HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air Lumut Hati M. paleacea Tumbuhan lumut hati jenis M. paleacea segar diambil pada musim hujan, kemudian dibersihkan dan dicuci dengan air terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran. Selanjutnya dilakukan proses pengeringan secara konvensional yaitu dengan membiarkan lumut selama 14 hari pada suhu ruang. Pengeringan yang dilakukan pada temperatur ruang dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kerusakan terhadap senyawa bioaktif dari penggunaan panas (Harborne 2006). Kandungan air kemudian dianalisis terhadap lumut segar dan lumut kering. Hasil pengukuran kadar air lumut segar diketahui sebesar 89,02 %, setelah pengeringan 14 hari didapat lumut kering dengan kadar air 17,47 %. Tingginya kadar air pada lumut disebabkan karena lumut memiliki struktur permukaan yang unik. Lapisan lumut yang tebal dipermukaan bersifat higroskopis dan rizoid yang menyerupai benang berfungsi sebagai akar pada lumut sangat mudah untuk menyerap air dan garam-garam mineral. Pengeringan yang dilakukan secara konvensional diketahui sangat berpengaruh terhadap kadar air lumut kering. Salah satunya faktor kelembaban udara, Kabupaten Bogor diketahui mempunyai RH sekitar 70% yang mana akan memperlambat laju penguapan air pada lumut. Rendemen Ekstrak Lumut Hati Ekstrak tumbuhan yang diperoleh melalui ekstraksi dengan pelarut umumnya dilakukan dengan cara mempertemukan bahan yang akan diekstrak dengan pelarut organik selama waktu tertentu, diikuti pemisahan filtrat terhadap residu bahan yang diekstrak. Bahan yang akan diekstrak terlebih dahulu dikeringkan atau dikurangi kandungan air dalam bahannya (Houghton & Raman 1998). Sampel lumut dibuat dalam bentuk bubuk kering sebelum diekstraksi dengan maksud untuk memperbesar luas permukaan bahan serta menyeragamkan ukuran partikelnya agar mempermudah kontak antara bahan dengan pelarutnya, sehingga ekstraksi dapat berlangsung dengan baik (Purseglove et al. 1981). Empat Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) macam pelarut digunakan dalam proses ekstraksi maserasi berdasarkan derajat polaritas dari masing-masing pelarut, di antaranya etanol, metanol, etil asetat, dan heksana. Proses hasil maserasi kemudian dibuat konsentrasi antimikroba berdasarkan masing-masing pelarut (Gambar 6). Gambar 6 (A) Tabung-tabung berbagai ekstrak dengan konsentrasi 100 mg/ml, dan (B) evaporasi dengan rotavapor suhu 40C. Selama proses isolasi terhadap suatu komponen kimia seperti pada proses ekstraksi, sel tumbuhan akan bercampur dan membran menjadi rusak. Senyawasenyawa golongan fenol cepat sekali membentuk kompleks dengan protein, akibatnya sering terjadi hambatan terhadap kerja enzim pada ekstrak tumbuhan kasar. Sebaliknya fenol sendiri sangat peka terhadap oksidasi enzim dan mungkin hilang pada proses isolasi akibat kerja enzim fenolase yang terdapat dalam tumbuhan. Ekstraksi senyawa fenol tumbuhan dengan etanol umumnya mencegah terjadinya oksidasi enzim (Harborne 2006). Gambar 7 memperlihatkan bahwa lumut yang diekstrak dengan pelarut etanol menghasilkan larutan ekstrak yang berwarna hijau pekat, dan pelarut metanol dihasilkan larutan ekstrak berwarna hijau pekat gelap. Pekatnya warna hijau yang dihasilkan ekstrak etanol dan metanol disebabkan karena kelarutan klorofil sangat tinggi. Pelarut etil asetat dan heksana menghasilkan larutan ekstrak yang berwarna hijau muda dan kuning. Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) Gambar 7 Ekstrak lumut dalam pelarut: (A) etanol, (B) metanol, (C) etil asetat, dan (D) heksana. Ekstrak metanol menghasilkan rendemen ekstrak paling tinggi (15,57 %), ekstrak etanol (5,98 %), ekstrak etil asetat (2,30 %), dan ekstrak heksana (0,87 %). Rendemen pada setiap perlakuan ekstrak disajikan pada Lampiran 1. Perbedaan rendemen tiap ekstrak disebabkan oleh perbedaan komposisi komponen kimia oleh perbedaan kelarutan dari pelarut yang digunakan (Gambar 8). Farrel (1990) menyatakan bahwa dalam proses ekstraksi komposisi, warna, aroma dan rendemen yang dihasilkan akan dipengaruhi oleh jenis, ukuran dan tingkat kematangan bahan baku, jenis pelarut, suhu dan waktu ekstraksi serta metode ekstraksi. Gambar 8 Rendemen dari masing-masing ekstrak lumut Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) Potensi Aktivitas Antimikroba Lumut Hati dari Berbagai Ekstrak Pada tahap awal untuk mengetahui ada atau tidaknya aktivitas senyawa antimikroba maka dilakukan uji kualitatif dengan metode agar difusi sumur. Pada uji ini ekstrak tumbuhan lumut dari pelarut etanol, metanol, etil asetat dan heksana diujikan terhadap bakteri uji S. aureus, S. Typhimurium ATCC 14028 dan P. aeruginosa. Gambar 9 Bioaktivitas antimikroba berbagai ekstrak lumut pada konsentrasi 100 mg/ml terhadap bakteri S. aureus, P. aeruginosa, dan S. Typhimurium ATCC 14028. Gambar 9 menunjukkan bahwa pada konsentrasi 100 mg/ml, diameter hambat ekstrak lumut dari masing-masing pelarut berbeda terhadap bakteri uji. Ekstrak etanol merupakan ekstrak dengan zona hambat paling besar terhadap bakteri S. aureus, P. aeruginosa, dan S. Typhimurium ATCC 14028, dengan diameter 10,8 mm, 4,5 mm, 5,8 mm. Sedangkan ekstrak lumut dengan pelarut heksana merupakan ekstrak dengan zona hambat paling rendah yaitu 2,7 mm yang hanya diujikan terhadap bakteri S. aureus saja dikarenakan rendemen ekstrak yang dihasilkan sangat rendah yaitu 0,87 %. Pengaruh dari aktivitas antimikroba ekstrak heksana yang rendah, disebabkan tumbuhan lumut sebagian besar mengandung senyawa polar yang Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) larut dalam pelarut polar dan semipolar. Aktivitas senyawa antibakteri yang bersifat hidrofobik (nonpolar) relatif lebih terbatas terutama