BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Ketidakstabilan pada masa transisi ini membuat mereka sering membuat sensasi untuk menarik perhatian orang-orang yang ada di sekitarnya. Masa ini juga dianggap sebagai “storm and stress”, dimana terdapat ketegangan emosi akibat perubahan fisik. Beberapa remaja ada yang tidak mengalami masa storm and stress, namun sebagian mengalami ketidakstabilan seiring berjalannya waktu akibat dari usaha penyesuaian diri pada perilaku dan harapan sosial yang baru. Erickson, menjelaskan bahwa remaja mengalami konflik identity vs. confusion. Remaja pada tahap ini sedang mencari identitas dirinya (Sarwono, 2010). Berbicara masalah remaja, maka tidak akan terlepas dari hubungan romantis yang lebih dikenal dengan istilah pacaran. Terdapat berbagai macam bentuk pengekspresian cinta dalam hubungan romantis yang dilakukan remaja dengan pacarnya. Perbuatan yang dilakukan dimulai dari yang biasa sampai dengan perbuatan yang melanggar norma kesusilaan, agama serta hukum. Bentuk pengekspresian cinta yang melanggar norma tersebut yaitu perilaku seksual pranikah. Hurlock (2000) menambahkan bahwa pacaran dimulai saat remaja mulai tertarik dengan lawan jenisnya yang diakibatkan oleh perkembangan hormon. Fenomena psikologis pada masa remaja yaitu mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah seks. Hal tersebut diakibatkan karena pertumbuhan organ seks yang mulai matang. Beberapa remaja tidak jarang akan terdorong untuk mencari pengetahuan yang berhubungan dengan seks, baik dari internet, buku ataupun teman sebaya. Permasalahan yang terjadi adalah pencarian informasi yang tidak sesuai sehingga mempengaruhi pola pikirnya, misalnya pada kasus subjek yang didapatkan melalui wawancara awal bahwa melakukan hubungan seksual untuk yang pertama kali tidak akan menyebabkan kehamilan. Kondisi tersebut sangat berbahaya bagi pola pikir remaja yang bisa menyebabkan perilaku seksual pranikah. Dewasa ini perilaku seks pada kelompok remaja menjadi masalah yang serius. Terdapat perubahan orientasi seks pada remaja, dari berhubungan intim suami istri yang hanya boleh dilakukan jika telah menikah secara sah menjadi hubungan seksual tanpa ikatan dengan alasan pembuktian rasa cinta. Fenomena ini seperti sebuah gunung es, dimana jumlah yang terdata belum termasuk mereka yang melakukan perilaku seksual pranikah namun tidak diketahui oleh orang lain. Kontrol lingkungan yang lemah dan semakin mudahnya penyebaran gaya hidup barat (westernisasi) banyak remaja yang mengalami pergeseran moral. Mereka mulai membiarkan nilai budaya asing masuk dan mulai meninggalkan budaya sendiri. Dampak yang terjadi yaitu semakin menghilangnya norma kesopanan yang ada. Setelah itu sesuatu yang tidak pantas untuk dilakukan menjadi suatu hal yang pantas untuk dilakukan. Saat ini individu dengan bebasnya bisa melihat pergeseran moral di sekitar lingkungannya. Remaja yang berpacaran juga tidak malu-malu untuk bermesraan di depan umum. Selain itu, bukan hal yang tabu lagi ketika remaja putri keluar malam. Banyaknya perilaku yang mulai mengalami pergeseran tersebut banyak hal yang menjadi penyebabnya. Hal tersebut bisa disebabkan karena kurangnya kontrol dari orangtua dan masyarakat serta masalah pergaulan bebas pada remaja. Berbagai survei telah dilakukan karena maraknya fenomena pacaran yang menuju ke arah seks bebas pada remaja. Pada tahun 2007 survei yang dilakukan Komnas Anak di 12 provinsi dengan responden sebanyak 4500 remaja. 