waris dan
penerima warisan lainnya. Di samping prinsip-prinsip hukum
Islam yang terjadi patokan dasar oleh pewaris dalam
menentukan bagian, juga hal yang sangat penting adalah
penerimaan dari ahli waris terhadap apa yang diputuskan
oleh pewaris tersebut. Oleh karena itu dalam pemberian harta
ini (hibah) biasanya disertai dengan musyawarah, sehingga
apa yang sudah diputuskan pewaris dapat diterima oleh ahli
waris.
Manakala harta yang sudah dihibahkan tersebut masih
berada dalam penguasaan pewaris, maka ahli waris
merelakannya, (membiarkannya) karena mereka masih
beranggapan bahwa pewaris berhak menikmati harta tersebut,
terlebih pula hal ini dikaitkan dengan penghargaan atau
wujud kebaktian mereka terhadap orang tua.
Meskipun tradisi hibah di atas banyak dipraktikan
masyarakat, akan tetapi menurut Prof. Drs. H.M. Aswadhi
Syukur, Lc pernah ada kasus di Pengadilan dimana ada orang
tua yang telah membagi-bagikan hartanya lewat hibah kepada
kedua anaknya, laki-laki dan perempuan sebelum meninggal.
Ketika orang tua tersebut meninggal harta anak laki-laki telah
habis dan dia menggugat ke pengadilan agar harta adiknya
perempuan yang didapatkan dari hibah di atas dijadikan
sebagai harta warisan yang ia mengharap dapat bagian
darinya. Akhirnya, Pengadilan menolak gugatan anak lakilaki dan menguatkan hibah yang pernah dilakukan orang tua
keduanya semasa hidup, dan dianggap sebagai bagian
warisan.
Menurut para Hakim Agama Pengadilan Tinggi Agama
dan Dosen IAIN Antasari, hibah yang dihitung sebagai
80
warisan tidak menjadi masalah, hal ini diatur dalam pasal 211
Kompilasi Hukum Islam yaitu “Hibah orang tua kepada anaknya
dapat diperhitungkan sebagai warisan”.
k. Praktik Penyelesaian Warisan yang Unik
Ada beberapa hal yang unik dalam pembagian harta
waris di Banjarmasin, yaitu:
1) Harta yang tidak Dibagi karena untuk Kegiatan Haul
Ditemukan sejumlah harta peninggalan yang tidak
dibagi kepada ahli waris, seperti harta peninggalan untuk
keperluan “bahaul” atau “haulan” setiap tahun, biasanya
berupa tanah, sehingga tanah tersebut disebut “tanah
tunggu haul”. Di samping tanah juga terdapat barang lain
seperti perahu, dimana hasil dari perahu ini sebagian
disisihkan untuk keperluan “haulan”. Selain itu, kadangkala digunakan untuk santunan anak yatim, bahkan bisa
juga untuk beasiswa.
2) Harta Peninggalan Belum Dibagi Karena Salah Satu
Orang Tua yang masih ada
Ditemukan harta peninggalan yang belum dibagi.
Harta peninggalan yang belum dibagi ini berkaitan
dengan suatu sebab, yaitu masih adanya salah satu dari
orang tua mereka (ayah atau ibu). Dalam hal ini para waris
dalam rangka menghormati orang tuanya merasa tidak
tega membagi harta yang ditinggalkan, mereka yang
menggugat untuk membagi harta peninggalan tersebut,
oleh masyarakat digolongkan sebagai anak yang tak tahu
diri (durhaka). Oleh karena itu merupakan pantangan
membagi harta peninggalan sementara salah seorang dari
orang tua mereka masih ada. Pengecualian dari hal ini
dapat saja terjadi kalau memang salah satu dari orang tua
81
yang bersangkutan menghendaki sendiri
pembagian harta peninggalan tersebut.28
adanya
3) Harta Peningggalan yang Dibagi tetapi Tidak Diserahkan
Kepada yang Bersangkutan
Dalam hal tertentu ada pula harta peninggalan yang
dibagi, tapi tidak diserahkan kepada yang bersangkutan
seperti dalam hal salah seorang dari ahli waris masih
belum dewasa atau dianggap masih belum dapat
mengurus harta sendiri. Terhadap masalah ini harta
peninggalan yang dibagi, tetapi tidak diserahkan tersebut
akan dikuasai oleh saudara tertua atau paman dari ahli
waris tersebut.29
4) Praktik Perdamaian Warisan
Perdamaian warisan merupakan perwujudan dari
budaya “badamai” dalam adat Banjar. Dalam pembagian
harta waris, adat badamai ini diwujudkan dari pola
pembagian waris secara faraid-islah dan islah.
a) Fara’id-Islah
Dalam pola ini, akan dilakukan pembagian
menurut fara’id atau hukum waris Islam, setelah itu
dilakukan pembagian dengan cara musyawarah
mufakat atau “islah”.
Dalam pola ini “Tuan Guru” memperhitungkan
siapa saja yang mendapat warisan, dan berapa besar
bagian masing-masing ahli waris tersebut. Setelah
Tuan Guru menentukan siapa yang menjadi ahli waris
atau penerima waris lainnya, berdasarkan wasiat atau
28
29
Ahmad Khusaini, Pemangku Adat Banjar Yayasan Pangeran Suriansah Banjarmasin,
Wawancara Pribadi, Tanggal 18 Juni 2009 Hasil Diskusi dengan Dosen IAIN Antasari, Wawancara dengan Ketua MUI, dan Pemangku
Adat 82
hibah wasiat, dari mereka sudah mengetahui besarnya
bagian harta warisan yang akan diterima, kemudian
mereka menyatakan untuk menerimanya. Kemudian
mereka “islah” sepakat untuk memberikan harta waris
yang merupakan bagiannya kepada ahli waris lain.
Dalam kerangka “islah” inilah seseorang ahli
waris yang seharusnya mendapat bagian warisan
sesuai ketentuan syariat Islam, akhirnya mendapatkan
harta waris sesuai kesepakatan.
Dengan cara “islah” tersebut mereka sudah
merasa telah melaksanakan ketentuan norma yang
ditetapkan agama, karena pembagian menurut faraid
(Hukum Waris Islam) telah mereka lakukan, walaupun
kemudian atas kerelaan masing-masing, membagi
kembali bagian waris tersebut sesuai kesepakatan.
Berdasarkan pada “islah” ini kemaslahatan
keluarga ahli waris lainnya menjadi pertimbangan
utama. Artinya seseorang ahli waris yang menurut
faraid mendapatkan bagian lebih besar, akan sama
kehidupan ekonominya, dan pada akhirnya akan
sukses mendapatkan bagian harta waris lebih sedikit
atau bahkan tidak mendapat bagian sama sekali.
Begitulah seterusnya akibatnya prosentasi pembagian
menurut ilmu faraid dipakai lagi.
b) Islah
Pola ini dilakukan hanya dengan cara
musyawarah mufakat atau tanpa melalui proses
penghitungan faraid terlebih dahulu. Dalam masalah
ini ahli waris bermusyawarah menentukan besarnya
bagian masing-masing. Pertimbangan besarnya bagian
masing-masing adalah kondisi objektif ahli waris dan
penerima waris lainnya. Oleh karena itu bagian yang
83
diterima oleh masing-masing ahli waris sangat
bervariatif tidak memakai prosentasi dan ukuran
tertentu.
Proses pembagian waris pada pola “Islah”,
terlihat adanya kekhawatiran ahli waris dianggap
tidak melaksanakan syari’at agama Islam, sebab rasa
keberagamaan mereka menjadi taruhan utama dalam
kehidupannya. Dalam pelaksanaan pembagian waris
yang menggunakan “fara’id-islah” mereka merasa
sudah melaksanakan syari’at agama, walaupun
kemudian mereka memilih untuk melakukan islah
agar pembagian tersebut dapat menyentuh aspek
kemaslahatan keluarga. Sedangkan pembagian waris
yang hanya dengan menggunakan cara islah, mereka
menganggap lembaga “islah” ini juga dibenarkan oleh
syari’at Islam. Karena masalah warisan adalah masalah
muamalah yang pelaksanaannya diserahkan kepada
umat.
Praktik pembagian waris dengan pola islah ini
telah diakomodir dalam Pasal 183 Kompilasi Hukum
Islam yaitu “para ahli waris dapat bersepakat melakukan
perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah
masing-masing menyadari bagiannya”.
l.
Pembagian Waris Berupa Tanah < 2 Ha.
Ketentuan tentang larangan membagi harta peninggalan
berupa tanah yang kurang dari 2 hektar terdapat dalam Pasal
189 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
(1) Bila harta waris yang akan dibagi berupa lahan pertanian
yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan
kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan
untuk kepentingan bersama para ahli waris yang
bersangkutan
84
(2) Bila ketentuan tersebut tidak memungkinkan karena
diantara ahli waris yang bersangkutan ada yang
memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki
oleh seorang atau lebih ahli waris yang dengan cara
membayar harganya kepada ahli waris yang berhak
sesuai dengan bagian masing-masing.
Selama ini pembagian harta waris berupa tanah < 2 ha.
tidak pernah diperjual belikan oleh masyarakat Banjar. bahkan
tokoh adat dan beberapa ulama mengharapkan agar pasal
yang mengatur tentang larangan membagi waris berupa tanah
yang < 2 ha. itu dicabut. Selain sulit untuk diterapkan karena
perbedaan keinginan para ahli waris, juga dalam
kenyataannya larangan tersebut selama ini tidak efektif
bahkan tidak pernah terjadi sanksi atas pelanggaran pasal
tersebut. Drs. Suhaeli, SH, MH, Hakim Agama Pengadilan
Agama dan Drs. H. Fahruddin Hamid, SH, Hakim Agama
Pengadilan Tinggi Agama berkomentar bahwa pasal tersebut
hanya cocok diterapkan di pulau Jawa yang kekurangan lahan
pertanian.
m. Kewarisan Anak Hasil Perzinaan
Dalam masyarakat Banjar, menurut Noor Fitrian, anak
hasil perzinaan dikenal dengan istilah “anak kampang”, yaitu
anak yang lahir dari perbuatan zina yang dilakukan oleh
ibunya, yang suaminya tidak diketahui (biasanya ditinggalkan
pergi). Walaupun ibunya sudah kawin dengan laki-laki lain,
anak ini biasa disebut “anak kampang”. Anak kampang ini
dianggap hanya sebagai ahli waris dari ibunya, tetapi dalam
praktek mereka tetap mendapat bagian waris dari orang tua
“biologisnya”.30
30
Fitrian Noor, SHI, SH, MH, Kasubag Keuangan PA Kelas I A Banjarmasin, Wawancara
Pribadi, Tanggal 21 Juni 2009 85
Sementara, Drs. KH. Abdurrahman dan Drs.
Fathurrahman, M.Ag berpendapat bahwa anak hasil
perzinaan yang tidak bisa mendapatkan harta waris dari ayah
biologisnya merupakan ketentuan Hukum Islam yang syarat
dengan maqasid syariah, yaitu untuk mendidik bagi para
pelaku zina agar tidak melakukan perzinaan yang akan
berakibat pada hilangnya nasab anak biologis dengan ayah
biologisnya. Oleh karena itu, kedua informan ini cenderung
untuk tidak memberikan bagian dari harta peninggalan secara
eksplisit dalam Undang-Undang.
Sedangkan Prof. Drs. H.M. Aswadhi Syukur, Lc, Dosen
IAIN Antarasari, dan para Hakim Agama pada Pengadilan
Tinggi Agama, berpendapat bahwa anak hasil perzinaan bisa
mendapat harta peninggalan ayah “biologisnya” melalui
wasiat wajibah. Dalam kaitan ini, para hakim Pengadilan
Tinggi Agama mengharapkan agar bagian harta peninggalan
untuk anak hasil perzinaan ditegaskan secara eksplisit dalam
pasal Undang-Undang Terapan Bidang Kewarisan yang akan
datang.
C. Refleksi untuk Penyempurnaan Kompilasi Hukum Islam
menjadi Undang-Undang Terapan di Bidang Kewarisan
Seiring dengan laju reformasi hukum di Indonesia pasca
reformasi sistem kenegaraan dan kepemerintahan sejak tahun
1998, peluang dan kesempatan untuk mewujudkan cita-cita
menjadikan Kompilasi Hukum Islam sebagai Undang-Undang
mulai terbuka lebar. Namun sejak lahirnya Undang-Undang
No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Bagi orang-orang yang
beragama Islam Undang-Undang ini adalah satu-satunya
dalam penyelesaian perkawinan, perwakafan, hibah, wasiat
bahkan kewarisan hingga persoalan sadaqah, infak, zakat dan
ekonomi syariah. Ini berarti penyelesaian kewarisan umat
Islam tidak boleh diputuskan di Pengadilan Umum.
86
Sebagai upaya menguatan institusi Peradilan Agama,
sebelum tahun 2006 pun Badan Pembinaan Peradilan Agama
Kementerian Agama telah menyiapkan Rancangan UndangUndang Terapan Peradilan Agama khususnya di Bidang
Perkawinan. Rancangan Undang-Undang ini telah masuk
dalam daftar Rancangan Undang-undang Program Legislasi
Nasional 2005-2009 dengan nomor urut 124.31 Sedangkan
terkait Rancangan Undang-Undang Hukum Terapan Bidang
Kewarisan saat ini baru pada tahap kajian di Badan
Pembinaan Hukum Nasional.
Sehubungan dengan Rancangan Undang-Undang
Hukum Terapan Bidang Kewarisan yang sumber utamanya
adalah Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa saran dan
masukan tokoh masyarakat, cendekiawan, para praktisi
hukum terutama hakim Peradilan Agama dan Peradilan
Tinggi Agama Kalimantan Selatan, sebagai berikut:
1. Perlu adanya kejelasan pasal dalam Kompilasi Hukum
Islam sehingga tidak menimbulkan multi tafsir. Misalnya
dalam hal Ahli Waris Pengganti, anak perempuan
menghijab saudara pewaris, bagian 1/3 ayah bila tidak
punya anak.
2. Adanya ruang kebebasan atau kreatifitas hakim dalam
menggali hukum yang hidup di masyarakat untuk
mencapai keadilan yang sejati. Ini karena tidak sedikit dari
kalangan ulama di Banjar yang belum setuju semua isi dari
Kompilasi Hukum Islam. Walaupun dalam kenyataannya
seringkali kreatifitas hakim di tingkat Pengadilan Agama
dibatalkan oleh Hakim Pengadilan Tinggi Agama/
Mahkamah Agung karena dianggap “menyimpang” dari
ketentuan perundang-undangan atau yurisprudensi.
31
Diakses dari ttp://www.dpr.go.id/assets/berkas/badan_legislatif/prolegnas/PROLEGNAS %
20 2005-2009 Prolegnas % 20, 2005-2009. pdf , tanggal 25 Juli 2009 87
Saran
Untuk
mengurangi
kesenjangan
pemahaman
masyarakat terhadap ketentuan hukum di Pengadilan Agama
dan yang berkembang di masyarakat maka perlu dilakukan
sosialisasi Kompilasi Hukum Islam secara intensif dengan
para ulama.
Dalam perumusan Undang Undang Terapan Peradilan
Agama Bidang Kewarisan hendaknya melibatkan masyarakat
baik yang pro dan kontra.
1. Pada pasal 174 tentang kelompok ahli waris agar
dijelaskan secara rinci sesuai dengan yang ada dalam
ketentuan faraid;
2. Agar yang sudah ada di Kompilasi Hukum Islam minimal
dipertahankan dan kalau mungkin dilakukan langkahlangkah yang lebih progresif;
3. Perlu dibentuk lembaga Baitul Maal untuk menampung
harta waris yang tidak ada ahli warisnya. Penegasan
tentang lembaga ini perlu ditetapkan kedalam undangundang;
4. Umumnya masyarakat menyelesaikan kewarisan secara
faraidh walaupun dalam masyarakat Banjar lebih
mengedepankan semangat adat bedamai, sehingga
memunculkan pola faraidh-ishlah atau ishlah saja. Oleh
karena itu, pasal 183 Kompilasi Hukum Islam tentang
perdamaian hendaknya tetap dipertahankannya;
5. Dalam menyelesaikan persoalan waris, selain berpedoman
pada Kompilasi Hukum Islam para hakim umumnya
masih banyak yang merujuk ke literatur Fiqh Klasik, selain
juga menggali praktik hukum di masyarakat (adat
istiadat). Namun, demikian bagi hakim-hakim “yang
mencari aman” dari proses hukum di tingkat Pengadilan
88
Tinggi Agama dan Mahkamah Agung umumnya sangat
patuh dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam dan
Yurisprudensi, oleh karena itu upaya untuk menjadikan
Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum terapan di
Pengadilan Agama harus segera diwujudkan guna
megeliminir perbedaan hakim dalam memutus perkara
karena banyaknya sumber rujukan hakim sebelum
memutus perkara yang ditanganinya.
D. Kesimpulan
1. Aturan kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam pada
umumnya belum dipahami oleh mayoritas masyarakat,
termasuk didalamnya para Tokoh Masyarakat, Pemangku
Adat atau Tuan Guru/Ulama. Kompilasi Hukum Islam
baru dipahami oleh sebagian kecil ulama atau tokoh
masyarakat yang berlatarbelakang pendidikan kampus.
2. Pendapat Ulama yang memahami Kompilasi Hukum
Islam terpola menjadi 3 bagian: pertama, ulama tradisional
cendrung setuju dengan materi Kompilasi Hukum Islam
yang ada rujukannya dalam kitab-kitab ulama klasik,
kedua, ulama “Fundamentalis” cendrung menolak materi
Kompilasi Hukum Islam yang tidak ada rujukannya
dalam Al-Qur’an dan Sunnah, ketiga, ulama kampus/
moderat, cendrung dapat menerima materi Kompilasi
Hukum Islam karena di nilai sesuai dengan tuntutan
keadilan hukum dan maslahah yang berkembang di
masyarakat.
3. Masyarakat umumnya menyelesaikan kewarisan secara
faraidh walaupun dalam masyarakat Banjar lebih
mengedepankan semangat adat badamai, sehingga
memunculkan pola faraidh-ishlah atau ishlah saja.
4. Perkara kewarisan di Pengadilan kebanyakan hanya
berupa P3HP (Permohonan Pertolongan Pembagian Harta
89
Pusaka), yang umumnya diajukan oleh kalangan keluarga
kelas menengah ke atas dan terdidik, atau dilakukan oleh
keluarga yang memiliki potensi konflik dalam pembagian
warisan besar.
5. Dalam menyelesaikan persoalan waris, selain berpedoman
pada Kompilasi Hukum Islam para Hakim Agama
umumnya masih banyak yang merujuk ke literatur Fiqh
Klasik, selain juga menggali praktik hukum di masyarakat
(adat istiadat). Namun, demikian bagi Hakim-Hakim
“yang mencari aman” dari proses hukum di tingkat
Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung
umumnya sangat patuh dengan ketentuan Kompilasi
Hukum Islam dan Yurisprudensi
6. Menyangkut materi Kompilasi Hukum Islam ada tiga
kategori usulan untuk perbaikan di masa mendatang;
pertama, tetap mempertahankan isi pasal sebagai adanya
seperti pasal tentang perdamaian, kedua, pasal
dipertahankan dengan usulan dan penyempurnaan
redaksi seperti dalam persoalan Harta Bersama, Ahli
Waris Pengganti, Anak Perempuan Menghijab Saudara
Pewaris, dan Halangan Menerima Warisan karena
Perencanaan Pembunuhan dan Fitnah, ketiga, usulan
pencabutan pasal seperti pasal tentang 1/3 Bagian Untuk
Ayah Bila Pewaris Tidak Punya Anak dan Pembagian
Warisan Berupa tanah < 2 ha, keempat, usulan tambahan
tentang hak “ahli waris” beda agama dan anak hasil
perzinaan dimasukkan kategori pihak yang berhak atas
wasiat wajibah.
90
BAB IV RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA
TERHADAP FIQH WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM
ISLAM DI MAKASSAR SULAWESI SELATAN
Oleh:
JM. Muslimin
Jaenal Aripin
A. Deskripsi Georeligius1 S
ecara administratif, Kota Makassar terdiri atas 11 kecamatan dan 62 kelurahan dengan luas wilayah 175, 77 km². Dengan posisinya sebagai Ibukota Sulawesi Selatan, Kota Makassar menjadi kota strategis dan terpenting di kawasan Indonesia Timur. Lalu lintas perdagangan melalui pelabuhan Makassar cukup ramai, dimana berlabuh kapal‐kapal dalam negeri maupun kapal asing. Empat suku utama yang dominan di Makassar, yakni Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Sektor industri pada beberapa tahun terakhir ini berkembang pesat, baik industri besar, sedang maupun kecil (home industry). Industri besar meliputi pabrik terigu, pabrik besi baja, pabrik tripleks, pabrik seng, pabrik pengolahan ikan/udang. Sementara industri 1
Dirangkum dari sejumlah sumber: Biro Pusat Statistik, Karakteristik Penduduk
Sulawesi Selatan, Makasar: BPS, 2001, hal. 15, ---, Sulawesi Selatan Dalam
Angka, hal. 90; Suriadi Mappangara dan Irwan Abbas, Sejarah Islam di Sulawesi
Selatan, Makassar: LAMACCA Press, 2003; Abu Hamid, “Sistem Nilai Islam
dalam Budaya Bugis Makassar” dalam Aswab Mahasin (ed.,), Ruh Islam dalam
Budaya Bangsa: Aneka Budaya Nusantara, Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, hal.
170-171; Abd Kadir Ahmad, (ed.), Varian Gerakan Keagamaan di Sulawesi
Selatan, Makassar: Balitbang Dep. Agama, 2007, hal. 1-20; Abd Kadir Ahmad,
Potret KPPSI dari Perspektif Tokoh, Makassar: Balitbang Dep. Agama, 2007.
