TESIS ANALISA POLA ARUS DAN SEDIMENTASI DI PANTAI LOSARI MAKASSAR DENGAN MENGGUNAKAN METODE SURFACE WATER MODELLING SYSTEM (SMS) DAN OVERLAY CITRA LANDSAT 7-ETM PADA METODE SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) OLEH SUYUTI 4104 205 712 JURUSAN TEKNIK DAN MANAJEMEN PANTAI FAKULTAS TEKNIK KELAUTAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOVEMBER SURABAYA 2006 ABSTRAK ANALISA POLA ARUS DAN SEDIMENTASI DI PANTAI LOSARI MAKASSAR DENGAN MENGGUNAKAN METODE SURFACE WATER MODELLING SYSTEM (SMS) DAN OVERLAY CITRA SATELIT LANDSAT-7 ETM PADA METODE SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) Suyuti 1 Dr.Ir. Wahyudi, M.Sc. 2 Dr. Ing Ir. Teguh Hariyanto, M.Sc. 3 Abstrak Secara umum permasalahan yang ditemukan pada pengelolaan wilayah pesisir adalah dampak dari interaksi populasi manusia terhadap lingkungan pantai. Dalam penelitian ini akan dilakukan pengkajian terhadap proses sedimentasi yang timbul dari akibat interaksi gelombang, arus pantai, angin, kontur pantai di Losari Makassar Propinsi Sulawesi Selatan dengan menggunakan pendekatan metode Water Surface Modelling System (SMS ver. 8.0) dan metode Overlay citra landsat 7-ETM tahun 1996 dan 2002 pada Sistem Informasi Geografik (SIG). Pemodelan SMS 8.0 akan dianalisa pengaruh gerakan arus pasang surut pada sediment terlarut. Tahap awal analisis dilakukan dengan membatasi boundary/training area yaitu pada koordinat lintang (1190:20:40.49E s/d 1190:26:18.73E dan 50:6:58.34S s/d 5:12:59.23S). Boundary disesuaikan pada kedua metode yang digunakan dalam penelitian ini. Pengambilan sampel sedimen terlarut dimulai dari sekitar delta sampai muara sungai Jeneberang (Ls1 s/d Ls7). Hasil pengukuran sediment juga dibandingkan dengan sedimen terlarut dari hasil running pada modul SMS (SED2-WES) dan hasil analisis overlay pada citra landsat 7-ETM (1996 dan 2002). Arus paling kuat terjadi pada stasiun LS-1 dan LS-2 dengan kecepatan maksimum 0.079 m/s dan minimum 0.001 m/s. Kecepatan arus pada stasiun LS-4 dan LS-6 mempunyai kecepatan yang relatif sedang yaitu antara 0.00 - 0.03 m/s dan kecepatan stasiun LS-3, LS-5 dan LS-7 mempunyai kecepatan relatif kecil antara 0.00 – 0.019 m/s. Konsentrasi sedimen pada tiap stasiun meningkat dengan fluktuasi yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi pasang surut. Akumulasi sedimen terlarut sampai time step 72 pada stasiun LS-1 = 8.63 ppm, LS-2 = 6.34 ppm, LS-3 = 3.28 ppm, LS-4 = 3.79 ppm, LS-5 = 1.69 ppm, LS-6 = 0.94 ppm dan LS-7 = 0.60 ppm. Hasil pengukuran sedimen pada masing-masing kelas didapatkan pada: Ls1=14,30; Ls2=17,00; Ls3=3,65; Ls4=11,42; Ls5=9,12; Ls6=5,54 dan Ls7=6,32. Sedangkan hasil analisis pada overlay citra landsat dibagi kedalam 6 kelas untuk citra tahun 1996 (kelas 1: 0 – 4,74 ppm; kelas 2: 4,74-11,85 ppm; kelas 3: 11,85-12,79; kelas 4: 12,79-12,91; kelas 5: 12,91-15,35 dan kelas 6: 15,35-22,46 ppm) dan tahun 2002 (kelas 1: 0–13,65 ppm; kelas 2: 13,65-13,98 ppm; kelas 3: 13,98-14,36; kelas 4: 14,36-14,73; kelas 5: 14,73-15,59 dan kelas 6: 15,59-18,84 ppm). Keywods : Pola arus, Distribusi sedimen,SMS, TSS, overlay landsat 7-ETM 1 2 3 Mahasiswa Sandwich Master degree pada Jurusan Teknik dan Manajemen Pantai Institut ITS Surabaya dan Newcastle University of UK. Pengajar pada Jurusan Teknik dan Manajemen Pantai Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya Pengajar pada Jurusan Teknik Geologi Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT berkat limpahan rahmat dan karuniaNya penulisan tesis ini yang berjudul “ANALISA POLA ARUS DAN SEDIMENTASI DI PANTAI LOSARI MAKASSAR DENGAN MENGGUNAKAN METODE SURFACE WATER MODELLING SYSTEM (SMS) DAN OVERLAY CITRA LANDSAT-7 ETM PADA METODE SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)” dapat selesai pada waktunya. Perlunya mengetahui proses-proses pantai Losari dari sudut keteknikan (coastal engineering) adalah suatu pemikiran dari awal oleh penulis. Oleh karenanya penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran spesifik mengenai pola arus (kecepatan dan arah arus), pasang surut, refraksi gelombang dan sedimentasi (longshore sediment transport, seabed change dan pola penyebaran sediment terlarut) di Pantai Losari di kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak hingga penyelesaian thesis ini terwujud pada program Pascasarjana Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. 1. Dr. Ir. Wahyudi, M. Sc. selaku pembimbing I dan Dr. Eng. Ir. Teguh Hariyanto, M.Sc. selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu, tenaga, pemikirannya dan tiada habis-habisnya memotivasi penulis dalam menyelesaikan thesis ini. 2. Direktur program Pascasarjana ITS beserta staf dan karyawan, Ketua program Pascasarjana Teknologi Kelautan ITS beserta staf dan karyawan, serta staf pengajar yang telah memberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan sampai dengan penyelesaian thesis ini. 3. Ayahanda “Marzuki” tercinta yang selalu memanjatkan doa kepada Allah untuk kesuksesan studi saya dan doa tulus selalu terpanjatkan kepada Allah SWT semoga ibunda “Hajjah Andi Buduna Pappang Daeng Patoppo” (almarhumah) mendapat tempat di sisiNYA. 4. Istriku tercinta Surya A. Latif atas doa yang tiada hentinya dipanjatkan untuk kesuksesan saya dan juga anak-anakku tercinta Faradibah Rabiatul Adawiyah, Muhammad Jalaluddin dan Muhammad Yusuf Fisabililhaq yang telah memberikan semangat dan inspirasi dalam menyelesaikan studi ini. 5. Rekan-rekan program Pascasarjana Teknologi Kelautan serta rekan-rekan lain yang secara langsung maupun tidak langsung telah banyak membantu dalam penyelesaian thesis ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu diharapkan para pembaca berkenan memberikan saran yang sifatnya dapat membawa perubahan yang lebih baik. Akhirnya, Allah jualah yang akan membalas jasa mereka yang telah berbuat kebaikan. Surabaya, Penulis 20 Agustus 2006 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR...............................................................................iii DAFTAR ISI ............................................................................................ v DAFTAR GAMBAR ............................................................................... vii DAFTAR TABEL ..................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... - 1 1.1 Latar Belakang................................................................................. - 1 1.2 Perumusan dan Batasan Masalah .................................................... - 4 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. - 5 1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... - 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI .................... - 6 2.1 Tinjauan Umum ............................................................................... - 6 2.2 Dasar Teori ...................................................................................... - 9 2.2.1 Arus dan Pasang Surut ........................................................ - 14 2.2.2 Arus Dekat Pantai ............................................................... - 14 2.2.3 Pasang Surut ........................................................................ - 15 2.2.4 Bangunan Pelindung Pantai Untuk Longshore dan OffShore Transport ............................................................. - 20 2.2.5 Menghitung Besaran Transpor Sedimen yang terjadi ......... - 25 2.2.6 Menghitung Gelombang Pecah ........................................... - 27 2.2.7 Analisis Perubahan Garis Pantai ......................................... - 28 2.3 SMS 8.0 (Surface-water Modelling System version 8.0) .............. - 30 2.3.1 Analisa Arus (Current analyzing) ....................................... - 30 2.3.2 Analisa Sedimentasi ............................................................ - 34 2.4 Sistim Informasi Geografik (SIG) ................................................. - 38 2.4.1 Penginderaan Jauh .............................................................. - 40 2.4.2 Citra Landsat ....................................................................... - 42 2.4.3 Penilaian Hasil .................................................................... - 48 2.4.4 Pemetaan Distribusi Sedimen melalu Citra Satelit ............. - 50 2.4.5 Er Mapper 6.4 ..................................................................... - 51 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................... - 53 3.1. Studi Literatur dan Tinjauan pustaka ............................................ - 54 3.2. Observasi Lapangan ...................................................................... - 54 3.3. Data dan Peralatan ......................................................................... - 54 3.4. Proses Pemodelan .......................................................................... - 57 3.4.1. Pemodelan pada SMS (Surface-water Modelling System 8.0) ...................................................................................... - 57 - 3.4.2. Pengolahan Data pada Overlay Citra Landsat 7-ETM........ - 59 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................ - 67 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ................................................ - 67 4.2 Data Pengukuran ........................................................................... - 70 4.2.1 Pasang Surut ........................................................................ - 70 4.2.2 Debit sungai ........................................................................ - 71 4.2.3 Pengukuran Arus ................................................................. - 71 4.2.4 Sedimen Layang (Total Suspended Sediment) ................... - 73 4.3 Pemodelan Pola Arus (Current patternt) dan Sedimentasi dengan Surface Water Modelling System (SMS) 8.0. ................. - 74 4.3.1 Pemodelan Bathimetri ......................................................... - 74 4.3.2 Penentuan kondisi batas pada model RMA2 dan SED2D .. - 76 4.3.3 Hasil Pemodelan Arus Pasang Surut (RMA2) dan Konsentrasi Sedimen Terlarut pada modul SED2D ........... - 78 4.4 Pemrosesan Data pada Overlay Citra Landsat 7-ETM................ - 117 4.4.1 Pemotongan Citra .............................................................. - 117 4.5 Sebaran Sediment pada Citra....................................................... - 122 4.5.1 Data Sampel Air ................................................................ - 123 4.5.2 Analisa Sedimen pada klasifikasi Citra Landsat-7 ETM .. - 124 4.5.3 Analisa Perubahan Garis Pantai (Beach Line Changes) ... - 129 5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 131 5.2 Saran ................................................................................................ 133 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 134 DAFTAR GAMBAR Gambar 2. 1 Perkembangan Delta Jeneberang (Periode tahun 1900-1989; 1989-195 dan 1995-1997). .......................................................... - 8 Gambar 2. 2 Transpor sedimen bentuk mata gergaji di garis pantai ............. - 13 Gambar 2. 3 Transpor sedimen sepanjang garis pantai ................................. - 13 Gambar 2. 4 Groin yang berfungsi sebagai penghalang sediment litoral ...... - 20 Gambar 2. 5 Beberapa tipe Groin .................................................................. - 20 Gambar 2. 6 Illustrasi perubahan garis pantai akibat groin ........................... - 22 Gambar 2. 7 Jetty ........................................................................................... - 22 Gambar 2. 8 Sedimentasi pada jetty .............................................................. - 23 Gambar 2. 9 Shore Connected Breakwater .................................................... - 24 Gambar 2. 10 Offshore Breakwater ................................................................. - 24 Gambar 2. 11 Illustrasi arah gelombang dari laut dalam dan arah gelombang pada breaker line .................................................... - 27 Gambar 2. 12 Pembagian garis pantai dalam pias/ruas (Triatmodjo, 1999) ..... - 28 Gambar 2. 13 Hubungan antara αb, αi dan α0 (Triatmodjo, 1999) ................ - 29 Gambar 2.14. Interaksi Elektromagnetik (modul pengolahan citra LAPAN, 2005) .......................................................................... - 42 Gambar 2. 15. Struktur data raster ................................................................... - 52 Gambar 3. 1 Diagram alir penelitian (SMS dan GIS).................................... - 53 Gambar 4. 1 Peta Tematik dan Potongan Citra Landsat-7 ETM (2002) Pantai Losari ............................................................................ - 67 Gambar 4.2 Wind Rose Pantai Losari Makassar dari tahun 1987 s/d 2000 (sumber: UNHAS-GMTD). ...................................................... - 68 Gambar 4. 3 Refraksi orthogonal gelombang dari barat (kiri) dan Barat daya (kanan). sumber: Unhas-GMTD....................................... - 69 Gambar 4. 4 Grafik pengamatan pasang surut pantai Losari Makassar (2 - 5 April 2006) ..................................................................... - 71 Gambar 4. 5 Kecepatan arus pasang surut stasiun LS-3 tanggal 3 April 2006........................................................................................... - 73 Gambar 4. 6 Kecepatan arus pasang Surut stasiun LS-1 tanggal 4 April 2006........................................................................................... - 73 Gambar 4. 7 Gambungan elemen mesh dengan scatter point ........................ - 75 Gambar 4. 8 Hasil pemodelan kontur bathimetri SMS 8.0 ............................ - 75 Gambar 4. 9 Hasil pemodelan kontur bathimetri 3D SMS 8.0 ...................... - 76 Gambar 4. 10 Input data pasang surut SMS 8.0 .............................................. - 77 Gambar 4.11 Peta lokasi titik pengamatan berdasarkan masing-masing koordinat pada peta LPI Makassar (X,Y) ................................. - 79 Gambar 4. 12 Grafik pasang surut dan time step tiap kondisi elevasi muka air .............................................................................................. - 80 Gambar 4.13 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition saat surut (Time step 48, 4/4/06 01:00) ................................................... - 83 Gambar 4. 14 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition saat surut (Time step 48, 4/4/06 01:00) ................................................... - 84 Gambar 4. 15. Perbedaan arah arus Opened condition dan Closed Condition di lokasi LS-3 dan LS-4. .......................................... - 85 - Gambar 4. 16 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition saat surut (Time step 48, 4/4/06 01:00) ................................................... - 86 Gambar 4. 17 Sebaran konsentrasi sedimen Opened condition saat surut (Time step 48) ........................................................................... - 87 Gambar 4. 18 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition setelah surut (Time step 26, 3/4/06 3:00 AM) ...................................... - 88 Gambar 4.19 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition setelah surut (Time step 26, 3/4/06 3:00 AM) ...................................... - 89 Gambar 4. 20 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition setelah surut (Time step 26, 3/4/06 3:00 AM) ...................................... - 90 Gambar 4. 21 Pemodelan konsentrasi sedimen Opened condition setelah surut (Time step 26 Tgl 3/4/06 3:00 AM). ................................ - 91 Gambar 4. 22 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition menuju pasang (Time step 29 Tgl 3/4/06 6:00 AM).............................. - 92 Gambar 4. 23 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition menuju pasang (Time step 29 Tgl 3/4/06 6:00 AM).............................. - 92 Gambar 4. 24 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition menuju pasang (Time step 29 Tgl 3/4/06 6:00 AM)............................. - 93 Gambar 4. 25 Pemodelan konsentrasi sedimen Opened condition menuju pasang (Time step 29 Tgl 3/4/06 6:00 AM)............................. - 94 Gambar 4. 26 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition saat pasang (Time step 32, 3/4/06 9:00 AM) ............................................... - 95 Gambar 4. 27 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition saat pasang (Time step 32 Tgl 3/4/06 9:00 AM) ......................................... - 96 Gambar 4. 28 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition saat pasang (Time step 32 Tgl 3/4/06 9:00 AM)............................. - 96 Gambar 4. 29 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition saat pasang (Time step 32, 3/4/06 9:00 AM) ................................... - 97 Gambar 4. 30 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition setelah pasang (Time step 37, 3/4/06 2:00 PM) .................................... - 98 Gambar 4. 31 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition setelah pasang (Time step 37, 3/4/06 2:00 PM) .................................... - 99 Gambar 4. 32 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition setelah pasang (Time step 37, 3/4/06 2:00 PM) .................................. - 100 Gambar 4. 33 Pemodelan konsentrasi sedimen Opened condition setelah pasang (Time step 37, 3/4/06 2:00 PM) .................................. - 100 Gambar 4. 34 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition saat pasang sesaat (Time step 40 Tgl 3/4/06 5:00 PM) ............................. - 101 Gambar 4. 35 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition saat pasang sesaat (Time step 40 Tgl 3/4/06 5:00 PM) .................. - 102 Gambar 4. 36 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition saat pasang sesaat (Time step 40 Tgl 3/4/06 5:00 PM) .................. - 103 Gambar 4. 37 Pemodelan konsentrasi sedimen Opened condition saat pasang sesaat (Time step 40 Tgl 3/4/06 5:00 PM) .................. - 103 Gambar 4. 38 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition saat menuju surut (Time step 45, 3/4/06 10:00 PM) ................................... - 105 Gambar 4. 39 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition saat menuju surut (Time step 45, 3/4/06 10:00 PM) ............... - 105 - Gambar 4. 40 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition saat menuju surut (Time step 45, 3/4/06 10:00 PM) ...................... - 106 Gambar 4. 41 Pemodelan konsentrasi sedimen Opened condition saat menuju surut (Time step 45, 3/4/06 10:00 PM) ............... - 107 Gambar 4. 42 Grafik kecepatan arus Closed condition pasang surut tiap lokasi pengamatan ................................................................... - 108 Gambar 4. 43 Grafik kecepatan arus Opened condition pasang surut tiap lokasi pengamatan ................................................................... - 108 Gambar 4. 44 Grafik sebaran konsentrasi sedimen Closed condition pada tiap stasiun pengamatan .......................................................... - 110 Gambar 4. 45 Grafik sebaran konsentrasi sedimen opened condition pada tiap stasiun pengamatan. ......................................................... - 111 Gambar 4. 46 Seabed changes Closed condition di sepanjang pantai Losari pada time step ke 72. ............................................................... - 112 Gambar 4. 47 Seabed changes Closed condition di muara kanal Patompo pada time step ke 72. ............................................................... - 113 Gambar 4. 48 Grafik perubahan dasar laut (seabed changes) Closed condition pada tiap stasiun pengamatan.................................. - 113 Gambar 4. 49 Seabed changes Opened condition di pantai Losari pada time step ke 72. ....................................................................... - 114 Gambar 4.50 Kontur seabed changes Opened condition di pantai Losari (3D) time step 72. ................................................................... - 115 Gambar 4. 51 Seabed changes Opened condition di muara kanal Patompo pada time step ke 72. ............................................................... - 116 Gambar 4. 52 Grafik perubahan dasar laut (Seabed changes) Opened condition pada tiap stasiun pengamatan.................................. - 117 Gambar 4. 53 Hasil pemotongan Citra landsat 7-ETM pada Band 321 ........ - 118 Gambar 4. 54 Diagram ilustrasi hubungan antara parameter pada Geocoding Wizard. ................................................................. - 121 Gambar 4.55 Boundary area hasil Cropping landsat 7-ETM pada Band 321 sebelum klasifikasi (a) tahun1996 dan (b) tahun 2002 ........... - 123 Gambar 4. 56 Sebaran sedimen terlarut dan klasifikasi sedimen pada citra landsat-7 ETM 1996 ............................................................... - 127 Gambar 4.57 Sebaran sedimen terlarut dan klasifikasi sedimen pada citra landsat-7 ETM 2002. .............................................................. - 128 Gambar 4.58 Perubahan garis pantai (erosi) hasil overlay Citra Landsat-7 ETM (1996 dan 2002). ............................................................ - 129 Gambar 4. 