hak penulis dan penerbit dilindungi undang-undang volume 3, nomor 2, Desember 2010 Volume 3. Nomor 2. Desember 2010 Penanggung Jawab Abdul Hadi Mitra Bestari Siti Syamsiatun Ismi Dwi Astututi Nurhaeni Penyunting Pelaksana Umma Farida Siti Muflichah Nur Said Pimpinan Redaksi Nur Mahmudah Sekretaris Redaksi Primi Rohimi Dewan Redaksi Siti Malaiha Dewi Setyoningsih Rini Dwi Susanti Desain Grafis Muhlisin Sekretariat Bunawati Penerbit Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Kudus Alamat Redaksi PSG STAIN Kudus, Jl. Conge Ngembalrejo PO BOX 51 Telp.0291 432677 Fax.0291 441613 Kudus 59322 Email&facebook: [email protected] Website: www.psgstainkds.multiply.com Jurnal PALASTRèN diterbitkan oleh Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Kudus enam bulan sekali pada bulan Juli dan Desember. Redaksi menerima tulisan baik berupa hasil riset, kajian teks maupun telaah buku yang terkait dengan isu-isu gender atau persoalan perempuan terkini. Tulisan diprioritaskan yang memberi jalan keluar bagi persoalan ketidakadilan gender. Teknik penulisan merujuk pada acuan terlampir. Redaksi berhak memperbaiki susunan kalimat tanpa merubah substansi. Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. iii iv PENGANTAR REDAKSI Puji Syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan inayahnya sehingga jurnal PALASTReN dapat kembali hadir secara kontinu dan konsisten untuk melakukan diseminasi gagasan yang berkaitan dengan berbagai isu gender sebagai bagian ikhtiar akademis untuk mewujudkan relasi gender yang adil dan setara. Selanjutnya tim redaksi menyampaikan terima kasih atas antuasisme pembaca dalam merespon kehadiran jurnal PALASTReN­ sejak awal hingga memasuki tahun ketiga. Kritik dan masukan pembaca memberikan kontribusi yang penting menuju peningkatan kualitas jurnal. Berbekal keinginan tersebut, tim redaksi berupaya melakukan beberapa pembenahan dalam edisi ini yang dapat pembaca nikmati mulai dari perwajahan­ hingga penyuntingan. Substansi edisi ini menyajikan beberapa artikel konseptual­ dan hasil riset yang berkaitan dengan isu gender ketika di­ hadapkan pada norma dan realitas empiris. Dialektika Islam dan relasi gender dalam dataran teks mengetengahkan beberapa tulisan yang menarik. Tulisan pembuka oleh Umma Farida yang berjudul Teks-Teks Keagamaan dalam Kajian Kaum Feminis: Telaah terhadap Pendekatan Studi Islam dari Kalangan Feminis Muslim diharapkan mampu memberikan mapping terhadap berbagai cara pembacaan terhadap teks keagamaan dalam studi Islam yang ramah terhadap perempuan. Kajian tentang seksualitas perempuan dalam teks keislaman dan realitas masyarakat ditawarkan oleh Nur Mahmudah yang melakukan riset tentang teks yang menjadi pembentuk pemikiran di pesantren atau yang biasa dikenal sebagai kitab kuning dalam tulisan Konstruksi Seksualitas Perempuan dalam Literatur Klasik Pesantren (Studi Terhadap Kitab Uqud al-Lujjayn karya Nawawi al-Banteni), dan Muhammad Mustaqim­ yang mengkaji fenomena sunat perempuan dalam Sirkumsisi­ Perempuan antara Tradisi Keagamaan dan Kekerasan Gender.­ Dunia politik perempuan yang diwarnai dialektika antara­ tradisi dan perilaku politik perempuan dalam masyarakat Samin di Kudus ditawarkan dalam kajian Moh. Rosyid dalam tulisan­ Perempuan Samin dalam Politik. Sementara berkaitan dengan domestifikasi terhadap peran­ perempuan disinggung oleh tulisan Annisa Listiana dengan­ judul Pekerja Rumah Tangga, Liku Kehidupan dan Perspektif­ Islam Tentangnya sebagai pengalaman perempuan Indonesia. Sementara Dewi Ulya Meilasari membagi pengalaman masyarakat Amerika dalam melakukan pembagian kerja bagi laki-laki dan perempuan dalam rentangan sejarah hingga mampu mewujudkan kesetaraan peran melalui tulisan Pembagian Peran di Rumah Tangga Amerika. Ulasan M. Rikza Khamami yang menyinggung Kreatifitas Perempuan dalam Transformasi Sosial diharapkan dapat mengatasi ketimpangan peran perempuan baik dalam menjalani peran ­domestik dan peran publik secara adil. Isu gender dalam buku juga menjadi bagian dari pergulatan mewacanakan kesetaraan menghadirkan dua buah buku. Setyoningsih dalam tulisan Perjuangan Emansipasi melalui Bahasa Perempuan merupakan refleksi terhadap buku Bahasa Perempuan: Sebuah Potret Ideologi Perjuangan (2009). Demikian juga upaya melakukan pembacaan kembali fiqh yang ramah terhadap perempuan dalam buku Fiqh Perempuan: Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender (2009) menghasilkan tulisan Muhammad Zainal Abidin yang berjudul Tafsir Baru Fiqh Perempuan. Sebagai kata akhir, redaktur menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung penerbitan edisi ini terutama para penulis yang telah menyiapkan artikel dan hasil penelitiannya untuk diterbitkan. Juga kepada mitra bestari yang banyak memberikan masukan serta para pembaca yang budiman yang tetap kami tunggu saran konstruktifnya. Kepada mereka semua redaktur menyampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya. Akhirnya, kami sampaikan SELAMAT MEMBACA. Kudus, Desember 2010 Redaktur vi DAFTAR ISI IDE UTAMA Teks-Teks Keagamaan dalam Kajian Kaum Feminis: Telaah terhadap Pendekatan Studi Islam dari Kalangan Feminis Muslim 203 - 229 Umma Farida Pekerja Rumah Tangga, Liku Kehidupan dan Perspektif Islam Tentangnya Annisa Listiana 230 - 246 Kreatifitas Perempuan dalam Transformasi Sosial M. Rikza Khamami 247 - 262 Sirkumsisi Perempuan antara Tradisi Keagamaan dan Kekerasan Gender 263 - 276 Muhammad Mustaqim RISET Konstruksi Seksualitas Perempuan dalam Literatur Klasik Pesantren (Studi Terhadap Kitab Uqud al-Lujjayn karya Nawawi al-Banteni) Nur Mahmudah Politik Uang di Mata Perempuan: Studi Kasus pada Pemilu Tahun 2009 Siti Malaiha Dewi 277 - 305 306 - 332 vii Perempuan Samin dalam Politik Moh. Rosyid 333 - 360 Pembagian Peran di Rumah Tangga Amerika Dewi Ulya Meilasari 361 - 387 BEDAH BUKU Perjuangan Emansipasi melalui Bahasa Perempuan Setyoningsih Tafsir Baru Fiqh Perempuan Muhammad Zainal Abidin 388 - 393 394 - 405 viii Ide Utama TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS: Telaah Terhadap Pendekatan Studi Islam dari Kalangan Feminis Muslim Umma Farida*) ABSTRACT: One of things which establish gender injustice comes from the inaccuracy of reading religious texts included in the Islamic religious texts that are not friendly toward women. This paper discusses a new reading proposed by some Feminist Muslim. It will be reviewed through the interpretation of the creation of women, leadership and woman as wittnesses. This paper suggest that fundamental structure of religious thought developed by moslem feminist is how to manifest a system of relations and the structure of egalitarian society without discrimination between men and women in the light of guidance of the Qur’an Keywords: Feminis moslem, Religious Text, Islamic Studies A. Pendahuluan Agama merupakan salah satu objek kajian yang sangat menarik tatkala memperbincangkan masalah-masalah perempuan. Ini dikarenakan agama merupakan way of life umat Islam, baik laki-laki ataupun perempuanSumber kebenaran dalam agama lebih banyak bertumpu pada kitab suci sebagai kodifikasi firman Tuhan dan kumpulan sabda Nabi (hadis) yang berfungsi sebagai penjelas pesan-pesan wahyu yang bersifat general. Dalam merespon masalah-masalah yang berkembang, seiring dengan meluasnya jangkauan geografis dan lintasan kultural umat, kedua sumber tersebut membutuhkan perantara untuk menyampaikan pesan-pesan moral dan kebenaran Ilahi ini dalam suatu konteks yang berbeda dengan masa pewahyuan. Proses perantaraan ini lebih lazim disebut ‘penafsiran’ dimana ) Penulis adalah Dosen tetap Jurusan Ushuluddin STAIN Kudus. 204 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 terjadi relasi yang dialektis antara teks dan konteks yang dalam hal ini diwakili oleh perspektif para penafsir. Tanpa menuduh para mufasir (yang mayoritas laki-laki) dengan sengaja merendahkan perempuan, namun perspektif sebagai produk dari sosialisasi kultur secara kolektif, sedikit banyak akan mempengaruhi penafsiran mereka. Selama ini pemahaman dan penafsiran para ‘elit agama’ atas teks-teks keislaman dalam kaitannya dengan masalah perempuan ini cenderung menempatkan kaum perempuan dalam posisi ‘nomor dua’ dan mengesankan keunggulan lakilaki atas perempuan. Di sisi lain, pandangan para feminis hampir seluruhnya menyepakati bahwa agama—khususnya Islam, dan Kristen— adalah termasuk sebuah wilayah seksis. Artinya, dalam agamaagama tersebut banyak menggambarkan citra Tuhan maupun para utusan/nabi sebagai laki-laki, yang pada ujung-ujungnya­ melegitimasi superioritas laki-laki di atas perempuan. Posisi agama yang merupakan unsur utama kesadaran sosial dan ­determinan atas berbagai tradisi yang ada di masyarakat, membuat­ pandangan tentang superioritas laki-laki itu memperoleh justifikasi dari agama. Terlebih teks-teks suci keislaman—dalam konteks ini adalah al-Qur’an dan Hadis—yang secara harfiah memposisikan laki-laki sebagai pihak superior dan kemudian ditafsirkan oleh para mufassir dengan nuansa patriarki (Mustaqim: 41-42). B. Menjernihkan Istilah Feminisme Hingga kini masih banyak orang yang salah memaknai feminisme sehingga seringkali kita melihat orang sinis tatkala disebut kata tersebut. Mereka berasumsi bahwa feminisme adalah gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki. Feminisme dianggap sebagai bentuk pemberontakan kaum perempuan untuk mengingkari kodrat atau fitrah perempuan, melawan pranata sosial yang ada, atau institusi rumah tangga, seperti perkawinan dan lain sebagainya. Akibat dari kesalahpahaman ini, maka feminisme kurang mendapat respon positif di kalangan perempuan itu sendiri, apalagi laki-laki, bahkan secara umum ditolak oleh masyarakat. Sejatinya, secara etimologis kata ‘feminisme’ berasal dari bahasa latin, yaitu femina, yang dalam bahasa Inggris TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS (Umma Farida) diterjemahkan menjadi feminine, artinya memiliki sifat-sifat sebagai perempuan. Kemudian kata itu ditambah ‘ism’ menjadi feminism, yang berarti bahwa hal ihwal tentang perempuan, atau dapat pula berarti paham mengenai perempuan. Dalam perkembangan selanjutnya, kata tersebut digunakan untuk menunjuk suatu teori kesetaraan jenis kelamin (sexual equality). Secara historis, istilah itu muncul pertama kali pada tahun 1895, sejak itu pula feminisme dikenal secara luas (Mustaqim, 2003: 16). Menurut Kamla Bhasin Akhmad dan Nighat Said Khan (1995: 5) bahwa feminisme adalah suatu paham aliran yang mempunyai kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, di dalam keluarga, disertai tindakan sadar oleh perempuan atau laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Senada dengan pengertian tersebut, Mansour Fakih (1987: 10) memberikan batasan bahwa gerakan feminis merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil menuju sistem yang adil bagi perempuan maupun lakilaki. Dengan demikian hakikat feminisme adalah kesadaran terhadap adanya diskriminasi, ketidakadilan dan subordinasi perempuan, dilanjutkan dengan sebuah upaya untuk merubah keadaan tersebut menuju suatu sistem masyarakat yang lebih adil. Untuk menjadi feminis tidak harus berjenis kelamin perempuan. Seorang laki-laki pun dapat menjadi seorang feminis asal memiliki concern dan kesadaran untuk mengubah ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Sehingga, perhatian utama dari gerakan feminisme adalah terciptanya suatu keadilan (justice), kesetaraan (equality) dalam sistem dan struktur masyarakat. Feminisme dalam pembahasan ini, mengikuti kerangka Sue Morgan dalam Connolly (1999: 64) merupakan suatu pendekatan yang hendak melakukan dekonstruksi terhadap sistem sosial yang merugikan posisi perempuan karena jenis kelaminnya. Agama sebagai sumber sistem sosial tidak lepas dari perhatian para feminis. Pendekatan feminis dalam studi agama tidak lain merupakan suatu transformasi kritis dari perspektif teoritis yang ada dengan menggunakan gender sebagai kategori analisis utamanya. Atau dengan kata lain, pendekatan ini menentang pelanggengan historis terhadap ketidakadilan dalam agama, praktik-praktik eksklusioner yang melegitimasi superioritas 205 206 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 laki-laki dalam bidang sosial. Aspek transformatif kemudian meletakkan kembali simbol-simbol sentral, teks, dan ritual-ritual tradisi keagamaan secara lebih tepat untuk memasukkan dan mengokohkan pengalaman perempuan yang diabaikan. C. Sekilas tentang Sejarah Feminisme Sebelum membahas lebih lanjut feminisme sebagai sebuah pendekatan yang bisa digunakan untuk memahami teks-teks agama, disini akan diuraikan terlebih dahulu sejarah gerakan feminisme. Secara historis, gerakan feminisme di Barat muncul sebagai reaksi atas ketimpangan dan ketidakadilan yang dihasilkan oleh suatu tatanan sosial yang patriarkis. Munculnya gerakan ini terkait erat dengan lahirnya renaissance di Italia yang membawa fajar baru kebangkitan kesadaran baru di dunia Eropa dan Amerika. Sara M. Evans, sebagaimana dikutip Kadarusman (2005: 23-26), mengungkapkan bahwa gerakan Women’s Liberation di Amerika merupakan momentum penting dalam sejarah gerakan feminisme. Dalam sejarah feminisme, usaha-usaha yang terorganisasi untuk meningkatkan status kesetaraan gender pertama kali muncul di Amerika Serikat. Gerakan tersebut meliputi perbaikan akses perempuan di bidang pendidikan, sosial dan reformasi politik. Terhitung sejak gerakan massa Stamp Ampf di tahun 1760an sampai aksi antara 1776 dan 1781, kaum perempuan Amerika seperti tak pernah ketinggalan ikut terlibat dalam penyebaran gejolak revolusioner, tanpa dipandang apakah mereka berasal dari kota atau desa. Pada tahun ini pula, kaum perempuan berpartisipasi mengadakan operasi boikot produk-produk impor dari Inggris untuk dihasilkan sendiri. Kesadaran ini meningkat sesuai dengan gagasan John Locke tentang liberalisme: hak untuk bebas, hak atas kehidupan dan hak milik. Dengan sendirinya, peningkatan pendidikan di kalangan perempuan memberi mereka peluang yang semakin lebar di dunia kerja. Pada tahun 1800, gerakan kesetaraan perempuan mulai berkembang ketika revolusi sosial dan politik terjadi di berbagai negara. Dalam bidang pendidikan dan ketenagakerjaan peran perempuan berangsur-angsur meningkat sampai awal tahun 1900. Pada akhir tahun 1920, perempuan Inggris mulai TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS (Umma Farida) diperbolehkan bekerja di luar rumah, yaitu di pabrik-pabrik, karena memang dengan adanya revolusi industri pabrik-pabrik kekurangan tenaga kerja. Sedangkan di Prancis, baru pada tahun 1881 untuk pertama kalinya perempuan yang bersuami dan bekerja di pabrik boleh membuka rekening tabungan tanpa harus memakai nama suami. Pasca 1920, gerakan ini sempat tenggelam. Baru kirakira tahun 1960-an ketika Betty Friedan menerbitkan bukunya, The Feminine Mystique (1963) kembali mampu memberikan kesadaran baru, terutama bagi kaum perempuan, bahwa peranperan tradisional selama ini ternyata menempatkan mereka dalam posisi yang tidak menguntungkan, yaitu subordinasi dan marginalisasi kaum perempuan. Pada tahun 1970-an, kampanye tentang hak-hak perempuan semakin giat dikumandangkan. Pada saat itu sudah banyak kaum perempuan yang memperoleh pendidikan di perguruan tinggi sampai jenjang pendidikan tertinggi. Mereka memiliki hak suara dan ikut menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan di hampir semua negara yang mempunyai prosedur pemilihan umum. Kampanye gender sampai pula ke dunia Islam Negara Mesir sebagai transformasi sains dan teknologi Eropa merupakan pintu gerbang masuknya kampanye gender dan feminisme ke dunia Islam pada awal abad ke-20. Di antara perubahan yang tampak yaitu kam perempuan Mesir tidak lagi hanya tinggal di rumah. Mereka mulai berperan aktif dalam organisasi, dunia pendidikan dan bahkan politik. Dapat dipastikan bahwa pandangan perempuan yang sudah mulai berubah dan sadar akan hak-hak mereka ini, mengalami benturan dengan teks-teks keislaman. Tidak semua penafsiran dalam Islam mengusung gagasan kebebasan gender. Dalam berbagai karya tafsir dan fiqh yang dijadikan pegangan untuk mengatur kehidupan umat Islam dijumpai bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan, yang selanjutnya ditanggapi dengan lahirnya gerakan feminisme. Para aktifisnya dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan, baik praktisi maupun akademisi. Di antara mereka terdapat nama-nama Riffat Hassan, Amina Wadud Muhsin, Asghar Ali Engineer, Fatima Mernissi, dan sebagainya. 207 208 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 D. Teori-Teori Feminisme Teori-teori feminisme merupakan gambaran dinamika wacana feminisme. Kaum feminis Islam adalah bagian dari dinamika tersebut. Untuk memahami posisi para feminis Islam dalam peta teori feminisme, maka penting untuk mengidentifikasi nilai-nilai dasar feminisme. Berikut ini sketsa tentang ide dasar teori-teori feminisme yang telah mempengaruhi perkembangan feminisme sebagai pemikiran akademis maupun gerakan sosial: 1. Feminisme Liberal Asumsi dasar feminisme liberal adalah bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Dalam memperjuangkan persoalan masyarakat, menurut kerangka kerja feminis liberal, tertuju pada ‘kesempatan yang sama dan hak yang sama’ bagi setiap individu, termasuk di dalamnya kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan ini penting, sehingga tidak perlu pembedaan kesempatan (Fakih, 2007: 81; Narwoko, 2004: 327). Teori ini dipelopori oleh Mary Wollstonecraft (1759-1799), John Stuart Mill, dan Betty Friedan. Dalam perspektif feminis liberal, persoalan kaum perempuan dianggap sebagai masalah ekonomi modern atau bagian dari partisipasi politik. Keterbelakangan perempuan adalah akibat dari kebodohan dan sikap irrasional serta teguh pada nilai-nilai tradisional. Industrialisasi dan modernisasi adalah jalan untuk meningkatkan status perempuan, karena akan mengurangi akibat dari ketidaksamaan kekuatan biologis antara laki-laki dan perempuan, dengan cara menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan, di antaranya melalui peningkatan pendidikan perempuan dengan menekankan bahwa kemampuan intelektual laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah sama (Rosemary Tong, 1998: 28). Feminisme liberal tidak pernah mempersoalkan terjadinya diskriminasi sebagai akibat dari ideologi patriarki sebagaimana dipersoalkan oleh feminisme radikal maupun analisis atas struktur ‘kelas’, politik, ekonomi, serta gender sebagaimana dipermasalahkan oleh gerakan feminis sosialis (Kadarusman: 29). TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS (Umma Farida) 2. Feminisme Radikal Brownmiller dalam Fakih (2007: 84) menyebutkan bahwa teori feminisme radikal ini muncul karena seksisme atau diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pada tahun 60-an. Teori ini dirintis oleh Charlotte Perkins Gilma, Emma Goldman, dan Margaret Sanger. Feminisme radikal berkembang pesat pada tahun 1960an dan 1970-an di Amerika Serikat. Teori ini disebut radikal karena memfokuskan pada akar dominasi laki-laki dan klaim bahwa semua bentuk penindasan adalah perpanjangan dari supremasi laki-laki dan ideologi patriarkinya. Patriarki yang secara literal berarti ‘peraturan bapak’ adalah sebuah sistem yang menjamin dominasi laki-laki terhadap perempuan. Dengan sendirinya, lembaga keluarga dan sistem patriarki menjadi dua institusi yang harus dihancurkan. Keluarga dianggap sebagai institusi yang melegitimasi dominasi lakilaki sehingga perempuan ditindas (Kadarusman: 31). Bagi feminisme radikal, revolusi terjadi pada setiap perempuan yang telah mengambil aksi untuk merubah gaya hidup, pengalaman, dan hubungan mereka sendiri terhadap kaum laki-laki, sehingga bisa bersifat sangat personal. Menurut mereka, sepanjang perempuan masih meneruskan hubungannya dengan laki-laki, maka akan sulit bahkan tidak akan mungkin berjuang melawan laki-laki. Jadi, dapat dipahami, bahwa golongan ini mengambil bentuk mode perjuangan ideologi maskulinitas, yakni persaingan untuk mengatasi kaum laki-laki (Fakih: 86). 3. Feminisme Marxis Feminisme Marxis memandang bahwa penindasan perempuan tidak dikarenakan ideologi patriarki, melainkan sebagai akibat dari struktur sosial, politik, dan ekonomi yang erat kaitannya dengan sistem kapitalisme (Ilyas, 1997: 48). Adapun tokoh yang getol mengusung teori ini adalah Great Britain. Meski Karl Marx sebagai pendiri Marxisme tidak menjelaskan posisi perempuan dalam teori perubahan sosialnya, namun sahabatnya Engels-lah yang mengulas masalah ini dalam sejarah pra-kapitalisme dalam bukunya 209 210 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 yang berjudul The Origins of the Family: Private Property and the State. Menurutnya, subordinasi perempuan sekarang terjadi setelah perempuan mengalami kekalahan sistem kapitalis. Sebelum kapitalisme berkembang, keluarga adalah kesatuan produksi. Seluruh kebutuhan manusia untuk mempertahankan hidupnya dilakukan ole semua anggota keluarga termasuk perempuan. Tetapi pasca kapitalisme, industri dan keluarga tidak lagi menjadi kesatuan produksi. Kegiatan produksi beralih dari rumah ke pabrik, kemudian terjadi pembagian kerja, perempuan bekerja di sektor domestik yang tidak produktif, dan tidak bernilai ekonomis, sedang laki-laki bekerja di sektor publik dan produktif. Sebagai jalan keluar yang ditawarkan aliran ini adalah dengan mengembangkan teori materialisme Karl Marx, artinya perempuan harus masuk ke dalam sektor publik yang dapat menghasilkan nilai ekonomi, sehingga konsep pekerjaan domestik perempuan tidak ada lagi (Mustaqim: 27-28). 4. Feminisme Sosialis Feminis sosialis mulai dikenal tahun 1970-an. Teori ini berusaha menggabungkan antara feminisme Marxis dan feminisme radikal. Artinya, kritik terhadap eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme harus dilakukan pada saat yang sama dengan disertai kritik ketidakadilan gender yang mengakibatkan dominasi, subordinasi, dan marginalisasi atas kaum perempuan. Feminisme sosialis inilah yang oleh banyak kalangan terutama pengikut gerakan perempuan, dianggap lebih memiliki harapan (Fakih: 90). Gerakan feminisme sosialis lebih difokuskan kepada penyadarankaumperempuanakanposisimerekayangtertindas. Menurut mereka banyak perempuan yang tidak sadar bahwa mereka adalah kelompok yang ditindas oleh sistem patriarki. Contohnya dengan menonjolkan isu-isu betapa perempuan diperlakukan tidak manusiawi, dikurung dalam sangkar emas, sampai pada isu mengapa perempuan yang harus membuat kopi untuk para suami dan sebagainya. Timbulnya kesadaran ini akan membuat kaum perempuan bangkit emosinya, dan secara kelompok diharapkan mengadakan konflik langsung TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS (Umma Farida) dengan kelompok dominan (laki-laki). Semakin tinggi tingkat konflik antara kelas perempuan dan kelas dominan, diharapkan dapat meruntuhkan sistem patriarki (Ilyas: 53). Dari uraian di atas, dapat ditarik pelajaran bahwa feminisme sebagai sebuah gerakan berikut teori-teorinya, menginspirasi kelahiran feminisme sebagai pendekatan dalam memahami teks-teks keislaman. E. Feminisme dalam Studi Islam Feminisme sebagai sebuah pendekatan untuk mengkaji teks-teks keislaman dalam kerangka kerjanya selalu menggunakan analisis gender sebagai alat untuk mempertajam pandangan mereka. Ini dikarenakan feminisme dan agama keduanya sangat signifikan bagi kehidupan perempuan dan kehidupan kontemporer pada umumnya. Tujuan utama dari tugas feminis adalah mengidentifikasi sejauh mana terhadap persesuaian antara pandangan feminis dan pandangan keagamaan terhadap kedirian, dan bagaimana menjalin interaksi yang paling menguntungkan antara yang satu dengan yang lain (Connolly, 1999: 63). Adapun analisis gender difungsikan untuk memberi makna, konsepsi, asumsi, ideologi dan praktik hubungan baru antara kaum lakilaki dan perempuan serta implikasinya terhadap kehidupan sosial yang lebih luas (sosial, ekonomi, politik, kultural), yang tidak dilihat oleh teori ataupun analisis sosial lainnya (Fakih: xii). Dalam kajian kaum feminis muslim, berbagai teks keislaman yang berpihak pada tradisi patriarkal harus diinterpretasi ulang untuk memperoleh substansi teks yang egaliter. Sehingga, kajian feminisme dapat dikategorikan sebagai kajian sosiologis dan teologis. Dalam perspektif sosiologis, kajian feminisme berusaha mengkaji persoalan kesetaraan gender melalui dekonstruksi sistem patriarkal dan rekonstruksi sistem egaliter dalam struktur masyarakat. Kajian feminisme perspektif teologis berusaha melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks keislaman yang mengandung muatan sistem patriarkal. Teologi pembebasan yang diterapkan untuk membebaskan perempuan dari ketertindasan disebut teologi feminisme (theology of feminism). Teologi feminisme adalah gerakan reformis dan revolusioner untuk mendekonstruksi ideologi dan pemahaman keagamaan yang bias kelelakian. Dekonstruksi ini 211 212 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 bertujuan untuk menghapus patriarki, dan mencari landasan teologis atas kesetaraan gender. Gender bukan semata-mata persoalan sosiologis, tetapi telah merambah wilayah ketuhanan (Kadarusman: 35). Dzuhayatin (2002: 5) mengungkapkan bahwa istilah teologi feminisme (ada pula yang menyebut teologi feminis) di Indonesia tidak secara eksplisit digunakan. Mereka lebih cenderung menggunakan istilah perspektif perempuan dalam agama atau menggunakan analisis gender dalam agama ketimbang teologi feminis. Namun, bukan berarti istilah gender tidak mendapatkan respon yang keras dari kalangan umat beragama di Indonesia tetapi reaksi terhadap feminism nampaknya lebih keras dibandingkan dengan istilah gender. Teologi feminis berpotensi menimbulkan kecurigaan ganda di kalangan umat Islam. Pertama, istilah ‘teologi’, meski bersifat netral sebagai pengetahuan tentang agama, namun cenderung dianggap bias Kristen. Kedua, kerancuan untuk melihat feminisme hanya sebagai ideologi kebebasan perempuan Barat yang identik dengan free sex, aborsi dan anti rumah tangga telah mengaburkan semangat dasar feminisme sebagai kesadaran untuk menghilangkan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan karena mereka berjenis kelamin perempuan (Boucher, 1983: 63). Untuk mengkonstruksi teologi feminis Islam, menurut Kuntowijoyo (dalam Dzuhayatin (2002: 9 ), hendaknya tetap menjadikan iman sebagai framework atau niatan dalam menggunakan teologi feminis sebagai tools of analysis terhadap masalah-masalah yang muncul dari pengalaman keberagamaan yang cenderung diskriminatif dari sudut pandang perempuan. Atau dengan kata lain, teologi feminis dalam konteks Islam dimaksudkan oleh kaum feminis untuk membebaskan bagi perempuan dan laki-laki dari struktur dan sistem relasi yang tidak adil, dengan cara merujuk kitab suci (baca: al-Qur’an) yang diyakini sebagai sumber nilai tertinggi. Berikut ini disebutkan pula faktor-faktor yang melatar­ belakangi munculnya pendekatan feminisme dalam kajian agama Islam, sebagaimana diungkapkan Mustaqim (2003: 62-74) adalah: 1. Faktor Internal Kaum feminis muslim berpendapat bahwa pada dasarnya agama Islam itu menegaskan kesetaraan antara TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS (Umma Farida) laki-laki dan perempuan. Meski, misalnya, al-Qur’an menggunakan bahasa (ungkapan) yang secara literal seakan menunjuk pada struktur yang hirarkis, namun secara moral ia justru ingin menghilangkan subordinasi yang dialami oleh perempuan pada masa-masa pra-Islam. Dengan demikian, sesungguhnya ungkapan al-Qur’an adalah ungkapan yang sarat dengan upaya pembebasan, termasuk dalam hal ini adalah pembebasan perempuan dari dominasi dan eksploitasi kaum laki-laki dengan menggunakan prinsipprinsip keadilan. 2. Faktor Eksternal a. Realitas Sosial Kaum feminis rata-rata hidup dalam lingkungan yang sangat patriarkis, dan mereka menyadari bahwa ada pola budaya dan relasi yang ternyata sangat tidak menguntungkan perempuan. Kesadaran tentang hal ini berpengaruh dalam membentuk wacana feminisme dalam mengkaji teks-teks agamanya. Riffat Hassan misalnya, dalam otobiografi singkatnya, menulis tentang lingkungan di mana ia dilahirkan, yakni di sebuah masyarakat di Pakistan ‘yang lazim merayakan kelahiran seorang anak laki-laki dan meratapi kelahiran anak perempuan. Pikiran Riffat Hassan sendiri mengakui sangat dipengaruhi oleh ibunya yang memang sangat feminis dan selalu menentang tradisi suaminya yang konservatiftradisionalis-patriarkis. Feminis muslim lainnya, Fatima Mernissi menghabiskan masa kanak-kanaknya di dalam harem sebagaimana umumnya para gadis Maroko. Harem adalah sebuah ruangan yang dikhususkan untuk dihuni oleh perempuan dan dijaga oleh seorang laki-laki. Perempuan yang tinggal di dalam harem itu dilarang keras keluar sekalipun untuk keperluan berbelanja. Kaum perempuan di dalam harem itu, dipisah dengan kaum laki-laki melalui hudud (pembatas), dan salah satu dari hudud ini adalah pintu harem yang dijaga oleh laki-laki (Mustaqim: 67). Asghar Ali Engineer, seorang feminis laki-laki yang sangat gencar dalam memperjuangkan kesetaraan laki-laki 213 214 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 dan perempuan. Dalam hal ini realitas sosiologis, India, negara tempat Asghar berasal, juga sangat berpengaruh dalam mengkonstruksi pemikiran feminis Asghar. Dalam sebagian besar masyarakat India, terutama kalangan menengah ke bawah yang merupakan jumlah mayoritas, kedudukan perempuan dalam keluarga sangatlah lemah. Terjadinya kasus-kasus kekerasan domestik adalah sangat biasa. Contoh lain yang sangat menonjol adalah talak tiga sekaligus yang menurutnya sangat menempatkan perempuan dalam posisi yang seakan tidak dihargai. b. Persentuhan dengan peradaban Barat Persentuhan dengan peradaban Barat berperan dalam membentuk pemikiran feminisme. Baik Riffat Hassan, Mernissi, maupun Engineer memiliki basis ilmu-ilmu sosial, ilmu yang nota bene berasal dari Barat, selain ilmu-ilmu keagamaan yang mempengaruhi pandangan hidup mereka. Kemampuan mereka memahami ilmu-ilmu sosial yang digunakan untuk memahami gejala-gejala keagamaan yang sejauh ini hanya didasarkan pada ilmu-ilmu agama. Mereka tampaknya menyadari bahwa ilmu sosial yang berasal dari Barat itu sangat penting untuk memahami dan ataupun mengkritik gejala yang ada dalam dunia Islam selama ini. Riffat Hassan misalnya, dengan terang-terangan mengakui perlunya mengembangkan apa yang disebut ‘teologi feminisme’ yang sejatinya berasal dari Barat untuk membebaskan muslim dari struktur yang tidak adil dan tidak memungkinkan terjadinya relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan (Mustaqim: 69). Kecenderungan kaum feminis muslim terhadap ilmuilmu sosial itu sendiri tampaknya dapat dipahami melalui latar belakang akademis atau aktifitas sosial mereka yang juga diperoleh dari negara-negara Barat. c. Perkembangan Global Globalisasi yang melanda dunia memaksa kaum muslim untuk merumuskan kembali berbagai pemikiran keislaman. Teknologi informasi yang berkembang demikian pesat akhir-akhir ini telah menyebabkan terjadinya perubahan yang demikian kompleks dalam kehidupan umat TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS (Umma Farida) Islam. Pergolakan ‘emansipasi’ dan ‘demokrasi’ di bagian wilayah dunia dengan begitu mudah data diakses oleh umat Islam dan sangat mempengaruhi kehidupannya. Masuknya gagasan feminism di kalangan umat Islam jelas tidak dapat dilepaskan begitu saja dari perkembangan global yang melanda umat Islam (Mustaqim: 71). d. Gagasan tentang HAM Faktor lainnya yang juga mempengaruhi munculnya pemikir feminis dalam Islam adalah ‘serangan’ dunia Barat terhadap Islam yang selalu menuding bahwa Islam tidak menghargai hak-hak kaum perempuan. Tudingan Barat ini memang sulit dibantah meski tidak sepenuhnya benar, karena realitas kebanyakan negara-negara Islam menunjukkan kenyataan itu, bahwa posisi perempuan dalam struktur sosial kehidupan sering berada pada posisi inferior. Serangan Barat kepada Islam dan tuntutan dunia modern untuk melaksanakan hak-hak asasi manusia (HAM) secara menyeluruh ini agaknya menyadarkan pemikir-pemikir muslim untuk merumuskan kembali ajaran Islam yang secara moral ternyata sangat membela ide-ide egalitarianism dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Permasalahannya adalah penafsiran teks-teks keislaman tentang relasi gender oleh para ulama klasik yang bias patriarki dinilai bertentangan dengan hak asasi manusia sebab telah memposisikan jenis kelamin lakilaki dalam posisi superior dibandingkan perempuan. F. Karakteristik dan Corak Kajian Feminis Pemahaman terhadap teks-teks keislaman oleh para ulama klasik yang cenderung memojokkan perempuan (patriarkis), telah mengundang tanggapan para feminis. Connolly (1999: 78) menyebut para feminis yang berupaya memberikan pemahaman yang sesuai atas kalam Tuhan yang ada, dengan mengusulkan rangkaian pandangan yang merefleksikan pengalaman kedua jenis gender dengan nama ‘feminis religius’. Dalam rangka membangun paradigma teologi feminis yang erat kaitannya dengan isu-isu keperempuanan, kaum feminis menggunakan pendekatan dua level, yaitu: 215 216 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 Pertama, pendekatan normatif-idealis, artinya bahwa teologi feminis yang hendak dirumuskan itu mengacu kepada norma-norma yang bersumber dari ajaran Islam yang ideal. Paling tidak ada dua sumber pokok ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadis yang selalu dijadikan rujukan oleh kaum muslimin dalam memecahkan berbagai persoalan hidup, baik persoalan sosial budaya, ekonomi maupun yang menyangkut persoalan keagamaan pada umumnya. Dalam pandangan kaum feminis, sumber utama dan pertama yang dijadikan rujukan itu adalah al-Qur’an yang diyakininya sebagai sumber nilai tertinggi. Dalam konteks ini mereka akan melihat bagaimana al-Qur’an menggariskan prinsip-prinsip dasarnya yang lebih bersifat idealis normatif, misalnya bagaimana seharusnya perempuan itu menurut al-Qur’an, baik tingkah lakunya, hubungannya dengan Tuhannya, dengan orang lain, dan dengan dirinya sendiri. Model pendekatan ini bersifat deduktif. Kedua, pendekatan historis-empiris. Setelah melihat secara cermat dan kritis bagaimana sebenarnya pandangan ideal-normatif (terutama yang bersumber dari al-Qur’an), kaum feminis mencoba melihat bagaimana kenyataan secara empirishistoris kondisi perempuan dalam masyarakat Islam. Berdasar data empiris inilah kaum feminis mendapati kesenjangan antara idealis-normatif-metafisis dengan yang historis-empiris-realistis. Jika demikian kenyataannya, berarti ada something wrong dalam sejarah perempuan. Padahal, mestinya fundamental values yang ada dalam al-Qur’an seperti semangat kebebasan, keadilan, kesejajaran dan penghormatan atas hak-hak asasi kemanusiaan dapat terjabarkan dan teraktualisasikan dalam historisitas kemanusiaan yang nyata. Karena al-Qur’an diturunkan jelas bisa diamalkan dan harus diamalkan. Inilah rupanya yang salah satu hal yang menjadi kegelisahan dan mendorong kaum feminis untuk melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung bias-bias patriarkhi (Mustaqim: 107-108). Meski tujuan para feminis ini adalah senada, yakni untuk memperoleh pemahaman atas teks-teks keislaman yang adil secara gender, namun ternyata mereka dapat digolongkan dalam kelompok yang berbeda berdasarkan corak pemikiran mereka. Ghazala Anwar dalam Zakiyuddin Baidhawy (1996: 7-14) menggolongkan pemahaman feminis terhadap teks-teks keislaman kepada lima macam, yaitu: feminis apologis, feminis reformis, feminis transformis, feminis rasionalis, feminis rejeksionis. TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS (Umma Farida) 1. Feminis Apologis Feminis apologis ini meyakini bahwa Islam sebagaimana tersirat dalam al-Qur’an dan Hadis telah memberikan semua hak yang diperlukan oleh kedua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan bagi kesejahteraan dan pemenuhan pribadi masingmasing. Keyakinan ini memunculkan dua perbedaan. Pertama, ada perbedaan yang tak bisa dipungkiri antara kebutuhan dan keinginan laki-laki dengan kebutuhan dan keinginan perempuan, yang dipahami dan dilayani oleh ayat-ayat dalam al-Qur’an. Kedua, praktik umum dalam berbagai komunitas muslim menyalahi atau tidak memenuhi seluruh hak bagi perempuan sebagaimana telah tersurat dalam teks-teks otoritatif (al-Qur’an dan Hadis). Penekanan mereka bukan pada upaya untuk menafsirkan kembali ayat-ayat al-Qur’an agar berdampak kepada dua jenis kelamin, namun dengan mendidik perempuan tentang makna dan tafsiran teks-teks tersebut. Cara ini menurut Anwar relatif tidak membangkitkan emosi kalangan konservatif dan dianggap oleh Anwar sebagai jenis feminisme yang ‘aman’. 2. Feminis Reformis Persoalan utama feminis reformis adalah adanya perbedaan antara teks-teks otoritatif dengan tafsiran-tafsiran tentangnya, bukan perbedaan antara teks-teks otoritatif dengan praktik budaya sebagaimana diyakini feminis apologis. Bagi feminis reformis, teks-teks al-Qur’an telah disalahpahami secara tidak memadai dan/atau disalahtafsirkan. Sebagaimana para apologis, para reformis juga menggunakan argumen-argumen filologis dan kontekstual untuk menafsirkan kembali ayat-ayat al-Qur’an, namun mereka lebih sadar akan kebutuhan untuk menafsirkan kembali sekaligus sadar akan keterlibatan diri mereka dalam kegiatan semacam itu. 3. Feminis Transformasionis Feminis transformasionis bertujuan untuk mentrans­ formasi­kan tradisi dengan tetap menggunakan metodologi hermeneutik klasik yang telah akrab dalam wacana Islam tradisional. Dasar hermeneutik feminis transformatif ini sudah dikenal dalam wacana Islam klasik, namun dirumuskan dengan 217 218 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 rumusan-rumusan yang baru dan berbeda sama sekali dengan rumusan yang ada dalam wacana Islam klasik. Misalnya, pengkategorian teks-teks al-Qur’an menjadi dan . Dalam wacana Islam tradisional, suatu teks disebut muhkamãt apabila maknanya sudah jelas dan tegas secara literal, yang tidak memerlukan penafsiran ulang. Sementara teks-teks al-Qur’an disebut jika maknanya masih samar, tidak jelas, ambigu, dan seterusnya. Metodologi ini memang dirumuskan dari teks al-Qur’an sendiri yang menyatakan, “Dialah yang menurunkan kepadamu al-Kitab, di antara ayat-ayatnya ada yang , itulah isi kitab inti, dan yang lain adalah (QS. Ali Imran: 7). Masalahnya adalah mana ayat-ayat yang termasuk kategori muhkamat dan mana yang termasuk mutasyabihat, tidak ada kesepakatan di kalangan para ulama. Salah seorang pemikir Islam Indonesia, Masdar F. Mas’udi (1997: 51-55), memperbaharui konsep dan tersebut. Ia tidak setuju dengan makna kedua konsep tersebut seperti yang dikemukakan oleh mufassir klasik. Ia memang sepakat dengan para mufassir klasik, bahwa teks-teks adalah teks yang jelas maknanya dan yang adalah yang samar. Namun berbeda dengan mufasir klasik yang memahami makna dan secara literal, yakni memahami makna ayat secara harfiah. Masdar menegaskan bahwa kejelasan atau kesamaran itu adalah pada pesan, ruh, substansi teksnya. Dan substansi teks itu tidak lain adalah pesan-pesan keadilan, hak asasi, kesetaraan, demokrasi dan lain-lain. Model hermeneutis yang digagas Masdar ini jelas sekali mempunyai implikasi yang sangat jauh dan kemungkinan yang luas sekali dalam menafsirkan ulang teks-teks keislaman yang dalam pandangan para feminis, terkenal seksis dan tidak adil. Pembacaan terhadap teks-teks al-Qur’an yang kelihatannya secara literal seksis, bisa ditafsirkan ulang sehingga bias gender yang terasa tidak adil bisa ditransformasikan kepada makna yang lebih setara secara gender. 4. Feminis Rasionalis Feminis rasionalis, seperti Amina Wadud dan Riffat Hassan, menyatakan bahwa karena Allah itu Maha Adil dan Maha Pengasih, maka kata-kata-Nya hanya bisa ditafsirkan TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS (Umma Farida) dalam istilah-istilah yang selaras dengan kualitas-kualitas Ilahi tersebut. Pandangan ini tentu saja berarti menerapkan kriteria keadilan kepada al-Qur’an, daripada hanya sekadar menerima begitu saja bahwa al-Qur’an pastilah adil. Atau, ia mengambil pandangan tentang keadilan yang dikembangkan dalam sebagian ayat-ayat al-Qur’an, serta menggunakannya untuk menilai ayatayat lain yang tampaknya mengguncangkan pandangan tentang keadilan itu. 5. Feminis Rejeksionis Berbeda dengan aliran feminisme yang lain, aliran feminisme ini menganggap bahwa memang terdapat teks-teks dalam al-Qur’an dan hadis dalam kaitannya dengan masalah perempuan yang misoginis, seksis, dan diskriminatif. Tilik rujukan mereka adalah pengalaman perempuan. Oleh karena itu, argumen apapun di luar itu—dari manapun sumbernya—yang mendukung diskriminasi terhadap perempuan akan ditolak. Tasleema Nasreen dari Bangladesh adalah contoh pengikut aliran feminisme rejeksionis ini. Menurut Anwar, Nasreen mengemukakan perlunya merevisi atau bahkan menolak sebagian teks al-Qur’an yang dianggap misoginis atau seksis tersebut. G. Memahami Teks-teks Keislaman dalam Kajian Kaum Feminis 1. Konsep Penciptaan Manusia Dalam diskursus feminisme, konsep penciptaan perempuan adalah isu yang sangat penting dan mendasar dibicarakan lebih dahulu, karena konsep kesetaraan atau ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan berakar dari konsep penciptaan perempuan ini. Dalam tradisi Islam dikenal dan diyakini empat macam cara penciptaan manusia: (1) Diciptakan dari tanah (penciptaan Nabi Adam As.) dalam QS. : 11, : 11, dan alHijr: 26; (2) Diciptakan dari (tulang rusuk) Adam (penciptaan ) dalam QS. : 1, : 189, Az-Zumar: 6; (3) Diciptakan melalui seorang ibu dengan proses kehamilan tanpa ayah (penciptaan Nabi Isa As.) dalam QS. Maryam: 19-22; (4) 219 220 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 Diciptakan melalui kehamilan dengan adanya ayah secara biologis (penciptaan manusia selain Adam, Hawa, Isa) dalam QS. : 12-14. Berbeda dari ketiga macam cara penciptaan yang lain, ayatayat tentang penciptaan Hawa tidak menyebutkan secara jelas dan terperinci mekanisme penciptaan Hawa. Dalam ketiga ayat tersebut hanya disebutkan bahwa “dari padanya (nafs wahidahAdam), Dia menciptakan istrinya“ (zaujaha-Hawa). Redaksi ini sangat potensial untuk ditafsirkan secara kontroversial (Ilyas: 62). Para mufassir pada umumnya seperti az-Zamakhshari, , dan sepakat menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan nafs wahidah dalam an: 1 adalah Adam, dan zawjaha adalah istrinya (Hawa). Argumen yang mereka kemukakan: (1) Berdasar ayat, min yang terdapat dalam kalimat wa khalaqa minha zaujaha adalah min yang dengan demikian berarti Hawa diciptakan dari sebagian Adam; (2) Berdasar hadis Rasulullah SAW. riwayat Bukhari dan Muslim, yang menyebutkan secara eksplisit penciptaan H{awa dari tulang rusuk Adam. Sementara kaum feminis seperti Riffat Hassan (2000: 55-66) berpendapat bahwa nafs wahidah tidak dapat dipastikan adalah Adam, karena baik kata nafs, maupun zawj bersifat netral, tidak menunjukkan jenis kelamin tertentu. Bagi Riffat, Adam bukanlah nama diri, melainkan nama jenis secara linguistik, bukan menyangkut jenis kelamin. Jika “Adam” belum tentu laki-laki, maka zawj Adam pun belum tentu perempuan. Riffat juga menolak penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam. Menurutnya, Hawa juga diciptakan dari tanah seperti penciptaan Adam. Argumen yang dia kemukakan: (1) min dalam ayat tersebut menunjukkan jenis yang sama. Artinya Hawa diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam, yaitu dari tanah; (2) Semua hadis tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam lemah, baik dari segi sanad ataupun matan. Dari segi sanad, empat orang perawinya (Maisarah al-Asyja’i, Haramalah bin Yahya, Zaidah, dan Abu Zinad --menurutnya--didha’ifkan oleh kritikus hadis adz-Dzahabi. Dari segi matan, bertentangan dengan al-Qur’an karena mengandung elemen-elemen misoginik yang bertentangan dengan konsep penciptaan manusia fi ahsan at-taqwim. Disamping itu Riffat mengaku tidak dapat memahami TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS (Umma Farida) relevansi statemen bahwa bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atas; (3) Cerita tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam tidak lebih dari dongeng-dongeng Genesis 2 yang pernah masuk ke dalam tradisi Islam melalui asimilasinya dalam kepustakaan hadis (Riffat: 75). Sedangkan pemahaman Amina Wadud Muhsin terhadap QS : 1 tidak secara tegas menyebutkan penolakannya bahwa yang dimaksud nafs di sini adalah Adam mengingat minimnya penjelasan al-Qur’an tentang ini. Menurutnya, kata nafs secara gramatikal adalah feminin, namun secara konseptual nafs tidak feminin maupun maskulin. Ia juga mengungkapkan bahwa menurut kisah al-Qur’an tentang penciptaan, Allah tidak pernah berencana memulai penciptaan manusia dengan seorang laki-laki; Dia juga tidak pernah merujukkan asal-muasal manusia pada Adam. Dengan demikian, secara teknis kata nafs dalam al-Qur’an merujuk pada asal semua manusia secara umum. Meskipun manusia berkembang biak di muka bumi dan membentuk bermacam-macam negara, suku, dan bangsa yang berlainan bahasa dan warna kulit, namun mereka semua berasal dari sumber yang sama (Amina: 42-43). Mengenai teknis penciptaan Hawa, Amina tidak mengemukakan pendapatnya secara tegas, apakah H}awa diciptakan dari tulang rusuk Adam seperti pendapat para mufassir, atau diciptakan sendiri secara terpisah dengan cara yang sama dengan penciptaan Adam seperti pendapat Riffat. Dia hanya menjelaskan bahwa kata min dalam bahasa Arab, pertama, dapat digunakan sebagai preposisi (kata depan) ‘dari’ untuk menunjukkan makna’menyarikan sesuatu dari sesuatu yang lainnya. Kedua, dapat digunakan untuk menyatakan sama macam atau jenisnya. Bila min pada kalimat minha dalam : 1 digunakan fungsinya yang pertama (preposisi) maka maknanya Hawa diciptakan dari Adam (seperti umumnya pendapat mufassir), sebaliknya jika digunakan fungsi min yang kedua maka maknanya Hawa diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam. Penggunaan min yang terakhir ini dapat dilihat contohnya pada QS. Ar-Rûm: 21 misalnya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istriistri dari jenismu sendiri (min anfusikum) supaya kamu tenteram.” Meski demikian, Amina terkesan tidak menyukai kemungkinan pertama, sekalipun tidak secara tegas memilih yang kedua. 221 222 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 2. Konsep Kepemimpinan Rumah Tangga Kepemimpinan rumah tangga menurut para mufassir klasik dengan berdasar QS An-Nisâ’: 34 ditafsirkan sebagai kepemimpinan suami atas istri. Menurut feminis, paham yang menempatkan suami sebagai pemimpin rumah tangga tidak sejalan, bahkan bertentangan dengan ide utama feminisme yaitu kesetaraan laki-laki dan perempuan. Karenanya, para feminis muslim—Asghar Ali Engineer, Amina Wadud, dan Riffat Hassan—berupaya untuk melakukan penafsiran kembali terhadap ayat tersebut, tentu saja setelah membongkar penafsiran lama yang dinilai bias gender. Para ulama memaknai kata dalam QS. An-Nisa: 34 tersebut sebagai pemimpin. AlQur’an mengemukakan dua alasan kenapa suami yang menjadi pemimpin. Pertama, karena kelebihan yang diberikan Allah kepada mereka. Kedua, karena kewajiban mereka memberi nafkah keluarga. Meski demikian, para ulama masih berselisih pendapat mengenai maksud ‘kelebihan’, apakah yang dimaksud kelebihan fisik, intelektual atau agama, atau semuanya sekaligus. Menurut Asghar, QS. : 34 tidak boleh dipahami lepas dari konteks sosial pada waktu ayat itu diturunkan. Menurut dia, struktur sosial pada zaman Nabi tidaklah benarbenar mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan. Orang tidak dapat mengambil pandangan yang semata-mata teologis dalam hal semacam ini. Orang harus menggunakan pandangan sosio-teologis. Bahkan, al-Qur’an pun terdiri dari ajaran yang kontekstual dan juga normatif. Tidak akan ada kitab suci yang bisa efektif, jika mengabaikan konteksnya sama sekali (Asghar, 1994: 61). Asghar mengungkapkan bahwa keunggulan laki-laki adalah keunggulan fungsional, bukan keunggulan jenis kelamin. Pada masa ayat itu diturunkan, laki-laki bertugas mencari nafkah dan perempuan di rumah menjalankan tugas domestik. Karena kesadaran sosial perempuan waktu itu masih rendah, maka tugas mencari nafkah dianggap sebagai sebuah keunggulan. Apabila kesadaran sosial kaum perempuan sudah tumbuh, bahwa peran-peran domestik yang mereka lakukan harus dinilai dan diberi ganjaran yang serupa sesuai dengan doktrin yang diajarkan oleh al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 21), bukan semata-mata kewajiban yang harus mereka lakukan, maka tentu perlindungan dan nafkah yang diberikan laki-laki terhadap TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS (Umma Farida) mereka tidak dapat lagi dianggap sebagai keunggulan laki-laki, karena peran-peran domestik yang dilakukan perempuan, lakilaki harus mengimbanginya dengan melindungi dan memberi nafkah yang oleh al-Qur’an disebut sebagai itu. Karena itu, kepemimpinan suami atas istri bersifat kontekstual, bukan normatif. Apabila konteks sosialnya berubah, doktrin itu dengan sendirinya juga akan berubah. Dia membangun pendapatnya itu dengan menggunakan argumen struktur kalimat . Dalam bukunya, ia mengatakan: Al-Qur’an hanya mengatakan bahwa laki-laki adalah (pemberi nafkah atau pengatur urusan keluarga) dan tidak mengatakan bahwa mereka harus menjadi . Dapat dilihat bahwa adalah merupakan sebuah pernyataan kontekstual, bukan normatif. Seandainya al-Qur’an mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi maka ia akan menjadi sebuah pernyataan normatif, dan pastilah akan mengikat bagi semua perempuan pada semua zaman dan dalam semua keadaan. Tetapi Allah tidak menginginkan hal itu (Asghar: 6263). Riffat tidak setuju jika diartikan sebagai pemimpin, penguasa. Ia lebih cenderung mengartikannya dengan pelindung. Pelindng juga terkandung di dalamnya sebagai pencari nafkah atau mereka yang menyediakan sarana pendukung perempuan. Berbeda dengan Riffat, karena perempuan mengemban fungsi penting dalam reproduksi, Amina menerima kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, namun harus memenuhi dua hal (1) Laki-laki sanggup membuktikan kelebihannya dan kelebihan itu digunakan untuk mendukung perempuan. Kelebihan laki-laki yang dimaksud Amina hanyalah kelebihan hak waris yang secara jelas ditetapkan oleh al-Qur’an. Dengan demikian, terdapat hubungan timbal balik antara hak istimewa yang diterima dengan tanggung jawab yang dipikul. Laki-laki memiliki tanggung jawab menggunakan kekayaannya untuk mendukung perempuan, sehingga ia dijamin harta warisannya sebanyak dua kali lipat. Di sini tampak bahwa dalam menafsirkan QS. An-Nisa’: 34 Amina lebih menekankan pada kata (Amina, 2003: 121). Amina (2003: 122) juga mengkritik penafsiran laki-laki yang sering mengabaikan dua prasyarat kepemimpinan laki- 223 224 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 laki sebagaimana diuraikan di atas. Ia menulis: Banyak laki-laki yang menafsirkan ayat di atas sebagai indikasi tak bersyarat dari pelebihan laki-laki di atas perempuan. Mereka menandaskan bahwa ‘Laki-laki diciptakan Tuhan lebih tinggi daripada perempuan (dalam hal kekuatan dan akal)’. Akan tetapi, penafsiran ini tak berdasar karena tidak ada keterangan dalam ayat tersebut yang menyatakan superioritas fisik atau intelektual lakilaki. Pengertian semacam ini menjadikan tidak setiap laki-laki secara otomatis memiliki kelebihan atas istrinya. Hak mendapat warisan lebih banyak dari perempuan memang sudah dijamin oleh al-Qur’an, tapi apakah warisan itu digunakan untuk mendukung perempuan—dalam konteks ini istrinya—tentu harus dibuktikan. Oleh sebab itu, kelebihan itu tidak bisa tidak harus bersyarat, karena QS. An-Nisa’: 34 tidak mengatakan ‘mereka’ (jamak maskulin) telah dilebihkan atas mereka (jamak feminin). Ayat itu menyebutnya (sebagian) di antara mereka atas (sebagian lainnya). Penggunaan kata berhubungan dengan hal-hal yang nyata teramati pada manusia. Tidak semua kaum laki-laki unggul atas kaum perempuan dalam segala hal. Sekelompok laki-laki memiliki memiliki kelebihan atas sekelompok perempuan dalam hal-hal tertentu. Demikian pula sebaliknya, perempuan juga memiliki kelebihan atas laki-laki dalam hal-hal tertentu (Ilyas: 85). 