ISLAM DALAM PUSARAN PLURALISME-MULTIKULTURALISME DAN SPIRIT ANTI-KEKERASAN Zaky Ismail1 Abstract: This article want to discribe Islam views the pluralism and hardness matter. If the adherent of religion do not understand as rightly and wisdom, the pluralism of religion will appear or accumulate consequence, it is not only accumulate inter be religion muslim, but also social conflict. This research is library research which is to based on thiers viewing to the primar sources that to refers to Islam view toward pluralism issue matter and resistant to be hate of hardness spirit by analysis content. The data then will be interpreted with analysis method. The end, the result of this research stated that the religion believer can be life contiguous or side by side by appearing is to attitude tolerant. This is to effort and to build the synergy relation between pluralism, multiculturalism, and Islam. So, it will need dialogue (discourse) ideas of the modern religion to understanding or equally each other. Key Words: Islamic, Pluralisme, Multikulturalisme, Spirit, Violence Pendahuluan Pluralisme keagamaan merupakan tantangan khusus yang dihadapi agama-agama dewasa ini. Seperti halnya pengamatan Coward, setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural ditinjau dari sudut agama dan membentuk dirinya sebagai tanggapan terhadap pluralisme tersebut. Jika pemeluk agama tidak memahami secara benar dan arif, pluralisme agama akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa konflik antar umat beragama, tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi bangsa. Pada konteks ini, Harold Coward dalam sebuah paparannya mengatakan bahwa salah satu hal yang mewarnai dunia saat ini adalah pluralisme keagamaan. Manusia hidup dalam pluralisme dan merupakan bagian dari pluralisme itu sendiri, baik secara aktif maupun secara pasif. Pluralisme merupakan kenyataan sejarah yang tidak bisa diingkari keberadaanya.2 Pada aspek yang lain kita harus menyadari bahwa pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri 1 Dosen Studi Politik Islam Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya. Email; [email protected] 2Harold Coward, Pluralisme dan Tantangan Agama-Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm.5. dari berbagai suku dan agama, yang justeru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Akan tetapi pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati keberagaman dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat modern yang demokratis adalah terwujudnya masyarakat yang menghargai kemajemukan (pluralitas) masyarakat dan bangsa serta mewujudkannya sebagai suatu keniscayaan. Kemajemukan ini merupakan sunnatullah (hukum alam). Masyarakat yang majemuk ini tentu saja memiliki budayadan aspirasi yang beraneka, tetapi mereka seharusnya memiliki kedudukan yang sama, tidak ada superioritas antara satu suku, etnis atau kelompok sosial dengan yang lainnya. Namun kadang-kadang perbedaan itu menimbulkan konflik dan bahkan kekerasan di antara mereka. Maka sebagai upaya untuk mengatasi persoalan ini dimunculkan konsep atau paham kemajemukan (pluralisme). Pluralitas Sebagai Sunnatullah Realitas yang kita lihat di dunia ini sangat majemuk, dan kemajemukan tersebut tidak terbatas. Termasuk di dalamnya adalah agama, pluralisme agama merupakan fakta dan kenyataan yang kita alami dan saksikan. Menolak pluralisme adalah menolak kenyataan adanya perbedaan pandangan dan keyakinan dalam masyarakat. Lalu, pluralisme dalam konteks ini dimaknai sebagai paham kemajemukan atau paham yang berorientasi pada kemajemukan. Pluralisme beranggapan bahwa kebenaran merupakan satu hal yang kolektif di antara semua agama, dan seluruh agama bisa menjadi sumber keselamatan, kesempurnaan, dan keagungan bagi para pemeluknya. Interpretasi lain tentang pluralisme tersorot kepada dimensi sosial agama dan kehidupan agama. Artinya, segenap penganut agama bisa hidup berdampingan secara damai dalam sebuah masyarakat serta saling menjaga batas-batas dan hak masingmasing (The principles that these different groups can live together in peace in one society). Kemudian, dalam mewujudkan konsep pluralisme tersebut, diperlukan