1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tinggi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tinggi badan yang ideal merupakan harapan setiap orang, sehingga
pertumbuhan tulang merupakan suatu hal yang penting. Ada dua faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal meliputi genetik, obstetrik dan seks, sedangkan faktor eksternal meliputi
lingkungan, gizi/ nutrisi, obat-obatan dan penyakit (Supariasa, 2002). Pemenuhan
akan kebutuhan nutrisi yang tepat sangat diperlukan oleh tubuh untuk
mendapatkan tinggi badan yang ideal. Oleh karena itu diperlukan suatu produk
yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi yang dapat menunjang pertumbuhan
tulang.
Mengingat kebutuhan masyarakat akan nutrisi untuk pertumbuhan
tulang, dikembangkan sebuah produk suplemen peninggi badan yang berisi
kalsium dan YGF251. Kalsium termasuk ke dalam salah satu makro elemen, yaitu
mineral yang dibutuhkan oleh tubuh yang berfungsi sebagai zat yang aktif dalam
metabolisme atau sebagai bagian penting dari struktur sel dan jaringan
(Sediaoetama, 2000; Almatsier, 2000). Fungsi kalsium antara lain adalah untuk
pembentukan tulang dan gigi, berperan dalam pertumbuhan dan sebagai faktor
pembantu dan pengatur reaksi biokimia dalam tubuh (Goulding, 2004). Tulang
ikan mempunyai kandungan kalsium (Ca) tinggi dimana Ca dan phosphor (P)
kurang lebih berjumlah 2% (20 g/kg BB kering) dari ikan. Kalsium yang terdapat
pada ikan salmon dan ikan cod dapat diabsorbsi dengan baik sebagai sumber Ca
1
2
pada remaja maupun dewasa. Pemberian suplemen peptida tulang ikan pada tikus
juga dapat meningkatkan retensi Ca dan dapat menurunkan kehilangan dari
mineral dalam tulang (Malde dkk., 2010). Tulang ikan salmon dan ikan cod dapat
digunakan sebagai sumber alami kalsium dan fosfor, yang dapat digunakan
sebagai makanan maupun sebagai suplemen karena kandungan mineralnya yang
tinggi pada tulang (Malde dkk., 2009).
YGF251 (young growth factor) merupakan ekstrak dari herba tanaman
Phlomis umbrosa Turcz, Cynancum wilfordii Hem, Zingiber officinale Rosc, dan
Platycodi Radic. YGF251 diketahui memicu sekresi insulin-like growth factor 1
(Begum dkk., 2014). Choi dkk (2002) dan Begum dkk (2014) mengatakan bahwa
YGF251 mempunyai efektivitas yang tinggi sebagai pemicu sekresi IGF-1 pada
manusia maupun pada tikus. Pemberian YGF251 pada anak ayam menunjukkan
hasil yang lebih baik terhadap panjang tulang dan bobot paha, serta konsentrasi
serum IGF-1 dibandingkan dengan kontrol. IGF-1 meningkatkan pertumbuhan,
keseimbangan nitrogen dan efisiensi pemanfaatan makan secara signifikan sekitar
10-15%, sedangkan lemak akan berkurang secara konsisten (Begum dkk., 2014).
Berdasarkan uji toksisitas akut Phlomis umbrosa Turcz yang diberikan
secara intraperitonial pada mencit galur Balb/C dengan dosis 100-1000 mg/kgBB
menunjukkan bahwa LD50 diperkirakan lebih dari 1000 mg/kgBB sehingga
Phlomis umbrosa Turez dinyatakan aman diberikan pada mencit pada dosis
dibawah 1000 mg/kgBB (Shang dkk., 2011).
Uji toksisitas akut Cynancum wilfordii Hem. yang dilakukan pada tikus
selama 2 minggu tidak ditemukan kematian hewan uji pada dosis 50, 100, 200,
3
300 mg/kgBB (secara intra peritonial), dan pada dosis 300, 500, 1000, 1500
mg/kgBB (secara per oral). Hasil uji toksisitas subakut menunjukkan bahwa
semua tikus pada dosis 300 mg /kgBB (p.o.) mati dalam waktu empat minggu,
dan pada dosis 500 dan 1000 mg /kgBB (p.o.) semua tikus mati dalam waktu tiga
minggu. Kematian ini dipercayai kuat disebabkan karena terjadi ulcer pada
lambung. Aktivitas SGOT dan SGPT didapatkan peningkatan secara signifikan
dari semua kelompok perlakuan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol,
sedangkan pada parameter hematologi didapatkan jumlah leukosit dan neutrofil
meningkat secara signifikan, serta limfosit menurun pada semua kelompok
perlakuan ketika dibandingkan dengan kelompok kontrol (Eun-Jin dkk., 2016).
Menurut Hendriani (2007), ekstrak etanol Zingiber officinale Rosc. pada
dosis mg/kgBB pada tikus Wistar tidak menyebabkan toksisitas berarti,
terlihat dengan tidak adanya perbedaan bermakna kelompok hewan yang
diberi sediaan uji dibanding kelompok kontrol pada perilaku, perkembangan
bobot badan, parameter darah, dan makroskopik organ. LD50 ekstrak etanol
jahe merah pada mencit galur Swiss Webster jantan dan betina
adalah 1887
mg/kgBB sehingga dikatakan mempunyai toksisitas sedang dan dinyatakan aman
pada pemberian dosis kurang dari 1250 mg/kgBB (Katrin dkk., 2014). Menurut
Bardi dkk. (2013), Zingiber officinale Rosc. aman dikonsumsi bagi manusia dan
mempunyai aktivitas sebagai hepatoprotektor.
Uji toksisitas akut produk suplemen peninggi badan kombinasi fish
calcium dan YGF251 pada tikus jantan dan tikus betina galur Wistar tidak
menimbulkan gejala toksisk, tidak berpengaruh terhadap perkembangan bobot
4
badan, dan secara umum tidak terdapat perubahan histopatologis yang disebabkan
akibat pemejanan sediaan uji. Pemejanan sediaan uji sampai pada dosis 5000
mg/kgBB tidak menimbulkan kematian hewan uji sehingga LD 50 diperkirakan
lebih dari 5000 mg/kgBB (Firda Monica, 2016). Uji toksisitas subkronis selama
90 hari produk suplemen peninggi badan kombinasi fish calcium dan YGF251
dosis 28,8 mg/kgBB, 144 mg/kgBB dan 720 mg/kgBB pada tikus betina galur
Wistar tidak menimbulkan gejala toksik, tidak mempengaruhi pekembangan
bobot badan, asupan makanan dan minuman, parameter hematologis (eritrosit,
leukosit,
hemoglobin,
platelet,
hematokrit,
MCV,
MCH,
MCHC)
dan
histopatologis (hepar, jantung, ginjal, limpa, lambung, usus, paru-paru), parameter
kimia darah seperti kolesterol, bilirubin total, albumin, urea, total protein,
kreatinin, SGOT, SGPT, namun patut diduga dapat menurunkan kadar glukosa
yang bersifat reversible (Ratnasari, 2016; Putri, 2016). Uji toksisitas subkronis
selama 90 hari produk suplemen peninggi badan kombinasi fish calcium dan
YGF251 dosis 28,8 mg/kgBB, 144 mg/kgBB dan 720 mg/kgBB pada tikus jantan
galur Wistar tidak mempengaruhi parameter kimia darah seperti kolesterol,
glukosa, albumin, urea, total protein, kreatinin, SGOT, SGPT, namun patut diduga
dapat meningkatkan kadar bilirubin yang bersifat irreversibel (Laili, 2016).
Mengingat perlu diketahui keamanan produk suplemen peninggi badan,
maka diperlukan suatu uji toksisitas. Uji toksisitas subkronis dilakukan pada
hewan uji dengan sedikitnya tiga peringkat dosis dalam waktu 90 hari. Tujuan
utama dari uji toksisitas subkronis adalah untuk mengetahui lebih jauh efek toksik
produk pada organ atau jaringan.
5
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wujud efek, gejala toksisitas
yang muncul, pengaruh terhadap asupan makan dan minum serta berat badan, dan
pengaruh variasi dosis terhadap wujud efek toksik yang ditimbulkan dari
pemberian produk suplemen peninggi badan berdasarkan gambaran hematologi
dan histopatologi pada tikus jantan galur Wistar.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah gejala toksisitas yang timbul akibat pemberian secara berulang
selama 90 hari produk suplemen peninggi badan kombinasi fish calcium dan
YGF251 pada tikus jantan galur Wistar?
