prosiding seminar nasional unisma 2013

advertisement
Volume 1, Tahun 2013
PROSIDIN
G
2013
SEMINAR NASIONAL
PENDIDIKAN BAHASA & SASTRA
PBSI Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)
Universitas Islam Malang
i
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
“MEMBEDAH
PROSES KREATIF MENULIS”
MALANG, 28 DESEMBER 2013
Editor:
Dr. Hasan Busri, M.Pd
Moh. Badrih, M.Pd
Dr. Mukaromah, M.Pd
Ari Ambarwati, SS, M.Pd
PENYELENGGARA:
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PBSI)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
i
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
“MEMBEDAH PROSES KREATIF MENULIS”
Terbit sekali dalam setahun dalam kegiatan Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) FKIP Universitas Islam
Malang (UNISMA)
Tim Editor
Ketua
Hasan Busri
Anggota
Moh. Badrih
Mokaromah
Ari Ambarwati
Desain Sampul dan Naskah
Sri Wahyuni
Tim Pelaksana
Program Studi & Departemen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Menerima tulisan setiap tahun dalam pelaksanaan Seminar Nasional
Pendidikan Bahasa dan Sastra dengan tema yang akan ditentukan
kemudian. Tulisan yang diterima belum pernah diterbitkan dalam prosiding
atau dalam karya tulis ilmiah yang lain.
Alamat Penyunting dan Tata Usaha:
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Univesitas Islam Malang
Jl. MT. Haryono 193 Malang. Telp 0341 – 571950-551932, fax: 0341 - 552249.
Website: fkipunisma.ac.id. E-mail: [email protected]
ISSN: 2354-9459
Busri, Hasan (Eds)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra
“Membedah Proses Kreatif Menulis”
Vol. 1, Tahun 2013. Malang: PBSI FKIP Universitas Islam Malang
ii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi penyayang. Segala
puji bagi Allah SWT. Rahmat dan keselamatan semoga tetap atas utusan Allah SWT
beserta para keluarga dan sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya, dan tidak ada
daya dan tidak ada kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah SWT.
Dengan segala limpahan rahmat, taufik, hidayah, dan inayah-Nya dan dengan
segala ikhtiar dan kerja keras, Alhamdulillah Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan
Sastra dengan tema “Membedah Proses Kreatif Menulis” dapat terlaksana dan sekaligus
Prosiding dalam kegiatan ini dapat diterbitkan.
Menulis merupakan salah satu kegiatan penting dalam kehidupan umat manusia.
Bagi sebagian orang, menulis adalah pekerjaan rutin yang mudah sekali dilakukan, tetapi
untuk sebagian lagi menganggap menulis merupakan kegiatan yang sangat sulit.
Kemahiran menulis memang tidak datang dengan sendirinya. Supaya menjadi seorang
penulis handal, perlu suatu pembiasaan, latihan, serta kondisi yang memungkinkan
seseorang untuk menulis. Proses kreatif seseorang hingga menghasilkan suatu tulisan
yang menarik sangat beragam. Apa dan bagaimana sebenarnya proses kreatif menulis
berdasarkan pengalaman para penulis? Berikut ini jawabannya, yang tersaji dalam
Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra yang bertema “Membedah Proses
Kreativitas Menulis”.
Terima kasih kami ucapkan pada semua pihak yang telah ikut menyukseskan acara
ini. Harapan kami, semoga seminar dan materi prosiding ini bermanfaat dalam rangka
mengembangkan keterampilan dosen, mahasiswa, guru, dan masyarakat umum dalam
menulis, sehingga masyarakat literat yang merupakan salah satu cita-cita bangsa kita
dapat tercapai.
Malang, 28 Desember 2013
TTD
PANITIA SEMNAS 2013
iii
DAFTAR ISI
Katalog ...................................................................................................................... ii
Kata Pengantar ......................................................................................................... iii
Daftar Isi..................................................................................................................... iv
KEYNOTE SPEAKER
TEKNIK MENULIS FEATURE
Eko Widianto (Harian Nasional Tempo) .................................................................... 1
Proses Menemukan, Mengelola, dan
Mengembangkan Ide Menulis Secara Kreatif
Sri Wahyuni (Unisma) ................................................................................................ 9
PEMAKALAH
Pengarang, Penulis, Dahulu dan Sekarang
Akhmad Tabrani (Unisma) ........................................................................................ 28
Kreativitas dalam Menulis
Hasan Busri (Unisma) ................................................................................................ 37
Proses Kreatif dan Apresiasi Kreatif
sebagai Upaya Refleksi dan Transformasi Sastra Indonesia
Gatot Sarmidi (Universitas Kanjuruhan) ................................................................... 47
Eksistensialisme Religi sebagai Model Penulisan Kreatif Sastra
Moh. Badrih (Unisma) ............................................................................................... 54
Homur dalam Karya Sastra
Ari Ambarwati (Unisma) ........................................................................................... 67
Pengembangan Bahan Ajar Teks Cerpen untuk Siswa SMP Kelas VII
Dina Merdeka Citraningrum (Unmuh Jember) ......................................................... 77
Memberdayakan Guru Sastra
di Tengah Polemik Keringnya Pembelajaran Sastra
Eni Wahyuni (MAN 3 Malang) .................................................................................. 86
Syair Spiritualis sebagai Dasar Penulisan Sastra Islami
Ahmad Ghozali (Universitas Yudarta Pasuruan) ..................................................... 101
Representasi Poskolonialisme dalam Karya Sastra
Arief Rijadi (Universitas Negeri Jember) ................................................................. 109
iv
Realisme Magis Alternatif Genre Tulisan Fiksi
Akhmad Sauqi Ahya (IKIP PGRI Jombang) ............................................................. 125
Pengembangan Materi Bahasa Indonesia
Berkarakter Nilai Islam untuk Siswa Sekolah Dasar
Mukaromah (Unisma) ............................................................................................. 138
Pengembangan Pembelajaran Kemahiran Berbahasa Tulis
Iwan Setiawan (Universitas Wisnuwardhana Malang) ........................................... 148
Teknik Menyunting Naskah
Abdul Rani (Unisma) ................................................................................................ 161
Pembelajaran Proses Menulis di SD dan MI
Moh. Ilyas (Universitas Mulawarman Samarinda) .................................................. 169
Kontroversi Transaksional dan Interaksional Serta Analisis
Penerapannya Dalam Komunikasi Bisnis Pemasaran Jaringan
Thontjie Makmara (Universitas Cendana Kupang NTT) ......................................... 177
Mengembalikan Bahasa Indonesia
pada Standar Ejaan Yang Disempurnakan
Purwantiningsih (SMPN 2 Kepanjen) ...................................................................... 188
Tindak tutur guru dalam pembelajaran Menulis bahasa Indonesia
Nur Fajar Arief (Unisma) ......................................................................................... 201
The Use Of Portfolio Assessement Through
Problem Based Learning Approach To Improve The Writing Ability
Syawal dan Amaluddin (UMPAR Sulawesi Selatan)................................................. 209
Model Bahan Ajar Bahasa Indonesia Tulis untuk Anak Jepang
Jauharoti Alfin (IAIN Surabaya)................................................................................ 220
v
TEKNIK MENULIS FEATURE
Eko Widianto
Harian Nasional Tempo
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Feature is one of journalistic style of writing that is informative, entertaining, and
arouse the reader’s empathy. Feature is formulated in imagination of the fact,
then combine it with the words to present the the interesting story. The writer
can use his imagination to arite the feature, but the writer’s imagination cannot
color the facts of the story. Feature is long lasting writing work and it tells about
the fact, not fiction. The key of writing feature is lead, The lead of the feature try
to catch the reader’s interest. Lead also used to attract reader’s attention to read
more about the story. Feature usually used to write the profile, history, travelling,
journey,event, and human interest. The idea of writing profile could be found
anywhere. It can find from the incident, professional discussion, or the
surrounding facts and activities.
Keywords: writing, feature
PENDAHULUAN
Feature adalah artikel kreatif, kadang subyektif yang bertujuan menyajikan
informasi melalui sebuah cerita tentang kejadian, keadaan dan aspek kehidupan. Tak
seperti berita biasa, feature memungkinkan jurnalis membuat sebuah cerita memikat
berdasarkan fakta dan data yang terkumpul. Feature kadang subyektif menulis
pengalaman dan petualangan yang dilalui berbentuk “aku”. Penulis feature hakikatnya
adalah seseorang yang berkisah. Ia melukis gambar dengan kata-kata; ia menghidupkan
imajinasi pembaca; ia menarik pembaca agar masuk ke dalam cerita itu dengan
membantunya mengidentifikasikan diri dengan tokoh utama.
Feature membutuhkan imajinasi yang baik untuk menjahit kata-kata dan
rangkaian kata menjadi cerita yang menarik. Tapi, imajinasi penulis tidak boleh mewarnai
fakta-fakta dalam ceritanya. Pendeknya, cerita khayalan tidak boleh ada dalam penulisan
feature. Etika menyebutkan bahwa opini dan fiksi tidak boleh ada. Feature tidak boleh
berupa fiksi, dan setiap "pewarnaan" fakta-fakta tidak boleh menipu pembaca. Bila
penipuan seperti itu terungkap, kepercayaan orang pada kita akan hancur.
Perkembangan media memungkinkan informasi tersaji secara cepat. Berita mudah
sekali “punah” dalam hitungan jam atau saat berganti hari. Namun berita berbentuk
feature bisa disimpan berhari-hari hingga berbulan-bulan dan tak cepat basi. Feature
1
ditulis dengan bentuk lead (kepala berita), tubuh dan penutup. Penutup sebuah feature
hampir sama pentingnya dengan lead. Penutup bisa berupa kesimpulan, celetukan yang
menggoda, atau sindiran dan sebagainya. Sehingga tulisan feature, tak bisa dipotong
langsung di bagian akhir tulisan. Semua bagaian dalam fetaure itu penting. Namun yang
terpenting memang lead, karena di sanalah pembuka jalan.
LEAD
Kunci penulisan feature terletak pada lead. Mencoba menangkap minat pembaca
tanpa lead yang baik sama dengan mengail ikan tanpa umpan. Lead bertujuan menarik
pembaca untuk mengikuti cerita dan membuat jalan supaya alur cerita lancar. Gagal
dalam menuliskan lead pembaca bisa tidak meneruskan membaca. Gagal berarti
kehilangan daya pikat. Sehingga penulis feature harus cakap menggunakan kalimat.
Bahasa harus rapi, dan terjaga. Tak ada teori baku bagaimana menulis lead sebuah
feature. Semua berdasarkan pengalaman dan perkembangan. Namun, secara garis besar
ada beberapa contoh lead.
Lead ringkasan
Lead ini sama dengan yang dipakai dalam penulisan "berita keras". Yang ditulis
hanya inti ceritanya, dan kemudian terserah pembaca apakah masih cukup berminat
untuk mengikuti kelanjutannya. Lead ringkasan ini sering dipakai bila reporter mempunyai
persoalan yang kuat dan menarik, yang akan laku dengan sendirinya. Karena lead ini
sangat gampang ditulis, banyak reporter yang langsung memilihnya bila diuber deadline,
atau bila ia bingung untuk mencari lead yang lebih baik.
Lead yang bercerita
Lead ini, yang digemari penulis fiksi (novel atau cerita pendek), menarik pembaca
dan membenamkannya. Tekniknya adalah menciptakan satu suasana dan membiarkan
pembaca menjadi tokoh utama, entah dengan cara membuat kekosongan yang kemudian
secara mental akan diisi oleh pembaca, atau dengan membiarkan pembaca
mengidentifikasikan diri di tengah-tengah kejadian yang berlangsung. Hasilnya, berupa
teknik seperti yang dibuat dalam film yang baik. Apakah Anda pernah merasa haus ketika
menyaksikan seorang pahlawan (film) kehausan di tengah padang pasir? Apakah Anda
gemetar di tempat duduk Anda menyaksikan film horor?
Lead deskriptif
Lead deskriptif bisa menciptakan gambaran dalam pikiran pembaca tentang suatu
tokoh atau tempat kejadian. Lead ini cocok untuk berbagai feature dan digemari reporter
yang menulis profil pribadi. Lead yang bercerita meletakkan pembaca di tengah adegan
2
atau kejadian dalam cerita, sedangkan lead deskriptif menempatkan pembaca beberapa
meter di luarnya, dalam posisi menonton, mendengar, dan mencium baunya. Pemakaian
ajektif (kata sifat) yang tepat adalah kunci untuk lead deskriptif. Seorang reporter yang
baik bisa membuat tokohnya "hidup", seolah-olah muncul di tengah-tengah barang
cetakan yang dipegang pembaca.
Lead kutipan
Kutipan yang dalam dan ringkas bisa membuat lead menarik, terutama bila yang
dikutip orang yang terkenal. Kutipan harus bisa memberikan tinjauan ke dalam watak si
pembicara. Ingat, lead harus menyiapkan pentas bagi bagian berikutnya dari cerita kita,
sehingga
kutipannya
pun
harus
memusatkan
diri
pada
sifat
cerita
itu.
Lead pertanyaan
Lead ini efektif bila berhasil menantang pengetahuan atau rasa ingin tahu
pembaca. Sering, lead ini dipakai oleh wartawan yang tidak berhasil menemukan lead
yang imajinatif. Lead ini gampang ditulis, tapi jarang membuahkan hasil terbaik. Dalam
banyak hal, lead ini cuma taktik. Wartawan yang menggunakan lead ini tahu bahwa ada
pembaca yang sudah tahu jawabannya, ada yang belum. Yang ingin ditimbulkan oleh lead
ini rasa ingin tahu pembaca: yang belum tahu, mestinya terus ingin membacanya;
sedangkan yang sudah tahu dibuat ragu-ragu apakah pengetahuannya cocok dengan
informasi bung wartawan.
Lead menuding langsung
Bila reporter berkomunikasi langsung dengan pembaca, ini disebut lead menunjuk
langsung. Ciri-ciri lead ini adalah ditemukannya kata "Anda" yang disisipkan pada paragraf
pertama atau di tempat lain. Keuntungannya jelas. Pembaca -- kadang-kadang tidak
secara sukarela -- menjadi bagian cerita. Penyusunan kata-katanya melibatkan Anda
secara pribadi dalam cerita itu. Misalnya seorang reporter yang mangkal di kantor
imigrasi dan menemukan adanya kesalahan cekal terhadap seseorang yang tidak
bersalah, mungkin membuat lead demikian.
* Bila Anda punya nama "kodian", harap hati-hati. Salah-salah Anda kena cekal, tak boleh
ke luar negeri (TEMPO, 30 Januari 1993, "Gara-gara Nama Sama".)
Lead penggoda
Lead penggoda ini adalah cara untuk "mengelabui" pembaca dengan cara bergurau.
Tujuan utamanya menggaet perhatian pembaca dan menuntunnya supaya membaca
seluruh cerita. Lead jenis ini biasanya pendek dan ringan. Umumnya dipakai teka-teki, dan
biasanya hanya memberikan sedikit, atau sama sekali tidak, tanda-tanda bagaimana
cerita selanjutnya.
Lead gabungan
3
Di surat kabar sering ditemukan lead yang merupakan gabungan dari dua atau tiga lead,
dengan mengambil unsur terbaik dari masing-masing lead.Lead kutipan sering
digabungkan dengan lead deskriptif.
TUBUH DAN EKOR
Jika Anda punya lead yang hidup dan menarik. Problem berikutnya adalah
menyusun materinya sehingga bisa memikat pembaca untuk mengikuti dari awal sampai
akhir. Ending atau penutup bukan muncul tiba-tiba, tapi merupakan hasil proses
penuturan di atasnya yang mengalir. Ia dengan hati-hati mengatur kata secara efektif
untuk mengkomunikasikan cerita. Umumnya, sebuah cerita mendorong untuk terciptanya
suatu "penyelesaian" atau klimaks. Penutup tidak sekadar layak, tapi mutlak perlu bagi
banyak feature. Karena itu memotong bagian akhir sebuah feature, akan membuat tulisan
tersebut terasa belum selesai.
Beberapa jenis penutup
Penutup ringkasan
Penutup ini bersifat ikhtisar, hanya mengikat ujung-ujung bagian cerita yang lepaslepas dan menunjuk kembali ke lead.
Penyengat
Penutup yang mengagetkan bisa membuat pembaca seolah-olah terlonjak. Penulis
hanya menggunakan tubuh cerita untuk menyiapkan pembaca pada kesimpulan yang
tidak terduga-duga. Penutup seperti ini mirip dengan kecenderungan film modern yang
menutup cerita dengan mengalahkan orang "yang baik-baik" oleh "orang jahat".
Klimaks
Penutup ini sering ditemukan pada cerita yang ditulis secara kronologis. Ini seperti
sastra tradisional. Hanya saja dalam feature, penulis berhenti bila penyelesaian cerita
sudah jelas, dan tidak menambah bagian setelah klimaks seperti cerita tradisional.
Tak ada penyelesaian
Penulis dengan sengaja mengakhiri cerita dengan menekankan pada sebuah
pertanyaan pokok yang tidak terjawab. Selesai membaca, pembaca tetap tidak jelas
apakah tokoh cerita menang atau kalah. Ia menyelesaikan cerita sebelum tercapai
klimaks, karena penyelesaiannya memang belum diketahui, atau karena penulisnya
sengaja ingin membuat pembaca tergantung-gantung.
TEKNIK PENULISAN
Lead adalah kepala, struktur adalah kerangkanya, ending berarti ekornya, dan
transisi adalah tali sendi yang mengikat unsur-unsur menjadi satu. Penulis harus memakai
4
teknik untuk menjaga agar semuanya berada pada tempatnya. Meskipun banyak teknik
untuk itu, ada tiga yang pokok.
1. Spiral. Setiap alinea (paragraf) menguraikan lebih terinci persoalan yang disebut alinea
(paragraf) sebelumnya.
2. Blok. Bahan cerita disajikan dalam alinea-alinea yang terpisah, secara lengkap. Catatan:
bila paragraf terlalu panjang, potong saja menjadi beberapa bagian lebih kecil.
3. Mengikuti Tema. Setiap alinea (paragraf) menggarisbawahi atau menegaskan lead-nya.
Kebanyakan penulis memilih beberapa teknik, tergantung panjang dan jalannya
cerita. Ini dilakukan supaya orang tidak bosan karena membaca teknik yang itu-itu juga.
Dalam menulis, beberapa petunjuk dasar dipergunakan untuk menyajikan tulisan dengan
cara yang paling menarik supaya menawan pembaca.
Alinea pendek
Paragraf atau alinea yang panjang hanya membuat pembaca segan membaca
karena mengira tulisan itu susah dibaca. Potonglah paragraf yang kelihatan terlalu
panjang.
Ingat bahwa Anda menulis dengan bahasa jurnlistik, bukan bahasa ilmiah atau bahasa
ekonomi. Guru-guru bahasa memang menekankan perlunya pengelompokan materi yang
berkaitan dalam satu paragraf. Tapi wartawan yang praktis dengan segera mengorbankan
bentuk itu supaya mudah berkomunikasi.
Tulislah singkat dan sederhana
Kalimat majemuk yang panjang kadang kala memang benar menurut tata bahasa.
Tapi bila ternyata pembaca tersesat dan bingung, penulis itu gagal berkomunikasi. Tapi
jangan lantas menjadi fanatik pada kalimat pendek. Kalau kalimat Anda hanya terdiri atas
pokok kalimat, kata kerja, dan obyek terus-terusan, pembaca akan mengantuk setelah
membaca dua paragraf.
Fokus
Menulis feature harus fokus terhadap angle paling kuat yang dipilih. Pegang teguh
angle cerita, jangan sampai tergoda dengan angle yang lain. Periksa setiap informasi
apakah masih relevan dengan angle yang dipilih. Jika tak relevan buang. Penulis harus
setia dengan angle, jika tak fokus penulis dan pembaca akan tersesat di hutan kata-kata
tanpa arah, tujuan dan arti.
Deskripsi
Penulis sesungguhnya mata, telinga dan hidung pembaca sehingga harus
menggambarkan obyek secara detail. Sehingga pembaca seolah diajak langsung
mengikuti perjalanan atau mengamati peristiwa yang terjadi saat itu. Penulis harus
mampu
menggambarkan
suasana
dengan
baik
dan
lengkap.
Penulis
harus
5
menggabungkan kemampuan melaukan reportase lapangan, observasi dan meramunya
menjadi rainkaian kata yang tetap ringkas dan efektif.
Untuk membuat tulisan yang mendalam, penulis harus ikut terlibat dan
merasakan kondisi yang dialami tokoh yang ditulis. Misal, untuk menulis penderitaan
korban lumpur Lapindo penulis harus tinggal beberapa hari bersama dengan para korban.
Merasakan bau menyengat lumpur, merasakan suhu panas dan turut merasakan
penderitaan yang kadang mengaduk emosi.
JENIS FEATURE
1. Feature profil/tokoh : Kisah seorang tokoh, mengenai rekam jejak, motivasi,
pandangan, wawasan serta kerangka berfikirnya. Biasanya terkait dengan suatu peristiwa
yang dilakukan/melibatkan sang tokoh.
2.Feature sejarah : Mengungkap apa yang pernah terjadi di masa silam. Ditulis dengan
cantolan berita masa kini (kebaruan).
3.Feature perjalanan/petualangan : Kejadian unik dan menarik yang dalam seseorang ,
sekelompok orang atau lembaga, baik dalam perjalanan, ekpedisi, dan wisata.
4. Feature terkait peristiwa musiman : Mengisahkan aspek dari suatu peristiwa rutin,
musiman (lebaran, natal, atau tahun baru)
5. Feature penjelasan/latar belakang : Menjelaskan latar belakang suatu peristiwa yang
baru terjadi dan sudah diberitakan. Misal: cerita Gus Dur keluar dari istana Merdeka.
6. Feature Kemanusiaan : Mengisahkan kejadian yang menyentuh perasan tentang orang,
kejadian,
dll.
Yang
membuat
pembaca
merenung
dan
mendapat
hikmah/pembelajaran atau inspirasi. Misalnya : relawan yang membantu bencana
tsunami Aceh.
7. Feature tentang mode/tren : Mengungkapkan kisah gaya hidup atau kebiasaan
manusia yang berubah . Misal: tren bersepeda ke sekolah, demam K POP, dll.
MENCARI IDE
Bukalah mata Anda, sapu pandangan terhadap sesuatu yang menarik di sekitar
kita. Mungkin Anda akan mendapat bahan tulisan yang tak ada habisnya. Rasa ingin tahu
penulis terhadap suatu obyek mampu mengungkap sesuatu di balik berita. Tak sekedar
menyajikan berita keras sebuah peristiwa tapi juga mencari sebuah drama. Seperti
kecelakaan kereta di Bintaro, tak sekedar menyajikan fakta kecelakaan. Tapi mencerita
cerita menarik dan unik dalam kejadian itu. Seperti cerita heroik asisten masinis yang
6
menyelamatkan penumpang dengan mengorbankan diri. Feature akan menarik jika
berkaitan dengan cerita manusia, ada ungkapan bahwa orang selalu tertarik pada orang.
