hak penulis dan penerbit dilindungi undang - psg

advertisement
hak penulis dan penerbit dilindungi undang-undang
volume 3, nomor 2, Desember 2010
Volume 3. Nomor 2. Desember 2010
Penanggung Jawab
Abdul Hadi
Mitra Bestari
Siti Syamsiatun
Ismi Dwi Astututi Nurhaeni
Penyunting Pelaksana
Umma Farida
Siti Muflichah
Nur Said
Pimpinan Redaksi
Nur Mahmudah
Sekretaris Redaksi
Primi Rohimi
Dewan Redaksi
Siti Malaiha Dewi
Setyoningsih
Rini Dwi Susanti
Desain Grafis
Muhlisin
Sekretariat
Bunawati
Penerbit
Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Kudus
Alamat Redaksi
PSG STAIN Kudus, Jl. Conge Ngembalrejo PO BOX 51
Telp.0291 432677 Fax.0291 441613 Kudus 59322
Email&facebook: [email protected]
Website: www.psgstainkds.multiply.com
Jurnal PALASTRèN diterbitkan oleh Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Kudus enam bulan sekali pada
bulan Juli dan Desember. Redaksi menerima tulisan baik berupa hasil riset, kajian teks maupun telaah
buku yang terkait dengan isu-isu gender atau persoalan perempuan terkini. Tulisan diprioritaskan
yang memberi jalan keluar bagi persoalan ketidakadilan gender. Teknik penulisan merujuk pada
acuan terlampir. Redaksi berhak memperbaiki susunan kalimat tanpa merubah substansi. Isi tulisan
sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
iii
iv
PENGANTAR REDAKSI
Puji Syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
hidayah dan inayahnya sehingga jurnal PALASTReN dapat
kembali hadir secara kontinu dan konsisten untuk melakukan
diseminasi gagasan yang berkaitan dengan berbagai isu gender
sebagai bagian ikhtiar akademis untuk mewujudkan relasi
gender yang adil dan setara.
Selanjutnya tim redaksi menyampaikan terima kasih
atas antuasisme pembaca dalam merespon kehadiran jurnal
PALASTReN­ sejak awal hingga memasuki tahun ketiga. Kritik
dan masukan pembaca memberikan kontribusi yang penting
menuju peningkatan kualitas jurnal. Berbekal keinginan tersebut,
tim redaksi berupaya melakukan beberapa pembenahan dalam
edisi ini yang dapat pembaca nikmati mulai dari perwajahan­
hingga penyuntingan.
Substansi edisi ini menyajikan beberapa artikel konseptual­
dan hasil riset yang berkaitan dengan isu gender ketika di­
hadapkan pada norma dan realitas empiris. Dialektika Islam
dan relasi gender dalam dataran teks mengetengahkan beberapa
tulisan yang menarik. Tulisan pembuka oleh Umma Farida yang
berjudul Teks-Teks Keagamaan dalam Kajian Kaum Feminis: Telaah
terhadap Pendekatan Studi Islam dari Kalangan Feminis Muslim
diharapkan mampu memberikan mapping terhadap berbagai
cara pembacaan terhadap teks keagamaan dalam studi Islam
yang ramah terhadap perempuan. Kajian tentang seksualitas
perempuan dalam teks keislaman dan realitas masyarakat
ditawarkan oleh Nur Mahmudah yang melakukan riset tentang teks
yang menjadi pembentuk pemikiran di pesantren atau yang biasa
dikenal sebagai kitab kuning dalam tulisan Konstruksi Seksualitas
Perempuan dalam Literatur Klasik Pesantren (Studi Terhadap Kitab
Uqud al-Lujjayn karya Nawawi al-Banteni), dan Muhammad Mustaqim­
yang mengkaji fenomena sunat perempuan dalam Sirkumsisi­
Perempuan antara Tradisi Keagamaan dan Kekerasan Gender.­
Dunia politik perempuan yang diwarnai dialektika antara­
tradisi dan perilaku politik perempuan dalam masyarakat Samin
di Kudus ditawarkan dalam kajian Moh. Rosyid dalam tulisan­
Perempuan Samin dalam Politik.
Sementara berkaitan dengan domestifikasi terhadap
peran­ perempuan disinggung oleh tulisan Annisa Listiana dengan­
judul Pekerja Rumah Tangga, Liku Kehidupan dan Perspektif­ Islam
Tentangnya sebagai pengalaman perempuan Indonesia. Sementara
Dewi Ulya Meilasari membagi pengalaman masyarakat Amerika
dalam melakukan pembagian kerja bagi laki-laki dan perempuan
dalam rentangan sejarah hingga mampu mewujudkan
kesetaraan peran melalui tulisan Pembagian Peran di Rumah
Tangga Amerika. Ulasan M. Rikza Khamami yang menyinggung
Kreatifitas Perempuan dalam Transformasi Sosial diharapkan dapat
mengatasi ketimpangan peran perempuan baik dalam menjalani
peran ­domestik dan peran publik secara adil. Isu gender dalam buku juga menjadi bagian dari
pergulatan mewacanakan kesetaraan menghadirkan dua buah
buku. Setyoningsih dalam tulisan Perjuangan Emansipasi melalui
Bahasa Perempuan merupakan refleksi terhadap buku Bahasa
Perempuan: Sebuah Potret Ideologi Perjuangan (2009). Demikian juga
upaya melakukan pembacaan kembali fiqh yang ramah terhadap
perempuan dalam buku Fiqh Perempuan: Refleksi Kyai atas Wacana
Agama dan Gender (2009) menghasilkan tulisan Muhammad
Zainal Abidin yang berjudul Tafsir Baru Fiqh Perempuan.
Sebagai kata akhir, redaktur menyampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah mendukung penerbitan
edisi ini terutama para penulis yang telah menyiapkan artikel
dan hasil penelitiannya untuk diterbitkan. Juga kepada mitra
bestari yang banyak memberikan masukan serta para pembaca
yang budiman yang tetap kami tunggu saran konstruktifnya.
Kepada mereka semua redaktur menyampaikan terimakasih
dan penghargaan setinggi-tingginya. Akhirnya, kami sampaikan
SELAMAT MEMBACA.
Kudus, Desember 2010
Redaktur
vi
DAFTAR ISI
IDE UTAMA
Teks-Teks Keagamaan dalam Kajian Kaum Feminis:
Telaah terhadap Pendekatan Studi Islam
dari Kalangan Feminis Muslim 203 - 229
Umma Farida
Pekerja Rumah Tangga, Liku Kehidupan
dan Perspektif Islam Tentangnya Annisa Listiana 230 - 246
Kreatifitas Perempuan dalam
Transformasi Sosial M. Rikza Khamami
247 - 262
Sirkumsisi Perempuan antara Tradisi Keagamaan
dan Kekerasan Gender 263 - 276
Muhammad Mustaqim
RISET
Konstruksi Seksualitas Perempuan dalam
Literatur Klasik Pesantren
(Studi Terhadap Kitab Uqud al-Lujjayn
karya Nawawi al-Banteni)
Nur Mahmudah
Politik Uang di Mata Perempuan:
Studi Kasus pada Pemilu Tahun 2009 Siti Malaiha Dewi
277 - 305
306 - 332
vii
Perempuan Samin dalam Politik
Moh. Rosyid
333 - 360
Pembagian Peran di Rumah Tangga Amerika Dewi Ulya Meilasari
361 - 387
BEDAH BUKU
Perjuangan Emansipasi melalui
Bahasa Perempuan Setyoningsih
Tafsir Baru Fiqh Perempuan Muhammad Zainal Abidin
388 - 393
394 - 405
viii
Ide Utama
TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM
KAJIAN KAUM FEMINIS:
Telaah Terhadap Pendekatan Studi Islam
dari Kalangan Feminis Muslim
Umma Farida*)
ABSTRACT: One of things which establish gender injustice
comes from the inaccuracy of reading religious texts
included in the Islamic religious texts that are not friendly
toward women. This paper discusses a new reading proposed
by some Feminist Muslim. It will be reviewed through the
interpretation of the creation of women, leadership and
woman as wittnesses. This paper suggest that fundamental
structure of religious thought developed by moslem feminist
is how to manifest a system of relations and the structure of
egalitarian society without discrimination between men and
women in the light of guidance of the Qur’an
Keywords: Feminis moslem, Religious Text, Islamic Studies
A. Pendahuluan
Agama merupakan salah satu objek kajian yang
sangat menarik tatkala memperbincangkan masalah-masalah
perempuan. Ini dikarenakan agama merupakan way of life umat
Islam, baik laki-laki ataupun perempuanSumber kebenaran
dalam agama lebih banyak bertumpu pada kitab suci sebagai
kodifikasi firman Tuhan dan kumpulan sabda Nabi (hadis) yang
berfungsi sebagai penjelas pesan-pesan wahyu yang bersifat
general. Dalam merespon masalah-masalah yang berkembang,
seiring dengan meluasnya jangkauan geografis dan lintasan
kultural umat, kedua sumber tersebut membutuhkan perantara
untuk menyampaikan pesan-pesan moral dan kebenaran Ilahi
ini dalam suatu konteks yang berbeda dengan masa pewahyuan.
Proses perantaraan ini lebih lazim disebut ‘penafsiran’ dimana
)
Penulis adalah Dosen tetap Jurusan Ushuluddin STAIN Kudus.
204
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
terjadi relasi yang dialektis antara teks dan konteks yang dalam hal
ini diwakili oleh perspektif para penafsir. Tanpa menuduh para
mufasir (yang mayoritas laki-laki) dengan sengaja merendahkan
perempuan, namun perspektif sebagai produk dari sosialisasi
kultur secara kolektif, sedikit banyak akan mempengaruhi
penafsiran mereka.
Selama ini pemahaman dan penafsiran para ‘elit agama’
atas teks-teks keislaman dalam kaitannya dengan masalah
perempuan ini cenderung menempatkan kaum perempuan
dalam posisi ‘nomor dua’ dan mengesankan keunggulan lakilaki atas perempuan.
Di sisi lain, pandangan para feminis hampir seluruhnya
menyepakati bahwa agama—khususnya Islam, dan Kristen—
adalah termasuk sebuah wilayah seksis. Artinya, dalam agamaagama tersebut banyak menggambarkan citra Tuhan maupun
para utusan/nabi sebagai laki-laki, yang pada ujung-ujungnya­
melegitimasi superioritas laki-laki di atas perempuan. Posisi agama
yang merupakan unsur utama kesadaran sosial dan ­determinan
atas berbagai tradisi yang ada di masyarakat, membuat­ pandangan
tentang superioritas laki-laki itu memperoleh justifikasi dari
agama. Terlebih teks-teks suci keislaman—dalam konteks ini
adalah al-Qur’an dan Hadis—yang secara harfiah memposisikan
laki-laki sebagai pihak superior dan kemudian ditafsirkan oleh
para mufassir dengan nuansa patriarki (Mustaqim: 41-42).
B. Menjernihkan Istilah Feminisme
Hingga kini masih banyak orang yang salah memaknai
feminisme sehingga seringkali kita melihat orang sinis tatkala
disebut kata tersebut. Mereka berasumsi bahwa feminisme adalah
gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki. Feminisme
dianggap sebagai bentuk pemberontakan kaum perempuan
untuk mengingkari kodrat atau fitrah perempuan, melawan
pranata sosial yang ada, atau institusi rumah tangga, seperti
perkawinan dan lain sebagainya. Akibat dari kesalahpahaman
ini, maka feminisme kurang mendapat respon positif di kalangan
perempuan itu sendiri, apalagi laki-laki, bahkan secara umum
ditolak oleh masyarakat.
Sejatinya, secara etimologis kata ‘feminisme’ berasal
dari bahasa latin, yaitu femina, yang dalam bahasa Inggris
TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS
(Umma Farida)
diterjemahkan menjadi feminine, artinya memiliki sifat-sifat
sebagai perempuan. Kemudian kata itu ditambah ‘ism’ menjadi
feminism, yang berarti bahwa hal ihwal tentang perempuan,
atau dapat pula berarti paham mengenai perempuan. Dalam
perkembangan selanjutnya, kata tersebut digunakan untuk
menunjuk suatu teori kesetaraan jenis kelamin (sexual equality).
Secara historis, istilah itu muncul pertama kali pada tahun 1895,
sejak itu pula feminisme dikenal secara luas (Mustaqim, 2003:
16).
Menurut Kamla Bhasin Akhmad dan Nighat Said Khan
(1995: 5) bahwa feminisme adalah suatu paham aliran yang
mempunyai kesadaran akan penindasan dan pemerasan
terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, di
dalam keluarga, disertai tindakan sadar oleh perempuan atau
laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Senada dengan
pengertian tersebut, Mansour Fakih (1987: 10) memberikan
batasan bahwa gerakan feminis merupakan perjuangan dalam
rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak
adil menuju sistem yang adil bagi perempuan maupun lakilaki. Dengan demikian hakikat feminisme adalah kesadaran
terhadap adanya diskriminasi, ketidakadilan dan subordinasi
perempuan, dilanjutkan dengan sebuah upaya untuk merubah
keadaan tersebut menuju suatu sistem masyarakat yang lebih
adil. Untuk menjadi feminis tidak harus berjenis kelamin
perempuan. Seorang laki-laki pun dapat menjadi seorang
feminis asal memiliki concern dan kesadaran untuk mengubah
ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan, baik dalam
keluarga maupun masyarakat. Sehingga, perhatian utama dari
gerakan feminisme adalah terciptanya suatu keadilan (justice),
kesetaraan (equality) dalam sistem dan struktur masyarakat.
Feminisme dalam pembahasan ini, mengikuti kerangka Sue
Morgan dalam Connolly (1999: 64) merupakan suatu pendekatan
yang hendak melakukan dekonstruksi terhadap sistem sosial
yang merugikan posisi perempuan karena jenis kelaminnya.
Agama sebagai sumber sistem sosial tidak lepas dari perhatian
para feminis. Pendekatan feminis dalam studi agama tidak lain
merupakan suatu transformasi kritis dari perspektif teoritis
yang ada dengan menggunakan gender sebagai kategori analisis
utamanya. Atau dengan kata lain, pendekatan ini menentang
pelanggengan historis terhadap ketidakadilan dalam agama,
praktik-praktik eksklusioner yang melegitimasi superioritas
205
206
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
laki-laki dalam bidang sosial. Aspek transformatif kemudian
meletakkan kembali simbol-simbol sentral, teks, dan ritual-ritual
tradisi keagamaan secara lebih tepat untuk memasukkan dan
mengokohkan pengalaman perempuan yang diabaikan.
C. Sekilas tentang Sejarah Feminisme
Sebelum membahas lebih lanjut feminisme sebagai
sebuah pendekatan yang bisa digunakan untuk memahami
teks-teks agama, disini akan diuraikan terlebih dahulu sejarah
gerakan feminisme. Secara historis, gerakan feminisme di Barat
muncul sebagai reaksi atas ketimpangan dan ketidakadilan yang
dihasilkan oleh suatu tatanan sosial yang patriarkis. Munculnya
gerakan ini terkait erat dengan lahirnya renaissance di Italia
yang membawa fajar baru kebangkitan kesadaran baru di dunia
Eropa dan Amerika.
Sara M. Evans, sebagaimana dikutip Kadarusman (2005:
23-26), mengungkapkan bahwa gerakan Women’s Liberation
di Amerika merupakan momentum penting dalam sejarah
gerakan feminisme. Dalam sejarah feminisme, usaha-usaha yang
terorganisasi untuk meningkatkan status kesetaraan gender
pertama kali muncul di Amerika Serikat. Gerakan tersebut
meliputi perbaikan akses perempuan di bidang pendidikan,
sosial dan reformasi politik.
Terhitung sejak gerakan massa Stamp Ampf di tahun 1760an sampai aksi antara 1776 dan 1781, kaum perempuan Amerika
seperti tak pernah ketinggalan ikut terlibat dalam penyebaran
gejolak revolusioner, tanpa dipandang apakah mereka berasal
dari kota atau desa. Pada tahun ini pula, kaum perempuan
berpartisipasi mengadakan operasi boikot produk-produk impor
dari Inggris untuk dihasilkan sendiri. Kesadaran ini meningkat
sesuai dengan gagasan John Locke tentang liberalisme: hak untuk
bebas, hak atas kehidupan dan hak milik. Dengan sendirinya,
peningkatan pendidikan di kalangan perempuan memberi
mereka peluang yang semakin lebar di dunia kerja.
Pada tahun 1800, gerakan kesetaraan perempuan mulai
berkembang ketika revolusi sosial dan politik terjadi di berbagai
negara. Dalam bidang pendidikan dan ketenagakerjaan
peran perempuan berangsur-angsur meningkat sampai awal
tahun 1900. Pada akhir tahun 1920, perempuan Inggris mulai
TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS
(Umma Farida)
diperbolehkan bekerja di luar rumah, yaitu di pabrik-pabrik,
karena memang dengan adanya revolusi industri pabrik-pabrik
kekurangan tenaga kerja. Sedangkan di Prancis, baru pada
tahun 1881 untuk pertama kalinya perempuan yang bersuami
dan bekerja di pabrik boleh membuka rekening tabungan tanpa
harus memakai nama suami.
Pasca 1920, gerakan ini sempat tenggelam. Baru kirakira tahun 1960-an ketika Betty Friedan menerbitkan bukunya,
The Feminine Mystique (1963) kembali mampu memberikan
kesadaran baru, terutama bagi kaum perempuan, bahwa peranperan tradisional selama ini ternyata menempatkan mereka
dalam posisi yang tidak menguntungkan, yaitu subordinasi dan
marginalisasi kaum perempuan.
Pada tahun 1970-an, kampanye tentang hak-hak
perempuan semakin giat dikumandangkan. Pada saat itu sudah
banyak kaum perempuan yang memperoleh pendidikan di
perguruan tinggi sampai jenjang pendidikan tertinggi. Mereka
memiliki hak suara dan ikut menduduki jabatan-jabatan penting
di pemerintahan di hampir semua negara yang mempunyai
prosedur pemilihan umum.
Kampanye gender sampai pula ke dunia Islam Negara
Mesir sebagai transformasi sains dan teknologi Eropa merupakan
pintu gerbang masuknya kampanye gender dan feminisme ke
dunia Islam pada awal abad ke-20. Di antara perubahan yang
tampak yaitu kam perempuan Mesir tidak lagi hanya tinggal di
rumah. Mereka mulai berperan aktif dalam organisasi, dunia
pendidikan dan bahkan politik.
Dapat dipastikan bahwa pandangan perempuan yang
sudah mulai berubah dan sadar akan hak-hak mereka ini,
mengalami benturan dengan teks-teks keislaman. Tidak semua
penafsiran dalam Islam mengusung gagasan kebebasan gender.
Dalam berbagai karya tafsir dan fiqh yang dijadikan pegangan
untuk mengatur kehidupan umat Islam dijumpai bentuk-bentuk
diskriminasi terhadap perempuan, yang selanjutnya ditanggapi
dengan lahirnya gerakan feminisme. Para aktifisnya dari
jenis kelamin laki-laki dan perempuan, baik praktisi maupun
akademisi. Di antara mereka terdapat nama-nama Riffat Hassan,
Amina Wadud Muhsin, Asghar Ali Engineer, Fatima Mernissi,
dan sebagainya.
207
208
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
D. Teori-Teori Feminisme
Teori-teori feminisme merupakan gambaran dinamika
wacana feminisme. Kaum feminis Islam adalah bagian dari
dinamika tersebut. Untuk memahami posisi para feminis Islam
dalam peta teori feminisme, maka penting untuk mengidentifikasi
nilai-nilai dasar feminisme. Berikut ini sketsa tentang ide dasar
teori-teori feminisme yang telah mempengaruhi perkembangan
feminisme sebagai pemikiran akademis maupun gerakan sosial:
1. Feminisme Liberal
Asumsi dasar feminisme liberal adalah bahwa
kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada
rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik.
Dalam memperjuangkan persoalan masyarakat, menurut
kerangka kerja feminis liberal, tertuju pada ‘kesempatan yang
sama dan hak yang sama’ bagi setiap individu, termasuk di
dalamnya kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang sama
antara laki-laki dan perempuan ini penting, sehingga tidak
perlu pembedaan kesempatan (Fakih, 2007: 81; Narwoko,
2004: 327). Teori ini dipelopori oleh Mary Wollstonecraft
(1759-1799), John Stuart Mill, dan Betty Friedan.
Dalam perspektif feminis liberal, persoalan kaum
perempuan dianggap sebagai masalah ekonomi modern atau
bagian dari partisipasi politik. Keterbelakangan perempuan
adalah akibat dari kebodohan dan sikap irrasional serta teguh
pada nilai-nilai tradisional. Industrialisasi dan modernisasi
adalah jalan untuk meningkatkan status perempuan, karena
akan mengurangi akibat dari ketidaksamaan kekuatan
biologis antara laki-laki dan perempuan, dengan cara
menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dalam
suatu dunia yang penuh persaingan, di antaranya melalui
peningkatan pendidikan perempuan dengan menekankan
bahwa kemampuan intelektual laki-laki dan perempuan
pada dasarnya adalah sama (Rosemary Tong, 1998: 28).
Feminisme liberal tidak pernah mempersoalkan
terjadinya diskriminasi sebagai akibat dari ideologi patriarki
sebagaimana dipersoalkan oleh feminisme radikal maupun
analisis atas struktur ‘kelas’, politik, ekonomi, serta gender
sebagaimana dipermasalahkan oleh gerakan feminis sosialis
(Kadarusman: 29).
TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS
(Umma Farida)
2. Feminisme Radikal
Brownmiller dalam Fakih (2007: 84) menyebutkan
bahwa teori feminisme radikal ini muncul karena seksisme
atau diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat
pada tahun 60-an. Teori ini dirintis oleh Charlotte Perkins
Gilma, Emma Goldman, dan Margaret Sanger.
Feminisme radikal berkembang pesat pada tahun 1960an dan 1970-an di Amerika Serikat. Teori ini disebut radikal
karena memfokuskan pada akar dominasi laki-laki dan klaim
bahwa semua bentuk penindasan adalah perpanjangan dari
supremasi laki-laki dan ideologi patriarkinya. Patriarki yang
secara literal berarti ‘peraturan bapak’ adalah sebuah sistem
yang menjamin dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Dengan sendirinya, lembaga keluarga dan sistem patriarki
menjadi dua institusi yang harus dihancurkan. Keluarga
dianggap sebagai institusi yang melegitimasi dominasi lakilaki sehingga perempuan ditindas (Kadarusman: 31).
Bagi feminisme radikal, revolusi terjadi pada setiap
perempuan yang telah mengambil aksi untuk merubah gaya
hidup, pengalaman, dan hubungan mereka sendiri terhadap
kaum laki-laki, sehingga bisa bersifat sangat personal.
Menurut mereka, sepanjang perempuan masih meneruskan
hubungannya dengan laki-laki, maka akan sulit bahkan
tidak akan mungkin berjuang melawan laki-laki. Jadi, dapat
dipahami, bahwa golongan ini mengambil bentuk mode
perjuangan ideologi maskulinitas, yakni persaingan untuk
mengatasi kaum laki-laki (Fakih: 86).
3. Feminisme Marxis
Feminisme Marxis memandang bahwa penindasan
perempuan tidak dikarenakan ideologi patriarki, melainkan
sebagai akibat dari struktur sosial, politik, dan ekonomi yang
erat kaitannya dengan sistem kapitalisme (Ilyas, 1997: 48).
Adapun tokoh yang getol mengusung teori ini adalah
Great Britain. Meski Karl Marx sebagai pendiri Marxisme
tidak menjelaskan posisi perempuan dalam teori perubahan
sosialnya, namun sahabatnya Engels-lah yang mengulas
masalah ini dalam sejarah pra-kapitalisme dalam bukunya
209
210
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
yang berjudul The Origins of the Family: Private Property and the
State. Menurutnya, subordinasi perempuan sekarang terjadi
setelah perempuan mengalami kekalahan sistem kapitalis.
Sebelum kapitalisme berkembang, keluarga adalah
kesatuan produksi. Seluruh kebutuhan manusia untuk
mempertahankan hidupnya dilakukan ole semua anggota
keluarga termasuk perempuan. Tetapi pasca kapitalisme,
industri dan keluarga tidak lagi menjadi kesatuan produksi.
Kegiatan produksi beralih dari rumah ke pabrik, kemudian
terjadi pembagian kerja, perempuan bekerja di sektor
domestik yang tidak produktif, dan tidak bernilai ekonomis,
sedang laki-laki bekerja di sektor publik dan produktif.
Sebagai jalan keluar yang ditawarkan aliran ini adalah
dengan mengembangkan teori materialisme Karl Marx,
artinya perempuan harus masuk ke dalam sektor publik
yang dapat menghasilkan nilai ekonomi, sehingga konsep
pekerjaan domestik perempuan tidak ada lagi (Mustaqim:
27-28).
4. Feminisme Sosialis
Feminis sosialis mulai dikenal tahun 1970-an. Teori
ini berusaha menggabungkan antara feminisme Marxis
dan feminisme radikal. Artinya, kritik terhadap eksploitasi
kelas dari sistem kapitalisme harus dilakukan pada saat
yang sama dengan disertai kritik ketidakadilan gender yang
mengakibatkan dominasi, subordinasi, dan marginalisasi
atas kaum perempuan. Feminisme sosialis inilah yang oleh
banyak kalangan terutama pengikut gerakan perempuan,
dianggap lebih memiliki harapan (Fakih: 90).
Gerakan feminisme sosialis lebih difokuskan kepada
penyadarankaumperempuanakanposisimerekayangtertindas.
Menurut mereka banyak perempuan yang tidak sadar bahwa
mereka adalah kelompok yang ditindas oleh sistem patriarki.
Contohnya dengan menonjolkan isu-isu betapa perempuan
diperlakukan tidak manusiawi, dikurung dalam sangkar emas,
sampai pada isu mengapa perempuan yang harus membuat
kopi untuk para suami dan sebagainya. Timbulnya kesadaran
ini akan membuat kaum perempuan bangkit emosinya, dan
secara kelompok diharapkan mengadakan konflik langsung
TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS
(Umma Farida)
dengan kelompok dominan (laki-laki). Semakin tinggi tingkat
konflik antara kelas perempuan dan kelas dominan, diharapkan
dapat meruntuhkan sistem patriarki (Ilyas: 53).
Dari uraian di atas, dapat ditarik pelajaran bahwa
feminisme sebagai sebuah gerakan berikut teori-teorinya,
menginspirasi kelahiran feminisme sebagai pendekatan dalam
memahami teks-teks keislaman.
E. Feminisme dalam Studi Islam
Feminisme sebagai sebuah pendekatan untuk mengkaji
teks-teks keislaman dalam kerangka kerjanya selalu menggunakan
analisis gender sebagai alat untuk mempertajam pandangan
mereka. Ini dikarenakan feminisme dan agama keduanya
sangat signifikan bagi kehidupan perempuan dan kehidupan
kontemporer pada umumnya. Tujuan utama dari tugas feminis
adalah mengidentifikasi sejauh mana terhadap persesuaian antara
pandangan feminis dan pandangan keagamaan terhadap kedirian,
dan bagaimana menjalin interaksi yang paling menguntungkan
antara yang satu dengan yang lain (Connolly, 1999: 63). Adapun
analisis gender difungsikan untuk memberi makna, konsepsi,
asumsi, ideologi dan praktik hubungan baru antara kaum lakilaki dan perempuan serta implikasinya terhadap kehidupan sosial
yang lebih luas (sosial, ekonomi, politik, kultural), yang tidak
dilihat oleh teori ataupun analisis sosial lainnya (Fakih: xii).
Dalam kajian kaum feminis muslim, berbagai teks
keislaman yang berpihak pada tradisi patriarkal harus
diinterpretasi ulang untuk memperoleh substansi teks yang
egaliter. Sehingga, kajian feminisme dapat dikategorikan sebagai
kajian sosiologis dan teologis. Dalam perspektif sosiologis, kajian
feminisme berusaha mengkaji persoalan kesetaraan gender
melalui dekonstruksi sistem patriarkal dan rekonstruksi sistem
egaliter dalam struktur masyarakat. Kajian feminisme perspektif
teologis berusaha melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks
keislaman yang mengandung muatan sistem patriarkal.
Teologi pembebasan yang diterapkan untuk membebaskan
perempuan dari ketertindasan disebut teologi feminisme
(theology of feminism). Teologi feminisme adalah gerakan
reformis dan revolusioner untuk mendekonstruksi ideologi dan
pemahaman keagamaan yang bias kelelakian. Dekonstruksi ini
211
212
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
bertujuan untuk menghapus patriarki, dan mencari landasan
teologis atas kesetaraan gender. Gender bukan semata-mata
persoalan sosiologis, tetapi telah merambah wilayah ketuhanan
(Kadarusman: 35).
Dzuhayatin (2002: 5) mengungkapkan bahwa istilah
teologi feminisme (ada pula yang menyebut teologi feminis)
di Indonesia tidak secara eksplisit digunakan. Mereka lebih
cenderung menggunakan istilah perspektif perempuan dalam
agama atau menggunakan analisis gender dalam agama
ketimbang teologi feminis. Namun, bukan berarti istilah
gender tidak mendapatkan respon yang keras dari kalangan
umat beragama di Indonesia tetapi reaksi terhadap feminism
nampaknya lebih keras dibandingkan dengan istilah gender.
Teologi feminis berpotensi menimbulkan kecurigaan ganda di
kalangan umat Islam. Pertama, istilah ‘teologi’, meski bersifat
netral sebagai pengetahuan tentang agama, namun cenderung
dianggap bias Kristen. Kedua, kerancuan untuk melihat
feminisme hanya sebagai ideologi kebebasan perempuan Barat
yang identik dengan free sex, aborsi dan anti rumah tangga telah
mengaburkan semangat dasar feminisme sebagai kesadaran
untuk menghilangkan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan karena mereka berjenis kelamin perempuan
(Boucher, 1983: 63). Untuk mengkonstruksi teologi feminis Islam,
menurut Kuntowijoyo (dalam Dzuhayatin (2002: 9 ), hendaknya
tetap menjadikan iman sebagai framework atau niatan dalam
menggunakan teologi feminis sebagai tools of analysis terhadap
masalah-masalah yang muncul dari pengalaman keberagamaan
yang cenderung diskriminatif dari sudut pandang perempuan.
Atau dengan kata lain, teologi feminis dalam konteks Islam
dimaksudkan oleh kaum feminis untuk membebaskan bagi
perempuan dan laki-laki dari struktur dan sistem relasi yang
tidak adil, dengan cara merujuk kitab suci (baca: al-Qur’an) yang
diyakini sebagai sumber nilai tertinggi.
Berikut ini disebutkan pula faktor-faktor yang melatar­
belakangi munculnya pendekatan feminisme dalam kajian
agama Islam, sebagaimana diungkapkan Mustaqim (2003: 62-74)
adalah:
1. Faktor Internal
Kaum feminis muslim berpendapat bahwa pada
dasarnya agama Islam itu menegaskan kesetaraan antara
TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS
(Umma Farida)
laki-laki dan perempuan. Meski, misalnya, al-Qur’an
menggunakan bahasa (ungkapan) yang secara literal seakan
menunjuk pada struktur yang hirarkis, namun secara moral
ia justru ingin menghilangkan subordinasi yang dialami oleh
perempuan pada masa-masa pra-Islam. Dengan demikian,
sesungguhnya ungkapan al-Qur’an adalah ungkapan
yang sarat dengan upaya pembebasan, termasuk dalam
hal ini adalah pembebasan perempuan dari dominasi dan
eksploitasi kaum laki-laki dengan menggunakan prinsipprinsip keadilan.
2. Faktor Eksternal
a. Realitas Sosial
Kaum feminis rata-rata hidup dalam lingkungan yang
sangat patriarkis, dan mereka menyadari bahwa ada pola
budaya dan relasi yang ternyata sangat tidak menguntungkan
perempuan. Kesadaran tentang hal ini berpengaruh dalam
membentuk wacana feminisme dalam mengkaji teks-teks
agamanya.
Riffat Hassan misalnya, dalam otobiografi singkatnya,
menulis tentang lingkungan di mana ia dilahirkan, yakni
di sebuah masyarakat di Pakistan ‘yang lazim merayakan
kelahiran seorang anak laki-laki dan meratapi kelahiran anak
perempuan. Pikiran Riffat Hassan sendiri mengakui sangat
dipengaruhi oleh ibunya yang memang sangat feminis
dan selalu menentang tradisi suaminya yang konservatiftradisionalis-patriarkis.
Feminis
muslim
lainnya,
Fatima
Mernissi
menghabiskan masa kanak-kanaknya di dalam harem
sebagaimana umumnya para gadis Maroko. Harem adalah
sebuah ruangan yang dikhususkan untuk dihuni oleh
perempuan dan dijaga oleh seorang laki-laki. Perempuan
yang tinggal di dalam harem itu dilarang keras keluar
sekalipun untuk keperluan berbelanja. Kaum perempuan
di dalam harem itu, dipisah dengan kaum laki-laki melalui
hudud (pembatas), dan salah satu dari hudud ini adalah pintu
harem yang dijaga oleh laki-laki (Mustaqim: 67).
Asghar Ali Engineer, seorang feminis laki-laki yang
sangat gencar dalam memperjuangkan kesetaraan laki-laki
213
214
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
dan perempuan. Dalam hal ini realitas sosiologis, India,
negara tempat Asghar berasal, juga sangat berpengaruh dalam
mengkonstruksi pemikiran feminis Asghar. Dalam sebagian
besar masyarakat India, terutama kalangan menengah ke
bawah yang merupakan jumlah mayoritas, kedudukan
perempuan dalam keluarga sangatlah lemah. Terjadinya
kasus-kasus kekerasan domestik adalah sangat biasa. Contoh
lain yang sangat menonjol adalah talak tiga sekaligus yang
menurutnya sangat menempatkan perempuan dalam posisi
yang seakan tidak dihargai.
b. Persentuhan dengan peradaban Barat
Persentuhan dengan peradaban Barat berperan dalam
membentuk pemikiran feminisme. Baik Riffat Hassan,
Mernissi, maupun Engineer memiliki basis ilmu-ilmu sosial,
ilmu yang nota bene berasal dari Barat, selain ilmu-ilmu
keagamaan yang mempengaruhi pandangan hidup mereka.
Kemampuan mereka memahami ilmu-ilmu sosial
yang digunakan untuk memahami gejala-gejala keagamaan
yang sejauh ini hanya didasarkan pada ilmu-ilmu agama.
Mereka tampaknya menyadari bahwa ilmu sosial yang
berasal dari Barat itu sangat penting untuk memahami dan
ataupun mengkritik gejala yang ada dalam dunia Islam
selama ini. Riffat Hassan misalnya, dengan terang-terangan
mengakui perlunya mengembangkan apa yang disebut
‘teologi feminisme’ yang sejatinya berasal dari Barat untuk
membebaskan muslim dari struktur yang tidak adil dan
tidak memungkinkan terjadinya relasi yang setara antara
laki-laki dan perempuan (Mustaqim: 69).
Kecenderungan kaum feminis muslim terhadap ilmuilmu sosial itu sendiri tampaknya dapat dipahami melalui
latar belakang akademis atau aktifitas sosial mereka yang
juga diperoleh dari negara-negara Barat.
c. Perkembangan Global
Globalisasi yang melanda dunia memaksa kaum
muslim untuk merumuskan kembali berbagai pemikiran
keislaman. Teknologi informasi yang berkembang demikian
pesat akhir-akhir ini telah menyebabkan terjadinya
perubahan yang demikian kompleks dalam kehidupan umat
TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS
(Umma Farida)
Islam. Pergolakan ‘emansipasi’ dan ‘demokrasi’ di bagian
wilayah dunia dengan begitu mudah data diakses oleh umat
Islam dan sangat mempengaruhi kehidupannya. Masuknya
gagasan feminism di kalangan umat Islam jelas tidak dapat
dilepaskan begitu saja dari perkembangan global yang
melanda umat Islam (Mustaqim: 71).
d. Gagasan tentang HAM
Faktor lainnya yang juga mempengaruhi munculnya
pemikir feminis dalam Islam adalah ‘serangan’ dunia Barat
terhadap Islam yang selalu menuding bahwa Islam tidak
menghargai hak-hak kaum perempuan. Tudingan Barat ini
memang sulit dibantah meski tidak sepenuhnya benar, karena
realitas kebanyakan negara-negara Islam menunjukkan
kenyataan itu, bahwa posisi perempuan dalam struktur
sosial kehidupan sering berada pada posisi inferior.
Serangan Barat kepada Islam dan tuntutan dunia modern
untuk melaksanakan hak-hak asasi manusia (HAM) secara
menyeluruh ini agaknya menyadarkan pemikir-pemikir muslim
untuk merumuskan kembali ajaran Islam yang secara moral
ternyata sangat membela ide-ide egalitarianism dan kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan. Permasalahannya adalah
penafsiran teks-teks keislaman tentang relasi gender oleh para
ulama klasik yang bias patriarki dinilai bertentangan dengan
hak asasi manusia sebab telah memposisikan jenis kelamin lakilaki dalam posisi superior dibandingkan perempuan.
F. Karakteristik dan Corak Kajian Feminis
Pemahaman terhadap teks-teks keislaman oleh para ulama
klasik yang cenderung memojokkan perempuan (patriarkis),
telah mengundang tanggapan para feminis. Connolly (1999: 78)
menyebut para feminis yang berupaya memberikan pemahaman
yang sesuai atas kalam Tuhan yang ada, dengan mengusulkan
rangkaian pandangan yang merefleksikan pengalaman kedua
jenis gender dengan nama ‘feminis religius’.
Dalam rangka membangun paradigma teologi feminis
yang erat kaitannya dengan isu-isu keperempuanan, kaum
feminis menggunakan pendekatan dua level, yaitu:
215
216
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Pertama, pendekatan normatif-idealis, artinya bahwa
teologi feminis yang hendak dirumuskan itu mengacu kepada
norma-norma yang bersumber dari ajaran Islam yang ideal.
Paling tidak ada dua sumber pokok ajaran Islam, yaitu al-Qur’an
dan Hadis yang selalu dijadikan rujukan oleh kaum muslimin
dalam memecahkan berbagai persoalan hidup, baik persoalan
sosial budaya, ekonomi maupun yang menyangkut persoalan
keagamaan pada umumnya. Dalam pandangan kaum feminis,
sumber utama dan pertama yang dijadikan rujukan itu adalah
al-Qur’an yang diyakininya sebagai sumber nilai tertinggi.
Dalam konteks ini mereka akan melihat bagaimana al-Qur’an
menggariskan prinsip-prinsip dasarnya yang lebih bersifat
idealis normatif, misalnya bagaimana seharusnya perempuan itu
menurut al-Qur’an, baik tingkah lakunya, hubungannya dengan
Tuhannya, dengan orang lain, dan dengan dirinya sendiri. Model
pendekatan ini bersifat deduktif.
Kedua, pendekatan historis-empiris. Setelah melihat
secara cermat dan kritis bagaimana sebenarnya pandangan
ideal-normatif (terutama yang bersumber dari al-Qur’an), kaum
feminis mencoba melihat bagaimana kenyataan secara empirishistoris kondisi perempuan dalam masyarakat Islam. Berdasar
data empiris inilah kaum feminis mendapati kesenjangan antara
idealis-normatif-metafisis dengan yang historis-empiris-realistis.
Jika demikian kenyataannya, berarti ada something wrong
dalam sejarah perempuan. Padahal, mestinya fundamental values
yang ada dalam al-Qur’an seperti semangat kebebasan, keadilan,
kesejajaran dan penghormatan atas hak-hak asasi kemanusiaan
dapat terjabarkan dan teraktualisasikan dalam historisitas
kemanusiaan yang nyata. Karena al-Qur’an diturunkan jelas bisa
diamalkan dan harus diamalkan. Inilah rupanya yang salah satu
hal yang menjadi kegelisahan dan mendorong kaum feminis
untuk melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an
yang mengandung bias-bias patriarkhi (Mustaqim: 107-108).
Meski tujuan para feminis ini adalah senada, yakni untuk
memperoleh pemahaman atas teks-teks keislaman yang adil
secara gender, namun ternyata mereka dapat digolongkan dalam
kelompok yang berbeda berdasarkan corak pemikiran mereka.
Ghazala Anwar dalam Zakiyuddin Baidhawy (1996: 7-14)
menggolongkan pemahaman feminis terhadap teks-teks keislaman
kepada lima macam, yaitu: feminis apologis, feminis reformis,
feminis transformis, feminis rasionalis, feminis rejeksionis.
TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS
(Umma Farida)
1. Feminis Apologis
Feminis apologis ini meyakini bahwa Islam sebagaimana
tersirat dalam al-Qur’an dan Hadis telah memberikan semua
hak yang diperlukan oleh kedua jenis kelamin, laki-laki dan
perempuan bagi kesejahteraan dan pemenuhan pribadi masingmasing. Keyakinan ini memunculkan dua perbedaan. Pertama,
ada perbedaan yang tak bisa dipungkiri antara kebutuhan dan
keinginan laki-laki dengan kebutuhan dan keinginan perempuan,
yang dipahami dan dilayani oleh ayat-ayat dalam al-Qur’an.
Kedua, praktik umum dalam berbagai komunitas muslim
menyalahi atau tidak memenuhi seluruh hak bagi perempuan
sebagaimana telah tersurat dalam teks-teks otoritatif (al-Qur’an
dan Hadis).
Penekanan mereka bukan pada upaya untuk menafsirkan
kembali ayat-ayat al-Qur’an agar berdampak kepada dua jenis
kelamin, namun dengan mendidik perempuan tentang makna
dan tafsiran teks-teks tersebut. Cara ini menurut Anwar relatif
tidak membangkitkan emosi kalangan konservatif dan dianggap
oleh Anwar sebagai jenis feminisme yang ‘aman’.
2. Feminis Reformis
Persoalan utama feminis reformis adalah adanya
perbedaan antara teks-teks otoritatif dengan tafsiran-tafsiran
tentangnya, bukan perbedaan antara teks-teks otoritatif dengan
praktik budaya sebagaimana diyakini feminis apologis.
Bagi feminis reformis, teks-teks al-Qur’an telah disalahpahami
secara tidak memadai dan/atau disalahtafsirkan. Sebagaimana para
apologis, para reformis juga menggunakan argumen-argumen filologis
dan kontekstual untuk menafsirkan kembali ayat-ayat al-Qur’an,
namun mereka lebih sadar akan kebutuhan untuk menafsirkan
kembali sekaligus sadar akan keterlibatan diri mereka dalam kegiatan
semacam itu.
3. Feminis Transformasionis
Feminis transformasionis bertujuan untuk mentrans­
formasi­kan tradisi dengan tetap menggunakan metodologi
hermeneutik klasik yang telah akrab dalam wacana Islam
tradisional. Dasar hermeneutik feminis transformatif ini sudah
dikenal dalam wacana Islam klasik, namun dirumuskan dengan
217
218
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
rumusan-rumusan yang baru dan berbeda sama sekali dengan
rumusan yang ada dalam wacana Islam klasik. Misalnya,
pengkategorian teks-teks al-Qur’an menjadi
dan
. Dalam wacana Islam tradisional, suatu teks disebut
muhkamãt apabila maknanya sudah jelas dan tegas secara literal,
yang tidak memerlukan penafsiran ulang. Sementara teks-teks
al-Qur’an disebut
jika maknanya masih samar,
tidak jelas, ambigu, dan seterusnya.
Metodologi ini memang dirumuskan dari teks al-Qur’an
sendiri yang menyatakan, “Dialah yang menurunkan kepadamu
al-Kitab, di antara ayat-ayatnya ada yang
, itulah isi
kitab inti, dan yang lain adalah
(QS. Ali Imran: 7).
Masalahnya adalah mana ayat-ayat yang termasuk kategori
muhkamat dan mana yang termasuk mutasyabihat, tidak ada
kesepakatan di kalangan para ulama. Salah seorang pemikir
Islam Indonesia, Masdar F. Mas’udi (1997: 51-55), memperbaharui
konsep
dan
tersebut.
Ia tidak setuju dengan makna kedua konsep tersebut seperti
yang dikemukakan oleh mufassir klasik. Ia memang sepakat
dengan para mufassir klasik, bahwa teks-teks
adalah
teks yang jelas maknanya dan yang
adalah yang
samar. Namun berbeda dengan mufasir klasik yang memahami
makna
dan
secara literal, yakni memahami
makna ayat secara harfiah. Masdar menegaskan bahwa kejelasan
atau kesamaran itu adalah pada pesan, ruh, substansi teksnya.
Dan substansi teks itu tidak lain adalah pesan-pesan keadilan,
hak asasi, kesetaraan, demokrasi dan lain-lain.
Model hermeneutis yang digagas Masdar ini jelas sekali
mempunyai implikasi yang sangat jauh dan kemungkinan yang
luas sekali dalam menafsirkan ulang teks-teks keislaman yang
dalam pandangan para feminis, terkenal seksis dan tidak adil.
Pembacaan terhadap teks-teks al-Qur’an yang kelihatannya
secara literal seksis, bisa ditafsirkan ulang sehingga bias gender
yang terasa tidak adil bisa ditransformasikan kepada makna
yang lebih setara secara gender.
4. Feminis Rasionalis
Feminis rasionalis, seperti Amina Wadud dan Riffat
Hassan, menyatakan bahwa karena Allah itu Maha Adil dan
Maha Pengasih, maka kata-kata-Nya hanya bisa ditafsirkan
TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS
(Umma Farida)
dalam istilah-istilah yang selaras dengan kualitas-kualitas Ilahi
tersebut. Pandangan ini tentu saja berarti menerapkan kriteria
keadilan kepada al-Qur’an, daripada hanya sekadar menerima
begitu saja bahwa al-Qur’an pastilah adil. Atau, ia mengambil
pandangan tentang keadilan yang dikembangkan dalam sebagian
ayat-ayat al-Qur’an, serta menggunakannya untuk menilai ayatayat lain yang tampaknya mengguncangkan pandangan tentang
keadilan itu.
5. Feminis Rejeksionis
Berbeda dengan aliran feminisme yang lain, aliran
feminisme ini menganggap bahwa memang terdapat teks-teks
dalam al-Qur’an dan hadis dalam kaitannya dengan masalah
perempuan yang misoginis, seksis, dan diskriminatif. Tilik
rujukan mereka adalah pengalaman perempuan. Oleh karena itu,
argumen apapun di luar itu—dari manapun sumbernya—yang
mendukung diskriminasi terhadap perempuan akan ditolak.
Tasleema Nasreen dari Bangladesh adalah contoh
pengikut aliran feminisme rejeksionis ini. Menurut Anwar,
Nasreen mengemukakan perlunya merevisi atau bahkan
menolak sebagian teks al-Qur’an yang dianggap misoginis atau
seksis tersebut.
G. Memahami Teks-teks Keislaman dalam Kajian Kaum
Feminis
1. Konsep Penciptaan Manusia
Dalam diskursus feminisme, konsep penciptaan
perempuan adalah isu yang sangat penting dan mendasar
dibicarakan lebih dahulu, karena konsep kesetaraan atau
ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan berakar dari konsep
penciptaan perempuan ini.
Dalam tradisi Islam dikenal dan diyakini empat macam
cara penciptaan manusia: (1) Diciptakan dari tanah (penciptaan
Nabi Adam As.) dalam QS.
: 11,
: 11, dan alHijr: 26; (2) Diciptakan dari (tulang rusuk) Adam (penciptaan
) dalam QS.
: 1,
: 189, Az-Zumar: 6; (3)
Diciptakan melalui seorang ibu dengan proses kehamilan tanpa
ayah (penciptaan Nabi Isa As.) dalam QS. Maryam: 19-22; (4)
219
220
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Diciptakan melalui kehamilan dengan adanya ayah secara
biologis (penciptaan manusia selain Adam, Hawa, Isa) dalam
QS.
: 12-14.
Berbeda dari ketiga macam cara penciptaan yang lain, ayatayat tentang penciptaan Hawa tidak menyebutkan secara jelas
dan terperinci mekanisme penciptaan Hawa. Dalam ketiga ayat
tersebut hanya disebutkan bahwa “dari padanya (nafs wahidahAdam), Dia menciptakan istrinya“ (zaujaha-Hawa). Redaksi ini
sangat potensial untuk ditafsirkan secara kontroversial (Ilyas:
62).
Para mufassir pada umumnya seperti az-Zamakhshari,
, dan
sepakat menafsirkan bahwa yang
dimaksud dengan nafs wahidah dalam an: 1 adalah Adam,
dan zawjaha adalah istrinya (Hawa). Argumen yang mereka
kemukakan: (1) Berdasar ayat, min yang terdapat dalam kalimat
wa khalaqa minha zaujaha adalah min
yang dengan
demikian berarti Hawa diciptakan dari sebagian Adam; (2)
Berdasar hadis Rasulullah SAW. riwayat Bukhari dan Muslim,
yang menyebutkan secara eksplisit penciptaan H{awa dari
tulang rusuk Adam.
Sementara kaum feminis seperti Riffat Hassan (2000:
55-66) berpendapat bahwa nafs wahidah tidak dapat dipastikan
adalah Adam, karena baik kata nafs, maupun zawj bersifat netral,
tidak menunjukkan jenis kelamin tertentu. Bagi Riffat, Adam
bukanlah nama diri, melainkan nama jenis secara linguistik,
bukan menyangkut jenis kelamin. Jika “Adam” belum tentu
laki-laki, maka zawj Adam pun belum tentu perempuan.
Riffat juga menolak penciptaan Hawa dari tulang rusuk
Adam. Menurutnya, Hawa juga diciptakan dari tanah seperti
penciptaan Adam. Argumen yang dia kemukakan: (1) min dalam
ayat tersebut menunjukkan jenis yang sama. Artinya Hawa
diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam, yaitu dari tanah;
(2) Semua hadis tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk
Adam lemah, baik dari segi sanad ataupun matan. Dari segi
sanad, empat orang perawinya (Maisarah al-Asyja’i, Haramalah
bin Yahya, Zaidah, dan Abu Zinad --menurutnya--didha’ifkan
oleh kritikus hadis adz-Dzahabi. Dari segi matan, bertentangan
dengan al-Qur’an karena mengandung elemen-elemen misoginik
yang bertentangan dengan konsep penciptaan manusia fi ahsan
at-taqwim. Disamping itu Riffat mengaku tidak dapat memahami
TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS
(Umma Farida)
relevansi statemen bahwa bagian tulang rusuk yang paling
bengkok adalah bagian atas; (3) Cerita tentang penciptaan Hawa
dari tulang rusuk Adam tidak lebih dari dongeng-dongeng
Genesis 2 yang pernah masuk ke dalam tradisi Islam melalui
asimilasinya dalam kepustakaan hadis (Riffat: 75).
Sedangkan pemahaman Amina Wadud Muhsin terhadap
QS
: 1 tidak secara tegas menyebutkan penolakannya
bahwa yang dimaksud nafs di sini adalah Adam mengingat
minimnya penjelasan al-Qur’an tentang ini. Menurutnya, kata
nafs secara gramatikal adalah feminin, namun secara konseptual
nafs tidak feminin maupun maskulin. Ia juga mengungkapkan
bahwa menurut kisah al-Qur’an tentang penciptaan, Allah
tidak pernah berencana memulai penciptaan manusia dengan
seorang laki-laki; Dia juga tidak pernah merujukkan asal-muasal
manusia pada Adam. Dengan demikian, secara teknis kata nafs
dalam al-Qur’an merujuk pada asal semua manusia secara
umum. Meskipun manusia berkembang biak di muka bumi dan
membentuk bermacam-macam negara, suku, dan bangsa yang
berlainan bahasa dan warna kulit, namun mereka semua berasal
dari sumber yang sama (Amina: 42-43).
Mengenai teknis penciptaan Hawa, Amina tidak
mengemukakan pendapatnya secara tegas, apakah H}awa
diciptakan dari tulang rusuk Adam seperti pendapat para
mufassir, atau diciptakan sendiri secara terpisah dengan cara
yang sama dengan penciptaan Adam seperti pendapat Riffat.
Dia hanya menjelaskan bahwa kata min dalam bahasa Arab,
pertama, dapat digunakan sebagai preposisi (kata depan) ‘dari’
untuk menunjukkan makna’menyarikan sesuatu dari sesuatu
yang lainnya. Kedua, dapat digunakan untuk menyatakan
sama macam atau jenisnya. Bila min pada kalimat minha dalam
: 1 digunakan fungsinya yang pertama (preposisi) maka
maknanya Hawa diciptakan dari Adam (seperti umumnya
pendapat mufassir), sebaliknya jika digunakan fungsi min
yang kedua maka maknanya Hawa diciptakan dari jenis yang
sama dengan Adam. Penggunaan min yang terakhir ini dapat
dilihat contohnya pada QS. Ar-Rûm: 21 misalnya: “Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istriistri dari jenismu sendiri (min anfusikum) supaya kamu tenteram.”
Meski demikian, Amina terkesan tidak menyukai kemungkinan
pertama, sekalipun tidak secara tegas memilih yang kedua.
221
222
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
2. Konsep Kepemimpinan Rumah Tangga
Kepemimpinan rumah tangga menurut para mufassir
klasik dengan berdasar QS An-Nisâ’: 34 ditafsirkan sebagai
kepemimpinan suami atas istri. Menurut feminis, paham yang
menempatkan suami sebagai pemimpin rumah tangga tidak
sejalan, bahkan bertentangan dengan ide utama feminisme
yaitu kesetaraan laki-laki dan perempuan. Karenanya, para
feminis muslim—Asghar Ali Engineer, Amina Wadud, dan
Riffat Hassan—berupaya untuk melakukan penafsiran kembali
terhadap ayat tersebut, tentu saja setelah membongkar penafsiran
lama yang dinilai bias gender. Para ulama memaknai kata
dalam QS. An-Nisa: 34 tersebut sebagai pemimpin. AlQur’an mengemukakan dua alasan kenapa suami yang menjadi
pemimpin. Pertama, karena kelebihan yang diberikan Allah
kepada mereka. Kedua, karena kewajiban mereka memberi nafkah
keluarga. Meski demikian, para ulama masih berselisih pendapat
mengenai maksud ‘kelebihan’, apakah yang dimaksud kelebihan
fisik, intelektual atau agama, atau semuanya sekaligus.
Menurut Asghar, QS.
: 34 tidak boleh dipahami
lepas dari konteks sosial pada waktu ayat itu diturunkan.
Menurut dia, struktur sosial pada zaman Nabi tidaklah benarbenar mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan. Orang
tidak dapat mengambil pandangan yang semata-mata teologis
dalam hal semacam ini. Orang harus menggunakan pandangan
sosio-teologis. Bahkan, al-Qur’an pun terdiri dari ajaran yang
kontekstual dan juga normatif. Tidak akan ada kitab suci yang
bisa efektif, jika mengabaikan konteksnya sama sekali (Asghar,
1994: 61).
Asghar mengungkapkan bahwa keunggulan laki-laki
adalah keunggulan fungsional, bukan keunggulan jenis kelamin.
Pada masa ayat itu diturunkan, laki-laki bertugas mencari nafkah
dan perempuan di rumah menjalankan tugas domestik. Karena
kesadaran sosial perempuan waktu itu masih rendah, maka
tugas mencari nafkah dianggap sebagai sebuah keunggulan.
Apabila kesadaran sosial kaum perempuan sudah tumbuh,
bahwa peran-peran domestik yang mereka lakukan harus
dinilai dan diberi ganjaran yang serupa sesuai dengan doktrin
yang diajarkan oleh al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 21), bukan
semata-mata kewajiban yang harus mereka lakukan, maka tentu
perlindungan dan nafkah yang diberikan laki-laki terhadap
TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS
(Umma Farida)
mereka tidak dapat lagi dianggap sebagai keunggulan laki-laki,
karena peran-peran domestik yang dilakukan perempuan, lakilaki harus mengimbanginya dengan melindungi dan memberi
nafkah yang oleh al-Qur’an disebut sebagai
itu. Karena
itu, kepemimpinan suami atas istri bersifat kontekstual, bukan
normatif. Apabila konteks sosialnya berubah, doktrin itu dengan
sendirinya juga akan berubah.
Dia membangun pendapatnya itu dengan menggunakan
argumen struktur kalimat
. Dalam
bukunya, ia mengatakan: Al-Qur’an hanya mengatakan bahwa
laki-laki adalah
(pemberi nafkah atau pengatur urusan
keluarga) dan tidak mengatakan bahwa mereka harus menjadi
. Dapat dilihat bahwa adalah
merupakan sebuah
pernyataan kontekstual, bukan normatif. Seandainya al-Qur’an
mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi
maka ia akan
menjadi sebuah pernyataan normatif, dan pastilah akan mengikat
bagi semua perempuan pada semua zaman dan dalam semua
keadaan. Tetapi Allah tidak menginginkan hal itu (Asghar: 6263).
Riffat tidak setuju jika
diartikan sebagai
pemimpin, penguasa. Ia lebih cenderung mengartikannya
dengan pelindung. Pelindng juga terkandung di dalamnya
sebagai pencari nafkah atau mereka yang menyediakan sarana
pendukung perempuan.
Berbeda dengan Riffat, karena perempuan mengemban
fungsi penting dalam reproduksi, Amina menerima
kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, namun harus
memenuhi dua hal (1) Laki-laki sanggup membuktikan
kelebihannya dan kelebihan itu digunakan untuk mendukung
perempuan. Kelebihan laki-laki yang dimaksud Amina hanyalah
kelebihan hak waris yang secara jelas ditetapkan oleh al-Qur’an.
Dengan demikian, terdapat hubungan timbal balik antara hak
istimewa yang diterima dengan tanggung jawab yang dipikul.
Laki-laki memiliki tanggung jawab menggunakan kekayaannya
untuk mendukung perempuan, sehingga ia dijamin harta
warisannya sebanyak dua kali lipat. Di sini tampak bahwa
dalam menafsirkan QS. An-Nisa’: 34 Amina lebih menekankan
pada kata
(Amina, 2003: 121).
Amina (2003: 122) juga mengkritik penafsiran laki-laki
yang sering mengabaikan dua prasyarat kepemimpinan laki-
223
224
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
laki sebagaimana diuraikan di atas. Ia menulis:
Banyak laki-laki yang menafsirkan ayat di atas sebagai
indikasi tak bersyarat dari pelebihan laki-laki di atas
perempuan. Mereka menandaskan bahwa ‘Laki-laki
diciptakan Tuhan lebih tinggi daripada perempuan (dalam
hal kekuatan dan akal)’. Akan tetapi, penafsiran ini tak
berdasar karena tidak ada keterangan dalam ayat tersebut
yang menyatakan superioritas fisik atau intelektual lakilaki.
Pengertian semacam ini menjadikan tidak setiap laki-laki
secara otomatis memiliki kelebihan atas istrinya. Hak mendapat
warisan lebih banyak dari perempuan memang sudah dijamin
oleh al-Qur’an, tapi apakah warisan itu digunakan untuk
mendukung perempuan—dalam konteks ini istrinya—tentu
harus dibuktikan. Oleh sebab itu, kelebihan itu tidak bisa tidak
harus bersyarat, karena QS. An-Nisa’: 34 tidak mengatakan
‘mereka’ (jamak maskulin) telah dilebihkan atas mereka (jamak
feminin). Ayat itu menyebutnya
(sebagian) di antara mereka
atas
(sebagian lainnya). Penggunaan kata
berhubungan
dengan hal-hal yang nyata teramati pada manusia. Tidak semua
kaum laki-laki unggul atas kaum perempuan dalam segala
hal. Sekelompok laki-laki memiliki memiliki kelebihan atas
sekelompok perempuan dalam hal-hal tertentu. Demikian pula
sebaliknya, perempuan juga memiliki kelebihan atas laki-laki
dalam hal-hal tertentu (Ilyas: 85).
3. Konsep Kesaksian 1: 2 dan Warisan 2:1
Terhadap konsep kesaksian, Asghar menyatakan bahwa
dua kesaksian perempuan sebanding dengan satu kesaksian
laki-laki—yang berlaku khusus pada transaksi bisnis—itu tidak
menunjukkan inferioritas perempuan. Hal itu semata-mata
karena pada masa itu perempuan tidak mempunyai pengalaman
yang memadai dalam masalah keuangan, dan karena itu dua
saksi perempuan dianjurkan oleh al-Qur’an. Sehingga jika terjadi
kelupaan maka salah seorang dapat mengingatkan yang lain.
Selain itu, Asghar juga mengingatkan bahwa walaupun dua saksi
perempuan dianjurkan sebagai pengganti seorang saksi lakilaki, hanya salah seorang di antara keduanya yang memberikan
kesaksian, yang lain berfungsi tidak lebih dari pengingatnya jika
dia bimbang (Asghar: 88).
TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS
(Umma Farida)
Senada dengan Asghar, Amina juga mengungkapkan
bahwa dalam ayat tidak disebutkan bahwa kedua perempuan
tersebut sebagai saksi. Seorang perempuan diperlukan untuk
mengingatkan yang lainnya, sehingga ia bertindak sebagai
mitra yang lainnya. Penyaksian dua saksi ini mengindikasikan
upaya untuk mencegah penyelewengan. Jika salah seorang
keliru, atau terbujuk untuk memberikan kesaksian palsu, maka
ada yang satunya lagi untuk mendukung ketentuan perjanjian.
Tetapi, mengingat perempuan dalam masyarakat ketika itu
mudah untuk ditekan, jika salah satu dari dua saksi tadi adalah
perempuan, maka dia akan menjadi sasaran empuk pemaksaan
oleh laki-laki yang ingin mencabut kesaksiannya. Kalau ada dua
orang perempuan, maka mereka dapat saling mendukung. Satu
kesatuan yang terdiri atas dua perempuan dengan fungsi yang
berbeda ini tidak saja memberi nilai signifikan pada tiap-tiap
individu, tetapi juga membentuk satu front yang terpadu untuk
menghadapi saksi lain.
