BAB I - Mendeley Data

advertisement
TESIS
ANALISA POLA ARUS DAN SEDIMENTASI DI PANTAI
LOSARI MAKASSAR DENGAN MENGGUNAKAN METODE
SURFACE WATER MODELLING SYSTEM (SMS) DAN
OVERLAY CITRA LANDSAT 7-ETM PADA METODE
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)
OLEH
SUYUTI
4104 205 712
JURUSAN TEKNIK DAN MANAJEMEN PANTAI
FAKULTAS TEKNIK KELAUTAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOVEMBER SURABAYA
2006
ABSTRAK
ANALISA POLA ARUS DAN SEDIMENTASI DI PANTAI LOSARI MAKASSAR
DENGAN MENGGUNAKAN METODE SURFACE WATER MODELLING
SYSTEM (SMS) DAN OVERLAY CITRA SATELIT LANDSAT-7 ETM
PADA METODE SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)
Suyuti
1
Dr.Ir. Wahyudi, M.Sc. 2
Dr. Ing Ir. Teguh Hariyanto, M.Sc. 3
Abstrak
Secara umum permasalahan yang ditemukan pada pengelolaan wilayah pesisir adalah
dampak dari interaksi populasi manusia terhadap lingkungan pantai. Dalam penelitian ini
akan dilakukan pengkajian terhadap proses sedimentasi yang timbul dari akibat interaksi
gelombang, arus pantai, angin, kontur pantai di Losari Makassar Propinsi Sulawesi Selatan
dengan menggunakan pendekatan metode Water Surface Modelling System (SMS ver. 8.0)
dan metode Overlay citra landsat 7-ETM tahun 1996 dan 2002 pada Sistem Informasi
Geografik (SIG). Pemodelan SMS 8.0 akan dianalisa pengaruh gerakan arus pasang surut
pada sediment terlarut.
Tahap awal analisis dilakukan dengan membatasi boundary/training area yaitu pada
koordinat lintang (1190:20:40.49E s/d 1190:26:18.73E dan 50:6:58.34S s/d 5:12:59.23S).
Boundary disesuaikan pada kedua metode yang digunakan dalam penelitian ini.
Pengambilan sampel sedimen terlarut dimulai dari sekitar delta sampai muara sungai
Jeneberang (Ls1 s/d Ls7). Hasil pengukuran sediment juga dibandingkan dengan sedimen
terlarut dari hasil running pada modul SMS (SED2-WES) dan hasil analisis overlay pada
citra landsat 7-ETM (1996 dan 2002).
Arus paling kuat terjadi pada stasiun LS-1 dan LS-2 dengan kecepatan maksimum
0.079 m/s dan minimum 0.001 m/s. Kecepatan arus pada stasiun LS-4 dan LS-6
mempunyai kecepatan yang relatif sedang yaitu antara 0.00 - 0.03 m/s dan kecepatan
stasiun LS-3, LS-5 dan LS-7 mempunyai kecepatan relatif kecil antara 0.00 – 0.019 m/s.
Konsentrasi sedimen pada tiap stasiun meningkat dengan fluktuasi yang berbeda-beda
sesuai dengan kondisi pasang surut. Akumulasi sedimen terlarut sampai time step 72 pada
stasiun LS-1 = 8.63 ppm, LS-2 = 6.34 ppm, LS-3 = 3.28 ppm, LS-4 = 3.79 ppm, LS-5 =
1.69 ppm, LS-6 = 0.94 ppm dan LS-7 = 0.60 ppm.
Hasil pengukuran sedimen pada masing-masing kelas didapatkan pada: Ls1=14,30;
Ls2=17,00; Ls3=3,65; Ls4=11,42; Ls5=9,12; Ls6=5,54 dan Ls7=6,32. Sedangkan hasil
analisis pada overlay citra landsat dibagi kedalam 6 kelas untuk citra tahun 1996 (kelas 1: 0
– 4,74 ppm; kelas 2: 4,74-11,85 ppm; kelas 3: 11,85-12,79; kelas 4: 12,79-12,91; kelas 5:
12,91-15,35 dan kelas 6: 15,35-22,46 ppm) dan tahun 2002 (kelas 1: 0–13,65 ppm; kelas 2:
13,65-13,98 ppm; kelas 3: 13,98-14,36; kelas 4: 14,36-14,73; kelas 5: 14,73-15,59 dan
kelas 6: 15,59-18,84 ppm).
Keywods : Pola arus, Distribusi sedimen,SMS, TSS, overlay landsat 7-ETM
1
2
3
Mahasiswa Sandwich Master degree pada Jurusan Teknik dan Manajemen Pantai Institut ITS
Surabaya dan Newcastle University of UK.
Pengajar pada Jurusan Teknik dan Manajemen Pantai Institut Teknologi Sepuluh November
Surabaya
Pengajar pada Jurusan Teknik Geologi Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT berkat limpahan rahmat dan karuniaNya
penulisan tesis ini yang berjudul “ANALISA POLA ARUS DAN SEDIMENTASI DI
PANTAI LOSARI MAKASSAR DENGAN MENGGUNAKAN METODE SURFACE
WATER MODELLING SYSTEM (SMS) DAN OVERLAY CITRA LANDSAT-7 ETM
PADA METODE SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)” dapat selesai pada
waktunya.
Perlunya mengetahui proses-proses pantai Losari dari sudut keteknikan
(coastal engineering) adalah suatu pemikiran dari awal oleh penulis. Oleh
karenanya penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran spesifik
mengenai pola arus (kecepatan dan arah arus), pasang surut, refraksi gelombang
dan sedimentasi (longshore sediment transport, seabed change dan pola
penyebaran sediment terlarut) di Pantai Losari di kota Makassar Provinsi Sulawesi
Selatan.
Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan rasa terima
kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya atas bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak hingga penyelesaian thesis ini terwujud pada program
Pascasarjana Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
1.
Dr. Ir. Wahyudi, M. Sc. selaku pembimbing I dan Dr. Eng. Ir. Teguh
Hariyanto, M.Sc. selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu,
tenaga, pemikirannya dan tiada habis-habisnya memotivasi penulis dalam
menyelesaikan thesis ini.
2.
Direktur program Pascasarjana ITS beserta staf dan karyawan, Ketua
program Pascasarjana Teknologi Kelautan ITS beserta staf dan karyawan,
serta staf pengajar yang telah memberikan kesempatan untuk menempuh
pendidikan sampai dengan penyelesaian thesis ini.
3.
Ayahanda “Marzuki” tercinta yang selalu memanjatkan doa kepada Allah
untuk kesuksesan studi saya dan doa tulus selalu terpanjatkan kepada Allah
SWT semoga ibunda “Hajjah Andi Buduna Pappang Daeng Patoppo”
(almarhumah) mendapat tempat di sisiNYA.
4.
Istriku tercinta Surya A. Latif atas doa yang tiada hentinya dipanjatkan
untuk kesuksesan saya dan juga anak-anakku tercinta Faradibah Rabiatul
Adawiyah, Muhammad Jalaluddin dan Muhammad Yusuf Fisabililhaq yang
telah memberikan semangat dan inspirasi dalam menyelesaikan studi ini.
5.
Rekan-rekan program Pascasarjana Teknologi Kelautan serta rekan-rekan
lain yang secara langsung maupun tidak langsung telah banyak membantu
dalam penyelesaian thesis ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
diharapkan para pembaca berkenan memberikan saran yang sifatnya dapat
membawa perubahan yang lebih baik. Akhirnya,
Allah jualah yang akan
membalas jasa mereka yang telah berbuat kebaikan.
Surabaya,
Penulis
20 Agustus 2006
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................iii
DAFTAR ISI ............................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... vii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... - 1 1.1 Latar Belakang................................................................................. - 1 1.2 Perumusan dan Batasan Masalah .................................................... - 4 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. - 5 1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... - 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI .................... - 6 2.1 Tinjauan Umum ............................................................................... - 6 2.2 Dasar Teori ...................................................................................... - 9 2.2.1 Arus dan Pasang Surut ........................................................ - 14 2.2.2 Arus Dekat Pantai ............................................................... - 14 2.2.3 Pasang Surut ........................................................................ - 15 2.2.4 Bangunan Pelindung Pantai Untuk Longshore dan
OffShore Transport ............................................................. - 20 2.2.5 Menghitung Besaran Transpor Sedimen yang terjadi ......... - 25 2.2.6 Menghitung Gelombang Pecah ........................................... - 27 2.2.7 Analisis Perubahan Garis Pantai ......................................... - 28 2.3 SMS 8.0 (Surface-water Modelling System version 8.0) .............. - 30 2.3.1 Analisa Arus (Current analyzing) ....................................... - 30 2.3.2 Analisa Sedimentasi ............................................................ - 34 2.4 Sistim Informasi Geografik (SIG) ................................................. - 38 2.4.1 Penginderaan Jauh .............................................................. - 40 2.4.2 Citra Landsat ....................................................................... - 42 2.4.3 Penilaian Hasil .................................................................... - 48 2.4.4 Pemetaan Distribusi Sedimen melalu Citra Satelit ............. - 50 2.4.5 Er Mapper 6.4 ..................................................................... - 51 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................... - 53 3.1. Studi Literatur dan Tinjauan pustaka ............................................ - 54 3.2. Observasi Lapangan ...................................................................... - 54 3.3. Data dan Peralatan ......................................................................... - 54 3.4. Proses Pemodelan .......................................................................... - 57 3.4.1. Pemodelan pada SMS (Surface-water Modelling System
8.0) ...................................................................................... - 57 -
3.4.2. Pengolahan Data pada Overlay Citra Landsat 7-ETM........ - 59 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................ - 67 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ................................................ - 67 4.2 Data Pengukuran ........................................................................... - 70 4.2.1 Pasang Surut ........................................................................ - 70 4.2.2 Debit sungai ........................................................................ - 71 4.2.3 Pengukuran Arus ................................................................. - 71 4.2.4 Sedimen Layang (Total Suspended Sediment) ................... - 73 4.3 Pemodelan Pola Arus (Current patternt) dan Sedimentasi
dengan Surface Water Modelling System (SMS) 8.0. ................. - 74 4.3.1 Pemodelan Bathimetri ......................................................... - 74 4.3.2 Penentuan kondisi batas pada model RMA2 dan SED2D .. - 76 4.3.3 Hasil Pemodelan Arus Pasang Surut (RMA2) dan
Konsentrasi Sedimen Terlarut pada modul SED2D ........... - 78 4.4 Pemrosesan Data pada Overlay Citra Landsat 7-ETM................ - 117 4.4.1 Pemotongan Citra .............................................................. - 117 4.5 Sebaran Sediment pada Citra....................................................... - 122 4.5.1 Data Sampel Air ................................................................ - 123 4.5.2 Analisa Sedimen pada klasifikasi Citra Landsat-7 ETM .. - 124 4.5.3 Analisa Perubahan Garis Pantai (Beach Line Changes) ... - 129 5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 131
5.2 Saran ................................................................................................ 133
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 134
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1
Perkembangan Delta Jeneberang (Periode tahun 1900-1989;
1989-195 dan 1995-1997). .......................................................... - 8 Gambar 2. 2 Transpor sedimen bentuk mata gergaji di garis pantai ............. - 13 Gambar 2. 3 Transpor sedimen sepanjang garis pantai ................................. - 13 Gambar 2. 4 Groin yang berfungsi sebagai penghalang sediment litoral ...... - 20 Gambar 2. 5 Beberapa tipe Groin .................................................................. - 20 Gambar 2. 6 Illustrasi perubahan garis pantai akibat groin ........................... - 22 Gambar 2. 7 Jetty ........................................................................................... - 22 Gambar 2. 8 Sedimentasi pada jetty .............................................................. - 23 Gambar 2. 9 Shore Connected Breakwater .................................................... - 24 Gambar 2. 10 Offshore Breakwater ................................................................. - 24 Gambar 2. 11 Illustrasi arah gelombang dari laut dalam dan arah
gelombang pada breaker line .................................................... - 27 Gambar 2. 12 Pembagian garis pantai dalam pias/ruas (Triatmodjo, 1999) ..... - 28 Gambar 2. 13 Hubungan antara αb, αi dan α0 (Triatmodjo, 1999) ................ - 29 Gambar 2.14. Interaksi Elektromagnetik (modul pengolahan citra
LAPAN, 2005) .......................................................................... - 42 Gambar 2. 15. Struktur data raster ................................................................... - 52 Gambar 3. 1 Diagram alir penelitian (SMS dan GIS).................................... - 53 Gambar 4. 1 Peta Tematik dan Potongan Citra Landsat-7 ETM (2002)
Pantai Losari ............................................................................ - 67 Gambar 4.2 Wind Rose Pantai Losari Makassar dari tahun 1987 s/d 2000
(sumber: UNHAS-GMTD). ...................................................... - 68 Gambar 4. 3 Refraksi orthogonal gelombang dari barat (kiri) dan Barat
daya (kanan). sumber: Unhas-GMTD....................................... - 69 Gambar 4. 4 Grafik pengamatan pasang surut pantai Losari Makassar
(2 - 5 April 2006) ..................................................................... - 71 Gambar 4. 5 Kecepatan arus pasang surut stasiun LS-3 tanggal 3 April
2006........................................................................................... - 73 Gambar 4. 6 Kecepatan arus pasang Surut stasiun LS-1 tanggal 4 April
2006........................................................................................... - 73 Gambar 4. 7 Gambungan elemen mesh dengan scatter point ........................ - 75 Gambar 4. 8 Hasil pemodelan kontur bathimetri SMS 8.0 ............................ - 75 Gambar 4. 9 Hasil pemodelan kontur bathimetri 3D SMS 8.0 ...................... - 76 Gambar 4. 10 Input data pasang surut SMS 8.0 .............................................. - 77 Gambar 4.11 Peta lokasi titik pengamatan berdasarkan masing-masing
koordinat pada peta LPI Makassar (X,Y) ................................. - 79 Gambar 4. 12 Grafik pasang surut dan time step tiap kondisi elevasi muka
air .............................................................................................. - 80 Gambar 4.13 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition saat surut
(Time step 48, 4/4/06 01:00) ................................................... - 83 Gambar 4. 14 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition saat surut
(Time step 48, 4/4/06 01:00) ................................................... - 84 Gambar 4. 15. Perbedaan arah arus Opened condition dan Closed
Condition di lokasi LS-3 dan LS-4. .......................................... - 85 -
Gambar 4. 16 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition saat surut
(Time step 48, 4/4/06 01:00) ................................................... - 86 Gambar 4. 17 Sebaran konsentrasi sedimen Opened condition saat surut
(Time step 48) ........................................................................... - 87 Gambar 4. 18 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition setelah
surut (Time step 26, 3/4/06 3:00 AM) ...................................... - 88 Gambar 4.19 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition setelah
surut (Time step 26, 3/4/06 3:00 AM) ...................................... - 89 Gambar 4. 20 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition setelah
surut (Time step 26, 3/4/06 3:00 AM) ...................................... - 90 Gambar 4. 21 Pemodelan konsentrasi sedimen Opened condition setelah
surut (Time step 26 Tgl 3/4/06 3:00 AM). ................................ - 91 Gambar 4. 22 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition menuju
pasang (Time step 29 Tgl 3/4/06 6:00 AM).............................. - 92 Gambar 4. 23 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition menuju
pasang (Time step 29 Tgl 3/4/06 6:00 AM).............................. - 92 Gambar 4. 24 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition menuju
pasang (Time step 29 Tgl 3/4/06 6:00 AM)............................. - 93 Gambar 4. 25 Pemodelan konsentrasi sedimen Opened condition menuju
pasang (Time step 29 Tgl 3/4/06 6:00 AM)............................. - 94 Gambar 4. 26 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition saat pasang
(Time step 32, 3/4/06 9:00 AM) ............................................... - 95 Gambar 4. 27 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition saat pasang
(Time step 32 Tgl 3/4/06 9:00 AM) ......................................... - 96 Gambar 4. 28 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition saat
pasang (Time step 32 Tgl 3/4/06 9:00 AM)............................. - 96 Gambar 4. 29 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition saat
pasang (Time step 32, 3/4/06 9:00 AM) ................................... - 97 Gambar 4. 30 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition setelah
pasang (Time step 37, 3/4/06 2:00 PM) .................................... - 98 Gambar 4. 31 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition setelah
pasang (Time step 37, 3/4/06 2:00 PM) .................................... - 99 Gambar 4. 32 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition setelah
pasang (Time step 37, 3/4/06 2:00 PM) .................................. - 100 Gambar 4. 33 Pemodelan konsentrasi sedimen Opened condition setelah
pasang (Time step 37, 3/4/06 2:00 PM) .................................. - 100 Gambar 4. 34 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition saat pasang
sesaat (Time step 40 Tgl 3/4/06 5:00 PM) ............................. - 101 Gambar 4. 35 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition saat
pasang sesaat (Time step 40 Tgl 3/4/06 5:00 PM) .................. - 102 Gambar 4. 36 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition saat
pasang sesaat (Time step 40 Tgl 3/4/06 5:00 PM) .................. - 103 Gambar 4. 37 Pemodelan konsentrasi sedimen Opened condition saat
pasang sesaat (Time step 40 Tgl 3/4/06 5:00 PM) .................. - 103 Gambar 4. 38 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition saat menuju
surut (Time step 45, 3/4/06 10:00 PM) ................................... - 105 Gambar 4. 39 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition
saat menuju surut (Time step 45, 3/4/06 10:00 PM) ............... - 105 -
Gambar 4. 40 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition saat
menuju surut (Time step 45, 3/4/06 10:00 PM) ...................... - 106 Gambar 4. 41 Pemodelan konsentrasi sedimen Opened condition
saat menuju surut (Time step 45, 3/4/06 10:00 PM) ............... - 107 Gambar 4. 42 Grafik kecepatan arus Closed condition pasang surut tiap
lokasi pengamatan ................................................................... - 108 Gambar 4. 43 Grafik kecepatan arus Opened condition pasang surut tiap
lokasi pengamatan ................................................................... - 108 Gambar 4. 44 Grafik sebaran konsentrasi sedimen Closed condition pada
tiap stasiun pengamatan .......................................................... - 110 Gambar 4. 45 Grafik sebaran konsentrasi sedimen opened condition pada
tiap stasiun pengamatan. ......................................................... - 111 Gambar 4. 46 Seabed changes Closed condition di sepanjang pantai Losari
pada time step ke 72. ............................................................... - 112 Gambar 4. 47 Seabed changes Closed condition di muara kanal Patompo
pada time step ke 72. ............................................................... - 113 Gambar 4. 48 Grafik perubahan dasar laut (seabed changes) Closed
condition pada tiap stasiun pengamatan.................................. - 113 Gambar 4. 49 Seabed changes Opened condition di pantai Losari pada
time step ke 72. ....................................................................... - 114 Gambar 4.50 Kontur seabed changes Opened condition di pantai Losari
(3D) time step 72. ................................................................... - 115 Gambar 4. 51 Seabed changes Opened condition di muara kanal Patompo
pada time step ke 72. ............................................................... - 116 Gambar 4. 52 Grafik perubahan dasar laut (Seabed changes) Opened
condition pada tiap stasiun pengamatan.................................. - 117 Gambar 4. 53 Hasil pemotongan Citra landsat 7-ETM pada Band 321 ........ - 118 Gambar 4. 54 Diagram ilustrasi hubungan antara parameter pada
Geocoding Wizard. ................................................................. - 121 Gambar 4.55 Boundary area hasil Cropping landsat 7-ETM pada Band 321
sebelum klasifikasi (a) tahun1996 dan (b) tahun 2002 ........... - 123 Gambar 4. 56 Sebaran sedimen terlarut dan klasifikasi sedimen pada citra
landsat-7 ETM 1996 ............................................................... - 127 Gambar 4.57 Sebaran sedimen terlarut dan klasifikasi sedimen pada citra
landsat-7 ETM 2002. .............................................................. - 128 Gambar 4.58 Perubahan garis pantai (erosi) hasil overlay Citra Landsat-7
ETM (1996 dan 2002). ............................................................ - 129 Gambar 4. 59 Perubahan garis pantai (sedimentasi) hasil overlay Citra
Landsat-7 ETM (1996 dan 2002). ........................................... - 130 -
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Beberapa rumus empiris transpor sedimen sepanjang pantai ........ - 26 Tabel 2. 2 Nilai Manning’s menurut US Army .............................................. - 33 Tabel 2.3. Kemampuan Band untuk Pemetaan TSM ...................................... - 51 Tabel 4. 1 Data pengukuran arus di pantai Losari .......................................... - 72 Tabel 4. 3 Hasil uji konsentrasi sedimen terlarut ........................................... - 74 Tabel 4. 4 Hasil Geocoding Wizard (GCP) dari Nilai Root Mean Square
(RMS) terhadap Citra Landsat Makassar Tahun 1996 dan
2000. ........................................................................................... - 119 Tabel 4.5
Rata-rata band dan luasan area hasil klasifikasi .......................... - 125 -
Tabel 4. 6 Perbandingan konsentrasi sedimen (TSM) hasil overlay citra
Lansdat-7 ETM (tahun 1996 dan 2002) dengan data
pengukuran di lapangan. .............................................................. - 126 -
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pantai merupakan kawasan pemukiman yang sangat penting di dalam
sejarah peradaban manusia dimana lebih dari 70% kota besar di dunia berada di
daerah pantai (Post dan Lundin, 1996). Hal ini terkait erat dengan potensi luar
biasa yang dimiliki oleh pantai yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung
kehidupan manusia sejak jaman Mesir kuno hingga sekarang (Pernetta and Elder,
1993). Pantai memiliki potensi diantaranya adalah sebagai daerah permukiman,
industri, budidaya perikanan, pertanian, pelabuhan, pariwisata dan sebagainya.
Selain mempunyai potensi yang menguntungkan, pantai juga rawan terhadap
gempuran gelombang badai seperti tsunami yang sifatnya merusak.
Lebih jauh Pernetta and Elder (1993) menjelaskan bahwa daerah pantai
merupakan area yang memiliki produktivitas yang tinggi, keragaman ekosistem
biologi, terumbu karang, mangrove dan lain-lain. Disamping itu pantai memiliki
dinamika yang tinggi ditandai dengan intensitas terjadi perubahan ekosistim
pantai secara biologi, kimia dan perubahan atribut geologi dan imput polusi dari
daratan. Hal ini seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan
ekploitasi terhadap sumberdaya alam termasuk sumberdaya alam di pantai
semakin intensif, dimana dampak negatifnya menjadikan daya dukung pantai
semakin berkurang.
Sebagai suatu sistem, secara fisik di daerah pantai terjadi interaksi antara
masing-masing sub-sistem yang menyusun sistem pantai seperti interaksi angin
dan air laut yang membentuk gelombang, interaksi gelombang dengan dasar laut
yang menjadikan gelombang pecah, dan seterusnya sehingga interaksi tersebut
dapat mengakibatkan pengangkutan sedimen dan terjadinya perubahan garis
pantai. Secara umum sedimentasi
dapat dipahami sebagai suatu proses
pengangkutan sedimen baik yang tegak lurus dengan pantai (offshore sediment
transport) maupun yang sejajar garis pantai atau longshore sediment transport
(Komar, 1998).
Masalah sedimentasi yang akan diteliti lebih jauh adalah longshore sediment
transport maupun erosi yang terjadi di Pantai Losari Makassar Propinsi Sulawesi
Selatan. Berdasarkan data yang telah diperoleh terjadi pertumbuhan luasan delta
(spit) dari peride 1990 sampai 1979 dan menyusut terutama sejak berfungsinya
Dam multiguna Bilibili dari tahun 1997 dan kemudian cenderung mendekati garis
pantai losari (Anonim, 2003). Proses sedimentasi ini ditandai dengan adanya
pengerukan (dregging) yang dilakukan oleh pemerintah kota Makassar setiap
tahunnya (periode sebelum tahun 1997). Hal ini semakin
menambah
kompleksitas permasalahan yang ada.
Pantai Losari merupakan type pantai model kantong (pocket beach) oleh
karena itu permasalahan yang dihadapi pada pantai ini juga terjadi pada berbagai
negara dengan type pantai yang sama (Corbau; Ciavola; Gonzalez and Ferreira,
2001). Dalam kurung periode sebelum tahun 1997 pantai mengalami
pendangkalan yang sangat cepat dan tidak tekendali.
Besarnya sedimentasi yang telah disebutkan diatas selain oleh pengaruh
gelombang dan arus juga karena adanya aliran dua sungai besar yaitu sungai
-2-
Jeneberang di sebelah barat kota Makassar dan Sungai Tallo di sebelah Timur.
Oleh karena itu Pantai Losari juga dikategorikan sebagai daerah intertidal estuaria
yaitu darah pantai dimana dinamika sedimentasi dan perubahan garis pantainya
juga dipengaruhi oleh aliran sungai disekitarnya, disamping itu pantai ini juga
mendapat tekanan dari saluran pembuangan dari kota yang turut andil pada
pendangkalan delta pada bagian dalam. Terdapat empat belas outlet kanal kota
dimana tujuh diantaranya outlet besar yang kesemuanya bermuara kedalam Pantai
Losari.
Penelitian ini dinilai penting untuk mengatahui pola aliran arus pantai,
perubahan garis pantai dan pengendalian laju sedimentasi
yang terjadi pada
pantai Losari dimana merupakan pusat berbagai aktivitas kota dan sebagai jalur
transportasi laut dalam mendukung perdagangan interinsulair dan international. Di
samping itu adanya dua pelabuhan perikanan rakyat di area pantai Losari tersebut
yaitu Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Rajawali dan Pangkalan Pendaratan Ikan
(PPI) Paotere.
Kerusakan pantai juga lebih utama berdampak pada terjadinya tekanan
terhadap daya dukung pantai yang kemungkinan akan mengganggu dan
mengurangi fungsi ekosistem pantai. Oleh karena itu salah satu tujuan utama
penelitian ini adalah mengetahui pola arus dan sedimentasi yang terjadi di pantai
Losari.
Hasil penelitian nantinya diharapkan memberi rekomendasi kepada
pemerintah kota dalam melakukan penataan pantai (bangunan pantai, pelindung
pantai, tata ruang yang mendukung dll) untuk kota Makassar kedepan.
-3-
1.2 Perumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di muka, maka
permasalahan dirumuskan sebagai berikut.
-
Cakupan daerah studi sepanjang pantai Losari sekitar 11.336,5 meter.
-
Berapa besaran sedimen yang terjadi dan juga perubahahan garis
pantai di Pantai Losari
-
Bagaimana pola arus dan sedimentasi di Pantai Losari berdasarkan
metode SMS dan Overlay citra landsar 7-ETM.
Sedangkan batasan masalah yang diambil untuk memfokuskan pelaksanaan
penelitian agar tujuan penelitian ini tercapai adalah :
-
Lokasi studi di pantai Losari Kota Makassar Prop. Sulawesi Selatan
sepanjang 3 (tiga) kilo meter (1190 21’ - 1190 30’ BT dan 507’ - 50 15’
LS).
-
Pembahasan difokuskan pada pola arus dan sedimentasi dengan
menggunakan SM S versi 8.0 dan Overlay citra landsat 7-ETM (Citra
tahun 1996 dan 2002) dengan menggunakan software Arc Mapper 6.4,
Autocad Map, Arcview 3.2 dengan image analysis.
-
Besarnya sedimentasi
yang diperoleh dengan metode SMS akan
dibandingkan dengan besaran sedimen dengan metode overlay
terhadap citra landsat 7-ETM.
-4-
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
-
Bagaimana pola arus dan besaran sedimentasi di pantai Losari
Makassar.
-
Menentukan hubungan metode SMS dan overlay citra landsat pada
sistim informasi geografis dalam perhitungan besaran sedimen yang
terjadi di pantai Losari.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
-
Mengetahui pola, arah dan kecepatan arus di Pantai Losari.
-
Mengetahui penyebaran konsentrasi sedimen dan perubahan kontur
dasar pantai laut di Pantai Losari Makassar.
-
Merupakan
bahan
masukan
bagi
pemerintah
kota
dalam
pengembangan pantai Losari di masa yang akan datang.
-5-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Umum
Secara geografis, kota Makassar terletak di tengah kepulauan Indonesia
dengan pelabuhan Makassar sebagai pelabuhan utama di Indonesia bagian timur,
dan sebagai ibu kota propinsi sejak runtuhnya kerajaan GOWA pada abad XVII.
Saat ini Makassar tumbuh menjadi kota perdagangan baik secara regional maupun
internasional, pusat industri dan teknologi di Indonesia kawasan timur, pendidikan
tinggi, pelayanan kesehatan dan transportasi. Hal ini di tandai dengan visi kota
Makassar sebagai kota maritim, perdagangan, pendidikan tinggi kebudayaan,
pelayanan, pembangunan berkelanjutan yang berorientasi global dengan
pelayanan yang ramah.
Untuk mendukung visi tersebut kota Makassar perlu didukung dengan
perencanaan tata kota dan pembangunan wilayah pesisir yang tepat. Wilayah
pesisir sepanjang muara Janeberang hingga muara sungai Tallo merupakan
wilayah yang digunakan sebagai lahan perumahan, pusat pertokoan, industri,
pelabuhan perikanan dan sebagian lahan tambak, sementara sepanjang wilayah
pesisir ini juga potensial terjadi abrasi dan sedimentasi. Sehingga perlu adanya
kajian yang tepat tentang perilaku abrasi dan sedimentasi sepanjang pesisir
tersebut. (Yudono, dkk.., 2001).
Menurut Laporan Akhir Studi Perilaku Pantai Jeneberang (2003) yang
dilaksanakan oleh UNHAS kerjasama dengan Gowa Makassar Tourism
Development tbk. (GMTD), bahwa perilaku kondisi fisis Delta Jeneberang
memiliki pertumbuhan luasan dari periode 1900 sampai 1989 tetapi kemudian