2. Bagaimana pengaruh pemberian secara berulang selama 90 hari produk
suplemen peninggi badan kombinasi fish calcium dan YGF251 terhadap
asupan makanan dan minuman serta berat badan tikus jantan galur Wistar?
3. Bagaimana wujud efek pemberian secara berulang selama 90 hari produk
suplemen peninggi badan kombinasi fish calcium dan YGF251 berdasarkan
gambaran hematologi dan histopatologi pada tikus jantan galur Wistar?
4. Bagaimana pengaruh variasi dosis terhadap wujud efek toksik yang
ditimbulkan dari pemberian secara berulang selama 90 hari produk suplemen
peninggi badan kombinasi fish calcium dan YGF251 berdasarkan gambaran
hematologi dan histopatologi pada tikus jantan galur Wistar?
6
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui gejala toksisitas yang timbul akibat pemberian secara berulang
selama 90 hari produk suplemen peninggi badan kombinasi fish calcium dan
YGF251 pada tikus jantan galur Wistar
2. Mengetahui pengaruh pemberian secara berulang selama 90 hari produk
suplemen peninggi badan kombinasi fish calcium dan YGF251 terhadap
asupan makan dan minum serta berat badan tikus jantan galur Wistar.
3. Mengetahui wujud efek pemberian secara berulang selama 90 hari produk
suplemen peninggi badan kombinasi fish calcium dan YGF251 berdasarkan
gambaran hematologi dan histopatologi pada tikus jantan galur Wistar.
4. Mengetahui pengaruh variasi dosis terhadap wujud efek toksik yang
ditimbulkan dari pemberian secara berulang selama 90 hari produk suplemen
peninggi badan kombinasi fish calcium dan YGF251 berdasarkan gambaran
hematologi dan histopatologi pada tikus jantan galur Wistar.
D. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
kefarmasian, ilmu kedokteran dan pengetahuan tentang uji ketoksikan
subkronis.
2. Sebagai bahan masukan kepada penelitian selanjutnya dalam meneliti masalah
toksisitas subkronis produk suplemen peninggi badan.
7
E. Tinjauan Pustaka
1.
Suplemen
Suplemen makanan adalah produk yang digunakan untuk melengkapi
makanan, mengandung satu atau lebih bahan sebagai berikut, yaitu vitamin,
mineral, tumbuhan atau bahan yang berasal dari tumbuhan, asam amino, bahan
yang digunakan untuk meningkatkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) atau
konsentrat, metabolit, konstituen, ekstrak atau kombinasi dari beberapa bahan di
atas. Suplemen makanan dapat berupa produk padat meliputi tablet, tablet hisap,
tablet efervesen, tablet kunyah, serbuk, kapsul, kapsul lunak, granula, pastiles,
atau prosuk cair berupa tetes, sirup atau larutan (BPOM, 1996). Menurut Mason
(1995), suplemen makanan adalah produk yang mengandung vitamin atau
multivitamin, mineral, multimineral, dan atau bahan lainnya, seperti minyak ikan
dan ginseng, yang dipercaya konsumen dapat bermanfaat untuk kesehatannya.
2. Kalsium
Kalsium termasuk ke dalam salah satu makro elemen, yaitu mineral yang
dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari. Makro elemen
berfungsi sebagai zat yang aktif dalam metabolisme atau sebagai bagian penting
dari struktur sel dan jaringan. Kalsium merupakan mineral yang paling banyak
terdapat dalam tubuh. Sekitar 99% total kalsium dalam tubuh ditemukan dalam
jaringan keras yaitu tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidoksipatit, dan
hanya sebagian kecil dalam plasma dan cairan ekstravaskular (Soediaoetama,
2000; Almatsier, 2002).
8
Fungsi kalsium antara lain adalah untuk pembentukan tulang dan gigi,
berperan dalam pertumbuhan dan sebagai faktor pembantu dan pengatur reaksi
biokimia dalam tubuh. Pada tulang, kalsium dalam bentuk garam (hidroksipatit)
membentuk matriks pada kolagen rotein pada struktur tulang membentuk rangka
yang mampu menyangga tubuh serta tempat bersandarnya otot yang
menyebabkan memungkinkan terjadinya gerakan (Goulding, 2004).
Sumber utama kalsium dalam makanan terdapat pada susu dan hasil
olahannya, seperti keju atau yoghurt. Sumber kalsium selain susu juga penting
untuk memenuhi kebutuhan kalsium, baik yang berasal dari hewani atau nabati.
Sumber kalsium yang berasal dari hewani antara lain ikan sarden, ikan yang
dimakan dengan tulang, termasuk ikan kering merupakan sumber kalsium yang
baik. Sumber kalsium yang berasal dari nabati antara lain sereal, kacang-kacangan
dan hasil olahannya seperti tahu dan tempe, sayuran hijau, merupakan sumber
kalsium pula, namun bahan ini juga mengandung banyak zat yang menghambat
penyerapan kalsium seperti serat, fitat dan oksalat (Almatsier, 2002). Ikan dan
makanan sumber laut mengandung kalsium lebih banyak dibanding daging sapi
maupun ayam (Kartono & Soekatri, 2004).
Tulang ikan mempunyai kandungan kalsium (Ca) tinggi dimana Ca dan
phosphor (P) kurang lebih berjumlah 2% (20 g/kg BB kering) dari ikan. Kalsium
yang terdapat pada ikan salmon dan ikan cod dapat diabsorbsi dengan baik
sebagai sumber Ca pada remaja maupun dewasa. Pemberian suplemen peptida
tulang ikan pada tikus juga dapat meningkatkan retensi Ca dan dapat menurunkan
kehilangan dari mineral dalam tulang (Malde dkk., 2010). Karena kandungan
9
mineralnya yang tinggi pada tulang, tulang ikan salmon dan ikan cod dapat
digunakan sebagai sumber alami kalsium dan fosfor, yang dapat digunakan
sebagai makanan maupun sebagai suplemen (Malde dkk., 2009).
Kekurangan kalsium dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan. Akibat
kekurangan lainnya adalah osteoporosis, yaitu kondisi dimana tulang menjadi
kurang kuat, mudah bengkok dan rapuh sehingga mudah mengalami fraktur.
Kekurangan kalsium juga dapat menyebabkan riketsia, yang biasanya terjadi
karena kekurangan vitamin D dan ketidakseimbangan konsumsi kalsium terhadap
fosfor. Sedangkan kelebihan konsumsi kalsium dapat menyebabkan gangguan
ginjal. Disamping itu juga dapat menyebabkan konstipasi (susah buang air besar).
Kelebihan kalsium dapat terjadi apabila menggunakan suplemen kalsium berupa
tablet atau bentuk lain (Almatsier, 2002).
3. YGF251
YGF251 (young growth factor) merupakan ekstrak dari herba tanaman
Phlomis umbrosa Turcz, Cynancum wilfordii Hem, Zingiber officinale Rosc., dan
Platycodi Radic (25:30:15:30) (Begum dkk., 2014).
Phlomis umbrosa Turcz merupakan tumbuhan native yang terdistribusi di
beberapa negara Asia Tenggara. Phlomis umbrosa Turcz digunakan oleh
masyarakat sebagai obat untuk mengurangi edema, menyembuhkan nyeri,
menghilangkan dahak, kedinginan, bronkitis kronis dan artralgia (Shang dkk.,
2011).
10
Gambar 1. Phlomis umbrosa Turcz. (Anonim, 2004)
Klasifikasi Phlomis umbrosa Turcz.:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Order
: Labiales
Family
: Labiatae
Genus
: Phlomis
Spesies
: Phlomis umbrosa Turcz.(Anonim, 2014)
Dari uji toksisitas akut Phlomis umbrosa Turcz yang diberikan secara
intraperitonial pada mencit galur Balb/C dengan dosis 100-1000 mg/kgBB
menunjukkan bahwa tidak ada mencit yang mati dan tidak ada perubahan
behavior dari hewan uji. LD50 diperkirakan lebih dari 1000 mg/kgBB sehingga
Phlomis umbrosa Turcz dinyatakan aman diberikan pada mencit pada dosis
dibawah 1000 mg/kgBB (Shang dkk., 2011).
Cynancum wilfordii Hemsley termasuk dalam famili Asclepiadaceae,
terdistribusi secara luas di Korea, Cina dan Jepang. Tanaman obat ini sudah
digunakan masyarakat Korea dan mempunyai efek menguntungkan pada diabetes
11
melitus, gangguan gastric, aktivitas antiinflamasi, dan relaksasi vaskular.
