TESIS DURASI MENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 MENINGKATKAN RISIKO GANGGUAN PENDENGARAN SENSORINEURAL SURIYA SUWANTO PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 DURASI MENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 MENINGKATKAN RISIKO GANGGUAN PENDENGARAN SENSORINEURAL Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana SURIYA SUWANTO NIM 0914078203 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 Lembar Pengesahan Pembimbing TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL, 3 JUNI 2014 Pembimbing I, Prof. dr. W. Suardana SpTHT-KL (K) NIP. 130369694 Pembimbing II, Prof. Dr.dr. Nyoman Adiputra, MOH, PFK, Sp.Erg NIP. 19471211 1976 021 001 Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof.Dr.dr. Wimpie I Pangkahila,SpAnd, FAACS NIP. 194612131971071001 Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP: 195902151985102001 Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No: 1374 /UN14.4/HK/2014, tertanggal 16 Mei 2014 Ketua : Prof. dr. W. Suardana SpTHT-KL (K), SpTHT-KL (K) Anggota : 1. Prof. Dr. dr. Nyoman Adiputra, MOH, PFK, Sp. Erg 2. Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila SpAnd., FAACS 3. Prof. Dr. IGM. Aman, Sp FK 4. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D UCAPAN TERIMA KASIH Atas Karunia Tuhan yang Maha Esa akhirnya tersusunlah sebuah karya tulis untuk memperoleh gelar pascasarjana kekhususan kedokteran klinik dan spesialis di bidang THT-KL. Karya tulis ini selain merupakan suatu karya akhir juga dilatarbelakangi suatu keinginan dan harapan bagi perkembangan pengetahuan dan keilmuan di bidang penelitian pada umumnya dan THT-KL pada khususnya. Karya tulis ini dapat diselesaikan berkat bantuan, motivasi, bimbingan dan peran serta berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang yang tidak terhingga dengan segala ketulusan hati kepada yang terhormat: 1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD sekaligus sebagai Kepala Divisi Endokrinologi dan Metabolisme FK UNUD/RSUP Sanglah yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (Combined degree), PPDS-1 Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher berikut ijin melaksanakan penelitian di Diabetes Centre RSUP Sanglah. 2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree) dan PPDS-1 Ilmu Kesehatan Telinga Hidung TenggorokBedah Kepala Leher. 3. dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes, Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar, atas segala fasilitas yang disediakan dan diberikan selama penulis mengikuti pendidikan spesialis. 4. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Raka Sudewi, SpS(K), atas kesempatan yang telah diberikan pada penulis untuk menjadi mahasiswa program pascasarjana, program studi kekhususan kedokteran klinik (Combined degree). 5. dr. Eka Putra Setiawan, Sp.THT-KL(K), sebagai Kepala Bagian/ SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, atas segala kesabaran, dorongan dan bimbingan selama penulis mengikuti pendidikan spesialis. 6. dr. I Dewa Gede Arta Eka, Sp.THT-KL sebagai Ketua Program Studi PPDS-1 Ilmu Kesehatan THT-KL sekaligus sebagai pembimbing akademik atas segala kesempatan, bimbingan dan motivasinya. 7. dr. I Gde Ardika Nuaba, Sp.THT-KL (K) sebagai Sekretaris Program Studi PPDS-1 Ilmu Kesehatan THT-KL atas segala kesempatan, bimbingan dan motivasinya. 8. Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (Combined degree), Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS yang telah memberikan kesempatan penulis untuk menjadi mahasiswa Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (Combined Degree). 9. Prof. dr. Wayan Suardana, Sp.THT-KL(K) selaku pembimbing I yang selalu menekankan berpikir secara kritis serta bertindak sesuai prosedur medis berikut segala dorongan, motivasi dan bimbingan yang diberikan sejak awal sampai akhir pendidikan. 10. Prof. Dr. dr. Nyoman Adiputra, MOH, PFK, Sp.Erg selaku pembimbing II atas segala dorongan, motivasi dan bimbingan yang diberikan sejak awal sampai akhir penelitian. 11. dr. Tangking, MPH dan dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M. Epid yang telah memberikan bimbingan statistik. 12. Kepala-kepala divisi dan para konsulen di Bagian/SMF THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah yang telah banyak memberikan kesempatan dan bimbingan selama mengikuti pendidikan. 13. Kepala Poliklinik Diabetes Centre dan THT-KL RSUP Sanglah berikut semua paramedis atas semua bantuan dan dukungannya selama melaksanakan penelitian. 14. Para Senior, rekan residen, mahasiswa kedokteran, atas bantuan dan kerjasamanya selama mengikuti pendidikan dan selama penelitian ini berlangsung. 15. dr. Samsi Jacobalis, SpB (Alm) selaku mantan Dekan Universitas Tarumanagara, penasihat RSIB Harapan Kita dan dosen Magister Manajemen Rumah Sakit, Universitas Gadjah Mada yang telah memberi dorongan, semangat untuk melanjutkan pendidikan serta selalu memberikan nasehat dan kasih sayang. 16. Suami, Wahyudi Saputra, SH yang selalu berbagi suka duka serta ananda Kiara Maharani Saputra dan Ken Dharma Saputra atas pengertian, pengorbanan dan telah menemani serta menghibur penulis selama masa pendidikan. 17. Ayahanda, ibunda, kakak-kakak dan adik maupun ipar terkasih atas doa restu, motivasi, pengertian dan kasih sayangnya. 18. Semua pihak yang telah membantu karya akhir ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Semoga Tuhan yang Maha Esa senantiasa melimpahkan karunia dan rahmatNya atas kebaikan yang telah dilakukan. Denpasar, 22 Juni 2014 Suriya Suwanto ABSTRAK Durasi Menderita Diabetes Melitus Tipe 2 Meningkatkan Risiko Gangguan Pendengaran Sensorineural Suriya Suwanto Diabetes melitus menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural dengan berbagai faktor risiko yang masih diteliti. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah durasi, kendali glikemik dan hipertensi meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural pada penderita DM tipe 2 di RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian ini menggunakan rancangan kasus kontrol berpasangan dan matching jenis kelamin serta umur. Kelompok kasus sebanyak 45 subjek adalah penderita DM tipe 2 dengan gangguan pendengaran sensorineural sedangkan kelompok kontrol sebanyak 45 subjek adalah penderita DM tipe 2 tanpa gangguan pendengaran sensorineural. Penelitian dilaksanakan di poliklinik Diabetes Centre dan poliklinik THT-KL RSUP Sanglah sejak 1 Agustus 2013 sampai 30 Desember 2013. Subjek 55, 56 % berjenis kelamin wanita dan 44, 44 % pria. Jumlah subjek penelitian dengan gangguan pendengaran derajat ringan bilateral sebanyak 28 orang (62, 22 %) dan 8 subjek dengan gangguan pendengaran unilateral (17, 78 %). Subjek penelitian dengan durasi menderita DM tipe 2 kurang dari 10 tahun sebanyak 71 orang (78,89 %) dan durasi lebih besar sama dengan 10 tahun sebanyak 19 orang (21,11 %). Jumlah subjek penelitian dengan kendali glikemik buruk atau HbA1C lebih dari 7% sebanyak 71 orang (78, 89%) dan subjek penelitian dengan kendali glikemik baik atau HbA1C kurang dari dan sama dengan 7 % sebanyak 19 orang (21, 11%). Jumlah subjek penelitian dengan hipertensi sebanyak 41 orang (45, 56 %) dan tanpa hipertensi sebanyak 49 orang (54, 44 %). Analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square Mac Nemar mendapatkan hasil durasi (OR 7,5; p 0,016; CI 1,74-67,59), HbA1C (OR 2,75; p 0,07; CI 0,82-11,84) dan hipertensi (OR 2,26; p 0,06; CI 0,89-6,57). Hasil analisis multivariat dengan regresi logistik mendapatkan hasil durasi (OR 7,84; p 0,011; CI 1,62 - 38,02), HbA1C (OR 2,79; p 0,132; CI 0,948,99) dan hipertensi (OR 2,79; p 0,063; CI 0,54 - 4,86). Durasi menderita diabetes melitus tipe 2 lebih besar dan sama dengan 10 tahun sebagai faktor yang signifikan dalam meningkatkan risiko gangguan pendengaran (p < 0.05). Sedangkan kendali glikemik dan hipertensi tidak signifikan. Diabetes melitus merupakan penyakit yang bersifat kronis dan risiko komplikasi gangguan pendengaran meningkat sejalan dengan kronisnya penyakit. Kata kunci: diabetes melitus tipe 2, gangguan pendengaran sensorineural, durasi, kendali glikemik ABSTRACT Duration of Type 2 Diabetes Melitus Increased the Risk of Sensorineural Hearing Loss Suriya Suwanto Diabetes Mellitus causes sensorineural hearing loss with lots of risk factor that are still in research. The purpose of this study was to determine whether duration, glycemic control and hypertension increased the risk of sensorineural hearing loss in patients with type 2 Diabetes Mellitus of Sanglah General Hospital Denpasar. This study used case control design, paired with matching of age and sex. Case group consisted of 45 type 2 diabetes mellitus patients with sensorineural hearing loss and control group consisted of 45 type 2 diabetes mellitus patients without hearing loss. Research was conducted in Diabetes Centre and ENT-HNS clinics of Sanglah General Hospital started from August, 1st, 2013 until December, 30th, 2013. Subjects 55, 56% were female and 44, 44% were male. Subjects with mild degree of bilateral sensorineural hearing loss were 28 subjects (62, 22%) and 8 subjects with unilateral hearing loss (17, 78%). Subjects with duration of type 2 Diabetes Mellitus less than 10 years were 71 subjects (78, 89%) and duration of equal and more than 10 years were 19 subjects (21, 11%). Subjects with bad glycemic control or A1C more than 7 % were 71 subjects (78, 89%) and subjects with good glycemic control or A1C equal and less than 7 % were 19 subjects (21, 11%). Subjects with hypertension were 41 subjects (45, 56 %) and without hypertension 49 subjects (54, 44 %). Bivariate analysis using Mc Nemar Chi Square showed results of duration (OR 7,5; p 0,016; CI1,74-67,59), A1C (OR 2,75; p 0,07; CI 0,82-11,84) and hypertension (OR 2,26; p 0,06; CI 0,89-6,57). Multivariate analysis with regression logistic showed results of duration (OR 7, 84; p 0,011; CI 1, 62 - 38,02), A1C (OR 2,79; p 0,132; CI 0,94-8,99) and hypertension (OR 2,79; p 0,063; CI 0,54 - 4,86). Duration of equal and more than 10 years as the factor that significantly increased the risk of hearing loss (p < 0.05), the glycemic control and hypertension were not significant. Diabetes mellitus was a chronic disease and the risk of complication increased as the disease became chronic. Keywords: type 2 diabetes mellitus, sensorineural hearing loss, duration, glycemic control DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM ...................................................................................... i PRASYARAT GELAR ............................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI .......................................................... iv UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................... v ABSTRAK ................................................................................................... viii ABSTRACT ................................................................................................. ix DAFTAR ISI................................................................................................ x DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiv DAFTAR TABEL ....................................................................................... xv DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. xvi DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………….. xvii BAB I PENDAHULUAN………………………………………………….1 1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 6 1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 6 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA ...................................................................... 8 2.1 Gangguan Pendengaran..................................................................... 8 2.2 Anatomi dan Fisiologi Pendengaran ................................................. 9 2.3 Diabetes Melitus ............................................................................... 15 2.3.1 Klasifikasi Diabetes Melitus ……………………………………… 16 2.3.2 Gejala Diabetes Melitus…………………………………………… 17 2.3.3 Diagnosis Diabetes Melitus ……………………………………….. 18 2.3.4 Komplikasi Kronis Diabetes Melitus ……………………………… 19 2.4 Patofisiologi Diabetes Melitus Mengakibatkan Gangguan Pendengaran ..................................................................................... 20 2.4.1 Mekanisme Komplikasi ……………………………… ................... 22 2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Pendengaran Sensorineural Pada Diabetes Melitus ………………………………25 2.4.2.1 Durasi Menderita Diabetes Melitus tipe 2 Meningkatkan Risiko Gangguan Pendengaran Sensorineural.............................................. 27 2.4.2.2 Kendali Glikemik Buruk pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Meningkatkan Risiko Gangguan Pendengaran Sensorineural .......... 27 2.4.2.3 Hipertensi pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Meningkatkan Risiko Gangguan Pendengaran Sensorineural .................................. 29 2.5 Pemeriksaan Gangguan Pendengarn ................................................ 31 2.5.1 Audiometri Nada Murni ................................................................... 32 2.6 Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran Sensorineural Akibat Diabetes Melitus ............................................................................... 33 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN……………………………………………………………. 35 3.1 Kerangka Berpikir ............................................................................ 35 3.2 Konsep Penelitian ............................................................................ 37 3.3 Hipotesis Penelitian ......................................................................... 37 BAB IV METODE PENELITIAN………………………………………. 39 4.1 Rancangan Penelitian ....................................................................... 39 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 39 4.3 Penentuan Sumber Data ................................................................... 40 4.3.1 Populasi Penelitian ………………………………………………… 40 4.3.2 Sampel Penelitian ............................................................................. 40 4.3.3 Kriteria Sampel ................................................................................ 40 4.3.3.1 Kriteria Inklusi ................................................................................. 40 4.3.3.2 Kriteria Eksklusi .............................................................................. 41 4.3.4 Perhitungan Besar Sampel ............................................................... 41 4.4 Variabel Penelitian ........................................................................... 42 4.4.1 Identifikasi dan Klasifikasi Variabel ................................................ 42 4.5 Definisi Operasional Variabel .......................................................... 42 4.6 Bahan dan Alat Penelitian ................................................................. 44 4.7 Prosedur Kerja ................................................................................. 45 4.8 Alur Penelitian ................................................................................. 47 4.9 Analisis Data .................................................................................... 47 4.10 Etika Penelitian ................................................................................. 47 BAB V HASIL PENELITIAN ................................................................... 49 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian......................................................... 49 5.2 Karakteristik Gangguan Pendengaran Subjek Penelitian Berdasar Hasil Audiometri Nada Murni .......................................................... 50 5.3 Karakteristik Subjek Penelitian Ditinjau dari Faktor Risiko yang Diteliti ............................................................................................... 52 5.4 Rerata Durasi dan Kendali Glikemik Antara Kelompok Kasus dan Kelompok Kontrol ............................................................................ 53 5.5 Hasil Analisis Bivariat ...................................................................... 53 5.6 Hasil Analisis Multivariat ................................................................. 