BAGIAN 2-2 Sistem Sisipan Sisipan: Pengetahuan Lokal dalam Wanatani Karet Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati, Susilawati dan Elok Mulyoutami 84 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi PENDAHULUAN Pengetahuan berasal dari pemahaman dan interpretasi hasil pengamatan, pengalaman, dan pendidikan formal maupun informal seseorang. Pengetahuan bukanlah suatu kebenaran mutlak karena dapat berkembang sesuai dengan perkembangan pengamatan, pengalaman atau pengenalan inovasi baru. Meski tidak secara tegas, namun sebagian orang melihat sistem pengetahuan ini sebagai dua kelompok yang berbeda baik sifat, bidang, proses pembentukan, manfaat dan penyebarannya (Walker, 1994). Sistem pengetahuan yang pertama adalah sistem pengetahuan lokal, yang melekat sangat erat pada nilai-nilai budaya dan spiritual. Kedua, pengetahuan sains, yang umumnya terbentuk dari interpretasi data yang terhimpun secara metodologis. Meski hampir di setiap daerah terdapat pengetahuan yang sama mengenai sesuatu, namun pengetahuan lokal lebih diwarnai kekhasan dari domain pembentuk pengetahuan tersebut. Sementara itu pengetahuan sains bersifat lebih general karena merupakan kajian kumulatif dari beberapa domain. Pengetahuan ekologi lokal merupakan pengetahuan suatu komunitas lokal mengenai suatu ekosistem dan hubungan timbal balik antar komponen dalam ekosistem tersebut. Ekosistem itu terwujud dalam lingkungan di sekitar mereka, baik itu lingkungan pertanian, kehutanan, kelautan atau yang berkaitan dengan sumberdaya alam lainnya. Pengetahuan ekologi lokal dapat berkontribusi dalam pengembangan inovasi teknologi (Mulyoutami et al., 2004; Joshi et al., 2005), upaya konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem, perlindungan spesies dan area, serta untuk pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan (Berkes et al., 2000). Istilah lokal dalam terminologi ini digunakan untuk menunjukkan pengetahuan masyarakat dalam konteks lokal yang bersifat dinamis dan terbentuk secara evolutif. Dalam proses pembentukan pengetahuan seringkali nilai-nilai non tradisional ikut membentuk. Sebaliknya, dalam proses pembentukan pengetahuan terkadang nilai-nilai tradisional atau indigenous yang biasanya diturunkan dari generasi ke generasi ada yang tidak terbawa (Joshi et al., 2003; Joshi et al., 2004). Sistem wanatani karet adalah suatu sistem vegetasi multistrata kompleks yang banyak ditemukan di Indonesia (Gouyon et al., 2000). Sistem pengelolaan sumberdaya alam ini, yang selain memiliki nilai produksi juga memiliki nilai konservasi, cukup mendapat perhatian dari para ahli. Nilai konservasi lingkungan terwujud dalam keragaman hayati yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan kebun karet monokultur meskipun belum setinggi hutan alami (Williams et al., 2001a; Joshi et al., 2003). BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati Susilawati, Elok Mulyoutami 85 Ada dua metode peremajaan dalam sistem wanatani karet tradisional di Jambi, yaitu sistem tebas bakar dan sistem sisipan (Wibawa et al., 2005). Metode yang pertama adalah menggunakan sistem rotasi pendek: Pohon karet ditanam setiap 30-40 tahun setelah terlebih dahulu dilakukan aktivitas tebas dan bakar. Pada sistem permanen, penanaman anakan pohon karet baru dilakukan di antara celah pohon karet yang telah lebih dulu ada. Sistem ini lebih dikenal dengan sistem sisipan. Secara teoritis pada sistem sisipan ini umur kebun tidak terbatas karena umur pohon karet berbeda-beda. Sebagai suatu alternatif dalam pola pengelolaan wanatani karet, sistem sisipan memiliki beberapa keunggulan. Sistem ini memiliki peran dalam konservasi lingkungan, terutama dalam aspek keragaman hayati. Dari segi ekonomi, sistem sisipan adalah suatu strategi untuk menjaga kelangsungan pendapatan petani yang hidupnya sangat bergantung dari hasil karet (Wibawa et al., 2005). Selain itu, petani dapat melakukan peremajaan wanatani karet tanpa memerlukan biaya yang tinggi sebagaimana dalam sistem tebas bakar (Joshi et al., 2001). Praktek peremajaan karet melalui penumbuhan anakan karet pada celah pohon karet yang sudah ada menyimpan banyak potensi. Namun demikian, perhatian dan pemahaman para peneliti dan pakar sains mengenai sistem sisipan ini masih kurang. Petani, berdasarkan pengamatan dan percobaan mereka, telah mempelajari banyak mengenai sisipan dan faktor-faktor yang mempengaruhi sistem ini. Dalam hal ini, petani yang memiliki pengalaman menerapkan sistem sisipan diharapkan dapat membantu memberikan