Cynancum wilfordii Hemsley mengandung bahan aktif yang penting antara lain
gagaminine dan glikosidanya, beberapa macam dan cynauricuosides, sarcotine,
penupogenin, dan cynandione (Lee dkk., 2013).
Gambar 2. Cynancum wilfordii Hem (Anonim, 2016)
Cynanchi Wilfordii Radix dapat digunakan untuk meningkatkan sistem
imun. Studi farmakologi modern menyatakan bahwa ekstrak dan fraksi dari
Cynancum wilfordii Hemsley mempunyai beragam aksi farmakologi, antara lain
menangkal radikal bebas, meningkatkan imunitas, menurunkan serum koresterol
yang tinggi dan mempunyai aktivitas sebagai anti-tumor (Jiang dkk., 2011). Dari
hasil penelitian ekstrak etanol Cynancum wilfordii Hemsley pada tikus galur
Sprague-Dawley didapatkan hasil bahwa ekstrak etanol Cynancum wilfordii
Hemsley mempunyai potensi memperbaiki kondisi hypercholesterolemic dengan
mengatur profil lipid dalam darah (Lee dkk., 2013).
Uji toksisitas akut Cynancum wilfordii Hem. yang dilakukan pada tikus
selama 2 minggu tidak ditemukan kematian hewan uji pada dosis 50, 100, 200,
300 mg/kgBB (secara intra peritonial), dan pada dosis 300, 500, 1000, 1500
mg/kgBB (secara per oral). Pada uji toksisitas subakut, semua tikus pada dosis
12
300 mg/kgBB (p.o.) mati dalam waktu empat minggu, dan pada dosis 500 dan
1000 mg/kgBB (p.o.) semua tikus mati dalam waktu tiga minggu. Kematian ini
dipercayai kuat disebabkan karena terjadi ulcer pada lambung. Pada aktivitas
SGOT dan SGPT didapatkan peningkatan secara signifikan dari semua kelompok
perlakuan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sedangkan pada
parameter hematologi didapatkan jumlah leukosit dan neutrofil meningkat secara
signifikan, serta limfosit menurun pada semua kelompok perlakuan ketika
dibandingkan dengan kelompok kontrol (Eun-Jin dkk., 2016).
Rimpang Zingiber officinale mengandung favonoida, polifenol dan
minyak atsiri, yang berkhasiat sebagai pelega perut, obat batuk, obat rematik, dan
penawar racun (Anonim, 2001). Menurut penelitian yang dilakukan Hendriani
(2007), ekstrak etanol Zingiber officinale Rosc. pada dosis mg/kgBB pada tikus
Wistar tidak menyebabkan toksisitas berarti, terlihat dengan tidak adanya
perbedaan bermakna kelompok hewan yang diberi sediaan uji dibanding
kelompok kontrol pada perilaku, perkembangan bobot badan, parameter
darah, indeks dan makroskopik organ. LD50 ekstrak etanol jahe merah pada
mencit galur Swiss Webster jantan dan betina adalah 1887 mg/kgBB sehingga
dikatakan mempunyai toksisitas sedang dan dinyatakan aman pada pemberian
dosis kurang dari 1250 mg/kgBB (Katrin dkk., 2014). Menurut Bardi dkk. (2013),
Zingiber officinale Rosc. aman dikonsumsi bagi manusia dan mempunyai
aktivitas sebagai hepatoprotektor.
13
Gambar 3. Zingiber officinale Rosc. (Imtiyaz dkk., 2013)
Gambar 4. Zingiber officinale rhizome (Mishra dkk., 2012)
Klasifikasi Zingiber officinale Rosc.:
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Bangsa
: Zingiberales
Suku
: Zingiberaceae
Marga
: Zingiber
Jenis
: Zingiber officinale Rosc. (Anonim, 2001)
14
Platycodi Radix merupakan akar dari tanaman glandiflorum (Jacq.) DC.
yang umumnya dikenal sebagai Doraji di Korea Selatan (Kim dkk., 2008). Akar
Platycodon glandiflorum (Jacq.) DC. mengandung alkaloid, glikosida dan
flavonoid, yang berkhasiat sebagai obat cacingan, penurun kolesterol, anti radang,
pereda batuk, dan menurunkan kadar gula darah (Anonim, 2006).
Gambar 5. Platycodon glandiflorum (Jacq.) DC (Anonim, 2001)
Keterangan: A. Gambar habitus Platycodon glandiflorum (Jacq.) DC., B. Gambar bunga
Platycodon glandiflorum (Jacq.) DC., C. Gambar akar Platycodon glandiflorum (Jacq.) DC., D.
Gambar daun Platycodon glandiflorum (Jacq.) DC.
Klasifikasi Platycodon glandiflorum (Jacq.) DC.:
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Campanulalaes
Suku
: Campanulaceae
Marga
: Platycodon
Jenis
: Platycodon grandiflorum (Jacq.) DC. (Anonim, 2006)
15
Platycodi Radix di Korea digunakan sebagai bahan makanan dan
pengobatan tradisional untuk beberapa kondisi seperti bronkitis, asthma,
tuberculosis, hiperlipidemia, diabetes dan sebagai sedatif (Kim dkk., 2008).
Analisis kimiawi mengatakan bahwa saponin yang merupakan komponen utama
dari Platycodi Radix menunjukkan aktivitas biologi seperti efek antiinflamasi
(Kim dkk., 2006), efek anti hiperlipidemik, menghambat pancreatic lipase, efek
antiobesitas, dan efek immunomodulator (Kim dkk., 2008). Selain itu Platycodi
Radix juga mempunyai aktivitas sebagai neuroprotektif (Son dkk., 2007), efek
induksi apoptosis (Shin dkk., 2009), dan mempromosikan sekresi glucosestimulated insulin (Kwon dkk., 2008).
YGF251 diketahui memicu sekresi insulin-like growth factor 1 (Begum
dkk., 2014). Choi dkk. (2002) dan Begum dkk. (2014) mengatakan bahwa
YGF251 mempunyai efektivitas yang tinggi sebagai pemicu sekresi IGF-1 pada
manusia maupun pada tikus. Uji klinik mengenai efek YGF251 pada manusia
menunjukkan bahwa kelompok yang dipejankan YGF251 terbukti bahwa
konsentrasi serum IGF-1 meningkat secara signifikan (Begum dkk., 2014).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, pemberian YGF251 dapat
meningkatkan pertambahan berat badan, IgG dan energi dalam mencerna
sekaligus memicu pengurangan lemak pada perut dan bobot ampela pada ayam
broiler. Selain itu, pemberian YGF251 pada anak ayam menunjukkan hasil yang
lebih baik terhadap panjang tulang dan bobot paha, serta konsentrasi serum IGF-1
dibandingkan dengan kontrol (Begum dkk., 2014).
16
Uji toksisitas akut produk suplemen peninggi badan kombinasi fish
calcium dan YGF251 pada tikus jantan dan tikus betina galur Wistar tidak
menimbulkan gejala toksisk, tidak berpengaruh terhadap perkembangan bobot
badan, dan secara umum tidak terdapat perubahan histopatologis yang disebabkan
akibat pemejanan sediaan uji. Pemejanan sediaan uji sampai pada dosis 5000
mg/kgBB tidak menimbulkan kematian hewan uji sehingga LD 50 diperkirakan
lebih dari 5000 mg/kgBB (Firda Monica, 2016).
Uji toksisitas subkronis selama 90 hari produk suplemen peninggi badan
kombinasi fish calcium dan YGF251 dosis 28,8 mg/kgBB, 144 mg/kgBB dan 720
mg/kgBB pada tikus betina galur Wistar tidak menimbulkan gejala toksik, tidak
mempengaruhi pekembangan bobot badan, asupan makanan dan minuman,
parameter hematologis (eritrosit, leukosit, hemoglobin, platelet, hematokrit,
MCV, MCH, MCHC) dan histopatologis (hepar, jantung, ginjal, limpa, lambung,
usus, paru-paru), parameter kimia darah seperti kolesterol, bilirubin total,
albumin, urea, total protein, kreatinin, SGOT, SGPT, namun patut diduga dapat
menurunkan kadar glukosa yang bersifat reversible (Ratnasari, 2016; Putri, 2016).
