bagian 2-2 - World Agroforestry Centre

advertisement
BAGIAN 2-2
Sistem Sisipan
Sisipan:
Pengetahuan Lokal dalam Wanatani Karet
Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati, Susilawati dan
Elok Mulyoutami
84
Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi
PENDAHULUAN
Pengetahuan berasal dari pemahaman dan interpretasi hasil pengamatan,
pengalaman, dan pendidikan formal maupun informal seseorang. Pengetahuan
bukanlah suatu kebenaran mutlak karena dapat berkembang sesuai dengan
perkembangan pengamatan, pengalaman atau pengenalan inovasi baru. Meski
tidak secara tegas, namun sebagian orang melihat sistem pengetahuan ini sebagai
dua kelompok yang berbeda baik sifat, bidang, proses pembentukan, manfaat
dan penyebarannya (Walker, 1994). Sistem pengetahuan yang pertama adalah
sistem pengetahuan lokal, yang melekat sangat erat pada nilai-nilai budaya dan
spiritual. Kedua, pengetahuan sains, yang umumnya terbentuk dari interpretasi
data yang terhimpun secara metodologis. Meski hampir di setiap daerah terdapat
pengetahuan yang sama mengenai sesuatu, namun pengetahuan lokal lebih
diwarnai kekhasan dari domain pembentuk pengetahuan tersebut. Sementara itu
pengetahuan sains bersifat lebih general karena merupakan kajian kumulatif dari
beberapa domain.
Pengetahuan ekologi lokal merupakan pengetahuan suatu komunitas lokal
mengenai suatu ekosistem dan hubungan timbal balik antar komponen dalam
ekosistem tersebut. Ekosistem itu terwujud dalam lingkungan di sekitar mereka,
baik itu lingkungan pertanian, kehutanan, kelautan atau yang berkaitan dengan
sumberdaya alam lainnya. Pengetahuan ekologi lokal dapat berkontribusi dalam
pengembangan inovasi teknologi (Mulyoutami et al., 2004; Joshi et al., 2005),
upaya konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem, perlindungan spesies
dan area, serta untuk pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan (Berkes
et al., 2000). Istilah lokal dalam terminologi ini digunakan untuk menunjukkan
pengetahuan masyarakat dalam konteks lokal yang bersifat dinamis dan terbentuk
secara evolutif. Dalam proses pembentukan pengetahuan seringkali nilai-nilai non
tradisional ikut membentuk. Sebaliknya, dalam proses pembentukan pengetahuan
terkadang nilai-nilai tradisional atau indigenous yang biasanya diturunkan dari
generasi ke generasi ada yang tidak terbawa (Joshi et al., 2003; Joshi et al., 2004).
Sistem wanatani karet adalah suatu sistem vegetasi multistrata kompleks yang
banyak ditemukan di Indonesia (Gouyon et al., 2000). Sistem pengelolaan
sumberdaya alam ini, yang selain memiliki nilai produksi juga memiliki nilai
konservasi, cukup mendapat perhatian dari para ahli. Nilai konservasi lingkungan
terwujud dalam keragaman hayati yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan
kebun karet monokultur meskipun belum setinggi hutan alami (Williams et al.,
2001a; Joshi et al., 2003).
BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati
Susilawati, Elok Mulyoutami
85
Ada dua metode peremajaan dalam sistem wanatani karet tradisional di Jambi,
yaitu sistem tebas bakar dan sistem sisipan (Wibawa et al., 2005). Metode yang
pertama adalah menggunakan sistem rotasi pendek: Pohon karet ditanam setiap
30-40 tahun setelah terlebih dahulu dilakukan aktivitas tebas dan bakar. Pada
sistem permanen, penanaman anakan pohon karet baru dilakukan di antara celah
pohon karet yang telah lebih dulu ada. Sistem ini lebih dikenal dengan sistem
sisipan. Secara teoritis pada sistem sisipan ini umur kebun tidak terbatas karena
umur pohon karet berbeda-beda.
Sebagai suatu alternatif dalam pola pengelolaan wanatani karet, sistem sisipan
memiliki beberapa keunggulan. Sistem ini memiliki peran dalam konservasi
lingkungan, terutama dalam aspek keragaman hayati. Dari segi ekonomi, sistem
sisipan adalah suatu strategi untuk menjaga kelangsungan pendapatan petani
yang hidupnya sangat bergantung dari hasil karet (Wibawa et al., 2005). Selain
itu, petani dapat melakukan peremajaan wanatani karet tanpa memerlukan biaya
yang tinggi sebagaimana dalam sistem tebas bakar (Joshi et al., 2001).
Praktek peremajaan karet melalui penumbuhan anakan karet pada celah pohon
karet yang sudah ada menyimpan banyak potensi. Namun demikian, perhatian
dan pemahaman para peneliti dan pakar sains mengenai sistem sisipan ini
masih kurang. Petani, berdasarkan pengamatan dan percobaan mereka, telah
mempelajari banyak mengenai sisipan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
sistem ini. Dalam hal ini, petani yang memiliki pengalaman menerapkan sistem
sisipan diharapkan dapat membantu memberikan pemahaman mengenai sistem
ini sebagai suatu kesatuan dalam pemahaman mengenai ekologi hutan karet
secara umum. Pengenalan mengenai sistem sisipan ini bermanfaat dalam upaya
peningkatan produksi dan pelestarian lingkungan.
