[48]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 45.

advertisement
BUKU] Nikah Litas Agama Dalam Perspektif
Ulama
♠ Posted by Agustin Hanafi at 01.52
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah Swt menciptakan umat manusia dari berbagai macam suku dan warna kulit, namun
tidak ada yang lebih unggul antara satu dengan yang lainnya kecuali ketakwaan kepada Allah.
Manusia juga diciptakan berpasang-pasangan yaitu laki-laki dan perempuan, antara keduanya
dibolehkan menikah dengan tujuan agar dapat melestarikan kehidupannya di muka
bumi. Sebagaimana firman Allah Swt:
   
   
   
     
  
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal (Q.S. al-Hujurat/49: 13).
Kemudian Al-Qur’an menjelaskan secara gamblang bagaimana kedekatan hubungan lakilaki dengan perempuan sebagaimana termaktub dalam surat al-Rum/30: 21
     
  
  
     
 
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. Al-Rum {30}: 21).
Kemudian penjelasan Al-Qur’an adanya kecenderungan laki-laki untuk mencintai
perempuan,
    
 
  
 
  
     
   
Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatangbinatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah
tempat kembali yang baik (surga). (Q.S. Ali ‘Imran/3: 14).
Wajh al-dilalah dari ayat di atas, bahwa manusia diciptakan berpasangan, adanya
kecenderungan hati laki-laki untuk mencintai perempuan, kemudian pernikahan merupakan
anugerah dan karunia dari Allah. Al-Qur’an menganjurkan umat manusia untuk menikah,
tujuannya untuk mempertahankan eksistensi manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.
Pernikahan juga oleh Al-Qur’an disebut dengan mitsaqan ghalizan, sebagaimana firman
Allah Swt.
   
    
 
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (Q.S. al-Nisa/4: 21).
Berdasarkan ayat di atas, pernikahan dinilai sebagai sebuah ikatan yang sangat kokoh dan
suci, tidak ada sesuatu dalil yang lebih jelas menunjukkan tentang sifat kesuciannya yang
demikian agung itu selain Allah sendiri yang menamakan ikatan perjanjian antara suami-isteri
dengan mitsaqan ghalizan (perjanjian yang kokoh).
Jika demikian kuatnya ikatan antara suami dan isteri tidak sepatutnya dirusak dan
disepelekan. Setiap usaha untuk menyepelekan hubungan perkawinan dan mengabaikannya
sangat dibenci oleh Islam karena ia merusak kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan antara
suami-isteri.[1] Tidak boleh memutuskannya tanpa sebab yang dibenarkan oleh Syari‘
karena ia merupakan anugerah. Oleh karena itu, dalam Islam tidak boleh membatasi akad nikah
untuk masa tertentu.[2]
Akibat perkawinan juga akan timbul hak dan kewajiban antara suami-isteri. Antara
lain, suami-isteri memiliki kedudukan yang samadan diharuskan untuk hidup rukun dan saling
menghargai. Seorang suami harus mengayomi, melindungi dan membimbing isteri ke jalan yang
diridhai oleh Allah, demikian juga dengan isteri, ia harus menjaga amanah dan mentaati
suaminya dalam batas yang wajar.
Al-Qur’an menginginkan agar pernikahan itu langgeng dan kekal sepanjang hayat,
dan langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diinginkan oleh
Islam. Akad nikah bertujuan untuk selamanya dan seterusnya hingga meninggal dunia.
Tujuannya agar suami-isteri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga menjadi tempat
berlindung, menikmati naungan kasih sayang, dan dapat memelihara anak-anaknya dalam
pertumbuhan yang baik.
Oleh karena itu Islam melarang membujang, sebaliknya menganjurkan pernikahan bagi
yang telah mampu secara lahir dan batin, sehingga dapat menjaga diri dan pandangan dari halhal yang tidak baik. Meskipun Al-Qur’an menganjurkan pernikahan, tetapi tidak menentukan
secara rinci tentang siapa yang dinikahi, tetapi hal tersebut diserahkan kepada selera masingmasing sebagaimana yang ditegaskan dalam surat al-Nisa’/4: 3,
‫فانكحوا ما طاب لكم من النساء‬
Artinya maka kawinilah siapa yang kamu senangi dari wanita-wanita (al-Nisa’/4: 3.
Meskipun demikian, Nabi Muhammad Saw menyinggung sedikit mengenai kriteria calon
pasangan hidup sehingga tujuan dari sebuah pernikahan dapat tercapai dengan baik, sebagaimana
sabda-Nya:
)‫ لمالها و لحسبها و لجمالها و لدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك (أخرجه الخمسة عن أبي هريرة‬:‫تنكح المرأة ألربع‬
Artinya: Biasanya wanita dinikahi karena hartanya atau keturunannya, atau kecantikannya, atau karena
agamanya. Jatuhkan pilhanmu atas yang beragama, (karena kalau tidak) engkau akan
sengsara (Diriwayatkan melalui Abu Hurayrah).
Di tempat lain, Al-Qur’an memberikan petunjuk, bahwa
ّ ‫الزاني ال ينكح االّ زانية أو مشركة‬
‫والزانية ال ينكحها االّ زان أو مشرك‬
Artinya: Laki-laki yang berzina tidak (pantas) mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak pantas dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik (Q.S. al-Nur /24: 3.
Kemudian juga dalam memilih pasangan hendaknya sekufu’ serta yang baik-baik,
sebagaimana pesan surat al-Nur/24: 26.
 
