5 BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Remaja

advertisement
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Remaja
Remaja (adolescence) merupakan masa transisi anak ke dewasa.
Selama remaja terjadi perubahan hormonal sehingga mengalami
percepatan proses pertumbuhan (WHO, 2015). Perubahan fisik yang
terjadi saat remaja meliputi pertambahan berat badan dan tinggi badan,
perubahan komposisi tubuh, perubahan organ reproduksi dan pertambahan
berat tulang (Brown dan Judith, 2005). Selain perubahan fisik remaja juga
mengalami perubahan emosional, kehidupan sosial dan kognitif (Brown
dan Judith, 2005). Masa remaja dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu masa
remaja awal (10-14 tahun), tengah (15-16 tahun), dan akhir (17-20 tahun)
(Soetjiningsih, 2007).
a. Kebutuhan gizi remaja
Gizi memainkan peran penting dalam tumbuh kembang remaja.
Ketidakseimbangan
antara
makanan
yang
dikonsumsi
dengan
kebutuhan pada remaja akan menimbulkan masalah gizi kurang maupun
gizi lebih (Sharon et al., 2006). Kekurangan gizi pada remaja akan
mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh terhadap penyakit,
meningkatkan angka penyakit (morbiditas), mengalami pertumbuhan
tidak normal (pendek), tingkat kecerdasan rendah, dan terhambatnya
organ reproduksi (Soekirman, 2003). Status gizi lebih pada remaja
berdampak pada kesehatan ketika dewasa, seperti penyakit degeneratif
dan tetap status gizi lebih pada masa dewasa (Nikmawati et al., 2009;
Hadi, 2005). Beberapa penelitian membuktikan bahwa remaja yang
mengalami salah gizi akan mengalami kelainan tumbuh kembang
(Brown, 2005).
Angka Kecukupan Gizi (AKG) remaja menurut Kemenkes RI
tahun 2013, sebagai berikut :
6
Tabel 2.1. Angka Kecukupan Gizi Remaja Usia 16-18 Tahun
Wanita
Pria
Energi (Kkal)
2125
2675
Karbohidrat (gr)
292
368
Protein (gr)
59
66
Lemak (gr)
71
89
Fe (mg)
26
15
Asam Folat (mcg)
400
400
Vitamin B12 (mcg)
2,4
2,4
Vitamin A (mcg)
600
600
Vitamin C (mg)
Sumber : Kemenkes RI Tahun 2013
75
90
b. Perilaku dan kebiasaan makan remaja
Fase remaja merupakan fase seseorang mulai mempunyai rasa
ingin tahu terhadap makanan dan sudah mempunyai kemampuan lebih
untuk mengkonsumsi makanan apapun yang disukai. Remaja cenderung
mengikuti pola makan teman sebayanya dan jenis makanan sesuai
perkembangan jaman. Asupan makanan pada remaja dipengaruhi oleh
banyak faktor, diantaranya adalah faktor individu dan kondisi sosial
lingkungan. Faktor individu yang banyak mempengaruhi adalah kondisi
psikososial dan pengaruh biologi dari tubuh remaja yang sedang
mengalami puncak pertumbuhan, serta pola hidup yang dijalani selama
ini Faktor kondisi sosial lingkungan meliputi pola makan keluarga dan
lingkungan
tempat
tinggal
(Ryoo,
2011;
Proverawati,
2010;
Muwakhidah, 2008).
2. Status gizi lebih
a. Definisi dan Klasifikasi
Gizi lebih merupakan suatu kondisi seseorang yang mengalami
keseimbangan energi positif, yaitu asupan energi lebih besar
dibandingkan pengeluaran energi yang terjadi dalam waktu lama
(Kemenkes RI, 2013; Brown dan Judith, 2005). Status gizi lebih
meliputi overweight dan obesitas. Status gizi lebih merupakan kondisi
7
ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi lemak dan jaringan adiposa,
hal ini disebabkan oleh dua faktor yaitu adanya peningkatan asupan dan
penurunan pengeluaran energi (WHO, 2013; Mustamin, 2010; Sugiarti
et al., 2009).
