Aktivitas Antimikroba Ekstrak Tumbuhan Lumut Hati

advertisement
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air Lumut Hati M. paleacea
Tumbuhan lumut hati jenis M. paleacea segar diambil pada musim hujan,
kemudian dibersihkan dan dicuci dengan air terlebih dahulu untuk menghilangkan
kotoran. Selanjutnya dilakukan proses pengeringan secara konvensional yaitu
dengan membiarkan lumut selama 14 hari pada suhu ruang. Pengeringan yang
dilakukan pada temperatur ruang dimaksudkan untuk menghindari terjadinya
kerusakan terhadap senyawa bioaktif dari penggunaan panas (Harborne 2006).
Kandungan air kemudian dianalisis terhadap lumut segar dan lumut kering.
Hasil pengukuran kadar air lumut segar diketahui sebesar 89,02 %, setelah
pengeringan 14 hari didapat lumut kering dengan kadar air 17,47 %. Tingginya
kadar air pada lumut disebabkan karena lumut memiliki struktur permukaan yang
unik. Lapisan lumut yang tebal dipermukaan bersifat higroskopis dan rizoid yang
menyerupai benang berfungsi sebagai akar pada lumut sangat mudah untuk
menyerap air dan garam-garam mineral. Pengeringan yang dilakukan secara
konvensional diketahui sangat berpengaruh terhadap kadar air lumut kering. Salah
satunya faktor kelembaban udara, Kabupaten Bogor diketahui mempunyai RH
sekitar 70% yang mana akan memperlambat laju penguapan air pada lumut.
Rendemen Ekstrak Lumut Hati
Ekstrak tumbuhan yang diperoleh melalui ekstraksi dengan pelarut
umumnya dilakukan dengan cara mempertemukan bahan yang akan diekstrak
dengan pelarut organik selama waktu tertentu, diikuti pemisahan filtrat terhadap
residu bahan yang diekstrak. Bahan yang akan diekstrak terlebih dahulu
dikeringkan atau dikurangi kandungan air dalam bahannya (Houghton & Raman
1998).
Sampel lumut dibuat dalam bentuk bubuk kering sebelum diekstraksi
dengan maksud untuk memperbesar luas permukaan bahan serta menyeragamkan
ukuran partikelnya agar mempermudah kontak antara bahan dengan pelarutnya,
sehingga ekstraksi dapat berlangsung dengan baik (Purseglove et al. 1981). Empat
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
macam pelarut digunakan dalam proses ekstraksi maserasi berdasarkan derajat
polaritas dari masing-masing pelarut, di antaranya etanol, metanol, etil asetat, dan
heksana. Proses hasil maserasi kemudian dibuat konsentrasi antimikroba
berdasarkan masing-masing pelarut (Gambar 6).
Gambar 6 (A) Tabung-tabung
berbagai
ekstrak
dengan
konsentrasi 100 mg/ml, dan (B) evaporasi dengan
rotavapor suhu 40C.
Selama proses isolasi terhadap suatu komponen kimia seperti pada proses
ekstraksi, sel tumbuhan akan bercampur dan membran menjadi rusak. Senyawasenyawa golongan fenol cepat sekali membentuk kompleks dengan protein,
akibatnya sering terjadi hambatan terhadap kerja enzim pada ekstrak tumbuhan
kasar. Sebaliknya fenol sendiri sangat peka terhadap oksidasi enzim dan mungkin
hilang pada proses isolasi akibat kerja enzim fenolase yang terdapat dalam
tumbuhan. Ekstraksi senyawa fenol tumbuhan dengan etanol umumnya mencegah
terjadinya oksidasi enzim (Harborne 2006).
Gambar 7 memperlihatkan bahwa lumut yang diekstrak dengan pelarut
etanol menghasilkan larutan ekstrak yang berwarna hijau pekat, dan pelarut
metanol dihasilkan larutan ekstrak berwarna hijau pekat gelap. Pekatnya warna
hijau yang dihasilkan ekstrak etanol dan metanol disebabkan karena kelarutan
klorofil sangat tinggi. Pelarut etil asetat dan heksana menghasilkan larutan ekstrak
yang berwarna hijau muda dan kuning.
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
Gambar 7 Ekstrak lumut dalam pelarut: (A) etanol, (B) metanol, (C)
etil asetat, dan (D) heksana.
Ekstrak metanol menghasilkan rendemen ekstrak paling tinggi (15,57 %),
ekstrak etanol (5,98 %), ekstrak etil asetat (2,30 %), dan ekstrak heksana (0,87
%). Rendemen pada setiap perlakuan ekstrak disajikan pada Lampiran 1.
Perbedaan rendemen tiap ekstrak disebabkan oleh perbedaan komposisi
komponen kimia oleh perbedaan kelarutan dari pelarut yang digunakan (Gambar
8). Farrel (1990) menyatakan bahwa dalam proses ekstraksi komposisi, warna,
aroma dan rendemen yang dihasilkan akan dipengaruhi oleh jenis, ukuran dan
tingkat kematangan bahan baku, jenis pelarut, suhu dan waktu ekstraksi serta
metode ekstraksi.
Gambar 8 Rendemen dari masing-masing ekstrak lumut
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
Potensi Aktivitas Antimikroba Lumut Hati dari Berbagai Ekstrak
Pada tahap awal untuk mengetahui ada atau tidaknya aktivitas senyawa
antimikroba maka dilakukan uji kualitatif dengan metode agar difusi sumur. Pada
uji ini ekstrak tumbuhan lumut dari pelarut etanol, metanol, etil asetat dan heksana
diujikan terhadap bakteri uji S. aureus, S. Typhimurium ATCC 14028 dan P.
aeruginosa.
Gambar 9
Bioaktivitas antimikroba berbagai ekstrak lumut pada
konsentrasi 100 mg/ml terhadap bakteri S. aureus, P.
aeruginosa, dan S. Typhimurium ATCC 14028.
Gambar 9 menunjukkan bahwa pada konsentrasi 100 mg/ml, diameter
hambat ekstrak lumut dari masing-masing pelarut berbeda terhadap bakteri uji.
Ekstrak etanol merupakan ekstrak dengan zona hambat paling besar terhadap
bakteri S. aureus, P. aeruginosa, dan S. Typhimurium ATCC 14028, dengan
diameter 10,8 mm, 4,5 mm, 5,8 mm. Sedangkan ekstrak lumut dengan pelarut
heksana merupakan ekstrak dengan zona hambat paling rendah yaitu 2,7 mm yang
hanya diujikan terhadap bakteri S. aureus saja dikarenakan rendemen ekstrak yang
dihasilkan sangat rendah yaitu 0,87 %.
