ISSN: 2089-7553 AKIBAT HUKUM PERCERAIAN BAGI

advertisement
ISSN: 2089-7553
AKIBAT HUKUM PERCERAIAN BAGI MASYARAKAT HINDU
Oleh: I Made Kastama *
Abstrak
Perceraian bisa terjadi dalam rumah tangga, apabila suami istri tidak
mampu mempertahankan kehidupan, semuai keluarga mengingingkan
kehidupan perkawinannya berjalan baik serta tidak menginginkan adannya
perceraian. Perceraian menyebabkan putusnya ikatan perkawinan antara
suami-istri yang telah lama dibina. Putusnya perkawinan dikarenakan
perceraian baik menurut hukum adat maupun hukum Agama adalah
perbuatan yang dilarang suatu perbuatan
yang tidak baik dan tidak
diperbolehkan. Namun kenyataannya terjadi di masyarakat, ingkar pada janji
yang menyebabkan retaknya rumah tangga, karena sudah tidak dapat
didamaikan lagi. Bagi masyarakat Hindu masalah yang paling pokok yang
harus diperhatikan adalah tanggung jawab dan tugas yang harus dilakukan
terhadap anak yang lahir dari perkawinan itu, bukan soal harta warisan
dimana masalah harta warisan itu sendiri harus pula dikaitkan pada ketentuan
hukum Agama Hindu untuk masyarakat Hindu itu sendiri, bila perkawinan
putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing. Hukumnya masing-masing yang dimaksud adalah hukum
agama, hukum adat dan hukum-hukum lain, Hilman Hadikusuma, (2003 : 199).
Sanksi adat yang diinginkan yaitu setiap adanya perceraian agar
diwajibkan untuk melaksanakan upacara perceraian, bukan hanya upacara
perkawinan dulu saja yang menjadi perhatian tetapi upacara perceraian sangat
perlu menjadikan perhatian apabila memang perceraian terjadi. Perkawinan
tidak boleh diputuskan begitu saja, perceraian dilakukan sebagai tindakan
terakhir setelah ikhtisar dan segala daya upaya yang dilakukan guna perbaikan
kehidupan perkawinan dan ternyata tidak ada jalan lain lagi kecuali hanya
dengan perceraian suami istri atau perceraian itu adalah sebagai way out pintu
darurat bagi suami istri demi kebahagiaan yang diharapkan sesudah terjadinya
perceraian itu. Djamal Latif (1982: 30).
Kata Kunci : Upacara Perceraian, Akibat Hukum dan Masyarakat Hindu
*Penulis dosen Jurusan Hukum Agama Hindu STAHN-TP Palangkaraya
Belom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013
21
I. Pendahuluan
Salah satu prinsip dalam Hukum Perkawinan Nasional yang seirama
dengan ajaran agama adalah mempersulit terjadinya perceraian (cerai hidup),
karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk
keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera. Bagi masyarakat yang beragama
Hindu membicarakan soal perceraian suami istri merupakan hal yang pantang,
oleh karena pada dasarnya Hukum Hindu menghendaki adanya kelanggengan
hidup suami istri sehingga kemungkinan terjadinya perceraian secepat
mungkin dihindari. Apabila terjadi juga perceraian suami istri seyogianya
anggota masyarakat yang tunduk kepada Hukum Hindu menyelesaikannya ke
Pengadilan Negeri dengan memenuhi persyaratan menurut ajaran agama
Hindu. Hilman Hadikusuma, (2007: 157)
Putusnya perkawinan dikarenakan perceraian baik menurut hukum adat
maupun hukum Agama adalah perbuatan tercela. Di kalangan masyarakat,
terjadinya perceraian dari suatu perkawinan berarti
putusnya atau
renggangnya hubungan kekerabatan antara pihak kerabat bersangkutan,
Hilman Hadikusuma, (2003: 171). Pada umumnya terbuka kemungkinan bagi
salah seorang diantara suami istri untuk memaksakan perceraian berdasarkan
alasan yang bertalian/bersangkut paut dengan kesalahan pribadi. Putusnya
perkawinan akibat adanya perceraian di dalam hukum secara mendasar sangat
dipengaruhi oleh Hukum Adat bahkan juga Hukum Agama yang dianut
masing-masing masyarakat yang bersangkutan. Pengaruh hukum Agama
terhadap anggota-anggota masyarakat adat tidak sama, disebabkan sendi adat
di lingkungan masyarakat itu berbeda, walaupun satu daerah lingkungan adat
yang sama. Hal ini dapat dilihat dari sistem kekeluargaan yang dianut oleh
setiap keluarga. Sistem kekeluargaan yang dikenal secara umum ada tiga corak
yaitu :
a. Sistem Patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis
bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari
kedudukan wanita di dalam pewarisan.
