Pengaruh Bermain Puzzle Video Game terhadap Kemampuan

advertisement
1
Pengaruh Bermain Puzzle Video Game terhadap Kemampuan
Penalaran Induktif pada Anak Usia Sekolah
Laras Sekar Melati dan Patricia Adam
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian eksperimental ini bertujuan untuk menguji adanya pengaruh bermain puzzle video game
terhadap kemampuan penalaran induktif pada tiga kelompok yang berbeda. Sebanyak 45 siswa
kelas 3 SD dibagi menjadi tiga kelompok dengan perlakuan: (1) bermain puzzle video game
selama 30 menit; (2) bermain puzzle video game selama 1 jam; dan (3) kelompok kontrol.
Kemampuan penalaran induktif diukur melalui post-test menggunakan Raven’s Coloured
Progressive Matrices. Dengan membandingkan skor rata-rata tes menggunakan teknik independent
sample t-test, didapatkan hasil bahwa bermain puzzle video game berpengaruh secara signifikan
terhadap kemampuan penalaran induktif jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (t(43) =
2,113, p = 0,04), sedangkan bermain puzzle video game selama 1 jam tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap kemampuan penalaran induktif jika dibandingkan dengan kelompok yang
bermain puzzle video game selama 30 menit (t(28) = -0,599, p = 0,554).
The Effect of Playing Puzzle Video Games towards Inductive Reasoning
Ability on School-Age Children
Abstract
This experimental study aimed to examine the influence of playing puzzle video game on
inductive reasoning ability in three different groups. Forty five third-graders divided into three
treatment groups: (1) playing puzzle video game in 30 minutes; (2) playing puzzle video games in
1 hour; and (3) control group. Inductive reasoning ability was measured by post-test using Raven’s
Coloured Progressive Matrices. By comparing the mean scores with independent sample t-test, the
results showed that playing puzzle video games significantly affect inductive reasoning ability
compared to control group (t(43) = 2.113, p = .04), while playing puzzle video games for 1 hour
does not significantly affect inductive reasoning ability compared to playing puzzle video game in
30 minutes (t(28) = -.599, p = 0.554).
Keywords: video game, inductive reasoning ability, effect of playing video game
Pendahuluan
Rancangan Kurikulum 2013, yang dirancang dalam bentuk tematik-integratif,
sudah mulai diterapkan pada siswa-siswi sekolah dasar di Indonesia pada tahun
pelajaran 2014/2015 (www.kemdiknas.go.id). Kurikulum baru ini menuntut
siswa-siswi sekolah dasar untuk dapat melihat keterkaitan antara satu mata
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
2
pelajaran dengan mata pelajaran lain, sebab mata pelajaran sains dilebur ke dalam
mata pelajaran lain secara terpisah-pisah. Untuk mendukung tuntutan tersebut,
dibutuhkan suatu kemampuan kognitif tertentu agar anak dapat membuat suatu
kesimpulan menyeluruh dari informasi-informasi yang didapatkannya dari
masing-masing mata pelajaran yang terpisah yang disebut dengan kemampuan
penalaran.
Di usia sekolah dasar, yang menurut Piaget sudah masuk ke dalam tahap
perkembangan kognitif konkrit operasional, kemampuan penalaran yang telah
berkembang adalah kemampuan penalaran induktif (Papalia, Olds, & Feldman,
2009), yaitu penalaran yang dimulai dari observasi mengenai berbagai informasi
yang spesifik ke kesimpulan yang bersifat umum (Manktelow, 1999; Papalia,
Olds, & Feldman, 2009; Goswami, 2011; Santrock, 2011). Menurut Hayes (2007),
prinsip-prinsip penalaran induktif memang sudah terlihat sejak anak masih bayi,
namun dilakukan dengan lebih baik ketika anak mencapai usia sekolah.
Perkembangan kemampuan penalaran induktif sendiri berkaitan dengan
meningkatnya pengetahuan anak, kemampuan mengenali hubungan antar objek,
(Goswami, dalam Hayes, 2007), serta tingkat inteligensi (Spearman, dalam
Sattler, 2001; Klauer, Willmes, & Phye, 2002).
Kemampuan penalaran induktif menjadi penting untuk ditingkatkan sebab
anak yang kemampuan penalaran induktifnya lebih berkembang akan lebih baik
dalam mengaplikasikan pengetahuan yang dimilikinya pada situasi baru (Csapo,
1997). Dalam pembelajaran di sekolah, penalaran induktif juga terbukti memiliki
hubungan dengan pencapaian terhadap konsep sains (Scott, 1962; Csapo, 1997)
dan dapat membantu anak untuk menyelesaikan permasalahan dalam mata
pelajaran matematika (Febriani & Rosyidi, 2012). Dengan demikian, penalaran
induktif penting untuk dikuasai oleh anak, untuk mendukungnya menguasai
pembelajaran di sekolah.
Penelitian yang dilakukan oleh Klauer, Willmes dan Phye (2002)
menunjukkan bahwa kemampuan penalaran induktif dapat dilatihkan melalui
aktivitas yang diberikan berupa pelajaran mengenai konsep-konsep penalaran
induktif serta mengerjakan tugas-tugas penalaran induktif di dalam aktivitas kelas.
Selain itu, penelitian lain menyebutkan bahwa usaha meningkatkan kemampuan
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
3
penalaran pada anak juga dapat dilakukan dengan menggunakan media permainan
(Bottino, Ferlino, Ott, & Tavella, 2006). Melalui permainan, ketertarikan anak
untuk belajar menjadi lebih tinggi sebab bermain merupakan dunia kerja anak
(Tedjasaputra, 2000), dan umumnya bermain digunakan anak usia sekolah untuk
mengaplikasikan
kemampuan
yang
dimilikinya,
termasuk
di
antaranya
kemampuan kognitifnya (Frost, Wortham, & Reifel, 2012). Untuk itu, anak usia
sekolah dapat diberikan berbagai jenis permainan untuk membantu dirinya
belajar, termasuk jenis permainan yang sedang banyak digemari anak saat ini,
yaitu permainan komputer dan video game.
Pada era digital seperti sekarang ini, ketertarikan anak-anak usia sekolah
terhadap video game serta bentuk interaksi menggunakan perangkat telepon dan
komputer menunjukkan adanya peningkatan (Frost, Wortham, & Reifel, 2012).
Perangkat-perangkat elektronik atau gadget seperti komputer, tablet, dan
smartphone sudah bukan menjadi barang mewah dan bahkan telah menjadi salah
satu media permainan bagi anak. Survey yang dilakukan di Indonesia oleh
Indonesia’s Hottest Insight (IHI) menunjukkan bahwa 40% anak sudah memiliki
ponsel sendiri, dan 35% anak-anak menginginkan produk smartphone terbaru
(http://www.chip.co.id/). Selain itu, survey yang dilakukan kepada 2.000 orang
tua di Inggris menunjukkan hampir sebanyak dua pertiga dari partisipan
memberikan anaknya perangkat elektroniknya sendiri, seperti tablet atau iPad,
dan rata-rata mereka menghabiskan hampir sebanyak satu jam perhari untuk
menggunakan perangkat elektroniknya (http://www.telegraph.co.uk/). Survey
yang dilakukan oleh Michael Cohen Group di Amerika Serikat pada Februari
2014 menunjukkan bahwa lebih dari 60% orang tua menyatakan bahwa anak-anak
mereka yang berusia 12 tahun ke bawah “sering” bermain gadget berlayar sentuh,
dan 36% di antaranya menyatakan “sangat sering”.
