ISSN: 2089-7553 AKIBAT HUKUM PERCERAIAN BAGI MASYARAKAT HINDU Oleh: I Made Kastama * Abstrak Perceraian bisa terjadi dalam rumah tangga, apabila suami istri tidak mampu mempertahankan kehidupan, semuai keluarga mengingingkan kehidupan perkawinannya berjalan baik serta tidak menginginkan adannya perceraian. Perceraian menyebabkan putusnya ikatan perkawinan antara suami-istri yang telah lama dibina. Putusnya perkawinan dikarenakan perceraian baik menurut hukum adat maupun hukum Agama adalah perbuatan yang dilarang suatu perbuatan yang tidak baik dan tidak diperbolehkan. Namun kenyataannya terjadi di masyarakat, ingkar pada janji yang menyebabkan retaknya rumah tangga, karena sudah tidak dapat didamaikan lagi. Bagi masyarakat Hindu masalah yang paling pokok yang harus diperhatikan adalah tanggung jawab dan tugas yang harus dilakukan terhadap anak yang lahir dari perkawinan itu, bukan soal harta warisan dimana masalah harta warisan itu sendiri harus pula dikaitkan pada ketentuan hukum Agama Hindu untuk masyarakat Hindu itu sendiri, bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Hukumnya masing-masing yang dimaksud adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lain, Hilman Hadikusuma, (2003 : 199). Sanksi adat yang diinginkan yaitu setiap adanya perceraian agar diwajibkan untuk melaksanakan upacara perceraian, bukan hanya upacara perkawinan dulu saja yang menjadi perhatian tetapi upacara perceraian sangat perlu menjadikan perhatian apabila memang perceraian terjadi. Perkawinan tidak boleh diputuskan begitu saja, perceraian dilakukan sebagai tindakan terakhir setelah ikhtisar dan segala daya upaya yang dilakukan guna perbaikan kehidupan perkawinan dan ternyata tidak ada jalan lain lagi kecuali hanya dengan perceraian suami istri atau perceraian itu adalah sebagai way out pintu darurat bagi suami istri demi kebahagiaan yang diharapkan sesudah terjadinya perceraian itu. Djamal Latif (1982: 30). Kata Kunci : Upacara Perceraian, Akibat Hukum dan Masyarakat Hindu *Penulis dosen Jurusan Hukum Agama Hindu STAHN-TP Palangkaraya Belom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013 21 I. Pendahuluan Salah satu prinsip dalam Hukum Perkawinan Nasional yang seirama dengan ajaran agama adalah mempersulit terjadinya perceraian (cerai hidup), karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera. Bagi masyarakat yang beragama Hindu membicarakan soal perceraian suami istri merupakan hal yang pantang, oleh karena pada dasarnya Hukum Hindu menghendaki adanya kelanggengan hidup suami istri sehingga kemungkinan terjadinya perceraian secepat mungkin dihindari. Apabila terjadi juga perceraian suami istri seyogianya anggota masyarakat yang tunduk kepada Hukum Hindu menyelesaikannya ke Pengadilan Negeri dengan memenuhi persyaratan menurut ajaran agama Hindu. Hilman Hadikusuma, (2007: 157) Putusnya perkawinan dikarenakan perceraian baik menurut hukum adat maupun hukum Agama adalah perbuatan tercela. Di kalangan masyarakat, terjadinya perceraian dari suatu perkawinan berarti putusnya atau renggangnya hubungan kekerabatan antara pihak kerabat bersangkutan, Hilman Hadikusuma, (2003: 171). Pada umumnya terbuka kemungkinan bagi salah seorang diantara suami istri untuk memaksakan perceraian berdasarkan alasan yang bertalian/bersangkut paut dengan kesalahan pribadi. Putusnya perkawinan akibat adanya perceraian di dalam hukum secara mendasar sangat dipengaruhi oleh Hukum Adat bahkan juga Hukum Agama yang dianut masing-masing masyarakat yang bersangkutan. Pengaruh hukum Agama terhadap anggota-anggota masyarakat adat tidak sama, disebabkan sendi adat di lingkungan masyarakat itu berbeda, walaupun satu daerah lingkungan adat yang sama. Hal ini dapat dilihat dari sistem kekeluargaan yang dianut oleh setiap keluarga. Sistem kekeluargaan yang dikenal secara umum ada tiga corak yaitu : a. Sistem Patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan. b. Sistem Matrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan. c. Sitem Parental/Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan didalam pewarisan. Hilman Hadikusuma, (2003 : 23) Hukum Hindu menganut istilah sistem kekeluargaan Hindu yang bersifat ganda, baik patrilinial maupun parental. Yang paling penting diantara kedua sistem itu dalam sistem kekeluargaan Hindu adalah sistem patrilinial Belom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013 22 tersebut yang disebut sistem purusa (asas kebapakan atau asas laki-laki). Gde Pudja, (1977 : 65). Dalam hal terjadinya perceraian tata cara perceraian menurut Hukum Adat mengikuti tata cara yang berlaku menurut agama yang dianut keluarga suami istri masing-masing. Apabila terjadi perselisihan antara suami istri yang dapat berakibat terjadinya perceraian, pada umumnya di lingkungan masyarakat adat, diselesaikan terlebih dahulu oleh musyarawah keluarga yang bersifat peradilan adat dalam arti menyelesaikan secara damai antara kedua belah pihak yang berselisih, dapat menunjuk seseorang yang dianggap dapat mempengaruhi kedua belah pihak menjadi juru damai. Apabila juru damai tidak berhasil untuk merukunkan kembali pasangan suami istri yang berselisih tersebut maka menyerahkan kembali persoalannya kepada peradilan adat/ musyawarah kerabat. Selama proses perceraian yang sedang terjadi antara suami dan istri tidak dapat dijadikan alasan bagi suami untuk melalaikan tugasnya memberikan nafkah kepada istrinya, demikian pula tugas kewajiban suami istri itu terhadap anak-anaknya. Sudarsono, (2010 :175) II. Perceraian Sebagai Akibat Kegagalan Dalam Membentuk Rumah Tangga Ketika memasuki jenjang perkawinan, hampir semua pasangan suami istri bercita-cita untuk hidup kekal (satya) dalam ikatan perkawinan serta tidak membayangkan bahwa ikatan perkawinan berakhir dengan perceraian. Semua agama yang ada di Indonesia dapat dikatakan tidak mengatur secara khusus tentang bagaimana acara menyelesaikan perceraian antara suami istri dari suatu ikatan perkawinan. Namun seperti perkawinan, perceraian mendapat perhatian besar dari keluarga pasangan yang bersangkutan. Karena perkawinan bukan pertama-tama urusan religius, tetapi urusan ekonomi, persetujuan tentang perceraian dapat diadakan berdasarkan bermacam-macam alasan, dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda. William A. Haviland (1985 : 90) Sebagaimana ditegaskan dalam Manawadharmasastra, IX, 101 : Hendaknya saling mempercayai itu dipelihara sebaik-baiknya untuk kesucian hingga sampai mati, karena inilah tujuan utama yang harus dipenuhi oleh suami istri sesuai/menurut ketentuan hukum tertinggi (Dharma). Kata perceraian bagi masyarakat adat adalah suatu kata yang sangat “menakutkan”. Bila toh tetap terjadi perceraian, itu harus dipandang sebagai suatu musibah yang tidak dapat dihindari dan sama sekali tidak diharapkan, maka peristiwa perceraian dapat diikuti pula oleh suatu akibat hukum. Kata cerai artinya pisah, bercerai artinya berpisah, tidak tercampur lagi, dalam hal ini berarti putus hubungan sebagai suami istri (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994 : 185). Perceraian adalah putusnya perkawinan yang telah dilaksanakan oleh suami dan istri secara sah. Nurwidiatmo, (1996 : 6). Jadi perceraian berarti Belom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013 23 perpisahan atau perihal bercerai antara suami dan istri, perceraian juga berarti putusnya ikatan tali perkawinan antara suami-istri yang telah lama dibina atau yang telah lama berlangsung sehingga menyebabkan timbulnya keretakan dalam rumah tangga, dengan demikian mereka berdua bukanlah menjadi satu tetapi menjadi dua insan yang menjalani kehidupannya masing-masing. Pada umumnya terbuka kemungkinan bagi salah seorang di antara suami istri untuk memaksakan perceraian berdasarkan alasan yang bertalian dengan hubungan pribadi. Justru sebagai urusan pribadi perceraian itu selalu bersangkut paut dengan persoalan kesalahan. Iman Sudiyat, (1981 : 135) Kekacauan dalam keluarga merupakan bahan pergunjingan umum karena semua orang mungkin saja terkena salah satu dari berbagai jenisnya, dan