ORIENTASI DAN MAKNA TRADISI ZIARAH DI

advertisement
ORIENTASI DAN MAKNA TRADISI ZIARAH DI MAKAM PARA KYAI
Oleh :
Machmoed Hadi (+62856 4377 4969) dan M. Zuhron Arofi (+62857 9996 4622)
(Dosen Pada Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang)
Abstrak
Tradisi ziarah tidak hanya sekedar bermakna menjalankan sunnah nabi
seperti yang selama ini telah dipahami. Makna ziarah kubur yang dipahami oleh
masyarakat pada umumnya tidak sekedar dimaknai sebuah aktivitas mengunjungi
makam untuk mendoakan orang yang sudah meninggal sekaligus sebagai sarana
muhasabah terhadap takdir kematian yang pasti menghampiri setiap manusia. Di
masyarakat umum, ziarah kubur kadang dimaknai sebagai sarana penyampaian
aspirasi kepada Tuhan melalui orang-orang sholih yang sudah meninggal. Dengan
cara demikian, mereka percaya akan mendapatkan efek positif berupa manfaat
yang langsung dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari sesudah
melaksanakan ziarah kubur. Ada berbagai motivasi dan orientasi ziarah kubur,
seperti: motif ekonomi, mempertahankan tradisi, mendapatkan ketenangan
batiniyah (spiritualitas) dan juga adanya relasi kuasa antara para peziarah dan
tokoh agama di lingkungan para peziarah.
Kata Kunci :
A. Pendahuluan
Tidak ada yang menyangsikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa
yang mempunyai kekayaan budaya dan agama. Pada wilayah agama,
sekurangnya ada 6 agama besar yang dianut oleh masyarakat Indonesia yaitu
Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Dari
sisi etnis, di Indonesia, terdapat lebih kurang 658 etnis. Dari enam ratusan
etnis itu, 109 kelompok etnis berada di Indonesia belahan barat, sedangkan
Indonesia belahan timur terdiri atas 549 etnis. Dari 549 etnis itu, 300 lebih di
antaranya menyebar di Papua. Dengan kata lain, keragaman etnis di Indonesia
belahan timur lebih tinggi dari Indonesia belahan barat (Rahab, 2008).
Keragaman budaya tersebut juga telah mengakibatkan terjadinya
akulturasi budaya. Akulturasi merupakan perpaduan dua budaya dimana kedua
unsur kebudayaan bertemu dapat hidup berdampingan dan saling mengisi serta
tidak menghilangkan unsur-unsur asli dari kedua kebudayaan tersebut. Satu
contoh misalnya adalah kebudayaan Hindu dan Budha. Kebudayaan HinduBudha yang masuk di Indonesia tidak diterima begitu saja melainkan melalui
proses pengolahan dan penyesuaian dengan kondisi kehidupan masyarakat
Indonesia tanpa menghilangkan unsur-unsur asli.
Realitas di atas menunjjukan bahwa akulturasi tidak hanya terjadi pada
wilayah antar budaya, melainkan mampu memasuki pada wilayah yang
bersendikan agama. Seperti telah manjadi sebuah keniscayaan bahwa agama
dan tradisi saling beradaptasi untuk membentuk kultur baru dalam masyarakat,
meskipun genuinitasnya tidak tercerabut. Termasuk dalam hal ini adalah
akulturasi tradisi setempat sebagai sebuah bentuk kearifan lokal dengan Islam.
Tradisi-tradisi lokal tersebut memiliki makna dan nilai penting
yang
menjadi acuan tingkah laku bagi masyarakatnya dalam menjalani kehidupan,
termasuk menghadapi perbedaan-perbedaan dalam berinteraksi dengan orang
lain yang berbeda budaya. Secara subtansial, kearifan lokal adalah nilai-nilai
yang
berlaku
dalam suatu
masyarakat.
Nilai-nilai tersebut
diyakini
kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah laku sehari-hari masyarakat
setempat. Nilai-nilai kearifan lokal ini dipandang sebagai entitas yang sangat
menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya karena di
dalamnya berisi unsur kecerdasan kreatifitas dan pengetahuan lokal dari para
elit dan masyarakatnya (Ridwan, 2007: 27-38). Nilai-nilai kearifan lokal dalam
bentuk tradisi maupun norma-norma sosial di masyarakat secara fungsional
dapat memperkuat sistem budaya sebagai acuan dalam kehidupan masyarakat.
Nilai-nilai tersebut kemudian dipercayai dan diakui sebagai elemen penting
sehingga mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat, yang
pada akhirnya dapat membangun kerukunan di masyarakat termasuk
kerukunan antar umat beragama.
Salah satu tradisi yang dilaksanakan oleh banyak masyarakat di Indonesia
adalah tradisi ziarah ke makam orang-orang suci atau penyebar agama. Di
Indonesia,
di
mana
masyarakat
mayoritas
menganut
agama
Islam,
penghormatan umat Islam terhadap para ulama penyebar agama Islam sangat
tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya obyek-obyek wisata ziarah ke
makam para Kyai dan tingginya jumlah pengunjung yang datang.
Tidak
ketinggalan adalah tempat-tempat makan para Kyai yang ada di Kabupaten
Magelang.