Kemudian, terdapat survey-survey yang menunjukkan besarnya penggunaan
gadget sebagai alat permainan. Survey yang dilakukan di Inggris menunjukkan
bahwa pengguna gadget menggunakan gadgetnya lebih banyak untuk bermain
daripada berbelanja online, membaca ebook, ataupun menggunakan jejaring sosial
(www.ft.com). Selain itu, survey oleh Michael Cohen Group (2014) juga
menunjukkan bahwa anak-anak di bawah 12 tahun menggunakan gadget berlayar
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
4
sentuh lebih dari 60 persennya untuk bermain, di samping untuk berkomunikasi,
belajar, dan kegunaan lainnya. Jenis permainan video game yang terdapat di
dalam gadget juga terbukti sudah banyak dimainkan oleh anak-anak usia sekolah,
salah satunya hasil survey oleh Phan (2011) menunjukkan bahwa mayoritas anakanak yang menjadi responden mulai bermain video game semenjak di bawah usia
13 tahun, yaitu pada rentang usia sekolah.
Ketertarikan anak bermain video game tersebut disebabkan karena video
game dan dunia virtual lainnya memang terbukti unggul dalam memunculkan
keterlibatan pemainnya (McGonigal, dalam Lee & Hammer, 2011). Keterlibatan
pemain dalam bermain video game bersifat sukarela (voluntary) dan pemain
memilih untuk bermain video game berdasarkan keinginannya sendiri (Miller,
2013). Selain itu, video game memang memiliki beberapa aspek yang membuat
pemainnya dapat termotivasi untuk bermain, antara lain adanya tujuan (goals),
aturan atau instruksi (rules/instructions), aksi (actions), dan hasil akhir (outcomes)
(Miller, 2013). Aspek-aspek tersebut membuat video game dapat diterapkan
dalam konteks pendidikan sebagai salah satu media yang memfasilitasi anak
untuk belajar.
Selain dapat meningkatkan keterlibatan, video game juga terbukti dapat
memberikan efek terhadap tiga aspek pada individu, yaitu aspek keterampilan dan
kemampuan kognitif, aspek afektif dan motivasi, serta aspek pembelajaran
terhadap pengetahuan (Rebetez & Betrancourt, 2007). Efek positif video game,
khususnya terhadap kemampuan kognitif anak pun telah dibuktikan melalui
sejumlah penelitian, seperti meningkatkan kemampuan penalaran spasial
(Subrahmanyam, 1994 dalam Rebetez & Betrancourt, 2007), penalaran matematik
dan strategi (Fisch, Lesh, Motoki, Crespo, & Melfi, 2011 dalam Blumberg,
Altschuler, Almonte, & Mileaf, 2013), kemampuan menyelesaikan masalah sosial
(Nasution, 2010), pengetahuan faktual (Almeida, 2012), serta memperkuat proses
recall dan kemampuan penyelesaian masalah (Chuang & Chen, 2009). Hasil-hasil
penelitian tersebut di atas, menunjukkan bahwa video game memiliki pengaruh
terhadap proses kognitif yang diperlukan dalam proses belajar.
Akan tetapi, jenis video game yang berbeda berpengaruh terhadap
kemampuan kognitif yang juga berbeda. Setiap jenis video game memiliki tugas-
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
5
tugas yang berbeda, sehingga membutuhkan strategi bermain yang berbeda pula.
Oleh sebab itu, video game dapat menjadi salah satu cara untuk membantu proses
belajar apabila kontennya sesuai dengan kemampuan yang ingin dipelajari, sebab
tugas-tugas di dalam video game dapat menstimulasi perkembangan pengetahuan
serta
kemampuan
sesuai
konten
dari
permainan
tersebut
(McFarlane,
Sparrowhawk & Heald, 2002). Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil penelitian
Osman dan Bakar (2012) yaitu adanya pengaruh pemberian video game edukasi
yang memiliki konten pelajaran kimia terhadap kemampuan anak di mata
pelajaran kimia. Dengan demikian, jenis video game yang diberikan untuk
meningkatkan kemampuan penalaran induktif harus terlebih dahulu disesuaikan
dengan kemampuan penalaran induktif itu sendiri.
Telah terdapat beberapa penelitian yang membuktikan adanya pengaruh dari
jenis video game tertentu terhadap penalaran induktif. Penelitian oleh Greenfield,
Camaioni, Ercolani, Weiss, Lauber, dan Perucchini (1994) menunjukkan bahwa
video game berjenis arcade memberikan efek latihan terhadap kemampuan
penalaran induktif. Selain itu, terdapat pula sebuah penelitian longitudinal yang
membuktikan bahwa anak menggunakan kemampuan penalaran ketika bermain
video game yang berjenis digital mind games (Bottino & Ott, 2006; Bottino,
Ferlino, Ott, & Tavella, 2006; Bottino, Ott, & Tavella, 2008; Bottino, Ott, &
Benigno, 2009). Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis video game tertentu
berpengaruh terhadap kemampuan penalaran induktif.
Penentuan jenis video game yang akan digunakan menjadi penting, sebab
selain konten video game yang harus sesuai dengan kemampuan penalaran
induktif, penelitian Nasution (2010) juga menyebutkan bahwa jenis video game
yang dimainkan lebih memberikan pengaruh terhadap peningkatan kemampuan
dibandingkan dengan durasi bermain. Jenis permainan yang populer seperti puzzle
video game yang juga termasuk dalam jenis digital mind games, telah terbukti
memiliki keterkaitan dengan kemampuan penalaran pada anak secara umum
(Bottino, Ferlino, Ott, & Tavella, 2006; Bottino & Ott, 2006; Bottino, Ott, &
Tavella, 2008). Puzzle video game meminta pemainnya untuk menyelesaikan
puzzle atau permasalahan yang membutuhkan kemampuan logika, memori,
mencocokkan pola, waktu reaksi, dan sebagainya (Hanna, n.d.). Kemampuan-
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
6
kemampuan yang dibutuhkan ketika bermain puzzle video game tersebut, juga
terjadi ketika seseorang melakukan penalaran induktif, sehingga puzzle video
game dapat diberikan untuk mengembangkan kemampuan penalaran induktif.
Meskipun sebelumnya dikatakan bahwa durasi bermain video game tidak
memberikan pengaruh yang signifikan dibandingkan dengan jenis video game
terhadap peningkatan kemampuan pada pemainnya (Nasution, 2010), penelitian
lain menyebutkan bahwa anak yang sering bermain video game lebih
menginternalisasi
prinsip-prinsip
yang
dipelajari
melalui
video
game
dibandingkan dengan anak yang tidak sering bermain video game (Blumberg &
Sokol, 2004).. Hal tersebut menunjukkan bahwa seberapa banyak seseorang
bermain video game juga dapat berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan
pemainnya. Dengan demikian, harus ditinjau lebih lanjut apakah perbedaan
intensitas bermain video game memiliki pengaruh pada tingkat kemampuan
penalaran induktif anak.
Mengingat kembali adanya kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan
penalaran induktif pada anak usia sekolah berdasarkan tuntutan dari kurikulum
baru yang dicanangkan pada tingkat sekolah dasar, serta adanya bukti yang
menyebutkan bahwa kemampuan penalaran induktif dapat ditingkatkan salah
satunya menggunakan media video game (Bottino, Ferlino, Ott, & Tavella, 2006),
peneliti ingin melihat kemungkinan bahwa kemampuan penalaran induktif pada
anak usia sekolah dasar dapat ditingkatkan melalui puzzle video game. Selain itu,
diketahui bahwa sejauh ini penelitian mengenai kaitan antara kemampuan
penalaran maupun penalaran induktif secara khusus dengan video game masih
sangat terbatas. Padahal, video game dapat menjadi sebuah inovasi untuk
mengembangkan kemampuan penalaran induktif, sebab video game telah terbukti
memiliki aspek-aspek yang dapat membantu pemainnya untuk belajar. Oleh sebab
itu, penggunaan video game, lebih khususnya yang berjenis puzzle video game,
dapat diterapkan ke dalam konteks pendidikan yang dalam hal ini dimanfaatkan
untuk meningkatkan kemampuan penalaran induktif untuk membantu anak
memahami pelajarannya di sekolah.