12 provinsi tersebut antara lain Medan, Pekanbaru, Palembang, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Samarinda, Pontianak, Makasar, Jayapura, Kupang, dan Denpasar. Data yang diperoleh sebanyak 93,7% pernah berciuman hingga petting, 62,7% remaja SMP sudah tidak perawan dan 21,2% remaja SMA pernah melakukan aborsi. Data tersebut diperkuat dengan survey synovate research yang mendapatkan data 44% mengaku punya pengalaman seks di usia 16-18 tahun. Sebanyak 10% usia 16 tahun, 14% usia 17 tahun dan 20% berusia 18 tahun. Responden sebanyak 16% mengaku mempunyai pengalaman seks di usia 13-15 tahun. Data tersebut dibagi menjadi 5% usia 13 tahun, 4% usia 14 thaun dan 7% usia 15 tahun. Data lokasi yang diperoleh dari survei tersebut, yaitu 40% melakukan seks di rumah, sebanyak 20% di kos dan 26% melakukan hal tersebut di hotel ( http://www.wartanews.com ). Survei yang dilakukan DKT Indonesia pada tahun 2011 di daerah Jakarta, Bogor, Depok, Jabotabek, Bandung dan Yogyakarta. Jumlah respondennya sebanyak 663 orang pria dan wanita berusia 15-25 tahun. Hasilnya sebanyak 69,9 persen remaja (462 orang) telah melakukan hubungan seks. Diantaranya sebanyak 6 persen mengaku berhubungan seks saat duduk di bangku SMP/SMA (Gas, 2011 ). Hal tersebut juga dikuatkan oleh pengalaman beberapa remaja di Yogyakarta dalam pernyataan : “Kalau aku sering banget mbak cium pipi atau bibir pas ketemu sama pacarku. Menurutku yo emang normal. Lagian, yo wes gedhe jadi ya asal nggak kebabalasan ya nggak apa-apa.” (Anita) “Saat pacar main ke rumah dan emang tidak ada orang. Kami biasanya cium bibir. Kadang ia mulai meraba payudaraku dari luar.” (Putri) Wawancara di atas mengambarkan bahwa Anita saat berpacaran sering melakukan ciuman pipi atau bibir. Ia mengatakan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang normal, asal masih dalam kontrol yang kuat. Putri mengatakan bahwa jika di rumah sedang tidak ada orang, biasanya mereka saling mencumbu dan mulai meraba payudara dari luar pakaian. Hal tesrebut memeberikan gambaran dua orang remaja yang sama-sama kurang terkontrol dan melakukan perilaku seksual dari ciuman bahkan sampai meraba payudara dari luar pakaian. Survei yang dilakukan oleh Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) pada tahun 2012 menyatakan bahwa 8,3% remaja pria dan 0,9% remaja wanita mengaku pernah melakukan hubungan seks pranikah. Beberapa alasan yang menyebabkan remaja ini melakukan hal tersebut, yaitu (a) Terjadi begitu saja; (b) rasa penasaran atau ingin tahu; (c) dipaksa pasangannya; (d) ingin menikah, serta (e) pengaruh teman (Pramudiarja, 2013 ) “Aku sering yo petting sama pacar. Ya mulanya sih emang kita nggak kuat dan terbawa suasana. Jadi ya terjadi begitu saja. Sampai saat ini aku juga kadang melakukannya sambil nonton bokep.” (Intan) Data wawancara juga menunjukkan bahwa subjek sering menggesekgesekkan kelamin dengan pacarnya. Hal tersebut dilakukan karena terbawa suasana dan subjek sering melakukan hal tersebut sambil menonton film porno. Penelitian yang dilakukan Soetjiningsih (2008) meneliti tentang berbagai faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja di Kota Yogyakarta. Subjek penelitian berjumlah 398 remaja yang terdiri dari 202 remaja laki – laki dan 196 remaja perempuan. Subjek berusia 15 – 18 tahun, kelas 10 – 12 SMA yang diambil secara random dari 48 SMA di kota Yogyakarta. Faktor tersebut antara lain hubungan orangtua- remaja, self-esteem, tekanan teman sebaya, religiusitas, dan eksposur media pornografi berpengaruh terhadap perilaku seksual pranikah remaja, dengan sumbangan efektif sebesar 79 persen. Faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap perilaku seksual pranikah remaja adalah hubungan orangtua-remaja (33 persen), religiusitas (24 persen), eksposur media pornografi (20 persen), tekanan teman sebaya (1,8 persen), dan selfesteem (0,1 persen). Pada penelitian ini, perilaku seksual yang dimaksudkan peneliti adalah remaja yang sudah yang sudah sampai pada tahap melakukan hubungan seksual. Sebenarnya Indonesia adalah negara yang tidak mentolerir terjadinya seks bebas namun pada kenyataannya beberapa remaja yang notabene belum menikah sudah melakukan hubungan seksual bahkan berujung pada masalah kehamilan, pernikahan dini dan dikeluarkan dari sekolah. Pada kehidupan masyarakat Jawa, terdapat suatu sikap yang mengatur individu untuk bertingkah laku sesuai dengan norma-norma masyarakat yang ada. Sikap