3. Konsep Kesaksian 1: 2 dan Warisan 2:1 Terhadap konsep kesaksian, Asghar menyatakan bahwa dua kesaksian perempuan sebanding dengan satu kesaksian laki-laki—yang berlaku khusus pada transaksi bisnis—itu tidak menunjukkan inferioritas perempuan. Hal itu semata-mata karena pada masa itu perempuan tidak mempunyai pengalaman yang memadai dalam masalah keuangan, dan karena itu dua saksi perempuan dianjurkan oleh al-Qur’an. Sehingga jika terjadi kelupaan maka salah seorang dapat mengingatkan yang lain. Selain itu, Asghar juga mengingatkan bahwa walaupun dua saksi perempuan dianjurkan sebagai pengganti seorang saksi lakilaki, hanya salah seorang di antara keduanya yang memberikan kesaksian, yang lain berfungsi tidak lebih dari pengingatnya jika dia bimbang (Asghar: 88). TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS (Umma Farida) Senada dengan Asghar, Amina juga mengungkapkan bahwa dalam ayat tidak disebutkan bahwa kedua perempuan tersebut sebagai saksi. Seorang perempuan diperlukan untuk mengingatkan yang lainnya, sehingga ia bertindak sebagai mitra yang lainnya. Penyaksian dua saksi ini mengindikasikan upaya untuk mencegah penyelewengan. Jika salah seorang keliru, atau terbujuk untuk memberikan kesaksian palsu, maka ada yang satunya lagi untuk mendukung ketentuan perjanjian. Tetapi, mengingat perempuan dalam masyarakat ketika itu mudah untuk ditekan, jika salah satu dari dua saksi tadi adalah perempuan, maka dia akan menjadi sasaran empuk pemaksaan oleh laki-laki yang ingin mencabut kesaksiannya. Kalau ada dua orang perempuan, maka mereka dapat saling mendukung. Satu kesatuan yang terdiri atas dua perempuan dengan fungsi yang berbeda ini tidak saja memberi nilai signifikan pada tiap-tiap individu, tetapi juga membentuk satu front yang terpadu untuk menghadapi saksi lain. Disamping itu, menurut Amina, satu saksi laki-laki ditambah satu kesatuan yang terdiri atas dua perempuan ini tidaklah sama dengan formula dua-banding-satu, sebab jika tidak demikian, maka empat saksi perempuan dapat menggantikan dua saksi laki-laki. Tetapi, al-Qur’an tidak memberikan alternatif ini (Amina: 148). Mengenai formula warisan 2:1, ternyata Asghar tidak menilai ketentuan ini bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Menurut Asghar, selain mendapatkan bagian dari warisan, nanti setelah anak perempuan itu kawin, di akan mendapatkan tambahan harta berupa mas kawin dari suaminya. Padahal disamping itu dia tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menafkahi dirinya sendiri dan anak-anaknya, karena semuanya sudah menjadi tanggung jawab suaminya. Hanya saja Asghar mengkritik penafsiran yang menjadikan ketentuan warisan ini sebagai alasan untuk menganggap anak perempuan lebih rendah nilainya dibanding anak laki-laki. Menurut dia, pandangan seperti ini sangat keliru, karena kesetaraan laki-laki dan perempuan termasuk kategori moral, sementara warisan masuk kategori ekonomi. Pewarisan sangat banyak tergantung kepada struktur sosial dan ekonomi dan fungsi jenis kelamin tertentu di dalam masyarakat (Asghar: 97) 225 226 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 Berbeda dengan Asghar, Menurut Amina, meski pernyataan awal al-Qur’an, dalam QS an-Nisa: 11-12 menetapkan ‘bagian laki-laki sama dengan bagian dua perempuan’, namun kajian yang lengkap atas ayat ini menunjukkan variasi pembagian yang proporsional antara laki-laki dan perempuan. Pada kenyataannya, jika hanya ada satu anak perempuan, maka bagiannya adalah setengah harta pusaka. Selain itu, pertimbangan orangtua, saudara kandung, kerabat jauh, maupun anak-cucu dibahas dalam berbagai kombinasi yang berbeda-beda untuk menunjukkan bahwa bagian perempuan adalah setengah dari bagian laki-laki bukanlah satu-satunya model pembagian harta, melainkan salah satu dari beberapa penetapan proporsional yang bisa dilakukan (Amina: 150). Dengan demikian dalam pandangan Amina, pembagian warisan bersifat fleksibel dengan mempertimbangkan naf’un (manfaat) bagi orang-orang yang ditinggalkan. Ia memberikan contoh, jika dalam suatu keluarga yang terdiri atas seorang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan, sang ibu yang janda dirawat dan dinafkahi oleh salah seorang anak perempuannya, mengapa anak laki-laki harus menerima bagian yang lebih besar? Mungkin bukan ini keputusannya jika diperhatikan naf’un yang nyata bagi ahli waris tertentu (Amina: 151). H. Menimbang Pendekatan Kaum Feminis terhadap Teks-teks Keislaman Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa kaum feminis ingin membangun kerangka dasar paradigmatik model pemahaman baru terhadap teks-teks keislaman (khususnya alQur’an) dan isu-isu keperempuanan. Sebab mereka yakin bahwa selama ini telah terjadi pencemaran dan distorsi historis antara ajaran Islam normatif yang bersumber pada al-Qur’an dengan Islam historis yang selama ini dipraktikkan di masyarakat patriarki. Sehingga, diperlukan keberanian mengkritisi produkproduk penafsiran yang bias gender, karena produk-produk tafsir yang bias gender cenderung melahirkan perilaku yang bias gender pula. Suatu produk tafsir sudah seharusnya mampu berperan menjadi agen perubahan-perubahan sosial (agent of social change). Perubahan itu sendiri antara lain diawali dengan mengubah sistem teologi yang lebih sensitif gender. Sehingga, TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS (Umma Farida) tidak berlebihan jika dikatakan bahwa konsep pemahaman kaum feminis terhadap teks Islam mencerminkan pandangan yang kritis dan liberatif yang mampu merespon isu-isu sosialkeagamaan kontemporer, seperti kesetaraan gender, demokrasi, dan HAM. Sebab, penafsiran yang dideduksi dari ayat-ayat alQur’an seharusnya tidak hanya sekadar konsep dan nilai-nilai normatif yang idealis-metafisis yang hanya ada di kertas (on paper), akan tetapi harus mampu membentuk karakter sosial yang objektif. Pendekatan apapun yang digunakan dalam memahami dan menginterpretasi teks-teks keislaman pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Dilihat dari perspektif epistemologi—dengan meminjam kategori M. Abid al-Jabiri—maka pendekatan yang digunakan kaum feminis menganut corak epistemologi bayani, yakni sebuah corak epistemologi berpikir yang tetap masih mengacu kepada teks suci. Namun karena ia juga menggunakan model berpikir filsafat, sehingga rasionalisasi pemahaman teks menjadi cukup dominan. Ini menunjukkan corak berpikir kaum feminis tidak murni bayani, melainkan juga bercampur burhani (demonstratif filosofis). Sehingga betapapun rasionalnya pemikiran kaum feminis, mereka masih mengakui sakralitas teks, dan akan tetap menjadikan teks sebagai titik tolak berpikir. Menurut Ian G. Barbour, sebagaimana dikutip Mustaqim (2003: 176), ada dua ciri menonjol dalam corak pemikiran dan kajian terhadap agama, termasuk kajian yang dilakukan kaum feminis, yaitu: Pertama, pemikiran keagamaan itu bersifat personal commitment terhadap ajaran agama yang dipeluknya. Pemeluk agama—termasuk dalam hal ini adalah kaum feminis—yang concern terhadap al-Qur’an akan mempertahankan ideologi dan pemikirannya dengan gigih. Kedua, bahasa yang digunakan pemeluk agama adalah bahasa seorang pelaku atau actor, bukan bahasa peneliti dari luar, sehingga kadang sisi subjektifisme dalam rumusan-rumusan pemikiran keagamaan juga tidak bisa dihindarkan sama sekali. Kesungguhan kaum feminis meneliti dan mengkaji ulang prinsip-prinsip ajaran al-Qur’an demi mencapai tujuan yang diperintahkan agama adalah bentuk personal commitment terhadap ajaran agama yang dipeluknya. Sedangkan bahasa yang dipakai kaum feminis juga mencerminkan seorang aktor dari dalam. Mayoritas kaum feminis merasakan sebagai pelaku 227 228 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 korban dari diskriminasi sistem patriarki. Dari sini, maka dapat dilihat bahwa struktur fundamental dari pemikiran keagamaan yang dibangun kaum feminis adalah bagaimana agar terwujud suatu sistem relasi dan struktur masyarakat yang adil tanpa diskriminasi antara lelaki dan perempuan di bawah sinar petunjuk al-Qur’an. Mayoritas kaum feminis memiliki kecenderungan hanya berpegang pada al-Qur’an (Qur’an oriented) dan dalam beberapa kasus mengabaikan hadis terutama jika hadis tersebut menurutnya tidak sejalan dengan semangat al-Qur’an. Sebab menurut mereka, tidak ada jaminan mengenai otentisitas hadis, seperti terhadap kasus penciptaan perempuan dari tulang rusuk Adam. Meskipun riwayat tersebut telah dianggap shahih oleh dua orang imam ahli hadis, yaitu Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Meski demikian, pemahaman ataupun pemikiran kaum feminis terhadap teks-teks keislaman hendaknya tetap tidak mengarah pada truth claim, klaim kebenaran sepihak tanpa ada dialog komunikatif dengan pihak-pihak lain. Artinya, jika hasil pemahaman dan interpretasi kaum feminis kemudian dipahami secara ideologis, kaku, dan tidak terbuka, maka juga akan mengarah pada dogmatisme dan fanatisme yang sempit. Karena bisa jadi kaum feminis yang tadinya mengkritik bahwa hasil penafsiran al-Qur’an selama ini mengandung bias lakilaki, pada akhirnya justru mereka sendiri terjebak pada biasbias keperempuanan. Terlebih, adanya kecenderungan umum jika seorang penafsir memiliki idelogi tertentu, maka hasil interpretasinya sedikit banyak juga cenderung bias ideologi. Oleh karena itu, dalam mengkaji teks-teks keislaman, seorang feminis juga harus bersifat terbuka dan jangan dianggap sebagai sesuatu yang final. I. Penutup Pemahaman atas teks-teks keislaman sebagaimana yang dilakukan kaum feminis pada dasarnya merupakan refleksi kritis yang berperspektif gender, dimana mereka ingin melihat isu-isu perempuan dalam bingkai teologi feminis yang berwawasan kesetaraan, keadilan dan dilandasi semangat menghormati hakhak asasi manusia, tanpa membedakan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Sebagai sebuah ijtihad baru, kajian feminis memang perlu diapresiasi, tapi tidak disakralkan. TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS (Umma Farida) SUMBER RUJUKAN Abdul Mustaqim, Tafsir Feminis versus Tafsir Patriarki, Yogyakarta: Sabda Persada, 2003. Ahmad, Kamla Bhasin, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995. Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994. Boucher, David, The Feminist Challenge: the Movement for Women’s Liberation in Britain and the United States, London: McMillan Press, 1983. Conolly, Peter, Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LkiS, 1999. J. Dwi Narwoko, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana, 2004. Kadarusman, Agama, Relasi Gender & Feminisme, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Bandung: Mizan, 1997. Riffat Hasan & Fatima Mernisi, Setara di Hadapan Allah,. Yogyakarta: LSPPA, 2000. Rosemary Putnam Tong, Feminist Thought, terj. Aquarini Priyatna, Yogyakarta: Jalasutra, 2009. Siti Ruhaini Dzuhayatin, Rekontruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga & Pustaka Pelajar, 2002. Wadud, Amina, Qur’an menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, Jakarta: Serambi, 2003. Waryono Abdul Ghafur, Gender dan Islam: Teks dan Konteks, Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2002. Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur’an: Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Zakiyuddin Baidhawy, Wacana Teologi Feminis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. 229 Ide Utama PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT), LIKU KEHIDUPAN DAN PERSPEKTIF ISLAM TENTANGNYA Annisa Listiana*) ABSTRACT: A domestic Worker (PRT) is anyone who works within the scope of the household either male or female, young or old, even a child. Actually, they have given a huge contribution to their family in Indonesia, and donated income for the country. But on top of legal documents, they are not recognized by the Labor Law as an appropriate form of formal employment that deserve to be given protection by the existing laws and regulations. In the Islamic perspective, women and men are required to work in accordance with the potential and capacity in order to obtain a decent living or to meet family needs. Al Quran does not mention a specific job for a certain gender. Women and men can work inside or outside the home. Working as a domestic worker is not lower than other professions as long as conducted by and for the good purpose. Keywords: Domestic Workers (PRT), Islamic Perspectives. A. Pendahuluan Fenomena di bawah ini seringkali ditayangkan di televisi dan bahkan kita seringkali melihat dan mendengar berita di sekitar kita yang menceritakan tentang berbagai macam permasalahan pekerja rumah tangga (PRT) atau yang lebih sering orang menyebut pembantu rumah tangga, berikut ilustrasi beberapa PRT yang dapat kita baca dan kita cermati: Adalah Yanti seorang PRT berasal dari Purwodadi yang berusia 15 tahun, dengan harapan ingin membahagiakan orangtuanya, dia berangkat ke kota Jakarta untuk bekerja. Di Jakarta karena ) Penulis adalah Dosen STAIN Kudus PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _ (Annisa Listiana) hanya lulusan SMP dia terpaksa harus jadi Pekerja Rumah tangga. Dia berangkat ke Jakarta diajak temannya yang juga bekerja sebagai PRT. Tidak seperti keinginannya ternyata dia bekerja untuk menggantikan temannya dengan upah 150.000 rupiah selama satu bulan. Kemudian dia pindah ke tempat lainnya, di tempat yang baru ini juga tidak seperti harapannya, ia sering disalahkan oleh majikannya yang berujung pada penganiayaaan, tidak diberi makan teratur, akhirnya dia tidak tahan dengan siksaan majikan, ia kabur dari rumah dan minta tolong kepada temannya yang membawanya ke Jakarta untuk pulang kembali ke desanya dengan tidak membawa uang gaji ataupun uang saku. (wawancara tanggal 02 Juli 2009) Kasus yang lain misalnya Sanah yang bekerja di sebuah warung makan sebagai tukang masak, dia dipekerjakan mulai jam 4 pagi sampai jam 11 menjelang tidur, istirahat hanya makan dan melaksanakan ibadah dengan gaji hanya dengan 300 ribu per bulan tanpa uang lembur ataupun bonus, sementara dia harus meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil ke tetangganya dengan upah sehari 10 ribu. Dia bangun jam 3 pagi kemudian saat berangkat bekerja anaknya masih tidur dan pulang anaknya sudah tidur, itupun harus mengantarkan ke tetangganya dan juga menjemput anaknya tengah malam. Dia bertahan hingga 6 bulan karena badannya terasa sakit-sakit dan upahnya tidak seberapa. (wawancara tanggal 05 Juli 2010) Bagi daerah-daerah tertentu yang daerah pertaniannya tandus ataupun tidak ada perusahaan, pekerja rumah tangga (PRT) lebih banyak diburu. Mereka memilih pekerjaan PRT di sejumlah kota besar misalnya Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Bahkan tidak sedikit yang rela meninggalkan kampung halaman demi bekerja sebagai TKI atau TKW juga sebagai PRT di negeri seberang misalnya Malaysia, Brunei Darussalam, Arab Saudi, Abu Dhabi, Libya, dll. Mereka menjadi TKI atau TKW sebagai PRT karena keterpaksaaan. Di rumah tidak bisa melakukan apa-apa karena untuk berdagang tidak punya modal, untuk bekerja di pabrik harus ada ijazah minimal SMA, padahal rata-rata PRT sekarang adalah tamatan SMP yang tidak mempunyai skill. Harapan mereka bisa pergi dari rumah untuk mencari kehidupan yang lebih baik meski ternyata tidak sesuai dengan harapannya. 231 232 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 Permasalahan yang terjadi pada PRT di antaranya adalah proses perekrutannya yang terkadang melibatkan calo, agen, kemudian tidak tahu majikannya bagaimana, jenis pekerjaannya seperti apa, kalau terjadi sesuatu harus bagaimana dan harus kemana? Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis berusaha merangkum dari beberapa realitas yang terjadi dan juga dari beberapa buku. B. Perempuan dan Kerja Domestik: PRT (Pekerja Rumah Tangga) Dalam masyarakat, ada anggapan bahwa PRT merupakan pekerjaan perempuan. Anggapan seperti ini bukanlah hal baru dan menarik. Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana proses pembentukan wacana tersebut bergulir sehingga menempatkan perempuan akhirnya identik dengan PRT. Wacana bahwa perempuan identik dengan PRT bukanlah wacana transendential, namun ia merupakan konstruksi sosial masyarakat. Jika dikaji lebih serius, pandangan bahwa perempuan merupakan pihak yang bertanggung jawab atas urusan rumah tangga (pekerjaan rumah) merupakan fondasi konstruksi wacana identiknya perempuan dengan PRT. Jennifer Soul (2003: 137) menyatakan bahwa pembagian tugas seperti ini berawal dari pandangan bahwa kehidupan rumah tangga merupakan wilayah personal yang tidak boleh disamakan dengan kehidupan wilayah publik yang politis. Menurut Soul, keluarga dibentuk oleh dan membentuk faktor yang sudah jelas bermuatan politis yang dapat menjelma, misalnya melalui pola mendidik, penerapan hukum dan pembagian kerja. Akibatnya, paham yang memandang bahwa perempuan haruslah pihak yang bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga dan perkembangan anak-anak ditempatkan sebagai sesuatu yang tidak politis. Sebuah paham yang akhirnya ditempatkan sebagai paham personal dan dianggap benar atau wajar Konstruksi wacana sebagaimana di atas dihadirkan dan ditanamkan dengan kuat melalui berbagai medium, mulai dari bangku pendidikan, buku bacaan dan bahkan media massa. Berita tentang buruh migran perempuan begitu menghiasi media massa Indonesia. Masyarakat selalu disuguhi dengan film, sinetron, hingga iklan yang menempatkan perempuan dalam posisi biner yang monoton, perempuan/laki-laki, rumah/luar PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _ (Annisa Listiana) rumah. Memang ada beberapa acara televisi yang menayangkan tayangan alternatif wacana, misalnya dengan menghadirkan PRT yang diperankan oleh laki-laki. Begitu juga di majalah yang menghadirkan perawatan anak menghadirkan laki-laki dan anak-anak mereka sebagai bintang sampul majalah dalam beberapa penerbitan. Sayangnya konstruksi wacana seperti itu jumlahnya masih terlalu sedikit untuk memberikan pilihan kerangka pikir masyarakat. Dalam konteks Indonesia, konstruksi wacana perempuan terutama dalam konstruksi perempuan Jawa keraton, menunjukkan bahwa kedudukan perempuan baik secara ekonomi, sosial, ekonomi maupun politik berada pada struktur bawah. Perempuan dipandang sebagai konco wingking (istri menurut pada suami), karena itu perempuan diibaratkan suwargo nunut neroko katut (kemanapun suami, istri harus ikut) terhadap eksistensinya, bahkan perempuan hanya pantas sebagai masak (memasak), macak (berhias), dan manak (melahirkan) yang semuanya identik bahwa pekerjaan perempuan bersifat domestik (Zainuddin Fanani, 2000: 177). Dalam dunia pendidikan, buku-buku pelajaran sering menghadirkan sosok perempuan yang identik sebagai pengurus rumah tangga dan pengasuh anak saja. Sosok anak perempuan pun biasanya tidak jauh dari kehidupan boneka dan masakmemasak. Materi ilustratif yang disajikan dalam tayangan media massa dan buku-buku pelajaran di dunia pendidikan merupakan kerja representasi yang tidak netral. Menurut Wittgeinstein dalam tractatus Logico Philosophicus (2004: 236) melalui teori picture theories menyatakan bahwa sebuah gambar merupakan bentuk representasi yang benar ataupun keliru. Selanjutnya, ia mengungkapkan bahwa dari sebuah gambar kita dapat melihat kemungkinan atas sebuah masalah, gambar yang ada merupakan hasil dari pengalaman empiris manusia dan dibahasakan oleh manusia. Jadi, dari sebuah gambar bisa muncul beraneka interpretasi tergantung sudut pandang manusia Jika kita menggunakan materi ilustratif yang mengiringi buku cerita anak-anak dalam bahasa Inggris yang berjudul “The Trouble with Jack”, pada halaman belakangnya tertulis bahwa buku tersebut merupakan buku cerita domestik yang realistis, yang dengan karakter yang mengagumkan hasil ciptaan pengarang dan 233 234 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 ilustratornya (Shirley Hughes, 1989: 14). Dalam buku tersebut ada sebuah gambar yang menarik, yang di dalamnya terdapat gambar seluruh anggota keluarga yang sedang bepergian. dan dalam gambar tersebut si Ibu mengurus kedua anaknya, sedangkan si Bapak hanya memperhatikan sambil berdiri tegak. Gambar tersebut bersesuaian dengan gambar-gambar lainnya dalam buku tersebut yang menempatkan si Ibu pada posisi yang identik dengan child care dan pekerjaan domestik. Dari hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa wilayah domestik dan child care direpresentasikan oleh perempuan (JP, 2005: 62). Sebagaimana pandangan Wittgeinstein, representasi ini bisa benar ataupun bisa salah. Representasi ini pada dasarnya membuka beragam kemungkinan pula. Berkenaan dengan buku cerita yang disinggung di atas, kemungkinan yang bisa dihadirkan adalah si Bapak yang akan bersama-sama mengurus anak dan rumah mereka. Kemungkinan lainnya adalah ditiadakannya sosok ayah, dan ibu hadir sebagai orang tua tunggal, atau sebaliknya. Masalah representasi dalam gambar seperti itu tidak hanya hadir lewat buku cerita di atas, melainkan dalam beragam buku cerita dan buku pelajaran dalam beragam bahasa pula. Wacana keterkaitan perempuan dengan peran domestiknya begitu merajai teks dunia hingga menjadi apa disebut oleh Foucault sebagai rejim wacana (Nickie Charles, 2000; 119). Wacana perempuan yang identik dengan wilayah domestik seringkali dijadikan alat beragam kampanye, mulai dari kampanye anti perang hingga kampanye anti kekerasan. Tayangan iklan kampanye anti kekerasan yang hadir di media televisi akhir-akhir ini merupakan salah satu contohnya. Dalam sebuah adegan dihadirkan sesosok perempuan yang membentak pekerja rumah tangganya, yang merupakan perempuan pula. Sekilas iklan tersebut dapat dianggap sebagai sarana pembantu yang efektif untuk menghentikan kekerasan, mengingat televisi merupakan medium diseminasi informasi yang sangat ampuh. Namun di sisi lain, adegan tersebut menghadirkan dan melanggengkan wacana keterkaitan perempuan dengan wilayah rumah tangga perempuan dengan representasi PRT. Bahkan jika boleh perpendapat bahwa iklan tersebut merupakan bukti yang sangat tepat dari pendapat Saul bahwa keluarga ternyata bukan wilayah yang bersifat personal semata. Keluarga, beserta seluruh pembagian kerja dan operasi posisi biner perempuan PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _ (Annisa Listiana) dan laki-laki merupakan hal yang bersifat politis pula (Jennifer Saul, 2003: 141). Pandangan Saul juga berseberangan dengan pandangan yang menyatakan bahwa perempuan sudah secara alamiah cocok dengan pekerjaan mengurus rumah. Menurutnya, sebenarnya ini hanyalah masalah seberapa jauh seseorang terlatih untuk mengerjakan sesuatu. Di Indonesia, sejak kecil biasanya perempuan telah dilatih untuk membantu ibunya dalam membersihkan rumah. Anak laki-laki biasanya tidak diajarkan hal serupa, mereka biasanya diajak oleh ayahnya untuk pergi dan berkegiatan di luar rumah misalnya ke bengkel, ke tempat berolah raga dan petualangan alam. Anak perempuan yang bepergian biasanya akan dibawa ke tempat perbelanjaan— menurut Saul, belanja adalah salah satu pekerjaan domestik pula—atau ke pasar-pasar tradisional (Jennifer Saul, 2003: 157). Wacana perempuan berkiprah di arena domestik demikian kental dan dianggap sebagai suatu kebenaran karena berkaitan dengan relasi kekuasaan, dengan demikian sesuatu dianggap benar dalam masyarakat jika diletakkan dalam kerangka relasi kekuasaan masyarakat yang berkuasa. Apabila yang berkuasa laki-laki maka perempuan menjadi lemah dan mematuhi apa yang dikatakan yang berkuasa (Nickie Charles, 2000: 89). Dari paparan di atas yang dapat disimpulkan adalah dari kecil hingga dewasa terdapat dikotomi dan reduksi perempuan ke wilayah domestik. Jejaring makna yang menyatakan bahwa perempuan identik dengan wilayah domestik dan child care, pada akhirnya membuat perempuan identik dengan PRT. C. Kekerasan terhadap PRT Perjalanan kerja seorang PRT, dari daerah asal sampai ke tempat kerja merupakan medan yang terjal untuk dilalui. Seorang PRT sudah akan berhadapan dengan calo yang sangat potensial melakukan tindak kekerasan terhadapnya, baik secara fisik, psikis, maupun ekonomi. Dari berbagai kasus, banyak calo yang minta persenan dalam beberapa bulan PRT bekerja, melakukan penganiayaan apabila seorang PRT dipandang kritis terhadap persoalan, bahkan ada calo yang melakukan pelecehan seksual, mulai dari meraba, membelai sampai melakukan coitus, demikian juga dengan teman yang membawanya bekerja, 235 236 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 meskipun sedikit namun tetap minta balas jasa. Ancaman kekerasan juga selalu membayangi PRT di tempat ia bekerja. Rumah majikan bukan merupakan tempat yang nyaman, mengingat profesinya hanya sebagai seorang pekerja rumah tangga. Tidak ada spesifikasi jenis pekerjaan yang mesti dilakukan atau tidak dilakukan. Mulai dari semua jenis pekerjaan di rumah tangga, memasak, mencuci dan menyeterika, bersihbersih, merawat anak sampai dengan pijat memijat pun menjadi pekerjaan pokok seorang PRT, dan apabila tidak dikerjakan akan mendapatkan penilaian yang buruk. Pembantu malas, pembantu tidak becus, pembantu durhaka, sampai dengan tidak layak menjadi seorang pembantu. Adapun yang lebih kejam lagi tidak manusiawi, majikan tega melakukan penganiayaan terhadap PRT dengan berbagai bentuk kekerasan. Mulai dari upah yang tidak segera dibayarkan sampai dengan penyiksaan sampai buta atau lumpuh. (Jawa Pos, 2005: 8). Kekerasan yang dialami PRT seringkali didiamkan sampai pada batas PRT tersebut kesakitan atau dikembalikan pada keluarganya dengan alasan kecelakaan. PRT tidak berani untuk melaporkan karena diancam atau tidak kuasa untuk melaporkan karena posisi lemahnya. D. Stereotip terhadap PRT Beban berat lain yang harus dipikul PRT adalah stereotip PRT sebagai pekerja yang mendapat citra buruk dari masyarakat. Meskipun mempunyai peran sangat penting, baik bagi majikan, keluarganya, daerahnya, bahkan bagi negara, namun mereka mewarisi pandangan konvensional selama ini sebagai pembantu, babu atau jongos. Mereka boleh diperlakukan apapun oleh majikannya, dan masyarakat yang memberikan cap padanya atas berbagai perlakuan itu. Tidak sedikit didengar, jika PRT mengalami kekerasan dan ketidakadilan dari majikannya, hal itu dianggap sebagai bukan persoalan. Dianggap wajar apabila PRT mengalami ketidakadilan dan kekerasan itu. Lebih parah lagi bahwa ternyata tidak sedikit di antara kita yang justru menimpakan kesalahan pada para PRT. Mereka sering dituduh tidak bekerja yang memuaskan, sehingga layak mendapat hukuman. Stereotip itu juga telah menginternalisasi dalam kesadaran para PRT sendiri. Banyak di antara mereka menganggap layak PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _ (Annisa Listiana) dihukum dengan berbagai perlakukan kekerasan oleh majikannya jika melakukan kekeliruan atau pekerjaannya tidak memuaskan. Pada batas tertentu, stereotip sebagai pembantu menghadirkan problem tersendiri dengan pembatasan kesempatan belajar dan bergaul secara sosial dengan wajar. Mereka pembantu yang kebutuhan sosialnya terbatas, keperluan untuk berkembangnya juga terbatas, untuk apa mempunyai kesempatan belajar dan mengembangkan diri? Pandangan seperti ini, tidak hanya dimiliki oleh majikan, tetapi juga oleh para PRT sendiri. Di sini jelas, pekerjaan PRT dalam situasi seperti itu akan sulit menjadi tempat berkembang bagi para PRT sendiri, dan tidak korelatif dengan pemberdayaan. Inilah salah satu kondisi yang menyebabkan berbagai bentuk kekerasan yang dialami PRT (JP, 2005). Implikasi wacana dominan yang menghadirkan makna bahwa perempuan identik dengan wilayah domestik dapat terasa dalam bidang pendidikan. Sangat ajegnya wacana tersebut menjadikan masyarakat Indonesia masih banyak yang menganggap sebagai sebuah kebenaran. Banyak perempuan Indonesia, terutama di wilayah pedesaan, tidak menempuh pendidikan yang lebih tinggi dari SMA. Seringkali mereka hanya disekolahkan oleh orang tua mereka hanya sampai jenjang SMP. Biasanya bila tidak dinikahkan oleh orang tua, mereka akan bekerja sebagai PRT, entah di daerah mereka ataupun di luar daerah mereka. Jenjang pendidikan yang rendah mengakibatkan minimnya lowongan pekerjaan yang dapat dimasuki perempuan. Oleh karena itu PRT merupakan lahan berkerja yang paling tersedia bagi para perempuan muda tersebut. Hal ini bukan hal yang baru, namun kehadiran masalah terebut secara terus menerus menyiratkan adanya kekuasaan wacana yang bermain dalam masyarakat mengenai pendidikan perempuan dan hubungan dengan PRT. Maraknya berita mengenai TKW dengan segala cerita sedihnya merupakan bukti keterkaitan antara rendahnya tingkat pendidikan dengan ketersediaan lapangan kerja sebagai PRT. Apalagi dalam berita-berita tersebut sering terungkap belianya umur perempuan TKW. Dalam usia belasan tahun mereka tidak melanjutkan sekolah mereka dan bekerja (berusaha mencari kerja) sebagai PRT. Ketika menjadi PRT pun mereka dianggap tidak layak untuk melanjutkan pendidikan karena selama ini PRT adalah pekerjaan nomor dua yang tidak penting 237 238 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 dan pandangan ini tidak terlepas dari kekeliruan perspektif pembangunan yang mementingkan pertumbuhan ekonomi karena pekerjaan rumah tangga dianggap tidak produktif (Vandana Shilva, 1997: 128). E. Ketidakadilan Gender dalam PRT Ketidakadilan gender merupakan suatu masalah dalam bagi PRT. Hal ini karena hampir 90% dari jumlah PRT di negeri ini utamanya berjenis kelamin perempuan. Masalah PRT tidak hanya berhubungan dengan representasi perempuan dan tingkat pendidikan yang rendah, tetapi juga berhubungan dengan hakhaknya sebagai pekerja. Rendahnya tingkat pendidikan juga memberi sumbangan ketidakpahaman PRT dengan hak-haknya sebagai seorang pekerja. Banyak sekali PRT yang bekerja tanpa bayaran, atau dibayar namun tidak memadai. Kasus seperti ini selain terjadi dalam kehidupan sehari-hari, juga banyak diangkat melalui media massa (Jurnal Perempuan: 24). Kondisi tersebut semakin diperburuk dengan kenyataan bahwa para pekerja rumah tangga tersebut tidak memiliki keahlian lainnya, akibat tingkat pendidikan yang rendah, sehingga hanya dari mereka tidak mampu berbuat banyak dalam mengatasi masalah pemberangusan hak mereka. Tingkat pendidikan yang rendah seringkali membuat mereka tidak menyadari pilihan yang mereka miliki atas hidupnya sejak awal. Materi pendidikan dasar yang mereduksi peran perempuan pun memperburuk pola pikir perempuan belia yang berpendidikan rendah. Ketidakberdayaan, ketidakmandirian, dan pekerjaan sebagai PRT dianggap sebagai sebuah kewajaran dalam banyak kelompok masyarakat. Buruknya kondisi PRT dapat ditanggulangi dengan memperlakukan PRT seperti seorang karyawan yang memiliki hak-hak sebagai pekerja. PRT selama ini cenderung dianggap sebagai pekerjaan sampingan, rendahan, tidak membutuhkan keterampilan, diisi orang-orang dari kelompok sosial yang dipandang rendah pula. Paham seperti ini menyebabkan PRT tidak memiliki budaya kerja yang sehat. PRT seharusnya dianggap sebagai pekerja profesional karena apa yang mereka lakukan pun sebenarnya membutuhkan keterampilan yang memadai. Sebagai pekerja profesional, mereka pun berhak PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _ (Annisa Listiana) mendapat upah yang layak dan lingkungan kerja yang sehat. Sesungguhnya kebutuhan terhadap PRT sangat tinggi sehingga sudah sewajarnya hak-hak PRT sebagai pekerja lebih diperhatikan. F. Perlindungan Hukum dan Advokasi terhadap PRT Indonesia, negara yang ditengarai sebagai negara pengirim sekaligus negara pemakai terbesar jasa PRT, hingga kini belum memiliki peraturan setingkat undang-undang untuk mengatur dan melindungi nasib PRT secara legal. UU No 23 tahun 2004 tentang ketenagakerjaan. Contohnya, tidak secara khusus mengatur persoalan PRT, apalagi memberikan dasar bagi perlindungan hukum. Padahal perlindungan hukum tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian, menjaga, dan mempertahankan hak, jika dilanggar. Pekerja yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan adalah pekerja sektor formal, mereka yang bekerja dalam sebuah unit produksi atau perusahaan, bukan orang-orang yang bekerja dalam lembaga keluarga, dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga sekalipun esensinya sama. Menurut UU ketenagakerjaan, PRT dapat dikategorikan sebagai pekerja yang disewa oleh seorang atau oleh sebuah perusahaan (UU Ketenagakerjaan No. 13, Tahun 2003). Karena pada kenyataannya PRT adalah pekerja. Mereka memberi kontribusi yang luar biasa besar bagi keluarga di Indonesia, dan menyumbangkan devisa bagi pendapatan dalam negeri. Akan tetapi di atas dokumen hukum, PRT tidak diakui oleh UU Ketenagakerjaan sebagai bentuk pekerjaan formal yang layak diberikan perlindungan oleh peraturan dan hukum yang ada. Kalangan hukum, aktivis buruh, dan aktivis perempuan, menilai bahwa marjinalisasi formalistik itu pada prakteknya telah membuka peluang dan potensi bagi bentuk-bentuk eksploitasi, ekonomi, fisik, maupun psikis terhadap PRT. Implikasinya, banyak kekerasan terhadap PRT hanya dipandang sebagai tindakan kejahatan minor bahkan dinilai sebagai urusan domestik yang privat. Meskipun demikian, peraturan yang mengatur secara khusus masalah pekerja domestik hanya terdapat pada tingkat Peraturan Daerah (Perda). Itu pun masih memiliki banyak 239 240 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 kelemahan yang bersifat fundamental. Perda Pemerintah Provinsi Jakarta No. 6 Tahun 1993 misalnya, adalah salah satu peraturan yang berkenaan dengan masalah PRT. Dalam peraturan tersebut, PRT disebut sebagai eufemisme Pramuwisma. Pramuwisma adalah tenaga kerja pembantu rumah tangga yang melakukan perkerjaan rumah tangga dengan menerima upah. Namun jika dianalisis, definisi yang demikian itu ternyata masih menggunakan istilah pekerja rumah tangga dan tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan pembantu rumah tangga. Di dalamnya hanya menyebutkan melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa penjelasan bekerja pada siapa. Dengan demikian sepertinya hal tersebut menghilangkan unsur di bawah perintah yang merupakan unsur pengertian buruh dalam hukum perburuhan. Hal yang tak boleh dilupakan berkaitan dengan PRT adalah advokasi atau pendampingan. Dalam konteks ini, kegiatan pendampingan tidak asal pendampingan akan tetapi bersifat mempengaruhi dan mengupayakan proses penyadaran pada PRT, proses ini dilakukan secara kreatif sesuai dengan konteks kebutuhan PRT (Anthony Yeo, 1999: 58). G. PRT (Pembantu Rumah Tangga) dalam Perspektif Islam Dalam konsep Islam, manusia, apapun jenis kelaminnya, adalah ciptaan Tuhan yang paling terhormat dibanding ciptaanNya yang lain. Kehormatan ini diberikan karena manusia adalah makhluk berpikir, berkarya, dan bekerja. Tiga ciri ini merupakan ciri khusus bagi manusia, dan menjadi cara manusia untuk mempertahankan, meningkatkan kesejahteraan hidup, dan menyempurnakan eksistensinya. (QS. Hud [11]: 61). Oleh karena itu, bekerja menjadi hak asasi manusia. Beberapa ayat Al-Quran menyerukan manusia untuk bekerja di manapun, kapanpun, dan apapun sesuai dengan kecenderungan dan pilihan masingmasing. (QS. al-Mulk [67]: 15), (QS. al-Jumu’ah [62]: 10), dan (QS. al-Isra’ [17]: 84). Dari beberapa ayat Al-Quran di atas disampaikan bahwa bekerja adalah bagian dari pengabdian kepada Allah, dan karenanya ia bernilai ibadah. Apapun pekerjaan tersebut, sepanjang dimaksudkan untuk membuatnya eksis dan dilakukan PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _ (Annisa Listiana) dengan cara yang baik ( ), maka hal tersebut termasuk kategori ibadah. Bahkan, bekerja juga bisa bernilai (berjuang di jalan Allah), jika dimaksudkan untuk membantu keluarga atau orang lain. Hal ini berlaku bagi siapapun, laki-laki atau perempuan. Perempuan maupun laki-laki, dituntut untuk bekerja guna memperoleh penghidupan yang layak atau memenuhi kebutuhan keluarga. Siapapun dapat memilih pekerjaan apapun sesuai dengan potensi dan kapasitas yang dimiliki. Al-Quran tidak menyebut pekerjaan tertentu untuk jenis kelamin tertentu. Perempuan dan laki-laki dapat bekerja di dalam maupun di luar rumah. Bekerja sebagai PRT tidaklah lebih rendah dibanding profesi lain selama dilakukan dengan cara dan untuk tujuan yang baik ”Siapapun yang bekerja dengan baik, laki-laki maupun perempuan, maka Kami (Tuhan) akan memberinya kehidupan yang baik dan akan Kami beri mereka balasan terbaik atas pekerjaan baik yang telah mereka lakukan.” (Q.S. al-Nahl [16]: 97). Profesi PRT memang sering dianggap rendah, namun dalam banyak hal peran dan jasa yang diberikan oleh mereka sangat besar sekali terutama bagi majikannya. Jika direnungkan labih jauh, tugas PRT di dalam rumah turut andil dalam kesuksesan majikan di luar rumah. Bayangkan, betapa pusingnya para pemilik rumah besar manakala tidak ada para PRT yang menjaga dan mengurus segala keperluan dalam rumah tangga. Para majikan tidak perlu lagi bingung memikirkan urusan rumah tangga seperti memasak, mencuci, atau bersihbersih. Nabi dengan jelas menyatakan, ” ”, (sesungguhnya kalian ditolong dan diberi rezeki oleh orang-orang yang lemah di antara kalian). Hadis ini cukup memberi petunjuk untuk menghargai kelompok orang yang dianggap lemah, baik atas dasar profesi maupun jenis kelamin. Memang Al-Quran tidak menyebut secara rinci persoalan PRT ini, namun terdapat banyak hadits Nabi yang menguraikannya. Beberapa hal yang dapat diketahui dari hadits Nabi adalah sesungguhnya para pekerja –termasuk PRT- adalah manusia sebagaimana manusia yang lain. Dia memiliki hak untuk diperlakukan dengan baik, diberikan upah, dan dicukupi 241 242 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 kebutuhannya. Sebuah hadis Nabi menyatakan: ”Siapa saja yang mempekerjakan orang, maka jika si pekerja tidak punya isteri, maka dia hendaknya mencarikan isteri baginya. Jika dia tidak mempunyai pembantu, majikan hendaknya menyediakan pembantu. Jika dia tidak mempunyai rumah, majikan hendaknya menyediakan rumah” (HR. Abu Daud). Para ulama sepakat di antara hak yang harus didapat oleh PRT adalah kewajiban diberi makan dan pakaian layak bagi PRT seperti makanan dan pakaian majikannya, terutama mengajak mereka makan bersama. Hak PRT dan kewajiban majikan yang lain adalah bahwa mereka tidak boleh diperlakukan dengan cara-cara kekerasan. Nabi bersabda: ”Jangan kamu pukul hamba-hamba Allah yang perempuan.” Siti Aisyah, isterinya yang tercinta, memberikan kesaksian dengan mengatakan, ”Nabi saw., tidak pernah memukul isteri maupun pembantunya sama sekali.” Dan, manakala makanan yang dimasaknya tidak cukup sedap, Nabi tidak pernah memarahinya. Jika majikan melakukan kesalahan baik disengaja atau tidak, maka etika Islam mewajibkannya untuk meminta maaf. Meski tak pernah melukai pembantunya Nabi adalah orang yang paling banyak meminta maaf kepadanya. Ketika beliau ditanya berapa kali seorang majikan mesti meminta maaf kepada pembantunya, beliau menjawab tujuh puluh kali dalam sehari. Nabi juga selalu mengucapkan terima kasih atas pelayanan mereka. Hak-hak ekonomi PRT juga wajib dipenuhi majikan. Dalam salah satu sabdanya Nabi memperingatkan kepada para majikan agar memenuhi hak-hak pekerja sebagaimana yang sudah ditetapkan di dalam kontrak. Kelalaian majikan memberikan upah merupakan sebuah pengkhianatan. Tindakan majikan tidak hanya melanggar aturan negara yang patut dihukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku, tetapi juga diancam Tuhan dengan hukuman di akhirat. ”Tiga orang yang akan menjadi musuh saya pada hari kiamat: orang yang berjanji atas nama saya tetapi mengkhianati; orang yang menjual orang merdeka lalu hasil penjualannya dimakan; dan orang yang mempekerjakan orang lain tetapi tidak memberikan upahnya padahal dia (pekerja) telah memenuhi pekerjaannya.” (HR. Ahmad dan Bukhari dalam Shaukani, VI: 35-36). ”Nabi melarang mempekerjakan orang tanpa menjelaskan upahnya PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _ (Annisa Listiana) lebih dahulu.” (HR. Ahmad dalam , VI: 32). Dalam hadits lain disebutkan: ”Siapa saja yang mempekerjakan orang dia wajib menyebutkan upahnya.” ( , VI: 33). Upah harus dibayarkan sebelum ”keringatnya kering”, (tidak ditunda-tunda). Nabi saw mengatakan: ”Berikan segera upah pekerja sebelum keringatnya kering.” ( I: 76). Upah adalah hak pekerja dan kewajiban majikan. Jika majikan tidak memberi upah, maka pekerja berhak menuntutnya. Sebagian ahli fikih menegaskan bahwa pekerja boleh menahan barang milik majikan yang dihasilkan dari kerjanya sebagai jaminan jika majikan tidak membayarnya tanpa harus menunggu keputusan pengadilan/pemerintah. (Al-Kasani, IV: 204). PRT adalah manusia dengan seluruh kapasitas fisiknya yang terbatas. Ia berhak untuk mendapatkan istirahat yang cukup. Karena itu para majikan tidak dibenarkan membebani para pekerjanya di luar kemampuannya. Al-Quran mengajarkan bahwa Tuhan pun tidak pernah membebani makhluk-Nya dengan kewajiban-kewajiban yang tidak mampu ditanggungnya: ”Tuhan tidak membebani orang di luar kemampuannya.” (QS. alBaqarah [2]: 286). Nabi Muhammad saw., pernah menyatakan: “Sesungguhnya tubuhmu mempunyai hak.” Hak tubuh adalah hak untuk istirahat yang cukup, hak untuk sehat, hak untuk berdaya, dan hak untuk dihormati. Hak-hak pekerja–termasuk PRT di dalamnya-harus mendapatkan perlindungan. Sebab dalam etika Islam, seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain dan tidak dibenarkan menyakiti atau merendahkan sesamanya. Apa yang menjadi penderitaan seseorang seharusnya juga menjadi derita bagi dirinya. Terlepas dari semua itu, Negara harus menjadi ujung tombak dalam memberikan perlindungan dan jaminan atas hak-hak warganya apapun jenis kelamin, profesi, termasuk PRT. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 Huruf ayat 4 menyatakan, ”Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.” Pada ayat sebelumnya (ayat 2) UUD itu menegaskan, ”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif. 243 244 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 G. Penutup Berdasarkan uraian di atas, pekerja rumah tangga merupakan pekerjaan yang identik dengan perempuan yang mengalami kekerasan baik dari rumah sampai kepada majikan dan juga ada stereotip serta ada ketidak adilan gender. Ini disebabkan karena konstruksi budaya masyarakat dari awal yang mengidentikkan perempuan sebagai pekerja domestik. Jarang sekali pekerja rumah tangga yang mendapatkan perlakuan seperti pekerja lainnya atau dianggap sebagai keluarga misalnya diberi kamar yang layak, diberi baju yang bagus, diberi waktu untuk ibadah, diberi waktu untuk kegiatan, diberi kepercayaan memegang uang, disekolahkan, bahkan dihormati ataupun dihargai seperti manusia pada umumnya. Ketika Pekerja Rumah Tangga ada masalah atau terjadi sesuatu yang berkaitan dengan kekerasan yang dialaminya baik fisik ataupun psikis, hukum tidak terjangkau olehnya karena sampai detik ini hukum belum mengatur sepenuhnya tentang pekerja rumah tangga yang ternyata menyumbang devisa negara yang cukup besar. Pekerjaan rumah bagi pemerintah, baik eksekutif, legislatif, Yudikatif, LSM, maupun masyarakat pada umumnya untuk dapat memanusiakan pekerja rumah tangga (PRT) dengan aturan dan perlakuan yang sewajarnya sebagai manusia samasama ciptaan Tuhan. Bagi kita sebagai masyarakat dan juga sesama makhluk, tidak ada salahnya ketika kita menghargai pekerja rumah tangga karena disadari ataupun tidak, kita sangat terbantu dengan adanya pekerja rumah tangga (PRT). Dalam perspektif Islam, pembantu rumah tangga tak ada bedanya dengan pekerja lain seperti pegawai pemerintah, pekerja kantor, pekerja perusahaan ataupun pekerja bagi individu lainnya. Definisi pekerja adalah setiap orang yang dipekerjakan dengan kompensasi upah atau gaji, apakah mereka menjadi pekerja pada individu, kelompok ataupun pekerja bagi negara. Pembantu rumah tangga termasuk kategori pekerja tersebut. Oleh sebab itu berlaku bagi dia hukum yang terkait dengan pekerja. Yaitu hukum dalam akad kerja mulai dari bentuk dan jenis pekerjaan, masa kerja, upah dan tenaga yang dicurahkan. Islam mengatur pergaulan suatu keluarga dengan khodimatnya. Keberadaan mereka memiliki posisi yang sangat PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _ (Annisa Listiana) penting dalam kaitannya meringankan segala kesulitan muslim lainnya. Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik manusia di antara kamu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain” (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh sebab itu kita harus memperlakukan mereka dengan baik dan hormat sebagai sesama manusia muslim. Imam Ahmad dalam musnadnya mengeluarkan hadits: “Orang Mukmin adalah orang yang dikasihi. Tidak ada kebaikan, bagi siapa saja yang tidak mengasihi dan tidak dikasihi.” Khodimat adalah orang yang membantu meringankan pekerjaan rumah tangga. Karena sifatnya membantu maka ia tidak mengerjakan semua hal. Oleh karena itu perlu adanya kejelasan mengenai jenis pekerjaan apa saja yang akan dikerjakan oleh mereka. Ketentuan jenis pekerjaan ini harus jelas sejak awal mereka mulai bekerja. Demikian juga waktu bekerja mereka harus ada kejelasan. Kapan mereka harus istirahat dan mengerjakan keperluan pribadinya. 245 246 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 SUMBER RUJUKAN Abu Bakar bin Mas’ud, Beirut: Dar al Fikr, 1996. Charles, Nickie, Feminism, The State and Social Policy, Hongkong: Macmillan Press, 2000. Hughes, Shirley The Troble With Jack, Portugal: Picture Corgi, 1989. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet.II, 1997. Marhamah Mujib, Kekerasan dalam Rumah Tangga Panduan bagi Konselor, Jakarta: Lembaga Konsultasi Pemberdayaan Perempuan dan The Asia Foundation, 2000. Saul, Jennifer, Feminisme; Issues and Arguments: New York: Oxford University Press, 2003. al Suyuthi, Jalaluddin, Surabaya: al Hidayah, tt. As Syaukani, , Mesir: Maktabah Musthofa Al Baabi al Halaby wa Aulaadih, tt. Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13, Tahun 2003. Vandana Shiva, Bebas dari Pembangunan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997. Wittgenstein, Ludwig, Tractatus Logico Phylosophicus, Terj. Inggris, London, Newyork: Routledge, 2004. Yayasan Jurnal Perempuan (Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan), Vol. 39, Jakarta, Cetakan Pertama, Januari, 2005. Yeo, Anthony, Konseling Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah, Jakarta: BPK Gunung Agung, 1999. Zainuddin Fannani, Restrukturisasi Budaya Jawa, 2000, Muhammadiyah Press, Cet.I. Ide Utama KREATIFITAS PEREMPUAN DALAM TRANSFORMASI SOSIAL: Usaha Menuju Kemandirian Abadi M. Rikza Chamami *) ABSTRACT: This review is phenomenalist –critical, reviewing the social structure of women in society which is in fact still a second person. However, the real form of their roles cannot be “overlooked”. Within this context, it takes a firm stance of the women to be “creative women.” Forms of creativity can be actualized in three forms, namely: action, caring and independent. Forms of action embodied in concrete measures undertaken. Care as the actualization of the attitude responsive to social conditions. While independent shows that women are able and efficient in the middle of the public interest. Keywords: Creativity, Woman and Social Transformation A. Pendahuluan Kajian terhadap kreatifitas perempuan tidak akan pernah berhenti di tengah arus melonjaknya prestasi laki-laki. Ini membuktikan bahwa peran perempuan dalam transformasi sosial dapat dikatakan sebagai aktif. Berbeda halnya jika dalam konteks perilaku sosial, yang sering kali ditemukan perempuan tidak berdaya dan semakin melemah. Jika ini yang terjadi, maka diskursus tentang gender akan semakin tidak berarti. Gender dalam hal ini adalah sebagai konstruksi sosial budaya. Ia adalah label dari konstruksi hubungan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, yang lebih popular disebut relasi gender. Perilaku mengenai relasi antara laki-perempuan disebut budaya gender. Bila jenis laki-perempuan adalah atribut biologis *) Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang 248 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 yang telah selesai, tetap, alamiah dan terberi, maka (relasi) gender adalah ekspektasi budaya mengenai hubungan laki-perempuan yang berubah-ubah atau diubah-ubah, dinamis dan mengalami modifikasi terus menerus (Gufron Ali Ibrahim, 2005: 93). Pola yang dapat dilakukan dalam relasi gender ini adalah dengan memformat kreatifitas perempuan dalam bingkai transformasi sosial. Perempuan harus memposisikan dirinya sebagai figur yang selalu berusaha secara mandiri dan aktif merespon fenomena masyarakat yang dia hadapi. Format ini dilakukan oleh perempuan dengan terus menerus (simultaneously) sehingga akan terwujud sebuah kemandirian yang abadi. Dengan adanya sikap ini, maka peran perempuan akan dihargai dan bermanfaat di tengah-tengah kehidupan masyarakat. B. Perempuan Kreatif Tidak semua orang mau memahami bahwa sosok perempuan itu dapat berdaya dan berprestasi. Sejarah telah banyak membuktikan, tidak sedikit perempuan menjadi figur yang selalu dikucilkan. Bangsa India, Persia dan Yunani memandang perempuan sebagai sumber penyakit dan fitnah (Abdul Hasan: 23). Bangsa ini menganggap perempuan sebagai sosok yang hina dengan memperlakukannya secara kasar dan memperbudaknya sebagai objek seksual secara tidak manusiawi. Islam hadir sebagai agama yang melindungi kaum hawa sekaligus menempatkan posisinya sejajar dengan laki-laki dalam status sosialnya. Hal ini jauh beda dengan apa yang menjadi prinsip bangsa Romawi yang menyatakan: “Sesungguhnya perempuan adalah wujud yang tidak berjiwa”. Kehadiran Islam memberikan jalan keluar atas diskriminasi kaum hawa. Dinyatakan tegas bahwa perempuan adalah sejawat pria dalam konteks kemanusiaan (Ramadan Hafizh, 2009: 1). Sebagaimana sabda Nabi dalam sebuah hadits: sesungguhnya perempuan adalah sejawat pria (HR. Ahmad dan Tirmidzi). Perempuan juga sejawat pria dalam konteks keislaman. Sehingga ia pun memiliki hak dan kewajiban agama yang sama dengan pria. Ini menunjukkan bahwa Islam mendorong bagaimana ada hak-hak kaum perempuan yang harus dilindungi dengan garis relasi positif. Ada hak-hak wanita yang harus dijunjung tinggi KREATIFITAS PEREMPUAN DALAM TRANSFORMASI SOSIAL (M. Rikza Chamami) dengan prinsip keadilan. Hal ini memberikan bukti bahwa bukan hanya karena kelemahan fisik perempuan menjadikan ketidakberdaya­an (Abbas­ Mahmoud Al-Akkad, 1984: 111). Ketidakberdayaan ini yang kemudian dijadikan alasan untuk melemahkan perempuan—walaupun tidak rasional. Sebab, di balik kelemahan ada kelebihan yang jarang dilihat dan dihargai. Itulah sebabnya dibutuhkan rasa saling hormat menghormati dan sikap arif dalam menjalin hubungan gender ini. Ramadan Hafizh kembali menegaskan bahwa hubungan pria dan wanita sangat kompleks. Ia bukan sebuah kenaifan sosial, melainkan semakin menambah khazanah hubungan emosional spiritual yang tidak pernah melemah dan menghilang. Kendati berdiri di atas satu jenis hubungan, emosi kasih seorang pria terhadap ibunya berbeda dengan emosi kasihnya terhadap istrinya, atau terhadap saudara perempuan maupun bibinya. Wanita bukanlah bagian masyarakat, melainkan masyarakat secara utuh dengan segala pengaruh kuat dan tegas yang dimilikinya terhadap suami, anak-anak, ibu, bapak dan anggota masyarakat secara keseluruhan (Ramadan Hafizh, 2009: 3-4). Sejatinya ada kaidah yang perlu diyakinkan mengenai otorisasi terhadap simbol kehidupan. Ada simbol dan esensi perempuan yang harus dibedakan. Pakaian dalam bentuk dan warnanya merupakan simbol tetapi hakikatnya menggambarkan suatu esensi karena pakaian yang dipilih harus memenuhi fungsinya, baik sebagai penutup tubuh, perlindungan dari cuaca buruk dan tampil mempesona (Abdul Halim Abu Syuqqah, 1997: 35). Pada titik inilah dibutuhkan kerja yang kreatif oleh para perempuan. Kerja kreatif ini dimaksudkan sebagai proses mental yang melibatkan pemunculan gagasan atau konsep baru, atau hubungan baru antara gagasan dan konsep yang sudah ada. Dari sudut pandang keilmuan, hasil dari pemikiran kreatif (kadang disebut pemikiran divergen) biasanya dianggap memiliki keaslian dan kepantasan. Sebagai alternatif, konsepsi sehari-hari dari kreatifitas adalah tindakan membuat sesuatu yang baru. Ide dan gagasan baru dari perempuan inilah yang sangat dinantikan. Sehingga terwujud sebuah kristalisasi pemikiran yang brillian terkait dengan proses transformasi sosial. Pada dasarnya, kreatifitas tak hanya dapat dilihat dari inovasi yang diciptakan oleh seorang penemu yang giat 249 250 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 menciptakan hal-hal baru. Bahkan, kemampun mengatur waktu bagi seorang ibu yang memiliki tiga anak, juga dapat disebut kreatifitas. Jadi, sebenarnya kita semua dapat menjadi seorang yang kreatif asalkan tidak menutup pintu kreatifitas kita sendiri. Salah satu ciri perempuan kreatif adalah adanya kemandirian. Bila ia berhadapan dengan kesulitan atau menderita kemiskinan, ia mencari perlindungan dengan sabar dan bangga dengan dirinya sendiri, disamping melipatgandakan usahanya untuk menemukan salah satu jalan dari krisis kemiskinan yang menimpanya (Muhammad Ali Al-Hasyimi, 2004: 415). Kunci yang perlu dimiliki oleh perempuan dalam melaksanakan ini semua adalah dengan melatih kesadaran dan penalaran di dalam hatinya. Rahasia melatih hati perempuan dalam melawan hidup dapat dilakukan dengan tiga hal. Pertama, menanamkan kepercayaan dan mampu bekerjasama dengan orang lain (berinteraksi dan berelasi dengan baik. Kedua, memberikan perhatian kepada orang lain (penyayang). Inilah karakter yang mengedepankan simpati, bukan antipasti. Ketiga, mampu membaca situasi di sekitarnya (beradapasi). Tak bisa dipungkiri bahwa lingkungan sangat berpengaruh dalam kehidupan. Keempat, mampu melalui berbagai proses kehidupan dengan penuh kesabaran. Kelima, melakukan usaha dan segala aktifitas yang sesuai dengan aturan dan ketentuan (Annisa Lathifah, 2008: 14). Pola yang dimiliki dalam penataan hati ini menjadi seni hidup perempuan dalam mendukung kreatifitasnya, sebab hati perempuan selalu dilandasi dengan sikap pesimis dan kecil hati. Sehingga, perlu ditata dengan penyelarasan terhadap kondisi akal sehat yang dimilikinya. Dengan keseimbangan hati dan akal, maka akan dengan mudah bagi mereka untuk memahami kehidupan dengan semangat untuk selalu maju dan menelurkan gagasan yang betul-betul baru. Sebab terdapat prinsip-prinsip pokok yang berkenaan dengan akal: 1. Akal aktif dinamakan al-aqlu al-fa’al (active intellect) adalah sumber dari segala akal manusia, bersifat satu dan universal. 2. Akal manusia terdiri dari “akal aktif” dan “akal kemungkinan” yang dinamakan al-‘aqlu bi al-quwwah (receptive in- KREATIFITAS PEREMPUAN DALAM TRANSFORMASI SOSIAL (M. Rikza Chamami) tellect). Jika akal yang aktif merupakan sumber, maka akal kemungkinan adalah pikiran yang berkuasa sehari-hari terhadap diri manusia. 3. Akal dan jiwa manusia adalah satu, bersifat universal dan abadi. Jasmani manusia boleh meninggal, tetapi akal dan jiwanya tetap hidup, menjadi bebas dari jasmani yang kasar itu, menyatukan diri dalam akal aktif yang menjadi induknya. Hal seperti itu disebut sebagai mono-psychism. 4. Akal manusia ada yang bersifat fi’ly, yaitu pemikiran yang praktis dan adapula yang bersifat nadhary yaitu pemikiran mendalam dan teoritis yang memandang segala sesuatu dengan ilmu pengetahuan. 