PENGETAHUAN EKOLOGI LOKAL MENGENAI
SISTEM SISIPAN
Pengetahuan petani mengenai sistem sisipan meliputi berbagai komponen
penting yang tercakup di dalamnya, serta pemahaman hubungan interaksi
antara komponen tersebut. Hal ini nampak dalam berbagai uraian petani yang
menyajikan keterkaitan antara faktor cahaya, vegetasi bawah dengan pertumbuhan
karet. Selain itu, beberapa klasifikasi lokal diungkapkan oleh petani berdasarkan
pengamatan fisik dan pengalaman mereka.
86
Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi
Kotak 1. Metodologi penggalian pengetahuan ekologi lokal
Pada studi ini, sejumlah desa yang diketahui memiliki banyak petani yang
mempraktekkan sisipan dipilih, yaitu desa Rantau Pandan, Muara Buat,
Sepunggur, Lubuk dan Muara Kuamang. Studi ini dilakukan dengan menggunakan
pendekatan sistem berbasis pengetahuan (SBP) yang telah dikembangkan dan
diimplementasikan dalam beragam ekosistem untuk menggali pengetahuan
ekologi lokal (Sinclair dan Walker, 1998). Dalam pendekatan ini dilakukan diskusi
secara mendalam untuk topik tertentu dengan informan yang dianggap paling
berpengetahuan (knowledgeable) dalam suatu komunitas tertentu.
Informan kunci dipilih secara purposif berdasarkan rekomendasi dari orang-orang
yang ditemui. Proses diskusi dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan terbuka yang
memungkinkan informan untuk menjelaskan apa yang diketahuinya secara terbuka
dan direkam menggunakan alat perekam. Pernyataan pengetahuan disarikan dari
rekaman tersebut dan kemudian diuraikan menjadi unit pengetahuan terkecil,
untuk kemudian disajikan dengan menggunakan perangkat lunak buatan yaitu
Agroecological Knowledge Toolkit atau AKT dalam bentuk basis pengetahuan (Dixon
et al., 2001; Sunaryo dan Joshi, 2003). Uji keterwakilan atau pemerataan sebaran
basis pengetahuan dilakukan pada seperangkat contoh pernyataan yang diambil
dari basis pengetahuan secara acak. Sampel meliputi petani yang mempraktekkan
dan tidak mempraktekkan sisipan untuk membandingkan sebaran pengetahuan di
antara kedua kelompok tersebut.
Dalam sistem sisipan, jenis bibit yang dapat disisipkan umumnya adalah anakan
karet liar (bibit lokal). Para petani mengetahui bahwa jenis karet unggul atau klon
tidak dapat ditanam dalam sistem sisipan. Jenis bibit ini umumnya hanya dapat
tumbuh dengan baik dengan perlakuan yang intensif dan penggunaan input yang
tinggi. Hal ini didukung dengan beberapa uji coba yang menunjukkan bahwa karet
klon yang ditanam dalam sistem wanatani karet hampir tidak dapat tumbuh. Besar
kemungkinan hal ini disebabkan karena lingkungan yang tidak kondusif dimana
cahaya berkurang dan tingginya kompetisi dalam sistem ini (Gregoire Vincent,
komunikasi pribadi).
Bibit yang digunakan dalam sistem sisipan dapat berupa bibit cabutan atau bibit
yang ditanam di dalam polibek. Petani menyatakan bahwa penggunaan bibit
cabutan lebih rentan jika dibandingkan dengan bibit yang sudah ditanam dalam
polibek. Pencabutan bibit yang kurang hati-hati seringkali mengakibatkan sistem
perakaran bibit cabutan tersebut ikut terpotong dan hal ini dapat menimbulkan
stres. Intensitas stress anakan karet cabutan tergantung pada keutuhan akar dan
BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati
Susilawati, Elok Mulyoutami
87
ukuran anakan tersebut. Semakin besar ukuran lilit batang anakan, makin tinggi
stress yang dialami dan peluang hidupnya menjadi semakin kecil.
Celah adalah konsep yang dipahami oleh petani sebagai ruang yang cukup untuk
pertumbuhan anakan pohon karet dalam teknik sisipan. Celah dapat terbentuk
karena kematian pohon karet secara alami atau dengan sengaja membunuh
pohon karet atau vegetasi lain di dalam wanatani karet. Pembuatan celah dengan
sengaja dilakukan petani dengan mematikan pohon yang tidak diinginkan atau
tidak produktif. Upaya mematikan ini dilakukan dengan cara pengelupasan kulit
kayu secara melingkar.
Dalam teknik sisipan, anakan karet baru ditanam dengan sengaja di antara
celah tersebut. Petani juga dapat menanam anakan karet baru pada lokasi yang
berdekatan dengan pohon karet tua yang sakit, yang tidak lagi produktif atau yang
hasil lateksnya sedikit. Anakan karet ini dimaksudkan untuk menggantikan pohon
yang sudah tidak produktif tersebut. Sisipan secara alami dapat terjadi bilamana
anakan karet liar dibiarkan tumbuh begitu saja di antara celah tersebut.
Petani sisipan menyatakan bahwa celah dalam sistem wanatani perlu dikelola
dengan penuh seksama. Besar kecilnya celah berhubungan dekat dengan tingkat
pencahayaan ke dalam kebun. Jika celah terlalu besar, sinar matahari dapat
meningkatkan pertumbuhan gulma di samping juga dapat menjadi ruang bagi gulma
untuk tumbuh. Namun jika terlalu sempit, pertumbuhan anakan karet menjadi
lambat dan percabangannya sedikit karena kurang mendapatkan cahaya matahari
dan tingkat kompetisi yang tinggi dengan tanaman yang telah ada sebelumnya.