91
menengah, antara lain pabrik pengolahan bahan makanan dan minuman. Sedangkan industri kecil yang terkenal adalah peleburan logam mulia (emas dan perak) di Kelurahan Tallo Baru. Di sektor pendidikan, Kota Makassar memiliki sarana pendidikan yang cukup baik. Tidak kurang dari 580 buah sekolah formal, dari tingkat dasar hingga SLTA. Ada 30 Perguruan Tinggi dan 3 diantaranya adalah Perguruan Tinggi Negeri: Universitas Hasanuddin, Universitas Islam Negeri (UIN) dan Universitas Negeri Makassar (UNM). Dilihat dari sisi agama, masyarakat Makassar bersifat heterogen. Angka kuantitatif dari keberagamaan terdiri atas: Islam sebanyak 1. 045.886 (89.5%), Katolik 29. 769 (2.5%), Protestan 70.991 (6.1%), Hindu 4. 844 (0.4%), dan Budha 17.025 (1.4%). Masyarakat suku Bugis, Makassar dan Mandar adalah pemeluk Islam secara turun temurun sejak Islam masuk pada awal abad ke‐17 dan menjadikan syariat Islam sebagai kesatuan dalam sistem sosial yang disebut pangadereng (adat istiadat). Dilihat dari polarisasi internal dalam masyarakat Islam sendiri, maka seperti umumnya masyarakat Islam Indonesia, dikenal istilah orang NU dan orang Muhammadiyah. Kebanyakan masyarakat menggunakan klasifikasi yang sederhana dalam membedakan dua entitas tersebut. Jika orang masih terlibat dan ikut dalam membaca barzanji serta membacakan tahlil untuk yang sudah meninggal, maka ia digolongkan sebagai orang NU. Demikian kebalikannya. Satu hal yang unik, sebutan untuk orang NU biasanya dan seringkali dinyatakan sebagai orang Sunni. Orang yang bukan 92
Sunni (biasanya ditandai dengan tidak membaca tahlil dan barzanji), disebut dengan orang Muhammadiyah. Secara organisatoris dan kelembagaan, Muhammadiyah dianggap lebih terasa pengaruhnya. Khususnya dalam bentuk lembaga‐lembaga pendidikan dan kuantitas orang‐orang yang menamatkan jenjang pendidikan formal. Tetapi, di tengah‐
tengah masyarakat kebanyakan, pengaruh NU sangat besar. Di berbagai pelosok dan sudut kota, amalan warga Makassar lebih identik dengan tradisi dan amalan Kaum Nahdliyyin. Di samping dua entitas tersebut, terdapat beberapa kelompok Tarekat dan organisasi keislaman minoritas. Setidaknya ada Tarekat Khalwatiyyah Samman dan Tarekat Naqsabandiyah Muzhariyyah. Ada kelompok Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Wahdah Islamiyyah, Ahmadiyah, Jamaah Tabligh dan beberapa kelompok kecil lainnya. Berbeda dengan daerah lain di luar Makassar (Sulawesi Selatan), dewasa ini muncul Gerakan Penerapan Syariat Islam yang menggema dan menggebu. Gerakan tersebut dimotori utamanya oleh Komite Penerapan dan Penegakan Syariat Islam (KPPSI). Komite ini didirikan pada tanggal 23 Rajab 1421 H bertepatan dengan 21 Oktober 2000 M dalam Kongres Umat Islam se‐Sulawesi Selatan di Makassar. Gerakan ini tidak dapat dipahami sebagai suatu gerakan biasa, karena munculnya gerakan ini didukung oleh beberapa akademisi, khususnya dari Universitas Hasanuddin, UIN Alauddin dan Universitas Negeri Makasar serta relatif mendapatkan sambutan yang hangat dari kalangan masyarakat Islam umumnya. Diantara bukti dari adanya dukungan tersebut 93
adalah ramainya orang menghadiri acara‐acara yang diadakan oleh KPPSI ini. B. Adat dan Syariah Perkembangan adat kebiasaan dari keempat suku tersebut, dalam banyak hal dipengaruhi oleh agama. Masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar sangat dipengaruhi oleh syariat Islam, sementara masyarakat Toraja dipengaruhi dan mempengaruhi agama Protestan dan Katolik. Diantara inti dari adat Bugis adalah prinsip dan pandangan tentang harga diri (siri’). Harga diri ini seringkali digunakan sebagai bagian dari landasan bertindak dan cara pikir, baik yang memaknainya dengan positif maupun negatif. Secara positif, karena perasaan dan prinsip ini, maka individu selalu tertantang untuk bekerja keras dan meraih kehormatan yang diinginkan, berlandaskan prinsip harga diri. Tetapi, secara negatif, adakalanya prinsip ini dijadikan sebagai tameng untuk tidak mau merintis sesuatu dari bawah atau bertindak asal menang sendiri atas nama harga diri (siri’). Prinsip lain yang menjadi penyeimbang dari harga diri adalah passe (Bugis) atau pacce (Makassar). Makna dari prinsip ini adalah rasa iba, kemanusiaan, dan soliditas komunal. Perasaan dan prinsip ini mendorong orang untuk berbuat yang terbaik, mengabdi, dan melakukan kerja kemanusiaan atas dasar cinta kasih kepada sesama. Syariat Islam telah menyatu dengan adat. Ibarat mata uang, maka sudah ada persenyawaan dan pembaruan yang lekat dari dua sisi dalam satu mata uang. Sifat dan corak kemenyatuan inilah yang akhirnya membuat paralelisme kultural: Islam yang melekat dan paralel dengan adat. Islam 94
berjalan seiring dan berkelindan dengan adat dan tradisi. Identitas kultural pada saat yang sama adalah identitas agama. Secara historis dua Kerajaan utama Gowa dan Tallo pada tanggal 9 Rajab 1016 H/9 Nopember 1607 M tercatat pernah menyatakan diri sebagai kerajaan Islam yang menjalankan syariat Islam. Pernyataan tersebut tampak dalam sebuah upacara yang ditandai dengan pelaksanaan shalat Jumat di Masjid Tallo.2 Sumber‐sumber kesejarahan lain menyebutkan bahwa meski dua kerajaan Islam tersebut telah menjadikan syariat sebagai hukum positifnya bukan berarti mereka telah meninggalkan tradisi dan adat lokal. Justru mereka berhasil menyatukan antara adat dan syariat dalam satu kesatuan yang integratif dan komplementer.3 Integrasi syariah ke dalam adat menyebabkan komponen hukum adat, yaiu panggadereng untuk suku Bugis dan panggadakkang untuk suku Makassar yang semula terdiri dari empat komponen ditambah menjadi lima unsur; ade, bicara, wari, rappang dan sara’. Panggadereng atau panggadakkang adalah wujud kebudayaan yang mencakup pengertian sistem norma dan aturan‐aturan adat serta tata tertib yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia bertingkahlaku dan mengatur prasarana kehidupan baik materiil maupun non‐materiil. Ade adalah pemangku adat atau pemberian bentuk dalam wujud watak masyarakat dan 2
3
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo , 2000, hal. 210230.
Taufiq Abdullah, “Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara”, dalam
Taufik Abdullah dan Sharon Shiddique (eds,), Tradisi dan Kebangkitan Islam di
Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1989, hal. 83.
95
kebudayaan. Bicara yakni bagian dari hukum acara untuk menentukan prosedur hak dan kewajiban seseorang yang mengajukan kasusnya kepada Pengadilan tatkala ada suatu perkara dan gugatan. Wari adalah klasifikasi dari segala benda, peristiwa dan segenap aktivitas dalam kehidupan masyarakat. Sementara rappang berarti perumpamaan atau analog dan Sara’ adalah syariah Islam.4 Karena menyatunya unsur adat dan syariah inilah, maka pada masa puncak kejayaan kerajaan‐kerajaan Islam di Sulawesi Selatan, orang Bugis, Makassar, dan Mandar mengatakan: ”bukan orang Bugis kalau tidak muslim”. C. Praktek Penerapan Kompilasi Hukum Islam 1. Fitnah sebagai Penghalang Proses Pewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat pasal 173 yang berbunyi: ”Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena; a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris; b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat”. Perbuatan memfitnah bersinggungan dengan Pidana. Buku kedua KUH Pidana, pasal 311 dengan tegas menyatakan bahwa fitnah adalah satu tindak Pidana yang dapat diancam hukuman selama‐lamanya empat tahun. Kata ”dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan....” maksud‐
4
Mattulada, Satu Lukisan Analitis Terhadap Politik Antropologi Orang Bugis,
Yogyakarta: Gadjahmada Univ. Press, 1985, hal. 17.
96
nya adalah yang bersangkutan melalui mekanisme formil Hukum Pidana mengajukan pengaduan bahwa si pewaris telah melakukan kejahatan yang dapat diancam dengan hukuman 5 tahun atau lebih berat. Kejahatan memfitnah dianggap sebagai Tindak Pidana berat sebab ancaman hukuman memfitnah sendiri bisa 4 tahun penjara. Sesuai dengan dasar dan prinsip hukum, tentu fitnah tersebut haruslah terbukti secara sah di Pengadilan. Dan vonis yang ditetapkan atas upaya fitnah tersebut juga telah memiliki kekuatan hukum tetap. Artinya, pembuktian dan putusan itu, menurut undang‐undang tidak dapat direvisi lagi. Dengan kata lain, tidak ada lagi celah untuk dilakukan upaya hukum yang memungkinkan untuk merevisi atau mengkoreksi bagi perbuatan memfitnah tersebut.5 Dengan demikian, maka tidaklah cukup untuk menyatakan bahwa fitnah dapat menjadi penghalang untuk mewarisi dengan asumsi subyektif semata, dengan menyatakan yang bersangkutan telah membuat berita bohong dan semisalnya. Tetapi fitnah itu harus menjadi suatu ”fakta” dan ”peristiwa” yang obyektif dan terukur. Proses obyektivikasi perkara itu dapat dilakukan melalui Pengadilan sehingga sampai kepada keputusan hukum tetap yang menyatakan bahwa perbuatan memfitnah tersebut nyata dan faktual adanya. Fitnah dijadikan sebagai penghalang mewarisi didasarkan atas interpretasi analogis yang dapat dipersamakan dengan pembunuhan itu sendiri. Dasar analogi ini berangkat dari prinsip preventif, yang dalam bahasa ushul 5
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: PT Citra
Aditya Bhakti, 1990, hal. 174-175.
97
fiqh dikenal dengan istilah syad al‐dzariah. Orang yang membunuh tidak dapat mewarisi sebab yang membunuh itu sesungguhnya telah merekayasa hukum agar secepatnya peristiwa hukum (mewarisi) itu terjadi. Jika dianalisis, perbuatan memfitnah juga memiliki tujuan yang simetris dengan membunuh. Artinya, sangat boleh jadi dengan memfitnah, maka akan muncul peristiwa‐pristiwa hukum yang menyebabkan adanya percepatan mewarisi atau mengambilalih kepemilikan harta benda dari si pewaris secara lebih cepat. Model analogi yang demikian, dikenal juga dengan isitilah shul qiyas aula, masawi dan adna.6 Tentu, disamping dasar dan metode qiyas, secara tersurat al‐Quran menyatakan bahwa fitnah lebih keji daripada pembunuhan (QS al‐Baqarah, 191‐217). Jika kita membandingkan hal tersebut dengan beberapa ketentuan yang tersurat di dalam kitab‐kitab fiqh klasik (sunni), maka kita tidak mendapatkan ketentuan eksplisit yang menyatakan bahwa memfitnah termasuk dari hal yang menghalangi proses kewarisan. Di dalam kitab‐kitab tersebut hanya disebutkan bahwa yang termasuk penghalang pewarisan adalah: perbudakan, pembunuhan, perbedaan agama dan perbedaan negara.7 Maka, apa yang ditetapkan di dalam Kompilasi Hukum Islam merupakan pendapat baru yang dihasilkan dari konvergensi ide dari hukum Islam, adat 6
7
Wahbah al-Zukhaily, Ushul fiqh al-Islami, Damascus: Dar al-Fikr, 1986, cet.1,
hal. 702.
M. Ali al-Shabuni, al-Mawarits fi al-Syariah al-Islamiyyah fi daui al-Kitab wa alSunnah, Beirut: Alam al-Kutb, 1985, cet, ke 2, hal. 38-41; Hasanain Muhammad
Mkhluf, al-Mawarits fi al-Syariah al-Islamiyyah, Mesir: Mathbaah al-Madani,
1976, hal. 24-33; Isawi Ahmasd Isawi, Ahkam al-Mawarits fi al-Syariah
al_islamiyyah, Mesir: Dar al-Talif, 1954, hal. 19-31; Muhammad Abu Zahrah,
Ahkam al-Tirkah wa al-Mawarits, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1963, hal. 111138;
98
dan Barat. Proses konvergensi itu diramu dengan pertimbangan sosiologis yang mengacu kepada praktek hukum dan rasa keadilan masyarakat, untuk kemudian dilakukan proses legal drafting. Apa yang ada di KHI tersebut pada dasarnya sudah menjadi hukum yang hidup (living law) di tengah masyarakat Makassar. Prof. Andi Rusydiana, Hakim Pengadilan Tiggi Agama, Drs. Chairul SH, dan seorang hakim Pengadilan Agama Gowa, M. Irsyad menerangkan bahwa terkait dengan fitnah seolah sudah disepakati bahwa yang memfitnah tidak dapat mewarisi. Hanya saja, proses pembuktian adanya fitnah itu masih menjadi kesulitan, karena seringkali pernyataan adanya fitnah belum didukung dengan keputusan hukum tetap dan hanya semata subyektif dan perasaan like and dislike saja. Ahli Waris Pengganti Dalam Kamus Hukum disebutkan bahwa pengertian Ahli Waris Pengganti adalah: ”pengganti dalam pembagian warisan bilamana Ahli Waris tersebut lebih dahulu meninggal dunia dari si pewaris, maka harta warisannya dapat diterima kan kepada anak‐anak ahli waris yang meninggal”.8 Menurut Hazairin, cucu yang terlebih dahulu orang tuanya meninggal dunia dari kakek dan neneknya, secara umum (tidak dengan membedakan jenis kelamin), dapat menggantikan kedudukan orangtuanya dalam memperoleh warisan secara umum. Pemahaman ini didasarkan atas ayat 33 surat al‐Nisa. Bagi Hazairin terjemahan yang tepat dari ayat tersebut adalah: ”Bagi setiap orang Allah mengadakan mawali 8
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Semarang: CV Aneka Ilmu, 1977, hal. 320.
99
(pengganti) bagi harta peninggalan oranguta dari keluarga dekat, dan (jika ada) orang‐orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala seauatu”. Terjemahan dan pengertian yang diberikan Hazairin tersebut berbeda dengan terjemahan baku para ulama, termasuk terjemah al‐Quran Departemen Agama. Secara dominan para ulama menterjemahkan mawali lebih kepada orang‐orang yang di bawah ampuan/kekuasaan sang majikan. Berbeda dengan para ulama tersebut, dalam hal ini Hazairin memiliki interpretasi yang lebih menekankan kepada fungsi pewarisan dan tidak secara tekstual kepada hubungan tradsional hamba dan majikan.9 Dalam Kompilasi Hukum Islam Ahli Waris Pengganti disebutkan pada pasal 185 yang berbunyi: 1. Ahli Waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173; 2. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. 9
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Quran dan Hadits, Jakarta:
Tintamas, 1982, cet. Ke-6, hal. 29-31; Ismail Muhamad Syah, Penggantian
Tempat dalam Hukum Waris Menurut KUH Perdata, Hukum Adat dan Hukum
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, cet. 1, hal-81-83; Departemen Agama RI,
Laporan Hasil Seminar Hukum Waris Islam, Jakarta: Ditbinpera Depag RI, 1982,
hal. 76; Tim Penyusun, Perdebatan dalam Seminar Hukum Nasional tentang
Faraid, Jakarta: Tintamas, 1964, hal. 49-54; Bandingkan dengan Rasyid Ridha,
Tafsir al_manar, Kairo: Darul Manar, 1367 H, jilid 5, hal. 64; Ibn Jarir alThabari, Jami al-Bayan fi Tafsir al-Quran, Mesir: al-Halabi wa awladuhu, 1959,
jilid 5, hal. 32.
100
Dengan demikian, maka Ahli Waris Pengganti adalah Ahli Waris yang menduduki tempat seseorang yang telah meninggal dunia terlebih dulu dari pewaris, karena haknya. Seorang cucu misalnya, dia menempati tempat ayah atau ibu yang telah meninggal dunia terlebih dulu dari kakeknya sebagai pewaris. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka yang dimaksud dengan Ahli Waris Pengganti adalah ahli waris dari orang yang diganti (yang telah meninggal terlebih dulu). Itu berarti, bisa jadi, tidak terbatas hanya ”anak dari ahli waris” yang telah meninggal, seperti tercantum dalam pasal 185 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam. Dengan makna yang demikian, maka selaras dengan pemahaman Hazairin bahwa hubungan darah menurut al‐Quran itu pada dasarnya ada empat macam: walidan, aulad, aqrabun dan ulul qurba. Kata‐kata walidan dan aqrabun adalah sebagai ahli waris, tetapi karena kata‐kata itu digunakan sebagai istilah hubungan kekeluargaan, maka selalu berarti perhubungan, dan perhubungan itu selalu bertimbalan. Walidan dapat menjadi ahli waris bagi anaknya, dan aqrabun dapat pula menjadi ahli waris bagi sesama aqrabunnya. Sementara itu, istilah ulul‐qurba, ditinjau dari sudut kedudukan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, maka jelas dia bukan ahli waris si mayit, tetapi mereka itu masih sepertalian darah dengannya. Ini berarti ulul‐qurba itu menurut al‐Quran sebagai timbalan perhubungan yang tidak mungkin menjadi pewaris bagi sesama ulul‐qurba‐nya. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa aqrabun itu berarti ”keluarga dekat” yang dapat saling mewarisi sesamanya, sedangkan ulul‐qurba sebagai keluarga jauh yang tidak mungkin saling 101
mewarisi sesama mereka (baik sebagai pewaris atau ahli waris). Beda dengan Kompilasi Hukum Islam, sebenarnya dalam fikih klasik (sunni) telah dikenal istilah Ahli Waris Pengganti, meskipun substansi masalahnya berbeda dengan yang diuraikan dalam tulisan di atas. Imam al‐Ramli menerangkan: a. Cucu laki‐laki dari anak laki‐laki dapat mengganti ayahnya, sedangkan cucu dari anak perempuan tidak mungkin. b. Cucu tersebut baru dapat menggantikan orangtuanya apabila si pewaris tidak meninggalkan anak laki‐laki yang masih hidup. c. Hak yang diperoleh pengganti belum tentu sama dengan hak orang yang digantikan tetapi mungkin berkurang.10 Jika kita kembali memperhatikan pasal 185 Kompilasi Hukum Islam ada dua kalimat penting yang perlu kita garisbawahi: 1. Kalimat ”kedudukannya dapat digantikan”, artinya Ahli Waris Pengganti itu mengambil sepenuhnya kedudukan orang yang digantikan, dalam hal ini termasuk kedudukan untuk memperoleh haknya dalam warisan. Oleh karenanya, ditetapkan bahwa seberapa besarnya bagian orang yang digantikan itu secara otomatis dialihkan kepada orang yang menggantikannya. 10
Al-Ramly, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Mesir: Musthafa al-Babi alHalabi, jilid VI, h. 17-18. Bandingkan dengan Wirjono Prodjodikoro, Hukum
Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur, 1976, cet. Ke 5, hal. 43.
102
2. Kalimat ”bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti”. Melihat pengertian dan keterkaitan pasal tersebut dengan sistem kekerabatan pewarisan yang akan dibangun, maka ada dua emungkinan takaran dan porsi pemberian hak kepada Ahli Waris Pengganti: Pertama, sesuai dengan hak yang semestinya, bagi orang yang diganti seandainya dia masih hidup pada saat pewaris meninggal; Kedua, sesuai dengan hak yang semestinya bagi ahli waris pengganti. Bila kedua kemungkinan itu dikaitkan dengan pasal 185 Kompilasi Hukum Islam, maka bagian Ahli Waris Pengganti itu sesuai dengan bagian yang semestinya diterima oleh orang yang diganti, seandainya dia masih hidup pada saat pewaris meninggal. Maka, maksud redaksi dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut adalah pewaris pengganti mendapat bagian yang semestinya bagi orang yang digantikan seandainya dia masih hidup pada saat pewaris meninggal. Pada dasarnya tidak banyak orang yang berpikir tentang Ahli Waris Penggnti ini di lapangan. Seorang akademisi di UIN Makassar menyatakan bahwa ia sangat menghargai asas musyawarah dalam menentukan harta warisan. Dengan demikian, maka menjadi kelaziman di Makassar seorang ahli waris membagikan hartanya saat ia masih hidup dan tidak ketat seperti yang ada pada ketentuan faraid atau undang‐
undang. Pendapat demikian juga disetujui oleh seorang Kyai dari Pesantren al‐Nahdhah. Persoalannya mungkin: belum banyak disosialisasikan hal‐hal seperti detail teknis Kompilasi Hukum Islam yang nyata‐nyata sesungguhnya problemnya 103
hidup di masyarakat dan seringkali ditemukan dalam banyak kasus sengketa warisan. Wasiat Wajibah Agar tidak membingungkan yang dimaksud dengan wasiat wajibah disini adalah seperti yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam, Buku II Bab V tentang wasiat, pasal 209 ayat 1 dan 2 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal‐
pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orangtua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak‐banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak‐banyaknya 1/3 dari harta warisan orangtua angkatnya. Berdasarkan bunyi pasal 209 tersebut dapat diformulasikan bahwa wasiat wajibah yang dimaksudkan oleh Kompilasi Hukum Islam adalah wasiat yang diwajibkan berdasarkan ketentuan perundang‐undangan yang diperuntukkan bagi anak angkat atau sebaliknya orangtua angkatnya yang tidak diberi wasiat sebelumnya oleh orang tua angkat atau anak angkatnya, dengan jumlah maksimal 1/3 dari harta peninggalan. Dengan demikian, jumlah maksimal dari pemberian Wasiat Wajibah ialah 1/3 dan diberikan kepada yang asalnya tidak termasuk ke dalam ahli waris. 104
Jika hal di atas ditanyakan kepada beberapa ulama dan hakim di Makassar, maka semua mereka sependapat bahwa wasiat wajibah yang demikian sudah adil dan realistis. Drs. Muhyiddin MH, Hakim Agama di Pengadilan Agama Sungguminasa dan Drs. Anwar R dari Pengadilan Tinggi Agama Makassar menyatakan bahwa wasiat wajibah seperti yang ada di dalam Kompilasi Hukum Islam sering ia terapkan di dalam menangani berbagai kasus dan kenyataannya yang berperkara tidak naik banding. Hal ini berarti sesuai dengan perasaan keadilan sosiologis, filosofis maupun yuridis yang ada di masyarakat. Prof. Andi Rasdianah dari Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar juga sependapat bahwa Wasiat Wajibah seperti yang ada di Kompilasi Hukum Islam sudah realistis dan sesuai dengan kenyataan serta nilai keadilan yang berkembang di masyarakat. Prof. Andi Rasdianah berpendapat bahwa anak angkat itu biasanya sehari‐hari hidup dengan orangtua angkatnya dan kedekatan emosi mereka sudah seperti anak sendiri. Lebih jauh, pada umumnya anak angkat menjadi tumpuan harapan dan sandaran orangtua angkat pada saat mereka memasuki usia senja. Maka, wajar dan realistislah jika mereka mendapatkan porsi warisan seperti yang tersurat dalam Kompilasi Hukum Islam. Prof A. Rasdianah juga menggarisbawahi bahwa ketentuan anak angkat mewarisi bukan berarti anak angkat secara nasab sama dengan anak biologis langsung. Hal ini sudah jelas di dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam tersebut dan nilai demikian juga diakui di tengah‐tengah masyarakat. 105
Dr. KH. Firdaus, MA dari Pesantren an‐Nahdlah juga menyatakan hal senada. Baginya, anak angkat sudah sewajarnya mendapatkan porsi dari harta peninggalan. Hal serupa juga dapat diterima oleh orangtua angkat. Hal ini berdasarkan alasan kemanusiaan. Karena fakta yang terjadi seringkali orangtua yang hidup sebatangkara memerlukan jaminan sosial di hari tuanya. Seringkali juga hubungan antara orangtua angkat dan anak angkat sudah seperti anak dan orangtua sendiri. Dalam prakteknya di Makassar lazimnya anak angkat tersebut diambil dari saudara terdekat yang biasanya masih menjadi mahram/muhrim. Harta Gono Gini Terkait dengan harta gono gini semua hakim dan ulama sepakat bahwa harta gono gini itu harus ada di dalam suatu pernikahan dan harta tersebut harus betul‐betul dipisahkan dari harta bawaan. Drs. Anwar R Hakim Agama di Pengadilan Tinggi Agama Makassar menyatakan bahwa sangatlah wajar bila perempuan yang mendampingi suami mendapatkan bagiannya. Baginya, sebelum harta waris dibagi semua, terlebih dahulu harus dicari porsi harta bersama ini dan dibagi langsung. Jadi, setengah dari harta bersama adalah mutlak untuk istri, baru kemudian dapat dibagi harta almarhum. Pernyataan senada juga disampaikan oleh Prof. Muh. Irfan dari Pascasarjana UIN Makassar. Ditambahkan oleh Prof Irfan bahwa meski pada asalnya dalam masyarakat Bugis ini hubungan suami‐istri lebih didominasi oleh laki‐laki, tetapi sekarang pola itu sudah berubah dan kesadaran akan adanya prinsip harta bersama sudah tumbuh. Hanya saja, seringkali yang menjadi kendala adalah jika mahar dan uang pengantar 106
untuk pesta menikah dulu banyak sekali disumbang oleh laki‐
laki, maka seringkali jika terjadi perceraian, hal ini menyulitkan bagi adanya hak gono‐gini bagi pihak perempuan. Sebab, mantan suami merasa bahwa tatkala menikah dulu sudah banyak harta yang telah disumbangkan dan tatkala terjadi masalah di dalam rumah tangga sehingga menyebabkan perceraian, maka mantan suami sulit untuk kembali membagi harta pencaharian mereka. Malah, ada beberapa kasus dimana sang mantan suami tidak rela untuk membagikan harta bersama tersebut, sebab ia sudah merasa banyak memberikan uang hantaran untuk pesta pernikahan tempo dulu. Ditambahkan oleh Prof. Irfan bahwa masalah lain yang sering mengganggu pelaksanaan pembagian harta gono gini ini adalah soal surat‐surat untuk penambahan dan pembelian harta/barang berharga. Seringkali, jika pasangan suami‐istri membeli barang berharga semisal tanah, maka sertifikat kepemilikan tanah tersebut atas nama suami. Sehingga ketika terjadi perceraian, maka mantan suami sulit sekali untuk mau mengubah sertifikat kepemilikan dan membagi harta tersebut. Abdul Wahid, tokoh masyarakat dan guru agama di beberapa sekolah swasta sependapat juga dengan adanya porsi harta bersama untuk istri. Ia meyakinkan penanya bahwa ini adalah perkembangan baru dan dari hari ke hari akan semakin banyak anggota masyarakat yang akan menerima kecenderungan ini. Ia menambahkan kesulitan teknis yang muncul biasanya adalah: karena hubungan suami istri itu sudah sedemikian rupa baiknya. Keduanya mungkin tidak membayangkan jika suatu hari akan terjadi masalah. Maka, tatkala ada masalah, masing‐masing tidak dalam posisi 107
siap untuk mengambil hak masing‐masing dengan bukti‐bukti yang kuat. Hal ini juga diperparah dengan budaya masyarakat dimana jika terjadi sengketa maka sengketa itu cenderung keras, berlarut‐larut dan sulit untuk dikatakan bahwa perceraian berlangsung dengan damai. Hak Waris dan Nasab Anak Zina Semua komponen masyarakat (Ulama, Cendekiawan, Hakim) sepakat bahwa zina adalah perbuatan keji dan hina. Hanya, dalam prakteknya, sulit untuk menemukan dan atau memberikan bukti otentik bahwa si fulan adalah anak zina. Keadaan ini juga sejalan dengan prinsip siri’ (harga diri). Tidaklah mungkin untuk menyatakan bahwa si fulan tidak mendapat bagian dari hak waris karena yang bersangkutan adalah anak zina. Drs. Muhyiddin, MH, seorang Hakim Agama di Pengadilan Agama Sungguminasa Goa menyatakan bahwa seringkali jika nyata‐nyata terjadi anak di luar nikah (zina), maka orang cenderung untuk melakukan itsbat nikah dan itsbat nasab. Sehingga di mata hukum, anak tersebut tidak lagi dapat diperlakukan secara berbeda. Abdul Wahid, tokoh masyarakat juga menyatakan hal yang sama. Orang di Makasar sangat merasa terhina jika dikatakan bahwa anaknya adalah hasil dari zina. Maka, tidak mungkin hal ini dibicarakan atau diperkarakan secara terbuka. Sehingga, sangatlah sulit untuk menerapkan hukum bahwa anak zina tidak mendapatkan hak waris atau hanya mempunyai nasab kepada ibunya saja. Kesetaraan Penghijab dan Hak Waris Laki‐Perempuan Tentang porsi penerimaan harta waris yang seimbang antara laki dan perempuan, pada hakekatnya terdapat pandangan yang variatif antara Ulama, Cendekiawan dan 108
Hakim. Prof. Andi Rasdianah menyatakan bahwa kesamaan bagian antara anak laki dan perempuan tidak menjadi masalah. Hanya saja, lebih baik kesamaan itu melalui pintu hibah. Jadi, tidak mesti ada asumsi hak waris yang langsung dinyatakan porsinya sama. Prof. Andi Rasdianah juga menyatakan bahwa bisa saja perempuan sebagai ahli waris pengganti dapat menjadi hijab bagi laki‐laki. Bagi Drs Anwar R dari Pengadilan Tinggi Agama Makassar, hak waris laki dan perempuan tidaklah selalu harus disamakan. Dia menyatakan, pernah di suatu sengketa warisan ia malah memberikan harta warisan yang porsinya 2/3 bagi perempuan dan 1/3 bagi laki‐laki. Hal ini mengingat, sang perempuan itu hanyalah ibu rumahtangga biasa dan orangtua mereka sepenuhnya diasuh oleh perempuan tersebut. Jadi, pembagian harta warisan antara laki dan perempuan baginya selalu bersifat kontekstual: sangat tergantung dari situasi tertentu dan kondisi yang terjadi dalam suatu hubungan kekerabatan dan tanggungjawab masing‐masing individu. Tentang perempuan yang bisa jadi berpotensi menghijab ahli waris laki‐lakinya, baginya hal itu bisa saja terjadi. Tergantung dari kondisi dan relasi tanggungjawab yang terjadi. Disini, baginya Hakim harus benar‐benar jeli dan tidak boleh terlalu berpatokan pada teks perundang‐undangan. Prof. Irfan dari Universitas Islam Negeri Makassar sepenuhnya sependapat dengan pendapat Hakim Anwar. Baginya, fleksibilitas hukum haruslah diperhatikan jika memang situasi memaksa dan menghendaki demikian. Sebab, illah hukum itu sangat tergantung dari situasi yang ada. Situasi yang ada bisa jadi tidak dapat dirumuskan secara ketat 109
dan baku, karena memang kondisi individu di dalam suatu kasus keluarga juga sangat variatif dan heterogen. Disinilah urgensi ijtihad hakim. Undang‐Undang baginya tidak dapat mengatur semua hal. Justru disitu letak pentingnya Hakim yang cerdas, mengerti sosio‐kultural dan psikologis pencari keadilan serta peristiwa hukum yang betul‐betul terjadi di lapangan. 110
BAB V
RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA
TERHADAP FIQH WARIS DALAM KOMPILASI
HUKUM ISLAM DI PROVINSI DI. YOGYAKARTA
Oleh:
H. Bashori A Hakim
Wakhid Sugiarto
I. GAMBARAN UMUM WILAYAH
A. Kondisi Geografi dan Demografi
D
aerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan
provinsi terkecil kedua setelah Provinsi DKI
Jakarta dan terletak di tengah Pulau Jawa,
dikelilingi oleh Provinsi Jawa Tengah dan termasuk zona
tengah bagian Selatan dari formasi geologi Pulau Jawa. Di
sebelah selatan Provinsi terdapat garis pantai sepanjang 110
km berbatasan dengan Samudera Indonesia, di sebelah Utara
menjulang tinggi gunung berapi paling aktif di dunia yaitu
gunung Merapi (2.968 m). Luas keseluruhan Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta adalah 3.185,8 km² dan kurang dari
0,5% luas daratan Indonesia. Di sebelah Barat mengalir
Sungai Progo, yang berawal dari Jawa Tengah, dan sungai
Opak di sebelah Timur yang bermata air di puncak gunung
Merapi, dan bermuara di Laut Jawa sebelah selatan.
