ISLAM DALAM PUSARAN PLURALISME

advertisement
ISLAM DALAM PUSARAN PLURALISME-MULTIKULTURALISME
DAN SPIRIT ANTI-KEKERASAN
Zaky Ismail1
Abstract: This article want to discribe Islam views the pluralism and hardness
matter. If the adherent of religion do not understand as rightly and wisdom, the
pluralism of religion will appear or accumulate consequence, it is not only accumulate
inter be religion muslim, but also social conflict. This research is library research
which is to based on thiers viewing to the primar sources that to refers to Islam view
toward pluralism issue matter and resistant to be hate of hardness spirit by analysis
content. The data then will be interpreted with analysis method. The end, the result
of this research stated that the religion believer can be life contiguous or side by side
by appearing is to attitude tolerant. This is to effort and to build the synergy relation
between pluralism, multiculturalism, and Islam. So, it will need dialogue (discourse)
ideas of the modern religion to understanding or equally each other.
Key Words: Islamic, Pluralisme, Multikulturalisme, Spirit, Violence
Pendahuluan
Pluralisme keagamaan merupakan tantangan khusus yang dihadapi agama-agama
dewasa ini. Seperti halnya pengamatan Coward, setiap agama muncul dalam
lingkungan yang plural ditinjau dari sudut agama dan membentuk dirinya sebagai
tanggapan terhadap pluralisme tersebut. Jika pemeluk agama tidak memahami secara
benar dan arif, pluralisme agama akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa
konflik antar umat beragama, tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi bangsa. Pada
konteks ini, Harold Coward dalam sebuah paparannya mengatakan bahwa salah satu
hal yang mewarnai dunia saat ini adalah pluralisme keagamaan. Manusia hidup dalam
pluralisme dan merupakan bagian dari pluralisme itu sendiri, baik secara aktif
maupun secara pasif. Pluralisme merupakan kenyataan sejarah yang tidak bisa
diingkari keberadaanya.2
Pada aspek yang lain kita harus menyadari bahwa pluralisme tidak dapat dipahami
hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri
1 Dosen Studi Politik Islam Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya. Email;
[email protected]
2Harold Coward, Pluralisme dan Tantangan Agama-Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm.5.
dari berbagai suku dan agama, yang justeru hanya menggambarkan kesan fragmentasi,
bukan pluralisme. Akan tetapi pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati
keberagaman dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the
bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat
manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang
dihasilkannya.
Salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat modern yang demokratis adalah
terwujudnya masyarakat yang menghargai kemajemukan (pluralitas) masyarakat dan
bangsa serta mewujudkannya sebagai suatu keniscayaan. Kemajemukan ini
merupakan sunnatullah (hukum alam). Masyarakat yang majemuk ini tentu saja
memiliki budayadan aspirasi yang beraneka, tetapi mereka seharusnya memiliki
kedudukan yang sama, tidak ada superioritas antara satu suku, etnis atau kelompok
sosial dengan yang lainnya. Namun kadang-kadang perbedaan itu menimbulkan
konflik dan bahkan kekerasan di antara mereka. Maka sebagai upaya untuk mengatasi
persoalan ini dimunculkan konsep atau paham kemajemukan (pluralisme).
Pluralitas Sebagai Sunnatullah
Realitas yang kita lihat di dunia ini sangat majemuk, dan kemajemukan tersebut
tidak terbatas. Termasuk di dalamnya adalah agama, pluralisme agama merupakan
fakta dan kenyataan yang kita alami dan saksikan. Menolak pluralisme adalah
menolak kenyataan adanya perbedaan pandangan dan keyakinan dalam masyarakat.
Lalu, pluralisme dalam konteks ini dimaknai sebagai paham kemajemukan atau
paham yang berorientasi pada kemajemukan. Pluralisme beranggapan bahwa
kebenaran merupakan satu hal yang kolektif di antara semua agama, dan seluruh
agama bisa menjadi sumber keselamatan, kesempurnaan, dan keagungan bagi para
pemeluknya.
Interpretasi lain tentang pluralisme tersorot kepada dimensi sosial agama dan
kehidupan agama. Artinya, segenap penganut agama bisa hidup berdampingan secara
damai dalam sebuah masyarakat serta saling menjaga batas-batas dan hak masingmasing (The principles that these different groups can live together in peace in one society).
Kemudian, dalam mewujudkan konsep pluralisme tersebut, diperlukan adanya
toleransi. Meskipun hampir semua masyarakat yang berbudaya kini sudah mengakui
adanya kemajemukan sosial, namun dalam kenyataannya, permasalahan toleransi ini
masih sering muncul dalam suatu masyarakat, termasuk di Eropa Barat dan Amerika
Serikat. Persoalan yang muncul terutama berhubungan dengan ras atau agama.
