I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kalsium

advertisement
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kalsium merupakan salah satu mineral makro yang sangat dibutuhkan
oleh tubuh. Kekurangan asupan kalsium di dalam tubuh dapat menyebabkan
gangguan, terutama berhubungan dengan kesehatan tulang. Salah satu penyakit
defisiensi kalsium yang menjadi perhatian penting karena efek yang
ditimbulkannya adalah osteoporosis. Osteoporosis adalah gejala menyusutnya
massa tulang, sehingga tulang menjadi rapuh, keropos dan mudah patah. Menurut
data Puslitbang Gizi Depkes RI tahun 2006, angka prevalensi osteopenia
(osteoporosis dini) adalah 41,7% dan prevalensi osteoporosis sebesar 10,3% yang
berarti 2 dari 5 penduduk Indonesia berisiko terkena osteoporosis. Lebih jauh
dijelaskan bahwa kondisi ini terjadi akibat asupan kalsium masyarakat Indonesia
masih sangat kurang jika dibandingkan dengan jumlah asupan yang dianjurkan.
Menurut Departemen Kesehatan (2009), jumlah asupan kalsium penduduk
Indonesia hanya berkisar antara 270-300 mg per hari untuk orang dewasa dan
antara 318-380 mg per hari untuk wanita hamil. Padahal asupan kalsium yang
dianjurkan menurut Standar Internasional sebesar 1000-1200 mg per hari untuk
orang dewasa dan 1200-1500 mg per hari untuk wanita hamil. Hal ini
menunjukkan bahwa asupan dan kebutuhan kalsium masyarakat Indonesia tidak
seimbang sehingga rawan terhadap penyakit defisiensi kalsium yang dapat
menyebabkan gangguan pada tulang.
Sumber kalsium yang banyak dikonsumsi saat ini terutama dari susu dan
produk-produk olahannya.
Reykdall dan Lee (1991) menambahkan bahwa
1
meskipun kandungan kalsium antara susu dan bayam relatif sama, namun kalsium
yang tersedia pada susu 9 kali lebih tinggi dibandingkan bayam. Absorbsi kalsium
susu pada manusia 5.4 kali lebih besar dibandingkan bayam (Heaney dkk., 1988).
Perbedaan absorbsi terutama disebabkan perbedaan kelarutan kalsium bayam
yang lebih rendah dibanding susu. Meskipun susu merupakan sumber kalsium
yang baik, susu sebagai sumber kalsium memiliki keterbatasan, terutama pada
penderita lactose intolerance, susu dapat menyebabkan diare. Selain itu, karena
berbagai alasan tidak semua masyarakat menyukai susu dan produk olahannya,
sehingga diperlukan suatu usaha untuk mencari bahan makanan yang
mengandung kalsium dari sumber lain untuk memenuhi asupan kalsium harian.
Salah satu alternatif sumber kalsium yaitu Spirulina platensis. Spirulina
merupakan mikroalga berwarna hijau-kebiruan (cyanophyceae),
termasuk
sianobakteri dan sangat mudah dibudidayakan. Kandungan kalsium dalam S.
platensis dapat mencapai hampir 700-1000 mg kalsium per 100 g, dibandingkan
berbagai jenis sayuran kandungannya mencapai 3 kali lipatnya, dibandingkan susu
dan yogurt 4 kalinya (Tietze, 2004). Kandungan kalsium dalam biomassa dapat
bervariasi terutama dipengaruhi oleh media budidayanya. Beberapa faktor dalam
lingkungan budidaya S. platensis yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
komposisi biomassanya, yaitu pH, salinitas, intensitas cahaya, suhu, ion
bikarbonat, dan fosfor (Vonshak, 1984; 1987; Markou dkk., 2012). Lingkungan
pH yang alkali (8-11) menguntungkan karena selama budidaya tidak mudah
terkontaminasi dengan mikroalga lainnya. Jiminez dkk. (2003) menjelaskan
2
bahwa biomassa kering S.
platensis dapat mencapai 30-32 ton per hektar
kolam/tahun.
Habib dkk. (2008) menyatakan bahwa FAO merekomendasikan
konsumsi 4 g Spirulina untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan kalsium
harian. Hasil penelitian Gupta dkk. (2010), mengungkapkan bahwa pemberian
500 mg/kg BB S. fusiformis dapat meningkatkan integritas tulang tikus diabetik.
