BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
Bab II Tinjauan Pustaka
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.1 Tinjauan Pustaka
Konstruksi yang direncanakan secara keteknikan dibangun bertumpu pada tanah, harus
didukung oleh pondasi. Saat ini berkembang menuju konstruksi yang lebih ekonomis dengan
perencanaan dan penggunaan bahan berkekuatan tinggi.
Pondasi adalah bagian dari sistem rekayasa yang meneruskan beban yang ditopang oleh
pondasi (struktur atasnya, upper structure, bagian sistem yang direkayasa, yang membawa
beban ke pondasi (struktur bawah) melalui bidang antara interface/tanah) serta berat sendiri ke
dalam tanah dan batuan tang terletak di bawahnya (Braja M. Das, 1941). Tergantung pada berat
bangunan, fungsi bangunan, besar bangunan yang akan dipikul, keadaan tanah serta hal nonteknis yaitu biaya pengerjaannya dibandingkan dengan biaya bangunan diatasnya.
Penentuan kapasitas daya dukung pondasi dipengaruhi oleh banyak faktor, beberapa
diantaranya jenis faktor jenis pondasi yang digunakan, pengujian lapangan yang dilakukan,
metode pemasangan pondasi, dan rumus-rumus perhitungan yang digunakan. Penelitian
tentang perbandingan pondasi bore pile dengan inner-bore system pada gedung ini dibuat untuk
mengetahui sejauh mana perbandingan yang satu dengan yang lainnya ditinjau dari segi metode
pelaksanaan, kekuatan, maupun dari segi biaya.
Referensi diperoleh dari laporan Tugas Akhir dan jurnal yaitu: Zahro, 2012, Analisis
Perbandingan Tiang Pancang dengan Pondasi Sumuran pada Jembatan Pangotan Kecamatan
1
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Arjosari Kabupaten Pacitan Ditinjau Dari Segi Biaya, Kekuatan,dan Metode Pelaksanaan. Data
pendukung selanjutnya dari Jakti, 2013, Analisis Perbandingan Biaya, Waktu Pelaksanaan
Tiang pancang dan Tiang Bor Studi Kasus Perencanaan Rumah Sakit Kelas B Bandung. Dan
dilakukan oleh Ratsangka, 2015, yaitu Analisis Perbandingan Kekuatan, Metode pelaksanaan,
dan Biaya antara Bored Pile dan Driven Pile pada Pembangunan Hotel Best Western Adi
Sucipto Yogyakarta. Tugas akhir dan jurnal lain yang pernah dilakukan berkaitan dengan
pondasi selanjutnya yang digunakan sebagai referensi dalam Tugas Akhir ini teragkum dan
disajikan dalam tabel 2.1
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Tabel 2.1 Referensi penelitan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
I.2
Pengertian Dasar
Pondasi adalah bagian dari suatu bangunan atau konstruksi bangunan yang terletak pada bagian
bawah dari bangunan tersebut yang merupakan landasan berpijak bangunan. Karena pondasi
menerima beban vertikal dari bangunan diatasnya dan meneruskan ke tanah dibawahnya, maka
fungsi dari pondasi adalah memindahkan atau membagi beban bangunan yang baik beban mati
(beban sendiri & beban tetap bangunan) maupun beban hidup (beban yang bergerak). Pondasi
merupakan bagian konstruksi bangunan yang berfungsi sebagai penopang bangunan dan
meneruskan beban di atasnya (upper structure) ke lapisan tanah yang cukup memiliki daya
dukung yang cukup yaitu lapisan tanah keras (Zainal N. dan Sri Respati, 1995). pada dasarnya
memiliki fungsi sebagai berikut, yaitu:
1.
Mendistribusikan
dan
memindahkan
beban–beban
pada
bangunan
atas (upper
structure) ke pondasi dan akan diteruskan ke tanah di bawahnya (lapisan tanah keras);
2.
Memberikan kestabilan pada struktur diatasnya yang memikul beban horizontal
akibat angin, gempa dan lain–lain karena pada dasarnya pondasi hanya dapat menerima
beban horizontal;
3.
Mengatasi penurusan akibat beban struktur bangunan yang berlebihan.
Menurut Hary Chrisstady Hardiyanto (2011), pondasi bangunan pada umunya dibedakan
menjadi dua yaitu pondasi dangkal (Shallow Foundation) dan pondasi dalam (deep
foundation). Untuk mengetahui suatu bangunan itu memakai pondasi dangkal atau pondasi
dalam maka tergantung kedalaman dan lebar pondasi, dengan berpedoman sebagai berikut:
1.
Jika kedalaman dasar pondasi dari muka tanah adalah kurang atau sama dengan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
lebar pondasi (Df ≤ B) maka disebut pondasi dangkal.
2.
Jika kedalaman pondasi dari muka tanah adalah lebih dari lima kali lebar fondasi
(Df > 5B) maka disebut pondasi dalam.
Pondasi dangkal : Df ≤ B
Df
Pondasi dalam
: Df < B
B
Gambar 2.1 Penampang Pondasi
I.3
Tanah
Definisi tanah
Tanah merupakan kumpulan butiran (agregat) mineral alami yang bisa dipisahkan oleh suatu
cara mekanik bila agregat tersebut diaduk dalam air atau kumpulan mineral, bahan organic
dan endapan-endapan yang relative lepas (loose), yang terletak diatas batuan dasar (bedrock).
Menurut Suyono Sosrodarsono (1984:8) tanah didefinisikan sebagai partikel-partikel mineral
yang tersemen maupun yang lepas sebagai hasil pelapukan dari batuan, dimana rongga
pori antar partikel terisi oleh udara dan atau air. Akibat pengaruh cuaca dan pengaruh lainnya,
tanah mengalami pelapukan sehingga terjadi perubahan ukuran dan bentuk butirannya.