Disamping itu, menurut Amina, satu saksi laki-laki
ditambah satu kesatuan yang terdiri atas dua perempuan ini
tidaklah sama dengan formula dua-banding-satu, sebab jika tidak
demikian, maka empat saksi perempuan dapat menggantikan
dua saksi laki-laki. Tetapi, al-Qur’an tidak memberikan alternatif
ini (Amina: 148).
Mengenai formula warisan 2:1, ternyata Asghar tidak
menilai ketentuan ini bersifat diskriminatif terhadap perempuan.
Menurut Asghar, selain mendapatkan bagian dari warisan,
nanti setelah anak perempuan itu kawin, di akan mendapatkan
tambahan harta berupa mas kawin dari suaminya. Padahal
disamping itu dia tidak mempunyai kewajiban apapun untuk
menafkahi dirinya sendiri dan anak-anaknya, karena semuanya
sudah menjadi tanggung jawab suaminya. Hanya saja Asghar
mengkritik penafsiran yang menjadikan ketentuan warisan ini
sebagai alasan untuk menganggap anak perempuan lebih rendah
nilainya dibanding anak laki-laki. Menurut dia, pandangan
seperti ini sangat keliru, karena kesetaraan laki-laki dan
perempuan termasuk kategori moral, sementara warisan masuk
kategori ekonomi. Pewarisan sangat banyak tergantung kepada
struktur sosial dan ekonomi dan fungsi jenis kelamin tertentu di
dalam masyarakat (Asghar: 97)
225
226
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Berbeda dengan Asghar, Menurut Amina, meski
pernyataan awal al-Qur’an, dalam QS an-Nisa: 11-12 menetapkan
‘bagian laki-laki sama dengan bagian dua perempuan’,
namun kajian yang lengkap atas ayat ini menunjukkan variasi
pembagian yang proporsional antara laki-laki dan perempuan.
Pada kenyataannya, jika hanya ada satu anak perempuan, maka
bagiannya adalah setengah harta pusaka. Selain itu, pertimbangan
orangtua, saudara kandung, kerabat jauh, maupun anak-cucu
dibahas dalam berbagai kombinasi yang berbeda-beda untuk
menunjukkan bahwa bagian perempuan adalah setengah dari
bagian laki-laki bukanlah satu-satunya model pembagian harta,
melainkan salah satu dari beberapa penetapan proporsional
yang bisa dilakukan (Amina: 150). Dengan demikian dalam
pandangan Amina, pembagian warisan bersifat fleksibel dengan
mempertimbangkan naf’un (manfaat) bagi orang-orang yang
ditinggalkan. Ia memberikan contoh, jika dalam suatu keluarga
yang terdiri atas seorang anak laki-laki dan dua orang anak
perempuan, sang ibu yang janda dirawat dan dinafkahi oleh
salah seorang anak perempuannya, mengapa anak laki-laki
harus menerima bagian yang lebih besar? Mungkin bukan ini
keputusannya jika diperhatikan naf’un yang nyata bagi ahli
waris tertentu (Amina: 151).
H. Menimbang Pendekatan Kaum Feminis terhadap
Teks-teks Keislaman
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa kaum
feminis ingin membangun kerangka dasar paradigmatik model
pemahaman baru terhadap teks-teks keislaman (khususnya alQur’an) dan isu-isu keperempuanan. Sebab mereka yakin bahwa
selama ini telah terjadi pencemaran dan distorsi historis antara
ajaran Islam normatif yang bersumber pada al-Qur’an dengan
Islam historis yang selama ini dipraktikkan di masyarakat
patriarki. Sehingga, diperlukan keberanian mengkritisi produkproduk penafsiran yang bias gender, karena produk-produk
tafsir yang bias gender cenderung melahirkan perilaku yang
bias gender pula.
Suatu produk tafsir sudah seharusnya mampu berperan
menjadi agen perubahan-perubahan sosial (agent of social
change). Perubahan itu sendiri antara lain diawali dengan
mengubah sistem teologi yang lebih sensitif gender. Sehingga,
TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS
(Umma Farida)
tidak berlebihan jika dikatakan bahwa konsep pemahaman
kaum feminis terhadap teks Islam mencerminkan pandangan
yang kritis dan liberatif yang mampu merespon isu-isu sosialkeagamaan kontemporer, seperti kesetaraan gender, demokrasi,
dan HAM. Sebab, penafsiran yang dideduksi dari ayat-ayat alQur’an seharusnya tidak hanya sekadar konsep dan nilai-nilai
normatif yang idealis-metafisis yang hanya ada di kertas (on
paper), akan tetapi harus mampu membentuk karakter sosial
yang objektif.
Pendekatan apapun yang digunakan dalam memahami dan
menginterpretasi teks-teks keislaman pasti memiliki kelebihan
dan kekurangan. Dilihat dari perspektif epistemologi—dengan
meminjam kategori M. Abid al-Jabiri—maka pendekatan yang
digunakan kaum feminis menganut corak epistemologi bayani,
yakni sebuah corak epistemologi berpikir yang tetap masih
mengacu kepada teks suci. Namun karena ia juga menggunakan
model berpikir filsafat, sehingga rasionalisasi pemahaman teks
menjadi cukup dominan. Ini menunjukkan corak berpikir kaum
feminis tidak murni bayani, melainkan juga bercampur burhani
(demonstratif filosofis). Sehingga betapapun rasionalnya pemikiran
kaum feminis, mereka masih mengakui sakralitas teks, dan akan
tetap menjadikan teks sebagai titik tolak berpikir.
Menurut Ian G. Barbour, sebagaimana dikutip Mustaqim
(2003: 176), ada dua ciri menonjol dalam corak pemikiran dan
kajian terhadap agama, termasuk kajian yang dilakukan kaum
feminis, yaitu: Pertama, pemikiran keagamaan itu bersifat personal
commitment terhadap ajaran agama yang dipeluknya. Pemeluk
agama—termasuk dalam hal ini adalah kaum feminis—yang
concern terhadap al-Qur’an akan mempertahankan ideologi dan
pemikirannya dengan gigih. Kedua, bahasa yang digunakan
pemeluk agama adalah bahasa seorang pelaku atau actor, bukan
bahasa peneliti dari luar, sehingga kadang sisi subjektifisme
dalam rumusan-rumusan pemikiran keagamaan juga tidak bisa
dihindarkan sama sekali.
Kesungguhan kaum feminis meneliti dan mengkaji
ulang prinsip-prinsip ajaran al-Qur’an demi mencapai tujuan
yang diperintahkan agama adalah bentuk personal commitment
terhadap ajaran agama yang dipeluknya. Sedangkan bahasa
yang dipakai kaum feminis juga mencerminkan seorang aktor
dari dalam. Mayoritas kaum feminis merasakan sebagai pelaku
227
228
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
korban dari diskriminasi sistem patriarki. Dari sini, maka dapat
dilihat bahwa struktur fundamental dari pemikiran keagamaan
yang dibangun kaum feminis adalah bagaimana agar terwujud
suatu sistem relasi dan struktur masyarakat yang adil tanpa
diskriminasi antara lelaki dan perempuan di bawah sinar
petunjuk al-Qur’an.
Mayoritas kaum feminis memiliki kecenderungan hanya
berpegang pada al-Qur’an (Qur’an oriented) dan dalam beberapa
kasus mengabaikan hadis terutama jika hadis tersebut menurutnya
tidak sejalan dengan semangat al-Qur’an. Sebab menurut mereka,
tidak ada jaminan mengenai otentisitas hadis, seperti terhadap
kasus penciptaan perempuan dari tulang rusuk Adam. Meskipun
riwayat tersebut telah dianggap shahih oleh dua orang imam ahli
hadis, yaitu Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.
Meski demikian, pemahaman ataupun pemikiran kaum
feminis terhadap teks-teks keislaman hendaknya tetap tidak
mengarah pada truth claim, klaim kebenaran sepihak tanpa
ada dialog komunikatif dengan pihak-pihak lain. Artinya, jika
hasil pemahaman dan interpretasi kaum feminis kemudian
dipahami secara ideologis, kaku, dan tidak terbuka, maka juga
akan mengarah pada dogmatisme dan fanatisme yang sempit.
Karena bisa jadi kaum feminis yang tadinya mengkritik bahwa
hasil penafsiran al-Qur’an selama ini mengandung bias lakilaki, pada akhirnya justru mereka sendiri terjebak pada biasbias keperempuanan. Terlebih, adanya kecenderungan umum
jika seorang penafsir memiliki idelogi tertentu, maka hasil
interpretasinya sedikit banyak juga cenderung bias ideologi.
Oleh karena itu, dalam mengkaji teks-teks keislaman, seorang
feminis juga harus bersifat terbuka dan jangan dianggap sebagai
sesuatu yang final.
I. Penutup
Pemahaman atas teks-teks keislaman sebagaimana yang
dilakukan kaum feminis pada dasarnya merupakan refleksi kritis
yang berperspektif gender, dimana mereka ingin melihat isu-isu
perempuan dalam bingkai teologi feminis yang berwawasan
kesetaraan, keadilan dan dilandasi semangat menghormati hakhak asasi manusia, tanpa membedakan jenis kelamin laki-laki
atau perempuan. Sebagai sebuah ijtihad baru, kajian feminis
memang perlu diapresiasi, tapi tidak disakralkan.
TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS
(Umma Farida)
SUMBER RUJUKAN
Abdul Mustaqim, Tafsir Feminis versus Tafsir Patriarki, Yogyakarta:
Sabda Persada, 2003.
Ahmad, Kamla Bhasin, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan
Relevansinya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 1994.
Boucher, David, The Feminist Challenge: the Movement for Women’s
Liberation in Britain and the United States, London:
McMillan Press, 1983.
Conolly, Peter, Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LkiS,
1999.
J. Dwi Narwoko, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta:
Kencana, 2004.
Kadarusman, Agama, Relasi Gender & Feminisme, Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2005.
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan,
Bandung: Mizan, 1997.
Riffat Hasan & Fatima Mernisi, Setara di Hadapan Allah,.
Yogyakarta: LSPPA, 2000.
Rosemary Putnam Tong, Feminist Thought, terj. Aquarini Priyatna,
Yogyakarta: Jalasutra, 2009.
Siti Ruhaini Dzuhayatin, Rekontruksi Metodologis Wacana
Kesetaraan Gender dalam Islam, Yogyakarta: PSW IAIN
Sunan Kalijaga & Pustaka Pelajar, 2002.
Wadud, Amina, Qur’an menurut Perempuan: Membaca Kembali
Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, Jakarta: Serambi,
2003.
Waryono Abdul Ghafur, Gender dan Islam: Teks dan Konteks,
Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2002.
Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur’an: Klasik dan
Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Zakiyuddin Baidhawy, Wacana Teologi Feminis, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997.
229
Ide Utama
PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT),
LIKU KEHIDUPAN DAN PERSPEKTIF ISLAM
TENTANGNYA
Annisa Listiana*)
ABSTRACT: A domestic Worker (PRT) is anyone who
works within the scope of the household either male or female,
young or old, even a child. Actually, they have given a huge
contribution to their family in Indonesia, and donated income
for the country. But on top of legal documents, they are not
recognized by the Labor Law as an appropriate form of formal
employment that deserve to be given protection by the existing
laws and regulations. In the Islamic perspective, women and
men are required to work in accordance with the potential and
capacity in order to obtain a decent living or to meet family
needs. Al Quran does not mention a specific job for a certain
gender. Women and men can work inside or outside the
home. Working as a domestic worker is not lower than other
professions as long as conducted by and for the good purpose.
Keywords: Domestic Workers (PRT), Islamic Perspectives. A. Pendahuluan
Fenomena di bawah ini seringkali ditayangkan di televisi
dan bahkan kita seringkali melihat dan mendengar berita
di sekitar kita yang menceritakan tentang berbagai macam
permasalahan pekerja rumah tangga (PRT) atau yang lebih
sering orang menyebut pembantu rumah tangga, berikut ilustrasi
beberapa PRT yang dapat kita baca dan kita cermati:
Adalah Yanti seorang PRT berasal dari Purwodadi yang berusia
15 tahun, dengan harapan ingin membahagiakan orangtuanya,
dia berangkat ke kota Jakarta untuk bekerja. Di Jakarta karena
)
Penulis adalah Dosen STAIN Kudus
PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _
(Annisa Listiana)
hanya lulusan SMP dia terpaksa harus jadi Pekerja Rumah
tangga. Dia berangkat ke Jakarta diajak temannya yang juga
bekerja sebagai PRT. Tidak seperti keinginannya ternyata dia
bekerja untuk menggantikan temannya dengan upah 150.000
rupiah selama satu bulan. Kemudian dia pindah ke tempat
lainnya, di tempat yang baru ini juga tidak seperti harapannya,
ia sering disalahkan oleh majikannya yang berujung pada
penganiayaaan, tidak diberi makan teratur, akhirnya dia tidak
tahan dengan siksaan majikan, ia kabur dari rumah dan minta
tolong kepada temannya yang membawanya ke Jakarta untuk
pulang kembali ke desanya dengan tidak membawa uang gaji
ataupun uang saku. (wawancara tanggal 02 Juli 2009)
Kasus yang lain misalnya Sanah yang bekerja di sebuah warung
makan sebagai tukang masak, dia dipekerjakan mulai jam 4 pagi
sampai jam 11 menjelang tidur, istirahat hanya makan dan
melaksanakan ibadah dengan gaji hanya dengan 300 ribu per
bulan tanpa uang lembur ataupun bonus, sementara dia harus
meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil ke tetangganya
dengan upah sehari 10 ribu. Dia bangun jam 3 pagi kemudian
saat berangkat bekerja anaknya masih tidur dan pulang anaknya
sudah tidur, itupun harus mengantarkan ke tetangganya dan
juga menjemput anaknya tengah malam. Dia bertahan hingga
6 bulan karena badannya terasa sakit-sakit dan upahnya tidak
seberapa. (wawancara tanggal 05 Juli 2010)
Bagi daerah-daerah tertentu yang daerah pertaniannya
tandus ataupun tidak ada perusahaan, pekerja rumah tangga
(PRT) lebih banyak diburu. Mereka memilih pekerjaan PRT di
sejumlah kota besar misalnya Jakarta, Semarang, Surabaya, dan
Yogyakarta dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan hidup
mereka. Bahkan tidak sedikit yang rela meninggalkan kampung
halaman demi bekerja sebagai TKI atau TKW juga sebagai PRT
di negeri seberang misalnya Malaysia, Brunei Darussalam, Arab
Saudi, Abu Dhabi, Libya, dll.
Mereka menjadi TKI atau TKW sebagai PRT karena
keterpaksaaan. Di rumah tidak bisa melakukan apa-apa karena
untuk berdagang tidak punya modal, untuk bekerja di pabrik
harus ada ijazah minimal SMA, padahal rata-rata PRT sekarang
adalah tamatan SMP yang tidak mempunyai skill. Harapan
mereka bisa pergi dari rumah untuk mencari kehidupan yang
lebih baik meski ternyata tidak sesuai dengan harapannya.
231
232
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Permasalahan yang terjadi pada PRT di antaranya adalah proses
perekrutannya yang terkadang melibatkan calo, agen, kemudian
tidak tahu majikannya bagaimana, jenis pekerjaannya seperti apa,
kalau terjadi sesuatu harus bagaimana dan harus kemana? Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis berusaha merangkum
dari beberapa realitas yang terjadi dan juga dari beberapa buku.
B. Perempuan dan Kerja Domestik: PRT (Pekerja Rumah
Tangga)
Dalam masyarakat, ada anggapan bahwa PRT merupakan
pekerjaan perempuan. Anggapan seperti ini bukanlah hal baru
dan menarik. Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana
proses pembentukan wacana tersebut bergulir sehingga
menempatkan perempuan akhirnya identik dengan PRT.
Wacana bahwa perempuan identik dengan PRT bukanlah
wacana transendential, namun ia merupakan konstruksi
sosial masyarakat. Jika dikaji lebih serius, pandangan bahwa
perempuan merupakan pihak yang bertanggung jawab atas
urusan rumah tangga (pekerjaan rumah) merupakan fondasi
konstruksi wacana identiknya perempuan dengan PRT. Jennifer
Soul (2003: 137) menyatakan bahwa pembagian tugas seperti
ini berawal dari pandangan bahwa kehidupan rumah tangga
merupakan wilayah personal yang tidak boleh disamakan
dengan kehidupan wilayah publik yang politis. Menurut Soul,
keluarga dibentuk oleh dan membentuk faktor yang sudah jelas
bermuatan politis yang dapat menjelma, misalnya melalui pola
mendidik, penerapan hukum dan pembagian kerja. Akibatnya,
paham yang memandang bahwa perempuan haruslah pihak
yang bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga dan
perkembangan anak-anak ditempatkan sebagai sesuatu yang
tidak politis. Sebuah paham yang akhirnya ditempatkan sebagai
paham personal dan dianggap benar atau wajar
Konstruksi wacana sebagaimana di atas dihadirkan dan
ditanamkan dengan kuat melalui berbagai medium, mulai dari
bangku pendidikan, buku bacaan dan bahkan media massa. Berita tentang buruh migran perempuan begitu menghiasi media
massa Indonesia. Masyarakat selalu disuguhi dengan film,
sinetron, hingga iklan yang menempatkan perempuan dalam
posisi biner yang monoton, perempuan/laki-laki, rumah/luar
PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _
(Annisa Listiana)
rumah. Memang ada beberapa acara televisi yang menayangkan
tayangan alternatif wacana, misalnya dengan menghadirkan
PRT yang diperankan oleh laki-laki. Begitu juga di majalah
yang menghadirkan perawatan anak menghadirkan laki-laki
dan anak-anak mereka sebagai bintang sampul majalah dalam
beberapa penerbitan. Sayangnya konstruksi wacana seperti
itu jumlahnya masih terlalu sedikit untuk memberikan pilihan
kerangka pikir masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, konstruksi wacana perempuan
terutama dalam
konstruksi perempuan Jawa keraton,
menunjukkan bahwa kedudukan perempuan baik secara
ekonomi, sosial, ekonomi maupun politik berada pada struktur
bawah. Perempuan dipandang sebagai konco wingking (istri
menurut pada suami), karena itu perempuan diibaratkan suwargo
nunut neroko katut (kemanapun suami, istri harus ikut) terhadap
eksistensinya, bahkan perempuan hanya pantas sebagai masak
(memasak), macak (berhias), dan manak (melahirkan) yang
semuanya identik bahwa pekerjaan perempuan bersifat domestik
(Zainuddin Fanani, 2000: 177).
Dalam dunia pendidikan, buku-buku pelajaran sering
menghadirkan sosok perempuan yang identik sebagai pengurus
rumah tangga dan pengasuh anak saja. Sosok anak perempuan
pun biasanya tidak jauh dari kehidupan boneka dan masakmemasak.
Materi ilustratif yang disajikan dalam tayangan
media massa dan buku-buku pelajaran di dunia pendidikan
merupakan kerja representasi yang tidak netral. Menurut
Wittgeinstein dalam tractatus Logico Philosophicus (2004: 236)
melalui teori picture theories menyatakan bahwa sebuah gambar
merupakan bentuk representasi yang benar ataupun keliru.
Selanjutnya, ia mengungkapkan bahwa dari sebuah gambar kita
dapat melihat kemungkinan atas sebuah masalah, gambar yang
ada merupakan hasil dari pengalaman empiris manusia dan
dibahasakan oleh manusia. Jadi, dari sebuah gambar bisa muncul
beraneka interpretasi tergantung sudut pandang manusia Jika
kita menggunakan materi ilustratif yang mengiringi buku cerita
anak-anak dalam bahasa Inggris yang berjudul “The Trouble with
Jack”, pada halaman belakangnya tertulis bahwa buku tersebut
merupakan buku cerita domestik yang realistis, yang dengan
karakter yang mengagumkan hasil ciptaan pengarang dan
233
234
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
ilustratornya (Shirley Hughes, 1989: 14). Dalam buku tersebut
ada sebuah gambar yang menarik, yang di dalamnya terdapat
gambar seluruh anggota keluarga yang sedang bepergian.
dan dalam gambar tersebut si Ibu mengurus kedua anaknya,
sedangkan si Bapak hanya memperhatikan sambil berdiri tegak.
Gambar tersebut bersesuaian dengan gambar-gambar lainnya
dalam buku tersebut yang menempatkan si Ibu pada posisi yang
identik dengan child care dan pekerjaan domestik. Dari hal ini
dapat ditarik kesimpulan bahwa wilayah domestik dan child care
direpresentasikan oleh perempuan (JP, 2005: 62).
Sebagaimana pandangan Wittgeinstein, representasi ini
bisa benar ataupun bisa salah. Representasi ini pada dasarnya
membuka beragam kemungkinan pula. Berkenaan dengan
buku cerita yang disinggung di atas, kemungkinan yang bisa
dihadirkan adalah si Bapak yang akan bersama-sama mengurus
anak dan rumah mereka. Kemungkinan lainnya adalah
ditiadakannya sosok ayah, dan ibu hadir sebagai orang tua
tunggal, atau sebaliknya. Masalah representasi dalam gambar
seperti itu tidak hanya hadir lewat buku cerita di atas, melainkan dalam beragam buku cerita dan buku pelajaran dalam beragam
bahasa pula. Wacana keterkaitan perempuan dengan peran
domestiknya begitu merajai teks dunia hingga menjadi apa
disebut oleh Foucault sebagai rejim wacana (Nickie Charles,
2000; 119).
Wacana perempuan yang identik dengan wilayah
domestik seringkali dijadikan alat beragam kampanye, mulai
dari kampanye anti perang hingga kampanye anti kekerasan.
Tayangan iklan kampanye anti kekerasan yang hadir di media
televisi akhir-akhir ini merupakan salah satu contohnya. Dalam
sebuah adegan dihadirkan sesosok perempuan yang membentak
pekerja rumah tangganya, yang merupakan perempuan pula. Sekilas iklan tersebut dapat dianggap sebagai sarana pembantu
yang efektif untuk menghentikan kekerasan, mengingat
televisi merupakan medium diseminasi informasi yang sangat
ampuh. Namun di sisi lain, adegan tersebut menghadirkan dan
melanggengkan wacana keterkaitan perempuan dengan wilayah
rumah tangga perempuan dengan representasi PRT. Bahkan
jika boleh perpendapat bahwa iklan tersebut merupakan bukti
yang sangat tepat dari pendapat Saul bahwa keluarga ternyata
bukan wilayah yang bersifat personal semata. Keluarga, beserta
seluruh pembagian kerja dan operasi posisi biner perempuan
PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _
(Annisa Listiana)
dan laki-laki merupakan hal yang bersifat politis pula (Jennifer
Saul, 2003: 141).
Pandangan Saul juga berseberangan dengan pandangan
yang menyatakan bahwa perempuan sudah secara alamiah
cocok dengan pekerjaan mengurus rumah. Menurutnya,
sebenarnya ini hanyalah masalah seberapa jauh seseorang
terlatih untuk mengerjakan sesuatu. Di Indonesia, sejak kecil
biasanya perempuan telah dilatih untuk membantu ibunya
dalam membersihkan rumah. Anak laki-laki biasanya tidak
diajarkan hal serupa, mereka biasanya diajak oleh ayahnya
untuk pergi dan berkegiatan di luar rumah misalnya ke bengkel,
ke tempat berolah raga dan petualangan alam. Anak perempuan
yang bepergian biasanya akan dibawa ke tempat perbelanjaan—
menurut Saul, belanja adalah salah satu pekerjaan domestik
pula—atau ke pasar-pasar tradisional (Jennifer Saul, 2003: 157).
Wacana perempuan berkiprah di arena domestik demikian
kental dan dianggap sebagai suatu kebenaran karena berkaitan
dengan relasi kekuasaan, dengan demikian sesuatu dianggap
benar dalam masyarakat jika diletakkan dalam kerangka relasi
kekuasaan masyarakat yang berkuasa. Apabila yang berkuasa
laki-laki maka perempuan menjadi lemah dan mematuhi apa
yang dikatakan yang berkuasa (Nickie Charles, 2000: 89).
Dari paparan di atas yang dapat disimpulkan adalah dari
kecil hingga dewasa terdapat dikotomi dan reduksi perempuan
ke wilayah domestik. Jejaring makna yang menyatakan bahwa
perempuan identik dengan wilayah domestik dan child care,
pada akhirnya membuat perempuan identik dengan PRT. C. Kekerasan terhadap PRT
Perjalanan kerja seorang PRT, dari daerah asal sampai
ke tempat kerja merupakan medan yang terjal untuk dilalui.
Seorang PRT sudah akan berhadapan dengan calo yang sangat
potensial melakukan tindak kekerasan terhadapnya, baik secara
fisik, psikis, maupun ekonomi. Dari berbagai kasus, banyak
calo yang minta persenan dalam beberapa bulan PRT bekerja,
melakukan penganiayaan apabila seorang PRT dipandang kritis
terhadap persoalan, bahkan ada calo yang melakukan pelecehan
seksual, mulai dari meraba, membelai sampai melakukan coitus,
demikian juga dengan teman yang membawanya bekerja,
235
236
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
meskipun sedikit namun tetap minta balas jasa.
Ancaman kekerasan juga selalu membayangi PRT di
tempat ia bekerja. Rumah majikan bukan merupakan tempat yang
nyaman, mengingat profesinya hanya sebagai seorang pekerja
rumah tangga. Tidak ada spesifikasi jenis pekerjaan yang mesti
dilakukan atau tidak dilakukan. Mulai dari semua jenis pekerjaan
di rumah tangga, memasak, mencuci dan menyeterika, bersihbersih, merawat anak sampai dengan pijat memijat pun menjadi
pekerjaan pokok seorang PRT, dan apabila tidak dikerjakan akan
mendapatkan penilaian yang buruk. Pembantu malas, pembantu
tidak becus, pembantu durhaka, sampai dengan tidak layak
menjadi seorang pembantu. Adapun yang lebih kejam lagi tidak
manusiawi, majikan tega melakukan penganiayaan terhadap
PRT dengan berbagai bentuk kekerasan. Mulai dari upah yang
tidak segera dibayarkan sampai dengan penyiksaan sampai buta
atau lumpuh. (Jawa Pos, 2005: 8). Kekerasan yang dialami PRT
seringkali didiamkan sampai pada batas PRT tersebut kesakitan
atau dikembalikan pada keluarganya dengan alasan kecelakaan.
PRT tidak berani untuk melaporkan karena diancam atau tidak
kuasa untuk melaporkan karena posisi lemahnya.
D. Stereotip terhadap PRT
Beban berat lain yang harus dipikul PRT adalah stereotip
PRT sebagai pekerja yang mendapat citra buruk dari masyarakat.
Meskipun mempunyai peran sangat penting, baik bagi majikan,
keluarganya, daerahnya, bahkan bagi negara, namun mereka
mewarisi pandangan konvensional selama ini sebagai pembantu,
babu atau jongos. Mereka boleh diperlakukan apapun oleh
majikannya, dan masyarakat yang memberikan cap padanya
atas berbagai perlakuan itu. Tidak sedikit didengar, jika
PRT mengalami kekerasan dan ketidakadilan dari majikannya,
hal itu dianggap sebagai bukan persoalan. Dianggap wajar
apabila PRT mengalami ketidakadilan dan kekerasan itu. Lebih
parah lagi bahwa ternyata tidak sedikit di antara kita yang justru
menimpakan kesalahan pada para PRT. Mereka sering dituduh
tidak bekerja yang memuaskan, sehingga layak mendapat
hukuman.
Stereotip itu juga telah menginternalisasi dalam kesadaran
para PRT sendiri. Banyak di antara mereka menganggap layak
PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _
(Annisa Listiana)
dihukum dengan berbagai perlakukan kekerasan oleh majikannya
jika melakukan kekeliruan atau pekerjaannya tidak memuaskan.
Pada batas tertentu, stereotip sebagai pembantu menghadirkan
problem tersendiri dengan pembatasan kesempatan belajar dan
bergaul secara sosial dengan wajar. Mereka pembantu yang
kebutuhan sosialnya terbatas, keperluan untuk berkembangnya
juga terbatas, untuk apa mempunyai kesempatan belajar dan
mengembangkan diri? Pandangan seperti ini, tidak hanya
dimiliki oleh majikan, tetapi juga oleh para PRT sendiri. Di
sini jelas, pekerjaan PRT dalam situasi seperti itu akan sulit
menjadi tempat berkembang bagi para PRT sendiri, dan tidak
korelatif dengan pemberdayaan. Inilah salah satu kondisi yang
menyebabkan berbagai bentuk kekerasan yang dialami PRT (JP,
2005).
Implikasi wacana dominan yang menghadirkan makna
bahwa perempuan identik dengan wilayah domestik dapat
terasa dalam bidang pendidikan. Sangat ajegnya wacana
tersebut menjadikan masyarakat Indonesia masih banyak yang
menganggap sebagai sebuah kebenaran. Banyak perempuan
Indonesia, terutama di wilayah pedesaan, tidak menempuh
pendidikan yang lebih tinggi dari SMA. Seringkali mereka hanya
disekolahkan oleh orang tua mereka hanya sampai jenjang SMP.
Biasanya bila tidak dinikahkan oleh orang tua, mereka akan
bekerja sebagai PRT, entah di daerah mereka ataupun di luar
daerah mereka.
Jenjang pendidikan yang rendah mengakibatkan minimnya
lowongan pekerjaan yang dapat dimasuki perempuan. Oleh
karena itu PRT merupakan lahan berkerja yang paling tersedia
bagi para perempuan muda tersebut. Hal ini bukan hal yang
baru, namun kehadiran masalah terebut secara terus menerus
menyiratkan adanya kekuasaan wacana yang bermain dalam
masyarakat mengenai pendidikan perempuan dan hubungan
dengan PRT. Maraknya berita mengenai TKW dengan segala
cerita sedihnya merupakan bukti keterkaitan antara rendahnya
tingkat pendidikan dengan ketersediaan lapangan kerja sebagai
PRT. Apalagi dalam berita-berita tersebut sering terungkap
belianya umur perempuan TKW. Dalam usia belasan tahun
mereka tidak melanjutkan sekolah mereka dan bekerja (berusaha
mencari kerja) sebagai PRT. Ketika menjadi PRT pun mereka
dianggap tidak layak untuk melanjutkan pendidikan karena
selama ini PRT adalah pekerjaan nomor dua yang tidak penting
237
238
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
dan pandangan ini tidak terlepas dari kekeliruan perspektif
pembangunan yang mementingkan pertumbuhan ekonomi
karena pekerjaan rumah tangga dianggap tidak produktif
(Vandana Shilva, 1997: 128).
E. Ketidakadilan Gender dalam PRT
Ketidakadilan gender merupakan suatu masalah dalam
bagi PRT. Hal ini karena hampir 90% dari jumlah PRT di negeri
ini utamanya berjenis kelamin perempuan. Masalah PRT tidak
hanya berhubungan dengan representasi perempuan dan tingkat
pendidikan yang rendah, tetapi juga berhubungan dengan hakhaknya sebagai pekerja. Rendahnya tingkat pendidikan juga
memberi sumbangan ketidakpahaman PRT dengan hak-haknya
sebagai seorang pekerja. Banyak sekali PRT yang bekerja tanpa
bayaran, atau dibayar namun tidak memadai. Kasus seperti ini
selain terjadi dalam kehidupan sehari-hari, juga banyak diangkat
melalui media massa (Jurnal Perempuan: 24).
Kondisi tersebut semakin diperburuk dengan kenyataan
bahwa para pekerja rumah tangga tersebut tidak memiliki
keahlian lainnya, akibat tingkat pendidikan yang rendah,
sehingga hanya dari mereka tidak mampu berbuat banyak
dalam mengatasi masalah pemberangusan hak mereka. Tingkat
pendidikan yang rendah seringkali membuat mereka tidak
menyadari pilihan yang mereka miliki atas hidupnya sejak awal.
Materi pendidikan dasar yang mereduksi peran perempuan pun
memperburuk pola pikir perempuan belia yang berpendidikan
rendah. Ketidakberdayaan, ketidakmandirian, dan pekerjaan
sebagai PRT dianggap sebagai sebuah kewajaran dalam banyak
kelompok masyarakat.
Buruknya kondisi PRT dapat ditanggulangi dengan
memperlakukan PRT seperti seorang karyawan yang memiliki
hak-hak sebagai pekerja. PRT selama ini cenderung dianggap
sebagai pekerjaan sampingan, rendahan, tidak membutuhkan
keterampilan, diisi orang-orang dari kelompok sosial yang
dipandang rendah pula. Paham seperti ini menyebabkan
PRT tidak memiliki budaya kerja yang sehat. PRT seharusnya
dianggap sebagai pekerja profesional karena apa yang mereka
lakukan pun sebenarnya membutuhkan keterampilan yang
memadai. Sebagai pekerja profesional, mereka pun berhak
PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _
(Annisa Listiana)
mendapat upah yang layak dan lingkungan kerja yang
sehat. Sesungguhnya kebutuhan terhadap PRT sangat tinggi
sehingga sudah sewajarnya hak-hak PRT sebagai pekerja lebih
diperhatikan. F. Perlindungan Hukum dan Advokasi terhadap PRT
Indonesia, negara yang ditengarai sebagai negara
pengirim sekaligus negara pemakai terbesar jasa PRT, hingga
kini belum memiliki peraturan setingkat undang-undang untuk
mengatur dan melindungi nasib PRT secara legal. UU No 23
tahun 2004 tentang ketenagakerjaan. Contohnya, tidak secara
khusus mengatur persoalan PRT, apalagi memberikan dasar
bagi perlindungan hukum. Padahal perlindungan hukum
tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian, menjaga, dan
mempertahankan hak, jika dilanggar. Pekerja yang diatur dalam
UU Ketenagakerjaan adalah pekerja sektor formal, mereka
yang bekerja dalam sebuah unit produksi atau perusahaan,
bukan orang-orang yang bekerja dalam lembaga keluarga, dan
mengerjakan pekerjaan rumah tangga sekalipun esensinya
sama.
Menurut UU ketenagakerjaan, PRT dapat dikategorikan
sebagai pekerja yang disewa oleh seorang atau oleh sebuah
perusahaan (UU Ketenagakerjaan No. 13, Tahun 2003). Karena
pada kenyataannya PRT adalah pekerja. Mereka memberi
kontribusi yang luar biasa besar bagi keluarga di Indonesia,
dan menyumbangkan devisa bagi pendapatan dalam negeri.
Akan tetapi di atas dokumen hukum, PRT tidak diakui oleh
UU Ketenagakerjaan sebagai bentuk pekerjaan formal yang
layak diberikan perlindungan oleh peraturan dan hukum yang
ada. Kalangan hukum, aktivis buruh, dan aktivis perempuan,
menilai bahwa marjinalisasi formalistik itu pada prakteknya
telah membuka peluang dan potensi bagi bentuk-bentuk
eksploitasi, ekonomi, fisik, maupun psikis terhadap PRT.
Implikasinya, banyak kekerasan terhadap PRT hanya dipandang
sebagai tindakan kejahatan minor bahkan dinilai sebagai urusan
domestik yang privat.
Meskipun demikian, peraturan yang mengatur secara
khusus masalah pekerja domestik hanya terdapat pada tingkat
Peraturan Daerah (Perda). Itu pun masih memiliki banyak
239
240
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
kelemahan yang bersifat fundamental. Perda Pemerintah
Provinsi Jakarta No. 6 Tahun 1993 misalnya, adalah salah
satu peraturan yang berkenaan dengan masalah PRT. Dalam
peraturan tersebut, PRT disebut sebagai eufemisme Pramuwisma.
Pramuwisma adalah tenaga kerja pembantu rumah tangga yang
melakukan perkerjaan rumah tangga dengan menerima upah.
Namun jika dianalisis, definisi yang demikian itu ternyata
masih menggunakan istilah pekerja rumah tangga dan tidak
menjelaskan apa yang dimaksud dengan pembantu rumah
tangga. Di dalamnya hanya menyebutkan melakukan pekerjaan
rumah tangga tanpa penjelasan bekerja pada siapa. Dengan
demikian sepertinya hal tersebut menghilangkan unsur di
bawah perintah yang merupakan unsur pengertian buruh dalam
hukum perburuhan.
Hal yang tak boleh dilupakan berkaitan dengan PRT
adalah advokasi atau pendampingan. Dalam konteks ini,
kegiatan pendampingan tidak asal pendampingan akan tetapi
bersifat mempengaruhi dan mengupayakan proses penyadaran
pada PRT, proses ini dilakukan secara kreatif sesuai dengan
konteks kebutuhan PRT (Anthony Yeo, 1999: 58).
G. PRT (Pembantu Rumah Tangga) dalam Perspektif
Islam
Dalam konsep Islam, manusia, apapun jenis kelaminnya,
adalah ciptaan Tuhan yang paling terhormat dibanding ciptaanNya yang lain. Kehormatan ini diberikan karena manusia adalah
makhluk berpikir, berkarya, dan bekerja. Tiga ciri ini merupakan
ciri khusus bagi manusia, dan menjadi cara manusia untuk
mempertahankan, meningkatkan kesejahteraan hidup, dan
menyempurnakan eksistensinya. (QS. Hud [11]: 61). Oleh karena
itu, bekerja menjadi hak asasi manusia. Beberapa ayat Al-Quran
menyerukan manusia untuk bekerja di manapun, kapanpun,
dan apapun sesuai dengan kecenderungan dan pilihan masingmasing. (QS. al-Mulk [67]: 15), (QS. al-Jumu’ah [62]: 10), dan (QS.
al-Isra’ [17]: 84).
Dari beberapa ayat Al-Quran di atas disampaikan
bahwa bekerja adalah bagian dari pengabdian kepada Allah,
dan karenanya ia bernilai ibadah. Apapun pekerjaan tersebut,
sepanjang dimaksudkan untuk membuatnya eksis dan dilakukan
PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _
(Annisa Listiana)
dengan cara yang baik (
), maka hal tersebut
termasuk kategori ibadah. Bahkan, bekerja juga bisa bernilai
(berjuang di jalan Allah), jika dimaksudkan
untuk membantu keluarga atau orang lain. Hal ini berlaku bagi
siapapun, laki-laki atau perempuan.
Perempuan maupun laki-laki, dituntut untuk bekerja
guna memperoleh penghidupan yang layak atau memenuhi
kebutuhan keluarga. Siapapun dapat memilih pekerjaan apapun
sesuai dengan potensi dan kapasitas yang dimiliki. Al-Quran
tidak menyebut pekerjaan tertentu untuk jenis kelamin tertentu.
Perempuan dan laki-laki dapat bekerja di dalam maupun di luar
rumah. Bekerja sebagai PRT tidaklah lebih rendah dibanding
profesi lain selama dilakukan dengan cara dan untuk tujuan
yang baik
”Siapapun yang bekerja dengan baik, laki-laki maupun
perempuan, maka Kami (Tuhan) akan memberinya
kehidupan yang baik dan akan Kami beri mereka balasan
terbaik atas pekerjaan baik yang telah mereka lakukan.”
(Q.S. al-Nahl [16]: 97).
Profesi PRT memang sering dianggap rendah, namun
dalam banyak hal peran dan jasa yang diberikan oleh
mereka sangat besar sekali terutama bagi majikannya. Jika
direnungkan labih jauh, tugas PRT di dalam rumah turut andil
dalam kesuksesan majikan di luar rumah. Bayangkan, betapa
pusingnya para pemilik rumah besar manakala tidak ada para
PRT yang menjaga dan mengurus segala keperluan dalam rumah
tangga. Para majikan tidak perlu lagi bingung memikirkan
urusan rumah tangga seperti memasak, mencuci, atau bersihbersih. Nabi dengan jelas menyatakan, ”
”, (sesungguhnya kalian ditolong dan
diberi rezeki oleh orang-orang yang lemah di antara kalian).
Hadis ini cukup memberi petunjuk untuk menghargai kelompok
orang yang dianggap lemah, baik atas dasar profesi maupun
jenis kelamin.
Memang Al-Quran tidak menyebut secara rinci
persoalan PRT ini, namun terdapat banyak hadits Nabi yang
menguraikannya. Beberapa hal yang dapat diketahui dari hadits
Nabi adalah sesungguhnya para pekerja –termasuk PRT- adalah
manusia sebagaimana manusia yang lain. Dia memiliki hak
untuk diperlakukan dengan baik, diberikan upah, dan dicukupi
241
242
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
kebutuhannya. Sebuah hadis Nabi menyatakan:
”Siapa saja yang mempekerjakan orang, maka jika
si pekerja tidak punya isteri, maka dia hendaknya
mencarikan isteri baginya. Jika dia tidak mempunyai
pembantu, majikan hendaknya menyediakan pembantu.
Jika dia tidak mempunyai rumah, majikan hendaknya
menyediakan rumah” (HR. Abu Daud).
Para ulama sepakat di antara hak yang harus didapat oleh
PRT adalah kewajiban diberi makan dan pakaian layak bagi PRT
seperti makanan dan pakaian majikannya, terutama mengajak
mereka makan bersama. Hak PRT dan kewajiban majikan yang
lain adalah bahwa mereka tidak boleh diperlakukan dengan
cara-cara kekerasan. Nabi bersabda: ”Jangan kamu pukul
hamba-hamba Allah yang perempuan.” Siti Aisyah, isterinya
yang tercinta, memberikan kesaksian dengan mengatakan,
”Nabi saw., tidak pernah memukul isteri maupun pembantunya
sama sekali.” Dan, manakala makanan yang dimasaknya tidak
cukup sedap, Nabi tidak pernah memarahinya. Jika majikan
melakukan kesalahan baik disengaja atau tidak, maka etika
Islam mewajibkannya untuk meminta maaf. Meski tak pernah
melukai pembantunya Nabi adalah orang yang paling banyak
meminta maaf kepadanya. Ketika beliau ditanya berapa kali
seorang majikan mesti meminta maaf kepada pembantunya,
beliau menjawab tujuh puluh kali dalam sehari. Nabi juga selalu
mengucapkan terima kasih atas pelayanan mereka.
Hak-hak ekonomi PRT juga wajib dipenuhi majikan.
Dalam salah satu sabdanya Nabi memperingatkan kepada
para majikan agar memenuhi hak-hak pekerja sebagaimana
yang sudah ditetapkan di dalam kontrak. Kelalaian majikan
memberikan upah merupakan sebuah pengkhianatan. Tindakan
majikan tidak hanya melanggar aturan negara yang patut
dihukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku, tetapi
juga diancam Tuhan dengan hukuman di akhirat. ”Tiga orang
yang akan menjadi musuh saya pada hari kiamat: orang yang
berjanji atas nama saya tetapi mengkhianati; orang yang menjual
orang merdeka lalu hasil penjualannya dimakan; dan orang yang
mempekerjakan orang lain tetapi tidak memberikan upahnya
padahal dia (pekerja) telah memenuhi pekerjaannya.” (HR. Ahmad
dan Bukhari dalam Shaukani,
VI: 35-36). ”Nabi
melarang mempekerjakan orang tanpa menjelaskan upahnya
PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _
(Annisa Listiana)
lebih dahulu.” (HR. Ahmad dalam
, VI: 32).
Dalam hadits lain disebutkan: ”Siapa saja yang mempekerjakan
orang dia wajib menyebutkan upahnya.” (
, VI:
33). Upah harus dibayarkan sebelum ”keringatnya kering”,
(tidak ditunda-tunda). Nabi saw mengatakan: ”Berikan segera
upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (
I:
76).
Upah adalah hak pekerja dan kewajiban majikan. Jika
majikan tidak memberi upah, maka pekerja berhak menuntutnya.
Sebagian ahli fikih menegaskan bahwa pekerja boleh menahan
barang milik majikan yang dihasilkan dari kerjanya sebagai
jaminan jika majikan tidak membayarnya tanpa harus menunggu
keputusan pengadilan/pemerintah. (Al-Kasani,
IV: 204). PRT adalah manusia dengan seluruh kapasitas fisiknya
yang terbatas. Ia berhak untuk mendapatkan istirahat yang
cukup. Karena itu para majikan tidak dibenarkan membebani
para pekerjanya di luar kemampuannya. Al-Quran mengajarkan
bahwa Tuhan pun tidak pernah membebani makhluk-Nya
dengan kewajiban-kewajiban yang tidak mampu ditanggungnya:
”Tuhan tidak membebani orang di luar kemampuannya.” (QS. alBaqarah [2]: 286). Nabi Muhammad saw., pernah menyatakan:
“Sesungguhnya tubuhmu mempunyai hak.” Hak tubuh adalah
hak untuk istirahat yang cukup, hak untuk sehat, hak untuk
berdaya, dan hak untuk dihormati.
Hak-hak pekerja–termasuk PRT di dalamnya-harus
mendapatkan perlindungan. Sebab dalam etika Islam, seorang
muslim adalah saudara bagi muslim yang lain dan tidak
dibenarkan menyakiti atau merendahkan sesamanya. Apa yang
menjadi penderitaan seseorang seharusnya juga menjadi derita
bagi dirinya. Terlepas dari semua itu, Negara harus menjadi
ujung tombak dalam memberikan perlindungan dan jaminan atas
hak-hak warganya apapun jenis kelamin, profesi, termasuk PRT.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 Huruf ayat 4 menyatakan,
”Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.” Pada ayat sebelumnya (ayat 2) UUD itu menegaskan, ”Setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif.
243
244
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
G. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, pekerja rumah tangga
merupakan pekerjaan yang identik dengan perempuan yang
mengalami kekerasan baik dari rumah sampai kepada majikan
dan juga ada stereotip serta ada ketidak adilan gender. Ini
disebabkan karena konstruksi budaya masyarakat dari awal yang
mengidentikkan perempuan sebagai pekerja domestik. Jarang
sekali pekerja rumah tangga yang mendapatkan perlakuan
seperti pekerja lainnya atau dianggap sebagai keluarga misalnya
diberi kamar yang layak, diberi baju yang bagus, diberi waktu
untuk ibadah, diberi waktu untuk kegiatan, diberi kepercayaan
memegang uang, disekolahkan, bahkan dihormati ataupun
dihargai seperti manusia pada umumnya. Ketika Pekerja Rumah
Tangga ada masalah atau terjadi sesuatu yang berkaitan dengan
kekerasan yang dialaminya baik fisik ataupun psikis, hukum
tidak terjangkau olehnya karena sampai detik ini hukum belum
mengatur sepenuhnya tentang pekerja rumah tangga yang
ternyata menyumbang devisa negara yang cukup besar.
Pekerjaan rumah bagi pemerintah, baik eksekutif,
legislatif, Yudikatif, LSM, maupun masyarakat pada umumnya
untuk dapat memanusiakan pekerja rumah tangga (PRT) dengan
aturan dan perlakuan yang sewajarnya sebagai manusia samasama ciptaan Tuhan.
Bagi kita sebagai masyarakat dan juga sesama makhluk,
tidak ada salahnya ketika kita menghargai pekerja rumah tangga
karena disadari ataupun tidak, kita sangat terbantu dengan
adanya pekerja rumah tangga (PRT). Dalam perspektif Islam, pembantu rumah tangga tak ada
bedanya dengan pekerja lain seperti pegawai pemerintah, pekerja
kantor, pekerja perusahaan ataupun pekerja bagi individu
lainnya. Definisi pekerja adalah setiap orang yang dipekerjakan
dengan kompensasi upah atau gaji, apakah mereka menjadi
pekerja pada individu, kelompok ataupun pekerja bagi negara.
Pembantu rumah tangga termasuk kategori pekerja tersebut.
Oleh sebab itu berlaku bagi dia hukum yang terkait dengan
pekerja. Yaitu hukum dalam akad kerja mulai dari bentuk dan
jenis pekerjaan, masa kerja, upah dan tenaga yang dicurahkan.
Islam mengatur pergaulan suatu keluarga dengan
khodimatnya. Keberadaan mereka memiliki posisi yang sangat
PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _
(Annisa Listiana)
penting dalam kaitannya meringankan segala kesulitan muslim
lainnya. Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik manusia di antara
kamu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain” (HR.
Bukhari dan Muslim). Oleh sebab itu kita harus memperlakukan
mereka dengan baik dan hormat sebagai sesama manusia muslim.
Imam Ahmad dalam musnadnya mengeluarkan hadits: “Orang
Mukmin adalah orang yang dikasihi. Tidak ada kebaikan, bagi siapa
saja yang tidak mengasihi dan tidak dikasihi.” Khodimat adalah orang
yang membantu meringankan pekerjaan rumah tangga. Karena
sifatnya membantu maka ia tidak mengerjakan semua hal. Oleh
karena itu perlu adanya kejelasan mengenai jenis pekerjaan apa
saja yang akan dikerjakan oleh mereka. Ketentuan jenis pekerjaan
ini harus jelas sejak awal mereka mulai bekerja. Demikian juga
waktu bekerja mereka harus ada kejelasan. Kapan mereka harus
istirahat dan mengerjakan keperluan pribadinya.
245
246
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
SUMBER RUJUKAN
Abu Bakar bin Mas’ud,
Beirut:
Dar al Fikr, 1996.
Charles, Nickie, Feminism, The State and Social Policy, Hongkong:
Macmillan Press, 2000.
Hughes, Shirley The Troble With Jack, Portugal: Picture Corgi,
1989.
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet.II, 1997.
Marhamah Mujib, Kekerasan dalam Rumah Tangga Panduan bagi
Konselor, Jakarta: Lembaga Konsultasi Pemberdayaan
Perempuan dan The Asia Foundation, 2000.
Saul, Jennifer, Feminisme; Issues and Arguments: New York: Oxford
University Press, 2003.
al Suyuthi, Jalaluddin,
Surabaya: al Hidayah, tt.
As Syaukani,
, Mesir: Maktabah Musthofa Al
Baabi al Halaby wa Aulaadih, tt.
Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13, Tahun 2003.
Vandana Shiva, Bebas dari Pembangunan, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1997.
Wittgenstein, Ludwig, Tractatus Logico Phylosophicus, Terj.
Inggris, London, Newyork: Routledge, 2004.
Yayasan Jurnal Perempuan (Jurnal Perempuan untuk Pencerahan
dan Kesetaraan), Vol. 39, Jakarta, Cetakan Pertama,
Januari, 2005.
Yeo, Anthony, Konseling Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah,
Jakarta: BPK Gunung Agung, 1999.
Zainuddin Fannani, Restrukturisasi Budaya Jawa, 2000,
Muhammadiyah Press, Cet.I.
Ide Utama
KREATIFITAS PEREMPUAN
DALAM TRANSFORMASI SOSIAL:
Usaha Menuju Kemandirian Abadi
M. Rikza Chamami *)
ABSTRACT: This review is phenomenalist –critical,
reviewing the social structure of women in society which
is in fact still a second person. However, the real form of
their roles cannot be “overlooked”. Within this context, it
takes a firm stance of the women to be “creative women.”
Forms of creativity can be actualized in three forms, namely:
action, caring and independent. Forms of action embodied in
concrete measures undertaken. Care as the actualization of the
attitude responsive to social conditions. While independent
shows that women are able and efficient in the middle of the
public interest.
Keywords: Creativity, Woman and Social Transformation
A. Pendahuluan
Kajian terhadap kreatifitas perempuan tidak akan pernah
berhenti di tengah arus melonjaknya prestasi laki-laki. Ini
membuktikan bahwa peran perempuan dalam transformasi
sosial dapat dikatakan sebagai aktif. Berbeda halnya jika dalam
konteks perilaku sosial, yang sering kali ditemukan perempuan
tidak berdaya dan semakin melemah. Jika ini yang terjadi, maka
diskursus tentang gender akan semakin tidak berarti.
Gender dalam hal ini adalah sebagai konstruksi sosial
budaya. Ia adalah label dari konstruksi hubungan jenis kelamin
laki-laki dan perempuan, yang lebih popular disebut relasi
gender. Perilaku mengenai relasi antara laki-perempuan disebut
budaya gender. Bila jenis laki-perempuan adalah atribut biologis
*)
Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
248
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
yang telah selesai, tetap, alamiah dan terberi, maka (relasi) gender
adalah ekspektasi budaya mengenai hubungan laki-perempuan
yang berubah-ubah atau diubah-ubah, dinamis dan mengalami
modifikasi terus menerus (Gufron Ali Ibrahim, 2005: 93).
Pola yang dapat dilakukan dalam relasi gender ini adalah
dengan memformat kreatifitas perempuan dalam bingkai
transformasi sosial. Perempuan harus memposisikan dirinya
sebagai figur yang selalu berusaha secara mandiri dan aktif
merespon fenomena masyarakat yang dia hadapi. Format ini
dilakukan oleh perempuan dengan terus menerus (simultaneously)
sehingga akan terwujud sebuah kemandirian yang abadi.
Dengan adanya sikap ini, maka peran perempuan akan dihargai
dan bermanfaat di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
B. Perempuan Kreatif
Tidak semua orang mau memahami bahwa sosok
perempuan itu dapat berdaya dan berprestasi. Sejarah telah
banyak membuktikan, tidak sedikit perempuan menjadi
figur yang selalu dikucilkan. Bangsa India, Persia dan Yunani
memandang perempuan sebagai sumber penyakit dan fitnah
(Abdul Hasan: 23). Bangsa ini menganggap perempuan sebagai
sosok yang hina dengan memperlakukannya secara kasar dan
memperbudaknya sebagai objek seksual secara tidak manusiawi.
Islam hadir sebagai agama yang melindungi kaum hawa sekaligus
menempatkan posisinya sejajar dengan laki-laki dalam status
sosialnya. Hal ini jauh beda dengan apa yang menjadi prinsip
bangsa Romawi yang menyatakan: “Sesungguhnya perempuan
adalah wujud yang tidak berjiwa”.
Kehadiran Islam memberikan jalan keluar atas
diskriminasi kaum hawa. Dinyatakan tegas bahwa perempuan
adalah sejawat pria dalam konteks kemanusiaan (Ramadan
Hafizh, 2009: 1). Sebagaimana sabda Nabi dalam sebuah
hadits:
sesungguhnya perempuan
adalah sejawat pria (HR. Ahmad dan Tirmidzi). Perempuan
juga sejawat pria dalam konteks keislaman. Sehingga ia pun
memiliki hak dan kewajiban agama yang sama dengan pria.
Ini menunjukkan bahwa Islam mendorong bagaimana ada
hak-hak kaum perempuan yang harus dilindungi dengan garis
relasi positif. Ada hak-hak wanita yang harus dijunjung tinggi
KREATIFITAS PEREMPUAN DALAM TRANSFORMASI SOSIAL
(M. Rikza Chamami)
dengan prinsip keadilan. Hal ini memberikan bukti bahwa
bukan hanya karena kelemahan fisik perempuan menjadikan
ketidakberdaya­an (Abbas­ Mahmoud Al-Akkad, 1984: 111).
Ketidakberdayaan ini yang kemudian dijadikan alasan untuk
melemahkan perempuan—walaupun tidak rasional. Sebab, di
balik kelemahan ada kelebihan yang jarang dilihat dan dihargai.
Itulah sebabnya dibutuhkan rasa saling hormat menghormati
dan sikap arif dalam menjalin hubungan gender ini.
Ramadan Hafizh kembali menegaskan bahwa hubungan
pria dan wanita sangat kompleks. Ia bukan sebuah kenaifan
sosial, melainkan semakin menambah khazanah hubungan
emosional spiritual yang tidak pernah melemah dan menghilang.
Kendati berdiri di atas satu jenis hubungan, emosi kasih seorang
pria terhadap ibunya berbeda dengan emosi kasihnya terhadap
istrinya, atau terhadap saudara perempuan maupun bibinya.
Wanita bukanlah bagian masyarakat, melainkan masyarakat
secara utuh dengan segala pengaruh kuat dan tegas yang
dimilikinya terhadap suami, anak-anak, ibu, bapak dan anggota
masyarakat secara keseluruhan (Ramadan Hafizh, 2009: 3-4).
Sejatinya ada kaidah yang perlu diyakinkan mengenai
otorisasi terhadap simbol kehidupan. Ada simbol dan esensi
perempuan yang harus dibedakan. Pakaian dalam bentuk dan
warnanya merupakan simbol tetapi hakikatnya menggambarkan
suatu esensi karena pakaian yang dipilih harus memenuhi
fungsinya, baik sebagai penutup tubuh, perlindungan dari cuaca
buruk dan tampil mempesona (Abdul Halim Abu Syuqqah,
1997: 35). Pada titik inilah dibutuhkan kerja yang kreatif oleh
para perempuan.
Kerja kreatif ini dimaksudkan sebagai proses mental
yang melibatkan pemunculan gagasan atau konsep baru, atau
hubungan baru antara gagasan dan konsep yang sudah ada. Dari
sudut pandang keilmuan, hasil dari pemikiran kreatif (kadang
disebut pemikiran divergen) biasanya dianggap memiliki keaslian
dan kepantasan. Sebagai alternatif, konsepsi sehari-hari dari
kreatifitas adalah tindakan membuat sesuatu yang baru. Ide dan
gagasan baru dari perempuan inilah yang sangat dinantikan.
Sehingga terwujud sebuah kristalisasi pemikiran yang brillian
terkait dengan proses transformasi sosial.
Pada dasarnya, kreatifitas tak hanya dapat dilihat
dari inovasi yang diciptakan oleh seorang penemu yang giat
249
250
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
menciptakan hal-hal baru. Bahkan, kemampun mengatur waktu
bagi seorang ibu yang memiliki tiga anak, juga dapat disebut
kreatifitas. Jadi, sebenarnya kita semua dapat menjadi seorang
yang kreatif asalkan tidak menutup pintu kreatifitas kita
sendiri.
Salah satu ciri perempuan kreatif adalah adanya
kemandirian. Bila ia berhadapan dengan kesulitan atau menderita
kemiskinan, ia mencari perlindungan dengan sabar dan bangga
dengan dirinya sendiri, disamping melipatgandakan usahanya
untuk menemukan salah satu jalan dari krisis kemiskinan yang
menimpanya (Muhammad Ali Al-Hasyimi, 2004: 415). Kunci
yang perlu dimiliki oleh perempuan dalam melaksanakan ini
semua adalah dengan melatih kesadaran dan penalaran di dalam
hatinya.
Rahasia melatih hati perempuan dalam melawan hidup
dapat dilakukan dengan tiga hal. Pertama, menanamkan
kepercayaan dan mampu bekerjasama dengan orang lain
(berinteraksi dan berelasi dengan baik. Kedua, memberikan
perhatian kepada orang lain (penyayang). Inilah karakter yang
mengedepankan simpati, bukan antipasti. Ketiga, mampu
membaca situasi di sekitarnya (beradapasi). Tak bisa dipungkiri
bahwa lingkungan sangat berpengaruh dalam kehidupan.
Keempat, mampu melalui berbagai proses kehidupan dengan
penuh kesabaran. Kelima, melakukan usaha dan segala aktifitas
yang sesuai dengan aturan dan ketentuan (Annisa Lathifah,
2008: 14).
Pola yang dimiliki dalam penataan hati ini menjadi seni
hidup perempuan dalam mendukung kreatifitasnya, sebab hati
perempuan selalu dilandasi dengan sikap pesimis dan kecil hati.
Sehingga, perlu ditata dengan penyelarasan terhadap kondisi
akal sehat yang dimilikinya. Dengan keseimbangan hati dan
akal, maka akan dengan mudah bagi mereka untuk memahami
kehidupan dengan semangat untuk selalu maju dan menelurkan
gagasan yang betul-betul baru. Sebab terdapat prinsip-prinsip
pokok yang berkenaan dengan akal:
1. Akal aktif dinamakan al-aqlu al-fa’al (active intellect) adalah
sumber dari segala akal manusia, bersifat satu dan universal.
2. Akal manusia terdiri dari “akal aktif” dan “akal kemungkinan” yang dinamakan al-‘aqlu bi al-quwwah (receptive in-
KREATIFITAS PEREMPUAN DALAM TRANSFORMASI SOSIAL
(M. Rikza Chamami)
tellect). Jika akal yang aktif merupakan sumber, maka akal
kemungkinan adalah pikiran yang berkuasa sehari-hari terhadap diri manusia.
3. Akal dan jiwa manusia adalah satu, bersifat universal dan
abadi. Jasmani manusia boleh meninggal, tetapi akal dan jiwanya tetap hidup, menjadi bebas dari jasmani yang kasar
itu, menyatukan diri dalam akal aktif yang menjadi induknya. Hal seperti itu disebut sebagai mono-psychism.
4. Akal manusia ada yang bersifat fi’ly, yaitu pemikiran yang
praktis dan adapula yang bersifat nadhary yaitu pemikiran
mendalam dan teoritis yang memandang segala sesuatu
dengan ilmu pengetahuan.
5. Akal manusia (ratio) harus bebas dan berdiri sendiri di atas
segala-galanya, sedangkan agama dengan wahyu Tuhan
adalah merupakan penyempurnaan bagi akal itu (Suparman Syukur, 2008: 8).
Peran akal perempuan inilah yang menjadi penopang
keberperanannya dalam membangun jiwa kreatif. Apalagi jika
perempuan benar-benar memanfaatkan akal fi’ly dan rationya. Sudah barang tentu akan dengan mudah menggali jiwa
kreatif untuk meninggikan derajatnya. Sebab kreatif merupakan
gambaran dari sesuatu yang awalnya tidak ada menjadi ada,
dari bahan mentah menjadi bahan jadi, dari sesuatu yang tidak
berbentuk menjadi sesuatu yang indah, atau bahkan dari sesuatu
yang tidak terpikirkan orang menjadi sesuatu yang bermanfaat
buat orang.
Kreatifitas juga disebutkan sebagai akar dan awal dari
semua kesuksesan. Kesuksesan memang tidak selalu diukur
melalui pengakuan atau apa yang keluar dari mulut orang lain.