Uji toksisitas subkronis selama 90 hari produk suplemen peninggi badan
kombinasi fish calcium dan YGF251 dosis 28,8 mg/kgBB, 144 mg/kgBB dan 720
mg/kgBB pada tikus jantan galur Wistar tidak mempengaruhi parameter kimia
darah seperti kolesterol, glukosa, albumin, urea, total protein, kreatinin, SGOT,
SGPT, namun patut diduga dapat meningkatkan kadar bilirubin yang bersifat
irreversibel (Laili, 2016).
17
4. Toksikologi
Toksikologi merupakan studi ilmiah tentang racun, cara kerjanya, cara
pendeteksiannya, dan pengobatan keadaan-keadaan yang ditimbulkannya
(Dorland, 2002). Definisi ini dirasa kurang sesuai karena pada perkembangannya
pengalaman juga membuktikan bahwa bahan yang tidak berbahaya sekalipun jika
masuk ke dalam tubuh dalam jumlah yang cukup dapat menimbulkan keracunan
(Donatus, 2005).
Pada perkembangannya, toksikologi didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari aksi berbahaya zat kimia atas sistem biologi tertentu (Loomis, 1996).
Ariens dkk (1993) menyatakan bahwa toksikologi ialah ilmu pengetahuan
mengenai kerja senyawa kimia yang merugikan terhadap organisme hidup.
Sedangkan Lu (1991) mendefinisikan toksikologi sebagai kajian tentang hakikat
dan mekanisme efek toksik berbagai bahan terhadap makhluk hidup dan sistem
biologik lainnya.
a.
Asas Umum Toksikologi
Ketoksikan suatu senyawa ditentukan dari keberadaan (kadar dan lama
tinggal) senyawa itu atau metabolitnya di tempat aksi dan keefektifan
antaraksinya (mekanisme aksi). Berdasarkan alur peristiwa timbulnya efek toksik,
maka ada empat asas utama dalam toksikologi. Empat asas utama yang perlu
dipahami dalam mempelajari toksikologi meliputi kondisi pemejanan dan kondisi
makhluk hidup, mekanisme aksi, wujud dan sifat efek toksik atau pengaruh
berbahaya racun (Donatus, 2005). Toksikologi didefinisikan sebagai ilmu tentang
aksi berbahaya zat kimia atas jaringan biologi dan dampaknya yang mengandung
18
arti bahwa jaringan biologi (tubuh), dalam kondisi tertentu, zat kimia dapat
berinteraksi menimbulkan efek berbahaya dengan wujud dan sifat tertentu.
Dengan demikian, dengan memahami kondisi, mekanisme, wujud dan sifat
efek toksik suatu zat kita akan dapat mengevaluasi keberbahayaan suatu zat.
Kemampuan evaluasi ini selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan atau
memperkirakan batas keamanannya bila mengenai atau digunakan manusia serta
cara-cara menggunakan supaya tidak menimbulkan efek toksik (Priyanto, 2009).
1) Kondisi efek toksik
Kondisi efek toksik suatu senyawa merupakan berbagai keadaan atau
faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas absorbsi, distribusi, dan eliminasi
senyawa tersebut
di
dalam
tubuh
yang nantinya
akan menentukan
keberadaan zat kimia tersebut dalam sel sasaran secara utuh atau metabolitnya
(Loomis, 1978). Kondisi efek toksik meliputi kondisi pemejanan dan
kondisi makhluk hidup. Kondisi pemejanan merupakan semua faktor yang
menentukan keberadaan racun di tempat aksi tertentu di dalam tubuh, yang
berkaitan dengan pemejanannya pada diri makhluk hidup. Sedangkan kondisi
makhluk hidup merupakan keadaan fisiologi serta patologi mkahluk hidup,
yang dapat mempengaruhi ketersediaan racun di dalam sel sasaran dan
keefektifan antaraksi antara kedua faktor tersebut.
Kondisi
fisiologis
meliputi berat badan, umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung,
kecepatan aliran darah, status gizi, kehamilan, jenis kelamin, irama sikardian,
dan irama diurnal (Donatus, 2005). Keadaan patologis dipengaruhi oleh
penyakit saluran pencernaan, kardiovaskuler, hati dan ginjal (Priyanto, 2010).
19
2) Mekanisme efek toksik
Berdasarkan sifat dan kejadiannya, mekanisme efek toksik dibagi menjadi dua
golongan utama, yaitu mekanisme luka intrasel dan ekstrasel. Mekanisme luka
intrasel merupakan luka sel yang diawali oleh aksi langsung racun pada tempat
aksinya di dalam sel (Donatus, 2005). Mekanisme luka ekstrasel merupakan
mekanisme luka di lingkungan luar sel yang diakibatkan senyawa racun baik
dalam bentuk induk maupun metabolitnya yang mengakibatkan perubahan
struktur dan fungsi sel (Priyanto, 2010).
3) Wujud efek toksik
Wujud efek toksik merupakan hasil akhir dari aksi dan respon tubuh terhadap
racun. Wujud efek toksik digolongkan menjadi tiga, yaitu perubahan
biokimiawi, perubahan fisiologi atau fungsional, dan perubahan histopatologi
atau struktural (Donatus, 2005).
4) Sifat efek toksik
Sifat efek toksik suatu racun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu terbalikkan
(reversible) dan tak terbalikkan (irreversible). Ciri dari efek toksik yang
terbalikkan adalah apabila kadar racun yang ada dalam tempat aksi atau
reseptor tertentu telah habis maka reseptor akan kembali kepada keadaan
semula, efek toksik yang ditumbulkan akan segera kembali kepada
kondisi normal, toksisitas racun tergantung pada takaran serta kecepatan
absorbsi, distribusi, dan eliminasi racun (Donatus, 2005). Ciri dari efek toksik
yang tak terbalikkan yaitu kerusakan yang terjadi sifatnya menetap, pemejanan
20
berikutnya akan menimbulkan kerusakan yang sifatnya sama sehingga
memungkinkan terjadinya penumpukan efek toksik (Priyanto, 2009).
b. Uji Toksisitas
Uji toksisitas merupakan salah satu uji pra klinik yang dilakukan pada
hewan uji untuk tes keamanan suatu obat baru yang akan dikembangkan. Uji
toksisitas mengungkapkan serangkaian efek akibat pemejanan zat toksik pada
berbagai peringkat dosis dengan waktu pemberian bervariasi serta menunjukkan
organ sasaran, sistem yang terpengaruh atau toksisitas khusus yang muncul (Lu,
2002).
Tujuan uji toksisitas secara umum adalah untuk menentukan dosis suatu
sediaan uji yang dapat menimbulkan kematian atau gejala toksik pada organ atau
jaringan, mengidentifikasi hubungan kausatif antara dosis yang diberikan dengan
terjadinya perubahan fisiologis, dan morfologis suatu organisme, serta melakukan
monitoring terkait variasi hewan uji dengan responnya terhadap sediaan uji
(Donatus, 2005).
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas tak khas dan khas. Uji
toksisitas khas adalah uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi secara
rinci efek yang khas sesuatu senyawa atas fungsi organ atau kelenjar tertentu pada
aneka ragam hewan uji. Termasuk dalam uji toksisitas khas adalah uji potensiasi,
kekarsinogenikan, kemutagenikan, reproduksi (uji kesuburan, uji keteratogenikan,
uji pra natal, dan pasca natal), uji kulit dan mata, dan uji perilaku (Donatus, 2005).
Sedangkan uji toksisitas tak khas bertujuan untuk mengevaluasi keseluruhan efek
21
toksik suatu zat beracun pada aneka ragam hewan uji. Termasuk dalam uji
tosksitas tak khas adalah uji toksisitas akut, sub kronis, dan kronis (Priyanto,
2009).
5. Uji Toksisitas Subkronis
Uji toksisitas subkronis ialah uji ketoksikan suatu senyawa yang
diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu, selama kurang dari tiga
bulan. Uji ini ditujukan untuk mengungkapkan spektrum efek toksik senyawa uji,
serta untuk memperlihatkan apakah spektrum efek toksik itu berkaitan dengan
takaran atau dosis (Donatus, 2005). Uji toksisitas subkronis oral adalah suatu
pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan
uji dengan dosis berulang yang diberikan secara oral pada hewan uji tidak lebih
dari 10% umur hewan uji. Pemejanan dilakukan selama 28 atau 90 hari dan
apabila diperlukan ditambahkan kelompok satelit untuk melihat adanya efek
tertunda atau yang bersifat reversibel (BPOM, 2014).
