ABSTRAK PENERAPAN ACTIVITY BASED COSTING PADA PT SIGER JAYA ABADI NAMA NPM NO TELPON EMAIL PEMBIMBING I PEMBIMBING II : ANNESYA NOVRIKA ANGGRAINI : 0851031004 : 081997534343 : [email protected] : KIAGUS ANDI, S.E., M.Si., Akt. : YENNI AGUSTINA, S.E., M.Sc., Akt. Penggunaan satu penggerak biaya dalam menentukan harga pokok produksi dinilai belum mampu menelusuri biaya secara akurat. Sistem biaya berdasarkan aktivitas dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan dari sistem tradisional karena pembebanannya didasarkan pada aktivitas yang dilakukan sehingga memberikan informasi biaya yang akurat. Keakuratan dalam pembebanan biaya overhead sangat berpengaruh terhadap laba yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besaran laba kotor yang dihasilkan ketika menggunakan sistem biaya tradisional dan sistem biaya ABC serta mengetahui apakah penggunaan sistem ABC menguntungkan bagi perusahaan. Penelitian ini dilakukan di PT Siger Jaya Abadi, Tanjung Bintang Lampung Selatan. Data dan informasi diperoleh dengan mewawancarai pihak-pihak terkait serta melakukan observasi secara langsung terhadap aktivitas produksi yang dilakukan perusahaan dalam menghasilkan produk. Data yang diperoleh dianalisis dengan melakukan perhitungan-perhitungan menggunakan metode akuntansi dan hasil dari perhitungan tersebut dibandingkan dengan teori-teori yang relevan serta menarik kesimpulan. Hasil dari penelitian ini harga pokok produksi dengan metode ABC lebih kecil dari pada harga pokok produksi dengan metode tradisional, sehingga laba kotor yang diperoleh lebih besar, yaitu sebesar Rp 3.600.654.303,53 untuk Colosal, Rp 3.256.342.049,27 untuk Jumbo, Rp 3.084.341.077,00 untuk Backfin, Rp 2.742.798.994,72 untuk Super lump, Rp 2.398.486.740,46 untuk Special, dan Rp 2.057.253.833,42 untuk Clowmeat. Kata kunci: ABC, biaya overhead, cost driver BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem biaya tradisional merupakan suatu sistem perhitungan biaya yang hanya menggunakan single driver dalam mengalokasikan biaya overhead. Sistem biaya tradisional ini belum mampu menelusuri biaya secara akurat karena hanya membebankan biaya dari bahan baku langsung dan tenaga kerja langsung ataupun unit produksi saja. Seiring dengan perkembangan dunia usaha yang sangat pesat di era teknologi yang modern seperti saat ini mengakibatkan persaingan bisnis semakin meningkat. Tidak hanya persaingan bisnis di bidang pelayanan jasa tetapi juga persaingan bisnis di bidang manufaktur atau produksi. Salah satu jenis usaha di bidang manufaktur adalah usaha produksi seafood, terutama untuk seafood jenis rajungan. Masing-masing perusahaan saling beradu strategi bisnis dalam hal pengendalian biaya produk atau jasa yang dihasikan oleh perusahaan, sehingga sistem tradisional kurang sesuai untuk diterapkan karena adanya ketidakakuratan dalam pembebanan biaya yang disebabkan oleh penggunaan single driver sehingga akan menimbulkan distorsi biaya yang mengakibatkan kesalahan dalam penentuan biaya dan pembuatan keputusan. Biaya overhead merupakan salah satu komponen dari biaya produk. Dalam pembebanan biaya overhead dengan sistem tradisional dilakukan dengan dua tahap, yaitu pertama-tama biaya overhead dibebankan ke unit organisasi (pabrik atau departemen) dan kemudian biaya overhead dibebankan ke produk. Penggunaan penggerak biaya aktivitas berdasarkan unit untuk membebankan biaya overhead yang tidak berkaitan dengan unit akan menciptakan distorsi biaya produk. Tingkat keparahan distorsi ini tergantung pada proporsi keseluruhan biaya overhead yang ditunjukkan oleh biaya yang tidak berkaitan dengan unit tersebut. Bagi beberapa perusahaan distorsi biaya produk ini dapat merugikan perusahaan. Dalam sistem activity based costing ini pembebanan biaya dilakukan dengan menggunakan berbagai cost driver. Tahap awal proses pembebanan biaya overhead dilakukan dengan menelusuri biaya dari aktivitas yaitu dengan mengidentifikasi aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan serta dikelompokkan ke dalam empat kategori aktivitas yaitu: aktivitas-aktivitas berlevel unit (unit-level activities), aktivitas-aktivitas berlevel batch (batch-level activities), aktivitasaktivitas berlevel produk (product-level activities), dan aktivitas-aktivitas berlevel fasilitas (facility-level activities). Tahap selanjutnya yaitu menelusuri biaya dari aktivitas ke produk dengan menggunakan penelusuran langsung dan penelusuran penggerak yang menekankan hubungan sebab akibat. Sistem activity based costing dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan dari sistem tradisional yang dinilai tidak adil dan akan memberikan informasi yang keliru dalam pemberian informasi