tinjauan arkeologis kompleks situs ki buyut trusmi cirebon

advertisement
1
TINJAUAN ARKEOLOGIS KOMPLEKS SITUS KI BUYUT TRUSMI
CIREBON
Muhammad Al-Mujabudda’wat, S.Hum. dan Dr. Wanny Rahardjo Wahyudi
Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
[email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Kompleks situs Ki Buyut Trusmi adalah salah satu dari 112 situs kabuyutan yang ada di Kabupaten Cirebon. Situs ini
memiliki sejumlah peninggalan benda dan bangunan di dalam pola keruangan kompleks situs Ki Buyut Trusmi.
Peninggalan benda dan bangunan dianalisis dari segi bentuk, ukuran, pola hias, tata letak, hubungan antara benda dan
bangunan. Analisis tersebut menghasilkan pengetahuan mengenai alur makna simbolik dari tata letak kompleks situs Ki
Buyut Trusmi.
Kata kunci: tinjauan, kabuyutan, tata letak, ruang, makna simbolik
Archaeological Observation of Complex Site Ki Buyut Trusmi Cirebon
Abstract
Ki Buyut Trusmi complex site is one of 112 sites in the district of Cirebon. This site has a number of heritage objects
and buildings in the complex spatial patterns of Ki Buyut Trusmi’s site. Objects and buildings heritage is analyzed in
terms of shape, size, decorative patterns, layout, context between object and building. Based on the analysis contained
groove symbolic meaning of the complex layout of the Ki Buyut Trusmi’s site.
Keywords: observation, kabuyutan, lay-out, spatial, symbolic meaning
Pendahuluan
Masuknya Islam di Pulau Jawa tidak lepas dari
keberadaan Cirebon yang merupakan salah satu
wilayah dengan corak kebudayaan Islam tertua di
Pulau Jawa. Pertumbuhan Cirebon menjadi wilayah
bercorak Islam dimulai ketika Syarif Hidayatullah
memimpin wilayah Cirebon mulai sekitar tahun 1479
(Tjandrasasmita, 2009:163) yang merupakan rintisan
dari awal mula berdirinya Kesultanan Cirebon.
Kedatangan dan penyebaran Islam di wilayah Cirebon
sudah ada sebelum kedatangan Syarif Hidayatullah di
tahun 1470 (Tjandrasasmita, 2009:163). Tokoh sentral
dibalik penyiaran awal agama Islam di Cirebon ialah
Pangeran Cakrabuana, yaitu paman dari Syarif
Hidayatullah yang merupakan putera mahkota
Kerajaan Pajajaran. Pada masa kedatangan Pangeran
Cakrabuana di Cirebon dijadikan sebagai titik awal
masuknya kebudayaan bercorak Islam di Cirebon. Oleh
karena itu, Pangeran Cakrabuana dikenal sebagai tokoh
pendiri Kesultanan Cirebon. Kebudayaan Islam yang
kental sejak berabad lampau menjadikan Cirebon
dikenal dengan sebutan Kota Wali. Rekonstruksi
kebudayaan masa Islam kuna di Indonesia dapat
disusun berdasarkan analisa tinggalan materi budaya
Islam seperti
naskah, bangunan, kraton, masjid,
makam, dan lain-lain.
Kompleks situs Ki Buyut Trusmi merupakan kompleks
bangunan kuna yang terletak di Kampung Dalem, Desa
Universitas Indonesia
Tinjauan arkeologis..., Muhammad Al Mujabuddawat, FIB UI, 2013
2
Trusmi wetan, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon.
Situs Ki Buyut Trusmi terdaftar sebagai peninggalan
sejarah dan purbakala di Direktorat Jenderal
Kebudayaan dengan nomor inventaris 1136
(Depdikbud, 1981). Kompleks situs Ki Buyut Trusmi
memiliki luas tanah sekitar 8.100 m² dan luas
bangunan sekitar 500 m² (Muliawan, 2006:117). Situs
ini dibatasi oleh tembok bata merah setinggi kurang
lebih 120 cm (Casta & Taruna, 2007:37) dan memiliki
2 gerbang sebagai pintu masuk di sebelah barat dan
timur. Kompleks situs ini terdapat sejumlah benda dan
bangunan yang berdiri di dalamnya.
Kompleks situs Ki Buyut Trusmi tergolong ke dalam
kompleks situs pemakaman karena banyak makammakam kuna dan makam warga sekitar Trusmi di
dalam area kompleks situs. Situs Ki Buyut Trusmi
merupakan situs pemakaman terpenting kedua di
Cirebon setelah situs Astana Gunung Jati, dilihat dari
banyaknya peziarah dan ritual keagamaan (Muhaimin,
1995:185) di situs ini. Pada bagian sudut timur laut
kompleks situs ini terdapat bangunan makam yang
dikeramatkan dan diistimewakan, yaitu makam Ki
Gede Trusmi dan Pangeran Trusmi, yaitu cucu dari
Pangeran Cakrabuana. Pangeran Carbon Girang yang
merupakan putera dari Pangeran Cakrabuana menikah
dengan Nyai Cupluk, puteri Ki Gede Trusmi lalu
memiliki anak bernama Pangeran Trusmi yang tinggal
di Trusmi (Muhaimin, 1995:188). Keberadaan kedua
makam inilah yang membuat situs ini dikeramatkan
dan hingga kini mengundang peziarah yang datang dari
wilayah Cirebon dan sekitarnya untuk berziarah karena
fakta sejarah Pangeran Trusmi adalah cucu dari
pangeran Cakrabuana dan Ki Gede Trusmi yang
merupakan penyiar agama Islam di daerah ini.
Secara fisik, bangunan-bangunan kuna yang terdapat di
dalam kompleks situs Ki Buyut Trusmi sebagian besar
masih berdiri dengan meninggalkan beberapa bagian
yang telah banyak direnovasi, walau begitu masih
menyisakan corak kekunaan dalam tiap bagian struktur
bangunannya, seperti atap kayu (sirap), pilar-pilar
pondasi, memolo (puncakan), gentong air (padasan)
untuk berwudhu, dan lain-lain (Muhaimin, 1995:188).
Bukti-bukti sejarah berupa naskah Purwaka Caruban
Nagari, Babad Cirebon, dan naskah lainnya tidak ada
yang menyebutkan nama kompleks Ki Buyut Trusmi
secara spesifik. Beberapa tulisan hasil penelitian yang
menjelaskan sejarah situs ini terdapat pada Tesis Abdul
Ghoffir Muhaimin, Ph.D. tahun 1995 dan buku yang
ditulis oleh tim dan disunting oleh Supratikno
Rahardjo, M.Hum. tahun 1998. Tujuan dari penelitian
ini adalah menganalisis atribut objek kepurbakalaan
berupa benda dan bangunan yang terdapat di dalam
area kompleks situs Ki Buyut Trusmi. Analisis yang
akan dilakukan terbagi atas analisis bentuk dan
konteks. Anlisis bentuk, yaitu analisis yang
menyangkut atribut bentuk, ukuran, dan identifikasi
pola hias dari objek benda dan bangunan. Sedangkan
analisis konteks yaitu, analisis mengenai identifikasi
kekunaan, tinjauan fungsi, dan makna simbolik dari
tata letak sebaran objek benda dan bangunan di dalam
area kompleks situs Ki Buyut Trusmi.
Metode Penelitian
Kajian ini menggunakan serangkaian tahapan
penelitian yaitu observasi, deskripsi, dan penafsiran
(Deetz,
1967:8).
Observasi
adalah
tahap
mengumpulkan data untuk mengetahui keberadaan
data dan keadaannya. Sumber data yang dikumpulkan
berasal dari data lapangan dan data pustaka. Data
pustaka berupa buku-buku, artikel, jurnal ilmiah,
gambar, peta, dan foto-foto yang terkait dengan
sejarah, budaya, dan bentuk dari kompleks situs Ki
Buyut Trusmi serta situs-situs arkeologi Islam pada
umumnya. Data lapangan berupa survey dan
pengukuran terhadap data primer objek-objek situs
serupa lalu dideskripsikan dalam bentuk catatan
tulisan. Kemudian dilakukan perekaman data dalam
bentuk pemotretan terhadap seluruh detail bagian objek
tinggalan berupa benda dan bangunan. Keseluruhan
data yang terkumpul disatukan dalam catatan deskriptif
referensial, untuk memberikan gambaran tentang
wujud materi berupa identifikasi objek benda dan
bangunan di kompleks situs Ki Buyut Trusmi untuk
kemudian diolah kembali menggunakan metode
selanjutnya.
Pada deskripsi dilakukan penyatuan data yang telah
dikumpulkan lalu menganalisisnya. Objek yang
dianalisis adalah materi berupa benda dan bangunan.
Pengolahan data dibagi menjadi dua rangkaian tahap
besar, yaitu tahap analisis bentuk dan konteks. Analisis
bentuk mencakup deskripsi atribut, ukuran dan pola
hias. Analisis konteks mencakup hubungan antar benda
dan bangunan, keletakkan, dan sebarannya. Pada tahap
analisis bentuk diidentifikasi keseluruhan atribut
berupa bentuk, ukuran dan pola hias. Analisis bentuk
dan pola hias dilakukan berdasarkan kondisi yang ada.
Pada identifikasi ukuran akan disajikan keseluruhan
ukuran dari objek benda dan bangunan dengan
menggunakan data hasil pengukuran langsung di
lapangan. Analisis konteks menghasilkan identifikasi
kekunaan, fungsi, dan makna simbolik. Selain analisis
konteks untuk mengidentifikasi kekunaan, dilakukan
pula komparasi berdasarkan aspek bentuk dan pola hias
yang terdapat pada objek benda dan bangunan yang
dianalisis dengan benda dan bangunan yang memiliki
aspek serupa di situs arkeologi Islam lainnya. Pada
tahap penafsiran, analisis bentuk dan analisis konteks
diintegrasikan. Hasil integrasi ini menghasilkan
pemahaman mengenai kepurbakalaan situs Ki Buyut
Trusmi. Terutama menyangkut makna simbolik, alur,
dan tata letak situs.