pemahaman mengenai sistem ini sebagai suatu kesatuan dalam pemahaman mengenai ekologi hutan karet secara umum. Pengenalan mengenai sistem sisipan ini bermanfaat dalam upaya peningkatan produksi dan pelestarian lingkungan. PENGETAHUAN EKOLOGI LOKAL MENGENAI SISTEM SISIPAN Pengetahuan petani mengenai sistem sisipan meliputi berbagai komponen penting yang tercakup di dalamnya, serta pemahaman hubungan interaksi antara komponen tersebut. Hal ini nampak dalam berbagai uraian petani yang menyajikan keterkaitan antara faktor cahaya, vegetasi bawah dengan pertumbuhan karet. Selain itu, beberapa klasifikasi lokal diungkapkan oleh petani berdasarkan pengamatan fisik dan pengalaman mereka. 86 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi Kotak 1. Metodologi penggalian pengetahuan ekologi lokal Pada studi ini, sejumlah desa yang diketahui memiliki banyak petani yang mempraktekkan sisipan dipilih, yaitu desa Rantau Pandan, Muara Buat, Sepunggur, Lubuk dan Muara Kuamang. Studi ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem berbasis pengetahuan (SBP) yang telah dikembangkan dan diimplementasikan dalam beragam ekosistem untuk menggali pengetahuan ekologi lokal (Sinclair dan Walker, 1998). Dalam pendekatan ini dilakukan diskusi secara mendalam untuk topik tertentu dengan informan yang dianggap paling berpengetahuan (knowledgeable) dalam suatu komunitas tertentu. Informan kunci dipilih secara purposif berdasarkan rekomendasi dari orang-orang yang ditemui. Proses diskusi dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan terbuka yang memungkinkan informan untuk menjelaskan apa yang diketahuinya secara terbuka dan direkam menggunakan alat perekam. Pernyataan pengetahuan disarikan dari rekaman tersebut dan kemudian diuraikan menjadi unit pengetahuan terkecil, untuk kemudian disajikan dengan menggunakan perangkat lunak buatan yaitu Agroecological Knowledge Toolkit atau AKT dalam bentuk basis pengetahuan (Dixon et al., 2001; Sunaryo dan Joshi, 2003). Uji keterwakilan atau pemerataan sebaran basis pengetahuan dilakukan pada seperangkat contoh pernyataan yang diambil dari basis pengetahuan secara acak. Sampel meliputi petani yang mempraktekkan dan tidak mempraktekkan sisipan untuk membandingkan sebaran pengetahuan di antara kedua kelompok tersebut. Dalam sistem sisipan, jenis bibit yang dapat disisipkan umumnya adalah anakan karet liar (bibit lokal). Para petani mengetahui bahwa jenis karet unggul atau klon tidak dapat ditanam dalam sistem sisipan. Jenis bibit ini umumnya hanya dapat tumbuh dengan baik dengan perlakuan yang intensif dan penggunaan input yang tinggi. Hal ini didukung dengan beberapa uji coba yang menunjukkan bahwa karet klon yang ditanam dalam sistem wanatani karet hampir tidak dapat tumbuh. Besar kemungkinan hal ini disebabkan karena lingkungan yang tidak kondusif dimana cahaya berkurang dan tingginya kompetisi dalam sistem ini (Gregoire Vincent, komunikasi pribadi). Bibit yang digunakan dalam sistem sisipan dapat berupa bibit cabutan atau bibit yang ditanam di dalam polibek. Petani menyatakan bahwa penggunaan bibit cabutan lebih rentan jika dibandingkan dengan bibit yang sudah ditanam dalam polibek. Pencabutan bibit yang kurang hati-hati seringkali mengakibatkan sistem perakaran bibit cabutan tersebut ikut terpotong dan hal ini dapat menimbulkan stres. Intensitas stress anakan karet cabutan tergantung pada keutuhan akar dan BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati Susilawati, Elok Mulyoutami 87 ukuran anakan tersebut. Semakin besar ukuran lilit batang anakan, makin tinggi stress yang dialami dan peluang hidupnya menjadi semakin kecil. Celah adalah konsep yang dipahami oleh petani sebagai ruang yang cukup untuk pertumbuhan anakan pohon karet dalam teknik sisipan. Celah dapat terbentuk karena kematian pohon karet secara alami atau dengan sengaja membunuh pohon karet atau vegetasi lain di dalam wanatani karet. Pembuatan celah dengan sengaja dilakukan petani dengan mematikan pohon yang tidak diinginkan atau tidak produktif. Upaya mematikan ini dilakukan dengan cara pengelupasan kulit kayu secara melingkar. Dalam teknik sisipan, anakan karet baru ditanam dengan sengaja di antara celah tersebut. Petani juga dapat menanam anakan karet baru pada lokasi yang berdekatan dengan pohon karet tua yang sakit, yang tidak lagi produktif atau yang hasil lateksnya sedikit. Anakan karet ini dimaksudkan untuk menggantikan pohon yang sudah tidak produktif tersebut. Sisipan secara alami dapat terjadi bilamana anakan