karena pengalaman itu biasanya dramatis, menyangkut pilihan moral dan penyesuaian-penyesuaian pribadi yang delematis. Kekacauan keluarga dapat ditafsirkan sebagai “pecahnya suatu unit keluarga, terputusnya atau retaknya struktur peran sosial jika satu beberapa anggota gagal menjalankan kewajiban peran mereka secukupnya” William J. Goode, (2004 : 184) Dua masalah sosial yang biasanya dialami dan terjadi didalam keluarga manapun di dunia adalah broken home dan perceraian. Setiap keluarga berusaha untuk menjaga keutuhan keluarganya, jika tidak dapat menjaga keutuhan keluarganya, maka keluarga tersebut dapat mengalami apa yang dinamakan broken home yaitu sering terjadinya percekcokkan di antara orang tua dan sikap saling bermusuhan disertai dengan tindakan-tindakan yang agresif, dengan sendirinya keluarga yang bersangkutan mengalami kegagalankegagalan dalam menjalankan kehidupan berkeluarga yang sebenarnya. Faktor yang sering menyebabkan terjadinya kegagalan dalam berumah tangga antara lain : 1. Faktor pribadi, dimana suami istri kurang menyadari akan arti dan fungsi perkawinan yang sebenarnya. Misalnya sifat egoisme, kurang adanya toleransi, kurang adanya kepercayaan satu sama lain. 2. Faktor situasi khusus dalam keluarga. Beberapa diantaranya adalah : a. Kehadiran terus menerus dari salah satu orang tua baik dari pihak suami atau istri mereka. b. Karena istri bekerja dan mendambakan kedudukan yang lebih tinggi dari suaminya. c. Tinggal bersama keluarga lain dalam satu rumah. d. Suami istri sering meninggalkan rumah karena kesibukan di luar.Dwi Narwoko – Bagong Suyanto, (2010 : 238) Perceraian dapat dipandang sebagai suatu kesialan bagi orang atau kedua orang pasangan di masyarakat manapun, tetapi juga dipandang sebagai penemuan sosial, suatu macam pengaman bagi ketegangan yang ditimbulkan Belom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013 24 oleh perkawinan itu sendiri. William J. Goode, (2004 : 186). Tidaklah mungkin untuk memberi suatu pernyataan yang amat tegas mengenai kebaikan perceraian demi kepentingan anak. Hampir dalam setiap perkawinan terdapat pertikaian, sedikit atau banyak dan anak selalu dapat merasakannya, jadi tidak mungkin dapat dihindari seluruhnya. Perceraian orang tua merupakan gangguan bagi anak kecil, sekurangnya pada permulaan. Mereka mengetahui sedalamnya kebutuhan mereka akan ibu dan bapak, hampir selalu mereka menentang perceraian, kecuali jika perbuatan ibu dan bapak sungguh-sungguh keterlaluan. Benjamin Spock, (1981 : 224) Perkawinan itu dapat putus karena hal-hal seperti kematian salah satu pihak, perceraian dan keputusan pengadilan. Lili Rasjidi, (1991 : 194). Namun, putusnya perkawinan karena kematian merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri dan tidak dapat dihindari sebab itu merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 putusnya perkawinan karena kematian hampir tidak diatur sama sekali bahkan bisa dikatakan tidak ada aturannya. Lain halnya dengan putusnya perkawinan karena perceraian dan putusan pengadilan. Mengenai perceraian, ada masyarakat yang mengizinkan berdasarkan kebudayaan, tetapi pada umumnya hampir semua masyarakat menentangnya. Mereka beranggapan bahwa perkawinan hanya dapat diputuskan apabila salah satu dari suami istri meninggal dunia. Dwi Narwoko – Bagong Suyanto, (2010 : 239). Perkawinan tidak boleh diputuskan begitu saja, perceraian dilakukan sebagai tindakan terakhir setelah ikhtisar dan segala daya upaya yang dilakukan guna perbaikan kehidupan perkawinan dan ternyata tidak ada jalan lain lagi kecuali hanya dengan perceraian suami istri atau perceraian itu adalah sebagai way out pintu darurat bagi suami istri demi kebahagiaan yang diharapkan sesudah terjadinya perceraian itu. Djamal Latif (1982 : 30) III. Akibat Hukum Terhadap Perceraian Bagi Masyarakat Hindu Seperti halnya pada perkawinan, maka pada peristiwa perceraian dapat diikuti pula oleh suatu akibat hukum. Pada suatu perkawinan akibat yang mengikuti antara lain didapatinya hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan hukum adat pesidhikaran yaitu sumbah-sasumbah, parid-kaparid, waris-kawaris dan beksa-kabeksa. Begitu pula dalam perceraian maka akibat yang muncul diperhitungkannya kembali “assets” perkawinan yang dipunyai. Ada tiga bentuk assets perkawinan yang harus “dirumuskan” kembali bila terjadi perceraian, yaitu : hubungan kekerabatan, penyerahan anak-anak dan pembagian harta benda perkawinan. Made Suasthawa Dharmayuda, (2001 : 150). Alasan sebagai penyebab terjadinya perceraian dalam perkawinan yaitu sebagai berikut : Belom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013 25 Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, penjudi dan yang sejenisnya. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad tidak baik. Dikarenakan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi, setelah dilangsungkan perkawinan. - Pencederaan berat atau penganiayaan yang dilakukan oleh salah seorang dari suami istri terhadap yang lainnya sedemikian rupa sehingga membahayakan keselamatan jiwa atau mendatangkan luka-luka yang berbahaya. - Antara suami istri sering terjadi percekcokan dan perselisihan sehingga tidak ada harapan untuk hidup rukun. Berpedoman dari sebab-sebab perceraian di atas, yang menjadi dasar untuk menuntut perceraian perkawinan si suami atau si istri berhak untuk menuntut pisah meja dan pisah ranjang. Gugatan untuk itu dapat juga diajukan atas dasar perbuatan-perbuatan yang melampui batas kewajaran, penganiayaan dan penghinaan kasar yang dilakukan oleh salah seorang dari suami istri. Dalam hukum adat perceraian memang dimungkinkan dilakukan asalkan didasarkan kepada alasan-alasan yang kuat sebagai penyebab perceraian. Perceraian dapat disebabkan oleh : 1. Karena salah satu pihak berbuat jinah, pemabuk, berjudi 2. Suami tidak memberi nafkah lahir maupun bathin kepada istri dalam waktu yang lama dan tidak beralasan 3. Suami sering menganiaya istri yang melampaui batas kewajaran 4. Karena cacat tubuh atau gangguan kesehatan baik istri maupun suami, misalnya mandul, impotensi 5. Perselisihan yang tidak dapat didamaikan lagi. Es Ardinarto,(2009 : 82) - Begitu juga ditegaskan oleh Soerjono Soekanto, (2001 : 237) selain alasan-alasan umum juga ada alasan-alasan lain sebagai penyebab terjadinya perceraian seperti tidak memperoleh keturunan, kerukunan rumah tangga telah tidak dapat dengan sungguh-sungguh dipertahankan lagi dan karena campur tangan pihak mertua sudah terlalu jauh dalam soal rumah tangga mereka. Apabila terjadi perceraian dalam masyarakat hukum adat tentunya dilihat pada suami isteri dan keluarga yang bersangkutan, apakah mereka di dalam ruang lingkup kemasyarakatan patrilinial, matrilinial atau parental dan situasi lingkungan tempat tinggal mereka juga mempengaruhi. Dengan demikian perceraian ini juga dipertegas oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu pasal 38 ayat 2 yang menyatakan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami-istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-istri. Apabila terjadi perceraian dalam masyarakat Hindu yang ikatan kekerabatannya kuat, di lingkungan masyarakat patrilinial terutama, Belom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013 26 jika perkawinan yang berlangsung adalah “perkawinan jujur” dan kedudukan suami istri setarap adatnya, apabila istri yang bercerai hanya keluar badannya sendiri tanpa membawa anak-anaknya, barang-barang bawaannya, bagian dari harta bersama, kecuali mas kawin yang pribadi istri, maka perceraian itu tidak berakibat putusnya hubungan kekerabatan antara pihak suami dan pihak istri. Lain halnya jika sampai uang jujur dikembalikan kepada kerabat pria dan semua harta perkawinan dibawa kembali oleh istri atau pihak istri maka hal ini berakibat pecahnya hubungan kekerabatan kedua belah pihak. Dengan demikian, perceraian yang ada pada dasarnya merupakan peristiwa hukum, merupakan suatu kejadian yang menimbulkan atau menghilangkan hak dan kewajiban. Sebagai peristiwa hukum, maka perceraian mempunyai hubungan erat dengan