Tradisi ziarah di makam Kyai ini sangat unik dan menarik, karena orangorang yang berziarah di makam Kyai tidak hanya berasal dari Magelang, tetapi
juga berasal dari wilayah lain di luar Magelang. Bahkan di antara mereka ada
yang rela menghabiskan jutaan rupiah untuk melakukan praktik tersebut. Ada
pula yang telah merencanakan ziarah berbulan bahkan bertahun-tahun
sebelumnya. Salah satu informasi yang diperoleh bahwa praktik ziarah semcam
itu dapat menggantikan praktik rukun Islam yang kelima. Pada wilayah ini
cukup menarik untuk diungkap makna tradisi ziarah ke makam Kyai dan
orientasi dibalik tradisi ziarah yang telah berlangsung secara turun-temurun.
Ada beberapa bentuk penelitian yang pernah ditemui terkait dengan
praktek ziarah kubur. Secara umum penelitian mengenai ziarah kubur selalu
dikaitkan dengan masyarakat disuatu wilayah tertentu. Di antara riset yang
dapat ditemukan adalah penelitian yang dilakukan oleh Saudara Joko Tri
Haryanto dari Balai Litbang Kementrian Agama yang dilakukan pada tahun
2010 dengan judul Makna Tradisi Ziarah Di Makam Sunan Gunung Jati
Cirebon Bagi Kerukunan Umat Beragama. Penelitian ini menitik beratkan pada
aspek makna tradisi ziarah dan dihubungkan dengan kerukunan umat
beragama, dengan mengambil seting lokasi di makam Sunan Gunung Jati
Cirebon.
Penelitian lain yang serumpun dengan hasil riset di atas adalah penelitian
yang dilakukan pada tahun 2002 oleh tim peneliti dari IAIN Antasari
Kalimantan. Penelitian dengan judul Pelaksanaan Ziarah Kubur Ulama Di
Kalimantan Selatan (Suatu Tinjauan Teologis), lebih menfokuskan pada kajian
teologi dalam melihat tradisi ziarah yang dilakukan oleh masyarakat.
Ada pula yang mencoba meneliti mengenai persepsi masyarakat tentang
praktik ziarah kubur. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Asep Ma’mun
Muttaqin yang mengambil setting masyarakat Aeng Panas Madura. Penelitian
yang dilakukan pada tahun 2007 ini hanya sebatas menggali persepsi
masyarakat mengenai praktik ziarah kubur yang selama ini telah berjalan.
Dari tiga kajian penelitian di atas, setidaknya ada dua hal yang
membedakan riset yang akan dilakukan. Pertama, setting sosio kultur dan
geografis masyarakat yang berbeda. Kedua adalah titik fokus kajian yang lebih
melihat pada aspek makna dan orientasi peziarah dengan menggunakan
pendekatan antropologis.
B. MetodePenelitian
Penelitian yang dilakukan
di kompleks makam para Kyai di Kab.
Magelang adalah jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan antropologis
melalui metode etnografi. Etnografi adalah kegiatan untuk mendeskripsikan
suatu kebudayaan. Dengan kata lain, tujuan etnografi ini untuk memahami
suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli, hubungannya
dengan
kehidupan,
dunianya.(Spradley,
untuk
1997:
mendapatkan
3)
Metode
pandangannya
etnografi
mengenai
dilakukan
untuk
mengungkapkan realitas budaya yang meliputi realitas empirik maupun
simbolik dan makna dalam fenomena budaya tersebut.(Thohir, 2007: 5)
Namun karena keterbatasan waktu pengumpulan data di lapangan, maka
penelitian etnografi ini dilakukan dengan format Etnografi Praktis/ EP
(practical ethnography). Format penelitian etnografi praktis ini tetap berpijak
pada
sejumlah prinsip umum dan metode etnografi konvensional, tetapi
dengan waktu dan fokus penelitian yang terbatas pada aspek budaya yang
diteliti. (Azca, 2004: 28-29) Dalam hal ini, tradisi ziarah di makam Kyai-Kyai
di Kabupaten Magelang.
Sebagai bangunan dasar penelitian terapan, format EP mengandalkan
sejumlah instrumen atau alat pengumpulan data seperti pengamatan (observasi)
sambil lalu, pengamatan terfokus (terhadap tindakan dan konsekuensi tertentu),
dan wawancara (Azca, 2004: 28-29) Secara teknis pengumpulan data dilakukan
dengan tiga cara yakni observasi atau pengamatan langsung di lapangan,
dengan cara peneliti berkunjung langsung kelokasi makam yang dijadikan
tempat untuk ziarah. Langkah selanjutnya adalah melakukan wawancara
langsung dengan para responden yang terdiri dari para peziarah yang
merupakan obyek kunci dari penelitian ini dan juga penjaga makam sebagai
person yang memahami betul berbagai tradisi ziarah dan aspek kesejarahan
dari makam tersebut. Untuk melengkapi data riset peneliti akan melakukan
penggalian terhadap literature yang berkenaan dengan praktek ziarah kubur.