Ibukota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah
Yogyakarta, sedangkan kota-kota yang terdapat dalam
wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Bantul,
Wates, Sleman, Wonosari. Secara administratif Daerah
Istimewa Yogyakarta dibagi dalam 1 (satu) kota dan 4
(empat) kabupaten, di mana Yogyakarta membentuk
kesatuan adiministrasi tersendiri.
111
Yogyakarta berstatus
Daerah Istimewa, sejarah
terjadinya provinsi ini pada tahun 1945, wilayah Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman,
menggabungkan diri dengan wilayah Republik Indonesia
yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, oleh
Bung Karno dan Bung Hatta. Luas Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, lebih kurang 3.186 Km2 berpenduduk 3.278.599
jiwa (data Desember 1995).
Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta ini berada di
bagian tengah Pulau Jawa, termasuk zone tengah bagian
selatan dari formasi geologi Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Secara astronomi, daerah ini terletak di antara 70,33'LS80,12'LS, yang mencakup wilayah bekas Swapraja Kasultanan
Yogyakarta, wilayah bekas Swapraja Kadipaten Pakualaman
dan tiga daerah yang semula termasuk wilayah Jawa Tengah,
yakni bekas daerah enclave Kapanewon di Gunungkidul,
daerah enclave Kawedanan Imogiri dan daerah enclave
Kapanewon di Bantul.
Secara administratif, keseluruhan wilayah tersebut
berbatasan dengan Kabupaten Magelang (di sebelah Barat
laut), Kabupaten Klaten (di sebelah Timur), Kabupaten
Wonogiri (di sebelah Tenggara), Samudra Indonesia (di
sebelah selatan), dan Kabupaten Purworejo (di sebelah Barat).
Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta terbagi dalam
lima wilayah administratif daerah Tingkat II, yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
112
Kotamadya Yogyakarta dengan luas 32,5 km2
Kabupaten Bantul dengan luas 506,85 km2
Kabupaten Kulonprogo dengan luas 586,27 km2
Kabupaten Gunungkidul dengan luas 1.485,36 km2
Kabupaten Sleman dengan luas 574,82 km2
Secara geografis, wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta
tersusun atas empat satuan, yaitu Pegunungan Selatan,
Gunung api Merapi, dataran rendah antara Pegunungan
Selatan dan Pegunungan Kulonprogo, dan dataran rendah
selatan.
Secara umum keadaan geografis Daerah Istimewa
Yogyakarta terdiri dari daerah dataran yang berada pada kaki
gunung Merapi (pada ketinggian 900 meter di atas
permukaan air laut) dan miring kearah Selatan sampai di
daerah Pantai Samudra Indonesia, yang lazim disebut pula
sebagai Pantai Laut Selatan (bhs. Jawa: Segoro Kidul).
Selanjutnya daerah yang terdiri dari gunung/pegunungan
Selatan (gunung Kidul) di bagian sebelah Tenggara yang
disebut pegunungan Seribu.
Di daerah Gunung Kidul banyak hasil-hasil usaha
penghijauan, pengawetan dan pelestarian sumber-sumber air.
Sedangkan di bagian Utara di daerah Nglanggeran, bisa kita
jumpai kenampakam singkapan batuan intrusin yang nampak
sangat besar dan indah yang kini disebut gunung Kelir. Di
daerah lereng gunung Merapi, di sekitar daerah rekreasi
Kaliurang didapati hutan hujan tropis (tropical rain forest) dan
banyak dihuni satwa langka. Di daerah Pegunungan Menoreh
dijumpai daerah wisata Goa Kiskendo, Suralaya dan Gua
Sumitro, di sebelah Tenggara pegunungan Menoreh didapati
daerah perbukitan Sentolo yang meluas sampai wilayah
Bantul. Wilayah lain adalah dataran pantai yang kebanyakan
berpasir dan memiliki bukit-bukit pasir (dune). Pantai-pantai
banyak yang memiliki pasir putih seperti yang bisa dilihat di
Pantai Kukup, Krakal dan lain-lain. Pasir ini berasal dari
pecahan batu karang dan pecahan binatang laut jenis kerangkerangan. Di Perairan Pantai Krakal terdapat sebuah gugusan
pulau kecil yang ditumbuhi oleh sejenis perdu yang disebut
113
pohon "Drini". Jenis semacam ini sukar didapat di daerah lain,
konon memiliki tuah sebagai sarana pengusir ular dan jenis
serangga berbisa. Keadaan lautan di Ujung Timur yang
merupakan bagian dari Samudra Indonesia banyak dihuni
berbagai jenis ikan dan binatang laut serta biota-biota lain
yang telah langka antara lain Penyu Hijau yang kini perlu
tetap dijaga kelestariannya.1
B. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya
1. Kondisi Sosial.
a. Pendidikan
Pada periode tahun 2001-2002, di Kota Yogyakarta
terdapat 48 Perguruan Tinggi yang semuanya merupakan
Perguruan Tinggi Swasta. Untuk melayani keseluruhan
Perguruan Tinggi yang terdiri dari 8 universitas, 8
institut/sekolah tinggi dan 32 akademi dengan 84.387
orang mahasiswa ini, digunakan sebanyak 1.399 orang
dosen. Dari kondisi ini, dapat dianalisa bahwa sebagian
masyarakat Kota Yogyakarta merupakan masyarakat
terdidik sehingga Kota Yogyakarta dikenal dengan kota
pelajar.
b. Kesehatan
Dalam sepuluh tahun terakhir, Kota Yogyakarta
mengalami peningkatan derajat kesehatan yang cukup
signifikan, antara lain ditandai dengan menurunnya
angka kematian bayi (6,33 per seribu kelahiran hidup
pada tahun 1995), angka kematian ibu dan meningkatnya
status gizi. Secara umum, persebaran sarana dan
prasarana kesehatan baik Puskesmas maupun rumah sakit
telah merata. Dalam keseluruhannya, Kota Yogyakarta
1
Situs Pemerintah Kota Yogyakarta.
114
memiliki 28 Rumah Sakit yang terdiri dari 2 (dua) Rumah
Sakit Pemerintah dan 19 Rumah Sakit Swasta. Sedangkan
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang dimiliki
adalah sebanyak 136 buah yang terdiri dari 31 Puskesmas
Umum, 4 Puskesmas Radio Republik Indonesia, 68
Puskesmas Pembantu serta 33 Puskesmas Keliling.
2. Perekonomian
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki banyak
produk unggulan, seperti Batik (Batik) Yogyakarta, textil
(textile) pakaian jadi (garment) batu putih (limestone) mebel
(furniture) perak (silver) gerabah (earthenware) kerajinan
kayu (wooden craft) anyaman (plaited product) dan lain
sebagainya. Batik yang dimiliki cukup terkenal, baik motif
batik klasik maupun modern. Ada 400 motif batik khas
Yogyakarta. Berikut ini adalah jenis dan sentra Industri di
Kota Yogyakarta.
Tabel 1
Daftar Pengusaha Kerajinan di DI Yogyakarta
No.
Nama
Produksi
Lokasi Industri
1
Perak
Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta
2
Batik
Desa Wijirejo dan Wukirsari, Kab. Bantul
3
Kerajinan
Kayu
Kerajinan Kayu Putat, Gunungkidul
Kerajinan Kayu Pucung, Bantul
Kerajinan Kayu Pajangan, Bantul
4
Pakaian
Jadi
Mlangi, Kab. Sleman
Purbayan, Kotagede, Yogyakarta
Imogiri, Kab. Bantul
5
Anyaman
Moyudan, Kab. Sleman
Minggir, Kab. Sleman
Muntuk, Kab. Bantul
115
Ngawen, Kab. Gunungkidul
Kerajinan Kasongan, Kab. Bantul
Gerabah
Pundong, Kab. Bantul
Sumber: Situs Kota Yogyakarta
6
C. Budaya sebagai Sumber Devisa Sektor Pariwisata
Hakekat budaya adalah hasil cipta, karsa dan rasa, yang
diyakini masyarakat sebagai sesuatu yang benar dan indah.
Demikian pula Budaya daerah Yogyakarta, yang diyakini
masyarakat sebagai salah satu acuan dalam hidup
bermasyarakat, baik ke dalam (intern) maupun ke luar
(extern). Secara filosofis, budaya Jawa khususnya Budaya
Daerah Istimewa Yogyakarta dapat digunakan sebagai sarana
untuk ”hamemayu hayuning bawana”. Ini berarti bahwa Budaya
tersebut bertujuan untuk mewujudkan masyarakat ”ayom
ayem tata, titi, tentrem karta raharja”. Dengan perkataan lain,
budaya tersebut akan bermuara pada kehidupan masyarakat
yang penuh dengan kedamaian, baik ke dalam maupun ke
luar.
Dasar filosofi pembangunan daerah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta adalah ”Hamemayu Hayuning Bawana”,
sebagai cita-cita luhur untuk menyempurnakan tata nilai
kehidupan masyarakat Yogyakarta berdasarkan nilai budaya
daerah yang perlu dilestarikan dan dikembangkan.
Kota Yogyakarta memiliki cukup banyak obyek wisata
yang dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu obyek wisata
budaya dan obyek wisata buatan (konvensi dan wisata
belanja). Potensi obyek dan daya tarik wisata di Yogyakarta
adalah museum, bangunan bersejarah, bangunan budaya,
kelompok kesenian/atraksi wisata di kawasan Malioboro.
Yang termasuk dalam kategori obyek wisata budaya
diantaranya adalah Benteng Vredenburg, Kraton Yogyakarta,
116
Taman Sari, Kraton Pakualaman dan Makam Kotagede.
Sedangkan yang masuk dalam kategori obyek wisata buatan
diantaranya adalah Museum Sono Budaya, Museum Sasono
Wirotomo, Museum AD (Darma Wiratama), Museum
Perjuangan, Biologi Universitas Gajah Mada, Purawisata,
Kebun Plasma Pisang serta Kebun Binatang Gembira Loka.
Kegiatan pariwisata di Kota Yogyakarta juga didukung
dengan banyaknya artshop dan pedagang cinderamata
dengan jenis kerajinan seperti batik dan lukisan batik,
kerajinan kulit, barang antik, kerajinan bambu dan kayu,
kerajinan perak dan kerajinan gerabah.
D. Kehidupan Keagamaan.
Mayoritas penduduk Kota Yogyakarta (404.720 orang
atau 80,31%) memeluk agama Islam. Sedangkan jumlah
pemeluk agama yang terkecil adalah agama Hindu. Untuk
melayani seluruh pemeluk agama tersebut di atas,
pemerintah Kota Yogyakarta telah menyediakan banyak
sarana peribadatan yang terdiri dari 369 masjid, 401 mushalla,
7 gereja Katolik, 59 gereja Kristen serta 1 buah wihara.
E. Kota Yogyakarta Menuju Cita-cita
Perjuangan untuk mensejahterakan masyarakat telah
diupayakan dan dilaksanakan oleh Sri Sultan Hamengku
Buwono IX, dan diteruskan oleh pengganti beliau, tetap
dengan semangat “Hamemayu Hayuning Bawana”, yang
artinya Kewajiban melindungi, memelihara, serta membina
keselamatan dunia dan lebih mementingkan berkarya untuk
masyarakat dari pada memenuhi ambisi pribadi. Dunia yang
dimaksud inipun mencakup seluruh peri kehidupan dalam
skala kecil, yaitu Keluarga ataupun masyarakat dan
lingkungan hidupnya, dengan mengutamakan Dharma
117
Bhakti untuk kehidupan orang banyak, tidak mementingkan
diri sendiri.
Visi yang dimiliki Kota Yogyakarta untuk mewujudkan
cita-citanya memiliki visi pembangunannya demi terwujudnya pembangunan Regional sebagai wahana menuju pada
kondisi Daerah Istimewa Yogyakarta pada Tahun 2020
sebagai pusat pendidikan, budaya dan Daerah tujuan wisata
terkemuka, dalam lingkungan masyarakat yang maju,
mandiri, sejahtera lahir batin didukung oleh nilai-nilai
kejuangan dan pemerintah yang bersih dalam pemerintahan
yang baik dengan mengembangkan Ketahanan Sosial Budaya
dan sumberdaya berkelanjutan.
Kondisi yang secara bertahap ingin dicapai dengan
ditetapkannya visi tersebut, antara lain:
a. Terbentuknya citra Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai
wilayah pengembangan sosiokultural dan sosioekonomi
yang dinamis dan inovatif, berbasis pada ilmu
pengetahuan dan teknologi maju serta moral masyarakat
yang berlandaskan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
b. Tersedianya
lapangan
kerja
yang
memberikan
penghasilan yang cukup bagi masyarakat secara adil dan
merata .
c. Terciptanya tingkat kesehatan dan gizi masyarakat yang
cukup baik, sehingga sumber daya manusia yang maju,
mandiri dan sejahtera dalam lingkungan yang sehat,
sehingga dapat diandalkan dalam persaingan global.
d. Terciptanya kondisi yang kondusif bagi partisipasi
masyarakat secara luas dalam pembangunan daerah yang
bertumpu pada tata nilai budaya serta sumberdaya yang
berkelanjutan, dengan mengembangkan kerukunan hidup
118
antar komponen masyarakat, baik antara agama, suku dan
budaya.
e. Terciptanya masyarakat yang menghormati dan
menegakkan Hak Azasi Manusia (HAM) dalam segala
aspek kehidupan .
f.
Terlaksananya pelayanan pemerintah yang handal, efisien
dan transparan di dalam suasana kehidupan yang aman
dan tentram dalam kerangka otonomi daerah.
II. RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA TERHADAP
KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Sosialisasi dan Pandangan Ulama serta Para Hakim
Agama terhadap Hukum Waris yang Diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam:
Sosialisasi Kompilasi Hukum Islam khususnya tentang
Hukum Waris pada dasarnya telah dilakukan oleh Instansi
Pemerintah Daerah dalam hal ini Pengadilan Agama Kota
Yogyakarta secara terprogram kepada masyarakat di berbagai
daerah. Sosialisasi dilakukan sejak Pengadilan Agama masih
satu atap dengan Departemen Agama. Setelah Pengadilan
Agama tidak lagi satu atap dengan Departemen Agama,
sosialisasi juga telah dilakukan beberapa kali dengan
mengundang para tokoh agama setempat, tokoh masyarakat,
tokoh/pimpinan organisasi Islam, serta unsur pejabat
setempat termasuk para Pejabat Kantor Urusan Agama dan
lurah. Namun diakui, sosialisasi yang dilakukan hampir
setiap tahun itu belum melibatkan masyarakat Islam secara
luas. Pihak Pengadilan Agama sebenarnya mengharapkan
tiap Kantor Urusan Agama meneruskan sosialisasi kepada
masyarakat di wilayah masing-masing, namun terlihat belum
dilakukan sehingga tidak sedikit kalangan masyarakat yang
belum memahami adanya ketentuan hukum waris dalam
119
Kompilasi Hukum Islam. Kenyataan ini terlihat adanya
anggota masyarakat yang menanyakan perihal hukum waris
kepada ulama setempat ataupun Hakim Agama (Diolah dari
hasil wawancara dengan para Hakim Agama Pengadilan
Agama Kota Yogyakarta H. Damanhuri, Nasir, H. Husaini
Idris dan H. Syamsuddin).
Pihak Pengadilan Tinggi Agama DI. Yogyakarta
melakukan sosialisasi melalui kegiatan penyuluhan hukum
Islam dengan melibatkan para Hakim Agama Pengadilan
Tinggi Agama sebagai tutor atau tenaga penyuluh.
Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta melakukan sosialisasi
Hukum Waris melalui program Penyuluhan Hukum Islam
yang dilakukan setiap tahun bertempat di Pengadilan Agama
secara bergilir. Pada tahun 2008 yang lalu penyuluhan
dilakukan di Pengadilan Agama Kabupaten Bantul. Dalam
sosialisasi Hukum Waris di atas, pihak-pihak yang telah
menerima sosialisasi Hukum Waris dalam Kompilasi Hukum
Islam merespon positif, sebab sebelumnya mereka hanya
mengetahui Hukum Waris secara terbatas melalui sengketa
waris di Pengadilan Agama. Namun bagi sebagian tokoh
agama/ulama lain yang belum mengikuti sosialisasi
menanggapi sosialisasi yang dilakukan pemerintah kurang
maksimal.
Menurut sementara Kyai, Kompilasi Hukum Islam
terasa sangat elitis sehingga apabila kurang disosialisasikan
maka akan sulit membumi dan masyarakat menggunakan
pola lama dalam pembagian harta waris. Sementara itu
sosialisasi hukum waris dilakukan melalui mata kuliah faroid
di Perguruan Tinggi Islam seperti dilakukan di Fakultas
Syariah UIN Yogyakarta. Demikian penuturan Supriatna,
Dosen Faroid UIN Yogyakarta.
120
Hampir senada dengan para informan di atas, Prof. H.
Asmuni Abdurrahman seorang pakar Hukum Waris
menuturkan, sosialisasi memang telah dilakukan namun
terlihat belum maksimal. Hal itu terbukti sesekali masih ada
kalangan masyarakat yang meminta penjelasan kepadanya
tentang waris. Karena itu menurut beliau dalam sosialisasi
Kompilasi Hukum Islam harus dijelaskan kepada masyarakat
luas, di samping kepada para Praktisi Hukum Islam. Tentang
hukum waris yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam,
para Praktisi Hukum Islam dan para ulama memandang
positif. Bahkan di antara mereka menganggap sebagai
keharusan, karena untuk pegangan bagi para Hakim
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama sehingga
ada keseragaman dasar hukum. Kompilasi Hukum Islam
dimaksudkan antara lain untuk mengisi kekosongan yang
dulu belum ada. Jika tidak ada kompilasi maka para hakim
agama hanya merujuk kepada fiqh sehingga terlalu bebas
mengambil rujukan.
Fiqh, selain pendapat ulama juga berupa keputusan
perorangan/mufti sebagai Hakim, yang kemudian dijadikan
dasar perundangan yang sekarang disebut sebagai
yurisprudensi. Agar Kompilasi Hukum Islam mempunyai
kedudukan lebih kuat menjadi pedoman secara tertulis maka
sebaiknya ditingkatkan menjadi Undang-Undang. Demikian
harapan Prof. H. Asmuni Abdurrahman.2
Sebagaimana telah diduga, bahwa Hukum Islam
Indonesia yang berkaitan dengan masalah waris masih belum
terwujud sebagaimana yang diharapkan bersama atau
mungkin juga belum terpolakan secara jelas. Kompilasi
Hukum Islam dianggap sebagai satu diantara sekian banyak
karya besar umat Islam Indonesia dalam rangka kebangkitan
2
Asmuni Abdurrahman, wawancara, April 2009.
121
umat Islam Indonesia belum terbumikan secara memuaskan.
Bahkan kebanyakan umat Islam dalam peraktiknya masih
menggunakan pola pembagian secara bijaksana, tidak persis
sebagaimana dalam Hukum Islam. Seberapapun masalah
mereka sama-sama ridla tidak persoalan. Sementara itu
menurut KH. Najib Halimi, semestinya umat Islam harus
menggunakan pedoman Fiqh Mawaris ketika harus membagi
harta waris. Persoalan kemudian si fulan tidak butuh harta
waris atau si fulanah ingin mendapatkan lebih banyak, itu
terserah nanti ketika sudah dibagi sesuai dengan Hukum
Waris dalam Fiqh Mawaris. Tidak boleh umat Islam
seenaknya saja membagi harta waris tersebut, mengingat
pembagian itu sudah diatur sedemikian rupa dalam Fiqh
Mawaris. Adalah kewajiban umat Islam untuk menegakkan
Hukum Waris yang sudah disusun oleh para fuqaha masa
silam dalam pembagian Harta Waris. Bagi KH, Najib Halimi,
Fiqh Mawaris sudah selesai, tinggal melaksanakan dan itu
kewajiban para ulama untuk menjelaskan kepada umat
Islam.3
Mengapa umat Islam belum sepenuhnya mengacu
kepada fiqh mawaris dalam pembagian harta waris? Ini
adalah sebagian kegagalam para ulama Indonesia dalam
memberi motivasi agar umat Islam dapat sepenuhnya
melaksanakan Hukum Islam, terutama masalah waris ini.