cenderung menyusut terutama sejak penggenangan Dam Multiguna Bilibili pada
tahun 1997 (disajikan pada Gambar 2.1). Setelah itu suplai sedimen hanya
mengharapkan dari Sub-DAS Jeneberang, yaitu DAS Jenelata dan erosi tebing
sungai sepanjang bagian hilir Sungai Jeneberang. Dengan suplai sedimen yang
berkurang dari muara Sungai Jeneberang, sementara tenaga gelombang yang
terbangkit oleh angin barat daya, barat, dan barat laut dan arus residual relatif
tetap dari tahun ke tahun, maka hal itu berakibat pada proses redistribusi sedimen
sepanjang pantai yang cenderung berarah ke utara. Perubahan garis pantai yang
signifikan adalah pada daerah dangkalan sekitar muara Sungai Jeneberang, sekitar
muara yang telah tertutup ,dan sepanjang garis pantai spit Tanjung Bunga.
Kenampakan ini sejalan dengan pemeriksaan lewat pola refraksi, peta kontur
bathimetri, dan pola angkutan sedimen susur pantai dan lintas pantai.
Kota Makassar merupakan ibu kota propinsi Sulawesi Selatan yang letaknya
berada diantara kabupaten Gowa dan Maros. Kota Makassar sebagai Ibukota
Propinsi Sulawesi Selatan sekaligus sebagai pintu gerbang Kawasan Timur
Indonesia (KTI) telah berkembang demikian pesatnya dari berbagai sector.
-7-
Gambar 2. 1 Perkembangan Delta Jeneberang (Periode tahun 1900-1989; 1989195 dan 1995-1997).
Untuk menunjang kegiatan investasi di Kota Makassar telah dilengkapi
fasilitas sarana dan prasarana/infrastruktur antara lain yang berhubungan dengan
pantai Losari seperti: Pelabuhan penumpang dan peti kemas dengan panjang
dermaga 2.500 m kedalaman 14 m, fasilitas gedung seluas 26.600 m2, fasilitas
lapangan penampungan seluas 9.675 m2 serta lapangan peti kemas/kontainer
seluas 140.954 m2.
Rencana Pemerintah kota dalam rangka pengembangan Pantai Losari :
− Pembuatan saluran tangkap sepanjang garis Pantai Losari
− Pelurusan muara kanal kota
− Pembuatan STP kota
− Penambahan ruang publik (bukan ruang komersil) ke arah pantai
− Penambahan lebar jalan & tempat-tempat parkir
-8-
− Menggali pasir sedimentasi yang mendangkalkan Kawasan Pelabuhan
untuk penimbunan ruang baru
− Penetapan Kawasan Losari Sebagai kawasan khusus (Regulasi)
− Pembuatan spektator sepanjang Garis Pantai Losari
− Pembuatan pelataran-pelataran (plaza) sebagai fungsi city center
− Pembuatan hijau kota yang terencana sepanjang Pantai Losari
2.2 Dasar Teori
Secara umum permasalahan yang berkembang di daerah pantai biasanya
dipengaruhi oleh pertumbuhan manusia yang bermukim wilayah pantai dan
sekitarnya (Coastal urban) dan dinamika dalam wilayah tersebut (Post dan
Lundin, 1996). Namun demikian dalam hal penanganan masalah pantai juga tidak
terlepas dari fenomena alam beserta pengaruhnya terhadap perubahan pantai dan
perairannya. Dalam Tesis ini dibahas proses sedimentasi
dan permasalahan,
fenomena dan penyebab terjadinya sedimentasi.
Secara umum proses sedimen transport adalah sebagai berikut :
1. Teraduknya material khohesif dari dasar hingga tersuspensi atau
terlepasnya material non kohesif dari dasar laut
2. Pemindah material sedimen secara horizontal
3. Pengendapan kembali partikel/material sedimen tersebut.
Masing-masing tahapan tersebut tergantung pada gerakan air dan
karakteristik sedimen itu sendiri.
Pada daerah pesisir pantai gerakan air
merupakan kombinasi gelombang dan arus. Gelombang lebih bersifat melepas
material di dasar dan mengaduknya sementara arus lebih bersifat memindahkan
-9-
material sedimen ke tempat lain. Hal ini bisa terjadi sebaliknya yaitu gelombang
yang memindahkan partikel sedimen ke tempat lain dan aru mampu mengangkut
dan mengaduk sedimen dari dasar laut (Pratikto, 1999).
Proses erosi (erosion) dan sedimentasi (accretion) tergantung pada
ketersediaan sedimen dasar dan pengaruh hidrodinamika arus dan gelombang.
Sedimen yang terangkut tersbut dapat berupa seabed load (menggelinding,
menggeser di dasar laut) seperti pasir yang melayang untuk sedimen tersuspensi
(misalnya lempung). Apabila kecepatan arus berkurang misalnya di pelabuhan
yang gelombang dan arusnya derencanakan maka arus tidak mampu lagi untuk
mengangkut sedimen sehingga terjadi sedimentasi di daerah tersebut.
Mengingat rumitnya menanggulangi permasalahan sedimentasi dan abrasi
pantai maka perencanaan pelabuhan, kecepatan arus dan tinggi gelombang harus
diperhitungkan secara cermat sehingga sedimentasi yang terjadi sedikit mungkin
dan kalau bisa tidak ada (Trihatmaja, 2001).
Lebih jauh Trihatmaja (2001) dijelaskan bahwa secara fisik transport
sedimen sangat dipengaruhi oleh interaksi antara pasang surut, angin, gelombang,
jenis dan ukuran sedimen, bentuk pantai serta adanya bangunan-bangunan di
daerah pantai (litoral zone). Karakteristik sedimen yang meliputi bentuk ukuran
partikel dan distribusinya dan spefisik grafity (ρ) sangat penting untuk diketahui
karena hal tersebut berpengaruh pada proses pengendapan partikel sedimen
setelah terapung.
Littoral process adalah merupakan hasil interaksi antara angin, gelombang,
arus, pasang surut, sedimen dan lain-lain kejadian di daerah littoral (littoral zone).
- 10 -
Salah satu contoh littoral process adalah erosi dan akresi pada suatu pantai dimana
pantai sangat tergantung dan dipengaruhi oleh pada keadaan angkutan sedimen
(sediment transport) di daerah tersebut.
Littoral transport dapat terjadi dalam 2 cara yaitu sebagai :
1. Suspended load transport, dimana material suspensinya terjadi di dalam
kolam air dan dipertahankan oleh turbulensi air agar tetap di atas dasar.
2. Seabed Load transport, dimana konsentrasi sedimen yang bergerak
disekitar dan sangat dekat dengan dasar (pengendapan), digerakkan pada
keadaan terdispersi oleh kontak antar butir sedimen.
Meskipun secara definitive perbedaanya sangat jelas tetapi kenyataannya
kedua cara tersebut terjadi bersama-sama, sehingga dalam pengukuran sulit
memisahkan antara suspended dan seabed load. Namun rasio suspension transport
dengan total transport (suspended + seabed load) diperkirakan kurang lebih 0,2
(Komar, 1998).
Sementara transpor sedimen di daerah littoral (littoral transport) dapat
diklasifikasikan menjadi;
1. Onshore - offshore transport (angkutan sedimen terjadi dari pantai ke laut
atau sebaliknya). Onshore-offshore transport dikenal juga dengan istilah
Cross-shore sedimen transport adalah angkutan sedimen tegak lurus garis
pantai, ditentukan terutama oleh gelombang, ukuran butir sedimen, dan
kemiringan pantai. Angkutan sedimen ini biasanya terjadi dalam kurung
waktu relatif singkat seperti proses angkutan sedimen tegak lurus pantai
yang dikaitkan oleh terjadinya gelombang pasang (storm waves misalnya
- 11 -
jika suatu iklim gelombang spesifik manghantam suatu pantai berpasir
setelah beberapa saat akan terbentuk suatu keseimbangan profil pantai.
2. Angkutan sedimen di sepanjang pantai (Longshore sediment transport).
Longshore sedimen transport adalah suatu angkutan sedimen yang
sejajar dengan garis pantai yaitu terangkatnya (suspended) butir-butir
material pantai oleh adanya turbulensi yang diakibatkan oleh gelombang
pecah. Sedimen tersebut kemudian digerakkan oleh kedua komponen yaitu
energi gelombang dalam arah sejajar pantai dan arus yang sejajar pantai
yang dibentuk oleh gelombang pecah.
Arah dari dari sedimen transport sejajar pantai dipengaruhi langsung
oleh arah gelombang atau sudut yang dibentuk oleh puncak gelombang
(wave crest) dengan garis pantai. Biasanya longshore transport ini
memegang peranan penting dalam perubahan garis pantai dalam jangka
panjang.
Transport sedimen sepanjang pantai terdiri dari dua komponen utama yaitu :
a) Transpor sedimen dalam bentuk mata gergaji di garis pantai. Pada waktu
gelombang menuju pantai dengan membentuk sudut terhadap garis pantai
maka gelombang tersebut akan naik ke pantai (uprush) yang juga
membentuk sudut, massa air yang naik tersebut kemudian turun lagi dalam
arah dalam arah tegak lurus pantai, gerak air tesebut membentuk lintasan
seperti mata gergaji yang disertai dengan terangkutnya sedimen dalam arah
sepanjang pantai.
- 12 -
Arah
gelombang
datang
Arah Transpor
PANTAI
Gambar 2. 2 Transpor sedimen bentuk mata gergaji di garis pantai
b) Transpor sedimen sepanjang pantai di daerah surf zone. Yaitu transport
sedimen yang ditimbulkan oleh arus sepanjang pantai yang dibangkitkan
oleh gelombang pecah yang terjadi di surf zone.
U Cos α
Arah
gelombang
datang
Breaker Line
Arah Transpor
Surf
Zone
U Cos α
PANTAI
Gambar 2. 3 Transpor sedimen sepanjang garis pantai
Longshore Transport dari pasir di pantai termanifestasikan ketika gerakan
ini dihalangi oleh suatu konstruksi, seperti : Breakwater, Jetties, dan Groins.
Struktur ini berperan menghalangi “littoral drift” menyebabkan terjadinya /
deposisi / akresi sedimen di pantai pada updrift dan terjadi erosi terus
menerus pada downdrift.
- 13 -
2.2.1
Arus dan Pasang Surut
Arus dan pasang surut merupakan faktor alami yang sangat berpengaruh
terhadap terjadinya berbagai kondisi pantai dalam kajian proses pantai, baik itu
erosi, akresi, sedimentasi dan masih banyak lagi. Sehingga penelitian dan analisa
terhadap berbagai hal tentang arus dan pasang surut sangat diperlukan.
2.2.2
Arus Dekat Pantai
Menurut Komar (1998) bahwa gelombang dapat menimbulkan energi untuk
membentuk pantai, menimbulkan arus dan transport sedimen dalam arah tegak
lurus dan sepanjang pantai, serta menyebabkan gaya-gaya yang bekerja pada
bangunan pantai. Gelombang yang menjalar menuju pantai membawa massa air
dan momentum dalam arah penjalaran gelombang. Transport massa dan
momentum tersebut menimbulkan arus di dekat pantai. Di beberapa daerah yang
dilintasinya, perilaku gelombang dan arus yang ditimbulkannya berbeda.
Daerah yang dilintasi gelombang tersebut adalah offshore zone, surf zone
dan swash zone. Diantara ketiga daerah tersebut, karakteristik gelombang di surf
zone dan swash zone adalah paling penting didalam analisis proses-proses pantai
(beach processes). Arus yang terjadi pada daerah tersebut sangat tergantung pada
arah datang gelombang.
Ada dua sistem arus yang disebabkan oleh gelombang di daerah nearshore
zone yang mendominasi gerakkan air selain gerakan yang disebabkan oleh
gelombang secara langsung (Komar, 1998 dan Kamphuis, 1996) yaitu:
a. Sirkulasi sel dengan rip current dan longshore current yang berasosiasi
dengannya.
- 14 -
b. Longshore current yang dihasilkan oleh gelombang yang menjalar ke arah
pantai.
Pada suatu daerah pantai yang panjang dapat terjadi beberapa sirkulasi sel,
yang tergantung pada kondisi topografi di daerah tercsebut. Komponen dari
sirkulasi sel adalah transport massa air ke arah daratan yang terjadi pada saat
gelombang pecah, dan arus sejajar dengan pantai. Arus sepanjang pantai
(longshore current) juga ditimbulkan oleh gelombang yang pecah membentuk
sudut terhadap garis pantai. Arus ini terjadi diantara gelombang pecah dan garis
pantai. Parameter yang penting dalam menentukan kecepatan arus sepanjang
pantai adalah tinggi dan sudut datang gelombang pecah.Longuet–Higgins (Komar,
1985) menurunkan persamaan untuk menentukan arus sepanjang pantai.
Persamaan tersebut adalah sebagai berikut:
V = 1,17(gHb)1/2sin αb cos αb ........................................................... (2.1)
Dimana :
2.2.3
V
= Kecepatan arus sejajar pantai
g
= Percepatan gravitasi
Hb
= Tinggi gelombang pecah
αb
= Sudut datang gelombang pecah
Pasang Surut
Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut sebagai fungsi waktu karena
adanya gaya tarik benda-benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap
massa air laut di bumi. Massa bulan jauh lebih dekat, maka pengaruh gaya tarik
bulan terhadap bumi lebih besar dari pada pengaruh gaya tarik matahari. Pasang
surut yang mempengaruhi elevasi tinggi gelombang yang membawa material
- 15 -
sedimen dari dan menuju kearah pantai yang menyebabkan terjadinya transport
sedimen tegak lurus pantai. Selain itu pasang surut juga berpengaruh pada
kecepatan dan arah arus. Arus yang ditimbulkan oleh pasang surut cukup kuat
untuk membawa material sedimen dalam jumlah yang cukup besar. Dalam
perencanaan bangunan pantai, pasang surut sangat penting untuk dikaji, karena
elevasi muka air tertinggi (pasang) dan terendah (surut) sangat penting untuk
merencanakan bangunan pantai.
Di suatu daerah dalam satu hari dapat terjadi satu kali pasang surut. Secara
umum pasang surut di berbagai daerah dapat dibedakan dalam empat tipe, yaitu
pasang surut harian tunggal (diurnal tide), harian ganda (semidiurnal tide) dan
dua jenis campuran.
a) Pasang surut harian ganda (semidiurnal tide)
Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan
tinggi yang hampir sama dan pasang surut terjadi secara berurutan dan
teratur. Periode pasang surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit.
b) Pasang surut harian tunggal (diurnal tide)
Dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut dengan
periode pasang surut adalah 24 jam 50 menit.
c) Pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide prevelailing
semidiurnal tide)
Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi
tinggi dan periodenya berbeda.
d) Pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevelailing
diurnal tide)
- 16 -
Dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut, tetapi
kadang-kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali pasang dan dua kali
surut dengan tinggi periode yang sangat berbeda.
Penentuan elevasi air laut yang berdasarkan pasang surut dapat digunakan
sebagai pedoman dalam perencanaan suatu bangunan pelindung pantai. Beberapa
elevasi tersebut adalah sebagai berikut :
a. Muka air tinggi (high water level), muka air tertinggi yang dicapai pada
saat air pasang dalam satu siklus pasang surut.
b. Muka air rendah (low water level), kedudukan air terendah yang dicapai
pada saat air surut dalam satu siklus pasang surut.
c. Muka air tertinggi rerata (mean high water lavel, MHWL), adalah rerata
dari muka air tertinggi selama peride 19 tahun.
d. Muka air rendah rerata (mean low water level, MLWL), adalah rerata dari
muka air terendah selama periode 19 tahun.
e. Muka air laut rerata (mean sea level, MSL), adalah muka air rerata antara
muka air tinggi rerata dan muka air rendah rerata. elevasi ini digunakan
sebagai referensi untuk elevasi daratan.
f. Muka air tinggi tertinggi (highest high water level, HHWL), adalah air
tertinggi pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.
g. Muka air rendah terendah (lowest low water level, LLWL), adalah air
terendah pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.
h. Higher high water level, adalah air tertinggi dari dua air tertinggi dalam
satu hari, seperti dalam pasang surut tipe campuran.
- 17 -
i. Lower low water level, adalah air terendah dari dua air rendah dalam satu
hari.
Pada umumnya sifat pasang surut di perairan ditentukan dengan menggunakan
rumus Formzahl sebagai berikut:
F = (K1 + O1)/(M2 + S2) .......................................................................(2.2)
Dimana nilai formzahl ,
F = 0.00 – 0.25 ; pasut bertipe harian ganda (semi diurnal)
F = 0.26 – 1.50 ; pasut bertipe harian campuran dengan tipe harian ganda
yang menonjol (mixed, mainly semi diurnal)
F = 1.51 – 3.00 ; pasut bertipe harian campuran dengan tipe harian
tunggal yang menonjol (mixed, mainly diurnal)
F > 3.00 ; pasut bertipe harian tunggal (diurnal)
O1 = Unsur pasut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan
K1 = unsur pasut tunggal yang disebabkan oleh gaya tarik matahari
M2 = Unsur pasut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan
S2 = Unsur pasut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik matahari
Metode yang digunakan adalah metode Admiralty untuk mendapatkan
konstanta harmonik melalui persamaan pasang surut :
n=k
A(t ) = S n + An n =1 . cos(W − Gn ) …………………………………..(2.3)
dimana:
A(t)
= Amplitudo
Sn
= Tinggi muka laut rata-rata (MSL)
An
= Amplitudo komponen harmonis pasang surut
- 18 -
Gn
= Phase komponen pasang surut
n
= Konstanta yang diperoleh dari hasil perhitungan astronomis
t
= waktu
Menuru Kamphuis (1996) bahwa penentuan tinggi dan rendahnya pasang
surut ditentukan dengan rumus-rumus sebagai berikut:
a). Duduk Tengah
Secara umum istilah duduk tengah permukaan laut (disingkat : Duduk
Tengah; dalam bahasa Inggris disebut Mean Sea Level) sebagai titik
nol. Nilai duduk tengah juga merupakan harga S0 pada konstanta
pasang surut metode Admiralty.
b). Muka Surutan
Muka surutan merupakan sebuah bidang khayal yang diletakkan
serendah mungkin. Menurut definisi dari British Admiralty adalah:
Z0 = S0 – 1.1 (M2 + S2) ………………………………………..(2.4)
c). Datum Level
DL = MSL – Z0 ………………………………………………..(2.5)
d). Datum Tertinggi Rata-rata
Datum pasang surut lainnya adalah air tertinggi rata-rata (mean higher
high water) biasa disebut sebagai datum elevasi, yang didefinisikan
dengan persamaan:
MHWL = Z0 + (M2 + S2) ……………………………………..(2.6)
HHWL = Z0 + (M2 + S2) + (O1 + K1) …………………………(2.7)
e). Pasang Terendah Rata-rata
MLWL = Z0 - (M2 + S2) ………………………………………(2.8)
- 19 -
LLWL = Z0 - (M2 + S2) - (O1 + K1) …………………………..(2.9)
f). HAT (Tinggi Pasang Surut)
HAT = Z0 + ΣAi ………………………………………………(2.10)
ΣAi = komponen pasang surut, M2, S2, N1, P2, O1, K1
g). LAT (Rendah Pasang Surut)
LAT = Z0 - ΣAi …………………………………………………(2.11)
2.2.4
Bangunan Pelindung Pantai Untuk Longshore dan OffShore Transport
2.2.4.1 Groins
Adalah struktur pelindung pantai yang didisain untuk menahan longshore
sedimen/material. Terdiri dari struktur tipis dengan panjang bervariasi, tinggi
bervariasi, dibuat tegak lurus dengan garis pantai.
Sedimen litoral
GROIN
Garis pantai
Perubahan garis pantai
Gambar 2. 4 Groin yang berfungsi sebagai penghalang sediment litoral
Tegak lurus
Tipe T
Tipe L
Gambar 2. 5 Beberapa tipe Groin
- 20 -
Beberapa defenisi tentang Groin
-
Groin hanya bisa digunakan untuk menahan longshore transport.
-
Perubahan pantai/garis pantai di dekat groin tergantung besar dan arah
longshore transport.
-
Pengendapan/penahanan longshore material oleh groin akan merubah
profil pantai, akan menjaga kerusakan profil alaminya.
-
Air yang terdorong oleh gelombang ke dalam groin akan atau kadangkadang kembali ke laut sebagai Arus Rip.
-
Prosentase dari longshore transport yang melalui groin akan tergantung
pada; Dimensi groin, Dimensi fillet, Muka air dan Kondisi gelobang.
-
Material longshore yang terkumpul di daerah updrift tertahan untuk
mencapai daerah down drift.
-
Untuk mencegah terjadi perubahan garis pantai yang ekstrim Permeable
Groin (mempunyai kisi-kisi) dan dapat juga dengan Adjustable Groin
yaitu groin yang tinginya dapat dilepas atau di rubah tergantung
kebutuhan.
-
Perubahan profil pantai dekat groin dapat digambarkan sebagai berikut ;
A1B1 || AB
A1B1C = Profil awal garis pantai
ABC = Profil baru garis pantai akibat groin
- 21 -
A1
A
Profil baru akibat groin
GROIN
B
ML
W
B1
Profil awal
C
Gambar 2. 6 Illustrasi perubahan garis pantai akibat groin
2.2.4.2 Jetty
Adalah bangunan tegak lurus pantai yang diletakkan pada kedua sisi muara
sungai yang berfungsi untuk mengurangi pendangkalan alur oleh sediment
pantai.
Gelombang
dominan
Jetty
Garis gelombang
pecah
Arah
transpor
PANTAI
MUARA
SUNGAI
Gambar 2. 7 Jetty
Pengaruh Jetty pada garris pantai.
Dengan adanya Jetty maka sediment akan tertahan pada sisi jetty.
Sedimentasi tejadi pada updrift dan erosi terjadi pada downdrift.
- 22 -
Arah
transpor
Arah
transpor
Jetty
Jetty
updrift
updrift
downdrift
downdrift
MUARA
SUNGAI
MUARA
SUNGAI
(a) tipe tegak lurus
(b) tipe Obtuse /miring
Gambar 2. 8 Sedimentasi pada jetty
Dari gambar di atas merupakan hasil prediksi model matematis,
terlihat terjadi perubahan garis pantai akibat adanya jetty dan angkutan
sediment sepanjang pantai. Untuk mengatasi masalah ini disarankan dengan
cara sand by passing, yaitu dengan melakukan pengerukan (dredging)
didaerah pengendapan dan ditimbungkan pada daerah yang terancam erosi.
2.2.4.3 Breakwater
Breakwater secara umum dapat diartikan suatu bangunan yang
bertujuan untuk melindungi pantai, kolam pelabuhan, fasilitas pelabuhan
atau untu menangkap pasir. Secara garis besar ada dua macam type
breakwater yaitu :
1. Breakwater type shore connected, adalah struktur yang berfungsi
melindungi daerah pantai, pelabuhan, perairan dari gelombang.
- 23 -
Arah
gelombang
Pengendapan
Breakwater
Kolam
Pelabuhan
Erosi
Gambar 2. 9 Shore Connected Breakwater
2. Breakwater type Offshore, adalah struktur yang dirancang untuk memberi
perlindungan terhadap gelombang dan cross-shore transport sediment
pada suatu daerah perairan atau pantai didekat struktur breakwater.
Gelombang
Gelombang
Pemecah gelombang
Tombolo
cuspate
Garis pantai
Gambar 2. 10 Offshore Breakwater
Pengaruh Breakwater terhadap pantai
Dengan dibangunnya pemecah gelombang di suatu pantai, maka
keseimbangan pantai akan terganggu. Pada pantai tersebut mungkin akan
terjadi suatu proses akresi ataupun erosi. Proses ini cukup cepat apabila
angkutan sediment di pantai tersebut cukup besar (seperti pada gambar 10,
11 dan 12) Pengaruh Breakwater terhadap pantai.
- 24 -
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk menentukan letak/lokasi dari
breakwater yaitu :
2.2.5
-
Panjang gelombang (energi gelombang) dan tinggi gelombang
-
Celah (gap) antara breakwater
-
Arah gelombang
-
Rentang pasang surut
-
Kemiringan dasar pantai
-
Suplai sedimen dan ukuran sediment.
Menghitung Besaran Transpor Sedimen yang terjadi
Menurut Dong and Chen (1998) menyatakan bahwa erosi yang terjadi di
sepanjang pantai merupakan dinamika pantai dan angkutan sedimen di sepanjang
pantai tersebut yang disebabkan adanya perubahan secara perlahan arah angkutan
sediment pada longshore dan cross-shore.
Untuk perhitungan transpor sedimen sepanjang pantai, digunakan rumus
empiris yang didasarkan pada kondisi gelombang di daerah yang ditinjau. Rumus
yang ada untuk menghitung transpor sedimen sepanjang pantai dikembangkan
berdasar data pengukuran model dan prototype pada pantai berpasir. Sebagian
rumus-rumus (lihat Tabel 2. 1) tersebut merupakan hubungan yang sederhana
antara transpor sedimen dan komponen fluks energi gelombang sepanjang pantai
dalam bentuk persamaan umum :
Qs = K P l n
Pl =
ρg
8
H b Cb sin α b cos α b
2
Atau menggunakan persamaan dalam SPM 1984 (Ch. 4, Sec. IV.5, eqs. (437)), pendekatan untuk Pl pada daerah breaker line adalah:
- 25 -
Pl =
Karena,
Di mana :
Qs
= angkutan sedimen sepanjang pantai (m3 / hari)
Pl
= komponen fluks energi gelombang sepanjang pantai pada
breaker line (Nm/d/m)
ρ
= rapat massa air laut (ton/m3)
Hb
= tinggi gelombang pecah (m)
db
= kedalaman gelombang pecah (m)
Cb
= cepat rambat gelombang pecah (m/d)
αb
= sudut datang gelombang pecah (º )
K, n
= konstanta (dimensionless) lihat Tabel 2. 1.
Tabel 2. 1 Beberapa rumus empiris transpor sedimen sepanjang pantai
No
Nama
Rumus Empiris
1
Caldwell
Qs = 1,200 Pl0,8
2
Savage
Qs = 0,219 Pl
3
Ijima, Sato, Aono, Ishi
Qs = 0,130 Pl054
4
Ichikawa, Achiai, Tomita, Murobuse
Qs = 0,130 Pl0,8
5
Ijima, Sato
Qs = 0,060 Pl
6
Tanaka
Qs = 0,120 Pl
7
Komar, Inman
Qs = 0,778 Pl
8
Das
Qs = 0,325 Pl
9
CERC
Qs = 0,401 Pl
Sumber. Triatmojdo, 1999
- 26 -
Arah gelombang
dari laut dalam
Arah gelombang
di breaker line
Breaker line
Arah transport sedimen
PANTAI
Gambar 2. 11 Illustrasi arah gelombang dari laut dalam dan arah gelombang
pada breaker line
2.2.6
Menghitung Gelombang Pecah
Apabila gelombang bergerak menuju laut dangkal, kemiringan batas
gelombang tergantung pada kedalaman relative d/L dan kemiringan dasar laut m.
Gelombang dari laut dalam yang bergerak menuju pantai akan bertambah
kemiringannya sampai akhirnya tidak stabil dan pecah pada kedalaman tertentu,
yang disebut dengan kedalaman gelombang pecah db. Tinggi gelombang pecah
diberi notasi Hb. Munk (1949, dalam CERC, 1984) memberikan rumus untuk
menentukan tinggi dan kedalaman gelombang pecah sebagai berikut :
Hb
1
=
H '0 3,3( H '0 / L0 )1 / 3
(Parameter Hb/H’0 disebut dengan indek tinggi gelombang pecah. Rumus di atas
tidak memberikan pengaruh kemiringan dasar laut terhadap gelombang pecah).
dimana :
Hb = Tinggi gelombang pecah (m)
H’0 = Tinggi gelombang laut dalam ekivalen
- 27 -
db = Kedalaman air dimana gelombang pecah (m)
L0 = Panjang gelombang laut dalam
Cepat rambat gelombang pecah (Cb)
Cb =
2.2.7
gd b
Analisis Perubahan Garis Pantai
Analisa perubahan garis pantai dilakukan agar kita dapat memprediksi
perubahan garis pantai untuk masa yang akan datang. Perubahan garis pantai
tersebut dapat diprediksi dengan membuat model matematik yang didasarkan
pada imbangan sediment pantai pada daerah pantai yang ditinjau. Model
perubahan garis pantai didasarkan persamaan kontiunitas sediment.
Y
Gambar 2. 12 Pembagian garis pantai dalam pias/ruas (Komar, 1976)
Data yang digunakan dalam perhitungan perubahan garis pantai merupakan
data gelombang pecah yang terdiri dari; tinggi gelombang pecah (Hb), panjang
gelombang pecah (L0), celerity gelombang pecah (Cb), kedalaman air dimana
gelombang pecah (db) dan sudut gelombang pecah (αb).
- 28 -
Sudut gelombang pecah (αb) akan berubah dari satu pias ke pias lainnya
karena adanya perubahan garis pantai. Seperti di tunjukkan pada Gambar 14.,
sudut α1 yang dibentuk oleh garis pantai dengan garis sejajar sumbu x, antara pias
i dan i+1 diberikan oleh :
tgα i =
Yi − Yi +1
∆x
Apabila gelombang datang dengan membentuk sudut α0 dengan arah sumbu
x (Gambar 2. 13), maka sudut datang gelombang pecah (αb) terhadap garis pantai
adalah : αb = αi ± α0
Gambar 2. 13 Hubungan antara αb, αi dan α0 (Triatmodjo, 1999)
Selain data-data tersebut digunakan juga data kondisi pantai berupa sudut
kemiringan dasar pantai dan kordinat awal garis pantai. Hasil perhitungan akan
memberikan gambaran mulai dari kondisi pantai sebelum akresi (Yawal), besarnya
kemajuan atau kemunduran garis pantai ( ΔY) dan terakhir posisi garis pantai
setelah terjadl erosi dan akresi (Yakhir). Hubungan persamaan kontinuitas dengan
pemodelan perubahan garis pantai (lihat Gambar 13) sebagai berikut :
ΔYi = ( Qs-1 - Qs )*Δt / (db*Δx)
Dimana :
Y
= jarak antara garis pantai dan garis referensi (m)
- 29 -
db
= kedalaman air pada saat gelombang pecah (m)
Qs
= Sedimen transport sepanjang garis pantai (m3/hari)
t
= waktu (tahun)
x
= absis searah garis pantai (m)
Δx
= jarak antara pias (m)
2.3 SMS 8.0 (Surface-water Modelling System version 8.0)
2.3.1 Analisa Arus (Current analyzing)
Analisa pola arus diperlukan dalam perhitungan besarnya sedimen yang
terjadi di daerah pantai. Dalam hal ini akan dipakai salah satu software yang
dibuat oleh King and Norton dalam Resource Management Assosiates (RMA) dan
Waterway Experiment Station (WES) Coastal and Hydroulic Laboratory Brigham
Young University.
2.3.1.1 Persamaan Dasar (Basic equation)
Berdasarkan SMS User Guide (King, 1997), RMA2 adalah model numerik
elemen hingga hidrodinamis dalam bentuk dua dimensi dari rata-rata kedalaman.
Model ini menghitung elevasi muka air dan komponen kecepatan horisontal untuk
sub kritis, aliran permukaan bebas dua dimensi. RMA2 juga menghitung nilai
Reynolds dengan metode elemen hingga dari persamaan Navier-Stokes untuk
aliran turbulen. Gesekan dihitung dengan persamaan Manning’s atau Chezy, dan
koefisien Eddy Viscosity digunakan untuk mendefinisikan karakteristik
turbulensi.
RMA2 WES melakukan analisa pola arus dan kecepatannya secara 2 dimensi,
yang menggunakan persamaan-persamaan berikut :
- 30 -
h
gun 2
∂ 2u 
∂u
∂u
∂u h 
∂ 2u
 ∂a ∂h 
+ hu
+ hv
−  E xx 2 + E xy 2  + gh  +  +
u2 + v2
1/ 6 2
∂t
∂x
∂y ρ 
∂y 
∂x
 ∂x ∂x  (1.486h )
(
)
1/ 2
− ςVa2 cosψ − 2hωv sin φ = 0
(2.17)
h
 ∂a ∂h 
gvn 2
∂v
∂v
∂v h 
∂ 2v
∂ 2v 
u2 + v2
+ hu
+ hv −  E yx 2 + E yy 2  + gh  +  +
1/ 6 2
∂t
∂x
∂y ρ 
∂x
∂y 
 ∂y ∂y  (1.486h )
(
)
− ζVa2 sin ψ + 2hωv sin φ = 0
(2.18)
Selanjutnya :
 ∂u ∂v 
∂h
∂h
∂h
+ h +  + u + v
=0
∂t
∂y
∂x
 ∂x ∂y 
(2.19)
dimana:
h
=
kedalaman air
u,v
=
kecepatan pada koordinat kartesius
x,y,t =
koordinat kartesius dan waktu
ρ
=
densitas fluida
E
=
Koeffisien Eddy viskositas
xx
=
untuk arah x
yy
=
untuk arah y
xy, yx =
geser untuk arah setiap permukaan
g
=
kecepatan gravitasi
a
=
elevasi dasar
n
=
nilai kekasaran Manning koefisien
1,46 =
Konversi dari satuan SI (metrik) ke non SI
ζ
=
koefisien tegangan geser angin
Va
=
kecepatan angin
Ï•
=
arah angin
ω
=
sudut rotasi bumi
- 31 -
1/ 2
φ
=
garis lintang bumi
Equations 2.17, 2.18 and 2.19 could has be done by element methode
by/hingga using Galerkin methode. The element could be has one line dimention
character, or two dimention quadrilateral or triangle nor curve by parabolik side.
Shape function for speed is quadrant and for depht is linear. The methode for
integration has used Gauss methode. Penurunan towards time replaceable by
difference approach until non linear limit. Each variables has been assumption on
every interfal time into bentuk/types:
f (t) = f(to) + a.t + b.t2
(2. 20)
Untuk :
to ≤ t < to + ∆ t
dimana nilai variabel a, b, c adalah konstan. Dari percobaan yang telah dilakukan
nilai terbaik untuk konstanta c adalah 1.5 (Ian King, 1997).
2.3.1.2 Gaya gesek dan kekuatan aliran dasar
Kekasaran dasar merupakan salah satu fokus utama yang dianalisa pada
modul RMA2 . Perubahan gesekan dasar menyebabkan perubahan pada perilaku
kecepatan dan arah dari fluida. Tegangan dasar geser dirumuskan:
τ = ρgRS
(2. 21)
dimana :
τ =
tegangan geser
ρ =
densitas fluida
g
kecepatan gravitasi
=
R =
radius hidrolik
S
kemiringan (slope)
=
- 32 -
Tegangan geser dihitung oleh persamaan Manning jika masukan nilai
kekasaran <3.0, jika berlebih maka dipakai persamaan Chezy. Umumnya, dipilih
koefisien Manning (n) dan nilai kekasaran ini dapat ditambahkan dalam global
mesh sebagai tipe material, atau tingkat element. Dari referensi User Guide to
RMA2-WES, US Army Corps of Engineers memberikan, harga koefisien Manning
sebagai berikut :
Tabel 2. 2 Nilai Manning’s menurut US Army
Manning’s n-value Guidelines
Manning’s n-value
Condition
0.015 – 0.020
Smoth earth with no weeds.
0.020 – 0.025
Sand channel.
0.034 (d50)1/6
Rip-rap channels (d50 = the particle size of wich 50% of
the mixture is finer, i.e., 50% of the mixture is finer than
this particle size).
0.075 – 0.150
Very winding/overgrown.
(King, 1997)
The Manning Equation for current uniform is:
V = 1,49 *
Where:
R 2 / 3 S 1/ 2
n
V = velocity and
(2. 22)
n = Manning value
By finishing Manning equation for S and being substitute has gotten the equation for
Bed shear stress, such as:
2
2
 n  V
 1/ 3
 1.49  R
τ = ρg 
(2. 23)
By finishing R (Radius) and being substitute, so has gotten new equation as follows:
2
2
 n  u u +v
τ x = ρg 

