7 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Prosocial Behavior

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Konsep Prosocial Behavior
Prosocial behaviour merupakan kategori yang luas dari helping behavior.
Prosocial behavior didefinisikan oleh beberapa segmen yang signifikan dari
masyarakat atau kelompok sosial yang secara umum menguntungkan bagi orang lain.
Penner et al dalam Mercer dan Debbie (2010:93) membagi prosocial literature
dalam tiga kategori, yaitu:
1.
Meso level
2.
Micro level
3.
Macro level
1. Meso Level
Tindakan menolong ditinjau dari segi tingkat interpersonal (contoh :
spesifikasi dan situasi tindakan prososial diantara seseorang dengan
lawannya). Faktor-faktor yang dikatakan dapat menghambat maupun
meningkatkan perilaku prososial sebagai berikut;
i.
Who need help
Kita akan lebih membantu teman dengan cepat dibandingkan
membantu orang lain yang tidak dikenal.
ii.
Similarity
Kita akan lebih senang membantu orang yang terlihat sama atau
mirip dengan kita. (Contoh : ras, gender)
iii.
Attribution of the cause of the distress
Kita akan kurang membantu orang yang sudah seharusnya
bertanggung jawab atas insiden secara personal. (Contoh : Pemabuk
yang terjatuh di jalanan)
iv.
Alcohol
Alkohol dapat mengurangi ketegangan situasi yang diakibatkan
oleh orang-orang di sekitarnya, sehingga pada saat orang minum,
mereka menunjukkan tingkat kecenderungan ingin membantu
7
8
dikarenakan mereka tidak terpengaruh oleh kepanikan yang terjadi di
sekitarnya.
v.
Weighing up the costs and benefits
Sebagai bagian dari decision-making process menyarankan bahwa
agar para individu mempertimbangkan antara beban (waktu) yang
dipakai jika membantu dengan beban (perasaan bersalah) jika tidak
membantu.
2. Micro Level
Terdapat dua pendekatan asal usul kecenderungan prosocial behavior
yaitu : evolutionary theory dan social norm. Pertama, pendekatan
evolutionary theory ini berpendapat bahwa kita secara biologis cenderung
untuk membantu mereka yang berbagi gen yang sama dengan kita. Hal ini
dikenal sebagai inclusive fitness (kemampuan inklusif) yang merupakan
kemampuan langsung dari keturunan. Kedua, Gouldner dalam Mercer dan
Debbie (2010:98) mengatakan bahwa norma timbal balik atau reciprocity
merupakan bagian dari genetik bersama dan menyarankan bahwa norma
timbal balik adalah norma budaya bersama. Nilai helping behavior dalam
segi social psychology disebut sebagai social norm.
Social norm adalah kepercayaan atau jenis perilaku yang dianggap
normal dan dapat diterima dalam kelompok tertentu atau masyarakat.
Melalui proses sosialisasi, menjadi keyakinan normatif yang secara internal
diadakan yang dapat memiliki efek yang kuat terhadap cara kita berperilaku.
Berkowitz dalam Mercer dan Debbie (2010:98) juga mengatakan bahwa
beberapa orang akan membantu orang yang membutuhkan serta tidak
mengekspetasikan pujian atau rasa terima kasih dari orang lain. Ini
dikatakan memiliki relasi dengan norma dari social responsibility yang
dikatakan membantu orang lain merupakan hal yang harus kita lakukan,
baik tidak tergantung pada imbalan di masa yang akan datang maupun orang
tersebut pernah membantu kita.
3. Macro Level
Volunteering merupakan tipe yang beda dari helping behavior karena
direncanakan, biasanya berjangka panjang, dan dianggap kurang karena
9
lebih cenderung merupakan rasa kewajiban pribadi. Clary et al dalam
Mercer dan Debbie (2010:101) mengembangkan volunteering functions
inventory (VFI) dalam enam dimensi, sebagai berikut;
i.
Values
Untuk mengekspresikan atau bertindak dalam nilai yang penting
(Contoh : paham kemanusiaan atau humanitarianism).
ii.
Understanding
Untuk belajar lebih mengenai dunia atau melatih skill yang sering
tidak dipakai.
iii.
Inventory enhancement
Untuk meningkatkan dan mengembangkan psikologis pribadi
(Contoh : terlibat dalam kegiatan sukarela).
iv.
Social
Untuk memperkuat relasi sosial.
v.
Career
Untuk mendapatkan pengalaman yang berkaitan dengan karir.
vi.
Protective
Untuk mengurangi perasaan negatif (Contoh : rasa bersalah,
kesepian) atau untuk mengatasi masalah pribadi.
2.2
Konsep Altruisme
Konsep Altruisme diciptakan oleh filsuf Perancis dan sosiolog bernama
Auguste Comte (1798-1857). Altruisme berasal dari kata Italia altrui yang
merupakan "untuk orang lain". Mercer dan Debbie (2010:83) mendifinisikan
altruism sebagai helping behavior yang tidak mementingkan diri sendiri yang
termotivasi oleh keinginan untuk menguntungkan orang lain.
