EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENGGUNAKAN MODEL KOOPERATIF TIPE STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISIONS (STAD) DAN THINK-PAIR-SHARE (TPS) PADA MATERI POKOK PERSAMAAN GARIS LURUS DITINJAU DARI KREATIVITAS SISWA EDY SUPRAPTO IMAN SUJADI MANIA ROSWITHA Dosen Prodi Matematika IKIP PGRI Madiun, Dosen Pascasarjana UNS, Dosen Pascasarjana UNS E-mail: [email protected] Abstract: This research aims to know the difference of influlence in learning models, creativity, and its interaction toward student’s learning achievement on the subject matter: equations of a straight line. This research is a quasi experimental research with factorial design of 3x3. The population is eight grade students of Junior high School in Madiun. The samples are taken using stratified cluster random technic. Sample of the research is 283 students. The collecting data instruments is a questionnaire on creativity and learning mathematics achievement test. The trial test of instrument of the questionnaire includes the content validity, the internal consistency, and realibility. The trial test on the achievement of learning on mathematics includes the content validity, the difficulty level, the discrimination power, and realibility coefficient. The Data analysis technique used consists of: balance, precondition analysis (Normality and Homogenity). Hypothesis analysis test uses two-ways variant analysis with different cells. The results of the research are: (1) The students who are learning with cooperative model of STAD have better achievement than the students who are given conventional learning, and the students who are given cooperative model of STAD have the same achievement with the students who are given cooperative model of TPS; (2) The students with high creativity have better achievement than the students who have lower creativity (middle and low), the students with middle creativity have the same achievement with the students who have low creativity, (3) On students with high creativity, implementation learning models of STAD, TPS, and conventional give the same effect; On students with middle creativity, implementation of cooperative learning with STAD model gives the same effect as good as the TPS model, implementation of cooperative learning with STAD models provides a better effect than conventional learning, and implementation of cooperative learning with TPS model gives a better effect than conventional learning; On students with low creativity, implementation of cooperative learning with STAD and TPS models give the same effect, implementation of cooperative learning with STAD model and conventional learning also provide the same effect, and implementation of cooperative learning with TPS model gives a better effect than conventional learning. 653 Edy Suprapto, Iman Sujadi & Mania Roswitha, Exsperimen Pembelajaran 654 Key words: Learning Models, Student Teams Achievement Divisions, Think-PairShare, Conventional, Creativity. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini semakin pesat sehingga mengakibatkan banyaknya perubahan di berbagai bidang, tak terkecuali bidang pendidikan. Pendidikan merupakan masalah yang penting bagi manusia, karena menyangkut kelangsungan hidup manusia dan tingkat kecerdasan bangsa. Oleh karena itu setiap negara, bahkan negara maju sekalipun selalu berusaha membangun dunia pendidikannya secara terus menerus. Hal ini terjadi karena peningkatan daya saing suatu negara memerlukan kualitas sumber daya manusia yang prima. Untuk itu, inovasi dibidang pendidikan sangat diperlukan agar kualitas pendidikan terus meningkat dan hasilnya sesuai dengan kemajuan masyarakat dan tuntutan zaman. Salah satu ilmu dasar yang senantiasa selalu dikembangkan saat ini adalah matematika, dimana peranan matematika di dalam ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini memiliki peranan yang sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan, karena matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern dan mempunyai peran dalam berbagai disiplin dan mengembangkan daya pikir manusia (BSNP, 2006). Dengan demikian matematika memegang peranan bagi berlangsungnya perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban dunia, tak terkecuali di Indonesia sendiri. Saat ini perkembangan pembelajaran matematika di Indonesia belumlah sesuai dengan apa yang diharapkan. Masalah dalam