itu disebut ewuh pekewuh, dalam bahasa Indonesia berarti sungkan yaitu perasaan ketidakenakan yang membuat seseorang khawatir jika perilaku atau ucapannya akan menyinggung atau membuat seseorang akan menjadi tersinggung. Ewuh pekewuh merupakan hasil sosialisasi orangtua saat seseorang masih kecil dan menjadi sebuah kebiasaan saat individu sudah dewasa. Namun, ewuh pekewuh sudah mulai pudar akibat modernisasi sehingga sebagian individu tidak begitu merasakan lagi dampak dari sosialisasi dimasa kecil terhadap kehidupannya dimasa sekarang. (Tobing, 2010). Definisi ewuh pekewuh yang diperoleh dari wawancara peneliti dengan masyarakat Jawa yaitu sikap sungkan untuk menyampaikan sesuatu kepada orang yang lebih dihormati. Ketika hal tersebut dikatakan maka sebaiknya dengan kalimat yang sopan atau melalui sindiran. Hal tersebut dikarenakan untuk menghormati lawan bicaranya. Ewuh pekewuh diperoleh dari didikan orang tua sejak kecil, harapannya jika anaknya berkomentar tidak dengan bahasa yang lugas. “Pekewuh itu adalah keengganan atau ketidakenakan untuk menyampaikan sesuatu. Hal tersebut bisa jadi dilakukan seseorang untuk menghormati lawan bicaranya agar pembicaraanya dapat diterima. Selain itu biasanya ditujukan pada orang yang lebih dihormati, seperti orang yang lebih tua atau memiliki kedudukan penting dalam komunitas tersebut.”(Bapak Hadi) “Ewuh pekewuh ya merupakan sifat berterus terang menyampaikan sesuatu namun dengan cara yang lebih sopan dan lebih berbelit-belit. Itu dilakukan agar segala perilakunya tidak menyinggung pihak yang bersangkutan. Selain itu digunakan untuk menghindari konflik atau menciptakan keadaan yang selaras dengan lingkungannya.”(Bapak Surya) “Pekewuh adalah menyampaikan sesuatu yang salah dengan cara yang sopan. Kalau orang Jawa sendiri bisa memakai sindiran. Biasanya sikap ini diperoleh dari didikan orang tua sejak kecil, harapannya agar ke depannya anak tersebut menjadi orang yang tidak ceplas-ceplos kalau berkomentar.”(Bapak Yatin) Definisi ewuh pekewuh menurut remaja berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti adalah segala bentuk perilaku dalam masyarakat berupa rasa tidak enak yang bisa diartikan dalam sikap sopan terhadap orang lain. “Ewuh pekewuh adalah rasa tidak enak terhadap orang lain, dalam artian sopan. Ewuh pekewuh biasanya berlandaskan rasa malu dan mempunyai rasa hormat terhadap orang lain.”(Erni) “Ewuh pekewuh menurut saya seperti tindak tanduk dalam suatu lingkungan masyarakat atau bisa dibilang suatu tingkat kesopanan yang ada pada masyarakat.”(Marina) Definisi ewuh pekewuh dari berbagai sudut pandang diatas, diantaranya dari literatur, masyarakat Jawa serta remaja tidak ada yang bertentangan. Semua mempunyai kesamaan dan saling melengkapi bahwa ewuh pekewuh yaitu perasaan ketidakenakan yang membuat seseorang khawatir jika perilaku atau ucapannya akan menyinggung atau membuat seseorang akan menjadi tersinggung. Terdapat prinsip hormat dan kerukunan (menciptakan keadaan yang selaras). Ewuh pekewuh merupakan hasil didikan orangtua saat seseorang masih kecil. Namun, ewuh pekewuh sudah mulai pudar akibat modernisasi sehingga sebagian individu tidak begitu merasakan lagi dampak dari didikan dimasa kecil dulu terhadap kehidupannya di masa sekarang ini. Efek modernisasi membuat seseorang lebih pilih - pilih dalam memilih suatu budaya tertentu. Hal tersebut dikuatkan dengan seorang remaja : “Dalam keluargaku, sangat bebas dalam artian udah tidak terlalu jawa banget. Walaupun kedua orang tua juga merupakan keturunan Jawa. Misalnya, saat berkaitan dengan waktu jam malam. Kami menerapkan pulang maksimal jam 10. Padahal kalau jaman dulu, perempuan itu kalau sudah maghrib ya udah dirumah.” (Anis) “Ya biasasnya sih udah nggak terlalu diatur ya. Misal dalam hal berpakaian orang tua juga membiarkan aku jika keluar rumah hanya memakai celana dan kaos pendek. Kalau untuk tetangga sekitar biasa aja itu. Lingkungan kami memang sudah agak modern. Jadi