Konsep Altruisme juga diterapkan dalam perusahaan Jepang yang sering
disebut sebagai ritashugi. Rita yang mengandung arti “altruisme” dan Shugi yang
mengandung arti “penerapan”, sehingga ritashugi memiliki arti “penerapan
altruisme”.
Altruisme dan prosocial behavior sering dipakai bergantian namun sebenarnya
tidak sama dan terdapat perbedaan, karena prosocial behavior dapat juga
mendapatkan imbalan, sedangkan altruisme merupakan tindakan prososial sebagai
10
tujuan sendiri dengan tidak adanya keuntungan bagi altruis. Menurut teori Darwin
dalam Mercer dan Debbie (2010:98), Altruisme merupakan tindakan yang berkaitan
dengan sifat-sifat positif seperti kedermawanan, dan berbaik hati.
2.2.1 Ciri-ciri Sifat Altruistik (Altruistic Personality)
Bierhoff et al dalam Mercer dan Debbie (2010:99) menyatakan bahwa
orang yang memiliki sifat altruistik, tinggi pada lima dimensi yang merupakan
ciri khas seseorang (altruistic personality) yang terlibat dalam perilaku
prososial dalam berbagai konteks:
1.
Empathy
Seperti yang kita lihat bahwa orang yang membantu memiliki
rasa empati yang tinggi. Mereka juga mendeskripsikan diri mereka
sebagai orang yang bertanggung jawab, bersosialisasi, sesuai dengan
norma yang berlaku, toleransi, pengontrolan diri dan termotivasi untuk
membuat kesan yang baik. Baron et al dalam Mercer dan Debbie
(2010:99) mengatakan bahwa empati merupakan respon afektif dan
kognitif yang kompleks terhadap tekanan emosional orang lain yang
telah banyak dikaitkan dengan prosocial behavior. Komponen afektif
telah diidentifikasi sebagai perasaan tertekan sendiri ketika orang lain
tertekan dan perasaan simpati dan kepedulian terhadap orang,
sehingga anda ingin mencoba untuk meringankan penderitaan tersebut.
Sedangkan komponen kognitif mengacu pada kemampuan untuk
mempertimbangkan sudut pandang orang lain, sering disebut sebagai
'pengambilan perspektif'
Aspek-aspek yang menjelaskan perbedaan individual dan
empati menurut para ahli :
(i) Biological; Davis et al dalam Mercer dan Debbie (2010: 99)
mengatakan bahwa perbedaan biologis dianggap mencapai
sekitar sepertiga dari variasi dalam empati afektif. Mereka
menemukan bukti tersebut untuk efek herediter pada
komponen afektif empati yaitu tekanan personal dan perhatian
simpatik.
11
(ii) Socialisation; Eisenberg et al dalam Mercer dan Debbie
(2010:100) mengatakan bahwa kita mungkin dilahirkan
dengan kapasitas untuk berempati, namun pengalaman
sosialisasi bisa menentukan jikalau ini menjadi komponen
utama dari diri kita sendiri. Penelitian mengungkapkan bahwa
anak-anak yang sangat empatik memiliki ibu yang empatik,
pengambil perspektif yang baik, hangat dan nyaman.
(iii) Motivation; Batson menyoroti empati sebagai motivasi untuk
altruisme. Ia membedakan antara membantu yang termotivasi
secara egoistic (bermanfaat bagi pelaku) dan membantu yang
termotivasi secara altruistik (fokus terhadap kebutuhan orang
lain). Biehroff dan Rohmann dalam Mercer dan Debbie
(2010:100) mengatakan bahwa bukti eksperimental ini
menunjukkan bahwa orang yang mengalami keadaan afektif
cenderung memiliki kemungkinan untuk lebih membantu
orang yang membutuhkan.
2.
Belief in a just world
Orang yang selalu membantu melihat dunia ini sebagai tempat yang
adil dan dapat diprediksi bahwa yang berperilaku baik akan dihargai
dan yang berperilaku jahat akan dihukum. Mercer dan Debbie
(2010:99) menambahkan bahwa kita semestinya memiliki norma
keadilan yang mempengaruhi cara kita menilai kebutuhan orang lain
untuk bantuan dan mempertimbangkan beban terhadap diri kita sendiri.
Jika hasil dari membantu tidak cocok dengan standarisasi keadilan kita,
maka kita terbilang termotivasi secara egoistik daripada secara altruistik.
3.
Social responsibility
Orang yang selalu membantu juga meyakini bahwa setiap orang
memiliki kewajiban dan tanggung jawab melakukan yang terbaik untuk
membantu siapapun yang membutuhkan bantuan.
4.