Selain lebar celah, lokasi celah adalah faktor penting yang juga diperhatikan oleh
petani. Tingkat tajuk pepohonan di sekitar lokasi celah perlu diperhatikan guna
memperkirakan sinar matahari yang masuk. Di samping itu kondisi tanah dimana
celah tersebut berada perlu diperhatikan terutama berkaitan dengan kelembaban
dan kandungan unsur haranya untuk mendapatkan pertumbuhan karet yang
bagus.
Perkecambahan biji karet, baik yang beregenerasi alami maupun ditanam ulang
oleh petani di dalam celah kebun karet, dapat berlangsung dengan baik bilamana
cukup mendapatkan cahaya matahari (Gambar 13). Kecukupan cahaya matahari
yang masuk ke dalam kebun ditentukan oleh kerapatan tajuk, ketinggian pohon,
dan bentuk tajuk. Pada awal karet mulai ditanam, kebutuhan cahaya masih
cukup rendah, sehingga adanya naungan dari tajuk pohon yang telah ada dapat
memberikan manfaat bagi tanaman karet muda. Walau demikian pembukaan
88
Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi
tajuk kanopi secara bertahap diperlukan sejalan dengan pertumbuhan anakan
tersebut. Semakin besar karet, semakin besar pula kebutuhan cahayanya.
Tinggi pohon
Kerapatan
tajuk
Banyaknya
infiltrasi cahaya
Bukaan kanopi
Ketersediaan
cahaya
Laju pertumbuhan
gulma
Produktifitas
karet
Laju pertumbuhan
pohon karet
Jumlah cabang
Bentuk anakan
karet
Ketahanan hidup
Anakan karet
Laju pertumbuhan
anakan karet
Gambar 13. Pengetahuan lokal mengenai tajuk dan cahaya serta implikasinya pada sistem
sisipan (tanda panah menunjukkan hubungan mempengaruhi dari kotak asal ke kotak target)
Konsep penutupan gulma dan kompetisi karet dengan tumbuhan di sekitarnya
untuk mendapatkan unsur hara dan air (kelembaban) dalam tanah dipahami
dengan baik oleh petani. Para petani menyatakan bahwa kerapatan dan
ketinggian tanaman bawah di sekitar tanaman karet dapat mempengaruhi
kemampuan tanaman bawah atau gulma untuk mendominasi tanaman lain. Hal
ini menyebabkan pada lokasi di mana tumbuhan bawah sangat rapat, teknik
sisipan tidak dapat diterapkan. Karena itu, penyiangan ringan di sekitar anakan
karet secara reguler diperlukan untuk mengurangi tingkat kompetisi tersebut.
BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati
Susilawati, Elok Mulyoutami
89
Dengan berkurangnya kompetisi, maka anakan karet mendapatkan unsur hara
dan kelembaban yang cukup sehingga dapat mempercepat pertumbuhannya.
Petani mencoba membandingkan dengan anakan karet baru yang ditanam pada
plot sisipan dan pada plot tebas bakar. Di area plot tebas bakar tidak terdapat
naungan maupun tumbuhan bawah. Karena itu tingkat kompetisi anakan karet
dengan tanaman lain untuk mendapatkan unsur hara dalam tanah cukup rendah.
Selain itu cahaya yang masuk ke dalam wanatani karet sangat mencukupi tanpa
adanya naungan. Selain itu, pembakaran vegetasi pada areal tebas bakar dapat
meningkatkan kesuburan tanah. Hal ini sangat menguntungkan bagi anakan karet
yang ditanam pada areal tebas bakar. Meskipun demikian, petani menyatakan
dengan pengelolaan yang dilakukan dengan seksama dan pertimbangan yang
tepat akan kecukupan sinar matahari dan kompetisi tanaman karet, maka teknik
sisipan tetap merupakan alternatif yang layak dilakukan dalam wanatani karet.
Tebas dan bakar
Intensitas
penggalian
oleh babi
Penyiangan
Penutupan lahan
oleh gulma
Kenampakan
anakan karet
Ketahanan
hidup
anakan karet
Laju pertumbuhan
anakan karet
Kemudahan
menjangkau
pohon karet
Kelemababan
tanah
Kesuburan tanah
Laju pertumbuhan
pohon
Kompetisi gulma
Ketersediaan
cahaya
Laju pertumbuhan
gulma
Gambar 14. Pengetahuan lokal mengenai gulma atau tumbuhan bawah dan pertumbuhan
anakan karet dalam sistem sisipan
90
Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi
Pada sistem sisipan, petani juga dapat melakukan okulasi jika tidak ada proses
regenerasi alami yang terjadi pada saat diperlukan, atau dengan tujuan untuk
mendapatkan sifat yang lebih unggul (misalnya diokulasi dengan bahan tanam
dari jenis klon). Jenis karet unggul (klon) tidak dapat ditanam dalam sistem
sisipan. Sebagaimana telah diketahui oleh para petani, jenis karet unggul hanya
dapat tumbuh dalam sistem yang intensif dengan input dan pengelolaan yang
tinggi. Hal ini dibuktikan dengan uji coba yang dilakukan di Jambi: Karet klon
yang ditanam di dalam hutan karet campur hampir tidak dapat tumbuh.
