1 Pengaruh Bermain Puzzle Video Game terhadap Kemampuan Penalaran Induktif pada Anak Usia Sekolah Laras Sekar Melati dan Patricia Adam Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Penelitian eksperimental ini bertujuan untuk menguji adanya pengaruh bermain puzzle video game terhadap kemampuan penalaran induktif pada tiga kelompok yang berbeda. Sebanyak 45 siswa kelas 3 SD dibagi menjadi tiga kelompok dengan perlakuan: (1) bermain puzzle video game selama 30 menit; (2) bermain puzzle video game selama 1 jam; dan (3) kelompok kontrol. Kemampuan penalaran induktif diukur melalui post-test menggunakan Raven’s Coloured Progressive Matrices. Dengan membandingkan skor rata-rata tes menggunakan teknik independent sample t-test, didapatkan hasil bahwa bermain puzzle video game berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan penalaran induktif jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (t(43) = 2,113, p = 0,04), sedangkan bermain puzzle video game selama 1 jam tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan penalaran induktif jika dibandingkan dengan kelompok yang bermain puzzle video game selama 30 menit (t(28) = -0,599, p = 0,554). The Effect of Playing Puzzle Video Games towards Inductive Reasoning Ability on School-Age Children Abstract This experimental study aimed to examine the influence of playing puzzle video game on inductive reasoning ability in three different groups. Forty five third-graders divided into three treatment groups: (1) playing puzzle video game in 30 minutes; (2) playing puzzle video games in 1 hour; and (3) control group. Inductive reasoning ability was measured by post-test using Raven’s Coloured Progressive Matrices. By comparing the mean scores with independent sample t-test, the results showed that playing puzzle video games significantly affect inductive reasoning ability compared to control group (t(43) = 2.113, p = .04), while playing puzzle video games for 1 hour does not significantly affect inductive reasoning ability compared to playing puzzle video game in 30 minutes (t(28) = -.599, p = 0.554). Keywords: video game, inductive reasoning ability, effect of playing video game Pendahuluan Rancangan Kurikulum 2013, yang dirancang dalam bentuk tematik-integratif, sudah mulai diterapkan pada siswa-siswi sekolah dasar di Indonesia pada tahun pelajaran 2014/2015 (www.kemdiknas.go.id). Kurikulum baru ini menuntut siswa-siswi sekolah dasar untuk dapat melihat keterkaitan antara satu mata Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 2 pelajaran dengan mata pelajaran lain, sebab mata pelajaran sains dilebur ke dalam mata pelajaran lain secara terpisah-pisah. Untuk mendukung tuntutan tersebut, dibutuhkan suatu kemampuan kognitif tertentu agar anak dapat membuat suatu kesimpulan menyeluruh dari informasi-informasi yang didapatkannya dari masing-masing mata pelajaran yang terpisah yang disebut dengan kemampuan penalaran. Di usia sekolah dasar, yang menurut Piaget sudah masuk ke dalam tahap perkembangan kognitif konkrit operasional, kemampuan penalaran yang telah berkembang adalah kemampuan penalaran induktif (Papalia, Olds, & Feldman, 2009), yaitu penalaran yang dimulai dari observasi mengenai berbagai informasi yang spesifik ke kesimpulan yang bersifat umum (Manktelow, 1999; Papalia, Olds, & Feldman, 2009; Goswami, 2011; Santrock, 2011). Menurut Hayes (2007), prinsip-prinsip penalaran induktif memang sudah terlihat sejak anak masih bayi, namun dilakukan dengan lebih baik ketika anak mencapai usia sekolah. Perkembangan kemampuan penalaran induktif sendiri berkaitan dengan meningkatnya pengetahuan anak, kemampuan mengenali hubungan antar objek, (Goswami, dalam Hayes, 2007), serta tingkat inteligensi (Spearman, dalam Sattler, 2001; Klauer, Willmes, & Phye, 2002). Kemampuan penalaran induktif menjadi penting untuk ditingkatkan sebab anak yang kemampuan penalaran induktifnya lebih berkembang akan lebih baik dalam mengaplikasikan pengetahuan yang dimilikinya pada situasi baru (Csapo, 1997). Dalam pembelajaran di sekolah, penalaran induktif juga terbukti memiliki hubungan dengan pencapaian terhadap konsep sains (Scott, 1962; Csapo, 1997) dan dapat membantu anak untuk menyelesaikan permasalahan dalam mata pelajaran matematika (Febriani & Rosyidi, 2012). Dengan demikian, penalaran induktif penting untuk dikuasai oleh anak, untuk mendukungnya menguasai pembelajaran di sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Klauer, Willmes dan Phye (2002) menunjukkan bahwa kemampuan penalaran induktif dapat dilatihkan melalui aktivitas yang diberikan berupa pelajaran mengenai konsep-konsep penalaran induktif serta mengerjakan tugas-tugas penalaran induktif di dalam aktivitas kelas. Selain itu, penelitian lain menyebutkan bahwa usaha meningkatkan kemampuan Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 3 penalaran pada anak juga dapat dilakukan dengan menggunakan media permainan (Bottino, Ferlino, Ott, & Tavella, 2006). Melalui permainan, ketertarikan anak untuk belajar menjadi lebih tinggi sebab bermain merupakan dunia kerja anak (Tedjasaputra, 2000), dan umumnya bermain digunakan anak usia sekolah untuk mengaplikasikan kemampuan yang dimilikinya, termasuk di antaranya kemampuan kognitifnya (Frost, Wortham, & Reifel, 2012). Untuk itu, anak usia sekolah dapat diberikan berbagai jenis permainan untuk membantu dirinya belajar, termasuk jenis permainan yang sedang banyak digemari anak saat ini, yaitu permainan komputer dan video game. Pada era digital seperti sekarang ini, ketertarikan anak-anak usia sekolah terhadap video game serta bentuk interaksi menggunakan perangkat telepon dan komputer menunjukkan adanya peningkatan (Frost, Wortham, & Reifel, 2012). Perangkat-perangkat elektronik atau gadget seperti komputer, tablet, dan smartphone sudah bukan menjadi barang mewah dan bahkan telah menjadi salah satu media permainan bagi anak. Survey yang dilakukan di Indonesia oleh Indonesia’s Hottest Insight (IHI) menunjukkan bahwa 40% anak sudah memiliki ponsel sendiri, dan 35% anak-anak menginginkan produk smartphone terbaru (http://www.chip.co.id/). Selain itu, survey yang dilakukan kepada 2.000 orang tua di Inggris menunjukkan hampir sebanyak dua pertiga dari partisipan memberikan anaknya perangkat elektroniknya sendiri, seperti tablet atau iPad, dan rata-rata mereka menghabiskan hampir sebanyak satu jam perhari untuk menggunakan perangkat elektroniknya (http://www.telegraph.co.uk/). Survey yang dilakukan oleh Michael Cohen Group di Amerika Serikat pada Februari 2014 menunjukkan bahwa lebih dari 60% orang tua menyatakan bahwa anak-anak mereka yang berusia 12 tahun ke bawah “sering” bermain gadget berlayar sentuh, dan 36% di antaranya menyatakan “sangat sering”. Kemudian, terdapat survey-survey yang menunjukkan besarnya penggunaan gadget sebagai alat permainan. Survey yang dilakukan di Inggris menunjukkan bahwa pengguna gadget menggunakan gadgetnya lebih banyak untuk bermain daripada berbelanja online, membaca ebook, ataupun menggunakan jejaring sosial (www.ft.com). Selain