Bab II Tinjauan Pustaka BAB II TINJAUAN PUSTAKA I.1 Tinjauan Pustaka Konstruksi yang direncanakan secara keteknikan dibangun bertumpu pada tanah, harus didukung oleh pondasi. Saat ini berkembang menuju konstruksi yang lebih ekonomis dengan perencanaan dan penggunaan bahan berkekuatan tinggi. Pondasi adalah bagian dari sistem rekayasa yang meneruskan beban yang ditopang oleh pondasi (struktur atasnya, upper structure, bagian sistem yang direkayasa, yang membawa beban ke pondasi (struktur bawah) melalui bidang antara interface/tanah) serta berat sendiri ke dalam tanah dan batuan tang terletak di bawahnya (Braja M. Das, 1941). Tergantung pada berat bangunan, fungsi bangunan, besar bangunan yang akan dipikul, keadaan tanah serta hal nonteknis yaitu biaya pengerjaannya dibandingkan dengan biaya bangunan diatasnya. Penentuan kapasitas daya dukung pondasi dipengaruhi oleh banyak faktor, beberapa diantaranya jenis faktor jenis pondasi yang digunakan, pengujian lapangan yang dilakukan, metode pemasangan pondasi, dan rumus-rumus perhitungan yang digunakan. Penelitian tentang perbandingan pondasi bore pile dengan inner-bore system pada gedung ini dibuat untuk mengetahui sejauh mana perbandingan yang satu dengan yang lainnya ditinjau dari segi metode pelaksanaan, kekuatan, maupun dari segi biaya. Referensi diperoleh dari laporan Tugas Akhir dan jurnal yaitu: Zahro, 2012, Analisis Perbandingan Tiang Pancang dengan Pondasi Sumuran pada Jembatan Pangotan Kecamatan 1 http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Arjosari Kabupaten Pacitan Ditinjau Dari Segi Biaya, Kekuatan,dan Metode Pelaksanaan. Data pendukung selanjutnya dari Jakti, 2013, Analisis Perbandingan Biaya, Waktu Pelaksanaan Tiang pancang dan Tiang Bor Studi Kasus Perencanaan Rumah Sakit Kelas B Bandung. Dan dilakukan oleh Ratsangka, 2015, yaitu Analisis Perbandingan Kekuatan, Metode pelaksanaan, dan Biaya antara Bored Pile dan Driven Pile pada Pembangunan Hotel Best Western Adi Sucipto Yogyakarta. Tugas akhir dan jurnal lain yang pernah dilakukan berkaitan dengan pondasi selanjutnya yang digunakan sebagai referensi dalam Tugas Akhir ini teragkum dan disajikan dalam tabel 2.1 http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Tabel 2.1 Referensi penelitan http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka I.2 Pengertian Dasar Pondasi adalah bagian dari suatu bangunan atau konstruksi bangunan yang terletak pada bagian bawah dari bangunan tersebut yang merupakan landasan berpijak bangunan. Karena pondasi menerima beban vertikal dari bangunan diatasnya dan meneruskan ke tanah dibawahnya, maka fungsi dari pondasi adalah memindahkan atau membagi beban bangunan yang baik beban mati (beban sendiri & beban tetap bangunan) maupun beban hidup (beban yang bergerak). Pondasi merupakan bagian konstruksi bangunan yang berfungsi sebagai penopang bangunan dan meneruskan beban di atasnya (upper structure) ke lapisan tanah yang cukup memiliki daya dukung yang cukup yaitu lapisan tanah keras (Zainal N. dan Sri Respati, 1995). pada dasarnya memiliki fungsi sebagai berikut, yaitu: 1. Mendistribusikan dan memindahkan beban–beban pada bangunan atas (upper structure) ke pondasi dan akan diteruskan ke tanah di bawahnya (lapisan tanah keras); 2. Memberikan kestabilan pada struktur diatasnya yang memikul beban horizontal akibat angin, gempa dan lain–lain karena pada dasarnya pondasi hanya dapat menerima beban horizontal; 3. Mengatasi penurusan akibat beban struktur bangunan yang berlebihan. Menurut Hary Chrisstady Hardiyanto (2011), pondasi bangunan pada umunya dibedakan menjadi dua yaitu pondasi dangkal (Shallow Foundation) dan pondasi dalam (deep foundation). Untuk mengetahui suatu bangunan itu memakai pondasi dangkal atau pondasi dalam maka tergantung kedalaman dan lebar pondasi, dengan berpedoman sebagai berikut: 1. Jika kedalaman dasar pondasi dari muka tanah adalah kurang atau sama dengan http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka lebar pondasi (Df ≤ B) maka disebut pondasi dangkal. 2. Jika kedalaman pondasi dari muka tanah adalah lebih dari lima kali lebar fondasi (Df > 5B) maka disebut pondasi dalam. Pondasi dangkal : Df ≤ B Df Pondasi dalam : Df < B B Gambar 2.1 Penampang Pondasi I.3 Tanah Definisi tanah Tanah merupakan kumpulan butiran (agregat) mineral alami yang bisa dipisahkan oleh suatu cara mekanik bila agregat tersebut diaduk dalam air atau kumpulan mineral, bahan organic dan endapan-endapan yang relative lepas (loose), yang terletak diatas batuan dasar (bedrock). Menurut Suyono Sosrodarsono (1984:8) tanah didefinisikan sebagai partikel-partikel mineral yang tersemen maupun yang lepas sebagai hasil pelapukan dari batuan, dimana rongga pori antar partikel terisi oleh udara dan atau air. Akibat pengaruh cuaca dan pengaruh lainnya, tanah mengalami pelapukan sehingga terjadi perubahan ukuran dan bentuk butirannya. Pelapukan batuan dapat disebabkan oleh pelapukan mekanis, kimia dan organis. Menurut Harry Cristady Hardiyatmo (2002) tanah adalah himpunan mineral, bahan organik dan endapan-endapan yang relative lepas (loose), yang terletak diatas batuan dasar (bedrock). http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Ikatan antara butiran yang relative lemah dapat disebabkan oleh karbonat, zat organic atau oksida-oksida yang mengendap diantara partikel-partikel. Ruang diantara partikel-partikel dapat berisi air, udara maupun keduanya. Proses pelapukan batuan