Status gizi lebih akan meningkat seiring dengan bertambahnya
usia (Myung, 2007). Status gizi lebih pada masa anak-anak akan
berdampak terjadinya obesitas pada masa remaja sampai dewasa,
sehingga melalui proses fisiologi dan patologi akan menigkatkan
morbiditas dan mortalitas pada saat dewasa (Bastien et al., 2014;
Nickelson et al., 2014; Raj, 2012).
Indeks
massa
tubuh
(IMT)
merupakan
indeks
yang
direkomendasikan secara internasional oleh WHO sebagai indikator
penentuan overweight dan obesitas pada anak dan remaja (Gibson dan
Rosalind, 2005). Status gizi remaja dapat diidentifikasi dengan Z skor
IMT/U dalam SD karena usia < 18 tahun masuk dalam kategori anakanak. perhitungan ini dianggap sesuai karena disesuaikan dengan berat
badan, tinggi badan, umur dan jenis kelamin yang dimiliki sehingga
lebih akurat menggambarkan kondisi remaja (WHO, 2013).
Tabel IMT/U remaja usia 15–18 tahun berdasarkan Z skor
IMT/U dalam (kg/m2), yaitu:
Tabel. 2.2 Status Gizi Remaja berdasarkan Z skor IMT/U
Status Gizi
15 tahun
16 tahun
17 tahun
18 tahun
(kg/m2)
(kg/m2)
(kg/m2)
(kg/m2)
>28,9
>29,4
>29,5
>23,6
>24,1
>24,6
>24,8
17,8-23,6
18,2-24,1
18,4-24,6
18,6-24,8
Kurus
<15,9
<16,2
<16,4
<16,5
Sangat kurus
<14,4
<14,6
<14,7
<14,7
Obesitas
Overweight
Normal
>28,3
Sumber : Kemenkes RI, 2010
b. Etiologi
Status gizi lebih disebabkan oleh interaksi antara faktor
8
eksternal dan faktor internal. Suatu penelitian menunjukkan bahwa
status gizi lebih disebabkan kurang lebih 70% dipengaruhi oleh faktor
eksternal dan kurang lebih 30% oleh faktor internal (Hill, 2006).
Penelitian terbaru menyebutkan bahwa metilasi gen-spesifik DNA
dalam darah yang berperan penting dalam penyebab terjadinya status
gizi lebih (Su et al., 2014; Dick et al., 2014; Carless et al., 2013;
Milagro et al., 2012; Relton et al., 2012; Wang et al., 2010).
Faktor-faktor penyebab gizi lebih, antara lain:
1) Asupan makanan
Asupan karbohidrat, protein dan lemak berlebih, maka
karbohidrat akan disimpan sebagai glikogen dalam jumlah terbatas
dan sisanya lemak, protein akan dibentuk sebagai protein tubuh dan
sisanya lemak, sedangkan lemak akan disimpan sebagai lemak (Gee
et al., 2008). Menurut hasil penelitian Wira (2012) menunjukkan
bahwa asupan protein yang berlebih pada remaja maka remaja
tersebut akan mangalami status gizi lebih. Penelitian ini sejalan
dengan Dwi (2015) asupan protein nabati dan hewani berhubungan
signifikan dengan IMT.
2) Pola makan
Pola makan adalah perilaku makan yang dilakukan
seseorang berulang kali hingga menjadi sebuah kebiasaan dalam
waktu yang lama. Kebiasaan makan adalah tingkah laku seseorang
atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan makan yang
meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan (Handayani,
2004). Pola makan masyarakat Indonesia mengalami pergeseran,
yaitu pola makan tradisional yang tadinya tinggi karbohidrat, tinggi
serat kasar dan rendah lemak berubah ke pola makan baru yang
rendah karbohidrat, rendah serat kasar, tinggi protein dan tinggi
lemak, sehingga menggeser mutu makanan ke arah yang tidak
seimbang (Almatsier, 2004).