pembelajaran matematika di Indonesia dapat dilihat dari prestasi (hasil) yang diraih oleh Indonesia pada eventevent Internasional. Berdasarkan hasil penelitian Trends in International Mathematics and Science Study Repeat (TIMSS-R) prestasi belajar IPA dan matematika siswa SMP di Indonesia masing-masing pada urutan 33 dan 35 dari 38 negara di lima benua (http://nces.ed.gov/2008). Sedangkan dalam peringkat yang dikeluarkan oleh Programme for International Student Assessment (PISA: 2009) diperoleh rata-rata nilai matematika siswa Indonesia berada pada peringkat 61 dari 65 negara dengan nilai rata-rata 371, masih jauh apabila dibandingkan dengan peringkat 1 yaitu Shanghai-China dengan nilai rata-ratanya 600 (http://www.straitstimes.com). Selain itu Yansen Marpaung (2003:1) mengungkapkan “pendidikan matematika kita selama ini tidak berhasil meningkatkan pemahaman matematika yang baik pada siswa, tetapi berhasil menumbuhkan perasaan takut, persepsi terhadap matematika sebagai ilmu yang sukar dikuasai, tidak bermakna, membosankan, menyebabkan stres pada diri siswa”. Senada dengan hal tersebut, Purwoto (2003: 17) menyatakan bahwa matematika adalah pelajaran yang konsepnya tersusun secara hierarkis dari yang mudah atau sederhana meningkat ke yang sulit atau rumit. Dengan demikian, jika siswa belum dapat menguasai konsep yang mendasar, maka siswa akan merasa kesulitan menguasai konsep yang lebih lanjut. Umumnya, dalam mempelajari pelajaran yang dianggap sulit, siswa cenderung menunjukkan minat belajar dan motivasi untuk berprestasi yang rendah. Padahal matematika seharusnya menjadi pelajaran yang menantang Edy Suprapto, Iman Sujadi & Mania Roswitha, Exsperimen Pembelajaran 655 sehingga menarik minat belajar dan rasa ingin tahu yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan matematika yang ada masih jauh dari harapan. Selanjutnya, prestasi belajar matematika di tingkat nasional untuk siswa SMP juga masih tergolong rendah, hal tersebut dapat dilihat dari hasil Ujian Akhir Nasional tahun pelajaran 2009/2010, salah satu diantaranya yaitu di SMP Negeri kota Madiun. Berdasarkan laporan hasil Ujian Akhir Nasional SMP tahun pelajaran 2009/2010, dari 14 SMP negeri di kota Madiun, pada mata pelajaran matematika didapatkan siswa yang memperoleh nilai pada rentang 3,00-6,99 yaitu sejumlah 680 siswa atau sekitar 21,5% dari jumlah keseluruhan sebanyak 3.166 siswa (Puspendik, 2009). Berdasarkan beberapa realita yang ada, ternyata memang tidak semua siswa memperoleh prestasi belajar matematika yang baik. Artinya, sampai saat ini prestasi belajar siswa pada mata pelajaran matematika masih menjadi masalah bagi sebagian siswa. Sebagian siswa beranggapan bahwa matematika sangat sulit. Hal tersebut juga didukung dengan sangat minimnya kreativitas siswa dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terkait dengan matematika. Bahkan sebelum mereka mencoba permasalahan-permasalahan di dalam matematika, terkadang mereka sudah beranggapan bahwa mereka pasti akan kesulitan dalam menyelesaikannya, akibatnya mereka menjadi kurang termotivasi untuk lebih menggali kreativitasnya, yang pada akhirnya berimbas pada rendahnya prestasi belajar mereka. Selain itu, kenyataan bahwa kualitas pendidikan matematika yang masih jauh dari harapan tersebut juga didukung dengan aktivitas siswa yang cenderung pasif dalam proses pembelajaran matematika. Hal ini mencerminkan bagaimana proses pembelajaran matematika yang berjalan belumlah memberikan kontribusi yang selaras dengan aktivitas siswa yang diharapkan, yaitu pada proses pembelajaran matematika yang didominasi oleh peserta didik. Dengan kata lain proses pembelajaran yang berjalan di lapangan masih cenderung terfokus pada guru (teacher centered), sebaliknya siswa cenderung pasif dan menerima begitu saja materi yang diberikan oleh guru. Oleh karena itu, salah satu usaha yang harus ditempuh untuk meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya pembelajaran matematika adalah dengan perbaikan dan penyempurnaan proses pendidikan dan semua aspek yang tercakup dalam pembelajaran matematika tersebut. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan dalam belajar yaitu model pembelajaran. Menyadari pentingnya model pembelajaran untuk dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, maka diperlukan adanya sosialisasi terhadap model-model pembelajaran yang inovatif dan melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini dapat terlaksana melalui suatu bentuk pembelajaran alternatif yang dirancang sedemikian rupa sehingga mencerminkan keterlibatan siswa secara aktif dalam merespon pengetahuan. Dengan pemilihan model yang tepat, diharapkan akan memudahkan siswa dalam memahami materi yang disampaikan dan dapat menuju tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Dengan menggunakan model pembelajaran yang tepat pula, diharapkan seorang guru tidak hanya mampu mengajarkan bagaimana cara menyelesaikan Edy Suprapto, Iman Sujadi & Mania Roswitha, Exsperimen Pembelajaran 656 masalah, namun seorang guru juga harus bisa menanamkan konsep materi terhadap siswa, sehingga siswa dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang lebih bervariasi dan berimplikasi pada kreativitas siswa. Pembelajaran matematika cenderung terpusat pada guru dengan menerapkan pembelajaran konvensional, yang menempatkan guru sebagai pusat belajar. Akibatnya siswa tidak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematikanya. Pada model pembelajaran konvensional tersebut guru lebih aktif dalam memberikan informasi, sedangkan siswa cenderung lebih banyak menyimak, mencatat, dan mengerjakan tugas. Berbagai model pembelajaran lain yang bervariasi dapat dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Namun pelaksanaan inovasi pembelajaran tersebut sebagai harapan masih terbatas dengan lemahnya pemahaman dan kemampuan guru dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran, diantaranya pelaksanaan yang berpola pada pembelajaran berkelompok. Oleh sebab itu, perlu dilakukan sosialisasi tentang pembelajaran berkelompok yang bertujuan untuk menambah pemahaman guru tentang pembelajaran konstruktivisme sehingga mampu menentukan pembelajaran berkelompok yang sesuai untuk mata pelajaran dan kelas tertentu, dengan harapan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Menurut Anita Lie (2007) dalam bukunya Cooperative Learning, situasi dalam kelas perlu direncanakan dan dibangun sedemikian rupa sehingga siswa mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain. Dalam interaksi ini, akan terbentuk suatu komunitas yang memungkinkan mereka untuk memahami proses belajar dan memahami satu sama lain. Salah satu materi pokok yang diajarkan di SMP kelas VIII semester I adalah persamaan garis lurus. Pada materi persamaan garis lurus ini, salah satu diantaranya juga akan dibahas mengenai penyelesaian masalah yang berkaitan dengan konsep persamaan garis lurus. Disini siswa tentunya dituntut untuk memahami konsep-konsep dasar dari persamaan garis lurus tersebut, artinya siswa juga dituntut untuk lebih kreatif dalam menyelesaikan masalah-masalah yang menuntut pemahaman konsep dasar dari persamaan garis lurus. Pada materi persamaan garis lurus terdapat rumus-rumus yang harus dipahami oleh siswa. Oleh karena itu pemahaman terhadap konsep sebenarnya akan sangat membantu siswa dalam mengembangkan rumus-rumus tersebut. Apabila siswa tidak memahami konsep sebenarnya, maka siswa akan kesulitan untuk menerima materi tersebut. Biasanya siswa cenderung menghafal rumus daripada memahami konsep materi persamaan garis lurus tersebut, sehingga siswa akan merasa kesulitan jika dihadapkan pada permasalahan yang berbeda. Pembelajaran matematika dengan berkelompok (cooperative learning) adalah pembelajaran yang menitikberatkan pada aktivitas belajar, membantu dan membimbing siswa jika menemui kesulitan, serta membantu mengembangkan kreativitas siswa terhadap prestasi belajarnya. Pembelajaran tersebut dilalui dengan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya melalui pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan, artinya bagaimana guru membantu dan mengarahkan kepada siswa untuk berpikir dan mampu menyelesaikan masalah (soal) dengan baik. Edy Suprapto, Iman Sujadi & Mania Roswitha, Exsperimen Pembelajaran 657 Faktor lain yang terkadang masih diabaikan dalam berbagai penelitian pendidikan matematika adalah kreativitas belajar siswa. Seiring dengan perkembangan teknologi dan media elektronik, sebagian siswa justru tidak dapat menyikapinya secara bijak. Sebagai contoh adanya tayangan-tayangan menarik di televisi menjadikan siswa kurang bersemangat dalam belajar, sebaliknya lebih semangat untuk mengikuti acara televisi. Oleh karena itu perlu ada upaya meningkatkan kreativitas belajar siswa, khususnya kreativitas berprestasi dalam belajar matematika. Hal tersebut perlu dilakukan sebagai upaya untuk mengungkap informasi secara komprehensif terhadap gejala-gejala yang muncul dalam praktik pembelajaran terkait kreativitas berprestasi siswa dalam belajar matematika. METODE Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri Kota Madiun Propinsi Jawa Timur. Subjek penelitiannya adalah siswa kelas VIII semester ganjil tahun pelajaran 2011/2012. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental semu (quasi-experimental research). Hal ini dikarenakan peneliti tidak memungkinkan untuk mengendalikan dan memanipulasi semua variabel yang relevan. Seperti yang dikemukakan Budiyono (2003: 82-83) bahwa, “Tujuan penelitian eksperimental semu adalah untuk memperoleh informasi yang merupakan perkiraan bagi informasi yang dapat diperoleh dengan eksperimen yang sebenarnya dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk mengontrol dan atau memanipulasikan semua variabel yang relevan”. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri di Kota Madiun Jawa Timur kelas VIII semester ganjil tahun pelajaran 2011/2012. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara sampling strata random kluster (stratified cluster random sampling), sedemikian sehingga terpilih sampel sebagai berikut: 1) SMP Negeri 4 Madiun, dengan kelas VIII-G sebagai kelas eksperimen satu (STAD), kelas VIII-F sebagai kelas eksperimen dua (TPS) dan kelas VIII-E sebagai kelas control; 2) SMP Negeri 5 Madiun, dengan kelas VIII-A sebagai kelas eksperimen satu (STAD), kelas VIII-D sebagai kelas eksperimen dua (TPS) dan kelas VIII-C sebagai kelas control; 3) SMP Negeri 11 Madiun, dengan kelas VIII-B sebagai kelas eksperimen satu (STAD), kelas VIII-E sebagai kelas eksperimen dua (TPS) dan kelas VIII-F sebagai kelas kontrol. Metode pengumpulan data penelitian meliputi metode dokumentasi, angket, dan tes. Metode dokumentasi digunakan untuk memperoleh data kemampuan awal siswa yang berupa nilai matematika hasil Ujian Tengah Semester ganjil kelas VIII tahun ajaran 2011/2012, yang akan digunakan untuk mengetahui keseimbangan keadaan prestasi belajar dari kelas eksperimen dan kelas kontrol. Metode angket digunakan untuk mengumpulkan data mengenai kreativitas siswa. Metode tes digunakan untuk mengukur kemampuan siswa berupa prestasi belajar matematika. Sebelum melakukan eksperimen, dilakukan uji keseimbangan terhadap kemampuan awal matematika menggunakan uji analisis variansi satu jalan dengan Edy Suprapto, Iman Sujadi & Mania Roswitha, Exsperimen Pembelajaran 658 sel yang tak sama.. Data prestasi belajar matematika dianalisis menggunakan analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama. Sebelumnya, terhadap data kemampuan awal maupun data prestasi belajar dilakukan uji prasyarat meliputi uji normalitas populasi menggunakan metode Lilliefors dan uji homogenitas variansi populasi menggunakan metode Bartlett. Apabila hasil analisis variansi menunjukkan bahwa hipotesis nol ditolak, dilakukan uji komparasi ganda menggunakan metode Scheffe’. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Data Kemampuan Awal Matematika dan Uji Keseimbangan Berikut disajikan deskripsi data kemampuan awal matematika siswa kelas eksperimen satu (STAD), kelas eksperimen dua (TPS), dan kelas kontrol (Konvensional). Tabel 1. Deskripsi Data Kemampuan Awal Siswa Sebelum Perlakuan Kelompok Model n Uk.Tendensi Sentral ̅ Mo Me STAD TPS Konvensional 96 94 93 69,13 68,54 68,32 70 66 70 69,5 68,00 69,00 Uk.Dispersi Min Maks 53 54 52 86 85 85 R s 33 31 33 7,86 7,12 8,27 Hasil uji prasyarat diperoleh simpulan bahwa sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan mempunyai variansi yang homogen. Hasil uji keseimbangan menggunakan uji anava satu jalan dengan sel tak sama terhadap data kemampuan awal matematika siswa diperoleh kesimpulan bahwa populasi mempunyai kemampuan awal matematika yang seimbang. Data Penelitian dan Analisis Variansi Dua Jalan dengan Sel Tak Sama Data yang digunakan dalam pengujian hipotesis adalah data prestasi belajar matematika siswa pada materi pokok persamaan garis lurus. Tabel 2. Deskripsi Data Prestasi Belajar Berdasarkan Tingkat Kreativitas Siswa pada Model Pembelajaran STAD, TPS, dan Konvensional TPS STAD Model Tingkat Kreativitas Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang n 39 33 24 32 37 Uk.Tendensi Sentral ̅ Mo Me 67,282 72 68 64,970 64 64 60,500 60 62 63,750 64 64 65,081 72 68 Ukuran Dispersi Min 44 44 36 40 48 Maks 92 88 80 88 80 R 48 44 44 48 32 s 11,603 12,084 10,895 11,219 8,623 Konven sio nal Edy Suprapto, Iman Sujadi & Mania Roswitha, Exsperimen Pembelajaran Rendah Tinggi Sedang Rendah 25 18 43 32 63,360 65,778 54,140 52,125 60 60 52 56 60 64 52 54 44 52 36 36 80 84 72 64 659 36 9,979 32 9,124 36 10,984 28 7,770 Hasil uji prasyarat diperoleh kesimpulan bahwa sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan mempunyai variansi yang homogen. Berikut disajikan hasil analisis variansi tiga jalan dengan sel tak sama. Tabel 3. Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan Sumber Model Pembelajaran (A) Kreativitas (B) Interaksi (AB) Galat Total JK dk RK Fobs Fα 2729,761 2158,048 1784,890 29841,158 36513,856 2 2 4 274 282 1364,880 1079,024 446,222 108,909 12,532 9,908 4,097 2,9975 2,9975 2,3719 Tabel di atas, tampak bahwa semua nilai Fobs > Fα, sehingga diperoleh keputusan uji H0A ditolak, H0B ditolak dan H0AB ditolak. Selanjutnya berdasarkan kesimpulan analisis variansi dua jalan dengan ukuran sel tak sama di atas yang menunjukkan bahwa H0A ditolak, H0B ditolak dan H0AB ditolak, sehingga perlu dicari efek signifikan uji rataan dengan uji komparasi ganda atau uji lanjut pasca anava. Teknik yang digunakan dalam uji komparasi ganda adalah dengan metode Scheffe’. Untuk melakukan komparasi ganda, dicari terlebih dahulu rataan masingmasing sel dan rataan marginal, yang hasilnya tampak pada Tabel 4 berikut: Tabel 4. Rataan Masing-masing Sel dan Rataan Marginal Kreativitas Model pembelajaran Tinggi Sedang Rendah Rataan Marginal STAD TPS Konvensional 67,282 63,750 65,778 64,970 65,081 54,140 60,500 63,360 52,125 64,792 64,170 55,699 Rataan marginal 65,708 60,885 58,074 Selanjutnya, untuk mengetahui perbedaan efek diantara kategori model pembelajaran, kreativitas, dan interaksi di antara keduanya perlu dilakukan komparasi rataan antar baris, kolom dan antar sel. Adapan hasil komparasinya seperti tersaji pada tabel di bawah: Tabel 5. Rangkuman Komparasi Rataan Antar Baris H0 Fobs 2F0,05;2;274 Keputusan Uji Edy Suprapto, Iman Sujadi & Mania Roswitha, Exsperimen Pembelajaran μ1. = μ2. 0,168 5,9950 H0 diterima μ1. = μ3. 35,861 5,9950 H0 ditolak μ2. = μ3. 30,804 5,9950 H0 ditolak 660 Tabel 6. Rangkuman Komparasi Rataan Antar Kolom H0 Fobs 2F0,05;2;274 Keputusan Uji μ.1 = μ.2 10,633 5,9950 H0 ditolak μ.1 = μ.3 22,690 5,9950 H0 ditolak μ.2 = μ.3 3,423 5,9950 H0 diterima Tabel 7. Rangkuman Komparasi Rataan Antar Sel pada Kolom Yang Sama H0 Fobs 8F0,05;8;274 Keputusan Uji μ11 = μ21 2,013 15,5072 H0 diterima μ11 = μ31 0,256 15,5072 H0 diterima μ21 = μ31 0,435 15,5072 H0 diterima μ12 = μ22 0,002 15,5072 H0 diterima μ12 = μ32 20,108 15,5072 H0 ditolak μ22 = μ32 21,861 15,5072 H0 ditolak μ13 = μ23 0,920 15,5072 H0 diterima μ13 = μ33 8,832 15,5072 H0 diterima μ23 = μ33 16,267 15,5072 H0 ditolak PEMBAHASAN Berdasarkan hasil uji hipotesis statistik, maka dapat dijelaskan hasil penelitiannya sebagai berikut: Pertama Berdasarkan hasil perhitungan pada analisis variansi dua jalan dengan ukuran sel tak sama, untuk sumber variasi model pembelajaran diperoleh nilai Fobs = 12,532 > 2,9975 = F0,05;2;274 dan Fobs DK, berarti H0A ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rerata yang signifikan dari faktor model pembelajaran terhadap prestasi belajar matematika pada materi persamaan garis lurus. Dari uji komparasi rataan antar baris dengan metode Scheffe’ dan DK = {F│F > 2 F0,05;2,274} = {F│F > 5,9950} diperoleh hasil sebagai berikut: Edy Suprapto, Iman Sujadi & Mania Roswitha, Exsperimen Pembelajaran 661 1) F1. – 2 . = 0,168 < F0,05;2,274 = 5,9950 dan Fobs DK, berarti H0 diterima. Berdasarkan keputusan uji di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa yang diberikan pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe STAD memiliki prestasi belajar yang sama dengan siswa yang diberikan pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe TPS. 2) F1. – 3. = 35,861 > F0,05;2,274 = 5,9950 dan Fobs DK, berarti H0 ditolak. Berdasarkan keputusan uji di atas, dapat diartikan bahwa terdapat perbedaan rerata yang signifikan pada siswa yang diberikan pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe STAD dan pembelajaran konvensional. Selanjutnya dengan melihat nilai rataan marginalnya diketahui bahwa kelompok siswa yang diberi pembelajaran dengan model kooperatif tipe STAD sebesar 64,792, sedangkan rataan marginal kelompok siswa yang diberi pembelajaran konvensional sebesar 55,699. Berdasarkan nilai rataan marginal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa siswa yang diberi pembelajaran dengan model kooperatif tipe STAD lebih baik prestasi belajarnya dibandingkan dengan siswasiswa yang diberi pembelajaran konvensional. 