5 BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Remaja Remaja (adolescence) merupakan masa transisi anak ke dewasa. Selama remaja terjadi perubahan hormonal sehingga mengalami percepatan proses pertumbuhan (WHO, 2015). Perubahan fisik yang terjadi saat remaja meliputi pertambahan berat badan dan tinggi badan, perubahan komposisi tubuh, perubahan organ reproduksi dan pertambahan berat tulang (Brown dan Judith, 2005). Selain perubahan fisik remaja juga mengalami perubahan emosional, kehidupan sosial dan kognitif (Brown dan Judith, 2005). Masa remaja dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu masa remaja awal (10-14 tahun), tengah (15-16 tahun), dan akhir (17-20 tahun) (Soetjiningsih, 2007). a. Kebutuhan gizi remaja Gizi memainkan peran penting dalam tumbuh kembang remaja. Ketidakseimbangan antara makanan yang dikonsumsi dengan kebutuhan pada remaja akan menimbulkan masalah gizi kurang maupun gizi lebih (Sharon et al., 2006). Kekurangan gizi pada remaja akan mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh terhadap penyakit, meningkatkan angka penyakit (morbiditas), mengalami pertumbuhan tidak normal (pendek), tingkat kecerdasan rendah, dan terhambatnya organ reproduksi (Soekirman, 2003). Status gizi lebih pada remaja berdampak pada kesehatan ketika dewasa, seperti penyakit degeneratif dan tetap status gizi lebih pada masa dewasa (Nikmawati et al., 2009; Hadi, 2005). Beberapa penelitian membuktikan bahwa remaja yang mengalami salah gizi akan mengalami kelainan tumbuh kembang (Brown, 2005). Angka Kecukupan Gizi (AKG) remaja menurut Kemenkes RI tahun 2013, sebagai berikut : 6 Tabel 2.1. Angka Kecukupan Gizi Remaja Usia 16-18 Tahun Wanita Pria Energi (Kkal) 2125 2675 Karbohidrat (gr) 292 368 Protein (gr) 59 66 Lemak (gr) 71 89 Fe (mg) 26 15 Asam Folat (mcg) 400 400 Vitamin B12 (mcg) 2,4 2,4 Vitamin A (mcg) 600 600 Vitamin C (mg) Sumber : Kemenkes RI Tahun 2013 75 90 b. Perilaku dan kebiasaan makan remaja Fase remaja merupakan fase seseorang mulai mempunyai rasa ingin tahu terhadap makanan dan sudah mempunyai kemampuan lebih untuk mengkonsumsi makanan apapun yang disukai. Remaja cenderung mengikuti pola makan teman sebayanya dan jenis makanan sesuai perkembangan jaman. Asupan makanan pada remaja dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah faktor individu dan kondisi sosial lingkungan. Faktor individu yang banyak mempengaruhi adalah kondisi psikososial dan pengaruh biologi dari tubuh remaja yang sedang mengalami puncak pertumbuhan, serta pola hidup yang dijalani selama ini Faktor kondisi sosial lingkungan meliputi pola makan keluarga dan lingkungan tempat tinggal (Ryoo, 2011; Proverawati, 2010; Muwakhidah, 2008). 2. Status gizi lebih a. Definisi dan Klasifikasi Gizi lebih merupakan suatu kondisi seseorang yang mengalami keseimbangan energi positif, yaitu asupan energi lebih besar dibandingkan pengeluaran energi yang terjadi dalam waktu lama (Kemenkes RI, 2013; Brown dan Judith, 2005). Status gizi lebih meliputi overweight dan obesitas. Status gizi lebih merupakan kondisi 7 ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi lemak dan jaringan adiposa, hal ini disebabkan oleh dua faktor yaitu adanya peningkatan asupan dan penurunan pengeluaran energi (WHO, 2013; Mustamin, 2010; Sugiarti et al., 2009). Status gizi lebih akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia (Myung, 2007). Status gizi lebih pada masa anak-anak akan berdampak terjadinya obesitas pada masa remaja sampai dewasa, sehingga melalui proses fisiologi dan patologi akan menigkatkan morbiditas dan mortalitas pada saat dewasa (Bastien et al., 