Adapun analisis dilakukan dengan pendekatan semiotika budaya untuk
membantu melakukan interpretasi
terhadap makna-makna dalam perilaku
kebudayaan, dalam hal ini tradisi ziarah di makam Kyai. Dalam menelusuri
sistem budaya, semiotika berperan memberi sketsa tentang potret manusia
sebagai “meaning-seeking creature” atau mahluk pencari makna. Lebih khusus,
semiotika menjadi alat yang efektif dalam memperjelas akar-akar kesukuan
atau tradisi dari system sosial yang ada dewasa ini. Dengan kata lain, meskipun
manusia hidup di alam modern yang serba kompleks, mereka tetap tidak rela
kehilangan jati diri kesukuannya (Morris, 1969).
Bersandar pada analisis di atas maka peneliti tidak akan melibatkan aspek
fiqiyah maupun aspek kajian teologis dalam membedah persoalan ziarah kubur.
Sudut pandang antrogopologis dengan pendekatan semiotika budaya akan
menghindarkan peneliti pada model justifikasi kebenaran oleh pihak tertentu
yang selama ini sudah banyak diketahui. Dengan demikian orisinalitas makna
dan orientasi ziarah kubur akan dapat ditemukan dengan perspektif yang cukup
beragam dari para pelaku ziarah kubur.
C. Hasil dan Pembahasan
1. Gambaran Umum Makam para Kiyai
Setelah melakukan studi di lapangan peneliti menjumpai ada sejumlah
makam Kiyai di Kabupaten Magelang yang cukup ramai dikunjungi oleh
para peziarah. Di antara makam itu adalah makam Kiyai Kulhu Payaman,
letaknya dibelakang Masjid agung Payaman. Makam Kiyai Mangli yang
terletak di desa Mangli Grabag, Kiyai Abdurrahman Khudhori Tegalrejo,
Kiyai Raden Syahid Mantingan Nluwar, Kiyai Noor Muhammad
Ngadiwongso Salaman, dan lima makam Kiyai yang berada di Gunungpring
Muntilan. Lima makam tersebut yakni makam Kiyai Harun, Gus Jogo Reso
bin Kiyai Harun, Kiyai Dalhar, Kiyai Krapayak bin Kiyai Krapayk
Komarudin dan Kiyai Raden Santri. Di antara makam-makam tersebut yang
paling ramai dikunjungi adalah 5 makam besar yang ada di Gunung Pring
Muntilan.
Makam-makam yang disebutkan di atas adalah makam yang menjadi
tujuan utama bagi para peziarah. Pemilihan tersebut disandarkan pada
informasi yang berkembang dalam masyarakat bahwa makam-makam itu
mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan makam yang lain. Makammakam tersebut bukan hanya penanda arkeologis amat penting sebagai salah
satu sumber rekonstruksi sejarah Islam dikawasan ini, tetapi sekaligus
monument simbolis menyangkut pembentukan corak Islam yang dibawa
para penyiar Islam tersebut. (Azra, Ziarah Makam, Republikan, 10 Januari
2013)
Makam-makam tersebut selalu diidentikan dengan orang-orang besar
yang pada masa lalu mempunyai jasa yang cukup luar biasa pada
penyebaran Islam. Keberadaanya merupakan turun-temurun dari trah
tertentu dalam struktur masyarakat, seperti keturunan para raja maupun
keturunan orang yang dikenal luas mempunyai keilmuan yang tinggi dalam
urusan agama. Seperti terlihat dalam gambar berikut
Gambar 1 : Silsilah Keturunan Makam para Kiyai
Gambar ini menunjukan silsilah yang secara turun-temurun saling
berkaitan. Silsilah tersebut megambarkan trah dan keturunan orang-orang
yang mempunyai pengaruh besar dan status sosial yang tidak sama dengan
masyarakat pada umumnya.
Di samping fakta tersebut di atas, yang lebih dipahami oleh masyarakat
adalah dimensi mistis yang sangat melekat pada figur orang-orang alim
tersebut. Maka tidak dapat dipungkiri berkembangnya cerita-cerita yang
irrasional tentang makam-makam cukup mendorong praktik ziarah ini
dilakukan. Mereka yang dianggap alim adalah sosok yang mempunyai
kemampuan-kemampuan mistis yang tidak lazim bagi masyarakat.
Kemampuan tersebut diyakini merupakan bagian dari karomah Allah yang
diberikan pada tokoh yang bersangkutan karena kedekatanya pada Tuhan.
2. Asal dan Profesi Peziarah
Peneliti mengkategorisasikan asal peziarah dalam dua pengertian.
Pertama peziarah yang berasal dari jawa dan yang kedua adalah peziarah
yang berasal dari luar jawa. Berdasarkan penulusuran yang peneliti lakukan
di lapangan, ditemukan bahwa asal para peziarah cukup beragam. Dari
mulai Magelang dan sekitarnya, Jawa Tengah hampir merata, Jawa Timur
meliputi Mojokerto, Jombang, Kediri, Madiun, Demak, Kudus dan daerah
lain. Sedangkan peziarah yang berasal dari luar Jawa antara lain berasal dari
Lampung, Riau, Palembang, Jambi, ada juga yang berasal dari Kalimantan
dan Sulawesi. Bahkan menurut informasi peziarah yang berasal dari luar
negri seperti Malaisya dan Singapura pernah berkunjung kesalah satu
makam yang ada di Kabupaten Magelang.