mengenai biaya produksi. Sistem ABC ini dinilai akurat dalam pembebanan biaya ke harga pokok produk karena pembebanannya didasarkan pada aktivitas yang dilakukan. Jika sistem ini diterapkan maka akan meningkatkan ketelitian serta menyediakan informasi tentang biaya dari berbagai aktivitas sehingga memberikan peluang untuk melakukan penghematan biaya dan perusahaan tidak mengalami kerugian hanya karena kesalahan unit cost. PT Siger Jaya Abadi merupakan salah satu perusahaan manufaktur yang ada di provinsi Lampung dan beralamat di Jalan Raya Tanjung Bintang No. 99 Desa Serdang, Tanjung Bintang, Lampung Selatan. Perusahaan ini memproduksi seafood jenis crabmeat yang terbagi ke dalam 6 jenis, yaitu: colosal, jumbo, back fin, super lump, special, dan clow meat. Produk yang dihasilkan oleh perusahaan akan di ekspor ke negara tetangga yaitu Amerika Serikat tepatnya tujuan kota Miami, New York, Los Angeles. PT Siger Jaya Abadi masih menerapkan sistem biaya yang sederhana dalam pembebanan biaya overhead atau yang dikenal dengan sistem tradisional yaitu dengan membagi total biaya yang dibebankan dengan jumlah unit dari objek biaya tertentu. Dalam menentukan harga pokok produksi di PT Siger Jaya Abadi tidak sesuai dengan aktivitas yang dikonsumsi oleh masing-masing produk karena pengalokasian biaya overhead hanya menggunakan satu cost driver yaitu jumlah unit yang diproduksi. Penggunaan satu cost driver ini tidak dapat mewakilkan seluruh jenis aktivitas dengan akurat, padahal biaya overhead sangat berpengaruh terhadap laba yang dihasilkan oleh perusahaan. Laba kotor dengan metode tradisional yang dihasilkan perusahaan yaitu, jenis colosal Rp 3.277.795.692,61; jenis jumbo Rp 2.924.799.581,72; jenis backfin Rp 2.748.462.872,06; jenis super lump Rp 2.395.466.813,88; jenis special Rp 2.042.470.909,78; jenis clowmeat Rp 1.689.796.768,71. Pembebanan biaya overhead dalam sistem ABC didasarkan pada aktivitas yang dilakukan, sehingga memberikan peluang untuk melakukan penghematan biaya. Apabila penghematan biaya tersebut dilakukan maka secara tidak langsung akan berdampak positif terhadap laba kotor yang dihasilkan oleh perusahaan. Perusahaan akan mendapatkan keuntungan dari laba kotor yang lebih besar tersebut sehingga perusahaan akan semakin berkembang. Kesalahan dalam menentukan harga pokok produksi dapat menyebabkan laba kotor yang dihasilkan perusahaan terlalu rendah dan dapat mengakibatkan tidak maksimalnya keuntungan yang diperoleh perusahaan. Hal ini tidak terlepas dari tujuan didirikannya suatu perusahaan yaitu modal yang ditanamkan perusahaan agar dapat terus berkembang dan mendapatkan laba yang maksimal. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk meneliti dengan melakukan perhitungan menggunakan metode ABC pada perusahaan PT Siger Jaya Abadi sehingga penelitian ini peneliti beri judul “Penerapan Activity Based Costing Pada PT Siger Jaya Abadi”. 1.2 1. Rumusan Masalah Berapakah besaran laba kotor yang dihasilkan oleh PT Siger Jaya Abadi ketika menggunakan sistem biaya tradisional dengan sistem biaya ABC ? 2. Apakah dengan menggunakan sistem biaya ABC dalam pembebanan biaya overhead lebih menguntungkan bagi perusahaan ? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui besaran laba kotor yang dihasilkan PT Siger Jaya Abadi ketika menggunakan sistem biaya tradisional dengan sistem biaya ABC. 2. Untuk mengetahui apakah penggunaan sistem biaya ABC lebih menguntungkan bagi perusahaan. 1.3.2 Manfaat Penelitian Dengan adanya tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan memberikan manfaat kepada: 1. Bagi Penulis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman penulis tentang penentuan pembebanan biaya overhead dengan menggunakan sistem biaya ABC. 2. Bagi Perusahaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dan saran yang berkaitan dengan activity based costing serta berguna bagi pihak perusahaan dalam membantu pengambilan keputusan. 3. Bagi Masyarakat/Pihak lain Dapat memberikan informasi dan dapat menjadi acuan bagi pihak lain dalam penelitian selanjutnya dimasa yang akan datang. BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Activity Based Costing Activity Based Costing merupakan sistem akumulasi biaya dan pembebanan biaya ke produk dengan menggunakan berbagai cost driver yang pada tahap awal dilakukan penelusuran biaya dari aktivitas dan setelah itu menelusuri biaya dari aktivitas ke produk. Menurut Supriyono (2002:230), “Sistem biaya berdasarkan aktivitas (activity based cost system) adalah sistem yang terdiri atas dua tahap yaitu pertama melacak biaya pada berbagai aktivitas, dan kemudian ke berbagai produk”. Tunggal (2009:2) mengemukakan, “bahwa Activity Based