atau proses geologi lainnya yang terjadi di dekat permukaan bumi membentuk tanah. Pembentukan tanah dari batuan induknya, dapat berupa proses fisik maupun kimia. Proses pembentukan tanah secara fisik yang mengubah batuan menjadi partikel-partikel yang lebih kecil, terjadi akibat pengaruh erosi, angin, air, es, manusia, atau hancurnya pertikel tanah akibat perubahan suhu atau cuaca. Partikel-partikel mungkin berbentuk bulat, bergerigi maupun bentuk-bentuk diantaranya. Umumnya, pelapukan akibat proses kimia dapat terjadi oleh pengaruh oksigen., karbondioksida, air (terutama yang mengandung asam atau alkali) dan proses-proses kimia yang lain. Jika hasil pelapukan masih berada di tempat asalnya, maka tanah ini disebut tanah residual (residual soil) dan apabila tanah berpindah tempatnya, disebut tanah terangkut (transported soil). Istilah pasir, lempung, lanau, atau lumpur digunakan untuk menggambarkan ukuran partikel pada batas ukuran butiran yang telah ditentukan. Akan tetapi, istilah yang sama juga digunakan untuk menggambarkan sifat tanah yang khusus. Sebagai contoh, lempung adalah jenis tanah yang bersifat kohesif dan plastis, sedang pasir digambarkan sebagai tanah yang tidak kohesif dan tidak plastis. Kebanyakan jenis tanah terdiri dari banyak campuran, atau lebih dari satu macam ukuran partikel. Tanah lempung belum tentu terdiri dari partikel lempung saja, akan tetapi dapat bercampur dengan butir-butiran ukuran lanau maupun pasir, dan mungkin terdapat campuran bahan organik. Ukuran partikel tanah dapat bervariasi dari lebih besar 100 mm sampai dengan lebih kecil dari 0,001 mm. http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Pelapukan mekanis mengakibatkan pecahnya butiran batuan sehingga terbentuk ukuran yang lebih kecil seperti menjadi kerikil, pasir dan lanau. Sedangkan pelapukan kimia, menghasilkan kelompok partikel koloida berbutir halus dengan ukuran butirnya lebih kecil dari 0,002 mm. Ada berbagai macam jenis-jenis tanah untuk klasifikasi tanah dilapangan antara lain : 1. Pasir dan kerikil Pasir dan kerikil yaitu agregat tak berkohesi yang tersusun dari regmin-regmin sub anguler atau angular. Partikel berukuran sampai 1/8 inchi dinamakan pasir sedangkan partikel yang berukuran 1/8 inchi sampai 6/8 inchi disebut kerikil. Fragmen bergaris tengah lebih besar dari 8 inchi disebut boulders (bongkah). 2. Hardpan Hardpan merupakan tanah yang tahanan terhadap penetrasi alat pemboran besar sekali. Cirinya sebagian besar dijumpai dalam keadaan bergradasi baik, luar biasa padat, dan merupakan agregat partikel mineral yang kohesif. 3. Lanau anorganik (inorganic silt) Lanau anorganik merupakan tanah berbutir halus dengan plastisitas kecil atau sama sekali tidak ada. Jenis yang plastisitasnya paling kecil biasanya mengandung butiran kuarsa sedimensi, yang kadang-kadang disebut tepung batuan (rock flour), sedangkan yang sangat plastis mengandung partikel berwujud serpihan dan dikenal sebagai lanau plastis. 4. Lanau organik (organic silt) Lanau organik merupakan tanah agak plastis, berbutir halus dengan campuran partikel-partikel bahan organik terpisah secara halus. Warna tanah bervariasi dari abu-abu terang ke abu-abu sangat gelap, di samping itu mungkin mengandung H2S, CO2, serta berbagai gas lain hasil peluruhan tumbuhan yang akan memberikan bau khas kepada tanah. Permeabilitas lanau organik sangat rendah sedangkan kompresibilitasnya sangat tinggi. http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka 5. Lempung Tanah lempung merupakan agregat partikel-partikel berukuran mikroskopik dan submikroskopik yang berasal dari pembusukan kimiawi unsur-unsur penyusun batuan, dan bersifat plastis dalam selang kadar air sedang sampai luas. Dalam keadaan kering sangat keras, dan tak mudah terkelupas hanya dengan jari tangan . Permebilitas lempung sangat rendah. 6. Lempung organik Tanah lempung organik merupakan lempung yang sebagian sifat-sifat fisis pentingnya dipengaruhi adanya bahan organik yang terpisah dalam keadaan jenuh lempung organik cenderung bersifat sangat kopresibel tapi pada keadaan kering kekuatannya sangat tinggi. Warnanya abu-abu tua atau hitam, dan berbau. 7. Gambut (peat) Tanah gambut merupakan agregat agak berserat yang berasal dari serpihan makroskopik dan mikroskopik tumbuh-tumbuhan. Warnanya coklat terang dan hitam bersifat kompresibel, sehingga tidak mungkin menopang pondasi. http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Sistem klasifikasi tanah Sistem klasifikasi tanah adalah suatu sistem penggolongan yang sistematis dari jenisjenis tanah yang mempunyai sifat-sifat yang sama ke dalam kelompok-kelompok dan sub kelompok berdasarkan pemakaiannya (Braja M. Das, 1995). Sistem klasifikasi tanah dibuat pada dasarnya untuk memberikan informasi tentang karakteristik dan sifat-sifat fisis tanah. Karena variasi sifat dan perilaku tanah yang begitu beragam, sistem klasifikasi secara umum mengelompokkan tanah ke dalam kategori yang umum dimana tanah memiliki kesamaan sifat fisis. Klasifikasi tanah juga berguna untuk studi yang lebih terperinci mengenai keadaan tanah tersebut serta kebutuhan akan pengujian untuk menentukan sifat teknis tanah seperti karakteristik pemadatan, kekuatan tanah, berat isi dan sebagainya (Joseph E. Bowles, 1989) Tanah dapat diklasifikasikan secara umum sebagai tanah tidak kohesif dan tanah kohesif atau sebagai tanah berbutir kasar atau tanah berbutir halus. Istilah ini terlalu umum, sehingga