Sedangkan dari hasil wawancara yang dilakukan mengenai profesi para
peziarah ditemukan beragam profesi, pejabat negara, pegawai negeri,
pengusaha, santri, petani, pedangang. Sejauh pengamatan peneliti
mayoritas peziarah adalah petani dan pedagang. Profesi ini dalam kajian
peneliti cukup mempengaruhi motivasi mereka dalam melakukan ziarah
kubur, sehingga dapat dipersepsikan kepentingan ziarah kubur selalu
dikaitkan dengan profesi dari para peziarah. disamping adanya unsur lain
yang ikut mempengaruhi praktik ziarah kubur yang dilakukan.
3. Makna Ziarah
Ziarah adalah salah satu praktik sebagian besar umat beragama yang
memiliki makna moral yang penting. Kadang-kadang ziarah dilakukan ke
suatu tempat yang suci dan penting bagi keyakinan dan iman yang
bersangkutan. Tujuannya adalah untuk mengingat kembali, meneguhkan
iman atau menyucikan diri. Orang yang melakukan perjalanan ini disebut
peziarah ( http://id.wikipedia.org/wiki/Ziarah akses 30 Januari 2013)
Secara umum ziarah kubur dimaknai menengok, yakni kunjungan ke kubur untuk
memintakan ampun bagi si mayit ( Solikhin, 2010: 387). Dalam definisi etimologi
ziarah kubur terdiri dari dua kata yaitu ziarah artinya pergi dan kubur art inya
makam, jadi ziarah kubur art inya adalah pergi kemakam. Dalam
terminologi syar’i, ziarah kubur berarti: bepergian ke kuburan dalam rangka
mengambil pelajaran, mendoakan dan memintakan ampun bagi mayit
sekaligus mengingatkan kepada akhirat dan berlaku zuhud.
Ash Sa’ani berpendapat bahwa “Ziarah kubur dilaksanakan
dalam rangka mendoakan mayit, ber buat baik kepada mereka,
serta dapat mengingatkan peziarah terhadap kehidupan akhirat agar
berlaku zuhud di dunia. (Afriadi, 2012). Ziarah dalam pengertin umum di
Indonesia berupa kunjungan ke makam, masjid dan relik-relik tokoh agama
raja dan keluarganya dan terutama ke makam para wali penyebar agama
Islam.( Purwadi, 2010: 17)
Tradisi ziarah kubur erat kaitanya dengan kharisma para leluhur yang
makamnya banyak dikunjungi orang. Kharisma leluhur ini juga dapat
diwujudkan dalam bentuk dan hiasan kubur yang beraneka ragam, sesuai
tradisi dan bangunan seni yang dikuasai atau disukai. Kharisma para wali
penyebar agama Islam begitu melekat hingga sekarang, sehingga banyak
dikunjungi masyarakat. ( Purwadi, 2010: 18). Termasuk kharisma para kiyai
yang dianggap cukup berjasa dalam menyebarkan agama Islam diwilayah
tertentu.
Bagi para peziarah kubur yang berkunjung di makam para Kyai di
Kabupaten Magelang, makna ziarah kubur tidak sekedar mengunjungi
makam atau mendoakan orang yang sudah meninggal. Lebih jauh dari itu,
ziarah kubur mempunyai maksud dan tujuan yang berkenaan langsung
dengan dirinya sebagai peziarah. Bahkan dalam temuan peneliti jarang
sekali di antara para peziarah memaknai ziarah kubur sebagai sarana untuk
mengingat kematian seperti diktum agama yang selama ini telah dipahami.
Mereka memaknai ziarah sesuai dengan kebutuhan (hajat) yang sedang
diinginkan atau bisa dikatakan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi
serta agenda yang direncanakan.
4. Bentuk-bentuk Ziarah Kubur
a. Nyadran
Bagi masyarakat Jawa, kegiatan tahunan yang bernama nyadran atau
sadranan merupakan ungkapan refleksi sosial-keagamaan. Hal ini
dilakukan dalam rangka menziarahi makam para leluhur. Ritus ini
dipahami sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi dan budaya para
nenek moyang. Nyadran dalam tradisi Jawa biasanya dilakukan pada
bulan tertentu, seperti menjelang bulan Ramadhan, yaitu Sya‟ban atau
Ruwah. Secara teknis mereka melakukan dengan mengajak seluruh sanak
saudara berkumpul menjadi satu di makam dengan membawa berbagai
sesaji yang sengaja disiapakan untuk acara tersebut (Deniels,1960: 40).
Ritual ini biasanya diawali dengan membersihakan makam,
menaburi bunga-bunga, memanjatkan do’a yang dipimpin oleh salah
seorang dari mereka yang sudah disepakati bersama. Nyadran dengan
ziarah kubur merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki
kesamaan dalam ritus dan objeknya. Perbedaannya hanya terletak pada
pelaksanaannya, di mana nyadran biasanya ditentukan waktunya oleh
pihak yang memiliki otoritas di daerah, dan pelaksanaannya dilakukan
secara kolektif.
Maka dapat dipastikan ritual nyadran menjelang bulan suci
Ramadhan di makam-makam Kyai besar yang ada di Kabupaten
Magelang selalu dibanjiri oleh para pengunjung dari berbagai daerah.