Universitas Indonesia
Tinjauan arkeologis..., Muhammad Al Mujabuddawat, FIB UI, 2013
3
Konsep Situs Kabuyutan
Ruang lingkup penelitian dibatasi pada batasan denah
kompleks situs Ki Buyut Trusmi. Denah kompleks
ditus Ki Buyut Trusmi akan dibagi menjadi 2 halaman
sesuai batasan tembok denah situs, yaitu halaman
bagian selatan dan utara. Halaman utara situs ialah area
pemakaman kramat yang terdapat cungkub makam Ki
Buyut Trusmi yang tidak termasuk ke dalam bagian
yang dianalisa karena keterbatasan akses perolehan
data. Halaman makam kramat Ki Buyut Trusmi
merupakan area yang disucikan, sehingga tidak
diperbolehkan untuk mengambil data secara bebas,
termasuk dilarang mengambil data piktorial. Objekobjek benda dan bangunan yang dianalisa merupakan
objek yang berada pada halaman selatan. Objek-objek
tersebut antara lain;
Gambar 1. Denah sebaran ruang kompleks situs
Tabel 1. Keterangan Gambar Sebaran Objek Benda dan
Bangunan Ki Buyut Trusmi
Benda
Halaman Barat
a. Padasan (a)
a. Padasan (b)
h. Mimbar masjid
d. Padasan (c)
d. Padasan (d)
i. Bedug
b. Padasan air wudhu (a)
b. Padasan air wudhu (b)
c. Padasan air wudhu (c)
c. Padasan air wudhu (d)
Halaman Timur
e. Padasan (e)
e. Padasan (f)
HalamanTengah
f. Padasan (g)
f. Padasan (h)
g. Watu pendadaran
Bangunan
1. Gerbang kori agung (a)
2. Kuta hijab (a)
7. Lawang kepundungan
4. Bale paseban
3. Bale pakuncen
5. Pendopo
8. Tempat wudhu
6. Pewadonan
9. Ruang utama masjid
11. Pawestren
15. Gerbang kori agung (b)
13. Pekulahan
16. Gerbang kori agung (c)
14. Kuta hijab (b)
10. Serambi masjid
12. Witana
21. Gerbang kori agung (d)
18. Jinem wetan
17. Jinem kulon
20. Ruang petilasan
19. Bale pesalinan
Istilah kabuyutan merupakan istilah penamaan lokal
yang berasal dari masyarakat yang mengeramatkan
situs-situs makam seorang tokoh yang dianggap suci
dan berjasa khususnya di berbagai daerah di Jawa
Barat. Situs-situs yang dinamai kabuyutan dikenal luas
di Jawa Barat. Istilah Buyut mengartikan seseorang
sebagai pendahulu atau nenek moyang, namun
pengertian yang lebih luas, Buyut merupakan istilah
yang diberikan kepada tokoh yang ditinggikan dan
dituakan.
Dalam tesis yang ditulis oleh Etty Saringendyanti, situs
kabuyutan merupakan sesuatu yang bersifat fisik
(bentuk) maupun abstrak (ideologi). Dalam artian
sebagai tempat yang disucikan atau dikeramatkan oleh
segolongan masyarakat tertentu di Jawa Barat saat ini,
di dalamnya terdapat sejumlah artefak dan atau fitur
keagamaan dari masa lalu, baik berupa sisa-sisa
bangunan suci atau bukan (makam, mataair, gua,
bangunan teras berundak, candi, altar, dan lain-lain),
sehingga kabuyutan merupakan sebutan umum untuk
menyebut sesuatu yang berkenaan dengan tempat dan
dianggap
terlarang
(Saringendyanti,
1998:23).
Beberapa prasasti yang berasal dari jaman Kadiri dan
Majapahit di Jawa Timur, antara lain Prasasti Subhasita
tahun 1120 M (berasal dari masa Kadiri), prasasti
Himad Walandit (1350 M), prasasti Patapan tahun
1358 M, dan prasasti Batur dari masa raja
Hayamwuruk mengungkapkan Kabuyutan sebagai
wilayah suci yang dibebaskan dari pajak, yang luasnya
lebih kecil dari thâni (Suhadi, 1993: 108), dan sangat
mungkin dikelola oleh pejabat yang disebut janggan
(Munandar, 1990/1994:162—163).
Situs kabuyutan antara lain berupa situs makam yang
dikeramatkan oleh warga sekitar. Situs kabuyutan
biasanya memiliki Kuncen dan dijaga keberadaannya
serta adat istiadatnya secara turun-temurun oleh
masyarakat dan banyak masyarakat yang berziarah ke
sana. Hal tersebut dilakukan untuk menghargai jasajasa sang Buyut yang dimakamkan karena tokoh Buyut
merupakan tokoh yang dahulu biasanya merupakan
Gegeden, yaitu penguasa di daerah tersebut yang
pertama kali menyebarkan agama islam di daerahnya.
Seperti yang telah dijelaskan pada bab I bagaimana
jasa-jasa para Gegeden di setiap daerah serta
pengaruhnya terhadap penyebaran agama Islam di
daerah Cirebon dan sekitarnya. Namun, situs
kabuyutan tidak seluruhnya berupa makam, beberapa
situs kabuyutan merupakan tempat yang memiliki nilai
historis, seperti sebuah peristiwa yang dilakukan
seorang tokoh lalu berpengaruh pada suatu daerah, dan
ada pula suatu situs kabuyutan yang dahulunya
merupakan suatu bekas petilasan atau persinggahan
seorang tokoh.
Universitas Indonesia
Tinjauan arkeologis..., Muhammad Al Mujabuddawat, FIB UI, 2013
4
Situs kabuyutan di beberapa tempat memiliki bentuk
materi fisik yang berbeda-beda. Beberapa situs
kabuyutan hanya memiliki materi fisik sebuah batu di
sebuah lahan seperti di situs Nyi Waja di Kecamatan
Susukan, lebih tinggi lagi peran tokoh sang Buyut
situsnya berupa sebuah makam seperti situs Ki Buyut
Sadikin di Kecamatan Pabuaran, situs Ki Buyut
Maruyung di Kecamatan Beber, dan paling banyak
adalah makam yang terletak di dalam bangunan
cungkup seperti situs Ki Buyut Nuryadi di Kecamatan
Karangsembung, situs Ki Buyut Gameng di Kecamatan
Pabedilan, dan lain-lain. Situs Kabuyutan seorang
tokoh sangat besar biasanya dipagari oleh dinding pada
sebuah area, bahkan situs kabuyutan yang paling tinggi
tingkatannya memiliki sejumlah bangunan pendukung
membentuk kompleks di dalam area situs dan dikelola
oleh sejumlah Kuncen yang khusus tinggal di dalam
area situs. Situs kabuyutan yang besar biasanya
dikelilingi oleh area pemakaman tokoh-tokoh penting
lainnya dan makam warga sekitar, serta tumbuh pohonpohon besar dan rindang di sekitarnya. Contoh situs
kabuyutan yang tinggi tingkatannya tampak pada situs
Ki Buyut Trusmi di Kecamatan Plered dan situs Astana
Gunung Jati di Kecamatan Gunungjati.
Keberadaan situs kabuyutan tidak hanya terdapat di
daerah Cirebon saja, tetapi juga terdapat di daerahdaerah sekitar Cirebon, yaitu Indramayu, Majalengka,
dan Kuningan. Keberadaan situs kabuyutan di Cirebon
dan sekitarnya jumlahnya begitu banyak serta
keberadaannya sangat penting bagi masyarakat.
Kabupaten Cirebon tercatat memiliki 112 situs
kabuyutan (Bakombudpar Kab. Cirebon, 2008).
Sebagian besar situs kabuyutan di Kabupaten Cirebon
merupakan bagian dari situs Arkeologi Islam karena
merupakan tinggalan dari tokoh-tokoh yang
berpengaruh di dalam penyebaran agama Islam.
Namun dari sekian banyak situs kabuyutan di
Kabupaten Cirebon tidak semuanya merupakan situs
Islam. Situs kabuyutan di Kabupaten Cirebon telah
menjadi bagian dari perjalanan sejarah di Cirebon.
utama, yaitu bentuk gentong, bentuk jambangan, dan
bentuk vas.
Bentuk gentong memiliki bentuk silindris, membulat
dengan sisi mulut dan alas membentuk lingkaran. Sisi
mulut lebih lebar dari sisi alas. Semakin ke atas,
diameternya semakin melebar. Pada bagian mulutnya
terdapat tutupan yang memiliki pegangan yang
memanjang di tengah-tengah lingkaran tutupan.
Tutupan tersebut terbuat dari kayu. Bentuk gentong ini
ditemukan pada padasan (a), (b), (g), (h), padasan air
wudhu (a), (b), (c), dan (d). Bentuk tempayan memiliki
bentuk wadah silindris melebar dengan ukuran
diameter mulut lebih lebar dibanding diameter alasnya.
Pada bagian mulut tidak terdapat tutupan. Bentuk
jambangan ditemukan pada padasan (e) dan (f).
Bentuk vas memiliki bentuk silindris ramping yang
melebar pada bagian atasnya menyerupai mangkuk,
semakin kebawah semakin menyempit dengan bentuk
sisi menggelombang. Bentuk vas ditemukan pada
padasan (c) dan (d). Berikut ini adalah ukuran
keseluruhan dari wadah tembikar.
Tabel 2. Ukuran Wadah Tembikar
Tinggi
Benda
Padasan (a)
Padasan (b)
Padasan (c)
Padasan (d)
Padasan (e)
Padasan (f)
Padasan (g)
Padasan (h)
Padasan air wudhu (a)
Padasan air wudhu (b)
Padasan air wudhu (c)
Padasan air wudhu (d)
78 cm
78 cm
85 cm
85 cm
55 cm
55 cm
65 cm
65 cm
50 cm
50 cm
65 cm
65 cm
Diameter
mulut
32 cm
32 cm
35 cm
38 cm
75 cm
75 cm
30 cm
30 cm
20 cm
20 cm
30 cm
30 cm
Diameter
tengah
55 cm
55 cm
26 cm
23 cm
50 cm
50 cm
65 cm
65 cm
50 cm
50 cm
65 cm
65 cm
Diameter
alas
20 cm
20 cm
20 cm
26 cm
40 cm
40 cm
27 cm
27 cm
30 cm
30 cm
27 cm
27 cm
Berikut ini adalah bentuk hias dari keseluruhan wadah
tembikar.