Menurutnya, semestinya hukum yang mengatur masalah
waris di Indonesia khususnya untuk umat Islam tidak ada
pilihan kecuali menjalankan Hukum Waris Islam
sebagaimana dijelaskan dalam Fiqh Mawaris. Begitu menikah
dengan cara Islam, maka sesungguhnya mereka sudah terikat
dengan seluruh hukum Islam, terutama yang sebenarnya
memang dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
122
Untuk yang tidak dapat dilaksanakan itu tanggungjawab
tokoh-tokoh Islam di Indonesia dalam memperjuangkan
Hukum Islam menjadi hukum positif di Indonesia. Peluang
adanya pilihan untuk menggunakan hukum lain dalam
pembagian harta waris telah mengakibatkan Hukum Islam
sendiri diacak-acak oleh umat Islam sendiri. Hukum waris
yang lain mestinya hanya untuk yang beragama lain, bukan
untuk umat Islam.
Dalam penjelasannya tentang Fiqh Waris ini, KH Najib
Shalimi meskipun sering mendengar tentang Kompilasi
Hukum Islam, tetapi tidak mengetahui sama sekali isi dari
Kompilasi Hukum Islam tersebut. Bahkan menurutnya, itulah
kekurangan pemerintah dalam sosialisasi hukum-hukum
yang dibuatnya kepada rakyat sangat kurang, termasuk
dalam banyak hal lain kepada rakyat. Oleh karena itu
masyarakat sering dibuat pusing oleh pemerintah, tiba-tiba
ada perubahan-perubahan dalam banyak hal sementara
rakyat tidak tahu. Dalam hal ini sarannya adalah, agar
pemerintah mencetak Kompilasi Hukum Islam sebanyakbanyaknya kemudian dibagi kepada masyarakat, terutama
pesantren di seluruh Indonesia. Sementara itu, bagi kalangan
Fuqoha Indonesia, Fiqh Mawaris belum cukup untuk
menyelesaikan masalah-masalah waris bagi umat Islam di
Indonesia.4 Bisa saja penyusunan Kompilasi Hukum Islam
dipandang sebagai kebangkitan Islam di Indonesia.
Pertanyaannya
adalah
bagaimana
pratik
sosiologis
masyarakat Indonesia, apakah sudah mencerminkan
kehidupan sosial yang Islami. Pada tingkat wacana, benar
sekali bahwa Kompilasi Hukum Islam sebagai kemajuan ilmu
4
Diolah dari hasil wawancara dengan KH Najib Shalimi (Pondok Pesantren Lukmaniyah
Umbulharjo, Semaki, Bantul) dan KH. Abdullah Hasan (Pondok Pesantren Salafiyah
Mlangi, Sleman) serta KH Mas’ud Masduki Pondok Pesantren Krapyak Wedomartani,
Ngemplak, Sleman.
123
pengetahuan dan semangat umat Islam Indonesia.5 Namun
secara sosiologis, ternyata belum terjadi perubahan yang
signifikan. Mengapa belum terjadi perubahan mendasar
dalam kehidupan sosiologis umat Islam sebagaimana
diinginkan para perumus Kompilasi Hukum Islam. Tidak lain
adalah karena sosialisasi Kompilasi Hukum Islam sendiri
tidak pernah dilakukan, bahkan di kalangan para Kyai
Pesantren. Oleh karena itu merekapun tidak tahu perbedaan
antara Hukum Waris Islam dalam Fiqh Mawaris dengan
Hukum Waris dalam Kompilasi Hukum Islam.
Perumusan Kompilasi Hukum Islam konon dilakukan
dengan mengacu pada sumber Hukum Islam, yakni al-Qur’an
dan Sunnah Rasul, dan secara herarkial mengacu pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.6 Di samping
itu, para perumus Kompilasi Hukum Islam memperhatikan
perkembangan
yang
berlaku
secara
global
serta
memperhatikan tatanan hukum Barat tertulis (terutama
Hukum Eropa Kontinental) dan tatanan Hukum Adat, yang
memiliki titik temu dengan tatanan hukum Islam. Berkenaan
dengan hal itu, dalam beberapa hal, maka terjadi adaptasi dan
modifikasi tatanan hukum lainnya itu ke dalam Kompilasi
Hukum Islam. Dengan demikian, Kompilasi Hukum Islam
merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang khas di
Indonesia. Atau dengan perkataan lain, Kompilasi Hukum
Islam merupakan wujud Hukum Islam yang bercorak
keIndonesiaan. Menurut para Kyai itu, Kompilasi Hukum
Islam sangat elitis dan sulit membumi jika tidak pernah
disosialisasikan dan dipastikan Kompilasi Hukum Islam akan
5
6
Abdurrahman H. SH, MH, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Penerbit Modernika
Pressindo, Jakarta, 1992, Cetajkan pertama h. 6
Ketika KHI disebarluaskan dengan dasar institusi agama, UU Nomor 7 tahun 1989 telah
disahkan dan diundangkan. Namun demikian karena penyusunan Rancangan KHI telah
disiapkan sebelumnya, maka dalam pemjelasan beberapa pasal KHI ditulis: Pasal ini
dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang Peradilan Agama.
124
sekedar menjadi pengetahuan belaka, sementara masyarakat
masih menggunakan pola lama dalam pembagian harta
waris, yaitu pola kebijaksanaan. Sebuah pola yang tidak
sesuai dengan Fiqh Mawaris. Berbeda dengan para Dosen
Faraid dari UIN Yogyakarta, sebagaimana diungkapkan oleh
Supriatna. Beliau menyatakan dengan penuh kebanggaan,
bahwa Kompilasi Hukum Islam adalah Hukum Islam khas
Indonesia dan telah diajarkan kepada seluruh Mahasiswa
Fakultas Syariah di Indonesia. Supriatna benar-benar tahu
tentang perbedaan antara Fiqh Mawaris dengan Kompilasi
Hukum Islam, meskipun dalam Kompilasi Hukum Islam
sendiri ada yang tidak konsisten.7 Namun beliau lupa bahwa
Mahasiswa Hukum Syari’ah itu jumlahnya sedikit untuk
menggambarkan jumlah mahasiswa Indonesia yang sebagian
besar juga umat Islam.
B. Pandangan dan Sikap Ulama dan Hakim Agama
terhadap Perbedaan Hukum Waris dalam Fiqh Islam
dengan Kompilasi Hukum Islam
Dalam hal pandangan dan sikap Ulama dan Hakim
Agama terhadap perbedaan hukum waris dalam Fiqh Islam
dengan Kompilasi Hukum Islam ternyata juga berbeda. Para
Ulama, menyatakan tidak tahu persis perbedaannya antara
Fiqh Mawaris dengan Kompilasi Hukum Islam, karena tidak
memiliki bukunya atau membacanya. Tetapi jika yang
dimaksud istilah harta bawaan mereka paham benar, namun
tidak mengetahui apakah itu diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam. Dalam hal ini beliau menyatakan bahwa harta bawaan
itu bukan warisan dan tidak dibagi-bagikan atau dijadikan
harta gono gini. Kerancuan masyarakat dalam hal ini sering
terjadi, misalnya seorang perempuan kaya menikah dengan
seorang laki-laki, kemudian keduanya bercerai, maka harta
7
Diolah dari hasil wawancara dengan Supriatna, Dosen Faraid UIN Yogyakarta.
125
perempuan tersebut harus kembali kepadanya. Sementara
yang dibagi adalah harta yang mereka dapatkan selama
menikah. Bahkan bagi perempuan yang bekerja, maka harta
perempuan selama bekerja itu adalah miliknya dan tidak bisa
dibagi-bagi. Dalam perakteknya, harta yang dicari isteri itu
masuk juga dalam gono gini jika keduanya bercerai.
Agar ulama dan Hakim Agama memiliki pandangan
yang sama berkaitan dengan perbedaan antara Fiqh Islam
dengan Kompilasi Hukum Islam itu, saran yang disampaikan
adalah duduk bersama, seminar, diskusi dan dialog yang
tentu saja tidak hanya sekali dilakukan. Memang kegiatan itu
mahal, tetapi hanya itulah yang dapat dilakukan.8
Seberapapun peraturan dibuat dan sebaik apapun mutu
peraturan jika tidak disosialisasikan menjadi tidak bermakna
dan mandul serta tidak dapat dilaksanakan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa ketentuan
mengenai Hukum Kewarisan yang diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam berpedoman pada garis-garis hukum faroid,
warna alam pikiran asas qoth’i agak dominan dalam
perumusannya. Seluruhnya hampir mempedomani garis
rumusan nash yang terdapat dalam al-Qur’an kurang tampak
dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam. Perumusan yang
bersifat kompromistis dengan ketentuan nilai-nilai Hukum
Adat. Meskipun pada satu sisi landasan semangat
perumusannya telah mendekati sistem kekeluargaan parental
dan bilateral seperti dalam sistem kekeluargaan yang umum
dalam masyarakat Indonesia, nyatanya sifat kompromistis
yang dianut Kompilasi Hukum Islam dalam masalah
kewarisan lebih mengarah pada sikap modivikasi secara
terbatas. Sifat modifikasinya benar-benar selektif dan hati8
Diolah dari hasil wawancara dengan KH Najib Shalimi, Abdullah Hasan, Mas’ud Maduki,
dan Supriatna
126
hati. Oleh karena itu terobosan yang dijumpai tidak sangat
kentara. Malahan ada yang dianggap langkah surut jika
dibandingkan dengan ketentuan adat atau hukum Barat.
Langkah surut itu terutama didakwakan kelompok yang
terbiasa menghayati paham emansipasi kaum wanita yang
dengan gigih membela dan menegakkan persamaan hak dan
derajat antara anak laki-laki dengan anak perempuan dalam
pembagian harta waris. Bagi para ulama, Fiqh Waris Islam
sudah selesai, tinggal kemauan untuk melaksanakannya
dalam kehidupan sehari-hari.9
Di kalangan para Praktisi Hukum Islam, yakni antara
Hakim Agama di Pengadilan Agama dengan Hakim Agama
di Pengadilan Tinggi Agama berbeda pendapat tentang ada
tidaknya perbedaan mendasar antara Hukum Waris dalam
Fiqh Islam dan dalam Kompilasi Hukum Islam. Para Hakim
Agama Pengadilan Agama berpendapat bahwa ada
perbedaan mendasar antara Hukum Waris dalam Fiqh Islam
dan dalam Kompilasi Hukum Islam. Perbedaan mendasar
dimaksud yaitu mengenai: Ahli Waris Penggganti, tentang
Anak Angkat dan tentang Tanah Waris yang kurang dari dua
hektar (Disarikan dari hasil wawancara dengan para Hakim
Agama Pengadilan Agama Kota Yogyakarta). Tentang Ahli
Waris Pengganti: dalam Fiqh Islam tidak dikenal Ahli Waris
Pengganti. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam
terdapat aturan tentang Ahli Waris Pengganti (Pasal 185
Kompilasi Hukum Islam). Tentang Waris Anak Angkat:
dalam Fiqh Islam tak dikenal waris untuk anak angkat.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam anak angkat
ditetapkan mendapat bagian waris dengan jalan Wasiat
Wajibah dengan ketentuan paling banyak 1/3 dari harta waris
(Pasal 209 (2) Kompilasi Hukum Islam). Dalam Kompilasi
9
Cik Hasan basri, Ibid, hal. 67
127
Hukum Islam juga diatur wasiat wajibah untuk bapak angkat
(Pasal 209 (1) Kompilasi Hukum Islam), yang dalam Fikih
Islam hal itu tidak diatur. Tentang tanah waris yang kurang
dari dua hektar: dalam Kompilasi Hukum Islam diatur, tanah
waris yang kurang dari dua hektar tak perlu dibagi/dipecahpecah kepada para ahli waris (Pasal 189 (a) Kompilasi Hukum
Islam). Hal ini terkonspirasi dari Undang-Undang Agraria
yang menyebutkan bahwa tanah pertanian yang kurang dari
dua hektar tak boleh dipecah-pecah dengan alasan untuk asas
manfaat bersama. Kalau dibagi-bagi kemungkinan tak lagi
menjadi tanah pertanian. Dalam Fiqh Islam tak dijumpai
aturan demikian.
Menurut para Hakim Agama Pengadilan Tinggi Agama
tak ada perbedaan mendasar antara Fiqh Islam dengan
Kompilasi Hukum Islam mengenai aturan tentang Hukum
Waris, kecuali hanya satu yaitu ketentuan dalam Pasal 185 (1)
Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan: ahli waris yang
meninggal lebih dahulu daripada pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang
tersebut dalam Pasal 173. Pasal 185 (1) tersebut
memungkinkan seorang isteri yang meninggal dan membawa
anak bawaan, maka anak bawaan tersebut berhak menjadi
Ahli Waris Pengganti ibunya. Untuk menghindari terjadinya
pengertian demikian maka sebaiknya pasal 185 (1) itu
disempurnakan menjadi: Anak sebagai ahli waris yang
meninggal terlebih dahulu daripada pewaris.
Adapun ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam
tentang tanah warisan kurang dari dua hektar yang tak boleh
dipecah antar ahli waris, hal itu bukan perbedaan mendasar
dengan Fiqh Islam karena hanya perbedaan interpretasi/
penafsiran dan merupakan pengembangan Hukum. Fiqh
Islam sendiri. Jadi interpretasi tentang hukum waris dalam
128
Kompilasi Hukum Islam pada dasarnya tidak bertentangan
atau sejalan dengan Fiqh Islam. Aturan dalam Kompilasi
Hukum Islam tentang tanah kurang dua hektar tak
diperbolehkan dibagi-bagi itu termasuk kategori aturan dari
“Waliyul Amri” yang harus ditaati. Pandangan senada juga
dikemukakan pakar Hukum Waris Islam H. Asmuni
Abdurrahman yang menjelaskan bahwa tak ada perbedaan
mendasar antara Hukum Waris dalam Kompilasi Hukum
Islam dengan Fiqh Islam, sebab Kompilasi Hukum Islam
disusun berdasar dari Fiqh Islam yang dikembangkan sesuai
dengan tradisi umat Islam Indonesia.
Para informan dalam menyikapi perbedaan antara
Hukum Waris dalam Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam
bukan terletak pada pengaturan baru, tetapi pada materi
hukum yang ditetapkan non muslim. Pendapat yang
membolehkan ahli waris non muslim bisa mendapat harta
waris melalui wasiat wajibah.
Perbedaan Hukum Waris yang terjadi antara penetapan
Fiqh Islam dengan Kompilasi Hukum Islam, walaupun dalam
penafsiran, tetapi menimbulkan konsekuensi hukum. Untuk
menghindari perbedaan penetapan Hukum Waris agar
menjamin kepastian hukum dalam penyelesaian pembagian
waris, maka diperlukan penyuluhan hukum dalam
masyarakat.
C. Perbedaan Praktik Penyelesaian
Masyarakat dan Pengadilan Agama.
Waris
Islam
di
Walaupun hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum
Islam juga terdapat ketentuan yang mengatur masyarakat
majemuk, khususnya tradisi yang berlaku dalam masyarakat
lokal, seperti ketentuan pasal 185 tentang Ahli Waris
Pengganti atau ”Penggantian Ahli Waris” flaap verlling, pasal
129
189 tentang Harta Warisan berupa lahan pertanian yang
kurang dari 2 hektar sebagai warisan ”kolektif” dan pada
pasal 209 tentang wasiat wajibah antara orang tua angkat dan
anak angkat.
Dalam pasal 185 dinyatakan:
a. Ahli waris yang meninggal terlebih dahulu dari pada
sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh
anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.
b. Bagitu dari Ahli Waris Pengganti tidak boleh melebihi
dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Dalam pasal 189 dinyatakan;
a. Bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahan
pertanian yang luasnya kurang dasri 2 hektar, supaya
dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan
dimanfaatkan untuk kepentingan bersama pada ahli waris
yang bersangkutan.
b. Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak
memungkinkan karena diantara para ahli waris yang
bersangkutan ada yang memerlukan maka lahan tersebut
dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris dengan
cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak
sesuai dengan bagiannya masing-masing.
Dalam pasal 209 dinyatakan;
a. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasalpasal 146 sampai pasal 193 tersebut di atas. Sedangkan
terhadap orang tua angkat, yang tidak menerima wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta peninggalan
anak angkatnya tersebut.
130
b. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari hartanya
peninggalan orang tua angkatnya.
Ketentuan-ketentuan itu menjadi menarik oleh karena
merupakan gagasan baru yang dituangkan menjadi kaidah
hukum yang mengacu jkepada kemaslahatannya. Gagasan
tentang Ahli Waris Pengganti – ada yang membedakan
dengan Pengganti Ahli Waris – pernah dikemukakan oleh
Hazairin (1981: 32) bagi kelompok Ahli Waris yang disebut
menilai bahwa gagasan kurang mendapat respon dari para
Ahli Hukum Islam oleh karena dalam tradisi pemikiran
fuqaha tidak begitu dikenal.
Ketentuan pasal 189 merupakan upaya untuk
menghindarkan terjadinya pemilikan lahan pertanian (sebagai
modal usaha di kalangan petani) yang fragmentaris, yang
dapat menjadi salah satu penyebab kemiskinan tiada ujung.
Hal itu menunjukkan bahwa Hukum Islam tadi terkait
dengan unsur non hukum, seperti ekonomi, struktur dan pola
budaya umat Islam dalam sistem kehidupan masyarakat
Indonesia yang menempatkan harta warisan sebagai simbol
benturan keluarga (dalam arti keluarga luas).
Ketentuan pasal 209 merupakan suatu gagasan baru
yang didasarkan kepada suatu kenyataan bahwa
pengangkatan anak (adopsi) merupakan suatu gejala yang
hidup di dalam kehidupan masyarakat Islam, meskipun hal
itu tidak dengan sendirinya terjadi hubungan hukum (baca:
saling mewarisi) antara anak angkat dengan orang tua
angkatnya. Anak yang diangkat tetap memiliki hubungan
hukum dengan orang tua kandungnya. Dari hubungan sosial
antara anak angkat dengan orang tua angkat, melahirkan
131
ketentuan tentang wasiat wajibah. Ia merupakan ketentuan
hukum Islam yang khas Indonesia.10
Perlu diketahui bahwa keberadaan Kompilasi Hukum
Islam dalam sistem hukum nasional relatif berumur muda,
terutama di Bidang Hukum Kewarisan (Fiqh Mawaris) yang
akan dihadapkan kepada berbagai masalah (di samping
harapan-harapan), baik di kalangan pemimpin masyarakat,
maupun para pengikut mereka. Masalah pertama adalah
sosialisasi Fiqh Waris dalam Kompilasi Hukum Islam kepada
warga masyarakat, khususnya di kalangan umat Islam.
Dalam hal ini, para pejabat pemerintahan yang terlibat dalam
penyusunan Kompilasi Hukum Islam dituntut untuk
memainkan peran sebagai penyuluh dan pengambil
keputusan yang konsisten. Pemikiran para ulama dan umara’
dituntut untuk mensosialisasikannya dalam lingkungan
masing-masing. Sosialisasi akan mudah dilakukan manakala
mereka memiliki persepsi yang sama tentang substansi
urgensi dan missi Kompilasi Hukum Islam.
Masalah kedua adalah persepsi di kalangan pemimpin
masyarakat terhadap Kompilasi Hukum Islam di kalangan
mereka yang tidak terlibat dalam proses penyusunannya,
sementara mereka memiliki keterikatan yang ketat terhadap
ajaran fuqaha dan memiliki pengaruh yang kuat di kalangan
para pengikut mereka. Kelompok pemimpin itu, pada
dasarnya memiliki kebebasan untuk berbeda pandangan
karena hal itu berpangkal dari keyakinan yang dianutnya. Hal
itu, bahkan merupakan unsur penghambat sosialisasi
Kompilasi Hukum Islam, namun sebaliknya dapat juga
dipandang sebagai peluang untuk melakukan dialog secara
10
Ketika Atha Mudzhar (Eetnonimus, 1994: xVii) menyampaikan informasi tentang
ketentuan itu kepada Thohir Muhammad, beliau terperanjat karena pengertian wasiat
wajibah yang demikian yang tidak dikenal di negara manapun.
132
terbuka dan jujur. Apabila sosialisasi Kompilasi Hukum Islam
dapat memberikan getaran-getaran pesan yang Islami,
dukungan mereka akan mudah diperoleh.
Masalah
ketiga,
adalah
kemungkinan
terjadi
perbenturan antara Kompilasi Hukum Islam dengan struktur
dan pola budaya masyarakat, khususnya di bidang
kewarisan. Kompilasi Hukum Islam disusun dan diputuskan
oleh elit-elit masyarakat di pusat pemerintahan dan
pendidikan, sementara sebagian besar warga masyarakat
bermukim di pedesaan yang sangat terikat dengan kondisi
lokal. Masih besar kemungkinan, masyarakat menerima
secara simbolik, sedangkan subsistemnya mengacu kepada
kaidah lokal yang berlaku secara turun temurun.11
Dalam praktiknya, menunjukkan perbedaan yang tajam
antara praktik penyelesaian Waris Islam di masyarakat dan
Pengadilan Agama. Masyarakat masih menggunakan caranya
sendiri dalam melaksanakan pembagian harta waris. Hukum
adat dan Islam dipadukan sedemikian rupa sehingga ada
kerelaan antara ahli waris yang ada tersebut. Karena masalah
waris adalah masalah muamalah, KH. Hasan Abdullah, setuju
jika pembagian harta waris dilakukan dengan kebijaksanaan,
bukan dihitung secara matematis sebagaimana ditulis dalam
Fiqh Waris Islam dan mungkin juga Kompilasi Hukum Islam.
Beliau mencontohkan, keluarga memiliki 6 orang anak. Anak
pertama hingga ke keempat disekolahkan semua sampai
tinggi dan dari pendidikannya itu dia bisa hidup makmur.
Sementara itu anak kelima dan keenam tidak bisa sekolah
tinggi, karena harta keluarga sudah habis buat menyekolahkan anak pertama hingga keempat. Sementara sewaktu
sekolah keempat saudara tuanya itu tidak membantu, karena
memang belum mapan. Ketika kemudian beberapa tahun
11
Cik Hasan Bisri, Op, Cit, hal. 17.
133
kemudian orang tua meninggal, maka harus dipikirkan nasib
kedua anak yang sekolahnya rendah itu agar harta kekayaan
tidak hanya beredar diantara orang kaya saja, tetapi juga
dinikmati yang lain, yang note bene juga saudaranya sendiri.
Itulah sebabnya, Hasan Abdullah sangat setuju pembagian
waris kebijakasanaan ala Jawa itu.12
Tentang pembagian harta waris gono-gini: Jika ada
kasus harta gono-gini, pihak Pengadilan Agama melakukan
pembagian sesuai ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam.
Sedangkan praktik yang terjadi dalam masyarakat, biasanya
harta tersebut dipisah terlebih dahulu dan dibagi sesuai gonogini. Selebihnya dibagi kepada ahli waris, di antaranya ada
yang dibagi secara hukum waris. Dalam masyarakat,
biasanya isteri yang telah ditinggal mati suami, ia hanya
diberi hak untuk tinggal di rumah peninggalan suami dan
mendapatkan hasil pertanian peninggalan suami (jika ada).
Apabila ada kasus suami yang meninggal meninggalkan
dua orang isteri (sebagaimana dalam Pasal 190 Kompilasi
Hukum Islam), maka pihak Pengadilan Agama memproses
sesuai ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam. Jika terjadi
kasus demikian dalam masyarakat, biasanya isteri kedua tak
mendapat bagian gono-gini sesuai batasan awal pernikahan
dengan isteri pertama. Tentang Ahli Waris Pengganti (Pasal
185 Kompilasi Hukum Islam): Apabila pewaris meninggalkan
cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki/perempuan
yang terlebih dahulu meninggal dunia, sementara pewaris
juga masih mempunyai anak laki-laki dan perempuan yang
masih hidup, maka jika Pengadilan Agama menangani kasus
seperti itu, cucu laki-laki atau cucu perempuan di atas dapat
memperoleh bagian waris menggantikan posisi orang tuanya.
Yang diterapkan Pengadilan Agama itu sesua dengan
12
Diolah dari hasil wawancara dengan KH. Hasan Abdullah; Tahun 2009.
134
ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam. Adapun praktek
dalam masyarakat mengenai hal itu tidak jelas, biasanya cucu
dalam kasus itu tak mendapat bagian waris.
Jika kedudukan ahli waris pengganti adalah kemenakan
dari pewaris sedangkan saudara pewaris yang lain masih ada,
maka Pengadilan Agama menetapkan kemenakan tersebut
juga mendapat warisan, dengan catatan apabila si pewaris tak
meninggalkan anak laki-laki. Penjelasan tersebut diperkuat
oleh beberapa Hakim Pengadilan Tinggi Agama, dengan
mengatakan bahwa kemenakan dalam posisi demikian dapat
memperoleh harta waris. Dalam kaitannya dengan anak
perempuan menghijab saudara laki-laki dan perempuan.