Sejak awal manusia mengalami apa yang disebut sebagai pluralitas agama. Ini
disebabkan karena keberagaman wahyu Allah dan penerimaan serta ekspresi manusia
terhadap wahyu tersebut di dalam akar budaya mereka juga berbeda-beda. Paus
paulus II (belum lama ini telah meninggal dunia) bahkan perlu berkomentar dengan
mengatakan bahwa agama itu banyak dan bermacam-macam dan semuanya
merefleksikan keinginan manusia laki-laki ataupun perempuan di sepanjang abad
untuk masuk dalam perjumpaan dengan Tuhan yang Absolut (mutlak). Jadi,
fenomena pluralitas agama bukan hanya merupakan kondisi historis masa lampau,
tetapi merupakan realitas masa kini.
Di dalam al-Qur’an sebagai pedoman utama umat Islam, tidak melepaskan
perhatiannya terhadap paham pluralisme. Bahkan seperti yang dikatakan oleh
Muhammad Imarah
3
bahwa menurut kacamata “konsep Islam”, al-Qur’an
mensinyalir hal itu adalah “ciptaan Ilahi” serta sunnah “yang azali dan abadi” yang
telah ditetapkan oleh Allah bagi seluruh makhluk hidup. Maka, manusia tidak akan
pernah menjadi satu tipe tertentu saja, tetapi mereka akan terus menerus berbeda satu
sama lain, jika Allah menghendaki, tentu Dia akan menjadikan manusia menjadi satu
komunitas (umat) saja.4
Hakikat sikap al-Qur’an ketika pluralitas menjadi kemajemukan dalam kerangka
kesatuan adalah sikap yang melihatnya sebagai sunnah ilahiyah yang juga merupakan
fitrah (sifat natural) bagi manusia. Sehingga secara normatif orang akan mengatakan
bahwa keputusan Allah dalam hal ini adalah mengizinkan perbedaan-perbedaan
tersebut (Q.S. 10: 213), dan design Allah lebih untuk membimbing manusia dalam
pluralitas agamanya dengan mengirim kepada mereka rasul-rasul yang diberi wahyu.
Lihat dalam Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas, Perbedaan dan Kemajemukan dalam
Bingkai Persatuan, terj. Abdul Hayyie al-Kattanie, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm.32.
4 Dalam al-Qur’an misalnya, antara lain dikatakan “jika Tuhanmu menghendaki, tentu dia
akan menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali oleh
orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu, dan untuk itulah Allah menciptakan mereka…..” (Q.S.
Hud ayat 118-199)
3
Jadi, sekalipun manusia terbagi dalam komunitas-komunitas agama tetapi mereka
tetap ditinggalkan tanpa petunjuk.5
Dari eksplorasi singkat tentang dokrin al-Qur’an di atas, secara sederhana kita bisa
melihat beberapa aspek penting dari esensi perintah Allah untuk semua komunitas
agama, yaitu bahwa mereka harus berkompetisi satu sama lain untuk berlomba-lomba
dalam kebaikan. Masing-masing komunitas diperintahkan untuk berusaha dalam
kebaikan. Bekerja sama dengan yang lain dan hidup secara harmonis dengan mereka.
Jadi, nampak jelas bahwa di sinilah prinsip al-Qur’an tentang hubungan antar agama
(yang mengedeapnkan dialog), yang didasarkan pada pluralitas agama yang harmonis,
dan mendorong orang untuk selalu berbuat baik dan memberi rasa nyaman bagi
orang lain.
Pada aspek sosiologis, pada dasarnya fenomena realitas pluralisme keagamaan ini
muncul karena beberapa hal6: pertama, ketika Tuhan mewahyukan (memanifetasikan)
diri, hal ini dilakukan dalam konteks tertentu, dalam situasi historis tertentu dan
dalam bahasa dan budaya tertentu; kedua, komunitas manusia juga menerima dan
mengekspresikan wahyu tersebut dalam akar budaya tertentu; dan ketiga, wahyu ini
memerlukan interpretasi yang terus menerus menurut situasi historis yang berbedabeda.
Islam Di Antara Pluralitas, Keragaman Dan Multikultural
Setelah melihat keberadaan pluralisme sebagai sesuatu yang bersifat “sunnatullah”
di atas pada bagian kedua ini kita mencoba melihat bagaimana persinggungan agama
(Islam) dengan kenyataan yang sebenarnya. Pada era global saat ini, demokratisasi
adalah
sebuah
tuntutan
zaman
yang
setidaknya
telah
mendesak
untuk
diaktualisasikan. Namun persoalannya adalah bagaimana kita mendudukkan
demokrasi dan agama dalam bingkai yang lebih bijaksana. Secara teologis, agama
datang dari Tuhan, bukan buatan dan rekayasa manusia, sementara demokrasi adalah
produk dan aktualisasi penalaran manusia sebagai makhluk sosial. Dengan ungkapan
Syafa’atun Elmirzana, Pluralisme, Konflik, Dialog, dan Perdamaian (Persfekif Islam), makalah tidak
diterbitkan, hlm. 2. diantara ayat al-Qur’an yang menerangkan diberikannya setiap umat petunjuk
adalah Q.S 2: 148 dan Q.S 5: 48, yang masing-masing ayat lalu diikuti dengan perintah untuk
berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqu al-khairat).
