1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Berbicara mengenai ekonomi Cina yang bertumbuh pesat dalam dua
dasawarsa terakhir memang sangatlah menarik. Negeri Tirai Bambu – julukan
untuk Cina – yang jumlah penduduknya telah mencapai 1,3 miliar lebih saat ini
adalah pasar yang sangat besar dan potensial untuk kegiatan ekonomi dan bisnis.
Masuknya
Cina
ke
Organisasi
Perdagangan
Dunia
(World
Trade
Organization/WTO) pada tahun 2001 langsung meningkatkan foreign direct
investment (FDI)-nya; semakin banyak perusahaan asing mendirikan usaha
patungan bersama perusahaan-perusahaan lokal. Tenaga kerjanya yang dikenal
sebagai pekerja keras dengan upah yang relatif murah merupakan daya tarik
tersendiri. Semuanya ini memungkinkan produk-produk buatan Cina murah dan
mendominasi banyak sektor strategis di seluruh belahan dunia dewasa ini.
Produk-produk Cina, secara perlahan tapi pasti, mulai merebut pasar yang tadinya
didominasi oleh produk-produk buatan Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Cina
pun mulai dikenal sebagai raksasa ekonomi yang baru. Hore (2004) menyebut
Cina masa kini sebagai suatu bagian integral dari ekonomi dunia; integrasi Cina
ke pasar dunia justru membuat pasar tersebut lebih tidak stabil.
Untuk pasar Indonesia, produk-produk buatan Cina menguasai kira-kira
12,86% (Pramulya, 2007). Pasar produk asal Cina di Indonesia menyebar tidak
hanya di kota-kota besar, tetapi juga hingga ke pelosok negeri ini. Jadilah negeri
2
ini kebanjiran produk buatan Cina; tidak hanya makanan, tetapi juga kosmetik,
obat-obatan, mainan, dan perabotan rumah tangga.
Akan tetapi, Cina yang selama ini dikagumi dunia karena pertumbuhan
ekonominya yang luar biasa disorot banyak kalangan belakangan ini. Isu kualitas
makanan impor dari Cina menjadi isu internasional setelah ditemukannya
kandungan melamin pada makanan hewan di Amerika Serikat yang telah
mengakibatkan matinya sejumlah kucing dan anjing pada bulan Maret 2007 silam
(Liputan6.com, Agustus 2007). Lantas, Amerika Serikat menghambat sejumlah
produk Cina karena dinilai tidak memenuhi standar kesehatan, seperti produk ikan
yang mengandung tetrodotoxin, bahan kimia yang berpotensi mematikan. Begitu
pula di Jepang. Setelah isu makanan beracun asal Cina yang mengakibatkan
matinya sejumlah hewan piaraan dan menyebabkan penyakit pada manusia
mencuat di Jepang, tragedi pemulangan 25 ton jahe ke Cina karena mengandung
bahan pestisida tingkat tinggi dan tidak memenuhi standar Jepang pun menyusul
(Pramulya, 2007). Selain itu – seperti dilansir dalam teknofood.blogspot.com
(Juni 2007) – disebutkan bahwa 51 warga Panama tewas setelah mengkonsumsi
obat batuk sirup buatan Cina; dan dalam laporan berjudul Annual European Food
Safety Authority Report yang diluncurkan Komisi Uni Eropa pada awal tahun
2007 ini, ditemukan 924 produk berbahaya. Dari jumlah itu, sebanyak 440 produk
adalah buatan Cina.
Kini, kasus serupa menimpa Indonesia. Masyarakat Indonesia dikejutkan
oleh kabar tentang makanan impor dari Cina – terutama makanan berupa permen
dan manisan – yang mengandung formalin, sejenis zat kimia yang sangat
3
berbahaya bagi kesehatan bila dikonsumsi. Akibatnya memang tidak langsung,
tetapi perlu waktu untuk berproses dan dalam jangka waktu tertentu, zat ini sangat
berbahaya bagi kesehatan mereka yang telah mengkonsumsinya. Sesungguhnya,
produk-produk Cina yang masuk ke Indonesia dan terbukti mengandung racun
tidak hanya makanan, tetapi juga kosmetik, pasta gigi, mainan, dan obat-obatan.