55 BAB VI PEMBAHASAN………………………………………………….56 6.1 Karakteristik Subjek Penelitian......................................................... 55 6.2 Hubungan Antara Durasi Menderita DM tipe 2 dengan Gangguan Pendengaran Sensorineural ............................................................... 58 6.3 Hubungan Antara Kendali Glikemik dengan Gangguan Pendengaran Sensorineural ............................................................... 58 6.4 Hubungan antara Hipertensi dengan Gangguan Pendengaran Sensorineural..................................................................................... 61 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN …………………………………….62 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 64 LAMPIRAN ................................................................................................. 69 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Anatomi dan Fisiologi Pendengaran ......................................... 11 Gambaar 2.2 Potongan Melintang Koklea .................................................... 12 Gambar 2.3 Diagram Jalur Biokmiawi Penurunan Pendengaran Terhadap Sensori End Organ seperti Koklea pada Diabetes Melitus Tipe 2 ......................................................................................... .24 Gambar 3.1 Konsep Penelitian...................................................................... .37 Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian…………………………………...39 Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian.………………………………………….47 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian.................................................. 49 Tabel 5.2 Karakteristik Gangguan Pendengaran Subjek Penelitian Berdasar Hasil Audiometri Nada Murni .................................... 51 Tabel 5.3 Karakteristik Subjek Penelitian ditinjau dari Faktor Risiko yang Diteliti ............................................................................... 52 Tabel 5.4 Rerata Durasi dan Kendali Glikemik antara Kelompok Kasus dan Kelompok Kontrol .............................................................. 53 Tabel 5.5 Hasil Analisis Bivariat ............................................................... 53 Tabel 5.5.1 Hasil Analisis Bivariat Durasi terhadap Gangguan Pendengaran Sensorineural.............................................................................. 53 Tabel 5.5.2 Hasil Analisis Bivariat Kendali Glikemik terhadap Gangguan Pendengaran Sensorineural ........................................................ 54 Tabel 5.5.3 Hasil Analisis Bivariat Hipertensi terhadap Gangguan Pendengaran Sensorineural ........................................................ 54 Tabel 5.6 Hasil Analisis Multivariat .......................................................... 55 DAFTAR SINGKATAN ABR : Auditory Brainstem Response ADA : American Diabetes Association AGEs : Advanced Glycosylation End products dB : Decibel DM : Diabetes Melitus GDM : Gestational Diabetes Melitus HbA1C : Hemoglobin glikolasi HL : Hearing Level IMT : Indeks Massa Tubuh OAE : Oto Acoustic Emission NIDDM : Non Insulin Dependent Diabetes Melitus NIHL : Noise Induced Hearing Loss NO : Nitric Oxide PAS : Periodic Acid Schiff PKC : Protein Kinase C PNS : Peripheral Nervous System ROS : Reactive Oxygen Species SNHL : Sensory Neural Hearing Loss TGFβ : Transforming Growth Factor-Beta WHO : World Health Organization VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor VPF : Vascular Permeability Factor DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lembar Penjelasan kepada Subyek Penelitian ......................... 69 Lampiran 2 Surat Pernyataan Persetujuan ................................................... 71 Lampiran 3 Lembar Penelitian..................................................................... 72 Lampiran 4 Ethical Clearance ...................................................................... 75 Lampiran 5 Surat Ijin Divisi Endokrinologi dan Metabolik ........................ 76 Lampiran 6 Surat Ijin Diklit RSUP Sanglah ................................................ 77 Lampiran 7 Dokumentasi Penelitian ............................................................ 78 Lampiran 8 Karakteristik Subjek Penelitian ................................................ 79 Lampiran 9 Ambang Pendengaran Subjek Penelitian.................................. 83 Lampiran 10 Analisis Data………………………………………………….87 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendengaran merupakan salah satu panca indera manusia yang paling penting. Pendengaran yang terganggu akan menghambat proses interaksi dan komunikasi dengan sesama. Gangguan pendengaran sering disebut tuli. Secara umum, tuli dibagi menjadi tuli konduktif, tuli sensorineural serta tuli campuran. Pada tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara yang disebabkan oleh kelainan di telinga luar atau di telinga tengah. Pada tuli sensorineural, kelainan terdapat di koklea atau nervus VIII yang mengakibatkan terhambatnya proses transmisi impuls saraf ke pusat pendengaran di otak. Sedangkan tuli campuran disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli sensorineural (Bull, 1991). Salah satu penyebab tuli sensorineural adalah diabetes melitus (Bull, 1991). Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang akan diderita seumur hidup (Konsensus DM, 2011). Mayoritas penderita diabetes dewasa memiliki penyakit dengan risiko kardiovaskular seperti hipertensi dan kolesterol karena diabetes adalah penyakit sistemik (Bainbridge dkk., 2008). Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus terkait dengan kerusakan, disfungsi, kegagalan berbagai organ jangka panjang terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. Diabetes melitus juga mengakibatkan gangguan pendengaran (Bull, 1991; Powers, 2008). Risiko gangguan pendengaran sekitar 2 kali lipat lebih besar pada pasien dengan diabetes dibanding pasien tanpa diabetes (ADA, 2012). Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh diabetes melitus adalah tuli sensorineural dengan ciri progresif bilateral pada frekuensi tinggi yaitu frekuensi 2000 Hz dan 4000 Hz, seperti gambaran presbikusis tipe sensori (Pemmaiah dan Srinivas, 2011). Sedangkan hasil penelitian National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) sejak tahun 1999-2004 melaporkan gangguan pendengaran sensorineural akibat diabetes melitus terjadi pada frekuensi 500 sampai dengan 8000 Hz (Bainbridge dkk., 2008). Pengaruh diabetes melitus pada pendengaran banyak diteliti tetapi terdapat banyak penyulit dalam membuktikan hubungan ini karena adanya variabel pengganggu seperti paparan bising, obat ototoksik, presbikusis, hipertensi dan aterosklerosis. Faktor genetika juga mempengaruhi gangguan pendengaran sensorineural pada populasi kecil dengan diabetes melitus (Kakarlapudi dkk., 2003). Studi yang dilaksanakan pada 110 penderita diabetes melitus tipe 2 di Ramaiah Medical College, India didapatkan 48 penderita atau 43, 6% dengan gangguan pendengaran sensorineural bilateral pada frekuensi 2000 Hz dan 4000 Hz (Pemmaiah dan Srinivas, 2011). Sedangkan studi terhadap 135 penderita diabetes melitus tipe 2 di RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo, Makasar mendapatkan hasil 45 penderita atau 33, 33% dengan gangguan pendengaran ringan dan 90 penderita dengan pendengaran normal (Limardjo dkk., 2011). Berbagai penelitian juga dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan pendengaran sensorineural pada penderita diabetes melitus dengan berbagai variasi hasil seperti durasi, kendali glikemik yang dinilai melalui angka HbA1C, umur, jenis kelamin, hipertensi dan komplikasi diabetes melitus. Dua faktor yang paling banyak diteliti adalah durasi beserta kendali glikemik. Karena hipertensi merupakan salah satu penyebab gangguan pendengaran sensorineural dan penderita diabetes melitus tipe 2 umumnya disertai hipertensi, maka dalam penelitian ini hipertensi bersama dengan diabetes melitus juga diukur untuk mengetahui adanya faktor risiko yang lebih tinggi dibanding diabetes tanpa hipertensi. Diabetes melitus adalah penyakit yang bersifat kronis dan risiko komplikasi meningkat sejalan dengan kronisnya penyakit (Powers, 2008). Durasi menderita diabetes melitus diperkirakan berkaitan dengan risiko gangguan pendengaran melalui dasar pemikiran bahwa diabetes dengan kondisi hiperglikemia kronis mengakibatkan komplikasi pada banyak organ dan salah satunya adalah organ pendengaran. Durasi dengan gangguan pendengaran banyak diteliti dengan berbagai variasi hasil. Penelitian oleh Limardjo dkk. (2011) mendapatkan hasil adanya hubungan antara durasi menderita diabetes melitus ≥ 10 tahun dengan gangguan pendengaran (p = 0, 00). Penelitian Mozzafari dkk. (2010) melaporkan durasi menderita diabetes melitus yang mengakibatkan gangguan pendengaran adalah 11.7 ± 7, 6 tahun (p < 0.001). Sedangkan penelitian Panchu (2009) mendapatkan hasil yang berbeda dengan kedua hasil penelitian di atas yaitu durasi menderita diabetes melitus lebih dari 10 tahun tidak mempengaruhi ambang pendengaran pada penderitanya. Kendali glikemik yang optimal sangat penting. Bukti-bukti menunjukkan bahwa komplikasi diabetes dapat dicegah dengan kendali glikemik yang optimal (Konsensus DM, 2011). Studi epidemiologi telah menunjukkan adanya kekuatan yang sama antara HbA1C dengan glukosa plasma puasa dan 2 jam sesudah beban glukosa dalam menimbulkan risiko neuropati tetapi HbA1C lebih mudah dilaksanakan karena tidak membutuhkan puasa dan lebih stabil (ADA, 2012). Nilai HbA1C merupakan cermin rata-rata kadar gula darah dalam beberapa bulan dan merupakan prediktor kuat terhadap komplikasi diabetes melitus (Sacks dkk., 2002; Stratton dkk., 2000). Nilai HbA1C ≤ 7 % telah terbukti menurunkan komplikasi mikrovaskuler dan pemeriksaan nilai HbA1C rutin dapat menurunkan risiko jangka panjang makrovaskuler (ADA, 2012). Adanya hubungan yang signifikan antara kendali glikemik dengan gangguan pendengaran dilaporkan pada 4 hasil penelitian (Ezeddin dkk., 2003; Panchu, 2009; Pemmaiah dan Srinivas, 2011; Israel dkk., 2012). Sedangkan hasil yang tidak signifikan dilaporkan pada 2 penelitian lainnya (Mozzafari dkk., 2010; Limardjo dkk., 2011). Hipertensi merupakan salah satu penyebab gangguan pendengaran sensorineural. Tekanan yang tinggi pada sistem vaskuler akibat hipertensi memungkinkan terjadinya perdarahan pada telinga dalam dan mengakibatkan gangguan pendengaran yang bersifat progresif atau mendadak. Peningkatan viskositas darah pada hipertensi juga mengakibatkan penurunan aliran kapiler darah dan penurunan transpor oksigen yang berakibat hipoksia jaringan sehingga terjadi gangguan pendengaran (Marchiori dkk., 2006). Hasil penelitian Duck dkk. (1997) melaporkan bahwa hipertensi yang menyertai diabetes melitus tipe 2 dapat memperburuk dan meningkatkan insiden terjadinya gangguan pendengaran akibat rusaknya koklea sebagai end organ. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya jumlah sel rambut dalam koklea yang hilang pada kelompok hewan percobaan hipertensi dengan diabetes dibanding kelompok normotensi dengan diabetes dan kelompok normotensi tanpa diabetes. Meskipun teori menyatakan hipertensi bersama dengan diabetes melitus meningkatkan risiko terjadinya gangguan pendengaran sensorineural, masih terdapat beberapa penelitian dengan hasil yang berbeda. Limardjo dkk. (2011) melaporkan hasil hipertensi pada diabetes signifikan untuk gangguan pendengaran sedangkan Bainbridge dkk. (2010) dan Israel dkk. (2012) melaporkan hasil tidak signifikan. Pemeriksaan pendengaran dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan audiometri nada murni. Audiometri nada murni adalah dasar dari evaluasi pendengaran dan dapat digunakan untuk memeriksa seluruh sistem auditorius, mulai dari telinga luar sampai korteks auditorius (Sweetow dan Bold, 2004). Berbagai penelitian di atas menggunakan audiometri nada murni untuk mengukur ambang pendengaran pada penderita diabetes melitus. Penelitian gangguan pendengaran sensorineural akibat diabetes melitus tipe 2 belum pernah dilaksanakan di RSUP Sanglah Denpasar. Saat ini, pelayanan pasien diabetes pada RSUP Sanglah dipusatkan pada diabetes centre yang khusus melayani pasien diabetes karena diabetes dengan komplikasinya membutuhkan pelayanan komprehensif yang meliputi berbagai bidang. Penelitian ini menarik untuk dilaksanakan karena literatur telah menyebutkan gangguan pendengaran sebagai akibat dari diabetes melitus dengan berbagai faktor risiko yang masih diteliti. Hubungan antara durasi, kendali glikemik dan risiko pada hipertensi dengan gangguan pendengaran berdasarkan pengukuran audiometri nada murni untuk diketahui guna pencegahan dini gangguan pendengaran. menarik 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah durasi menderita diabetes melitus tipe 2 ≥ 10 tahun meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural? 2. Apakah kendali glikemik buruk dengan kadar HbA1C > 7 % pada penderita diabetes melitus tipe 2 meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural? 3. Apakah hipertensi pada penderita diabetes melitus tipe 2 meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian Untuk mengetahui faktor-faktor yang meningkatkan risiko terjadinya gangguan pendengaran sensorineural pada penderita diabetes melitus tipe 2 di RSUP Sanglah, Denpasar. 1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian. 1.Untuk mengetahui durasi menderita diabetes melitus tipe 2 ≥ 10 tahun meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural. 2.Untuk mengetahui kendali glikemik buruk dengan HbA1C > 7 % meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural. 3.Untuk mengetahui hipertensi pada penderita diabetes melitus tipe 2 meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Dalam bidang ilmiah dapat meningkatkan pengetahuan tentang faktor yang meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural pada penderita diabetes melitus tipe 2. 2. Dalam bidang pelayanan, hasil penelitian dapat diaplikasikan dalam usaha meningkatkan kewaspadaan penderita diabetes melitus tipe 2 terhadap gangguan pendengaran sensorineural dengan screening pendengaran berkala dan intervensi bila diperlukan. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Pendengaran Gangguan pendengaran, dilaporkan oleh lebih dari 17% populasi dewasa di Amerika Serikat, adalah masalah kesehatan publik yang perlu dikhawatirkan karena menyangkut lebih dari 36 juta penduduk (Bainbridge dkk., 2008). Gangguan pendengaran mengakibatkan penurunan fungsi komunikasi dan penurunan kualitas hidup bagi penderitanya. Tuli dibagi menjadi tuli konduksi, tuli sensorineural dan tuli campuran. Tuli konduksi disebabkan oleh gangguan pada telinga luar dan telinga tengah, umumnya tidak melebihi 60 dB. Sedangkan gangguan telinga dalam menyebabkan tuli sensorineural, yang terbagi atas tuli koklea dan tuli retrokoklea. Pada tuli sensorineural kelainan terletak pada koklea, nervus VIII atau di pusat pendengaran. Kasus tuli koklea lebih banyak daripada retrokoklea. Tuli campuran merupakan kombinasi gangguan pendengaran konduksi dan sensorineural (Lee, 2003). Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh diabetes melitus bisa merupakan tuli konduksi atau sensorineural. Tuli konduksi yang terjadi adalah sekunder akibat peningkatan insiden infeksi pada telinga luar dan tengah (Irwin, 1987). Sedangkan tuli sensorineural pada diabetes melitus terjadi akibat proses patologis pada telinga dalam dengan patofisiologi yang masih kontroversi. Gangguan pendengaran sensorineural akibat diabetes melitus pertama kali dilaporkan oleh Jordao dalam bentuk laporan kasus pada tahun 1857 (Booth, 1987). Setelah itu, terdapat banyak penelitian yang membuktikan adanya risiko gangguan pendengaran sensorineural akibat diabetes melitus (Ezeddin dkk., 2003; Sakuta dkk., 2006; Bainbridge dkk., 2008; Rajendran dkk., 2011; Limardjo dkk., 2011). Saat ini, gangguan pendengaran sebagai akibat diabetes melitus tipe 2 telah dipublikasikan secara luas pada Standards of Medical Care in Diabetes yang diterbitkan oleh American Diabetes Association, 2012. Agar dapat memahami gangguan pendengaran, di bawah ini diuraikan anatomi dan fisiologi pendengaran. 