Beberapa cara mencari ide liputan antara lain:
1.
Mengembangkan liputan yang sudah ada dalam berbagai media massa. Manakala kita
membaca, mendengar atau melihat media massa maka setiap orang memiliki sudut pandang
sendiri. Sudut pandang yang sifatnya personal inilah yang bisa dibeberkan lebih luas dan
mendalam dengan sebuah liputan cara baru. Harga kedelai yang melonjak menyebabkan
tahu dan tempe mahal. Mungkinkah menyusuri kacang kedelai sampai ke industri
perkebunan di luar negeri?
2.
Diskusi dengan rekan kerja atau kalangan profesional dan praktisi. Menanyakan sesuatu
kepada kaum profesional dan praktisi bisa melahirkan banyak gagasan. Dengan cara bertanya
apa yang sedang berlangsung dan mengapa terjadi seperti. Pencarian ide dari diskusi
merupakan sebuah cara yang mudah dilakukan.
3.
Membaca berita kecil yang tidak menarik tetapi mengandung potensi besar. Sebuah berita di
surat kabar daerah atau lokal atau sebuah berita kecil di televisi juga berpotensi untuk
mengundang gagasan baru. Penangkapan pembobol makam mungkin bisa dikembangkan
seberapa luas terjadi pembobolan dan apa saja barang yang dicuri lalu siapa penadahnya.
Cara ini bisa dilakukan setiap hari. Jika terlalu sukar bisa saja gagasan itu diendapkan dulu.
4.
Mengantisipasi peristiwa. Sebuah peristiwa yang terjadi tahunan misalnya mudik Lebaran
bisa dijadikan inspirasi dalam penulisan atau liputan. Bisa dikembangkan angle yang luar
biasa banyaknya. Berbagai peringatan dan upacara rutin bisa dijadikan bahan liputan baru
jika dikaitkan dengan berbagai peristiwa yang berlangsung. Hari Pendidikan Nasional atau
Hari Ibu merupakan sumber berita yang tidak ada habisnya.
MENULIS OUTLINE
Tidak ada bentuk outline yang kaku, terpenting outline menyajikan apa yang ingin
disampaikan dalam tulisan feature. Sebagai panduan, outline harus menjawab
pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
TOPIK
Masalah apa yang ingin diangkat?
LATAR BELAKANG MASALAH
Apa saja persoalan yang terjadi? Kenapa penting bagi kita (dan pendengar lain) untuk
tahu lebih jauh soal korupsi ini?
ANGLE
7
Satu masalah, pasti punya sejuta angle. Tidaklah mungkin satu tulisan feature memuat
sejuta angle itu. Kita harus tega memilih satu angle saja dan patuh pada angle itu
sepanjang tulisan. Dengan begitu, angle yang dipilih harus yang paling kuat, paling
menarik, paling oke, paling nendang, paling mencengangkan dan paling paling yang lain.
NARASUMBER
Siapa saja yang kompeten bicara soal ini? Jangan lupa uraikan singkat mengapa si
narasumber ini dianggap kompeten. Kalau dilihat dari tingkat kepentingan si narasumber,
tentu saja pelaku punya nilai penting yang paling tinggi. Kalau dibuat urutannya, maka
kurang lebih begini urutan kompetensi narasumber: pelaku-saksi-orang yang dianggap
tahu-yang berwenang-pengamat.
RISET
Tulisan yang bernas adalah tulisan yang menyertakan riset. Riset membuat tulisan lebih
kokoh dan bernyawa. Riset bisa diperoleh dari wawancara tambahan dengan nara
sumber atau lewat internet, keduanya sama benarnya. Kehadiran riset juga menambah
jelas persoalan yang diangkat menjadi tulisan, selain juga bisa menambah konteks.
DAFTAR PUSTAKA
Bujono, Bambang. 1996. Seandainya Saya Wartawan Tempo. Jakarta:
Penerbit ISAI dan Yayasan Alumni TEMPO.
Fleeson, Lucida. 2007. Mengungkap Cerita di Balik Berita.Penerjemah
Gita Widya Laksmi. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara.
Andi Baso Mappatoto, M.A. Drs. 1992. Teknik Penulisan Feature.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
8
PROSES MENEMUKAN, MENGELOLA, DAN
MENGEMBANGKAN IDE MENULIS SECARA KREATIF
Sri Wahyuni
Universitas Islam Malang
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Writing is a process. Writing is thinking process, the process of doing, the
process that used to deliver the idea to other and writing is a process of
encoding. Making a good writing strated with the idea finding. The idea can
be found inj the surrounding, experience, interest, reading activity, from the
electronic media or joing the forum group discussion. Having an idea for
writing is not enough, since the arrangement of idea should be done
creatively by respecting and documenting the idea. Next, the idea should be
supported by the study that deals with the idea. There are three steps in
developing the idea for the writing, (1) defining the topic, limiting the topic,
defining the goal of the topic, formulating the thesis, the arranging the
scope, collecting material, (2) writing, and (3) revising.
Key words: finding process, arranging idea, developing idea
PENDAHULUAN
Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk
berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. Menulis
merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif. Dalam kegiatan menulis, seorang
penulis haruslah terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan kosa kata.
Keterampilan menulis tidak datang secara otomatis, melainkan harus melalui latihan dan
praktik yang banyak dan teratur. Hal ini sejalan dengan pendapat White dan Arndt (dalam
Nunan, 1994), yang menyatakan bahwa menulis merupakan sebuah proses kognitif yang
kompleks dan menuntut usaha intelektual yang terus menerus dalam waktu lama.
Menulis merupakan suatu proses. Sebagai suatu proses, menulis tidak terjadi
secara tiba-tiba, tetapi terjadi secara bertahap. Dalam proses itu, penulis terlibat secara
aktif. Melalui kegiatan menulis, seorang akan memanfaatkan pengetahuan dan
pengalaman, untuk menuangkan ide, gagasan dan perasaan serta menghubungkannya
dengan pengetahuan yang telah dimiliki guna menuangkan hasil menulis dalam bentuk
karangan. Kekeliruan strategi menulis adalah karena terlalu memfokuskan diri pada
wujud karangan (produk) sebagai hasil dari kegiatan mengarang. Untuk memperbaiki
9
kekeliruan itu, pembelajaran menulis sebaiknya lebih bertumpu dan memusatkan diri
pada proses.
Beragam tulisan tercipta melalui proses kreatif menulis yang beragam pula. Setiap
penulis atau pengarang memiliki pengalaman khas dalam menghasilkan tulisan, yang
mungkin berbeda dengan penulis atau pengarang yang lain. Untuk belajar menulis, ada
bagusnya membandingkan proses kreatif dari banyak penulis, sehingga dapat mengikuti
proses kreatif yang memang bagus untuk ditiru.
Dalam kajian ini, dibahas tentang proses kreatif menulis, yang difokuskan pada ide
penulisan. Kebanyakan orang biasanya kesulitan mencari ide untuk tulisannya.
Kebanyakan ide baru dicari-cari ketika orang akan menulis. Itulah mengapa orang
menganggap menulis itu sulit. Mereka sering heran, mengapa orang bisa menulis seperti
itu? Dari mana datangnya ide seperti itu? Berkatian dengan keterampilan menulis, berikut
ini dikaji tentang (1) menulis sebagai suatu proses, (2) pentingnya menulis, (3) cara
menemukan ide untuk menulis, (4) cara mengelola ide, dan (5) langkah mengembangkan
ide.
MENULIS SEBAGAI SUATU PROSES
Menulis merupakan suatu proses. Pertama, menulis merupakan proses berpikir.
Kegiatan menulis merupakan suatu tindakan berpikir. Menulis dan berpikir saling
melengkapi. Menulis dan berpikir merupakan dua kegiatan yang dilakukan secara
bersama dan berulang-ulang. Tulisan adalah wadah yang sekaligus merupakan hasil
pemikiran. Melalui kegiatan menulis, penulis dapat mengkomunikasikan pikirannya. Dan,
melalui kegiatan berpikir, penulis dapat meningkatkan kemampuannya dalam menulis.
Ellis, dkk. (1989:145) mengungkapkan bahwa pebelajar yang menganggap menulis
sebagai sebuah proses berpikir sering kali menunjukkan percaya diri ketika dia sedang
menulis, karena dengan kesadaran itu, pebelajar akan dapat menemukan berbagai
strategi agar tujuan yang diinginkannya dapat tercapai. Dengan kesadaran itu pula
pebelajar akan menulis dengan penuh motivasi dan senang hati.
Kedua, menulis merupakan proses yang dialami. Tanpa mengalami (melalui
pembelajaran) tidaklah mungkin seseorang dapat menulis, sebab menulis merupakan
kemampuan yang berupa keterampilan, dan keterampilan itu harus dialami. Siswa
membutuhkan pengalaman yang konsisten. Pada bagian lain, Murray juga mengatakan
bahwa menulis harus dipelajari bukan diajarkan. Oleh karena itu siswa harus mengalaminya langsung. Melalui kegiatan pembelajaran menulis deskripsi siswa akan belajar secara
langsung dalam kegiatan menulis dengan harapan mereka akan memiliki keterampilan
menulis secara nyata sesuai dengan perkembangan dan harapannya.
10
Ketiga, menulis juga merupakan suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan
oleh penulis untuk menyampaikan gagasan, pesan, informasi melalui media katakata/bahasa tulis kepada pihak lain. Sebagai bentuk komunikasi verbal, menulis
melibatkan penulis sebagai penyampai pesan atau isi tulisan, saluran atau medium
tulisan, dan pembaca sebagai penerima pesan. Menulis merupakan kemampuan
menggunakan pola-pola bahasa secara tertulis untuk mengungkapkan suatu gagasan atau
pesan. Menulis atau mengarang adalah proses menggambarkan suatu bahasa, sehingga
pesan yang disampaikan penulis dapat dipahami pembaca (Tarigan, 1986:21). Kedua
pendapat tersebut sama-sama mengacu kepada menulis sebagai proses melambangkan
bunyi-bunyi ujaran berdasarkan aturan-aturan tertentu. Artinya, segala ide, pikiran, dan
gagasan yang ada pada penulis disampaikan dengan cara menggunakan lambanglambang bahasa yang terpola. Melalui lambang-lambang tersebutlah pembaca dapat
memahami apa yang dikomunikasikan penulis.
Keempat, dari segi linguistik, menulis adalah suatu proses penyandian (encoding).
Menulis adalah suatu keterampilan kognitif (memahami, mengetahui, mempersepsi) yang
kompleks, yang menghendaki suatu strategi kognitif yang tepat, keterampilan intelektual,
informasi verbal, maupun motivasi yang tepat. Menulis adalah suatu proses menyusun,
mencatat dan mengomunikasikan makna dalam tataran ganda, bersifat interaktif dan
diarhkan untuk mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan suatu sistem tanda
konvensional yang dapat dilihat/dibaca. Tulisan/karangan adalah suatu medium yang
penting bagi ekspresi diri, untuk ekspresi bahasa, dan menemukan makna.
PENTINGNYA MENULIS
Pentingnya bahasa tulis sama banyaknya dengan pentingnya bahasa lisan; bahasa
tulis digunakan untuk membuat berbagai hal untuk dikerjakan, menyediakan informasi,
dan untuk menghibur. Namun, konteks penggunaan bahasa tulis sangat berbeda dengan
konteks penggunaan bahasa lisan. Dalam haI informasi misalnya, bahasa tulis digunakan
untuk berkomunikasi dengan orang lain yang tidak terikat dalam ruang dan waktu, atau
untuk kesempatan-kesempatan yang memerlukan catatan pemanen atau setengah
permanen.
Pada prinsipnya, fungsi utama dari tulisan adalah sebagai alat komunikasi yang
tidak langsung. Menulis sangat penting bagi pendidikan karena memudahkan para pelajar
berpikir, juga dapat menolong kita berpikir secara kritis. Dengan menulis akan
memudahkan kita memperdalam daya tanggap atau persepsi kita, memecahkan masalahmasalah yang kita hadapi, menyusun urutan bagi pengalaman, dan sebagainya. Tulisan
dapat membantu kita menjelaskan pikiran-pikiran kita.
11
Menulis ternyata dapat menyumbangkan kecerdasan. Menurut para ahli
psikolinguistik, menulis adalah suatu aktivitas yang kompleks. Kompleksitas menulis
terletak pada kemampuan mengharmo-nikan berbagai aspek. Aspek-aspek itu meliputi
pengetahuan tentang topik yang akan ditulis; penuangan pengetahuan itu ke dalam
racikan bahasa yang jernih, yang disesuaikan dengan corak wacana dan kemampuan
pembacanya; serta penyajiannya selaras dengan konvensi atau aturan penulisan. Untuk
sampai pada kesanggupan seperti itu, seseorang perlu memiliki kekayaan dan keluwesan
pengungkapan, kemampuan pengendalian emosi, serta menata dan mengembangkan
daya nalarnya dalam berbagai level berpikir, dari tingkat mengingat sampai evaluasi. Agar
tulisannya enak dibaca, apa yang dituliskan harus ditata dengan runtut, jelas, dan
menarik.
Banyak manfaat menulis. Diantaranya adalah sebagai berikut (1) sarana untuk
mengungkapkan diri, (2) sarana untuk pemahaman, (3) membantu mengembangkan
kepuasan pribadi, kebanggaan, perasaan harga diri, (4) meningkatkan kesadaran dan
penyerapan terhadap lingkungan, (5) keterlibatan secara bersemangat dan bukannya
penerimaan yang pasrah, (6) mengengembangkan suatu pemahaman dan kemampuan
menggunakan bahasa. Menulis dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengungkapkan diri
yaitu untuk mengungkapkan perasaan hati seperti kegelisahan, keinginan, amarah, dan
sebagainya. Menulis sebagai sarana pemahaman artinya dengan menulis seseorang bisa
mengikat kuat suatu ilmu pengetahuan (menancapkan pemahaman) ke dalam otaknya.
Menulis juga dapat membantu mengembangkan kepuasan diri, kebanggaan, dan
perasaan diri, artinya dengan menulis bisa melejitkan perasaan harga diri yang semula
rendah. Dengan menulis dapat meningkatkan kesadaran dan penyerapan terhadap
lingkungan, artinya orang yang menulis selalu dituntut untuk terus menerus belajar
sehingga pengetahuannya menjadi luas. Menulis juga dapat meningkatkan keterlibatan
secara bersemangat bukannya penerimaan yang pasrah, artinya dengan menulis
seseorang akan menjadi peka terhadap apa yang tidak benar di sekitarnya sehingga ia
menjadi seorang yang kreatif. Menulis juga mampu mengembangkan suatu pemahaman
dan kemampuan menggunakan bahasa, artinya dengan menulis seseorang akan selalu
berusaha memilih bentuk bahasa yang tepat dan menggunakannya dengan tepat pula.
CARA MENEMUKAN IDE UNTUK MENULIS
Setiap orang mempunyai cara berbeda dalam usahanya menemukan ide. Dengan
demikian, setiap orang melakukan proses kreatif yang beragam untuk mendapatkan ide
dalam menulis. Mengapa bisa terjadi perbedaan itu? Karena setiap orang mempunyai
sudut pandang yang berbeda dalam melihat suatu fenomena, dan berbeda dalam
12
memberikan solusi suatu masalah, yang ini biasanya terbangun sesuai dengan budaya
kerja seseorang.
Ide tidak begitu saja muncul dengan sendirinya. Memang ada orang yang baru
menulis jika tiba-tiba muncul ide. Sebenarnya, ide tidak sekadar sesuatu yang ditunggu
kemunculannya, tetapi kita sendirilah sebenarnya yang mencipakan ide itu sendiri.
Dengan kata lain, kita harus jeli dan kreatif dalam melihat suatu fenomena sehingga bisa
dijadikan sumber dalam menulis. Kreatif dapat diartikan bahwa kita mempunyai
pemikiran di luar kebanyakan orang. Kreatif juga berarti mempunyai solusi yang berbeda
dari kebanyakan solusi yang ditempuh oleh kebanyakan orang.
Banyak hal di sekitar kita yang dapat dijadikan ide sebuah tulisan. Hal ini
bergantung pada kecermatan dan kejelian kita dalam menangkap fenomena yang dapat
dijadikan ide menulis. Oleh karena itu, diperlukan kepekaan diri dalam menangkap
fenomena tersebut. Berikut ini beberapa hal yang dapat dijadikan sumber ide dalam
menulis.
Lingkungan Sekitar
Ide yang paling mudah ditemukan adalah dari apa yang kita ketahui yang berada
di lingkungan sekitar kita. Luangkan waktu sejenak untuk mengamati dan rasakan apa
yang terjadi di sekitar. Di situlah sebenarnya kita dapat memulai mencari ide untuk
menulis.
Banyak kejadian dalam satu hari yang sangat beragam dan unik, yang dapat
dijadikan sebagai sumber ide tulisan. Untuk itu, diperlukan kepekaan dalam melihat
segala sesuatu peristiwa dari sudut pandang yanng berbeda. Misalnya ada lima orang
melihat peristiwa yang sama. Mungkin hanya ada satu orang yang mempunyai ide hebat
yang tidak pernah terpikirkan oleh empat orang lainnya. Contoh lingkungan sekitar
mahasiswa: kampus, kelas, laboratorium, lingkungan pergaulan kampus, rumah/tempat
kos, lingkungan tempat tinggal, warung, dalam perjalanan, dan sebagainya. Contoh
lingkungan sekitar guru: sekolah, perpustakaan, mushola, di kelas waktu pembelajaran,
perkumpulan guru mata pelajaran, lingkungan tempat tinggal guru. Contoh lingkungan
sekitar seorang pegawai di kantor: ruang kerja, hubungan antarpegawai, padatnya
pekerjaan, dan sebagainya. Lingkungan seperti ini, sangat memungkinkan munculnya ideide dasyat yang kelak menghasilkan tulisan-tulisan yang merupakan karya besar.
Pengalaman
Jika lingkungan sekitar banyak menghasilkan tulisan di luar diri penulis, kalau
pengalaman lebih banyak mengarah pada perjalanan hidup diri sendiri. Pengalaman
hidup adalah sesuatu yang unik. Jarang sekali ada orang mengalami perjalanan hidup
13
yang sama. Pengalaman merupakan sumber yang bagus untuk memulai pencarian ide
untuk suatu tulisan.
Perjalanan hidup seseorang sebagai suatu pengalaman pribadi adalah salah satu
sumber ide tulisan yang paling mudah dibuat dan juga mungkin menjadi tulisan paling
orisinal yang pernah dibuat. Dengan menyampaikan pengalaman pribadi, orang lain bisa
belajar dari apa yang sudah kita alami. Mulai dari sinilah sebenarnya seseorang dapat
membangun citra dirinya sehingga dikenal secara luas dan dikagumi karena pengalaman
pribadinya. Sebagai contoh sukses pengarang menulis pengalaman pribadinya adalah
Andrea Herata yang terkenal dengan karyanya yang monumental Laskar Pelangi,
kemudian diikuti dengan Sang Pemimpi, dan sebagainya.
Kegemaran
Di zaman sekarang ini, banyak orang terbelenggu oleh pekerjaan rutin yang begitu
membosankan. Untuk keluar dari rutinitas ini, sering kali orang menekuni kegemaran atau
hobi. Hobi adalah kegiatan positif yang dilakukan di sela kegiatan sehari-hari atau
kegiatan rutin. Ternyata, hobi hobi dapat juga memberikan berbagai macam manfaat
yang lain selain untuk keluar dari rutinitas seperti menghasilkan tulisan.
Dengan demikian, orang memiliki ide dan kemudian menuliskannya dalam suatu
karya tidak selalu berhubungan dengan pekerjaannya. Bisa saja ide itu muncul dari suatu
kegemaran atau hobi. Sebagai contoh seorang dosen pendidikan menulis buku “Budidaya
Jambu Biji”. Seorang arsitek menulis “Cara Berkomunikasi dengan Anak”. Seorang guru
menulis buku “Resep Aneka Kue Lebaran”.
Kegiatan Membaca
Untuk dapat menulis dengan baik, kita membutuhkan pengetahuan. Oleh karena
itu, memiliki pengetahuan yang luas merupakan tuntutan dari seorang penulis. Untuk
mendapatkan pengetahuan, kuncinya adalah harus banyak belajar. Orang yang banyak
belajar akan memperoleh banyak informasi dan pengetahuan baru. Sebaliknya jika orang
tidak belajar, pengetahuannya akan dangkal karena tidak pernah tahu hal baru.
Salah satu cara belajar adalah dengan banyak membaca. Ada ungkapan bahwa
dengan membaca dunia berada di tangan kita, hal ini berarti bahwa banyak hal yang kita
butuhkan dapat kita peroleh dari kegiatan membaca. Melalui membaca, seseorang dapat
menggali
informasi,
mempelajari
pengetahuan,
memperkaya
pengalaman,
mengembangkan wawasan, dan mempelajari segala sesuatu. Bahan bacaan bisa apa saja
mulai yang ringan hingga berat. Bacaan bisa berkaitan dengan fiksi, kisah seseorang,
pengetahuan umum, keilmuan, artikel, hasil penelitian, dan sebagainya.
Selain memperoleh pengetahuan dan sebagainya, dengan membaca karya
seseorang kita juga bisa belajar bagaimana cara menulis yang baik, harus dengan bahasa
14
seperti apa, dan sebagainya. Untuk mendapatkan hal baru, perbanyak membaca artikel
populer atau ilmiah, baca dan pelajari artikelnya. Untuk penulis pemula, kita dapat
menulis artikel dengan topik yang sama tapi dengan sudut pandang yang berbeda. Jika
dalam diri kita sudah terisi dengan informasi, pengetahuan, pengalaman, dan wawasan
dari hasil kegiatan membaca; maka menulis menjadi kegaitan yang tidak terlalu sulit
karena ide dapat diperoleh dari hasil membaca tersebut. Jadi kegiatan membaca
merupakan modal utama seseorang dapat menulis. Coba kita baca sebuah novel,
pengetahuan seorang pengarang akan tampak betul dalam novel tersebut. Dia bisa saja
menjadi ahli kimia, ahli komunikasi, ahli perdagangan, dan sebagainya.
Media Elektronik
Di zaman sekarang ini, mendapatkan informasi atau pengetahuan baru sudah
menjadi suatu kebutuhan. Informasi atau pengetahuan baru itu dapat diperoleh dengan
cepat melalui media elektronik yang berkembang pesat. Orang yang tidak atau kurang
mengikuti perkembangan melalui media elektronik
akan tertinggal dan buta akan
keadaan dunia sekarang. Dengan demikian, kita harus mengikuti kemajuan media
elektronik melalui perkembangan teknologinya yang demikian pesat. Teknologi
telekomunikasi seperti telepon, telepon seluler, fax, dan sebagainya sudah demikian
canggih.