karet liar dibiarkan tumbuh begitu saja di antara celah tersebut. Petani sisipan menyatakan bahwa celah dalam sistem wanatani perlu dikelola dengan penuh seksama. Besar kecilnya celah berhubungan dekat dengan tingkat pencahayaan ke dalam kebun. Jika celah terlalu besar, sinar matahari dapat meningkatkan pertumbuhan gulma di samping juga dapat menjadi ruang bagi gulma untuk tumbuh. Namun jika terlalu sempit, pertumbuhan anakan karet menjadi lambat dan percabangannya sedikit karena kurang mendapatkan cahaya matahari dan tingkat kompetisi yang tinggi dengan tanaman yang telah ada sebelumnya. Selain lebar celah, lokasi celah adalah faktor penting yang juga diperhatikan oleh petani. Tingkat tajuk pepohonan di sekitar lokasi celah perlu diperhatikan guna memperkirakan sinar matahari yang masuk. Di samping itu kondisi tanah dimana celah tersebut berada perlu diperhatikan terutama berkaitan dengan kelembaban dan kandungan unsur haranya untuk mendapatkan pertumbuhan karet yang bagus. Perkecambahan biji karet, baik yang beregenerasi alami maupun ditanam ulang oleh petani di dalam celah kebun karet, dapat berlangsung dengan baik bilamana cukup mendapatkan cahaya matahari (Gambar 13). Kecukupan cahaya matahari yang masuk ke dalam kebun ditentukan oleh kerapatan tajuk, ketinggian pohon, dan bentuk tajuk. Pada awal karet mulai ditanam, kebutuhan cahaya masih cukup rendah, sehingga adanya naungan dari tajuk pohon yang telah ada dapat memberikan manfaat bagi tanaman karet muda. Walau demikian pembukaan 88 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi tajuk kanopi secara bertahap diperlukan sejalan dengan pertumbuhan anakan tersebut. Semakin besar karet, semakin besar pula kebutuhan cahayanya. Tinggi pohon Kerapatan tajuk Banyaknya infiltrasi cahaya Bukaan kanopi Ketersediaan cahaya Laju pertumbuhan gulma Produktifitas karet Laju pertumbuhan pohon karet Jumlah cabang Bentuk anakan karet Ketahanan hidup Anakan karet Laju pertumbuhan anakan karet Gambar 13. Pengetahuan lokal mengenai tajuk dan cahaya serta implikasinya pada sistem sisipan (tanda panah menunjukkan hubungan mempengaruhi dari kotak asal ke kotak target) Konsep penutupan gulma dan kompetisi karet dengan tumbuhan di sekitarnya untuk mendapatkan unsur hara dan air (kelembaban) dalam tanah dipahami dengan baik oleh petani. Para petani menyatakan bahwa kerapatan dan ketinggian tanaman bawah di sekitar tanaman karet dapat mempengaruhi kemampuan tanaman bawah atau gulma untuk mendominasi tanaman lain. Hal ini menyebabkan pada lokasi di mana tumbuhan bawah sangat rapat, teknik sisipan tidak dapat diterapkan. Karena itu, penyiangan ringan di sekitar anakan karet secara reguler diperlukan untuk mengurangi tingkat kompetisi tersebut. BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati Susilawati, Elok Mulyoutami 89 Dengan berkurangnya kompetisi, maka anakan karet mendapatkan unsur hara dan kelembaban yang cukup sehingga dapat mempercepat pertumbuhannya. Petani mencoba membandingkan dengan anakan karet baru yang ditanam pada plot sisipan dan pada plot tebas bakar. Di area plot tebas bakar tidak terdapat naungan maupun tumbuhan bawah. Karena itu tingkat kompetisi anakan karet dengan tanaman lain untuk mendapatkan unsur hara dalam tanah cukup rendah. Selain itu cahaya yang masuk ke dalam wanatani karet sangat mencukupi tanpa adanya naungan. Selain itu, pembakaran vegetasi pada areal tebas bakar dapat meningkatkan kesuburan tanah. Hal ini sangat menguntungkan bagi anakan karet yang ditanam pada areal tebas bakar. Meskipun demikian, petani menyatakan dengan pengelolaan yang dilakukan dengan seksama dan pertimbangan yang tepat akan kecukupan sinar matahari dan kompetisi tanaman karet, maka teknik sisipan tetap merupakan alternatif yang layak dilakukan dalam wanatani karet. Tebas dan bakar Intensitas penggalian oleh babi Penyiangan Penutupan lahan oleh gulma Kenampakan anakan karet Ketahanan hidup anakan karet Laju pertumbuhan anakan karet Kemudahan menjangkau pohon karet Kelemababan tanah Kesuburan tanah Laju pertumbuhan pohon Kompetisi gulma Ketersediaan cahaya Laju pertumbuhan gulma Gambar 14. Pengetahuan lokal mengenai gulma atau tumbuhan bawah dan pertumbuhan anakan karet dalam sistem sisipan 90 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi Pada sistem sisipan, petani juga dapat melakukan okulasi jika tidak ada proses regenerasi alami yang terjadi pada saat diperlukan, atau dengan tujuan untuk mendapatkan sifat yang lebih unggul (misalnya diokulasi dengan bahan tanam dari jenis