ya selagi nggak ganggu urusannya dia, ya dibiarin aja.” (Eki) Berdasarkan wawancara kedua remaja diatas, terdapat persamaan sikap ewuh pekewuh yang diterapkan di lingkungan sekitarnya. Anis mengatakan bahwa keluarganya sangat bebas, misalnya saat berkaitan dengan jam malam maksimal jam 22.00. Padahal jaman dahulu, perempuan kalau sudah magrib sebaiknya sudah berada di rumah. Begitu pula dengan Rani, ia mengaku bahwa orang tua tidak melarang kalau berpergian ke luar rumah dengan menggunakan pakaian pendek. Namun disisi lain, masih ada remaja yang tetap menjalankan sikap pekewuh dalam kehidupannya : “Bapak Ibuku mengajarkan kalau ngomong sama seseorang yang sudah berumur dan punya kedudukan tinggi ya pake bahasa Krama, sopan dan sesuai dengan norma yang ada. Kalau masalah jam malam aja dibatasi, kalau sore saya belum pulang biasanya sudah ditelpon sama orang tua. Kalau karena tugas memang agak dimaklumi tapi ya tetep pulang secepatnya.” (Fia) Berbeda dengan hasil wawancara sebelumnya, Fia menuturkan bahwa dalam keluarganya mengajarkan untuk berbicara dengan bahasa krama kepada orang yang lebih tua atau mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Selain itu, jam malam juga dibatasi. Adanya penghambatan dari orang tua, hal tersebut terlihat dari tindakan orang tua yang menelpon subjek jika sore belum juga pulang. Permasalahan di lapangan yang ditemukan pada subjek yaitu banyak remaja mengalami degradasi ewuh pekewuh yang menjadi pemicu perilaku seksual remaja perempuan dalam berpacaran : “Kalau dalam berpacaran, aku sih suka sambil ciuman sambil raba-raba hehehe ya raba-raba itu ehmmm payudara mbak. Enak sih iya, kadang malah ketagihan kok. Misal mau lanjut ml sih ya ayok hehe.”(Putri) “Ehmmm kalau aku sih biasa aja ya, nggak terlalu berpengaruh juga sih. Kalau emang lagi pingin melakukan hubungan intim gitu ya udah lakuin aja. Kita juga sama-sama butuh kok. Ya gitu deh biasa anak muda jaman sekarang hehe.” (Salsa) “Biasanya aku sih suka cium pipi sama bibir sama pacar ku mbak kalau mau pulang. Udah biasa sih kayak gitu, jadi kalau belum nglakuin gitu ya krasa aneh aja. Seneng sama sayang banget sama dia kalau gitu.” (Sandra) Berdasarkan wawancara dengan ketiga subjek tersebut. Putri, Salsa dan Sandra mengatakan bahwa kalau pacaran mereka sudah melakukan ciuman, sambil meraba payudara sampai pada berhubungan intim. Hal tersebut juga sudah menjadi kebiasaan subjek dengan pacarnya saat pulang berkencan. Degradasi ewuh pekewuh dalam berpacaran ini bisa kita perhatikan dari gaya berpacaran remaja sekarang dengan yang dulu. Dahulu remaja dan masyarakat beranggapan kalau berduaan di tempat umum adalah sesuatu yang tabu sedangkan sekarang yang terjadi remaja berpacaran mulai tidak malu untuk berduaan di tempat umum bahkan sampai melakukan hubungan intim dengan pacaranya. Pada dasarnya ewuh pekewuh dapat berfungsi dengan konsep superego dalam psikoanalisis Freudian. Psikoanalisis Freudian membagi tingkat kesadaran manusia menjadi tiga, yaitu id, ego, dan superego. Masing-masing dari tingkat kesadaran tersebut memiliki prinsip yang berbeda-beda. Prinsip id yaitu prinsip kesenangan, maka jika id tidak dikontrol dengan baik ia akan memuaskan pikiran yang saling bertentangan. Prinsip ego yaitu prinsip kenyataan. Superego adalah prespektif ewuh pekewuh karena mewakili prinsip-prinsip moralitas dan idealis sesuai dengan norma sosial yang berlaku. Superego memiliki dua subsistem yaitu suara hati dan ego ideal. Namun jika id, ego dan superego tidak berfungsi dengan baik maka akan menimbulkan beberapa konflik (Feist & Feist, 2010). Ewuh pekewuh menurut peneliti yaitu sikap yang dapat dijadikan remaja untuk mengontrol perilaku seksual di luar nikah. Masyarakat Jawa melalui ewuh pekewuh akan berusaha untuk menciptakan keselarasan lewat norma sosial yang telah disepakati dalam lingkungannya. Ketika seseorang tersebut melanggar norma yang berlaku maka ia dianggap sebagai deviant (menyimpang) atau