BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Prosocial Behavior Prosocial behaviour merupakan kategori yang luas dari helping behavior. Prosocial behavior didefinisikan oleh beberapa segmen yang signifikan dari masyarakat atau kelompok sosial yang secara umum menguntungkan bagi orang lain. Penner et al dalam Mercer dan Debbie (2010:93) membagi prosocial literature dalam tiga kategori, yaitu: 1. Meso level 2. Micro level 3. Macro level 1. Meso Level Tindakan menolong ditinjau dari segi tingkat interpersonal (contoh : spesifikasi dan situasi tindakan prososial diantara seseorang dengan lawannya). Faktor-faktor yang dikatakan dapat menghambat maupun meningkatkan perilaku prososial sebagai berikut; i. Who need help Kita akan lebih membantu teman dengan cepat dibandingkan membantu orang lain yang tidak dikenal. ii. Similarity Kita akan lebih senang membantu orang yang terlihat sama atau mirip dengan kita. (Contoh : ras, gender) iii. Attribution of the cause of the distress Kita akan kurang membantu orang yang sudah seharusnya bertanggung jawab atas insiden secara personal. (Contoh : Pemabuk yang terjatuh di jalanan) iv. Alcohol Alkohol dapat mengurangi ketegangan situasi yang diakibatkan oleh orang-orang di sekitarnya, sehingga pada saat orang minum, mereka menunjukkan tingkat kecenderungan ingin membantu 7 8 dikarenakan mereka tidak terpengaruh oleh kepanikan yang terjadi di sekitarnya. v. Weighing up the costs and benefits Sebagai bagian dari decision-making process menyarankan bahwa agar para individu mempertimbangkan antara beban (waktu) yang dipakai jika membantu dengan beban (perasaan bersalah) jika tidak membantu. 2. Micro Level Terdapat dua pendekatan asal usul kecenderungan prosocial behavior yaitu : evolutionary theory dan social norm. Pertama, pendekatan evolutionary theory ini berpendapat bahwa kita secara biologis cenderung untuk membantu mereka yang berbagi gen yang sama dengan kita. Hal ini dikenal sebagai inclusive fitness (kemampuan inklusif) yang merupakan kemampuan langsung dari keturunan. Kedua, Gouldner dalam Mercer dan Debbie (2010:98) mengatakan bahwa norma timbal balik atau reciprocity merupakan bagian dari genetik bersama dan menyarankan bahwa norma timbal balik adalah norma budaya bersama. Nilai helping behavior dalam segi social psychology disebut sebagai social norm. Social norm adalah kepercayaan atau jenis perilaku yang dianggap normal dan dapat diterima dalam kelompok tertentu atau masyarakat. Melalui proses sosialisasi, menjadi keyakinan normatif yang secara internal diadakan yang dapat memiliki efek yang kuat terhadap cara kita berperilaku. Berkowitz dalam Mercer dan Debbie (2010:98) juga mengatakan bahwa beberapa orang akan membantu orang yang membutuhkan serta tidak mengekspetasikan pujian atau rasa terima kasih dari orang lain. Ini dikatakan memiliki relasi dengan norma dari social responsibility yang dikatakan membantu orang lain merupakan hal yang harus kita lakukan, baik tidak tergantung pada imbalan di masa yang akan datang maupun orang tersebut pernah membantu kita. 3. Macro Level Volunteering merupakan tipe yang beda dari helping behavior karena direncanakan, biasanya berjangka panjang, dan dianggap kurang karena 9 lebih cenderung merupakan rasa kewajiban pribadi. Clary et al dalam Mercer dan Debbie (2010:101) mengembangkan volunteering functions inventory (VFI) dalam enam dimensi, sebagai berikut; i. Values Untuk mengekspresikan atau bertindak dalam nilai yang penting (Contoh : paham kemanusiaan atau humanitarianism). ii. Understanding Untuk belajar lebih mengenai dunia atau melatih skill yang sering tidak dipakai. iii. Inventory enhancement Untuk meningkatkan dan mengembangkan psikologis pribadi (Contoh : terlibat dalam kegiatan sukarela). iv. Social Untuk memperkuat relasi sosial. v. Career Untuk mendapatkan pengalaman yang berkaitan dengan karir. vi. Protective Untuk mengurangi perasaan negatif (Contoh : rasa bersalah, kesepian) atau untuk mengatasi masalah pribadi. 