adanya toleransi. Meskipun hampir semua masyarakat yang berbudaya kini sudah mengakui adanya kemajemukan sosial, namun dalam kenyataannya, permasalahan toleransi ini masih sering muncul dalam suatu masyarakat, termasuk di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Persoalan yang muncul terutama berhubungan dengan ras atau agama. Sejak awal manusia mengalami apa yang disebut sebagai pluralitas agama. Ini disebabkan karena keberagaman wahyu Allah dan penerimaan serta ekspresi manusia terhadap wahyu tersebut di dalam akar budaya mereka juga berbeda-beda. Paus paulus II (belum lama ini telah meninggal dunia) bahkan perlu berkomentar dengan mengatakan bahwa agama itu banyak dan bermacam-macam dan semuanya merefleksikan keinginan manusia laki-laki ataupun perempuan di sepanjang abad untuk masuk dalam perjumpaan dengan Tuhan yang Absolut (mutlak). Jadi, fenomena pluralitas agama bukan hanya merupakan kondisi historis masa lampau, tetapi merupakan realitas masa kini. Di dalam al-Qur’an sebagai pedoman utama umat Islam, tidak melepaskan perhatiannya terhadap paham pluralisme. Bahkan seperti yang dikatakan oleh Muhammad Imarah 3 bahwa menurut kacamata “konsep Islam”, al-Qur’an mensinyalir hal itu adalah “ciptaan Ilahi” serta sunnah “yang azali dan abadi” yang telah ditetapkan oleh Allah bagi seluruh makhluk hidup. Maka, manusia tidak akan pernah menjadi satu tipe tertentu saja, tetapi mereka akan terus menerus berbeda satu sama lain, jika Allah menghendaki, tentu Dia akan menjadikan manusia menjadi satu komunitas (umat) saja.4 Hakikat sikap al-Qur’an ketika pluralitas menjadi kemajemukan dalam kerangka kesatuan adalah sikap yang melihatnya sebagai sunnah ilahiyah yang juga merupakan fitrah (sifat natural) bagi manusia. Sehingga secara normatif orang akan mengatakan bahwa keputusan Allah dalam hal ini adalah mengizinkan perbedaan-perbedaan tersebut (Q.S. 10: 213), dan design Allah lebih untuk membimbing manusia dalam pluralitas agamanya dengan mengirim kepada mereka rasul-rasul yang diberi wahyu. Lihat dalam Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas, Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, terj. Abdul Hayyie al-Kattanie, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm.32. 4 Dalam al-Qur’an misalnya, antara lain dikatakan “jika Tuhanmu menghendaki, tentu dia akan menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali oleh orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu, dan untuk itulah Allah menciptakan mereka…..” (Q.S. Hud ayat 118-199) 3 Jadi, sekalipun manusia terbagi dalam komunitas-komunitas agama tetapi mereka tetap ditinggalkan tanpa petunjuk.5 Dari eksplorasi singkat tentang dokrin al-Qur’an di atas, secara sederhana kita bisa melihat beberapa aspek penting dari esensi perintah Allah untuk semua komunitas agama, yaitu bahwa mereka harus berkompetisi satu sama lain untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Masing-masing komunitas diperintahkan untuk berusaha dalam kebaikan. Bekerja sama dengan yang lain dan hidup secara harmonis dengan mereka. Jadi, nampak jelas bahwa di sinilah prinsip al-Qur’an tentang hubungan antar agama (yang mengedeapnkan dialog), yang didasarkan pada pluralitas agama yang harmonis, dan mendorong orang untuk selalu berbuat baik dan memberi rasa nyaman bagi orang lain. Pada aspek sosiologis, pada dasarnya fenomena realitas pluralisme keagamaan ini muncul karena beberapa hal6: pertama, ketika Tuhan mewahyukan (memanifetasikan) diri, hal ini dilakukan dalam konteks tertentu, dalam situasi historis tertentu dan dalam bahasa dan budaya tertentu; kedua, komunitas manusia juga menerima dan mengekspresikan wahyu tersebut dalam akar budaya tertentu; dan ketiga, wahyu ini memerlukan interpretasi yang terus menerus menurut situasi historis yang berbedabeda. Islam Di Antara Pluralitas, Keragaman Dan Multikultural Setelah melihat keberadaan pluralisme sebagai sesuatu yang bersifat “sunnatullah” di atas pada bagian kedua ini kita mencoba melihat bagaimana persinggungan agama (Islam) dengan kenyataan yang sebenarnya. Pada era global saat ini, demokratisasi adalah sebuah tuntutan zaman yang setidaknya telah mendesak untuk