Costing adalah metode costing yang mendasarkan pada aktivitas yang didesain untuk memberikan informasi biaya kepada para manajer untuk pembuatan keputusan strategis dan keputusan lain yang mempengaruhi kapasitas dan biaya tetap”. Sedangkan menurut Bustami dan Nurlela (2009:25), “Activity Based Costing adalah metode membebankan biaya aktivitas-aktivitas berdasarkan besarnya pemakaian sumber daya dan membebankan biaya pada objek biaya, seperti produk atau pelanggan, berdasarkan besarnya pemakaian aktivitas, serta untuk mengukur biaya dan kinerja dari aktivitas yang terkait dengan proses dan objek biaya”. Pengertian Sistem Activity Based Costing yang lain menurut Garrison dan Norren (2000:292) adalah “Metode costing yang dirancang untuk menyediakan informasi biaya bagi manajer untuk keputusan strategik dan keputusan lainnya yang mungkin akan mempengaruhi kapasitas dan juga biaya tetap”. Sedangkan Hansen dan Mowen (2006:153) mengemukakan bahwa “Sistem biaya berdasarkan aktivitas (activity based cost) pertama-tama menelusuri biaya aktivitas dan kemudian produk”. Carter dan Usri (2006:496) mendefinisikan sistem biaya berdasarkan aktivitas sebagai “Suatu sistem perhitungan biaya di mana tempat penampungan biaya overhead yang jumlahnya lebih dari satu dialokasikan menggunakan dasar yang memasukkan satu atau lebih faktor yang tidak berkaitan dengan volume (non-volume-related factor). Menurut Hongren, dkk. (2008:170) “Sistem ABC mengkalkulasi biaya setiap aktivitas dan mengalokasikan biaya ke objek biaya seperti barang dan jasa berdasarkan aktivitas yang dibutuhkan untuk memproduksinya”. 2.2 Konsep Activity Based Costing Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Activity Based Costing adalah suatu sistem biaya yang dalam perhitungan harga pokok produksinya berdasarkan pada aktivitas-aktivitas yang dilakukan perusahaan serta aktivitas yang menggunakan sumber daya agar dalam pengelolaan aktivitas dapat dilakukan secara lebih baik lagi. Sistem Activity Based Costing adalah suatu sistem akuntansi yang terfokus pada aktivitas-aktivitas yang dilakukan untuk menghasilkan produk atau jasa. Oleh sebab itu, mengidentifikasikan aktivitas haruslah menjadi tahap awal dalam perancangan sistem perhitungan biaya berdasarkan aktivitas (Activity Based Costing). Aktivitas merupakan tindakan yang diambil atau pekerjaan yang dilakukan dengan peralatan atau dengan orang dan bagi orang lain. Oleh karena itu, pengidentifikasian aktivitas biasanya dikerjakan dengan mewawancarai para manajer atau para wakil dari area kerja fungsional (departemen). Data yang dihasilkan dari wawancara digunakan untuk mempersiapkan suatu kamus aktivitas yang mendaftar aktivitas-aktivitas dalam sebuah organisasi bersamaan dengan atribut aktivitas yang penting. Atribut aktivitas adalah informasi keuangan dan nonkeuangan yang menggambarkan aktivitas individual. Atribut yang digunakan tergantung pada tujuannya. Contoh-contoh atribut aktivitas yang berhubungan dengan tujuan perhitungan biaya meliputi, berbagai jenis sumber daya yang dipakai, jumlah (persentase) waktu yang dihabiskan oleh pekerja untuk suatu aktivitas, tujuan biaya yang mengonsumsi output aktivitas (alasan untuk melakukan aktivitas), ukuran dari output aktivitas (penggerak aktivitas), dan nama aktivitas (Hansen Mowen:2006). Begitu aktivitas diidentifikasi dan dijelaskan, tahap selanjutnya dalam sistem ABC adalah menentukan berapa banyak biaya untuk melakukan tiap aktivitas. Hal ini membutuhkan identifikasi sumber daya yang dikonsumsi oleh tiap produk. Aktivitas memakai sumber daya seperti tenaga kerja, bahan, energi, dan modal. Biaya dari sumber daya didapatkan dalam buku kas umum, akan tetapi berapa banyak yang dihabiskan dalam setiap aktivitas tidak dapat dilihat. Oleh karena itu, penting untuk membebankan biaya sumber daya ke aktivitas dengan menggunakan penelusuran langsung dan penggerak (Supriyono:2002). Untuk melakukan kalkulasi biaya, sistem ABC mengenal apa yang disebut dengan hirarki biaya, yaitu pengelompokan biaya menjadi cost pool yang berbeda atau dasar jenis pemicu biaya yang berbeda pula dan didasarkan pada alasan kesulitan penetapan hubungan sebab-akibat antara sumber yang berbeda atau dasar jenis pemicu biaya yang berbeda pula dan didasarkan pada alasan kesulitan penetapan hubungan sebab-akibat antara sumber daya dengan aktivitas dan produk. Ada empat hirarki dalam sistem ABC, yaitu: 1. output unit-level cost, sumber daya yang berhubungan langsung dengan satuan unit produk atau jasa. Jika produk meningkat maka penggunaan sumber daya ini meningkat, misalnya biaya manufaktur yang berkaitan denga energi, depresiasi mesin, pemeliharaan dan perbaikan mesin adalah sumber daya yang terkait langsung dengan aktivitas pembuatan setiap jenis produk. Biaya ini akan meningkat penggunaannya seiring dengan peningkatan produk atau jasa yang dihasilkan. Pada umumnya biaya output unit-level cost dibebankan ke harga pokok produk atas dasar jam mesin (machine hours). 