itu, survey oleh Michael Cohen Group (2014) juga menunjukkan bahwa anak-anak di bawah 12 tahun menggunakan gadget berlayar Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 4 sentuh lebih dari 60 persennya untuk bermain, di samping untuk berkomunikasi, belajar, dan kegunaan lainnya. Jenis permainan video game yang terdapat di dalam gadget juga terbukti sudah banyak dimainkan oleh anak-anak usia sekolah, salah satunya hasil survey oleh Phan (2011) menunjukkan bahwa mayoritas anakanak yang menjadi responden mulai bermain video game semenjak di bawah usia 13 tahun, yaitu pada rentang usia sekolah. Ketertarikan anak bermain video game tersebut disebabkan karena video game dan dunia virtual lainnya memang terbukti unggul dalam memunculkan keterlibatan pemainnya (McGonigal, dalam Lee & Hammer, 2011). Keterlibatan pemain dalam bermain video game bersifat sukarela (voluntary) dan pemain memilih untuk bermain video game berdasarkan keinginannya sendiri (Miller, 2013). Selain itu, video game memang memiliki beberapa aspek yang membuat pemainnya dapat termotivasi untuk bermain, antara lain adanya tujuan (goals), aturan atau instruksi (rules/instructions), aksi (actions), dan hasil akhir (outcomes) (Miller, 2013). Aspek-aspek tersebut membuat video game dapat diterapkan dalam konteks pendidikan sebagai salah satu media yang memfasilitasi anak untuk belajar. Selain dapat meningkatkan keterlibatan, video game juga terbukti dapat memberikan efek terhadap tiga aspek pada individu, yaitu aspek keterampilan dan kemampuan kognitif, aspek afektif dan motivasi, serta aspek pembelajaran terhadap pengetahuan (Rebetez & Betrancourt, 2007). Efek positif video game, khususnya terhadap kemampuan kognitif anak pun telah dibuktikan melalui sejumlah penelitian, seperti meningkatkan kemampuan penalaran spasial (Subrahmanyam, 1994 dalam Rebetez & Betrancourt, 2007), penalaran matematik dan strategi (Fisch, Lesh, Motoki, Crespo, & Melfi, 2011 dalam Blumberg, Altschuler, Almonte, & Mileaf, 2013), kemampuan menyelesaikan masalah sosial (Nasution, 2010), pengetahuan faktual (Almeida, 2012), serta memperkuat proses recall dan kemampuan penyelesaian masalah (Chuang & Chen, 2009). Hasil-hasil penelitian tersebut di atas, menunjukkan bahwa video game memiliki pengaruh terhadap proses kognitif yang diperlukan dalam proses belajar. Akan tetapi, jenis video game yang berbeda berpengaruh terhadap kemampuan kognitif yang juga berbeda. Setiap jenis video game memiliki tugas- Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 5 tugas yang berbeda, sehingga membutuhkan strategi bermain yang berbeda pula. Oleh sebab itu, video game dapat menjadi salah satu cara untuk membantu proses belajar apabila kontennya sesuai dengan kemampuan yang ingin dipelajari, sebab tugas-tugas di dalam video game dapat menstimulasi perkembangan pengetahuan serta kemampuan sesuai konten dari permainan tersebut (McFarlane, Sparrowhawk & Heald, 2002). Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil penelitian Osman dan Bakar (2012) yaitu adanya pengaruh pemberian video game edukasi yang memiliki konten pelajaran kimia terhadap kemampuan anak di mata pelajaran kimia. Dengan demikian, jenis video game yang diberikan untuk meningkatkan kemampuan penalaran induktif harus terlebih dahulu disesuaikan dengan kemampuan penalaran induktif itu sendiri. Telah terdapat beberapa penelitian yang membuktikan adanya pengaruh dari jenis video game tertentu terhadap penalaran induktif. Penelitian oleh Greenfield, Camaioni, Ercolani, Weiss, Lauber, dan Perucchini (1994) menunjukkan bahwa video game berjenis arcade memberikan efek latihan terhadap kemampuan penalaran induktif. Selain itu, terdapat pula sebuah penelitian longitudinal yang membuktikan bahwa anak menggunakan kemampuan penalaran ketika bermain video game yang berjenis digital mind games (Bottino & Ott, 2006; Bottino, Ferlino, Ott, & Tavella, 2006; Bottino, Ott, & Tavella, 2008; Bottino, Ott, & Benigno, 2009). Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis video game tertentu berpengaruh terhadap kemampuan penalaran induktif. Penentuan jenis video game yang akan digunakan menjadi penting, sebab selain konten video game yang harus sesuai dengan kemampuan penalaran induktif, penelitian Nasution (2010) juga menyebutkan bahwa jenis video game yang dimainkan lebih memberikan pengaruh terhadap peningkatan kemampuan dibandingkan dengan durasi bermain. Jenis permainan yang populer seperti puzzle video game yang juga termasuk dalam jenis digital mind games, telah terbukti memiliki keterkaitan dengan kemampuan penalaran pada anak secara umum (Bottino, Ferlino, Ott, & Tavella, 2006; Bottino & Ott, 2006; Bottino, Ott, & Tavella, 2008). Puzzle video game meminta pemainnya untuk menyelesaikan puzzle atau permasalahan yang membutuhkan kemampuan logika, memori, mencocokkan pola, waktu reaksi, dan sebagainya (Hanna, n.d.). Kemampuan- Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 6 kemampuan yang dibutuhkan ketika bermain puzzle video game tersebut, juga terjadi ketika seseorang melakukan penalaran induktif, sehingga puzzle video game dapat diberikan untuk mengembangkan kemampuan penalaran induktif. Meskipun sebelumnya dikatakan bahwa durasi bermain video game tidak memberikan pengaruh yang signifikan dibandingkan dengan jenis video game terhadap peningkatan kemampuan pada pemainnya (Nasution, 2010), penelitian lain menyebutkan bahwa anak yang sering bermain video game lebih menginternalisasi prinsip-prinsip yang dipelajari melalui video game dibandingkan dengan anak yang tidak sering bermain video game (Blumberg & Sokol, 2004).. Hal tersebut menunjukkan bahwa seberapa banyak seseorang bermain video game juga dapat berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan pemainnya. Dengan demikian, harus ditinjau lebih lanjut apakah perbedaan intensitas bermain video game memiliki pengaruh pada tingkat kemampuan penalaran induktif anak. Mengingat kembali adanya kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan penalaran induktif pada anak usia sekolah berdasarkan tuntutan dari kurikulum baru yang dicanangkan pada tingkat sekolah dasar, serta adanya bukti yang menyebutkan bahwa kemampuan penalaran induktif dapat ditingkatkan salah satunya menggunakan media video game (Bottino, Ferlino, Ott, & Tavella, 2006), peneliti ingin melihat kemungkinan bahwa kemampuan penalaran induktif pada anak usia sekolah dasar dapat ditingkatkan melalui puzzle video game. Selain itu, diketahui bahwa sejauh ini penelitian mengenai kaitan antara kemampuan penalaran maupun penalaran induktif secara khusus dengan video game masih sangat terbatas. Padahal, video game dapat menjadi sebuah inovasi untuk mengembangkan kemampuan penalaran induktif, sebab video game telah terbukti memiliki aspek-aspek yang dapat membantu pemainnya untuk belajar. Oleh sebab itu, penggunaan video game, lebih khususnya yang berjenis puzzle video game, dapat diterapkan ke dalam konteks pendidikan yang dalam hal ini dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan penalaran induktif