6 Xafier Irudayaraj, “One God and Many Religions”, dalam Indian Missiological Review, (Juni
1996), hlm.5.
5
lain, perilaku agama selalu mencari rujukan sabda Tuhan dan berusaha mendapatkan
justifikasi dari Tuhan (theo-centris), sedangkan demokrasi menitik beratkan pada
persoalan manusia dan legitimasinya pun diperoleh dari sesama manusia (antrophocentris).
Ketiga istilah di atas; pluralitas, keragaman, dan multikultur yang sangat match dan
berkaitan erat dengan demokrasi serigkali digunakan secara bergantian untuk
menggambarkan masyarakat yang terdiri dari agama, ras, bahasa, dan budaya yang
berbeda. Ketiga ekspresi tersebut sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang
sama, walaupun semuanya mengacu pada adanya “ketidaktunggalan”. Atau konsep
pluralisme mengandaikan adanya hal-hal yang lebih dari satu (many) keragaman
menunjukkan adanya keberadaan yang “lebih dari satu” itu berbeda-beda, heterogen
dan bahkan dapat disamakan. Dibandingkan dengan dua konsep sebelumnya yaitu,
pluralitas dan keragaman (diversity), istilah multikulturalisme sebenarnya relatif baru,
muncul kira-kira pada sekitar tahun 1970-an pertama kali di Kanada dan Australia.
Lalu kemudian mengemuka di Amerika, Inggris, Jerman, dan lain sebagainya.
Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama
sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya etnik, gender, bahasa,
ataupun agama. Apabila pluralitas sekedar merepresentasikan adanya kemajemukan
(yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala
perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme
menjadi semacam respon kebijakan baru terhadap keragaman. Dalam konteks inilah,
Islam mendapatkan tantangannya. Karena sampai batas tertentu, respon agama Islam
terhadap kecenderungan multikulturalisme, memang masih ambigu.
Hal tersebut disebabkan, Islam kerap dianggap sebagai wilayah sakral, metafisik,
abadi, samawi, dan mutlak. Bahkan pada saat Islam terlibat dalam urusan “duniawi”
sekalipun, hal ini adalah dalam rangka penunaian kewajiban untuk kepantingan
“ukhrawi”. Oleh karena Islam dianggap dan dilihat sakral dan mutlak, maka sulit
bagi Islam untuk mentoleransi dan hidup berdampingan dengan tradisi kultural yang
dianggap bersifat duniawi dan relativistik. Lalu pertanyaannya adalah dapatkah Islam
mengembangkan tiga dimensi di atas; pluralitas, keragaman dan multikulturalisme,
sementara pada saat yang bersamaan Islam kurang mengembangkan apresiasi
terhadap budaya lokal? Rasanya akan sulit menjawabnya secara afirmatif, jika gagasan
pluralisme, atau juga multikulturalisme masih dilihat sebagai gagasan yang asing
dalam mindset Islam.
Tetapi di sini kita bisa melihat bahwa pada dasarnya, cita-cita demokrasi melalui,
pluralisme dan multikulturalisme tidak bertentangan dengan agama (Islam); namun
demikian
basis
teoritisnya
tetap
problematik.
Nilai-nilai
pluralitas
dan
multikulturalisme dianggap ekstra-religious, yang banyak ditolak oleh para teolog
Muslim
(apalagi
jika
di
hadapkan secara diametral
dengan pemahaman
fundamentalisme Islam). Sehingga sulit, untuk mengeksplorasi tema tersebut. Namun
demikian dalam upaya untuk membangun hubungan sinergis antara pluralisme,
multikulturalisme dan agama (Islam), minimal diperlukan dua hal; pertama, penafsiran
ulang atas doktrin-doktrin keagamaan ortodoks yang sementara ini dijadikan dalih
untuk bersikap eksklusif dan opresif. Penafsiran ini harus dilakukan sedemikian rupa
sehingga agama bukan saja bersikap reseptif terhadap kearifan tradisi lokal, melainkan
juga memandu di garda depan untuk mengantarkan demokrasi built-in dalam
masyarakat-masyarakat beragama.7
Kedua, mendialogkan agama dengan gagasan-gagasan modern. Saat ini umat
beragama memasuki suatu fase sejarah baru, di mana mereka harus mampu
beradaptasi dengan peradaban-peradaban besar yang tidak didasarkan pada agama,
seperti kultur modern. Karena pada dasarnya umat sedang dihadapkan pada dua arus
problem seperti yang disebutkan oleh Abdul Karim Soroush, intelektual Muslim Iran,
yaitu local problems dan universal problem; munculnya problem-problem dalam
pelaksanaan ajaran-ajaran agama dihadapkan pada keberadaan tradisi dan nilai-nilai
lokal masyarakat dan
munculnya problem-problem yang bersifat global sebagai
problem bersama umat Islam.
