BUKU] Nikah Litas Agama Dalam Perspektif Ulama ♠ Posted by Agustin Hanafi at 01.52 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah Swt menciptakan umat manusia dari berbagai macam suku dan warna kulit, namun tidak ada yang lebih unggul antara satu dengan yang lainnya kecuali ketakwaan kepada Allah. Manusia juga diciptakan berpasang-pasangan yaitu laki-laki dan perempuan, antara keduanya dibolehkan menikah dengan tujuan agar dapat melestarikan kehidupannya di muka bumi. Sebagaimana firman Allah Swt: Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S. al-Hujurat/49: 13). Kemudian Al-Qur’an menjelaskan secara gamblang bagaimana kedekatan hubungan lakilaki dengan perempuan sebagaimana termaktub dalam surat al-Rum/30: 21 Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. Al-Rum {30}: 21). Kemudian penjelasan Al-Qur’an adanya kecenderungan laki-laki untuk mencintai perempuan, Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatangbinatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Q.S. Ali ‘Imran/3: 14). Wajh al-dilalah dari ayat di atas, bahwa manusia diciptakan berpasangan, adanya kecenderungan hati laki-laki untuk mencintai perempuan, kemudian pernikahan merupakan anugerah dan karunia dari Allah. Al-Qur’an menganjurkan umat manusia untuk menikah, tujuannya untuk mempertahankan eksistensi manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Pernikahan juga oleh Al-Qur’an disebut dengan mitsaqan ghalizan, sebagaimana firman Allah Swt. Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (Q.S. al-Nisa/4: 21). Berdasarkan ayat di atas, pernikahan dinilai sebagai sebuah ikatan yang sangat kokoh dan suci, tidak ada sesuatu dalil yang lebih jelas menunjukkan tentang sifat kesuciannya yang demikian agung itu selain Allah sendiri yang menamakan ikatan perjanjian antara suami-isteri dengan mitsaqan ghalizan (perjanjian yang kokoh). Jika demikian kuatnya ikatan antara suami dan isteri tidak sepatutnya dirusak dan disepelekan. Setiap usaha untuk menyepelekan hubungan perkawinan dan mengabaikannya sangat dibenci oleh Islam karena ia merusak kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan antara suami-isteri.[1] Tidak boleh memutuskannya tanpa sebab yang dibenarkan oleh Syari‘ karena ia merupakan anugerah. Oleh karena itu, dalam Islam tidak boleh membatasi akad nikah untuk masa tertentu.[2] Akibat perkawinan juga akan timbul hak dan kewajiban antara suami-isteri. Antara lain, suami-isteri memiliki kedudukan yang samadan diharuskan untuk hidup rukun dan saling menghargai. Seorang suami harus mengayomi, melindungi dan membimbing isteri ke jalan yang diridhai oleh Allah, demikian juga dengan isteri, ia harus menjaga amanah dan mentaati suaminya dalam batas yang wajar. Al-Qur’an menginginkan agar pernikahan itu langgeng dan kekal sepanjang hayat, dan langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diinginkan oleh Islam. Akad nikah bertujuan untuk selamanya dan seterusnya hingga meninggal dunia. Tujuannya agar suami-isteri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga menjadi tempat berlindung, menikmati naungan kasih sayang, dan dapat memelihara anak-anaknya dalam pertumbuhan yang baik. Oleh karena itu Islam melarang membujang, sebaliknya menganjurkan pernikahan bagi yang telah mampu secara lahir dan batin, sehingga dapat menjaga diri dan pandangan dari halhal yang tidak baik. Meskipun Al-Qur’an menganjurkan pernikahan, tetapi tidak menentukan secara rinci tentang siapa yang dinikahi, tetapi hal tersebut diserahkan kepada selera masingmasing sebagaimana yang ditegaskan dalam surat al-Nisa’/4: 3, فانكحوا ما طاب لكم من النساء Artinya maka kawinilah siapa yang kamu senangi dari wanita-wanita (al-Nisa’/4: 3. Meskipun demikian, Nabi Muhammad Saw menyinggung sedikit mengenai kriteria calon pasangan hidup sehingga tujuan dari sebuah pernikahan dapat tercapai dengan baik, sebagaimana sabda-Nya: ) لمالها و لحسبها و لجمالها و لدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك (أخرجه الخمسة عن أبي هريرة:تنكح المرأة ألربع Artinya: Biasanya wanita dinikahi karena hartanya atau keturunannya, atau kecantikannya, atau karena agamanya. Jatuhkan