3) Aktivitas fisik
Aktivitas fisik didefinisikan sebagai setiap gerakan tubuh
9
yang meningkatkan pengeluaran tenaga dan energi atau pembakaran
kalori (Kemenkes, 2013). Departemen kesehatan menganjurkan
remaja untuk melakukan latihan fisik 3-5 kali dalam seminggu
dengan
durasi
minimal
20-60
menit,
anjuran
ini
dapat
mengendalikan berat badan sehingga menurunkan risiko status gizi
lebih (Kemenkes, 2013). Aktivitas fisik merupakan salah satu faktor
yang dapat meningkatkan kebutuhan energi, sehingga apabila
aktivitas fisik rendah maka kemungkinan terjadinya status gizi lebih
akan meningkat karena kurangnya pembakaran lemak dan
sedikitnya energi yang dikeluarkan (Nugraha, 2009; Mustofa,
2010). Menurut Kopelman et al. (2005) aktivitas fisik yang rendah
mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar ≥ 5 kg.
4) Faktor genetik
Bentuk badan seseorang gemuk atau kurus sesungguhnya
tergantung pada faktor DNA. Sel penyebab kegemukan sudah ada
pada diri manusia sejak awal kelahiran bayi dan sel tersebut akan
bertambah seiring dengan bertambahnya usia yang akan terus
mengadakan interaksi sampai usia lanjut (Sitorus, 2008). Terdapat
beberapa sindrom genetik yang dapat menyebabkan status gizi
lebih seperti Prader - Willi , Turne, dan Lawrence - MoonBiedl
sindrom (Peebles, 2008).
c. Jaringan adiposa
Jaringan adiposa mempunyai peranan multifungsi dalam tubuh
manusia. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa jaringan adiposa
mempunyai peranan dalam metabolisme dan cadangan energi serta
pertumbuhan dan respon hubungan antara endokrin dan neuronal
(Greenberg dan Obin, 2006).
Jaringan adiposa mengeluarkan zat yang disebut adipositokin
yang memiliki efek terhadap status gizi lebih, diabetes melitus dan
penyakit kardiovaskuler (Ahima dan Flier, 2000). Jaringan adiposa
menghasilkan hormon antara lain leptin, resistin, adipolektin, tumor
necroting factor-alfa (TNF-alfa) dan IL-6 (Greenberg dan Obin, 2006).
10
Kondisi status gizi lebih dipicu oleh White Adipose Tissue
(WAT), WAT akan membentuk simpanan lemak yang tidak aktif (Roth et
al., 2011). Penelitian terbaru menyebutkan bahwa WAT adalah faktor
aktif pada metabolisme yang dihubungkan dengan produksi sitokin
proinflamasi, seperti TNF alfa, IL-1, IL-6 dan C-reactive Protein (Shi et
al., 2014; Roth et al., 2011; Genest, 2010; Petersen dan Pedersen, 2005).
3. Asupan Makanan
a. Asupan gizi
Asupan makanan pada remaja sangat berperan penting
dalam proses pertumbuhan dan perkembangan serta pemeliharaan
tubuh, karena dalam asupan makanan yang baik tersebut mengandung
makanan sumber energi, sumber zat pengembang, sumber zat
pembangun dan sumber zat pengatur (Sjarif, 2011; Sulistyoningsih,
2011; Almatsier et al., 2011; Toschke et al., 2005). Asupan gizi
seimbang sangat berperan dalam tumbuh kembang anak mulai dari
dalam kandungan, balita, anak usia sekolah, remaja bahkan sampai
dewasa (Almatsier, 2004).
Asupan makanan yang baik perlu dibentuk sebagai upaya
untuk memenuhi kebutuhan gizi dan asupan makanan yang tidak baik
akan menyebabkan asupan berlebih ataupun berkurang (Sjarif, 2011;
Sulistyoningsih, 2011; Almatsier et al., 2011; Toschke et al., 2005).