2. batch-level cost, sumber daya yang terkait dengan aktivitas dari sekelompok unit produk atau jasa, dari pada satuan produk atau jasa secara individual, misalnya untuk menghasilkan sejumlah produk yang memiliki spesifikasi tertentu dibutuhkan selama waktu setup yang sama. Dalam suatu perusahaan terkadang penanganan bahan membutuhkan biaya yang signifikan, dari mulai melakukan order pembelian, penerimaan bahan, pergudangan sampai dengan pembayaran kepada suplayer, maka diperlukan penanganan bahan secara khusus. Biaya penanganan bahan ini mencakup sejumlah aktivitas order pembelian dan lainnya, maka diperlukan adanya batch. Perhitungan tarif dalam satu batch-level cost dapat lebih dari satu sesuai dengan hasil analisis korelasi antara sumber daya/aktivitas dengan yang dibiayai, misalnya biaya setup dibebankan atas dasar jam mesin, sedangkan biaya penanganan bahan dibebankan atas dasar order pembelian. 3. product-sustaining cost, sumber daya yang terkait dengan aktivitas untuk mendukung pembuatan satuan produk atau jasa secara individual, misalnya aktivitas perancangan (desain) suatu produk harus dilakukan untuk setiap jenis produk secara sendiri-sendiri. Ini memerlukan biaya tersendiri pula, terutama untuk setiap produk pesanan. Biaya ini dibebankan ke harga pokok produk dengan tarif yang sesuai dengan aktivitas desain, dapat berupa luas lantai (jika bangunan). 4. facility-sustaining cost, sumber daya yang terkait dengan aktivitas yang tidak dapat ditelusuri langsung (untraceable) ke satuan produk atau jasa secara individual, bahkan aktivitas yang mendukung satuan organisasi secara keseluruhan, misalnya biaya administrasi umum (termasuk sewa dan keamanan gedung). Biasanya sulit untuk menetapkan hubungan biaya dengan dasar alokasi biaya, maka kebanyakan perusahaan tidak membebankannya ke harga pokok produk, namun memasukannya sebagai pengurang langsung terhadap pendapatan operasional. Jadi dianggap sebagai biaya periodik (periodical cost). Jika dibebankan ke harga pokok produk atau jasa, maka biaya ini biasanya dialokasikan atas dasar jam tenaga kerja langsung. Berdasarkan uraian di atas, maka contoh pengelompokan aktivitas ke dalam hirarki biaya tampak sebagai berikut: Tabel 2.1 Contoh pengelompokan aktivitas ke dalam hirarki biaya Hirarki Biaya Aktivitas Output unit-level cost Pemakaian bahan Unit produk/ jasa Penggunaan tenaga kerja langsung Jam tenaga kerja langsung Proses Produksi Setiap produk yang dihasilkan meningkat akan membutuhkan proses produksi bertambah atau lebih lama Pendistribusian Tonase atau kemasan, yaitu aktivitas distribusi akan meningkat karena peningkatan produk yang akan dikirim, bisa juga atas dasar kubik Kebersihan dan pemeliharaan Selama proses produksi dan setiap saat harus dalam keadaan bersih dan harus dipelihara. Alokasi dapat atas dasar luas lantai. Setup mesin Proses setup mesin untuk beberapa jenis produk. Alokasi dapat didasarkan pada jam mesin. Setup pengangkutan Proses setup mesin untuk beberapa jenis produk. Alokasi dapat didasarkan pada jumlah produk yang akan dikirim. product-sustaining cost Desain Perancangan atas dasar luas area untuk semua produk facility-sustaining cost Administrasi Sumber daya administrasi mendukung tenaga kerja langsung, dan didasarkan pada jam tenaga kerja batch-level cost Sumber: Mursyidi (2010) Hubungan Sebab-Akibat Sebagai Dasar Penetapan Dasar Pembebanan Sistem Activity Based Costing (ABC) memiliki beberapa manfaat dalam penggunaannya, antara lain: (Supriyono:2002) 1. Memperbaiki mutu pengambilan keputusan Dengan informasi biaya produk yang lebih teliti, kemungkinan manajer melakukan pengambilan keputusan yang salah dapat dikurangi. Informasi biaya produk yang lebih teliti sangat penting artinya bagi manajemen jika perusahaan menghadapi persaingan yang tajam. 2. Memungkinkan manajemen melakukan perbaikan terus menerus terhadap kegiatan untuk mengurangi biaya overhead. Sistem ABC mengidentifikasi biaya overhead dengan kegiatan yang menimbulkan biaya tersebut. Pembebanan overhead harus mencerminkan jumlah permintaan overhead (yang dikonsumsi) oleh setiap produk. Sistem ABC mengakui bahwa tidak semua overhead bervariasi dengan jumlah unit yang diproduksi. Dengan menggunakan biaya berdasarkan unit dan non unit overhead dapat lebih akurat ditelusuri ke masing-masing produk. 