Pengaruh dari aktivitas antimikroba ekstrak heksana yang rendah,
disebabkan tumbuhan lumut sebagian besar mengandung senyawa polar yang
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
larut dalam pelarut polar dan semipolar. Aktivitas senyawa antibakteri yang
bersifat hidrofobik (nonpolar) relatif lebih terbatas terutama terhadap bakteribakteri gram negatif karena kemampuan selektif membran luar dari dinding sel
bakteri. Secara umum penurunan polaritas (mendekati nonpolar) dari senyawa
antibakteri akan lebih efektif menghambat pertumbuhan bakteri gram positif
dibandingkan bakteri gram negatif (Kabara di dalam Branen & Davidson 1983).
Di samping itu komponen senyawa kimia berupa minyak dan lemak yang
terekstrak dalam pelarut heksana dapat mengganggu proses difusi komponen
bioaktif dan dapat melindungi sel bakteri dari senyawa antimikroba (Moshi &
Mbwambo 2005). Conner dan Beuchat (1984) di dalam Elgayyar et al. (2000)
membedakan kemampuan aktivitas penghambatan ekstrak dari tumbuh-tumbuhan
terhadap bakteri uji ke dalam menghambat kuat dengan zona penghambatan (>11
mm), sedang (>6 - <11 mm) dan menghambat rendah bila zona penghambatan
kurang dari 6 mm. Penghambatan oleh senyawa antimikroba secara umum dapat
disebabkan oleh: gangguan pada komponen penyusun sel dan membran
sitoplasma, penghambatan sintesis protein, dan gangguan pada fungsi material
genetik (Pelczar 1979).
Gambar 10 Zona hambat aktivitas ekstrak etanol terhadap bakteri uji: (A) S.
aureus, (B) P. aeruginosa (C) S. Typhimurium ATCC 14028.
Data dari zona hambat tersebut menunjukkan bahwa S. aureus merupakan
bakteri yang paling sensitif terhadap ekstrak lumut. Selanjutnya tingkat kepekaan
bakteri terhadap ekstrak dari masing-masing pelarut adalah sebagai berikut, S.
aureus, P. aeruginosa, dan S. Typhimurium (Gambar 10). Bakteri uji S. aureus
adalah bakteri gram positif, Fardiaz (1989) menyatakan bahwa umumnya bakteri
gram positif lebih peka terhadap senyawa antibakteri dibandingkan dengan bakteri
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
gram negatif karena dinding sel bakteri gram positif mengandung lapisan
peptidoglikan yang lebih tebal dibandingkan dengan dinding sel pada bakteri
gram negatif.
Aktivitas antimikroba ekstrak lumut dari masing-masing pelarut diduga
disebabkan oleh adanya komponen senyawa fenolik, hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Adam dan Beckert (1994) yang menyatakan bahwa senyawa-senyawa
fenolik dari M. polymorpha merupakan sejumlah besar senyawa lipofilik dan
hidrofilik, termasuk flavon dan flavon glikosida yang diekstrak dengan
menggunakan pelarut metanol. Asakawa et al. (2000) menyatakan bahwa faktor
penting senyawa antimikroba dari ekstrak M. polymorpha terutama disebabkan
karena kandungan senyawa fenol sederhana yaitu bis(bibenzil) khususnya
marchantin A.
Gambar 11 P erbedaan struktur dinding sel bakteri gram positif dan gram
negatif
Sumber: Harapini et al. 1996
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
Gambar 11 memperlihatkan perbedaan struktur dinding sel bakteri gram
positif dan gram negatif. Pada bakteri gram positif 90% dinding selnya terdiri dari
lapisan peptidoglikan, sedangkan bakteri gram negatif lapisan peptidoglikan
hanya sekitar 5-20%. Senyawa antibakteri dapat mencegah sintesis peptidoglikan
pada sel yang sedang tumbuh, maka bakteri gram positif umumnya lebih peka
dibandingkan dengan bakteri gram negatif. Senyawa fenol dapat bereaksi dengan
komponen fosfolipid dari membran luar sel sehingga menyebabkan terjadinya
perubahan permeabilitas membran dan akan mengakibatkan sel mengalami
kebocoran. Perubahan permeabilitas membran akan menyebabkan keluarnya
metabolit seluler seperti protein, asam nukleat dan ion-ion logam (ca2+, k+, dan
mg2+) serta perubahan morfologi (Harapini et al. 1996).
Pengujian suatu aktivitas antimikroba dengan menggunakan metode difusi
sumur merupakan pengujian kualitatif, berbeda jika dibandingkan dengan metode
kontak langsung pada medium cair (broth) sebagai pengujian kuantitatif yang
kemudian dilakukan plating untuk mengetahui seberapa banyak bakteri yang
masih hidup. Hal ini karena adanya perbedaan pada laju difusi senyawa
antimikroba pada medium padat dan medium cair. Senyawa antimikroba pada uji
difusi sumur akan tertahan oleh agar yang padat dalam medium.
Tabak et al. (1996) telah membandingkan pengukuran medium padat dan
medium cair untuk melihat pengaruh ekstrak thyme pada bakteri Helicobacter
pylori. Disimpulkan bahwa penghambatan timol lebih efektif pada medium cair
dibandingkan dengan medium padat pada konsentrasi timol 3,5 mg/ml
penghambatannya pada medium padat masih dapat teramati sedangkan pada
medium cair sudah membunuh semua bakteri yang ada.
Radiati (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pengujian aktivitas
antimikroba ekstrak diklorometan jahe dengan difusi sumur memerlukan
konsentrasi lebih tinggi (90 mg/ml) dibandingkan dengan pengujian metode
kontak (5 – 20 mg/ml) terhadap bakteri uji E. coli, S. typhi, dan Vibrio cholera.
Lebih lanjut hal ini dikuatkan oleh Wan et al. (1998) yang melaporkan aktivitas
minyak atsiri tidak memberi pengaruh penghambatan terhadap P. fluorescens
dengan metode difusi agar, sedangkan bila menggunakan medium cair
penghambatan dapat teramati.
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
Selanjutnya, penelitian tahap II, III dan IV dilakukan dengan
menggunakan ekstrak terbaik dari uji difusi sumur, yaitu ekstrak etanol.
MIC (Minimum Inhibitory Concentration) dan MBC (Minimum Bactericidal
Concentration) Ekstrak Etanol Lumut
Berdasarkan uji kualitatif terhadap kandungan bioaktif dari lumut terhadap
berbagai ekstrak, maka hanya ekstrak etanol digunakan untuk uji lanjut dalam
penelitian berdasarkan zona penghambatan terbesar. Uji lanjut di antaranya
meliputi penentuan MIC (Minimum Inhibitory Concentration) dan MBC
(Minimum Bactericidal Concentration) terhadap S. aureus, S. Typhimurium
ATCC 14028, dan P. aeruginosa dengan metode kontak pada media Tryptic Soy
Broth (TSB). Dalam penelitian ini MIC dinyatakan sebagai konsentrasi terendah
ekstrak lumut yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba sebanyak 90% (1
log koloni dari jumlah koloni awal), sedangkan nilai MBC ditentukan dari cawan
dengan konsentrasi ekstrak terkecil yang tidak dapat ditumbuhi lagi oleh bakteri
atau mampu mereduksi 99,9% (103) dari populasi bakteri awal selama inkubasi 24
jam (Kim & Yamamoto 1996).