Hewan uji yang digunakan disarankan paling tidak satu jenis hewan
dewasa sehat, baik jantan maupun betina. Dalam hal ini, WHO (1966)
menyarankan pemilihan jenis hewan uji tersebut didasarkan pada bukti yang
diperoleh dari uji ketoksikan akut dan uji metabolik. Pada dasarnya, hewan uji
dipilih yang peka dan memiliki pola metabolisme terhadap senyawa uji yang
semirip mungkin dengan manusia (Donatus, 2005). Masing-masing kelompok
dosis menggunakan hewan minimal 10 ekor, dan jika perlu dapat disediakan 2
22
kelompok tambahan (grup satelit) minimal 5 ekor untuk setiap kelompok kontrol
dan kelompok dosis tinggi (BPOM, 2014; OECD, 1998).
Menurut Andreollo dkk. (2012) dan Sengupta (2013), usia matang tikus 6
bulan ekivalen dengan usia dewasa manusia 18 tahun. Konversi umur tikus ke
manusia jika dilihat berdasarkan waktu hidupnya adalah 13,8 hari umur tikus
setara dengan 1 tahun umur manusia. Oleh karena itu apabila dilakukan penelitian
selama 90 hari pada tikus, maka ekivalen dengan penelitian 6,52 tahun pada
manusia.
Sekurang-kurangnya digunakan 3 kelompok dosis, 1 kelompok kontrol
dan 2 kelompok satelit untuk setiap jenis kelamin. Apabila pada dosis 1000 mg/kg
berat badan tidak dihasilkan efek toksik, dosis tidak perlu dinaikkan lagi
meskipun dosis yang diharapkan untuk manusia belum tercapai (BPOM, 2014;
OECD, 1998). Takaran dosis senyawa uji diberikan sekali sehari selama kurun
waktu uji ketoksikan subkronis berlangsung, melalui jalur pemberian sesuai
dengan yang akan digunakan oleh manusia. Pemberian dosis senyawa juga dapat
dilakukan melalui rangsum hewan uji (Donatus, 2005).
Pengamatan dan pemeriksaan yang dilakukan dalam uji ketoksikan
subkronis meliputi:
a. Perubahan berat badan yang diperiksa paling tidak tujuh hari sekali
b. Masukan makanan dan minuman untuk masing-masing hewan atau kelompok
hewan yang diukur paling tidak tujuh hari sekali
c. Gejala-gejala klinis umum yang diamati setiap hari
23
d. Pemeriksaan hematologi paling tidak diperiksa dua kali, pada awal dan akhir
uji coba
e. Pemeriksaan kimia darah, paling tidak diperiksa dua kali, pada awal dan akhir
uji coba
f. Analisis urin, paling tidak sekali
g. Pemeriksaan histopatologi organ pada hewan yang mati pada masa pengujian
dan pada seluruh hewan pada akhir uji coba (Donatus, 2005; Loomis, 1978).
6. OECD 408 Guideline for The Testing of Chemicals Repeated Dose 90-day
Oral Toxicity Study in Rodents
OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development)
merupakan sebuah organisasi internasional untuk kerjasama ekonomi dan
pembangunan. OECD merupakan organisasi yang mempunyai misi untuk
mempromosikan kebijakan-kebijakan guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi
dan sosial seluruh masyarakat dunia. OECD mempunyai peran penting dalam
menetapkan standar internasional mengenai berbagai hal, dari pertanian,
pajak hingga keamanan bahan kimia. OECD telah banyak mempublikasikan
guideline untuk berbagai penelitian, salah satunya adalah OECD Guideline for
the Testing of Chemicals. Guideline ini merupakan pedoman standar untuk
menguji keamanan dari bahan-bahan kimia yang ada di dunia (OECD, 2016).
OECD Guideline for the Testing of Chemicals secara periodik diperbarui
untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan. Uji toksisitas subkronis selama
90 hari dapat memberikan informasi akan adanya kemungkinan bahaya terhadap
24
kesehatan yang mungkin timbul akibat paparan secara berulang dalam jangka
waktu lama. Uji ini akan memberikan informasi mengenai efek toksik utama,
mengindikasikan organ target dan kemungkinan adanya akumulasi dan dapat
memperkirakan no-observed-adverse-effect level yang dapat digunakan untuk
memperkirakan dosis pada uji kronis serta memprediksi kriteria keamanan untuk
penggunakan pada manusia. Prinsip dari uji ini adalah senyawa uji dengan
peringkat dosis tertentu dipejankan pada suatu kelompok hewan uji, dimana
dalam sehari satu level dosis tunggal diberikan pada satu kelompok perlakuan
secara oral selama 90 hari. Selama perlakuan dilakukan pengamatan terhadap
gejala toksis yang mungkin mucul pada hewan uji. Hewan uji yang mati atau
dikorbankan selama pengujian, serta hewan yang bertahan kemudian dikorbankan
dan dilakukan pembedahan (OECD, 1998).
7. Parameter Hematologi
Hematologi merupakan merupakan cabang ilmu kedokteran yang
mempelajari mengenai darah dan jaringan pembentuk darah. Darah, disebut juga
haema atau hema adalah cairan yang beredar melalui jantung, arteri, kapilar, dan
vena yang membawa zat makanan dan oksigen ke sel-sel tubuh. Cairan ini
mengandung plasma, cairan kuning pucat yang mengandung elemen-elemen yang
secara mikroskopik terlihat eritrosit atau korpuskel darah merah, leukosit atau
korpuskel darah putih, dan trombosit (Dorland, 2002). Darah merupakan jaringan
cair yang terdiri atas dua bagian yaitu plasma darah dan sel darah yang terdiri dari
eritrosit, leukosit dan trombosit. Volume darah secara keseluruhan adalah satu per
25
dua belas berat badan atau kira-kira lima liter. Sekitar 55% dari darah merupakan
plasma darah, sedangkan 45% sisanya terdiri dari sel darah (Evelyn C. Pearce,
2006).
Parameter hematologi telah banyak digunakan secara luas untuk
menetapkan keadaan fisiologis dan patologis tubuh secara sistemik, meliputi
kesehatan secara umum, diagnosis dan prognosis dari suatu penyakit (Shah dkk.,
2007). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilai parameter hematologi,
antara lain umur, jenis kelamin, nutrisi, faktor lingkungan, etnis, bentuk tubuh,
dan faktor sosial (Evans dkk., 1999; Frerich dkk., 1977). Pemeriksaaan
hematologi lengkap meliputi jumlah total eritrosit, platelet, Hb, Hct, MCV, MCH,
MCHC, jumlah total leukosit dan diferensialnya meliputi neutrofil, eusinofil,
basofil, limfosit dan monosit (Ciesla, 2007).
a. Eritrosit
Eritrosit atau red blood cell (RBC) merupakan salah satu unsur dari darah
tepi. Bentuk matur eritrosit normal pada manusia adalah cakram bikonkaf,
bewarna kekuningan, tak berinti, dan sesuai untuk mengangkut oksigen berkat
konfigurasi serta kandungan hemoglobin (Dorland, 2002). Sel darah merah
normal berbentuk lempeng bikonkaf dengan diameter kira-kira 7,8 mikrometer
dengan ketebalan pada bagian yang paling tebal 2,5 mikrometer dan pada bagian
tengah 1 mikrometer atau kurang. Bentuk sel darah merah dapat berubah-ubah
ketika sel berjalan melewati kapiler dan perubahan bentuk tersebut tidak akan
memecahkan sel karena sel normal ini memiliki membran yang sangat kuat untuk
menampung banyak material di dalamnya (Guyton & Hall, 1997).
26
Fungsi utama eritrosit adalah untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke
jaringan tubuh dan mengangkut CO2 dari jaringan tubuh ke paru-paru oleh Hb.
Eritrosit yang berbentuk cakram bikonkaf mempunyai area permukaan yang luas
sehingga jumlah oksigen yang terikat dengan Hb dapat lebih banyak (Anonim,
2011). Selain itu, fungsi lain dari eritrosit adalah transport glukosa, homeostasis
kalsium, homeostasis redoks, proliferasi sel T, dan aktivitas antimikrobial (Morera
& Mac Kenzie, 2011).