untuk membantu anak memahami pelajarannya di sekolah. Dengan demikian, muncul dua rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu, (1) Apakah terdapat pengaruh bermain puzzle video game terhadap tingkat Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 7 kemampuan penalaran induktif pada anak usia sekolah?, (2) Apakah perbedaan intensitas bermain puzzle video game memiliki pengaruh terhadap tingkat kemampuan penalaran induktif pada anak usia sekolah?. Melalui penelitian ini pula diharapkan dapat membuktikan adanya dampak positif terhadap perkembangan kognitif anak dari bermain video game yang sedang digemari oleh anak-anak di era digital seperti saat ini, khususnya dalam area dan konteks pendidikan. Tinjauan Teoritis Penalaran Induktif Penalaran secara umum dibedakan menjadi dua jenis, yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif (Manktelow, 1999; Goswami, 2011). Jika dilihat dari sudut pandang perkembangan, penalaran logis mulai berkembang pada anak saat anak memasuki usia kanak-kanak madya, meskipun hanya pada situasi-situasi konkrit saja (Santrock, 2011), dan penalaran induktif terlebih dahulu berkembang pada saat anak memasuki tahap usia kanak-kanak madya (Papalia, Olds, & Feldman, 2009; Santrock, 2011). Dari berbagai tokoh yang menjelaskan mengenai penalaran induktif, pengertian penalaran induktif dapat disimpulkan sebagai bentuk penalaran yang dilakukan dengan mengenali persamaan dan perbedaan dari informasi spesifik objek tersebut yang berupa atribut maupun hubungan, kemudian disimpulkan menjadi kesimpulan yang umum mengenai objek tersebut (Manktelow, 1999; Klauer, Willmes, & Phye, 2002; Papalia, Olds, & Feldman, 2009; Santrock, 2011). Misalnya saja, anak melihat anjing peliharaannya menggonggong, lalu ia melihat anjing milik temannya dan anjing yang ia temui di jalan juga menggonggong, anak akan mengambil kesimpulan bahwa semua anjing menggonggong. Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa seseorang melihat adanya persamaan di antara dua informasi spesifik, dan dari persamaan tersebut seseorang dapat mengambil kesimpulan yang lebih umum. Menurut Klauer, Willmes, dan Phye (2002) terdapat dua aspek penting yang dilihat ketika seseorang melakukan penalaran induktif, yaitu atribut serta hubungan atau relasi dari suatu objek. Berdasarkan atribut serta hubungan tersebut, seseorang kemudian mengidentifikasi adanya persamaan dan atau Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 8 perbedaan. Berdasarkan hal-hal tersebut, dikelompokkanlah enam jenis tugas penalaran induktif, yaitu (1) generalisasi, merupakan tugas yang memerlukan identifikasi persamaan dari atribut suatu objek, (2) diskriminasi, merupakan tugas yang memerlukan identifikasi perbedaan dari atribut suatu objek, (3) klasifikasi silang, merupakan tugas yang memerlukan identifikasi persamaan sekaligus perbedaan dari atribut suatu objek, (4) mengenali hubungan, merupakan tugas yang memerlukan identifikasi persamaan dari hubungan suatu objek, (5) membedakan hubungan, merupakan tugas yang memerlukan identifikasi perbedaan dari hubungan suatu objek, dan (6) konstruksi sistem, merupakan tugas yang memerlukan identifikasi persamaan sekaligus perbedaan dari hubungan suatu objek. Kemampuan penalaran induktif sendiri memiliki beberapa faktor yang mempengaruhinya. Faktor pertama adalah observasi, yaitu melalui observasi yang berulang-ulang, informasi dari pengalaman yang sama dapat menggambarkan suatu pola sehingga dapat diakumulasikan sebagai sebuah kesimpulan yang akurat (Manktelow, 1999). Faktor kedua adalah usia anak, yang berkaitan dengan perkembangan kemampuan kognitif anak. Anak yang usianya lebih tua dapat menggunakan strategi berpikir yang lebih rumit anak yang usianya lebih muda, dan anak usia sekolah menunjukkan kemampuan penalaran induktif yang lebih baik dari pada anak-anak yang usianya lebih muda (Hayes, 2007). Ketiga, adalah faktor tingkat inteligensi yang dikatakan memiliki keterkaitan erat dengan inteligensi seseorang. Sebagai contoh adalah pendapat Spearman (dalam Klauer, Willmes, & Phye, 2002) yang meyakini bahwa faktor kecerdasan umum (g factor) ditentukan oleh proses-proses induktif. Selain itu Gustafsson (1984, dalam Sattler, 2001) juga menggolongkan kemampuan induksi ke dalam fluid intelligence, yang juga termasuk ke dalam faktor inteligensi umum (g factor). Selain itu, kemampuan penalaran induktif pada anak juga dapat mempengaruhi variabel tertentu, salah satunya adalah tingkat prestasi akademis. Penelitian yang dilakukan oleh Kinshuk dan McNab (2006, dalam Santrock, 2011) menemukan bahwa kemampuan penalaran induktif merupakan prediktor yang baik dari prestasi akademis. Selain itu, penelitian lain yang dilakukan di Indonesia oleh Febriani dan Rosyidi (2012) menunjukkan bahwa terdapat Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 9 perbedaan kemampuan penalaran induktif saat mengerjakan permasalahan matematika pada siswa dengan prestasi akademis tinggi, sedang, dan rendah. Puzzle Video Game Puzzle dalam konteks suatu kata benda diartikan sebagai: “A game, toy, or problem designed to test ingenuity or knowledge.” (Oxford English Dictionary) Dari pengertian tersebut, puzzle dapat dijelaskan sebagai suatu permainan yang dirancang untuk menguji kecerdasan atau pengetahuan pemainnya. Seluruh jenis puzzle meminta pemainnya untuk menggunakan logika berpikir untuk menyelesaikan permasalahan permainan. Dalam bentuk permainan digital, permainan puzzle disebut dengan puzzle video game. Puzzle video game sendiri dikategorikan sebagai salah satu genre dari video game (Herz, dalam Kirriemuir & McFarlane, 2004), yaitu suatu cara yang dilakukan pemain dalam mengerjakan mekanisme dari permainan tersebut (Costikyan, 2005 dalam Juul, 2010). Dalam perkataan lain, puzzle video game menggunakan cara-cara atau mekanisme bermain puzzle pada umumnya. Permainan video game bergenre puzzle sendiri dapat didefinisikan sebagai permainan yang menekankan pada penyelesaian tekateki (puzzle) atau permasalahan yang membutuhkan penggunaan logika, memori, mencocokkan pola atau urutan, dan sebagainya (Hannah, n.d.). Anak Usia Sekolah Dalam bukunya, Papalia, Olds, dan Feldman (2009) menggunakan istilah school-age children atau anak usia sekolah sebagai sebutan lain untuk masa kanak-kanak madya (middle childhood). Seorang anak dikatakan memasuki usia sekolah ketika anak berada pada rentang usia 6 hingga 11 tahun (Papalia, Olds, & Feldman, 2009; Santrock, 2011). Selain itu, Santrock (2011) menyebut anak-anak di usia tersebut sebagai anak usia sekolah dasar (elementary school years), sebab pada rentang usia tersebut anak-anak umumnya sedang duduk di bangku sekolah dasar. Di usia ini anak sudah dapat menggunakan operasi mental, seperti penalaran, untuk menyelesaikan permasalahan yang konkrit atau aktual (Papalia, Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 10 dkk., 2009). Selain itu, kemampuan klasifikasi atau kategorisasi yang membantu anak untuk berpikir secara logis pun berkembang pada usia ini (Santrock, 2011). Melalui keterampilan