59 Perubahan garis pantai (sedimentasi) hasil overlay Citra Landsat-7 ETM (1996 dan 2002). ........................................... - 130 - DAFTAR TABEL Tabel 2. 1 Beberapa rumus empiris transpor sedimen sepanjang pantai ........ - 26 Tabel 2. 2 Nilai Manning’s menurut US Army .............................................. - 33 Tabel 2.3. Kemampuan Band untuk Pemetaan TSM ...................................... - 51 Tabel 4. 1 Data pengukuran arus di pantai Losari .......................................... - 72 Tabel 4. 3 Hasil uji konsentrasi sedimen terlarut ........................................... - 74 Tabel 4. 4 Hasil Geocoding Wizard (GCP) dari Nilai Root Mean Square (RMS) terhadap Citra Landsat Makassar Tahun 1996 dan 2000. ........................................................................................... - 119 Tabel 4.5 Rata-rata band dan luasan area hasil klasifikasi .......................... - 125 - Tabel 4. 6 Perbandingan konsentrasi sedimen (TSM) hasil overlay citra Lansdat-7 ETM (tahun 1996 dan 2002) dengan data pengukuran di lapangan. .............................................................. - 126 - BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pantai merupakan kawasan pemukiman yang sangat penting di dalam sejarah peradaban manusia dimana lebih dari 70% kota besar di dunia berada di daerah pantai (Post dan Lundin, 1996). Hal ini terkait erat dengan potensi luar biasa yang dimiliki oleh pantai yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kehidupan manusia sejak jaman Mesir kuno hingga sekarang (Pernetta and Elder, 1993). Pantai memiliki potensi diantaranya adalah sebagai daerah permukiman, industri, budidaya perikanan, pertanian, pelabuhan, pariwisata dan sebagainya. Selain mempunyai potensi yang menguntungkan, pantai juga rawan terhadap gempuran gelombang badai seperti tsunami yang sifatnya merusak. Lebih jauh Pernetta and Elder (1993) menjelaskan bahwa daerah pantai merupakan area yang memiliki produktivitas yang tinggi, keragaman ekosistem biologi, terumbu karang, mangrove dan lain-lain. Disamping itu pantai memiliki dinamika yang tinggi ditandai dengan intensitas terjadi perubahan ekosistim pantai secara biologi, kimia dan perubahan atribut geologi dan imput polusi dari daratan. Hal ini seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan ekploitasi terhadap sumberdaya alam termasuk sumberdaya alam di pantai semakin intensif, dimana dampak negatifnya menjadikan daya dukung pantai semakin berkurang. Sebagai suatu sistem, secara fisik di daerah pantai terjadi interaksi antara masing-masing sub-sistem yang menyusun sistem pantai seperti interaksi angin dan air laut yang membentuk gelombang, interaksi gelombang dengan dasar laut yang menjadikan gelombang pecah, dan seterusnya sehingga interaksi tersebut dapat mengakibatkan pengangkutan sedimen dan terjadinya perubahan garis pantai. Secara umum sedimentasi dapat dipahami sebagai suatu proses pengangkutan sedimen baik yang tegak lurus dengan pantai (offshore sediment transport) maupun yang sejajar garis pantai atau longshore sediment transport (Komar, 1998). Masalah sedimentasi yang akan diteliti lebih jauh adalah longshore sediment transport maupun erosi yang terjadi di Pantai Losari Makassar Propinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan data yang telah diperoleh terjadi pertumbuhan luasan delta (spit) dari peride 1990 sampai 1979 dan menyusut terutama sejak berfungsinya Dam multiguna Bilibili dari tahun 1997 dan kemudian cenderung mendekati garis pantai losari (Anonim, 2003). Proses sedimentasi ini ditandai dengan adanya pengerukan (dregging) yang dilakukan oleh pemerintah kota Makassar setiap tahunnya (periode sebelum tahun 1997). Hal ini semakin menambah kompleksitas permasalahan yang ada. Pantai Losari merupakan type pantai model kantong (pocket beach) oleh karena itu permasalahan yang dihadapi pada pantai ini juga terjadi pada berbagai negara dengan type pantai yang sama (Corbau; Ciavola; Gonzalez and Ferreira, 2001). Dalam kurung periode sebelum tahun 1997 pantai mengalami pendangkalan yang sangat cepat dan tidak tekendali. Besarnya sedimentasi yang telah disebutkan diatas selain oleh pengaruh gelombang dan arus juga karena adanya aliran dua sungai besar yaitu sungai -2- Jeneberang di sebelah barat kota Makassar dan Sungai Tallo di sebelah Timur. Oleh karena itu Pantai Losari juga dikategorikan sebagai daerah intertidal estuaria yaitu darah pantai dimana dinamika sedimentasi dan perubahan garis pantainya juga dipengaruhi oleh aliran sungai disekitarnya, disamping itu pantai ini juga mendapat tekanan dari saluran pembuangan dari kota yang turut andil pada pendangkalan delta pada bagian dalam. Terdapat empat belas outlet kanal kota dimana tujuh diantaranya outlet besar yang kesemuanya bermuara kedalam Pantai Losari. Penelitian ini dinilai penting untuk mengatahui pola aliran arus pantai, perubahan garis pantai dan pengendalian laju sedimentasi yang terjadi pada pantai Losari dimana merupakan pusat berbagai aktivitas kota dan sebagai jalur transportasi laut dalam mendukung perdagangan interinsulair dan international. Di samping itu adanya dua pelabuhan perikanan rakyat di area pantai Losari tersebut yaitu Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Rajawali dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Paotere. Kerusakan pantai juga lebih utama berdampak pada terjadinya tekanan terhadap daya dukung pantai yang kemungkinan akan mengganggu dan mengurangi fungsi ekosistem pantai. Oleh karena itu salah satu tujuan utama penelitian ini adalah mengetahui pola arus dan sedimentasi yang terjadi di pantai Losari. Hasil penelitian nantinya diharapkan memberi rekomendasi kepada pemerintah kota dalam melakukan penataan pantai (bangunan pantai, pelindung pantai, tata ruang yang mendukung dll) untuk kota Makassar kedepan. -3- 1.2 Perumusan dan Batasan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di muka, maka permasalahan dirumuskan sebagai berikut. - Cakupan daerah studi sepanjang pantai Losari sekitar 11.336,5 meter. - Berapa besaran sedimen yang terjadi dan juga perubahahan garis pantai di Pantai Losari - Bagaimana pola arus dan sedimentasi di Pantai Losari berdasarkan metode SMS dan Overlay citra landsar 7-ETM. Sedangkan batasan masalah yang diambil untuk memfokuskan pelaksanaan penelitian agar tujuan penelitian ini tercapai adalah : - Lokasi studi di pantai Losari Kota Makassar Prop. Sulawesi Selatan sepanjang 3 (tiga) kilo meter (1190 21’ - 1190 30’ BT dan 507’ - 50 15’ LS). - Pembahasan difokuskan pada pola arus dan sedimentasi dengan menggunakan SM S versi 8.0 dan Overlay citra landsat 7-ETM (Citra tahun 1996 dan 2002) dengan menggunakan software Arc Mapper 6.4, Autocad Map, Arcview 3.2 dengan image analysis. - Besarnya sedimentasi yang diperoleh dengan metode SMS akan dibandingkan dengan besaran sedimen dengan metode overlay terhadap citra landsat 7-ETM. -4- 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: - Bagaimana pola arus dan besaran sedimentasi di pantai Losari Makassar. - Menentukan hubungan metode SMS dan overlay citra landsat pada sistim informasi geografis dalam perhitungan besaran sedimen yang terjadi di pantai Losari. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: - Mengetahui pola, arah dan kecepatan arus di Pantai Losari. - Mengetahui penyebaran konsentrasi sedimen dan perubahan kontur dasar pantai laut di Pantai Losari Makassar. - Merupakan bahan masukan bagi pemerintah kota dalam pengembangan pantai Losari di masa yang akan datang. -5- BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Umum Secara geografis, kota Makassar terletak di tengah kepulauan Indonesia dengan pelabuhan Makassar sebagai pelabuhan utama di Indonesia bagian timur, dan sebagai ibu kota propinsi sejak runtuhnya kerajaan GOWA pada abad XVII. Saat ini Makassar tumbuh menjadi kota perdagangan baik secara regional maupun internasional, pusat industri dan teknologi di Indonesia kawasan timur, pendidikan tinggi, pelayanan kesehatan dan transportasi. Hal ini di tandai dengan visi kota Makassar sebagai kota maritim, perdagangan, pendidikan tinggi kebudayaan, pelayanan, pembangunan berkelanjutan yang berorientasi global dengan pelayanan yang ramah. Untuk mendukung visi tersebut kota Makassar perlu didukung dengan perencanaan tata kota dan pembangunan wilayah pesisir yang tepat. Wilayah pesisir sepanjang muara Janeberang hingga muara sungai Tallo merupakan wilayah yang digunakan sebagai lahan perumahan, pusat pertokoan, industri, pelabuhan perikanan dan sebagian lahan tambak, sementara sepanjang wilayah pesisir ini juga potensial terjadi abrasi dan sedimentasi. Sehingga perlu adanya kajian yang tepat tentang perilaku abrasi dan sedimentasi sepanjang pesisir tersebut. (Yudono, dkk.., 2001). Menurut Laporan Akhir Studi Perilaku Pantai Jeneberang (2003) yang dilaksanakan oleh UNHAS kerjasama dengan Gowa Makassar Tourism Development tbk. (GMTD), bahwa perilaku kondisi fisis Delta Jeneberang memiliki pertumbuhan luasan dari periode 1900 sampai 1989 tetapi kemudian cenderung menyusut terutama sejak penggenangan Dam Multiguna Bilibili pada tahun 1997 (disajikan pada Gambar 2.1). Setelah itu suplai sedimen hanya mengharapkan dari Sub-DAS Jeneberang, yaitu DAS Jenelata dan erosi tebing sungai sepanjang bagian hilir Sungai Jeneberang. Dengan suplai sedimen yang berkurang dari muara Sungai Jeneberang, sementara tenaga gelombang yang terbangkit oleh angin barat daya, barat, dan barat laut dan arus residual relatif tetap dari tahun ke tahun, maka hal itu berakibat pada proses redistribusi sedimen sepanjang pantai yang cenderung berarah ke utara. Perubahan garis pantai yang signifikan adalah pada daerah dangkalan sekitar muara Sungai Jeneberang, sekitar muara yang telah tertutup ,dan sepanjang garis pantai spit Tanjung Bunga. Kenampakan ini sejalan dengan pemeriksaan lewat pola refraksi, peta kontur bathimetri, dan pola angkutan sedimen susur pantai dan lintas pantai. Kota Makassar merupakan ibu kota propinsi Sulawesi Selatan yang letaknya berada diantara kabupaten Gowa dan Maros. Kota Makassar sebagai Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan sekaligus sebagai pintu gerbang Kawasan Timur Indonesia (KTI) telah berkembang demikian pesatnya dari berbagai sector. -7- Gambar 2. 1 Perkembangan Delta Jeneberang (Periode tahun 1900-1989; 1989195 dan 1995-1997). Untuk menunjang kegiatan investasi di Kota Makassar telah dilengkapi fasilitas sarana dan prasarana/infrastruktur antara lain yang berhubungan dengan pantai Losari seperti: Pelabuhan penumpang dan peti kemas dengan panjang dermaga 2.500 m kedalaman 14 m, fasilitas gedung seluas 26.600 m2, fasilitas lapangan penampungan seluas 9.675 m2 serta lapangan peti kemas/kontainer seluas 140.954 m2. Rencana Pemerintah kota dalam rangka pengembangan Pantai Losari : − Pembuatan saluran tangkap sepanjang garis Pantai Losari − Pelurusan muara kanal kota − Pembuatan STP kota − Penambahan ruang publik (bukan ruang komersil) ke arah pantai − Penambahan lebar jalan & tempat-tempat parkir -8- − Menggali pasir sedimentasi yang mendangkalkan Kawasan Pelabuhan untuk penimbunan ruang baru − Penetapan Kawasan Losari Sebagai kawasan khusus (Regulasi) − Pembuatan spektator sepanjang Garis Pantai Losari − Pembuatan pelataran-pelataran (plaza) sebagai fungsi city center − Pembuatan hijau kota yang terencana sepanjang Pantai Losari 2.2 Dasar Teori Secara umum permasalahan yang berkembang di daerah pantai biasanya dipengaruhi oleh pertumbuhan manusia yang bermukim wilayah pantai dan sekitarnya (Coastal urban) dan dinamika dalam wilayah tersebut (Post dan Lundin, 1996). Namun demikian dalam hal penanganan masalah pantai juga tidak terlepas dari fenomena alam beserta pengaruhnya terhadap perubahan pantai dan perairannya. Dalam Tesis ini dibahas proses sedimentasi dan permasalahan, fenomena dan penyebab terjadinya sedimentasi. Secara umum proses sedimen transport adalah sebagai berikut : 1. Teraduknya material khohesif dari dasar hingga tersuspensi atau terlepasnya material non kohesif dari dasar laut 2. Pemindah material sedimen secara horizontal 3. Pengendapan kembali partikel/material sedimen tersebut. Masing-masing tahapan tersebut tergantung pada gerakan air dan karakteristik sedimen itu sendiri. Pada daerah pesisir pantai gerakan air merupakan kombinasi gelombang dan arus. Gelombang lebih bersifat melepas material di dasar dan mengaduknya sementara arus lebih bersifat memindahkan -9- material sedimen ke tempat lain. Hal ini bisa terjadi sebaliknya yaitu gelombang yang memindahkan partikel sedimen ke tempat lain dan aru mampu mengangkut dan mengaduk sedimen dari dasar laut (Pratikto, 1999). Proses erosi (erosion) dan sedimentasi (accretion) tergantung pada ketersediaan sedimen dasar dan pengaruh hidrodinamika arus dan gelombang. Sedimen yang terangkut tersbut dapat berupa seabed load (menggelinding, menggeser di dasar laut) seperti pasir yang melayang untuk sedimen tersuspensi (misalnya lempung). Apabila kecepatan arus berkurang misalnya di pelabuhan yang gelombang dan arusnya derencanakan maka arus tidak mampu lagi untuk mengangkut sedimen sehingga terjadi sedimentasi di daerah tersebut. Mengingat rumitnya menanggulangi permasalahan sedimentasi dan abrasi pantai maka perencanaan pelabuhan, kecepatan arus dan tinggi gelombang harus diperhitungkan secara cermat sehingga sedimentasi yang terjadi sedikit mungkin dan kalau bisa tidak ada (Trihatmaja, 2001). Lebih jauh Trihatmaja (2001) dijelaskan bahwa secara fisik transport sedimen sangat dipengaruhi oleh interaksi antara pasang surut, angin, gelombang, jenis dan ukuran sedimen, bentuk pantai serta adanya bangunan-bangunan di daerah pantai (litoral zone). Karakteristik sedimen yang meliputi bentuk ukuran partikel dan distribusinya dan spefisik grafity (ρ) sangat penting untuk diketahui karena hal tersebut berpengaruh pada proses pengendapan partikel sedimen setelah terapung. Littoral process adalah merupakan hasil interaksi antara angin, gelombang, arus, pasang surut, sedimen dan lain-lain kejadian di daerah littoral (littoral zone). - 10 - Salah satu contoh littoral process adalah erosi dan akresi pada suatu pantai dimana pantai sangat tergantung dan dipengaruhi oleh pada keadaan angkutan sedimen (sediment transport) di daerah tersebut. Littoral transport dapat terjadi dalam 2 cara yaitu sebagai : 1. Suspended load transport, dimana material suspensinya terjadi di dalam kolam air dan dipertahankan oleh turbulensi air agar tetap di atas dasar. 2. Seabed Load transport, dimana konsentrasi sedimen yang bergerak disekitar dan sangat dekat dengan dasar (pengendapan), digerakkan pada keadaan terdispersi oleh kontak antar butir sedimen. Meskipun secara definitive perbedaanya sangat jelas tetapi kenyataannya kedua cara tersebut terjadi bersama-sama, sehingga dalam pengukuran sulit memisahkan antara suspended dan seabed load. Namun rasio suspension transport dengan total transport (suspended + seabed load) diperkirakan kurang lebih 0,2 (Komar, 1998). Sementara transpor sedimen di daerah littoral (littoral transport) dapat diklasifikasikan menjadi; 1. Onshore - offshore transport (angkutan sedimen terjadi dari pantai ke laut atau sebaliknya). Onshore-offshore transport dikenal juga dengan istilah Cross-shore sedimen transport adalah angkutan sedimen tegak lurus garis pantai, ditentukan terutama oleh gelombang, ukuran butir sedimen, dan kemiringan pantai. Angkutan sedimen ini biasanya terjadi dalam kurung waktu relatif singkat seperti proses angkutan sedimen tegak lurus pantai yang dikaitkan oleh terjadinya gelombang pasang (storm waves misalnya - 11 - jika suatu iklim gelombang spesifik manghantam suatu pantai berpasir setelah beberapa saat akan terbentuk suatu keseimbangan profil pantai. 2. Angkutan sedimen di sepanjang pantai (Longshore sediment transport). Longshore sedimen transport adalah suatu angkutan sedimen yang sejajar dengan garis pantai yaitu terangkatnya (suspended) butir-butir material pantai oleh adanya turbulensi yang diakibatkan oleh gelombang pecah. Sedimen tersebut kemudian digerakkan oleh kedua komponen yaitu energi gelombang dalam arah sejajar pantai dan arus yang sejajar pantai yang dibentuk oleh gelombang pecah. Arah dari dari sedimen transport sejajar pantai dipengaruhi langsung oleh arah gelombang atau sudut yang dibentuk oleh puncak gelombang (wave crest) dengan garis pantai. Biasanya longshore transport ini memegang peranan penting dalam perubahan garis pantai dalam jangka panjang. Transport sedimen sepanjang pantai terdiri dari dua komponen utama yaitu : a) Transpor sedimen dalam bentuk mata gergaji di garis pantai. Pada waktu gelombang menuju pantai dengan membentuk sudut terhadap garis pantai maka gelombang tersebut akan naik ke pantai (uprush) yang juga membentuk sudut, massa air yang naik tersebut kemudian turun lagi dalam arah dalam arah tegak lurus pantai, gerak air tesebut membentuk lintasan seperti mata gergaji yang disertai dengan terangkutnya sedimen dalam arah sepanjang pantai. - 12 - Arah gelombang datang Arah Transpor PANTAI Gambar 2. 2 Transpor sedimen bentuk mata gergaji di garis pantai b) Transpor sedimen sepanjang pantai di daerah surf zone. Yaitu transport sedimen yang ditimbulkan oleh arus sepanjang pantai yang dibangkitkan oleh gelombang pecah yang terjadi di surf zone. U Cos α Arah gelombang datang Breaker Line Arah Transpor Surf Zone U Cos α PANTAI Gambar 2. 3 Transpor sedimen sepanjang garis pantai Longshore Transport dari pasir di pantai termanifestasikan ketika gerakan ini dihalangi oleh suatu konstruksi, seperti : Breakwater, Jetties, dan Groins. Struktur ini berperan menghalangi “littoral drift” menyebabkan terjadinya / deposisi / akresi sedimen di pantai pada updrift dan terjadi erosi terus menerus pada downdrift. - 13 - 2.2.1 Arus dan Pasang Surut Arus dan pasang surut merupakan faktor alami yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya berbagai kondisi pantai dalam kajian proses pantai, baik itu erosi, akresi, sedimentasi dan masih banyak lagi. Sehingga penelitian dan analisa terhadap berbagai hal tentang arus dan pasang surut sangat diperlukan. 2.2.2 Arus Dekat Pantai Menurut Komar (1998) bahwa gelombang dapat menimbulkan energi untuk membentuk pantai, menimbulkan arus dan transport sedimen dalam arah tegak lurus dan sepanjang pantai, serta menyebabkan gaya-gaya yang bekerja pada bangunan pantai. Gelombang yang menjalar menuju pantai membawa massa air dan momentum dalam arah penjalaran gelombang. Transport massa dan momentum tersebut menimbulkan arus di dekat pantai. Di beberapa daerah yang dilintasinya, perilaku gelombang dan arus yang ditimbulkannya berbeda. Daerah yang dilintasi gelombang tersebut adalah offshore zone, surf zone dan swash zone. Diantara ketiga daerah tersebut, karakteristik gelombang di surf zone dan swash zone adalah paling penting didalam analisis proses-proses pantai (beach processes). Arus yang terjadi pada daerah tersebut sangat tergantung pada arah datang gelombang. Ada dua sistem arus yang disebabkan oleh gelombang di daerah nearshore zone yang mendominasi gerakkan air selain gerakan yang disebabkan oleh gelombang secara langsung (Komar, 1998 dan Kamphuis, 1996) yaitu: a. Sirkulasi sel dengan rip current dan longshore current yang berasosiasi dengannya. - 14 - b. Longshore current yang dihasilkan oleh gelombang yang menjalar ke arah pantai. Pada suatu daerah pantai yang panjang dapat terjadi beberapa sirkulasi sel, yang tergantung pada kondisi topografi di daerah tercsebut. Komponen dari sirkulasi sel adalah transport massa air ke arah daratan yang terjadi pada saat gelombang pecah, dan arus sejajar dengan pantai. Arus sepanjang pantai (longshore current) juga ditimbulkan oleh gelombang yang pecah membentuk sudut terhadap garis pantai. Arus ini terjadi diantara gelombang pecah dan garis pantai. Parameter yang penting dalam menentukan kecepatan arus sepanjang pantai adalah tinggi dan sudut datang gelombang pecah.Longuet–Higgins (Komar, 1985) menurunkan persamaan untuk menentukan arus sepanjang pantai. Persamaan tersebut adalah sebagai berikut: V = 1,17(gHb)1/2sin αb cos αb ........................................................... (2.1) Dimana : 2.2.3 V = Kecepatan arus sejajar pantai g = Percepatan gravitasi Hb = Tinggi gelombang pecah αb = Sudut datang gelombang pecah Pasang Surut Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut sebagai fungsi waktu karena adanya gaya tarik benda-benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi. Massa bulan jauh lebih dekat, maka pengaruh gaya tarik bulan terhadap bumi lebih besar dari pada pengaruh gaya tarik matahari. Pasang surut yang mempengaruhi elevasi tinggi gelombang yang membawa material - 15 - sedimen dari dan menuju kearah pantai yang menyebabkan terjadinya transport sedimen tegak lurus pantai. Selain itu pasang surut juga berpengaruh pada kecepatan dan arah arus. Arus yang ditimbulkan oleh pasang surut cukup kuat untuk membawa material sedimen dalam jumlah yang cukup besar. Dalam perencanaan bangunan pantai, pasang surut sangat penting untuk dikaji, karena elevasi muka air tertinggi (pasang) dan terendah (surut) sangat penting untuk merencanakan bangunan pantai. Di suatu daerah dalam satu hari dapat terjadi satu kali pasang surut. Secara umum pasang surut di berbagai daerah dapat dibedakan dalam empat tipe, yaitu pasang surut harian tunggal (diurnal tide), harian ganda (semidiurnal tide) dan dua jenis campuran. a) Pasang surut harian ganda (semidiurnal tide) Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan tinggi yang hampir sama dan pasang surut terjadi secara berurutan dan teratur. Periode pasang surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit. b) Pasang surut harian tunggal (diurnal tide) Dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut dengan periode pasang surut adalah 24 jam 50 menit. c) Pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide prevelailing semidiurnal tide) Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi tinggi dan periodenya berbeda. d) Pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevelailing diurnal tide) - 16 - Dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut, tetapi kadang-kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi periode yang sangat berbeda. Penentuan elevasi air laut yang berdasarkan pasang surut dapat digunakan sebagai pedoman dalam perencanaan suatu bangunan pelindung pantai. Beberapa elevasi tersebut adalah sebagai berikut : a. Muka air tinggi (high water level), muka air tertinggi yang dicapai pada saat air pasang dalam satu siklus pasang surut. b. Muka air rendah (low water level), kedudukan air terendah yang dicapai pada saat air surut dalam satu siklus pasang surut. c. Muka air tertinggi rerata (mean high water lavel, MHWL), adalah rerata dari muka air tertinggi selama peride 19 tahun. d. Muka air rendah rerata (mean low water level, MLWL), adalah rerata dari muka air terendah selama periode 19 tahun. e. Muka air laut rerata (mean sea level, MSL), adalah muka air rerata antara muka air tinggi rerata dan muka air rendah rerata. elevasi ini digunakan sebagai referensi untuk elevasi daratan. f. Muka air tinggi tertinggi (highest high water level, HHWL), adalah air tertinggi pada saat pasang surut purnama atau bulan mati. g. Muka air rendah terendah (lowest low water level, LLWL), adalah air terendah pada saat pasang surut purnama atau bulan mati. h. Higher high water level, adalah air tertinggi dari dua air tertinggi dalam satu hari, seperti dalam pasang surut tipe campuran. - 17 - i. Lower low water level, adalah air terendah dari dua air rendah dalam satu hari. Pada umumnya sifat pasang surut di perairan ditentukan dengan menggunakan rumus Formzahl sebagai berikut: F = (K1 + O1)/(M2 + S2) .......................................................................