2.2 Anatomi dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri atas 3 bagian yaitu bagian luar, tengah dan dalam. Telinga luar terdiri atas daun telinga dan liang telinga. Telinga luar dan tengah menghantarkan suara ke koklea, yang memisahkan suara sesuai frekuensi sebelum suara ditransduksi oleh sel rambut menjadi kode neural dalam serat saraf pendengaran. Pada telinga luar terdapat konka yang paling penting secara akustik (Moller, 2006). Sepertiga bagian lateral dari liang telinga adalah tulang rawan. Mengandung kelenjar seruminosa dan kelenjar rambut. Bagian dua pertiga medial liang telinga meliputi tulang. Liang telinga berbentuk tuba yang terbuka pada satu ujung dan tertutup pada sisi lainnya, dikatakan sebagai resonator seperempat gelombang (Mills dkk., 2006). Telinga tengah merupakan rongga berisi udara yang terbagi atas kavum timpani dan air cell mastoid (Probst dkk., 2006). Telinga tengah terdiri dari membran timpani dan 3 tulang kecil yaitu maleus, inkus dan stapes. Di dalam telinga tengah juga terdapat dua otot kecil yaitu m. tensor timpani yang melekat pada manubrium maleus dan m. stapedius yang melekat pada stapes. M. tensor timpani dipersarafi oleh n. trigeminus sedangkan m. stapedius dipersarafi oleh n. fasialis. Korda timpani adalah cabang n. fasialis yang berjalan menyeberangi rongga telinga tengah. Tuba Eustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan faring (Moller, 2006). Membran timpani berbentuk agak oval dan merupakan selaput tipis pada ujung liang telinga. Gendang telinga berbentuk kerucut dan agak cekung bila dilihat dari liang telinga. Bagian utama dari gendang telinga disebut pars tensa dan bagian kecilnya disebut pars flasida yang lebih tipis dan terletak di atas manubrium maleus. Gendang telinga ditutupi oleh selapis sel epidermis yang berlanjut dari kulit liang telinga. Tuba Eustachius terdiri dari bagian tulang atau protimpanum yang berlokasi dekat rongga telinga tengah dan bagian tulang rawan yang membentuk celah tertutup saat berakhir di nasofaring (Moller, 2006). Telinga dalam atau labirin terletak di dalam tulang temporal, terdiri dari koklea dan vestibular, Koklea atau rumah siput berupa dua setengah lingkaran dan vestibular terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Koklea memiliki 3 saluran yang terisi cairan yaitu skala vestibuli, skala timpani dan skala media. Skala media yang berlokasi di tengah koklea, dipisahkan dari skala vestibuli oleh membran Reissner dan dari skala timpani oleh membran basilar. Pada membran basilar ini terdapat organ Corti yang mengandung sel rambut (Moller, 2006). Gambar 2.1 Anatomi Telinga (dikutip dari Ganong, 2009) Organ Corti adalah organ sensori yang terstruktur baik. Terdapat 1 baris sel rambut dalam dan 3 baris sel rambut luar pada bagian atas membran basilar dengan berbagai sel pendukung yang bervariasi. Sel rambut adalah sel reseptor sensori dari pendengaran dan keseimbangan serta sel yang paling penting dalam telinga dalam. Sel rambut memiliki mekanoreseptor khusus yang mengubah stimulus mekanik yang berkaitan dengan pendengaran dan keseimbangan menjadi informasi neural yang diteruskan ke otak (Oghalai dan Brownell, 2004). Koklea pada manusia membentuk 2 ½ sampai 2 ¾ putaran dimana panjang keseluruhannya sekitar 3,1-3,3 cm dan tinggi sekitar 0,5 cm (Moller, 2006). Koklea adalah bagian telinga yang paling penting dan bisa dimengerti apa yang terjadi dalam koklea bisa mengakibatkan banyaknya kunci permasalahan pendengaran. Koklea terisi oleh cairan yang hampir tidak bertekanan dan juga memiliki dinding tulang yang kaku. Terbagi dua panjangnya oleh dua membran, yaitu membran Reissner dan membran basilar (Mills dkk., 2006). Gambar 2.2 Potongan Melintang Koklea (dikutip dari Mills dkk., 2006) Energi akustik memasuki koklea melalui kerja seperti piston dari kaki stapes pada tingkap lonjong dan diteruskan langsung pada perilimfe dari skala vestibuli. Perilimfe dari skala vestibuli berhubungan dengan perilimfe dari skala timpani melalui sebuah bukaan kecil dari apeks koklea yang dikenal sebagai helikotrema (Mills dkk., 2006). Ketika tingkap lonjong bergerak dengan adanya suara, perbedaaan tekanan diaplikasikan menyeberangi membran basilar, yang mengakibatkan pergerakan membran basilar. Perbedaan tekanan dan pola pergerakan membran basilar memerlukan waktu untuk berkembang dan bervariasi tergantung panjangnya membran basilar. Pola yang muncul tidak tergantung pada ujung mana dari koklea yang distimulasi (Mills dkk., 2006). Telinga luar diperdarahi oleh cabang aurikulotemporal a. temporalis superfisial di bagian anterior, dan di bagian posterior diperdarahi oleh cabang aurikuloposterior a. karotis eksterna. Kavum timpani diperdarahi oleh berbagai cabang a. karotis eksterna (a.meningea media, a. faringeal ascenden, a.maksilaris dan a. stilomastoid). Telinga dalam diperdarahi oleh a. labirin yang berasal dari a. antero inferior cerebellar atau a. basilaris. Arteri labirin ini berjalan bersama n. vestibulokoklearis melalui kanalis auditorius internus, yang kemudian terbagi menjadi a. vestibularis dan a. koklearis (Probst dkk., 2006). Arteri labirin adalah endartery dengan sedikit atau tanpa suplai darah kolateral ke koklea. Penting untuk dicatat bahwa a. labirin yang berjalan di kanalis auditorius internus bukan arteri tunggal namun berupa beberapa arteriol kecil, hampir seperti pleksus arteri (Moller, 2006). Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang suara dan liang telinga meneruskan gelombang ini yang akan menggetarkan gendang telinga. Daun telinga juga membantu lokalisasi suara dan lebih efisien dalam menyampaikan suara frekuensi tinggi dibanding frekuensi rendah. Gelombang suara yang mencapai gendang telinga akan berjalan sepanjang rantai pendengaran yang terdiri dari tulang inkus, maleus dan stapes. Gendang telinga dalam rantai pendengaran paling efisien mentransmisikan suara antara 500 Hz dan 3000 Hz yang merupakan frekuensi yang paling penting untuk mengerti percakapan (Lee, 2003). Dalam penerimaan bunyi, proses transmisi dibedakan menjadi dua bagian sesuai organ penerima, yaitu transmisi aerodinamik dimana stimulus bunyi berpindah dari liang telinga ke membran timpani dan dari membran timpani ke tulang pendengaran. Transmisi yang kedua adalah transmisi hidrodinamik yaitu stimulus bunyi berpindah dari foramen ovale ke telinga dalam melalui cairan perilimfe dan endolimfe (Mills dkk., 2006). Telinga tengah mentransformasikan energi akustik dari media udara ke media cairan. Ini adalah sistem pencocokan impedans untuk memastikan energi tidak hilang. Dengan bergetarnya membran timpani, rantai pendengaran akan bergerak 1 rotasi aksis dari processus anterior maleus melewati processus inkus. Dan ketika energi suara mencapai tingkap lonjong, koklea mentransformasikan sinyal dari energi mekanik menjadi energi hidrolik dan akhirnya sel-sel rambut menjadi energi bioelektrik. Sejalan dengan keluar dan masuknya footplate stapes dari tingkap lonjong, sebuah gelombang yang berjalan diciptakan dalam koklea melalui teori gelombang Bekessy (Lee, 2003). Sepanjang perjalanan gelombang melalui koklea, gelombang ini mengakibatkan pergerakan membran basilar dan membran tektorial. Perbedaan gerakan kedua membran mengakibatkan terlipatnya sel rambut stereosilia. Lipatan ini mendepolarisasi sel rambut yang akibatnya memulai impuls aferen saraf (Lee, 2003). Gelombang suara berjalan dari dasar ke apeks sepanjang membran basilar sampai gelombang mencapai maksimum. Perjalanan gelombang ini ditentukan oleh interaksi frekuensi suara dan membran basilar. Sel rambut luar mudah bergerak, bereaksi mekanik pada sinyal yang datang dengan memendek dan memanjang tergantung karakteristik frekuensi. Sel rambut luar adalah bagian dari umpan balik mekanisme aktif, menyesuaikan kekuatan fisik dari membran basilaris sehingga frekuensi yang diberikan secara maksimal menstimulasi sel rambut dalam (Lee, 2003). Neuron frekuensi tertentu mentransmisikan kode neural dari sel rambut ke sistem auditorius. Sekali impuls saraf terinisiasi, sinyal ini akan berjalan sepanjang jaras pendengaran dari sel ganglion spiral dalam koklea ke modiolus, dimana serat ini membentuk cabang koklea dari N. VIII. Lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran atau area 39-40 di lobus temporalis (Lee, 2003). 2.3 Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah kelompok penyakit metabolik kronis dengan ciri hiperglikemia. Terdapat beberapa tipe diabetes melitus yang disebabkan interaksi kompleks antara faktor genetika dan lingkungan. Faktor yang mengakibatkan hiperglikemia termasuk menurunnya sekresi insulin, penurunan penggunaan glukosa dan peningkatan produksi glukosa (Powers, 2008). World Health Organization atau WHO memperkirakan terdapat lebih dari 180 juta penderita diabetes melitus di seluruh dunia. Prevalensi diabetes melitus di seluruh dunia meningkat dengan cepat dan diperkirakan akan mengalami peningkatan dua kali lipat dalam 20 tahun mendatang. Meskipun prevalensi diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2 menunjukkan kecenderungan meningkat di seluruh penjuru dunia, prevalensi diabetes melitus tipe 2 meningkat lebih cepat dibanding diabetes melitus tipe 1. Hal ini disebabkan meningkatnya kasus obesitas dan berkurangnya aktivitas gerak manusia sejalan dengan berkembangnya negara menuju negara industrialisasi. Gangguan metabolik akibat diabetes melitus mengakibatkan perubahan patofisiologi sekunder dalam banyak sistem organ sehingga menjadi beban berat bagi penderita dan sarana pelayanan kesehatan (Powers, 2008). 2.3.1 Klasifikasi diabetes melitus Menurut American Diabetes Association 2012, klasifikasi diabetes melitus mencakup empat gejala klinis yaitu: 1) Diabetes melitus tipe 1 yaitu akibat destruksi sel beta yang mengakibatkan defisiensi insulin yang absolut 2) Diabetes melitus tipe 2 yaitu akibat gangguan sekresi insulin yang progresif sehingga terjadi resistensi insulin 3) Diabetes spesifik karena sebab yang lain misalnya karena kelainan genetik fungsi sel beta, kelainan genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas seperti pada kistik fibrosis dan diabetes yang dicetuskan akibat obat atau bahan kimia seperti pada terapi AIDS atau setelah transplantasi organ 4) Diabetes Melitus Gestasional atau GDM yaitu diabetes melitus yang terdiagnosis dalam kehamilan. Diabetes melitus tipe 2 disebut juga Non Insulin Dependent Diabetes Melitus disingkat NIDDM, sebelumnya disebut diabetes dengan onset dewasa. Tipe ini adalah tipe yang paling sering terjadi. Pada tipe ini disposisi genetik juga berperan penting, namun terdapat defisiensi insulin relatif dan penderita tidak mutlak bergantung pada asupan insulin dari luar. Pelepasan insulin dapat normal atau meningkat, tetapi organ target memiliki sensitivitas yang berkurang terhadap insulin (Waspadji, 2006). Sebagian besar penderita diabetes melitus tipe 2 memiliki berat badan berlebih atau obesitas. Obesitas terjadi karena adanya disposisi genetik, asupan makanan yang terlalu banyak dan aktivitas fisik yang terlalu sedikit. Ketidakseimbangan antara asupan dan pengeluaran energi meningkatkan konsentrasi asam lemak dalam darah. Hal ini menurunkan penggunaan glukosa di otot dan jaringan lemak, akibatnya terjadi resistensi insulin yang meningkatkan pelepasan insulin. Akibat regulasi menurun pada reseptor, resistensi insulin semakin meningkat (Waspadji, 2006). 2.3.2 Gejala diabetes melitus Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus terkait dengan kerusakan, disfungsi, kegagalan berbagai organ jangka panjang terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. Gejala hiperglikemia berupa poliuria, polidipsi, berat badan menurun, kadang-kadang polifagia dan penglihatan kabur. Gangguan pertumbuhan dan infeksi sering terjadi akibat komplikasi kronis hiperglikemia. Diabetes melitus tipe 2 sering kali tidak terdiagnosis sampai terjadi komplikasi, dan sekitar sepertiga penderita dengan diabetes melitus tidak terdiagnosis (Powers, 2008). Diabetik neuropati muncul pada kurang lebih 50% individu dengan diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2. Manifestasinya bisa berupa polineuropati, mononeuropati dan atau neuropati otonom. Seperti komplikasi lainnya, neuropati berkorelasi dengan durasi diabetes melitus dan terkendalinya kadar gula darah. Faktor risiko lain yang meningkatkan risiko neuropati adalah peningkatan Indeks Massa Tubuh atau IMT dan merokok. Adanya penyakit kardiovaskuler, peningkatan trigliserida dan hipertensi juga berkaitan dengan neuropati diabetik perifer. Bentuk neuropati yang paling umum adalah polineuropati distal yang bersifat simetris. Keluhan yang paling sering adalah penurunan sensibilitas distal, tetapi lebih dari 50% penderita tidak memiliki gejala tersebut. Keluhan lain yang mungkin adalah hiperestesi, parestesi dan disestesi. Keluhan berupa rasa tebal, kesemutan, rasa tajam atau seperti terbakar yang dimulai dari telapak kaki dan menyebar ke proksimal (Power, 2008). 2.3.3 Diagnosis diabetes melitus Kriteria diagnosis diabetes melitus menurut ADA (2012) adalah sebagai berikut: 1) HbA1C ≥ 6, 5 % atau 2) Gula Darah Puasa ≥ 126 mg/dl atau 3) 2 jam PP ≥ 200 mg/dl atau 4) Gula Darah Sewaktu ≥ 200 mg/dl pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia. Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau hemoglobin glikolasi, disingkat HbA1C merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8 sampai 12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan HbA1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setahun (Konsensus DM, 2011). 2.3.4 Komplikasi kronis diabetes melitus Pada pasien diabetes melitus, semua sel pada tubuh terpapar akibat tingginya kadar glukosa plasma tetapi telah diobservasi bahwa gejala komplikasi hanya muncul pada beberapa organ. Hal ini bisa disebabkan beberapa komplikasi tidak dikenal atau hanya sel tertentu yang dipengaruhi oleh hiperglikemia. Organ Corti sebagai organ pendengaran memiliki komponen yang kompleks dan struktur yang menjadi target organ yang berpotensial rusak akibat hiperglikemia (Pemmaiah dan Srinivas, 2011). Komplikasi kronis diabetes melitus bisa terbagi menjadi komplikasi vaskuler dan non vaskuler. Komplikasi vaskuler terbagi menjadi komplikasi mikrovaskuler seperti retinopati, neuropati, nefropati dan makrovaskuler seperti penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer, penyakit serebrovaskuler. Komplikasi nonvaskuler mencakup gastroparesis, infeksi dan perubahan kulit (Powers, 2008). Komplikasi mikrovaskuler baik pada tipe 1 ataupun tipe 2 dari diabetes melitus disebabkan oleh hiperglikemia kronis. Sebuah studi Randomized Clinical Trial telah menunjukkan bahwa penurunan hiperglikemia kronis menurunkan atau menunda terjadinya retinopati, neuropati dan nefropati. Beberapa pasien diabetes melitus tidak menderita nefropati atau retinopati meskipun dengan kadar gula darah yang sama dengan pasien komplikasi mikrovaskuler lain, sehingga dicurigai adanya faktor genetika sebagai penyebab komplikasi tertentu. Diabetes melitus kronis bisa mengakibatkan gangguan pendengaran (Powers, 2008). Di antara gangguan metabolisme glukosa lainnya, diabetes melitus disebut sebagai penyakit yang paling sering dikaitkan dengan gangguan pendengaran. (Rajendran dkk., 2011). Bahkan diabetes melitus disebutkan sebagai penyebab mayor gangguan pendengaran sensorineural (Slenkovich, 1996). Selain metabolisme karbohidrat, diabetes melitus juga mempengaruhi metabolisme lipid dan protein. Meskipun penyebab diabetes melitus bervariasi, manifestasi yang paling umum adalah hiperglikemia (Rajendran dkk., 2011). Diabetes melitus adalah penyakit multisistem yang kompleks dan memerlukan monitoring rutin untuk komplikasi yang sudah dikenal seperti komplikasi ke ginjal, penglihatan dan sistem saraf tepi. Banyak penelitian yang telah menunjukkan adanya peningkatan risiko gangguan pendengaran pada penderita diabetes melitus, tetapi variabel pengganggu seperti paparan bising, obat ototoksik, presbikusis dan gejala lain yang juga mempengaruhi metabolisme glukosa dan fungsi koklea membuat sulit untuk menegakkan hubungan ini (Hirose, 2008). Untuk mencegah terjadinya komplikasi kronis, diperlukan pengendalian diabetes melitus yang baik dan merupakan sasaran pengobatan. Diabetes terkendali baik, apabila glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan HbA1C juga mencapai kadar yang diharapkan. Demikian juga status gizi dan tekanan darah (Konsensus DM, 2011). 