Asupan berlebih menyebabkan kelebihan berat badan dan penyakit
lain yang disebabkan oleh kelebihan gizi (Toschke et al., 2005; Sjarif,
2011; Sulistyoningsih, 2011; Almatsier et al., 2011).
Beberapa penelitian menyebutkan terjadi peningkatan
konsumsi karbohidrat dan lemak secara global khusunya di negara
berkembang seperti Asia. Penelitian Washi et al (2010) menunjukkan
bahwa pada 44,6% dari jumlah total remaja yang menjadi subjek
penelitian termasuk dalam kategori overweight, asupan energi yaitu
56,6% berasal dari karbohidrat, 30,5% berasal dari lemak dan 13,0%
berasal dari protein.
11
b. Protein
Protein merupakan zat gizi yang sangat penting, karena
protein berhubungan dengan proses-proses dalam tubuh. Protein
berfungsi untuk membentuk jaringan baru dalam masa pertumbuhan
dan perkembangan, memelihara, memperbaiki dan mengganti jaringan
yang rusak dan sebagai cadangan energi bila tubuh kekurangan lemak
dan karbohidrat. Protein dibentuk oleh unsur karbon (C), hidrogen
(H), oksigen (O) dan nitrogen (N). Unit pembangun semua jenis
protein adalah asam amino (AA). Berbagai jenis asam amino
membangun sel dan jaringan tubuh yang spesifik, seperti hemoglobin
dalam sel darah merah, kolagen terletak dalam jaringan ikat, miosin
dalam jaringan otot, sel enzim dan hormon insulin (Sudiarti, 2007).
Protein merupakan kompenen yang penting dari tubuh dan
diperlukan untuk struktur tubuh dan beberapa fungsi tubuh.
Kebutuhan protein bagi tubuh adalah 10-15% dari total energi dengan
proporsi asupan protein nabati adalah 60-80% kebutuhan protein dan
protein hewani 20-40% kebutuhan protein (Rolfes, 2009; Djaelani,
2000). Protein hewani berasal dari hewan, seperti daging merah,
daging putih, ikan dan hasil laut. Protein nabati terdapat pada kacangkacangan, tempe, tahu dan hasil olahannya. Jenis protein berhubungan
dengan status gizi lebih. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa
protein hewani menjadi jenis protein yang paling banyak dikonsumsi
remaja (Yi et al., 2015). Kandungan AA arginin, histidin dan leusin
yang terdapat dalam protein hewani dapat meningkatkan sekresi
insulin dan berkaitan dengan metabolisme lemak (Deborah et al.,
2011).
Asupan protein yang berlebih, maka asam amino dalam
tubuh akan mengalami deaminasi. Melalui reaksi biokimia, protein
yang tidak digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan atau
pemeliharaan jaringan tubuh akan diubah menjadi asam lemak dan
disimpan sebagai cadangan lemak. Sisa-sisa ikatan karbon akan
diubah menjadi asetil-KoA yang dapat disintesis menjadi trigliserida
12
melalui proses lipogenesis dan disimpan dalam tubuh. Kelebihan
asupan protein dalam tubuh dapat menyebabkan kenaikan jaringan
lemak yang akhirnya menyebabkan status gizi lebih (Almatsier, 2004;
Brosnan et al., 2011). Penelitian Dwi (2015) menunjukkan bahwa
asupan protein total, protein hewani dan protein nabati memiliki
hubungan signifikan dengan IMT.
4. Interleukin-6 (IL-6)
a. Definisi
Interleukin-6 (IL-6) adalah sitokin yang diproduksi oleh banyak
tipe sel, meliputi activated mononuclear phagocytes, sel endotelial dan
fibroblas ( David et al., 2006; Abbas dan Lichtman, 2005; John, 2000).