SISTEM SISIPAN SEBAGAI BAGIAN DARI SISTEM
WANATANI KARET
Pemahaman petani mengenai sistem sisipan berkaitan erat dengan pengetahuan
petani dalam konteks sistem wanatani secara keseluruhan. Sebagaimana telah
dikemukakan, sistem adalah suatu metode yang dikembangkan oleh petani untuk
melanggengkan produktivitas sistem wanatani karet. Karena itu, pemahaman
sistem sisipan akan lebih kaya bila ditempatkan dalam konteks sistem wanatani.
Beberapa uraian berikut menggambarkan rincian pengetahuan petani mengenai
pengklasifikasian lokal komponen-komponen yang terdapat dalam sistem wanatani
dan beberapa aspek yang berpengaruh baik positif maupun negatif terhadap sistem
wanatani karet secara keseluruhan.
Klasifikasi lokal
Jenis Tanah
Petani membedakan dua jenis tanah yang terdapat di dalam hutan karet
tradisional menjadi tanah panas dan tanah dingin. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan
pengamatan petani dalam melihat seberapa cepat tanah memanas di bawah terik
matahari serta beberapa penjelasan lainnya yang disajikan dalam Tabel 9. Konsep
tanah dingin disini mengacu pada konsep tanah hitam dengan kandungan unsur
hara yang tinggi sehingga memiliki kesuburan yang tinggi. Sedangkan tanah panas
merujuk pada tanah yang unsur haranya kurang dan cepat bereaksi terhadap sinar
matahari. Tanah panas umumnya berwarna lebih pucat dari tanah dingin.
BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati
Susilawati, Elok Mulyoutami
91
Tabel 9. Pengetahuan petani mengenai jenis tanah di dalam wanatani karet
Atribut (perbandingan)
Tanah dingin
Tanah panas
Kecepatan memanas karena pengaruh Lambat
sinar matahari
Cepat
Kandungan pasir
Rendah
Tinggi
Ukuran pasir (partikel)
Kecil
Besar
Kandungan hara
Tinggi
Rendah
Warna
Gelap
Terang
Porositas
Rendah
Tinggi
Kemampuan menahan air
Tinggi
Rendah
Kesuburan
Tinggi
Rendah
Lokasi (umumnya)
Hutan dan kaki bukit
Lereng bukit
Kemampuan erosi (karena air hujan)
Rendah
Tinggi
Variasi Jenis Karet Alam
Di Indonesia, tidak banyak informasi dari para ahli mengenai variasi jenis pohon
karet untuk spesies Hevea brasiliensis dalam sistem wanatani karet. Namun
demikian, petani melihat ada dua jenis pohon karet alam yang jika dilihat dari
morfologi daun, kulit dan produktivitas lateksnya cukup berbeda satu sama lain
(Tabel 10). Pembedaan kedua jenis pohon ini cukup dipahami secara konsisten
oleh sebagian petani, meski beberapa petani lain juga menyebutkan adanya jenis
lain selain kedua jenis tersebut.
Tabel 10.Variasi jenis karet alam dalam sistem wanatani karet di Jambi
Atribut (perbandingan)
Karet merah
Karet kuning
Bentuk daun
Melingkar
Menyempit
Ukuran daun
Kecil
Besar
Warna daun
Hijau gelap
Hijau terang
Ketebalan kulit
Tebal
Tipis
Warna kulit
Gelap
Terang
Ukuran biji
Kecil
Besar
Percabangan
Banyak
Sedikit
Laju pertumbuhan
Cepat
Lambat
Kepekatan latex (ketebalan)
Tebal
Mengandung air
92
Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi
Meski variasi dalam spesies karet cukup dikenal oleh petani, namun tidak ada
upaya nyata dari para petani untuk melakukan seleksi dalam memilih jenis karet
mana yang lebih baik. Petani menyatakan bahwa pada tahap pencarian bibit,
cukup sulit membedakan manakah bibit yang merupakan jenis karet merah atau
jenis karet kuning. Lagipula, perbedaan produksi lateks dari kedua jenis ini tidak
terlalu signifikan terutama bilamana dibandingkan dengan kesulitan melakukan
penyeleksian bibit karet.
Jenis-jenis Pohon Non-karet dalam Wanatani Karet
Pengetahuan petani mengenai jenis-jenis pohon non-karet yang biasa tumbuh
dalam wanatani karet dikumpulkan dan dikaji. Hal ini bertujuan bukan hanya
untuk mengetahui keragaman hayati secara komprehensif saja, melainkan juga
ingin melihat kedalaman pengetahuan petani mengenai jenis-jenis non-karet
yang biasa ditemui di dalam sistem wanatani karet. Ada sekitar 30 jenis pohon
yang termasuk pohon kayu-kayuan dan pohon buah-buahan disebutkan oleh
petani. Beberapa spesies yang tumbuh cepat setelah tebas bakar dan spesies lain
yang membutuhkan waktu lebih lama untuk beregenerasi, dan jenis-jenis yang
melakukan regenerasi melalui trubusan setelah dilakukan pemangkasan bawah
(coppicing) dapat diidentifikasi dan dijelaskan oleh petani. Beberapa jenis pohon
non-karet dan karakteristiknya disajikan dalam Tabel 11.