Pada produk kosmetik, banyak dijumpai kandungan hidroquinon dan merkuri.
Pada produk pasta gigi buatan Cina, yakni pasta gigi bermerek Maxam, Excel,
dan Mr Cool, ditemukan dietilen glikol, zat kimia beracun tingkat tinggi. Ketiga
pabrik pasta gigi tersebut menggunakan dietilen glikol untuk menggantikan
gliserin yang harganya jauh lebih mahal. Pada produk mainan anak-anak,
ditemukan kandungan timbal dan logam berat. Bahan-bahan kimia yang
tercampur dalam mainan itu kalau terkena suhu panas akan mengurai. Dalam
waktu tertentu anak-anak yang menggunakan mainan itu dapat terkena autis, sakit
pernapasan, dan lemah konsentrasi karena menghirup racun. Begitu pula obatobatan Cina; banyak di antaranya tidak memiliki izin edar sehingga kandungan
dan khasiatnya tidak dapat dipastikan kebenarannya. Setelah obat-obatan tersebut
diuji kandungannya oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) selaku
instansi yang berkepentingan dalam kasus ini, ternyata banyak di antaranya
mengandung zat beracun.
Khusus untuk produk makanan impor dari Cina, BPOM telah melansirkan
laporannya pada awal Agustus 2007. Public Warning BPOM Nomor
KH.00.01.5.113 Tanggal 2 Agustus 2007 dalam Liputan6.com (Agustus 2007)
menunjukkan bahwa hasil pengujian laboratorium terhadap sejumlah produk asal
4
Cina di lima kota di Indonesia positif mengandung formalin. Produk-produk
tersebut dapat dilihat pada Lampiran 6.
Kasus makanan impor dari Cina ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran
bagi masyarakat di seluruh dunia, terutama konsumen makanan impor tersebut.
Media massa di berbagai belahan dunia telah mengupas berita mengenainya.
Mereka menunjukkan rendahnya kualitas produk impor dari Cina, mulai dari
makanan, pasta gigi, mainan, hingga obat-obatan yang mengandung zat kimia
yang berbahaya bagi kesehatan.
Untuk melindungi masyarakat Indonesia dari produk-produk tidak
bermutu dan tidak aman untuk dikonsumsi, BPOM telah menyegel produk-produk
permen dan manisan yang mengandung formalin tersebut di tempat-tempat
penjualannya untuk selanjutnya dimusnahkan. Masyarakat dihimbau untuk tidak
membeli produk-produk sejenis yang tidak memiliki izin edar karena tidak
dijamin keamanannya untuk dikonsumsi.
Selama ini produk-produk buatan Cina, khususnya produk makanan,
kosmetik, mainan, dan obat-obatan laris di pasaran karena harganya lebih murah
daripada produk sejenis buatan lokal, mudah diperoleh, proses pendistribusiannya
cukup cepat, dan kualitas yang dipersepsikan relatif baik.
Akan tetapi, ditemukannya zat kimia berbahaya yang terkandung dalam
makanan impor dari Cina, disusul dikeluarkannya public warning dari BPOM
mengenai bahaya mengkonsumsi produk makanan tersebut, tentu saja
berpengaruh terhadap minat beli konsumennya. Makanan impor dari Cina yang
5
harganya murah, mudah diperoleh, dan kualitasnya cukup baik seperti yang
dirasakan oleh konsumennya selama ini dipertanyakan.