Tabel 3. Pola Hias Wadah Tembikar
Objek Benda
Penempa
tan Motif
Hias
Pola Hias
√
√
√
Kehitaman
√
√
√
√
Coklat kemerahan
Hitam kemerahan
Hitam kemerahan
√
Padasan (f)
Padasan (g)
Padasan (h)
Padasan air
wudhu (a)
√
√
Universitas Indonesia
Tinjauan arkeologis..., Muhammad Al Mujabuddawat, FIB UI, 2013
sisi badan bawah
√
sisi badan tengah
Coklat kemerahan
Coklat kemerahan
Coklat kemerahan
Coklat kemerahan
Kehitaman
sisi badan atas
utuh
utuh
utuh
utuh
utuh
berlumut
utuh
berlumut
utuh
utuh
aus
berlumut
pilin
Padasan (a)
Padasan (b)
Padasan (c)
Padasan (d)
Padasan (e)
mega mendung
Warna
flora
Kondisi
motif
hias
meander
Halaman barat, timur, dan tengah di dalam area
kompleks situs Ki Buyut Trusmi memiliki 15 benda
yang terpajang dan secara umum dapat dilihat oleh
pengunjung. Secara keseluruhan, berdasarkan bentuk
diantara ke-15 komponen benda, 12 diantaranya
digolongkan ke dalam wadah tembikar. Wadah
tembikar tersebut antara lain, padasan (a), (b), (c), (d),
(e), (g), (h), (i), padasan air wudhu (a), (b), (c), dan
(d). Jadi, pada sub bab ini terbagi atas wadah tembikar,
mimbar masjid, bedug, dan watu pendadaran.
Keseluruhan wadah tembikar terbuat dari bahan tanah
liat yang dibakar. Secara garis besar, keseluruhan
wadah tembikar diklasifikasikan ke dalam 3 bentuk
Benda
5
Padasan air
wudhu (b)
Padasan air
wudhu (c)
Padasan air
wudhu (d)
aus
berlumut
aus
berlumut
aus
berlumut
Hitam kemerahan
√
√
√
Hitam kemerahan
√
√
√
Hitam kemerahan
√
√
√
Mimbar masjid terbuat dari bahan kayu jati, memiliki
dua tiang penyangga dan bagian rangka atasnya
membentuk cungkup melengkung setengah lingkaran.
Mimbar ini berbentuk kursi tinggi. Pada bagian atas
kedua tiang mimbar ini saling menyambung
membentuk lengkungan setengah lingkaran. Pada
bagian kanan dan kiri tiang mimbar tersambung ke
sandaran mimbar. Mimbar masjid ini memiliki ukuran
alas 85cm x 65 cm. Tinggi keseluruhan mimbar masjid
ini 200 cm dengan lebar alas terlebar 84cm x 84 cm.
Pada bagian atas sandaran mimbar atau kepala mimbar
yang membentuk setengah lingkaran, terdapat motif
ukiran sinar matahari tepat di tengah dikelilingi motif
suluran dan daun di sekelilingnya. Motif tersebut mirip
seperti kepala kala yang dikombinasikan dengan
bentuk lingkaran cahaya seperti mahkota. Pada
sandaran mimbar terdapat pola hias berupa rangkaian
bentuk ukir seperti itu merupakan pengaruh dari
kebudayaan Islam dan Cina yang dikenal dengan
sebutan stilasi buketan (Toekio, 1987:95).
Badan bedug terbuat dari bahan kayu jati yang
berbentuk gelondongan silindris. Bidang pukul bedug
merupakan gendang yang terbuat dari kulit. Bedug ini
berbentuk silindris dengan ukuran panjang 110 cm
dengan diameter kedua bidang pukul 55 cm dan 52 cm
Bedug ini tidak memiliki bentuk pola hias. Watu
pendadaran berupa kerakal berbentuk bulat yang
disusun melingkar setengah lingkaran berjumlah 17
buah. Watu pendadaran ini memiliki ukuran yang
berbeda-beda di setiap butirnya. Setiap kerakal
memiliki bentuk yang tidak beraturan. Kerakal
berdiameter terkecil berukuran 5 cm dan kerakal
berdiameter terbesar berukuran 21 cm.
Bangunan tembok, antara lain tembok keliling situs,
kuta hijab (a), dan (b). Lalu ke-14 bangunan lainnya,
yaitu bale paseban, bale pakuncen, pendopo, tempat
wudhu, pewadonan, ruang utama masjid, serambi
masjid, pawestren, witana, jinem kulon, jinem wetan,
ruang peziarah, bale pesalinan, dan pekulahan
diuraikan satu per satu.
Gerbang kori agung (a), (b), (c), dan (d) menonjolkan
tubuh sisi gerbang yang melebar dan lipatan pelipit
mengerucut ke atas dengan bentuk yang lebih lebar di
bagian bawahnya. Atap penutup gerbang kori agung
(a), (b), (c), dan (d) ditopang oleh 4 batang tiang
penyangga dengan dikokohkan cakaran ayam dari
beton di bagian dasarnya. Atap gerbang kori agung (a)
(b), (c), dan (d) membentuk tajuk berbahan sirap, serta
memiliki dua sisi daun pintu yang terbuat dari kayu.
Gerbang lawang kepundungan menyerupai gerbang
paduraksa. Lawang kepundung memiliki daun pintu
yang tersusun atas jeruji kayu. Lawang kepundung ini
tersusun atas bata yang disusun dengan cara kuta kosod
dan dicat merah. Pada bagian puncak lawang
kepundung ini membentuk lipatan bata yang
mengerucut ke atas. Berikut ini ialah ukuran dari
keseluruhan bangunan gerbang.
Tabel 4. Ukuran Bangunan Gerbang
Bangunan
Gerbang kori
agung (a)
Gerbang kori
agung (b)
Gerbang kori
agung (c)
Gerbang kori
agung (d)
Lawang
kepundungan
Tinggi
keseluruhan
360 cm
Panjang
depan
655 cm
Panjang
samping
655 cm
Tinggi
gerbang
185 cm
Lebar
gerbang
160 cm
360 cm
655 cm
655 cm
185 cm
160 cm
275 cm
405 cm
400 cm
165 cm
105 cm
295 cm
400 cm
400 cm
165 cm
105 cm
180 cm
195 cm
50 cm
100 cm
195 cm
Berikut ini ialah bentuk pola hias bangunan gerbang
secara garis besar.
Tabel 5. Pola Hias Bangunan Gerbang
Objek Bangunan
Objek Bangunan yang diidentifikasi antara lain, bale
paseban, bale pakuncen, pendopo, tempat wudhu,
pewadonan, ruang utama masjid, serambi masjid,
pawestren, witana, jinem kulon, jinem wetan, ruang
peziarah, bale pesalinan, tembok keliling situs,
gerbang kori agung (a), kuta hijab (a), lawang
kepundungan, gerbang kori agung (b), pekulahan,
gerbang kori agung (c), kuta hijab (b), dan gerbang
kori agung (d). Berdasarkan persamaan bentuk secara
umum, dari ke-21 bangunan tersebut terdapat sejumlah
bangunan yang tergabung dalam dua kategori, yaitu
bangunan gerbang dan bangunan tembok. Bangunan
gerbang antara lain gerbang kori agung (a), (b), (c),
(d), dan lawang kepundungan.
Bangunan
Pola Hias
fauna
√
Warna
Permukaan
Pola Hias
Gerbang kori agung (a)
flora
√
geometris
Gerbang kori agung (b)
Gerbang kori agung (c)
√
√
√
Gerbang kori agung (d)
Lawang kepundungan
√
√
Coklat
kehitaman
Coklat
Coklat
kehitaman
Coklat
Bangunan yang termasuk ke dalam bangunan tembok
antara lain, tembok keliling situs, kuta hijab (a), dan
(b). Sepanjang bagian atas tembok keliling membentuk
lipatan pelipit dari bata yang semakin ke puncak
Universitas Indonesia
Tinjauan arkeologis..., Muhammad Al Mujabuddawat, FIB UI, 2013
6
semakin menyempit sebanyak 8 lipatan. Konstruksi
bata pada tembok keliling ini tidak digunakan perekat,
atau disebut dengan kuta kosod. Keseluruhan tembok
keliling ini tersusun dari bata. Kuta hijab (a) berbentuk
persegi yang pada puncaknya melengkung seperempat
lingkaran dan di ujung-ujungnya terdapat hiasan
memolo. Terdapat 3 buah hiasan memolo berbentuk
bulat mengerucut bermotif kelopak melingkari sisinya.
Pada puncakan bagian ujungnya terdapat hiasan bentuk
pot mangkuk. Pada bagian sisi dinding terdapat pola
timbul membentuk motif 2 lingkaran besar di bawah
dan 3 lingkaran yang lebih kecil di atasnya. Kuta hijab
(a) tersusun atas susunan bata yang dicat berwarna
merah. Kuta hijab (b) berbentuk persegi panjang. Pada
bagian ujung-ujung tepi puncakan kuta hijab (b) ini
terdapat bentukan lipatan yang disusun membulat dari
susunan bata. Pada bagian sisi tubuh tembok, terdapat
4 pola berbentuk elips yang menjorok ke dalam. Kuta
hijab (b) tersusun atas susunan bata yang dicat
berwarna merah. Berikut ini ialah ukuran dari
keseluruhan bangunan tembok.
Tabel 6. Ukuran Bangunan Tembok
Bangunan
Tembok
keliling situs
Kuta hijab (a)
Kuta hijab (b)
Tinggi
160 cm
210 cm
210 cm
Panjang
Mengelilingi
situs
300 cm
300 cm
Ketebalan
60 cm
23 cm
23 cm
Kuta hijab (a) memiliki bentuk pola hias dari
keberadaan bentuk hiasan pada puncakannya. Pada
bagian puncaknya melengkung seperempat lingkaran
dan di ujung-ujungnya terdapat hiasan memolo.