3) F2. – 3. = 30,804 > F0,05;2,274 = 5,9950 dan Fobs DK, berarti H0 ditolak. Berdasarkan keputusan uji di atas, dapat diartikan bahwa terdapat perbedaan rerata yang signifikan pada siswa yang diberikan pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe TPS dan pembelajaran konvensional. Berdasarkan nilai rataan marginal, diketahui bahwa rataan marginal nilai siswa yang diberi pembelajaran dengan model kooperatif TPS sebesar 64,170, sedangkan rataan marginal nilai siswa yang diberi pembelajaran konvensional sebesar 55,699. Berdasarkan nilai rataan marginal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa siswa yang diberi pembelajaran dengan model kooperatif tipe TPS lebih baik prestasi belajarnya dibandingkan dengan siswa yang diberi pembelajaran konvensional. Kedua Berdasarkan hasil perhitungan pada analisis variansi dua jalan dengan ukuran sel tak sama, untuk sumber variasi kreativitas siswa diperoleh nilai Fobs = 9,908 > 2,9975 = F0,05;2;274 dan Fobs DK, berarti H0B ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rerata yang signifikan dari faktor kreativitas siswa terhadap prestasi belajar matematika pada materi persamaan garis lurus. Dari uji komparasi rataan antar baris dengan metode Scheffe’ dan DK = {F│F > 2 F0,05;2,274} = {F│F > 5,9950} diperoleh hasil sebagai berikut: 1) F.1 - . 2 = 10,633 > F0,05;2,274 = 5,9950 dan Fobs DK, berarti H0 ditolak. Berdasarkan keputusan uji di atas, dapat diartikan bahwa terdapat perbedaan rerata yang signifikan pada siswa dengan tingkat kreativitas tinggi dan siswa dengan tingkat kreativitas sedang. Selanjutnya dengan melihat nilai rataan marginalnya diketahui bahwa rataan nilai siswa dengan tingkat kreativitas tinggi sebesar 65,708, sedangkan rataan nilai siswa dengan tingkat kreativitas sedang sebesar 60,885. Berdasarkan nilai rataan marginal tersebut, maka dapat Edy Suprapto, Iman Sujadi & Mania Roswitha, Exsperimen Pembelajaran 662 disimpulkan bahwa siswa dengan tingkat kreativitas tinggi lebih baik prestasi belajarnya dibandingkan siswa dengan tingkat kreativitas sedang. 2) F.1 - . 3 = 22,690 > F0,05;2,274 = 5,9950 dan Fobs DK, berarti H0 ditolak. Berdasarkan keputusan uji di atas, dapat diartikan bahwa terdapat perbedaan rerata yang signifikan pada siswa dengan tingkat kreativitas tinggi dan siswa dengan tingkat kreativitas rendah. Selanjutnya dengan melihat nilai rataan marginalnya diketahui bahwa rataan nilai siswa dengan tingkat kreativitas tinggi sebesar 65,708, sedangkan rataan nilai siswa dengan tingkat kreativitas rendah sebesar 58,074. Berdasarkan nilai rataan marginal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa siswa dengan tingkat kreativitas tinggi lebih baik prestasi belajarnya dibandingkan siswa dengan tingkat kreativitas rendah. 3) F. 2 - . 3 = 3,423 > F0,05;2,274 = 5,9950 dan Fobs DK, berarti H0 diterima. Berdasarkan keputusan uji di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa yang memiliki tingkat kreativitas sedang memiliki prestasi belajar yang sama dengan siswa yang memiliki tingkat kreativitas rendah. Ketiga Berdasarkan hasil perhitungan pada analisis variansi dua jalan dengan ukuran sel tak sama, untuk sumber variasi interaksi antara model pembelajaran dengan kreativitas diperoleh nilai Fobs = 4,097 > 2,3719 = F0,05;4;274, sehingga Fobs DK, berarti H0AB ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh interaksi antara faktor model pembelajaran dengan faktor kreativitas terhadap prestasi belajar matematika pada materi persamaan garis lurus. Dari uji komparasi rataan antar sel pada kolom yang sama, dengan metode Scheffe’ dan DK = {F│F > 8F0,05;8,274} = {F│F > 15,5072} diperoleh hasil sebagai berikut: 1) Pada tingkat kreativitas tinggi. a) F11-21 = 2,013 < 8F0,05;8,274 = 15,5027 dan Fobs DK, berarti H0 diterima. b) F11-31 = 0,256 < 8F0,05;8,274 = 15,5027 dan Fobs DK, berarti H0 diterima. c) F21-31 = 0,435 < 8F0,05;8,274 = 15,5027 dan Fobs DK, berarti H0 diterima. Dari ketiga hasil uji komparasi pada kolom kreativitas tinggi di atas terlihat bahwa semua H0 diterima. Hal