2014; Nickelson et al., 2014; Raj, 2012). Indeks massa tubuh (IMT) merupakan indeks yang direkomendasikan secara internasional oleh WHO sebagai indikator penentuan overweight dan obesitas pada anak dan remaja (Gibson dan Rosalind, 2005). Status gizi remaja dapat diidentifikasi dengan Z skor IMT/U dalam SD karena usia < 18 tahun masuk dalam kategori anakanak. perhitungan ini dianggap sesuai karena disesuaikan dengan berat badan, tinggi badan, umur dan jenis kelamin yang dimiliki sehingga lebih akurat menggambarkan kondisi remaja (WHO, 2013). Tabel IMT/U remaja usia 15–18 tahun berdasarkan Z skor IMT/U dalam (kg/m2), yaitu: Tabel. 2.2 Status Gizi Remaja berdasarkan Z skor IMT/U Status Gizi 15 tahun 16 tahun 17 tahun 18 tahun (kg/m2) (kg/m2) (kg/m2) (kg/m2) >28,9 >29,4 >29,5 >23,6 >24,1 >24,6 >24,8 17,8-23,6 18,2-24,1 18,4-24,6 18,6-24,8 Kurus <15,9 <16,2 <16,4 <16,5 Sangat kurus <14,4 <14,6 <14,7 <14,7 Obesitas Overweight Normal >28,3 Sumber : Kemenkes RI, 2010 b. Etiologi Status gizi lebih disebabkan oleh interaksi antara faktor 8 eksternal dan faktor internal. Suatu penelitian menunjukkan bahwa status gizi lebih disebabkan kurang lebih 70% dipengaruhi oleh faktor eksternal dan kurang lebih 30% oleh faktor internal (Hill, 2006). Penelitian terbaru menyebutkan bahwa metilasi gen-spesifik DNA dalam darah yang berperan penting dalam penyebab terjadinya status gizi lebih (Su et al., 2014; Dick et al., 2014; Carless et al., 2013; Milagro et al., 2012; Relton et al., 2012; Wang et al., 2010). Faktor-faktor penyebab gizi lebih, antara lain: 1) Asupan makanan Asupan karbohidrat, protein dan lemak berlebih, maka karbohidrat akan disimpan sebagai glikogen dalam jumlah terbatas dan sisanya lemak, protein akan dibentuk sebagai protein tubuh dan sisanya lemak, sedangkan lemak akan disimpan sebagai lemak (Gee et al., 2008). Menurut hasil penelitian Wira (2012) menunjukkan bahwa asupan protein yang berlebih pada remaja maka remaja tersebut akan mangalami status gizi lebih. Penelitian ini sejalan dengan Dwi (2015) asupan protein nabati dan hewani berhubungan signifikan dengan IMT. 2) Pola makan Pola makan adalah perilaku makan yang dilakukan seseorang berulang kali hingga menjadi sebuah kebiasaan dalam waktu yang lama. Kebiasaan makan adalah tingkah laku seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan (Handayani, 2004). Pola makan masyarakat Indonesia mengalami pergeseran, yaitu pola makan tradisional yang tadinya tinggi karbohidrat, tinggi serat kasar dan rendah lemak berubah ke pola makan baru yang rendah karbohidrat, rendah serat kasar, tinggi protein dan tinggi lemak, sehingga menggeser mutu makanan ke arah yang tidak seimbang (Almatsier, 2004). 3) Aktivitas fisik Aktivitas fisik didefinisikan sebagai setiap gerakan tubuh 9 yang meningkatkan pengeluaran tenaga dan energi atau pembakaran kalori (Kemenkes, 2013). Departemen kesehatan menganjurkan remaja untuk melakukan latihan fisik 3-5 kali dalam seminggu dengan durasi minimal 20-60 menit, anjuran ini dapat mengendalikan berat badan sehingga menurunkan risiko status gizi lebih (Kemenkes, 2013). Aktivitas fisik merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kebutuhan energi, sehingga apabila aktivitas fisik rendah maka kemungkinan terjadinya status gizi lebih akan meningkat karena kurangnya pembakaran lemak dan sedikitnya energi yang dikeluarkan (Nugraha, 2009; Mustofa, 2010). Menurut Kopelman et al. (2005) aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar ≥ 5 kg. 4) Faktor genetik Bentuk badan seseorang gemuk atau kurus sesungguhnya tergantung pada faktor DNA. Sel penyebab kegemukan sudah ada pada diri manusia sejak awal kelahiran bayi dan sel tersebut akan bertambah seiring dengan bertambahnya usia yang akan terus mengadakan interaksi sampai usia lanjut (Sitorus, 2008). Terdapat beberapa sindrom genetik yang dapat menyebabkan status gizi lebih seperti Prader - Willi , Turne, dan Lawrence - MoonBiedl sindrom (Peebles, 2008). c. Jaringan adiposa Jaringan adiposa mempunyai peranan multifungsi dalam tubuh manusia. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa jaringan adiposa mempunyai peranan dalam metabolisme dan cadangan energi serta pertumbuhan dan respon hubungan antara endokrin dan neuronal (Greenberg dan Obin, 2006). Jaringan adiposa mengeluarkan zat yang disebut adipositokin yang memiliki efek terhadap status gizi lebih, diabetes melitus dan penyakit kardiovaskuler (Ahima dan Flier, 2000). Jaringan adiposa menghasilkan hormon antara lain leptin, resistin, adipolektin, tumor necroting factor-alfa (TNF-alfa) dan IL-6 (Greenberg dan Obin, 2006). 10 Kondisi status gizi lebih dipicu oleh White Adipose Tissue (WAT), WAT akan membentuk simpanan lemak yang tidak aktif (Roth et al., 2011). Penelitian terbaru menyebutkan bahwa WAT adalah faktor aktif pada metabolisme yang dihubungkan dengan produksi sitokin proinflamasi, seperti TNF alfa, IL-1, IL-6 dan C-reactive Protein (Shi et al., 2014; Roth et al., 2011; Genest, 2010; Petersen dan Pedersen, 2005). 3. Asupan Makanan a. Asupan gizi Asupan makanan pada remaja sangat berperan penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan serta pemeliharaan tubuh, karena dalam asupan makanan yang baik tersebut mengandung makanan sumber energi, sumber zat pengembang, sumber zat pembangun dan sumber zat pengatur (Sjarif, 2011; Sulistyoningsih, 2011; Almatsier et al., 2011; Toschke et al., 2005). Asupan gizi seimbang sangat berperan dalam tumbuh kembang anak mulai dari dalam kandungan, balita, anak usia sekolah, remaja bahkan sampai dewasa (Almatsier, 2004). Asupan makanan yang baik perlu dibentuk sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan gizi dan asupan makanan yang tidak baik akan menyebabkan asupan berlebih ataupun berkurang (Sjarif, 2011; Sulistyoningsih, 2011; Almatsier et al., 2011; Toschke et al., 2005). Asupan berlebih menyebabkan kelebihan berat badan dan penyakit lain yang disebabkan oleh kelebihan gizi (Toschke et al., 2005; Sjarif, 2011; Sulistyoningsih, 2011; Almatsier et al., 2011). Beberapa penelitian menyebutkan terjadi peningkatan konsumsi karbohidrat dan lemak secara global khusunya di negara berkembang seperti Asia. Penelitian Washi et al (2010) menunjukkan bahwa pada 44,6% dari jumlah total remaja yang menjadi subjek penelitian termasuk dalam kategori overweight, asupan energi yaitu 56,6% berasal dari karbohidrat, 30,5% berasal dari lemak dan 13,0% berasal dari protein. 11 b. Protein Protein merupakan zat gizi yang sangat penting, karena protein berhubungan dengan proses-proses dalam tubuh. Protein berfungsi untuk membentuk jaringan baru dalam masa pertumbuhan dan perkembangan, memelihara, memperbaiki dan mengganti jaringan yang rusak dan sebagai cadangan energi bila tubuh kekurangan lemak dan karbohidrat. Protein dibentuk oleh unsur karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O) dan nitrogen (N). Unit pembangun semua jenis protein adalah asam amino (AA). Berbagai jenis asam amino membangun sel dan jaringan tubuh yang spesifik, seperti hemoglobin dalam sel darah merah, kolagen terletak dalam jaringan ikat, miosin dalam jaringan otot, sel enzim dan hormon insulin (Sudiarti, 2007). Protein merupakan kompenen yang penting dari tubuh dan diperlukan untuk struktur tubuh dan beberapa fungsi tubuh. Kebutuhan protein bagi tubuh adalah 10-15% dari total energi dengan proporsi asupan protein nabati adalah 60-80% kebutuhan protein dan protein hewani 20-40% kebutuhan protein (Rolfes, 2009; Djaelani, 2000). Protein hewani berasal dari hewan, seperti daging merah, daging putih, ikan dan hasil laut. Protein nabati terdapat pada kacangkacangan, tempe, tahu dan hasil olahannya. Jenis protein berhubungan dengan status gizi lebih. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa protein hewani menjadi jenis protein yang paling banyak dikonsumsi remaja (Yi et al., 2015). Kandungan AA arginin, histidin dan leusin yang terdapat dalam protein hewani dapat meningkatkan sekresi insulin dan berkaitan dengan metabolisme lemak (Deborah et al., 2011). Asupan protein yang berlebih, maka asam amino dalam tubuh akan mengalami deaminasi. Melalui reaksi biokimia, protein yang tidak digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan atau pemeliharaan jaringan tubuh akan diubah menjadi asam lemak dan disimpan sebagai cadangan lemak. Sisa-sisa ikatan karbon akan diubah menjadi asetil-KoA yang dapat disintesis menjadi trigliserida 12 melalui proses lipogenesis dan disimpan dalam tubuh. Kelebihan asupan protein dalam tubuh dapat menyebabkan kenaikan jaringan lemak yang akhirnya menyebabkan status gizi lebih (Almatsier, 2004; Brosnan et al., 2011). Penelitian Dwi (2015) menunjukkan bahwa asupan protein total, protein hewani dan protein nabati memiliki hubungan signifikan dengan IMT. 4. Interleukin-6 (IL-6) a. Definisi Interleukin-6 (IL-6) adalah sitokin yang diproduksi oleh banyak tipe sel, meliputi activated mononuclear phagocytes, sel endotelial dan fibroblas ( David et al., 2006; Abbas dan Lichtman, 2005; John, 2000). Sumber utama IL-6 adalah makrofag, sel T dan sel endotelial, target seluler. Efek biologi IL-6 adalah aktivasi limfosit T, stimulasi sintesis protein pada fase akut (liver) dan proliferasi / meningkatkan produksi dari antibodi yang merupakan sel produksi antibodi (sel B) (John, 2000; Abbas dan Lichtman, 2005; David et al., 2006). IL-6 berfungsi sebagai sistem imun alamiah (innate imun) dan sistem imun didapat (adaptive imun). Fungsi IL-6 pada sistem imun yaitu menstimulasi sintesis dari acute phase proteins by hepatocytes dan the growth of antibodyproducing B lymphocytes (John, 2000; Abbas dan Lichtman, 2005; David et al., 2006). Aksi IL-6 terhadap sel meliputi, sel B, Sel T, NK cell growth, proinflamasi (David et al., 2006; Abbas dan Lichtman, 2005; John, 2000). b. Hubungan interleukin-6 dan status gizi lebih dan anemia Status gizi lebih adalah suatu keadaan yang dihubungkan dengan inflamasi kronis derajat ringan (Carolan et al., 2014). Sitokin proinflamasi yang berperan pada keadaan status gizi lebih diantaranya IL-1, IL-6 dan TNF alfa (Kishimoto, 2003; Abbas dan Lichman, 2005). IL-6 adalah sitokin yang dihasilkan oleh sel lemak yang diakibatkan oleh peningkatan jumlah dan ukuran sel lemak (Kershaw dan Jeffrey, 2004; Miner, 2004). IL-6 yang meningkat dalam darah akan 13 meningkatkan sintesis dan sekresi hepsidin oleh hati, sehingga terjadi gangguan metabolisme besi di intestinum, hal tersebut menyebabkan sumber besi untuk sumsum tulang berkurang sehingga proses eritropoesis terhambat (Karien et al., 2008). Gangguan metabolisme besi akan mengakibatkan resitensi eritropoetin sehingga tertjadi gangguan eritropoesis. Sintesis dan sekresi hepsidin akan mempengaruhi sel progenitor eritroit sehingga akan terjadi resistensi eritropoetin. Peningkatan sintesis dan sekresi IL6 secara langsung juga bisa mengakibatkan resistensi