Dengan demikian, muncul dua rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu,
(1) Apakah terdapat pengaruh bermain puzzle video game terhadap tingkat
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
7
kemampuan penalaran induktif pada anak usia sekolah?, (2) Apakah perbedaan
intensitas bermain puzzle video game memiliki pengaruh terhadap tingkat
kemampuan penalaran induktif pada anak usia sekolah?. Melalui penelitian ini
pula
diharapkan
dapat
membuktikan
adanya
dampak
positif
terhadap
perkembangan kognitif anak dari bermain video game yang sedang digemari oleh
anak-anak di era digital seperti saat ini, khususnya dalam area dan konteks
pendidikan.
Tinjauan Teoritis
Penalaran Induktif
Penalaran secara umum dibedakan menjadi dua jenis, yaitu penalaran induktif
dan penalaran deduktif (Manktelow, 1999; Goswami, 2011). Jika dilihat dari
sudut pandang perkembangan, penalaran logis mulai berkembang pada anak saat
anak memasuki usia kanak-kanak madya, meskipun hanya pada situasi-situasi
konkrit saja (Santrock, 2011), dan penalaran induktif terlebih dahulu berkembang
pada saat anak memasuki tahap usia kanak-kanak madya (Papalia, Olds, &
Feldman, 2009; Santrock, 2011). Dari berbagai tokoh yang menjelaskan mengenai
penalaran induktif, pengertian penalaran induktif dapat disimpulkan sebagai
bentuk penalaran yang dilakukan dengan mengenali persamaan dan perbedaan
dari informasi spesifik objek tersebut yang berupa atribut maupun hubungan,
kemudian disimpulkan menjadi kesimpulan yang umum mengenai objek tersebut
(Manktelow, 1999; Klauer, Willmes, & Phye, 2002; Papalia, Olds, & Feldman,
2009; Santrock, 2011). Misalnya saja, anak melihat anjing peliharaannya
menggonggong, lalu ia melihat anjing milik temannya dan anjing yang ia temui di
jalan juga menggonggong, anak akan mengambil kesimpulan bahwa semua anjing
menggonggong. Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa seseorang melihat
adanya persamaan di antara dua informasi spesifik, dan dari persamaan tersebut
seseorang dapat mengambil kesimpulan yang lebih umum.
Menurut Klauer, Willmes, dan Phye (2002) terdapat dua aspek penting yang
dilihat ketika seseorang melakukan penalaran induktif, yaitu atribut serta
hubungan atau relasi dari suatu objek. Berdasarkan atribut serta hubungan
tersebut, seseorang kemudian mengidentifikasi adanya persamaan dan atau
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
8
perbedaan. Berdasarkan hal-hal tersebut, dikelompokkanlah enam jenis tugas
penalaran induktif, yaitu (1) generalisasi, merupakan tugas yang memerlukan
identifikasi persamaan dari atribut suatu objek, (2) diskriminasi, merupakan tugas
yang memerlukan identifikasi perbedaan dari atribut suatu objek, (3) klasifikasi
silang, merupakan tugas yang memerlukan identifikasi persamaan sekaligus
perbedaan dari atribut suatu objek, (4) mengenali hubungan, merupakan tugas
yang memerlukan identifikasi persamaan dari hubungan suatu objek, (5)
membedakan hubungan, merupakan tugas yang memerlukan identifikasi
perbedaan dari hubungan suatu objek, dan (6) konstruksi sistem, merupakan tugas
yang memerlukan identifikasi persamaan sekaligus perbedaan dari hubungan
suatu objek.
Kemampuan penalaran induktif sendiri memiliki beberapa faktor yang
mempengaruhinya. Faktor pertama adalah observasi, yaitu melalui observasi yang
berulang-ulang, informasi dari pengalaman yang sama dapat menggambarkan
suatu pola sehingga dapat diakumulasikan sebagai sebuah kesimpulan yang akurat
(Manktelow, 1999). Faktor kedua adalah usia anak, yang berkaitan dengan
perkembangan kemampuan kognitif anak. Anak yang usianya lebih tua dapat
menggunakan strategi berpikir yang lebih rumit anak yang usianya lebih muda,
dan anak usia sekolah menunjukkan kemampuan penalaran induktif yang lebih
baik dari pada anak-anak yang usianya lebih muda (Hayes, 2007). Ketiga, adalah
faktor tingkat inteligensi yang dikatakan memiliki keterkaitan erat dengan
inteligensi seseorang. Sebagai contoh adalah pendapat Spearman (dalam Klauer,
Willmes, & Phye, 2002) yang meyakini bahwa faktor kecerdasan umum (g factor)
ditentukan oleh proses-proses induktif. Selain itu Gustafsson (1984, dalam Sattler,
2001) juga menggolongkan kemampuan induksi ke dalam fluid intelligence, yang
juga termasuk ke dalam faktor inteligensi umum (g factor).
Selain itu, kemampuan penalaran induktif pada anak juga dapat
mempengaruhi variabel tertentu, salah satunya adalah tingkat prestasi akademis.
Penelitian yang dilakukan oleh Kinshuk dan McNab (2006, dalam Santrock,
2011) menemukan bahwa kemampuan penalaran induktif merupakan prediktor
yang baik dari prestasi akademis. Selain itu, penelitian lain yang dilakukan di
Indonesia oleh Febriani dan Rosyidi (2012) menunjukkan bahwa terdapat
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
9
perbedaan kemampuan penalaran induktif saat mengerjakan permasalahan
matematika pada siswa dengan prestasi akademis tinggi, sedang, dan rendah.
Puzzle Video Game
Puzzle dalam konteks suatu kata benda diartikan sebagai:
“A game, toy, or problem designed to test ingenuity or knowledge.” (Oxford
English Dictionary)
Dari pengertian tersebut, puzzle dapat dijelaskan sebagai suatu permainan
yang dirancang untuk menguji kecerdasan atau pengetahuan pemainnya. Seluruh
jenis puzzle meminta pemainnya untuk menggunakan logika berpikir untuk
menyelesaikan permasalahan permainan. Dalam bentuk permainan digital,
permainan puzzle disebut dengan puzzle video game. Puzzle video game sendiri
dikategorikan sebagai salah satu genre dari video game (Herz, dalam Kirriemuir
& McFarlane, 2004), yaitu suatu cara yang dilakukan pemain dalam mengerjakan
mekanisme dari permainan tersebut (Costikyan, 2005 dalam Juul, 2010). Dalam
perkataan lain, puzzle video game menggunakan cara-cara atau mekanisme
bermain puzzle pada umumnya. Permainan video game bergenre puzzle sendiri
dapat didefinisikan sebagai permainan yang menekankan pada penyelesaian tekateki (puzzle) atau permasalahan yang membutuhkan penggunaan logika, memori,
mencocokkan pola atau urutan, dan sebagainya (Hannah, n.d.).
Anak Usia Sekolah
Dalam bukunya, Papalia, Olds, dan Feldman (2009) menggunakan istilah
school-age children atau anak usia sekolah sebagai sebutan lain untuk masa
kanak-kanak madya (middle childhood). Seorang anak dikatakan memasuki usia
sekolah ketika anak berada pada rentang usia 6 hingga 11 tahun (Papalia, Olds, &
Feldman, 2009; Santrock, 2011). Selain itu, Santrock (2011) menyebut anak-anak
di usia tersebut sebagai anak usia sekolah dasar (elementary school years), sebab
pada rentang usia tersebut anak-anak umumnya sedang duduk di bangku sekolah
dasar.
Di usia ini anak sudah dapat menggunakan operasi mental, seperti
penalaran, untuk menyelesaikan permasalahan yang konkrit atau aktual (Papalia,
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
10
dkk., 2009). Selain itu, kemampuan klasifikasi atau kategorisasi yang membantu
anak untuk berpikir secara logis pun berkembang pada usia ini (Santrock, 2011).