Menurut para hakim Pengadilan Agama, anak perempuan
tersebut tak dapat menghijab karena ia telah ada bagiannya
sendiri. Pandangan demikian diperkuat H. Asmuni
Abdurrahman dengan mengatakan bahwa pada prinsipnya
anak perempuan tersebut tak bisa menghijab. Tentang wasiat
wajibah kepada anak angkat (Pasal 209 (2) Kompilasi Hukum
Islam): para hakim Pengadilan Agama menjelaskan, wasiat
wajibah kepada anak angkat diberikan bagiannya sesuai
ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam. Demikian pula
wasiat wajibah kepada orang tua angkat (Pasal 209 (1)
Kompilasi Hukum Islam), dilakukan Pengadilan Agama
sesuai ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam. Tentang
perbedaan agama: perbedaan agama betapapun menjadi
penghalang pemberian warisan. Alasannya jelas, dasar nash
dari al-Qur’an yang qoth’i. Praktek dalam masyarakat
mengenai hal itu kurang jelas. Bagi masyarakat yang telah
mengetahui dasar hukumnya tentu tidak akan membagi
warisan. Tentang percobaan membunuh, penganiayaan berat
dan memfitnah menjadi penghalang bagi pembagian waris di
Pengadilan Agama. Ketentuan itu sesuai dengan ketetapan
dalam Pasal 173 (a) Kompilasi Hukum Islam. Tentang
135
pembagian ayah: Pembagian dalam Pengadilan Agama, ayah
mendapat waris 1/3 bagian apabila pewaris tak punya anak,
dan 1/6 bagian jika punya anak. Pembagian demikian sesuai
ketentuan dalam Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam. Namun
pasal ini dalam Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal 28
Juni 1994, No.2 tahun 1994 telah diperbaiki, ada tambahan
berikut: …. tidak punya anak “tapi meninggalkan suami dan
ibu”.Tentang porsi 2:1 antara bagian laki-laki dan perempuan:
Pengadilan Agama selama ini masih melakukan pembagian
waris antara laki-laki dan perempuan 2:1.
Praktek dalam masyarakat pada umumnya harta
peninggalan dibagi secara merata antara laki-laki dan
perempuan. Mengenai wasiat yang menyimpang dari
ketentuan hukum Islam: Pengadilan Agama belum pernah
menangani kasus seperti ini. Adapun praktek dalam
masyarakat, hal itu bisa saja terjadi tanpa sepengetahuan
Pengadilan Agama. Sementara hibah dihitung sebagai waris:
dalam masyarakat Jawa, hibah telah menjadi bagian dari
pembagian waris. Demikian pula penanganan waris yang tak
sesuai dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam ada kasus
rencana pembagian waris kepada non muslim dibawa ke
Pengadilan Agama, tetapi Pengadilan Agama menetapkan
bagi yang non muslim tak dapat waris.
Sementara itu Pengadilan Agama pernah menyelesaikan sengketa pembagian harta waris secara suka rela, tetapi
kemudian ada salah seorang anak yang berupaya menguasai
harta, lalu anak yang lain menggugat. Dalam menangani
kasus semacam itu Pengadilan Agama mendamaikan
pembagian harta waris secara hukum Islam. Dalam
pembagian harta waris berupa tanah kurang dari dua hektar:
di wilayah Kota Yogyakarta sampai saat ini belum pernah
terjadi pembagian harta waris dengan jumlah seperti itu.
136
Tetapi jika suatu saat ada kasus demikian, PA akan
melakukan pembagian sesuai ketentuan Kompilasi Hukum
Islam. Tentang kewarisan anak di luar perkawinan (Pasal 186
Kompilasi Hukum Islam): Dalam kasus seperti itu, bapak tak
dapat mewariskan. Jika terjadi kasus seperti itu, Pengadilan
Agama memproses sesuai ketentuan dalam Pasal 186
Kompilasi Hukum Islam, yang pada prinsipnya anak tersebut
hanya saling mawaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak
ibu.13
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perbedaan Hukum Waris dengan Kompilasi Hukum
Islam cukup mendasar dan bisa sangat prinsil. Sementara
itu Kompilasi Hukum Islam dikesankan oleh para ulama
di Yogyakarta sebagai elitis, karena hanya melibatkan
ulama-ulama besar dan akademisi yang pemahamannya
tentang hukum waris bisa berbeda dengan para ulama.
2. Selama ini menurut Ulama Yogyakarta tidak pernah
melakukan sosialisasi Kompilasi Hukum Islam di sekitar
wilayah Yogyakarta, kecuali para mahasiswa yang sedang
mengenyam pendidikan tinggi .
3. Perbedaan pemahaman Fiqh Waris dan Kompilasi
Hukum Islam juga memiliki perbedaan mendasar antara
ulama Yogya dengan rumusan Kompilasi Hukum Islam
yang disusun oleh elit agama dan akademisi
4. Sebagian ulama Yogyakarta menghendaki agar waris
dikembalikan ke hukum waris dalam Ilmu Faroid yang
sudah dikenal dalam Fiqh Waris berabad-abad yang lalu.
13
Hakim Agama pada Pengadilan Agama Yogyakarta, Wawancara tahun 2009.
137
Sementara itu sebagian lagi menghendaki agar penyelesaian harta waris sesuai dengan tradisi lokal;
5. Penyelesaian masalah kewarisan yang ada di Yogyakarta
selama ini diselesaikan secara mufakat dalam keluarga.
Jarang yang menggunakan lembaga Pengadilan Agama.
Masyarakat pada umumnya masih merasa malu dan tidak
terhormat jika pembagian harta waris masuk ke
pengadilan. Sebab terkesan berebut harta waris.
B. Rekomendasi
1. Perbedaan Hukum Waris dengan Kompilasi Hukum
Islam cukup mendasar dan bisa sangat prinsil harus
dijembatani dengan sosialisasi. Adapun bentuk sosialisasi
bisa dilakukan dengan dialog yang melibatkan para kyai
dan para akademisi di daerah.
2. Sebagian ulama Yogyakarta menghendaki seluruh hal
yang berkaitan dengan waris dikembalikan ke hukum
waris dalam ilmu Faroid yang sudah dikenal dalam Fiqh
waris berabad-abad. Sementara itu sebagian lagi
menghendaki pembagian harta waris diselesaikan sesuai
dengan tradisi lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman H. SH, MH, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
Penerbit Akadernika Pressindo, Jakarta, 1992, Cetakan
pertama
Al-Barmawi, Hasyi al-Allamat al Barmawi ‘ala mani Jami’ alJuwaini, Dari Ihya al-Kutub al Arrabiyah, tth, Jilid I.
Ahmad Ahsan, The Early Development of Islamic Jurisprundence.
Terjemahan Cyarmadi, Bandung Pustaka, 1984.
138
A. Pilio; Hukum Waris, 1997, Jakarta, Indonesia.
Prof. Muh Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, PT
Raja Presindo, Jakarta.
H.
Mahmud Yunus Prof.; Kamus Arab Indonesia, Yayasan
Penyelenggara Penterjemahan Penafsiran al-Qur’an, Jakarta.
WJS Poerwadarminta; Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai
Pustaka, Jakarta, 1976.
Isnawati Rais, DR; Pemikiran Fiqh Abdul hamid Hakim, Program
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Ditjen Bimas Islam dan
Penyelenggaraan haji Departemen Agama, Jakarta, 2005.
Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al Manar)
Beirut, Libanon Dar al Ma’rifah, 1993 m/1414 H. Jilid IX,
hal. 421 dan 425.
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2000
Sanafiah Faisal, “Varian-varian Kontemporer Penelitian Sosial” dalam
Burhan Bungiin, Ed Metodologi Penelitian Kualitatif:
Metodologi Penelitian Kearah Ragam Kontemporer, Jakarta,
Raja Grafindo Persada, 2004.
Situs Pemerintah Kota Yogyakarta.
139
140
BAB VI
RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA
TERHADAP FIQH WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM
ISLAM DI PROVINSI SUMATERA BARAT
Oleh:
Mazmur Sya’roni
Imam Syaukani
A. Gambaran Umum Provinsi Sumatera Barat
S
umatera Barat adalah salah satu provinsi di
Indonesia yang terletak di bagian Barat Indonesia. Di
provinsi inilah pusat etnis dan Tradisi Minangkabau
tumbuh dan berkembang. Minangkabau terletak di daerah
Pegunungan Sumatera Tengah bagian barat. Luas daerah
Minangkabau kira-kira 18.000 mil persegi, atau sekitar 11%
dari luas keseluruhan Pulau Sumatera.
Minangkabau adalah suatu wilayah lingkungan adat
yang terletak kira-kira di Provinsi Sumatera Barat. Dikatakan
kira-kira, karena pengertian Minangkabau tidaklah persis
sama dengan pengertian Sumatera Barat. Sebabnya ialah
karena kata Minangkabau lebih banyak mengandung makna
sosial kultural, sedangkan kata Sumatera Barat lebih banyak
mengandung makna geografis administratif. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa Minangkabau terletak dalam daerah
geografis administratif Sumatera Barat dan juga menjangkau
keluar daerah Sumatera Barat yaitu ke sebagian Barat Daerah
Geografis Administratif Provinsi Riau dan ke sebagian barat
daerah geografis administratif Jambi. Masuknya kedua bagian
itu ke dalam sosial kultural Minangkabau dapat diketahui
bahwa mereka secara sosial dan budaya pada umumnya sama
141
dengan yang terdapat dalam masyarakat yang berada di
Sumatera Barat.1
Adapun batas-batas wilayah Minangkabau secara lebih
kongkrit adalah sebagai berikut: Sebelah utara sampai dengan
Sikilang Air Bangis yaitu perbatasan dengan Sumatera Utara,
sebelah timur sampai Teratak Air Hitam (Inderagiri); Sialang
Balantai Besi (batas dengan Pelelawan); Tenggara sampai
dengan Sipisak Pisau Hanyut, Durian ditekuk Raja, Tanjung
Simaledu, yang ketiganya adalah bagian barat Provinsi Jambi.
Selatan sampai dengan Gunung Patah Sembilan yaitu
perbatasan Jambi. Barat sampai Laut Yang Sedidih yaitu
Samudera Hindia.2
Alam Minangkabau secara tradisional terbagi ke dalam
dua bagian, yaitu “darek” yang merupakan daerah pedalaman
dan dataran tinggi, dan “rantau” yang merupakan daerah
kawasan luar dan daerah pesisir. “Darek” adalah dataran
tinggi yang dikelilingi oleh tiga gunung yaitu Gunung Merapi,
Gunung Sago, dan Gunung Singgalang. Orang Minang
meyakini bahwa sejarah etnik mereka bermula dari sebuah
pemukiman di lereng gunung Merapi, dan dari sana mereka
menyebar ke daerah sekitar yang disebut dengan “luhak dan
tigo”, yaitu Luhak 50 (sekarang Kabupaten 50 kota), luhak
Agam (Kabupaten Agam), dan luhak Tanah Datar (Kabupaten
Tanah Datar).3
Amir Syarifuddin dalam bukunya Pelaksanaan Hukum
Waris Islam dalam lingkungan Adat Minangkabau
menjelaskan tentang pembagian wilayah Minangkabau
kepada “darek” dan “rantau” sebagai berikut :
1
2
3
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Waris Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau.
Jakarta: Gunung Agung. 1984. hlm. 122. Ibid. hlm. 122-123. Ismail. Hukum Waris Adat Minangkabau. hlm. 12-13. 142 1. Minangkabau asli yang oleh orang Minangkabau disebut
“darek” yang terdiri dari tiga luhak yaitu: Luhak Agam,
Luhak Tanah Datar, dan Luhak Lima Puluh Kota.
2. Daerah Rantau yang merupakan perluasan berbentuk
koloni dari setiap luhak tersebut di atas yaitu:
a. Rantau Luhak Agam yang meliputi dari pesisir barat
sejak Pariaman sampai Air Bangis, Lubuk Sikaping dan
Pasaman.
b. Rantau Luhak Lima Puluh Kota yang meliputi
Bangkinang, Lembah Kampar Kiri dan Kampar Kanan,
dan Rokan.
c. Rantau Luhak Tanah Datar meliputi Kubung Tigabelas,
Pesisir Barat/Selatan dari Padang sampai Indrapura,
Kerinci dan Muara Labuh.4
Dari gambaran di atas terlihat dengan jelas bahwa
wilayah Minangkabau adalah wilayah Sumatera Barat yang
ada saat ini dan terambil sedikit wilayah Provinsi Riau yaitu
Kampar dan Indragiri serta sebagian kecil daerah Provinsi
Jambi yaitu Kerinci.
B. Adat Istiadat dan Praktik Kewarisan di Masyarakat Sumatera
Barat
1. Adat Istiadat Minangkabau
Minangkabau merupakan salah satu dari kelompok
etnik-etnik besar yang ada di Indonesia, seperti Jawa, Sunda,
Madura, Batak, dan sebagainya. Etnik Minang mempunyai
kecenderungan pergi merantau, sehingga dengan demikian
banyak orang Minang dapat dijumpai di berbagai daerah di
Indonesia khususnya dan di berbagai belahan dunia lainnya.
4
Amir Syarifuddin. Op.cit. hlm. 123. 143
Setiap suku bangsa mempunyai aturan hidup dalam
masyarakatnya. Dan setiap suku bangsa itu memiliki istilah
sendiri-sendiri untuk menamai aturan hidup mereka. Manusia
selaku makhluk sosial selalu ingin hidup bermasyarakat, agar
segala kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi. Untuk
memenuhi segala kebutuhan hidup itu diperlukan pedomanpedoman dalam bertingkah laku, yang akan mengatur
kehidupan antarpribadi dengan pribadi yang lain dan pribadi
dengan masyarakat lingkungannya. Pedoman-pedoman hidup
itu dalam kehidupan masyarakat Minangkabau disebut
dengan adat. Kata adat adalah sebuah kata serapan dari bahasa
Arab, yang sekaligus sebagai bukti bahwa Islam sangat
mewarnai budaya masyarakat Minangkabau. Sebelumnya
istilah adat itu digunakan dengan istilah buek, cupak, limbago,
gantang, undang-undang, dan lain-lain.5
Kata adat yang berasal dari bahasa Arab itu secara
etimologi berarti kebiasaan yang berlaku berulang-ulang.
Dalam bahasa Indonesia kata adat biasa dirangkaikan dengan
kata istiadat yang juga berasal dari bahasa Arab dengan arti
sesuatu yang dibiasakan. Rangkaian dari dua kata itu dalam
pengertian Minangkabau berarti peraturan yang mengatur
cara pergaulan antara masyarakat dengan perorangan serta
pergaulan antara perorangan dengan sesamanya.6
Adat merupakan aturan bertingkah laku yang
didasarkan kepada nilai-nilai kesusilaan, nilai-nilai agama dan
nilai-nilai kesopanan. Nilai-nilai kesusilaan merupakan
pedoman yang bersumber dari hati nurani manusia, nilai-nilai
agama merupakan pedoman yang bersumber dari ajaran
agama Islam yakni al-Quran dan Hadis, sedangkan nilai-nilai
5
6
Ismail. Op.cit. hlm. 16. Ibid. hlm. 15-17. 144 kesopanan merupakan pedoman yang
kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat.7
bersumber
dari
Nilai-nilai dari ketiga unsur di atas telah menyatu dalam
kehidupan masyarakat Minangkabau dan sekaligus telah
menjadi peraturan yang tidak tertulis yang telah mengikat
seluruh masyarakat Minangkabau dalam seluruh aspek
kehidupannya. Adat sebagai pedoman bertingkah laku telah
bersifat mengatur dan memaksa. Mengatur karena adat
memberikan bimbingan kepada masyarakatnya untuk berbuat.
Dan adat juga bersifat memaksa, karena bagi siapa saja yang
tidak mengindahkan aturan adat akan terkena sanksi. Sanksi
dari masyarakat lingkungannya baik berupa pengucilan dari
pergaulan bersama, maupun berupa denda dalam bentuk
pemotongan hewan seperti kambing atau sapi/kerbau sesuai
dengan tingkat pelanggaran atas adat yang berlaku. Bahkan
sampai kepada pengusiran atau pembuangan dari lingkungan
dan tidak diperkenankan lagi bergaulan dengan masyarakat
adat setempat.
Aturan-aturan yang tidak tertulis itu (adat) ternyata
sampai sekarang masih mampu untuk mengatur masyarakatnya. Dengan kata lain masyarakat Minangkabau sampai saat
ini masih terikat kuat dan mematuhi adat istiadatnya.
Walaupun di sisi lain pemerintah telah membuat berbagai
peraturan perundangan untuk menciptakan ketertiban dan
ketenteraman di tengah-tengah masyarakat. Tetapi aturanaturan tidak tertulis (adat) tersebut belum dapat dikesampingkan begitu saja dalam kehidupan masyarakatnya.
Hubungan kekerabatan dalam adat Minangkabau adalah
berbentuk matriarchaat. Artinya bahwa garis keturunan
dihitung dari garis ibu, pihak suami tidak diperhitungkan
dalam menentukan garis keturunan. Seluruh anak-anak
7
Ibid. hlm. 18. 145
dibesarkan di rumah keluarga ibunya. Para suami pun tinggal
di rumah isterinya. Kesatuan atas dasar keturunan itu disebut
“suku”. Orang-orang yang berada dalam satu kesatuan suku
itu meyakini bahwa mereka berasal dari ibu yang sama yaitu
ibu yang mula-mula datang ke tempat itu untuk membangun
kehidupan. Kemudian ibu asal beranak dan bercucu. Rumah
yang mula-mula dibangun di tempat itu tidak dapat lagi
menampung seluruh keluarga. Kemudian si cucu yang tidak
mempunyai tempat lagi di rumah asal mendirikan rumah baru
di sekitar rumah asal itu. Si cucu pun kemudian berkembang
biak dan membutuhkan rumah tempat keluarga yang sudah
berkembang itu. Dengan demikian terdapat sejumlah rumah
di sekeliling rumah asal itu yang anggota-anggotanya bila
ditelusuri ke atas secara garis keibuan ternyata mereka berasal
dari ibu yang mula-mula mendiami rumah asal. Oleh karena
itu semua keluarga yang tinggal di lingkungan itu merasa
bersaudara dan terikat dalam satu kesatuan yang disebut
“suku”. Dengan demikian kesatuan suku mengandung arti
keturunan atau geneologis.8
Namun demikian bukan berarti bahwa yang menjadi
pemimpin di lingkungan suku itu juga perempuan. Tetap yang
ditunjuk untuk memimpin suku adalah anak laki-laki dari
suku itu. Begitu juga yang akan menjadi pemimpin dalam
suatu nagari (kumpulan dari suku-suku) juga dipilih dari anak
laki-laki. Pemimpin suku itu disebut dengan “penghulu”.
Apabila penghulu itu meninggal dunia dia akan digantikan
lagi oleh anak laki-laki dari lingkungan kerabat suku itu,
seperti adik dari penghulu yang meninggal atau anak laki-laki
dari saudara perempuan dari penghulu yang meninggal itu.
Dan begitu seterusnya secara turun temurun.
8
Amir Syarifuddin. Op.cit. hlm. 186. 146 Di dalam suatu nagari (desa/kelurahan) biasa terdapat
sejumlah suku dengan nama-nama tertentu, seperti Budi (suku
Budi), Caniago (suku Caniago), Koto, Piliang, Sikumbang,
Tanjung, Pagarcancang, Jambak, dan sebagainya. Setiap suku
tersebut dipimpin oleh seorang Penghulu.
2.
Praktik Kewarisan
Secara garis besarnya di dalam Adat Minangkabau harta
pusaka itu terbagi kepada dua bagian, yaitu “harta pusaka
tinggi” dan “harta pusaka rendah”. Harta pusaka tinggi itu ada
juga yang menyebutnya dengan “harta tua”. Perbedaan
penamaan tinggi dan rendah itu terletak pada waktu
terjadinya harta itu.
Menurut Hamka pusaka tinggi ialah pusaka yang
“didapat dengan tembilang besi, pusaka rendah didapat
dengan tembilang emas”.9 Tembilang besi maksudnya harta
yang diperoleh secara turun temurun dari orang-orang
terdahulu. Tembilang emas maksudnya hasil jerih payah
sendiri. Selain dari itu ada juga yang menyebutnya dengan
“harta bersama”, artinya harta yang diperoleh selama hidup
berumah tangga. Bukan harta hasil warisan dari orang tua
atau pun pemberian orang lain. Pusaka rendah dapat menjadi
pusaka tinggi, sedang pusaka tinggi tidak dapat menjadi
pusaka rendah, kecuali bila adat itu sudah tidak berdiri lagi.
Menurut Hamka “faraidh tidak dapat masuk kemari”.10
Karena “harta pusaka tinggi” tidak dapat dibagi-bagi, tetapi
diwariskan secara turun temurun kepada anak kaum (suku)
tersebut. Kaum hanya dapat mengambil manfaat atau hasilnya
saja dari harta peninggalan itu.
Harta pusaka tinggi ialah harta yang sudah dimiliki keluarga
hak penggunaannya secara turun temurun dari beberapa
9
10
Hamka. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1984, hlm. 96. Ibid. 147
generasi sebelumnya sehingga bagi penerima harta itu sudah
kabur asal usulnya. Sedangkan yang dimaksud dengan harta
pusaka rendah adalah harta yang dipusakai seseorang atau
kelompok, yang dapat diketahui secara pasti asal-usul harta
itu. Ini dapat terjadi bila harta itu diterimanya dari satu
angkatan di atasnya seperti ayah atau mamaknya; begitu pula
dari dua tingkat di atasnya yang masih dapat dikenalnya,
seperti ninik…, harta itu didapatnya melalui usahanya sendiri”
11
Menurut Amir Syarifuddin, yang menjadi penyebab
kaburnya asal-usul harta pusaka tinggi itu adalah karena dua
hal. Pertama, karena sudah begitu jauh jarak antara adanya
harta itu dengan pihak yang sedang mengusahakannya hingga
tidak dapat lagi diperhitungkan dengan tahunan. Kedua,
karena harta itu sudah bercampur baur dengan sumber lain
yang datang kemudian.
Menurut adat Minangkabau, harta yang diperoleh suatu
kaum atau salah seorang dari anggota kaum dengan cara apa
pun, sesudah diturunkan satu kali, harta itu akan bergabung
dengan sendirinya dengan harta pusaka yang diterima dari
generasi sebelumnya. Sebagai contoh, seseorang yang
mendapatkan harta dari hasil usahanya sendiri (harta pusaka
rendah), dia berhak mendapatkan manfaat dari harta itu untuk
kepentingan sendiri bersama anak cucunya. Tapi bila dia telah
meninggal dan harta tersebut diwarisi secara tidak berbagi
oleh para ahli warisnya, maka harta itu akan digabungkan
dengan harta pusaka tinggi (harta tua). Harta pusaka rendah
itu akan berubah fungsi menjadi harta pusaka tinggi. Hal
tersebut dapat terjadi berulang-ulang dan secara turun
temurun, sehingga harta-harta pusaka rendah itu setiap
generasi akan berbaur terus dengan harta pusaka tinggi.
11
Ibid. hlm. 216-217. 148 Hamka dalam bukunya “Islam dan Adat Alam
Minangkabau” yang membicarakan tentang keelokan adat
Minangkabau, tetapi juga sekaligus sebagai kritik beliau
terhadap adat Minangkabau. Dia mengatakan bahwa “harta
pusaka rendah apabila sudah sekali turun, naik dia menjadi
harta pusaka tinggi.12
Jadi, harta pusaka tinggi itu secara logika lama kelamaan
akan selalu bertambah, karena dalam adat harta pusaka tinggi
itu pada prinsipnya tidak boleh diperjualbelikan, seperti yang
tertuang dalam satu ungkapan sebagai berikut: “dijual tidak,
dimakan dibeli, digadai tidak, dimakan sando”. Artinya “dijual
tidak” ialah tidak boleh diperjual belikan, “dimakan dibeli”
artinya untuk kebutuhan hidup sehari-hari harus dicari
dengan usaha sendiri, di antaranya dengan cara membeli,
“digadai tidak”, artinya harta yang ada harus tetap
dipertahankan dan tidak boleh digadaikan atau dipindahtangankan, “dimakan sando” artinya harta yang ada harus
dihemat sedemikian rupa sehingga tidak dengan mudah
untuk menghabiskannya. Dari ungkapan tersebut dapat
dipahami bahwa anak cucu dari suatu keluarga harus selalu
berusaha untuk menambah dan memperbanyak hartanya dan
tidak boleh ada yang berpikiran dan berusaha untuk
menguranginya.13
Hukum adat Minangkabau mempunyai asas-asas
tertentu dalam kewarisan. Asas-asas itu banyak bersandar
kepada sistem kekerabatan dan kehartabendaan, karena
hukum kewarisan suatu masyarakat ditentukan oleh struktur
kemasyarakatan. Adat Minangkabau mempunyai pengertian
tersendiri tentang keluarga dan tentang cara-cara perkawinan.
Dari kedua hal itulah muncul ciri khas struktur kekerabatan
12
13
Ibid. hlm. 96. Ibid. hlm. 98. 149
dalam adat Minangkabau, yang menimbulkan
tersendiri pula dalam hukum kewarisannya.
bentuk
Amir Syarifuddin menjelaskan ada 3 asas pokok dalam
hukum kewarisan dalam adat Minangkabau:
1. Asas unilateral, yaitu hak kewarisan hanya berlaku dalam
satu garis kekerabatan, dan satu garis kekerabatan di sini
ialah garis kekerabatan melalui ibu.