Terdapat 3 buah hiasan memolo berbentuk bulat
mengerucut bermotif kelopak melingkari sisinya. Pada
puncakan bagian ujungnya terdapat hiasan bentuk pot
mangkuk. Kuta hijab (a) dicat berwarna merah. Pada
bangunan tembok keliling situs dan kuta hijab (b) tidak
terdapat bentuk pola hias yang menonjol yang
ditampakkan oleh bagian-bagian bangunannya.
Bangunan pekulahan merupakan bentuk arsitektur dari
kolam yang dibangun menjorok ke dalam permukaan
tanah. Bentuk pekulahan ini berdenah persegi dengan
kedalaman yang semakin menyempit ke bawah. Pada
bagian sisi-sisi di atasnya dibatasi oleh tembok yang
terbuat dari beton. Pada sisi tembok bagian barat
bangunan pekulahan, kedua ujung pada bagian sisinya
membentuk anak tangga yang menurun hingga ke
dalam pekulahan. Bangunan bale pakuncen tidak
berdinding di sisi-sisinya, selain sisi di sebelah utara.
Bangunan bale pakuncen memiliki atap membentuk
tajuk disusun dari welit. Bersebelahan bagian timur
bale pakuncen, terdapat bangunan bale paseban.
Bangunan bale paseban ini memiliki atap yang
tersusun dari welit berbentuk dua buah tajuk yang
saling berjajar.
Bangunan pendopo tidak berdinding, ditopang oleh
empat buah tiang kayu dan rangka kayu. Dasarnya
berupa pondasi masif atau lantai yang ditinggikan.
Atap pendopo tersusun dari welit membentuk tajuk.
Bangunan tempat wudhu berdenah segi empat,
tersusun dari bata yang sudah dilapisi beton. Memiliki
satu pintu masuk berdaun pintu dari kayu di sisi utara
bangunan. Memiliki dua jendela berbentuk persegi,
namun pada bagian atasnya berbentuk lengkungan
seperempat lingkaran. Bentuk atapnya tersusun dari
sirap membentuk limasan. Bangunan pewadonan
memiliki denah persegi panjang. Rangka bangunan
secara keseluruhan dari kayu. Pintu masuk pada
bangunan pewadonan tidak berdaun pintu. Bentuk
jendela-jendela pada bangunan ini segi empat tanpa
daun jendela. Lantai bangunan ini lebih tinggi dari
permukaan tanah. Atap bangunan tersusun dari welit
membentuk limasan.
Ruang utama masjid ini terletak pada bagian barat dari
keseluruhan bangunan masjid, dengan atap berbentuk
tumpang. Bangunan ruang utama masjid memiliki atap
dari sirap. Atap pada bangunan ruang utama masjid
berbentuk tumpang 3 tingkat dengan memolo pada
puncakannya. Bangunan ruang utama masjid berdenah
persegi. Pada ruang utama masjid, terdapat ruang
mihrab dan mimbar yang menjorok di sisi sebelah
barat. Ruang utama masjid ditopang oleh 4 tiang atau
saka guru. Bangunan ruang utama masjid ini berdiri di
atas pondasi setinggi 28 cm Berdasarkan materi
penyusunnya, bangunan ruang utama masjid berbahan
dinding yang tersusun atas bata baru yang dilapisi
semen dan bagian bawah dinding yang berupa batu
pualam, lalu konstruksi lantai yang tersusun atas tegel
keramik. Pada sisi sebelah barat, terdapat 2 jendela,
ruang mihrab dan mimbar. Pada sisi sebelah utara
terdapat 2 jendela, dan 2 pintu. Pada sisi timur terdapat
3 pintu yang menyambungkan ruang serambi masjid.
Pada sisi selatan terdapat 1 pintu yang
menyambungkan ruang pawestren.
Pawestren berdenah persegi panjang, dindingnya
tersusun dari bata dan berdiri di atas tiang dan rangka
bangunan yang tersusun dari kayu. Bangunan ini
beratapkan sirap. Lantai bangunan lebih tinggi dari
permukaan tanah. Bangunan pawestren ini memiliki 2
buah pintu di sisi utara dan selatan. Bangunan serambi
masjid memiliki dua atap atau tumpang. Serambi
tengah memiliki satu atap tumpang, sedangkan serambi
timur juga beratap tumpang dengan tiga tingkatan
tetapi lebih rendah daripada atap tumpang pada bagian
bangunan ruang utama masjid. Bangunan ruang utama
masjid, serambi tengah, dan serambi timur masjid
memiliki atap dari sirap. Pada sisi barat ruang serambi
terdapat 3 pintu yang masing-masing pintu memiliki
dua daun pintu yang terbuat dari kayu. Pada dinding
sisi utara terdapat 4 jendela dan 2 pintu yang masingmasing jendela dan pintu memiliki dua daun jendela
Universitas Indonesia
Tinjauan arkeologis..., Muhammad Al Mujabuddawat, FIB UI, 2013
7
saka
guru
pola
geometris
kaligrafi
flora
fauna
Bangunan bale pesalinan berdenah persegi panjang.
Memiliki dinding yang bercampur antara rekonstruksi
susunan bata di bagian bawah dilanjutkan bilik bambu
di atasnya. Bangunan bale pesalinan ini tertutup rapat
tanpa ventilasi dan jendela. Pada kedua sisi daun pintu
terdapat pot pembakaran yang didirikan diatas jojodog.
Bangunan bale pesalinan ini berdirikan rangka kayu,
dan beratapkan sirap berbentuk tajuk. Bangunan ruang
peziarah berupa ruang tanpa dinding berdenah persegi
panjang. Bangunan ruang peziarah ini beratap tajuk
yang tersusun dari sirap. Atap bangunan ruang
peziarah ini ditopang oleh 4 tiang kayu dengan pondasi
beton pada sisi sebelah timur. Rangka atap bangunan
ruang peziarah ini tersusun dari kayu. Berikut ini ialah
keseluruhan ukuran bangunan secara garis besar.
Pola hias pintu
Tempat wudhu
Pewadonan
Ruang utama masjid
Pawestren
√
√
√
√
√
√
√
Serambi masjid
Bale pesalinan
√
√
√
√
Bangunan
fauna
Bangunan witana berdenah persegi tanpa memiliki
dinding, hanya dipagari oleh jeruji kayu di sepanjang
keempat sisinya. Rangka dan tiang bangunan terbuat
dari kayu dan beratapkan sirap berbentuk tajuk.
Bangunan jinem wetan dan kulon memiliki denah segi
empat, berdinding pagar bilik bambu pada sisi utara
dan selatan, dan pada dua sisi tersebut, bagian bawah
dari biliknya berupa dinding tembok. Sisi barat
bangunan, yaitu pintu masuk berpagar jeruji kayu.
Bangunan jinem wetan dan kulon ini memiliki rangka
dan tiang penopang dari kayu, serta beratapkan welit.
Tabel 8. Pola Hias Objek Bangunan
flora
dan 2 daun pintu yang terbuat dari kayu. Pada dinding
sisi timur ruang serambi memiliki 2 jendela dan sebuah
pintu yang masing -masing jendela dan pintu memiliki
dua daun jendela dan 2 daun pintu yang terbuat dari
kayu. Pada dinding sisi selatan ruang serambi masjid
ini memiliki 4 jendela yang masing-masing jendela
memiliki 2 daun jendela yang terbuat dari kayu.
Bangunan ruang serambi masjid ini memiliki 8 tiang
saka guru yang menopang 2 atap tumpang di atasnya.
√
Bale pakuncen & paseban
pendopo
Witana
Jinem kulon
Jinem wetan
Ruang peziarah
Tinjauan Kekunaan
Gambar 2. Halaman barat tahun 1898 (kiri) dan saat ini
(kanan)
Tabel 7. Ukuran Bangunan
250 cm
250 cm
260 cm
240 cm
260 cm
200 cm
220 cm
200x300 cm
300x700 cm
690x710 cm
350x500 cm
690x1900 cm
200x345 cm
330x600 cm
0 cm
28 cm
28 cm
28 cm
28 cm
0 cm
5 cm
225 cm
230 cm
290 cm
290 cm
290 cm
200 cm
200 cm
250 cm
250 cm
270 cm
600x600 cm
250x500 cm
480x480 cm
240x480 cm
240x480 cm
5 cm
30 cm
20 cm
4 cm
4 cm
Tinggi
pondasi
320 cm
350 cm
500 cm
300 cm
540 cm
300 cm
260 cm
Ukuran
denah
Tinggi
ruang
Tempat wudhu
Pewadonan
Ruang utama masjid
Pawestren
Serambi masjid
Bale pesalinan
Bale pakuncen &
paseban
pendopo
Witana
Jinem kulon
Jinem wetan
Ruang peziarah
Tinggi
bangunan
Bangunan
Berikut ini ialah bentuk pola hias dari keseluruhan
objek bangunan secara garis besar.
Seluruh area keruangan kompleks situs Ki Buyut
Trusmi dibatasi oleh tembok keliling. Tembok keliling
situs ini memagari keseluruhan kompleks situs.
Tembok keliling kompleks ini merupakan ciri dari
gaya situs arkeologi Islam, dimana terdapat bangunanbangunan pelengkap di dalamnya dan masjid atau
makam menjadi bangunan utama. Konstruksi bata
tidak digunakan perekat, atau disebut dengan kuta
kosod, yaitu cara penyusunan bata dengan cara
digosokkan satu sama lain, sehingga merapat tanpa
pelekat spesi. Sistem ini kini masih digunakan di Bali
dan masa Indonesia-Hindu, mirip dengan cara susunan
tembok bata bangunan di Majapahit. Babad Cirebon
menyebutkan bahwa diantara tukang-tukang terdapat
tukang asal Majapahit, serta pimpinannya yang
bernama Raden Sepat berasal dari Majapahit pula,
kemudian ke Demak lalu akhirnya ke Cirebon
(Tjandrasasmita, 1976:8). Indikasi dari unsur kekunaan
Universitas Indonesia
Tinjauan arkeologis..., Muhammad Al Mujabuddawat, FIB UI, 2013
8
yang telah diuraikan tersebut dengan jelas
menunjukkan bahwa tembok keliling kompleks situs
Ki Buyut Trusmi termasuk ke dalam kategori
bangunan kuna.