Pada hari-hari khusus semacam itu tensi pengunjung menjadi berlipat
dari pada hari-hari biasa.
Gambar 2 : Kegiatan Nyadran di Masyarakat Gununng Pring
Muntilan
Tradisi nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para
leluhur, sesama, dan sang pencipta atas segalanya. Nyadran merupakan
sebuah pola ritual yang mengakulturasikan budaya lokal dan nilai-nilai
Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental islami.
Secara sosio-kultural, implementasi dari ritus nyadran tidak hanya
sebatas membersihkan makam-makam leluhur, selamatan (kenduri),
membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur sesaji sekaligus
landasan ritual doa. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi keluarga dan
sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya, dan keagamaan
b. Haul
Peringatan haul maksudnya ialah suatu peringatan yang diadakan
setahun sekali bertepatan dengan wafatnya seseorang yang ditokohkan
oleh masyarakat, baik tokoh perjuangan atau tokoh agama/ ulama
kenamaan. Acara ini lebih dimaksudkan untuk mengenang jasa dan hasil
perjuangan para tokoh terhadap tanah air, bangsa serta umat dan
kemajuan agama Allah, seperti peringatan haul wali songo, para haba’ib
dan ulama besar lainnya, untuk dijadikan suri tauladan oleh generasi
penerus. Pada saat acara haul ada beberapa rangkaian acara yang biasa
dilaksanakan di antaranya adalah sebagai berikut :
Pertama, ziarah ke makam sang tokoh dan membaca dzikir, tahlil,
kalimah thayyibah serta membaca Al-Qur’an secara berjama’ah dan do’a
bersama di makam. Kedua, diadakan majlis ta’lim, mau’idzoh hasanah
dan pernbacaan biografi sang tokoh/ manaqib seorang wali/ ulama atau
haba’ib. Ketiga, Dihidangkan sekedar makanan dan minuman dengan
niat selamatan/ shodaqoh„anil mayit.
Menurut Sungaedi, (adalah juru kunci dari makam Raden Sahid yang
terletak di dusun Mantingan Kecamatan Ngluwar ) inti dari perayaan
haul adalah proses ta’lim atau biasa disebut dengan pengajian yang
fungsinya lebih pada mengingatkan orang-orang yang masih hidup
bahwa semuanya juga akan meninggal. Istilah haul digunakan karena
telah familier ditelinga masyarakat dan biasanya mempunyai magnet
tersendiri untuk merangsang masyarakat hadir dalam acara tersebut.
c. Nyekar
Nyekar berasal dari kata Jawa sekar yang berarti kembang atau
bunga. Dalam praktiknya, ziarah ini melibatkan penaburan bunga di atas
makam yang dikunjungi. Bahkan sebagian masyarakat ada yang
menyertakan dupa dan kemenyan. Dupa dan kemenyan lebih
dimaksudkan sebagai perantara dari do’a yang dilantunkan. Untuk tradisi
nyekar dengan membakar kemenyan dalam pantauan peneliti untuk saat
ini sudah jarang dilakukan.
Di dalam nyekar, yang pasti dan umum terjadi, adalah (besik)
pembersihan makam dan pembacaan himpunan doa atau bagian dari surat
Al-Quran, yang pendek-panjangnya, bervariasi satu sama lain. Ini juga
membuat waktu yang dibutuhkan dalam nyekar berbeda-beda: dari yang
singkat sekitar belasan menit, hingga hitungan jam, bahkan ada yang
seharian penuh.
Berbeda dengan tradisi ziarah yang ditujukan kepada tokoh-tokoh
ulama atau wali yang dianggap keramat, sebagai penghormatan dan
upaya mengambil berkah, subjek ziarah dalam nyekar ini umumnya
adalah
makam
leluhur
keluarga:
kakek-nenek,
orang-tua,
dan
saudara. Artinya nyekar adalah model ziarah kubur bagi para kerabat
dekat. (http://www.nu.or.id/,Nyekar)
d. Ziarah rutin
Yang dimaksud dengan ziarah rutin ini adalah ziarah dalam kategori
biasa dilaksanakan oleh masyarakat tanpa menunggu momen-momen
tertentu. Ziarah semacam ini dilakukan oleh sebagian masyarakat
khususnya yang berdekatan dengan lokasi makam (Kota/ Kabupaten
Magelang) dan telah menjadi ritual yang biasa dilakukan. Kebanyakan
dari masyarakat datang sekedar membersihkan, membaca al Qur’an dan
berdo’a secukupnya. Aktivitas ziarah telah dipersepsikan sebagai bentuk
ibadah yang mempunyai banyak keutamaan, apalagi dilakukan dimakam
orang-orang yang dianggap dekat dengan sang pencipta. (Informasi
diperoleh dari warga sekitar makam yang terbiasa melaksanakan ziarah
kubur di makam para kyai)
Gambar 3 : Suasana Aktivitas Ziarah Kubur
5. Orientasi dan Motivasi para Peziarah
Dari hasil penelusuran peneliti, ziarah yang selama ini berkembang di
masyarakat mempunyai beberapa orientasi dan motif dari praktik yang
dilakukan. Di antara yang peneliti temukan adalah sebagai berikut.
a. Motif Tradisi
Dalam kultur masyarakat jawa ziarah kubur merupakan tradisi yang
secara turun-temurun dilakukan. Diantara para peziarah yang hadir di
makam para kiyai bahkan menganggap bahwa ziarah adalah bagian dari
agama itu sendiri. Meskipun pendapat semacam ini murni pendapat
warisan dari orang-orang terdahulu maupun tokoh yang dianggap
mempunyai pengaruh dan pengetahuan dalam bidangnya. Hal ini penulis
temukan saat melakukan wawancara dengan para peziarah. Mereka
melakukan ziarah karena merupakan warisan para pendahulu dengan
alasan nguri-nguri kebudayaan.