klon). Jenis karet unggul (klon) tidak dapat ditanam dalam sistem sisipan. Sebagaimana telah diketahui oleh para petani, jenis karet unggul hanya dapat tumbuh dalam sistem yang intensif dengan input dan pengelolaan yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan uji coba yang dilakukan di Jambi: Karet klon yang ditanam di dalam hutan karet campur hampir tidak dapat tumbuh. SISTEM SISIPAN SEBAGAI BAGIAN DARI SISTEM WANATANI KARET Pemahaman petani mengenai sistem sisipan berkaitan erat dengan pengetahuan petani dalam konteks sistem wanatani secara keseluruhan. Sebagaimana telah dikemukakan, sistem adalah suatu metode yang dikembangkan oleh petani untuk melanggengkan produktivitas sistem wanatani karet. Karena itu, pemahaman sistem sisipan akan lebih kaya bila ditempatkan dalam konteks sistem wanatani. Beberapa uraian berikut menggambarkan rincian pengetahuan petani mengenai pengklasifikasian lokal komponen-komponen yang terdapat dalam sistem wanatani dan beberapa aspek yang berpengaruh baik positif maupun negatif terhadap sistem wanatani karet secara keseluruhan. Klasifikasi lokal Jenis Tanah Petani membedakan dua jenis tanah yang terdapat di dalam hutan karet tradisional menjadi tanah panas dan tanah dingin. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan pengamatan petani dalam melihat seberapa cepat tanah memanas di bawah terik matahari serta beberapa penjelasan lainnya yang disajikan dalam Tabel 9. Konsep tanah dingin disini mengacu pada konsep tanah hitam dengan kandungan unsur hara yang tinggi sehingga memiliki kesuburan yang tinggi. Sedangkan tanah panas merujuk pada tanah yang unsur haranya kurang dan cepat bereaksi terhadap sinar matahari. Tanah panas umumnya berwarna lebih pucat dari tanah dingin. BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati Susilawati, Elok Mulyoutami 91 Tabel 9. Pengetahuan petani mengenai jenis tanah di dalam wanatani karet Atribut (perbandingan) Tanah dingin Tanah panas Kecepatan memanas karena pengaruh Lambat sinar matahari Cepat Kandungan pasir Rendah Tinggi Ukuran pasir (partikel) Kecil Besar Kandungan hara Tinggi Rendah Warna Gelap Terang Porositas Rendah Tinggi Kemampuan menahan air Tinggi Rendah Kesuburan Tinggi Rendah Lokasi (umumnya) Hutan dan kaki bukit Lereng bukit Kemampuan erosi (karena air hujan) Rendah Tinggi Variasi Jenis Karet Alam Di Indonesia, tidak banyak informasi dari para ahli mengenai variasi jenis pohon karet untuk spesies Hevea brasiliensis dalam sistem wanatani karet. Namun demikian, petani melihat ada dua jenis pohon karet alam yang jika dilihat dari morfologi daun, kulit dan produktivitas lateksnya cukup berbeda satu sama lain (Tabel 10). Pembedaan kedua jenis pohon ini cukup dipahami secara konsisten oleh sebagian petani, meski beberapa petani lain juga menyebutkan adanya jenis lain selain kedua jenis tersebut. Tabel 10.Variasi jenis karet alam dalam sistem wanatani karet di Jambi Atribut (perbandingan) Karet merah Karet kuning Bentuk daun Melingkar Menyempit Ukuran daun Kecil Besar Warna daun Hijau gelap Hijau terang Ketebalan kulit Tebal Tipis Warna kulit Gelap Terang Ukuran biji Kecil Besar Percabangan Banyak Sedikit Laju pertumbuhan Cepat Lambat Kepekatan latex (ketebalan) Tebal Mengandung air 92 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi Meski variasi dalam spesies karet cukup dikenal oleh petani, namun tidak ada upaya nyata dari para petani untuk melakukan seleksi dalam memilih jenis karet mana yang lebih baik. Petani menyatakan bahwa pada tahap pencarian bibit, cukup sulit membedakan manakah bibit yang merupakan jenis karet merah atau jenis karet kuning. Lagipula, perbedaan produksi lateks dari kedua jenis ini tidak terlalu signifikan terutama bilamana dibandingkan dengan kesulitan melakukan penyeleksian bibit karet. Jenis-jenis Pohon Non-karet dalam Wanatani Karet Pengetahuan petani mengenai jenis-jenis pohon non-karet yang biasa tumbuh dalam wanatani karet dikumpulkan dan dikaji. Hal ini bertujuan bukan hanya untuk mengetahui keragaman hayati secara komprehensif saja, melainkan juga ingin melihat kedalaman pengetahuan petani mengenai jenis-jenis non-karet yang biasa ditemui di dalam sistem wanatani karet. Ada sekitar 30 jenis pohon yang termasuk pohon kayu-kayuan dan pohon buah-buahan disebutkan oleh petani. Beberapa spesies yang tumbuh cepat setelah tebas bakar dan spesies lain yang membutuhkan waktu lebih lama untuk beregenerasi, dan jenis-jenis yang melakukan regenerasi melalui trubusan setelah dilakukan pemangkasan bawah (coppicing) dapat diidentifikasi dan dijelaskan oleh petani. Beberapa jenis pohon non-karet dan karakteristiknya disajikan dalam Tabel 11. Hutan wanatani karet memiliki keragaman jenis yang tinggi yang meliputi lebih dari 200 jenis tumbuhan dari berbagai jenis plot. Hampir semua jenis ini hanya memiliki sifat toleransi terhadap pertumbuhan karet bukan mendukung pertumbuhan karet. Beberapa spesies yang dapat mengancam pertumbuhan karet dan produksi karet harus dihilangkan dari kebun. Jenis seperti mahang (Macaranga triloba), menarung (Trema tomentosa) dan medang (Sterculia rubiginosa) yang dapat tumbuh cepat setelah tebas bakar juga perlu dihilangkan karena dikenal sangat agresif dan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan karet, lagipula jenis ini tidak memiliki nilai ekonomi. Jenis tanaman berkayu seperti kelat (Syzygium polyanthum) dan tanaman buah seperti durian (Durio zibethinus) yang memiliki nilai ekonomi tinggi tetap dipertahankan meski sebetulnya mereka memiliki pengaruh negatif terhadap pertumbuhan karet. Namun demikian, umumnya pohon buah-buahan baik yang berpengaruh negatif maupun tidak terhadap pohon karet umumnya tetap dipertahankan asalkan memiliki nilai ekonomis. Tajuk renggang, pohon pendek Buah bermanfaat, mudah terbakar Angin Durio zibethinus Parkia speciosa Garcinia mangostana Artocarpus integer Artocarpus heterophyllus Durian Petay Manggis Cempeda Nangka 2 minggu Macaranga conifera Balik angin Tupai Lambat Cepat Mungkin Mungkin Buah bermanfaat Tajuk renggang dengan daung kecil yang dapat dengan cepat berdekomposisi dan memiliki tingkat kesuburan tinggi, sangat kompetitif, dan buahnya bernilai guna tinggi Pohon tinggi dengan tajuk tebal, umur panjang – 50 tahun, akar rapat dan kemampuan kompetisi tinggi, buah bernilai guna tinggi Kayu baru, akar dangkal, kemampuan kompetisi rendah, tidak berbahaya untuk karet, umur pendek – sekitar 15 tahun Memiliki kompetisi yang tinggi terhadap karet dan tanaman lain Susilawati, Elok Mulyoutami Toleran Toleran Toleran Tidak Ya Kayu ringan Kayu lunak Angin Ya Syzygium polyanthum Toleran Kelat Cepat 1-3 tahun Burung 1-3 tahun Atribut lain Ganua spp (Palaquium or Payena spp) Kemampuan tumbuh kembali setelah pemangkasan (coppicing) Alstonia spp Toleransi terhadap naungan Balam Kecepatan tumbuh Pulai Agen penebar benih atau biji Waktu tumbuh setelah tebas bakar Nama latin Nama lokal Tabel 11. Jenis pohon yang umum terdapat dalam sistem wanatani karet (hutan karet) (dikutip dari basis pengetahuan) BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati 93 Lambat Cepat 1-3 tahun 2 minggu 2 minggu 1-3 tahun 1 tahun Sangat cepat Ochanostachys amentacea Fagraea fragrans Macaranga gigantea Macaranga triloba Sterculia rubiginosa Shorea parvifolia Trema tomentosa Petaling/ Tenggris Tembesu Sekubung Mahang Medang Meranti Menarung/ Angrung Angin Angin Angin Burung, angin Burung Burung, tupai Lambat Cepat Cepat Lambat Tidak Tidak Tidak Kurang Kurang 1-3 tahun Hydnocarpus woodii Kulim Lambat Toleran Burung, tupai Archindendron jiringa Jengkol Toleransi terhadap naungan Toleran Kecepatan tumbuh Nephenium lappaceum Agen penebar benih atau biji Rambutan Waktu tumbuh setelah tebas bakar Nama latin Nama lokal Ya Lemah Ya Ya Ya Ya Kemampuan tumbuh kembali setelah pemangkasan (coppicing) Kayu baru, berakar dangkal, kemampuan kompetisi lemah, nilai ekonomis rendah Nilai kayu tinggi, ukuran biji kecil – dapat tersebar jauh Tajuk renggang, kayu lunak, memperlambat pertumbuhan karet Kayu baru, umur pendek, memperlambat pertumbuhan karet, nilai ekonomis rendah Kayu baru, tajuk rapat, berumur pendek Mulai langka Tajuknya renggang, kayu keras, mudah terbakar Kayu keras, nilai kayu tinggi, semakin jarang, anakannya disukai oleh babi Buah bermanfaat Buah bermanfaat Atribut lain 94 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati Susilawati, Elok Mulyoutami 95 Hama di dalam Sistem Wanatani Karet Selain berbagai penyakit yang mungkin timbul pada pohon karet, ancaman lain yang perlu diperhatikan dalam budidaya karet adalah hama. Hama dari golongan mamalia yang banyak mengganggu tanaman karet adalah babi hutan, rusa, dan simpay. Hama babi hutan (Sus scrofa) adalah hama yang paling mengganggu dalam wanatani karet, termasuk yang menerapkan teknik sisipan (Williams et al., 2001b). Menurut petani, babi sering menginjak tanaman karet yang masih muda jika sedang mencari biji karet dan serangga yang banyak terdapat pada wanatani karet. Selain itu, babi juga menyukai getah manis yang dihasilkan dari