2.2 Konsep Altruisme Konsep Altruisme diciptakan oleh filsuf Perancis dan sosiolog bernama Auguste Comte (1798-1857). Altruisme berasal dari kata Italia altrui yang merupakan "untuk orang lain". Mercer dan Debbie (2010:83) mendifinisikan altruism sebagai helping behavior yang tidak mementingkan diri sendiri yang termotivasi oleh keinginan untuk menguntungkan orang lain. Konsep Altruisme juga diterapkan dalam perusahaan Jepang yang sering disebut sebagai ritashugi. Rita yang mengandung arti “altruisme” dan Shugi yang mengandung arti “penerapan”, sehingga ritashugi memiliki arti “penerapan altruisme”. Altruisme dan prosocial behavior sering dipakai bergantian namun sebenarnya tidak sama dan terdapat perbedaan, karena prosocial behavior dapat juga mendapatkan imbalan, sedangkan altruisme merupakan tindakan prososial sebagai 10 tujuan sendiri dengan tidak adanya keuntungan bagi altruis. Menurut teori Darwin dalam Mercer dan Debbie (2010:98), Altruisme merupakan tindakan yang berkaitan dengan sifat-sifat positif seperti kedermawanan, dan berbaik hati. 2.2.1 Ciri-ciri Sifat Altruistik (Altruistic Personality) Bierhoff et al dalam Mercer dan Debbie (2010:99) menyatakan bahwa orang yang memiliki sifat altruistik, tinggi pada lima dimensi yang merupakan ciri khas seseorang (altruistic personality) yang terlibat dalam perilaku prososial dalam berbagai konteks: 1. Empathy Seperti yang kita lihat bahwa orang yang membantu memiliki rasa empati yang tinggi. Mereka juga mendeskripsikan diri mereka sebagai orang yang bertanggung jawab, bersosialisasi, sesuai dengan norma yang berlaku, toleransi, pengontrolan diri dan termotivasi untuk membuat kesan yang baik. Baron et al dalam Mercer dan Debbie (2010:99) mengatakan bahwa empati merupakan respon afektif dan kognitif yang kompleks terhadap tekanan emosional orang lain yang telah banyak dikaitkan dengan prosocial behavior. Komponen afektif telah diidentifikasi sebagai perasaan tertekan sendiri ketika orang lain tertekan dan perasaan simpati dan kepedulian terhadap orang, sehingga anda ingin mencoba untuk meringankan penderitaan tersebut. Sedangkan komponen kognitif mengacu pada kemampuan untuk mempertimbangkan sudut pandang orang lain, sering disebut sebagai 'pengambilan perspektif' Aspek-aspek yang menjelaskan perbedaan individual dan empati menurut para ahli : (i) Biological; Davis et al dalam Mercer dan Debbie (2010: 99) mengatakan bahwa perbedaan biologis dianggap mencapai sekitar sepertiga dari variasi dalam empati afektif. Mereka menemukan bukti tersebut untuk efek herediter pada komponen afektif empati yaitu tekanan personal dan perhatian simpatik. 11 (ii) Socialisation; Eisenberg et al dalam Mercer dan Debbie (2010:100) mengatakan bahwa kita mungkin dilahirkan dengan kapasitas untuk berempati, namun pengalaman sosialisasi bisa menentukan jikalau ini menjadi komponen utama dari diri kita sendiri. Penelitian mengungkapkan bahwa anak-anak yang sangat empatik memiliki ibu yang empatik, pengambil perspektif yang baik, hangat dan nyaman. (iii) Motivation; Batson menyoroti empati sebagai motivasi untuk altruisme. Ia membedakan antara membantu yang termotivasi secara egoistic (bermanfaat bagi pelaku) dan membantu yang termotivasi secara altruistik (fokus terhadap kebutuhan orang lain). Biehroff dan Rohmann dalam Mercer dan Debbie (2010:100) mengatakan bahwa bukti eksperimental ini menunjukkan bahwa orang yang mengalami keadaan afektif cenderung memiliki kemungkinan untuk lebih membantu orang yang membutuhkan. 2. Belief in a just world Orang yang selalu membantu melihat dunia ini sebagai tempat yang adil dan dapat diprediksi bahwa yang berperilaku baik akan dihargai dan yang berperilaku jahat akan dihukum. Mercer dan Debbie (2010:99) menambahkan bahwa kita semestinya memiliki norma keadilan yang mempengaruhi cara kita menilai kebutuhan orang lain untuk bantuan dan mempertimbangkan beban terhadap diri kita sendiri. Jika hasil dari membantu tidak cocok dengan standarisasi keadilan kita, maka kita terbilang termotivasi secara egoistik daripada secara altruistik. 