Hutan wanatani karet memiliki keragaman jenis yang tinggi yang meliputi
lebih dari 200 jenis tumbuhan dari berbagai jenis plot. Hampir semua jenis ini
hanya memiliki sifat toleransi terhadap pertumbuhan karet bukan mendukung
pertumbuhan karet. Beberapa spesies yang dapat mengancam pertumbuhan karet
dan produksi karet harus dihilangkan dari kebun. Jenis seperti mahang (Macaranga
triloba), menarung (Trema tomentosa) dan medang (Sterculia rubiginosa) yang dapat
tumbuh cepat setelah tebas bakar juga perlu dihilangkan karena dikenal sangat
agresif dan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan karet, lagipula jenis ini
tidak memiliki nilai ekonomi. Jenis tanaman berkayu seperti kelat (Syzygium
polyanthum) dan tanaman buah seperti durian (Durio zibethinus) yang memiliki
nilai ekonomi tinggi tetap dipertahankan meski sebetulnya mereka memiliki
pengaruh negatif terhadap pertumbuhan karet. Namun demikian, umumnya
pohon buah-buahan baik yang berpengaruh negatif maupun tidak terhadap pohon
karet umumnya tetap dipertahankan asalkan memiliki nilai ekonomis.
Tajuk renggang, pohon pendek
Buah bermanfaat, mudah terbakar
Angin
Durio zibethinus
Parkia speciosa
Garcinia mangostana
Artocarpus integer
Artocarpus
heterophyllus
Durian
Petay
Manggis
Cempeda
Nangka
2 minggu
Macaranga conifera
Balik angin
Tupai
Lambat
Cepat
Mungkin
Mungkin
Buah bermanfaat
Tajuk renggang dengan daung
kecil yang dapat dengan cepat
berdekomposisi dan memiliki
tingkat kesuburan tinggi, sangat
kompetitif, dan buahnya bernilai
guna tinggi
Pohon tinggi dengan tajuk tebal,
umur panjang – 50 tahun, akar rapat
dan kemampuan kompetisi tinggi,
buah bernilai guna tinggi
Kayu baru, akar dangkal,
kemampuan kompetisi rendah,
tidak berbahaya untuk karet, umur
pendek – sekitar 15 tahun
Memiliki kompetisi yang tinggi
terhadap karet dan tanaman lain
Susilawati, Elok Mulyoutami
Toleran
Toleran
Toleran
Tidak
Ya
Kayu ringan
Kayu lunak
Angin
Ya
Syzygium
polyanthum
Toleran
Kelat
Cepat
1-3 tahun
Burung
1-3 tahun
Atribut lain
Ganua spp
(Palaquium or
Payena spp)
Kemampuan
tumbuh
kembali
setelah
pemangkasan
(coppicing)
Alstonia spp
Toleransi
terhadap
naungan
Balam
Kecepatan
tumbuh
Pulai
Agen
penebar
benih
atau biji
Waktu
tumbuh
setelah
tebas
bakar
Nama latin
Nama lokal
Tabel 11. Jenis pohon yang umum terdapat dalam sistem wanatani karet (hutan karet) (dikutip dari basis pengetahuan)
BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati
93
Lambat
Cepat
1-3 tahun
2 minggu
2 minggu
1-3 tahun
1 tahun
Sangat
cepat
Ochanostachys
amentacea
Fagraea fragrans
Macaranga gigantea
Macaranga triloba
Sterculia rubiginosa
Shorea parvifolia
Trema tomentosa
Petaling/
Tenggris
Tembesu
Sekubung
Mahang
Medang
Meranti
Menarung/
Angrung
Angin
Angin
Angin
Burung,
angin
Burung
Burung,
tupai
Lambat
Cepat
Cepat
Lambat
Tidak
Tidak
Tidak
Kurang
Kurang
1-3 tahun
Hydnocarpus
woodii
Kulim
Lambat
Toleran
Burung,
tupai
Archindendron
jiringa
Jengkol
Toleransi
terhadap
naungan
Toleran
Kecepatan
tumbuh
Nephenium
lappaceum
Agen
penebar
benih
atau biji
Rambutan
Waktu
tumbuh
setelah
tebas
bakar
Nama latin
Nama lokal
Ya
Lemah
Ya
Ya
Ya
Ya
Kemampuan
tumbuh
kembali
setelah
pemangkasan
(coppicing)
Kayu baru, berakar dangkal, kemampuan kompetisi lemah, nilai
ekonomis rendah
Nilai kayu tinggi, ukuran biji kecil –
dapat tersebar jauh
Tajuk renggang, kayu lunak,
memperlambat pertumbuhan karet
Kayu baru, umur pendek,
memperlambat pertumbuhan karet,
nilai ekonomis rendah
Kayu baru, tajuk rapat, berumur
pendek
Mulai langka
Tajuknya renggang, kayu keras,
mudah terbakar
Kayu keras, nilai kayu tinggi,
semakin jarang, anakannya disukai
oleh babi
Buah bermanfaat
Buah bermanfaat
Atribut lain
94
Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi
BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati
Susilawati, Elok Mulyoutami
95
Hama di dalam Sistem Wanatani Karet
Selain berbagai penyakit yang mungkin timbul pada pohon karet, ancaman lain
yang perlu diperhatikan dalam budidaya karet adalah hama. Hama dari golongan
mamalia yang banyak mengganggu tanaman karet adalah babi hutan, rusa, dan
simpay. Hama babi hutan (Sus scrofa) adalah hama yang paling mengganggu
dalam wanatani karet, termasuk yang menerapkan teknik sisipan (Williams et al.,
2001b). Menurut petani, babi sering menginjak tanaman karet yang masih muda
jika sedang mencari biji karet dan serangga yang banyak terdapat pada wanatani
karet. Selain itu, babi juga menyukai getah manis yang dihasilkan dari akar
anakan karet. Jika dulu babi hanya menyukai karet dari jenis anakan liar, sekarang
babi juga mulai menyukai karet dari jenis klon atau unggul. Sedangkan rusa dan
simpay, meskipun merupakan hama yang cukup berbahaya namun umumnya
hanya menyerang wanatani karet yang lokasinya berdekatan dengan hutan.