terhadap bakteribakteri gram negatif karena kemampuan selektif membran luar dari dinding sel bakteri. Secara umum penurunan polaritas (mendekati nonpolar) dari senyawa antibakteri akan lebih efektif menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dibandingkan bakteri gram negatif (Kabara di dalam Branen & Davidson 1983). Di samping itu komponen senyawa kimia berupa minyak dan lemak yang terekstrak dalam pelarut heksana dapat mengganggu proses difusi komponen bioaktif dan dapat melindungi sel bakteri dari senyawa antimikroba (Moshi & Mbwambo 2005). Conner dan Beuchat (1984) di dalam Elgayyar et al. (2000) membedakan kemampuan aktivitas penghambatan ekstrak dari tumbuh-tumbuhan terhadap bakteri uji ke dalam menghambat kuat dengan zona penghambatan (>11 mm), sedang (>6 - <11 mm) dan menghambat rendah bila zona penghambatan kurang dari 6 mm. Penghambatan oleh senyawa antimikroba secara umum dapat disebabkan oleh: gangguan pada komponen penyusun sel dan membran sitoplasma, penghambatan sintesis protein, dan gangguan pada fungsi material genetik (Pelczar 1979). Gambar 10 Zona hambat aktivitas ekstrak etanol terhadap bakteri uji: (A) S. aureus, (B) P. aeruginosa (C) S. Typhimurium ATCC 14028. Data dari zona hambat tersebut menunjukkan bahwa S. aureus merupakan bakteri yang paling sensitif terhadap ekstrak lumut. Selanjutnya tingkat kepekaan bakteri terhadap ekstrak dari masing-masing pelarut adalah sebagai berikut, S. aureus, P. aeruginosa, dan S. Typhimurium (Gambar 10). Bakteri uji S. aureus adalah bakteri gram positif, Fardiaz (1989) menyatakan bahwa umumnya bakteri gram positif lebih peka terhadap senyawa antibakteri dibandingkan dengan bakteri Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) gram negatif karena dinding sel bakteri gram positif mengandung lapisan peptidoglikan yang lebih tebal dibandingkan dengan dinding sel pada bakteri gram negatif. Aktivitas antimikroba ekstrak lumut dari masing-masing pelarut diduga disebabkan oleh adanya komponen senyawa fenolik, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Adam dan Beckert (1994) yang menyatakan bahwa senyawa-senyawa fenolik dari M. polymorpha merupakan sejumlah besar senyawa lipofilik dan hidrofilik, termasuk flavon dan flavon glikosida yang diekstrak dengan menggunakan pelarut metanol. Asakawa et al. (2000) menyatakan bahwa faktor penting senyawa antimikroba dari ekstrak M. polymorpha terutama disebabkan karena kandungan senyawa fenol sederhana yaitu bis(bibenzil) khususnya marchantin A. Gambar 11 P erbedaan struktur dinding sel bakteri gram positif dan gram negatif Sumber: Harapini et al. 1996 Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) Gambar 11 memperlihatkan perbedaan struktur dinding sel bakteri gram positif dan gram negatif. Pada bakteri gram positif 90% dinding selnya terdiri dari lapisan peptidoglikan, sedangkan bakteri gram negatif lapisan peptidoglikan hanya sekitar 5-20%. Senyawa antibakteri dapat mencegah sintesis peptidoglikan pada sel yang sedang tumbuh, maka bakteri gram positif umumnya lebih peka dibandingkan dengan bakteri gram negatif. Senyawa fenol dapat bereaksi dengan komponen fosfolipid dari membran luar sel sehingga menyebabkan terjadinya perubahan permeabilitas membran dan akan mengakibatkan sel mengalami kebocoran. Perubahan permeabilitas membran akan menyebabkan keluarnya metabolit seluler seperti protein, asam nukleat dan ion-ion logam (ca2+, k+, dan mg2+) serta perubahan morfologi (Harapini et al. 1996). Pengujian suatu aktivitas antimikroba dengan menggunakan metode difusi sumur merupakan pengujian kualitatif, berbeda jika dibandingkan dengan metode kontak langsung pada medium cair (broth) sebagai pengujian kuantitatif yang kemudian dilakukan plating untuk mengetahui seberapa banyak bakteri yang masih hidup. Hal ini karena adanya perbedaan pada laju difusi senyawa antimikroba pada medium padat dan medium cair. Senyawa antimikroba pada uji difusi sumur akan tertahan oleh agar yang padat dalam medium. Tabak et al. (1996) telah membandingkan pengukuran medium padat dan medium cair untuk melihat pengaruh ekstrak thyme pada bakteri Helicobacter pylori. Disimpulkan bahwa penghambatan timol lebih efektif pada medium cair dibandingkan dengan medium padat pada konsentrasi timol 3,5 mg/ml penghambatannya pada medium padat masih dapat teramati sedangkan pada medium cair sudah membunuh semua bakteri yang ada. Radiati (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pengujian aktivitas antimikroba ekstrak diklorometan jahe dengan difusi sumur memerlukan konsentrasi lebih tinggi (90 mg/ml) dibandingkan dengan pengujian metode kontak (5 – 20 mg/ml) terhadap bakteri uji E. coli, S. typhi, dan Vibrio cholera. Lebih lanjut hal ini dikuatkan oleh Wan et al. (1998) yang melaporkan aktivitas minyak atsiri tidak memberi pengaruh penghambatan terhadap P. fluorescens dengan metode difusi agar, sedangkan bila menggunakan medium cair penghambatan dapat teramati. Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) Selanjutnya, penelitian tahap II, III dan IV dilakukan dengan menggunakan ekstrak terbaik dari uji difusi sumur, yaitu ekstrak etanol. MIC (Minimum Inhibitory Concentration) dan MBC (Minimum Bactericidal Concentration) Ekstrak Etanol Lumut Berdasarkan uji kualitatif terhadap kandungan bioaktif dari lumut terhadap berbagai ekstrak, maka hanya ekstrak etanol digunakan untuk uji lanjut dalam penelitian berdasarkan zona penghambatan terbesar. Uji lanjut di antaranya meliputi penentuan MIC (Minimum Inhibitory Concentration) dan MBC (Minimum Bactericidal Concentration) terhadap S. aureus, S. Typhimurium ATCC 14028, dan P. aeruginosa dengan metode kontak pada media Tryptic Soy Broth (TSB). Dalam penelitian ini MIC dinyatakan sebagai konsentrasi terendah ekstrak lumut yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba sebanyak 90% (1 log koloni dari jumlah koloni awal), sedangkan nilai MBC ditentukan dari cawan dengan konsentrasi ekstrak terkecil yang tidak dapat ditumbuhi lagi oleh bakteri atau mampu mereduksi 99,9% (103) dari populasi bakteri awal selama inkubasi 24 jam (Kim & Yamamoto 1996). Gambar 12 Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak etanol lumut terhadap jumlah bakteri S. aureus dengan inokulum awal 6,3 log koloni/ml. Huruf yang berbeda pada setiap faktor perlakuan menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji p = 0,05 Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) Gambar 12 menunjukkan bahwa konsentrasi 0,0 mg/ml dinyatakan sebagai kontrol dengan jumlah koloni sebanyak 7,76 log koloni/ml. Selanjutnya dikontakkan dengan ekstrak etanol lumut, diketahui bahwa konsentrasi 0,5 mg/ml dan 0,6 mg/ml tidak mempengaruhi pertumbuhan S. aureus. Perlakuan dengan konsentrasi 0,7 mg/ml menurunkan jumlah koloni sebanyak 1,0 log koloni/ml, 2,8 log koloni/ml pada konsentrasi 0,9 mg/ml, dan 3,5 log koloni/ml pada konsentrasi 1 mg/ml. Serta tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 5,0 mg/ml. Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 2 untuk melihat penurunan jumlah bakteri S. aureus oleh aktivitas dari berbagai konsentrasi ekstrak menunjukkan perbedaan secara nyata pada taraf uji p = 0,05. Dari data percobaan nilai MIC dan MBC ekstrak etanol lumut (data tidak ditampilkan), diperoleh kesimpulan bahwa nilai MIC terhadap bakteri S. aureus adalah pada konsentrasi 0,7 mg/ml, sedangkan untuk nilai MBC adalah pada konsentrasi 0,9 mg/ml. Nilai MIC sebesar 0,7 mg/ml tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan hasil penelitian Xiao et al. (2005) dengan MIC 0,625 mg/ml menggunakan ekstrak M. convoluta. Aktivitas antimikroba lebih baik dilaporkan Mewari et al. (2008) dengan MIC 0,281 mg/ml, serta aktivitas rendah diperlihatkan ekstrak Marchantia sp. dengan MIC 3,13 mg/ml dari hasil penelitian Kaseru et al. (1995) (Lampiran 13). Pada konsentrasi rendah fenol akan bereaksi dengan dinding sel, sedangkan pada konsentrasi tinggi fenol akan merusak membran sitoplasma dan menyebabkan terjadinya denaturasi protein (Murray et al. 1998; Kim et al. 1995). S. aureus diketahui merupakan bakteri yang paling sensitif terhadap ekstrak etanol lumut. Diketahui bahwa dinding sel S. aureus disusun oleh rantai tetrapeptida yang terdiri dari (L-alanil-D-isoglutaminil-L-lisil-D-alanin) dan jembatan interpeptida yang terdiri dari lima unit glisin. Unit asam muramat disubstitusi oleh tetrapeptida yang dihubungkan oleh jembatan interpeptida dengan ikatan kovalen (Thorpe 1995). Unit-unit tersebut merupakan komponen penyusun peptidoglikan yang sangat sensitif terhadap senyawa antimikroba. Peptidoglikan terdiri dari turunan gula yaitu asam N-asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramat serta asam amino L-alanin, D-alanin, D-glutamat, dan lisin, Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) dengan lapisan tipis asam teikoat dan asam teikuronat yang bermuatan negatif (Fardiaz 1992; Madigan et al. 2000). Cox et al. (2001) melaporkan bahwa senyawa fenolik yang berasal dari teh menyebabkan kerusakan membran dan kebocoran ion K+ dari bakteri S. aures NCTC 8325. Kation Ca2+ dan mg2+ terdapat pada bagian fosfolipid membran sel sehingga dengan adanya kerusakan membran maka ikatan kation tersebut akan rusak. Pada bakteri gram positif kation berfungsi untuk menghubungkan asam teikoat, jika terlepasnya ikatan kation akan menyebabkan masuknya senyawa antibakteri ke dalam sel. mg2+ dan Ca2+ berfungsi sebagai penghubung fosfolipid dan grup karboksil membran, menjaga kestabilan membran bakteri, dengan adanya kebocoran ion-ion tersebut maka kestabilan membran akan terganggu yang selanjutnya akan menyebabkan kematian bakteri (Hurst et al. 1974). Mekanisme masuknya senyawa antimikroba terhadap bakteri gram positif dan gram negatif berbeda. Pada bakteri gram positif seperti S. aureus tidak ada lapisan lipopolisakarida sehingga molekul senyawa antimikroba yang bersifat hidrofilik maupun yang hidrofobik dapat melewatinya (Best 1999). Senyawa antimikroba dapat langsung masuk dan berpenetrasi ke dalam sel dengan cara difusi pasif. Kemudian akan berinteraksi dengan protein pada lapisan peptidoglikan sehingga menyebabkan kerusakan terhadap dinding sel. Hal ini kemudian akan menyebabkan bakteri mengalami lisis akibat tekanan osmotik yang tinggi dari dalam sel (Buck 2001; Setiabudy & Gan 1995). Gambar 13 menunjukkan bahwa konsentrasi 0,0 mg/ml dinyatakan sebagai kontrol dengan jumlah koloni sebanyak 8,4 log koloni/ml. Hasil uji kontak pada konsentrasi 5,0, 6,0, 6,3, 6,6, 6,9, dan 7,0 mg/ml tidak mempengaruhi pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028. Sedangkan penghambatan sebanyak 1,9 log koloni/ml terjadi pada konsentrasi 8,0 mg/ml, 2,7 log koloni/ml pada 9,0 mg/ml, dan 3,0 log koloni/ml pada 10,0 mg/ml, serta tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 15,0 mg/ml. Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) Gambar 13 Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak etanol lumut terhadap jumlah bakteri S. Typhimurium ATCC 14028 dengan inokulum awal 7,2 log koloni/ml. Huruf yang berbeda pada setiap faktor perlakuan menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji p = 0,05 Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 3 untuk melihat penurunan jumlah bakteri S. Typhimurium ATCC 14028 terhadap aktivitas dari berbagai konsentrasi ekstrak menunjukkan perbedaan secara nyata pada taraf uji p = 0,05. Dari data percobaan nilai MIC dan MBC ekstrak etanol lumut (data tidak ditampilkan) diperoleh kesimpulan bahwa nilai MIC terhadap bakteri S. Typhimurium ATCC 14028 adalah pada konsentrasi 8,0 mg/ml, sedangkan untuk nilai MBC adalah pada konsentrasi 10 mg/ml. Dari nilai MIC dan MBC, bakteri S. Typhimurium ATCC 14028 lebih tahan terhadap ekstrak jika dibandingkan dengan S. aureus. Adanya perbedaan nilai MIC dan MBC antara bakteri gram positif dan gram negatif dapat dihubungkan dengan perbedaan dinding sel pada kedua jenis bakteri tersebut. Bakteri gram negatif mempunyai outer membran yang bersifat lipofilik karena banyak mengandung molekul lipopolisakarida yang memiliki gugus OH-. Dinding sel pada bakteri gram negatif bersifat hidrofilik karena pada dinding selnya terdapat senyawa lipopolisakarida bersifat polar. Sedangkan bakteri gram positif seperti S. aureus memiliki membran luar yang bersifat hidrofobik pada bagian Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) luarnya sehingga dalam konsentrasi ekstrak yang rendah (<1 mg/ml) akan mampu membunuh seluruh bakteri S. aureus (Madigan et al. 2000). Nilai MIC pada 8,0 mg/ml yang didapat pada penelitian ini mempunyai aktivitas yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan hasil penelitian Asakawa (2007) dengan MIC sebesar 100 mg/ml menggunakan ekstrak Marchantia sp . dan dengan bakteri yang sama S. Typhimurium (Lampiran 13). S. Typhimurium memiliki membran luar yang mengandung lipopolisakarida dan memiliki pori khusus berupa molekul protein (porin) yang memudahkan difusi pasif senyawa hidrofilik dengan berat molekul rendah seperti glukosa, asam amino dan ion-ion tertentu. Protein porin pada S. Typhimurium terdiri dari OmpC, OmpD, OmpF dan PhoE yang merupakan protein trimer yang menembus kedua permukaan membran luar (Moat et al. 2002). Protein porin berbentuk pori-pori yang relatif tidak khusus yang memungkinkan difusi bebas zat-zat hidrofil kecil menembus membran. Porin dari spesies yang berbeda mempunyai batas berdifusi yang berbeda dari bobot molekul 600 kda pada S. Typhimurium sampai lebih dari 3000 kda pada P. aeruginosa (Jawetz et al. 1996). Semakin tinggi berat molekul protein porin maka semakin sulit untuk menembus permukaan membran luar. Umumnya dinding sel bakteri gram negatif mengandung membran luar yang dapat menghadapi lewatnya molekul-molekul besar (Jawetz et al. 1996). Buck (2001) menyatakan dalam penelitiannya bahwa awal-awal terjadinya interaksi mekanisme senyawa antimikroba pada bakteri gram negatif umumnya senyawa antimikroba akan dihambat oleh membran luar berupa lipopolisakarida. Kemudian terjadi akumulasi yang kemudian mengganggu ikatan-ikatan hidrofilik membran luar. Secara selektif sebagian dari senyawa antimikroba dengan ukuran molekul kecil masuk melalui protein porin hingga menuju sitoplasma. Menurut Kanazawa et al. (1995) suatu senyawa yang mempunyai polaritas optimum akan mempunyai aktivitas antimikroba maksimum, karena untuk interaksi suatu senyawa antibakteri dengan bakteri diperlukan keseimbangan hidrofilik-lipofilik (HLB: hydrophilic lipophilic balance). Polaritas senyawa merupakan sifat fisik senyawa antimikroba yang penting. Sifat hidrofilik diperlukan untuk menjamin senyawa antimikroba larut dalam fase air yang Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) merupakan tempat hidup mikroba; tetapi senyawa yang bekerja pada membran sel hidrofobik memerlukan pula sifat lipofilik sehingga senyawa antibakteri memerlukan keseimbangan hidrofilik-lipofilik untuk mencapai aktivitas yang optimal (Branen & Davidson 1993). Kelompok bakteri gram negatif umumnya relatif lebih tahan terhadap senyawa-senyawa antibakteri ekstrak tumbuhan yang bersifat semipolar mendekati nonpolar dibandingkan kolompok bakteri gram positif. Hal tersebut erat kaitannya dengan struktur dinding sel bakteri gram negatif yang berlapis-lapis tersusun dari beberapa senyawa antara lain: lipopolisakarida, peptidoglikan dan lipoprotein (Fardiaz 1989). Sedangkan pada bakteri gram positif sebagian besar terdiri dari lapisan peptidoglikan yang banyak mengandung asam amino alanin yang cenderung bersifat hidrofobik (Cano & Colome 1986). Gambar 14 Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak etanol lumut terhadap jumlah bakteri P. aeruginosa dengan inokulum awal 6,8 log koloni/ml. Huruf yang berbeda pada setiap faktor perlakuan menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji p = 0,05 Gambar 14 menunjukkan bahwa konsentrasi 0,0 mg/ml dinyatakan sebagai kontrol dengan jumlah koloni sebanyak 8,6 log koloni/ml. Perlakuan uji kontak pada konsentrasi 5,0, 5,3, dan 5,6 mg/ml tidak mempengaruhi pertumbuhan P. aeruginosa. Penghambatan oleh ekstrak terhadap pertumbuhan P. aeruginosa sebanyak 1,2 log koloni/ml terjadi pada konsentrasi 5,9 mg/ml, 1,6 log koloni/ml Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) pada 6,0 mg/ml, 1,5 log koloni/ml pada 7,0 mg/ml, 2,5 log koloni/ml pada 8,0 mg/ml, 2,6 log koloni/ml pada 9,0 mg/ml, dan 4,3 log koloni/ml pada 10,0 mg/ml, serta tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 15,0 mg/ml. Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 4 untuk melihat penurunan jumlah bakteri P. aeruginosa terhadap aktivitas dari berbagai konsentrasi ekstrak menunjukkan perbedaan secara nyata pada taraf uji p = 0,05. Dari data percobaan nilai MIC dan MBC ekstrak etanol lumut (data tidak ditampilkan), diperoleh kesimpulan bahwa nilai MIC terhadap bakteri P. aeruginosa adalah pada konsentrasi 5,9 mg/ml, sedangkan untuk nilai MBC adalah pada konsentrasi 10 mg/ml. Nilai MIC didapat pada konsentrasi 5,9 mg/ml mempunyai aktivitas yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan hasil penelitian Asakawa (2007) dengan MIC 100 mg/ml, dan tidak ada aktivitas dari ekstrak M. convoluta terhadap P. aeruginosa yang dilaporkan Xiao et al. (2005) dalam penelitiannya (Lampiran 13). Nychas (1995) menyatakan bahwa aktivitas antimikroba dari komponen fenolik terhadap membran sel bakteri P. aeruginosa adalah bereaksi dengan komponen fosfolipid sehingga menyebabkan peningkatan status permeabilitas sel membran atau dapat menyebabkan perubahan pada komponen asam lemak dan kandungan fosfolipid selanjutnya dapat menyebabkan kekacauan pada sistem membran sel. Dibanding bakteri S. Typhimurium ATCC 14028, P. aeruginosa lebih sensitif terhadap ekstrak etanol lumut. Diduga senyawa antimikroba ekstrak etanol dapat menyebabkan kerusakan pada dinding sel dengan cara bereaksi dengan komponen fospolipid dari membran sel, selanjutnya akan berdifusi melalui membran sitoplasma dan mempengaruhi materi genetik sehingga mengakibatkan sel menjadi lisis. Kemungkinan lainnya adalah ukuran dari protein porin, senyawa antimikroba dapat masuk ke dalam sel melalui protein porin dari membran luar sel (Helender et al. 1998). Menurut Davidson dan Branen (1993) P. aureginosa mempunyai ukuran protein porin lebih besar dibandingkan Salmonella sp. Protein porin PAO1 pada P. aureginosa adalah 2 nm, lebih besar daripada protein porin S. Typhimurium dengan diameter 1,4 nm (Benz 1984). Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) Menurut Nikaido (1985), komponen penyusun membran luar bakteri P. aureginosa adalah asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh ini dapat berubah dari bentuk trans menjadi bentuk sis. Apabila perubahan ini terjadi maka senyawa antimikroba yang bersifat hidrofilik akan lebih mudah masuk ke dalam membran luar sel bakteri. Senyawa hidrofilik seperti golongan fenolik akan merusak sel mikroba dengan mengubah permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan kebocoran bahan-bahan intraseluler, kemudian mendenaturasi dan menginaktifkan protein seperti enzim. Senyawa ini juga mampu memutuskan ikatan silang peptidoglikan oleh usahanya menerobos dinding sel. Setelah menerobos dinding sel, senyawa fenol menyebabkan kebocoran nutrien sel dengan merusak ikatan hidrofobik komponen penghasil membran sel seperti protein dan fosfolipida serta larutnya komponen-komponen yang berikatan secara hidrofobik yang berakibat meningkatnya permeabilitas membran. Terjadinya kerusakan pada membran berakibat terhambatnya aktivitas dan biosintesis enzimenzim spesifik yang diperlukan dalam reaksi metabolisme (Ingram 1981). Dari hasil analisis kandungan kimia secara kualitatif diketahui bahwa tumbuhan lumut hati jenis M. paleacea mengandung komponen fenolik, triterpenoid, flavonoid, steroid dan tanin. Mekanisme dari kerusakan senyawasenyawa tersebut terhadap dinding sel bakteri berbeda-beda. Penghambatan oleh senyawa fenolik adalah mengganggu kerja di dalam membran sitoplasma mikroba termasuk diantaranya adalah menggangu transpor aktif dan kekuatan proton (Davidson 1993(b)). Menurut Mukhopadhyay (2002), polifenol memiliki kemampuan untuk berikatan dengan metabolit lain seperti protein, lemak dan karbohidrat membentuk senyawa kompleks yang stabil sehingga menghambat mutagenesis dan karsinogenesis. Kandungan Senyawa Bioaktif dan Fenol Total Lumut Hati M. paleacea Analisis komponen kimia secara kualitatif dilakukan hanya terhadap ekstrak yang mempunyai aktivitas antimikroba paling tinggi yaitu ekstrak etanol. Pelarut organik seperti etanol mudah untuk melarutkan senyawa resin, lemak, minyak, asam lemak, dan senyawa organik lainnya, serta merupakan pelarut yang aman dalam arti tidak toksik. Selain itu untuk mengekstrak suatu bahan yang Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) belum diketahui kandungan kimianya secara jelas diharuskan menggunakan pelarut etanol atau air untuk alasan keamanan (DepKes 2000). Komponen-komponen dari senyawa kimia seperti fenolik, steroid, triterpenoid, tannin, dan flavonoid diketahui positif ada pada lumut. Houghton dan Raman (1998) dalam penelitiannya melaporkan bahwa hasil uji kualitatif komponen fenolik ditemukan dalam jumlah besar pada lumut M. paleacea, umumnya larut dalam pelarut organik yang bersifat polar. Oleh karena itu pelarut etanol sering digunakan untuk mengekstrak fenolik. Senyawa fenolik merupakan substansi yang mempunyai cincin aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksil sehingga sifatnya mudah larut dalam pelarut polar (Tabel 6). Tabel 6 Komponen ekstrak etanol lumut hati Komponen Fenolik Steroid Triterpenoid Tanin Flavonoid Keberadaan + + + + + Keterangan: + (positif) ada Hal ini sesuai dengan laporan Adam dan Beckert (1994) bahwa kandungan komponen kimia dari lumut hati sebagian besar mengandung monosesquiterpen, diterpenoid, serta komponen lipofilik aromatik seperti bibenzil dan bis(bibenzil), naftalen, isokoumarin, sinamat, benzoat, benzil dan β-phenethyl akrylat, dan prenil indol. Beberapa komponen kimia pada M. polymorpha diketahui tingginya kandungan asam lemak tidak jenuh dan senyawa triterpenoid, triterpenoid merupakan golongan terpenoid yang berpotensi sebagai antimikroba, antikapang, insektisida, dan antivirus (Asakawa et al. 2000). Analisis terhadap senyawa steroid diidentifikasikan dalam jumlah kecil karena terlihat dari pembentukan warna hijau yang sedikit. Robinson (2000) menyatakan bahwa steroid sebagian bersifat nonpolar hingga semipolar, hanya terekstrak dalam pelarut heksana dan etil asetat sehingga dalam proses isolasi dapat menggunakan pelarut yang memiliki sifat nonpolar dan semipolar. Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) Komponen kimia dalam jumlah tinggi lainnya yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah triterpenoid. Berbagai jenis lumut hati seperti juga M. paleacea mempunyai oil bodies yang tidak dimiliki oleh jenis lumut lain, kandungan kimia penyusun dari oil bodies adalah sesquiterpen (Asakawa 2007). Man (1987) menyatakan bahwa terpenoid merupakan senyawa utama pada tumbuhan yang bersifat sebagai penyusun minyak atsiri, yang sebagian besar merupakan senyawa volatil tumbuhan yang membentuk aroma spesifik suatu jenis tumbuhan. Senyawa terpenoid terbentuk dari metabolit sekunder dari tumbuhan melalui jalur piruvat, asetil ko-A, dan asam mevalonat. Kelompok senyawa kimia yang bersifat volatil di dalam fraksi minyak atsiri tumbuhan, di antaranya adalah hidrokarbon dengan formula kimia (C5H8)n sebagai senyawa terpena rendah terutama monoterpena dan seskuiterpena, turunan oksigenasi dari senyawa-senyawa terpena tersebut, dan senyawa aromatik dengan struktur benzenoid (Reineccius 1994). Tabel 7 Distribusi senyawa marchantin pada beberapa jenis marchantia Kandungan Marchantin Jenis M. polymorpha (J) M. polymorpha (I) M. polymorpha (SA) M. polymorpha (G) M. palmata (J) M. paleacea (J) M. paleacea (T) M. tosana (J) A + + + + + B + + + + + C + + + + + + + + D + + + + E + + + + F + + G + + + + + + H J K L + + + + + Kandungan isomarchantin B C + + J = Jepang; I= India; SA = Afrika Selatan; G = Jerman; T = Taiwan Keterangan: + (positif) ada. Sumber: Kaseru et al. 1992. Marga Marchantia terdiri dari beberapa jenis di antaranya M. polymorpha, M. tosana, M. emarginata, M. convoluta, M. palmata, M. cenopoda, M. berteroana, dan M. paleacea. Masing-masing dari jenis tersebut berbeda satu dengan lainnya, mulai dari tempat tumbuh hingga kandungan komponen kimia (Asakawa 2003). Sebagai contoh M. polymorpha asal Hungaria mempunyai kandungan kimia yang serupa dengan Jerman dan Jepang, tetapi berbeda dengan jenis yang berasal dari Perancis, India dan Afrika Selatan (Kamory et al. 1994). Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) Dalam penelitian yang dilakukan oleh Asakawa pada tahun 1994 tentang identifikasi kandungan kimia dengan GC-MS pada M. polymorpha asal Jepang dan Perancis menyimpulkan bahwa kandungan utama M. polymorpha asal Jepang adalah senyawa golongan terpenoid dan marchantin A siklik bis(bibenzil) dalam jumlah besar, tetapi pada M. polymorpha asal Perancis tinggi akan senyawa Marchantin E (Tabel 7). Niu et al. (2006) melaporkan bahwa lumut hati jenis Marchantia sangat kaya akan senyawa terpenoid dan senyawa fenolik sederhana bis(bibenzil) seperti Marchantin A yang merupakan komponen utama. Dalam penelitian Asakawa et al. (2000) untuk mendapatkan 120 gram senyawa Marchantin A dalam bentuk murni dibutuhkan 2 kilogram M. polymorpha kering. Lumut jenis M. paleacea yang berasal dari Hongkong mengandung bis(bibenzil) marchantin C, isoriccardin C, turunan phenanthrene, sesquiterpenoids, bis(bibenzil) paleatins A, serta dua komponen senyawa baru yaitu isoriccardinkuinon A dan B turunan siklik bis(bibenzil) (So et al. 2002). Secara umum ekstrak dari tumbuhan lumut hati mengandung isoflavonoid, flavonoid dan bioflavonoid yang efektif menghambat mikroorganisme. Senyawa terpenoid dan fenolik serta unsur–unsur yang mudah menguap terdapat dalam jumlah tinggi pada beberapa jenis lumut (Ilhan et al. 2006). Xiao et al. (2006) menyatakan bahwa unsur utama pada Marchantia convoluta adalah flavonoid, triterpenoid dan steroid. Flavonoid yang berasal dari M. convoluta sebagian besar terdiri dari quercetin, luteolin, apigenin dan O- dan C-glycosida. Analisis kandungan fenol total pada panjang gelombang 760 nm menunjukkan adanya senyawa fenol pada ekstrak tumbuhan lumut M. paleacea. Nilai absorbansi yang terukur menyatakan intensitas senyawa fenol yang terdapat pada sampel. Semakin besar nilai absorbansi yang dihasilkan maka kandungan senyawa fenol pada ekstrak tersebut semakin tinggi. Analisis kandungan fenol total merupakan komponen terpenting terkait dengan sifat antibakteri. Analisis kandungan fenol total dilakukan hanya terhadap ekstrak yang memiliki aktivitas antimikroba paling tinggi, yaitu ekstrak etanol. Hasil uji fenol total (Lampiran 5) dihasilkan kandungan senyawa fenol sebesar 22 mg/gr (kandungan fenol total per gram bahan kering). Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) Efektivitas Ekstrak Pada Berbagai Perlakuan pH dan Stabilitasnya Terhadap Pengaruh Suhu Suatu senyawa antimikroba sebelum diaplikasikan pada suatu produk olahan pangan maka sangatlah perlu diteliti lebih lanjut tentang sifat-sifat dan karakteristik dari senyawa antimikroba tersebut. Pengujian ekstrak etanol lumut kemudian dilakukan terhadap pH dan pemanasan. Selanjutnya dilakukan perhitungan total mikroba akhir yang masih hidup setelah dikontakkan dengan ekstrak yang telah mengalami perlakuan, sehingga didapat data mikrobiologi secara kuantitatif. Pengujian dilakukan dengan menggunakan TSB sebagai medium uji, dengan pH 6,8. Selanjutnya pH 6,8 digunakan sebagai kontrol negatif, untuk kontrol positif kultur bakteri diujikan hanya terhadap pH dari masing-masing perlakuan tanpa penambahan ekstrak. Sedangkan perlakuan kombinasi dilakukan dengan penambahan ekstrak dan pH yang telah ditetapkan yaitu pH 4, 6, dan 8 . Pengujian efektivitas ekstrak dilakukan secara langsung, yaitu ekstrak dengan konsentrasi 10 mg/ml dimasukkan ke dalam medium TSB yang telah ditetapkan pHnya, selanjutnya dipipet kultur bakteri dan diinkubasi. Gambar 15 Aktivitas antimikroba ekstrak etanol lumut konsentrasi 10 mg/ml pada pH 4, 6, dan 8 terhadap S. aureus dengan inokulum awal 8,0 log koloni/ml. Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) Gambar 15 memperlihatkan pengaruh pH 4 terhadap pertumbuhan S. aureus yang mengakibatkan terjadinya penurunan koloni sebesar 3,82 log koloni/ml. Pengaruh pengujian dengan kombinasi ekstrak dan pH 4 tidak ditemukan adanya bakteri, hal ini disimpulkan bahwa pH 4 tidak menurunkan efektivitas dari ekstrak. Pengujian pada pH 6 dan 8 tidak mempengaruhi pertumbuhan bakteri S. aureus. Sedangkan dengan perlakuan kombinasi ekstrak dan pH 6 mengakibatkan terjadinya penurunan signifikan terhadap jumlah bakteri yaitu sebesar 5,86 log koloni/ml dan penurunan sebesar 6,18 log koloni/ml untuk kombinasi ekstrak dan pH 8. Hal ini membuktikan bahwa efektivitas ekstrak masih berperan dengan baik tanpa pengaruh dari pH. Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 6 untuk melihat penurunan jumlah bakteri S. aureus terhadap aktivitas ekstrak lumut yang telah mengalami perlakuan pH 4, 6, dan 8 menunjukkan berbeda secara nyata pada taraf uji p = 0,05. Umumnya kemampuan suatu senyawa antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya dipengaruhi oleh tingkat keasaman (pH), suhu, protein, lemak, karbohidrat dan aktivitas air (aw), medium pertumbuhan bakteri (Nychas & Tassou 2000), serta dipengaruhi oleh konsentrasi garam (Brewer 2000). S. aureus merupakan bakteri gram positif yang tidak tahan terhadap kondisi pH rendah. Struktur dinding sel bakteri gram positif terdiri atas peptidoglikan yang sangat tebal yang memberikan kekakuan untuk mempertahankan keutuhan sel. Proses perakitan dinding sel bakteri diawali dengan pembentukan rantai peptida yang akan membentuk jembatan silang peptida yang menggabungkan rantai glikan dari peptidoglikan pada rantai yang lain sehingga menyebabkan dinding sel terakit sempurna. Jika ada kerusakan pada dinding sel atau ada hambatan dalam pembentukannya dapat terjadi lisis pada sel bakteri sehingga bakteri segera kehilangan kemampuan membentuk koloni dan diikuti dengan kematian sel bakteri (Morin & Gorman 1995). Pengaruh ekstrak etanol lumut diduga menghambat perakitan dinding sel dan mengganggu penggabungan rantai glikan sehingga tidak terhubung atau terikat sempurna pada peptidoglikan dinding sel sehingga mengakibatkan struktur yang lemah dan menyebabkan kematian bakteri. Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) Umumnya senyawa antimikroba akan menghalangi tahap apapun dalam sintesis peptidoglikan sehingga mengakibatkan ikatan pada dinding sel bakteri menjadi lemah dan sel lama-kelamaan menjadi lisis (Jawetz et al. 2001). Lisisnya sel bakteri tersebut dikarenakan tidak berfungsinya lagi dinding sel yang mempertahankan bentuk dan melindungi bakteri yang memiliki tekanan osmotik dalam yang tinggi. Bakteri gram positif S. aureus memiliki tekanan osmotik 3 – 5 kali lebih besar dibandingkan dengan bakteri gram negatif, sehingga lebih mudah mengalami lisis (Katzung 1989). Tanpa dinding sel, bakteri tidak dapat bertahan terhadap pengaruh luar dan segera mati (Wattimena et al. 1991). Bakteri Gram positif memiliki struktur dinding sel yang tebal (15 – 80 nm), berlapis tunggal (mono). Dinding selnya mengandung lipid, asam teikoat dan peptidoglikan. Peptidoglikan merupakan komponen utama penyusun dinding sel bakteri. Davidson (2001) melaporkan bahwa tingkat keasaman (pH) merupakan faktor yang sangat mempengaruhi efektivitas senyawa antimikroba. Sebagian besar senyawa antimikroba pangan merupakan asam-asam lemah yang efektif dalam bentuk tidak terdisosiasi karena dalam bentuk ini senyawa antimikroba tersebut dapat masuk dalam membran sitoplasma mikroorganisme. Asam lemah dapat menurunkan pH sitoplasma, mempengaruhi struktur membran dan fluiditasnya serta mengkelat ion-ion dalam dinding sel bakteri (Stratford 2000). Penurunan pH sitoplasma akan mempengaruhi protein struktural sel, enzimenzim, asam nukleat dan fosfolipid membran (Davidson 2001). Gambar 16 menunjukkan bahwa pH 4 tidak mempengaruhi pertumbuhan bakteri S. Typhimurium ATCC 14028. S. Typhimurium dapat tumbuh pada medium dengan pH 4,0 sampai pH 9,0 (Portillo 2000). Ketahanan Salmonella dalam kondisi asam dilaporkan dalam penelitian Parish et al. 1997 yang menyatakan bahwa keberadaan S. Typhimurium ditemukan pada jus jeruk yang disimpan pada suhu 0C selama 27 hari pada pH 3,5, 46 hari pada pH 3,8, 60 hari pada pH 4,1, dan 73 hari pada pH 4,4. Hal ini diperkuat oleh Cook et al. 1998 dalam penelitian bahwa Salmonella yang diinokulasi sebanyak 106 log koloni/ml turun sebanyak 4 log koloni/ml dalam jus jeruk pada pH 3,0 – 3,1 selama 27 hari. Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) Gambar 16 Aktivitas antimikroba ekstrak etanol lumut konsentrasi 10 mg/ml pada pH 4, 6, dan 8 terhadap S. Typhimurium ATCC 14028 dengan inokulum awal 8,5 log koloni/ml Pengujian dengan kombinasi ekstrak dan pH 4 tidak ditemukan adanya bakteri. Hal ini dikarenakan bahwa efektivitas ekstrak bekerja secara optimum pada pH 4 dan terjadi sinergisme dengan komponen pengatur keasaman. Perlakuan dengan pH 6 dan 8 terhadap bakteri S. Typhimurium ATCC 14028 tidak menunjukkan pengaruh. Pengujian dengan kombinasi mengakibatkan terjadinya penghambatan dengan penurunan bakteri sebesar 2,0 log koloni/ml pada pH 6, sedangkan kombinasi ekstrak dan pH 8 terjadi penurunan signifikan sebesar 4,0 log koloni/ml. Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas ekstrak etanol lumut pada pH 6 dan 8 masih berperan secara tunggal (dominan) tanpa pengaruh pH. Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 7 untuk melihat penurunan jumlah bakteri S. Typhimurium ATCC 14028 terhadap aktivitas ekstrak lumut yang telah mengalami perlakuan pH 4, 6, dan 8 menunjukkan berbeda secara nyata pada taraf uji p = 0,05. Gambar 17 menunjukkan bahwa pH 4 hanya menghambat pertumbuhan bakteri P. aeruginosa. Kemudian pengujian dengan perlakuan kombinasi ekstrak dan pH 4 tidak ditemukan adanya bakteri. Hal ini menunjukkan efektivitas ekstrak bekerja secara optimum pada pH 4 dan terjadi sinergisme dengan komponen pengatur keasaman pH. Perlakuan pH 6 dan 8 tidak menunjukkan penghambatan Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) terhadap bakteri P. aeruginosa. Pengujian dengan perlakuan kombinasi ekstrak dan pH mengakibatkan terjadi penurunan signifikan, penurunan sebesar 4,81 log koloni/ml pada pH 6, dan 5,89 log koloni/ml pada pH 8. Hal ini membuktikan bahwa efektivitas ekstrak tidak dipengaruhi pH dan terjadi sinergisme dengan pH. Gambar 17 Aktivitas antimikroba ekstrak etanol lumut konsentrasi 10 mg/ml pada pH 4, 6, dan 8 terhadap P. aeruginosa dengan inokulum awal 8,2 log koloni/ml. Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 8 untuk melihat penurunan jumlah bakteri P. aeruginosa terhadap aktivitas ekstrak lumut yang telah mengalami perlakuan pH 4, 6, dan 8 menunjukkan berbeda secara nyata pada taraf uji p = 0,05. Secara umum pengaruh ekstrak etanol pada pH rendah terhadap beberapa bakteri uji menunjukkan adanya peningkatan aktivitas antimikroba ekstrak dibandingkan dengan pH tinggi, karena adanya sinergisme antara komponen antimikroba dengan komponen pengatur keasaman. Shelef dan Seiter (1993) dalam penelitiannya melaporkan bahwa substitusi antara bagian komponen antimikroba dengan HCl sebagai halogen menyebabkan kerusakan membran sel lebih efektif. Hal ini disebabkan karena reaksinya dengan adanya ion Cl yang mengharuskan sel mengeluarkan energi ekstra. Asam laktat dan asam klorida dilaporkan dapat mempengaruhi struktur membran dan fluiditas bakteri gram negatif dengan melepaskan lipopolisakarida (LPS) dari membran luar dan menyebabkan membran menjadi permeabel Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) terhadap senyawa hidrofobik (Alakomi et al. 2000), sedangkan asam sitrat, asam malat dan asam tartarat mengganggu permeabilitas membran dengan mengikat kation-kation pada dinding sel bakteri (Stratford 2000). Laporan lain menyatakan bahwa mekanisme penghambatan pada pH rendah disebabkan pada kondisi tersebut sel mempertahankan pH konstan di dalam sel. Jika pH diturunkan maka proton yang terdapat dalam jumlah tinggi dalam medium akan masuk ke dalam sitoplasma sel. Proton (ion H+) dari asam masuk dalam sel melalui gradien proton trans membran. Hal ini menyebabkan pH sitoplasma menurun. Penurunan pH sitoplasma menyebabkan enzim-enzim akan bekerja untuk mengembalikan pH internal sel menjadi pH normal. Proton ini harus dikeluarkan untuk mencegah terjadinya pengasaman dan denaturasi komponen-komponen sel. Aktivitas mengembalikan pH internal sel menjadi pH normal menggunakan banyak energi. Bila energi yang dibutuhkan dalam jumlah tinggi, akan mengganggu metabolisme sel sehingga lama kelamaan sel akan mengalami kematian (Fardiaz 1992). Senyawa fenolik yang terdapat dalam ekstrak tumbuhan semakin efektif pada pH rendah. Struktur gugus hidroksil senyawa fenolik memegang peranan penting dalam aktivitas antimikroba karena pada pH rendah terjadi alkilasi dan hidroksilasi sehingga akan meningkatkan distribusi gugus fenol pada fase air dan fase lipid pada membran sel bakteri (Dorman & Deans 2000; Puupponen-Pimia 2001). Gambar 18 menunjukkan hasil dari uji stabilitas ekstrak. Secara umum pemanasan suhu 80ºC selama 20 menit tidak berpengaruh pada aktivitas ekstrak etanol lumut terhadap S. aureus, S. Typhimurium ATCC 14028 dan P. aeruginosa. Khusus pada pemanasan suhu 100ºC selama 20 menit terjadi penurunan aktivitas ekstrak hanya terhadap S. Typhimurium ATCC 14028, hal ini karena telah terjadi kerusakan sebagian besar komponen senyawa antimikroba pada ekstrak akibat pemanasan tinggi tetapi hal ini tidak terjadi pada S. aureus dan P. aeruginosa. Suhu pemanasan yang tinggi dan lamanya waktu pemanasan sangat mempengaruhi stabilitas senyawa antimikroba. Branen (1993) menyatakan bahwa senyawa antimikroba yang bersifat volatil akan menguap dan hilang jika dipanaskan. Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) Gambar 18 Aktivitas antimikroba ekstrak etanol lumut konsentrasi 10 mg/ml setelah dipanaskan pada suhu 80ºC dan 100ºC selama 20 menit terhadap S. aureus, S. Typhimurium ATCC 14028 dan P. aeruginosa, dengan suhu 37ºC sebagai kontrol. Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 9 untuk melihat penurunan jumlah bakteri S. aureus terhadap aktivitas ekstrak lumut yang telah mengalami perlakuan pemanasan pada suhu 80ºC dan 100ºC selama 20 menit menunjukkan berbeda secara nyata pada taraf uji p = 0,05. Dari tabel uji lanjut Duncan untuk suhu diketahui bahwa suhu 80ºC tidak berbeda nyata terhadap suhu 100ºC. Pada hasil analisis sidik ragam penurunan jumlah bakteri S. Typhimurium ATCC 14028 (Lampiran 10) terhadap aktivitas ekstrak lumut yang telah mengalami perlakuan pemanasan pada suhu 80ºC dan 100ºC selama 20 menit menunjukkan berbeda secara nyata pada taraf uji p = 0,05. Dari tabel uji lanjut Duncan untuk suhu diketahui bahwa suhu 80ºC berbeda nyata terhadap suhu 100ºC. Sedangkan data hasil analisis sidik ragam (Lampiran 11) untuk melihat penurunan jumlah bakteri P. aeruginosa terhadap aktivitas ekstrak lumut yang telah mengalami perlakuan pemanasan pada suhu 80ºC dan 100ºC selama 20 menit menunjukkan berbeda secara nyata pada taraf uji p = 0,05. Data tabel uji lanjut Duncan untuk suhu diketahui bahwa suhu 80ºC tidak berbeda nyata terhadap suhu 100ºC. Ewald (1999) menyatakan bahwa aktivitas antibakteri kuersetin dan kaemferol dari golongan flavonoid menurun sebesar 48% dan 68% dengan adanya Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com) pemanasan pada suhu 60°C selama 2 jam. Hal ini berbeda pada antibakteri nisin yang tidak kehilangan aktivitasnya setelah pemanasan dengan otoklaf pada suhu 121ºC (Hurst & Hoover 1993). Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)