(2.2) Dimana nilai formzahl , F = 0.00 – 0.25 ; pasut bertipe harian ganda (semi diurnal) F = 0.26 – 1.50 ; pasut bertipe harian campuran dengan tipe harian ganda yang menonjol (mixed, mainly semi diurnal) F = 1.51 – 3.00 ; pasut bertipe harian campuran dengan tipe harian tunggal yang menonjol (mixed, mainly diurnal) F > 3.00 ; pasut bertipe harian tunggal (diurnal) O1 = Unsur pasut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan K1 = unsur pasut tunggal yang disebabkan oleh gaya tarik matahari M2 = Unsur pasut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan S2 = Unsur pasut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik matahari Metode yang digunakan adalah metode Admiralty untuk mendapatkan konstanta harmonik melalui persamaan pasang surut : n=k A(t ) = S n + An n =1 . cos(W − Gn ) …………………………………..(2.3) dimana: A(t) = Amplitudo Sn = Tinggi muka laut rata-rata (MSL) An = Amplitudo komponen harmonis pasang surut - 18 - Gn = Phase komponen pasang surut n = Konstanta yang diperoleh dari hasil perhitungan astronomis t = waktu Menuru Kamphuis (1996) bahwa penentuan tinggi dan rendahnya pasang surut ditentukan dengan rumus-rumus sebagai berikut: a). Duduk Tengah Secara umum istilah duduk tengah permukaan laut (disingkat : Duduk Tengah; dalam bahasa Inggris disebut Mean Sea Level) sebagai titik nol. Nilai duduk tengah juga merupakan harga S0 pada konstanta pasang surut metode Admiralty. b). Muka Surutan Muka surutan merupakan sebuah bidang khayal yang diletakkan serendah mungkin. Menurut definisi dari British Admiralty adalah: Z0 = S0 – 1.1 (M2 + S2) ………………………………………..(2.4) c). Datum Level DL = MSL – Z0 ………………………………………………..(2.5) d). Datum Tertinggi Rata-rata Datum pasang surut lainnya adalah air tertinggi rata-rata (mean higher high water) biasa disebut sebagai datum elevasi, yang didefinisikan dengan persamaan: MHWL = Z0 + (M2 + S2) ……………………………………..(2.6) HHWL = Z0 + (M2 + S2) + (O1 + K1) …………………………(2.7) e). Pasang Terendah Rata-rata MLWL = Z0 - (M2 + S2) ………………………………………(2.8) - 19 - LLWL = Z0 - (M2 + S2) - (O1 + K1) …………………………..(2.9) f). HAT (Tinggi Pasang Surut) HAT = Z0 + ΣAi ………………………………………………(2.10) ΣAi = komponen pasang surut, M2, S2, N1, P2, O1, K1 g). LAT (Rendah Pasang Surut) LAT = Z0 - ΣAi …………………………………………………(2.11) 2.2.4 Bangunan Pelindung Pantai Untuk Longshore dan OffShore Transport 2.2.4.1 Groins Adalah struktur pelindung pantai yang didisain untuk menahan longshore sedimen/material. Terdiri dari struktur tipis dengan panjang bervariasi, tinggi bervariasi, dibuat tegak lurus dengan garis pantai. Sedimen litoral GROIN Garis pantai Perubahan garis pantai Gambar 2. 4 Groin yang berfungsi sebagai penghalang sediment litoral Tegak lurus Tipe T Tipe L Gambar 2. 5 Beberapa tipe Groin - 20 - Beberapa defenisi tentang Groin - Groin hanya bisa digunakan untuk menahan longshore transport. - Perubahan pantai/garis pantai di dekat groin tergantung besar dan arah longshore transport. - Pengendapan/penahanan longshore material oleh groin akan merubah profil pantai, akan menjaga kerusakan profil alaminya. - Air yang terdorong oleh gelombang ke dalam groin akan atau kadangkadang kembali ke laut sebagai Arus Rip. - Prosentase dari longshore transport yang melalui groin akan tergantung pada; Dimensi groin, Dimensi fillet, Muka air dan Kondisi gelobang. - Material longshore yang terkumpul di daerah updrift tertahan untuk mencapai daerah down drift. - Untuk mencegah terjadi perubahan garis pantai yang ekstrim Permeable Groin (mempunyai kisi-kisi) dan dapat juga dengan Adjustable Groin yaitu groin yang tinginya dapat dilepas atau di rubah tergantung kebutuhan. - Perubahan profil pantai dekat groin dapat digambarkan sebagai berikut ; A1B1 || AB A1B1C = Profil awal garis pantai ABC = Profil baru garis pantai akibat groin - 21 - A1 A Profil baru akibat groin GROIN B ML W B1 Profil awal C Gambar 2. 6 Illustrasi perubahan garis pantai akibat groin 2.2.4.2 Jetty Adalah bangunan tegak lurus pantai yang diletakkan pada kedua sisi muara sungai yang berfungsi untuk mengurangi pendangkalan alur oleh sediment pantai. Gelombang dominan Jetty Garis gelombang pecah Arah transpor PANTAI MUARA SUNGAI Gambar 2. 7 Jetty Pengaruh Jetty pada garris pantai. Dengan adanya Jetty maka sediment akan tertahan pada sisi jetty. Sedimentasi tejadi pada updrift dan erosi terjadi pada downdrift. - 22 - Arah transpor Arah transpor Jetty Jetty updrift updrift downdrift downdrift MUARA SUNGAI MUARA SUNGAI (a) tipe tegak lurus (b) tipe Obtuse /miring Gambar 2. 8 Sedimentasi pada jetty Dari gambar di atas merupakan hasil prediksi model matematis, terlihat terjadi perubahan garis pantai akibat adanya jetty dan angkutan sediment sepanjang pantai. Untuk mengatasi masalah ini disarankan dengan cara sand by passing, yaitu dengan melakukan pengerukan (dredging) didaerah pengendapan dan ditimbungkan pada daerah yang terancam erosi. 2.2.4.3 Breakwater Breakwater secara umum dapat diartikan suatu bangunan yang bertujuan untuk melindungi pantai, kolam pelabuhan, fasilitas pelabuhan atau untu menangkap pasir. Secara garis besar ada dua macam type breakwater yaitu : 1. Breakwater type shore connected, adalah struktur yang berfungsi melindungi daerah pantai, pelabuhan, perairan dari gelombang. - 23 - Arah gelombang Pengendapan Breakwater Kolam Pelabuhan Erosi Gambar 2. 9 Shore Connected Breakwater 2. Breakwater type Offshore, adalah struktur yang dirancang untuk memberi perlindungan terhadap gelombang dan cross-shore transport sediment pada suatu daerah perairan atau pantai didekat struktur breakwater. Gelombang Gelombang Pemecah gelombang Tombolo cuspate Garis pantai Gambar 2. 10 Offshore Breakwater Pengaruh Breakwater terhadap pantai Dengan dibangunnya pemecah gelombang di suatu pantai, maka keseimbangan pantai akan terganggu. Pada pantai tersebut mungkin akan terjadi suatu proses akresi ataupun erosi. Proses ini cukup cepat apabila angkutan sediment di pantai tersebut cukup besar (seperti pada gambar 10, 11 dan 12) Pengaruh Breakwater terhadap pantai. - 24 - Faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk menentukan letak/lokasi dari breakwater yaitu : 2.2.5 - Panjang gelombang (energi gelombang) dan tinggi gelombang - Celah (gap) antara breakwater - Arah gelombang - Rentang pasang surut - Kemiringan dasar pantai - Suplai sedimen dan ukuran sediment. Menghitung Besaran Transpor Sedimen yang terjadi Menurut Dong and Chen (1998) menyatakan bahwa erosi yang terjadi di sepanjang pantai merupakan dinamika pantai dan angkutan sedimen di sepanjang pantai tersebut yang disebabkan adanya perubahan secara perlahan arah angkutan sediment pada longshore dan cross-shore. Untuk perhitungan transpor sedimen sepanjang pantai, digunakan rumus empiris yang didasarkan pada kondisi gelombang di daerah yang ditinjau. Rumus yang ada untuk menghitung transpor sedimen sepanjang pantai dikembangkan berdasar data pengukuran model dan prototype pada pantai berpasir. Sebagian rumus-rumus (lihat Tabel 2. 1) tersebut merupakan hubungan yang sederhana antara transpor sedimen dan komponen fluks energi gelombang sepanjang pantai dalam bentuk persamaan umum : Qs = K P l n Pl = ρg 8 H b Cb sin α b cos α b 2 Atau menggunakan persamaan dalam SPM 1984 (Ch. 4, Sec. IV.5, eqs. (437)), pendekatan untuk Pl pada daerah breaker line adalah: - 25 - Pl = Karena, Di mana : Qs = angkutan sedimen sepanjang pantai (m3 / hari) Pl = komponen fluks energi gelombang sepanjang pantai pada breaker line (Nm/d/m) ρ = rapat massa air laut (ton/m3) Hb = tinggi gelombang pecah (m) db = kedalaman gelombang pecah (m) Cb = cepat rambat gelombang pecah (m/d) αb = sudut datang gelombang pecah (º ) K, n = konstanta (dimensionless) lihat Tabel 2. 1. Tabel 2. 1 Beberapa rumus empiris transpor sedimen sepanjang pantai No Nama Rumus Empiris 1 Caldwell Qs = 1,200 Pl0,8 2 Savage Qs = 0,219 Pl 3 Ijima, Sato, Aono, Ishi Qs = 0,130 Pl054 4 Ichikawa, Achiai, Tomita, Murobuse Qs = 0,130 Pl0,8 5 Ijima, Sato Qs = 0,060 Pl 6 Tanaka Qs = 0,120 Pl 7 Komar, Inman Qs = 0,778 Pl 8 Das Qs = 0,325 Pl 9 CERC Qs = 0,401 Pl Sumber. Triatmojdo, 1999 - 26 - Arah gelombang dari laut dalam Arah gelombang di breaker line Breaker line Arah transport sedimen PANTAI Gambar 2. 11 Illustrasi arah gelombang dari laut dalam dan arah gelombang pada breaker line 2.2.6 Menghitung Gelombang Pecah Apabila gelombang bergerak menuju laut dangkal, kemiringan batas gelombang tergantung pada kedalaman relative d/L dan kemiringan dasar laut m. Gelombang dari laut dalam yang bergerak menuju pantai akan bertambah kemiringannya sampai akhirnya tidak stabil dan pecah pada kedalaman tertentu, yang disebut dengan kedalaman gelombang pecah db. Tinggi gelombang pecah diberi notasi Hb. Munk (1949, dalam CERC, 1984) memberikan rumus untuk menentukan tinggi dan kedalaman gelombang pecah sebagai berikut : Hb 1 = H '0 3,3( H '0 / L0 )1 / 3 (Parameter Hb/H’0 disebut dengan indek tinggi gelombang pecah. Rumus di atas tidak memberikan pengaruh kemiringan dasar laut terhadap gelombang pecah). dimana : Hb = Tinggi gelombang pecah (m) H’0 = Tinggi gelombang laut dalam ekivalen - 27 - db = Kedalaman air dimana gelombang pecah (m) L0 = Panjang gelombang laut dalam Cepat rambat gelombang pecah (Cb) Cb = 2.2.7 gd b Analisis Perubahan Garis Pantai Analisa perubahan garis pantai dilakukan agar kita dapat memprediksi perubahan garis pantai untuk masa yang akan datang. Perubahan garis pantai tersebut dapat diprediksi dengan membuat model matematik yang didasarkan pada imbangan sediment pantai pada daerah pantai yang ditinjau. Model perubahan garis pantai didasarkan persamaan kontiunitas sediment. Y Gambar 2. 12 Pembagian garis pantai dalam pias/ruas (Komar, 1976) Data yang digunakan dalam perhitungan perubahan garis pantai merupakan data gelombang pecah yang terdiri dari; tinggi gelombang pecah (Hb), panjang gelombang pecah (L0), celerity gelombang pecah (Cb), kedalaman air dimana gelombang pecah (db) dan sudut gelombang pecah (αb). - 28 - Sudut gelombang pecah (αb) akan berubah dari satu pias ke pias lainnya karena adanya perubahan garis pantai. Seperti di tunjukkan pada Gambar 14., sudut α1 yang dibentuk oleh garis pantai dengan garis sejajar sumbu x, antara pias i dan i+1 diberikan oleh : tgα i = Yi − Yi +1 ∆x Apabila gelombang datang dengan membentuk sudut α0 dengan arah sumbu x (Gambar 2. 13), maka sudut datang gelombang pecah (αb) terhadap garis pantai adalah : αb = αi ± α0 Gambar 2. 13 Hubungan antara αb, αi dan α0 (Triatmodjo, 1999) Selain data-data tersebut digunakan juga data kondisi pantai berupa sudut kemiringan dasar pantai dan kordinat awal garis pantai. Hasil perhitungan akan memberikan gambaran mulai dari kondisi pantai sebelum akresi (Yawal), besarnya kemajuan atau kemunduran garis pantai ( ΔY) dan terakhir posisi garis pantai setelah terjadl erosi dan akresi (Yakhir). Hubungan persamaan kontinuitas dengan pemodelan perubahan garis pantai (lihat Gambar 13) sebagai berikut : ΔYi = ( Qs-1 - Qs )*Δt / (db*Δx) Dimana : Y = jarak antara garis pantai dan garis referensi (m) - 29 - db = kedalaman air pada saat gelombang pecah (m) Qs = Sedimen transport sepanjang garis pantai (m3/hari) t = waktu (tahun) x = absis searah garis pantai (m) Δx = jarak antara pias (m) 2.3 SMS 8.0 (Surface-water Modelling System version 8.0) 2.3.1 Analisa Arus (Current analyzing) Analisa pola arus diperlukan dalam perhitungan besarnya sedimen yang terjadi di daerah pantai. Dalam hal ini akan dipakai salah satu software yang dibuat oleh King and Norton dalam Resource Management Assosiates (RMA) dan Waterway Experiment Station (WES) Coastal and Hydroulic Laboratory Brigham Young University. 2.3.1.1 Persamaan Dasar (Basic equation) Berdasarkan SMS User Guide (King, 1997), RMA2 adalah model numerik elemen hingga hidrodinamis dalam bentuk dua dimensi dari rata-rata kedalaman. Model ini menghitung elevasi muka air dan komponen kecepatan horisontal untuk sub kritis, aliran permukaan bebas dua dimensi. RMA2 juga menghitung nilai Reynolds dengan metode elemen hingga dari persamaan Navier-Stokes untuk aliran turbulen. Gesekan dihitung dengan persamaan Manning’s atau Chezy, dan koefisien Eddy Viscosity digunakan untuk mendefinisikan karakteristik turbulensi. RMA2 WES melakukan analisa pola arus dan kecepatannya secara 2 dimensi, yang menggunakan persamaan-persamaan berikut : - 30 - h gun 2 ∂ 2u  ∂u ∂u ∂u h  ∂ 2u  ∂a ∂h  + hu + hv −  E xx 2 + E xy 2  + gh  +  + u2 + v2 1/ 6 2 ∂t ∂x ∂y ρ  ∂y  ∂x  ∂x ∂x  (1.486h ) ( ) 1/ 2 − ςVa2 cosψ − 2hωv sin φ = 0 (2.17) h  ∂a ∂h  gvn 2 ∂v ∂v ∂v h  ∂ 2v ∂ 2v  u2 + v2 + hu + hv −  E yx 2 + E yy 2  + gh  +  + 1/ 6 2 ∂t ∂x ∂y ρ  ∂x ∂y   ∂y ∂y  (1.486h ) ( ) − ζVa2 sin ψ + 2hωv sin φ = 0 (2.18) Selanjutnya :  ∂u ∂v  ∂h ∂h ∂h + h +  + u + v =0 ∂t ∂y ∂x ï£ ∂x ∂y  (2.19) dimana: h = kedalaman air u,v = kecepatan pada koordinat kartesius x,y,t = koordinat kartesius dan waktu ρ = densitas fluida E = Koeffisien Eddy viskositas xx = untuk arah x yy = untuk arah y xy, yx = geser untuk arah setiap permukaan g = kecepatan gravitasi a = elevasi dasar n = nilai kekasaran Manning koefisien 1,46 = Konversi dari satuan SI (metrik) ke non SI ζ = koefisien tegangan geser angin Va = kecepatan angin Ï• = arah angin ω = sudut rotasi bumi - 31 - 1/ 2 φ = garis lintang bumi Equations 2.17, 2.18 and 2.19 could has be done by element methode by/hingga using Galerkin methode. The element could be has one line dimention character, or two dimention quadrilateral or triangle nor curve by parabolik side. Shape function for speed is quadrant and for depht is linear. The methode for integration has used Gauss methode. Penurunan towards time replaceable by difference approach until non linear limit. Each variables has been assumption on every interfal time into bentuk/types: f (t) = f(to) + a.t + b.t2 (2. 20) Untuk : to ≤ t < to + ∆ t dimana nilai variabel a, b, c adalah konstan. Dari percobaan yang telah dilakukan nilai terbaik untuk konstanta c adalah 1.5 (Ian King, 1997). 2.3.1.2 Gaya gesek dan kekuatan aliran dasar Kekasaran dasar merupakan salah satu fokus utama yang dianalisa pada modul RMA2 . Perubahan gesekan dasar menyebabkan perubahan pada perilaku kecepatan dan arah dari fluida. Tegangan dasar geser dirumuskan: τ = ρgRS (2. 21) dimana : τ = tegangan geser ρ = densitas fluida g kecepatan gravitasi = R = radius hidrolik S kemiringan (slope) = - 32 - Tegangan geser dihitung oleh persamaan Manning jika masukan nilai kekasaran <3.0, jika berlebih maka dipakai persamaan Chezy. Umumnya, dipilih koefisien Manning (n) dan nilai kekasaran ini dapat ditambahkan dalam global mesh sebagai tipe material, atau tingkat element. Dari referensi User Guide to RMA2-WES, US Army Corps of Engineers memberikan, harga koefisien Manning sebagai berikut : Tabel 2. 2 Nilai Manning’s menurut US Army Manning’s n-value Guidelines Manning’s n-value Condition 0.015 – 0.020 Smoth earth with no weeds. 0.020 – 0.025 Sand channel. 0.034 (d50)1/6 Rip-rap channels (d50 = the particle size of wich 50% of the mixture is finer, i.e., 50% of the mixture is finer than this particle size). 0.075 – 0.150 Very winding/overgrown. (King, 1997) The Manning Equation for current uniform is: V = 1,49 * Where: R 2 / 3 S 1/ 2 n V = velocity and (2. 22) n = Manning value By finishing Manning equation for S and being substitute has gotten the equation for Bed shear stress, such as: 2 2  n  V  1/ 3 ï£ 1.49  R τ = ρg  (2. 23) By finishing R (Radius) and being substitute, so has gotten new equation as follows: 2 2  n  u u +v τ x = ρg   h1 / 3 ï£ 1.49  2 (2. 24) - 33 - 2 2  n  u u +v τ y = ρg   h1 / 3 ï£ 1.49  2 (2. 25) h = depth. Where: 2.3.1.3 Turbulent The equation which has been used for counting the dimention of turbulent was: ∂ 2 y ∂ ∂u ' v' ∂y E xx 2 = µ 2 + ∂x ∂x ∂x ∂x (2. 26) where: µ = Molecular Viscosity u’,v’ = Turbulent which happened instantly in instant velocity 2.3.2 The Analysis of Sedimentation The analysis of sedimentation required to knowing the sedimentation level of the beach, so it could be known the safety level of the structure which has built from the availability of sedimentation. The analysis of sedimentation took place by software SED2D-WES version 4.3. The basic of equations are: 2.3.2.1 Convention-Diffusion Equation ∂C  ∂C ∂C ∂C ∂  ∂C  ∂   + α 1C + α 2 +u +v =  Dx  +  D y ∂y  ∂t ∂x ∂y ∂x ï£ ∂x  ∂y ï£ (2. 27) Where: C = concentration, kg/m3 T = time U = current velocity on x direction, m/second X = main current direction, m - 34 - V = current velocity on y direction, m/second Y = Vertical direction towards x, m Dx = coefficient diffusion effective on x direction, m2/second Dy = coefficient diffusion effective on y direction, m2/second α1 = coefficient for bed model, 1/second α2 = concentration equilibrium from part of seabed model kg/m3/ second 2.3.2.2 Tegangan Geser Dasar Beberapa persamaan bisa dipilih untuk menghitung tegangan dasar geser yaitu : τ b = ρ (u * ) 2 dimana : ρ = water density u* = shear velocity (2.28) a. smooth-wall log velocity  u u*D  5 , 75 log 3 . 