Pada sebagian orang, terkadang kesuksesan diukur berdasarkan
pencapaian pribadi dan menikmati hasilnya juga secara pribadi.
Semua ukuran parameter di atas pada dasarnya sah-sah saja,
bisa diterima dan tidak perlu diperdebatkan. Dengan demikian,
kesuksesan yang dimiliki oleh perempuan akan tergambar jika
dirinya benar-benar kreatif dan menghargai proses kehidupan
yang selalu dinamis dan mengalami transformasi yang tidak
akan pernah berhenti.
Bentuk kreatifitas perempuan dapat diaktualisasikan
dalam tiga bentuk, yakni: aksi, peduli dan mandiri. Bentuk
251
252
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
aksi terwujud dalam langkah kongkrit yang dilakukan. Peduli
sebagai aktualisasi dari sikap responsif terhadap kondisi sosial.
Sedangkan mandiri menunjukkan bahwa perempuan mampu
dan berdaya guna di tengah kepentingan umum.
Ketiga pola ini menjadikan langkah yang harus diambil
dan diaktualisasikan dalam rangka membentuk perilaku yang
mampu menyokong transformasi sosial. Sebab perubahan yang
ada di tengah masyarakat bukan hanya menjadi tanggungjawab
laki-laki. Perempuan akan turut serta menjalani proses perubahan
tersebut guna menjadi masyarakat yang lebih bermartabat dan
bermoral.
C. Transformasi Sosial
Salah satu segmen kehidupan yang mampu menjaga
tatanan moral dan martabat kehidupan adalah agama. Agama
menjadi salah satu icon penting dalam kehidupan—untuk
mengendalikan sikap, perilaku dan nilai yang dimiliki manusia.
Agama cenderung melindungi dan mewujudkan kebaikan
daripada membentuk karakter negatif yang jauh dari Tuhannya.
Agama seakan mengajak manusia untuk percaya bahwa di
atasnya ada kekuasaan absolut yang harus diakui.
Dalam konteks ini Emile Durkheim, sosilog terkemuka
asal Perancis, dalam Muhni (1994) mendefinisikan agama
sebagai: “Religion is an interdependent whole composed of beliefs and
rites related to sacred things, unites adherents in a single community
known as a Church” (satu sistem yang terkait anatar kepercayaan
dan praktek ritual yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus,
yang mampu menyatukan pengukutnya menjadi satu kesatuan
masyarakat dalam satu norma keagamaan). Dari pengertian ini,
agama dapat dimaknai sebagai pembentuk formasi sosial yang
menumbuhkan kolektifisme dalam satu komunitas masyarakat.
Kesimpulan umum ini menjadi pijakan bagi para sosiolog agama
dalam menjelaskan dimensi sosial agama dimana kekuatan
kolektivisme agama dianggap telah mampu menyatukan banyak
perbedaan antar individu dan golongan di antara pemeluknya.
Sehingga ketika agama dijadikan keyakinan, maka dapat
berperan dalam transformasi sosial menuju masyarakat yang
membangun masyarakat secara kolektif.
KREATIFITAS PEREMPUAN DALAM TRANSFORMASI SOSIAL
(M. Rikza Chamami)
Pandangan itu berbeda dengan pendapat Karl Marx
yang sejak awal sinis terhadap agama. Menurutnya agama tak
lebih dari doktrin metafisik yang tidak material, dan hanya
menitikberatkan pada orientasi pasca-kematian. Menurutnya
agama telah dijadikan alat untuk membangun ”kesadaran palsu”
untuk mengalihkan perhatian pemeluknya atas penderitaan
nyata dan kesulitan dalam kehidupan mereka. Dalam
memperkenalkan filsafat materialisme historisnya dalam kajian
ideologi, Marx menjelaskan bahwa agama adalah imajinasi;
atau lebih tepatnya khayalan yang melenakan. Agama menjadi
suatu doktrin kepercayaan yang kerap digunakan sebagai alat
legitimasi untuk mempertahankan hal-hal yang ada di dalam
masyarakat sesuai dengan kepentingan para penindas. Sehingga
Marx pesimis agama mampu membentuk transformasi sosial.
Agama di Indonesia menjadi hak asasi manusia yang
paling mendasar. Sebab agama adalah kebebasan dalam
memilih keyakinan yang tidak dapat dihalangi atau dikurangi
oleh siapapun juga baik oleh negara maupun warga masyarakat.
Hal ini berdasarkan adanya pengakuan bersama bahwa nilai
kemanusiaan memiliki kedudukan yang tinggi karena manusia
adalah karya puncak Tuhan. Atas dasar itu, maka pilihan
keyakinan yang dilakukan seseorang semata-mata bersumber
dari kesadaran dirinya.
Sudah menjadi hukum alam bahwa paham kebebasan
individu itu akan melahirkan suasana kemajemukan yang
tidak mungkin diseragamkan. Namun, betapapun keberadaan
kemajemukan itu akan tetapi semua warga dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus berdasar dan
sekaligus menuju kepada cita-cita yang satu. Inilah yang disebut
kesatuan dalam keragaman (unity in diversity) yang dilambangkan
dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu
tujuan. Hal itu berarti bahwa formulasi bentuk keyakinan dan
pengamalan kepada Tuhan bisa berbeda-beda namun harus tetap
memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh sebab
itu, sebagai warganegara diharapkan memberikan pengakuan
dan penghargaan terhadap setiap warga masyarakat untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya tersebut.
Hal inilah yang menjadi filosofi dasar bangsa Indonesia.
Sebagai agama, Islam mengajak kepada para pemeluknya
untuk peduli terhadap kondisi sosial. Ini dicontohkan oleh Nabi,
253
254
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
dimana ia selalu memberikan nasehat kepada para istrinya untuk
selalu berbicara yang dapat memberikan manfaat kepada orang
lain. Sebab sebagian kesalahan umat Islam adalah akibat dari
kesalahan lisannya; Inna aktsara khathaya ibnu Adama fi lisanihi
(Syaikh Sa’ad Yusuf Abdul Aziz, 2009: 673). Dengan kesadaran
untuk berkomunikasi secara baik inilah transfromasi sosial akan
dengan mudah dibangun secara paten. Artinya perempuan
bagi Nabi mempunyai potensi dalam berkomunikasi guna
mentransformasikan pemberdayaan masyarakat.
Transformasi sosial dalam struktur kemasyarakatan sangat
mempunyai makna penting dalam segala hal. Transformasi
sosial misalnya, mampu memberi perubahan dari beberapa
aspek kehidupan, seperti halnya moralitas, nilai, pranata sosial,
wawasan, pola berpikir, atau adat istiadat yang telah lama
terjadi di masyarakat. Perubahan yang dimaksudkan berupa
perubahan yang bersifat umum dan khusus. Perubahan umum
bertumpu pada bagaimana ada perubahan yang terlihat dari
sikap masyarakat secara umum. Sedangkan perubahan khusus
terjadi pada individu-individu masyarakat.
Perubahan demi perubahan ini yang akan menjadi titik
tolak untuk kita berangkat menata hal yang tidak baik menjadi
baik. Demikian pula, hal yang sudah baik menjadi lebih baik.
Dengan melihat pada perubahan khusus inilah, transformasi
sosial bukan sekadar perubahan seperti yang tak bermakna.
Sebab perubahan individu ini akan mempola secara besar
tentang perubahan yang sifatnya umum. Selain itu, agenda
besar dalam perubahan lainnya juga akan mampu terselesaikan.
Misalnya perubahan mutu kehidupan sosial, budaya, politik,
dan ekonomi masyarakat.
Melihat pentingnya transformasi sosial ini, perlu dijadikan
patokan, bahwa terdapat tiga strategi besar dalam pembangunan
sosial (Rr. Suhartini, 2009: 194):
1. Melalui individu (tanpa menunjuk jenis kelamin). Individuindividu dalam masyarakat secara swadaya membentuk
usaha pelayanan masyarakat untuk memberdayakan masyarakat.
2. Melalui komunitas. Kelompok masyarakat secara bersamasama berupaya mengembangkan komunitas lokalnya.
3. Melalui pemerintah. Pembangunan sosial dilakukan oleh
lembaga-lembaga di dalam organisasi pemerintah.
KREATIFITAS PEREMPUAN DALAM TRANSFORMASI SOSIAL
(M. Rikza Chamami)
Tiga komponen dasar ini harus menyatu ketika
agenda besar tentang transformasi ini dijadikan program
bersama, dan perempuanlah yang menjadi garda besar dalam
mengkomunikasikan hal ini. Sudah tidak ada lagi kekuatan
negatif yang dikhawatirkan, mengingat dalam hal ini, perempuan
dalam Islam mempunyai posisi yang sangat strategis. Setidaknya
ada empat hal yang dapat dilakukan oleh perempuan dalam
mensukseskan transformasi sosial ini.
Pertama, perempuan memposisikan dirinya sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Dikotomi gender yang
selama ini kental diperbincangkan dengan menyatakan bahwa
perempuan tidak berdaya, perlu diluruskan. Penyeimbangan
peran perempuan ini perlu dibarengi dengan keberperanan dan
prestasi. Sehingga perempuan sudah saatnya keluar dari rumah
dan ikut bergabung membangun bangsa.
Kedua, memperkuat jaringan studi gender dengan agenda
membangun masyarakat adil dan jujur. Banyak komunitas gender
yang sudah berdiri dan eksis selama ini. Namun kondisinya
masih belum begitu maksimal. Untuk itu dibutuhkan tenaga
ekstra untuk menggerakkan pusat studi yang telah ada agar lebih
solid dengan misi sosial yang sangat agung. Sudah tidak lagi
waktunya bagi pusat studi gender untuk memperdebatkan hak
dan kewajiban laki-laki dan perempuan, karena yang penting saat
ini bukanlah argumentasi, tetapi perempuan butuh aksi dalam
mengelola, merawat dan memberdayakan masyarakat secara
bersama. Sebab, perjuangan kaum laki-laki dalam membentuk
bangsa yang adil dan jujur jauh dari kesuksesan, yang diharapkan
dengan keterlibatan perempuan menata bangsa, maka beban
berat untuk membersihkan bangsa ini dari mental ketidakjujuran
akan menjadi ringan dan mendekati kesuksesan.
Ketiga, mengajak kepada seluruh perempuan untuk
semakin berdaya dalam menata keluarga untuk menjadi
masyarakat yang peduli sosial. Keluarga bagi perempuan
adalah ibarat bunga dan mahkota. Perempuanlah yang paling
berperan aktif dan mengetahui seluk beluk keluarga, bahkan
boleh dikatakan bahwa kesuksesan dalam kehidupan keluarga
sangat tergantung dengan figur perempuan. Jika perempuan
bergerak secara aktif dan mendidiknya dengan baik, maka yang
keluarga itu akan berjiwa positif, begitu pula sebaliknya. Jika
semua keluarga diberdayakan oleh perempuan dengan teknik
255
256
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
mendidik dengan baik, maka seluruh isi bangsa ini akan menjadi
baik dan sudah barang tentu ada prestasi dalam kehidupan
sosialnya.
Keempat,
memperjuangkan
hak-haknya
dengan
pendekatan sosio-antoposentris. Hak perempuan sangat banyak
sekali, akan tetapi hak itu menjadi hilang ketika perempuan
sendiri membiarkan dengan tidak mengambil hak itu. Artinya,
hak itu hilang bukan karena dicuri oleh orang dan akhirnya perlu
dirampas kembali oleh perempuan. Sekarang waktunya untuk
memperjuangkan kembali hak-haknya dalam berpartisipasi
dalam transformasi sosial.
Dengan demikian, transformasi sosial akan dapat
dilaksanakan oleh para perempuan jika hak tersebut jalan on
the track. Proses transformasi akan mengalami kemajuan yang
sangat pesat jika perempuan memiliki andil besar. Selama
ini terjadinya stagnasi sosial akibat dihilangkannya peran
perempuan dalam kegiatan sosial—berakibat pada munculnya
krisis multidimensional. Oleh sebab itulah, kesadaran akan
kebersamaan dalam membangun bangsa baik oleh laki-laki
dan perempuan perlu kembali dirajut. Tidak ada salahnya jika
perempuan diajak untuk menata bangsa yang semakin terpuruk
mentalitasnya.
D. Usaha Kemandirian Perempuan
Usaha untuk membangun bangsa bersama kaum
perempuan akan menjadi sebuah realitas jika perempuan
mempunyai jiwa mandiri. Kemandirian merupakan sebuah
sikap yang berangkat dari kesadaran diri untuk tidak mudah
tergantung pada orang lain, namun mandiri bukan berarti tidak
butuh orang lain. Kebutuhan akan pihak lain hanyalah sebagai
bagian dari interaksi sosial sedangkan kesendiriannya dalam
menuntuskan tanggungjawabnya dapat diselesaikan sendiri.
Bentuk kemandirian ini sangat beragam. Paling tidak ada tiga
karakter kemandirian perempuan dalam skala mikro, yaitu:
kemandirian berkeluarga, kemandirian bermasyarakat dan
kemandirian berprestasi.
Kemandirian berkeluarga menjadi cermin awal dalam
proses penataan diri. Dalam hal ini, perempuan diasah untuk
mandiri. Jika dalam struktur kehidupan berkeluarga perempuan
KREATIFITAS PEREMPUAN DALAM TRANSFORMASI SOSIAL
(M. Rikza Chamami)
sudah mampu dan terbiasa mandiri maka sudah barang tentu
akan meningkat pada hierarki kemandirian di atasnya. Bentuk
kemandirian dalam kehidupan berkeluarga dapat diwujudkan
dengan saling mendukung urusan domestik dan karier. Dua
hal ini menjadi bagian dari tugas yang secara transenden perlu
diselesaikan. Dalam penyelesaian itu terkadang perempuan
secara tidak sadar tidak mampu menyelesaikan dengan kreatifitas
dan kemandiriannya. Akibatnya, kemandirian yang dimilikinya
akan lari. Oleh sebab itu, kemandirian dengan pola pertama ini
perlu diasah dan dikembangkan.
Pola kemandirian perempuan yang lainnya adalah
kemandirian bermasyarakat. Pada titik inilah seorang perempuan
mempunyai peran yang sangat strategis dalam membangun
transformasi sosial. Perempuan mempunyai jiwa yang sangat
luwes dan supel dalam berkomunikasi. Bekal inilah yang akan
dijadikan untuk menata kemandirian bermasyarakat. Ketika
berinteraksi dengan tetangga, organisasi, lintas agama dan
lintas negara, perempuan mempunyai modal dasar cepat ramah.
Dengan keramahan itulah akan terwujud sebuah kemandirian
untuk membangun masyarakat.
Sedangkan kemandirian berprestasi akan menutup citra
negatif tentang perempuan. Prestasi besar yang dicapai dalam
menata jiwa mandiri di keluarga dan masyarakat merupakan
bukti bahwa perempuan mampu. Untuk selanjutnya prestasi
itu ditingkatkan pada ranah yang lainnya. Misalnya bagaimana
seorang perempuan karier yang mendedikasikan hidupnya dalam
hal masak-memasak, menyajikan sebuah hidangan/masakan
lokal tetapi dipublikasikan di tingkat internasional. Sama halnya
dengan prestasi perempuan dalam bidang keilmuan dan sains
menjadi tolok ukur untuk menegasikan hilangnya kepercayaan
masyarakat pada perempuan.
Ada kemungkinan memang bahwa perempuan rawan
untuk dilupakan. Ada kendala mengapa perempuan cenderung
terlupakan. Mansour Faqih (1996: 87) menyebutkan ada tiga
kendala yang dihadapinya sebagai berikut: 1) kendala struktur
sosial; 2) kendala minoritas unik; dan 3) kendala mitos.
Ketiganya akan hilang sendirinya jika perempuan itu mandiri
dan berprestasi.
Sikap teguh seorang perempuan pernah dilakukan oleh
Ummu Salamah selama menjadi seorang istri Rasul yang sangat
257
258
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
bijak dalam menemani hidupnya (Abdul Aziz Asy-Syinnawi,
2006: 107). Suatu ketika Nabi memerintah menyembelih qurban
dan mencukur rambut, tapi tak satupun sahabat yang patuh.
Ummu Salamah menyampaikan kepada Rasul seraya berkata,
“Wahai Rasulullah, janganlah engkau memarahi mereka, karena
di dalam diri mereka tersembunyi maksud yang agung, yakni
terkait dengan salah satu kesepakatan dalam perjanjian yang
dirasakan memberatkan dirimu dan mereka harus pulang tanpa
kemenangan”.
Wanita muslimah lainnya yang terkenal dengan
kecerdasannya pada masa awal Islam dikarenakan ilmu,
kecerdasan, pendapat, keutamaan, pengajaran dan riwayat
haditsnya adalah: Arwa binti Al Harits, Fathimah Azzahra, Laila
Al Ghifariyyah, Ummu Kultsum binti Imam Ali, Maimunah binti
Haritsah, Malikah binti Nu’man dll. (Abd ar-Rasul Abdul Hasan
al-Ghaffar, 1995: 67).
Figur-figur itu dapat dijadikan teladan mengenai sikap
perempuan yang ramah kepada keluarga, ramah kepada
masyarakat dan mampu untuk memperjuangkan orang banyak.
Kepedulian terhadap orang lain adalah sebuah tantangan besar
bagi perempuan, sebab kecintaan kepada keluarga terkadang
menutup cintanya pada pihak lain. Sehingga perlu diubah
stigma mengenai hal ini.
Senada dengan hal di atas, ketika seseorang mempunyai
rasa cinta kepada negaranya (hubb al-wathan), terselip rasa
benci terhadap negara lainnya. Ternyata sikap cinta negara
dengan pola demikian kurang tepat. Yusuf Sutanto mengamati
bahwa China sebagai suatu negara, menyebutkan bahwa dalam
literatur Islam sejak Nabi Muhammad Saw. masih hidup pernah
bersabda “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China”. Dengan
demikian, dalam perkembangan Islam pun pada masa itu telah
ada komunitas muslim di China.
Indonesia juga pernah dikunjungi oleh semua tradisi
besar yang ada di dunia dan memiliki budaya yang merupakan
buah dari crosscultural fertilization yang telah berlangsung sangat
lama sehingga semuanya merasa ikut memiliki. Modal sosial ini
sangat berharga untuk terus mengembangkan peradabannya
sendiri sebagai bagian dari membangun dunia yang semakin
menghargai hak-hak asasi. Untuk itu, diperlukan cara pandang
(episteme) yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang
KREATIFITAS PEREMPUAN DALAM TRANSFORMASI SOSIAL
(M. Rikza Chamami)
selalu mau terus belajar sepanjang hayatnya. Ajaran yang bersifat
open end ini memungkinkan setiap orang bisa mempunyai hati
dan pemikiran yang semakin luas dan yang sangat diperlukan
dalam membangun peradaban masa depan.
Berdasar uraian Yusuf Sutanto sebagaimana termaktub
di atas, mengandung kesan adanya kecenderungan lebih
mengamati sisi cultural history antara Nusantara dan China,
padahal di lapangan benturan-benturan kepentingan selama ini
lebih menonjol, muaranya adalah pada kekuasaan, mengingat
kekuasaan bertautan dengan pengetahuan yang berasal dari relasirelasi kekuasaan dan yang menandai subyek. Karena Foucault
mempertautkan kekuasaan dengan pengetahuan, sehingga
kekuasaan memproduksi pengetahuan dan pengetahuan
menyediakan kekuasaan, dan kekuasaan tidak selalu bekerja
melalui penindasan dan represi, melainkan juga normalisasi dan
regulasi. Disini, dampak tekanan terhadap orang China pada era
Orde Baru masih membekas sampai sekarang, terbukti dengan
masih banyaknya kalangan masyarakat China di Indonesia
yang masih belum berani bersikap dalam menentukan orientasi
politiknya, dan lebih memilih mengikuti arus kuat yang mengalir
(Eko Ali Roso, 2010: 258).
Dengan demikian, perlu ada rumusan tentang kemandirian
dalam memaknai nasionalisme dan internasionalisme.
Perempuan juga mampu untuk mewujudkan kemandirian
dalam menatap wajah baru guna membangun nasionalisme
yang lebih luas maknanya. Selain upaya ini menjadi bentuk baru
dalam transformasi sosial, perlu juga dilihat bahwa penguatan
nasionalisme juga perlu melibatkan komitmen perempuan.
Selain nasionalisme, ada satu hal penting yang perlu
melibatkan peran perempuan, yakni dalam hal memajukan
pendidikan Indonesia. Fakta yang ada di lapangan, guru
TK dan SD, hampir rata-rata didominasi perempuan, sebab
perempuanlah yang mempunyai jiwa kesabaran dalam
membina mental dan akhlak anak. Namun, berbeda halnya
ketika tingkat SMP hingga Perguruan Tinggi. Guru dan dosen
yang mendidik sudah didominasi laki-laki. Sehingga cara didik
dan pengarahannya menjadi beda.
Mengingat tanggungjawab memajukan pendidikan
nasional merupakan tugas yang sangat berat untuk dilaksanakan.
Paling tidak, untuk memajukan dunia pendidikan membutuhkan
259
260
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
perangkat penyempurnaan secara sistemik dalam berbagai hal,
antara lain: peningkatan kualitas dan pemerataan penyebaran
guru, kurikulum yang disempurnakan, sumber belajar, sarana
dan prasarana yang memadai, iklim pembelajaran yang kondusif,
serta didukung oleh kebijakan (political will) pemerintah baik
pusat maupun daerah (E. Mulyasa, 2008: 5).
Dari semuanya itu, guru merupakan unsur paling penting
dari proses kependidikan. Karena di tangan gurulah kurikulum,
sumber belajar, sarana prasarana dan iklim pembelajaran menjadi
sesuatu yang berarti bagi peserta didik. Di pundak guru terletak
tanggungjawab yang amat besar dalam upaya mengantarkan
peserta didik ke arah tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
Hal ini disebabkan pendidikan merupakan cultural transmission
yang bersifat dinamis ke arah suatu perubahan secara kontinyu,
sebagai sarana vital untuk membangun kebudayaan dan
peradaban umat manusia.
Guru adalah orang yang bertanggung jawab mencerdaskan
kehidupan anak didik, karena besarnya tanggung jawab guru
terhadap anak didiknya maka apapun bukan menjadi penghalang
bagi guru untuk selalu hadir di tengah-tengah anak didiknya.
Guru bisa saja disebut sebagai pendidik, pendidik merupakan
orang yang memiliki tanggungjawab untuk mendidik (Ahmad
D. Marimba, 1989: 37). Guru perempuan mempunyai jiwa yang
sangat halus dan budi luhur. Sehingga perlu diwujudkan sebuah
kemandirian guru perempuan untuk menjadi garda depan
dalam memajukan pendidikan karakter yang sedang banyak
diperbincangkan.
Satu usaha kaum perempuan dalam menjaga bangsa ini
adalah dengan prinsip kemandirian dalam membangun budaya,
sosial, politik dan pendidikan. Usaha sadar perempuan dalam
transformasi ini akan sangat bermakna dalam mewujudkan
sebuah impian baru bernama negara yang bermartabat dan
berdaulat dengan prinsip keadilan dan kejujuran. Dengan
usaha itulah, maka kemandirian yang dimilikinya akan abadi
selamanya.
E. Penutup
Perempuan adalah sosok idaman yang mampu diajak
membangun bangsa dan negara menuju
KREATIFITAS PEREMPUAN DALAM TRANSFORMASI SOSIAL
(M. Rikza Chamami)
Perannya dalam transformasi sosial sangat bisa
diandalkan jika ia mempunyai tiga prinsip hidup: aksi, peduli
dan mandiri. Bentuk aksi terwujud dalam langkah kongkrit
yang dilakukan. Peduli sebagai aktualisasi dari sikap responsif
terhadap kondisi sosial. Sedangkan mandiri menunjukkan bahwa
perempuan mampu dan berdaya guna di tengah kepentingan
umum.
Dalam menopang kemandiriannya, perempuan perlu
sadar dengan tiga jenis kemandirian; kemandirian keluarga,
kemandirian masyarakat dan kemandirian prestasi. Dalam
menyelesaikan tugas kemandirian itu, segmen yang diutamakan
untuk diselesaikan adalah membangun bangsa dengan
nasionalisme dan membangun pendidikan karakter. Dengan
itu semua, transformasi sosial yang dilakukan akan merata
pada semua segmen kehidupan; budaya, sosial, politik, hukum,
pendidikan dan ekonomi.
261
262
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
SUMBER RUJUKAN
Al-Akkad, Abbas Mahmoud, Wanita dalam Al-Qur’an, Jakarta:
Bulan Bintang, 1984.
Abdul Aziz, Sa’ad Yusuf, 101 Wasiat Rasul untuk Wanita, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2009.
Abu Syuqqah, Abdul HaliM. Kebebasan Wanita,Jakarta: Gema
Insani Press,1997.
Al Ghaffar, Abdur Rasul Abdul Hasan, Wanita Islam dan Gaya
Hidup Modern, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.
Annisa Lathifah, La Tahzan for Modern Muslimah: Bahagia dengan
Kegelisahan, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008.
Asy-Syinnawi, Abdul Aziz, 12 Wanita Pejuang Bersama Rasulullah,
Jakarta: Amzah, 2006.
E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2008.
Eko Ali Roso, “Membangun Relasi Islam Indonesia dan China”,
dalam Jurnal Harmoni Vol IX No. 34, Jakarta: Puslitbang
Kemenag RI, 2010.
Gufran Ali Ibrahim, “Budaya Patriarchi, Sumber Ketidakadilan
Gender”, dalam Adnan Mahmud dkk (Ed), Pemikiran
Islam Kontemporer di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005.
Mansur Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
Muhammad Ali Al-Hasyimi, Muslimah Ideal: Pribadi Islami dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah, Mitra Pustaka, 2004.
Ramadan Hafizh, The Colour of Women: Mengungkap Misteri
Wanita, Jakarta: Amzah, 2009.
Rr. Suhartini, “Pemberdayaan Perempuan”, dalam Moh Ali Aziz
(ed), Dakwah Pemberdayaan Masyarakat Paradigma Aksi
Metodologi, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009.
Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik: Pengaruhnya pada
Pemikiran Islam Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007.
Ide Utama
SIRKUMSISI PEREMPUAN:
Antara Tradisi, Keberagamaan dan Kekerasan Gender
Muhamad Mustaqim*)
ABSTRACT: In today’s world, the existence of female
circumcision is still in debate. It is called voluntary
female circumcision or it is also known as Female Genital
Mutilation(FGM). Here, female circumcision is often
associated with religious teachings and traditions of society
that must always be maintained. For some feminists, female
circumcision is considered as the practice of violence that
should be eliminated from society. Community culture and
religious traditions that have been more nuanced patriarchal,
became the legitimacy of the continuity of this practice. This
paper describes some trends of circumcision, implementation
of women, the religious dimension, tradition and critical
review of this practice.
Keywords: female circumcision, traditions, religious and
gender violence
A. Pendahuluan
Tuhan menciptakan manusia dari jenis laki-laki daan
perempuan tidak lain adalah untuk mewujudkan ketenangan,
kedamaaian dan kasih sayang antar keduanya. Ini berarti
meniscayakan tidak adanya eksploitasi, penindasan dan
ketidakadilan antar masing-masing jenis. Sebagaimana
pengertian terminologinya, gender merupakan pembedaan
antara laki-laki dan perempuan atas dasar konstruk sosial
yang mengitarinya. Tabiat gender yang bisa dipertukarkan,
menjadikan terlindunginya hak antar keduanya. Dalam hal ini,
)
Penulis adalah Dosen STAIN Kudus
264
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
seting sosial budaya menjadi penting untuk membaca sebuah
fenomena sosial perspektif gender.
Salah satu bagian dari fenomena sosial yang menimbulkan
polemik gender adalah fenomena sirkumsisi pada perempuan.
Sirkumsisi atau sunnat pada perempuan ini menuai perdebatan,
dengan sudut pandang yang berbeda. Sebagian masyarakat ada
yang menganggap bahwa sirkumsisi, baik itu laki-laki ataupun
perempuan merupakan sebuah kewajiban agama yang harus
dilakukan. Di satu pihak, sirkumsisi dipercayai sebagai tradisi
budaya yang turun temurun, dan harus selalu dilestarikan.
Namun ada juga pendapat yang mengkritisi keberlangsungan
sirkumsisi perempuan ini, karena menurutnya praktik ini
dianggap sebagai bentuk kekerasan dan pembatasan bagi kaum
perempuan.
Tulisan dan kajian tentang sirkumsisi perempuan
selama ini memang sudah sering dilakukan. Dan persoalan ini
juga bukanlah persoalan baru dan aktual yang baru muncul.
Namun tulisan ini bermaksud memberi paparan tentang
sirkumsisi perempuan ini, tentunya dalam proporsi sebagai
bagian dari karya akademik. Keberadaan sirkumsisi yang sudah
mengakar bagi amsyarakat kita, khusunya masyarakat muslim,
memberi legitimasi sendiri akan legalitas praktik ini persepektif
keberagamaan. Dalam term keberagamaan, sebuah prilaku
masyarakat akan dianggap sebagai amalan keberagamaan bila
hal ini merupakan respon masyarakat terhadap ajaran agama
yang ada. Artinya, ada landasan hukum dalam kitab suci atau
ajaran agama, tentang praktik ini.
Dalam tinjauan tradisi, sirkumsisi menjadi sebuah warisan
budaya yang harus dipertahankan. Legitimasi rasional dalam
hal ini terkadang tidak begitu diperhatikan. Karena mereka
mempercayai, sesuatu yang dilakukan oleh nenek moyang
mereka adalah sesuatu yang mempunyai manfaat, meskipun
belum mereka ketahui.
Kesadaran gender yang saat ini berkembang, menjadi
sebuah kritisi bagi pelaksanaan sirkumsisi perempuan ini.
Banyak aktifis gender yang berpendapat bahwa sirkumsisi
merupakan wujud kekerasan dan hegemoni patriarkhi terhadap
status perempuan. Budaya patriarkhi merupakan sebuah
system perempuan yang berorientasi pada laki-laki. Dalam
system ini, laki-laki lah yang berkuasa dan menentukan (Nunuk
SIRKUMSISI PEREMPUAN
(Muhamad Mustaqim)
Murniati, 2004:81). Tak pelak, mereka mengkritisi secara tajam
praktek tersebut, bahkan pada dimensi agama sekalipun. Ketiga
kecenderungan ini menjadi dasar pemaparan tulisan ini, dengan
menampilkan berbagai dampak dan latar belakang argumentasi
yang ada.
B. Pengertian Sirkumsisi
Sirkumsisi perempuan di Indonesia dikenal dengan
istilah sunnat atau khitan perempuan. Secara bahasa, kata
sirkumsisi berasal dari Bahasa Latin circum berarti memutar
dan caedere berarti memotong. Sedangkan istilah secara
internasional adalah Female Genital Mutilation (FGM) atau
Female Genital Cutting (FGC). Istilah ini digunakan untuk
menggambarkan satu macam operasi alat kelamin yang
dilakukan pada anak-anak perempuan, gadis-gadis atau kaum
perempuan. (Haifa Jawad, 2002: 179).
Penggunaan istilah FGM lebih dekat dengan makna
berbahaya. Istilah ini dianggap lebih bermakna politis dan
seringkali digunakan sebagai alat advokasi aktivis hak-hak
perempuan karena menekankan pada sisi negatif dari FGM.
Tetapi, World Health Organization (WHO) juga menggunakan
istilah FGM. Ada istilah lain yang juga sering digunakan,
yakni Genital Cutting. Istilah ini dianggap paling netral karena
mengindikasikan prosedur pemotongan genital yang bersifat
umum, adil, dan kondusif, baik secara medis maupun nonmedis, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Sunat perempuan ini tidak hanya dikenal di Indonesia,
tetapi juga di berbagai Negara lain. Sunat perempuan dilakukan
hampir di 28 negara, terbanyak dilakukan di sebagian besar
Negara Afrika, khususnya di Negara bagian Afrika Sahara,
beberapa Negara Timur Tengah, serta sebagian kecil Negara di
Asia, Pasifik, Amerika Latin, Amerika Utara, dan Eropa. Di Asia,
praktik ini familiar di kalangan Negara-negara Muslim, seperti
Malaysia, Philipina, termasuk Indonesia. (Haifa Jawad, 2002:
182).
Banyak masyarakat yang menganggap sunat perempuan
merupakan tradisi yang seringkali dikaitkan dengan agama.
Hal ini juga masih menimbulkan pro dan kontra. Praktik ini
dilakukan oleh penganut Islam, Kristen, Katolik, animisme,
265
266
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
dinamisme, salah satu sekte Yahudi, dan juga atheis. Penelitian
yang dilakukan menunjukkan bahwa latar belakang tradisi lebih
dominan, bukan perintah agama. Praktik sunat perempuan ini
diduga telah dimulai sejak 4000 tahun silam, sebelum kemunculan
agama yang terorganisasi. Sirkumsisi juga banyak dipraktikkan
oleh ummat Yahudi dalam upacara yang disebut berith atau brit.
Upacara ini dilakukan pada hari kedelapan kelahiran, dilakukan
oleh seorang professional yang dikenal dengan mohen. (Donna L
Wong, 2009:258).
WHO mendefinisikan FGC sebagai semua tindakan/
prosedur yang meliputi pengangkatan sebagian atau total dari
organ genitalia eksterna perempuan atau bentuk perlukaan lain
terhadap organ genetal perempuan dengan alasan budaya, atau
alasan non-medis lainnya. Tindakan bedah transeksual tidak
termasuk dalam hal ini. Secara umum, ada tiga tipe FGC, yaitu : Pertama
clitoridotomy, yakni eksisi (pemotongan) dari permukaan (prepuce)
klitoris, dengan atau tanpa eksisi sebagian atau seluruh klitoris.
Tipe ini yang di beberapa negara muslim dikenal dengan sunnat
atau sirkumsisi. Kedua, clitoridectomy, yaitu eksisi sebagian atau
total dari labia minora. Tipe ini banyak dilakukan di negaranegara bagian Afrika Sahara, Afrika Timur, Mesir, Sudan, dan
Peninsula. Ketiga, Infibulasi/Pharaonic Circumcision/khitan
ala Fir’aun, yaitu eksisi sebagian atau seluruh bagian genitalia
eksterna dan penjahitan untuk menyempitkan mulut vulva.
Penyempitan vulva dilakukan dengan hanya menyisakan lubang
sebesar diameter pensil, agar darah saat menstruasi dan urine
tetap bisa keluar. Ini merupakan tipe terberat dari FGC. (Haifa
Jawad, 2002: 180).
C. Sejarah Sirkumsisi
Menurut catatan sejarah, sirkumsisi telah dilakukan
sejak zaman prasejarah. Hal ini dapat diamati dari gambargambar di gua yang berasal dari Zaman Batu dan makam Mesir
purba (Wikipedia). Alasan tindakan ini masih belum jelas pada
masa itu, tetapi teori-teori memperkirakan bahwa tindakan ini
merupakan bagian dari ritual pengorbanan atau persembahan,
tanda penyerahan pada Yang Maha Kuasa, langkah menuju
kedewasaan, tanda kekalahan atau perbudakan, atau upaya
SIRKUMSISI PEREMPUAN
(Muhamad Mustaqim)
untuk mengubah estetika atau seksualitas.
Pendapat lain mengatakan bahwa praktik sirkumsisi telah
dilakukan pada zaman Mesir Kuno. Praktik ini diduga berasal
dari Afrika, yang merupakan sebuah ritus remaja yang kemudian
disebarkan ke Mesir melalui difusi. Selain itu, diperkirakan
praktik ini sudah dikenal baik pada masa pra-Islam di daerah
Mesir, Arabia, dan daerah-daerah tepi Laut Merah (Haifa Jawad,
2002: 181).
Sirkumsisi sering dilukiskan pada tembok-tembok kuil
pada masa 3000 SM. Orang Hindu menganggap penis dan testis
sebagai lambang pusat kehidupan dan pengorbanan prepusium
sebagai persembahan khusus untuk dewa. (Mark H. Swartz,
1995:263). Data ini memberikan gambaran bahwa praktik
sirkumsisi merupakan warisan tradisi sejarah yang sudah sangat
tua. Sehingga praktik ini tidak hanya di dominasi oleh suatu
agama, suku maupun bangsa tertentu. Dan tidak heran jika saat
ini sirkumsisi menjadi sebuah bagian dari tradisi yang (harus)
dipraktekkan di banyak negara.
D. Sirkumsisi Sebagai Sebuah Tradisi
Di Indonesia, pelaksana sunat perempuan sangatlah
bervariasi, mulai dari tenaga medis, baik perawat, bidan,
maupun dokter, dukun bayi, maupun dukun/tukang sunat,
dengan menggunakan alat-alat tradisional seperti pisau,
sembilu, bambu, jarum, kaca, kuku hingga alat modern semacam
gunting, scapula dan sebagainya. Sedangkan ditinjau dari usia
pelaksanaannya, juga sangat bervariasi, dari mulai neonatus,
anak usia 6-10 tahun, remaja, hingga dewasa.
Di Mesir, sirkumsisi perempuan dilakukan pada anakanak perempuan usia 7-8 tahun, sebelum memasuki masa-masa
menstruasi (Nawal El sadawi, 2001:62). Di Amerika Serikat dan
beberapa Negara barat lain, clitoridotomy lebih banyak dilakukan
pada wanita dewasa dibandingkan pada anak-anak. Di sebagian
negara Afrika di mana FGC tipe infibulasi banyak dilakukan,
tindakan ini dilakukan pada usia antara dua sampai enam
tahun.
Penelitian menunjukkan bahwa sunat perempuan
di Indonesia sendiri dilakukan pada anak usia 0-18 tahun,
tergantung dari budaya setempat. Umumnya sunat perempuan
267
268
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
dilakukan pada bayi setelah dilahirkan. Di Jawa dan Madura,
sunat perempuan 70% dilaksanakan pada usia kurang dari
satu tahun dan sebagian pada usia 7-9 tahun, menandai masa
menjelang dewasa. Pelaksananya juga sangat bervariasi, mulai
dari tenaga medis, dukun bayi, istri kyai (nyai), maupun tukang
sunat, dengan menggunakan alat-alat tradisional ataupun alat
modern.
Praktik sunat perempuan di Indonesia sering diminimalkan
hanya pada tindakan simbolik, tanpa adanya pemotongan yang
sesungguhnya pada alat kelamin. Walaupun ada juga dukun
bayi yang berpendapat bahwa walaupun sedikit, tetap harus ada
darah dari klitoris atau labia minora. Ada juga sunat perempuan
yang dilakukan oleh dukun bayi dengan cara menempelkan/
menggosokkan kunyit di klitoris, kemudian kunyit tersebut
dipotong sedikit ujungnya, dan potongan tersebut dibuang
ke laut atau dipendam di tanah. Kadang juga hanya dengan
mengusap atau membersihkan bagian klitoris dan sekitarnya.
Secara umum, memotong sedikit ujung klitoris adalah cara
yang paling banyak dilakukan, selain cara simbolik. Di Sulawesi
Selatan, sunat perempuan pada etnis Bugis, di Soppeng (disebut
katte), dilakukan dengan cara memotong sedikit klitoris. Sang
Dukun (Sanro) sebelumnya juga memotong jengger ayam. Kedua
potongan tersebut kemudian dimasukkan ke suatu wadah yang
berisi parutan kelapa, gula, kayu manis, biji pala, dan cengkih.
Sedangkan etnis Makasar (disebut katang) melakukannya dengan
cara memotong ujung kelentit menggunakan pisau. Rata-rata
dilakukan pada usia 7-10 tahun, lebih identik dengan ritualisasi
akil balik perempuan, dan diikuti dengan acara adat.
Berdasarkan hasil penelitian Population Council di
Indonesia, menyebutkan bahwa pelaksanaan FGC terbagi
menjadi dua bentuk, yaitu secara simbolik, yaitu: tanpa
pemotongan/perlukaan sesungguhnya. FGC jenis ini meliputi
28%. Sedangkan jenis yang lainnya, dilakukan insisi serta eksisi,
yaitu meliputi 72%. Hal ini memberikan gambaran bahwa
praktik sirkumsisi perempuan itu memang dilakukan dengan
pemotongan bagian dari vagina, meskipun dalam kadar terkecil,
yang penting mengeluarkan darah.
Praktik sirkumsisi perempuan tentunya dilakukan dengan
beberapa alasan, mulai budaya, agama kesehatan dan lainnya.
Ada beberapa factor yang menjadi argumen pelaksanaan praktik
SIRKUMSISI PEREMPUAN
(Muhamad Mustaqim)
sirkumsisi perempuan ini (Haifa Jawad, 2002: 185), yaitu :
1. Psikoseksual
Diharapkan pemotongan klitoris akan mengurangi libido
pada perempuan, mengurangi/menghentikan masturbasi,
menjaga kesucian dan keperawanan sebelum menikah,
kesetiaan sebagai istri, dan meningkatkan kepuasan seksual
bagi laki-laki. Terdapat juga pendapat sebaliknya yang yakin
bahwa sunat perempuan akan meningkatkan libido sehingga
akan lebih menyenangkan suami.
2. Sosiologi
Alasan ini mengisyaratkan bagaimana perempuan bisa
diterima dalam sebuah komunitas masyarakat. Selain itu,
alasan melanjutkan tradisi, menghilangkan hambatan atau
kesialan bawaan, masa peralihan pubertas atau wanita
dewasa, perekat sosial dan lebih terhormat, menjadi
argumentasi sosial yang masih dilestarikan dalam sebuah
masyarakat.
3. Hygiene dan estetik
Organ genitalia eksternal dianggap kotor dan tidak bagus
bentuknya. Sehingga, untuk menjadi bersih dan indah, maka
harus di potong atau dibuang. Sehingga wanita sebagai
simbol kecantikan dan keindahan dapat terwujud.
4. Mitos
Di beberapa daerah dan komunitas masyarakat, masih
memegang sebuah kepercayaan atau mitos bahwa, sirkumsisi
perempuan mampu meningkatkan daya tahan anak. Selain
itu, perempuan yang disirkumsisi akan menjadi subur dan
mudah melahirkan (Sulistiyowati, 2006: 500)
5. Agama
Faktor agama banyak mendominasi praktek sirkumsisi
perempuan ini. Dengan dalih perintah (ada yang menganggap
wajib, ada pula yang menganggapnya sunnah), sirkumsisi
menjadi dogma agama yang harus dilakukan. Selain itu,
sirkumsisi perempuan disamakan dengan sirkumsisi lakilaki, sehingga dengan dalih prasyarat diterimanya sebuah
269
270
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
amalan ibadan seseorang. Tendensi ini setidaknya berlaku
bagi masyarakat muslim.
Di Eropa dan Amerika, sunat perempuan pernah
dipraktikkan sebagai terapi pada penyakit jiwa. Sedangkan di
Afrika dan Negara-negara Timur Tengah, FGC dilakukan dengan
tujuan untuk menjamin kebersihan dan menambah kecantikan.
Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian
besar sunat perempuan dikaitkan dengan tradisi/adat dan
perintah agama, terutama agama Islam. Dalam agama Islam
sendiri, pendapat tentang pelaksanaan sunat perempuan terbagi
menjadi 3, yaitu yang berpendapat sebagai sunah (dianjurkan),
wajib (harus dilaksanakan), dan pendapat bahwa sunat
perempuan adalah murni tradisi, yang tidak terkait dengan
agama.
Bagi masyarakat Jawa, sunat perempuan sudah dianggap
tradisi turun temurun, sehingga efek samping yang terjadi tidak
pernah dianggap sebagai hal yang serius, dianggap tidak perlu
dirisaukan dan dibicarakan, sehingga tidak terungkap dampak
negatif sunat perempuan. Tidak didapatkan keluhan psikologis
maupun fisik perempuan yang mengalaminya ataupun anak
perempuannya. Yang berkembang justru sugesti tentang adanya
peningkatan gairah seksual perempuan.
Penelitian Population Council di Indonesia juga tidak
menjumpai dampak negatif sunat perempuan yang dialami oleh
perempuan yang disunat, baik dalam masalah penurunan libido,
masalah reproduksi, serta komplikasi kesehatan pendek maupun
panjang. Hanya dapatkan keluhan nyeri saat pelaksanaan
sunat. E. Sirkumsisi Sebagai Perilaku Beragama
Persoalan sirkumsisi perempuan ini, sudah lama sekali
didiskusikan. Satu pendapat mengatakan, bahwa sirkumsisi
merupakan kesunahan, dan yang lain mengatakan sirkumsisi
adalah wajib. Dalam hal ini, tidak ada satu ulama pun yang
mengeluarkan pendapat bahwa sirkumsisi merupakan tradisi
atau budaya setempat.
Di antara ulama yang mengatakan bahwa sirkumsisi
adalah kewajiban adalah Imam Syafi’i, salah satu ulama
SIRKUMSISI PEREMPUAN
(Muhamad Mustaqim)
terkemuka yang menjadi barometer dalam bermadzhab. Beliau
mengemukakan bahwa sirkumsisi adalah sebuah kewajiban
yang berlaku untuk kaum laki-laki maupun perempuan. Dan itu
pun didukung dengan tendensi atau dalil syar’i. Di antara dalil
syar’i yang menjustifikasikan sirkumsisi atau khitan merupakan
sebuah keharusan adalah firman Allah Swt yang berberbunyi,
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ikutilah
agama (ajaran) Ibrahim seorang yang hanif…” (QS. An Nahl: 123).
Sekilas ayat ini melukiskan bahwa Nabi Ibrahim AS. memang
melaksanakan ajaran-ajaran dari Allah SWT. Dan di antara ajaran
beliau adalah khitan. Sebagaimana yang diriwayatkan sahabat
Nabi, Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw Pernah bersabda,
“Nabi Ibrahim Khalilur Rahman berkhitan setelah berumur delapan
puluh tahun”.
Sementara pendapat yang mengatakan bahwa hukum
sirkumsisi adalah sunah berpijak pada hadis Nabi yang juga
diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah ra., bahwasannya
Rasulullah SAW bersabda, “Lima hal yang termasuk fithrah yaitu:
khitan, mencukur bulu alat kelamin, mencabut bulu ketiak, memotong
kuku dan memotong kumis.” Hadis ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari
dalam Fathul Bari no: 6297.
Kelompok yang mengatakan bahwa sirkumsisi bagi
perempuan sangat merugikan itu berpendapat, bahwa ketika
terjadi FGM, maka akan merusak alat kelaminnya. Sehingga,
dari ideologi ini membuat semua pihak pakar medis merasa
tidak perlu adanya sirkumsisi untuk kaum perempuan. Padahal,
tidaklah demikian adanya. Dalam sebuah hadis dijelaskan,
bahwa dulu Nabi pernah memerintahkan seorang perempuan
yang ahli dalam hal penyunatan untuk tidak ceroboh dalam
menyunat.
Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan dari sahabat
Anas bin Malik ra., bahwasanya Nabi SAW bersabda kepada
kepada Ummu ‘Athiyah (wanita tukang sirkumsisi): “Apabila
engkau mengkhitan seorang perempuan, maka potonglah sedikit, dan
janganlah berlebihan (dalam memotong bagian yang dikhitan), karena
itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih menyenangkan (memberi
semangat) bagi suami.” Hadits dianggap shahih, dikeluarkan oleh
Abu Daud /5271.
Imam Mawardi, salah satu ulama dari kalangan Syafi’i,
berpendapat, bahwa khitan pada perempuan yang dipotong
271
272
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
adalah kulit yang berada di atas alat kelamin perempuan. Yang
dianjurkan adalah memotong sebagian kulit tersebut, bukan
menghilangkannya secara keseluruhan. Hikmah sirkumsisi perempuan setidaknya mencakup
empat hal, yaitu: Pertama, membuat lebih bersih dan lebih mudah
menerima rangsangan. Kedua, sirkumsisi dapat membawa
kesempurnaan agama. ketiga, sirkumsisi adalah cara sehat
yang memelihara seseorang dari berbagai penyakit. Keempat,
sirkumsisi membawa kebersihan, keindahan, dan meluruskan
syahwat.
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hikmah
sirkumsisi bagi laki-laki adalah mensucikan mereka dari najis
yang tertahan pada kulup kemaluan. Sedangkan bagi wanita
adalah untuk menyederhanakan syahwatnya, Sesungguhnya
kalau wanita tidak disirkumsisi maka syahwatnya akan
menggejolak, sebagaimana tertulis dalam Fatawa Al-Kubra,
(I/273).
Islam tidak mungkin menganjurkan ummatnya untuk
melakukan kekerasan. Kekerasan berbasis gender, baik dalam segi
fisik, seksual, sosial, psikis bahkan ekonomi (Ridwan, 2006:152).
Sehingga sunnat perempuan bukanlah sebuah kekerasan
terhadap perempuan. Selain itu, Islam datang mempunyai misi
untuk mengangkat derajat kaum perempuan. Sebagaimana
yang tercatat dalam sejarah, bahwa masyarakat Arab pra
Islam merupakan masyarakat jahiliyah yang merendahkan
harkat perempuan. Tradisi jahiliyah menganggap perempuan
sebagai aib, sehingga tak jarang mereka mengubur hidup-hidup
bayi perempuan. Selain itu, tradisi jahiliyah memposisikan
perempuan sebagai komoditas barang yang dapat diwariskan.
Islam datang dan menentang praktek yang ahumanis tersebut.
Sehingga, tidak mungkin Islam melakukan kekerasan terhadap
perempuan dengan praktik sirkumsisi ini (Mansur Fakih, dkk,
2000:155)
F. Kajian Kritis Gender Tentang Sirkumsisi Perempuan
Di kalangan kaum feminis dan aktifis gender, sirkumsisi
merupakan tindak kekerasan gender yang merugikan kaum
perempuan. Hal ini dikarenakan sirkumsisi tidak memberi
manfaat apa pun bagi perempuan yang disirkumsisi, bahkan
SIRKUMSISI PEREMPUAN
(Muhamad Mustaqim)
akan memberikan efek negatif, baik secara psikis maupun medis.
Ini kemudian menjadi sebuah kekerasan gender yang tidak perlu
lagi dipraktekkan.
Beberapa argumen yang sering dilontarkan terkait dengan
dampak negatif sirkumsisi perempuan adalah adanya nyeri
berat, syok, perdarahan, tetanus, sepsis, retensi urine, ulserasi
pada daerah genital, dan perlukaan pada jaringan sekitarnya.
Perdarahan massif dan infeksi bisa menjadi penyebab kematian.
Penggunaan alat bersama untuk beberapa orang tanpa sterilisasi
sesuai prosedur, dapat menjadi sumber infeksi dan media
transmisi penularan penyakit, seperti HIV dan hepatitis.
Sedangkan komplikasi jangka panjang yang dilaporkan
terjadi adalah kista dan abses, keloid, kerusakan uretra yang
mengakibatkan inkontinentia urine, dispareni, disfungsi seksual,
dan cronic morbidity. Disfungsi seksual dapat diakibatkan
oleh dipaureni serta penurunan sensitivitas permanen akibat
klitoridektomi dan infibulasi. Kauterisasi elektrik klitoris bisa
berpengaruh pada psikis yang menghilangkan keinginan untuk
masturbasi. WHO telah memperingatkan tentang timbulnya
peningkatan risiko kematian ibu dan bayi pada wanita yang
disunat. Hal ini berdasarkan pada penelitian yang dilakukan
pada wanita yang pernah disunat di enam Negara Afrika, yaitu
didapatkan hasil bahwa 30% lebih banyak yang harus section
caesaria, 66% lebih banyak bayi lahir yang harus diresusitasi, dan
50% lebih banyak anak meninggal dalam kandungan maupun
lahir mati dibandingkan pada wanita yang tidak sunat.
Sunat perempuan mungkin menimbulkan suatu trauma
yang akan selalu ada dalam kehidupan dan pikiran seorang
wanita yang mengalaminya, serta muncul sebagai kilas balik
yang sangat mengganggu. Komplikasi psikologis dapat
terpendam pada alam bawah sadar anak yang bisa menimbulkan
gangguan perilaku. Hilangnya kepecayaan dan rasa percaya diri
dilaporkan sebagai efek serius yang bisa terjadi. Dalam jangka
panjang, dapat timbul perasaan tidak sempurna, ansietas,
depresi, iritabilitas kronik, dan frigiditas. Hal-hal tersebut
dapat mengakibatkan konflik dalam pernikahannya. Banyak
perempuan yang mengalami trauma dengan pengalaman FGM
tersebut, tetapi tidak bisa mengungkapkan ketakutan dan
penderitaannya secara terbuka.
273
274
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
WHO secara konsisten dan jelas menyampaikan bahwa FGM
dalam bentuk apapun tidak boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan di
manapun, termasuk rumah sakit dan sarana kesehatan lainnya. WHO
berdasar pada etika dasar kesehatan bahwa mutilasi tubuh yang tidak
perlu tidak boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan. FGM membahayakan
dan tidak berguna bagi wanita.
Medikasi
tidak
menghilangkan
bahaya
yang
ditimbulkan. Medikalisasi sunat perempuan juga cenderung
akan mempertahankan tradisi ini. Masyarakat akan lebih
yakin dengan anggapan adanya dukungan dan legalitas oleh
provider kesehatan. Karena medikalisasi melibatkan tenaga
kesehatan dalam pelaksanaan sunat perempuan. Hal ini
mungkin dimaksudkan untuk risiko kesehatan dibandingkan
jika dikerjakan oleh dukun bayi atau tukang sunat tanpa
pengetahuan kesehatan yang kuat. Tetapi, hal ini pun ternyata
dianggap menjadi berbahaya dan bertentangan dengan etika
dasar kesehatan. Masih menurut WHO, sunat perempuan juga termasuk
bentuk penyiksaan (torture) sehingga dimasukkan dalam salah
satu bentuk kekerasan pada wanita, walaupun dilakukan
oleh tenaga medis. Berbagai pihak juga menganggap sunat
perempuan bertentangan dengan hak asasi manusia terkait
dengan tidak adanya inform consent, tekanan patriakal, dan
kekerasan pada wanita berkaitan dengan penderitaan serta
dampak yang timbul. Dalam perspektif agama Islam, banyak aktifis gender
yang juga mengkritisi secara tajam keberadaan sirkumsisi
perempuan. Haifaa A Jawad adalah salah satunya. Menurutnya,
hadits-hadits yang mendasarkan tentang sirkumsisi perempuan
dinilai sebagai hadits yang lemah dalam periwayatannya. Haifa
mengutip pernyataan Mahmud Salthut, mantan Syaikh al-Azhar
Mesir, bahwa hadits-hadits tersebut tidak jelas dan tidak shahih.
(Haifaa Jawad, 2002:188)
Lebih lanjut, dalil yang menyatakan bahwa sirkumsisi
perempuan adalah ajaran agama dapat disangkal dengan
beberapa argumen. Pertama, tidak ada rujukan langsung atau
tidak langsung dalam al-Qur’an yang menerangkan sanksi atau
ampunan bagi sunnat perempuan. Kedua, Hadits-hadits yang
berkenaan dengan sunnat perempuan dinilai tidak shahih,
tidak dapat dipercaya dan dhaif. Sehingga praktik sirkumsisi
SIRKUMSISI PEREMPUAN
(Muhamad Mustaqim)
peempuan dalam hal ini tidak mempunyai dasar ajaran Islam
sama sekali (Haifaa Jawad, 2002, 190).
G. PENUTUP
Sirkumsisi merupakan pemotongan sebagaian dari alat
kelamin perempuan, yang dalam tradisi di Indonesia dikenal
dengan istilah sunnah perempuan. Sirkumsisi perempuan
sudah dfilaksanakan di berbagai daerah, bahkan di berbagai
macam negara di Dunia. Di Indonesia sendiri, praktik sirkumsisi
seakan sudah menjadi tradisi budaya yang mengakar pada
masyarakat.
Ada beberapa alasan pelaksanaan sirkumsisi perempuan,
yaitu: alasan psikoseksual, sosiologi, kesehatan, mitos dan
agama. Dalam masyarakat muslim, sirkumsisi perempuan lebih
dianggap sebagai bagian dari ajaran agama atau keberagamaan.
Dalam hal ini ada dalil yang mendasari pelaksanaan praktik ini.
Di kalangan aktifis gender dan feminis, sirkumsisi dianggap
sebagai kekerasan dan bias gender. Sehingga praktik ini harus
di hilangkan dalam tradisi masyarakat.
275
276
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
SUMBER RUJUKAN
El Sadawi, Nawal El Sadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarkhi
(terj). (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2001)
Haifa A Jawad, Otentisitas Hak-Hak Perempuan: Perspektif Islam
atas Kesetaraan Gender. (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru,
2002)
Mansour Fakih dkk, Membincang Feminisme: Diskursus Gender
Perspektif Islam. (Surabaya: Risalah Gusti, 2000)
Nunuk Murniati, Getar Gender: Perempuan Indonesia dalam
Perspektif Agama, Budaya dan Keluarga. (Magelang:
Indonesiatera, 2004)
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender.(Yogyakarta: Fajar Pustaka,
2006)
Sulistyowati Iriyaanto, Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang
Berspektif Kesetaraan dan Keadilan. (Jakarta: Yayasan Obor,
2006)
Swartz, Mark H. Swartz, Buku Ajar Diagnostil Fisik (terj). (Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1995)
Wong, Donna L Wong, Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, (terj).
(Jakarta: Penerbit Buku Kedok teran EGC, 2009)
http://id.wikipedia.org/wiki/Sunat
http://majalahmisykat.blogspot.com/2010/05/sirkumsisiperempuan-hanya-tradisi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Sunat,dibaca pada 2 oktober 2010
http://majalahmisykat.blogspot.com/2010/05/sirkumsisiperempuan-hanya-tradisi.htmlwww.mail-archive.
com/[email protected]/
msg00580.html
www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=
RISE T
KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN
DALAM LITERATUR PESANTREN KLASIK
(Studi Terhadap Kitab Uqud al-Lujjayn
Karya Nawawi al-Banteni)
Nur Mahmudah *))
ABSTRACT: This research focuses on an old yellow book
which has been very popular in the Indonesian Islamic
boarding schools (pesantren). It is Uqud Al-Lujayn fi
Huquq al-Zawjayn of Nawawi al-Banteni. As a book which
dealts with the right and obligation of a couple in Islam,
there are some illustrate women’s sexuality which can be
discussed in four forms, namely self identity, sexual action,
sexual behavior and sexual orientation. This research get
a concluding remark that Nawawi’s view on women’s
sexuality depend on his zeitgeist, so we need some attempts
to reconstruct Nawawi’s view on women’s sexuality in
Pesantren by rereading Islamic text.
Keywords: women’s sexuality, Islamic boarding schools,
Kitab kuning.
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Nurcholis Madjid (1997) mengidentifikasi pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam yang indigenous lahir dari
tradisi keindonesiaan. Sebagai sebuah lembaga, pesantren yang
ada sejak ratusan tahun yang lalu dipandang telah memberikan
kontribusi yang sangat signifikan dengan menghasilkan banyak
alumni yang memiliki peran berharga dalam bidang keilmuan
maupun kepemimpinan.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga
pendidikan, pesantren menggunakan literatur utama yang
)
Penulis adalah dosen tetap jurusan Ushuluddin STAIN Kudus.
278
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
disebut sebagai kitab kuning. Kitab kuning adalah kitab berbahasa
Arab yang berisi materi-materi keislaman yang ditulis oleh para
sarjana muslim masa lalu dan ditulis dalam lembaran kertas yang
biasanya dulu berwarna kuning. Kitab kuning diajarkan dan
dikaji secara intens di pesantren sebagai bagian dari kurikulum
pembelajaran. Sebagai bagian dari kurikulum, jenis kitab
kuning yang diajarkan akan sangat bervariatif sesuai dengan
kategori masing-masing pesantren. Pesantren yang mengambil
spesialisasi dalam bidang penguasaan al-Qur’an, pesantren
yang membentuk kompetensi santri pada penguasaan bahasa
dan sastra Arab atau pesantren yang menekuni penguasaan
hukum-hukum fiqh masing-masing memberikan pengajaran
kitab kuning yang sesuai dengan tujuan pendidikannya (M. Dian
Nafi’ et all: 2007; 22 – 23). Kitab-kitab kuning ini pun diajarkan
secara berjenjang mulai dari tingkat dasar hingga tingkat lanjut
dalam masing-masing materi yang dapat berlangsung dalam
berbagai tingkat mulai dari jenjang ula,
hingga ‘ulya. Di
samping pembagian materi, terdapat pula keragaman metode
pembelajaran yang dapat mengambil bentuk dalam sistem
bandongan (ceramah umum) maupun sorogan (klasikal-mandiri)
atau halaqah (kelompok diskusi). Mustofa Bisri menambahkan
kategori bagi kitab kuning di pesantren yaitu kitab jenis muqarrar
(referensi wajib) maupun penunjang. (2001: ix). Beberapa kitab
kuning yang meskipun berstatus sebagai referensi penunjang dan
diajarkan biasanya dalam kegiatan pengajian bulan Ramadhan
yaitu:
karya Nawawi alBanteni (1316 H.). Bahkan dalam catatan Husein Muhammad
(2004: 179),
al-Lujain memiliki popularitas yang tinggi
dan hampir diajarkan dalam masyarakat pesantren di seluruh
Indonesia. Kitab ini membicarakan secara khusus tentang relasi
suami-istri dalam Islam yang sekarang dikenal sebagai bagian
dari wacana seksualitas dalam masyarakat modern. Seksualitas
mencakup seluruh kompleksitas emosi, perasaan, kepribadian,
sikap dan bahkan watak sosial, berkaitan dengan perilaku dan
orientasi atau preferensi seksual (Munti, 2000). Kajian terhadap
kitab ini diharapkan akan dapat memberikan gambaran tentang
konstruksi seksualitas perempuan yang tidak hanya memotret
persoalan seksual sebagai isu biologis namun juga sebagai bagian
yang dikonstruksi secara sosial (socially constructed) melalui
pewacanaan dalam literatur pesantren. Literatur pesantren
atau kitab kuning dalam batas-batas tertentu dapat dipandang
mencerminkan bagaimana seksualitas perempuan dipandang
KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _
(Nur Mahmudah)
dari sudut pandang pemahaman agama. Sementara pandangan
keagamaan ini dipandang sebagai salah satu pranata sosial
yang terpenting dalam melahirkan ideologi tentang seksualitas
perempuan baik melalui institusi maupun kelompok keagamaan
(Saskia et. all: 2007, xx).