5. Akal manusia (ratio) harus bebas dan berdiri sendiri di atas segala-galanya, sedangkan agama dengan wahyu Tuhan adalah merupakan penyempurnaan bagi akal itu (Suparman Syukur, 2008: 8). Peran akal perempuan inilah yang menjadi penopang keberperanannya dalam membangun jiwa kreatif. Apalagi jika perempuan benar-benar memanfaatkan akal fi’ly dan rationya. Sudah barang tentu akan dengan mudah menggali jiwa kreatif untuk meninggikan derajatnya. Sebab kreatif merupakan gambaran dari sesuatu yang awalnya tidak ada menjadi ada, dari bahan mentah menjadi bahan jadi, dari sesuatu yang tidak berbentuk menjadi sesuatu yang indah, atau bahkan dari sesuatu yang tidak terpikirkan orang menjadi sesuatu yang bermanfaat buat orang. Kreatifitas juga disebutkan sebagai akar dan awal dari semua kesuksesan. Kesuksesan memang tidak selalu diukur melalui pengakuan atau apa yang keluar dari mulut orang lain. Pada sebagian orang, terkadang kesuksesan diukur berdasarkan pencapaian pribadi dan menikmati hasilnya juga secara pribadi. Semua ukuran parameter di atas pada dasarnya sah-sah saja, bisa diterima dan tidak perlu diperdebatkan. Dengan demikian, kesuksesan yang dimiliki oleh perempuan akan tergambar jika dirinya benar-benar kreatif dan menghargai proses kehidupan yang selalu dinamis dan mengalami transformasi yang tidak akan pernah berhenti. Bentuk kreatifitas perempuan dapat diaktualisasikan dalam tiga bentuk, yakni: aksi, peduli dan mandiri. Bentuk 251 252 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 aksi terwujud dalam langkah kongkrit yang dilakukan. Peduli sebagai aktualisasi dari sikap responsif terhadap kondisi sosial. Sedangkan mandiri menunjukkan bahwa perempuan mampu dan berdaya guna di tengah kepentingan umum. Ketiga pola ini menjadikan langkah yang harus diambil dan diaktualisasikan dalam rangka membentuk perilaku yang mampu menyokong transformasi sosial. Sebab perubahan yang ada di tengah masyarakat bukan hanya menjadi tanggungjawab laki-laki. Perempuan akan turut serta menjalani proses perubahan tersebut guna menjadi masyarakat yang lebih bermartabat dan bermoral. C. Transformasi Sosial Salah satu segmen kehidupan yang mampu menjaga tatanan moral dan martabat kehidupan adalah agama. Agama menjadi salah satu icon penting dalam kehidupan—untuk mengendalikan sikap, perilaku dan nilai yang dimiliki manusia. Agama cenderung melindungi dan mewujudkan kebaikan daripada membentuk karakter negatif yang jauh dari Tuhannya. Agama seakan mengajak manusia untuk percaya bahwa di atasnya ada kekuasaan absolut yang harus diakui. Dalam konteks ini Emile Durkheim, sosilog terkemuka asal Perancis, dalam Muhni (1994) mendefinisikan agama sebagai: “Religion is an interdependent whole composed of beliefs and rites related to sacred things, unites adherents in a single community known as a Church” (satu sistem yang terkait anatar kepercayaan dan praktek ritual yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus, yang mampu menyatukan pengukutnya menjadi satu kesatuan masyarakat dalam satu norma keagamaan). Dari pengertian ini, agama dapat dimaknai sebagai pembentuk formasi sosial yang menumbuhkan kolektifisme dalam satu komunitas masyarakat. Kesimpulan umum ini menjadi pijakan bagi para sosiolog agama dalam menjelaskan dimensi sosial agama dimana kekuatan kolektivisme agama dianggap telah mampu menyatukan banyak perbedaan antar individu dan golongan di antara pemeluknya. Sehingga ketika agama dijadikan keyakinan, maka dapat berperan dalam transformasi sosial menuju masyarakat yang membangun masyarakat secara kolektif. KREATIFITAS PEREMPUAN DALAM TRANSFORMASI SOSIAL (M. Rikza Chamami) Pandangan itu berbeda dengan pendapat Karl Marx yang sejak awal sinis terhadap agama. Menurutnya agama tak lebih dari doktrin metafisik yang tidak material, dan hanya menitikberatkan pada orientasi pasca-kematian. Menurutnya agama telah dijadikan alat untuk membangun ”kesadaran palsu” untuk mengalihkan perhatian pemeluknya atas penderitaan nyata dan kesulitan dalam kehidupan mereka. Dalam memperkenalkan filsafat materialisme historisnya dalam kajian ideologi, Marx menjelaskan bahwa agama adalah imajinasi; atau lebih tepatnya khayalan yang melenakan. Agama menjadi suatu doktrin kepercayaan yang kerap digunakan sebagai alat legitimasi untuk mempertahankan hal-hal yang ada di dalam masyarakat sesuai dengan kepentingan para penindas. Sehingga Marx pesimis agama mampu membentuk transformasi sosial. Agama di Indonesia menjadi hak asasi manusia yang paling mendasar. Sebab agama adalah kebebasan dalam memilih keyakinan yang tidak dapat dihalangi atau dikurangi oleh siapapun juga baik oleh negara maupun warga masyarakat. Hal ini berdasarkan adanya pengakuan bersama bahwa nilai kemanusiaan memiliki kedudukan yang tinggi karena manusia adalah karya puncak Tuhan. Atas dasar itu, maka pilihan keyakinan yang dilakukan seseorang semata-mata bersumber dari kesadaran dirinya. Sudah menjadi hukum alam bahwa paham kebebasan individu itu akan melahirkan suasana kemajemukan yang tidak mungkin diseragamkan. Namun, betapapun keberadaan kemajemukan itu akan tetapi semua warga dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus berdasar dan sekaligus menuju kepada cita-cita yang satu. Inilah yang disebut kesatuan dalam keragaman (unity in diversity) yang dilambangkan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu tujuan. Hal itu berarti bahwa formulasi bentuk keyakinan dan pengamalan kepada Tuhan bisa berbeda-beda namun harus tetap memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh sebab itu, sebagai warganegara diharapkan memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap setiap warga masyarakat untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya tersebut. Hal inilah yang menjadi filosofi dasar bangsa Indonesia. Sebagai agama, Islam mengajak kepada para pemeluknya untuk peduli terhadap kondisi sosial. Ini dicontohkan oleh Nabi, 253 254 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 dimana ia selalu memberikan nasehat kepada para istrinya untuk selalu berbicara yang dapat memberikan manfaat kepada orang lain. Sebab sebagian kesalahan umat Islam adalah akibat dari kesalahan lisannya; Inna aktsara khathaya ibnu Adama fi lisanihi (Syaikh Sa’ad Yusuf Abdul Aziz, 2009: 673). Dengan kesadaran untuk berkomunikasi secara baik inilah transfromasi sosial akan dengan mudah dibangun secara paten. Artinya perempuan bagi Nabi mempunyai potensi dalam berkomunikasi guna mentransformasikan pemberdayaan masyarakat. Transformasi sosial dalam struktur kemasyarakatan sangat mempunyai makna penting dalam segala hal. Transformasi sosial misalnya, mampu memberi perubahan dari beberapa aspek kehidupan, seperti halnya moralitas, nilai, pranata sosial, wawasan, pola berpikir, atau adat istiadat yang telah lama terjadi di masyarakat. Perubahan yang dimaksudkan berupa perubahan yang bersifat umum dan khusus. Perubahan umum bertumpu pada bagaimana ada perubahan yang terlihat dari sikap masyarakat secara umum. Sedangkan perubahan khusus terjadi pada individu-individu masyarakat. Perubahan demi perubahan ini yang akan menjadi titik tolak untuk kita berangkat menata hal yang tidak baik menjadi baik. Demikian pula, hal yang sudah baik menjadi lebih baik. Dengan melihat pada perubahan khusus inilah, transformasi sosial bukan sekadar perubahan seperti yang tak bermakna. Sebab perubahan individu ini akan mempola secara besar tentang perubahan yang sifatnya umum. Selain itu, agenda besar dalam perubahan lainnya juga akan mampu terselesaikan. Misalnya perubahan mutu kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat. Melihat pentingnya transformasi sosial ini, perlu dijadikan patokan, bahwa terdapat tiga strategi besar dalam pembangunan sosial (Rr. Suhartini, 2009: 194): 1. Melalui individu (tanpa menunjuk jenis kelamin). Individuindividu dalam masyarakat secara swadaya membentuk usaha pelayanan masyarakat untuk memberdayakan masyarakat. 2. Melalui komunitas. Kelompok masyarakat secara bersamasama berupaya mengembangkan komunitas lokalnya. 3. Melalui pemerintah. Pembangunan sosial dilakukan oleh lembaga-lembaga di dalam organisasi pemerintah. KREATIFITAS PEREMPUAN DALAM TRANSFORMASI SOSIAL (M. Rikza Chamami) Tiga komponen dasar ini harus menyatu ketika agenda besar tentang transformasi ini dijadikan program bersama, dan perempuanlah yang menjadi garda besar dalam mengkomunikasikan hal ini. Sudah tidak ada lagi kekuatan negatif yang dikhawatirkan, mengingat dalam hal ini, perempuan dalam Islam mempunyai posisi yang sangat strategis. Setidaknya ada empat hal yang dapat dilakukan oleh perempuan dalam mensukseskan transformasi sosial ini. Pertama, perempuan memposisikan dirinya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Dikotomi gender yang selama ini kental diperbincangkan dengan menyatakan bahwa perempuan tidak berdaya, perlu diluruskan. Penyeimbangan peran perempuan ini perlu dibarengi dengan keberperanan dan prestasi. Sehingga perempuan sudah saatnya keluar dari rumah dan ikut bergabung membangun bangsa. Kedua, memperkuat jaringan studi gender dengan agenda membangun masyarakat adil dan jujur. Banyak komunitas gender yang sudah berdiri dan eksis selama ini. Namun kondisinya masih belum begitu maksimal. Untuk itu dibutuhkan tenaga ekstra untuk menggerakkan pusat studi yang telah ada agar lebih solid dengan misi sosial yang sangat agung. Sudah tidak lagi waktunya bagi pusat studi gender untuk memperdebatkan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan, karena yang penting saat ini bukanlah argumentasi, tetapi perempuan butuh aksi dalam mengelola, merawat dan memberdayakan masyarakat secara bersama. Sebab, perjuangan kaum laki-laki dalam membentuk bangsa yang adil dan jujur jauh dari kesuksesan, yang diharapkan dengan keterlibatan perempuan menata bangsa, maka beban berat untuk membersihkan bangsa ini dari mental ketidakjujuran akan menjadi ringan dan mendekati kesuksesan. Ketiga, mengajak kepada seluruh perempuan untuk semakin berdaya dalam menata keluarga untuk menjadi masyarakat yang peduli sosial. Keluarga bagi perempuan adalah ibarat bunga dan mahkota. Perempuanlah yang paling berperan aktif dan mengetahui seluk beluk keluarga, bahkan boleh dikatakan bahwa kesuksesan dalam kehidupan keluarga sangat tergantung dengan figur perempuan. Jika perempuan bergerak secara aktif dan mendidiknya dengan baik, maka yang keluarga itu akan berjiwa positif, begitu pula sebaliknya. Jika semua keluarga diberdayakan oleh perempuan dengan teknik 255 256 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 mendidik dengan baik, maka seluruh isi bangsa ini akan menjadi baik dan sudah barang tentu ada prestasi dalam kehidupan sosialnya. Keempat, memperjuangkan hak-haknya dengan pendekatan sosio-antoposentris. Hak perempuan sangat banyak sekali, akan tetapi hak itu menjadi hilang ketika perempuan sendiri membiarkan dengan tidak mengambil hak itu. Artinya, hak itu hilang bukan karena dicuri oleh orang dan akhirnya perlu dirampas kembali oleh perempuan. Sekarang waktunya untuk memperjuangkan kembali hak-haknya dalam berpartisipasi dalam transformasi sosial. Dengan demikian, transformasi sosial akan dapat dilaksanakan oleh para perempuan jika hak tersebut jalan on the track. Proses transformasi akan mengalami kemajuan yang sangat pesat jika perempuan memiliki andil besar. Selama ini terjadinya stagnasi sosial akibat dihilangkannya peran perempuan dalam kegiatan sosial—berakibat pada munculnya krisis multidimensional. Oleh sebab itulah, kesadaran akan kebersamaan dalam membangun bangsa baik oleh laki-laki dan perempuan perlu kembali dirajut. Tidak ada salahnya jika perempuan diajak untuk menata bangsa yang semakin terpuruk mentalitasnya. D. Usaha Kemandirian Perempuan Usaha untuk membangun bangsa bersama kaum perempuan akan menjadi sebuah realitas jika perempuan mempunyai jiwa mandiri. Kemandirian merupakan sebuah sikap yang berangkat dari kesadaran diri untuk tidak mudah tergantung pada orang lain, namun mandiri bukan berarti tidak butuh orang lain. Kebutuhan akan pihak lain hanyalah sebagai bagian dari interaksi sosial sedangkan kesendiriannya dalam menuntuskan tanggungjawabnya dapat diselesaikan sendiri. Bentuk kemandirian ini sangat beragam. Paling tidak ada tiga karakter kemandirian perempuan dalam skala mikro, yaitu: kemandirian berkeluarga, kemandirian bermasyarakat dan kemandirian berprestasi. Kemandirian berkeluarga menjadi cermin awal dalam proses penataan diri. Dalam hal ini, perempuan diasah untuk mandiri. Jika dalam struktur kehidupan berkeluarga perempuan KREATIFITAS PEREMPUAN DALAM TRANSFORMASI SOSIAL (M. Rikza Chamami) sudah mampu dan terbiasa mandiri maka sudah barang tentu akan meningkat pada hierarki kemandirian di atasnya. Bentuk kemandirian dalam kehidupan berkeluarga dapat diwujudkan dengan saling mendukung urusan domestik dan karier. Dua hal ini menjadi bagian dari tugas yang secara transenden perlu diselesaikan. Dalam penyelesaian itu terkadang perempuan secara tidak sadar tidak mampu menyelesaikan dengan kreatifitas dan kemandiriannya. Akibatnya, kemandirian yang dimilikinya akan lari. Oleh sebab itu, kemandirian dengan pola pertama ini perlu diasah dan dikembangkan. Pola kemandirian perempuan yang lainnya adalah kemandirian bermasyarakat. Pada titik inilah seorang perempuan mempunyai peran yang sangat strategis dalam membangun transformasi sosial. Perempuan mempunyai jiwa yang sangat luwes dan supel dalam berkomunikasi. Bekal inilah yang akan dijadikan untuk menata kemandirian bermasyarakat. Ketika berinteraksi dengan tetangga, organisasi, lintas agama dan lintas negara, perempuan mempunyai modal dasar cepat ramah. Dengan keramahan itulah akan terwujud sebuah kemandirian untuk membangun masyarakat. Sedangkan kemandirian berprestasi akan menutup citra negatif tentang perempuan. Prestasi besar yang dicapai dalam menata jiwa mandiri di keluarga dan masyarakat merupakan bukti bahwa perempuan mampu. Untuk selanjutnya prestasi itu ditingkatkan pada ranah yang lainnya. Misalnya bagaimana seorang perempuan karier yang mendedikasikan hidupnya dalam hal masak-memasak, menyajikan sebuah hidangan/masakan lokal tetapi dipublikasikan di tingkat internasional. Sama halnya dengan prestasi perempuan dalam bidang keilmuan dan sains menjadi tolok ukur untuk menegasikan hilangnya kepercayaan masyarakat pada perempuan. Ada kemungkinan memang bahwa perempuan rawan untuk dilupakan. Ada kendala mengapa perempuan cenderung terlupakan. Mansour Faqih (1996: 87) menyebutkan ada tiga kendala yang dihadapinya sebagai berikut: 1) kendala struktur sosial; 2) kendala minoritas unik; dan 3) kendala mitos. Ketiganya akan hilang sendirinya jika perempuan itu mandiri dan berprestasi. Sikap teguh seorang perempuan pernah dilakukan oleh Ummu Salamah selama menjadi seorang istri Rasul yang sangat 257 258 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 bijak dalam menemani hidupnya (Abdul Aziz Asy-Syinnawi, 2006: 107). Suatu ketika Nabi memerintah menyembelih qurban dan mencukur rambut, tapi tak satupun sahabat yang patuh. Ummu Salamah menyampaikan kepada Rasul seraya berkata, “Wahai Rasulullah, janganlah engkau memarahi mereka, karena di dalam diri mereka tersembunyi maksud yang agung, yakni terkait dengan salah satu kesepakatan dalam perjanjian yang dirasakan memberatkan dirimu dan mereka harus pulang tanpa kemenangan”. Wanita muslimah lainnya yang terkenal dengan kecerdasannya pada masa awal Islam dikarenakan ilmu, kecerdasan, pendapat, keutamaan, pengajaran dan riwayat haditsnya adalah: Arwa binti Al Harits, Fathimah Azzahra, Laila Al Ghifariyyah, Ummu Kultsum binti Imam Ali, Maimunah binti Haritsah, Malikah binti Nu’man dll. (Abd ar-Rasul Abdul Hasan al-Ghaffar, 1995: 67). Figur-figur itu dapat dijadikan teladan mengenai sikap perempuan yang ramah kepada keluarga, ramah kepada masyarakat dan mampu untuk memperjuangkan orang banyak. Kepedulian terhadap orang lain adalah sebuah tantangan besar bagi perempuan, sebab kecintaan kepada keluarga terkadang menutup cintanya pada pihak lain. Sehingga perlu diubah stigma mengenai hal ini. Senada dengan hal di atas, ketika seseorang mempunyai rasa cinta kepada negaranya (hubb al-wathan), terselip rasa benci terhadap negara lainnya. Ternyata sikap cinta negara dengan pola demikian kurang tepat. Yusuf Sutanto mengamati bahwa China sebagai suatu negara, menyebutkan bahwa dalam literatur Islam sejak Nabi Muhammad Saw. masih hidup pernah bersabda “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China”. Dengan demikian, dalam perkembangan Islam pun pada masa itu telah ada komunitas muslim di China. Indonesia juga pernah dikunjungi oleh semua tradisi besar yang ada di dunia dan memiliki budaya yang merupakan buah dari crosscultural fertilization yang telah berlangsung sangat lama sehingga semuanya merasa ikut memiliki. Modal sosial ini sangat berharga untuk terus mengembangkan peradabannya sendiri sebagai bagian dari membangun dunia yang semakin menghargai hak-hak asasi. Untuk itu, diperlukan cara pandang (episteme) yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang KREATIFITAS PEREMPUAN DALAM TRANSFORMASI SOSIAL (M. Rikza Chamami) selalu mau terus belajar sepanjang hayatnya. Ajaran yang bersifat open end ini memungkinkan setiap orang bisa mempunyai hati dan pemikiran yang semakin luas dan yang sangat diperlukan dalam membangun peradaban masa depan. Berdasar uraian Yusuf Sutanto sebagaimana termaktub di atas, mengandung kesan adanya kecenderungan lebih mengamati sisi cultural history antara Nusantara dan China, padahal di lapangan benturan-benturan kepentingan selama ini lebih menonjol, muaranya adalah pada kekuasaan, mengingat kekuasaan bertautan dengan pengetahuan yang berasal dari relasirelasi kekuasaan dan yang menandai subyek. Karena Foucault mempertautkan kekuasaan dengan pengetahuan, sehingga kekuasaan memproduksi pengetahuan dan pengetahuan menyediakan kekuasaan, dan kekuasaan tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, melainkan juga normalisasi dan regulasi. Disini, dampak tekanan terhadap orang China pada era Orde Baru masih membekas sampai sekarang, terbukti dengan masih banyaknya kalangan masyarakat China di Indonesia yang masih belum berani bersikap dalam menentukan orientasi politiknya, dan lebih memilih mengikuti arus kuat yang mengalir (Eko Ali Roso, 2010: 258). Dengan demikian, perlu ada rumusan tentang kemandirian dalam memaknai nasionalisme dan internasionalisme. Perempuan juga mampu untuk mewujudkan kemandirian dalam menatap wajah baru guna membangun nasionalisme yang lebih luas maknanya. Selain upaya ini menjadi bentuk baru dalam transformasi sosial, perlu juga dilihat bahwa penguatan nasionalisme juga perlu melibatkan komitmen perempuan. Selain nasionalisme, ada satu hal penting yang perlu melibatkan peran perempuan, yakni dalam hal memajukan pendidikan Indonesia. Fakta yang ada di lapangan, guru TK dan SD, hampir rata-rata didominasi perempuan, sebab perempuanlah yang mempunyai jiwa kesabaran dalam membina mental dan akhlak anak. Namun, berbeda halnya ketika tingkat SMP hingga Perguruan Tinggi. Guru dan dosen yang mendidik sudah didominasi laki-laki. Sehingga cara didik dan pengarahannya menjadi beda. Mengingat tanggungjawab memajukan pendidikan nasional merupakan tugas yang sangat berat untuk dilaksanakan. Paling tidak, untuk memajukan dunia pendidikan membutuhkan 259 260 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 perangkat penyempurnaan secara sistemik dalam berbagai hal, antara lain: peningkatan kualitas dan pemerataan penyebaran guru, kurikulum yang disempurnakan, sumber belajar, sarana dan prasarana yang memadai, iklim pembelajaran yang kondusif, serta didukung oleh kebijakan (political will) pemerintah baik pusat maupun daerah (E. Mulyasa, 2008: 5). Dari semuanya itu, guru merupakan unsur paling penting dari proses kependidikan. Karena di tangan gurulah kurikulum, sumber belajar, sarana prasarana dan iklim pembelajaran menjadi sesuatu yang berarti bagi peserta didik. Di pundak guru terletak tanggungjawab yang amat besar dalam upaya mengantarkan peserta didik ke arah tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Hal ini disebabkan pendidikan merupakan cultural transmission yang bersifat dinamis ke arah suatu perubahan secara kontinyu, sebagai sarana vital untuk membangun kebudayaan dan peradaban umat manusia. Guru adalah orang yang bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan anak didik, karena besarnya tanggung jawab guru terhadap anak didiknya maka apapun bukan menjadi penghalang bagi guru untuk selalu hadir di tengah-tengah anak didiknya. Guru bisa saja disebut sebagai pendidik, pendidik merupakan orang yang memiliki tanggungjawab untuk mendidik (Ahmad D. Marimba, 1989: 37). Guru perempuan mempunyai jiwa yang sangat halus dan budi luhur. Sehingga perlu diwujudkan sebuah kemandirian guru perempuan untuk menjadi garda depan dalam memajukan pendidikan karakter yang sedang banyak diperbincangkan. Satu usaha kaum perempuan dalam menjaga bangsa ini adalah dengan prinsip kemandirian dalam membangun budaya, sosial, politik dan pendidikan. Usaha sadar perempuan dalam transformasi ini akan sangat bermakna dalam mewujudkan sebuah impian baru bernama negara yang bermartabat dan berdaulat dengan prinsip keadilan dan kejujuran. Dengan usaha itulah, maka kemandirian yang dimilikinya akan abadi selamanya. E. Penutup Perempuan adalah sosok idaman yang mampu diajak membangun bangsa dan negara menuju KREATIFITAS PEREMPUAN DALAM TRANSFORMASI SOSIAL (M. Rikza Chamami) Perannya dalam transformasi sosial sangat bisa diandalkan jika ia mempunyai tiga prinsip hidup: aksi, peduli dan mandiri. Bentuk aksi terwujud dalam langkah kongkrit yang dilakukan. Peduli sebagai aktualisasi dari sikap responsif terhadap kondisi sosial. Sedangkan mandiri menunjukkan bahwa perempuan mampu dan berdaya guna di tengah kepentingan umum. Dalam menopang kemandiriannya, perempuan perlu sadar dengan tiga jenis kemandirian; kemandirian keluarga, kemandirian masyarakat dan kemandirian prestasi. Dalam menyelesaikan tugas kemandirian itu, segmen yang diutamakan untuk diselesaikan adalah membangun bangsa dengan nasionalisme dan membangun pendidikan karakter. Dengan itu semua, transformasi sosial yang dilakukan akan merata pada semua segmen kehidupan; budaya, sosial, politik, hukum, pendidikan dan ekonomi. 261 262 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 SUMBER RUJUKAN Al-Akkad, Abbas Mahmoud, Wanita dalam Al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Abdul Aziz, Sa’ad Yusuf, 101 Wasiat Rasul untuk Wanita, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009. Abu Syuqqah, Abdul HaliM. Kebebasan Wanita,Jakarta: Gema Insani Press,1997. Al Ghaffar, Abdur Rasul Abdul Hasan, Wanita Islam dan Gaya Hidup Modern, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995. Annisa Lathifah, La Tahzan for Modern Muslimah: Bahagia dengan Kegelisahan, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008. Asy-Syinnawi, Abdul Aziz, 12 Wanita Pejuang Bersama Rasulullah, Jakarta: Amzah, 2006. E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008. Eko Ali Roso, “Membangun Relasi Islam Indonesia dan China”, dalam Jurnal Harmoni Vol IX No. 34, Jakarta: Puslitbang Kemenag RI, 2010. Gufran Ali Ibrahim, “Budaya Patriarchi, Sumber Ketidakadilan Gender”, dalam Adnan Mahmud dkk (Ed), Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Mansur Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Muhammad Ali Al-Hasyimi, Muslimah Ideal: Pribadi Islami dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, Mitra Pustaka, 2004. Ramadan Hafizh, The Colour of Women: Mengungkap Misteri Wanita, Jakarta: Amzah, 2009. Rr. Suhartini, “Pemberdayaan Perempuan”, dalam Moh Ali Aziz (ed), Dakwah Pemberdayaan Masyarakat Paradigma Aksi Metodologi, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009. Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik: Pengaruhnya pada Pemikiran Islam Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Ide Utama SIRKUMSISI PEREMPUAN: Antara Tradisi, Keberagamaan dan Kekerasan Gender Muhamad Mustaqim*) ABSTRACT: In today’s world, the existence of female circumcision is still in debate. It is called voluntary female circumcision or it is also known as Female Genital Mutilation(FGM). Here, female circumcision is often associated with religious teachings and traditions of society that must always be maintained. For some feminists, female circumcision is considered as the practice of violence that should be eliminated from society. Community culture and religious traditions that have been more nuanced patriarchal, became the legitimacy of the continuity of this practice. This paper describes some trends of circumcision, implementation of women, the religious dimension, tradition and critical review of this practice. Keywords: female circumcision, traditions, religious and gender violence A. Pendahuluan Tuhan menciptakan manusia dari jenis laki-laki daan perempuan tidak lain adalah untuk mewujudkan ketenangan, kedamaaian dan kasih sayang antar keduanya. Ini berarti meniscayakan tidak adanya eksploitasi, penindasan dan ketidakadilan antar masing-masing jenis. Sebagaimana pengertian terminologinya, gender merupakan pembedaan antara laki-laki dan perempuan atas dasar konstruk sosial yang mengitarinya. Tabiat gender yang bisa dipertukarkan, menjadikan terlindunginya hak antar keduanya. Dalam hal ini, ) Penulis adalah Dosen STAIN Kudus 264 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 seting sosial budaya menjadi penting untuk membaca sebuah fenomena sosial perspektif gender. Salah satu bagian dari fenomena sosial yang menimbulkan polemik gender adalah fenomena sirkumsisi pada perempuan. Sirkumsisi atau sunnat pada perempuan ini menuai perdebatan, dengan sudut pandang yang berbeda. Sebagian masyarakat ada yang menganggap bahwa sirkumsisi, baik itu laki-laki ataupun perempuan merupakan sebuah kewajiban agama yang harus dilakukan. Di satu pihak, sirkumsisi dipercayai sebagai tradisi budaya yang turun temurun, dan harus selalu dilestarikan. Namun ada juga pendapat yang mengkritisi keberlangsungan sirkumsisi perempuan ini, karena menurutnya praktik ini dianggap sebagai bentuk kekerasan dan pembatasan bagi kaum perempuan. Tulisan dan kajian tentang sirkumsisi perempuan selama ini memang sudah sering dilakukan. Dan persoalan ini juga bukanlah persoalan baru dan aktual yang baru muncul. Namun tulisan ini bermaksud memberi paparan tentang sirkumsisi perempuan ini, tentunya dalam proporsi sebagai bagian dari karya akademik. Keberadaan sirkumsisi yang sudah mengakar bagi amsyarakat kita, khusunya masyarakat muslim, memberi legitimasi sendiri akan legalitas praktik ini persepektif keberagamaan. Dalam term keberagamaan, sebuah prilaku masyarakat akan dianggap sebagai amalan keberagamaan bila hal ini merupakan respon masyarakat terhadap ajaran agama yang ada. Artinya, ada landasan hukum dalam kitab suci atau ajaran agama, tentang praktik ini. Dalam tinjauan tradisi, sirkumsisi menjadi sebuah warisan budaya yang harus dipertahankan. Legitimasi rasional dalam hal ini terkadang tidak begitu diperhatikan. Karena mereka mempercayai, sesuatu yang dilakukan oleh nenek moyang mereka adalah sesuatu yang mempunyai manfaat, meskipun belum mereka ketahui. Kesadaran gender yang saat ini berkembang, menjadi sebuah kritisi bagi pelaksanaan sirkumsisi perempuan ini. Banyak aktifis gender yang berpendapat bahwa sirkumsisi merupakan wujud kekerasan dan hegemoni patriarkhi terhadap status perempuan. Budaya patriarkhi merupakan sebuah system perempuan yang berorientasi pada laki-laki. Dalam system ini, laki-laki lah yang berkuasa dan menentukan (Nunuk SIRKUMSISI PEREMPUAN (Muhamad Mustaqim) Murniati, 2004:81). Tak pelak, mereka mengkritisi secara tajam praktek tersebut, bahkan pada dimensi agama sekalipun. Ketiga kecenderungan ini menjadi dasar pemaparan tulisan ini, dengan menampilkan berbagai dampak dan latar belakang argumentasi yang ada. B. Pengertian Sirkumsisi Sirkumsisi perempuan di Indonesia dikenal dengan istilah sunnat atau khitan perempuan. Secara bahasa, kata sirkumsisi berasal dari Bahasa Latin circum berarti memutar dan caedere berarti memotong. Sedangkan istilah secara internasional adalah Female Genital Mutilation (FGM) atau Female Genital Cutting (FGC). Istilah ini digunakan untuk menggambarkan satu macam operasi alat kelamin yang dilakukan pada anak-anak perempuan, gadis-gadis atau kaum perempuan. (Haifa Jawad, 2002: 179). Penggunaan istilah FGM lebih dekat dengan makna berbahaya. Istilah ini dianggap lebih bermakna politis dan seringkali digunakan sebagai alat advokasi aktivis hak-hak perempuan karena menekankan pada sisi negatif dari FGM. Tetapi, World Health Organization (WHO) juga menggunakan istilah FGM. Ada istilah lain yang juga sering digunakan, yakni Genital Cutting. Istilah ini dianggap paling netral karena mengindikasikan prosedur pemotongan genital yang bersifat umum, adil, dan kondusif, baik secara medis maupun nonmedis, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Sunat perempuan ini tidak hanya dikenal di Indonesia, tetapi juga di berbagai Negara lain. Sunat perempuan dilakukan hampir di 28 negara, terbanyak dilakukan di sebagian besar Negara Afrika, khususnya di Negara bagian Afrika Sahara, beberapa Negara Timur Tengah, serta sebagian kecil Negara di Asia, Pasifik, Amerika Latin, Amerika Utara, dan Eropa. Di Asia, praktik ini familiar di kalangan Negara-negara Muslim, seperti Malaysia, Philipina, termasuk Indonesia. (Haifa Jawad, 2002: 182). Banyak masyarakat yang menganggap sunat perempuan merupakan tradisi yang seringkali dikaitkan dengan agama. Hal ini juga masih menimbulkan pro dan kontra. Praktik ini dilakukan oleh penganut Islam, Kristen, Katolik, animisme, 265 266 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 dinamisme, salah satu sekte Yahudi, dan juga atheis. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa latar belakang tradisi lebih dominan, bukan perintah agama. Praktik sunat perempuan ini diduga telah dimulai sejak 4000 tahun silam, sebelum kemunculan agama yang terorganisasi. Sirkumsisi juga banyak dipraktikkan oleh ummat Yahudi dalam upacara yang disebut berith atau brit. Upacara ini dilakukan pada hari kedelapan kelahiran, dilakukan oleh seorang professional yang dikenal dengan mohen. (Donna L Wong, 2009:258). WHO mendefinisikan FGC sebagai semua tindakan/ prosedur yang meliputi pengangkatan sebagian atau total dari organ genitalia eksterna perempuan atau bentuk perlukaan lain terhadap organ genetal perempuan dengan alasan budaya, atau alasan non-medis lainnya. Tindakan bedah transeksual tidak termasuk dalam hal ini. Secara umum, ada tiga tipe FGC, yaitu : Pertama clitoridotomy, yakni eksisi (pemotongan) dari permukaan (prepuce) klitoris, dengan atau tanpa eksisi sebagian atau seluruh klitoris. Tipe ini yang di beberapa negara muslim dikenal dengan sunnat atau sirkumsisi. Kedua, clitoridectomy, yaitu eksisi sebagian atau total dari labia minora. Tipe ini banyak dilakukan di negaranegara bagian Afrika Sahara, Afrika Timur, Mesir, Sudan, dan Peninsula. Ketiga, Infibulasi/Pharaonic Circumcision/khitan ala Fir’aun, yaitu eksisi sebagian atau seluruh bagian genitalia eksterna dan penjahitan untuk menyempitkan mulut vulva. Penyempitan vulva dilakukan dengan hanya menyisakan lubang sebesar diameter pensil, agar darah saat menstruasi dan urine tetap bisa keluar. Ini merupakan tipe terberat dari FGC. (Haifa Jawad, 2002: 180). C. Sejarah Sirkumsisi Menurut catatan sejarah, sirkumsisi telah dilakukan sejak zaman prasejarah. Hal ini dapat diamati dari gambargambar di gua yang berasal dari Zaman Batu dan makam Mesir purba (Wikipedia). Alasan tindakan ini masih belum jelas pada masa itu, tetapi teori-teori memperkirakan bahwa tindakan ini merupakan bagian dari ritual pengorbanan atau persembahan, tanda penyerahan pada Yang Maha Kuasa, langkah menuju kedewasaan, tanda kekalahan atau perbudakan, atau upaya SIRKUMSISI PEREMPUAN (Muhamad Mustaqim) untuk mengubah estetika atau seksualitas. Pendapat lain mengatakan bahwa praktik sirkumsisi telah dilakukan pada zaman Mesir Kuno. Praktik ini diduga berasal dari Afrika, yang merupakan sebuah ritus remaja yang kemudian disebarkan ke Mesir melalui difusi. Selain itu, diperkirakan praktik ini sudah dikenal baik pada masa pra-Islam di daerah Mesir, Arabia, dan daerah-daerah tepi Laut Merah (Haifa Jawad, 2002: 181). Sirkumsisi sering dilukiskan pada tembok-tembok kuil pada masa 3000 SM. Orang Hindu menganggap penis dan testis sebagai lambang pusat kehidupan dan pengorbanan prepusium sebagai persembahan khusus untuk dewa. (Mark H. Swartz, 1995:263). Data ini memberikan gambaran bahwa praktik sirkumsisi merupakan warisan tradisi sejarah yang sudah sangat tua. Sehingga praktik ini tidak hanya di dominasi oleh suatu agama, suku maupun bangsa tertentu. Dan tidak heran jika saat ini sirkumsisi menjadi sebuah bagian dari tradisi yang (harus) dipraktekkan di banyak negara. D. Sirkumsisi Sebagai Sebuah Tradisi Di Indonesia, pelaksana sunat perempuan sangatlah bervariasi, mulai dari tenaga medis, baik perawat, bidan, maupun dokter, dukun bayi, maupun dukun/tukang sunat, dengan menggunakan alat-alat tradisional seperti pisau, sembilu, bambu, jarum, kaca, kuku hingga alat modern semacam gunting, scapula dan sebagainya. Sedangkan ditinjau dari usia pelaksanaannya, juga sangat bervariasi, dari mulai neonatus, anak usia 6-10 tahun, remaja, hingga dewasa. Di Mesir, sirkumsisi perempuan dilakukan pada anakanak perempuan usia 7-8 tahun, sebelum memasuki masa-masa menstruasi (Nawal El sadawi, 2001:62). Di Amerika Serikat dan beberapa Negara barat lain, clitoridotomy lebih banyak dilakukan pada wanita dewasa dibandingkan pada anak-anak. Di sebagian negara Afrika di mana FGC tipe infibulasi banyak dilakukan, tindakan ini dilakukan pada usia antara dua sampai enam tahun. Penelitian menunjukkan bahwa sunat perempuan di Indonesia sendiri dilakukan pada anak usia 0-18 tahun, tergantung dari budaya setempat. Umumnya sunat perempuan 267 268 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 dilakukan pada bayi setelah dilahirkan. Di Jawa dan Madura, sunat perempuan 70% dilaksanakan pada usia kurang dari satu tahun dan sebagian pada usia 7-9 tahun, menandai masa menjelang dewasa. Pelaksananya juga sangat bervariasi, mulai dari tenaga medis, dukun bayi, istri kyai (nyai), maupun tukang sunat, dengan menggunakan alat-alat tradisional ataupun alat modern. Praktik sunat perempuan di Indonesia sering diminimalkan hanya pada tindakan simbolik, tanpa adanya pemotongan yang sesungguhnya pada alat kelamin. Walaupun ada juga dukun bayi yang berpendapat bahwa walaupun sedikit, tetap harus ada darah dari klitoris atau labia minora. Ada juga sunat perempuan yang dilakukan oleh dukun bayi dengan cara menempelkan/ menggosokkan kunyit di klitoris, kemudian kunyit tersebut dipotong sedikit ujungnya, dan potongan tersebut dibuang ke laut atau dipendam di tanah. Kadang juga hanya dengan mengusap atau membersihkan bagian klitoris dan sekitarnya. Secara umum, memotong sedikit ujung klitoris adalah cara yang paling banyak dilakukan, selain cara simbolik. Di Sulawesi Selatan, sunat perempuan pada etnis Bugis, di Soppeng (disebut katte), dilakukan dengan cara memotong sedikit klitoris. Sang Dukun (Sanro) sebelumnya juga memotong jengger ayam. Kedua potongan tersebut kemudian dimasukkan ke suatu wadah yang berisi parutan kelapa, gula, kayu manis, biji pala, dan cengkih. Sedangkan etnis Makasar (disebut katang) melakukannya dengan cara memotong ujung kelentit menggunakan pisau. Rata-rata dilakukan pada usia 7-10 tahun, lebih identik dengan ritualisasi akil balik perempuan, dan diikuti dengan acara adat. Berdasarkan hasil penelitian Population Council di Indonesia, menyebutkan bahwa pelaksanaan FGC terbagi menjadi dua bentuk, yaitu secara simbolik, yaitu: tanpa pemotongan/perlukaan sesungguhnya. FGC jenis ini meliputi 28%. Sedangkan jenis yang lainnya, dilakukan insisi serta eksisi, yaitu meliputi 72%. Hal ini memberikan gambaran bahwa praktik sirkumsisi perempuan itu memang dilakukan dengan pemotongan bagian dari vagina, meskipun dalam kadar terkecil, yang penting mengeluarkan darah. Praktik sirkumsisi perempuan tentunya dilakukan dengan beberapa alasan, mulai budaya, agama kesehatan dan lainnya. Ada beberapa factor yang menjadi argumen pelaksanaan praktik SIRKUMSISI PEREMPUAN (Muhamad Mustaqim) sirkumsisi perempuan ini (Haifa Jawad, 2002: 185), yaitu : 1. Psikoseksual Diharapkan pemotongan klitoris akan mengurangi libido pada perempuan, mengurangi/menghentikan masturbasi, menjaga kesucian dan keperawanan sebelum menikah, kesetiaan sebagai istri, dan meningkatkan kepuasan seksual bagi laki-laki. Terdapat juga pendapat sebaliknya yang yakin bahwa sunat perempuan akan meningkatkan libido sehingga akan lebih menyenangkan suami. 2. Sosiologi Alasan ini mengisyaratkan bagaimana perempuan bisa diterima dalam sebuah komunitas masyarakat. Selain itu, alasan melanjutkan tradisi, menghilangkan hambatan atau kesialan bawaan, masa peralihan pubertas atau wanita dewasa, perekat sosial dan lebih terhormat, menjadi argumentasi sosial yang masih dilestarikan dalam sebuah masyarakat. 3. Hygiene dan estetik Organ genitalia eksternal dianggap kotor dan tidak bagus bentuknya. Sehingga, untuk menjadi bersih dan indah, maka harus di potong atau dibuang. Sehingga wanita sebagai simbol kecantikan dan keindahan dapat terwujud. 4. Mitos Di beberapa daerah dan komunitas masyarakat, masih memegang sebuah kepercayaan atau mitos bahwa, sirkumsisi perempuan mampu meningkatkan daya tahan anak. Selain itu, perempuan yang disirkumsisi akan menjadi subur dan mudah melahirkan (Sulistiyowati, 2006: 500) 5. Agama Faktor agama banyak mendominasi praktek sirkumsisi perempuan ini. Dengan dalih perintah (ada yang menganggap wajib, ada pula yang menganggapnya sunnah), sirkumsisi menjadi dogma agama yang harus dilakukan. Selain itu, sirkumsisi perempuan disamakan dengan sirkumsisi lakilaki, sehingga dengan dalih prasyarat diterimanya sebuah 269 270 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 amalan ibadan seseorang. Tendensi ini setidaknya berlaku bagi masyarakat muslim. Di Eropa dan Amerika, sunat perempuan pernah dipraktikkan sebagai terapi pada penyakit jiwa. Sedangkan di Afrika dan Negara-negara Timur Tengah, FGC dilakukan dengan tujuan untuk menjamin kebersihan dan menambah kecantikan. Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar sunat perempuan dikaitkan dengan tradisi/adat dan perintah agama, terutama agama Islam. Dalam agama Islam sendiri, pendapat tentang pelaksanaan sunat perempuan terbagi menjadi 3, yaitu yang berpendapat sebagai sunah (dianjurkan), wajib (harus dilaksanakan), dan pendapat bahwa sunat perempuan adalah murni tradisi, yang tidak terkait dengan agama. Bagi masyarakat Jawa, sunat perempuan sudah dianggap tradisi turun temurun, sehingga efek samping yang terjadi tidak pernah dianggap sebagai hal yang serius, dianggap tidak perlu dirisaukan dan dibicarakan, sehingga tidak terungkap dampak negatif sunat perempuan. Tidak didapatkan keluhan psikologis maupun fisik perempuan yang mengalaminya ataupun anak perempuannya. Yang berkembang justru sugesti tentang adanya peningkatan gairah seksual perempuan. Penelitian Population Council di Indonesia juga tidak menjumpai dampak negatif sunat perempuan yang dialami oleh perempuan yang disunat, baik dalam masalah penurunan libido, masalah reproduksi, serta komplikasi kesehatan pendek maupun panjang. Hanya dapatkan keluhan nyeri saat pelaksanaan sunat. E. Sirkumsisi Sebagai Perilaku Beragama Persoalan sirkumsisi perempuan ini, sudah lama sekali didiskusikan. Satu pendapat mengatakan, bahwa sirkumsisi merupakan kesunahan, dan yang lain mengatakan sirkumsisi adalah wajib. Dalam hal ini, tidak ada satu ulama pun yang mengeluarkan pendapat bahwa sirkumsisi merupakan tradisi atau budaya setempat. Di antara ulama yang mengatakan bahwa sirkumsisi adalah kewajiban adalah Imam Syafi’i, salah satu ulama SIRKUMSISI PEREMPUAN (Muhamad Mustaqim) terkemuka yang menjadi barometer dalam bermadzhab. Beliau mengemukakan bahwa sirkumsisi adalah sebuah kewajiban yang berlaku untuk kaum laki-laki maupun perempuan. Dan itu pun didukung dengan tendensi atau dalil syar’i. Di antara dalil syar’i yang menjustifikasikan sirkumsisi atau khitan merupakan sebuah keharusan adalah firman Allah Swt yang berberbunyi, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ikutilah agama (ajaran) Ibrahim seorang yang hanif…” (QS. An Nahl: 123). Sekilas ayat ini melukiskan bahwa Nabi Ibrahim AS. memang melaksanakan ajaran-ajaran dari Allah SWT. Dan di antara ajaran beliau adalah khitan. Sebagaimana yang diriwayatkan sahabat Nabi, Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw Pernah bersabda, “Nabi Ibrahim Khalilur Rahman berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun”. Sementara pendapat yang mengatakan bahwa hukum sirkumsisi adalah sunah berpijak pada hadis Nabi yang juga diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah ra., bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, “Lima hal yang termasuk fithrah yaitu: khitan, mencukur bulu alat kelamin, mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan memotong kumis.” Hadis ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Fathul Bari no: 6297. Kelompok yang mengatakan bahwa sirkumsisi bagi perempuan sangat merugikan itu berpendapat, bahwa ketika terjadi FGM, maka akan merusak alat kelaminnya. Sehingga, dari ideologi ini membuat semua pihak pakar medis merasa tidak perlu adanya sirkumsisi untuk kaum perempuan. Padahal, tidaklah demikian adanya. Dalam sebuah hadis dijelaskan, bahwa dulu Nabi pernah memerintahkan seorang perempuan yang ahli dalam hal penyunatan untuk tidak ceroboh dalam menyunat. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik ra., bahwasanya Nabi SAW bersabda kepada kepada Ummu ‘Athiyah (wanita tukang sirkumsisi): “Apabila engkau mengkhitan seorang perempuan, maka potonglah sedikit, dan janganlah berlebihan (dalam memotong bagian yang dikhitan), karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih menyenangkan (memberi semangat) bagi suami.” Hadits dianggap shahih, dikeluarkan oleh Abu Daud /5271. Imam Mawardi, salah satu ulama dari kalangan Syafi’i, berpendapat, bahwa khitan pada perempuan yang dipotong 271 272 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 adalah kulit yang berada di atas alat kelamin perempuan. Yang dianjurkan adalah memotong sebagian kulit tersebut, bukan menghilangkannya secara keseluruhan. Hikmah sirkumsisi perempuan setidaknya mencakup empat hal, yaitu: Pertama, membuat lebih bersih dan lebih mudah menerima rangsangan. Kedua, sirkumsisi dapat membawa kesempurnaan agama. ketiga, sirkumsisi adalah cara sehat yang memelihara seseorang dari berbagai penyakit. Keempat, sirkumsisi membawa kebersihan, keindahan, dan meluruskan syahwat. Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hikmah sirkumsisi bagi laki-laki adalah mensucikan mereka dari najis yang tertahan pada kulup kemaluan. Sedangkan bagi wanita adalah untuk menyederhanakan syahwatnya, Sesungguhnya kalau wanita tidak disirkumsisi maka syahwatnya akan menggejolak, sebagaimana tertulis dalam Fatawa Al-Kubra, (I/273). Islam tidak mungkin menganjurkan ummatnya untuk melakukan kekerasan. Kekerasan berbasis gender, baik dalam segi fisik, seksual, sosial, psikis bahkan ekonomi (Ridwan, 2006:152). Sehingga sunnat perempuan bukanlah sebuah kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, Islam datang mempunyai misi untuk mengangkat derajat kaum perempuan. Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, bahwa masyarakat Arab pra Islam merupakan masyarakat jahiliyah yang merendahkan harkat perempuan. Tradisi jahiliyah menganggap perempuan sebagai aib, sehingga tak jarang mereka mengubur hidup-hidup bayi perempuan. Selain itu, tradisi jahiliyah memposisikan perempuan sebagai komoditas barang yang dapat diwariskan. Islam datang dan menentang praktek yang ahumanis tersebut. Sehingga, tidak mungkin Islam melakukan kekerasan terhadap perempuan dengan praktik sirkumsisi ini (Mansur Fakih, dkk, 2000:155) F. Kajian Kritis Gender Tentang Sirkumsisi Perempuan Di kalangan kaum feminis dan aktifis gender, sirkumsisi merupakan tindak kekerasan gender yang merugikan kaum perempuan. Hal ini dikarenakan sirkumsisi tidak memberi manfaat apa pun bagi perempuan yang disirkumsisi, bahkan SIRKUMSISI PEREMPUAN (Muhamad Mustaqim) akan memberikan efek negatif, baik secara psikis maupun medis. Ini kemudian menjadi sebuah kekerasan gender yang tidak perlu lagi dipraktekkan. Beberapa argumen yang sering dilontarkan terkait dengan dampak negatif sirkumsisi perempuan adalah adanya nyeri berat, syok, perdarahan, tetanus, sepsis, retensi urine, ulserasi pada daerah genital, dan perlukaan pada jaringan sekitarnya. Perdarahan massif dan infeksi bisa menjadi penyebab kematian. Penggunaan alat bersama untuk beberapa orang tanpa sterilisasi sesuai prosedur, dapat menjadi sumber infeksi dan media transmisi penularan penyakit, seperti HIV dan hepatitis. Sedangkan komplikasi jangka panjang yang dilaporkan terjadi adalah kista dan abses, keloid, kerusakan uretra yang mengakibatkan inkontinentia urine, dispareni, disfungsi seksual, dan cronic morbidity. Disfungsi seksual dapat diakibatkan oleh dipaureni serta penurunan sensitivitas permanen akibat klitoridektomi dan infibulasi. Kauterisasi elektrik klitoris bisa berpengaruh pada psikis yang menghilangkan keinginan untuk masturbasi. WHO telah memperingatkan tentang timbulnya peningkatan risiko kematian ibu dan bayi pada wanita yang disunat. Hal ini berdasarkan pada penelitian yang dilakukan pada wanita yang pernah disunat di enam Negara Afrika, yaitu didapatkan hasil bahwa 30% lebih banyak yang harus section caesaria, 66% lebih banyak bayi lahir yang harus diresusitasi, dan 50% lebih banyak anak meninggal dalam kandungan maupun lahir mati dibandingkan pada wanita yang tidak sunat. Sunat perempuan mungkin menimbulkan suatu trauma yang akan selalu ada dalam kehidupan dan pikiran seorang wanita yang mengalaminya, serta muncul sebagai kilas balik yang sangat mengganggu. Komplikasi psikologis dapat terpendam pada alam bawah sadar anak yang bisa menimbulkan gangguan perilaku. Hilangnya kepecayaan dan rasa percaya diri dilaporkan sebagai efek serius yang bisa terjadi. Dalam jangka panjang, dapat timbul perasaan tidak sempurna, ansietas, depresi, iritabilitas kronik, dan frigiditas. Hal-hal tersebut dapat mengakibatkan konflik dalam pernikahannya. Banyak perempuan yang mengalami trauma dengan pengalaman FGM tersebut, tetapi tidak bisa mengungkapkan ketakutan dan penderitaannya secara terbuka. 273 274 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 WHO secara konsisten dan jelas menyampaikan bahwa FGM dalam bentuk apapun tidak boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan di manapun, termasuk rumah sakit dan sarana kesehatan lainnya. WHO berdasar pada etika dasar kesehatan bahwa mutilasi tubuh yang tidak perlu tidak boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan. FGM membahayakan dan tidak berguna bagi wanita. Medikasi tidak menghilangkan bahaya yang ditimbulkan. Medikalisasi sunat perempuan juga cenderung akan mempertahankan tradisi ini. Masyarakat akan lebih yakin dengan anggapan adanya dukungan dan legalitas oleh provider kesehatan. Karena medikalisasi melibatkan tenaga kesehatan dalam pelaksanaan sunat perempuan. Hal ini mungkin dimaksudkan untuk risiko kesehatan dibandingkan jika dikerjakan oleh dukun bayi atau tukang sunat tanpa pengetahuan kesehatan yang kuat. Tetapi, hal ini pun ternyata dianggap menjadi berbahaya dan bertentangan dengan etika dasar kesehatan. Masih menurut WHO, sunat perempuan juga termasuk bentuk penyiksaan (torture) sehingga dimasukkan dalam salah satu bentuk kekerasan pada wanita, walaupun dilakukan oleh tenaga medis. Berbagai pihak juga menganggap sunat perempuan bertentangan dengan hak asasi manusia terkait dengan tidak adanya inform consent, tekanan patriakal, dan kekerasan pada wanita berkaitan dengan penderitaan serta dampak yang timbul. Dalam perspektif agama Islam, banyak aktifis gender yang juga mengkritisi secara tajam keberadaan sirkumsisi perempuan. Haifaa A Jawad adalah salah satunya. Menurutnya, hadits-hadits yang mendasarkan tentang sirkumsisi perempuan dinilai sebagai hadits yang lemah dalam periwayatannya. Haifa mengutip pernyataan Mahmud Salthut, mantan Syaikh al-Azhar Mesir, bahwa hadits-hadits tersebut tidak jelas dan tidak shahih. (Haifaa Jawad, 2002:188) Lebih lanjut, dalil yang menyatakan bahwa sirkumsisi perempuan adalah ajaran agama dapat disangkal dengan beberapa argumen. Pertama, tidak ada rujukan langsung atau tidak langsung dalam al-Qur’an yang menerangkan sanksi atau ampunan bagi sunnat perempuan. Kedua, Hadits-hadits yang berkenaan dengan sunnat perempuan dinilai tidak shahih, tidak dapat dipercaya dan dhaif. Sehingga praktik sirkumsisi SIRKUMSISI PEREMPUAN (Muhamad Mustaqim) peempuan dalam hal ini tidak mempunyai dasar ajaran Islam sama sekali (Haifaa Jawad, 2002, 190). G. PENUTUP Sirkumsisi merupakan pemotongan sebagaian dari alat kelamin perempuan, yang dalam tradisi di Indonesia dikenal dengan istilah sunnah perempuan. Sirkumsisi perempuan sudah dfilaksanakan di berbagai daerah, bahkan di berbagai macam negara di Dunia. Di Indonesia sendiri, praktik sirkumsisi seakan sudah menjadi tradisi budaya yang mengakar pada masyarakat. Ada beberapa alasan pelaksanaan sirkumsisi perempuan, yaitu: alasan psikoseksual, sosiologi, kesehatan, mitos dan agama. Dalam masyarakat muslim, sirkumsisi perempuan lebih dianggap sebagai bagian dari ajaran agama atau keberagamaan. Dalam hal ini ada dalil yang mendasari pelaksanaan praktik ini. Di kalangan aktifis gender dan feminis, sirkumsisi dianggap sebagai kekerasan dan bias gender. Sehingga praktik ini harus di hilangkan dalam tradisi masyarakat. 275 276 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 SUMBER RUJUKAN El Sadawi, Nawal El Sadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarkhi (terj). (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2001) Haifa A Jawad, Otentisitas Hak-Hak Perempuan: Perspektif Islam atas Kesetaraan Gender. (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002) Mansour Fakih dkk, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam. (Surabaya: Risalah Gusti, 2000) Nunuk Murniati, Getar Gender: Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya dan Keluarga. (Magelang: Indonesiatera, 2004) Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender.(Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2006) Sulistyowati Iriyaanto, Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan Keadilan. (Jakarta: Yayasan Obor, 2006) Swartz, Mark H. Swartz, Buku Ajar Diagnostil Fisik (terj). (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1995) Wong, Donna L Wong, Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, (terj). (Jakarta: Penerbit Buku Kedok teran EGC, 2009) http://id.wikipedia.org/wiki/Sunat http://majalahmisykat.blogspot.com/2010/05/sirkumsisiperempuan-hanya-tradisi.html http://id.wikipedia.org/wiki/Sunat,dibaca pada 2 oktober 2010 http://majalahmisykat.blogspot.com/2010/05/sirkumsisiperempuan-hanya-tradisi.htmlwww.mail-archive. com/[email protected]/ msg00580.html www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode= RISE T KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN DALAM LITERATUR PESANTREN KLASIK (Studi Terhadap Kitab Uqud al-Lujjayn Karya Nawawi al-Banteni) Nur Mahmudah *)) ABSTRACT: This research focuses on an old yellow book which has been very popular in the Indonesian Islamic boarding schools (pesantren). It is Uqud Al-Lujayn fi Huquq al-Zawjayn of Nawawi al-Banteni. As a book which dealts with the right and obligation of a couple in Islam, there are some illustrate women’s sexuality which can be discussed in four forms, namely self identity, sexual action, sexual behavior and sexual orientation. This research get a concluding remark that Nawawi’s view on women’s sexuality depend on his zeitgeist, so we need some attempts to reconstruct Nawawi’s view on women’s sexuality in Pesantren by rereading Islamic text. Keywords: women’s sexuality, Islamic boarding schools, Kitab kuning. A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Nurcholis Madjid (1997) mengidentifikasi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang indigenous lahir dari tradisi keindonesiaan. Sebagai sebuah lembaga, pesantren yang ada sejak ratusan tahun yang lalu dipandang telah memberikan kontribusi yang sangat signifikan dengan menghasilkan banyak alumni yang memiliki peran berharga dalam bidang keilmuan maupun kepemimpinan. Dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan, pesantren menggunakan literatur utama yang ) Penulis adalah dosen tetap jurusan Ushuluddin STAIN Kudus. 