32 =   v  u*  (2.29) u*D yang digunakan ketika : v > 30 dimana : u = rata-rata kecepatan aliran D = kedalaman air V = kinematic viskositas b. Persamaan Tegangan geser Manning u' = g .u.n CMED1 / 6 (2.30) dimana : g = kecepatan gravitasi - 35 - n = nilai kekasaran Manning CMED = koeffisien (1.0 untuk satuan metric dan 1,486 untuk satuan english) c. A. Jonsson, persamaan untuk tegangan geser permukaan yang disebabkan oleh gelombang dan arus u' = u  1  f w u om + f c u    u + om  f w u om ï£¸ï£ 2ï£ 2  (2.31) dimana : uom = kecepatan maksimum gelombang fc = koeffisien tegangan CMED = koeffisien (1.0 untuk satuan metric dan 1,486 untuk satuan english) d. A. Bijker, persamaan untuk perhitungan tegangan geser total yang disebabkan oleh arus gelombang: u' = 1 1 2 f c u 2 + f w u om 2 4 (2.32) e. The Seabed Source Bentuk dari sumber dasar adalah, S = α 1 C + α 2 yang telah diberikan pada persamaan 1, untuk pasir dan tanah. Metode perhitungan koeffisien alpha tergantung kepada tipe sedimen dan tipe kejadian berupa erosi atau deposisi. Untuk transport pasir (sand), Suplai sedimen terhadap dasar dikontrol oleh potensi transpor dari aliran dan ketersediaan material pada dasar. Persamaan Ackers White (1973) digunakan karena telah memenuhi test yang dilakukan oleh WES dan lainnya (White, Milli dan Crable 1975, Swart 1976). Karakteristik dari waktu tc, - 36 - seharusnya sejumlah waktu dibutuhkan untuk konsentrasi dalam aliran selama perubahan dari C ke Ceq. Dalam hal ini deposisi dihubungkan dengan fall velocity, sehingga dinyatakan bahwa: D  C d V  s   Tc ≥  or   DT      (2.33) dimana : Tc = karakteristik waktu Cd = koeffisien endapan D = aliran bawah Vs = penurunan interval dari sebuah partikel DT = perhitungan interval waktu Karena tidak ada parameter yang sederhana untuk scour, maka persamaan yang digunakan adalah :  D C e U    Tc ≥  or   DT      Ce = koeffisien entrainment V = kecepatan aliran (2.34) Untuk clay tranport, rata-rata endapan dari dasar tanah dihitung dengan menggunakan persamaan dari Krone (1962). - 37 -  2Vs   τ  C 1 − untukC < C c  −  D ï£ τd   S =  5 − 2Vk C 3 1 − τ untukC > C  c  τ   D d  ï£ ï£³  Dimana : τ = tegangan geser dasar τd = tegangan geser kritis dari endapan Cc = konsentrasi kritis = 300 mg/l (2.35) Dalam buku A User's Manual For SED2D-WES (Joseph, 1998), Laju erosi dihitung dengan penyederhanaan Partheniades (1962) hasil erosi partikel dengan partikel. Source term dihitung dengan : S=  Pτ  − 1 D ï£τ e  P = konstanta laju erosi τc = tegangan geser kritis untuk partikel erosi (2.36) Ketika tegangan geser dasar cukup tinggi untuk menyebabkan kesalahan mass pada lapisan dasar, erosi source term dihitung sebagai : S= TL ρ L untukτ > τ s D∆t (2.37) dimana : TL = tebal dari lapisan yang rusak ρL = berat jenis dari lapisan yang rusak ∆t = interval waktu terjadinya kerusakan τx = bulk shear strength dari lapisan 2.4 Sistim Informasi Geografik (SIG) Sistim informasi Geografis adalah sebuah teknologi yang berbasis komputer yang digunakan untuk melalukan pekerjaaan pengumpulan, penyimpanan, - 38 - mencari kembali (retrieval), manipulasi dan transformasi, penyajian serta analisa data geografis. Data geografis yang dimaksud disini adalah data spatial yaitu data yang mana : - memiliki geometric properties seperti koordinat, alamat/addres (Betingger dan Wing, 2004). - terkait dengan aspek ruang seperti persil, kota, propinsi, kawasan pemukiman, kawasan pembangunan dsb (Kuchler, Jupp, Claseen and Bour, 1986). - berhubungan dengan semua fenomena yang ada di bumi misalnya fakta, data, obyek, kejadian gejala dan lainnya (Schluter, Sauter, Schafer, and Ritzrau, 2000) - dipakai untuk maksud tertentu seperti analisa pemantauan, pengelolaan dan lainnya (Kuchler, Jupp, Claseen and Bour, 1986). Secara ringkas SIG adalah suatu sistim yang berurusan dengan komputer dan data geografis untuk menghasilkan informasi. Oleh Burrough (1986) mendefinisikan SIG yaitu ”a powerful set of tools for colleting, storing, retrieving and will transforming and displaying spatial data from the real word for a particular set of purposes”. Dewasa ini, penggunaan SIG sudah sangat luas dan banyak ragamnya termasuk pada pengelolaan sumberdaya pesisir atau coastal area seperti pemanfaatan SIG untuk panataan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, perubahan garis pantai, gejala sedimentasi pantai, penentuan kedalaman dan komposisi akua bentik (Hedle and Mumby, 2003) maupun untuk keperluan - 39 - penilaian ekonomi dan yang berhubungan dengan pengambilan keputusan. SIG juga dapat dimanfaatkan untuk mengatasi permasalahan yang spesifik sekalipun seperti kasus-kasus yang bersifat regional/international terhadap pengeloaan wilayah pantai seperti pada laut Baltik (Baltic Sea), Laut utara (the North Sea) and batas wilayah continental (continental margin) of the Norwegian Sea (Schluter, Sauter, Schafer and Ritzrau , 2000). Sejalan dengan pemanfaatan GIS tersebut diatas, Jones (1997) juga menyebutkan beberapa point pemanfaatan GIS seperti: 1). Survey dan monitoring, 2). Hidrology, survey laut dan es, 3) Survey geology dan atmosphere, 4) study social ekonomi dan kependudukan, 5) survey purbakala dan situs-situs bersejarah, 6) pemeliharaan, 7) navigasi, 8) administrasi public, 9) pemasaran dan penyewaan dan lain-lain. 2.4.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. (Lillesand; Thomas and Kiefer, 1994). Empat komponen dasar dari sistem penginderaan jarak jauh adalah target, sumber energi, alur transmisi, dan sensor (Anonim, 2001). Komponen dalam sistem ini berkerja bersama untuk mengukur dan mencatat informasi mengenai target tanpa menyentuh obyek tersebut. Sumber energi yang menyinari atau memancarkan energi elektromagnetik pada target mutlak diperlukan. Energi berinteraksi dengan target dan sekaligus berfungsi sebagai media untuk - 40 - meneruskan informasi dari target kepada sensor. Sensor adalah sebuah alat yang mengumpulkan dan mencatat radiasi elektromagnetik. Setelah dicatat, data akan dikirimkan ke stasiun penerima dan diproses menjadi format yang siap pakai, diantaranya berupa citra. Citra ini kemudian diinterpretasi untuk menyarikan informasi mengenai target. Proses interpretasi biasanya berupa gabungan antara visual dan automatic dengan bantuan computer dan perangkat lunak pengolah citra. Gelombang elektromagnetik (EM) yang dihasilkan matahari dipancarkan (radiated) dan masuk ke dalam atmosfer bumi. Interaksi antara radiasi dengan partikel atmosfer bisa berupa penyerapan (absorption), pemancaran (scattering) atau pemantulan kembali (reflectance).Sebagian besar radiasi dengan energi tinggi diserap oleh atmosfer dan tidak pernah mencapai permukaan bumi. Bagian energi yang bisa menembus atmosfer adalah yang ‘transmitted’. Semua masa dengan suhu lebih tinggi dari 0 Kelvin (-273 C) mengeluarkan (emit) radiasi EM. Radiasi elektromagnetik yang mengenai suatu benda atau obyek kenampakan di muka bumi akan berinteraksi dalam bentuk pantulan, serapan dan transmisi. Dalam proses tersebut terdapat 2 hal penting yaitu : bagian tenaga yang di serap, dipantulkan dan ditransmisikan akan berbeda untuk setiap obyek yang berbeda tergantung pada jenis materi dan kondisinya sehingga memungkinkan untuk membedakan obyek pada citra. Hal lain adalah ketergantungan pada panjang gelombang obyek berarti bahwa pada suatu obyek yang sama akan berbeda pada panjang gelombang yang berbeda (Lillesand; Thomas dan Kiefer, 1994). - 41 - Gambar 2.14. Interaksi Elektromagnetik (modul pengolahan citra LAPAN, 2005) 2.4.2 Citra Landsat Satelit Landsat (Land Satellite) adalah salah satu satelit sumberdaya yang menghasilkan citra multispektral. Landsat merupakan satelit sumberdaya bumi yang pada awalnya bernama ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite) yang diluncurkan pertama kali pada 23 Juli 1972 yang mengorbit hingga 6 Januari 1978 (Purwadhi, 2001 dan Abidin, 1999). Tepat sebelum peluncuran ERTS-B pada tanggal 22 januari 1975, NASA (National Aeronautics and Space Administration) secara resmi mengganti nama program ERTS menjadi program Landsat. Berdasarkan hal tersebut maka ERTS-1 berubah nama menjadi Landsat-1 dan ERTS-B pada saat peluncurannya menjadi Lansdat-2 dan pada pada tanggal 5 Maret 1978 Landsat-3 diluncurkan. Landsat TM (Land Satellite Thematic Mapper) adalah satelit sumberdaya bumi generasi kedua yang merupakan penyempurnaan dari satelit Landsat - 42 - generasi pertama. Satelit ini mengorbit pada ketinggian 705 km dengan sudut inklinasi 98Ëš. Orbit satelit ini adalah sun synchronous atau selaras matahari. Satelit akan melewati garis equator setiap pukul 09.42 WIB dan akan meliput daerah yang sama setiap 16 hari sekali. Selama mengorbit dari utara ke selatan sensor bekerja untuk mengumpulkan data permukaan bumi dengan lebar sapuan 185 km. Keunggulan satelit ini terletak pada jumlah saluran yang digunakan sebanyak 7 saluran (band) serta digunakannya saluran inframerah tengah dan inframerah termal. Resolusi radiometrik citra landsat TM lebih baik dari citra landsat MSS. Perbaikan ketelitian radiometrik dari skala nilai digital dari 6 bit menjadi 8 bit atau memperbesar range nilai digital dari 64 (0-63) menjadi 256 (0-255). Resolusi spasial TM non termal adalah 30 meter. Namun dalam geometrik yang menggunakan proyeksi SOM (Space Oblique Mercator) ukuran pixel TM adalah 28.5 x 28.5 meter. Sedangkan data nontermal mempunyai resolusi 120 meter. (Purwadhi, 2001). Fungsi masing-masing kanal pada sensor TM adalah sebagai berikut (Lillesand dan Kiefer. 1994): 1. Kanal 1 (0.45 μm – 0.52 μm), energi yang diterima kanal ini dapat melakukan penetrasi lebih dalam ke kolom air dan digunakan untuk mendukung analisa sifat khas penggunaan lahan, tanah dan vegetasi. 2. Kanal 2 (0.52 μm– 0.60 μm), terutama dirancang untuk mengindera puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau yang terletak diantara dua saluran spektral serapan klorofil. Pengamatan pada saluran ini dimaksudkan untuk - 43 - lebih mempertegas perbedaan-perbedaan vegetasi dan penilaian tingkat kesuburan. 3. Kanal 3 (0.63 μm – 0.69 μm), merupakan saluran terpenting untuk memisahkan vegetasi. Saluran berada dalam salah satu bagian serapan klorofil dan memperkuat kontras kenampakan antara vegetasi dan bukan vegetasi, juga untuk menajamkan kontras antara kelas vegetasi. 4. Kanal 4 (0.79 μm – 0.90 μm), dirancang untuk dapat peka terhadap sejumlah vegetasi di daerah kajian. Hal ini akan membantu identifikasi tanaman dan akan memperkuat kontras antara tanaman-tanah dan lahan-air. 5. Kanal 5 (1.55 μm – 1.75 μm), merupakan salah satu saluran yang memegang peranan penting dalam penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman dan kondisi kelembaban tanah. 6. Kanal 6 (10.40 μm – 12.50 μm), adalah saluran yang berguna untuk medeteksi /mengamati panas permukaan bumi. 7. Kanal 7 (2.08 μm – 2.35 μm), adalah saluran inframerah termal yang dikenal bermanfaat untuk klasifikasi dan analisa vegetasi, pemisahan kelembaban tanah dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas. Citra Landsat Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) adalah hasil rekaman sensor ETM+ yang dibawa oleh Landsat-7 yang diluncurkan pada bulan april tahun 1999. Pada dasarnya citra Landsat ETM+ merupakan kelanjutan dari program Landsat 4 dan 5 yang sampai saat ini datanya masih bisa direkam. Pada citra Landsat ETM+ mempunyai kelebihan baru yang memberikan kemudahan penggunaan pada para pemakainya. Adapun kelebihan baru pada Landsat 7 ETM+ antara lain : resolusi spasial pada pankromatik mencapai 15 m. - 44 - 2.4.2.1 Koreksi Citra (Images correction) Koreksi citra dimaksudkan untuk meminimalkan penyimpangan maupun kesalahan radiometrik yang terjadi selama akuisisi dari satelit yang bersangkutan. Saat ini dikenal dua metode koreksi citra yaitu: a. Koreksi radiometrik Koreksi radiometrik merupakan perbaikan akibat cacat atau kesalahan radiometrik, yaitu kesalahan yang berupa pergeseran nilai atau derajat keabuan elemen gambar (pixel) pada citra. Kesalah bisa disebabkan karena kesalahan optik pada citra, kesalahan karena gangguan energi radiasi elektromagnetik pada atmosfer dan kesalahan karena pengaruh sudut elevasi matahari. b. Koreksi geometrik Koreksi geometrik dilakukan sesuai dengan jenis atau penyebab kesalahannya, yaitu kesalahan sistematik dan kesalahan random dengan sifat distorsi pada citra. Kesalahan sistematik dikoreksi dengan menerapkan rumus yang diturunkan dengan membuat model matematik atas sumber kesalahan, misalnya rotasi bumi ke arah timur dibawah orbit satelit selama penginderaan. Kesalahan random (acak) dikoreksi dengan menggunakan analisis titik ikat medan (Ground control point/GCP). Metode ini memerlukan ketersediaan peta teliti yang sesuai dengan daerah studi. 2.4.2.2 Klasifikasi - 45 - Klasifikasi citra merupakan bagian penting dari remote sensing, analisa citra, dan pola pengenalan citra. Klasifikasi citra secara digital adalah proses pembagian pixel ke dalam kelas tertentu. Tiap pixel merupakan satu unit perpaduan nilai dari beberapa band spektral. Dengan membandingkan suatu pixel dengan pixel lainnya yang diketahui identitasnya, akan memudahkan untuk memasukkan kelompok yang memiliki pixel yang sama ke dalam kelas yang cocok untuk kategori informasi yang diperlukan oleh pengguna data remote sensing. Salah satu alternatif bagi pendekatan klasifikasi data penginderaan jauh dapat dilakukan dengan cara: a. Klasifikasi tak terselia (unsupervised classification). Klasifikasi tak terselia menggunakan algoritma untuk mengkaji dan menganalisis sejumlah besar pixel yang tidak dikenal dan membaginya dalam sejumlah kelas berdasarkan pengelompokan nilai digital citra. Kelas yang dihasilkan dari klasifikasi tak terselia adalah kelas spektral. Oleh karena itu, pengelompokan kelas didasarkan pada nilai natural spektral citra, dan identitas nilai spektral tidak apat diketahui secara dini. Hal ini dikarenakan analisanya belum menggunakan data rujukan/lapangan untuk menentukan identitas dan nilai ninformasi dari setiap kelas spektral. b. Klasifikasi terselia (supervised classification). Proses klasifikasi diawali dengan pemilihan kategori informasi yang diinginkan dan memilih training area untuk tiap kategori penutup - 46 - lahan yang mewakili sebagai kunci interpretasi merupakan klasifikasi terselia. Konsep penyajian data dalam bentuk numeris/grafik atau diagram. Klasifikasi terselia yang didasarkan pada pengenalan pola spektral (spectral pattern recognition) yang terdiri atas tiga tahap, sebagai berikut : i. Tahap training sample Analisis meyusun kunci interpretasi dan mengembangkan secara numerik spektral untuk setiap kenampakan dengan memeriksa batas daerah (training areas) ii. Tahap klasifikasi Setiap pixel pada serangkaian data citra dibandingkan setiap kategori pada kunci interpretasi numerik, yaitu menentukan nilai pixel yang tak dikenal dan paling mirip dengan kategori yang sama. Perbandingan tiap pixel citra dengan kategori pada kunci interpretasi dikerjakan secara numerik dengan menggunakan berbagai strategi klasifikasi). Setiap pixel kemudian diberi nama sehingga diperoleh matrik multidimensi untuk menentukan jenis kategori penutup lahan yang diinterpretasi. - 47 - iii. Tahap keluaran Hasil matrik didelineasi sehingga terbentuk peta penutup lahan dan dibuat tabel matrik luas berbagai jenis tutupan lahan pada citra. 2.4.3 Penilaian Hasil Penelitian menggunakan data dan metode tertentu perlu dilakukan uji ketelitian, karena hasil uji ketelitian sangat mempengaruhi besarnya kepercayaan pengguna terhadap setiap jenis data maupun metode analisisnya. Menurut Short (1990) bahwa uji ketelitian interpretasi dapat dilakukan melalui empat cara sebagai berikut: 1. Melakukan pengecekan lapangan serta pengukuran beberapa titik (sampel area) yang dipilih dari setiap bentuk penutup / penggunaan lahan. Uji ketelitian dilakukan pada setiap area sampel penutup/ penggunaan lahan yang homogen. Pelaksanaannya pada setiap bentuk penutup/ penggunaan lahan diambil beberapa sampel area didasarkan atas homogenitas kenampakannya, dan diuji kebenarannya di lapangan (survey lapangan). 2. Menilai kecocokan hasil interpretasi setiap citra dengan peta referensi atau foto udara pada daerah yang sama dan waktu yang sama. Hal ini sangat diperlukan dalam penafsiran batas-batas dan perhitungan (pengukuran) luas setiap jenis penutup/ penggunaan lahannya. 3. Analisa statistik dilakukan pada data dasar dan citra hasil klasifikasi. Analisis dilakukan terutama terhadap kesalahan setiap penutup/ penggunaan lahan yang disebabkan oleh keterbatasan resolusi citra (khususnya resolusi spasial karena merupakan dimensi keruangan). - 48 - Analisis dilakukan dari beberapa pixel dengan perhitungan variance statistik setiap saluran spektral data yang digunakan. Pengambilan pixel untuk uji ketelitian diambil yang betul-betul murni penutup lahannya (bukan pixel gabungan atau pixel yang isinya beberapa jenis kenampakan = Mix pixel). 4. Membuat matrik dari setiap kesalahan (confusion matrix) pada setiap bentuk penutup lahan/ penggunaan lahan dari hasil interpretasi citra penginderaan jauh. Ketelitian pemetaan dibuat dalam beberapa kelas X yang dapat dihitung dengan rumus : MA = dimana : Xcr pixel Xcr pixel + Xo pixel + Xco pixel MA = Ketelitian pemetaan (mapping accuracy) Xcr = Jumlah kelas X yang terkoreksi Xo = Jumlah kelas X yang masuk ke kelas lain (omisi) Xcr = Jumlah kelas X tambahan dari kelas lain (komisi) Sedangkan rumus ketelitian keseluruhan hasil klasifikasi (KH) : Overall accuracy = Jumlah pixel murni semua kelas Jumlah semua pixel Dari matriks ini didapat dua jenis ketelitian, yaitu ketelitian sebaran pixel tiap kelas atau mapping accuracy dan ketelitian keseluruhan hasil klasifikasi (overall accuracy). Ketelitian klasifikasi masuk dalam toleransi yang ditetapkan apabila ketelitian seluruh klasifikasi/overall accuracy memiliki nilai diatas 0,8 atau diatas 80 % jika dikalikan 100 % (Short, 1990). - 49 - 2.4.4 Pemetaan Distribusi Sedimen melalu Citra Satelit Perlu dipahami bahwa sedimen yang dimaksud bukanlah sedimen yang berada didasar permukaan laut atau yang sering disebut dengan seabed load/sediment, akan tetapi sedimen yang dimaksud adalah sedimen melayang atau total suspended matter/TSM. Hal ini di sebabkan karena kemampuan dari sensor satelit yang mampu menembus hanya pada air permukaaan. Dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh, TSM dapat dideteksi dengan menggunakan kanal 2 dari citra Landsat, karena TSM lebih sensitif untuk dideteksi dengan menggunakan kisaran panjang gelombang 0,52 – 0,56 μm. Band 2 Landsat memberikan koefisien korelasi sebesar 0,81. Sedangkan penggunaan band 3 hanya memberikan koefisien korelasi sebesar 0,66, yang lebih rendah dibandingkan band 2. (Tassan, 1993; Woerd and Pasterkamp, 2004 dalam prosiding PIT MAPIN 2004 ). Budiman (2004) menyebutkan beberapa kemampuan dari tiap-tiap band pada beberapa satelit untuk mengidentifikasi TSM seperti yang terlihat pada Tabel 2.3. Dari Tabel 2.3, koefisien korelasi ditunjukan pada kolom R2 dimana koefisien korelasi tertinggi ada pada band 2. Sehingga penggunaan band 2 menjadi penting untuk mengidentifikasi konsentrasi TSM. - 50 - Tabel 2.3. Kemampuan Band untuk Pemetaan TSM 2.4.5 Er Mapper 6.4 ER Mapper adalah salah satu software (perangkat lunak) yang digunakan untuk mengolah data data citra atau satelit. Pengolahan data citra merupakan suatu cara memanipulasi data citra atau mengolah suatu data citra menjadi suatu keluaran (output) yang sesuai dengan yang kita harapkan. Adapun cara pengolahan data citra itu sendiri melalui beberapa tahapan, sampai menjadi suatu keluaran yang diharapkan. Tujuan dari pengolahan citra adalah mempertajam data geografis dalam bentuk digital menjadi suatu tampilan yang lebih berarti bagi pengguna, dapat memberikan informasi kuantitatif suatu obyek, serta dapat memecahkan masalah. (Jones, 1997). - 51 - Gambar 2. 15. Struktur data raster ER Mapper 6.4 dapat dijalankan pada workstation dengan sistem operasi UNIX dan komputer PCs (Personal Computers) dengan sistem operasi Windows XP dan Window NT (Budhiman, 2000). Data disital disimpan dalam bentuk barisan kotak kecil dua dimensi yang dikenal dengan sebutan pixel (picture element). Masing-masing pixel ini mewakili suatu wilayah yang ada dipermukaan bumi. Struktur ini disebut raster, sehingga data citra sering juga disebut data raster. ER Mapper mengembangkan metode pengolahan citra terbaru dengan pendekatan yang interaktif, dimana kita dapat langsung melihat hasil dari setiap perlakuan terhadap citra pada monitor komputer. ER Mapper memberikan kemudahan dalam pengolahan data sehingga kita dapat mengkombinasikan berbagai operasi pengolahan citra dan hasilnya dapat langsung terlihat tanpa menunggu komputer menuliskannya mennjadi file yang baru. Cara pengolahan ini dalam ER Mapper disebut Algoritma. - 52 - BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Kotamadya Makassar Propinsi Sulawesi Selatan yaitu di sepanjang Pantai Losari dengan koordinat lintang pada 1190 21’ 1190 30’ BT and 507’ - 50 15’ LS. Sistimatika penelitian ini dapat dilihat pada diagram flowchart di bawah ini: Mulai Studi Literatur - Sedimentasi - Peginderaan Jauh - Penelitian sebelumnya yang terkait Running pada SMS Overlay citra Landsat 7-ETM Tahun 1996 dan 2002 - Cropping boundary - Koreksi geometrik - Pemotongan citra - Pemisahan darat dan laut - Komposisi Bandwith - Klasifikasi tak terselia - Perhitungan sedimen pada kelas Data Data Sekunder sekunder Analisa RMS error - Input dxf dan image file - Merubah data dxf menjadi feature arc - Merubah feature arc menjadi scatter point - Meshing pada boundary dan scatter point menjadi polygon - Mengubah hasil meshing menjadi ASCII dengan melakukan running GFGEN - Input BC (Pasut/Debit/Material Control) - Pemodelan arus running RMA2 - Validasi running data arus dgn data lapangan - Running SED2D Analisa Data error - Analisa Strengh of figure - Perubahan distribusi sediment - Perubahan garis pantai - Analisa error data running arus - Distribusi sediment Hasil dan Kesimpulan Selesai Gambar 3. 1 Diagram alir penelitian (SMS dan GIS) Penelitian ini dibagi menjadi empat tahap utama yaitu 1) pengambilan dan pengamatan data lapangan, 2) pemodelan sedimentasi dengan SMS, 3) pengolahan citra satelit landsat-7 ETM (Citra tahun 1996 dan 2002) dan 4) penyusunan laporan. Pengambilan data lapangan dilakukan pada tanggal 2 – 5 April 2006 pada boundary area (1190 21’ - 1190 25’ BT dan 50 7’ - 50 13’ LS). Bulan perekaman citra disesuaikan dengan pengambilan data lapangan agar hasil akuisisi citra landsat dapat menggambarkan kondisi lapangan yang sebenarnya. 3.1. Studi Literatur dan Tinjauan pustaka Studi literatur dan tinjauan pustaka dilakukan untuk memberikan kejelasan tentang pola arus dan sedimentasi dengan menggunakan SMS (Surface-water Modelling System) dan Overlay citra landsat 7-ETM untuk analisa proses sedimentasi maupun perubahan garis pantai. 3.2. Observasi Lapangan Tinjauan lapangan dilakukan untuk mendapatkan gambaran kondisi daerah penelitian yang sebenarnya baik secara visual (dengan mengamati langsung ke lokasi) maupun dengan melakukan wawancara dengan penduduk di lokasi maupun dengan instansi terkait. Tinjauan langsung ke lapangan dilaksanakan. 