Pelapukan batuan dapat disebabkan oleh pelapukan mekanis, kimia dan organis.
Menurut Harry Cristady Hardiyatmo (2002) tanah adalah himpunan mineral, bahan organik
dan endapan-endapan yang relative lepas (loose), yang terletak diatas batuan dasar (bedrock).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Ikatan antara butiran yang relative lemah dapat disebabkan oleh karbonat, zat organic atau
oksida-oksida yang mengendap diantara partikel-partikel. Ruang diantara partikel-partikel
dapat berisi air, udara maupun keduanya. Proses pelapukan batuan atau proses geologi lainnya
yang terjadi di dekat permukaan bumi membentuk tanah. Pembentukan tanah dari batuan
induknya, dapat berupa proses fisik maupun kimia. Proses pembentukan tanah secara fisik yang
mengubah batuan menjadi partikel-partikel yang lebih kecil, terjadi akibat pengaruh erosi,
angin, air, es, manusia, atau hancurnya pertikel tanah akibat perubahan suhu atau cuaca.
Partikel-partikel mungkin berbentuk bulat, bergerigi maupun bentuk-bentuk diantaranya.
Umumnya, pelapukan akibat proses kimia dapat terjadi oleh pengaruh oksigen.,
karbondioksida, air (terutama yang mengandung asam atau alkali) dan proses-proses kimia
yang lain. Jika hasil pelapukan masih berada di tempat asalnya, maka tanah ini disebut tanah
residual (residual soil) dan apabila tanah berpindah tempatnya, disebut tanah terangkut
(transported soil).
Istilah pasir, lempung, lanau, atau lumpur digunakan untuk menggambarkan ukuran partikel
pada batas ukuran butiran yang telah ditentukan. Akan tetapi, istilah yang sama juga digunakan
untuk menggambarkan sifat tanah yang khusus. Sebagai contoh, lempung adalah jenis tanah
yang bersifat kohesif dan plastis, sedang pasir digambarkan sebagai tanah yang tidak kohesif
dan tidak plastis.
Kebanyakan jenis tanah terdiri dari banyak campuran, atau lebih dari satu macam ukuran
partikel. Tanah lempung belum tentu terdiri dari partikel lempung saja, akan tetapi dapat
bercampur dengan butir-butiran ukuran lanau maupun pasir, dan mungkin terdapat campuran
bahan organik. Ukuran partikel tanah dapat bervariasi dari lebih besar 100 mm sampai dengan
lebih kecil dari 0,001 mm.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Pelapukan mekanis mengakibatkan pecahnya butiran batuan sehingga terbentuk ukuran yang
lebih kecil seperti menjadi kerikil, pasir dan lanau. Sedangkan pelapukan kimia, menghasilkan
kelompok partikel koloida berbutir halus dengan ukuran butirnya lebih kecil dari 0,002 mm.
Ada berbagai macam jenis-jenis tanah untuk klasifikasi tanah dilapangan antara lain :
1. Pasir dan kerikil
Pasir dan kerikil yaitu agregat tak berkohesi yang tersusun dari regmin-regmin sub anguler
atau angular. Partikel berukuran sampai 1/8 inchi dinamakan pasir sedangkan partikel yang
berukuran 1/8 inchi sampai 6/8 inchi disebut kerikil. Fragmen bergaris tengah lebih besar dari
8 inchi disebut boulders (bongkah).
2. Hardpan
Hardpan merupakan tanah yang tahanan terhadap penetrasi alat pemboran besar sekali.
Cirinya sebagian besar dijumpai dalam keadaan bergradasi baik, luar biasa padat, dan
merupakan agregat partikel mineral yang kohesif.
3. Lanau anorganik (inorganic silt)
Lanau anorganik merupakan tanah berbutir halus dengan plastisitas kecil atau sama sekali tidak
ada. Jenis yang plastisitasnya paling kecil biasanya mengandung butiran kuarsa sedimensi,
yang kadang-kadang disebut tepung batuan (rock flour), sedangkan yang sangat plastis
mengandung partikel berwujud serpihan dan dikenal sebagai lanau plastis.
4. Lanau organik (organic silt)
Lanau organik merupakan tanah agak plastis, berbutir halus dengan campuran partikel-partikel
bahan organik terpisah secara halus. Warna tanah bervariasi dari abu-abu terang ke abu-abu
sangat gelap, di samping itu mungkin mengandung H2S, CO2, serta berbagai gas lain hasil
peluruhan tumbuhan yang akan memberikan bau khas kepada tanah. Permeabilitas lanau
organik sangat rendah sedangkan kompresibilitasnya sangat tinggi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
5. Lempung
Tanah
lempung
merupakan
agregat
partikel-partikel
berukuran
mikroskopik
dan
submikroskopik yang berasal dari pembusukan kimiawi unsur-unsur penyusun batuan, dan
bersifat plastis dalam selang kadar air sedang sampai luas. Dalam keadaan kering sangat keras,
dan tak mudah terkelupas hanya dengan jari tangan . Permebilitas lempung sangat rendah.
6. Lempung organik
Tanah lempung organik merupakan lempung yang sebagian sifat-sifat fisis pentingnya
dipengaruhi adanya bahan organik yang terpisah dalam keadaan jenuh lempung organik
cenderung bersifat sangat kopresibel tapi pada keadaan kering kekuatannya sangat tinggi.
Warnanya abu-abu tua atau hitam, dan berbau.
7. Gambut (peat)
Tanah gambut merupakan agregat agak berserat yang berasal dari serpihan makroskopik dan
mikroskopik tumbuh-tumbuhan. Warnanya coklat terang dan hitam bersifat kompresibel,
sehingga tidak mungkin menopang pondasi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Sistem klasifikasi tanah
