BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Individu

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Individu menikah merupakan bagian dari sistem keluarga dimana perilaku mereka
dapat mempengaruhi anggota keluarga lainnya, sistem keluarga yang dimaksud adalah satu
kesatuan ikatan hubungan yang dinyatakan secara biologis maupun ikatan komitmen yang
menyiratkan kedudukan seseorang dalam hubungan tersebut (Becvar & Becvar, 1999).
Keluarga adalah lembaga sosial dasar darimana semua lembaga sosialnya berkembang. Di
masyarakat manapun di dunia, keluarga merupakan kebutuhan manusia yang universal dan
menjadi pusat terpenting dari kegiatan dalam kehidupan individu (Sarwono & Meinam,
2009).
Pernikahan adalah salah satu lembaga yang penting dalam kehidupan sosial manusia,
hubungan ini dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat dan berdampak langsung terhadap
kesejahteraan masing-masing individu dan lingkungan sosialnya (Stutzer et al, 2005). Alasan
yang mendominasi sebagai dasar individu melakukan pernikahan adalah cinta, harapan masa
depan yang lebih cerah, keinginan memiliki umur yang panjang, bayangan akan kondisi
keuangan yang baik, jaminan keamanan, kesehatan yang lebih baik dan seks (Waite &
Gallagher, 2011).
Meskipun pernikahan diawali dengan niat dan tujuan yang mulia namun sayangnya
perceraian terus terjadi didalam kehidupan pasangan menikah. Perceraian berawal dari
adanya konflik yang tidak dapat diselesaikan diantara pasangan, konflik yang berkepanjangan
akan mengarahkan kedua individu yang terikat komitmen pada keputusan untuk bercerai
(Dagun, 2002). Konflik dalam perkawinan tidak dapat dihindari, namun yang terpenting
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
adalah kemampuan menempatkan konflik pada porsinya dan berusaha mencari jalan keluar
terbaik dari konflik tersebut (Sadarjoen, 2005).
Beberapa ahli yang mencoba mencari penyebab timbul konflik yang menyebabkan
runtuhnya ikatan pernikahan yang berdampak secara luas pada semua aspek kehidupan
individu menikah yang berkonflik, sehingga diperoleh satu hasil yang dapat membantu
pasangan menghindari perceraian dimasa depan. Dari sudut pandang biologis kekurangan zat
– zat kimia dalam otak dianggap dapat menjadi salah satu penyumbang munculnya banyak
konflik dalam diri individu yang berdampak pada hubungan dengan pasangan yang kemudian
dapat mempengaruhi kestabilan hubungan itu sendiri (Fisher, Aaron, Mashek & Brown,
2002).
Ketika pria dan wanita memutuskan untuk menikah kedua insan ini dipenuhi oleh
senyawa-senyawa yang hanya ada saat jatuh cinta dan diinisiasi dalam tubuh sehingga kedua
insan merasakan segala sesuatu indah dan begitu menyenangkan (Fisher, 2001). Ketika
seseorang jatuh cinta, bagian otak yang bernama Ventral Tegmental Area (VTA) dan Nucleus
Caudatus menjadi lebih aktif karena memproduksi zat kimia otak bernama Dopamine,
hormon yang sangat penting dalam hal cinta, disertai juga hormon Endorfin, Feromon,
Oxytocin, Neuropinephrine yang membuat seseorang merasa bahagia, berbunga-bunga dan
berseri-seri (Marrazitti & Canale, 2004).
Zat – zat kimia yang diproduksi di dalam otak dianggap bisa menjadi salah satu faktor
pendukung dalam keharmonisan rumah tangga dan kebahagiaan hidup, ada satu zat kimia
lainnya yaitu Phenilethylamine, senyawa ini membantu pasangan suami-istri untuk dapat
mejalankan kehidupan rumah tangga dengan penuh perasaan optimis dan bahagia apapun
masalah yang datang (Marrazitti & Canale, 2004; Liebowitz, 1983). Namun sayangnya
setelah seseorang menikah senyawa ini hanya bertahan 4 tahun, dan setelah 4 tahun
pernikahan senyawa ini akan habis dan tidak diproduksi lagi oleh tubuh (Sternberg & Weis,
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
2006; Fisher, 1992). Tidak hanya faktor biologis yang mempengaruhi seseorang dalam
mempertahankan pernikahan, banyak faktor lainnya salah satunya adalah kemampuan
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari (Gottman & Driver, 2004) dan
penggunaan humor dalam kehidupan pernikahan sebagai penyeimbang emosi (Smith &
Segal, 2016).