Eritrosit dengan umur 120 hari pada manusia adalah sel utama yang
dilepaskan dalam sirkulasi. Bila kebutuhan eritrosit tinggi, sel yang belum dewasa
akan dilepaskan ke dalam sirkulasi. Eritrosit yang lebih tua keluar dari sirkulasi
melalui fagositosis di limfa, hati dan sumsum tulang (sistem retikuloendotelial)
pada akhir masa hidupnya (Anonim, 2011). Jumlah rata-rata sel darah merah per
milimeter kubik pada pria normal adalah 5.200.000 (± 300.000) dan pada wanita
normal 4.700.000 (± 300.000) (Guyton & Hall, 1997). Jumlah eritrosit normal
pada tikus galur Wistar adalah 6,5-7,0 x 106 /µL untuk tikus jantan dan 6,7-8,2 x
106 /µL untuk tikus betina (Nurrochmad & Airin, 2013). Jumlah eritrosit normal
pada tikus galur Wistar adalah 7,27-9,65 x 106 /µL untuk tikus jantan dan 7,079,03 x 106 /µL untuk tikus betina (Weiss & Wardrop, 2010).
Abnormalitas dari jumlah sel eritrosit yang dapat terjadi antara lain anemia
dan eritrositosis. Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan
jumlah masa eritrosit (red cell mass), sehingga darah tidak dapat memenuhi
fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan
perifer (Arifin dkk., 2012). Anemia adalah kondisi kekurangan sel darah merah,
27
yang dapat disebabkan oleh hilangnya darah yang terlalu cepat atau karena terlalu
lambatnya produksi sel darah merah. Sedangkan eritrositosis atau polisitemia
sekunder merupakan peningkatan jumlah sel darah merah akibat hipoksia karena
terlalu sedikitnya oksigen dalam atmosfer, gagalnya pengiriman oksigen ke
jaringan (Guyton & Hall, 1997). Jumlah sel darah merah menurun pada pasien
anemia leukemia, penurunan fungsi ginjal, talasemia, hemolisis dan lupus
eritematosus sistemik. Dapat juga terjadi karena obat (drug induced anemia)
seperti sitostatika dan antiretroviral. Sel darah merah meningkat pada polisitemia
vera, polisitemia sekunder, diare/dehidrasi, olahraga berat, luka bakar, orang yang
tinggal di dataran tinggi (Anonim, 2011).
b. Leukosit
Leukosit atau white blood cell (WBC) merupakan sel darah yang tidak
berwarna dan mampu bergerak secara ameboid (Dorland, 2002). Leukosit
sebagian dibentuk di sumsum tulang yaitu granulosit dan monosit serta sedikit
limfosit, dan sebagian lagi di jaringan limfe yaitu limfosit dan sel-sel plasma
(Guyton & Hall, 1997). Leukosit merupakan komponen dari sel darah yang
penting dalam sistem imun tubuh dan melindungi tubuh dari infeksi (Naushad &
Wheeler, 2015).
Fungsi utama leukosit adalah melawan infeksi, melindungi tubuh dengan
memfagosit
organisme
asing
dan
memproduksi
atau
mengangkut/
mendistribusikan antibodi. Leukosit terbentuk di sumsum tulang (myelogenous),
disimpan dalam jaringan limfatikus (limfa, timus, dan tonsil) dan diangkut oleh
darah ke organ dan jaringan. Umur leukosit adalah 13-20 hari. Vitamin, asam
28
folat dan asam amino dibutuhkan dalam pembentukan leukosit. Sistem endokrin
mengatur produksi, penyimpanan dan pelepasan leukosit (Anonim, 2011).
Leukosit diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama, yaitu granulosit
dan agranulosit. Semua leukosit dengan granular yang banyak di dalam
sitoplasma dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu basofil, eosinofil dan neutrofil,
sedangkan agranulosit terdiri dari monosit dan limfosit (Dorland, 2002).
Granulosit dan monosit melindungi tubuh terhadap organisme penyerang terutama
dengan cara mencernakannya, yaitu melalui fagositosis, sedangkan fungsi utama
limfosit berhubungan dengan sistem imun (Guyton & Hall, 1997).
Jumlah sel darah putih pada manusia normal berkisar antara 3200 –
10.000/mm3 (Anonim, 20111). Menurut Guyton & Hall (1997), pada manusia
dewasa dapat dijumpai sekitar 7000 sel darah putih/ µL darah dengan presentasi
sebanyak 62,0% netrofil; 2,3% eosinofil; 0,4% basofil; 5,3% monosit; dan 30,0%
limfosit. Jumlah normal leukosit pada tikus galur Wistar adalah 8,3-12,7 x 103
/mm3 untuk tikus jantan dan 6,5-10,5 x 103 /mm3 untuk tikus betina (Nurrochmad
& Airin, 2013). Menurut Weiss & Wardrop (2010) jumlah normal leukosit pada
tikus galur Wistar adalah 1,96-8,25 x 103 /mm3 untuk tikus jantan dan 1,13-7,49 x
103 /mm3 untuk tikus betina
Pemeriksaan jumlah leukosit penting untuk melihat respon tubuh
terhadap berbagai hal seperti infeksi, inflamasi, alergi, imunodefisiensi dan
kanker (leukimia dan limfoma). Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk
memonitor
respon
terhadap
kemoterapi,
growth
factors
dan
terapi
immunosupresif. Jumlah total leukosit yang kurang dari normal disebut
29
leukopenia, sedangkan jumlah total leukosit yang lebih dari normal disebut
leukositosis (Naushad & Wheeler, 2012).
Leukopenia merupakan keadaan dimana berkurangnya jumlah leukosit di
dalam darah (Dorland, 2002). Leukopenia dapat diakibatkan oleh terapi seperti
kemoterapi atau terapi radiasi. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh adanya
infeksi yang mengurangi jumlah leukosit dalam darah, atau abnormalitas
pada sel punca seperti leukemia atau sindrom myelodisplastik (Naushad &
Wheeler, 2012). Leukositosis merupakan peningkatan jumlah leukosit dalam
darah untuk sementara waktu, yang dapat timbul akibat olah raga berat dan pada
keadaan patologis timbul menyertai perdarahan, demam, infeksi, atau peradangan
atau produksi berlebihan karena leukemia (Dorland, 2002; Naushad & Wheeler,
2012). Nilai krisis leukositosis: 30.000/mm3. Lekositosis hingga 50.000/mm3
mengindikasikan gangguan di luar sumsum tulang (bone marrow). Nilai leukosit
yang sangat tinggi (di atas 20.000/mm3) dapat disebabkan oleh leukemia.
Penderita kanker post-operasi (setelah menjalani operasi) menunjukkan pula
peningkatan leukosit walaupun tidak dapat dikatakan infeksi (Anonim, 2011).
c. Platelet
Platelet atau trombosit merupakan suatu bangunan mirip cakram,
berdiameter 2-4 µm, ditemukan dalam semua darah mamalia dan terutama dikenal
karena peranannya dalam pembekuan darah, yang terbentuk dalam megakariosit
dan lepas dari sitoplasmanya secara berkelompok, tidak mempunyai inti dan
DNA, namun mengandung enzim aktif serta mitokondria (Dorland, 2002).
Menurut Guyton dan Hall (1997), trombosit berbentuk bulat kecil atau cakram
30
oval dengan diameter 2-4 µm, dibentuk di sumsum tulang belakang dari
megakariosit.
Trombosit merupakan struktur yang aktif, waktu paruh hidupnya dalam
darah ialah 8-12 hari (Guyton & Hall, 1997). Trombosit adalah elemen terkecil
dalam pembuluh darah. Sebesar dua per tiga dari seluruh trombosit terdapat di
sirkulasi dan sepertiganya terdapat di limfa (Anonim, 2011). Platelet merupakan
sel yang multifungsi dan terlibat dalam banyak proses fisiologi tubuh seperti
hemostasis (pembekuan darah), trombosis, pertahanan, konstriksi dan perbaikan
pembuluh darah, inflamasi termasuk pada pembetukan atherosklerosis, dan juga
perlindungan terhadap growth factor dan metastasis dari tumor. Dari bentuk
dan ukurannya yang kecil menyebabkan platelet dapat dengan mudah menuju
ujung dari pembuluh darah sasaran dan menempatkan diri pada tempat yang
optimal dalam pembuluh darah (Harrison, 2005).