Teknologi jaringan komputer, baik perangkat keras (LAN, Internet, WiFI, dan lainlain), maupun perangkat lunak pendukungnya (aplikasi jaringan) seperti Web, e-mail,
HTML, Java, PHP, aplikasi basis data, dan sebagainya juga berkembang pesat. Dengan
perkembangan itu, kita dapat memanfaatkan media elektronik seperti radio, televisi,
jaringan internet, E-book, e-magazine, e-news, e-journal dan sebagainya untuk
menambah pengetahuan dan wawasan kita yang ini dapat dijadikan sumber ide tulisan
kita. Khusus melalui internet biasanya kita menggunakan Search Engine (seperti altavista,
yahoo, google) yaitu aplikasi di internet yang mempunyai kemampuan mencari informasi
untuk topik tertentu. Aplikasi ini sangat bermanfaat untuk mencari topik dengan
bermacam-macam bentuk: artikel ilmiah, text book, gambar, software animasi, simulasi.
Bergabung dalam Forum Diskusi
Memperoleh informasi dan pengetahuan baru tidak hanya kita peroleh melalui
petualangan mandiri dengan berbagai cara dan media. Informasi dan pengetahuan bisa
juga kita peroleh dari suatu forum diskusi yang melibatkan beberapa atau banyak orang.
Mungkin tidak hanya informasi dan pengetahuan baru kita peroleh, tapi juga solusi
penyelesaian masalah akan kita dapatkan dari sana.
15
Forum diskusi bisa dilakukan secara tatap muka maupun online. Untuk forum
tatap muka kita bisa bergabung dengan komunitas, organisasi, ataupun group. Selain
memperbanyak teman dan jaringan, inspirasi yang diperoleh dengan diskusi bersama
pasti akan menimbulkan sebuah ide baru untuk sesuatu yang akan ditulis.
Untuk forum online kita besa memanfaatkan e-mail (web based email), mailing
list, ftp, www, chat room (web based chatting), teleconference, maupun discussion forum
(web based discussion. E-mail merupakan fasilitas yang paling sederhana, paling mudah
penggunaannya dan dipergunakan secara luas oleh pengguna komputer. E-mail
merupakan fasilitas yang memungkinkan dua orang atau lebih melakukan komunikasi
yang bersifat tidak sinkron (asynchronous communication mode) atau tidak bersifat real
time. Tetapi justru karakteristik seperti itulah yang menjadikan e-mail menjadi sarana
komunikasi paling murah. Mailing list merupakan perluasan penggunaan e-mail, dengan
fasilitas ini pengguna yang telah memiliki alamat e-mail bisa bergabung dalam suatu
kelompok diskusi, dan melalui milis ini bisa dilakukan diskusi untuk memecahkan suatu
permasalahan secara bersama-sama, dengan saling memberikan saran pemecahan (brain
storming). Komunikasi melalui milis ini memiliki sifat yang sama dengan e-mail, yaitu
bersifat tidak sinkron (asynchronous communication mode) atau bersifat un-real time.
File Transfer Protocol (FTP) adalah fasilitas Internet yang memberikan kemudahan kepada
pengguna untuk mencari dan mengambil arsip file (down load) di suatu server yang
terhubung ke Internet pada alamat tertentu yang menyediakan berbagai arsip (file), yang
memang diizinkan untuk diambil oleh pengguna lain yang membutuhkannya. File ini bisa
berupa hasil penelitian, artikel-artikel jurnal dan lain-lain. Di samping itu FTP juga
dipergunakan untuk meng-upload file materi situs (homepage) sehingga bisa diakses oleh
pengguna dari seluruh pelosok dunia. WWW (World Wide Web) merupakan kumpulan
koleksi besar tentang berbagai jenis dokumentasi yang tersimpan dalam berbagai server
di seluruh dunia, dan dokumentasi tersebut dikembangkan dalam format hypertext dan
hypermedia, dengan menggunakan Hypertext Markup Language (HTML) yang
memungkinkan terjadinya koneksi (link) dokumen yang satu dengan yang lain atau bagian
dari dokumen yang satu dengan bagian yang lainnya, baik dalam bentuk teks, visual dan
lain-lainnya. WWW bersifat multimedia karena merupakan kombinasi dari teks, foto,
grafika, audio, animasi dan video. Chat Room (Teleconference) merupakan fasilitas untuk
melakukan komunikasi antara dua orang atau lebih secara serempak dalam pengertian
waktu yang sama (real time), dan dengan demikian berarti komunikasi yang dilakukan
adalah komunikasi yang sinkron (synchronous communication mode). Bentuk pertemuan
ini lazim disebut sebagai konferensi, dan fasilitas yang digunakan bisa sepenuhnya
multimedia (audio-visual) dengan mengggunakan fasilitas video conferencing, ataupun
16
text saja atau text dan audio dengan menggunakan fasilitas chat (IRC). Discussion Forum
dapat digunakan untuk melakukan diskusi secara tertulis mengenai topik tertentu yang
telah dikelompokkan. Komunikasi melalui discussion forum memiliki sifat yang sama
dengan e-mail, yaitu bersifat tidak sinkron (asynchronous communication mode) atau
bersifat un-real time. Ada banyak istilah untuk discussion forum seperti: bulletin board,
discussion centre, forum, dan sebagainya.
MENGELOLA IDE
Setelah ide diperoleh dari berbagai sumber seperti yang telah dijelaskan di atas
(lingkungan sekitar, pengalaman, kegemaran, kegiatan membaca, media elektronik,
bergabung dalam forum diskusi), selanjutnya kita harus dapat mengelola ide yang telah
ditemukan tersebut agar tidak hilang begitu saja. Berikut ini beberapa cara mengelola ide
sehingga dapat dikembangkan menjadi sebuah tulisan yang menarik.
Menangkap ide secara kreatif
Kreatif artinya memiliki daya cipta atau memiliki kemampuan untuk menciptakan.
Setiap orang bisa menjadi kreatif asalkan di dalam dirinya tertanam rasa ingin tahu yang
besar, sebab kreativitas adalah keterampilan. Kreatif merupakan hal yang sering
ditekankan oleh setiap orang dalam berpikir. Kenapa harus dengan cara kreatif? Karena,
dengan pola pikir yang sama seperti kebanyakan orang, mungkin kita tidak akan
menemukan sesuatu yang baru, yang membuat kita berbeda dari orang lain. Kreativitas
yang tinggi merupakan nilai berharga yang wajib dimiliki oleh setiap penulis. Dengan
berpikir kreatif, kita pun dituntut untuk terus mengasah kinerja otak serta membiasakan
diri untuk tidak menunggu insipirasi datang. Sebaliknya, kita harus mampu memunculkan
inspirasi setiap saat.
Begitu pula ketika kita sudah menangkap suatu ide. Tentu kita tidak begitu saja
menyimpan ide itu dengan biasa saja. Kita harus dapat meninjaunya secara kreatif dari
sudut pandang yang mungkin belum banyak orang memikirkan itu. Dengan menangkap
ide secara kreatif, tulisan yang dihasilkan pun tidak akan biasa saja.
Menghargai semua ide
Dengan melakukan banyak pencarian, tentunya akan ditemui beragam ide. Bisa
saja ide itu berhubungan dengan sesuatu yang besar atau agung sehingga bisa digunakan
untuk memecahkan masalalah-masalah besar, atau mungkin saja itu ide kecil yang
mungkin kurang bermanfaat saat ini. Mungkin saja kita merasa yakin bahwa suatu ide itu
pasti bagus, sementara ide yang lain yang sebenarnya baik tetapi kita kurang yakin bisa
17
menyelesaikan masalah. Sebenarnya, apapu ide itu seharusnya kita menghargainya. Kita
perlu berpikiran positif, bawa tidak ada ide yang salah atau jelek.
Dalam menulis, diperlukan keberanian untuk mengungkapkan ide yang kita miliki.
Kendala pada penulis pemula adalah ketidakberanian menyampaikan ide karena merasa
belum percaya diri atau tidak yakin bahwa idenya dapat diterima orang lain. Hal inilah
yang sebenarnya salah satu faktor yang menghambat seseorang dalam menulis. Intinya
adalah jangan pernah takut mengungkapakan sebuah ide apa pun itu, karena setiap ide
adalah hal yang berharga.
Mendokumentasikan Ide (Bank Ide)
Seringkali orang ingin menulis tapi tidak punya ide. Kebanyakan ide baru dicaricari ketika orang akan menulis. Itulah mengapa orang menganggap menulis itu sulit.
Mereka sering heran, kok bisa ya orang menulis seperti itu? Dari mana ya datangnya ide
seperti itu? Oleh karena itu, kita perlu pembiasaan menyimpan ide yang seringkali datang
tiba-tiba. Tulis di media apa pun (secarik kertas, HP, dsb), tapi segera masukkan dalam
bank ide (dalam laptop atau PC begitu sampai di rumah). Kalau perlu buat folder-folder
jenis ide yang ditemukan. Dengan membiasakan diri menyimpan gagasan-gagasan dalam
bank ide, otomatis ide yang muncul pasti relatif baru karena munculnya bersamaan
dengan gerak kehidupan kita. Dengan demikian, mengumpulkan ide-ide tersebut adalah
salah satu cara yang efektif dalam menulis, karena seringkali orang terhambat
kemampuan menulisnya hanya karena tidak punya ide. Jadi melalui bank ide inilah,
tulisan-tulisan kita akan tercipta.
Mendokumentasikan ide yang Sudah Terumuskan Menjadi Masalah (Bank masalah)
Masalah adalah inti persoalan yang akan dicari. Dengan demikian, masalah
biasanya dianggap sebagai suatu keadaan yang harus diselesaikan. Masalah terjadi jika
keadaan yang dihadapi tidak sesuai dengan keadaan yang diinginkan. Hal ini sejalan
dengan pendapat Merton, masalah adalah ”ketidaksesuaian yang signifikan dan tidak
diinginkan” antara standar kebersamaan dan kondisi nya. Masalah muncul jika kondisi
sekarang dan kondisi yang diharapkan berbeda. Kondisi yang sekarang terjadi belumlah
sempurna dan keyakinan bahwa masa depan bisa dibuat jadi lebih baik. Keyakinan bahwa
harapan bisa tercapai akan membuat seseorang memiliki sasaran untuk masa depan yang
lebih baik. Harapan membuat diri sendiri merasa tertantang dan tantangan semacam ini
juga layak juga disebut sebagai masalah. Untuk dapat menemukan masalah memang
membutuhkan kepekaan. Banyak orang tidak menyadari bahwa di sekitar kita banyak
masalah. Kalau masalah itu dibiarkan bisa saja akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
18
Cara mudah untuk menemukan masalah adalah dengan banyak belajar hal baru melalui
beragam media. Sebuah masalah bisa muncul (kita menganggap itu masalah) jika kita
memiliki pengetahuan atau pemikiran baru yang berbeda atau berlawanan dengan
kenyataan yang kita jumpai. Ketika seseorang tahu di mana posisi sekarang dan ke mana
hendak menuju maka orang tersebut sudah punya sebuah masalah terkait bagaimana
agar bisa sampai pada tujuan yg diharapkan. Agar masalah yang dijumpai terekam dengan
baik, ada baiknya mendokumentasikan setiap ada permasalahan yang dijumpai. Dari
dokumentasi masalah ini (kita sebut bank masalah), selanjutnya kita tinggal
menyelesaikan secara bertahap menurut skala prioritas.
Mendokumentasikan Informasi, Pengetahuan, Teori yang Terkumpul dari Sebuah Ide
Sebenarnya banyak orang hobi membaca dari beragam sumber baik cetak
maupun elektronik. Meskipun demikian, ternyata banyak dari mereka yang membiarkan
saja hasil membacanya, tanpa mendokumentasikan.
Berikut ini langkah mulai proses membaca hingga mendokumentasikan hasil
bacaan. Pertama, bacalah buku atau sumber lain secara cepat untuk menemukan bagian
yang dicari. Begitu diperoleh, bacalah dengan cermat dan kalau perlu diulang hingga
diperoleh kesan umum tentang buku atau sumber yang dibaca. Kedua, catatlah gagasan
utamanya. Untuk menemukan gagasan utama, bacalah tulisan itu bagian demi bagian,
alinea demi alinea sambil mencatat semua gagasan yang penting dalam bagian atau
alinea itu. Ketiga, buatlah ringkasan. Berdasarkan pokok-pokok yang telah dicatat
sellanjutnya disusun ringkasan. Besarnya ringkasan bergantung pada jumlah alinea dan
topik utama yang akan dimasukkan dalam ringkasan. Ilustrasi, contoh, deskripsi, dan
sebagainya dapat dihilangkan, kecuali yang dianggap penting. Jangan lupa mencantumkan
sumber dan halaman pada setiap pokok tulisan yang diringkas. Untuk bahan yan berupa
elektronik, bisa saja kita menyimpan bahan itu secara utuh di laptop kita.
Ringkasan yang kita buat setiap kali membaca atau bahan utuh yang kita temukan
dapat dikelompokkan dalam berbagai folder berdasarkan jenis kajian. Dengan demikian,
apabila kita membutuhkan sewaktu-waktu kita akan dengan mudah menemukan.
LANGKAH MENGEMBANGKAN IDE MENJADI TULISAN
Untuk membuat suatu tulisan, ada sejumlah langkah yang perlu dilakukan.
Menurut Becky (2006), langkah proses menulis meliputi prapenulisan (prewriting), draft
kasar, editing sejawat, merevisi, dan editing akhir. Pendapat ini sejalan dengan pendapat
Tompkins (1994:10), yang menjelaskan ada lima tahap menulis, yaitu pramenulis
(prewriting), (2) pengedrafan (drafting), (3) merevisi (revising), (4) mengedit (editing), dan
19
(5) mempublikasikan (publishing). Sementara itu, ada yang membagai tiga saja, yaitu
prapenulisan, penulisan, dan revisi. Berikut ini jabaran langkah menulis, khususnya untuk
menulis ragam ilmiah.
Prapenulisan
Prapenulisan meliputi kegiatan: pemilihan dan penentuan masalah, pembatasan
masalah, penentuan tujuan, perumusan tesis, penyusunan kerangka tulisan, penentuan
judul, dan pengumpulan bahan.
Pemilihan dan Penentuan Masalah
Penulis pemula, pada tahap awalnya berhadapan dengan “Apa yang hendak saya
tulis?”. Ini berarti orang menulis berangkat dari sesuatu ‘masalah’. Masalah dapat
bersumber dari pengalaman, penalaran, atau rekaan. Pengalaman yang dimaksud adalah
baik pengalaman langsung (dialami sendiri) maupun pengalaman tidak langsung (dialami
oleh orang lain), seperti hasil dari observasi, penelitian, atau hasil dari membaca.
Penalaran artinya, masalah tersebut dihasilkan dari proses pemikiran secara deduktif.
Sedangkan rekaan, masalah didapatkan dari proses imajinasi.
Dalam memilih atau menentukan masalah, harus dipikirkan syarat-syarat tertentu,
yaitu: (1) masalah itu harus menarik, (2) masalah itu harus ada manfaatnya, (3) masalah
itu harus mempunyai sumber-sumber informasi, (4) penulis memiliki kemampuan untuk
membicarakan masalah yang ditulis, dan (5) masalah yang dipilih tidak menimbulkan
pertentangan.
Dalam menemukan masalah, ada banyak strategi yang bisa ditempuh, antara lain
branstorming, perengungan, formula jurnalistik, pertanyaan klasik, dan pemecahan
masalah. Brainstorming adalah suatu proses berpikir untuk mengungkapkan semua ide
yang terlintas atau yang ada dalam benak penulis. Selanjutnya, dipilih salah satu maslah
yang paling disenangi dan dikuasai. Perenungan merupkan cara berpikir analitis-logis
dengan berkonsentrasi pada masalh tertentu. Setiap masalah baik yang berupa gagsan,
konsep atau ide dipikirkan dengan sungguh-sungguh berdasarkan penalaran yang masuk
akal. Formula jurnalistik dikenal dengan 5W + 1H: who, what, when, where, why, dan
how. Penggunaan formula jurnalistik dalam menemukan masalah dapat dilakukan
terutama untuk tulisan ilmiah yang bersifat laporan. Strategi penemuan masalah dapat
juga dilakukan dengan pertanyaan klasik. Masalah-masalah yang cocok ditemukan dengan
cara ini biasalh masalah-masalah yang baru. Terdapat empat pertanyaan klasik yang
diajukan, yaitu: apakah ini, apa permasalahan dan perbedaannya dengan yang lain, apa
yang menyebabkan ini, dan apa yang dikatakan orang tentang ini? Strategi penemuan
masalah dapat melalui proses pemecahan masalah. Suatu masalah muncul jika terdapat
20
kesenjangan antara yang diharapkan dengan kenyataan yang dihadapi. Pemecahan
masalah merupkan suatu usaha untuk mengatasi atau menyelesaikan masalah yang
sedang dihadapi atau akan dihadapi. Pemecahan masalah dapat dilakukan dengan
langkah-langkah: identifikasi dan spesifikasi masalah, menganalisis masalah, merumuskan
hipotesis, mengumpulkan bukti, dan menguji hipotesis.
Pembatasan Masalah
Masalah perlu dibatasi agar pembahasandapat dilakukan secara menyeluruh
(komprehensif. Cara membatasi masalah adalah sebagai berikut: (1) menggunakan
jembatan pertanyaan 5W + 1H, daftarkan perincian-perincian masalh-masalah tersebut,
misalnya mengikuti diagram tertentu misalnya diagram pohon, (3) memilih salah satu dari
perincian maslaah, dan (4) ajukan pertanyaan apakah rincian topik yang telah dipilih
dapat dirinci lagi.
Penentuan Tujuan
Penentuan tujuan pentind dalam setiap usaha menulis. Hal ini disebabkan: (1)
tujuan merupakan alat kontrol terhadap proses menulis, (2) dengan tujuan dapat
digunakan dalam usah penyusunan kerangka karangan, (3) dengan tujuan dapat
digunakan dalam rangka pengumpulan bahan tulisan. Tujuan dirumuskan secara
terperinci dalam beberapa kalimat mulai dari awal sampai akhir apa yang ingin dicapai
penulis lewat tulisannya.
Perumusan Tesis
Tesis adalah ide/gagsan yang menjadi dasar tulisan secara keseluruhan. Tesis
merupkan pangkal tolak tulisan itu dibangun. Tesis dapat diartikan juga sebagai
pernyataan yang didasarkan pada pembukyian secara ilmiah. Permusan tesi merupkan
perpaduan antara maslah yang dibicarakan dengan tujuan yang akan dikemukakan. Tesis
juga merupkan pernyataan yang secara umum menggambarkan isi tulisan yang akan kita
susun. Jika kita membicarakan masalh dari awal hingga akhir, kita akan tetap membahas
rumusn tesis tesebut (pada akhirnya akan dikembalikan pada perumusan tesis tersebut).
Ada beberapa kriteria yang merupakan karakteristik tesis yang baik. Karakteristik
tesis yang baik adalah: (1) tesis diungkapkan dalam kalimat lengkap, (2) tesis
mengungkapkan opini, sikap, atau gagasan, bukan sekedar pernyataan sederhana tentang
masalh yang akan dikembangkan, (3) tesis bukan sekedar menggambarkan fakta tetapi
membutuhkan penjelasan dan pembuktian, (4) tesis hanya terdiri atas satu gagasan untuk
21
satu masalah, (5) tesis dipilih berdasarkan otoritas penulis, (6) tesis dipilih yang tidak
terlalu luas, (7) tesis dipilih yang padu atau bulat, dan (8) tesis dipilih yang khusus.
Penyusunan Kerangka Tulisan
Kerangka tulisan adalah pokok-pokok pikiran yang dijabarkan dari rumusan tesis
secara operasional. Dari sebuah kerangka tulisan itu kita melakukan identifkasi pokok
pikiran sampai pokok pikiran yang terkecil yang nantinya akan terwujud sebuah aragraf.
Kerangka tulisan memiliki fungsi yang sangat penting. Fungsi kerangka tulisan
adalah: (1) memberikan gambaran yang menyeluruh tentang isi karangan yang akan
ditulis, (2) membantu penulis menyusun sajian pikiran secara teratur, yang jelas kitan
anarpikirannya, (3) memudahkan penulis menciptakan klimaks yang berbeda-beda, (4)
memudahkan penulis mengecek masih ada tiidaknya pikiran bawahan yang belum
tercaku dalam karanga yang akan ditulis, (5) menghindari terjadinya pengulangan pikiran,
dan (6) memudahkan pencarian dan pengumpulan bahan yang diperlukan serta sumbersumber bahan yang dapat dimanfaatkan.
Ada beberapa langkah yang perlu ditempuh dalam penyusunan kerangka tulisan.
Langkah-langkah itu adalah: (1) merumuskan pokok-pokok pikiran, (2) mengidentifikasi
pokok-poko pikiran, (3) menyeleksi pokok-pokok pikiran yang relevan dengan masalah,
(4) mengadakan identifikasi ulang pokok-pokok pikiran yang belum lengkap, (5)
menyeleksi ulang, (6) menata/mengorganisasikan
pokok-pokok pikiran
dengan
pendekatan/pola tertentu, dan (7) merumuskan kerangka tulisan.
Dalam menyusun kerangka tulisan, terdapat beberapa jenis kerangka yang bisa
digunakan. Berdasarkan pola pengurutan pokok-pokok pikiran, kerangka tulisan dapat
disusun dengan pola urutan waktu, pola urutan proses, pola urutan ruang/tempat, pola
urutan objek/topik yang tersedia, dan pola urutan logis: deduktif-induktif, klimaksantiklimaks, sebab-akibat, urutan pemecahan masalah, urutan kedekatan/familiaritas,
urutan
keberterimaan/akseptabilitaas.
Berdasarkan
kerinciannya,
ada
kerangka
sederhana dan kerangka terperinci. Kerangka sederhana biasanya disusun oleh penulis
jika masalah yang akan dikembangkan bersifat sederhana (sempit cakupannya), atau
karangan yang akan dikembangkan relatif lebih pendek sehingga tidak memerlukan
kerangka formal. Kerangka hanya digunakan sebagai pengarah. Dengan kerangka ini,
penulis daapat melakukan lebih banyak improvisasi ketika mengembangkan tulisan.