Jumlah perceraian di Indonesia sangat mengkhawatirkan dari tahun ke tahun, seperti
dikutip dari laman online Republika, menulis bahwa data perceraian di Indonesia semakin
mencemaskan dari waktu ke waktu, pada tahun 2011 secara keseluruhan di wilayah Indonesia
terjadi peristiwa pernikahan sebanyak 2.319.821 sementara peristiwa perceraian sebanyak
158.119 peristiwa. Berikutnya pada 2012, peristiwa pernikahan yang terjadi sebanyak
2.291.265 peristiwa sementara yang bercerai berjumlah 372.577. Pada pendataan terakhir
yakni 2013, jumlah peristiwa pernikahan
menurun dari tahun lalu menjadi sebanyak
2.218.130 peristiwa. Namun tingkat perceraiannya meningkat menjadi 14,6 persen atau
sebanyak 324.527 peristiwa, dan di tahun 2013 BKKBN menyatakan tingkat perceraian di
seluruh wilayah Indonesia sudah menempati urutan tertinggi se Asia Pasifik (Sasongko,
2014).
Secara spesifik untuk wilayah Jakarta Barat kasus perceraian juga mengalami
peningkatan berdasarkan catatan dari Pengadilan Agama Jakarta Barat pada tahun 2014
sebanyak 1723 perkara cerai diterima oleh pengadilan agama Jakarta Barat atau meningkat
222 perkara cerai dari tahun 2013 (Pa-JakBar, 2014). Kedua data diatas merupakan hasil
pencatatan kasus perceraian dari Pengadilan Agama Islam dan belum termasuk kasus
perceraian yang diputuskan oleh Kantor Catatan Sipil, yang terkait dengan agama yang
dipeluk oleh pasangan menikah.
Jumlah kasus perceraian yang meningkat dari tahun ke tahun tentu bukanlah hal yang
bisa dibanggakan karena perceraian tidak hanya berdampak pada pasangan tersebut namun
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
juga berdampak pada aggota keluarga lainnya (Becvar & Becvar, 1999). Hasil penelitian
yang dilakukan oleh banyak pakar perkawinan menghasilkan data empirik yang
membuktikan adanya hubungan yang erat antara hancurnya pernikahan dengan hancurnya
sistem keluarga (Sadarjoen, 2005).
Perceraian merupakan hal yang tidak diinginkan oleh pasangan menikah, karena
sesungguhnya terkadang perceraian bukanlah jalan keluar yang terbaik karena perceraian
akan meningkatkan stress psikologis dan menurunkan kesejahteraan emosional seseorang dan
perceraian tidak hanya berdampak pada kehidupan pasangan suami-istri saja namun
berdampak luas pada semua aspek kehidupan individu tersebut (Dagun, 2002).
Melihat dampak perceraian secara luas dan meninjau dari jumlah perceraian yang
terus meningkat didalam kehidupan masyarakat secara kolektif, sehingga masalah perceraian
ini menjadi masalah sosial bagi masyarakat Indonesia, dimana menurut Soetomo (2008)
masalah sosial ialah suatu kondisi yang tidak diingingkan terjadi oleh sebagai besar dari
warga masyarakat.
Masalah sosial dapat disebabkan beberapa faktor, antara lain : faktor ekonomi, faktor
biologis, faktor psikologis dan faktor budaya. Tidak hanya masalah materi atau keuangan,
adapula kebutuhan sosial termasuk perasaan terkucil dalam kehidupan sosial, ketergantungan,
dan
ketidakmampuan
untuk
berpartisipasi
dalam
masyarakat
karena
kurangnya
pendidikan dan informasi merupakan masalah yang sering dihadapi individu menikah dalam
kehidupan sehari-hari (Soekanto, 2006).