Gambar 12 Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak etanol lumut terhadap
jumlah bakteri S. aureus dengan inokulum awal 6,3 log
koloni/ml. Huruf yang berbeda pada setiap faktor perlakuan
menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji p = 0,05
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
Gambar 12 menunjukkan bahwa konsentrasi 0,0 mg/ml dinyatakan sebagai
kontrol dengan jumlah koloni sebanyak 7,76 log koloni/ml. Selanjutnya
dikontakkan dengan ekstrak etanol lumut, diketahui bahwa konsentrasi 0,5 mg/ml
dan 0,6 mg/ml tidak mempengaruhi pertumbuhan S. aureus. Perlakuan dengan
konsentrasi 0,7 mg/ml menurunkan jumlah koloni sebanyak 1,0 log koloni/ml, 2,8
log koloni/ml pada konsentrasi 0,9 mg/ml, dan 3,5 log koloni/ml pada konsentrasi
1 mg/ml. Serta tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 5,0
mg/ml.
Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 2 untuk melihat penurunan
jumlah bakteri S. aureus oleh aktivitas dari berbagai konsentrasi ekstrak
menunjukkan perbedaan secara nyata pada taraf uji p = 0,05. Dari data percobaan
nilai MIC dan MBC ekstrak etanol lumut (data tidak ditampilkan), diperoleh
kesimpulan bahwa nilai MIC terhadap bakteri S. aureus adalah pada konsentrasi
0,7 mg/ml, sedangkan untuk nilai MBC adalah pada konsentrasi 0,9 mg/ml.
Nilai MIC sebesar 0,7 mg/ml tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan
hasil penelitian Xiao et al. (2005) dengan MIC 0,625 mg/ml menggunakan
ekstrak M. convoluta. Aktivitas antimikroba lebih baik dilaporkan Mewari et al.
(2008) dengan MIC 0,281 mg/ml, serta aktivitas rendah diperlihatkan ekstrak
Marchantia sp. dengan MIC 3,13 mg/ml dari hasil penelitian Kaseru et al. (1995)
(Lampiran 13). Pada konsentrasi rendah fenol akan bereaksi dengan dinding sel,
sedangkan pada konsentrasi tinggi fenol akan merusak membran sitoplasma dan
menyebabkan terjadinya denaturasi protein (Murray et al. 1998; Kim et al. 1995).
S. aureus diketahui merupakan bakteri yang paling sensitif terhadap
ekstrak etanol lumut. Diketahui bahwa dinding sel S. aureus disusun oleh rantai
tetrapeptida yang terdiri dari (L-alanil-D-isoglutaminil-L-lisil-D-alanin) dan
jembatan interpeptida yang terdiri dari lima unit glisin. Unit asam muramat
disubstitusi oleh tetrapeptida yang dihubungkan oleh jembatan interpeptida
dengan ikatan kovalen (Thorpe 1995). Unit-unit tersebut merupakan komponen
penyusun peptidoglikan yang sangat sensitif terhadap senyawa antimikroba.
Peptidoglikan terdiri dari turunan gula yaitu asam N-asetilglukosamin dan asam
N-asetilmuramat serta asam amino L-alanin, D-alanin, D-glutamat, dan lisin,
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
dengan lapisan tipis asam teikoat dan asam teikuronat yang bermuatan negatif
(Fardiaz 1992; Madigan et al. 2000).
Cox et al. (2001) melaporkan bahwa senyawa fenolik yang berasal dari teh
menyebabkan kerusakan membran dan kebocoran ion K+ dari bakteri S. aures
NCTC 8325. Kation Ca2+ dan mg2+ terdapat pada bagian fosfolipid membran sel
sehingga dengan adanya kerusakan membran maka ikatan kation tersebut akan
rusak. Pada bakteri gram positif kation berfungsi untuk menghubungkan asam
teikoat, jika terlepasnya ikatan kation akan menyebabkan masuknya senyawa
antibakteri ke dalam sel. mg2+ dan Ca2+ berfungsi sebagai penghubung fosfolipid
dan grup karboksil membran, menjaga kestabilan membran bakteri, dengan
adanya kebocoran ion-ion tersebut maka kestabilan membran akan terganggu
yang selanjutnya akan menyebabkan kematian bakteri (Hurst et al. 1974).
Mekanisme masuknya senyawa antimikroba terhadap bakteri gram positif
dan gram negatif berbeda. Pada bakteri gram positif seperti S. aureus tidak ada
lapisan lipopolisakarida sehingga molekul senyawa antimikroba yang bersifat
hidrofilik maupun yang hidrofobik dapat melewatinya (Best 1999). Senyawa
antimikroba dapat langsung masuk dan berpenetrasi ke dalam sel dengan cara
difusi pasif. Kemudian akan berinteraksi dengan protein pada lapisan
peptidoglikan sehingga menyebabkan kerusakan terhadap dinding sel. Hal ini
kemudian akan menyebabkan bakteri mengalami lisis akibat tekanan osmotik
yang tinggi dari dalam sel (Buck 2001; Setiabudy & Gan 1995).
Gambar 13 menunjukkan bahwa konsentrasi 0,0 mg/ml dinyatakan sebagai
kontrol dengan jumlah koloni sebanyak 8,4 log koloni/ml. Hasil uji kontak pada
konsentrasi 5,0, 6,0, 6,3, 6,6, 6,9, dan 7,0 mg/ml tidak mempengaruhi
pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028. Sedangkan penghambatan sebanyak
1,9 log koloni/ml terjadi pada konsentrasi 8,0 mg/ml, 2,7 log koloni/ml pada 9,0
mg/ml, dan 3,0 log koloni/ml pada 10,0 mg/ml, serta tidak ditemukan adanya
pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 15,0 mg/ml.
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
Gambar 13 Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak etanol lumut terhadap
jumlah bakteri S. Typhimurium ATCC 14028 dengan inokulum
awal 7,2 log koloni/ml. Huruf yang berbeda pada setiap faktor
perlakuan menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji p =
0,05
Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 3 untuk melihat penurunan
jumlah bakteri S. Typhimurium ATCC 14028 terhadap aktivitas dari berbagai
konsentrasi ekstrak menunjukkan perbedaan secara nyata pada taraf uji p = 0,05.
Dari data percobaan nilai MIC dan MBC ekstrak etanol lumut (data tidak
ditampilkan) diperoleh kesimpulan bahwa nilai MIC terhadap bakteri S.
Typhimurium ATCC 14028 adalah pada konsentrasi 8,0 mg/ml, sedangkan untuk
nilai MBC adalah pada konsentrasi 10 mg/ml.