b. Sistem Matrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu,
dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan
pria di dalam pewarisan.
c. Sitem Parental/Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis
orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria
dan wanita tidak dibedakan didalam pewarisan. Hilman Hadikusuma,
(2003 : 23)
Hukum Hindu menganut istilah sistem kekeluargaan Hindu yang
bersifat ganda, baik patrilinial maupun parental. Yang paling penting diantara
kedua sistem itu dalam sistem kekeluargaan Hindu adalah sistem patrilinial
Belom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013
22
tersebut yang disebut sistem purusa (asas kebapakan atau asas laki-laki). Gde
Pudja, (1977 : 65).
Dalam hal terjadinya perceraian tata cara perceraian menurut Hukum
Adat mengikuti tata cara yang berlaku menurut agama yang dianut keluarga
suami istri masing-masing. Apabila terjadi perselisihan antara suami istri yang
dapat berakibat terjadinya perceraian, pada umumnya di lingkungan
masyarakat adat, diselesaikan terlebih dahulu oleh musyarawah keluarga yang
bersifat peradilan adat dalam arti menyelesaikan secara damai antara kedua
belah pihak yang berselisih, dapat menunjuk seseorang yang dianggap dapat
mempengaruhi kedua belah pihak menjadi juru damai. Apabila juru damai
tidak berhasil untuk merukunkan kembali pasangan suami istri yang berselisih
tersebut maka menyerahkan kembali persoalannya kepada peradilan adat/
musyawarah kerabat. Selama proses perceraian yang sedang terjadi antara
suami dan istri tidak dapat dijadikan alasan bagi suami untuk melalaikan
tugasnya memberikan nafkah kepada istrinya, demikian pula tugas kewajiban
suami istri itu terhadap anak-anaknya. Sudarsono, (2010 :175)
II. Perceraian Sebagai Akibat Kegagalan Dalam Membentuk Rumah Tangga
Ketika memasuki jenjang perkawinan, hampir semua pasangan suami
istri bercita-cita untuk hidup kekal (satya) dalam ikatan perkawinan serta tidak
membayangkan bahwa ikatan perkawinan berakhir dengan perceraian. Semua
agama yang ada di Indonesia dapat dikatakan tidak mengatur secara khusus
tentang bagaimana acara menyelesaikan perceraian antara suami istri dari
suatu ikatan perkawinan. Namun seperti perkawinan, perceraian mendapat
perhatian besar dari keluarga pasangan yang bersangkutan. Karena
perkawinan bukan pertama-tama urusan religius, tetapi urusan ekonomi,
persetujuan tentang perceraian dapat diadakan berdasarkan bermacam-macam
alasan, dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda. William A. Haviland
(1985 : 90)
Sebagaimana ditegaskan dalam Manawadharmasastra, IX, 101 :
Hendaknya saling mempercayai itu dipelihara sebaik-baiknya untuk kesucian
hingga sampai mati, karena inilah tujuan utama yang harus dipenuhi oleh
suami istri sesuai/menurut ketentuan hukum tertinggi (Dharma). Kata
perceraian bagi masyarakat adat adalah suatu kata yang sangat “menakutkan”.