eritropoetin (Karien et al., 2008). Resistensi eritropoetin akan mengakibatkan gangguan eritropoesis di sumsum tulang sehingga terjadi penurunan kadar hemoglobin yang akan berakibat terjadinya anemia (Karien et al., 2008; Weiss dan Goodnough, 2005). Berdasarkan penelitian Kyung et al. (2015) menyebutkan bahwa metilasi DNA dari promotor gen IL6 berperan penting pada etiologi dan patogenesis dari overweight dan obesitas. Metilasi IL-6 dapat digunakan sebagai biomarker molekuler penentuan risiko obesitas. Penelitian Pamela et al. (2015) menyebutkan bahwa polimorfisme IL-6 pada rs2069845 berhubungan dengan patogenesis obesitas. Kadar hemoglobin berhubungan dengan konsentrasi berbagai marker inflamasi kronik. Kadar hemoglobin terendah berada pada konsentrasi tertinggi marker inflamasi, yaitu sitokin proinflamasi (IL6,IL-1, TNF alfa) dan CRP. Tetapi dengan analisa statistik didapatkan kesimpulan hanya IL-6 yang menjadi faktor independen yang menentukan kadar hemoglobin (Maccio et al., 2005; Van der Zee et al., 2005; Testa et al., 1995). Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, sebagian besar peneliti menyimpulkan peningkatan sitokin proinflamasi dalam darah akan menghambat proses eritropoesis di sumsum tulang sehingga terjadi penurunan produksi hemoglobin dan mengakibatkan anemia. 14 5. Anemia pada Remaja a. Definisi Anemia didefinisikan sebagai rendahnya kadar hemoglobin (Hb) dalam darah sesuai batas yang direkomendasikan (WHO, 2007). Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan dengan penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count) (Bakta, 2009). b. Klasifikasi Rujukan cut-off anemia balita 6-59 bulan adalah kadar hemoglobin dibawah 11,0 g/dl. Anak usia sekolah 5-12 tahun dianggap anemia bila kadar hemoglobinnya < 11,5 g/dl. Sementara itu, laki-laki berusia > 15 tahun dianggap mengalami anemia bila kadar hemoglobin < 13 g/dl dan wanita usia > 15 tahun tidak hamil mengalami anemia bila kadar hemoglobin < 12 g/dl. Wanita hamil dianggap anemia jika hemoglobin < 11 gr/dl (WHO, 2011). c. Jenis Anemia Menurut Brugara et al (2009) anemia dapat diklasifikasikan menjadi 2 kategori, yaitu: 1. Karena gangguan produksi sel darah merah, terdiri dari: anemia defisiensi besi, anemia karena penyakit kronik dan endokrin, anemia myelophistic), anamia aplastik dan anemia sideroblastik. 2. Anemia karena destruksi eritrosit yang sangat cepat atau hilangnya darah yang berlebih, terdiri atas :anamia krarena perdarahan dan anemia hemolitik. Menurut Hoffbrand (2006) anemia dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis anemia, yaitu: 1. Anemia normositik normokrom Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena perdarahan akut, hemolisis dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada 15 sumsum tulang. Pada anemia ini didapatkan indeks eritrosit: MCV 73-101 fl, MCH 23-31 pg, MCHC 26-35%. 2. Anemia makrositik hiperkrom Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih benar dari normal dan hiperkrom karena konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal. Pada anemia ini didapatkan indeks eritrosit: MCV > 101 fl, MCH > 31 pg, MCHC > 35%. Anemia ini ditemukan pada anemia megaloblastik (defisiensi vitamin B12 dan asam folat), serta anemia makrositik nonmegaloblastik (penyakit hati dan mielodisplasia). 3. Anemia mikrositik hipokromik Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal. Pada anemia ini didapatkan indeks eritrosit: MCV <73 fl, MCH < 23 pg, MCHC 26-35%. d. Hemoglobin 1. Definisi Hemoglobin merupakan protein yang berfungsi untuk membawa oksigen (O2) di tubuh manusia dari paru-paru menuju seluruh jaringan di tubuh. Hemoglobin terdiri atas kelompok heme, besi (sebagai atom pusat) dan AA (Casiday dan Frey, 2007). 