Islam Dan Keberadaan Agama-Agama Lain
Untuk melihat sikap Islam dan ajaran Islam tentang pluralisme, kita setidaknya
harus menelaahnya dari misi Muhammad dan Islam dalam kehidupan umat manusia.
Sebagaimana dinyatakan al-Qur’an pengutusan Muhammad SAW ke dunia sebagai
rahmatan lil alamin; pengembangan rahmat bagi seluruh manusia dan seisi alam. Pada
7 lihat juga penjelasan serupa dalam Mun’im A. Sirry, Agama, Demokrasi dan Multikulturalisme,
harian Kompas, Kamis 1 Mei 2003, hlm. 5.
sisi ini, kita menemukan bahwa agama Islam merupakan agama yang memiliki
komitmen sangat tinggi terhadap pengembangan kemanusiaan universal, yaitu
memanusiakan manusia secara utuh dan meletakkannya dalam suatu kerangka
kesetaraan,
persamaan
derajat,
dan
egalitarianisme,
tanpa
menghilangkan
heterogenitas yang ada. Sebab, hanya melalui cara itu rahmat Islam dalam bentuknya
yang paling konkret akan terwujud dalam kehidupan
Oleh karena itu, berkenaan dengan adanya agama-agama lain selain Islam, secara
garis besar Al-Qur’an memberikan tiga macam tanggapan; pertama mengakui; kedua,
memberikan kritik; dan ketiga, mengajarkan toleransi. Pengakuan Islam terhadap
agama-agama selain Islam dapat dipahami dari pernyataan Al-Qur’an sendiri dalam
QS. 2: 4, ayat ini berarti bahwa dalam pengakuan terhadap agama lain yang menerima
wahyu Tuhan merupakan bagian pokok dari ajaran Islam, sekalipun pengakuan tadi
harus ditempatkan dalam kerangka ajaran tentang kesatuan agama. Kaum muslimin
bukan saja harus percaya pada al-Qur’an tetapi juga pada kitab-kitab yang telah
diturunkan sebelumnya.
Selain mengakui realitas keragaman agama, Islam juga memberikan kritik dan
koreksi sebagai upaya menyeru manusia kembali pada kebenaran yang sama. Dengan
demikian, hubungan antara Islam dan agama-agama lain, khususnya agama-agama
para ahlul kitab, sejak awal bukan merupakan konfirmasi atau pengakuan penuh. Di
satu pihak Islam mengakuinya berasal dari wahyu Tuhan, tetapi di lain pihak
memberikan kritik dan membatasi pengakuan tersebut sebatas unsur-unsur yang
sejalan dengan ajaran Islam. Pengakuan inipun bukan berarti bahwa kaum muslimin
harus mengamalkan ajaran-ajarannya, sebab dalam pandangan Islam semua agama
sebelumnya merupakan agama yang belum final yang proses perkembangannya
memuncak dan berakhir dengan diutusnya Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul
terakhir. Islam menempatkan agama Yahudi dan Nasrani dalam kategori yang sama,
dan memberikan kehormatan kepada para pemeluknya dengan sebutan ahlu al-kitab8,
golongan pemilik kitab, serta memberlakukan mereka dengan dalam rangkaian
hubungan yang sangat akrab dengan Islam. Akan tetapi Islam juga sangat kritis
terhadap agama mereka.
8 tentang pengertian Ahlu Kitab, lihat G. Vajda, “Ahlu al-Kitab” dalam Encyclopaedia of Islam
(Leiden : E.J. Brill, 1960), hlm. 264-266.
Akan tetapi, sekalipun pada tataran teologis al-Qur’an memberikan kritik tajam
terhadap aktualitas Bible (misalnya), namun dalam level sosiologis al-Qur’an
mengajarkan toleransi dan kebebasan beragama dalam menghadapi golongan ahlu alkitab. Ajaran Islam tentang kedua hal tersebut tidak hanya dapat ditemukan dalam alQur’an atau hadits, tetapi juga dibuktikan dalam sejarah Islam. Islam adalah sebuah
agama yang senantiasa membuka pintu dialog, yang memperlihatkan prinsip toleransi
atau kebebasan beragama tersebut diterapkan secara konsekuen dan nyata dalam
kehidupan sehari-hari.9
Penjelasan di atas mengandaikan bahwa tidak ada satu masyarakat atau penganut
agama mana pun yang dapat mengklaim bahwa mereka sebagai satu-satunya
komunitas yang memiliki kebenaran. Klaim kebenaran sepihak semacam ini pada
akhirnya akan membawa kepada konflik dan pertentangan yang menurut Wahid
merupakan akibat dari proses pendangkalan agama,10 dan ketidakmampuan penganut
agama dalam memahami serta menghayati nilai dan ajaran agama yang hakiki.