Membicarakan Islam dan seksualitas perempuan,
terdapat impresi bahwa ‘agama’ nampak seakan tidak
memberikan hak kepada perempuan sebagai makhluk yang
independen, atau setidaknya sama seperti laki-laki. Seksualitas
perempuan baik dalam maknanya sebagai identitas diri (self
identity), tindakan seks (sex action), perilaku seksual (sexual
behavior), maupun orientasi seksual (sexual orientation) sering
diposisikan tidak untuk kepentingan perempuan itu sendiri
namun hanya ada bagi kepentingan di luar dirinya sehingga
berfungsi sebagai komplementer (pelengkap) saja. Bahkan
terdapat banyak pandangan yang mengisyaratkan kemestian
untuk melakukan kontrol terhadap seksualitas perempuan
karena dapat mengancam kepentingan-kepentingan yang lain.
(www.rahima.net.id). Salah satu contoh, dalam pemikiran fiqh
terdapat perbedaan pandangan tentang hak istri untuk meminta
hubungan seks dari suami. Pandangan ini akan sangat berbeda
dengan ketentuan tentang pemenuhan secara mutlak dan tanpa
syarat oleh istri terhadap hasrat suami (Sunan Turmudzi, no.
hadis, 1160, III/465).
Bagi penulis, kajian ini menjadi penting karena beberapa
alasan. Pertama, tradisi pesantren menempatkan kitab kuning
sebagai referensi bagi pandangan hidup dan sikap hidup
keberagamaan masyarakat pesantren sehingga konstruksi
seksualitas perempuan dalam masyarakat pesantren dapat
dipotret melalui sumber yang menjadi basis otoritasnya.
Persoalan yang kedua, kajian tentang seksualitas dalam
pandangan masyarakat umum dalam batas-batas tertentu
kadang masih dianggap tabu dan dianggap tidak layak
dibicarakan, padahal persoalan ini telah diwacanakan secara
publik dalam kitab kuning ratusan tahun yang lalu. Dalam satu
sisi pewacanaan tentang seksualitas dalam wacana kitab kuning
dapat dianggap sebuah langkah maju namun sebagaimana kritik
yang sering muncul, wacana dalam kitab kuning dipandang
sering melakukan subordinasi terhadap perempuan dan
menempatkan perempuan sebagai obyek (Masdar F Mas’udi:
279
280
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
1993, 157 – 158). Untuk melakukan kajian kritis terhadap kitab
ini, penelitian ini menemukan signifikansinya.
Ketiga, kajian ini diharapkan juga dapat melengkapi
kajian tentang seksualitas perempuan dari sudut pandang tradisi
Islam. Pandangan masyarakat Islam yang dalam hal ini tercermin
dalam kitab kuning yaitu Kitab
Karya Nawawi
al-Banteni yang hingga saaat ini populer dan dibaca di kalangan
pesantren. Meminjam istilah Amin Abdullah, historisitas Islam
sebagaimana yang tercermin dalam kitab ini perlu diafirmasi
dengan Islam normatif. Bagi Husein Muhammad, dalam persoalan
seksualitas terdapat jarak antara Islam historis dengan nilai-nilai
yang dibangun oleh Islam sendiri. Islam tampak mengapresiasi
seksualitas laki-laki dan perempuan ketika Nabi Muhammad
SAW menganjurkan agar relasi seksual antara suami dan istri
diawali dengan percumbuan dan pembicaraan manis. Hal yang
sama dicontohkan Abbas seorang sahabat Nabi yang beryakinan
dirinya harus tampil menarik untuk istrinya sebagaimana dia
juga menginginkan istrinya tampil menarik baginya. Namun
nilai-nilai dasar tentang seksualitas perempuan ini dalam budaya
masyarakat muslim selanjutnya tidak sepenuhnya terakomodir
dalam pandangan dan literatur kegamaan yang berkembang (www.
komnasperempuan.net). Pandangan tentang kontrol terhadap
seksualitas perempuan misalnya disebut oleh Faqihuddin Abdul
Qadir berasal dari pandangan bahwa ‘figur perempuan sebagai
penggoda’. Yang selanjutnya mempersepsikan tubuh perempuan
adalah fitnah dan seksualitasnya mengancam [dharar] stabilitas
sosial keagamaan umat. Kekhawatiran terhadap fitnah dalam
sisi yang lain memicu lahirnya aturan-aturan yang mengekang
kebebasan perempuan dan menghargai perempuan hanya
sebatas orientasi fitnah dengan makna-maknanya yang erotis
dan sensual. Karena itu, kriteria perempuan yang baik [shâlih]
bergantung pada bagaimana perempuan dapat mengecilkan
potensi fitnah itu di hadapan masyarakat sekaligus di saat yang
sama perempuan dituntut untuk bisa menawarkan fantasi fitnah
tersebut di hadapan suaminya. (Hadis Riwayat Abu Dawud dan
Nasa’i). Karena identitas perempuan adalah fitnah yang akan
menggiurkan orang lain, seksualitas perempuan harus dijinakkan
sejak dari di dalam rumah, sebelum kemudian dijinakkan oleh
aturan dan norma-norma sosial. (www.rahima.or.id).
KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _
(Nur Mahmudah)
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana
kehidupan dan pemikiran Nawawi al-Banteni? Bagaimana
konstruksi seksualitas perempuan dalam kitab
dan relasi gender yang membentuknya?
3. Kerangka Teoritik
Untuk menjawab persoalan diatas, penelitian ini
menggunakan kerangka teoritik berikut. Terma seksualitas
dalam kamus didefinisikan sebagai kualitas menjadi seksual atau
melakukan seks. Menurut Weeks (www.wikipedia.org), seksualitas
lebih menunjuk pada kata, imajinasi, ritual dan fantasi tentang
tubuh; cara manusia berfikir tentang model atau gaya seks
serta cara manusia hidup dengannya. Sementara Bruess dan
Greenberg (1994) menekankan bahwa seksualitas merupakan
aspek penting dalam kehidupan manusia yang menekankan
aspek fisik, sosial, emosi, spiritual, budaya, ekonomi dan etnik
yang dialami oleh manusia.
Terma seksualitas yang bersinggungan dengan banyak
aspek ini pada gilirannya juga menimbulkan cakupan yang sangat
luas. Seksualitas meliputi banyak hal seperti perkembangan
seksual, penciptaan manusia, perbedaan anatomi seksual lakilaki dan perempuan, hasrat seksual, orientasi seksual, hubungan
seksual, masturbasi, aborsi, alat kontrasepsi, perzinahan, khitan
hingga jenis pernikahan mut’ah (Alimatul, 2006: 1).
Para feminis memaknai seksualitas (Humm: 2002, 432)
sebagai proses sosial yang mengorganisasi, mengekspresi
serta mengarahkan hasrat. Alimi (2004: 34) menjelaskan bahwa
seksualitas -baik dalam bentuk heteroseksualitas, homoseksualitas
maupun kombinasi atas keduanya- tidaklah didasarkan atas
fungsi alamiah tubuh sehingga merupakan konstruk biologis
namun terbentuk secara performatif (performatively produced)
dan secara diskursif (discursively constructed). Sejalan dengan
pandangan konstruksionisme terhadap seksualitas ini, Foucault
memandang seksualitas sebagai konstruksi sosial yang berada
dalam wilayah kekuasaan dan tidak hanya sekadar sekumpulan
dorongan biologis yang menemukan atau tidak menemukan
pelepasannya, jika meminjam bahasa Foucault seksualitas
merupakan akibat dari relasi kuasa-pengetahuan-kenikmatan.
Terdapat empat unitas strategis dalam rezim relasi pleasure-
281
282
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
power-knowledge yang menentukan diskursus seksualitas
berupa psikiatri kesenangan, sosialisasi tingkah laku prokreatif,
pedagosisasi seks anak serta histerisasi tubuh perempuan. Di luar
empat unitas ini, Alimi (2007: 44) menemukan adanya gagasan
Foucault lain berkaitan dengan seksualitas yaitu diseminasi
gagasan tentang keharusan manusia untuk hanya memiliki satu
identitas gender dan kelamin yang sejati-jelas (true mono-sexed
human being).
Sementara Munti (2000) menekankan seksualitas sebagai
seluruh kompleksitas emosi, perasaan, kepribadian, sikap dan
watak sosial, berkaitan dengan empat hal yaitu identitas diri,
tindakan, perilaku dan orientasi atau preferensi seksual.
1. Identitas diri
Perempuan dijejali sejumlah harapan yang terkonstruksi
secara sosial berkaitan dengan konsep diri. Sebagai misal, citra
tubuh (body image) perempuan sebagai pribadi yang memiliki
penampilan dan bentuk tubuh tertentu dipengaruhi oleh
sejumlah harapan budaya yang dibebankan pada perempuan
melalui pengetahuan individu dalam keluarga dan masyarakat
(Melliana: 2006, 82- 93). Image perempuan terhadap citra
tubuhnya sendiri pada gilirannya berpengaruh pada seksualitas
perempuan. Sementara pada sisi lain, perempuan dinyatakan
sebagai tubuh yang secara menyeluruh penuh seksualitas.
Foucault (2000) misalnya mengintrodusir apa yang disebutnya
sebagai histerisasi tubuh perempuan. Tubuh perempuan telah
dikaitkan dengan banyak hal seperti masyarakat bahwa tubuh
perempuan harus menjamin kesuburan, dikaitkan dengan ruang
keluarga karena harus bersifat fungsional maupun dengan
kehidupan anak-anak ketika harus dipelihara melalui suatu
tanggung jawab biologis moral.
Munti (2005: 36) menuturkan bahwa tubuh perempuan
selalu dihadap-hadapkan sebagai oposisi biner dengan
tubuh laki-laki. Tubuh perempuan dipandang sentral dalam
peran reproduksi biologis sementara tubuh laki-laki lebih
mengekspresikan kreativitas melalui penciptaan budaya.
Perempuan juga mengalami pencitraan yang merugikan dirinya.
Misalnya perempuan dianggap makhluk kelas dua karena adanya
pencitraan negatif baik oleh sains maupun agama. Alimi (2004:
36) menyebut contoh pernyataan Darwin yang menganggap
KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _
(Nur Mahmudah)
perempuan kalah cerdas dari laki-laki karena ukuran otaknya
yang lebih kecil, atau Immanuel Kant yang memberi pandangan
bahwa perempuan lebih susah dididik daripada laki-laki karena
laki-laki diciptakan meski pada dasarnya bodoh namun dapat
dididik sementara perempuan dikesankan sebagai makhluk
bodoh yang tidak dapat dididik.
Identitas diri ini pada gilirannya juga mempengaruhi pada
seksualitas masing-masing. Seks laki-laki dirumuskan sebagai
sesuatu yang secara alamiah bersifat superior karena tidak kenal
puas dan henti serta bersifat normal sementara seks perempuan
dimitoskan sebagai seks yang pasif, suka berubah-ubah, aneh
sehingga seksualitas perempuan hanya menjadi objek hasrat seks
laki-laki. Pandangan ini akan menempatkan laki-laki sebagai
subyek dan perempuan secara alamiah merupakan pihak yang
ditundukkan (obyek) seksual.
Identitas diri perempuan yang terbangun sebagai salah
satu unsur seksualitas pada dasarnya sangat dipengaruhi
oleh konsep tentang identitas gender yang telah terbentuk
dalam masyarakat. Identitas gender adalah upaya identifikasi
seseorang atas dirinya sendiri sebagai laki-laki, perempuan,
atau bukan laki-laki dan perempuan yang terbentuk secara
kultural. Identitas gender yang dilekatkan pada perempuan
sebagaimana terlihat dalam paparan sebelumnya menunjukkan
dasar patriarkhal yang menjadi bangunannya. Relasi gender
yang tidak setara mengakibatkan banyaknya pencitraan dan
identifikasi negatif terhadap diri perempuan termasuk berkaitan
dengan seksualitasnya.
2. Tindakan Seksual
Terdapat beberapa tindakan seksual atau aktivitas
seksual yang dilakukan oleh manusia. Sexual intercourse atau
persenggamaan merupakan bentuk kontak seksual yang
alami dan biasa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan.
Perkembangan atas terma ini pada masa kini menyebabkan
adanya pelebaran makna yang terjadi. Pada masa kini,
persenggamaan dapat terjadi melalui tiga jenis tindakan yang
berbeda :
a. persenggamaan melalui alat kelamin perempuan (vaginal
intercourse) yang ditandai dengan penetrasi penis ke dalam
vagina
283
284
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
b. persenggamaan dengan menggunakan bantuan mulut
maupun lidah (oral intercourse) melalui pemberian sensani
melalui mulut pada organ-organ seksual baik pada laki-laki
maupun perempuan.
c. serta persenggamaan melalui anus (anal intercourse) dengan
memasukkan penis seorang laki-laki ke anus pasangan
perempuannya.
Selain jenis tindakan seksual dengan pola intercourse ini,
pada manusia ditemukan adanya tindakan seksual yang disebut
sebagai outercourse. Tindakan seksual ini dilakukan dengan
menggunakan jari atau tangan termasuk saling merangsang dalam
melakukan masturbasi. Dengan demikian tindakan seksual tidak
dibatasi dengan saling merangsang pada alat kelamin (mutual
genital stimulation). Kegiatan seksualitas bagi manusia tidak
semata-mata berkaitan dengan persoalan reproduksi namun
juga memiliki arti kesenangan (pleasure). Kegiatan seksual, tidak
dapat melepaskan dari norma-norma baik sosial, budaya, hukum
maupun agama. Persenggamaan melalui kelamin perempuan
(coitus) pada umumnya diterima sebagai sesuatu yang lazim
dilakukan oleh manusia bahkan dalam beberapa tempat diyakini
sebagai satu-satunya bentuk tindakan seksual yang dikehendaki.
Beberapa jenis tindakan seksual yang dilarang misalnya seks bagi
pasangan yang belum menikah (fornication), seks yang dilakukan
oleh orang-orang telah menikah bukan dengan pasangannya
(adultery or extramarital sex), komersialisasi seks, hubungan seks
antar sesama jenis (homosexualitas), hubungan seks dengan mayat
(necrophilia), berhubungan seks dengan keluarga dekat (incest)
atau hubungan seks yang dilakukan oleh orang dewasa dengan
anak di bawah umur (child sexual abuse), hubungan seksual
yang dilakukan oleh manusia dengan bukan manusia (bestiality)
termasuk berhubungan seks saat istri menstruasi
3. Perilaku Seksual
Perilaku seksual manusia mencakup pencarian pasangan,
hubungan antar individu baik secara fisik maupun keintiman
emosional serta kontak seksual. Dalam banyak budaya, bahwa
kontak seksual hanya dapat dilakukan atau hanya diterima dalam
pernikahan meski hubungan seksual setelah pernikahan juga
tetap berlangsung. Seks yang tidak aman dapat mengakibatkan
kehamilan yang tidak diinginkan atau penularan penyakit
KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _
(Nur Mahmudah)
seksual. Pengaturan terhadap perilaku seksual manusia, pada
beberapa tempat, pelecehan seksual yang dilakukan oleh
seseorang dilarang dan mendapatkan hukuman oleh peraturan/
undang-undang serta merupakan pelanggaran terhadap normanorma sosial.
Berkaitan dengan perilaku seksual (www.wikipedia.com)
setidaknya terdapat tiga jenis perilaku seksual :
a. Heteroseksual adalah sebuah hubungan seksual yang melibatkan dua orang yang berbeda jenis kelamin. Praktek tentang heteroseksual merupakan sesuatu yang diatur oleh
undang-undang dalam banyak tempat. Hukum biasanya
mengatur ketentuan tentang pelecehan seksual bagi anak
di bawah umur serta seks di ruang publik yang berorientasi
uang atau prostitusi atau juga mengatur tentang pornografi.
Kegiatan seksual yang dilakukan oleh pasangan berbeda jenis
kelamin dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu monogamous
yaitu hubungan seksual dengan satu pasangan yang tetap,
serially monogamous atau polyamorous, abstinent atau autoerotic.
Perkembangan moral dan politik sangat mempengaruhi
tindakan seksual antar jenis kelamin termasuk kencan dan
perkawinan meski dalam pengalaman beberapa negara
perubahan ini berlaku secara lambat.
b. Homoseksual
Jika heteroseksual dilakukan oleh pasangan dengan jenis
kelamin yang berbeda, maka dalam homoseksual adalah
hubungan seksual yang dilakukan oleh dua orang berjenis
kelamin yang sama. Hubungan antar pasangan yang berjenis
kelamin yang sama disebut sebagai homoseksual sementara
hubungan antara sesama perempuan disebut lesbian (Alimi:
2004, xiv) . Seorang heteroseksual tidak tertutup kemungkinan dapat juga menjalani homoseksual misalnya dengan
melakukan saling merangsang agar masturbasi (mutual masturbation). Pada seseorang homoseks yang berpura-pura
memiliki identitas sebagai heterosek sering disebut sebagai
hidup di closet karena menyembunyikan kehidupannya secara rapi di tempat yang tertutup dan tidak diketahui banyak orang. Tingkatan dari aktivitas homoseks sangat dipengaruhi oleh intensitas/frekuensi, keinginan dan kepentingan
termasuk yang hanya melakukan dalam lingkungan yang
terbatas disebut sebagai homoseksual situasional.
285
286
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
c. Seksualitas Auto-Erotik
Jika dalam heteroseksual dan homoseksual melibatkan adanya pihak lain atau pasangan dalam melakukan hubungan
seksual, dalam tipe ini seseorang melakukan aktivitas seksual tanpa melibatkan pasangan seperti masturbasi. Dari sisi
keamanan melakukan auto-erotik seksual, meski dilaporkan
relatif aman secara fisik, namun juga ditemukan adanya beberapa yang membahayakan yang dapat menimbulkan lukaluka atau bahkan kematian
Jika seksualitas berjenis auto-erotik dapat mengakibatkan
luka-luka atau bahkan kematian bagi sang pelaku, dalam
seksualitas yang melibatkan pasangan baik heteroseksual
maupun homoseksual, perilaku seksual dapat menyebabkan
penyiksaan bagi salah satu pasangan terutama yang dianggap sebagai obyek. Perilaku seksual dapat menimbulkan
penyiksaan seksual seperti pemerkosaan, pembunuhan, pelecehan seksual pada anak baik yang bersifat koersif maupun
abusif.
Terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan
seksualitas. Setidaknya terdapat dua istilah lain yang sering
disalahpahami dan menjadi bertukar pengertian dengan terma
seksualitas.
a. Seks
Seks merupakan upaya identifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dari segi anatomi tubuh. Istilah seks (dalam
kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai jenis kelamin)
dengan demikian lebih merujuk pada aspek biologis
seseorang. Aspek biologis ini dapat meliputi perbedaan
komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik,
reproduksi serta karakteristik biologis yang lain. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa seks berkepentingan dengan
persoalan maleness (tubuh laki-laki) dan femaleness (tubuh
perempuan) (Nasarudin: 1998, 99).
b. Gender
Berbeda dengan seks yang lebih menunjuk pada persoalan
biologis dari laki-laki maupun perempuan, gender
merupakan istilah yang menunjuk tentang perbedaan
yang tampak antara laki-laki dan perempuan dalam aspek
nilai dan tingkah laku. Women’s Studies Encyclopedia (153)
mendefinisikan gender secara rinci sebagai sebuah konsep
KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _
(Nur Mahmudah)
kultural yang berupaya untuk membuat pembedaan
antara laki-laki dan perempuan dalam hal peran, perilaku,
mentalitas serta karakteristik emosional yang berkembang
dalam masyarakat. Memahami bahwa gender adalah sebuah
konstruksi sosial maka pemahaman tentang gender dapat
berbeda-beda pada tiap masyarakat dalam waktu, ruang dan
waktu yang berlainan.
B. Metode Penelitian
1. Desain Penelitian
Penelitian tentang konstruksi seksualitas perempuan yang
akan dilakukan ini menggunakan rancangan analisis isi (content
analysis). Analisis isi digunakan dengan mempertimbangkan
pada: (1) sumber data dalam penelitian ini berupa dokumen,
(2) masalah yang dianalisis adalah isi komunikasi, dan (2)
tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan isi
komunikasi dan membuat inferensi.
Penelitian ini dikatagorikan sebagai penelitian kualitatif,
karena memuat sebagian karakteristik penelitian kualitatif—
menurut Bogdan (dalam Ainin, 2002:14)—di antaranya: (1)
peneliti sebagai instrumen kunci dalam mengumpulkan dan
menginterpretasi data, dan (2) makna merupakan hal yang
esensial.
Data yang akan diolah dan dianalisis dalam penelitian ini
berupa kata-kata, kalimat-kalimat. Adapun metode komparasi
digunakan dalam proses pengolahan data dan analisisnya, yaitu
membandingkan konstruksi seksualitas perempuan dalam
literatur pesantren dengan konsep umum tentang seksualitas
perempuan.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini berupa dokumen yaitu
teks dalam kitab Uqud al-Lujjayn sebagai sumber, dan literatur
tentang konsepsi seksualitas perempuan baik secara umum
maupun dalam perbincangan Islam sebagai data pembanding.
Data utama yang akan diteliti kitab yaitu Uqud al-Lujjayn yang
berjumlah 1 vol.
287
288
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
3. Prosedur Analisis Data
Berpijak dari tujuan penelitian ini, maka analisis data
dilakukan secara kualitatif. Adapun model analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis isi yang
dikemukakan oleh Krippendorff (1980:54) berikut:
Berpijak dari model analisis di atas, langkah-langkah
yang dilakukan oleh peneliti dalam analisis data adalah sebagai
berikut:
a. Membaca Kitab Uqud al-Lujjayn secara cermat dalam seluruh
pembahasan hingga akhir.
b. Mengidentifikasi data yang akan dianalisis. Setelah data dipilah-pilah, peneliti akan menentukan beberapa topik dalam
kitab yang dipandang mencerminkan pandangan tentang
seksualitas perempuan yang akan dianalisis.
c. Menentukan unit (unitisasi), meliputi penetapan unit-unit,
memisahkan data menurut batas-batasnya, dan mengidentifikasi untuk analisis berikutnya.
d. Membuat catatan (recording) terhadap data yang telah
ditetapkan untuk dianalisis berdasarkan acuan yang tertera
dalam dokumen.
e. Mereduksi data, dalam hal ini peneliti memilih dan memilah
data yang relevan untuk dianalisis dan data yang tidak relevan.
Proses ini juga bisa dilaksanakan pada tahap kedua.
f. Melakukan analisis. Kegiatan yang dilakukan dalam analisis
data adalah sebagai berikut:
1) Mencari rasionalisasi tentang konstruksi seksualitas
perempuan dalam kitab dengan mengacu pada konsep
seksualitas perempuan
KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _
(Nur Mahmudah)
2) Mengkomparasikan konstruksi seksualitas perempuan
dalam kitab dengan argumentasi dalil yang digunakan,
konsep seksualitas perempuan secara umum dan konsep
seksualitas perempuan dalam Islam untuk mencari relasi
gender yang mendasarinya.
g. Melakukan validasi, yakni apabila langkah pada butir 1 – 6
masih belum atau kurang memadai, maka peneliti melakukan
kaji ulang sampai ditemukan suatu pemaknaan yang benar.
4. Pengecekan Keabsahan Temuan
Untuk memperoleh hasil analisis atau temuan yang sahih,
maka sejak proses pengumpulan data sampai pada tahap analisis
data digunakan teknik pensahih data yang dikutip dari Lincoln
dan Guba (1985) sebagai berikut:
a) Observasi terus menerus terhadap sumber data.
b) Mengkaji secara teliti, ajeg, cermat, komprehensif
terhadap sumber data lainnya yang relevan
c) Mendiskusikan dengan teman sejawat atau pihak lain
yang dipandang ahli (expert)
C. Hasil Penelitian
1. Islam dan Seksualitas Perempuan
Seksualitas yang merupakan bagian dari sejarah ummat
manusia memiliki keterkaitan dengan agama. Syafiq (2002:
201) menengarai ada dua bentuk hubungan korelatif antara
seks dan agama yang memiliki dua sisi. Pertama, seksualitas
sebagai hal yang harus dijauhi karena berkaitan dengan mitos
kejatuhan manusia dari Surga. Kedua, seksualitas dipandang
sebagai sesuatu yang biasa bahkan penting dalam kehidupan
karena seksualitaslah yang membentuk sejarah manusia. Islam
mengambil pandangan yang kedua dan memberikan pengaturan
dalam kerangka sosial, etika dan spiritual). Kehidupan seksual
dengan demikian dibicarakan daalm literatur keislaman bahkan
hingga menguraikan persoalan tentang aktivitas seksual (sexual
act) sebagaimana yang banyak ditemukan secara gamblang
dalam fiqh (pengaturan hukum Islam). Inti seksualitas dalam
Islam adalah paradigma tentang seks halal. Seks yang dibentuk
289
290
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
dalam lembaga perkawinan dan dipandang sebagai bagian dari
ritualitas (ibadah). Qibtiyyah (2006: 72) menyebut beberapa
prinsip fundamental tentang seksualitas dalam:
a. Seksualitas adalah sesuatu yang sehat dan alami dalam
kehidupan
b. Seksualitas dalam Islam berkaitan dengan ibadah ritual
c. Seksualitas terkait dengan kehidupan keluarga
d. Hubungan dan kepuasan seksual harus dirasakan secara adil
antara suami dan istri.
Sehubungan dengan seksualitas perempuan, Mernissi
(1999 : 89) menyebut tentang paradigma dasar dalam seksualitas
Islam sebagai aturan yang berorientasi pada kehidupan yang
lebih berkeadilan. Dengan demikian, seluruh praktik tentang
seksualitas perempuan yang diakomodir oleh wacana keagamaan
harus dimaknai dengan semangat ini agar tidak terjadi kesalahan
dalam memahami konsep seksualitas dalam Islam. Seksualitas
perempuan yang diopinikan oleh masyarakat muslim harus
bersifat pasif, pada dasarnya merupakan bukan bagian dari nalar
keagamaan. Konstruksi seksualitas perempuan yang pasif ini
menurut Syafiq ( 2002: 207) tidak mendapatkan legitimasi dalam
pengalaman Nabi, sebagai contoh Khadijah yang melamar Nabi
untuk menjadi suaminya merupakan representasi seksualitas
perempuan aktif yang kadang dipandang rendah oleh sebagian
kalangan. Syafiq juga mencatat sejumlah implikasi negatif yang
muncul dari pencitraan seksualitas pasif perempuan dalam
kehidupan sosial perempuan baik di ranah domestik (keluarga)
maupun publik (masyarakat) seperti domestifikasi perempuan
yang mengakibatkan kerugian akses perempuan atas aktivitas
secara sosial dan pendidikan
2. Sketsa Biografis Pengarang Uqud Al-Lujjayn
Nama lengkap Nawawi ialah Abu Abdul Mu’ti
Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin Arabi al-Jawi al-Bantani alTanary al-Syafi’i al-Qadiri. Lahir di desa Tanara, Serang, Banten,
pada tahun 1230 H/ 1813 M. Lahir dari pasangan K.H. Umar
ibn Arabi dan Zubaidah. Ayahnya merupakan seorang tokoh
agama yang sangat disegani dan tercatat sebagai keturunan ke12 dari Maulana Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati
yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten
II) yang bernama Sunyararas (Taj al-Arash) yang silsilahnya
KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _
(Nur Mahmudah)
dilaporkan bersambung dengan garis keturunan Imam Husayn
ibn Fathimah al-Zahra’. Menurut Mustamin (2006: 617) nama
Nawawi merupakan bagian dari cita-cita dan motivasi (tafa’ul)
yang dilakukan oleh ayahnya atas seorang skolar muslim yang
produktif dalam madzhab fiqh Syafi’iyyah yaitu Syarafuddin
ibn Yahya ibn Syaraf al-Nawawi. Nawawi merupakan penganut
madzhab fiqh Syafi’i serta menjadi pengikut tarekat Qadiriyyah
bahkan populer sebagai pemimpin spiritual tarekat ini. Sejak
kecil Nawawi dikenal sebagai sosok yang memiliki bakat
intelektual yang tinggi. Bersama saudara kandungnya -Tamim
dan Ahmad- sejak masa kanak-kanak, Nawawi menerima
pengajaran beberapa ilmu Islam tingkat dasar dari ayahnya
sendiri dalam bidang Fiqh dan Tafsir. Proses pendidikan lebih
intensif diperolehnya dari Kyai Sahal di Banten yang kemudian
dilanjutkan pada Kyai Yusuf di Purwakarta, seorang kyai bidang
tasauf yang telah lama belajar di Mekkah. Pada usia 15 tahun
Nawawi melaksanakan haji dan tinggal selama tiga tahun di
sana untuk belajar ilmu hadits, tafsir, ilmu kalam, bahasa dan
sastra Arab. Nawawi berguru kepada ulama’-ulama’ besar
yang berasal dari semenanjung Indonesia yang bermukim di
Mekkah masa itu seperti Syekh Ahmad Khatib Sambas, Syekh
Abdul Ghani Bima dan Syekh Nahrawi. Kegiatan intelektual
ini mengantarkan Nawawi telah memiliki cukup bekal untuk
kembali ke Banten dan mengembangkan pesantren ayahnya
pada tahun 1833. Kedatangan Nawawi yang baru saja kembali
dari Mekkah menarik minat banyak santri sehingga jumlah santri
semakin bertambah meskipun akhirnya Nawawi kembali lagi
ke Mekkah. Menurut Mustamin (2006: 621) terdapat beberapa
pandangan dari para penulis tentang alasan di balik kembalinya
Nawawi ke Mekkah, baik yang beraroma politis berkaitan
dengan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia maupun alasan
keilmuan. Pada fase kedua kedatangannya di Mekkah, Nawawi
tercatat belajar pada Syaikh Zaini Dahlan (fiqh dan ushul fiqh),
Syekh Ahmad Dimyathi (tasawuf dan qira’ah), juga berguru pada
Syekh Muhammad Khatib al-Hanbali (hadits) di Madinah dan
belajar kepada Syekh Akhmad al-Mirshafi di Mesir. Pengakuan
dan pengukuhan secara akademis juga diterima oleh Nawawi
ketika diundang untuk memberikan ceramah di hadapan ulama’
Azhar dan diberikan gelar ilmiah sebagai
(Al-Zirikly, XI: 34)
291
292
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Nawawi tercatat sebagai sarjana muslim kelahiran Indonesia
yang prolifik. Dalam catatan Bruinessen (1995: 38), Nawawi
memiliki tempat terdepan dalam deretan pengarang Indonesia.
Ia dipuji tidak hanya berkaitan dengan produktivitasnya dalam
menulis buku, namun juga dianggap menjembatani peralihan
antara dua periode dalam tradisi pesantren di Indonesia. Karya
Nawawi dapat dipetakan dalam dua bagian. Bagian pertama
adalah karya-karya yang mengintrodusir dan menafsirkan
kembali berbagai karya intelektual scholar Islam melalui
penyempurnaan dan pendalaman, serta perluasan pemahaman
atas karya-karya yang sudah ada sebelumnya melalui tradisi
penulisan
dan
yang telah mapan dilakukan oleh
scholar muslim pada masanya. Kebanyakan karyanya berbentuk
syarah (komentar) atas teks-teks terkenal dan memberikan
penjelasan yang lebih mudah dipahami. Nawawi misalnya
menulis Kitab
dalam fiqh yang bermadzhab
Syafi’i yang merupakan syarah atas kitab
atau
dalam bentuk
sebagaimana karya Nawawi dalam
bidang akidah yang berjudul
yang merupakan
sebuah
atas kitab
karangan Ibrahim Bajuri (w. 1277H). Kitab Tahqiq sendiri
merupakan syarah atas kitab
yang ditulis
Muhammad ibn M. Al-Fadhdhali (w. 1236 H) Sementara pada
tipikal karya berikutnya, Nawawi juga melakukan pengayaan
dengan menulis karya-karya baru dengan memanfaatkan
sumber-sumber yang belum dikenal luas di Indonesia pada
masanya. Tulisan Nawawi hampir mencakup seluruh aspek
ilmu keislaman meliputi karya-karya singkat tentang pedomanpedoman ibadah, aqidah, sejarah, tasawuf, tafsir, hadith, tata
bahasa Arab dan fiqh. Salah satu karangan Nawawi dalam
bidang fiqh adalah kitab
yang menjadi fokus bahasan tulisan ini.
Pemikiran al-Nawawi sangat mewarnai pemikiran
Islam di Indonesia. Berbagai karya penting dalam bidang fiqh
dan tasawuf mewarnai pemikiran dunia pendidikan Islam di
Indonesia pada abad pertengahan hingga penghujung abad
ke-20 (Mustamin: 2006, 623). Bahkan dalam geneologi jaringan
ulama’ di Indonesia, Nawawi dapat dipandang sebagai nenek
moyang intelektual melalui alur akademik yang dilakukan
oleh murid Nawawi dari Indonesia seperti Ahmad Khatib
Minangkabau (w. 1915), Kyai Mahfudz (1918) dan Kyai Khalil
KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _
(Nur Mahmudah)
dari Bangkalan Madura (1923). Kyai Hashim Ashari (1871 -1947)
dari Tebuireng Jombang, K. Ash’ari yang sekaligus menantunya
dari Bawean, K. H. Najihun yang menjadi cucu menantu, KH
Tubagus Muhammad Asnawi dari Labuan Pandeglang, KH
Ilyas dari Banten, KH Abdul Ghaffar dari Serang Banten dan KH
Tubagus Bakri dari Purwakarta.
Kegiatan intelektual dilakukan oleh Nawawi hingga
wafat di Mekkah. Dalam banyak sumber disebut bahwa Nawawi
wafat di Mekkah dan dimakamkan di pemakaman umum di
Ma’la pada 1314 H/ 1897 M, sementara dalam al-A’la>m dan
Mu’jam Mu’allifi>n disebutkan adanya informasi Nawawi wafat
pada 1316 H/1898 M. Informasi yang paling dapat diandalkan
menyebutkan bahwa Nawawi wafat pada tanggal 25 Syawal
1314 H/1897 M dengan meninggalkan banyak siswa termasuk
juga dilaporkan masih ditemukan buku yang sedang dianotasi
(diberikan syarah) yang belum terselesaikan.
3. Sistematika dan Sumber Kitab
.
Sistematika Penulisan Kitab
. Kitab
ini cukup ringkas karena hanya berisi sekitar 22
halaman termasuk mukaddimah (
) yang terdiri
dari empat sub bab pembahasan (empat fasal). Karena cukup
ringkas maka pengarangnya menyebutnya sebagai
.
Pada awal kitab, Nawawi menjelaskan bahwa kitab ini disusun
berdasarkan permintaan dari beberapa orang agar ia membuat
(komentar) atas kitab terdahulu yang memuat persoalan
tentang relasi suami-istri. Membuat ulasan atas beberapa karya
yang telah muncul sebelumnya merupakan salah satu karakter
tulisan Nawawi di samping beberapa karyanya yang orisinil.
Nawawi tidak menjelaskan kitab karangan siapa sajakah yang
ingin dia komentari, kecuali hanya menyebut pengarangnya
sebagai sebagian scholar muslim yang memberikan pengajaran
(
). Tidak terdapat informasi tentang waktu yang
diperlukan Nawawi dalam menulis kitab ini, kecuali di penutup
kitab terdapat informasi bahwa kitab ini terselesaikan saat
matahari sepenggalahan naik (
) pada hari Ahad tanggal
27 Muharram 1294 H atau sekitar tahun 1880 M. Berdasarkan
catatan biografis Nawawi, penulisan kitab ini dilakukan oleh
Nawawi pada pertengahan fase produktifnya dalam menulis
yang telah dimulai pada tahun 1870 di Mekkah.
293
294
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Kitab Sharh
(fasal) pembahasan.
ini terdiri dari empat pokok
a. Pasal satu berisi tentang kewajiban suami terhadap istri.
Kewajiban yang dimaksud meliputi mempergauli yang
baik (
), memberi nafkah (mu’nah), mas kawin
(mahar), serta pengajaran tentang persolan ibadah yang
wajib maupun yang sunnah termasuk persolan haidh serta
kewajiban perempuan untuk taat terhadap suami selama
tidak dalam persoalan maksiyat.
b. Pasal dua berisi tentang kewajiban istri terhadap suami
yaitu ketaatan terhadap suami selama bukan dalam persoalan maksiyat, mempergauli dengan baik, menyerahkan
tubuhnya pada suami, tinggal di rumah, menjaga diri dari
berselingkuh, mengambil tabir agar tidak dilihat laki-laki
bukan mahram walau wajah maupun telapak tangan, tidak
menuntut sesuatu yang di luar kemampuan suami, mendampingi suami agar tidak memanfaatkan harta yang haram
serta jujur dalam persolan menstruasi.
c. Pasal ketiga berisi tentang keutamaan perempuan untuk
melakukan shalat di rumahnya.
d. Pasal keempat berisi tentang keharaman seorang laki-laki
memandang perempuan yang bukan mahram dan sebaliknya.
Sebagai sebuah syarah (ulasan), Nawawi berupaya
memberikan berbagai penjelasan terhadap karya yang sedang
ia anotasi ini. Dalam beberapa tempat, Nawawi tidak hanya
melakukan eksplanasi secara kebahasaan yang kadang
dilakukannya dengan penjelasan atas posisi gramatikal dalam
sebuah teks, makna kosa kata tertentu hingga melakukan
penjelasan pelengkap terhadap konsep-konsep yang ada,
namun juga menganggap perlu untuk menyertakan cerita-cerita
tertentu dalam ulasannya. Misalnya ketika menjelaskan tentang
basmalah, Nawawi merasa perlu untuk menyelipkan cerita-cerita
tentang fadhilah dari bacaan basmalah dengan tanpa menyebut
sumbernya. Cerita tentang ulama’ yang berhasil sembuh dari
penyakitnya yang kronis dengan membiasakan baca basmalah
atau seorang perempuan yang memiliki keistimewaan karena
membiasakan baca basmalah dapat ditemukan dalam kitab
ini. (Nawawi : t.th, 2). Beberapa kitab yang digunakan Nawawi
KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _
(Nur Mahmudah)
sebagai sumber dalam penulisan kitab ini di antaranya: Kitab
‘Umdat al-Rabih karangan al-Rafi’i,
karya
al-Ghazaly,
karya Abu al-Laith al-Samarqandi,
, Abdullah al-Wasithi, al-Asmu’y,
karangan Ahmad Ibn Muhammad
ibn Aly ibn Hajr dan sejumlah kitab hadith seperti Sunan alTirmidzi, Sunan Ibn Majah, Mu’jam al-Tabrani, Mustadrak karya
Imam al-Hakim, Musnad Ahmad ibn Hanbal dan beberapa kitab
hadith lain.
4. Konstruksi Seksualitas Perempuan dalam Kitab Uqud
al-Lujjayn
a. Identitas diri
Penelusuran terhadap pandangan tentang identitas diri
perempuan harus dilakukan oleh penulis dengan melakukan
pembacaan secara seksama terhadap berbagai pokok pikiran
yang tersebar dalam beberapa fasal dalam kitab ini. Sepanjang
penelusuran penulis, beberapa hal yang dapat dinyatakan
sebagai pengungkapan identitas diri perempuan dalam kitab ini
adalah sebagai berikut:
b. Tubuh perempuan
1) Konsepsi tentang fitnah dalam tubuh dan diri perempuan
Nawawi menekankan keharusan untuk menutup seluruh
tubuh perempuan bahkan pada wajah dan telapak tangan.
Argumentasi yang disampaikan oleh Nawawi adalah bahwa
melihat tubuh perempuan adalah sesuatu yang terlarang
dalam agama yaitu berstatus hukum haram. Keharaman
memandang perempuan bahkan tetap berlangsung meskipun
tidak menimbulkan syahwat maupun fitnah. Konsep
tentang fitnah yang ada dalam tubuh perempuanlah yang
menyebabkan perempuan harus ditutupi dan menghindari
untuk muncul dalam area publik karena akan menggangu
pihak lain. Nawawi menyebut beberapa teks yang berasal
dari perkataan beberapa Nabi atau ulama berkaitan dengan
tubuh perempuan. Untuk mengilustrasikan tentang fitnah
yang ada dalam diri perempuan, Nawawi menyitir perkataan
Mujahid yang menyatakan bahwa kala perempuan berhadaphadapan dengan seorang laki-laki maka syetan berada di
atas kepalanya, sementara jika ia telah pergi maka syetan
295
296
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
berada di pantatnya sehingga bagian tubuh ini menjadi indah
dilihat (Nawawi: 16). Jika mengikuti pandangan Mujahid,
maka tubuh perempuan lekat dengan godaan syetan dan
penyebutannya atas dua anggota tubuh perempuan dapat
menimbulkan kebencian terhadap anggota tubuh perempuan
tersebut.
Nawawi membolehkan memandang wajah perempuan
dalam urusan transaksi perdagangan atau dalam mu’amalah
termasuk kebolehan untuk melihat wajah dan telapak tangan
perempuan bagi pria yang ingin menikahinya. 2) Tubuh istri adalah milik suami
Bagi Nawawi,tubuh perempuan bukanlah milik perempuan
itu sendiri, sehingga seorang perempuan tidak dapat
menikmati kebebasan sepenuhnya untuk melakukan
sesuatu atas tubuhnya. Nawawi dengan menyitir pandangan
mayoritas ulama menyatakan bahwa perempuan harus
menyerahkan tubuhnya pada suami menjelang tidur,
memakai wangi-wangian termasuk menjaga bau mulut serta
bersolek di hadapan suami serta meninggalkan seluruh hal
tersebut saat suami tidak berada di rumah. Kepentingan atas
tubuh perempuan dalam pandangan al-Nawawi seperti di
atas nampaknya dilakukan atas dasar kepentingan suami.
Sementara berkaitan dengan hak seksual perempuan,
mendasarkan diri pada sebuah hadith, Nawawi menyatakan
bahwa perempuan tidak memiliki kontrol atas hasrat
seksualnya sendiri, karena hasrat seksual suamilah yang
harus didahulukan, sehingga ketika seorang suami meminta
kepada istrinya untuk melakukan hubungan seksual di atas
punggung onta, maka istri tidak boleh menolak. Termasuk
dalam konteks kepentingan pemenuhan hasrat seksual
suami, Nawawi mengungkapkan larangan berpuasa sunnah
bagi istri tanpa persetujuan suami.
b. Kegiatan publik yang dapat dilakukan oleh perempuan
Ketika menjelaskan tentang kewajiban yang harus
ditunaikan oleh istri pada suami dalam fasal kedua kitab,
Nawawi memberikan penjelasan tentang kewajiban untuk
tinggal di rumah (
).
Kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh seorang istri,
menurut Nawawi menyebut sebuah hadith yang menjelaskan
bahwa tempat terbaik bagi seorang perempuan dalam
KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _
(Nur Mahmudah)
melaksanakan shalat bukanlah masjid namun dalam kamar di
rumahnya. Menurut Nawawi, hal ini diperlukan untuk menutup
(li al-sitr) perempuan. Lebih lanjut Nawawi tidak menjelaskan
untuk kepentingan siapa perempuan harus ditutupi apakah
untuk kepentingan dirinya sendiri yang tidak dapat menjaga
seksualitasnya atau kemungkinan adanya pihak lain yang
terganggu dengan kehadiran perempuan di ranah publik
meskipun dalam rangka melakukan kegiatan keagamaan.
Namun secara implisit perempuan perlu ditutupi karena
persoalan dianggap memiliki potensi fitnah yang berasal dari
diri perempuan itu sendiri.
Dalam kasus kegiatan yang meniscayakan munculnya
perempuan di ruang publik (darurat), Nawawi mempersyaratkan
agar dilakukan pada saat malam serta musti ditemani oleh
laki-laki yang memiliki hubungan mahram atau perempuan
lain yang dapat dipercaya. Nawawi tidak menjelaskan alasan
di balik adanya persyaratan agar perempuan yang sedang
bepergian ditemani oleh mah}ram (t.th:18). Ketika menjelaskan
pandangannya agar perempuan lebih baik tinggal di rumah,
Nawawi menyebut data sejarah bahwa Nabi hanya mengijinkan
para perempuan untuk keluar untuk merayakan hari Raya dan
menyatakan bahwa perempuan yang dapat memelihara diri (
) diperbolehkan keluar atas seijin suami, hanya saja
Nawawi menegaskan perempuan sebaiknya berada dalam
rumah, karena hal tersebut lebih aman baginya. Berkaitan
dengan pernyataan Nabi tentang tradisi munculnya perempuan
di ruang publik pada masa Nabi yang dibatasi pada hari Raya,
nampaknya data ini harus diklarifikasi karena dalam banyak
kasus terdapat data sejarah tentang keterlibatan perempuan
di ranah publik baik karena suatu kebutuhan maupun adanya
penyimpangan (Khalil: 2007)
Tidak selamanya Nawawi bersikap ekstra ketat untuk
membatasi perempuan muncul dalam area publik, bagi
perempuan yang dapat menjaga dirinya (
) diperkenankan
untuk keluar rumah dengan sepengetahuan suami. Hanya
saja Nawawi tetap menekankan bahwa berdiam di rumah
tetaplah lebih selamat dan lebih aman bagi perempuan ketika
ia menyampaikan
. (t.t : 18) Di tempat
yang lain dengan merujuk pada Ibn Hajar, Nawawi menyebut
ketentuan yang harus dipenuhi oleh perempuan ketika keluar
rumah di antaranya tanpa berhias, menggunakan pakaian
297
298
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
yang amat jelek serta menjaga pandangan selama perjalanan.
Jika ketentuan ini tidak dipenuhi, maka perempuan tadi
dikategorikan telah melakukan kemaksiyatan atau pelanggaran
terhadap Allah, rasul dan suaminya.
Dalam bahasan menjelang penghujung kitab, Nawawi
memberikan data banyaknya laki-laki penggoda yang sering
mengganggu perempuan di jalan dan melecehkan dengan
memberikan isyarat mata atau mencolek (t.t, 19) sehingga larangan
keluarnya perempuan di area publik bagi Nawawi memiliki dua
alasan yang pertama berkaitan dengan tubuh perempuan yang
penuh dengan seksualitas sehingga akan menyebabkan fitnah
bagi laki-laki ataupun melindungi perempuan dari gangguan
laki-laki usil dan nakal.
c. Relasi suami istri dalam perkawinan
Penjelasan Nawawi tentang kewajiban antara suami dan
istri menekankan beberapa hal berikut :
1) Status perempuan di hadapan suami diserupakan dengan
kondisi tawanan karena gerak perempuan menjadi terbatas
atau terpenjara (
).
Status perempuan sebagai tawanan suami ini bersumber
dari hadith yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dan Ibn
Majah. Lafadz
memiliki dua pembacaan, yang pertama
dibaca
in sebagai bentuk plural atas kata ‘aniyah yang
bermakna tawanan sementara pembacaan yang kedua adalah
‘awar yang merupakan bentuk plural dari kata
yaitu
pinjaman karena perempuan disimbolkan sebagai pinjaman
Tuhan bagi kaum laki-laki karena mereka telah menikahinya
dengan nama Allah (Nawawi: 4). Meski terdapat dua
pemaknaan, Nawawi terlihat tidak memberikan pentarjihan
atas dua makna tersebut, namun secara implisit melalui
berbagai pandangannya tentang perempuan dalam kitab ini,
nampaknya Nawawi menguatkan makna yang pertama yaitu
perempuan diserupakan sebagai tawanan bagi suaminya.
Kesimpulan ini diperoleh karena Nawawi menekankan
tentang superioritas suami atas istri melalui konsep
, ketaatan ataupun kerelaan yang menjadi dasar bagi relasi
laki-laki dan perempuan.
2) Sebagai konsekuensi atas pandangan dasar tentang relasi
laki-laki dan perempuan dalam perkawinan yaitu bahwa
perempuan adalah sebagaimana tawanan bagi laki-laki
maka Nawawi mengembangkan kepemilikan yang besar
KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _
(Nur Mahmudah)
pada laki-laki terhadap istrinya sehingga pemberian hak
pada laki-laki yang dapat melakukan penghukuman pada
istri yang melakukan tindakan tertentu. Misalnya Nawawi
memperbolehkan suami melakukan pemukulan pada istri
yang tidak mau bersolek untuk menyenangkan hati suami
yang menginginkannya, menolak ajakan ke tempat tidur,
keluar rumah tanpa izin, membuka wajah pada selain
mahram, memperdengarkan suara agar didengar laki-laki
bukan mahram atau bahkan sekedar berbicara dengan selain
mahram (Nawawi: 5). Nampaknya Nawawi memperluas
konteks perintah berwasiyat secara baik pada istri serta
konteks
yang diperbolehkan untuk melakukan
pemukulan.
dalam Q. al-Nisa’ (4): 34 diterjemahkan
3) Konsep
oleh Nawawi sebagai
(seseorang
yang memperoleh otoritas dalam melakukan pendidikan).
Menurut Nawawi, konsep kepemimpinan laki-laki terhadap
perempuan, telah memberikan otoritas bagi laki-laki untuk
melakukan kontrol terhadap perilaku perempuan. Kontrol
ini dilakukan dengan memberikan kewenangan untuk
mengubah perilaku perempuan (
) dengan cara-cara
tertentu yang dimungkinkan daalm agama. Berdasar konsep
ini, dalam kerangka hubungan suami istri, suami mendapat
hak untuk menasehati, memberikan hukuman psikologis
dan bahkan fisik terhadap istri yang dinilai
4) Konsep tentang fadhl (kelebihan) yang diberikan Allah
pada laki-laki atas kaum wanita. Meski tidak menyebut
pendapatnya sendiri dan mengambil pandangan Ibn Hajar
dalam kitab
yang menyebutkan
bahwa kelebihan yang dapat dijumpai terdapat dalam dua
aspek yaitu secara realitas (
) maupun dalam ajaran (
). Dalam realitas, bahwa kemampuan akal dan
keimuan yang dimiliki oleh kaum laki-laki sangat jauh di
atas kemampuan perempuan, termasuk ketangguhan dan
daya juang laki-laki, memiliki otoritas menikah, menceraikan
atau melakukan rujuk di samping pemberian mahar serta
tanggungan atas nafkah bagi laki-laki terhadap perempuan.
5)
Berdasarkan konsep
yang diberikan Allah, maka
suami memiliki ketaatan tak terbatas atas istri. serta menjadi
jaminan bagi balasan surga yang diterima oleh istri. Dalam
sebuah hadith panjang yang menjelaskan adanya seorang wakil
dari para sahabiyyat untuk mengadukan keresahan kaum
perempuan yang tidak mendapat kesempatan untuk berjihad
299
300
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
dan mendapat pahala syahid, Rasulullah bersabda:
“Sampaikan kepada perempuan yang engkau temui
bahwa ketaatan terhadap suami serta pengakuan akan hakhaknya atas istri menyamai pahala berjihad, (sayang) hanya
saja sedikit sekali kamu yang melakukannya.“
Pandangan tentang perempuan yang taat pada suami
nampaknya memenuhi sebagian besar pandangan Nawawi.
Ketika menjelaskan makna kata qanitat dalam al-Qur’an, Nawawi
menggunakan penjelasan semantik yang khas yaitu perempuan
yang taat pada suaminya (
).
Ketaatan suami ini pada gilirannya memunculkan kosep
tentang keridhaan suami sebagai tiket yang mengantarkan
seorang perempuan mendapatkan balasan surga. Terdapat
banyak hadith yang disitir Nawawi untuk memperjelas konsep
ridha suami, salah satunya adalah :
“Suatu ketika datanglah seorang perempuan kepada
Nabi dan menceritakan bahwa ia tengah menerima lamaran
dari saudara sepupunya sehingga ia menghadap Nabi agar
diberitahukan tentang kewajiban seorang istri terhadap
suami. Perempuan itu mengahdap Nabi sambil berkata , “
Kalau aku mampu melakukannya, maka akan menikahinya”.
Maka Nabi menjawab: “Andai saja engkau menjilati tubuh
suamimu yang berlumuran darah dan nanah, maka itu sama
sekali belum memenuhi haknya atasmu. Andai saja seorang
hamba boleh bersujud pada seorang manusia maka akan aku
perintahkan seorang istri untuk bersujud pada suaminya.”
Selain memberikan eksplanasi secara deskriptif, salah
satu daya tarik kitab
adalah adanya beberapa
cerita yang ditampilkan oleh Nawawi berkaitan dengan relasi
laki-laki dan perempuan seperti kisah rumah tangga beberapa
wali perempuan seperti Rabi’ah al-Adawiyyah dari Basrah
dan Rabi’ah bint Ismail dari Syam. Cerita tentang ketaatan dan
perlakuan terhadap suami para perempuan yang tenggelam
dalam spiritualitas Ilahi ini ternyata tidaklah meninggalkan
realitas ketundukan dan berharap kerelaan suami. Rabi’ah alAdwiyyah diceritakan sebagai seorang istri yang menyenangkan
suaminya dengan memasakkan sendiri makanan bagi suaminya
dan mempersilahkan suaminya untuk mengunjungi istrinya
yang lain. Rabi’ah bint Ismail digambarkan sebagai perempuan
yang setiap malam telah mempersiapkan diri dengan berhias
KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _
(Nur Mahmudah)
dan berpakaian indah untuk suaminya. Ketika suaminya
menginginkannya, maka Rabi’ah akan memehuni keinginan
suaminya namun jika tidak, maka ia menenggelamkan diri dalam
bermunajat dengan Tuhan hingga saat subuh, Nawawi menyebut
prototipe dua Rabi’ah ini sebagai perempuan yang salihah.
Penulis tidak menggugat kesalihahan dua perempuan yang
disebut oleh Nawawi. Hanya dalam penggal cerita kesalihahan
perempuan-perempuan tersebut terdapat beberapa identitas
diri perempuan yang secara implisit disebutkan bergantung
pada suami serta menandakan seksualitas pasif dari perempuan,
meskipun dalam kasus pengisahan atas wali-wali perempuan
ini tidak dapat menjadi ukuran, karena perempuan-perempuan
ini meski tidak menghilangkan hasrat seksualitasnya terhadap
suami, tentu akan lebih memilih untuk menikmati pengalaman
spiritual kenikmatan bersama Allah.
a. Tindakan Seksual
Tindakan seksual dalam kitab
tidak dibahas
secara rinci, namum berdasarkan tentang asas dalam tindakan
seksual menurut Islam, maka seksualitas perempuan tercermin
dalam tindakan seksual yang berujud persenggamaan antar
suami istri yang terikat dalam perkawinan. Meski kadang
sering muncul dalam penjelasan kitab fiqh dalam bahasan
tentang cara melakukan hubungan seksual, coitus dapat
dianggap sebagai satu-satunya jenis sexual intercourse yang
dapat diterima. Meski tidak memberikan elaborasi lebih
jauh, dalam tindakan seksual relasi antara subyek dan
obyek dapat diberikan inferensi bahwa laki-laki atau suami
merupakan subyek dalam tindakan seksual, sementara
perempuan diposisikan sebagai obyek bagi seksualitas lakilaki. Ketentuan untuk berhias, memakai wangi-wangian,
serta menyediakan diri untuk melakukan hubungan seksual
dengan suami di mana pun sekalipun secara hiperbola
disebut di atas punggung onta dan kapan pun menyiratkan
seksualitas pasif perempuan yang harus menerima dominasi
seksualitas aktif laki-laki (t.th: 8- 9)
b. Perilaku Seksual
Perilaku seksual yang diterima oleh Islam adalah perilaku
seksual yang berada dalam ikatan pernikahan sehingga
merupakan sebuah seks yang halal. Berdasarkan penelaahan
terhadap berbagai pandangan Nawawi, nampak Nawawi
membatasi perilaku seksual hanya dalam institusi
301
302
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
perkawinan. Perilaku seksual di luar perkawinan seperti
perzinahan atau komersialisasi hubungan seksual tidak
menjadi satu bahasan dalam kitab ini. Namun dalam kaitan
dengan hubungan seksual di luar institusi perkawinan,
Nawawi menyebut cerita tentang domestifikasi perempuan
sebagai salah satu sarana mencegah perzinahan.
c. Orientasi atau preferensi Seksual Perempuan
Persoalan orientasi seksual perempuan dalam
digambarkan sebagai bersifat heteroseksual.
Hubungan yang diperkenankan dalam Islam ini juga menjadi
dasar bagi seluruh pembahasan dalam kitab ini. Sepanjang
penelusuran penulis, persoalan homoseksualitas atau autoerotik
tidak menjadi bahasan karena fokus Nawawi nampaknya hanya
berkaitan dengan persoalan hak dan kewajiban suami istri dan
tidak melakukan eksplorasi yang mendalam dalam persoalan
hubungan suami istri serta pemenuhan hasrat seksual secara
khusus.
Selengkapnya tentang konstruksi seksualitas perempuan dalam
pandangan Nawawi dapat dilihat dalam tabel berikut:
No
Nama Konsep
Uqud al-Lujjayn
1.
Identitas diri
perempuan
Tubuh perempuan adalah fitnah
karena penuh dengan seksualitas
Perempuan yang baik adalah yang
taat secara total terhadap suami
Tubuh perempuan adalah milik
suami
Kemunculan perempuan di ruang
publik perlu dibatasi
Perempuan adalah sejenis tawanan
bagi suami
2.
Tindakan Seksual
Seks halal
3.
Perilaku Seksual
Sexual intercourse dengan gambaran
seksualitas pasif bagi perempuan.
4.
Orientasi seksual
Heteroseksual
KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _
(Nur Mahmudah)
PENUTUP
Berdasarkan kajian penulis, konstruksi seksualitas
perempuan dalam kitab
berdasarkan dimensi
seksualitas yang dilakukan oleh Munti yang terbagi menjadi
identitas diri, tindakan seksual, perilaku seksual, serta orientasi
seksual, maka penelitian ini memperoleh potret tentang
seksualitas perempuan dalam kitab
sebagai
berikut: identitas diri perempuan digambarkan oleh al-Nawawi
dalam pandangan tentang tubuh perempuan yang mengandung
fitnah, tubuh perempuan adalah milik suami, perempuan sebagai
tawanan bagi suami, serta otoritas suami atas istri. Sementara
dalam tindakan seksual terwujud dalam seks yang halal, perilaku
seksual berwujud sexual intercourse serta heteresexual sebagai
orientasi seksualnya.
Mengulas pemikiran al-Nawawi dalam
terlihat bahwa konstruksi pemikiran Nawawi tentang seksualitas
perempuan sangat dipengaruhi oleh teks-teks di sekitarnya
yang berujud Ayat al-Qur’an, hadith Nabi, pernyataan para
ulama’ serta realitas sosial yang dibaca Nawawi dengan
pembacaan yang dipengaruhi oleh kultur Timur Tengah di
penghujung abad ke-19 M. Sebagai anak kandung zamannya,
pembacaan Nawawi terlihat merepresentasikan pandangan
patriarchal sehingga perbincangan seksualitas perempuan dalam
kitab
masih menempatkan perempuan dalam
relasi yang tidak berimbang dengan laki-laki.Sebagai sebuah
hasil pemikiran yang berlandaskan teks-teks keagamaan, maka
pandangan Nawawi dimungkinkan untuk dibaca kembali dan
direkonstruksi berdasarkan relasi yang adil antara laki-laki dan
perempuan. Pembacaan baru ini penting untuk membangun
schema pengetahuan yang membentuk pandangan pesantren
tentang seksualitas perempuan yang lebih adil.
.
303
304
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
SUMBER RUJUKAN
A. BUKU
Alimatul Qibtiyah, Paradigma Pendidikan Seksualitas Perspektif
Islam: Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kurnia Kalam
Semesta, 2006
Al-Nawawi, Muhammad ibn Umar al-Banteni al-Jawi. Uqud
al-Lujjain fi Huquq al-Zawjayn. Tk: tp, tth.
Al-Tihami, Maulana. Qurrat al-Uyun fi Nikah al-Shar’y bi Sharh
Nazh Ibn Yanun.tk: tp, tth.
Anang Harris Himawan, Dzikir Cinta: Eksplorasi Cinta dan
Seksualitas dalam Islam. Yogyakarta: Suluh Press dan
Lembaga Studi Agama dan Budaya, 2006
Annastasia Melliana. Menjelajah
Yogyakarta: LKiS, 2006
Tubuh
Perempuan.
Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan:
Pembelaan Kiai Pesantren
______, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama
dan Gender. Yogyakarta: LkiS, Rahima dan Ford
Foundation, 2002
Irwan Abdullah et. all, Islam dan Konstruksi Seksualitas.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, PSW IAIN Sunan
Kalijaga dan Ford Foundation, 2002
M. Dian Nafi’ et all, Praksis Pembelajaran Pesantren. Yogyakarta:
ITD, Yayasan Selasih dan Forum Pesantren, 2007
Moh. Yasir Alimi, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial.
Yogyakarta; LkiS, 2005
Mustofa Bisri, “Ini Uqud al-Lujjayn Baru, Ini Baru Uqud
al-Lujjayn” dalam tim Forum Kajian Kitab Kuning,
Wajah Baru Relasi Suami Istri: Telaah Atas Kitab Uqud
Lujjayn. Yogyakarta, LKiS dan FK3, 2001.