278 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 disebut sebagai kitab kuning. Kitab kuning adalah kitab berbahasa Arab yang berisi materi-materi keislaman yang ditulis oleh para sarjana muslim masa lalu dan ditulis dalam lembaran kertas yang biasanya dulu berwarna kuning. Kitab kuning diajarkan dan dikaji secara intens di pesantren sebagai bagian dari kurikulum pembelajaran. Sebagai bagian dari kurikulum, jenis kitab kuning yang diajarkan akan sangat bervariatif sesuai dengan kategori masing-masing pesantren. Pesantren yang mengambil spesialisasi dalam bidang penguasaan al-Qur’an, pesantren yang membentuk kompetensi santri pada penguasaan bahasa dan sastra Arab atau pesantren yang menekuni penguasaan hukum-hukum fiqh masing-masing memberikan pengajaran kitab kuning yang sesuai dengan tujuan pendidikannya (M. Dian Nafi’ et all: 2007; 22 – 23). Kitab-kitab kuning ini pun diajarkan secara berjenjang mulai dari tingkat dasar hingga tingkat lanjut dalam masing-masing materi yang dapat berlangsung dalam berbagai tingkat mulai dari jenjang ula, hingga ‘ulya. Di samping pembagian materi, terdapat pula keragaman metode pembelajaran yang dapat mengambil bentuk dalam sistem bandongan (ceramah umum) maupun sorogan (klasikal-mandiri) atau halaqah (kelompok diskusi). Mustofa Bisri menambahkan kategori bagi kitab kuning di pesantren yaitu kitab jenis muqarrar (referensi wajib) maupun penunjang. (2001: ix). Beberapa kitab kuning yang meskipun berstatus sebagai referensi penunjang dan diajarkan biasanya dalam kegiatan pengajian bulan Ramadhan yaitu: karya Nawawi alBanteni (1316 H.). Bahkan dalam catatan Husein Muhammad (2004: 179), al-Lujain memiliki popularitas yang tinggi dan hampir diajarkan dalam masyarakat pesantren di seluruh Indonesia. Kitab ini membicarakan secara khusus tentang relasi suami-istri dalam Islam yang sekarang dikenal sebagai bagian dari wacana seksualitas dalam masyarakat modern. Seksualitas mencakup seluruh kompleksitas emosi, perasaan, kepribadian, sikap dan bahkan watak sosial, berkaitan dengan perilaku dan orientasi atau preferensi seksual (Munti, 2000). Kajian terhadap kitab ini diharapkan akan dapat memberikan gambaran tentang konstruksi seksualitas perempuan yang tidak hanya memotret persoalan seksual sebagai isu biologis namun juga sebagai bagian yang dikonstruksi secara sosial (socially constructed) melalui pewacanaan dalam literatur pesantren. Literatur pesantren atau kitab kuning dalam batas-batas tertentu dapat dipandang mencerminkan bagaimana seksualitas perempuan dipandang KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _ (Nur Mahmudah) dari sudut pandang pemahaman agama. Sementara pandangan keagamaan ini dipandang sebagai salah satu pranata sosial yang terpenting dalam melahirkan ideologi tentang seksualitas perempuan baik melalui institusi maupun kelompok keagamaan (Saskia et. all: 2007, xx). Membicarakan Islam dan seksualitas perempuan, terdapat impresi bahwa ‘agama’ nampak seakan tidak memberikan hak kepada perempuan sebagai makhluk yang independen, atau setidaknya sama seperti laki-laki. Seksualitas perempuan baik dalam maknanya sebagai identitas diri (self identity), tindakan seks (sex action), perilaku seksual (sexual behavior), maupun orientasi seksual (sexual orientation) sering diposisikan tidak untuk kepentingan perempuan itu sendiri namun hanya ada bagi kepentingan di luar dirinya sehingga berfungsi sebagai komplementer (pelengkap) saja. Bahkan terdapat banyak pandangan yang mengisyaratkan kemestian untuk melakukan kontrol terhadap seksualitas perempuan karena dapat mengancam kepentingan-kepentingan yang lain. (www.rahima.net.id). Salah satu contoh, dalam pemikiran fiqh terdapat perbedaan pandangan tentang hak istri untuk meminta hubungan seks dari suami. Pandangan ini akan sangat berbeda dengan ketentuan tentang pemenuhan secara mutlak dan tanpa syarat oleh istri terhadap hasrat suami (Sunan Turmudzi, no. hadis, 1160, III/465). Bagi penulis, kajian ini menjadi penting karena beberapa alasan. Pertama, tradisi pesantren menempatkan kitab kuning sebagai referensi bagi pandangan hidup dan sikap hidup keberagamaan masyarakat pesantren sehingga konstruksi seksualitas perempuan dalam masyarakat pesantren dapat dipotret melalui sumber yang menjadi basis otoritasnya. Persoalan yang kedua, kajian tentang seksualitas dalam pandangan masyarakat umum dalam batas-batas tertentu kadang masih dianggap tabu dan dianggap tidak layak dibicarakan, padahal persoalan ini telah diwacanakan secara publik dalam kitab kuning ratusan tahun yang lalu. Dalam satu sisi pewacanaan tentang seksualitas dalam wacana kitab kuning dapat dianggap sebuah langkah maju namun sebagaimana kritik yang sering muncul, wacana dalam kitab kuning dipandang sering melakukan subordinasi terhadap perempuan dan menempatkan perempuan sebagai obyek (Masdar F Mas’udi: 279 280 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 1993, 157 – 158). Untuk melakukan kajian kritis terhadap kitab ini, penelitian ini menemukan signifikansinya. Ketiga, kajian ini diharapkan juga dapat melengkapi kajian tentang seksualitas perempuan dari sudut pandang tradisi Islam. Pandangan masyarakat Islam yang dalam hal ini tercermin dalam kitab kuning yaitu Kitab Karya Nawawi al-Banteni yang hingga saaat ini populer dan dibaca di kalangan pesantren. Meminjam istilah Amin Abdullah, historisitas Islam sebagaimana yang tercermin dalam kitab ini perlu diafirmasi dengan Islam normatif. Bagi Husein Muhammad, dalam persoalan seksualitas terdapat jarak antara Islam historis dengan nilai-nilai yang dibangun oleh Islam sendiri. Islam tampak mengapresiasi seksualitas laki-laki dan perempuan ketika Nabi Muhammad SAW menganjurkan agar relasi seksual antara suami dan istri diawali dengan percumbuan dan pembicaraan manis. Hal yang sama dicontohkan Abbas seorang sahabat Nabi yang beryakinan dirinya harus tampil menarik untuk istrinya sebagaimana dia juga menginginkan istrinya tampil menarik baginya. Namun nilai-nilai dasar tentang seksualitas perempuan ini dalam budaya masyarakat muslim selanjutnya tidak sepenuhnya terakomodir dalam pandangan dan literatur kegamaan yang berkembang (www. komnasperempuan.net). Pandangan tentang kontrol terhadap seksualitas perempuan misalnya disebut oleh Faqihuddin Abdul Qadir berasal dari pandangan bahwa ‘figur perempuan sebagai penggoda’. Yang selanjutnya mempersepsikan tubuh perempuan adalah fitnah dan seksualitasnya mengancam [dharar] stabilitas sosial keagamaan umat. Kekhawatiran terhadap fitnah dalam sisi yang lain memicu lahirnya aturan-aturan yang mengekang kebebasan perempuan dan menghargai perempuan hanya sebatas orientasi fitnah dengan makna-maknanya yang erotis dan sensual. Karena itu, kriteria perempuan yang baik [shâlih] bergantung pada bagaimana perempuan dapat mengecilkan potensi fitnah itu di hadapan masyarakat sekaligus di saat yang sama perempuan dituntut untuk bisa menawarkan fantasi fitnah tersebut di hadapan suaminya. (Hadis Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i). Karena identitas perempuan adalah fitnah yang akan menggiurkan orang lain, seksualitas perempuan harus dijinakkan sejak dari di dalam rumah, sebelum kemudian dijinakkan oleh aturan dan norma-norma sosial. (www.rahima.or.id). KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _ (Nur Mahmudah) 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana kehidupan dan pemikiran Nawawi al-Banteni? Bagaimana konstruksi seksualitas perempuan dalam kitab dan relasi gender yang membentuknya? 3. Kerangka Teoritik Untuk menjawab persoalan diatas, penelitian ini menggunakan kerangka teoritik berikut. Terma seksualitas dalam kamus didefinisikan sebagai kualitas menjadi seksual atau melakukan seks. Menurut Weeks (www.wikipedia.org), seksualitas lebih menunjuk pada kata, imajinasi, ritual dan fantasi tentang tubuh; cara manusia berfikir tentang model atau gaya seks serta cara manusia hidup dengannya. Sementara Bruess dan Greenberg (1994) menekankan bahwa seksualitas merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia yang menekankan aspek fisik, sosial, emosi, spiritual, budaya, ekonomi dan etnik yang dialami oleh manusia. Terma seksualitas yang bersinggungan dengan banyak aspek ini pada gilirannya juga menimbulkan cakupan yang sangat luas. Seksualitas meliputi banyak hal seperti perkembangan seksual, penciptaan manusia, perbedaan anatomi seksual lakilaki dan perempuan, hasrat seksual, orientasi seksual, hubungan seksual, masturbasi, aborsi, alat kontrasepsi, perzinahan, khitan hingga jenis pernikahan mut’ah (Alimatul, 2006: 1). Para feminis memaknai seksualitas (Humm: 2002, 432) sebagai proses sosial yang mengorganisasi, mengekspresi serta mengarahkan hasrat. Alimi (2004: 34) menjelaskan bahwa seksualitas -baik dalam bentuk heteroseksualitas, homoseksualitas maupun kombinasi atas keduanya- tidaklah didasarkan atas fungsi alamiah tubuh sehingga merupakan konstruk biologis namun terbentuk secara performatif (performatively produced) dan secara diskursif (discursively constructed). Sejalan dengan pandangan konstruksionisme terhadap seksualitas ini, Foucault memandang seksualitas sebagai konstruksi sosial yang berada dalam wilayah kekuasaan dan tidak hanya sekadar sekumpulan dorongan biologis yang menemukan atau tidak menemukan pelepasannya, jika meminjam bahasa Foucault seksualitas merupakan akibat dari relasi kuasa-pengetahuan-kenikmatan. Terdapat empat unitas strategis dalam rezim relasi pleasure- 281 282 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 power-knowledge yang menentukan diskursus seksualitas berupa psikiatri kesenangan, sosialisasi tingkah laku prokreatif, pedagosisasi seks anak serta histerisasi tubuh perempuan. Di luar empat unitas ini, Alimi (2007: 44) menemukan adanya gagasan Foucault lain berkaitan dengan seksualitas yaitu diseminasi gagasan tentang keharusan manusia untuk hanya memiliki satu identitas gender dan kelamin yang sejati-jelas (true mono-sexed human being). Sementara Munti (2000) menekankan seksualitas sebagai seluruh kompleksitas emosi, perasaan, kepribadian, sikap dan watak sosial, berkaitan dengan empat hal yaitu identitas diri, tindakan, perilaku dan orientasi atau preferensi seksual. 1. Identitas diri Perempuan dijejali sejumlah harapan yang terkonstruksi secara sosial berkaitan dengan konsep diri. Sebagai misal, citra tubuh (body image) perempuan sebagai pribadi yang memiliki penampilan dan bentuk tubuh tertentu dipengaruhi oleh sejumlah harapan budaya yang dibebankan pada perempuan melalui pengetahuan individu dalam keluarga dan masyarakat (Melliana: 2006, 82- 93). Image perempuan terhadap citra tubuhnya sendiri pada gilirannya berpengaruh pada seksualitas perempuan. Sementara pada sisi lain, perempuan dinyatakan sebagai tubuh yang secara menyeluruh penuh seksualitas. Foucault (2000) misalnya mengintrodusir apa yang disebutnya sebagai histerisasi tubuh perempuan. Tubuh perempuan telah dikaitkan dengan banyak hal seperti masyarakat bahwa tubuh perempuan harus menjamin kesuburan, dikaitkan dengan ruang keluarga karena harus bersifat fungsional maupun dengan kehidupan anak-anak ketika harus dipelihara melalui suatu tanggung jawab biologis moral. Munti (2005: 36) menuturkan bahwa tubuh perempuan selalu dihadap-hadapkan sebagai oposisi biner dengan tubuh laki-laki. Tubuh perempuan dipandang sentral dalam peran reproduksi biologis sementara tubuh laki-laki lebih mengekspresikan kreativitas melalui penciptaan budaya. Perempuan juga mengalami pencitraan yang merugikan dirinya. Misalnya perempuan dianggap makhluk kelas dua karena adanya pencitraan negatif baik oleh sains maupun agama. Alimi (2004: 36) menyebut contoh pernyataan Darwin yang menganggap KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _ (Nur Mahmudah) perempuan kalah cerdas dari laki-laki karena ukuran otaknya yang lebih kecil, atau Immanuel Kant yang memberi pandangan bahwa perempuan lebih susah dididik daripada laki-laki karena laki-laki diciptakan meski pada dasarnya bodoh namun dapat dididik sementara perempuan dikesankan sebagai makhluk bodoh yang tidak dapat dididik. Identitas diri ini pada gilirannya juga mempengaruhi pada seksualitas masing-masing. Seks laki-laki dirumuskan sebagai sesuatu yang secara alamiah bersifat superior karena tidak kenal puas dan henti serta bersifat normal sementara seks perempuan dimitoskan sebagai seks yang pasif, suka berubah-ubah, aneh sehingga seksualitas perempuan hanya menjadi objek hasrat seks laki-laki. Pandangan ini akan menempatkan laki-laki sebagai subyek dan perempuan secara alamiah merupakan pihak yang ditundukkan (obyek) seksual. Identitas diri perempuan yang terbangun sebagai salah satu unsur seksualitas pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh konsep tentang identitas gender yang telah terbentuk dalam masyarakat. Identitas gender adalah upaya identifikasi seseorang atas dirinya sendiri sebagai laki-laki, perempuan, atau bukan laki-laki dan perempuan yang terbentuk secara kultural. Identitas gender yang dilekatkan pada perempuan sebagaimana terlihat dalam paparan sebelumnya menunjukkan dasar patriarkhal yang menjadi bangunannya. Relasi gender yang tidak setara mengakibatkan banyaknya pencitraan dan identifikasi negatif terhadap diri perempuan termasuk berkaitan dengan seksualitasnya. 2. Tindakan Seksual Terdapat beberapa tindakan seksual atau aktivitas seksual yang dilakukan oleh manusia. Sexual intercourse atau persenggamaan merupakan bentuk kontak seksual yang alami dan biasa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Perkembangan atas terma ini pada masa kini menyebabkan adanya pelebaran makna yang terjadi. Pada masa kini, persenggamaan dapat terjadi melalui tiga jenis tindakan yang berbeda : a. persenggamaan melalui alat kelamin perempuan (vaginal intercourse) yang ditandai dengan penetrasi penis ke dalam vagina 283 284 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 b. persenggamaan dengan menggunakan bantuan mulut maupun lidah (oral intercourse) melalui pemberian sensani melalui mulut pada organ-organ seksual baik pada laki-laki maupun perempuan. c. serta persenggamaan melalui anus (anal intercourse) dengan memasukkan penis seorang laki-laki ke anus pasangan perempuannya. Selain jenis tindakan seksual dengan pola intercourse ini, pada manusia ditemukan adanya tindakan seksual yang disebut sebagai outercourse. Tindakan seksual ini dilakukan dengan menggunakan jari atau tangan termasuk saling merangsang dalam melakukan masturbasi. Dengan demikian tindakan seksual tidak dibatasi dengan saling merangsang pada alat kelamin (mutual genital stimulation). Kegiatan seksualitas bagi manusia tidak semata-mata berkaitan dengan persoalan reproduksi namun juga memiliki arti kesenangan (pleasure). Kegiatan seksual, tidak dapat melepaskan dari norma-norma baik sosial, budaya, hukum maupun agama. Persenggamaan melalui kelamin perempuan (coitus) pada umumnya diterima sebagai sesuatu yang lazim dilakukan oleh manusia bahkan dalam beberapa tempat diyakini sebagai satu-satunya bentuk tindakan seksual yang dikehendaki. Beberapa jenis tindakan seksual yang dilarang misalnya seks bagi pasangan yang belum menikah (fornication), seks yang dilakukan oleh orang-orang telah menikah bukan dengan pasangannya (adultery or extramarital sex), komersialisasi seks, hubungan seks antar sesama jenis (homosexualitas), hubungan seks dengan mayat (necrophilia), berhubungan seks dengan keluarga dekat (incest) atau hubungan seks yang dilakukan oleh orang dewasa dengan anak di bawah umur (child sexual abuse), hubungan seksual yang dilakukan oleh manusia dengan bukan manusia (bestiality) termasuk berhubungan seks saat istri menstruasi 3. Perilaku Seksual Perilaku seksual manusia mencakup pencarian pasangan, hubungan antar individu baik secara fisik maupun keintiman emosional serta kontak seksual. Dalam banyak budaya, bahwa kontak seksual hanya dapat dilakukan atau hanya diterima dalam pernikahan meski hubungan seksual setelah pernikahan juga tetap berlangsung. Seks yang tidak aman dapat mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan atau penularan penyakit KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _ (Nur Mahmudah) seksual. Pengaturan terhadap perilaku seksual manusia, pada beberapa tempat, pelecehan seksual yang dilakukan oleh seseorang dilarang dan mendapatkan hukuman oleh peraturan/ undang-undang serta merupakan pelanggaran terhadap normanorma sosial. Berkaitan dengan perilaku seksual (www.wikipedia.com) setidaknya terdapat tiga jenis perilaku seksual : a. Heteroseksual adalah sebuah hubungan seksual yang melibatkan dua orang yang berbeda jenis kelamin. Praktek tentang heteroseksual merupakan sesuatu yang diatur oleh undang-undang dalam banyak tempat. Hukum biasanya mengatur ketentuan tentang pelecehan seksual bagi anak di bawah umur serta seks di ruang publik yang berorientasi uang atau prostitusi atau juga mengatur tentang pornografi. Kegiatan seksual yang dilakukan oleh pasangan berbeda jenis kelamin dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu monogamous yaitu hubungan seksual dengan satu pasangan yang tetap, serially monogamous atau polyamorous, abstinent atau autoerotic. Perkembangan moral dan politik sangat mempengaruhi tindakan seksual antar jenis kelamin termasuk kencan dan perkawinan meski dalam pengalaman beberapa negara perubahan ini berlaku secara lambat. b. Homoseksual Jika heteroseksual dilakukan oleh pasangan dengan jenis kelamin yang berbeda, maka dalam homoseksual adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh dua orang berjenis kelamin yang sama. Hubungan antar pasangan yang berjenis kelamin yang sama disebut sebagai homoseksual sementara hubungan antara sesama perempuan disebut lesbian (Alimi: 2004, xiv) . Seorang heteroseksual tidak tertutup kemungkinan dapat juga menjalani homoseksual misalnya dengan melakukan saling merangsang agar masturbasi (mutual masturbation). Pada seseorang homoseks yang berpura-pura memiliki identitas sebagai heterosek sering disebut sebagai hidup di closet karena menyembunyikan kehidupannya secara rapi di tempat yang tertutup dan tidak diketahui banyak orang. Tingkatan dari aktivitas homoseks sangat dipengaruhi oleh intensitas/frekuensi, keinginan dan kepentingan termasuk yang hanya melakukan dalam lingkungan yang terbatas disebut sebagai homoseksual situasional. 285 286 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 c. Seksualitas Auto-Erotik Jika dalam heteroseksual dan homoseksual melibatkan adanya pihak lain atau pasangan dalam melakukan hubungan seksual, dalam tipe ini seseorang melakukan aktivitas seksual tanpa melibatkan pasangan seperti masturbasi. Dari sisi keamanan melakukan auto-erotik seksual, meski dilaporkan relatif aman secara fisik, namun juga ditemukan adanya beberapa yang membahayakan yang dapat menimbulkan lukaluka atau bahkan kematian Jika seksualitas berjenis auto-erotik dapat mengakibatkan luka-luka atau bahkan kematian bagi sang pelaku, dalam seksualitas yang melibatkan pasangan baik heteroseksual maupun homoseksual, perilaku seksual dapat menyebabkan penyiksaan bagi salah satu pasangan terutama yang dianggap sebagai obyek. Perilaku seksual dapat menimbulkan penyiksaan seksual seperti pemerkosaan, pembunuhan, pelecehan seksual pada anak baik yang bersifat koersif maupun abusif. Terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan seksualitas. Setidaknya terdapat dua istilah lain yang sering disalahpahami dan menjadi bertukar pengertian dengan terma seksualitas. a. Seks Seks merupakan upaya identifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi tubuh. Istilah seks (dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai jenis kelamin) dengan demikian lebih merujuk pada aspek biologis seseorang. Aspek biologis ini dapat meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi serta karakteristik biologis yang lain. Secara singkat dapat dikatakan bahwa seks berkepentingan dengan persoalan maleness (tubuh laki-laki) dan femaleness (tubuh perempuan) (Nasarudin: 1998, 99). b. Gender Berbeda dengan seks yang lebih menunjuk pada persoalan biologis dari laki-laki maupun perempuan, gender merupakan istilah yang menunjuk tentang perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dalam aspek nilai dan tingkah laku. Women’s Studies Encyclopedia (153) mendefinisikan gender secara rinci sebagai sebuah konsep KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _ (Nur Mahmudah) kultural yang berupaya untuk membuat pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal peran, perilaku, mentalitas serta karakteristik emosional yang berkembang dalam masyarakat. Memahami bahwa gender adalah sebuah konstruksi sosial maka pemahaman tentang gender dapat berbeda-beda pada tiap masyarakat dalam waktu, ruang dan waktu yang berlainan. B. Metode Penelitian 1. Desain Penelitian Penelitian tentang konstruksi seksualitas perempuan yang akan dilakukan ini menggunakan rancangan analisis isi (content analysis). Analisis isi digunakan dengan mempertimbangkan pada: (1) sumber data dalam penelitian ini berupa dokumen, (2) masalah yang dianalisis adalah isi komunikasi, dan (2) tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan isi komunikasi dan membuat inferensi. Penelitian ini dikatagorikan sebagai penelitian kualitatif, karena memuat sebagian karakteristik penelitian kualitatif— menurut Bogdan (dalam Ainin, 2002:14)—di antaranya: (1) peneliti sebagai instrumen kunci dalam mengumpulkan dan menginterpretasi data, dan (2) makna merupakan hal yang esensial. Data yang akan diolah dan dianalisis dalam penelitian ini berupa kata-kata, kalimat-kalimat. Adapun metode komparasi digunakan dalam proses pengolahan data dan analisisnya, yaitu membandingkan konstruksi seksualitas perempuan dalam literatur pesantren dengan konsep umum tentang seksualitas perempuan. 2. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini berupa dokumen yaitu teks dalam kitab Uqud al-Lujjayn sebagai sumber, dan literatur tentang konsepsi seksualitas perempuan baik secara umum maupun dalam perbincangan Islam sebagai data pembanding. Data utama yang akan diteliti kitab yaitu Uqud al-Lujjayn yang berjumlah 1 vol. 287 288 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 3. Prosedur Analisis Data Berpijak dari tujuan penelitian ini, maka analisis data dilakukan secara kualitatif. Adapun model analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis isi yang dikemukakan oleh Krippendorff (1980:54) berikut: Berpijak dari model analisis di atas, langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti dalam analisis data adalah sebagai berikut: a. Membaca Kitab Uqud al-Lujjayn secara cermat dalam seluruh pembahasan hingga akhir. b. Mengidentifikasi data yang akan dianalisis. Setelah data dipilah-pilah, peneliti akan menentukan beberapa topik dalam kitab yang dipandang mencerminkan pandangan tentang seksualitas perempuan yang akan dianalisis. c. Menentukan unit (unitisasi), meliputi penetapan unit-unit, memisahkan data menurut batas-batasnya, dan mengidentifikasi untuk analisis berikutnya. d. Membuat catatan (recording) terhadap data yang telah ditetapkan untuk dianalisis berdasarkan acuan yang tertera dalam dokumen. e. Mereduksi data, dalam hal ini peneliti memilih dan memilah data yang relevan untuk dianalisis dan data yang tidak relevan. Proses ini juga bisa dilaksanakan pada tahap kedua. f. Melakukan analisis. Kegiatan yang dilakukan dalam analisis data adalah sebagai berikut: 1) Mencari rasionalisasi tentang konstruksi seksualitas perempuan dalam kitab dengan mengacu pada konsep seksualitas perempuan KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _ (Nur Mahmudah) 2) Mengkomparasikan konstruksi seksualitas perempuan dalam kitab dengan argumentasi dalil yang digunakan, konsep seksualitas perempuan secara umum dan konsep seksualitas perempuan dalam Islam untuk mencari relasi gender yang mendasarinya. g. Melakukan validasi, yakni apabila langkah pada butir 1 – 6 masih belum atau kurang memadai, maka peneliti melakukan kaji ulang sampai ditemukan suatu pemaknaan yang benar. 4. Pengecekan Keabsahan Temuan Untuk memperoleh hasil analisis atau temuan yang sahih, maka sejak proses pengumpulan data sampai pada tahap analisis data digunakan teknik pensahih data yang dikutip dari Lincoln dan Guba (1985) sebagai berikut: a) Observasi terus menerus terhadap sumber data. b) Mengkaji secara teliti, ajeg, cermat, komprehensif terhadap sumber data lainnya yang relevan c) Mendiskusikan dengan teman sejawat atau pihak lain yang dipandang ahli (expert) C. Hasil Penelitian 1. Islam dan Seksualitas Perempuan Seksualitas yang merupakan bagian dari sejarah ummat manusia memiliki keterkaitan dengan agama. Syafiq (2002: 201) menengarai ada dua bentuk hubungan korelatif antara seks dan agama yang memiliki dua sisi. Pertama, seksualitas sebagai hal yang harus dijauhi karena berkaitan dengan mitos kejatuhan manusia dari Surga. Kedua, seksualitas dipandang sebagai sesuatu yang biasa bahkan penting dalam kehidupan karena seksualitaslah yang membentuk sejarah manusia. Islam mengambil pandangan yang kedua dan memberikan pengaturan dalam kerangka sosial, etika dan spiritual). Kehidupan seksual dengan demikian dibicarakan daalm literatur keislaman bahkan hingga menguraikan persoalan tentang aktivitas seksual (sexual act) sebagaimana yang banyak ditemukan secara gamblang dalam fiqh (pengaturan hukum Islam). Inti seksualitas dalam Islam adalah paradigma tentang seks halal. Seks yang dibentuk 289 290 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 dalam lembaga perkawinan dan dipandang sebagai bagian dari ritualitas (ibadah). Qibtiyyah (2006: 72) menyebut beberapa prinsip fundamental tentang seksualitas dalam: a. Seksualitas adalah sesuatu yang sehat dan alami dalam kehidupan b. Seksualitas dalam Islam berkaitan dengan ibadah ritual c. Seksualitas terkait dengan kehidupan keluarga d. Hubungan dan kepuasan seksual harus dirasakan secara adil antara suami dan istri. Sehubungan dengan seksualitas perempuan, Mernissi (1999 : 89) menyebut tentang paradigma dasar dalam seksualitas Islam sebagai aturan yang berorientasi pada kehidupan yang lebih berkeadilan. Dengan demikian, seluruh praktik tentang seksualitas perempuan yang diakomodir oleh wacana keagamaan harus dimaknai dengan semangat ini agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami konsep seksualitas dalam Islam. Seksualitas perempuan yang diopinikan oleh masyarakat muslim harus bersifat pasif, pada dasarnya merupakan bukan bagian dari nalar keagamaan. Konstruksi seksualitas perempuan yang pasif ini menurut Syafiq ( 2002: 207) tidak mendapatkan legitimasi dalam pengalaman Nabi, sebagai contoh Khadijah yang melamar Nabi untuk menjadi suaminya merupakan representasi seksualitas perempuan aktif yang kadang dipandang rendah oleh sebagian kalangan. Syafiq juga mencatat sejumlah implikasi negatif yang muncul dari pencitraan seksualitas pasif perempuan dalam kehidupan sosial perempuan baik di ranah domestik (keluarga) maupun publik (masyarakat) seperti domestifikasi perempuan yang mengakibatkan kerugian akses perempuan atas aktivitas secara sosial dan pendidikan 2. Sketsa Biografis Pengarang Uqud Al-Lujjayn Nama lengkap Nawawi ialah Abu Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin Arabi al-Jawi al-Bantani alTanary al-Syafi’i al-Qadiri. Lahir di desa Tanara, Serang, Banten, pada tahun 1230 H/ 1813 M. Lahir dari pasangan K.H. Umar ibn Arabi dan Zubaidah. Ayahnya merupakan seorang tokoh agama yang sangat disegani dan tercatat sebagai keturunan ke12 dari Maulana Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten II) yang bernama Sunyararas (Taj al-Arash) yang silsilahnya KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _ (Nur Mahmudah) dilaporkan bersambung dengan garis keturunan Imam Husayn ibn Fathimah al-Zahra’. Menurut Mustamin (2006: 617) nama Nawawi merupakan bagian dari cita-cita dan motivasi (tafa’ul) yang dilakukan oleh ayahnya atas seorang skolar muslim yang produktif dalam madzhab fiqh Syafi’iyyah yaitu Syarafuddin ibn Yahya ibn Syaraf al-Nawawi. Nawawi merupakan penganut madzhab fiqh Syafi’i serta menjadi pengikut tarekat Qadiriyyah bahkan populer sebagai pemimpin spiritual tarekat ini. Sejak kecil Nawawi dikenal sebagai sosok yang memiliki bakat intelektual yang tinggi. Bersama saudara kandungnya -Tamim dan Ahmad- sejak masa kanak-kanak, Nawawi menerima pengajaran beberapa ilmu Islam tingkat dasar dari ayahnya sendiri dalam bidang Fiqh dan Tafsir. Proses pendidikan lebih intensif diperolehnya dari Kyai Sahal di Banten yang kemudian dilanjutkan pada Kyai Yusuf di Purwakarta, seorang kyai bidang tasauf yang telah lama belajar di Mekkah. Pada usia 15 tahun Nawawi melaksanakan haji dan tinggal selama tiga tahun di sana untuk belajar ilmu hadits, tafsir, ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab. Nawawi berguru kepada ulama’-ulama’ besar yang berasal dari semenanjung Indonesia yang bermukim di Mekkah masa itu seperti Syekh Ahmad Khatib Sambas, Syekh Abdul Ghani Bima dan Syekh Nahrawi. Kegiatan intelektual ini mengantarkan Nawawi telah memiliki cukup bekal untuk kembali ke Banten dan mengembangkan pesantren ayahnya pada tahun 1833. Kedatangan Nawawi yang baru saja kembali dari Mekkah menarik minat banyak santri sehingga jumlah santri semakin bertambah meskipun akhirnya Nawawi kembali lagi ke Mekkah. Menurut Mustamin (2006: 621) terdapat beberapa pandangan dari para penulis tentang alasan di balik kembalinya Nawawi ke Mekkah, baik yang beraroma politis berkaitan dengan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia maupun alasan keilmuan. Pada fase kedua kedatangannya di Mekkah, Nawawi tercatat belajar pada Syaikh Zaini Dahlan (fiqh dan ushul fiqh), Syekh Ahmad Dimyathi (tasawuf dan qira’ah), juga berguru pada Syekh Muhammad Khatib al-Hanbali (hadits) di Madinah dan belajar kepada Syekh Akhmad al-Mirshafi di Mesir. Pengakuan dan pengukuhan secara akademis juga diterima oleh Nawawi ketika diundang untuk memberikan ceramah di hadapan ulama’ Azhar dan diberikan gelar ilmiah sebagai (Al-Zirikly, XI: 34) 291 292 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 Nawawi tercatat sebagai sarjana muslim kelahiran Indonesia yang prolifik. Dalam catatan Bruinessen (1995: 38), Nawawi memiliki tempat terdepan dalam deretan pengarang Indonesia. Ia dipuji tidak hanya berkaitan dengan produktivitasnya dalam menulis buku, namun juga dianggap menjembatani peralihan antara dua periode dalam tradisi pesantren di Indonesia. Karya Nawawi dapat dipetakan dalam dua bagian. Bagian pertama adalah karya-karya yang mengintrodusir dan menafsirkan kembali berbagai karya intelektual scholar Islam melalui penyempurnaan dan pendalaman, serta perluasan pemahaman atas karya-karya yang sudah ada sebelumnya melalui tradisi penulisan dan yang telah mapan dilakukan oleh scholar muslim pada masanya. Kebanyakan karyanya berbentuk syarah (komentar) atas teks-teks terkenal dan memberikan penjelasan yang lebih mudah dipahami. Nawawi misalnya menulis Kitab dalam fiqh yang bermadzhab Syafi’i yang merupakan syarah atas kitab atau dalam bentuk sebagaimana karya Nawawi dalam bidang akidah yang berjudul yang merupakan sebuah atas kitab karangan Ibrahim Bajuri (w. 1277H). Kitab Tahqiq sendiri merupakan syarah atas kitab yang ditulis Muhammad ibn M. Al-Fadhdhali (w. 1236 H) Sementara pada tipikal karya berikutnya, Nawawi juga melakukan pengayaan dengan menulis karya-karya baru dengan memanfaatkan sumber-sumber yang belum dikenal luas di Indonesia pada masanya. Tulisan Nawawi hampir mencakup seluruh aspek ilmu keislaman meliputi karya-karya singkat tentang pedomanpedoman ibadah, aqidah, sejarah, tasawuf, tafsir, hadith, tata bahasa Arab dan fiqh. Salah satu karangan Nawawi dalam bidang fiqh adalah kitab yang menjadi fokus bahasan tulisan ini. Pemikiran al-Nawawi sangat mewarnai pemikiran Islam di Indonesia. Berbagai karya penting dalam bidang fiqh dan tasawuf mewarnai pemikiran dunia pendidikan Islam di Indonesia pada abad pertengahan hingga penghujung abad ke-20 (Mustamin: 2006, 623). Bahkan dalam geneologi jaringan ulama’ di Indonesia, Nawawi dapat dipandang sebagai nenek moyang intelektual melalui alur akademik yang dilakukan oleh murid Nawawi dari Indonesia seperti Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1915), Kyai Mahfudz (1918) dan Kyai Khalil KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _ (Nur Mahmudah) dari Bangkalan Madura (1923). Kyai Hashim Ashari (1871 -1947) dari Tebuireng Jombang, K. Ash’ari yang sekaligus menantunya dari Bawean, K. H. Najihun yang menjadi cucu menantu, KH Tubagus Muhammad Asnawi dari Labuan Pandeglang, KH Ilyas dari Banten, KH Abdul Ghaffar dari Serang Banten dan KH Tubagus Bakri dari Purwakarta. Kegiatan intelektual dilakukan oleh Nawawi hingga wafat di Mekkah. Dalam banyak sumber disebut bahwa Nawawi wafat di Mekkah dan dimakamkan di pemakaman umum di Ma’la pada 1314 H/ 1897 M, sementara dalam al-A’la>m dan Mu’jam Mu’allifi>n disebutkan adanya informasi Nawawi wafat pada 1316 H/1898 M. Informasi yang paling dapat diandalkan menyebutkan bahwa Nawawi wafat pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M dengan meninggalkan banyak siswa termasuk juga dilaporkan masih ditemukan buku yang sedang dianotasi (diberikan syarah) yang belum terselesaikan. 3. Sistematika dan Sumber Kitab . Sistematika Penulisan Kitab . Kitab ini cukup ringkas karena hanya berisi sekitar 22 halaman termasuk mukaddimah ( ) yang terdiri dari empat sub bab pembahasan (empat fasal). Karena cukup ringkas maka pengarangnya menyebutnya sebagai . Pada awal kitab, Nawawi menjelaskan bahwa kitab ini disusun berdasarkan permintaan dari beberapa orang agar ia membuat (komentar) atas kitab terdahulu yang memuat persoalan tentang relasi suami-istri. Membuat ulasan atas beberapa karya yang telah muncul sebelumnya merupakan salah satu karakter tulisan Nawawi di samping beberapa karyanya yang orisinil. Nawawi tidak menjelaskan kitab karangan siapa sajakah yang ingin dia komentari, kecuali hanya menyebut pengarangnya sebagai sebagian scholar muslim yang memberikan pengajaran ( ). Tidak terdapat informasi tentang waktu yang diperlukan Nawawi dalam menulis kitab ini, kecuali di penutup kitab terdapat informasi bahwa kitab ini terselesaikan saat matahari sepenggalahan naik ( ) pada hari Ahad tanggal 27 Muharram 1294 H atau sekitar tahun 1880 M. Berdasarkan catatan biografis Nawawi, penulisan kitab ini dilakukan oleh Nawawi pada pertengahan fase produktifnya dalam menulis yang telah dimulai pada tahun 1870 di Mekkah. 293 294 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 Kitab Sharh (fasal) pembahasan. ini terdiri dari empat pokok a. Pasal satu berisi tentang kewajiban suami terhadap istri. Kewajiban yang dimaksud meliputi mempergauli yang baik ( ), memberi nafkah (mu’nah), mas kawin (mahar), serta pengajaran tentang persolan ibadah yang wajib maupun yang sunnah termasuk persolan haidh serta kewajiban perempuan untuk taat terhadap suami selama tidak dalam persoalan maksiyat. b. Pasal dua berisi tentang kewajiban istri terhadap suami yaitu ketaatan terhadap suami selama bukan dalam persoalan maksiyat, mempergauli dengan baik, menyerahkan tubuhnya pada suami, tinggal di rumah, menjaga diri dari berselingkuh, mengambil tabir agar tidak dilihat laki-laki bukan mahram walau wajah maupun telapak tangan, tidak menuntut sesuatu yang di luar kemampuan suami, mendampingi suami agar tidak memanfaatkan harta yang haram serta jujur dalam persolan menstruasi. c. Pasal ketiga berisi tentang keutamaan perempuan untuk melakukan shalat di rumahnya. d. Pasal keempat berisi tentang keharaman seorang laki-laki memandang perempuan yang bukan mahram dan sebaliknya. Sebagai sebuah syarah (ulasan), Nawawi berupaya memberikan berbagai penjelasan terhadap karya yang sedang ia anotasi ini. Dalam beberapa tempat, Nawawi tidak hanya melakukan eksplanasi secara kebahasaan yang kadang dilakukannya dengan penjelasan atas posisi gramatikal dalam sebuah teks, makna kosa kata tertentu hingga melakukan penjelasan pelengkap terhadap konsep-konsep yang ada, namun juga menganggap perlu untuk menyertakan cerita-cerita tertentu dalam ulasannya. Misalnya ketika menjelaskan tentang basmalah, Nawawi merasa perlu untuk menyelipkan cerita-cerita tentang fadhilah dari bacaan basmalah dengan tanpa menyebut sumbernya. Cerita tentang ulama’ yang berhasil sembuh dari penyakitnya yang kronis dengan membiasakan baca basmalah atau seorang perempuan yang memiliki keistimewaan karena membiasakan baca basmalah dapat ditemukan dalam kitab ini. (Nawawi : t.th, 2). Beberapa kitab yang digunakan Nawawi KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _ (Nur Mahmudah) sebagai sumber dalam penulisan kitab ini di antaranya: Kitab ‘Umdat al-Rabih karangan al-Rafi’i, karya al-Ghazaly, karya Abu al-Laith al-Samarqandi, , Abdullah al-Wasithi, al-Asmu’y, karangan Ahmad Ibn Muhammad ibn Aly ibn Hajr dan sejumlah kitab hadith seperti Sunan alTirmidzi, Sunan Ibn Majah, Mu’jam al-Tabrani, Mustadrak karya Imam al-Hakim, Musnad Ahmad ibn Hanbal dan beberapa kitab hadith lain. 4. Konstruksi Seksualitas Perempuan dalam Kitab Uqud al-Lujjayn a. Identitas diri Penelusuran terhadap pandangan tentang identitas diri perempuan harus dilakukan oleh penulis dengan melakukan pembacaan secara seksama terhadap berbagai pokok pikiran yang tersebar dalam beberapa fasal dalam kitab ini. Sepanjang penelusuran penulis, beberapa hal yang dapat dinyatakan sebagai pengungkapan identitas diri perempuan dalam kitab ini adalah sebagai berikut: b. Tubuh perempuan 1) Konsepsi tentang fitnah dalam tubuh dan diri perempuan Nawawi menekankan keharusan untuk menutup seluruh tubuh perempuan bahkan pada wajah dan telapak tangan. Argumentasi yang disampaikan oleh Nawawi adalah bahwa melihat tubuh perempuan adalah sesuatu yang terlarang dalam agama yaitu berstatus hukum haram. Keharaman memandang perempuan bahkan tetap berlangsung meskipun tidak menimbulkan syahwat maupun fitnah. Konsep tentang fitnah yang ada dalam tubuh perempuanlah yang menyebabkan perempuan harus ditutupi dan menghindari untuk muncul dalam area publik karena akan menggangu pihak lain. Nawawi menyebut beberapa teks yang berasal dari perkataan beberapa Nabi atau ulama berkaitan dengan tubuh perempuan. Untuk mengilustrasikan tentang fitnah yang ada dalam diri perempuan, Nawawi menyitir perkataan Mujahid yang menyatakan bahwa kala perempuan berhadaphadapan dengan seorang laki-laki maka syetan berada di atas kepalanya, sementara jika ia telah pergi maka syetan 295 296 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 berada di pantatnya sehingga bagian tubuh ini menjadi indah dilihat (Nawawi: 16). Jika mengikuti pandangan Mujahid, maka tubuh perempuan lekat dengan godaan syetan dan penyebutannya atas dua anggota tubuh perempuan dapat menimbulkan kebencian terhadap anggota tubuh perempuan tersebut. Nawawi membolehkan memandang wajah perempuan dalam urusan transaksi perdagangan atau dalam mu’amalah termasuk kebolehan untuk melihat wajah dan telapak tangan perempuan bagi pria yang ingin menikahinya. 2) Tubuh istri adalah milik suami Bagi Nawawi,tubuh perempuan bukanlah milik perempuan itu sendiri, sehingga seorang perempuan tidak dapat menikmati kebebasan sepenuhnya untuk melakukan sesuatu atas tubuhnya. Nawawi dengan menyitir pandangan mayoritas ulama menyatakan bahwa perempuan harus menyerahkan tubuhnya pada suami menjelang tidur, memakai wangi-wangian termasuk menjaga bau mulut serta bersolek di hadapan suami serta meninggalkan seluruh hal tersebut saat suami tidak berada di rumah. Kepentingan atas tubuh perempuan dalam pandangan al-Nawawi seperti di atas nampaknya dilakukan atas dasar kepentingan suami. Sementara berkaitan dengan hak seksual perempuan, mendasarkan diri pada sebuah hadith, Nawawi menyatakan bahwa perempuan tidak memiliki kontrol atas hasrat seksualnya sendiri, karena hasrat seksual suamilah yang harus didahulukan, sehingga ketika seorang suami meminta kepada istrinya untuk melakukan hubungan seksual di atas punggung onta, maka istri tidak boleh menolak. Termasuk dalam konteks kepentingan pemenuhan hasrat seksual suami, Nawawi mengungkapkan larangan berpuasa sunnah bagi istri tanpa persetujuan suami. b. Kegiatan publik yang dapat dilakukan oleh perempuan Ketika menjelaskan tentang kewajiban yang harus ditunaikan oleh istri pada suami dalam fasal kedua kitab, Nawawi memberikan penjelasan tentang kewajiban untuk tinggal di rumah ( ). Kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh seorang istri, menurut Nawawi menyebut sebuah hadith yang menjelaskan bahwa tempat terbaik bagi seorang perempuan dalam KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _ (Nur Mahmudah) melaksanakan shalat bukanlah masjid namun dalam kamar di rumahnya. Menurut Nawawi, hal ini diperlukan untuk menutup (li al-sitr) perempuan. Lebih lanjut Nawawi tidak menjelaskan untuk kepentingan siapa perempuan harus ditutupi apakah untuk kepentingan dirinya sendiri yang tidak dapat menjaga seksualitasnya atau kemungkinan adanya pihak lain yang terganggu dengan kehadiran perempuan di ranah publik meskipun dalam rangka melakukan kegiatan keagamaan. Namun secara implisit perempuan perlu ditutupi karena persoalan dianggap memiliki potensi fitnah yang berasal dari diri perempuan itu sendiri. Dalam kasus kegiatan yang meniscayakan munculnya perempuan di ruang publik (darurat), Nawawi mempersyaratkan agar dilakukan pada saat malam serta musti ditemani oleh laki-laki yang memiliki hubungan mahram atau perempuan lain yang dapat dipercaya. Nawawi tidak menjelaskan alasan di balik adanya persyaratan agar perempuan yang sedang bepergian ditemani oleh mah}ram (t.th:18). Ketika menjelaskan pandangannya agar perempuan lebih baik tinggal di rumah, Nawawi menyebut data sejarah bahwa Nabi hanya mengijinkan para perempuan untuk keluar untuk merayakan hari Raya dan menyatakan bahwa perempuan yang dapat memelihara diri ( ) diperbolehkan keluar atas seijin suami, hanya saja Nawawi menegaskan perempuan sebaiknya berada dalam rumah, karena hal tersebut lebih aman baginya. Berkaitan dengan pernyataan Nabi tentang tradisi munculnya perempuan di ruang publik pada masa Nabi yang dibatasi pada hari Raya, nampaknya data ini harus diklarifikasi karena dalam banyak kasus terdapat data sejarah tentang keterlibatan perempuan di ranah publik baik karena suatu kebutuhan maupun adanya penyimpangan (Khalil: 2007) Tidak selamanya Nawawi bersikap ekstra ketat untuk membatasi perempuan muncul dalam area publik, bagi perempuan yang dapat menjaga dirinya ( ) diperkenankan untuk keluar rumah dengan sepengetahuan suami. Hanya saja Nawawi tetap menekankan bahwa berdiam di rumah tetaplah lebih selamat dan lebih aman bagi perempuan ketika ia menyampaikan . (t.t : 18) Di tempat yang lain dengan merujuk pada Ibn Hajar, Nawawi menyebut ketentuan yang harus dipenuhi oleh perempuan ketika keluar rumah di antaranya tanpa berhias, menggunakan pakaian 297 298 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 yang amat jelek serta menjaga pandangan selama perjalanan. Jika ketentuan ini tidak dipenuhi, maka perempuan tadi dikategorikan telah melakukan kemaksiyatan atau pelanggaran terhadap Allah, rasul dan suaminya. Dalam bahasan menjelang penghujung kitab, Nawawi memberikan data banyaknya laki-laki penggoda yang sering mengganggu perempuan di jalan dan melecehkan dengan memberikan isyarat mata atau mencolek (t.t, 19) sehingga larangan keluarnya perempuan di area publik bagi Nawawi memiliki dua alasan yang pertama berkaitan dengan tubuh perempuan yang penuh dengan seksualitas sehingga akan menyebabkan fitnah bagi laki-laki ataupun melindungi perempuan dari gangguan laki-laki usil dan nakal. c. Relasi suami istri dalam perkawinan Penjelasan Nawawi tentang kewajiban antara suami dan istri menekankan beberapa hal berikut : 1) Status perempuan di hadapan suami diserupakan dengan kondisi tawanan karena gerak perempuan menjadi terbatas atau terpenjara ( ). Status perempuan sebagai tawanan suami ini bersumber dari hadith yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dan Ibn Majah. Lafadz memiliki dua pembacaan, yang pertama dibaca in sebagai bentuk plural atas kata ‘aniyah yang bermakna tawanan sementara pembacaan yang kedua adalah ‘awar yang merupakan bentuk plural dari kata yaitu pinjaman karena perempuan disimbolkan sebagai pinjaman Tuhan bagi kaum laki-laki karena mereka telah menikahinya dengan nama Allah (Nawawi: 4). Meski terdapat dua pemaknaan, Nawawi terlihat tidak memberikan pentarjihan atas dua makna tersebut, namun secara implisit melalui berbagai pandangannya tentang perempuan dalam kitab ini, nampaknya Nawawi menguatkan makna yang pertama yaitu perempuan diserupakan sebagai tawanan bagi suaminya. Kesimpulan ini diperoleh karena Nawawi menekankan tentang superioritas suami atas istri melalui konsep , ketaatan ataupun kerelaan yang menjadi dasar bagi relasi laki-laki dan perempuan. 2) Sebagai konsekuensi atas pandangan dasar tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam perkawinan yaitu bahwa perempuan adalah sebagaimana tawanan bagi laki-laki maka Nawawi mengembangkan kepemilikan yang besar KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _ (Nur Mahmudah) pada laki-laki terhadap istrinya sehingga pemberian hak pada laki-laki yang dapat melakukan penghukuman pada istri yang melakukan tindakan tertentu. Misalnya Nawawi memperbolehkan suami melakukan pemukulan pada istri yang tidak mau bersolek untuk menyenangkan hati suami yang menginginkannya, menolak ajakan ke tempat tidur, keluar rumah tanpa izin, membuka wajah pada selain mahram, memperdengarkan suara agar didengar laki-laki bukan mahram atau bahkan sekedar berbicara dengan selain mahram (Nawawi: 5). Nampaknya Nawawi memperluas konteks perintah berwasiyat secara baik pada istri serta konteks yang diperbolehkan untuk melakukan pemukulan. dalam Q. al-Nisa’ (4): 34 diterjemahkan 3) Konsep oleh Nawawi sebagai (seseorang yang memperoleh otoritas dalam melakukan pendidikan). Menurut Nawawi, konsep kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan, telah memberikan otoritas bagi laki-laki untuk melakukan kontrol terhadap perilaku perempuan. Kontrol ini dilakukan dengan memberikan kewenangan untuk mengubah perilaku perempuan ( ) dengan cara-cara tertentu yang dimungkinkan daalm agama. Berdasar konsep ini, dalam kerangka hubungan suami istri, suami mendapat hak untuk menasehati, memberikan hukuman psikologis dan bahkan fisik terhadap istri yang dinilai 4) Konsep tentang fadhl (kelebihan) yang diberikan Allah pada laki-laki atas kaum wanita. Meski tidak menyebut pendapatnya sendiri dan mengambil pandangan Ibn Hajar dalam kitab yang menyebutkan bahwa kelebihan yang dapat dijumpai terdapat dalam dua aspek yaitu secara realitas ( ) maupun dalam ajaran ( ). Dalam realitas, bahwa kemampuan akal dan keimuan yang dimiliki oleh kaum laki-laki sangat jauh di atas kemampuan perempuan, termasuk ketangguhan dan daya juang laki-laki, memiliki otoritas menikah, menceraikan atau melakukan rujuk di samping pemberian mahar serta tanggungan atas nafkah bagi laki-laki terhadap perempuan. 5) Berdasarkan konsep yang diberikan Allah, maka suami memiliki ketaatan tak terbatas atas istri. serta menjadi jaminan bagi balasan surga yang diterima oleh istri. Dalam sebuah hadith panjang yang menjelaskan adanya seorang wakil dari para sahabiyyat untuk mengadukan keresahan kaum perempuan yang tidak mendapat kesempatan untuk berjihad 299 300 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 dan mendapat pahala syahid, Rasulullah bersabda: “Sampaikan kepada perempuan yang engkau temui bahwa ketaatan terhadap suami serta pengakuan akan hakhaknya atas istri menyamai pahala berjihad, (sayang) hanya saja sedikit sekali kamu yang melakukannya.“ Pandangan tentang perempuan yang taat pada suami nampaknya memenuhi sebagian besar pandangan Nawawi. Ketika menjelaskan makna kata qanitat dalam al-Qur’an, Nawawi menggunakan penjelasan semantik yang khas yaitu perempuan yang taat pada suaminya ( ). Ketaatan suami ini pada gilirannya memunculkan kosep tentang keridhaan suami sebagai tiket yang mengantarkan seorang perempuan mendapatkan balasan surga. Terdapat banyak hadith yang disitir Nawawi untuk memperjelas konsep ridha suami, salah satunya adalah : “Suatu ketika datanglah seorang perempuan kepada Nabi dan menceritakan bahwa ia tengah menerima lamaran dari saudara sepupunya sehingga ia menghadap Nabi agar diberitahukan tentang kewajiban seorang istri terhadap suami. Perempuan itu mengahdap Nabi sambil berkata , “ Kalau aku mampu melakukannya, maka akan menikahinya”. Maka Nabi menjawab: “Andai saja engkau menjilati tubuh suamimu yang berlumuran darah dan nanah, maka itu sama sekali belum memenuhi haknya atasmu. Andai saja seorang hamba boleh bersujud pada seorang manusia maka akan aku perintahkan seorang istri untuk bersujud pada suaminya.” Selain memberikan eksplanasi secara deskriptif, salah satu daya tarik kitab adalah adanya beberapa cerita yang ditampilkan oleh Nawawi berkaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan seperti kisah rumah tangga beberapa wali perempuan seperti Rabi’ah al-Adawiyyah dari Basrah dan Rabi’ah bint Ismail dari Syam. Cerita tentang ketaatan dan perlakuan terhadap suami para perempuan yang tenggelam dalam spiritualitas Ilahi ini ternyata tidaklah meninggalkan realitas ketundukan dan berharap kerelaan suami. Rabi’ah alAdwiyyah diceritakan sebagai seorang istri yang menyenangkan suaminya dengan memasakkan sendiri makanan bagi suaminya dan mempersilahkan suaminya untuk mengunjungi istrinya yang lain. Rabi’ah bint Ismail digambarkan sebagai perempuan yang setiap malam telah mempersiapkan diri dengan berhias KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _ (Nur Mahmudah) dan berpakaian indah untuk suaminya. Ketika suaminya menginginkannya, maka Rabi’ah akan memehuni keinginan suaminya namun jika tidak, maka ia menenggelamkan diri dalam bermunajat dengan Tuhan hingga saat subuh, Nawawi menyebut prototipe dua Rabi’ah ini sebagai perempuan yang salihah. Penulis tidak menggugat kesalihahan dua perempuan yang disebut oleh Nawawi. Hanya dalam penggal cerita kesalihahan perempuan-perempuan tersebut terdapat beberapa identitas diri perempuan yang secara implisit disebutkan bergantung pada suami serta menandakan seksualitas pasif dari perempuan, meskipun dalam kasus pengisahan atas wali-wali perempuan ini tidak dapat menjadi ukuran, karena perempuan-perempuan ini meski tidak menghilangkan hasrat seksualitasnya terhadap suami, tentu akan lebih memilih untuk menikmati pengalaman spiritual kenikmatan bersama Allah. a. Tindakan Seksual Tindakan seksual dalam kitab tidak dibahas secara rinci, namum berdasarkan tentang asas dalam tindakan seksual menurut Islam, maka seksualitas perempuan tercermin dalam tindakan seksual yang berujud persenggamaan antar suami istri yang terikat dalam perkawinan. Meski kadang sering muncul dalam penjelasan kitab fiqh dalam bahasan tentang cara melakukan hubungan seksual, coitus dapat dianggap sebagai satu-satunya jenis sexual intercourse yang dapat diterima. Meski tidak memberikan elaborasi lebih jauh, dalam tindakan seksual relasi antara subyek dan obyek dapat diberikan inferensi bahwa laki-laki atau suami merupakan subyek dalam tindakan seksual, sementara perempuan diposisikan sebagai obyek bagi seksualitas lakilaki. Ketentuan untuk berhias, memakai wangi-wangian, serta menyediakan diri untuk melakukan hubungan seksual dengan suami di mana pun sekalipun secara hiperbola disebut di atas punggung onta dan kapan pun menyiratkan seksualitas pasif perempuan yang harus menerima dominasi seksualitas aktif laki-laki (t.th: 8- 9) b. Perilaku Seksual Perilaku seksual yang diterima oleh Islam adalah perilaku seksual yang berada dalam ikatan pernikahan sehingga merupakan sebuah seks yang halal. Berdasarkan penelaahan terhadap berbagai pandangan Nawawi, nampak Nawawi membatasi perilaku seksual hanya dalam institusi 301 302 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 perkawinan. Perilaku seksual di luar perkawinan seperti perzinahan atau komersialisasi hubungan seksual tidak menjadi satu bahasan dalam kitab ini. Namun dalam kaitan dengan hubungan seksual di luar institusi perkawinan, Nawawi menyebut cerita tentang domestifikasi perempuan sebagai salah satu sarana mencegah perzinahan. c. Orientasi atau preferensi Seksual Perempuan Persoalan orientasi seksual perempuan dalam digambarkan sebagai bersifat heteroseksual. Hubungan yang diperkenankan dalam Islam ini juga menjadi dasar bagi seluruh pembahasan dalam kitab ini. Sepanjang penelusuran penulis, persoalan homoseksualitas atau autoerotik tidak menjadi bahasan karena fokus Nawawi nampaknya hanya berkaitan dengan persoalan hak dan kewajiban suami istri dan tidak melakukan eksplorasi yang mendalam dalam persoalan hubungan suami istri serta pemenuhan hasrat seksual secara khusus. Selengkapnya tentang konstruksi seksualitas perempuan dalam pandangan Nawawi dapat dilihat dalam tabel berikut: No Nama Konsep Uqud al-Lujjayn 1. Identitas diri perempuan Tubuh perempuan adalah fitnah karena penuh dengan seksualitas Perempuan yang baik adalah yang taat secara total terhadap suami Tubuh perempuan adalah milik suami Kemunculan perempuan di ruang publik perlu dibatasi Perempuan adalah sejenis tawanan bagi suami 2. Tindakan Seksual Seks halal 3. Perilaku Seksual Sexual intercourse dengan gambaran seksualitas pasif bagi perempuan. 4. Orientasi seksual Heteroseksual KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _ (Nur Mahmudah) PENUTUP Berdasarkan kajian penulis, konstruksi seksualitas perempuan dalam kitab berdasarkan dimensi seksualitas yang dilakukan oleh Munti yang terbagi menjadi identitas diri, tindakan seksual, perilaku seksual, serta orientasi seksual, maka penelitian ini memperoleh potret tentang seksualitas perempuan dalam kitab sebagai berikut: identitas diri perempuan digambarkan oleh al-Nawawi dalam pandangan tentang tubuh perempuan yang mengandung fitnah, tubuh perempuan adalah milik suami, perempuan sebagai tawanan bagi suami, serta otoritas suami atas istri. Sementara dalam tindakan seksual terwujud dalam seks yang halal, perilaku seksual berwujud sexual intercourse serta heteresexual sebagai orientasi seksualnya. Mengulas pemikiran al-Nawawi dalam terlihat bahwa konstruksi pemikiran Nawawi tentang seksualitas perempuan sangat dipengaruhi oleh teks-teks di sekitarnya yang berujud Ayat al-Qur’an, hadith Nabi, pernyataan para ulama’ serta realitas sosial yang dibaca Nawawi dengan pembacaan yang dipengaruhi oleh kultur Timur Tengah di penghujung abad ke-19 M. Sebagai anak kandung zamannya, pembacaan Nawawi terlihat merepresentasikan pandangan patriarchal sehingga perbincangan seksualitas perempuan dalam kitab masih menempatkan perempuan dalam relasi yang tidak berimbang dengan laki-laki.Sebagai sebuah hasil pemikiran yang berlandaskan teks-teks keagamaan, maka pandangan Nawawi dimungkinkan untuk dibaca kembali dan direkonstruksi berdasarkan relasi yang adil antara laki-laki dan perempuan. Pembacaan baru ini penting untuk membangun schema pengetahuan yang membentuk pandangan pesantren tentang seksualitas perempuan yang lebih adil. . 303 304 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 SUMBER RUJUKAN A. BUKU Alimatul Qibtiyah, Paradigma Pendidikan Seksualitas Perspektif Islam: Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2006 Al-Nawawi, Muhammad ibn Umar al-Banteni al-Jawi. Uqud al-Lujjain fi Huquq al-Zawjayn. Tk: tp, tth. Al-Tihami, Maulana. Qurrat al-Uyun fi Nikah al-Shar’y bi Sharh Nazh Ibn Yanun.tk: tp, tth. Anang Harris Himawan, Dzikir Cinta: Eksplorasi Cinta dan Seksualitas dalam Islam. Yogyakarta: Suluh Press dan Lembaga Studi Agama dan Budaya, 2006 Annastasia Melliana. Menjelajah Yogyakarta: LKiS, 2006 Tubuh Perempuan. Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren ______, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LkiS, Rahima dan Ford Foundation, 2002 Irwan Abdullah et. all, Islam dan Konstruksi Seksualitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, PSW IAIN Sunan Kalijaga dan Ford Foundation, 2002 M. Dian Nafi’ et all, Praksis Pembelajaran Pesantren. Yogyakarta: ITD, Yayasan Selasih dan Forum Pesantren, 2007 Moh. Yasir Alimi, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial. Yogyakarta; LkiS, 2005 Mustofa Bisri, “Ini Uqud al-Lujjayn Baru, Ini Baru Uqud al-Lujjayn” dalam tim Forum Kajian Kitab Kuning, Wajah Baru Relasi Suami Istri: Telaah Atas Kitab Uqud Lujjayn. Yogyakarta, LKiS dan FK3, 2001. Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina, 1997 Ratna Batara Munti, Demokrasi Keintiman: Seksualitas di Era Global. Yogyakarta: LkiS, 2005 KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _ (Nur Mahmudah) Saskia E Wieringa et all “Pengantar” dalam Membongkar Seksualitas Perempuan Yang Terbungkam. Yogyakarta: LKiS, 2007 Siti Musdah Mulia dkk, Meretas Jalan Kehidupan Awal Manusia. Jakarta: LKAJ dan Ford Foundation, 2003 Syafiq Hasyim, “Seksualitas dalam Islam” dalam (ed.) Amiruddin Arani dan Faqihuddin Abdur Qodir, Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan. Yogyakarta: LKiS, 2002 Tim Forum Kajian Kitab Kuning, Wajah Baru Relasi Suami Istri: Telaah Atas Kitab Uqud Lujjayn. Yogyakarta: LKiS dan FK3, 2001 B. WEB SITE www.rahima.or.id www.icrp-online.org www.wikipedia.org www.komnasperempuan.net 305 RISE T POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN: Studi Kasus pada Pemilu Tahun 2009 Siti Malaiha Dewi*) ABSTRACT: The thing which always appear and accompany the democratic party of this nation is the existence of money politics. Despite the various monitoring organizations shared, supervisory agency deployed, and the rules regarding the prohibition of money politics has been made, but in fact money politics still exist and could not be eliminated. This paper tries to reveal the of women’s views about the existence of money politics and factors - factors that influence their political views personal narratively. Based on data obtained from female informants above, then the women’s attitudes and purports toward money politics can be divided into three groups. First, rejecting money politics; second, accepting money politics and making money as a determinant factor of political choice; third, accepting money politics but not affecting their political choices. Keywords: money politics, women. A. Pendahuluan Walaupun dengan nuansa dan tekanan yang berbeda namun pada dasarnya manusia pada saat ini telah banyak yang menyepakati bahwa bentuk pemerintahan atau masyarakat yang demokratis adalah bentuk yang paling ideal jika dibandingkan dengan bentuk-bentuk pemerintahan lainnya, seperti kerajaan, oligarki, otoritarian atau totalitarian. Dengan kata lain, kita bisa mengatakan bahwa demokrasi adalah ’the best of the worse’ dari bentuk-bentuk pemerintahan dan masyarakat lain yang pernah ada atau masih ada di dunia ini (Imam subono: 2003,1). ) Penulis adalah Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN (Siti Malaiha Dewi) Afan Gaffar (2005, viii) menyebutkan dua alasan memilih demokrasi, Pertama, demokrasi memberi penghargaan yang setinggi-tingginya kepada rakyat; kedua, demokrasi memberi peluang kepada mereka untuk ambil peran dalam diskursus pembuatan kebijakan publik. Senada dengan Afan Gaffar, Mahfud MD sebagaimana dikutip oleh Tim ICCE UIN (2003, 108) mengatakan bahwa alasan dipilihnya demokrasi oleh sebuah negara karena demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara. Secara etimologi “demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demoscratein atau demos-cratos adalah keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya berada di tangan rakyat, baik laki-laki maupun perempuan (Saiful Arif, 2006, 1). Sistem pemerintahan berada di tangan rakyat mengandung pengertian tiga hal : pertama, pemerintah dari rakyat (government of the people); kedua, pemerintahan oleh rakyat (government by people); ketiga, pemerintahan untuk rakyat (government for people) (ICCE UIN: 2003, 112). Dalam ucapan Abraham Lincoln (dikutip oleh Arthur Konze www.mamboportal.com, tanggal 18 Agustus 2009), demokrasi juga bisa dimaknai sebagai bentuk masyarakat yang menghargai-hak-hak asasi manusia secara sama, menghargai kebebasan dan mendukung toleransi, khususnya terhadap pandangan-pandangan kelompok minoritas. Masih menurut Abraham, demokrasi juga bisa dipilah menjadi dua model : yang pertama, demokrasi langsung (direct democracy). Suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusankeputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Kedua, demokrasi tidak langsung (indirect democracy atau representative democracy). Suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan oleh sedikit orang yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Dalam kondisi normal atau wajar biasanya pemilu dilakukan secara berkala (rutin). Misalnya, di Indonesia, 307 308 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 pemilu dilakukan dalam jangka waktu lima tahun sekali. Saat ini Indonesia telah melaksanakan pemilu sebanyak sembilan kali, pemilu pertama kali diselenggarakan pada Tahun 1955, Tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan yang baru saja terlaksana yaitu pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden serta wakil presiden pada Tahun 2009. Masing-masing pemilu yang telah dilaksanakan memiliki cerita dan catatan sejarahnya sendiri. Pemilu Tahun 2004, misalnya. Pemilu ini disebut – sebut paling demokratis dalam sejarah Bangsa Indonesia karena rakyat dapat memilih langsung wakilwakilnya yang akan duduk di parlemen beserta presiden dan wakil presiden. Tidak jauh berbeda dengan pemilu sebelumnya, pemilu Tahun 2009 dikatakan sebagai pemilu yang sangat demokratis sekaligus membingungkan, karena jumlah calon legislatif (caleg) nya banyak sekali, dan ada perubahan cara menggunakan hak pilih yaitu dari mencoblos menjadi mencontreng. Cara baru ini sangat membingungkan khususnya bagi pemilih yang buta huruf, karena harus menggunakan bolpoint dan dalam kertas suara tidak dicantumkan photo tetapi hanya nama-nama caleg. Terlepas dari persoalan di atas, hal yang selalu muncul dan menyertai hajatan besar bangsa ini adalah adanya money politics atau politik uang. Politik uang memang ibarat jaelangkung, datang tak diundang dan pergi tak pamitan, alias tak kelihatan dan sulit dilacak (Rustam Aji, Radar Kudus, 20 April 2009) meski berbagai lembaga pemantau disebar dan pengawas diterjunkan hingga di tingkat desa agar demokrasi berjalan bersih, namun kenyataanya mereka tak mampu membuktikan adanya kecurangan lewat money politics. Parahnya lagi, masyarakat yang tadinya hanya menjadi penonton, justru banyak yang menawarkan suaranya untuk dibeli. Bahkan ada juga yang berani mengajukan diri menjadi perantara untuk menjual suara orang lain dalam jumlah besar dengan imbalan yang besar pula. Fenomena seperti di atas menunjukkan kepada kita bahwa pada sebagian masyarakat menjadikan ’uang’ sebagai stimulan datang atau tidaknya ke TPS pada tanggal 9 April yang lalu, dan ’uang’ menjadi penentu dipilih atau tidaknya calon legislatif (caleg). Fakta ini diperkuat dengan frustasi yang dialami oleh sejumlah anggota DPR yang juga menjadi caleg dalam pemilu 2009 yang gagal ke kursi dewan karena pada hari - H tidak POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN (Siti Malaiha Dewi) memberikan ’kepyuran’. Padahal selama lima tahun menjadi anggota dewan, selalu melakukan pembinaan, tiap masa reses datang, mendengar dan menyelesaikan keluhan masyarakat (Djoko Susilo, Jawa Pos, 13 April 2009). Berdasarkan latar belakang di atas, maka menarik untuk dilihat bagaimana politik uang dimaknai dan disikapi, khususnya oleh perempuan, serta Faktor – faktor apa saja yang melatarbelakangi sikap perempuan terhadap politik uang pada pemilu tahun 2009? Kenapa perempuan? pertama, selama ini perempuan jarang dijadikan sumber pengetahuan, kedua, perempuan yang notabene adalah pemilih terbesar, selama ini dijauhkan dari politik formal. Maka dengan tulisan ini, penulis mencoba untuk menuliskan secara naratif personal pandangan politik mereka, meski hal tersebut bukanlah pekerjaan mudah, menterjemahkan bahasa mereka saja sudah menjadi kesulitan yang luar biasa, apalagi sampai bisa mengungkapkan pandangan-pandangan politik mereka. A.1. Politik Uang Definisi tentang politik uang memang sangat kabur. Masing-masing pihak mendefinisikan politik uang menurut versi mereka sendiri-sendiri. Sebagai contoh adalah definisi politik uang, dalam pandangan parpol, yakni suatu cara yang dengan sangat pragmatis mempengaruhi seseorang dengan uang, sehingga orang tersebut memilih caleg atau partai tertentu pada pemilu; Atau, memberikan uang pada seseorang disertai janjijanji agar mendukung caleg atau parpol tertentu. Jadi, jika seorang peserta kampanye memberikan bantuan ke rumah ibadah pada masa kampanye, tidak bisa dikategorikan sebagai politik uang, kalau peserta kampanye itu memang senang membantu rumah ibadah dan kebetulan dia sedang ibadah bersama umat pada masa kampanye, sulit mengategorikan sumbangan itu sebagai politik uang (Suara Pembaharuan, 14 Desember 2008). Sebetulnya, aturan tentang pelarangan politik uang sudah diatur jelas baik dalam UU No 32/2004 Pasal 82 Ayat (1) yang menyebutkan, Pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Kemudian Ayat (2) Pasangan 309 310 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD; maupun dalam Undangundang Nomor 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Pasal 274 yang menyebutkan bahwa pelaksana kampanye yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung atau pun tidak langsung agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 24 bulan; Pasal 218 pada UU 10/2008 itu dengan jelas dipaparkan penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD dan DPRD dapat dilakukan bila caleg itu terbukti melakukan tindak pidana pemilu berupa politik uang atau pemalsuan dokumen berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; serta peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Namun, kenyataanya, politik uang dilakukan sejak calon mendaftarkan diri ke partai politik sampai masa kampanye, dalam bentuk bantuan untuk rumah ibadah, bingkisan lebaran, natal dan tahun baru, pemberian sembako untuk korban banjir, door prize, atau biaya transportasi warga ke tempat kampanye, yang menurut partai politik tidak bisa dikategorikan sebagai politik uang. Memang, definisi tersebut sulit diaplikasikan, karena banyak tafsir atas pasal tersebut. Contohnya, dalam undang-undang tidak dipaparkan definisi ”materi lainnya”. Begitu pula pada peraturan KPU tentang kampanye tidak menjabarkan makna “materi lainnya” itu. B. Herry Priyono (Media Indonesia, 2009) menjelaskan istilah politik uang digunakan setidaknya pada dua gejala. Pertama, istilah itu menunjuk fakta tentang kekuatan uang dalam perebutan kekuasaan. Kedua, istilah money politics menunjuk gejala pembusukan yang dibawa oleh kuasa uang dalam menentukan proses pencalonan, kampanye, dan hasil pemilu para anggota legislatif ataupun presiden. Analisa Herry tentang politik uang mengindikasikan adanya campur tangan uang dalam proses demokrasi. Uang menjadi instrumen penting dalam suksesi pencalonan pemimpin. POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN (Siti Malaiha Dewi) Untuk meraup suara, misalnya, uang adalah senjata utama yang diandalkan. Maka, wajar jika muncul pola pengintegrasian uang dalam politik atau yang biasa kita kenal dengan money politics. Dalam Islam isu tentang politik uang telah mendorong umat Islam mengkaji melalui kaidah-kaidah agama. Ketua MUI Kudus KH. Syafiq Naschan pada salah satu seminar tentang pemilu (24 Maret 2009) mengatakan bahwa politik uang dapat menghambat terwujudnya demokrasi yang adil dan jujur. Kajian Islam menunjukkan politik uang adalah termasuk suap (risywah). Suap diharamkan di dalam Islam. Nabi bersabda bahwa orang yang menyuap dan menerima suap akan masuk neraka. Menurut keterangan KH. Syafiq Naschan indikator suap dalam hal ini politik uang adalah adanya penekanan tertentu ketika memberikan suatu barang. Dengan kata lain, disimpulkan bahwa orang memberi untuk memperoleh imbalan yang melanggar syariat. Barang yang diberikan tidak hanya berupa uang, tetapi dapat berbentuk barang kebutuhan sehari-hari, seperti beras, gula, minyak goreng, bahkan pulsa. Sehingga konsepsi politik uang tidak melulu mengasumsikan uang sebagai alat untuk membelokkan hari nurani konstituen, tetapi bisa juga berupa barang lain yang sesuai dengan kebutuhan konstituen. Jika dikaitkan dengan kajian kepemimpinan Islam, politik uang dapat menghalangi terselenggaranya pemilihan pemimpin yang sesuai dengan ajaran Islam, yakni terpilihnya pemimpin yang jujur, adil, tabligh, dan fatonah. Maka, di sini politik uang mampu membelokkan niat konstituen untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan Islam, sehingga melenceng memilih pemimpin yang bobrok moralnya, karena disuap. Jika terjadi hal demikian, maka wajar apabila terwacanakan pengharaman politik uang. Karena politik uang menjadi musuh dari demokrasi yang bersih, jujur, dan adil. Dan di dalam Islam sendiri politik uang menjelma menjadi virus mematikan dalam sistem pemilihan pemimpin yang sesuai dengan konsep Islam. A.2. Sikap: Arti dan Teori Untuk membaca sikap perempuan terhadap politik uang maka terlebih dahulu diuraikan dulu mengenai definisi sikap itu 311 312 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 sendiri. Menurut Drs. Saifuddin Azwar, MA, (1988, 3) sebetulnya ada lebih dari tiga puluh macam definisi sikap yang dikemukakan oleh ahli. Dari kesemuanya itu, dapat dikelompokkan menjadi tiga kerangka pemikiran. Pertama, kerangka pemikiran yang diwakili Louis Thurstone yang mendefinisikan sikap sebagai suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap objek adalah perasaan mendukung atau memihak ataupun perasaan tidak mendukung terhadap suatu objek. Kelompok kedua, seperti yang diungkapkan oleh Allport, sikap merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon. Sedangkan kelompok ketiga, mendefinisikan sikap sebagai suatu konstelasi komponen kognitif, afektif, dan konatif yang berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu obyek. Dari ketiga definisi di atas, dapat dikatakan bahwa sikap hanya akan ada artinya bila ditampakkan dalam bentuk pernyataan perilaku baik lisan maupun perilaku perbuatan. Bentuk pernyataan seseorang sangat tidak pasti dan sangat tergantung pada kondisi serta situasi dimana dan pada waktu apa individu tersebut berada. Apabila individu berada pada situasi yang betul-betul bebas dari berbagai bentuk tekanan atau hambatan yang dapat mengganggu ekspresi sikapnya, maka dapat diharapkan bahwa bentuk-bentuk perilaku yang ditampakkanya akan merupakan ekpresi sikap sebenarnya (Saefuddin Azwar: 1988, 5). Maka untuk mendapatkan sikap yang sesungguhnya dari perempuan yang menjadi informan terhadap politik uang, maka digunakanlah situasi yang santai seperti pada saat pengajian ibu-ibu, dengan melempar topik pembicaraan tentang politik uang. Sikap juga bersifat dinamis dan terbuka terhadap kemungkinan perubahan dikarenakan interaksi seseorang dengan lingkungan di sekitarnya. Namun, karakteristik sikap pasti ada. Hal ini ditunjukan dengan arah, intensitas, konsistensi, dan spontanitasnya. Suatu sikap mempunyai arah artinya sikap menunjukkan apakah seseorang menyetujui atau tidak menyetujui, apakah mendukung atau tidak mendukung, apakah memihak atau tidak memihak terhadap suatu obyek sikap. Seseorang yang mempunyai sikap mendukung terhadap suatu obyek sikap berarti mempunyai sikap yang berarah positif terhadap obyek tersebut, seseorang yang tidak memihak atau POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN (Siti Malaiha Dewi) tidak mendukung sesuatu obyek sikap berarti mempunyai sikap yang arahnya negatif (Saefuddin Azwar: 1988, 10). Sikap terbentuk dari interaksi sosial yang oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih daripada sekedar adanya kontak sosial dan hubungan antar individu. Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi di antara individu satu dengan yang lain, individu dengan lingkungan fisik maupun psikologis di sekelilingnya. Berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap menurut Saifudin Azwar (1988, 24) adalah sebagai berikut:  Pengalaman pribadi Sikap timbul dari pengalaman dan merupakan hasil belajar individu. Karena apa yang telah atau sedang dialami seseorang akan ikut membentuk tanggapan dan mempengaruhi penghayatan terhadap objek sikap, dan tanggapan tersebut akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap.  Pengaruh orang lain yang dianggap penting Orang lain di sekitar kita adalah salah satu komponen penting yang dapat mempengaruhi sikap kita. Orang lain tersebut antara lain orang yang kita harapkan persetujuannya, orang yang tidak ingin kita kecewakan, atau orang orang yang berarti khusus bagi kita. Di antara orang yang dianggap penting bagi diri individu adalah orang tua, orang yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, istri atau suami. Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang komformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut. Pada masa anak-anak dan remaja, orang tua biasanya menjadi figur yang paling berarti bagi anak. Namun, biasanya apabila dibandingkan dengan pengaruh teman sebaya maka pengaruh sikap orang tua jarang menang. Bahkan ketidaksesuaian pendapat dengan orang tua biasanya dianggap sebagai bentuk independensi yang bisa dibanggakan. Hubungan atasan-bawahan juga menjadi pengaruh sikap seseorang. Sudah menjadi umum, sikap atasan terhadap suatu masalah diterima dan dianut oleh bawahan tanpa landasan afektif maupun kognitif yang relevan dengan obyek 313 314 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 sikap seseorang. Kesamaan sikap didasari oleh kepercayaan yang mendalam kepada atasan atau oleh pengalaman bahwa atasan selalu dapat berpendapat atau bersikap yang tepat dalam segala situasi di masa lalu. Apabila terjadi kebimbangan dalam bersikap maka biasanya peniruan sikap atasan merupakan jalan yang dianggap terbaik. Kadangkadang peniruan sikap atasan itu terjadi tanpa disadari oleh individu dan dibentuk oleh karisma atau oleh otoritas atasan.  Pengaruh kebudayaan Kebudayaan di mana kita hidup dan dibesarkan akan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap. Kebudayaan menanamkan garis pengarah sikap seseorang terhadap berbagai masalah dan kebudayaan pula yang telah mewarnai sikap masyarakat, karena kebudayaan telah memberi corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota kelompok masyarakat.  Media Massa Meskipun pengaruh media massa tidaklah sebesar pengaruh interaksi individual namun dalam proses pembentukan sikap dan perubahannya, peranan media massa tidak kecil artinya. Dengan adanya informasi baru yang disampaikan oleh media massa mengenai suatu hal dapat memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap mengenai hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, bila cukup kuat akan memberi dasar efektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.  Pengaruh Emosional Terkadang suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap yang demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi telah hilang. Contoh bentuk sikap yang didasari emosi adalah prasangka. Prasangka merupakan bentuk sikap negatif yang didasari oleh kelainan kepribadian pada orang yang frustasi.  Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama Lembaga pendidikan dan lembaga agama merupakan suatu sistem yang mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Dalam hal ini ajaran yang POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN (Siti Malaiha Dewi) diperoleh dalam lembaga pendidikan dan lembaga agama seringkali menjadi determinan tunggal yang menentukan sikap. Faktor-faktor di atas meng_konstruk pandangan politik perempuan. Bicara tentang konstruks tentu kita ingat pada Berger dan Luckmann dalam bukunya The Social Constuction of Reality yang menyatakan bahwa manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus menerus. Proses dialektis mempunyai tiga tahapan. Pertama, eksternalisasi, yakni usaha ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Sesuai dengan kodratnya manusia akan selalu mencurahkan diri dimanapun ia berada. Kedua, obyektivikasi, yakni hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari tahapan eksternalisasi manusia. Ketiga, internalisasi, yakni proses penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Dalam praksisnya ideologi mendapatkan tempat artikulasi yang sangat jelas dalam bahasa. Struktur linguistik dimanfaatkan, didayagunakan, difungsikan untuk mengemukakan ideologi secara sadar, tidak sadar, bahkan bawah sadar (Anang Santoso: 2009, 44). B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Bogdan & Taylor (A. Khozin Affandi: 1993, 30) mengemukakan bahwa pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat dipahami. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kudus Propinsi Jawa Tengah. Alasan pemilihan lokasi ini berdasarkan pertimbangan pada pemilu legislatif tahun 2009 ini partisipasi pemilih cukup tinggi yaitu 70%. Kondisi ini sangat berbeda dengan pemilihan Gubernur Jawa Tengah pada Tahun 2008 dimana angka golput mencapai 60% atau tertinggi ketiga di Jawa Tengah (KPU Kab. Kudus: 2009). Perubahan yang sangat fenomenal ini menimbulkan tanda tanya besar bagi peneliti. Informan/nara sumber dalam penelitian ini ditentukan secara purposive, yaitu informan yang dipandang mewakili kelompok perempuan seperti anggota legislatif perempuan, 315 316 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 akademisi perempuan, kalangan birokrasi: seperti camat perempuan, guru madrasah, pimpinan ormas dan NGO Perempuan, buruh perempuan, pengemis perempuan, bidan, perempuan pedagang pasar pagi maupun pedagang pasar malam, perempuan kepala keluarga serta ibu rumah tangga. Informan tersebut dianggap sebagai wacana kebenaran dari institusi yang diwakili. Mereka memiliki akses yang lebih besar dibandingkan perempuan lainya dalam memproduksi dan mengonsumsi wacana perempuan maupun wacana publik lainya serta ikut berperan aktif dalam menafsirkan wacana publik. Teknik analisis data menggunakan model analisis interaktif (interactive model of analysis) yang memiliki tiga komponen yakni data reduksi, data display, dan conclusion drawing (Miles & Huberman, 1992). Proses analisis data dalam penelitian ini dilakukan selama pengumpulan data dengan menggunakan perspektif perempuan artinya bahwa penelitian ini berusaha mendengar dan mengangkat bahasa dan suara perempuan (Tri Marhaeni: 2008, hlm.1). Bahasa perempuan dapat disikapi sebagai wacana, yakni cara mengatakan atau menuliskan atau membahasakan peristiwa, pengalaman, pandangan, dan kenyataan hidup tertentu. Bahasa perempuan selalu merepresentasikan model pandangan hidup tertentu, yakni gambaran sebuah konstruksi dunia yang bulat dan utuh tentang ide hidup dan kehidupan yang sudah ditafsirkan dan diolah perempuan (Anang Santoso: 2009, 1). Pada setiap tahapan analisis juga digunakan analisis gender. Analisis gender adalah proses mengurai data dan informasi secara sistematik tentang kedudukan, fungsi, peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam program pembangunan dan faktor – faktor yang mempengaruhinya. Pada tahapan analisis masalah gender ini peneliti mencoba mengungkap hubungan perempuan dan laki-laki, dengan menganalisis siapa melakukan apa, siapa mempunyai akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat, serta faktor-faktor apa yang mempengaruhi kegiatan, akses dan kontrol. Analisis pada skala mikro (tingkat masyarakat) ini dilakukan dengan teknik “Harvard”, dengan tahapan analisis sebagai berikut:  Profil kegiatan: didasarkan pada konsep pembagian kerja berdasarkan gender pada saat pemilu Tahun 2009. Profil kegiatan ini memerinci kegiatan nyata menurut gender. POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN (Siti Malaiha Dewi) Dengan proses pengidentifikasian kegiatan berdasarkan gender melalui profil kegiatan ini maka dapat diketahui secara tepat peranan, kegiatan dan kebutuhan perempuan dan laki-laki pada saat pelaksanaan pemilu.  Profil akses dan kontrol, memerinci sumber-sumber apa yang dikuasai oleh perempuan dan laki-laki untuk melaksanakan kegiatannya dan manfaat apa yang diperoleh setiap orang dari hasil kegiatan tersebut. Akses merupakan peluang untuk menggunakan/memanfaatkan sumberdaya tanpa kekuasaan untuk mengambil keputusan mengenai sumberdaya tersebut. Kontrol merupakan penguasaan terhadap sumberdaya, yaitu wewenang untuk mengambil keputusan menggunakan sumberdaya tersebut. Dengan memusatkan perhatian pada profil akses dan kontrol, akan diperoleh gambaran yang lebih tepat terhadap kekuasaan relatif antara perempuan dengan laki-laki. Gambaran tersebut dapat dipergunakan untuk mengarahkan kegiatankegiatan pada upaya perbaikan keadaan perempuan.  Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan akses dan kontrol. Analisis ini mengidentifikasi faktor-faktor yang menimbulkan perbedaan kesempatan bagi partisipasi perempuan dan laki-laki pada pelaksanaan pemilu Tahun 2009. C. Hasil dan Pembahasan Bagaimana pandangan dan sikap perempuan terhadap politik uang pada pemilu legislatif pada tanggal 9 April 2009 maupun pemilu presiden beserta wakilnya pada 8 Juli 2009 serta faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap tersebut akan diurai pada bagian ini dengan menampilkan naratif personal dari informan yang dianggap mampu mewakili kelompok-kelompok perempuan. Mereka adalah perempuan kepala keluarga, perempuan pedagang pasa perempuan pengemis, dan buruh rokok perempuan. Berdasarkan data yang diperoleh dari informan perempuan di atas, maka sikap dan pemaknaan perempuan terhadap politik uang dapat dibedakan menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, bersikap menolak politik uang; Kelompok kedua, menerima politik uang dan menjadikan uang sebagai faktor penentu pilihan politiknya; Kelompok ketiga, menerima politik uang tetapi tidak mempengaruhi pilihan politiknya. 317 318 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 Kelompok pertama dapat dilihat dari data perempuan kepala keluarga Kelompok kedua dapat dilihat dari data perempuan buruh rokok, dan pengemis perempuan. Sedangkan kelompok ketiga dapat dilihat dari data seorang bidan. 1. Seorang Perempuan Kepala Keluarga Suasana pasar Mbrayung sangat ramai pagi itu (3 September 2009). Maklum menjelang lebaran. Ibu As terlihat sibuk melipat pakaian yang tadi sempat dilihat-lihat calon pembeli namun tidak jadi dibeli. Berkali-kali dalam wawancara, ia harus mengelap peluhnya yang telah membasahi kening dan lehernya. Suasana pasar yang panas dan pengap, tidak menghalanginya untuk terus bedagang. Semuanya rintangan itu, menurutnya tak lebih dari cobaan hidup yang harus dilalui. Ibu As bisa dibilang sabar, dia harus menanggung semuanya sendiri setelah bercerai dengan suaminya 12 tahun yang lalu. Suaminya menikah lagi dengan perempuan yang lebih muda, tetangganya sendiri. **** Saya lahir di salah satu desa di Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus. Saya hidup dari keluarga serba kurang. Ayah berprofesi sebagai petani, sementara ibu jualan jajan di pasar. Meski kondisi ekonomi pas-pas_an, orang tua saya sangat mementingkan pendidikan. Saya bisa menikmati bangku kuliah dan bisa menjadi sarjana di salah satu Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri di kota ini. Belum sempat saya mencari kerja, saya sudah dilamar tetangga sendiri dan akhirnya kami menikah. Secara fisik dia memang bisa dibilang tampan, dia bekerja sebagai bayan (kepala dusun). Awal pernikahan, kami memang sangat bahagia, meskipun secara ekonomi bisa dibilang biasa saja. Maklum, seorang bayan itu tidak mendapatkan gaji. Hanya sawah bengkok yang disewakan. Meski demikian kami hidup bahagia. kami pun dikaruniai seorang putri dan dua orang putra. Namun, cobaan mulai datang ketika anak kami yang ketiga terkena penyakit leukimia. Kami sekeluarga shock. Lebih shock lagi karena biaya yang begitu tinggi untuk cuci darah tiap bulannya. Segala harta benda kami, habis untuk kesembuhan anak saya, namun rupanya Allah berkehendak lain, pada usia delapan tahun anak kami meninggal dunia. Bersamaan dengan meninggalnya anak saya, suami saya kedapatan selingkuh dengan tetangga saya sendiri yang lebih muda dan dari hubungan terlarang tersebut, POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN (Siti Malaiha Dewi) perempuan itu sudah mengandung dua bulan. Saya marah, malu, bingung, dan semuanya campur aduk jadi satu. Saya sempat menyesal kenapa dulu tidak mencari kerja dulu setelah lulus kuliah. Akhirnya dengan berat hati saya memutuskan untuk mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Meski sebetulnya suami saya tidak mau menceraikan saya, tetapi saya yang tidak bisa menjalani kehidupan poligami dan harus berbagi suami. Dengan sangat berat, Saya mengikhlaskan suami saya untuk bertanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukanya. Cukup lama saya terpuruk. Meratapi nasib. Beban sebagai janda begitu beratnya. Tetapi saya sadar bahwa saya sekarang seorang kepala keluarga dengan beban dua orang anak. Saya mulai bangkit. Dengan mengesampingkan gengsi bahwa saya adalah seorang sarjana, saya mulai berjualan kue di pasar terdekat. Hasilnya memang tidak sebanding dengan tingkat kelelahan yang saya rasakan. Harus bangun setiap jam dua pagi, berkutat di dapur, dan untungnya hanya cukup untuk makan kami bertiga. Setelah berjalan hampir tiga tahun, saya menyerah dan saya bersyukur mendapat warisan dari orang tua. Saya gunakan untuk membeli kios di pasar. Saya tidak lagi berjualan kue, tetapi jualan pakaian. Hasilnya lumayan, anak saya yang pertama sekarang duduk di bangku kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Semarang. Saya menaruh harapan besar padanya. Agar kelak menjadi anak yang bahagia. Tidak mengalami perjalanan yang menyedihkan seperti saya. Sedangkan adiknya masih duduk di SMP. Sekarang, alhamdulillah setiap sore hari saya juga mengajar Taman Pendidikan Al Quran (TPQ) di dekat rumah. Dilihat dari ebsarnya gaji memang tidak seberapa, hanya Rp. 100.000,-. Tetapi saya yakin saya akan mendapat lebih banyak nanti di akhirat. Saat ini kegiatan sehari-hari saya memang padat. Setiap pagi hingga siang, sekitar pukul 13.00 WIB, saya di pasar. Setelah itu saya pulang ke rumah untuk memasak, lalu istirahat sebentar dan sorenya membersihkan rumah. Malam harinya saya menemani anak saya belajar, setelah itu bisa santai menonton televisi. Jam 04.00 WIB saya sudah bangun untuk memasak, mencuci, dan lainya, lalu ke pasar lagi. Meskipun demikian, rutinitas saya tidak serta merta membuat saya absen dari kegiatan desa maupun pengajian keagamaan. Kebetulan saya pengurus Muslimat NU di desa yang setiap minggu sekali 319 320 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 diadakan pengajian dan dulu saya sempat aktif di PKK. Jadi, sampai sekarang kalau ada kegiatan desa, saya masih dilibatkan, termasuk pada saat pemilihan umum, saya selalu menjadi panitia. Pada saat pemilu legislatif kemarin dan juga pemilu presiden, saya pun sebagai panitia di TPS tempat saya mencontreng. Karena saya panitia, maka otomatis saya tidak golput, baik ada yang memberi amplop maupun tidak, karena bagi saya, mencontreng itu hak, maka harus saya gunakan. Kalaupun ada yang memberi amplop pasti saya tolak secara halus. Meskipun saya ini sangat membutuhkan uang, tetapi menurut saya, jika saya menerima amplop, itu sama saja saya mengotori proses demokrasi yang sudah dicita-citakan akan membawa kebaikan. Dalam ajaran Islam hal tersebut juga tidak diperbolehkan karena termasuk suap. Dan bagi yang menyuap maupun yang disuap kan sama saja. Masuk neraka. Soal pilihan dalam pemilu, saya pasti memilih calon yang agamis, dan bersih. Saya tahu kalau agamis, bersih, dan lain-lain itu berdasarkan anjuran organisasi tempat saya aktif, yaitu Muslimat NU. Saya percaya dengan pilihan Kyai-Kyai. Contohnya, pada saat pilpres Tahun 2009 ini, saya memilih pasangan JK-Win, karena Pimpinan Pusat Muslimat NU secara resmi mendukung JK-WIN. Sedangkan pemilu legislatif, anggota Muslimat NU kecamatan Mejobo ada yang menjadi caleg, maka otomatis, Pimpinan Anak Cabang mengarahkan agar anggotanya memilih caleg tersebut, dengan harapan warga Muslimat NU akan terakomodasi kepentingan dan aspirasinya untuk lima tahun mendatang. Saya pun mengikutinya. Alhamdulillah, caleg perempuan tersebut akhirnya lolos menjadi wakil rakyat dan saya secara pribadi mempunyai harapan besar akan ada perbaikan ekonomi bagi hidup saya, seperti pelatihan ketrampilan maupun pemberian modal yang lunak. Kemudian, saya pun berharap ada perbaikan kondisi pasar tempat saya dan ibu-ibu lain bekerja, antara lain perbaikan fasilitas kamar mandi yang rusak berat. Setiap hari saya dan ibuibu lain harus numpang di tetangga pasar untuk wudlu ataupun buang air kecil, lama kelamaan saya tidak enak juga. Dan, karena jaraknya agak jauh, saya juga harus menutup kios ketika hendak ke kamar mandi. Sehingga saya banyak kehilangan calon pembeli. Saya yakin, harapan saya ini tidak terlalu berat untuk direalisasikan. Lha wong membangun yang besar-besar saja bisa apalagi yang kecil. Tetapi terkadang yang kecil justru POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN (Siti Malaiha Dewi) tidak kelihatan ya..alias terlupakan. Semoga tidak. 2. Seorang Perempuan Buruh Rokok Wawancara dilakukan di sela-sela kesibukan Ibu SL yang sedang menyeterika_pekerjaan sampingan yang dilakukanya setiap hari Minggu_ di rumah teteangganya. Sedangkan hari – hari lainya Ibu SL bekerja sebagai buruh rokok di salah satu Pabrik rokok terbesar di Kota Kudus. Kami berbincang-bincang dengan santai bahkan sesekali ibu SL tertawa-tawa padahal baju yang harus disetrika masih menggunung di belakangnya. Berkali-kali dia mengelap peluh di kening dan lehernya, namun, demi memenuhi kebutuhan keluarga semua kelelahan sudah menjadi hal yang biasa. **** Saya lahir di Kudus, 50-an tahun yang lalu. Maaf saya tidak hafal tanggal lahir saya. Saya bekerja sebagai buruh rokok yaitu bagian bathil atau merapikan batang rokok sejak saya muda dulu, kalau tidak salah sewaktu lulus SD saya langsung masuk pabrik. Kalau dulu, masuk pabrik itu gampang, tetapi sekarang harus lulus SMA itupun masih diseleksi. Maka, saya sangat bersyukur bisa kerja di pabrik, memangnya mau kerja dimana, saya tidak punya ketrampilan apa-apa. Saya tidak bisa membayangkan kalau pabrik rokok tidak ada di Kudus ini, pasti banyak sekali yang menganggur. Makanya saya sudah menganggap pekerjaan ini adalah bagian hidup saya, meskipun penghasilan saya tidak menentu. Kalau sedang ramai saya bisa membawa pulang Rp. 50.000,- tetapi kalau sepi hanya Rp. 10.000,- sampai Rp. 15.000,- dengan Jam kerja mulai pukul 06.00 WIB sampai siang atau sore. Sekarang lumayan enak, karena masuk kerja pukul 06.00 WIB, saya bisa tenang mempersiapkan sarapan, memandikan anak, dan mencuci pakaian. Kalau dulu, jam kerjanya mulai pukul 05.30 WIB sehingga saya harus meninggalkan rumah sebelum anak saya bangun. Akhirnya, anak saya jarang ke sekolah karena suami saya juga harus bekerja di pabrik rokok lainya dengan jam yang sama. Sekarang, ketika saya berangkat, anak sudah saya mandikan, sudah sarapan, dan yang kecil saya titipkan di tetangga. Kebetulan tetangga ada yang nganggur, banyak 321 322 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 anak-anak yang ibunya kerja di tempat yang sama dengan saya dititipkan ke dia. Biasanya saya memberi dia Rp. 5000,- sehari sebagai uang pengganti telah menjaga anak saya. Sebetulnya ada tempat penitipan anak di dekat rumah saya, gurunya juga cantik-cantik, kayaknya anak saya akan pintar kalau saya masukkan kesana, tetapi penghasilan saya tidak cukup. Dan, saya juga minder, la yang dititipkan disana itu anaknya guru dan orang kaya-kaya. Kalau seperti saya cukup saya titipkan di tetangga. Ketika pulang, urusan rumah seperti memasak, bersihbersih rumah dan lainya, saya yang mengerjakanya, itu sudah menjadi kewajiban saya sebagai seorang wanita. meskipun hari Minggu, kerjaan rumah tidak pernah libur. Bahkan tiap hari Minggu saya juga nyambi menyetrika pakaian tetangga. Sementara suami biasanya nonggo. Saya punya dua anak. Yang pertama sudah berkeluarga, baru saja melahirkan. Setiap malam saya membantu menjaga cucu saya. Sehingga saya tidak ikut lagi pengajian. Nanti kalau sudah agak besar saya akan ikut pengajian lagi. Kalau ikut pengajian enak, bisa kumpul dengan tetangga dan teman-teman. Tidak ada kesan khusus dalam pemilu yang selama ini saya ikuti. Kampanye saya juga tidak ikut. Ya, sekadar memilih lalu pulang lagi ke rumah. Toh pemilu tidak ada dampak terhadap hidup saya. Saya kan wong cilik yang tidak ada dampak langsung yang saya terima. Tidak akan ada perbaikan langsung terhadap pekerjaan saya. Saya tetap bekerja seperti biasa. Bagi saya, bekerja atau tidak, tidak ada hubungannya dengan pemilu. Intinya, jika saya tidak bekerja tidak ada perbaikan nasib. Tetapi saya selalu menggunakan hak pilih saya, baik pilkades maupun pilpres. Suami saya juga selalu memberitahu bahwa saya harus menggunakan hak pilih. Katanya: ”dikasih hak ya harus digunakan”. Meskipun, kemarin sempat bingung juga, lha calonnya banyak banget. Terus terang, saya mendapatkan amplop dari dua orang caleg. Besarnya ada yang Rp 5000,- dan Rp. 10.000,-. Saya terima saja, karena itu merupakan pemberian. Masak diberi, tidak diterima! Jarang-jarang ada rejeki nomplok seperti itu. Dan karena saya sudah menerima maka sebagai imbalanya saya memilih dia. Saya juga tidak mau dikatakan munafik, karena sewaktu uang diberikan ke saya, memang secara jelas dan gamblang orang yang memberi uang itu meminta suara POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN (Siti Malaiha Dewi) saya. jadi saya tetap akan memilih meski saya tidak kenal orangnya. Kalau tidak mendapatkan amplop, saya akan memilih asal saja lha wong sama-sama tidak kenal. Seperti pemilu kemarin, untuk anggota DPRD Propinsi saya tidak mendapatkan amplop dan saya juga tidak kenal, akhirnya saya memilih sama dengan yang memberikan amplop ke saya. baik partai maupun nomor urutnya. mestinya orang kecil seperti saya ini juga mendapatkan pengarahan mengenai calon-calon. Soalnya saya dan temanteman di pabrik itu buta sekali. Sewaktu pemilihan presiden tidak ada pembagian uang tetapi saya dan teman-teman pabrik memilih pak SBY, karena ada suara-suara di pabrik itu kalau pak JK yang jadi presiden maka PHK besar-besaran akan terjadi, dan beritanya juga model pegawai kontrak di pabrik-pabrik yang merugikan itu atas usul pak JK. Makanya saya tidak memilih pak JK. Saya juga tidak memilih Bu Mega, meski sesama perempuan tetapi saya koq merasa bu Mega itu terlalu lembek ya. Dulu pernah menjadi presiden ya gitu-gitu saja. Tapi saya ini wong cilik. Saya hanya berharap seperti zaman Suharto dulu, sandang pangan murah. Pekerjaan lancar. 3. Seorang Pengemis Perempuan Siapapun yang sering melintasi perempatan Matahari Kudus pasti sudah akrab dengan wajah Mak Y (60an), seorang perempuan dengan dandanan khas seorang peminta-minta yang begitu sigap menghampiri mobil ataupun pengendara motor yang berhenti di saat lampu merah, sambil berucap, ”Pareng.. pareng....”. Menjadi peminta-minta sudah dijalani Mak Y sejak puluhan tahun yang lalu. Tempat mangkalnya pindah-pindah, pernah di Menara Kudus, pasar Kliwon, dan lain-lain. Mak Yah tidak sendirian. Kedua anaknya juga sama, meminta-minta, ”Dulu sewaktu mereka masih sekolah SD, setiap pulang sekolah, mereka langsung pergi kerja (meminta-minta), kalau suami saya beda, jadi pemulung”, demikian ungkap Mak Y. ”Hasilnya lumayan, kalau sepi saya bisa mebawa pulang Rp. 25.000,- sehari kalau ramai ya lebih, begitu juga anak saya, dan sekarang kami sudah punya tempat tinggal meskipun di perumahan sosial. Kami juga punya dua motor SUPRA”, tutur Mak Yh. 323 324 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 Perumahan sosial Pecinan Hadipolo tersebut merupakan relokasi kampung kumuh warga miskin kota di bantaran sungai Kaligelis Kota Kudus. Atas inisiatif Dinas Sosial Kudus mereka disiapkan perumahan meski sangat sederhana di komplek Pecinan Desa Hadipolo, Jekulo, Kudus, kira-kira 8 Km sebelah Timur kota. Mereka pindah ke komplek Perumahan Sosial Pecinan selama dua tahap; Tahap pertama tahun 1990 dan tahap dua tahun 1993. Syarat kepemilikian adalah dengan menyertakan Kartu Keluarga dan bersedia membayar dengan cicilan ringan setiap hari Rp 900 selama 15 tahun. Kini penghuni Perumahan Sosial Pecinan tersebut terdiri dari 115 rumah dengan jumlah penduduk kira-kira 500an orang dengan komposisi laki-laki sejumlah 214 orang dan perempuan 300 orang. Setiap pagi hari, hampir semua warga Perumahan Sosial Pecinan Hadipolo, baik laki-laki maupun perempuan, tuamuda keluar rumah untuk berusaha mengais rezeki, meski dalam bentuk dan wujudnya yang sangat beragam. Kebanyakan mereka adalah sebagai pemulung, pengemis, pengamen, tukang batu dan tukang becak. Jam 04.00 WIB pagi mereka sudah mulai bangun tidur mempersiapkan diri untuk keluar rumah demi sesuap nasi untuk mempertahankan hidup keluarganya. Sekitar jam 16.00-an mereka sudah mulai berdatangan kembali ke rumah. Anak-anak pun tidak ketinggalan, sepulang sekolah mereka langsung pergi ke tempat biasa mangkal, baik sebagai pengemis, maupun pengamen. Mengingat mereka kebanyakan adalah memang keluarga jalanan (orang-orang pinggiran) yang sebelumnya terpaksa menjalani hidupnya sebagai tunawisma. Maka dalam keseharian mereka seringkali dianggap oleh pihak-pihak tertentu mengotori kota, karena ketika masih kecil terpaksa menjadi anak-anak jalanan, setelah beranjak remaja terpaksa menjadi pengamen, maka ketika sudah berkeluarga mereka terpaksa menghidupi keluarganya dengan bekerja serabutan mulai dari tukang becak, pertukangan, pengamen, pengemis, tukang semir, hingga sebagai pemulung. Memang tidak bisa dipungkiri mereka hidup dalam kultur yang penuh dengan “kekerasan”, karena harus menjalani kehidupannya dengan penuh nestapa dan keprihatinan, sehingga kenakalan juga terkadang tidak bisa terhindarkan seperti minum-minuman keras, pencopetan, hingga tawuran. Bahkan para pemuda seringkali menghiasi dirinya dengan berbagai tato yang menyelimuti tubuhnya. POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN (Siti Malaiha Dewi) Maka penduduk pribumi (mayarakat setempat) seringkali memberikan stigma negatif secara menyeluruh kepada siapa saja yang menghuni di Perumahan Sosial Pecinan tersebut. Hal inilah yang membuat warga Perumahan Sosial Pecinan tersebut merasa tidak nyaman. Hal ini diperparah dengan pola komunikasi dengan warga pribumi yang terhambat, karena sudah menganggap “merah” dan “kotor” warga Perumahan Sosial Pecinan tersebut. Bahkan yang lebih parah ketika ada barang-barang yang hilang dari pihak pribumi, selalu saja warga pendatang (pecinan) dicurigai sebagai maling (pencurinya), termasuk perempuan atau ibu-ibu yang belanja di pasar pun selalu diawas-awasi dan dipandang sinis oleh warga pribumi. Padahal sejak tinggal di perumahan Sosial Pecinan tersebut mereka berangsur-angsur mulai menata hidupnya. Bahkan juga pernah ada jamiyah tahlil Ibu-ibu yang dilaksanakan secara rutin. Sekali lagi, itulah derita nestapa yang dialami oleh warga perumahan sosial khususnya perempuannya. padahal, dibalik nestapa sosial kehidupan masyarakat miskin di perumahan sosial Pecinan Hadipolo, sebenarnya terdapat perempuanperempuan kuat dalam turut berjuang mempertahankan hidupnya. Semangat dan etos kerja yang tinggi dimiliki oleh perempuan dan ibu-ibu warga perumahan sosial. selain sebagai ibu dan istri, yang mengurusi urusan rumah tangga, mereka juga mencari nafkah untuk keluarganya. Bahkan banyak juga mereka yang sedang hamil besar pun pergi mengemis di perempatan jalan, menjadi pemulung dan lainya. Semangat juga ditunjukkan oleh warga perumahan sosial pada saat pemilu, hal tersebut tampak dari jumlah pemilih yang menggunakan haknya yang lumayan tinggi, “Pada saat pemilu, disini ramai sekali, biasanya saya ke TPS dulu sebelum berangkat kerja. Gimana ya..kami kan sering didatangi calon, kami juga sering diberikan bingkisan-bingkisan, ya tidak enak kalau tidak milih. Tapi kemarin sempat bingung soalnya calon yang kesini banyak, dan memberi bingkisan semua. Akhirnya saya pilih yang paling banyak memberi bingkisan ataupun uang, kalau pemilihan presiden kemarin tidak ada yang memberi bingkisan ataupun uang tapi saya memilih Bu Mega, saya memang senang dengan Bu Mega, orangnya kalem, keibuan”, Ungkap Mak Y. ***** 325 326 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 4. Seorang Bidan Kediaman Ibu ER yang berada di desa Hadipolo, Kudus terlihat sepi. Hanya ada pembantu yang sedang membersihkan halaman belakang rumah. Di sebelahnya ada klinik pondok bersalin Al Hikmah Raharjo, milik Bidan ER yang buka 24 jam, setiap saat siap melayani masyarakat. **** Dinas sehari-hari saya di Puskesmas. Di luar itu, saya menangani pondok bersalin ini. Sebelumnya saya pernah aktif di PKK, tetapi sekarang sudah non aktif. Karena jadi bidan itu sudah sangat sibuk. Waktu saya banyak tercurah di sana. Sebenarnya ada keinginan aktif lagi, namun lagi-lagi waktu yang membatasinya. Saya harus tunduk dengan jadwal jaga yang telah ditentukan rumah sakit. Selain itu, suami saya sudah sibuk di NU, Jika saya aktif di organisasi dan suami demikian, lalu siapa yang merawat rumah dan anak. Saya khawatir perkembangan anak saya tidak maksimal oleh karena tidak terawat dengan baik. Sejauh yang saya amati, dalam sebuah rumah tangga suami dan istri aktif berorganisasi, anak tidak terawat dan terlantar dalam perkembangannya. Pengalaman saya tentang pemilu, pada era Soeharto kata orang banyak mengalami tekanan dan ancaman, tetapi saya tidak merasakannya secara langsung. Pendapat orang berlainan, yang saya yakini itu. Memang rasanya kita tidak ada masalah apa-apa di permukaan, tetapi setelah kita tahu bahwa hutang pemerintah sangat besar dan korupsi keluarga Soeharto meluas, baru kita mulai merasa adanya penindasan terhadap rakyat. Tapi selama soeharto harga sembakau memang murah dan hidup itu rasanya nyaman. Saya pernah menjadi panitia pemilihan di desa, yaitu sebagai anggota. Itu terjadi pada masa Soeharto. Setelah itu sampai sekarang, saya tidak pernah lagi menjadi panitia. Sebetulnya saya cenderung tidak setuju dengan pemimpin negara seorang perempuan. Dalam memimpin perempuan belum dapat tegas, perasaan masih dilibatkan dalam mengambil keputusan. Akibatnya, kebijakan yang diambil setengahsetengah, tidak tegas dan jelas. Seharusnya sesuai tuntunan pemimpin negara adalah seorang laki-laki. Karena sudah di ada ketetapannya di dalam Al Qur’an. Laki-laki adalah imam POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN (Siti Malaiha Dewi) bagi semuanya. Sebetulnya tidak menutupi adanya keterlibatan perempuan dalam memimpin, misalnya dalam organisasi keperempuan, pemimpinnya memang harus perempuan, tetapi dalam urusan negara, tidak bisa, lebih baik laki-laki. Dampak secara langsung pemilu bagi pribadi saya tidak ada. Karena pemilu kan untuk kemaslahatan orang banyak, bukan untuk kepentingan pribadi. Maka jika ada orang yang berjanji kepada saya mengiming-imingi sesuatu untuk memilihnya, saya tolak. Sikap itu merupakan indikasi dari masa depan pemimpin yang tak sehat. Seharusnya pemimpin itu memikirkan kemaslahatan orang banyak, rakyat atau umat yang dipimpinnya. Bagi saya politik uang adalah seperti janji. Dalam praktiknya ketika kita ditawari untuk memlilih dengan imbalan tertentu, tidak boleh mendua. Artinya menerima satu amplop saja. Karena ketika menerima, kita sebetulnya sudah berakad janji. Saya terima uang Anda dan akan saya pilih calon yang Anda sarankan. Namun, kenyatannya banyak orang yang mendua bahkan berlipat-lipat menerima amplop. Menurut saya, itu adalah perbuatan ingkar janji. Meski saya memaknai demikian, tidak serta merta saya menerima uang dari siapa saja calon yang berlaga, tetapi saya selektif sesuai dengan apa yang akan saya pilih. Kalau saya memaklumi politik uang. Segala sesuatu memang harus ada ongkosnya. Termasuk dalam urusan politik. Justru tidak wajar kalau mencapai sesuatu tujuan tanpa ada ongkosnya. ***** Sikap-sikap yang diambil oleh perempuan-perempuan di atas sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: perempuan kepala keluarga menolak politik uang karena adanya pemahaman yang hampir sama bahwa politik uang sama dengan suap atau dalam Islam disebut risywah. Risywah di dalam Islam hukumnya haram sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW bahwa orang yang menyuap dan menerima suap akan masuk neraka. Dalam lafal bahasa arab berbunyi, “Arrasyi wal murtasyi finnar” Menurut keterangan KH. Syafiq Naschan, ketua MUI Kabupaten Kudus, indikator suap dalam hal ini politik uang adalah adanya penekanan tertentu ketika memberikan suatu 327 328 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 barang. Dengan kata lain, disimpulkan bahwa orang memberi untuk memperoleh imbalan yang melanggar syariat. Barang yang diberikan tidak hanya berupa uang, tetapi dapat berbentuk barang kebutuhan sehari-hari, seperti beras, gula, minyak goreng, bahkan pulsa. Sehingga konsepsi politik uang tidak melulu mengasumsikan uang sebagai alat untuk membelokkan hari nurani konstituen, tetapi bisa juga berupa barang lain yang sesuai dengan kebutuhan konstituen. Jika dikaitkan dengan kajian kepemimpinan Islam, politik uang dapat menghalangi terselenggaranya pemilihan pemimpin yang sesuai dengan ajaran Islam, yakni terpilihnya pemimpin yang jujur, adil, tabligh, dan fatonah. Maka, di sini politik uang mampu membelokkan niat konstituen untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan Islam, sehingga melenceng memilih pemimpin yang bobrok moralnya, karena disuap. Selain karena faktor pemahaman agama, penolakan yang dilakukan perempuan atas politik uang juga dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, yaitu sarjana dan status sosialnya sebagai guru agama. Status sosial juga mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap politik uang. Status adalah “A position or a place within a set of relationship among people” atau posisi seseorang dalam hubunganya dengan orang lain. Posisi ini sangat menentukan peran seseorang, karena peran adalah the behavior generally expected of one who occupies a particular status (G. Ritzer: 1987, 80). Kedudukan Ibu AS mempengaruhi sikapnya dalam hal penolakan politik uang. Tidak mungkin seorang guru yang mengajarkan tentang pentingnya berperilaku jujur justru tidak jujur, dan tidak mungkin seorang panitia pemilu yang mensosialisasikan pelaksanaan pemilu yang jujur justru mengebiri kejujuran itu sendiri. Jadi status sosial mempengaruhi cara pandang dan sikap sesorang terhadap obyek tertentu. Kelompok kedua yaitu mereka yang menerima politik uang memaknai politik uang sebagai rejeki yang tidak mungkin ditolak. Politik uang juga dimaknai sebagai bagi-bagi uang yang memang harus dikeluarkan oleh seorang calon. Kelompok ini berpikir sangat praktis. Kiranya ungkapan “Ada uang maka timbul sayang”, cukup tepat menggambarkan cara pandang mereka. Bagi mereka siapa yang memberi uang atau sejenisnya maka akan menjadi pilihan politik mereka meskipun calon POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN (Siti Malaiha Dewi) tersebut tidak dikenal. Cara pandang seperti ini disebabkan oleh kondisi hidup mereka yang memang pas-pasan seperti perempuan buruh rokok. Kondisi ini tidak berlaku bagi pengemis, meski secara ekonomi lumayan, namun budaya instan yang dimiliki pengemis maka uang menjadi faktor penentu utama dalam pemilu Tahun 2009. Bagi mereka, pemilu tidak akan berdampak langsung terhadap diri mereka, mereka harus tetap kerja kalau ingin makan, dan ketika ada uang yang dibagibagikan, maka itu dianggap sebagai dampak langsung pemilu. D. Kesimpulan Mendengar suara perempuan adalah hal yang wajib ketika akan menuju sebuah perubahan karena perempuan selain secara kuantitas lebih banyak dari laki-laki, ternyata suara perempuan sungguh luar biasa kalau didengar. Kalau selama ini ada anggapan bahwa semua orang akan terpengaruh pada politik uang pada saat pemilihan umum, ternyata tidak semua orang demikian. Ada tiga kelompok perempuan mensikapi politik uang. Kelompok pertama, bersikap menolak politik uang; Kelompok kedua, menerima politik uang dan menjadikan uang sebagai faktor penentu pilihan politiknya; Kelompok ketiga, menerima politik uang tetapi tidak mempengaruhi pilihan politiknya. Untuk itu, berbagai pihak yang telibat dalam penciptaan demokrasi yang jujur dan adil di negeri ini, hendaknya juga mendengar definisi, pemahaman, dan sikap perempuan terhadap politik uang, sebab apapun strategi yang digunakan untuk memberantas politik uang akan sia-sia jika tidak berbasis pada pendapat masyarakat secara seimbang antara laki-laki dan perempuan. 329 330 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 SUMBER RUJUKAN A. Buku Adriana Venny, ”Pesta Demokrasi : Berkah atau Mimpi Buruk” dalam Jurnal Perempuan No. 34 Politik dan Keterwakilan Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2004 Afan Gaffar, Politik Indonesia Menuju Transisi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005 Anang Santoso, Bahasa Perempuan Sebuah Potret Ideologi Perjuangan, Jakarta: Bumi Aksara, 2009 Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta: Kompas, 2005 Ani Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, Pengantar Paling Komprehensif Kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, Yogyakarta: Jalasutra, 1998 Analisis Statistik Gender Kabupaten Kudus 2005, Kudus: BPS & Bagian Sosial Setda Kabupaten Kudus, 2005, C. Y. Marselina Nope, Jerat Kapitalisme Atas Perempuan, Yogyakarta : Resist Book, 2005 Daniel Sparingga, Pemilu 2004 : Taksonomi Tema dan Isu Relevan dalam Pemilu 2004 Transisi Demokrasi dan Kekerasan, Yogyakarta : CSPS Books dan FES Indonesia, 2004 Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, Jakarta :Yayasan Jurnal Perempuan, 2003 George Ritzer, Kammeyer, Kenneth C.W & Yetman, Norman R., Sociology Experiencing a Change Society. Massachusetts : Allyn and Bacon, Inc, 1987 H. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005 Henry A Berger, Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial, Jakarta : CV. Rajawali, 1981 ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Irwan Abdulah, Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pustaka POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN (Siti Malaiha Dewi) Pelajar, 2003 Kamla Bhasin, Menggugat Patriarki Pengantar tentang Persoalan Dominasi terhadap Kaum Perempuan, Jakarta : Yayasan Bentang Budaya dan Kalyanamitra, 1996 Kukuh B. Nugroho dan Elza P Taher, Buku Pendidikan Pemilu 2004 untuk Pemilih Pemula, Jakarta: Yayasan Kelompok Kerja Visi Anak Bangsa, 2004 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : PT Rosdakarya, 2004 Maria Ulfa, Nalar Politik Perempuan Pesantren, Cirebon: Fahmina Institute, 2006 Mansour Fakih, pengantar dalam Julia Cleves Mosse, Gender & Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajajar, 2004 Nur Iman Subono, Perempuan dan Partisipasi Politik, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan dan The Japan Foundation, 2003 Partini, “Potret Keterlibatan Perempuan dalam Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah”, dalam JSP Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 7 No. 3, Maret 2004 Robert Bogdan dan Steven J. Taylor, Kualitatif Dasar-dasar Penelitian, Terj. A. Khozin Affandi, Usaha Nasional, Surabaya, 1993 Saptari, R. dan Holzner, B. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997 Saiful Arif, dkk, Demokrasi: Sejarah, praktik dan dinamika Pemikiran, Malang, Averrous Press, 2006 Saifuddin Azwar, MA, Sikap Manusia Teori dan Pengukuranya, Yogyakarta: Liberty, 1988 Simone De Beauvoir, The Second Sex Kehidupan Perempuan, diterjemahkan oleh Toni B. Febriantono, dkk, Pustaka Prometea, 2003 Siti Musdah Mulia & Anik Farida, Perempuan dan Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama kerjasama LKAJ dan The Asia Foundation, 2005 Sunyoto Usman. Sosiologi ; Sejarah, Teori dan Metolologi, Yogjakarta : CIReD, 2004 331 332 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 Water R. William, Kehidupan Orang Jawa, Wanita dan Pria dalam Masyarakat Indonesia Modern, (terj) Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo, 1995 B. Sumber lain http://arrosyadi.wordpress.com www.mamboportal.com http://dinamika.uny.ac.id www.digilib.umm.ac.id http://id.wikipedia.org/wiki/Feodalisme Radar Kudus_JAWA POS Suara Pembaharuan Jakarta Jurnal Studi Gender Palastren, Volume 2 Media Indonesia, Laporan Penyelenggaraan Pemilu, KPU Kudus, Tahun 2008 RISE T PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK Moh. Rosyid*) ABSTRACT: This research covers how is the political life of Samin women. It also tries to answer what are factors which influence them to implement the traditional beliefs in their political life. The researcher uses some alternative models to undertake this research, such as ethnomethodology, ethnography, grounded, and phenomenology. The data are analyzed by using qualitative approach to understand the social activities of Samin women in Kudus in terms of general election. It is found that Samin women are very active in their political life. Their activeness are influenced by some factors such as: from theirselves, from their husbands and from the Samin leaders. Keywords: Political act, Samin’s women, Election. A. Pendahuluan Pada esensinya manusia beragama ingin meraih kesuksesan hidup di dunia dan akhirat, kondisi lahir dan batin yang tenteram dan damai. Hal tersebut tercipta karena ajaran yang terkandung dalam agama sebagai bekal menuju pengharapan hidup ideal. Meskipun demikian, dalam tataran realitas -memegangi ajaran agama secara utuh- tak ubahnya memegang bara, sehingga sering dilepaskan oleh si pemegang. Jika agama dapat dijadikan tempat berpijak, tentunya kehidupan ini tidak terjadi konflik. Tetapi berdasarkan penelitian penulis dengan komunitas Samin Kudus memunculkan pemahaman riil bahwa kehidupannya dan keberagamaannya layak dicontoh, tidak sebagaimana anggapan publik yakni komunitas yang terbelakang, instrovet, dan simbol negatif lainnya. Mereka ) Penulis adalah Dosen Jurusan Da’wah STAIN Kudus. 334 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 meyakini beragama Adam, meskipun keberagamaannya, versi pemerintah RI dikategorikan aliran kepercayaan. Hal tersebut merambah pada tataran realitas kehidupan sehari-hari, khususnya dalam praktik menjadi pemilih dalam pemilihan kepala desa (pilkades tahun 2007), pemilihan Bupati Kudus (pilbup tahun 2008), pemilihan Gubernur Jateng (pilgub tahun 2008), pemilu legislatif (pilleg bulan April tahun 2009), dan pemilu presiden (pilpres bulan Juli tahun 2009). Perolehan data awal yang digali penulis mereka berpegang teguh dengan prinsip ajarannya, seperti, ketika bersepakat menjadi pemilih salah satu calon legislatif, di lain kesempatan, mendapatkan tawaran oleh calon legislatif lainnya, ia menolak karena merasa telah berjanji dengan caleg pertama, meskipun komunitas Samin tersebut diteror secara psikis oleh caleg kedua. Begitu pula dalam pemilihan Bupati Kab.Kudus dan Gubernur Jawa Tengah tahun 2008, mereka satu komando yang dimotori oleh tokohnya yang didominasi merasa mendapatkan kepercayaan pihak lain (siapa saja dianggap saudara) dengan datang langsung ke rumahnya, mengungkapkan keinginannya sebagai pemilih, bukan karena money politic. Hal tersebut sebagai bentuk etika berpolitik praktis imbas keberagamaan lokalnya. Penelitian ini akan meneliti kiprah perempuan Samin Kudus dalam berpolitik karena perempuan baik dalam komunitas Samin maupun non-Samin dalam konteks masyarakat tradisional (dianggap) tidak responsif terhadap kebijakan negara karena pada umumnya hidupnya tergantung ’instruksi suami’. Terdapat tiga permasalahan dalam penelitian ini: (1) Bagaimanakah praktik berpolitik bagi perempuan Samin Kudus? (2) Faktor apakah yang mengendalikan diri komunitas Samin dalam memegangi prinsip leluhurnya dan diaplikasikan dalam praktik politik?, (3) Bagaimanakah respon pemerintah dan lingkungan terhadap perilaku politik komunitas Samin Kudus? Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perilaku politik perempuan dalam masyarakat Samin Kudus, untuk mendalami faktor yang mengendalikan diri komunitas Samin dalam memegangi prinsip leluhurnya dan diaplikasikan dalam praktik politik, dan untuk memahami respon pemerintah dan lingkungan terhadap perilaku politik komunitas Samin Kudus. Untuk memotret perilaku politik perempuan Samin Kudus, penelitian ini akan mendasrakan pada konsep politik PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid) dan karakteristik masyarakat Samin. 1. Konsep Politik Menurut Budiardjo (1992) konsep pokok politik meliputi negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan, dan alokasi (kekuasaan), sedangkan menurut Gani (1987), obyek politik meliputi negara, kekuasaan, pemerintahan, fakta politik, kegiatan politik, dan organisasi masyarakat (Eko, 2008:60). Dalam naskah ini terfokus kegiatan politik praktis perempuan Samin Kudus berupa pemilihan kepala desa (pilkades tahun 2007), pemilihan bupati (pilbup tahun 2008), pemilihan gubernur (pilgub tahun 2008), pemilu legislatif (pilleg bulan April tahun 2009 yang lalu), dan pemilu presiden (pilpres bulan Juli tahun 2009). 2. Masyarakat Samin Untuk mendalami keberadaan masyarakat Samin Kudus, perlu membahas awal munculnya istilah Samin, karakter aktivitas, prinsip ajaran dan prinsip hidup, dan faktor kemunculan dan penyebaran Samin di Kota Kudus. a. Awal Munculnya Gerakan Samin Sejarah munculnya gerakan Samin pada tahun 1890-an, menurut antropolog Amrih Widodo, merupakan fenomena sosial yang tertua di seluruh Asia Tenggara, sebagai gerakan petani-protonasionalisme yang semakin mekar akibat ditancapkannya cengkeraman kekuasaan pemerintah kolonial pada akhir abad ke-19 (Kompas, 1/8/2008). Gerakan Samin pada esensinya gerakan perlawanan petani terhadap kebijakan Belanda yang menindas rakyat kecil, sehingga keberadaannya pun menyimpan hipotesa: pertama, menurut Soerjanto (2003:51) akibat merosotnya kewibawaan penguasa pribumi di era penjajahan Belanda berbentuk ritualisme, mistisisme, dan isolasi diri, Kedua, bentuk pertentangan terhadap penjajah Belanda dengan menolak membayar pajak karena pajak untuk penjajah, bukan untuk bangsa pribumi dan gerakannya disebut “sirep” yakni gerakan tanpa bersenjata karena tidak ingin terjadi pertumpahan nyawa, tidak ingin terjadi perseteruan fisik, dan dengan cara sabar (Kardi, 1996:1), Ketiga, tahun 1840 melawan penjajah dengan 335 336 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 cara ekspresif membuat pasukan (gerombolan), merampok warga pribumi kaya karena mengikuti penjajah, untuk dibagikan pada warga pribumi miskin, menamakan dirinya “Tiyang Sami Amin”, Keempat, gerakan pertempuran fisik mengumpulkan pemuda dengan ilmu kanuragan, ilmu kekebalan, dan olahbudi untuk mengusir penjajah (Kardi,1996:2), Kelima, oleh Belanda semula dianggap sebagai ajaran kebatinan embrio munculnya agama baru, dan keenam, faktor tergesernya status sosial kalangan pribumi akibat penerapan pajak dan penyerahan hasil pertanian pada penjajah Belanda sehingga muncul reaksi emosional untuk melawan (Faturrahman, 1998:20). b. Awal Munculnya Istilah Samin Terdapat beberapa versi istilah Samin, pertama, sebagai kata yang memiliki pengertian/bermakna “sama” yakni bersama-sama membela negara melawan penjajah Belanda, kedua, diilhami nama tokohnya Samin Surosentiko atau Raden Surowidjojo (nama ketika tua), Raden Surontiko atau Raden Suratmoko (nama kecil), putra Bupati Tulungagung. Nama Samin bermakna: “sami-sami amin” mempunyai arti: jika semua setuju maka dianggap sah (sama) sebagai bentuk dukungan dari rakyat (Kardi, 1996:2), ketiga, Samin bermakna Sami Wonge (sama orangnya) maksudnya, kita bersaudara diilhami dari prinsip hidupnya, keempat, nama Suku di Jateng, antara lain Samin, Jawa, Karimun, dan Kangean (Sigar, 1998:1), kelima, Samin atau Saminisme adalah anggapan orang Jawa pesisir yang hidup di daerah pinggiran (Endraswara,1999:17), dan keenam, dalam versi dongeng rakyat, kata Samin muncul sebelum Samin Surontiko ada, ketika masyarakat di lembah Sungai Bengawan Solo dari Suku Kalang yakni bekas para Brahmana, pendeta, dan sarjana Majapahit di akhir pemerintahan Brawijaya V yang menyingkir dari Majapahit (Soerjanto,2003:78), meskipun versi tersebut bertolak belakang bahwa keberadaan Samin di Bengawan Solo merupakan usaha R.Surowidjojo memperluas daerah perlawanan terhadap Belanda sejak tahun 1840 (Winarno, 2003:56). Istilah Samin diplesetkan masyarakat umum dengan kata ‘nyamen’ diidentikkan dengan menyalahi tradisi. Menurut masyarakat Samin, kata ‘Samin’ memiliki pengertian PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid) “sama” yakni bila semua anak cucu dapat bersama-sama bersatu membela negara dan menentang penjajah, maka diperoleh kesejahteraan (Kardi, 1996:1). Istilah Samin digeser pengikutnya, dengan asumsi istilah tersebut bertendensi negatif, sehingga kelompok Samin menamakan diri Sedulur Sikep dilatarbelakangi pertimbangan, pertama, mendapat tekanan dari penjajah Belanda, dipimpin seorang petani, Ki Samin Surosentiko (Raden Kohar) semula pujangga Jawa pesisiran pasca-Ronggowarsito menyamar sebagai petani menghimpun kekuatan melawan Belanda. Pada tahun 1890 mengembangkan ajaran Samin di Desa Klopodhuwur, Blora, Jawa Tengah dan pada tahun 1905 setelah banyaknya pengikut, mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Namun pada tahun 1907 Ki Samin Surosentiko diculik Belanda dibawa ke Rembang beserta delapan pengikutnya selanjutnya dibuang di Sawahlunto, Padang, Sumatera Barat dan wafat pada tahun 1914(sebagai tawanan) (Dhewanti, 2004:124). Dengan action itulah, istilah Samin dianggap kelompok pembangkang oleh Belanda dan meluas pada masyarakat umum. Agar image negatif tersebut tidak menempel pada generasi sekarang ini, penggantian julukan dipandang penting. Kedua, julukan yang diberikan oleh aparat desa di wilayah Blora bagian selatan dan wilayah Bojonegoro pada tahun 1903-1905 (sebagai embrio Samin) karena tindakan Samin yang menentang aparat desa (di era penjajahan Belanda) dengan cara tidak membayar pajak dan memisahkan diri dengan masyarakat umum (Faturrahman, 2003), dengan penolakan itulah muncul kata nyamin, ketiga, sebagai wujud simbolisasi penamaan diri dengan filosofi bahwa munculnya kelahiran-kehidupan manusia berawal dari proses “sikep” atau berdekapan (Jawa: bentuk hubungan seksual suami-istri) atau proses menanak nasi secara tradisional adalah melalui proses “nyikep”, dengan nasi dapat dijadikan modal mempertahankan kehidupan, dan keempat, menurut analisis seorang antropolog, Amrih Widodo, kata ‘sikep’ merupakan cara melawan atau menghindari penamaan dengan kata ‘Samin’ akibat konotasi negatif yang dilekatkan pada kata tersebut (Samin) selama bertahun-tahun, terutama ketika wacana Saminisme makin dipisahkan dari semangat gerakan perlawanan petani. Pemasungan kata ‘Samin’ dan ‘Saminisme’ dari konteks sejarah perlawanan merupakan dampak kebijakan politik 337 338 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 kebudayaan dan hegemoni developmentalisme pada rezim Orde Baru (Kompas,1/8/2008). c. Karakter Aktivitas Karakter aktivitas yang dilakukan seorang Samin dipilah, pertama, Samin Sangkak; masyarakat Samin yang jika berinteraksi dengan pihak lain dalam memberikan jawaban menggunakan kirotoboso. Misalnya: teko ngendi, dijawab: teko mburi (dari mana?, dijawab: dari belakang). Lungo ngendi, dijawab: lungo ngarep (dari mana?, dijawab: ke depan). Kedua, Samin Ampeng-ampeng atau Samin Grogol; yakni mengaku Samin, perilakunya tidak sebagaimana ajaran Samin atau jika berbicara seperti Samin (sangkak) perilakunya tidak seperti Samin sejati. Ketiga, Samin Samiroto, mengaku Samin, akan tetapi serba bisa, menjadi Samin sebenarnya sekaligus dapat juga mengikuti adat non-Samin, dan keempat, Samin Sejati atau dlejet; Samin yang berpegang pada prinsip Samin sebenarnya (Rosyid, 2008). Dalam konteks masa lalu, karakter tersebut bentuk perlawanan terhadap penjajah Belanda. Keberadaan warga Samin dalam berinteraksi dengan warga non-Samin menggunakan satu atau ketiga karakter aktivitas tersebut yang dilatarbelakangi pola pandang dirinya terhadap kemajuan era. Di antara pengikut Samin jika mengetahui sejawatnya melaksanakan satu di antara keempat aktivitas tersebut, mereka berujar tanggung dulur ora tanggung karep (Rosyid, 2008). d. Prinsip Ajaran Samin Kudus Samin sebagai pegangan dan keyakinan hidup memiliki prinsip ajaran berupa prinsip dasar, prinsip pantangan (larangan) dasar, dan prinsip hidup. 1) Prinsip Dasar Ajaran Samin Kudus Ajaran Samin mempunyai enam prinsip dasar dalam beretika berupa pantangan untuk tidak Drengki; membuat fitnah, Srei; serakah, Panasten;mudah tersinggung atau membenci sesama, Dawen; mendakwa tanpa bukti, Kemeren; iri hati/syirik, keinginan untuk memiliki barang yang dimiliki orang lain, Nyiyo Marang Sepodo;berbuat nista PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid) terhadap sesama penghuni alam, Bejok reyot iku dulure, waton menungso tur gelem di ndaku sedulur (menyia-nyiakan orang lain tidak boleh, cacat seperti apapun, asal manusia adalah saudara jika mau dijadikan saudara). Sedangkan lima pantangan dasar dalam berinteraksi meliputi bedok; menuduh, colong; mencuri, pethil; mengambil barang (barang yang masih menyatu dengan alam atau masih melekat dengan sumber kehidupannya) misalnya: sayur-mayur ketika masih di ladang, Jumput; mengambil barang (barang yang telah menjadi komoditas di pasar) misalnya: beras, hewan piaraan, dan kebutuhan hidup lainnya, nemu Wae Ora Keno; menemukan menjadi pantangan (Rosyid, 2008). Adapun ajaran dasar dalam berprinsip diri meliputi: kudu weruh te-e dewe, lugu, mligi,lan rukun (Rosyid, 2008). Kudu Weruh the-e dhewe; harus memahami barang yang dimilikinya dan tidak memanfaatkan milik orang lain. Maksudnya pantangan bagi Samin untuk memanfaatkan hak milik orang lain, baik sengaja atau tidak sengaja dalam menggunakannya. Lugu; yakni bila mengadakan perjanjian, transaksi ataupun kesediaan dengan pihak lain; jika sanggup mengatakan ya, jika tidak sanggup atau ragu mengatakan tidak. Hal ini menggambarkan Samin tidak mengenal istilah kira-kira (perkiraan kesanggupan). Kecuali jika pada saat menepati janji menghadapi kendala yang tidak diduga, seperti sakit. Mligi; taat pada aturan yang ada berupa prinsip beretika dan prinsip berinteraksi. Doktrin yang dipegang oleh Samin melalui indoktrinasi prinsip dasar mligi, sehingga ajaran dan prinsip pantangan dasarnya senantiasa dipegang erat sebagai bukti keseriusan dan ketaatan memegangi ajarannya. Di antara aturan yang tidak boleh dilanggar adalah judi karena dianggap sebagai faktor pemicu menurunnya semangat kerja dan hubungan seks bebas karena bukan haknya. Rukun dengan siapa saja, sehingga menumbuhkan solidaritas yang tinggi oleh kelompok Samin terhadap siapa saja yang dijumpai. Ajaran dasar dalam berprinsip itulah yang membedakan dengan komunitas non-Samin dalam berpartisipasi politik, sebagaimana data awal yang digali penulis dari obyek penelitian. 339 340 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 2) Pantangan Dasar Ajaran Samin Kudus Adapun lima pantangan dasar ajaran Samin meliputi: tidak boleh mendidik dengan pendidikan formal, tidak boleh bercelana panjang, tidak boleh berpeci, tidak diperbolehkan berdagang, dan tidak diperbolehkan beristri lebih dari satu. Pertama, tidak diperbolehkan mendidik anak melalui pendidikan formal (sekolah), anak hanya dibekali pendidikan informal (pendidikan yang dilakukan kedua orangtuanya sendiri dalam rumah tangganya) bermaterikan prinsip dasar beretika. Tidak aktif pada pendidikan formal, menurut analisis penulis bertujuan jika melaksanakan pendidikan formal, maka merangsang anak untuk membaca dan menulis, padahal kedua kemampuan itu mengarahkan dan merangsang anak untuk memenuhi syarat formal menjadi pekerja di luar pertanian, imbasnya anak akan bekerja di luar pantauan orang tua dan timbul suatu harapan untuk melepaskan ikatan kekeluargaan dan jika melaksanakan pendidikan formal berdampak komunikasi dengan masyarakat umum dengan luas, maka anak akan mudah terangsang dengan budaya yang selama ini dijauhi oleh Samin, misalnya, nikah dengan orang selain pengikut Samin. Kedua, tidak diperbolehkan bercelana panjang, hal ini untuk membedakan asesori pakaian yang dipakai oleh Belanda dengan pengikut Samin yakni mengenakan udeng (ikat kepala), suwal/tokong (celana pendek tepat di bawah lutut), bhebhet (sarung), pakaian berupa baju atau kaos sebagaimana masyarakat umumnya, dan warna pakaian kebesarannya adalah hitam ketika memenuhi acara pirukunan. Ketiga, tidak diperbolehkan berpeci, hal ini dikarenakan pengikut Samin mempunyai identitas pakaian (asesoris) yang melekat pada kepala berupa udeng (iket kepala) yang dipakai ketika acara resmi maupun menghadiri undangan tetangga yang bukan pengikut Samin. Jika masyarakat Samin berada di sawah mereka mengenakan penutup kepala berupa caping atau topi pet lazimnya masyarakat petani Kudus (nonSamin). Keempat, tidak diperbolehkan berdagang, hal ini mengandung pesan bahwa seseorang yang berdagang akan meraih untung/hasil. Laba yang diperoleh dalam proses penjualan tersebut versi Samin dianggap merugikan pihak lain. Apabila terpaksa melakukan transaksi penjualan, maka harga harus lebih rendah dibanding ketika belanja PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid) semula, dan kelima, tidak diperbolehkan beristri lebih dari satu, menurutnya membuka kesempatan terjadi konflik keluarga, sehingga dijauhi. Meskipun prinsip dan pantangan dasar ajaran Samin secara normatif adalah ajaran ideal, tetapi dalam tataran realitas, bukan berarti orang (yang mengaku) Samin dapat selalu melaksanakan secara utuh dilatarbelakangi oleh diri manusia yang dibekali nafsu duniawiah yang kadangkala menafikan ajaran secara utuh. Hal ini terlihat dalam bentuk tipologi Samin meliputi Samin Sangkak; masyarakat Samin jika berinteraksi menggunakan kirotoboso. Misalnya: teko ngendi, dijawab: teko mburi (dari mana?, dijawab: dari belakang), lungo ngendi, dijawab: lungo ngarep (ke mana?, dijawab: ke depan), Samin Ampeng-ampeng, mengaku Samin, perilakunya tidak Samin atau jika berbicara seperti Samin (sangkak) perilakunya tidak seperti Samin sejati, Samin Sejati/ dlejet; Samin berpegang prinsip seutuhnya, Samin Samiroto, Samin yang memudahkan prinsip, ingin mengikuti budaya luar Samin (Rosyid, 2008). 3) Prinsip Hidup SAMIN Kudus Prinsip dasar hidup yang dipegangi masyarakat Samin terdapat tiga fondasi pokok meliputi seger waras (sehat sentosa), rukun, dan becik-apek sak rinane sak wengine. Pertama, Seger waras (sehat sentosa); Prinsip ini sangat tinggi nilainya dalam takaran kesejahteraan hidup manusia, karena tanpa adanya aspek sehat sentosa hidup ini tidak sempurna dan tidak akan mencapai sejahtera. Karena sehat sentosa adalah kebutuhan pokok yang tidak dapat ditawar dengan materi lain. Hal ini peneliti saksikan ketika bertandang ke rumah Samin selalu menjadi bahan pertanyaan pertama adalah kondisi kesehatan peneliti beserta keluarga peneliti. Kedatangan peneliti (diharapkan) untuk menengok kesehatan keluarga Samin dan akhirnya saling mendoakan. Kedua, rukun merupakan aktivitas kedua yang dijadikan prinsip hidup Samin setelah menggapai sehat sentosa, karena rukun pun merupakan kebutuhan asasi yang sangat penting untuk menggapai kebahagiaan individu dan masyarakat bahkan skala internasional. Hal ini pun yang dijadikan argumen Samin untuk berkumpul dalam satu lingkungan rumah tangga, dan ketiga, Becik- apek sak rinane sak wengine (baik, di 341 342 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 saat siang dan malam hari). Dengan demikian, prinsip ajaran, prinsip hidup, dan pantangan dasar Samin tidak melarang berpolitik, bahkan keikutsertaannya dalam berpolitik (pemilu) sejak pertama kali pemilu diadakan hingga kini. 4) Faktor Kemunculan Samin di Wilayah Kudus Munculnya masyarakat Samin di Kudus karena beberapa faktor, Pertama, secara geografis berdekatan dengan wilayah Kab. Pati yang menjadi basis berkembangnya Samin selain di Blora, misalnya Dukuh Bombong, Ngawen, Galiran, dan Sukolilo hingga kini. Kedua, karena faktor geografis desa ’Samin’ berada di pedesaan, sesuai “teori gelombang dalam bejana” semakin jauh dari titik gelombang, getaran gelombang makin tipis dan mengecil, sehingga imbas pembangunan “sedikit” terbatas dibandingkan dengan wilayah yang dekat dengan pemerintahan. Meskipun akhir tahun 2009, pembangunan infrastruktur desa (jembatan) kian nampak di Dukuh Kaliyoso, Desa Karangrowo, Undaan, Kudus. Hal ini sederap dua bentuk sindrom pedesaan (rural syndrome) yakni (a) sindrom kemiskinan karena produktivitas rendah, adanya pengangguran, banyaknya penduduk yang tuna-tanah, kurang gizi, dan banyaknya buta huruf (b) sindrom inertia berupa passivisme, fatalisme, serba patuh, dan ketergantungan (interdependence). Sindrom tersebut akibat terbatasnya pemanfaatan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA), adanya feodalisme, sikap dan sistem kepercayaan yang masih berakar pada magi (Kartodirjo, 1996:74). Meskipun desa memiliki dua potensi yakni (a) unsur sumber daya sosial budaya berupa tingginya kepercayaan pada pimpinan, fanatisme ideologi, dan kokohnya memegang lembaga desa dan (b) sumber daya manusiawi di pedesaan berupa tenaga (energy) yang all round (siap pakai), loyal pada pimpinan, berorganisasi dengan kokoh, tersusunnya lembaga desa yang valid, tersedianya keterampilan alami (latin), dan tersedianya teknologi (yang belum dikelola) (Kartodirjo, 1994:163). Sumber daya tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal karena kepemimpinan di desa jauh dari nuansa berpikir prospektif ke depan karena dominasi lingkungan pedesaan yang tergantung pada keramahan pertanian. Ketiga, pembangunan bidang PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid) keagamaan (agama ’pancasila’) yang kurang maksimal di kampung ‘Samin’, jika dibandingkan wilayah Kudus yang memiliki beberapa lembaga keagamaan (pesantren) dan terdapat beberapa tokoh kharismatik yang membidangi ilmu agama. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cermin (Central Riset dan Manajemen Informasi) Kudus (2005) bahwa di Kota Kudus terdapat 86 pondok pesantren dengan tipologi keilmuan pesantren. Tetapi karena keterbatasan sarana dan kiprah agamawan di desa ’Samin’, hal tersebut mendukung berkembangnya “budaya dan agama Samin” karena di desa tersebut tidak terdapat satu pun pondok pesantren, dan keempat, kehidupan masyarakat di sekitar warga Samin berada adalah permisif, maksudnya, menerima (responsif) jika terdapat sekte atau komunitas lain asalkan tidak mengganggu kenyamanan sosial (Rosyid, 2008). 5) Penyebaran Samin Kudus Benang merah penghubung dan penyebar ajaran Samin di Kudus tidak terlepas dari kiprah Bapak Sosar (warga Desa Kutuk), Bapak Radiwongso (warga Dukuh Kaliyoso), Bpk. Amat Ngargono (warga Duku Mijen, Desa Bulungcangkring), dan Bapak Proyongaden (warga Desa Larekrejo) dengan pembawa ajaran Samin masa lalu yang dilatarbelakangi faktor pertemanan. Penyebaran ajaran Samin di Kudus terdapat beberapa versi pertama, Samin Kudus berasal dari Desa Klopodhuwur Kab.Blora, Jateng, tahun 1890, ketika Sosar, Radiwongso, Amat Ngargono, dan Bapak Proyongaden bertemu dengan Bpk. Surondiko. Meskipun sumber sejarah tidak menyajikan tahun kedatangan dan penyebarannya. Kedua, ajaran Samin berasal dari Desa Randublatung, Blora, Jawa Tengah yang dimotori oleh Surowijoyo, diteruskan putranya Surosentiko bertemu dengan Sosar (warga Desa Kutuk), Radiwongso (warga Dukuh Kaliyoso Desa Karangrowo), Proyongaden (warga Desa Larekrejo), dan Amat Ngargo (warga Dukuh Mijen, Desa Bulungcangkring), sehingga terjadi komunikasi dan memunculkan Samin di Kudus, Ketiga, menurut analisis Soerjanto (2003:19) ajaran Samin datang di Desa Kutuk, Kudus melalui Ki Samin Surowijoyo dari Randublatung, Blora, Jateng, membawa kitab “Serat Jamus Kalimasada” berbahasa Jawa kuno berbentuk sekar macapat dan prosa (gancaran). 343 344 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 Meskipun sumber ini tidak melengkapi data siapakah personil yang membawa kitab tersebut, dan keempat, ekspansi yang dilakukan oleh R.Kohar untuk membangun pusat perlawanan terhadap Belanda (Winarno,2003:57), dan kelima, ajaran Samin di Kudus tahun 1916 dibawa oleh pengikut Samin Surosentiko (Suripan, 1996:16) diawali kegagalan ekspansi di daerah Tuban (Faturrahman, 2003:19). Hingga sekarang, ajaran Samin di Desa Kutuk diteruskan Bpk. Sukari, di Dukuh Kaliyoso sebagai sesepuh adalah Bapak Wargono yang meneruskan ketokohan Bpk. Sumar, dan di Desa Larekrejo sebagai sesepuhnya Bapak Santoso yang meneruskan ketokohan Bpk.Sakam yang wafat tahun 2006. Jalur penerimaan ajaran Samin di Desa Larekrejo, Kec. Undaan. Kab. Kudus kiprah Surosentiko, Surokidin, Proyongaden, yang diteruskan oleh Towijoyo, Kastohadi, dan Kasrani. Tidak sebagaimana silsilah yang dibuat penulis dalam buku Samin Kudus Bersahaja di tengah Asketisme Lokal (2008) yakni Suronggono, Surosentiko, Surokidin, Proyongaden, dan diteruskan oleh Towijoyo, Kastohadi, dan Kasrani. B. Metode Penelitian Berdasarkan bidang keilmuan dikategorikan penelitian yang berobjekkan fenomena sosial-budaya (masyarakat) Samin Kudus yang merespon kebijakan pemerintah dalam ikut serta pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades tahun 2007), pemilihan bupati (pilbup tahun 2008), pemilihan gubernur (pilgub tahun 2008), pemilu legislatif (pilleg bulan April tahun 2009 yang lalu), dan pemilu presiden. Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah kualitatif karena memahami perilaku sosial berdasarkan perspektif masyarakat Samin Kudus dalam memenuhi hak asasi di bidang politik praktis yakni pemilu. Menurut Nana (2006:53) analisis kualitatif dipilah menjadi dua yakni interaktif dan noninteraktif. Interaktif meliputi etnografis, historis, fenomenologis, studi kasus, teori dasar, dan studi kritis, sedangkan noninteraktif meliputi analisis konsep, analisis kebijakan, dan analisis historis. Dalam naskah ini terfokus pada interaktif etnografis. PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid) Penelitian ini dikategorikan penelitian terapan dengan tujuan memahami peran serta masyarakat Samin Kudus di bidang pemilihan umum. Adapun metode penelitian ini terpetakan atas ciri khas penelitian budaya, penentuan latar penelitian, pemilihan lokus, strategi pengumpulan data, teknik penentuan informan, dan satuan kajian (unit analisis), teknik analisis data, keterandalan dan kesahihan data. 1. Ciri Khas Penelitian Budaya Penelitian ini mengulas ciri khas penelitian budaya karena sebagian penelitian ini mengulas seputar budaya masyarakat Samin Kudus yang menjadi sikap politik Samin. Menurut Featherstone dalam Irwan (1999) terdapat tiga konteks kebudayaan yang perlu diperhatikan oleh peneliti budaya yakni produksi kebudayaan, sociogenesis kebudayaan, dan psicho-genesis. Pertama, produksi kebudayaan diasumsikan dua, pertimbangan pelaku budaya dan ketertarikan. Jika kebudayaan mendapatkan respon dari pelaku budaya, maka muncul kebudayaan baru, jika kebudayaan mendapatkan daya tarik, muncul inovasi. Kedua, socio-genesis kebudayaan bahwa kebudayaan akan terikat oleh lingkup (boundary) yang mengitarinya. Lingkup sosial akan menciptakan produk budaya yang lain, karena di antara unsur sosial budaya tersebut merasa saling terkait, bahkan saling ketergantungan kepentingan. Ketiga, psichogenesis kebudayaan. Kebudayaan yang tumbuh secara alamiah karena memenuhi kebutuhan batin manusia yang kadangkala jauh dari kepentingan materiil (Endraswara, 2006:24). Dalam konteks masyarakat Samin Kudus, faktor psikogenesis dominan karena kebudayaan masyarakat Samin Kudus tumbuh alamiah didominasi kebutuhan batin yakni memenuhi prinsip leluhurnya. Dalam analisis Endraswara (2006:78) ciri khas penelitian kebudayaan adalah (i) latar penelitian biasanya spesifik dengan mengungkapkan permasalahan unik dan tertentu, (ii) biasanya penelitian budaya mengarah pada konteks lapangan (field research), (iii) rancangan penelitian lentur yang sangat ditentukan oleh kondisi lapangan (data), (iv) data dianalisis sejak penggalian data hingga analisis data, (v) penelitiannya bersifat sementara, mudah berubah, dan sangat lokatif, (vi) penelitian budaya mencari trasferbalitas antarfenomena bukan mencari 345 346 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 generalisasi atau rumusan umum, dan (vii) penelitiannya bersifat holistik, integratif, dan interaktif, bukan parsial. Masyarakat Samin Kudus dijadikan penelitian budaya memenuhi ciri khas penelitian budaya sebagaimana analisis Endraswara yakni dalam tataran spesifikasi dan konteks lapangan, mengungkapkan permasalahan tertentu yakni keaktifan masyarakat Samin dalam mengikuti pelaksanaan pemilu yang benar-benar ngugemi prinsip keSaminannya, sehingga rancangan penelitian ini lentur karena ditentukan kondisi lapangan (data) dan peneliti menggali dan menganalisisnya secara utuh. Penelitian ini mengalami perubahan dalam hal menggali data, maksudnya semakin banyak data dan tajamnya analisis, besar peluangnya diperoleh hasil penelitian yang lebih baik. Adapun penelitian ini mencari transferbalitas antarfenomena yang bersifat holistik, integratif, dan interaktif dengan berbagai teori yang ada dan penggalian data secara utuh. 2. Ciri Khas Penelitian Politik Berdasarkan klasifikasi Unesco, ruang lingkup kajian politik meliputi teori politik, lembaga politik, partai politik, dan hubungan perpolitikan (Eko, 2008:62). Dengan demikian, ciri khas penelitian politik adalah jika satu klasifikasi kajian politik tersebut menjadi obyek telaah. Dalam naskah ini terfokus pada telaah hubungan politik antara pelaku politik dengan pemilih (partai atau tokoh) politik. Pelaku politik berupa partai politik dan tokoh (penguasa) politik, sedangkan pemilih (politik) nya adalah masyarakat Samin Kudus. Menurut Eko (2008:63) pendekatan dalam kajian politik terpilah dalam tiga hal, tradisional (historis, legalistis, dan institusional), behavioral (tingkah laku pelaku politik), dan postbehavioral (kajian keilmuan politik). Dalam naskah ini terfokus pada tingkah laku pemilih (perempuan Samin Kudus). 3. Penentuan Latar Penelitian 1) Kerangka Teoretik Pada dasarnya desain penelitian budaya menurut Endraswara (2006:97 terdapat beberapa alternatif yakni PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid) etnometodologi (analisis wacana), etnografi, grounded, dan fenomenologi. Adapun kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori grounded, etnografi, dan fenomenologi. (a) Teori Grounded Teori grounded berawal dari asumsi bahwa data diangkat dari empiri, bukan apriori. Oleh sebab itu, bangunan teori yang diperoleh bercorak alami sesuai kondisi lapangan penelitian. Adapun langkah yang dilakukan adalah memahami realita sosial yang dihadapi, menggali pertanyaan dasar tentang realitas, dan merekonstruksi data dengan hipotesa baru yang dikembangkan menjadi tesa baru (Sudjarwo, 2001:30 dan 61). Menurut Spradley, teori grounded mengembangkan teori berdasarkan data empirideskriptif terhadap fenomena kebudayaan (1997:14). Sedangkan menurut Mudzhar (1998:47) penelitian yang menggunakan teori grounded pada dasarnya dengan metode penelitian sosial-budaya bertujuan menemukan teori melalui data yang diperoleh secara sistematik. Metode yang digunakan analisis komparatif konstan dengan ciri menemukan atau merumuskan teori, adanya data sistematik, dan menggunakan analisis komparatif konstan. Harapan dan pertimbangan menggunakan teori grounded adalah menilai kegunaan teori dari segi perumusan, keruntutan logika, kejelasan, kehematan, kepadatan, dan keutuhan dalam operasional penelitian itu sendiri. Sedangkan teori yang ada terbangun pada akhir penelitian. Sedangkan Muhadjir (1996:86) beranggapan para ahli ilmu sosial berupaya menemukan teori berdasarkan data empiris, bukan membangun teori secara deduktif-logis. Teori itu disebut grounded theory dan model penelitiannya disebut grounded research salah satu model metode penelitian berupaya mencari sosok kualitatif melepaskan pola pikir kuantitatif-matematik. Penelitian ini berpedoman pada logika konsisten, masalahnya jelas, efesien, dan integratif. Berbeda dengan Endraswara (2006:99), perangkat penelitian menggunakan kerangka teori grounded meliputi (i) tipe pertanyaan penelitian berupa proses budaya yang terkait dengan perubahan budaya dari waktu ke waktu, (ii) menggunakan paradigma sosiologi dan simbolik interaksionalisme (sebagai alternatif), (iii) metode perolehan data dengan wawancara, (iv) sumber data berupa partisipasi observasi atau catatan harian, (v) informan/partisipannya anggota komunitas budaya, (vi) 347 348 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 ukuran sampelnya 30-50 informan, (vii) metode pengumpulan datanya dengan wawancara in-depth atau observasi dan hasil yang diharapkan berupa deskripsi proses budaya. Penelitian ini ‘mengindahkan’ teori grounded dengan pertimbangan diperoleh hasil penelitian yang ideal berpegang konsepsi teori grounded. (b) Teori Etnografi Dalam analisis B. Tedlock (2000:455) etnografi involves an on going attempt to place specific encounters, events, and understandings into a fuller, more meaningful context. It is not simply the production of new information or data are transformed into a written or visual form. Sedangkan menurut Endraswara (2006: 98-99) perangkat teori etnografi meliputi sembilan hal yakni (i) tipe pertanyaan berupa deskripsi nilai dan kepercayaan suatu kelompok budaya, (ii) menggunakan paradigma budaya, (iii) metode pemerolehan data dengan wawancara tidak terstruktur, observasi-partisipasi, dan catatan lapangan, (iv) dengan sumber data dukung lainnya seperti: dokumen, laporan, fotografi, dan diagram hubungan sosial, (v) fokus pertanyaan (bagaimana perasaan dan kesan seorang dalam sebuah budaya), (vi) partisipan/informan berupa pelaku budaya di masyarakat, (vii) ukuran sampel kurang lebih 30-50 informan/partisipan, (viii) metode pengumpulan data berupa wawancara in-depth (mendalam) dan observasi partisipan (pengamatan terlibat), dan (ix) tipe hasil diharapkan berupa deskripsi terhadap fenomena budaya yang sedang, telah, dan (mungkin) akan terjadi. Teori etnografi menurut Spradley (1997:5) berupaya memerhatikan makna (hasil) tindakan dan fenomena yang dilakukan individu sebagai objek penelitian. Menurut Sudikan (2001:86) penelitian etnografi adalah aktivitas pengumpulan data dilakukan secara sistematik tentang cara hidup dalam berbagai aktivitas sosial berkaitan dengan berbagai kebudayaan mengkaji aspek mendasar meliputi apa yang mereka lakukan, apa yang mereka ketahui, dan kendala apa yang mereka gunakan dalam mensikapi kehidupan. Adapun Muhadjir (1996:94) beranggapan penelitian etnografi terkait dunia antropologi yang mempelajari peristiwa budaya dan menyajikan pandangan hidup objek studinya. Model ini mendeskripsikan tata cara berpikir, hidup, berperilaku, dengan metode mendeskripsikan kehidupan PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid) masyarakat sebagaimana adanya. Sedangkan dimensi etnografi meliputi induksi-deduktif, generatif-verifikatif, dan konstruktifenumeratif. Dimensi induktif diharapkan dapat menemukan teori yang menjelaskan data, sedangkan dimensi deduktif mengharapkan data yang mendukung teori. Dimensi generatif mengarah penemuan konstruktif dan proposisi dengan data eviden, sedangkan dimensi verifikatif adalah mencari evidensi agar hipotesisnya dapat diaplikasikan lebih luas dan universal. Pada dimensi konstruktif mengarahkan penelitian untuk menemukan konstruksi atau kategori melalui analisis dan proses abstraksi. Sedangkan dimensi enumeratif merumuskan atau menjabarkan unit analisis. Adapun sampel dalam studi etnografi tidak berdasarkan probabilitas dengan prinsip acak (random), tetapi bertahap karena hasil penelitian memiliki komparabilitas (dapat dibandingkan) dan transbilitas (dapat diterjemahkan) dengan penelitian lain. Dalam analisis Muhadjir (1996:98) dasar pijakan penelitian dengan metode etnografi menurut Robert C. Bogdan (1982) terdapat empat dasar yang dipilih jika berposisi sebagai peneliti (1) jadilah praktisi yang sesuai dengan tingkat kemampuan diri peneliti, (2) pilihlah lokus yang agak asing agar dapat memosisikan diri antara diri sebagai peneliti atau sebagai warga masyarakat, (3) tidak berpegang secara kaku terhadap rencana dan perlu fleksibel terhadap penelitian terdahulu, dan (4) ambillah topik tertentu yang spesifik. Hal itu diperkuat dalam analisis Muhadjir (1996:126) tentang desain penelitian etnografi dengan model multiple site studies yakni pengembangan teori bermodalkan pengalaman berpikir teoretik dan kecakapan menghimpun data untuk mendukung konsep. Metode etnografi kategori metode naturalistik karena membangun kredibilitas dengan cara (i) menguji terpercayanya temuan, (b) audiensi dengan para peneliti lain untuk mengatasi biasnya hasil penelitian, (c) analisis kasus negatif yang berfungsi merevisi hipotesis, (d) menguji hasil temuan tentatif dan penafsiran dengan perangkat elektronik atau lainnya, dan (e) menguji temuan kelompok dari mana diperoleh data. Sedangkan Guba, mengetengahkan teknik menguji terpercayanya hasil penelitian dengan (i) memperpanjang waktu tinggal di lokasi, dengan tujuan mempelajari budayanya, menguji informasi 349 350 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 yang salah, dan menumbuhkan kepercayaan, (ii) dalam mengobservasi lebih tekun, dan (iii) menguji dengan cara triangulasi. Triangulasi menurut Denzin menggunakan sumber ganda, metode ganda, peneliti ganda, dan teori yang berbedabeda (Muhadjir, 1996:126). (c) Teori Fenomenologi Teori fenomenologi menurut Muhadjir (1996:12) berasumsi bahwa objek ilmu tidak terbatas pada sesuatu yang empirik (sensual), tetapi mencakup fenomena berupa persepsi (anggapan), pemikiran, kemauan, dan keyakinan subyek tentang sesuatu di luarnya dan mengupas sesuatu yang transenden dan aposteriorik. Metode fenomenologi identik dengan metode rasionalistik yang menolak penggunaan kerangka teori sebagai langkah persiapan penelitian, tetapi mengakui kebenaran etik. Adapun langkah metode fenomenologi menuntut bersatunya peneliti (subjek) dengan objek dengan model pendalaman/penghayatan. dengan ciri logis dan etis. Kelogisan bermakna kebenaran dalam penelitian tersebut hanya mengakui kebenaran secara empirik sensual dan logis, artinya hanya mengakui kebenaran bila dapat dibuktikan secara empirikinderawi dalam konteks kausal yang dapat dilacak, sedangkan etis adalah kebenaran diakui jika bersifat empirik-etik yakni kebenaran yang berdasarkan akal budi untuk melacak, menjelaskan, dan berargumentasi. 2) Teknik Operasional a) Pemilihan Lokus Pertimbangan memilih lokus penelitian pada masyarakat Samin Kudus adalah (i) peneliti telah meneliti komunitas Samin. Belum (banyak) mengulas partisipasi di bidang politik praktis (Pemilu), (ii) peneliti hidup dan berdomisili di wilayah Kab. Kudus, diharapkan menggali dan menganalisis data diperoleh kemudahan mengakses, dan (iii) peneliti belum menemukan kajian khusus sebagaimana tertuang dalam poin (i). b) Jenis Data Jenis data penelitian ini berpijak dari hasil pemikiran dan penelusuran dokumentasi oleh penulis berupa komitmen PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid) beragama lokal masyarakat Samin Kudus kaitannya dengan keikutsertaannya dalam politik praktis berupa pemilihan kepala desa (pilkades tahun 2007), pemilihan bupati (pilbup tahun 2008), pemilihan gubernur (pilgub tahun 2008), pemilu legislatif (pilleg bulan April tahun 2009 yang lalu), dan pemilu presiden (pilpres bulan Juli tahun 2009). 4. Strategi dan Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data menggunakan strategi etnografi. Menurut Sudikan (2001:105) strategi etnografi dilakukan dengan wawancara, pencatatan, dokumentasi, pengamatan terlibat, dan analisis antarkomponen. Pertama, Penelitian ini menggunakan wawancara informal, tidak terstruktur, terbuka, dan proses penggalian secara lisan dengan pertimbangan lebih praktis. Kedua, pencatatan hal-hal yang terjawab oleh objek penelitian berdasarkan pertanyaan peneliti, ketiga, dokumentasi; merupakan data yang bersumber dari karya yang tertulis sebagai pijakan telaah. Dalam penelitian ini difokuskan pada faktor keberagamaannya yang dikaitkan dengan respon positif dalam pemilu. Keempat, pengamatan terlibat. Dalam penelitian ini, Peneliti singah secara periodik bersama dengan komunitas Samin Kudus dengan harapan diperoleh data yang murni, dan kelima, analisis antar komponen; analisis yang dilakukan dengan tujuan mengombinasikan dan memformulasikan seluruh teknik pengumpulan data yang dilakukan secara padu. Kelima strategi pengumpulan data tersebut digunakan oleh peneliti dengan harapan diperoleh hasil analisis yang idial. 5. Sumber Data Penelitian kualitatif bertujuan memahami gejala atau fenomena sosial, kedudukan masyarakat sebagai subyek yakni masyarakat Samin Kudus ketika mengaktifkan diri dalam pelaksanaan pemilu. Sumber data tersebut dikualifikasikan berupa pertama, narasumber (informan), terdiri tokoh Samin Kudus, warga Samin Kudus secara acak yang terdistribusi di lima wilayah, dan unsur aparat desa di lokasi di mana masyarakat Samin Kudus berada. Kedua, aktivitas, berupa keaktifan masyarakat Samin Kudus dalam mengikuti pemilu, terlibat aktif sebagai tim sukses, dan pencoblosan di Tempat Pemilihan Suara (TPS). Ketiga, lokasi, lokasi di mana masyarakat Samin Kudus berada terdistribusi di lima wilayah. Sumber data 351 352 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 mengandalkan snowbolling sampling yakni optimalisasi diri peneliti dalam mendeteksi data yang diraih dalam penelitian bersumber dari informan awal dan berlanjut pada informan lainnya, dan keempat, dokumen yang diperoleh dari dokumen tertulis berupa pemberitaan media, produk perundangan, dan buku. 6. Teknik Penentuan Informan dan Satuan Kajian Informan yang dijadikan sumber penelitian adalah masyarakat Samin Kudus, tokoh masyarakat Samin Kudus, tokoh masyarakat non-Samin Kudus, unsur pemerintahan Kabupaten Kudus, masyarakat non-Samin (tetangga) Samin Kudus dan pelaku politik, seperti calon peserta pilkades, pilleg, tim sukses pilbup dan pilgub. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan diperoleh data yang utuh dan idial. Karena kelima komponen tersebut sebagai sumber diperolehnya data dalam penelitian ini. Adapun yang dijadikan unit analisis antara lain (i) ketua kelompok masyarakat Samin Kudus, (ii) masyarakat Samin Kudus secara random, (iii) unsur pemerintahan Kab. Kudus, (iv) masyarakat, khususnya yang intensitas komunikasinya dengan masyarakat Samin Kudus pada frekuensi dekat-rapat, dan (v) unsur lain sebagai penunjang-pemerkuat perolehan dan validitas data, seperti calon peserta pilkades, pilleg, tim sukses pilbup dan pilgub. Dilakukannya hal tersebut bertujuan utama diperoleh data utuh, valid, dan berkesinambungan. 7. Teknik Analisis dan Keterandalan Data Teknik analisis data menggunakan kajian etnografi, analisis riwayat hidup, dan analisis isi. Kajian etnografi bertujuan memahami aktivitas budaya masyarakat Samin Kudus dalam mengikuti pelaksanaan pemilu (Pilkades, Pilbup, Pilgub, Pilleg, dan Pilpres). Hal tersebut diharapkan dapat menemukan aspek yang melatarbelakangi ketaatannya memegangi prinsip ajaran Samin dan diaplikasikan secara utuh dalam kehidupan dan perpolitikan. Analisis Riwayat Hidup; analisis dengan tujuan memahami secara jeli pengalaman hidup informan meliputi unsur yang tersebut dalam kajian etnografi {poin di atas}. Analisis Isi (Content Analysis); untuk mengkaji dehumanisasi atas doktrin budaya dan Untuk mendapatkan data yang andal, menurut Maryaeni PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid) (2005:27) dan Endraswara (2006:110) langkah yang dilakukan peneliti dengan model triangulasi (sumber data, pengumpulan data, metode, dan teori). Triangulasi Sumber Data; Langkah ini dilakukan dengan cara mencari data dari sumber sebanyakbanyaknya (terukur sesuai kebutuhan penelitian) atau dari berbagai sumber yang terlibat secara langsung kaitannya dengan topik penelitian. Triangulasi Pengumpulan Data; Hal ini dilakukan dengan cara mencari data dari berbagai sumber yang tidak berkaitan langsung dengan penelitian dengan harapan diperoleh data dukung yang bersifat memperkuat data utama. Triangulasi Metode; Triangulasi metode dilakukan dengan tujuan memperoleh variasi dan keakuratan hasil penelitian karena proses perpaduan antara observasi (pengamatan terlibat), wawancara, dokumentasi, dan lainnya. Triangulasi Teori; Triangulasi teori dilakukan dengan mengecek kevalidan dan keakuratan data bersumber dari berbagai metode berupa data mentah dalam bentuk (a) catatan lapangan, dokumentasi, dsb. (b) hasil analisis bersumber dari konsep, (c) hasil sintesis data (tafsiran, simpulan, definisi, laporan akhir), dan (d) catatan proses yang digunakan (metode, strategi, dan prosedur). Untuk memperkuat sahnya data, menurut Endraswara (2006:111) dengan mengedepankan aspek kredibilitas, transferbalitas, auditabilitas dan dependabilitas (reliabilitas), konfirmabilitas, dan triangulasi. Kredibilitas; cara mendapatkan data dengan model (i) memperpanjang alokasi waktu (sesuai tarjet waktu yang direncanakan secara maksimal) mengobservasi dengan mempertimbangkan aspek sangkil-mangkus (efektifefesien) agar mengenal responden lebih dekat-akrab dalam batas kewajaran, diharapkan mampu membuka katup pandora yang menutupi (esensi) budaya dan agamanya menjadi data penelitian yang valid dan aktual, (ii) peer debriefing dengan membicarakan materi dan permasalahan penelitian kepada pihak lain yang memiliki concent dengan materi penelitian yang digarap oleh peneliti, dan (iii) member check, pengulangan setiap persoalan jika (dimungkinkan) terdapat kesalahan, dengan forum group discus (FGD) kepada mitra peneliti dengan pertimbangan terhindar dari kesalahan data dan kesalahan lainnya. Transferbalitas; dilakukan dengan cara mencari validitas eksternal, maksudnya apakah penelitian ini dapat diterapkan atau disejajarkan dengan kasus (fenomena penelitian lain yang bermaterikan identik) untuk dicari sisi kesamaan dan perbedaan. 353 354 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 Auditabilitas dan dependabilitas (reliabilitas); Cara ini ditempuh dengan tujuan memeroleh kesamaan hasil penelitian jika diadakan pengulangan (penelitian) dengan tujuan memperoleh konsistensi dengan teknik: pengamatan oleh dua orang atau lebih terhadap fenomena budaya, checking data dilakukan dengan mencari data dari orang lain, dan audit trail yakni dilakukan pembimbingan untuk memeriksa selama proses konsultasi dengan pihak yang berkompeten. Konfirmabilitas; merupakan bagian dari cara memperoleh kebenaran data dan hasil analisis data dengan cara mengonfirmasi (cek silang dan cek ulang) terhadap komunitas lain di sekeliling objek yang diteliti. Hal ini dilakukan peneliti dengan cara memberikan kesempatan pada tokoh Samin dan para peneliti yang konsen dengannya untuk membaca ulang hasil penelitian ini. Triangulasi; merupakan penggabungan terhadap tiga hal yakni sumber data, pengumpulan data, dan teori. Dengan ketiga hal tersebut, diharapkan hasil penelitian dapat dipahami dengan benar dan jelas alur perolehan data dan proses analisisnya. Semua unsur tersebut dilakukan dengan optimal dengan harapan diperoleh data dan analisis data yang sesuai dengan tujuan penelitian. C. Hasil Penelitian Masyarakat Samin Kudus dalam merespon kebijakan pemerintah masa kini responsif dan akomodatif. Sebagaimana doktrin yang ditanamkan nenek moyangnya, Surokidin pada generasinya ketika di Gunung Gede, alas Cemoro Sewu wilayah Tawangmangu, Kab. Karanganyar, Jateng dengan pernyataan bahwa Belanda akan diusir oleh Jepang: mbesok seng iso ngusir Londo iku wong cebol, tekane koyo laler, bareng sedino, soko wetan, cebol kepalang. Tangane kuwogo, simbole plong abang. Manggone neng pundak. Iku Nippon arane. Kuto-deso, bareng tekane. Bawahi negoro kene, sebutane ratu petruk. Mbesuk yeng nyekel pranatane negoro balane dewe,bocah perjuangan. Diguwak sak umur hidup. Bisane mulih Londo dibuwak karo Nipon. Bahkan prediksi leluhur Samin sebelum kemerdekaan yang terbukti sekarang ini yakni mbesok negoro iku negarane rakyat, dadi putusan neng rakyat, tukul deso otonom. Pernyataan tersebut mengingatkan kepada generasinya bahwa setelah penjajahan PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid) Belanda, wilayah pribumi akan dijajah Jepang yang selanjutnya dipimpin putra negeri (Soekarno). Gerakan yang dilakukannya adalah Mbanyu suket nggeni brambut, mapah gedang yakni gerakan samar (nonkonfrontatif, menyokong kepemimpinan anak negeri, sehingga perlu taat terhadap pemerintah RI. Pemilihan umum (Pemilu) yang dilaksanakan pemerintah RI diikuti masyarakat Samin Kudus sejak pemilu pertama tahun 1955. Di era Orde Baru, kontestan (peserta) pemilu adalah Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sebagian masyarakat Samin Kudus memilih PDI karena partai tersebut dianggap ‘titisan’ Bung Karno. Menjelang kemerdekaan, mbah Sumar (botoh Samin Kaliyoso) beserta tiga temannya, pernah menghadiri rapat akbar yang juga dihadiri oleh Bung Karno di alun-alun Kab.Pati. Bahkan semasa kepemimpinan Bung Karno, jumlah komunitas Samin untuk didata yang selanjutnya diserahkan Bung Karno. Perspektif masyarakat Samin yang bertipologi dlejet/ dledek (murni) ketika didatangi tim sukses sebuah calon legislatif memberikan jawaban: sedulur, ndiko takok. Kulo tak kondo, neng kulo nganda-ake paham kulo, kulo pun gadah pilihan dewe, ken nyoblos kulo pun duwe coblosan dewe, opo yeng dicontreng dereng wonten wujude. Karoane pun dugi wayahe (Saudara bertanya, saya menjawab: saya sudah memiliki pilihan sendiri (maksudnya isteri), jika disuruh mencoblos, saya sudah mempunyai coblosan (isterinya), karena pemilihan belum terlaksana, ditunggu saja pekaksanaannya). Jawaban tersebut menandaskan bahwa sesuatu yang belum terjadi, tidak dapat diberi jawaban yang utuh. Ketika komunitas Samin diberi uang (money politic) sebelum pemilihan caleg, sebagian mereka menerimanya, kulo diwei kulo tampi (Saya diberi, saya terima). Ada juga setelah menerima uang politik, kedatangan calon lain yang kedua dan memberi uang politik ditolaknya. Pelaksanaan pemilihan Bupati Kudus periode 20082013, masyarakat Samin Kudus sebagian besar memilih Musthofa Wardoyo (Calon Bupati) yang berpasangan dengan Budiyono (Calon Wakil Bupati). Dalam Pilbub (pemilihan bupati) tersebut dimenangkan Musthofa-Budiyono. Dukungan masyarakat Samin Kudus terhadap Cabup, Musthofa, kompak. Sebagaimana pernyataan Pak Warsidi (Samin Bulungcangkring) netepi kerukunan bolo, kulo nderek Wargono lan Petinggi Ngelo (Desa 355 356 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 Karangrowo). Hal tersebut dilakukan karena Pak Musthofa mendatangi kediaman Bpk. Wargono (tokoh Samin Dukuh Kaliyoso). Akhirnya Mbah Gono beserta keluarga mendapatkan undangan Rapat Paripurna Istimewa DPRD Kab. Kudus dalam acara pengucapan sumpah dan pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Kudus masa jabatan 2008-2013 serta serah terima jabatan Bupati Kudus di gedung DPRD Kudus dengan surat undangan bernomor 005/735/02.02 tanggal 26 Juni 2008. Begitu pula dalam pemilihan Gubernur (Pilgub) Jateng tahun 2008. Calon gubernur (Bibit Waluyo) yang diusung PDIP berpasangan dengan Rustriningsih, yang hadir di Dukuh Bombong, Kec. Sukolilo, Kab. Pati mengharap dukungan warga Samin. Masyarakat Samin Kudus pun, mengikuti ‘komando’ Mbah Tarno (tokoh Samin Pati) agar memilih Bibit-Rustri. Jawaban Pak Sukari ketika penulis bertanya, dijawab: aku milih yeng ono wedoe, dikon Pak Lurah lan Wargono (tokoh Samin Kudus), yo diwei gambar, tujuane netepi pirukunan Dalam pilgub tersebut, dimenangkan Bibit-Rustri. Untuk menentukan pemilihan Presiden RI tahun 2004, tidak semua warga Samin aktif mengikuti pemilihan Kulo mboten nderek pemilu presiden kranten mboten tepang (Saya tidak ikut memilih Presiden karena tidak mengenalnya). Sedangkan dalam pemilihan kepala desa (Pilkades) di Desa Larekrejo pada tahun 2007, Pak Santoso dihadiri terlebih dahulu oleh calon Pilkades, Bpk. Tukul. Di lain kesempatan, Pak Santoso dihadiri calon lainnya, Bpk. Moh. Rochim. Karena Pak San telah didatangi Pak Tukul terlebih dahulu, maka pilihan dijatuhkan pada Pak Tukul. Meskipun, kemenangan ada pada Pak Rochim. Tetapi praktik pemilu legislatif tahun 2009, komunitas Samin Dukuh Kaliyoso, Desa Karangrowo sebagian memilih partai PAN karena salah satu calon legislatifnya menghadiri secara langsung di rumahnya kehadiran caleg yang pertama. Menjelang hari pemilihan, Bpk. Maskat dihadiri Kepala Desa Karangrowo, Rumadi (yang saudaranya ikut calon legislatif), mengharap kepada Bpk. Maskat agar ikut mendukung saudara Pak Kades. Bpk. Maskat dengan tegas menyatakan kulo sampun gadah janji, bilih bade milih caleg ingkang sampun ngrumiyini dateng wonten ing griyo kulo saking Partai Amanat Nasional (PAN), nyuwun sewu kulo mboten saget memenuhi harapan Pak Kades (Petinggi). Pernyataan tersebut direspon negatif oleh Pak Petinggi, meskipun demikian, PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid) Pak Maskat dan keluarganya tetap konsisten (Konsistensi Pak Maskat sesuai amanat UU Nomor 39/1999 Pasal 43 (1) setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilu berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil) sesuai dengan ketentuan peraturan per-UU-an) dengan janji semula. Berbeda dengan pilihan yang dilakukan Ibu Masini dan Pak Sujiman dalam pemilu legislatif 9/4/2009. Kranten wonten setunggal tamu ingkang ngaku sedulur ngaken kulo nyontreng nomor 28 maringi amplopan, sedangkan Pak Jiman, kulo mboten genah, seng nyontreng putrine kulo, kulo bingung, gambare katah. Berbeda dengan Ibu Tuminah, ingkang ngaken kulo nyotreng tigang partai, akhire kulo dateng ten TPS rasan, kulo mboten nyontreng, kersane salah setunggale mboten merekno, demikian pula warga Samin Dukuh Mijen lainnya (Yang menyuruh saya nyontreng 3 partai, akhirnya saya datang ke TPS saja, saya tidak nyontreng agar tidak mengecewakan salah satunya). Menurut Pak Warsidi, kulo mboten nyontreng, kulo didatengi tigang partai (PDI, PIB, lan PAN) mbeto amplopan. Kulo jawab, kulo mboten seneng nyontreng, mboten nampi amplop. Lajeng diwangsuli, inggih mboten nopo-nopo pahame jenengan ngoten. Berbeda dengan Pak Sujono, kulo mboten ngertos, angsal undangan nyoblos nopo mboten, mboten nampi tamu, kranten kulo rino-wengi ten saben. Untuk Ibu Suliyati, mboten nyontreng, mboten seneng, diparingi amplop mboten kulo tampi kranten mboten seneng. Sedangkan suaminya, Pak Doko, kulo kerjo ngedos ten Kendal, mboten retos. Jadi, pilihan warga Samin pada salah satu calon legislatif didasarkan kedatangannya calon langsung di rumah warga Samin dan datang yang pertama atau karena pesanan tokoh Samin. Hal tersebut sederap UU Nomor 39/1999 tentang HAM Pasal 23 (1) setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya. Bahkan money politic yang (akan) diberikan calon lain ditolak dengan dalih telah berjanji dengan calon yang datang langsung dan pertama. Adapun keikutsertaan perempuan secara umum mengikuti pilihan suami, meskipun terdapat perempuan yang berinisiatif memilih dan mempengaruhi suami karena suaminya berpola pikir dan beranggapan bahwa pemilu tidak dianggap penting. 