memungkinkan terjadinya identifikasi yang sama untuk tanah-tanah yang hampir sama sifatnya. Disamping itu, klasifikasi tersebut di atas tidak cukup lengkap untuk menentukan apakah tanah itu sesuai untuk suatu bahan konstruksi atau tidak. Sistem klasifikasi bukan merupakan sistem identifikasi untuk menentukan sifat-sifat mekanis dan geoteknis tanah. Karenanya, klasifikasi tanah bukanlah satu-satunya cara yang digunakan sebagai dasar untuk perencanaan dan perancangan konstruksi. Umumnya penentuan sifat-sifat tanah banyak dijumpai dalam masalah teknis yang berhubungan dengan tanah. Hasil dari http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka penyelidikan sifat-sifat ini kemudian dapat digunakan untuk mengevaluasi masalah-masalah tertentu seperti : 1) Penentuan penurunan bangunan, yaitu dengan menentukan kompresibilitas tanah. Dari sini, selanjutnya digunakan dalam persamaan penurunan yang didasarkan pada teori konsolidasi, misalnya teori Terzaghi. 2) Penentuan kecepatan air yang mengalir lewat benda uji guna menghitung koefisien permeabilitas. Dari sini kemudian dihubungkan dengan Hukum Darcy dan jaring arus (flownet) untuk menentukan debit aliran yang lewat struktur tanah. 3) Untuk mengevaluasi stabilitas tanah yang miring, yaitu dengan menentukan kuat geser tanah. Dari sini kemudian disubstitusikan dalam rumus statika (stabilitas lereng). Klasifikasi tanah sangat membantu perancang dalam memberikan pengarahan melalui cara empiris yang tersedia dari hasil pengalaman yang telah lalu. Tetapi, perancang harus berhatihati dalam penerapannya karena penyelesaian masalah stabilitas, kompresi (penurunan), aliran air didasarkan pada klasifikasi tanah sering menimbulkan kesalahan yang berarti (Lambe, 1979). Terdapat dua sistem klasifikasi yang sering digunakan, yaitu USCS (Unified Soil Classification System) dan AASHTO (American Association of State Highway and Transportation Officials). Sistem-sistem ini menggunakan sifat-sifat indeks tanah yang sederhana seperti distribusi ukuran butiran, batas cair, dan indeks plastisitas. Klasifikasi tanah dari Sistem Unified mula pertama diusulkan oleh Casagrande (1942), kemudian direvisi oleh kelompok teknisi dari USBR (United State Bureau of Reclamation). Dalam bentuk yang sekarang, sistem ini banyak digunakan oleh berbagai organisasi konsultan geoteknik. http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Klasifikasi sistem USCS (Unified Soil Classification System) Sistem klasifikasi berdasarkan hasil-hasil percobaan laboratorium yang paling banyak dipakai secara meluas adalah sistem klasifikasi kesatuan tanah. Percobaan laboratorium yang dipakai adalah analisis ukuran butir dan batas-batas Atterberg. Semua tanah diberi dua huruf penunjuk berdasarkan hasil-hasil percobaan ini. Sistem ini mengelompokkan tanah ke dalam dua kelompok besar, yaitu : a) Tanah berbutir kasar (coarse grained soil), yaitu tanah kerikil dan pasir dimana kurang dari 50% berat total contoh tanah lolos ayakan No. 200. Simbol dari kelompok ini dimulai dengan huruf awal G, adalah untuk kerikil (gravel) atau tanah berkerikil dan S, adalah untuk pasir (sand) atau tanah berpasir. b) Tanah berbutir halus (fine grained soil), yaitu tanah dimana lebih dari 50% berat total contoh tanah lolos ayakan No. 200. Simbol dari kelompok ini dimulai dengan huruf awal M untuk lanau (silt) anorganik, C untuk lempung (clay) anorganik dan O untuk lanau-organik dan lempung-organik. Simbol PT digunakan untuk tanah gambut (peat), muck dan tanahtanah lain dengan kadar organik tinggi. Simbol-simbol lain yang digunakan untuk klasifikasi USCS, adalah : W = tanah dengan gradasi baik (well graded) P = tanah dengan gradasi buruk (poorly graded) L = tanah dengan plastisitas rendah (low plasticity), LL < 50 H = tanah dengan plastisitas tinggi (high plasticity), LL > 50 Tanah berbutir kasar ditandai dengan simbol kelompok seperti : GW, GP, GM, GC, SW, SP, SM, dan SC. Untuk klasifikasi yang benar, perlu diperhatikan faktor-faktor berikut : Persentase butiran yang lolos ayakan No. 200 (ini adalah fraksi halus) http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Persentase fraksi kasar yang lolos ayakan No. 40 Koefisien keseragaman (Cu) dan koefisien gradasi (Cc) untuk tanah dimana 0-12% lolos ayakan No. 200 Batas cair (LL) dan indeks plastisitas (IP) bagian tanah yang lolos ayakan No. 40 (untuk tanah dimana 5% atau lebih lolos ayakan No. 200) Bilamana persentase butiran yang lolos ayakan No. 200 adalah antara 5 sampai 12%, simbol ganda seperti : GW-GM, GP-GM, GW-GC, GP-GC, SW-SM, SW-SC, SP-SM dan SP-SC diperlukan. Cassagrande membagi tanah atas 3 (tiga) kelompok (Sukirman, 1992) yaitu : a. Tanah berbutir kasar, < 50% lolos saringan No. 200. b. Tanah berbutir halus, > 50% lolos saringan No. 200. c. Tanah organik yang dapat dikenal dari warna, bau dan sisa-sisa tumbuh- tumbuhan yang terkandung di dalamnya. Cara penentuan klasifikasi tanah Sistem Unified dengan menggunakan diagram alir diperlihatkan dalam tabel 2.2. http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Tabel 2.2 Sistem Klasifikasi Unified (Sumber : Bowles, 1989) http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Tabel 2.3 Sistem Klasifikasi Tanah USCS Jenis Tanah Prefiks Sub kelompok Sufiks Gradasi baik W Kerikil G Gradasi buruk P Pasir S Berlanau M Berlempung C Lanau M Lempung C wL < 50% L Organik O wL < 50% H Gambut Pt (Sumber : Bowles, 1989) Gambar 2.2 Diagram Plastisitas (ASTM ) (Sumber : Bowles, 1989) Klasifikasi sistem AASTHO (American Association Of State Highway and Transporting Official) Sistem ini pertama kali diperkenalkan oleh Hoentogler dan Terzaghi, yang akhirnya diambil oleh Bureau Of Public Roads. Pengklasifikasian sistem ini berdasarkan kriteria ukuran butir http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka dan plastisitas. Maka dalam mengklasifikasikan tanah membutuhkan pengujian analisis ukuran butiran, pengujian batas cair dan batas palstis. Sistem klasifikasi AASHTO (American Association Of State Highway and Transporting Official) berguna untuk menentukan kualitas tanah dalam perancangan timbunan jalan, subbase dan subgrade. Sistem ini terutama ditujukan untuk maksud-maksud dalam lingkup tersebut. Sistem ini membedakan tanah dalam 8 ( delapan ) kelompok yang diberi nama dari A-1 sampai A-8. A-8 adalah kelompok tanah organik yang bersifat tidak stabil sebagai bahan lapisan struktur jalan raya, maka pada revisi terakhir oleh AASHTO diabaikan (Sukirman, 1992). Tabel 2.4 Sistem Klasifikasi Tanah AASHTO (Sumber : Bowles, 1989) Konsistensi dan indeks plastisitas tanah Konsistensi tanah menunjukkan tahanan daya kohesi atau adhesi butir-butir tanah dengan benda lain. Hal ini ditunjukkan oleh daya tahan tanah terhadap gaya yang akan merubah bentuk http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka (Deformasi). Gaya tersebut misalnya pencangkulan, pembajakkan dan sebagainya, (Hardjowigeno, 1995). Atterberg menjelaskan sifat konsistensi tanah pada kadar air yang bervariasi, yaitu tanah dipisahkan ke dalam empat keadaan dasar : padat (solid), semi padat (semi-solid), plastik (plastic) dan cair (liquid). Kadar air (%) dimana terjadi transisi dari keadaan padat ke keadaan semi padat didefinisikan sebagai batas susut (Shrinkage Limit = SL). Kadar air dimana transisi dari keadaan semi padat ke keadaan plastis terjadi dinamakan batas plastis (Plastis Limit = PL), dan dari keadaan plastis ke keadaan cair dinamakan batas cair (Liquid Limit = LL). Batas tersebut dikenal sebagai Batas Atterberg ( Atterberg limit ) (Das, 1995). Baver dkk. (1972) menjelaskan lebih lanjut perbedaan antara adhesi dan kohesi yang menyebabkan plastisitas tanah. Adhesi adalah penarikan fase cair oleh bagian permukaan fase padat. Molekul-molekul air dapat melekat baik pada permukaan partikel tanah ataupun pada benda lain yang menempel pada tanah. Kohesi dalam tanah adalah ikatan di antara partikelpartikel tanah karena adanya kekuatan mengikat di antara partikel yamg timbul dari mekanisme fisika-kimia. Batas Cair Bila tanah diaduk dengan air, dengan air lebih banyak daripada bagian tanahnya, maka sebagian dari bubur ini dapat dialirkan ke bagian lainnya. Tetapi bila air dari bubur tanah ini diuapkan, maka pada suatu saat bubur ini akan berhenti mengalir. Kadar air pada keadaan ini disebut batas cair (LL) yang kira-kira sama dengan gaya menahan air dan merupakan jumlah tertinggi air yang bermanfaat bagi tanaman ( Soedarmo dan Djojoprawiro, 1988). http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka ● Batas Plastis Batas plastis (PL) didefinisikan sebagai kadar air (%), dimana tanah apabila digulung sampai dengan diameter 1/8 in (3 mm) menjadi retak-retak. Batas ini merupakan batas terendah dari keplastisan suatu tanah (Das, 1995). Sedangkan menurut Hardjowigeno (1995), batas plastis merupakan kadar air dimana gulungan tanah mulai tidak dapat digolek-golekkan lagi. Bila digolek-golekkan tanah akan pecah-pecah ke segala jurusan. ● Indeks Plastisitas Perbedaan antara batas cair dan batas plastisitas suatu tanah dinamakan Indeks plastisitas ( plasticity index = PI ), dengan rumus : PI = LL – PL…………………………………………………………………….( 1 ) Dimana : PI = indeks plastisitas ( %) LL = batas cair (%) PL = batas plastis (%) Kriteria Batas plastis serta indeks plastisitas tanah berdasarkan harkat Atterberg dapat dilihat dalam Tabel 2.5. http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Tabel 2.5 Sistem Klasifikasi Tanah USCS Indeks Kriteria Batas Cair (%) (%) rendah < 20 0–5 Rendah 20 – 30 5 – 10 Sedang 31 – 45 10 – 17 Tinggi 46 – 70 17 – 30 Sangat tinggi 71 – 100 30 – 43 Plastisitas Sangat Ekstrim tinggi – > 43 Sumber : Sarief, dkk (2001) I.4 Penyelidikan Tanah Penyelidikan tanah (soil investigation) adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui sifat–sifat dan karakteristik tanah untuk keperluan rekayasa (engineering). Penyelidikan tanah pada umunya dipakai sebagai dasar perencanaan pondasi, yaitu untuk mengetahui susunan lapisan tanah pada lokasi proyek dengan cara melihat hasil dari http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka boring log dan hasil dari laboratorium. Salah satu metode penyelidikan tanah yang hasilnya digunakan untuk penelitian yaitu Standard Penetration Test (SPT). Dalam penelitian ini hanya menggunakan nilai dari Standard Penetration Test (SPT) karena SPT dapat menjangkau lapisan tanah paling dalam dibandingkan jangkauan dari Sondering Test/Cone Penetration Test (CPT) yang pendek. Pengeboran Penyelidikan tanah (soil investigation) yang dilaksanakan ini adalah dengan menggunakan jenis peralatan bor mesin. Pengeboran yang dilakukan dalam proyek ini adalah untuk menentukan profil lapisan tanah terhadap kedalaman dan juga untuk menentukan sifat-sifat fisis tanah, meliputi: jenis tanah, warna tanah, tingkat plastisitas tanah, serta juga untuk pengambilan sampel tanah dalam tabung untuk dilakukan pengujian laboratorium. Lebih terperinci penyelidikan dengan pengeboran ini bertujuan: 1. Untuk meng evaluasi keadaan tanah secara terperinci 2. Untuk mengambil sampel layer demi layer sampai kedalaman yang diinginkan untuk deskripsi 3. Untuk mengambil sampel tak terganggu (undistrubed) dan sampel terganggu (distrubed) untuk diselidiki di laboratorium. 