akar anakan karet. Jika dulu babi hanya menyukai karet dari jenis anakan liar, sekarang babi juga mulai menyukai karet dari jenis klon atau unggul. Sedangkan rusa dan simpay, meskipun merupakan hama yang cukup berbahaya namun umumnya hanya menyerang wanatani karet yang lokasinya berdekatan dengan hutan. Dari beberapa jenis hama yang telah disebutkan, petani merasakan intensitas perusakan karet baru oleh babi lebih tinggi jika dibandingkan dengan hama mamalia lain. Di Jambi, karena mayoritas penduduknya muslim dan tidak mengkonsumsi babi, maka babi tidak banyak diburu oleh manusia. Namun sebaliknya, masyarakat di Jambi memburu rusa selain untuk memakan dagingnya juga untuk mendapatkan tanduknya. Karena itu rusa jarang ditemui di dekat area pemukiman manusia. Hal ini dapat menjadi konfirmasi mengapa wanatani karet yang letaknya dekat dengan areal pemukiman cenderung aman dari gangguan rusa. Menurut sebagian petani, populasi babi yang merusak wanatani karet meningkat berkaitan erat dengan menipisnya lapisan hutan alami. Dengan berkurangnya kerapatan hutan, populasi harimau sebagai predator babi juga semakin berkurang. Petani juga beranggapan bahwa perluasan perkebunan kelapa sawit monokultur menjadi penyebab meningkatnya serangan babi pada sistem wanatani karet. Dengan sistem wanatani, babi dapat dengan mudah bersembunyi di sela pepohonan dan semak jika dibandingkan pada sistem monokultur. Aktivitas penebangan dan suara chainsaw yang bergema di areal sekitar hutan membuat babi di dalam hutan tersebut takut dan pergi ke area wanatani karet yang terdekat untuk bersembunyi dan mencari makan. Untuk mengatasi masalah hama babi ini petani memiliki beberapa strategi. Salah satu upaya untuk mengurangi kerusakan anakan karet adalah dengan membuat pagar yang dapat menghalangi babi masuk ke area kebun. Pemagaran dapat dilakukan di sepanjang area kebun atau melalui pemagaran secara individu di 96 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi setiap anakan karet. Namun sejumlah petani menyatakan bahwa pemagaran di sekeliling area kebun memiliki efektivitas dan efisiensi yang lebih jika dibandingkan dengan pemagaran individu. Perburuan babi Populasi harimau Area hutan Peracunan babi Populasi babi hutan Intensitas penggalian oleh babi Kemudahan menjangkau pohon karet Kerusakan anakan karet oleh babi Penutupan lahan oleh gulma Laju pertumbuhan Pohon karet Penyiangan Tebas bakar Penutupan serasah Laju pertumbuhan anakan karet Ketersediaan cahaya Laju pertumbuhan gulma Gambar 15. Pengetahuan ekologi lokal mengenai gulma dan hama babi Petani memahami hubungan antara penyiangan kebun dengan intensitas pengrusakan anakan karet oleh babi hutan. Anakan karet pada plot yang disiangi secara bersih sangat mudah dilihat dan dijangkau sehingga akan mudah dirusak oleh babi hutan. Di lain pihak, vegetasi yang tumbuh di lantai kebun secara alami ini menjadi tempat yang bagus sebagai tempat babi bersembunyi dan membuat sarang. Karena itu, satu upaya lagi yang dilakukan guna mengurangi serangan babi adalah menyiangi sekeliling anakan karet tetapi membiarkan serasah gulma di lorong kebun. Hal ini dimaksudkan agar babi sulit menjangkau tanaman karet tersebut karena terhalang oleh serasah. Di samping itu, serasah gulma di sekeliling pohon karet dapat menjadi sumber hara dan pengatur kelembaban bagi tanaman. BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati Susilawati, Elok Mulyoutami 97 Upaya lain yang dilakukan petani untuk mengurangi kerusakan karet karena babi adalah dengan menggunakan anakan karet yang berukuran besar (diameternya lebih dari lima sentimeter). Batang anakan karet yang besar lebih tahan dari serangan babi namun sebaliknya cara ini memiliki beberapa kelemahan. Anakan karet berdiameter besar cenderung lebih rentan dan mudah stres jika dibandingkan dengan yang ukurannya lebih kecil. Kerusakan yang banyak dialami oleh anakan karet cabutan dengan diameter besar terutama pada saat pencabutan anakan atau bibit karet itu dari lokasi lama sebelum dipindahkan ke lokasi yang baru. Jika pencabutan tidak dilakukan dengan hati-hati anakan karet cabutan tersebut dapat mengalami stres dan kemampuan bertahan hidupnya menjadi kurang. PENUTUP Sistem wanatani karet merupakan suatu sistem yang diterapkan oleh petani dalam upaya memperpanjang siklus tradisional mulai dari tanaman karet yang ditumpangsarikan dengan palawija, sampai akhirnya kebun muda ini berkembang menjadi hutan karet kembali (Gouyon et al., 2000; Joshi et al., 2003). Sumber penghidupan