357 358 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 D. Simpulan Keaktifan perempuan Samin dalam pemilu ditentukan oleh pertama, dirinya sendiri yang didatangi calon pemimpin/ wakilnya. Kedua, mengikuti suaminya karena merasa sepenanggungan, dan ketiga, pesanan tokoh Samin agar nyengkuyung calon yang telah menitipkan nama (calon) pada botoh Samin. Meskipun adakalanya yang tidak aktif mencoblos karena beban psikis yakni diminta memilih oleh beberapa calon yang datang ke rumahnya (mondokannya), agar tidak menyinggung pemohon, perempuan Samin datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan tidak mencoblos dengan dalih kulo diken datengi TPS kemawon (Saya hanya disuruh datang saja ke TPS) yakni dipahami secara sangkak. Dalam hal money politic, di antara mereka ada yang menerima, ada yang tidak menerima, ada yang menerima (calon pertama) dan tidak menerima jika diberi oleh calon yang hadir kedua (lainnya). Keaktifannya dalam pemilu berdasarkan pesan leluhurnya: Pascakolonial, dalam prediksinya, negeri ini dipimpin anak negeri (Bung Karno): Wong utang iku nyaur, Londo duweni utang ditagih. Sing iso nagih iku bocah cebol kepalang, tangane kuwogo, abang neng kiwo. Mbesok Jepang tekane koyo laler, tekane bareng sedino, Londo resik. Tekane Jepang bawahi negoro kene setahun, sebutane Ratu Petruk. Wong-wong kon nandur jarak kepyar. Mbesok wong-wong dipontho-pontho, sijine wong mandegani 20 wong, jenenge gumicak. Jepang lungo maneh, bakale ditetepi Jowo, deneng bocah perjuangan, diguwak sak umur hidup, isane mulih sebab Londo dibuwak karo Nipon. Mbesok pajek iku ilang, tukule iuran. Mbesok negoro iku negorone rakyat, dadi putusan neng rakyat,tukule deso otonom, Prediksi Ki Surokidin kepada Ki Suronggono dan mbah Sumar. Dalam merespon kepemimpinan anak negeri (mendatang) pesan leluhur Samin ing mbesue prilakuo mapah gedang, mbanyu suket, nggeni brambut (fleksibel, gerakan nonfrontal, eksis), tidak konfrontatif, tetapi responsif. PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid) SUMBER RUJUKAN Amirotun Sholikhah. Perilaku Memilih Partai Politik Elit Aisiyah Pasca-Orde Baru. Jurnal Penelitian Agama UIN Yogyakarta Vol.XIV 2005 Barbara Tedlock. Ethnography and Ethnographic Representation dalam Hand Book of Qualitative Research second edition. Norman K. Denzin and Y.S Lincoln (ed). Sage Publication, Inc. New Delhi, 2000. Deden Faturrohman.Hubungan Pemerintahan dengan Komunitas Samin dalam Agama Tradisional Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. LKiS: Yogyakarta, 2003 Dhanik Dhewanty. Solidaritas Sosial Masyarakat Samin di Desa Baturejo Kec.Sukolilo Kab. Pati dalam Forum Ilmu Sosial. Fakultas Ilmu Sosial. Vol.31 No.2 Desember 2004. UNNES Press: Semarang, 2004. Edi Sigar. Provinsi Jawa Tengah. Pustaka Delapratasa: Jakarta, 1998. Eko Handoyo.Sosiologi Politik. Unnes Press: Semarang, 2008 Hardjo Kardi. Riwayat Perjuangan Ki Samin Surosentiko. tanpa penerbit, 1996. Imam Suprayogo dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Rosda: Bandung, 2001. Irwan Abdullah. Rekonstruksi dan Reproduksi Budaya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2006. James P. Spradley. Metode Etnografi. Tiara Wacana: Yogyakarta, 1997. Louay Safi. Ancangan Metodologi Alternatif. Tiara Wacana: Yogyakarta, 2001. M. Atho’ Mudzhar. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1998. Maryaeni. Metode Penelitian Kebudayaan. Bumi Aksara: Jakarta, 2005. 359 360 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 Moh. Rosyid. Samin Kudus Bersahaja di Tengah Asketisme Lokal. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2008. Noeng Muhadjir. Metodologi Penelitian Kualitatif. Rineka: Jakarta, 1996. Sartono Kartodirdjo. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. UGM Press:Yogyakarta, 1994. Sudjarwo. Metodologi Penelitian Sosial. Mandar Maju: Bandung, 2001. Setya Yuwana Sudikan. Metode Penelitian Kebudayaan. Citra Wacana: Surabaya, 2001. Saoerjanto Sosroatmodjo. Samin Siapakah Mereka? Nuansa: Yogyakarta, 2003. Sugeng Winarno. SAMIN :Ajaran Kebenaran yang Nyeleneh dalam Agama Tradisional Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. LKiS: Yogyakarta, 2003. Sugiyono.Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan Research and Development. Alfabeta: Bandung, 2006 Suwardi Endraswara. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan. Pustaka Widyatama: Sleman, 2006. RISE T PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA Dewi Ulya Mailasari*) ABSTRACT: The division of roles of men and women particularly within the scope of the household becomes a crucial problem, especially if it is viewed from a gender perspective. And the extent to which equality is to fulfill a sense of justice for each part--husband and wife--in American households will be studied further.Feminism has changed the lives of American society in many aspects to come an equality so that men and women are in the same position. They eliminate gender role stereotype that classifies the working area into two: public and domestic. Balance position bargaining colors the division of roles in American households. Keywords: gender role, household, equity, equality, A. Pendahuluan Menarik mencermati seperti apa pembagian peran dijalankan dalam rumah tangga di Amerika Serikat. Sebagai sebuah negara besar Amerika menjalani serangkaian fase yang panjang dalam perjalanan warganya menggapai kesetaraan gender. Istilah gender sendiri baru dikenal di Amerika sekitar tahun 1970-an ketika Anne Oakley, seorang psikolog, berusaha mencari definisi yang tepat untuk membedakan laki-laki dan perempuan dalam konteks pembedaan peran sosial yang harus dijalankan. Sejak itu istilah ‘gender’ seringkali dipakai dalam forum-forum ilmiah di berbagai tempat di Amerika kemudian meluas di seluruh dunia. ) Penulis adalah dosen di STAIN Kudus 362 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 Sama halnya dengan Indonesia—sebagai sebuah masyarakat—Amerika pun senantiasa berkembang dan berubah tak terkecuali dalam hal tatanan nilai yang dianut. Konsep persamaan hak antara laki-laki dan perempuan sudah terdengung lama yaitu sejak tahun 1790-an. Ketika itu, istri presiden Amerika, Abraham Lincoln menyerukan pada suaminya agar peran perempuan tidak dinafikan dalam pembangunan negara. Amerika saat itu baru saja memproklamirkan diri sebagai sebuah negara yang mandiri terlepas dari Inggris. Menilik dari itu, maka sebenarnya ketimpangan dan ketidakadilan adalah sesuatu yang telah terasakan selama lebih dari dua dekade yang lalu. B. Usaha Perempuan Amerika dalam Kesetaraan Usaha perempuan Amerika agar setara dengan laki-laki dimulai sejak lama. Secara formal terhitung sejak tahun 1848, dengan adanya konferensi di Senecal Falls. Berkumpulnya para perempuan itu dipicu oleh adanya ketidakadilan yang dirasa perempuan sebagai sesama warga negara (McMillen, 2008:3). Waktu itu stereotype yang muncul di masyarakat Amerika menurut William L. O’Neill dalam Feminism in America, wanita adalah malaikat dalam rumah tangga dan penjaga moral. Karena itu akses mereka menjadi terbatasi hanya di ranah domestik, sebagai penjaga anak-anak. Mereka tidak mempunyai akses publik (O’Neill, 1994: 7). Berkumpulnya kaum perempuan tersebut dalam memperoleh hak politik, dan itu disebabkan karena mereka ingin diakui sebagai layaknya manusia dan warga negara. Hak tersebut baru terperoleh pada tahun 1920. Setelah itu timbul perang dunia yang membuat banyak para laki-laki turun di medan perang. Hal ini menimbulkan kurangnya tenaga kerja di dalam negeri, maka pemerintah memutuskan untuk mulai membuka lapangan pekerjaan di sektor publik bagi para perempuan. Kaum perempuan pun berbondong-bondong memasuki ranah publik tersebut. Hal ini pada akhirnya nanti mengubah paradigma berpikir perempuan Amerika. Mereka mulai merasakan bagaimana nyamannya memperoleh uang dari hasil jerih payah mereka sendiri. Hal ini menimbulkan rasa kemandirian dalam diri perempuan Amerika. Setelah perang usai, dan para lakilaki kembali ke rumah, timbul masalah mengenai pengaturan tenaga kerja yang telah dipegang oleh perempuan. Pemerintah PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari) pun melakukan kampanye agar para wanita kembali ke rumah kembali sebagai penjaga anak-anak. Namun, seiring dengan tingkat pendidikan yang diraih para perempuan yang semakin tinggi, maka perempuan mulai sadar untuk mengembangkan karier sesuai dengan tingkat pendidikannya. Dengan demikian, peran gender di Amerika mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pada prinsipnya, perempuan ingin diakui hak-haknya sebagai manusia dan karena itu berhak melakukan hal sama seperti yang dilakukan laki-laki, seperti berpolitik, didengar pendapatnya, bekerja, menentukan nasib sendiri dan rasa independen tidak tergantung pada orang lain. Selama ini, banyak hal dilihat dan diinterpretasi dari sudut pandang laki-laki. Joan C. Chrisler dalam Lectures on The Psychology of Women mengatakan bahwa Amerika adalah suatu masyarakat yang laki-lakinya dipandang lebih tinggi dibanding perempuan. Sehingga penting bagi psikologi feminis untuk menelaah perempuan berikut segala pengalamannya. Perempuan telah lama dibungkam. Kontribusi mereka terhadap masyarakat belum pernah terekam dalam buku-buku sejarah, dan pengalaman merekapun tidak pernah didengar atau dianggap secara serius (Chrisler, 2004: xiv). Pembagian kerja masih menjadi isu penting di Amerika. Seperti dikatakan Ashcraft dalam The Sage Handbook of Gender and Communication: “Everywhere we turn, we see a clear distinction between ‘men’s work’ and ‘women’s work’ (Aschcraft, 2006:102). Perempuan sering dikaitkan dengan pekerjaan bersifat merawat seperti guru, perawat sedangkan laki-laki bekerja di bidang teknik. Ada suatu kecenderungan di dalam budaya di negaranegara Barat seperti Eropa dan Amerika untuk memberlakukan stereotype peran gender, mengkaitkan suatu aktifitas atau tingkah laku tertentu pada suatu jenis kelamin. Jennifer Maher Saul dalam Feminism; Issues & Arguments mengatakan bahwa di negara-negara seperti Inggris dan Amerika, saat ini anakanak telah diberi pengajaran bahwa urusan rumah tangga dan mengurus anak adalah pekerjaan perempuan (Saul, 2003: 20). Stereotype gender semacam itu akan berpengaruh pada masalah psikologis di antara laki-laki yang mengambil peran atau di pekerjaan yang dikategorikan sebagai pekerjaan perempuan, dan juga sebaliknya. 363 364 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 Pada era 1990-an perempuan Amerika telah banyak berkarir. Namun dalam kenyataannya, mereka masih menghadapi kendala berupa “glass ceiling” yaitu “… an unofficial, invisible barrier that prevents women and minorities from advancing in businesses. (http://en.wikipedia.org/wiki/Glass_ceiling). Hal ini menunjukkan bahwa di Amerika masih ada ketidakadilan gender. Dalam ranah rumah tangga, perempuan yang berkarir belum serta merta merasakan keadilan gender. Mereka seringkali merasa bersalah karena meninggalkan anak-anak di rumah untuk bekerja. Akibatnya, memunculkan masalah yang diistilahkan dengan “double burden”. Dua hal tersebut mengindikasikan bahwa perempuan Amerika belum merasa merdeka menentukan pilihan. Hubungan dengan pasangan masih diwarnai rasa kebersalahan hanya karena ia melakukan sesuatu yang sesungguhnya sama dilakukan oleh pasangannya (suami) yaitu bekerja. Di sini, tampak ketidakseimbangan dalam hubungan pasangan suami istri. Suami masih memposisikan dirinya sebagai ‘breadwinner’, meski gaji sang istri mungkin lebih tinggi. Sebagai breadwinner ia merasa berkuasa menentukan apa-apa yang baik dan buruk buat istri dan anak-anaknya. Dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam rumah tangga sudah semestinya terjalin rasa kerjasama, bukan berkompetisi mengenai siapa yang lebih berkuasa dan patut didengar. Amerika dikenal sebagai negara yang dinamis dan diwarnai dengan perjalanan panjang kaum perempuannya dalam memperjuangkan persamaan hak dengan laki-laki. Gerakan tersebut dikenal sebagai gerakan feminisme. Definisi feminisme menurut Bell Hook dalam Feminist Theory; From Margin to Center adalah perjuangan melawan penindasan berdasarkan karena perbedaan jenis kelamin. Maka sangatlah perlu dilakukan perjuangan untuk menghapus segala dominasi yang telah merasuk ke dalam budaya mereka (di Barat) di segala bidang. Sehingga akan muncul pemberdayaan diri untuk terlepas dari imperialism atau penjajahan dari pihak yang berkuasa, dari ekspansi ekonomi dan hal yang bersifat materi (Hook, 2000: 26). Maggie Humm dalam Feminism; A Reader, mengungkapkan bahwa feminisme gelombang pertama berpusat pada perdebatan PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari) mengenai materialisme, keinginan untuk menyampaikan pikiran atau berpendapat dan menentukan hidupnya sendiri tanpa dibayang-bayangi oleh laki-laki. Dalam memperjuangkan persamaan hak sebagai warga negara tersebut, mereka bekerja bersama-sama dengan kaum buruh, kaum perempuan pekerja dan organisasi anti kolonial. Mereka berkeyakinan bahwa ketidaksejajaran tersebut dapat dihilangkan jika institusi seperti keluarga terlebih dahulu berhenti menghalangi kaum perempuan untuk berkiprah sesuai potensi yang dimilikinya. Jika feminisme gelombang pertama memperjuangkan hak pilih yang tercapai pada tahun 1920, maka dalam gerakan feminisme gelombang kedua, perjuangan difokuskan pada diakhirinya diskriminasi terutamanya dalam upah. Ketika Amerika terlibat dalam Perang Dunia II, perempuan berbondong-bondong bekerja di pabrik dikarenakan Amerika kekurangan tenaga kerja. Namun setelah kembali dari medan perang, para lakilaki tersebut kesulitan masuk kembali ke pekerjaan mereka. Kemudian pemerintah melakukan himbauan memalui media massa kepada perempuan untuk kembali ke wilayah domestik. Akan tetapi, ternyata tidak mudah bagi perempuan-perempuan tersebut yang sudah terlanjur mandiri secara fisik dan finansial untuk meninggalkan pekerjaannya. Maka kemudian timbul gerakan feminisme gelombang kedua yang menuntut agar perempuan diberi hak yang sama di segala bidang. Upaya ini berhasil dengan ditetapkannya persamaan upah bagi laki-laki dan perempuan. Hal ini terjadi pada tahun sekitar 1970-an (Humm, 1992: 11-13). Pada awal tahun 1990-an, muncul gerakan kembali sebagai respon terhadap gerakan feminisme gelombang kedua, yang selanjutnya dikenal sebagai gerakan feminisme gelombang ketiga. Mereka mengkritik gerakan sebelumnya sebagai bias kelas dan hanya berfokus pada perempuan kulit putih. Maka isu mereka bergerak ke isu tentang ras, kelas sosial dan seksualitas. Mereka juga mempedulikan masalah ‘glass-ceiling’, pelecehan seksual, kebijakan cuti ibu bekerja yang tidak adil, memberi dukungan bagi ibu ‘single parent’ untuk penyediaan penitipan anak dan memberi penghargaan bagi ibu bekerja yang memutuskan meninggalkan karir untuk membesarkan anak secara penuh (www.wikipedia.org) 365 366 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 C. Relasi Gender di Amerika Sejarah perempuan ditandai dengan posisi perempuan yang senantiasa berubah dalam rumah tangga maupun di tengah masyarakatnya. Stereotipe yang berkembang di masyarakat bahwa perempuan adalah mahluk yang inferior dibanding lakilaki turut mempengaruhi posisi perempuan dalam masyarakat. Perubahan masyarakat yang terjadi turut mempengaruhi peran yang dijalankan perempuan khususnya dalam wilayah domestik. Posisi perempuan dengan demikian berbeda antara tempat yang satu dengan tempat yang lain dan dalam satu era dengan era yang lain. 1. Pada Masa Awal Berdiri Negara Antara tahun 1760-an dan 1790-an, menjadi masa transisi dimana standar maskulinitas dan feminitas mulai berubah. Pengaruh laki-laki yang selama ini mendominasi standar nilai moral masyarakat mulai terkikis dengan mulai diperhatikannya pengaruh perempuan. Kewajiban sebagai warga negara yang semula berfokus pada sisi militer dan pemerintahan kini beralih dengan lebih memperhatikan institusi gereja dan keluarga. Suatu pandangan baru yang mengedepankan hubungan yang baik di dalam keluarga telah menaikkan posisi para istri dan ibu, yang mana kefemininan kini dipandang sebagai sesuatu yang dibutuhkan dalam rangka menjaga nilai-nilai negara. Pengembangan peran istri dan ibu juga terjadi dalam lingkup kaum borjuis. Pada masa kolonial Inggris, perempuan yang mencari nafkah biasanya bekerja sebagai penjahit atau pemilik rumah sewa. Tetapi beberapa perempuan juga bekerja pada bidangbidang yang diperuntukkan bagi laki-laki. Ada dokter, pengacara, pengkhotbah, guru, penulis, dan penyanyi. Pada awal abad 19, pekerjaan yang bisa diterima oleh masyarakat bagi perempuan bekerja adalah terbatas pada buruh pabrik dan di rumah tangga. Perempuan tidak diperbolehkan bekerja pada sektor lain kecuali menulis dan mengajar. Mereka bekerja selama 12 jam per hari. Namun tidak sampai tahun 1910, pemerintah mengeluarkan undang-undang yang membatasi jam kerja perempuan dan memperbaiki kondisi kerja mereka. Perempuan selama periode ini menurut Michael Goldberg dalam Breaking New Ground (1800-1848) sebagaimana dikutip PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari) American Women History: 79 mengalami pasang surut antara idealisme dan realita menyangkut hal pendidikan, agama, pekerjaan, kewarganegaraan dan hubungan keluarga. Bagi kebanyakan perempuan ini, pola hubungan keluarga seperti dengan suami atau sebagai ibu dengan anak masih berubahubah. Begitu norma baru dibuat maka norma yang lama ada yang masih dipertimbangkan atau bahkan diperkuat kembali. Berbagai tingkat kekuasaan perempuan dan ketidakberdayaan mereka menjadi terungkap. Hal ini merefleksikan status mereka dalam masyarakat secara luas. Begitu era industrialisasi muncul, orang-orang bekerja di pabrik-pabrik dan kantor di kota-kota. Keluarga kelas menengah menggunakan sebagian besar penghasilan mereka untuk membeli barang-barang siap pakai dari sabun sampai sepatu yang dulunya pernah dibuat perempuan di rumah. Orang-orang kelas menengah tidak lagi membutuhkan keluarga besar untuk membantu mereka bekerja di sawah. Pada akhirnya, sebuah keluarga yang besar malah dipandang sebagai beban ekonomi. Ada satu masa ketika orang New England memandang keluarga sebagai suatu hierarki yang cukup ketat dimana ayah sebagai pengatur segalanya, ibu di bawah sang ayah dan secara teoritis, anak-anak berada di tingkat paling bawah. Setelah tahun 1800, standard tersebut berubah. Buku-buku dan majalah mulai memotret keluarga dimana laki-laki mengontrol sektor publik seperti politik dan bisnis dan perempuan mengambil tanggung jawab di sektor domestik atau rumah tangga. Pernikahan dipandang lebih sebagai hubungan partner; dengan istri sebagai partner yunior, tetapi model lama dimana laki-laki sebagai pengatur absolut sudah tidak lagi dipakai dalam keluarga kelas menengah di Amerika tenggara. Tetapi meskipun perempuan menguasai sektor domestik, hal ini tidak menjadikan mereka mempunyai hak-hak seperti hak pilih, hak kepemilikan atas sesuatu atas nama mereka sendiri setelah menikah, mengajukan perkara hukum, atau membuat wasiat. Perubahan pandangan dalam pernikahan ini memberikan pemahaman kepada kita mengapa perempuan muda enggan untuk menikah. Karena menikah dipandang sebagai kemitraan, masa berkenalan menjadi masa untuk membuktikan adanya kesesuaian di antara pasangan. Setelah menikah, pihak laki-laki sering melupakan janji 367 368 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 setia yang berapi-api dulu. Meskipun banyak pasangan menjadi lebih kuat, dan terjalin ikatan yang dalam, namun pembagian wilayah kerja domestik dan publik yang mana perempuan harus tinggal di rumah dan laki-laki pergi keluar membuat pasangan suami istri terpisah cukup lama selama beberapa jam. Buku-buku khutbah dan yang berisi nasihat menekankan bahwa istri harus membuat rumah sebagai tempat istirahat yang nyaman bagi suami mereka. Pemisahan wilayah kerja ini membuat perempuan mempunyai ikatan persahabatan di antara perempuan juga. Persahabatan di antara perempuan tumbuh seiring pemahaman bahwa kehidupan mereka berbeda dengan laki-laki. Tidak seperti hubungan istri dengan suaminya, hubungan dengan sesame perempuan didasarkan pada kesetaraan (hal. 80-81). Jika seorang perempuan berhasil menuntut perceraian, ia takjub akan harga atas kebebasannya. Tunjangan suami untuk bekas istri jarang diberikan, meskipun hakim memerintahkan penggantian sejumlah uang pada perempuan yang dizalimi oleh suaminya. Jika seorang perempuan membawa harta dalam pernikahannya, maka tidak mungkin untuk mengambilnya kembali. Begitu ia dan suami mengatakan ‘ya’ saat janji pernikahan, maka suaminya resmi menguasai semua harta yang ia miliki. Kesempatan perempuan untuk bekerja sangat kecil, terlebih jika ia mendekati usia paruh baya. Pernikahan yang dipandang baik bagi orang Amerika tenggara adalah jika sang istri mengabaikan segala ambisi pribadinya dengan tujuan melayani suami dan anak-anaknya. Tetapi bagi perempuan kesetiaan pada suami dijunjung tinggi, sehingga secara moral perempuan pada masa itu dipandang lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini memberikan kemungkinan peran perempuan lebih besar di masyarakat dan pada bangsanya. Perempuan mulai memahami bahwa sebagai suatu kelompok yang berbeda dari laki-laki, mereka mempunyai sesuatu untuk ditawarkan kepada masyarakat. Mereka bisa menjadi penjaga, pendidik moral bagi calon generasi penerus mereka. Begitu Amerika berkembang, para perempuan pun demikian dalam visi mereka mengenai kedudukan mereka di rumah (hal.82). Selama masa kekacauan revolusi, Amerika kurang memberi perhatian kondisi keruhaniaan dibanding dengan masalah kebebasan warganya. Pemuka agama khawatir akan matinya rasa keagamaan dan mencela jamaahnya karena gagal PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari) menjalankan kewajiban-kewajiban agama. Pada tahun 1790-an banyak orang merasakan pentingnya mengembalikan pemikiran dan energi mereka ke gereja. Dalam atmosfir inilah Kebangkitan Kedua (Second Awakening) dimulai, pertama di area frontier yang haus akan petunjuk agama dan kemudian di daerah yang lebih padat penduduk yaitu di Amerika sebelah Timur. Selama Kebangkitan Kedua, penghidupan kembali nilai-nilai agama membawa ribuan pemeluk agama baru masuk ke beberapa macam perkumpulan agama. Kelompok yang tergolong radikal pada waktu itu seperti Baptist dan Shakers tumbuh kuat secara dramatis dari akhir abad 18 sampai pertengahan abad 19 dan pendirian gereja diperluas (hal. 172). Bagi kaum perempuan, Kebangkitan Kedua sebagai sarana semakin meningkatkan pengaruh keagamaan mereka yang telah cukup signifikan selama ini. Perempuan telah lama menjadi mayoritas jemaah gereja. Selama kebangkitan ini, jumlah mereka semakin membengkak. Pertumbuhan ini semakin menguatkan kedominanan mereka atas kehidupan keagamaan di Amerika (hal. 174). Sejak akhir abad 17, lebih banyak perempuan dibanding laki-laki yang mencari penghiburan di gereja-gereja dengan alasan yang bermacam-macam. Pertama, mereka telah terbiasa untuk mengorbankan diri mereka sendiri demi kepentingan yang lain. Karena itu, perempuan merasa lebih nyaman dengan pengajaran Kristen yang mengedepankan pengorbanan diri. Kedua, dibanding dengan laki-laki, perempuan lebih riskan menghadapi resiko kematian dan luka permanen karena melahirkan. Dihadapkan pada resiko kematian yang lebih sering membuat mereka lebih memperhatikan kebutuhan ruhani mereka. (Bukan hal yang kebetulan, perempuan sering ikut dalam kegiatan gereja begitu mereka menikah.) Tingkat kematian bayi tetap tinggi selama abad 18, dan hamper setiap perempuan mempunyai pengalaman teman atau famili yang meninggal karena melahirkan atau luka yang diderita karenanya. Hal ini menjadi sebab kesetiaan perempuan pada perkumpulan keagamaan (hal. 174). Pemuka agama mungkin juga mendapatkan dukungan dari jemaat perempuannya dengan mengajarkan pada mereka bahwa hanya dengan prinsip-prinsip Kristen-lah perempuan 369 370 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 dinaikkan ke posisi yang sejajar dengan laki-laki. Tema yang senantiasa ada dalam khutbah-khutbah selama Kebangkitan Kedua adalah peran gereja dalam memperbaiki kedudukan sosial perempuan. Hanya dengan pengajaran Kristen, laki-laki akan memperlakukan perempuan dengan baik seperti yang sepantasnya diterima oleh perempuan. Budaya dan agama lain tidak berhasil dalam menaikkan status perempuan, tetapi Kristen telah memuliakan perempuan pada posisi yang sejajar dengan laki-laki. Itulah yang membuat perempuan mendukung gereja dan pendeta (hal. 174). Meskipun perempuan tidak dimasukkan dalam posisi kepemimpinan di kebanyakan gereja, pemuka agama merasa perlu untuk memperhatikan kebutuhan dan pendapat mereka ketika menyusun khutbah, menyusun kebijakan gereja atau mengatur dana gereja. Karena perempuan mendominasi gereja dan pemberi terbanyak donasi gereja, semakin banyak pemuka agama merasa berhutang atas posisi, status dan gaji mereka. Sehingga penggambaran tentang perempuan menjadi lunak pada abad 18. Yang telah berlalu adalah prinsip lama dimana kaum Puritan menekankan pada peran Hawa yang menyebabkan Adam berada dalam dosa. Dalam posisinya, muncullah pandangan yang lebih lunak tentang perempuan sebagai sosok yang bijaksana, berhati lembut, dan cocok bagi tugas-tugas keagamaan. Perempuan yang baik, dalam pandangan pemuka agama, adalah pendukung utama agama di dalam keluarga dan masyarakat. Tanpa mereka, orang Kristen dalam bahaya seperti dikatakan oleh salah satu pendeta dalam pujiannya terhadap Ibunya: “ Siapa yang dapat menemukan seorang istri yang baik? Dia lebih berharga daripada batu berlian…ia letakkan satu tangannya pada keluarganya dan kedua tangannya memegang kumparan. Ia membuka tangannya untuk kaum miskin dan membuka tangannya untuk orang yang membutuhkan…ia membuka mulutnya hanya untuk mengatakan hal-hal yang bijak dan mengajarkan akan kebaikan. Ia kelihatan gesit dalam urusan rumah tangga dan tidak membiarkan kemalasan menghampirinya. Anak-anak memuliakannya dan suamipun memujinya.” Pendeta tersebut mengatakan hal ini dalam kaitan mengajarkan perempuan mengenai kewajiban sosial dan kewajiban domestiknya. Dalam setiap isi khutbah kemudian senantiasa memotret sifat perempuan sebagai sosok ibu yang bijaksana, pekerja keras PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari) dan berkemauan kuat untuk membawa anak-anaknya kepada Jesus dan mencontohkan jiwa penolong. Penekanan para pemuka agama pada sosok perempuan melengkapi keyakinan bangsa bahwa ibu ada dalam posisi yang penting untuk mendukung kesejahteraan bangsa. Selama masa awal berdirinya Negara Amerika Serikat, seorang laki-laki memiliki istri dan anak-anaknya hamper seperti layaknya harta milik. Jika seorang laki-laki miskin memilih untuk mengirimkan anak-anaknya ke lembaga panti asuhan karena kemiskinannya, sang ibu tidak mempunyai kekuatan untuk melawannya. Beberapa masyarakat mengubah hukum yang telah ada dengan mengijinkan perempuan bertindak sebagai pengacara di pengadilan, menuntut hak kepemilikan dan memiliki harta atas nama mereka jika suami menyetujuinya. Pada awal abad 19, anak secara resmi dibawah kekuasaan ayahnya dan perempuan seringkali tidak berdaya menghadapi penculikan atau pemenjaraan oleh suami dan anggota keluarga laki-lakinya. Abad 19 didominasi pemikiran pembedaan gender secara alami, dan oleh konsepsi seksualitas yang bersifat normatif yang berpusat pada keluarga kelas menengah. Budaya kelas menengah yang masuk di Amerika sebagai hasil urbanisasi, industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi yang kuat memunculkan dua wilayah berbeda yang saling melengkapi yaitu wilayah publik dan wilayah domestik. Wilayah publik yang menjadi bagian laki-laki yaitu wilayah bisnis dan uang, wilayah politik dan kekuasaan, dan industri. Wilayah domestik di sisi lain dianggap sebagai wilayah feminin, identik dengan tempat tinggal dan tungku dapur, simpati dan pemeliharaan, kesalihan dan pemeliharaan anak. Perempuan mempunyai batasan dalam wilayah publik. Akhir abad 19 ditandai dengan munculnya definisi baru New Woman atau perempuan baru. Perempuan Baru menjungkirkan sejumlah stereotip model Victorian yang kuno. Ia identik dengan kecerdasan, lawan dari emosional, sangat publik lawan dari domestik atau privat, aktif lawan dari pasif, dan dalam banyak kasus, tidak reproduktif, lawan dari bersifat keibuan. Ia menyebabkan kegemparan bukan hanya karena ia menolak peran tradisional perempuan tetapi juga karena ia kelihatan lebih sesuai dengan yang laki-laki. 371 372 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 2. Perkembangan Feminisme di Amerika Gerakan feminisme di Amerika dan luar negeri adalah gerakan sosial dan politik yang ingin membangun kesetaraan bagi perempuan. Gerakan itu mengubah kehidupan beberapa perempuan dan memberi efek yang luar biasa pada kehidupan masyarakat Amerika sepanjang abad 20. Sebagai sebuah kekuatan yang terorganisasi, feminisme bermula dari abolisi pada awal tahun 1830-an. Abolisionisme adalah gerakan anti budak yang radikal yang menuntut penghapusan perbudakan dengan segera. Setiap orang adalah pemilik dirinya sendiri. Itu adalah gerakan yang terorganisasi dan yang radikal untuk pertama kali dimana didalamnya perempuan mengambil peranan yang penting dan cikal bakal berseminya gerakan perempuan. Sebelum Perang Sipil, feminis memperjuangkan hakhak kaum kulit hitam, mengidentififkasikan diri mereka sama dengan nasib kaum kulit hitam. Sikap mereka terhadap lakilaki secara umum baik. Pada konvensi perempuan tahun 1858, feminisme politik telah menunjuk ke suatu titik tujuan bahwa hak pilih adalah tujuan yang hampir tak terbantahkan dalam gerakan ini. Secara umum, feminis mendukung perang sebagai sarana mengakhiri perbudakan; mereka mengesampingkan isu-isu hak perempuan. Setelah perang berakhir, isu kunci feminisme arus utama adalah amandemen ke 13, 14 dan 15 dari konstitusi, semuanya bertujuan tercapainya kebebasan kaum kulit hitam. Tetapi, kemudian abolisionis laki-laki hampir semuanya menolak tuntutan kaum perempuan akan hak pilih, mengatakan bahwa ini bukanlah saat yang tepat untuk menekankan hak kaum perempuan. Seperti dikatakan oleh Abraham Lincoln, satu perang satu waktu, satu pertanyaan pada satu waktu. Masa sekarang adalah masanya orang kulit hitam (Anthony,et al., History of Woman Suffrage: 59.) Gerakan feminis berubah. Penolakan abolisionis laki-laki untuk mendukung usaha perempuan menimbulkan kecurigaan diantara tokoh-tokoh feminis. Sikap dalam bidang politik juga telah berubah. Sebelum Perang Sipil, para feminis cenderung kepada strategi yang bukan politik. Feminisme baru kemudian memusatkan perhatian pada hak pilih. Sementara feminis berkonsentrasi pada hak pilih, feminis PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari) yang lebih radikal melihat hal lain demi kemajuan. Feminis individualis berfokus pada perbaikan pengaturan kelahiran dan undang-undang perkawinan. Tujuan mereka kebebasan. Para feminis percaya bahwa perempuan seharusnya mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Tetapi arti kesetaraan berbeda-beda di dalam tubuh gerakan feminisme itu sendiri. Melalui sejarah diketahui bahwa feminisme di Amerika menganggap kesetaraan sebagai perlakuan yang sama di bawah hukum dan keterwakilan mereka dalam institusi. Fokusnya bukan pada merubah kondisi yang ada, tetapi lebih terlibat pada kondisi yang sudah ada tersebut. Feminis yang lebih radikal memprotes undang-undang dan institusi yang ada sebagai sumber ketidakadilan dan karena itu tidak bisa dirubah. Para feminis ini melihat ada sesuatu yang salah secara mendasar mengenai masyarakat, disamping adanya diskriminasi terhadap perempuan. Bagi individualis, kesetaraan adalah suatu definisi politis yang mengacu pada perlindungan akan hak-hak pribadi yaitu perlindungan hukum moral yang setiap orang punya atas badan mereka sendiri. Bagi feminis sosialis, maka definisinya dalam term sosio-ekonomis. Perempuan dapat setara hanya setelah hak milik pribadi dan hubungan keluarga dibatasi. Maka dalam rangka menghargai tradisi dalam feminisme, kita hendaknya memperhatikan konteks dalam setiap gerakan yang timbul. Di samping industrialisasi, tiga perkembangan penting dilihat sebagai pengubah struktur kehidupan orang Amerika pada akhir abad 19; imigrasi besar-besaran, urbanisasi, dan perkembangan kemajuan gerakan perempuan. Wanita Baru mengubah dasar organisasi keluarga dan perilaku seksual. Perempuan tumbuh lebih mandiri di lingkungan kota dan pada tahun 1898 seorang tokoh feminis Charlotte Perkins Gilman menerbitkan buku Women and Economics, dia meminta perempuan untuk membuang status ketergantungan mereka dan berkontribusi pada kehidupan kemasyarakatan secara lebih luas melalui keterlibatan yang produktif dalam bidang ekonomi. Menolak semua klaim yang mengatakan bahwa faktor biologi telah memberikan keberbedaan karakter yang mendasar di antara perempuan dengan laki-laki. Dia berpendapat bahwa tugas ibu yang sangat khusus tidaklah semenguntungkan dengan yang dikira selama ini. Ia mendukung diaadakannya tempat pengasuhan anak dan dapur umum untuk mendukung 373 374 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 keikutsertaan perempuan dalam dunia kerja. Gerakan feminis telah tampak pada beberapa fase dalam sejarah Amerika. Selama Perang Sipil perempuan menelorkan gender yang didasarkan pada diskriminasi. Selama Era Progresif, mereka mencari dan akhirnya memperoleh hak pilih. Gerakan itu mencapai titik yang paling aktif pada tahun 1960an ketika gerakan anti-diskkriminasi berada di barisan depan. Dengan meratifikasi ERA, pemerintah harus menyadari bahwa perempuan tidak hanya secara biologis sama dengan laki-laki tetapi juga mereka berhak mendapat perlakuan yang sama di dalam rumah, tempat kerja, dan masyarakat. Sayangnya, tiga perempat dari seluruh negara bagian tidak meratifikasinya. Dengan menafikan kegagalan ERA, feminis sebenarnya telah membawa perubahan yang substansial dalam kehidupan Amerika. Memberikan pilihan yang positif pada perempuan untuk pemenuhan diri pribadi di luar rumah dan hal tersebut pun pada akhirnya akan membawa kemanfaatan bagi Amerika. Tahun-tahun setelah Perang Dunia II terlihat ada dorongan dari masyarakat agar perempuan kembali ke posisi awal sebelum perang yaitu sebagai ibu rumah tangga. Beberapa perempuan tidak menemukan kepuasan hidup dalam membesarkan anak dan cenderung memenuhi kebutuhan suami. Sentiment ini dan kondisi sosial lain yang menyertai membawa pada kebangkitan kembali gerakan feminis. Setelah Perang Dunia II, feminis terus berjuang untuk mengimplementasikan kesetaraan hak di semua bidang yang terus bergulir hingga sekarang dalam usaha memecahkan penghalang kaca (glass-ceiling) yang membuat perempuan berbeda dan terhalangi dari koleganya laki-laki pada pencapaian karir yang lebih tinggi. Seperti pengalaman yang sudah lalu, para feminis selalu tidak berada dalam kesamaan pendapat mengenai cara terbaik untuk memperoleh tujuan-tujuan tersebut. Warren Hedges di Southern Oregon University mengemukakan tentang “Taxonomy of Feminist Intellectual Traditions,” dengan mengkategorikan feminisme sebagai berikut: 1) liberal feminism, yaitu feminisme yang mencari kesamaan hak perempuan melalui jalur politik dan sipil; 2) cultural feminism, yang berusaha menemukan kembali suara-suara perempuan pada masa lalu dan kemudian memperluas pembelajaran karya-karya canon di sekolah-sekolah; 3) separatism, yaitu untuk membangun ruang PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari) gerak dan dimana perempuan dapat menentukan nasib berdasar pada nilai-nilai dan kepercayaan yang mereka pegang; and 4) “queer theory,” yang berusaha menggali marjinalisasi, radikalisme dan nilai identitas seksual yang terpinggirkan seperti contohnya homoseksualitas. Selama periode tahun 1980-an, masyarakat Amerika diwarnai oleh iklim politik konservatif yang terus meningkat dan gerakan feminis menerima reaksi yang kurang baik dari pihak mereka sendiri dan dari golongan anti feminis. Feminisme telah selalu dikritik karena mengutamakan kulit putih, kelas atas dan disorot karena kegagalannya untuk memahami dan memperhatikan perempuan golongan orang miskin, AfrikaAmerika dan hispanik. Pada tahun 1990-an, muncullah feminisme gelombang ketiga yang masih memperhatikan masalah-masalah yang sama seperti pendahulunya tetapi sekarang lebih terlibat pada bidang politik daripada mengkritisi saja dari luar. Kebanyakan dari generasi muda feminis ini menekankan pada kebutuhan memperluas wilayah feminisme, menekankan pada jaringan global, hak-hak asasi manusia, keadilan ekonomi meliputi seluruh dunia dan isu-isu berkaitan dengan ras, gender dan kelas. Bagi perempuan Afrika-Amerika, mereka tidak mengidentifikasi diri mereka sendiri sebagai bagian feminis, bagaimanapun, keyakinan dan aktivitas mereka selama ini sudah menyalakan semangat anti rasisme dan gerakan politik anti pembedaan berdasarkan jenis kelamin. Mereka menyebut diri mereka sebagai “Black American Feminism”. Hingga kini pun, mereka masih berusaha mendapatkan kebebasan. Mereka telah mengalami penekanan di rumah, di tempat kerja, di komunitas mereka dan terlebih lagi dalam suatu budaya yang mendominasi. 3. Konstruksi Gender pada tahun 1900-an sampai 1990an Pada akhir abad 19, cita-cita domestik yang diinginkan oleh masa Victorian telah pudar. Era Jazz tahun 1920-an muncul, yaitu suatu era ketika perempuan mulai melawan konvensi mengenai kepantasan sikap bagi perempuan, suatu perlawanan yang ditunjukkan baik dalam gaya berpakaian yang berubah 375 376 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 dan gaya hidup yang berubah seperti merokok, minum, dan mencoba hal-hal yang berbau seksualitas. Peran domestik dan peran sosial perempuan beberapa kali mengalami pasang surut antara tahun 1920 sampai 1950. Keberlebihan dan kekurangan yang ditunjukkan dalam setiap periode menyebabkan naik turunnya peran-peran ini. Kejadiankejadian penting yang membawa pengaruh antara lain Perang Dunia I (tahun 1920-an), Masa Depresi dan New Deal, Perang Dunia II dan Setelah Perang Dunia II (tahun 1950-an). Kaum perempuan secara keseluruhan terpengaruh tetapi seberapa jauh dan dengan cara bagaimana mereka terpengaruh sungguh berbeda-beda. Perempuan kulit putih yang telah menikah sangat dipengaruhi oleh ikon-ikon sosial sebagai ibu rumah tangga yang modern pada tahun 1920-an. Mereka juga cakap dalam hal pendidikan, karir dan kehidupan rumah. Dilihat dari sisi keidealan, mereka telah mempunyai segalanya. Depresi telah merusak impian-impian mereka dan mendorong keluar perempuan dari kancah dunia kerja sehingga kesempatan dikembalikan kembali kepada laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Depresi finansial ini membawa implikasi sosial juga. Dengan timbulnya Perang Dunia II, maka ketenagakerjaan disodorkan kembali kepada istri-istri dan ibu-ibu ini. Kepentingan Negara terpaksa melukai kehidupan keluarga karena perempuan mengikuti apa yang dulu telah ditetapkan sebagai pekerjaan laki-laki. Setelah Perang Dunia II, dengan tujuan untuk mengamankan kembali pekerjaan-pekerjaan laki-laki, sosialisasi dilakukan dengan sasaran perempuan yang telah menikah untuk mengembalikan mereka kembali ke wilayah domestik. Perempuan kulit putih yang lajang berhasil baik pada tahun 1920-an tetapi gagal pada masa Depresi. Selama Kebangkitan Kedua posisi-posisi professional yang sekali waktu pernah dipegang oleh perempuan kulit putih lajang yang berpendidikan, kemudian menjadi diperuntukkan untuk laki-laki. Kesempatan bagi para perempuan ini hilang. Selama Perang Dunia II ketenagakerjaan seperti halnya kesempatan politik terbuka lebar bagi perempuan kulit putih yang masih lajang. Mereka juga diperbolehkan bekerja di bidang militer. Tetapi kurangnya laki-laki dan kuatnya propaganda yang muncul setelah Perang pada tahun 1950-an membuat perempuan kulit putih lajang PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari) ini menjadi rentan terhadap teknik sosialisasi yang membawa mereka kembali ke rumah. Hal ini menarik bagi perempuan muda tetapi tidak bagi perempuan yang berpendidikan dan professional. Ini adalah sebuah langkah mundur bagi aspirasi mereka. Perempuan Amerika-Afrika menjalani kisah hidup mereka sendiri dan meskipun banyak perubahan telah terjadi akibat dari serangkaian kejadian, tetaplah ada masalah yang sama yang belum terselesaikan, diantaranya adalah diskriminasi dalam lapangan kerja. Mereka adalah pihak yang paling akhir diberi kesempatan dalam hal ketenagakerjaan ketika itu dibuka dan yang pertama disuruh menyingkir ketika kesempatan ditutup. Apalagi mereka tidak diberikan dukungan dan sarana untuk kembali menjadi ibu rumah tangga. Pada kenyataannya, perempuan Amerika-Afrika disamping perjuangannya, tetaplah menjadi kontributor finansial rumah tangga mereka. Mereka pada akhirnya naik menjadi kepala rumahtangga sebagai kesempatan yang paling mungkin bagi mereka daripada pasangan mereka. Peran yang diharapkan perempuan secara drastis berubah sejak tahun 1950-an. Perang Dunia II menghilangkan banyak lakilaki dari rumah-rumah dan pekerjaan mereka, meninggalkan banyak pekerjaan terbuka yang hanya perempuanlah yang dapat mengisinya. Perempuan mengambil pekerjaan-pekerjaan yang secara tradisional hanya laki-laki yang memegangnya. Akhir perang membawa kepada kembalinya para prajurit dan kembali ke pekerjaan masing-masing sebelum perang dan membuat perempuan kembali ke posisinya sebagai ibu rumah tangga. Tahun 1950-an dan 1960-an, peran gender perempuan melukiskan mereka sebagai ibu-ibu rumah tangga yang bahagia yang ingin kelihatan senantiasa cantik, dapat menata rumah, mengasuh anak dan melayani suami. Tidak ada kebutuhan atau keinginan dari perempuan pada masa ini untuk dipekerjakan karena kepuasan diri sebagai pekerja sama saja dengan kepuasan menjalani peran sebagai istri (Barnet: 1182). Mendekati tahun 1970-an, perempuan mulai tidak mengindahkan peran gender yang telah diterima secara luas yang dahulunya dipegang. Kini ia berusaha mengejar pendidikan yang lebih tinggi dan mendapatkan tempat dalam dunia kerja. Hal ini adalah awal dari apa yang disebut “one of the most significant social and economic trends in modern U.S. history”. 377 378 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 Melalui sejarah, laki-laki dipandang sebagai pencari nafkah keluarga atau “men were [typically] the family breadwinners (www.pbs.org). perempuan jarang dididik di tingkat perguruan tinggi karena peran mereka adalah sebagai ibu rumah tangga. Tetapi hal ini berubah pada tahun 1970-an ketika gerakan feminisme dimulai. Sekarang ini, perempuan telah mengambil kontrol penuh atas pemilihan peran yang ingin dimainkannya dan sebagai hasilnya lebih banyak perempuan yang bekerja sekarang ini dibandingkan dengan sebelumsebelumnya (www.ilo.org). Naiknya jumlah perempuan dalam lapangan kerja dikarenakan kesempatan yang lebih besar yang diberikan pada perempuan dalam pasar kerja, pencapaian tingkat pendidikan yang terus menaik, ukuran keluarga yang mengecil, kemandegan atau bahkan turunnya upah bagi laki-laki, naiknya biaya untuk mempertahankan gaya hidup kelas menengah, semakin panjangnya rentang hidup seseorang dan pembebasan dalam hal tingkah laku berkaitan dengan peran yang cocok bagi laki-laki maupun perempuan dalam keluarga. Biaya hidup yang naik pada tahun-tahun terakhir ini merupakan faktor utama kebutuhan perempuan untuk bekerja daripada hanya sekedar keinginan belaka. Perubahan yang paling kentara diantara laki-laki dan perempuan adalah perubahan dalam pandangan peran gender yang stereotip. Lakilaki tidak lagi mengharapkan istrinya yang mencucikan bajunya dan perempuan pun tidak lagi mengharapkan laki-laki menjadi satu-satunya pemberi nafkah dalam keluarga. Peran gender menjadi kurang stereotip, membiarkan perempuan merasakan kemandirian dan berkontribusi pada keberlangsungan keluarga dalam peran yang dianggap cocok, tidak mengacu pada masa lalu di tahun 1950-an. Fenomena buku Betty Freidan yang berjudul The Feminine Mystique (1963) memberikan perempuan kesempatan untuk memeriksa kembali kehidupan mereka sendiri. Buku ini memberikan kepada perempuan yang selama ini dibesarkan dengan kepercayaan bahwa peran alam mereka adalah sebagai ibu rumah tangga, suatu wawasan akan hal kemungkinan lain demi pemenuhan kepuasan diri secara pribadi. Feminis berpendapat bahwa tak ada seorang perempuan pun yang dapat menemukan kepuasan pribadi sejati dalam peran sebagai ibu rumah tangga. Meskipun banyak perempuan yang tidak puas dengan gaya hidup seperti ini, tetapi juga tetap ada beberapa PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari) yang senang sebagai istri dan ibu. Sejak revolusi seks pertengahan tahun 1960-an, segala skenario hubungan antara laki-laki dan perempuan telah berubah kearah nilai-nilai liberal. William Chafe dalam tulisannya The Road to Equality (1962-today) yang tertuang dalam buku American Women History menulis bahwa begitu Amerika menyambut tahun 2000, beberapa isu bermunculan tentang perempuan. Meskipun mengalami kemajuan, perempuan tetaplah korban utama ketidaksetaraan dalam bidang ekonomi, sosial dan politik. Meskipun 40 % perempuan kulit hitam berpartisipasi di dalam kelas menengah dan sebagai pengacara, dokter dan eksekutif, 40 % yang lain terperangkap dalam kumparan kemiskinan, pengangguran dan masalah sosial. Pada pertengahan 1990-an pembuat kebijakan dan orangorang Amerika secara umum kelihatannya telah menemukan kompromi dalam hukum dan konstitusi mengenai status perempuan. Di balik keengganan badan pembuat undangundang Negara untuk mengesahkan ERA—Amandemen hakhak kesetaraan (1982) tersimpan ketakutan pihak konservatif bahwa perbedaan mendasar antara perempuan dan laki-laki akan dihilangkan. Akhirnya ERA gagal karena orang-orang semacam Judy Morgan dan Dianne Chavis tidak berharap pembuat undang-undang mereka betul-betul meninggalkan nilai-nilai tradisional (hal.83-84). Perempuan berusaha memperoleh jabatan-jabatan politik pada tahun 1990-an. Pemerolehan jabatan itu lebih banyak pada tingkat lokal dibanding nasional. Masih terus adanya sekat gender dalam pemilihan suara—perempuan lebih memperhatikan isu sosial seperti pendidikan, pengawasan senjata, kesehatan, dan keamanan masyarakat—membuat para politisi mengabaikan kehadiran perempuan. Pilihan reproduktif terus menjadi isu yang penting dalam politik khususnya oleh kaum Kristen fundamentalis yang menolak aborsi sebagai perampasan hak hidup. Mahkamah Agung Amerika telah memperbolehkan beberapa Negara bagian mengatur kondisi darurat yang memungkinkan perempuan memilih aborsi, dan itu diputuskan pada tahun 1992. Hal ini untuk menjaga kemajemukan masyarakat Amerika. Namun, banyaknya gerakan anti aborsi, dimana diantaranya ada yang 379 380 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 menggunakan cara-cara kekerasan telah berhasil mengurangi secara drastis jumlah penyedia jasa aborsi. Baik dalam ERA maupun aborsi tampak adanya kecenderungan membalik keadaan dengan cara yang ekstrim baik itu dari yang pro maupun yang anti feminisme. Pertanyaan lebih besar adalah apakah program-program feminisme seiring sejalan dengan program dari kelompok masyarakat lain yang peduli untuk memperjuangkan masyarakat yang lebih adil. Pada tahun 1990-an kebijakan Amerika mengesahkan cuti bekerja selama 12 minggu bagi ibu melahirkan tetapi menyerahkan urusan gaji pada yang mempekerjakan. Para ibu mungkin pihak yang paling besar mendapat keuntungan, tetapi hal ini sebenarnya untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Tidak ada isu yang lebih besar di Amerika selain isu tentang gender, ras dan kelas. Melalui pengorbanan dari beberapa aktivitas yang tak terhitung jumlahnya, masyarakat Amerika diminta untuk terus mendengungkan masalah ras dan gender yang terus ada di bidang hukum maupun di dalam kehidupan masyarakat pada pertengahan kedua abad 20, untuk juga mengurangi ketimpangan yang dialami oleh mereka hanya karena lahir tidak sebagai laki-laki atau kulit putih. Amerika yang baru dan yang lebih bebas masih menjadi angan-angan, dengan jutaan orang tidak dapat mengambil manfaat dari perubahan yang dihasilkan dari penyokong hak asasi manusia dan feminis. Jika saja Amerika dapat bergerak sebesar mungkin tenaga yang dibutuhkan, maka tujuan memperluas hak asasi manusia dan kehidupan yang layak bagi masyarakat kelas bawah dan juga perjuangan panjang penyetaraan antara laki-laki dan perempuan akan dapat terwujud (hal. 85-86). Kondisi Amerika sekarang telah menerima perempuan sebagai partner yang setara, tetapi perempuan ingin lebih setara. Selama tahun 1990-an, pilihan peran tradisional perempuan terus terkikis dan sekat gender mulai menyempit. Tahun 1990an juga memunculkan fenomena laki-laki kulit putih yang marah (angry white man), laki-laki Amerika merasa terdesak, ditekan untuk menjadi maskulin dalam budaya yang tidak lagi menghargai laki-laki dalam peran tradisionalnya. Stiffed Faludi dalam The Betrayal of the American Man (1999) seperti dikutip dalam www.encyclopedia.com, menulis bahwa kebanyakan laki-laki tidak lagi mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari) dalam kehidupan masyarakat dengan secara lebih berarti. Di tengah krisis, beberapa melihat bahwa masa sekarang adalah kesempatan baru bagi laki-laki untuk lepas dari stereotip lama dan memunculkan paradigma baru kemaskulinan ; tugas mereka bukan untuk menetapkan bagaimana manjadi maskulin tetapi kemaskulinan tersebut terletak pada bagaimana menjadi manusia seutuhnya. “Their task is not, in the end, to figure out how to be masculine; rather their masculinity lies in figuring out how to be human”. D. Perempuan dan Keluarga Beberapa artikel mengungkapkan peran perempuan dalam rumah tangga dan dalam hubungannya dengan pasangan mereka. Seperti Letitia Anne Peplau dan Susan Miller Campbell dalam artikelnya “The Balance of Power in Dating and Marriage” mengatakan bahwa istilah kekuasaan (power) dalam suatu hubungan laki-laki dan perempuan sulit untuk didefinisikan. Banyak kesimpulan yang bisa didapat dalam penelitian barubaru ini. Mayoritas pasangan menggambarkan hubungan mereka sebagai egaliter, sebagian yang lain mengungkapnya adanya dominasi laki-laki dan yang paling sedikit menyatakan didominasi perempuan. Pasangan yang egaliter tidaklah serta merta berbagi semua keputusan penting yang perlu diambil. Masing-masing berpengaruh pada bidang-bidang yang berbeda. Suami mengambil keputusan yang berkaitan dengan keuangan, sedangkan istri mengambil keputusan yang berkaitan dengan masalah rumah tangga. Sedangkan dalam hal rekreasi anggota keluarga, mereka memutuskan bersamasama. Semua masih mengacu pada peran tradisional, sehingga mereka mengkombinasikan kesetaraan kekuasaan dengan peran tradisional. Penelitian menunjukkan tampaknya pasangan yang sejajar dalam kekuasaan adalah pasangan yang memang menganut kesetaraan hubungan laki-laki dan perempuan, yang masingmasing mempunyai sumber penghasilan sendiri yang sama, dan sama-sama saling bergantung atau terikat dengan hubungan yang mereka jalin. Tidak ada satupun faktor yang bisa menjadi acuan bahwa suatu hubungan dikatakan mempunyai kekuasaan yang setara. Ada kalanya pasangan yang menganut kesetaraan, ternyata tidak memperoleh hubungan yang setara. Sedangkan 381 382 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 yang menganut paham peran tradisional justru menganggap hubungan mereka telah sejajar dalam hal kekuasaan atau pengaruh. Penelitian empiris telah menolak adanya mitos bahwa orang kulit hitam bersifat matriarkal dan orang keturunan Amerika latin sebagai patriarkal dalam hubungan antara lakilaki dan perempuannya. Pernyataan yang skeptis muncul setelah melihat beberapa hasil penelitian yaitu bahwa pernikahan yang benar-benar egaliter sebenarnya hanyalah mitos. Secara awam orang berpikir bahwa suatu hubungan mempunyai kekuasaan yang setara jika secara kasat mata kelihatan sebagai hubungan yang adil, jika mereka tidak merasa tereksploitasi satu sama lain, jika mereka masing-masing dapat melakukan hal-hal yang mereka ingin lakukan dan terlebih lagi jika mereka merasa dapat mempercayai pasangan mereka dan percaya bahwa mereka memang mempunyai hubungan yang baik. Sesungguhnya kepercayaan dan komitmen-lah yang bisa mengurangi ketimpangan kekuasaan di antara pasangan. Pada akhirnya kesetaraan sejati dalam sebuah pernikahan tidak dapat diperoleh sampai perempuan sebagai kelompok masyarakat mempunya status yang sejajar pula di masyarakat. Jika hanya laki-laki yang diberi kesempatan lebih besar mengembangkan kemampuan mereka, maka sulit perempuan memperoleh kesetaraan kekuasaan (Peplau dalam Freeman, 1989: 121-136). Janice M. Steil dalam “Marital Relationships and Mental Health: The Psychic Costs of Inequality” mengatakan bahwa prinsip keadilan (equity) dan persamaan (equality) semestinya dibedakan, karena keadilan diasosiasikan dengan tercapainya tujuan produktifitas ekonomi dan orang hanya dilihat dari segi kemanfaatan ekonomi. Sedangkan prinsip persamaan (equality) memandang semua keadaan dan sarana harus sama-sama dibagi secara sama. Persamaan (equality) diasosiasikan dengan tujuan mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang nyaman. Hubungan pernikahan sekarang ini lebih condong kepada equity atau asas keadilan. Hal ini berakar dari pandangan masyarakat yang memandang segala sesuatu yang bernilai itu hanya dari sudut ekonomi. Namun mengapa seorang perempuan yang merelakan dirinya untuk fokus pada rumah tangga menjadi sosok yang kurang berpengaruh dalam kehidupan, padahal dia sudah melakukan hal yang berharga dan bernilai ekonomis PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari) yaitu mengurus keluarga. Hal ini disebabkan oleh adanya nilai dan pembedaan peran gender yang memberikan peran dan tanggung jawab tertentu berdasar pada jenis kelamin. Dahulu kala perempuan dipandang sebagai property atau hak milik dan sekarang mengarah pada hubungan yang sejajar. Hubungan yang sejajar tidak dapat tercapai manakala sistem masyarakat masih membedakan peran dan tanggungjawab atas dasar jenis kelamin. Suatu perubahan tidak akan diperoleh sampai peran gender stereotip diterima sebagai sesuatu yang tidak adil. Keyakinan yang ada dalam masyarakat tersebut mempengaruhi pandangan perempuan tentang hal-hal yang mungkin mereka capai, tentang tanggungjawab mereka, tentang keinginankeinginan mereka dan tentang hak-hak mereka. Karena itu perempuan harus disadarkan atau kalau tidak, dia sendiri yang akan menjadi penyokong dominasi laki-laki karena menganggap perannya hanya sebagai nurturer baik untuk suami maupun untuk anak-anaknya, sementara suami sebagai pencari nafkah. Jika masyarakat tidak memberi dukungan kepada khususnya ibu-ibu bekerja, maka ditakutkan akan muncul keluargakeluarga yang kecil dan perempuan yang tidak menginginkan anak (Steil dalam Freeman, 1989: 138-146). Janet Saltzman Chafetz dalam artikelnya “Marital Intimacy and Conflict: The Irony of Spousal Equality” mengatakan bahwa kebebasan dan kesetaraan adalah hal yang baik namun kestabilan dan keharmonisan tampaknya bukanlah bagian dari itu. Karena dalam hubungan yang setara, justru akan lebih sering muncul konflik dan lebih sulit pula untuk diselesaikan. Dan perceraian lebih mungkin menjadi alternatif (Chafetz dalam Freeman, 1989: 149-155). Michele Hoffnung dalam artikelnya “Motherhood: Contemporary Conflict for Women” mengatakan bahwa merubah nilai-nilai sosial itu perlu, tapi hampir tidak dapat menjadi jawaban bagi perempuan yang sekarang ini sedang merenungkan peran sebagai ibu. Diakui bahwa seorang ibu bekerja akan lebih puas terhadap dirinya sendiri dan harga diri mereka meningkat dibanding ibu yang tidak bekerja. Faktor dukungan keluarga cukup berperan. Suami dan anak yang tidak mendukung akan mengurangi tingkat kepuasan ibu bekerja terhadap hidup mereka dan dalam pekerjaan mereka. Baik ibu yang bekerja maupun tidak sama-sama memandang peran ibu sebagai peran yang penting. Namun ibu yang bekerja merasa hubungan kedekatan dengan 383 384 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 anak tidaklah harus berdasar fisik semata. Sedangkan ibu di rumah menganggap kedekatan dengan anak secara fisik adalah keharusan. Sekali lagi, jika dukungan keluarga diperoleh, maka ibu bekerja tetap akan puas dan bahagia meski jauh dari anaknya karena bekerja. Dari sebuah kuesioner oleh Janet Gray yang dibagikan kepada professor, pengacara, dan doktor perempuan yang menikah, disimpulkan bahwa demi keprofesionalan dalam bekerja, dan nantinya ini berimbas pada tingkat kepuasan dalam hidup mereka, maka ada 5 strategi yang digunakan oleh mereka dalam pernikahan, yaitu: 1) meminta anggota keluarga berbagi pekerjaan rumah, 2) Mengurangi standar dalam hal tertentu seperti standar kerapian atau kebersihan rumah, 3) Menjadwal dan mengatur kegiatan secara teliti, 4) Meminta anggota keluarga membantu mengatasi konflik peran yang timbul, 5) Menghargai dan menganggap penting minat dari setiap anggota keluarga. Selain 5 hal diatas, maka ada 5 hal negative yang harus dihindari menurut mereka, yaitu: 1) Menghilangkan peran, 2) Membiarkan adanya pembedaan peran seolah-olah peran tersebut tidak bisa dipertukarkan, 3) Berusaha memenuhi semua harapan anggota keluarga, 4) Peran yang tumpang tindih, dan 5) Tidak mempunyai strategi nyata ketika terjadi konflik peran. Menolak peran-peran dan hubungan-hubungan yang bersifat stereotip dan meletakkan karir dan keluarga –baik bagi suami maupun istri—pada pijakan yang lebih sejajar dapat membuat karir dan keluarga tersebut sama-sama berhasil. Perubahan nilai sosial ini meskipun tidak menghilangkan namun bisa mengurangi konflik yang dihadapi perempuan modern (Hoffnung dalam Freeman, 1989: 157-172). E. Simpulan Pembagian peran di Amerika bersifat dinamis mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Serangkaian peristiwa dan kejadian tampaknya mendewasakan pola pikir masyarakat Amerika hingga pada akhirnya sampai pada kesetaraan hubungan antara laki-laki dan perempuan seperti sekarang. Seiring dengan munculnya kebutuhan akan eksistensi diri, maka perempuan Amerika meningkatkan kemampuan dan keahlian di bidangnya dalam rangka memperoleh kesetaraan dengan pasangannya dan dalam rangka menghindarkan diri dari rasa tereksploitasi oleh pasangan. Perempuan dan laki-laki Amerika PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari) sama-sama meninggalkan stereotip yang selama ini berlaku dan memulai fase hidup baru dengan bernegoisasi dengan pasangan dalam segala hal. Sehingga yang dikedepankan adalah prinsip persamaan atau equality bukan keadilan atau equity. Karena dalam equality mengandung pengertian adanya semangat kerjasama dalam memperoleh satu tujuan, bukan kesamaan dalam segala bidang yang pada akhirnya hanya akan berkutat pada saling menuntut. 