diaktualisasikan. Namun persoalannya adalah bagaimana kita mendudukkan demokrasi dan agama dalam bingkai yang lebih bijaksana. Secara teologis, agama datang dari Tuhan, bukan buatan dan rekayasa manusia, sementara demokrasi adalah produk dan aktualisasi penalaran manusia sebagai makhluk sosial. Dengan ungkapan Syafa’atun Elmirzana, Pluralisme, Konflik, Dialog, dan Perdamaian (Persfekif Islam), makalah tidak diterbitkan, hlm. 2. diantara ayat al-Qur’an yang menerangkan diberikannya setiap umat petunjuk adalah Q.S 2: 148 dan Q.S 5: 48, yang masing-masing ayat lalu diikuti dengan perintah untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqu al-khairat). 6 Xafier Irudayaraj, “One God and Many Religions”, dalam Indian Missiological Review, (Juni 1996), hlm.5. 5 lain, perilaku agama selalu mencari rujukan sabda Tuhan dan berusaha mendapatkan justifikasi dari Tuhan (theo-centris), sedangkan demokrasi menitik beratkan pada persoalan manusia dan legitimasinya pun diperoleh dari sesama manusia (antrophocentris). Ketiga istilah di atas; pluralitas, keragaman, dan multikultur yang sangat match dan berkaitan erat dengan demokrasi serigkali digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri dari agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda. Ketiga ekspresi tersebut sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu pada adanya “ketidaktunggalan”. Atau konsep pluralisme mengandaikan adanya hal-hal yang lebih dari satu (many) keragaman menunjukkan adanya keberadaan yang “lebih dari satu” itu berbeda-beda, heterogen dan bahkan dapat disamakan. Dibandingkan dengan dua konsep sebelumnya yaitu, pluralitas dan keragaman (diversity), istilah multikulturalisme sebenarnya relatif baru, muncul kira-kira pada sekitar tahun 1970-an pertama kali di Kanada dan Australia. Lalu kemudian mengemuka di Amerika, Inggris, Jerman, dan lain sebagainya. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya etnik, gender, bahasa, ataupun agama. Apabila pluralitas sekedar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respon kebijakan baru terhadap keragaman. Dalam konteks inilah, Islam mendapatkan tantangannya. Karena sampai batas tertentu, respon agama Islam terhadap kecenderungan multikulturalisme, memang masih ambigu. Hal tersebut disebabkan, Islam kerap dianggap sebagai wilayah sakral, metafisik, abadi, samawi, dan mutlak. Bahkan pada saat Islam terlibat dalam urusan “duniawi” sekalipun, hal ini adalah dalam rangka penunaian kewajiban untuk kepantingan “ukhrawi”. Oleh karena Islam dianggap dan dilihat sakral dan mutlak, maka sulit bagi Islam untuk mentoleransi dan hidup berdampingan dengan tradisi kultural yang dianggap bersifat duniawi dan relativistik. Lalu pertanyaannya adalah dapatkah Islam mengembangkan tiga dimensi di atas; pluralitas, keragaman dan multikulturalisme, sementara pada saat yang bersamaan Islam kurang mengembangkan apresiasi terhadap budaya lokal? Rasanya akan sulit menjawabnya secara afirmatif, jika gagasan pluralisme, atau juga multikulturalisme masih dilihat sebagai gagasan yang asing dalam mindset Islam. Tetapi di sini kita bisa melihat bahwa pada dasarnya, cita-cita demokrasi melalui, pluralisme dan multikulturalisme tidak bertentangan dengan agama (Islam); namun demikian basis teoritisnya tetap problematik. Nilai-nilai pluralitas dan multikulturalisme dianggap ekstra-religious, yang banyak ditolak oleh para teolog Muslim (apalagi jika di hadapkan secara diametral dengan pemahaman fundamentalisme Islam). Sehingga sulit, untuk mengeksplorasi tema tersebut. Namun demikian dalam upaya untuk membangun hubungan sinergis antara pluralisme, multikulturalisme dan agama (Islam), minimal diperlukan dua hal; pertama, penafsiran ulang atas doktrin-doktrin keagamaan ortodoks yang sementara ini dijadikan dalih untuk bersikap eksklusif dan opresif. Penafsiran ini harus dilakukan sedemikian rupa sehingga agama bukan saja bersikap reseptif terhadap kearifan tradisi lokal, melainkan juga memandu di garda depan untuk mengantarkan demokrasi built-in dalam masyarakat-masyarakat beragama.7 Kedua, mendialogkan agama dengan gagasan-gagasan modern. Saat ini umat beragama memasuki suatu fase sejarah