Kerangka terperinci disusun cukup rinci sampai tiga atau empat tingkatan. Kerangka ini
biasanya dipakai oleh penulis jika masalah yang dibahas cukup luas cakupannya/cukup
kompleks. Berdasarkan perumusan teksnya, terdapat kerangka kalimat dan kerangka
topik. Kerangka kalimat menggunakan kalimat berita yang lengkap. Kerangka ini memiliki
22
manfaat: (1) menuntut pendeskripsian secara tepat, (2) karena kerangkanya jelas, maka
penulis tetap dapat mengembangkannya dengan baik dan tepat dalam rentang waktu
yang lama. Kerangka topik menggunakan kata atau frase dalam menyatakan topik-topik
bawahan/sub-sub masalah, bukan kalimat-kalimat. Oleh sebab itu, biasanya kerangka
topik kurang jelas. Kerangka seperti ini menuntut untuk segera ditulis dalam tempo
penggarapan yang relatif pendek.
Penentuan Judul
Judul tulisan lebih baik ditulis setelah pembuatan kerangka tulisan atau minimal
setelah penentuan masalah dirumuskan, sehingga bisa terjamin bahwa judul itu cocok
atau sesuai dengan tema atau masalahnya. Bila penulis sudah memilih judul sebelum
perumusan masalah, maka penulis hendaknya selalu bersedia untuk mempertimbangkan
kembali judul itu sesudah tema atau masalah dan kerangka tuulisan selesai digarap.
Syarat-syarat judul yang baik adalah: (1) judul harus provokatif atau menarik sehingga
dapat merangsang perhatian pembaca sehingga berkeinginan membaca karya itu, (2)
judul harus relevan dengan masalah yang akan dibahas, (3) judul harus asli (original), dan
(4) judul harus singkat, maksudnya judul tidak boleh mengambil bentuk kalimat atau frase
yang panjang, tetapi harus berbentuk kata atau rangkaian kata yang singkat; jika penulis
tidak dapat menghindari judul yang panjang maka penulis dapat menuliskan judul utama
yanag singkat, diikuti dengan judul tambahan yang panjang.
Pengumpulan Bahan
Jika tulisan kita bersifat faktual, maka dibutuhkan informasi fakta-fakta. Jika
tulisan kita bersifat teoritis, maka dibutuhkan informasi teori-teori. Dan jika tulisan kita
bersifat faktual dan teoritis, maka dibutuhkan informasi fakta-fakta dan teori-teori.
Setelah jelas informasi yang dibutuhkan, selanjutnya dikumpulkan bahan yang sesuai,
baik bahan dari sumber pustaka seperti buku teks, jurnal, majalah, makalah, laporan
penelitian, dan lain-lain; ataupun sumber nonpustaka seperti hasil observasi, wawancara,
angket, dan lain-lain. Untuk sumber pustaka, ditentukan bahannya, kemudian
memanfaaatkan katalog, dan menelaah pustaka. Untuk sumber nonpustaka, dilakaukan
langkah obeservasi langsung/tidak langsung, wawancara bebas/terstruktur, dan
menyebar seperangkat pertanyaan.
Penulisan
Langkah-langkah prapenulisan merupakan langkah invensi. Dalam proses menulis,
kita ingin menyajikan gagasan-gagasan invensi kita seefektif mungkin. Menulis bermula
23
dari
perkembangan
berpikir
(invensi)
dan
mengembangklannya
ke
arah
mengkomunikasikan pikiran-pikiran itu kepada orang lain.
Hal yang paling penting yang harus diingat pada saat kita mulai menulis adalah
pertalian antara penulis dan pembaca. Untuk setiap kata yang ditulis, penulis
berimajinasi/membayangkan reaksi pembaca mengenai apa yang dikatakan dan
bagaimana cara mengatatakannya. Penulis harus tetap menyadari bahwa ia mempunyai
gagasan tentang sesuatu yang berguna/berharga untuk disampaikan kepada pembaca.
Penulis sangat ingin menyampaikan gagsan tersebut kepada pembaca tertentu
sedemikian rupa sehingga pembaca akan mengapresiasinya dan memperoleh manfaatnya
atau sekurang-kurangya memahminya.
Kegiatan penulisan berupa penguraian kerangka tulisan menjadi paragraf-paragraf
yang berisi kalimat-kalimat sebagai unitnya, dengan memperhatikan petunjuk
kebahasaan maupun petunjuk teknik penulisan. Untuk petunjuk kebahasaan, yang perlu
diperhatikan
adalah
pemilihan
kata,
penyusunan
kalimat,
penyusunan
dan
pengorganisasian paragraf, penggunaan ejaan, dan penalaran. Untuk petunjuk teknik
penulisan, yang perlu diperhatikan adalah pengetikan, kutipan (rujukan0, catatan kaki,
penyajian tabel dan gambar, daftar rujukan, dan perwajahan.
Sedangkan isi dan sistematika penulisan secara garis besar meliputi (1) penulisan
bagian awal, (2) penulisan bagian inti, dan (3) penulisan bagian akhir. Pada bagian awal,
ditulis halaman sampul, daftar isi, dan daftar tabel dan gambar jika ada. Pada bagian inti,
dirinci bagian pendahuluan, teks utama, dan penutup. Pada bagian akhir ditulis daftar
rujukan dan lampiran jika ada.
Penyempurnaan
Penyempurnaan dilakukan baik pada isi, bahasa, maupun teknik penulisan.
Penyempurnaan isi pada dasarnya adalah revisi atau perbaikan dan penajaman pada
tahap diperolehnya konsep awal sebuah tulisan. Penyempurnaan isi tulisan dilakukan baik
pada tahap perencanaan maupun pelaksanaan penulisan. Penyempurnaan bahasa
merupakan revisi tulisan terhadap paragraf, kalimat, kata, bahkan ejaan dan tanda baca.
Tahap ini sangat penting dilakukan agar dalam sebuah karya ilmiah yang dihasilkan
penulis tidak terdapat pada aspek kebahasaan. Ketidaktepatan penggunaan berbagai
aspek kebahasaan akan mengganggu keefektifan komunikasi antara apa yang
diungkapkan penulis kepada pembaca. Penyempurnaan teknik penulisan perlu dilakukan
penulis agar diperoleh hasil yang sistematis. Yang perlu diperhatikan dalam
penyempurnaan teknik penulisan antara lain pada bagian halaman sampul, daftar tabel,
24
gambar, dan lampiran, bagian pendahuluan, teks utama, bagian penutup, pengetikan,
kutipan, dan daftar rujukan.
PENUTUP
Menulis merupakan suatu proses. Pertama, menulis merupakan proses berpikir.
Kegiatan menulis merupakan suatu tindakan berpikir. Kedua, menulis merupakan proses
yang dialami. Tanpa mengalami (melalui pembelajaran) tidaklah mungkin seseorang
dapat menulis, sebab menulis merupakan kemampuan yang berupa keterampilan, dan
keterampilan itu harus dialami. Siswa membutuhkan pengalaman yang konsisten. Ketiga,
menulis juga merupakan suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh penulis
untuk menyampaikan gagasan, pesan, informasi melalui media kata-kata/bahasa tulis
kepada pihak lain. Keempat, dari segi linguistik, menulis adalah suatu proses penyandian
(encoding).
Pentingnya bahasa tulis sama banyaknya dengan pentingnya bahasa lisan; bahasa
tulis digunakan untuk membuat berbagai hal untuk dikerjakan, menyediakan informasi,
dan untuk menghibur. Namun, konteks penggunaan bahasa tulis sangat berbeda dengan
konteks penggunaan bahasa lisan. Dalam haI informasi misalnya, bahasa tulis digunakan
untuk berkomunikasi dengan orang lain yang tidak terikat dalam ruang dan waktu, atau
untuk kesempatan-kesempatan yang memerlukan catatan pemanen atau setengah
permanen.
Ide menulis diperoleh dari beragam sumber. Pertama dari lingkungan sekitar. Ide
yang paling mudah ditemukan adalah dari apa yang kita ketahui yang berada di
lingkungan sekitar kita. Kedua dari pengalaman. Pengalaman hidup adalah sesuatu yang
unik. Jarang sekali ada orang mengalami perjalanan hidup yang sama. Pengalaman
merupakan sumber yang bagus untuk memulai pencarian ide untuk suatu tulisan. Ketiga
dari kegemarana atau hobi. Ternyata, hobi dapat juga memberikan berbagai macam
manfaat yang lain selain untuk keluar dari rutinitas seperti menghasilkan tulisan. Keempat
kegiatan membaca. Untuk dapat menulis dengan baik, kita membutuhkan pengetahuan.
Untuk mendapatkan pengetahuan, kuncinya adalah harus banyak belajar, yang antara lain
diperoleh dari membaca. Kelima dari media elektronik. Di zaman sekarang ini,
mendapatkan informasi atau pengetahuan baru sudah menjadi suatu kebutuhan, dan itu
dapat diperoleh antara lain dari media elektronik. Dari media inilah penulis juga
mendapatkan ide. Selainitu, ide bisa juga diperoleh dengan bergabung dalam Forum
Diskusi yang melibatkan beberapa atau banyak orang.
Ide yang telah ditemukan dari berbagai sumber harus dikelola dengan tepat.
Pertama, ide yang telah ditemukan harus ditangkap secara kreatif agar berbeda dengan
25
yang lain. Kedua, kita harus menghargai semua ide. Apapu ide itu seharusnya kita
menghargainya. Kita perlu berpikiran positif, bawa tidak ada ide yang salah atau jelek.
Ketiga, kita perlu mendokumentasikan ide. Ide yang datangnya bisa tiba-tiba ini jika tidak
didokumentasikian dengan baik bisa saja hilang padahal itu mungkin ide yang bagus.
Berikutnya kita perlu mendokumentasikan ide yang sudah terumuskan menjadi masalah,
dan juga mendokumentasikan informasi, pengetahuan, teori yang terkumpul dari sebuah
ide.
Dengan pendekatan proses, menulis secara garis besar terdiri atas dua langkah
utama, yaitu (1) penemuan atau invensi dan (2) penyajian atau presentasi. Dari dua
langkah ini, proses menulis lebih lanjut dibagi dalam langkah-langkah: (1) prapenulisan,
(2) penulisan, dan (3) penyempurnaan. Prapenulisan meliputi kegiatan: pemilihan dan
penentuan masalah, pembatasan masalah, penentuan tujuan, perumusan tesis,
penyusunan kerangka tulisan, penentuan judul, dan pengumpulan bahan. Kegiatan
penulisan berupa penguraian kerangka tulisan menjadi paragraf-paragraf yang berisi
kalimat-kalimat sebagai unitnya, dengan memperhatikan petunjuk kebahasaan maupun
petunjuk teknik penulisan. Penyempurnaan dilakukan baik pada isi, bahasa, maupun
teknik penulisan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Mukhsin. 1990. Dasar-Dasar Komposisi Bahasa Indonesia. Malang: YA3.
Akhadiah, S., Arsjad, M.G., Ridwan. 1989. Pembinaan Keterampilan Menulis Bahasa
Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Becky L, Spevey. 2006. What Is the Writing Process? http://www.superduperinc.com.
D’Angelo, Frank J. 1980. Process and Thought in Composition. Massachusetts: Winthrop
Publisher, Inc.
Ellis, A., Panunu, J., Standal, T., & Rummel, M.K. 1989.Elementariy Language Arts
Instruction. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.
Keraf, Gorys. 1984. Komposisi, Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Jakarta: Nusa Indah.
Lado, Robert. 1964. Language Teaching. New York, London: McGraw-Hill Inc.
Nunan, D. 1999. Second Language Teaching and Learning, Massachusetts. Heinle & Heinle
Publishers.Suparno dkk. 1986. Bahasa Indonesia Keilmuan. Malang: FPBS IKIP
Malang.
26
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung:
Penerbit Angkasa.
Tompkins, G. E. 1994. Teaching Writing: Balancing Process and Product. New York:
Macmillan.
27
PENGARANG, PENULIS, DAHULU DAN SEKARANG
Akhmad Tabrani
Universitas Islam Malang
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
The terminology of the author and the writer are overlapping. Both of them
have the same problem from specific point of view. The problem in the world
of the authority and the writing still focuse on the old problem; The author,
the publisher, and the reader. The old authors were the noble ciizens since
they had a good access to the palace. They were the writer, the story teller of
the kingdom and the kingdom’s family, and the king’s advisor. Now, the
authors (writer) should fight to make a living as the person who has a
profession as a writer. They must compete with the other writers. They also
face the reality that the society has not respect the writer as the noble
profession. The profession of the author or the writer could not rely on the
honorarium to make a living. They must have the side job to fulfill their daily
life needs.
Kata kunci: author, writer, profession, side job
Sebelum dibahas masalah yang serius, ada baiknya dicermati istilah remeh temeh
yang terdapat dalam kosa-istilah di lingkungan akademis maupun di lingkungan nonakademis. Selama ini masyarakat tidak terlalu memusingkan istilah mengarang dan
menulis. Orang yang bisa menulis cerpen, novel, roman, essai, kritik sering disebut
penulis. Istilah penulis dalam konteks ini adalah orang yang tidak sekedar bisa menulis,
tetapi mereka yang sudah menekuni dunia tulis-menulis. Penulis cerpen bisa disebut
cerpenis, penulis novel bisa disebut novelis, penulis essai disebut essais, penulis kritik
disebut kriktikus. Tetapi bandingkan dengan orang yang menulis puisi, penulis puisi tidak
serta-merta mendapat julukan penyair. Tetapi, sejauh pemahaman penulis, penulis
roman belum ditemukan istilahnya seperti cerpenis, novelis dst. Belum ada ahli
pemerhati istilah yang menjuluki penulis roman dengan romanis apalagi “romantis”.
Istilah penulis dan pengarang dapat digunakan bergantian bila mengacu pada
pembahasan di atas. Penulis atau pengarang cerpen, novel dan roman, untuk istilah essai
dan kritik masih digunakan istilah penulis, jarang atau belum ditemukan orang
menggunakan istilah pengarang untuk essai dan kritik, begitu juga untuk puisi. Apa
sebenarnya yang terjadi ketika seseorang membedakan istlah “penulis” dan “pengarang”
seperti halnya “menulis” dan “mengarang”?
28
Sampai saat ini masih digunakan istilah secara bergantian antara “tulisan ilmiah”
dan “karangan ilmiah”.
Hal ini dapat dimaklumi karena masyarakat sudah terbiasa
menggunakan “karangan” dan “tulisan” secara bergantian untuk maksud yang sama(?)
Penulis baru berpikir untuk membedakan antara “menulis” dan “mengarang” setelah
membaca brosur seminar nasional tentang membedah dunia menulis kreatif yang
diselenggarakan panitia bulan bahasa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra FKIP
Universitas Islam Malang. Pematerinya ada tiga: penulis roman, wartawan, dan penulis
buku.
Dalam dunia menulis terdapat pembagian yang cukup tegas antara tulisan fiksi
dan non-fiksi. Tulisan fiksi berdasarkan karya imajinatif, walaupun faktanya sering
bersentuhan dengan kehidupan nyata, tetapi kebenarannya sering disebut dengan
kebenaran fiksional yang imajinatif. Hasil dari tulisan fiksi-imajinatif ini disebut karya
sastra atau dalam istilah lain dikenal dengan Creative Writing.. Sedangkan tulisan nonfiksi adalah tulisan yang mendasarkan pada kenyataan faktual-empiris atau dalam istilah
lain disebut Academic Writing.
Kita bisa berargumen bahwa menulis dan mengarang adalah sama, seperti istilah
dalam bahasa Inggris “writing”. Tetapi bila dalam kegiatan menulis ada proses kreatif,
barulah kita merasakan signifikansi pembedaan istilah “menulis’ dan “mengarang”.
Menulis sebenarnya lebih tepat untuk tulisan yang tidak melibatkan imajinasi-fiksional
penulisnya dan mengarang lebih tepat untuk karangan yang melibatkan imajinasi-fiksional
pengarangnya. Nurgiyantoro mengatakan bahwa karangan fiksi juga disebut karya rekaan
(“rekaan” berdekatan maknanya dengan “karangan”), Arswendo menggunakan istilah
“mengarang” dalam bukunya “Mengarang itu Gampang”, untuk karangan fiksi, Pamusuk
Eneste (1983) dan Naning Pranoto (2007) memasukkan tulisan fiksi (sastra) ke dalam
Proses kreatif dan “Creative Writing”.
Menulis dan Mengarang itu Mudah(?)
Tidak kurang dua penulis terkemuka di Indonesia dan sampai saat ini masih aktif
dalam dunia kepenulisannya, bahkan salah satunya sudah menjadi “artis” di berbagai Talk
Show di televisi tanah air, Eka Budianta dan Arswendo Atmowiloto mengatakan bawa
semua orang dapat mengarang, mengarang itu mudah! Kalimat kedua penulis itu banyak
mengandung kebenaran, di samping juga berpretensi motivasi, bahkan terkesan
provokasi. Eka Budianta dalam bukunya “Menggebrak Dunia Pengarang” mengatakan
bahwa mengarang atau menulis itu bisa dilakukan oleh siapa saja.
Semua orang dapat mengarang. Buta huruf atau tidak, tak ada masalah. Bahkan
John Milton, dalam keadaan buta bisa menjadi penyair kelas dunia. Orang lumpuh bisa,
29
bisu, tua, muda, laki-laki, perempuan banci, petani, pedagang. Semuanya. Yang penting
dapat mengekspresikan diri. Orang gila juga boleh mengarang. Kabarnya baik sebagai
bentuk terapi (Budianta, 1994).
Perhatikan betapa terkesan mudahnya mengarang bagi seorang Budianta. Kesan
mudah dan memudahkan, bahkan cenderung berlebihan (Orang gila juga boleh
mengarang. Kabarnya baik sebagai bentuk terapi).
“ Kalau Anda buta huruf, tapi ingin
jadi sastrawan, cari dulu sekretaris yang dapat dipercaya.lalu diktelah dia keras-keras
dan jelas-jelas. Memang tak adulis, dan mempunyai minat terus-menerus a jaminan
apakah dia betul-betul menuliskan sesuai dengan keinginan Anda. Tapi Anda bisa
rekam itu pidato, dan suruh orang lain membaca ulang yang ditulis sekretaris pertama.
Jadi minimal Anda perlu dua sekretaris. Tukang catat dan tukang baca. Yang ketiga:
Tukang cubit. Siapa tahu Anda mengantuk.” Ini kalimat Budianta yang lebih seru lagi.
Sedangkan Arswendo mengatakan, mengarang itu gampang, karena bisa
dipelajari. Semua bisa mempelajari asal bisa baca tulis, dan mempunyai minat terusmenerus yang tak mudah patah. Yang terakhir inilah yang dimaksudkan dengan bakat
(Atmowiloto, 2011:31).
Bila merunut pendapat Budianta dan Arswendo, bukankah mengarang itu
sejatinya tidak sulit? Memang tidak berlebihan kedua tokoh tersebut mengatakan bahwa
mengarang bisa dilakukan siapa saja. Tapi benarkah, bagaimana implementasinya di jagat
kepenulisan di tanah air, bagaimana tradisi kepengarangan di Indonesia, bagaimana
tradisi (pembaca) membaca di Indonesia, dan bagaimana pula iklim industri penerbitan di
negeri tercinta ini.
Lantas, siapa sebenarnya pengarang (penulis kreatif) itu? Apakah di Indonesia
profesi penulis (pengarang) mempunyai marwah seperti profesi-profesi lainnya di tanah
air? Sejumlah pertanyaan tersebut sungguh telah muncul sekian waktu lamanya sejak
kemerdekaan dan era Orde Baru. Sebelum kemerdekaan, sebenarnya pekerjaan
mengarang sempat mempunyai martabat yang baik di tengah-tengah masyarakat.
Mereka dahulu disebut pujangga. Seorang yang mendapat tugas dari keluarga istana
untuk menuliskan (merekam) cerita-cerita lisan yang berkembang di masyarakat, dan
hasil rekaman (tulisan) pujangga tersebut menjadi konsumsi keluarga istana, para priyayi.
Pujangga juga mempunyai peran penting dalam kehidupan istana yaitu sebagai penasihat
kerajaan, hidup mereka berkecukupan karena pujangga dibayar layaknya Ambtenaar
yaitu kalangan priyayi atau pegawai pemerintah Hindia Belanda.
Mengarang Sebagai Sebuah Proses Kreatif
30
Proses kreatif pada dasarnya yaitu, prosa penciptaan karya sastra. Proses itu
mulai dari: (1) munculnya ide dalam benak penulis, (2) menangkap dan merenungkan ide
tersebut (biasanya dengan cara dicatat), (3) mematangkan ide agar menjadi jelas dan
utuh, (4) membahasakan ide tersebut dan menatanya (ini masih dalam benak penulis),
dan diakhiri dengan (5) menuliskan ide tersebut dalam bentuk karya sastra.
Bagi sebagian besar penulis, proses kreatif memang terasa panjang. Tetapi bagi
yang sudah berpengalaman, proses itu menjadi cepat, sehingga tidak tarasa panjang.
Seorang penulis yang sudah berpengalaman,
begitu merenung sebentar, kemudian
memegang mesin tulis atau komputer, maka lahirlah karya sastra. Itu semua hanya
karena kebiasaan saja. Karena begitu seringnya proses tersebut dilakukannya, maka
setiap kali melakukan proses kreatif, seolah-olah proses tersebut berlangsung begitu
cepat di lakukannnya, hanya saja tahap yang satu dengan tahap yang berikutnya begitu
berimpitan.
Cepat-lambatnya proses kreatif tersebut berlangsung sangat bergantung pada
tingkat keterampilan seorang penulis. Semakin rendah tingkat keterampilan penulis,
semakin lama proses tersebut berlangsung; dan semakin tinggi tingkat keterampilan
seorang penulis, semakin cepat proses tersebut berlangsung.
Tiga unsur penting dalam menulis kreatif yaitu: (1) kreativitas, (2) bekal
kemampuan bahasa, dan (3) bekal kemampuan sastra. Kreativitas sangat penting untuk
memacu munculnya ide-ide baru, menangkap dan mematangkan ide, men-dayagunakan
bahasa secara optimal, dan mendayagunakan bekal sastra untuk dapat menghasilkan
karya-karya yang berwarna baru. Bekal bahasa sangat penting artinya, karena bahasa
merupakan sarana menulis. Tanpa bahasa tidak akan lahir karya sastra. Tanpa memiliki
bekal bahasa yang memadahi, baik pengetahuan tentang kaidah bahasa maupun
keterampilan berbahasanya sulit bagi seorang penulis dalam memanfaatkan bahasa
tersebut dengan sungguh-sungguh untuk kepentingan proses kreatifnya. Bekal sastra juga
amat penting bagi penulis untuk memahami apa faktor-faktor penting dalam sastra, pada
aspek apa kebaruan karya sastra itu dapat dikenali, dan untuk memahami letak kekuatan
karya sastra. Bekal sastra ini mencakup pengetahuan tentang sastra, dan pengalaman
bersastra, baik pengalaman apresiasi sastra maupun pengalaman menulis sastra.