Sistem klasifikasi tanah adalah suatu sistem penggolongan yang sistematis dari jenisjenis tanah yang mempunyai sifat-sifat yang sama ke dalam kelompok-kelompok dan sub
kelompok berdasarkan pemakaiannya (Braja M. Das, 1995).
Sistem klasifikasi tanah dibuat pada dasarnya untuk memberikan informasi tentang
karakteristik dan sifat-sifat fisis tanah. Karena variasi sifat dan perilaku tanah yang begitu
beragam, sistem klasifikasi secara umum mengelompokkan tanah ke dalam kategori yang
umum dimana tanah memiliki kesamaan sifat fisis. Klasifikasi tanah juga berguna untuk
studi yang lebih terperinci mengenai keadaan tanah tersebut serta kebutuhan akan pengujian
untuk menentukan sifat teknis tanah seperti karakteristik pemadatan, kekuatan tanah, berat isi
dan sebagainya (Joseph E. Bowles, 1989)
Tanah dapat diklasifikasikan secara umum sebagai tanah tidak kohesif dan tanah kohesif atau
sebagai tanah berbutir kasar atau tanah berbutir halus. Istilah ini terlalu umum, sehingga
memungkinkan terjadinya identifikasi yang sama untuk tanah-tanah yang hampir sama
sifatnya. Disamping itu, klasifikasi tersebut di atas tidak cukup lengkap untuk menentukan
apakah tanah itu sesuai untuk suatu bahan konstruksi atau tidak.
Sistem klasifikasi bukan merupakan sistem identifikasi untuk menentukan sifat-sifat mekanis
dan geoteknis tanah. Karenanya, klasifikasi tanah bukanlah satu-satunya cara yang digunakan
sebagai dasar untuk perencanaan dan perancangan konstruksi. Umumnya penentuan sifat-sifat
tanah banyak dijumpai dalam masalah teknis yang berhubungan dengan tanah. Hasil dari
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
penyelidikan sifat-sifat ini kemudian dapat digunakan untuk mengevaluasi masalah-masalah
tertentu seperti :
1) Penentuan penurunan bangunan, yaitu dengan menentukan kompresibilitas tanah. Dari
sini, selanjutnya digunakan dalam persamaan penurunan yang didasarkan pada teori
konsolidasi, misalnya teori Terzaghi.
2) Penentuan kecepatan air yang mengalir lewat benda uji guna menghitung koefisien
permeabilitas. Dari sini kemudian dihubungkan dengan Hukum Darcy dan jaring arus
(flownet) untuk menentukan debit aliran yang lewat struktur tanah.
3) Untuk mengevaluasi stabilitas tanah yang miring, yaitu dengan menentukan kuat geser
tanah. Dari sini kemudian disubstitusikan dalam rumus statika (stabilitas lereng).
Klasifikasi tanah sangat membantu perancang dalam memberikan pengarahan melalui cara
empiris yang tersedia dari hasil pengalaman yang telah lalu. Tetapi, perancang harus berhatihati dalam penerapannya karena penyelesaian masalah stabilitas, kompresi (penurunan), aliran
air didasarkan pada klasifikasi tanah sering menimbulkan kesalahan yang berarti (Lambe,
1979).
Terdapat dua sistem klasifikasi yang sering digunakan, yaitu USCS (Unified Soil
Classification System) dan AASHTO (American Association of State Highway and
Transportation Officials). Sistem-sistem ini menggunakan sifat-sifat indeks tanah
yang
sederhana seperti distribusi ukuran butiran, batas cair, dan indeks plastisitas. Klasifikasi tanah
dari Sistem Unified mula pertama diusulkan oleh Casagrande (1942), kemudian direvisi oleh
kelompok teknisi dari USBR (United State Bureau of Reclamation). Dalam bentuk yang
sekarang, sistem ini banyak digunakan oleh berbagai organisasi konsultan geoteknik.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Klasifikasi sistem USCS (Unified Soil Classification System)
Sistem klasifikasi berdasarkan hasil-hasil percobaan laboratorium yang paling banyak dipakai
secara meluas adalah sistem klasifikasi kesatuan tanah. Percobaan laboratorium yang dipakai
adalah analisis ukuran butir dan batas-batas Atterberg. Semua tanah diberi dua huruf penunjuk
berdasarkan hasil-hasil percobaan ini. Sistem ini mengelompokkan tanah ke dalam dua
kelompok besar, yaitu :
a) Tanah berbutir kasar (coarse grained soil), yaitu tanah kerikil dan pasir dimana kurang
dari 50% berat total contoh tanah lolos ayakan No. 200. Simbol dari kelompok ini
dimulai dengan huruf awal G, adalah untuk kerikil (gravel) atau tanah berkerikil dan S,
adalah untuk pasir (sand) atau tanah berpasir.
b) Tanah berbutir halus (fine grained soil), yaitu tanah dimana lebih dari 50% berat total contoh
tanah lolos ayakan No. 200. Simbol dari kelompok ini dimulai dengan huruf awal M untuk
lanau (silt) anorganik, C untuk lempung (clay) anorganik dan O untuk lanau-organik dan
lempung-organik. Simbol PT digunakan untuk tanah gambut (peat), muck dan tanahtanah lain dengan kadar organik tinggi.
Simbol-simbol lain yang digunakan untuk klasifikasi USCS, adalah :
W
= tanah dengan gradasi baik (well graded)
P
= tanah dengan gradasi buruk (poorly graded)
L
= tanah dengan plastisitas rendah (low plasticity), LL < 50
H
= tanah dengan plastisitas tinggi (high plasticity), LL > 50
Tanah berbutir kasar ditandai dengan simbol kelompok seperti : GW, GP, GM, GC, SW, SP,
SM, dan SC. Untuk klasifikasi yang benar, perlu diperhatikan faktor-faktor berikut :