Kasus perceraian di masyarakat merupakan masalah sosial yang terjadi didalam keluarga
sebagai lembaga sosial dasar yang berdampak pada kehidupan masyarakat secara luas. Yang
dimaksud dengan masalah sosial dalam keluarga adalah masalah yang timbul dalam interaksi
sosial dalam ruang lingkup keluarga (Soetomo, 2008). Adapun contoh-contoh masalah sosial
dalam keluarga antara lain adalah :
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga: KDRT adalah kekerasan yang dilakukan di dalam
rumah tangga baik oleh suami maupun oleh istri. Menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT
adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
2. Lepas tangan terhadap kewajiban dalam keluarga: Semua anggota keluarga yang lepas
tangan dalam suatu kewajiban keluarga dapat menjadi suatu masalah dalam keluarga itu
sendiri.
3. Perceraian: Perceraian adalah putusnya hubungan suami-istri dalam waktu sementara atau
selamanya. Dan menurut hukum Islam perceraian adalah jatuhnya talak suami pada
istri. Perceraian bisa terjadi karena berbagai sebab.
Masalah sosial dipengaruhi oleh budaya dimana sumber masalah itu berada,
kehidupan perkotaan dan pedesaan tidak dapat disamakan mengenai permasalah sosial yang
ada disana, jadi dapat dikatakan masalah sosial merupakan suatu respon bergantung kapan
dan dimana masalah itu timbul sehingga berdampak terhadap kehidupan sosial seseorang dan
lingkungan sosialnya (Loseke, 2010).
Masalah sosial tidak dapat dipecahkan hanya oleh individu melainkan melalui
tindakan secara kolektif melalui rekayasa sosial seperti aksi sosial, kebijakan sosial atau
perencanaan sosial, karena penyebab dan akibatnya bersifat multidimensional dan
menyangkut banyak orang (Suharto, 2011).
Fromm (Soekanto, 2006) mengatakan bahwa jika suatu masyarakat ingin berfungsi
secara efisien, maka anggotanya harus memiliki sifat yang membuat mereka ingin berbuat
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
sesuai dengan apa yang harus mereka lakukan sebagai anggota masyarakat. Mereka harus
menghentikan kegiatan mereka secara obyektif dan sadar tanpa paksaan yang berarti.
Masalah sosial dapat dikendalikan dengan mensosialisasikannya kepada individu
sebagai bagian dari anggota kelompok sosial, sehingga mereka mampu menjalankan peran
sesuai dengan apa yang diharapkan. Pada umumnya orang cenderung mengulang sesuatu
yang menyenangkan dan menghindari sesuatu yang tidak mengenakkan. Orang senantiasa
menghindari masalah, karena masalah selalu tidak menyenangkan (Suharto, 2011).
Konflik yang muncul dalam pernikahan tidak akan menjadi masalah yang
berkepanjangan jika salah satu dari pasangan atau bahkan keduanya memutuskan untuk
mengalah (Sadarjoen, 2005). Seiring berjalannya waktu, dalam kehidupan pernikahan akan
ada kemungkinan munculnya berbagai masalah yang dapat mempengaruhi keharmonisan
rumah tangga, namun semuanya itu dapat diatasi jika masing-masing individu memiliki
kemampuan memecahkan masalah yang baik dalam kehidupan pernikahan, kemampuan
memecahan masalah sosial pada pasangan disertakan sebagai keterampilan yang dapat
membantu pasangan untuk menghindari perceraian (Tallman & Hsiao, 2004).
Dalam menjaga kestabilan hubungan dalam pernikahan, individu menikah
membutuhkan kemampuan memecahkan masalah sosial untuk membantu mengatasi berbagai
perbedaan yang kelak berpotensi menjadi konflik (Murphy, 2015). Penelitian menunjukkan
bahwa individu menikah yang mampu mempertahankan pernikahan dalam waktu yang lama
memiliki stabilitas dalam kehidupan mereka, yang merupakan faktor penyumbang dalam
memecahkan masalah (Duba, Hughey, & Burke, 2012).
Tidak hanya masalah pernikahan dan kehidupan berpasangan, individu menikah juga
menghadapi tantangan dalam area sosial yang dapat menjadi penyebab munculnya konflik
yang dan berpotensi terjadinya perceraian dikemudian hari (Murphy, 2015). Kemampuan
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
dalam memecahkan berbagai masalah diperlukan individu menikah untuk dapat menjalani
kehidupan pernikahan yang bahagia dan sehat (Driver & Gottman, 2004).