2.4 Patofisiologi Diabetes Melitus Mengakibatkan Gangguan Pendengaran Sensorineural Sebelum tahun 1960, terdapat 3 teori utama yang disebutkan sebagai patofisiologi terjadinya gangguan pendengaran sensorineural akibat diabetes yaitu teori neuropati, angiopati dan gabungan teori neuropati angiopati (Taylor dan Irwin, 1978). Sampai saat ini ketiga teori tersebut di atas masih banyak diperdebatkan. Angiopati pada telinga dalam mengakibatkan gangguan pendengaran baik secara langsung dengan melibatkan suplai darah ke koklea akibat menurunnya transport nutrisi sebagai akibat penebalan dinding kapiler maupun secara tidak langsung, dengan cara menurunkan aliran darah melalui pembuluh darah yang menyempit atau mengakibatkan degenerasi sekunder pada N. VIII (Taylor dan Irwin, 1978). Neuropati sebagai penyebab utama gangguan pendengaran pada diabetes melitus disebutkan oleh Friedman pada tahun 1975. Studi ini menyatakan bahwa PAS positif dengan penebalan yang luas dan demielinisasi N.VIII berdasarkan studi histopatologi yang dilaksanakan oleh Makishima dan Tanaka adalah patogenesis yang sangat penting sebagai penyebab gangguan pendengaran. Sedangkan Maskihima dan Tanaka menyatakan bahwa gangguan pendengaran pada diabetes disebabkan oleh degenerasi saraf dan lesi vaskuler merupakan salah satu faktor terpenting yang menyebabkan degenerasi saraf (Taylor dan Irwin, 1978). Satu kemungkinan adalah perubahan mikrovaskuler yang sering mengakibatkan nefropati dan retinopati, juga mempengaruhi vaskularisasi koklea. Perubahan patologik yang menyertai diabetes melitus bisa melukai pembuluh darah atau sistem saraf dari telinga dalam yang mengakibatkan gangguan pendengaran sensorineural (Bainbridge dkk., 2008). Studi Lisowska dkk. (2001) menyatakan bahwa gangguan pendengaran akibat diabetes melitus bisa terjadi akibat mikroangiopati pada telinga dalam, degenerasi neuronal atau ensefalopati diabetik tetapi bisa juga akibat gangguan metabolisme glukosa dan mekanisme hiperaktivitas pada radikal oksigen bebas. Perubahan patologis dan gangguan metabolisme bisa berakibat gangguan pada koklea, retrokoklea atau kombinasi koklea-retrokoklea. Studi histopatologi menunjukkan adanya kerusakan pada saraf dan pembuluh darah telinga dalam pada individu dengan diabetes melitus. Pembuluh darah membran basilaris dan striae vaskularis terbukti lebih tebal pada penderita diabetes melitus. Selain penebalan pembuluh darah, striae vaskularis yang atrofi dan hilangnya sel rambut luar mengakibatkan adanya gangguan pendengaran. Perubahan vaskular ini telah diteorikan sebagai penyebab penting degenerasi saraf pada sistem auditori. Studi ini menyimpulkan mikroangiopati pada koklea, degenerasi striae vaskularis dan hilangnya sel rambut luar pada koklea sebagai penyebab gangguan pendengaran pada penderita diabetes melitus tipe 2 (Fukushima dkk., 2006). Dengan adanya perubahan histopatologi ini, maka gangguan pendengaran yang ditemukan pada audiometri bisa berupa tipe sensori, tipe neural atau gabungan sensori dan neural (Irwin, 1987). 2.4.1 Mekanisme komplikasi Koklea terutama striae vaskularisnya, adalah organ yang sangat tergantung pada mikrovaskuler. Permeabilitas endotel yang meningkat bisa mengakibatkan perubahan pada keseimbangan elektrolit pendengaran dalam endolimfe yang berakibat tranduksi sel-sel rambut dan transmisi signal (Frisina dkk., 2006). Sedangkan organ Corti sebagai organ pendengaran memiliki komponen yang kompleks dan menjadi target organ yang berpotensial rusak akibat hiperglikemia (Pemmaiah dan Srinivas, 2011). Meskipun hiperglikemia kronis adalah faktor penyebab penting terjadinya komplikasi diabetes melitus, mekanisme pasti yang mengakibatkan disfungsi bermacam sel dan organ belum jelas diketahui. Empat teori telah dipakai untuk menjelaskan hal ini yaitu: 1) Peningkatan glukosa intrasel mengakibatkan pembentukan advanced glycosylation end products atau AGEs melalui non enzim glikolasi dari protein intra dan ekstraselular, 2) hiperglikemi meningkatkan metabolisme glukosa melalui jalur sorbitol, 3) hiperglikemia meningkatkan pembentukan diasilgliserol yang mengakibatkan aktvasi protein kinase C atau PKC, 4) Hiperglikemi meningkatkan aliran darah melalui jalur heksosamin, yang menyebabkan terbentuknya fruktosa 6 fosfat, sebuah bahan yang menghasilkan produk glikosilasi O- linked dan proteoglikan (Powers, 2008). Sedangkan menurut Frisina dkk. (2006), hiperglikemi mengakibatkan perubahan biokimia dalam sistem metabolik penderita. Tiga konsekuensi utama berupa pemecahan non enzimatik, aktivasi jalur polyol dan generasi Reactive Oxygen Species atau ROS. Meskipun semua individu dengan proses penuaan mengalami proses fisiologik abnormal yang sama seperti oksidasi yang meningkat, glikasi dan meningkatnya produk akhir selama metabolisme oksidatif, proses ini terjadi lebih cepat pada penderita diabetes melitus. Dengan kata lain terjadi penuaan dini akibat diabetes melitus. Diagram di bawah ini menunjukkan jalur biokimiawi penurunan pendengaran terhadap sensori end organ seperti koklea pada diabetes melitus tipe 2. Hiperglikemia Stress oksidatif AGEs Diasilgliserol Aktivasi Protein Kinase C (PKC) Komplikasi Vaskuler pembentukan NO Perubahan Selular Gangguan metabolik perubahan kolagen IV produksi amadori Permeabilitas endotel akumulasi matriks sel produksi Schiff Penebalan endotel degradasi matiks sel radikal bebas Aktivitas TGFβ formasi mikrotubulus Na/K+/ATPase Ekspresi VEGF protein cross-linking intrasel Polyol pathway Ekspresi VPF protein cross-linking intersel Reaksi Maillard Aterosklerosis strand DNA tunggal pecah Perfusi endoneurial PNS myelin protein glycated Gangguan pendengaran Gambar 2.3 Diagram jalur biokimiawi penurunan pendengaran terhadap sensori end organ seperti koklea pada diabetes melitus tipe 2 (dikutip dari Frisina dkk., 2006) 2.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan pendengaran sensorineural pada diabetes melitus Berbagai penelitian juga dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan pendengaran sensorineural pada penderita diabetes melitus seperti durasi, kendali glikemik yang dinilai melalui angka HbA1C, umur, jenis kelamin, hipertensi dan komplikasi diabetes melitus. Semua penelitian ini masih dengan hasil yang berbeda-beda. Faktor yang diduga berpengaruh terhadap gangguan pendengaran banyak diteliti. Dua faktor yang paling banyak diteliti adalah durasi beserta kendali glikemik dengan berbagai variasi hasil. Karena hipertensi merupakan salah satu penyebab gangguan pendengaran sensorineural dan penderita diabetes melitus tipe 2 umumnya disertai hipertensi, maka dalam penelitian ini hipertensi bersama dengan diabetes melitus juga diukur untuk mengetahui adanya faktor risiko yang lebih tinggi dibanding diabetes tanpa hipertensi. Dalam penelitian Limardjo dkk. (2011) dibuktikan bahwa umur memberikan peranan terhadap kejadian gangguan pendengaran pada penderita diabetes melitus tipe 2. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi umur akan meningkatkan risiko terjadinya gangguan pendengaran sensorineural. Sedangkan penelitian Mozzafari dkk. (2010) melaporkan tidak adanya hubungan antara umur mulainya diabetes dan gula darah puasa dengan gangguan pendengaran. Dalam penelitian ini, umur dikendalikan sehingga sampel hanya diambil yang berumur maksimal 60 tahun untuk menghindari bias dengan presbikusis dan dilakukan matching umur antara kelompok kasus dan kelompok kontrol. Mengenai predileksi jenis kelamin gangguan pendengaran akibat diabetes melitus, Taylor dan Irwin (1978) memperhatikan bahwa risiko gangguan pendengaran pada perempuan dengan diabetes melitus tipe I secara signikan lebih tinggi. Sedangkan studi oleh Bener dkk. (2008) menyatakan pada pasien diabetes melitus tipe II yang berusia lebih dari 50 tahun, risiko gangguan pendengaran pada pria lebih tinggi dibanding wanita. Dan studi Rajendran dkk. (2011) melaporkan tidak adanya peningkatan risiko pada diabetes melitus tipe II berdasar predileksi kelamin. Dalam penelitian ini jenis kelamin dikendalikan dengan matching antara kelompok kasus dan kelompok kontrol. Faktor genetika juga mempengaruhi gangguan pendengaran sensorineural pada populasi kecil dengan diabetes melitus (Kakarlapudi dkk., 2003). Penderita dengan Maternally Inherited Diabetes and Deafness (MIDD) dan penderita dengan miopati, ensefalopati, asidosis laktat dan stroke - like episode (MELAS) menunjukkan diabetes dan gangguan pendengaran akibat mutasi mitokondria DNA A3243G (Takeshima dan Nakashima, 2005). Penyakit MIDD umumnya terdeteksi pada usia dewasa muda dengan range usia yang besar untuk saat mulainya penyakit. Dalam penelitian ini, faktor genetika sebagai faktor yang mempengaruhi gangguan pendengaran sensorineural tidak diukur. Riwayat gangguan pendengaran dalam keluarga hanya berdasar anamnesis yang didapat dari penderita. 2.4.2.1 Durasi menderita diabetes melitus tipe 2 meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural Diabetes melitus adalah penyakit yang bersifat kronis, hanya bisa dikendalikan. Efek hiperglikemia kronis menimbulkan terjadinya komplikasi. Risiko komplikasi pada diabetes melitus meningkat sejalan dengan kronisnya penyakit (Powers, 2008). Durasi menderita diabetes melitus diperkirakan berkaitan dengan risiko gangguan pendengaran melalui dasar pemikiran bahwa diabetes dengan kondisi hiperglikemia kronis mengakibatkan komplikasi pada banyak organ dan salah satunya adalah organ pendengaran. Durasi dengan gangguan pendengaran banyak diteliti dengan berbagai variasi hasil. Penelitian oleh Limardjo dkk. (2011) mendapatkan hasil adanya hubungan antara durasi menderita diabetes melitus ≥ 10 tahun dengan gangguan pendengaran (p = 0, 00). Penelitian Mozzafari dkk. (2010) melaporkan durasi menderita diabetes melitus yang mengakibatkan gangguan pendengaran adalah 11.7 ± 7, 6 tahun (p < 0.001). Sedangkan penelitian Panchu (2009) mendapatkan hasil yang berlawanan dengan hasil Limardjo dkk. (2011) serta Mozzafari dkk. (2010) yaitu durasi menderita diabetes melitus lebih dari 10 tahun tidak mempengaruhi ambang pendengaran pada penderitanya. 2.4.2.2 Kendali glikemik buruk pada penderita diabetes melitus tipe 2 meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural Kendali glikemik yang optimal sangat penting. Bukti-bukti menunjukkan bahwa komplikasi diabetes dapat dicegah dengan kendali glikemik yang optimal (Konsensus DM, 2011). Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) melaporkan bahwa perbaikan kendali glikemik yang dinilai melalui nilai HbA1C menurunkan angka kejadian retinopati sebanyak 47 %, mikroalbuminuria 39 %, nefropati 54 %, dan neuropati 60%. Kendali glikemik yang baik juga menurunkan angka komplikasi dini. Perbaikan kendali glikemik dilaporkan melalui rata-rata nilai HbA1C longitudinal. Tujuan terapi adalah sebisa mungkin mencapai nilai HbA1C yang disarankan tanpa meningkatkan risiko hipoglikemia pada penderitanya. Sedangkan United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) melaporkan setiap poin penurunan persentase HbA1C berkaitan dengan 35 % penurunan risiko komplikasi mikrovaskuler. Perbaikan kendali glikemik juga mengakibatkan perbaikan profil lipoprotein seperti trigliserida dan peningkatan HDL. Durasi dan kendali glikemik disebut sebagai prediktor terbaik terjadinya retinopati (Powers, 2008). Hemoglobin terglikolasi, sering disebut glikohemoglobin, HbA1C atau A1C adalah sebuah terminologi yang dipakai untuk menjelaskan serangkaian komponen minor hemoglobin yang stabil dan terbentuk lambat, secara nonenzimatik dari hemoglobin dan glukosa (Goldstein dkk., 2004). Konsentrasi HbA1C yang terbentuk melalui perlekatan non enzimatik glukosa pada hemoglobin secara umum menandai nilai rata-rata glukosa dalam waktu 8-12 minggu, periode sesuai dengan siklus hidup eritrosit (Nathan dkk., 2007). Nilai HbA1C merupakan cermin rata-rata kadar gula darah dalam beberapa bulan dan merupakan prediktor kuat terhadap komplikasi diabetes melitus (Sacks dkk., 2002; Stratton dkk., 2000). Nilai HbA1C ≤ 7 % telah terbukti menurunkan komplikasi mikrovaskuler dan pemeriksaan nilai HbA1C rutin setelah diagnosis ditegakkan dapat menurunkan risiko jangka panjang makrovaskuler (ADA, 2012). Nilai HbA1C juga memiliki beberapa keterbatasan karena adanya kondisi tertentu yang mempengaruhi siklus pergantian eritrosit seperti hemolisis dan riwayat perdarahan disertai varian hemoglobin. Dalam penelitian ini, sehubungan dengan tidak tersedianya data HbA1C yang serial, maka nilai HbA1C penderita dalam kurun waktu 3 bulan terakhir sebelum waktu pemeriksaan diambil mewakili nilai HbA1C. Adanya hubungan yang signifikan antara kendali glikemik dengan gangguan pendengaran dilaporkan pada 4 hasil penelitian (Ezeddin dkk., 2003; Panchu, 2009; Pemmaiah dan Srinivas, 2011; Israel dkk., 2012). Sedangkan hasil yang tidak signifikan dilaporkan pada 2 penelitian lainnya (Mozzafari dkk., 2010; Limardjo dkk., 2011). 2.4.2.3 Hipertensi pada penderita diabetes melitus tipe 2 meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural Semua sel dalam tubuh manusia membutuhkan suplai oksigen yang cukup dan nutrisi dalam menjalankan fungsinya. Semua suplai ini tergantung pada integritas organ, struktur jantung dan pembuluh darah. Hipertensi sebagai kelainan pembuluh darah yang paling umum bisa berakibat perubahan struktur pada jantung dan pembuluh darah. Tekanan yang tinggi pada sistem vaskularisasi bisa mengakibatkan perdarahan pada telinga dalam yang mengakibatkan gangguan pendengaran yang bersifat progresif atau mendadak. Kelainan pada sistem sirkulasi bisa berakibat langsung pada pendengaran melalui berbagai cara. Salah satunya adalah melalui peningkatan viskositas darah yang akan menurunkan aliran kapiler darah dan berakibat penurunan transpor oksigen, kemudian mengakibatkan hipoksia jaringan dan gangguan pendengaran. Selain itu hipertensi juga mengakibatkan perubahan ion dalam potensial sel yang juga mengakibatkan gangguan pendengaran (Marchiori dkk., 2006). Pada studi eksperimental dengan menggunakan tikus sebagai hewan percobaan didapatkan hasil adanya perubahan potensial aksi, elektrokimia dan konsentrasi kalium pada koklea tikus percobaan dengan hipertensi dibanding kelompok normotensi. Sejalan dengan umur, kelompok tikus percobaan dengan hipertensi menunjukkan peningkatan ambang potensial aksi, potensial elektrokimia dan peningkatan konsentrasi kalium bukan hanya pada sel endolimfatik tetapi juga pada sel perilimfatik. Data ini menunjukkan perubahan ion pada sel potensial aksi ikut terlibat dalam penurunan pendengaran kelompok tikus percobaan dengan hipertensi (Marchiori dkk., 2006). Hipertensi bersama dengan diabetes melitus meningkatkan risiko terjadinya gangguan pendengaran sensorineural juga diukur pada beberapa penelitian. Limardjo dkk. (2011) melaporkan hasil hipertensi signifikan untuk gangguan pendengaran dengan p = 0.001 sedangkan hasil penelitian Israel dkk. (2012) melaporkan hipertensi tidak signifikan. Hubungan antara diabetes melitus dengan hipertensi juga dilaporkan signifikan sesuai dengan adanya penelitian oleh Duck dkk. (1997) yang menemukan bahwa hipertensi berinteraksi dengan diabetes melitus dalam patogenesis gangguan pendengaran sensorineural. 2.5 Pemeriksaan Gangguan Pendengaran Pemeriksaan telinga dan pendengaran selalu wajib dimulai dengan anamnesis yang mencakup riwayat gangguan pendengaran herediter, vertigo, tinitus, riwayat penyakit telinga sebelumnya, paparan bising dan obat ototosik. Anamnesis dilanjutkan dengan inspeksi yang menyeluruh dari daun telinga dan sekitarnya. Dengan otoskopi kemudian dinilai kondisi liang telinga dan membran timpani (Probst dkk., 2006) Pemeriksaan hidung, nasofaring dan jalan nafas atas perlu dilaksanakan secara teliti. Evaluasi pendengaran dapat ditentukan dengan berbagai cara mulai dari pengukuran sederhana sampai pengukuran dengan alat khusus. Contoh alat pengukuran sederhana atau kualitatif adalah garpu tala, sedangkan alat khusus atau kuantitatif misalnya dengan audiometri, Oto Acoustic Emission atau OAE, Auditory Brainstem Response atau ABR dan Auditory Steady State Response atau ASSR. Pada berbagai penelitian untuk mendeteksi adanya gangguan pendengaran pada pasien diabetes melitus umumnya memakai pemeriksaan audiometri nada murni (Ezeddin dkk. 2003; Bainbridge dkk., 2008; Panchu, 2009; Rajendran dkk., 2011). Dalam penelitian ini, gangguan pendengaran dievaluasi dengan menggunakan audiometri nada murni. 