2. Asas kolektif, yaitu bahwa yang berhak atas harta pusaka
bukanlah orang perorang, tetapi suatu kelompok secara
bersama-sama. Berdasarkan asas ini maka harta tidak
dibagi-bagi dan disampaikan kepada kelompok penerimanya dalam bentuk kesatuan yang tidak terbagi.
3. Asas keutamaan, yaitu bahwa dalam penerimaan harta
pusaka atau penerimaan dalam peranan untuk mengurus
harta pusaka, terdapat tingkatan-tingkatan hak yang
menyebabkan satu pihak lebih berhak dibandingkan
dengan yang lain, dan selama yang lebih berhak itu masih
ada maka yang lain belum dapat menerimanya.
Kekerabatan dalam adat disebabkan karena bertali darah
(dilihat dari garis ibu), bertali adat (satu suku), dan bertali
emas (orang yang tidak bertali darah dan bertali suku tapi
atas kehendaknya ingin masuk ke dalam suatu suku
tertentu).14
Persoalan harta pusaka di Minangkabau telah menjadi
perdebatan panjang di kalangan tokoh-tokoh masyarakat
Minangkabau sendiri. Mulai dari Ahmad Khatib (1852-1915)
yang mengatakan bahwa “harta pusaka di Minangkabau
adalah harta haram dan proses pewarisannya secara adat
adalah bertentangan dengan agama Islam”. Haji Abdul Karim
Amarullah (1879-1949) yang semula beliau sependapat dengan
14
Amir Syarifuddin. Op.cit. hlm. 231-236. 150 Ahmad Khatib, tapi kemudian beliau mencoba memilah harta
di Minangkabau menjadi dua bagian yaitu harta pusaka tua
yang tidak diketahui asal usulnya dan harta pencarian yang
dibagi secara Islam (faraidh). Begitu juga pendapat tokoh-tokoh
Minangkabau lainnya seperti HAMKA yang juga banyak
mengeritisi
cara-cara
pembagian
harta
pusaka
di
Minangkabau, dan yang terakhir seperti Amir Syarifuddin
yang berpendapat agak lebih lentur.
Pada tahun 1952 di Bukittinggi diadakan pertemuan
antara ninik mamak (tokoh adat), alim ulama (tokoh agama),
dan cerdik pandai (cendekiawan), dan Seminar Hukum Adat
Minangkabau yang diadakan di Padang pada tahun 1968 yang
membahas tentang persoalan harta pusaka di Minangkabau.
Dari hasil-hasil pertemuan tersebut semakin terkuak juga
persoalan harta pusaka di Minangkabau, di mana antara harta
pusaka tinggi (pusaka tua) yang telah diwarisi oleh kaum
(bukan perorangan) secara turun temurun dan harta pencarian
seseorang, terdapat kesepakatan untuk memisahkan antara
kedua macam harta tersebut. Dalam kesepakatan tersebut
ditetapkan bahwa harta pusaka tinggi tetap diwariskan secara
turun temurun dari kaum ke kaum. Sedangkan harta
pencarian sendiri (harta pusaka rendah) dibagi menurut
hukum faraidh.15
Dalam penyelesaian perkara bila terjadi perselisihan
dalam persoalah harta pusaka tersebut, maka persoalan harta
pusaka tua, perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.
Sedangkan penyelesaian perkara harta pusaka rendah
dilimpahkan ke Pengadilan Agama.
15
Ibid. 265. 151
C. Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap Kompilasi
Hukum Islam
1. Pengetahuan tentang Kompilasi Hukum Islam
Penelitian ini berupaya mengungkapkan tiga strata
pemahaman informan tentang pelaksanaan hukum waris di
Sumatera Barat, yaitu strata pengetahuan (kognisi), penilaian
(afeksi), dan perilaku (psikomotorik). Pada strata pengetahuan, pertanyaan pertama yang diberikan kepada para informan
yang terdiri atas para ulama lokal dan hakim agama adalah
apakah mereka mengerti tentang Kompilasi Hukum Islam?
Jawaban terhadap pertanyaan tersebut secara garis besar
terbagi tiga, yaitu mereka yang menjawab tidak tahu atau
tidak mengerti, mengerti tapi sedikit atau sudah banyak yang
lupa, dan mengerti atau paham. Mereka yang menjawab tidak
tahu adalah para ulama lokal yang murni berpendidikan
pesantren tradisional, sedangkan yang menjawab mengerti
tapi sedikit adalah para ulama lokal yang pernah mengenyam
pendidikan formal di Perguruan Tinggi Agama. Mereka
mengaku pernah mempelajari Kompilasi Hukum Islam pada
saat aktif kuliah tetapi tidak diteruskan kembali secara
intensif. Adapun yang menjawab mengerti atau paham adalah
para ulama yang berasal dari kalangan akademisi dan para
Hakim Agama, baik di kalangan Pengadilan Agama Kota
Padang, Payakumbuh, dan Kab. 50 Kota maupun Pengadilan
Tinggi Agama Sumatera Barat.
Mengapa mereka tidak mengerti? Banyak faktor, di
antaranya faktor dominannya tradisi pewarisan harta pusaka
berdasarkan Adat Minangkabau dan kurangnya sosialisasi
Kompilasi Hukum Islam yang dilakukan oleh instansi terkait,
seperti Kementerian Agama, Pengadilan Agama, dan
Pemerintah Daerah. Faktor dominannya tradisi pewarisan
harta pusaka berdasarkan adat Minangkabau didasarkan fakta
152 bahwa tidak banyak sengketa waris yang diajukan di
Pengadilan Agama.
Pemantauan lapangan di Pengadilan Agama Kota
Padang mengungkapkan bahwa dari rekapitulasi kasus yang
masuk ke Pengadilan Agama pada tahun 2007 terungkap
seluruhnya ada 585 kasus dan hanya 7 kasus yang terkait
dengan masalah waris. Itupan hanya sebatas permohonan
Penetapan Ahli Waris. Kasus yang diajukan di Pengadilan
Agama Urusan Perceraian (501 kasus), anak angkat, isbath
nikah. Penetapan Ahli Waris dimohonkan karena untuk
mengurus pensiun, Taspen, pengambilan uang dari rekening
pewaris yang ada di bank, dan untuk balik nama. Pada tahun
2008 terungkap seluruhnya ada 721 kasus dan hanya 8 kasus
yang terkait dengan waris. Dari 8 kasus tersebut, 7 kasus
terkait Penetapan Ahli Waris dan 2 sengketa waris dengan
nomor registrasi No. 633/Pdt.G/2009/PA..Pdg tanggal 19
November 2008. Sidang pertama tanggal 1 Desember 2008.
Kasus ini masih dalam proses penyelesaian. Dari 721 kasus,
700 kasus berbentuk gugatan dan 21 berbentuk penetapan.
Pada tahun 2009 hingga pertengahan Mei (saat penelitian ini
dilakukan) terungkap ada 357 kasus (319 kasus gugatan dan 38
kasus penetapan) dan hanya 8 kasus terkait waris, itupun
hanya berbentuk Penetapan Ahli Waris. Ada 1 kasus gugatan
waris dengan nomor registrasi No. 85/Pdt.G/2009/PA. Pdg
tanggal 2 Februari 2009 dan sidang pertama tanggal 18
Februari 2009, tetapi gugatan dianggap kabur oleh hakim.16
Kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi pula di
Pengadilan Agama Kab. 50 Kota. Pada tahun 2007 tercatat 261
perkara masuk ke Pengadilan Agama, tetapi hanya 3 perkara
yang berkaitan dengan waris. Pada tahun 2008 tercatat 296
perkara masuk Pengadilan Agama, tetapi tidak satu pun
16
Penelusuran data dan wawancara dengan para Hakim Agama PA Kota Padang. 153
perkara yang diputus terkait dengan waris. Sedangkan di
Pengadilan Agama Kota Payakumbuh, pada tahun 2007
tercatat ada 394 perkara yang masuk ke Pengadilan Agama,
tetapi hanya 3 perkara saja yang menyangkut waris. Pada
tahun 2008, tercatat ada kenaikan perkara yang ditangani
Pengadilan Agama, yakni sebanyak 487 perkara, di mana 5 di
antaranya menyangkut waris. Dari 5 perkara tersebut, pada
saat penelitian ini dilakukan, 2 perkara sedang dalam proses
penyelesaian, sedangkan 3 perkara telah dicabut karena
menempuh jalur damai.17
Sedangkan dari hasil rekapitulasi Pengadilan Tinggi
Agama Provinsi Sumatera Barat, pada tahun 2008, tercatat ada
5.407 perkara yang masuk ke Pengadilan Agama seluruh
Sumatera Barat. Dari sekian perkara tersebut, hanya 29 perkara
saja yang menyangkut waris (20 perkara di antaranya sudah
diputus). Jadi, tidak diragukan lagi bahwa pengajuan perkara
waris memang relatif jarang di Pengadilan Agama di Sumatera
Barat.18
Sedikitnya perkara waris yang masuk ke Pengadilan
Agama menurut para Hakim Agama yang sempat diwawancarai terkait masalah masih teguhnya masyarakat Sumatera
Barat memegang tradisi. Ada rasa malu bagi kaum lelaki
Minangkabau mempersoalkan masalah harta waris ke
Pengadilan. Mereka sepertinya menerima taken for granted
tradisi Minangkabau yang tidak menempatkan lelaki sebagai
salah satu pewaris utama dalam pembagian harta pusaka.
Fenomena tersebut tentu amat menarik dicermati, sebab itu
menunjukan bahwa mekanisme penyelesaian masalah di
masyarakat Minangkabau masih berjalan secara efektif.
17
18
Penelusuran data dan wawancara dengan para Hakim Agama Pengadilan Agama Kab. 50
Kota dan Pengadilan Agama Kota Payakumbuh. Rekapitulasi data per 31 Desember 2008 oleh Pengadilan Tinggi Agama Provinsi Sumatera
Barat. 154 Adapun faktor kedua, pemantauan lapangan menemukan fakta bahwa sosialisasi Kompilasi Hukum Islam sudah
relatif jarang dilakukan oleh pihak Pengadilan Agama dan
Kementerian Agama. Alasannya karena tidak ada lagi pos
khusus di Pengadilan Agama yang dipergunakan untuk
sosialisasi peraturan perundang-undangan. Jawaban yang
sama juga diungkapkan oleh pihak Kanwil Kementerian
Agama Provinsi Sumatera Barat dan Kantor Kementerian
Agama Kota Padang. Sosialisasi Kompilasi Hukum Islam
hanya gencar dilakukan ketika peraturan itu baru diterbitkan,
setelah itu prosentasenya mengalami penurunan yang cukup
drastis. Di Sumatera Barat tampaknya Kompilasi Hukum
Islam tidak menjadi kesadaran hukum masyarakat, kecuali
para Hakim Agama yang memang menggunakannya untuk
memutuskan perkara.
2. Perbedaan Kompilasi Hukum Islam dengan Fiqh Waris
Islam
Pertanyaan selanjutnya terhadap para informan,
terutama kepada mereka yang menguasai Fiqh Waris dan
mengetahui Kompilasi Hukum Islam adalah, apakah
perbedaan mendasar antara fiqh waris dengan Kompilasi
Hukum Islam, apakah perbedaan itu saling menafikan atau
malah saling mendukung, dan apakah Rumusan Hukum
Waris dalam Kompilasi Hukum Islam cukup dapat
mencerminkan rasa keadilan masyarakat?
Para informan menjelaskan bahwa perbedaan yang
mencolok sebetulnya tidak ada tetapi memang ada pengaturan
hukum waris dalam Kompilasi Hukum Islam yang tidak lazim
dalam madzhab Syafi`i, seperti: Pertama, Pembagian Warisan
dengan Cara Damai. Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam
menyatakan bahwa para ahli waris dapat bersepakat
melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan
setelah masing-masing menyadari bagiannya. Cara ini
155
dimungkinkan karena adanya kebiasaan yang terjadi dan
dipraktikkan berulang-ulang dan dianggap baik dalam
masyarakat. Secara teknis, kebiasaan ini dalam terminologi
fiqih disebut `urf atau adat. Kata `urf yang seakar kata dengan
kata ma`ruf artinya baik. Jadi sesungguhnya, jika penggunaan
bahasa di sini konsisten, tidak dikatakan `urf kalau tidak
membawa manfaat atau kebaikan bagi masyarakat. Di
kalangan ulama dikenal satu kaidah hukum al-`adatu
muhakkamah (adat kebiasaan dapat dijadikan hukum).
Perdamaian (dalam al-Quran, as-sulh: QS. An-Nisa: 128, alAnfal: 1, al-Hujurat: 9-10) efektif untuk meredam terjadinya
konflik intern keluarga akibat pembagian harta benda
(warisan) tersebut. Umar bin Khathab r.a. mengatakan: “Ruddu
al-qadha bayna dzawi al-arham hatta yastalihu fa inna fasl al-khithab
yuris al-daghain (kembalikan penyelesaian perkara di antara
sanak keluarga sehingga mereka dapat mengadakan
perdamaian, karena sesungguhnya penyelesaian Pengadilan
itu menimbulkan rasa tak enak)”.
Perdamaian dapat
dilakukan dengan cara: selesaikan menurut ketentuan faraid,
baru setelah itu masing-masing pihak berdamai, untuk
menentukan penerimaan sesuai dengan kondisi perekonomian
mereka masing-masing. Kiranya lebih bijaksana apabila
seorang anak laki-laki yang ekonominya telah mapan, setelah
ia menerima bagian warisan, memberikan kepada saudaranya
yang perempuan, lebih-lebih jika ekonominya masih
kekurangan.
Kedua, Pembagian Kedudukan, Mawali (Plaatsvervullings). Model Ahli Waris Pengganti diatur dalam pasal 185
Kompilasi Hukum Islam: (1) Ahli Waris yang meninggal lebih
dahulu daripada pewaris, maka kedudukannya dapat
digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam
pasal 173, dan (2) Bagian Ahli Waris Pengganti tidak boleh
melebihi dari bagian Ahli Waris yang sederajat dengan yang
156 diganti. Secara konsepsional, konsep penggantian kedudukan
atau mawali mirip dengan fiqih Syiah, yang menempatkan
cucu garis perempuan sebagai Ahli Waris. Dari satu sisi
pemberian bagian kepada ahli waris dzawi al-arham, dekat
dengan wasiat wajibah dalam hukum waris Mesir, Syria, dan
juga Maroko. Akan tetapi, dalam Kompilasi Hukum Islam
diperkecil lingkupnya sehingga wasiat wajibah hanya
diberikan kepada orang tua dan atau anak angkat. Dalam
pasal 209 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan: “(1) Harta
peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176
sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang
tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya;
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi
Wasiat Wajibah sebanyak-sebanyaknya 1/3 dari harta warisan
orang tua angkatnya. Penciutan ruang lingkup wasiat wajibah
ini kelihatannya, karena dalam Kompilasi Hukum Islam telah
mengakomodasi cara pemberian bagian warisan perdata, yang
disebut plaatsver-vullings. Yang jelas, baik penggantian
kedudukan maupun Wasiat Wajibah dimaksudkan untuk
mengatasi Ahli Waris dzawi al-arham yang dalam Fiqh Sunni
tidak mendapat bagian warisan, selama Ahli Waris ashab alfurudh.
Ketiga, Pembagian Warisan Ketika Pewaris Masih Hidup.
Pasal 187 Kompilasi Hukum Islam menyatakan: “(1) Bilamana
pewaris meninggalkan harta peninggalan, maka oleh pewaris
semasa hidupnya atau oleh para Ahli Waris dapat ditunjuk
beberapa orang sebagai pelaksana pembagian warisan dengan
tugas: (a) mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik
berupa benda bergerak maupun tidak bergerak yang
kemudian disahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan,
bila perlu dinilai harganya dengan uang; (b) menghitung
jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai dengan
157
pasal 175 ayat (1) sub a, b dan c; (2) Sisa dari pengeluaran
dimaksud di atas adalah merupakan harta warisan yang harus
dibagikan kepada Ahli Waris yang berhak. Dirinci lagi dalam
pasal 188: “Para ahli waris, baik secara bersama-sama atau
perorangan dapat mengajukan permintaan kepada Ahli Waris
yang lain untuk melakukan pembagian warisan. Bila ada di
antara Ahli Waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka
yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui
Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta
warisan”. Prinsipnya pembagian warisan semacam ini
didasarkan pada musyawarah antara Ahli Waris yang berhak
mewarisi. Ini sejalan dengan cara yang pertama, yaitu
pembagian dengan cara damai.
Keempat, Sistem Kewarisan Kolektif. Dinyatakan dalam
pasal 189 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut: “(1) Bila
harta warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang
luasnya kurang dari dua hektar supaya dipertahankan
sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan
bersama para ahli waris yang bersangkutan; (2) Bila ketentuan
pada ayat (1) pasal ini tidak memungkinkan karena di antara
ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang,
maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli
waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing,
dengan cara yang memiliki lahan menggantikan atau
memberikan kompensasi sebesar atau senilai bagian ahli waris
yang membutuhkannya”. Sepanjang cara penyelesaian
tersebut tidak menimbulkan kerugian pada sebagian ahli
waris, dapat dilaksanakan dan dalam batas-batas tertentu
dapat dianalogikan dengan sistem adat Minangkabau. Di
Minangkabau, dikenal dua macam harta pusaka, yaitu harta
pusaka rendah dan harta pusaka tinggi. Harta pusaka rendah
yang diwarisi oleh anak turun dari garis ibu. Harta pusaka
tinggi adalah harta benda yang sudah diwarisi turun-menurun
158 dan merupakan milik dari famili besar sebagai kesatuan dan
diurus atas nama keluarga besar oleh kepala dari famili yang
disebut Penghulu Andiko. Jadi, pembagian warisan dengan
sistem kolektif tersebut lebih didasarkan pada musyawarah
keluarga. Secara metodologis langkah ini dapat ditempuh
dengan metode istihsan, yaitu meninggalkan ketentuan umum
memilih ketentuan khusus, karena ada pertimbangan
kemaslahatan yang lebih besar. Dalam perspektif Fiqih, cara
ini adalah realisasi dari konsep bai’ syufah, yakni jual beli
dengan mengutamakan saudara atau tetangga dekat, sebagai
orang yang lebih dahulu berhak untuk membelinya.
Kelima, Harta Bersama atau Gono-Gini. Cara pembagian
gono-gini dilaksanakan sebelum harta warisan dibagi kepada
ahli waris lain. Harta warisan dibagi dua atau lebih menurut
jumlah isteri yang ada, sebanding dengan durasi waktu
lamanya masing-masing isteri mengarungi bahtera perkawinan dengan pewaris (suaminya), baru setelah itu dibagi kepada
ahli waris lain. Dalam waris 190 Kompilasi Hukum Islam
disebutkan: “Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang,
maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian atas
gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan
keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli
warisnya”. Gagasan harta bersama yang diperkenalkan
Kompilasi Hukum Islam, kelihatannya belum dibicarakan
dalam kitab-kitab fiqih. Kelihatannya pembagian warisan
harta bersama ini diakomodasi dari hukum adat yang berlaku
di masyarakat, yang dikenal dengan gono-gini. Istilah gonogini telah dikenal di Jawa Timur, sebagai harta campur kaya,
yang di Jawa Barat disebut dengan guna-kaya, di
Minangkabau disebut harta-suarang dan di Aceh disebut
hareuta seuhareukat. Harta gono-gini ini adalah harta kekayaan
yang diperoleh oleh suami-isteri selama berlangsungnya
perkawinan di mana kedua-duanya bekerja untuk
159
kepentingan hidup berumah tangga. Bekerja ini hendaknya
diartikan secara luas, hingga seorang isteri yang pekerjaannya
tidak nyata-nyata menghasilkan kekayaan, seperti memelihara
dan mendidik anak-anaknya, dianggap sudah bekerja. Dan
harta kekayaan yang diperoleh secara kongkret oleh suami,
menjadi milik bersama.19
Para informan pada dasarnya menyambut baik
pengaturan baru tersebut. Dengan pengaturan baru di atas
diharapkan asas kepastian hukum yang menjamin terciptanya
rasa keadilan masyarakat bisa terwujud. Harapan tersebut
tentu harapan setiap orang yang berperkara di Peradilan
Agama. Namun yang juga tidak kalah penting, perlu juga
disadari bahwa Kompilasi Hukum Islam hanya merupakan
hasil ijtihad para ulama di Indonesia pada satu masa tertentu.
Sebagai sebuah hasil ijtihad maka rumusan hukum dalam
Kompilasi Hukum Islam tidaklah final. Masih ada peluang
bagi umat Islam untuk mengkritisi dan melakukan perbaikan
terhadap rumusan hukum tersebut, sebab bisa jadi sebuah
hasil ijtihad itu relevan pada satu masa dan tempat tertentu
tetapi tidak relevan pada satu masa dan tempat yang lain.
Berikut disajikan beberapa komentar terkait Kompilasi
Hukum Islam yang disuarakan oleh para ulama dan hakim
agama. Sedikitnya perkara harta waris di Payakumbuh
khususnya dan Sumbar pada umumnya, bukan berarti
masyarakat Minangkabau tidak melaksanakan pembagian
hukum waris berdasarkan Kompilasi Hukum Islam, tetapi
pada umumnya karena mereka lebih banyak menyelesaikannya melalui mufakat antara keluarga yang ada. Seperti
yang terjadi di Kecamatan Maninjau di Kabupaten Agam
19
Bandingkan dengan Ahmad Rofiq. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta:
Gama Media. 2001. hlm. 114-123. 160 (Desa Guguk Tinggi),20 mereka pada umumnya melaksanakan
pembagian waris secara Kompilasi Hukum Islam/faraidh. Dan
dilaksanakan dengan musyawarah mufakat saja antara para
ahli waris, setelah terlebih dahulu mereka meminta fatwa
kepada Pengadilan Agama atau kepada ulama setempat
tentang cara-cara pembagiannya dan besaran bagian masingmasing. Kemudian setelah itu mereka laksanakan sendiri
tanpa pergi lagi ke Pengadilan Agama.
Sedikitnya perkara yang masuk ke Pengadilan Agama
juga karena pengaruh mediasi yang dilakukan PA atau orangorang Pengadilan Agama yang tinggal di tengah-tengah
masyarakat. Mereka memberikan nasihat-nasihat dan
petunjuk-petunjuk bagaimana cara-cara pembagian harta
waris yang benar dan baik. Di samping itu juga karena faktor
adat setempat. Pada umumnya masyarakat Minangkabau
merasa malu diketahui orang kalau mereka berperkara ke
Pengadilan Agama. Penetapan dari Pengadilan Agama tentang
anak angkat sudah pernah ada, tapi penetapan ketentuan
waris menurut Kompilasi Hukum Islam terhadap anak angkat
belum pernah ada. Bila ada keinginan yang berperkara untuk
melaksanakan pembagian waris berdasarkan kesepakatan
(terutama setelah dilakukan mediasi) antara para ahli waris
yang tidak sesuai dengan ketentuan Kompilasi Hukum
Islam/Faraidh, maka kesepakatan tersebut tidak diputuskan
oleh Pengadilan Agama tetapi atas kemauan bersama antara
sesama para ahli waris.
Persoalah pembagian harta yang banyak muncul adalah
masalah pembagian harta suami isteri yang bercerai
(pembagian harta bersama). Pada prinsipnya menurut
Kompilasi Hukum Islam harta bersama dibagi dua antara
suami dan isteri yang bercerai, baik harta bersama itu yang
20
Masyarakat Desa Guguk Tinggi pada umumnya para pedagang dan secara lebih khusus lagi
mereka itu pada umumnya para pedagang emas di pasar Bukittinggi. 161
masih tertinggal atau dalam bentuk utang piutang (dibagi
bersama). Tetapi kenyataan di Minangkabau sering terjadi
penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan tersebut. Antara
lain suami hanya mendapat 1/3 bagian atau ¼ bagian dari
harta bersama itu, dengan alasan yang khas diwarnai oleh
budaya Minangkabau, bahwa pada umumnya anak-anak
tinggal bersama ibu. Oleh karena itu pihak isteri menuntut
lebih banyak dengan alasan meminta tambahan biaya untuk
anak-anak. Bahkan ada suami yang tidak mendapat sama
sekali harta bersama itu, bila harta itu dalam bentuk bangunan
yang letaknya di tanah pusaka isterinya. Karena itu pada
umumnya harta itu akan jatuh menjadi hak isteri dan anakanaknya.
Menurut Buya H. Sya’rani Khalil (84 tahun), pimpinan
Pesantren Al-Manaar Batuhampar dan sebagai seorang ulama
di Kabupaten 50 Kota, sepanjang pengetahuan beliau hampir
tidak pernah terjadi perkara dalam persoalan harta pusaka
(harta waris) di desa tempat beliau tinggal. Masalah harta
pusaka tinggi pernah terjadi satu kali perkara ke Pengadilan
Negeri, dan tentang masalah harta pusaka rendah pernah
terjadi pula satu kali seseorang meminta fatwa kepada ulama
setempat tentang persoalan wasiat seseorang kepada ahli
warisnya. Dan sepanjang pengetahuan beliau masyarakat
Batuhampar belum melaksanakan pembagian waris menurut
ajaran Islam (faraidh) atau pun Kompilasi Hukum Islam
(Karena Kompilasi Hukum Islam itu sendiri tidak dikenal
masyarakat). Pada umumnya masyarakat hanya membagi
harta waris (pusaka) menurut adat Minangkabau saja. Namun
demikian masih ada segelintir orang yang membagi harta
waris tidak menurut adat dan tidak pula sepenuhnya
berdasarkan hukum Islam (termasuk Kompilasi Hukum
Islam).