3.3. Data dan Peralatan Pengumpulan data diperlukan sebagai input dalam pengerjaan tugas akhir ini. Adapun sumber dan jenis data yang keperluan adalah sebagai berikut: - 54 - a. Kebutuhan data pada Metode Surface Water Modelling System (SMS) - Data Bathymetri Data bathymetri (kedalaman laut) di perlukan untuk mendapatkan gambaran tentang kontur dan kedalaman dasar laut. Data ini diperlukan sebagai input awal dalam pengerjaan pada SMS. Dalam pengerjaan Tesis ini data bathymetri di dapatkan pada peta Rupa Bumi 1:50.000 (sumber Peta: SPOT TM 1997). - Data pasang Surut. Data pasang surut diperlukan sebagai input pada SMS untuk mendapatkan pola arus pasang surut dan untuk menentukan elevasi muka air rencana. Data pasang surut diperoleh dari alat perekaman AWS (Aautomatic Weather Station) dari Badan Meterologi dan Geofisika (BMG) Paotere Makassar dengan interval waktu 3 x 24 jam (Time step sebanyak 72 jam). - Data Debit Sungai Data debit sungai diperlukan sebagai input Boundary Condition pada SMS untuk mendapatkan pola arus dan sedimen. Data debit sungai Sungai Jeneberang dan saluran pembuangan lainnya sebagai aliran air masuk ke Pantai Losari Makassar. Secara umum data yang digunakan pada metode SMS adalah sebagai berikut :  Peta LPI Kota Makassar No 2010-1 dengan skala 1 : 50.000  Data pasang surut  Konsentrasi, ukuran dan type sedimen dan  Data pendukung lainnya yang dianggap perlu seperti data kedalaman , suhu air laut dan salinitas. - 55 - b. Kebutuhan data pada metode overlay citra landsat adalah sebagai berikut :  Citra landsat 7-ETM tahun 1996 dan 2002 (Koordinat lintang 1190 21’ - 1190 30’ BT dan 50 7’ - 50 15’ LS) Band 1, 2,3,4,5 dan 7 dengan level 1 gigabyte yang diperoleh dari LAPAN  Hardcopy peta LPI scala 1:50.000 Kota Makassar No 2010-1 dengan digital data yang diperoleh dari BAKOSURTANAL sebagai referensi koreksi geometrik terhadap citra landsat. Penggunaan peta topografi ini karena citra Landsat 7-ETM yang memiliki resolusi spasial 30x30 meter.  Data konsentrasi sedimen terlarut (suspended sediment)  Perekaman data pasang surut yang disesuaikan dengan waktu akuisisi citra satelit digunakan untuk mengetahui kondisi pasang surut dan beda ketinggian air laut pada kedua data citra.  Data suhu, salinitas air laut, kedalaman dan data pendukung lainnya yang dianggap perlu. c. Sedangkan peralatan yang digunakan untuk mendukung terlaksananya penelitian ini adalah: ⇒ Perangkat lunak dan keras yang digunakan: − Perangkat lunak Surface water modelling system (SMS 8.0) − Perangkat lunak untuk pengolahan citra menggunakan ErMapper 6.4 − Arc Viev 3.2 dengan image analyse 1.1 untuk pembutan layout dan peta tematik. − Autocad Land Development 2004 untuk membaca peta topografi digital dan digitasi peta - 56 - − GPS receiver ( Garmin E-Trex). Penggunaan GPS e-Trex dengan ketelitian ± 15 m sudah mencukupi untuk mendapatkan posisi data di lapangan karena resolusi spasial citra Landsat sebesar 30m − Float (pengukuran arus) − Perekam pasut dengan Automatic Wheather Station (AWS) − Perahu motor untuk alat transportasi pengambilan data di lapangan − Tali dan botol 500ml yang digunakan untuk mengambil sampel air serta alat tulis dan jam. 3.4. Proses Pemodelan 3.4.1. Pemodelan pada SMS (Surface-water Modelling System 8.0) Data yang dikumpulkan dalam pengerjaan tesis untuk pembuatan model arus dan transpor sedimen menggunakan SMS 8.0 di Pantai Losari Makassar meliputi data sebagai berikut : a. Peta bathimetri yang merupakan kontur dasar laut lokasi penelitian pada setiap titik koordinat. b. Data kondisi lingkungan perairan lokasi seperti kedalaman laut, ketinggian dan gerakan pasang surut, debit sungai dan data tanah di lokasi penelitian. c. Data arus yang akan digunakan untuk validasi. Dari hasil simulasi SMS 8.0 dengan modul RMA2 didapatkan output berupa pola arus yaitu kecepatan arus, arah arus, kedalaman dan pasang surut. Sedangkan dengan SED2D akan didapatkan pola sedimentasi berupa, penyebaran konsentrasi sedimen, dan perubahan kontur dasar laut tegangan geser dasar laut, kedalaman dan pasang surut. - 57 - Pemodelan SMS 8.0 dengan modul RMA2 dan SED2D meliputi beberapa tahapan yaitu : a. Pemodelan bathimetri, dengan input berupa data garis kontur (*.dxf) dan file image (*.jpg). b. Penentuan kondisi batas dan model control untuk RMA2, kondisi batas adalah proses input data pasang surut dan debit sungai. Data pasang surut dimasukkan sesuai dengan pengukuran di lapangan selama 3 hari (72 jam) dengan selang waktu 1 jam. Sedangkan data debit sungai dimasukkan nilai konstan sesuai dengan pengukuran sesaat pada surut sebesar 30.5 m3/s. Model Control merupakan setting waktu running dan juga material properties yang meliputi nilai kekasaran (Manning, n), koefisien kekasaran, Eddy Viscosity (E), dan Peclet number. c. Running model, meliputi running geometri dengan modul GFGEN yang akan menghasilkan beberapa jenis file yaitu : *.map (map), *.xy (koordinat), *.geo (geometri), *.spr (project file), *.bin (binary), *.ot1 (output1). Running geometri dilakukan running dengan modul RMA2 untuk mendapatkan pola arus. Running RMA2 akan menghasilkan file dalam bentuk ASCII yaitu *.ot2 dan dalam bentuk binnary yaitu *.sol. d. Penentuan kondisi batas dan model control untuk SED2D, kondisi batas ini meliputi, konsentrasi sedimen dari muara sungai, jenis sedimen dasar (pasir/lempung) dan juga propertinya seperti koefisien diffusi, kecepatan endap dan setting waktu running. - 58 - e. Running model, proses running menggunakan modul SED2D. Dari running SED2D akan dihasilkan file dalam bentuk ASCII yaitu *.ot4 dan dalam bentuk binnary yaitu *_dbed.sol. f. Analisa hasil pemodelan (post processing) pola arus dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan melihat output data secara numerik dalam file *.ot2 dan dengan melihat bentuk kontur kecepatan dan vektor pola arus. Interpretasi hasil pemodelan dengan melihat output data yang berupa gambar animasi lebih dapat memberikan kejelasan gambaran hasil daripada output yang berupa data numerik. Pemodelan pola arus ini akan memberikan gambaran pola arus yang terjadi di perairan Pantai Losari. Pola arus ini selanjutnya digunakan sebagai input untuk menganalisa pemodelan pola sedimentasi di perairan Pantai Losari. g. Hasil pemodelan pola sedimen juga dihasilkan dengan dua cara, yaitu data output secara numerik dalam file *.ot4 dan data output berupa bentuk kontur dari konsentrasi sedimen dan juga perubahan kontur dasar laut (seabed change). Pemodelan pola sedimen memberikan gambaran tingkat sedimentasi pantai. 3.4.2. Pengolahan Data pada Overlay Citra Landsat 7-ETM 3.4.2.1. Tahap Pra Pengolahan Tahap pra pengolohan adalah pemotongan citra dimulai pada pemotongan citra yang dimaksudkan untuk membatasi daerah penelitian dan memperkecil memori penyimpanan sehingga akan lebih mempercepat proses analisa. Citra yang didapat tidak dalam satu scene lengkap (citra tahun 2002 lebih luas daripada - 59 - tahun 1996) sehingga pemotongan dilakukan dengan membuka kedua citra dalam satu page untuk mengetahui batas-batas pemotongan citra. 3.4.2.2. Koreksi Citra Koreksi citra meliputi koreksi radiometrik dan koreksi geometrik. Koreksi radiometrik dilakukan untuk menghilangkan distorsi radiometrik dan memperbaiki kualitas spektral citra. Distorsi radiometrik disebabkan oleh pengaruh hamburan dan serapan atmosfir, bias pada waktu transmisi data, kondisi optik sensor dan perubahan cahaya. Dalam penelitian ini tidak dilakukan koreksi radiometrik karena citra yang digunakan telah berjenis 1gigabyte (citra dalam level 1G sudah terkoreksi secara radiometrik). Proses koreksi geometrik citra dilakukan untuk menghilangkan kesalahan spasial citra yang disebabkan oleh beberapa faktor pada saat perekaman oleh sensor satelit. Berdasarkan sumbernya, distorsi atau kesalahan geometrik dapat dikelompokan menjadi 2 tipe, yaitu : kesalahan internal (internal distortion) dan kesalahan eksternal (external distortion). Kesalahan internal disebabkan oleh konfigurasi sensornya, yaitu : a. Pembelokan arah penyinaran menyebabkan distorsi panorama (look angle) b. Abrasi sub sistem optik karena kemiringan cermin penyiam (scan mirror), sehingga cakupan tidak tegak lurus. c. Sistem penyiaman (scanning system) yang tidak linier karena kecepatan cermin penyiam (scan) berubah yang mengakibatkan pergeseran lokasi setiap pixel. - 60 - Kesalahan geometrik akibat kesalahan eksternal antara lain: a. Perubahan ketinggian wahana dan kecepatan wahana menyebabkan perubahan cakupan dan luasan, yang mengakibatkan perubahan skala dan arah orbit b. Perubahan posisi wahana terhadap obyek karena gerakan berputar (roll), menggelinding (pith) dan berbelok (yow) yang megakibatkan terjadinya distorsi atau bising acak (random). c. Rotasi bumi, gerakan berputar bumi saat pengambilan data sehingga mengakibatkan obyek miring ke arah barat d. Kelengkungan bumi mengakibatkan ukuran pixel yang direkam berubah, karena terjadinya sudut pada arah perekaman (across track), yaitu antara pixel yang direkam di titik nadir dengan pixel pada saat sensor scanner melakukan penyiaman Koreksi geometik mempunyai tiga tujuan yaitu: melakukan rektifikasi (pembetulan) atau restorasi (pemulihan) citra agar koordinat citra sesuai dengan koordinat geografis, registrasi (mencocokkan) posisi citra dengan citra lain atau mentransformasikan sistem koordinat citra multispektral atau citra multi temporal dan registrasi citra ke peta atau transformasi sistem koordinat citra ke peta yang menghasilkan citra dengan sistem proyeksi tertentu. Oleh karena itu koreksi geometric dilakukan dengan proses transformasi yang dapat ditetapkan melalui hubungan sistem koordinat citra dan sistem koordinat geografi. Penerapan koreksi geometrik dilakukan dalam dua tahap utama, yaitu transformasi koordinat dan resampling. Transformasi koordinat merupakan konversi dari satu koordinat ke koordinat lainnya, atau hubungan antara posisi - 61 - (koordinat) pixel citra asli (input) dan citra hasil transformasi (output). Hubungan transformasi posisi geometrik adalah : u = f (x,y) v = g (x,y) dimana : (x,y) : koordinat peta (u,v) : koordinat citra f, g : fungsi transformasi Dalam penelitian ini digunakan persamaan Transformasi Affine, yaitu : x = a1u + a2v + a3 y = b1u + b2v + b3 Berdasarkan persamaan diatas terdapat 6 parameter yang belum diketahui, yaitu ; a1 , a 2 , a3 , b1 , b2 , b3 . Oleh karena itu dalam proses transformasi diambil paling sedikit 6 titik kontrol (GCP) yang memiliki RMS error kurang dari 1 pixel. Tahap selanjutnya adalah resampling citra. Resampling merupakan suatu proses transformasi citra dengan cara memberikan nilai pixel citra terkoreksi. Pelaksanaan resampling dilakukan dengan proses transformasi dari suatu sistem koordinat ke sistem koordinat lainnya. Dalam penelitian ini resampling citra dilakukan dengan metoda tetangga terdekat (nearest neighbour). Keunggulan metoda ini adalah perhitungan yang sederhana dan menghindari pengubahan nilai pixel. Sistem koreksi geometrik citra dilakukan dengan merektifikasi citra tahun 1996 dan 2002 dengan riwayat data : metadata file, format ers bands ID - 62 - 1,2,3,4,5,6L,6H,7,8 Projection UTM Selatan 50, Datum WGS84. Units Meters) dan peta LPI skala 1:50.000 yang menggunakan sistem proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator) zona 50 S, dengan datum WGS 1974. 3.4.2.3. Tahap Analisa Data a. Pemisahan Perairan dengan Daratan Langkah awal setelah citra terkoreksi adalah mempertegas batas antara darat dan laut. Penajaman citra untuk tujuan tersebut menggunakan komposit band RGB 543 dimana penggunaan band tersebut sangat efektif untuk memberikan kontras antara air dan daratan. Kenampakan daratan pada citra harus dihilangkan agar tidak menggangu didalam proses klasifikasi. Penghilangan daratan dilakukan dengan proses pemotongan citra menggunakan layer vektor. Sebelum citra dipotong menggunakan layer vector, semua band yang ada harus ditampilkan dan diletakkan sesuai karakternya. Selain itu proses ini juga akan sebagai dasar dalam identifikasi garis pantai yang nantinya akan dijadikan sebagai acuan penentuan perubahan garis pantai. b. Komposit Band Komposit warna merupakan salah satu metode didalam penajaman citra yang nantinya akan memberikan variasi kenampakan objek, sehingga mempermudah dalam melakukan interpretasi citra manual. Dalam penelitian ini komposisi saluran yang digunakan adalah kombinasi band RGB 235. - 63 - Komposit band RGB 235 merujuk pada karakteristik kegunaan masingmasing band dan pada beberapa penelitian yang telah ada sebelumnya. c. Klasifikasi citra Salah satu tahapan pemrosesan citra satelit yang penting adalah proses klasifikasi dimana sekumpulan pixel dikelompokkan menjadi kelas-kelas berdasarkan karakteristik tertentu dari masing-masing kelas. Didalam penelitian ini metode klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi tak terselia (unsupervivised classification). Klasifikasi tak terselia menggunakan algoritma untuk mengkaji atau menanalisis sejumlah besar pixel yang tidak dikenal dan membagainya dalam jumlah sejumlah kelas berdasarkan pengelompokan nilai citra digital. Kelas yang dihasilkan dari klasifikasi ini adalah kelas spektral karena pengelompokannya didasarkan pada nilai natural spektral citra dan identitas nilai spektral yang tidak dapat diketahui secara dini. Oleh karena itu diperlukan data rujukan untuk memeberikan nilai pada hasil klasifikasi. Data rujukan yang dipakai adalah data hasil survey dan pengukuran dari lapangan yang telah dianalisa di laboraturium. d. Pengambilan dan Analisa Data Lapangan Proses klasifikasi pada citra landsat TM yang telah dilakukan belum dapat memberikan nilai sediment terlarut (ppm). Untuk mendapatkan nilai tersebut maka dilakukan pengambilan sampel air pada beberapa kedalaman tertentu di lokasi penelitian yang selanjutnya dianalisa di laboraturium pengujian kualitas air Universitas Hasanuddin Makasar. - 64 - Pengambilan sampel air di lapangan dilakukan dalam waktu yang bersamaan dengan periode pasang surut air laut yaitu pada 2 - 5 april 2006. Waktu pengambilan juga direncanakan dengan memperhitungan faktor pasang-surut air laut sehingga waktu pengambilan dilakukan dengan mendekati kondisi pasang surut pada saat akuisisi citra terutama citra tahun 2002, dimana akuisisi kedua citra landsat pada bulan April 2002. Untuk mengetahui posisi terhadap sampel air yang diambil maka digunakan GPS handheld. Selain itu GPS juga digunakan untuk membantu dalam navigasi menuju koordinat pengambilan sampel agar sesuai dengan kelas dan koordinat yang telah dipilih sebelumnya. Teknik pengambilan sampel air yang digunakan merujuk pada beberapa penelitian mengenai total suspended matter yang telah dilakukan oleh peneliti lain. Dalam pengambilan sampel air perlu dipertimbangkan faktor kedalaman perairan karena citra landsat TM kurang akurat jika kedalaman terlalu tinggi. Menurut Kuchler dkk. (1986) bahwa secara teori Landsat mampu melakukan penetrasi air sampai 24 m, tetapi dalam praktiknya hanya mampu sampai kedalaman 9 m. Sehingga sampel air diambil dengan kedalaman kurang dari 9 meter. Setiap area hasil klasifikasi diambil minimal 2 sampel air masingmasing 500 ml yang selanjutnya dimasukan kedalam botol yang aqua. Metode analisa sampel air yang dipakai untuk mengukur tingkat TSM adalah analisis gravimety dimana sampel air yang ada dimasukan kedalam gelas fiber dan residu dari air akan nampak diatas filter yang panas pada suhu filter konstan antara 103-105°C. - 65 - Selanjutnya penambahan berat yang ada pada filter akan merepresentasikan berat dari TSM yang terkandung dalam satuan volume sampel. Adapun perhitungan kosentrasi sediment terlarut adalah sebagai berikut: TSM ( mg l ) = ( A − B ) x1000 vol.sampel (ml ) Dimana: A= berat filter + residu kering (mg) B= berat filter - 66 - BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Secara geografik pantai Losari Makassar terletak pada koordinat lintang 1190 21’ - 119O 30’ BT and 507’ - 5O 15’ LS. Teluk losari Makassar merupakan bagian dari tepian DAS Tallo dan DAS Jeneberang yang terbentuk karena perkembangan spit Tanjung Bunga. Pembentukan spit ini semakin meluas sejak periode tahun 1900 s/d 1997. Saat ini Teluk Losari mendapat tekanan aliran pembuangan berupa drainase dan outlet yang berasal dari kota. Terdapat empat belas outlet dimana tujuh diantaranya adalah outlet besar. Dewasa ini aktivitas utama di teluk Losari dan sekitarnya sebagai pusat pemerintahan kota, pusat perniagaan, pusat rekreasi, transportasi laut, perdagangan atar pulau maupun international (loading dan uploading) dan sebagai pusat sejarah kebaharian. Gambar 4. 1 Peta Tematik dan Potongan Citra Landsat-7 ETM (1996) Pantai Losari Secara umum orientasi garis pantai (Beach line orientation) Delta Jeneberang terbagi atas 2 (dua) yaitu: dari muara cabang Selatan (Jeneberang) hingga cabang Utara (Long storage PDAM) berarah relatif ke arah Timur laut dari muara cabang Utara hingga Teluk Losari. Pola refraksi orthogonal gelombang dan mintakat tepian hamparan delta Jeneberang menghadap ke arah Barat, sehingga pada musim barat mintakat ini menerima hempasan gelombang yang terbangkit oleh hembusan angin yang dominan dari arah Barat Daya, Barat, dan Barat laut. Gelombang yang terbangkit oleh angin yang datangnya dari arah Barat dan Barat Daya akan menginduksi arus susur pantai (near shore current) ke arah Utara, sebaliknya gelombang yang terbangkit oleh angin yang datangnya dari Barat Laut akan menginduksi arus susur pantai ke arah Selatan. N 5 N W 40 30 20 10 0 N E Keteranga n: : E W 0 -5 m/s : 5 - 10 m/s : 10 - 15 m/s : 15 - 20 m/s S E S W S Gambar 4.2 Wind Rose Pantai Losari Makassar dari tahun 1987 s/d 2000 (sumber: UNHAS-GMTD). Walaupun demikian arus susur pantai ke arah Utara lebih dominan dibandingkan dengan arus susur pantai ke arah Selatan. - 68 - Hal ini dapat menjelaskan fenomena pengangkutan sedimen (longshore sediment transport) yang dominan ke arah Utara. Ruas Pantai Tanjung Bunga diprediksikan akan selalu mundur karena sudah tidak mendapat suplai sedimen dari muara Sungai Jeneberang dan long storage PDAM yang tertutup. Sedimen yang disebabkan oleh erosi pantai secara perlahan akan terangkut ke Utara kemudian membelok ke arah Teluk Losari (Timur laut). Proses ini dapat menyebabkan pendangkalan pada bagian dalam teluk Losari secara perlahanlahan dan menggeser delta ke arah pantai. Gambar 4. 3 Refraksi orthogonal gelombang dari barat (kiri) dan Barat daya (kanan). sumber: Unhas-GMTD Ketidakseragaman bentuk dan garis pantai di hamparan Tj. Merdeka dan Tanjung Bunga menyebabkan terjadinya perbedaan pola refraksi gelombang - 69 - akibat perubahan arah angin sehingga posisi konvergensi 4 dan divergensi 5 tenaga gelombang di mintakat tepian akan berubah pula. Berdasarkan atas pola refraksi gelombang seperti disajikan pada Gambar 4. 3 maka daerah-daerah paling rawan erosi dapat diidentifikasi. Walaupun secara umum garis pantai akan mengalami kemunduran secara perlahan akan tetapi terjadi pula proses sedimentasi secara lokal (Storms, Hoogendoorn, Dam, Hoitink, and Kroonenberg, 2005) sebagai akibat tertahannya arus susur pantai (nearshore current) secara parsial ke Arah Utara dan Selatan. 4.2 Data Pengukuran Untuk melakukan pemodelan pola arus dan sedimentasi dengan SMS - RMA2 dan SED2D diperlukan input data yang dideroleh dari pengukuran di lapangan. Selain itu juga untuk mendapatkan titik kontrol dalam koreksi geometrik pada pengolohan citra Landsat. 4.2.1 Pasang Surut Pengamatan pasang surut dilakukan selama 3 x 24 jam dimulai pada jam 01:00 AM, 2 April 2006 – 12:00 PM, 5 April 2006. Posisi pengukuran dilakukan pada koordinat 05° 06’ 495” LS, 119° 25’ 114” BT. pengamatan menggunakan AWS (Automatic Weather Station). Jenis pasang surut adalah campuran condong ke harian tunggal seperti pada Grafik berikut ini: 4 Perambatan gelombang pantai dimana refraksi gelombangnya menuju pada satu titik pantai biasanya terjadi pada daerah tanjung. 5 Perambatan gelombang pantai dimana gelombang menyebar saat mendekati pantai dan biasanya terjadi pada daerah teluk. - 70 - Gambar 4. 4 Grafik pengamatan pasang surut pantai Losari Makassar (2 - 5 April 2006) 4.2.2 Debit sungai Pengukuran debit dilakukan di muara kanal Patompo pada waktu surut. Muara kanal Patompo mempunyai lebar 20 m dengan kedalaman rata-rata 2,5 meter. Hasil pengukuran kecepatan arus permukaan dengan menggunakan float didapatkan kecepatan arus sebesar 0.33 m/s. Data debit air pada muara kanal Patompo didapatkan sebesar 30,5 m3/s. Data debit ini dijadikan input pada pemodelan SMS modul RMA2 sebagai nilai konstan debit. 4.2.3 Pengukuran Arus Pengukuran arus dilakukan pada dua stasiun yaitu LS-1 dan LS-3. hal ini sebagai pertimbangan untuk kalibrasi hasil pemodelan arus (RMA2). Hasil pengukuran arus pasang surut selama pengukuran di lapangan diperoleh kisaran - 71 - kecepatan antara 0,011 sampai 0,01 m/detik dimana dominan berasal dari arah barat laut. Hal ini menunjukkan bahwa arah dan kecepatan arus pasang surut di pantai Tanjung Merdeka dominan ke arah tenggara seperti terlihat pada Gambar 4.15. Data pengamatan kecepatan arus dapat dilihat pada Tabel 4. 