4. Untuk melakukan tes penetrasi SPT yang digunakan untuk menduga kedalaman tanah keras. Standart Penetration Test (SPT) Metode SPT adalah metode pemancangan batang (yang memiliki ujung pemancangan) ke dalam tanah dengan menggunakan pukulan palu dan mengukur jumlah pukulan per kedalaman http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka penetrasi. Caraini telah dibakukan sebagai ASTMD 1586 sejak tahun 1958 dengan revis-revisi berkala sampai sekarang. Pemancagan biasanya dilakukan dengan beban 140 lbs (± 63,5 ketinggian 30” atau ± 75 ) yang dijatuhkan dari . Pengaamatan dan perhitungan dilakukan sebagai berikut: a. Mula-mula tabung SPT dipukul kedama tanah sedalam 45 cm yaitu kedalaman yang diperkirakan akan terganggu oleh pengeboran. b. Kemudian untuk setiap kedalaman 15 cm dicatat jumlah pukulan yang dibutuhkan untuk memasukkan 15 cm kedua adalah N2 dan jumlah pukulan untuk memasukkan 15 cm ketiga adalah N3. Jadi total kedalaman setelah pengujian SPT adalah 45 cm dan menghasilkan N1, N2, N3. c. Angka SPT ditetapkan dengan menjumlahkan 2 angka pukulan terakhir (N2+N3) pada setiap interval pengujian dan dicatat pada lembaran boring log. d. Setelah selesai pengujian, tabung SPT diangkat dari lubang bor ke permukaan tanah untuk diambil contoh tanahnya dan dimasukkan kedalam kantong plastik untuk diamati di laboratorium. http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Gambar 2.3 Laporan Boring Log & N-SPT (Sumber: Rekayasa Geoteknik Indonesia) I.5 Daya Dukung Tiang Daya dukung tiang adalah kemampuan tiang dalam memikul beban yang disalurkan oleh struktur di atasnya (upper structure) dengan sejajar sumbu tiang (axial load). Hal- hal yang perlu dihindari dalam perencanaan pondasi adalah keruntuhan geser dan deformasi yang berlebihan. Pada perencanaan pondasi juga harus memperhatikan hal-hal berikut ini : 1. Daya dukung pondasi harus lebih besar daripada beban yang bekerja pada pondasi baik beban statik maupun beban dinamiknya. 2. Penurunan yang terjadi akibat pembebanan tidak melebihi dari penurunan yang diijinkan. http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Daya dukung bore pile Daya dukung pile diperoleh dari daya dukung ujung (end bearing capacity) yang diperoleh dari tekanan ujung tiang dan daya dukung geser atau selimut (friction bearing capacity). Gambar 2.4 Skematis Tiang Pondasi Dalam perhitungan daya dukung tiang tunggal, di dapat dari data uji laboratorium yaitu terdiri dari pengujian direct shear, konsolidasi, triaksial, tekan bebas dan lain-lain. Sedangkan data uji lapangan terdiri dari CPT (Cone Penetrasion Test) , SPT (Standard Penetrasion Test), dan lain–lain. Daya dukung pondasi bore pile mengikuti rumus umum yang diperoleh dari hasil penjumlahan tahanan ujung dan tahanan selimut tiang. Metode Mayerhof Rumus Empiris menghitung pile soil resistence : http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka ( Ra = ∗ + .............................. Toe ∗ ∗ )................................................................(2.1) ............................. Shaft Dengan : Ra = Daya dukung SF = Safety factor Nave = Nilai rata-rata Nspt Ab = Luas area ujung tiang As = Perimeter tiang untuk metode mayerhoff maka nilai : - Clay Bearing coefficient) Shaft coefficient) - Sand Bearing coefficient) Shaft coefficient) Daya dukung Aoki and De'Alencar Rumus Empiris menghitung pile soil resistence untuk metode Aoki dan De’Alencar sama dengan metode mayerhoff namun yang menjadi perbedaaan adalah koefisien untuk clay dan sand nya. untuk metode Aoki and De'Alencar maka nilai : - Clay Bearing coefficient) http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Shaft coefficient) - Sand Bearing coefficient) Shaft coefficient) Daya dukung innerbore (Nakabori Kakutei System – Hyper NAKS) Konsep daya dukug inner bore Gambar 2.5 Konsep Daya Dukung Inner Bore Perhitungan daya dukung pondasi inner bore pada penelitian ini menggunakan persamaan NAKS (Nakabori Kakutei System). Dengan persamaan: Ra =1/SF{ Dengan: +( SF = Safety Factor (Faktor Keamanan) Nave = Nilai rata-rata Nspt Ap = Luas penapang tiang (m2) + ) }.............................................(2.2) http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Ns ave = Nilai rata-rata Nspt pada lapisan kohesi dekat ujung tiang qu = Nilai rata-rata kuat tekan bebas (kPa) di kohesif lapisan dekat ujung tiang Ls = Panjang efektif pondasi tiang pancang pada lapisan non-kohesif Lc = Panjang efektif pondasi tiang pancang pada lapisan kohes ψ = Perimeter of pile, ψ = π. D Daya dukung innerbore (Nakabori Kakutei System – Hyper NAKS) Dengan demikian konsep daya dukung kedua pondasi dapat ditunjukan pada gambar dibawah ini. Gambar 2.6 Konsep Daya Dukung Bore pile dan Inner Bore I.6 Pondasi Bore Pile Pondasi merupakan struktur awal yang berfungsi mentransfer beban dari struktur atas yang disalurkan melalui kolom lalu dilanjutkan ke pondasi dan akan diteruskan ke lapisan tanah keras (lapisan aman). Pondasi yang sering digunakan di perkotaan padat pemukiman biasanya pondasi dalam yaitu pondasi bore pile. Pondasi