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret
Perjalanan. Jakarta: Paramadina, 1997
Ratna Batara Munti, Demokrasi Keintiman: Seksualitas di Era
Global. Yogyakarta: LkiS, 2005
KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _
(Nur Mahmudah)
Saskia E Wieringa et all “Pengantar” dalam Membongkar
Seksualitas Perempuan Yang Terbungkam. Yogyakarta:
LKiS, 2007
Siti Musdah Mulia dkk, Meretas Jalan Kehidupan Awal Manusia.
Jakarta: LKAJ dan Ford Foundation, 2003
Syafiq Hasyim, “Seksualitas dalam Islam” dalam (ed.)
Amiruddin Arani dan Faqihuddin Abdur Qodir,
Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan.
Yogyakarta: LKiS, 2002
Tim Forum Kajian Kitab Kuning, Wajah Baru Relasi Suami
Istri: Telaah Atas Kitab Uqud Lujjayn. Yogyakarta: LKiS
dan FK3, 2001
B. WEB SITE
www.rahima.or.id
www.icrp-online.org
www.wikipedia.org
www.komnasperempuan.net
305
RISE T
POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN:
Studi Kasus pada Pemilu Tahun 2009
Siti Malaiha Dewi*)
ABSTRACT: The thing which always appear and accompany
the democratic party of this nation is the existence of money
politics. Despite the various monitoring organizations
shared, supervisory agency deployed, and the rules regarding
the prohibition of money politics has been made, but in fact
money politics still exist and could not be eliminated. This
paper tries to reveal the of women’s views about the existence
of money politics and factors - factors that influence their
political views personal narratively. Based on data obtained
from female informants above, then the women’s attitudes
and purports toward money politics can be divided into three
groups. First, rejecting money politics; second, accepting
money politics and making money as a determinant factor
of political choice; third, accepting money politics but not
affecting their political choices.
Keywords: money politics, women.
A. Pendahuluan
Walaupun dengan nuansa dan tekanan yang berbeda
namun pada dasarnya manusia pada saat ini telah banyak yang
menyepakati bahwa bentuk pemerintahan atau masyarakat yang
demokratis adalah bentuk yang paling ideal jika dibandingkan
dengan bentuk-bentuk pemerintahan lainnya, seperti kerajaan,
oligarki, otoritarian atau totalitarian. Dengan kata lain, kita bisa
mengatakan bahwa demokrasi adalah ’the best of the worse’ dari
bentuk-bentuk pemerintahan dan masyarakat lain yang pernah
ada atau masih ada di dunia ini (Imam subono: 2003,1).
)
Penulis adalah Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus
POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN
(Siti Malaiha Dewi)
Afan Gaffar (2005, viii) menyebutkan dua alasan memilih
demokrasi, Pertama, demokrasi memberi penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada rakyat; kedua, demokrasi memberi
peluang kepada mereka untuk ambil peran dalam diskursus
pembuatan kebijakan publik.
Senada dengan Afan Gaffar, Mahfud MD sebagaimana
dikutip oleh Tim ICCE UIN (2003, 108) mengatakan bahwa alasan
dipilihnya demokrasi oleh sebuah negara karena demokrasi
sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah
bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara.
Secara etimologi “demokrasi” terdiri dari dua kata yang
berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat
atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang
berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demoscratein atau demos-cratos adalah keadaan negara dimana dalam
sistem pemerintahannya berada di tangan rakyat, baik laki-laki
maupun perempuan (Saiful Arif, 2006, 1). Sistem pemerintahan
berada di tangan rakyat mengandung pengertian tiga hal
: pertama, pemerintah dari rakyat (government of the people);
kedua, pemerintahan oleh rakyat (government by people); ketiga,
pemerintahan untuk rakyat (government for people) (ICCE UIN:
2003, 112).
Dalam ucapan Abraham Lincoln (dikutip oleh Arthur
Konze www.mamboportal.com, tanggal 18 Agustus 2009),
demokrasi juga bisa dimaknai sebagai bentuk masyarakat yang
menghargai-hak-hak asasi manusia secara sama, menghargai
kebebasan dan mendukung toleransi, khususnya terhadap
pandangan-pandangan kelompok minoritas. Masih menurut
Abraham, demokrasi juga bisa dipilah menjadi dua model :
yang pertama, demokrasi langsung (direct democracy). Suatu
bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusankeputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh
warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas.
Kedua, demokrasi tidak langsung (indirect democracy atau
representative democracy). Suatu bentuk pemerintahan dimana
hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan
oleh sedikit orang yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan
umum.
Dalam kondisi normal atau wajar biasanya pemilu
dilakukan secara berkala (rutin). Misalnya, di Indonesia,
307
308
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
pemilu dilakukan dalam jangka waktu lima tahun sekali. Saat
ini Indonesia telah melaksanakan pemilu sebanyak sembilan
kali, pemilu pertama kali diselenggarakan pada Tahun 1955,
Tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan yang
baru saja terlaksana yaitu pemilihan anggota legislatif dan
pemilihan presiden serta wakil presiden pada Tahun 2009.
Masing-masing pemilu yang telah dilaksanakan memiliki cerita
dan catatan sejarahnya sendiri. Pemilu Tahun 2004, misalnya.
Pemilu ini disebut – sebut paling demokratis dalam sejarah
Bangsa Indonesia karena rakyat dapat memilih langsung wakilwakilnya yang akan duduk di parlemen beserta presiden dan
wakil presiden.
Tidak jauh berbeda dengan pemilu sebelumnya, pemilu
Tahun 2009 dikatakan sebagai pemilu yang sangat demokratis
sekaligus membingungkan, karena jumlah calon legislatif (caleg)
nya banyak sekali, dan ada perubahan cara menggunakan hak
pilih yaitu dari mencoblos menjadi mencontreng. Cara baru
ini sangat membingungkan khususnya bagi pemilih yang buta
huruf, karena harus menggunakan bolpoint dan dalam kertas
suara tidak dicantumkan photo tetapi hanya nama-nama caleg.
Terlepas dari persoalan di atas, hal yang selalu muncul dan
menyertai hajatan besar bangsa ini adalah adanya money politics
atau politik uang. Politik uang memang ibarat jaelangkung, datang
tak diundang dan pergi tak pamitan, alias tak kelihatan dan sulit
dilacak (Rustam Aji, Radar Kudus, 20 April 2009) meski berbagai
lembaga pemantau disebar dan pengawas diterjunkan hingga di
tingkat desa agar demokrasi berjalan bersih, namun kenyataanya
mereka tak mampu membuktikan adanya kecurangan lewat
money politics. Parahnya lagi, masyarakat yang tadinya hanya
menjadi penonton, justru banyak yang menawarkan suaranya
untuk dibeli. Bahkan ada juga yang berani mengajukan diri
menjadi perantara untuk menjual suara orang lain dalam jumlah
besar dengan imbalan yang besar pula.
Fenomena seperti di atas menunjukkan kepada kita bahwa
pada sebagian masyarakat menjadikan ’uang’ sebagai stimulan
datang atau tidaknya ke TPS pada tanggal 9 April yang lalu, dan
’uang’ menjadi penentu dipilih atau tidaknya calon legislatif
(caleg). Fakta ini diperkuat dengan frustasi yang dialami oleh
sejumlah anggota DPR yang juga menjadi caleg dalam pemilu
2009 yang gagal ke kursi dewan karena pada hari - H tidak
POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN
(Siti Malaiha Dewi)
memberikan ’kepyuran’. Padahal selama lima tahun menjadi
anggota dewan, selalu melakukan pembinaan, tiap masa reses
datang, mendengar dan menyelesaikan keluhan masyarakat
(Djoko Susilo, Jawa Pos, 13 April 2009).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka menarik
untuk dilihat bagaimana politik uang dimaknai dan disikapi,
khususnya oleh perempuan, serta Faktor – faktor apa saja yang
melatarbelakangi sikap perempuan terhadap politik uang pada
pemilu tahun 2009?
Kenapa perempuan? pertama, selama ini perempuan
jarang dijadikan sumber pengetahuan, kedua, perempuan yang
notabene adalah pemilih terbesar, selama ini dijauhkan dari
politik formal. Maka dengan tulisan ini, penulis mencoba untuk
menuliskan secara naratif personal pandangan politik mereka,
meski hal tersebut bukanlah pekerjaan mudah, menterjemahkan
bahasa mereka saja sudah menjadi kesulitan yang luar biasa,
apalagi sampai bisa mengungkapkan pandangan-pandangan
politik mereka.
A.1. Politik Uang
Definisi tentang politik uang memang sangat kabur.
Masing-masing pihak mendefinisikan politik uang menurut versi
mereka sendiri-sendiri. Sebagai contoh adalah definisi politik
uang, dalam pandangan parpol, yakni suatu cara yang dengan
sangat pragmatis mempengaruhi seseorang dengan uang,
sehingga orang tersebut memilih caleg atau partai tertentu pada
pemilu; Atau, memberikan uang pada seseorang disertai janjijanji agar mendukung caleg atau parpol tertentu. Jadi, jika seorang
peserta kampanye memberikan bantuan ke rumah ibadah pada
masa kampanye, tidak bisa dikategorikan sebagai politik uang,
kalau peserta kampanye itu memang senang membantu rumah
ibadah dan kebetulan dia sedang ibadah bersama umat pada
masa kampanye, sulit mengategorikan sumbangan itu sebagai
politik uang (Suara Pembaharuan, 14 Desember 2008).
Sebetulnya, aturan tentang pelarangan politik uang sudah
diatur jelas baik dalam UU No 32/2004 Pasal 82 Ayat (1) yang
menyebutkan, Pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang
menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya
untuk mempengaruhi pemilih. Kemudian Ayat (2) Pasangan
309
310
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan
pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan
sebagai pasangan calon oleh DPRD; maupun dalam Undangundang Nomor 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan
DPRD Pasal 274 yang menyebutkan bahwa pelaksana kampanye
yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau
materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara
langsung atau pun tidak langsung agar tidak menggunakan
haknya untuk memilih, atau memilih peserta pemilu tertentu
atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu
sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana penjara paling
singkat enam bulan dan paling lama 24 bulan; Pasal 218 pada UU
10/2008 itu dengan jelas dipaparkan penggantian calon terpilih
anggota DPR, DPD dan DPRD dapat dilakukan bila caleg itu
terbukti melakukan tindak pidana pemilu berupa politik uang
atau pemalsuan dokumen berdasarkan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap; serta peraturan KPU Nomor 19
Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu
Anggota DPR, DPD dan DPRD. Namun, kenyataanya, politik
uang dilakukan sejak calon mendaftarkan diri ke partai politik
sampai masa kampanye, dalam bentuk bantuan untuk rumah
ibadah, bingkisan lebaran, natal dan tahun baru, pemberian
sembako untuk korban banjir, door prize, atau biaya transportasi
warga ke tempat kampanye, yang menurut partai politik tidak
bisa dikategorikan sebagai politik uang. Memang, definisi
tersebut sulit diaplikasikan, karena banyak tafsir atas pasal
tersebut. Contohnya, dalam undang-undang tidak dipaparkan
definisi ”materi lainnya”. Begitu pula pada peraturan KPU
tentang kampanye tidak menjabarkan makna “materi lainnya”
itu.
B. Herry Priyono (Media Indonesia, 2009) menjelaskan
istilah politik uang digunakan setidaknya pada dua gejala.
Pertama, istilah itu menunjuk fakta tentang kekuatan uang dalam
perebutan kekuasaan. Kedua, istilah money politics menunjuk gejala
pembusukan yang dibawa oleh kuasa uang dalam menentukan
proses pencalonan, kampanye, dan hasil pemilu para anggota
legislatif ataupun presiden.
Analisa Herry tentang politik uang mengindikasikan
adanya campur tangan uang dalam proses demokrasi. Uang
menjadi instrumen penting dalam suksesi pencalonan pemimpin.
POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN
(Siti Malaiha Dewi)
Untuk meraup suara, misalnya, uang adalah senjata utama yang
diandalkan. Maka, wajar jika muncul pola pengintegrasian uang
dalam politik atau yang biasa kita kenal dengan money politics.
Dalam Islam isu tentang politik uang telah mendorong
umat Islam mengkaji melalui kaidah-kaidah agama. Ketua MUI
Kudus KH. Syafiq Naschan pada salah satu seminar tentang
pemilu (24 Maret 2009) mengatakan bahwa politik uang dapat
menghambat terwujudnya demokrasi yang adil dan jujur.
Kajian Islam menunjukkan politik uang adalah termasuk
suap (risywah). Suap diharamkan di dalam Islam. Nabi bersabda
bahwa orang yang menyuap dan menerima suap akan masuk
neraka. Menurut keterangan KH. Syafiq Naschan indikator
suap dalam hal ini politik uang adalah adanya penekanan
tertentu ketika memberikan suatu barang. Dengan kata lain,
disimpulkan bahwa orang memberi untuk memperoleh imbalan
yang melanggar syariat.
Barang yang diberikan tidak hanya berupa uang, tetapi
dapat berbentuk barang kebutuhan sehari-hari, seperti beras,
gula, minyak goreng, bahkan pulsa. Sehingga konsepsi politik
uang tidak melulu mengasumsikan uang sebagai alat untuk
membelokkan hari nurani konstituen, tetapi bisa juga berupa
barang lain yang sesuai dengan kebutuhan konstituen.
Jika dikaitkan dengan kajian kepemimpinan Islam, politik
uang dapat menghalangi terselenggaranya pemilihan pemimpin
yang sesuai dengan ajaran Islam, yakni terpilihnya pemimpin
yang jujur, adil, tabligh, dan fatonah. Maka, di sini politik uang
mampu membelokkan niat konstituen untuk memilih pemimpin
yang sesuai dengan Islam, sehingga melenceng memilih
pemimpin yang bobrok moralnya, karena disuap.
Jika terjadi hal demikian, maka wajar apabila terwacanakan
pengharaman politik uang. Karena politik uang menjadi musuh
dari demokrasi yang bersih, jujur, dan adil. Dan di dalam Islam
sendiri politik uang menjelma menjadi virus mematikan dalam
sistem pemilihan pemimpin yang sesuai dengan konsep Islam.
A.2. Sikap: Arti dan Teori
Untuk membaca sikap perempuan terhadap politik uang
maka terlebih dahulu diuraikan dulu mengenai definisi sikap itu
311
312
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
sendiri. Menurut Drs. Saifuddin Azwar, MA, (1988, 3) sebetulnya
ada lebih dari tiga puluh macam definisi sikap yang dikemukakan
oleh ahli. Dari kesemuanya itu, dapat dikelompokkan menjadi
tiga kerangka pemikiran. Pertama, kerangka pemikiran yang
diwakili Louis Thurstone yang mendefinisikan sikap sebagai
suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang
terhadap objek adalah perasaan mendukung atau memihak
ataupun perasaan tidak mendukung terhadap suatu objek.
Kelompok kedua, seperti yang diungkapkan oleh Allport, sikap
merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi apabila
individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki
adanya respon. Sedangkan kelompok ketiga, mendefinisikan
sikap sebagai suatu konstelasi komponen kognitif, afektif, dan
konatif yang berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan
berperilaku terhadap suatu obyek.
Dari ketiga definisi di atas, dapat dikatakan bahwa
sikap hanya akan ada artinya bila ditampakkan dalam bentuk
pernyataan perilaku baik lisan maupun perilaku perbuatan.
Bentuk pernyataan seseorang sangat tidak pasti dan sangat
tergantung pada kondisi serta situasi dimana dan pada waktu
apa individu tersebut berada. Apabila individu berada pada
situasi yang betul-betul bebas dari berbagai bentuk tekanan
atau hambatan yang dapat mengganggu ekspresi sikapnya,
maka dapat diharapkan bahwa bentuk-bentuk perilaku yang
ditampakkanya akan merupakan ekpresi sikap sebenarnya
(Saefuddin Azwar: 1988, 5). Maka untuk mendapatkan sikap
yang sesungguhnya dari perempuan yang menjadi informan
terhadap politik uang, maka digunakanlah situasi yang santai
seperti pada saat pengajian ibu-ibu, dengan melempar topik
pembicaraan tentang politik uang.
Sikap juga bersifat dinamis dan terbuka terhadap
kemungkinan perubahan dikarenakan interaksi seseorang
dengan lingkungan di sekitarnya. Namun, karakteristik
sikap pasti ada. Hal ini ditunjukan dengan arah, intensitas,
konsistensi, dan spontanitasnya. Suatu sikap mempunyai arah
artinya sikap menunjukkan apakah seseorang menyetujui atau
tidak menyetujui, apakah mendukung atau tidak mendukung,
apakah memihak atau tidak memihak terhadap suatu obyek
sikap. Seseorang yang mempunyai sikap mendukung terhadap
suatu obyek sikap berarti mempunyai sikap yang berarah positif
terhadap obyek tersebut, seseorang yang tidak memihak atau
POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN
(Siti Malaiha Dewi)
tidak mendukung sesuatu obyek sikap berarti mempunyai sikap
yang arahnya negatif (Saefuddin Azwar: 1988, 10).
Sikap terbentuk dari interaksi sosial yang oleh individu.
Interaksi sosial mengandung arti lebih daripada sekedar adanya
kontak sosial dan hubungan antar individu. Dalam interaksi
sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi di antara individu
satu dengan yang lain, individu dengan lingkungan fisik maupun
psikologis di sekelilingnya. Berbagai faktor yang mempengaruhi
pembentukan sikap menurut Saifudin Azwar (1988, 24) adalah
sebagai berikut:
 Pengalaman pribadi
Sikap timbul dari pengalaman dan merupakan hasil belajar
individu. Karena apa yang telah atau sedang dialami seseorang
akan ikut membentuk tanggapan dan mempengaruhi
penghayatan terhadap objek sikap, dan tanggapan tersebut
akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap.
 Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Orang lain di sekitar kita adalah salah satu komponen penting
yang dapat mempengaruhi sikap kita. Orang lain tersebut
antara lain orang yang kita harapkan persetujuannya, orang
yang tidak ingin kita kecewakan, atau orang orang yang
berarti khusus bagi kita. Di antara orang yang dianggap
penting bagi diri individu adalah orang tua, orang yang
status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat,
guru, teman kerja, istri atau suami.
Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki
sikap yang komformis atau searah dengan sikap orang
yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain
dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan
untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap
penting tersebut. Pada masa anak-anak dan remaja, orang
tua biasanya menjadi figur yang paling berarti bagi anak.
Namun, biasanya apabila dibandingkan dengan pengaruh
teman sebaya maka pengaruh sikap orang tua jarang
menang. Bahkan ketidaksesuaian pendapat dengan orang
tua biasanya dianggap sebagai bentuk independensi yang
bisa dibanggakan.
Hubungan atasan-bawahan juga menjadi pengaruh sikap
seseorang. Sudah menjadi umum, sikap atasan terhadap
suatu masalah diterima dan dianut oleh bawahan tanpa
landasan afektif maupun kognitif yang relevan dengan obyek
313
314
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
sikap seseorang. Kesamaan sikap didasari oleh kepercayaan
yang mendalam kepada atasan atau oleh pengalaman
bahwa atasan selalu dapat berpendapat atau bersikap yang
tepat dalam segala situasi di masa lalu. Apabila terjadi
kebimbangan dalam bersikap maka biasanya peniruan sikap
atasan merupakan jalan yang dianggap terbaik. Kadangkadang peniruan sikap atasan itu terjadi tanpa disadari
oleh individu dan dibentuk oleh karisma atau oleh otoritas
atasan.
 Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan di mana kita hidup dan dibesarkan akan
mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap.
Kebudayaan menanamkan garis pengarah sikap seseorang
terhadap berbagai masalah dan kebudayaan pula yang
telah mewarnai sikap masyarakat, karena kebudayaan telah
memberi corak pengalaman individu-individu yang menjadi
anggota kelompok masyarakat.
 Media Massa
Meskipun pengaruh media massa tidaklah sebesar pengaruh
interaksi individual namun dalam proses pembentukan sikap
dan perubahannya, peranan media massa tidak kecil artinya.
Dengan adanya informasi baru yang disampaikan oleh media
massa mengenai suatu hal dapat memberikan landasan
kognitif baru bagi terbentuknya sikap mengenai hal tersebut.
Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut,
bila cukup kuat akan memberi dasar efektif dalam menilai
sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
 Pengaruh Emosional
Terkadang suatu bentuk sikap merupakan pernyataan
yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam
penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme
pertahanan ego. Sikap yang demikian dapat merupakan
sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi telah
hilang. Contoh bentuk sikap yang didasari emosi adalah
prasangka. Prasangka merupakan bentuk sikap negatif
yang didasari oleh kelainan kepribadian pada orang yang
frustasi.
 Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Lembaga pendidikan dan lembaga agama merupakan suatu
sistem yang mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap
dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan
konsep moral dalam diri individu. Dalam hal ini ajaran yang
POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN
(Siti Malaiha Dewi)
diperoleh dalam lembaga pendidikan dan lembaga agama
seringkali menjadi determinan tunggal yang menentukan
sikap.
Faktor-faktor di atas meng_konstruk pandangan politik
perempuan. Bicara tentang konstruks tentu kita ingat pada
Berger dan Luckmann dalam bukunya The Social Constuction
of Reality yang menyatakan bahwa manusia dan masyarakat
adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus
menerus. Proses dialektis mempunyai tiga tahapan. Pertama,
eksternalisasi, yakni usaha ekspresi diri manusia ke dalam
dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Sesuai dengan
kodratnya manusia akan selalu mencurahkan diri dimanapun ia
berada. Kedua, obyektivikasi, yakni hasil yang telah dicapai, baik
mental maupun fisik dari tahapan eksternalisasi manusia. Ketiga,
internalisasi, yakni proses penyerapan kembali dunia objektif ke
dalam kesadaran sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh
struktur dunia sosial. Dalam praksisnya ideologi mendapatkan
tempat artikulasi yang sangat jelas dalam bahasa. Struktur
linguistik dimanfaatkan, didayagunakan, difungsikan untuk
mengemukakan ideologi secara sadar, tidak sadar, bahkan
bawah sadar (Anang Santoso: 2009, 44).
B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Bogdan & Taylor (A. Khozin Affandi: 1993, 30) mengemukakan
bahwa pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat dipahami.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kudus Propinsi
Jawa Tengah. Alasan pemilihan lokasi ini berdasarkan
pertimbangan pada pemilu legislatif tahun 2009 ini partisipasi
pemilih cukup tinggi yaitu 70%. Kondisi ini sangat berbeda
dengan pemilihan Gubernur Jawa Tengah pada Tahun 2008
dimana angka golput mencapai 60% atau tertinggi ketiga di
Jawa Tengah (KPU Kab. Kudus: 2009). Perubahan yang sangat
fenomenal ini menimbulkan tanda tanya besar bagi peneliti.
Informan/nara sumber dalam penelitian ini ditentukan
secara purposive, yaitu informan yang dipandang mewakili
kelompok perempuan seperti anggota legislatif perempuan,
315
316
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
akademisi perempuan, kalangan birokrasi: seperti camat
perempuan, guru madrasah, pimpinan ormas dan NGO
Perempuan, buruh perempuan, pengemis perempuan, bidan,
perempuan pedagang pasar pagi maupun pedagang pasar
malam, perempuan kepala keluarga serta ibu rumah tangga.
Informan tersebut dianggap sebagai wacana kebenaran dari
institusi yang diwakili. Mereka memiliki akses yang lebih besar
dibandingkan perempuan lainya dalam memproduksi dan
mengonsumsi wacana perempuan maupun wacana publik lainya
serta ikut berperan aktif dalam menafsirkan wacana publik.
Teknik analisis data menggunakan model analisis interaktif
(interactive model of analysis) yang memiliki tiga komponen yakni
data reduksi, data display, dan conclusion drawing (Miles &
Huberman, 1992).
Proses analisis data dalam penelitian ini dilakukan
selama pengumpulan data dengan menggunakan perspektif
perempuan artinya bahwa penelitian ini berusaha mendengar dan
mengangkat bahasa dan suara perempuan (Tri Marhaeni: 2008,
hlm.1). Bahasa perempuan dapat disikapi sebagai wacana, yakni
cara mengatakan atau menuliskan atau membahasakan peristiwa,
pengalaman, pandangan, dan kenyataan hidup tertentu. Bahasa
perempuan selalu merepresentasikan model pandangan hidup
tertentu, yakni gambaran sebuah konstruksi dunia yang bulat dan
utuh tentang ide hidup dan kehidupan yang sudah ditafsirkan
dan diolah perempuan (Anang Santoso: 2009, 1).
Pada setiap tahapan analisis juga digunakan analisis
gender. Analisis gender adalah proses mengurai data dan
informasi secara sistematik tentang kedudukan, fungsi, peran
dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam program
pembangunan dan faktor – faktor yang mempengaruhinya.
Pada tahapan analisis masalah gender ini peneliti mencoba
mengungkap hubungan perempuan dan laki-laki, dengan
menganalisis siapa melakukan apa, siapa mempunyai akses dan
kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat, serta faktor-faktor
apa yang mempengaruhi kegiatan, akses dan kontrol. Analisis
pada skala mikro (tingkat masyarakat) ini dilakukan dengan
teknik “Harvard”, dengan tahapan analisis sebagai berikut:
 Profil kegiatan: didasarkan pada konsep pembagian kerja
berdasarkan gender pada saat pemilu Tahun 2009. Profil
kegiatan ini memerinci kegiatan nyata menurut gender.
POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN
(Siti Malaiha Dewi)
Dengan proses pengidentifikasian kegiatan berdasarkan
gender melalui profil kegiatan ini maka dapat diketahui
secara tepat peranan, kegiatan dan kebutuhan perempuan
dan laki-laki pada saat pelaksanaan pemilu.
 Profil akses dan kontrol, memerinci sumber-sumber
apa yang dikuasai oleh perempuan dan laki-laki untuk
melaksanakan kegiatannya dan manfaat apa yang diperoleh
setiap orang dari hasil kegiatan tersebut. Akses merupakan
peluang untuk menggunakan/memanfaatkan sumberdaya
tanpa kekuasaan untuk mengambil keputusan mengenai
sumberdaya tersebut. Kontrol merupakan penguasaan
terhadap sumberdaya, yaitu wewenang untuk mengambil
keputusan menggunakan sumberdaya tersebut. Dengan
memusatkan perhatian pada profil akses dan kontrol, akan
diperoleh gambaran yang lebih tepat terhadap kekuasaan
relatif antara perempuan dengan laki-laki. Gambaran
tersebut dapat dipergunakan untuk mengarahkan kegiatankegiatan pada upaya perbaikan keadaan perempuan.
 Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan akses
dan kontrol. Analisis ini mengidentifikasi faktor-faktor
yang menimbulkan perbedaan kesempatan bagi partisipasi
perempuan dan laki-laki pada pelaksanaan pemilu Tahun
2009.
C. Hasil dan Pembahasan
Bagaimana pandangan dan sikap perempuan terhadap
politik uang pada pemilu legislatif pada tanggal 9 April 2009
maupun pemilu presiden beserta wakilnya pada 8 Juli 2009
serta faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap
tersebut akan diurai pada bagian ini dengan menampilkan
naratif personal dari informan yang dianggap mampu mewakili
kelompok-kelompok perempuan. Mereka adalah perempuan
kepala keluarga, perempuan pedagang pasa perempuan
pengemis, dan buruh rokok perempuan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari informan
perempuan di atas, maka sikap dan pemaknaan perempuan
terhadap politik uang dapat dibedakan menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama, bersikap menolak politik uang; Kelompok
kedua, menerima politik uang dan menjadikan uang sebagai
faktor penentu pilihan politiknya; Kelompok ketiga, menerima
politik uang tetapi tidak mempengaruhi pilihan politiknya.
317
318
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Kelompok pertama dapat dilihat dari data perempuan
kepala keluarga Kelompok kedua dapat dilihat dari data
perempuan buruh rokok, dan pengemis perempuan. Sedangkan
kelompok ketiga dapat dilihat dari data seorang bidan.
1. Seorang Perempuan Kepala Keluarga
Suasana pasar Mbrayung sangat ramai pagi itu (3 September
2009). Maklum menjelang lebaran. Ibu As terlihat sibuk melipat pakaian
yang tadi sempat dilihat-lihat calon pembeli namun tidak jadi dibeli.
Berkali-kali dalam wawancara, ia harus mengelap peluhnya yang telah
membasahi kening dan lehernya. Suasana pasar yang panas dan pengap,
tidak menghalanginya untuk terus bedagang. Semuanya rintangan
itu, menurutnya tak lebih dari cobaan hidup yang harus dilalui. Ibu As
bisa dibilang sabar, dia harus menanggung semuanya sendiri setelah
bercerai dengan suaminya 12 tahun yang lalu. Suaminya menikah lagi
dengan perempuan yang lebih muda, tetangganya sendiri.
****
Saya lahir di salah satu desa di Kecamatan Mejobo,
Kabupaten Kudus. Saya hidup dari keluarga serba kurang.
Ayah berprofesi sebagai petani, sementara ibu jualan jajan di
pasar. Meski kondisi ekonomi pas-pas_an, orang tua saya sangat
mementingkan pendidikan. Saya bisa menikmati bangku kuliah
dan bisa menjadi sarjana di salah satu Perguruan Tinggi Agama
Islam Negeri di kota ini.
Belum sempat saya mencari kerja, saya sudah dilamar
tetangga sendiri dan akhirnya kami menikah. Secara fisik dia
memang bisa dibilang tampan, dia bekerja sebagai bayan (kepala
dusun). Awal pernikahan, kami memang sangat bahagia,
meskipun secara ekonomi bisa dibilang biasa saja. Maklum,
seorang bayan itu tidak mendapatkan gaji. Hanya sawah bengkok
yang disewakan. Meski demikian kami hidup bahagia. kami
pun dikaruniai seorang putri dan dua orang putra. Namun,
cobaan mulai datang ketika anak kami yang ketiga terkena
penyakit leukimia. Kami sekeluarga shock. Lebih shock lagi karena
biaya yang begitu tinggi untuk cuci darah tiap bulannya. Segala
harta benda kami, habis untuk kesembuhan anak saya, namun
rupanya Allah berkehendak lain, pada usia delapan tahun anak
kami meninggal dunia. Bersamaan dengan meninggalnya anak
saya, suami saya kedapatan selingkuh dengan tetangga saya
sendiri yang lebih muda dan dari hubungan terlarang tersebut,
POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN
(Siti Malaiha Dewi)
perempuan itu sudah mengandung dua bulan. Saya marah,
malu, bingung, dan semuanya campur aduk jadi satu. Saya
sempat menyesal kenapa dulu tidak mencari kerja dulu setelah
lulus kuliah.
Akhirnya dengan berat hati saya memutuskan untuk
mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Meski sebetulnya
suami saya tidak mau menceraikan saya, tetapi saya yang tidak
bisa menjalani kehidupan poligami dan harus berbagi suami.
Dengan sangat berat, Saya mengikhlaskan suami saya untuk
bertanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukanya.
Cukup lama saya terpuruk. Meratapi nasib. Beban sebagai janda
begitu beratnya. Tetapi saya sadar bahwa saya sekarang seorang
kepala keluarga dengan beban dua orang anak. Saya mulai
bangkit. Dengan mengesampingkan gengsi bahwa saya adalah
seorang sarjana, saya mulai berjualan kue di pasar terdekat.
Hasilnya memang tidak sebanding dengan tingkat kelelahan
yang saya rasakan. Harus bangun setiap jam dua pagi, berkutat
di dapur, dan untungnya hanya cukup untuk makan kami
bertiga. Setelah berjalan hampir tiga tahun, saya menyerah dan
saya bersyukur mendapat warisan dari orang tua. Saya gunakan
untuk membeli kios di pasar. Saya tidak lagi berjualan kue, tetapi
jualan pakaian. Hasilnya lumayan, anak saya yang pertama
sekarang duduk di bangku kuliah di salah satu perguruan tinggi
negeri di Semarang. Saya menaruh harapan besar padanya. Agar
kelak menjadi anak yang bahagia. Tidak mengalami perjalanan
yang menyedihkan seperti saya. Sedangkan adiknya masih
duduk di SMP. Sekarang, alhamdulillah setiap sore hari saya juga
mengajar Taman Pendidikan Al Quran (TPQ) di dekat rumah.
Dilihat dari ebsarnya gaji memang tidak seberapa, hanya Rp.
100.000,-. Tetapi saya yakin saya akan mendapat lebih banyak
nanti di akhirat.
Saat ini kegiatan sehari-hari saya memang padat.
Setiap pagi hingga siang, sekitar pukul 13.00 WIB, saya di
pasar. Setelah itu saya pulang ke rumah untuk memasak, lalu
istirahat sebentar dan sorenya membersihkan rumah. Malam
harinya saya menemani anak saya belajar, setelah itu bisa santai
menonton televisi. Jam 04.00 WIB saya sudah bangun untuk
memasak, mencuci, dan lainya, lalu ke pasar lagi. Meskipun
demikian, rutinitas saya tidak serta merta membuat saya absen
dari kegiatan desa maupun pengajian keagamaan. Kebetulan
saya pengurus Muslimat NU di desa yang setiap minggu sekali
319
320
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
diadakan pengajian dan dulu saya sempat aktif di PKK. Jadi,
sampai sekarang kalau ada kegiatan desa, saya masih dilibatkan,
termasuk pada saat pemilihan umum, saya selalu menjadi panitia.
Pada saat pemilu legislatif kemarin dan juga pemilu presiden,
saya pun sebagai panitia di TPS tempat saya mencontreng.
Karena saya panitia, maka otomatis saya tidak golput, baik
ada yang memberi amplop maupun tidak, karena bagi saya,
mencontreng itu hak, maka harus saya gunakan. Kalaupun ada
yang memberi amplop pasti saya tolak secara halus. Meskipun
saya ini sangat membutuhkan uang, tetapi menurut saya, jika
saya menerima amplop, itu sama saja saya mengotori proses
demokrasi yang sudah dicita-citakan akan membawa kebaikan.
Dalam ajaran Islam hal tersebut juga tidak diperbolehkan karena
termasuk suap. Dan bagi yang menyuap maupun yang disuap
kan sama saja. Masuk neraka.
Soal pilihan dalam pemilu, saya pasti memilih calon
yang agamis, dan bersih. Saya tahu kalau agamis, bersih, dan
lain-lain itu berdasarkan anjuran organisasi tempat saya aktif,
yaitu Muslimat NU. Saya percaya dengan pilihan Kyai-Kyai.
Contohnya, pada saat pilpres Tahun 2009 ini, saya memilih
pasangan JK-Win, karena Pimpinan Pusat Muslimat NU secara
resmi mendukung JK-WIN. Sedangkan pemilu legislatif,
anggota Muslimat NU kecamatan Mejobo ada yang menjadi
caleg, maka otomatis, Pimpinan Anak Cabang mengarahkan
agar anggotanya memilih caleg tersebut, dengan harapan warga
Muslimat NU akan terakomodasi kepentingan dan aspirasinya
untuk lima tahun mendatang. Saya pun mengikutinya.
Alhamdulillah, caleg perempuan tersebut akhirnya lolos
menjadi wakil rakyat dan saya secara pribadi mempunyai
harapan besar akan ada perbaikan ekonomi bagi hidup saya,
seperti pelatihan ketrampilan maupun pemberian modal yang
lunak. Kemudian, saya pun berharap ada perbaikan kondisi
pasar tempat saya dan ibu-ibu lain bekerja, antara lain perbaikan
fasilitas kamar mandi yang rusak berat. Setiap hari saya dan ibuibu lain harus numpang di tetangga pasar untuk wudlu ataupun
buang air kecil, lama kelamaan saya tidak enak juga. Dan,
karena jaraknya agak jauh, saya juga harus menutup kios ketika
hendak ke kamar mandi. Sehingga saya banyak kehilangan
calon pembeli. Saya yakin, harapan saya ini tidak terlalu berat
untuk direalisasikan. Lha wong membangun yang besar-besar
saja bisa apalagi yang kecil. Tetapi terkadang yang kecil justru
POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN
(Siti Malaiha Dewi)
tidak kelihatan ya..alias terlupakan. Semoga tidak.
2. Seorang Perempuan Buruh Rokok
Wawancara dilakukan di sela-sela kesibukan Ibu SL yang
sedang menyeterika_pekerjaan sampingan yang dilakukanya setiap hari
Minggu_ di rumah teteangganya. Sedangkan hari – hari lainya Ibu SL
bekerja sebagai buruh rokok di salah satu Pabrik rokok terbesar di Kota
Kudus. Kami berbincang-bincang dengan santai bahkan sesekali ibu SL
tertawa-tawa padahal baju yang harus disetrika masih menggunung di
belakangnya. Berkali-kali dia mengelap peluh di kening dan lehernya,
namun, demi memenuhi kebutuhan keluarga semua kelelahan sudah
menjadi hal yang biasa.
****
Saya lahir di Kudus, 50-an tahun yang lalu. Maaf saya
tidak hafal tanggal lahir saya. Saya bekerja sebagai buruh rokok
yaitu bagian bathil atau merapikan batang rokok sejak saya muda
dulu, kalau tidak salah sewaktu lulus SD saya langsung masuk
pabrik.
Kalau dulu, masuk pabrik itu gampang, tetapi sekarang
harus lulus SMA itupun masih diseleksi. Maka, saya sangat
bersyukur bisa kerja di pabrik, memangnya mau kerja dimana,
saya tidak punya ketrampilan apa-apa. Saya tidak bisa
membayangkan kalau pabrik rokok tidak ada di Kudus ini,
pasti banyak sekali yang menganggur. Makanya saya sudah
menganggap pekerjaan ini adalah bagian hidup saya, meskipun
penghasilan saya tidak menentu. Kalau sedang ramai saya
bisa membawa pulang Rp. 50.000,- tetapi kalau sepi hanya Rp.
10.000,- sampai Rp. 15.000,- dengan Jam kerja mulai pukul 06.00
WIB sampai siang atau sore.
Sekarang lumayan enak, karena masuk kerja pukul 06.00
WIB, saya bisa tenang mempersiapkan sarapan, memandikan
anak, dan mencuci pakaian. Kalau dulu, jam kerjanya mulai
pukul 05.30 WIB sehingga saya harus meninggalkan rumah
sebelum anak saya bangun. Akhirnya, anak saya jarang ke
sekolah karena suami saya juga harus bekerja di pabrik rokok
lainya dengan jam yang sama.
Sekarang, ketika saya berangkat, anak sudah saya
mandikan, sudah sarapan, dan yang kecil saya titipkan di
tetangga. Kebetulan tetangga ada yang nganggur, banyak
321
322
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
anak-anak yang ibunya kerja di tempat yang sama dengan saya
dititipkan ke dia. Biasanya saya memberi dia Rp. 5000,- sehari
sebagai uang pengganti telah menjaga anak saya. Sebetulnya
ada tempat penitipan anak di dekat rumah saya, gurunya
juga cantik-cantik, kayaknya anak saya akan pintar kalau saya
masukkan kesana, tetapi penghasilan saya tidak cukup. Dan,
saya juga minder, la yang dititipkan disana itu anaknya guru
dan orang kaya-kaya. Kalau seperti saya cukup saya titipkan di
tetangga.
Ketika pulang, urusan rumah seperti memasak, bersihbersih rumah dan lainya, saya yang mengerjakanya, itu sudah
menjadi kewajiban saya sebagai seorang wanita. meskipun
hari Minggu, kerjaan rumah tidak pernah libur. Bahkan tiap
hari Minggu saya juga nyambi menyetrika pakaian tetangga.
Sementara suami biasanya nonggo.
Saya punya dua anak. Yang pertama sudah berkeluarga,
baru saja melahirkan. Setiap malam saya membantu menjaga cucu
saya. Sehingga saya tidak ikut lagi pengajian. Nanti kalau sudah
agak besar saya akan ikut pengajian lagi. Kalau ikut pengajian
enak, bisa kumpul dengan tetangga dan teman-teman.
Tidak ada kesan khusus dalam pemilu yang selama ini
saya ikuti. Kampanye saya juga tidak ikut. Ya, sekadar memilih
lalu pulang lagi ke rumah. Toh pemilu tidak ada dampak
terhadap hidup saya. Saya kan wong cilik yang tidak ada dampak
langsung yang saya terima. Tidak akan ada perbaikan langsung
terhadap pekerjaan saya. Saya tetap bekerja seperti biasa. Bagi
saya, bekerja atau tidak, tidak ada hubungannya dengan pemilu.
Intinya, jika saya tidak bekerja tidak ada perbaikan nasib.
Tetapi saya selalu menggunakan hak pilih saya, baik pilkades
maupun pilpres. Suami saya juga selalu memberitahu bahwa
saya harus menggunakan hak pilih. Katanya: ”dikasih hak ya
harus digunakan”. Meskipun, kemarin sempat bingung juga,
lha calonnya banyak banget. Terus terang, saya mendapatkan
amplop dari dua orang caleg. Besarnya ada yang Rp 5000,- dan
Rp. 10.000,-. Saya terima saja, karena itu merupakan pemberian.
Masak diberi, tidak diterima! Jarang-jarang ada rejeki nomplok
seperti itu. Dan karena saya sudah menerima maka sebagai
imbalanya saya memilih dia. Saya juga tidak mau dikatakan
munafik, karena sewaktu uang diberikan ke saya, memang secara
jelas dan gamblang orang yang memberi uang itu meminta suara
POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN
(Siti Malaiha Dewi)
saya. jadi saya tetap akan memilih meski saya tidak kenal
orangnya.
Kalau tidak mendapatkan amplop, saya akan memilih asal
saja lha wong sama-sama tidak kenal. Seperti pemilu kemarin,
untuk anggota DPRD Propinsi saya tidak mendapatkan amplop
dan saya juga tidak kenal, akhirnya saya memilih sama dengan
yang memberikan amplop ke saya. baik partai maupun nomor
urutnya. mestinya orang kecil seperti saya ini juga mendapatkan
pengarahan mengenai calon-calon. Soalnya saya dan temanteman di pabrik itu buta sekali.
Sewaktu pemilihan presiden tidak ada pembagian uang
tetapi saya dan teman-teman pabrik memilih pak SBY, karena
ada suara-suara di pabrik itu kalau pak JK yang jadi presiden
maka PHK besar-besaran akan terjadi, dan beritanya juga model
pegawai kontrak di pabrik-pabrik yang merugikan itu atas
usul pak JK. Makanya saya tidak memilih pak JK. Saya juga
tidak memilih Bu Mega, meski sesama perempuan tetapi saya
koq merasa bu Mega itu terlalu lembek ya. Dulu pernah menjadi
presiden ya gitu-gitu saja. Tapi saya ini wong cilik. Saya hanya
berharap seperti zaman Suharto dulu, sandang pangan murah.
Pekerjaan lancar.
3. Seorang Pengemis Perempuan
Siapapun yang sering melintasi perempatan Matahari
Kudus pasti sudah akrab dengan wajah Mak Y (60an), seorang
perempuan dengan dandanan khas seorang peminta-minta yang
begitu sigap menghampiri mobil ataupun pengendara motor
yang berhenti di saat lampu merah, sambil berucap, ”Pareng..
pareng....”.
Menjadi peminta-minta sudah dijalani Mak Y sejak
puluhan tahun yang lalu. Tempat mangkalnya pindah-pindah,
pernah di Menara Kudus, pasar Kliwon, dan lain-lain. Mak Yah
tidak sendirian. Kedua anaknya juga sama, meminta-minta,
”Dulu sewaktu mereka masih sekolah SD, setiap pulang sekolah,
mereka langsung pergi kerja (meminta-minta), kalau suami saya
beda, jadi pemulung”, demikian ungkap Mak Y. ”Hasilnya
lumayan, kalau sepi saya bisa mebawa pulang Rp. 25.000,- sehari
kalau ramai ya lebih, begitu juga anak saya, dan sekarang kami
sudah punya tempat tinggal meskipun di perumahan sosial.
Kami juga punya dua motor SUPRA”, tutur Mak Yh.
323
324
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Perumahan sosial Pecinan Hadipolo tersebut merupakan
relokasi kampung kumuh warga miskin kota di bantaran sungai
Kaligelis Kota Kudus. Atas inisiatif Dinas Sosial Kudus mereka
disiapkan perumahan meski sangat sederhana di komplek
Pecinan Desa Hadipolo, Jekulo, Kudus, kira-kira 8 Km sebelah
Timur kota. Mereka pindah ke komplek Perumahan Sosial
Pecinan selama dua tahap; Tahap pertama tahun 1990 dan tahap
dua tahun 1993. Syarat kepemilikian adalah dengan menyertakan
Kartu Keluarga dan bersedia membayar dengan cicilan ringan
setiap hari Rp 900 selama 15 tahun. Kini penghuni Perumahan
Sosial Pecinan tersebut terdiri dari 115 rumah dengan jumlah
penduduk kira-kira 500an orang dengan komposisi laki-laki
sejumlah 214 orang dan perempuan 300 orang.
Setiap pagi hari, hampir semua warga Perumahan Sosial
Pecinan Hadipolo, baik laki-laki maupun perempuan, tuamuda keluar rumah untuk berusaha mengais rezeki, meski
dalam bentuk dan wujudnya yang sangat beragam. Kebanyakan
mereka adalah sebagai pemulung, pengemis, pengamen, tukang
batu dan tukang becak. Jam 04.00 WIB pagi mereka sudah
mulai bangun tidur mempersiapkan diri untuk keluar rumah
demi sesuap nasi untuk mempertahankan hidup keluarganya.
Sekitar jam 16.00-an mereka sudah mulai berdatangan kembali
ke rumah. Anak-anak pun tidak ketinggalan, sepulang sekolah
mereka langsung pergi ke tempat biasa mangkal, baik sebagai
pengemis, maupun pengamen.
Mengingat mereka kebanyakan adalah memang keluarga
jalanan (orang-orang pinggiran) yang sebelumnya terpaksa
menjalani hidupnya sebagai tunawisma. Maka dalam keseharian
mereka seringkali dianggap oleh pihak-pihak tertentu mengotori
kota, karena ketika masih kecil terpaksa menjadi anak-anak
jalanan, setelah beranjak remaja terpaksa menjadi pengamen,
maka ketika sudah berkeluarga mereka terpaksa menghidupi
keluarganya dengan bekerja serabutan mulai dari tukang becak,
pertukangan, pengamen, pengemis, tukang semir, hingga sebagai
pemulung. Memang tidak bisa dipungkiri mereka hidup dalam
kultur yang penuh dengan “kekerasan”, karena harus menjalani
kehidupannya dengan penuh nestapa dan keprihatinan, sehingga
kenakalan juga terkadang tidak bisa terhindarkan seperti
minum-minuman keras, pencopetan, hingga tawuran. Bahkan
para pemuda seringkali menghiasi dirinya dengan berbagai tato
yang menyelimuti tubuhnya.
POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN
(Siti Malaiha Dewi)
Maka penduduk pribumi (mayarakat setempat) seringkali
memberikan stigma negatif secara menyeluruh kepada siapa
saja yang menghuni di Perumahan Sosial Pecinan tersebut.
Hal inilah yang membuat warga Perumahan Sosial Pecinan
tersebut merasa tidak nyaman. Hal ini diperparah dengan pola
komunikasi dengan warga pribumi yang terhambat, karena
sudah menganggap “merah” dan “kotor” warga Perumahan
Sosial Pecinan tersebut. Bahkan yang lebih parah ketika ada
barang-barang yang hilang dari pihak pribumi, selalu saja warga
pendatang (pecinan) dicurigai sebagai maling (pencurinya),
termasuk perempuan atau ibu-ibu yang belanja di pasar pun
selalu diawas-awasi dan dipandang sinis oleh warga pribumi.
Padahal sejak tinggal di perumahan Sosial Pecinan tersebut
mereka berangsur-angsur mulai menata hidupnya. Bahkan
juga pernah ada jamiyah tahlil Ibu-ibu yang dilaksanakan secara
rutin.
Sekali lagi, itulah derita nestapa yang dialami oleh warga
perumahan sosial khususnya perempuannya. padahal, dibalik
nestapa sosial kehidupan masyarakat miskin di perumahan
sosial Pecinan Hadipolo, sebenarnya terdapat perempuanperempuan kuat dalam turut berjuang mempertahankan
hidupnya. Semangat dan etos kerja yang tinggi dimiliki oleh
perempuan dan ibu-ibu warga perumahan sosial. selain sebagai
ibu dan istri, yang mengurusi urusan rumah tangga, mereka juga
mencari nafkah untuk keluarganya. Bahkan banyak juga mereka
yang sedang hamil besar pun pergi mengemis di perempatan
jalan, menjadi pemulung dan lainya.
Semangat juga ditunjukkan oleh warga perumahan sosial
pada saat pemilu, hal tersebut tampak dari jumlah pemilih yang
menggunakan haknya yang lumayan tinggi, “Pada saat pemilu,
disini ramai sekali, biasanya saya ke TPS dulu sebelum berangkat
kerja. Gimana ya..kami kan sering didatangi calon, kami juga
sering diberikan bingkisan-bingkisan, ya tidak enak kalau tidak
milih. Tapi kemarin sempat bingung soalnya calon yang kesini
banyak, dan memberi bingkisan semua. Akhirnya saya pilih
yang paling banyak memberi bingkisan ataupun uang, kalau
pemilihan presiden kemarin tidak ada yang memberi bingkisan
ataupun uang tapi saya memilih Bu Mega, saya memang senang
dengan Bu Mega, orangnya kalem, keibuan”, Ungkap Mak Y.
*****
325
326
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
4. Seorang Bidan
Kediaman Ibu ER yang berada di desa Hadipolo, Kudus terlihat
sepi. Hanya ada pembantu yang sedang membersihkan halaman
belakang rumah. Di sebelahnya ada klinik pondok bersalin Al Hikmah
Raharjo, milik Bidan ER yang buka 24 jam, setiap saat siap melayani
masyarakat.
****
Dinas sehari-hari saya di Puskesmas. Di luar itu, saya
menangani pondok bersalin ini. Sebelumnya saya pernah aktif
di PKK, tetapi sekarang sudah non aktif. Karena jadi bidan
itu sudah sangat sibuk. Waktu saya banyak tercurah di sana.
Sebenarnya ada keinginan aktif lagi, namun lagi-lagi waktu yang
membatasinya. Saya harus tunduk dengan jadwal jaga yang telah
ditentukan rumah sakit. Selain itu, suami saya sudah sibuk di
NU, Jika saya aktif di organisasi dan suami demikian, lalu siapa
yang merawat rumah dan anak. Saya khawatir perkembangan
anak saya tidak maksimal oleh karena tidak terawat dengan baik.
Sejauh yang saya amati, dalam sebuah rumah tangga suami dan
istri aktif berorganisasi, anak tidak terawat dan terlantar dalam
perkembangannya.
Pengalaman saya tentang pemilu, pada era Soeharto kata
orang banyak mengalami tekanan dan ancaman, tetapi saya
tidak merasakannya secara langsung. Pendapat orang berlainan,
yang saya yakini itu. Memang rasanya kita tidak ada masalah
apa-apa di permukaan, tetapi setelah kita tahu bahwa hutang
pemerintah sangat besar dan korupsi keluarga Soeharto meluas,
baru kita mulai merasa adanya penindasan terhadap rakyat. Tapi
selama soeharto harga sembakau memang murah dan hidup itu
rasanya nyaman.
Saya pernah menjadi panitia pemilihan di desa, yaitu
sebagai anggota. Itu terjadi pada masa Soeharto. Setelah itu
sampai sekarang, saya tidak pernah lagi menjadi panitia.
Sebetulnya saya cenderung tidak setuju dengan pemimpin
negara seorang perempuan. Dalam memimpin perempuan
belum dapat tegas, perasaan masih dilibatkan dalam mengambil
keputusan. Akibatnya, kebijakan yang diambil setengahsetengah, tidak tegas dan jelas. Seharusnya sesuai tuntunan
pemimpin negara adalah seorang laki-laki. Karena sudah di
ada ketetapannya di dalam Al Qur’an. Laki-laki adalah imam
POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN
(Siti Malaiha Dewi)
bagi semuanya. Sebetulnya tidak menutupi adanya keterlibatan
perempuan dalam memimpin, misalnya dalam organisasi
keperempuan, pemimpinnya memang harus perempuan, tetapi
dalam urusan negara, tidak bisa, lebih baik laki-laki.
Dampak secara langsung pemilu bagi pribadi saya tidak
ada. Karena pemilu kan untuk kemaslahatan orang banyak,
bukan untuk kepentingan pribadi. Maka jika ada orang
yang berjanji kepada saya mengiming-imingi sesuatu untuk
memilihnya, saya tolak. Sikap itu merupakan indikasi dari masa
depan pemimpin yang tak sehat. Seharusnya pemimpin itu
memikirkan kemaslahatan orang banyak, rakyat atau umat yang
dipimpinnya.
Bagi saya politik uang adalah seperti janji. Dalam
praktiknya ketika kita ditawari untuk memlilih dengan imbalan
tertentu, tidak boleh mendua. Artinya menerima satu amplop
saja. Karena ketika menerima, kita sebetulnya sudah berakad
janji. Saya terima uang Anda dan akan saya pilih calon yang
Anda sarankan. Namun, kenyatannya banyak orang yang
mendua bahkan berlipat-lipat menerima amplop. Menurut saya,
itu adalah perbuatan ingkar janji.
Meski saya memaknai demikian, tidak serta merta saya
menerima uang dari siapa saja calon yang berlaga, tetapi saya
selektif sesuai dengan apa yang akan saya pilih. Kalau saya
memaklumi politik uang. Segala sesuatu memang harus ada
ongkosnya. Termasuk dalam urusan politik. Justru tidak wajar
kalau mencapai sesuatu tujuan tanpa ada ongkosnya.
*****
Sikap-sikap yang diambil oleh perempuan-perempuan
di atas sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain:
perempuan kepala keluarga menolak politik uang karena adanya
pemahaman yang hampir sama bahwa politik uang sama dengan
suap atau dalam Islam disebut risywah. Risywah di dalam Islam
hukumnya haram sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW
bahwa orang yang menyuap dan menerima suap akan masuk
neraka. Dalam lafal bahasa arab berbunyi, “Arrasyi wal murtasyi
finnar”
Menurut keterangan KH. Syafiq Naschan, ketua MUI
Kabupaten Kudus, indikator suap dalam hal ini politik uang
adalah adanya penekanan tertentu ketika memberikan suatu
327
328
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
barang. Dengan kata lain, disimpulkan bahwa orang memberi
untuk memperoleh imbalan yang melanggar syariat. Barang
yang diberikan tidak hanya berupa uang, tetapi dapat berbentuk
barang kebutuhan sehari-hari, seperti beras, gula, minyak
goreng, bahkan pulsa. Sehingga konsepsi politik uang tidak
melulu mengasumsikan uang sebagai alat untuk membelokkan
hari nurani konstituen, tetapi bisa juga berupa barang lain yang
sesuai dengan kebutuhan konstituen.
Jika dikaitkan dengan kajian kepemimpinan Islam, politik
uang dapat menghalangi terselenggaranya pemilihan pemimpin
yang sesuai dengan ajaran Islam, yakni terpilihnya pemimpin
yang jujur, adil, tabligh, dan fatonah. Maka, di sini politik uang
mampu membelokkan niat konstituen untuk memilih pemimpin
yang sesuai dengan Islam, sehingga melenceng memilih
pemimpin yang bobrok moralnya, karena disuap.
Selain karena faktor pemahaman agama, penolakan yang
dilakukan perempuan atas politik uang juga dipengaruhi oleh
latar belakang pendidikan, yaitu sarjana dan status sosialnya
sebagai guru agama.
Status sosial juga mempengaruhi cara pandang seseorang
terhadap politik uang. Status adalah “A position or a place within
a set of relationship among people” atau posisi seseorang dalam
hubunganya dengan orang lain. Posisi ini sangat menentukan
peran seseorang, karena peran adalah the behavior generally
expected of one who occupies a particular status (G. Ritzer: 1987, 80).
Kedudukan Ibu AS mempengaruhi sikapnya dalam hal penolakan
politik uang. Tidak mungkin seorang guru yang mengajarkan
tentang pentingnya berperilaku jujur justru tidak jujur, dan
tidak mungkin seorang panitia pemilu yang mensosialisasikan
pelaksanaan pemilu yang jujur justru mengebiri kejujuran itu
sendiri. Jadi status sosial mempengaruhi cara pandang dan sikap
sesorang terhadap obyek tertentu.
Kelompok kedua yaitu mereka yang menerima politik
uang memaknai politik uang sebagai rejeki yang tidak mungkin
ditolak. Politik uang juga dimaknai sebagai bagi-bagi uang yang
memang harus dikeluarkan oleh seorang calon. Kelompok ini
berpikir sangat praktis. Kiranya ungkapan “Ada uang maka
timbul sayang”, cukup tepat menggambarkan cara pandang
mereka. Bagi mereka siapa yang memberi uang atau sejenisnya
maka akan menjadi pilihan politik mereka meskipun calon
POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN
(Siti Malaiha Dewi)
tersebut tidak dikenal. Cara pandang seperti ini disebabkan
oleh kondisi hidup mereka yang memang pas-pasan seperti
perempuan buruh rokok. Kondisi ini tidak berlaku bagi
pengemis, meski secara ekonomi lumayan, namun budaya instan
yang dimiliki pengemis maka uang menjadi faktor penentu
utama dalam pemilu Tahun 2009. Bagi mereka, pemilu tidak
akan berdampak langsung terhadap diri mereka, mereka harus
tetap kerja kalau ingin makan, dan ketika ada uang yang dibagibagikan, maka itu dianggap sebagai dampak langsung pemilu.
D. Kesimpulan
Mendengar suara perempuan adalah hal yang wajib
ketika akan menuju sebuah perubahan karena perempuan
selain secara kuantitas lebih banyak dari laki-laki, ternyata suara
perempuan sungguh luar biasa kalau didengar. Kalau selama
ini ada anggapan bahwa semua orang akan terpengaruh pada
politik uang pada saat pemilihan umum, ternyata tidak semua
orang demikian. Ada tiga kelompok perempuan mensikapi
politik uang. Kelompok pertama, bersikap menolak politik uang;
Kelompok kedua, menerima politik uang dan menjadikan uang
sebagai faktor penentu pilihan politiknya; Kelompok ketiga,
menerima politik uang tetapi tidak mempengaruhi pilihan
politiknya.
Untuk itu, berbagai pihak yang telibat dalam penciptaan
demokrasi yang jujur dan adil di negeri ini, hendaknya juga
mendengar definisi, pemahaman, dan sikap perempuan
terhadap politik uang, sebab apapun strategi yang digunakan
untuk memberantas politik uang akan sia-sia jika tidak berbasis
pada pendapat masyarakat secara seimbang antara laki-laki dan
perempuan.
329
330
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
SUMBER RUJUKAN
A. Buku
Adriana Venny, ”Pesta Demokrasi : Berkah atau Mimpi
Buruk” dalam Jurnal Perempuan No. 34 Politik dan
Keterwakilan Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan, 2004
Afan Gaffar, Politik Indonesia Menuju Transisi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005
Anang Santoso, Bahasa Perempuan Sebuah Potret Ideologi
Perjuangan, Jakarta: Bumi Aksara, 2009
Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana,
Jakarta: Kompas, 2005
Ani Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, Pengantar
Paling Komprehensif Kepada Arus Utama
Pemikiran Feminis, Yogyakarta: Jalasutra, 1998
Analisis Statistik Gender Kabupaten Kudus 2005, Kudus: BPS &
Bagian Sosial Setda Kabupaten Kudus, 2005,
C. Y. Marselina Nope, Jerat Kapitalisme Atas Perempuan,
Yogyakarta : Resist Book, 2005
Daniel Sparingga, Pemilu 2004 : Taksonomi Tema dan Isu
Relevan dalam Pemilu 2004 Transisi Demokrasi
dan Kekerasan, Yogyakarta : CSPS Books dan FES
Indonesia, 2004
Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, Jakarta :Yayasan
Jurnal Perempuan, 2003
George Ritzer, Kammeyer, Kenneth C.W & Yetman,
Norman R., Sociology Experiencing a Change Society.