Persentase butiran yang lolos ayakan No. 200 (ini adalah fraksi halus)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka

Persentase fraksi kasar yang lolos ayakan No. 40

Koefisien keseragaman (Cu) dan koefisien gradasi (Cc) untuk tanah dimana 0-12% lolos
ayakan No. 200

Batas cair (LL) dan indeks plastisitas (IP) bagian tanah yang lolos ayakan No. 40 (untuk
tanah dimana 5% atau lebih lolos ayakan No. 200)
Bilamana persentase butiran yang lolos ayakan No. 200 adalah antara 5 sampai 12%, simbol
ganda seperti : GW-GM, GP-GM, GW-GC, GP-GC, SW-SM, SW-SC, SP-SM dan SP-SC
diperlukan. Cassagrande membagi tanah atas 3 (tiga) kelompok (Sukirman, 1992) yaitu :
a. Tanah berbutir kasar, < 50% lolos saringan No. 200.
b. Tanah berbutir halus, > 50% lolos saringan No. 200.
c. Tanah organik yang dapat dikenal dari warna, bau dan sisa-sisa tumbuh- tumbuhan
yang terkandung di dalamnya.
Cara penentuan klasifikasi tanah Sistem Unified dengan menggunakan diagram alir
diperlihatkan dalam tabel 2.2.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Tabel 2.2 Sistem Klasifikasi Unified
(Sumber : Bowles, 1989)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Tabel 2.3 Sistem Klasifikasi Tanah USCS
Jenis Tanah
Prefiks
Sub kelompok
Sufiks
Gradasi baik
W
Kerikil
G
Gradasi buruk
P
Pasir
S
Berlanau
M
Berlempung
C
Lanau
M
Lempung
C
wL < 50%
L
Organik
O
wL < 50%
H
Gambut
Pt
(Sumber : Bowles, 1989)
Gambar 2.2 Diagram Plastisitas (ASTM )
(Sumber : Bowles, 1989)
Klasifikasi sistem AASTHO (American Association Of State Highway and Transporting
Official)
Sistem ini pertama kali diperkenalkan oleh Hoentogler dan Terzaghi, yang akhirnya diambil
oleh Bureau Of Public Roads. Pengklasifikasian sistem ini berdasarkan kriteria ukuran butir
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
dan plastisitas. Maka dalam mengklasifikasikan tanah membutuhkan pengujian analisis ukuran
butiran, pengujian batas cair dan batas palstis.
Sistem klasifikasi AASHTO (American Association Of State Highway and Transporting
Official) berguna untuk menentukan kualitas tanah dalam perancangan timbunan jalan,
subbase dan subgrade. Sistem ini terutama ditujukan untuk maksud-maksud dalam lingkup
tersebut.
Sistem ini membedakan tanah dalam 8 ( delapan ) kelompok yang diberi nama dari A-1 sampai
A-8. A-8 adalah kelompok tanah organik yang bersifat tidak stabil sebagai bahan lapisan
struktur jalan raya, maka pada revisi terakhir oleh AASHTO diabaikan (Sukirman, 1992).
Tabel 2.4 Sistem Klasifikasi Tanah AASHTO
(Sumber : Bowles, 1989)
Konsistensi dan indeks plastisitas tanah
Konsistensi tanah menunjukkan tahanan daya kohesi atau adhesi butir-butir tanah dengan
benda lain. Hal ini ditunjukkan oleh daya tahan tanah terhadap gaya yang akan merubah bentuk
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
(Deformasi). Gaya tersebut misalnya pencangkulan, pembajakkan dan sebagainya,
(Hardjowigeno, 1995).
Atterberg menjelaskan sifat konsistensi tanah pada kadar air yang bervariasi, yaitu tanah
dipisahkan ke dalam empat keadaan dasar : padat (solid), semi padat (semi-solid), plastik
(plastic) dan cair (liquid). Kadar air (%) dimana terjadi transisi dari keadaan padat ke keadaan
semi padat didefinisikan sebagai batas susut (Shrinkage Limit = SL). Kadar air dimana transisi
dari keadaan semi padat ke keadaan plastis terjadi dinamakan batas plastis (Plastis Limit = PL),
dan dari keadaan plastis ke keadaan cair dinamakan batas cair (Liquid Limit = LL). Batas
tersebut dikenal sebagai Batas Atterberg ( Atterberg limit ) (Das, 1995).
Baver dkk. (1972) menjelaskan lebih lanjut perbedaan antara adhesi dan kohesi yang
menyebabkan plastisitas tanah. Adhesi adalah penarikan fase cair oleh bagian permukaan fase
padat. Molekul-molekul air dapat melekat baik pada permukaan partikel tanah ataupun pada
benda lain yang menempel pada tanah. Kohesi dalam tanah adalah ikatan di antara partikelpartikel tanah karena adanya kekuatan mengikat di antara partikel yamg timbul dari mekanisme
fisika-kimia.