h1 / 3
 1.49 
2
(2. 24)
- 33 -
2
2
 n  u u +v
τ y = ρg 

h1 / 3
 1.49 
2
(2. 25)
h = depth.
Where:
2.3.1.3 Turbulent
The equation which has been used for counting the dimention of turbulent
was:
∂ 2 y ∂ ∂u ' v'
∂y
E xx 2 = µ 2 +
∂x ∂x
∂x
∂x
(2. 26)
where:
µ
=
Molecular Viscosity
u’,v’
=
Turbulent which happened instantly in instant velocity
2.3.2 The Analysis of Sedimentation
The analysis of sedimentation required to knowing the sedimentation level
of the beach, so it could be known the safety level of the structure which has built
from the availability of sedimentation. The analysis of sedimentation took place
by software SED2D-WES version 4.3. The basic of equations are:
2.3.2.1 Convention-Diffusion Equation
∂C 
∂C
∂C
∂C ∂  ∂C  ∂ 
 + α 1C + α 2
+u
+v
=  Dx
 +  D y
∂y 
∂t
∂x
∂y ∂x 
∂x  ∂y 
(2. 27)
Where:
C
=
concentration, kg/m3
T
=
time
U
=
current velocity on x direction, m/second
X
=
main current direction, m
- 34 -
V
=
current velocity on y direction, m/second
Y
=
Vertical direction towards x, m
Dx
=
coefficient diffusion effective on x direction, m2/second
Dy
=
coefficient diffusion effective on y direction, m2/second
α1
=
coefficient for bed model, 1/second
α2
=
concentration equilibrium from part of seabed model kg/m3/ second
2.3.2.2 Tegangan Geser Dasar
Beberapa persamaan bisa dipilih untuk menghitung tegangan dasar geser yaitu :
τ b = ρ (u * ) 2
dimana : ρ
= water density
u*
= shear velocity
(2.28)
a. smooth-wall log velocity

u
u*D 
5
,
75
log
3
.
32
=


v 
u*

(2.29)
u*D
yang digunakan ketika : v > 30
dimana :
u
=
rata-rata kecepatan aliran
D
=
kedalaman air
V
=
kinematic viskositas
b. Persamaan Tegangan geser Manning
u' =
g .u.n
CMED1 / 6
(2.30)
dimana :
g
=
kecepatan gravitasi
- 35 -
n
=
nilai kekasaran Manning
CMED = koeffisien (1.0 untuk satuan metric dan 1,486 untuk satuan
english)
c. A. Jonsson, persamaan untuk tegangan geser permukaan yang disebabkan oleh
gelombang dan arus
u' =
u 
1  f w u om + f c u 

 u + om 
f w u om 
2
2 
(2.31)
dimana :
uom
= kecepatan maksimum gelombang
fc
= koeffisien tegangan
CMED = koeffisien (1.0 untuk satuan metric dan 1,486 untuk satuan
english)
d. A. Bijker, persamaan untuk perhitungan tegangan geser total yang disebabkan
oleh arus gelombang:
u' =
1
1
2
f c u 2 + f w u om
2
4
(2.32)
e. The Seabed Source
Bentuk dari sumber dasar adalah, S = α 1 C + α 2 yang telah diberikan pada
persamaan 1, untuk pasir dan tanah. Metode perhitungan koeffisien alpha
tergantung kepada tipe sedimen dan tipe kejadian berupa erosi atau deposisi.
Untuk transport pasir (sand), Suplai sedimen terhadap dasar dikontrol oleh potensi
transpor dari aliran dan ketersediaan material pada dasar. Persamaan Ackers White
(1973) digunakan karena telah memenuhi test yang dilakukan oleh WES dan
lainnya (White, Milli dan Crable 1975, Swart 1976). Karakteristik dari waktu tc,
- 36 -
seharusnya sejumlah waktu dibutuhkan untuk konsentrasi dalam aliran selama
perubahan dari C ke Ceq. Dalam hal ini deposisi dihubungkan dengan fall velocity,
sehingga dinyatakan bahwa:
D

C d V 
s


Tc ≥  or 
 DT 




(2.33)
dimana :
Tc
=
karakteristik waktu
Cd
=
koeffisien endapan
D
=
aliran bawah
Vs
=
penurunan interval dari sebuah partikel
DT
=
perhitungan interval waktu
Karena tidak ada parameter yang sederhana untuk scour, maka persamaan yang
digunakan adalah :
 D
C e U 


Tc ≥  or 
 DT 




Ce
=
koeffisien entrainment
V
=
kecepatan aliran
(2.34)
Untuk clay tranport, rata-rata endapan dari dasar tanah dihitung dengan
menggunakan persamaan dari Krone (1962).
- 37 -
 2Vs 

τ 
C 1 − untukC < C c 
−
 D  τd 

S =

5
− 2Vk C 3 1 − τ untukC > C 
c
 τ 
 D
d 



Dimana :
τ
= tegangan geser dasar
τd
= tegangan geser kritis dari endapan
Cc
= konsentrasi kritis = 300 mg/l
(2.35)
Dalam buku A User's Manual For SED2D-WES (Joseph, 1998), Laju erosi
dihitung dengan penyederhanaan Partheniades (1962) hasil erosi partikel
dengan partikel. Source term dihitung dengan :
S=