Hal yang penting untuk dicatat adalah bahwa pluralisme bukanlah relativisme yang
meletakkan kebenaran atau suatu nilai pada pandangan hidup atau kerangka berpikir
seseorang atau masyarakat. Demikian pula, bukan sinkretisme yang menciptakan
agama baru dengan cara memadukan unsur tertentu atau sebagai unsur dari beberapa
agama yang ada. Justeru melalui pluralisme, semua penganut agama dituntut
membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya, dan dari sini dikembangkan
suatu kerjasama dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan, demi mengangkat
derajat kemanusiaan universal. Sehingga dengan demikian penulis sepakat dengan apa
yang dikatakan oleh Kate Zebiri11 bahwa pluralisme Islam selain dipengaruhi ide-ide
humanitarianisme modern dan pluralisme keagamaan, juga merupakan dorongan kuat
Komentar ini memang terkesan “apologetik” jika tujuannya adalah ingin membentuk suatu
image agama tertentu (Islam) terhadap agama lain. Namun menarik untuk menyimak apa yang
disampaikan oleh W. Montgomery Watt bahwa “On the whole there was more genuine tolerance of non-Muslims
under Islam, than there was of non-Christians in Medival Christian states”. Lihat dalam W. Montgomery Watt,
Islamic Political Thought (Edinburg : The University Press, 1987), hlm. 51.
10 Abdurrahman Wahid, “Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama” dalam
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.) Passing Over: Melintasi Batas Agama, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1999.)
11 Kate Zebiri, Muslim and Christian Face ti Face, (Oxford: Oneworld Publications, 1997), hlm.
22.
9
dari ajaran al-Qur’an. Maka pluralisme dalam Islam bersifat genuine dan otentik berasal
dari ajaran Islam itu sendiri.
Pluralitas Dan Munculnya Kekerasan
Setiap masyarakat itu mengandung kekerasan. Kekerasan dapat berbentuk fisik
maupun simbolik. Ia tampak dalam bentuk konstruksi, reproduksi atau transformasi
dalam hubungannya dengan hubungan sosial. Sehingga alasan yang sangat
fundamental dari hal ini adalah harus dicari dalam hati manusia itu sendiri. Karena
faktor manusia menjadi sangat penting untuk menjelaskan mengapa kekerasan itu
terjadi. Manusia menurut Thomas Hobbes merupakan makhluk yang dikuasai oleh
dorongan-dorongan irrasional dan anarkistis serta mekanistis yang saling mengiri dan
membenci sehingga menjadi kasar, jahat, buas, dan pendek pikir. Inilah sosok homo
homini lupus manusia adalah serigala bagi yang lain dan akibatnya perang semua lawan
semua (bellum omnium contra omnes). 12 Sebaliknya menurut JJ. Rousseau manusia
merupakan makhluk yang lugu dan sederhana, mencintai diri sendiri secara spontan,
tidak egois dan tidak altruis.13 Hanya rantai peradabanlah yang telah membentuk jiwa
manusia menjadi binatang yang memiliki sifat menyerang seperti keadaannya saat ini.
kedua perbedaan pendapat mengenai karakter manusia ini tentu bukan menjadi topik
pembicaraan di sini, tetapi yang mau dikatakan adalah bahwa kekerasan itu sudah
mewarnai hidup manusia hingga saat ini.
Pada dasarnya, kekerasan adalah fenomena yang telah ada sejak awal sejarah umat
manusia. Ini bisa dirujuk pada kisah al-Qur’an tentang pembunuhan Habil dan Qabil,
putra Adam. Bahkan sebelum manusia diciptakan di bumi ini, al-Qur’an telah
memuat kisah dialog antara Tuhan dan Malaikat yang secara tersirat mengindikasikan
bahwa manusia akan selalu berbuat kerusakan di bumi. Dan melakukan tindak
kekerasan kepada sesamanya. Oleh karena itu kekerasan “seakan” sudah inheren
dalam diri manusia. Namun demikian, meskipun al-Qur’an melegitimasi adanya
tindak kekerasan, al-Qur’an tetap menegaskan bahwa kekerasan itu merupakan
kejahatan yang harus dicegah. Untuk memahami hal ini, perlu diidentifikasikan jenis-
12
13
Frans Magnis Suseno, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 200-207.
Ibid, hlm. 238
jenis kekerasan yang terjadi dimasyarakat. Jack D. Douglas dan Frances C. Walksler
mengatakan bahwa ada empat jenis kekerasan yang dapat diidentifikasi, yaitu:
1. Kekerasan terbuka, kekerasan yang dapat dilihat, misalnya, perkelahian.
2. Kekerasan tertutup, kekerasan tersembunyi atau tdak dilakukan langsung, seperti
perilaku mengancam.
3. Kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk protektif, tetapi untuk
mendapatkan sesuatu; dan
4. Kekerasan defensif, kekerasan hanya untuk perlindungan diri.
Sedangkan Ted R. Gurr, seperti disebutkan oleh Prasetyo (2001: 3) memandang
kekerasan sebagai hasil dari hubungan sosial atau struktur di mana para pelaku
tersebut berada. Keberadaan nilai dan norma hanya sebagai “imperatif struktural”
yang terinternalisasi dalam diri individu. Karenanya setiap ada kekerasan, bagi
pendekatan ini, selalu melihat sebabnya dari produk sebuah struktur. Jelas berbeda
dengan mereka yang memandang bahwa kekerasan itu sepenuhnya tergantung pada
faktor minat, watak, dan motivasi seorang individu.
Pertentangan antara kedua pandangan di atas, ditengahi oleh Anthony Giddens
dengan engatakan bahwa struktur dan subyek selalu berada dalam kedudukan saling
memperngaruhi. Struktur sosial tidak saja menimbulkan kendalabagi tindakan
manusia, melainkan juga menciptakan peluang dalam melakukan tindakan secara
otonom. Karena itu kekerasan, menurut Giddens, merupakan dialektika antara
lemahnya nilai moral individu dengan kuatnya tekanan struktur di sisi lain.
Dari uraian tersebut, pereduksian diri manusia terhadap manusia yang lain
merupakan pangkal dari akar kekerasan itu sendiri. Dari sana timbul usaha-usaha
untuk memojokkan dan merendahkan orang lain dan bahkan berusaha untuk
membenci dan memusuhinya. Reduksi ini beredar dalam segala sendi kehidupan,
tergantung dalam kapasitas apa pereduksian itu muncul. Oeh karena itu, apa yang
menjadi tesis Giddens mengenai keterlibatan moral dengan struktur kekuasaan
berkorelasi dengan sikap pereduksian diri manusia lain ini. artinya moral individu atau
masyarakat yang tidak baik akan selalu melakukan pereduksian diri terhadap manusia
lain manakala dari segi ras, suku, agama, ekonomi, politik berbeda atau mengancam
eksistensi pribadi atau komunal dirinya.
Di samping itu, untuk melihat sejauh mana manusia sampai melakukan reduksi
terhadap diri sendiri dan manusia lainnya, ada baiknya kita tinjau dari kajian psikologi,
apa yang menjadi motivasi di belakang tindak kekerasan oleh manusia. Karenanya
Eric Fromm mengutarakan bahwa ada lima motivasi manusia melakukan tindak
kekerasan, yaitu: pertama, kekerasan permainan (playful violence), seperti pertandingan
tinju dan sabung ayam; kedua, kekerasan reaktif (reactive violence), seperti orang
membunuh pencuri; ketiga, kekerasan balas dendam (revengeful violence), seperti orang
yang membunuh akibat adanya pertikaian antar kelompok atau individu sebagai
bentuk kausalitas kasus; keempat, kekerasan akibat hilangnya kepercayaan (shattering of
faith), seperti orang yang menjadi pembunuh karena tidak percaya lagi terhadap masa
depannya atau kekecewaan terhadap pemimpin yang semula dikagumi; dan kelima,
kekerasan kompensasi (compensatory violence) seperti orang yang bersikap kasar terhadap
istrinya untuk mengimbangi kelemahannya.14
Pada dasarnya akar kekerasan tidak pernah tunggal. Kekerasan sebagai antitesis
sifat dasar atau kodrat manusia jelas mengandaikan miskinnya pengertian dan
penghayatan mengenai kodrat manusia. Manusia seringkali mereduksi diri sendiri dan
sesamanya dalam konsep-konsep yang tidak berkaitan dengan keluhuran
eksistensinya. Manusia kerap direduksi dalam asal-usul suku atau warna kulit, dalam
kekayaan ekonomi, dalam kekayaan dan keragaman ideologis, dalam kepartaian
kelompok politik maupun keagamaan, atau dalam pluralitas agama. 15 Dari sinilah
kemudian muncul kekerasan.
Begitu juga dengan di Indonesia, pengaruh asal usul, suku atau warna kulit,
kekayaan ekonomi, keyakinan ideologis, perbedaan kelompok politik maupun
keagamaan atau juga perbedaan agama, menjadi penentu dari tindak kekerasan. Hal
inilah yang menjadi fenomena kekerasan di Indonesia. Sehubungan dengan hal itu, di
sini akan dieksplorasi beberapa akar kekerasan yang terjadi di Indonesia. Secara
umum ada beberapa akar kekerasan yang bisa diidentifikasi di Indonesia yaitu:
a. Kekerasan karena perbedaan Sosial dan Ekonomi
Dikutip oleh Drajat Setiio Soemitro, “Sacred Violence: Kekerasan di Indonesia dalam
Pendekatan Psikodinamik” dalam Jurnal Psikologi Sosial No. IV (Januari 1998), hlm. 53-54.