sikap-sikap dalam hukum yang berupa tanggung jawab terhadap keturunan dan harta benda, dan mungkin juga bekas istri (jadi merupakan tanggung jawab bekas suami). Soerjono Soekanto, (2001 : 238). Yang perlu mendapatkan perhatian khusus apabila akibat hukum perceraian tersebut mengarah kepada perselisihan terhadap harta benda yang menjadi sumber perselisihan (wyawahara). Pembagian harta bersama selama perkawinan perlu diperhatikan ketika terjadi perselisihan antara pihak suami dan istri. Harta bersama dijelaskan oleh Erna Wahyuningsih dan Putu Samawati adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan, walaupun pada kenyataannya seorang istri tidak ikut mencari nafkah, namun istri mempunyai hak yang sama dengan suami atas harta bersama ini. Artinya bila terjadi perceraian, maka pada umumnya harta bersama dibagi dua. Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah dan Annalisa Yahanan, (2013 : 427) Harta bersama merefleksikan adanya benda yang dimiliki secara bersama atau dimiliki oleh lebih dari satu orang. Harta bersama dalam perkawinan merupakan suatu harta bersama yang terikat, seorang suami ataupun istri tidak dapat berbuat bebas atas harta bersama secara mandiri, tetapi harus berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Yang dimaksud dengan harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan, karena pekerjaan suami atau istri. Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah dan Annalisa Yahanan, (2013 : 411). Ini berarti bahwa harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama jangka waktu antara saat perkawinan sampai terjadinya perceraian. Bagi masyarakat Hindu tentang akibat perceraian, masalah yang paling pokok yang harus diperhatikan adalah masalah tanggung jawab dan tugas yang harus dilakukan terhadap anak yang lahir dari perkawinan itu, bukan soal harta warisan dimana masalah harta warisan itu sendiri harus pula dikaitkan kepada ketentuan hukum Agama Hindu untuk masyarakat Hindu Belom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013 27 itu sendiri, sebagaimana dikatakan bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Hukumnya masing-masing yang dimaksud adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lain, Hilman Hadikusuma, (2003 : 199). Amat sangat jarang seorang bekas istri mengajak anak yang dilahirkannya ke rumah orang tuanya, tetapi anak itu diajak bapaknya. Andaikata ada satu dua kasus yang berbeda, dalam arti anak mengikuti ibunya setelah orang tuanya bercerai, suatu ketika anak itu kembali kepada bapaknya guna melanjutkan segala kewajibannya sebagai seorang anak, termasuk mengurus warisannya. Atau istri yang kembali ke tempat kerabat asalnya dan ada anak yang dibawanya karena masih kecil, maka anak yang dibawanya itu tetap mempunyai hak dan kewajiban adat serta berkedudukan di tempat kekerabatan suami. Anak-anak itu adalah waris dari ayah kandungnya. Hadikusuma Hilman, (2003: 182) Oleh karena itu keberadaan anak sangatlah penting dan anak itu memiliki makna yaitu antara lain : 1. Sebagai penerus keturunan 2. Sebagai ahli waris 3. Untuk mendoakan orang tua jika kelak meninggal dunia 4. Sebagai pemersatu keluarga (suami istri) 5. Sebagai tenaga kerja 6. Untuk meningkatkan status sosial, Dominikus Rato, (2011: 138). Makna utama dari kehadiran seorang anak adalah sebagai penerus keturunan. Hal ini telah menjadi dambaan setiap suami istri. Seorang suami yang telah kawin bertahun-tahun, menggunakan issue keturunan sebagai alasan untuk kawin lagi dan bercerai walaupun alasan ini sangat tidak adil. Namun kenyataan di masyarakat sering ditemukan alasan ‘tanpa anak’ ini untuk bercerai atau kawin lagi. Dominikus Rato, (2011: 138). Selain sebagai penerus keturunan, anak juga sebagai ahli waris. Pada masyarakat Hindu, anak laki-laki tertua mempunyai kewajiban untuk mengabenkan jenasah orang tua mereka. Dengan mengabenkan, maka arwah orang tua ini dikembalikan ke asalnya, “dari asal kembali ke asal”, dari tanah kembali ke tanah dari roh kembali ke roh. Oleh karena itu, pada