Yang menarik dari penelusuran penulis adalah terkadang di antara
para peziarah tidak ada motivasi apapun selain mempertahankan tradisi.
Meskipun demikian jika hal tersebut tidak dilakukan, akan ada perasaan
yang kurang nyaman. Tradisi ziarah telah menjadi agenda rutin tahunan
yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sebagian masyarakat.
Dari kajian yang dilakukan oleh peneliti tidak dapat diketahui secara
pasti kapan tradisi ziarah bagi masyarakat lokal mulai berkembang. Jika
disandarkan pada hadis “Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur,
maka (sekarang) berziarahlah (HR. Muslim) Hadis ini tidak menunjuk
pada tanggal dan tahun dimulainya tradisi ziarah kubur. Apalagi jika
dikaitkan dengan tradisi ziarah yang berkembang dalam masyarakat.
Melihat bentuknya yang cukup beragama maka ada kemungkinan tradisi
semacam itu merupakan produk lokal
Gambar 4 : orang berdoa di depan makam
Sementara dikalangan agama nasrani tradisi ziarah sudah dimulai
sekitar awal abad ketiga, ketika umat Kristiani memiliki devosi terhadap
para martir, dengan datang ke makam mereka. Pada abad pertengahan,
tempat ziarah paling penting adalah Tanah Suci Yerusalem dan
sekitarnya, yang berkaitan dengan peristiwa kehidupan Yesus. Tempat
ziarah lainnya adalah makam Santo Yakobus di Santiago de
Compostella, serta makam Santo Petrus dan Paulus di Roma
(http://www.hidupkatolik.com/2012/05/22/bulan-maria-dan-tradisiziarah)
b. Motif Ekonomi
Secara teori motif ekonomi dapat dipahami sebagai alasan ataupun
tujuan seseorang sehingga seseorang itu melakukan tindakan ekonomi.
Motif ekonomi secara umum terbagi dalam dua aspek yaitu motif
intrinsik, motif ini merupakan suatu keinginan untuk melakukan tidakan
ekonomi atas kemauan sendiri. Sedangkan yang kedua adalah motif
ekstrinsik, disebut sebagai suatu keinginan untuk melakukan tidakan
ekonomi atas dorongan orang lain.
Kaitanya dengan tradisi ziarah ada lima kelompok penting yang
perlu dicermati untuk mengangkat bahwa ada motif ekonomi dalam
kelestarian tradisi ziarah kubur di kabupaten Magelang. Kelima
kelompok tersebut yaitu: Pertama, juru kunci atau pengurus makam yang
bertanggung jawab penuh menjaga, merawat dan menata keberadaan
makam agar tetap lestari. Tidak semua makam mempunyai struktur
pengurus yang memadai, akan tetapi setidaknya ada satu atau dua orang
yang bertanggung jawab terhadap keberadaan makam tersebut. Bagi
makam-makam yang menuai banyak pengunjung tidak sedikit income
yang didapat. Sebab dapat dipastikan setiap pengunjung memberikan
dikotak makam yang telah disediakan atau diserahkan langsung pada juru
kunci.
Gambar 5 : Aktivitas Ekonomi di sekitar Makam
Kedua, pedagang, tidak dapat dipungkiri bahwa wilayah sekitar
makam merupakan lahan bagi roda ekonomi masyarakat yang sangat
produktif, khusus di makam Gunung Pring Muntilan jumlah pedagang
mencapai ratusan. Sebagian besar pedagang yang menjalankan roda
bisnisnya disekitar makam menjadikan mata pencaharian tersebut sebagai
satu-satunya tumpuan utama dalam menopang hidup. Bahkan menurut
penuturan pedagang di makam tersebut perputaran uang pada hari-hari
tertentu bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Pada akhirnya makam merupakan area bisnis yang sangat
menjanjikan. Semakin banyak pengunjung yang datang maka semakin
banyak pula keuntungan yang bisa didapatkan. Cara pandang demikian
membuat para pedagang berkepentingan akan keberlangsungan tradisi
ziarah. Meskipun sebagian dari mereka ada yang tidak sependapat
mengenai praktik ziarah kubur yang dilakukan, karena dinilai dekat
dengan kemusrikan dan tidak sesuai dengan tuntunan syar’at agama.
Akan tetapi karena kebutuhan ekonomi membuat praktik-praktis
semacam itu tidak lagi dipersoalkan.
Ketiga, biro perjalanan. Untuk wilayah Jawa termasuk Magelang dan
sekitarnya terdapat cukup banyak biro perjalanan yang menawarkan
paket perjalanan dengan nama wisata ziarah. Biasanya dari pihak biro
menawarkan biaya sekian ratus ribu untuk sekian tempat perjalanan.