baru, di mana mereka harus mampu beradaptasi dengan peradaban-peradaban besar yang tidak didasarkan pada agama, seperti kultur modern. Karena pada dasarnya umat sedang dihadapkan pada dua arus problem seperti yang disebutkan oleh Abdul Karim Soroush, intelektual Muslim Iran, yaitu local problems dan universal problem; munculnya problem-problem dalam pelaksanaan ajaran-ajaran agama dihadapkan pada keberadaan tradisi dan nilai-nilai lokal masyarakat dan munculnya problem-problem yang bersifat global sebagai problem bersama umat Islam. Islam Dan Keberadaan Agama-Agama Lain Untuk melihat sikap Islam dan ajaran Islam tentang pluralisme, kita setidaknya harus menelaahnya dari misi Muhammad dan Islam dalam kehidupan umat manusia. Sebagaimana dinyatakan al-Qur’an pengutusan Muhammad SAW ke dunia sebagai rahmatan lil alamin; pengembangan rahmat bagi seluruh manusia dan seisi alam. Pada 7 lihat juga penjelasan serupa dalam Mun’im A. Sirry, Agama, Demokrasi dan Multikulturalisme, harian Kompas, Kamis 1 Mei 2003, hlm. 5. sisi ini, kita menemukan bahwa agama Islam merupakan agama yang memiliki komitmen sangat tinggi terhadap pengembangan kemanusiaan universal, yaitu memanusiakan manusia secara utuh dan meletakkannya dalam suatu kerangka kesetaraan, persamaan derajat, dan egalitarianisme, tanpa menghilangkan heterogenitas yang ada. Sebab, hanya melalui cara itu rahmat Islam dalam bentuknya yang paling konkret akan terwujud dalam kehidupan Oleh karena itu, berkenaan dengan adanya agama-agama lain selain Islam, secara garis besar Al-Qur’an memberikan tiga macam tanggapan; pertama mengakui; kedua, memberikan kritik; dan ketiga, mengajarkan toleransi. Pengakuan Islam terhadap agama-agama selain Islam dapat dipahami dari pernyataan Al-Qur’an sendiri dalam QS. 2: 4, ayat ini berarti bahwa dalam pengakuan terhadap agama lain yang menerima wahyu Tuhan merupakan bagian pokok dari ajaran Islam, sekalipun pengakuan tadi harus ditempatkan dalam kerangka ajaran tentang kesatuan agama. Kaum muslimin bukan saja harus percaya pada al-Qur’an tetapi juga pada kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya. Selain mengakui realitas keragaman agama, Islam juga memberikan kritik dan koreksi sebagai upaya menyeru manusia kembali pada kebenaran yang sama. Dengan demikian, hubungan antara Islam dan agama-agama lain, khususnya agama-agama para ahlul kitab, sejak awal bukan merupakan konfirmasi atau pengakuan penuh. Di satu pihak Islam mengakuinya berasal dari wahyu Tuhan, tetapi di lain pihak memberikan kritik dan membatasi pengakuan tersebut sebatas unsur-unsur yang sejalan dengan ajaran Islam. Pengakuan inipun bukan berarti bahwa kaum muslimin harus mengamalkan ajaran-ajarannya, sebab dalam pandangan Islam semua agama sebelumnya merupakan agama yang belum final yang proses perkembangannya memuncak dan berakhir dengan diutusnya Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir. Islam menempatkan agama Yahudi dan Nasrani dalam kategori yang sama, dan memberikan kehormatan kepada para pemeluknya dengan sebutan ahlu al-kitab8, golongan pemilik kitab, serta memberlakukan mereka dengan dalam rangkaian hubungan yang sangat akrab dengan Islam. Akan tetapi Islam juga sangat kritis terhadap agama mereka. 8 tentang pengertian Ahlu Kitab, lihat G. Vajda, “Ahlu al-Kitab” dalam Encyclopaedia of Islam (Leiden : E.J. Brill, 1960), hlm. 264-266. Akan tetapi, sekalipun pada tataran teologis al-Qur’an memberikan kritik tajam terhadap aktualitas Bible (misalnya), namun dalam level sosiologis al-Qur’an mengajarkan toleransi dan kebebasan beragama dalam menghadapi golongan ahlu alkitab. Ajaran Islam tentang kedua hal tersebut tidak hanya dapat ditemukan dalam alQur’an atau hadits, tetapi juga dibuktikan dalam sejarah Islam. Islam adalah sebuah agama yang senantiasa membuka pintu dialog, yang memperlihatkan prinsip toleransi atau kebebasan beragama tersebut diterapkan secara konsekuen dan nyata dalam kehidupan sehari-hari.9 Penjelasan di atas mengandaikan bahwa tidak ada satu masyarakat atau penganut agama mana pun yang dapat mengklaim bahwa mereka sebagai satu-satunya komunitas yang memiliki kebenaran. Klaim kebenaran sepihak semacam ini pada