15 Armada Riyanto CM., “Melacak Akar Kekerasan; Perspektif Filsafat” dalam Pradana Boy
ZTF, dkk. (edit.), Membongkar Praktek KekerasanMenggagas Kultur Nir-Kekerasan, (malang: Pusat Studi
Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang bekerja sama dengan Sinergi Press, 2002), hlm.
4-5.
14
Hal yang paling mendasar dalam konteks ini adalah kemiskinan dan perbedaan
status sosial. Kemiskinan merupakan gejala yang berlaku universal, karena
kemiskinan terjadi di mana-mana di dunia ini. di negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia, masalah kemiskinan merupakan masalah yang sangat
kompleks. Sehingga jika tidak diperhatikan secara serius akan mengarah kepada
konflik sosial yang sangat parah. Contoh konkrit dari praktek kekerasan karena
perbedaan status sosial dan ekonomi ini adalah maraknya penjarahan,
pengrusakan, pemerkosaan dan tindak kekerasan lain terhadap etnis Cina pada
akhir Orde Baru dan awal Orde Reformasi
b. Kekerasan Politik
Untuk menerangkan tentang kekerasan politik di Indonesia, maka di sini akan
dibahas juga tentang sejarah perjuangan politik bangsa Indonesia. Sebelum abad
ke-20, pola gerakan politik Indonesia masih bersifat komunal dengan solidaritas
yang bersifat mekanis. Solidaritas sosial ini berkembang dalam struktur masyarakat
agraris da biasanya berpusat pada tokoh-tokoh karismatis. Artinya, pengertian
“nasionalisme” terbatas dalam konsep etnik-kultural. Hal ini dibuktikan dengan
perjuangan pada masa penjajahan dahulu yang dilakukan oleh para pejuang yang
sifatnya masih lokal. Sebut saja perjuangan Diponegoro di Jawa, Imam Bonjol di
Sumatera Barat, dan lain-lain. Mereka pada umumnya masih bersifat kedaerahan
dan muncul ke permukaan pada saat kepentingan agama dan etnis kebudayaan
mereka diganggu oleh pihak asingyang mereka anggap kafir. Mereka memerangi
kaum kafir dengan memakai simbol-simbol agama (terutama Islam) yang
bercampur dengan identitas kultural masing-masing. Oleh karena itu, peran agama
dan budaya dalam perjuangan kmerdekaan Indonesia sangat besar.
Sampai pada masa kemerdekaan, peran Islam pun masih sangat mendominasi
segala tindakan dan kebijakan para penguasa yang memang secara mayoritas
beragama Islam. Sehingga dalam konteks ini muncul politisasi agama oleh
penguasa. Namun demikian, menurut Frans Magnis Suseno, ada dua
kemungkinan manakala ada orang berpolitik atas nama agama. Pertama, ada orang
beragama yang berpolitik, tetapi tidak secara eksplisit atas nama agamanya. Kedua,
berpolitik tapi secara eksplisit mengatasnamakan agamanya.16
Disamping pada masa Orde Lama (yang tidak dibicarakan secara lengkap di sini),
pada masa Orde Baru, kekerasan karena faktor politik juga berlangsung dengan
eskalasi yang berbeda dengan apa yang terjadi pada masa Orde Lama. Tindakan
represif penguasa tidak lagi berkutat pada perbedaan ideologi politik, namun
terjadi karena penguasa ingin mempertahankan status quo yang didukung oleh
kekuatan militer.
Tindakan represif penguasa seringkali terjadi, terutama di awal tahun 1970-an
terhadap penentang eksistensi Orde baru yang diktator dan otoriter. Hal ini terjadi
karena adanya perubahan sosial yang sangat cepat di bidang sosial, politik,
ekonomi, ekologi, struktural, kultural dan ideasional pada masa Orde Baru
sehingga cenderung menyebabkan terjadinya diskontinuitas, dislokasi, dan
inkonsistensi, yang membawa kegoncangan, frustasi, ketegangan, ketakutan,
alienasi, konflik, dan kritis adaptasi bagi sebagian kelompok masyarakat tertentu.