Dari beberapa jenis hama yang telah disebutkan, petani merasakan intensitas
perusakan karet baru oleh babi lebih tinggi jika dibandingkan dengan hama
mamalia lain. Di Jambi, karena mayoritas penduduknya muslim dan tidak
mengkonsumsi babi, maka babi tidak banyak diburu oleh manusia. Namun
sebaliknya, masyarakat di Jambi memburu rusa selain untuk memakan dagingnya
juga untuk mendapatkan tanduknya. Karena itu rusa jarang ditemui di dekat area
pemukiman manusia. Hal ini dapat menjadi konfirmasi mengapa wanatani karet
yang letaknya dekat dengan areal pemukiman cenderung aman dari gangguan
rusa.
Menurut sebagian petani, populasi babi yang merusak wanatani karet meningkat
berkaitan erat dengan menipisnya lapisan hutan alami. Dengan berkurangnya
kerapatan hutan, populasi harimau sebagai predator babi juga semakin berkurang.
Petani juga beranggapan bahwa perluasan perkebunan kelapa sawit monokultur
menjadi penyebab meningkatnya serangan babi pada sistem wanatani karet.
Dengan sistem wanatani, babi dapat dengan mudah bersembunyi di sela pepohonan
dan semak jika dibandingkan pada sistem monokultur. Aktivitas penebangan dan
suara chainsaw yang bergema di areal sekitar hutan membuat babi di dalam hutan
tersebut takut dan pergi ke area wanatani karet yang terdekat untuk bersembunyi
dan mencari makan.
Untuk mengatasi masalah hama babi ini petani memiliki beberapa strategi. Salah
satu upaya untuk mengurangi kerusakan anakan karet adalah dengan membuat
pagar yang dapat menghalangi babi masuk ke area kebun. Pemagaran dapat
dilakukan di sepanjang area kebun atau melalui pemagaran secara individu di
96
Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi
setiap anakan karet. Namun sejumlah petani menyatakan bahwa pemagaran di
sekeliling area kebun memiliki efektivitas dan efisiensi yang lebih jika dibandingkan
dengan pemagaran individu.
Perburuan babi
Populasi
harimau
Area hutan
Peracunan babi
Populasi babi
hutan
Intensitas
penggalian
oleh babi
Kemudahan
menjangkau
pohon karet
Kerusakan anakan
karet oleh babi
Penutupan lahan
oleh gulma
Laju pertumbuhan
Pohon karet
Penyiangan
Tebas bakar
Penutupan
serasah
Laju pertumbuhan
anakan karet
Ketersediaan
cahaya
Laju pertumbuhan
gulma
Gambar 15. Pengetahuan ekologi lokal mengenai gulma dan hama babi
Petani memahami hubungan antara penyiangan kebun dengan intensitas
pengrusakan anakan karet oleh babi hutan. Anakan karet pada plot yang disiangi
secara bersih sangat mudah dilihat dan dijangkau sehingga akan mudah dirusak
oleh babi hutan. Di lain pihak, vegetasi yang tumbuh di lantai kebun secara alami
ini menjadi tempat yang bagus sebagai tempat babi bersembunyi dan membuat
sarang. Karena itu, satu upaya lagi yang dilakukan guna mengurangi serangan
babi adalah menyiangi sekeliling anakan karet tetapi membiarkan serasah gulma
di lorong kebun. Hal ini dimaksudkan agar babi sulit menjangkau tanaman
karet tersebut karena terhalang oleh serasah. Di samping itu, serasah gulma di
sekeliling pohon karet dapat menjadi sumber hara dan pengatur kelembaban bagi
tanaman.
BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati
Susilawati, Elok Mulyoutami
97
Upaya lain yang dilakukan petani untuk mengurangi kerusakan karet karena babi
adalah dengan menggunakan anakan karet yang berukuran besar (diameternya
lebih dari lima sentimeter). Batang anakan karet yang besar lebih tahan dari
serangan babi namun sebaliknya cara ini memiliki beberapa kelemahan. Anakan
karet berdiameter besar cenderung lebih rentan dan mudah stres jika dibandingkan
dengan yang ukurannya lebih kecil. Kerusakan yang banyak dialami oleh anakan
karet cabutan dengan diameter besar terutama pada saat pencabutan anakan
atau bibit karet itu dari lokasi lama sebelum dipindahkan ke lokasi yang baru.
Jika pencabutan tidak dilakukan dengan hati-hati anakan karet cabutan tersebut
dapat mengalami stres dan kemampuan bertahan hidupnya menjadi kurang.
PENUTUP
Sistem wanatani karet merupakan suatu sistem yang diterapkan oleh petani
dalam upaya memperpanjang siklus tradisional mulai dari tanaman karet yang
ditumpangsarikan dengan palawija, sampai akhirnya kebun muda ini berkembang
menjadi hutan karet kembali (Gouyon et al., 2000; Joshi et al., 2003). Sumber
penghidupan yang utama bagi sebagian besar petani di Jambi adalah wanatani
karet. Namun demikian, perkembangan sistem wanatani mengalami tantangan.