Dalam Model Perilaku Pembelian yang dikemukakan oleh Kotler dan
Armstrong (2003), proses terjadinya pengambilan keputusan oleh pelanggan
untuk membeli dimulai dari rangsangan pemasaran (marketing stimuli), yang
terdiri dari: 1) produk (product), yakni menyangkut produk apa yang secara tepat
diminati oleh konsumen, baik kualitas maupun kuantitasnya; 2) harga (price),
yakni terkait dengan seberapa besar harga sebagai pengorbanan konsumen dalam
memperoleh manfaat produk yang diinginkan; 3) tempat/distribusi (place), yakni
menyangkut bagaimana pendistribusian suatu produk sehingga produk tersebut
dapat sampai ke tangan konsumen dengan mudah; dan 4) promosi (promotion),
yakni mengenai pesan-pesan yang dikomunikasikan sehingga keunggulan produk
dapat diketahui oleh konsumen. Selain keempat faktor rangsangan pemasaran
tersebut, pengambilan keputusan pembelian juga dipengaruhi oleh faktor sosial,
yang terdiri dari kelompok referensi, keluarga, dan peranan dan status calon
pembeli. Pengaruh dari ketiga faktor sosial ini biasanya berupa subjective norm,
yaitu ajakan-ajakan dari pihak-pihak terdekat calon pembeli.
Salah satu faktor yang turut mempengaruhi pengambilan keputusan
pembelian, seperti yang ditemukan oleh Abdurachman (2004), adalah merek
produk. Merek yang memiliki citra (brand image) yang baik dapat mempengaruhi
minat seseorang untuk membeli produk merek tersebut yang ia inginkan. Maka
dari itu, penelitian ini mencoba untuk menguji pengaruh dari beberapa faktor yang
telah disebutkan di atas terhadap minat beli konsumen produk makanan impor
6
dari Cina setelah didapati beberapa jenis dari produk makanan tersebut
mengandung zat kimia berbahaya bagi kesehatan dengan judul “Analisis Faktorfaktor yang Berpengaruh terhadap Minat Beli Konsumen Produk Makanan
Impor dari Cina”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah produk secara signifikan mempengaruhi minat beli konsumen?
2. Apakah harga secara signifikan mempengaruhi minat beli konsumen?
3. Apakah tempat secara signifikan mempengaruhi minat beli konsumen?
4. Apakah citra merek secara signifikan mempengaruhi minat beli
konsumen?
5. Apakah subjective norm secara signifikan mempengaruhi minat beli
konsumen?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menguji pengaruh produk terhadap minat beli konsumen.
2. Untuk menguji pengaruh harga terhadap minat beli konsumen.
3. Untuk menguji pengaruh tempat terhadap minat beli konsumen.
4. Untuk menguji pengaruh citra merek terhadap minat beli konsumen.
5. Untuk menguji pengaruh subjective norm terhadap minat beli konsumen.
7
1.4 Manfaat Penelitian
•
Bagi Peneliti
Penelitian ini dilakukan sebagai penerapan ilmu-ilmu yang telah peneliti
peroleh selama perkuliahan dan untuk memperkaya keterampilan peneliti
dalam menganalisis suatu masalah, terutama masalah bisnis.
•
Bagi Pembaca
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, informasi,
dan dapat dijadikan bahan pertimbangan atau perbandingan, terutama
untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
1.5 Batasan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti membatasi ruang lingkup penelitian sebagai
berikut:
•
Penelitian dilakukan di Yogyakarta dan respondennya adalah masyarakat
Yogyakarta yang beretnis Cina.
•
Penelitian dilakukan dari awal September 2007 sampai awal Desember
2007.
•
Obyek penelitian ini adalah seluruh jenis produk makanan impor dari
Cina.
•
Penelitian ini dilakukan setelah ditemukannya zat beracun pada beberapa
jenis makanan buatan Cina, baik di Indonesia maupun di luar negeri.
•
Variabel-variabel yang dianalisis pengaruhnya terhadap minat beli
konsumen adalah produk, harga, tempat, citra merek, dan subjective norm.
Download