bore pile merupakan pondasi yang http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka termasuk kategori pondasi dalam yang memiliki fungsi mentransfer (menyalurkan) beban dari stuktur atas ke lapisan tanah yang keras. Pondasi tipe ini dicor setempat dengan jalan dibulatkan lubang terlebih dahulu dalam tanah dengan cara mengebor tanah. Pada cast in place ini dilakukan dengan dua cara: 1. Dengan pipa baja yang dipancangkan ke dalam tanah, kemudian diisi dengan beton yang ditumbuk sambil pipa baja tersebut ditarik ke atas 2. Dengan pipa baja yang dipancangkan kedalam tanah, menudian diisi dengan beton. Sedangkan pipa baja tersebut tetap tinggal di dalam tanah. Pondasi bore pile yang dipakai pada penelitian ini adalah jenis franki-pile. Dimana tiang franki adalah termasuk salah satu tipe dari tiang beton yang dicor setempat (cast in place pile). Adapun prinsip pelaksanaannya adalah sebagai berikut: a. Pipa baja yang ujung bawahnya disumbat denngan beton yang dicor di dalam ujung pipa dan telah mengeras (kering). b. Dengan penumbuk yang jatuh (drop hammer) sumbat beton tersebut ditumbuk. Akibat dari penumbukan tersebut maka sumbat beton berikut pipanya akan masuk ke dalam tanah. c. Setelah pipa mencapai kedalaman yang direncanakan, kemudian pipa diisi dengan beton sampai terus ditumbuk dan pipanya ditarik/keluar/ke atas. d. Tiang franki telah selesai. Disini sumbat beton menjadi melebar, shingga ujung bawah akan berbentuk seperti jamur (the mushroom base). Sedangkan permukaan tiang tidak lagi rata, akan tetapi akan menjadi sangat kasar. Karena ujung tiang menjadi besar dengan sendirinya tahanan ujung menjadi http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka besar pula, sehingga tahanan geser dan lekatan tiang akan menjadi besar pula karena tiang sangat kasar. Adapun keuntungan dan kerugian menggunakan metode pondasi bore pile dijelaskan di bawah ini. Keuntungan menggunakan pondasi bore pile adalah: 1. Diameter bervariasi dapat disesuaikan dengan kebutuhan bangunan; 2. Akibat yang ditimbulkan dari pemasangan pondasi bore pile cukup kecil jadi tidak berpengaruh buruk terhadap bangunan disekitarnya; 3. Getaran dan suara yang ditimbulkan tidak terlalu mengganggu permukian di sekitar area proyek sehingga cocok digunakan untuk di daerah yang padat penduduknya. Kerugian pondasi bore pile menurut Suyono Sosrodarsono dan Kazuto Nakazawa (2003), diuraikan sebagai berikut: 1. Kebutuhan pekerjaan pengecoran membutuhkan beton yang banyak, untuk pekerjaan skala kecil mengakibatkan biaya sangat melonjak; 2. Ketika beton dituangkan, adukan beton akan bercampur dengan runtuhan tanah. karena itu beton harus segera dituangkan dengan seksama setelah penggalian dilakukan; 3. Walaupun penetrasi sampai kelapisan pendukung pondasi dianggap telah terpenuhi, tiang pendukung kurang sempurna karena adanya lumpur yang tertimbun didasar. I.7 Inner-Bore System Merupakan teknologi mutakhir yang dikembangkan di Jepang dalam dunia konstruksi, khususnya pondasi tiang pancang (Spun Pile) dengan sebutan Sistem Nakabori atau NAKS. Sistem Nakabori (NAKS) mendapat pengakuan dari Kementrian PU Jepang (Ministry of http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Construction of Japan) dan Kementrian Perhubungan Jepang (Ministry of Land, Infrasructure and Transportation of Japan) pada tahun1981, serta terus berkembang dengan aplikasi teknologi hidrolik, serta kontrol digital sehingga dapat diaplikasikan pada tiang pancang diameter besar (1200mm) yang disebut “Hyper NAKS”. Kecendrungan kedepan dalam metode konstruksi yang menuntut teknologi ramah lingkungan, dimana isu pengurangan polusi menjadi suatu hal yang dipenuhi dalam mendukung konstruksi yang ramah lingkungan. Reduksi kebisingan dan getaran menjadi kelebihan teknologi ini dalam instalasi pondasi yang efektif dengan tiang pancang. Tiang yang digunakan adalah tiang pancang bulat (spun pile) yang memiliki rongga pada tengah tiang nya (hollow). Adapun spesifikasi tiang pancang dapat terlihat pada gambar berikut. Gambar 2.7 Klasifikasi Tiang pancang Bulat (Spun Pile) (sumber : PT. Wijaya Karya Beton, Tbk) http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Adapun proses pemancangan dengan inner bore sistem terdiri dari dua tahapan yaitu: Gambar 2.8 Proses Pemancangan Inner Bore Sumber: PT Wijaya Karya Beton 1. Tahap pra-pemancangan Persiapan Segmen Tiang Pancang dan Auger Set (Screw & Drill Bit). Tiang pancang untuk segmen bawah (bottom pile) disiapkan kemudian auger set dimasukkan kedalam sumbu as tiang pancang. Gambar 2.9 Pra-Pemancangan Inner Bore (Setting Auger-set Panda Spun Pile) http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Peninstalan tiang pada alat pancang Gambar 2.10 Pra-Pemancangan Inner Bore (Instal Spun Pile pada Alat Pancang) Sumber: PT Wijaya Karya Beton Set-up tiang pada sumbu as titik pancang Cek Posisi Tiang terhadap Sumbu as titik pancang dengan bantuan mal/penggaris yang diberi selotip untuk memastikan jarak yang tepat terhadap patok referensi. Gambar 2.11 Proses Pra-Pemancangan Inner Bore (Set Up Tiang pada Titik As Pancang) (Sumber: PT Wijaya Karya Beton) 2. Tahap Pemancangan http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Alat pemancangan siap beroprasi Gambar 2.12 Proses Pemancangan Inner Bore (Pemastian Kelurusan Tiang) (Sumber: PT Wijaya Karya Beton) http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Tiang pancang sudah pada posisi titik pancang dan