pilhanmu atas yang beragama, (karena kalau tidak) engkau akan sengsara (Diriwayatkan melalui Abu Hurayrah). Di tempat lain, Al-Qur’an memberikan petunjuk, bahwa ّ الزاني ال ينكح االّ زانية أو مشركة والزانية ال ينكحها االّ زان أو مشرك Artinya: Laki-laki yang berzina tidak (pantas) mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak pantas dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik (Q.S. al-Nur /24: 3. Kemudian juga dalam memilih pasangan hendaknya sekufu’ serta yang baik-baik, sebagaimana pesan surat al-Nur/24: 26. Artinya: Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Karena pernikahan merupakan sesuatu yang sangat sakral, maka Islam menetapkan rikun dan syarat yang harus dipenuhi di antaranya dewasa, laki-laki dan perempuan, disertai dengan saksi dan wali kemudian bukan dalam kondisi yang haram untuk dinikahi baik karena hubungan nasab atau karena berbeda agama. Oleh karena Al-Qur’an membatasi siapa saja yang tidak boleh dinikahi dari pihak keluarga yang biasa disebut dengan muhrim hal ini bertujuan demi kemaslahatan, sebagaimana yang sijelaskan dalam surat al-Nisa’/4: 33, Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudarasaudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anakanak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Menurut M. Quraish Shihab, ada yang menegaskan bahwa perkawinan antara keluarga dekat, dapat melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan ruhani, ada juga yang meninjau dari segi keharusan menjaga hubungan kekerabatan agar tidak menimbulkan perselisihan atau perceraian sebagaimana yang dapat terjadi anatara suami-isteri. Ada lagi yang memandang bahwa sebagian yang disebut di atas, berkedudukan semacam anak, saudara, dan ibu kandung, yang kesemuanya harus dilindungi dari rasa berahi. Ada lagi yang memahami larangan perkawinan anatar kerabat sebagai upaya Al-Qur’an memperluas hubungan antar keluarga lain dalam rangka mengukuhkan satu masyarakat.[3] Kemudian Al-Qur’an juga tidak menghendaki pernikahan antar pemeluk agama yang berbeda, Al-Qur’an juga secara tegas melarang pernikahan dengan orang musyrik seperti Firman-Nya dalam surat Al-Baqarah (2): 221, Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. Larangan serupa juga ditujukan kepada para wali agar tidak menikahkan perempuanperempuan yang berada dalam perwaliannya kepada laki-laki musyrik و ال تنكحو المشركين حتّي يؤمنوا Artinya: Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman (Q.S. Al-Baqarah (2): 221. Kemudian mentoleransi laki-laki muslim menikah dengan perempuan yang dari golongan Ahl al-Kitab, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Maidah/5: 5, Artinya: Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orangorang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu. Namun seiapa yang dimaksud dengan orang musyrik dan Ahl al-Kitâb sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat di atas menjadi perbedaan di kalangan ulama, misalnya apakah Ahl alKitâb di sini digolongkan kepada kelompok musyrik atau mereka halal untuk dinikahi lantaran sudah memeluk agama Islam. Ibn Umar misalnya berpendapat bahwa mereka yang boleh dinikahi hanya yang sudah memeluk agama Islam.[4] Namun ada juga ulama modern yang memandang bahwa kebolehan disini secara mutlak tanpa diqayid dengan yang sudah memeluk agama Islam. Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis tertarik melakukan kajian ilmiah yang titik fokusnya bagaimana pandangan ulama menikah dengan beda agama. B. Rumusan Masalah Dalam kehidupan di dunia ini manusia yang ditunjuk Allah s.w.t sebagai khalifah di muka bumi ini tentunya saling berkomunikasi dan bermuamalah antara sesamanya, baik laki-laki dengan perempuan, Muslim dengan non Muslim yang semuanya itu punya ketentuan dan undang-undang dari Allah Swt ada yang boleh dilakukan dan ada yang tidak. Allah Swt menurunkan tiga agama Samawi yaitu Islam, Yahudi dan Nasrani, namun Al-Qur’ an sering menyebut pemeluk agama Yahudi dan Nasrani sebagai Ahl al-Kitâb, tetapi tidak pernah menyebut Islam ke dalam kelompok ini. Namun bagaimana dengan agama-agama lain di dunia ini seperti Hindu, Budha, Shinto, dan