1 berikut ini: Date 4/4/2006 4/4/2006 4/4/2006 4/4/2006 4/4/2006 4/4/2006 4/4/2006 4/4/2006 4/4/2006 4/4/2006 4/4/2006 4/4/2006 4/4/2006 4/4/2006 4/4/2006 4/4/2006 LS-1 Hour Direction (°) Velocity (m/s) 6:00 95 0.05 7:00 150 0.05 8:00 100 0.02 0.03 9:00 85 10:00 75 0.03 0.03 11:00 80 0.01 12:00 100 105 0.04 13:00 0.04 14:00 90 85 0.02 15:00 16:00 100 0.05 0.06 17:00 105 110 0.07 18:00 0.11 19:00 136 0.05 110 20:00 21:00 Date 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 LS-3 Hour Direction (°) 6:00 85 7:00 95 120 8:00 9:00 90 10:00 55 85 11:00 12:00 160 85 13:00 75 14:00 80 15:00 16:00 110 80 17:00 18:00 104 112 19:00 20:00 95 80 21:00 Velocity (m/s) 0.02 0.02 0.02 0.01 0.01 0.02 0.01 0.02 0.02 0.03 0.03 0.02 0.02 0.03 0.04 0.03 Tabel 4. 1 Data pengukuran arus di pantai Losari Data kecepatan arus pasang surut dapat dilihat pada gambar berikut: Current Tide Velocity Observated at LS-1 April 4th 2006 0.12 0.11 0.10 0.09 0.07 0.06 0.05 0.04 0.03 0.02 0.01 20:00 19:00 18:00 17:00 16:00 15:00 14:00 13:00 12:00 11:00 10:00 9:00 8:00 7:00 0.00 6:00 Velocity (m/s) 0.08 Time (Hours) - 72 - Gambar 4. 5 Kecepatan arus pasang surut stasiun LS-3 tanggal 3 April 2006 Current Tide Velocity Observed at LS-3 April, 4th 2006 0.04 Velocity (m/sec) 0.03 0.02 0.01 21:00 20:00 19:00 18:00 17:00 16:00 15:00 14:00 13:00 12:00 11:00 10:00 9:00 8:00 7:00 6:00 0.00 Tim e (hour) Gambar 4. 6 Kecepatan arus pasang Surut stasiun LS-1 tanggal 4 April 2006 4.2.4 Sedimen Layang (Total Suspended Sediment) Pengambilan sampel sedimen layang dilakukan pada masing-masing stasiun pengamatan (LS1 s/d LS7) pada saat pasang (time step ke 33) dan saat surut (time step ke 49). Hasil pengatan ini dijadikan sebagai input dalam pemodelan SMS modul SED2D. Dari hasil pengukuran pada muara kanal Patompo (LS-2) diperoleh sebesar 17 ppm dimana didapatkan jenis material dasar sebagain besar didominasi material pasir halus kecuali pada LS-3 yang berupa pasir sedang dan pada LS-1 berupa pasir sangat halus. Tabel 4. 2 berikut adalah data hasil uji laboratorium dari sejumlah sampel sedimen yang telah diamati dari ketujuh stasiun. - 73 - Tabel 4. 2 Hasil uji konsentrasi sedimen terlarut Waktu pengambilan sampel STASIUN Ls-1 Ls-2 Ls-3 Ls-4 Ls-5 Ls-6 Ls-7 Ukuran partikel (µm) Ukuran partikel pada t pasang (µm) pada t surut t ( 49 ) 01:00 t ( 49 ) 01:00 3.17 3..25 t ( 33 ) 09:00 t ( 33 ) 09:00 t ( 49 ) 01:00 t ( 49 ) 01:00 2.62 2.53 layang dasar t ( 33 ) 09:00 t ( 33 ) 09:00 t ( 49 ) 01:00 t ( 49 ) 01:00 1.73 1.9 layang dasar t ( 33 ) 09:00 t ( 33 ) 09:00 t ( 49 ) 01:00 t ( 49 ) 01:00 2.13 2.00 layang dasar t ( 33 ) 09:00 t ( 33 ) 09:00 t ( 49 ) 01:00 t ( 49 ) 01:00 2.60 2.53 layang dasar t ( 33 ) 09:00 t ( 33 ) 09:00 t ( 49 ) 01:00 t ( 49 ) 01:00 2.84 2.60 layang dasar t ( 33 ) 09:00 t ( 33 ) 09:00 t ( 49 ) 01:00 t ( 49 ) 01:00 2.62 2.79 Pasang Surut layang dasar t ( 33 ) 09:00 t ( 33 ) 09:00 layang dasar Total suspended solid (TSS) (mg/l) Jenis Sedimen 14.30 Pasir sangat halus 17.00 Pasir halus 3.65 Pasir sedang 11.42 Pasir halus 9.12 Pasir halus 5.54 Pasir halus 6.32 Pasir halus Keterangan : t ( 33 ) = waktu pada pasang tertinggi t ( 49 ) = waktu pada surut terendah 4.3 Pemodelan Pola Arus (Current patternt) dan Sedimentasi dengan Surface Water Modelling System (SMS) 8.0. Pemodelan arus dan sedimentasi dilakukan dengan menggunakan modul RMA2 dan SED2D. Proses running pada modul ini meliputi beberapa tahapan sebagai berikut : 4.3.1 Pemodelan Bathimetri Pemodelan bathimetri dilakukan dengan input file garis kontur (*.dxf) dan file image (*.jpg). Selanjutnya file *.dxf diubah dalam bentuk feature arc sebagai boundary dan kemudian diubah kedalam bentuk scatter point sebagai acuan elevasi bathimetri. File image (*.jpg) digunakan sebagai pembanding kontur bathimetri yang telah dibuat dari file *.dxf. Dari bundary yang berupa feature arc dan scatter point kemudian di buat polygon untuk membuat finite element mesh - 74 - dengan bentuk quadrilateral dan triangle. Hasil pembuatan elemen mesh terlihat seperti pada Gambar 4. 7. Gambar 4. 7 Gambungan elemen mesh dengan scatter point Hasil dari finite element mesh adalah merupakan model kontur bathimetri seperti pada Gambar 4. 8 sebagai berikut: Gambar 4. 8 Hasil pemodelan kontur bathimetri SMS 8.0 - 75 - Gambar 4. 9 Hasil pemodelan kontur bathimetri 3D SMS 8.0 4.3.2 Penentuan kondisi batas pada model RMA2 dan SED2D Penentuan kondisi batas dilakukan guna memberikan input data pemodelan SMS 8.0 dan juga model kontrol. Kondisi batas untuk modul RMA2 meliputi data pasang surut, debit sungai dan material properties. Input data pasang surut dan debit sungai dimasukkan dalam obyek Nodestring. Data pasang surut dimasukkan sesuai hasil pengukuran di lapangan yang telah disesuaikan elevasi 0.0 m pada peta input (Peta LPI Makassar tahun 1993) dengan LLWL (Lowest Low Water Level) sebesar 9 dm di bawah Mean Sea Level (MSL). Proses input pada SMS seperti di tampilkan pada Gambar 4. 10. Sedangkan untuk data debit sungai dimasukkan dengan nilai konstan sesuai dengan pengukuran debit sesaat pada waktu surut sebesar 30.5 m3/s. Proses running input koefisien adalah sebagai berikut : X-SCALE GEOM FACTOR Y-SCALE GEOM FACTOR Z-ELEVATION GEOM FACTOR NOMINAL VELOCITY - 1D MINIMUM DEPTH - 1D (XSCALE) (YSCALE) (ZSCALE) (UNOM) (HMIN) 1.0000 1.0000 1.0000 0.2500 0.0000 - 76 - TEMPERATURE (C) (TEMPC) TIME , ITERATION, AND PRINT CONTROL ITERATIONS- FIRST TIME ITERATIONS- DYNAMIC RESTART MID-ITER CONTROLS STARTING TIME STEPS TOTAL TIME STEPS DELTA TIME INTERVAL in HRS MAX HOUR FOR THIS RUN ITERATIONS FOR DRY NODES PRINT INCREMENT ITERATIONS -> -> -> -> -> 30.0000 (NITI) (NITN) (MBAND) (NSTART) (NCYC) (DELT) (TMAX) (LI) (ITSI) 4 4 0 0 72 1.000000 72.0000 0 1 SPOT CHECK OF CALCULATED ROUGHNESS FOR THE SELECTED N-VALUE BY DEPTH PARAMETERS Max n-value for non-vegetated water= 0.080000 Water depth for vegetation effects = 10.000000 Max n-value for vegetated water = 0.100000 Roughness by depth coefficient = 0.070000 DEPTH (FT) 0.5 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 200.0 MANNINGS N-VALUE FOR ELEM=1 IMAT#= 0.179100 0.158084 0.139634 0.125451 0.114096 0.104879 0.078400 0.063625 0.060313 0.058901 0.057959 0.055210 1 Gambar 4. 10 Input data pasang surut SMS 8.0 Kondisi batas untuk SED2D meliputi konsentrasi sedimen yang masuk dalam area perairan, properti global dan model kontrol. Properti global berisi tentang koefisien difusi, kecepatan endap, jenis material (lempung/pasir) dan - 77 - properti dari materialnya. Sedangkan model kontrol merupakan pengaturan waktu running dan metode hydraulic seabed shear stress. Seting input data dan model control dalam SED2D adalah sebagai berikut : SUMMARY OF BED LAYERING MASS ACCUMULATION POTENTIAL LAYER ACCUM MASS (KG/SQ M) 1 2.700000 2 5.940000 3 10.260000 4 22.320000 5 34.380001 6 46.440002 7 58.500004 8 70.560005 9 82.620003 10 157492.625000 ====== SED2D VERSION 1.2 BETA 2-D ***** SED2D VERSION 1.2 BETA: Last MOD DATE 2/26/96 ***** SED2D TRANSLATED INPUT CARDS INTO THE FOLLOWING DATA SETS STARTING TIME... YEAR 0 MONTH 0 DAY 0 HOUR/MINUTE/SECOND COMPUTATION TIME INTERVAL(SEC) 3600.00 NUMBER OF TIME STEPS 72 SEDIMENT CLASSIFICATIONS SAND... SIZE CLASSES= 1 GEO. MEAN DIA= 0.0625 TRANSPORT FUNCTION = ACKER-WHITE 0. 0. 0 4.3.3 Hasil Pemodelan Arus Pasang Surut (RMA2) dan Konsentrasi Sedimen Terlarut pada modul SED2D Pemodelan arus dan sedimentasi dilakukan dalam 2 kondisi yaitu kondisi terbuka dan tertutup (Opened 6 and Closed 7 condition). Hasil pemodelan SMS di pantai Losari Makassar memberikan gambaran pola arus pasang surut dominan bergerak dari pantai ke arah laut. Pada daerah delta dan breakwater terjadi turbulensi dimana pada saat pasang menyebabkan arus masuk ke arah muara kanal Patompo. Untuk keperluan verifikasi hasil perhitungan SMS dengan data pengukuran, diambil titik stasiun yang sama dengan stasiun pengukuran bersangkutan. Koordinat dan lokasi stasiun pengukuran seperti pada Gambar 4.11. 6 7 Opened condition dimana input debit berasal dari sungai Janeberang, Long Storage PDAM dan muara kanal Patompo. Close condition dimana input debit hanya berasal dari muara kanal Patompo dengan kondisi sungai Janeberang dan Long Storage PDAM tertutup. - 78 - Gambar 4.11 Peta lokasi titik pengamatan berdasarkan masingmasing koordinat pada peta LPI Makassar (X,Y) Pembahasan pola arus dan sedimentasi digambarkan pada grafik pasang surut dikaitkan dengan time step pada SMS dibawah ini. - 79 - TABEL PASANG SURUT LOKASI PENELITIAN Perekam an tanggal 2 s/d 4 April 2006 1000 TS 32 800 600 TS 40 200 TS 37 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 Tinggi pasang surut (mm) TS 29 400 -200 TS 45 TS 26 -400 -600 TS 48 -800 Jam perekam an (hour n) Gambar 4. 12 Grafik pasang surut dan time step tiap kondisi elevasi muka air Hasil pemodelan arus pasang surut dengan RMA2 perlu di lakukan verifikasi untuk mengetahui sejauh mana kesesuaian antara model SMS dengan kondisi di lapangan. Pada pemodelan teluk Losari ini dilakukan verifikasi pada dua tempat pengambilan sampel, yaitu LS-1 dan LS-3. LS-1 mewakili kondisi di depan muara sungai dan LS-3 mewakili kondisi arus dari laut. Tabel 4. 3 Verifikasi kecepatan arus pasang surut titik LS-1 dan LS-3 Date Time 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 4/3/2006 Average 6:00 7:00 8:00 9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00 19:00 20:00 21:00 SMS-Model 0.024 0.030 0.018 0.036 0.023 0.022 0.003 0.024 0.017 0.000 0.013 0.021 0.027 0.062 0.025 0.023 LS-1 Observed Stand. Dev. 0.045 1.48% 0.050 1.41% 0.020 0.16% 0.027 0.64% 0.025 0.13% 0.030 0.58% 0.015 0.82% 0.037 0.94% 0.042 1.77% 0.020 1.39% 0.050 2.60% 0.055 2.38% 0.070 3.05% 0.110 3.41% 0.047 1.53% 0.043 1.48% SMS-Model 0.019 0.011 0.011 0.003 0.012 0.007 0.001 0.007 0.011 0.014 0.025 0.009 0.002 0.002 0.016 0.025 0.011 LS-3 Observed 0.019 0.018 0.020 0.008 0.007 0.015 0.010 0.015 0.020 0.025 0.030 0.020 0.017 0.025 0.035 0.030 0.020 Stand. Dev. 0.00% 0.51% 0.63% 0.37% 0.37% 0.58% 0.62% 0.54% 0.61% 0.75% 0.34% 0.81% 1.07% 1.59% 1.32% 0.34% 0.65% - 80 - Hasil verifikasi arus pasang surut pada tiap time step menunjukkan kesesuaian periode kecepatan. Dari Tabel 4. 3 menunjukkan perbandingan data pengukuran arus di lapangan pada titik LS-1 dan LS-3 dengan kecepatan arus hasil pemodelan SMS. Standar deviasi pada titik LS-1 rata-rata 1.48 % dan titik LS-3 0.65%. Pada Gambar 4. 13 menunjukkan perbandingan kecepatan arus model SMS dengan arus pengamatan di titik LS-1. Perbedaan kecepatan arus lebih disebabkan karena arus di laut terbuka lebih banyak di sebabkan oleh angin, dan gelombang. Akan tetapi dalam pemodelan SMS arus lebih banyak disebabkan oleh pasang surut dan debit yang keluar dari muara sungai. Current Velocity Verification Observed vs SMS Model (LS-1) 0.120 0.100 Velocity (m/s) 0.080 0.060 0.040 0.020 0.000 6:00 7:00 8:00 9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00 19:00 20:00 Time (Hours) Observed SMS Model Gambar 4. 13 Verifkasi kecepatan arus pasang surut titik LS-1 Hasil pemodelan numerik masih bisa dianggap akurat dengan tingkat penyimpangan yang kecil. Dengan nilai standar deviasi kurang dari 5% maka model ini dikatakan sudah cukup mewakili kondisi di lapangan. Selain itu - 81 - kecenderungan perubahan kecepatan arus dari tinggi ke kerendah juga menunjukkan kesesuaian. Current Velocity Verification Observed vs SMS Model (LS-3) 0.040 0.035 Velocity (m/s) 0.030 0.025 0.020 0.015 0.010 0.005 0.000 6:00 7:00 8:00 9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00 19:00 20:00 Time (Hours) Observed SMS Model Gambar 4. 14 Verifkasi kecepatan arus pasang surut titik LS-3 Kecepatan arus (Current velocity) dan penyebaran konsentrasi sedimen pada tiap elevasi pasang surut adalah sebagai berikut: a. Muka air surut (LWL – Time step 48 tanggal 4/4/06 jam 01:00 AM) Pada time step ke 48 dimana air laut surut dengan elevasi -0.65 m di bawah datum pola arus menujukkan pergerakan dari pantai menuju ke arah barat (vektor arus mengarah ke laut). Kecepatan arus pada time step 48 ini berturut-turut dari tinggi ke rendah terjadi pada stasiun LS-1 : 0.043 m/s, LS-2 : 0.025 m/s, LS-4: 0.006 m/s, LS-6 : 0.005 m/s, LS-5 : 0.004 m/s, LS-3 : 0.003 m/s dan LS-7: 0.003. - 82 - Kecepatan arus di depan delta (LS-1 dan sebelum LS-2) menunjukkan nilai yang lebih kuat hal ini karena adanya input aliran masuk ke pantai losari dari kanal patompo dan laguna dimana terjadi penyempitan aliran di area jembatan jalan Metro. Sedangkan pada muara sungai Janeberang (LS-7) dan Long Storage PAM (LS-6) kecepatan arus cenderung lemah karena tidak adanya input aliran masuk ke laut. Untuk itu pemodelan dilakukan dengan Closed condition dengan pertimbangan bahwa sejak berfungsinya DAM multiguna Bili-bili yang ditandai dengan rubber DAM pada sungai Jeneberang sehingga tidak ada lagi aliran air yang masuk ke laut (debit = 0) pada musim kemarau. Sedangkan pada musim penghujan atau pada saat volume air berlebihan rubber DAM di buka sehingga ada aliran air yang masuk ke laut. Untuk itu pemodelan juga dilakukan observasi pada kondisi terbuka (Opened condition). Gambar 4.15 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition saat surut (Time step 48, 4/4/06 01:00) - 83 - Pemodelan pola arus (current patternt modelling) Opened condition menghasilkan perubahan arah arus di beberapa lokasi pengamatan. Sedangkan kisaran kecepatan arus pasang surut relatif sama kecuali di Long Storage PDAM dan muara sungai Janeberang. Kecepatan arus di depan muara sungai Janeberang dan Long Storage PDAM dimana kecepatan arus sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Closed condition. Gambar 4. 16 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition saat surut (Time step 48, 4/4/06 01:00) - 84 - LS-3 TS-26 TS-29 TS-32 0.008 0.007 0.008 0.007 0.010 0.010 0.005 0.007 0.009 Close (m/s) Open (m/s) 0.003 0.005 0.008 0.009 TS-37 TS-40 TS-45 0.015 LS-4 Close (m/s) Open (m/s) 0.021 0.021 TS-26 0.015 0.015 0.007 TS-29 0.007 0.018 0.017 TS-32 TS-37 0.015 0.002 TS-48 0.004 0.015 0.003 0.014 TS-40 TS-45 TS-48 Gambar 4. 17. Perbedaan arah arus Opened condition dan Closed Condition di lokasi LS-3 dan LS-4. Sebaran konsentrasi sedimen Closed condition dipengaruhi kondisi arus yang bergerak ke arah pantai. Sehingga menyebabkan konsentrasi sedimen yang berasal dari muara kanal Patompo (17 ppm) menyebar ke arah Utara. Bangunan breakwater yang ada menyebabkan kecepatan arus berkurang sehingga konsentrasi sedimen hanya terlihat di daerah muara kanal Patompo sampai di daerah breakwater yang berkisar antara 4 – 10 ppm seperti ditunjukkan pada Gambar 4. 18. Dengan kondisi tersebut maka muara kanal Patompo akan menampung sedimen yang keluar dari kanal, sehingga akumulasi sedimen yang terendap akan memperbesar pembentukan delta ke arah dalam (Selatan dan Timur). - 85 - Gambar 4. 18 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition saat surut (Time step 48, 4/4/06 01:00) Sedangkan sebaran konsentrasi sedimen Opened condition, menunjukkan adanya konsentrasi sedimen di depan muara sungai Janeberang dan Long Storage PDAM sebesar ± 0.001 kg/m3. Selain itu efek dari debit kedua saluran tersebut menyebabkan pergerakan sedimen terdorong ke arah timur ( dibelakang breakwater, LS-4) sehingga konsentrasi sedimen sebesar 0.001 kg/m3 bergeser ke arah timur. Konsentrasi di dalam delta (LS-1 dan LS2) juga mengalami penurunan akibat adannya pengaruh Long Storage PDAM dan muara sungai Janeberang yang dibuka. - 86 - Gambar 4. 19 Sebaran konsentrasi sedimen Opened condition saat surut (Time step 48) b. Muka air setelah surut (Time step 26, tanggal 3/4/06 jam 03:00 AM) Pemodelan pola arus Closed condition setelah surut dimana muka air menuju duduk tengah (MSL) yaitu saat elevasi muka air -0.28 m di bawah datum arus bergerak dari laut ke arah pantai. Hal ini karena elevasi air di laut lebih tinggi daripada elevasi air di daerah pantai. Kecepatan arus pada time step 26 ini berturut-turut dari tinggi ke rendah terjadi pada stasiun LS-2: 0.020 m/s, LS-4 : 0.019 m/s, LS-6 : 0.013 m/s, LS-5 : 0.012 m/s, LS-1 : 0.009 m/s, LS-3 : 0.009 m/s dan LS-7: 0.007 m/s. Kecepatan arus di depan delta (LS-1 dan LS-2) menunjukkan adanya turbulensi arus yang keluar dari debit muara kanal Patompo dengan arus yang berasal dari arah laut akibat pasang. Akibat turbulensi ini pada sebagian tempat di dalam delta mempunyai kecepatan rendah yang ditandai dengan - 87 - kontur berwarna biru tua. Kecepatan arus yang sangat rendah ini akan mengendapkan konsentrasi sedimen yang tersuspensi dalam air sehingga akan terjadi pengendapan di dalam delta seperti terlihat pada gambar 4. 18 berikut: Gambar 4. 20 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition setelah surut (Time step 26, 3/4/06 3:00 AM) - 88 - Gambar 4.21 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition setelah surut (Time step 26, 3/4/06 3:00 AM) Pergerakan dan arah arus pada Opened condition hampir sama dengan Closed condition akan tetapi kecepatannya di daerah belakang breakwater lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kontur kecepatan berwarna biru tua yang lebih luas pada Closed condition. Sebaran konsentrasi sedimen yang dipengaruhi kondisi menuju pasang menyebabkan konsentrasi sedimen hanya menyebar di sekitar delta. Arus yang bergerak sejajar garis pantai pada ujung delta menyebabkan konsentrasi sedimen lebih menyebar kearah Utara (LS-4). Selain itu dengan adanya arus yang bergerak sejajar pantai ini akan menyebabkan erosi di daerah ujung delta, meskipun hal ini tidak terlihat dari penyebaran sedimen yang ada. Hal ini dikarenakan keterbatasan SMS-SED2D yang hanya memodelkan sedimentasi dari suspended sedimen. - 89 - Gambar 4. 22 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition setelah surut (Time step 26, 3/4/06 3:00 AM) Pada pemodelan Opened condition terlihat adanya sebaran konsentrasi sedimen yang lebih besar ke arah utara di belakang breakwater. Hal ini disebabkan oleh kecepatan arus di belakang breakwater (LS-4) lebih tinggi. Pola sebaran konsentrasi sedimen pada Opened conditon juga menunjukkan adanya sebaran konsentrasi sedimen terlarut di depan muara sungai Janeberang dan Long Storage PDAM. Hal ini juga terlihat hasil hasil overlay citra landsat-7 ETM yang menunjukkan sebaran sedimen di sepanjang pantai namun dalam pemodelan SMS tidak tidak terlihat sebaran di sepanjang pantai kecuali pada daerah muara. SMS hanya memodelkan nearshore current., sehingga tidak ada dorongan konsentrasi sedimen ke arah sepanjang pantai. - 90 - Gambar 4. 23 Pemodelan konsentrasi sedimen Opened condition setelah surut (Time step 26 Tgl 3/4/06 3:00 AM). c. Muka air saat menuju pasang (Time step 29, tanggal 3/4/06 jam 09:00 AM) Time step ke 29 dimana muka air menuju pasang dengan elevasi muka air +0.45 m di atas datum. Pada saat ini pola arus masih menunjukkan pergerakan dari arah laut menuju ke arah pantai (vector menunjukkan ke arah pantai). Elevasi muka air yang terus bertambah naik menyebabkan air mengalir ke arah pantai sampai muka air tertinggi HHWL) saat pasang puncak. - 91 - Gambar 4. 24 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition menuju pasang (Time step 29 Tgl 3/4/06 6:00 AM) Gambar 4. 25 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition menuju pasang (Time step 29 Tgl 3/4/06 6:00 AM) - 92 - Penurunan kecepatan arus seperti pada Gambar 4.22 dimana kontur kecepatan di dominasi warna hujau muda kearah biru muda. Kecepatan arus pada time step 29 ini berturut-turut dari tinggi ke rendah terjadi pada stasiun LS-2 : 0.021 m/s, LS-1 : 0.015 m/s, LS-4 : 0.013 m/s, LS-5 : 0.007 m/s, LS-3 : 0.006 m/s, LS-6 : 0.006 m/s dan LS-7: 0.004 m/s. Pola arus Opened condition mempunyai arah yang hampir sama yaitu arus bergerak ke arah pantai sedangkan kecepatan arus mempunyai nilai yang lebih besar. Hal ini ditunjukkan dengan kontur berwarna biru tua yang lebih sedikit. Kondisi arus menuju pasang ini menyebabkan penyebaran konsentrasi masih berkisar didaerah delta dan breakwater. Sebaran konsentrasi sedimen terlarut berkisar antara 2.5 – 9 ppm. Pada kondisi ini terjadi penumpukan sedimen di dalam delta (LS-1). Gambar 4. 26 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition menuju pasang (Time step 29 Tgl 3/4/06 6:00 AM) - 93 - Pergerakan arus di depan delta yang sejajar dengan garis pantai menyebabkan potensi erosi sepanjang garis pantai khususnya pada bagian luar delta sehingga akan mendorong pergerakan delta ke arah Utara. Hasil pengamatan selama di lokasi penelitian juga terlihat jelas terjadinya abrasi pada bagian luar delta (LS3) dan sedikit penambahan garis pantai pada bagian dalam delta (LS1). Sebaran konsentrasi di muara kanal Patompo (LS-1 dan LS-2) mempunyai nilai yang lebih rendah pada pemodelan Opened condition. Hal ini di tunjukkan dengan kontur berwarna hijau muda yang mempunyai nilai sekitar 0.03 ppm. Kecepatan arus dari arah laut mendorong pergerakan sedimen ke dalam muara kanal. Sehingga sumber sedimen dari kanal tidak menyebar ke arah laut. Gambar 4. 27 Pemodelan konsentrasi sedimen Opened condition menuju pasang (Time step 29 Tgl 3/4/06 6:00 AM) - 94 - d. Muka air saat pasang (Time step 32 tanggal 3/4/06 Jam 09:00 AM) Pada time step ke 32 ini terjadi pasang surut dimana elevasi muka air sekitar +0.85 meter diatas datum dimana pergerakan air masih mengarah ke pantai namun kecepatan arus mulai melemah di daerah breakwater. Hal ini ditandai dengan warna kontur biru tua. Kecepatan arus pada time step 32 ini berturut-turut dari tinggi ke rendah terjadi pada stasiun LS-1 : 0.005 m/s, LS-4 : 0.005 m/s, LS-2 : 0.004 m/s, LS-5 : 0.004 m/s, LS-3 : 0.003 m/s, LS-6: 0.003 m/s dan LS-7: 0.002 m/s. Gambar 4. 