2.5.1 Audiometri Nada Murni Audiometri nada murni adalah pengukuran sensitivitas pendengaran dengan frekuensi yang dimulai dari 250 Hz sampai 8000 Hz. Pemeriksaan ini adalah dasar dari evaluasi pendengaran dan dilaksanakan dalam ruang kedap suara. Pemeriksaan audiometri digunakan untuk memeriksa seluruh sistem auditorius mulai dari telinga luar sampai korteks auditorius (Sweetow dan Bold, 2004). Pada audiometri nada murni, ambang didapatkan baik melalui konduksi udara maupun konduksi tulang. Pada pengukuran konduksi udara, perbedaan stimulus nada murni yang berbeda-beda ditransmisikan melalui earphone. Sinyal melewati liang telinga masuk ke dalam kavum timpani melalui tulang pendengaran ke koklea dan kemudian menuju sistem auditorius pusat. Ambang konduksi udara menggambarkan mekanisme integritas auditorius perifer. Sedangkan pada pengukuran konduksi tulang, sinyal ditransmisikan melalui getaran tulang yang biasanya diletakkan pada prominentia mastoid. Nada murni secara langsung menstimulus koklea setelah melewati liang telinga dan telinga tengah. Hasil audiometri berupa audiogram dalam bentuk grafik yang menggambarkan ambang pendengaran dalam frekuensi (Bess dan Humes, 2008). Satuan stimulus diberikan dalam satuan desibel. Secara klinis, batas normal untuk audiogram adalah 0-20 dB Hearing Level atau HL, dan 0-15 dB HL untuk anak-anak (Hall dan Lewis, 2002). Sedangkan derajat gangguan pendengaran sesuai World Health Organization atau WHO (1991) adalah ambang ≤ 25 dB dikategorikan normal, ambang 26 - 40 dB dikategorikan gangguan pendengaran derajat ringan, ambang 41 - 60 dB mencerminkan gangguan pendengaran sedang, ambang 61-80 dB dikategorikan gangguan pendengaran berat, ≥ 81 dB dikategorikan gangguan pendengaran sangat berat. Frekuensi yang penting untuk mengerti percakapan adalah diantara 500- 8000 Hz. Tipe gangguan pendengaran dijabarkan oleh perbandingan antara konduksi udara dan tulang. Pada tuli konduksi, didapatkan hantaran tulang yang normal dan gangguan terdapat pada hantaran udara sedangkan pada tuli sensorineural tidak terdapat gap antara hantaran udara dan tulang (Hall dan Lewis, 2002). 2.6 Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran Sensorineural Akibat Diabetes Melitus Tipe 2 Gangguan pendengaran dikatakan sebagai komplikasi yang kurang dikenal pada penderita diabetes melitus, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penderita diabetes melitus, maka diperkirakan kasus gangguan pendengaran juga akan semakin banyak. Sedangkan deteksi dini gangguan pendengaran sangat penting dilaksanakan karena gangguan pendengaran meningkatkan beban ekonomi secara signifikan dan mengakibatkan penurunan kualitas hidup penderita. Dalam literatur, diabetes melitus telah dinyatakan sebagai salah satu penyebab tuli sensorineural, dan telah banyak penelitian yang menyatakan adanya peningkatan risiko meskipun dengan patofisiologi yang masih banyak diperdebatkan. Faktorfaktor risiko yang mempengaruhi banyak diteliti untuk usaha intervensi dini. Gangguan pendengaran sensorineural adalah kondisi yang ireversibel secara umum. Karena mayoritas kasus gangguan pendengaran sensorineural memiliki prognosis yang buruk, tujuan utama pada penatalaksanaan gangguan pendengaran akibat diabetes melitus adalah pencegahan gangguan pendengaran yang lebih berat dan perbaikan fungsi pendengaran dengan rehabilitasi. BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Kerangka berpikir mengacu kepada kerangka teori bahwa diabetes melitus dengan adanya hiperglikemia kronis menimbulkan gangguan pendengaran sensorineural berdasarkan teori neuropati dan angiopati. Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya gangguan pendengaran sensorineural akibat diabetes melitus berdasarkan beberapa penelitian adalah umur, jenis kelamin, durasi, kendali glikemik dan hipertensi. Faktor genetika juga sebagai salah satu risiko gangguan pendengaran pada populasi kecil diabetes melitus tetapi tidak diteliti dalam penelitian ini akibat terbatasnya sarana pembuktian. Dua faktor yang paling banyak diteliti adalah durasi beserta kendali glikemik dengan berbagai variasi hasil penelitian. Umur berperan terhadap gangguan pendengaran sensorineural dimana usia yang semakin tinggi akan meningkatkan risiko. Dalam penelitian ini, umur dikendalikan sehingga sampel yang diambil maksimal berumur 60 tahun saat diperiksa untuk menghindari bias presbikusis. Jenis kelamin juga menunjukkan risiko yang berbeda dalam beberapa penelitian sehingga dalam penelitian ini jenis kelamin dikendalikan dengan melakukan matching antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol. Durasi menderita diabetes melitus tipe 2 diperkirakan sebagai faktor risiko gangguan pendengaran sensorineural dengan dasar pemikiran bahwa diabetes melitus merupakan penyakit yang bersifat kronis. Risiko komplikasi gangguan pendengaran akan semakin tinggi sejalan dengan kronisnya penyakit. Komplikasi kronis gangguan pendengaran akibat diabetes melitus dapat dicegah dengan kendali glikemik yang baik yaitu melalui indikator HbA1C dimana HbA1C merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya dan dianjurkan diperiksa setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setahun. Nilai HbA1C ≤ 7 % telah terbukti menurunkan komplikasi mikrovaskuler. Dalam penelitian ini, HbA1C pasien yang ≤ 7 % dianggap kendali glikemik baik dan risiko gangguan pendengaran sensorineural lebih tinggi pada pasien dengan kendali glikemik buruk atau HbA1C > 7 %. Penderita diabetes melitus umumnya disertai hipertensi dan hipertensi berinteraksi dengan diabetes melitus terbukti meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural dalam penelitian yang lain, maka dalam penelitian ini hipertensi bersama dengan diabetes melitus juga diukur untuk mengetahui adanya faktor risiko yang lebih tinggi dibanding diabetes tanpa hipertensi. 3.2 Konsep Penelitian Konsep penelitian dapat digambarkan dengan diagram sebagai berikut: Diabetes Melitus Keturunan Faktor: Durasi DM Kendali glikemik (HbA1C) Hipertensi Umur Jenis kelamin Angiopati Neuropati Gangguan Pendengaran Sensorineural Gambar 3.1 Bagan Konsep Penelitian 3.3 Hipotesis Penelitian 1. Durasi menderita diabetes melitus tipe 2 yaitu ≥ 10 tahun meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural. 2. Kendali glikemik buruk pada penderita diabetes melitus tipe 2 dengan HbA1C > 7 % meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural. 3. Hipertensi bersama dengan diabetes melitus tipe 2 meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan menggunakan rancangan kasus kontrol dimana kelompok kasus adalah penderita diabetes melitus tipe 2 dengan gangguan pendengaran sensorineural sedangkan kelompok kontrol adalah penderita diabetes melitus tipe 2 tanpa gangguan pendengaran sensorineural. Rancangan penelitian dapat digambarkan dalam bagan berikut ini: Durasi ≥ 10 thn Matching Kelompok Kasus < 10 thn Jenis Kelamin DM dengan SNHL HbA1C Umur ≤7% Kelompok Kontrol DM tanpa SNHL >7 % Hipertensi Tanpa hipertensi Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian 4 .2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di poliklinik THT-KL dan poliklinik Diabetic Centre RSUP Sanglah Denpasar sejak 15 Agustus 2013 sampai 30 Desember 2013. Penelitian dilakukan sesuai waktu pelayanan poliklinik rawat jalan RSUP Sanglah. 4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1 Populasi Penelitian Populasi target penelitian adalah semua penderita diabetes melitus tipe 2. Populasi terjangkau adalah penderita diabetes melitus tipe 2 yang berobat ke Poliklinik Diabetic Centre RSUP Sanglah Denpasar selama waktu penelitian. 4.3.2 Sampel Penelitian Pengambilan sampel pada kelompok kasus dan kontrol dilakukan secara konsekutif sampling yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria inklusi penelitian dimasukkan dalam sampel penelitian sampai kurun waktu tertentu hingga terpenuhi jumlah sampel yang diperlukan. 4.3.3 Kriteria Sampel Kriteria kasus pada penelitian ini adalah penderita diabetes melitus tipe 2 dengan gangguan pendengaran sensorineural. Sedangkan kriteria kontrol pada penelitian ini adalah penderita diabetes melitus tipe 2 tanpa gangguan pendengaran sensorineural. Kriteria kelompok kasus dan kelompok kontrol pada penelitian ini terdiri dari kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. 4.3.3.1 Kriteria Inklusi Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah: 1) Umur di bawah dan sama dengan 60 tahun, 2) Jenis kelamin laki-laki dan perempuan, 3) Penderita dengan riwayat diabetes melitus tipe 2 berdasarkan diagnosis dokter di Diabetes Centre, RSUP Sanglah, 4) Bersedia mengikuti penelitian dengan mengisi dan menandatangani formulir lembar persetujuan, 5) Secara klinis kondisi umum pasien baik dan memungkinkan dilakukan penelitian. 4.3.3.2 Kriteria eksklusi Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah: 1) Pernah mengalami cedera kepala, 2). Sedang menderita radang akut pada telinga, hidung dan tenggorokan, 3) Pernah menderita infeksi telinga tengah menahun atau penyakit telinga lain yang menyebabkan gangguan pendengaran secara menetap, 4) Riwayat menggunakan obat-obatan yang bersifat ototoksik dalam waktu lebih dari 3 bulan secara terusmenerus, 5) Riwayat gangguan pendengaran usia muda pada orangtua yang bersifat menurun, 6) Ada kelainan anatomi atau tumor pada daerah telinga, hidung dan tenggorokan, 7) Riwayat paparan bising, 8) Pernah terpapar trauma ledakan bom, dentuman atau letusan senjata api, 8) Riwayat anemia hemolitik dan paska perdarahan akut. 4.3.4 Perhitungan Besar Sampel Besar sampel minimal yang dibutuhkan pada penelitian ini dihitung berdasarkan rumus studi kasus kontrol berpasangan (Madiyono dkk., 2010) yaitu : n = [ Zα 2 + Zβ √ PQ ] 2 (P- ½) dimana P= R (1+R) Dalam penelitian ini ditentukan OR = 3, α = 0, 05 dan β = 0,10 maka: n= [ 1, 96 4.4 2 + 1,282 √3/4 + 1/4 ] 2 3/4 – ½ n= 38 pasang sampel Variabel Penelitian 4.4.1 Identifikasi dan klasifikasi variabel Variabel bebas: diabetes melitus tipe 2 Variabel tergantung : gangguan pendengaran sensorineural Variabel perantara: durasi diabetes melitus tipe 2, kendali glikemik, hipertensi. 4.5 a. Definisi Operasional Variabel Diabetes Melitus tipe 2: kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia yang disebabkan oleh gangguan sekresi insulin yang progresif sehingga terjadi resistensi insulin. Penelitian ini dibatasi pada subjek dengan diagnosis diabetes melitus tipe 2 dari dokter di Diabetes Centre RSUP Sanglah. b. Gangguan pendengaran sensorineural: tuli sensorineural dengan kelainan di koklea atau nervus VIII yang mengakibatkan terhambatnya proses transmisi impuls saraf ke pusat pendengaran di otak. Pada audiogram didapatkan ambang pendengaran rata-rata pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz lebih dari 25 dB sesuai WHO (1991), konduksi udara dan tulang berimpit. c. Pendengaran normal adalah pendengaran dimana pemeriksaan dengan menggunakan audiometri nada murni didapatkan ambang pendengaran rata-rata pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz adalah kurang dari dan sama dengan 25 dB HL sesuai WHO (1991). d. Umur adalah lama hidup yang dihitung berdasarkan tanggal lahir yang tercantum pada rekam medis penderita dalam satuan tahun berdasarkan Kartu Tanda Penduduk atau Surat Ijin Mengemudi. Dalam penelitian ini dibatasi pada penderita diabetes melitus tipe 2 yang berusia kurang dari dan sama dengan 60 tahun untuk menghindari adanya bias presbikusis yaitu penurunan pendengaran akibat usia. Dalam penelitian ini dilakukan matching umur antara kelompok kontrol dengan kelompok kasus dengan range sebesar 5 tahun sehingga didapatkan sampel kasus dan kontrol dengan kelompok umur 36-40 tahun, 41-45 tahun, 46-50 tahun, 51-55 tahun dan 56-60 tahun. e. Jenis kelamin adalah jenis kelamin pada sampel sesuai dengan yang tertera pada Kartu Tanda Pengenal atau sesuai dengan data diri pada berkas rekam medis pasien di RSUP Sanglah. Dalam penelitian ini, sampel terdiri dari jenis kelamin pria atau wanita, dilakukan matching pada jenis kelamin sampel antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol. f. Keturunan adalah riwayat gangguan pendengaran usia muda pada orangtua sampel. Dalam penelitian ini terbatas pada hasil anamnesis adanya riwayat gangguan pendengaran usia muda yang bersifat menurun pada orang tua sampel. g. Durasi menderita diabetes melitus adalah satuan waktu dalam tahun yang dimulai sejak penderita terdiagnosis diabetes melitus berdasarkan hasil anamnesis. Dalam penelitian ini dibuat dalam data kategorik yaitu < 10 tahun dan ≥ 10 tahun. h. Kendali glikemik adalah adanya kadar gula darah rata-rata dalam 8-12 minggu terakhir dan dibuktikan dengan adanya nilai HbA1C yang berada dalam batasan normal. Nilai rujukan HbA1C yang dipakai dalam penelitian ini adalah ≤ 7 %, menyesuaikan dengan target pengendalian diabetes melitus dalam Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia (2011). HbA1C merupakan pemeriksaan rutin yang dilaksanakan pada setiap pasien diabetes melitus setiap 3 bulan di Diabetic Centre RSUP Sanglah. Nilai HbA1C terakhir yang terdata dalam rekam medis dan dilakukan dalam kurun waktu ≤ 3 bulan sebelum pemeriksaan pendengaran dicatat sebagai HbA1C penderita dan dibuat dalam data kategorik yaitu kendali glikemik baik yaitu ≤ 7 % dan kendali glikemik buruk yaitu > 7 % sesuai Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia (2011). Hipertensi adalah orang dengan tekanan darah ≥ 130/80 mmHg sesuai dengan i. Konsensus DM 2011 atau terdiagnosis hipertensi dari dokter di Diabetic Centre RSUP Sanglah. Dalam penelitian ini tidak dibedakan apakah hipertensi terkontrol atau tidak terkontrol. 4.6 Bahan dan Alat Penelitian 1. Formulir persetujuan Informed Consent. 2. Kuesioner dan data penelitian. 3. Alat diagnostik seperti lampu kepala, otoskop, pengait serumen dan perlengkapan spooling telinga. 4. Audiometer merek GSI 10. 5. Ruang kedap bunyi atau sound proof 4.7 Prosedur Kerja 4.7.1 Proses Pengumpulan Data 1. Semua pasien yang menderita diabetes melitus tipe 2 di Diabetes Centre RSUP Sanglah diseleksi berdasarkan kriteria inklusi. 2. Subjek yang memenuhi syarat sebagai sampel berdasar kriteria inklusi dan setuju menjadi sampel penelitian menandatangani lembar persetujuan. Identitas subjek dicatat diikuti pertanyaan untuk kriteria eksklusi. Pertanyaan kriteria eksklusi meliputi riwayat cedera kepala, keluar cairan telinga, paparan bising, paparan bom, sedang menderita infeksi akut pada telinga, hidung dan tenggorokan, pemakaian obat ototoksik, dan riwayat gangguan pendengaran orangtua pada usia muda. 3. Subjek yang memenuhi syarat akan menjalani pemeriksaan THT rutin. Pemeriksaan rutin dilakukan peneliti secara berurutan mulai dari telinga untuk menilai kanalis akustikus eksternus dan membran timpani. Dilanjutkan pemeriksaan hidung dan. tenggorok untuk menilai adanya tanda radang atau kelainan anatomi. 3. Subjek yang memenuhi kriteria eligibilitas berdasar hasil pemeriksaan THT rutin akan dijadikan sampel penelitian dan menjalani pemeriksaan audiometri. Teknik pemeriksaan audiometri nada murni yaitu sampel penelitian diminta duduk tenang di ruang kedap suara poliklinik THT-KL RSUP Sanglah, dipasang headphone dan diminta memberikan respon bila subjek mendengar nada yang dibunyikan. Pemeriksaan konduksi udara dilakukan pada frekuensi 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz dan 8000 Hz pada kedua telinga secara bergantian. Dilanjutkan pemeriksaan konduksi tulang yang sama seperti konduksi udara tetapi vibratornya diletakkan pada planum mastoid. Ambang dengar didapat dengan menghitung rata-rata ambang dengar pada frekuensi 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz dan 4000 Hz. Gangguan pendengaran sensorineural ditandai oleh adanya AC dan BC yang berimpit. Berdasarkan WHO (1991), derajat gangguan pendengaran dibagi menjadi: ≤ 25 dB dikategorikan normal, ambang gangguan pendengaran derajat ringan, ambang gangguan pendengaran sedang, 26 - 40 dB dikategorikan 41 - 60 dB ambang 61-80 dB mencerminkan dikategorikan gangguan pendengaran berat, ≥ 81 dB dikategorikan gangguan pendengaran sangat berat (WHO, 1991). 4. Setelah ada hasil audiometri, maka sampel akan dikelompokkan menjadi kelompok kasus yaitu diabetes melitus tipe 2 dengan gangguan pendengaran sensorineural dan kelompok kontrol yaitu diabetes melitus tipe 2 tanpa gangguan pendengaran sensorineural. 