3. Memberi kemudahan dalam menentukan biaya relevan Karena sistem ABC menyediakan informasi biaya yang relevan yang dihubungkan dengan berbagai kegiatan untuk menghasilkan produk, maka manajemen akan menghasilkan kemudahan dalam memperoleh informasi yang relevan dengan pengambilan keputusan yang menyangkut berbagai kegiatan bisnis mereka. Suatu sistem tidak selalu memberikan nilai positif bagi sebuah perusahaan yang menggunakannya tetapi ternyata dapat juga memberikan nilai negatif bagi perusahaan. Sistem Activity Based Costing ternyata juga memiliki kelemahan yang harus diperhatikan serta diperhitungkan pula oleh perusahaan yang menggunakannya. Kelebihan dan kelemahan dari sistem Activity Based Costing adalah sebagai berikut: 2.3 Perbandingan antara Sistem Biaya Tradisional dengan Sistem Biaya Activity Based Costing Pada sistem tradisional, overhead diasumsikan hanya disebabkan oleh cost driver berdasarkan unit. Maka, pada sistem tradisional biaya aktivitas berlevel unit digolongkan sebagai biaya variabel yaitu biaya yang jumlah totalnya bervariasi secara proporsional dengan perubahan jumlah produk. Sedangkan aktivitas berlevel batch, aktivitas berlevel produk, dan aktivitas berlevel fasilitas digolongkan ke dalam biaya tetap yaitu biaya yang jumlah totalnya tidak berubah meskipun terjadi perubahan jumlah produk. Dalam pendekatan tradisional tersebut, sistem biaya berdasarkan unit digunakan untuk mengalokasikan biaya overhead tetap kepada berbagai produk secara individual, dan kemudian, untuk menghitung biaya overhead pabrik yang dibebankan kepada produk, alokasi biaya overhead tetap tersebut ditambahkan dengan biaya overhead variable (Supriyono:2002). Sistem ABC memandang bahwa biaya overhead variabel dapat dilacak dengan tepat pada berbagai produk secara individual. Biaya yang ditimbulkan oleh cost driver berdasarkan unit adalah biaya yang dalam sistem tradisional disebut sebagai overhead variabel. Namun, alokasi biaya overhead tetap dalam sistem tradisional yang menggunakan cost driver berdasarkan unit sifatnya sembarang (arbitrary) dan mungkin tidak menggambarkan aktivitas yang sesungguhnya dikonsumsi oleh produk (Supriyono:2002). Sistem ABC (activity based costing), memperbaiki akurasi perhitungan harga pokok produk dengan mengakui bahwa banyak biaya overhead tetap bervariasi dalam proporsi untuk berubah selain berdasarkan volume produk. Dengan memahami apa yang menyebabkan biaya, maka biaya-biaya tersebut dapat dilacak atau ditelusuri pada berbagai produk secara individual. Hubungan sebab-akibat ini memungkinkan para manajer untuk memperbaiki akurasi penentuan harga pokok produk, sehingga secara signifikan mempengaruhi pembuatan keputusan (Supriyono:2002). Suatu perbedaan umum antara sistem ABC dan sistem tradisional adalah homogenitas dari biaya dalam satu kelompok biaya (cost pool). ABC mengharuskan perhitungan kelompok biaya (cost pool) suatu aktivitas, maupun identifikasi suatu pemicu aktivitas untuk setiap aktivitas yang signifikan dan mahal. Akibatnya, harus lebih hati-hati dalam membentuk kelompok biaya (cost pool) dalam sistem ABC dibandingkan dalam perhitungan biaya tradisional (Carter Usry:2006). Perbedaan lain antara sistem ABC dan sistem tradisional yaitu bahwa semua sistem ABC adalah sistem perhitungan biaya dua tahap, sementara sistem tradisional bisa merupakan sistem perhitungan satu atau dua tahap. Dalam sistem ABC, tahap pertama kelompok biaya (cost pool) aktivitas dibentuk ketika biaya sumber daya dialokasikan ke aktivitas berdasarkan pemicu sumber daya. Di tahap kedua, biaya aktivitas dialokasikan dari kelompok biaya aktivitas ke produk atau objek biaya final lainnya. Tetapi, sistem biaya tradisional menggunakan dua tahap hanya apabila departemen atau pusat biaya lain dibuat. Biaya sumber daya dialokasikan ke pusat biaya di tahap pertama, dan kemudian biaya dialokasikan dari pusat biaya ke produk di tahap kedua. Beberapa sistem tradisional hanya terdiri dari satu tahap karena sistem tersebut tidak menggunakan pusat biaya yang terpisah, tetapi tidak ada sistem ABC yang hanya terdiri dari satu tahap (Carter Usry:2006). 