2. Struktur Hemoglobin merupakan struktur tetramer yang terdiri dari empat rantai polipeptida, yaitu 2 rantai alfa (141 asam amino rantai panjang), dan 2 rantai beta (146 asam amino rantai panjang) (Bunn dan Nagel, 2009). Protein ini terdiri dari empat sub unit, setiap sub unit memiliki satu ikatan polipeptida dan satu kelompok heme (Marengo-Rowe, 2006). Pada masing-masing kelompok heme, terdiri dari atom besi yang berfungsi untuk mengikat molekul oksigen (O2). Di dalam tubuh, besi dalam heme terikat dengan empat atom nitrogen dari porfirin dan juga atom residu dari asam amino 16 histidin dalam protein hemoglobin (Casiday dan Frey, 2007). 3. Pemeriksaan Kadar hemoglobin dapat diukur dengan berbagai macam cara, yaitu metode cyanmethemoglobin, HemoCue System dan metode sahli (WHO, 2011; Gandasoebrata, 2010). Menurut International Council for Standarization in Hematology (ICSH) menganjurkan pemeriksaan hemoglobin melalui metode cyanmethemoglobin. a. Metode Cyanmethemoglobin Metode cyanmethemoglobin merupakan metode yang dilakukan di laboratorium, sampai saat ini masih menjadi pilihan utama untuk menentukan kadar dari hemoglobin (WHO, 2011). Prinsip metode ini adalah darah diencerkan dengan larutan drabkin sehingga terjadi hemolisis eritrosit dan konversi hemoglobin menjadi hemoglobinsianida (cyanmethemoglobin). Larutan yang terbentuk selanjutnya diperiksa dengan spektrofotometer atau colorimeter, yang absorbsinya sebanding dengan kadar hemoglobin dalam darah (Chairlain dan Lestari, 2011). b. Metode Sahli Metode Sahli merupakan metode yang mengubah hemoglobin menjadi hematin asam kemudian warna yang terjadi dibandingkan secara visual dengan standar warna pada alat hemoglobinometer. Dalam penetapan kadar hemoglobin, metode sahli merupakan metode estimasi kadar hemoglobin hemoglobinometer yang tidak teliti, karena alat tidak dapat distandartkan dan perbandingan warna visual tidak teliti. Metode sahli dianggap kurang teliti karena karboksihemoglobin, methemoglobin dan sulfhemoglobin tidak dapat diubah menjadi hematin asam (Gandasoebrata, 2010). 17 c. HemoCue System HemoCue system merupakan metode yang biasa dilakukan pada survey lapangan. Dengan menggunakan alat yang sudah ada, maka tidak diperlukan penambahan reagen untuk menghitung nilai dari hemoglobin (WHO, 2011). HemoCue system membutuhkan waktu cepat dan sumber daya lebih sedikit dalam pemeriksaannya, serta kualitas baik dan sudah terakurasi. HemoCue system dapat digunakan sebagai panduan klinis dalam kondisi akut. Namun demikian, pemeriksaan laboratorium dengan menggunakan cyanmethemoglobin tetap menjadi standar baku karena lebih akurat dan presisi (Sanchis-Gomar et al., 2013). B. PENELITIAN YANG RELEVAN 1. Judul: Increased Metylation of Interleukin 6 Gene Is Associated with Obesity in Korean Woman. Oleh: Yeon Kyung Na, Hae Sook Hong, Won Kee Lee, Young Hun Kim, Dong Sun Kim (Tahun 2015). Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh obesitas pada status metylasi dari gen pada inflamasi dan stres oksidatif. Untuk menentukan level metylasi dari Glucose transport (GLUT 4), Interleukin-6 (IL-6), Tumor necroting factor (TNF-alfa), Mitocondrial transcription factor A (TFAM). Subyek Penelitian : 284 wanita sehat usia 16-60 tahun , Status gizi (IMT): Normal (IMT < 23 kg/m 2 ), overweight (23–30 kg/m 2) dan Obesitas (> 30 23 kg/m 2). Hasil: Metilasi DNA dari gen promotor IL-6 berperan penting pada etiologi dan patogenesis obesitas dan metilasi IL-6 dapat digunakan sebagai biomarker molekuler untuk menetukan risiko obesitas. 