Dengan daya kreativitasnya, seorang penulis selalu berusaha mendayagunakan
pemakaian bahasa secara optimal, agar berbeda dengan pemakaian bahasa dalam karyakarya sastra yang ada sebelumnya. Armyn Pane, Sanusi Pane memanfaatkan bahasa
Indonesia dengan mendayagunakan persamaan bunyi pada akhir dan ternyata ini dapat
menimbulkan kekuatan ekspresinya. Sutarji C.B. memanfaatkan permainan bunyi dan
hampir-hampir mengabaikan sama sekali aspek makna. Hasilnya, ia mampu menghasil31
kan karya-karya puisi yang memiliki daya magis tinggi. Yudistira A.N.M. memanfaatkan
kelugasan pengungkapan seperti itu bahasa yang digunakannya memiliki daya asosiasi
makna yang sangat tinggi.
Dengan daya kreativitasnya, seorang penulis dapat memanfaatkan pengetahuan
sastranya untuk menghasilkan karya sastra yang berciri lain. Iwan S, misalnya karena
menyadari bahwa plot dan karakter memiliki peranan yang sangat penting dalam prosa,
maka kedua unsur itu dimanfaatkan secara optimal dan digarap secara lain dalam novelnovelnya. Lahirlah novel-novel Iwan yang dikatakan orang anti plot, anti karakter, yang
belum ada sebelumnya. Sapardi yang menyadari bahwa larik dan bait dalam puisi begitu
pentingnya sebagai pencipta makna puisi, dimanfaatkannya sedemikian rupa. Lahirlah
puisi-puisi seperti prosa, lariknya mirip dengan kalimat-kalimat dalam prosa, dan baitbaitnya tidak jauh berbeda dengan paragraf-paragraf dalam prosa. Arifin C.N., Putu
Wijaya yang menyadari bahwa keterangan yang diberikan penulis naskah drama sering
membelenggu kebebasan sutradara dalam menafsirkannya, mereka pun lantas menulis
naskah-naskah drama tanpa keterangan lagi atau dengan keterangan seminimal mungkin.
Dengan kreativitaslah seorang penulis akan terus berusaha menciptakan
kebaruan-kebaruan dalam karya ciptaannya. Kebaruan itu bisa berupa kebaruan
pemakaian bahasanya, kebaruan pengarapan unsur sastra, atau kebaruan ide yang
diangkatnya.
Tradisi Kepengarangan di Indonesia
Dahulu pengarang (pujangga) merupakan profesi yang dimulai dari kerajaan
dengan tradisi sastra keraton. Mereka adalah para bangsawan istana yang ditugasi
kerajaan untuk menulis sastra keraton, sebuah kehidupan estetik yang dilahirkan dan
dinikmati keluarga bangsawan yang hidup di lingkungan istana. Sastra keraton
mengangkat kehidupan istana dan raja-raja (istana sentris) serta dunia supra natural.
Penciptaan karya sastra dimaksudkan sebagai salah satu alat untuk melegitimasi
kekuasaan raja. Sastra keraton tumbuh dan berkembang di lingkungan istana. Sedangkan
sastra yang berkembang di luar istana (keraton) harus dilihat dari tradisi sastra lisan (oral
tradition) yang penyebarannya dari mulut ke mulut. Ia mungkin saja dihadirkan untuk
keperluan memuja para leluhur, sekadar ungkapan suka-cita dan dimaksudkan untuk
menghibur atau sebagai peringatan atas suatu peristiwa atau asal-usul kejadian. Para
tukang cerita, pawang, atau orang-orang yang dituakan, seperti kepala suku atau ketua
adat, menyampaikan sastra lisan lantaran ia punya peranan penting dalam masyarakat,
dan bukan semata-mat karena penguasaannya pada cerita-cerita yang sering dianggap
sakral itu. Jadi, mereka tidak menempatkan kegiatan bercerita sebagai profesi, melainkan
32
sebagai bentuk kepercayaan masyarakat atas status sosial yang disandangnya (Mahayana,
2005).
Dalam hal ini yang dimaksud profesi kepengarangan (kepujanggaan) adalah
pekerjaan atau aktivitas yang menghasilkan atau mendatangkan keuntungan tertentu.
Pihak kerajaan biasanya memberi balas jasa atas profesi itu dalam bentuk pengayoman.
Dalam sistem pengayoman, raja bertindak sebagai pelindung dan kerajaan memberikan
berbagai fasilitas, tidak hanya kepada pujangga yang bersangkutan, tetapi juga kepada
segenap anggota keluarganya. Mengingat pujangga keraton telah menjadi bagian dari
keluarga besar kerajaan itu, ia melakukan pekerjaannya berdasarkan perintah raja atau
pesanan pihak keluarga kerajaan.
Dalam perkembangannya, peranan profesi kepengarangan mulai bergeser setelah
muncul para pujangga atau penyalin naskah di luar keraton. Mereka hidup sebagai bagian
dari sistem sosial dengan bentuk tulisan sebagai manifestasi profesinya. Hubungan
dengan audiensnya juga bergeser dari hubungan yang bersemuka dan langsung antara
pembawa cerita dan pendengar dalam tradisi lisan ke hubungan yang tidak langsung
antara pengarang atau penyalin dan pembaca dalam tradisi tulis.
Pengarang Dahulu dan Pengarang Sekarang
Bagaimanakah peranan pengarang dahulu dan pengarang sekarang dalam
kehidupan masyarakat? Apakah profesi dan perannya sama hingga sekarang? Dalam
kehidupan mayarakat zaman dulu, raja atau sultan dipandang sebagai pusat atau
orientasi dan aktivitas masyarakat. Bisa dikatakan bahwa segala kegiatan dan tindakan
anggota masyarakat dijalankan dan sekaligus ditujukan sesuai dengan perintah raja. Oleh
karena itukesejahteraan dan kesengsaraan rakyat, sangat ditentukan oleh peranan raja:
apakah ia lebih memikirkan kehidupan rakyatnya atau kehidupannya sendiri.
Mengingat raja menjadi pusat segala aktivitas masyarakat, maka ia harus memiliki
kharisma besar, agar setiap ucapan dan tindakannya selalu menjadi anutan masyarakat.
Kharisma raja itu juga penting agar setiap perintahnya ditati oleh rakyat dengan sepenuh
hati. Dalam hal inilah, seorng raja dituntut mempunyai kesaktian yang luar biasa dan
mempunyai pengetahuan yang luasmengenai cara mempertahankan roda pemerintahan.
Selain itu ia harus menguasai berbagai strategi perang, baik sebagai usaha
melanggengkan kekuasaannya, mempertahankan kerajaannya dari segala macam
serangan, maupun untuk meluaskan wilayah kerajaannya.
Guna memperkokoh kharisma raja di hadapan rakyat, berbagai cerita tentang
kesucian, kehebatan dan kesaktian raja, menjadi salah satu sarana penting untuk
menciptakan citra karismatik rajanya. Lewat cerita seperti itu, diharapkan rakyat tidak
33
hanya bangga dan mengagumi rajanya, tetapi juga memberi legitimasi agar rakyat dapat
semakin mempercayai kesaktian rajanya. Bahkan, tidak jarang masyarakat mempercayai
raja sebagai keturunan dewa.
Dalam hal itulah, para pujangga kerajaanmemainkan peranannya. Lalu, dibuatlah
kisah-kisah tentang raja yang digambarkan sebagai titisan dewa yang mempunyai
kesaktian luar biasa, dan berbagai kisah kepahlawanan dan penaklukan yang dilakukan
rajanya. Oleh karena itu, tidak perlu heran jika dalam kesusastraan lama, sebagaimana
yang dapat kiat cermati pada naskah-naskah kesusastraan lama, selalu saja ada kisah yang
berkaitan dengan dunia supranatural. Lihat saja Hikayat Seri Rama, Hikayat Pandawa
Lima atau cerita-cerita Panji, semua menggambarkan hal demikian.
Dalam tradisi kesusastraan lama, pujangga hanya memusatkan perhatiannya pada
kehidupan istana atau dunia supranatural. Oleh karena itu salah satu ciri yang menonjol
pada karya sastra lama adalah gambaran kehidupan yang berpusat pada kehidupan istana
(istana sentris) yang diwarnai dengan kisah-kisah supranatural. Di sini, fungsi para
pengarang (pujangga) selain menyuguhkan kisah-kisah yang dapat menghibur
pendengarnya, juga untuk melegitimasi kekuasaan raja. Dalam hal itu, pujangga
menempati kedudukan penting. Ia menduduki peranan yang khas, baik dalam kehidupan
di lingkungan istana, maupun dalam di tengah masyarakatnya.
Dalam kehidupan di lingkungan istana, pujangga adalah salah seorang aparat yang
bertugas menghasilkan karya sastra yang dapat mencitrakan kekuasaan raja, sehingga
pengayoman kehidupan pujangga dan keluarganya sepenuhnya menjadi tanggungan
raja.
Dalam kehidupan di tengah masyarakat, pujangga dianggap sebagai empu atau
tokoh yang mumpuni; berpengetahuan luas; arif bijaksana dan mengetahui tanda-tanda
zaman. Mengingat kedudukannya yang demikian, pujangga seringkali bertindak sebagai
penasihat raja. Tak jarang berperan penyambung lidah raja jika raja menyampaikan
amanat. Dengan begitu, pujangga (pengarang) dalam kesusastraan lama acapkali
memainkan peranannya sebagai jembatan yang menghubungkan raja dan rakyatnya atau
sebaliknya.
Dalam kehidupan masyarakat modern, kedudukan dan peranan sastrawan relatif
lebih bebas dan mandiri. Meskipun demikian, di negara komunis, di bawah pemerintahan
yang menjalankan kekuasaan secara fasis atau di negara yang pemerintahannya
dijalankan dengan kekuasaan represif, peranan sastrawan seringkali dimanfaatkan,
bahkan dipaksakan untuk menyebarkan ideologi pemerintah yang berkuasa. Karya-karya
sastra yang seperti itulah yang disebut sastra propaganda. Dalam sejarah sastra
Indonesia, karya-karya sastra, dalam beberapa hal, yang diterbitkan Balai Pustaka
34
sebelum perang, sebagian besar karya sastra pada zaman Jepang atau yang dihasilkan
para seniman Lekra/PKI tahun 1960-an, merupakan contoh enis karya sastra yang seperti
itu. Sastrawan diawasi, dipaksa, bahkan juga diperalat untuk kepentingan ideologi.
Dewasa ini, kemandirian sastrawan disadari sebagai hak yang azasi dan
fundamental berkaitan dengan kebebasan berkreasi (licentia poetica). Dengan cara itu,
sastrawan dapat berkarya sesuai dengan hati nuraninya. Ia secara tegas menafikan pesanpesan yang mungkin ditawarkan pihak lain. Dalm hal ini, sastrawan hanya berpihak pada
satu kebenaran, keadilan, dan kejujuran hati nuraninya. Oleh karena itu, jika muncul
sejumlah karya sastra yang berisi kritik sosial, sesungguhnya hal itu sebagai
pengejawantahan kejujuran dan kemandirian.
Kedudukan dan peranan sastrawan di zaman modern ini sangat berbeda dengan
pujangga masa lalu. Yang dibela sastrawan sekarang adalah kebenaran, kejujuran,
keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan sejagat atau apa yang disebut sebagai humanisme
universal.
Citra Pengarang di Indonesia
Mengapa citra pengarang di Indonesia tidak mendapat tempat yang baik dalam
pandangan masyarakat? Pemerintahpun hampir tidak pernah memberikan penghargaan
yang sepantasnya kepada para pengarang Indonesia yang telah mendapat pengakuan
dunia internasional. Inilah yang terjadi dalam dunia kepengarangan dan keasstrawanan
pada umumnya di Indonesia, baik dalam kehidupan kemasyarakatan, maupun dalam
kehidupan selaku warga negara sebuah bangsa. Pengarang sering dipandang secara tidak
proporsional, jika tidak dapat dikatakan dilecehkan. Profesi kepengarangan atau
pekerjaan sebagai sastrawan dianggap tidak lebih baik dari profesi atlet, pengusaha, atau
bahkan pegawai negeri.
Citra pengarang sebagai warga masyarakat yang dianggap tidak jelas pekerjaannya
dan dengan sendirinya tidak jelas penghasilannya, menyebabkan banyak anggota
masyarakat yang memandang rendah profesi itu. Padahal sesungguhnya profesi
pengarang atau sastrawan tidaklah berbeda dengan profesi lain. Ia punya tempatnya
sendiri dalam kehidupan sosialnya. Ia juga dapat memainkan peranannya sendiri yang
juga tidak kalah pentingnya dari profesi yang lain. Bahkan, jika pengamati proses kreatif
seorang pengarang atau sastrawan, mereka sebenarnya termasuk golongan intelektual.
Dengan inteleknya itu, sastrawan berkarya dan menghasilkan karya kreatif.
Penutup
Selain perlu di ketahui perbedaan penggunaan istilah penulis dan pengarang,
seyogyanya perlu juga dipahamkan bahwa kebergairahan dunia pengarang perlu
35
dimunculkan kembali di Indonesia. Kesan bahwa pengarang dan sastrawan yang nyentrik
dan tidak berpenghasilan tetap nampaknya segera ditinggalkan. Stereotip pengarang
yang masih digolongkan sebagaii warga negara kelas kesekian, dan tidak pernah berani
dicantumkan di kartu identitas, sebaiknya mulai ditinggalkan, diganti dengan pemahaman
dan kesadaran bahwa profesi pengarang adalah profesi yang sama dengan profesi
terhormay yang lain, bahkan lebih serius dari itu, pengarang dan sastrawan adalah
seorang intelektual.
Masyarakat dan negara sudah selayaknya memberikan penghargan yang baik bagi
dunia dan profesi kepengarangan. Merekalah sesungguhkan yang akan mencerdaskan
bangsa, memberikan inspirasi, gagasan, dan sejumlah pengetahuan yang penting bagi
hidup dan kemanusian secara universal.
Penerbit harus lebih menggalakkan penerbitan buku-buku fiksi sehingga
masyarakat lebih mengenal dunia pengarang dan sastrawan. Melalui penerbitan yang
gencar, masyarakat akan lebih melek huruf, melek informasi, melek kemanusian, dan
melek estetika.
DAFTAR PUSTAKA
Atmowiloto, Arswendo. 2011. Mengarang itu Gampang. Jakarta: Gramedia.
Badudu, J.S. 1988. Cakrawala Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Budianta, Eka. 1994. Menggebrak Dunia Mengarang. Jakarta: Penebar Swadaya
Eneste, Pamusuk (Edt.). 1983. Proses Kreatif. Jakarta: Gramedia
Mahayana, Maman S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening.
Pranoto, Naning. 2007. Creative Writing. Jurus Menulis Cerita Pendek. Bogor:
Raya Kultura.
Roekhan. 1991. Menulis Kreatif. Dasar-dasar dan Ptunjuk Penerapannya.
Malang: YA3.
36
KREATIVITAS DALAM MENULIS
Hasan Busri
Universitas Islam Malang
hasanbusri_Unisma@yahoo,com
ABSTRACT
Every single human being is basicly creative and their chreativity may appear
in all aspects of their life. Human kreativity in writing is difficult to describe
and not easy to define because it is a wide and complex concept and multi
dimentions and can be observed from different point of views. Creativity in
writing can only be revealed based on its characteristics, those are
personality, press, process, and product. The emergence of creatives ideas
(inspiration) generally starts from a single point of a new creation, that is
away from consiousness or it may appear from fully unconsiuosness.
However, all can be observed by looking at the their preparation and serious
effort. The stages of writing creativity of each person differs, however;
basically it refers to the same aspects, such as (1) preparation stage, (2)
incubation stage, (3) ilumination stage, and (4) verivication stage. Those
stages appear in relaxed and comfortable situation
Key words: creativity, creative process, and writing
PENDAHULUAN
Kreativitas merupakan proses mental atau psikologis yang dapat dimiliki oleh
setiap manusia normal. Artinya, setiap manusia pada dasarnya kreatif dan kreativitas
manusia dapat timbul dalam semua aspek kehidupannya. Namun demikian kreativitas,
sulit digambarkan dan didefinisikan. Kiranya hal itu memang tidak mungkin dan juga tidak
perlu, karena kreativitas merupakan satu konsep yang luas dan majemuk, yang
dimensional yaitu yang meliputi berbagai dimensi dan dapat ditinjau dari aspek yang
berbede-beda.. Kreativitas pada setiap manusia memiliki tingkatan dan kadar yang
berbeda-beda. Hal itu bergantung pada tingkat kepekaan mentalnya masing-masing.
Namun, yang perlu disadari dan diisyafi bahwa setiap manusia normal memiliki potensi
atau bakat kreatif tersebut.
Potensi dan bakat kretif pada setiap manusia harus ditumbuhkan atau digali.
Artinya, walaupun setiap manusia memiliki potendi kreatif atau bakat kreatif, jika tidak
digali mustahil akan menjadi manusia kreatif. Hal ini pernah disampaikan oleh Edision
seorang ahli penemu (dalam Busri, 2003), bahwa ”genius 1% inspiration and 99%
prespiration”. Terciptanya karya yang unggul hanya 1% ditentukan oleh inspirasi, tetapi
99% oleh usaha dan keringat. Hal ini juga pernah diungkapkan oleh Maybury (dalam
37
Busri, 2003) bahwa potensi kreatif seseorang digambarkan sebagai gunung es, yang hanya
1/10nya yang nampak di permukaan air laut, tetapi 9/10 jadi sebagian besar tidak pernah
tampil, artinya sebagian besar potensinya tidak pernah terwujud dalam karya kreatif.
Dengan memahami potensi kreatif pada setiap manusia sebagaimana diungkap
di atas, pertanyaan yang timbul ialah: sejauh mana dan bagaimana usaha-usaha yang
sadar, berpengaruh pada kreativitas dalam menulis? Tulisan ini akan menungkap
persoalan-persoaalan kreativitas dalam menulis.
HAKIKAT KREATIVITAS
Salah satu persoalan kreativitas ialah bahwa sampai saat ini belum ditemukan
definisi tentang kreativitas yang diterima secara umum. Karena sebagaimana
diungkapkan di atas, bahwa kreativitas sulit digambarkan apalagi didfinisian. Kreativitas
merupakan satu konsep yang luas dan majemuk, yang dimensional yaitu yang meliputi
berbagai dimensi dan dapat ditinjau dari aspek yang berbede-beda.
Namun demikian ada perumusan konsep kreativitas yang menunjukkan bahwa
pada umumnya kreativitas dapat ditinjau dari empat aspek, yaitu pribadi, dorongan,
proses, dan produk(Rhodes dalam Mudandar 1988). Pertama, pribadi (person) kreatif
pernah disampaikan Hulbeck (dalam Munandar, 1988), yaitu
”creative action is an
imposing of on’s own whole personality on the environment in a unique and characterstic
way. Dalam hal ini Rodhes mengatakan bahwa keativitas muncul dari keunikan individu
dalam hubungannya dengan lingkungannya. Kreativitas sebagai interaksi keunikan pribadi
di satu pihak dengan materi, kejadian-kejadian, orang-orang atau situasi dan kondisi
hidupnya di lain pihak.
Implikasinya adalah bahwa jika kita ingin menumbuhkan kreativitas, maka
pertama-tama kita harus dapat menghargai keunikan pribadi seseorang dan tidak
mengharapkannya untuk selalu ‘conform” atau mengikuti arus.Sebagaimana dinyatakan
oleh penyair Robert Frost (dalam Munandar, 1988):
Two roads diverged in a wood-and I
I took the one less treveled by, and that has made all the difference.
Pandangan psikolog mengenai pribadi kreatif
dapat dilihat dari ciri-ciri (1)
mempunyai imajinatif, (2) mempunyaiprakarsa, (3) mempunyai minat luas, (4) mandiri
(bebas) dalam berpikir, (5) mempunyai rasa ingin tahu yang kuat, (6) kepetualangan, (7)
penuh semangat, (8) percaya diri, dan (9) bersedia megambil resiko, dan berani dalam
keyakinan
Kedua,
pendorong (press) berrarti menciptakan/lingkungan yang dapat
memupuk motivasi intrinsik atau internal untuk berkreasi. Untuk memunculkan motivasi
38
intrinsik tersebut, seseorang memerlukan suasana kebebasan agar kreativitasnya
terwujud. Seorang penulis memerlukan suasana “relaxed” untuk dapat menulis,
dibutuhkan ketekunan, keuletan, dan pengikatan diri. Simpson (dalam Busri, 2003)
menekankan tentang ”creative ability” sebagai ”the initiative that one manifests by his
power to break away from the visual sequence of thought.”
Ketiga, proses (process) berarti adanya unsur kebaruan, memberi kesempatan
untuk bersibuk diri secara kreatif, terutama pada prosesnya bukan pada produknya.
Kreativitas mendorong seseorang untuk melepaskan diri dari pola-pola pemikiran
tradisional-konvensional, untuk tidak terikat pada apa yang sudah biasa dan menjadi
kebiasaan, tetapi untuk melihat dari dan alternatif yang baru. Tentu pertama-tama yang
penting ialah bahwa dorongan ini datang dari dalam diri individu sendiri (hasrat dari
motivasi internal/intrinsik), namun perlu didukung ditunjang oleh lingkungannya
(keluarga, sekolah, dan masyarakat) dalam mencipta iklim yang kondusif untuk
mengembangkan kreativitas.
Kreativitas sebagai proses ini pernah dikemukakan oleh Hilgar (dalam
Munandar, 1988) yang merumuskan ”berpikir kreatif” sebagai ”a form of directed
thinking, in which subject seeks to discover new relasionships, to achieve new solution to
problems, to invent new methods or divices, or the produce new artistic objects or forms.”
Dalam definisi ini ditekankan aspek “kebaruan“ sebagai hasil dari kreatif, sebagai suatu
proses yang mencerminkan kelancaran, kelenturan (fleksibelitas) dan originalitas dalam
berpikir. Di samping sikap dan ciri-ciri pribadi kreatif seperti dikemukakan sebelumnya,
diperlukan berpikir tertentu yang menuju pada penemuan banyak kemungkinan jawaban
terhadap suatu masalah (berpikir divergen), berbeda dalam berpikir konvergen yang
setuju pada penyimpulan suatu jawaban yang benar terhadap suatu masalah.
Keempat, produk adalah produk-produk kreatif yang bermakna. Produk-produk
kreatif akan bermakna apabila aspek pribadi, press, proses tersebut muncul. Produk
kreativitas menurut Murray (dalam Munandar 1988) adalah “the occurance of a
composition which is both new and valuable ”, jadi tidak hanya unsur barunya yang
penting, tetapi juga produk yang bermakna. Demikian pula Stein (dalam Munandar 1988)
malihat kreativitas dalam konteks sosial: “a novel work that is accepted as tenable or
useful or satisfying by a group at some paoint in time”.
Namun sering pengakuan antara pernghargaan sosial terhadap suatu karya
belum diberikan pada saat dihasilkannya kreasi tersebut, tetapi baru kemudian, bahkan
setelah penciptanya tidak mengalaminya lagi.