akhirnya akan membawa kepada konflik dan pertentangan yang menurut Wahid merupakan akibat dari proses pendangkalan agama,10 dan ketidakmampuan penganut agama dalam memahami serta menghayati nilai dan ajaran agama yang hakiki. Hal yang penting untuk dicatat adalah bahwa pluralisme bukanlah relativisme yang meletakkan kebenaran atau suatu nilai pada pandangan hidup atau kerangka berpikir seseorang atau masyarakat. Demikian pula, bukan sinkretisme yang menciptakan agama baru dengan cara memadukan unsur tertentu atau sebagai unsur dari beberapa agama yang ada. Justeru melalui pluralisme, semua penganut agama dituntut membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya, dan dari sini dikembangkan suatu kerjasama dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan, demi mengangkat derajat kemanusiaan universal. Sehingga dengan demikian penulis sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Kate Zebiri11 bahwa pluralisme Islam selain dipengaruhi ide-ide humanitarianisme modern dan pluralisme keagamaan, juga merupakan dorongan kuat Komentar ini memang terkesan “apologetik” jika tujuannya adalah ingin membentuk suatu image agama tertentu (Islam) terhadap agama lain. Namun menarik untuk menyimak apa yang disampaikan oleh W. Montgomery Watt bahwa “On the whole there was more genuine tolerance of non-Muslims under Islam, than there was of non-Christians in Medival Christian states”. Lihat dalam W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought (Edinburg : The University Press, 1987), hlm. 51. 10 Abdurrahman Wahid, “Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.) Passing Over: Melintasi Batas Agama, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999.) 11 Kate Zebiri, Muslim and Christian Face ti Face, (Oxford: Oneworld Publications, 1997), hlm. 22. 9 dari ajaran al-Qur’an. Maka pluralisme dalam Islam bersifat genuine dan otentik berasal dari ajaran Islam itu sendiri. Pluralitas Dan Munculnya Kekerasan Setiap masyarakat itu mengandung kekerasan. Kekerasan dapat berbentuk fisik maupun simbolik. Ia tampak dalam bentuk konstruksi, reproduksi atau transformasi dalam hubungannya dengan hubungan sosial. Sehingga alasan yang sangat fundamental dari hal ini adalah harus dicari dalam hati manusia itu sendiri. Karena faktor manusia menjadi sangat penting untuk menjelaskan mengapa kekerasan itu terjadi. Manusia menurut Thomas Hobbes merupakan makhluk yang dikuasai oleh dorongan-dorongan irrasional dan anarkistis serta mekanistis yang saling mengiri dan membenci sehingga menjadi kasar, jahat, buas, dan pendek pikir. Inilah sosok homo homini lupus manusia adalah serigala bagi yang lain dan akibatnya perang semua lawan semua (bellum omnium contra omnes). 12 Sebaliknya menurut JJ. Rousseau manusia merupakan makhluk yang lugu dan sederhana, mencintai diri sendiri secara spontan, tidak egois dan tidak altruis.13 Hanya rantai peradabanlah yang telah membentuk jiwa manusia menjadi binatang yang memiliki sifat menyerang seperti keadaannya saat ini. kedua perbedaan pendapat mengenai karakter manusia ini tentu bukan menjadi topik pembicaraan di sini, tetapi yang mau dikatakan adalah bahwa kekerasan itu sudah mewarnai hidup manusia hingga saat ini. Pada dasarnya, kekerasan adalah fenomena yang telah ada sejak awal sejarah umat manusia. Ini bisa dirujuk pada kisah al-Qur’an tentang pembunuhan Habil dan Qabil, putra Adam. Bahkan sebelum manusia diciptakan di bumi ini, al-Qur’an telah memuat kisah dialog antara Tuhan dan Malaikat yang secara tersirat mengindikasikan bahwa manusia akan selalu berbuat kerusakan di bumi. Dan melakukan tindak kekerasan kepada sesamanya. Oleh karena itu kekerasan “seakan” sudah inheren dalam diri manusia. Namun demikian, meskipun al-Qur’an melegitimasi adanya tindak kekerasan, al-Qur’an tetap menegaskan bahwa kekerasan itu merupakan kejahatan yang harus dicegah. Untuk memahami hal ini, perlu diidentifikasikan jenis- 12 13 Frans Magnis Suseno, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 200-207. Ibid, hlm. 238 jenis kekerasan yang terjadi dimasyarakat. Jack D. Douglas dan Frances C. Walksler mengatakan bahwa ada empat jenis kekerasan yang dapat diidentifikasi, yaitu: 1. Kekerasan terbuka, kekerasan yang dapat dilihat, misalnya, perkelahian. 