Pemecahan masalah didefinisikan sebagai bagian dari proses perilaku kognitif yang
terarah yang dilakukan oleh individu, pasangan ataupun grup dengan tujuan untuk
mengidentifikasi atau menemukan solusi yang efektif untuk masalah spesifik yang biasa
ditemui dalam kehidupan sehari-hari (Chang, D’Zurilla & Sanna, 2004; D’Zurilla &
Goldfried, 1971). Proses perilaku kognitif ini membuat beberapa kemungkinan solusi yang
cukup potensial dan efektif untuk masalah-masalah umum dan memilih solusi yang paling
efektif dari sekian banyak alternatif yang ditemui (D’Zurilla & Olivares, 1995).
Secara khusus dalam menghadapi tekanan hidup sehari-hari kemampuan memecahkan
masalah dapat menjadi sarana coping yang positif yang berguna untuk meningkatkan
perspektif seseorang terhadap hidup dan meningkatkan sense of well-being pada individu
menikah, selain itu ditemukan fakta bahwa kemampuan memecahkan masalah sosial
memiliki peranan yang penting dalam kehidupan sehari-hari individu menikah dan dapat
menurunkan kecemasan yang diakibatkan masalah sosial yang dihadapi baik secara individu
maupun berpasangan (Chang, D’Zurilla & Sanna, 2004)
Definisi ini menyiratkan bahwa pemecahan masalah sosial mengandung unsur
kesadaran, rasional, berorientasi pada hasil dan merupakan aktifitas yang memiliki tujuan.
Tergantung pada goal atau tujuan dari pemecahan masalah, proses ini bisa bertujuan untuk
merubah situasi agar menjadi lebih baik, mengurangi tekanan emosional atau keduanya
(Murphy, 2015).
Pemecahan masalah sosial (Social Problem Solving) yang digunakan dalam penelitian
ini merupakan istilah pada proses pemecahan masalah yang mengacu secara spesifik pada
lingkungan kehidupan keseharian atau “dunia yang sebenarnya” (Chang, D’Zurilla & Sanna,
2004). Namun, kata sifat sosial tidak dimaksudkan untuk membatasi studi mengenai
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
kemampuan memecahkan masalah. Hal ini digunakan didalam konteks bahwa peneliti
tertarik dan hanya menyoroti fakta pada kemampuan memecahkan masalah tersebut yang
ternyata mempengaruhi fungsi adaptif seseorang didalam kehidupan nyata di lingkungan
sosialnya (Chang, D’Zurilla & Sanna, 2004; D’Zurilla & Nezu, 1982).
Beberapa coping activities dapat mempengaruhi kemampuan memecahkan masalah
sosial (D’Zurilla & Olivares, 1995). Coping mengacu pada kegiatan kognitif dan perilaku
dimana seseorang berupaya untuk mengelola situasi stres tertentu, serta emosi yang mereka
hasilkan. Mengingat ini definisi umum dari coping, pemecahan masalah adalah jelas
merupakan proses coping , tetapi tidak semua proses coping adalah pemecahan masalah
(problem solving) (D’Zurilla & Olivares, 1995; Lazarus & Folkman, 1984).
Dalam penelitian ini pemecahan masalah pada individu menikah dapat dijelaskan
sebagai sebuah proses kognitif yang bertujuan untuk mengidentifikasi atau menemukan solusi
dari sebuah konflik yang dapat diterima dan dapat menyenangkan semua pihak (Butzer &
Kuiper, 2008). Untuk dapat menjalani kehidupan pernikahan yang baik dan menghindari
perceraian dibutuhkan kemampuan memecahkan masalah pada setiap individu menikah
(Murphy, 2015).
Berkaitan dengan pandangan ini, maka kemampuan memecahan masalah sosial dalam
kaitannya pada individu menikah merupakan sebuah usaha dari pendekatan “win-win” untuk
menyelesaikan sebuah konflik daripada perdebatan panjang jika menggunakan pendekatan
“win-lose” (Bressler, Martin, & Balshine, 2006). Solusi merupakan sebuah situasi spesifik
dari tanggapan (kognitif ataupun perilaku) yang diproduksi atau yang dihasilkan dari sebuah
proses pemecahan masalah yang diaplikasikan kedalam situasi problematika yang spesifik
(Huband et al., 2007).