162 Ismail, Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Bukittinggi, mengatakan bahwa pembagian waris di
Minangkabau tidak sepenuhnya dijalankan sesuai dengan
Faraidh, namun semangat pembagiannya tetap mengacu
kepada Kompilasi Hukum Islam/faraid. Dan kecilnya jumlah
perkara tentang waris di Pengadilan Agama antara lain
disebabkan: (a) Pengaruh kekerabatan. Hubungan kekerabatan
dengan saudara, baik saudara sesama “ashabul furud”,
maupun dengan kerabat yang berada di bawah naungan satu
persukuan (fam). Sehingga mereka bila ada masalah yang
menyangkut harta waris, mereka cenderung untuk
menyelesaikannya dengan jalan musyawarah mufakat. Dan
karena faktor kekerabatan itu pula mereka juga ada rasa malu
diketahui masyarakat bahwa mereka berperkara ke
penggadilan dalam persoalan harta waris; (b) Hak milik
masyarakat tersebut jumlahnya tidak besar. Jumlah atau nilai harta
yang akan diperkarakan itu tidak banyak, sehingga mereka
juga berhitung-hitung laba ruginya berperkara itu. Janganjangan harta yang sedikit itu nantinya habis untuk biaya
perkara saja. Sehingga keuntungan yang akan diperoleh dari
perkara itu tidak ada. Di samping itu masyarakat
Minangkabau yang berada di Sumatera Barat, pada umumnya
mata pencaharian mereka dengan bertani atau berdagang.
Bagi mereka berperkara itu sama saja dengan membuangbuang waktu dan membawa kerugian belaka; dan (c) Rasa
malu. Masyarakat Minangkabau pada umumnya memiliki rasa
malu yang tinggi, terutama dalam hal-hal yang berhubungan
dengan masalah kepribadian. Pada umumnya bila ada
masalah-masalah yang muncul dalam keluarga, mereka tidak
ingin diketahui oleh orang lain. Karena bila hal itu diketahui
oleh orang lain, mereka khawatir hal itu akan jadi
perbincangan dalam masyarakat luas. Berperkara ke
pengadilan dalam persoalan apa saja bagi mereka sedapat
mungkin dihindari. Itulah sebabnya jarang muncul ke
163
permukaan tentang masalah waris tersebut. Persoalahpersoalan yang muncul pun dalam masalah waris itu, biasanya
kalau
jumlah
peninggalannya
sangat
besar
dan
peruntukkannya sangat tidak berkeadilan.
Muslim Mulyani, dosen waris di STAIN Bukittinggi,
mengatakan bahwa pembagian harta waris di Minangkabau
berdasarkan Kompilasi Hukum Islam itu pada dasarnya sudah
dilaksanakan, tetapi tidak tuntas dan tidak konsekuen (masih
mendua). Menurut Muslim Mulyani ada beberapa hal yang
perlu menjadi perhatian kita tentang Kompilasi Hukum Islam,
antara lain Pasal 177, ayah mendapat 1/3 bila tidak ada anak.
Itu tidak ada dasarnya. Hal itu juga dikatakan oleh Amir
Syarifuddin. Beliau malah menduga bahwa ada kemungkinan
salah ketik.
Titik lemah dalam Kompilasi Hukum Islam menurut
beliau adalah tidak adanya aturan tentang dzaw al-arham.
Kerabat-kerabat yang terhijab karena ada “ashabul furud”,
seperti kerabat dari pihak ibu. Sementara yang lain seperti
anak angkat dan bapak angkat diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam ini. Semestinya Kompilasi Hukum Islam ini
direvisi dan dibuatkan pasal yang mengatur tentang dzaw alarham itu.
Menurut Salwi, hakim agama Kabupaten Payakumbuh,
dengan adanya Kompilasi Hukum Islam ini berdampak
kepada adanya harta “gono gini” dan hal itu bagi kaum lakilaki di Minangkabau menjadi ada harapan untuk memperoleh
haknya. Karena menurut adat di Minangkabau kepemilikan
harta itu lebih berpihak kepada kaum perempuan.
Selanjutnya, status Kompilasi Hukum Islam sebaiknya
ditingkatkan dari Inpres menjadi Undang-Undang atau
setidak-tidaknya menjadi Peraturan Pemerintah. Karena
Inpres tidak lagi termasuk dalam tata urutan peraturan
perundangan.
164 3. Respon terhadap Beberapa Materi dan Praktik Kompilasi
Hukum Islam
Berikut akan disajikan respon yang dilakukan para
ulama dan hakim agama di Sumatera Barat dalam menyelesaikan perkara waris, baik di masyarakat maupun di pengadilan.
Tidak banyak para ulama yang dijadikan informan mengaku
terlibat langsung dalam penyelesaian perkara waris, selain
terkadang mereka tidak menguasai materi, jarang juga
masyarakat menanyakan pada mereka.
Penyelesaian di Masyarakat
Beberapa contoh kasus yang terjadi dalam masyarakat
antara lain adalah pembagian harta pusaka dengan cara damai
dan ketika pewaris masih hidup. Dituturkan oleh Ketua
Pengadilan Agama Kota Payakumbuh, bahwa kakeknya,
Syekh Arsyad, pernah membagikan hartanya kepada ahli
warisnya, sebelum beliau meninggal. Begitu juga M. Rahman,
seorang guru dari suatu madrasah di Kota Payakumbuh,
membagikan harta peninggalannya dalam bentuk wasiat
tertulis kepada anak-anaknya. Wasiat tertulis itu dilaksanakan
sepenuhnya oleh anak-anaknya.
Kasus lainnya adalah H. Samah yang memiliki sejumlah
sawah. Beliau mempunyai tiga orang anak laki-laki (Dura, Dt.
Sinaro Kuning, dan Sayuthi). Ketiga orang ini adalah orangorang yang cukup alim. Beliau juga mempunyai 5 orang anak
perempuan (Imas, Anir, Eri, Khairani, dan Khairiyah). Sawah
tersebut diserahkan membaginya kepada salah seorang
anaknya yang paling alim dan menjadi guru di Madrasah AlManaar (Dura). Ketentuan yang beliau tetapkan adalah bahwa
sawah itu tidak dibagikan kepada ahli waris (tidak dipecahpecah), tetapi dengan cara mempergilirkan penggarapan
sawah tersebut dengan ketentuan bagi yang laki-laki dua kali
dan bagi yang perempuan satu kali.
165
Seorang ibu bernama Halimah, punya sawah sebanyak 4
petak dan mempunyai anak perempuan 4 orang, dan seorang
cucu laki-laki. Ke 4 orang perempuan itu bernama Fatimah,
Khadijah, Nurma, dan Rosma (biasa dipanggil uni). Sebelum
meninggal si ibu membuat surat wasiat yang isinya ialah:
setelah ia meninggal nanti, ke 4 petak sawahnya itu agar
diberikan kepada anak perempuannya yang paling bungsu
(yaitu Rosma). Setelah sang ibu meninggal, wasiatnya tidak
dituruti oleh anak-anaknya yang lain dan cucunya. Persoalan
tersebut akhirnya diadukan ke Majlis Ulama setempat. Oleh
majlis ulama setempat wasiat itu pun ditolak secara lisan saja
(surat keputusan tertulisnya tidak ada). Akhirnya ke 4 petak
sawah itu dibagi masing-masing satu petak bagi ke 4 anak
perempuan. Sementara cucunya tidak mendapatkannya. Pada
hal dia sebenarnya berhak pula atas harta itu (selaku ashabah).
Seorang ibu bernama Rosma. Memiliki harta yang cukup
banyak. Beberapa puluh sertifikat tanah, beberapa buah
rumah, beberapa buah bus angkutan umum, dan sejumlah
harta kekayaan lainnya. Ibu tersebut mempunyai 3 orang anak
: 2 orang laki-laki dan satu orang perempuan. Namanya secara
berurut adalah: Eri, Zahriyah, dan Zahrul. Eri (yang tua)
punya kebiasaan buruk, yaitu suka berjudi, sedangkan Zahrul
bekerja di salah satu perusahaan yang cukup mapan, dan yang
perempuan menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi di
Jakarta. Setelah ibunya meninggal, Eri (yang tua) menghendaki harta orang tuanya itu dibagi menurut Faraid (2:1). Dan
bagi Zahrul (si bungsu) mengikuti saja apa kemauan kakakkakaknya. Artinya dibagi rata boleh dan dibagi menurut faraid
juga boleh. Sedangkan bagi yang perempuan menghendaki
agar harta itu dibagi rata. Akhirnya sampai saat ini pembagian
harta itu belum ada titik temu antara ketiga bersaudara itu.
Karena pada dasarnya (kecuali bagi yang bungsu) menghendaki pembagian itu yang paling menguntungkan bagi mereka
166 masing-masing. Bagi yang tua menghendaki dibagi secara
hukum Islam (faraid), sekalipun kelakuannya bertentangan
dengan ajaran Islam. Bagi yang perempuan menghendaki
dibagi rata, sekalipun harus melanggar ketentuan ajaran
agama. Persoalan keluarga tersebut sampai sekarang belum
mendapatkan kata putus, karena persoalan mereka tersebut
tidak dibawa ke Pengadilan Agama. Mereka berusaha untuk
menyelesaikannya secara kekeluargaan saja.
Penyelesaian Waris di Peradilan Agama
Menurut Ketua Pengadilan Agama Kota Payakumbuh,
bahwa masalah yang muncul pada umumnya bukan pada
ketentuan hukum warisnya atau “sengketa hukum” (seperti
pembagian 2 : 1) tetapi lebih kepada persoalan “sengketa
fakta” (klaim kepemilikian orang-orang yang berperkara pada
harta yang ada). Pada umumnya para berperkara tidak
mempersoalkan tentang ketentuan Hukum Waris seperti telah
diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.
Beberapa perkara waris di peradilan, di antaranya terjadi
di PA Kota Payakumbuh dengan Putusan Perkara No.
119/Pdt.G/ 2007/PA. Payakumbuh, tanggal 9 Agustus 2007 M
bersamaan dengan 25 Rajab 1428 H. Kasus tersebut terjadi
antara Rustam (78 tahun) dan Amli Darti (56 tahun). Rustam
adalah anak dari Jannah dan Amli Darti adalah anak dari Eli,
dan Eli anak dari Jannah (saudara perempuan dari Rustam).
Amli Darti posisinya menurut Kompilasi Hukum Islam adalah
sebagai “ahli waris pengganti”. Jannah selaku pewaris
meninggalkan 5 bidang tanah sebagai harta pusaka rendah,
yang selama ini belum dibagi-bagi antara ahli waris.
Keseluruhan harta waris itu saat ini dikuasasi seluruhnya oleh
Amli Darti (selaku ahli waris pengganti) bersama anaknya.
Rustam selaku ahli waris satu-satunya menuntut haknya ke
Pengadilan Agama Kota Payakumbuh setelah upaya damai
dan secara kekeluargaan yang dilakukannya dengan pihak
167
tergugat (Amli Darti) tidak memperoleh hasil kesepakatan.
Akhirnya Pengadilan Agama mengabulkan tuntutan
penggugat untuk membagi harta waris itu secara faraidh, di
mana Rustam mendapat 2/3 dari harta yang ditinggal, dan
Amli Darti (selaku ahli waris pengganti) mendapat 1/3 dari
harta yang ditinggalkan. Selain itu kepada tergugat (Amli
Darti) dibebankan untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.
1.675.000,- (satu juta enam ratus tujuh puluh lima ribu rupiah).
Kasus lain adalah Penetapan Pengadilan Agama Kota
Payakumbuh No. 16/Pdt.P/2008/PA.Pyk, tanggal 2 April
2008. Kasus tersebut menyangkut sebidang tanah milik
Rosmani. Ketika Rosmani meninggal dia belum pernah
menikah, kedua orang tuanya telah meniggal terlebih dahulu,
dan dia tidak pula mempunyai saudara kandung selaku ashab
al-furudh. Dia hanya mempunyai 4 orang saudara sepupu
(senenek) atau dzaw al-arham yaitu: 1) Dt. Patih Batudung (82
tahun), 2) Sofian (76 tahun), 3) Nurleli (60 tahun), dan Rustina
(almarhum) yang meninggalkan 3 orang anak (ahli waris
pengganti). Pengadilan Agama berdasarkan pasal 185
Kompilasi Hukum Islam dan ayat 75 surah al-Anfal,
menetapkan ketiga orang tersebut di atas sebagai ahli waris
dan ketiga anak dari Rustina sebagai ahli waris pengganti.
Kasus lain, seorang laki-laki punya isteri dua. Isteri
pertama meninggal dan meninggalkan beberapa orang anak.
Kemudian kawin dengan isteri kedua, dan tidak punya anak.
Ketika suami meninggal, harta peninggalan dikuasai
seluruhnya oleh isteri kedua. Maka anak-anak dari isteri
pertama mengadu ke Pengadilan Agama untuk meminta
haknya. Pengadilan Agama memutuskan perkara berdasarkan
Kompilasi Hukum Islam /Faraid.
Kasus lain, Seorang laki-laki punya isteri 3 orang. Isteri I
& II dikawini dengan tanpa surat pernikahan (karena
kawinnya sebelum Undang-Undang Perkwinan ada.
168 Sedangkan isteri III dikawini setelah Undang-Undang
Perkawinan ada, dan punya bukti surat nikah. Isteri I & II
telah meninggal dan meninggalkan anak-anak. Dan isteri III
masih hidup dan juga punya anak. Kemudian suami (laki-laki
itu) meninggal, dan meninggalkan harta warisan yang cukup
besar. Tetapi sebagian besar harta itu dikuasai oleh anak-anak
dari isteri ke 2. Maka anak-anak dari isteri pertama dan isteri
yang ketiga menuntut haknya (masih dalam proses
pengadilan).
Kasus lain, seorang perempuan mempunyai beberapa
orang anak, dan seorang keponakan (anak dari adiknya).
Keponakannya tersebut ketika masih hidup selalu menjaga
dan membantu bibiknya. Sedangkan anak-anaknya tidak mau
memelihara orang tuanya. Lalu bibiknya membuat surat hibah
yang isinya menghibahkan seluruh hartanya kepada
keponakannya. Ketika bibiknya meninggal dan pengadilan
akan menerapkan surat hibah tersebut, keponakan dari
bibinya tersebut menolak untuk dilaksanakan, karena ia tahu
bahwa yang lebih berhak untuk menerima harta warisan itu
adalah anak-anaknya.
ANALISIS HASIL PENELITIAN
A. Refleksi atas Tradisi Minangkabau
Berdasarkan elaborasi di atas maka tampaknya sistem
pembagian harta pusaka adat Minangkabau sedang dalam
proses perubahan. Pada mulanya harta seorang laki-laki baik
harta pusaka ataupun harta pencaharian diwariskan kepada
kemenakan, atau keluarga nasab ibunya. Pada waktu itu lelaki
tidak perlu bertanggung jawab atas anak dan isterinya, dan
satu-satunya sumber ekonomi adalah harta pusaka. Amalan
ini nyata bertentangan dengan hukum syara. Ketika sumber
ekonomi telah bergantung kepada harta pencaharian, walau
belum terlepas dari harta pusaka, dan kesadaran akan
169
tanggung jawab atas anak dan isteri sudah tumbuh, terjadilah
pemisahan harta pencaharian dari harta pusaka. Harta pusaka
tetap dibagi untuk keluarga garis ibu, dan harta pencaharian
diberikan sebagian kepada anak dan sebagian untuk
kemenakan. Perkembangan terakhir yang mulai dengan
munculnya bentuk pencaharian yang benar-benar terlepas dari
harta pusaka, akhirnya harta pencaharian telah banyak
diwariskan kepada anak dan isteri. Sementara itu harta pusaka
masih dibagi menurut hukum adat, dan sebagian ulama
mempertahankannya dengan mengkiaskannya kepada harta
milik bersama seperti wakaf dan lain-lain.
Harta pusaka itu tidak sama dengan harta wakaf atau
tanah Khaibar yang dikenakan kharaj, karena sebagian besar
harta pusaka adalah harta pusaka rendah, yang berasal dari
pencarian pribadi dan masih diketahui asal usulnya. Oleh
karena itu harta pusaka tidak boleh dikecualikan dari
kemestian diselesaikan dengan hukum faraidh. Hanya dalam
penyelesaian harta pusaka tinggi dijumpai kesulitan, karena
tidak diketahui dengan pasti pemilik sebenarnya harta itu.
Dalam kasus seperti itu terlepas dari kesalahan orang tua
dahulu, terpaksa diterima hukum adat dengan menganggap
harta pusaka tinggi itu sebagai harta milik bersama anggota
suku atau perut, atau rumah bila harta telah dibagi-bagi.
Pembela hukum adat menyatakan bahwa harta
pencaharian telah dibagi sesuai dengan hukum faraidh,
namun pada kenyataannya belum demikian, khususnya di
kampung-kampung. Harta pencaharian kebanyakan diwariskan kepada anak dan isteri saja secara kolektif, anak
perempuan masih diutamakan, dan pewarisan kepada anak ini
hanya terjadi untuk satu kali pewarisan. Adapun pewarisan
selanjutnya dilakukan menurut hukum adat.
Dasar unilateral hukum pewarisan adat atau pewarisan
kepada ahli waris menurut garis ibu saja bertentangan dengan
170 hukum syara dan prinsip keadilan dalam realitas kehidupan
sekarang. Ahli waris laki-laki boleh mundur dari haknya dan
menyerahkan kepada ahli waris perempuan, dengan memberikan pernyataan dengan jelas. Tanpa ada bukti pasti atas
penyerahan itu, tidak boleh ditetapkan bahwa ahli waris lakilaki telah menggugurkan haknya.
Kesepakatan ahli waris untuk tidak membagi harta
warisan antara mereka masing-masing boleh diterima, dengan
syarat kesepakatan itu dibuat dengan rela hati, tanpa tekanan
dan paksaan. Walaupun demikian, ketika seorang ahli waris
meninggal, ia harus boleh mewariskan bagiannya kepada ahli
warisnya menurut hukum faraidh. Hukum waris adat yang
membatasi ahli waris kepada yang terdekat saja tidak sesuai
dengan hukum syara. Syara telah menetapkan orang-orang
yang mesti mendapat dan tidak terhijab/terhalang.
Terakhir, mesti diperhatikan bahwa usaha untuk
mengaplikasikan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat
perlu dilakukan dengan bijaksana dan memelihara hal-hal
yang telah baik. Dalam konteks Minangkabau, beberapa
penyelesaian dan kompromi bisa dilakukan, misalnya bila
dalam faraidh kemenakan yang tidak termasuk ahli waris
utama, namun karena rapatnya mamak dan kemenakan, maka
sebaiknya mamak tetap memberikan sebagian harta
pencariannya kepada kemenakan dengan jalan hibah atau
wasiat. Ulama dan cerdik pandai Minangkabau diharapkan
supaya memberikan pelajaran agama dengan lebih terusterang dan tidak menutup mata terhadap aspek-aspek adat
yang tidak sesuai dengan hukum syara. Dan kepada ninik
mamak, para penghulu dan pemuka adat diharapkan dengan
hati bersih dan cinta kebenaran untuk sama-sama meninjau
kembali hukum adat yang diamalkan, sesuai dengan pepatah
adat lapuk-lapuk dikajangi, yang baik diambil dengan mufakat,
yang buruk dibuang dengan perhitungan.
171
B.
Refleksi atas Kompilasi Hukum Islam
Beberapa pasal yang perlu diperhatikan guna
penyempurnaan lebih lanjut Kompilasi Hukum Islam adalah:
1. Pasal 173. Pembunuh sebagai penghalang kewarisan dalam
anak pasal a. telah sejalan dengan fiqh. Namun dijadikannya percobaan pembunuhan, penganiayaan, apalagi
memfitnah sebagai halangan, jelas tidak sejalan dengan
fiqh madzhab manapun. Dalam fiqh hanya pembunuhan
yang menyebabkan kematian yang dijadikan penghalang
kewarisan, itu pun pembunuhan sengaja; sedangkan yang
tidak disengaja masih merupakan perdebatan yang
berujung pada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Fiqih beranggapan bahwa kewarisan itu adalah hak
seseorang yang ditetapkan dalam al-Quran dan tidak dapat
dicabut kecuali ada dalil yang kuat seperti hadits Nabi.
Dicabutnya hak seseorang hanya karena percobaan
pembunuhan atau penganiayaan, apalagi memfitnah
meskipun itu merupakan kejahatan namun tidak dapat
menghilangkan hak yang pasti, apalagi bila pewaris
sebelum meninggal telah memberikan maaf. Oleh karena
itu, pasal ini masih perlu didiskusikan.
2. Pasal 177. Walaupun rumusan pasal ini konon telah
mengalami perubahan tetapi tidak mengubah secara
substansial. Bahwa ayah menerima seperenam dalam
keadaan pewaris ada meninggalkan anak, jelas telah sesuai
dengan al-Quran, maupun rumusannya dalam fiqh. Tetapi
menetapkan ayah menerima bagian (baca: furudh) sepertiga
dalam keadaan tidak ada anak, tidak terdapat dalam alQuran, tidak tersebut dalam kitab fiqih mana pun,
termasuk Syiah. Ayah mungkin mendapat sepertiga tetapi
tidak sebagai furudh. Itu pun dalam kasus tertentu seperti
bersama dengan ibu dan suami, dengan catatan ibu
menerima sepertiga harta, sebagaimana yang lazim berlaku
172 dalam madzhab jumhur Ahlussunnah. Namun bukan
bagian sepertiga untuk ayah yang disebutkan dalam
Kompilasi Hukum Islam. Kalau al-Quran dan Fiqh yang
dijadikan ukuran, pasal ini jelas salah secara substansial.
3. Pasal 183. Tentang usaha perdamaian yang menghasilkan
pembagian yang berbeda dari petunjuk namun atas dasar
kerelaan bersama, memang dalam kitab-kitab fiqih pada
umumnya tidak dijelaskan dalam waktu pembahas
kewarisan. Meskipun secara formal menyalahi ketentuan
fiqih, namun dapat diterima dengan menggunakan
pendekatan pemahaman takharuj yang dibenarkan dalam
madzhab Hanafi.
4. Pasal 185. Pasal ini memerlukan perhatian. Anak pasal 1)
secara tersurat mengakui ahli waris pengganti, yang
merupakan hal baru untuk hukum kewarisan Islam. Baru
karena di Timur Tengah pun belum ada negara yang
melakukan
hal
seperti
ini,
sehingga
mereka
menampungnya dalam lembaga wasiat wajibah. Ini suatu
kemajuan. Adalah bijaksana anak pasal ini menggunakan
kata “dapat” yang tidak mengandung maksud imperatif.
Hal ini berarti bahwa dalam keadaan tertentu yang
kemaslahatan menghendaki keberadaan ahli waris
pengganti dapat diakui; namun dalam keadaan tertentu
bila keadaan menghendaki, tidak diberlakukan adanya ahli
waris pengganti. Anak pasal ini secara tersirat mengakui
hak kewarisan cucu melalui anak perempuan yang terbaca
dari rumusan “ahli waris yang meninggal lebih dahulu”
yang digantikan anaknya itu mungkin laki-laki dan
mungkin pula perempuan. Ketentuan ini menghilangkan
sifat diskriminatif yang ada pada hukum kewarisan ulama
Ahlussunnah. Ketentuan ini sesuai dengan budaya
Indonesia yang kebanyakan menganut kekeluargaan
parental dan lebih cocok lagi dengan adat Minangkabau
173
yang justru menggunakan nama “cucu” untuk anak dari
anak perempuan tersebut. Anak pasal 2) menghilangkan
kejanggalan penerimaan adanya ahli waris pengganti
dengan tetap menganut asas perimbangan laki-laki dan
perempuan. Tanpa anak pasal ini sulit untuk dilaksanakan
penggantian ahli waris karena ahli waris pengganti itu
menurut asalnya hanya sesuai dengan sistem Barat yang
menempatkan kedudukan anak laki-laki sama dengan anak
perempuan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Pada garis besarnya, Kompilasi Hukum Islam sama
dengan Fiqh Sunni (Faraidh Ahlissunnah) yang selama ini
diajarkan di Indonesia. Kemudian dengan Fiqh Sunni,
yakni norma-norma syariah yang terkandung dalam alQuran dan as-Sunnah oleh Kompilasi Hukum Islam
diadakan pembaruan pola, yakni dari pola kewarisan
patrilineal menjadi pola kewarisan bilateral sesuai dengan
pola hukum perkawinan Islam yang hidup di Indonesia.
2.