ini, anak dapat mengklasifikasikan atau memisahkan bendabenda ke dalam kelompok atau subkelompok dan mengenali keterkaitannya. Dengan begitu anak dapat mengkoordinasikan beberapa karakteristik pada suatu objek dan tidak hanya berfokus pada satu properti khusus dari sebuah objek saja (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Kemampuan kategorisasi tersebut memiliki peranan penting terhadap kemampuan individu untuk berpikir secara ekonomis dan efisien mengenai dunia, sebab kategorisasi merupakan pengembangan topik dari penalaran induktif, dan keduanya saling memiliki hubungan (Manktelow, 1999). Dengan menggunakan kemampuan-kemampuan kategorisasi tersebut untuk menggeneralisasi atribut dari hal-hal yang sudah dikenal ke contoh-contoh baru, anak dapat melakukan penalaran induktif (Hayes, 2007). Metode Penelitian Sebanyak 45 subjek dari sebuah sekolah dasar swasta di Kota Bandung diikutkan dalam penelitian ini. Seluruh subjek penelitian merupakan anak usia sekolah yang duduk di kelas 3 SD mengikuti rangkaian penelitian ini yang penelitiannya termasuk ke dalam desain eksperimental. Terlebih dahulu dilakukan kontrol terhadap variabel sekunder dalam penelitian ini, yaitu usia dan tingkat inteligensi. Usia dikontrol dengan menyamakan usia subjek penelitian pada masing-masing kelompok. Dengan demikian, sampel yang diambil merupakan anak-anak dengan usia yang tidak jauh berbeda, yaitu anak yang duduk di kelas 3 SD yang berusia kurang lebih 8 hingga 10 tahun. Sedangkan tingkat inteligensi dikontrol dengan teknik randomisasi blocking, yaitu dengan mengelompokkan tingkat inteligensi ke dalam tiga kelompok yaitu, tingkat inteligensi tinggi, rendah, dan sedang. Berdasarkan tingkat inteligensi tersebut, peneliti secara acak memasukkan 45 subjek ke dalam tiga kelompok penelitian yang masing-masing kelompok terdiri dari 15 orang, sehingga persebaran tingkat inteligensi subjek sama rata. Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 11 Ketiga kelompok subjek dalam penelitian ini adalah Kelompok Eksperimen 1, Kelompok Eksperimen 2, dan Kelompok Kontrol. Ketiga kelompok subjek diberikan variasi manipulasi dari variabel bebas yaitu puzzle video game. Variasi manipulasi yang diberikan pada masing-masing kelompok adalah sebagai berikut: 1. Kelompok Eksperimen 1 Kelompok Eksperimen 1 (KE 1) diberikan manipulasi dengan cara diminta untuk bermain satu macam puzzle video game berjudul “Successful Experiment” dalam satu sesi bermain, yaitu selama 30 menit. Pada permainan berjudul “Successful Experiment”, pemain diminta untuk memindahkan sebuah objek berupa bola billiard berangka 8 dari suatu tempat ke tempat lain yang ditandai dengan bendera. Akan tetapi, ada beberapa rintangan yang menghalangi bola billiard untuk sampai ke bendera. Rintangan tersebut dapat dipecahkan dengan dibantu oleh tiga jenis bola lainnya yang memiliki karakteristik berbeda, yaitu bola bowling, bola basket, dan bola gelembung. Sesuai dengan landasan teori yang telah dibahas, permainan “Successful Experiment” memiliki prinsip-prinsip serta tugas-tugas penalaran induktif, yaitu pemain diminta untuk mengidentifikasi perbedaan dan persamaan dari informasi spesifik berupa sifat-sifat masing-masing bola untuk mengambil kesimpulan umum mengenai strategi apa yang harus ia gunakan dalam menyelesaikan permasalahan pada permainan tersebut. 2. Kelompok Eksperimen 2 Kelompok Eksperimen 2 (KE 2) diberikan manipulasi dengan cara diminta untuk bermain dua macam puzzle video game masing-masing selama satu sesi, yaitu selama 30 menit. Pada sesi pertama, subjek diminta untuk memainkan permainan yang sama dengan KE 1, yaitu permainan yang berjudul “Successful Experiment”. Kemudian, pada sesi kedua, subjek diminta untuk bermain puzzle video game yang lain yang berjudul “Atomic Puzzle 2”. Dalam permainan ini, pemain diminta untuk memecahkan rangkaian atom yang memiliki warna-warna berbeda. Atom-atom tersebut tersusun dalam suatu rangkaian yang hanya dapat dipecahkan ketika pemain menekan satu atom yang tersambung ke rangkaian atom-atom lain yang berwarna sama. Dengan Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 12 demikian, pemain diminta untuk mencari kombinasi warna dan rangkaian yang tepat agar seluruh atom dapat dipecahkan. Permainan “Atomic Puzzle 2” juga dilihat memiliki prinsip-prinsip serta tugas-tugas penalaran induktif, yaitu pemain diminta untuk mengidentifikasi perbedaan dan persamaan dari informasi spesifik berupa warna dan bentuk rangkaian atom untuk kemudian mengambil kesimpulan umum mengenai atom mana yang akan dipecahkan terlebih dahulu sehingga tujuan permainan tersebut dapat tercapai. 3. Kelompok Kontrol Pada kelompok kontrol, subjek tidak diberikan manipulasi sama sekali, yaitu dengan tidak meminta subjek untuk bermain video game apapun. Setelah diberikan manipulasi, subjek penelitian menjalani posttest untuk mengukur penalaran induktif yang merupakan variabel terikat dari penelitian ini. Pengukuran menggunakan Raven’s Coloured Progressive Matrices (Raven’s CPM). Raven’s CPM adalah sebuah alat tes inteligensi yang merupakan salah satu bentuk dari Raven’s Progressive Matrices (Raven’s PM). Tes ini merupakan alat tes nonverbal yang mengukur kemampuan penalaran berdasarkan stimulus figural yang mengukur kemampuan individu dalam membandingkan bentuk, melakukan penalaran berdasarkan analogi dan menyusun persepsi spasial ke dalam sebuah rangkaian yang berkaitan secara keseluruhan. Raven’s CPM sendiri merupakan salah satu bentuk dari Raven’s PM yang diperuntukkan untuk anak berusia 5-11 tahun dan berisikan 3 set tes yang masing-masing setnya berisikan 12 item tes. Alat tes ini dapat dilakukan untuk mengukur kemampuan penalaran induktif, sebab sudah ada penelitian sebelumnya yang menggunakan Raven’s CPM untuk mengukur kemampuan penalaran induktif (Klauer, Willmes, & Phye, 2002; De Koning, Sijtsma, & Hamers, 2003). Selain itu, Raven’s CPM telah memenuhi batas minimal koefisien reliabilitas sebesar 0,70-0,80 (Kaplan & Saccuzo, 2005), yaitu berada pada rentang 0,65 hingga 0,94 dengan menggunakan metode pengujian split-half reliability, dan dengan metode pengujian test-retest reliability memiliki nilai yang berada pada rentang 0,71 hingga 0,93 (Raven, dkk., dalam Sattler, 2001). Kemudian, sebelumnya telah dilakukan uji validitas konkuren dengan tes inteligensi dan tes prestasi pada alat ukur ini (Raven, dkk., dalam Sattler, 2001). Nilai validitas yang dilakukan dengan tes inteligensi adalah Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 13 sebesar 0,5 hingga 0,8, dan nilai validitas yang dilakukan dengan tes prestasi adalah sebesar 0,3 hingga 0,6. Raven’s CPM hanya diberikan kepada subjek sebagai posttest saja. Pertimbangan ini juga merujuk pada pendapat Miller (1984) yang mengatakan bahwa tes yang mengukur penalaran logis (logical reasoning) tidak dapat diberikan dua kali kepada subjek yang sama. Selain itu, pemberian tes inteligensi pada yang sama pada waktu yang berdekatan dikhawatirkan akan menimbulkan efek belajar pada pemberian tes yang kedua. Hal ini