  
 
 
Artinya: Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik
dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).
Karena pernikahan merupakan sesuatu yang sangat sakral, maka Islam menetapkan rikun
dan syarat yang harus dipenuhi di antaranya dewasa, laki-laki dan perempuan, disertai dengan
saksi dan wali kemudian bukan dalam kondisi yang haram untuk dinikahi baik karena hubungan
nasab atau karena berbeda agama. Oleh karena Al-Qur’an membatasi siapa saja yang tidak boleh
dinikahi dari pihak keluarga yang biasa disebut dengan muhrim hal ini bertujuan demi
kemaslahatan, sebagaimana yang sijelaskan dalam surat al-Nisa’/4: 33,
  
  
  
  
  
  
    
   
    
  
   
    
      

Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudarasaudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara
ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anakanak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Menurut M. Quraish Shihab, ada yang menegaskan bahwa perkawinan antara keluarga
dekat, dapat melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan ruhani, ada juga yang meninjau dari
segi keharusan menjaga hubungan kekerabatan agar tidak menimbulkan perselisihan atau
perceraian sebagaimana yang dapat terjadi anatara suami-isteri. Ada lagi yang memandang
bahwa sebagian yang disebut di atas, berkedudukan semacam anak, saudara, dan ibu kandung,
yang kesemuanya harus dilindungi dari rasa berahi. Ada lagi yang memahami larangan
perkawinan anatar kerabat sebagai upaya Al-Qur’an memperluas hubungan antar keluarga lain
dalam rangka mengukuhkan satu masyarakat.[3]
Kemudian Al-Qur’an juga tidak menghendaki pernikahan antar pemeluk agama yang
berbeda, Al-Qur’an juga secara tegas melarang pernikahan dengan orang musyrik seperti
Firman-Nya dalam surat Al-Baqarah (2): 221,
   
     
   
  
     
   
   
   
   
  
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Larangan serupa juga ditujukan kepada para wali agar tidak menikahkan perempuanperempuan yang berada dalam perwaliannya kepada laki-laki musyrik
‫و ال تنكحو المشركين حتّي يؤمنوا‬
Artinya: Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
Mukmin) sebelum mereka beriman (Q.S. Al-Baqarah (2): 221.
Kemudian mentoleransi laki-laki muslim menikah dengan perempuan yang dari
golongan Ahl al-Kitab, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Maidah/5: 5,
    
   
    
  
   