Dari nilai MIC dan MBC, bakteri S. Typhimurium ATCC 14028 lebih
tahan terhadap ekstrak jika dibandingkan dengan S. aureus. Adanya perbedaan
nilai MIC dan MBC antara bakteri gram positif dan gram negatif dapat
dihubungkan dengan perbedaan dinding sel pada kedua jenis bakteri tersebut.
Bakteri gram negatif mempunyai outer membran yang bersifat lipofilik karena
banyak mengandung molekul lipopolisakarida yang memiliki gugus OH-. Dinding
sel pada bakteri gram negatif bersifat hidrofilik karena pada dinding selnya
terdapat senyawa lipopolisakarida bersifat polar. Sedangkan bakteri gram positif
seperti S. aureus memiliki membran luar yang bersifat hidrofobik pada bagian
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
luarnya sehingga dalam konsentrasi ekstrak yang rendah (<1 mg/ml) akan mampu
membunuh seluruh bakteri S. aureus (Madigan et al. 2000).
Nilai MIC pada 8,0 mg/ml yang didapat pada penelitian ini mempunyai
aktivitas yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan hasil penelitian Asakawa
(2007) dengan MIC sebesar 100 mg/ml menggunakan ekstrak Marchantia sp . dan
dengan bakteri yang sama S. Typhimurium (Lampiran 13). S. Typhimurium
memiliki membran luar yang mengandung lipopolisakarida dan memiliki pori
khusus berupa molekul protein (porin) yang memudahkan difusi pasif senyawa
hidrofilik dengan berat molekul rendah seperti glukosa, asam amino dan ion-ion
tertentu. Protein porin pada S. Typhimurium terdiri dari OmpC, OmpD, OmpF dan
PhoE yang merupakan protein trimer yang menembus kedua permukaan membran
luar (Moat et al. 2002).
Protein porin berbentuk pori-pori yang relatif tidak khusus yang
memungkinkan difusi bebas zat-zat hidrofil kecil menembus membran. Porin dari
spesies yang berbeda mempunyai batas berdifusi yang berbeda dari bobot molekul
600 kda pada S. Typhimurium sampai lebih dari 3000 kda pada P. aeruginosa
(Jawetz et al. 1996). Semakin tinggi berat molekul protein porin maka semakin
sulit untuk menembus permukaan membran luar. Umumnya dinding sel bakteri
gram negatif mengandung membran luar yang dapat menghadapi lewatnya
molekul-molekul besar (Jawetz et al. 1996).
Buck (2001) menyatakan dalam penelitiannya bahwa awal-awal terjadinya
interaksi mekanisme senyawa antimikroba pada bakteri gram negatif umumnya
senyawa antimikroba akan dihambat oleh membran luar berupa lipopolisakarida.
Kemudian terjadi akumulasi yang kemudian mengganggu ikatan-ikatan hidrofilik
membran luar. Secara selektif sebagian dari senyawa antimikroba dengan ukuran
molekul kecil masuk melalui protein porin hingga menuju sitoplasma.
Menurut Kanazawa et al. (1995) suatu senyawa yang mempunyai polaritas
optimum akan mempunyai aktivitas antimikroba maksimum, karena untuk
interaksi suatu senyawa antibakteri dengan bakteri diperlukan keseimbangan
hidrofilik-lipofilik (HLB: hydrophilic lipophilic balance). Polaritas senyawa
merupakan sifat fisik senyawa antimikroba yang penting. Sifat hidrofilik
diperlukan untuk menjamin senyawa antimikroba larut dalam fase air yang
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
merupakan tempat hidup mikroba; tetapi senyawa yang bekerja pada membran sel
hidrofobik memerlukan pula sifat lipofilik sehingga senyawa antibakteri
memerlukan keseimbangan hidrofilik-lipofilik untuk mencapai aktivitas yang
optimal (Branen & Davidson 1993).
Kelompok bakteri gram negatif umumnya relatif lebih tahan terhadap
senyawa-senyawa antibakteri ekstrak tumbuhan yang bersifat semipolar
mendekati nonpolar dibandingkan kolompok bakteri gram positif. Hal tersebut
erat kaitannya dengan struktur dinding sel bakteri gram negatif yang berlapis-lapis
tersusun dari beberapa senyawa antara lain: lipopolisakarida, peptidoglikan dan
lipoprotein (Fardiaz 1989). Sedangkan pada bakteri gram positif sebagian besar
terdiri dari lapisan peptidoglikan yang banyak mengandung asam amino alanin
yang cenderung bersifat hidrofobik (Cano & Colome 1986).
Gambar 14 Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak etanol lumut terhadap
jumlah bakteri P. aeruginosa dengan inokulum awal 6,8 log
koloni/ml. Huruf yang berbeda pada setiap faktor perlakuan
menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji p = 0,05
Gambar 14 menunjukkan bahwa konsentrasi 0,0 mg/ml dinyatakan sebagai
kontrol dengan jumlah koloni sebanyak 8,6 log koloni/ml. Perlakuan uji kontak
pada konsentrasi 5,0, 5,3, dan 5,6 mg/ml tidak mempengaruhi pertumbuhan P.
aeruginosa. Penghambatan oleh ekstrak terhadap pertumbuhan P. aeruginosa
sebanyak 1,2 log koloni/ml terjadi pada konsentrasi 5,9 mg/ml, 1,6 log koloni/ml
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
pada 6,0 mg/ml, 1,5 log koloni/ml pada 7,0 mg/ml, 2,5 log koloni/ml pada 8,0
mg/ml, 2,6 log koloni/ml pada 9,0 mg/ml, dan 4,3 log koloni/ml pada 10,0 mg/ml,
serta tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 15,0 mg/ml.
Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 4 untuk melihat penurunan
jumlah bakteri P. aeruginosa terhadap aktivitas dari berbagai konsentrasi ekstrak
menunjukkan perbedaan secara nyata pada taraf uji p = 0,05. Dari data percobaan
nilai MIC dan MBC ekstrak etanol lumut (data tidak ditampilkan), diperoleh
kesimpulan bahwa nilai MIC terhadap bakteri P. aeruginosa adalah pada
konsentrasi 5,9 mg/ml, sedangkan untuk nilai MBC adalah pada konsentrasi 10
mg/ml.
Nilai MIC didapat pada konsentrasi 5,9 mg/ml mempunyai aktivitas yang
jauh lebih baik jika dibandingkan dengan hasil penelitian Asakawa (2007) dengan
MIC 100 mg/ml, dan tidak ada aktivitas dari ekstrak M. convoluta terhadap P.
aeruginosa yang dilaporkan Xiao et al. (2005) dalam penelitiannya (Lampiran
13). Nychas (1995) menyatakan bahwa aktivitas antimikroba dari komponen
fenolik terhadap membran sel bakteri P. aeruginosa adalah bereaksi dengan
komponen fosfolipid sehingga menyebabkan peningkatan status permeabilitas sel
membran atau dapat menyebabkan perubahan pada komponen asam lemak dan
kandungan fosfolipid selanjutnya dapat menyebabkan kekacauan pada sistem
membran sel.