3. Social responsibility Orang yang selalu membantu juga meyakini bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggung jawab melakukan yang terbaik untuk membantu siapapun yang membutuhkan bantuan. 4. Internal locus of control Kepercayaan bahwa manusia dapat memilih untuk berperilaku dalam arah yang memaksimalkan hasil yang baik dan meminimalkan yang buruk, namun hasil juga dikendalikan oleh keberuntungan , nasib, orang-orang dengan kekuasaan dan faktor tak terkendali lainnya. 12 5. Low egocentrism Seseorang yang bersifat altruistik cenderung tidak mementingkan diri sendiri dan kompetitif. 2.2.2 Tiga Konsep Altruisme yang Saling Berhubungan Menurut Miyamoto Menurut Miyamoto (2003:4-5), Altruisme terdapat tiga konsep yang berhubungan dengan altruisme itu sendiri: 1. Konsep Altruisme atau ritashin 「利他心」は「自分にとってはマイナスとなっても他を利する 心(と行為)」と定義できよう。利他心は2つに分けられる。 それは心(動機)と行為である。 Artinya: Altruisme adalah tindakan menguntungkan pihak lain walau berdampak negatif pada diri sendiri. Altruisme sendiri dapat dibagi dalam dua aspek yaitu motif atau kokoro atau dōki dan tindakan atau kōi 2. Konsep Kerjasama atau kyōryoku 「協力」とは「共通の目的のために力を合わせること」と定義 できる。利他心は心と行為の 2 面を表す概念だが、協力は行為 概念である。 Artinya: Kerjasama adalah tindakan menyatukan kekuatan demi mencapai tujuan suatu komunitas. Dalam dua aspek Altruisme, Kerjasama termasuk ke dalam aspek tindakan. 3. Konsep Kepercayaan atau shinrai 「信頼」は「自己の属する集団内で他人が社会的規範を守り、 裏切らないと信じること」と定義できる。 Artinya: Kepercayaan adalah tindakan mempercayai bahwa dalam suatu komunitas, orang lain melindungi norma-norma sosial dan tidak berkhianat. 13 2.2.3 Bentuk-bentuk Altruisme Scott dan Jonathan (2007:70) mengemukakan bentuk-bentuk altruism yang dihasilkan melalui adaptasi urutan tahap moral milik Kohlberg yaitu sebagai berikut; 1. Mutual Altruism; bertujuan untuk memenuhi kewajiban peran bersama 2. Conscientious Altruism; ditandai dengan rasa empati yang lebih besar dari tanggung jawab sosial 3. Autonomous Altruism; berdasarkan martabat universal, kesetaraan, dan hak semua orang 4. Reciprocal Altruism; dilakukan dengan harapan mendapatkan imbalan di masa yang akan datang dari keuntungan seseorang. 2.3 Konsep Wa Menurut Prasol (2010:42-63), dalam sebuah budaya yang bertujuan terhadap keharmonisasi dan kerjasama dalam berinteraksi, interaksi antara pembicara dan pendengar adalah sangat penting sehingga setiap orang yang mempelajari Bahasa Jepang secara otomatis akan menjadi akrab dengan konsep Konfusianisme dari hubungan antara individu dan peran sapaan dalam hubungan yang harmonis. Orang Jepang percaya bahwa keselarasan antara individu adalah elemen yang paling penting dari harmoni (wa) secara global. Dengan demikian, setiap orang asing dapat segera melihat bahwa hubungan antara orang-orang di Jepang berbeda dari yang terlihat di negara-negara lain, karena kesopanan Jepang terkenal didasarkan pada kecenderungan untuk menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis. Prasol (2010:87-88) mengatakan bahwa masyarakat Jepang terdiri dari berbagai kelompok gaya keluarga yang diselenggarakan secara hirarkis. Seluruh bangsa, sampai batas tertentu, terasa seperti sebuah keluarga besar di mana damai dan harmonis harus menang. 2.4 Konsep Wa dalam Dimensi Japanese Organizational Citizenship Behavior (OCB) Menurut Ueda dan Yoshimura Ueda dan Yoshimura (2011:28) mengatakan bahwa menjaga lingkungan yang harmonis terkait dengan perilaku yang dilakukan dalam rangka membangun hubungan antar manusia yang baik dan meningkatkan suasana di kantor. Menurut 14 Fahr et al dalam Ueda dan Yoshimura (2011:28) mendefinisikan harmonisasi antarpribadi sebagai perilaku pengamanan oleh seorang karyawan untuk menghindari mengejar kekuasaan pribadi dan kepentingan pribadi yang mengakibatkan efek merugikan terhadap orang lain dan organisasi. Khususnya di kantor Jepang, walaupun pegawai bekerja secara independen, mereka cenderung memiliki paham berkelompok dalam lingkungan. Dengan demikian, berbaik hati atau ramah menjadi sangat penting untuk meningkatkan hubungan manusia di tempat kerja.