Bila toh tetap terjadi perceraian, itu harus dipandang sebagai suatu musibah
yang tidak dapat dihindari dan sama sekali tidak diharapkan, maka peristiwa
perceraian dapat diikuti pula oleh suatu akibat hukum. Kata cerai artinya
pisah, bercerai artinya berpisah, tidak tercampur lagi, dalam hal ini berarti
putus hubungan sebagai suami istri (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994 :
185). Perceraian adalah putusnya perkawinan yang telah dilaksanakan oleh
suami dan istri secara sah. Nurwidiatmo, (1996 : 6). Jadi perceraian berarti
Belom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013
23
perpisahan atau perihal bercerai antara suami dan istri, perceraian juga berarti
putusnya ikatan tali perkawinan antara suami-istri yang telah lama dibina atau
yang telah lama berlangsung sehingga menyebabkan timbulnya keretakan
dalam rumah tangga, dengan demikian mereka berdua bukanlah menjadi satu
tetapi menjadi dua insan yang menjalani kehidupannya masing-masing. Pada
umumnya terbuka kemungkinan bagi salah seorang di antara suami istri untuk
memaksakan perceraian berdasarkan alasan yang bertalian dengan hubungan
pribadi. Justru sebagai urusan pribadi perceraian itu selalu bersangkut paut
dengan persoalan kesalahan. Iman Sudiyat, (1981 : 135)
Kekacauan dalam keluarga merupakan bahan pergunjingan umum
karena semua orang mungkin saja terkena salah satu dari berbagai jenisnya,
dan karena pengalaman itu biasanya dramatis, menyangkut pilihan moral dan
penyesuaian-penyesuaian pribadi yang delematis. Kekacauan keluarga dapat
ditafsirkan sebagai “pecahnya suatu unit keluarga, terputusnya atau retaknya
struktur peran sosial jika satu beberapa anggota gagal menjalankan kewajiban
peran mereka secukupnya” William J. Goode, (2004 : 184)
Dua masalah sosial yang biasanya dialami dan terjadi didalam keluarga
manapun di dunia adalah broken home dan perceraian. Setiap keluarga
berusaha untuk menjaga keutuhan keluarganya, jika tidak dapat menjaga
keutuhan keluarganya, maka keluarga tersebut dapat mengalami apa yang
dinamakan broken home yaitu sering terjadinya percekcokkan di antara orang
tua dan sikap saling bermusuhan disertai dengan tindakan-tindakan yang
agresif, dengan sendirinya keluarga yang bersangkutan mengalami kegagalankegagalan dalam menjalankan kehidupan berkeluarga yang sebenarnya. Faktor
yang sering menyebabkan terjadinya kegagalan dalam berumah tangga antara
lain :
1. Faktor pribadi, dimana suami istri kurang menyadari akan arti dan fungsi
perkawinan yang sebenarnya. Misalnya sifat egoisme, kurang adanya
toleransi, kurang adanya kepercayaan satu sama lain.
2. Faktor situasi khusus dalam keluarga. Beberapa diantaranya adalah :
a. Kehadiran terus menerus dari salah satu orang tua baik dari pihak
suami atau istri mereka.
b. Karena istri bekerja dan mendambakan kedudukan yang lebih tinggi
dari suaminya.
c. Tinggal bersama keluarga lain dalam satu rumah.
d. Suami istri sering meninggalkan rumah karena kesibukan di luar.Dwi
Narwoko – Bagong Suyanto, (2010 : 238)
Perceraian dapat dipandang sebagai suatu kesialan bagi orang atau
kedua orang pasangan di masyarakat manapun, tetapi juga dipandang sebagai
penemuan sosial, suatu macam pengaman bagi ketegangan yang ditimbulkan
Belom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013
24
oleh perkawinan itu sendiri. William J. Goode, (2004 : 186). Tidaklah mungkin
untuk memberi suatu pernyataan yang amat tegas mengenai kebaikan
perceraian demi kepentingan anak. Hampir dalam setiap perkawinan terdapat
pertikaian, sedikit atau banyak dan anak selalu dapat merasakannya, jadi tidak
mungkin dapat dihindari seluruhnya. Perceraian orang tua merupakan
gangguan bagi anak kecil, sekurangnya pada permulaan. Mereka mengetahui
sedalamnya kebutuhan mereka akan ibu dan bapak, hampir selalu mereka
menentang perceraian, kecuali jika perbuatan ibu dan bapak sungguh-sungguh
keterlaluan. Benjamin Spock, (1981 : 224)
Perkawinan itu dapat putus karena hal-hal seperti kematian salah satu
pihak, perceraian dan keputusan pengadilan. Lili Rasjidi, (1991 : 194). Namun,
putusnya perkawinan karena kematian merupakan sesuatu yang tidak dapat
dipungkiri dan tidak dapat dihindari sebab itu merupakan takdir dari Tuhan
Yang Maha Esa. Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
putusnya perkawinan karena kematian hampir tidak diatur sama sekali
bahkan bisa dikatakan tidak ada aturannya. Lain halnya dengan putusnya
perkawinan karena perceraian dan putusan pengadilan. Mengenai perceraian,
ada masyarakat yang mengizinkan berdasarkan kebudayaan, tetapi pada
umumnya hampir semua masyarakat menentangnya. Mereka beranggapan
bahwa perkawinan hanya dapat diputuskan apabila salah satu dari suami istri
meninggal dunia. Dwi Narwoko – Bagong Suyanto, (2010 : 239). Perkawinan
tidak boleh diputuskan begitu saja, perceraian dilakukan sebagai tindakan
terakhir setelah ikhtisar dan segala daya upaya yang dilakukan guna perbaikan
kehidupan perkawinan dan ternyata tidak ada jalan lain lagi kecuali hanya
dengan perceraian suami istri atau perceraian itu adalah sebagai way out pintu
darurat bagi suami istri demi kebahagiaan yang diharapkan sesudah terjadinya
perceraian itu. Djamal Latif (1982 : 30)
III. Akibat Hukum Terhadap Perceraian Bagi Masyarakat Hindu
Seperti halnya pada perkawinan, maka pada peristiwa perceraian dapat
diikuti pula oleh suatu akibat hukum. Pada suatu perkawinan akibat yang
mengikuti antara lain didapatinya hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
berkaitan dengan hukum adat pesidhikaran yaitu sumbah-sasumbah, parid-kaparid,
waris-kawaris dan beksa-kabeksa. Begitu pula dalam perceraian maka akibat
yang muncul diperhitungkannya kembali “assets” perkawinan yang dipunyai.