masyarakat Hindu anak laki-laki menjadi harapan dan kebanggaan, sebab anak laki-laki mereka inilah kelak yang membantu mereka untuk kembali ke asal. Dominikus Rato, (2011: 139) Anak juga untuk meningkatkan status sosial. Dalam masyarakat sering ditemukan bahwa seseorang yang tidak mempunyai anak, terutama kaum perempuan baik karena belum kawin maupun karena mandul selalu menjadi bahan pembicaraan. Oleh karena itu status sosial apabila seorang anak telah berumah tangga mendapat kedudukan tersendiri di dalam masyarakat. Status sosial seseorang datang dengan sendirinya jika kita mau bekerja keras, Belom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013 28 berinteraksi secara positif dengan orang lain, dan berbuat baik terhadap sesama. Status sosial seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh materi, tetapi oleh perilaku kita yang baik dan benar menurut adat istiadat dan agama. Dominikus Rato, (2011: 142) Apabila perceraian yang telah terjadi, maka dalam hal kewajiban sebagai orang tua, suami dan istri masih tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak pada pengadilan untuk memberikan keputusan. Suami bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan untuk anak. Apabila dalam kenyataannya suami tidak mampu memikul kewajibannya, maka pengadilan dapat pula menentukan istri ikut memikul kewajibannya dan pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suaminya untuk membiayai kehidupan kepada bekas istrinya. Terkait dengan masalah perceraian, kalau kita lihat dalam kitab Manawadharmasastra Bab IX pasal 1 sebagai berikut : Purusasya striyas caiwa, dharme wartmani tisthatoh, samyoge viprayoge ca dharman vaksyami sasvatan Artinya : Sekarang akan kutetapkan dharma (hukum yang abadi) bagi suami dan istri yang akan mengatur pada jalan kewajiban, apakah mereka bersatu atau bercerai. Begitu pula diatur dalam pasal 77 yang bunyinya sebagai berikut : Samvatsaram pratikseta dvisantim yositam patih, urdhvam samvatsarat tvenam dayam hrtva na samvaset Artinya : Hendaknya suami bertahan selama setahun terhadap istri yang membencinya tetapi bila waktu itu telah lewat, ia boleh berbagi harta dan bercerai dari padanya. Selanjutnya ditegaskan dalam pasal 83 dinyatakan sebagai berikut : Adhivinna tu ya nari, nirgacchedusita grhat, sa sadyah samniroddhavya, tyajya va kulasananidhau Artinya : Istri yang waktu diganti, marah dan meninggalkan rumah suami harus segera dibatasi atau dibuang di depan kehadiran para anggota keluarga. Pudja & Rai Sudharta, (2010 : 458). Sehubungan dengan peranan kitab Manawadharmasastra sangat besar sekali di dalam masyarakat Hindu sebagai kitab yang memuat ketentuanketentuan hukum baik sebagai ajaran umum maupun sebagai ketentuanBelom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013 29 ketentuan yang bersifat praktis dan khusus, karena itu amatlah penting artinya pengajaran kitab ini sebagai satu ilmu yang menunjang di dalam mempelajari berbagai masalah hukum yang berlaku di lingkungan masyarakat Hindu. Memperhatikan pasal tersebut di atas apabila tetap terjadi perceraian, maka pihak suami mengembalikan ke pihak keluarga istri sebagai pertanggungjawaban terhadap anak orang yang sewaktu diambil menjadi istri melalui proses perkawinan, begitu pula sebaliknya apabila istri yang diceraikan tersebut dikembalikan sesuai dengan cara-cara yang diminta oleh pihak-pihak keluarga yang bersangkutan sesuai dengan kesepakatan dihadapan Kelihan Banjar. Cara-cara yang dimaksudkan adalah pengembalian secara baik istri yang diceraikan dengan pemberitahuan juga kepada leluhur pihak perempuan dengan cara melakukan hubungan antara atman dengan parama-atman, antara manusia dengan Hyang Widhi serta semua manifestasiNya, dengan jalan yadnya untuk mencapai kesucian jiwa. Untuk proses ini dipakailah upakara, sebagai alat penolong untuk memudahkan manusia menghubungkan dirinya dengan Hyang Widhi dalam bentuk yang nyata. Tjok Rai Sudharta dan Ida Bagus Oka Punia Atmaja, (2010 : 58). Melihat penjelasan di atas bahwa setiap perkawinan