5. Kemudian dilanjutkan anamnesis mengenai faktor risiko yang meliputi durasi menderita diabetes melitus tipe II, apakah sampel menderita hipertensi dan sejak kapan. 6. Dilanjutkan pencatatan tekanan darah dan hasil laboratorium HbA1C dalam kurun 3 bulan terakhir, berikut diagnosis dari dokter poliklinik Diabetic Centre RSUP Sanglah. 7. Dilakukan matching umur dengan range 5 tahun antara sampel dari kelompok kasus dan sampel dari kelompok kontrol, dan dilakukan juga matching pada jenis kelamin sehingga didapatkan sampel kelompok kasus sebesar 38 orang dan kelompok kontrol sebesar 38 orang dengan umur dan jenis kelamin yang matching. 4.8 Alur Penelitian SNHL (+) Kasus Kriteria Inklusi Catat: -Durasi -HbA1C -Tekanan Populasi Sampel Audiometri Jenis Umur kelamin Darah -Diagnosis -Informed Consent -THT Rutin SNHL (-) Kontrol -Kriteria Eksklusi Analisis Data Laporan Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian 4.9 Analisis Data Analisis data pada tahap awal dilakukan analisis statistik deskriptif yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Analisis perbedaan risiko antara durasi menderita diabetes melitus, kendali glikemik dan hipertensi dikelola dengan menggunakan Odd Ratio. Kemaknaan secara bivariat diuji dengan Chi Square McNemar pada tingkat kemaknaan α 0, 05 dan secara multivariat dengan conditional logistic regression metode enter. 4.10 Etika Penelitian Penelitian ini telah mendapat ijin dari Divisi Endokrinologi dan Metabolisme Bagian/SMF Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah Denpasar No: 58/Div. Endokrinologi Metabolisme/XI/2012 tertanggal 20 November 2012. Penelitian ini juga telah mendapat ijin kelaikan etik atau ethical clearance dari Unit Penelitian dan Pengembangan atau Litbang Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar No: 537/UN.14.2/Litbang/2013 tertanggal 31Mei 2013. BAB V HASIL PENELITIAN Pada penelitian ini didapatkan 118 penderita yang memenuhi kriteria inklusi. Dilakukan eksklusi pada 10 penderita karena 4 penderita dengan OMSK fase tenang, 1 penderita dengan otitis eksterna, 1 pasien dengan anemia hemolitik, 2 pasien dengan rinotonsilofaringitis akut dan 2 penderita dengan gambaran Noise Induced Hearing Loss pada hasil audiometri sehingga total terdapat 108 orang sampel yang memenuhi kriteria eligilibilitas. Dari 108 sampel ini, didapatkan 90 orang atau 45 pasang sampel yang matching jenis kelamin dan umur. 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian Berikut adalah tabel karakteristik subjek penelitian yang terdiri dari 45 pasang sampel berpasangan. Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian Variabel Kasus Kontrol Total Umur: 36-40 3 3 6 41-45 7 7 14 46-50 10 10 20 51-55 13 13 26 56-60 12 12 24 Variabel Kasus Kontrol Total Jenis Kelamin Laki-laki 20 20 40 Perempuan 25 25 50 2 3 5 11 9 20 SMP 9 8 17 SMA 20 16 36 3 9 12 Oral 16 26 42 Insulin 29 19 48 Tingkat pendidikan Tidak sekolah SD Universitas Terapi 5.2 Karakteristik Gangguan Pendengaran Subjek Penelitian Berdasar Hasil Audiometri Nada Murni Pada penelitian ini didapatkan kelompok kasus sebanyak 45 orang dengan gangguan pendengaran derajat ringan dan sedang, baik bilateral atau unilateral. Tidak ditemukan kasus dengan gangguan pendengaran derajat berat atau sangat berat yang bilateral atau unilateral. Jumlah subjek penelitian dengan gangguan pendengaran derajat ringan bilateral sebanyak 28 orang (62, 22 %) dan 8 subjek dengan gangguan pendengaran unilateral (17, 78 %). Secara klinis 40 subjek tidak mengeluhkan adanya gangguan pendengaran dalam kehidupan sehari-hari. Tabel 5.2 Karakteristik Gangguan Pendengaran Subjek Penelitian Berdasar Hasil Audiometri Nada Murni Gangguan Pendengaran Kasus (n = 45) Telinga Kanan Ringan 37 (82, 22 %) Sedang 5 (11, 11 %) Sedang berat 0 (0%) Berat 0 (0%) Sangat berat 0 (0%) Normal 3 (6, 67%) Telinga Kiri Ringan 35 (77, 78 %) Sedang 5 (11, 11 %) Sedang berat 0 (0%) Berat 0 (0%) Sangat berat 0 (0%) Normal 5 (11, 11%) 5.3 Karakteristik Subjek Penelitian Ditinjau dari Faktor Risiko yang Diteliti Tabel 5.3 Karakteristik Subjek Penelitian Ditinjau dari Faktor Risiko yang Diteliti Faktor risiko Kasus Kontrol Total Durasi ≥ 10 tahun 16 (35, 55) 3 (6, 67) 19 (21, 11) < 10 tahun 29 (64, 44) 42 (93, 33) 71 (78, 89) 39 (86, 67) 32 (71, 11) 71 (78, 89) 6 (13, 33) 13 (28, 89) 19 (21, 11) Ya 25 (55, 56) 16 (35, 55) 41 (45, 56) Tidak 20 (44, 44) 29 (64, 44) 49 (54, 44) Kendali Glikemik (HbA1C) Buruk ( >7 % ) Baik (≤7 % ) Hipertensi Dari tabel 5.4 diperoleh mayoritas subjek penelitian dengan durasi < 10 tahun yaitu 71 orang (78, 89 %). Jumlah subjek penelitian dengan durasi ≥ 10 tahun sebanyak 19 orang (21, 11 %). Mayoritas subjek penelitian dengan kendali glikemik buruk atau HbA1C > 7 % yaitu sebanyak 71 orang (78, 89%). Sedangkan subjek penelitian dengan kendali glikemik baik atau HbA1C ≤ 7 % sebanyak 19 orang (21, 11%). Jumlah subjek penelitian dengan hipertensi 41 orang (45, 56 %) dan tanpa hipertensi sebanyak 49 orang (54, 44 %). 5.4 Rerata Durasi dan Kendali Glikemik antara Kelompok Kasus dan Kelompok Kontrol Tabel 5.4 Rerata Kendali Glikemik antara Kelompok Kasus dan Kelompok Kontrol Variabel Kasus Kontrol (Mean ± SD) (Mean ± SD) Durasi 6, 46 ±5, 40 3,26 ±3, 16 HbA1C 9, 83 ± 2, 78 8,13 ± 1,49 Tabel ini menunjukkan rata-rata durasi pada kelompok kasus lebih panjang dibanding durasi pada kelompok kontrol. Dan rata-rata nilai HbA1C pada kelompok kasus lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. 5.5 Hasil Analisis Bivariat Tabel 5.5.1 Hasil Analisis Bivariat Durasi Terhadap Gangguan Pendengaran Sensorineural pada Penderita DM tipe 2 Variabel Durasi Kasus Kontrol OR ≥ 10 tahun < 10 tahun ≥ 10 tahun 1 15 < 10 tahun 2 27 95%CI P 1,74 - 0,0016 7,5 67,59 Analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square Mac Nemar mendapatkan hasil durasi OR 7,5 dengan p 0,016 (CI 1,74-67,59). Hal ini menunjukkan risiko terjadinya gangguan pendengaran pada penderita dengan durasi menderita DM tipe 2 ≥ 10 tahun 7, 5 kali dibanding durasi < 10 tahun dan signifikan (p < 0,05). Tabel 5.5.2 Hasil Analisis Bivariat Kendali Glikemik Terhadap Gangguan Pendengaran Sensorineural pada Penderita DM tipe 2 Variabel HbA1C Kasus Kontrol >7% ≤7% >7% 28 11 ≤7% 4 2 OR 95%CI P 2,75 0,82 - 11,84 0,07 Analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square Mac Nemar mendapatkan hasil HbA1C OR 2,75 dengan p 0,07 (CI 0,82-11,84). Hal ini menunjukkan risiko terjadinya gangguan pendengaran pada penderita dengan kendali glikemik buruk atau HbA1C > 7 % 2,75 kali dibanding kendali glikemik baik atau HbA1C ≤ 7 % tetapi tidak signifikan (p > 0,05). Tabel 5.5.3 Hasil Analisis Bivariat Hipertensi Terhadap Gangguan Pendengaran Sensorineural pada Penderita DM tipe 2 Variabel Hipertensi Kasus Hipertensi Kontrol Hipertensi Hipertensi (+) (-) 9 16 7 13 OR 95%CI 2,26 0,89 – 6,57 P 0,06 (+) Hipertensi (-) Analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square Mac Nemar mendapatkan hasil hipertensi OR 2,26 dengan p 0,06 (CI 0,89-6,57). Hal ini menunjukkan risiko terjadinya gangguan pendengaran pada penderita dengan hipertensi 2,26 kali dibanding tanpa hipertensi dan tidak signifikan ( p > 0,05). Berhubung ketiga variabel di atas yaitu durasi, HbA1C dan hipertensi dengan p < 0, 25 maka ketiga variabel ini layak dimasukkan dalam model analisis multivariat. 5.6. Hasil Analisis Multivariat Tabel 5.6 Hasil Analisis Multivariat Durasi, Kendali Glikemik dan Hipertensi Terhadap Gangguan Pendengaran Sensorineural pada Penderita DM tipe II Faktor Risiko OR p CI 95% Durasi 7, 84 0,011 1, 62 - 38, 02 HbA1C 2, 79 0,132 0, 94 - 8, 99 Hipertensi 1, 62 0,063 0, 54 - 4, 86 Hasil analisis multivariat dengan regresi logistik mendapatkan hasil durasi OR 7,84 dengan p 0,011 (CI 1,62 - 38,02), HbA1C OR 2,79 dengan p 0,132 (CI 0,94-8,99) dan hipertensi OR 2,79 dengan p 0,063 (CI 0,54 - 4,86). Hal ini menunjukkan durasi ≥ 10 tahun sebagai satu-satunya faktor risiko gangguan pendengaran yang signifikan dengan p < 0, 05 yaitu p 0,011. Sedangkan kendali glikemik dan hipertensi tidak signifikan karena p > 0, 05. BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Subjek Penelitian Pada penelitian ini didapatkan sampel melebihi sampel minimal yang didapatkan berdasar rumus studi kasus kontrol berpasangan yaitu 90 penderita diabetes melitus tipe 2 atau 45 pasang sample yang matching jenis kelamin dan umur. Umur dikendalikan sehingga sampel yang diambil maksimal berumur 60 tahun saat diperiksa untuk menghindari bias presbikusis dan matching umur range 5 tahun antara kelompok kasus dengan kontrol. Matching umur dengan range 5 tahun juga dilakukan oleh Taziki dan Mansourulan (2011). Penelitian dengan matching umur dan jenis kelamin dilakukan dalam beberapa penelitian (Elamin dkk., 2004; Panchu, 2010; Rajendran dkk., 2011). Subjek dalam penelitian ini berusia antara 36 sampai dengan 60 tahun sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Jenis kelamin didapatkan 55, 56 % wanita dan 44, 44 % pria. Penelitian yang dilakukan oleh Limardjo dkk. (2011) di Makasar melaporkan hasil yang mirip yaitu 53,3 % pada wanita dan 46,7% pada pria. Demikian juga penelitian Sumathi dkk. (2012) di India mendapatkan hasil 56% pada wanita dan 44 % pada pria. Umur subjek penelitian terbanyak pada kelompok umur 51-55 tahun yaitu sebanyak 26 orang (28, 89%). Subjek 40% berpendidikan SMA. Penelitian Limardjo dkk. (2011) melaporkan sampel terbanyak pada usia 41-50 tahun (56, 3%) dan 31,9% sampel penelitian adalah lulusan perguruan tinggi. Dari total 90 subjek penelitian ini, 46, 67 % dengan terapi oral dan 53, 33 % dengan terapi insulin. Pada penelitian ini didapatkan kelompok kasus sebanyak 45 orang dengan gangguan pendengaran derajat ringan dan sedang baik bilateral atau unilateral. Tidak ditemukan kasus dengan gangguan pendengaran derajat berat atau sangat berat. Secara klinis 40 orang subjek dengan gangguan pendengaran sensorineural tidak mengeluhkan adanya gangguan pendengaran dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan teori bahwa gangguan pendengaran yang disebabkan oleh diabetes melitus adalah tuli sensorineural dengan ciri progresif lambat, bilateral, gambaran presbikusis pada kelompok usia yang lebih muda. Teori ini juga dibuktikan oleh hasil penelitian Bainbridge dkk. (2008) berdasarkan hasil US National Health and Nutrition Examination Survey pada tahun 1999 sampai 2004 yang mendapatkan hasil derajat gangguan pendengaran bervariasi mulai derajat ringan sampai sedang yang sulit dideteksi tanpa screening pendengaran. Penelitian ini mendapatkan subjek penelitian dengan gangguan pendengaran derajat ringan bilateral sebanyak 28 orang (62, 22 %) dan 8 subjek dengan gangguan pendengaran unilateral (17, 78 %). Penelitian oleh Israel dkk. (2012) melaporkan adanya gangguan pendengaran baik bilateral maupun unilateral akibat diabetes melitus tipe 2. Menurut Tadros dkk. (2005), pada dewasa muda dengan pendengaran normal telinga kanan lebih sensitif terhadap suara sederhana dan dalam memproses suara yang kompleks seperti pembicaraan. Dan kondisi ini menurun dengan berjalannya usia terbukti dengan menurunnya amplitudo pada OAE. Sedangkan menurut Frisina dkk. (2006), terdapat kecenderungan diabetes melitus lebih banyak mempengaruhi telinga kanan daripada telinga kiri. Satu interpretasi yang mungkin adalah sejalan dengan meningkatnya presbikusis, maka keuntungan telinga kanan menurun dan penurunan ini dipercepat oleh adanya diabetes. Penelitian ini mendapatkan mayoritas subjek penelitian dengan gangguan pendengaran pada semua frekuensi. Hasil ini sesuai dengan penelitian Jankar dkk. (2013) dan Bainbridge dkk. (2008) bahwa diabetes melitus mengakibatkan gangguan pendengaran frekuensi tinggi pada awal perjalanan penyakit tetapi sejalan dengan kronisnya penyakit frekuensi rendah juga ikut terganggu. 6.2 Hubungan antara Durasi Menderita DM Tipe 2 dengan Gangguan Pendengaran Sensorineural Hasil analisis multivariat dengan regresi logistik pada penelitian ini mendapatkan hasil durasi OR 7, 84 dengan p 0,011 (CI 1,62 - 38,02), Hal ini menunjukkan durasi ≥ 10 tahun sebagai faktor risiko gangguan pendengaran yang signifikan dengan p < 0, 05 yaitu p 0,011. Risiko terjadi komplikasi kronis meningkat sejalan dengan meningkatnya durasi hiperglikemia. Komplikasi umumnya terjadi pada dekade kedua hiperglikemia (Powers, 2008). Durasi menderita diabetes melitus dengan gangguan pendengaran banyak diteliti dengan berbagai variasi hasil. Penelitian oleh Limardjo dkk. (2011) mendapatkan hasil adanya hubungan antara durasi menderita diabetes melitus ≥ 10 tahun dengan gangguan pendengaran (p = 0, 00). Sedangkan penelitian ini membatasi umur subjek penelitian 60 tahun seperti penelitian Mozzafari dkk. (2010). Penelitian Panchu (2010) mendapatkan hasil yang berlawanan dengan hasil Limardjo dkk. (2011) dan Mozzafari dkk. (2010) yaitu durasi menderita diabetes melitus > 10 tahun tidak mempengaruhi ambang pendengaran pada penderitanya. Penelitian Mozzafari dkk. (2010) juga melaporkan durasi menderita diabetes melitus yang mengakibatkan gangguan pendengaran adalah 11.7 ± 7, 6 tahun, sedangkan penelitian ini mendapatkan hasil rata-rata durasi yang lebih pendek dibanding penelitian Mozzafari dkk. (2010) yaitu 6, 46 ±5, 40 tahun tetapi rata-rata durasi pada kelompok kasus lebih panjang dibanding durasi pada kelompok kontrol. 6.3 Hubungan antara Kendali Glikemik dengan Gangguan Pendengaran Sensorineural Pencapaian nilai HbA1C yang mendekati normal telah terbukti menurunkan komplikasi jangka panjang dan nilai HbA1C direkomendasikan untuk menilai terapi adekuat (Nathan dkk., 2007). HbA1C dianjurkan diperiksa setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setahun (ADA, 2012). Ketentuan yang sama terdapat pada Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia yang diterbitkan oleh Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Diabetes Centre RSUP Sanglah melaksanakan pemeriksaan HbA1C sesuai ketentuan diatas.. Terdapat berbagai penelitian dengan hasil yang bervariasi untuk menilai adanya hubungan antara kendali glikemik dengan gangguan pendengaran. Penelitian ini menghasilkan rata-rata nilai HbA1C pada kelompok kasus lebih tinggi yaitu 9, 83 ± 2, 78 dibanding pada kelompok kontrol 8,13 ± 1,49. Adanya hubungan yang signifikan antara kendali glikemik dengan gangguan pendengaran dilaporkan pada 4 hasil penelitian (Ezeddin dkk., 2003; Panchu, 2009; Pemmaiah dan Srinivas, 2011; Israel dkk., 2012). Sedangkan hasil yang tidak signifikan dilaporkan pada 2 penelitian lainnya (Mozzafari dkk., 2010; Limardjo dkk., 2011). Hasil analisis regresi logistik pada penelitian ini mendapatkan kendali glikemik dengan OR sebesar 2,79 dan p 0,132 (CI 0,94-8,99) dan ini berarti tidak signifikan. Limardjo dkk. (2011) menyatakan bahwa HbA1C hanya memberikan gambaran kendali glikemik selama periode 2-3 bulan terakhir dan merupakan ukuran yang sangat singkat untuk penyakit diabetes melitus yang bersifat kronis. Sedangkan Mozzafari dkk. (2010) menyatakan bahwa metabolisme glukosa bukan merupakan penyebab utama gangguan pendengaran sensorineural dan mungkin hanya berlaku sebagai salah satu faktor pendukung. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya komplikasi pada diabetes melitus. Terkadang, bahkan dengan adanya durasi menderita diabetes yang lama, beberapa individu tidak mengalami komplikasi nefropati atau retinopati. Banyak diantara penderita ini juga dengan kendali glikemik yang sama dengan penderita yang mengalami komplikasi mikrovaskuler sehingga disimpulkan adanya faktor genetika yang mempengaruhi komplikasi tertentu (Powers, 2008). Nilai HbA1C juga dipengaruhi oleh genetika, penyakit hematologi dan beberapa penyakit lainnya (Galagher dkk., 2009). International Expert Committee dalam kelompok kerja American Diabetes Association (2009) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang terpenting mempengaruhi nilai HbA1C adalah hemoglobinopati, anemia tertentu dan penyakit dengan peningkatan siklus sel darah merah. Kekurangan pada penelitian ini adalah nilai HbA1C dicatat 1 kali yaitu nilai HbA1C dalam 3 bulan terakhir. 