lain-lain yang merupakan agama wad’i apakah dikelompokkan sebagai Ahl al-Kitab atau bukan, karena Al-Qur’an tidak menjelaskannya secara tegas sehingga menjadi titik pandang di kalangan ulama. Dalam Al-Qur’an, laki-laki muslim dilarang menikahi perempuan musyrik secara mutlak tanpa terkecuali sebagaimana dalam Q.S. al-Baqarah/2: 221, namun dibolehkan menikahai perempuan yang dari golongan ahl- al-Kitab sebagaimana dalam Q.S. al-Maidah/5: 5. Namun siapa perempuan musyrik dan Ahl al-Kitab, ulama punya pandangan yang berbeda, bahkan ada yang menilai kalau kebolehan tersebut sudah tidak berlaku lagi karena menganggap ahl al-Kitab sebagai golongan musyrik sehingga kebolehan yang ada telah dinasakh oleh ayat yang mengharamkannya yang turun belakangan. Kemudian sebagian ulama menilai hanya sebelum agama mereka mengalami perubahan, atau hanya dari keturunan bani Israil saja, ada juga yang punya pandangan lain bahwa siapa saja selain perempuan musyrik baik punya kitab suci atau tidak, tetap halal dinikahi oleh pria muslim. Dalam Al-Qur’an memang banyak sekali kecaman terhadap prilaku Ahl al-Kitab karena dinilai telah menyimpang dari ajaran aslinya, tetapi ada juga pujian terhadap golongan mereka yang selalu istiqamah dan melakukan perintah Allah. Namun yang boleh dinikahi oleh pria muslim apakah Ahl al-Kitab secara keseluruhan atau dari kalangan tertentu. Dalam agama apapun, menjaga iman merupakan kewajiban dasar, berbagai benteng syari’at dirumuskan agar iman tidak sampai tererosi. Maka tidak heran Al-Qur’an melarang keras perempuan muslimah menikah dengan yang beda agama tanpa terkecuali pria yang Ahl alKitab namun pakta yang terjadi di lapangan ada saja kasus yang melanggar rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, bahkan banyak pria muslim menikah dengan perempuan yang bukan dari agama samawi dengan dalih mereka ini dari golongan Ahl al-Kitab. Karena cinta adalah soal hati, bisa hinggap kapan saja, dimana saja, tak terkecuali kepada mereka yang berbeda agama. Berdasarkan permasalahan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam kajian ini adalah: 1. Bagaimana Kedudukan Ahl al-Kitab Dalam Al-Qur’an 2. Bagaimana Pandangan Ulama Nikah Lintas Agama C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan 1. Tujuan Penulisan 1. Kajian ini bertujuan mengungkap secara jelas pemikiran ulama mengenai nikah beda agama 2. Memperkaya wawasan pembaca mengenai nikah beda agama berdasarkan kajian ilmu fikih dan tafsir 2. Kegunaan Penulisan a. Kegunaan Ilmiah Tulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran ulama mengenai terutama mengenai pemahaman mereka tentang nikah lintas agama, sekaligus dapat menambah khazanah intelektual dalam perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu-ilmu keislaman khususnya. b. Kegunaan Praktis Tulisan ini dapat dijadikan sebagai informasi bagi pemerhati kajian fiqh, tafsir dan sekaligus sebagai bacaan mengenai nikah beda agama. D. Metode Penelitian a. Metode Pengumpulan Data Tulisan ini merupakan kepustakaan (library Research). Karena objeknya adalah pemikiran ulama mengenai nikah lintas agama maka tulisan ini difokuskan pada buku fikih dan tafsir seperti al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu oleh Wahbah al-Zukhayli, al-Fiqhu ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah oleh Abdurrahman al-Jaziry, Fiqh al-Sunnah oleh al-Sayid Sabiq, Tafsîr al-Qur‘ān al-Hakîm al-Syahîr bi-al Tafsîr al-Manār, oleh Muhammad Abduh. Tafsir al-Tabari, oleh alTabari, Tafsir Ayat al-Ahkam oleh Ali al-Sayis. Buku-buku yang tersebut di atas menjadi rujukan pertama sebagai sumber data primer. Sedangkan buku-buku lain yang berkaitan dengan tulisan ini akan penulis jadikan sebagai data sekunder. Misalnya Tafsir al-Misbah oleh M. Quraish Shihab, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia oleh Amir Syarifuddin, Bidayah al-Mujtahid oleh Ibn Rusyd. Dalam mendapatkan buku-buku itu, penulis berusaha merujuk kepada naskah aslinya. b. Metode Analisisa Setelah data yang dibutuhkan terkumpul, lalu analisa dengan metode content analisyst, maksudnya dengan menelusuri alur fuqaha dan mufassir yang diformulasikan