Didalam proses pemecahan masalah sehari-hari dibutuhkan komunikasi yang baik dan
dilakukan dengan cara-cara yang menyenangkan dari masing-masing individu yang terikat
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
komitmen sebagai pasangan untuk membahas perbedaan mereka dan mencapai kesepakatan
pada isu-isu yang sulit agar dapat mempertahankan pernikahan dan menghindari perceraian
(Driver & Gottman, 2004). Kemampuan komunikasi yang baik, hangat dan menyenangkan
penuh dengan canda tawa merupakan salah satu cara memecahkan masalah dan
menyelesaikan konflik pada individu menikah dalam tujuan mewujudkan pernikahan yang
bahagia dan bertahan lama (Campbell & Moroz, 2014).
Masalah komunikasi dalam pernikahan adalah masalah khusus dalam kehidupan
nyata sehari-hari, ketegangan dalam berkomunikasi ketika menghadapi suatu masalah
menjadikan individu menikah mengalami kesulitan untuk keluar masalah tersebut (Lavner et
al., 2014). Kemampuan menyampaikan dan menerima pendapat serta berdiskusi dibutuhkan
oleh individu menikah, namun tentunya cara komunikasi haruslah nyaman dan santai karena
dalam komunikasi pernikahan ada hubungan kelekatan yang mendalam antar individu
(Chong, 2014).
Komunikasi dalam suasana yang menyenangkan dan adanya kepercayaan satu sama
lain, serta hubungan yang saling menguntungkan akan memperbesar kesempatan individu
menikah untuk keluar dari masalah dan memperkaya hubungan daripada hanya sekedar
berdiam diri dan menerima segala sesuatu dengan dalih menghindari masalah (Tallman &
Hsiao, 2004). Dalam kaitannya dengan individu menikah, humor dapat diikutsertakan dalam
komunikasi yang bertujuan menetralkan konflik antara suami dan istri dan sekaligus
menyembuhkan stress akibat konflik (Campbell & Moroz, 2014).
Humor merupakan salah satu jenis komunikasi verbal yang digunakan dalam model
komunikasi Interpersonal (Martin, 2007). Humor merupakan salah satu cara coping dalam
kehidupan sehari-hari dan humor dapat memperkaya hubungan (Martin, 2000). Rasa humor
memegang peranan yang penting dalam konteks pemecahan masalah di kehidupan individu
yang telah menikah (Bradbury & Lavner 2012). Dengan demikian, individu menikah yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
mampu menggunakan SOH (Sense Of Humor) dapat membantu mereka keluar dari situasi
sulit dan memberi kemudahan dalam hubungan mereka satu sama lain serta mampu menjalin
ikatan yang lebih kuat dalam hubungan pernikahan, ketimbang individu menikah yang tidak
menggunakan rasa humor dalam proses pemecahan masalah mereka (Bressler et al., 2006)
Lebih lanjut,
humor
juga
membuat
individu
menikah
dapat
saling
berbagi (sharing) hal-hal yang sangat personal dalam diri mereka (McGee & Sevlin, 2008).
Dalam hal ini tertawa menggambarkan reaksi emosional alamiah sesorang, perilaku tertawa
yang bersifat alamiah adalah ekspresi jujur dari perasaan sebenarnya dalam diri
seseorang (Reece, 2014). Humor memiliki kontribusi yang kuat bagi terciptanya pernikahan
yang berbahagia, melalui humor individu menikah dapat saling terhubung dan memiliki
kemampuan untuk memecahkan masalah yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas
pernikahan (Nickolaisen, 2015)
Rasa humor didefinisikan sebagai apresiasi humor (Thorson & Powell, 1993) dimana
rasa ini muncul sebagai sesuatu yang menyenangkan yang disukai oleh kebanyakan orang.
Tornquist & Chiappe (2015) memiliki pandangan yang sama dengan McGee & Sevlin (2008)
bahwa humor merupakan salah satu pengobatan yang efektif untuk gangguan kesehatan
mental, rasa humor sangat membantu individu menikah dalam menyelesaikan konflik dan
menghadapi situasi problematika yang cukup pelik. Oleh sebab itu rasa humor dapat menjadi
aset positif yang penting yang harus dimiliki oleh individu menikah.