Carl Rogers sebaliknya tidak memasukkan konsep ”pengakuan atau akseptasi
oleh kelompok” dalam definisi mengenai ”proses kreatif sebagai munculnya dalam
39
definisinya mengenai” proses kreatif sebagai munculnya dalam tindakan suatu produk
kratif sabagai hasil interaksi pribadi di satu pihak dengan materi, kejadian-kejadian,
keunikan-keunikan, orang-orang atau keadaan-keadaan hidupnya di lain pihak”. Ia pun
melihat bahwa mungkin saja dua tindakan dalam makna sosialnya tetapi keduanya
termsuk kreatif, dan ia juga tidak membedakan antara ”derajat atau kreativitas”.
KREATIVITAS DALAM MENULIS
Menulis atau mengarang merupakan suatu kegiatan kreatif. Kreativitas sudah
ada sepanjang sejarah umat manusia. Kretivitas atau kemampuan untuk mencipta hal-hal
baru inilah yang menungkinkan manusia untuk mengubah dan memperkaya dunianya
dengan karya-karya dalam berbagai bidang kehidupan.
Setiap orang memiliki tujuan atau alasan utama mereka untuk bersibuk diri
dengan menulis atau berkreasi
di antara tujuan dan alasan tersebut, antara lain
kabutuhan akan kelangsungan hidup, kebutuhan akan penghasilan, kesadaran akan
pentingnya adanya penemuan-penemuan baru, adanya karya-karya kreatif, keinginan
akan kemajuan dan lain-lainnya. Di antara tujuan dan alasan mengapa seseorang
bersibuk diri dengan menulis atau berkreasi, pada umumnya adalah kesenangan dan
kepuasan untuk mendipta atau menulis. Kehidupan tanpa adanya kesempatan untuk
mencipta dirasakan akan tidak berarti. Kiranya ini pulalah yang dimaksud ole S. Takdir
Alishahbana dengan ungkapan bahwa ”menulis ... memberikan kepada saya perasaan
kebahagiaan” (Munandar, 1988).
Dengan mencipta manusia mengalami kepuasan yang tidak ada taranya karena
itu merubah perwujudhan dirinya, aktualisasi dari potensi-potensi kreatifnya, yang pada
hakikatnya ada pada manusia, walaupun tidak semua memahaminya (Munandar, 1988).
Di samping seseorang pengarang merasakan kepuasan dengan hasil-hasil
tulisannya kebutuhannya akan perwujudan diri terpenuhi, kepuasan juga akan timbul
apabila karya-karya tulisannya diakui sebagai bermanfaat bagai dan dapat dinikmati oleh
masyarakat, dengan perkataan lain mempunyai makna sosial. Demikianlah halnya dengan
karya tulis yang bermutu tinggi, maknanya abadi dan manfaatnya dapat dirasakan
sepanjang masa.
Menulis kreatif membutuhkan keberanian untuk menampilkan bentuk dan pola
baru yang merupakan ekspresi dari imajinasi. Menulis kreatif manpu menggambarkan
pengalaman-pengalaman manusiawi dalam gubahan kata-kata yang memberikan tanda
atau peringatan akan apa yang akan terjadi dalam kebudayaan kita. Dengan keberanian
kreatif mereka membantu membentuk struktur dunia yang baru.
40
Berangkat dari berbagai catatan harian, biografi para penulis atau pengarang di
Indonesia, nyata pada umunya semuanya melaporkan bahwa ide-idenya (inspirasi) yang
bermula dari satu titik penemuan (kreasi) baru, berasal dari luar kesadaran atau timbul
di luar ketidaksadaran penuh (bawah sadar).
Mekipun banyak perbedaan dalam cara kerja
antara bermacam-macam
manusia kreatif, juga terdapat persamaan, baik antarapenulis dari berbagai bidang,
maupun antara penulis dan ilmuwan. Inspirasi kreatifnya timbul dalam suasana yang
santai, tenang, dan menyenangkan, seakan-akandalam impian.
Stepen Spender dalam Munandar (1988) seorang pujangga terkenal
mengungkapkan mengenai timbulnya konspirasi ini:
Sometimes when I lie in state of half-walking half-sleeping I am concious of a
steam of words which seem to pass tthrough my mind, without their having a
meaning, but they have a, sound of passion, or a sound recalling poetry that I
know.
Munculnya inspirasi (iluminasi) ini secara tiba-tiba sebagai menifestasi dari kerja
lama sebelumnya di bawah sadar. Hal ini hanya mungkin jika di satu pihak didahului dan
di lain pihak di ikuti oleh masa kerja secara sadar. Inspirasi tidak pernah timbul kecuali
setelah beberapa hari berusia secara sengaja tetapi belum membawa hasil. Namun
usaha-usaha ini telah mengakakkan komputer di bawah sadar yang tanpa adanya usaha
sebelumnya tidak akan banyak bergerak.Spender (dalam Munandar, 1988) mencatat:
The problem of creative writing is essentially one of concentration…it is a
focusing of attention in a special way, so that the poet is aware of all the ianthmplications
and possible development of his idea.
Selanjutnya Spender (dalam Munandar, 1988)menjelaskan:
. … everithing in poetry is work exept inspiration, wheter this work is achieved at
one swift atoke … .or whenther it is a slow process of evaluation from stage to stage.
. … ispiration is the beginning of a poem and it is also its final goal. In between …
there is the hard race, the sweet and toil.
41
TAHAP-TAHAP KREATIVITAS DALAM MENULIS
Setiap orang memiliki cara dan tahapan yang berbeda-beda dalam menulis atau
mengarang, ada yang mengikuti tahapan tradisional, teratur, dan rapi dan ada yang
absurd yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang, misalnya, Budi Darma dan Emha Ainun
Nadjib. Budi Darma (dalam Eneste, ed. 1982) mengatakan bahwa dalam menulis ia
seakan-akan didekte oleh suatu keadaan atau kekuatan yang tidak dapat dikuasai dan
berada dalam keterbiusan yang hasilnya tidak seperti yang direncanakan. Bahkan, Budi
Darma mengatakan bahwa dalam menulis itu diibaratkan seperti anak panah yang lepas
dari bususrnya, mengenai siapa anak panah itu, seorang penulis tidak pernah menyadari.
Berbeda dengan Emha Ainun Nadjib (dalam Busri, 2003), ia dalam menulis hanya
mengikuti jalan pikirannya, tidak pernah disadari apa yang akan ditulis. Dan juga tidak
memiliki tahapan-tahapan tertentu, tidak pernah berpikir tentang kata; kalimat atau
urutan paragraf yang disusun, akhirnya menjadi karya yang baik juga. Emha juga tidak
pernah menggunakan secara pasti tentang format tulisannya tau membaca ulang ketika ia
menulis. Emha membaca kembali karya-karyanya setelah dipublikasikan atau diterbitkan.
Di samping itu, banyak ahli yang telah melibatkan diri dengan analisis dari proses
pemikiran kreatif, menyimpulkan adanya tahap-tahap tertentu, yang pada dasarnya
menunjuk pada unsur-unsur dari urutan yang sama, misalnya Kennedy (dalam Busri,
2003) meenjelaskan tahapan kreatif, antara lain (1) finding a topic, (2) organizing your
thinking, (3) writting a draft, (4) revising, dan (5) finishing your paper. Sedangkan Wallas
membagi tahapan kreatif , yaitu (1) tahap persiapan dan usaha, (2) tahap inkubasi
(pengendapan) , (3) tahap iluminasi (menemukan inspirasi), dan (4) tahap verivikasi
(Munandar, 1988). Tahapan-tahapan ini dapat diperikasa dalam pengalaman kreatif
pengarang dalam buku “Proses Kreatif” (penyunting Eneste, 1982). Setelah membca buku
”poses kreatif” yang mengemukakan beberapa pegalaman dan pandangan beberapa
pengarang terkenal di Indonesia, para penelaah sangat terkesan bahwa proses yang
alami diungkapkan oleh mereka.
Tahap pertama, persiapan dan usaha ialah tahap pengumpulan informasi dan
bahan yang dibutuhkan, pengalaman-pengalaman yang mempersuapkan seseorang untuk
melakukan tugas atau memecahkan asalah tertentu. Mekin banyak pengalaman dan
informasi dari seseorang mengenai masalah atau tema yang digarapnya, makin
memudahkan dan melancarkan (makin ”siap”) pelibatan dirinya dalam proses tersebut.
Dibekali bahan pengatahuan yang kaya, seorang pengatang menjajaki berbagai
kemugkinan (gagasan) untuk menggarap suatu naskah. Pada tahap ini pemikiran kreatif
dan daya imajinasi penulis sangat dibutuhkan.
42
Pada tahap ini seorang penulis dapat melakukan berbagai persiapan dan usaha
untuk mendapatkan berbagai informasi atau setidaknya memancing gagasan kreatifnya.
Di antara yang pernah dilakukan oleh sebagian besar pengarang di Indonesia ialah
menonton pertunjukan, membaca karya orang lain, menonton film, mengamati tingkah
laku orang, dan lain-lain. Bahan pengalaman ini semua dihimpun (persiapan) untuk
kemudian memungkinkan pengarang penulis naskahnya (usaha).
Tahap berikutnya adalah tahap inkubasi atau pengendapan. Setelah
mengumpulkan informasi dan pengalaman yang dibutuhkan serta berusaha dengan
melibatkan diri sepenuhnya untuk menimbulkan gagasan tersebut, di ”inkubasi” dalam
alam prasandar. Di sini semua ”bahan mentah” itu diolah dan diperkaya dengan
memasukan diri dalam alam prasadar, yaitu semua pengatahuan dan pengalaman releven
yang pernah diperoleh akan tetapi tidak pernah diingat lagi secaa sadar. Apa yang sering
disebut sebagai ”instuisi” atau ”firasat” sebenarnya tidak lain daripada dari alam
prasadar.
Proses pentahapan ini ditunjukkan oleh Trisnoyuwono (1982:85) dalam
ungkapannya, ”cerpen, cerpenku lahir dari pengalaman, khayal, pengalaman-pengalaman
orang lain” (tahap persiapan). Selanjutnya, ”pengalaman-pengalaman orang lain” (tahap
persiapan). Selanjutnya, pengalaman, khayal, pengalaman-pengalaman, khayal dan
pengertian itu diendapkan, disarikan, dan kemudian dituangkan dalam suatu bentuk
dalam pemikiran dan perasaanku’ (tahap inkubasi).
Keadaan seperti ini diungkapkan oleh Nh. Dini (1982:118), ”saya anggap
pekerjaan mengarang adalh tugas yang santai, yang harus dikerjakan dengan senang hati”
dan untuk itu diperlukan ”keadaan yang setenang-tenangnya.”
Tahap ketiga, tahap iluminasi ini semua menjadi jelas (”terang”) tujuan
tercapai, penulisan naskah dapat diselesaikan . pada tahap ini pengarang seakan-akan
”mengambil jarak” melihat produknya seperti dengan mata orang lain, sehingga dapat
memberikan tinjauan dengan cara kritis.Hal ini
diungkapkan oleh A.A. Navis (1982)
sebagai berikut, ”dalam menghayati dan memahami sendiri apakah cerita itu sudah baik
atau belum baik, akan dapat diketahui ketika cerita-cerita itu dibaca kembali setelah
beberapa waktu selesai menulis.” Demikian juga N.H. Dini, setelah satu karangan selesai
biasanya tidak langsung saya serahkan kepada penrbit atau majalah. Beberapa waktu
keudian tulisan itu saya lihat kembali” (1982:119).
Sudah barang tentu, di samping kesamaan dalam proses mencipta, setiap
pengarang mempunyai keunikan masing-masing tercermin dalam kecendrungan dalam
pilihan tema atau dari segi bahasa. Kalau A.A. Navis lebih cenderung ke cerita-cerita dari
kehidupan sehari-hari sebagaimana nyata dari ucapannya, saya bukanlah orang yang
43
senang pada avontur, maka Budi Darma justru menulis cerpen-cerpen absurd. Kekuatan
imajinasinya memungkinkannya untuk ”menembus apa yang tidak terlihat , tidak terasa,
dan tidak terpikirkan,........tidak terjangkau oleh orang lain’ Munandar (1988).
Menemukan keunikannya justru menjadi kekuatan seorang pengarang.
Setiap pengarang mempunyai kekuatan dan kelemahannya sebagaimana halnya
setiap orang. Menyadari dan memehami baik kekuatan dan kelemahannya akan
membantunya memahami orang lain, dan ini semua akan membantu proses
penulisannya. Menyadari kekuatan seabagai pengarang akan membuat tulisannya
sesuatu yang orisinil dan bukan suatu klise. Tetapi itu perlu meahami kelemahankelemannya pula, sehingga dapt dihindari atau tidak bersifit menghambat dalam proses
penulisannya.
Seorang pengarang memerlukan suasana kebebasan agar kreativitasnya
terwujud, akan tetapi tahap verifikasi dan pungujian kembali tidak kurang pentingnya.
Jika tadi dikatakan bahwa seorang pengarang memerlukan suasana ”relexed”
untuk dapat menulis, ini tidak berarti bahwa pekerjaan mengarang adalah pekerjaan yang
santai. Sebaliknya untuk itu diperlukan ketekunan, keuletan dan pengikatan diri terhadap
tugas (task commitment).Hal ini dikemukakan dengan tepat sekali oleh N.H. Dini
(1982:117), ”kegigihan dan keuletan merupakan elemen atau faktor penting dalam
kehidupan. Lebih-lebih bagi orang yang tugasnya mencipta”.
Sebetulnya tahap persiapan meliputi keseluruhan proses pendidikan formal
maupun tidak formal. Apa yang dialami dan dipeljari oleh individu merupakan informasi
yang membantunya mengatasi masalahmasalah yang dihadapinya. Dan setiap orang tahu
bahwa usaha yang sadar dan kebiasaan-kebiasaan yang timbul dapat digunakan untuk
meningkatkan proses-proses pemikiran. Seseorang yang memperoleh P dapat
mengarahkan proses-proses pemikirannya dengan cara-cara yang tidak memungkinkan
untuk orang yang tidak memperoleh P. Ia memperoleh, melalui cara observasi dan
ingatan sejumlah fakta dan pengalaman yang kemungkinan timbulnya asosiasi-asosiasi
yang lebih banyak dan luas, yang membentuk sistim-sistim pemikirannya. Ia dapat
”mengatur” proses-proses pemikirannya mengarahkan pemikirannya pada unsur-unsur
yang berurutan dalam suatu masalah. Erat hubungannya dengan metode-metode
pemikiran logis ialah adanya ”problemattitude”. Pemikiran kita tidak akan memberikan
jawaban yang tepat dan terang terhadap suatu masalah, jika kita tidak permasalahkan,
jika kita tidak mempunyai konsepsi yang jelas mengenai masalahnya. Pada permulaan
masalahnya memang masih samar-samar, yang diperlukan adalah: (1) merumuskan
kembali masalah dengan lebih jelas, (2) menentukan bahan dan material yang mana yang
44
perlu dikembangkan, dan (3) meningkatkan dari hasil-hasil dari analisis mental ini
terhadap pencapaian pemecahan masalah dengan manipulasi dari bahan/material.
Di tinjau dari segi waktu tentunya cara pertama lebih efisien. Kita bisa
mendapatkan lebih banyak hasil pada saat yang sama dengan memulai mava-macam
persolan secara berurtan dan dengan sengaja membiarkan masalah-masalah tertentu
tidak diselesaikan untuk mengkonsentrasikan diri pada persoalan-persoalan lain daripada
menyelesaikan masalah secara terus menerus sampai selesai. Memang ada sementara
orang yang lebih suka untuk menunda penggarapan suatu masalah mulai dari tahap
persiapan sampai pada tahap verifikasi sampai saat-saat terakhir untuk dikerjakan
sekaligus. Dalam hal ini pemikiran sevara sadar kurang diperluas da diperkaya oleh
pemikiran-pemikiran yang bawah sadar.
Sehubungan dengan bentuk-bentuk pemikiran kreatif yang kompleks seperti
halnya penemuan ilmiah, pengubahan simponi atau persiapan pidato yang sangat penting
dampaknya, lebih bermanfaat jika ada interval waktu yang bebas dari pemikiran secara
sadar mengenai masalah yang bersangkutan (inkubasi) dan diusahakan pada interval yang
bersangkutan tidak ada yang ”mengganggu” (interfere) proses-proses bawah sadar atau
proses-proses pemikiran yang hanya sebagian disadari. Tahap inkubas hendaknya
memungkinkan ”mental relaxation” yang sesungguhnya. Kebenaran dari kenyataan ini
dapat disimpulkan dari analisis biografi sejumlah ahi pemikir dan penulis.
Sejauh mana kita dapat mempengaruhi tahap iluminasi atau timbulnya
”insight”kebanyakan tokoh-tokoh, antara lain Helmholtz (dalam Munandar, 1988), tokoh
pertama yang menganalisis tahap-tahap dalam timbulnya suatu gagasan atau pemikiran
baru, dan poincare, ide yang bar muncul secara spontan dan seketika dan tak terduga,
dengan perkataan lain diluar jangkauan kemauan secara langsung. Dilain pihak perlu
dipertimbangkan bahwa pada saat iluminasi atau inspirasi merupakan kulminasi dari
serangkaian asosiasi yang berhasil, yang mungkin didahului oleh serangkaian asosiasi
tentatif, termasuk asosiasi-asosiasi yang mungkin yang kurang berhasil. Insight
merupakan saat yang pliang menentukan dalam penciptaan karya kreatif dan dapat
timbul melalui bermacam-macam cara, yaitu secara kebetulan (chance), setelah
persiapan langsung atau sebagai perlengkapan dari suatu pola yang sudah lama terbentuk
dimana hasnya suatu unsur yang belum ada.
Pengalaman menunjukkan bahwa kondisi-kondisi yang dapat membantu atau
memudahkan timbulnya insight adalah (1) Minat terhadap masalahnya dan hasrat untuk
mengatasinya, (2) tidak ada masalah lain yang bersifat menghambat, (3) menguasai
informasi yang relevan terhadap masalah, (4) informasi dicerna dan diolah secara
sistematis, (5) berada dalam keadaan tenang dan sabnang (relaxed), (6) merasa bebas
45
dari interubsi atau gangguan, (7) tidak ada rintangan terhadap fungsi pemikiran, seperti
kecemasan, merasa tidak dihargai atau mempunyai atasan yang tidak menunjukkan
pengertian, dan
(8) mengusahakan kesempatan yang tenang untuk memungkinkan
timbulnya insight (Haefele dalam Munandar, 1988)
Dikatakan bahwa ”discovery is the art, verification the science”. Setelah gagasan
baru muncul (insight), diperlukan elaborasi (pengembangan) dari gagasan itu dan bila
perlu revisi (verifikasi). Apa yang dihasilkan perlu ditinjau secara kritis. Sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya tahap ini berlangsung dalam tahap kesadaran penuh. Tugas
dari verifikasi ialah untuk menghasilkan suatu karya yang siap untuk dikomunikasikan. Di
samping itu usaha verifikasi juga memberikan tentang adanya masalah-masalah baru, dan
dengan demikian dimulai siklus pemecahan masalah yang baru lagi, hal mana memang
senafas (inherent) dengan kehidupan individu yang berfungsi sepenuhnya dan dapat
mengaktualisasikan dirinya secara kreatif.
DAFTAR RUJUKAN
Atmowiloto, Arswendo. 1983. Mengarang itu Gampang. Jakarta: P.T. Gramedia.
Busri, Hasan. 1994. Konsep Psikologi Kepribadian dan Penerapannya dalam Sastra.
Malang: Unisma
Busri, Hasan. 2003. Pengantar Psikologi Sastra. Malang: Unisma
Eneste, Panusuk (Ed). 1982. Proses Kreatif. Jakarta: P.T. Gramedia.
Munandar, S.C. Utami. 1988. Seni Menulis Kreatif. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Roekhan. 1991. Menulis Kreatif: Dasar-Dasar dan Petunjuk Penerapannya. Malang: YA3
Sukada, Made. 1987. Beberapa Aspek Tentang Sastra. Denpasar: Kayumas dan Yayasan
Ilmu dan Seni Lesiba.
46
PROSES KREATIF DAN APRESIASI KREATIF
SEBAGAI UPAYA REFLEKSI DAN TRANSFORMASI SASTRA INDONESIA
Gatot Sarmidi
Universitas Kanjuruhan Malang
[email protected]
ABSTRACT
The creative process deals with the creation of the art works, such as the
literary works, while the creative appreciaton is the the inclusion of art and the
respect in smart way so it inspires the next creative process. The problem is
complicated, so the article offers the concept and the example,which is
reflective and the simple research. The article use the reflective method to
give the explanation of the creative process of the writer and the creative
appreciation is transformative. In this case, the final result of the article is the
reflective explanation of the poetry of the writer and the picture of the
creative process that could be implemented in the literature learning.S
Key words: creative process, creative appreciation, literature reflective,
literature transformation, Indonesian literature
Kata kreatif atau kreasi sering dikait-kaitkan dengan penciptaan, pemikiran
tentang proses dan hasil karya yang diciptakan mendasarkan proses berpikir tingkat tinggi
dan proses pengkhayalan serta pertimbangan-pertimbangan pencitraan. Dalam dunia
seni, kata kreatif hal yang disampaikan mengarah pada ekspresi dan secara psikologis
berkenaan dengan intensionalitas atau niatan menghasilkan karya seni dengan tuntutan
kebaruan orisinalitas dan nilai keindahan sebagai penciri utama hasil karya kreatif. Dalam
dunia teknis teknologis, kata kreatif dikaitkan dengan sifat-sifat inovatif karya berbasis
teknologi. Dengan mengacu pada pemahaman ini, proses kreatif sebagai proses rumit
dalam kondisi yang cerdas juga bisa disederhanakan. Oleh karena itu, memang tidak
semudah itu orang bisa mewujudkannya. Berikut contoh puisi yang dimaksud.
Kemboja Pagi
Kemboja kuning melepas diam perlahan sampai wangi menghampar di pasir putih hingga
pagi pantai Sanur melepas rindu kepada tiga anak laki-laki muda.
Ketika, mereka memanjakan diri tanpa angin wangi kemboja kuning pada kecantikan
daun-daun dan ditatapnya bertiga bunga-bunga dengan puisi tatapan mata yang haru
merayu.
47
Desember menguning menyapa akhir tahun menyapa perahu-perahu yang bersandar
Tiga anak laki-laki muda menampakkan cerita setiap senyum yang basah bagai batu
diguyur ombak dan setiap kata yang dituas dalam buih memainkan pasir yang
ditawarkan di setiap helai butir sinar matahari bahwa pagi menjadi cerita kecil sekecil
butiran-butiran pasir
Kemboja kuning diambil dinyatnya bulan purnama persembahyang pagi doa mantra
terdengar sayup
Air pantai dan cerita kecil mengayuh hingga ke tengah samudra bayangan
Hingga habis cakrawala jauh di sana titik tanpa penantian. Kemboja kuning diwangikan
salah satu anak laki-laki di telinga kanan agar cerita menjadi teduh.