Konsentrasi normal trombosit dalam darah ialah antara 150.000-350.000
/µL (Guyton & Hall, 1997). Menurut Nurrochmad dan Airin (2013), jumlah
normal platelet pada tikus galur Wistar adalah 886-1239 x 103 /µL untuk tikus
jantan dan 865-1082 x 103 /µL untuk tikus betina. Jumlah normal platelet pada
tikus galur Wistar adalah 638-1177 x 103 /µL untuk tikus jantan dan 680-1200 x
103 /µL untuk tikus betina (Weiss & Wardrop, 2010). Fungsi utama dari tes
jumlah platelet adalah untuk mengidentifikasi penyebab potensial dari perdarahan
yang abnormal, untuk memonitor hemostatis pada pasien dengan resiko tinggi
mengalami perdarahan, dan memastikan fungsi normal platelet pada pembedahan.
Selain itu, juga dapat digunakan untuk memonitor efikasi dari pemberian terapi
31
antiplatelet dan potensial untuk mengidentifikasi hiperfungsi dari platelet untuk
memprediksi trombosis (Harrison, 2005).
Abnormalitas jumlah platelet dalam darah dapat menyebabkan dua
kondisi, yaitu trombositopenia dan trombositosis. Trombositopenia didefnisikan
sebagai penurunan kadar platelet di bawah normal. Apabila jumlah platelet
75.000-150.000 /L termasuk dalam trombositopenia tingkat 1, termasuk
trombositopenia
tingkat
2
untuk
jumlah
platelet
50.000-75.000
/L,
trombositopenia tingkat 3 untuk jumlah platelet 25.000-50.000 /L, dan
trombositopenia tingkat 4 untuk jumlah platelet kurang dari 25.000 /L (Sekhon &
Roy, 2006). Penderita trombositopenia cenderung mengalami perdarahan (Guyton
& Hall, 1997). Trombositopenia berhubungan dengan idiopatik trombositopenia
purpura (ITP), anemia hemolitik, aplastik, dan pernisiosa, leukimia, multiple
myeloma dan multipledysplasia syndrome. Obat seperti heparin, kinin,
antineoplastik, penisilin, asam valproat dapat menyebabkan trombositopenia.
Penurunan trombosit di bawah 20.000 berkaitan dengan perdarahan spontan
dalam jangka waktu yang lama, peningkatan waktu perdarahan petekia/ekimosis
(Anonim, 2011). Trombositosis merupakan peningkatan jumlah trombosit dalam
sirkulasi (Guyton & Hall, 1997). Trombositosis berhubungan dengan kanker,
splenektomi, polisitemia vera, trauma, sirosis, myelogeneus, stres dan arthritis
reumatoid (Anonim, 2011).
32
d. Hemoglobin
Hemoglobin merupakan pigmen merah pembawa oksigen pada eritrosit,
dibentuk oleh eritrosit yang berkembang dalam sumsum tulang. Hemoglobin
merupakan hemoprotein yang mengandung empat gugus hem dan globin, dan
mempunyai kemampuan oksigenasi reversibel. Satu molekul hemoglobin
mengandung empat rantai polipeptida globin, terbentuk dari antara 141 dan 146
asam amino (Dorland, 2002).
Sel-sel darah merah mampu mengkonsentrasikan hemoglobin dalam
cairan sel sampai sekitar 34gm/dl sel, yaitu batas metabolik dari mekanisme
pembentukan hemoglobil sel. Presentase hemoglobin pada orang normal hampir
selalu mendekati maksimum dalam setiap sel, namun apabila pembentukan
hemoglobin dalam sumsum tulang berkurang maka presentase hemoglobin dapat
turun dan volume sel darah merah juga menurun karena hemoglobin yang mengisi
sel berkurang (Guyton & Hall, 1997).
Nilai normal hemoglobin pada pria dewasa ialah 13 - 18 g/dL dan 12 - 16
g/dL pada wanita dewasa (Anonim, 2011). Setiap gram hemoglobin murni mampu
berikatan dengan ± 1,39 ml oksigen sehingga pada orang normal lebih dari 19-21
ml oksigen dapat dibawa dalam bentuk gabungan dengan hemoglobin pada setiap
desiliter darah (Guyton & Hall, 1997). Kadar hemoglobin normal pada tikus galur
Wistar adalah 13,4-14,5 g/dL untuk tikus jantan dan 13,7-15,0 g/dL untuk tikus
betina (Nurrochmad & Airin, 2013). Menurut Weiss & Wardrop (2010) kadar
hemoglobin normal pada tikus galur Wistar adalah 13,7-17,6 g/dL untuk tikus
jantan dan 13,7-16,8 g/dL untuk tikus betina.
33
Abnormalitas jumlah hemoglobin dapat menyebabkan penurunan dan
peningkatan jumlah hemoglobin. Penurunan nilai hemoglobin dapat terjadi pada
anemia (terutama anemia karena kekurangan zat besi), sirosis, hipertiroidisme,
perdarahan, peningkatan asupan cairan dan kehamilan. Peningkatan nilai
hemoglobin dapat terjadi pada hemokonsentrasi (polisitemia, luka bakar),
penyakit paru-paru kronik, gagal jantung kongestif dan pada orang yang hidup di
daerah dataran tinggi. Konsentrasi hemoglobin juga dapat digunakan untuk
menilai tingkat keparahan anemia, respons terhadap terapi anemia, atau
perkembangan penyakit yang berhubungan dengan anemia (Anonim, 2011).
e. Hematokrit
Hematokrit menunjukkan persentase eritrosit di dalam 100 ml darah
(Astawan dkk., 2011). Menurut Dorland (2002), hematokrit atau Hct merupakan
proporsi volume sampel darah dengan sel darah merah (sel darah merah yang
padat) diukur dalam mL/dL dari darah keseluruhan atau dalam persen. Nilai
hematokrit normal pada pria adalah 40-50%, sedangkan pada wanita 35-45%
(Anonim, 2011). Nilai hematokrit normal pada tikus galur Wistar adalah 36,742,4% pada tikus jantan dan 38,2-42,1% pada tikus betina (Nurrochmad & Airin,
2013). Menurut Weiss & Wardrop (2010) nilai hematokrit normal pada tikus galur
Wistar adalah 39,6-52,5 % pada tikus jantan dan 37,9-49,9 % pada tikus betina.
Nilai Hct merupakan parameter yang dinamis dan dapat berubah
dengan cepat dan signifikan berdasarkan pengaruh psikologis, patofisiologis
dan
psikosomatik
(Isbister,
1987). Penurunan nilai hematokrit merupakan
34
indikator anemia (karena berbagai sebab), reaksi hemolitik, leukemia, sirosis,
kehilangan banyak darah dan hipertiroid. Penurunan Hct sebesar 30%
menunjukkan pasien mengalami anemia sedang hingga parah. Peningkatan nilai
Hct dapat terjadi pada eritrositosis, dehidrasi, kerusakan paru-paru kronik,
polisitemia dan syok (Anonim, 2011).
f. Mean Corpuscular Volume, Mean Corpuscular Hemoglobin & Mean
Corpuscular Hemoglobin Consentration
Mean corpuscular volume atau MCV merupakan suatu nilai yang
menunjukkan volume rata-rata dari eritrosit (Curry & Staros, 2012). MCV
adalah indeks untuk menentukan ukuran sel darah merah. MCV dapat diukur
menggunakan alat atau dengan perhitungan melalui persamaan MCV (femtoliter)
= 10 x Hct (%) : Eritrosit (106 sel/μL). MCV menunjukkan ukuran sel darah
merah tunggal apakah sebagai Normositik (ukuran normal), Mikrositik (ukuran
kecil < 80 fL), atau Makrositik (ukuran kecil >100 fL) (Anonim, 2011). Nilai
normal MCV pada manusia dewasa sehat adalah 80-96 fl (McPherson & Pincus,
2011). Nilai normal MCV pada tikus galur Wistar adalah 51,7-58,0 fL untuk tikus
jantan dan 51,1-57,1 fL untuk tikus betina (Nurrochmad & Airin, 2013). Menurut
Weiss & Wardrop (2010) nilai normal MCV pada tikus galur Wistar adalah 48,957,9 fL untuk tikus jantan dan 49,9-58,3 fL untuk tikus betina. Penurunan nilai
MCV terlihat pada pasien anemia kekurangan besi, anemia pernisiosa dan
talasemia, disebut juga anemia mikrositik. Sedangkan peningkatan nilai MCV
35
terlihat pada penyakit hati, alcoholism, terapi antimetabolik, kekurangan folat/
vitamin B12, dan terapi valproat, disebut juga anemia makrositik (Anonim, 2011).
