ISLAM DAN LINGKUNGAN HIDUP Tak ada seorang muslim pun yang berani berpendapat, bahwa dunia Islamlah yang pertama kali menyadari problematika lingkungan hidup modern. Tidak ragu lagi, pemikiran ini dilahirkan oleh Club of Rome, yang pada tahun 1972 menggemparkan dunia - termasuk di Jerman - dengan reportasinya Die Grenzen des Wachtums (batas pertumbuhan). Saya masih ingat betul, rancangan program kerja kementerian luar negeri Jerman waktu itu, mengacu pada analisa tentang konsekuensi politik luar negeri yang ditimbulkan laporan tersebut. Juga tidak pantas rasanya mengatakan, bahwa negara-negara Islam sangat peduli pada lingkungan hidup. Sebaliknya, pernyataan menteri luar negeri Jerman, Hans Dietrich Genscher, tanggal 25 Sepetember 1991 pada sidang PBB di New York (“Masih saja orang menghancurkan lingkungan alam“) juga menyentil telinga mereka. Selama negeri-negeri Islam masih tergolong ke dalam dunia ketiga, sulit bagi mereka menegakkan hukum perlindungan lingkungan hidup seperti yang dituntut oleh negeri-negeri Barat. Hanya negara industri dunia pertama yang mampu membiayai proyek mewah ini. Di dalamnya tidak hanya sebuah inti kebenaran yang kita jumpai; Justru orang Jerman merasa canggung, berlagak jadi misionaris moral lingkungan hidup, yang lagi-lagi harus menyelamatkan dunia dari Jerman sendiri. Memang neo-kolonialisme datang dengan wajah yang berbeda. Tentu saja muslim-muslim Jerman, terutama Ahmad von Denffer 1 , 2 Harun Behr dan Axel Köhler 3 , juga tidak mau ketinggalan, menyibukkan diri dengan topik etika lingkungan hidup yang islami, tak lama kegemparan pertama yang disebabkan oleh perusakan lingkungan hidup terjadi. Masalah lingkungan hidup dan Islam menjadi tema utama perayaan 25 tahun berdirinya Pusat Islam di Aachen tanggal 17 Mei 1989. Intinya adalah sebagai berikut: 1. Penyebab utama musibah lingkungan hidup adalah kebrutalan manusia modern, yang sudah tak bertuhan lagi, yang menganggap bahwa dialah penguasa mutlak lingkungannya, yang merusak alam dan lingkungan hidup dengan hawa nafsunya yang sama sekali tak terkendali, seakan-akan alam tak berhak mempertahankan eksistensinya. Sebaliknya orang Islam sadar, bahwa tak satu pun 1 Ahmad von Denffer, Koran und Umwelt, Al-Islam, München 1983, Nr. 5/6, hal. 2ff.; Die Umweltfrage und der Islam, Al-Islam 1989, Nr. 2, hal. 20ff. 2 Harun Behr, Zurück-zur-Natur-Religion, Al-Islam 1985, hal. 5ff. 3 Axel Köhler, Islamische Umweltethik - Usaha menentukan tempat kedudukan normatif, dalam : Gottes ist der Orient - Gottes ist der Okzident, Penghargaan untuk A. Falaturi, Köln 1991, hal. 54ff. 81 yang menjadi miliknya, melainkan semua kepunyaaan Allah. Mereka juga sadar, bahwa mereka berdiam di muka bumi ini bukan seperti yang diajarkan Bibel - untuk menguasai alam, melainkan untuk mengelolanya secara bertanggung jawab 4 guna memenuhi kebutuhan hidup. 2. Allah memerintahkan setiap muslim, untuk tidak melampaui batas dalam segala hal, dan tidak menguras sumber daya alam. 5 “Sungguh, Dia tidak suka pada sesuatu yang berlebihan” Pada umumnya, ini merupakan sebuah prinsip untuk keseimbangan ekologi, seperti yang difirmankan Allah: “Dan janganlah kamu membuat Allah ) memperbaikinya! “ 6 kerusakan dimuka bumi, menjaga sesudah ( Penekanannya, antara lain, terletak pada perintah untuk menghindari penumpukan kekayaan dan kemewahan, bahkan kalau bisa jangan sampai makan kekenyangan. Sehingga sejak lahirnya setiap muslim berperan sebagai pelindung alam, bukan hanya karena takut bencana yang mengancam, tapi juga rasa hormat terhadap tatanan lingkungan hidup. 