Melalui keterampilan ini, anak dapat mengklasifikasikan atau memisahkan bendabenda ke dalam kelompok atau subkelompok dan mengenali keterkaitannya.
Dengan begitu anak dapat mengkoordinasikan beberapa karakteristik pada suatu
objek dan tidak hanya berfokus pada satu properti khusus dari sebuah objek saja
(Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Kemampuan kategorisasi tersebut memiliki
peranan penting terhadap kemampuan individu untuk berpikir secara ekonomis
dan efisien mengenai dunia, sebab kategorisasi merupakan pengembangan topik
dari penalaran induktif, dan keduanya saling memiliki hubungan (Manktelow,
1999). Dengan menggunakan kemampuan-kemampuan kategorisasi tersebut
untuk menggeneralisasi atribut dari hal-hal yang sudah dikenal ke contoh-contoh
baru, anak dapat melakukan penalaran induktif (Hayes,
2007).
Metode Penelitian
Sebanyak 45 subjek dari sebuah sekolah dasar swasta di Kota Bandung
diikutkan dalam penelitian ini. Seluruh subjek penelitian merupakan anak usia
sekolah yang duduk di kelas 3 SD mengikuti rangkaian penelitian ini yang
penelitiannya termasuk ke dalam desain eksperimental. Terlebih dahulu dilakukan
kontrol terhadap variabel sekunder dalam penelitian ini, yaitu usia dan tingkat
inteligensi. Usia dikontrol dengan menyamakan usia subjek penelitian pada
masing-masing kelompok. Dengan demikian, sampel yang diambil merupakan
anak-anak dengan usia yang tidak jauh berbeda, yaitu anak yang duduk di kelas 3
SD yang berusia kurang lebih 8 hingga 10 tahun. Sedangkan tingkat inteligensi
dikontrol dengan teknik randomisasi blocking, yaitu dengan mengelompokkan
tingkat inteligensi ke dalam tiga kelompok yaitu, tingkat inteligensi tinggi,
rendah, dan sedang. Berdasarkan tingkat inteligensi tersebut, peneliti secara acak
memasukkan 45 subjek ke dalam tiga kelompok penelitian yang masing-masing
kelompok terdiri dari 15 orang, sehingga persebaran tingkat inteligensi subjek
sama rata.
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
11
Ketiga kelompok subjek dalam penelitian ini adalah Kelompok
Eksperimen 1, Kelompok Eksperimen 2, dan Kelompok Kontrol. Ketiga
kelompok subjek diberikan variasi manipulasi dari variabel bebas yaitu puzzle
video game. Variasi manipulasi yang diberikan pada masing-masing kelompok
adalah sebagai berikut:
1. Kelompok Eksperimen 1
Kelompok Eksperimen 1 (KE 1) diberikan manipulasi dengan cara diminta
untuk bermain satu macam puzzle video game berjudul “Successful
Experiment” dalam satu sesi bermain, yaitu selama 30 menit. Pada permainan
berjudul “Successful Experiment”, pemain diminta untuk memindahkan sebuah
objek berupa bola billiard berangka 8 dari suatu tempat ke tempat lain yang
ditandai dengan bendera. Akan tetapi, ada beberapa rintangan yang
menghalangi bola billiard untuk sampai ke bendera. Rintangan tersebut dapat
dipecahkan dengan dibantu oleh tiga jenis bola lainnya yang memiliki
karakteristik berbeda, yaitu bola bowling, bola basket, dan bola gelembung.
Sesuai dengan landasan teori yang telah dibahas, permainan “Successful
Experiment” memiliki prinsip-prinsip serta tugas-tugas penalaran induktif,
yaitu pemain diminta untuk mengidentifikasi perbedaan dan persamaan dari
informasi spesifik berupa sifat-sifat masing-masing bola untuk mengambil
kesimpulan umum mengenai strategi apa yang harus ia gunakan dalam
menyelesaikan permasalahan pada permainan tersebut.
2. Kelompok Eksperimen 2
Kelompok Eksperimen 2 (KE 2) diberikan manipulasi dengan cara diminta
untuk bermain dua macam puzzle video game masing-masing selama satu sesi,
yaitu selama 30 menit. Pada sesi pertama, subjek diminta untuk memainkan
permainan yang sama dengan KE 1, yaitu permainan yang berjudul
“Successful Experiment”. Kemudian, pada sesi kedua, subjek diminta untuk
bermain puzzle video game yang lain yang berjudul “Atomic Puzzle 2”. Dalam
permainan ini, pemain diminta untuk memecahkan rangkaian atom yang
memiliki warna-warna berbeda. Atom-atom tersebut tersusun dalam suatu
rangkaian yang hanya dapat dipecahkan ketika pemain menekan satu atom
yang tersambung ke rangkaian atom-atom lain yang berwarna sama. Dengan
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
12
demikian, pemain diminta untuk mencari kombinasi warna dan rangkaian yang
tepat agar seluruh atom dapat dipecahkan. Permainan “Atomic Puzzle 2” juga
dilihat memiliki prinsip-prinsip serta tugas-tugas penalaran induktif, yaitu
pemain diminta untuk mengidentifikasi perbedaan dan persamaan dari
informasi spesifik berupa warna dan bentuk rangkaian atom untuk kemudian
mengambil kesimpulan umum mengenai atom mana yang akan dipecahkan
terlebih dahulu sehingga tujuan permainan tersebut dapat tercapai.
3. Kelompok Kontrol
Pada kelompok kontrol, subjek tidak diberikan manipulasi sama sekali, yaitu
dengan tidak meminta subjek untuk bermain video game apapun.
Setelah diberikan manipulasi, subjek penelitian menjalani posttest untuk
mengukur penalaran induktif yang merupakan variabel terikat dari penelitian ini.
Pengukuran menggunakan Raven’s Coloured Progressive Matrices (Raven’s
CPM). Raven’s CPM adalah sebuah alat tes inteligensi yang merupakan salah satu
bentuk dari Raven’s Progressive Matrices (Raven’s PM). Tes ini merupakan alat
tes nonverbal yang mengukur kemampuan penalaran berdasarkan stimulus figural
yang mengukur kemampuan individu dalam membandingkan bentuk, melakukan
penalaran berdasarkan analogi dan menyusun persepsi spasial ke dalam sebuah
rangkaian yang berkaitan secara keseluruhan. Raven’s CPM sendiri merupakan
salah satu bentuk dari Raven’s PM yang diperuntukkan untuk anak berusia 5-11
tahun dan berisikan 3 set tes yang masing-masing setnya berisikan 12 item tes.
Alat tes ini dapat dilakukan untuk mengukur kemampuan penalaran
induktif, sebab sudah ada penelitian sebelumnya yang menggunakan Raven’s
CPM untuk mengukur kemampuan penalaran induktif (Klauer, Willmes, & Phye,
2002; De Koning, Sijtsma, & Hamers, 2003). Selain itu, Raven’s CPM telah
memenuhi batas minimal koefisien reliabilitas sebesar 0,70-0,80 (Kaplan &
Saccuzo, 2005), yaitu berada pada rentang 0,65 hingga 0,94 dengan menggunakan
metode pengujian split-half reliability, dan dengan metode pengujian test-retest
reliability memiliki nilai yang berada pada rentang 0,71 hingga 0,93 (Raven, dkk.,
dalam Sattler, 2001). Kemudian, sebelumnya telah dilakukan uji validitas
konkuren dengan tes inteligensi dan tes prestasi pada alat ukur ini (Raven, dkk.,
dalam Sattler, 2001). Nilai validitas yang dilakukan dengan tes inteligensi adalah
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
13
sebesar 0,5 hingga 0,8, dan nilai validitas yang dilakukan dengan tes prestasi
adalah sebesar 0,3 hingga 0,6.
Raven’s CPM hanya diberikan kepada subjek sebagai posttest saja.