Dibanding bakteri S. Typhimurium ATCC 14028, P. aeruginosa lebih
sensitif terhadap ekstrak etanol lumut. Diduga senyawa antimikroba ekstrak etanol
dapat menyebabkan kerusakan pada dinding sel dengan cara bereaksi dengan
komponen fospolipid dari membran sel, selanjutnya akan berdifusi melalui
membran sitoplasma dan mempengaruhi materi genetik sehingga mengakibatkan
sel menjadi lisis. Kemungkinan lainnya adalah ukuran dari protein porin, senyawa
antimikroba dapat masuk ke dalam sel melalui protein porin dari membran luar sel
(Helender et al. 1998). Menurut Davidson dan Branen (1993) P. aureginosa
mempunyai ukuran protein porin lebih besar dibandingkan Salmonella sp. Protein
porin PAO1 pada P. aureginosa adalah 2 nm, lebih besar daripada protein porin S.
Typhimurium dengan diameter 1,4 nm (Benz 1984).
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
Menurut Nikaido (1985), komponen penyusun membran luar bakteri P.
aureginosa adalah asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh ini dapat
berubah dari bentuk trans menjadi bentuk sis. Apabila perubahan ini terjadi maka
senyawa antimikroba yang bersifat hidrofilik akan lebih mudah masuk ke dalam
membran luar sel bakteri. Senyawa hidrofilik seperti golongan fenolik akan
merusak sel mikroba dengan mengubah permeabilitas membran sitoplasma
sehingga
menyebabkan
kebocoran
bahan-bahan
intraseluler,
kemudian
mendenaturasi dan menginaktifkan protein seperti enzim. Senyawa ini juga
mampu memutuskan ikatan silang peptidoglikan oleh usahanya menerobos dinding
sel. Setelah menerobos dinding sel, senyawa fenol menyebabkan kebocoran nutrien
sel dengan merusak ikatan hidrofobik komponen penghasil membran sel seperti
protein dan fosfolipida serta larutnya komponen-komponen yang berikatan secara
hidrofobik yang berakibat meningkatnya permeabilitas membran. Terjadinya
kerusakan pada membran berakibat terhambatnya aktivitas dan biosintesis enzimenzim spesifik yang diperlukan dalam reaksi metabolisme (Ingram 1981).
Dari hasil analisis kandungan kimia secara kualitatif diketahui bahwa
tumbuhan lumut hati jenis M. paleacea mengandung komponen fenolik,
triterpenoid, flavonoid, steroid dan tanin. Mekanisme dari kerusakan senyawasenyawa tersebut terhadap dinding sel bakteri berbeda-beda. Penghambatan oleh
senyawa fenolik adalah mengganggu kerja di dalam membran sitoplasma mikroba
termasuk diantaranya adalah menggangu transpor aktif dan kekuatan proton
(Davidson
1993(b)).
Menurut
Mukhopadhyay
(2002),
polifenol
memiliki
kemampuan untuk berikatan dengan metabolit lain seperti protein, lemak dan
karbohidrat membentuk senyawa kompleks yang stabil sehingga menghambat
mutagenesis dan karsinogenesis.
Kandungan Senyawa Bioaktif dan Fenol Total
Lumut Hati M. paleacea
Analisis komponen kimia secara kualitatif dilakukan hanya terhadap
ekstrak yang mempunyai aktivitas antimikroba paling tinggi yaitu ekstrak etanol.
Pelarut organik seperti etanol mudah untuk melarutkan senyawa resin, lemak,
minyak, asam lemak, dan senyawa organik lainnya, serta merupakan pelarut yang
aman dalam arti tidak toksik. Selain itu untuk mengekstrak suatu bahan yang
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
belum diketahui kandungan kimianya secara jelas diharuskan menggunakan
pelarut etanol atau air untuk alasan keamanan (DepKes 2000).
Komponen-komponen dari senyawa kimia seperti fenolik, steroid,
triterpenoid, tannin, dan flavonoid diketahui positif ada pada lumut. Houghton
dan Raman (1998) dalam penelitiannya melaporkan bahwa hasil uji kualitatif
komponen fenolik ditemukan dalam jumlah besar pada lumut M. paleacea,
umumnya larut dalam pelarut organik yang bersifat polar. Oleh karena itu pelarut
etanol sering digunakan untuk mengekstrak fenolik. Senyawa fenolik merupakan
substansi yang mempunyai cincin aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksil
sehingga sifatnya mudah larut dalam pelarut polar (Tabel 6).
Tabel 6 Komponen ekstrak etanol lumut hati
Komponen
Fenolik
Steroid
Triterpenoid
Tanin
Flavonoid
Keberadaan
+
+
+
+
+
Keterangan: + (positif) ada
Hal ini sesuai dengan laporan Adam dan Beckert (1994) bahwa kandungan
komponen kimia dari lumut hati sebagian besar mengandung monosesquiterpen,
diterpenoid, serta komponen lipofilik aromatik seperti bibenzil dan bis(bibenzil),
naftalen, isokoumarin, sinamat, benzoat, benzil dan β-phenethyl akrylat, dan
prenil indol. Beberapa komponen kimia pada M. polymorpha diketahui tingginya
kandungan asam lemak tidak jenuh dan senyawa triterpenoid, triterpenoid
merupakan golongan terpenoid yang berpotensi sebagai antimikroba, antikapang,
insektisida, dan antivirus (Asakawa et al. 2000).
Analisis terhadap senyawa steroid diidentifikasikan dalam jumlah kecil
karena terlihat dari pembentukan warna hijau yang sedikit. Robinson (2000)
menyatakan bahwa steroid sebagian bersifat nonpolar hingga semipolar, hanya
terekstrak dalam pelarut heksana dan etil asetat sehingga dalam proses isolasi
dapat menggunakan pelarut yang memiliki sifat nonpolar dan semipolar.
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
Komponen kimia dalam jumlah tinggi lainnya yang dihasilkan dalam
penelitian ini adalah triterpenoid. Berbagai jenis lumut hati seperti juga M.
paleacea mempunyai oil bodies yang tidak dimiliki oleh jenis lumut lain,
kandungan kimia penyusun dari oil bodies adalah sesquiterpen (Asakawa 2007).
Man (1987) menyatakan bahwa terpenoid merupakan senyawa utama pada
tumbuhan yang bersifat sebagai penyusun minyak atsiri, yang sebagian besar
merupakan senyawa volatil tumbuhan yang membentuk aroma spesifik suatu jenis
tumbuhan. Senyawa terpenoid terbentuk dari metabolit sekunder dari tumbuhan
melalui jalur piruvat, asetil ko-A, dan asam mevalonat.