Pada bagian sisi barat kompleks situs terdapat gerbang
masuk situs, yaitu gerbang kori agung (a). Beberapa
situs arkeologi Islam dan situs kabuyutan yang
dikeramatkan memiliki gerbang kori agung yang
memiliki ciri bentuk serupa. Gerbang kori agung
menurut Soekmono (1986), adalah gerbang dalam
khasanah kebudayaan Islam di Indonesia pada zaman
madya dengan ciri-ciri fisik memiliki atap, berdaun
pintu, serta ukurannya pendek sehingga orang harus
menunduk untuk melewatinya. Maka berdasarkan
indikasi-indikasi tersebut, jelas menunjukkan bahwa
gerbang kori agung (a) termasuk ke dalam kategori
bagunan kuna. Tepat di hadapan daun pintu gerbang
kori agung (a) terdapat padasan (a) dan (b). Indikator
kekunaan yang dapat ditemukan pada padasan (a) dan
(b) yaitu, indikasi dari teknologi, konteks fungsi, dan
makna simbolis. Padasan (a) dan (b) dari segi
teknologi, terbuat dari bahan tembikar, yaitu tanah liat
yang dibakar, lalu dicat merah. Hal tersebut serupa
dengan padasan-padasan yang ditemukan di
bangunan-bangunan islam kuna di Cirebon, contohnya
padasan di bangunan Astana Gunung Jati. Lalu cat
merah merupakan ciri umum warna yang dipakai di
bangunan-bangunan dan masjid kuna di Cirebon.
Berdasarkan konteks fungsi dan makna simbolik
padasan (a) dan (b) yang berfungsi sebagai sarana
bersuci sebelum memasuki kompleks situs, fungsi
simbolik tersebut merupakan ciri umum yang
ditampakkan oleh padasan yang terdapat pada
bangunan-bangunan islam kuna di Jawa. Berdasarkan
indikator-indikator yang telah diuraikan, maka padasan
(a) dan (b) masuk ke dalam kategori benda kuna.
Setelah melewati gerbang kori agung (a) maka akan
dihadapkan pada kuta hijab (a). Indikasi kekunaan
yang ditemukan pada kuta hijab (a) dapat dilihat pada
materi penyusunnya. Kuta hijab (a) tersusun atas bata
yang berukuran sama dengan bata penyusun tembok
keliling. Kuta hijab (a) tersusun atas bata yang disusun
dengan kuta kosod dan dicat merah sesuai dengan
warna materi fitur kuna yang banyak dijumpai di situs
arkeologi lainnya di Cirebon. Berdasarkan indikasiindikasi tersebut, maka kuta hijab (a) termasuk ke
dalam kategori bangunan kuna. Pada bagian utara kuta
hijab (a) terdapat bangunan bale pakuncen dan
paseban. Indikasi bentuk kekunaan dari bangunan bale
pakuncen dan bale paseban ini dapat ditemukan pada
bentuk pondasi masif dan pejal setinggi sekitar 25 cm
yang terdapat pada bagian dalam bangunan bale
pakuncen yang menopang 4 buah tiang kayu di bagian
dalam. Atap bangunan bale pakuncen dan paseban ini
berbentuk tajuk dan tersusun dari welit, atau alangalang. Bangunan paseban juga banyak ditemukan pada
beberapa masjid kuna di Cirebon, juga terdapat di
masjid agung Demak. Hingga mungkin bangunan
paseban bisa menjadi salah satu dari kelengkapan
bangunan masjid kuna yang memiliki Juru Kunci yang
mengurusnya. Ciri-ciri tersebut menjadi indikasi
bentuk kekunaan dari bangunan bale pakuncen dan
bale paseban ini, didukung oleh denah sebaran
halaman barat situs tahun 1898 yang ditunjukkan oleh
gambar 2, bangunan bale pakuncen dan paseban ini
tampak pada denah di gambar tersebut. Namun pada
denah halaman barat situs di gambar 2 tersebut, tampak
bangunan bale paseban sebelah timur bukan berupa
bangunan beratap. Mungkin penambahan atap pada
bangunan bale paseban sebelah timur baru dibangun
kemudian. Walau begitu, berdasarkan indikasi-indikasi
yang telah diuraikan, maka bangunan bale pakuncen
dan bale paseban ini secara umum merupakan
bangunan kuna, dengan beberapa renovasi yang telah
berjalan.
Sebelah selatan kuta hijab (a) terdapat bangunan
pendopo. Bangunan pendopo merupakan bangunan
yang dapat dijumpai di berbagai situs arkeologi Islam
di pulau Jawa pada umumnya. Bangunan pendopo bisa
disebut sebagai bagian dari bagian arsitektur di dalam
kompleks arkeologi Islam. Pada denah sebaran
halaman barat situs tahun 1898 seperti yang
ditunjukkan pada gambar 2, maka tampak sebuah
bagunan pendopo di dalam area situs Ki Buyut Trusmi.
Berdasarkan
indikasi-indikasi
tersebut,
maka
disimpulkan bahwa dari segi keberadaannya, bangunan
pendopo ini mendukung alur susunan fungsi di dalam
situs Ki Buyut Trusmi ini dan tergolong ke dalam
bangunan kuna. Pada bagian sisi timur dari bangunan
pendopo berhadapan langsung bangunan tempat
wudhu. Pada gambar sebaran halaman barat situs tahun
1898 yang ditunjukkan oleh gambar 2 memperlihatkan
adanya bangunan tanpa atap di sebelah utara masjid
yang diindikasikan sebagai keberadaan bangunan ini.
Mungkin bangunan tersebut dahulu merupakan
bangunan yang memagari sumur yang sekarang berada
di dalam bangunan ini. Kalau ditilik dari segi
fungsional bangunan ini yang sekarang berfungsi
sebagai tempat wudhu, maka fungsi tersebut
merupakan fungsi baru-baru ini karena tempat wudhu
yang sebenarnya terletak di bagian timur, yaitu berupa
pekulahan, di bagian tenggara pawestren, dan utara
masjid yang berupa padasan. Hal tersebut tampak dari
aliran air wudhu di dalam bangunan ini merupakan
aliran air yang berasal dari kran air yang menyambung
pada pipa air, sedangkan sumur yang terdapat di dalam
bangunan ini sudah tidak lagi berfungsi. Materi
penyusun bangunan ini adalah materi baru, tampak
pada bata yang menyusun bangunan ini. Maka jelas
secara keseluruhan bangunan tempat berwudhu ini
merupakan bangunan baru yang didirikan karena
tempat wudhu yang sebelumnya digunakan, yaitu
pekulahan dan guci padasan sudah jarang berfungsi
Universitas Indonesia
Tinjauan arkeologis..., Muhammad Al Mujabuddawat, FIB UI, 2013
9
lagi sebagai tempat wudhu. Maka bangunan tempat
wudhu yang berdiri sekarang ini merupakan bangunan
yang dibangun dengan tujuan memfasilitasi
pengunjung yang semakin ramai dengan fasilitas
berwudhu yang semakin baik. Berdasarkan indikasiindikasi yang telah diuraikan, maka bangunan tempat
berwudhu ini termasuk ke dalam kategori bangunan
baru.
Indikator kekunaan yang dapat ditemukan pada
padasan air wudhu (c) dan (d) secara umum hampir
sama dengan indikator kekunaan pada padasan (a) dan
(b). Padasan air wudhu ini terbuat dari tanah liat yang
dibakar dan sama-sama dicat merah, namun kondisi
pada kedua padasan air wudhu ini tampak hampir
seluruhnya tertutup lumut terutama yang tampak pada
kondisi padasan air wudhu (d) yang bahkan motif
hiasnya nyaris sudah tidak nampak lagi. Kedua
padasan air wudhu ini memiliki penutup. Seperti yang
telah ditulis sebelumnya, bahwa tempat air wudhu
merupakan elemen penting dari bangunan masjid.
Berdasarkan indikator yang telah diuraikan, maka
kedua padasan air wudhu ini termasuk ke dalam benda
kuna. Pada bagian sisi selatan ruang barat, terdapat
bangunan pewadonan yang berbatasan langsung
dengan sisi selatan tembok keliling kompleks situs.
Untuk menemukan indikasi bentuk kekunaannya, maka
salah satunya dapat dilihat dari materi penyusunnya.
Dinding pada setiap sisi-sisi bangunan pewadonan ini
tersusun dari bata yang dicat merah, namun tidak
disusun secara kuta kosod. Bata-bata tersebut tersusun
dengan spasi, walau spasi tersebut tampak bukan
berasal dari semen, melainkan tanah liat dan pasir dan
jarak spasi antar bata cukup rapat. Apabila melihat
kembali gambar denah sebaran halaman barat situs
tahun 1898 yang ditunjukkan oleh gambar 2, maka
tampak jelas bahwa bangunan pewadonan ini tidak ada
dalam bagian denah tersebut. Maka, bangunan
pewadonan ini bukan bangunan asli yang berdiri pada
awal-awal masa kompleks situs Ki Buyut Trusmi
berdiri. Dilihat dari bentuk bangunan dan materi
penyusunnya, gaya dan teknologi bangunan ini tidak
begitu kekinian, karena susunan bata yang direkatkan
masih menggunakan tanah liat dan pasir, bangunan ini
pun tidak menggunakan rangka bangunan, dan susunan
atapnya menggunakan rangka dari kayu dengan bahan
atap berasal dari welit. Namun, secara keseluruhan
berdasarkan indikasi-indikasi yang telah diuraikan,
bangunan ini termasuk ke dalam bangunan baru.
Pada sisi timur bangunan paseban berbatasan langsung
dengan tembok keliling pemakaman kepundungan.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, tembok
pembatas merupakan ciri khas dari kompleks bangunan
arkeologi Islam. Indikasi kekunaan juga dapat dilihat
dari segi materi penyusunnya. Seperti yang
ditampakkan oleh bangunan lainnya di dalam area
kompleks situs Ki Buyut Trusmi, yaitu bata yang
disusun dengan cara kuta kosod dan dicat merah.