Keempat, tokoh agama. Para tokoh agama bertugas untuk mengajak
para jama’ah melaksanakan ziarah kubur. Biasanya tokoh tersebut
bertindak sebagai pemimpin perjalanan ziarah. Jauh hari sebelum ziarah
dilakukan para tokoh ini telah menghimbau umatnya untuk melakukan
persiapan dalam rangka wisata ziarah. Persiapan tersebut meliputi
kesehatan fisik, kesiapan mental dan tentu saja persiapan finansial. Aspek
finansial yang dihimpun dari jama’ah tersebut juga sebagian mengalir
pada para tokoh agama. Oleh karena itu dugaan peneliti motif ekonomi
ikut mendorong para tokoh agama tersebut dalam mempertahankan
tradisi ziarah.
Kelima, adalah para peziarah, secara matematis para peziarah tentu
saja tidak mendapatkan keuntungan secara langsung dari praktik ziarah
yang mereka lakukan. Bahkan justru harus mengeluarkan harta demi
kepetingan ziarah. Tetapi menurut pengakuan para peziarah bahwa
mereka akan mendapatkan keuntungan setelah ziarah. Jadi praktik ini
merupakan bagian dari ihtiar untuk mendapatkan rizki yang lebih
banyak. Banyak di antara peziarah yang menganggap bisnisnya semakin
lancar dan keuntunganya semakin berlipat manakala rutin melaksanakan
ziarah.
Kelima kelompok tersebut mempunyai relasi yang terbangun secara
natural dan menunjukkan adanya simbiosis mutualisme atau pola
hubungan yang saling menguntungkan. Pola tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:
Juru kunci
Peziarah
Tokoh
Agama
Pedagang
Biro
Perjalanan
Gambar 6 : relasi natural antar kelompok yang saling menguntungkan
c. Ibadah/ spiritualitas
Bagi sebagian masyarakat ziarah dinilai sebagai bagian dari
rangkaian ibadah yang harus dilakukan, karena merupakan implementasi
dari sunnah nabi. Hal ini dapat dipahami apabila merujuk pada hadits
sebagai berikut:
‫ فزوروها‬،‫كنت نهيتكم عن زيارة القبىر‬
“Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur, maka (sekarang)
berziarahlah” (HR. Muslim)
Dengan dasar inilah kemudian dipahami bahwa praktek ziarah kubur
merupakan suatu kebolehan yang baik untuk dilaksanakan. Maka dari itu
sebagian masyarakat menganggapnya sebagai sunnah yang tidak boleh
ditinggalkan. Ziarah kubur mempunyai tujuan untuk mengingatkan setiap
manusia akan kematian yang sudah pasti menjemputnya.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada
hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari
neraka dan dimasukkan ke dalam syurga maka sungguh ia telah
beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan” (Q.S Ali Imron, 185).
Tujuan yang lain adalah untuk mendoakan orang yang sudah
meninggal agar orang yang sudah meninggal diringankan dosa dan
kesalahannya.
Lebih jauh dari kedua tujuan tersebut, ziarah pada umumnya juga
dipandang sebagai bagian dari asupan nutrisi spiritualitas. Oleh karena
itu sering dijumpai orang yang berziarah mempunyai maksud dan tujuan
diluar kedua frame di atas. Contohnya adalah mereka bermaksud mencari
berkah dari orang-orang suci yang telah meninggal (ngalap berkah),
dientengkan jodoh, dilancarkan jalan rizkinya, dimudahkan segala
urusanya, ada pula yang mengakui bahwa setelah ziarah mereka
mengaku mendapatkan sensasi ketenangan batin yang melebihi dari
biasanya. (penjelasan ini diperoleh dari hasil wawancara dengan para
peziarah dari Kudus, Demak, Mojokerto, Magelang dan Nganjuk).
Bagi sebagian masyarakat menganggap bahwa pada dasarnya orangorang suci tersebut tidaklah meninggal melainkan jasadnya saja, akan
tetapi ruhnya tetap hidup dan dapat dijadikan sebagai wasilah untuk
menyampaikan aspirasinya kepada Tuhan. Dengan cara ziarah mereka
akan mendapatkan relasi spiritual dengan orang-orang shalih dan hal
tersebut dinilai baik untuk kesehatan batiniyah.
Dari penjelasan ini dapat dimengerti mengapa ziarah kubur sampai
saat ini masih terus dipertahankan bahkan dilestarikan. Sebab pencapaian
kenikmatan batin yang bersifat irrasional tersebut tidak dapat dipenuhi
dengan cara-cara orang modern. Maka dari itu meskipun mereka hidup di
era modern, tradisi ziarah tetap dipertahankan sebagai salah satu bentuk
mengisi ruang jiwa yang tidak mungkin diisi dengan segala bentuk
perangkat modernitas.
d. Relasi Kuasa
Dalam pola hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial
selalu tersimpul pengertian–pengertian kekuasaan dan wewenang.