Massachusetts : Allyn and Bacon, Inc, 1987
H. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2005
Henry A Berger, Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial,
Jakarta : CV. Rajawali, 1981
ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani,
Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah
Irwan Abdulah, Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pustaka
POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN
(Siti Malaiha Dewi)
Pelajar, 2003
Kamla Bhasin, Menggugat Patriarki Pengantar tentang Persoalan
Dominasi terhadap Kaum Perempuan, Jakarta : Yayasan
Bentang Budaya dan Kalyanamitra, 1996
Kukuh B. Nugroho dan Elza P Taher, Buku Pendidikan
Pemilu 2004 untuk Pemilih Pemula, Jakarta: Yayasan
Kelompok Kerja Visi Anak Bangsa, 2004
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : PT
Rosdakarya, 2004
Maria Ulfa, Nalar Politik Perempuan Pesantren, Cirebon:
Fahmina Institute, 2006
Mansour Fakih, pengantar dalam Julia Cleves Mosse, Gender
& Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajajar,
2004
Nur Iman Subono, Perempuan dan Partisipasi Politik,
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan dan The Japan
Foundation, 2003
Partini, “Potret Keterlibatan Perempuan dalam Pelayanan
Publik di Era Otonomi Daerah”, dalam JSP Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 7 No. 3, Maret
2004
Robert Bogdan dan Steven J. Taylor, Kualitatif Dasar-dasar
Penelitian, Terj. A. Khozin Affandi, Usaha Nasional,
Surabaya, 1993
Saptari, R. dan Holzner, B. Perempuan Kerja dan Perubahan
Sosial. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997
Saiful Arif, dkk, Demokrasi: Sejarah, praktik dan dinamika
Pemikiran, Malang, Averrous Press, 2006
Saifuddin Azwar, MA, Sikap Manusia Teori dan Pengukuranya,
Yogyakarta: Liberty, 1988
Simone De Beauvoir, The Second Sex Kehidupan Perempuan,
diterjemahkan oleh Toni B. Febriantono, dkk,
Pustaka Prometea, 2003
Siti Musdah Mulia & Anik Farida, Perempuan dan Politik,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama kerjasama
LKAJ dan The Asia Foundation, 2005
Sunyoto Usman. Sosiologi ; Sejarah, Teori dan Metolologi,
Yogjakarta : CIReD, 2004
331
332
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Water R. William, Kehidupan Orang Jawa, Wanita dan Pria
dalam Masyarakat Indonesia Modern, (terj) Jakarta: PT
Pustaka Binaman Pressindo, 1995
B. Sumber lain
http://arrosyadi.wordpress.com
www.mamboportal.com
http://dinamika.uny.ac.id
www.digilib.umm.ac.id
http://id.wikipedia.org/wiki/Feodalisme
Radar Kudus_JAWA POS
Suara Pembaharuan Jakarta
Jurnal Studi Gender Palastren, Volume 2
Media Indonesia,
Laporan Penyelenggaraan Pemilu, KPU Kudus, Tahun 2008
RISE T
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK
Moh. Rosyid*)
ABSTRACT: This research covers how is the political life of
Samin women. It also tries to answer what are factors which
influence them to implement the traditional beliefs in their
political life. The researcher uses some alternative models
to undertake this research, such as ethnomethodology,
ethnography, grounded, and phenomenology. The data are
analyzed by using qualitative approach to understand the
social activities of Samin women in Kudus in terms of general
election. It is found that Samin women are very active in
their political life. Their activeness are influenced by some
factors such as: from theirselves, from their husbands and
from the Samin leaders.
Keywords: Political act, Samin’s women, Election.
A. Pendahuluan
Pada esensinya manusia beragama ingin meraih
kesuksesan hidup di dunia dan akhirat, kondisi lahir dan
batin yang tenteram dan damai. Hal tersebut tercipta karena
ajaran yang terkandung dalam agama sebagai bekal menuju
pengharapan hidup ideal. Meskipun demikian, dalam tataran
realitas -memegangi ajaran agama secara utuh- tak ubahnya
memegang bara, sehingga sering dilepaskan oleh si pemegang.
Jika agama dapat dijadikan tempat berpijak, tentunya kehidupan
ini tidak terjadi konflik. Tetapi berdasarkan penelitian penulis
dengan komunitas Samin Kudus memunculkan pemahaman riil
bahwa kehidupannya dan keberagamaannya layak dicontoh,
tidak sebagaimana anggapan publik yakni komunitas yang
terbelakang, instrovet, dan simbol negatif lainnya. Mereka
)
Penulis adalah Dosen Jurusan Da’wah STAIN Kudus.
334
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
meyakini beragama Adam, meskipun keberagamaannya,
versi pemerintah RI dikategorikan aliran kepercayaan. Hal
tersebut merambah pada tataran realitas kehidupan sehari-hari,
khususnya dalam praktik menjadi pemilih dalam pemilihan
kepala desa (pilkades tahun 2007), pemilihan Bupati Kudus
(pilbup tahun 2008), pemilihan Gubernur Jateng (pilgub tahun
2008), pemilu legislatif (pilleg bulan April tahun 2009), dan
pemilu presiden (pilpres bulan Juli tahun 2009).
Perolehan data awal yang digali penulis mereka berpegang
teguh dengan prinsip ajarannya, seperti, ketika bersepakat
menjadi pemilih salah satu calon legislatif, di lain kesempatan,
mendapatkan tawaran oleh calon legislatif lainnya, ia menolak
karena merasa telah berjanji dengan caleg pertama, meskipun
komunitas Samin tersebut diteror secara psikis oleh caleg
kedua. Begitu pula dalam pemilihan Bupati Kab.Kudus dan
Gubernur Jawa Tengah tahun 2008, mereka satu komando yang
dimotori oleh tokohnya yang didominasi merasa mendapatkan
kepercayaan pihak lain (siapa saja dianggap saudara) dengan
datang langsung ke rumahnya, mengungkapkan keinginannya
sebagai pemilih, bukan karena money politic. Hal tersebut sebagai
bentuk etika berpolitik praktis imbas keberagamaan lokalnya.
Penelitian ini akan meneliti kiprah perempuan
Samin Kudus dalam berpolitik karena perempuan baik
dalam komunitas Samin maupun non-Samin dalam konteks
masyarakat tradisional (dianggap) tidak responsif terhadap
kebijakan negara karena pada umumnya hidupnya tergantung
’instruksi suami’. Terdapat tiga permasalahan dalam penelitian
ini: (1) Bagaimanakah praktik berpolitik bagi perempuan Samin
Kudus? (2) Faktor apakah yang mengendalikan diri komunitas
Samin dalam memegangi prinsip leluhurnya dan diaplikasikan
dalam praktik politik?, (3) Bagaimanakah respon pemerintah dan
lingkungan terhadap perilaku politik komunitas Samin Kudus?
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perilaku
politik perempuan dalam masyarakat Samin Kudus, untuk
mendalami faktor yang mengendalikan diri komunitas Samin
dalam memegangi prinsip leluhurnya dan diaplikasikan dalam
praktik politik, dan untuk memahami respon pemerintah dan
lingkungan terhadap perilaku politik komunitas Samin Kudus.
Untuk memotret perilaku politik perempuan Samin
Kudus, penelitian ini akan mendasrakan pada konsep politik
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK
(Moh. Rosyid)
dan karakteristik masyarakat Samin.
1. Konsep Politik
Menurut Budiardjo (1992) konsep pokok politik meliputi
negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan, dan
alokasi (kekuasaan), sedangkan menurut Gani (1987), obyek
politik meliputi negara, kekuasaan, pemerintahan, fakta politik,
kegiatan politik, dan organisasi masyarakat (Eko, 2008:60).
Dalam naskah ini terfokus kegiatan politik praktis perempuan
Samin Kudus berupa pemilihan kepala desa (pilkades tahun
2007), pemilihan bupati (pilbup tahun 2008), pemilihan gubernur
(pilgub tahun 2008), pemilu legislatif (pilleg bulan April tahun
2009 yang lalu), dan pemilu presiden (pilpres bulan Juli tahun
2009).
2. Masyarakat Samin
Untuk mendalami keberadaan masyarakat Samin Kudus,
perlu membahas awal munculnya istilah Samin, karakter aktivitas,
prinsip ajaran dan prinsip hidup, dan faktor kemunculan dan
penyebaran Samin di Kota Kudus.
a. Awal Munculnya Gerakan Samin
Sejarah munculnya gerakan Samin pada tahun
1890-an, menurut antropolog Amrih Widodo, merupakan
fenomena sosial yang tertua di seluruh Asia Tenggara, sebagai
gerakan petani-protonasionalisme yang semakin mekar
akibat ditancapkannya cengkeraman kekuasaan pemerintah
kolonial pada akhir abad ke-19 (Kompas, 1/8/2008). Gerakan
Samin pada esensinya gerakan perlawanan petani terhadap
kebijakan Belanda yang menindas rakyat kecil, sehingga
keberadaannya pun menyimpan hipotesa: pertama, menurut
Soerjanto (2003:51) akibat merosotnya kewibawaan penguasa
pribumi di era penjajahan Belanda berbentuk ritualisme,
mistisisme, dan isolasi diri, Kedua, bentuk pertentangan
terhadap penjajah Belanda dengan menolak membayar
pajak karena pajak untuk penjajah, bukan untuk bangsa
pribumi dan gerakannya disebut “sirep” yakni gerakan tanpa
bersenjata karena tidak ingin terjadi pertumpahan nyawa,
tidak ingin terjadi perseteruan fisik, dan dengan cara sabar
(Kardi, 1996:1), Ketiga, tahun 1840 melawan penjajah dengan
335
336
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
cara ekspresif membuat pasukan (gerombolan), merampok
warga pribumi kaya karena mengikuti penjajah, untuk
dibagikan pada warga pribumi miskin, menamakan dirinya
“Tiyang Sami Amin”, Keempat, gerakan pertempuran
fisik mengumpulkan pemuda dengan ilmu kanuragan,
ilmu kekebalan, dan olahbudi untuk mengusir penjajah
(Kardi,1996:2), Kelima, oleh Belanda semula dianggap
sebagai ajaran kebatinan embrio munculnya agama baru, dan
keenam, faktor tergesernya status sosial kalangan pribumi
akibat penerapan pajak dan penyerahan hasil pertanian pada
penjajah Belanda sehingga muncul reaksi emosional untuk
melawan (Faturrahman, 1998:20).
b. Awal Munculnya Istilah Samin
Terdapat beberapa versi istilah Samin, pertama, sebagai
kata yang memiliki pengertian/bermakna “sama” yakni
bersama-sama membela negara melawan penjajah Belanda,
kedua, diilhami nama tokohnya Samin Surosentiko atau
Raden Surowidjojo (nama ketika tua), Raden Surontiko atau
Raden Suratmoko (nama kecil), putra Bupati Tulungagung.
Nama Samin bermakna: “sami-sami amin” mempunyai
arti: jika semua setuju maka dianggap sah (sama) sebagai
bentuk dukungan dari rakyat (Kardi, 1996:2), ketiga, Samin
bermakna Sami Wonge (sama orangnya) maksudnya, kita
bersaudara diilhami dari prinsip hidupnya, keempat, nama
Suku di Jateng, antara lain Samin, Jawa, Karimun, dan
Kangean (Sigar, 1998:1), kelima, Samin atau Saminisme
adalah anggapan orang Jawa pesisir yang hidup di daerah
pinggiran (Endraswara,1999:17), dan keenam, dalam versi
dongeng rakyat, kata Samin muncul sebelum Samin Surontiko
ada, ketika masyarakat di lembah Sungai Bengawan Solo
dari Suku Kalang yakni bekas para Brahmana, pendeta, dan
sarjana Majapahit di akhir pemerintahan Brawijaya V yang
menyingkir dari Majapahit (Soerjanto,2003:78), meskipun
versi tersebut bertolak belakang bahwa keberadaan Samin di
Bengawan Solo merupakan usaha R.Surowidjojo memperluas
daerah perlawanan terhadap Belanda sejak tahun 1840
(Winarno, 2003:56).
Istilah Samin diplesetkan masyarakat umum dengan
kata ‘nyamen’ diidentikkan dengan menyalahi tradisi.
Menurut masyarakat Samin, kata ‘Samin’ memiliki pengertian
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK
(Moh. Rosyid)
“sama” yakni bila semua anak cucu dapat bersama-sama
bersatu membela negara dan menentang penjajah, maka
diperoleh kesejahteraan (Kardi, 1996:1). Istilah Samin digeser
pengikutnya, dengan asumsi istilah tersebut bertendensi
negatif, sehingga kelompok Samin menamakan diri Sedulur
Sikep dilatarbelakangi pertimbangan, pertama, mendapat
tekanan dari penjajah Belanda, dipimpin seorang petani, Ki
Samin Surosentiko (Raden Kohar) semula pujangga Jawa
pesisiran pasca-Ronggowarsito menyamar sebagai petani
menghimpun kekuatan melawan Belanda. Pada tahun
1890 mengembangkan ajaran Samin di Desa Klopodhuwur,
Blora, Jawa Tengah dan pada tahun 1905 setelah banyaknya
pengikut, mengadakan perlawanan terhadap Belanda.
Namun pada tahun 1907 Ki Samin Surosentiko diculik
Belanda dibawa ke Rembang beserta delapan pengikutnya
selanjutnya dibuang di Sawahlunto, Padang, Sumatera Barat
dan wafat pada tahun 1914(sebagai tawanan) (Dhewanti,
2004:124). Dengan action itulah, istilah Samin dianggap
kelompok pembangkang oleh Belanda dan meluas pada
masyarakat umum. Agar image negatif tersebut tidak
menempel pada generasi sekarang ini, penggantian julukan
dipandang penting. Kedua, julukan yang diberikan oleh
aparat desa di wilayah Blora bagian selatan dan wilayah
Bojonegoro pada tahun 1903-1905 (sebagai embrio Samin)
karena tindakan Samin yang menentang aparat desa (di era
penjajahan Belanda) dengan cara tidak membayar pajak dan
memisahkan diri dengan masyarakat umum (Faturrahman,
2003), dengan penolakan itulah muncul kata nyamin,
ketiga, sebagai wujud simbolisasi penamaan diri dengan
filosofi bahwa munculnya kelahiran-kehidupan manusia
berawal dari proses “sikep” atau berdekapan (Jawa: bentuk
hubungan seksual suami-istri) atau proses menanak nasi
secara tradisional adalah melalui proses “nyikep”, dengan
nasi dapat dijadikan modal mempertahankan kehidupan,
dan keempat, menurut analisis seorang antropolog, Amrih
Widodo, kata ‘sikep’ merupakan cara melawan atau
menghindari penamaan dengan kata ‘Samin’ akibat konotasi
negatif yang dilekatkan pada kata tersebut (Samin) selama
bertahun-tahun, terutama ketika wacana Saminisme makin
dipisahkan dari semangat gerakan perlawanan petani.
Pemasungan kata ‘Samin’ dan ‘Saminisme’ dari konteks
sejarah perlawanan merupakan dampak kebijakan politik
337
338
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
kebudayaan dan hegemoni developmentalisme pada rezim
Orde Baru (Kompas,1/8/2008).
c. Karakter Aktivitas
Karakter aktivitas yang dilakukan seorang Samin
dipilah, pertama, Samin Sangkak; masyarakat Samin yang jika
berinteraksi dengan pihak lain dalam memberikan jawaban
menggunakan kirotoboso. Misalnya: teko ngendi, dijawab:
teko mburi (dari mana?, dijawab: dari belakang). Lungo ngendi,
dijawab: lungo ngarep (dari mana?, dijawab: ke depan). Kedua,
Samin Ampeng-ampeng atau Samin Grogol; yakni mengaku
Samin, perilakunya tidak sebagaimana ajaran Samin atau
jika berbicara seperti Samin (sangkak) perilakunya tidak
seperti Samin sejati. Ketiga, Samin Samiroto, mengaku Samin,
akan tetapi serba bisa, menjadi Samin sebenarnya sekaligus
dapat juga mengikuti adat non-Samin, dan keempat, Samin
Sejati atau dlejet; Samin yang berpegang pada prinsip Samin
sebenarnya (Rosyid, 2008).
Dalam konteks masa lalu, karakter tersebut bentuk
perlawanan terhadap penjajah Belanda. Keberadaan
warga Samin dalam berinteraksi dengan warga non-Samin
menggunakan satu atau ketiga karakter aktivitas tersebut
yang dilatarbelakangi pola pandang dirinya terhadap
kemajuan era. Di antara pengikut Samin jika mengetahui
sejawatnya melaksanakan satu di antara keempat aktivitas
tersebut, mereka berujar tanggung dulur ora tanggung karep
(Rosyid, 2008).
d. Prinsip Ajaran Samin Kudus
Samin sebagai pegangan dan keyakinan hidup
memiliki prinsip ajaran berupa prinsip dasar, prinsip
pantangan (larangan) dasar, dan prinsip hidup.
1) Prinsip Dasar Ajaran Samin Kudus
Ajaran Samin mempunyai enam prinsip dasar
dalam beretika berupa pantangan untuk tidak Drengki;
membuat fitnah, Srei; serakah, Panasten;mudah tersinggung
atau membenci sesama, Dawen; mendakwa tanpa bukti,
Kemeren; iri hati/syirik, keinginan untuk memiliki barang
yang dimiliki orang lain, Nyiyo Marang Sepodo;berbuat nista
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK
(Moh. Rosyid)
terhadap sesama penghuni alam, Bejok reyot iku dulure,
waton menungso tur gelem di ndaku sedulur (menyia-nyiakan
orang lain tidak boleh, cacat seperti apapun, asal manusia
adalah saudara jika mau dijadikan saudara). Sedangkan
lima pantangan dasar dalam berinteraksi meliputi bedok;
menuduh, colong; mencuri, pethil; mengambil barang (barang
yang masih menyatu dengan alam atau masih melekat
dengan sumber kehidupannya) misalnya: sayur-mayur
ketika masih di ladang, Jumput; mengambil barang (barang
yang telah menjadi komoditas di pasar) misalnya: beras,
hewan piaraan, dan kebutuhan hidup lainnya, nemu Wae Ora
Keno; menemukan menjadi pantangan (Rosyid, 2008).
Adapun ajaran dasar dalam berprinsip diri meliputi:
kudu weruh te-e dewe, lugu, mligi,lan rukun (Rosyid, 2008).
Kudu Weruh the-e dhewe; harus memahami barang yang
dimilikinya dan tidak memanfaatkan milik orang lain.
Maksudnya pantangan bagi Samin untuk memanfaatkan
hak milik orang lain, baik sengaja atau tidak sengaja dalam
menggunakannya. Lugu; yakni bila mengadakan perjanjian,
transaksi ataupun kesediaan dengan pihak lain; jika sanggup
mengatakan ya, jika tidak sanggup atau ragu mengatakan
tidak. Hal ini menggambarkan Samin tidak mengenal istilah
kira-kira (perkiraan kesanggupan). Kecuali jika pada saat
menepati janji menghadapi kendala yang tidak diduga,
seperti sakit. Mligi; taat pada aturan yang ada berupa prinsip
beretika dan prinsip berinteraksi. Doktrin yang dipegang
oleh Samin melalui indoktrinasi prinsip dasar mligi, sehingga
ajaran dan prinsip pantangan dasarnya senantiasa dipegang
erat sebagai bukti keseriusan dan ketaatan memegangi
ajarannya. Di antara aturan yang tidak boleh dilanggar adalah
judi karena dianggap sebagai faktor pemicu menurunnya
semangat kerja dan hubungan seks bebas karena bukan
haknya. Rukun dengan siapa saja, sehingga menumbuhkan
solidaritas yang tinggi oleh kelompok Samin terhadap siapa
saja yang dijumpai.
Ajaran dasar dalam berprinsip itulah yang membedakan
dengan komunitas non-Samin dalam berpartisipasi politik,
sebagaimana data awal yang digali penulis dari obyek
penelitian.
339
340
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
2) Pantangan Dasar Ajaran Samin Kudus
Adapun lima pantangan dasar ajaran Samin meliputi:
tidak boleh mendidik dengan pendidikan formal, tidak boleh
bercelana panjang, tidak boleh berpeci, tidak diperbolehkan
berdagang, dan tidak diperbolehkan beristri lebih dari
satu. Pertama, tidak diperbolehkan mendidik anak melalui
pendidikan formal (sekolah), anak hanya dibekali pendidikan
informal (pendidikan yang dilakukan kedua orangtuanya
sendiri dalam rumah tangganya) bermaterikan prinsip dasar
beretika. Tidak aktif pada pendidikan formal, menurut
analisis penulis bertujuan jika melaksanakan pendidikan
formal, maka merangsang anak untuk membaca dan
menulis, padahal kedua kemampuan itu mengarahkan dan
merangsang anak untuk memenuhi syarat formal menjadi
pekerja di luar pertanian, imbasnya anak akan bekerja di
luar pantauan orang tua dan timbul suatu harapan untuk
melepaskan ikatan kekeluargaan dan jika melaksanakan
pendidikan formal berdampak komunikasi dengan
masyarakat umum dengan luas, maka anak akan mudah
terangsang dengan budaya yang selama ini dijauhi oleh
Samin, misalnya, nikah dengan orang selain pengikut Samin.
Kedua, tidak diperbolehkan bercelana panjang, hal ini untuk
membedakan asesori pakaian yang dipakai oleh Belanda
dengan pengikut Samin yakni mengenakan udeng (ikat
kepala), suwal/tokong (celana pendek tepat di bawah lutut),
bhebhet (sarung), pakaian berupa baju atau kaos sebagaimana
masyarakat umumnya, dan warna pakaian kebesarannya
adalah hitam ketika memenuhi acara pirukunan. Ketiga,
tidak diperbolehkan berpeci, hal ini dikarenakan pengikut
Samin mempunyai identitas pakaian (asesoris) yang melekat
pada kepala berupa udeng (iket kepala) yang dipakai ketika
acara resmi maupun menghadiri undangan tetangga yang
bukan pengikut Samin. Jika masyarakat Samin berada
di sawah mereka mengenakan penutup kepala berupa
caping atau topi pet lazimnya masyarakat petani Kudus
(nonSamin). Keempat, tidak diperbolehkan berdagang, hal
ini mengandung pesan bahwa seseorang yang berdagang
akan meraih untung/hasil. Laba yang diperoleh dalam
proses penjualan tersebut versi Samin dianggap merugikan
pihak lain. Apabila terpaksa melakukan transaksi penjualan,
maka harga harus lebih rendah dibanding ketika belanja
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK
(Moh. Rosyid)
semula, dan kelima, tidak diperbolehkan beristri lebih dari
satu, menurutnya membuka kesempatan terjadi konflik
keluarga, sehingga dijauhi.
Meskipun prinsip dan pantangan dasar ajaran
Samin secara normatif adalah ajaran ideal, tetapi dalam
tataran realitas, bukan berarti orang (yang mengaku) Samin
dapat selalu melaksanakan secara utuh dilatarbelakangi oleh
diri manusia yang dibekali nafsu duniawiah yang kadangkala
menafikan ajaran secara utuh. Hal ini terlihat dalam bentuk
tipologi Samin meliputi Samin Sangkak; masyarakat Samin
jika berinteraksi menggunakan kirotoboso. Misalnya: teko
ngendi, dijawab: teko mburi (dari mana?, dijawab: dari
belakang), lungo ngendi, dijawab: lungo ngarep (ke mana?,
dijawab: ke depan), Samin Ampeng-ampeng, mengaku Samin,
perilakunya tidak Samin atau jika berbicara seperti Samin
(sangkak) perilakunya tidak seperti Samin sejati, Samin Sejati/
dlejet; Samin berpegang prinsip seutuhnya, Samin Samiroto,
Samin yang memudahkan prinsip, ingin mengikuti budaya
luar Samin (Rosyid, 2008).
3) Prinsip Hidup SAMIN Kudus
Prinsip dasar hidup yang dipegangi masyarakat
Samin terdapat tiga fondasi pokok meliputi seger waras
(sehat sentosa), rukun, dan becik-apek sak rinane sak wengine.
Pertama, Seger waras (sehat sentosa); Prinsip ini sangat tinggi
nilainya dalam takaran kesejahteraan hidup manusia, karena
tanpa adanya aspek sehat sentosa hidup ini tidak sempurna
dan tidak akan mencapai sejahtera. Karena sehat sentosa
adalah kebutuhan pokok yang tidak dapat ditawar dengan
materi lain. Hal ini peneliti saksikan ketika bertandang ke
rumah Samin selalu menjadi bahan pertanyaan pertama
adalah kondisi kesehatan peneliti beserta keluarga peneliti.
Kedatangan peneliti (diharapkan) untuk menengok kesehatan
keluarga Samin dan akhirnya saling mendoakan. Kedua,
rukun merupakan aktivitas kedua yang dijadikan prinsip
hidup Samin setelah menggapai sehat sentosa, karena rukun
pun merupakan kebutuhan asasi yang sangat penting untuk
menggapai kebahagiaan individu dan masyarakat bahkan
skala internasional. Hal ini pun yang dijadikan argumen
Samin untuk berkumpul dalam satu lingkungan rumah
tangga, dan ketiga, Becik- apek sak rinane sak wengine (baik, di
341
342
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
saat siang dan malam hari).
Dengan demikian, prinsip ajaran, prinsip hidup, dan
pantangan dasar Samin tidak melarang berpolitik, bahkan
keikutsertaannya dalam berpolitik (pemilu) sejak pertama
kali pemilu diadakan hingga kini.
4) Faktor Kemunculan Samin di Wilayah Kudus
Munculnya masyarakat Samin di Kudus karena
beberapa faktor, Pertama, secara geografis berdekatan dengan
wilayah Kab. Pati yang menjadi basis berkembangnya Samin
selain di Blora, misalnya Dukuh Bombong, Ngawen, Galiran,
dan Sukolilo hingga kini. Kedua, karena faktor geografis
desa ’Samin’ berada di pedesaan, sesuai “teori gelombang
dalam bejana” semakin jauh dari titik gelombang, getaran
gelombang makin tipis dan mengecil, sehingga imbas
pembangunan “sedikit” terbatas dibandingkan dengan
wilayah yang dekat dengan pemerintahan. Meskipun akhir
tahun 2009, pembangunan infrastruktur desa (jembatan) kian
nampak di Dukuh Kaliyoso, Desa Karangrowo, Undaan,
Kudus. Hal ini sederap dua bentuk sindrom pedesaan (rural
syndrome) yakni (a) sindrom kemiskinan karena produktivitas
rendah, adanya pengangguran, banyaknya penduduk yang
tuna-tanah, kurang gizi, dan banyaknya buta huruf (b)
sindrom inertia berupa passivisme, fatalisme, serba patuh, dan
ketergantungan (interdependence). Sindrom tersebut akibat
terbatasnya pemanfaatan sumber daya manusia (SDM)
dan sumber daya alam (SDA), adanya feodalisme, sikap
dan sistem kepercayaan yang masih berakar pada magi
(Kartodirjo, 1996:74). Meskipun desa memiliki dua potensi
yakni (a) unsur sumber daya sosial budaya berupa tingginya
kepercayaan pada pimpinan, fanatisme ideologi, dan
kokohnya memegang lembaga desa dan (b) sumber daya
manusiawi di pedesaan berupa tenaga (energy) yang all round
(siap pakai), loyal pada pimpinan, berorganisasi dengan
kokoh, tersusunnya lembaga desa yang valid, tersedianya
keterampilan alami (latin), dan tersedianya teknologi (yang
belum dikelola) (Kartodirjo, 1994:163). Sumber daya tersebut
tidak dimanfaatkan secara maksimal karena kepemimpinan
di desa jauh dari nuansa berpikir prospektif ke depan
karena dominasi lingkungan pedesaan yang tergantung
pada keramahan pertanian. Ketiga, pembangunan bidang
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK
(Moh. Rosyid)
keagamaan (agama ’pancasila’) yang kurang maksimal di
kampung ‘Samin’, jika dibandingkan wilayah Kudus yang
memiliki beberapa lembaga keagamaan (pesantren) dan
terdapat beberapa tokoh kharismatik yang membidangi
ilmu agama. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Cermin (Central Riset dan Manajemen Informasi) Kudus (2005)
bahwa di Kota Kudus terdapat 86 pondok pesantren dengan
tipologi keilmuan pesantren. Tetapi karena keterbatasan
sarana dan kiprah agamawan di desa ’Samin’, hal tersebut
mendukung berkembangnya “budaya dan agama Samin”
karena di desa tersebut tidak terdapat satu pun pondok
pesantren, dan keempat, kehidupan masyarakat di sekitar
warga Samin berada adalah permisif, maksudnya, menerima
(responsif) jika terdapat sekte atau komunitas lain asalkan
tidak mengganggu kenyamanan sosial (Rosyid, 2008).
5) Penyebaran Samin Kudus
Benang merah penghubung dan penyebar ajaran
Samin di Kudus tidak terlepas dari kiprah Bapak Sosar
(warga Desa Kutuk), Bapak Radiwongso (warga Dukuh
Kaliyoso), Bpk. Amat Ngargono (warga Duku Mijen, Desa
Bulungcangkring), dan Bapak Proyongaden (warga Desa
Larekrejo) dengan pembawa ajaran Samin masa lalu yang
dilatarbelakangi faktor pertemanan.
Penyebaran ajaran Samin di Kudus terdapat beberapa
versi pertama, Samin Kudus berasal dari Desa Klopodhuwur
Kab.Blora, Jateng, tahun 1890, ketika Sosar, Radiwongso,
Amat Ngargono, dan Bapak Proyongaden bertemu dengan
Bpk. Surondiko. Meskipun sumber sejarah tidak menyajikan
tahun kedatangan dan penyebarannya. Kedua, ajaran Samin
berasal dari Desa Randublatung, Blora, Jawa Tengah yang
dimotori oleh Surowijoyo, diteruskan putranya Surosentiko
bertemu dengan Sosar (warga Desa Kutuk), Radiwongso
(warga Dukuh Kaliyoso Desa Karangrowo), Proyongaden
(warga Desa Larekrejo), dan Amat Ngargo (warga Dukuh
Mijen, Desa Bulungcangkring), sehingga terjadi komunikasi
dan memunculkan Samin di Kudus, Ketiga, menurut analisis
Soerjanto (2003:19) ajaran Samin datang di Desa Kutuk, Kudus
melalui Ki Samin Surowijoyo dari Randublatung, Blora,
Jateng, membawa kitab “Serat Jamus Kalimasada” berbahasa
Jawa kuno berbentuk sekar macapat dan prosa (gancaran).
343
344
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Meskipun sumber ini tidak melengkapi data siapakah
personil yang membawa kitab tersebut, dan keempat,
ekspansi yang dilakukan oleh R.Kohar untuk membangun
pusat perlawanan terhadap Belanda (Winarno,2003:57),
dan kelima, ajaran Samin di Kudus tahun 1916 dibawa
oleh pengikut Samin Surosentiko (Suripan, 1996:16) diawali
kegagalan ekspansi di daerah Tuban (Faturrahman, 2003:19).
Hingga sekarang, ajaran Samin di Desa Kutuk diteruskan
Bpk. Sukari, di Dukuh Kaliyoso sebagai sesepuh adalah
Bapak Wargono yang meneruskan ketokohan Bpk. Sumar,
dan di Desa Larekrejo sebagai sesepuhnya Bapak Santoso
yang meneruskan ketokohan Bpk.Sakam yang wafat tahun
2006.
Jalur penerimaan ajaran Samin di Desa Larekrejo,
Kec. Undaan. Kab. Kudus kiprah Surosentiko, Surokidin,
Proyongaden, yang diteruskan oleh Towijoyo, Kastohadi,
dan Kasrani. Tidak sebagaimana silsilah yang dibuat penulis
dalam buku Samin Kudus Bersahaja di tengah Asketisme
Lokal (2008) yakni Suronggono, Surosentiko, Surokidin,
Proyongaden, dan diteruskan oleh Towijoyo, Kastohadi, dan
Kasrani.
B. Metode Penelitian
Berdasarkan bidang keilmuan dikategorikan penelitian
yang berobjekkan fenomena sosial-budaya (masyarakat) Samin
Kudus yang merespon kebijakan pemerintah dalam ikut serta
pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades tahun 2007),
pemilihan bupati (pilbup tahun 2008), pemilihan gubernur
(pilgub tahun 2008), pemilu legislatif (pilleg bulan April tahun
2009 yang lalu), dan pemilu presiden. Sedangkan metode analisis
yang digunakan adalah kualitatif karena memahami perilaku
sosial berdasarkan perspektif masyarakat Samin Kudus dalam
memenuhi hak asasi di bidang politik praktis yakni pemilu.
Menurut Nana (2006:53) analisis kualitatif dipilah menjadi dua
yakni interaktif dan noninteraktif. Interaktif meliputi etnografis,
historis, fenomenologis, studi kasus, teori dasar, dan studi
kritis, sedangkan noninteraktif meliputi analisis konsep, analisis
kebijakan, dan analisis historis. Dalam naskah ini terfokus pada
interaktif etnografis.
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK
(Moh. Rosyid)
Penelitian ini dikategorikan penelitian terapan dengan
tujuan memahami peran serta masyarakat Samin Kudus di bidang
pemilihan umum. Adapun metode penelitian ini terpetakan
atas ciri khas penelitian budaya, penentuan latar penelitian,
pemilihan lokus, strategi pengumpulan data, teknik penentuan
informan, dan satuan kajian (unit analisis), teknik analisis data,
keterandalan dan kesahihan data.
1. Ciri Khas Penelitian Budaya
Penelitian ini mengulas ciri khas penelitian budaya
karena sebagian penelitian ini mengulas seputar budaya
masyarakat Samin Kudus yang menjadi sikap politik
Samin. Menurut Featherstone dalam Irwan (1999) terdapat
tiga konteks kebudayaan yang perlu diperhatikan oleh
peneliti budaya yakni produksi kebudayaan, sociogenesis kebudayaan, dan psicho-genesis. Pertama, produksi
kebudayaan diasumsikan dua, pertimbangan pelaku
budaya dan ketertarikan. Jika kebudayaan mendapatkan
respon dari pelaku budaya, maka muncul kebudayaan baru,
jika kebudayaan mendapatkan daya tarik, muncul inovasi.
Kedua, socio-genesis kebudayaan bahwa kebudayaan akan
terikat oleh lingkup (boundary) yang mengitarinya. Lingkup
sosial akan menciptakan produk budaya yang lain, karena
di antara unsur sosial budaya tersebut merasa saling terkait,
bahkan saling ketergantungan kepentingan. Ketiga, psichogenesis kebudayaan. Kebudayaan yang tumbuh secara
alamiah karena memenuhi kebutuhan batin manusia yang
kadangkala jauh dari kepentingan materiil (Endraswara,
2006:24). Dalam konteks masyarakat Samin Kudus, faktor
psikogenesis dominan karena kebudayaan masyarakat
Samin Kudus tumbuh alamiah didominasi kebutuhan
batin yakni memenuhi prinsip leluhurnya. Dalam analisis
Endraswara (2006:78) ciri khas penelitian kebudayaan adalah
(i) latar penelitian biasanya spesifik dengan mengungkapkan
permasalahan unik dan tertentu, (ii) biasanya penelitian
budaya mengarah pada konteks lapangan (field research), (iii)
rancangan penelitian lentur yang sangat ditentukan oleh
kondisi lapangan (data), (iv) data dianalisis sejak penggalian
data hingga analisis data, (v) penelitiannya bersifat
sementara, mudah berubah, dan sangat lokatif, (vi) penelitian
budaya mencari trasferbalitas antarfenomena bukan mencari
345
346
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
generalisasi atau rumusan umum, dan (vii) penelitiannya
bersifat holistik, integratif, dan interaktif, bukan parsial.
Masyarakat Samin Kudus dijadikan penelitian budaya
memenuhi ciri khas penelitian budaya sebagaimana analisis
Endraswara yakni dalam tataran spesifikasi dan konteks
lapangan, mengungkapkan permasalahan tertentu yakni
keaktifan masyarakat Samin dalam mengikuti pelaksanaan
pemilu yang benar-benar ngugemi prinsip keSaminannya,
sehingga rancangan penelitian ini lentur karena ditentukan
kondisi lapangan (data) dan peneliti menggali dan
menganalisisnya secara utuh. Penelitian ini mengalami
perubahan dalam hal menggali data, maksudnya semakin
banyak data dan tajamnya analisis, besar peluangnya
diperoleh hasil penelitian yang lebih baik. Adapun penelitian
ini mencari transferbalitas antarfenomena yang bersifat
holistik, integratif, dan interaktif dengan berbagai teori yang
ada dan penggalian data secara utuh.
2. Ciri Khas Penelitian Politik
Berdasarkan klasifikasi Unesco, ruang lingkup kajian
politik meliputi teori politik, lembaga politik, partai politik,
dan hubungan perpolitikan (Eko, 2008:62). Dengan demikian,
ciri khas penelitian politik adalah jika satu klasifikasi kajian
politik tersebut menjadi obyek telaah. Dalam naskah ini
terfokus pada telaah hubungan politik antara pelaku
politik dengan pemilih (partai atau tokoh) politik. Pelaku
politik berupa partai politik dan tokoh (penguasa) politik,
sedangkan pemilih (politik) nya adalah masyarakat Samin
Kudus. Menurut Eko (2008:63) pendekatan dalam kajian
politik terpilah dalam tiga hal, tradisional (historis, legalistis,
dan institusional), behavioral (tingkah laku pelaku politik),
dan postbehavioral (kajian keilmuan politik). Dalam naskah
ini terfokus pada tingkah laku pemilih (perempuan Samin
Kudus).
3. Penentuan Latar Penelitian
1) Kerangka Teoretik
Pada dasarnya desain penelitian budaya menurut
Endraswara (2006:97 terdapat beberapa alternatif yakni
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK
(Moh. Rosyid)
etnometodologi (analisis wacana), etnografi, grounded,
dan fenomenologi. Adapun kerangka teori yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teori grounded, etnografi, dan
fenomenologi.
(a) Teori Grounded
Teori grounded berawal dari asumsi bahwa data diangkat
dari empiri, bukan apriori. Oleh sebab itu, bangunan teori yang
diperoleh bercorak alami sesuai kondisi lapangan penelitian.
Adapun langkah yang dilakukan adalah memahami realita sosial
yang dihadapi, menggali pertanyaan dasar tentang realitas, dan
merekonstruksi data dengan hipotesa baru yang dikembangkan
menjadi tesa baru (Sudjarwo, 2001:30 dan 61). Menurut Spradley,
teori grounded mengembangkan teori berdasarkan data empirideskriptif terhadap fenomena kebudayaan (1997:14). Sedangkan
menurut Mudzhar (1998:47) penelitian yang menggunakan teori
grounded pada dasarnya dengan metode penelitian sosial-budaya
bertujuan menemukan teori melalui data yang diperoleh secara
sistematik. Metode yang digunakan analisis komparatif konstan
dengan ciri menemukan atau merumuskan teori, adanya data
sistematik, dan menggunakan analisis komparatif konstan.
Harapan dan pertimbangan menggunakan teori grounded
adalah menilai kegunaan teori dari segi perumusan, keruntutan
logika, kejelasan, kehematan, kepadatan, dan keutuhan dalam
operasional penelitian itu sendiri. Sedangkan teori yang ada
terbangun pada akhir penelitian.
Sedangkan Muhadjir (1996:86) beranggapan para ahli ilmu
sosial berupaya menemukan teori berdasarkan data empiris,
bukan membangun teori secara deduktif-logis. Teori itu disebut
grounded theory dan model penelitiannya disebut grounded research
salah satu model metode penelitian berupaya mencari sosok
kualitatif melepaskan pola pikir kuantitatif-matematik. Penelitian
ini berpedoman pada logika konsisten, masalahnya jelas, efesien,
dan integratif. Berbeda dengan Endraswara (2006:99), perangkat
penelitian menggunakan kerangka teori grounded meliputi (i) tipe
pertanyaan penelitian berupa proses budaya yang terkait dengan
perubahan budaya dari waktu ke waktu, (ii) menggunakan
paradigma sosiologi dan simbolik interaksionalisme (sebagai
alternatif), (iii) metode perolehan data dengan wawancara, (iv)
sumber data berupa partisipasi observasi atau catatan harian,
(v) informan/partisipannya anggota komunitas budaya, (vi)
347
348
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
ukuran sampelnya 30-50 informan, (vii) metode pengumpulan
datanya dengan wawancara in-depth atau observasi dan hasil
yang diharapkan berupa deskripsi proses budaya.
Penelitian ini ‘mengindahkan’ teori grounded dengan
pertimbangan diperoleh hasil penelitian yang ideal berpegang
konsepsi teori grounded.
(b) Teori Etnografi
Dalam analisis B. Tedlock (2000:455) etnografi involves an on
going attempt to place specific encounters, events, and understandings
into a fuller, more meaningful context. It is not simply the production
of new information or data are transformed into a written or visual
form. Sedangkan menurut Endraswara (2006: 98-99) perangkat
teori etnografi meliputi sembilan hal yakni (i) tipe pertanyaan
berupa deskripsi nilai dan kepercayaan suatu kelompok budaya,
(ii) menggunakan paradigma budaya, (iii) metode pemerolehan
data dengan wawancara tidak terstruktur, observasi-partisipasi,
dan catatan lapangan, (iv) dengan sumber data dukung lainnya
seperti: dokumen, laporan, fotografi, dan diagram hubungan
sosial, (v) fokus pertanyaan (bagaimana perasaan dan kesan
seorang dalam sebuah budaya), (vi) partisipan/informan berupa
pelaku budaya di masyarakat, (vii) ukuran sampel kurang
lebih 30-50 informan/partisipan, (viii) metode pengumpulan
data berupa wawancara in-depth (mendalam) dan observasi
partisipan (pengamatan terlibat), dan (ix) tipe hasil diharapkan
berupa deskripsi terhadap fenomena budaya yang sedang, telah,
dan (mungkin) akan terjadi.
Teori etnografi menurut Spradley (1997:5) berupaya
memerhatikan makna (hasil) tindakan dan fenomena yang
dilakukan individu sebagai objek penelitian. Menurut Sudikan
(2001:86) penelitian etnografi adalah aktivitas pengumpulan data
dilakukan secara sistematik tentang cara hidup dalam berbagai
aktivitas sosial berkaitan dengan berbagai kebudayaan mengkaji
aspek mendasar meliputi apa yang mereka lakukan, apa yang
mereka ketahui, dan kendala apa yang mereka gunakan dalam
mensikapi kehidupan. Adapun Muhadjir (1996:94) beranggapan
penelitian etnografi terkait dunia antropologi yang mempelajari
peristiwa budaya dan menyajikan pandangan hidup objek
studinya. Model ini mendeskripsikan tata cara berpikir, hidup,
berperilaku, dengan metode mendeskripsikan kehidupan
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK
(Moh. Rosyid)
masyarakat sebagaimana adanya. Sedangkan dimensi etnografi
meliputi induksi-deduktif, generatif-verifikatif, dan konstruktifenumeratif.
Dimensi induktif diharapkan dapat menemukan teori yang
menjelaskan data, sedangkan dimensi deduktif mengharapkan
data yang mendukung teori. Dimensi generatif mengarah
penemuan konstruktif dan proposisi dengan data eviden,
sedangkan dimensi verifikatif adalah mencari evidensi agar
hipotesisnya dapat diaplikasikan lebih luas dan universal. Pada
dimensi konstruktif mengarahkan penelitian untuk menemukan
konstruksi atau kategori melalui analisis dan proses abstraksi.
Sedangkan dimensi enumeratif merumuskan atau menjabarkan
unit analisis. Adapun sampel dalam studi etnografi tidak
berdasarkan probabilitas dengan prinsip acak (random), tetapi
bertahap karena hasil penelitian memiliki komparabilitas (dapat
dibandingkan) dan transbilitas (dapat diterjemahkan) dengan
penelitian lain.
Dalam analisis Muhadjir (1996:98) dasar pijakan penelitian
dengan metode etnografi menurut Robert C. Bogdan (1982)
terdapat empat dasar yang dipilih jika berposisi sebagai peneliti
(1) jadilah praktisi yang sesuai dengan tingkat kemampuan
diri peneliti, (2) pilihlah lokus yang agak asing agar dapat
memosisikan diri antara diri sebagai peneliti atau sebagai warga
masyarakat, (3) tidak berpegang secara kaku terhadap rencana
dan perlu fleksibel terhadap penelitian terdahulu, dan (4)
ambillah topik tertentu yang spesifik. Hal itu diperkuat dalam
analisis Muhadjir (1996:126) tentang desain penelitian etnografi
dengan model multiple site studies yakni pengembangan teori
bermodalkan pengalaman berpikir teoretik dan kecakapan
menghimpun data untuk mendukung konsep.
Metode etnografi kategori metode naturalistik karena
membangun kredibilitas dengan cara (i) menguji terpercayanya
temuan, (b) audiensi dengan para peneliti lain untuk mengatasi
biasnya hasil penelitian, (c) analisis kasus negatif yang berfungsi
merevisi hipotesis, (d) menguji hasil temuan tentatif dan
penafsiran dengan perangkat elektronik atau lainnya, dan (e)
menguji temuan kelompok dari mana diperoleh data. Sedangkan
Guba, mengetengahkan teknik menguji terpercayanya hasil
penelitian dengan (i) memperpanjang waktu tinggal di lokasi,
dengan tujuan mempelajari budayanya, menguji informasi
349
350
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
yang salah, dan menumbuhkan kepercayaan, (ii) dalam
mengobservasi lebih tekun, dan (iii) menguji dengan cara
triangulasi. Triangulasi menurut Denzin menggunakan sumber
ganda, metode ganda, peneliti ganda, dan teori yang berbedabeda (Muhadjir, 1996:126).
(c) Teori Fenomenologi
Teori fenomenologi menurut Muhadjir (1996:12)
berasumsi bahwa objek ilmu tidak terbatas pada sesuatu yang
empirik (sensual), tetapi mencakup fenomena berupa persepsi
(anggapan), pemikiran, kemauan, dan keyakinan subyek tentang
sesuatu di luarnya dan mengupas sesuatu yang transenden dan
aposteriorik. Metode fenomenologi identik dengan metode
rasionalistik yang menolak penggunaan kerangka teori sebagai
langkah persiapan penelitian, tetapi mengakui kebenaran etik.
Adapun langkah metode fenomenologi menuntut
bersatunya peneliti (subjek) dengan objek dengan model
pendalaman/penghayatan. dengan ciri logis dan etis. Kelogisan
bermakna kebenaran dalam penelitian tersebut hanya mengakui
kebenaran secara empirik sensual dan logis, artinya hanya
mengakui kebenaran bila dapat dibuktikan secara empirikinderawi dalam konteks kausal yang dapat dilacak, sedangkan
etis adalah kebenaran diakui jika bersifat empirik-etik yakni
kebenaran yang berdasarkan akal budi untuk melacak,
menjelaskan, dan berargumentasi.
2) Teknik Operasional
a) Pemilihan Lokus
Pertimbangan memilih lokus penelitian pada masyarakat
Samin Kudus adalah (i) peneliti telah meneliti komunitas Samin.
Belum (banyak) mengulas partisipasi di bidang politik praktis
(Pemilu), (ii) peneliti hidup dan berdomisili di wilayah Kab.
Kudus, diharapkan menggali dan menganalisis data diperoleh
kemudahan mengakses, dan (iii) peneliti belum menemukan
kajian khusus sebagaimana tertuang dalam poin (i).
b) Jenis Data
Jenis data penelitian ini berpijak dari hasil pemikiran
dan penelusuran dokumentasi oleh penulis berupa komitmen
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK
(Moh. Rosyid)
beragama lokal masyarakat Samin Kudus kaitannya dengan
keikutsertaannya dalam politik praktis berupa pemilihan kepala
desa (pilkades tahun 2007), pemilihan bupati (pilbup tahun
2008), pemilihan gubernur (pilgub tahun 2008), pemilu legislatif
(pilleg bulan April tahun 2009 yang lalu), dan pemilu presiden
(pilpres bulan Juli tahun 2009).
4. Strategi dan Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data menggunakan strategi etnografi.
Menurut Sudikan (2001:105) strategi etnografi dilakukan dengan
wawancara, pencatatan, dokumentasi, pengamatan terlibat, dan
analisis antarkomponen. Pertama, Penelitian ini menggunakan
wawancara informal, tidak terstruktur, terbuka, dan proses
penggalian secara lisan dengan pertimbangan lebih praktis.
Kedua, pencatatan hal-hal yang terjawab oleh objek penelitian
berdasarkan pertanyaan peneliti, ketiga, dokumentasi;
merupakan data yang bersumber dari karya yang tertulis
sebagai pijakan telaah. Dalam penelitian ini difokuskan pada
faktor keberagamaannya yang dikaitkan dengan respon positif
dalam pemilu. Keempat, pengamatan terlibat. Dalam penelitian
ini, Peneliti singah secara periodik bersama dengan komunitas
Samin Kudus dengan harapan diperoleh data yang murni, dan
kelima, analisis antar komponen; analisis yang dilakukan dengan
tujuan mengombinasikan dan memformulasikan seluruh teknik
pengumpulan data yang dilakukan secara padu. Kelima strategi
pengumpulan data tersebut digunakan oleh peneliti dengan
harapan diperoleh hasil analisis yang idial.
5. Sumber Data
Penelitian kualitatif bertujuan memahami gejala atau
fenomena sosial, kedudukan masyarakat sebagai subyek yakni
masyarakat Samin Kudus ketika mengaktifkan diri dalam
pelaksanaan pemilu. Sumber data tersebut dikualifikasikan
berupa pertama, narasumber (informan), terdiri tokoh Samin
Kudus, warga Samin Kudus secara acak yang terdistribusi
di lima wilayah, dan unsur aparat desa di lokasi di mana
masyarakat Samin Kudus berada. Kedua, aktivitas, berupa
keaktifan masyarakat Samin Kudus dalam mengikuti pemilu,
terlibat aktif sebagai tim sukses, dan pencoblosan di Tempat
Pemilihan Suara (TPS). Ketiga, lokasi, lokasi di mana masyarakat
Samin Kudus berada terdistribusi di lima wilayah. Sumber data
351
352
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
mengandalkan snowbolling sampling yakni optimalisasi diri
peneliti dalam mendeteksi data yang diraih dalam penelitian
bersumber dari informan awal dan berlanjut pada informan
lainnya, dan keempat, dokumen yang diperoleh dari dokumen
tertulis berupa pemberitaan media, produk perundangan, dan
buku.
6. Teknik Penentuan Informan dan Satuan Kajian
Informan yang dijadikan sumber penelitian adalah
masyarakat Samin Kudus, tokoh masyarakat Samin Kudus,
tokoh masyarakat non-Samin Kudus, unsur pemerintahan
Kabupaten Kudus, masyarakat non-Samin (tetangga) Samin
Kudus dan pelaku politik, seperti calon peserta pilkades, pilleg,
tim sukses pilbup dan pilgub. Hal tersebut dilakukan dengan
tujuan diperoleh data yang utuh dan idial. Karena kelima
komponen tersebut sebagai sumber diperolehnya data dalam
penelitian ini. Adapun yang dijadikan unit analisis antara lain (i)
ketua kelompok masyarakat Samin Kudus, (ii) masyarakat Samin
Kudus secara random, (iii) unsur pemerintahan Kab. Kudus,
(iv) masyarakat, khususnya yang intensitas komunikasinya
dengan masyarakat Samin Kudus pada frekuensi dekat-rapat,
dan (v) unsur lain sebagai penunjang-pemerkuat perolehan dan
validitas data, seperti calon peserta pilkades, pilleg, tim sukses
pilbup dan pilgub. Dilakukannya hal tersebut bertujuan utama
diperoleh data utuh, valid, dan berkesinambungan.
7. Teknik Analisis dan Keterandalan Data
Teknik analisis data menggunakan kajian etnografi,
analisis riwayat hidup, dan analisis isi. Kajian etnografi bertujuan
memahami aktivitas budaya masyarakat Samin Kudus dalam
mengikuti pelaksanaan pemilu (Pilkades, Pilbup, Pilgub, Pilleg,
dan Pilpres). Hal tersebut diharapkan dapat menemukan aspek
yang melatarbelakangi ketaatannya memegangi prinsip ajaran
Samin dan diaplikasikan secara utuh dalam kehidupan dan
perpolitikan. Analisis Riwayat Hidup; analisis dengan tujuan
memahami secara jeli pengalaman hidup informan meliputi
unsur yang tersebut dalam kajian etnografi {poin di atas}. Analisis
Isi (Content Analysis); untuk mengkaji dehumanisasi atas doktrin
budaya dan
Untuk mendapatkan data yang andal, menurut Maryaeni
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK
(Moh. Rosyid)
(2005:27) dan Endraswara (2006:110) langkah yang dilakukan
peneliti dengan model triangulasi (sumber data, pengumpulan
data, metode, dan teori). Triangulasi Sumber Data; Langkah ini
dilakukan dengan cara mencari data dari sumber sebanyakbanyaknya (terukur sesuai kebutuhan penelitian) atau dari
berbagai sumber yang terlibat secara langsung kaitannya
dengan topik penelitian. Triangulasi Pengumpulan Data; Hal ini
dilakukan dengan cara mencari data dari berbagai sumber yang
tidak berkaitan langsung dengan penelitian dengan harapan
diperoleh data dukung yang bersifat memperkuat data utama.
Triangulasi Metode; Triangulasi metode dilakukan dengan
tujuan memperoleh variasi dan keakuratan hasil penelitian
karena proses perpaduan antara observasi (pengamatan
terlibat), wawancara, dokumentasi, dan lainnya. Triangulasi
Teori; Triangulasi teori dilakukan dengan mengecek kevalidan
dan keakuratan data bersumber dari berbagai metode berupa
data mentah dalam bentuk (a) catatan lapangan, dokumentasi,
dsb. (b) hasil analisis bersumber dari konsep, (c) hasil sintesis
data (tafsiran, simpulan, definisi, laporan akhir), dan (d) catatan
proses yang digunakan (metode, strategi, dan prosedur).
Untuk memperkuat sahnya data, menurut Endraswara
(2006:111) dengan mengedepankan aspek kredibilitas,
transferbalitas, auditabilitas dan dependabilitas (reliabilitas),
konfirmabilitas, dan triangulasi. Kredibilitas; cara mendapatkan
data dengan model (i) memperpanjang alokasi waktu (sesuai
tarjet waktu yang direncanakan secara maksimal) mengobservasi
dengan mempertimbangkan aspek sangkil-mangkus (efektifefesien) agar mengenal responden lebih dekat-akrab dalam batas
kewajaran, diharapkan mampu membuka katup pandora yang
menutupi (esensi) budaya dan agamanya menjadi data penelitian
yang valid dan aktual, (ii) peer debriefing dengan membicarakan
materi dan permasalahan penelitian kepada pihak lain yang
memiliki concent dengan materi penelitian yang digarap oleh
peneliti, dan (iii) member check, pengulangan setiap persoalan jika
(dimungkinkan) terdapat kesalahan, dengan forum group discus
(FGD) kepada mitra peneliti dengan pertimbangan terhindar
dari kesalahan data dan kesalahan lainnya.
Transferbalitas; dilakukan dengan cara mencari validitas
eksternal, maksudnya apakah penelitian ini dapat diterapkan
atau disejajarkan dengan kasus (fenomena penelitian lain yang
bermaterikan identik) untuk dicari sisi kesamaan dan perbedaan.
353
354
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Auditabilitas dan dependabilitas (reliabilitas); Cara ini ditempuh
dengan tujuan memeroleh kesamaan hasil penelitian jika
diadakan pengulangan (penelitian) dengan tujuan memperoleh
konsistensi dengan teknik: pengamatan oleh dua orang atau lebih
terhadap fenomena budaya, checking data dilakukan dengan
mencari data dari orang lain, dan audit trail yakni dilakukan
pembimbingan untuk memeriksa selama proses konsultasi
dengan pihak yang berkompeten.
Konfirmabilitas; merupakan bagian dari cara memperoleh
kebenaran data dan hasil analisis data dengan cara mengonfirmasi
(cek silang dan cek ulang) terhadap komunitas lain di sekeliling
objek yang diteliti. Hal ini dilakukan peneliti dengan cara
memberikan kesempatan pada tokoh Samin dan para peneliti
yang konsen dengannya untuk membaca ulang hasil penelitian
ini. Triangulasi; merupakan penggabungan terhadap tiga hal
yakni sumber data, pengumpulan data, dan teori. Dengan ketiga
hal tersebut, diharapkan hasil penelitian dapat dipahami dengan
benar dan jelas alur perolehan data dan proses analisisnya. Semua unsur tersebut dilakukan dengan optimal dengan
harapan diperoleh data dan analisis data yang sesuai dengan
tujuan penelitian.
C. Hasil Penelitian
Masyarakat Samin Kudus dalam merespon kebijakan
pemerintah masa kini responsif dan akomodatif. Sebagaimana
doktrin yang ditanamkan nenek moyangnya, Surokidin pada
generasinya ketika di Gunung Gede, alas Cemoro Sewu wilayah
Tawangmangu, Kab. Karanganyar, Jateng dengan pernyataan
bahwa Belanda akan diusir oleh Jepang:
mbesok seng iso ngusir Londo iku wong cebol, tekane koyo laler,
bareng sedino, soko wetan, cebol kepalang. Tangane kuwogo, simbole
plong abang. Manggone neng pundak. Iku Nippon arane. Kuto-deso,
bareng tekane. Bawahi negoro kene, sebutane ratu petruk. Mbesuk yeng
nyekel pranatane negoro balane dewe,bocah perjuangan. Diguwak sak
umur hidup. Bisane mulih Londo dibuwak karo Nipon.
Bahkan prediksi leluhur Samin sebelum kemerdekaan
yang terbukti sekarang ini yakni mbesok negoro iku negarane rakyat,
dadi putusan neng rakyat, tukul deso otonom. Pernyataan tersebut
mengingatkan kepada generasinya bahwa setelah penjajahan
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK
(Moh. Rosyid)
Belanda, wilayah pribumi akan dijajah Jepang yang selanjutnya
dipimpin putra negeri (Soekarno). Gerakan yang dilakukannya
adalah Mbanyu suket nggeni brambut, mapah gedang yakni gerakan
samar (nonkonfrontatif, menyokong kepemimpinan anak negeri,
sehingga perlu taat terhadap pemerintah RI.
Pemilihan umum (Pemilu) yang dilaksanakan pemerintah
RI diikuti masyarakat Samin Kudus sejak pemilu pertama tahun
1955. Di era Orde Baru, kontestan (peserta) pemilu adalah
Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP),
dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sebagian masyarakat
Samin Kudus memilih PDI karena partai tersebut dianggap
‘titisan’ Bung Karno. Menjelang kemerdekaan, mbah Sumar (botoh
Samin Kaliyoso) beserta tiga temannya, pernah menghadiri rapat
akbar yang juga dihadiri oleh Bung Karno di alun-alun Kab.Pati.
Bahkan semasa kepemimpinan Bung Karno, jumlah komunitas
Samin untuk didata yang selanjutnya diserahkan Bung Karno.
Perspektif masyarakat Samin yang bertipologi dlejet/
dledek (murni) ketika didatangi tim sukses sebuah calon legislatif
memberikan jawaban: sedulur, ndiko takok. Kulo tak kondo, neng kulo
nganda-ake paham kulo, kulo pun gadah pilihan dewe, ken nyoblos kulo
pun duwe coblosan dewe, opo yeng dicontreng dereng wonten wujude.
Karoane pun dugi wayahe (Saudara bertanya, saya menjawab: saya
sudah memiliki pilihan sendiri (maksudnya isteri), jika disuruh
mencoblos, saya sudah mempunyai coblosan (isterinya), karena
pemilihan belum terlaksana, ditunggu saja pekaksanaannya).
Jawaban tersebut menandaskan bahwa sesuatu yang belum
terjadi, tidak dapat diberi jawaban yang utuh. Ketika komunitas
Samin diberi uang (money politic) sebelum pemilihan caleg,
sebagian mereka menerimanya, kulo diwei kulo tampi (Saya
diberi, saya terima). Ada juga setelah menerima uang politik,
kedatangan calon lain yang kedua dan memberi uang politik
ditolaknya.
Pelaksanaan pemilihan Bupati Kudus periode 20082013, masyarakat Samin Kudus sebagian besar memilih
Musthofa Wardoyo (Calon Bupati) yang berpasangan dengan
Budiyono (Calon Wakil Bupati). Dalam Pilbub (pemilihan
bupati) tersebut dimenangkan Musthofa-Budiyono. Dukungan
masyarakat Samin Kudus terhadap Cabup, Musthofa, kompak.
Sebagaimana pernyataan Pak Warsidi (Samin Bulungcangkring)
netepi kerukunan bolo, kulo nderek Wargono lan Petinggi Ngelo (Desa
355
356
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Karangrowo). Hal tersebut dilakukan karena Pak Musthofa
mendatangi kediaman Bpk. Wargono (tokoh Samin Dukuh
Kaliyoso). Akhirnya Mbah Gono beserta keluarga mendapatkan
undangan Rapat Paripurna Istimewa DPRD Kab. Kudus dalam
acara pengucapan sumpah dan pelantikan Bupati dan Wakil
Bupati Kudus masa jabatan 2008-2013 serta serah terima jabatan
Bupati Kudus di gedung DPRD Kudus dengan surat undangan
bernomor 005/735/02.02 tanggal 26 Juni 2008.
Begitu pula dalam pemilihan Gubernur (Pilgub) Jateng
tahun 2008. Calon gubernur (Bibit Waluyo) yang diusung PDIP berpasangan dengan Rustriningsih, yang hadir di Dukuh
Bombong, Kec. Sukolilo, Kab. Pati mengharap dukungan warga
Samin. Masyarakat Samin Kudus pun, mengikuti ‘komando’
Mbah Tarno (tokoh Samin Pati) agar memilih Bibit-Rustri.
Jawaban Pak Sukari ketika penulis bertanya, dijawab: aku milih
yeng ono wedoe, dikon Pak Lurah lan Wargono (tokoh Samin Kudus),
yo diwei gambar, tujuane netepi pirukunan Dalam pilgub tersebut,
dimenangkan Bibit-Rustri.
Untuk menentukan pemilihan Presiden RI tahun 2004,
tidak semua warga Samin aktif mengikuti pemilihan Kulo mboten
nderek pemilu presiden kranten mboten tepang (Saya tidak ikut
memilih Presiden karena tidak mengenalnya). Sedangkan dalam
pemilihan kepala desa (Pilkades) di Desa Larekrejo pada tahun
2007, Pak Santoso dihadiri terlebih dahulu oleh calon Pilkades,
Bpk. Tukul. Di lain kesempatan, Pak Santoso dihadiri calon
lainnya, Bpk. Moh. Rochim. Karena Pak San telah didatangi Pak
Tukul terlebih dahulu, maka pilihan dijatuhkan pada Pak Tukul.
Meskipun, kemenangan ada pada Pak Rochim.
Tetapi praktik pemilu legislatif tahun 2009, komunitas
Samin Dukuh Kaliyoso, Desa Karangrowo sebagian memilih
partai PAN karena salah satu calon legislatifnya menghadiri secara
langsung di rumahnya kehadiran caleg yang pertama. Menjelang
hari pemilihan, Bpk. Maskat dihadiri Kepala Desa Karangrowo,
Rumadi (yang saudaranya ikut calon legislatif), mengharap
kepada Bpk. Maskat agar ikut mendukung saudara Pak Kades.