  
Artinya: Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orangorang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan
dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab
sebelum kamu.
Namun seiapa yang dimaksud dengan orang musyrik dan Ahl al-Kitâb sebagaimana yang
dijelaskan oleh ayat di atas menjadi perbedaan di kalangan ulama, misalnya apakah Ahl alKitâb di sini digolongkan kepada kelompok musyrik atau mereka halal untuk dinikahi lantaran
sudah memeluk agama Islam. Ibn Umar misalnya berpendapat bahwa mereka yang boleh
dinikahi hanya yang sudah memeluk agama Islam.[4] Namun ada juga ulama modern yang
memandang bahwa kebolehan disini secara mutlak tanpa diqayid dengan yang sudah memeluk
agama Islam.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis tertarik melakukan kajian ilmiah yang
titik fokusnya bagaimana pandangan ulama menikah dengan beda agama.
B. Rumusan Masalah
Dalam kehidupan di dunia ini manusia yang ditunjuk Allah s.w.t sebagai khalifah di muka
bumi ini tentunya saling berkomunikasi dan bermuamalah antara sesamanya, baik laki-laki
dengan perempuan, Muslim dengan non Muslim yang semuanya itu punya ketentuan dan
undang-undang dari Allah Swt ada yang boleh dilakukan dan ada yang tidak. Allah Swt
menurunkan tiga agama Samawi yaitu Islam, Yahudi dan Nasrani, namun Al-Qur’ an sering
menyebut pemeluk agama Yahudi dan Nasrani sebagai Ahl al-Kitâb, tetapi tidak pernah
menyebut Islam ke dalam kelompok ini. Namun bagaimana dengan agama-agama lain di dunia
ini seperti Hindu, Budha, Shinto, dan lain-lain yang merupakan agama wad’i apakah
dikelompokkan sebagai Ahl al-Kitab atau bukan, karena Al-Qur’an tidak menjelaskannya secara
tegas sehingga menjadi titik pandang di kalangan ulama.
Dalam Al-Qur’an, laki-laki muslim dilarang menikahi perempuan musyrik secara mutlak
tanpa terkecuali sebagaimana dalam Q.S. al-Baqarah/2: 221, namun dibolehkan menikahai
perempuan yang dari golongan ahl- al-Kitab sebagaimana dalam Q.S. al-Maidah/5: 5.
Namun siapa perempuan musyrik dan Ahl al-Kitab, ulama punya pandangan yang
berbeda, bahkan ada yang menilai kalau kebolehan tersebut sudah tidak berlaku lagi karena
menganggap ahl al-Kitab sebagai golongan musyrik sehingga kebolehan yang ada telah dinasakh
oleh ayat yang mengharamkannya yang turun belakangan. Kemudian sebagian ulama menilai
hanya sebelum agama mereka mengalami perubahan, atau hanya dari keturunan bani Israil saja,
ada juga yang punya pandangan lain bahwa siapa saja selain perempuan musyrik baik punya
kitab suci atau tidak, tetap halal dinikahi oleh pria muslim.
Dalam Al-Qur’an memang banyak sekali kecaman terhadap prilaku Ahl al-Kitab karena
dinilai telah menyimpang dari ajaran aslinya, tetapi ada juga pujian terhadap golongan mereka
yang selalu istiqamah dan melakukan perintah Allah. Namun yang boleh dinikahi oleh pria
muslim apakah Ahl al-Kitab secara keseluruhan atau dari kalangan tertentu.
Dalam agama apapun, menjaga iman merupakan kewajiban dasar, berbagai benteng
syari’at dirumuskan agar iman tidak sampai tererosi. Maka tidak heran Al-Qur’an melarang
keras perempuan muslimah menikah dengan yang beda agama tanpa terkecuali pria yang Ahl alKitab namun pakta yang terjadi di lapangan ada saja kasus yang melanggar rambu-rambu yang
telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, bahkan banyak pria muslim menikah dengan perempuan yang
bukan dari agama samawi dengan dalih mereka ini dari golongan Ahl al-Kitab. Karena cinta