Mean corpuscular hemoglobin atau MCH merupakan suatu nilai yang
menunjukkan bobot rata-rata atau massa dari hemoglobin dalam eritrosit
(Walker et.al., 1990). Indeks MCH adalah nilai yang mengindikasikan berat Hb
rata-rata di dalam sel darah merah, dan oleh karenanya menentukan kuantitas
warna (normokromik, hipokromik, hiperkromik) sel darah merah. MCH dapat
digunakan untuk mendiagnosa anemia. MCH diperoleh dengan perhitungan
sebagai berikut MCH (picogram/sel) = hemoglobin/sel darah merah. Nilai normal
MCH adalah 28– 34 pg/ sel (Anonim, 2011). Nilai normal MCH pada tikus galur
Wistar adalah 18,2-21,0 pg untuk tikus jantan dan 18,2-21,1 pg untuk tikus betina
(Nurrochmad & Airin, 2013). Menurut Weiss & Wardrop (2010) nilai normal
MCH pada tikus galur Wistar adalah 17,1-20,4 pg untuk tikus jantan dan 17,820,9 pg untuk tikus betina. Peningkatan MCH mengindikasikan anemia
makrositik, sedangkan penurunan MCH mengindikasikan anemia mikrositik
(Anonim, 2011).
Mean corpuscular hemoglobin concentration
atau MCHC merupakan
suatu nilai yang menunjukkan konsentrasi rata-rata dari Hb dalam suatu
volume eritrosit (Walker et.al., 1990). MCHC diperoleh dari persamaan MCHC =
hemoglobin/hematokrit. Indeks MCHC mengukur konsentrasi Hb rata-rata dalam
sel darah merah; semakin kecil sel, semakin tinggi konsentrasinya. Perhitungan
MCHC tergantung pada Hb dan Hct. Indeks ini adalah indeks Hb darah yang lebih
baik, karena ukuran sel akan mempengaruhi nilai MCHC, hal ini tidak berlaku
36
pada MCH. Nilai normal MCHC pada manusia adalah 32 – 36 g/dL (Anonim,
2011). Nilai normal MCHC pada tikus galur Wistar adalah 34,2-37,3 g/dL untuk
tikus jantan dan 35,6-37,7 g/dL untuk tikus betina (Nurrochmad & Airin, 2013).
Menururt Weiss & Wardrop (2010) nilai normal MCHC pada tikus galur Wistar
adalah 32,9-37,5 g/dL untuk tikus jantan dan 33,2-37,9 g/dL untuk tikus betina.
MCHC menurun pada pasien kekurangan besi, anemia mikrositik, anemia karena
piridoksin, talasemia dan anemia hipokromik, dan meningkat pada sferositosis,
bukan anemia pernisiosa (Anonim, 2011).
8. Parameter Histopatologi
Histopatologi berasal dari kata histo dan patologi. Kata histo berasal dari
bahasa Yunani histos yang berarti jaringan. Sedangkan patologi adalah cabang
ilmu kedokteran yang mempelajari sifat esensial penyakit, khususnya perubahan
struktural dan fungsional pada jaringan dan organ tubuh yang menyebabkan atau
disebabkan oleh penyakit atau dalam kata lain merupakan manifestasi struktural
dan fungsional penyakit (Dorland, 2002).
Pemeriksaan
histopatologi
yaitu
usaha
untuk
menemukan
dan
mendiagnosis penyakit berdasarkan hasil pemeriksaan jaringan yang meliputi
pemeriksaan makroskopik jaringan disertai seleksi sampel jaringan untuk
pengamatan mikroskopik. Jaringan berasal dari biopsi atau eksisi bedah yang
dimasukkan dalam larutan fiksasi (sebagian besar formaldehid) dan dikirim ke
laboratorium histopatologi. Mayoritas histopatologis dilakukan dari potongan
jaringan blok parafin dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (Underwood, 1999).
37
Pemeriksaan histopatologi memberikan informasi tentang organ sasaran senyawa
kimia yang mengalami kerusakan. Organ yang biasa diamati dalam pemeriksaan
histopatologi pada hewan uji setelah pemberian sediaan uji antara lain hati, ginjal,
pankreas, jantung, lambung, usus dan paru-paru (Lu, 1995). Dalam pemeriksaan
histopatologi, respon
yang muncul dapat berupa perubahan morfologi atau
struktural dalam berbagai wujud. Beberapa perubahan yang dapat terjadi antara
lain:
a.
Peradangan
Peradangan merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh
cidera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau
mengurung baik organ pencedera maupun jaringan yang cedera. Pada bentuk akut
ditandai oleh tanda klasik seperti nyeri, panas, kemerahan, bengkak dan hilangnya
fungsi. Secara histologis peradangan menyangkut pada rangkaian kejadian yang
rumit, mencakup dilatasi arteriol, kapilar dan venula, disertai peningkatan
permeabilitas dan aliran darah, eksudasi cairan, termasuk protein plasma dan
migrasi leukositik ke dalam fokus peradangan (Dorland, 2002). Beberapa dari
sekian banyak produk dari jaringan yang menimbulkan reaksi ini adalah histamin,
bradikiniin, serotonin, prostaglandin, beberapa macam produk reaksi sistem
komplemen, produk reaksi sistem pembekuan darah dan berbagai substansi
hormonal yang disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi
(Guyton & Halll, 1997).
38
b.
Edema
Edema merupakan keadaan dimana terdapat cairan dalam jumlah besar
yang abnormal di ruang jaringan interselular tubuh, yang biasanya menunjukkan
jumlah nyata dalam jaringan subkutis. Edema dapat terbatas, disebabkan oleh
obstruksi vena atau saluran limfatik atau oleh peningkata permeabilitas vaskular,
atau bersifat sistemik akibat dekompensasio kordis atau penyakit ginjal (Dorland,
2002).
c.
Hemoragi
Hemoragi adalah keluarnya darah dari pembuluh atau merupakan peristiwa
perdarahan. Perdarahan kecil digolongkan menurut ukurannya seperti petekie
(sangat kecil), purpura (hingga 1 cm), dan ekimoses (lebih besar) (Dorland, 2002).
Perdarahan hebat dapat terjadi akibat defisiensi salah satu dari faktor-faktor
pembekuan darah. Jenis perdarahan utama yang sering terjadi adalah perdarahan
akibat defisiensi vitamin K, hemofilia dan trombositopenia atau defisiensi
trombosit (Guyton & Hall, 1997).
d.
Kongesti
Kongesti merupakan akumulasi cairan yang berlebihan atau abnormal,
seperti darah di dalam suatu bagian. Kongesti dapat terjadi karena akumulasi
darah di dalam suatu bagian akibat dilatasi lumen pembuluh darah (kongesti
aktif), vaskularisasi dan peningkatan aliran darah menuju suatu organ sewaktu
menjalankan fungsinya (kongesti fungsional), gaya gravitasi bagian terbawah
suatu organ sewaktu sirkulasi sangat melemah (kongesti hipostatik), iritasi saraf
vasodilator (kongesti neurotonic), obstruksi jalan keluar darah pada suatu bagian
39
(kongesti pasif), karena fungsional atau fisiologis, dan kongesti paru yaitu
pembengkakan pembuluh-pembuluh pulmoner yang disertai pulmonary edema
yang dapat terjadi pada penyakit jantung, infeksi dan perlakuan tertentu (Dorland,
2002).
e. Nekrosis
Nekrosis merupakan hasil akhir akhir dari perubahan-perubahan
morfologis akibat kerja degradatif progresif enzim yang mengindikasikan
kematian sel. Hal ini dapat mengenai kelompok sel atau bagian suatu struktur atau
suatu organ (Dorland, 2002). Nekrosis adalah kematian sel atau jaringan pada
organisme hidup tetapi tidak terikat oleh penyebabnya. Nekrosis merupakan
proses patologis setelah terjadinya cedera sel dan lebih sering mengenai
suatu jaringan yang padat (Underwood, 1994).
F. Keterangan Empirik
Pada penelitian sebelumnya, telah terbukti bahwa kalsium dan YGF251
memiliki potensi untuk pertumbuhan tulang sehingga dapat digunakan sebagai
alternatif untuk peninggi badan. Oleh karena itu dibuat sebuah produk peninggi
badan dengan kombinasi fish calcium dan YGF251. Namun, produk ini belum
diketahui toksisitasnya untuk penggunaan jangka panjang, sehingga perlu
dilakukan uji toksisitas untuk mengetahui efek toksikologi yang timbul setelah
pemejanan produk.
Download