sesuai dengan pernyataan Seniati, Yulianto, dan Setiadi (2011) yang menyatakan bahwa faktor testing juga dapat menurunkan kekuatan hubungan sebab-akibat antara variabel bebas dengan variabel terikat, karena tanpa diberikan variabel bebas pun skor posttest subjek akan berbeda dari skor pretest dengan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Oleh sebab itu, peneliti tidak menggunakan metode pretest-posttest untuk mengukur kemampuan penalaran induktif. Setelah data dari partisipan diperoleh, termasuk di dalamnya data kontrol dan hasil tes Raven’s CPM ketiga kelompok subjek, peneliti melakukan pengolahan data menggunakan metode analisis statistik. Seluruh perhitungan dan pengolahan data dilakukan menggunakan perangkat lunak Special Package for Social Science (SPSS) 13. Analisis statistik yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain: (1) Statistik deskriptif, dengan menghitung frekuensi serta persentase dari total jumlah subjek. Digunakan untuk melihat gambaran umum partisipan yang datanya diperoleh dari data kontrol partisipan, yang meliputi jenis kelamin, usia, tingkat inteligensi partisipan, serta kebiasaan bermain video game partisipan; (2) Uji normalitas dengan metode tes Kolmogorov-Smirnov pada ketiga kelompok subjek. Digunakan untuk mengetahui hasil persebaran data memiliki distribusi normal pada sebuah kelompok subjek (Field, 2009); (3) Uji homogenitas varians, dengan menggunakan Levene;s test. Digunakan untuk mengetahui apakah varians dari seluruh kelompok subjek setara atau tidak setara (Gravetter & Wallnau, 2007); (4) Independent Sample T-test, yang digunakan untuk menguji signifikansi perbedaan rata-rata skor antara dua kelompok data yang berdiri sendiri (Gravetter & Wallnau, 2007). Pada penelitian ini, dilakukan dua kali analisis statistik menggunakan independent sample t-test pada masing- Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 14 masing hipotesis penelitian. Walaupun di dalam penelitian ini terdapat tiga kelompok subjek yang berbeda, akan tetapi masing-masing hipotesis penelitian hanya ingin melihat perbedaan rata-rata skor dari dua kelompok yang berbeda. Pada perhitungan statistik yang dilakukan, pertama-tama akan dibandingkan skor rata-rata antara kelompok subjek yang bermain puzzle video game (KE1 & KE2) dengan kelompok subjek yang tidak bermain puzzle video game sama sekali (KK). Selanjutnya, akan dibandingkan skor rata-rata dari kelompok subjek yang bermain puzzle video game selama 1sesi (KE1) dengan kelompok subjek yang bermain puzzle video game selama 2 sesi (KE2). Hasil Penelitian Secara umum, gambaran subjek yang mengikuti rangkaian penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Dari hasil data kontrol yang diberikan kepada subjek, didapatkan pula data bahwa subjek dalam penelitian ini kebanyakan mengenal video game pada saat usia 6-7 tahun (46,7% subjek) dan cukup sering bermain video game, yaitu mayoritas setiap akhir pekan atau hari libur (57,8% subjek) dan bermain selama 1-2 jam (60% subjek) setiap kali mainnya. Sebanyak 57,8% subjek, yaitu sebanyak 26 orang, paling sering bermain video game menggunakan media telepon genggam/tablet/iPad. Tabel 1. Gambaran Karakteristik Partisipan (N=45) Karakteristik Jumlah Persentase Perempuan 21 46,7 Laki-laki 24 53,3 8 10 22,2 9 33 73,3 10 2 4,4 Rata-rata (100-109) 9 20 Di Atas Rata-rata (110-119) 18 40 Superior (120-129) 15 33,3 Sangat Superior (di atas 130) 3 6,7 Jenis Kelamin Usia (dalam tahun) Tingkat Inteligensi (skala Weschler) Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 15 Pada Tabel 2 dapat dilihat pula bahwa jenis video game yang paling diminati oleh subjek untuk dimainkan sehari-hari ialah jenis simulation video games (24,4%) seperti ‘Pou’ dan ‘Sims 3’, serta adventure video games (24,4%) seperti ‘Minecraft’ dan ‘Roblox’. Jenis puzzle video game sendiri, seperti ‘Angry Birds’ dan ‘Candy Crush’ hanya diminati sebanyak 4,4% subjek. Tabel 2. Jenis Video Game yang Paling Diminati Jenis Permainan Strategy Simulation Adventure Action Fighting Arcade Action-adventure Sport Contoh Judul Permainan Jumlah Persentase Plants vs Zombies, Clash of Clans, Faster Than Light, Bomberman 7 15,6 Pou, Sims 3, Small City, Cooking Mama 11 24,4 Minecraft, Roblox, My Little Pony 11 24,4 Sengoku Basara 2, Call of Duty 2 4,4 World Robot Boxing, Dragon Ball Z 3 6,7 Clouds & Sheep, Jump Star 3 6,7 Terraria 1 2,2 Pro Evolution Soccer (PES) 3 6,7 Racing Gran Turismo 1 2,2 Puzzle Angry Birds, Candy Crush 2 4,4 Bobby Bola 1 2,2 45 100 Edutainment Total Untuk pengujian hipotesis, setelah distribusi seluruh kelompok subjek dibuktikan normal oleh uji normalitas menggunakan metode KolmogorovSmirnov, dilakukanlah pengujian menggunakan metode independent sample t-test pada masing-masing hipotesis penelitian. Kemudian, untuk melihat signifikansi dari hasil perhitungan independent sample t-test, dilakukanlah Levene’s test yang hasilnya menunjukkan varians ketiga kelompok subjek setara, yaitu dengan nilai F(43) = 0,095, p = 0,760 pada hipotesis penelitian yang pertama, dan F(28) = 0,82, p = 0,777 pada hipotesis penelitian yang kedua, dengan menggunakan nilai alfa sebesar 0,05. Oleh karena itu, digunakan independent sample t-test yang mengasumsikan kesetaraan varians. Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 16 Hipotesis penelitian yang pertama menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata skor Raven’s CPM yang signifikan antara kelompok yang bermain puzzle video game (M = 32,63, SD = 2,109) dengan kelompok yang tidak bermain puzzle video game sama sekali (M = 31,13, SD = 2,503), t(43) = 2,113, p < 0,05. Dengan perkataan lain, hipotesis null pertama di tolak. Di samping itu, hasil independent sample t-test pada hipotesis penelitian yang kedua, menunjukkan bahwa kelompok subjek yang bermain puzzle video game selama 1 sesi (M = 32,40, SD = 2,165) tidak menunjukkan perbedaan rata-rata skor Raven’s CPM yang signifikan jika dibandingkan dengan kelompok yang bermain puzzle video game selama 1 sesi (M = 32,87, SD = 2,100), t(28) = -0,599, p > 0,05. Dengan perkataan lain, hipotesis null kedua di terima. Selain itu, peneliti juga melakukan perhitungan terhadap effect size untuk mengetahui besarnya pengaruh bermain video game terhadap kemampuan penalaran induktif pada pengujian yang dilakukan. Dengan menggunakan acuan yang dituliskan dalam Field (2009), effect size dikatakan besar jika mencapai nilai r di atas 0,5, pengujian hipotesis pertama (r = 0,31) termasuk ke dalam small effect. Begitu pula dengan pengujian hipotesis kedua (r = 0,11). Pembahasan Terdapat dua buah hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Hasil pengujian hipotesis pertama menunjukkan bahwa terdapat pengaruh bermain puzzle video game terhadap kemampuan penalaran induktif pada anak usia sekolah. Hal itu sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Greenfield, dkk. (1994) yang menunjukkan bahwa bermain video game memberikan efek latihan terhadap kemampuan penalaran induktif. Akan tetapi, penelitian tersebut menggunakan jenis permainan yang berbeda, yaitu video game berjenis arcade. Walaupun terdapat perbedaan jenis video game pada penelitian ini dan penelitian tersebut, prinsip-prinsip video game yang dipelajari oleh subjek secara keseluruhan serupa. Greenfield, dkk. (1994) mengatakan bahwa pemain video game harus menemukan sendiri aturan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas dalam video game melalui observasi, trial and error, dan mencobakan hipotesis. Pada puzzle video game yang diberikan pada penelitian ini, subjek Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 17 memang melakukan hal-hal tersebut untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam permainan. Puzzle video game dapat memberikan pengaruh terhadap kemampuan penalaran induktif karena puzzle video game yang diberikan menjadi media untuk mengobservasi prinsip-prinsip penalaran induktif. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bottino, Ferlino, Ott, dan Tavella (2006; Bottino & Ott, 2006; Bottino, Ott, & Tavella, 2008) yang menemukan bahwa kemampuan penalaran digunakan ketika anak memainkan jenis permainan digital mind games. Dengan begitu, penelitian ini membuktikan bahwa video game berjenis serupa dapat berpengaruh terhadap kemampuan penalaran yang lebih spesifik, yaitu kemampuan penalaran induktif, sebab menggunakan video game berjenis puzzle yang juga termasuk ke dalam jenis digital mind games. Selain itu, untuk menentukan judul puzzle video game yang akan diberikan kepada subjek, peneliti juga melakukan analisis konten untuk melihat apakah prinsip-prinsip serta tugas-tugas penalaran induktif ditampilkan dalam permainan tersebut atau tidak. Permainan “Successful Experiment” dan “Atomic Puzzle 2” telah dinilai memenuhi syarat-syarat tersebut. Selain memang terdapat prinsipprinsip dan tugas-tugas penalaran induktif di dalam permainan yang diberikan, video game sendiri juga memiliki prinsip-prinsip atau dimensi-dimensi pembelajaran yang dapat menjadikannya media yang baik bagi pemainnya untuk belajar melalui permainan tersebut (Gee, 2003; Gentile & Gentile, 2008). Sebagai tambahan, pada analisis deskriptif mengenai kebiasaan bermain video game sehari-hari subjek ditemukan bahwa hanya sebanyak 5% dari subjek yang menjadikan puzzle video game sebagai jenis video game yang paling diminati. Selebihnya, subjek meminati video game berjenis lain, seperti simulasi, petualangan, dan strategi. Jenis-jenis video game tersebut diketahui melatihkan kemampuan lain selain kemampuan penalaran induktif, seperti kemampuan penyelesaian masalah secara umum pada video game petualangan (VanDeventer & White, dalam Blumberg, Altschuler, Almonte, & Mileaf, 2013) serta kemampuan penyelesaian masalah sosial pada video game simulasi (Nasution, 2010). Dengan demikian, meskipun subjek dalam penelitian ini seluruhnya terpapar dengan video game, namun hanya sebagian kecil dari subjek yang Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 18 memainkan puzzle video game, sehingga kemampuan penalaran induktif secara spesifik diasumsikan tidak terlatihkan melalui kegiatan bermain video game sehari-hari. Selanjutnya, hasil dari hipotesis kedua menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan skor rata-rata yang signifikan antara kedua kelompok subjek tersebut. Dengan demikian, perbedaan intensitas bermain puzzle video game tidak memiliki pengaruh terhadap kemampuan penalaran induktif pada anak usia sekolah. Hal tersebut di duga karena memang tidak adanya pengaruh durasi bermain video game pada peningkatan kemampuan pemainnya. Dugaan ini didukung oleh pendapat Nasution (2010), yaitu jenis video game yang dimainkan lebih memberikan pengaruh terhadap peningkatan kemampuan dibandingkan dengan durasi bermain. Dengan demikian, tidak adanya perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok subjek tersebut dapat disebabkan karena memang tidak adanya pengaruh seberapa lama seseorang bermain puzzle video game terhadap penalaran induktif. Akan tetapi, dugaan mengenai tidak adanya pengaruh durasi bermain video game terhadap peningkatan kemampuan pemainnya, sebenarnya bisa saja tidak tepat. Hal tesebut didasari oleh penelitian yang dilakukan oleh Blumberg dan Sokol (2004) yang membuktikan bahwa anak yang lebih sering bermain video game lebih menginternalisasi strategi yang dilakukan di dalam permainan tersebut dibandingkan dengan anak yang tidak sering bermain video game. Selain itu, dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa adanya skor rata-rata yang sedikit lebih tinggi pada kelompok subjek yang bermain puzzle video game selama dua sesi (M = 32,87, SD = 2,100) daripada kelompok subjek yang bermain puzzle video game selama satu sesi (M = 32,40, SD = 2,165). Hal tersebut diduga dapat disebabkan oleh adanya pengaruh intensitas bermain video game. Akan tetapi, variasi intensitas yang diberikan dalam penelitian ini tidak terlalu jauh berbeda satu sama lainnya, yaitu hanya memiliki selisih satu sesi bermain saja. Seharusnya, variasi yang diberikan haruslah berbeda satu sama lain dan didasari oleh penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya (Christensen, 2007). Hal ini menjadi salah satu keterbatasan di dalam metode penelitian ini. Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 19 Dari kedua pengujian hipotesis, ditemukan effect size yang kecil dari kedua pengujian tersebut, yang berarti perlakuan (treatment), dalam hal ini adalah puzzle video game, menunjukkan pengaruh yang kecil terhadap kemampuan penalaran induktif. Kecilnya pengaruh tersebut salah satunya dapat disebabkan oleh besar sampel yang tegolong kecil (Gravetter & Wallnau, 2007), sehingga mempengaruhi pula kekuatan statistik dari pengujian hipotesis yang dilakukan. Selain itu, seluruh subjek penelitian sehari-harinya memiliki akses terhadap gadget dan telah terpapar oleh video game, sehingga pemberian video game menjadi tidak terlalu berpengaruh besar terhadap peningkatan kemampuan penalaran induktif subjek. Kecilnya effect size bisa jadi disebabkan karena kemampuan penalaran induktif merupakan konstruk yang tergolong stabil, sebab kemampuan penalaran induktif termasuk ke dalam kategori fluid intelligence (Gustafsson, dalam Sattler, 2001; Klauer, Willmes, & Phye, 2002). Terlebih dengan durasi manipulasi yang tergolong singkat, pemberian puzzle video game diduga pengaruhnya hanya sebatas memberikan efek warm up atau “pemanasan” terhadap pengerjaan tes Raven’s CPM, sehingga kelompok subjek yang bermain puzzle video game menunjukkan tingkat kemampuan penalaran induktif yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok subjek yang tidak bermain puzzle video game. Kesimpulan Didapatkan dua kesimpulan dari penelitian ini, yaitu: 1. Terdapat pengaruh bermain puzzle video game terhadap tingkat kemampuan penalaran induktif pada anak usia sekolah, yang ditunjukkan dari adanya perbedaan tingkat kemampuan penalaran induktif antara kelompok subjek yang bermain puzzle video game dengan kelompok subjek yang tidak bermain puzzle video game sama sekali. 