secara agama Hindu harus dilaksanakan melalui Samskara. Samskara adalah proses yang sakral dan juga merupakan sumpah dan janji kedua mempelai untuk melaksanakan rumah tangga yang kekal. Sumpah dan janji terhadap Tuhan, Leluhur maupun kerabat bahwa yang bersangkutan bersedia untuk menjalani rumah tangga yang kekal dan bahagia yang berlandaskan pada Dharma Agama dan Dharma Negara. Walaupun dalam masalah perceraian tentunya perlu untuk melaksanakan proses perceraian paling tidak proses untuk atur piuning (mepamit) dari pihak istri yang diceraikan dihadapan Merajan pihak laki-laki. Mengingat sewaktu mempelai meminang ke rumah mempelai wanita diadakan acara mepamit di Merajan pihak wanita atau permakluman kepada kawitan (leluhurnya) bahwa dia pindah alamat dan atur piuning di Merajan pihak Lakilaki bahwa si istri ini sebagai pihak atau anggota keluarga yang baru akan mengabdi dan melaksanakan yadnya, sehingga terjadilah keharmonisan dengan laki-laki karena dia akan mengabdi kepada leluhur lakinya (suaminya). Cudamani, (1986: 199) Bagi masyarakat Hindu dari jaman dulu setiap adanya perceraian ada proses ritualnya yaitu dengan cara memecah pis bolong (mata uang logam) yang selanjutnya ditaburi dengan beras kuning sebagai bukti sahnya perceraian. Sebagai syarat yang menentukan perkawinan sudah berhenti (cerai) terdapat proses “mesamsam bijakuning” dimana suami istri meminta kesaksian kepala desa atau Klian melakukan upacara itu ; kedua pihak dihamburi beras kuning dengan mematahkan kepeng hitam (kuci) sebagai lambang perpecahan Belom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013 30 perkawinan. (Gde Panetje, 2004: 84). Hal ini dipertegas juga oleh Undangundang Majapahit dalam pasal 171 dikatakan Perceraian mengendaki empat macam tanda bukti ; 1). Saksi. 2). Memecah mata uang. 3). Memberikan air untuk cuci muka.4) Memberikan butir beras. Itulah tanda bukti perceraian namanya Siddha Atadin. Jika empat tanda bukti itu tidak dilakukan, perceraian itu tidak sah; perkawinan itu belum terpisah. Jika ada wanita tanpa tanda bukti perceraian tersebut kawin dengan pria lain, ia akan didenda empat laksa oleh raja yang berkuasa. Lukman Hakim, (2004: 64) Kalau kita perhatikan pasal tersebut di atas, maka perceraian itu baru dikatakan sah jika dilaksanakan proses ritual dengan sarana upakara yang pada intinya dengan cara memecahkan pis bolong tersebut sebagai tanda telah dipisahkannya pasangan suami istri tersebut yang kemudian pecahan pis bolong tersebut ditaburi dengan beras (beras kuning). Namun karena perkembangan jaman proses tersebut mengalami perubahan yang lebih sederhana lagi yaitu hanya dengan cara mepamit/mepejati saja. Saksi-saksi yang dimaksudkan dalam proses perceraian ini tentunya saksi yang disebut Dewa saksi, Pitra saksi dan manusa saksi. Dewa saksi dilaksanakan dengan menghaturkan daksina pejati untuk mepamit kembali dari Merajan pihak laki-laki agar pihak istri bisa kembali ke rumah asal (Merajan) tempat kelahirannya. Begitu juga Pitra saksi merupakan atur piuning kehadapan leluhur pihak laki-laki bahwa istri yang diceraikan mohon diri untuk pulang kembali kerumah asal sehingga pihak istri tidak bisa mengabdi untuk melaksanakan yadnya di tempat suaminya lagi. Manusa saksi, yang harus menyaksikan proses perceraian tentunya Kelihan Adat, tokoh Adat dan tokoh agama terutama Rohaniawan yang memuput proses perceraian tersebut. Kalau kita kaitkan dengan acara lanjutan daripada perkawinan dulu yang disebut “ mepejati, dimana proses ini lebih banyak bersifat ritual/niskala yaitu merupakan penegasan status pelepasan hak serta kewajiban dari salah satu mempelai dan pernyataan terima kasih dan pihak mempelai yang mengambil kepada pihak mempelai yang diambil. Oleh karena itu sering disebut “mepamit” (mohon diri). Dalam hal belum ia dipamitkan kembali di sanggah bekas suaminya ini lalu bagaimana, bisakah ia diabenkan oleh keluarganya bila ia meninggal dan kemudian disemayamkan di tempat leluhurnya, padahal istri yang diceraikan itu dulu telah mepamit (mapegat) dari