Ada tiga bentuk assets perkawinan yang harus “dirumuskan” kembali bila
terjadi perceraian, yaitu : hubungan kekerabatan, penyerahan anak-anak dan
pembagian harta benda perkawinan. Made Suasthawa Dharmayuda, (2001 :
150).
Alasan sebagai penyebab terjadinya perceraian dalam perkawinan
yaitu sebagai berikut :
Belom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013
25
Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, penjudi dan yang sejenisnya.
Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad tidak baik.
Dikarenakan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat
lagi, setelah dilangsungkan perkawinan.
- Pencederaan berat atau penganiayaan yang dilakukan oleh salah seorang
dari suami istri terhadap yang lainnya sedemikian rupa sehingga
membahayakan keselamatan jiwa atau mendatangkan luka-luka yang
berbahaya.
- Antara suami istri sering terjadi percekcokan dan perselisihan sehingga
tidak ada harapan untuk hidup rukun.
Berpedoman dari sebab-sebab perceraian di atas, yang menjadi dasar
untuk menuntut perceraian perkawinan si suami atau si istri berhak untuk
menuntut pisah meja dan pisah ranjang. Gugatan untuk itu dapat juga diajukan
atas dasar perbuatan-perbuatan yang melampui batas kewajaran, penganiayaan
dan penghinaan kasar yang dilakukan oleh salah seorang dari suami istri.
Dalam hukum adat perceraian memang dimungkinkan dilakukan asalkan
didasarkan kepada alasan-alasan yang kuat sebagai penyebab perceraian.
Perceraian dapat disebabkan oleh :
1. Karena salah satu pihak berbuat jinah, pemabuk, berjudi
2. Suami tidak memberi nafkah lahir maupun bathin kepada istri dalam
waktu yang lama dan tidak beralasan
3. Suami sering menganiaya istri yang melampaui batas kewajaran
4. Karena cacat tubuh atau gangguan kesehatan baik istri maupun suami,
misalnya mandul, impotensi
5. Perselisihan yang tidak dapat didamaikan lagi. Es Ardinarto,(2009 : 82)
-
Begitu juga ditegaskan oleh Soerjono Soekanto, (2001 : 237) selain
alasan-alasan umum juga ada alasan-alasan lain sebagai penyebab terjadinya
perceraian seperti tidak memperoleh keturunan, kerukunan rumah tangga
telah tidak dapat dengan sungguh-sungguh dipertahankan lagi dan karena
campur tangan pihak mertua sudah terlalu jauh dalam soal rumah tangga
mereka. Apabila terjadi perceraian dalam masyarakat hukum adat tentunya
dilihat pada suami isteri dan keluarga yang bersangkutan, apakah mereka di
dalam ruang lingkup kemasyarakatan patrilinial, matrilinial atau parental dan
situasi lingkungan tempat tinggal mereka juga mempengaruhi. Dengan
demikian perceraian ini juga dipertegas oleh Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu pasal 38 ayat 2 yang menyatakan bahwa
untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
suami-istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-istri.
Apabila terjadi perceraian dalam masyarakat Hindu yang ikatan
kekerabatannya kuat, di lingkungan masyarakat patrilinial terutama,
Belom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013
26
jika perkawinan yang berlangsung adalah “perkawinan jujur” dan
kedudukan suami istri setarap adatnya, apabila istri yang bercerai hanya
keluar badannya sendiri tanpa membawa anak-anaknya, barang-barang
bawaannya, bagian dari harta bersama, kecuali mas kawin yang pribadi istri,
maka perceraian itu tidak berakibat putusnya hubungan kekerabatan
antara pihak suami dan pihak istri. Lain halnya jika sampai uang jujur
dikembalikan kepada kerabat pria dan semua
harta perkawinan
dibawa
kembali oleh istri atau pihak istri maka hal ini berakibat
pecahnya hubungan kekerabatan kedua belah pihak. Dengan demikian,
perceraian yang ada pada dasarnya merupakan peristiwa hukum, merupakan
suatu kejadian yang menimbulkan atau menghilangkan hak dan kewajiban.