Di Indonesia, Spirulina terutama dikonsumsi sebagai suplemen dengan dosis
anjuran 10-35 g/hari. Pada dosis 500 mg/kg BB S. fusiformis dapat meningkatkan
integritas tulang tikus diabetik (Gupta dkk., 2010). Bergesernya gaya hidup,
menyebabkan masyarakat lebih memilih pangan fungsional dibandingkan
konsumsi suplemen yang secara psikologis seperti minum obat. Pangan
fungsional merupakan pangan yang memiliki zat gizi sekaligus memiliki efek
fisiologis terhadap kesehatan. Beberapa penelitian penambahan S. platensis ke
dalam berbagai produk pangan telah dikembangkan. Preferensi konsumen
terhadap produk tersebut terutama pada produk bakery yaitu cookies dan flake,
minuman jelly dan yogurt (Lelana dkk., 2011 dan 2012; Larasati, 2010;
Prabamukti, 2010; Arumsari, 2011). Produk tersebut dapat dijadikan sebagai
alternatif sumber kalsium untuk masyarakat.
Fortifikasi dalam produk pangan tersebut dapat menyebabkan S. platensis
mengalami berbagai kondisi proses pengolahan, antara lain terkena suhu tinggi
(panas), pH, oksigen dan cahaya dalam waktu singkat maupun lama. Lelana dkk.
(2010) menjelaskan bahwa produk produk yang diperkaya S.platensis dan disukai
oleh konsumen adalah produk-produk bakery dan minuman jelly. Produk bakery
3
terutama diproses pada suhu 120-180°C dan minuman diproses pada suhu 120180°C.
Proses pengolahan dapat mengakibatkan perubahan bioavailabilitas
mineral dan komponen gizi lainnya. Santoso dkk. (2006), menyatakan bahwa
mineral pada makanan dapat berubah struktur kimianya pada waktu proses
pengolahan atau akibat interaksi dengan bahan lain. Reykdal dan Lee (1991)
menjelaskan bahwa pengolahan susu penuh (whole milk) menjadi susu skim dapat
menurunkan
bioavailabilitas
kalsium,
sedangkan
beberapa
penelitian
menunjukkan bahwa proses pasteurisasi pada 3,6% susu rekonstitusi (Keane dkk.,
1988) dan pemanasan selama 30 menit pada 10%
susu rekonstitusi tidak
menyebabkan perubahan bioavailabilitas kalsium. Dengan demikian terlihat
bahwa pola bioavailabilitas kalsium sangat dipengaruhi oleh pengolahan. Paparan
panas tinggi menggunakan oven pada biomassa kering S.platensis dapat
menyebabkan perubahan beberapa komponen gizi (air, lemak, dan sifat
fungsionalnya: aktivitas antioksidan, kelarutan, water absorption, serta water
holding capacity), sedangkan protein dan kadar abu relatif tetap. Paparan dengan
uap panas (70-100°C) mampu mempertahankan zat gizi dibandingkan paparan
dengan udara panas (oven) (Ekantari, 2012). Namun demikian, mineral yang
tersedia khususnya bioavailabilitas kalsium belum dikaji lebih lanjut .
Bioavailabilitas kalsium selain dipengaruhi jumlah yang tersedia juga
kemampuannya untuk diabsorbsi. Bronner dan Pansu (1999) menjelaskan bahwa
efisiensi absorpsi kalsium dipengaruhi antara lain solubilitas, keasaman, serat dan
lemak dalam diet. Kalsium mudah diserap dalam bentuk ion. Apabila kelarutan
4
garam kalsium semakin tinggi, maka lebih mudah diabsorpsi, sedangkan
keasaman dalam usus halus penting, karena dalam suasana alkalis, Ca2+ akan
membentuk garam dan mengalami presipitasi, sehingga sulit diserap. Lee dkk.
(2001) menyatakan bahwa Ca dalam S.platensis terikat secara ionik dengan
polisakarida tersulfitasi. Beberapa jenis polisakarida yang terdapat dalam S.
platensis dan telah dilaporkan antara lain polimer yang terdiri atas rhamnosa,
(Chaiklahan dkk., 2013; Lee dkk., 2000), manosa, xylosa, galaktosa (Sekharam
dkk., 1987), dan
glukan (Sekharam dkk., 1989), hemiselulosa dan pektin
(Babadzhanov dkk., 2004).