28 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition saat pasang (Time step 32, 3/4/06 9:00 AM) Pola arus Opened condition memberikan distribusi kecepatan yang lebih seragam di depan muara sungai Janeberang dan Long Storage PDAM yang ditunjukkan dengan gradasi warna kontur yang jelas. Kecepatan arus di belakang breakwater (LS-4) lebih besar dari Closed condition. - 95 - Gambar 4. 29 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition saat pasang (Time step 32 Tgl 3/4/06 9:00 AM) Kecepatan di muara kanal Patompo (LS-1 dan LS-2) juga menunjukkan tidak ada kontur berwarna biru tua. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh debit dari muara sungai Janeberang dan Long Storage PDAM memberikan dorongan balik ke arah muara kanal Patompo. Arah pergerakan arus mempunyai kesamaan arah yaitu ke arah pantai. Gambar 4. 30 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition saat pasang (Time step 32 Tgl 3/4/06 9:00 AM) - 96 - Arus pasang surut yang bergerak ke arah pantai mendorong sebaran konsentrasi sedimen ke arah utara di belakang breakwater. Konsentrasi sedimen di muara kanal Patompo sekitar 9 ppm dan di belakang breakwater sekitar 3 ppm. Dengan kondisi tersebut menyebabkan terjadi penumpukan sedimen di sepanjang muara kanal Patompo. Gambar 4. 30 menunjukkan sebaran konsentrasi sedimen yang terjadi di muara kanal Patompo. Gambar 4. 31 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition saat pasang (Time step 32, 3/4/06 9:00 AM) Sebaran konsentrasi sediment dengan Opened condition tidak terlalu besar dan cenderung berpusat di muara (LS-1, LS-5 dan muara sungai Janeberang). Dorongan arus balik dan kecepatan arus yang seragam memberikan sebaran sedimen yang berpusat di depan muara. Dari breakwater menunjukkan tidak ada sebaran konsentrasi sedimen di belakang. - 97 - e. Muka air setelah pasang (Time step 37, tanggal 3/4/06 jam 02:00 PM) Pada time step 37 elevasi muka air + 0.31 meter, kondisi setelah pasang dimana arus masih bergerak ke arah pantai. Elevasi di atas nol menyebabkan massa air bergerak ke arah yang lebih rendah (darat). Pada time step ke 37 terjadi turbulensi aliran di depan muara kanal Patompo. Gambar 4. 32 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition setelah pasang (Time step 37, 3/4/06 2:00 PM) Hal ini di tandai dengan kontur warna biru tua yang menunjukkan adanya pertemuan arus dari arah laut dengan arus dari arah muara kanal. Kecepatan arus pada time step 37 berturut-turut dari tinggi ke rendah terjadi pada LS-2 : 0.016 m/s, LS-4 : 0.015 m/s, LS-5 : 0.009 m/s, LS-3 : 0.008 m/s, LS-6 : 0.008 m/s, LS 7 : 0.007 m/s dan LS-1 : 0.002 m/s. Pada time step ini pola arus pada Opened condition lebih cepat dari pada Closed condition. Pada kanal Patompo (LS-1), belakang breakwater (LS-4) dan muara sungai Janeberang (LS-7) kecepatan arus relative lebih tinggi - 98 - seperti ditunjukkan dengan kontur warna hijau lebih muda. Sedangkan pada Closed condition menunjukkan ada kontur berwarna biru tua di muara kanal Patompo (LS-1) dimana arah arus mempunyai kesamaan pada dua kondisi tersebut. Gambar 4. 33 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition setelah pasang (Time step 37, 3/4/06 2:00 PM) Sebaran konsentrasi sedimen yang terjadi menunjukkan perubahan dimana yang awalnya terkonsentrasi di belakang breakwater dan di muara kanal lalu bergerak ke arah barat (Rubber DAM PDAM). Akan tetapi konsentrasi yang paling besar masih tetap di muara kanal Patompo dan sedimen di belakang breakwater dengan kisaran 3 – 10 ppm. sedangkan pada daerah Long storage sebesar 1 ppm dengan sumber konsentrasi sedimen dari muara kanal Patompo. Sebaran konsentrasi sedimen pada Closed condiion tetap menyebar di belakang breakwater (LS-4). Nilai konsentrasi berkisar anata 3.5 – 6.5 ppm. Sedangkan untuk Opened condition konsentrasi sedimen - 99 - lebih berpusat di muara kanal patompo dengan gradasi warna yang lebih kontras. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh debit dari muara sungai Janeberang dan Long Storage PDAM terhadap arus yang masuk ke dalam muara kanal Patompo. Gambar 4. 34 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition setelah pasang (Time step 37, 3/4/06 2:00 PM) Gambar 4. 35 Pemodelan konsentrasi sedimen Opened condition setelah pasang (Time step 37, 3/4/06 2:00 PM) - 100 - f. Muka air saat pasang sesaat (Time step 40, tanggal 3/4/06 jam 05:00 PM) Time step ke 40 yaitu saat elevasi muka air + 0.33 m di atas datum dimana pada kondisi ini terjadi pasang sesaat karena tipe pasang surut adalah campuran condong ke harian tunggal. Pada kondisi ini arus pasang surut bergerak ke arah pantai karena elevasi muka air di laut lebih besar dari pada elevasi muka air di pantai. Pada stasiun pengamatan kecepatan arus mengalami penurunan akan tetapi pada jembatan Metropolitan arus menjadi lebih cepat karena adanya tambahan dorongan dari pergerakan arus pada time step sebelumnya (49). Hal ini di tunjukkan dengan warna hijau muda pada area didalam jembatan. Kecepatan arus pada time step 40 berturut-turut dari tinggi ke rendah terjadi pada LS-2 : 0.018 m/s, LS-4 : 0.013 m/s, LS-1 : 0.011 m/s, LS-3 : 0.006 m/s, LS-5 : 0.006 m/s, LS-6 : 0.006 m/s dan LS-7 : 0.004 m/s. Gambar 4. 36 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition saat pasang sesaat (Time step 40 Tgl 3/4/06 5:00 PM) - 101 - Pergerakan arus Opened condition mempunyai kecepatan yang lebih cepat di depan muara kanal Patompo (LS-1 dan LS-2). Kecepatan berkisar antara 0.01 m/s dengan warna kontur berwarna hijau muda. Kecepatan arus yang lebih tinggi menunjukkan bahwa debit sungai Janeberang dan Long Storage PDAM memberikan pengaruh pada kecepatan di dalam delta (LS-1 dan LS-2). Dengan adanya debit dari kedua sungai tersebut menyebabkan arah arus yang datang dari laut di belokkan ke arah delta (LS-1 dan LS-2). Arus yang di belokkan tersebut dapat menyebabkan terjadinya transportai sedimen ke arah delta. Sehingga sedimen dari sungai Janeberang dan Long Storage PDAM akan terbawa dan mengendap di bagian delta (LS1). Gambar 4. 37 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition saat pasang sesaat (Time step 40 Tgl 3/4/06 5:00 PM) Dengan berkurangnya kecepatan arus ke arah pantai menyebabkan sebaran sedimen bergerak ke arah laut. Hal ini terlihat dengan pada kontur konsentrasi sedimen dengan nilai 1 ppm yang awalnya tepat pada breakwater - 102 - bergeser ke arah barat breakwater. Konsentrasi sedimen yang terjadi pada kanal Patompo (LS-1 dan LS-2) berkisar antara 5 -8.5 ppm sedangkan di darah breakwater (LS-3 dan LS-4) berkisar antara 2.5 – 3.5 ppm. Gambar 4. 38 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition saat pasang sesaat (Time step 40 Tgl 3/4/06 5:00 PM) Gambar 4. 39 Pemodelan konsentrasi sedimen Opened condition saat pasang sesaat (Time step 40 Tgl 3/4/06 5:00 PM) - 103 - g. Muka air menuju surut (Time step 45, tanggal 3/4/06 jam 10:00 PM) Time step 45 dimana saat elevasi muka -0.16 di bawah datum yaitu pada kondisi muka air menuju surut, arus pasang surut bergerak dari pantai ke arah laut. Kecepatan arus pada lokasi delta (LS-1 dan LS-2) mengalami peningkatan, hal ini ditunjukkan dengan kontur kecepatan warna kuning yang semula berwarna hijau. Kecepatan arus pasang surut pada tiap lokasi pengamatan secara berturut-turut dari tinggi ke rendah adalah : LS-1: 0.052 m/s, LS-2 : 0.039 m/s, LS-4 : 0.016 m/s, LS-5 : 0.009 m/s, LS-6 : 0.009 m/s, LS-3 : 0.007 m/s dan LS-7 : 0.005 m/s. Pola sirkulasi arus pasang surut pada tim step 45 seperti pada Gambar 4. 40. Pergerakan arus Opened condition menunjukkan adanya kecepatan yang lebih tinggi di titik LS-6. Kecepatan arus berkisar antara 0.01 m/s yang menuju ke arah laut. Debit dari sungai Janeberang dan long Storage PDAM menyebabkan kecepatan di daerah muara sungai lebih cepat hal ini didukung oleh kondisi surut sehingga massa air semakin cepat bergerak ke arah laut. Kecepatan arus di muara kanal Patompo (LS-1 dan LS-2) tidak jauh berbeda dengan Closed condition. Secara keseluruhan arah pergerakan arus mempunyai arah yang sama di kedua kondisi (Closed condition dan Opened condition). - 104 - Gambar 4. 40 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition saat menuju surut (Time step 45, 3/4/06 10:00 PM) Gambar 4. 41 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition saat menuju surut (Time step 45, 3/4/06 10:00 PM) - 105 - Adanya pergerakan arus ke arah laut menyebabkan sebaran konsentrasi sedimen juga bergerak ke arah laut (barat). Hal ini di tunjukkan bergesernya kontur dengan nilai 1.5 ppm yang semakin menjauh ke arah breakwater. Gambar 4. 42 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition saat menuju surut (Time step 45, 3/4/06 10:00 PM) Konsentrasi sedimen di depan muara kanal Patompo (LS- dan LS-2) berkisar antara 6 – 10.5 ppm. Sedangkan konsentrasi sedimen di belakang breakwater berkisar antara 3 – 4.5 ppm. - 106 - Gambar 4. 43 Pemodelan konsentrasi sedimen Opened condition saat menuju surut (Time step 45, 3/4/06 10:00 PM) Hasil running SMS-RMA2 Closed condition pada tiap lokasi stasiun pengamatan disajikan dalam grafik kecepatan arus pasang surut pada Gambar 4. 44. Dari grafik tersebut terlihat bahwa kecepatan yang dominan adalah pada stasiun LS-1 dan LS-2. Hal ini disebabkan input debit dari muara kanal Patompo memberikan kecepatan yang lebih besar dari pada kecepatan arus yang hanya di pengaruhi oleh pasang surut. Tinggi pasang surut juga mempengaruhi kecepatan arus, Hal ini karena RMA-2 adalah merupakan program untuk analisa arus pasang surut yang disebabkan adanya energi potensial dari pasang surut. Kecepatan arus menunjukkan pertambahan kecepatan pada time step 22, 26, 28, 46 dan 50, dimana kondisi ini adalah muka air menuju atau setelah surut. Dan kecepatan minimum terjadi pada saat pasang (HHWL) dan surut (LLWL). - 107 - Gambar 4. 44 Grafik kecepatan arus Closed condition pasang surut tiap lokasi pengamatan Gambar 4. 45 Grafik kecepatan arus Opened condition pasang surut tiap lokasi pengamatan - 108 - Kecepatan arus Opened condition tiap stasiun pengamatan di sajikan pada Gambar 4. 45. Kecepatan arus tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan kecuali pada awal time step. Hal ini disebabkan running model belum stabil. Setelah time step ke 10 kecepatan arus menunjukkan nilai yang hampir sama. Tidak adanya perbedaan kecepatan arus yang signifikan disebabkan karena secara umum stasiun mendapat tekanan yang sama dari pengaruh pasang surut. Kondisi sebaran sedimen Closed condition yang stabil tercapai setelah time step ke 13. Dari gambar 4.44 menunjukan konsentrasi sedimen meningkat pada time step ke 29, 47 dan 53 yaitu pada elevasi muka air sebelum dan sesudah surut. Pada saat elevasi muka air pasang konsentrasi sedimen mengalami penurunan sampai posisi pasang sesaat dan kemudian meningkat kembali saat menuju surut. Saat elevasi muka air surut konsentrasi sedimen juga mengalami penurunan. Stasiun LS-1 dan LS-2 menunjukkan fluktuasi yang tinggi. Sedangkan stasiun LS3 dan LS-4 menunjukkan fluktuasi konsentrasi sedimen yang tidak terlalu besar. Di stasiun yang lain hampir tidak terjadi fluktuasi dan peningkatan konsentrasi sedimen relatif konstan. - 109 - Gambar 4. 46 Grafik sebaran konsentrasi sedimen Closed condition pada tiap stasiun pengamatan Sebaran konsentrasi sedimen Opened condition menunjukkan nilai yang lebih fluktuatif. Hal ini sangat dipengaruhi adanya debit sungai Janeberang dan Long Storage PDAM. Pada stasiun LS-3, LS-6 dan LS-7 menunjukkan nilai konsentrasi cenderung menurun (rendah). Stasiun tersebut terletak agak jauh dari input debit akan tetapi masih di pengaruhi dari konsentrasi yang keluar dari debit. Sedangkan LS-4 menunjukkan nilai yang hampir sama tetapi dengan fluktuasi yang lebih besar. Posisi LS-4 yang terletak di mulut delta menyebabkan kecepatan arus yang keluar masuk yang tinggi. Sehingga konsentrasi sedimen di LS-4 sangat fluktuatif. Sedangkan LS-5 menunjukkan nilai yang lebih besar. Stasiun LS-1 dan LS-2 mempunyai konsentrasi sedimen yang lebih besar dari pada stasiun yang lain. Hal ini karena posisi LS-1 dan LS-2 yang terletak di depan muara kanal Patompo. - 110 - Gambar 4. 47 Grafik sebaran konsentrasi sedimen opened condition pada tiap stasiun pengamatan. Hasil pemodelan SED2D dapat juga dihasilkan output berupa perubahan dasar laut (Sea seabed changes). Seabed changes yang terjadi merupakan pengaruh perpindahan konsentrasi sedimen oleh arus pasang surut oleh karen itu tidak dapat dijadikan ukuran mutlak adanya erosi di sepanjang kontur garis pantai dimana garis pantai di definisikan sebagai boundary yang tetap. Pemodelan Closed condition menunjukkan indikasi terjadinya erosi kedalaman hanya terlihat pada daerah jembatan (LS1) dengan adanya kontur yang berwarna terang. Hal ini disebabkan adanya aliran kritis (critical flow 8) di bawah jembatan. Kontur perubahan dasar laut (seabed changes) yang terjadi seperti pada Gambar 4.46 dan Gambar 4. 47. 8 Kecepatan arus yang lebih tinggi dari kecepatan umumnya yang terjadi dalam boundary area misalnya pada titik pengamatan dimana penampang melintang mengalami penyempitan akan mengalami percepatan arus. - 111 - Dari pemodelan tersebut menunjukkan kecenderungan perubahan sedimentasi adalah ke arah utara yaitu di stasiun LS-2 dan LS-4 di belakang breakwater. Hal ini karena adanya breakwater mengurangi kecepatan arus yang terjadi sehingga konsentrasi sedimen yang terkandung dalam volume air akan lebih cepat terendapkan. Gambar 4. 48 Seabed changes Closed condition di sepanjang pantai Losari pada time step ke 72. Dengan demikian proses sedimentasi lebih banyak terjadi di area dimana kecepatan yang relatif lebih rendah. Selain itu pergerakan arus ke arah utara (belakang breakwater) juga mempengaruhi arah pergerakan sedimen. - 112 - Gambar 4. 49 Seabed changes Closed condition di muara kanal Patompo pada time step ke 72. Gambar 4. 50 Grafik perubahan dasar laut (seabed changes) Closed condition pada tiap stasiun pengamatan. - 113 - Grafik perubahan dasar laut (seabed changes) menunjukkan peningkatan pendangkalan yang besar pada stasiun LS-1 dan LS-2. Seabed changes yang terjadi pada masing-masing stasiun pada time step ke 72 adalah LS-1: 0.000086 m, LS-2: 0.00005 m, LS-3: 0.000018 m, LS-4: 0.00002 m, LS-5: 0.00001 m, LS6: 6.7e-6, m dan LS-7: 0.000012 m. Pendangkalan tersebut merupakan akumulasi dari endapan konsentrasi sedimen yang terlarut (suspended sediment) dalam massa air. Sedimentasi di muara kanal Patompo (LS-1 dan LS-2) relatif lebih besar dari pada stasiun yang lain. Hal ini di sebabkan stasiun tersebut dekat dengan input konsentrasi sedimen yang masuk (muara kanal Patompo). Gambar 4. 51 Seabed changes Opened condition di pantai Losari pada time step ke 72. Perubahan dasar laut pada Opened condition menunjukkan adanya sedimentasi yang lebih besar pada muara kanal Patompo, muara sungai Janeberang dan Long Storage PDAM. Sedimentasi ini bertambah karena - 114 - konsentrasi yang terbawa oleh massa air juga bertambah dari sungai Janeberang dan Long Storage PDAM. Arus yang dominan bergerak ke arah Utara menyebabkan sedimentasi ke arah Utara. Hal ini mendukung terjadinya sedimentasi ke arah delta. Kondisi ini dapat terlihat jelas pada running 3D time step 72 berikut ini: Gambar 4.52 Kontur seabed changes Opened condition di pantai Losari (3D) time step 72. Sedangkan di depan delta (LS-4) dan di bawah jembatan terjadi erosi. Pada kedua lokasi tersebut terjadi arus kritis (critical flow) sehingga konsentrasi sedimen akan terbawa oleh arus dan mengendap di dalam muara kanal Patompo (LS-1) dan di belakang breakwater (LS-4). Grafik seabed change menunjukkan LS-1 dan LS-4 mengalami peningkatan yang lebih besar. Sedangkan LS-2 yang terletak di mulut delta mengalami erosi - 115 - menunjukkan grafik yang menurun. Konsentrasi sedimen yang keluar dari Long Storage PDAM mengendap ke arah utara karena adanya dorongan arus ke utara. Pada grafik seabed changes menunjukkan titik LS-5 mengalami penambahan seabed changes yang besar seperti pada LS-1 dan LS-4. Gambar 4. 53 Seabed changes Opened condition di muara kanal Patompo pada time step ke 72. Pemodelan Opened condition menunjukkan kondisi yang lebih mendekati pada kondisi dilapangan, yaitu terjadinya sedimentasi di ujung delta (LS-3) dan juga terjadi abrasi di mulut delta (LS-2). Sedangkan pemodelan Closed condition hanya menunjukkan sedimentasi di muara kanal Patompo (LS-1) sampai daerah belakang breakwater (LS-4). Pemodelan ini tidak dapat mengidentifikasikan adanya erosi di mulut delta (LS-2) - 116 - dan sedimentasi yang terbawa arus dari muara sungai Janeberang (LS-5) ke arah delta (LS-3). Gambar 4. 54 Grafik perubahan dasar laut (Seabed changes) Opened condition pada tiap stasiun pengamatan. 4.4 Pemrosesan Data pada Overlay Citra Landsat 7-ETM 4.4.1 Pemotongan Citra Proses pemotongan citra dilakukan untuk membatasi daerah penelitian dan memperkecil memori penyimpanan sehingga dapat mempercepat proses pengolahan data selanjutnya. Citra yang diperoleh tidak dalam satu scene lengkap sehingga pemotongan dilakukan dengan membuka kedua citra dalam satu page untuk mengetahui batas maksimal dari pemotongan citra. Gambar berikut adalah hasil pemotongan cintra Landsat-7 ETM kota Makassar tahun 1996 dan 2002 pada band RGB yang sama (Band 321). Dari citra tahun 1996 masih nampak sedimen terlarut (suspended sediment) yang bersumber dari Sungai Jeneberang. - 117 - (a) Tahun 1996 (a) Tahun 2002 Gambar 4. 55 Hasil pemotongan Citra landsat 7-ETM pada Band 321 4.4.2 Kesalahan Geometrik dan Kekuatan Jaring Titik Kontrol 4.4.2.1 Kesalahan Geometrik Citra yang digunakan merupakan citra Landsat Landsat 7-ETM level 1 Gigabyte yang sudah terkoreksi secara geometrik maupun radiometrik. Pada penelitian ini dilakukan registrasi ulang menggunakan peta Bakosurtanal skala 1:50.000 dengan sistem proyeksi Universal Tranverse Mercator (UTM) zone 50-S. Jumlah titik yang digunakan adalah 17 titik dengan posisi titik berada di sepanjang pantai dan beberapa titik di daratan. Perseberan titik tersebut dimaksudkan untuk menjaga ketepatan posisi objek di perairan dan garis pantai yang nantinya digunakan untuk mengevalusai perubahan lahan. - 118 - Tabel 4. 4 Titik kontrol 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Hasil Geocoding Wizard (GCP) dari Nilai Root Mean Square (RMS) terhadap Citra Landsat Makassar Tahun 1996 dan 2000. Easting ( E) Citra 1996 Northing (N) 770326.24 9422731.84 758984.79 9422767.94 765795.98 9430301.60 759788.60 9432168.81 766552.12 9432786.06 766870.06 9430634.93 765536.72 9428931.22 764801.46 9429181.69 763336.76 9429515.75 763758.94 9430820.12 763543.73 9423019.31 763404.22 9433157.00 765981.17 9424227.51 770333.20 9434319.58 759096.82 9428950.42 759276.69 9433524.42 770300.54 9428436.49 RMS Total RMS Rata-rata Meter Citra 2002 Northing (N) RMS Easting ( E) 0.3947 0.5968 0.4199 0.2033 0.123 0.1069 0.1037 0.1367 0.0308 0.0888 0.1777 0.1039 0.0899 0.374 0.2235 0.1943 0.2881 3.656 0.215 6.452 766277.84 9430845.75 766339.17 9431720.71 765549.40 9432408.98 765116.01 9432875.08 9429080.40 764453.98 763925.86 9429794.10 759962.84 9433328.68 761044.04 9421668.65 770480.48 9423116.36 770264.08 9433882.28 770101.78 9428364.07 762635.96 9431177.27 762527.76 9433665.88 766368.87 9433882.28 759660.46 9424685.26 759714.56 9429554.27 765611.47 9422196.65 RMS Total RMS Rata-rata Meter RMS 0.126 0.342 0.063 0.235 0.064 0.127 0.210 0.248 0.503 0.202 0.297 0.168 0.232 0.209 0.303 0.117 0.301 3.747 0.220 6.612 Menurut Hardiyanti (2001), batas toleransi untuk nilai kesalahan RMS adalah 1 pixel (30x30 meter), sehingga apabila nilai rms lebih besar dari 1 harus dilakukan perhitungan ulang. Nilai RMS error rata-rata dari 17 titik kontrol yang diambil pada citra tahun 1996 adalah 0,081 atau 2,43 meter untuk resolusi citra landsat 30x30 meter. Sedangkan untuk citra tahun 2002 sebesar 0,132 atau 3,96 m. Secara keseluruhan nilai RMS cukup akurat seperti terlihat pada pada Tabel 4.3 tersebut diatas. Hasil running nilai RMS error pada citra landsat 2002 seperti terlihat di bawah ini: # # # # # # # # # GCPs for dataset : D:\MAKASAR\citra\02rectcut.ers Total number of GCPs: 17 Number turned on : 17 Warp order : 1 GCP CORRECTED map projection details: Map Projection : SUTM50 Datum : WGS84 Rotation : 0.000 - 119 - Point On Locked Cell-X Cell-Y To-X To-Y To-Z "1" Yes No 211.031 103.103 766277.8391296 9430845.7500000 "2" Yes No 213.249 77.186 766339.1679200 9431720.7100000 "3" Yes No 188.006 54.820 765549.4000000 9432408.9800000 "4" Yes No 174.298 39.934 765116.0060784 9432875.0800000 "5" Yes No 152.086 150.614 764453.9800000 9429080.4000000 "6" Yes No 135.344 128.173 763925.8575445 9429794.1000000 "7" Yes No 9.099 13.294 759962.8383752 9433328.6800000 "8" Yes No 40.520 361.066 761044.0375633 9421668.6500000 "9" Yes No 344.017 342.405 770480.4765891 9423116.3600000 "10" Yes No 339.864 23.261 770264.0761744 9433882.2800000 "11" Yes No 333.109 186.034 770101.7758633 9428364.0700000 "12" Yes No 94.208 83.963 762635.9615547 9431177.2700000 "13" Yes No 91.352 10.055 762527.7613474 9433665.8800000 "14" Yes No 214.959 13.354 766368.8687090 9433882.2800000 "15" Yes No -3.078 268.328 759660.4558520 9424685.2600000 "16" Yes No 0.012 124.451 759714.5559557 9429554.2700000 "17" Yes No 187.327 357.129 765611.4672574 9422196.6500000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # RMS error report: Warp Type - Polynomial -----ACTUAL----Point Cell-X Cell-Y "1" 211.031 103.103 "2" 213.249 77.186 "3" 188.006 54.820 "4" 174.298 39.934 "5" 152.086 150.614 "6" 135.344 128.173 "7" 9.099 13.294 "8" 40.520 361.066 "9" 344.017 342.405 "10" 339.864 23.261 "11" 333.109 186.034 "12" 94.208 83.963 "13" 91.352 10.055 "14" 214.959 13.354 "15" -3.078 268.328 "16" 0.012 124.451 "17" 187.327 357.129 Average RMS error : Total RMS error : End of GCP details ---PREDICTED--Cell-X Cell-Y 211.075 102.970 213.280 77.241 188.110 54.866 174.321 39.972 152.040 150.546 135.276 128.086 8.993 13.415 40.554 361.122 343.917 342.351 339.880 23.300 333.177 186.137 94.236 83.877 91.435 9.978 214.818 13.369 -3.052 268.351 0.001 124.444 187.341 357.146 RMS 0.1406 0.0630 0.1137 0.0443 0.0821 0.1108 0.1609 0.0661 0.1135 0.0416 0.1237 0.0903 0.1130 0.1418 0.0344 0.0126 0.0222 0.087 1.475 Lebih jauh Hardiyanti (2001), menjelaskan bahwa ketelitian proses koreksi geometri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut: - 120 - ⇒ Jumlah titik kontrol yang dipakai ⇒ Penyebaran titik kontrol pada citra ⇒ Identifikasi posisi titik pada citra ⇒ Ketelitian peta acuan ⇒ Nilai kekuatan jaring (strength of figure) titik control Gambar 4. 