tiang pancang telah diberi tanda sebagai guidance selama proses pemancangan. Penggalian dan pemancangan Tanah digali dengan Auger-Machine dan tanah galian terangkat ke atas melalui alur Screw serta ditampung di dalam Hopper. Sambil tanah digali, tiang pancang di tekan ke dalam tanah. Pembuatan soket pondasi ujung tiang Pada kedalaman yang direncanakan, Drill-Bit dibuka (wing auger mengembang). Pada Tahap ini hardening liquid (campuran semen + air) mulai di injeksikan. Pembentukan soket a (tahap 1) Pada kedalaman ini, proses pembentukan Soket A (tahap 1) terus dilakukan dengan tetap melakukan Injection-Hardening-Liquid hingga tercapai sesuai dimensi serta volume yang ditentukan. Pembentukan soket b (tahap 2) Pada kedalaman ini mulai dilakukan proses pembentukan Soket B (tahap 2) dengan Injeksi Base Hardening Liquid hingga terbentuk sesuai dengan dimensi serta volume yang ditentukan. Proses pengadukan dan injeksi Dengan debit maksimum dengan terus dilakukan Injection-Base-Hardening-Liquid menggunakan debit maksimum maka finalisasi proses pengadukan akan memastikan injeksi Hardening Liquid telah memenuhi volume soket proteksi ujung tiang yang terbentuk. Realease auger set Selanjutnya, Auger-Bit ditutup (menguncup) sambil tetap melakukan injeksi Base http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Hardening Liquid hingga posisi auger ditarik keatas hingga ketika tepat diatas elevasi kedalaman soket yang terbentuk. Setelah itu auger dikeluarkan dari tiang pancang. http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Keuntungan menggunakan Inner-bore system adalah: 1. Getaran dan kebisingan yang dihasilkan relatif rendah; 2. Kebersihan lokasi proyek lebih terjamin (tanah hasil galian ditampung pada hopper).; 3. Produk tiang pancang dibuat di pabrik (mutu tersertifikasi); 4. Tepat digunakan pada area dengan residensi tinggi (perkotaan); 5. Tepat digunakan pada area dengan residensi tinggi (perkotaan); 6. Presisi dalam proses instalasi; 7. Menggunakan teknologi beton mutu tinggi; 8. Penampang hollow mengurangi pemakaian material (komparasi dengan bore pile); 9. Penampang hollow mengurangi pemakaian material (komparasi dengan bore pile). I.8 Biaya Biaya adalah jumlah segala usaha dan pengeluaran yang dilakukan dalam mengembangkan, memproduksi da aplikasi produk. Penghasilan produk selalu menghasilakan reabilitas dan maitainability karena akan berpengaruh terhadap biaya bagi pemakai (Soeharto, 1995). Rencana Anggaran Biaya (RAB) Kegiatan estimasi adalah salah satu proses utama dalam proyek konstruksi utuk menjawab pertanyaan, “berapa besar dana yang harus disediakan untuk sebuah bangunan?”. Pada umumnya, biaya yang dibutuhkan dalam sebuah proyek konstruksi brjumlah besar (Ervianto, 2005). Biaya konstruksi Biaya konstruksi terdiri dari biaya langsung dan biaya tidak langsung Biaya langsung adalah biaya yang terkait dengan volume pekerjaan yang terdapat dalam item pembayaran seperti http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka biaya upah, biaya peralatan, biaya material, dan sebagainya. Sedangkan biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak terkait langsung dengan volume pekerjaan. Namun biaya langsuung berkontribusi dalam oenyelesaian pekerjaan proyek yang mencangkup biaya overhead, resiko, contingency, dan sebagainya. I.9 Analytical Hierarchy Process (AHP) Pada hakekatnya AHP merupakan suatu model sistem pendukung keputusan (SPK) yang komprehensif dengan memperhitungkan hal- hal yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Dalam model SPK dengan AHP pada dasarnya berusaha menutupi semua kekurangan dari modelmodel sebelumnya. AHP juga memungkinkan ke struktur suatu sistem dan lingkungan kedalam komponen saling berinteraksi dan kemudian menyatukan mereka dengan mengukur dan mengatur dampak dari komponen kesalahan sistem (Saaty, 2001). Gambar 2.13 Contoh Model Hierarki Keputusan http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Aksioma model AHP Peralatan utama dari model ini adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya adalah persepsi manusia. Jadi perbedaan yang mencolok model AHP dengan model lainnya terletak pada jenis inputnya. Terdapat 4 aksioma-aksioma yang terkandung dalam model AHP, yaitu : 1. Reciprocal Comparison artinya pengambilan keputusan harus dapat memuat perbandingan dan menyatakan preferensinya. Prefesensi tersebut harus memenuhi syarat resiprokal yaitu apabila A lebih disukai daripada B dengan skala x, maka B lebih disukai daripada A dengan skala 1/x 2. Homogenity artinya preferensi seseorang harus dapat dinyatakan dalam skala terbatas atau dengan kata lain elemen- elemennya dapat dibandingkan satu sama lainnya. Kalau aksioma ini tidak dipenuhi maka elemen- elemen yang dibandingkan tersebut tidak homogen dan harus dibentuk cluster (kelompok elemen) yang baru 3. Independence artinya preferensi dinyatakan dengan mengasumsikan bahwa kriteria tidak dipengaruhi oleh alternatif-alternatif yang ada melainkan oleh objektif keseluruhan. Ini menunjukkan bahwa pola ketergantungan dalam AHP adalah searah, maksudnya perbandingan antara elemen-elemen dalam satu tingkat dipengaruhi atau tergantung oleh elemen-elemen pada tingkat diatasnya 4. Expectation artinya untuk tujuan pengambil keputusan. Struktur hirarki diasumsikan lengkap. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi maka pengambil keputusan tidak memakai seluruh kriteria atau objectif yang tersedia atau diperlukan sehingga keputusan yang diambil dianggap tidak lengkap. http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Selanjutnya Saaty (2001) menyatakan bahwa proses hirarki analitik (AHP) menyediakan kerangka yang memungkinkan untuk membuat suatu keputusan efektif atas isu kompleks dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pendukung keputusan. Pada dasarnya AHP adalah suatu metode dalam merinci suatu situasi yang kompleks, yang terstruktur kedalam suatu komponen-komponennya. Artinya dengan menggunakan pendekatan AHP kita dapat memecahkan suatu masalah dalam pengambilan keputusan. http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Prinsip kerja AHP Pengambilan keputusan dalam metodologi AHP didasarkan atas tiga prinsip dasar (Saaty, 1994), yaitu: 1. Penyusunan hierarki Penyusunan hirarki permasalahan merupakan langkah untuk mendefinisikan masalah yang rumit dan kompleks, sehingga menjadi jelas dan rinci. Keputusan yang akan diambil ditetapkan sebagai tujuan, yang dijabarkan menjadi elemen-elemen yang lebih rinci hingga mencapai suatu tahapan yang paling operasional/terukur. Hirarki tersebut memudahkan pengambil keputusan untuk memvisualisasikan permasalahan dan faktor-faktor terkendali dari permasalahan tersebut. Hirarki keputusan disusun berdasarkan pandangan dari pihak-pihak yang memiliki keahlian dan pengetahuan di bidang yang bersangkutan. 2. Penentuan prioritas Prioritas dari elemen-elemen pada hirarki dapat dipandang sebagai bobot/kontribusi elemen tersebut terhadap tujuan yang ingin dicapai dalam pengambilan keputusan. Metode AHP berdasarkan pada kemampuan dasar manusia untuk memanfaatkan informasi dan pengalamannya untuk memperkirakan pentingnya satu hal dibandingkan dengan hal lain secara relatif melalui proses membandingkan hal-hal berpasangan. Proses inilah yang disebut dengan metode perbandingan berpasangan untuk menganalisis prioritas elemen-elemen dalam hiaraki. Prioritas ditentukan berdasarkan pandangan dan penilaian para ahli dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pengambilan keputusan, baik dengan diskusi atau kuisioner. http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka 3. Konsistensi logika Prinsip pokok yang menentukan kesesuaian antara definisi konseptual dengan operasional data dan proses pengambilan keputusan adalah konsistensi jawaban dari para responden. Konsistensi tersebut tercermin dari penilaian elemen dari perbandingan berpasangan. Matriks perbandingan berpasangan Konsep dasar dari AHP adalah penggunaan pairwise comparison matrix (matriks perbandingan berpasangan) untuk menghasilkan bobot relatif antar kriteria maupun alternatif. Suatu kriteria akan dibandingkan dengan kriteria lainnya dalam hal seberapa penting terhadap pencapaian tujuan di atasnya. Sebagai contoh, kriteria spesifikasi dan kriteria biaya akan dibandingkan seberapa pentingnya dalam hal memilih armada transportasi. Begitu juga untuk alternatif. Kendaraan A, B, dan C akan dibandingkan secara berpasangan (dan akan dibentuk matriks) dalam hal sub-kriteria biaya pemeliharaan misalnya. Nilai-nilai yang disarankan untuk membuat matriks perbandingan berpasangan adalah sebagai berikut: • 1 : sama penting (equal) • 2 : lebih penting sedikit (slightly) • 3 : lebih penting secara kuat (strongly) • 4 : lebih penting secara sangat kuat (very strong) • 5 : lebih penting secara ekstrim (extreme) http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka Selain nilai-nilai di atas, nilai-nilai antaranya juga bisa digunakan, yakni 2, 4, 6, dan 8. Nilainilai ini menggambarkan hubungan kepentingan di antara nilai-nilai ganjil yang disebutkan di atas. Sementara jika kepentingannya terbalik, maka kita dapat menggunakan angka reprisokal dari nilai-nilai di atas. Misalnya perbandingan berpasangan antara kriteria 1 dan 3 adalah 1/5, artinya kriteria 3 lebih penting secara kuat dari pada kriteria 1. Matriks perbandingan berpasangan tersebut harus dibuat tiap level yang memiliki hirarki atasan yang sama. Sebagai contoh pada hirarki sebelumnya, kita harus membuat matriks perbandingan berpasangan untuk sub-kriteria kapasitas angkut dan sub-kriteria ketersediaan suku cadang terhadap kriteria spesifikasi, matriks perbandingan berpasangan antara sub-kriteria biaya pembelian, biaya pemeliharaan dan biaya perton mileage terhadap kriteria biaya, dan seterusnya. Dalam membuat matriks berpasangan, kita hanya perlu menentukan matriks segitiga atas saja karena matriks segitiga bawah hanyalah nilai reprisokal dari matriks segitiga atas. Selain itu, nilai-nilai diagonal pada matriks perbandingan berpasangan adalah satu (karena setiap item dibandingkan dengan dirinya sendiri). Dengan demikian, apabila kita ingin membuat matriks perbandingan berpasangan dengan jumlah n item, maka kita hanya perlu membuat perbandingan sejumlah n(n-1)/2. Jika semua matriks perbandingan berpasangan sudah dikumpulkan, kita dapat menghasilkan bobot prioritas akhir dari kandidat pilihan. Langkah pertama adalah setiap matriks perbandingan berpasangan perlu dicari bobot absolut masing-masing item. Setelah itu, bobot prioritas akhir didapat dengan mengkalikan bobot absolut alternatif dengan bobot-bobot kriteria dan sub-kriteria di atasnya. Kemudian, bobot prioritas akhir ini dapat dijadikan sebagai acuan pemilihan kandidat ataupun pengurutan kepentingan kandidat pilihan. http://digilib.mercubuana.ac.id/ Bab II Tinjauan Pustaka http://digilib.mercubuana.ac.id/