Sekarang ini harga karet mengalami peningkatan sehingga karet sedang menjadi
primadona. Kondisi ini membuat petani berlomba-lomba untuk membuka kebun
karet dan lebih berorientasi pada produk lateksnya. Perkebunan monokultur dan
penggunaan karet unggul lebih mendapatkan perhatian karena dapat memberikan
keuntungan yang lebih cepat dan memiliki produktivitas yang lebih tinggi daripada
hutan karet tradisional. Penggunaan bibit unggul dengan cara tanam monokultur
yang intensif menjadi pilihan utama para petani terutama yang bermodal besar.
Dari uraian tersebut, nampak jika motivasi ekonomi berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan strategis petani dalam menentukan tipe penggunaan
lahan.
Sistem sisipan sebagai suatu bagian dari sistem wanatani karet merupakan suatu
metode untuk memperpanjang umur hutan karet tersebut agar dapat lebih lama
berproduksi. Penerapan sistem sisipan dalam sistem wanatani karet terutama
didorong adanya keterbatasan sumberdaya petani. Banyak petani yang hidupnya,
terutama untuk pemenuhan kebutuhan uang tunai harian, bergantung pada
produktivitas lateks. Sistem sisipan memungkinkan petani dapat terus menyadap
kebunnya dalam kurun waktu yang lebih lama. Selain itu, tidak perlu ada modal
yang besar untuk membuka lahan (Wibawa et al., 2005), karena penanaman
karet muda dilakukan dalam kebun karet yang sudah lebih dulu ada. Kebutuhan
98
Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi
sumberdaya manusia dalam sistem sisipan rendah, pengelolaan kebun dilakukan
secara ekstensif dan sederhana. Secara taktis, teknik sisipan dalam sistem wanatani
karet memang dapat memenuhi kebutuhan petani yang memiliki sumberdaya
terbatas. Lagi pula nilai keragaman sistem sisipan dalam wanatani karet cukup
tinggi sehingga memungkinkan terjadinya diversifikasi produk yang tidak hanya
lateks, melainkan juga buah-buahan dan kayu-kayuan.
Dalam studi ini terlihat bahwa pengetahuan ekologi petani tentang pertumbuhan
karet, produksi lateks, dan jenis-jenis vegetasi non-karet memiliki peran dalam
penentuan keputusan petani mengenai bagaimana mereka mengelola sumberdaya
mereka secara rutin. Pengetahuan dalam pengelolaan kebun dan pertumbuhan
karet dalam konteks sisipan dan pengetahuan untuk mengurangi kompetisi dari
beberapa spesies pohon agresif dimiliki dan dipahami secara baik oleh beberapa
petani di Jambi. Pengetahuan ini sangat mempengaruhi sejumlah keputusan taktis
petani dalam mengelola lahannya.
Pengetahuan petani mengenai teknik sisipan menunjukkan eksistensi pengetahuan
lokal dalam memberikan alternatif dalam pengelolaan sistem wanatani karet.
Sistem sisipan merupakan suatu solusi bagi petani untuk melanggengkan kebunnya,
baik kebun monokultur maupun wanatani karet, untuk tetap berproduksi tanpa
memerlukan banyak biaya dan cenderung lebih permanen. Selain itu, keragaman
hayati kebun karet dalam sistem sisipan lebih terjaga, termasuk juga jenis herba,
tanaman bawah dan berbagai pohon lain yang memiliki nilai ekonomi. Jika pada
plot tebas bakar petani perlu melakukan upaya pengayaan keragaman hayati di
plotnya, pada sistem sisipan keragaman hayati bersifat lebih alami dan memiliki
tingkatan umur yang berbeda.
Pemahaman petani mengenai sistem sisipan melengkapi wacana mengenai sistem
wanatani karet yang tidak hanya sarat dengan nilai sosial dan lingkungan, tetapi
juga menunjukkan adanya sumberdaya manusia yang mendukung dan mampu
mengelola lingkungannya secara mandiri. Beberapa waktu yang lalu, sejumlah
ahli melakukan uji coba bersama-sama dengan petani untuk menerapkan
bibit klonal yang memiliki produktivitas tinggi di dalam sistem sisipan. Hal ini
menunjukkan bahwa selain pengetahuan masyarakat memiliki kontribusi dalam
pengembangan inovasi dan teknologi, namun juga pemilik pengetahuan lokal
tersebut dilibatkan dalam upaya pengembangan teknologi tersebut (Joshi et al.,
2004). Selain itu, upaya pengayaan jenis tanaman dalam sistem wanatani karet
dapat dicoba dilakukan dengan sistem sisipan. Dengan pemahaman yang telah
dimiliki petani mengenai teknik sisipan dan jenis tanaman yang toleransi dengan
karet memungkinkan ujicoba penerapan sisipan untuk tanaman non-karet dapat
BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati
Susilawati, Elok Mulyoutami
99
dilakukan secara mandiri. Namun demikian berbagai kajian ilmiah mengenai
jenis-jenis tanaman yang tepat masih perlu dikembangkan.