Pertimbangan ini juga merujuk pada pendapat Miller (1984) yang mengatakan
bahwa tes yang mengukur penalaran logis (logical reasoning) tidak dapat
diberikan dua kali kepada subjek yang sama. Selain itu, pemberian tes inteligensi
pada yang sama pada waktu yang berdekatan dikhawatirkan akan menimbulkan
efek belajar pada pemberian tes yang kedua. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Seniati, Yulianto, dan Setiadi (2011) yang menyatakan bahwa faktor testing juga
dapat menurunkan kekuatan hubungan sebab-akibat antara variabel bebas dengan
variabel terikat, karena tanpa diberikan variabel bebas pun skor posttest subjek
akan berbeda dari skor pretest dengan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Oleh
sebab itu, peneliti tidak menggunakan metode pretest-posttest untuk mengukur
kemampuan penalaran induktif.
Setelah data dari partisipan diperoleh, termasuk di dalamnya data kontrol
dan hasil tes Raven’s CPM ketiga kelompok subjek, peneliti melakukan
pengolahan data menggunakan metode analisis statistik. Seluruh perhitungan dan
pengolahan data dilakukan menggunakan perangkat lunak Special Package for
Social Science (SPSS) 13. Analisis statistik yang dilakukan dalam penelitian ini
antara lain: (1) Statistik deskriptif, dengan menghitung frekuensi serta persentase
dari total jumlah subjek. Digunakan untuk melihat gambaran umum partisipan
yang datanya diperoleh dari data kontrol partisipan, yang meliputi jenis kelamin,
usia, tingkat inteligensi partisipan, serta kebiasaan bermain video game partisipan;
(2) Uji normalitas dengan metode tes Kolmogorov-Smirnov pada ketiga
kelompok subjek. Digunakan untuk mengetahui hasil persebaran data memiliki
distribusi normal pada sebuah kelompok subjek (Field, 2009); (3) Uji
homogenitas varians, dengan menggunakan Levene;s test. Digunakan untuk
mengetahui apakah varians dari seluruh kelompok subjek setara atau tidak setara
(Gravetter & Wallnau, 2007); (4) Independent Sample T-test, yang digunakan
untuk menguji signifikansi perbedaan rata-rata skor antara dua kelompok data
yang berdiri sendiri (Gravetter & Wallnau, 2007). Pada penelitian ini, dilakukan
dua kali analisis statistik menggunakan independent sample t-test pada masing-
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
14
masing hipotesis penelitian. Walaupun di dalam penelitian ini terdapat tiga
kelompok subjek yang berbeda, akan tetapi masing-masing hipotesis penelitian
hanya ingin melihat perbedaan rata-rata skor dari dua kelompok yang berbeda.
Pada perhitungan statistik yang dilakukan, pertama-tama akan dibandingkan skor
rata-rata antara kelompok subjek yang bermain puzzle video game (KE1 & KE2)
dengan kelompok subjek yang tidak bermain puzzle video game sama sekali (KK).
Selanjutnya, akan dibandingkan skor rata-rata dari kelompok subjek yang bermain
puzzle video game selama 1sesi (KE1) dengan kelompok subjek yang bermain
puzzle video game selama 2 sesi (KE2).
Hasil Penelitian
Secara umum, gambaran subjek yang mengikuti rangkaian penelitian ini
dapat dilihat pada Tabel 1. Dari hasil data kontrol yang diberikan kepada subjek,
didapatkan pula data bahwa subjek dalam penelitian ini kebanyakan mengenal
video game pada saat usia 6-7 tahun (46,7% subjek) dan cukup sering bermain
video game, yaitu mayoritas setiap akhir pekan atau hari libur (57,8% subjek) dan
bermain selama 1-2 jam (60% subjek) setiap kali mainnya. Sebanyak 57,8%
subjek, yaitu sebanyak 26 orang, paling sering bermain video game menggunakan
media telepon genggam/tablet/iPad.
Tabel 1. Gambaran Karakteristik Partisipan (N=45)
Karakteristik
Jumlah
Persentase
Perempuan
21
46,7
Laki-laki
24
53,3
8
10
22,2
9
33
73,3
10
2
4,4
Rata-rata (100-109)
9
20
Di Atas Rata-rata (110-119)
18
40
Superior (120-129)
15
33,3
Sangat Superior (di atas 130)
3
6,7
Jenis Kelamin
Usia (dalam tahun)
Tingkat Inteligensi (skala Weschler)
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
15
Pada Tabel 2 dapat dilihat pula bahwa jenis video game yang paling
diminati oleh subjek untuk dimainkan sehari-hari ialah jenis simulation video
games (24,4%) seperti ‘Pou’ dan ‘Sims 3’, serta adventure video games (24,4%)
seperti ‘Minecraft’ dan ‘Roblox’. Jenis puzzle video game sendiri, seperti ‘Angry
Birds’ dan ‘Candy Crush’ hanya diminati sebanyak 4,4% subjek.
Tabel 2. Jenis Video Game yang Paling Diminati
Jenis Permainan
Strategy
Simulation
Adventure
Action
Fighting
Arcade
Action-adventure
Sport
Contoh Judul Permainan
Jumlah
Persentase
Plants vs Zombies, Clash of Clans,
Faster Than Light, Bomberman
7
15,6
Pou, Sims 3, Small City, Cooking
Mama
11
24,4
Minecraft, Roblox, My Little Pony
11
24,4
Sengoku Basara 2, Call of Duty
2
4,4
World Robot Boxing, Dragon Ball Z
3
6,7
Clouds & Sheep, Jump Star
3
6,7
Terraria
1
2,2
Pro Evolution Soccer (PES)
3
6,7
Racing
Gran Turismo
1
2,2
Puzzle
Angry Birds, Candy Crush
2
4,4
Bobby Bola
1
2,2
45
100
Edutainment
Total
Untuk pengujian hipotesis, setelah distribusi seluruh kelompok subjek
dibuktikan normal oleh uji normalitas menggunakan metode KolmogorovSmirnov, dilakukanlah pengujian menggunakan metode independent sample t-test
pada masing-masing hipotesis penelitian. Kemudian, untuk melihat signifikansi
dari hasil perhitungan independent sample t-test, dilakukanlah Levene’s test yang
hasilnya menunjukkan varians ketiga kelompok subjek setara, yaitu dengan nilai
F(43) = 0,095, p = 0,760 pada hipotesis penelitian yang pertama, dan F(28) =
0,82, p = 0,777 pada hipotesis penelitian yang kedua, dengan menggunakan nilai
alfa sebesar 0,05. Oleh karena itu, digunakan independent sample t-test yang
mengasumsikan kesetaraan varians.
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
16
Hipotesis penelitian yang pertama menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
rata-rata skor Raven’s CPM yang signifikan antara kelompok yang bermain puzzle
video game (M = 32,63, SD = 2,109) dengan kelompok yang tidak bermain puzzle
video game sama sekali (M = 31,13, SD = 2,503), t(43) = 2,113, p < 0,05. Dengan
perkataan lain, hipotesis null pertama di tolak. Di samping itu, hasil independent
sample t-test pada hipotesis penelitian yang kedua, menunjukkan bahwa
kelompok subjek yang bermain puzzle video game selama 1 sesi (M = 32,40, SD =
2,165) tidak menunjukkan perbedaan rata-rata skor Raven’s CPM yang signifikan
jika dibandingkan dengan kelompok yang bermain puzzle video game selama 1
sesi (M = 32,87, SD = 2,100), t(28) = -0,599, p > 0,05. Dengan perkataan lain,
hipotesis null kedua di terima.
Selain itu, peneliti juga melakukan perhitungan terhadap effect size untuk
mengetahui besarnya pengaruh bermain video game terhadap kemampuan
penalaran induktif pada pengujian yang dilakukan. Dengan menggunakan acuan
yang dituliskan dalam Field (2009), effect size dikatakan besar jika mencapai nilai
r di atas 0,5, pengujian hipotesis pertama (r = 0,31) termasuk ke dalam small
effect. Begitu pula dengan pengujian hipotesis kedua (r = 0,11).