Batas Cair
Bila tanah diaduk dengan air, dengan air lebih banyak daripada bagian tanahnya, maka
sebagian dari bubur ini dapat dialirkan ke bagian lainnya. Tetapi bila air dari bubur tanah ini
diuapkan, maka pada suatu saat bubur ini akan berhenti mengalir. Kadar air pada keadaan ini
disebut batas cair (LL) yang kira-kira sama dengan gaya menahan air dan merupakan jumlah
tertinggi air yang bermanfaat bagi tanaman ( Soedarmo dan Djojoprawiro, 1988).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
●
Batas Plastis
Batas plastis (PL) didefinisikan sebagai kadar air (%), dimana tanah apabila digulung sampai
dengan diameter 1/8 in
(3 mm) menjadi retak-retak. Batas ini merupakan batas terendah
dari keplastisan suatu tanah (Das, 1995). Sedangkan menurut Hardjowigeno (1995), batas
plastis merupakan kadar air dimana gulungan tanah mulai tidak dapat digolek-golekkan lagi.
Bila digolek-golekkan tanah akan pecah-pecah ke segala jurusan.
●
Indeks Plastisitas
Perbedaan antara batas cair dan batas plastisitas suatu tanah dinamakan Indeks plastisitas (
plasticity index = PI ), dengan rumus :
PI = LL – PL…………………………………………………………………….( 1 )
Dimana :
PI
= indeks plastisitas ( %)
LL
= batas cair (%)
PL
= batas plastis (%)
Kriteria Batas plastis serta indeks plastisitas tanah berdasarkan harkat Atterberg dapat dilihat
dalam Tabel 2.5.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Tabel 2.5 Sistem Klasifikasi Tanah USCS
Indeks
Kriteria
Batas Cair (%)
(%)
rendah
< 20
0–5
Rendah
20 – 30
5 – 10
Sedang
31 – 45
10 – 17
Tinggi
46 – 70
17 – 30
Sangat tinggi
71 – 100
30 – 43
Plastisitas
Sangat
Ekstrim tinggi
–
> 43
Sumber : Sarief, dkk (2001)
I.4
Penyelidikan Tanah
Penyelidikan tanah (soil investigation) adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk
mengetahui sifat–sifat dan karakteristik tanah untuk keperluan rekayasa (engineering).
Penyelidikan tanah pada umunya dipakai sebagai dasar perencanaan pondasi, yaitu
untuk mengetahui susunan lapisan tanah pada lokasi proyek dengan cara melihat hasil dari
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
boring log dan hasil dari laboratorium. Salah satu metode penyelidikan tanah yang hasilnya
digunakan untuk penelitian yaitu Standard Penetration Test (SPT).
Dalam penelitian ini hanya menggunakan nilai dari Standard Penetration Test (SPT) karena
SPT dapat menjangkau lapisan tanah paling dalam dibandingkan jangkauan dari Sondering
Test/Cone Penetration Test (CPT) yang pendek.
Pengeboran
Penyelidikan tanah (soil investigation) yang dilaksanakan ini adalah dengan menggunakan
jenis peralatan bor mesin. Pengeboran yang dilakukan dalam proyek ini adalah untuk
menentukan profil lapisan tanah terhadap kedalaman dan juga untuk menentukan sifat-sifat
fisis tanah, meliputi: jenis tanah, warna tanah, tingkat plastisitas tanah, serta juga untuk
pengambilan sampel tanah dalam tabung untuk dilakukan pengujian laboratorium.
Lebih terperinci penyelidikan dengan pengeboran ini bertujuan:
1. Untuk meng evaluasi keadaan tanah secara terperinci
2. Untuk mengambil sampel layer demi layer sampai kedalaman yang diinginkan untuk
deskripsi
3. Untuk mengambil sampel tak terganggu (undistrubed) dan sampel terganggu
(distrubed) untuk diselidiki di laboratorium.
4. Untuk melakukan tes penetrasi SPT yang digunakan untuk menduga kedalaman tanah
keras.
Standart Penetration Test (SPT)
Metode SPT adalah metode pemancangan batang (yang memiliki ujung pemancangan) ke
dalam tanah dengan menggunakan pukulan palu dan mengukur jumlah pukulan per kedalaman
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
penetrasi. Caraini telah dibakukan sebagai ASTMD 1586 sejak tahun 1958 dengan revis-revisi
berkala sampai sekarang.
Pemancagan biasanya dilakukan dengan beban 140 lbs (± 63,5
ketinggian 30” atau ± 75
) yang dijatuhkan dari
. Pengaamatan dan perhitungan dilakukan sebagai berikut:
a. Mula-mula tabung SPT dipukul kedama tanah sedalam 45 cm yaitu kedalaman yang
diperkirakan akan terganggu oleh pengeboran.
b. Kemudian untuk setiap kedalaman 15 cm dicatat jumlah pukulan yang dibutuhkan
untuk memasukkan 15 cm kedua adalah N2 dan jumlah pukulan untuk memasukkan 15
cm ketiga adalah N3. Jadi total kedalaman setelah pengujian SPT adalah 45 cm dan
menghasilkan N1, N2, N3.
c. Angka SPT ditetapkan dengan menjumlahkan 2 angka pukulan terakhir (N2+N3) pada
setiap interval pengujian dan dicatat pada lembaran boring log.
d. Setelah selesai pengujian, tabung SPT diangkat dari lubang bor ke permukaan tanah
untuk diambil contoh tanahnya dan dimasukkan kedalam kantong plastik untuk diamati
di laboratorium.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Gambar 2.3 Laporan Boring Log & N-SPT
(Sumber: Rekayasa Geoteknik Indonesia)
I.5
Daya Dukung Tiang
Daya dukung tiang adalah kemampuan tiang dalam memikul beban yang disalurkan oleh
struktur di atasnya (upper structure) dengan sejajar sumbu tiang (axial load). Hal- hal yang
perlu dihindari dalam perencanaan pondasi adalah keruntuhan geser dan deformasi yang
berlebihan. Pada perencanaan pondasi juga harus memperhatikan hal-hal berikut ini :
1. Daya dukung pondasi harus lebih besar daripada beban yang bekerja pada pondasi baik
beban statik maupun beban dinamiknya.
2. Penurunan yang terjadi akibat pembebanan tidak melebihi dari penurunan yang diijinkan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Daya dukung bore pile
Daya dukung pile diperoleh dari daya dukung ujung (end bearing capacity) yang diperoleh
dari tekanan ujung tiang dan daya dukung geser atau selimut (friction bearing capacity).
Gambar 2.4 Skematis Tiang Pondasi
Dalam perhitungan daya dukung tiang tunggal, di dapat dari data uji laboratorium yaitu terdiri
dari pengujian direct shear, konsolidasi, triaksial, tekan bebas dan lain-lain. Sedangkan data
uji lapangan terdiri dari CPT (Cone Penetrasion Test) , SPT (Standard Penetrasion Test), dan
lain–lain.
Daya dukung pondasi bore pile mengikuti rumus umum yang diperoleh dari hasil penjumlahan
tahanan ujung dan tahanan selimut tiang.
Metode Mayerhof
Rumus Empiris menghitung pile soil resistence :
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
(
Ra =
∗
+
..............................
Toe
∗
∗
)................................................................(2.1)
.............................
Shaft
Dengan :
Ra
= Daya dukung
SF
= Safety factor
Nave
= Nilai rata-rata Nspt
Ab
= Luas area ujung tiang
As
= Perimeter tiang
untuk metode mayerhoff maka nilai :
-
Clay
 Bearing coefficient)
 Shaft coefficient)
-
Sand
 Bearing coefficient)
 Shaft coefficient)