2. Judul: Association of IL-6 and CRP Gen Polymorphisms with Obesity and Metabolic Disorders in Children and Adolescents. Oleh: Pamela, F.T., Elisa, I.K., Michele, B.F., Cezane, P.R., Miria, S.B., 18 Lia, G.P., Andreia, R.M.V. (Tahun 2015). Tujuan: Untuk mengevaluasi bahwa polymorphisms IL-6 rs1800795, IL6 rs2069845 dan CRP rs1205 dihubungkan dengan perkembangan dari abnormalitas metabolik dan obesitas pada anak dan remaja di Brazil. Subyek Penelitian : 470 (anak usia 7-9 tahun dan remaja usia 10-17 tahun). Hasil: Polimorfisme IL-6 rs2069845 berhubungan dengan obesitas dan CRP rs1205 dihubungkan dengan risiko dari hiperkolesterolemia. 3. Judul: Common variants of IL-6, LEPR, and PBEF1 are Associated with Obesity in Indian Children. Oleh: Rubina T, Yuvaraj M, Om Prakash D, Ganesh C, Saurabh G, Raman K.M, Nikhil T, Dwaipayan B (Tahun 2012). Tujuan: Untuk mengetahui variasi gen enkoding adipokins dan marker inflamasi untuk dihubngkan dengan overweight dan obesitas, marker adiposit dan inflamsi pada anak di India. Subyek Penelitian: 3.168 anak (anak usia 11-17 tahun dengan IMT Normal-Weight dan overweight/obese ). Hasil: Ada hubungan antara variasi dari IL-6, LEPR dan PBEF1 dengan obesitas pada anak di India. 4. Judul: Hubungan Asupan Protein dengan Obesitas pada Remaja Oleh: Beti Dwi Suryandari (Tahun 2012). Tujuan: Mengetahui hubungan asupan protein dengan obesitas pada remaja. Subjek Penelitian: 49 remaja (usia 12-14 tahun). Hasil: Asupan protein total, protein hewani, protein nabati berhubungan signifikan dengan IMT. 5. Judul: Faktor Risiko Obesitas pada Anak 5-15 Tahun di Indonesia. Oleh: Ratu Ayu Dewi Sartika (Tahun 2011). Tujuan: Mengetahui faktor risiko obesitas pada anak usia 5-15 tahun. Subjek Penelitian: 170.699 anak usia 5-15 tahun. Hasil: Faktor risiko obesitas pada anak adalah jenis kelamin, riwayat 19 obesitas ayah, kebiasaan olahraga dan merokok serta asupan protein. 6. Judul: Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Anemia pada Remaja Putri. Oleh: Dea Indartanti, Apoina Kartini (Tahun 2014). Tujuan: Mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian anemia pada remaja usia 12-14 tahun. Subjek Penelitian: 90 remaja putri usia 12-14 tahun. Hasil: Tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian anemia pada remaja putri. 7. Judul: Hubungan antara Asupan Protein dan Zat Besi dengan Kadar Hemoglobin Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Angkatan 2013 FK Universitas Sam Ratulangi. Oleh: Shanon G Matayane, Alexander S.L Bolang, Shirley E.S Kawengian (Tahun 2014). Tujuan : Mengetahui hubungan antara asupan protein dan zat besi dengan kadar hemoglobin mahasiswa program studi pendidikan dokter angkatan 2013 FK Universitas Sam Ratulangi. Subjek Penelitian : 75 mahsiswa. Hasil : Tidak terdapat hubungan asupan protein dan zat besi dengan kadar hemoglobin pada mahasiswa progdi pendidikan dokter angkatan 2013 FK Universitas Sam Ratulangi. 20 C. KERANGKA BERPIKIR Remaja Faktor Internal: Genetik Aktivitas fisik Pola makan Remaja dengan Status gizi lebih Faktor Eksternal: Asupan protein Inflamasi kronis Interleukin-6 (IL-6) ↑ Hepsidin ↑ Sel progenitor eritroit Resistensi eritropoetin Gangguan metabolisme besi Eritropoesis ↓ Eritrosit ↓ Hemoglobin ↓ Anemia Gambar. 2.1 Kerangka Berpikir Keterangan : :Variabel yang diteliti :Variabel yang tidak diteliti ↑ : Meningkat : Memacu ↓ : Menurun 21 D. HIPOTESIS 1. Ada hubungan asupan protein dengan kadar hemoglobin pada remaja putri status gizi lebih. 2. Ada hubungan kadar IL-6 dengan kadar hemoglobin pada remaja putri status gizi lebih.