Pembahasan
Terdapat dua buah hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Hasil
pengujian hipotesis pertama menunjukkan bahwa terdapat pengaruh bermain
puzzle video game terhadap kemampuan penalaran induktif pada anak usia
sekolah. Hal itu sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Greenfield, dkk.
(1994) yang menunjukkan bahwa bermain video game memberikan efek latihan
terhadap kemampuan penalaran induktif. Akan tetapi, penelitian tersebut
menggunakan jenis permainan yang berbeda, yaitu video game berjenis arcade.
Walaupun terdapat perbedaan jenis video game pada penelitian ini dan penelitian
tersebut, prinsip-prinsip video game yang dipelajari oleh subjek secara
keseluruhan serupa. Greenfield, dkk. (1994) mengatakan bahwa pemain video
game harus menemukan sendiri aturan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
tugas dalam video game melalui observasi, trial and error, dan mencobakan
hipotesis. Pada puzzle video game yang diberikan pada penelitian ini, subjek
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
17
memang melakukan hal-hal tersebut untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam
permainan.
Puzzle video game dapat memberikan pengaruh terhadap kemampuan
penalaran induktif karena puzzle video game yang diberikan menjadi media untuk
mengobservasi prinsip-prinsip penalaran induktif. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Bottino, Ferlino, Ott, dan Tavella (2006; Bottino & Ott,
2006; Bottino, Ott, & Tavella, 2008) yang menemukan bahwa kemampuan
penalaran digunakan ketika anak memainkan jenis permainan digital mind games.
Dengan begitu, penelitian ini membuktikan bahwa video game berjenis serupa
dapat berpengaruh terhadap kemampuan penalaran yang lebih spesifik, yaitu
kemampuan penalaran induktif, sebab menggunakan video game berjenis puzzle
yang juga termasuk ke dalam jenis digital mind games.
Selain itu, untuk menentukan judul puzzle video game yang akan diberikan
kepada subjek, peneliti juga melakukan analisis konten untuk melihat apakah
prinsip-prinsip serta tugas-tugas penalaran induktif ditampilkan dalam permainan
tersebut atau tidak. Permainan “Successful Experiment” dan “Atomic Puzzle 2”
telah dinilai memenuhi syarat-syarat tersebut. Selain memang terdapat prinsipprinsip dan tugas-tugas penalaran induktif di dalam permainan yang diberikan,
video game sendiri juga memiliki prinsip-prinsip atau dimensi-dimensi
pembelajaran yang dapat menjadikannya media yang baik bagi pemainnya untuk
belajar melalui permainan tersebut (Gee, 2003; Gentile & Gentile, 2008).
Sebagai tambahan, pada analisis deskriptif mengenai kebiasaan bermain video
game sehari-hari subjek ditemukan bahwa hanya sebanyak 5% dari subjek yang
menjadikan puzzle video game sebagai jenis video game yang paling diminati.
Selebihnya, subjek meminati video game berjenis lain, seperti simulasi,
petualangan, dan strategi. Jenis-jenis video game tersebut diketahui melatihkan
kemampuan lain selain kemampuan penalaran induktif, seperti kemampuan
penyelesaian masalah secara umum pada video game petualangan (VanDeventer
& White, dalam Blumberg, Altschuler, Almonte, & Mileaf, 2013) serta
kemampuan penyelesaian masalah sosial pada video game simulasi (Nasution,
2010). Dengan demikian, meskipun subjek dalam penelitian ini seluruhnya
terpapar dengan video game, namun hanya sebagian kecil dari subjek yang
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
18
memainkan puzzle video game, sehingga kemampuan penalaran induktif secara
spesifik diasumsikan tidak terlatihkan melalui kegiatan bermain video game
sehari-hari.
Selanjutnya, hasil dari hipotesis kedua menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan skor rata-rata yang signifikan antara kedua kelompok subjek tersebut.
Dengan demikian, perbedaan intensitas bermain puzzle video game tidak memiliki
pengaruh terhadap kemampuan penalaran induktif pada anak usia sekolah. Hal
tersebut di duga karena memang tidak adanya pengaruh durasi bermain video
game pada peningkatan kemampuan pemainnya. Dugaan ini didukung oleh
pendapat Nasution (2010), yaitu jenis video game yang dimainkan lebih
memberikan pengaruh terhadap peningkatan kemampuan dibandingkan dengan
durasi bermain. Dengan demikian, tidak adanya perbedaan yang signifikan antara
kedua kelompok subjek tersebut dapat disebabkan karena memang tidak adanya
pengaruh seberapa lama seseorang bermain puzzle video game terhadap penalaran
induktif.
Akan tetapi, dugaan mengenai tidak adanya pengaruh durasi bermain video
game terhadap peningkatan kemampuan pemainnya, sebenarnya bisa saja tidak
tepat. Hal tesebut didasari oleh penelitian yang dilakukan oleh Blumberg dan
Sokol (2004) yang membuktikan bahwa anak yang lebih sering bermain video
game lebih menginternalisasi strategi yang dilakukan di dalam permainan tersebut
dibandingkan dengan anak yang tidak sering bermain video game.
Selain itu, dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa adanya skor rata-rata
yang sedikit lebih tinggi pada kelompok subjek yang bermain puzzle video game
selama dua sesi (M = 32,87, SD = 2,100) daripada kelompok subjek yang bermain
puzzle video game selama satu sesi (M = 32,40, SD = 2,165). Hal tersebut diduga
dapat disebabkan oleh adanya pengaruh intensitas bermain video game. Akan
tetapi, variasi intensitas yang diberikan dalam penelitian ini tidak terlalu jauh
berbeda satu sama lainnya, yaitu hanya memiliki selisih satu sesi bermain saja.
Seharusnya, variasi yang diberikan haruslah berbeda satu sama lain dan didasari
oleh penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya (Christensen, 2007). Hal ini
menjadi salah satu keterbatasan di dalam metode penelitian ini.
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
19 Dari kedua pengujian hipotesis, ditemukan effect size yang kecil dari kedua
pengujian tersebut, yang berarti perlakuan (treatment), dalam hal ini adalah puzzle
video game, menunjukkan pengaruh yang kecil terhadap kemampuan penalaran
induktif. Kecilnya pengaruh tersebut salah satunya dapat disebabkan oleh besar
sampel
yang
tegolong
kecil
(Gravetter
&
Wallnau,
2007),
sehingga
mempengaruhi pula kekuatan statistik dari pengujian hipotesis yang dilakukan.
Selain itu, seluruh subjek penelitian sehari-harinya memiliki akses terhadap
gadget dan telah terpapar oleh video game, sehingga pemberian video game
menjadi tidak terlalu berpengaruh besar terhadap peningkatan kemampuan
penalaran induktif subjek.
Kecilnya effect size bisa jadi disebabkan karena kemampuan penalaran
induktif merupakan konstruk yang tergolong stabil, sebab kemampuan penalaran
induktif termasuk ke dalam kategori fluid intelligence (Gustafsson, dalam Sattler,
2001; Klauer, Willmes, & Phye, 2002). Terlebih dengan durasi manipulasi yang
tergolong singkat, pemberian puzzle video game diduga pengaruhnya hanya
sebatas memberikan efek warm up atau “pemanasan” terhadap pengerjaan tes
Raven’s CPM, sehingga kelompok subjek yang bermain puzzle video game
menunjukkan tingkat kemampuan penalaran induktif yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok subjek yang tidak bermain puzzle video game.
Kesimpulan
Didapatkan dua kesimpulan dari penelitian ini, yaitu:
1.