Bpk. Maskat dengan tegas menyatakan kulo sampun gadah janji,
bilih bade milih caleg ingkang sampun ngrumiyini dateng wonten ing
griyo kulo saking Partai Amanat Nasional (PAN), nyuwun sewu kulo
mboten saget memenuhi harapan Pak Kades (Petinggi). Pernyataan
tersebut direspon negatif oleh Pak Petinggi, meskipun demikian,
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK
(Moh. Rosyid)
Pak Maskat dan keluarganya tetap konsisten (Konsistensi Pak
Maskat sesuai amanat UU Nomor 39/1999 Pasal 43 (1) setiap
warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilu
berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil)
sesuai dengan ketentuan peraturan per-UU-an) dengan janji
semula.
Berbeda dengan pilihan yang dilakukan Ibu Masini dan
Pak Sujiman dalam pemilu legislatif 9/4/2009. Kranten wonten
setunggal tamu ingkang ngaku sedulur ngaken kulo nyontreng nomor
28 maringi amplopan, sedangkan Pak Jiman, kulo mboten genah,
seng nyontreng putrine kulo, kulo bingung, gambare katah. Berbeda
dengan Ibu Tuminah, ingkang ngaken kulo nyotreng tigang partai,
akhire kulo dateng ten TPS rasan, kulo mboten nyontreng, kersane
salah setunggale mboten merekno, demikian pula warga Samin
Dukuh Mijen lainnya (Yang menyuruh saya nyontreng 3 partai,
akhirnya saya datang ke TPS saja, saya tidak nyontreng agar
tidak mengecewakan salah satunya). Menurut Pak Warsidi, kulo
mboten nyontreng, kulo didatengi tigang partai (PDI, PIB, lan PAN)
mbeto amplopan. Kulo jawab, kulo mboten seneng nyontreng, mboten
nampi amplop. Lajeng diwangsuli, inggih mboten nopo-nopo pahame
jenengan ngoten. Berbeda dengan Pak Sujono, kulo mboten ngertos,
angsal undangan nyoblos nopo mboten, mboten nampi tamu, kranten
kulo rino-wengi ten saben. Untuk Ibu Suliyati, mboten nyontreng,
mboten seneng, diparingi amplop mboten kulo tampi kranten mboten
seneng. Sedangkan suaminya, Pak Doko, kulo kerjo ngedos ten
Kendal, mboten retos.
Jadi, pilihan warga Samin pada salah satu calon legislatif
didasarkan kedatangannya calon langsung di rumah warga
Samin dan datang yang pertama atau karena pesanan tokoh
Samin. Hal tersebut sederap UU Nomor 39/1999 tentang HAM
Pasal 23 (1) setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai
keyakinan politiknya. Bahkan money politic yang (akan) diberikan
calon lain ditolak dengan dalih telah berjanji dengan calon yang
datang langsung dan pertama. Adapun keikutsertaan perempuan
secara umum mengikuti pilihan suami, meskipun terdapat
perempuan yang berinisiatif memilih dan mempengaruhi suami
karena suaminya berpola pikir dan beranggapan bahwa pemilu
tidak dianggap penting.
357
358
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
D. Simpulan
Keaktifan perempuan Samin dalam pemilu ditentukan
oleh pertama, dirinya sendiri yang didatangi calon pemimpin/
wakilnya. Kedua, mengikuti suaminya karena merasa
sepenanggungan, dan ketiga, pesanan tokoh Samin agar
nyengkuyung calon yang telah menitipkan nama (calon) pada
botoh Samin. Meskipun adakalanya yang tidak aktif mencoblos
karena beban psikis yakni diminta memilih oleh beberapa
calon yang datang ke rumahnya (mondokannya), agar tidak
menyinggung pemohon, perempuan Samin datang ke Tempat
Pemungutan Suara (TPS) dan tidak mencoblos dengan dalih kulo
diken datengi TPS kemawon (Saya hanya disuruh datang saja ke
TPS) yakni dipahami secara sangkak. Dalam hal money politic, di
antara mereka ada yang menerima, ada yang tidak menerima,
ada yang menerima (calon pertama) dan tidak menerima jika
diberi oleh calon yang hadir kedua (lainnya).
Keaktifannya dalam pemilu berdasarkan pesan
leluhurnya: Pascakolonial, dalam prediksinya, negeri ini
dipimpin anak negeri (Bung Karno):
Wong utang iku nyaur, Londo duweni utang ditagih. Sing iso
nagih iku bocah cebol kepalang, tangane kuwogo, abang neng
kiwo. Mbesok Jepang tekane koyo laler, tekane bareng sedino,
Londo resik. Tekane Jepang bawahi negoro kene setahun,
sebutane Ratu Petruk. Wong-wong kon nandur jarak kepyar.
Mbesok wong-wong dipontho-pontho, sijine wong mandegani
20 wong, jenenge gumicak. Jepang lungo maneh, bakale ditetepi
Jowo, deneng bocah perjuangan, diguwak sak umur hidup,
isane mulih sebab Londo dibuwak karo Nipon. Mbesok pajek iku
ilang, tukule iuran. Mbesok negoro iku negorone rakyat, dadi
putusan neng rakyat,tukule deso otonom,
Prediksi Ki Surokidin kepada Ki Suronggono dan mbah Sumar.
Dalam merespon kepemimpinan anak negeri (mendatang)
pesan leluhur Samin ing mbesue prilakuo mapah gedang, mbanyu
suket, nggeni brambut (fleksibel, gerakan nonfrontal, eksis), tidak
konfrontatif, tetapi responsif.
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK
(Moh. Rosyid)
SUMBER RUJUKAN
Amirotun Sholikhah. Perilaku Memilih Partai Politik Elit Aisiyah
Pasca-Orde Baru. Jurnal Penelitian Agama UIN
Yogyakarta Vol.XIV 2005
Barbara Tedlock. Ethnography and Ethnographic Representation
dalam Hand Book of Qualitative Research second edition.
Norman K. Denzin and Y.S Lincoln (ed). Sage
Publication, Inc. New Delhi, 2000.
Deden Faturrohman.Hubungan Pemerintahan dengan Komunitas
Samin dalam Agama Tradisional Potret Kearifan Hidup
Masyarakat Samin dan Tengger. LKiS: Yogyakarta,
2003
Dhanik Dhewanty. Solidaritas Sosial Masyarakat Samin di Desa
Baturejo Kec.Sukolilo Kab. Pati dalam Forum Ilmu Sosial.
Fakultas Ilmu Sosial. Vol.31 No.2 Desember 2004.
UNNES Press: Semarang, 2004.
Edi Sigar. Provinsi Jawa Tengah. Pustaka Delapratasa: Jakarta,
1998.
Eko Handoyo.Sosiologi Politik. Unnes Press: Semarang, 2008
Hardjo Kardi. Riwayat Perjuangan Ki Samin Surosentiko. tanpa
penerbit, 1996.
Imam Suprayogo dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial-Agama.
Rosda: Bandung, 2001.
Irwan Abdullah. Rekonstruksi dan Reproduksi Budaya. Pustaka
Pelajar: Yogyakarta, 2006.
James P. Spradley. Metode Etnografi. Tiara Wacana: Yogyakarta,
1997.
Louay Safi. Ancangan Metodologi Alternatif. Tiara Wacana:
Yogyakarta, 2001.
M. Atho’ Mudzhar. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik.
Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1998.
Maryaeni. Metode Penelitian Kebudayaan. Bumi Aksara: Jakarta,
2005.
359
360
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Moh. Rosyid. Samin Kudus Bersahaja di Tengah Asketisme Lokal.
Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2008.
Noeng Muhadjir. Metodologi Penelitian Kualitatif. Rineka: Jakarta,
1996.
Sartono Kartodirdjo. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif
Sejarah. UGM Press:Yogyakarta, 1994.
Sudjarwo. Metodologi Penelitian Sosial. Mandar Maju: Bandung,
2001.
Setya Yuwana Sudikan. Metode Penelitian Kebudayaan. Citra
Wacana: Surabaya, 2001.
Saoerjanto Sosroatmodjo. Samin Siapakah Mereka? Nuansa:
Yogyakarta, 2003.
Sugeng Winarno. SAMIN :Ajaran Kebenaran yang Nyeleneh dalam
Agama Tradisional Potret Kearifan Hidup Masyarakat
Samin dan Tengger. LKiS: Yogyakarta, 2003.
Sugiyono.Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan Research and Development. Alfabeta:
Bandung, 2006
Suwardi Endraswara. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan.
Pustaka Widyatama: Sleman, 2006.
RISE T
PEMBAGIAN PERAN
DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA
Dewi Ulya Mailasari*)
ABSTRACT: The division of roles of men and women
particularly within the scope of the household becomes
a crucial problem, especially if it is viewed from a gender
perspective. And the extent to which equality is to fulfill
a sense of justice for each part--husband and wife--in
American households will be studied further.Feminism has
changed the lives of American society in many aspects to
come an equality so that men and women are in the same
position. They eliminate gender role stereotype that classifies
the working area into two: public and domestic. Balance
position bargaining colors the division of roles in American
households.
Keywords: gender role, household, equity, equality,
A. Pendahuluan
Menarik mencermati seperti apa pembagian peran
dijalankan dalam rumah tangga di Amerika Serikat. Sebagai
sebuah negara besar Amerika menjalani serangkaian fase yang
panjang dalam perjalanan warganya menggapai kesetaraan
gender. Istilah gender sendiri baru dikenal di Amerika sekitar
tahun 1970-an ketika Anne Oakley, seorang psikolog, berusaha
mencari definisi yang tepat untuk membedakan laki-laki dan
perempuan dalam konteks pembedaan peran sosial yang harus
dijalankan. Sejak itu istilah ‘gender’ seringkali dipakai dalam
forum-forum ilmiah di berbagai tempat di Amerika kemudian
meluas di seluruh dunia.
)
Penulis adalah dosen di STAIN Kudus
362
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Sama halnya dengan Indonesia—sebagai sebuah
masyarakat—Amerika pun senantiasa berkembang dan berubah
tak terkecuali dalam hal tatanan nilai yang dianut. Konsep
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan sudah terdengung
lama yaitu sejak tahun 1790-an. Ketika itu, istri presiden
Amerika, Abraham Lincoln menyerukan pada suaminya agar
peran perempuan tidak dinafikan dalam pembangunan negara.
Amerika saat itu baru saja memproklamirkan diri sebagai sebuah
negara yang mandiri terlepas dari Inggris. Menilik dari itu, maka
sebenarnya ketimpangan dan ketidakadilan adalah sesuatu yang
telah terasakan selama lebih dari dua dekade yang lalu.
B. Usaha Perempuan Amerika dalam Kesetaraan
Usaha perempuan Amerika agar setara dengan laki-laki
dimulai sejak lama. Secara formal terhitung sejak tahun 1848,
dengan adanya konferensi di Senecal Falls. Berkumpulnya para
perempuan itu dipicu oleh adanya ketidakadilan yang dirasa
perempuan sebagai sesama warga negara (McMillen, 2008:3).
Waktu itu stereotype yang muncul di masyarakat Amerika
menurut William L. O’Neill dalam Feminism in America, wanita
adalah malaikat dalam rumah tangga dan penjaga moral. Karena
itu akses mereka menjadi terbatasi hanya di ranah domestik,
sebagai penjaga anak-anak. Mereka tidak mempunyai akses
publik (O’Neill, 1994: 7).
Berkumpulnya kaum perempuan tersebut dalam
memperoleh hak politik, dan itu disebabkan karena mereka ingin
diakui sebagai layaknya manusia dan warga negara. Hak tersebut
baru terperoleh pada tahun 1920. Setelah itu timbul perang
dunia yang membuat banyak para laki-laki turun di medan
perang. Hal ini menimbulkan kurangnya tenaga kerja di dalam
negeri, maka pemerintah memutuskan untuk mulai membuka
lapangan pekerjaan di sektor publik bagi para perempuan. Kaum
perempuan pun berbondong-bondong memasuki ranah publik
tersebut. Hal ini pada akhirnya nanti mengubah paradigma
berpikir perempuan Amerika. Mereka mulai merasakan
bagaimana nyamannya memperoleh uang dari hasil jerih payah
mereka sendiri. Hal ini menimbulkan rasa kemandirian dalam
diri perempuan Amerika. Setelah perang usai, dan para lakilaki kembali ke rumah, timbul masalah mengenai pengaturan
tenaga kerja yang telah dipegang oleh perempuan. Pemerintah
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA
(Dewi Ulya Mailasari)
pun melakukan kampanye agar para wanita kembali ke rumah
kembali sebagai penjaga anak-anak. Namun, seiring dengan
tingkat pendidikan yang diraih para perempuan yang semakin
tinggi, maka perempuan mulai sadar untuk mengembangkan
karier sesuai dengan tingkat pendidikannya.
Dengan demikian, peran gender di Amerika mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Pada prinsipnya, perempuan
ingin diakui hak-haknya sebagai manusia dan karena itu berhak
melakukan hal sama seperti yang dilakukan laki-laki, seperti
berpolitik, didengar pendapatnya, bekerja, menentukan nasib
sendiri dan rasa independen tidak tergantung pada orang lain.
Selama ini, banyak hal dilihat dan diinterpretasi dari
sudut pandang laki-laki. Joan C. Chrisler dalam Lectures on
The Psychology of Women mengatakan bahwa Amerika adalah
suatu masyarakat yang laki-lakinya dipandang lebih tinggi
dibanding perempuan. Sehingga penting bagi psikologi feminis
untuk menelaah perempuan berikut segala pengalamannya.
Perempuan telah lama dibungkam. Kontribusi mereka terhadap
masyarakat belum pernah terekam dalam buku-buku sejarah,
dan pengalaman merekapun tidak pernah didengar atau
dianggap secara serius (Chrisler, 2004: xiv).
Pembagian kerja masih menjadi isu penting di Amerika.
Seperti dikatakan Ashcraft dalam The Sage Handbook of Gender
and Communication: “Everywhere we turn, we see a clear distinction
between ‘men’s work’ and ‘women’s work’ (Aschcraft, 2006:102).
Perempuan sering dikaitkan dengan pekerjaan bersifat merawat
seperti guru, perawat sedangkan laki-laki bekerja di bidang
teknik.
Ada suatu kecenderungan di dalam budaya di negaranegara Barat seperti Eropa dan Amerika untuk memberlakukan
stereotype peran gender, mengkaitkan suatu aktifitas atau
tingkah laku tertentu pada suatu jenis kelamin. Jennifer Maher
Saul dalam Feminism; Issues & Arguments mengatakan bahwa
di negara-negara seperti Inggris dan Amerika, saat ini anakanak telah diberi pengajaran bahwa urusan rumah tangga dan
mengurus anak adalah pekerjaan perempuan (Saul, 2003: 20).
Stereotype gender semacam itu akan berpengaruh pada masalah
psikologis di antara laki-laki yang mengambil peran atau di
pekerjaan yang dikategorikan sebagai pekerjaan perempuan,
dan juga sebaliknya.
363
364
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Pada era 1990-an perempuan Amerika telah banyak
berkarir. Namun dalam kenyataannya, mereka masih
menghadapi kendala berupa “glass ceiling” yaitu “… an unofficial,
invisible barrier that prevents women and minorities from advancing
in businesses. (http://en.wikipedia.org/wiki/Glass_ceiling). Hal
ini menunjukkan bahwa di Amerika masih ada ketidakadilan
gender.
Dalam ranah rumah tangga, perempuan yang berkarir
belum serta merta merasakan keadilan gender. Mereka
seringkali merasa bersalah karena meninggalkan anak-anak di
rumah untuk bekerja. Akibatnya, memunculkan masalah yang
diistilahkan dengan “double burden”.
Dua hal tersebut mengindikasikan bahwa perempuan
Amerika belum merasa merdeka menentukan pilihan.
Hubungan dengan pasangan masih diwarnai rasa kebersalahan
hanya karena ia melakukan sesuatu yang sesungguhnya sama
dilakukan oleh pasangannya (suami) yaitu bekerja. Di sini,
tampak ketidakseimbangan dalam hubungan pasangan suami
istri. Suami masih memposisikan dirinya sebagai ‘breadwinner’,
meski gaji sang istri mungkin lebih tinggi. Sebagai breadwinner
ia merasa berkuasa menentukan apa-apa yang baik dan buruk
buat istri dan anak-anaknya.
Dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan,
khususnya dalam rumah tangga sudah semestinya terjalin
rasa kerjasama, bukan berkompetisi mengenai siapa yang lebih
berkuasa dan patut didengar.
Amerika dikenal sebagai negara yang dinamis dan
diwarnai dengan perjalanan panjang kaum perempuannya dalam
memperjuangkan persamaan hak dengan laki-laki. Gerakan
tersebut dikenal sebagai gerakan feminisme. Definisi feminisme
menurut Bell Hook dalam Feminist Theory; From Margin to Center
adalah perjuangan melawan penindasan berdasarkan karena
perbedaan jenis kelamin. Maka sangatlah perlu dilakukan
perjuangan untuk menghapus segala dominasi yang telah
merasuk ke dalam budaya mereka (di Barat) di segala bidang.
Sehingga akan muncul pemberdayaan diri untuk terlepas dari
imperialism atau penjajahan dari pihak yang berkuasa, dari
ekspansi ekonomi dan hal yang bersifat materi (Hook, 2000: 26).
Maggie Humm dalam Feminism; A Reader, mengungkapkan
bahwa feminisme gelombang pertama berpusat pada perdebatan
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA
(Dewi Ulya Mailasari)
mengenai materialisme, keinginan untuk menyampaikan
pikiran atau berpendapat dan menentukan hidupnya sendiri
tanpa dibayang-bayangi oleh laki-laki. Dalam memperjuangkan
persamaan hak sebagai warga negara tersebut, mereka bekerja
bersama-sama dengan kaum buruh, kaum perempuan pekerja
dan organisasi anti kolonial. Mereka berkeyakinan bahwa
ketidaksejajaran tersebut dapat dihilangkan jika institusi
seperti keluarga terlebih dahulu berhenti menghalangi kaum
perempuan untuk berkiprah sesuai potensi yang dimilikinya.
Jika feminisme gelombang pertama memperjuangkan hak pilih
yang tercapai pada tahun 1920, maka dalam gerakan feminisme
gelombang kedua, perjuangan difokuskan pada diakhirinya
diskriminasi terutamanya dalam upah. Ketika Amerika terlibat
dalam Perang Dunia II, perempuan berbondong-bondong
bekerja di pabrik dikarenakan Amerika kekurangan tenaga
kerja. Namun setelah kembali dari medan perang, para lakilaki tersebut kesulitan masuk kembali ke pekerjaan mereka.
Kemudian pemerintah melakukan himbauan memalui media
massa kepada perempuan untuk kembali ke wilayah domestik.
Akan tetapi, ternyata tidak mudah bagi perempuan-perempuan
tersebut yang sudah terlanjur mandiri secara fisik dan finansial
untuk meninggalkan pekerjaannya. Maka kemudian timbul
gerakan feminisme gelombang kedua yang menuntut agar
perempuan diberi hak yang sama di segala bidang. Upaya ini
berhasil dengan ditetapkannya persamaan upah bagi laki-laki
dan perempuan. Hal ini terjadi pada tahun sekitar 1970-an
(Humm, 1992: 11-13).
Pada awal tahun 1990-an, muncul gerakan kembali
sebagai respon terhadap gerakan feminisme gelombang kedua,
yang selanjutnya dikenal sebagai gerakan feminisme gelombang
ketiga. Mereka mengkritik gerakan sebelumnya sebagai
bias kelas dan hanya berfokus pada perempuan kulit putih.
Maka isu mereka bergerak ke isu tentang ras, kelas sosial dan
seksualitas. Mereka juga mempedulikan masalah ‘glass-ceiling’,
pelecehan seksual, kebijakan cuti ibu bekerja yang tidak adil,
memberi dukungan bagi ibu ‘single parent’ untuk penyediaan
penitipan anak dan memberi penghargaan bagi ibu bekerja yang
memutuskan meninggalkan karir untuk membesarkan anak
secara penuh (www.wikipedia.org)
365
366
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
C. Relasi Gender di Amerika
Sejarah perempuan ditandai dengan posisi perempuan
yang senantiasa berubah dalam rumah tangga maupun di tengah
masyarakatnya. Stereotipe yang berkembang di masyarakat
bahwa perempuan adalah mahluk yang inferior dibanding lakilaki turut mempengaruhi posisi perempuan dalam masyarakat.
Perubahan masyarakat yang terjadi turut mempengaruhi
peran yang dijalankan perempuan khususnya dalam wilayah
domestik. Posisi perempuan dengan demikian berbeda antara
tempat yang satu dengan tempat yang lain dan dalam satu era
dengan era yang lain.
1. Pada Masa Awal Berdiri Negara
Antara tahun 1760-an dan 1790-an, menjadi masa transisi
dimana standar maskulinitas dan feminitas mulai berubah.
Pengaruh laki-laki yang selama ini mendominasi standar nilai
moral masyarakat mulai terkikis dengan mulai diperhatikannya
pengaruh perempuan. Kewajiban sebagai warga negara yang
semula berfokus pada sisi militer dan pemerintahan kini beralih
dengan lebih memperhatikan institusi gereja dan keluarga.
Suatu pandangan baru yang mengedepankan hubungan yang
baik di dalam keluarga telah menaikkan posisi para istri dan
ibu, yang mana kefemininan kini dipandang sebagai sesuatu
yang dibutuhkan dalam rangka menjaga nilai-nilai negara.
Pengembangan peran istri dan ibu juga terjadi dalam lingkup
kaum borjuis.
Pada masa kolonial Inggris, perempuan yang mencari
nafkah biasanya bekerja sebagai penjahit atau pemilik rumah
sewa. Tetapi beberapa perempuan juga bekerja pada bidangbidang yang diperuntukkan bagi laki-laki. Ada dokter, pengacara,
pengkhotbah, guru, penulis, dan penyanyi. Pada awal abad 19,
pekerjaan yang bisa diterima oleh masyarakat bagi perempuan
bekerja adalah terbatas pada buruh pabrik dan di rumah tangga.
Perempuan tidak diperbolehkan bekerja pada sektor lain kecuali
menulis dan mengajar. Mereka bekerja selama 12 jam per hari.
Namun tidak sampai tahun 1910, pemerintah mengeluarkan
undang-undang yang membatasi jam kerja perempuan dan
memperbaiki kondisi kerja mereka.
Perempuan selama periode ini menurut Michael Goldberg
dalam Breaking New Ground (1800-1848) sebagaimana dikutip
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA
(Dewi Ulya Mailasari)
American Women History: 79 mengalami pasang surut antara
idealisme dan realita menyangkut hal pendidikan, agama,
pekerjaan, kewarganegaraan dan hubungan keluarga. Bagi
kebanyakan perempuan ini, pola hubungan keluarga seperti
dengan suami atau sebagai ibu dengan anak masih berubahubah. Begitu norma baru dibuat maka norma yang lama ada
yang masih dipertimbangkan atau bahkan diperkuat kembali.
Berbagai tingkat kekuasaan perempuan dan ketidakberdayaan
mereka menjadi terungkap. Hal ini merefleksikan status mereka
dalam masyarakat secara luas.
Begitu era industrialisasi muncul, orang-orang bekerja di
pabrik-pabrik dan kantor di kota-kota. Keluarga kelas menengah
menggunakan sebagian besar penghasilan mereka untuk
membeli barang-barang siap pakai dari sabun sampai sepatu
yang dulunya pernah dibuat perempuan di rumah. Orang-orang
kelas menengah tidak lagi membutuhkan keluarga besar untuk
membantu mereka bekerja di sawah. Pada akhirnya, sebuah
keluarga yang besar malah dipandang sebagai beban ekonomi.
Ada satu masa ketika orang New England memandang
keluarga sebagai suatu hierarki yang cukup ketat dimana ayah
sebagai pengatur segalanya, ibu di bawah sang ayah dan secara
teoritis, anak-anak berada di tingkat paling bawah. Setelah tahun
1800, standard tersebut berubah. Buku-buku dan majalah mulai
memotret keluarga dimana laki-laki mengontrol sektor publik
seperti politik dan bisnis dan perempuan mengambil tanggung
jawab di sektor domestik atau rumah tangga. Pernikahan
dipandang lebih sebagai hubungan partner; dengan istri sebagai
partner yunior, tetapi model lama dimana laki-laki sebagai
pengatur absolut sudah tidak lagi dipakai dalam keluarga kelas
menengah di Amerika tenggara. Tetapi meskipun perempuan
menguasai sektor domestik, hal ini tidak menjadikan mereka
mempunyai hak-hak seperti hak pilih, hak kepemilikan atas
sesuatu atas nama mereka sendiri setelah menikah, mengajukan
perkara hukum, atau membuat wasiat.
Perubahan pandangan dalam pernikahan ini memberikan
pemahaman kepada kita mengapa perempuan muda enggan
untuk menikah. Karena menikah dipandang sebagai kemitraan,
masa berkenalan menjadi masa untuk membuktikan adanya
kesesuaian di antara pasangan.
Setelah menikah, pihak laki-laki sering melupakan janji
367
368
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
setia yang berapi-api dulu. Meskipun banyak pasangan menjadi
lebih kuat, dan terjalin ikatan yang dalam, namun pembagian
wilayah kerja domestik dan publik yang mana perempuan harus
tinggal di rumah dan laki-laki pergi keluar membuat pasangan
suami istri terpisah cukup lama selama beberapa jam. Buku-buku
khutbah dan yang berisi nasihat menekankan bahwa istri harus
membuat rumah sebagai tempat istirahat yang nyaman bagi
suami mereka. Pemisahan wilayah kerja ini membuat perempuan
mempunyai ikatan persahabatan di antara perempuan juga.
Persahabatan di antara perempuan tumbuh seiring pemahaman
bahwa kehidupan mereka berbeda dengan laki-laki. Tidak
seperti hubungan istri dengan suaminya, hubungan dengan
sesame perempuan didasarkan pada kesetaraan (hal. 80-81).
Jika seorang perempuan berhasil menuntut perceraian, ia
takjub akan harga atas kebebasannya. Tunjangan suami untuk
bekas istri jarang diberikan, meskipun hakim memerintahkan
penggantian sejumlah uang pada perempuan yang dizalimi
oleh suaminya. Jika seorang perempuan membawa harta dalam
pernikahannya, maka tidak mungkin untuk mengambilnya
kembali. Begitu ia dan suami mengatakan ‘ya’ saat janji
pernikahan, maka suaminya resmi menguasai semua harta yang
ia miliki. Kesempatan perempuan untuk bekerja sangat kecil,
terlebih jika ia mendekati usia paruh baya.
Pernikahan yang dipandang baik bagi orang Amerika
tenggara adalah jika sang istri mengabaikan segala ambisi
pribadinya dengan tujuan melayani suami dan anak-anaknya.
Tetapi bagi perempuan kesetiaan pada suami dijunjung tinggi,
sehingga secara moral perempuan pada masa itu dipandang
lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini memberikan kemungkinan
peran perempuan lebih besar di masyarakat dan pada bangsanya.
Perempuan mulai memahami bahwa sebagai suatu kelompok
yang berbeda dari laki-laki, mereka mempunyai sesuatu untuk
ditawarkan kepada masyarakat. Mereka bisa menjadi penjaga,
pendidik moral bagi calon generasi penerus mereka. Begitu
Amerika berkembang, para perempuan pun demikian dalam
visi mereka mengenai kedudukan mereka di rumah (hal.82).
Selama masa kekacauan revolusi, Amerika kurang
memberi perhatian kondisi keruhaniaan dibanding dengan
masalah kebebasan warganya. Pemuka agama khawatir akan
matinya rasa keagamaan dan mencela jamaahnya karena gagal
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA
(Dewi Ulya Mailasari)
menjalankan kewajiban-kewajiban agama. Pada tahun 1790-an
banyak orang merasakan pentingnya mengembalikan pemikiran
dan energi mereka ke gereja.
Dalam atmosfir inilah Kebangkitan Kedua (Second
Awakening) dimulai, pertama di area frontier yang haus akan
petunjuk agama dan kemudian di daerah yang lebih padat
penduduk yaitu di Amerika sebelah Timur. Selama Kebangkitan
Kedua, penghidupan kembali nilai-nilai agama membawa ribuan
pemeluk agama baru masuk ke beberapa macam perkumpulan
agama. Kelompok yang tergolong radikal pada waktu itu seperti
Baptist dan Shakers tumbuh kuat secara dramatis dari akhir abad
18 sampai pertengahan abad 19 dan pendirian gereja diperluas
(hal. 172).
Bagi kaum perempuan, Kebangkitan Kedua sebagai
sarana semakin meningkatkan pengaruh keagamaan mereka
yang telah cukup signifikan selama ini. Perempuan telah lama
menjadi mayoritas jemaah gereja. Selama kebangkitan ini,
jumlah mereka semakin membengkak. Pertumbuhan ini semakin
menguatkan kedominanan mereka atas kehidupan keagamaan
di Amerika (hal. 174).
Sejak akhir abad 17, lebih banyak perempuan dibanding
laki-laki yang mencari penghiburan di gereja-gereja dengan
alasan yang bermacam-macam. Pertama, mereka telah terbiasa
untuk mengorbankan diri mereka sendiri demi kepentingan
yang lain. Karena itu, perempuan merasa lebih nyaman dengan
pengajaran Kristen yang mengedepankan pengorbanan diri.
Kedua, dibanding dengan laki-laki, perempuan lebih riskan
menghadapi resiko kematian dan luka permanen karena
melahirkan. Dihadapkan pada resiko kematian yang lebih
sering membuat mereka lebih memperhatikan kebutuhan
ruhani mereka. (Bukan hal yang kebetulan, perempuan sering
ikut dalam kegiatan gereja begitu mereka menikah.) Tingkat
kematian bayi tetap tinggi selama abad 18, dan hamper setiap
perempuan mempunyai pengalaman teman atau famili yang
meninggal karena melahirkan atau luka yang diderita karenanya.
Hal ini menjadi sebab kesetiaan perempuan pada perkumpulan
keagamaan (hal. 174).
Pemuka agama mungkin juga mendapatkan dukungan
dari jemaat perempuannya dengan mengajarkan pada mereka
bahwa hanya dengan prinsip-prinsip Kristen-lah perempuan
369
370
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
dinaikkan ke posisi yang sejajar dengan laki-laki. Tema yang
senantiasa ada dalam khutbah-khutbah selama Kebangkitan
Kedua adalah peran gereja dalam memperbaiki kedudukan
sosial perempuan. Hanya dengan pengajaran Kristen, laki-laki
akan memperlakukan perempuan dengan baik seperti yang
sepantasnya diterima oleh perempuan. Budaya dan agama
lain tidak berhasil dalam menaikkan status perempuan, tetapi
Kristen telah memuliakan perempuan pada posisi yang sejajar
dengan laki-laki. Itulah yang membuat perempuan mendukung
gereja dan pendeta (hal. 174).
Meskipun perempuan tidak dimasukkan dalam posisi
kepemimpinan di kebanyakan gereja, pemuka agama merasa
perlu untuk memperhatikan kebutuhan dan pendapat mereka
ketika menyusun khutbah, menyusun kebijakan gereja atau
mengatur dana gereja. Karena perempuan mendominasi gereja
dan pemberi terbanyak donasi gereja, semakin banyak pemuka
agama merasa berhutang atas posisi, status dan gaji mereka.
Sehingga penggambaran tentang perempuan menjadi lunak
pada abad 18. Yang telah berlalu adalah prinsip lama dimana
kaum Puritan menekankan pada peran Hawa yang menyebabkan
Adam berada dalam dosa. Dalam posisinya, muncullah
pandangan yang lebih lunak tentang perempuan sebagai sosok
yang bijaksana, berhati lembut, dan cocok bagi tugas-tugas
keagamaan. Perempuan yang baik, dalam pandangan pemuka
agama, adalah pendukung utama agama di dalam keluarga dan
masyarakat. Tanpa mereka, orang Kristen dalam bahaya seperti
dikatakan oleh salah satu pendeta dalam pujiannya terhadap
Ibunya: “ Siapa yang dapat menemukan seorang istri yang
baik? Dia lebih berharga daripada batu berlian…ia letakkan satu
tangannya pada keluarganya dan kedua tangannya memegang
kumparan. Ia membuka tangannya untuk kaum miskin dan
membuka tangannya untuk orang yang membutuhkan…ia
membuka mulutnya hanya untuk mengatakan hal-hal yang
bijak dan mengajarkan akan kebaikan. Ia kelihatan gesit dalam
urusan rumah tangga dan tidak membiarkan kemalasan
menghampirinya. Anak-anak memuliakannya dan suamipun
memujinya.” Pendeta tersebut mengatakan hal ini dalam
kaitan mengajarkan perempuan mengenai kewajiban sosial dan
kewajiban domestiknya.
Dalam setiap isi khutbah kemudian senantiasa memotret
sifat perempuan sebagai sosok ibu yang bijaksana, pekerja keras
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA
(Dewi Ulya Mailasari)
dan berkemauan kuat untuk membawa anak-anaknya kepada
Jesus dan mencontohkan jiwa penolong.
Penekanan para pemuka agama pada sosok perempuan
melengkapi keyakinan bangsa bahwa ibu ada dalam posisi yang
penting untuk mendukung kesejahteraan bangsa.
Selama masa awal berdirinya Negara Amerika Serikat,
seorang laki-laki memiliki istri dan anak-anaknya hamper seperti
layaknya harta milik. Jika seorang laki-laki miskin memilih untuk
mengirimkan anak-anaknya ke lembaga panti asuhan karena
kemiskinannya, sang ibu tidak mempunyai kekuatan untuk
melawannya. Beberapa masyarakat mengubah hukum yang
telah ada dengan mengijinkan perempuan bertindak sebagai
pengacara di pengadilan, menuntut hak kepemilikan dan
memiliki harta atas nama mereka jika suami menyetujuinya.
Pada awal abad 19, anak secara resmi dibawah kekuasaan
ayahnya dan perempuan seringkali tidak berdaya menghadapi
penculikan atau pemenjaraan oleh suami dan anggota keluarga
laki-lakinya.
Abad 19 didominasi pemikiran pembedaan gender secara
alami, dan oleh konsepsi seksualitas yang bersifat normatif yang
berpusat pada keluarga kelas menengah. Budaya kelas menengah
yang masuk di Amerika sebagai hasil urbanisasi, industrialisasi
dan pertumbuhan ekonomi yang kuat memunculkan dua wilayah
berbeda yang saling melengkapi yaitu wilayah publik dan
wilayah domestik. Wilayah publik yang menjadi bagian laki-laki
yaitu wilayah bisnis dan uang, wilayah politik dan kekuasaan,
dan industri. Wilayah domestik di sisi lain dianggap sebagai
wilayah feminin, identik dengan tempat tinggal dan tungku
dapur, simpati dan pemeliharaan, kesalihan dan pemeliharaan
anak. Perempuan mempunyai batasan dalam wilayah publik.
Akhir abad 19 ditandai dengan munculnya definisi
baru New Woman atau perempuan baru. Perempuan Baru
menjungkirkan sejumlah stereotip model Victorian yang kuno.
Ia identik dengan kecerdasan, lawan dari emosional, sangat
publik lawan dari domestik atau privat, aktif lawan dari pasif,
dan dalam banyak kasus, tidak reproduktif, lawan dari bersifat
keibuan. Ia menyebabkan kegemparan bukan hanya karena
ia menolak peran tradisional perempuan tetapi juga karena ia
kelihatan lebih sesuai dengan yang laki-laki.
371
372
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
2. Perkembangan Feminisme di Amerika
Gerakan feminisme di Amerika dan luar negeri adalah
gerakan sosial dan politik yang ingin membangun kesetaraan
bagi perempuan. Gerakan itu mengubah kehidupan beberapa
perempuan dan memberi efek yang luar biasa pada kehidupan
masyarakat Amerika sepanjang abad 20.
Sebagai sebuah kekuatan yang terorganisasi, feminisme
bermula dari abolisi pada awal tahun 1830-an. Abolisionisme
adalah gerakan anti budak yang radikal yang menuntut
penghapusan perbudakan dengan segera. Setiap orang adalah
pemilik dirinya sendiri. Itu adalah gerakan yang terorganisasi
dan yang radikal untuk pertama kali dimana didalamnya
perempuan mengambil peranan yang penting dan cikal bakal
berseminya gerakan perempuan.
Sebelum Perang Sipil, feminis memperjuangkan hakhak kaum kulit hitam, mengidentififkasikan diri mereka sama
dengan nasib kaum kulit hitam. Sikap mereka terhadap lakilaki secara umum baik. Pada konvensi perempuan tahun 1858,
feminisme politik telah menunjuk ke suatu titik tujuan bahwa
hak pilih adalah tujuan yang hampir tak terbantahkan dalam
gerakan ini.
Secara umum, feminis mendukung perang sebagai sarana
mengakhiri perbudakan; mereka mengesampingkan isu-isu
hak perempuan. Setelah perang berakhir, isu kunci feminisme
arus utama adalah amandemen ke 13, 14 dan 15 dari konstitusi,
semuanya bertujuan tercapainya kebebasan kaum kulit hitam.
Tetapi, kemudian abolisionis laki-laki hampir semuanya
menolak tuntutan kaum perempuan akan hak pilih, mengatakan
bahwa ini bukanlah saat yang tepat untuk menekankan hak
kaum perempuan. Seperti dikatakan oleh Abraham Lincoln,
satu perang satu waktu, satu pertanyaan pada satu waktu.
Masa sekarang adalah masanya orang kulit hitam (Anthony,et
al., History of Woman Suffrage: 59.) Gerakan feminis berubah.
Penolakan abolisionis laki-laki untuk mendukung usaha
perempuan menimbulkan kecurigaan diantara tokoh-tokoh
feminis. Sikap dalam bidang politik juga telah berubah. Sebelum
Perang Sipil, para feminis cenderung kepada strategi yang bukan
politik. Feminisme baru kemudian memusatkan perhatian pada
hak pilih.
Sementara feminis berkonsentrasi pada hak pilih, feminis
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA
(Dewi Ulya Mailasari)
yang lebih radikal melihat hal lain demi kemajuan. Feminis
individualis berfokus pada perbaikan pengaturan kelahiran dan
undang-undang perkawinan. Tujuan mereka kebebasan.
Para feminis percaya bahwa perempuan seharusnya
mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Tetapi arti
kesetaraan berbeda-beda di dalam tubuh gerakan feminisme
itu sendiri. Melalui sejarah diketahui bahwa feminisme di
Amerika menganggap kesetaraan sebagai perlakuan yang sama
di bawah hukum dan keterwakilan mereka dalam institusi.
Fokusnya bukan pada merubah kondisi yang ada, tetapi lebih
terlibat pada kondisi yang sudah ada tersebut. Feminis yang
lebih radikal memprotes undang-undang dan institusi yang ada
sebagai sumber ketidakadilan dan karena itu tidak bisa dirubah.
Para feminis ini melihat ada sesuatu yang salah secara mendasar
mengenai masyarakat, disamping adanya diskriminasi terhadap
perempuan. Bagi individualis, kesetaraan adalah suatu definisi
politis yang mengacu pada perlindungan akan hak-hak pribadi
yaitu perlindungan hukum moral yang setiap orang punya atas
badan mereka sendiri. Bagi feminis sosialis, maka definisinya
dalam term sosio-ekonomis. Perempuan dapat setara hanya
setelah hak milik pribadi dan hubungan keluarga dibatasi.
Maka dalam rangka menghargai tradisi dalam feminisme, kita
hendaknya memperhatikan konteks dalam setiap gerakan yang
timbul.
Di samping industrialisasi, tiga perkembangan penting
dilihat sebagai pengubah struktur kehidupan orang Amerika
pada akhir abad 19; imigrasi besar-besaran, urbanisasi, dan
perkembangan kemajuan gerakan perempuan. Wanita Baru
mengubah dasar organisasi keluarga dan perilaku seksual.
Perempuan tumbuh lebih mandiri di lingkungan kota dan
pada tahun 1898 seorang tokoh feminis Charlotte Perkins
Gilman menerbitkan buku Women and Economics, dia meminta
perempuan untuk membuang status ketergantungan mereka
dan berkontribusi pada kehidupan kemasyarakatan secara lebih
luas melalui keterlibatan yang produktif dalam bidang ekonomi.
Menolak semua klaim yang mengatakan bahwa faktor biologi
telah memberikan keberbedaan karakter yang mendasar di
antara perempuan dengan laki-laki. Dia berpendapat bahwa
tugas ibu yang sangat khusus tidaklah semenguntungkan
dengan yang dikira selama ini. Ia mendukung diaadakannya
tempat pengasuhan anak dan dapur umum untuk mendukung
373
374
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
keikutsertaan perempuan dalam dunia kerja.
Gerakan feminis telah tampak pada beberapa fase dalam
sejarah Amerika. Selama Perang Sipil perempuan menelorkan
gender yang didasarkan pada diskriminasi. Selama Era
Progresif, mereka mencari dan akhirnya memperoleh hak pilih.
Gerakan itu mencapai titik yang paling aktif pada tahun 1960an ketika gerakan anti-diskkriminasi berada di barisan depan.
Dengan meratifikasi ERA, pemerintah harus menyadari bahwa
perempuan tidak hanya secara biologis sama dengan laki-laki
tetapi juga mereka berhak mendapat perlakuan yang sama di
dalam rumah, tempat kerja, dan masyarakat. Sayangnya, tiga
perempat dari seluruh negara bagian tidak meratifikasinya.
Dengan menafikan kegagalan ERA, feminis sebenarnya telah
membawa perubahan yang substansial dalam kehidupan
Amerika. Memberikan pilihan yang positif pada perempuan
untuk pemenuhan diri pribadi di luar rumah dan hal tersebut
pun pada akhirnya akan membawa kemanfaatan bagi Amerika.
Tahun-tahun setelah Perang Dunia II terlihat ada dorongan
dari masyarakat agar perempuan kembali ke posisi awal sebelum
perang yaitu sebagai ibu rumah tangga. Beberapa perempuan
tidak menemukan kepuasan hidup dalam membesarkan anak
dan cenderung memenuhi kebutuhan suami. Sentiment ini dan
kondisi sosial lain yang menyertai membawa pada kebangkitan
kembali gerakan feminis.
Setelah Perang Dunia II, feminis terus berjuang untuk
mengimplementasikan kesetaraan hak di semua bidang yang
terus bergulir hingga sekarang dalam usaha memecahkan
penghalang kaca (glass-ceiling) yang membuat perempuan
berbeda dan terhalangi dari koleganya laki-laki pada pencapaian
karir yang lebih tinggi. Seperti pengalaman yang sudah lalu,
para feminis selalu tidak berada dalam kesamaan pendapat
mengenai cara terbaik untuk memperoleh tujuan-tujuan tersebut.
Warren Hedges di Southern Oregon University mengemukakan
tentang “Taxonomy of Feminist Intellectual Traditions,” dengan
mengkategorikan feminisme sebagai berikut: 1) liberal feminism,
yaitu feminisme yang mencari kesamaan hak perempuan
melalui jalur politik dan sipil; 2) cultural feminism, yang berusaha
menemukan kembali suara-suara perempuan pada masa lalu
dan kemudian memperluas pembelajaran karya-karya canon di
sekolah-sekolah; 3) separatism, yaitu untuk membangun ruang
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA
(Dewi Ulya Mailasari)
gerak dan dimana perempuan dapat menentukan nasib berdasar
pada nilai-nilai dan kepercayaan yang mereka pegang; and 4)
“queer theory,” yang berusaha menggali marjinalisasi, radikalisme
dan nilai identitas seksual yang terpinggirkan seperti contohnya
homoseksualitas.
Selama periode tahun 1980-an, masyarakat Amerika
diwarnai oleh iklim politik konservatif yang terus meningkat
dan gerakan feminis menerima reaksi yang kurang baik dari
pihak mereka sendiri dan dari golongan anti feminis. Feminisme
telah selalu dikritik karena mengutamakan kulit putih, kelas
atas dan disorot karena kegagalannya untuk memahami dan
memperhatikan perempuan golongan orang miskin, AfrikaAmerika dan hispanik.
Pada tahun 1990-an, muncullah feminisme gelombang
ketiga yang masih memperhatikan masalah-masalah yang
sama seperti pendahulunya tetapi sekarang lebih terlibat pada
bidang politik daripada mengkritisi saja dari luar. Kebanyakan
dari generasi muda feminis ini menekankan pada kebutuhan
memperluas wilayah feminisme, menekankan pada jaringan
global, hak-hak asasi manusia, keadilan ekonomi meliputi
seluruh dunia dan isu-isu berkaitan dengan ras, gender dan
kelas.
Bagi perempuan Afrika-Amerika, mereka tidak
mengidentifikasi diri mereka sendiri sebagai bagian feminis,
bagaimanapun, keyakinan dan aktivitas mereka selama ini
sudah menyalakan semangat anti rasisme dan gerakan politik
anti pembedaan berdasarkan jenis kelamin. Mereka menyebut
diri mereka sebagai “Black American Feminism”. Hingga kini
pun, mereka masih berusaha mendapatkan kebebasan. Mereka
telah mengalami penekanan di rumah, di tempat kerja, di
komunitas mereka dan terlebih lagi dalam suatu budaya yang
mendominasi.
3. Konstruksi Gender pada tahun 1900-an sampai 1990an
Pada akhir abad 19, cita-cita domestik yang diinginkan
oleh masa Victorian telah pudar. Era Jazz tahun 1920-an muncul,
yaitu suatu era ketika perempuan mulai melawan konvensi
mengenai kepantasan sikap bagi perempuan, suatu perlawanan
yang ditunjukkan baik dalam gaya berpakaian yang berubah
375
376
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
dan gaya hidup yang berubah seperti merokok, minum, dan
mencoba hal-hal yang berbau seksualitas.
Peran domestik dan peran sosial perempuan beberapa
kali mengalami pasang surut antara tahun 1920 sampai 1950.
Keberlebihan dan kekurangan yang ditunjukkan dalam setiap
periode menyebabkan naik turunnya peran-peran ini. Kejadiankejadian penting yang membawa pengaruh antara lain Perang
Dunia I (tahun 1920-an), Masa Depresi dan New Deal, Perang
Dunia II dan Setelah Perang Dunia II (tahun 1950-an). Kaum
perempuan secara keseluruhan terpengaruh tetapi seberapa
jauh dan dengan cara bagaimana mereka terpengaruh sungguh
berbeda-beda.
Perempuan kulit putih yang telah menikah sangat
dipengaruhi oleh ikon-ikon sosial sebagai ibu rumah tangga
yang modern pada tahun 1920-an. Mereka juga cakap dalam hal
pendidikan, karir dan kehidupan rumah. Dilihat dari sisi keidealan,
mereka telah mempunyai segalanya. Depresi telah merusak
impian-impian mereka dan mendorong keluar perempuan
dari kancah dunia kerja sehingga kesempatan dikembalikan
kembali kepada laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Depresi
finansial ini membawa implikasi sosial juga. Dengan timbulnya
Perang Dunia II, maka ketenagakerjaan disodorkan kembali
kepada istri-istri dan ibu-ibu ini. Kepentingan Negara terpaksa
melukai kehidupan keluarga karena perempuan mengikuti apa
yang dulu telah ditetapkan sebagai pekerjaan laki-laki. Setelah
Perang Dunia II, dengan tujuan untuk mengamankan kembali
pekerjaan-pekerjaan laki-laki, sosialisasi dilakukan dengan
sasaran perempuan yang telah menikah untuk mengembalikan
mereka kembali ke wilayah domestik.
Perempuan kulit putih yang lajang berhasil baik pada tahun
1920-an tetapi gagal pada masa Depresi. Selama Kebangkitan
Kedua posisi-posisi professional yang sekali waktu pernah
dipegang oleh perempuan kulit putih lajang yang berpendidikan,
kemudian menjadi diperuntukkan untuk laki-laki. Kesempatan
bagi para perempuan ini hilang. Selama Perang Dunia II
ketenagakerjaan seperti halnya kesempatan politik terbuka
lebar bagi perempuan kulit putih yang masih lajang. Mereka
juga diperbolehkan bekerja di bidang militer. Tetapi kurangnya
laki-laki dan kuatnya propaganda yang muncul setelah Perang
pada tahun 1950-an membuat perempuan kulit putih lajang
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA
(Dewi Ulya Mailasari)
ini menjadi rentan terhadap teknik sosialisasi yang membawa
mereka kembali ke rumah. Hal ini menarik bagi perempuan
muda tetapi tidak bagi perempuan yang berpendidikan dan
professional. Ini adalah sebuah langkah mundur bagi aspirasi
mereka.
Perempuan Amerika-Afrika menjalani kisah hidup
mereka sendiri dan meskipun banyak perubahan telah terjadi
akibat dari serangkaian kejadian, tetaplah ada masalah yang
sama yang belum terselesaikan, diantaranya adalah diskriminasi
dalam lapangan kerja. Mereka adalah pihak yang paling akhir
diberi kesempatan dalam hal ketenagakerjaan ketika itu dibuka
dan yang pertama disuruh menyingkir ketika kesempatan
ditutup. Apalagi mereka tidak diberikan dukungan dan sarana
untuk kembali menjadi ibu rumah tangga. Pada kenyataannya,
perempuan Amerika-Afrika disamping perjuangannya, tetaplah
menjadi kontributor finansial rumah tangga mereka. Mereka pada
akhirnya naik menjadi kepala rumahtangga sebagai kesempatan
yang paling mungkin bagi mereka daripada pasangan mereka.
Peran yang diharapkan perempuan secara drastis berubah
sejak tahun 1950-an. Perang Dunia II menghilangkan banyak lakilaki dari rumah-rumah dan pekerjaan mereka, meninggalkan
banyak pekerjaan terbuka yang hanya perempuanlah yang
dapat mengisinya. Perempuan mengambil pekerjaan-pekerjaan
yang secara tradisional hanya laki-laki yang memegangnya.
Akhir perang membawa kepada kembalinya para prajurit dan
kembali ke pekerjaan masing-masing sebelum perang dan
membuat perempuan kembali ke posisinya sebagai ibu rumah
tangga. Tahun 1950-an dan 1960-an, peran gender perempuan
melukiskan mereka sebagai ibu-ibu rumah tangga yang bahagia
yang ingin kelihatan senantiasa cantik, dapat menata rumah,
mengasuh anak dan melayani suami. Tidak ada kebutuhan atau
keinginan dari perempuan pada masa ini untuk dipekerjakan
karena kepuasan diri sebagai pekerja sama saja dengan kepuasan
menjalani peran sebagai istri (Barnet: 1182). Mendekati tahun
1970-an, perempuan mulai tidak mengindahkan peran gender
yang telah diterima secara luas yang dahulunya dipegang.
Kini ia berusaha mengejar pendidikan yang lebih tinggi dan
mendapatkan tempat dalam dunia kerja. Hal ini adalah awal dari
apa yang disebut “one of the most significant social and economic
trends in modern U.S. history”.
377
378
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Melalui sejarah, laki-laki dipandang sebagai pencari
nafkah keluarga atau “men were [typically] the family
breadwinners (www.pbs.org). perempuan jarang dididik di
tingkat perguruan tinggi karena peran mereka adalah sebagai
ibu rumah tangga. Tetapi hal ini berubah pada tahun 1970-an
ketika gerakan feminisme dimulai. Sekarang ini, perempuan
telah mengambil kontrol penuh atas pemilihan peran yang ingin
dimainkannya dan sebagai hasilnya lebih banyak perempuan
yang bekerja sekarang ini dibandingkan dengan sebelumsebelumnya (www.ilo.org). Naiknya jumlah perempuan dalam
lapangan kerja dikarenakan kesempatan yang lebih besar yang
diberikan pada perempuan dalam pasar kerja, pencapaian tingkat
pendidikan yang terus menaik, ukuran keluarga yang mengecil,
kemandegan atau bahkan turunnya upah bagi laki-laki, naiknya
biaya untuk mempertahankan gaya hidup kelas menengah,
semakin panjangnya rentang hidup seseorang dan pembebasan
dalam hal tingkah laku berkaitan dengan peran yang cocok bagi
laki-laki maupun perempuan dalam keluarga.
Biaya hidup yang naik pada tahun-tahun terakhir
ini merupakan faktor utama kebutuhan perempuan untuk
bekerja daripada hanya sekedar keinginan belaka. Perubahan
yang paling kentara diantara laki-laki dan perempuan adalah
perubahan dalam pandangan peran gender yang stereotip. Lakilaki tidak lagi mengharapkan istrinya yang mencucikan bajunya
dan perempuan pun tidak lagi mengharapkan laki-laki menjadi
satu-satunya pemberi nafkah dalam keluarga. Peran gender
menjadi kurang stereotip, membiarkan perempuan merasakan
kemandirian dan berkontribusi pada keberlangsungan keluarga
dalam peran yang dianggap cocok, tidak mengacu pada masa
lalu di tahun 1950-an.
Fenomena buku Betty Freidan yang berjudul The Feminine
Mystique (1963) memberikan perempuan kesempatan untuk
memeriksa kembali kehidupan mereka sendiri. Buku ini
memberikan kepada perempuan yang selama ini dibesarkan
dengan kepercayaan bahwa peran alam mereka adalah sebagai
ibu rumah tangga, suatu wawasan akan hal kemungkinan
lain demi pemenuhan kepuasan diri secara pribadi. Feminis
berpendapat bahwa tak ada seorang perempuan pun yang dapat
menemukan kepuasan pribadi sejati dalam peran sebagai ibu
rumah tangga. Meskipun banyak perempuan yang tidak puas
dengan gaya hidup seperti ini, tetapi juga tetap ada beberapa
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA
(Dewi Ulya Mailasari)
yang senang sebagai istri dan ibu.
Sejak revolusi seks pertengahan tahun 1960-an, segala
skenario hubungan antara laki-laki dan perempuan telah
berubah kearah nilai-nilai liberal.
William Chafe dalam tulisannya The Road to Equality
(1962-today) yang tertuang dalam buku American Women History
menulis bahwa begitu Amerika menyambut tahun 2000, beberapa
isu bermunculan tentang perempuan. Meskipun mengalami
kemajuan, perempuan tetaplah korban utama ketidaksetaraan
dalam bidang ekonomi, sosial dan politik. Meskipun 40 %
perempuan kulit hitam berpartisipasi di dalam kelas menengah
dan sebagai pengacara, dokter dan eksekutif, 40 % yang lain
terperangkap dalam kumparan kemiskinan, pengangguran dan
masalah sosial.
Pada pertengahan 1990-an pembuat kebijakan dan orangorang Amerika secara umum kelihatannya telah menemukan
kompromi dalam hukum dan konstitusi mengenai status
perempuan. Di balik keengganan badan pembuat undangundang Negara untuk mengesahkan ERA—Amandemen hakhak kesetaraan (1982) tersimpan ketakutan pihak konservatif
bahwa perbedaan mendasar antara perempuan dan laki-laki
akan dihilangkan. Akhirnya ERA gagal karena orang-orang
semacam Judy Morgan dan Dianne Chavis tidak berharap
pembuat undang-undang mereka betul-betul meninggalkan
nilai-nilai tradisional (hal.83-84).
Perempuan berusaha memperoleh jabatan-jabatan politik
pada tahun 1990-an. Pemerolehan jabatan itu lebih banyak pada
tingkat lokal dibanding nasional. Masih terus adanya sekat gender
dalam pemilihan suara—perempuan lebih memperhatikan isu
sosial seperti pendidikan, pengawasan senjata, kesehatan, dan
keamanan masyarakat—membuat para politisi mengabaikan
kehadiran perempuan.
Pilihan reproduktif terus menjadi isu yang penting dalam
politik khususnya oleh kaum Kristen fundamentalis yang
menolak aborsi sebagai perampasan hak hidup. Mahkamah
Agung Amerika telah memperbolehkan beberapa Negara bagian
mengatur kondisi darurat yang memungkinkan perempuan
memilih aborsi, dan itu diputuskan pada tahun 1992. Hal ini
untuk menjaga kemajemukan masyarakat Amerika. Namun,
banyaknya gerakan anti aborsi, dimana diantaranya ada yang
379
380
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
menggunakan cara-cara kekerasan telah berhasil mengurangi
secara drastis jumlah penyedia jasa aborsi.
Baik dalam ERA maupun aborsi tampak adanya
kecenderungan membalik keadaan dengan cara yang ekstrim
baik itu dari yang pro maupun yang anti feminisme. Pertanyaan
lebih besar adalah apakah program-program feminisme seiring
sejalan dengan program dari kelompok masyarakat lain yang
peduli untuk memperjuangkan masyarakat yang lebih adil. Pada
tahun 1990-an kebijakan Amerika mengesahkan cuti bekerja
selama 12 minggu bagi ibu melahirkan tetapi menyerahkan
urusan gaji pada yang mempekerjakan. Para ibu mungkin
pihak yang paling besar mendapat keuntungan, tetapi hal ini
sebenarnya untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Tidak ada isu yang lebih besar di Amerika selain isu
tentang gender, ras dan kelas. Melalui pengorbanan dari
beberapa aktivitas yang tak terhitung jumlahnya, masyarakat
Amerika diminta untuk terus mendengungkan masalah ras
dan gender yang terus ada di bidang hukum maupun di dalam
kehidupan masyarakat pada pertengahan kedua abad 20, untuk
juga mengurangi ketimpangan yang dialami oleh mereka hanya
karena lahir tidak sebagai laki-laki atau kulit putih.
Amerika yang baru dan yang lebih bebas masih menjadi
angan-angan, dengan jutaan orang tidak dapat mengambil
manfaat dari perubahan yang dihasilkan dari penyokong hak asasi
manusia dan feminis. Jika saja Amerika dapat bergerak sebesar
mungkin tenaga yang dibutuhkan, maka tujuan memperluas
hak asasi manusia dan kehidupan yang layak bagi masyarakat
kelas bawah dan juga perjuangan panjang penyetaraan antara
laki-laki dan perempuan akan dapat terwujud (hal. 85-86).
Kondisi Amerika sekarang telah menerima perempuan
sebagai partner yang setara, tetapi perempuan ingin lebih setara.
Selama tahun 1990-an, pilihan peran tradisional perempuan
terus terkikis dan sekat gender mulai menyempit. Tahun 1990an juga memunculkan fenomena laki-laki kulit putih yang
marah (angry white man), laki-laki Amerika merasa terdesak,
ditekan untuk menjadi maskulin dalam budaya yang tidak lagi
menghargai laki-laki dalam peran tradisionalnya. Stiffed Faludi
dalam The Betrayal of the American Man (1999) seperti dikutip
dalam www.encyclopedia.com, menulis bahwa kebanyakan
laki-laki tidak lagi mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA
(Dewi Ulya Mailasari)
dalam kehidupan masyarakat dengan secara lebih berarti. Di
tengah krisis, beberapa melihat bahwa masa sekarang adalah
kesempatan baru bagi laki-laki untuk lepas dari stereotip lama
dan memunculkan paradigma baru kemaskulinan ; tugas
mereka bukan untuk menetapkan bagaimana manjadi maskulin
tetapi kemaskulinan tersebut terletak pada bagaimana menjadi
manusia seutuhnya. “Their task is not, in the end, to figure out how
to be masculine; rather their masculinity lies in figuring out how to be
human”.
D. Perempuan dan Keluarga
Beberapa artikel mengungkapkan peran perempuan
dalam rumah tangga dan dalam hubungannya dengan pasangan
mereka. Seperti Letitia Anne Peplau dan Susan Miller Campbell
dalam artikelnya “The Balance of Power in Dating and Marriage”
mengatakan bahwa istilah kekuasaan (power) dalam suatu
hubungan laki-laki dan perempuan sulit untuk didefinisikan.
Banyak kesimpulan yang bisa didapat dalam penelitian barubaru ini. Mayoritas pasangan menggambarkan hubungan
mereka sebagai egaliter, sebagian yang lain mengungkapnya
adanya dominasi laki-laki dan yang paling sedikit menyatakan
didominasi perempuan. Pasangan yang egaliter tidaklah
serta merta berbagi semua keputusan penting yang perlu
diambil. Masing-masing berpengaruh pada bidang-bidang
yang berbeda. Suami mengambil keputusan yang berkaitan
dengan keuangan, sedangkan istri mengambil keputusan yang
berkaitan dengan masalah rumah tangga. Sedangkan dalam
hal rekreasi anggota keluarga, mereka memutuskan bersamasama. Semua masih mengacu pada peran tradisional, sehingga
mereka mengkombinasikan kesetaraan kekuasaan dengan peran
tradisional.
Penelitian menunjukkan tampaknya pasangan yang sejajar
dalam kekuasaan adalah pasangan yang memang menganut
kesetaraan hubungan laki-laki dan perempuan, yang masingmasing mempunyai sumber penghasilan sendiri yang sama, dan
sama-sama saling bergantung atau terikat dengan hubungan
yang mereka jalin. Tidak ada satupun faktor yang bisa menjadi
acuan bahwa suatu hubungan dikatakan mempunyai kekuasaan
yang setara. Ada kalanya pasangan yang menganut kesetaraan,
ternyata tidak memperoleh hubungan yang setara. Sedangkan
381
382
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
yang menganut paham peran tradisional justru menganggap
hubungan mereka telah sejajar dalam hal kekuasaan atau
pengaruh.
Penelitian empiris telah menolak adanya mitos bahwa
orang kulit hitam bersifat matriarkal dan orang keturunan
Amerika latin sebagai patriarkal dalam hubungan antara lakilaki dan perempuannya. Pernyataan yang skeptis muncul setelah
melihat beberapa hasil penelitian yaitu bahwa pernikahan yang
benar-benar egaliter sebenarnya hanyalah mitos.