Kemboja pagi dibawa pergi hingga keliling pulau
Dibawa pulang hingga penyeberangan
Dibawa ke tiap tahun hingga habis tersimpan
Menjadi butiran pasir yang tidak lagi wangi
Dan tidak bernama kemboja.
Denpasar, 17 Desember 2013
Seperti kata penyair pada umumnya, puisi itu karya sastra yang bersifat reflektif,
ekspresif, dan sublimatif. Demi efek keindahan atau memenuhi keindahan yang dimaksud
estetis atau artistik, puisi diolah dengan memainkan unsur-unsur linguistik atau stilistik,
misalnya penggunaan metafora, personifikasi, simile sebagai bentuk penggunaan
perbandingan, bisa juga mendayakan ciri lain, misalnya penggunaan pertentangan unsur
formal dan makna yang dibiaskan secara kuat sehingga efek konotasi puisi muncul,
demikian halnya simbol dan pemaknaanya. Puisi sebagai karya kreatif pada dasarnya
adalah karya simbolis. Makanya penulis sastra dalam hal ini harus pandai-pandai
memainkan kekuatan-kekuatan kata hingga karya yang diciptakan menjadi pantas
disebut-sebut dalam salah satu genre sastra.
Arjuna
Arjuna itu laki-laki tampan Arjuna itu gunung menjulang tampak dari jalan
Arjuna itu pagi dengan cahaya matahari bersinar ia putih berdedaunan
Arjuna itu tampak molek dari tegal jagung ia seru dalam pertapaan dan syahdu ketika
perang kembang
Arjuna itu laki-laki tampan dalam khayal bidadari hingga denawa bermuram hati
Dalam perang kembang Arjuna berlaga hingga Niwatakawaca berkalang sampai langit
merah jingga
48
Arjuna itu tampak gagah dari ladang jagung pinggir jalan ketika langit cerah
Tanpa cinta tanpa rayuan mesra hanya kabut menutup sebagian hutan bebatuan dan
pedesaan
Di sini aku menatapnya sekilas tentang Arjuna dari sebagian jalan menuju Barat
Pasuruan,15 November 2013
Pembandingan-pembandingan logika, cerita, mitologi, latar geografis, alam,
budaya, perasaan tetap menjadi cara teknis mendapatkan nilai estetis. Kesimetrisan juga
menjadi cara estetis yang dikomposisi atau diaransemen hingga ibarat bangunan menjadi
pertimbangan arsitektur dalam penyusunan kata-kata hingga terkesan elegan dalam
konteks penciptaan karya kreatif. Demikian juga dalam penulisan puisi, pemaduan dan
penataan serta kesan adanya pencitraan, pembayangan pengetahuan, bahkan
penjabaran sains pun dapat dilihat untuk menyusun karya kreatif. Jadi unsur teknis dapat
diperhitungkan dari aspek kekuatan linguistik, lebih dari itu esensi ekspresif dapat
dipertanggungjawabkan dari sisi psikologis. Yang juga banyak dibahas bahwa proses
kreatif itu memang menjadi proses psikologis penciptaan karya seni. Perhatikan repetisi
dalam teks! Sengaja saya tulis karena saya senang menggunakan repetisi dalam penulisan
puisi ini, walaupun tidak selamanya saya gunakan repetisi untuk setiap karya puisi saya.
Pembandingan latar budaya dan latar geografis menjadi kesan tersendiri, barangkali hal
ini dapat diapresiasi dan dikomentasi secara kreatif. Produk kreatif pada dasarnya bisa
dinilai dan diberi nilai, produk itu akan bernilai karena memiliki kandungan nilai. Nilai itu
dapat diberikan secara relatif bukan absolut, seperti halnya sering disampaikan sastrawan
atau ahli sastra bahwa penilaian karya seni dipertimbangkan berdasarkan karya seni,
bahan seni, kreasi seni, intensionalitas seni, dan pertanggungjawaban serta visi seni.
Bulan di Atas Ladang
Bulan di atas ladang aku ingin melihatnya dengan berbaring
Tetapi aku rasa berbaring menjadikan pakaianku menjadi kotor
Aku tak jadi berbaring lalu aku hanya cukup mengada dari pandanganku
Ketika malam Jakarta cukup senyap
Bulan tidak terlihat penuh aku tahu gunung itu tampak dari geliat malam
Hanya beberapa putih memudar tersinari dari sini kusaksikan dalam penyeberangan selat
Bali
Ketika itu musim hujan hanya tengah malam sepertiga bulan yang cantik memperlihatkan
Aurora yang dibatas hitam pagar besi namun itu malam sediam malam
49
Dalam perjalananku, bulan kutatap dari kereta
Bulan di atas rel terus berjalan melewati sejuta ladang dan persawahan
Bulan tak lagi kubayangkan di atas laut ketika melewati sungai tanpa jembatan
Sepertiga malam berlalu, bulan Jakarta menjadi gelap dihalang dedaunan
Seperti cerita masa lalu ketika anak-anak tetap bermain dengan lagu dolanan Jawa
Bulan Jakarta tersenyum tengah ladang, dalam penyeberangan selat Bali
Juga tersenyum
Jakarta, 10 Oktober 2013
Berkreasi bisa di mana saja. Demikian prosesnya bisa cepat, bisa lambat.
Maksudnya bisa waktunya tidak banyak bisa waktunya lama. Apalagi dalam konteks
penciptaan teks puisi. Sublimasi puisi bisa jadi terbentuk karena penggunaan waktu untuk
momen opname tidak seketika. Sebagaimana hadir dalam puisi yang saya tulis Bulan di
Atas Ladang yang saya tulis di Jakarta. Puisi ini sengaja saya tulis dan saya bermain
paradoks di dalamnya. Apa yang dibayangkan oleh kebanyakan orang menceritakan kota
Jakarta adalah hiruk pikuknya, kepadatan penduduknya, banjir, kemacetan, keramaian,
persoalan sosial yang terus menerus harus dipecahkan, dan pesonanya karena kota besar.
Dalam puisi Bulan di Atas Ladang tidak begitu saya mengambil sudut cerita. Saya
mengambil sisi lain, yang sebenarnya saya hanya ingin membangun kemampuan
pembaca ketika saya sengaja bermain paradoks. Saya menggunakan bulan sebagai pokok
pembicaraan, mungkin pembaca yang terjebak pada permainan seting geografis dalam
hal ini ruang, waktu, cuaca, bumi, bulan, kota, desa bisa bingung. Seharus tidak begitu, ini
yang saya maksud dengan apresiasi kreatif, bahwa secara kreatif pembaca dalam kegiatan
mengapresiasi tidak mensandarkan pengetahuannya untuk memahami puisi hingga
membuat penilaian terhadap puisi dan selanjutnya memberikan penghargaan kepada
penyair yang menulis walaupun secara tidak langsung dengan membaca atau
membicarakannya. Saya tambahakan ia pun harus mampu berpikir kreatif lebih dari
apresiatif dan berpikir kritis. Dalam hal ini, bahan peristiwa untuk menulis puisi tidak
seketika dituangkan oleh penulis. Bisa jadi, ia menumpuknya dari beberapa peristiwa
dipadatkan dalam satu puisi. Ia baru bisa menuangkan karena apa yang ada dalam dirinya
itu sudah benar-benar mengalami pengendapan. Jadi, tidak susah-susah melakukan
pilihan kata atau menentukan diksi sebagaimana dituntut dalam teori penciptaan puisi
tentang penentuan diksi, aransemen persajakan, tipografi, dan pemenuhan aspek formal
yang lain, dengan demikian kebanyakan penyair biasanya mengatakan bahwa menulis itu
50
mengalir saja mengikuti gerakan tangan, luapan perasaan, dan apa yang dipikirkan.
Tetapi, kata-kata itu tidak juga mudah dipelajari. Rata-rata penulis pemula gagal
menuangkannya. Sehingga keindahan yang dirasa rumit tidak dapat tersampaikan dalam
puisi.
Akibatnya keutuhan, visi, koherensi puisi tidak tampak. Sebenarnya tidak harus
begitu, kreativitas memang perlu proses, perkembangan psikologis, perkembangan
kognitif, skemata penulis, kemahiran penulis, kedewasaan menyikapi persoalan,
kematangan dalam berkesenian, dan tetap konsisten pada pendirian seninya, serta secara
asli kemampuan mempertanggungjawabkan seni yang ditulis mempengaruhi tulisan hasil
karya penyair itu. Begitu pula guru dalam membelajarkan proses kreatif, apresiasi, dan
mengembangkan kemampuan berpikir kreatif pada subjek didiknya jangan sampai salah.
Bisa jadi, kalau salah tidak ada karya yang dihasilkan oleh murid-muridnya. Saran saya,
seyogyanya guru bahasa Indonesia harus bisa menulis puisi atau genre sastra yang lain,
misalnya menghasilkan cerpen, humor, anekdot, novel, esai, kritik, roman, dan biografi.
Debu
Debu hitam abu-abu
Menempel di baju
Aku ragu, tapi aku biarkan
Kelabu
Malang, 10 Januari 1991
Puisi Debu saya tulis ketika itu saya masih mahasiswa S1 semester terakhir di IKIP
Negeri Malang. Saya menganggap keindahan itu kesederhanaan. Tidak selamanya
keindahan itu perlu ornamen. Banyak liku-likunya. Kesederhanaan, kepolosan, keluguan,
alamiah, kebersahajaan juga menjadi bagian dari salah satu pandangan estetis. Penyair
tinggal memehuhi jatuhnya pilihan itu ketika menulis puisi. Jadi tidak masalah. Yang
penting, puisi. Perhatikan puisi Debu, bahwa puisi itu tidak banyak menghasilkan katakata yang dipilih secara konotatif. Kata hitam abu-abu memang salah satu warna debu,
warna lain bisa kecoklat-coklatan, bisa keputih-putihan bergantung tanah atau partikel
yang dianggap sebagai debu. Biasa debu menempel di baju, atau menempel di mana saja,
di tempat lain maksudnya, misalnya di jendela, di pintu, di meja, di mobil, di pohon atau
di tembok. Kata kelabu itu saja yang bersifat konotatif dengan mengharmonikan rima
akhir pola syair kata kelabu yang menyatakan suasana hati atau keadaan perasaan penulis
dengan kata debu yang menempel di baju.
51
Kedatangan
Tanah coklat diam menggeliat aku lihat di waktu senja
Kepada sang adik
Kulihat langit di atas rumput juga coklat merapat panas memadat
Hingga petang sebentar aku meninggalkan rumah kecil
Sekedar melepas rindu bertahun takbertemu
Tanah coklat kujilat permen coklat
Langit coklat takpercaya aku bertemu
Hingga rumput tersenyum menyeringai
Tatapan matanya yang kecil
Dengan anak laki-laki yang kecil
Membiarkan senja menjadi terkejut
Karena tanpa berita aku datang tiba-tiba.
Batam, 5 Mei 2011
Puisi ini juga puisi yang sederhana. Segi mimetik diperkuat oleh penulis. Orang
akan mengatakan bahwa puisi ini sekadar potret dengan menyalin suasanya pada
peristiwa yang sebenarnya ke dalam karya seni. Menulis puisi semacam ini tidak sulit.
Saya tetap ingin mengatakan bahwa menulis puisi itu kegemaran. Menurut penyair
menulis puisi itu bermain-main kesenian. Bahan permainan yang harus digunakan adalah
bahasa. Berbeda dengan penulis masa lalu yang menganggap bahwa proses kreatif itu
proses sakral. Bagi penulis sekarang kesakaralan itu tetap ada, yaitu terletak pada
kejujuran penulis bahwa yang ditulisnya itu sepenuhnya tanggung jawab penulis yang
dituangkan untuk tujuan baik dan secara jujur dapat dipertanggungjawabkan apa yang
ditulisnya itu dan yang disampaikan itu serta diciptakan itu, semata-mata karena rahmat
dari Tuhan yang Maha Esa.
Penutup
Saya menulis judul Proses Kreatif dan Apresiasi Kreatif sebagai Upaya Refleksi dan
Transformasi Sastra Indonesia dengan menghadirkan 5 karya puisi saya yang saya
masukkan dalam pembahasan langsung artikel tentang proses kreatif, saya maksudkan
ada unsur teknis yang harus diperhatikan penulis dalam menghasilkan karya sastra, yaitu
sesuaikan genrenya. Kebetulan, saya mengambil salah satu genre, yaitu puisi. Proses
52
kreatif penulis itu perlu kemahiran, ya syarat agar dari trampil menjadi mahir terus
dilakukan sambil berproses terus dalam berkesenian. Banyak pilihan dalam menulis
sastra, anjuran saya sesuaikan saja dengan keinginan. Insyaallah hasilnya bagus. Setelah
itu, ajaklah orang lain menikmatinya biar ada proses apresiasi. Ajaklah mereka berpikir
kreatif, dalam hal ini memberikan karakter mental produktif kepada orang lain dan bisa
menghargai karya orang lain. Kata refleksi dan transformasi sastra Indonesia menjadi kata
kunci dalam tulisan ini. Kata refleksi itu mengacu pada metode penulisan artikel yang saya
gunakan, dan kata transformasi itu mengacu pada penulisan kreatif walaupun tidak
banyak saya jelaskan tentang bagaimana transformasi puisi atau teks lain ke dalam puisi.
Tentang sastra Indonesia, lima puisi saya termasuk bagian kecil dari sastra Indonesia,
walaupun belum terdokumenkan dalam dokumen buku-buku sastra Indonesia. Semoga
ada manfaatnya, terutama bagi penulis pemula, bisa juga bagi guru-guru bahasa
Indonesia dalam membantu membelajarkan menulis sastra bagi subjek didiknya.
DAFTAR RUJUKAN
Aminuddin. 2013.Pengantar Apressiasi Sastra.Bandung: Sinar Baru Algensindo
Elbow, Peter.2010.Writing Without Teacher.(Terjemahan Yani F. dan Ajeng A.P. ).
Jakarta:Indonesia Publishing
Endraswara, Suwardi.2002.Metodologi Penelitian Sastra.Yogyakarta: Caps
Jauhari, Heri.2013.Terampil Mengarang.Bandung:Nuansa Cendekia
Roekhan, 1990.Kajian Tekstual dalam Psikologi Sastra. Dalam Aminuddin (ed)1990.Sekitar
Masalah Sastra, Beberapa Prinsip dan Model Pengembangannya.Malang: YA3
Wahyuningtyas, Sri dan Santosa, Wijaya Heru.2011.Sastra Teori dan
Implementasi.Surakarta: Yuma Pusaka
Waluyo,Herman J.2003.Apresiasi Puisi.Jakarta: Gramedia
53
EKSISTENSIALISME RELIGI SEBAGAI MODEL PENULISAN KREATIF SASTRA
(Telaah Unsur Eksistensialis dalam Novel “Tuhan Izinkan Aku Mejadi Pelacur”)
Moh. Badrih
Universitas Islam Malang
[email protected]
ABSTRACT
Existentialism in literatureis a form of understanding, or paradigm that
emphasizes literary speculative way of thinking about the essence of all
things (knowledge and experience). For literature describing
existentialism and find the essence of some thing can be done in two
ways, namely, (a) rely on human experience, (b) how the human being.
A person can read and understand the 'something else' because of the
experience that hadits be ginning, the lack of experience that people will
have an impact on the knowledge and discovering the nature of athing.
Keywords: Existentialism, Religion, CreativeWriting, Literature
PENDAHULUAN
Kreativitas penulisan karya sastra Indonesia semakin beragam dengan berbagai
pendekatan. Semua pendekatan tersebut digunakan untuk menyampaikan kesan
pengalaman dan pengetahuan berdasarkan ideologi yang dicita-citakan. Salah satu
pendekatan yang digunakan ialah eksistensialis. Iwan Simatupang dalam novel Merahnya
Merah, dan Muhidin Dahlan dalam novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur, Adan dan
Hawa, dan Kabar Buruk dari Langit merupakan sedikit contoh dari novel eksistensialis
yang berkembang dalam penulisan novel di Indonesia.
Eksistensialisme dalam sastra merupakan salah satu bentuk paham, atau paradigma
berpikir sastrawi yang mengedepankan cara berpikir spekulatif mengenai kebertahanan
diri melalui pengalaman dan pengetahuan. Bagi eksistensialisme sastra memaparkan dan
menemukan hakikat sesuatu dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu, (1) bersandar pada
pengalaman manusia, (2) cara manusia berada (Zaskuri, 2009:10). Seseorang dapat
membaca dan memahami ‘sesuatu yang lain’ karena pengalaman awal yang telah
dimilikinya, minimnya pengalaman yang dimiliki manusia akan berdampak pada
pengetahuan dan ketidaktepatannya dalam menemukan hakikat suatu hal.
Pada bentuk yang kedua tersebut lebih ditekankan pada cara (metode) seseorang
berada. Seseorang dapat diakui keberadaannya oleh orang lain karena orang tersebut
dapat ‘menunjukkan diri’ pada orang lain dengan sebuah metode. Metode yang
54
diperkenalkan seseorang pada orang lain akan menjadi bagian eksistensinya, selain juga
pengalaman yang ada dalam dirinya. Pengalaman dapat digunakan sebagai sebuah dasar
untuk memunculkan berbagai metode, sedangkan metode dapat digunakan untuk
memperoleh pengalaman yang baru.
Kaum eksistensialis memberikan gambaran bahwa eksistensi sebagai sebuah bentuk
keluarnya manusia dari dirinya dan menempatkan diri di dalam dunia (Lorens, 2002:183)1.
Secara ekspilit dijelaskan oleh Lorens bahwa manusia memiliki kesadaran yang berbeda
daripada objek-objek tersebut. Melalui kesadaran yang dimilikinya, manusia dapat
menimba pengalaman sekaligus dapat mewarnai objek yang lain dengan pengalaman
yang dimilikinya.
Menurut Zaskuri (2009) Kaum Eksistensialisme cenderung mengarahkan manusia
untuk mengaktualisasikan kesadaran dalam dirinya sebagai sebuah subjek untuk melihat
objek-objek yang lain.
Esksistensialisme
mengajak
kita
keluar
dari
pandangan
usang
yang
mengobjektifikasi manusia sama dengan benda-benda yang lainnya. Setiap
manusia adalah unik, satu dengan yang lain tidak sama khususnya dalam
kesadaran. Eksistensialisme adalah jalan bagi manusia untuk memahami hidup
dan kehidupan masing-masing. Jalan memberi makna untuk pengalaman
kongretnya di dunia. Serta, menempatkan manusia, dalam tema berkehendak
bebas. Dengan demikian eksistensialime mengiring manusia untuk berefleksi
secara mendalam tentang makna keberadaan dirinya, pergaulan dirinya dengan
sesama, dan semesta alam (Zaskuri, 2009:23).
Di pihak lain, eksistensialime sebenarnya merupakan aliaran pemahaman yang
melakukan pemberontakan terhadap pemikiran-pemikiran sebelumnya. Pemikiran ini
merupakan gerakan filsafat yang menghimpun sejumlah pemikir yang beraliran asumsi,
konsep-konsep dan lingkup masalahnya. Tetapi meskipun terdapat berbedaan besar
pemikiran filsafat yang bergabung dengan pemikiran ini, arus dasarnya sama berontak
pada filsafat tradisional dan stuasi kehidupan modern (Jansens, 1992:4).
Sebagai
gerakan
pemikir
yang
reaktif
kaum
eksistesialis
berusaha
mengaktualisasikan karakteristik pemikirannya terhadap pandangan para filsuf terdahulu
yang menurut mereka telah menghancurkan ilusi tentang kebebasan manusia 2. Untuk itu
1
Manusia ada secara aktual dan keberadaannya ada di tengah-tengah objek lain yang juga ada di dalam
dunia (Zaskuri. 2009. Eksistensialime Relegius. [Tesis] Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Hal 10).
2
Eksistensialisme merupakan reaksi terhadap materialisme dan idealime. Menurut kaum idealisme dan
materialisme, manusia adalah benda dunia, manusia adalah benda materi, manusia adalah sesuatu yang
ada tanpa menjadi subjek.
55
misi gerakan ini melawan pandangan yang menempatkan manusia pada tingkat
impersonal3.
Lebih lanjut pemberontakan kaum eksistensialis yang dedeskripsikan dalam
berbagai karya sastra memandang manusia individual dengan problem eksistensialnya
yang unik. Untuk itu eksistensialisme mengadakan reaksi pada kekurangan filsafat
tradisional dengan memusatkan perhatian pada manusia sebagaimana dia meng-ada
dalam dunia, serta relasi manusia dengan manusia dan dunia (Jansens, 1992:4).
Suatu hal yang sangat sulit ketika dipertanyakan arti hakiki aliran ini. Akan tetapi
secara garis besar aliran ini merupakan aliran filsafat yang memandang segala-galanya
berpangkal pada keberadaan dengan titik pusatnya manusia. Karena itu para
eksistensialis memahami keberadaan manusia tidaklah statis, melainkan, berkembang
dan berkesinambungan. Hal ini merupakan aksioma dasar yang dipakai para eksistensialis
dalam menerangkan berbagai macam problem eksistensial yang dialami manusia.
Pandangan eksistensialisme ini merentang dari ateisme sampai aristotelenisme. Sampai
batas-batas yang luas dapatlah dikatakan sebagai hasil pemikiran yang bebas dari
prasangka-prasangka kultural, socialhistoris maupun religius.
SEJARAH PERKEMBANGAN EKSISTENSIALISME
Pada abad ke-19, pemikiran di Eropa tengah diramaikan oleh pemikiran idealisme.
Sebuah pemikiran yang pertama kali dicetukan oleh Leibniz di awal abad ke-18. Leibniz
menerapkan pemikiran ini dengan melandaskan dasar pemikirannya pada Plato, dan
memperlawakannya dengan materialisme epikuros. Aliran ini memandang bahwa mental
dan ideasional sebagai kunci masuk ke hakikat realitas. Idealisme menempatkan dunia
sebagai gagasan yang dibangun oleh manusia. Pemikirannya tersebut mencapai puncak
kejayaanya pada konsep pemikiran Hegel (1770 – 1831).