Sumber utama IL-6 adalah makrofag, sel T dan sel endotelial, target
seluler. Efek biologi IL-6 adalah aktivasi limfosit T, stimulasi sintesis
protein pada fase akut (liver) dan proliferasi / meningkatkan produksi
dari antibodi yang merupakan sel produksi antibodi (sel B) (John, 2000;
Abbas dan Lichtman, 2005; David et al., 2006). IL-6 berfungsi sebagai
sistem imun alamiah (innate imun) dan sistem imun didapat (adaptive
imun). Fungsi IL-6 pada sistem imun yaitu menstimulasi sintesis dari
acute phase proteins by hepatocytes dan the growth of antibodyproducing B lymphocytes (John, 2000; Abbas dan Lichtman, 2005;
David et al., 2006). Aksi IL-6 terhadap sel meliputi, sel B, Sel T, NK
cell growth, proinflamasi (David et al., 2006; Abbas dan Lichtman,
2005; John, 2000).
b. Hubungan interleukin-6 dan status gizi lebih dan anemia
Status gizi lebih adalah suatu keadaan yang dihubungkan
dengan inflamasi kronis derajat ringan (Carolan et al., 2014). Sitokin
proinflamasi yang berperan pada keadaan status gizi lebih diantaranya
IL-1, IL-6 dan TNF alfa (Kishimoto, 2003; Abbas dan Lichman, 2005).
IL-6 adalah sitokin yang dihasilkan oleh sel lemak yang diakibatkan
oleh peningkatan jumlah dan ukuran sel lemak (Kershaw dan Jeffrey,
2004; Miner, 2004). IL-6 yang meningkat dalam darah akan
13
meningkatkan sintesis dan sekresi hepsidin oleh hati, sehingga terjadi
gangguan metabolisme besi di intestinum, hal tersebut menyebabkan
sumber besi untuk sumsum tulang berkurang sehingga proses
eritropoesis terhambat (Karien et al., 2008).
Gangguan metabolisme besi akan mengakibatkan resitensi
eritropoetin sehingga tertjadi gangguan eritropoesis. Sintesis dan
sekresi hepsidin akan mempengaruhi sel progenitor eritroit sehingga
akan terjadi resistensi eritropoetin. Peningkatan sintesis dan sekresi IL6 secara langsung juga bisa mengakibatkan resistensi eritropoetin
(Karien et al., 2008).
Resistensi eritropoetin akan mengakibatkan
gangguan eritropoesis di sumsum tulang sehingga terjadi penurunan
kadar hemoglobin yang akan berakibat terjadinya anemia (Karien et
al., 2008; Weiss dan Goodnough, 2005). Berdasarkan penelitian Kyung
et al. (2015) menyebutkan bahwa metilasi DNA dari promotor gen IL6 berperan penting pada etiologi dan patogenesis dari overweight dan
obesitas. Metilasi IL-6 dapat digunakan sebagai biomarker molekuler
penentuan
risiko
obesitas.
Penelitian
Pamela
et
al.
(2015)
menyebutkan bahwa polimorfisme IL-6 pada rs2069845 berhubungan
dengan patogenesis obesitas.
Kadar hemoglobin berhubungan dengan konsentrasi berbagai
marker inflamasi kronik. Kadar hemoglobin terendah berada pada
konsentrasi tertinggi marker inflamasi, yaitu sitokin proinflamasi (IL6,IL-1, TNF alfa) dan CRP. Tetapi dengan analisa statistik didapatkan
kesimpulan hanya IL-6 yang menjadi faktor independen yang
menentukan kadar hemoglobin (Maccio et al., 2005; Van der Zee et
al., 2005; Testa et al., 1995). Berdasarkan penelitian-penelitian di atas,
sebagian
besar
peneliti
menyimpulkan
peningkatan
sitokin
proinflamasi dalam darah akan menghambat proses eritropoesis di
sumsum tulang sehingga terjadi penurunan produksi hemoglobin dan
mengakibatkan anemia.
14
5. Anemia pada Remaja
a. Definisi
Anemia didefinisikan sebagai rendahnya kadar hemoglobin
(Hb) dalam darah sesuai batas yang direkomendasikan (WHO, 2007).