Sebagai peristiwa hukum, maka perceraian mempunyai hubungan erat dengan
sikap-sikap dalam hukum yang berupa tanggung jawab terhadap keturunan
dan harta benda, dan mungkin juga bekas istri (jadi merupakan tanggung
jawab bekas suami). Soerjono Soekanto, (2001 : 238). Yang perlu mendapatkan
perhatian khusus apabila akibat hukum perceraian tersebut mengarah kepada
perselisihan terhadap harta benda yang menjadi sumber perselisihan
(wyawahara).
Pembagian harta bersama selama perkawinan perlu diperhatikan ketika
terjadi perselisihan antara pihak suami dan istri. Harta bersama dijelaskan oleh
Erna Wahyuningsih dan Putu Samawati adalah harta benda yang diperoleh
selama perkawinan, walaupun pada kenyataannya seorang istri tidak ikut
mencari nafkah, namun istri mempunyai hak yang sama dengan suami atas
harta bersama ini. Artinya bila terjadi perceraian, maka pada umumnya harta
bersama dibagi dua. Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah dan Annalisa
Yahanan, (2013 : 427)
Harta bersama merefleksikan adanya benda yang dimiliki secara
bersama atau dimiliki oleh lebih dari satu orang. Harta bersama dalam
perkawinan merupakan suatu harta bersama yang terikat, seorang suami
ataupun istri tidak dapat berbuat bebas atas harta bersama secara mandiri,
tetapi harus berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Yang dimaksud
dengan harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan,
karena pekerjaan suami atau istri. Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah dan
Annalisa Yahanan, (2013 : 411). Ini berarti bahwa harta bersama adalah harta
benda yang diperoleh selama jangka waktu antara saat perkawinan sampai
terjadinya perceraian.
Bagi masyarakat Hindu tentang akibat perceraian, masalah yang paling
pokok yang harus diperhatikan adalah masalah tanggung jawab dan tugas
yang harus dilakukan terhadap anak yang lahir dari perkawinan itu, bukan
soal harta warisan dimana masalah harta warisan itu sendiri harus pula
dikaitkan kepada ketentuan hukum Agama Hindu untuk masyarakat Hindu
Belom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013
27
itu sendiri, sebagaimana dikatakan bila perkawinan putus karena perceraian,
maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Hukumnya
masing-masing yang dimaksud adalah hukum agama, hukum adat dan
hukum-hukum lain, Hilman Hadikusuma, (2003 : 199). Amat sangat jarang
seorang bekas istri mengajak anak yang dilahirkannya ke rumah orang tuanya,
tetapi anak itu diajak bapaknya. Andaikata ada satu dua kasus yang berbeda,
dalam arti anak mengikuti ibunya setelah orang tuanya bercerai, suatu ketika
anak itu kembali kepada bapaknya guna melanjutkan segala kewajibannya
sebagai seorang anak, termasuk mengurus warisannya. Atau istri yang kembali
ke tempat kerabat asalnya dan ada anak yang dibawanya karena masih kecil,
maka anak yang dibawanya itu tetap mempunyai hak dan kewajiban adat serta
berkedudukan di tempat kekerabatan suami. Anak-anak itu adalah waris dari
ayah kandungnya. Hadikusuma Hilman, (2003: 182)
Oleh karena itu keberadaan anak sangatlah penting dan anak itu
memiliki makna yaitu antara lain :
1. Sebagai penerus keturunan
2. Sebagai ahli waris
3. Untuk mendoakan orang tua jika kelak meninggal dunia
4. Sebagai pemersatu keluarga (suami istri)
5. Sebagai tenaga kerja
6. Untuk meningkatkan status sosial, Dominikus Rato, (2011: 138).
Makna utama dari kehadiran seorang anak adalah sebagai penerus
keturunan. Hal ini telah menjadi dambaan setiap suami istri. Seorang suami
yang telah kawin bertahun-tahun, menggunakan issue keturunan sebagai
alasan untuk kawin lagi dan bercerai walaupun alasan ini sangat tidak adil.
Namun kenyataan di masyarakat sering ditemukan alasan ‘tanpa anak’ ini
untuk bercerai atau kawin lagi. Dominikus Rato, (2011: 138). Selain sebagai
penerus keturunan, anak juga sebagai ahli waris.
Pada masyarakat Hindu, anak laki-laki tertua mempunyai kewajiban
untuk mengabenkan jenasah orang tua mereka. Dengan mengabenkan, maka
arwah orang tua ini dikembalikan ke asalnya, “dari asal kembali ke asal”,
dari tanah kembali ke tanah dari roh kembali ke roh. Oleh karena itu, pada
masyarakat Hindu anak laki-laki menjadi harapan dan kebanggaan, sebab anak
laki-laki mereka inilah kelak yang membantu mereka untuk kembali ke asal.