3. Al - Qur`an mengalur jelas pada rambu-rambu alam, dengan tujuan menggugah rasa hormat manusia terhadap ciptaan-Nya. Bagi umat Islam seluruh kosmos adalah suatu komuni yang bersatu dalam pemujaan dan rasa syukur pada Allah. Hal ini tampak jelas bila kita memperhatikan banyaknya surah yang berjudul nama-nama binatang atau gejala alam 7 . Dalam kaitan ini yang menjadititik berat adalah, bahwa manusia - yang juga makhluk Tuhan, dan karena itu bagian dari alam - sederajat dengan ciptaan Tuhan lainnya. Al - qur`an menjelaskan hal ini dengan formulasi yang puitis: “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burungburung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat ( juga ) seperti kamu.” 8 Orang menjadi sadar, bahwa karena alasan tadi, bagi orang Islam, hewan-hewan bukanlah benda bergerak tak bertuan, seperti yang 4 6:165 5 QS. 6:141 QS. 7:56 7 Diantaranya sapi, binatang gembala, petir, lebah, sinar, serangga, binatang malam, fajar, matahari, malam, pagi, fikus, gajah 8 QS. 6:38 6 82 dipahami oleh perundangan-undangan sipil Jerman 9 , melainkan bagian dari umat (Kucing, Anjing, Kuda dan lain-lain) seperti seorang muslim bagian dari umat Islam. Dengan semangat ini, Nabi Muhammad sering mencontohkan untuk menyayangi dan melindungi binatang peliharaan yang cedera, termasuk burung-burung kecil 10 . Hal ini tidak menutup kemungkinan, manusia memanfaatkan hewan, dalam batas yang diperbolehkan - setiap penganiayaan binatang dan pembunuhan hanya untuk kesenangan berburu terlarang sifatnya. 4. Al-Qur`an bukanlah buku ramalan ataupun ensiklopedi ilmu pengetahuan alam. Meskipun demikian ia memuat jelas tanda-tanda bahaya alam, yang tercermin pada sektor lingkungan hidup dewasa ini. Ahmad von Denffer menunjukkan satu contoh, yaitu peringatan fenomena hujan asam di QS. 56:68-70. “Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang baru kamu minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? Kalau Kami kehendaki niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur?” 5. Arti fundamental serupa juga dimiliki oleh pernyataan terkenal Nabi Muhammad “kebersihan adalah sebagian dari iman“; Perusakan lingkungan alam sering diawali dengan pencemarannya 11 . Siapa yang memahami semua ini, sadar bahwa permasalahan lingkungan hidup tidak dapat dipecahkan dengan cara kembali ke agama alam seperti yang digembar-gemborkan Holger Schleip, apalagi dengan romantisme alam aliran hijau (Partai Hijau: partai politik di Eropa, yang menekankan peran alam - pent). Kerusakan lingkungan alam akibat pengingkaran terhadap Tuhan, tidak dapat diperbaiki kembali dengan cara mempertuhan alam. Ferdinand Fellmann pernah memperingatkan adanya lamunan sentimental dalam filsafat alam aliran baru. Ia mengatakan, bahwa sebenarnya tuntutan filosofis yang ditimbulkan oleh ancaman datangnya bencana alam bukan filosofi baru tentang alam, melainkan filosofi teknik aliran baru. Jadi ini tidak ada hubungannya dengan Neo-Panteisme 12 yang sentimental, melainkan masalah pemulihan kembali sisi rasional dari teknologi otonom yang berkembang pesat 13 . Singkatnya, hal ini berkaitan dengan metode ekonomi. 9 Menurut BGB (Kitab UU Sipil Jerman) § 90a dalam perundangan pada 20 8 1990 baru-baru ini menetapkan hewan bukan dianggap barang lagi. 10 Tempat menemukan hadits lihat A. von denffer, hal. 24f. dan 27 11 An-namawi, Hadits 40, Hadits Nr. 23 dari Muslim 12 Panteisme: Ajaran filosofi, bahwa Tuhan dan bumi, alam adalah satu, bahwa Tuhan ada dimana saja di Alam 13 Frankfurter Allgemeine Zeitung pada 18 2 1987 83 Banyak generasi muda di lingkup Partai Hijau menyadarinya. Mereka merasakan, bahwa cara pandang global yang anthroposentris 14 tidak dapat dihambat hanya dengan cara menahan diri. Karena, dalam menyelamatkan lingkungan hidup ada unsurunsur restrukturisasi eksploitasi alam. Pada intinya, merubah manusia dalam perannya sebagai konsumen. Sasaran ini hanya dapat dicapai, bila manusia bersedia memandang dirinya sebagai ‘abd (hamba Tuhan), seperti yang dilakukan oleh orang Islam. Dan dengan demikian banyak pemilih Partai Hijau yang beralih ke Islam, setelah pada awalnya mereka mewakili sebuah pilihan tanpa alternatif, dan setelah berhasil membebaskan diri dari histeri akan Restrisiko (risiko paling kecil) - seringkali hampir membabi buta dan fatalistis. Pada mulanya, ketakutan-ketakutan mereka hanyalah gejala dari krisis nilai masyarakat Barat. Lambat laun rasa takut ini berubah menjadi dorongan untuk mencari kedamaian dalam penyerahn diri pada Tuhan, dengan kata lain mencari dan menemukannya dalam Islam. 14 Anthroposentris: menempatkan manusia pada titik tengah. 84