Jenis ahli waris yang tidak disebutkan dalam Kompilasi
Hukum Islam (termasuk di sini kelompok ahli waris yang
dalam Ilmu Fiqh disebut dzawil arham) tetap diakui
keberadaannya sebagai ahli waris dan untuk sebagian
(yakni cucu dan keponakan pewaris) ditampung sebagai
ahli waris pengganti dengan penerapan yang luwes dan
fleksibel.
3.
Faktor tradisi Minangkabau yang menempatkan garis
keturunan perempuan sebagai sentral dalam kehidupan
keluarga sangat mempengaruhi pelaksanaan hukum waris
Islam di Sumatera Barat. Walaupun sudah dibuat kriteria
adanya “harta pusaka tinggi” dan “harta pusaka rendah”
untuk membedakan mana harta yang tidak bisa
174 diwariskan berdasarkan faraidh dan yang bisa diwariskan
secara faraidh tetapi dalam praktiknya tidak serta merta
bisa terlaksana. Ada kecenderungan masyarakat membagi
berdasarkan hukum waris adat.
B.
Saran-saran
Status hukum Kompilasi Hukum Islam hendaknya
ditingkatkan menjadi undang-undang untuk memenuhi
kebutuhan UU Terapan Peradilan Agama bidang Kewarisan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Waris Islam dalam
Lingkungan Adat Minangkabau; Jakarta 1984, Gunung
Agung.
Hamka, Islam dan Adat Minangkabau; Jakarta, Pustaka
Panjimas, 1984.
Ahmad Rafik; Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia,
Yogyakarta, Gama Media, 2001.
175
176 BAB VII
RESPON ULAMA DAN HAKIM AGAMA
TERHADAP FIQH WARIS DALAM KOMPILASI
HUKUM ISLAM DI PROVINSI SUMATERA UTARA
Oleh:
Hj. Suhanah dan Reslawati
A. Gambaran Umum Wilayah
1. Geografis dan demografis
Kota Medan terletak antara 2o 27 – 2o 47’ Lintang Utara98o 44’ Bujur Timur; dan berada 2,5 – 37,5 di atas permukaan
laut.
Daerah ini merupakan salah satu dari 25 Daerah Tingkat
II di Sumatera Utara dengan luas wilayah sekitar 265,10 km2.
Kota ini merupakan pusat pemerintahan Daerah Tingkat I
Sumatera Utara yang berbatasan langsung dengan Kabupaten
Deli Serdang di sebelah Utara, Selatan, Barat dan Timur.
Sebagian besar wilayahnya merupakan dataran rendah
tempat pertemuan dua sungai penting yaitu sungai Babura
dan Sungai Deli. Pemerintahan Kota Medan dipimpin oleh
seorang Walikota, wilayahnya terbagi dalam 151 kelurahan
dan 2000 lingkungan.
Kota Medan dihuni 3.094.945 jiwa terdiri dari laki-laki
1.027.607 jiwa dan perempuan 2.067.288 jiwa.
Kota ini merupakan kota terbesar di Sumatera dan ketiga
terbesar di Indonesia, setelah Jakarta dan Surabaya.
2. Kehidupan Keagamaan
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, diperkirakan
jumlah penduduk menurut agama secara keseluruhan
177
mencapai 12.962.332 jiwa, yang terdiri dari penganut agama
Islam 8.483.433 jiwa (65,45%), penganut agama Kristen
3.450.407 jiwa (26,62%), Katholik 620.084 jiwa (4.78%), Budha
365.957 jiwa (2,28 %), Hindu 24.027 jiwa (0,19 %), Khonghucu
3.655 jiwa dan lainnya 4.524 jiwa.
Kehidupan beragama di Kota Medan cukup marak, hal
itu bukti bahwa Kota Medan tidak hanya plural dalam etnis
dan budaya, melainkan juga dalam hal agama.
Dalam rangka pengembangan kehidupan beragama
terlihat di Kota Medan terdapat beragam organisasi sosial
keagamaan, meliputi: Muhamadiyah, Nahdatul Ulama, AlWasliyah, Persis, Perti, Badan Kontak Majlis Taklim,
Persatuan Gereja Indonesia, Parisada Hindu Dharma
Indonesia, dan Perwalian Umat Buddha Indonesia. Begitu
pula mereka memiliki organisasi pemuda seperti: Pemuda
Muhamadiyah, Pemuda Al-Wasliyah, Himpunan Mahasiswa
Islam, Pemuda Anshar, Nasiatul Aisyiyah, Pemuda Huria
Kristen Batak Protestan (HKBP), Gerakan Mahasiswa Kristen
Indonesia (GMKI), Pemuda Katolik, Persatuan Mahasiswa
Katollik Indonesia (PMKRI) Pemuda Hindu dan Persatuan
Mahasiswa Buddhis Indonesia (PMBI).
Daerah ini memiliki tempat ibadat beragam yaitu 684
masjid, 394 mushalla dan 1.348 langgar/surau. Umat Kristen
memiliki 237 gereja, umat Katolik memiliki 84 gereja, umat
Hindu memiliki 11 Pura dan umat Budha memiliki 52 52
vihara.1
Heteroginitas agama yang ada di Kota Medan dapat
menyadarkan semua lapisan masyarakat seperti tokoh agama,
tokoh masyarakat dan pemuda lintas agama untuk menjaga
dan memelihara kerukunan umat beragama. Kesadaran ini
1
BPS Kota Medan; Kota Medan Dalam Angka, Tahun 2000.
178
dapat diwujudkan dalam bentuk Forum Komunikasi Antar
Pemuka Agama (FKAPA). Tujuan forum ini adalah untuk
menggalang massa agar masing-masing umat beragama tidak
saling mengganggu. Forum Komunikasi Antar Pemuka
Agama ini menurut Prof. Dr. HM. Ridwan Lubis sangat
berbeda dengan Lembaga Pengkajian Kerukunan Umat
Beragama yang dikesankan sebagai wadahnya kaum elit di
Sumatera Utara, karena acara dialog tersebut seringkali hanya
melibatkan tokoh-tokoh agama dan pemerintahan. Program
Kerukunan yang dilakukan oleh Lembaga Pengkajian
Kerukunan Umat Beragama dalam bentuk dialog itu hanya
dihadiri para elit daerah. Sebagai pembicara nara sumber dari
tahun ketahun tidak berganti.
B. Perbedaan Kompilasi Hukum Islam dengan Fiqh Waris
Menurut ulama dan hakim agama kota Medan
mengatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam adalah Fiqh
Indonesia, hasil Ijtihad ulama-ulama Indonesia. Sedangkan
Fiqh waris adalah pendapat-pendapat para mazhab seperti:
mazhab Syafei, Hambali, Hanafi, dan Maliki.
Ketua Pengadilan Tinggi Agama Kota Medan mengatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam merupakan produk
hukum Indonesia yang sangat sesuai dengan kultur bangsa
Indonesia. Ketentuan-ketentuan hukum yang ada dalam
Kompilasi Hukum Islam memamg masih ada yang perlu
diberikan penjelasan-penjelasan sehingga mendapatkan suatu
kesempurnaan dalam memutuskan suatu perkara. Misalnya
dalam persoalan Ahli Waris Pengganti, harta gono gini dan
masalah anak angkat. Di Pengadilan Tinggi Agama Kompilasi
Hukum Islam merupakan suatu pegangan dalam memutuskan suatu perkara, oleh karena itu ada sebagian kecil yang
perlu direvisi dan sebaiknya Kompilasi Hukum Islam ini
ditingkatkan menjadi Undang-Undang.
179
Ketua Pengadilan Agama Kota Medan mengatakan
bahwa tidak semua isi Kompilasi Hukum Islam yang terkait
dengan hukum kewarisan sesuai dengan Fiqh Islam, seperti
contoh tentang masalah Ahli Waris Pengganti, masalah harta
bersama, masalah Wasiat Wajibah untuk anak dan bapak
angkat. Dalam masalah-masalah tersebut Ketua Pengadilan
Agama Kota Medan, dalam penerapan hukumnya melihat
situasi dan kondisi di lapangan. Tidak harus mengikuti
ketetapan yang ada dalam buku Kompilasi Hukum Islam.
Sedangkan menurut Dosen Fakultas Syariah IAIN
Sumatera Utara mengatakan bahwa memang Kompilasi
Hukum Islam bersumber dari kitab-kitab Fiqh Islam,
termasuk masalah harta bersama, masalah Ahli Waris
Pengganti cucu yang bapaknya telah meninggal lebih dahulu
dari si pewaris dengan rujukan pemikiran Huzairin, tetapi
saya tetap tidak bisa menerima ketentuan itu karena tidak
berdasarkan kitab Al-Qur’an dan Al-Hadits (Ilmu Faraidh).2
C. Pengetahuan Masyarakat tentang Kompilasi Hukum Islam
Sebagian ulama dan hakim agama telah mengetahui
keberadaan
Kompilasi
Hukum
Islam
dan
telah
menerapkannya sebagai pegangan dalan penetapan hukum,
terutama dalam masalah hukum waris. Namun sebagian
masyarakat lainnya (kalangan pondok pesantren) belum
mengetahui apa itu Kompilasi Hukum Islam dan bagaimana
bukunya karena belum pernah diperlihatkan apalagi
disosialisasikan. Menurut Ketua Pengadilan Agama Kota
Medan mengatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam boleh
sebagai referensi, tetapi jangan dipaksakan kepada para hakim
agama dalam menerapkan hukum di lapangan, harus
mengikuti Kompilasi Hukum Islam. Menurutnya bahwa
beberapa pasal dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai
2
Nasrun Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara, Wawancara tahun 2009
180
masalah waris perlu direvisi. Sebaiknya para Hakim Agama
diberi kelonggaran untuk berijtihad dalam memutuskan
perkara sesuai dengan situasi keadaan di lapangan.3
Selanjutnya ia mengatakan sosialisasi Kompilasi Hukum
Islam tidak terbatas pada kalangan pejabat Kanwil
Kementerian Agama RI, Kepala Kantor Kementerian Agama,
Kepala Kantor Urusan Agama, Peradilan Tinggi Agama,
Pengadilan Agama dan sebahagian Ulama saja, tetapi untuk
kalangan masyarakat luas seperti masyarakat pondok
pesantren, kalangan akademisi, organisasi keagamaan dan
masyarakat bawah. Menurut Ulama setempat bahwa
Kompilasi Hukum Islam dianggap sebagai kebutuhan umat
Islam, maka kalau terjadi revisi, perlu mengikut sertakan para
Kyai, Ustaz, dan unsur terkait yang tidak ikut menyusun
Kompilasi Hukum Islam. Selain itu mereka menyatakan
bahwa Kompilasi Hukum Islam perlu ditingkatkan menjadi
Undang-Undang.
D. Masalah Ahli Waris Pengganti
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 185 disebutkan
bahwa ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada
sipewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh
anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.
Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari
bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Menurut ketua MUI Kota Medan dan Nasrun (Dosen Fakultas
Syariah IAIN Sumatera Utara bahwa dalam Fiqh tidak dikenal
adanya Ahli Waris Pengganti. Ahli Waris Pengganti yang
diterapkan pada putusan Mahkamah Agung Nomor 39
K/AG/2000 adalah seutuhnya menurut pemikiran Hazairin.
Menurut Hazairin, sifat penggantiannya bersifat imperativ,
3
Ketua Pengadilan Negeri Kota Medan, Wawancara tahun 2009.
181
sementara pengaturan Kompilasi Hukum Islam bersifat
tentatif atau fakultatif.
E.
Masalah Anak Perempuan Menghijab Saudara Laki-laki
Kompilasi Hukum Islam Pasal 176 menyebutkan bahwa
anak perempuan bila hanya seorang ia mendapatkan separuh
bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama
mendapat dua pertiga bagian. Menurut Pimpinan Wilayah
Organisasi Al-Wasliyah Drs. H. Nizam Syarif bahwa dalam
ajaran Islam, tidak ada perempuan menghijab saudara lakilaki, tetapi yang menghijab adalah laki-laki. Jadi menurut
beliau dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa anak
perempuan tidak bisa menghijab saudara laki-laki. Oleh
karena itu, menurutnya untuk menentukan pembagian
warisan harus mengikuti Al-Qur’an dan Hadits.4
F.
Masalah Ahli Waris beda Agama
Menurut Hakim Agama Kota Medan dalam Kompilasi
Hukum Islam tidak ada ketentuan tentang ahli waris beda
agama). Konsep dasar hukum wasiat wajibah bagi ahli waris
non muslim dapat memperoleh harta peninggalan pewaris
muslim melalui wasiat wajibah. Pemberian wasiat wajibah
tersebut dilakukan oleh penguasa, dalam hal ini hakim
melalui lembaga peradilan agama. Namun demikian ahli
waris non muslim tidak dapat mewarisi harta peninggalan
pewaris muslim, karena terhalang untuk saling mewarisi
disebabkan perbedaan agama.
Mengenai ahli waris non muslim, dalam hukum
kewarisan dan wasiat wajibah, keduanya berkaitan dengan
peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada
orang lain. Dalam hukum kewarisan, ahli waris yang berhak
menerima warisan adalah orang yang mempunyai hubungan
4
Nasrun Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara, Wawancara tahun 2009.
182
nasab (keturunan) atau hubungan perkawinan dengan
pewaris beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli waris. Sedangkan yang berhak menerima
wasiat wajibah adalah orang yang mempunyai hubungan
kekerabatan dengan pewaris, akan tetapi disebabkan sesuatu
hal atau keadaan tidak berhak atau terhalang menerima harta
peninggalan dengan jalan warisan.
Dasar penetapan hukum Mahkamah Agung RI, dalam
putusan nomor 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 tentang
ahli waris non muslim mendapatkan harta peninggalan dari
pewaris muslim melalui wasiat wajibah adalah mengadopsi
pemikiran dan pendapat ahli hukum (fuqaha) Ibnu Hazm.
Penerapan dan pemberlakuan wasiat wajibah bagi ahli waris
non muslim dalam putusan Mahkamah Agung RI tersebut
adalah merupakan pembentukan hukum baru dalam
perkembangan hukum waris di Indonesia. Mahkamah Agung
dalam menetapkannya telah memilih salah satu pendapat
ulama yang tertuang dalam kitab fiqh. Kebijakan ini
tampaknya relevan dengan rasa keadilan dan kemanusiaan
serta kultur umat Islam Indonesia yang majemuk.5 (, 2006).
G. Masalah Wasiat Wajibah untuk Anak Angkat
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 menyatakan
bahwa anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan
untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya
beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang
tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Terhadap
ketentuan sebagian besar ulama dan para Hakim Agama yang
ada di kota Medan sependapat dengan aturan tersebut.
Begitu pula terhadap beberapa Keputusan Mahkamah
Agung RI antara lain Nomor 1182 K/Pdt/1998 tanggal 22
5
Jamalaba Malau, ahli waris non muslim, Program Magister Ilmu Hukum, Universitas
Muhamadiyah Sumatera Utara, Medan
183
Desember 1994 yang menyatakan bahwa anak angkat
termasuk ahli waris yang berhak mendapat bagian dari harta
warisan orang tua angkatnya. Menurut persfektif Islam, anak
angkat tidak berhak mendapat bagian dari harta warisan
orang tua angkatnya karena tidak tergolong sebagai ahli
waris. Meskipun menurut Hukum Islam anak angkat tidak
tergolong sebagai Ahli Waris, namun anak angkat tetap bisa
mendapat sebagian harta peninggalan orang tua angkatnya
melalui wasiat, wasiat wajibah atau hibah serta hibah wajibah.
(Mahmud Dongoran, Hak dan Kewajiban Anak Angkat
Dalam Perspektif Hukum Islam, Program Magister Hukum,
Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara, Medan, 2006).
H. Masalah Waris Bagi Perencana Pembunuhan dan Fitnah
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 173 dinyatakan
bahwa seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan
putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, dihukum karena: dipersalahkan telah membunuh atau
mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris;
dipersalahkan dengan cara memfitnah telah mengajukan
pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan
yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau
hukuman yang lebih berat.
Menurut sebagian ulama yang ada di Kota Medan
mengatakan
bahwa
percobaan
pembunuhan
masih
dikategorikan mendapatkan warisan asalkan dimaafkan oleh
orang yang mau dibunuh, karena baru rencana, belum terjadi
dan bisa saja orang tersebut menyesal atas rencananya itu.
I.
Masalah Waris bagi Anak Zina
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 186 disebutkan
bahwa anak yang lahir di luar pernikahan, hanya mempunyai
hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari
pihak ibunya. Dalam ajaran Islam, melakukan hubungan seks
184
antara laki-laki dan perempuan tanpa diikat dengan aqad
nikah yang sah, maka hal itu disebut zinna. Oleh karenanya
anak yang dilahirkan dari hubungan tersebut tidak dianggap
sah tetapi dikategorikan sebagai anak zina. Salah satu solusi
dari hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam yang dapat
ditempuh dalam memberikan perlindungan hukum terhadap
anak yang dilahirkan di luar pernikahan ialah dengan jalan
wasiat wajibah, karena hal yang sama diberikan Kompilasi
Hukum Islam terhadap anak angkat untuk diberlakukan di
Indonesia.6).
Oleh karena itu, sebagian besar ulama dan para
Hakim Agama di Kota Medan dalam hal pembagian harta
warisan untuk anak yang lahir di luar pernikahan, sependapat
dengan aturan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam.
J.
Masalah praktek perdamaian warisan
Para ulama dan hakim agama kota Medan berpendapat
bahwa dalam prakteknya banyak masyarakat kota Medan
yang menyelesaikan pembagian warisan berdasarkan
perdamaian yang dilakukan, tetapi setelah diterangkan
kepada ahli waris bahwa bagian porsi mereka jelas. Kemudian
mereka menyatakan keinginannya (saudara laki-laki dan
perempuan) pembagiannya disamakan saja. Lalu dibuatlah
surat pembagian waris berdasarkan perdamaian itu. Jadi
sudah banyak kasus-kasus yang dilakukan seperti itu, baik
melalui putusan keluarga ataupun putusan majelis hakim.
J.
Masalah Praktek Penyelesaian Warisan yang Unik.
Menurut ulama Kota Medan menyatakan bahwa
masyarakat medan masih ada yang menerapkan pembagian
waris melalui: a) melalui hukum adat yaitu pelaksanaan
6
Almihan, Kedudukan anak di luar nikah dalam kewarisan menurut KUH perdata dan
Hukum Islam, Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara,
2006
185
pembagian warisan diserahkan kepada laki-laki, perempuan
hanya diberi hak pakai bukan hak milik. Anak laki-laki
mewarisi yang perempuan. Perempuan diberi waris sebagai
rasa kasih sayang (hak pakai) bukan hak milik; b) mengikuti
hukum keluarga, selagi pewaris masih hidup, warisaan sudah
dibagi-bagi supaya bagian laki-laki dan perempuan sama
haknya; c) mengikuti hukum faraidh berdasarkan Al Qur’an
dan hadist.
K. Pembagian harta waris yang dibagi, tetapi tidak diserahkan
kepada yang bersangkutan
Pembagian harta waris ada ketentuan yang dilakukan
terhadap masyarakat dimana hak si Ahli Waris yang belum
dewasa tidak diserahkan haknya kepada yang bersangkutan
contoh salah seorang ahli waris yang masih kecil atau belum
dewasa yang dianggap belum mampu mengurus hartanya
sendiri. Dalam masalah itu, harta peninggalannya disimpan
atau dipelihara oleh kakaknya sebagai ahli waris yang tertua.
Setelah mereka dianggap mampu memelihara hartanya baru
kemudian diserahkan haknya itu.
L. Harta Waris yang Belum Dibagikan karena Salah Satu
Orang Tua Masih Hidup
Adanya harta warisan yang belum dapat dibagikan
kepada pihak Ahli Waris karena adanya sebab yaitu: salah
satu dari kedua orang tua masih hidup. Dalam rangka
menghormati orang tuanya dan merasa tidak layak atau tidak
tega membagi harta waris yang ditinggalkannya itu. Tetapi
kebanyakan dari para ahli waris kalau yang meninggalnya itu
orang tua laki-laki, maka biasanya harta waris itu langsung
dibagikan walaupun orang tua perempuannya masih hidup,
hal yang semacam ini biasa dilakukan masyarakat Kota
Medan. Sebaliknya bila yang meninggal orang tua
perempuan, maka harta waris itu belum dibagikan.
186
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian-uraian tersebut di atas kiranya dapat
disimpulkan:
1. Menurut Ulama dan Hakim Agama Kota Medan
menyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam adalah Fiqh
ala Indonesia, sedangkan fiqh Islam adalah pendapat para
mazhab yang empat seperti: Imam Syafi’i, Imam Hanafi,
Imam Hambali dan Imam Maliki.
2. Pembagian harta waris di masyarakat masih dilakukan
dengan beberapa cara yaitu: pertama berdasarkan AlQur’an dan Al-Hadits dengan tidak mengesampingkan
buku Kompilasi Hukum Islam asal tidak bertentangan
dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits; kedua berdasarkan
buku Kompilasi Hukum Islam yang disesuaikan dengan
situasi dan kondisi si Pewaris maupun Ahli Waris; ketiga
pembagian harta waris berdasarkan hukum adat
patrilenial. Selain itu masih banyak masyarakat yang
menyelesaikan pembagian harta warisannya berdasarkan
perdamaian setelah dijelaskan bagian dari ahli waris
masing-masing menurut Hukum kekeluargaan;
3. Menurut sebagian Ulama dan Hakim Agama bahwa
dalam pembagian harta warisan bagi ahli waris yang
mencoba melakukan pembunuhan, tapi belum terjadi,
mereka masih dikategorikan mendapatkan harta warisan,
asal dimaafkan oleh orang yang mau dibunuh, sedangkan
dalam pembagian harta warisan untuk anak lahir di luar
pernikahan, mereka sependapat dengan aturan yang ada
dalam Kompilasi Hukum Islam, bahkan dalam wasiat
wajibah untuk anak angkat, mengikuti aturan yang ada
dalam Kompilasi Hukum Islam pula.
187
4. Menurut Hakim Agama Kota Medan bahwa masalah
pembagian harta waris kepada ahli waris beda agama
tidak ada ketentuannya dalam Kompilasi Hukum Islam,
oleh karena itu menurutnya ahli waris non muslim dapat
memperoleh harta peninggalan pewaris muslim, melalui
wasiat wajibah;
5. Menurut sebagian besar Ulama bahwa dalam ajaran Islam
tidak ada perempuan menghijab saudara laki-laki tetapi
yang menghijab adalah laki-laki;
6. Menurut Majelis Ulama Indonesia dan Ulama Nahdlatul
Ulama menyatakan bahwa dalam rangka pembagian tidak
ada istilah Ahli Waris Pengganti. Namun para Hakim
Agama dalam Ahli Waris Pengganti mereka mengikuti
aturan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam;
7. Sebagian ulama di Perguruan Tinggi dan para Hakim
Agama telah mengetahui keberadaan Kompilasi Hukum
Islam dan telah menerapkannya sebagai pegangan dalam
penetapan hukum terutama dalam masalah waris dan
mereka tidak mempersoalkan isi yang terkandung dalam
Kompilasi Hukum Islam. Kecuali sebagian ulama
tradisional dan masyarakat lainnya belum mengetahui apa
itu Kompilasi Hukum Islam. Sebagian yang telah
mengetahui Kompilasi Hukum Islam karena belum
pernah disosialisasikan.
B. Rekomendasi
1. Buku Kompilasi Hukum Islam perlu diperbanyak dan
dibagikan kepada seluruh lapisan masyarakat Islam,
sehingga dalam pengaturan pembagian harta waris,
masyarakat bisa merujuk pada buku Kompilasi Hukum
Islam itu; Selain itu juga perlunya ditingkatkan sosialisasi
tentang Kompilasi Hukum Islam kepada seluruh lapisan
188
masyarakat luas, jangan hanya sebatas pada
tertentu saja;
kalangan
2. Perlunya ada revisi terhadap isi Kompilasi Hukum Islam
terutama pada pasal-pasal tertentu, dan bahkan Kompilasi
Hukum Islam sebaiknya ditingkatkan menjadi UndangUndang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman H. SH, MH. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
Penerbit Akademika Presindo, Jakarta, 1992.
Almihan, Kedudukan anak di luar nikah dalam kewarisan menurut
KUH perdata dan Hukum Islam, Program Magister Ilmu
Hukum, Universitas Muhamadiyah, Sumatera Utara,
2006.
Badan Pusat Statistik (BPS), Kota Medan Tahun 2000.
Cik Hasan Bisri, Penyunting, Kompilasi Hukum Islam dan
Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, Logos,
Jakarta, 1999.
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama RI,
1998/1999.
Jamalaba Malau, Ahli waris Non Muslim, Program Magister
Ilmu Hukum, Universitas Muhamadiyah, Sumatera
Utara, Medan, 2006.
Mahmud Dongoran, Hak dan Kewajiban Anak Angkat dalam
Persfektif Hukum Islam, Program Magister Hukum
189
Islam, Universitas Muhamadiyah, Sumatera Utara,
Medan, 2006.
Prof. Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, PT.
Raja Presindo, Jakarta.
190
Download