Dominikus Rato, (2011: 139)
Anak juga untuk meningkatkan status sosial. Dalam masyarakat sering
ditemukan bahwa seseorang yang tidak mempunyai anak, terutama kaum
perempuan baik karena belum kawin maupun karena mandul selalu menjadi
bahan pembicaraan. Oleh karena itu status sosial apabila seorang anak telah
berumah tangga mendapat kedudukan tersendiri di dalam masyarakat. Status
sosial seseorang datang dengan sendirinya jika kita mau bekerja keras,
Belom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013
28
berinteraksi secara positif dengan orang lain, dan berbuat baik terhadap
sesama. Status sosial seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh materi,
tetapi oleh perilaku kita yang baik dan benar menurut adat istiadat dan agama.
Dominikus Rato, (2011: 142)
Apabila perceraian yang telah terjadi, maka dalam hal kewajiban sebagai
orang tua, suami dan istri masih tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan
mengenai penguasaan anak pada pengadilan untuk memberikan keputusan.
Suami bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan untuk anak. Apabila dalam kenyataannya suami tidak mampu
memikul kewajibannya, maka pengadilan dapat pula menentukan istri ikut
memikul kewajibannya dan pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas
suaminya untuk membiayai kehidupan kepada bekas istrinya.
Terkait dengan masalah perceraian, kalau kita lihat dalam kitab
Manawadharmasastra Bab IX pasal 1 sebagai berikut :
Purusasya striyas caiwa, dharme wartmani tisthatoh, samyoge viprayoge ca
dharman vaksyami sasvatan
Artinya :
Sekarang akan kutetapkan dharma (hukum yang abadi) bagi suami dan
istri yang akan mengatur pada jalan kewajiban, apakah mereka bersatu atau
bercerai.
Begitu pula diatur dalam pasal 77 yang bunyinya sebagai berikut :
Samvatsaram pratikseta dvisantim yositam patih, urdhvam samvatsarat tvenam dayam
hrtva na samvaset
Artinya :
Hendaknya suami bertahan selama setahun terhadap istri yang
membencinya tetapi bila waktu itu telah lewat, ia boleh berbagi harta dan
bercerai dari padanya.
Selanjutnya ditegaskan dalam pasal 83 dinyatakan sebagai berikut :
Adhivinna tu ya nari, nirgacchedusita grhat, sa sadyah samniroddhavya, tyajya va
kulasananidhau
Artinya :
Istri yang waktu diganti, marah dan meninggalkan rumah suami harus
segera dibatasi atau dibuang di depan kehadiran para anggota keluarga. Pudja
& Rai Sudharta, (2010 : 458).
Sehubungan dengan peranan kitab Manawadharmasastra sangat besar
sekali di dalam masyarakat Hindu sebagai kitab yang memuat ketentuanketentuan hukum baik sebagai ajaran umum maupun sebagai ketentuanBelom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013
29
ketentuan yang bersifat praktis dan khusus, karena itu amatlah penting artinya
pengajaran kitab ini sebagai satu ilmu yang menunjang di dalam mempelajari
berbagai masalah hukum yang berlaku di lingkungan masyarakat Hindu.
Memperhatikan pasal tersebut di atas apabila tetap terjadi perceraian,
maka pihak suami mengembalikan ke pihak keluarga istri sebagai
pertanggungjawaban terhadap anak orang yang sewaktu diambil menjadi
istri melalui proses perkawinan, begitu pula sebaliknya apabila istri yang
diceraikan tersebut dikembalikan sesuai dengan cara-cara yang diminta oleh
pihak-pihak keluarga yang bersangkutan sesuai dengan kesepakatan
dihadapan Kelihan Banjar. Cara-cara yang dimaksudkan adalah pengembalian
secara baik istri yang diceraikan dengan pemberitahuan juga kepada leluhur
pihak perempuan dengan cara melakukan hubungan antara atman dengan
parama-atman, antara
manusia
dengan Hyang Widhi serta semua
manifestasiNya, dengan jalan yadnya untuk mencapai kesucian jiwa. Untuk
proses ini dipakailah upakara, sebagai alat penolong untuk memudahkan
manusia menghubungkan dirinya dengan Hyang Widhi dalam bentuk yang
nyata. Tjok Rai Sudharta dan Ida Bagus Oka Punia Atmaja, (2010 : 58). Melihat
penjelasan di atas bahwa setiap perkawinan secara agama Hindu harus
dilaksanakan melalui Samskara. Samskara adalah proses yang sakral dan juga
merupakan sumpah dan janji kedua mempelai untuk melaksanakan rumah
tangga yang kekal. Sumpah dan janji terhadap Tuhan, Leluhur maupun
kerabat bahwa yang bersangkutan bersedia untuk menjalani rumah tangga
yang kekal dan bahagia yang berlandaskan pada Dharma Agama dan Dharma
Negara.