Pτ
 − 1
D τ e

P
= konstanta laju erosi
τc
= tegangan geser kritis untuk partikel erosi
(2.36)
Ketika tegangan geser dasar cukup tinggi untuk menyebabkan kesalahan mass
pada lapisan dasar, erosi source term dihitung sebagai :
S=
TL ρ L
untukτ > τ s
D∆t
(2.37)
dimana :
TL
= tebal dari lapisan yang rusak
ρL
= berat jenis dari lapisan yang rusak
∆t
= interval waktu terjadinya kerusakan
τx
= bulk shear strength dari lapisan
2.4 Sistim Informasi Geografik (SIG)
Sistim informasi Geografis adalah sebuah teknologi yang berbasis komputer
yang digunakan untuk melalukan pekerjaaan pengumpulan, penyimpanan,
- 38 -
mencari kembali (retrieval), manipulasi dan transformasi, penyajian serta analisa
data geografis. Data geografis yang dimaksud disini adalah data spatial yaitu data
yang mana :
-
memiliki geometric properties seperti koordinat, alamat/addres (Betingger
dan Wing, 2004).
-
terkait dengan aspek ruang seperti persil, kota, propinsi, kawasan
pemukiman, kawasan pembangunan dsb (Kuchler, Jupp, Claseen and
Bour, 1986).
-
berhubungan dengan semua fenomena yang ada di bumi misalnya fakta,
data, obyek, kejadian gejala dan lainnya (Schluter, Sauter, Schafer, and
Ritzrau, 2000)
-
dipakai untuk maksud tertentu seperti analisa pemantauan, pengelolaan
dan lainnya (Kuchler, Jupp, Claseen and Bour, 1986).
Secara ringkas SIG adalah suatu sistim yang berurusan dengan komputer
dan data geografis untuk menghasilkan informasi. Oleh Burrough (1986)
mendefinisikan SIG yaitu ”a powerful set of tools for colleting, storing, retrieving
and will transforming and displaying spatial data from the real word for a
particular set of purposes”.
Dewasa ini, penggunaan SIG sudah sangat luas dan banyak ragamnya
termasuk pada pengelolaan sumberdaya pesisir atau coastal area seperti
pemanfaatan SIG untuk panataan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,
perubahan garis pantai, gejala sedimentasi
pantai, penentuan kedalaman dan
komposisi akua bentik (Hedle and Mumby, 2003) maupun untuk keperluan
- 39 -
penilaian ekonomi dan yang berhubungan dengan pengambilan keputusan. SIG
juga dapat dimanfaatkan untuk mengatasi permasalahan yang spesifik sekalipun
seperti kasus-kasus yang bersifat regional/international terhadap pengeloaan
wilayah pantai seperti pada laut Baltik (Baltic Sea), Laut utara (the North Sea) and
batas wilayah continental (continental margin) of the Norwegian Sea (Schluter,
Sauter, Schafer and Ritzrau , 2000).
Sejalan dengan pemanfaatan GIS tersebut diatas, Jones (1997) juga
menyebutkan beberapa point pemanfaatan GIS seperti: 1). Survey dan monitoring,
2). Hidrology, survey laut dan es, 3) Survey geology dan atmosphere, 4) study
social ekonomi dan kependudukan, 5) survey purbakala dan situs-situs
bersejarah, 6) pemeliharaan, 7) navigasi, 8) administrasi public, 9) pemasaran
dan penyewaan dan lain-lain.
2.4.1 Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh
dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena
yang dikaji. (Lillesand; Thomas and Kiefer, 1994).
Empat komponen dasar dari sistem penginderaan jarak jauh adalah target,
sumber energi, alur transmisi, dan sensor (Anonim, 2001). Komponen dalam
sistem ini berkerja bersama untuk mengukur dan mencatat
informasi mengenai
target tanpa menyentuh obyek tersebut. Sumber energi yang menyinari atau
memancarkan energi elektromagnetik pada target mutlak diperlukan. Energi
berinteraksi dengan target dan sekaligus berfungsi sebagai media untuk
- 40 -
meneruskan informasi dari target kepada sensor. Sensor adalah sebuah alat yang
mengumpulkan dan mencatat radiasi elektromagnetik. Setelah dicatat, data akan
dikirimkan ke stasiun penerima dan diproses menjadi format yang siap pakai,
diantaranya berupa citra. Citra ini kemudian diinterpretasi untuk menyarikan
informasi mengenai target. Proses interpretasi biasanya berupa gabungan antara
visual dan automatic dengan bantuan computer dan perangkat lunak pengolah
citra.
Gelombang elektromagnetik (EM) yang dihasilkan matahari dipancarkan
(radiated) dan masuk ke dalam atmosfer bumi. Interaksi antara radiasi dengan
partikel atmosfer bisa berupa penyerapan (absorption), pemancaran (scattering)
atau pemantulan kembali (reflectance).Sebagian besar radiasi dengan energi
tinggi diserap oleh atmosfer dan tidak pernah mencapai permukaan bumi. Bagian
energi yang bisa menembus atmosfer adalah yang ‘transmitted’. Semua masa
dengan suhu lebih tinggi dari 0 Kelvin (-273 C) mengeluarkan (emit) radiasi EM.
Radiasi elektromagnetik yang mengenai suatu benda atau obyek
kenampakan di muka bumi akan berinteraksi dalam bentuk pantulan, serapan dan
transmisi. Dalam proses tersebut terdapat 2 hal penting yaitu : bagian tenaga yang
di serap, dipantulkan dan ditransmisikan akan berbeda untuk setiap obyek yang
berbeda tergantung pada jenis materi dan kondisinya sehingga memungkinkan
untuk membedakan obyek pada citra. Hal lain adalah ketergantungan pada
panjang gelombang obyek berarti bahwa pada suatu obyek yang sama akan
berbeda pada panjang gelombang yang berbeda (Lillesand; Thomas dan Kiefer,
1994).
- 41 -
Gambar 2.14. Interaksi Elektromagnetik
(modul pengolahan citra LAPAN, 2005)
2.4.2 Citra Landsat
Satelit Landsat (Land Satellite) adalah salah satu satelit sumberdaya yang
menghasilkan citra multispektral. Landsat merupakan satelit sumberdaya bumi
yang pada awalnya bernama ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite)
yang diluncurkan pertama kali pada 23 Juli 1972 yang mengorbit hingga 6 Januari
1978 (Purwadhi, 2001 dan Abidin, 1999).
Tepat sebelum peluncuran ERTS-B pada tanggal 22 januari 1975, NASA
(National Aeronautics and Space Administration) secara resmi mengganti nama
program ERTS menjadi program Landsat. Berdasarkan hal tersebut maka ERTS-1
berubah nama menjadi Landsat-1 dan ERTS-B pada saat peluncurannya menjadi
Lansdat-2 dan pada pada tanggal 5 Maret 1978 Landsat-3 diluncurkan.
Landsat TM (Land Satellite Thematic Mapper) adalah satelit sumberdaya
bumi generasi kedua yang merupakan penyempurnaan dari satelit Landsat
- 42 -
generasi pertama. Satelit ini mengorbit pada ketinggian 705 km dengan sudut
inklinasi 98Ëš. Orbit satelit ini adalah sun synchronous atau selaras matahari.
Satelit akan melewati garis equator setiap pukul 09.42 WIB dan akan meliput
daerah yang sama setiap 16 hari sekali. Selama mengorbit dari utara ke selatan
sensor bekerja untuk mengumpulkan data permukaan bumi dengan lebar sapuan
185 km. Keunggulan satelit ini terletak pada jumlah saluran yang digunakan
sebanyak 7 saluran (band) serta digunakannya saluran inframerah tengah dan
inframerah termal.
Resolusi radiometrik citra landsat TM lebih baik dari citra landsat MSS.
Perbaikan ketelitian radiometrik dari skala nilai digital dari 6 bit menjadi 8 bit
atau memperbesar range nilai digital dari 64 (0-63) menjadi 256 (0-255). Resolusi
spasial TM non termal adalah 30 meter. Namun dalam geometrik yang
menggunakan proyeksi SOM (Space Oblique Mercator) ukuran pixel TM adalah
28.5 x 28.5 meter. Sedangkan data nontermal mempunyai resolusi 120 meter.
(Purwadhi, 2001).
Fungsi masing-masing kanal pada sensor TM adalah sebagai berikut
(Lillesand dan Kiefer. 1994):
1. Kanal 1 (0.45 μm – 0.52 μm), energi yang diterima kanal ini dapat
melakukan penetrasi lebih dalam ke kolom air dan digunakan untuk
mendukung analisa sifat khas penggunaan lahan, tanah dan vegetasi.
2. Kanal 2 (0.52 μm– 0.60 μm), terutama dirancang untuk mengindera puncak
pantulan vegetasi pada spektrum hijau yang terletak diantara dua saluran
spektral serapan klorofil. Pengamatan pada saluran ini dimaksudkan untuk
- 43 -
lebih mempertegas perbedaan-perbedaan vegetasi dan penilaian tingkat
kesuburan.
3. Kanal 3 (0.63 μm – 0.69 μm), merupakan saluran terpenting untuk
memisahkan vegetasi. Saluran berada dalam salah satu bagian serapan
klorofil dan memperkuat kontras kenampakan antara vegetasi dan bukan
vegetasi, juga untuk menajamkan kontras antara kelas vegetasi.
4. Kanal 4 (0.79 μm – 0.90 μm), dirancang untuk dapat peka terhadap
sejumlah vegetasi di daerah kajian. Hal ini akan membantu identifikasi
tanaman dan akan memperkuat kontras antara tanaman-tanah dan lahan-air.
5. Kanal 5 (1.55 μm – 1.75 μm), merupakan salah satu saluran yang
memegang peranan penting dalam penentuan jenis tanaman, kandungan air
pada tanaman dan kondisi kelembaban tanah.
6. Kanal 6 (10.40 μm – 12.50 μm), adalah saluran yang berguna untuk
medeteksi /mengamati panas permukaan bumi.
7. Kanal 7 (2.08 μm – 2.35 μm), adalah saluran inframerah termal yang
dikenal bermanfaat untuk klasifikasi dan analisa vegetasi, pemisahan
kelembaban tanah dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan
panas.
Citra Landsat Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) adalah hasil
rekaman sensor ETM+ yang dibawa oleh Landsat-7 yang diluncurkan pada bulan
april tahun 1999. Pada dasarnya citra Landsat ETM+ merupakan kelanjutan dari
program Landsat 4 dan 5 yang sampai saat ini datanya masih bisa direkam. Pada
citra Landsat ETM+ mempunyai kelebihan baru yang memberikan kemudahan
penggunaan pada para pemakainya. Adapun kelebihan baru pada Landsat 7
ETM+ antara lain : resolusi spasial pada pankromatik mencapai 15 m.
- 44 -
2.4.2.1 Koreksi Citra (Images correction)
Koreksi citra dimaksudkan untuk meminimalkan penyimpangan maupun
kesalahan radiometrik yang terjadi selama akuisisi dari satelit yang bersangkutan.
Saat ini dikenal dua metode koreksi citra yaitu:
a. Koreksi radiometrik
Koreksi radiometrik merupakan perbaikan akibat cacat atau kesalahan
radiometrik, yaitu kesalahan yang berupa pergeseran nilai atau derajat
keabuan elemen gambar (pixel) pada citra. Kesalah bisa disebabkan karena
kesalahan optik pada citra, kesalahan karena gangguan energi radiasi
elektromagnetik pada atmosfer dan kesalahan karena pengaruh sudut
elevasi matahari.
b. Koreksi geometrik
Koreksi geometrik dilakukan sesuai dengan jenis atau penyebab
kesalahannya, yaitu kesalahan sistematik dan kesalahan random dengan
sifat distorsi pada citra.
Kesalahan sistematik dikoreksi dengan menerapkan rumus yang diturunkan
dengan membuat model matematik atas sumber kesalahan, misalnya rotasi bumi
ke arah timur dibawah orbit satelit selama penginderaan.
Kesalahan random (acak) dikoreksi dengan menggunakan analisis titik ikat
medan (Ground control point/GCP). Metode ini memerlukan ketersediaan peta
teliti yang sesuai dengan daerah studi.
2.4.2.2 Klasifikasi
- 45 -
Klasifikasi citra merupakan bagian penting dari remote sensing, analisa
citra, dan pola pengenalan citra. Klasifikasi citra secara digital adalah proses
pembagian pixel ke dalam kelas tertentu. Tiap pixel merupakan satu unit
perpaduan nilai dari beberapa band spektral. Dengan membandingkan suatu pixel
dengan pixel lainnya yang diketahui identitasnya, akan memudahkan untuk
memasukkan kelompok yang memiliki pixel yang sama ke dalam kelas yang
cocok untuk kategori informasi yang diperlukan oleh pengguna data remote
sensing.
Salah satu alternatif bagi pendekatan klasifikasi data penginderaan jauh
dapat dilakukan dengan cara:
a. Klasifikasi tak terselia (unsupervised classification).
Klasifikasi tak terselia menggunakan algoritma untuk mengkaji dan
menganalisis sejumlah besar pixel yang tidak dikenal dan membaginya
dalam sejumlah kelas berdasarkan pengelompokan nilai digital citra. Kelas
yang dihasilkan dari klasifikasi tak terselia adalah kelas spektral. Oleh
karena itu, pengelompokan kelas didasarkan pada nilai natural spektral
citra, dan identitas nilai spektral tidak apat diketahui secara dini. Hal ini
dikarenakan analisanya belum menggunakan data rujukan/lapangan untuk
menentukan identitas dan nilai ninformasi dari setiap kelas spektral.
b. Klasifikasi terselia (supervised classification).
Proses klasifikasi diawali dengan pemilihan kategori informasi
yang diinginkan dan memilih training area untuk tiap kategori penutup
- 46 -
lahan yang mewakili sebagai kunci interpretasi merupakan klasifikasi
terselia. Konsep penyajian data dalam bentuk numeris/grafik atau diagram.
Klasifikasi terselia yang didasarkan pada pengenalan pola spektral
(spectral pattern recognition) yang terdiri atas tiga tahap, sebagai berikut :
i. Tahap training sample
Analisis meyusun kunci interpretasi dan mengembangkan secara
numerik spektral untuk setiap kenampakan dengan memeriksa batas
daerah (training areas)
ii. Tahap klasifikasi
Setiap pixel pada serangkaian data citra dibandingkan setiap kategori
pada kunci interpretasi numerik, yaitu menentukan nilai pixel yang
tak dikenal dan paling mirip dengan kategori yang sama.
Perbandingan tiap pixel citra dengan kategori pada kunci interpretasi
dikerjakan secara numerik dengan menggunakan berbagai strategi
klasifikasi). Setiap pixel kemudian diberi nama sehingga diperoleh
matrik multidimensi untuk menentukan jenis kategori penutup lahan
yang diinterpretasi.
- 47 -
iii. Tahap keluaran
Hasil matrik didelineasi sehingga terbentuk peta penutup lahan dan
dibuat tabel matrik luas berbagai jenis tutupan lahan pada citra.
2.4.3 Penilaian Hasil
Penelitian menggunakan data dan metode tertentu perlu dilakukan uji
ketelitian, karena hasil uji ketelitian sangat mempengaruhi besarnya kepercayaan
pengguna terhadap setiap jenis data maupun metode analisisnya. Menurut Short
(1990) bahwa uji ketelitian interpretasi dapat dilakukan melalui empat cara
sebagai berikut:
1. Melakukan pengecekan lapangan serta pengukuran beberapa titik
(sampel area) yang dipilih dari setiap bentuk penutup / penggunaan
lahan. Uji ketelitian dilakukan pada setiap area sampel penutup/
penggunaan lahan yang homogen. Pelaksanaannya pada setiap bentuk
penutup/ penggunaan lahan diambil beberapa sampel area didasarkan
atas homogenitas kenampakannya, dan diuji kebenarannya di lapangan
(survey lapangan).
2. Menilai kecocokan hasil interpretasi setiap citra dengan peta referensi
atau foto udara pada daerah yang sama dan waktu yang sama. Hal ini
sangat diperlukan dalam penafsiran batas-batas dan perhitungan
(pengukuran) luas setiap jenis penutup/ penggunaan lahannya.
3. Analisa statistik dilakukan pada data dasar dan citra hasil klasifikasi.
Analisis dilakukan terutama terhadap kesalahan setiap penutup/
penggunaan lahan yang disebabkan oleh keterbatasan resolusi citra
(khususnya resolusi spasial karena merupakan dimensi keruangan).
- 48 -
Analisis dilakukan dari beberapa pixel dengan perhitungan variance
statistik setiap saluran spektral data yang digunakan. Pengambilan
pixel untuk uji ketelitian diambil yang betul-betul murni penutup
lahannya (bukan pixel gabungan atau pixel yang isinya beberapa jenis
kenampakan = Mix pixel).
4. Membuat matrik dari setiap kesalahan (confusion matrix) pada setiap
bentuk penutup lahan/ penggunaan lahan dari hasil interpretasi citra
penginderaan jauh. Ketelitian pemetaan dibuat dalam beberapa kelas X
yang dapat dihitung dengan rumus :
MA =
dimana :
Xcr pixel
Xcr pixel + Xo pixel + Xco pixel
MA = Ketelitian pemetaan (mapping accuracy)
Xcr
= Jumlah kelas X yang terkoreksi
Xo
= Jumlah kelas X yang masuk ke kelas lain (omisi)
Xcr
= Jumlah kelas X tambahan dari kelas lain (komisi)
Sedangkan rumus ketelitian keseluruhan hasil klasifikasi (KH) :
Overall accuracy =
Jumlah pixel murni semua kelas
Jumlah semua pixel
Dari matriks ini didapat dua jenis ketelitian, yaitu ketelitian sebaran
pixel tiap kelas atau mapping accuracy dan ketelitian keseluruhan hasil
klasifikasi (overall accuracy). Ketelitian klasifikasi masuk dalam
toleransi yang ditetapkan apabila ketelitian seluruh klasifikasi/overall
accuracy memiliki nilai diatas 0,8 atau diatas 80 % jika dikalikan 100 %
(Short, 1990).
- 49 -
2.4.4 Pemetaan Distribusi Sedimen melalu Citra Satelit
Perlu dipahami bahwa sedimen yang dimaksud bukanlah sedimen yang
berada didasar permukaan laut atau yang sering disebut dengan seabed
load/sediment, akan tetapi sedimen yang dimaksud adalah sedimen melayang atau
total suspended matter/TSM. Hal ini di sebabkan karena kemampuan dari sensor
satelit yang mampu menembus hanya pada air permukaaan.
Dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh, TSM dapat dideteksi
dengan menggunakan kanal 2 dari citra Landsat, karena TSM lebih sensitif untuk
dideteksi dengan menggunakan kisaran panjang gelombang 0,52 – 0,56 μm.
Band 2 Landsat memberikan koefisien korelasi sebesar 0,81. Sedangkan
penggunaan band 3 hanya memberikan koefisien korelasi sebesar 0,66, yang
lebih rendah dibandingkan band 2. (Tassan, 1993; Woerd and Pasterkamp, 2004
dalam prosiding PIT MAPIN 2004 ).
Budiman (2004) menyebutkan beberapa kemampuan dari tiap-tiap band
pada beberapa satelit untuk mengidentifikasi TSM seperti yang terlihat pada Tabel
2.3. Dari Tabel 2.3, koefisien korelasi
ditunjukan pada kolom R2 dimana
koefisien korelasi tertinggi ada pada band 2. Sehingga penggunaan band 2
menjadi penting untuk mengidentifikasi konsentrasi TSM.
- 50 -
Tabel 2.3. Kemampuan Band untuk Pemetaan TSM
2.4.5 Er Mapper 6.4
ER Mapper adalah salah satu software (perangkat lunak) yang digunakan
untuk mengolah data data citra atau satelit. Pengolahan data citra merupakan suatu
cara memanipulasi data citra atau mengolah suatu data citra menjadi suatu
keluaran (output) yang sesuai dengan yang kita harapkan. Adapun cara
pengolahan data citra itu sendiri melalui beberapa tahapan, sampai menjadi suatu
keluaran yang diharapkan. Tujuan dari pengolahan citra adalah mempertajam data
geografis dalam bentuk digital menjadi suatu tampilan yang lebih berarti bagi
pengguna, dapat memberikan informasi kuantitatif suatu obyek, serta dapat
memecahkan masalah. (Jones, 1997).
- 51 -
Gambar 2. 15. Struktur data raster
ER Mapper 6.4 dapat dijalankan pada workstation dengan sistem operasi
UNIX dan komputer PCs (Personal Computers) dengan sistem operasi Windows
XP dan Window NT (Budhiman, 2000).
Data disital disimpan dalam bentuk barisan kotak kecil dua dimensi yang
dikenal dengan sebutan pixel (picture element). Masing-masing pixel ini mewakili
suatu wilayah yang ada dipermukaan bumi. Struktur ini disebut raster, sehingga
data citra sering juga disebut data raster.
ER Mapper mengembangkan metode pengolahan citra terbaru dengan
pendekatan yang interaktif, dimana kita dapat langsung melihat hasil dari setiap
perlakuan terhadap citra pada monitor komputer. ER Mapper memberikan
kemudahan dalam pengolahan data sehingga kita dapat mengkombinasikan
berbagai operasi pengolahan citra dan hasilnya dapat langsung terlihat tanpa
menunggu komputer menuliskannya mennjadi file yang baru. Cara pengolahan ini
dalam ER Mapper disebut Algoritma.
- 52 -
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kotamadya Makassar Propinsi Sulawesi
Selatan yaitu di sepanjang Pantai Losari dengan koordinat lintang pada 1190 21’ 1190 30’ BT and 507’ - 50 15’ LS. Sistimatika penelitian ini dapat dilihat pada
diagram flowchart di bawah ini:
Mulai
Studi Literatur
- Sedimentasi
- Peginderaan Jauh
- Penelitian sebelumnya yang terkait
Running pada SMS
Overlay citra Landsat 7-ETM
Tahun 1996 dan 2002
- Cropping boundary
- Koreksi geometrik
- Pemotongan citra
- Pemisahan darat dan laut
- Komposisi Bandwith
- Klasifikasi tak terselia
- Perhitungan sedimen pada
kelas
Data
Data
Sekunder
sekunder
Analisa RMS error
- Input dxf dan image file
- Merubah data dxf menjadi feature arc
- Merubah feature arc menjadi scatter
point
- Meshing pada boundary dan scatter
point menjadi polygon
- Mengubah hasil meshing menjadi
ASCII dengan melakukan running
GFGEN
- Input BC (Pasut/Debit/Material Control)
- Pemodelan arus running RMA2
- Validasi running data arus dgn data
lapangan
- Running SED2D
Analisa Data error
- Analisa Strengh of figure
- Perubahan distribusi sediment
- Perubahan garis pantai
- Analisa error data running arus
- Distribusi sediment
Hasil dan
Kesimpulan
Selesai
Gambar 3. 1 Diagram alir penelitian (SMS dan GIS)
Penelitian ini dibagi menjadi empat tahap utama yaitu 1) pengambilan dan
pengamatan data lapangan, 2) pemodelan sedimentasi dengan SMS, 3)
pengolahan citra satelit landsat-7 ETM (Citra tahun 1996 dan 2002) dan 4)
penyusunan laporan. Pengambilan data lapangan dilakukan pada tanggal 2 – 5
April 2006 pada boundary area (1190 21’ - 1190 25’ BT dan 50 7’ - 50 13’ LS).
Bulan perekaman citra disesuaikan dengan pengambilan data lapangan agar hasil
akuisisi citra landsat dapat menggambarkan kondisi lapangan yang sebenarnya.
3.1. Studi Literatur dan Tinjauan pustaka
Studi literatur dan tinjauan pustaka dilakukan untuk memberikan kejelasan
tentang pola arus dan sedimentasi dengan menggunakan SMS (Surface-water
Modelling System) dan Overlay citra landsat 7-ETM untuk analisa proses
sedimentasi maupun perubahan garis pantai.
3.2. Observasi Lapangan
Tinjauan lapangan dilakukan untuk mendapatkan gambaran kondisi daerah
penelitian yang sebenarnya baik secara visual (dengan mengamati langsung ke
lokasi) maupun dengan melakukan wawancara dengan penduduk di lokasi
maupun dengan instansi terkait. Tinjauan langsung ke lapangan dilaksanakan.
3.3. Data dan Peralatan
Pengumpulan data diperlukan sebagai input dalam pengerjaan tugas akhir
ini. Adapun sumber dan jenis data yang keperluan adalah sebagai berikut:
- 54 -
a. Kebutuhan data pada Metode Surface Water Modelling System (SMS)
-
Data Bathymetri
Data bathymetri (kedalaman laut) di perlukan untuk mendapatkan gambaran
tentang kontur dan kedalaman dasar laut. Data ini diperlukan sebagai input
awal dalam pengerjaan pada SMS. Dalam pengerjaan Tesis ini data
bathymetri di dapatkan pada peta Rupa Bumi 1:50.000 (sumber Peta: SPOT
TM 1997).
-
Data pasang Surut.
Data pasang surut diperlukan sebagai input pada SMS untuk mendapatkan
pola arus pasang surut dan untuk menentukan elevasi muka air rencana. Data
pasang surut diperoleh dari alat perekaman AWS (Aautomatic Weather
Station) dari Badan Meterologi dan Geofisika (BMG) Paotere Makassar
dengan interval waktu 3 x 24 jam (Time step sebanyak 72 jam).
-
Data Debit Sungai
Data debit sungai diperlukan sebagai input Boundary Condition pada SMS
untuk mendapatkan pola arus dan sedimen. Data debit sungai Sungai
Jeneberang dan saluran pembuangan lainnya sebagai aliran air masuk ke
Pantai Losari Makassar.
Secara umum data yang digunakan pada metode SMS adalah sebagai berikut :

Peta LPI Kota Makassar No 2010-1 dengan skala 1 : 50.000

Data pasang surut

Konsentrasi, ukuran dan type sedimen dan

Data pendukung lainnya yang dianggap perlu seperti data kedalaman ,
suhu air laut dan salinitas.
- 55 -
b. Kebutuhan data pada metode overlay citra landsat adalah sebagai berikut :

Citra landsat 7-ETM tahun 1996 dan 2002 (Koordinat lintang 1190
21’ - 1190 30’ BT dan 50 7’ - 50 15’ LS) Band 1, 2,3,4,5 dan 7 dengan
level 1 gigabyte yang diperoleh dari LAPAN

Hardcopy peta LPI scala 1:50.000 Kota Makassar No 2010-1 dengan
digital data yang diperoleh dari BAKOSURTANAL sebagai referensi
koreksi geometrik terhadap citra landsat. Penggunaan peta topografi
ini karena citra Landsat 7-ETM yang memiliki resolusi spasial 30x30
meter.

Data konsentrasi sedimen terlarut (suspended sediment)

Perekaman data pasang surut yang disesuaikan dengan waktu akuisisi
citra satelit digunakan untuk mengetahui kondisi pasang surut dan
beda ketinggian air laut pada kedua data citra.