dalam kehidupan masyarakat Jawa disebut ora lumrah atau tidak pantas. Penelitian ini menggunakan subjek perempuan karena adanya standar ganda yang terjadi dalam masyarakat memberikan dampak pada perilaku seksual remaja, dimana remaja laki-laki lebih permisif untuk berperilaku seksual dibandingkan remaja perempuan. Remaja perempuan dituntut untuk berhati-hati, tidak kasar, pasif dan pandai menyembunyikan perasaanya. Remaja laki-laki akan terjadi sebaliknya (Arianti, 2008; Faturochman, 1992). Namun hal tersebut tidak terjadi pada subjek yang ada dalam penelitian ini. Permasalahan yang telah peneliti temukan dalam lapangan yaitu sebagian remaja mengerti tentang konsep ewuh pekewuh namun aktivitas berpacaran mereka yang cenderung bebas. Peneliti ingin mengetahui kapan awal degradasi ewuh pekewuh dan alasannya sehingga hal tersebut bisa terjadi. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan penelitian lebih lanjut tentang degradasi ewuh pekewuh sebagai pemicu perilaku seksual pada remaja perempuan. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui definisi ewuh pekewuh, kapan degradasi ewuh pekewuh pada remaja perempuan yang berpacaran itu terjadi dan muncul sebagai pemicu perilaku seksual pranikah. Setelah itu peneliti akan mencari tahu mengapa hal tersebut dapat terjadi sehingga bisa ditemukan saran yang baik untuk ke depannya. C. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini meliputi manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu : 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi secara empiris dan aktual sehingga dapat memperkaya ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan psikologi sosial, khususnya mengenai degradasi ewuh pekewuh sebagai pemicu perilaku seksual pada remaja perempuan yang berpacaran sehingga dapat menjadi saran bagi penelitian yang akan datang. 2. Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini nantinya akan bermanfaat sebagai ilmu pengetahuan mengenai degradasi ewuh pekewuh sebagai pemicu perilaku seksual remaja yang berpacaran sehingga dapat meminimalkan terjadinya seks bebas dalam pergaulan. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan oleh guru, orang tua, masyarakat dan remaja itu sendiri sebagai landasan dalam bertindak menyikapi pergeseran moral akibat modernisasi. D. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang mengkaji tentang perilaku seksual remaja, antara lain yaitu perilaku seksual remaja dalam berpacaran ditinjau dari kematangan beragama dan motivasi pacaran yang berorientasi keintiman fisik dan emosional oleh Yarni (2005), hubungan antara kecerdasan spiritual dan motivasi berprestasi dengan perilaku seksual remaja berpacaran di SMA Negeri 4 Palu oleh Lisnawaty (2006), hubungan antara kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional dengan perilaku seksual remaja dalam berpacaran oleh Muniroh (2008), hubungan antara perilaku seksual pranikah dengan kelekatan antara remaja-orang tua oleh Kurnianingsih (2009), hubungan antara perilaku seksual pranikah pada remaja dengan kelekatan terhadap ibu oleh Aproza (2010), hubungan komunikasi dalam keluarga mengenai seksualitas dengan perilaku seksual pada remaja oleh Madyasari (2011), pengaruh pemberian pelatihan perilaku asertif terhadap perilaku seksual remaja perempuan dalam berpacaran oleh Bunga (2013), dan lain sebagainya. Penelitian yang mengkaji tentang ewuh pekewuh pernah dilakukan oleh Tobing (2010) tentang asertivitas perokok pasif dengan budaya ewuh pekewuh. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah asertivitas dapat diterapkan pada perokok pasif dalam kaitannya budaya ewuh pekewuh. Perilaku asertif juga dapat dilakukan dengan nada bercanda sehinga mengurangi konflik yang terjadi. Sampai saat ini, peneliti belum pernah menemukan penelitian tentang degradasi ewuh pekewuh sebagai pemicu perilaku seksual pada remaja. Sehingga dapat dipastikan bahwa variabel yang akan diteliti peneliti merupakan hal yang baru.