Walaupun dalam masalah perceraian tentunya perlu untuk
melaksanakan proses perceraian paling tidak proses untuk atur piuning
(mepamit) dari pihak istri yang diceraikan dihadapan Merajan pihak laki-laki.
Mengingat sewaktu mempelai meminang ke rumah mempelai wanita diadakan
acara mepamit di Merajan pihak wanita atau permakluman kepada kawitan
(leluhurnya) bahwa dia pindah alamat dan atur piuning di Merajan pihak Lakilaki bahwa si istri ini sebagai pihak atau anggota keluarga yang baru akan
mengabdi dan melaksanakan yadnya, sehingga terjadilah keharmonisan dengan
laki-laki karena dia akan mengabdi kepada leluhur lakinya (suaminya).
Cudamani, (1986: 199)
Bagi masyarakat Hindu dari jaman dulu setiap adanya perceraian ada
proses ritualnya yaitu dengan cara memecah pis bolong (mata uang logam)
yang selanjutnya ditaburi dengan beras kuning sebagai bukti sahnya
perceraian. Sebagai syarat yang menentukan perkawinan sudah berhenti (cerai)
terdapat proses “mesamsam bijakuning” dimana suami istri meminta kesaksian
kepala desa atau Klian melakukan upacara itu ; kedua pihak dihamburi beras
kuning dengan mematahkan kepeng hitam (kuci) sebagai lambang perpecahan
Belom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013
30
perkawinan. (Gde Panetje, 2004: 84). Hal ini dipertegas juga oleh Undangundang Majapahit dalam pasal 171 dikatakan Perceraian mengendaki empat
macam tanda bukti ; 1). Saksi. 2). Memecah mata uang. 3). Memberikan air
untuk cuci muka.4) Memberikan butir beras. Itulah tanda bukti perceraian
namanya Siddha Atadin. Jika empat tanda bukti itu tidak dilakukan, perceraian
itu tidak sah; perkawinan itu belum terpisah. Jika ada wanita tanpa tanda bukti
perceraian tersebut kawin dengan pria lain, ia akan didenda empat laksa oleh
raja yang berkuasa. Lukman Hakim, (2004: 64)
Kalau kita perhatikan pasal tersebut di atas, maka perceraian itu baru
dikatakan sah jika dilaksanakan proses ritual dengan sarana upakara yang
pada intinya dengan cara memecahkan pis bolong tersebut sebagai tanda telah
dipisahkannya pasangan suami istri tersebut yang kemudian pecahan pis bolong
tersebut ditaburi dengan beras (beras kuning). Namun karena perkembangan
jaman proses tersebut mengalami perubahan yang lebih sederhana lagi yaitu
hanya dengan cara mepamit/mepejati saja. Saksi-saksi yang dimaksudkan
dalam proses perceraian ini tentunya saksi yang disebut Dewa saksi, Pitra saksi
dan manusa saksi. Dewa saksi dilaksanakan dengan menghaturkan daksina pejati
untuk mepamit kembali dari Merajan pihak laki-laki agar pihak istri bisa
kembali ke rumah asal (Merajan) tempat kelahirannya. Begitu juga Pitra saksi
merupakan atur piuning kehadapan leluhur pihak laki-laki bahwa istri yang
diceraikan mohon diri untuk pulang kembali kerumah asal sehingga pihak istri
tidak bisa mengabdi untuk melaksanakan yadnya di tempat suaminya lagi.
Manusa saksi, yang harus menyaksikan proses perceraian tentunya Kelihan Adat,
tokoh Adat dan tokoh agama terutama Rohaniawan yang memuput proses
perceraian tersebut.