Kelompok senyawa kimia yang bersifat volatil di dalam fraksi minyak
atsiri tumbuhan, di antaranya adalah hidrokarbon dengan formula kimia (C5H8)n
sebagai senyawa terpena rendah terutama monoterpena dan seskuiterpena, turunan
oksigenasi dari senyawa-senyawa terpena tersebut, dan senyawa aromatik dengan
struktur benzenoid (Reineccius 1994).
Tabel 7 Distribusi senyawa marchantin pada beberapa jenis marchantia
Kandungan Marchantin
Jenis
M. polymorpha (J)
M. polymorpha (I)
M. polymorpha (SA)
M. polymorpha (G)
M. palmata (J)
M. paleacea (J)
M. paleacea (T)
M. tosana (J)
A
+
+
+
+
+
B
+
+
+
+
+
C
+
+
+
+
+
+
+
+
D
+
+
+
+
E
+
+
+
+
F
+
+
G
+
+
+
+
+
+
H
J
K
L
+
+
+
+
+
Kandungan
isomarchantin
B
C
+
+
J = Jepang; I= India; SA = Afrika Selatan; G = Jerman; T = Taiwan
Keterangan: + (positif) ada. Sumber: Kaseru et al. 1992.
Marga Marchantia terdiri dari beberapa jenis di antaranya M. polymorpha,
M. tosana, M. emarginata, M. convoluta, M. palmata, M. cenopoda, M.
berteroana, dan M. paleacea. Masing-masing dari jenis tersebut berbeda satu
dengan lainnya, mulai dari tempat tumbuh hingga kandungan komponen kimia
(Asakawa 2003). Sebagai contoh M. polymorpha asal Hungaria mempunyai
kandungan kimia yang serupa dengan Jerman dan Jepang, tetapi berbeda dengan
jenis yang berasal dari Perancis, India dan Afrika Selatan (Kamory et al. 1994).
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Asakawa pada tahun 1994 tentang
identifikasi kandungan kimia dengan GC-MS pada M. polymorpha asal Jepang
dan Perancis menyimpulkan bahwa kandungan utama M. polymorpha asal Jepang
adalah senyawa golongan terpenoid dan marchantin A siklik bis(bibenzil) dalam
jumlah besar, tetapi pada M. polymorpha asal Perancis tinggi akan senyawa
Marchantin E (Tabel 7).
Niu et al. (2006) melaporkan bahwa lumut hati jenis Marchantia sangat
kaya akan senyawa terpenoid dan senyawa fenolik sederhana bis(bibenzil) seperti
Marchantin A yang merupakan komponen utama. Dalam penelitian Asakawa et
al. (2000) untuk mendapatkan 120 gram senyawa Marchantin A dalam bentuk
murni dibutuhkan 2 kilogram M. polymorpha kering. Lumut jenis M. paleacea
yang berasal dari Hongkong mengandung bis(bibenzil) marchantin C, isoriccardin
C, turunan phenanthrene, sesquiterpenoids, bis(bibenzil) paleatins A, serta dua
komponen senyawa baru yaitu isoriccardinkuinon A dan B turunan siklik
bis(bibenzil) (So et al. 2002).
Secara umum ekstrak dari tumbuhan lumut hati mengandung isoflavonoid,
flavonoid dan bioflavonoid yang efektif menghambat mikroorganisme. Senyawa
terpenoid dan fenolik serta unsur–unsur yang mudah menguap terdapat dalam
jumlah tinggi pada beberapa jenis lumut (Ilhan et al. 2006). Xiao et al. (2006)
menyatakan bahwa unsur utama pada Marchantia convoluta adalah flavonoid,
triterpenoid dan steroid. Flavonoid yang berasal dari M. convoluta sebagian besar
terdiri dari quercetin, luteolin, apigenin dan O- dan C-glycosida.
Analisis kandungan fenol total pada panjang gelombang 760 nm
menunjukkan adanya senyawa fenol pada ekstrak tumbuhan lumut M. paleacea.
Nilai absorbansi yang terukur menyatakan intensitas senyawa fenol yang terdapat
pada sampel. Semakin besar nilai absorbansi yang dihasilkan maka kandungan
senyawa fenol pada ekstrak tersebut semakin tinggi. Analisis kandungan fenol
total merupakan komponen terpenting terkait dengan sifat antibakteri. Analisis
kandungan fenol total dilakukan hanya terhadap ekstrak yang memiliki aktivitas
antimikroba paling tinggi, yaitu ekstrak etanol. Hasil uji fenol total (Lampiran 5)
dihasilkan kandungan senyawa fenol sebesar 22 mg/gr (kandungan fenol total per
gram bahan kering).
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
Efektivitas Ekstrak Pada Berbagai Perlakuan pH
dan Stabilitasnya Terhadap Pengaruh Suhu
Suatu senyawa antimikroba sebelum diaplikasikan pada suatu produk
olahan pangan maka sangatlah perlu diteliti lebih lanjut tentang sifat-sifat dan
karakteristik dari senyawa antimikroba tersebut. Pengujian ekstrak etanol lumut
kemudian dilakukan terhadap pH dan pemanasan. Selanjutnya dilakukan
perhitungan total mikroba akhir yang masih hidup setelah dikontakkan dengan
ekstrak yang telah mengalami perlakuan, sehingga didapat data mikrobiologi
secara kuantitatif.
Pengujian dilakukan dengan menggunakan TSB sebagai medium uji,
dengan pH 6,8. Selanjutnya pH 6,8 digunakan sebagai kontrol negatif, untuk
kontrol positif kultur bakteri diujikan hanya terhadap pH dari masing-masing
perlakuan tanpa penambahan ekstrak. Sedangkan perlakuan kombinasi dilakukan
dengan penambahan ekstrak dan pH yang telah ditetapkan yaitu pH 4, 6, dan 8 .
Pengujian efektivitas ekstrak dilakukan secara langsung, yaitu ekstrak dengan
konsentrasi 10 mg/ml dimasukkan ke dalam medium TSB yang telah ditetapkan
pHnya, selanjutnya dipipet kultur bakteri dan diinkubasi.
Gambar 15 Aktivitas antimikroba ekstrak etanol lumut konsentrasi 10
mg/ml pada pH 4, 6, dan 8 terhadap S. aureus dengan
inokulum awal 8,0 log koloni/ml.
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
Gambar 15 memperlihatkan pengaruh pH 4 terhadap pertumbuhan S.
aureus yang mengakibatkan terjadinya penurunan koloni sebesar 3,82 log
koloni/ml. Pengaruh pengujian dengan kombinasi ekstrak dan pH 4 tidak
ditemukan adanya bakteri, hal ini disimpulkan bahwa pH 4 tidak menurunkan
efektivitas dari ekstrak. Pengujian pada pH 6 dan 8 tidak mempengaruhi
pertumbuhan bakteri S. aureus. Sedangkan dengan perlakuan kombinasi ekstrak
dan pH 6 mengakibatkan terjadinya penurunan signifikan terhadap jumlah bakteri
yaitu sebesar 5,86 log koloni/ml dan penurunan sebesar 6,18 log koloni/ml untuk
kombinasi ekstrak dan pH 8. Hal ini membuktikan bahwa efektivitas ekstrak
masih berperan dengan baik tanpa pengaruh dari pH.
Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 6 untuk melihat penurunan
jumlah bakteri S. aureus terhadap aktivitas ekstrak lumut yang telah mengalami
perlakuan pH 4, 6, dan 8 menunjukkan berbeda secara nyata pada taraf uji p =
0,05. Umumnya kemampuan suatu senyawa antimikroba dalam menghambat
pertumbuhan mikroba sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya
dipengaruhi oleh tingkat keasaman (pH), suhu, protein, lemak, karbohidrat dan
aktivitas air (aw), medium pertumbuhan bakteri (Nychas & Tassou 2000), serta
dipengaruhi oleh konsentrasi garam (Brewer 2000).
S. aureus merupakan bakteri gram positif yang tidak tahan terhadap
kondisi pH rendah. Struktur dinding sel bakteri gram positif terdiri atas
peptidoglikan
yang
sangat
tebal
yang
memberikan
kekakuan
untuk
mempertahankan keutuhan sel. Proses perakitan dinding sel bakteri diawali
dengan pembentukan rantai peptida yang akan membentuk jembatan silang
peptida yang menggabungkan rantai glikan dari peptidoglikan pada rantai yang
lain sehingga menyebabkan dinding sel terakit sempurna. Jika ada kerusakan pada
dinding sel atau ada hambatan dalam pembentukannya dapat terjadi lisis pada sel
bakteri sehingga bakteri segera kehilangan kemampuan membentuk koloni dan
diikuti dengan kematian sel bakteri (Morin & Gorman 1995). Pengaruh ekstrak
etanol lumut diduga menghambat perakitan dinding sel dan mengganggu
penggabungan rantai glikan sehingga tidak terhubung atau terikat sempurna pada
peptidoglikan dinding sel sehingga mengakibatkan struktur yang lemah dan
menyebabkan kematian bakteri.
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
Umumnya senyawa antimikroba akan menghalangi tahap apapun dalam
sintesis peptidoglikan sehingga mengakibatkan ikatan pada dinding sel bakteri
menjadi lemah dan sel lama-kelamaan menjadi lisis (Jawetz et al. 2001). Lisisnya
sel bakteri tersebut dikarenakan tidak berfungsinya lagi dinding sel yang
mempertahankan bentuk dan melindungi bakteri yang memiliki tekanan osmotik
dalam yang tinggi. Bakteri gram positif S. aureus memiliki tekanan osmotik 3 – 5
kali lebih besar dibandingkan dengan bakteri gram negatif, sehingga lebih mudah
mengalami lisis (Katzung 1989).
Tanpa dinding sel, bakteri tidak dapat bertahan terhadap pengaruh luar dan
segera mati (Wattimena et al. 1991). Bakteri Gram positif memiliki struktur
dinding sel yang tebal (15 – 80 nm), berlapis tunggal (mono). Dinding selnya
mengandung lipid, asam teikoat dan peptidoglikan. Peptidoglikan merupakan
komponen utama penyusun dinding sel bakteri.
Davidson (2001) melaporkan bahwa tingkat keasaman (pH) merupakan
faktor yang sangat mempengaruhi efektivitas senyawa antimikroba. Sebagian
besar senyawa antimikroba pangan merupakan asam-asam lemah yang efektif
dalam bentuk tidak terdisosiasi karena dalam bentuk ini senyawa antimikroba
tersebut dapat masuk dalam membran sitoplasma mikroorganisme. Asam lemah
dapat menurunkan pH sitoplasma, mempengaruhi struktur membran dan
fluiditasnya serta mengkelat ion-ion dalam dinding sel bakteri (Stratford 2000).
Penurunan pH sitoplasma akan mempengaruhi protein struktural sel, enzimenzim, asam nukleat dan fosfolipid membran (Davidson 2001).
Gambar 16 menunjukkan bahwa pH 4 tidak mempengaruhi pertumbuhan
bakteri S. Typhimurium ATCC 14028. S. Typhimurium dapat tumbuh pada
medium dengan pH 4,0 sampai pH 9,0 (Portillo 2000). Ketahanan Salmonella
dalam kondisi asam dilaporkan dalam penelitian Parish et al. 1997 yang
menyatakan bahwa keberadaan S. Typhimurium ditemukan pada jus jeruk yang
disimpan pada suhu 0C selama 27 hari pada pH 3,5, 46 hari pada pH 3,8, 60 hari
pada pH 4,1, dan 73 hari pada pH 4,4. Hal ini diperkuat oleh Cook et al. 1998
dalam penelitian bahwa Salmonella yang diinokulasi sebanyak 106 log koloni/ml
turun sebanyak 4 log koloni/ml dalam jus jeruk pada pH 3,0 – 3,1 selama 27 hari.
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
Gambar 16 Aktivitas antimikroba ekstrak etanol lumut konsentrasi 10
mg/ml pada pH 4, 6, dan 8 terhadap S. Typhimurium ATCC
14028 dengan inokulum awal 8,5 log koloni/ml
Pengujian dengan kombinasi ekstrak dan pH 4 tidak ditemukan adanya
bakteri. Hal ini dikarenakan bahwa efektivitas ekstrak bekerja secara optimum
pada pH 4 dan terjadi sinergisme dengan komponen pengatur keasaman.
Perlakuan dengan pH 6 dan 8 terhadap bakteri S. Typhimurium ATCC 14028
tidak menunjukkan pengaruh. Pengujian dengan kombinasi mengakibatkan
terjadinya penghambatan dengan penurunan bakteri sebesar 2,0 log koloni/ml
pada pH 6, sedangkan kombinasi ekstrak dan pH 8 terjadi penurunan signifikan
sebesar 4,0 log koloni/ml. Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas ekstrak etanol
lumut pada pH 6 dan 8 masih berperan secara tunggal (dominan) tanpa pengaruh
pH. Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 7 untuk melihat penurunan jumlah
bakteri S. Typhimurium ATCC 14028 terhadap aktivitas ekstrak lumut yang telah
mengalami perlakuan pH 4, 6, dan 8 menunjukkan berbeda secara nyata pada taraf
uji p = 0,05.
Gambar 17 menunjukkan bahwa pH 4 hanya menghambat pertumbuhan
bakteri P. aeruginosa. Kemudian pengujian dengan perlakuan kombinasi ekstrak
dan pH 4 tidak ditemukan adanya bakteri. Hal ini menunjukkan efektivitas ekstrak
bekerja secara optimum pada pH 4 dan terjadi sinergisme dengan komponen
pengatur keasaman pH. Perlakuan pH 6 dan 8 tidak menunjukkan penghambatan
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
terhadap bakteri P. aeruginosa. Pengujian dengan perlakuan kombinasi ekstrak
dan pH mengakibatkan terjadi penurunan signifikan, penurunan sebesar 4,81 log
koloni/ml pada pH 6, dan 5,89 log koloni/ml pada pH 8. Hal ini membuktikan
bahwa efektivitas ekstrak tidak dipengaruhi pH dan terjadi sinergisme dengan pH.