Data suhu, salinitas air laut, kedalaman dan data pendukung lainnya
yang dianggap perlu.
c. Sedangkan peralatan yang digunakan untuk mendukung terlaksananya
penelitian ini adalah:
⇒
Perangkat lunak dan keras yang digunakan:
− Perangkat lunak Surface water modelling system (SMS 8.0)
− Perangkat lunak untuk pengolahan citra menggunakan ErMapper 6.4
− Arc Viev 3.2 dengan image analyse 1.1 untuk pembutan layout dan
peta tematik.
− Autocad Land Development 2004 untuk membaca peta topografi
digital dan digitasi peta
- 56 -
− GPS receiver ( Garmin E-Trex). Penggunaan GPS e-Trex dengan
ketelitian ± 15 m sudah mencukupi untuk mendapatkan posisi data di
lapangan karena resolusi spasial citra Landsat sebesar 30m
− Float (pengukuran arus)
− Perekam pasut dengan Automatic Wheather Station (AWS)
− Perahu motor untuk alat transportasi pengambilan data di lapangan
− Tali dan botol 500ml yang digunakan untuk mengambil sampel air
serta alat tulis dan jam.
3.4. Proses Pemodelan
3.4.1. Pemodelan pada SMS (Surface-water Modelling System 8.0)
Data yang dikumpulkan dalam pengerjaan tesis untuk pembuatan model
arus dan transpor sedimen menggunakan SMS 8.0 di Pantai Losari Makassar
meliputi data sebagai berikut :
a. Peta bathimetri yang merupakan kontur dasar laut lokasi penelitian pada setiap
titik koordinat.
b. Data kondisi lingkungan perairan lokasi seperti kedalaman laut, ketinggian
dan gerakan pasang surut, debit sungai dan data tanah di lokasi penelitian.
c. Data arus yang akan digunakan untuk validasi.
Dari hasil simulasi SMS 8.0 dengan modul RMA2 didapatkan output berupa
pola arus yaitu kecepatan arus, arah arus, kedalaman dan pasang surut. Sedangkan
dengan SED2D akan didapatkan pola sedimentasi berupa, penyebaran konsentrasi
sedimen, dan perubahan kontur dasar laut tegangan geser dasar laut, kedalaman
dan pasang surut.
- 57 -
Pemodelan SMS 8.0 dengan modul RMA2 dan SED2D meliputi beberapa
tahapan yaitu :
a. Pemodelan bathimetri, dengan input berupa data garis kontur (*.dxf) dan file
image (*.jpg).
b. Penentuan kondisi batas dan model control untuk RMA2, kondisi batas adalah
proses input data pasang surut dan debit sungai. Data pasang surut
dimasukkan sesuai dengan pengukuran di lapangan selama 3 hari (72 jam)
dengan selang waktu 1 jam. Sedangkan data debit sungai dimasukkan nilai
konstan sesuai dengan pengukuran sesaat pada surut sebesar 30.5 m3/s. Model
Control merupakan setting waktu running dan juga material properties yang
meliputi nilai kekasaran (Manning, n), koefisien kekasaran, Eddy Viscosity
(E), dan Peclet number.
c. Running model, meliputi running geometri dengan modul GFGEN yang akan
menghasilkan beberapa jenis file yaitu : *.map (map), *.xy (koordinat), *.geo
(geometri), *.spr (project file), *.bin (binary), *.ot1 (output1). Running
geometri dilakukan running dengan modul RMA2 untuk mendapatkan pola
arus. Running RMA2 akan menghasilkan file dalam bentuk ASCII yaitu *.ot2
dan dalam bentuk binnary yaitu *.sol.
d. Penentuan kondisi batas dan model control untuk SED2D, kondisi batas ini
meliputi, konsentrasi sedimen dari muara sungai, jenis sedimen dasar
(pasir/lempung) dan juga propertinya seperti koefisien diffusi, kecepatan
endap dan setting waktu running.
- 58 -
e. Running model, proses running menggunakan modul SED2D. Dari running
SED2D akan dihasilkan file dalam bentuk ASCII yaitu *.ot4 dan dalam
bentuk binnary yaitu *_dbed.sol.
f. Analisa hasil pemodelan (post processing) pola arus dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu dengan melihat output data secara numerik dalam file *.ot2 dan
dengan melihat bentuk kontur kecepatan dan vektor pola arus. Interpretasi
hasil pemodelan dengan melihat output data yang berupa gambar animasi
lebih dapat memberikan kejelasan gambaran hasil daripada output yang
berupa data numerik. Pemodelan pola arus ini akan memberikan gambaran
pola arus yang terjadi di perairan Pantai Losari. Pola arus ini selanjutnya
digunakan sebagai input untuk menganalisa pemodelan pola sedimentasi di
perairan Pantai Losari.
g. Hasil pemodelan pola sedimen juga dihasilkan dengan dua cara, yaitu data
output secara numerik dalam file *.ot4 dan data output berupa bentuk kontur
dari konsentrasi sedimen dan juga perubahan kontur dasar laut (seabed
change). Pemodelan pola sedimen memberikan gambaran tingkat sedimentasi
pantai.
3.4.2. Pengolahan Data pada Overlay Citra Landsat 7-ETM
3.4.2.1. Tahap Pra Pengolahan
Tahap pra pengolohan adalah pemotongan citra dimulai pada pemotongan
citra yang dimaksudkan untuk membatasi daerah penelitian dan memperkecil
memori penyimpanan sehingga akan lebih mempercepat proses analisa. Citra
yang didapat tidak dalam satu scene lengkap (citra tahun 2002 lebih luas daripada
- 59 -
tahun 1996) sehingga pemotongan dilakukan dengan membuka kedua citra dalam
satu page untuk mengetahui batas-batas pemotongan citra.
3.4.2.2. Koreksi Citra
Koreksi citra meliputi koreksi radiometrik dan koreksi geometrik. Koreksi
radiometrik
dilakukan
untuk
menghilangkan
distorsi
radiometrik
dan
memperbaiki kualitas spektral citra. Distorsi radiometrik disebabkan oleh
pengaruh hamburan dan serapan atmosfir, bias pada waktu transmisi data, kondisi
optik sensor dan perubahan cahaya. Dalam penelitian ini tidak dilakukan koreksi
radiometrik karena citra yang digunakan telah berjenis 1gigabyte (citra dalam
level 1G sudah terkoreksi secara radiometrik).
Proses koreksi geometrik citra dilakukan untuk menghilangkan kesalahan
spasial citra yang disebabkan oleh beberapa faktor pada saat perekaman oleh
sensor satelit. Berdasarkan sumbernya, distorsi atau kesalahan geometrik dapat
dikelompokan menjadi 2 tipe, yaitu : kesalahan internal (internal distortion) dan
kesalahan eksternal (external distortion).
Kesalahan internal disebabkan oleh konfigurasi sensornya, yaitu :
a. Pembelokan arah penyinaran menyebabkan distorsi panorama (look
angle)
b. Abrasi sub sistem optik karena kemiringan cermin penyiam (scan
mirror), sehingga cakupan tidak tegak lurus.
c. Sistem penyiaman (scanning system) yang tidak linier karena
kecepatan cermin penyiam (scan) berubah yang mengakibatkan
pergeseran lokasi setiap pixel.
- 60 -
Kesalahan geometrik akibat kesalahan eksternal antara lain:
a. Perubahan ketinggian wahana dan kecepatan wahana menyebabkan
perubahan cakupan dan luasan, yang mengakibatkan perubahan skala
dan arah orbit
b. Perubahan posisi wahana terhadap obyek karena gerakan berputar
(roll), menggelinding (pith) dan berbelok (yow) yang megakibatkan
terjadinya distorsi atau bising acak (random).
c. Rotasi bumi, gerakan berputar bumi saat pengambilan data sehingga
mengakibatkan obyek miring ke arah barat
d. Kelengkungan bumi mengakibatkan ukuran pixel yang direkam
berubah, karena terjadinya sudut pada arah perekaman (across track),
yaitu antara pixel yang direkam di titik nadir dengan pixel pada saat
sensor scanner melakukan penyiaman
Koreksi geometik mempunyai tiga tujuan yaitu: melakukan rektifikasi
(pembetulan) atau restorasi (pemulihan) citra agar koordinat citra sesuai dengan
koordinat geografis, registrasi (mencocokkan) posisi citra dengan citra lain atau
mentransformasikan sistem koordinat citra multispektral atau citra multi temporal
dan registrasi citra ke peta atau transformasi sistem koordinat citra ke peta yang
menghasilkan citra dengan sistem proyeksi tertentu. Oleh karena itu koreksi
geometric dilakukan dengan proses transformasi yang dapat ditetapkan melalui
hubungan sistem koordinat citra dan sistem koordinat geografi.
Penerapan koreksi geometrik dilakukan dalam dua tahap utama, yaitu
transformasi koordinat dan resampling. Transformasi koordinat merupakan
konversi dari satu koordinat ke koordinat lainnya, atau hubungan antara posisi
- 61 -
(koordinat) pixel citra asli (input) dan citra hasil transformasi (output). Hubungan
transformasi posisi geometrik adalah :
u = f (x,y)
v = g (x,y)
dimana :
(x,y) : koordinat peta
(u,v) : koordinat citra
f, g : fungsi transformasi
Dalam penelitian ini digunakan persamaan Transformasi
Affine, yaitu :
x = a1u + a2v + a3
y = b1u + b2v + b3
Berdasarkan persamaan diatas terdapat 6 parameter yang belum diketahui,
yaitu ; a1 , a 2 , a3 , b1 , b2 , b3 . Oleh karena itu dalam proses transformasi diambil
paling sedikit 6 titik kontrol (GCP) yang memiliki RMS error kurang dari 1 pixel.
Tahap selanjutnya adalah resampling citra. Resampling merupakan suatu
proses transformasi citra dengan cara memberikan nilai pixel citra terkoreksi.
Pelaksanaan resampling dilakukan dengan proses transformasi dari suatu sistem
koordinat ke sistem koordinat lainnya. Dalam penelitian ini resampling citra
dilakukan dengan metoda tetangga terdekat (nearest neighbour). Keunggulan
metoda ini adalah perhitungan yang sederhana dan menghindari pengubahan nilai
pixel.
Sistem koreksi geometrik citra dilakukan dengan merektifikasi citra tahun
1996 dan 2002 dengan riwayat data : metadata file, format ers bands ID
- 62 -
1,2,3,4,5,6L,6H,7,8 Projection UTM Selatan 50, Datum WGS84. Units Meters)
dan peta LPI skala 1:50.000 yang menggunakan sistem proyeksi UTM (Universal
Transverse Mercator) zona 50 S, dengan datum WGS 1974.
3.4.2.3. Tahap Analisa Data
a. Pemisahan Perairan dengan Daratan
Langkah awal setelah citra terkoreksi adalah mempertegas batas antara
darat dan laut. Penajaman citra untuk tujuan tersebut menggunakan
komposit band RGB 543 dimana penggunaan band tersebut sangat efektif
untuk memberikan kontras antara air dan daratan. Kenampakan daratan pada
citra harus dihilangkan agar tidak menggangu didalam proses klasifikasi.
Penghilangan
daratan
dilakukan
dengan
proses
pemotongan
citra
menggunakan layer vektor. Sebelum citra dipotong menggunakan layer
vector, semua band yang ada harus ditampilkan dan diletakkan sesuai
karakternya.
Selain itu proses ini juga akan sebagai dasar dalam identifikasi garis
pantai yang nantinya akan dijadikan sebagai acuan penentuan perubahan
garis pantai.
b. Komposit Band
Komposit warna merupakan salah satu metode didalam penajaman
citra yang nantinya akan memberikan variasi kenampakan objek, sehingga
mempermudah dalam melakukan interpretasi citra manual. Dalam penelitian
ini komposisi saluran yang digunakan adalah kombinasi band RGB 235.
- 63 -
Komposit band RGB 235 merujuk pada karakteristik kegunaan masingmasing band dan pada beberapa penelitian yang telah ada sebelumnya.
c. Klasifikasi citra
Salah satu tahapan pemrosesan citra satelit yang penting adalah proses
klasifikasi dimana sekumpulan pixel dikelompokkan menjadi kelas-kelas
berdasarkan karakteristik tertentu dari masing-masing kelas. Didalam
penelitian ini metode klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi tak
terselia (unsupervivised classification). Klasifikasi tak terselia menggunakan
algoritma untuk mengkaji atau menanalisis sejumlah besar pixel yang tidak
dikenal dan membagainya dalam jumlah sejumlah kelas berdasarkan
pengelompokan nilai citra digital. Kelas yang dihasilkan dari klasifikasi ini
adalah kelas spektral karena pengelompokannya didasarkan pada nilai
natural spektral citra dan identitas nilai spektral yang tidak dapat diketahui
secara dini.
Oleh karena itu diperlukan data rujukan untuk memeberikan nilai pada
hasil klasifikasi. Data rujukan yang dipakai adalah data hasil survey dan
pengukuran dari lapangan yang telah dianalisa di laboraturium.
d. Pengambilan dan Analisa Data Lapangan
Proses klasifikasi pada citra landsat TM yang telah dilakukan belum
dapat memberikan nilai sediment terlarut (ppm). Untuk mendapatkan nilai
tersebut maka dilakukan pengambilan sampel air pada beberapa kedalaman
tertentu di lokasi penelitian yang selanjutnya dianalisa di laboraturium
pengujian kualitas air Universitas Hasanuddin Makasar.
- 64 -
Pengambilan sampel air di lapangan dilakukan dalam waktu yang
bersamaan dengan periode pasang surut air laut yaitu pada 2 - 5 april 2006.
Waktu pengambilan juga direncanakan dengan memperhitungan faktor
pasang-surut air laut sehingga waktu pengambilan dilakukan dengan
mendekati kondisi pasang surut pada saat akuisisi citra terutama citra tahun
2002, dimana akuisisi kedua citra landsat pada bulan April 2002.
Untuk mengetahui posisi terhadap sampel air yang diambil maka
digunakan GPS handheld. Selain itu GPS juga digunakan untuk membantu
dalam navigasi menuju koordinat pengambilan sampel agar sesuai dengan
kelas dan koordinat yang telah dipilih sebelumnya.
Teknik pengambilan sampel air yang digunakan merujuk pada
beberapa penelitian mengenai total suspended matter yang telah dilakukan
oleh peneliti lain. Dalam pengambilan sampel air perlu dipertimbangkan
faktor kedalaman perairan karena citra landsat TM
kurang akurat jika
kedalaman terlalu tinggi. Menurut Kuchler dkk. (1986) bahwa secara teori
Landsat mampu melakukan penetrasi
air sampai 24 m, tetapi dalam
praktiknya hanya mampu sampai kedalaman 9 m. Sehingga sampel air
diambil dengan kedalaman kurang dari 9 meter.
Setiap area hasil klasifikasi diambil minimal 2 sampel air masingmasing 500 ml yang selanjutnya dimasukan kedalam botol yang aqua.
Metode analisa sampel air yang dipakai untuk mengukur tingkat TSM
adalah analisis gravimety dimana sampel air yang ada dimasukan kedalam
gelas fiber dan residu dari air akan nampak diatas filter yang panas pada
suhu filter konstan antara 103-105°C.
- 65 -
Selanjutnya
penambahan
berat
yang
ada
pada
filter
akan
merepresentasikan berat dari TSM yang terkandung dalam satuan volume
sampel.
Adapun perhitungan kosentrasi sediment terlarut adalah sebagai
berikut:
TSM ( mg l ) =
( A − B ) x1000
vol.sampel (ml )
Dimana:
A= berat filter + residu kering (mg)
B= berat filter
- 66 -
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Secara geografik pantai Losari Makassar terletak pada koordinat lintang
1190 21’ - 119O 30’ BT and 507’ - 5O 15’ LS. Teluk losari Makassar merupakan
bagian dari tepian DAS Tallo dan DAS Jeneberang yang terbentuk karena
perkembangan spit Tanjung Bunga. Pembentukan spit ini semakin meluas sejak
periode tahun 1900 s/d 1997. Saat ini Teluk Losari mendapat tekanan aliran
pembuangan berupa drainase dan outlet yang berasal dari kota. Terdapat empat
belas outlet dimana tujuh diantaranya adalah outlet besar. Dewasa ini aktivitas
utama di teluk Losari dan sekitarnya sebagai pusat pemerintahan kota, pusat
perniagaan, pusat rekreasi, transportasi laut, perdagangan atar pulau maupun
international (loading dan uploading) dan sebagai pusat sejarah kebaharian.
Gambar 4. 1 Peta Tematik dan Potongan Citra Landsat-7 ETM (1996) Pantai
Losari
Secara umum orientasi garis pantai (Beach line orientation) Delta
Jeneberang terbagi atas 2 (dua) yaitu: dari muara cabang Selatan (Jeneberang)
hingga cabang Utara (Long storage PDAM) berarah relatif ke arah Timur laut dari
muara cabang Utara hingga Teluk Losari. Pola refraksi orthogonal gelombang
dan mintakat tepian hamparan delta Jeneberang menghadap ke arah Barat,
sehingga pada musim barat mintakat ini menerima hempasan gelombang yang
terbangkit oleh hembusan angin yang dominan dari arah Barat Daya, Barat, dan
Barat laut.
Gelombang yang terbangkit oleh angin yang datangnya dari arah Barat dan
Barat Daya akan menginduksi arus susur pantai (near shore current) ke arah
Utara, sebaliknya gelombang yang terbangkit oleh angin yang datangnya dari
Barat Laut akan menginduksi arus susur pantai ke arah Selatan.
N
5
N
W
40
30
20
10
0
N
E
Keteranga
n:
:
E
W
0 -5
m/s
: 5 - 10
m/s
: 10 - 15
m/s
: 15 - 20
m/s
S
E
S
W
S
Gambar 4.2 Wind Rose Pantai Losari Makassar dari tahun 1987 s/d 2000
(sumber: UNHAS-GMTD).
Walaupun demikian arus susur pantai ke arah Utara lebih dominan
dibandingkan dengan arus susur pantai ke arah Selatan.
- 68 -
Hal ini dapat menjelaskan fenomena pengangkutan sedimen (longshore
sediment transport) yang dominan ke arah Utara. Ruas Pantai Tanjung Bunga
diprediksikan akan selalu mundur karena sudah tidak mendapat suplai sedimen
dari muara Sungai Jeneberang dan long storage PDAM yang tertutup. Sedimen
yang disebabkan oleh erosi pantai secara perlahan akan terangkut ke Utara
kemudian membelok ke arah Teluk Losari (Timur laut). Proses ini dapat
menyebabkan pendangkalan pada bagian dalam teluk Losari secara perlahanlahan dan menggeser delta ke arah pantai.
Gambar 4. 3 Refraksi orthogonal gelombang dari barat (kiri) dan Barat daya
(kanan). sumber: Unhas-GMTD
Ketidakseragaman bentuk dan garis pantai di hamparan Tj. Merdeka dan
Tanjung Bunga menyebabkan terjadinya perbedaan pola refraksi gelombang
- 69 -
akibat perubahan arah angin sehingga posisi konvergensi 4 dan divergensi 5 tenaga
gelombang di mintakat tepian akan berubah pula.
Berdasarkan atas pola refraksi gelombang seperti disajikan pada
Gambar 4. 3 maka daerah-daerah paling rawan erosi dapat diidentifikasi.
Walaupun secara umum garis pantai akan mengalami kemunduran secara
perlahan akan tetapi terjadi pula proses sedimentasi secara lokal (Storms,
Hoogendoorn, Dam, Hoitink, and Kroonenberg, 2005) sebagai akibat tertahannya
arus susur pantai (nearshore current) secara parsial ke Arah Utara dan Selatan.
4.2
Data Pengukuran
Untuk melakukan pemodelan pola arus dan sedimentasi dengan SMS -
RMA2 dan SED2D diperlukan input data yang dideroleh dari pengukuran di
lapangan. Selain itu juga untuk mendapatkan titik kontrol dalam koreksi
geometrik pada pengolohan citra Landsat.
4.2.1 Pasang Surut
Pengamatan pasang surut dilakukan selama 3 x 24 jam dimulai pada jam
01:00 AM, 2 April 2006 – 12:00 PM, 5 April 2006. Posisi pengukuran dilakukan
pada koordinat 05° 06’ 495” LS, 119° 25’ 114” BT. pengamatan menggunakan
AWS (Automatic Weather Station). Jenis pasang surut adalah campuran condong
ke harian tunggal seperti pada Grafik berikut ini:
4
Perambatan gelombang pantai dimana refraksi gelombangnya menuju pada satu titik
pantai biasanya terjadi pada daerah tanjung.
5
Perambatan gelombang pantai dimana gelombang menyebar saat mendekati pantai dan
biasanya terjadi pada daerah teluk.
- 70 -
Gambar 4. 4 Grafik pengamatan pasang surut pantai Losari Makassar
(2 - 5 April 2006)
4.2.2 Debit sungai
Pengukuran debit dilakukan di muara kanal Patompo pada waktu surut.
Muara kanal Patompo mempunyai lebar 20 m dengan kedalaman rata-rata 2,5
meter. Hasil pengukuran kecepatan arus permukaan dengan menggunakan float
didapatkan kecepatan arus sebesar 0.33 m/s. Data debit air pada muara kanal
Patompo didapatkan sebesar 30,5 m3/s. Data debit ini dijadikan input pada
pemodelan SMS modul RMA2 sebagai nilai konstan debit.
4.2.3 Pengukuran Arus
Pengukuran arus dilakukan pada dua stasiun yaitu LS-1 dan LS-3. hal ini
sebagai pertimbangan untuk kalibrasi hasil pemodelan arus (RMA2). Hasil
pengukuran arus pasang surut selama pengukuran di lapangan diperoleh kisaran
- 71 -
kecepatan antara 0,011 sampai 0,01 m/detik dimana dominan berasal dari arah
barat laut. Hal ini menunjukkan bahwa arah dan kecepatan arus pasang surut di
pantai Tanjung Merdeka dominan ke arah tenggara seperti terlihat pada Gambar
4.15. Data pengamatan kecepatan arus dapat dilihat pada
Tabel 4. 1 berikut ini:
Date
4/4/2006
4/4/2006
4/4/2006
4/4/2006
4/4/2006
4/4/2006
4/4/2006
4/4/2006
4/4/2006
4/4/2006
4/4/2006
4/4/2006
4/4/2006
4/4/2006
4/4/2006
4/4/2006
LS-1
Hour Direction (°) Velocity (m/s)
6:00
95
0.05
7:00
150
0.05
8:00
100
0.02
0.03
9:00
85
10:00
75
0.03
0.03
11:00
80
0.01
12:00
100
105
0.04
13:00
0.04
14:00
90
85
0.02
15:00
16:00
100
0.05
0.06
17:00
105
110
0.07
18:00
0.11
19:00
136
0.05
110
20:00
21:00
Date
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
LS-3
Hour Direction (°)
6:00
85
7:00
95
120
8:00
9:00
90
10:00
55
85
11:00
12:00
160
85
13:00
75
14:00
80
15:00
16:00
110
80
17:00
18:00
104
112
19:00
20:00
95
80
21:00
Velocity (m/s)
0.02
0.02
0.02
0.01
0.01
0.02
0.01
0.02
0.02
0.03
0.03
0.02
0.02
0.03
0.04
0.03
Tabel 4. 1 Data pengukuran arus di pantai Losari
Data kecepatan arus pasang surut dapat dilihat pada gambar berikut:
Current Tide Velocity Observated at LS-1
April 4th 2006
0.12
0.11
0.10
0.09
0.07
0.06
0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
20:00
19:00
18:00
17:00
16:00
15:00
14:00
13:00
12:00
11:00
10:00
9:00
8:00
7:00
0.00
6:00
Velocity (m/s)
0.08
Time (Hours)
- 72 -
Gambar 4. 5 Kecepatan arus pasang surut stasiun LS-3 tanggal 3 April 2006
Current Tide Velocity Observed at LS-3
April, 4th 2006
0.04
Velocity (m/sec)
0.03
0.02
0.01
21:00
20:00
19:00
18:00
17:00
16:00
15:00
14:00
13:00
12:00
11:00
10:00
9:00
8:00
7:00
6:00
0.00
Tim e (hour)
Gambar 4. 6 Kecepatan arus pasang Surut stasiun LS-1 tanggal 4 April 2006
4.2.4 Sedimen Layang (Total Suspended Sediment)
Pengambilan sampel sedimen layang dilakukan pada masing-masing stasiun
pengamatan (LS1 s/d LS7) pada saat pasang (time step ke 33) dan saat surut (time
step ke 49). Hasil pengatan ini dijadikan sebagai input dalam pemodelan SMS
modul SED2D. Dari hasil pengukuran pada muara kanal Patompo (LS-2)
diperoleh sebesar 17 ppm dimana didapatkan jenis material dasar sebagain besar