Kalau kita kaitkan dengan acara lanjutan daripada perkawinan dulu
yang disebut “ mepejati, dimana proses ini lebih banyak bersifat ritual/niskala
yaitu merupakan penegasan status pelepasan hak serta kewajiban dari salah
satu mempelai dan pernyataan terima kasih dan pihak mempelai yang
mengambil kepada pihak mempelai yang diambil. Oleh karena itu sering
disebut “mepamit” (mohon diri). Dalam hal belum ia dipamitkan kembali di
sanggah bekas suaminya ini lalu bagaimana, bisakah ia diabenkan oleh
keluarganya bila ia meninggal dan kemudian disemayamkan di tempat
leluhurnya, padahal istri yang diceraikan itu dulu telah mepamit (mapegat) dari
leluhurnya itu. I Ketut Artadi, (2009: 106)
Lebih ruwet lagi bila istri yang diceraikan itu kawin lagi, mungkinkah
terjadi proses mepamit di rumah bekas suaminya untuk melengkapi upacara
perkawinan yang kedua. Oleh karena itu dalam hal memang harus terjadi
perceraian maka proses mepamit untuk pihak istri yang dipulangkan
harus diadakan acara tersebut agar status dan tanggung jawab terhadap
leluhur bisa jelas.
Belom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013
31
IV. Simpulan
Perceraian dinilai dapat mencemarkan nama baik keluarga, karena
mereka yang bercerai itu dinilai tidak mampu hidup rukun dan tidak siap
menghadapi gelombang kehidupan. Masyarakat menyayangkan ketidaksiapan
mereka untuk mempertahankan keutuhan keluarganya. Perceraian juga
menjadikan pusat perhatian bagi masyarakat sekitarnya, yang menyebabkan
mereka yang bercerai dikenakan sanksi sosial yaitu dijauhi oleh masyarakat,
karena penilaian masyarakat terhadap mereka adalah orang yang dianggap
melanggar tradisi perkawinan monogami sehingga mendapat hukuman sosial
seperti menjadi omongan
warga sekitarnya. Akibat hukum terhadap
perceraian bukan hanya diputus atau dipisahkan begitu saja dengan putusan
pihak yang berwenang namun perlu proses yang lebih mendalam dari segi
Hukum Agama Hindu perceraian dikatakan sah jika telah diadakan upacara
perceraian, perkawinan sudah berhenti (cerai) terdapat proses “mesamsam
bijakuning” dimana suami istri meminta kesaksian kepala desa atau Klian
melakukan upacara itu ; kedua pihak dihamburi beras kuning dengan
mematahkan kepeng hitam (kuci) sebagai lambang perpecahan perkawinan.
Daftar Pustaka
Artadi, I Ketut, 2009. Hukum Adat Bali, Pustaka Bali Post, Denpasar Bali.
----------, 2006. Hukum Dalam Perspektif Kebudayaan, Pustaka Bali Post, Denpasar.
----------, 2004. Nilai Makna Dan Martabat Kebudayaan, Sinay, Denpasar.
Ardinarto, 2009. Mengenal Adat Istiadat Hukum Adat Di Indonesia, Lembaga
Pengembangan Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan dan Percetakan
UNS(UNS Press) Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Arthayasa, Nyoman dkk, 2004. Petunjuk Teknis Perkawinan Hindu, Paramita,
Surabaya.
Agung, Ngurah A.A. dkk., 1984. Pemantapan Adat Dalam Menunjang UsahaUsaha Pembangunan, Proyek Pemantapan Lembaga Adat Dan
Pengembangan Museum Subak.
Anom, Ida Bagus, Perkawinan Menurut Adat Agama Hindu, Kayumas Agung,
Denpasar, Bali.
Hadikusuma, Hilman, 2007. Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung.
--------, 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
---------, 2003. Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
--------, 2003. Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat Dan Upacara
Adatnya,Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hakim, Lukman, 2004. Konstitusi Majapahit, Universitas Muhammadiyah
Malang, Malang.
Belom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013
32
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, 2008. Edisi keempat, Departemen
Pendidikan Nasional, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Latif, Djamal, 1982. Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta
Moleong, Lexy J., 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Nurwidiatmo, 1996. Perceraian Dan Akibatnya, Balai Pustaka, Jakarta.
Oka, I Gusti Ngurah, 2000. Himpunan Peraturan Tentang Pemberdayaan Desa
Pakraman Di Bali, Majelis Pembina Lembaga Adat, Propinsi Daerah TK. I
Bali.
Pudja dan Tjokorda Rai Sudharta, 2010. Manava Dharmasastra (Manu
Dharmasastra atau Veda Smrti Compendium Hukum Hindu, Paramita,
Surabaya.
Pudja, Gde, 1977. Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresepir Kedalam Hukum Adat
Di Bali Dan Lombok, CV. Junasco, Jakarta.
----------, 1975, Perkawinan Menurut Hukum Hindu Didasarkan Manusmrti, Maya
Sari, Jakarta.
Panetje, Gde, 2004. Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, Kayumas Agung,
Denpasar, Bali.
Rasjidi, Lili, 1991. Hukum Perkawinan dan Perceraian, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung
Belom Bahadat: Volume III No. 2 Oktober 2013
33
Download