2.4 Tahapan Untuk Menerapkan Sistem ABC Berikut adalah tahapan yang diperlukan untuk menerapkan suatu sistem ABC menurut Garrison, dkk. (2008): 1. Mengidentifikasi dan mendefinisikan aktivitas dan pul aktivitas Langkah utama yang pertama dalam menerapkan sistem ABC adalah mengidentifikasikan aktivitas yang akan menjadi dasar sistem tersebut. Prosedur umum untuk melakukannya adalah melakukan wawancara terhadap semua orang yang terlibat atau setidaknya semua supervisor dan manajer dalam departemen yang menimbulkan overhead dan meminta mereka untuk menggambarkan aktivitas utama yang mereka lakukan. Dalam prosedur ini biasanya akan diperoleh catatan aktivitas yang sangat panjang. Semakin banyak jumlah aktivitas yang dimasukkan ke dalam sistem ABC, semakin akurat perlakuan terhadap biaya. Sebaliknya, diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk merancang, menerapkan, memelihara, dan menggunakan sistem yang kompleks yang melibatkan sejumlah besar aktivitas. Konsekuensinya, catatan aktivitas yang panjang tersebut dikurangi dengan menggabungkan aktivitas-aktivitas yang sejenis. Cara untuk memahami aktivitas dan bagaimana aktivitas tersebut digabungkan yaitu dikelompokkan dalam empat tingkat: tingkat unit (unit-level), tingkat batch (batch-level), tingkat produk (product-level), tingkat fasilitas (faciliy-level). Pada saat menggabungkan aktivitas dalam sistem ABC, aktivitas tersebut harus dikelompokkan dalam tingkat yang sesuai. Secara umum, cara terbaik untuk menggabungkannya adalah dengan menggabungkan aktivitasaktivitas yang memiliki korelasi tinggi dalam satu tingkat. Sebagai contoh, jumlah pesanan pelanggan yang diterima akan memiliki korelasi yang tinggi dengan jumlah pengiriman berdasarkan pesanan pelanggan sehingga kedua aktivitas tingkat batch ini dapat digabungkan tanpa harus kehilangan keakuratan. 2. Menelusuri biaya overhead secara langsung ke aktivitas dan objek biaya Langkah kedua dalam menerapkan sistem ABC adalah secara langsung menelusuri sejauh mungkin berbagai biaya overhead ke objek biaya. Contoh objek biaya adalah produk, pesanan pelanggan, dan pelanggan. Biaya overhead pabrik perusahaan, penjualan, umum, dan administrasi ditentukan sebagai biaya overhead dan akan dibebankan ke objek biaya. 3. Membebankan biaya ke pul biaya aktivitas Sebagian besar biaya overhead diklasifikasikan dalam sistem akuntansi dasar perusahaan berdasarkan departemen di mana biaya tersebut terjadi. Sebagai contoh, gaji, perlengkapan, sewa, dan sebagainya yang terjadi di departemen pemasaran akan dibebankan pada departemen tersebut. Dalam beberapa kasus, beberapa atau semua biaya ini dapat ditelusuri secara langsung ke salah satu pul biaya aktivitas dalam sistem ABC. Langkah ini merupakan tahap ketiga penerapan ABC. Sebagai contoh, jika sistem ABC memiliki aktivitas yang disebut pemrosesan pesanan pembelian (purchase order processing), seluruh biaya di departemen pembelian dapat ditelusuri ke aktivitas tersebut. Apabila memungkinkan, biaya tersebut ditelusuri langsung ke pul biaya aktivitas. Meskipun demikian, sangat umum overhead terkait dengan beberapa aktivitas yang ada dalam sistem ABC. Dalam situasi seperti itu, biaya departemen tersebut dibagi dengan beberapa pul biaya aktivitas menggunakan proses alokasi yang disebut alokasi tahap pertama (first-stage allocation). Alokasi tahap pertama dalam sistem ABC adalah proses pembebanan biaya overhead ke pul biaya aktivitas. 4. Menghitung tarif aktivitas Menghitung tarif aktivitas merupakan langkah selanjutnya dalam menerapkan sistem ABC, yaitu dengan menghitung biaya yang telah dikelompokkan dalam 4 hirarki biaya dan kemudian menentukan cost driver yang tepat. 5. Membebankan biaya ke objek biaya dengan menggunakan tarif aktivitas dan ukuran aktivitas Langkah kelima dalam penerapan ABC disebut alokasi tahap kedua (second-stage allocation). Dalam alokasi tahap kedua, tarif aktivitas digunakan untuk membebankan biaya produk dan pelanggan. 6. Menyiapkan laporan manajemen Langkah terakhir yaitu menyusun laporan manajemen yang berupa laporan harga pokok produksi dari suatu produk tersebut. 2.5 Biaya Overhead Overhead pabrik pada umumnya didefinisikan sebagai bahan baku tidak langsung, tenaga kerja tidak langsung, dan semua biaya pabrik lainnya yang tidak dapat secara langsung diidentifikasikan dengan atau dibebankan langsung ke pesanan, produk, atau objek biaya lain yang spesifik (Carter Usry:2006). Biaya overhead pabrik merupakan biaya produksi selain biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung yang elemennya dapat digolongkan ke dalam: (Mulyadi:2006) a. Biaya bahan penolong. b. Biaya reparasi dan pemeliharaan. c. Biaya tenaga kerja tak langsung. d. Biaya yang timbul sebagai akibat penilaian terhadap aktiva tetap. e. Biaya yang timbul sebagai akibat berlalunya waktu. f. Biaya overhead pabrik lain yang secara langsung memerlukan pengeluaran uang tunai. Ada tiga cara dalam penggolongan biaya overhead yaitu: (Mulyadi:2006) 1. Penggolongan biaya overhead pabrik menurut sifatnya. 2. Penggolongan biaya overhead pabrik menurut perilakunya dalam hubungannya dengan perubahan volume kegiatan. 3. Penggolongan biaya overhead pabrik menurut hubungannya dengan departemen. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan rancangan studi kasus, yaitu suatu penyelidikan intensif tentang individu, dan atau unit sosial yang dilakukan secara mendalam dengan menemukan semua variabel penting tentang perkembangan individu atau unit sosial yang diteliti. Subjek penelitian adalah karyawan perusahaan yang terdiri dari: bagian keuangan (accounting), bagian kepegawaian (HRD), bagian produksi, bagian QC (quality control), serta direktur perusahaan. 3.2 Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah PT Siger Jaya Abadi yang merupakan perusahaan ekspor, bergerak di bidang manufaktur yang memproduksi seafood khususnya crabmeat. Perusahaan ini terletak di daerah Tanjung Bintang yang beralamat di Jalan Raya Tanjung Bintang No. 99 Desa Serdang, Tanjung Bintang, Lampung Selatan. Perusahaan ini menghasilkan produk crabmeat yang terdiri dari 6 jenis, yaitu colosal, jumbo, back fin, super lump, special, dan clow meat. 3.3 Jenis Data Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Data Primer Data yang diperoleh dan dikumpulkan dengan cara melakukan penelitian pada objek penelitian dengan teknik wawancara dengan beberapa item pertanyaan yang telah ditentukan guna mendapatkan data yang berkaitan dengan masalah sebagai langkah awal penelitian dan kemudian untuk diolah lebih lanjut. 2. Data Sekunder Data yang diperoleh merupakan data yang sudah diolah dalam dokumen perusahaan seperti sejarah singkat perusahaan, struktur organisasi, serta data keuangan yang berkaitan dengan pembebanan biaya dalam aktivitas perusahaan. 3.4 Metode Pengumpulan Data Penelitian ini, penulis secara langsung mendatangi perusahaan untuk menemui pihak terkait yang dapat memberikan informasi serta data yang relevan guna menunjang penelitian ini. Metode yang digunakan dalam penelitian untuk memperoleh data dan informasi dari perusahaan antara lain: 1. Wawancara dengan pihak-pihak yang terkait untuk memperoleh data dan informasi yang berkaitan dengan masalah serta sesuai dengan tujuan penelitian dan kemudian hasilnya akan diolah lebih lanjut. 2. Pengamatan (observasi) secara langsung dan peninjauan secara cermat terhadap aktivitas produksi yang dilakukan perusahaan untuk menghasilkan produk. 3. Studi literatur dengan memanfaatkan berbagai sumber seperti, buku-buku pendukung teori, laporan dan hasil penelitian terdahulu, serta mencari informasi melalui internet (browsing). 3.5 Alat Analisis Data Untuk membahas permasalahan yang dikemukakan, maka data yang diperoleh selanjutnya akan dianalisis dengan menggunakan: 1. Analisis kuantitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan melakukan perhitungan-perhitungan dengan menggunakan metode akuntansi serta untuk melakukan analisis berdasarkan data yang diperoleh dari objek penelitian dengan perhitungan sebagai berikut: (Supriyono:2002) Tarif per unit cost driver = Jumlah Aktivitas / Cost driver Overhead yang dibebankan = Tarif kelompok x Unit-unit cost driver yang digunakan 2. Analisis kualitatif, yaitu analisis dilakukan dengan cara membandingkan antara hasil dengan teori-teori yang relevan untuk dianalisis dan menarik kesimpulan. BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Perbandingan antara laba kotor metode tradisional dengan metode ABC bulan Oktober 2011 Berdasarkan perhitungan menggunakan metode activity based costing, berikut ini adalah perbandingan laba kotor yang dihasilkan dengan menggunakan perhitungan metode ABC dan laba kotor dengan metode perhitungan yang digunakan oleh perusahaan yaitu metode tradisional (konvensional) seperti yang terdapat pada lampiran 8. Tabel 4.16 Perbandingan antara laba kotor metode tradisional dengan metode ABC bulan Oktober 2011 Jenis Produk Laba Kotor (Tradisional) Rp 3.277.795.692,61 Colosal Rp 2.924.799.581,72 Jumbo Rp 2.748.462.872,06 Backfin Rp 2.395.466.813,88 Super lump Rp 2.042.470.909,78 Special Rp 1.689.796.768,71 Clowmeat Sumber : PT Siger Jaya Abadi yang diolah Laba Kotor (ABC) Rp 3.600.654.303,53 Rp 3.256.342.049,27 Rp 3.084.341.077,00 Rp 2.742.798.994,72 Rp 2.398.486.740,46 Rp 2.057.253.833,42 Dari hasil perhitungan dengan menggunakan metode ABC, dapat diketahui bahwa hasil perhitungan harga pokok produksi untuk jenis Colosal Rp 95.118,18; Jumbo Rp 95.241,74; Backfin Rp 95.313,54; Super lump Rp 95.176,82; Special Rp 95.352,88; dan Clowmeat Rp 95.176,50. Dari hasil perhitungan tersebut, jika dibandingkan dengan harga pokok produksi yang menggunakan metode tradisional, maka hasilnya harga pokok produksi dengan metode ABC lebih kecil dari pada harga pokok produksi dengan metode tradisional. Sehingga laba kotor yang diperoleh lebih besar dengan menggunakan metode ABC dari pada metode tradisional, yaitu sebesar Rp 3.600.654.303,53 untuk Colosal, Rp 3.256.342.049,27 untuk Jumbo, Rp 3.084.341.077,00 untuk Backfin, Rp 2.742.798.994,72 