2. Kekerasan tertutup, kekerasan tersembunyi atau tdak dilakukan langsung, seperti perilaku mengancam. 3. Kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk protektif, tetapi untuk mendapatkan sesuatu; dan 4. Kekerasan defensif, kekerasan hanya untuk perlindungan diri. Sedangkan Ted R. Gurr, seperti disebutkan oleh Prasetyo (2001: 3) memandang kekerasan sebagai hasil dari hubungan sosial atau struktur di mana para pelaku tersebut berada. Keberadaan nilai dan norma hanya sebagai “imperatif struktural” yang terinternalisasi dalam diri individu. Karenanya setiap ada kekerasan, bagi pendekatan ini, selalu melihat sebabnya dari produk sebuah struktur. Jelas berbeda dengan mereka yang memandang bahwa kekerasan itu sepenuhnya tergantung pada faktor minat, watak, dan motivasi seorang individu. Pertentangan antara kedua pandangan di atas, ditengahi oleh Anthony Giddens dengan engatakan bahwa struktur dan subyek selalu berada dalam kedudukan saling memperngaruhi. Struktur sosial tidak saja menimbulkan kendalabagi tindakan manusia, melainkan juga menciptakan peluang dalam melakukan tindakan secara otonom. Karena itu kekerasan, menurut Giddens, merupakan dialektika antara lemahnya nilai moral individu dengan kuatnya tekanan struktur di sisi lain. Dari uraian tersebut, pereduksian diri manusia terhadap manusia yang lain merupakan pangkal dari akar kekerasan itu sendiri. Dari sana timbul usaha-usaha untuk memojokkan dan merendahkan orang lain dan bahkan berusaha untuk membenci dan memusuhinya. Reduksi ini beredar dalam segala sendi kehidupan, tergantung dalam kapasitas apa pereduksian itu muncul. Oeh karena itu, apa yang menjadi tesis Giddens mengenai keterlibatan moral dengan struktur kekuasaan berkorelasi dengan sikap pereduksian diri manusia lain ini. artinya moral individu atau masyarakat yang tidak baik akan selalu melakukan pereduksian diri terhadap manusia lain manakala dari segi ras, suku, agama, ekonomi, politik berbeda atau mengancam eksistensi pribadi atau komunal dirinya. Di samping itu, untuk melihat sejauh mana manusia sampai melakukan reduksi terhadap diri sendiri dan manusia lainnya, ada baiknya kita tinjau dari kajian psikologi, apa yang menjadi motivasi di belakang tindak kekerasan oleh manusia. Karenanya Eric Fromm mengutarakan bahwa ada lima motivasi manusia melakukan tindak kekerasan, yaitu: pertama, kekerasan permainan (playful violence), seperti pertandingan tinju dan sabung ayam; kedua, kekerasan reaktif (reactive violence), seperti orang membunuh pencuri; ketiga, kekerasan balas dendam (revengeful violence), seperti orang yang membunuh akibat adanya pertikaian antar kelompok atau individu sebagai bentuk kausalitas kasus; keempat, kekerasan akibat hilangnya kepercayaan (shattering of faith), seperti orang yang menjadi pembunuh karena tidak percaya lagi terhadap masa depannya atau kekecewaan terhadap pemimpin yang semula dikagumi; dan kelima, kekerasan kompensasi (compensatory violence) seperti orang yang bersikap kasar terhadap istrinya untuk mengimbangi kelemahannya.14 Pada dasarnya akar kekerasan tidak pernah tunggal. Kekerasan sebagai antitesis sifat dasar atau kodrat manusia jelas mengandaikan miskinnya pengertian dan penghayatan mengenai kodrat manusia. Manusia seringkali mereduksi diri sendiri dan sesamanya dalam konsep-konsep yang tidak berkaitan dengan keluhuran eksistensinya. Manusia kerap direduksi dalam asal-usul suku atau warna kulit, dalam kekayaan ekonomi, dalam kekayaan dan keragaman ideologis, dalam kepartaian kelompok politik maupun keagamaan, atau dalam pluralitas agama. 15 Dari sinilah kemudian muncul kekerasan. Begitu juga dengan di Indonesia, pengaruh asal usul, suku atau warna kulit, kekayaan ekonomi, keyakinan ideologis, perbedaan kelompok politik maupun keagamaan atau juga perbedaan agama, menjadi penentu dari tindak kekerasan. Hal inilah yang menjadi fenomena kekerasan di Indonesia. Sehubungan dengan hal itu, di sini akan dieksplorasi beberapa akar kekerasan yang terjadi di Indonesia. Secara umum ada beberapa akar kekerasan yang bisa diidentifikasi di Indonesia yaitu: a. Kekerasan karena perbedaan Sosial dan Ekonomi Dikutip oleh Drajat Setiio Soemitro, “Sacred Violence: Kekerasan di Indonesia dalam Pendekatan Psikodinamik” dalam Jurnal Psikologi Sosial No. IV (Januari 1998), hlm. 53-54. 