didominasi material pasir halus kecuali pada LS-3 yang berupa pasir sedang dan
pada LS-1 berupa pasir sangat halus. Tabel 4. 2 berikut adalah data hasil uji
laboratorium dari sejumlah sampel sedimen yang telah diamati dari ketujuh
stasiun.
- 73 -
Tabel 4. 2 Hasil uji konsentrasi sedimen terlarut
Waktu pengambilan sampel
STASIUN
Ls-1
Ls-2
Ls-3
Ls-4
Ls-5
Ls-6
Ls-7
Ukuran
partikel (µm)
Ukuran
partikel
pada t pasang
(µm) pada t
surut
t ( 49 ) 01:00
t ( 49 ) 01:00
3.17
3..25
t ( 33 ) 09:00
t ( 33 ) 09:00
t ( 49 ) 01:00
t ( 49 ) 01:00
2.62
2.53
layang
dasar
t ( 33 ) 09:00
t ( 33 ) 09:00
t ( 49 ) 01:00
t ( 49 ) 01:00
1.73
1.9
layang
dasar
t ( 33 ) 09:00
t ( 33 ) 09:00
t ( 49 ) 01:00
t ( 49 ) 01:00
2.13
2.00
layang
dasar
t ( 33 ) 09:00
t ( 33 ) 09:00
t ( 49 ) 01:00
t ( 49 ) 01:00
2.60
2.53
layang
dasar
t ( 33 ) 09:00
t ( 33 ) 09:00
t ( 49 ) 01:00
t ( 49 ) 01:00
2.84
2.60
layang
dasar
t ( 33 ) 09:00
t ( 33 ) 09:00
t ( 49 ) 01:00
t ( 49 ) 01:00
2.62
2.79
Pasang
Surut
layang
dasar
t ( 33 ) 09:00
t ( 33 ) 09:00
layang
dasar
Total
suspended
solid (TSS)
(mg/l)
Jenis Sedimen
14.30
Pasir sangat halus
17.00
Pasir halus
3.65
Pasir sedang
11.42
Pasir halus
9.12
Pasir halus
5.54
Pasir halus
6.32
Pasir halus
Keterangan :
t ( 33 ) = waktu pada pasang tertinggi
t ( 49 ) = waktu pada surut terendah
4.3
Pemodelan Pola Arus (Current patternt) dan Sedimentasi dengan
Surface Water Modelling System (SMS) 8.0.
Pemodelan arus dan sedimentasi dilakukan dengan menggunakan modul
RMA2 dan SED2D. Proses running pada modul ini meliputi beberapa tahapan
sebagai berikut :
4.3.1
Pemodelan Bathimetri
Pemodelan bathimetri dilakukan dengan input file garis kontur (*.dxf) dan
file image (*.jpg). Selanjutnya file *.dxf diubah dalam bentuk feature arc sebagai
boundary dan kemudian diubah kedalam bentuk scatter point sebagai acuan
elevasi bathimetri. File image (*.jpg) digunakan sebagai pembanding kontur
bathimetri yang telah dibuat dari file *.dxf. Dari bundary yang berupa feature arc
dan scatter point kemudian di buat polygon untuk membuat finite element mesh
- 74 -
dengan bentuk quadrilateral dan triangle. Hasil pembuatan elemen mesh terlihat
seperti pada Gambar 4. 7.
Gambar 4. 7 Gambungan elemen mesh dengan scatter point
Hasil dari finite element mesh adalah merupakan model kontur bathimetri seperti
pada Gambar 4. 8 sebagai berikut:
Gambar 4. 8 Hasil pemodelan kontur bathimetri SMS 8.0
- 75 -
Gambar 4. 9 Hasil pemodelan kontur bathimetri 3D SMS 8.0
4.3.2 Penentuan kondisi batas pada model RMA2 dan SED2D
Penentuan kondisi batas dilakukan guna memberikan input data pemodelan
SMS 8.0 dan juga model kontrol. Kondisi batas untuk modul RMA2 meliputi data
pasang surut, debit sungai dan material properties. Input data pasang surut dan
debit sungai
dimasukkan dalam obyek Nodestring.
Data pasang surut
dimasukkan sesuai hasil pengukuran di lapangan yang telah disesuaikan elevasi
0.0 m pada peta input (Peta LPI Makassar tahun 1993) dengan LLWL (Lowest
Low Water Level) sebesar 9 dm di bawah Mean Sea Level (MSL). Proses input
pada SMS seperti di tampilkan pada Gambar 4. 10. Sedangkan untuk data debit
sungai dimasukkan dengan nilai konstan sesuai dengan pengukuran debit sesaat
pada waktu surut sebesar 30.5 m3/s. Proses running input koefisien adalah sebagai
berikut :
X-SCALE GEOM FACTOR
Y-SCALE GEOM FACTOR
Z-ELEVATION GEOM FACTOR
NOMINAL VELOCITY - 1D
MINIMUM DEPTH - 1D
(XSCALE)
(YSCALE)
(ZSCALE)
(UNOM)
(HMIN)
1.0000
1.0000
1.0000
0.2500
0.0000
- 76 -
TEMPERATURE (C)
(TEMPC)
TIME , ITERATION, AND PRINT
CONTROL
ITERATIONS- FIRST TIME
ITERATIONS- DYNAMIC
RESTART MID-ITER CONTROLS
STARTING TIME STEPS
TOTAL TIME STEPS
DELTA TIME INTERVAL in HRS
MAX HOUR FOR THIS RUN
ITERATIONS FOR DRY NODES
PRINT INCREMENT ITERATIONS
->
->
->
->
->
30.0000
(NITI)
(NITN)
(MBAND)
(NSTART)
(NCYC)
(DELT)
(TMAX)
(LI)
(ITSI)
4
4
0
0
72
1.000000
72.0000
0
1
SPOT CHECK OF CALCULATED ROUGHNESS FOR THE SELECTED N-VALUE BY DEPTH PARAMETERS
Max n-value for non-vegetated water= 0.080000
Water depth for vegetation effects = 10.000000
Max n-value for vegetated water
= 0.100000
Roughness by depth coefficient
= 0.070000
DEPTH (FT)
0.5
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
200.0
MANNINGS N-VALUE FOR ELEM=1 IMAT#=
0.179100
0.158084
0.139634
0.125451
0.114096
0.104879
0.078400
0.063625
0.060313
0.058901
0.057959
0.055210
1
Gambar 4. 10 Input data pasang surut SMS 8.0
Kondisi batas untuk SED2D meliputi konsentrasi sedimen yang masuk
dalam area perairan, properti global dan model kontrol. Properti global berisi
tentang koefisien difusi, kecepatan endap, jenis material (lempung/pasir) dan
- 77 -
properti dari materialnya.
Sedangkan model kontrol merupakan pengaturan
waktu running dan metode hydraulic seabed shear stress. Seting input data dan
model control dalam SED2D adalah sebagai berikut :
SUMMARY OF BED LAYERING MASS ACCUMULATION POTENTIAL
LAYER
ACCUM MASS (KG/SQ M)
1
2.700000
2
5.940000
3
10.260000
4
22.320000
5
34.380001
6
46.440002
7
58.500004
8
70.560005
9
82.620003
10
157492.625000
====== SED2D VERSION 1.2 BETA
2-D
***** SED2D VERSION 1.2 BETA: Last MOD DATE 2/26/96 *****
SED2D TRANSLATED INPUT CARDS INTO THE FOLLOWING DATA SETS
STARTING TIME... YEAR
0
MONTH
0
DAY
0
HOUR/MINUTE/SECOND
COMPUTATION TIME INTERVAL(SEC) 3600.00
NUMBER OF TIME STEPS
72
SEDIMENT CLASSIFICATIONS
SAND...
SIZE CLASSES=
1 GEO. MEAN DIA=
0.0625
TRANSPORT FUNCTION = ACKER-WHITE
0. 0. 0
4.3.3 Hasil Pemodelan Arus Pasang Surut (RMA2) dan Konsentrasi
Sedimen Terlarut pada modul SED2D
Pemodelan arus dan sedimentasi dilakukan dalam 2 kondisi yaitu kondisi
terbuka dan tertutup (Opened 6 and Closed 7 condition). Hasil pemodelan SMS di
pantai Losari Makassar memberikan gambaran pola arus pasang surut dominan
bergerak dari pantai ke arah laut. Pada daerah delta dan breakwater terjadi
turbulensi dimana pada saat pasang menyebabkan arus masuk ke arah muara
kanal Patompo. Untuk keperluan verifikasi hasil perhitungan SMS dengan data
pengukuran, diambil titik stasiun yang sama dengan stasiun pengukuran
bersangkutan. Koordinat dan lokasi stasiun pengukuran seperti pada Gambar 4.11.
6
7
Opened condition dimana input debit berasal dari sungai Janeberang, Long Storage PDAM
dan muara kanal Patompo.
Close condition dimana input debit hanya berasal dari muara kanal Patompo dengan kondisi
sungai Janeberang dan Long Storage PDAM tertutup.
- 78 -
Gambar 4.11 Peta lokasi titik pengamatan berdasarkan masingmasing koordinat pada peta LPI Makassar (X,Y)
Pembahasan pola arus dan sedimentasi digambarkan pada grafik pasang
surut dikaitkan dengan time step pada SMS dibawah ini.
- 79 -
TABEL PASANG SURUT LOKASI PENELITIAN
Perekam an tanggal 2 s/d 4 April 2006
1000
TS 32
800
600
TS 40
200
TS 37
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
Tinggi pasang surut (mm)
TS 29
400
-200
TS 45
TS 26
-400
-600
TS 48
-800
Jam perekam an (hour n)
Gambar 4. 12 Grafik pasang surut dan time step tiap kondisi elevasi muka air
Hasil pemodelan arus pasang surut dengan RMA2 perlu di lakukan
verifikasi untuk mengetahui sejauh mana kesesuaian antara model SMS dengan
kondisi di lapangan. Pada pemodelan teluk Losari ini dilakukan verifikasi pada
dua tempat pengambilan sampel, yaitu LS-1 dan LS-3. LS-1 mewakili kondisi di
depan muara sungai dan LS-3 mewakili kondisi arus dari laut.
Tabel 4. 3 Verifikasi kecepatan arus pasang surut titik LS-1 dan LS-3
Date
Time
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
4/3/2006
Average
6:00
7:00
8:00
9:00
10:00
11:00
12:00
13:00
14:00
15:00
16:00
17:00
18:00
19:00
20:00
21:00
SMS-Model
0.024
0.030
0.018
0.036
0.023
0.022
0.003
0.024
0.017
0.000
0.013
0.021
0.027
0.062
0.025
0.023
LS-1
Observed Stand. Dev.
0.045
1.48%
0.050
1.41%
0.020
0.16%
0.027
0.64%
0.025
0.13%
0.030
0.58%
0.015
0.82%
0.037
0.94%
0.042
1.77%
0.020
1.39%
0.050
2.60%
0.055
2.38%
0.070
3.05%
0.110
3.41%
0.047
1.53%
0.043
1.48%
SMS-Model
0.019
0.011
0.011
0.003
0.012
0.007
0.001
0.007
0.011
0.014
0.025
0.009
0.002
0.002
0.016
0.025
0.011
LS-3
Observed
0.019
0.018
0.020
0.008
0.007
0.015
0.010
0.015
0.020
0.025
0.030
0.020
0.017
0.025
0.035
0.030
0.020
Stand. Dev.
0.00%
0.51%
0.63%
0.37%
0.37%
0.58%
0.62%
0.54%
0.61%
0.75%
0.34%
0.81%
1.07%
1.59%
1.32%
0.34%
0.65%
- 80 -
Hasil verifikasi arus pasang surut pada tiap time step menunjukkan
kesesuaian periode kecepatan. Dari Tabel 4. 3 menunjukkan perbandingan data
pengukuran arus di lapangan pada titik LS-1 dan LS-3 dengan kecepatan arus
hasil pemodelan SMS. Standar deviasi pada titik LS-1 rata-rata 1.48 % dan titik
LS-3 0.65%. Pada Gambar 4. 13 menunjukkan perbandingan kecepatan arus
model SMS dengan arus pengamatan di titik LS-1. Perbedaan kecepatan arus
lebih disebabkan karena arus di laut terbuka lebih banyak di sebabkan oleh angin,
dan gelombang. Akan tetapi dalam pemodelan SMS arus lebih banyak disebabkan
oleh pasang surut dan debit yang keluar dari muara sungai.
Current Velocity Verification
Observed vs SMS Model (LS-1)
0.120
0.100
Velocity (m/s)
0.080
0.060
0.040
0.020
0.000
6:00
7:00
8:00
9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00 19:00 20:00
Time (Hours)
Observed
SMS Model
Gambar 4. 13 Verifkasi kecepatan arus pasang surut titik LS-1
Hasil pemodelan numerik masih bisa dianggap akurat dengan tingkat
penyimpangan yang kecil. Dengan nilai standar deviasi kurang dari 5% maka
model ini dikatakan sudah cukup mewakili kondisi di lapangan. Selain itu
- 81 -
kecenderungan perubahan kecepatan arus dari tinggi ke kerendah juga
menunjukkan kesesuaian.
Current Velocity Verification
Observed vs SMS Model (LS-3)
0.040
0.035
Velocity (m/s)
0.030
0.025
0.020
0.015
0.010
0.005
0.000
6:00
7:00
8:00
9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00 19:00 20:00
Time (Hours)
Observed
SMS Model
Gambar 4. 14 Verifkasi kecepatan arus pasang surut titik LS-3
Kecepatan arus (Current velocity) dan penyebaran konsentrasi sedimen
pada tiap elevasi pasang surut adalah sebagai berikut:
a. Muka air surut (LWL – Time step 48 tanggal 4/4/06 jam 01:00 AM)
Pada time step ke 48 dimana air laut surut dengan elevasi -0.65 m di
bawah datum pola arus menujukkan pergerakan dari pantai menuju ke arah
barat (vektor arus mengarah ke laut). Kecepatan arus pada time step 48 ini
berturut-turut dari tinggi ke rendah terjadi pada stasiun LS-1 : 0.043 m/s, LS-2
: 0.025 m/s, LS-4: 0.006 m/s, LS-6 : 0.005 m/s, LS-5 : 0.004 m/s, LS-3 : 0.003
m/s dan LS-7: 0.003.
- 82 -
Kecepatan arus di depan delta (LS-1 dan sebelum LS-2) menunjukkan
nilai yang lebih kuat hal ini karena adanya input aliran masuk ke pantai losari
dari kanal patompo dan laguna dimana terjadi penyempitan aliran di area
jembatan jalan Metro. Sedangkan pada muara sungai Janeberang (LS-7) dan
Long Storage PAM (LS-6) kecepatan arus cenderung lemah karena tidak
adanya input aliran masuk ke laut. Untuk itu pemodelan dilakukan dengan
Closed condition dengan pertimbangan bahwa sejak berfungsinya DAM
multiguna Bili-bili yang ditandai dengan rubber DAM pada sungai Jeneberang
sehingga tidak ada lagi aliran air yang masuk ke laut (debit = 0) pada musim
kemarau. Sedangkan pada musim penghujan atau pada saat volume air
berlebihan rubber DAM di buka sehingga ada aliran air yang masuk ke laut.
Untuk itu pemodelan juga dilakukan observasi pada kondisi terbuka (Opened
condition).
Gambar 4.15 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition saat
surut (Time step 48, 4/4/06 01:00)
- 83 -
Pemodelan pola arus (current patternt modelling) Opened condition
menghasilkan perubahan arah arus di beberapa lokasi pengamatan. Sedangkan
kisaran kecepatan arus pasang surut relatif sama kecuali di Long Storage
PDAM dan muara sungai Janeberang. Kecepatan arus di depan muara sungai
Janeberang dan Long Storage PDAM dimana kecepatan arus sedikit lebih
tinggi dibandingkan dengan Closed condition.
Gambar 4. 16 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition saat
surut (Time step 48, 4/4/06 01:00)
- 84 -
LS-3
TS-26
TS-29
TS-32
0.008 0.007
0.008 0.007
0.010
0.010
0.005
0.007
0.009
Close (m/s)
Open (m/s)
0.003
0.005
0.008
0.009
TS-37
TS-40
TS-45
0.015
LS-4
Close (m/s)
Open (m/s)
0.021
0.021
TS-26
0.015
0.015
0.007
TS-29
0.007
0.018 0.017
TS-32
TS-37
0.015
0.002
TS-48
0.004
0.015
0.003
0.014
TS-40
TS-45
TS-48
Gambar 4. 17. Perbedaan arah arus Opened condition dan Closed Condition
di lokasi LS-3 dan LS-4.
Sebaran konsentrasi sedimen Closed condition dipengaruhi kondisi arus
yang bergerak ke arah pantai. Sehingga menyebabkan konsentrasi sedimen
yang berasal dari muara kanal Patompo (17 ppm) menyebar ke arah Utara.
Bangunan breakwater yang ada menyebabkan kecepatan arus berkurang
sehingga konsentrasi sedimen hanya terlihat di daerah muara kanal Patompo
sampai di daerah breakwater yang berkisar antara 4 – 10 ppm seperti
ditunjukkan pada Gambar 4. 18. Dengan kondisi tersebut maka muara kanal
Patompo akan menampung sedimen yang keluar dari kanal, sehingga
akumulasi sedimen yang terendap akan memperbesar pembentukan delta ke
arah dalam (Selatan dan Timur).
- 85 -
Gambar 4. 18 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition saat
surut (Time step 48, 4/4/06 01:00)
Sedangkan
sebaran
konsentrasi
sedimen
Opened
condition,
menunjukkan adanya konsentrasi sedimen di depan muara sungai Janeberang
dan Long Storage PDAM sebesar ± 0.001 kg/m3. Selain itu efek dari debit
kedua saluran tersebut menyebabkan pergerakan sedimen terdorong ke arah
timur ( dibelakang breakwater, LS-4) sehingga konsentrasi sedimen sebesar
0.001 kg/m3 bergeser ke arah timur. Konsentrasi di dalam delta (LS-1 dan LS2) juga mengalami penurunan akibat adannya pengaruh Long Storage PDAM
dan muara sungai Janeberang yang dibuka.
- 86 -
Gambar 4. 19 Sebaran konsentrasi sedimen Opened condition saat
surut (Time step 48)
b. Muka air setelah surut (Time step 26, tanggal 3/4/06 jam 03:00 AM)
Pemodelan pola arus Closed condition setelah surut dimana muka air
menuju duduk tengah (MSL) yaitu saat elevasi muka air -0.28 m di bawah
datum arus bergerak dari laut ke arah pantai. Hal ini karena elevasi air di laut
lebih tinggi daripada elevasi air di daerah pantai. Kecepatan arus pada time
step 26 ini berturut-turut dari tinggi ke rendah terjadi pada stasiun LS-2:
0.020 m/s, LS-4 : 0.019 m/s, LS-6 : 0.013 m/s, LS-5 : 0.012 m/s, LS-1 :
0.009 m/s, LS-3 : 0.009 m/s dan LS-7: 0.007 m/s.
Kecepatan arus di depan delta (LS-1 dan LS-2) menunjukkan adanya
turbulensi arus yang keluar dari debit muara kanal Patompo dengan arus yang
berasal dari arah laut akibat pasang. Akibat turbulensi ini pada sebagian
tempat di dalam delta mempunyai kecepatan rendah yang ditandai dengan
- 87 -
kontur berwarna biru tua. Kecepatan arus yang sangat rendah ini akan
mengendapkan konsentrasi sedimen yang tersuspensi dalam air sehingga akan
terjadi pengendapan di dalam delta seperti terlihat pada gambar 4. 18 berikut:
Gambar 4. 20 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition
setelah surut (Time step 26, 3/4/06 3:00 AM)
- 88 -
Gambar 4.21 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition
setelah surut (Time step 26, 3/4/06 3:00 AM)
Pergerakan dan arah arus pada Opened condition hampir sama dengan
Closed condition akan tetapi kecepatannya di daerah belakang breakwater
lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kontur kecepatan berwarna
biru tua yang lebih luas pada Closed condition.
Sebaran konsentrasi sedimen yang dipengaruhi kondisi menuju pasang
menyebabkan konsentrasi sedimen hanya menyebar di sekitar delta. Arus yang
bergerak sejajar garis pantai pada ujung delta menyebabkan konsentrasi
sedimen lebih menyebar kearah Utara (LS-4).
Selain itu dengan adanya arus yang bergerak sejajar pantai ini akan
menyebabkan erosi di daerah ujung delta, meskipun hal ini tidak terlihat dari
penyebaran sedimen yang ada. Hal ini dikarenakan keterbatasan SMS-SED2D
yang hanya memodelkan sedimentasi dari suspended sedimen.
- 89 -
Gambar 4. 22 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition
setelah surut (Time step 26, 3/4/06 3:00 AM)
Pada pemodelan Opened condition terlihat adanya sebaran konsentrasi
sedimen yang lebih besar ke arah utara di belakang breakwater. Hal ini
disebabkan oleh kecepatan arus di belakang breakwater (LS-4) lebih tinggi.
Pola sebaran konsentrasi sedimen pada Opened conditon juga menunjukkan
adanya sebaran konsentrasi sedimen terlarut di depan muara sungai
Janeberang dan Long Storage PDAM. Hal ini juga terlihat hasil hasil overlay
citra landsat-7 ETM yang menunjukkan sebaran sedimen di sepanjang pantai
namun dalam pemodelan SMS tidak tidak terlihat sebaran di sepanjang pantai
kecuali pada daerah muara. SMS hanya memodelkan nearshore current.,
sehingga tidak ada dorongan konsentrasi sedimen ke arah sepanjang pantai.
- 90 -
Gambar 4. 23 Pemodelan konsentrasi sedimen Opened condition
setelah surut (Time step 26 Tgl 3/4/06 3:00 AM).
c. Muka air saat menuju pasang (Time step 29, tanggal 3/4/06 jam 09:00 AM)
Time step ke 29 dimana muka air menuju pasang dengan elevasi muka
air +0.45 m di atas datum. Pada saat ini pola arus masih menunjukkan
pergerakan dari arah laut menuju ke arah pantai (vector menunjukkan ke arah
pantai). Elevasi muka air yang terus bertambah naik menyebabkan air
mengalir ke arah pantai sampai muka air tertinggi HHWL) saat pasang
puncak.
- 91 -
Gambar 4. 24 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition
menuju pasang (Time step 29 Tgl 3/4/06 6:00 AM)
Gambar 4. 25 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition
menuju pasang (Time step 29 Tgl 3/4/06 6:00 AM)
- 92 -
Penurunan kecepatan arus seperti pada Gambar 4.22 dimana kontur
kecepatan di dominasi warna hujau muda kearah biru muda. Kecepatan arus
pada time step 29 ini berturut-turut dari tinggi ke rendah terjadi pada stasiun
LS-2 : 0.021 m/s, LS-1 : 0.015 m/s, LS-4 : 0.013 m/s, LS-5 : 0.007 m/s, LS-3 :
0.006 m/s, LS-6 : 0.006 m/s dan LS-7: 0.004 m/s.
Pola arus Opened condition mempunyai arah yang hampir sama yaitu
arus bergerak ke arah pantai sedangkan kecepatan arus mempunyai nilai yang
lebih besar. Hal ini ditunjukkan dengan kontur berwarna biru tua yang lebih
sedikit.
Kondisi arus menuju pasang ini
menyebabkan penyebaran
konsentrasi masih berkisar didaerah delta dan breakwater. Sebaran konsentrasi
sedimen terlarut berkisar antara 2.5 – 9 ppm. Pada kondisi ini terjadi
penumpukan sedimen di dalam delta (LS-1).
Gambar 4. 26 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition
menuju pasang (Time step 29 Tgl 3/4/06 6:00 AM)
- 93 -
Pergerakan arus di depan delta yang sejajar dengan garis pantai
menyebabkan potensi erosi sepanjang garis pantai khususnya pada bagian luar
delta sehingga akan mendorong pergerakan delta ke arah Utara. Hasil
pengamatan selama di lokasi penelitian juga terlihat jelas terjadinya abrasi
pada bagian luar delta (LS3) dan sedikit penambahan garis pantai pada bagian
dalam delta (LS1).
Sebaran konsentrasi di muara kanal Patompo (LS-1 dan LS-2)
mempunyai nilai yang lebih rendah pada pemodelan Opened condition. Hal
ini di tunjukkan dengan kontur berwarna hijau muda yang mempunyai nilai
sekitar 0.03 ppm. Kecepatan arus dari arah laut mendorong pergerakan
sedimen ke dalam muara kanal. Sehingga sumber sedimen dari kanal tidak
menyebar ke arah laut.
Gambar 4. 27 Pemodelan konsentrasi sedimen Opened condition
menuju pasang (Time step 29 Tgl 3/4/06 6:00 AM)
- 94 -
d. Muka air saat pasang (Time step 32 tanggal 3/4/06 Jam 09:00 AM)
Pada time step ke 32 ini terjadi pasang surut dimana elevasi muka air
sekitar +0.85 meter diatas datum dimana pergerakan air masih mengarah ke
pantai namun kecepatan arus mulai melemah di daerah breakwater. Hal ini
ditandai dengan warna kontur biru tua. Kecepatan arus pada time step 32 ini
berturut-turut dari tinggi ke rendah terjadi pada stasiun LS-1 : 0.005 m/s, LS-4
: 0.005 m/s, LS-2 : 0.004 m/s, LS-5 : 0.004 m/s, LS-3 : 0.003 m/s, LS-6: 0.003
m/s dan LS-7: 0.002 m/s.
Gambar 4. 28 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition saat
pasang (Time step 32, 3/4/06 9:00 AM)
Pola arus Opened condition memberikan distribusi kecepatan yang lebih
seragam di depan muara sungai Janeberang dan Long Storage PDAM yang
ditunjukkan dengan gradasi warna kontur yang jelas. Kecepatan arus di
belakang breakwater (LS-4) lebih besar dari Closed condition.
- 95 -
Gambar 4. 29 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition saat
pasang (Time step 32 Tgl 3/4/06 9:00 AM)
Kecepatan di muara kanal Patompo (LS-1 dan LS-2) juga menunjukkan
tidak ada kontur berwarna biru tua. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh
debit dari muara sungai Janeberang dan Long Storage PDAM memberikan
dorongan balik ke arah muara kanal Patompo. Arah pergerakan arus
mempunyai kesamaan arah yaitu ke arah pantai.
Gambar 4. 30 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition
saat pasang (Time step 32 Tgl 3/4/06 9:00 AM)
- 96 -
Arus pasang surut yang bergerak ke arah pantai mendorong sebaran