385 386 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 SUMBER RUJUKAN Anthony,et al., History of Woman Suffrage. California: Sage Publishing Company, 2006. Ashcraft, Karen Lee. “Back to Work: Sights/Sites of Difference in Gender and Organizational Communication Studies.” Ed. Bonnie Dow and Julia Wood. California: Sage Publishing Company, 2006. Barnet, Rosalind. “Work-Family Balance”. Encyclopedia of Women and Gender. Academic Press. 2001. Chadwik, Bruce A. Statistical Handbook on the American Family. Phoenix, Arizona: Greenwood Publishing Group, 1999. Chafetz, Janet Saltzman in Jo Freeman’s The Women, “The Irony of Spousal Equality”, California: Mayfield Publishing Company, 1989. Chrisler, Joan C. Lectures on the Psychology of Women. New York: McGraw-Hill, 2004. Hoffnung, Michele in Jo Freeman’s The Women, “Motherhood: Contemporary Conflict for Women”, California: Mayfield Publishing Company, 1989. Hook, Bell. Feminist Theory: From Margin to Center. Cambridge: South End Press, 2000. Humm, Maggie. Feminism; A Reader. Great Britain: BPC Wheatons, Ltd., 1992. McMillen, Sally Gregory. Seneca Falls and the Origins of the Women’s Rights Movement. Oxford: Oxford University Press, Inc., 2008. Michael Goldberg in Breaking New Ground (1800-1848) in Nancy F. Cott’s (eds.) A History of Women in the United States. New York: Oxfrd University Press, 2000. O’Neill, William L. Feminism in America. New Jersey: Quadrangle Books, Inc., 1994. Peplau, Letitia Anne and Susan Miller Campbell in Jo Freeman’s The Women, “The Balance of Power in Dating and Marriage”, California: Mayfield Publishing Company, 1989. PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA (Dewi Ulya Mailasari) Saul, Jennifer Maher. Feminism; Issues & Arguments. New York: Oxford University Press, Inc., 2003. Steil, Janice M. in Jo Freeman’s The Women, “Marital Relationships and Mental Health: The Psychic Costs of Inequality”, California: Mayfield Publishing Company, 1989. William Chafe in The Road to Equality (1962-today) in Nancy F. Cott’s (eds.) A History of Women in the United States. New York: Oxfrd University Press, 2000. http://en.wikipedia.org/wiki/Glass_ceiling www.wikipedia.org 387 BEDAH BUKU PERJUANGAN EMANSIPASI MELALUI BAHASA PEREMPUAN Setyoningsih *) Judul buku : Bahasa Perempuan: Sebuah Potret Ideologi Perjuangan Penulis : Anang Santoso Penerbit : PT Bumi Aksara Jakarta, Maret 2009 Halaman : 184+xv Harga : Rp. 31.000,- Persolan/isu gender merupakan topik sering diperbincangkan, namun tidak banyak yang mengkajinya dari sudut pandang bahasa. Para pakar ilmu bahasa sejak lama sudah tertarik untuk menganalis apakah ada perbedaan antara bahasa laki-laki dan perempuan di lihat dari sudut pandang sosiolinguistik. Beberapa ada yang sepakat bahwa laki-laki dan perempuan berbahasa secara berbeda, tetapi ada juga yang tidak menyetujui pendapat tersebut. Namun ternyata secara luas diterima bahwa laki-laki dan perempuan berbahasa secara berbeda. Anang Santoso, yang merupakan seorang dosen atau staf pengajar di jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, adalah salah satu orang yang tertarik menganalisa relasi bahasa dengan gender yaitu tentang “konstruksi ideologi dalam bahasa perempuan” yang merupakan hasil penelitian multi-years selama dua tahun mulai 2006-2008. Kajian terhadap ideologi melalui bahasa perempuan dilakukan agar dapat diketahui bagaimana sebenarnya perempuan melihat dan menafsirkan dunia atau realitas, apa yang dianggap penting dan tidak penting, dan sebagainya. Di awal buku ini dibahas alasan mengapa bahasa perempuan menarik untuk dikaji. Bahasa perempuan dapat ) Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus PERJUANGAN EMANSIPASI MELALUI BAHASA PEREMPUAN (Setyoningsih) disikapi sebagai wacana, karena pada dasarnya bahasa perempuan selalu mempresentasikan model pandangan hidup tertentu, yakni gambaran sebuah konstruksi dunia yang bulat dan utuh tentang ide hidup dan kehidupan yang sudah ditafsirkan dan diolah perempuan. Anang kemudian meneliti aspek ‘ideologi’ dari bahasa mereka melalui analisis wanaca kritis (AWK) terhadap penggunaan kosa kata dan gramatika para elite perempuan Indonesia antara lain mereka yang berprofesi penyanyi, artis sinetron, filsuf, sastrawan, menteri, dan lain lain, Pertama, buku ini memaparkan berbagai macam teori tentang bahasa perempuan ditinjau dari berbagai sudut pandang, yaitu bahasa perempuan sebagain kajian budaya dimana penelitian terhadap bahasa perempuan merupakan implikasi dari struktur politik yang menindas, patriarkis, dan rasis akibat dari persepsi mengenai kebudayaan yang salah kaprah. Persoalan bahasa perempuan juga haruslah disikapi dengan wacana perempuan bukan hanya sebagai bahasa karena wacana merupakan sistem representasi, yakni cara mengatakan, menuliskan atau membahasakan peristiwa, pengalaman, pandangan dan kenyataan hidup tertentu, dan di dalam wacana semua makna diartikulasikan. Sebagai situs pertarungan sosial (sosial struggle), bahasa perempuan memuat pelbagai ideologi dimana kajian terhadap ideologi dalam bahasa perempuan berarti kajian terhadap pelembagaan gagasangagasan sistematis yang diartikulasikan oleh komunitas atau kaum perempuan, kajian tentang bagaimana teks-teks dan praktik-praktik budaya tertentu menghadirkan pelbagai citra tentang realitas yang telah didistorsi, kajian terhadap teks yang sering terjebak pada persoalan keberpihakan, kajian tentang cara-cara dimana ritual dan kebiasaan tertentu menghasilkan akibat-akibat yang mengikat dan melekatkan kita pada tatanan sosial, sebuah tatanan yang ditandai oleh adanya kesenjanagan kesejahteraan, gap status, dan jurang kekuasaan yang demikian menonjol serta kajian tentang usaha untuk menjadikan apa yang faktanya parsial dan khusus menjadi universal dan legitimate dan sekaligus juga usaha untuk melewatkan hal-hal yang bersifat cultural sebagai hal yang ilmiah. Semua posisi ideologis diatas menempatkan perempuan selalu dalam posisi lemah, marginal dan subordinat, 389 390 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 Menurut beberapa ahli, perbedaan jenis kelamin tertentu dalam perilaku bahasa merupakan efek samping dari pengalaman sosial laki-laki dan perempuan yang secara sistematis berbeda. Penggunaan bahasa yang dibedakan secara gender berperan signifikan dalam marginalisasi perempuan dalam pelbagai profesi, khusunya kemajuan dan perkembangan karir, sehingga posisi makhluk perempuan menjadi tersudut. Sedangkan jika di lihat dari sudut pandang persoalan politik representasi, buku ini mengungkapkan tiga pertanyaan penting berkaitan dengan bahasa perempuan yaitu (1) apakah representasi “perempuan” dan “laki-laki” memang tidak sejajar atau simetris dalam bahasa, (2) adakah perbedaan penggunaan bahasa antara “perempuan” dan “laki-laki”, (3) bahaimana memberikan penjelasan yang tepat dan akurat kaitannya dengan perbedaan penggunaan bahasa antara “perempuan” dan “lakilaki”. Disini disebutkan beberapa contoh ketidaksimetrisan kata kata dalam bahasa Inggris kaitannya dengan representasi perempuan dan laki laki yaitu penggunaan kata man secara jenerik untuk memaknai “perempuan”, “laki-laki” dan “anak laki-laki” dan penggunaan kata man untuk hanya memaknai “laki-laki” (bukan wanita dan anak-anak). Begitu juga dgn gelar “Mr” dapat langsung digunakan oleh laki-laki dewasa, sedangkan perempuan harus memilih tiga “gelar” yang ada yaitu “Miss”, “Mrs” dan “Ms”. Tiga teori relasi bahasa dan gender yaitu teori dominasi, teori perbedaan dan teori analisi gender juga dipaparkan cukup jelas beserta contohnya. Menurut teori dominasi, perbedaan bahasa perempuan dan laki-laki berkaitan erat dengan kekuasaan sehingga muncullah istilah “wacana seksis” yang menunjukkan adanya kekuasaan laki-laki atas perempuan karena berdasarkan statistik laki-laki cenderung memiliki kekuasaan yang lebih atas perempuan secara fisik, finansial, dan dalam hierarki di tempat kerja. Akhirnya terdapat ideologi yang cenderung merendahkan, meminggirkan, dan meniadakan perempuan. Teori yang kedua yaitu teori perbedaan menyebutkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki gaya berbicara yang berbeda karena faktor biologis dan sosiologis. Dari segi faktor biologis, dalam hal ini faktor hormon, laki-laki cenderung agresif. Sedangkan dari faktor sosiologis, anak perempuan diharapkan untuk selalu berperilaku sopan, sedangkan laki-laki dihormati PERJUANGAN EMANSIPASI MELALUI BAHASA PEREMPUAN (Setyoningsih) dari sifat “ aktif agresif” dan “semangatnya”. Teori analisis gender memiliki pandangan yang berbeda dari kedua teori sebelumnya dimana dalam teori ini, perempuan secara umum tidak berbicara dalam cara yang sama. Mereka memiliki pandangan dan harapan yang berbeda sesuai dengan perbedaan umur, kebangasaan, religi, kelas, orientasi seksual, latar belakang regional dan kultural, begitu juga laki-laki. Melanjutkan paparan teoritis, Anang memaparkan pelbagai ideologi yang diperjuangkan perempuan berdasarkan analisis kosa kata dari beberapa kutipan elite perempuan, diantaranya adalah penolakan terhadap kodrat. Di Indonesia sepertinya sudah mejadi kodrat perempuan menjadi seorang ibu rumah tangga dimana tugasnya hanyalah menjalankan peran-peran domestik. Bahkan dalam budaya jawa, perempuan hanyalah menjalankan 3 M yaitu Masak, Macak, Manak. Pada kutipan THN, salah seorang elite perempuan yang menjadi sastrawan ditegaskan bahwa manusia pada dasarnya tidak memiliki kodrat, dan menjadi wanita pada hakikatnya sama menjadi pria. Ideologi yang lain adalah pembelaan terhadap kelompoknya yang tertindas. Ada kutipan yang cukup menarik dari seorang elite perempuan yang menjadi seorang sastrawati ketika ditanya tentang isi novel yang sedang ia tulis. Jawaban yang ia berikan adalah bahwa isi novelnya tentang marginalisasi perempuan yang secara langsung merupakan pembelaan terhadap kelompoknya. Masih banyak ideologi yang diungkapkan di buku ini yaitu ideologi keterikatan pada struktur, pemgambilan distansi untuk menunjukkan kemampuan, pengurangan distansi dalam kerangka solidaritas, pemberontakan terhadap kemapanan lakilaki, dan perasaan senasib dengan sesamanya. Setelah berkonsentrasi pada kajian kosa kata, Anang menitikberatkan analisis kutipan dari segi gramatika dan menemukan beberapa ideologi yaitu ideologi keteguhan dalam bersikap dan bertindak, pengandalan afeksi dalam mengkodekan realitas. Penonjolan agen untuk menunjukan kausalitas, pemerhalusan tuturan untuk memperpendek jarak sosial, pemertahanan terhadap keadaan yang sudah ada, pemberontakan terhadap realitaa di sekelilingnya, penonjolan peran individu, selalu mendorong terciptanya sebuah aktualisasi, penonjolan autoritas dalam membentuk realitas. Pada bagian akhir, Anang memberikan penjelasan secara 391 392 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 terperinci mengenai adanya dimensi yang rumit terkait relasi lingual dalam wacana perempuan. Wacana tersebut -khususnya wacana publik- akan lebih ditafsirkan sebagai relasi kuasa dan relasi ideologi daripada semata-mata hanya relasi antar unsurunsur lingual atau kebahasaan saja. Anang juga menekankan bahwa membaca sebuah fenomena melalui wacana adalah sebuah proses seperti ketika kita berusaha memahami dunia atau menafsirkan tanda-tanda di sekitarnya jadi pembaca memiliki peran yang sangat besar dalam membaca fenomena tersebut. Kata adalah salah satu simbol yang memiliki makna penting dalam wacana perempuan karena simbol tersebut digunakan sebagai instrumen perjuangan perempuan. Anang menyebutkan paling tidak ada tiga simbol yaitu (1) pengarusutamaan gender (2) kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) (3) marginalisasi perempuan. Kata “Pengarusutamaan gender” adalah senjata yang digunakan perempuan untuk mengubah cara pandang masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, bahwa masalah gender adalah masalah bersama. Kata kedua yaitu “ kekerasan dalam rumah tangga” menjadi instrumen perempuan ke arah kesetaraan, dan dalam jangka panjang ke arah persamaan. Sedangkan kata yang ketiga “marginalisasi perempuan” digunakan para aktivis sebagai alat perjuangan untuk mengembalikan perempuan ke titik sentral karena selama ini banyak terjadi peminggiran perempuan di pelbagai bidang. Wacana perempuan juga berfungsi sebagai arena perjuangan emansipasi. Apapun profesinya, entah sebagai menteri, istri pejabat, relawan, artis dan lainnya tidak membuat mereka berhenti memperjuangkan emansipasi. Bagi perempuan Indonesia, setara dalam hak dan kewajiban, setara dalam pembentukan dan konsumsi wacana public, setara dalam tugas privat dan setara dalam pencitraan sudah lebih dari cukup dan terus diperjuangkan sampai sekarang. Perempuan di Indonesia banyak mengalami kekerasan simbolik (symbolic violence) yaitu sebuah bentuk kekerasan yang halus, dan tidak kasat mata yang dibaliknya menyembunyikan praktik dominasi melaui sebutan, predikat, olok-olok, stereotip, syair lagu, moto, semboyan dan lain lain. Misalnya istilah Wanita Tuna Susila (WTS) tidak pernah ada padanannya yaitu Laki-laki Tuna Susila padahal baik perempuandan laki-laki sebenarnya PERJUANGAN EMANSIPASI MELALUI BAHASA PEREMPUAN (Setyoningsih) memiliki andil yang sama dalam proses “pertunasusilaan”. Begitu juga dengan istilah laki-laki harapan bukanlah padanan kata dari wanita harapan karena laki-laki harapan mengacu kepada lakilaki yang memiliki kelebihan di pelbagai bidang. Sedangkan wanita harapan merupakan sinonim dari Wanita Tuna Susila. Perempuan diharuskan untuk terlibat dalam pembentukan dan penafsiran wacana publik, makna-makna yang diperjuangkan akan terkonsumsi oleh publik, baik laki-laki maupun perempuan karena semua teks menyisakan terjemahan realitas yang bersifat subjektif, parsial, dan terfragmentasi (tidak lengkap) sehingga penafsiran wacana tersebut harus melibatkan penafsir yang lebih merata secara gender. Ternyata, melalui pemilihan kosa kata dan gramatika, perempuan dalam hal ini elite perempuan secara sadar dan bawah sadar, eksplisit dan implisit, suka maupun tidak suka telah memperjuangkan beberapa ideologi akibat kekerasan simbolik yang dialami banyak perempuan di Indonesia. Kelebihan dari buku ini adalah pembahasan secara komprehensif tentang bahasa perempuan dan relasinya dengan ideologi yang diperjuangkannya. Pelbagai sudut pandang di paparkan secara detil beserta referensinya karena pada dasarnya buku ini memang karya ilmiah hasil dari sebuah penelitian terhadap wacana elit perempuan. Namun disisi lain, terdapat banyak istilah linguistik yang sulit dipahami oleh orang yang tidak begitu akrab dengan teorisasi bahasa, sehingga untuk memahaminya membutuhkan waktu dan pemikiran yang lama. Pilihan Anang ini tentu saja membuat buku ini menjadi agak kurang bisa dinikmati dengan tuntas oleh seluruh kalangan, sehingga terkesan “berat” dan membatasi pembacanya pada kalangan tertentu saja. Di luar keterbatasannya, buku ini sangat bermanfaat karena telah mengisi kekurangan literatur dalam bidang relasi bahasa dan gender, khususnya yang berbahasa Indonesia. Bahwa perjuangan kesetaraan dapat memiliki banyak wajah, Anang menunjukkan dengan sangat cermat dan komprehensip bagaimana perempuan mempersepsi diri dengan dan melalui bahasa untuk menciptakan tatanan yang ramah baginya. Jadi, bahasa bukanlah sekadar susunan kata yang arbitrer, dan dengan demikian terbuka kesempatan bagi perempuan untuk mewacanakan kesetaraan melalui bahasa, sebagai sebuah pilihan. 393 BEDAH BUKU TAFSIR BARU FIQH PEREMPUAN Muhammad Zainal Abidin*) Judul buku : FIQH PEREMPUAN, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender Penulis : K.H. Husein Muhammad Penerbit : LKiS Yogyakarta Cetakan : V, November 2009 Tebal : xiiv + 262 Halaman Kita sadari atau tidak, fakta kehidupan dalam masyarakat kita terdapat akar sejarah yang panjang mengenai dominasi laki-laki atas perempuan, di mana dalam sebagian besar sektor yang dibangun adalah berlandaskan pada tatanan yang timpang juga, yaitu tatanan nilai yang menjadikan laki-laki ditempatkan sebagai pihak superior (kuat) dan sebaliknya perempuan harus menerima kenyataan menjadi pihak yang inferior (lemah). Tatanan ini terbentuk dengan proses panjang dalam lingkungan sosial budaya di sekitar kita sendiri. Laki-laki dan perempuan seringnya dibedakan karena faktor biologis (jenis kelamin) yang dimiliki, dan perbedaan inilah yang kemudian ditradisikan menjadi ajang untuk menjadikan perempuan menjadi sosok yang lemah, kalah, dan belakang. Parahnya kemudian, pemahaman inilah yang selama ini dianggap sebagai gender, padahal gender adalah bukan perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada faktor biologis (apalagi karena faktor beda jenis kelamin) akan tetapi didasarkan pada hasil konstruk sosial dan bukan ciptaan Tuhan. Artinya telah sekian lama terjadi bias atau bahkan kesalahan) dalam memahami gender karena perbedaan secara biologis itu bersifat kodrati, dimana laki-laki mempunyai penis dan perempuan mempunyai vagina, dan lain sebagainya. ) Penulis adalah Alumni STAIN Kudus TAFSIR BARU FIQH PEREMPUAN (Muhammad Zainal Abidin) Kalaupun karena perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan menjadikan beda peran yang didapatkan, dalam pengantar buku ini K.H M.A Sahal Mahfudz menyatakan hal tersebut tidak masalah, dan hal ini akan menjadi masalah ketika peran tersebut menjadikan perempuan menjadi sosok yang rendah dibandingkan laki-laki, misalnya peran perempuan sebagai perawat, pengasuh dan pendidik itu dipandang kurang terhormat dari pada peran yang didapatkan oleh laki-laki, inilah yang beliau sebut sebagai Gender Tradisional. Dan seringnya perbedaan peran gender seperti di atas juga menimbulkan masalah yang baru, misalnya marginalisasi (pemiskinan ekonomi), subordinasi, stereotype (pelabelan negatif), dan violence (kekerasan), dan inilah yang membuat kita untuk menggugat, begitu ajak beliau.. Dalam perwujudannya, ketidakadilan gender terhadap perempuan tersebut terjadi secara sistematis dan terstruktur, sehingga menjadikan pihak yang tertindas merasa tidak sadar akan kenyataan itu sehingga sampai menjadi sebuah kebiasaan, tidak hanya kaum laki-laki saja yang ikut mentradisikan ketidakadilan gender, si perempuan juga ikut mengabadikan prilaku tersebut. Karena mereka berasumsi bahwa hal tersebut sudah tidak perlu untuk dikoreksi dan dievaluasi, dianggaplah semua ini merupakan kodrat ilahi yang diberikan kepada makhluknya di bumi. Salah satu faktor yang membentuk dan menghambat proses kesetaraan dan keadilan gender adalah (pemahaman) agama. Diperlukan penafsiran kembali (reinterpretasi) terhadap khazanah ilmu-ilmu keagamaan untuk menemukan dan menjadikan agama lebih memihak pada keadilan gender, atau bahkan melakukan dekonstruksi penafsiran, sehingga nantinya agama lebih dipahami tidak hanya sekedar sebagai momentum kebangkitan untuk perempuan sesaat akan tetapi sejatinya menjadikan seluruh manusia mendapatkan tempatnya yang layak dan tidak dibeda-bedakan. Memang, bukan hal yang mudah untuk melakukan tugas mulia tersebut, dalam melakukannya kita akan terbentur pada fakta bahwa di dalam khazanah ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri malahan telah menjadi tembok yang jelas, kokoh dan tegas dengan menempatkan perempuan sebagai pihak yang memang (di)lemah(kan). Selain itu, dalam melakukan reinterpretasi 395 396 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 atau dekonstruksi, dibutuhkan kemampuan intelektual yang mumpuni, misalnya menguasai bahasa arab, tafsir, ushul fiqh, dan ilmu-ilmu lainnya, belum lagi kita harus punya bekal dalam melakukan kompilasi, membandingkan dan mampu untuk merekonstruksinya kembali. Kalaupun saat ini banyak orang yang menguasai dan mampu untuk melakukan proyek tersebut, tapi perspektif sosial mereka terhadap keadilan gender masih minim, sehingga yang muncul adalah keberlanjutan (pemahaman) khazanah ilmu-ilmu keagamaan yang bias terhadap keadilan dan kesetaraan gender, lebih bernuansa mendukung dan mengamini ketidakadilan tersebut. Menurut Sahal Mahfudz, ada tiga asumsi yang menjadikan masyarakat yakin dan mengabadikan akan fakta sosial yang ada bahwa perempuan harus di bawah, setelah, dan di belakang laki-laki, yaitu Pertama, asumsi dogmatis yang secara eksplisit menempatkan perempuan sebagai pelengkap, di mana kehadiran perempuan dijadikan sebagai ban serep saja dan diperlukan di saat dibutuhkan. Asumsi yang Kedua, menyebutkan bahwa bakat moral etik perempuan lebih rendah, hal ini berujung pada kenyataan bahwa seluruh prilaku, kinerja dan hasil dari perempaun dianggap kurang terhormat (lagi-lagi) dibandingkan laki-laki. Ketiga, pandangan materealistik, di mana pandangan ini mengatakan bahwa ideologi masyarakat yang sudah berjalan sejak era-Makah pra-islam yang memandang rendah perempuan dalam proses produksi. (hal. xiii) Pemikiran yang menuntut akan terjadinya keadilan dan kesetaraan gender pada perempuan memang sudah sejak lama didengung-dengungkan, sebut saja tokoh pemikir dari mesir, Rifa’ah Rafi At-Tahtawi adalah salah satunya, beliau hidup pada tahun 1801 – 1873. Melalui bukunya yang bertitel Takhlis Al-ibriz fi Talkhis Bariz, At-tahtawi menyerukan kepada dunia islam untuk memberikan pendidikan kepada kaum perempuan dan mengajak mereka untuk bekerja, selanjutnya Qasim Amin (1865 – 1908), seorang pemikir keturunan Turki ini dalam bukunya memberikan gambaran bahwa roda kehidupan ini tidak akan berjalan kalau tanpa ada kaum perempuan, sehingga mereka harus mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki, apalagi saat itu perempuan hanya dijadikan sebagai alat pemuas kenikmatan laki-laki saja, setelah puas kemudian dibuang. Selain itu Qasim juga mengajak perempuan untuk melepas jilbabnya, agar leluasa untuk bekerja, menurutnya. Dan juga menolak TAFSIR BARU FIQH PEREMPUAN (Muhammad Zainal Abidin) poligami yang lebih disebabkan karena alasan yang tidak adil Berikutnya adalah pemikir dari Tunisia, Tahar Haddad (1899 – 1935), ide yang disampaikan hampir memiliki kemiripan, menurut Tahar, perempuan Tunisia harus melakukan reformasi secara total, mulai dari keharusan mendapat pendidikan yang sama dengan laki-laki sampai mengecam talak yang dilakukan oleh kaum laki-laki kepada perempuan secara sepihak. Sedangkan di Indonesia, salah satunya adalah K.H. Husein Muhammad, pemikir dengan hasil kerja intelektualnya telah berhasil menerbitkan buku yang berjudul FIQH PEREMPUAN, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Dalam buku ini, Husein tidak hanya memaparkan alasan dan gugatan terhadap realitas kehidupan yang terjadi secara perspektif sosial, akan tetapi juga melakukan kajian dan koreksi terhadap teks khazanah keagamaan kita. Kemampuan ini didukung oleh latar belakang Kiai Husein adalah sosok yang kental dan selalu bergumul dengan kitab kuning sebagai pengasuh pondok pesantren Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat. Fiqh Perempuan Dalam pengantarnya, penulis (K.H. Husein Muhammad) menjelaskan bahwa ketidakadilan terhadap perempuan ini terbentuk dan tertradisikan dalam realitas kehidupan kita adalah karena andil agama, dalam posisi ini ditemukan idealitas agama yang terlibat dalam arus budaya yang sudah tidak adil pada perempuan. Hasil “perkawinan’ yang salah antara sistem budaya dan agama tersebut menghasilkan perempuan berada dalam posisi subordinat dan tertindas. Harus diakui dan diyakini bahwa agama dengan nilai idealitasnya tidak akan mungkin memberlakukan diskriminasi terhadap perempuan dalam aspek kehidupan kita, akan tetapi realitas sosial telah menunjukkan pada kita bahwa semakin mapannya sistem diskriminasi yang menimpa perempuan dalam menjalani relasi kehidupan dengan kaum laki-laki. Ketidakadilan tersebut telah berlangsung selama berabadabad, Keberlangsungannya tidak hanya dalam ruang domestik saja, melainkan juga sudah merambah dalam ruang publik, begitu penulis menyebutnya. Sepertinya ada ruang yang tidak yambung dan padu antara idealitas agama dengan realitas sosial, 397 398 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 dan sekali lagi, ini benar-benar terjadi dalam realitas kehidupan kita. Apalagi orang sudah salah dalam memahami khazanah ilmu-ilmu keagamaan (misal fiqh), dianggaplah fiqh sebagai agama yang haram untuk dikritisi dan dikoreksi, padahal sejatinya fiqh adalah hasil kerja intelektual ulama’ zaman dulu dalam memahami dan menjalankan agama, sehingga bersifat kontekstual dan bisa dikembangkan sesuai dengan ruang-waktu yang ada. Dalam buku ini, penulis mengawali gagasan pemikirannya dengan memberikan landasan berpikir tentang mengapa kita harus melakukan gerakan kesetaraan dan keadilan gender, menurut Kiai Husein, budaya patriarki yang terjadi pada realitas masyarakat kita telah menjadikan laki-laki sebagai pihak yang bisa melakukan apa saja, dan perempuan sebagai kaum yang mendapatkan posisi subordinat, taruhlah di masyarakat Jawa, perempuan lebih diposisikan sebagai konco wingking, sebagai seorang istri (perempuan) akan mengikuti apapun yang akan diperoleh oleh laki-laki (suami), termasuk swargo nunut neroko katut. Masyarakat lebih sepakat dengan peran perempuan (istri) yang nrimo terhadap apa yang diterimanya, kalaupun itu menyakitkan hati dan perasaannya, dan dianggaplah (istri) ini sebagai sosok perempuan ideal. Sedangkan istri yang berani bangkang dan lancang terhadap perintah suami, dan selalu protes maka di sebut istri yang kurang baik. Tradisi di masyarakat yang mengawinkan perempuan di bawah umur (kawin muda), juga masih sering kita temukan. Mereka menganggap bahwa perempuan yang kawin muda adalah lebih baik, khususnya ini terjadi di daerah pedesaan. Masyarakat lebih sepakat kalau anak perempuan mereka secepatnya kawin, agar bisa cepat lepas dari tanggung jawab orang tua, karena sejatinya tugas perempuan adalah di dapur, mengurus rumah tangga, menjadi istri dan ibu, sangat jarang kita temukan alasan orang tua mengawinkan muda anak perempuannya karena didasari alasan agar tidak melakukan hubungan seks pranikah walaupun sebenarnya kadang juga kita temukan orang tua yang mengawinkan muda anak perempuannya lebih didasari karena faktor ekonomi, padahal dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 secara tegas dan jelas sangat tidak mengijinkan praktek tersebut. Apalagi di Jawa Barat, perempuan yang selalu melakukan kawin-cerai adalah sosok perempuan yang laku keras dan menjadi sebuah kebanggan. TAFSIR BARU FIQH PEREMPUAN (Muhammad Zainal Abidin) Dalam pembagian ruang kerja pun, perempuan masih saja mengalami peran yang diskriminatif, perempuan yang bekerja di sawah, di kantor dan di pabrik lebih dianggap sebagai peran tambahan (samben), karena sebenarnya peran perempuan adalah di wilayah domestik, di dalam rumah, dan parahnya, hasil kerja mereka juga tidak dihargai, termasuk tidak dibayar. (hal. 6). Belum lagi peran perempuan pada ruang publik, posisi perempuan seringnya selalu dijadikan pertimbangan terakhir, dan pilihan pertamanya selalu jatuh pada laki-laki, masyarakat lebih beranggapan bahwa selama masih ada laki-laki, maka lai-laki adalah pilihan yang paling tepat. Dan secara tegas, kaum feminis dengan gerakannya sangat tidak sepakat terhadap tindakan yang tidak berkeadilan gender tersebut. Mereka juga sering menemukan kesalahan berpikir yang berkembang di masyarakat, dianggaplah bahwa ketika gerakan kesetaraan gender ini berlangsung maka budaya patriarki akan diganti dengan budaya matriarki, di mana perempuanlah yang menjadi penguasa. Pola berpikir inilah yang ditolak oleh kaum feminis, karena inti gerakan feminisme adalah lebih memposisikan lai-laki dan perempuan pada level yang manusiawi dan adil, perempuan dapat memperoleh akses politik, ekonomi, pendidikan dan sosial yang sama dengan laki-laki, dan laki-laki pun dapat berpartisipasi penuh terhadap urusan di rumah dan merawat anak. (hal. 9) Karena pada dasarnya peran perempuan (di dapur, ngurus rumah) dan laki-laki (di kantor, di pabrik) merupakan hasil konstruk sosial bukan kodrat dari Tuhan, sehingga peran tersebut dalam satu waktu dan tempat dapat berubah. Berangkat dari Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 34, Ulama’ yang selama ini dipandang memiliki otoritas keagamaan dan sebagai panutan masyarakat juga lebih memilih untuk sepakat kalau laki-lakilah yang punya wewenang untuk menjadi pemimpin perempuan, menurut az-Zamakhsyari, dibandingkan perempuan, laki-lai lebih unggul dalam hal akal (al-‘aql), ketegasan (al-hazm), semangat (al-azm), keperkasaan (al-quwwah), dan keberanian atau ketangkasan (al-farusiyyah wa ar-ramy), termasuk ulama’ yang sepakat dengan keunggulan laki-laki dibandingkan perempuan adalah Fakhruddin ar-Razi, Ibn Katsir, Muhammad Abduh, Muhammad Thahir bin Asyur, Syaikh ath-Thabathaba’i, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, dan Imam Hambali. Akan tetapi menurut Fakhruddin 399 400 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 ar-Razi juga, bahwa kesimpulan yang didasarkan pada teks-teks otoritatif tersebut dapat ditolak kalau tidak didasari atas faktafakta empiris, dimana keunggulan-keunggulan tersebut di atas dapat berubah, dan realitas budaya sekarang pun memperlihatkan bahwa tidak jarang perempuan yang mempunyai kemampuan intelektual dan kecerdesan pikir lebih unggul daripada lakilaki. Al-Qur’an menyatakan dirinya untuk menjadi petunjuk bagi umat manusia dan sebagai rahmat bagi seluruh alam (QS. Yunus : 57), dan Nabi Muhammad SAW dengan misi kerasulannya bertujuan untuk memberikan rahmat bagi seluruh alam (QS. Al-Anbiya : 107), artinya secara jelas disebutkan bahwa cita-cita dari turunnya Al-Qur’an dan misi Rasulullah SAW adalah menegakkan kehidupan yang menghargai nilainilai kemanusiaan unversal (humanisme universal) sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan, kesetaraan, kebersamaan, kebebasan dan pengakuan hak orang lain tanpa ada perbedaan, baik jenis kelamin atau status sosial yang melekat dalam diri manusia. Selain itu dalam melakukan kajian terhadap Al-Qur’an untuk menjawab persoalan yang muncul, kita juga harus mempunyai pandangan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an tersebut diturunkan merupakan jawaban terhadap masalah tersebut, sehingga mengapa Allah SWT menurunkannya secara bertahap, selain karena ini adalah kearifan yang luar biasa dari Tuhan, juga agar kita sadar dan tahu bahwa turunnya ayat-ayat Al-Qur’an tidak akan terlepaskan dari kondisi situasi, tempat dan waktu saat itu, sehingga diperlukan kontekstualisasi pemahaman dan penafsiran terhadap Al-Qur’an dalam menjadikannya sebagai petunjuk dalam menghadapi permasalahan partikular pada masa sekarang. Kiai Husein juga menyerukan agar kita melakukan penafsiran dengan perspektif gender, dimana posisi laki-laki dan perempaun adalah sama dalam penciptaannya, sebagai ciptaan yang sempurna. Fiqh Ibadah Dalam buku ini, Kiai Husein memulai gagasan pemikirannya dalam masalah Fiqh Ibadah untuk memenuhi kebutuhan akan tafsir baru di dalamnya. Kepemimpinan TAFSIR BARU FIQH PEREMPUAN (Muhammad Zainal Abidin) perempuan dalam imam shalat misalnya, hampir seluruh kitab fiqh mengatakan bahwa perempuan tidak sah untuk menjadi imam shalat, karena dalam kitab tersebut selalu disyaratkan bahwa imam shalat harus islam, berakal, baligh, dan laki-laki. Termasuk juga menurut Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Hambali dan Imam Hanafi, bahkan imam maliki mengatakan bahwa perempuan tidak sah untuk menjadi imam shalat walaupun dikalangan kaum perempuan sendiri. Disamping, pandangan mainstream, Husein juga menginformasikan beberapa pemikir yang menyatakan kebolehan perempuan menjadi imam dalam shalat bahkan dengan makmum campuran yang laki-laki dan perempuan. Husein merujuk pada pandangan Qadhi Abu Thayyib dan Al Abdari yang menyatakan beberapa ulama’ sepakat dengan kepemimpinan perempuan dalam imam shalat, baik untuk makmum laki-laki maupun perempuan sebagaimana Abu Tsaur (mujtahid terkenal), Ibn Jarir AthThabari (mufassir terkemuka dan sejarawan), dan Imam alMuzani (murid utama Imam Syafi’i). Untuk mendudukkan persoalan ini, Husein mendiskusikan hadist yang digunakan rujukan oleh kedua pendapat tersebut, dan yang tidak kalah penting adalah akar masalah yang digunakan sebagai bahan dasar untuk menyepakati perempuan tidak sah menjadi imam shalat. Dalam masalah khitan untuk perempuan, buku ini menjelaskan bahwa khitan ini sebenarnya merupakan hasil dari tradisi kuno bukan ajaran agama, dimana dengan khitan, seorang laki-laki dapat meningkatkan kesehatan dan gairah seks secara optimal sedangkan seorang perempuan malahan akan dikontrol agresivitas seksnya karena melakukan khitan. Khitan yang dalam bahasa arabnya berarti memotong, dan menurut Fiqh adalah memotong sebagian anggota tubuh tertentu lebih berpihak pada kepentingan laki-laki. Sehingga perempuan yang seharusnya juga punya hak untuk menikmati hubungan seks, dengan adanya khitan, kenikmatan tersebut menjadi tidak optimal dan hanya laki-laki yang boleh mendapatkannya. Bahkan menurut salah satu ulama’ fiqh kontemporer Mahmud Syaltut, dia mengatakan bahwa khitan untuk laki-laki dan perempuan adalah tidak terkait dengan teks-teks agama, apalagi di dalam hadist shahih pun tidak yang menerangkan tentang khitan, hal ini juga terjadi perbedaan pendapat pada ulama’ terdahulu, dimana hanya Imam Syafi’i saja yang mewajibkan khitan untuk 401 402 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 laki-laki dan perempuan, sedangkan Imam Maliki, Imam Hanafi, dan Imam Hambali lebih condong pada pendapat bahwa khitan untuk laki-laki adalah sunnah mu’akkad (dekat dengan wajib) dan untuk perempuan adalah suatu kemuliaan. Apalagi secara medis, khitan untuk laki-laki lebih berujung pada kebaikan, dan dapat menjaga kesehatan serta gairah dalam melakukan hubungan seks, akan tetapi kalau perempuan malahan bisa berpotensi pada kematian bayi, dan agresfitasnya seks perempuan akan berkurang, karena dalam khitan, terjadi pemotongan klentit (clitoris) yang merupakan bagian yang cukup sensitif terhadap gesekan atau ransangan. Kajian lain adalah diskusi tentang aurat laki-laki dan perempuan seyogyanya harus ditutup dengan pakaian yang tidak tembus pandang dan tidak membentuk lekukan tubuh, karena dengan terbukan dan terlihatnya aurat akan berujung pada timbulnya fitnah (khauf al-fitnah). Adapun batasan aurat laki-laki, hampir seluruh ulama’ berpendapat sama, yaitu bagian anggota tubuh antara pusat dan kedua lutut kaki. Sedangkan untuk perempuan, beberapa ulama’ berbeda pendapat, baik untuk perempuan merdeka atau hamba. Perintah menutup aurat yang merupakan ajaran agama, dan batasan aurat ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan dalam segala aspek adalah salah satu titik poin yang tertuang dalam buku ini, sehingga untuk menentukan aurat, diperlukan mekanisme yang akomodatif dan responsif terhadap segala nilai yang berkembang di masyarakat agar anggota tubuh manusia tidak dieksploitasi secara rendah dan murahan. (hal. 86) Kiai Husein, dalam menulis Buku Fiqh Perempuan juga membahas tentang persoalan Fiqh Munakahat, yang merupakan bagian kedua setelah Fiqh Ibadah, di antaranya adalah Hak Kawin Muda, Hak Memilih Pasangan, Hak Pelayanan Kesehatan dalam Keluarga dan Hak Mu’asyarah bi al-Ma’ruf. Dalam persoalan Kawin di bawah umur (kawin muda), yang merupakan fenomena hidup di indonesia, baik yang dilakukan secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Dalam hal ini keberadaan fiqh klasik masih menjadi rujukan dan pedoman bagi masyarakat, orang belum bisa memahami dan menjalankan dengan baik UU Perkawinan NO. 1 tahun 1974. Padahal kalau ita cermati secara seksama banyak ulama’ termasuk Imam Syafi’i berpendapat bahwa hukum kawin akan TAFSIR BARU FIQH PEREMPUAN (Muhammad Zainal Abidin) menjadi makruh kalau yang bersangkutan belum mampu untuk memenuhi kewajiban yang harus dipikul, apalagi kalau dia masih bisa menahan diri dari zina. Dan dalam hal ini para ahli fiqh berpandangan tentang ada atau tidaknya maslahat, sangat disayangkan kalau malah akan menimbulkan kemudaratan, kerusakan dan keburukan, karena salah satu maksud perkawinan adalah sebagai upaya untuk memelihara kehormatan diri (hifzh al-‘irdh) dari terjerumus perbuatan yang terlarang, dapat memelihara keberlangsungan hidup manusia (hifzd an-nasl) yang sehat dan mendirikan kehidupan rumah tangga yang saling mengasihi dan membantu. Apalagi kalau kawin muda ini benar-benar dijalankan, bagi perempuan diperlukan syarat yang harus dipenuhi, yaitu (1). Tidak ada permusuhan yang nyata antara si anak perempuan dengan walinya (ayah atau kakek), (2). Tidak ada permusuhan atau kebencian yang nyata antara perempuan dengan calon suami, (3). Calon suami harus kufu’ (setara/sesuai), dan (4). Calon suami mampu memberikan mas kawin yang pantas. Dan dalam bagian berikutnya, yang ketiga adalah tentang Fiqh Mu’amalah-Siyasah, Kiai Husein menitikberatkan pembahasannya pada persoalan pemberian hak nafkah dalam keluarga, dan hal ini masih terkait dengan relasi seksual antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri), dimana mereka harus mempunyai pandangan yang sama tentang kesetaran manusia, tidak ada yang tersubordinatkan, di antara mereka harus saling kerjasama dan pengertian dalam menjalani roda kehidupan ini sehingga nanti akan tercipta suasana keluarga yang harmonis dan maslahat, tidak hanya bagi mereka berdua tetapi juga untuk keluarga, masyarakat dan negara. (hal. 182) Penulis juga membahas tentang kepemimpinan perempuan dalam aspek kehidupan, dalam hal ini sosial-politik. Lagi-lagi otoritas keagamaan selalu menjadikan perempuan sebagai makhluk yang tidak tepat untuk mendapatkan peran atau posisi sebagai pemimpin, apalagi sebagai kepala negara, gubernur atau kepala daerah. Bahkan secara jelas Syah Waliyullah ad-Dahlawi mengatakan bahwa syarat seorang khalifah adalah berakal, baligh (dewasa), merdeka, laki-laki, pemberani, cerdas, mendengar, melihat dan dapat berbicara. Landasan awal yang digunakan rujukan dalam menentukan pendapat tersebut adalah Surat an-Nisa’ ayat 34, dan para mufassir memberikan 403 404 PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010 arti qawwam adalah pemimpin, pelindung, pendidik, pengatur dan penanggungjawab, menurut mereka hal ini cukup beralasan karena keunggulan laki-laki atas perempuan adalah terkait akal dan fisik. Dan beberpa ulama’ lain juga berpendapat hampir sama terkait keunggulan laki-laki atas perempaun tersebut, di antaranya adalah ar-Razi, az-Zamakhsyari, ath-Thabathaba’i, alQurthubi, Ibn Katsir, Muhammad Abduh, Muhammad Thahir bin Asyur, dan al-Hijazi. Realitas sosial hari ini memperlihatkan pada kita bahwa tidak jarang seorang perempuan yang menjadi kepala daerah, gubernur dan presiden. Karena sejatinya ide dasar dari surat anNisa’ ayat 34 tersebut adalah memposisikan perempuan menjadi lebih mulia, di mana pada zaman jahiliyah dulu, peran dan posisi perempuan sangat tidak dihormati, artinya secara bertahap Allah SWT telah memberikan kearifan yang luar biasa untuk perempuan. Sehingga pandangan yang mengatakan bahwa sudah menjadi kodrat dan alamiah ketika perempuan berada di bawah laki-laki. Dan pertanyaan, apakah perempuan mampu untuk memimpin? Secara jelas sejarah telah menjawab, sebelum Islam dikenal Ratu Bilqis, dia seorang pemimpin perempuan yang berhasil memakmurkan rakyat, contoh yang lain adalah Indira Gandi, Margaret Tacher, Srimavo Bandaranaeke, Benazir Butho dan Syaikh Hasina Zia, mereka adalah bukti bahwa perempuan tengah mengalami perubahan dan terbukti mampu memimpin. Husein berargumentasi pada dua kaidah yang disepakati oleh para ahli hukum : al-hukm yaduru m’a illatihi wujudan wa ‘adaman (hukum bergerak menurut illat/kausalitasnya) dan la yunkaru taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-ahwal wa alazminah (tak dapat diingkari bahwa hukum berubah karena perubahan keadaan dan zaman). Sejatinya faktor penting dalam persoalan yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan dan politik adalah kemaslahatan, apalagi untuk menjadi seorang pemimpin, yang jadi pertimbangan bukanlah jenis kelamin, tetapi kemampuan dan intelektualitas. Tasharruf al-imam ‘ala arra’iyyah manuthun bi al-maslahah (tindakan penguasa atas rakyat harus didasarkan pada kemaslahatan mereka). Sehingga sangat tidak layak kalau laki-laki jadi pemimpin tapi tidak membawa kemaslahatan, dan sebaliknya sangat layak menjadi pemimpin bagi seorang perempuan kalau membawa kemaslahatan. (hal. 206). TAFSIR BARU FIQH PEREMPUAN (Muhammad Zainal Abidin) Dalam buku ini, Kiai Husein juga melakukan refleksi dan tanggapan terhadap peristiwa pemerkosan dan penjarahan “akbar” yang terjadi di negara Indonesia pada bulan Mei 1998, negara yang sebelum kejadian tersebut mengakui sebagai Negara Religius. Dalam bukunya Kiai Husein diterangkan bahwa pelaku pemerkosaan tersebut dikenakan hukuman ganda, pertama hukuman atas perzinaan, yaitu cambukan 100 kali atau rajam dihadapan khalayak, kedua hukuman atas penganiayaan, yaitu Qishash (dibalas dengan hukuman yang sebanding). Sedangkan perempuan yang menjadi korban pemerkosaan tersebut tidak berhak mendapat hukuman, adapun anak yang dikandung dari hasil pemerkosaan, beberapa ulama’ berpendapat bahwa perempuan tersebut boleh untuk menggugurkan, hal ini juga didasari faktor sosiologis masyarakat islam yang tidak menerima anak dari hasil tidak sah. Al-hasil, Pada dasarnya, penulis berpandangan bahwa hasil pikiran, fiqh, horma-norma dan ideologi yang melanggar hak-hak asasi manusia harus dilakukan perubahan, dan sudah saatnya kita melakukan perubahan pada sistem budaya yang telah dikonsruk secara tidak adil menuju konstruksi baru yang seide dan selaras dengan hak-hak asasi manusia, dimana hal ini merupakan prinsip-prinsp moral-universal yang dipercaya oleh semua agama dan aspek kemanusiaan. Dan untuk melakukan hal ini, dibutuhkan partisipasi dari semua phak, masyarakat, pemimpin agama, dan pemerintah. Dan pada bagian penutup, penulis memaparkan tentang ulama’ besar dari Indonesia, Muhammad Nawawi bin Umar yang berpredikat Sayyid al-Ulama’ al-Hijaz, dengan karnya yang sangat populer yaitu Uqud al-Lujain. 405 406 FORMAT PENULISAN JURNAL PALASTRèN Bagian Artikel Konseptual Jelas dan mencerminkan substansi. Book Antiqua 14 Bold, All Caps. Spasi single. Sub judul Book Antiqua 14 Bold, Caps di awal. Center. Tidak boleh lebih dari 14 kata dalam tulisan berbahasa Indonesia, atau 10 kata bahasa Inggris, atau 90 ketuk pada papan kunci Nama lengkap tanpa gelar Book Antiqua 11 Caps di awal, Center. Cantumkan asal institusi di footer Book Antiqua 10 Italic, Justify. Hasil Penelitian Jelas dan mencerminkan substansi. Book Antiqua 14 Bold, All Caps. Spasi single. Sub judul Book Antiqua 14 Bold, Caps di awal. Center. Tidak boleh lebih dari 14 kata dalam tulisan berbahasa Indonesia, atau 10 kata bahasa Inggris, atau 90 ketuk pada papan kunci Nama lengkap tanpa gelar Book Antiqua 11 Caps di awal, Center. Cantumkan asal institusi di footer Book Antiqua 10 Italic, Justify. Satu paragraph dalam bahasa Inggris, Book Antiqua 10. Diketik menjorok 7 ketukan dari kiri dan kanan. Diawali tulisan ABSTRACT:. Spasi single. 100 kata. Italic. Keywords: 3-5 kata kunci yang mewakili ide dasar. Berisi masalah atau tujuan, metode, hasil. rumusan masalah, tujuan, deskripsi, dan kerangka teori Isi Satu paragraph dalam bahasa Inggris, Book Antiqua 10. Diketik menjorok 7 ketukan dari kiri dan kanan. Diawali tulisan ABSTRACT:. Spasi single. 100 kata. Italic. Keywords: 3-5 kata kunci yang mewakili ide dasar. Berisi ringkasan isi artikel. acuan permasalahan diakhiri rumusan singkat tentang materi yang dibahas dan tujuan kupasan argukentasi dan pendirian penulis Kesimpulan uraian jawaban sistematis, maksimal 1 halaman Judul Penulis Abstrak Pendahuluan metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan uraian jawaban sistematis, maksimal 1 halaman 407 Daftar Pustaka Spasi single, dengan ketentuan: 1. Sumber buku: Said, N. (2005). Perempuan dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia. Yogyakarta. Pilar Media. 2. Sumber buku kumpulan tulisan: LeCompte, M. & Goetz, J. P. (1983). “Etnography Data Collection in Evaluation Research”, dalam Fetterman, D. M. (1983). Etnography in Educational Research. New Delhi. Sage Publication. 3. Sumber jurnal: Astuti, T. M. P. (2009). “Metodologi Penelitian Berperspektif Gender”, dalam Jurnal PALASTReN ed.2, Nomor 2. 4. Sumber internet: Van Eck, M. V. E. (2001). “Gender Equity and Information Technology in Education: The Second Decade” [On Line] di http://rer.sagepub.com/ cgi/content/abstract/ 71/4/613(diakses tanggal 20 April 2009) Spasi single, dengan ketentuan: 1. Sumber buku: Said,N.(2005).Perempuan dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia. Yogyakarta. Pilar Media. 2. Sumber buku kumpulan tulisan: LeCompte, M. & Goetz, J. P. (1983). “Etnography Data Collection in Evaluation Research”, dalam Fetterman, D. M. (1983). Etnography in Educational Research. New Delhi. Sage Publication. 3. Sumber jurnal: Astuti, T. M. P. (2009). “Metodologi Penelitian Berperspektif Gender”, dalamJurnalPALASTReN ed.2, Nomor 2. 4. Sumber internet: Van Eck, M. V. E. (2001). “Gender Equity and Information Technology in Education: The Second Decade” [On Line] di http://rer. sagepub.com/cgi/content/abstract/71/4/ 613(diakses tanggal 20 April 2009) KETERANGAN LAIN: 1. Naskah merupakan hasil kajian sosial keagamaan, bisa berupa hasil penelitian ataupun kajian teks yang berhubungan dengan isu-isu gender. 2. Naskah merupakan karya asli penulis dan belum pernah dipublikasikan. 3. Middle note menurut APA (nama akhir penulis, tahun terbit: no.halaman). 408 4. Panjang naskah 20-25 halaman kwarto (A4) Spasi 1,5 Top margin 4cm, Left 4cm, Bottom 3cm, Right 3cm. 5. Diserahkan kepada redaksi dalam bentuk soft copy (flash disk, CD, atau via emal: [email protected]) 6. Naskah yang dimuat akan diberi 1 jurnal dan 4 off-print (cetak lepas). 7. Resensi buku sebanyak 5-10 halaman kwarto dengan spasi single Book Antiqua 11 dengan mencantumkan gambar cover depan, judul buku, nama penulis, penerbit, tahun terbit dan jumlah halaman buku. 8. Pembaban: A. 1ketukan 1. 1ketukan a. 1ketukan 1) 1ketukan a) 1ketukan