adalah soal hati, bisa hinggap kapan saja, dimana saja, tak terkecuali kepada mereka yang
berbeda agama.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam kajian ini
adalah:
1. Bagaimana Kedudukan Ahl al-Kitab Dalam Al-Qur’an
2. Bagaimana Pandangan Ulama Nikah Lintas Agama
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1. Tujuan Penulisan
1. Kajian ini bertujuan mengungkap secara jelas pemikiran ulama mengenai nikah beda agama
2. Memperkaya wawasan pembaca mengenai nikah beda agama berdasarkan kajian ilmu fikih dan
tafsir
2. Kegunaan Penulisan
a.
Kegunaan Ilmiah
Tulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran ulama mengenai terutama
mengenai pemahaman mereka tentang nikah lintas agama, sekaligus dapat menambah khazanah
intelektual dalam perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu-ilmu keislaman
khususnya.
b. Kegunaan Praktis
Tulisan ini dapat dijadikan sebagai informasi bagi pemerhati kajian fiqh, tafsir dan
sekaligus sebagai bacaan mengenai nikah beda agama.
D. Metode Penelitian
a. Metode Pengumpulan Data
Tulisan ini merupakan kepustakaan (library Research). Karena objeknya adalah
pemikiran ulama mengenai nikah lintas agama maka tulisan ini difokuskan pada buku fikih dan
tafsir seperti al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu oleh Wahbah al-Zukhayli, al-Fiqhu ‘ala al-Mazahib
al-Arba’ah oleh Abdurrahman al-Jaziry, Fiqh al-Sunnah oleh al-Sayid Sabiq, Tafsîr al-Qur‘ān
al-Hakîm al-Syahîr bi-al Tafsîr al-Manār, oleh Muhammad Abduh. Tafsir al-Tabari, oleh alTabari, Tafsir Ayat al-Ahkam oleh Ali al-Sayis.
Buku-buku yang tersebut di atas menjadi rujukan pertama sebagai sumber data primer.
Sedangkan buku-buku lain yang berkaitan dengan tulisan ini akan penulis jadikan sebagai
data sekunder. Misalnya Tafsir al-Misbah oleh M. Quraish Shihab, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia oleh Amir Syarifuddin, Bidayah al-Mujtahid oleh Ibn Rusyd. Dalam mendapatkan
buku-buku itu, penulis berusaha merujuk kepada naskah aslinya.
b. Metode Analisisa
Setelah data yang dibutuhkan terkumpul, lalu analisa dengan metode content
analisyst, maksudnya dengan menelusuri alur fuqaha dan mufassir yang diformulasikan dalam
buku-buku tersebut. Metode concent anaflsyst sebagaimana dinyatakan Yuyun S. Sumantri,
meniscayakan digunakannya analisyst comparative untuk memetakan posisi pemikiran ulama
yang menjadi objek penelitian di antara pemikir-pemikir lainnya. Adapun metode komparatif
digunakan untuk membandingkan pandangan-pandangan fuqaha dengan pandangan-pandangan
lain yang berkaitan dengan tema yang telah ditentukan.
Tulisan ini bersifat deskriptif analisis kritis karena menampilkan butir-butir pemikiran
fuqaha tentang nikah lintas agama disertai analis kritis dari penulis sendiri.
E. Sistematika Penulisan
Salah satu kerangka berpikir ilmiah adalah berpikir secara sistematis. Penulisan buku ini
terdiri dari beberapa bab, yang mana antara setiap bab saling berhubungan. Secara berturut-turut
mengkaji persoalan dan yang umum sampai pada inti persoalan. Untuk memperjelas sistematika
penyusunannya, penulis akan mendeskripsikan bab per bab secara global.
Bab 1 (Pendahuluan) terdiri dari beberapa sub bab. Sub bab yang pertama merupakan
deskripsi tentang banyak hal yang menjadi alasan (backround) mengapa tema buku ini menjadi
penting. Pada sub kedua, penulis mencoba mengidentifikasi berbagai masalah, dan kemudian
melakukan pembatasan dan perumusan masalah yang akan dikaji, sehingga secara umum, akan