konsentrasi sedimen ke arah utara di belakang breakwater. Konsentrasi
sedimen di muara kanal Patompo sekitar 9 ppm dan di belakang breakwater
sekitar 3 ppm. Dengan kondisi tersebut menyebabkan terjadi penumpukan
sedimen di sepanjang muara kanal Patompo. Gambar 4. 30 menunjukkan
sebaran konsentrasi sedimen yang terjadi di muara kanal Patompo.
Gambar 4. 31 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition
saat pasang (Time step 32, 3/4/06 9:00 AM)
Sebaran konsentrasi sediment dengan Opened condition tidak terlalu
besar dan cenderung berpusat di muara (LS-1, LS-5 dan muara sungai
Janeberang). Dorongan arus balik dan kecepatan arus yang seragam
memberikan sebaran sedimen yang berpusat di depan muara. Dari breakwater
menunjukkan tidak ada sebaran konsentrasi sedimen di belakang.
- 97 -
e. Muka air setelah pasang (Time step 37, tanggal 3/4/06 jam 02:00 PM)
Pada time step 37 elevasi muka air + 0.31 meter, kondisi setelah pasang
dimana arus masih bergerak ke arah pantai. Elevasi di atas nol menyebabkan
massa air bergerak ke arah yang lebih rendah (darat). Pada time step ke 37
terjadi turbulensi aliran di depan muara kanal Patompo.
Gambar 4. 32 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition
setelah pasang (Time step 37, 3/4/06 2:00 PM)
Hal ini di tandai dengan kontur warna biru tua yang menunjukkan
adanya pertemuan arus dari arah laut dengan arus dari arah muara kanal.
Kecepatan arus pada time step 37 berturut-turut dari tinggi ke rendah terjadi
pada LS-2 : 0.016 m/s, LS-4 : 0.015 m/s, LS-5 : 0.009 m/s, LS-3 : 0.008 m/s,
LS-6 : 0.008 m/s, LS 7 : 0.007 m/s dan LS-1 : 0.002 m/s.
Pada time step ini pola arus pada Opened condition lebih cepat dari pada
Closed condition. Pada kanal Patompo (LS-1), belakang breakwater (LS-4)
dan muara sungai Janeberang (LS-7) kecepatan arus relative lebih tinggi
- 98 -
seperti ditunjukkan dengan kontur warna hijau lebih muda. Sedangkan pada
Closed condition menunjukkan ada kontur berwarna biru tua di muara kanal
Patompo (LS-1) dimana arah arus mempunyai kesamaan pada dua kondisi
tersebut.
Gambar 4. 33 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition
setelah pasang (Time step 37, 3/4/06 2:00 PM)
Sebaran konsentrasi sedimen yang terjadi menunjukkan perubahan
dimana yang awalnya terkonsentrasi di belakang breakwater dan di muara
kanal lalu bergerak ke arah barat (Rubber DAM PDAM). Akan tetapi
konsentrasi yang paling besar masih tetap di muara kanal Patompo dan
sedimen di belakang breakwater dengan kisaran 3 – 10 ppm. sedangkan pada
daerah Long storage sebesar 1 ppm dengan sumber konsentrasi sedimen dari
muara kanal Patompo. Sebaran konsentrasi sedimen pada Closed condiion
tetap menyebar di belakang breakwater (LS-4). Nilai konsentrasi berkisar
anata 3.5 – 6.5 ppm. Sedangkan untuk Opened condition konsentrasi sedimen
- 99 -
lebih berpusat di muara kanal patompo dengan gradasi warna yang lebih
kontras. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh debit dari muara sungai
Janeberang dan Long Storage PDAM terhadap arus yang masuk ke dalam
muara kanal Patompo.
Gambar 4. 34 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition
setelah pasang (Time step 37, 3/4/06 2:00 PM)
Gambar 4. 35 Pemodelan konsentrasi sedimen Opened condition
setelah pasang (Time step 37, 3/4/06 2:00 PM)
- 100 -
f. Muka air saat pasang sesaat (Time step 40, tanggal 3/4/06 jam 05:00 PM)
Time step ke 40 yaitu saat elevasi muka air + 0.33 m di atas datum
dimana pada kondisi ini terjadi pasang sesaat karena tipe pasang surut adalah
campuran condong ke harian tunggal. Pada kondisi ini arus pasang surut
bergerak ke arah pantai karena elevasi muka air di laut lebih besar dari pada
elevasi muka air di pantai. Pada stasiun pengamatan kecepatan arus
mengalami penurunan akan tetapi pada jembatan Metropolitan arus menjadi
lebih cepat karena adanya tambahan dorongan dari pergerakan arus pada time
step sebelumnya (49). Hal ini di tunjukkan dengan warna hijau muda pada
area didalam jembatan. Kecepatan arus pada time step 40 berturut-turut dari
tinggi ke rendah terjadi pada LS-2 : 0.018 m/s, LS-4 : 0.013 m/s, LS-1 : 0.011
m/s, LS-3 : 0.006 m/s, LS-5 : 0.006 m/s, LS-6 : 0.006 m/s dan LS-7 : 0.004
m/s.
Gambar 4. 36 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition
saat pasang sesaat (Time step 40 Tgl 3/4/06 5:00 PM)
- 101 -
Pergerakan arus Opened condition mempunyai kecepatan yang lebih
cepat di depan muara kanal Patompo (LS-1 dan LS-2). Kecepatan berkisar
antara 0.01 m/s dengan warna kontur berwarna hijau muda. Kecepatan arus
yang lebih tinggi menunjukkan bahwa debit sungai Janeberang dan Long
Storage PDAM memberikan pengaruh pada kecepatan di dalam delta (LS-1
dan LS-2). Dengan adanya debit dari kedua sungai tersebut menyebabkan arah
arus yang datang dari laut di belokkan ke arah delta (LS-1 dan LS-2). Arus
yang di belokkan tersebut dapat menyebabkan terjadinya transportai sedimen
ke arah delta. Sehingga sedimen dari sungai Janeberang dan Long Storage
PDAM akan terbawa dan mengendap di bagian delta (LS1).
Gambar 4. 37 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition
saat pasang sesaat (Time step 40 Tgl 3/4/06 5:00 PM)
Dengan berkurangnya kecepatan arus ke arah pantai menyebabkan
sebaran sedimen bergerak ke arah laut. Hal ini terlihat dengan pada kontur
konsentrasi sedimen dengan nilai 1 ppm yang awalnya tepat pada breakwater
- 102 -
bergeser ke arah barat breakwater. Konsentrasi sedimen yang terjadi pada
kanal Patompo (LS-1 dan LS-2) berkisar antara 5 -8.5 ppm sedangkan di
darah breakwater (LS-3 dan LS-4) berkisar antara 2.5 – 3.5 ppm.
Gambar 4. 38 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition
saat pasang sesaat (Time step 40 Tgl 3/4/06 5:00 PM)
Gambar 4. 39 Pemodelan konsentrasi sedimen Opened condition
saat pasang sesaat (Time step 40 Tgl 3/4/06 5:00 PM)
- 103 -
g. Muka air menuju surut (Time step 45, tanggal 3/4/06 jam 10:00 PM)
Time step 45 dimana saat elevasi muka -0.16 di bawah datum yaitu pada
kondisi muka air menuju surut, arus pasang surut bergerak dari pantai ke arah
laut. Kecepatan arus pada lokasi delta (LS-1 dan LS-2) mengalami
peningkatan, hal ini ditunjukkan dengan kontur kecepatan warna kuning yang
semula berwarna hijau. Kecepatan arus pasang surut pada tiap lokasi
pengamatan secara berturut-turut dari tinggi ke rendah adalah : LS-1: 0.052
m/s, LS-2 : 0.039 m/s, LS-4 : 0.016 m/s, LS-5 : 0.009 m/s, LS-6 : 0.009 m/s,
LS-3 : 0.007 m/s dan LS-7 : 0.005 m/s. Pola sirkulasi arus pasang surut pada
tim step 45 seperti pada Gambar 4. 40.
Pergerakan arus Opened condition menunjukkan adanya kecepatan yang
lebih tinggi di titik LS-6. Kecepatan arus berkisar antara 0.01 m/s yang
menuju ke arah laut. Debit dari sungai Janeberang dan long Storage PDAM
menyebabkan kecepatan di daerah muara sungai lebih cepat hal ini didukung
oleh kondisi surut sehingga massa air semakin cepat bergerak ke arah laut.
Kecepatan arus di muara kanal Patompo (LS-1 dan LS-2) tidak jauh
berbeda dengan Closed condition. Secara keseluruhan arah pergerakan arus
mempunyai arah yang sama di kedua kondisi (Closed condition dan Opened
condition).
- 104 -
Gambar 4. 40 Pemodelan Pola sirkulasi arus Closed condition
saat menuju surut (Time step 45, 3/4/06 10:00 PM)
Gambar 4. 41 Pemodelan Pola sirkulasi arus Opened condition
saat menuju surut (Time step 45, 3/4/06 10:00 PM)
- 105 -
Adanya pergerakan arus ke arah laut menyebabkan sebaran konsentrasi
sedimen juga bergerak ke arah laut (barat). Hal ini di tunjukkan bergesernya
kontur dengan nilai 1.5 ppm yang semakin menjauh ke arah breakwater.
Gambar 4. 42 Pemodelan konsentrasi sedimen Closed condition saat
menuju surut (Time step 45, 3/4/06 10:00 PM)
Konsentrasi sedimen di depan muara kanal Patompo (LS- dan LS-2)
berkisar antara 6 – 10.5 ppm. Sedangkan konsentrasi sedimen di belakang
breakwater berkisar antara 3 – 4.5 ppm.
- 106 -
Gambar 4. 43 Pemodelan konsentrasi sedimen Opened condition
saat menuju surut (Time step 45, 3/4/06 10:00 PM)
Hasil running SMS-RMA2 Closed condition pada tiap lokasi stasiun
pengamatan disajikan dalam grafik kecepatan arus pasang surut pada Gambar 4.
44. Dari grafik tersebut terlihat bahwa kecepatan yang dominan adalah pada
stasiun LS-1 dan LS-2. Hal ini disebabkan input debit dari muara kanal Patompo
memberikan kecepatan yang lebih besar dari pada kecepatan arus yang hanya di
pengaruhi oleh pasang surut. Tinggi pasang surut juga mempengaruhi kecepatan
arus, Hal ini karena RMA-2 adalah merupakan program untuk analisa arus pasang
surut yang disebabkan adanya energi potensial dari pasang surut. Kecepatan arus
menunjukkan pertambahan kecepatan pada time step 22, 26, 28, 46 dan 50,
dimana kondisi ini adalah muka air menuju atau setelah surut. Dan kecepatan
minimum terjadi pada saat pasang (HHWL) dan surut (LLWL).
- 107 -
Gambar 4. 44 Grafik kecepatan arus Closed condition pasang surut
tiap lokasi pengamatan
Gambar 4. 45 Grafik kecepatan arus Opened condition pasang surut
tiap lokasi pengamatan
- 108 -
Kecepatan arus Opened condition tiap stasiun pengamatan di sajikan pada
Gambar 4. 45. Kecepatan arus tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan
kecuali pada awal time step. Hal ini disebabkan running model belum stabil.
Setelah time step ke 10 kecepatan arus menunjukkan nilai yang hampir sama.
Tidak adanya perbedaan kecepatan arus yang signifikan disebabkan karena secara
umum stasiun mendapat tekanan yang sama dari pengaruh pasang surut.
Kondisi sebaran sedimen Closed condition yang stabil tercapai setelah time
step ke 13. Dari gambar 4.44 menunjukan konsentrasi sedimen meningkat pada
time step ke 29, 47 dan 53 yaitu pada elevasi muka air sebelum dan sesudah surut.
Pada saat elevasi muka air pasang konsentrasi sedimen mengalami penurunan
sampai posisi pasang sesaat dan kemudian meningkat kembali saat menuju surut.
Saat elevasi muka air surut konsentrasi sedimen juga mengalami penurunan.
Stasiun LS-1 dan LS-2 menunjukkan fluktuasi yang tinggi. Sedangkan stasiun LS3 dan LS-4 menunjukkan fluktuasi konsentrasi sedimen yang tidak terlalu besar.
Di stasiun yang lain hampir tidak terjadi fluktuasi dan peningkatan konsentrasi
sedimen relatif konstan.
- 109 -
Gambar 4. 46 Grafik sebaran konsentrasi sedimen Closed condition
pada tiap stasiun pengamatan
Sebaran konsentrasi sedimen Opened condition menunjukkan nilai yang
lebih fluktuatif. Hal ini sangat dipengaruhi adanya debit sungai Janeberang dan
Long Storage PDAM. Pada stasiun LS-3, LS-6 dan LS-7 menunjukkan nilai
konsentrasi cenderung menurun (rendah). Stasiun tersebut terletak agak jauh dari
input debit akan tetapi masih di pengaruhi dari konsentrasi yang keluar dari debit.
Sedangkan LS-4 menunjukkan nilai yang hampir sama tetapi dengan
fluktuasi yang lebih besar. Posisi LS-4 yang terletak di mulut delta menyebabkan
kecepatan arus yang keluar masuk yang tinggi. Sehingga konsentrasi sedimen di
LS-4 sangat fluktuatif. Sedangkan LS-5 menunjukkan nilai yang lebih besar.
Stasiun LS-1 dan LS-2 mempunyai konsentrasi sedimen yang lebih besar dari
pada stasiun yang lain. Hal ini karena posisi LS-1 dan LS-2 yang terletak di depan
muara kanal Patompo.
- 110 -
Gambar 4. 47 Grafik sebaran konsentrasi sedimen opened condition
pada tiap stasiun pengamatan.
Hasil pemodelan SED2D dapat juga dihasilkan output berupa perubahan
dasar laut (Sea seabed changes). Seabed changes yang terjadi merupakan
pengaruh perpindahan konsentrasi sedimen oleh arus pasang surut oleh karen itu
tidak dapat dijadikan ukuran mutlak adanya erosi di sepanjang kontur garis pantai
dimana garis pantai di definisikan sebagai boundary yang tetap. Pemodelan
Closed condition menunjukkan indikasi terjadinya erosi kedalaman hanya terlihat
pada daerah jembatan (LS1) dengan adanya kontur yang berwarna terang. Hal ini
disebabkan adanya aliran kritis (critical flow 8) di bawah jembatan. Kontur
perubahan dasar laut (seabed changes) yang terjadi seperti pada Gambar 4.46 dan
Gambar 4. 47.
8
Kecepatan arus yang lebih tinggi dari kecepatan umumnya yang terjadi dalam boundary area
misalnya pada titik pengamatan dimana penampang melintang mengalami penyempitan akan
mengalami percepatan arus.
- 111 -
Dari
pemodelan
tersebut
menunjukkan
kecenderungan
perubahan
sedimentasi adalah ke arah utara yaitu di stasiun LS-2 dan LS-4 di belakang
breakwater. Hal ini karena adanya breakwater mengurangi kecepatan arus yang
terjadi sehingga konsentrasi sedimen yang terkandung dalam volume air akan
lebih cepat terendapkan.
Gambar 4. 48 Seabed changes Closed condition di sepanjang pantai
Losari pada time step ke 72.
Dengan demikian proses sedimentasi lebih banyak terjadi di area dimana
kecepatan yang relatif lebih rendah. Selain itu pergerakan arus ke arah utara
(belakang breakwater) juga mempengaruhi arah pergerakan sedimen.
- 112 -
Gambar 4. 49 Seabed changes Closed condition di muara kanal Patompo
pada time step ke 72.
Gambar 4. 50 Grafik perubahan dasar laut (seabed changes) Closed
condition pada tiap stasiun pengamatan.
- 113 -
Grafik perubahan dasar laut (seabed changes) menunjukkan peningkatan
pendangkalan yang besar pada stasiun LS-1 dan LS-2. Seabed changes yang
terjadi pada masing-masing stasiun pada time step ke 72 adalah LS-1: 0.000086
m, LS-2: 0.00005 m, LS-3: 0.000018 m, LS-4: 0.00002 m, LS-5: 0.00001 m, LS6: 6.7e-6, m dan LS-7: 0.000012 m. Pendangkalan tersebut merupakan akumulasi
dari endapan konsentrasi sedimen yang terlarut (suspended sediment) dalam
massa air.
Sedimentasi di muara kanal Patompo (LS-1 dan LS-2) relatif lebih besar
dari pada stasiun yang lain. Hal ini di sebabkan stasiun tersebut dekat dengan
input konsentrasi sedimen yang masuk (muara kanal Patompo).
Gambar 4. 51 Seabed changes Opened condition di pantai Losari
pada time step ke 72.
Perubahan dasar laut pada Opened condition menunjukkan adanya
sedimentasi yang lebih besar pada muara kanal Patompo, muara sungai
Janeberang dan Long Storage PDAM. Sedimentasi ini bertambah karena
- 114 -
konsentrasi yang terbawa oleh massa air juga bertambah dari sungai Janeberang
dan Long Storage PDAM. Arus yang dominan bergerak ke arah Utara
menyebabkan sedimentasi ke arah Utara. Hal ini mendukung terjadinya
sedimentasi ke arah delta. Kondisi ini dapat terlihat jelas pada running 3D time
step 72 berikut ini:
Gambar 4.52 Kontur seabed changes Opened condition di pantai
Losari (3D) time step 72.
Sedangkan di depan delta (LS-4) dan di bawah jembatan terjadi erosi. Pada kedua
lokasi tersebut terjadi arus kritis (critical flow) sehingga konsentrasi sedimen akan
terbawa oleh arus dan mengendap di dalam muara kanal Patompo (LS-1) dan di
belakang breakwater (LS-4).
Grafik seabed change menunjukkan LS-1 dan LS-4 mengalami peningkatan
yang lebih besar. Sedangkan LS-2 yang terletak di mulut delta mengalami erosi
- 115 -
menunjukkan grafik yang menurun. Konsentrasi sedimen yang keluar dari Long
Storage PDAM mengendap ke arah utara karena adanya dorongan arus ke utara.
Pada grafik seabed changes menunjukkan titik LS-5 mengalami penambahan
seabed changes yang besar seperti pada LS-1 dan LS-4.
Gambar 4. 53 Seabed changes Opened condition di muara kanal
Patompo pada time step ke 72.
Pemodelan Opened condition menunjukkan kondisi yang lebih mendekati
pada kondisi dilapangan, yaitu terjadinya sedimentasi di ujung delta (LS-3) dan
juga terjadi abrasi di mulut delta (LS-2).
Sedangkan pemodelan Closed condition hanya menunjukkan sedimentasi di
muara kanal Patompo (LS-1) sampai daerah belakang breakwater (LS-4).
Pemodelan ini tidak dapat mengidentifikasikan adanya erosi di mulut delta (LS-2)
- 116 -
dan sedimentasi yang terbawa arus dari muara sungai Janeberang (LS-5) ke arah
delta (LS-3).
Gambar 4. 54 Grafik perubahan dasar laut (Seabed changes) Opened
condition pada tiap stasiun pengamatan.
4.4 Pemrosesan Data pada Overlay Citra Landsat 7-ETM
4.4.1 Pemotongan Citra
Proses pemotongan citra dilakukan untuk membatasi daerah penelitian dan
memperkecil memori penyimpanan sehingga dapat mempercepat proses
pengolahan data selanjutnya. Citra yang diperoleh tidak dalam satu scene lengkap
sehingga pemotongan dilakukan dengan membuka kedua citra dalam satu page
untuk mengetahui batas maksimal dari pemotongan citra. Gambar berikut adalah
hasil pemotongan cintra Landsat-7 ETM kota Makassar tahun 1996 dan 2002
pada band RGB yang sama (Band 321). Dari citra tahun 1996 masih nampak
sedimen terlarut (suspended sediment) yang bersumber dari Sungai Jeneberang.
- 117 -
(a) Tahun 1996
(a) Tahun 2002
Gambar 4. 55 Hasil pemotongan Citra landsat 7-ETM pada Band 321
4.4.2 Kesalahan Geometrik dan Kekuatan Jaring Titik Kontrol
4.4.2.1 Kesalahan Geometrik
Citra yang digunakan merupakan citra Landsat Landsat 7-ETM level
1 Gigabyte yang sudah terkoreksi secara geometrik maupun radiometrik.
Pada penelitian ini dilakukan registrasi ulang menggunakan peta
Bakosurtanal skala 1:50.000 dengan sistem proyeksi Universal Tranverse
Mercator (UTM) zone 50-S.
Jumlah titik yang digunakan adalah 17 titik dengan posisi titik
berada di sepanjang pantai dan beberapa titik di daratan. Perseberan titik
tersebut dimaksudkan untuk menjaga ketepatan posisi objek di perairan dan
garis pantai yang nantinya digunakan untuk mengevalusai perubahan lahan.
- 118 -
Tabel 4. 4
Titik
kontrol
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Hasil Geocoding Wizard (GCP) dari Nilai Root Mean Square
(RMS) terhadap Citra Landsat Makassar Tahun 1996 dan 2000.
Easting
( E)
Citra 1996
Northing
(N)
770326.24 9422731.84
758984.79 9422767.94
765795.98 9430301.60
759788.60 9432168.81
766552.12 9432786.06
766870.06 9430634.93
765536.72 9428931.22
764801.46 9429181.69
763336.76 9429515.75
763758.94 9430820.12
763543.73 9423019.31
763404.22 9433157.00
765981.17 9424227.51
770333.20 9434319.58
759096.82 9428950.42
759276.69 9433524.42
770300.54 9428436.49
RMS Total
RMS Rata-rata
Meter
Citra 2002
Northing
(N)
RMS
Easting
( E)
0.3947
0.5968
0.4199
0.2033
0.123
0.1069
0.1037
0.1367
0.0308
0.0888
0.1777
0.1039
0.0899
0.374
0.2235
0.1943
0.2881
3.656
0.215
6.452
766277.84
9430845.75
766339.17
9431720.71
765549.40
9432408.98
765116.01
9432875.08
9429080.40
764453.98
763925.86
9429794.10
759962.84
9433328.68
761044.04
9421668.65
770480.48
9423116.36
770264.08
9433882.28
770101.78
9428364.07
762635.96
9431177.27
762527.76
9433665.88
766368.87
9433882.28
759660.46
9424685.26
759714.56
9429554.27
765611.47
9422196.65
RMS Total
RMS Rata-rata
Meter
RMS
0.126
0.342
0.063
0.235
0.064
0.127
0.210
0.248
0.503
0.202
0.297
0.168
0.232
0.209
0.303
0.117
0.301
3.747
0.220
6.612
Menurut Hardiyanti (2001), batas toleransi untuk nilai kesalahan
RMS adalah 1 pixel (30x30 meter), sehingga apabila nilai rms lebih besar
dari 1 harus dilakukan perhitungan ulang. Nilai RMS error rata-rata dari 17
titik kontrol yang diambil pada citra tahun 1996 adalah 0,081 atau 2,43
meter untuk resolusi citra landsat 30x30 meter. Sedangkan untuk citra tahun
2002 sebesar 0,132 atau 3,96 m. Secara keseluruhan nilai RMS cukup
akurat seperti terlihat pada pada Tabel 4.3 tersebut diatas.
Hasil running nilai RMS error pada citra landsat 2002 seperti terlihat
di bawah ini:
#
#
#
#
#
#
#
#
#
GCPs for dataset
: D:\MAKASAR\citra\02rectcut.ers
Total number of GCPs: 17
Number turned on
: 17
Warp order
: 1
GCP CORRECTED map projection details:
Map Projection : SUTM50
Datum
: WGS84
Rotation
: 0.000
- 119 -
Point
On Locked
Cell-X
Cell-Y
To-X
To-Y
To-Z
"1" Yes
No
211.031
103.103
766277.8391296 9430845.7500000
"2" Yes
No
213.249
77.186
766339.1679200 9431720.7100000
"3" Yes
No
188.006
54.820
765549.4000000 9432408.9800000
"4" Yes
No
174.298
39.934
765116.0060784 9432875.0800000
"5" Yes
No
152.086
150.614
764453.9800000 9429080.4000000
"6" Yes
No
135.344
128.173
763925.8575445 9429794.1000000
"7" Yes
No
9.099
13.294
759962.8383752 9433328.6800000
"8" Yes
No
40.520
361.066
761044.0375633 9421668.6500000
"9" Yes
No
344.017
342.405
770480.4765891 9423116.3600000
"10" Yes
No
339.864
23.261
770264.0761744 9433882.2800000
"11" Yes
No
333.109
186.034
770101.7758633 9428364.0700000
"12" Yes
No
94.208
83.963
762635.9615547 9431177.2700000
"13" Yes
No
91.352
10.055
762527.7613474 9433665.8800000
"14" Yes
No
214.959
13.354
766368.8687090 9433882.2800000
"15" Yes
No
-3.078
268.328
759660.4558520 9424685.2600000
"16" Yes
No
0.012
124.451
759714.5559557 9429554.2700000
"17" Yes
No
187.327
357.129
765611.4672574 9422196.6500000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
0.00000
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
RMS error report:
Warp Type - Polynomial
-----ACTUAL----Point
Cell-X
Cell-Y
"1"
211.031
103.103
"2"
213.249
77.186
"3"
188.006
54.820
"4"
174.298
39.934
"5"
152.086
150.614
"6"
135.344
128.173
"7"
9.099
13.294
"8"
40.520
361.066
"9"
344.017
342.405
"10"
339.864
23.261
"11"
333.109
186.034
"12"
94.208
83.963
"13"
91.352
10.055
"14"
214.959
13.354
"15"
-3.078
268.328
"16"
0.012