Internal locus of control
Kepercayaan bahwa manusia dapat memilih untuk berperilaku dalam
arah yang memaksimalkan hasil yang baik dan meminimalkan yang
buruk, namun hasil juga dikendalikan oleh keberuntungan , nasib,
orang-orang dengan kekuasaan dan faktor tak terkendali lainnya.
12
5.
Low egocentrism
Seseorang yang bersifat altruistik cenderung tidak mementingkan
diri sendiri dan kompetitif.
2.2.2 Tiga Konsep Altruisme yang Saling Berhubungan Menurut
Miyamoto
Menurut Miyamoto (2003:4-5), Altruisme terdapat tiga konsep yang
berhubungan dengan altruisme itu sendiri:
1. Konsep Altruisme atau ritashin
「利他心」は「自分にとってはマイナスとなっても他を利する
心(と行為)」と定義できよう。利他心は2つに分けられる。
それは心(動機)と行為である。
Artinya:
Altruisme adalah tindakan menguntungkan pihak lain walau
berdampak negatif pada diri sendiri. Altruisme sendiri dapat dibagi
dalam dua aspek yaitu motif atau kokoro atau dōki dan tindakan atau
kōi
2. Konsep Kerjasama atau kyōryoku
「協力」とは「共通の目的のために力を合わせること」と定義
できる。利他心は心と行為の 2 面を表す概念だが、協力は行為
概念である。
Artinya:
Kerjasama adalah tindakan menyatukan kekuatan demi mencapai
tujuan suatu komunitas. Dalam dua aspek Altruisme, Kerjasama
termasuk ke dalam aspek tindakan.
3. Konsep Kepercayaan atau shinrai
「信頼」は「自己の属する集団内で他人が社会的規範を守り、
裏切らないと信じること」と定義できる。
Artinya:
Kepercayaan adalah tindakan mempercayai bahwa dalam suatu
komunitas, orang lain melindungi norma-norma sosial dan tidak
berkhianat.
13
2.2.3 Bentuk-bentuk Altruisme
Scott dan Jonathan (2007:70) mengemukakan bentuk-bentuk altruism
yang dihasilkan melalui adaptasi urutan tahap moral milik Kohlberg
yaitu sebagai berikut;
1. Mutual Altruism; bertujuan untuk memenuhi kewajiban peran
bersama
2. Conscientious Altruism; ditandai dengan rasa empati yang lebih besar
dari tanggung jawab sosial
3. Autonomous Altruism; berdasarkan martabat universal, kesetaraan,
dan hak semua orang
4. Reciprocal Altruism; dilakukan dengan harapan mendapatkan imbalan
di masa yang akan datang dari keuntungan seseorang.
2.3
Konsep Wa
Menurut Prasol (2010:42-63), dalam sebuah budaya yang bertujuan terhadap
keharmonisasi dan kerjasama dalam berinteraksi, interaksi antara pembicara dan
pendengar adalah sangat penting sehingga setiap orang yang mempelajari Bahasa
Jepang secara otomatis akan menjadi akrab dengan konsep Konfusianisme dari
hubungan antara individu dan peran sapaan dalam hubungan yang harmonis. Orang
Jepang percaya bahwa keselarasan antara individu adalah elemen yang paling
penting dari harmoni (wa) secara global. Dengan demikian, setiap orang asing dapat
segera melihat bahwa hubungan antara orang-orang di Jepang berbeda dari yang
terlihat di negara-negara lain, karena kesopanan Jepang terkenal didasarkan pada
kecenderungan untuk menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis. Prasol
(2010:87-88) mengatakan bahwa masyarakat Jepang terdiri dari berbagai kelompok
gaya keluarga yang diselenggarakan secara hirarkis. Seluruh bangsa, sampai batas
tertentu, terasa seperti sebuah keluarga besar di mana damai dan harmonis harus
menang.
2.4 Konsep Wa dalam Dimensi Japanese Organizational Citizenship Behavior
(OCB) Menurut Ueda dan Yoshimura
Ueda dan Yoshimura (2011:28) mengatakan bahwa menjaga lingkungan yang
harmonis terkait dengan perilaku yang dilakukan dalam rangka membangun
hubungan antar manusia yang baik dan meningkatkan suasana di kantor. Menurut
14
Fahr et al dalam Ueda dan Yoshimura (2011:28) mendefinisikan harmonisasi
antarpribadi sebagai perilaku pengamanan oleh seorang karyawan untuk menghindari
mengejar kekuasaan pribadi dan kepentingan pribadi yang mengakibatkan efek
merugikan terhadap orang lain dan organisasi. Khususnya di kantor Jepang,
walaupun pegawai bekerja secara independen, mereka cenderung memiliki paham
berkelompok dalam lingkungan. Dengan demikian, berbaik hati atau ramah menjadi
sangat penting untuk meningkatkan hubungan manusia di tempat kerja.
Download