56 Diagram ilustrasi hubungan antara parameter pada Geocoding Wizard. 4.4.2.2 Kekuatan Jaring Titik Kontrol Kekuatan jaring control dihitung menggunakan perataan parameter. Menurut Abidin (Abidin, dkk., 2002), nilai kekuatan jaring (Strength of Figure) titik kontrol tanah dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : ( trace AT A Strength of Figure = u ) −1 Dari hasil perhitungan didapat nilai strength of figure dari titik kontrol registrasi citra tahun 1996 adalah 0,0004269 dan nilai pada citra tahun 2002 adalah 0,0004269. Dalam hal ini semakin kecil bilangan faktor - 121 - kekuatan jaringan tersebut di atas maka semakin baik konfigurasi jaringan yang bersangkutan dan sebaliknya (Abidin, dkk., 2002). 4.5 Sebaran Sediment pada Citra Sebelum dilakukan klasifikasi terlebih dahulu dilakukan pemisahan daerah penelitian yang berupa perairan terhadap daratan yang bertujuan untuk mempermudah dalam proses klasifikasi. Untuk mempertegas perbedaan antara daratan dan laut digunakan kombinasi band RGB 754. Pemisahan dilakukan dengan menggunakan annotation/map compotion yang ada di Er Mapper6.4. Selain itu juga dilakukan penetralan kembali dari transform ada, hal ini dilakukan karena citra yang diterima sudah pernah digunakan dan dimungkinkan ada transform yang berubah. Setelah pemotongan citra sesuai dengan daerah penelitian, selanjutnya dilakukan penajaman citra dengan menggunakan komposit band RGB 321 seperti pada Gambar 4.57. Penggunaan komposit band tersebut memberikan kenampakan warna yang lebih kontras sehingga memberikan kemudahan dalam proses identifikasi awal. Proses klasifikasi awal terhadap citra delakukan pada Er Mapper6.4. Dalam proses ini masukan yang diperlukan adalah batas kelas maksimum yang dihasilkan, jumlah iterasi, jumlah piksel minimal dalam tiap kelas dan simpangan baku nilai piksel yang dikelompokkan. Dalam pengolahan citra ini, metoda yang dilakukan adalah ISOCLASS unsupervised classification dengan jumlah kelas maksimal (maximum number of classes) adalah 7 kelas dengan iterasi maksimum (maximum iterations) 20 kali. Pembatasan jumlah kelas ditentukan berdasarkan kemungkinan jumlah kelompok obyek atau data lapangan - 122 - yang ada sedangkan jumlah iterasi didasarkan pada efisiensi dan lama proses klasifikasi. Penyesuaian hasil klasifiklasi antara citra 1996 dan citra 2002 dilakukan dengan membandingkan hasil klasifikasi terhadap citra berdasarkan kunci interpretasi dan nilai digital pixel pada daerah hasil klasifikasi. Makassar City (a) Tahun 1996 Makassar City (a) Tahun 2002 Gambar 4.57 Boundary area hasil Cropping landsat 7-ETM pada Band 321 sebelum klasifikasi (a) tahun1996 dan (b) tahun 2002 4.5.1 Data Sampel Air Pengambilan sampel air dilapangan bertujuan untuk memberikan acuan/perbandingan nilai terhadap hasil klasifikasi citra. Lokasi pengambilan air sampel dilakukan pada tujuh titik (LS-1 s/d LS-7). Pengambilan sampel air dilakukan pada tanggal 3 April 2006. Waktu pengambilan sampel sedimen pada saa pasang tertinggi (jam ke 33 : 09.00 WITA) dan surut terendah (Jam ke 49 : 01.00 WITA). Pengambilan sampel air dilakukan pada air permukaan dengan kedalaman antara 0,5-5 meter dari permukaan air (sediment dasar dan - 123 - tersuspensi). Penentuan kedalam tersebut mengacu pada kemampuan landsat untuk melakukan penetrasi terhadap perairan yaitu sedalam 10 meter dari permukaan air. Idealnya kedalaman pengambilan sampel air untuk konsentrasi TSM-nya dengan metode overlay adalah setengah dari kedalaman tempat pengambilan sampel sehingga kedalaman laut pada daerah sampel air perlu dipertimbangan. Nilai total suspended matter didapat dari analisa terhadap sampel air yang dilakukan di laboraturium dengan menggunakan metode gravimetri. Berdasarkan hasil data lapangan menunjukan bahwa interval TSM berkisar antara 3,65 -17 mg/l (LS1=14 mg/l; LS2=17 mg/l; LS3=3,65; LS4=11,42 mg/l; LS5=9,12 mg/l; LS6=5,54 mg/l dan LS7=6,32 mg/l). Hasil pengukuran ini akan dibandingkan dengan hasil klasifikasi citra landsat tahun 1996 dan 2002 dengan jumlah kelas sebanyak 7 kelas pada masing-masing citra. Pemrosesan data klasifikasi akan dibahas pada analisa klasifikasi berikut. 4.5.2 Analisa Sedimen pada klasifikasi Citra Landsat-7 ETM Hasil pengukuran konsentrasi sedimen terlarut tersebut diatas maka didapatkan gambaran bahwa sedimen terlarut pada perairan Pantai Losari Makassar berkisar 3,65 -17 mg/l. Berdasarkan nilai ini maka perairan tersebut dapat dikatakan sedikit mengandung sediment terlarut, juga seperti terlihat pada citra landsat tahun 2002. Sedangkan pada citra tahun 1996 masih terlihat adanya sedimen terlarut (Band RGB 3,2,1). Hal ini disebabkan oleh berkurangnya sumber sedimen dari daratan sebagai supply sediment terbesar pada sebagian besar pantai. - 124 - Overlay citra landsat-7 ETM diklasifikasikan dalam 7 kelas. Nilai konsentrasi sedimen terlarut tahun 1996 di ambil dari Band 3.Sedangkan overlay tahun 2002 klasifikasi yang sesuai diambil dari band 4. hasil perhitungan ckaslifikasi dan luasan area kelas di sajikan pada Tabel 4.5. Tabel 4.5 Rata-rata band dan luasan area hasil klasifikasi Berdasarkan hasil klasifkasi citra landsat (tahun 1996 dan 2002) didapatkan kesimpulan bahwa konsentrasi sedimen terlarut hasil klasifikasi umumnya lebih tinggi dari data hasil pengukuran (data pengamatan). Hal ini menunjukan bahwa sedimen terlarut di pantai Losari semakin berkurang dari tahun ke tahun. Hasil klasifikasi yang dilakukan belum memberikan nilai kekeruhan air/konsentrasi TSM (mg/l) dari kelas sedimen tersebut. Pemberian nilai dilakukan berdasarkan hasil dari pengambilan sampel air dilapangan yang telah di analisa di laboraturium. Akurasi koordinat pada saat pengambilan data menjadi kunci utama ketika akan melakukan overlay terhadap citra klasifikasi sedimentasi tahun 2002. Dari beberapa sampel yang diambil di - 125 - lapangan terdapat 3 titik pengamatan dimana nilai sedimen terlarutnya sesuai dengan klasifikasi dari citra Landsat tahun 2002 yaitu titik LS-1, LS-4 dan LS6. Hasil perbandingan klasifikasi sedimen ini menunjukkan bahwa konsentrasi sedimen terlarut semakin berkurang dari tahun ke tahun (hasil overlay pada Tabel 4.5 dan hasil pengukuran sedimen terlarut). Tabel 4. 6 Perbandingan konsentrasi sedimen (TSM) hasil overlay citra Lansdat-7 ETM (tahun 1996 dan 2002) dengan data pengukuran di lapangan. Hasil Titik Pengamatan Pengamatan April-06 LS-1 14.30 LS-2 17.00 LS-3 3.65 LS-4 11.42 LS-5 9.12 LS-6 5.54 LS-7 6.32 Tahun 1996 Konsentrasi (mg/l) 15.35 - 22.46 12.79 - 12.91 12.91 - 15.35 0.00 - 4.74 11.85 - 12.79 0.00 - 4.74 15.35 - 22.46 Keterangan Tahun 2002 Konsentrasi (mg/l) Lebih Kecil 13.98 - 14.36 Lebih Besar 14.36 - 14.73 Lebih Kecil 14.73 - 15.59 Lebih Besar 0.00 - 13.65 Lebih Kecil 15.59 - 18.84 Lebih Besar 0.00 - 13.65 Lebih Kecil 14.73 - 15.59 Keterangan Sesuai Lebih Besar Lebih Kecil Sesuai Lebih Kecil Sesuai Lebih Kecil Berdasarkan hasil analisis pada klasifikasi citra tahun 1996 dan 2002 menunjukan bahwa terdapat perbedaan sebaran sediment terlarut dimana pada citra tahun 1996 sebaran sedimen lebih terkonsentrasi di daerah tepian pantai (Nearshore) dengan nilai konsentrasi yang lebih tinggi yaitu 15.35 – 22.46 mg/l. Sedangkan konsentrasi sedimen terlarut ke arah menjauh dari pantai (Offshore) mempunyai konsentrasi yang lebih rendah yaitu antara 12.79 – 15.35 mg/l. Kondisi tersebut diatas berlawanan dengan fenomena sebaran konsentrasi sedimen terlarut pada citra 2002. Pada citra 2002, konsentrasi lebih rendah pada daerah tepian pantai (Nearshore) dengan kisaran 15.58 – 18.84 mg/l dan selanjutnya sedimen terlarut ini menurun konsentrasinya ke arah offshore dengan kisaran 14.36 – 15.58 mg/l. Dari perbandingan sebaran - 126 - konsentrasi sedimen terlarut menunjukkan pada tahun 2002 mengalami penurunan konsentrasi di tepi pantai akan tetapi konsentrasi ke arah pantai mengalami peningkatan. Sehingga sebaran konsentrasi sedimen terlarut lebih seragam. Gambar 4. 58 Sebaran sedimen terlarut dan klasifikasi sedimen pada citra landsat-7 ETM 1996 Hasil klasifikasi sebaran sediment pada masing-masing citra (tahun 1996 dan 2002) dapat dilihat secara detail pada gambar 4.56 dan 4.57. Berdasarkan perbandingan kedua gambar tersebut dengan Tabel 4.5. maka dapat disimpulkan bahwa konsentrasi sedimen (total suspended matter) hasil overlay citra Lansdat-7 ETM (tahun 1996 dan 2002) menunjukan penurunan. - 127 - Selanjutnya jika dibandingkan dengan analisis kedua citra dengan data pengukuran di lapangan menunjukan perubahan distribusi sedimentasi. Pada citra tahun 1996 dimana secara umum penebaran sediment lebih tinggi dari tahun 2002. Sedangkan hasil pengukuran data lapangan juga lebih rendah dari citra tahun 2002. Hal ini memperkuat alasan bahwa sebaran sedimen terlarut semakin berkurang dari tahun ke tahun. Hal ini juga dapat trlihat pada analisa perubahan garis pantai yang terjadi pada Pantai Losari. Oleh karena TSM adalah gambaran besarnya sebaran sedimen dalam perairan maka dapat diperkiran terjadinya erosi pada pantai tersebut. Gambar 4.59 Sebaran sedimen terlarut dan klasifikasi sedimen pada citra landsat-7 ETM 2002. - 128 - 4.5.3 Analisa Perubahan Garis Pantai (Beach Line Changes) Analisa perubahan garis pantai dilakukan dengan melakukan pendigitasian (digityzing) pada citra (tahun 1996 dan 2002) yang telah dikrop (cropping) dan koreksi koordinat (geocoding wizard GCP). Hasil overlay dan digitasi kedua citra landsat-7 ETM dapat pada gambar berikut ini: . Gambar 4.60 Perubahan garis pantai (erosi) hasil overlay Citra Landsat-7 ETM (1996 dan 2002). Bardasarkan gambar tersebut diatas maka dapat dipastikan bahwa telah terjadi erosi pada bagian luar Delta Jeneberang dan ”pendangkalan” pada bagian dalam delta seperti pada gambar 4.59 di bawah ini. - 129 - Gambar 4. 61 Perubahan garis pantai (sedimentasi) hasil overlay Citra Landsat-7 ETM (1996 dan 2002). Hasil pengamatan langsung yang dilakukan di lapangan juga terlihat bahwa terjadi erosi di sepanjang pantai losari dan ujung delta cenderung bergerak ke arah pantai. Hal ini disebabkan karena arah angin yang membangkitkan gelombang di Pantai Losari sepanjang tahun lebih besar dari arah barat laut (Gambar 4.2) sehingga tekanan gelombang terhadap pantai dominan dari selatan ke utara. Beberapa perubahan tutupan area yang nampak seperti sedimen justru merupakan perubahan fungsi lahan dari tambak rakyat ke perumahan, perkantoran dan pedagangan (land use changes). - 130 - BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil-hasil pengamatan, pengukuran dan analisa yang telah dibahas pada bab sebelumnya maka penelitian ini disimpulkan sebagai berikut: 1. Arus hasil pemodelan SMS paling kuat pada Closed condition terjadi di stasiun LS-1 0.0003 - 0.058 m/s dan LS-2 .00002 – 0.054 m/s. Kecepatan arus pada stasiun LS-4 0 – 0.028 m/s dan LS-6 0.0002 – 0.025 m/s dan kecepatan stasiun LS-3 0 – 0.015 m/s , LS-5 0.0002 – 0.019 dan LS-7 0.0004 – 0.012 m/s. Kecepatan arus Opened condition masing-masing LS-1 0.001 – 0.065 m/s, LS-2 0.0001 – 0.057 m/s, LS-3 0.0003 – 0.015 m/s, LS-4 0.0002 – 0.033 m/s, LS-5 0.0002 – 0.013 m/s, LS-6 0.0002 - 0.009 m/s dan LS-7 0.0003 0.008 m/s. 2. Konsentrasi sedimen pada tiap stasiun meningkat dengan fluktuasi yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi pasang surut. Konsentrasi sedimen Closed condition pada stasiun LS-1 0.001 – 0.015 kg/m3, LS-2 0.001 – 0.008 kg/m3, LS-3 0.001 – 0.0013 kg/m3, LS-4 0.001 – 0.0014 kg/m3, LS-5 0.001 – 0.0006 kg/m3, LS-6 0.001 – 0.0003 kg/m3 dan LS-7 0.001 – 0.0007 kg/m3. Untuk Opened condition konsentrasi sedimen masing-masing adalah: LS-1 0.001 – 0.005 kg/m3, LS-2 0.001 – 0.0016 kg/m3, LS-3 0.001 – 0.0013 kg/m3, LS-4 0.001 – 0.0016 kg/m3, LS-5 0.001 – 0.0014 kg/m3, LS-6 0.001-0.0009 kg/m3 dan LS-7 0.001 – 0.0009 kg/m3. 3. Pendangkalan yang terjadi pada Closed condition selama 72 jam pada masingmasing stasiun, LS-1 0.000086 m, LS-2 0.00005 m, LS-3 0.00002 m, LS-4 131 0.00002 m, LS-5 0.00001 m, LS-6 0.000007 m dan LS-7 0.000012 m. Seabed changes Opened condition masing-masing adalah LS-1 0.00012 m, LS-2 0.000076 m, LS-3 0.000024 m , LS-4 0.0001 m, LS-5 0.00013 m, LS-6 0.000015 m dan LS-7 0.000013 m. 4. Hasil pemodelan SMS didapatkan total sedimen yang sangat kecil (Open condition =0,210 m/th dan 0,116 m/th pada Close condition) dan terjadi abrasi pada LS5=0,336 m/th (Open condition). Hal ini disebabkan dari debit muara kanal Patompo dan terjadi pendangkalan saat kondisi elevasi muka air menuju surut sedangkan arus yang sejajar pantai sepanjang delta menyebabkan erosi di sepanjang delta dan material erosi teredapkan di ujung delta kondisi ini terjadi saat elevasi muka air menuju pasang. 5. Berdasarkan uji laboratorium data sampel didapatkan sedimen terlarut (TSM) pada kisaran antara 3,65 -17 mg/l yaitu LS1=14 mg/l; LS2=17 mg/l; LS3=3,65; LS4=11,42 mg/l; LS5=9,12 mg/l; LS6=5,54 mg/l dan LS7=6,32 mg/l. 6. Hasil klasifkasi citra landsat tahun 1996 menunjukkan sebaran konsentrasi sedimen terlarut hasil klasifikasi umumnya lebih tinggi (Class 1= 102.96 ha; class 2=106.65 ha; class 3=120.60 ha; class 4=765.00 ha; class 5= 1181.88 ha; class 6=1669.23 ha dan class 7= 2000.88 ha) dari citra tahun 2002 (Class 1= 50.76 ha; class 2 =152.82 ha; class 3 = 545.49 ha; class 4 = 1079.55 ha; class 5=1138.05 ha; calss 6=1416.87 ha dan class 7= 1487.43 ha). Hal ini menunjukan bahwa sedimen terlarut di pantai Losari semakin berkurang dari tahun ke tahun bahkan sudah terjadi abrasi pada beberapa bagian pantai. 132 7. Berdasarkan hasil pemodelan sediment pada SMS menggambarkan bahwa terdapat kesesuaian arah penyebaran sedimen terdapat hasil pada overlay citra Landsat 7-ETM tahun 1996 dan 2002. 8. Terjadinya erosi sepanjang Pantai Losari Makassar disebabkan karena tidak adanya suplai sedimen dari Sungai Jeneberang sebagai sumber utama sedimen pada pembentukan spit Tanjung Bunga dan Delta Geneberang. 5.2 Saran Berdasarkan hasil-hasil yang telah dicapai maka disarankan sebagai berikut: 1. Pada penelitian ini digunakan SMS modul RMA2 dan SED2D dengan memodelkan sedimentasi yang terjadi adalah akibat dari suspended sedimen. Sehingga disarankan untuk kajian sedimentasi dengan menggunakan FESWMS atau program aplikasi lain yang mampu memodelkan sedeimen disebabkan karena adanya gelombang pecah dan longshore current misalnya Mike21 untuk littoral drift. 2. Adanya studi yang berkesinambungan mengenai keseimbangan pantai terutama proses sedimentasi maupun erosi di pantai Losari-Makassar karena dari hasil analisis data didapatkan erosi di satu sisi dan sedimentasi (”penimbunan lahan dalam dalam rangka perubahan tata guna lahan”) di sisi lain. 3. Perlu adanya bangunan pantai yang tepat guna menanggulangi erosi yang terjadi di sepanjang pantai Losari. 133 DAFTAR PUSTAKA Abidin, H.Z. 1999. Penentuan Posisi dengan GPS dan Aplikasinya. Pradya Paramita. Jakarta. Anonim, 1998. Coastal Enginering Manual Part III. Department of Army. Washington DC. US Army Corps and Enginers. United Steted. Anonim, 2001. Digitasi Batas-batas Otonomi Daerah Bidang Kerjasama Kelautan dan Perikanan. PT. NINCEC Enginering Consultan. Bandung. Anonim, 2003. Studi Perilaku Pantai Jeneberang. Laporan. Universitas Hasanuddin-Gowa Makassar Tourism Development tbk. UNHAS. Betingger, P and Wing, M., 2004. Geographic Information Systems. Application in Forestry and Natural Resources Management. McGraw-Hill Companies, Inc. 1221 Avenue of the Americas, NY. Corbau, C.; Ciavola, P; Gonzalez, R and Ferreira; 2001. Measurements of CrossShore Sand fluxes on a Macrotidal Pocket Beach (Saint-Georges Beach, Atlantic Coast, SW France). Journal. Dipartimento di Scienze della Terra, Università degli Studi di Ferrara, C.so Ercole I d’Este 32, 44100 Ferrara, Italia. Dong, P and Chen, H., 1998. A Probabilistic Model for shoreline Erosion predictions. Department of Civil Engineering, The University, Dundee DD1 4HN, UK. Hedle, J. D and Mumby, P. J., 2003. A remote sensing method for resolving depth and subpixel composition of aquatic benthos. Tropical Coastal Management Studies, Department of Marine Sciences & Coastal Management, Ridley Building, The University, Newcastle upon Tyne, NE1 7RU, Great Britain. Indarjani, 2003. Infaunal communities in south Australian temperate Mangrove system. Environmental Science Adelaide University. Thesis. Joep E.A. Storms, J. E. A, Hoogendoorn, R. M, Dam, R. A. C, Hoitink, A.J.F and S.B. Kroonenberg, 2005. Late-Holocene evolution of the Mahakam delta, East Kalimantan, Indonesia. Delft University of Technology, Faculty of Civil Engineering and Geosciences, Department of Geotechnology, Section of Applied Geology, Mijnbouwstraat 120, 2628 RX, Delft, The Netherlands. 134 Jones, C. B., 1997. Geographical Information Systems and Computer Cartography. Pearson Education Limited. Edinburgh Gate, Harlow Essex CM20 2JE. England. Joseph V. Letter, Jr. , L. C. Roig, B. P. Donnell, W. A. Thomas, W. H. McAnally, and S. A. Adamec, Jr., 1998. A Generalized Computer Program For Two-Dimensional, Vertically Averaged Sediment Transport. A User's Manual For, Sed2d-Wes. Brigham Young University – Environmental Modelling Research Laboratory. Kamphuis, J. William, 1996. Introduction To Coastal Engineering and Management. Queen’s University, World Scientific, Canada. King, Ian., 1997. Users Guide To RMA2 WES Version 4.3. US Army Corps of Engineers Waterways Experiment Station Hydraulics Laboratory, WexTech Systems, Inc., New York. Komar, D. Paul, 1998. Beach Processes and Sedimentation. Prentice Hall, New Jersey. Koster, M. J., and Graff, V.J., 1990. “Dune and Beach Erosion and Nourishment”, Proceeding of The Short Course of Coastal Protection”, Delft University of Technology, Rotterdam. Kuchler, A.D., D.L.B. Jupp, R. Claasen, W. Bour, 1986. Coral Reef Remote Sensing Applications. Regional Seminar on The Application of remote Sensing Techniques to Coastal Zone Management and Environmental Monitoring, Dhaka. Bangladesh. Letter, J.V.; Roig, L.C.; Donnell, B.P., Thomas, W.A.; McAnally, W.H. and Adamec, S. A., 1998. A user's manual for, SED2D-WES, a generalized computer program for two-dimensional, vertically averaged sediment transport. The US Army Engineer Waterways Experiment Station (WES) under the Army Corps of Engineers Rehabilitation, Evaluation, and Maintenance Research Program. New York. Lillesand; Thomas, M.; Kiefer and Ralp, W., 1994. Remote Sensing and Image Interpretation. John Wiley & Son, Inc. New York Lyzenga, D. R., 1981. Remote Sensing Of Bottom Reflectance And Water Attenuation Parameters. International Journal of Remote Sensing Vol 2, 2, 71-82. Pernetta, J dan Elder, D., 1993. Cross-sectoral, Integrated Coastal Area Planning (CICAP) : Guidelines and Principles for Coastal Area Development. IUCN Marine and Coastal Areas Programme, Rue Mauverney 28, 1196. Switzerland. 135 Post , J. C and Lundin, C. G., 1996. Guidelines for Integrated Coastal Zone Management. Environmetally Sustainable Development. Studies and Monographs Series No. 9 The World Bank Washington DC. Pratikto, W.A,. dkk (1999). Struktur Pelindung Pantai. Due_Like. ITS Purwadhi, H., 2001. Interpretasi Citra Dijital. Pradya Paramita, Jakarta. Schluter M., Sauter E. J., Schafer A., and Ritzrau W., 2000. Spatial budget of organic carbon flux to the seafloor of the northern North Atlantic (60°N - 80°N). Global Biogeochemical Cycles 14(1), 329-340. Short, 1990. Landsat Tutorial Handbook. Third edition. NASA-USA. Syarif, B., 2004. Mapping TSM Concentrations from Multisensor Satellite Iamges in Turbid Tropical Coastal Waters of Mahakam Delta Indonesia. MSc Thesis. ITC. Enschede, The Netherlands. Triatmadja, R., 2001. “Pengamanan dan Perlindungan Pantai”, PSIT, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset, Jogjakarta. US Army. Waterways Experiment Station. Coastal and Hydraulics Laboratory Environmental Modelling Research Laboratory, “SMS Tutorial Version 8.0”, 136