Daya dukung Aoki and De'Alencar
Rumus Empiris menghitung pile soil resistence untuk metode Aoki dan De’Alencar sama
dengan metode mayerhoff namun yang menjadi perbedaaan adalah koefisien untuk clay dan
sand nya.
untuk metode Aoki and De'Alencar maka nilai :
-
Clay
 Bearing coefficient)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
 Shaft coefficient)
-
Sand
 Bearing coefficient)
 Shaft coefficient)
Daya dukung innerbore (Nakabori Kakutei System – Hyper NAKS)
Konsep daya dukug inner bore
Gambar 2.5 Konsep Daya Dukung Inner Bore
Perhitungan daya dukung pondasi inner bore pada penelitian ini menggunakan persamaan
NAKS (Nakabori Kakutei System). Dengan persamaan:
Ra
=1/SF{
Dengan:
+(
SF
= Safety Factor (Faktor Keamanan)
Nave
= Nilai rata-rata Nspt
Ap
= Luas penapang tiang (m2)
+
) }.............................................(2.2)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Ns ave
= Nilai rata-rata Nspt pada lapisan kohesi dekat ujung tiang
qu
= Nilai rata-rata kuat tekan bebas (kPa) di kohesif lapisan dekat ujung tiang
Ls
= Panjang efektif pondasi tiang pancang pada lapisan non-kohesif
Lc
= Panjang efektif pondasi tiang pancang pada lapisan kohes
ψ
= Perimeter of pile, ψ = π. D
Daya dukung innerbore (Nakabori Kakutei System – Hyper NAKS)
Dengan demikian konsep daya dukung kedua pondasi dapat ditunjukan pada gambar dibawah
ini.
Gambar 2.6 Konsep Daya Dukung Bore pile dan Inner Bore
I.6
Pondasi Bore Pile
Pondasi merupakan struktur awal yang berfungsi mentransfer beban dari struktur atas yang
disalurkan melalui kolom lalu dilanjutkan ke pondasi dan akan diteruskan ke lapisan tanah
keras (lapisan aman). Pondasi yang sering digunakan di perkotaan padat pemukiman
biasanya pondasi dalam yaitu pondasi bore pile. Pondasi bore pile merupakan pondasi yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
termasuk kategori pondasi dalam yang memiliki fungsi mentransfer (menyalurkan) beban
dari stuktur atas ke lapisan tanah yang keras.
Pondasi tipe ini dicor setempat dengan jalan dibulatkan lubang terlebih dahulu dalam tanah
dengan cara mengebor tanah. Pada cast in place ini dilakukan dengan dua cara:
1. Dengan pipa baja yang dipancangkan ke dalam tanah, kemudian diisi dengan beton yang
ditumbuk sambil pipa baja tersebut ditarik ke atas
2. Dengan pipa baja yang dipancangkan kedalam tanah, menudian diisi dengan beton.
Sedangkan pipa baja tersebut tetap tinggal di dalam tanah.
Pondasi bore pile yang dipakai pada penelitian ini adalah jenis franki-pile. Dimana tiang
franki adalah termasuk salah satu tipe dari tiang beton yang dicor setempat (cast in place
pile). Adapun prinsip pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
a. Pipa baja yang ujung bawahnya disumbat denngan beton yang dicor di dalam ujung pipa
dan telah mengeras (kering).
b. Dengan penumbuk yang jatuh (drop hammer) sumbat beton tersebut ditumbuk. Akibat
dari penumbukan tersebut maka sumbat beton berikut pipanya akan masuk ke dalam
tanah.
c. Setelah pipa mencapai kedalaman yang direncanakan, kemudian pipa diisi dengan beton
sampai terus ditumbuk dan pipanya ditarik/keluar/ke atas.
d. Tiang franki telah selesai.
Disini sumbat beton menjadi melebar, shingga ujung bawah akan berbentuk seperti jamur
(the mushroom base). Sedangkan permukaan tiang tidak lagi rata, akan tetapi akan menjadi
sangat kasar. Karena ujung tiang menjadi besar dengan sendirinya tahanan ujung menjadi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
besar pula, sehingga tahanan geser dan lekatan tiang akan menjadi besar pula karena tiang
sangat kasar.
Adapun keuntungan dan kerugian menggunakan metode pondasi bore pile dijelaskan di
bawah ini.
Keuntungan menggunakan pondasi bore pile adalah:
1. Diameter bervariasi dapat disesuaikan dengan kebutuhan bangunan;
2. Akibat yang ditimbulkan dari pemasangan pondasi bore pile cukup kecil jadi tidak
berpengaruh buruk terhadap bangunan disekitarnya;
3. Getaran dan suara yang ditimbulkan tidak terlalu mengganggu permukian di sekitar area
proyek sehingga cocok digunakan untuk di daerah yang padat penduduknya.
Kerugian pondasi bore pile menurut Suyono Sosrodarsono dan Kazuto Nakazawa (2003),
diuraikan sebagai berikut:
1. Kebutuhan pekerjaan pengecoran membutuhkan beton yang banyak, untuk pekerjaan
skala kecil mengakibatkan biaya sangat melonjak;
2. Ketika beton dituangkan, adukan beton akan bercampur dengan runtuhan tanah. karena
itu beton harus segera dituangkan dengan seksama setelah penggalian dilakukan;
3. Walaupun penetrasi sampai kelapisan pendukung pondasi dianggap telah terpenuhi,
tiang pendukung kurang sempurna karena adanya lumpur yang tertimbun didasar.
I.7
Inner-Bore System
Merupakan teknologi mutakhir yang dikembangkan di Jepang dalam dunia konstruksi,
khususnya pondasi tiang pancang (Spun Pile) dengan sebutan Sistem Nakabori atau NAKS.
Sistem Nakabori (NAKS) mendapat pengakuan dari Kementrian PU Jepang (Ministry of
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Construction of Japan) dan Kementrian Perhubungan Jepang (Ministry of Land, Infrasructure
and Transportation of Japan) pada tahun1981, serta terus berkembang dengan aplikasi
teknologi hidrolik, serta kontrol digital sehingga dapat diaplikasikan pada tiang pancang
diameter besar (1200mm) yang disebut “Hyper NAKS”.
Kecendrungan kedepan dalam metode konstruksi yang menuntut teknologi ramah lingkungan,
dimana isu pengurangan polusi menjadi suatu hal yang dipenuhi dalam mendukung konstruksi
yang ramah lingkungan. Reduksi kebisingan dan getaran menjadi kelebihan teknologi ini
dalam instalasi pondasi yang efektif dengan tiang pancang.
Tiang yang digunakan adalah tiang pancang bulat (spun pile) yang memiliki rongga pada
tengah tiang nya (hollow). Adapun spesifikasi tiang pancang dapat terlihat pada gambar
berikut.
Gambar 2.7 Klasifikasi Tiang pancang Bulat (Spun Pile)
(sumber : PT. Wijaya Karya Beton, Tbk)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Adapun proses pemancangan dengan inner bore sistem terdiri dari dua tahapan yaitu:
Gambar 2.8 Proses Pemancangan Inner Bore
Sumber: PT Wijaya Karya Beton
1. Tahap pra-pemancangan

Persiapan Segmen Tiang Pancang dan Auger Set (Screw & Drill Bit).
Tiang pancang untuk segmen bawah (bottom pile) disiapkan kemudian auger set
dimasukkan kedalam sumbu as tiang pancang.
Gambar 2.9 Pra-Pemancangan Inner Bore (Setting Auger-set Panda Spun Pile)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka

Peninstalan tiang pada alat pancang
Gambar 2.10 Pra-Pemancangan Inner Bore (Instal Spun Pile pada Alat Pancang)
Sumber: PT Wijaya Karya Beton

Set-up tiang pada sumbu as titik pancang
Cek Posisi Tiang terhadap Sumbu as titik pancang dengan bantuan mal/penggaris yang
diberi selotip untuk memastikan jarak yang tepat terhadap patok referensi.
Gambar 2.11 Proses Pra-Pemancangan Inner Bore (Set Up Tiang pada Titik As
Pancang)
(Sumber: PT Wijaya Karya Beton)
2. Tahap Pemancangan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka

Alat pemancangan siap beroprasi
Gambar 2.12 Proses Pemancangan Inner Bore (Pemastian Kelurusan Tiang)
(Sumber: PT Wijaya Karya Beton)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Tiang pancang sudah pada posisi titik pancang dan tiang pancang telah diberi tanda
sebagai guidance selama proses pemancangan.