leluhurnya itu. I Ketut Artadi, (2009: 106) Lebih ruwet lagi bila istri yang diceraikan itu kawin lagi, mungkinkah terjadi proses mepamit di rumah bekas suaminya untuk melengkapi upacara perkawinan yang kedua. Oleh karena itu dalam hal memang harus terjadi perceraian maka proses mepamit untuk pihak istri yang dipulangkan harus diadakan acara tersebut agar status dan tanggung jawab terhadap leluhur bisa jelas. Belom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013 31 IV. Simpulan Perceraian dinilai dapat mencemarkan nama baik keluarga, karena mereka yang bercerai itu dinilai tidak mampu hidup rukun dan tidak siap menghadapi gelombang kehidupan. Masyarakat menyayangkan ketidaksiapan mereka untuk mempertahankan keutuhan keluarganya. Perceraian juga menjadikan pusat perhatian bagi masyarakat sekitarnya, yang menyebabkan mereka yang bercerai dikenakan sanksi sosial yaitu dijauhi oleh masyarakat, karena penilaian masyarakat terhadap mereka adalah orang yang dianggap melanggar tradisi perkawinan monogami sehingga mendapat hukuman sosial seperti menjadi omongan warga sekitarnya. Akibat hukum terhadap perceraian bukan hanya diputus atau dipisahkan begitu saja dengan putusan pihak yang berwenang namun perlu proses yang lebih mendalam dari segi Hukum Agama Hindu perceraian dikatakan sah jika telah diadakan upacara perceraian, perkawinan sudah berhenti (cerai) terdapat proses “mesamsam bijakuning” dimana suami istri meminta kesaksian kepala desa atau Klian melakukan upacara itu ; kedua pihak dihamburi beras kuning dengan mematahkan kepeng hitam (kuci) sebagai lambang perpecahan perkawinan. Daftar Pustaka Artadi, I Ketut, 2009. Hukum Adat Bali, Pustaka Bali Post, Denpasar Bali. ----------, 2006. Hukum Dalam Perspektif Kebudayaan, Pustaka Bali Post, Denpasar. ----------, 2004. Nilai Makna Dan Martabat Kebudayaan, Sinay, Denpasar. Ardinarto, 2009. Mengenal Adat Istiadat Hukum Adat Di Indonesia, Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS(UNS Press) Universitas Sebelas Maret Surakarta. Arthayasa, Nyoman dkk, 2004. Petunjuk Teknis Perkawinan Hindu, Paramita, Surabaya. Agung, Ngurah A.A. dkk., 1984. Pemantapan Adat Dalam Menunjang UsahaUsaha Pembangunan, Proyek Pemantapan Lembaga Adat Dan Pengembangan Museum Subak. Anom, Ida Bagus, Perkawinan Menurut Adat Agama Hindu, Kayumas Agung, Denpasar, Bali. Hadikusuma, Hilman, 2007. Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung. --------, 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung. ---------, 2003. Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. --------, 2003. Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat Dan Upacara Adatnya,Citra Aditya Bakti, Bandung. Hakim, Lukman, 2004. Konstitusi Majapahit, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang. Belom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013 32 Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, 2008. Edisi keempat, Departemen Pendidikan Nasional, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Latif, Djamal, 1982. Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta Moleong, Lexy J., 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung. Nurwidiatmo, 1996. Perceraian Dan Akibatnya, Balai Pustaka, Jakarta. Oka, I Gusti Ngurah, 2000. Himpunan Peraturan Tentang Pemberdayaan Desa Pakraman Di Bali, Majelis Pembina Lembaga Adat, Propinsi Daerah TK. I Bali. Pudja dan Tjokorda Rai Sudharta, 2010. Manava Dharmasastra (Manu Dharmasastra atau Veda Smrti Compendium Hukum Hindu, Paramita, Surabaya. Pudja, Gde, 1977. Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresepir Kedalam Hukum Adat Di Bali Dan Lombok, CV. Junasco, Jakarta. ----------, 1975, Perkawinan Menurut Hukum Hindu Didasarkan Manusmrti, Maya Sari, Jakarta. Panetje, Gde, 2004. Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, Kayumas Agung, Denpasar, Bali. Rasjidi, Lili, 1991. Hukum Perkawinan dan Perceraian, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung Belom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013 33