tergambar visi besar dalam tulisan ini. Sub bab yang ketiga menjelaskan tujuan dan kegunaan
penelitian. Sub bab keempat menjelaskan teknik dan metode penelitian. Sub bab yang kelima
penulis menjelaskan secara makro sistematika penulisan.
Bab II Defini umum tentang perkawinan baik dalam pandangan fuqaha dan yang tertera
dalam perundang-undangan di Indonesi, kemudian menjelaskan hukum perkawinan serta tujuan
dan hikmah dari sebuah perkawinan.
Bab III Konsep Kufr, Musyrik dan Ahl al-Kitâb, Makna dan cakupan Ahl al-Kitab,
Pendapat Ulama mengenai kedudukan Ahl al-Kitâb,
Bab IV yang merupakan inti kajian, yang terdiri dari beberapa sub bab, di antaranya
pandangan ulama mengenai nikah lintas agama yang meliputi pernikahan muslim dengan
perempuan musyrik, pernikahan perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik, pernikahan
muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab, makna al-Muhsanat, pernikahan perempuan muslimah
dengan laki-laki yang dari Ahl al-Kitab, dan lain-lain.
Bab V (penutup) merupakan Kesimpulan serta saran-saran penulis dalam rangka
menambah wacana pemikiran fikih dan tafsir mengenai pandangan ulama tentang nikah lintas
agama.
[1]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka,
Cet. X, 1999), hlm. 455.
[2]Ibn Manzur, al-Masri, Lisan ‘Al-Arab, Juz X, (Beirut: Dar al-Fikr, Cet. I, 1990), Lihat Lisan al-
Arab, Juz II, hlm. 293.
[3]Ibid, hlm. 626.
[4]Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 689.
[5]Lihat Muḥammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, al-Mu‘jam al-Mufahras li al-Faz Al-Qur’an al-Karim,
(Dar al-Fikr, Cet. III, 1992), hlm. 422-424.
[6]‘Umar Sulayman al-Asyqar, Ahkam az-Zuwaj fi Dau’ al-Kitab wa as-Sunnah, Yordania: Dar
an-Nafais, Cet. IV, 2008, hlm. 11.
[7]Abdul Rahman al-Jaziri, al-Fiqhu ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Cairo: al-Matbah al-
Tawfiqiyah, t.t.p, Juz IV, hlm. 8.
[8]Ibid, dan bandingkan dengan ‘Umar Sulayman al-Asyqar, Ahkam az-Zuwaj fi Dau’ al-Kitab
wa as-Sunnah, hlm. 11.
[9]Ibid.
[10]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2006, Cet. I, hlm. 37.
[11]Wahbah al-Zuhaylī, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Juz VII, (Damaskus, Dar al-Fikr, Cet.
VI, 2008), Juz VII, hlm. 43
[12]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 37.
[13]Abdul Rahman al-Jaziri, al-Fiqhu ‘ ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz IV, hlm. 8.
[14]Ibid, hlm. 9.
[15]Muhammad Abu Zahrah, al- Ahwal al-Syakhsiyah, Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.p, hlm. 19.
[16]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 39.
[17]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia hlm. 39.
[18]Muhammad Abu Zahrah, al- Ahwal al-Syakhsiyah, hlm. 19
[19]Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, New Merah Putih: Yogyakarta, 2009,
Cet. I, hlm. 41-42.
[20]Ibid.
[21]Kompilasi Hukum Islam, Nuansa Aulia, Bandung: 2008, Cet. I, hlm. 2.
[22] Kompilasi Hukum Islam, Nuansa Aulia, Bandung: 2008, Cet. I, hlm. 2.
[23] Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004, Cet. I, hlm. 46.
[24]Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, hlm. 47.
[25]Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, hlm. 47.
[26]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 42.
[27]Ibid, hlm. 43.
[28]Ibid.
[29]Menurut Musṭafa Aḥmad al-Zarqa’ bahwa sifat-sifat akad itu ada empat: (1) akad yang mengikat
kedua belah pihak dan tidak boleh di-fasakhberdasarkan kesepakatan bersama, ulama mencotohkannya akad nikah),