untuk Super lump, Rp 2.398.486.740,46 untuk Special, dan Rp 2.057.253.833,42 untuk Clowmeat. Perbedaan dalam harga pokok produksi yang dihasilkan ini disebabkan oleh pembebanan biaya overhead pada masing-masing produk. Dalam metode tradisional pembebanan biaya overhead hanya menggunakan single driver dan mengandalkan bahan langsung, upah langsung ataupun unit produksi saja yang dinilai tidak adil dan akan memberikan informasi yang keliru dalam pemberian informasi mengenai biaya produksi. Sedangkan dalam metode ABC, biaya dibebankan ke produk dengan menggunakan berbagai cost driver yang dilakukan dengan menelusuri biaya dari aktivitas dan selanjutnya menelusuri biaya dari aktivitas ke produk. 4.2 Analisis Apabila Metode Activity Based Costing Diterapkan Di Perusahaan Apabila konsep ini diterapkan perusahaan, maka keputusan yang diambil perusahaan akan lebih tepat dan perusahaan tidak akan mengalami kerugian hanya karena kesalahan unit cost. Menurut Supriyono (2002), ditinjau dari sudut pandang manajerial, sistem ABC menawarkan lebih dari sekedar ketelitian informasi mengenai harga pokok produksi, sistem ini juga menyediakan informasi tentang biaya dari berbagai aktivitas. Sehingga dari berbagai aktivitas tersebut memungkinkan para manajer untuk memfokuskan diri pada aktivitas-aktivitas yang memberikan peluang untuk melakukan penghematan biaya. Selain itu, tujuan dari menerapkan activity based costing dalam membebankan biaya overhead pabrik adalah untuk menghilangkan terjadinya over costing serta kemungkinan terjadinya subsidi silang antara produk yang satu dengan produk yang lain, karena dasar pembebanan biaya overhead pabrik disesuaikan dengan jenis dan karakteristik aktivitas yang menyerap sumber daya. BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan perhitungan mengenai harga pokok produksi dengan menggunakan metode ABC pada PT Siger Jaya Abadi yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Perhitungan harga pokok produksi dengan menggunakan metode ABC menghasilkan laba kotor yang lebih besar dibandingkan dengan menggunakan metode tradisional. Besaran laba kotor yang dihasilkan adalah Rp 3.600.654.303,53 untuk Colosal, Rp 3.256.342.049,27 untuk Jumbo, Rp 3.084.341.077,00 untuk Backfin, Rp 2.742.798.994,72 untuk Super lump, Rp 2.398.486.740,46 untuk Special, dan Rp 2.057.253.833,42 untuk Clowmeat. 2. Metode ABC ini apabila diterapkan pada PT Siger Jaya Abadi akan berdampak baik bagi perusahaan karena dapat memberikan peluang untuk melakukan penghematan biaya serta keputusan yang diambil perusahaan akan lebih tepat dan perusahaan tidak akan mengalami kerugian yang disebabkan oleh kesalahan unit cost. 5.2 Saran Berdasarkan kesimpulan yang disajikan di atas, maka penulis memberikan saran kepada PT Siger Jaya Abadi untuk dapat mempertimbangkan penggunaan metode ABC dalam membebankan biaya overhead pabrik karena berdasarkan perhitungan yang dilakukan di atas, metode ABC lebih menguntungkan bagi perusahaan. Metode ABC menghasilkan informasi biaya yang lebih jelas, rinci, dan realistis sehingga dapat mempengaruhi perhitungan profitabilitas yang tepat dan wajar. DAFTAR PUSTAKA Bustami, Bastian dan Nurlela. 2009. Akuntansi Biaya. Jakarta: Mitra Wacana Media. Carter, William K dan Milton F. Usry. 2006. Akuntansi Biaya. Jakarta: Salemba Empat. Fimala, Fieda. 2007. Penerapan Metode Activity Based Costing System dalam Menentukan Besarnya Tarif Jasa Rawat Inap (Studi Pada RSUD Kabupaten Batang). (Skripsi). Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Garrison, Ray H ; Eric W. Norren. 2000. Akuntansi Manajemen. Jakarta: Salemba Empat. Garrison, Ray H ; Eric W. Norren dan Peter C. Brewer. 2008. Akuntansi Manajerial. Jakarta: Salemba Empat. Hansen, Don R dan Maryanne M. Mowen. 2006. Akuntansi Manajemen. Jakarta: Salemba Empat. Hongren, Charles T ; Srikan M. Datar dan George Foster. 2008. Akuntansi Biaya. Jakarta: PT INDEKS. Khairuna, Dina. 2007. Analisis Penerapan Activity Based Costing Dalam Pembebanan Biaya Overhead Pabrik Pada PT TirtasibayakindoBerastagi. (Skripsi). Universitas Sumatra Utara, Medan. Mulyadi. 2006. Akuntansi Manajemen. Jakarta: Salemba Empat. Mursyidi. 2010. Akuntansi Biaya. Bandung: PT Refika Aditama. Supriyono, R.A. 2002. Akuntansi Biaya dan Akuntansi Manajemen Teknologi Maju dan Globalisasi. Yogyakarta: BPFE. Tim Penyusun. 2008. Format Penulisan Karya Ilmiah. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Tim Redaksi Pustaka Setia. 2005. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Bandung: CV Pustaka Setia. Tunggal, Amin Wijaya. 2009. Activity Based Costing. Jakarta: PT Rineka Cipta. Tunggal, Amin Wijaya. 2004. Kamus Akuntansi. Jakarta: PT Rineka Cipta.