Terdapat pengaruh bermain puzzle video game terhadap tingkat kemampuan
penalaran induktif pada anak usia sekolah, yang ditunjukkan dari adanya
perbedaan tingkat kemampuan penalaran induktif antara kelompok subjek
yang bermain puzzle video game dengan kelompok subjek yang tidak bermain
puzzle video game sama sekali.
2.
Perbedaan intensitas bermain puzzle video game tidak memiliki pengaruh
terhadap tingkat kemampuan penalaran induktif pada anak usia sekolah, yang
ditunjukkan dari tidak adanya perbedaan tingkat kemampuan penalaran
induktif antara kelompok subjek yang intensitas bermain puzzle video game-
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
20 nya lebih banyak (2 sesi) dibandingkan dengan subjek yang intensitas
bermain puzzle video game-nya lebih sedikit (1 sesi).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bermain puzzle video game
berpengaruh terhadap tingkat penalaran induktif, namun perbedaan intensitas
bermain video game tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat penalaran induktif
pada anak usia sekolah.
Saran
Terlepas dari keterbatasan-keterbatasan yang telah disebutkan, penelitian
ini telah membuktikan dugaan mengenai adanya pengaruh bermain puzzle video
game terhadap peningkatan kemampuan penalaran induktif yang belum pernah
dibuktikan dalam penelitian-penelitian sebelumnya. Peneliti juga meyakini bahwa
puzzle video game dapat memberikan manfaat dalam peningkatan kemampuan
penalaran induktif. Penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut
dengan memperbaiki keterbatasan-keterbatasan penelitian. Pertama, penelitian
yang ingin melihat perbedaan intensitas sebaiknya memberikan manipulasi yang
benar-benar menunjukkan adanya perbedaan intensitas yang berbeda antar variasi
manipulasi. Hal tersebut dilakukan agar variasi dapat menunjukkan perbedaan
yang signifikan apabila memang terdapat pengaruh dari perbedaan intensitas
tersebut.
Kedua, berkaitan dengan effect size yang tergolong kecil dalam penelitian
ini, penelitian selanjutnya sebaiknya memperbanyak jumlah sampel penelitian.
Semakin besar sampel yang digunakan dalam penelitian, maka hasil dari kekuatan
statistik juga akan meningkat. Banyaknya sampel yang digunakan dapat merujuk
pada asumsi distribusi yang mendekati kurva normal, yaitu tidak kurang dari 30
orang pada setiap kelompok subjek (Guilford & Fruchter, 1978).
Ketiga, dalam penelitian eksperimental, kontrol sangatlah penting untuk
dilakukan. Terlebih pada penelitian ini yang metode pengukurannya hanya
menggunakan posttest, kontrol terhadap proactive history subjek penting untuk
diperhatikan. Dengan kontrol yang baik, hasil pengukuran yang didapat setelah
dilakukannya manipulasi benar-benar menggambarkan pengaruh dari variabel
bebas yang diberikan. Selain itu, cara lain dapat dilakukan dengan mencari alat
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
21 ukur yang memungkinkan untuk dijadikan pretest dan posttest. Dengan mengukur
kemampuan subjek sebelum dan sesudah diberikannya manipulasi, pengaruh yang
dihasilkan oleh manipulasi benar-benar dapat terlihat dengan mengukur adanya
gain score dari hasil pretest dan posttest.
Daftar Referensi
Almeida, L.C. (2012). The effect of an educational computer game for the achievement of factual
and simple conceptual knowledge acquisition. Education Research International, 1–5.
doi:10.1155/2012/961279
Barnett, E. (14 Maret 2012). Children spend ‘353 hours a year using gadget’. The Telegraph.
Diunduh dari http://www.telegraph.co.uk/technology/news/9143621/Children-spend-353hours-a-year-using-gadgets.html
Blumberg, F. C., Altschuler, E. A., Almonte, D. E., & Mileaf, M. I. (2013). The impact of
recreational video game play on children’s and adolescents’ cognition. Dalam F. C.
Blumberg & S. M. Fisch (Eds.), Digital Games: A Context for Cognitive Development.
New Directions for Child and Adolescent Development, 139, 41–50. doi:
10.1002/cad.20030
Blumberg, F. C. & Sokol, L. M. (2004). Boys’ and girls’ use of cognitive strategy when learning
to play video games. The Journal of General Psychology, 131 (2), 151-158. Diunduh dari:
https://www.academia.edu/1410501/BlumbergSokol
Bottino, R. M., Ferlino, L., Ott, M., & Tavella, M. (2006). Developing strategic and reasoning
abilities with computer games at primary school level. Computers & Education, 49 (4),
1272-1286. doi:10.1016/j.compedu.2006.02.003
Bottino, R. M. & Ott, M. (2006). Mind games, reasoning skills, and the primary school
curriculum: Hints from a field experiment. Learning Media & Technology, 31 (4), 359375. doi: 10.1080/17439880601022981
Bottino, R. M, Ott, M., & Benigno, V. (2009). Digital mind games: Experience-based reflections
on design and interface features supporting the development of reasoning skills. Dalam
M. Pivec, Proceedings of the 3rd European Conference on Games Based Learning. Graz,
Austria: FH JOANNEUM University of Applied Science. Diunduh dari:
https://www.academia.edu/4709513/Digital_Mind_Games_ExperienceBased_Reflections_on_Design_and_Interface_Features_Supporting_the_Development_of
_Reasoning_Skills
Bottino, R. M., Ott, M., & Tavella, M. (2008). The impact of mind game playing on children’s
reasoning abilities: Reflections from an experience. Dalam M. Stanfield & T. Connoly,
Proceedings of the 2nd European Conference on Games-Based Learning. Barcelona,
Spain:
Universitat
Oberta
de
Catalunya.
Diunduh
dari:
https://www.academia.edu/4577426/The_Impact_of_Mind_Game_Playing_on_Childrens
_Reasoning_Abilities_Reflections_from_an_Experience
Christensen, L. B. (2001). Experimental methodology (10th ed.). Boston: Pearson Education
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
22 Chuang, T.Y., & Chen, W.F. (2009). Effect of computer-based video games on children: An
experimental study. Educational Technology & Society, 12 (2), 1–10. Diunduh dari:
http://search.proquest.com/docview/1287038940
Csapo, B. (1997). The development of inductive reasoning: Cross-sectional assessments in an
educational context. International Journal of Behavioral Development, 20 (4), 609-626.
doi: 10.1080/016502597385081
De Koning, E., Sijtsma, K., & Hamers, J. H. M. (2003). Construction and validation of a test for
inductive reasoning. European Journal of Psychological Assessment, 19 (1), 24-39. doi:
10.1027//1015-5759.19.1.24
Delft, P. V. & Botermans, J. (1995). Creative puzzles of the world. Amsterdam, Netherlands:
ADM International
Febriani, C. & Rosyidi, A. H. (2012). Identifikasi penalaran induktif siswa dalam memecahkan
masalah matematika. Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya. Diunduh dari
http://ejournal.unesa.ac.id
Field, A. (2009). Discovering statistic using SPSS (3rd ed.). London: SAGE Publications
Frost, J. L., Wortham, S. C., & Reifel, S. (2012). Play and child development (4th ed.). New Jersey:
Pearson Education
Galloway, A. R. (2006). Gaming: Essays on algorithmic culture. London: University of Minnesota
Press
Gee, J. P. (2003). What video games have to teach us about learning and literacy. New York:
Palgrave Macmillan
Gentile, D. A. & Gentile, J. R. (2008). Violent video games as a exemplary teachers: A conceptual
analysis. J Youth Adolescence, 37, 127-141. doi: 10.1007/s10964-007-9206-2
Goswami, U. (2011). Inductive and deductive reasoning. Dalam U. Goswami (Ed.), The WilleyBlackwell handbook of childhood cognitive development (2nd edition) (hal. 399-419).