15 Armada Riyanto CM., “Melacak Akar Kekerasan; Perspektif Filsafat” dalam Pradana Boy ZTF, dkk. (edit.), Membongkar Praktek KekerasanMenggagas Kultur Nir-Kekerasan, (malang: Pusat Studi Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang bekerja sama dengan Sinergi Press, 2002), hlm. 4-5. 14 Hal yang paling mendasar dalam konteks ini adalah kemiskinan dan perbedaan status sosial. Kemiskinan merupakan gejala yang berlaku universal, karena kemiskinan terjadi di mana-mana di dunia ini. di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masalah kemiskinan merupakan masalah yang sangat kompleks. Sehingga jika tidak diperhatikan secara serius akan mengarah kepada konflik sosial yang sangat parah. Contoh konkrit dari praktek kekerasan karena perbedaan status sosial dan ekonomi ini adalah maraknya penjarahan, pengrusakan, pemerkosaan dan tindak kekerasan lain terhadap etnis Cina pada akhir Orde Baru dan awal Orde Reformasi b. Kekerasan Politik Untuk menerangkan tentang kekerasan politik di Indonesia, maka di sini akan dibahas juga tentang sejarah perjuangan politik bangsa Indonesia. Sebelum abad ke-20, pola gerakan politik Indonesia masih bersifat komunal dengan solidaritas yang bersifat mekanis. Solidaritas sosial ini berkembang dalam struktur masyarakat agraris da biasanya berpusat pada tokoh-tokoh karismatis. Artinya, pengertian “nasionalisme” terbatas dalam konsep etnik-kultural. Hal ini dibuktikan dengan perjuangan pada masa penjajahan dahulu yang dilakukan oleh para pejuang yang sifatnya masih lokal. Sebut saja perjuangan Diponegoro di Jawa, Imam Bonjol di Sumatera Barat, dan lain-lain. Mereka pada umumnya masih bersifat kedaerahan dan muncul ke permukaan pada saat kepentingan agama dan etnis kebudayaan mereka diganggu oleh pihak asingyang mereka anggap kafir. Mereka memerangi kaum kafir dengan memakai simbol-simbol agama (terutama Islam) yang bercampur dengan identitas kultural masing-masing. Oleh karena itu, peran agama dan budaya dalam perjuangan kmerdekaan Indonesia sangat besar. Sampai pada masa kemerdekaan, peran Islam pun masih sangat mendominasi segala tindakan dan kebijakan para penguasa yang memang secara mayoritas beragama Islam. Sehingga dalam konteks ini muncul politisasi agama oleh penguasa. Namun demikian, menurut Frans Magnis Suseno, ada dua kemungkinan manakala ada orang berpolitik atas nama agama. Pertama, ada orang beragama yang berpolitik, tetapi tidak secara eksplisit atas nama agamanya. Kedua, berpolitik tapi secara eksplisit mengatasnamakan agamanya.16 Disamping pada masa Orde Lama (yang tidak dibicarakan secara lengkap di sini), pada masa Orde Baru, kekerasan karena faktor politik juga berlangsung dengan eskalasi yang berbeda dengan apa yang terjadi pada masa Orde Lama. Tindakan represif penguasa tidak lagi berkutat pada perbedaan ideologi politik, namun terjadi karena penguasa ingin mempertahankan status quo yang didukung oleh kekuatan militer. Tindakan represif penguasa seringkali terjadi, terutama di awal tahun 1970-an terhadap penentang eksistensi Orde baru yang diktator dan otoriter. Hal ini terjadi karena adanya perubahan sosial yang sangat cepat di bidang sosial, politik, ekonomi, ekologi, struktural, kultural dan ideasional pada masa Orde Baru sehingga cenderung menyebabkan terjadinya diskontinuitas, dislokasi, dan inkonsistensi, yang membawa kegoncangan, frustasi, ketegangan, ketakutan, alienasi, konflik, dan kritis adaptasi bagi sebagian kelompok masyarakat tertentu. Krisis adaptasi atau ketidakmampuan dalam proses penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan yang dihadapi pada masa ini, baik dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik, maupun kultural, pada hakekatnya menjadi sumber timbulnya aksi protes, kerusuhan, dan kekerasan pada masa ini.17 c. Kekerasan Karena Perbedaan Agama Dari sekian banyak akar kekerasan yang ada di masyarakat, kekerasan atas nama agama mempunyai intensitas yang paling besar. Karena di dalamnya sudah