Penggalian dan pemancangan
Tanah digali dengan Auger-Machine dan tanah galian terangkat ke atas melalui alur
Screw serta ditampung di dalam Hopper. Sambil tanah digali, tiang pancang di tekan
ke dalam tanah.

Pembuatan soket pondasi ujung tiang
Pada kedalaman yang direncanakan, Drill-Bit dibuka (wing auger mengembang). Pada
Tahap ini hardening liquid (campuran semen + air) mulai di injeksikan.

Pembentukan soket a (tahap 1)
Pada kedalaman ini, proses pembentukan Soket A (tahap 1) terus dilakukan dengan
tetap melakukan Injection-Hardening-Liquid hingga tercapai sesuai dimensi serta
volume yang ditentukan.

Pembentukan soket b (tahap 2)
Pada kedalaman ini mulai dilakukan proses pembentukan Soket B (tahap 2) dengan
Injeksi Base Hardening Liquid hingga terbentuk sesuai dengan dimensi serta volume
yang ditentukan.

Proses pengadukan dan injeksi
Dengan debit maksimum dengan terus dilakukan Injection-Base-Hardening-Liquid
menggunakan debit maksimum maka finalisasi proses pengadukan akan memastikan
injeksi Hardening Liquid telah memenuhi volume soket proteksi ujung tiang yang
terbentuk.