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah
massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi
fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke
jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis
anemia ditunjukkan dengan penurunan kadar hemoglobin, hematokrit
atau hitung eritrosit (red cell count) (Bakta, 2009).
b. Klasifikasi
Rujukan cut-off anemia balita 6-59 bulan adalah kadar
hemoglobin dibawah 11,0 g/dl. Anak usia sekolah 5-12 tahun
dianggap anemia bila kadar hemoglobinnya < 11,5 g/dl. Sementara itu,
laki-laki berusia > 15 tahun dianggap mengalami anemia bila kadar
hemoglobin < 13 g/dl dan wanita usia
> 15 tahun tidak hamil
mengalami anemia bila kadar hemoglobin < 12 g/dl. Wanita hamil
dianggap anemia jika hemoglobin < 11 gr/dl (WHO, 2011).
c. Jenis Anemia
Menurut Brugara et al (2009) anemia dapat diklasifikasikan menjadi 2
kategori, yaitu:
1. Karena gangguan produksi sel darah merah, terdiri dari: anemia
defisiensi besi, anemia karena penyakit kronik dan endokrin, anemia
myelophistic), anamia aplastik dan anemia sideroblastik.
2. Anemia karena destruksi eritrosit yang sangat cepat atau hilangnya
darah yang berlebih, terdiri atas :anamia krarena perdarahan dan
anemia hemolitik.
Menurut Hoffbrand (2006) anemia dapat diklasifikasikan menjadi 3
jenis anemia, yaitu:
1. Anemia normositik normokrom
Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena perdarahan
akut, hemolisis dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada
15
sumsum tulang. Pada anemia ini didapatkan indeks eritrosit: MCV
73-101 fl, MCH 23-31 pg, MCHC 26-35%.
2. Anemia makrositik hiperkrom
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih benar dari normal dan
hiperkrom karena konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal.
Pada anemia ini didapatkan indeks eritrosit: MCV > 101 fl, MCH >
31 pg, MCHC > 35%.
Anemia ini ditemukan pada anemia
megaloblastik (defisiensi vitamin B12 dan asam folat), serta anemia
makrositik nonmegaloblastik (penyakit hati dan mielodisplasia).
3. Anemia mikrositik hipokromik
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan
mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal.
Pada anemia ini didapatkan indeks eritrosit: MCV <73 fl, MCH <
23 pg, MCHC 26-35%.
d. Hemoglobin
1. Definisi
Hemoglobin merupakan protein yang berfungsi untuk
membawa oksigen (O2) di tubuh manusia dari paru-paru
menuju seluruh jaringan di tubuh. Hemoglobin terdiri atas
kelompok heme, besi (sebagai atom pusat) dan AA (Casiday
dan Frey, 2007).
2. Struktur
Hemoglobin merupakan struktur tetramer yang terdiri dari
empat rantai polipeptida, yaitu 2 rantai alfa (141 asam amino
rantai panjang), dan 2 rantai beta (146 asam amino rantai
panjang) (Bunn dan Nagel, 2009). Protein ini terdiri dari
empat sub unit, setiap sub unit memiliki satu ikatan
polipeptida dan satu kelompok heme (Marengo-Rowe, 2006).
Pada masing-masing kelompok heme, terdiri dari atom besi
yang berfungsi untuk mengikat molekul oksigen (O2). Di
dalam tubuh, besi dalam heme terikat dengan empat atom
nitrogen dari porfirin dan juga atom residu dari asam amino
16
histidin dalam protein hemoglobin (Casiday dan Frey, 2007).
3. Pemeriksaan
Kadar hemoglobin dapat diukur dengan berbagai macam
cara, yaitu metode cyanmethemoglobin, HemoCue System
dan metode sahli (WHO, 2011; Gandasoebrata, 2010).