berkembang bentuk-bentuk kekerasan yang kompleks. Kekerasan atas nama agama bisa masuk ke jalur kekerasan terbuka dan bahkan lebih berbahaya manakala kekerasan itu masuk ke jalur kekerasan tertutup. Kekerasan pada segmen ini biasanya bersifat ofensif, reaktif, dan radikal, namun bisa juga terekayasa lewat aksi terselubung (teror dan sebagainya). Kekerasan dan anti kekerasan adalah dua hal yang berbeda dan saling berlawanan dan bahkan cenderung kontradiktif. Kekerasan adalah kejahatan, sedagkan anti16 Wawancara Ulumul Qur’’an dengan Frans Magnis Suseno, Kekhawatiran Itu Bisa Dimengerti”, dalam jurnal Ulumul Qur’an, edisi No. 1. Vol. VI. Tahun 1995, hlm. 34. 17 Djoko Suryo, “Kerusuhan Lokal dalam Perspektif Sejarah”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Edisi No. 5, vol. VII, tahun 1997, hlm. 21. kekerasan lebih manusiawi dan lebih damai. Kekerasan adalah tindak kriminal, sedangkan anti-kekerasan adalah tindakan yang salah dan tulus.18 Pada dasarnya komitmen anti-kekerasan merupakan tujuan luhur manusia. Karena itu perjuangan anti-kekerasan mutlak diperlukan dalam upaya untuk memenuhi tujuan luhur manusia itu. Dalam perjalanannya, anti-kekerasan dan kekerasan itu menemui suatu dialektika yang berkesinambungan. Di manapun, apabila ada kekerasan maka disitu pula ada perjuangan anti-kekerasan. Karena itu, dialektika kekerasan dan anti-kekerasan merupakan suatu konsep yang relatif, namun tidak mengarah kepada relativistik, karena komitmen anti-kekerasan pada dasarnya adalah luhur. Relatif yang dimaksud artinya sangat bergantung kepada kelas sosial, besar kecilnya negara, siapa yang menindas dan siapa korbannya, bergantung kepada kultur, dan lain-lain.19 Penutup Dari pembahasan terkait persoalan tersebut di atas didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pada dasarnya penganut agama bisa hidup berdampingan secara damai dalam sebuah masyarakat serta saling menjaga batas-batas dan hak masing-masing. Untuk mewujudkan dan mendukung pluralisme tersebut, diperlukan adanya toleransi. Namun meskipun hampir semua masyarakat saat ini sudah mengakui adanya kemajemukan sosial, tapi kenyataannya, permasalahan toleransi ini masih sering muncul dalam suatu masyarakat. 2. Dalam upaya untuk membangun hubungan sinergis antara pluralisme, multikulturalisme dan Islam, setidaknya diperlukan dua hal; pertama, penafsiran ulang atas doktrin-doktrin keagamaan ortodoks yang sementara ini dijadikan dalih untuk bersikap eksklusif dan opresif. Kedua, mendialogkan agama dengan gagasangagasan modern. 3. Keragaman dan adanya perbedaan menjadi salah satu sumber munculnya kekerasan. Sehingga pada dasarnya akar kekerasan tidak pernah tunggal. Pengaruh 18 Hassan Hanafi, Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer, (Yogyakarta, Penerbit Jendela, 2001), hlm. 38-39. 19 Ibid., hlm. 50. keyakinan ideologis, perbedaan kelompok politik maupun keagamaan atau juga perbedaan agama, menjadi penentu dari tindak kekerasan. Hal inilah yang sering menjadi penyebab munculnya fenomena kekerasan di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Budhi Munawar Rahman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Paramadina, 2001. G. Vajda, “Ahlu al-Kitab” dalam Encyclopaedia of Islam, Leiden : E.J. Brill, 1960. Harold Coward, Pluralisme dan Tantangan Agama-Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1989. Kate Zebiri, Muslim and Christian Face to Face, Oxford: Oneworld Publications, 1997. Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.) Passing Over: Melintasi Batas Agama, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999. Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas, Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, terj. Abdul Hayyie al-Kattanie, Jakarta: Gema Insani Press, 1999. Mun’im A. Sirry, Agama, Demokrasi dan Multikulturalisme, harian Kompas, Kamis 1 Mei 2003. Syafa’atun Elmirzana, Pluralisme, Konflik, Dialog, dan Perdamaian (Perspektif Islam), makalah tidak diterbitkan. 2000. Xafier Irudayaraj, “One God and Many Religions”, dalam Jurnal Indian Missiological Review, Juni 1996. W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought, Edinburg: The University Press, 1987.