124.451
"17"
187.327
357.129
Average RMS error :
Total RMS error :
End of GCP details
---PREDICTED--Cell-X
Cell-Y
211.075
102.970
213.280
77.241
188.110
54.866
174.321
39.972
152.040
150.546
135.276
128.086
8.993
13.415
40.554
361.122
343.917
342.351
339.880
23.300
333.177
186.137
94.236
83.877
91.435
9.978
214.818
13.369
-3.052
268.351
0.001
124.444
187.341
357.146
RMS
0.1406
0.0630
0.1137
0.0443
0.0821
0.1108
0.1609
0.0661
0.1135
0.0416
0.1237
0.0903
0.1130
0.1418
0.0344
0.0126
0.0222
0.087
1.475
Lebih jauh Hardiyanti (2001), menjelaskan bahwa ketelitian proses
koreksi geometri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut:
- 120 -
⇒
Jumlah titik kontrol yang dipakai
⇒
Penyebaran titik kontrol pada citra
⇒
Identifikasi posisi titik pada citra
⇒
Ketelitian peta acuan
⇒
Nilai kekuatan jaring (strength of figure) titik control
Gambar 4. 56 Diagram ilustrasi hubungan antara parameter
pada Geocoding Wizard.
4.4.2.2 Kekuatan Jaring Titik Kontrol
Kekuatan jaring control dihitung menggunakan perataan parameter.
Menurut Abidin (Abidin, dkk., 2002), nilai kekuatan jaring (Strength of
Figure) titik kontrol tanah dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
(
trace AT A
Strength of Figure =
u
)
−1
Dari hasil perhitungan didapat nilai strength of figure dari titik
kontrol registrasi citra tahun 1996 adalah 0,0004269 dan nilai pada citra
tahun 2002 adalah 0,0004269. Dalam hal ini semakin kecil bilangan faktor
- 121 -
kekuatan jaringan tersebut di atas maka semakin baik konfigurasi jaringan
yang bersangkutan dan sebaliknya (Abidin, dkk., 2002).
4.5 Sebaran Sediment pada Citra
Sebelum dilakukan klasifikasi terlebih dahulu dilakukan pemisahan daerah
penelitian yang berupa perairan terhadap daratan yang bertujuan untuk
mempermudah dalam proses klasifikasi. Untuk mempertegas perbedaan antara
daratan dan laut digunakan kombinasi band RGB 754. Pemisahan dilakukan
dengan menggunakan annotation/map compotion yang ada di Er Mapper6.4.
Selain itu juga dilakukan penetralan kembali dari transform ada, hal ini dilakukan
karena citra yang diterima sudah pernah digunakan dan dimungkinkan ada
transform yang berubah.
Setelah pemotongan citra sesuai dengan daerah penelitian, selanjutnya
dilakukan penajaman citra dengan menggunakan komposit band RGB 321 seperti
pada Gambar 4.57. Penggunaan komposit band tersebut memberikan kenampakan
warna yang lebih kontras sehingga memberikan kemudahan dalam proses
identifikasi awal. Proses klasifikasi awal terhadap citra delakukan pada Er
Mapper6.4. Dalam proses ini masukan yang diperlukan adalah batas kelas
maksimum yang dihasilkan, jumlah iterasi, jumlah piksel minimal dalam tiap
kelas dan simpangan baku nilai piksel yang dikelompokkan. Dalam pengolahan
citra ini, metoda yang dilakukan adalah ISOCLASS unsupervised classification
dengan jumlah kelas maksimal (maximum number of classes) adalah 7 kelas
dengan iterasi maksimum (maximum iterations) 20 kali. Pembatasan jumlah kelas
ditentukan berdasarkan kemungkinan jumlah kelompok obyek atau data lapangan
- 122 -
yang ada sedangkan jumlah iterasi didasarkan pada efisiensi dan lama proses
klasifikasi.
Penyesuaian hasil klasifiklasi antara citra 1996 dan citra 2002 dilakukan
dengan membandingkan hasil klasifikasi terhadap citra berdasarkan kunci
interpretasi dan nilai digital pixel pada daerah hasil klasifikasi.
Makassar City
(a) Tahun 1996
Makassar City
(a) Tahun 2002
Gambar 4.57 Boundary area hasil Cropping landsat 7-ETM pada Band
321 sebelum klasifikasi (a) tahun1996 dan (b) tahun 2002
4.5.1 Data Sampel Air
Pengambilan sampel air dilapangan bertujuan untuk memberikan
acuan/perbandingan nilai terhadap hasil klasifikasi citra. Lokasi pengambilan
air sampel dilakukan pada tujuh titik (LS-1 s/d LS-7). Pengambilan sampel
air dilakukan pada tanggal 3 April 2006. Waktu pengambilan sampel sedimen
pada saa pasang tertinggi (jam ke 33 : 09.00 WITA) dan surut terendah (Jam
ke 49 : 01.00 WITA).
Pengambilan sampel air dilakukan pada air permukaan dengan
kedalaman antara 0,5-5 meter dari permukaan air (sediment dasar dan
- 123 -
tersuspensi). Penentuan kedalam tersebut mengacu pada kemampuan landsat
untuk melakukan penetrasi terhadap perairan yaitu sedalam 10 meter dari
permukaan air. Idealnya kedalaman pengambilan sampel air untuk konsentrasi
TSM-nya dengan metode overlay adalah setengah dari kedalaman tempat
pengambilan sampel sehingga kedalaman laut pada daerah sampel air perlu
dipertimbangan. Nilai total suspended matter didapat dari analisa terhadap
sampel air yang dilakukan di laboraturium dengan menggunakan metode
gravimetri.
Berdasarkan hasil data lapangan menunjukan bahwa interval TSM
berkisar antara 3,65 -17 mg/l (LS1=14 mg/l; LS2=17 mg/l; LS3=3,65;
LS4=11,42 mg/l; LS5=9,12 mg/l; LS6=5,54 mg/l dan LS7=6,32 mg/l). Hasil
pengukuran ini akan dibandingkan dengan hasil klasifikasi citra landsat tahun
1996 dan 2002 dengan jumlah kelas sebanyak 7 kelas pada masing-masing
citra. Pemrosesan data klasifikasi akan dibahas pada analisa klasifikasi
berikut.
4.5.2 Analisa Sedimen pada klasifikasi Citra Landsat-7 ETM
Hasil pengukuran konsentrasi sedimen terlarut tersebut diatas maka
didapatkan gambaran bahwa sedimen terlarut pada perairan Pantai Losari
Makassar berkisar 3,65 -17 mg/l. Berdasarkan nilai ini maka perairan tersebut
dapat dikatakan sedikit mengandung sediment terlarut, juga seperti terlihat
pada citra landsat tahun 2002. Sedangkan pada citra tahun 1996 masih terlihat
adanya sedimen terlarut (Band RGB 3,2,1).
Hal ini disebabkan oleh
berkurangnya sumber sedimen dari daratan sebagai supply sediment terbesar
pada sebagian besar pantai.
- 124 -
Overlay citra landsat-7 ETM diklasifikasikan dalam 7 kelas. Nilai
konsentrasi sedimen terlarut tahun 1996 di ambil dari Band 3.Sedangkan
overlay tahun 2002 klasifikasi yang sesuai diambil dari band 4. hasil
perhitungan ckaslifikasi dan luasan area kelas di sajikan pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Rata-rata band dan luasan area hasil klasifikasi
Berdasarkan hasil klasifkasi citra landsat (tahun 1996 dan 2002)
didapatkan kesimpulan bahwa konsentrasi sedimen terlarut hasil klasifikasi
umumnya lebih tinggi dari data hasil pengukuran (data pengamatan). Hal ini
menunjukan bahwa sedimen terlarut di pantai Losari semakin berkurang dari
tahun ke tahun.
Hasil klasifikasi yang dilakukan belum memberikan nilai kekeruhan
air/konsentrasi TSM (mg/l) dari kelas sedimen tersebut. Pemberian nilai
dilakukan berdasarkan hasil dari pengambilan sampel air dilapangan yang
telah di analisa di laboraturium. Akurasi koordinat pada saat pengambilan
data menjadi kunci utama ketika akan melakukan overlay terhadap citra
klasifikasi sedimentasi tahun 2002. Dari beberapa sampel yang diambil di
- 125 -
lapangan terdapat 3 titik pengamatan dimana nilai sedimen terlarutnya sesuai
dengan klasifikasi dari citra Landsat tahun 2002 yaitu titik LS-1, LS-4 dan LS6. Hasil perbandingan klasifikasi sedimen ini menunjukkan bahwa konsentrasi
sedimen terlarut semakin berkurang dari tahun ke tahun (hasil overlay pada
Tabel 4.5 dan hasil pengukuran sedimen terlarut).
Tabel 4. 6 Perbandingan konsentrasi sedimen (TSM) hasil overlay citra
Lansdat-7 ETM (tahun 1996 dan 2002) dengan data pengukuran
di lapangan.
Hasil
Titik
Pengamatan
Pengamatan
April-06
LS-1
14.30
LS-2
17.00
LS-3
3.65
LS-4
11.42
LS-5
9.12
LS-6
5.54
LS-7
6.32
Tahun 1996
Konsentrasi (mg/l)
15.35 - 22.46
12.79 - 12.91
12.91 - 15.35
0.00 - 4.74
11.85 - 12.79
0.00 - 4.74
15.35 - 22.46
Keterangan
Tahun 2002
Konsentrasi (mg/l)
Lebih Kecil
13.98 - 14.36
Lebih Besar
14.36 - 14.73
Lebih Kecil
14.73 - 15.59
Lebih Besar
0.00 - 13.65
Lebih Kecil
15.59 - 18.84
Lebih Besar
0.00 - 13.65
Lebih Kecil
14.73 - 15.59
Keterangan
Sesuai
Lebih Besar
Lebih Kecil
Sesuai
Lebih Kecil
Sesuai
Lebih Kecil
Berdasarkan hasil analisis pada klasifikasi citra tahun 1996 dan 2002
menunjukan bahwa terdapat perbedaan sebaran sediment terlarut dimana pada
citra tahun 1996 sebaran sedimen lebih terkonsentrasi di daerah tepian pantai
(Nearshore) dengan nilai konsentrasi yang lebih tinggi yaitu 15.35 – 22.46
mg/l. Sedangkan konsentrasi sedimen terlarut ke arah menjauh dari pantai
(Offshore) mempunyai konsentrasi yang lebih rendah yaitu antara 12.79 –
15.35 mg/l.
Kondisi tersebut diatas berlawanan
dengan fenomena sebaran
konsentrasi sedimen terlarut pada citra 2002. Pada citra 2002, konsentrasi
lebih rendah pada daerah tepian pantai (Nearshore) dengan kisaran 15.58 –
18.84 mg/l dan selanjutnya sedimen terlarut ini menurun konsentrasinya ke
arah offshore dengan kisaran 14.36 – 15.58 mg/l. Dari perbandingan sebaran
- 126 -
konsentrasi sedimen terlarut menunjukkan pada tahun 2002 mengalami
penurunan konsentrasi di tepi pantai akan tetapi konsentrasi ke arah pantai
mengalami peningkatan. Sehingga sebaran konsentrasi sedimen terlarut lebih
seragam.
Gambar 4. 58 Sebaran sedimen terlarut dan klasifikasi sedimen pada citra
landsat-7 ETM 1996
Hasil klasifikasi sebaran sediment pada masing-masing citra (tahun 1996
dan 2002) dapat dilihat secara detail pada gambar 4.56 dan 4.57. Berdasarkan
perbandingan kedua gambar tersebut dengan Tabel 4.5. maka dapat
disimpulkan bahwa konsentrasi sedimen (total suspended matter) hasil
overlay citra Lansdat-7 ETM (tahun 1996 dan 2002) menunjukan penurunan.
- 127 -
Selanjutnya jika dibandingkan dengan analisis kedua citra dengan data
pengukuran di lapangan menunjukan perubahan distribusi sedimentasi. Pada
citra tahun 1996 dimana secara umum penebaran sediment lebih tinggi dari
tahun 2002. Sedangkan hasil pengukuran data lapangan juga lebih rendah dari
citra tahun 2002. Hal ini memperkuat alasan bahwa sebaran sedimen terlarut
semakin berkurang dari tahun ke tahun. Hal ini juga dapat trlihat pada analisa
perubahan garis pantai yang terjadi pada Pantai Losari. Oleh karena TSM
adalah gambaran besarnya sebaran sedimen dalam perairan maka dapat
diperkiran terjadinya erosi pada pantai tersebut.
Gambar 4.59 Sebaran sedimen terlarut dan klasifikasi sedimen pada citra
landsat-7 ETM 2002.
- 128 -
4.5.3 Analisa Perubahan Garis Pantai (Beach Line Changes)
Analisa
perubahan
garis
pantai
dilakukan
dengan
melakukan
pendigitasian (digityzing) pada citra (tahun 1996 dan 2002) yang telah dikrop
(cropping) dan koreksi koordinat (geocoding wizard GCP). Hasil overlay dan
digitasi kedua citra landsat-7 ETM dapat pada gambar berikut ini: .
Gambar 4.60 Perubahan garis pantai (erosi) hasil overlay Citra Landsat-7
ETM (1996 dan 2002).
Bardasarkan gambar tersebut diatas maka dapat dipastikan bahwa telah
terjadi erosi pada bagian luar Delta Jeneberang dan ”pendangkalan” pada
bagian dalam delta seperti pada gambar 4.59 di bawah ini.
- 129 -
Gambar 4. 61 Perubahan garis pantai (sedimentasi) hasil overlay Citra
Landsat-7 ETM (1996 dan 2002).
Hasil pengamatan langsung yang dilakukan di lapangan juga terlihat
bahwa terjadi erosi di sepanjang pantai losari dan ujung delta cenderung
bergerak ke arah pantai. Hal ini disebabkan
karena arah angin yang
membangkitkan gelombang di Pantai Losari sepanjang tahun lebih besar dari
arah barat laut (Gambar 4.2) sehingga tekanan gelombang terhadap pantai
dominan dari selatan ke utara. Beberapa perubahan tutupan area yang nampak
seperti sedimen justru merupakan perubahan fungsi lahan dari tambak rakyat
ke perumahan, perkantoran dan pedagangan (land use changes).
- 130 -
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil-hasil pengamatan, pengukuran dan analisa yang telah
dibahas pada bab sebelumnya maka penelitian ini disimpulkan sebagai berikut:
1. Arus hasil pemodelan SMS paling kuat pada Closed condition terjadi di
stasiun LS-1 0.0003 - 0.058 m/s dan LS-2 .00002 – 0.054 m/s. Kecepatan arus
pada stasiun LS-4 0 – 0.028 m/s dan LS-6 0.0002 – 0.025 m/s dan kecepatan
stasiun LS-3 0 – 0.015 m/s , LS-5 0.0002 – 0.019 dan LS-7 0.0004 – 0.012
m/s. Kecepatan arus Opened condition masing-masing LS-1 0.001 – 0.065
m/s, LS-2 0.0001 – 0.057 m/s, LS-3 0.0003 – 0.015 m/s, LS-4 0.0002 – 0.033
m/s, LS-5 0.0002 – 0.013 m/s, LS-6 0.0002 - 0.009 m/s dan LS-7 0.0003 0.008 m/s.
2. Konsentrasi sedimen pada tiap stasiun meningkat dengan fluktuasi yang
berbeda-beda sesuai dengan kondisi pasang surut. Konsentrasi sedimen
Closed condition pada stasiun LS-1 0.001 – 0.015 kg/m3, LS-2 0.001 – 0.008
kg/m3, LS-3 0.001 – 0.0013 kg/m3, LS-4 0.001 – 0.0014 kg/m3, LS-5 0.001 –
0.0006 kg/m3, LS-6 0.001 – 0.0003 kg/m3 dan LS-7 0.001 – 0.0007 kg/m3.
Untuk Opened condition konsentrasi sedimen masing-masing adalah: LS-1
0.001 – 0.005 kg/m3, LS-2 0.001 – 0.0016 kg/m3, LS-3 0.001 – 0.0013 kg/m3,
LS-4 0.001 – 0.0016 kg/m3, LS-5 0.001 – 0.0014 kg/m3, LS-6 0.001-0.0009
kg/m3 dan LS-7 0.001 – 0.0009 kg/m3.
3. Pendangkalan yang terjadi pada Closed condition selama 72 jam pada masingmasing stasiun, LS-1 0.000086 m, LS-2 0.00005 m, LS-3 0.00002 m, LS-4
131
0.00002 m, LS-5 0.00001 m, LS-6 0.000007 m dan LS-7 0.000012 m. Seabed
changes Opened condition masing-masing adalah LS-1 0.00012 m, LS-2 0.000076 m, LS-3 0.000024 m , LS-4 0.0001 m, LS-5 0.00013 m, LS-6
0.000015 m dan LS-7 0.000013 m.
4. Hasil pemodelan SMS didapatkan total sedimen yang sangat kecil (Open
condition =0,210 m/th dan 0,116 m/th pada Close condition) dan terjadi abrasi
pada LS5=0,336 m/th (Open condition). Hal ini disebabkan dari debit muara
kanal Patompo dan terjadi pendangkalan saat kondisi elevasi muka air menuju
surut sedangkan arus yang sejajar pantai sepanjang delta menyebabkan erosi
di sepanjang delta dan material erosi teredapkan di ujung delta kondisi ini
terjadi saat elevasi muka air menuju pasang.
5. Berdasarkan uji laboratorium data sampel didapatkan sedimen terlarut (TSM)
pada kisaran
antara 3,65 -17 mg/l yaitu LS1=14 mg/l; LS2=17 mg/l;
LS3=3,65; LS4=11,42 mg/l; LS5=9,12 mg/l; LS6=5,54 mg/l dan LS7=6,32
mg/l.
6. Hasil klasifkasi citra landsat tahun 1996 menunjukkan sebaran konsentrasi
sedimen terlarut hasil klasifikasi umumnya lebih tinggi (Class 1= 102.96 ha;
class 2=106.65 ha; class 3=120.60 ha; class 4=765.00 ha; class 5= 1181.88 ha;
class 6=1669.23 ha dan class 7= 2000.88 ha) dari citra tahun 2002 (Class 1=
50.76 ha; class 2 =152.82 ha; class 3 = 545.49 ha; class 4 = 1079.55 ha; class
5=1138.05 ha; calss 6=1416.87 ha dan class 7= 1487.43 ha). Hal ini
menunjukan bahwa sedimen terlarut di pantai Losari semakin berkurang dari
tahun ke tahun bahkan sudah terjadi abrasi pada beberapa bagian pantai.
132
7. Berdasarkan hasil pemodelan sediment pada SMS menggambarkan bahwa
terdapat kesesuaian arah penyebaran sedimen terdapat hasil pada overlay citra
Landsat 7-ETM tahun 1996 dan 2002.
8. Terjadinya erosi sepanjang Pantai Losari Makassar disebabkan karena tidak
adanya suplai sedimen dari Sungai Jeneberang sebagai sumber utama sedimen
pada pembentukan spit Tanjung Bunga dan Delta Geneberang.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil-hasil yang telah dicapai maka disarankan sebagai
berikut:
1. Pada penelitian ini digunakan SMS modul RMA2 dan SED2D dengan
memodelkan sedimentasi yang terjadi adalah akibat dari suspended
sedimen.
Sehingga
disarankan
untuk
kajian
sedimentasi
dengan
menggunakan FESWMS atau program aplikasi lain yang mampu
memodelkan sedeimen disebabkan karena adanya gelombang pecah dan
longshore current misalnya Mike21 untuk littoral drift.
2. Adanya studi yang berkesinambungan mengenai keseimbangan pantai
terutama proses sedimentasi maupun erosi di pantai Losari-Makassar
karena dari hasil analisis data didapatkan erosi di satu sisi dan sedimentasi
(”penimbunan lahan dalam dalam rangka perubahan tata guna lahan”) di
sisi lain.
3. Perlu adanya bangunan pantai yang tepat guna menanggulangi erosi yang
terjadi di sepanjang pantai Losari.
133
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, H.Z. 1999. Penentuan Posisi dengan GPS dan Aplikasinya. Pradya
Paramita. Jakarta.
Anonim, 1998. Coastal Enginering Manual Part III. Department of Army.
Washington DC. US Army Corps and Enginers. United Steted.
Anonim, 2001. Digitasi Batas-batas Otonomi Daerah Bidang Kerjasama
Kelautan dan Perikanan. PT. NINCEC Enginering Consultan.
Bandung.
Anonim, 2003. Studi Perilaku Pantai Jeneberang.
Laporan. Universitas
Hasanuddin-Gowa Makassar Tourism Development tbk. UNHAS.
Betingger, P and Wing, M., 2004. Geographic Information Systems. Application
in Forestry and Natural Resources Management. McGraw-Hill
Companies, Inc. 1221 Avenue of the Americas, NY.
Corbau, C.; Ciavola, P; Gonzalez, R and Ferreira; 2001. Measurements of CrossShore Sand fluxes on a Macrotidal Pocket Beach (Saint-Georges
Beach, Atlantic Coast, SW France). Journal. Dipartimento di Scienze
della Terra, Università degli Studi di Ferrara, C.so Ercole I d’Este 32,
44100 Ferrara, Italia.
Dong, P and Chen, H., 1998. A Probabilistic Model for shoreline Erosion
predictions. Department of Civil Engineering, The University, Dundee
DD1 4HN, UK.
Hedle, J. D and Mumby, P. J., 2003. A remote sensing method for resolving depth
and subpixel composition of aquatic benthos. Tropical Coastal
Management Studies, Department of Marine Sciences & Coastal
Management, Ridley Building, The University, Newcastle upon Tyne,
NE1 7RU, Great Britain.
Indarjani, 2003. Infaunal communities in south Australian temperate Mangrove
system. Environmental Science Adelaide University. Thesis.
Joep E.A. Storms, J. E. A, Hoogendoorn, R. M, Dam, R. A. C, Hoitink, A.J.F and
S.B. Kroonenberg, 2005. Late-Holocene evolution of the Mahakam
delta, East Kalimantan, Indonesia. Delft University of Technology,
Faculty of Civil Engineering and Geosciences, Department of
Geotechnology, Section of Applied Geology, Mijnbouwstraat 120,
2628 RX, Delft, The Netherlands.
134
Jones, C. B., 1997. Geographical Information Systems and Computer
Cartography. Pearson Education Limited. Edinburgh Gate, Harlow
Essex CM20 2JE. England.
Joseph V. Letter, Jr. , L. C. Roig, B. P. Donnell, W. A. Thomas, W. H. McAnally,
and S. A. Adamec, Jr., 1998. A Generalized Computer Program For
Two-Dimensional, Vertically Averaged Sediment Transport. A User's
Manual For, Sed2d-Wes. Brigham Young University – Environmental
Modelling Research Laboratory.
Kamphuis, J. William, 1996. Introduction To Coastal Engineering and
Management. Queen’s University, World Scientific, Canada.
King, Ian., 1997. Users Guide To RMA2 WES Version 4.3. US Army Corps of
Engineers Waterways Experiment Station Hydraulics Laboratory,
WexTech Systems, Inc., New York.
Komar, D. Paul, 1998. Beach Processes and Sedimentation. Prentice Hall, New
Jersey.
Koster, M. J., and Graff, V.J., 1990. “Dune and Beach Erosion and
Nourishment”, Proceeding of The Short Course of Coastal Protection”,
Delft University of Technology, Rotterdam.
Kuchler, A.D., D.L.B. Jupp, R. Claasen, W. Bour, 1986. Coral Reef Remote
Sensing Applications. Regional Seminar on The Application of remote
Sensing Techniques to Coastal Zone Management and Environmental
Monitoring, Dhaka. Bangladesh.
Letter, J.V.; Roig, L.C.; Donnell, B.P., Thomas, W.A.; McAnally, W.H. and
Adamec, S. A., 1998. A user's manual for, SED2D-WES, a generalized
computer program for two-dimensional, vertically averaged sediment
transport. The US Army Engineer Waterways Experiment Station
(WES) under the Army Corps of Engineers Rehabilitation, Evaluation,
and Maintenance Research Program. New York.
Lillesand; Thomas, M.; Kiefer and Ralp, W., 1994. Remote Sensing and Image
Interpretation. John Wiley & Son, Inc. New York
Lyzenga, D. R., 1981. Remote Sensing Of Bottom Reflectance And Water
Attenuation Parameters. International Journal of Remote Sensing Vol
2, 2, 71-82.
Pernetta, J dan Elder, D., 1993. Cross-sectoral, Integrated Coastal Area Planning
(CICAP) : Guidelines and Principles for Coastal Area Development.
IUCN Marine and Coastal Areas Programme, Rue Mauverney 28,
1196. Switzerland.
135
Post , J. C and Lundin, C. G., 1996. Guidelines for Integrated Coastal Zone
Management. Environmetally Sustainable Development. Studies and
Monographs Series No. 9 The World Bank Washington DC.
Pratikto, W.A,. dkk (1999). Struktur Pelindung Pantai. Due_Like. ITS
Purwadhi, H., 2001. Interpretasi Citra Dijital. Pradya Paramita, Jakarta.
Schluter M., Sauter E. J., Schafer A., and Ritzrau W., 2000. Spatial budget of
organic carbon flux to the seafloor of the northern North Atlantic
(60°N - 80°N). Global Biogeochemical Cycles 14(1), 329-340.
Short, 1990. Landsat Tutorial Handbook. Third edition. NASA-USA.
Syarif, B., 2004. Mapping TSM Concentrations from Multisensor Satellite Iamges
in Turbid Tropical Coastal Waters of Mahakam Delta Indonesia. MSc
Thesis. ITC. Enschede, The Netherlands.
Triatmadja, R., 2001. “Pengamanan dan Perlindungan Pantai”, PSIT,
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset, Jogjakarta.
US Army. Waterways Experiment Station. Coastal and Hydraulics Laboratory
Environmental Modelling Research Laboratory, “SMS Tutorial
Version 8.0”,
136
Download