Menurut
International
Council
for
Standarization
in
Hematology (ICSH) menganjurkan pemeriksaan hemoglobin
melalui metode cyanmethemoglobin.
a. Metode Cyanmethemoglobin
Metode cyanmethemoglobin merupakan metode yang
dilakukan di laboratorium, sampai saat ini masih menjadi
pilihan utama untuk menentukan kadar dari hemoglobin
(WHO, 2011). Prinsip metode ini adalah darah diencerkan
dengan larutan drabkin sehingga terjadi hemolisis eritrosit
dan konversi hemoglobin menjadi hemoglobinsianida
(cyanmethemoglobin). Larutan yang terbentuk selanjutnya
diperiksa dengan spektrofotometer atau colorimeter, yang
absorbsinya sebanding dengan kadar hemoglobin dalam
darah (Chairlain dan Lestari, 2011).
b. Metode Sahli
Metode
Sahli
merupakan
metode
yang
mengubah
hemoglobin menjadi hematin asam kemudian warna yang
terjadi dibandingkan secara visual dengan standar warna
pada alat hemoglobinometer. Dalam penetapan kadar
hemoglobin, metode sahli merupakan metode estimasi
kadar
hemoglobin
hemoglobinometer
yang
tidak
teliti,
karena
alat
tidak
dapat
distandartkan
dan
perbandingan warna visual tidak teliti. Metode sahli
dianggap
kurang
teliti
karena
karboksihemoglobin,
methemoglobin dan sulfhemoglobin tidak dapat diubah
menjadi hematin asam (Gandasoebrata, 2010).
17
c. HemoCue System
HemoCue system merupakan metode yang biasa dilakukan
pada survey lapangan. Dengan menggunakan alat yang
sudah ada, maka tidak diperlukan penambahan reagen
untuk menghitung nilai dari hemoglobin (WHO, 2011).
HemoCue system membutuhkan waktu cepat dan sumber
daya lebih sedikit dalam pemeriksaannya, serta kualitas
baik dan sudah terakurasi. HemoCue system dapat
digunakan sebagai panduan klinis dalam kondisi akut.
Namun demikian, pemeriksaan laboratorium dengan
menggunakan cyanmethemoglobin tetap menjadi standar
baku karena lebih akurat dan presisi (Sanchis-Gomar et al.,
2013).
B. PENELITIAN YANG RELEVAN
1. Judul: Increased Metylation of Interleukin 6 Gene Is Associated with
Obesity in Korean Woman.
Oleh: Yeon Kyung Na, Hae Sook Hong, Won Kee Lee, Young Hun Kim,
Dong Sun Kim (Tahun 2015).
Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh obesitas pada status metylasi dari
gen pada inflamasi dan stres oksidatif. Untuk menentukan level metylasi
dari Glucose transport (GLUT 4), Interleukin-6 (IL-6), Tumor necroting
factor (TNF-alfa), Mitocondrial transcription factor A (TFAM).
Subyek Penelitian : 284 wanita sehat usia 16-60 tahun , Status gizi (IMT):
Normal (IMT < 23 kg/m 2 ), overweight (23–30 kg/m 2) dan Obesitas (>
30 23 kg/m 2).
Hasil:
Metilasi DNA dari gen promotor IL-6 berperan penting pada
etiologi dan patogenesis obesitas dan metilasi IL-6 dapat digunakan
sebagai biomarker molekuler untuk menetukan risiko obesitas.
2. Judul: Association of IL-6 and CRP Gen Polymorphisms with Obesity
and Metabolic Disorders in Children and Adolescents.
Oleh: Pamela, F.T., Elisa, I.K., Michele, B.F., Cezane, P.R., Miria, S.B.,
18
Lia, G.P., Andreia, R.M.V. (Tahun 2015).
Tujuan: Untuk mengevaluasi bahwa polymorphisms IL-6 rs1800795, IL6 rs2069845 dan CRP rs1205 dihubungkan dengan perkembangan dari
abnormalitas metabolik dan obesitas pada anak dan remaja di Brazil.
Subyek Penelitian : 470 (anak usia 7-9 tahun dan remaja usia 10-17
tahun).