yang utama bagi sebagian besar petani di Jambi adalah wanatani karet. Namun demikian, perkembangan sistem wanatani mengalami tantangan. Sekarang ini harga karet mengalami peningkatan sehingga karet sedang menjadi primadona. Kondisi ini membuat petani berlomba-lomba untuk membuka kebun karet dan lebih berorientasi pada produk lateksnya. Perkebunan monokultur dan penggunaan karet unggul lebih mendapatkan perhatian karena dapat memberikan keuntungan yang lebih cepat dan memiliki produktivitas yang lebih tinggi daripada hutan karet tradisional. Penggunaan bibit unggul dengan cara tanam monokultur yang intensif menjadi pilihan utama para petani terutama yang bermodal besar. Dari uraian tersebut, nampak jika motivasi ekonomi berpengaruh terhadap pengambilan keputusan strategis petani dalam menentukan tipe penggunaan lahan. Sistem sisipan sebagai suatu bagian dari sistem wanatani karet merupakan suatu metode untuk memperpanjang umur hutan karet tersebut agar dapat lebih lama berproduksi. Penerapan sistem sisipan dalam sistem wanatani karet terutama didorong adanya keterbatasan sumberdaya petani. Banyak petani yang hidupnya, terutama untuk pemenuhan kebutuhan uang tunai harian, bergantung pada produktivitas lateks. Sistem sisipan memungkinkan petani dapat terus menyadap kebunnya dalam kurun waktu yang lebih lama. Selain itu, tidak perlu ada modal yang besar untuk membuka lahan (Wibawa et al., 2005), karena penanaman karet muda dilakukan dalam kebun karet yang sudah lebih dulu ada. Kebutuhan 98 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi sumberdaya manusia dalam sistem sisipan rendah, pengelolaan kebun dilakukan secara ekstensif dan sederhana. Secara taktis, teknik sisipan dalam sistem wanatani karet memang dapat memenuhi kebutuhan petani yang memiliki sumberdaya terbatas. Lagi pula nilai keragaman sistem sisipan dalam wanatani karet cukup tinggi sehingga memungkinkan terjadinya diversifikasi produk yang tidak hanya lateks, melainkan juga buah-buahan dan kayu-kayuan. Dalam studi ini terlihat bahwa pengetahuan ekologi petani tentang pertumbuhan karet, produksi lateks, dan jenis-jenis vegetasi non-karet memiliki peran dalam penentuan keputusan petani mengenai bagaimana mereka mengelola sumberdaya mereka secara rutin. Pengetahuan dalam pengelolaan kebun dan pertumbuhan karet dalam konteks sisipan dan pengetahuan untuk mengurangi kompetisi dari beberapa spesies pohon agresif dimiliki dan dipahami secara baik oleh beberapa petani di Jambi. Pengetahuan ini sangat mempengaruhi sejumlah keputusan taktis petani dalam mengelola lahannya. Pengetahuan petani mengenai teknik sisipan menunjukkan eksistensi pengetahuan lokal dalam memberikan alternatif dalam pengelolaan sistem wanatani karet. Sistem sisipan merupakan suatu solusi bagi petani untuk melanggengkan kebunnya, baik kebun monokultur maupun wanatani karet, untuk tetap berproduksi tanpa memerlukan banyak biaya dan cenderung lebih permanen. Selain itu, keragaman hayati kebun karet dalam sistem sisipan lebih terjaga, termasuk juga jenis herba, tanaman bawah dan berbagai pohon lain yang memiliki nilai ekonomi. Jika pada plot tebas bakar petani perlu melakukan upaya pengayaan keragaman hayati di plotnya, pada sistem sisipan keragaman hayati bersifat lebih alami dan memiliki tingkatan umur yang berbeda. Pemahaman petani mengenai sistem sisipan melengkapi wacana mengenai sistem wanatani karet yang tidak hanya sarat dengan nilai sosial dan lingkungan, tetapi juga menunjukkan adanya sumberdaya manusia yang mendukung dan mampu mengelola lingkungannya secara mandiri. Beberapa waktu yang lalu, sejumlah ahli melakukan uji coba bersama-sama dengan petani untuk menerapkan bibit klonal yang memiliki produktivitas tinggi di dalam sistem sisipan. Hal ini menunjukkan bahwa selain pengetahuan masyarakat memiliki kontribusi dalam pengembangan inovasi dan teknologi, namun juga pemilik pengetahuan lokal tersebut dilibatkan dalam upaya pengembangan teknologi tersebut (Joshi et al., 2004). Selain itu, upaya pengayaan jenis tanaman dalam sistem wanatani karet dapat dicoba dilakukan dengan sistem sisipan. Dengan pemahaman yang telah dimiliki petani mengenai teknik sisipan dan jenis tanaman yang toleransi dengan karet memungkinkan ujicoba penerapan sisipan untuk tanaman non-karet dapat BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati Susilawati, Elok Mulyoutami 99 dilakukan secara mandiri. Namun demikian berbagai kajian ilmiah mengenai jenis-jenis tanaman yang tepat masih perlu dikembangkan. Sebagai