Kekuasaan terdapat disemua bidang kehidupan, kekuasaan mencakup
kemampuan untuk memerintah (agar yang diperintah patuh) dan juga
untuk memberi keputusan–keputusan yang secara langsung maupun tidak
langsung mempengharuhi tindakan–tindakan pihak lain
Hubungan kekuasaan merupakan suatu bentuk hubungan sosial yang
menunjukkan hubungan yang tidak setara (asymetric relationship), hal
ini disebabkan dalam kekuasaan terkandung unsur “pemimpin“ (directio)
atau apa yang oleh Weber disebut “pengawas yang mengandung
perintah“ (imperative control). Dalam hubungan dengan unsur inilah
hubungan kekuasaan menunjukkan hubungan antara apa yang oleh Leon
Daguit disebut “pemerintah” (gouvernants) dan “yang diperintah”
(gouvernes) ( Poelinggomang, 2004: 138 ).
Kekuasaan adalah praktik yang terjadi dalam suatu ruang lingkup
tertentu -ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu dengan
yang lain dan senantiasa mengalami pergeseran. Kekuasaan menentukan
susunan, aturan, dan hubungan dari dalam (Sutrisno, 2005: 154).
Dalam kontek ziarah kubur pola hubungan yang tidak beriman
(asymetric relationship) juga terjadi. Relasi yang dimaksud adalah antara
tokoh agama (Kyai bagi wilayah masyarakat tertentu) dengan jama’ah.
Pola hubungan yang bersifat intruksional (nderek titah kyai) adalah
fenomena yang lazim terjadi. Bentuk relasi semacam ini dapat terlihat
manakala banyak di antara para peziarah tidak mempunyai agenda
tertentu ketika mereka melakukan ziarah kubur. Keberangkatan mereka
melaksakan ziarah kubur hanya sebatas menjalankan titah Kyai. Satu
contoh pada saat ditanya apa yang akan mereka minta pada saat ziarah,
mereka menjawab itu semua sudah diserahkan pada Kyai yang
memimpin perjalanan ziarah.
D. Kesimpulan
Setelah melewati penjelasan dan kajian mengenai makna dan orientasi
ziarah kubur di makam para Kyai di Kabupaten Magelang, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Makna ziarah kubur yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya tidak
sekedar dimaknai sebuah aktivitas mengunjungi makam untuk mendoakan
orang yang sudah meninggal sekaligus sebagai sarana muhasabah akan
takdir kematian yang pasti menghampiri setiap manusia, akan tetapi lebih
jauh ziarah kubur dimaknai sebagai sarana penyampaian aspirasi kepada
Tuhan melalui orang-orang sholih yang sudah meninggal. Dengan cara
demikian mereka akan mendapatkan efek positif berupa manfaat yang
langsung dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari pasca melaksanakan
ziarah kubur.
2. Terdapat beragam motivasi dan orientasi ziarah kubur, seperti Motif
ekonomi, mempertahankan tradisi, mendapatkan ketenangan batiniyah
(spiritualitas) dan juga adanya relasi kuasa antara para peziarah dan tokoh
agama dilingkungan para peziarah. Jadi ziarah tidak sekedar menjalankan
sunnah nabi seperti yang selama ini telah dipahami.
E. Daftar Pustaka
Azca, M. N. (2004). Ketika Moncong Senjata Ikut Berniaga: Laporan
Penelitian Keterlibatan Militer Dalam Bisnis di Bojonegoro, Boven Digoel
dan Poso. Jakarta: Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak
Kekerasan
(KONTRAS).
Dalam
www.prakarsarakyat.org/download/Buku/dan www.kontras.org/buku/Laporan_utama.pdf
diunduh 17 juni 2010.
Haryanto, J. T., Makna Tradisi Ziarah Di Makam Sunan Gunung Jati Cirebon
Bagi Kerukunan Umat Beragama ( Kemenag RI Pusdiklat Tenaga Teknis
Keagamaan dan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2010)
Koentjaraningrat (1988). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Yogyakarta:
Djambatan
Morris, D. (1969). The Human Zoo. London: Cape
Solikhin, M. (2010). Ritual dan Tradisi Islam Jawa, Yogyakarta: Narasi,
Purwadi (2010), Jejak para Wali dan Ziarah Spiritual Jakarta: Kompas,
Rahab, A. etal. (2008). Kekerasan Komunal di Indonesia: Sebuah Tinjauan
Umum. Jurnal Dignitas, Volume V No.1.
Ridwan, N. A. (2007). “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”. Jurnal Studi
Islam dan Budaya Ibda‟ Vol. 5/No. 1/ Januari-Juni 2007. Purwokerto :
P3M STAIN Purwokerto, 27-38.
Spradley, J. P. (1997). Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sutrisno, M. dan Hendar Putranto, ed. (2005). Teori-teori Kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius.
Thohir, M. (2007). “Agama Masyarakat Nelayan”. Makalah Seminar Desain
Operasional Penelitian Tahun 2007. Balai Litbang Agama Semarang.
Tim Peneliti Pusat Penelitian IAIN Antasari, 2002, Pelaksanaan Ziarah Ke
Kubur Ulama Di Kalimantan Selatan (Suatu Tinjauan Teologis)
Deniels, T. (1960). Islamic Spectrum in Java (British Library Catalouging in
Publication Data,
Afriadi, Y. Ziarah Kubur , http://yusufafriadi.blogspot.com/2012/05/ziarahkubur.html, diakses pada tanggal 1 juni 2012.
Download