Warna merah merupakan ciri khas dari tinggalan
arsitektur Islam kuna di Cirebon. Berdasarkan denah
sebaran halaman barat situs tahun 1898, tampak
keberadaan area makam kepundungan seperti yang
ditunjukkan pada gambar 2, hal itu menunjukkan
bahwa gerbang lawang kepundungan ini menyertai
keberadaan
makam
yang
dikeramatkan
ini.
Berdasarkan indikasi-indikasi yang telah diuraikan,
maka lawang kepundungan ini termasuk ke dalam
kategori bangunan kuna. Tepat di depan lawang
kepundungan terdapat padasan (c) dan (d). Indikator
kekunaan yang dapat ditemukan dari kedua padasan
ini sama seperti padasan (a) dan (b) yang telah
diuraikan sebelumnya. Secara teknologi, proses
pembuatan padasan (c) dan (d) dengan padasan (a)
dan (b) sama, terbuat dari tanah liat yang dibakar
kemudian dicat merah. Walau secara penampilan
bentuk antara padasan (c) dan (d) dengan padasan (a)
dan (b), namun dari segi indikasi fungsi dan makna
simbolik keberadaan padasan (c) dan (d) sama dengan
padasan (a) dan (b), yaitu sebagai tempat menampung
air yang digunakan untuk bersuci sebelum memasuki
gerbang dan area atau ruang tertentu, yaitu gerbang dan
ruang makam kepundungan. Berdasarkan indikator
yang telah diuraikan, maka padasan (c) dan (d)
termasuk ke dalam kategori benda kuna.
Sebelah selatan lawang kepundungan berhadapan
dengan bangunan ruang utama masjid. Berdasarkan
morfologi bangunan ruang utama masjid ini, maka
menunjukkan ciri-ciri dari morfologi masjid kuna,
yaitu berdenah persegi, berdiri di atas pondasi masif
antara 25 cm sampai 2 meter (Tawalinuddin,
2010:298), memiliki ruang mihrab yang menjorok di
sisi sebelah barat, konstrusksi atap ditopang oleh tiangtiang, atau saka guru, beratap tumpang, dan memiliki
mustoko pada kemuncaknya. Indikasi tersebut
didukung oleh gambar denah sebaran halaman barat
situs tahun 1898 yang ditunjukkan oleh gambar 2,
dengan jelas keberadaan bangunan ruang utama masjid
ini. Walaupun sebagian besar ruang utama masjid ini
telah mengalami renovasi, namun secara keseluruhan
bangunan utama masjid ini masih memiliki indikasiindikasi kekunaannya yang tampak pada gaya, bentuk
bangunan, dan keletakkan bangunannya yang tidak
berubah. Jadi bangunan utama masjid ini termasuk ke
dalam bangunan kuna. Pada bagian sisi barat ruang
utama masjid terdapat mihrab masjid. Mihrab tersebut
terbagi 2 yang disekat oleh tembok. Pada mihrab
bagian utara, terdapat mimbar masjid. Secara umum,
bentuk dasar dan dekorasi motif ukiran dari mimbar ini
persis seperti mimbar kuna yang terdapat di masjid
Sendang Duwur dan masjid Agung Cirebon. Jika
dilihat dari tampilan luar saat ini, mimbar ini telah
dicat atau dipernis sehingga tampak baru, namun
bentuk dan ciri kekunaan dari mimbar ini masih
nampak. Dari indikator yang telah diuraikan tersebut,
Universitas Indonesia
Tinjauan arkeologis..., Muhammad Al Mujabuddawat, FIB UI, 2013
10
maka mimbar masjid ini masuk ke dalam kategori
benda kuna.
Pada bagian sisi selatan ruang utama masjid, terdapat
bangunan pawestren yang menempel langsung dengan
bangunan ruang utama masjid. Indikasi kekunaan
ditemukan berdasarkan keletakkan pawestren ini
sendiri. Berdasarkan konsepnya, pada sejumlah masjid
tua di Jawa, serambi kiri (selatan) dibuat agak tertutup
untuk sholat kaum wanita. Ruangan tersebut disebut
pawestren, pangwadonan, atau pawadonan dan
menyambung dengan bangunan masjid dengan ukuran
pintu yang pendek. Tetapi adakalanya tempat sholat
bagi kaum wanita dibangun terpisah dengan bangunan
masjid (Tawalinuddin, 2010:299). Maka berdasarkan
definisi dari pawestren, kondisi pawestren ini sesuai
dengan definisi tersebut. Maka bangunan pawestren ini
termasuk ke dalam kategori bangunan kuna.
Gambar 3. Halaman timur tahun 1898 (atas) dan saat ini
(bawah)
Setelah melewati halaman barat dan memasuki
halaman timur situs, maka akan langsung dihadapkan
oleh bangunan ruang serambi masjid. Masjid-masjid
tua di Indonesia pada umumya hanya bangunan inti
tanpa serambi. Serambi baru ditambahkan kemudian
(Tawalinuddin, 2010:296) sama halnya dengan masjid
ini, bangunan serambi yang terletak di sebelah timur
bangunan utama merupakan bangunan baru, sebagai
upaya perluasan ruang masjid. Pada bagian sudut timur
laut bangunan serambi masjid terdapat gerbang kori
agung (c). Indikasi kekunaan yang ditemukan pada
gerbang kori agung (c) sama dengan yang ditemukan
pada gerbang kori agung (a) dan (b). Dari segi makna
simbolik gaya arsitektur arkeologi Islam, seperti halnya
dijumpai pada beberapa situs serupa, bahwa ukuran
gerbang yamg pendek bertujuan agar orang yang
melewati gerbang ini harus menunduk sebagai pertanda
hormat (Tjandrasasmita, 1975:16). Berdasarkan
indikasi-indikasi tersebut, jelas menunjukkan bahwa
gerbang kori agung (c) termasuk ke dalam kategori
bagunan kuna.
Tepat di hadapan gerbang kori agung (c) terdapat
padasan (e) dan (f). Indikator kekunaan yang dapat
ditemukan pada padasan (e) dan (f) serupa dengan
yang ditemukan pada padasan (a), (b), (c), dan (d),
walaupun bentuk kedua padasan ini sangat berbeda
dibanding keempat padasan yang telah diuraikan
sebelumnya. Kedua padasan ini terbuat dari tanah liat
yang dibakar, namun tidak begitu jelas apakah kedua
padasan ini sama-sama dicat merah atau tidak, karena
permukaan tubuh kedua padasan ini sudah ditutupi
lumut dan cenderung berwarna gelap kehitaman.
Berdasarkan indikasi fungsi makna simbolik yang
sama dengan padasan lainnya, maka padasan (e) dan
(f) ini termasuk ke dalam kategori benda kuna.
Pada bagian sisi timur bangunan serambi masjid
terdapat bangunan witana. Jika melihat pada gaya
bentuk, teknologi, dan materi penyusunnya, maka tidak
ditemukan adanya indikasi gaya bentuk bangunan baru
pada bangunan witana ini. Bangunan yang disebut
witana banyak pula dijumpai di beberapa situs di
Cirebon, salah satunya adalah bangunan witana yang
berada tepat di belakang bangsal prabayaksa Kraton
Kanoman. Apabila kembali melihat gambar sebaran
halaman timur tahun 1898 yang ditunjukkan oleh
gambar 3, maka akan tampak dengan jelas keberadaan
bangunan witana ini tepat di sebelah barat pekulahan,
persis sama dengan keletakkannya saat ini.
Berdasarkan indikasi-indikasi tersebut, maka bangunan
witana ini termasuk ke dalam kategori bangunan kuna.
Tepat berhimpitan di sisi timur bangunan witana
terdapat bangunan pekulahan. Untuk menemukan
indikasi kekunaannya, dapat diperhatikan dari makna
dan fungsi keberadaan pekulahan ini. Kolam (Banten:
kolem; Surakarta: blumbang) yang berisi air untuk
berwudhu pada umumnya terpisah dengan bangunan
masjid. Tempat berwudhu seringkali berupa bak air
yang disemen disebut kulah. Kulah-kulah ini kadangkadang dilindungi oleh bangunan dari bambu atau batu
dan ditempatkan di samping masjid (Tawalinuddin,
2010:286). Kulah dan tempat wudhu menjadi elemen
penting pada setiap bangunan masjid di Nusantara pada
umumnya. Apabila mengacu pada definisi kulah
tersebut, pekulahan ini termasuk ke dalam kategori
bangunan kuna.
Pada sisi sebelah utara pekulahan terdapat bangunan
kuta hijab (b). Indikasi kekunaan yang ditemukan pada
kuta hijab (b) dapat dilihat pada materi penyusunnya.
Kuta hijab (b) tersusun atas bata yang berukuran sama
dengan bata penyusun tembok keliling. Kuta hijab (b)
tersusun atas bata yang disusun dengan kuta kosod dan
dicat merah sesuai dengan warna materi fitur kuna
yang banyak dijumpai di situs arkeologi lainnya di
Cirebon. Berdasarkan indikasi-indikasi tersebut, maka
kuta hijab (b) termasuk ke dalam kategori bangunan
kuna. Tepat sejajar di sisi sebelah timur kuta hijab (b)
terdapat bangunan gerbang kori agung (b). Indikasi
Universitas Indonesia
Tinjauan arkeologis..., Muhammad Al Mujabuddawat, FIB UI, 2013
11
kekunaan yang ditemukan pada gerbang kori agung (b)
sama dengan yang ditemukan pada gerbang kori agung
(a). Karena gerbang kori agung (a) memiliki bentuk
yang serupa dengan gapura kori agung (b) ini. Dari
segi makna simbolik gaya arsitektur arkeologi Islam,
seperti halnya dijumpai pada beberapa situs serupa,
bahwa ukuran gerbang yamg pendek bertujuan agar
orang yang melewati gerbang ini harus menunduk
sebagai pertanda hormat (Tjandrasasmita, 1975:16).
Susunan bata pada kedua sisi gerbang dicat, tampak
pada warna merah yang lebih tajam dibandingkan pada
susunan bata tembok keliling. Warna merah itu adalah
ciri khas dari warna tinggalan klasik arkeologi Islam
yang banyak dijumpai pada tinggalan artefak serupa di
Cirebon. Maka berdasarkan indikasi-indikasi tersebut,
jelas menunjukkan bahwa gerbang kori agung (b)
termasuk ke dalam kategori bagunan kuna.