Realease auger set
Selanjutnya, Auger-Bit ditutup (menguncup) sambil tetap melakukan injeksi Base
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Hardening Liquid hingga posisi auger ditarik keatas hingga ketika tepat diatas elevasi
kedalaman soket yang terbentuk. Setelah itu auger dikeluarkan dari tiang pancang.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Keuntungan menggunakan Inner-bore system adalah:
1. Getaran dan kebisingan yang dihasilkan relatif rendah;
2. Kebersihan lokasi proyek lebih terjamin (tanah hasil galian ditampung pada hopper).;
3. Produk tiang pancang dibuat di pabrik (mutu tersertifikasi);
4. Tepat digunakan pada area dengan residensi tinggi (perkotaan);
5. Tepat digunakan pada area dengan residensi tinggi (perkotaan);
6. Presisi dalam proses instalasi;
7. Menggunakan teknologi beton mutu tinggi;
8. Penampang hollow mengurangi pemakaian material (komparasi dengan bore pile);
9. Penampang hollow mengurangi pemakaian material (komparasi dengan bore pile).
I.8
Biaya
Biaya adalah jumlah segala usaha dan pengeluaran yang dilakukan dalam mengembangkan,
memproduksi da aplikasi produk. Penghasilan produk selalu menghasilakan reabilitas dan
maitainability karena akan berpengaruh terhadap biaya bagi pemakai (Soeharto, 1995).
Rencana Anggaran Biaya (RAB)
Kegiatan estimasi adalah salah satu proses utama dalam proyek konstruksi utuk menjawab
pertanyaan, “berapa besar dana yang harus disediakan untuk sebuah bangunan?”. Pada
umumnya, biaya yang dibutuhkan dalam sebuah proyek konstruksi brjumlah besar (Ervianto,
2005).
Biaya konstruksi
Biaya konstruksi terdiri dari biaya langsung dan biaya tidak langsung Biaya langsung adalah
biaya yang terkait dengan volume pekerjaan yang terdapat dalam item pembayaran seperti
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
biaya upah, biaya peralatan, biaya material, dan sebagainya. Sedangkan biaya tidak langsung
adalah biaya yang tidak terkait langsung dengan volume pekerjaan. Namun biaya langsuung
berkontribusi dalam oenyelesaian pekerjaan proyek yang mencangkup biaya overhead, resiko,
contingency, dan sebagainya.
I.9
Analytical Hierarchy Process (AHP)
Pada hakekatnya AHP merupakan suatu model sistem pendukung keputusan (SPK) yang
komprehensif dengan memperhitungkan hal- hal yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Dalam
model SPK dengan AHP pada dasarnya berusaha menutupi semua kekurangan dari modelmodel sebelumnya. AHP juga memungkinkan ke struktur suatu sistem dan lingkungan kedalam
komponen saling berinteraksi dan kemudian menyatukan mereka dengan mengukur dan
mengatur dampak dari komponen kesalahan sistem (Saaty, 2001).
Gambar 2.13 Contoh Model Hierarki Keputusan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Aksioma model AHP
Peralatan utama dari model ini adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya adalah
persepsi manusia. Jadi perbedaan yang mencolok model AHP dengan model lainnya terletak
pada jenis inputnya. Terdapat 4 aksioma-aksioma yang terkandung dalam model AHP, yaitu :
1. Reciprocal Comparison artinya pengambilan keputusan harus dapat memuat
perbandingan dan menyatakan preferensinya. Prefesensi tersebut harus memenuhi
syarat resiprokal yaitu apabila A lebih disukai daripada B dengan skala x, maka B lebih
disukai daripada A dengan skala 1/x
2. Homogenity artinya preferensi seseorang harus dapat dinyatakan dalam skala terbatas
atau dengan kata lain elemen- elemennya dapat dibandingkan satu sama lainnya. Kalau
aksioma ini tidak dipenuhi maka elemen- elemen yang dibandingkan tersebut tidak
homogen dan harus dibentuk cluster (kelompok elemen) yang baru
3. Independence artinya preferensi dinyatakan dengan mengasumsikan bahwa kriteria
tidak dipengaruhi oleh alternatif-alternatif yang ada melainkan oleh objektif
keseluruhan. Ini menunjukkan bahwa pola ketergantungan dalam AHP adalah searah,
maksudnya perbandingan antara elemen-elemen dalam satu tingkat dipengaruhi atau
tergantung oleh elemen-elemen pada tingkat diatasnya
4. Expectation artinya untuk tujuan pengambil keputusan. Struktur hirarki diasumsikan
lengkap. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi maka pengambil keputusan tidak memakai
seluruh kriteria atau objectif yang tersedia atau diperlukan sehingga keputusan yang
diambil dianggap tidak lengkap.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Selanjutnya Saaty (2001) menyatakan bahwa proses hirarki analitik (AHP) menyediakan
kerangka yang memungkinkan untuk membuat suatu keputusan efektif atas isu kompleks
dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pendukung keputusan. Pada dasarnya AHP
adalah suatu metode dalam merinci suatu situasi yang kompleks, yang terstruktur kedalam
suatu komponen-komponennya. Artinya dengan menggunakan pendekatan AHP kita dapat
memecahkan suatu masalah dalam pengambilan keputusan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Prinsip kerja AHP
Pengambilan keputusan dalam metodologi AHP didasarkan atas tiga prinsip dasar (Saaty,
1994), yaitu:
1. Penyusunan hierarki
Penyusunan hirarki permasalahan merupakan langkah untuk mendefinisikan masalah yang
rumit dan kompleks, sehingga menjadi jelas dan rinci. Keputusan yang akan diambil
ditetapkan sebagai tujuan, yang dijabarkan menjadi elemen-elemen yang lebih rinci hingga
mencapai suatu tahapan yang paling operasional/terukur. Hirarki tersebut memudahkan
pengambil keputusan untuk memvisualisasikan permasalahan dan faktor-faktor terkendali dari
permasalahan tersebut. Hirarki keputusan disusun berdasarkan pandangan dari pihak-pihak
yang memiliki keahlian dan pengetahuan di bidang yang bersangkutan.
2. Penentuan prioritas
Prioritas dari elemen-elemen pada hirarki dapat dipandang sebagai bobot/kontribusi elemen
tersebut terhadap tujuan yang ingin dicapai dalam pengambilan keputusan. Metode AHP
berdasarkan pada kemampuan dasar manusia untuk memanfaatkan informasi dan
pengalamannya untuk memperkirakan pentingnya satu hal dibandingkan dengan hal lain secara
relatif melalui proses membandingkan hal-hal berpasangan.
Proses inilah yang disebut dengan metode perbandingan berpasangan untuk menganalisis
prioritas elemen-elemen dalam hiaraki. Prioritas ditentukan berdasarkan pandangan dan
penilaian para ahli dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pengambilan keputusan,
baik dengan diskusi atau kuisioner.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
3. Konsistensi logika
Prinsip pokok yang menentukan kesesuaian antara definisi konseptual dengan operasional data
dan proses pengambilan keputusan adalah konsistensi jawaban dari para responden.
Konsistensi tersebut tercermin dari penilaian elemen dari perbandingan berpasangan.
Matriks perbandingan berpasangan
Konsep dasar dari AHP adalah penggunaan pairwise comparison matrix (matriks perbandingan
berpasangan) untuk menghasilkan bobot relatif antar kriteria maupun alternatif. Suatu kriteria
akan dibandingkan dengan kriteria lainnya dalam hal seberapa penting terhadap pencapaian
tujuan di atasnya. Sebagai contoh, kriteria spesifikasi dan kriteria biaya akan dibandingkan
seberapa pentingnya dalam hal memilih armada transportasi. Begitu juga untuk alternatif.
Kendaraan A, B, dan C akan dibandingkan secara berpasangan (dan akan dibentuk matriks)
dalam hal sub-kriteria biaya pemeliharaan misalnya.
Nilai-nilai yang disarankan untuk membuat matriks perbandingan berpasangan adalah sebagai
berikut:
•
1 : sama penting (equal)
•
2 : lebih penting sedikit (slightly)
•
3 : lebih penting secara kuat (strongly)
•
4 : lebih penting secara sangat kuat (very strong)
•
5 : lebih penting secara ekstrim (extreme)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Selain nilai-nilai di atas, nilai-nilai antaranya juga bisa digunakan, yakni 2, 4, 6, dan 8. Nilainilai ini menggambarkan hubungan kepentingan di antara nilai-nilai ganjil yang disebutkan di
atas. Sementara jika kepentingannya terbalik, maka kita dapat menggunakan angka reprisokal
dari nilai-nilai di atas. Misalnya perbandingan berpasangan antara kriteria 1 dan 3 adalah 1/5,
artinya kriteria 3 lebih penting secara kuat dari pada kriteria 1.
Matriks perbandingan berpasangan tersebut harus dibuat tiap level yang memiliki hirarki atasan
yang sama. Sebagai contoh pada hirarki sebelumnya, kita harus membuat matriks perbandingan
berpasangan untuk sub-kriteria kapasitas angkut dan sub-kriteria ketersediaan suku cadang
terhadap kriteria spesifikasi, matriks perbandingan berpasangan antara sub-kriteria biaya
pembelian, biaya pemeliharaan dan biaya perton mileage terhadap kriteria biaya, dan
seterusnya.
Dalam membuat matriks berpasangan, kita hanya perlu menentukan matriks segitiga atas saja
karena matriks segitiga bawah hanyalah nilai reprisokal dari matriks segitiga atas. Selain itu,
nilai-nilai diagonal pada matriks perbandingan berpasangan adalah satu (karena setiap item
dibandingkan dengan dirinya sendiri). Dengan demikian, apabila kita ingin membuat matriks
perbandingan berpasangan dengan jumlah n item, maka kita hanya perlu membuat
perbandingan sejumlah n(n-1)/2.
Jika semua matriks perbandingan berpasangan sudah dikumpulkan, kita dapat menghasilkan
bobot prioritas akhir dari kandidat pilihan. Langkah pertama adalah setiap matriks
perbandingan berpasangan perlu dicari bobot absolut masing-masing item. Setelah itu, bobot
prioritas akhir didapat dengan mengkalikan bobot absolut alternatif dengan bobot-bobot
kriteria dan sub-kriteria di atasnya. Kemudian, bobot prioritas akhir ini dapat dijadikan sebagai
acuan pemilihan kandidat ataupun pengurutan kepentingan kandidat pilihan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Download