ini berarti, pada siswa dengan tingkat kreativitas tinggi yang diberi pembelajaran dengan model kooperatif tipe STAD, model kooperatif tipe TPS maupun dengan pembelajaran konvensional memiliki prestasi belajar yang sama. 2) Pada tingkat kreativitas sedang. a) F12-22 = 0,002 < 8F0,05;8,274 = 15,5027 dan Fobs DK, berarti H0 diterima. Berdasarkan keputusan uji di atas, dapat disimpulkan bahwa pada siswa dengan tingkat kreativitas sedang, penerapan pembelajaran dengan model kooperatif tipe STAD dan TPS memberikan pengaruh yang sama terhadap prestasi belajar matematika siswa. Edy Suprapto, Iman Sujadi & Mania Roswitha, Exsperimen Pembelajaran 663 b) F12-32 = 20,108 > 8F0,05;8,274 = 15,5027 dan Fobs DK, berarti H0 ditolak. Berdasarkan keputusan uji di atas, dapat diartikan bahwa terdapat perbedaan rerata yang signifikan pada siswa dengan tingkat kreativitas sedang yang diberikan pembelajaran model kooperatif tipe STAD dan pembelajaran konvensional. Selanjutnya dengan melihat nilai rataan masing-masing selnya diketahui bahwa pada siswa dengan tingkat kreativitas sedang yang diberikan pembelajaran dengan model kooperatif tipe STAD sebesar 64,970, sedangkan yang diberikan pembelajaran konvensional sebesar 54,140. Berdasarkan nilai rataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada siswa dengan tingkat kreativitas sedang, penerapan pembelajaran dengan model kooperatif tipe STAD memberikan pengaruh yang lebih baik daripada diberikan pembelajaran konvensional. c) F22-32 = 21,861 > 8F0,05;8,274 = 15,5027 dan Fobs DK, berarti H0 ditolak. Berdasarkan keputusan uji di atas, dapat diartikan bahwa terdapat perbedaan rerata yang signifikan pada siswa dengan tingkat kreativitas sedang yang diberikan pembelajaran model kooperatif tipe TPS dan pembelajaran konvensional. Selanjutnya dengan melihat nilai rataan masing-masing selnya diketahui bahwa pada siswa dengan tingkat kreativitas sedang yang diberikan pembelajaran dengan model kooperatif tipe TPS sebesar 65,081, sedangkan yang diberikan pembelajaran konvensional sebesar 54,140. Berdasarkan nilai rataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada siswa dengan tingkat kreativitas sedang, penerapan pembelajaran dengan model kooperatif tipe TPS memberikan pengaruh yang lebih baik daripada diberikan pembelajaran konvensional. 3) Pada tingkat kreativitas rendah. a) F13-23 = 0,920 < 8F0,05;8,274 = 15,5027 dan Fobs DK, berarti H0 diterima. Berdasarkan keputusan uji di atas, dapat disimpulkan bahwa pada siswa dengan tingkat kreativitas rendah, penerapan pembelajaran dengan model kooperatif tipe STAD dan TPS memberikan pengaruh yang sama terhadap prestasi belajar matematika siswa. b) F13-33 = 8,832 < 8F0,05;8,274 = 15,5027 dan Fobs DK, berarti H0 diterima. Berdasarkan keputusan uji di atas, dapat disimpulkan bahwa pada siswa dengan tingkat kreativitas rendah, penerapan pembelajaran dengan model kooperatif tipe STAD dan pembelajaran konvensional memberikan pengaruh yang sama terhadap prestasi belajar matematika siswa. c) F23-33 = 16,267 > 8F0,05;8,274 = 15,5027 dan Fobs DK, berarti H0 ditolak. Berdasarkan keputusan uji di atas, dapat diartikan bahwa terdapat perbedaan rerata yang signifikan pada siswa dengan tingkat kreativitas rendah yang diberikan pembelajaran model kooperatif tipe TPS dan pembelajaran konvensional. Selanjutnya dengan melihat nilai rataan masing-masing selnya diketahui bahwa pada siswa dengan tingkat kreativitas rendah yang diberikan pembelajaran dengan model kooperatif tipe TPS sebesar 63,360, sedangkan yang diberikan pembelajaran konvensional sebesar 52,125. Edy Suprapto, Iman Sujadi & Mania Roswitha, Exsperimen Pembelajaran 664 Berdasarkan nilai rataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada siswa dengan tingkat kreativitas sedang, penerapan pembelajaran dengan model kooperatif tipe TPS memberikan pengaruh yang lebih baik daripada diberikan pembelajaran konvensional. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan analisis data menggunakan analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama, diperoleh kesimpulan bahwa: 1) terdapat perbedaan pengaruh antar masing-masing model pembelajaran terhadap prestasi belajar matematika siswa; 2) terdapat perbedaan pengaruh antar masing-masing kategori tingkat kreativitas terhadap prestasi belajar matematika siswa; 3) terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan tingkat kreativitas terhadap prestasi belajar matematika siswa. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas dan dalam rangka turut mengembangkan pemikiran untuk meningkatkan prestasi belajar matematika, maka disampaikan beberapa saran khususnya bagi guru, di antaranya sebagai berikut: Pertama, guru hendaknya lebih banyak melibatkan peran siswa secara aktif dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran matematika, di mana siswa mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri sehingga pembelajaran lebih bermakna. Cara yang dilakukan antara lain, memilih model pembelajaran yang lebih menekankan pada keterlibatan siswa secara optimal, misalnya model pembelajaran kooperatif tipe STAD atau TPS; Kedua, guru hendaknya melakukan persiapan yang lebih baik dalam menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan TPS, terutama dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS) dan evaluasi, sehingga mudah dipahami oleh siswa dalam diskusi kelompok; Ketiga, guru matematika hendaknya dapat menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD atau TPS sebagai alternatif dalam pembelajaran matematika, karena model pembelajaran kooperatif tipe STAD ataupun TPS merupakan suatu model pembelajaran yang berorientasi pada proses, sehingga pembelajaran lebih bermakna dan dapat lebih meningkatkan pemahaman siswa terhadap suatu materi pelajaran. Selain itu, model pembelajaran tipe STAD dan TPS dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir kritis, kreatif, efektif dan menumbuhkan rasa sosial yang tinggi. Dengan demikian, model pembelajaran tipe STAD dan TPS merupakan suatu alternatif pembelajaran yang menarik minat dan kreativitas siswa; Keempat, pada pembelajaran dengan model pembelajaran tipe STAD ataupun TPS, guru hendaknya berperan sebagai fasilitator dan motivator dalam mengoptimalkan belajar para siswanya. Edy Suprapto, Iman Sujadi & Mania Roswitha, Exsperimen Pembelajaran 665 DAFTAR PUSTAKA Anita Lie. 2005. Mempraktekkan Cooperatif Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Grasindo. ________. 2007. Cooperatif Learning. Jakarta: Grasindo. Adesoji, F.A. and Ibraheem, T. A. 2009. Effects Of Student Teams-Achievement Divisions Strategy And Mathematics Knowlegde On Learning Outcomes In Chemical Kinetics. The Journal Of International Social Research, Volume 2/6 Winter. Association for Education Communication and Technology (AECT). 1986. Definisi Teknologi Pendidikan (Terjemahan Yusufhadi Miarso, dkk). Jakarta Pusat: Antar Universitas di Universitas Terbuka bekerjasama dengan CV Rajawali. Budi Usodo. 2008. Teknik-teknik dalam Pembelajaran Kooperatif. Materi Diklat Perencanaan Inovasi Model Pembelajaran. Surakarta: Yayasan Pendidikan Budi Luhur. Budiyono. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surakarta: Sebelas Maret University Press. ________. 2009. Statistika Untuk Penelitian. Surakarta: UNS Press. Effandi Zakaria and Zanaton Iksan. 2006. Promoting Cooperative Learning in Science and Mathematics. Education : A Malaysian Perspective. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology education 3(1), 35-39. ISSN: 1305 – 8223. Erman Suherman. 1993, Pembelajaran Matematika. Jakarta: Reja Grafindo Persada. Gonzales, Patrics. 2008. Highlights From TIMSS 2007: Mathematics and Science Achievement of U.S. Fourth- and Eighth-Grade Students in an International Context . National Center for Education Statistics, U.S. Department of Education. Washington, DC. Henry Suryo Bintoro. 2009. Eksperimentasi Pembelajaran Matematika Menggunakan Pendekatan Struktural Metode “Think-Pair-Share” (TPS) Pada Pokok Bahasan Faktorisasi Suku Aljabar Ditinjau Dari Kreativitas Belajar Matematika Siswa. Tesis PPs UNS. Edy Suprapto, Iman Sujadi & Mania Roswitha, Exsperimen Pembelajaran 666 Ismail. 2003. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Depdiknas. Kennedy, R. 2007. In-Class Debates: Fertile Ground for Active Learning and the Cultivation of Critical Thinking and Oral Communication Skills. Bloomsburg University of Pennsylvania. International Journal of Teaching and Learning in Higher Education, Volume 19, Number 2, pp. 183-190. Yansen Marpaung. 2003. Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan. Makalah Seminar Nasional Komperda Himpunan Matematika Indonesia Wilayah Jawa Tengah & DIY. Surakarta Zainal Arifin. 1990. Evaluasi Instruksional Prinsip Teknik Prosedur. Bandung: Remadja Karya.