Kompleks serat pangan dengan kalsium pada S.platensis dimungkinkan
dapat mempengaruhi bioavailabilitas kalsium. Urbano dkk. (1999) menyebutkan
bahwa pada serealia, serat pangan justru dapat menghambat absorpsi kalsium dan
fosfor karena adanya asam fitat yang mengikat mineral tersebut membentuk
kompleks mineral. Pada bagian ileum dan jejunum, keberadaan kompleks mineral
kalsium dengan bahan lain seperti serat pangan juga dapat menyebabkan
penurunan absorpsi. Namun demikian, apabila serat pangan mencapai usus besar
dan dapat difermentasi oleh bakteri fecal, dapat menghasilkan short chain fatty
acid (SCFA) sehingga kondisi menjadi lebih asam dan dapat meningkatkan
penyerapan
kalsium.
meningkatkan
Beberapa
bioavailabilitas
serat
pangan
kalsium
dalam
larut
tubuh.
ternyata
berpotensi
Cashman
(2002)
menyebutkan, oligosakarida dapat memperbaiki penyerapan kalsium pada remaja
dan dewasa. Belay (2008) menyebutkan bahwa karbohidrat dalam S. platensis
terutama terdiri dari rhamnosa, kurang lebih sebesar 43% komponen karbohidrat
5
adalah serat pangan. Namun demikian, informasi tentang serat pangan S. platensis
masih sangat terbatas. Sekharam dkk. (1989) menjelaskan bahwa glukan yang
ditemukan di S. platensis memiliki rantai utama α-1,4 dan bercabang pada α-1,6.
Apabila dihidrolisis dengan α-amilase, α- glukosidase dan pullulanase
menghasilkan glukosa dan maltosa, sedangkan hidrolisis dengan asam diperoleh
glukosa, maltosa, isomaltosa, dan maltotriosa. Terlihat bahwa keberadaan serat
pangan dapat menggangu absorpsi kalsium (di usus halus), namun dapat juga
bersifat menguntungkan, yaitu meningkatkan absorpsi (di usus besar), maka perlu
diteliti serat pangan dan kalsium S. platensis dalam sistem pangan dikaitkan
dengan bioavailabilitasnya.
1.2.
Perumusan Masalah:
1. Bagaimanakah potensi S. platensis dari Indonesia sebagai sumber kalsium
dengan media budidaya air laut maupun air tawar sebagai sumber
kalsium?
2. Bagaimanakah efek pengolahan dengan pemanggangan serta pemanasan
pada berbagai pH terhadap kelarutan kalsium (Ca) dari S. platensis?
3. Bagaimanakah hubungan bioavailabilitas kalsium dengan
kandungan
kalsium dan serat pangan dalam S. platensis?
4. Berapakah bioavailabilitas kalsium dan bagaimana fermentabilitas serat
pangan dari S. platensis dan apakah berpengaruh terhadap bioavailabilitas
Ca dalam tubuh tikus?
6
1.3.
Tujuan Penelitian:
Tujuan Umum:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pengolahan pada S.
platensis serta hubungan antara kalsium dan serat pangan terhadap bioavailabilitas
kalsium (Ca) pada model hewan coba.
Tujuan Khusus Penelitian ini adalah:
1. Mengetahui sifat sensoris, fisik, kimia dan fisikokimiawi Spirulina
platensis yang berasal dari berbagai tempat budidaya yang berpotensi
sebagai sumber kalsium.
2. Mengetahui pengaruh pengolahan dengan pemanggangan (baking)
terhadap perubahan sifat fisiko kimia (kelarutan, kemampuan mengikat air
dan lemak), proporsi serat pangan tak larut dan serat pangan larut serta
bioavailabilitas invitro kalsium dari massa semi padat S. platensis.
3. Mengetahui pengaruh kondisi pengolahan dengan variasi pH dan suhu
pemanasan terhadap kelarutan kalsium biomassa S. platensis.
4. Mengevaluasi bioavailabilitas kalsium dan fermentabilitas serat pangan
serta pengaruh fermentasi serat pangan terhadap bioavailabilitas kalsium
S. platensis secara in vivo menggunakan hewan coba tikus SpragueDawley.
7
1.4. Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi ilmiah terkait
ketersediaan dan bioavailabitas kalsium (Ca), dan gambaran hubungan kalsium
dan serat yang terdapat pada Spirulina platensis dalam suatu sistem pangan,
diharapkan hasil penelitian dapat digunakan sebagai sumber informasi untuk
aplikasi S.platensis ke dalam berbagai produk pangan.
8
Download