Gambar 17 Aktivitas antimikroba ekstrak etanol lumut konsentrasi 10
mg/ml pada pH 4, 6, dan 8 terhadap P. aeruginosa dengan
inokulum awal 8,2 log koloni/ml.
Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 8 untuk melihat penurunan
jumlah bakteri P. aeruginosa terhadap aktivitas ekstrak lumut yang telah
mengalami perlakuan pH 4, 6, dan 8 menunjukkan berbeda secara nyata pada taraf
uji p = 0,05. Secara umum pengaruh ekstrak etanol pada pH rendah terhadap
beberapa bakteri uji menunjukkan adanya peningkatan aktivitas antimikroba
ekstrak dibandingkan dengan pH tinggi, karena adanya sinergisme antara
komponen antimikroba dengan komponen pengatur keasaman. Shelef dan Seiter
(1993) dalam penelitiannya melaporkan bahwa substitusi antara bagian komponen
antimikroba dengan HCl sebagai halogen menyebabkan kerusakan membran sel
lebih efektif. Hal ini disebabkan karena reaksinya dengan adanya ion Cl yang
mengharuskan sel mengeluarkan energi ekstra.
Asam laktat dan asam klorida dilaporkan dapat mempengaruhi struktur
membran dan fluiditas bakteri gram negatif dengan melepaskan lipopolisakarida
(LPS) dari membran luar dan menyebabkan membran menjadi permeabel
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
terhadap senyawa hidrofobik (Alakomi et al. 2000), sedangkan asam sitrat, asam
malat dan asam tartarat mengganggu permeabilitas membran dengan mengikat
kation-kation pada dinding sel bakteri (Stratford 2000).
Laporan lain menyatakan bahwa mekanisme penghambatan pada pH
rendah disebabkan pada kondisi tersebut sel mempertahankan pH konstan di
dalam sel. Jika pH diturunkan maka proton yang terdapat dalam jumlah tinggi
dalam medium akan masuk ke dalam sitoplasma sel. Proton (ion H+) dari asam
masuk dalam sel melalui gradien proton trans membran. Hal ini menyebabkan pH
sitoplasma menurun. Penurunan pH sitoplasma menyebabkan enzim-enzim akan
bekerja untuk mengembalikan pH internal sel menjadi pH normal. Proton ini
harus dikeluarkan untuk mencegah terjadinya pengasaman dan denaturasi
komponen-komponen sel. Aktivitas mengembalikan pH internal sel menjadi pH
normal menggunakan banyak energi. Bila energi yang dibutuhkan dalam jumlah
tinggi, akan mengganggu metabolisme sel sehingga lama kelamaan sel akan
mengalami kematian (Fardiaz 1992).
Senyawa fenolik yang terdapat dalam ekstrak tumbuhan semakin efektif
pada pH rendah. Struktur gugus hidroksil senyawa fenolik memegang peranan
penting dalam aktivitas antimikroba karena pada pH rendah terjadi alkilasi dan
hidroksilasi sehingga akan meningkatkan distribusi gugus fenol pada fase air dan
fase lipid pada membran sel bakteri (Dorman & Deans 2000; Puupponen-Pimia
2001).
Gambar 18 menunjukkan hasil dari uji stabilitas ekstrak. Secara umum
pemanasan suhu 80ºC selama 20 menit tidak berpengaruh pada aktivitas ekstrak
etanol lumut terhadap S. aureus, S. Typhimurium ATCC 14028 dan P.
aeruginosa. Khusus pada pemanasan suhu 100ºC selama 20 menit terjadi
penurunan aktivitas ekstrak hanya terhadap S. Typhimurium ATCC 14028, hal ini
karena telah terjadi kerusakan sebagian besar komponen senyawa antimikroba
pada ekstrak akibat pemanasan tinggi tetapi hal ini tidak terjadi pada S. aureus
dan P. aeruginosa. Suhu pemanasan yang tinggi dan lamanya waktu pemanasan
sangat mempengaruhi stabilitas senyawa antimikroba. Branen (1993) menyatakan
bahwa senyawa antimikroba yang bersifat volatil akan menguap dan hilang jika
dipanaskan.
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
Gambar 18 Aktivitas antimikroba ekstrak etanol lumut konsentrasi 10
mg/ml setelah dipanaskan pada suhu 80ºC dan 100ºC selama
20 menit terhadap S. aureus, S. Typhimurium ATCC 14028
dan P. aeruginosa, dengan suhu 37ºC sebagai kontrol.
Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 9 untuk melihat penurunan
jumlah bakteri S. aureus terhadap aktivitas ekstrak lumut yang telah mengalami
perlakuan pemanasan pada suhu 80ºC dan 100ºC selama 20 menit menunjukkan
berbeda secara nyata pada taraf uji p = 0,05. Dari tabel uji lanjut Duncan untuk
suhu diketahui bahwa suhu 80ºC tidak berbeda nyata terhadap suhu 100ºC. Pada
hasil analisis sidik ragam penurunan jumlah bakteri S. Typhimurium ATCC 14028
(Lampiran 10) terhadap aktivitas ekstrak lumut yang telah mengalami perlakuan
pemanasan pada suhu 80ºC dan 100ºC selama 20 menit menunjukkan berbeda
secara nyata pada taraf uji p = 0,05.
Dari tabel uji lanjut Duncan untuk suhu diketahui bahwa suhu 80ºC
berbeda nyata terhadap suhu 100ºC. Sedangkan data hasil analisis sidik ragam
(Lampiran 11) untuk melihat penurunan jumlah bakteri P. aeruginosa terhadap
aktivitas ekstrak lumut yang telah mengalami perlakuan pemanasan pada suhu
80ºC dan 100ºC selama 20 menit menunjukkan berbeda secara nyata pada taraf uji
p = 0,05. Data tabel uji lanjut Duncan untuk suhu diketahui bahwa suhu 80ºC
tidak berbeda nyata terhadap suhu 100ºC.
Ewald (1999) menyatakan bahwa aktivitas antibakteri kuersetin dan
kaemferol dari golongan flavonoid menurun sebesar 48% dan 68% dengan adanya
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
pemanasan pada suhu 60°C selama 2 jam. Hal ini berbeda pada antibakteri nisin
yang tidak kehilangan aktivitasnya setelah pemanasan dengan otoklaf pada suhu
121ºC (Hurst & Hoover 1993).
Create PDF files without this message by purchasing novaPDF printer (http://www.novapdf.com)
Download