Rasa humor merupakan respon perilaku yang ampuh mempengaruhi cara seseorang
melihat masalah dan memecahkan masalah (Bradbury & Lavner, 2012). Menggunakan rasa
humor dalam hubungan dapat memperkaya interaksi yang positif dan dapat membangun
komunikasi yang baik serta menguatkan ikatan individu dalam sebuah hubungan, dimana
membangun sebuah ikatan dan keterikatan dalam hubungan dengan prespektif yang positif
dan menyenangkan (Campbell & Moroz, 2014). Rasa humor memiliki fungsi yang sangat
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
bernilai dalam sebuah hubungan karena dapat mempengaruhi kemampuan memecahkan
masalah (Murphy, 2015). Ketika rasa humor digunakan maka sebuah hubungan menjadi kuat,
menyenangkan dan kualitas ikatan semakin kaya (Butzer & Kuiper, 2008).
Humor dalam pernikahan ternyata tidak hanya bermanfaat bagi individu dalam
menjalankan pernikahan yang bahagia namun juga bermanfaat bagi kedua pasangan dalam
menjalankan peran suami-istri (Winterheld et al., 2013). Meski terkesan tidak penting, humor
merupakan sesuatu yang harus ada dalam kehidupan berumah tangga (Bressler et al., 2006).
Dalam kehidupan kita membutuhkan humor untuk merilekskan otot-otot yang tegang,
meningkatkan kesehatan dan menguatkan daya tahan tubuh (Dowling et al., 2003) serta
mencairkan setiap suasana yang kaku dalam sebuah hubungan, termasuk didalamnya adalah
hubungan pernikahan (C. Liang, 2014)
Rasa humor akan membantu seseorang menghadapi perubahan-perubahan dalam
berbagai aspek kehidupan, dapat memberikan rasa tenang, memberikan keseimbangan dan
membantu seseorang untuk lebih mudah beradaptasi dalam lingkungan tertentu (Tornquist &
Chiappe, 2015). Dengan rasa humor seseorang dapat menghadapi berbagai situasi, bahkan
situasi–situasi yang paling sulit sekalipun dan dapat keluar tanpa cedera atau menambah
masalah (Reece, 2014). Dalam upaya itulah maka penelitian mengenai hubungan rasa humor
dan kemampuan memecahkan masalah pada pasangan menikah di Jakarta Barat ini
dilakukan.
1.2. Pembatasan dan Rumusan masalah
1.2.1. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini terarah, terfokus dan tidak meluas, penulis membatasi penelitian
pada hubungan rasa humor (sense of humor) dengan kemampuan memecahkan masalah
sosial (social problem solving ability). Adapun untuk mengukur rasa humor dan kemampuan
memecahkan masalah sosial pada individu yang telah menikah menggunakan kuisioner yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
telah diadaptas berdasarkan teori yang menjadi panduan penelitian ini yaitu teori sense of
humor dari Thorson & Powell (1993), serta teori social problem solving ability dari
D’Zurilla, Nezu & Olivares (1995). Penelitian ini di fokuskan pada individu menikah dengan
usia pernikahan diatas 4 tahun yang berdomisili di Jakarta Barat.
1.2.2. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : “Apakah terdapat Hubungan antara Rasa
Humor dengan Kemampuan Memecahkan Masalah Sosial Pada Individu Menikah ?”
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian kuantitatif ini adalah untuk mengetahui hubungan rasa humor
terhadap kemampuan pemecahan masalah sosial pada individu yang telah menikah.
1.4. Manfaat Penelitian
A. Bagi Peneliti
Melalui penelitian ini, ilmu yang selama ini sudah diperoleh peneliti selama masa
studi dapat diaplikasinya secara nyata, selain tentunya melalui penelitian ini peneliti dapat
meningkatkan pengetahuan dalam kajian ilmu psikologi terutama dalam bidang psikologi
sosial.
B. Bagi Institusi
Melalui kajian dan penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memperkaya koleksi
keilmuan Universitas Mercu Buana yang dapat digunakan sebagai refrensi bagi mahasiswa
yang akan melakukan penelitian sejenis.
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
C. Bagi Masyarakat dan Pihak terkait
Diharapkan hasil penelitian ini memberi kontribusi dalam membuat kebijakan untuk
menyelesaikan masalah sosial, terutama masalah sosial terkait individu menikah dan
keluarga. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat membuka wawasan masyarakat
mengenai hubungan rasa humor dengan kemampuan memecahkan masalah sosial.
http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Download