Secara awam orang berpikir bahwa suatu hubungan
mempunyai kekuasaan yang setara jika secara kasat mata
kelihatan sebagai hubungan yang adil, jika mereka tidak merasa
tereksploitasi satu sama lain, jika mereka masing-masing dapat
melakukan hal-hal yang mereka ingin lakukan dan terlebih lagi
jika mereka merasa dapat mempercayai pasangan mereka dan
percaya bahwa mereka memang mempunyai hubungan yang
baik. Sesungguhnya kepercayaan dan komitmen-lah yang bisa
mengurangi ketimpangan kekuasaan di antara pasangan. Pada
akhirnya kesetaraan sejati dalam sebuah pernikahan tidak dapat
diperoleh sampai perempuan sebagai kelompok masyarakat
mempunya status yang sejajar pula di masyarakat. Jika hanya
laki-laki yang diberi kesempatan lebih besar mengembangkan
kemampuan mereka, maka sulit perempuan memperoleh
kesetaraan kekuasaan (Peplau dalam Freeman, 1989: 121-136).
Janice M. Steil dalam “Marital Relationships and Mental
Health: The Psychic Costs of Inequality” mengatakan bahwa
prinsip keadilan (equity) dan persamaan (equality) semestinya
dibedakan, karena keadilan diasosiasikan dengan tercapainya
tujuan produktifitas ekonomi dan orang hanya dilihat dari segi
kemanfaatan ekonomi. Sedangkan prinsip persamaan (equality)
memandang semua keadaan dan sarana harus sama-sama
dibagi secara sama. Persamaan (equality) diasosiasikan dengan
tujuan mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang
nyaman. Hubungan pernikahan sekarang ini lebih condong
kepada equity atau asas keadilan. Hal ini berakar dari pandangan
masyarakat yang memandang segala sesuatu yang bernilai itu
hanya dari sudut ekonomi. Namun mengapa seorang perempuan
yang merelakan dirinya untuk fokus pada rumah tangga menjadi
sosok yang kurang berpengaruh dalam kehidupan, padahal dia
sudah melakukan hal yang berharga dan bernilai ekonomis
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA
(Dewi Ulya Mailasari)
yaitu mengurus keluarga. Hal ini disebabkan oleh adanya nilai
dan pembedaan peran gender yang memberikan peran dan
tanggung jawab tertentu berdasar pada jenis kelamin. Dahulu
kala perempuan dipandang sebagai property atau hak milik dan
sekarang mengarah pada hubungan yang sejajar. Hubungan
yang sejajar tidak dapat tercapai manakala sistem masyarakat
masih membedakan peran dan tanggungjawab atas dasar jenis
kelamin. Suatu perubahan tidak akan diperoleh sampai peran
gender stereotip diterima sebagai sesuatu yang tidak adil.
Keyakinan yang ada dalam masyarakat tersebut mempengaruhi
pandangan perempuan tentang hal-hal yang mungkin mereka
capai, tentang tanggungjawab mereka, tentang keinginankeinginan mereka dan tentang hak-hak mereka. Karena itu
perempuan harus disadarkan atau kalau tidak, dia sendiri yang
akan menjadi penyokong dominasi laki-laki karena menganggap
perannya hanya sebagai nurturer baik untuk suami maupun
untuk anak-anaknya, sementara suami sebagai pencari nafkah.
Jika masyarakat tidak memberi dukungan kepada khususnya
ibu-ibu bekerja, maka ditakutkan akan muncul keluargakeluarga yang kecil dan perempuan yang tidak menginginkan
anak (Steil dalam Freeman, 1989: 138-146).
Janet Saltzman Chafetz dalam artikelnya “Marital Intimacy
and Conflict: The Irony of Spousal Equality” mengatakan bahwa
kebebasan dan kesetaraan adalah hal yang baik namun kestabilan
dan keharmonisan tampaknya bukanlah bagian dari itu. Karena
dalam hubungan yang setara, justru akan lebih sering muncul
konflik dan lebih sulit pula untuk diselesaikan. Dan perceraian
lebih mungkin menjadi alternatif (Chafetz dalam Freeman, 1989:
149-155).
Michele Hoffnung dalam artikelnya “Motherhood:
Contemporary Conflict for Women” mengatakan bahwa merubah
nilai-nilai sosial itu perlu, tapi hampir tidak dapat menjadi
jawaban bagi perempuan yang sekarang ini sedang merenungkan
peran sebagai ibu. Diakui bahwa seorang ibu bekerja akan lebih
puas terhadap dirinya sendiri dan harga diri mereka meningkat
dibanding ibu yang tidak bekerja. Faktor dukungan keluarga
cukup berperan. Suami dan anak yang tidak mendukung akan
mengurangi tingkat kepuasan ibu bekerja terhadap hidup mereka
dan dalam pekerjaan mereka. Baik ibu yang bekerja maupun tidak
sama-sama memandang peran ibu sebagai peran yang penting.
Namun ibu yang bekerja merasa hubungan kedekatan dengan
383
384
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
anak tidaklah harus berdasar fisik semata. Sedangkan ibu di
rumah menganggap kedekatan dengan anak secara fisik adalah
keharusan. Sekali lagi, jika dukungan keluarga diperoleh, maka
ibu bekerja tetap akan puas dan bahagia meski jauh dari anaknya
karena bekerja. Dari sebuah kuesioner oleh Janet Gray yang
dibagikan kepada professor, pengacara, dan doktor perempuan
yang menikah, disimpulkan bahwa demi keprofesionalan dalam
bekerja, dan nantinya ini berimbas pada tingkat kepuasan dalam
hidup mereka, maka ada 5 strategi yang digunakan oleh mereka
dalam pernikahan, yaitu: 1) meminta anggota keluarga berbagi
pekerjaan rumah, 2) Mengurangi standar dalam hal tertentu
seperti standar kerapian atau kebersihan rumah, 3) Menjadwal
dan mengatur kegiatan secara teliti, 4) Meminta anggota keluarga
membantu mengatasi konflik peran yang timbul, 5) Menghargai
dan menganggap penting minat dari setiap anggota keluarga.
Selain 5 hal diatas, maka ada 5 hal negative yang harus dihindari
menurut mereka, yaitu: 1) Menghilangkan peran, 2) Membiarkan
adanya pembedaan peran seolah-olah peran tersebut tidak
bisa dipertukarkan, 3) Berusaha memenuhi semua harapan
anggota keluarga, 4) Peran yang tumpang tindih, dan 5) Tidak
mempunyai strategi nyata ketika terjadi konflik peran. Menolak
peran-peran dan hubungan-hubungan yang bersifat stereotip
dan meletakkan karir dan keluarga –baik bagi suami maupun
istri—pada pijakan yang lebih sejajar dapat membuat karir dan
keluarga tersebut sama-sama berhasil. Perubahan nilai sosial ini
meskipun tidak menghilangkan namun bisa mengurangi konflik
yang dihadapi perempuan modern (Hoffnung dalam Freeman,
1989: 157-172).
E. Simpulan
Pembagian peran di Amerika bersifat dinamis mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Serangkaian peristiwa dan
kejadian tampaknya mendewasakan pola pikir masyarakat
Amerika hingga pada akhirnya sampai pada kesetaraan
hubungan antara laki-laki dan perempuan seperti sekarang.
Seiring dengan munculnya kebutuhan akan eksistensi diri, maka
perempuan Amerika meningkatkan kemampuan dan keahlian
di bidangnya dalam rangka memperoleh kesetaraan dengan
pasangannya dan dalam rangka menghindarkan diri dari rasa
tereksploitasi oleh pasangan. Perempuan dan laki-laki Amerika
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA
(Dewi Ulya Mailasari)
sama-sama meninggalkan stereotip yang selama ini berlaku dan
memulai fase hidup baru dengan bernegoisasi dengan pasangan
dalam segala hal. Sehingga yang dikedepankan adalah prinsip
persamaan atau equality bukan keadilan atau equity. Karena
dalam equality mengandung pengertian adanya semangat
kerjasama dalam memperoleh satu tujuan, bukan kesamaan
dalam segala bidang yang pada akhirnya hanya akan berkutat
pada saling menuntut.
385
386
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
SUMBER RUJUKAN
Anthony,et al., History of Woman Suffrage. California: Sage
Publishing Company, 2006.
Ashcraft, Karen Lee. “Back to Work: Sights/Sites of Difference in
Gender and Organizational Communication Studies.”
Ed. Bonnie Dow and Julia Wood. California: Sage
Publishing Company, 2006.
Barnet, Rosalind. “Work-Family Balance”. Encyclopedia of Women
and Gender. Academic Press. 2001.
Chadwik, Bruce A. Statistical Handbook on the American Family.
Phoenix, Arizona: Greenwood Publishing Group, 1999.
Chafetz, Janet Saltzman in Jo Freeman’s The Women, “The Irony
of Spousal Equality”, California: Mayfield Publishing
Company, 1989.
Chrisler, Joan C. Lectures on the Psychology of Women. New York:
McGraw-Hill, 2004.
Hoffnung, Michele in Jo Freeman’s The Women, “Motherhood:
Contemporary Conflict for Women”, California:
Mayfield Publishing Company, 1989.
Hook, Bell. Feminist Theory: From Margin to Center. Cambridge:
South End Press, 2000.
Humm, Maggie. Feminism; A Reader. Great Britain: BPC Wheatons,
Ltd., 1992.
McMillen, Sally Gregory. Seneca Falls and the Origins of the
Women’s Rights Movement. Oxford: Oxford University
Press, Inc., 2008.
Michael Goldberg in Breaking New Ground (1800-1848) in Nancy
F. Cott’s (eds.) A History of Women in the United States.
New York: Oxfrd University Press, 2000.
O’Neill, William L. Feminism in America. New Jersey: Quadrangle
Books, Inc., 1994.
Peplau, Letitia Anne and Susan Miller Campbell in Jo Freeman’s
The Women, “The Balance of Power in Dating and
Marriage”, California: Mayfield Publishing Company,
1989.
PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA
(Dewi Ulya Mailasari)
Saul, Jennifer Maher. Feminism; Issues & Arguments. New York:
Oxford University Press, Inc., 2003.
Steil, Janice M. in Jo Freeman’s The Women, “Marital Relationships
and Mental Health: The Psychic Costs of Inequality”,
California: Mayfield Publishing Company, 1989.
William Chafe in The Road to Equality (1962-today) in Nancy F.
Cott’s (eds.) A History of Women in the United States. New
York: Oxfrd University Press, 2000.
http://en.wikipedia.org/wiki/Glass_ceiling
www.wikipedia.org
387
BEDAH BUKU
PERJUANGAN EMANSIPASI
MELALUI BAHASA PEREMPUAN
Setyoningsih *)
Judul buku : Bahasa Perempuan: Sebuah Potret
Ideologi Perjuangan
Penulis
: Anang Santoso
Penerbit
: PT Bumi Aksara Jakarta, Maret 2009
Halaman : 184+xv
Harga
: Rp. 31.000,-
Persolan/isu
gender
merupakan
topik
sering
diperbincangkan, namun tidak banyak yang mengkajinya dari
sudut pandang bahasa. Para pakar ilmu bahasa sejak lama
sudah tertarik untuk menganalis apakah ada perbedaan antara
bahasa laki-laki dan perempuan di lihat dari sudut pandang
sosiolinguistik. Beberapa ada yang sepakat bahwa laki-laki dan
perempuan berbahasa secara berbeda, tetapi ada juga yang
tidak menyetujui pendapat tersebut. Namun ternyata secara
luas diterima bahwa laki-laki dan perempuan berbahasa secara
berbeda. Anang Santoso, yang merupakan seorang dosen
atau staf pengajar di jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,
Universitas Negeri Malang, adalah salah satu orang yang
tertarik menganalisa relasi bahasa dengan gender yaitu tentang
“konstruksi ideologi dalam bahasa perempuan” yang merupakan
hasil penelitian multi-years selama dua tahun mulai 2006-2008.
Kajian terhadap ideologi melalui bahasa perempuan dilakukan
agar dapat diketahui bagaimana sebenarnya perempuan melihat
dan menafsirkan dunia atau realitas, apa yang dianggap penting
dan tidak penting, dan sebagainya.
Di awal buku ini dibahas alasan mengapa bahasa
perempuan menarik untuk dikaji. Bahasa perempuan dapat
)
Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus
PERJUANGAN EMANSIPASI MELALUI BAHASA PEREMPUAN
(Setyoningsih)
disikapi sebagai wacana, karena pada dasarnya bahasa
perempuan selalu mempresentasikan model pandangan
hidup tertentu, yakni gambaran sebuah konstruksi dunia yang
bulat dan utuh tentang ide hidup dan kehidupan yang sudah
ditafsirkan dan diolah perempuan. Anang kemudian meneliti
aspek ‘ideologi’ dari bahasa mereka melalui analisis wanaca
kritis (AWK) terhadap penggunaan kosa kata dan gramatika
para elite perempuan Indonesia antara lain mereka yang
berprofesi penyanyi, artis sinetron, filsuf, sastrawan, menteri,
dan lain lain,
Pertama, buku ini memaparkan berbagai macam teori
tentang bahasa perempuan ditinjau dari berbagai sudut
pandang, yaitu bahasa perempuan sebagain kajian budaya
dimana penelitian terhadap bahasa perempuan merupakan
implikasi dari struktur politik yang menindas, patriarkis,
dan rasis akibat dari persepsi mengenai kebudayaan yang
salah kaprah. Persoalan bahasa perempuan juga haruslah
disikapi dengan wacana perempuan bukan hanya sebagai
bahasa karena wacana merupakan sistem representasi, yakni
cara mengatakan, menuliskan atau membahasakan peristiwa,
pengalaman, pandangan dan kenyataan hidup tertentu, dan
di dalam wacana semua makna diartikulasikan. Sebagai situs
pertarungan sosial (sosial struggle), bahasa perempuan memuat
pelbagai ideologi dimana kajian terhadap ideologi dalam bahasa
perempuan berarti kajian terhadap pelembagaan gagasangagasan sistematis yang diartikulasikan oleh komunitas atau
kaum perempuan, kajian tentang bagaimana teks-teks dan
praktik-praktik budaya tertentu menghadirkan pelbagai citra
tentang realitas yang telah didistorsi, kajian terhadap teks yang
sering terjebak pada persoalan keberpihakan, kajian tentang
cara-cara dimana ritual dan kebiasaan tertentu menghasilkan
akibat-akibat yang mengikat dan melekatkan kita pada tatanan
sosial, sebuah tatanan yang ditandai oleh adanya kesenjanagan
kesejahteraan, gap status, dan jurang kekuasaan yang demikian
menonjol serta kajian tentang usaha untuk menjadikan apa yang
faktanya parsial dan khusus menjadi universal dan legitimate
dan sekaligus juga usaha untuk melewatkan hal-hal yang bersifat
cultural sebagai hal yang ilmiah. Semua posisi ideologis diatas
menempatkan perempuan selalu dalam posisi lemah, marginal
dan subordinat,
389
390
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Menurut beberapa ahli, perbedaan jenis kelamin tertentu
dalam perilaku bahasa merupakan efek samping dari pengalaman
sosial laki-laki dan perempuan yang secara sistematis berbeda.
Penggunaan bahasa yang dibedakan secara gender berperan
signifikan dalam marginalisasi perempuan dalam pelbagai
profesi, khusunya kemajuan dan perkembangan karir, sehingga
posisi makhluk perempuan menjadi tersudut.
Sedangkan jika di lihat dari sudut pandang persoalan
politik representasi, buku ini mengungkapkan tiga pertanyaan
penting berkaitan dengan bahasa perempuan yaitu (1) apakah
representasi “perempuan” dan “laki-laki” memang tidak sejajar
atau simetris dalam bahasa, (2) adakah perbedaan penggunaan
bahasa antara “perempuan” dan “laki-laki”, (3) bahaimana
memberikan penjelasan yang tepat dan akurat kaitannya dengan
perbedaan penggunaan bahasa antara “perempuan” dan “lakilaki”. Disini disebutkan beberapa contoh ketidaksimetrisan
kata kata dalam bahasa Inggris kaitannya dengan representasi
perempuan dan laki laki yaitu penggunaan kata man secara
jenerik untuk memaknai “perempuan”, “laki-laki” dan “anak
laki-laki” dan penggunaan kata man untuk hanya memaknai
“laki-laki” (bukan wanita dan anak-anak). Begitu juga dgn
gelar “Mr” dapat langsung digunakan oleh laki-laki dewasa,
sedangkan perempuan harus memilih tiga “gelar” yang ada
yaitu “Miss”, “Mrs” dan “Ms”.
Tiga teori relasi bahasa dan gender yaitu teori dominasi,
teori perbedaan dan teori analisi gender juga dipaparkan cukup
jelas beserta contohnya. Menurut teori dominasi, perbedaan
bahasa perempuan dan laki-laki berkaitan erat dengan kekuasaan
sehingga muncullah istilah “wacana seksis” yang menunjukkan
adanya kekuasaan laki-laki atas perempuan karena berdasarkan
statistik laki-laki cenderung memiliki kekuasaan yang lebih atas
perempuan secara fisik, finansial, dan dalam hierarki di tempat
kerja. Akhirnya terdapat ideologi yang cenderung merendahkan,
meminggirkan, dan meniadakan perempuan.
Teori yang kedua yaitu teori perbedaan menyebutkan
bahwa perempuan dan laki-laki memiliki gaya berbicara yang
berbeda karena faktor biologis dan sosiologis. Dari segi faktor
biologis, dalam hal ini faktor hormon, laki-laki cenderung agresif.
Sedangkan dari faktor sosiologis, anak perempuan diharapkan
untuk selalu berperilaku sopan, sedangkan laki-laki dihormati
PERJUANGAN EMANSIPASI MELALUI BAHASA PEREMPUAN
(Setyoningsih)
dari sifat “ aktif agresif” dan “semangatnya”.
Teori analisis gender memiliki pandangan yang berbeda
dari kedua teori sebelumnya dimana dalam teori ini, perempuan
secara umum tidak berbicara dalam cara yang sama. Mereka
memiliki pandangan dan harapan yang berbeda sesuai dengan
perbedaan umur, kebangasaan, religi, kelas, orientasi seksual,
latar belakang regional dan kultural, begitu juga laki-laki.
Melanjutkan paparan teoritis, Anang memaparkan pelbagai
ideologi yang diperjuangkan perempuan berdasarkan analisis
kosa kata dari beberapa kutipan elite perempuan, diantaranya
adalah penolakan terhadap kodrat. Di Indonesia sepertinya
sudah mejadi kodrat perempuan menjadi seorang ibu rumah
tangga dimana tugasnya hanyalah menjalankan peran-peran
domestik. Bahkan dalam budaya jawa, perempuan hanyalah
menjalankan 3 M yaitu Masak, Macak, Manak. Pada kutipan
THN, salah seorang elite perempuan yang menjadi sastrawan
ditegaskan bahwa manusia pada dasarnya tidak memiliki
kodrat, dan menjadi wanita pada hakikatnya sama menjadi pria.
Ideologi yang lain adalah pembelaan terhadap kelompoknya
yang tertindas. Ada kutipan yang cukup menarik dari seorang
elite perempuan yang menjadi seorang sastrawati ketika ditanya
tentang isi novel yang sedang ia tulis. Jawaban yang ia berikan
adalah bahwa isi novelnya tentang marginalisasi perempuan yang
secara langsung merupakan pembelaan terhadap kelompoknya.
Masih banyak ideologi yang diungkapkan di buku ini yaitu
ideologi keterikatan pada struktur, pemgambilan distansi
untuk menunjukkan kemampuan, pengurangan distansi dalam
kerangka solidaritas, pemberontakan terhadap kemapanan lakilaki, dan perasaan senasib dengan sesamanya.
Setelah berkonsentrasi pada kajian kosa kata, Anang
menitikberatkan analisis kutipan dari segi gramatika dan
menemukan beberapa ideologi yaitu ideologi keteguhan
dalam bersikap dan bertindak, pengandalan afeksi dalam
mengkodekan realitas. Penonjolan agen untuk menunjukan
kausalitas, pemerhalusan tuturan untuk memperpendek jarak
sosial, pemertahanan terhadap keadaan yang sudah ada,
pemberontakan terhadap realitaa di sekelilingnya, penonjolan
peran individu, selalu mendorong terciptanya sebuah aktualisasi,
penonjolan autoritas dalam membentuk realitas.
Pada bagian akhir, Anang memberikan penjelasan secara
391
392
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
terperinci mengenai adanya dimensi yang rumit terkait relasi
lingual dalam wacana perempuan. Wacana tersebut -khususnya
wacana publik- akan lebih ditafsirkan sebagai relasi kuasa dan
relasi ideologi daripada semata-mata hanya relasi antar unsurunsur lingual atau kebahasaan saja. Anang juga menekankan
bahwa membaca sebuah fenomena melalui wacana adalah
sebuah proses seperti ketika kita berusaha memahami dunia atau
menafsirkan tanda-tanda di sekitarnya jadi pembaca memiliki
peran yang sangat besar dalam membaca fenomena tersebut.
Kata adalah salah satu simbol yang memiliki makna
penting dalam wacana perempuan karena simbol tersebut
digunakan sebagai instrumen perjuangan perempuan.
Anang menyebutkan paling tidak ada tiga simbol yaitu (1)
pengarusutamaan gender (2) kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) (3) marginalisasi perempuan. Kata “Pengarusutamaan
gender” adalah senjata yang digunakan perempuan untuk
mengubah cara pandang masyarakat, baik laki-laki maupun
perempuan, bahwa masalah gender adalah masalah bersama.
Kata kedua yaitu “ kekerasan dalam rumah tangga” menjadi
instrumen perempuan ke arah kesetaraan, dan dalam jangka
panjang ke arah persamaan. Sedangkan kata yang ketiga
“marginalisasi perempuan” digunakan para aktivis sebagai alat
perjuangan untuk mengembalikan perempuan ke titik sentral
karena selama ini banyak terjadi peminggiran perempuan di
pelbagai bidang.
Wacana perempuan juga berfungsi sebagai arena
perjuangan emansipasi. Apapun profesinya, entah sebagai
menteri, istri pejabat, relawan, artis dan lainnya tidak membuat
mereka berhenti memperjuangkan emansipasi. Bagi perempuan
Indonesia, setara dalam hak dan kewajiban, setara dalam
pembentukan dan konsumsi wacana public, setara dalam tugas
privat dan setara dalam pencitraan sudah lebih dari cukup dan
terus diperjuangkan sampai sekarang.
Perempuan di Indonesia banyak mengalami kekerasan
simbolik (symbolic violence) yaitu sebuah bentuk kekerasan yang
halus, dan tidak kasat mata yang dibaliknya menyembunyikan
praktik dominasi melaui sebutan, predikat, olok-olok, stereotip,
syair lagu, moto, semboyan dan lain lain. Misalnya istilah Wanita
Tuna Susila (WTS) tidak pernah ada padanannya yaitu Laki-laki
Tuna Susila padahal baik perempuandan laki-laki sebenarnya
PERJUANGAN EMANSIPASI MELALUI BAHASA PEREMPUAN
(Setyoningsih)
memiliki andil yang sama dalam proses “pertunasusilaan”. Begitu
juga dengan istilah laki-laki harapan bukanlah padanan kata dari
wanita harapan karena laki-laki harapan mengacu kepada lakilaki yang memiliki kelebihan di pelbagai bidang. Sedangkan
wanita harapan merupakan sinonim dari Wanita Tuna Susila.
Perempuan
diharuskan
untuk
terlibat
dalam
pembentukan dan penafsiran wacana publik, makna-makna
yang diperjuangkan akan terkonsumsi oleh publik, baik laki-laki
maupun perempuan karena semua teks menyisakan terjemahan
realitas yang bersifat subjektif, parsial, dan terfragmentasi (tidak
lengkap) sehingga penafsiran wacana tersebut harus melibatkan
penafsir yang lebih merata secara gender.
Ternyata, melalui pemilihan kosa kata dan gramatika,
perempuan dalam hal ini elite perempuan secara sadar dan
bawah sadar, eksplisit dan implisit, suka maupun tidak suka
telah memperjuangkan beberapa ideologi akibat kekerasan
simbolik yang dialami banyak perempuan di Indonesia.
Kelebihan dari buku ini adalah pembahasan secara
komprehensif tentang bahasa perempuan dan relasinya dengan
ideologi yang diperjuangkannya. Pelbagai sudut pandang di
paparkan secara detil beserta referensinya karena pada dasarnya
buku ini memang karya ilmiah hasil dari sebuah penelitian
terhadap wacana elit perempuan.
Namun disisi lain, terdapat banyak istilah linguistik
yang sulit dipahami oleh orang yang tidak begitu akrab dengan
teorisasi bahasa, sehingga untuk memahaminya membutuhkan
waktu dan pemikiran yang lama. Pilihan Anang ini tentu saja
membuat buku ini menjadi agak kurang bisa dinikmati dengan
tuntas oleh seluruh kalangan, sehingga terkesan “berat” dan
membatasi pembacanya pada kalangan tertentu saja.
Di luar keterbatasannya, buku ini sangat bermanfaat karena
telah mengisi kekurangan literatur dalam bidang relasi bahasa dan
gender, khususnya yang berbahasa Indonesia. Bahwa perjuangan
kesetaraan dapat memiliki banyak wajah, Anang menunjukkan
dengan sangat cermat dan komprehensip bagaimana perempuan
mempersepsi diri dengan dan melalui bahasa untuk menciptakan
tatanan yang ramah baginya. Jadi, bahasa bukanlah sekadar
susunan kata yang arbitrer, dan dengan demikian terbuka
kesempatan bagi perempuan untuk mewacanakan kesetaraan
melalui bahasa, sebagai sebuah pilihan.
393
BEDAH BUKU
TAFSIR BARU FIQH PEREMPUAN
Muhammad Zainal Abidin*)
Judul buku : FIQH PEREMPUAN,
Refleksi Kiai atas Wacana Agama
dan Gender
Penulis : K.H. Husein Muhammad
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Cetakan : V, November 2009
Tebal : xiiv + 262 Halaman
Kita sadari atau tidak, fakta kehidupan dalam masyarakat
kita terdapat akar sejarah yang panjang mengenai dominasi
laki-laki atas perempuan, di mana dalam sebagian besar sektor
yang dibangun adalah berlandaskan pada tatanan yang timpang
juga, yaitu tatanan nilai yang menjadikan laki-laki ditempatkan
sebagai pihak superior (kuat) dan sebaliknya perempuan harus
menerima kenyataan menjadi pihak yang inferior (lemah).
Tatanan ini terbentuk dengan proses panjang dalam lingkungan
sosial budaya di sekitar kita sendiri.
Laki-laki dan perempuan seringnya dibedakan karena
faktor biologis (jenis kelamin) yang dimiliki, dan perbedaan
inilah yang kemudian ditradisikan menjadi ajang untuk
menjadikan perempuan menjadi sosok yang lemah, kalah, dan
belakang. Parahnya kemudian, pemahaman inilah yang selama
ini dianggap sebagai gender, padahal gender adalah bukan
perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang didasarkan
pada faktor biologis (apalagi karena faktor beda jenis kelamin)
akan tetapi didasarkan pada hasil konstruk sosial dan bukan
ciptaan Tuhan. Artinya telah sekian lama terjadi bias atau bahkan
kesalahan) dalam memahami gender karena perbedaan secara
biologis itu bersifat kodrati, dimana laki-laki mempunyai penis
dan perempuan mempunyai vagina, dan lain sebagainya.
)
Penulis adalah Alumni STAIN Kudus
TAFSIR BARU FIQH PEREMPUAN
(Muhammad Zainal Abidin)
Kalaupun karena perbedaan biologis antara laki-laki dan
perempuan menjadikan beda peran yang didapatkan, dalam
pengantar buku ini K.H M.A Sahal Mahfudz menyatakan hal
tersebut tidak masalah, dan hal ini akan menjadi masalah ketika
peran tersebut menjadikan perempuan menjadi sosok yang
rendah dibandingkan laki-laki, misalnya peran perempuan
sebagai perawat, pengasuh dan pendidik itu dipandang kurang
terhormat dari pada peran yang didapatkan oleh laki-laki, inilah
yang beliau sebut sebagai Gender Tradisional. Dan seringnya
perbedaan peran gender seperti di atas juga menimbulkan
masalah yang baru, misalnya marginalisasi (pemiskinan
ekonomi), subordinasi, stereotype (pelabelan negatif), dan violence
(kekerasan), dan inilah yang membuat kita untuk menggugat,
begitu ajak beliau..
Dalam perwujudannya, ketidakadilan gender terhadap
perempuan tersebut terjadi secara sistematis dan terstruktur,
sehingga menjadikan pihak yang tertindas merasa tidak sadar
akan kenyataan itu sehingga sampai menjadi sebuah kebiasaan,
tidak hanya kaum laki-laki saja yang ikut mentradisikan
ketidakadilan gender, si perempuan juga ikut mengabadikan
prilaku tersebut. Karena mereka berasumsi bahwa hal tersebut
sudah tidak perlu untuk dikoreksi dan dievaluasi, dianggaplah
semua ini merupakan kodrat ilahi yang diberikan kepada
makhluknya di bumi.
Salah satu faktor yang membentuk dan menghambat
proses kesetaraan dan keadilan gender adalah (pemahaman)
agama. Diperlukan penafsiran kembali (reinterpretasi) terhadap
khazanah ilmu-ilmu keagamaan untuk menemukan dan
menjadikan agama lebih memihak pada keadilan gender, atau
bahkan melakukan dekonstruksi penafsiran, sehingga nantinya
agama lebih dipahami tidak hanya sekedar sebagai momentum
kebangkitan untuk perempuan sesaat akan tetapi sejatinya
menjadikan seluruh manusia mendapatkan tempatnya yang
layak dan tidak dibeda-bedakan.
Memang, bukan hal yang mudah untuk melakukan tugas
mulia tersebut, dalam melakukannya kita akan terbentur pada
fakta bahwa di dalam khazanah ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri
malahan telah menjadi tembok yang jelas, kokoh dan tegas
dengan menempatkan perempuan sebagai pihak yang memang
(di)lemah(kan). Selain itu, dalam melakukan reinterpretasi
395
396
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
atau dekonstruksi, dibutuhkan kemampuan intelektual yang
mumpuni, misalnya menguasai bahasa arab, tafsir, ushul fiqh,
dan ilmu-ilmu lainnya, belum lagi kita harus punya bekal
dalam melakukan kompilasi, membandingkan dan mampu
untuk merekonstruksinya kembali. Kalaupun saat ini banyak
orang yang menguasai dan mampu untuk melakukan proyek
tersebut, tapi perspektif sosial mereka terhadap keadilan gender
masih minim, sehingga yang muncul adalah keberlanjutan
(pemahaman) khazanah ilmu-ilmu keagamaan yang bias
terhadap keadilan dan kesetaraan gender, lebih bernuansa
mendukung dan mengamini ketidakadilan tersebut.
Menurut Sahal Mahfudz, ada tiga asumsi yang menjadikan
masyarakat yakin dan mengabadikan akan fakta sosial yang ada
bahwa perempuan harus di bawah, setelah, dan di belakang
laki-laki, yaitu Pertama, asumsi dogmatis yang secara eksplisit
menempatkan perempuan sebagai pelengkap, di mana kehadiran
perempuan dijadikan sebagai ban serep saja dan diperlukan
di saat dibutuhkan. Asumsi yang Kedua, menyebutkan bahwa
bakat moral etik perempuan lebih rendah, hal ini berujung
pada kenyataan bahwa seluruh prilaku, kinerja dan hasil dari
perempaun dianggap kurang terhormat (lagi-lagi) dibandingkan
laki-laki. Ketiga, pandangan materealistik, di mana pandangan
ini mengatakan bahwa ideologi masyarakat yang sudah berjalan
sejak era-Makah pra-islam yang memandang rendah perempuan
dalam proses produksi. (hal. xiii)
Pemikiran yang menuntut akan terjadinya keadilan dan
kesetaraan gender pada perempuan memang sudah sejak lama
didengung-dengungkan, sebut saja tokoh pemikir dari mesir,
Rifa’ah Rafi At-Tahtawi adalah salah satunya, beliau hidup pada
tahun 1801 – 1873. Melalui bukunya yang bertitel Takhlis Al-ibriz
fi Talkhis Bariz, At-tahtawi menyerukan kepada dunia islam
untuk memberikan pendidikan kepada kaum perempuan dan
mengajak mereka untuk bekerja, selanjutnya Qasim Amin (1865
– 1908), seorang pemikir keturunan Turki ini dalam bukunya
memberikan gambaran bahwa roda kehidupan ini tidak akan
berjalan kalau tanpa ada kaum perempuan, sehingga mereka
harus mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki,
apalagi saat itu perempuan hanya dijadikan sebagai alat pemuas
kenikmatan laki-laki saja, setelah puas kemudian dibuang. Selain
itu Qasim juga mengajak perempuan untuk melepas jilbabnya,
agar leluasa untuk bekerja, menurutnya. Dan juga menolak
TAFSIR BARU FIQH PEREMPUAN
(Muhammad Zainal Abidin)
poligami yang lebih disebabkan karena alasan yang tidak adil
Berikutnya adalah pemikir dari Tunisia, Tahar Haddad
(1899 – 1935), ide yang disampaikan hampir memiliki kemiripan,
menurut Tahar, perempuan Tunisia harus melakukan reformasi
secara total, mulai dari keharusan mendapat pendidikan yang
sama dengan laki-laki sampai mengecam talak yang dilakukan
oleh kaum laki-laki kepada perempuan secara sepihak.
Sedangkan di Indonesia, salah satunya adalah K.H. Husein
Muhammad, pemikir dengan hasil kerja intelektualnya telah
berhasil menerbitkan buku yang berjudul FIQH PEREMPUAN,
Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Dalam buku ini,
Husein tidak hanya memaparkan alasan dan gugatan terhadap
realitas kehidupan yang terjadi secara perspektif sosial, akan
tetapi juga melakukan kajian dan koreksi terhadap teks khazanah
keagamaan kita. Kemampuan ini didukung oleh latar belakang
Kiai Husein adalah sosok yang kental dan selalu bergumul
dengan kitab kuning sebagai pengasuh pondok pesantren
Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
Fiqh Perempuan
Dalam pengantarnya, penulis (K.H. Husein Muhammad)
menjelaskan bahwa ketidakadilan terhadap perempuan ini
terbentuk dan tertradisikan dalam realitas kehidupan kita
adalah karena andil agama, dalam posisi ini ditemukan idealitas
agama yang terlibat dalam arus budaya yang sudah tidak adil
pada perempuan. Hasil “perkawinan’ yang salah antara sistem
budaya dan agama tersebut menghasilkan perempuan berada
dalam posisi subordinat dan tertindas.
Harus diakui dan diyakini bahwa agama dengan nilai
idealitasnya tidak akan mungkin memberlakukan diskriminasi
terhadap perempuan dalam aspek kehidupan kita, akan tetapi
realitas sosial telah menunjukkan pada kita bahwa semakin
mapannya sistem diskriminasi yang menimpa perempuan dalam
menjalani relasi kehidupan dengan kaum laki-laki.
Ketidakadilan tersebut telah berlangsung selama berabadabad, Keberlangsungannya tidak hanya dalam ruang domestik
saja, melainkan juga sudah merambah dalam ruang publik,
begitu penulis menyebutnya. Sepertinya ada ruang yang tidak
yambung dan padu antara idealitas agama dengan realitas sosial,
397
398
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
dan sekali lagi, ini benar-benar terjadi dalam realitas kehidupan
kita. Apalagi orang sudah salah dalam memahami khazanah
ilmu-ilmu keagamaan (misal fiqh), dianggaplah fiqh sebagai
agama yang haram untuk dikritisi dan dikoreksi, padahal
sejatinya fiqh adalah hasil kerja intelektual ulama’ zaman dulu
dalam memahami dan menjalankan agama, sehingga bersifat
kontekstual dan bisa dikembangkan sesuai dengan ruang-waktu
yang ada.
Dalam buku ini, penulis mengawali gagasan pemikirannya
dengan memberikan landasan berpikir tentang mengapa kita
harus melakukan gerakan kesetaraan dan keadilan gender,
menurut Kiai Husein, budaya patriarki yang terjadi pada realitas
masyarakat kita telah menjadikan laki-laki sebagai pihak yang
bisa melakukan apa saja, dan perempuan sebagai kaum yang
mendapatkan posisi subordinat, taruhlah di masyarakat Jawa,
perempuan lebih diposisikan sebagai konco wingking, sebagai
seorang istri (perempuan) akan mengikuti apapun yang akan
diperoleh oleh laki-laki (suami), termasuk swargo nunut neroko
katut. Masyarakat lebih sepakat dengan peran perempuan
(istri) yang nrimo terhadap apa yang diterimanya, kalaupun itu
menyakitkan hati dan perasaannya, dan dianggaplah (istri) ini
sebagai sosok perempuan ideal. Sedangkan istri yang berani
bangkang dan lancang terhadap perintah suami, dan selalu protes
maka di sebut istri yang kurang baik.
Tradisi di masyarakat yang mengawinkan perempuan
di bawah umur (kawin muda), juga masih sering kita temukan.
Mereka menganggap bahwa perempuan yang kawin muda adalah
lebih baik, khususnya ini terjadi di daerah pedesaan. Masyarakat
lebih sepakat kalau anak perempuan mereka secepatnya kawin,
agar bisa cepat lepas dari tanggung jawab orang tua, karena
sejatinya tugas perempuan adalah di dapur, mengurus rumah
tangga, menjadi istri dan ibu, sangat jarang kita temukan alasan
orang tua mengawinkan muda anak perempuannya karena
didasari alasan agar tidak melakukan hubungan seks pranikah
walaupun sebenarnya kadang juga kita temukan orang tua
yang mengawinkan muda anak perempuannya lebih didasari
karena faktor ekonomi, padahal dalam UU Perkawinan No. 1
Tahun 1974 secara tegas dan jelas sangat tidak mengijinkan
praktek tersebut. Apalagi di Jawa Barat, perempuan yang selalu
melakukan kawin-cerai adalah sosok perempuan yang laku keras
dan menjadi sebuah kebanggan.
TAFSIR BARU FIQH PEREMPUAN
(Muhammad Zainal Abidin)
Dalam pembagian ruang kerja pun, perempuan masih
saja mengalami peran yang diskriminatif, perempuan yang
bekerja di sawah, di kantor dan di pabrik lebih dianggap sebagai
peran tambahan (samben), karena sebenarnya peran perempuan
adalah di wilayah domestik, di dalam rumah, dan parahnya,
hasil kerja mereka juga tidak dihargai, termasuk tidak dibayar.
(hal. 6). Belum lagi peran perempuan pada ruang publik, posisi
perempuan seringnya selalu dijadikan pertimbangan terakhir,
dan pilihan pertamanya selalu jatuh pada laki-laki, masyarakat
lebih beranggapan bahwa selama masih ada laki-laki, maka lai-laki
adalah pilihan yang paling tepat.
Dan secara tegas, kaum feminis dengan gerakannya
sangat tidak sepakat terhadap tindakan yang tidak berkeadilan
gender tersebut. Mereka juga sering menemukan kesalahan
berpikir yang berkembang di masyarakat, dianggaplah bahwa
ketika gerakan kesetaraan gender ini berlangsung maka budaya
patriarki akan diganti dengan budaya matriarki, di mana
perempuanlah yang menjadi penguasa. Pola berpikir inilah yang
ditolak oleh kaum feminis, karena inti gerakan feminisme adalah
lebih memposisikan lai-laki dan perempuan pada level yang
manusiawi dan adil, perempuan dapat memperoleh akses politik,
ekonomi, pendidikan dan sosial yang sama dengan laki-laki,
dan laki-laki pun dapat berpartisipasi penuh terhadap urusan di
rumah dan merawat anak. (hal. 9) Karena pada dasarnya peran
perempuan (di dapur, ngurus rumah) dan laki-laki (di kantor,
di pabrik) merupakan hasil konstruk sosial bukan kodrat dari
Tuhan, sehingga peran tersebut dalam satu waktu dan tempat
dapat berubah.
Berangkat dari Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’
ayat 34, Ulama’ yang selama ini dipandang memiliki otoritas
keagamaan dan sebagai panutan masyarakat juga lebih memilih
untuk sepakat kalau laki-lakilah yang punya wewenang untuk
menjadi pemimpin perempuan, menurut az-Zamakhsyari,
dibandingkan perempuan, laki-lai lebih unggul dalam hal akal
(al-‘aql), ketegasan (al-hazm), semangat (al-azm), keperkasaan
(al-quwwah), dan keberanian atau ketangkasan (al-farusiyyah wa
ar-ramy), termasuk ulama’ yang sepakat dengan keunggulan
laki-laki dibandingkan perempuan adalah Fakhruddin ar-Razi,
Ibn Katsir, Muhammad Abduh, Muhammad Thahir bin Asyur,
Syaikh ath-Thabathaba’i, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam
Hanafi, dan Imam Hambali. Akan tetapi menurut Fakhruddin
399
400
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
ar-Razi juga, bahwa kesimpulan yang didasarkan pada teks-teks
otoritatif tersebut dapat ditolak kalau tidak didasari atas faktafakta empiris, dimana keunggulan-keunggulan tersebut di atas
dapat berubah, dan realitas budaya sekarang pun memperlihatkan
bahwa tidak jarang perempuan yang mempunyai kemampuan
intelektual dan kecerdesan pikir lebih unggul daripada lakilaki.
Al-Qur’an menyatakan dirinya untuk menjadi petunjuk
bagi umat manusia dan sebagai rahmat bagi seluruh alam
(QS. Yunus : 57), dan Nabi Muhammad SAW dengan misi
kerasulannya bertujuan untuk memberikan rahmat bagi seluruh
alam (QS. Al-Anbiya : 107), artinya secara jelas disebutkan
bahwa cita-cita dari turunnya Al-Qur’an dan misi Rasulullah
SAW adalah menegakkan kehidupan yang menghargai nilainilai kemanusiaan unversal (humanisme universal) sebagai
upaya untuk mewujudkan keadilan, kesetaraan, kebersamaan,
kebebasan dan pengakuan hak orang lain tanpa ada perbedaan,
baik jenis kelamin atau status sosial yang melekat dalam diri
manusia.
Selain itu dalam melakukan kajian terhadap Al-Qur’an
untuk menjawab persoalan yang muncul, kita juga harus
mempunyai pandangan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an tersebut
diturunkan merupakan jawaban terhadap masalah tersebut,
sehingga mengapa Allah SWT menurunkannya secara bertahap,
selain karena ini adalah kearifan yang luar biasa dari Tuhan, juga
agar kita sadar dan tahu bahwa turunnya ayat-ayat Al-Qur’an
tidak akan terlepaskan dari kondisi situasi, tempat dan waktu
saat itu, sehingga diperlukan kontekstualisasi pemahaman
dan penafsiran terhadap Al-Qur’an dalam menjadikannya
sebagai petunjuk dalam menghadapi permasalahan partikular
pada masa sekarang. Kiai Husein juga menyerukan agar kita
melakukan penafsiran dengan perspektif gender, dimana posisi
laki-laki dan perempaun adalah sama dalam penciptaannya,
sebagai ciptaan yang sempurna.
Fiqh Ibadah
Dalam buku ini, Kiai Husein memulai gagasan
pemikirannya dalam masalah Fiqh Ibadah untuk memenuhi
kebutuhan akan tafsir baru di dalamnya. Kepemimpinan
TAFSIR BARU FIQH PEREMPUAN
(Muhammad Zainal Abidin)
perempuan dalam imam shalat misalnya, hampir seluruh kitab
fiqh mengatakan bahwa perempuan tidak sah untuk menjadi
imam shalat, karena dalam kitab tersebut selalu disyaratkan
bahwa imam shalat harus islam, berakal, baligh, dan laki-laki.
Termasuk juga menurut Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam
Hambali dan Imam Hanafi, bahkan imam maliki mengatakan
bahwa perempuan tidak sah untuk menjadi imam shalat
walaupun dikalangan kaum perempuan sendiri. Disamping,
pandangan mainstream, Husein juga menginformasikan
beberapa pemikir yang menyatakan kebolehan perempuan
menjadi imam dalam shalat bahkan dengan makmum campuran
yang laki-laki dan perempuan. Husein merujuk pada pandangan
Qadhi Abu Thayyib dan Al Abdari yang menyatakan beberapa
ulama’ sepakat dengan kepemimpinan perempuan dalam imam
shalat, baik untuk makmum laki-laki maupun perempuan
sebagaimana Abu Tsaur (mujtahid terkenal), Ibn Jarir AthThabari (mufassir terkemuka dan sejarawan), dan Imam alMuzani (murid utama Imam Syafi’i). Untuk mendudukkan
persoalan ini, Husein mendiskusikan hadist yang digunakan
rujukan oleh kedua pendapat tersebut, dan yang tidak kalah
penting adalah akar masalah yang digunakan sebagai bahan
dasar untuk menyepakati perempuan tidak sah menjadi imam
shalat.
Dalam masalah khitan untuk perempuan, buku ini
menjelaskan bahwa khitan ini sebenarnya merupakan hasil
dari tradisi kuno bukan ajaran agama, dimana dengan khitan,
seorang laki-laki dapat meningkatkan kesehatan dan gairah seks
secara optimal sedangkan seorang perempuan malahan akan
dikontrol agresivitas seksnya karena melakukan khitan. Khitan
yang dalam bahasa arabnya berarti memotong, dan menurut
Fiqh adalah memotong sebagian anggota tubuh tertentu lebih
berpihak pada kepentingan laki-laki. Sehingga perempuan
yang seharusnya juga punya hak untuk menikmati hubungan
seks, dengan adanya khitan, kenikmatan tersebut menjadi tidak
optimal dan hanya laki-laki yang boleh mendapatkannya. Bahkan
menurut salah satu ulama’ fiqh kontemporer Mahmud Syaltut,
dia mengatakan bahwa khitan untuk laki-laki dan perempuan
adalah tidak terkait dengan teks-teks agama, apalagi di dalam
hadist shahih pun tidak yang menerangkan tentang khitan, hal
ini juga terjadi perbedaan pendapat pada ulama’ terdahulu,
dimana hanya Imam Syafi’i saja yang mewajibkan khitan untuk
401
402
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
laki-laki dan perempuan, sedangkan Imam Maliki, Imam Hanafi,
dan Imam Hambali lebih condong pada pendapat bahwa khitan
untuk laki-laki adalah sunnah mu’akkad (dekat dengan wajib) dan
untuk perempuan adalah suatu kemuliaan.
Apalagi secara medis, khitan untuk laki-laki lebih berujung
pada kebaikan, dan dapat menjaga kesehatan serta gairah
dalam melakukan hubungan seks, akan tetapi kalau perempuan
malahan bisa berpotensi pada kematian bayi, dan agresfitasnya
seks perempuan akan berkurang, karena dalam khitan, terjadi
pemotongan klentit (clitoris) yang merupakan bagian yang cukup
sensitif terhadap gesekan atau ransangan.
Kajian lain adalah diskusi tentang aurat laki-laki dan
perempuan seyogyanya harus ditutup dengan pakaian yang
tidak tembus pandang dan tidak membentuk lekukan tubuh,
karena dengan terbukan dan terlihatnya aurat akan berujung
pada timbulnya fitnah (khauf al-fitnah). Adapun batasan aurat
laki-laki, hampir seluruh ulama’ berpendapat sama, yaitu bagian
anggota tubuh antara pusat dan kedua lutut kaki. Sedangkan
untuk perempuan, beberapa ulama’ berbeda pendapat, baik
untuk perempuan merdeka atau hamba. Perintah menutup aurat
yang merupakan ajaran agama, dan batasan aurat ditentukan
oleh pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan dalam segala
aspek adalah salah satu titik poin yang tertuang dalam buku ini,
sehingga untuk menentukan aurat, diperlukan mekanisme yang
akomodatif dan responsif terhadap segala nilai yang berkembang
di masyarakat agar anggota tubuh manusia tidak dieksploitasi
secara rendah dan murahan. (hal. 86)
Kiai Husein, dalam menulis Buku Fiqh Perempuan juga
membahas tentang persoalan Fiqh Munakahat, yang merupakan
bagian kedua setelah Fiqh Ibadah, di antaranya adalah Hak
Kawin Muda, Hak Memilih Pasangan, Hak Pelayanan Kesehatan
dalam Keluarga dan Hak Mu’asyarah bi al-Ma’ruf.
Dalam persoalan Kawin di bawah umur (kawin muda),
yang merupakan fenomena hidup di indonesia, baik yang
dilakukan secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.
Dalam hal ini keberadaan fiqh klasik masih menjadi rujukan
dan pedoman bagi masyarakat, orang belum bisa memahami
dan menjalankan dengan baik UU Perkawinan NO. 1 tahun
1974. Padahal kalau ita cermati secara seksama banyak ulama’
termasuk Imam Syafi’i berpendapat bahwa hukum kawin akan
TAFSIR BARU FIQH PEREMPUAN
(Muhammad Zainal Abidin)
menjadi makruh kalau yang bersangkutan belum mampu untuk
memenuhi kewajiban yang harus dipikul, apalagi kalau dia
masih bisa menahan diri dari zina. Dan dalam hal ini para ahli
fiqh berpandangan tentang ada atau tidaknya maslahat, sangat
disayangkan kalau malah akan menimbulkan kemudaratan,
kerusakan dan keburukan, karena salah satu maksud perkawinan
adalah sebagai upaya untuk memelihara kehormatan diri
(hifzh al-‘irdh) dari terjerumus perbuatan yang terlarang, dapat
memelihara keberlangsungan hidup manusia (hifzd an-nasl) yang
sehat dan mendirikan kehidupan rumah tangga yang saling
mengasihi dan membantu.
Apalagi kalau kawin muda ini benar-benar dijalankan,
bagi perempuan diperlukan syarat yang harus dipenuhi, yaitu
(1). Tidak ada permusuhan yang nyata antara si anak perempuan
dengan walinya (ayah atau kakek), (2). Tidak ada permusuhan
atau kebencian yang nyata antara perempuan dengan calon
suami, (3). Calon suami harus kufu’ (setara/sesuai), dan (4).
Calon suami mampu memberikan mas kawin yang pantas.
Dan dalam bagian berikutnya, yang ketiga adalah
tentang Fiqh Mu’amalah-Siyasah, Kiai Husein menitikberatkan
pembahasannya pada persoalan pemberian hak nafkah dalam
keluarga, dan hal ini masih terkait dengan relasi seksual antara
laki-laki (suami) dan perempuan (istri), dimana mereka harus
mempunyai pandangan yang sama tentang kesetaran manusia,
tidak ada yang tersubordinatkan, di antara mereka harus saling
kerjasama dan pengertian dalam menjalani roda kehidupan ini
sehingga nanti akan tercipta suasana keluarga yang harmonis
dan maslahat, tidak hanya bagi mereka berdua tetapi juga untuk
keluarga, masyarakat dan negara. (hal. 182)
Penulis juga membahas tentang kepemimpinan
perempuan dalam aspek kehidupan, dalam hal ini sosial-politik.
Lagi-lagi otoritas keagamaan selalu menjadikan perempuan
sebagai makhluk yang tidak tepat untuk mendapatkan peran
atau posisi sebagai pemimpin, apalagi sebagai kepala negara,
gubernur atau kepala daerah. Bahkan secara jelas Syah Waliyullah
ad-Dahlawi mengatakan bahwa syarat seorang khalifah adalah
berakal, baligh (dewasa), merdeka, laki-laki, pemberani, cerdas,
mendengar, melihat dan dapat berbicara. Landasan awal yang
digunakan rujukan dalam menentukan pendapat tersebut
adalah Surat an-Nisa’ ayat 34, dan para mufassir memberikan
403
404
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
arti qawwam adalah pemimpin, pelindung, pendidik, pengatur
dan penanggungjawab, menurut mereka hal ini cukup beralasan
karena keunggulan laki-laki atas perempuan adalah terkait akal
dan fisik. Dan beberpa ulama’ lain juga berpendapat hampir
sama terkait keunggulan laki-laki atas perempaun tersebut, di
antaranya adalah ar-Razi, az-Zamakhsyari, ath-Thabathaba’i, alQurthubi, Ibn Katsir, Muhammad Abduh, Muhammad Thahir
bin Asyur, dan al-Hijazi.
Realitas sosial hari ini memperlihatkan pada kita bahwa
tidak jarang seorang perempuan yang menjadi kepala daerah,
gubernur dan presiden. Karena sejatinya ide dasar dari surat anNisa’ ayat 34 tersebut adalah memposisikan perempuan menjadi
lebih mulia, di mana pada zaman jahiliyah dulu, peran dan posisi
perempuan sangat tidak dihormati, artinya secara bertahap
Allah SWT telah memberikan kearifan yang luar biasa untuk
perempuan. Sehingga pandangan yang mengatakan bahwa
sudah menjadi kodrat dan alamiah ketika perempuan berada di
bawah laki-laki. Dan pertanyaan, apakah perempuan mampu
untuk memimpin? Secara jelas sejarah telah menjawab, sebelum
Islam dikenal Ratu Bilqis, dia seorang pemimpin perempuan
yang berhasil memakmurkan rakyat, contoh yang lain adalah
Indira Gandi, Margaret Tacher, Srimavo Bandaranaeke, Benazir
Butho dan Syaikh Hasina Zia, mereka adalah bukti bahwa
perempuan tengah mengalami perubahan dan terbukti mampu
memimpin.
Husein berargumentasi pada dua kaidah yang disepakati
oleh para ahli hukum : al-hukm yaduru m’a illatihi wujudan
wa ‘adaman (hukum bergerak menurut illat/kausalitasnya)
dan la yunkaru taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-ahwal wa alazminah (tak dapat diingkari bahwa hukum berubah karena
perubahan keadaan dan zaman). Sejatinya faktor penting dalam
persoalan yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan dan
politik adalah kemaslahatan, apalagi untuk menjadi seorang
pemimpin, yang jadi pertimbangan bukanlah jenis kelamin,
tetapi kemampuan dan intelektualitas. Tasharruf al-imam ‘ala arra’iyyah manuthun bi al-maslahah (tindakan penguasa atas rakyat
harus didasarkan pada kemaslahatan mereka). Sehingga sangat
tidak layak kalau laki-laki jadi pemimpin tapi tidak membawa
kemaslahatan, dan sebaliknya sangat layak menjadi pemimpin
bagi seorang perempuan kalau membawa kemaslahatan. (hal.
206).
TAFSIR BARU FIQH PEREMPUAN
(Muhammad Zainal Abidin)
Dalam buku ini, Kiai Husein juga melakukan refleksi
dan tanggapan terhadap peristiwa pemerkosan dan penjarahan
“akbar” yang terjadi di negara Indonesia pada bulan Mei 1998,
negara yang sebelum kejadian tersebut mengakui sebagai Negara
Religius. Dalam bukunya Kiai Husein diterangkan bahwa pelaku
pemerkosaan tersebut dikenakan hukuman ganda, pertama
hukuman atas perzinaan, yaitu cambukan 100 kali atau rajam
dihadapan khalayak, kedua hukuman atas penganiayaan, yaitu
Qishash (dibalas dengan hukuman yang sebanding). Sedangkan
perempuan yang menjadi korban pemerkosaan tersebut tidak
berhak mendapat hukuman, adapun anak yang dikandung
dari hasil pemerkosaan, beberapa ulama’ berpendapat bahwa
perempuan tersebut boleh untuk menggugurkan, hal ini juga
didasari faktor sosiologis masyarakat islam yang tidak menerima
anak dari hasil tidak sah.
Al-hasil, Pada dasarnya, penulis berpandangan bahwa
hasil pikiran, fiqh, horma-norma dan ideologi yang melanggar
hak-hak asasi manusia harus dilakukan perubahan, dan sudah
saatnya kita melakukan perubahan pada sistem budaya yang
telah dikonsruk secara tidak adil menuju konstruksi baru yang
seide dan selaras dengan hak-hak asasi manusia, dimana hal ini
merupakan prinsip-prinsp moral-universal yang dipercaya oleh
semua agama dan aspek kemanusiaan. Dan untuk melakukan
hal ini, dibutuhkan partisipasi dari semua phak, masyarakat,
pemimpin agama, dan pemerintah.
Dan pada bagian penutup, penulis memaparkan tentang
ulama’ besar dari Indonesia, Muhammad Nawawi bin Umar
yang berpredikat Sayyid al-Ulama’ al-Hijaz, dengan karnya
yang sangat populer yaitu Uqud al-Lujain.
405
406
FORMAT PENULISAN JURNAL PALASTRèN
Bagian
Artikel Konseptual
Jelas dan mencerminkan
substansi. Book Antiqua
14 Bold, All Caps. Spasi
single. Sub judul Book
Antiqua 14 Bold, Caps
di awal. Center. Tidak
boleh lebih dari 14 kata
dalam tulisan berbahasa
Indonesia, atau 10 kata
bahasa Inggris, atau 90
ketuk pada papan kunci
Nama lengkap tanpa
gelar Book Antiqua 11
Caps di awal, Center.
Cantumkan asal institusi
di footer Book Antiqua 10
Italic, Justify.
Hasil Penelitian
Jelas dan mencerminkan
substansi. Book Antiqua
14 Bold, All Caps. Spasi
single. Sub judul Book
Antiqua 14 Bold, Caps
di awal. Center. Tidak
boleh lebih dari 14 kata
dalam tulisan berbahasa
Indonesia, atau 10 kata
bahasa Inggris, atau 90
ketuk pada papan kunci
Nama lengkap tanpa
gelar Book Antiqua 11
Caps di awal, Center.
Cantumkan asal institusi
di footer Book Antiqua
10 Italic, Justify.
Satu paragraph dalam
bahasa Inggris, Book
Antiqua 10. Diketik menjorok 7 ketukan dari kiri
dan kanan. Diawali tulisan ABSTRACT:. Spasi
single. 100 kata. Italic.
Keywords: 3-5 kata kunci
yang mewakili ide dasar.
Berisi masalah atau tujuan, metode, hasil.
rumusan masalah, tujuan, deskripsi, dan
kerangka teori
Isi
Satu paragraph dalam
bahasa Inggris, Book
Antiqua 10. Diketik menjorok 7 ketukan dari kiri
dan kanan. Diawali tulisan ABSTRACT:. Spasi
single. 100 kata. Italic.
Keywords: 3-5 kata kunci
yang mewakili ide dasar.
Berisi ringkasan isi artikel.
acuan
permasalahan
diakhiri rumusan singkat
tentang materi yang dibahas dan tujuan
kupasan argukentasi dan
pendirian penulis
Kesimpulan
uraian jawaban sistematis,
maksimal 1 halaman
Judul
Penulis
Abstrak
Pendahuluan
metode penelitian, hasil
penelitian dan pembahasan
uraian jawaban sistematis, maksimal 1 halaman
407
Daftar
Pustaka
Spasi single, dengan ketentuan:
1. Sumber buku:
Said, N. (2005). Perempuan
dalam Himpitan Teologi
dan HAM di Indonesia.
Yogyakarta. Pilar Media.
2. Sumber buku kumpulan
tulisan:
LeCompte, M. & Goetz,
J. P. (1983). “Etnography
Data
Collection
in
Evaluation
Research”,
dalam Fetterman, D.
M. (1983). Etnography in
Educational Research. New
Delhi. Sage Publication.
3. Sumber jurnal:
Astuti, T. M. P. (2009).
“Metodologi Penelitian
Berperspektif Gender”,
dalam Jurnal PALASTReN
ed.2, Nomor 2.
4. Sumber internet:
Van Eck, M. V. E. (2001).
“Gender Equity and
Information Technology
in Education: The Second
Decade” [On Line] di
http://rer.sagepub.com/
cgi/content/abstract/
71/4/613(diakses tanggal
20 April 2009)
Spasi single, dengan ketentuan:
1. Sumber buku:
Said,N.(2005).Perempuan
dalam Himpitan Teologi
dan HAM di Indonesia.
Yogyakarta. Pilar Media.
2. Sumber buku kumpulan
tulisan:
LeCompte, M. & Goetz,
J. P. (1983). “Etnography
Data
Collection
in
Evaluation Research”,
dalam Fetterman, D.
M. (1983). Etnography in
Educational Research. New
Delhi. Sage Publication.
3. Sumber jurnal:
Astuti, T. M. P. (2009).
“Metodologi Penelitian
Berperspektif Gender”,
dalamJurnalPALASTReN
ed.2, Nomor 2.
4. Sumber internet:
Van Eck, M. V. E. (2001).
“Gender Equity and
Information Technology
in
Education:
The
Second Decade” [On
Line] di http://rer.
sagepub.com/cgi/content/abstract/71/4/
613(diakses tanggal 20
April 2009)
KETERANGAN LAIN:
1. Naskah merupakan hasil kajian sosial keagamaan, bisa berupa
hasil penelitian ataupun kajian teks yang berhubungan
dengan isu-isu gender.
2. Naskah merupakan karya asli penulis dan belum pernah
dipublikasikan.
3. Middle note menurut APA (nama akhir penulis, tahun terbit:
no.halaman).
408
4. Panjang naskah 20-25 halaman kwarto (A4) Spasi 1,5 Top
margin 4cm, Left 4cm, Bottom 3cm, Right 3cm.
5. Diserahkan kepada redaksi dalam bentuk soft copy (flash
disk, CD, atau via emal: [email protected])
6. Naskah yang dimuat akan diberi 1 jurnal dan 4 off-print (cetak
lepas).
7. Resensi buku sebanyak 5-10 halaman kwarto dengan spasi
single Book Antiqua 11 dengan mencantumkan gambar cover
depan, judul buku, nama penulis, penerbit, tahun terbit dan
jumlah halaman buku.
8. Pembaban:
A. 1ketukan
1. 1ketukan
a. 1ketukan
1) 1ketukan
a) 1ketukan
Download