dalam buku-buku tersebut. Metode concent anaflsyst sebagaimana dinyatakan Yuyun S. Sumantri, meniscayakan digunakannya analisyst comparative untuk memetakan posisi pemikiran ulama yang menjadi objek penelitian di antara pemikir-pemikir lainnya. Adapun metode komparatif digunakan untuk membandingkan pandangan-pandangan fuqaha dengan pandangan-pandangan lain yang berkaitan dengan tema yang telah ditentukan. Tulisan ini bersifat deskriptif analisis kritis karena menampilkan butir-butir pemikiran fuqaha tentang nikah lintas agama disertai analis kritis dari penulis sendiri. E. Sistematika Penulisan Salah satu kerangka berpikir ilmiah adalah berpikir secara sistematis. Penulisan buku ini terdiri dari beberapa bab, yang mana antara setiap bab saling berhubungan. Secara berturut-turut mengkaji persoalan dan yang umum sampai pada inti persoalan. Untuk memperjelas sistematika penyusunannya, penulis akan mendeskripsikan bab per bab secara global. Bab 1 (Pendahuluan) terdiri dari beberapa sub bab. Sub bab yang pertama merupakan deskripsi tentang banyak hal yang menjadi alasan (backround) mengapa tema buku ini menjadi penting. Pada sub kedua, penulis mencoba mengidentifikasi berbagai masalah, dan kemudian melakukan pembatasan dan perumusan masalah yang akan dikaji, sehingga secara umum, akan tergambar visi besar dalam tulisan ini. Sub bab yang ketiga menjelaskan tujuan dan kegunaan penelitian. Sub bab keempat menjelaskan teknik dan metode penelitian. Sub bab yang kelima penulis menjelaskan secara makro sistematika penulisan. Bab II Defini umum tentang perkawinan baik dalam pandangan fuqaha dan yang tertera dalam perundang-undangan di Indonesi, kemudian menjelaskan hukum perkawinan serta tujuan dan hikmah dari sebuah perkawinan. Bab III Konsep Kufr, Musyrik dan Ahl al-Kitâb, Makna dan cakupan Ahl al-Kitab, Pendapat Ulama mengenai kedudukan Ahl al-Kitâb, Bab IV yang merupakan inti kajian, yang terdiri dari beberapa sub bab, di antaranya pandangan ulama mengenai nikah lintas agama yang meliputi pernikahan muslim dengan perempuan musyrik, pernikahan perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik, pernikahan muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab, makna al-Muhsanat, pernikahan perempuan muslimah dengan laki-laki yang dari Ahl al-Kitab, dan lain-lain. Bab V (penutup) merupakan Kesimpulan serta saran-saran penulis dalam rangka menambah wacana pemikiran fikih dan tafsir mengenai pandangan ulama tentang nikah lintas agama. [1]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, Cet. X, 1999), hlm. 455. [2]Ibn Manzur, al-Masri, Lisan ‘Al-Arab, Juz X, (Beirut: Dar al-Fikr, Cet. I, 1990), Lihat Lisan al- Arab, Juz II, hlm. 293. [3]Ibid, hlm. 626. [4]Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 689. [5]Lihat Muḥammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, al-Mu‘jam al-Mufahras li al-Faz Al-Qur’an al-Karim, (Dar al-Fikr, Cet. III, 1992), hlm. 422-424. [6]‘Umar Sulayman al-Asyqar, Ahkam az-Zuwaj fi Dau’ al-Kitab wa as-Sunnah, Yordania: Dar an-Nafais, Cet. IV, 2008, hlm. 11. [7]Abdul Rahman al-Jaziri, al-Fiqhu ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Cairo: al-Matbah al- Tawfiqiyah, t.t.p, Juz IV, hlm. 8. [8]Ibid, dan bandingkan dengan ‘Umar Sulayman al-Asyqar, Ahkam az-Zuwaj fi Dau’ al-Kitab wa as-Sunnah, hlm. 11. [9]Ibid. [10]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2006, Cet. I, hlm. 37. [11]Wahbah al-Zuhaylī, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Juz VII, (Damaskus, Dar al-Fikr, Cet. VI, 2008), Juz VII, hlm. 43 [12]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 37. [13]Abdul Rahman al-Jaziri, al-Fiqhu ‘ ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz IV, hlm. 8. [14]Ibid, hlm. 9. [15]Muhammad Abu Zahrah, al- Ahwal al-Syakhsiyah, Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.p, hlm. 19. [16]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 39. [17]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia hlm. 39. [18]Muhammad Abu Zahrah, al- Ahwal al-Syakhsiyah, hlm. 19 [19]Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, New Merah Putih: Yogyakarta, 2009, Cet. I, hlm. 