Sebagai kesimpulan, terlihat bahwa sistem sisipan memiliki peran yang penting
dalam kebutuhan taktis petani. Sekalipun dengan produksi yang tidak terlalu
tinggi, sistem sisipan dalam wanatani karet menjadi alternatif cara pengelolaan
kebun yang cukup memadai bagi para petani. Tentu saja diperlukan riset
pendukung terhadap berbagai pilihan untuk mencari keseimbangan yang tepat
antara keuntungan dan fungsi lingkungan praktek sisipan dalam sistem wanatani
ini. Perlu adanya diskusi yang lebih mendalam dalam perencanaan mengenai
sistem pendukung atau mekanisme alternatif dalam jasa lingkungan, perubahan
kebijakan untuk mendorong peningkatan harga karet dan pengembangan sistem
hutan karet dan diversifikasi horisontal dari produk yang dihasilkan dalam sistem
ini.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih diberikan kepada tim ICRAF Bungo yang telah memfasilitasi kegiatan
penelitian ini. Terima kasih tak terhingga kepada masyarakat Bungo yang telah
memberikan kontribusi besar terhadap tulisan ini serta atas kesabarannya selama
terlibat dalam kegiatan penelitian ini.
BAHAN BACAAN
Berkes, F., Colding, J. dan Folke, C. 2000. Rediscovery of Traditional Ecological
Knowledge as Adaptive Management. Ecological Applications 10(5):
1251-1262
Dixon, H.J., Doores, J.W., Joshi, L. dan Sinclair, F.L. 2001. Agroecological
Knowledge Toolkit for Windows: Methodological Guidelines, Computer
Software and Manual for AKT5. School of Agricultural and Forest
Sciences, University of Wales, Bangor, Inggris: 171 pp.
Gouyon, A., de Foresta, H., dan Levang, P. 2000. Kebun Karet Campuran di Jambi
dan Sumatera Selatan. Dalam: de Foresta, H., Kusworo, A., Michon,
G. dan Djatmiko, W.A. (ed.) Ketika Kebun Berupa Hutan: Agroforest
Khas Indonesia. ICRAF. Bogor, Indonesia: 65- 83.
Joshi L, Wibawa G, Vincent G, Boutin D, Akiefnawati R, Gerhard Manurung
G dan van Noordwijk M. 2001. Wanatani Kompleks Berbasis Karet:
Tantangan untuk Pengembangan. International Centre for Research in
100
Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi
Agroforestry, SEA Regional Research Programme. Bogor, Indonesia: 38
pp.
Joshi, L., Wibawa, G., Beukema, H., Williams, S. dan van-Noordwijk, M. 2003.
Technological Change and Biodiversity in the Rubber Agroecosystem
of Sumatra. Dalam: Vandermeer, J. (ed) Tropical Agroecosystems. CRC
Press, FL, USA: 133-157 pp.
Joshi, L., Shrestha, P.K., Moss, C. dan Sinclair, F.L. 2004. Locally Derived
Knowledge of Soil Fertility and Its Emerging Role in Integrated Natural
Resource Management. Dalam: van Noordwijk, M., Cadisch, G. dan
Ong, C.K. (ed). Belowground Interactions in Tropical Agroecosystems:
Concepts and Models with Multiple Plant Components. Chapter 2.
CABI International. Wallingford, Inggris: 17-39.
Joshi, L., van Noordwijk, M., dan Sinclair, F.L. 2005. Bringing Local Knowledge
in Perspective: A Case of Sustainable Technology Development in
Jungle Rubber Agroforests in Jambi, Indonesia. Dalam: Neef, A. (ed.)
Participatory Approaches for Sustainable Land Use in Southeast Asia.
White Lotus Press. Bangkok, Thailand: 277-289.
Mulyoutami, E., Stefanus, E., Schalenbourg, W., Rahayu, S. dan Joshi, L. 2004.
Pengetahuan Lokal Petani dan Inovasi Ekologi dalam Konservasi
dan Pengelolaan Tanah pada Pertanian Berbasis Kopi di Sumberjaya,
Lampung Barat. Agrivita 26:98 – 107.
Sinclair, F.L. dan Walker, D. 1998. Acquiring Qualitative Knowledge about
Complex Agroecosystems. Part 1: Representation as Natural Language.
Agricultural Systems, 56(3):341-363.
Sunaryo dan Joshi, L. 2003. Peranan Pengetahuan Ekologi Lokal dalam Sistem
Agroforestri. Bahan Ajaran Agroforestry 7. World Agroforestry Centre.
Bogor, Indonesia: 28 pp.
Walker, D.H. 1994. A Knowledge based Systems Approach to Agroforestry
Research and Extension. PhD Thesis. University of Wales, Bangor,
Inggris.
Wibawa, G., Hendratno, S. dan van Noordwijk, M. 2005. Permanent Smallholder
in Sumatra, Indonesia. Dalam: Palm, C.A., Vosti, S.A., Sanchez, P.A.
dan Ericksen, P.J. (ed). Slash and Burn Agriculture, The Search for
Alternatives. Columbia University Press, New York:222-232.
Williams, S.E., Gillison, A. dan van Noordwijk, M. 2001a. Biodiversity: Issues
relevant to Integrated Natural Resource Management in the Humid
Tropics. Alternative to Slash and Burn. ICRAF. Lecture Note 5: 35 pp.
Williams, S.E., van Noordwijk, M., Penot, E., Healey, J.R., Sinclair, F.L. dan
Wibawa, G. 2001b. On-farm Evaluation of the Establishment of Clonal
Rubber in Multistrata Agroforests in Jambi, Indonesia. Agroforestry
Systems 53:227-237.
Download