Gambar 4. Halaman tengah tahun 1898 (atas) dan saat
ini (bawah)
Begitu memasuki halaman tengah situs, terdapat
bangunan jinem wetan dan jinem kulon di sebelah
timur dan barat halaman tengah situs. Bangunan jinem
wetan dan jinem kulon ini hampir serupa dengan
bangunan witana. Lantai bangunan ini lebih tinggi dari
permukaan tanah sekitar 15 cm, menggunakan rangka
dan konstruksi atap dari kayu dan atapnya dari welit
yang membentuk tajuk namun tidak lancip. Bentuk
baru dari bangunan jinem wetan dan jinem kulon ini
tampak pada beton dan lantai tegel keramik. Bangunan
jinem banyak dijumpai di situs-situs kabuyutan di
Cirebon, dan menjadi salah satu ciri bangunan dalam
area kompleks situs Islam di Cirebon. Indikasi
kekunaan dari bangunan jinem wetan didukung oleh
gambar denah sebaran halaman tengah Ki Buyut
Trusmi tahun 1898 yang ditunjukkan oleh gambar 4,
pada gambar denah tersebut, maka tampak keberadaan
bangunan jinem wetan ini. Sedangkan keberadaan
bangunan jinem kulon pada gambar denah sebaran
halaman tengah tersebut tidaka ada. Berdasarkan
indikasi-indikasi yang ada, walaupun tampak bangunan
jinem wetan telah mengalami perubahan dari materi
penyusunnya, namun masih mempertahankan bentuk
dan ciri kekunaannya, serta keletakkan bangunan jinem
wetan ini yang tidak berubah, maka dikategorikan
sebagai bangunan kuna. Lain halnya dengan bangunan
jinem kulon, mungkin bangunan jinem kulon dibangun
dalam upaya perluasan atau penambahan bangunan
jinem di dalam area kompleks situs Ki Buyut Trusmi
sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah peziarah
yang berziarah di kompleks situs ini. Walaupun
bentuk, dan gaya bangunan jinem kulon ini
menampakkan kekunaannya, namun berdasarkan
indikasi-indikasi yang ada, bangunan jinem kulon ini
adalah sebuah bangunan yang dibangun identik dengan
bangunan jinem wetan, dan dibangun lebih baru.
Sehingga bangunan jinem kulon ini termasuk ke dalam
kategori bangunan baru.
Setelah mengikuti alur koridor terus ke arah utara,
maka akan dihadapkan pada bangunan bale pesalinan.
Indikasi kekunaan yang ditemukan pada bangunan bale
pesalinan tampak pada materi penyusun bangunannya.
Bangunan bale pesalinan ini disusun dari bata merah
dengan cara kuta kosod, serta materi-materi penyusun
lainnya dari kayu. Bangunan bale pesalinan ini berdiri
tanpa rangka bangunan, langsung berdiri pada susunan
bata. Kostruksi atap terbuat dari kayu membentuk tajuk
dan tersusun dari sirap. Morfologi bangunan bale
pesalinan ini sama sekali tidak menampakkan gaya
baru. Ukuran pintu 140 cm membuat orang yang
melewatinya harus menunduk, serupa dengan makna
simbolik yang dijumpai pada bangunan-bangunan
Islam kuna lainnya. Secara keseluruhan, tampak pada
materi penyusun dan morfologinya, bangunan bale
pesalinan ini masih menampakkan keasliannya, hal itu
didukung oleh gambar denah sebaran halaman tengah
situs tahun 1898 yang ditunjukkan oleh gambar 4, jelas
menampakkan keberadaan bangunan bale pesalinan
ini. Berdasarkan indikasi-indikasi tersebut, maka
bangunan bale pesalinan ini termasuk ke dalam
kategori bangunan kuna. Tepat menempel dengan sisi
sebelah barat bangunan bale pesalinan, adalah pagar
tembok pembatas watu pendadaran. Indikasi kekunaan
pada watu pendadaran ini tidak dapat ditilik dari segi
bentuk batunya. Batu-batu yang tersusun menjadi watu
pendadaran hanyalah batu kerakal bulat biasa, tanpa
ada unsur perubahan bentuk yang dilakukan oleh
manusia. Namun bentuk susunan dan jumlahnya
mendukung makna simboliknya yang melambangkan
17 roka’at sholat fardhu. Watu pendadaran dibatasi
dan dipagari oleh tembok bata mengindikasikan bahwa
watu pendadaran ini merupakan bagian penting di
dalam aspek keruangan kompleks situs ini yang berarti
harus dijaga keberadaannya. Indikator tersebut
menandakan watu pendadaran bukanlah serta-merta
tersusun begitu saja, namun menjadi tinggalan penting
yang sangat dijaga. Indikator tersebut ditunjukkan
seperti pada gambar 5 yang merupakan potongan dari
denah batas paal-paal situs Ki Buyut Trusmi tahun
1898 yang terdapat tulisan yang menerangkan
keletakkan watu pendadaran. Berdasarkan indikator-
Universitas Indonesia
Tinjauan arkeologis..., Muhammad Al Mujabuddawat, FIB UI, 2013
12
indikator kekunaan yang telah diuraikan, maka watu
pendadaran ini termasuk ke dalam kategori benda
kuna.
Gambar 5. Potongan gambar yang
menerangkan keletakkan watu pendadaran tahun1898
Sumber: Abdul Ghoffir Muhaimin, 1995
Pada sisi sebelah timur bangunan bale pesalinan
terdapat bangunan ruang peziarah yang memiliki
cungkub yang menempel dengan bale pesalinan.
Indikasi kekunaan pada bangunan ini ditampakkan oleh
rangka dan konstruksi atap dari kayu membentuk tajuk,
serta beratapkan sirap. Bentuk, dan gaya bangunan ini
tidak memperlihatkan bentuk bangunan baru, namun
materi penyusun bangunan ini menggunakan pondasi
beton dan lantai keramik yang posisinya tidak
ditinggikan dari permukaan tanah sebagaimana seperti
kondisi pada bangunan-bangunan lainnya di dalam area
kompleks situs Ki Buyut Trusmi ini. Pondasi beton dan
lantai keramik merupakan materi bangunan baru.
Apabila kembali melihat pada gambar denah sebaran
halaman tengah situs Ki Buyut Trusmi tahun 1898
yang ditunjukkan oleh gambar 4, maka tidak tampak
keberadaan alur koridor yang menghubungkan gerbang
kori agung (c), ruang tunggu peziarah, hingga gerbang
kori agung (d). sama halnya dengan beberapa
bangunan baru yang dibangun di dalam area kompleks
situs Ki Buyut Trusmi, alur koridor yang
menghubungkan gerbang kori agung (c), ruang tunggu
peziarah, hingga gerbang kori agung (d) merupakan
bangunan yang dibangun untuk memfasilitasi para
peziarah yang jumlahnya semakin meningkat. Maka
fungsi alur koridor dan ruang tunggu peziarah adalah
sebagai atap yang menaungi peziarah yang berjalan
dari gerbang kori agung (c) sampai gerbang kori agung
(d) agar tidak terkena hujan atau panas matahari.
Dengan jelas bangunan ruang peziarah ini merupakan
bangunan yang dibangun kemudian. Berdasarkan
indikasi-indikasi yang telah diuraikan tersebut, maka
bangunan ruang tunggu peziarah ini termasuk ke dalam
kategori bangunan baru.
Tepat menempel dengan cungkub ruang peziarah
terdapat bangunan gerbang kori agung (d). Indikasi
kekunaan yang ditemukan pada gerbang kori agung (d)
sama dengan yang ditemukan pada gerbang kori agung
(a), (b), dan (c). Beberapa situs arkeologi Islam dan
situs kabuyutan yang dikeramatkan memiliki gerbang
kori agung yang memiliki ciri morfologi serupa.
Gerbang kori agung menurut Soekmono (1986), adalah
gerbang dalam khasanah kebudayaan Islam di
Indonesia pada zaman madya dengan ciri-ciri fisik
memiliki atap, berdaun pintu, serta ukurannya pendek
sehingga orang harus menunduk untuk melewatinya.
Maka berdasarkan indikasi-indikasi tersebut, jelas
menunjukkan bahwa gerbang kori agung (d) termasuk
ke dalam kategori bagunan kuna. Tepat dihadapan
gerbang kori agung (d) terdapat padasan (g) dan (h).
Indikasi kekunaan yang dapat ditemukan pada padasan
(g) dan (h) sama dengan yang ditemukan pada padasan
(a), (b), (c), (d), (e), dan (f) yang telah diuraikan
sebelumnya. Padasan (g) dan (h) sama-sama terbuat
dari tanah liat yang dibakar kemudian dicat merah,
warna yang menjadi ciri khas artefak kuna di Cirebon.
Fungsi dan makna simbolik pada kedua padasan ini
adalah sebagai tempat menampung air yang digunakan
untuk bersuci sebelum memasuki gerbang kori agung
(d) menuju ruang makam Buyut Trusmi yang
merupakan ruang paling keramat di kompleks situs ini.
Berdasarkan indikator tersebut, maka padasan (g) dan
(h) termasuk ke dalam kategori benda kuna.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan tinjauan yang mencakup aspek
keletakkan, bentuk, fungsi dan makna simbolik dari
setiap objek benda dan bangunan yang terdapat di
dalam aspek keruangan kompleks situs ini, maka dapat
ditemukan kesimpulan dari keterkaitan fungsi yang
terhubung dengan objek-objek tersebut. Keterkaitan
antar objek benda dan bangunan membentuk alur dari
tata letak objek-objek tersebut di dalam area keruangan
kompleks situs Ki Buyut Trusmi. Alur tata letak situs
pada sub bab ini maksudnya adalah suatu alur
pencapaian yang harus ditempuh pengunjung menuju
lokasi yang dituju. Berdasarkan keletakkan, fungsi, dan
makna simbolik yang dimiliki oleh tiap-tiap objek
benda dan bangunan telah membentuk suatu alur tak
tampak dalam area keruangan kompleks situs Ki Buyut
Trusmi. Secara garis besar, alur tersebut tergambar
pada gambar berikut ini.