West Sussex: Blackwell Publishers
Gravetter, F. J. & Wallnau, L. B. (2007). Statistics for the behavioral sciences (7th ed.). Belmont:
Thomson Wadsworth
Greenfield, P. M., Camaioni, L., Ercolani, P., Weiss, L., Lauber, B. A., & Perucchini, P. (1994).
Cognitive socialization by computer games in two cultures: Inductive discovery or
mastery of an iconic code?. Journal of Applied Developmental Psychology, 15, 59-85.
doi: 10.1016/0193-3973(94)90006-X
Hannah, P. (n.d). Video game technologies [PowerPoint Presentation version]. Diunduh dari:
http://www.di.ubi.pt/~agomes/tjv/teoricas/01-genres.pdf
Hasanah, N. (20 Mei 2013). Kapan waktu yang tepat memperkenalkan gadget pada anak?. Chip
Online Indonesia. Diunduh dari: http://www.chip.co.id/news/tips-gadget-appsgames/6372/kapan_waktu_yang_tepat_memperkenalkan_gadget_kepada_anak
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
23 Hayes, B. K. (2007). The developmental of inductive reasoning. Dalam A. Feeney & E. Heit
(Eds.), Inductive reasoning: Experimental, developmental, and computational approaches
(hal. 25-54). New York: Cambridge University Press
Heit, E. (2000). Properties of inductive reasoning. PsychonomicBulletin & Review, 7(4), 569-592.
Diunduh
dari:
https://moodle.fp.tul.cz/pluginfile.php/110571/mod_resource/content/0/texty_pro_cvicny
_kurz/Properties_of_inductive_reasoning.pdf
Heit, E. (2007). What is induction and why study it?. Dalam A. Feeney & E. Heit (Eds.), Inductive
reasoning: Experimental, developmental, and computational approaches (hal. 1-24). New
York: Cambridge University Press
Holmes, C. B. (1983). Sample size in four areas of psychological research. Transactions of the
Kansas
Academy
of
Science,
86
(2-3),
76-80.
Diunduh
dari:
http://www.jstor.org/stable/3627914
Holyoak, K. J. & Morrison, R. G. (2005). Thinking and reasoning: The readers guide. Dalam K. J.
Holyoak & R. G. Morrison (Eds.). The Cambridge handbook of thinking and reasoning
(hal. 1-9). Cambrige: Cambridge University Press
Juul, J. (2010). A casual revolution: Reinventing video games and their players. London: The MIT
Press
Kaplan, R. M. & Saccuzo, D. P. (2005). Psychological testing: Principles, applications, and issues
(6th ed.). Belmont: Wadsworth
Kemp, C., & Jern, A. (2014). A taxonomy of inductive problems. Psychonomic bulletin &
review, 21(1), 23-46. doi: 10.3758/s13423-013-0467-3
Kirriemuir, J. & McFarlane, A. (2004). Literature review in games and learning [Adobe Reader
version].
Diunduh
dari:
http://www.coulthard.com/library/Files/kirriemuirfuturelabs_2004_gamesreview.pdf
Klauer, K. J., Willmes, K., & Phye, G. D. (2002). Inducing inductive reasoning: Does it transfer to
fluid
intelligence?.
Contemporary
Educational
Psychology,
27,
1-25.
doi:10.1006/ceps.2001.1079
Kunda, M., McGreggor, K., & Goel, A. K. (Oktober, 2009). Addressing the Raven's Progressive
Matrices Test of "General" Intelligence. Dalam AAAI Fall Symposium: MultiRepresentational Architectures for Human-Level Intelligence. Diunduh dari:
http://www.cc.gatech.edu/~bmcgregg/AddressingRavens.pdf
Lee, J. J. & Hammer, J. (2011). Gamification in education: What, how, and why bother?.
Academic
Exchange
Quarterly,
15(2).
Diunduh
dari:
http://www.gamifyingeducation.org/files/Lee-Hammer-AEQ-2011.pdf
Levitin, D. J. (2002). Experimental design in psychological research. Dalam D. J. Levitin (Ed.),
Foundations of Cognitive Psychology (hal. 115-130). Massachusetts: The MIT Press
Little, D. R., Lewandowsky, S., & Griffiths, T. (2012). A Bayesian model of rule induction in
Raven’s Progressive Matrices. Dalam Proceedings of the 34th Annual Conference of the
Cognitive
Science
Society (hal.
1918-1923).
Diunduh
dari:
http://cocosci.berkeley.edu/tom/papers/Little_WMCRavens.pdf
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
24 Mance, H. (2 Desember 2013). Consumers spend four hours a day on gadgets, survey finds. The
Financial Times. Diunduh dari: http://www.ft.com/cms/s/0/e274ea4e-5aa3-11e3-b25500144feabdc0.html#axzz2ykxM5qaf
Manktelow, K. (1999). Reasoning and thinking. East Sussex: Psychology Press
McFarlane, A., Sparrowhawk, A. & Heald, Y. (2002). Report on the educational use of games: An
exploration by TEEM of the contribution which games can make to the education process
[Adobe
Reader
version].
Diunduh
dari:
http://www.kennisnet.nl/uploads/tx_kncontentelements/games_in_education_full1.pdf
Michael Cohen Group. (2014). Toys, learning, & play summit touch screens [Adobe Reader
version]. Diunduh dari: http://mcgrc.com/wp-content/uploads/2014/02/MCGRC_DigitalKids-Presentation_0220142.pdf
Miller, C. (2013). The gamification of education. Developments in Business Simulation and
Experiential
Learning,
40,
196-200.
Diunduh
dari:
https://journals.tdl.org/absel/index.php/absel/article/viewFile/40/38
Miller, S. (1984). Experimental design and statistics (2nd ed.). London: Routledge
Nasution, I. J. (2010). Pengaruh bermain video game simulasi terhadap kemampuan
menyelesaikan masalah sosial (social problem solving ability) pada remaja (Tesis,
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia)
Osman, K., & Bakar, N.A. (2012). Educational computer games for Malaysian classrooms: Issues
and challenges. Asian Social Science, 8 (11), 75–84. doi:10.5539/ass.v8n11p75
Oxford
University
Press.
(2014).
http://www.oxforddictionaries.com/
Oxford
Dictionary.
Tersedia
di
Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human development (11th edition). New
York: McGraw-Hill
Phan, M. H. (2011). Video gaming trends: Violent, action/adventure games are most popular.
Usability News, 13 (2). Diunduh dari: www.surl.org/usabilitynews/132/videogames.asp
Rebetez, C. & Betrancourt, M. (2007). Video game research in cognitive and educational sciences.
Cognition,
Brain,
&
Behavior,
9
(1),
131-142.
Diunduh
dari:
http://tecfa.unige.ch/perso/mireille/papers/Rebetez_Betrancourt_CognBra.pdf
Santrock, J.W. (2011). Educational psychology (5th edition). New York: McGraw-Hill
Sattler, J. M. (2001). Assessment of children (3rd ed.). San Diego: Jerome M. Sattler Publisher
Seniati L., Yulianto, A., & Setiadi, B. N. (2011). Psikologi eksperimen. Jakarta: Indeks
Sidiknas. (18 Desember 2012). Struktur Kurikulum 2013. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan
Republik
Indonesia.
Diunduh
dari:
http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/uji-publik-kurikulum-2013-4
Scott, N. C. (1962). The relationship of inductive reasoning and cognitive styles in categorization
behavior to science concept achievement in elementary school children. (Disertasi
Doktoral). Tersedia dari ProQuest Dissertations & Theses Global. (UMI No. 6302223)
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
25 Tedjasaputra, M. S. (2001). Bermain, mainan dan permainan. Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia
Verguts, T. & De Boeck, P. (2002). The induction of solution rules in Raven’s Progressive
Matrices Test. European Journal of Cognitive Psychology, 14 (2), 521-547.
doi:10.1080/0954144014300023
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
Pengaruh bermain…, Laras Sekar Melati, FPsi UI, 2014
Download