hal ini hanya boleh diakhiri berdasarkan ketentuan syar‘ī secara khusus, dengan cara talak,khulu‘, putusan
pengadilan, fasakh karena terdapat suatu sebab yang dibenarkan oleh Syara‘. (2) akad yang mengikat kedua belah
pihak namun boleh di-fasakh atau dibatalkan berdasarkan kesepakatan bersama seperti jual beli, perdamaian, dan
lain-lain. (3) akad yang mengikat salah satu pihak seperti pergadaian, kafalah. (4) sifat asli dari akad yang tidak
mengikat penuh bagi kedua belah pihak, masing-masing boleh mengakhiri atau membatalkannya. Lihat
Musṭafa Aḥmad al-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqhi al-‘Am, Juz I, (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. IX, 1967), hlm.577-578.
[30]‘Abd al-Fatah Kabbarah, al-Zuwaj al-Madani wa Masyru‘ Qanun al-Aḥwal al-Syakhsiyyah
al-Libnani, (Beirut: Dar al-Nafa’is li al-Tabā‘ah wa al-Nasyr wa al-Tawzī‘, Cet. I, 1998), hlm. 95-96.
[31]Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, hlm 172.
[32]Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, (Yogyakarta: New Merah Putih, Cet. I,
2009), hlm. 39-41.
[33]Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, Cet. III, hlm. 36.
[34]Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, hlm. 49.
[35]Ibid.
[36]Ibid.
[37]Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat (Khitbah,
Nikah, dan Talak), (terj.), Jakarta: Amzah, 2009, Cet. I., hlm. 43.
[38]Ibid.
[39]Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Juz II, hlm. 2.
[40]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 44-45.
[41]Dalil yang digunakan kelompok ini adalah Q.S. al-Nisa’/4: 3, al-Nur /24: 32. Kemudian
hadits Nabi Saw ‫( من استطاع منكم الباءة فليتزوج‬siapa di antaramu telah mempunyai kamampuan dari
degi “al-ba’ah”), Lihat Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islam, Juz VII, hlm. 49.
[42]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 45.
[43] Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz II, hlm. 2.
[44]Q.S. al-Nisa’/4: 3.
[45]Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz II, hlm. 2.
[46]Lihat al- al-Nawawi, Kitab al-Majmu‘ Syarh al-Muhadhdhab li al-Syirazi, (Jeddah: Maktabah
al-Irsyad,t.t.), Jilid XVII, hlm. 200-201.
[47]Abdurrahman al-Jaziry, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz IV, hlm. 11-12.
[48]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 45.
[49] Lihat al-Nawawi, al-Majmu’, Jilid XVII, hlm. 201.
[50] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 43.
[51]Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunah, Jilid II, hlm. 5.
[52]A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Banda Aceh, PeNA, 2005, Cet. II,
hlm.1.
[53]Ibid.
[54]Iibid.
[55]Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunah, Jilid II, hlm. 5.
[56]Ibid.
[57]A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm.1.
[58]Ibid, hlm. 33.
[59] Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, hlm. 2.
[60]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 46.
[61]Ibid.
[1]Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, (Dar al-Fikr, li al-Taba‘ah wa al-Nasyr, Cet.
IV, 1983), hlm.135.
[2]‘Alī Yusuf Al-Subkī, Fiqh Keluarga, (terj), (Jakarta: Amzah, Cet. I, 2010), hlm. 53.
[3]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan,1996), Cet. III, hlm, 195.
[4]Lihat Badrân Abu al-’Aynayn Badrân, al-‘Alâqah al-Ijtimâ‘îyah Bayna al-Muslimîn wa Ghayr alMuslimîn, (Beirut: Dâr al-Nahdah al-’Arabîyah li at-Taba’ah wa al-Nasyr, 1404 H./1984 M.), hlm. 43.
Download