Gambar 5. Alur ruang situs
Universitas Indonesia
Tinjauan arkeologis..., Muhammad Al Mujabuddawat, FIB UI, 2013
13
Situs Ki Buyut Trusmi diyakini oleh warga sekitar
sebagai peninggalan leluhur. Kompleks situs Ki Buyut
Trusmi adalah sebuah kompleks yang terdiri dari
sejumlah benda dan bangunan dengan memiliki
beragam fungsi masing-masing. Arus tamu dan
peziarah setiap harinya tidak pernah berhenti. Situs Ki
Buyut Trusmi diyakini warga masih memberikan
karomah. Selain hal-hal yang berhubungan dengan
unsur karomah situs Ki Buyut Trusmi, sebenarnya
secara arsitektural merupakan situs yang menarik.
Penataan bentuk visualnya yang khas tampak menjadi
daya tarik yang unik. Secara seni rupa, tampak betapa
ukiran pada daun pintu, konstruksi bangunan, dan
keseimbangan,
serta
keharmonisan
visualnya
menyimpan pesona tersendiri. Tata letak denah
bangunan-bangunan di dalam kompleks situs Ki Buyut
Trusmi oleh tembok keliling, tembok penyekat antar
wilayah bangunan serta dilengkapi dengan gapura
candi bentar dan kori agung. Susunan seperti ini
menjadikan komposisi yang menarik dan serupa
dengan kompleks bangunan pura Hindu di Bali.
Apabila dilihat dari segi denah tata letak bangunanbangunan, maka akan tampak seolah-olah komposisi
tata letaknya mengikuti aturan-aturan jarak seperti pada
bentuk arsitektur Hindu.
Pada kompleks situs Ki Buyut Trusmi, pokok-pokok
pembentukan komposisi dalam teknis keletakkan
bangunan-bangunan adalah adanya tembok-tembok
penyekat, keberadaan bangunan, dan keberadaan
tanaman halaman. Tembok penyekat memberikan
kesan sebagai pemisah secara tegas antar ruang.
Sedangkan keberadaan bangunan seperti masjid,
paseban, bale pakuncen, pewadonan, dan lainnya
merupakan bangunan yang dipisah menurut kesesuaian
komposisi alur dan fungsi bangunan. Tujuan tembok
penyekat adalah memberikan kesan pemisahan fungsi
dan alur yang jelas menuju tempat tujuan dalam
kompleks.
Kompleks situs Ki Buyut Trusmi sebagai
salah satu situs makam kuna di Cirebon merupakan
situs makam terpenting kedua di Cirebon (Muhaimin,
1995:185). Hal itu disebabkan oleh keberadaan makam
dua tokoh penting, yaitu Ki Gede Trusmi dan Pangeran
Trusmi serta luasan ukuran situs, banyaknya peziarah,
dan ritual keagamaan di situs ini. Dari segi keberadaan
kompleks itu sendiri, situs ini bisa dikatakan istimewa,
karena dalam ruang kompleks situs Ki Buyut Trusmi
terdapat komponen-komponen kepurbakalaan berupa
komponen benda dan bangunan. Keberadaan
komponen-komponen kepurbakalaan tersebut saling
terorganisir dan terkait satu sama lain dari segi fungsi,
keletakan, dan bentuk dalam himpunan lingkup ruang
kompleks situs. Dibandingkan dengan 112 situs
kabuyutan yang terdapat di Kabupaten Cirebon, dari
segi keberadaan komponen kepurbakalaan, maka situs
Ki Buyut Trusmi merupakan situs yang paling lengkap.
Maka, penelitian terhadap kompleks situs ini
diharapkan dapat mewakili keberadaan situs-situs
kabuyutan lainnya.
Pada penelitian ini belum sepenuhnya diteliti, jadi
sangat terbuka adanya penelitian lanjutan terhadap
kompleks situs Ki Buyut Trusmi ini. Terutama
halaman utara kompleks situs yang sama sekali belum
tersentuh peneliti dan pada kesempatan penelitian kali
ini belum bisa meneliti hingga ke dalam area halaman
utara kompleks situs Ki Buyut Trusmi tersebut. Secara
umum, diperlukan penelitian terhadap situs-situs
kabuyutan lainnya, karena sejauh ini situs-situs
kabuyutan belum menjadi sebuah minat yang menarik
banyak perhatian peneliti. Sehingga penelitian terhadap
situs kabuyutan sangat sulit dijumpai, sedangkan di
wilayah Kabupaten Cirebon saja terdapat 112 situs
kabuyutan. Diharapkan dengan adanya penelitian
terhadap situs-situs kabuyutan, maka dapat menambah
kekayaan inventaris bentuk-bentuk kepurbakalaan
Islam, karena situs-situs kabuyutan khususnya di
wilayah Kabupaten Cirebon mewakili sejarah
perjalanan dan perkembangan Islam di wilayah ini.
Daftar Acuan
Abdi Nugroho, Yogi. (2012). Mustaka pada Bangunan
Islam Kuna di Cirebon. Depok: Skripsi FIB-UI.
Adeng, et al. (1998). Kota Dagang Cirebon sebagai
Bandar Jalur Sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI.
Anshari, H., E., S. (1987). Agama dan Kebudayaan.
Bandung: Pustaka.
Atja. (1986). Carita Purwaka Caruban nagari: karya
sastra sebagai sumber pengetahuan sejarah. Bandung:
Pusat Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Atmadi, et al. (1987). A Study of Architectural
Syncretism. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Bochari, Sanggupri, et al. (2001). Sejarah Kerajaan
Tradisional Cirebon. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Brotowidjoyo, D., Mukayat. (2002). Penulisan
Karangan Ilmiah. Jakarta: Akademika Pressindo.
Casta, & Taruna. (2007). Batik Cirebon: Sebuah
Pengantar Apresiasi, Motif, dan Makna Simboliknya.
Cirebon: Badan Komunikasi Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Cirebon.
Universitas Indonesia
Tinjauan arkeologis..., Muhammad Al Mujabuddawat, FIB UI, 2013
14
Deetz, James. (1967). Invitation to Archaeology.
Garden City, NY: Natural History press.
De Graaf, H. J., Pigeaud, Th. (1974). Kerajaankerajaan Islam di Jawa. Jakarta: Pustaka Grafiti press.
Ekajati, E., S. (1978). Babad Cirebon, edisi Brandes :
tinjauan sastra dan sejarah. Bandung: Fakultas Sastra
Universitas Padjadjaran.
Fanani, Achmad. (2009). Arsitektur Masjid.
Yogyakarta: Bentang.
Sharer, Robert, J., & Wendy, Ashmore. (1987).
Archaeology Discovering Our Past. London: Mayfield
Publishing Company.
Snyder, C., James, & Catanese, J., Anthony. (1994).
Pengantar Arsitektur. Jakarta: Erlangga.
Soekatno, T., W. et al. (1981). Daftar Inventaris
Peninggalan Sejarah dan Purbakala
(benda
tak
bergerak) Jilid III. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI.
Haris, Tawalinuddin. (2010). Masjid-masjid di Dunia
Melayu Nusantara, Suhuf, Vol.3, No. 2 (hlm. 279-307).
Jakarta: Departemen Agama RI.
Subarna, Abay. (1984). Seni Rupa dan Arsitektur pada
Periode Pertama Islamisasi di Indonesia. Makalah
Seminar Nasional Hasil Penelitian Bagi Para Peneliti
Senior.
Heuken, S. J., A. (2003). Masjid-masjid Tua di
Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka.
Sulendraningrat, P., S. (1978). Sejarah Cirebon.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Muhaimin, A., G. (2006). The Islamic Traditions of
Cirebon: Ibadat and Adat Among Javanese Muslims.
Canberra: ANU E press.
Syafwandi, et al. (1993). Estetika dan Simbolisme
Beberapa Masjid Tradisional di Banten Jawa Barat:
Cilegon. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI.
Muliawan, Akhmad. (2008). Mengenal Lebih dekat
161 Situs di Kabupaten Cirebon. Cirebon: Badan
Komunikasi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Cirebon.
Poesponegoro, M., Djoened, & Notosusanto, Nugroho.
(1993). Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai
Pustaka.
Program Pelestarian Seni dan Budaya Kabupaten
Cirebon. (2002). Cerita Rakyat Asal-usul Desa di
Kabupaten Cirebon Bagian 1. Cirebon: Badan
Komunikasi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Cirebon.
__________. (2005). Risalah Hari Jadi kabupaten
Cirebon. Cirebon: Badan Komunikasi
Kebudayaan
dan Pariwisata Kabupaten Cirebon.
Proyek Penelitan Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai
Budaya. (1993). Keaneka Ragaman Bentuk Masjid di
Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI.
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. (1999). Metode
Penelitian Arkeologi. Jakarta.
Tjandrasasmita, Uka. (1975). Islamic Antiquities of
Sendang Duwur. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional.
_________________. (1976). Sepintas Mengenai
Peninggalan Kepurbakalaan Islam di Pesisir Utara
Jawa. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
_________________. (2009).
Nusantara. Jakarta: KPG.
Arkeologi
Islam
Proyek Penelitian Pengkajian dan Pembinaan Nilainilai Budaya. (1993). Keaneka Ragaman Bentuk
Masjid di Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Toekio, Soegeng, M. (1987). Mengenal Ragam Hias
Indonesia. Bandung: Angkasa.
Rochym, Abdul. (1983). Masjid dalam Karya
Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung: Angkasa.
Wildan, Dadan. (2003). Sunan Gunung Jati antara fiksi
dan fakta: pembumian Islam dengan pendekatan
struktural dan kultural. Bandung: Humaniora Utama
Press.
_____________. (1983). Sejarah Arsitektur Islam,
sebuah tinjauan. Bandung: Angkasa.
Saringendyanti, Etty. (1998). Penempatan Situs
Upacara Masa Hindu-Buda: Kajian Lingkungan Fisik
Kabuyutan di Jawa Barat. Depok: Tesis FS-UI.
Universitas Indonesia
Tinjauan arkeologis..., Muhammad Al Mujabuddawat, FIB UI, 2013
Download