6.4 Hubungan antara Hipertensi dengan Gangguan Pendengaran Sensorineural Jumlah subjek penelitian dengan hipertensi 41 orang (45,56 %) dan tanpa hipertensi sebanyak 49 orang (54,44 %). Limardjo dkk. (2011) mendapatkan perbandingan hipertensi sebanyak 64 orang (47,4 %) dan tanpa hipertensi sebanyak 71 orang (52,6%). Hasil analisis multivariat dengan regresi logistik mendapatkan hasil hipertensi OR 2, 79 dengan p 0,063 (CI 0,54 - 4,86). Hal ini menunjukkan hipertensi tidak signifikan karena p > 0, 05. Hasil penelitian ini sesuai dengan Bainbridge dkk. (2010) berdasarkan hasil US National Health and Nutrition Examination Survey pada tahun 1999 sampai 2004 dan Israel dkk. (2012) yang melaporkan hipertensi tidak berpengaruh terhadap gangguan pendengaran. Duck dkk. (1997) menyatakan bahwa hipertensi berinteraksi dengan diabetes melitus dalam patogenesis gangguan pendengaran sensorineural frekuensi tinggi akibat hilangnya sel rambut luar pada koklea. Sedangkan Israel dkk. (2012) melaporkan sel rambut luar pada beberapa pasien dengan gangguan pendengaran terbukti berfungsi baik berdasarkan pengukuran dengan Oto Accoustic Emission (OAE). Kekurangan dalam penelitian ini adalah hipertensi tidak dibedakan terkontrol atau tidak. American Diabetes Association. January 2012. Standards of Medical Care in Diabetes. Diabetes Care. Supplement 1; Vol 35: p. S11 - 13. Bainbridge, K.E., Hoffman, H.J., Cowie, C.C. 2008. Diabetes and Hearing Impairment in the United States: Audiometric Evidence from the National Health and Nutrition Examination Survey; 1999-2004. Annals of Internal Medicine; 149 Number 1. Bainbridge, K.E., Cheng, Y.J., Cowie, C.C. 2010. Potential Mediators of DiabetesRelated Hearing Impairment in the U.S. Population; National Health and Nutrition Examination Survey; 1999-2004. Diabetes Care; Vol 33: p. 811-6. Bener, A., Salahaidin, A.H.A., Darwish, S.M., Hamaq, A.Q.A.A., Gansan. 2008. Association Between Hearing Loss and Type 2 Diabetes Mellitus in Elderly People in a Newly Developed Society. Biomedical Research 2008; 19 (3): 18793. Bess, F.H., Humes, L.E. 2008. Audiology as a Profession. In: Audiology, the Fundamentals, 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 1: p.5-7. Booth, J.B. 1987. Sudden and Fluctuant Sensorineural Hearing Loss. In: ScottBrown’s Otolaryngology. 5th ed.Butterworth International; 17: p.406. Bull, P.D. 1991. Audiology. In: Lecture Notes on Diseases of the Ear, Nose and Throat. 7th ed. Oxford: Blackwell Scientific Publication; 4: p. 14. Duck, S.W., Prazma, J., Bennet, P.S., Pillsbury, H.C. 1997. Interaction Between Hypertension and Diabetes Mellitus in the Pathogenesis of Sensorineural Hearing Loss, The Laryngoscope 107, p. 1596-605. Elamin, A., Fadiallah.M., Tuverno, T. 2004. Hearing Loss in Children with tipe 1 Diabetes. Department of Child Health, Khartoum University Hospital, Sudan. Ezeddin, S.E.T., Mackenzie, I., Surenthiran, S.S., Aboueasha, Boulton, A.J.M. 2003. The Relation of Hearing Loss to Age, Duration, Degree of Control and Complications in Diabetic Patients, Audiological Medicine; 1; 242-6A. Frisina, S.T., Mapes, F., Kim, S.H., Frisina, D.R. 2006. Characterization of Hearing Loss in Aged Type II Diabetics. NIH Public Access. Hear Res; 211 (1-2): p.103-13. Fukushima, H., Cureoglu, S., Schachern, P.A., Paparella, M.M., Harada,T., Oktay, M.F. 2006. Effects of type 2 Diabetes Mellitus on Cochlear Structure in Human. Arch Otolaryngol Head Neck Surg; 132: p. 934-8. Gallagher, E.J., Roith, D.L., Bloomgarden, Z. 2009. Review of Hemoglobin A1C in the Management of Diabetes. Journal of Diabetes; 1: 9-17. Ganong W.F. 2009. Hearing and Equilibrium. In: Ganong WF Review of Medical Physiology. 23nd. Ed. McGraw Hill Co. p.261-280. Goldstein, D.E.,Little R.R., Lorenz, R.A., Malone.J.I., Nathan.D., Peterson, C.M., Sacks, D.B. 2004. Tests of Glycemia in Diabetes. Diabetes Care; 27: 7. Hall, J.W., Lewis, M.S. 2002. Diagnostic, Audiology, Hearing Aids and Habilitation Options. In: Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery. London: BC Decker Inc; 1: p. 1-3. Hirose, K. 2008. Hearing Loss and Diabetes: You Might Not Know What You Are Missing. Annals of Internal Medicine; 149:54-55. International Expert Committee Report on the Role of the A1C Assay in the Diagnosis of Diabetes. 2009. Diabetes Care; 32; 1327-1334. Irwin, J. 1987. Causes of Hearing Loss. In: Scott Brown’s Adult Audiology, 5th ed. Butterworth International; 4, p.134-35. Israel, L. G., Daniel, C.R., Valdes, S., Enriquez, L., Lobato, M., Osornio, M., et al. 2012. Sensorineural Hearing Loss – A Common Finding in Early-Onset Type 2 Diabetes Mellitus. Endocrine Practice; Vol 18 No 4 July/August. Jankar D.S., Bodhe, C.D., Bhutada, T.B. 2013. A Study of Hearing Loss in Type II Diabetics. International Journal of Medical Research & Health Sciences; 2 (4): 893-8. Kakarlapudi, V., Sawyer, R., Staecker, H. 2003. The Effect of Sensorineural Hearing Loss. Otology & Neurootology Inc; 24 (3): p. 382-6. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Lee, K.J. 2003, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8th ed. International Edition. McGraw Hill; p. 43-4. Limardjo, A., Kadir, D.R., Perkasa, F. 2011. Analisis Gangguan pendengaran pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Berdasarkan Pemeriksaan Audiometri Nada Murni dan Audiometri Tutur. Departemen THT, FK Universitas Hasanudin, Makasar. Lisowska, G., Namyslowski, G., Morawski, K., Strojek, K. 2001. Early Identification of Hearing Impairment in Patients with Type 1 Diabetes Mellitus. Otology & Neurootology; 22: 316-20. Madiyono, B. dkk. 2010. Perkiraan Besar Sampel. In: Sastroasmoro, S., Ismael. S., Editor. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. III. Jakarta. Sagung Seto; 16: p. 32. Marchiori, L.L.M., Filho E.A.R., Matsui, T. 2006. Hypertension as a Factor Associated with Hearing Loss. Rev Bras Otorrinolaringol; 72 (4): 533-40. Mills, J.H., Khariwala, S.S., Weber, P.C. 2006. Anatomy and Physiology of Hearing. In: Bailey BJ & Johnson JT Head & Neck Surgery – Otolaryngology, 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins; 129: p. 1883-1903. Moller, A.R. 2006. Hearing. In: Anatomy, Physiology and Disorders of the Auditory System. 2nd ed. Elsevier; 1: p. 5-16. Mozzafari, M., Tajik., Ariaei, B., Ehyai, A., Behnam, H. 2010. Diabetes Mellitus and Sensorineural Hearing Loss among Non Elderly People. Eastern Mediterranean Health Journal; 16: p. 9. Nathan, D.M., Turgeon, H., Regan, S. 2007. Relationship Between Glycated Haemoglobin Levels and Mean Glucose Levels Over time. Diabetologia; 50: 2239 – 44. Oghalai, J.S., Brownell, W.E. 2004. Anatomy & Physiology of the Ear. In: Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head & Neck Surgery. McGraw Hill; 11: p.611 – 2. Panchu, P. 2009. Auditory Acuity in Type 2 Diabetes Mellitus, Int J Diab Dev Ctries. Vol 28, Issue 4. Pemmaiah, K.D., Srinivas, D.R. 2011. Hearing Loss in Diabetes Mellitus. International Journal of Collaborative Reasearch on Internal Medicine & Public Health; 3 (10): p. 725 - 31. Powers, A.C. 2008. Diabetes Mellitus. In: Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. Mc Graw Hill; 338: p. 2275-6. Probst, R., Grevers, G., Iro, H. 2006. Basic Anatomy and Physiology of the Ear. In: Basic Otolaryngology, A Step By Step Learning Guide. Thieme: 7.1: p. 154-91. Rajendran, S., Anandhalaksmi, M. C., Vismanatha, R. 2011. Evaluation of the Incidence of Sensorineural Hearing Loss in Patients with Type 2 Diabetes Mellitus. Int J Biol Med Res; 2(4):982-7. Sacks, D.B., Bruns, D.E., Goldstein, D.E., Mclaren, N.K., McDonald, J.M., Parrott, M. 2011. Guideline and Recommendation for Laboratory Analysis in the Diagnosis and Management of Diabetes Melitus. Clin Chem; 48:436-72. Sakuta, H., Suzuki, T., Yasuda, H., Ito, T. 2006. Type 2 Diabetes and Hearing Loss in Personnel of The Self Defence Forces. Elsevier. Diabetes Research and Clinical Practice; 75: p. 229 - 34. Slenkovich, N.G. 1996. Sensorineural Hearing Loss in ENT Secrets, Jafek BW, Stark AK, Hanley & Belfus Inc; 6; p.24. Stratton, I.M., Adler, A.L., Neil, H.A. 2000. Association of Glycemia with Macrovascular and Microvascular Complication of Type 2 Diabetes (UKPDS 35). BMJ; 321: 405-12. Sumathi, K., Prakash, M., Lakshmi, K., Menezes, G.A. 2012. Significance of HbA1C in Deafness in type 2 Diabetes Mellitus. J Pharm Biomed Sci; 24 (4); 59-61. Sweetow, R.W., Bold, J.M. 2004. Audiologic Testing. In: Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head & Neck Surgery. McGraw Hill; 44: p.63141. Tadros, S.F., Frisina, S.T., Mapes., Kim, S.H., Frisina, R. 2005. Loss of Peripheral Right Ear Advantage in Age Related Hearing Loss. Audiol Neurootol; 10:4452. Takeshima, T., Nakashima, K. 2005. MIDD and MELAS: A Clinical Spectrum. Internal Medicine; 44: 4. Taylor, I.G., Irwin, J.1978. Some Audiological Aspects of Diabetes Mellitus. J laryngol Otol; 92: p 99 - 113. Taziki, M.H., Mansorulan, A.B. 2011. The Comparison of Hearing Loss Among Diabetic and Non Diabetic Patients. Journal of Clinical and Diagnostic Research; 5 (1): 88-90. Waspadji, S. 2006. Komplikasi Kronis Diabetes: Mekanisme Terjadinya, Diagnosis dan Strategi Pengelolaan. In: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I. Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. III (IV). Jakarta. FKUI. 1906-10. World Health Organization. 1991. Report of the Informal Working Group On Prevention of Deafness and Hearing Impairment Programme Planning. Geneva. BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Simpulan yang didapat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Durasi menderita DM tipe 2 ≥ 10 tahun meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural. 2. Kendali glikemik buruk dengan kadar HbA1C > 7 % tidak meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural. 3. Hipertensi pada penderita diabetes melitus tipe 2 tidak meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural. 7.2 Saran Penelitian ini menggunakan rancangan kasus kontrol yang berpasangan dan matching jenis kelamin dan umur. Kekurangan pada penelitian ini adalah nilai HbA1C dicatat 1 kali yaitu nilai HbA1C dalam kurun waktu 3 bulan terakhir dan pemeriksaan pendengaran dengan audiometri nada murni tidak selalu pada waktu yang sama dengan saat pemeriksaan HbA1C. Pengukuran nilai rata-rata HbA1C dalam setahun atau jangka panjang bisa memberikan informasi nilai HbA1C yang lebih akurat. Kekurangan lainnya adalah hipertensi tidak dibedakan terkontrol atau tidak. Mayoritas hipertensi dalam penelitian ini adalah hipertensi terkontrol. Pentingnya penelitian lanjutan berupa studi longitudinal untuk mengetahui lebih lanjut faktor risiko untuk gangguan pendengaran pada penderita diabetes melitus tipe 2. Penelitian ini memberikan gambaran pentingnya screening pendengaran berkala bagi penderita diabetes melitus tipe 2 karena diabetes melitus adalah penyakit kronis. Gangguan pendengaran akibat diabetes melitus bersifat irreversible dan berprognosis buruk. Tujuan utama screening pendengaran adalah pencegahan gangguan pendengaran yang lebih berat dan perbaikan fungsi pendengaran dengan rehabilitasi. LAMPIRAN 1 LEMBAR PENJELASAN KEPADA SUBJEK PENELITIAN Apakah tujuan penelitian ini? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang meningkatkan risiko gangguan pendengaran pada penderita diabetes melitus tipe 2. Apa saja yang dilakukan dalam penelitian ini? Saya akan menjelaskan maksud penelitian ini. Bila Bapak/Ibu/Saudara/i bersedia ikut berpartisipasi dalam penelitian ini, saya akan mencatat identitas Bapak/Ibu/Saudara/i. Selanjutnya akan memberikan lembar persetujuan yang perlu ditandatangani. Setelah Bapak/Ibu/Saudara/i menandatangani lembar persetujuan maka saya akan menanyakan beberapa pertanyaan terkait faktor perancu dalam penelitian ini dilanjutkan dengan pemeriksaan Telinga Hidung Tenggorok rutin. Bila Bapak/Ibu/Saudara/I memenuhi syarat sebagai sampel akan dilanjutkan pemeriksaan pendengaran berupa audiometri nada murni di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah. Setelah pemeriksaan audiometri, saya akan mengajukan pertanyaan dan mencatat faktor risiko Bapak/Ibu/saudara/i, mencatat hasil pemeriksaan tekanan darah, diagnosis penyakit dan nilai HbA1C 3 bulan terakhir dari buku rekam medis Bapak/Ibu/Saudara/i. Setelah selesai menjalani penyaringan dan pemeriksaan ini, Bapak/Ibu/Saudara/i akan mendapatkan penjelasan hasil pemeriksaan. Apakah manfaat dan risiko berpartisipasi dalam penelitian ini? Manfaat ikut berpartisipasi dalam penelitian ini adalah Bapak / Ibu / Saudara/ i dapat mengetahui apakah terdapat gangguan pendengaran akibat kencing manis yang diderita selama ini. Risiko berpartisipasi dalam penelitian ini tidak ada. Bagaimana jika saya tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini ? Partisipasi Bapak / Ibu / Saudara / i dalam penelitian ini bersifat sukarela dan tidak ada unsur paksaan. Apabila tidak bersedia ikut serta atau tidak berkehendak menyelesaikan pemeriksaan dalam penelitian ini karena hal apapun maka Bapak / Ibu / Saudara / i tetap akan mendapat pelayanan kesehatan standar rutin sesuai dengan standar prosedur pelayanan. Bagaimana kerahasiaan hasil penelitian ini ? Identitas Bapak / Ibu / Saudara / i dalam penelitian ini akan disamarkan. Hanya dokter peneliti, anggota peneliti dan anggota komisi etik yang dapat melihat data Bapak / Ibu / Saudara / i. Kerahasiaan data akan dijamin sepenuhnya. Apa yang dapat Bapak/Ibu/Saudara/I lakukan bila ada yang kurang dimengerti dan ingin mendapat penjelasan lebih lanjut mengenai penelitian ini? Untuk penjelasan dan informasi lebih lanjut dapat menghubungi dokter peneliti yaitu dr Suriya Suwanto, M.Kes melalui nomor telepon 081803688168 LAMPIRAN 2 SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN (INFORMED CONSENT) Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Umur / Jenis kelamin : Alamat : menyatakan bahwa saya telah mengerti sepenuhnya atas penjelasan yang diberikan oleh dr. Suriya Suwanto, dari bagian THT / FK Udayana, RSUP Sanglah, Denpasar mengenai: prosedur pemeriksaan, prosedur tindakan, resiko serta manfaat tindakan yang akan dilakukan kepada diri saya. Dengan demikian saya bersedia mengikuti / menjalani seluruh prosedur pemeriksaan yang dilakukan untuk penelitian mengenai: ”Faktor-faktor yang meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural pada penderita diabetes melitus tipe 2” Surat pernyataan persetujuan (informed consent) ini saya buat dengan sukarela dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun, agar dapat dipergunakan bila mana diperlukan. Denpasar, ………… 20… Peneliti, Yang membuat pernyataan, dr. Suriya Suwanto, M.Kes …………………………… LAMPIRAN 3 LEMBAR PENELITIAN Nomor Penelitian : A. Identitas Penderita Nama : Umur : Jenis kelamin : Pendidikan terakhir : Pekerjaan : Alamat : Telepon : Tanggal berobat : Nomor Rekam Medis : B. Kriteria Eksklusi 1. Apakah ada riwayat cedera kepala? Ya/Tidak 2. Apakah saat ini sedang batuk pilek demam? Ya/Tidak 3. Apakah ada riwayat keluar cairan telinga sebelumnya? Ya / Tidak 4. Apakah ada riwayat gangguan pendengaran usia muda dalam keluarga? Ya / Tidak 5. Apakah ada riwayat paparan bising? Ya / Tidak 6. Apakah ada riwayat terpapar dentuman bom atau letusan senjata api? Ya/Tidak 7. Apakah ada riwayat pemakaian obat tetes telinga jangka panjang, obat kemoterapi, obat TB Suntik, obat malaria? Ya / Tidak 8. Apakah ada riwayat anemia hemolitik atau paska perdarahan akut? Ya/Tidak C. Pemeriksaan Fisik THT 1. Telinga Kanan Kiri Daun telinga Normal / abnormal Normal / abnormal Liang telinga Normal / hiperemi Normal / hiperemi Membran timpani Intak/perforasi/retraksi Intak/perforasi/retraksi Normal/suram/hiperemi Normal/suram/hiperemi 2. Hidung Kanan Kiri Kavum nasi Lapang / sempit Lapang / sempit Konka Dekongesti / kongesti Dekongesti / kongesti Mukosa Merah muda / hiperemi / Merah muda / hiperemi / livide livide Sekret Tidak ada/serus/mukoid/ Tidak ada/serus/mukoid/ purulen purulen Deviasi septum Ada / tidak ada Post nasal drip Ada / tidak ada 3. Tenggorok Kanan Kiri Mukosa faring Merah muda / hiperemi Merah muda / hiperemi Tonsil T1/T2/T3/T4 Merah muda / hiperemi Rata / tidak rata Kripte melebar - / + Detritus - / + T1/T2/T3/T4 Merah muda / hiperemi Rata / tidak rata Kripte melebar - / + Detritus - / + Dinding belakang Faring Granula hipertrofi - / + Granula hipertrofi - / + D. Hasil pemeriksaan Audiometri: AD _______________________________________ _______________________________________ AS _______________________________________ _______________________________________ E. Anamnesis faktor risiko Menderita Diabetes Melitus tipe 2 sejak ___________________________ Menderita hipertensi:Ya / tidak, sejak _____________________________ Pemakaian obat diabetes Teratur / Tidak Teratur Jenis obat anti diabetik yang dipakai: Tablet/Insulin Nama obat yang dipakai ____________________ F. Status present: Tekanan darah : ____________ mm Hg HbA1C: Diagnosis: Kesimpulan: LAMPIRAN 5 LAMPIRAN 6 LAMPIRAN 7 DOKUMENTASI PENELITIAN 1 2 Gambar 1 dan 2: Alat audiometer di Poliklinik THT-KL RSUP Sangla 3 4 Gambar 3 dan 4: Ruang kedap suara untuk pemeriksaan audiometri 5 5 6 Gambar 5 dan 6: Suasana Diabetes Centre RSUP Sanglah saat mencari sampel penelitian LAMPIRAN 8 79 KARAKTERISTIK DATA SUBJEK PENELITIAN SEX UMUR DIK KASUS /KONTROL HIPERTENSI DURASI HBA1C OBAT BMI H. Udara KANAN KIRI H. Tulang KANAN KIRI NO NAMA 1 NML P 50 SMA Kasus Ya 6 10.38 Oral 22.08 36.25 37.50 33.75 36.25 2 NNS P 43 SMA Kasus Tidak 0.17 11.68 Insulin 22.08 35.00 21.25 33.75 20.00 3 DAR L 54 SMA Kasus Tidak 9 8.9 Insulin 23.65 42.50 30.00 40.00 27.50 4 ECD P 44 SMP Kasus Tidak 0.08 13.2 Insulin 18.38 27.50 32.50 26.25 31.25 5 FEN L 42 SMA Kasus Ya 0.67 7 Oral 24.09 36.25 21.25 33.75 20.00 6 IKR L 53 S1 Kasus Tidak 8 9.38 Oral 24.22 30.00 32.50 30.00 32.50 7 NKT L 53 SD Kasus Ya 4 9.9 Insulin 22.49 31.25 41.25 28.75 40.00 8 PRK P 58 SD Kasus Tidak 11 12.7 Insulin 20.83 23.75 38.75 22.50 37.50 9 NWR P 55 SMP Kasus Ya 6 7.46 Insulin 25.54 30.00 45.00 27.50 43.75 10 KNP P 55 D1 Kasus Ya 0.25 7.36 Insulin 14.86 26.25 28.75 25.00 27.50 11 MGM P 38 SMA Kasus Ya 2 7.5 Oral 25.30 33.75 42.50 31.25 40.00 12 BMI L 53 SD Kasus Tidak 17 14.5 Insulin 22.26 30.00 37.50 27.50 38.75 13 WRT L 46 SMA Kasus Ya 16 9.8 Insulin 18.75 33.75 31.25 31.25 30.00 14 NWS P 59 (-) Kasus Ya 4 8.99 Insulin 23.33 33.75 36.25 32.50 36.25 15 JRM P 57 SD Kasus Ya 5 9.3 Oral 18.07 36.25 37.50 33.75 36.25 16 IKS L 45 SD Kasus Ya 0.03 11.47 Oral 34.60 22.50 33.75 22.50 33.75 17 DEM P 49 SMP Kasus Ya 1 6.52 Insulin 22.81 31.25 27.50 30.00 26.25 18 NKS P 45 SMA Kasus Tidak 12 13.7 Insulin 17.58 30.00 30.00 28.75 30.00 19 IWK L 59 SMA Kasus Ya 3 11.46 Oral 23.29 27.50 27.50 26.25 25.00 20 STH L 56 SD Kasus Tidak 11 16.85 Insulin 23.44 30.00 30.00 30.00 28.75 21 DNP L 49 SMA Kasus Ya 4 10.8 Insulin 19.17 31.25 36.25 26.25 35.00 22 IMS L 46 SMA Kasus Tidak 10 14.45 Oral 24.41 23.75 30.00 22.50 27.50 23 DNR L 54 SD Kasus Ya 1 10.34 Oral 20.18 28.75 27.50 26.25 26.25 24 IWS L 51 SMA Kasus Tidak 10 16.5 Insulin 23.53 31.25 26.25 31.25 26.25 25 26 TTL IWR L L 58 52 SMP SMA Kasus Kasus Ya Ya 23 2 9.4 9.66 Insulin Insulin 22.05 27.77 37.50 28.75 32.50 31.25 33.75 27.50 31.25 28.75 27 MRY P 53 SD Kasus Tidak 12 7.21 Insulin 26.56 30.00 28.75 27.50 27.50 SEX UMUR DIK KASUS /KONTROL HIPERTENSI DURASI HBA1C OBAT BMI H. Udara KANAN KIRI H. Tulang KANAN KIRI NO NAMA 28 IKS L 47 SMA Kasus Tidak 6 4.9 Insulin 25.32 45.00 33.75 40.00 31.25 29 GDS L 55 SD Kasus Ya 0.85 5.55 Oral 23.53 31.25 21.25 28.75 20.00 30 NS L 45 SMP Kasus Ya 2 8.4 Insulin 27.70 32.50 27.50 28.75 25.00 31 JMH P 56 (-) Kasus Tidak 0.17 14.71 Insulin 17.14 35.00 27.50 32.50 26.25 32 NWA P 58 SMP Kasus Tidak 0.67 8.23 Insulin 20.00 32.50 31.25 30.00 31.25 33 IMB P 40 SMA Kasus Tidak 2 7.4 Oral 23.60 36.25 32.50 33.75 31.25 34 NMP L 36 SMA Kasus Ya 1 7.94 Oral 21.68 42.50 27.50 41.25 26.25 35 SKI P 57 SD Kasus Tidak 6 6.44 Oral 26.60 31.25 31.25 30.00 30.00 36 NLB P 58 SD Kasus Ya 10 6.51 Oral 23.83 40.00 20.00 36.25 20.00 37 NYK P 44 SMP Kasus Tidak 4 8.35 Oral 21.87 30.00 45.00 28.75 43.75 38 WS L 56 SMA Kasus Tidak 4 8.9 Oral 24.91 28.75 28.75 27.50 28.75 39 NMR P 55 SMA Kasus Ya 10 8.9 Insulin 19.72 32.50 45.00 31.25 43.75 40 GTU P 56 SMA Kasus Ya 12 9.2 Insulin 25.15 41.25 31.25 38.75 31.25 41 42 YUN GUD P P 49 50 SMA SMA Kasus Kasus Ya Tidak 8 11 7.9 10.6 Insulin Insulin 25.37 21.67 45.00 37.50 35.00 42.50 35.00 33.75 27.50 26.25 43 NMY P 57 SMP Kasus Tidak 12 11.2 Insulin 18.58 32.50 31.25 31.25 30.00 44 NMS P 50 SMP Kasus Ya 12 9.9 Insulin 23.22 31.25 28.75 30.00 28.75 45 WTS P 50 S1 Kasus Ya 11 10.5 Insulin 22.21 37.50 35.00 36.25 35.00 46 NNS P 47 SMP Kontrol Tidak 2 10.18 Oral 22.65 18.75 23.75 16.25 21.25 47 RT P 41 S2 Kontrol Tidak 2 8.5 Insulin 22.52 21.25 23.75 20.00 21.25 48 IMK L 54 SMA Kontrol Tidak 5 5.8 Oral 24.59 23.75 22.50 22.50 23.75 49 NWD P 44 SMEA Kontrol Tidak 0.17 6.76 Insulin 28.31 23.75 23.75 20.00 22.50 50 IWS L 43 SMA Kontrol Ya 1 6.38 Oral 22.49 18.75 22.50 17.50 21.25 51 IWS L 55 SMA Kontrol Ya 2 5.9 Insulin 29.32 17.50 20.00 16.25 18.75 52 FM L 51 SMP Kontrol Tidak 0.01 8.3 Oral 25.76 23.75 23.75 21.25 23.75 53 NNS P 57 SMA Kontrol Tidak 0.06 10.42 Oral 23.44 16.25 17.50 15.00 11.25 54 GAS P 53 D3 Kontrol Tidak 13 8.36 Insulin 24.58 23.75 15.00 22.50 10.00 55 NWS P 54 S1 Kontrol Ya 5 7.19 Insulin 26.25 17.50 17.50 17.50 15.00 56 NLW P 36 SD Kontrol Tidak 0.25 9.67 Oral 26.95 18.75 17.50 16.25 15.00 57 IWS L 51 S2 Kontrol Tidak 1 7.51 Insulin 21.67 23.75 23.75 22.50 22.50 58 SL NO 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 NAMA TKL NKT IWW NNK NMM IWT AN IWS STH TY VNG IKD IMS NRJ BGS NKR IGS MN NB TCK KMA MY TSR L 49 SEX UMUR P 58 P 59 L 45 P 46 P 44 L 58 L 58 L 49 L 46 L 53 L 50 L 58 L 52 P 51 L 50 L 53 L 42 P 57 P 56 P 40 L 40 P 56 P 57 SMA DIK SD SD SMA SD SMA (-) S1 S2 S1 SMA SMA SMP SD D4 SMP (-) SMP SMA SD SMA SMA SD SD Kontrol Ya 2 7.1 Oral KASUS /KONTROL HIPERTENSI DURASI HBA1C OBAT Kontrol Tidak 0.08 7 Oral Kontrol Ya 0.25 6.57 Oral Kontrol Ya 3 9.12 Oral Kontrol Tidak 4 9.1 Insulin Kontrol Tidak 0.58 10.95 Oral Kontrol Ya 3 8.61 Insulin Kontrol Tidak 1 11.5 Oral Kontrol Tidak 4 7.7 Insulin Kontrol Ya 0.02 8.9 Oral Kontrol Ya 6 8.6 Insulin Kontrol Ya 6 7.63 Oral Kontrol Tidak 0.03 10.32 Insulin Kontrol Tidak 0.04 6.48 Insulin Kontrol Ya 11 9.7 Oral Kontrol Tidak 4 7.84 Oral Kontrol Ya 7 6.26 Oral Kontrol Tidak 0.08 8.21 Oral Kontrol Tidak 4 9.2 Oral Kontrol Ya 10 8.9 Insulin Kontrol Tidak 0.17 8.2 Oral Kontrol Tidak 4 11.73 Insulin Kontrol Tidak 5 7.2 Oral Kontrol Ya 0.04 8.9 Insulin 24.91 BMI 24.24 16.79 22.18 19.56 23.44 22.73 22.66 28.38 21.69 23.05 19.61 29.41 23.44 18.58 19.72 23.83 21.67 23.89 23.22 21.48 24.90 26.67 30.15 23.75 21.25 H. Udara KANAN KIRI 20.00 17.50 23.75 21.25 22.50 18.75 23.75 20.00 20.00 12.50 20.00 18.75 18.75 21.25 23.75 23.75 23.75 23.75 18.75 17.50 23.75 23.75 23.75 22.50 20.00 23.75 22.50 18.75 21.25 18.75 23.75 22.50 23.75 17.50 23.75 17.50 18.75 17.50 23.75 23.75 23.75 21.25 21.25 23.75 23.75 23.75 22.50 17.50 H. Tulang KANAN KIRI 17.50 16.25 21.25 20.00 20.00 13.75 23.75 20.00 20.00 11.25 18.75 17.50 16.25 17.50 21.25 21.25 18.75 21.25 16.25 11.25 20.00 18.75 17.50 15.00 12.50 18.75 15.00 15.00 17.50 16.25 21.25 20.00 21.25 12.50 21.25 11.25 15.00 12.50 20.00 22.50 18.75 16.25 20.00 20.00 21.25 21.25 82 MDP 83 IMS 84 IMN 85 GAR 86 FR 87 YTH 88 RAI 89 ARK NO NAMA 90 YNS P 45 (-) L 56 SD P 55 SMP P 56 SMP P 50 SMP P 50 SMA P 56 SMA P 50 S1 SEX UMUR DIK P 49 SMA Kontrol Ya 5 6.44 Oral Kontrol Tidak 7 8.57 Oral Kontrol Tidak 6 7 Oral Kontrol Tidak 5 6.56 Oral Kontrol Tidak 4 7.5 Oral Kontrol Ya 2 6.9 Insulin Kontrol Tidak 1 6.85 Insulin Kontrol Tidak 7 8.2 Insulin KASUS HIPERTENSI DURASI HBA1C OBAT /KONTROL Kontrol Tidak 3 7 Insulin 21.48 25.37 25.12 26.34 23.34 18.89 25.54 26.45 BMI 25.12 23.75 17.50 18.75 17.50 22.50 21.25 20.00 17.50 21.25 20.00 23.75 21.25 22.50 20.00 23.75 16.25 H. Udara KANAN KIRI 23.75 17.50 18.75 12.50 15.00 11.25 20.00 17.50 17.50 17.50 20.00 15.00 18.75 20.00 20.00 15.00 20.00 13.75 H. Tulang KANAN KIRI 20.00 16.25 Lampiran 9 83 AMBANG PENDENGARAN SUBJEK PENELITIAN NAMA 500 H. UDARA KANAN 1000 2000 4000 8000 H. TULANG KANAN 500 1000 2000 4000 500 H. UDARA KIRI 1000 2000 4000 8000 500 H. TULANG KIRI 1000 2000 4000 NML 35 35 40 35 45 30 30 40 35 35 40 35 40 40 30 40 35 40 NNS 25 25 45 45 45 25 25 45 40 20 20 20 25 25 20 20 20 20 DAR 35 40 45 50 50 35 40 40 45 30 30 30 30 35 25 30 25 30 ECD 25 25 30 30 35 25 25 30 25 40 30 30 30 35 35 30 30 30 FEN 25 35 40 45 45 25 30 40 40 20 20 20 25 25 20 20 20 20 IKR 25 30 30 35 35 25 30 30 35 30 30 30 40 45 30 30 40 30 NKT 25 25 35 40 40 25 25 30 35 40 40 40 45 45 35 40 40 45 PRK 20 20 25 30 40 20 20 20 30 30 35 40 50 50 30 35 40 45 NWR 25 30 30 35 35 20 25 30 35 40 45 45 50 50 35 45 45 50 KNP 20 25 25 35 30 20 25 25 30 25 25 35 30 35 25 25 30 30 MGM 30 35 35 35 35 30 35 30 30 40 40 45 45 45 35 40 40 45 BMI 25 25 35 35 35 25 25 30 30 35 35 40 40 45 35 40 40 40 WRT 30 30 35 40 50 25 25 35 40 30 30 30 35 50 30 25 30 35 NWS 25 25 40 45 50 25 25 40 40 30 35 35 45 45 30 35 35 45 JRM 40 40 35 30 35 40 35 30 30 30 40 35 45 35 30 40 30 45 IKS 20 25 25 20 25 20 20 25 25 25 25 40 45 50 25 25 40 45 DEM 25 25 35 40 40 25 25 30 40 25 25 30 30 30 25 25 25 30 NKS 30 30 30 30 40 25 30 30 30 30 30 30 30 40 30 30 30 30 IWK 25 30 30 25 35 25 25 30 25 30 25 25 30 40 25 25 25 25 STH 25 25 30 40 40 25 25 30 40 25 25 40 30 40 20 25 40 30 DNP 30 30 30 35 40 25 20 30 30 30 30 40 45 45 30 30 40 40 IMS 20 25 20 30 40 20 20 20 30 30 25 35 30 40 25 25 30 30 DNR 25 25 30 35 40 15 25 30 35 25 35 25 25 40 20 35 25 25 IWS 25 25 35 40 50 25 25 35 40 25 30 25 25 30 25 30 25 25 TTL 25 35 45 45 45 25 30 40 40 30 30 40 30 30 30 35 30 30 IWR 25 25 35 30 40 25 25 30 30 30 30 30 35 40 30 30 25 30 H. UDARA KANAN 1000 2000 4000 8000 NAMA 500 H. TULANG KANAN 500 1000 2000 4000 500 H. UDARA KIRI 1000 2000 4000 8000 500 H. TULANG KIRI 1000 2000 4000 MRY 25 25 35 35 40 25 20 30 35 30 25 30 30 35 25 25 30 30 IKS 35 40 50 55 55 30 35 45 50 30 40 35 30 45 30 35 35 25 GDS 30 30 35 30 45 25 25 35 30 20 25 20 20 25 15 25 20 20 NS 20 30 40 40 35 20 30 35 30 30 25 25 30 35 25 25 25 25 JMH 20 40 40 40 50 20 35 35 40 25 25 30 30 35 25 25 30 25 NWA 25 35 30 40 45 25 30 30 35 25 25 30 45 50 25 25 30 45 IMB 35 35 35 40 45 30 35 35 35 30 40 30 30 30 30 35 30 30 NMP 35 40 45 50 50 35 40 45 45 30 25 25 30 30 25 25 25 30 SKI 25 30 30 40 45 20 30 30 40 30 30 30 35 35 30 30 30 30 NLB 35 35 45 45 50 30 35 40 40 20 20 20 20 35 20 20 20 20 NYK 20 30 30 40 50 20 30 30 35 40 45 50 45 50 40 40 50 45 WS 30 25 25 35 35 25 25 25 35 25 30 30 30 35 25 30 30 30 NMR 30 30 35 35 40 25 30 35 35 40 50 45 45 50 40 45 45 45 GTU 35 35 45 50 50 35 35 40 45 25 30 30 40 40 25 30 30 40 YUN 35 45 50 50 55 35 40 45 50 35 35 35 35 40 30 35 35 35 GUD 35 35 45 35 35 35 35 35 35 25 35 25 25 35 25 30 25 25 NMY 20 30 40 40 45 20 30 40 35 30 30 30 35 40 25 30 35 30 NMS 25 30 35 35 40 25 30 30 35 20 30 30 35 35 20 30 30 35 WTS 30 40 45 35 35 30 40 40 35 30 35 35 40 40 30 35 35 40 NNS 20 15 20 20 40 15 15 20 15 20 25 25 25 40 15 25 25 20 RT 15 20 25 25 30 15 20 20 25 25 25 20 25 25 25 20 20 20 IMK 15 20 25 35 25 15 20 20 35 25 25 20 20 40 25 20 20 30 NWD 20 15 30 30 30 20 15 20 25 25 25 20 25 25 25 20 20 25 IWS 20 15 20 20 25 15 15 20 20 20 20 25 25 20 20 20 25 20 IWS 10 20 20 20 40 10 20 20 15 20 20 20 20 50 15 20 20 20 FM 20 20 25 30 30 20 20 20 25 25 20 30 20 35 20 30 20 25 NNS 15 15 20 15 30 10 15 20 15 20 20 15 15 20 10 15 10 10 GAS 20 20 25 30 30 20 20 20 30 15 15 15 15 15 10 10 10 10 NWS 20 15 15 20 25 20 15 10 25 20 15 15 20 20 15 15 15 15 NLW 20 20 15 20 25 15 15 15 20 15 15 20 20 40 10 15 15 20 IWS 15 20 25 35 35 15 20 20 35 20 20 25 30 30 20 20 20 30 NAMA 500 H. UDARA KANAN 1000 2000 4000 8000 H. TULANG KANAN 500 1000 2000 4000 500 H. UDARA KIRI 1000 2000 4000 8000 H. TULANG KIRI 500 1000 2000 4000 SL 20 15 30 30 35 20 15 30 25 20 25 20 20 40 15 20 20 15 TKL 15 20 25 20 20 15 20 20 15 10 20 20 20 25 10 20 15 20 NKT 20 20 25 30 30 20 20 20 25 20 20 20 25 25 20 20 20 20 IWW 15 20 30 25 30 15 20 25 20 15 15 25 20 20 15 15 10 15 NNK 20 20 25 30 25 20 20 25 30 20 25 15 20 25 20 25 15 20 NMM 20 20 20 20 20 20 20 20 20 10 15 15 10 20 10 10 15 10 IWT 15 15 20 30 40 15 15 20 25 15 15 20 25 35 15 15 20 20 AN 15 15 25 20 25 15 15 20 15 20 20 20 25 30 15 20 20 15 IWS 20 20 30 25 25 20 20 20 25 25 25 20 25 25 20 25 20 20 STH 20 20 25 30 30 15 15 25 20 20 30 25 20 35 20 20 25 20 TY 20 15 20 20 20 10 15 20 20 15 15 20 20 30 5 10 20 10 VNG 20 25 25 25 25 20 20 20 20 20 20 25 30 25 15 15 25 20 IKD 20 20 25 30 20 10 20 20 20 20 30 20 20 25 15 15 15 15 IMS 20 20 20 20 25 15 15 10 10 25 25 20 25 40 15 20 15 25 NRJ 20 30 20 20 25 15 15 15 15 15 20 20 20 20 10 20 20 10 BGS 20 20 20 25 40 15 20 15 20 20 15 15 25 25 15 15 15 20 NKR 20 25 20 30 35 15 25 20 25 20 20 25 25 30 20 20 20 20 IGS 25 30 20 20 30 20 25 20 20 15 15 20 20 20 5 15 10 20 MN 25 25 25 20 35 15 25 25 20 10 15 25 20 25 10 15 10 10 NB 15 20 20 20 25 15 15 15 15 15 15 20 20 25 10 10 15 15 TCK 30 20 20 25 30 20 20 20 20 20 20 25 30 40 15 25 20 30 KMA 25 25 20 25 25 15 20 15 25 20 20 20 25 25 15 20 15 15 MY 20 25 20 20 30 20 20 20 20 20 25 20 30 30 20 20 20 20 TSR 20 30 25 20 25 20 25 20 20 20 20 30 25 25 20 20 25 20 MDP 20 25 30 20 30 15 20 15 25 10 10 30 20 25 10 10 20 10 IMS 20 15 20 20 25 15 15 15 15 15 15 20 20 25 15 10 10 10 IMN 15 25 30 20 35 15 20 25 20 20 25 20 20 20 15 15 20 20 GAR 20 20 20 20 25 10 20 15 25 15 15 20 20 25 15 15 15 25 FR 20 25 20 20 30 20 20 20 20 20 20 20 20 40 10 15 15 20 YTH 20 30 15 30 45 15 20 15 25 20 20 20 25 30 20 20 20 20 RAI 30 20 20 20 25 20 20 20 20 20 20 20 20 25 10 15 15 20 NAMA 500 H. UDARA KANAN 1000 2000 4000 8000 H. TULANG KANAN 500 1000 2000 4000 500 H. UDARA KIRI 1000 2000 4000 8000 H. TULANG KIRI 500 1000 2000 4000 ARK 25 20 20 30 35 20 15 20 25 15 20 15 15 35 10 20 10 15 YNS 25 25 20 25 30 15 20 20 25 15 15 20 20 20 15 20 15 15 LAMPIRAN 10 ANALISIS DATA ___ ____ ____ ____ ____ (R) /__ / ____/ / ____/ ___/ / /___/ / /___/ 12.1 StataCorp LP Statistics/Data Analysis Special Edition 77845 USA Copyright 1985-2011 StataCorp 4905 Lakeway Drive College Station, Texas 800-STATA-PC http://www.stata.com 979-696-4600 [email protected] 979-696-4601 (fax) . mcc hba1ckat1 hba1ckat0 | Controls | Cases | Exposed Unexposed | Total -----------------+------------------------+-----------Exposed | 28 11 | 39 Unexposed | 4 2 | 6 -----------------+------------------------+-----------Total | 32 13 | 45 McNemar's chi2(1) = 3.27 Prob > chi2 = 0.0707 Exact McNemar significance probability = 0.1185 Proportion with factor Cases .8666667 Controls .7111111 --------difference .1555556 ratio 1.21875 rel. diff. .5384615 odds ratio 2.75 [95% Conf. Interval] --------------------.0291155 .3402266 .983095 1.510893 .1417687 .9351543 .8148714 11.84166 . mcc hipertensi1 hipertensi0 | Controls | Cases | Exposed Unexposed | Total -----------------+------------------------+-----------Exposed | 9 16 | 25 (exact) Unexposed | 7 13 | 20 -----------------+------------------------+-----------Total | 16 29 | 45 McNemar's chi2(1) = 3.52 Prob > chi2 = 0.0606 Exact McNemar significance probability = 0.0931 Proportion with factor Cases .5555556 Controls .3555556 --------difference .2 ratio 1.5625 rel. diff. .3103448 odds ratio 2.285714 [95% Conf. Interval] --------------------.0227634 .4227634 .9765828 2.499948 .0411727 .5795169 .8896745 6.569858 (exact) . mcc drs1 drs0 | Controls | Cases | Exposed Unexposed | Total -----------------+------------------------+-----------Exposed | 1 15 | 16 Unexposed | 2 27 | 29 -----------------+------------------------+-----------Total | 3 42 | 45 McNemar's chi2(1) = 9.94 Prob > chi2 = 0.0016 Exact McNemar significance probability = 0.0023 Proportion with factor Cases .3555556 Controls .0666667 --------difference .2888889 ratio 5.333333 rel. diff. .3095238 odds ratio 7.5 [95% Conf. Interval] -------------------.1081582 .4696196 1.66124 17.12241 .1496425 .4694051 1.744168 67.59032 . clogit snhl hba1ckat hipertensi drs, group (pair) or Iteration 0: Iteration 1: log likelihood = -22.683052 log likelihood = -22.62263 (exact) Iteration 2: Iteration 3: log likelihood = -22.622409 log likelihood = -22.622409 Conditional (fixed-effects) logistic regression = 90 Number of obs LR chi2(3) = 17.14 Prob > chi2 = 0.0007 Log likelihood = -22.622409 = 0.2747 Pseudo R2 ----------------------------------------------------------------------------snhl | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+--------------------------------------------------------------hba1ckat | 2.790533 1.89891 1.51 0.132 .7352911 10.59047 hipertensi | 2.913057 1.675908 1.86 0.063 .9432893 8.996073 drs | 7.843559 6.316166 2.56 0.011 1.618333 38.0153 -----------------------------------------------------------------------------