Krisis adaptasi atau ketidakmampuan dalam proses penyesuaian diri terhadap
perubahan-perubahan yang dihadapi pada masa ini, baik dalam kehidupan
ekonomi, sosial, politik, maupun kultural, pada hakekatnya menjadi sumber
timbulnya aksi protes, kerusuhan, dan kekerasan pada masa ini.17
c. Kekerasan Karena Perbedaan Agama
Dari sekian banyak akar kekerasan yang ada di masyarakat, kekerasan atas nama
agama mempunyai intensitas yang paling besar. Karena di dalamnya sudah
berkembang bentuk-bentuk kekerasan yang kompleks. Kekerasan atas nama
agama bisa masuk ke jalur kekerasan terbuka dan bahkan lebih berbahaya
manakala kekerasan itu masuk ke jalur kekerasan tertutup. Kekerasan pada
segmen ini biasanya bersifat ofensif, reaktif, dan radikal, namun bisa juga
terekayasa lewat aksi terselubung (teror dan sebagainya).
Kekerasan dan anti kekerasan adalah dua hal yang berbeda dan saling berlawanan
dan bahkan cenderung kontradiktif. Kekerasan adalah kejahatan, sedagkan anti16 Wawancara Ulumul Qur’’an dengan Frans Magnis Suseno, Kekhawatiran Itu Bisa
Dimengerti”, dalam jurnal Ulumul Qur’an, edisi No. 1. Vol. VI. Tahun 1995, hlm. 34.
17 Djoko Suryo, “Kerusuhan Lokal dalam Perspektif Sejarah”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an,
Edisi No. 5, vol. VII, tahun 1997, hlm. 21.
kekerasan lebih manusiawi dan lebih damai. Kekerasan adalah tindak kriminal,
sedangkan anti-kekerasan adalah tindakan yang salah dan tulus.18
Pada dasarnya komitmen anti-kekerasan merupakan tujuan luhur manusia.
Karena itu perjuangan anti-kekerasan mutlak diperlukan dalam upaya untuk
memenuhi tujuan luhur manusia itu. Dalam perjalanannya, anti-kekerasan dan
kekerasan itu menemui suatu dialektika yang berkesinambungan. Di manapun,
apabila ada kekerasan maka disitu pula ada perjuangan anti-kekerasan. Karena itu,
dialektika kekerasan dan anti-kekerasan merupakan suatu konsep yang relatif, namun
tidak mengarah kepada relativistik, karena komitmen anti-kekerasan pada dasarnya
adalah luhur. Relatif yang dimaksud artinya sangat bergantung kepada kelas sosial,
besar kecilnya negara, siapa yang menindas dan siapa korbannya, bergantung kepada
kultur, dan lain-lain.19
Penutup
Dari pembahasan terkait persoalan tersebut di atas didapatkan beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada dasarnya penganut agama bisa hidup berdampingan secara damai dalam
sebuah masyarakat serta saling menjaga batas-batas dan hak masing-masing.
Untuk mewujudkan dan mendukung pluralisme tersebut, diperlukan adanya
toleransi. Namun meskipun hampir semua masyarakat saat ini sudah mengakui
adanya kemajemukan sosial, tapi kenyataannya, permasalahan toleransi ini masih
sering muncul dalam suatu masyarakat.
2. Dalam upaya untuk membangun hubungan sinergis antara pluralisme,
multikulturalisme dan Islam, setidaknya diperlukan dua hal; pertama, penafsiran
ulang atas doktrin-doktrin keagamaan ortodoks yang sementara ini dijadikan dalih
untuk bersikap eksklusif dan opresif. Kedua, mendialogkan agama dengan gagasangagasan modern.
3. Keragaman dan adanya perbedaan menjadi salah satu sumber munculnya
kekerasan. Sehingga pada dasarnya akar kekerasan tidak pernah tunggal. Pengaruh
18 Hassan Hanafi, Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer, (Yogyakarta, Penerbit Jendela,
2001), hlm. 38-39.
19 Ibid., hlm. 50.
keyakinan ideologis, perbedaan kelompok politik maupun keagamaan atau juga
perbedaan agama, menjadi penentu dari tindak kekerasan. Hal inilah yang sering
menjadi penyebab munculnya fenomena kekerasan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Budhi Munawar Rahman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta:
Paramadina, 2001.
G. Vajda, “Ahlu al-Kitab” dalam Encyclopaedia of Islam, Leiden : E.J. Brill, 1960.
Harold Coward, Pluralisme dan Tantangan Agama-Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Kate Zebiri, Muslim and Christian Face to Face, Oxford: Oneworld Publications, 1997.
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.) Passing Over: Melintasi Batas Agama,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas, Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai
Persatuan, terj. Abdul Hayyie al-Kattanie, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Mun’im A. Sirry, Agama, Demokrasi dan Multikulturalisme, harian Kompas, Kamis 1
Mei 2003.
Syafa’atun Elmirzana, Pluralisme, Konflik, Dialog, dan Perdamaian (Perspektif Islam),
makalah tidak diterbitkan. 2000.
Xafier Irudayaraj, “One God and Many Religions”, dalam Jurnal Indian Missiological
Review, Juni 1996.
W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought, Edinburg: The University Press, 1987.
Download