Hasil: Polimorfisme IL-6 rs2069845 berhubungan dengan obesitas dan
CRP rs1205 dihubungkan dengan risiko dari hiperkolesterolemia.
3. Judul: Common variants of IL-6, LEPR, and PBEF1 are Associated with
Obesity in Indian Children.
Oleh: Rubina T, Yuvaraj M, Om Prakash D, Ganesh C, Saurabh G,
Raman K.M, Nikhil T, Dwaipayan B (Tahun 2012).
Tujuan: Untuk mengetahui variasi gen enkoding adipokins dan marker
inflamasi untuk dihubngkan dengan overweight dan obesitas, marker
adiposit dan inflamsi pada anak di India.
Subyek Penelitian: 3.168 anak
(anak usia 11-17 tahun dengan IMT
Normal-Weight dan overweight/obese ).
Hasil: Ada hubungan antara variasi dari IL-6, LEPR dan PBEF1 dengan
obesitas pada anak di India.
4. Judul: Hubungan Asupan Protein dengan Obesitas pada Remaja
Oleh: Beti Dwi Suryandari (Tahun 2012).
Tujuan: Mengetahui hubungan asupan protein dengan obesitas pada
remaja.
Subjek Penelitian: 49 remaja (usia 12-14 tahun).
Hasil: Asupan protein total, protein hewani, protein nabati berhubungan
signifikan dengan IMT.
5. Judul: Faktor Risiko Obesitas pada Anak 5-15 Tahun di Indonesia.
Oleh: Ratu Ayu Dewi Sartika (Tahun 2011).
Tujuan: Mengetahui faktor risiko obesitas pada anak usia 5-15 tahun.
Subjek Penelitian: 170.699 anak usia 5-15 tahun.
Hasil: Faktor risiko obesitas pada anak adalah jenis kelamin, riwayat
19
obesitas ayah, kebiasaan olahraga dan merokok serta asupan protein.
6. Judul: Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Anemia pada Remaja Putri.
Oleh: Dea Indartanti, Apoina Kartini (Tahun 2014).
Tujuan: Mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian anemia pada
remaja usia 12-14 tahun.
Subjek Penelitian: 90 remaja putri usia 12-14 tahun.
Hasil: Tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian anemia pada
remaja putri.
7.
Judul: Hubungan antara Asupan Protein dan Zat Besi dengan Kadar
Hemoglobin Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Angkatan
2013 FK Universitas Sam Ratulangi.
Oleh: Shanon G Matayane, Alexander S.L Bolang, Shirley E.S Kawengian
(Tahun 2014).
Tujuan : Mengetahui hubungan antara asupan protein dan zat besi dengan
kadar hemoglobin mahasiswa program studi pendidikan dokter angkatan
2013 FK Universitas Sam Ratulangi.
Subjek Penelitian : 75 mahsiswa.
Hasil : Tidak terdapat hubungan asupan protein dan zat besi dengan kadar
hemoglobin pada mahasiswa progdi pendidikan dokter angkatan 2013 FK
Universitas Sam Ratulangi.
20
C. KERANGKA BERPIKIR
Remaja
Faktor Internal:
Genetik
Aktivitas fisik
Pola makan
Remaja dengan
Status gizi lebih
Faktor Eksternal:
Asupan protein
Inflamasi kronis
Interleukin-6 (IL-6) ↑
Hepsidin ↑
Sel progenitor eritroit
Resistensi eritropoetin
Gangguan metabolisme besi
Eritropoesis ↓
Eritrosit ↓
Hemoglobin ↓ Anemia
Gambar. 2.1 Kerangka Berpikir
Keterangan :
:Variabel yang diteliti
:Variabel yang tidak diteliti
↑
: Meningkat
: Memacu
↓
: Menurun
21
D. HIPOTESIS
1. Ada hubungan asupan protein dengan kadar hemoglobin pada remaja
putri status gizi lebih.
2. Ada hubungan kadar IL-6 dengan kadar hemoglobin pada remaja putri
status gizi lebih.
Download