2. Perbedaan intensitas bermain puzzle video game tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat kemampuan penalaran induktif pada anak usia sekolah, yang ditunjukkan dari tidak adanya perbedaan tingkat kemampuan penalaran induktif antara kelompok subjek yang intensitas bermain puzzle video game- Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 20 nya lebih banyak (2 sesi) dibandingkan dengan subjek yang intensitas bermain puzzle video game-nya lebih sedikit (1 sesi). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bermain puzzle video game berpengaruh terhadap tingkat penalaran induktif, namun perbedaan intensitas bermain video game tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat penalaran induktif pada anak usia sekolah. Saran Terlepas dari keterbatasan-keterbatasan yang telah disebutkan, penelitian ini telah membuktikan dugaan mengenai adanya pengaruh bermain puzzle video game terhadap peningkatan kemampuan penalaran induktif yang belum pernah dibuktikan dalam penelitian-penelitian sebelumnya. Peneliti juga meyakini bahwa puzzle video game dapat memberikan manfaat dalam peningkatan kemampuan penalaran induktif. Penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut dengan memperbaiki keterbatasan-keterbatasan penelitian. Pertama, penelitian yang ingin melihat perbedaan intensitas sebaiknya memberikan manipulasi yang benar-benar menunjukkan adanya perbedaan intensitas yang berbeda antar variasi manipulasi. Hal tersebut dilakukan agar variasi dapat menunjukkan perbedaan yang signifikan apabila memang terdapat pengaruh dari perbedaan intensitas tersebut. Kedua, berkaitan dengan effect size yang tergolong kecil dalam penelitian ini, penelitian selanjutnya sebaiknya memperbanyak jumlah sampel penelitian. Semakin besar sampel yang digunakan dalam penelitian, maka hasil dari kekuatan statistik juga akan meningkat. Banyaknya sampel yang digunakan dapat merujuk pada asumsi distribusi yang mendekati kurva normal, yaitu tidak kurang dari 30 orang pada setiap kelompok subjek (Guilford & Fruchter, 1978). Ketiga, dalam penelitian eksperimental, kontrol sangatlah penting untuk dilakukan. Terlebih pada penelitian ini yang metode pengukurannya hanya menggunakan posttest, kontrol terhadap proactive history subjek penting untuk diperhatikan. Dengan kontrol yang baik, hasil pengukuran yang didapat setelah dilakukannya manipulasi benar-benar menggambarkan pengaruh dari variabel bebas yang diberikan. Selain itu, cara lain dapat dilakukan dengan mencari alat Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 21 ukur yang memungkinkan untuk dijadikan pretest dan posttest. Dengan mengukur kemampuan subjek sebelum dan sesudah diberikannya manipulasi, pengaruh yang dihasilkan oleh manipulasi benar-benar dapat terlihat dengan mengukur adanya gain score dari hasil pretest dan posttest. Daftar Referensi Almeida, L.C. (2012). The effect of an educational computer game for the achievement of factual and simple conceptual knowledge acquisition. Education Research International, 1–5. doi:10.1155/2012/961279 Barnett, E. (14 Maret 2012). Children spend ‘353 hours a year using gadget’. The Telegraph. Diunduh dari http://www.telegraph.co.uk/technology/news/9143621/Children-spend-353hours-a-year-using-gadgets.html Blumberg, F. C., Altschuler, E. A., Almonte, D. E., & Mileaf, M. I. (2013). The impact of recreational video game play on children’s and adolescents’ cognition. Dalam F. C. Blumberg & S. M. Fisch (Eds.), Digital Games: A Context for Cognitive Development. New Directions for Child and Adolescent Development, 139, 41–50. doi: 10.1002/cad.20030 Blumberg, F. C. & Sokol, L. M. (2004). Boys’ and girls’ use of cognitive strategy when learning to play video games. The Journal of General Psychology, 131 (2), 151-158. Diunduh dari: https://www.academia.edu/1410501/BlumbergSokol Bottino, R. M., Ferlino, L., Ott, M., & Tavella, M. (2006). Developing strategic and reasoning abilities with computer games at primary school level. Computers & Education, 49 (4), 1272-1286. doi:10.1016/j.compedu.2006.02.003 Bottino, R. M. & Ott, M. (2006). Mind games, reasoning skills, and the primary school curriculum: Hints from a field experiment. Learning Media & Technology, 31 (4), 359375. doi: 10.1080/17439880601022981 Bottino, R. M, Ott, M., & Benigno, V. (2009). Digital mind games: Experience-based reflections on design and interface features supporting the development of reasoning skills. Dalam M. Pivec, Proceedings of the 3rd European Conference on Games Based Learning. Graz, Austria: FH JOANNEUM University of Applied Science. Diunduh dari: https://www.academia.edu/4709513/Digital_Mind_Games_ExperienceBased_Reflections_on_Design_and_Interface_Features_Supporting_the_Development_of _Reasoning_Skills Bottino, R. M., Ott, M., & Tavella, M. (2008). The impact of mind game playing on children’s reasoning abilities: Reflections from an experience. Dalam M. Stanfield & T. Connoly, Proceedings of the 2nd European Conference on Games-Based Learning. Barcelona, Spain: Universitat Oberta de Catalunya. Diunduh dari: https://www.academia.edu/4577426/The_Impact_of_Mind_Game_Playing_on_Childrens _Reasoning_Abilities_Reflections_from_an_Experience Christensen, L. B. (2001). Experimental methodology (10th ed.). Boston: Pearson Education Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 22 Chuang, T.Y., & Chen, W.F. (2009). Effect of computer-based video games on children: An experimental study. Educational Technology & Society, 12 (2), 1–10. Diunduh dari: http://search.proquest.com/docview/1287038940 Csapo, B. (1997). The development of inductive reasoning: Cross-sectional assessments in an educational context. International Journal of Behavioral Development, 20 (4), 609-626. doi: 10.1080/016502597385081 De Koning, E., Sijtsma, K., & Hamers, J. H. M. (2003). Construction and validation of a test for inductive reasoning. European Journal of Psychological Assessment, 19 (1), 24-39. doi: 10.1027//1015-5759.19.1.24 Delft, P. V. & Botermans, J. (1995). Creative puzzles of the world. Amsterdam, Netherlands: ADM International Febriani, C. & Rosyidi, A. H. (2012). Identifikasi penalaran induktif siswa dalam memecahkan masalah matematika. Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya. Diunduh dari http://ejournal.unesa.ac.id Field, A. (2009). Discovering statistic using SPSS (3rd ed.). London: SAGE Publications Frost, J. L., Wortham, S. C., & Reifel, S. (2012). Play and child development (4th ed.). New Jersey: Pearson Education Galloway, A. R. (2006). Gaming: Essays on algorithmic culture. London: University of Minnesota Press Gee, J. P. (2003). What video games have to teach us about learning and literacy. New York: Palgrave Macmillan Gentile, D. A. & Gentile, J. R. (2008). Violent video games as a exemplary teachers: A conceptual analysis. J Youth Adolescence, 37, 127-141. doi: 10.1007/s10964-007-9206-2 Goswami, U. (2011). Inductive and deductive reasoning. Dalam U. Goswami (Ed.), The WilleyBlackwell handbook of childhood cognitive development (2nd edition) (hal. 399-419). West Sussex: Blackwell Publishers Gravetter, F. J. & Wallnau, L. B. (2007). Statistics for the behavioral sciences (7th ed.). Belmont: Thomson Wadsworth Greenfield, P. M., Camaioni, L., Ercolani, P., Weiss, L., Lauber, B. A., & Perucchini, P. (1994). Cognitive socialization by computer games in two cultures: Inductive discovery or mastery of an iconic code?. Journal of Applied Developmental Psychology, 15, 59-85. doi: 10.1016/0193-3973(94)90006-X Hannah, P. (n.d). Video game technologies [PowerPoint Presentation version]. Diunduh dari: http://www.di.ubi.pt/~agomes/tjv/teoricas/01-genres.pdf Hasanah, N. (20 Mei 2013). Kapan waktu yang tepat memperkenalkan gadget pada anak?. Chip Online Indonesia. Diunduh dari: http://www.chip.co.id/news/tips-gadget-appsgames/6372/kapan_waktu_yang_tepat_memperkenalkan_gadget_kepada_anak Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 23 Hayes, B. K. (2007). The developmental of inductive reasoning. Dalam A. Feeney & E. Heit (Eds.), Inductive reasoning: Experimental, developmental, and computational approaches (hal. 25-54). New York: Cambridge University Press Heit, E. (2000). Properties of inductive reasoning. PsychonomicBulletin & Review, 7(4), 569-592. Diunduh dari: https://moodle.fp.tul.cz/pluginfile.php/110571/mod_resource/content/0/texty_pro_cvicny _kurz/Properties_of_inductive_reasoning.pdf Heit, E. (2007). What is induction and why study it?. Dalam A. Feeney & E. Heit (Eds.), Inductive reasoning: Experimental, developmental, and computational approaches (hal. 1-24). New York: Cambridge University Press Holmes, C. B. (1983). Sample size in four areas of psychological research. Transactions of the Kansas Academy of Science, 86 (2-3), 76-80. Diunduh dari: http://www.jstor.org/stable/3627914 Holyoak, K. J. & Morrison, R. G. (2005). Thinking and reasoning: The readers guide. Dalam K. J. Holyoak & R. G. Morrison (Eds.). The Cambridge handbook of thinking and reasoning (hal. 1-9). Cambrige: Cambridge University Press Juul, J. (2010). A casual revolution: Reinventing video games and their players. London: The MIT Press Kaplan, R. M. & Saccuzo, D. P. (2005). Psychological testing: Principles, applications, and issues (6th ed.). Belmont: Wadsworth Kemp, C., & Jern, A. (2014). A taxonomy of inductive problems. Psychonomic bulletin & review, 21(1), 23-46. doi: 10.3758/s13423-013-0467-3 Kirriemuir, J. & McFarlane, A. (2004). Literature review in games and learning [Adobe Reader version]. Diunduh dari: http://www.coulthard.com/library/Files/kirriemuirfuturelabs_2004_gamesreview.pdf Klauer, K. J., Willmes, K., & Phye, G. D. (2002). Inducing inductive reasoning: Does it transfer to fluid intelligence?. Contemporary Educational Psychology, 27, 1-25. doi:10.1006/ceps.2001.1079 Kunda, M., McGreggor, K., & Goel, A. K. (Oktober, 2009). Addressing the Raven's Progressive Matrices Test of "General" Intelligence. Dalam AAAI Fall Symposium: MultiRepresentational Architectures for Human-Level Intelligence. Diunduh dari: http://www.cc.gatech.edu/~bmcgregg/AddressingRavens.pdf Lee, J. J. & Hammer, J. (2011). Gamification in education: What, how, and why bother?. Academic Exchange Quarterly, 15(2). Diunduh dari: http://www.gamifyingeducation.org/files/Lee-Hammer-AEQ-2011.pdf Levitin, D. J. (2002). Experimental design in psychological research. Dalam D. J. Levitin (Ed.), Foundations of Cognitive Psychology (hal. 115-130). Massachusetts: The MIT Press Little, D. R., Lewandowsky, S., & Griffiths, T. (2012). A Bayesian model of rule induction in Raven’s Progressive Matrices. Dalam Proceedings of the 34th Annual Conference of the Cognitive Science Society (hal. 1918-1923). Diunduh dari: http://cocosci.berkeley.edu/tom/papers/Little_WMCRavens.pdf Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 24 Mance, H. (2 Desember 2013). Consumers spend four hours a day on gadgets, survey finds. The Financial Times. Diunduh dari: http://www.ft.com/cms/s/0/e274ea4e-5aa3-11e3-b25500144feabdc0.html#axzz2ykxM5qaf Manktelow, K. (1999). Reasoning and thinking. East Sussex: Psychology Press McFarlane, A., Sparrowhawk, A. & Heald, Y. (2002). Report on the educational use of games: An exploration by TEEM of the contribution which games can make to the education process [Adobe Reader version]. Diunduh dari: http://www.kennisnet.nl/uploads/tx_kncontentelements/games_in_education_full1.pdf Michael Cohen Group. (2014). Toys, learning, & play summit touch screens [Adobe Reader version]. Diunduh dari: http://mcgrc.com/wp-content/uploads/2014/02/MCGRC_DigitalKids-Presentation_0220142.pdf Miller, C. (2013). The gamification of education. Developments in Business Simulation and Experiential Learning, 40, 196-200. Diunduh dari: https://journals.tdl.org/absel/index.php/absel/article/viewFile/40/38 Miller, S. (1984). Experimental design and statistics (2nd ed.). London: Routledge Nasution, I. J. (2010). Pengaruh bermain video game simulasi terhadap kemampuan menyelesaikan masalah sosial (social problem solving ability) pada remaja (Tesis, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia) Osman, K., & Bakar, N.A. (2012). Educational computer games for Malaysian classrooms: Issues and challenges. Asian Social Science, 8 (11), 75–84. doi:10.5539/ass.v8n11p75 Oxford University Press. (2014). http://www.oxforddictionaries.com/ Oxford Dictionary. Tersedia di Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human development (11th edition). New York: McGraw-Hill Phan, M. H. (2011). Video gaming trends: Violent, action/adventure games are most popular. Usability News, 13 (2). Diunduh dari: www.surl.org/usabilitynews/132/videogames.asp Rebetez, C. & Betrancourt, M. (2007). Video game research in cognitive and educational sciences. Cognition, Brain, & Behavior, 9 (1), 131-142. Diunduh dari: http://tecfa.unige.ch/perso/mireille/papers/Rebetez_Betrancourt_CognBra.pdf Santrock, J.W. (2011). Educational psychology (5th edition). New York: McGraw-Hill Sattler, J. M. (2001). Assessment of children (3rd ed.). San Diego: Jerome M. Sattler Publisher Seniati L., Yulianto, A., & Setiadi, B. N. (2011). Psikologi eksperimen. Jakarta: Indeks Sidiknas. (18 Desember 2012). Struktur Kurikulum 2013. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Diunduh dari: http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/uji-publik-kurikulum-2013-4 Scott, N. C. (1962). The relationship of inductive reasoning and cognitive styles in categorization behavior to science concept achievement in elementary school children. (Disertasi Doktoral). Tersedia dari ProQuest Dissertations & Theses Global. (UMI No. 6302223) Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 25 Tedjasaputra, M. S. (2001). Bermain, mainan dan permainan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia Verguts, T. & De Boeck, P. (2002). The induction of solution rules in Raven’s Progressive Matrices Test. European Journal of Cognitive Psychology, 14 (2), 521-547. doi:10.1080/0954144014300023 Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014 Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014