41-42. [20]Ibid. [21]Kompilasi Hukum Islam, Nuansa Aulia, Bandung: 2008, Cet. I, hlm. 2. [22] Kompilasi Hukum Islam, Nuansa Aulia, Bandung: 2008, Cet. I, hlm. 2. [23] Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. I, hlm. 46. [24]Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, hlm. 47. [25]Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, hlm. 47. [26]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 42. [27]Ibid, hlm. 43. [28]Ibid. [29]Menurut Musṭafa Aḥmad al-Zarqa’ bahwa sifat-sifat akad itu ada empat: (1) akad yang mengikat kedua belah pihak dan tidak boleh di-fasakhberdasarkan kesepakatan bersama, ulama mencotohkannya akad nikah), hal ini hanya boleh diakhiri berdasarkan ketentuan syar‘ī secara khusus, dengan cara talak,khulu‘, putusan pengadilan, fasakh karena terdapat suatu sebab yang dibenarkan oleh Syara‘. (2) akad yang mengikat kedua belah pihak namun boleh di-fasakh atau dibatalkan berdasarkan kesepakatan bersama seperti jual beli, perdamaian, dan lain-lain. (3) akad yang mengikat salah satu pihak seperti pergadaian, kafalah. (4) sifat asli dari akad yang tidak mengikat penuh bagi kedua belah pihak, masing-masing boleh mengakhiri atau membatalkannya. Lihat Musṭafa Aḥmad al-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqhi al-‘Am, Juz I, (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. IX, 1967), hlm.577-578. [30]‘Abd al-Fatah Kabbarah, al-Zuwaj al-Madani wa Masyru‘ Qanun al-Aḥwal al-Syakhsiyyah al-Libnani, (Beirut: Dar al-Nafa’is li al-Tabā‘ah wa al-Nasyr wa al-Tawzī‘, Cet. I, 1998), hlm. 95-96. [31]Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, hlm 172. [32]Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, (Yogyakarta: New Merah Putih, Cet. I, 2009), hlm. 39-41. [33]Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, Cet. III, hlm. 36. [34]Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, hlm. 49. [35]Ibid. [36]Ibid. [37]Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat (Khitbah, Nikah, dan Talak), (terj.), Jakarta: Amzah, 2009, Cet. I., hlm. 43. [38]Ibid. [39]Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Juz II, hlm. 2. [40]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 44-45. [41]Dalil yang digunakan kelompok ini adalah Q.S. al-Nisa’/4: 3, al-Nur /24: 32. Kemudian hadits Nabi Saw ( من استطاع منكم الباءة فليتزوجsiapa di antaramu telah mempunyai kamampuan dari degi “al-ba’ah”), Lihat Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islam, Juz VII, hlm. 49. [42]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 45. [43] Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz II, hlm. 2. [44]Q.S. al-Nisa’/4: 3. [45]Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz II, hlm. 2. [46]Lihat al- al-Nawawi, Kitab al-Majmu‘ Syarh al-Muhadhdhab li al-Syirazi, (Jeddah: Maktabah al-Irsyad,t.t.), Jilid XVII, hlm. 200-201. [47]Abdurrahman al-Jaziry, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz IV, hlm. 11-12. [48]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 45. [49] Lihat al-Nawawi, al-Majmu’, Jilid XVII, hlm. 201. [50] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 43. [51]Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunah, Jilid II, hlm. 5. [52]A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Banda Aceh, PeNA, 2005, Cet. II, hlm.1. [53]Ibid. [54]Iibid. [55]Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunah, Jilid II, hlm. 5. [56]Ibid. [57]A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm.1. [58]Ibid, hlm. 33. [59] Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, hlm. 2. [60]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 46. [61]Ibid. [1]Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, (Dar al-Fikr, li al-Taba‘ah wa al-Nasyr, Cet. IV, 1983), hlm.135. [2]‘Alī Yusuf Al-Subkī, Fiqh Keluarga, (terj), (Jakarta: Amzah, Cet. I, 2010), hlm. 53. [3]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan,1996), Cet. III, hlm, 195. [4]Lihat Badrân Abu al-’Aynayn Badrân, al-‘Alâqah al-Ijtimâ‘îyah Bayna al-Muslimîn wa Ghayr alMuslimîn, (Beirut: Dâr al-Nahdah al-’Arabîyah li at-Taba’ah wa al-Nasyr, 1404 H./1984 M.), hlm. 43.