kesimpulan, terlihat bahwa sistem sisipan memiliki peran yang penting dalam kebutuhan taktis petani. Sekalipun dengan produksi yang tidak terlalu tinggi, sistem sisipan dalam wanatani karet menjadi alternatif cara pengelolaan kebun yang cukup memadai bagi para petani. Tentu saja diperlukan riset pendukung terhadap berbagai pilihan untuk mencari keseimbangan yang tepat antara keuntungan dan fungsi lingkungan praktek sisipan dalam sistem wanatani ini. Perlu adanya diskusi yang lebih mendalam dalam perencanaan mengenai sistem pendukung atau mekanisme alternatif dalam jasa lingkungan, perubahan kebijakan untuk mendorong peningkatan harga karet dan pengembangan sistem hutan karet dan diversifikasi horisontal dari produk yang dihasilkan dalam sistem ini. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diberikan kepada tim ICRAF Bungo yang telah memfasilitasi kegiatan penelitian ini. Terima kasih tak terhingga kepada masyarakat Bungo yang telah memberikan kontribusi besar terhadap tulisan ini serta atas kesabarannya selama terlibat dalam kegiatan penelitian ini. BAHAN BACAAN Berkes, F., Colding, J. dan Folke, C. 2000. Rediscovery of Traditional Ecological Knowledge as Adaptive Management. Ecological Applications 10(5): 1251-1262 Dixon, H.J., Doores, J.W., Joshi, L. dan Sinclair, F.L. 2001. Agroecological Knowledge Toolkit for Windows: Methodological Guidelines, Computer Software and Manual for AKT5. School of Agricultural and Forest Sciences, University of Wales, Bangor, Inggris: 171 pp. Gouyon, A., de Foresta, H., dan Levang, P. 2000. Kebun Karet Campuran di Jambi dan Sumatera Selatan. Dalam: de Foresta, H., Kusworo, A., Michon, G. dan Djatmiko, W.A. (ed.) Ketika Kebun Berupa Hutan: Agroforest Khas Indonesia. ICRAF. Bogor, Indonesia: 65- 83. Joshi L, Wibawa G, Vincent G, Boutin D, Akiefnawati R, Gerhard Manurung G dan van Noordwijk M. 2001. Wanatani Kompleks Berbasis Karet: Tantangan untuk Pengembangan. International Centre for Research in 100 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi Agroforestry, SEA Regional Research Programme. Bogor, Indonesia: 38 pp. Joshi, L., Wibawa, G., Beukema, H., Williams, S. dan van-Noordwijk, M. 2003. Technological Change and Biodiversity in the Rubber Agroecosystem of Sumatra. Dalam: Vandermeer, J. (ed) Tropical Agroecosystems. CRC Press, FL, USA: 133-157 pp. Joshi, L., Shrestha, P.K., Moss, C. dan Sinclair, F.L. 2004. Locally Derived Knowledge of Soil Fertility and Its Emerging Role in Integrated Natural Resource Management. Dalam: van Noordwijk, M., Cadisch, G. dan Ong, C.K. (ed). Belowground Interactions in Tropical Agroecosystems: Concepts and Models with Multiple Plant Components. Chapter 2. CABI International. Wallingford, Inggris: 17-39. Joshi, L., van Noordwijk, M., dan Sinclair, F.L. 2005. Bringing Local Knowledge in Perspective: A Case of Sustainable Technology Development in Jungle Rubber Agroforests in Jambi, Indonesia. Dalam: Neef, A. (ed.) Participatory Approaches for Sustainable Land Use in Southeast Asia. White Lotus Press. Bangkok, Thailand: 277-289. Mulyoutami, E., Stefanus, E., Schalenbourg, W., Rahayu, S. dan Joshi, L. 2004. Pengetahuan Lokal Petani dan Inovasi Ekologi dalam Konservasi dan Pengelolaan Tanah pada Pertanian Berbasis Kopi di Sumberjaya, Lampung Barat. Agrivita 26:98 – 107. Sinclair, F.L. dan Walker, D. 1998. Acquiring Qualitative Knowledge about Complex Agroecosystems. Part 1: Representation as Natural Language. Agricultural Systems, 56(3):341-363. Sunaryo dan Joshi, L. 2003. Peranan Pengetahuan Ekologi Lokal dalam Sistem Agroforestri. Bahan Ajaran Agroforestry 7. World Agroforestry Centre. Bogor, Indonesia: 28 pp. Walker, D.H. 1994. A Knowledge based Systems Approach to Agroforestry Research and Extension. PhD Thesis. University of Wales, Bangor, Inggris. Wibawa, G., Hendratno, S. dan van Noordwijk, M. 2005. Permanent Smallholder in Sumatra, Indonesia. Dalam: Palm, C.A., Vosti, S.A., Sanchez, P.A. dan Ericksen, P.J. (ed). Slash and Burn Agriculture, The Search for Alternatives. Columbia University Press, New York:222-232. Williams, S.E., Gillison, A. dan van Noordwijk, M. 2001a. Biodiversity: Issues relevant to Integrated Natural Resource Management in the Humid Tropics. Alternative to Slash and Burn. ICRAF. Lecture Note 5: 35 pp. Williams, S.E., van Noordwijk, M., Penot, E., Healey, J.R., Sinclair, F.L. dan Wibawa, G. 2001b. On-farm Evaluation of the Establishment of Clonal Rubber in Multistrata Agroforests in Jambi, Indonesia. Agroforestry Systems 53:227-237.