Bagi Hegel pengetahuan tidak bersifat dialektis, tidak diperoleh hanya melalui
proses interaksi satu arah dari subjek pada objek, melainkan proses timbal balik di antara
keduanya. Pengetahuan akan terus memperbaharui dirinya secara simultan dan terusmenerus. Oleh karena itu, menurut Hegel, pengetahuan tidak dapat ditemukan hanya
dalam satu masa tertentu dalam kehidupan manusia, melainkan dilacak melalui
perjalanan sejarah. Tiap evolusi sejarah dipahami sebagai kepastian yang tak dapat
dilewatkan bagitu saja (absolut). Hal tersebut merupakan bentuk keharusan dan harus
terjadi dalam upaya mendapatkan pengetahuan sejati tentang kebenaran. Dalam
perjalannya tersebut roh absolut menyadari dirinya sendiri dan realitasnya. Pendek kata,
3
Dalam filsafat tradisional pusat perhatian hampir semuanya diarahkan pada metafisika tentang ada,
rasionalisme dan dunia objektif serta melupakan emosi manusia berupa pertanyaan mengenai makna
hidup, penderitaan, kematian maupun problem eksistensial lainnya.
56
sistem pengetahuan Hegel merupakan perjalanan roh menuju pengetahuan absolut
tentang realitas dan dirinya sendiri. pengetahuan sejati menurut Hegel adalah
pengetahuan yang dapat melampaui semua.
Kierkegaard memberi kritik atas beberapa aspek dalam konsep filsafat yang
dikembangkan Hegel. Baginya, filsafat tersebut irrasional dan bersifat embigu (Tjaya,
2004:48). Bukan saja karena semua pertentangan dapat didamaikan oleh dialektika Hegel,
tetapi filsafat semacam itu dianggap tidak berhubungan dengan pergulatan hidup konkret
manusia yang menuntut penerangan dan pemahaman (Tjaya, 2004:49).
Selanjutnya Kierkegaard dengan tegas menyatakan bahwa situtuasi eksistensial
manusia tidak dapat didamaikan dengan oleh media rasional, sebab pada suatu waktu
manusia akan menyadari bahwa dirinya sebagai ‘bagian yang terbatas’ dan di saat yang
bersamaan manusia dituntut untuk memaknai hidupnya ‘sebagai yang abadi’ (Tjaya,
2004:53). Ambiguitas perasaan manusia sebagai yang terbatas sekaligus yang tak
terbatas, akhirnya tidak dapat dijembatani oleh apapun. Oleh karena itu, Kierkegaard
memaknai konsep pemikiran Hegel sebagai hal yang ambisius dan penuh dengan gelaktawa (Tjaya, 2009:59).
Dalam kritiknya terhadap Hegel, Kierkegaard menegaskan bahwa filsafat harus
berangkat dari eksistensial manusia yang konkret. Dalam situasi eksistensial terdapat dua
paradoks yang tidak dapat didamaikan oleh proses dialektis. Hal tersebut melahirkan
filsafat yang bertolak bukan pada pertanyaan seputar kodrat manusia, tetapi pertanyaan
eksistensial tentang segala sesuatu yang harus dilakukan pada situasi eksistensial yang
dialami manusia dalam momen-momen kehidupannya.
EKSISTENSIALISME DAN SASTRA
Sebagaimana yang telah disinggung di depan, filsafat eksistensi
banyak
dilatarbelakangi suasana kehidupan modern. Suasana kehidupan modern tersebut juga
banyak dicerminkan karya sastra. Jadi seringkali jawaban yang diberikan sastra pararel
dengan jawaban filsafat eksistensi terhadap situasi kehidupan modern. Eksistensialisme
adalah jawaban yang diberikan filsafat, sedangkan sastra adalah jawaban sebagai situasi
kehidupan modern.
Hal itu bukan berarti seorang sastrawan sebelum memulai proses kreatifnya harus
mempelajari filsafat lebih dulu. Bisa saja jawaban tersebut dihasilkan melalui
penghayatan intens pengarang dalam mengamati kehidupan. Setiap manusia yang
sungguh-sungguh menghayati kehidupan akan selalu merasakan momen-momen atau
segi-segi eksistensialnya. Sastra merupakan alat untuk mengucapkan pemikiran
57
pengarang dalam memahami eksistensi manusia secara konkret, estetik dan imajinatif,
bukan manusia dalam pemikiran yang ‘asal jadi’(Jansens, 1992:4).
Mengingat sastra (sastra eksistensial) merupakan ungkapan pengarang dalam
mengamati kehidupan secara intens, maka antara sastra eksistensial dan eksistensialisme
saling mempengaruhi sebagai sesuatu yang bersifat existensial par excellence. Sastra
eksistensial terkadang tidak hanya dipengaruhi eksistensialisme, tetapi juga alat bagi
pemikir eksistensialisme dalam menyampaikan gagasannya yang pada gilirannya nanti
menjadi referensi bagi pemikiran ekstensialisme itu sendiri. Keduanya, baik sastra
eksistensial maupun eksistensialisme mempunyai tujuan yang sama yaitu memberikan
kesadaran pada manusia akan kondisi kemanusiaannya. Jadi sastra eksistensial (seperti
halnya juga eksistensialisme) merupakan reaksi terhadap pandangan yang menempatkan
manusia bersama orang lain sehingga melupakan manusia sebagai individu dengan
berbagai persoalan eksistensial yang dialaminya.
Sastra eksistensial dan eksistensialisme adalah dunia bagi penghayatan manusia
pada segi-segi eksistensial yang menjadi problem dirinya. Suatu hal yang disampaikan
oleh sastra eksistensial dan eksistensialisme bukanlah gagasan abstrak tentang manusia
melainkan kedudukan manusia pada situasi tertentu yang konkret, yang selalu didesak
antara kefanaan dengan keabadian, yang selalu ditarik antara kehidupan dengan
kematian, ataupun yang selalu dihadapkan pada keberhasilan dengan kegagalan
(Jansens, 1992:4).
Tarik menarik antara sastra eksistensial dengan eksistensialisme dapat dijelaskan
melalui tiga tahapan yang berjalan berbeda. Tahap pertama eksternalisasi, yaitu proses
sastrawan menuangkan hasil renungannya mengenai segi-segi eksistensial kedalam
karyanya sehingga karya sastra tersebut menjadi dan nampak seperti pemikiran
eksistensialisme. Apabila pemikiran yang dibentuk oleh eksternalisasi tersebut kemudian
mengukuhkan diri dan sastrawan kembali menghadapi karya sastra sebagai suatu
faktisitas, maka pada saat itu proses tersebut memasuki tahapan objektivikasi(Jansens,
1992:5). Agar pemikiran yang telah diobjektivikasi tidak menjadi asing bagi pengarang
yang menciptakannya, ia harus diusahakan kembali menjadi bagian dari subjektivitas
pengarang. Inilah tahapan internalisasi (Jansens, 1992:5).
Tiga
tahapan
tersebut
mempunyai
perbedaan-perbedaan
dalam
rangka
penyampaian segi-segi eksistensial dalam karya sastra. Oleh eksternalisasi segi-segi
eksistensial dalam karya sastra menjadi pemikiran eksistensialisme dan merupakan
produk kegiatan subjektivitas pengarang. Objektivikasi segi-segi eksistensial dalam karya
sastra menjadi realitas suigeneris, terlepas dari subjektivitas pengarang yang
58
mengemukakannya (Jansens, 1992:6). Internalisasi pemikiran eksistensialisme mendapat
giliran mempengaruhi subjektivitas pengarang dalam memahami segi-segi eksistensial.
Pengarang bagi Sartre - tidak berperan menjadi Tuhan bagi tokoh-tokoh dalam
novelnya. Sedangkan pada tahap internalisasi, eksistensialisme terang – terangan dipakai
pengarang dalam memahami segi – segi eksistensial manusia. Hal ini dapat dilihat dalam
proses kreatif Iwan Simatupang yang menggunakan sastra sebagai alat pemikiran
eksistensialisme seperti yang dikatakannya sendiri, “sastra bukan melahirkan konsepsi
tertentu, melainkan dilahirkan dari konsepsi tertentu“ (dalam Jansens, 1992:4).
BENTUK EKSISTENSIALISME DALAM NOVEL
Neitzche (1844-1900) membuat pernyataan bahwa tujuan dari filsafat tidak lain
untuk menjawab sebuh pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia yang unggul”.
Jawaban untuk pertanyaan Neitzche tersebut manarik banyak simpatisan dari barbagai
disiplin ilmu yang bebeda untuk sekedar memberikan rumus dan memberi jawaban yang
sederhana.
Salah
satu
yang mencoba
memberikan
jawaban
sederhana
dari
4
pertanyaannya Neitzche adalah Satre (1938) dalam karangan naratifnya (Nausea, 1938).
Sartre memberikan jawaban bahwa untuk menjadi manusia unggul adalah “jika manusia
manusia mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani tentang
dirinya”.
Lebih lanjut Satre (1957:31) menyatakan bahwa manusia tidak lain adalah
rencananya sendiri. Ia tidak lain adalah kumpulan tindakannya sendiri yang bertanggung
jawab. Dalam membentuk dirinya manusia memiliki kebebasan untuk memilih suatu
pilihan yang terbaik di antara alternatif-alternatif yang dihadapinya. Ia dapat memilih
segala sesuatu yang diangapnya baik dan apa yang tidak baik baginya, dan ia tidak
menyalahkan orang lain atas pilihannya.
Jelas bagi Sartre, bahwa kebebasan sangat penting bagi manusia. Tanpa kebebasan
manusia hanyalah esensi belaka. Kebebasan dimiliki oleh setiap manusia. Segala sesutu
yang dilakukannya merupakan ungkapan dari kebebasan yang dimilikinya, kerena
sebenarnya ia dapat memilih untuk berkehendak lain.
Pilihan yang telah ditetapkan merupkan alternatif terbaik dari berbagai alternatif
yang dipertimbangkan dan menyangkut dirinya dan orang lain. Bagi Sartre eksistensi tidak
ada pada individu, akan tetapi pada keseluruhan konteks sosial. Sartre menandaskan
4
Sartre seorang eksistensialis atheis. Mengenai sebutanini Sartre (1957:51) menjelaskan bahwa
Eksistensialisme itu tidaklah sedemikian atbeisnya, sehingga mengerahkan segala-galanya untuk
menunjukkan bahwa Tuhan tidak ada. Namun Eksistensialisme menyatakan bahwa meskipun Tuhan
ada, tidak ada yang berubah karenanya. Rupanya Tuhan tidak bisa dimintai tanggungjawab atas segala
perbuatan manusia. Tuhan tidak berperanan dalam putusan yang diambil manusia. Manusia betulbetul bebas menentukan pilihannya.
59
bahwa ia bertanggung jawab baik bagi dirinya dan orang lain (Sartre, 1957:32) Ia
mengambarkan gambaran tertentu tentang manusia atas dasar pilihannya sendiri. Dalam
memilih bagi dirinya, ia juga memilih bagi manusia (1957:18). Tanggung jawab yang
kita pikul lebih besar dari sekedar tanggung jawab terhadap diri sendiri. Tanggung
jawab itu berarti pula meliputi tanggung jawab kepada seluruh manusia. Jadi kebebasan
bukan suatu pertolongan
bagi manusia, justru kebebasan merupakan sumber
kecemasan, ketakutan, dan perasaan diteror.
Dalam Eksistensialisme Sartre, masing-masing individu merasa akan dunia yang
asing. Satu-satunya cara untuk melarikan diri dari kesepian dan keputusasaan adalah
partisipasi yang aktif dalam masalah-masalah kemanusiaan.
Mengenai mengapa menulis, menurut Sartre menu!is merupakan suatu tindakan
dan
menulis dapat mengarahkan dan merebut hati orang lain. Pada saat menulis,
seorang penulis
tidak
menduga-duga, ia merencanakan sesuatu, karena itu ia
mengetahui apa yang akan terjadi. Apabila seorang membaca karya sastra, dan seorang
tersebut benci kepada seseorang atan pembaca menaruh simpati kepada seseorang,
sebenarnya kebencian dan simpati dirasakan itu dihidupkan oleh pengarangnya. Segala
sesuatu yang dirasakan oleh pembaca pada saat membaca sebuah novel sudah
direncanakan oleh pengarang.
Sartre memerikan batasan eksistensi yang ada di dalam novel yaitu, (1) eksistensi
rasa takut, (2) eksistensi kebebasan dan tanggung jawab, (3) eksistensi proses, dan (4)
eksistensi peran tuhan. Adapun deskripsi keempat hal tersebut sebagai berikut.
Pertama, eksistensi rasa takut. Bagi kaum eksistensialis, manusia pada dasarnya
memang angguish (Sartre, 1957:18). Begitu manusia terdampar pada eksistensinya,
manusia berhubungan dengan bermacam-macam perbuatan hukum. Semua itu
menimbulkan perasaan takut.
Kedua, eksistensi kebebasan dan tanggung jawab.Manusia tidak lain adalah
bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri (Sartre, 1957:15). Dalam membentuk dirinya
manusia bebas menentukan pilihan dan melakukan tindakan. Dengan kebebasan ini
manusia harus memberikan tanggung jawab atas keputusan yang telah diambilnya, dan
tindakan yang telah dilakukannya sendiri.
Ketiga, eksistensi proses.Manusia tiada lain adalah rencananya sendiri, karena itu
manusia adalah kumpulan dari tindakannya (Sartre, 1957:32). Manusia dalam
menciptakan dirinya tidak pernah selesai dengan ikhtiarnya itu. Manusia selalu dalam
proses. Hanya mautlah yang mengakhiri eksistensi manusia dan menjadi esensi.
Keempat,eksistensi peran tuhan. Sartre mengakui bahwa eksistensialismenya
adalah eksistensi atheis. Namun manurut Sartre eksistensialisme itu tidak sedemikian
60
atheisnya, sehingga mengerahkan segala-galanya untuk menunjukan bahwa tuhan itu
tidak ada. namun meskipun tuhan ada, tidak ada yang berubah karenanya. Tuhan tidak
dapat dimintai tangung jawab atas segala perbuatan manusia. Tuhan tidak dapat
berperan dalam putusan yang diambil manusia. Manusia bebas menentukan segala
keputusannya (Sartre, 1957:33).
EKSISTENSIALISME DALAM NOVEL “TUHAN IZINKAN AKU MENJADI PELACUR; MEMOAR
LUKA SEORANG MUSLIMAH” KARYA MUHIDIN DAHLAN
Nidah Kirani namanya seorang gadis desa yang mencoba mencari eksistensinya
melalui sebuah penddikan salaf di pondok pesantren “Ki Ageng”. Batinya terasa
tentram ketika mendengar pengajian-pengajian yang menyejukkan jiwanya terutama
yang berkaitan dengan akhlak (tasawuf). Satupersatu ilmu agama didengarnya
dengan penuh khusuk dan tawakkal terutama pada saat bertemu dengan teman
barunya (Rahmi Rahimmah). Teman yang tidak sebatas teman biasa, tetapi dialah
tempat curhat dan tambatan hatinya ketika rasa rindu pada Sang Khaliq mulai bersemi
dalam dirinya.
‘Cinta’ itupun mulai memudar ketika Rahmi meninggalkanya untuk pindah ke
pondok lain, dan rasa kebingungan dan takut mulai tumbuh dalam dirinya. Perasaan
itu pada akhirnya mengantarkan dirinya untuk bertemu dengan seorang pemuda
bernama Dahiri. Dia seorang rasionalis dan juga oreintalis Islam Garis Keras. Perasaan
yang semakin membingungkannya adalah pada saat dia harus membenturkan antara
keyakinan dan logikanya dalam memperlakukan Islam secara kaffah.
Diapun diperkenalkan dengan gerakan tersebut dan diabaiat dalam situasi
bathinya yang masih labil. Berapa hari berikutnya penampilanya sudah mulai berubah.
Hanya matanya yang tidak tertutup kain, dan baginya inilah Islam yang kaffah?
Ternyata tidak, setelah dia berhasil masuk ke dalam kamar yang hanya diperbolehkan
untuk seorang ikhwati tertentu, dia menemukan dokumen yang tidak lain adalah
rencana dan jaringan untuk membentuk Negara Indonesia Baru.
Tampa berpikir panjang dia melarikan diri dari organisasi tersebut, dan memilih
bersembunyi untuk beberapa bulan. Pengasingan dirinya bukan membuatnya tenang
dan bebas dari masalah, tatapi malah membuatnya semakin gelisan dan pesimis
dalam menjalani hidup. Hudanlah yang menjadi orang baru baginya, dan
memperkenalkannya dengan obat-obatan terlarang.
Kedekatannya dengan Hudan adalah keniscayaan untuk mengikuti nalurinya,
termasuk perkenalannya dengan Daarul yang akan menjadi orang pertama yang
61
menikmanti keperawanannya. Kalau Hudan adalah gerbang utama menganal dunia
baru, maka Daarul adalah pintu pertama untuk menikmati dunia baru.
Dari Darullah dia mulai berani untuk menyatakan pemberontakan diirnya pada
tuhan. Satupersatu laki-laki diberi kesempatan untuk menikmati tubuhnya, temanteman
dekatnya
(Awaluddin,
Wandi
[aktivis
KMI],
Kusywo
[penyair],
Rahmanidas[Aktifis BEM] ), Ustadznya, dan dosennya yang sekaligus menjadi germo
untuk memperkenalkan dirinya pada anggota-anggota DPR yang haus pasangan baru.
Eksistensi Rasa Takut
Dalam Novel “Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur (TIAMP)” rasa takut muncul
ketika Kiran ditinggal pergi oleh Rahma (hlm. 31). Eksistensi rasa takut dalam hal ini
tidak hanya pada situasi, dan suasana saja. Melainkan rasa takut ditinggal oleh
kebiasaan dan rutinitas yang sudah terjalin dengan Rahma.
Pertama, rasa takut dengan situasi dan suasana merupakan salah satu bentuk
pengingkaran terhadap eksistensi manusia. Mestinya manusia yang dapat
membuat suasana menjadi nyaman, tentram, dan kondusif, bukan sebaliknya
manusia ditentukan oleh situasi yang ada di sekitarnya. Keberadaan manusia
mestinya mewarnai segala sesuatu yang dilihat dan didengar, dirasakan, bahkan
dirabanya. Bukan sebaliknya, manusia menjadi penderita dari bagian yang lain.
Dalam diri manusia tersimpan kekuatan untuk melawan rasa takut terhadap
segala hal, termasuk yang ‘tidak pernah disangkanya’. Jalan satu-satunya adalah
manusia harus keluar dari perasaan takut dengan memunculkan sikap ‘keberanian’.
Sikap berani inilah yang akan menjadi sandaran untuk eksistensi manusia untuk
membebaskan dirinya dari perasaan takut. Ketika manisia sudah bebas dari
perasan takut, sebenarnya manusia tersebut telah menunjukkan eksistensi dirinya.
Nidah Kirani (Kiran) telah menunjukkan semua itu dengan mencoba membuat
komunitas belajar. Meskipun tujuan utama komunitas itu untuk mendalami ilmu
keagamaan, tetapi lebih substantif komunitas belajar itu membuat perasaan Kiran
lebih tenang.
Kedua, rasa takut yang lebih dikhawatirkan oleh Kiran adalah berkurangnya
rutinitas yang salama ini diakukannya bersama-sama Rahma. Bagi sebagian orang
kadangkalanya meninggalkan sesautu hal yang telah menjadi rutinitasnya seharihari merupakan hal yang sangat merugikan. Kerugian itu tidak hanya semata-mata
pada bentuk fisik, dan penghasilan, melainkan sudah termasuk dalam ranah
psikologi, bahkan keyakinan. Kepergian seorang Rahmah menjadi beban berat
psikologi Kiran untuk menjalankan ibadah-ibadah dalam menjalankan kegiatan62
kegitan yang telah dilakukan bersama Rahma. Kiran sempat berpikir jika tidak ada
orang yang selevel dengan Rahma dalam meluruskan pikiran-pikiran nakalnya,
seakan-akan dia tidak mampu memelihara keyakinannya kepada tuhan seperti
yang telah dilakukannya selama ini.
Ketiga, saat Kiran menjadi Komandemen Desa untuk merekrut anggota baru
dan meminta mereka membayar infak untuk perjuangan sebuah Negara Islam
(Negara Islam), masyarakat mulai curiga kalau yang dilakukan Kiran seperti
layaknya Gerakan PKI (hlm. 78-79). Kiran menjadi sasaran masyarakat masyarakat
kampung dengan berbagai tuduhan (hlm. 80). Sebagai bentuk antisipasi dari
berbagai hal yang tidak diinginkan Kiranpun dipindah ke Pos Gamping, sebuah pos
yang terletak sangat jauh dari pos asalnya.
Ketakutan Kiran pada bentuk-bentuk yang dapat membahayakan dirinya dan
mengancam keselamantannya, adalah bentuk eksistensi perasaan takut secara
psikologi. Dalam pandangan Sartre (1957:18) manusia berhubungan dengan
bermacam-macam perbuatan hukum, dan hal ini yang membuatnya takut.
Ketakutan Kiran tidak hanya sebatas individualistiknya sebagai seorang
komandemen desa, melainkan juga takut kalau rahasia gerakannya terbongkar.
Eksistensi Kebebasan dan Tanggung Jawab
Pepatah barat mengatakan “kepak sayap kupu-kupu yang lembut mampu
menyebabkan badai di belahan bumi yang lain”. Artinya, sekecil apapun tindakan
yang kita lakukan bisa saja memiliki dampak yang tak kecil di kemudian hari,
(dikutip dari film Musim Panas Kate (Lynn Collins) dan Bobby (Joseph GordonLevitt). Dalam novel TIAMP seorang Kiran selalu dihadapkan pada kondisi tertentu,
‘dimana’ dia harus memutuskan sebuah pilihan.
Pertama, kebebasan dalam memilih pendidikan. Pondok pesantren dan
kuliah di Universitas Matahari Terbit adalah tempat yang dipilih Kiran sebagai
tempat untuk menambah dan mengembangkan pengetahuannya, sekaligus untuk
menempa dirinya sebagai manusia yang baik dan unggul (hlm. 26-27). Keputusan
tersebut membuatnya bertanggung jawab terhadap segala segala aktifitas yang
ada di pondok persantren atau di kampus, mulai dari yang paling ringan sampai hal
yang ‘sangat berat’. Rutinitas sehari-hari (sholat, mengaji Al-Qur’an, Kitab Kuning,
dll) mulai dari Jam 02.00 dini hari sampai 21.00 harus dilakukan sebagai bentuk
konsekuensi seorang santri dan mahasiswa.
Kedua, kebebasan berorganisasi. Seorang Kiran yang ‘haus’ dengan
pengetahuan ilmu pengetahua, tidak hanya sebatas dari pondok ke sebuah
63
universitas (hlm 27-29). Pada hari-hari berikutnya Kiran memutuskan untuk
bergabung menjadi anggota sebuah Gerakan Islam Radikal (GIR) (hlm. 49). Sebagai
anggota baru dari GIR dan Komandemen Desa, dia dituntut untuk berdakwah dan
merekrut anggota baru sekaligus mencari para donatur untuk perjuangan
gerakannya (hlm. 69-77).
Ketiga, kebebasan berekspresi dan menuangkan ide. Dakwahnya yang
bertolak belakang dari pengetahuan dan keyakinan masyarakat membuat Kiran
dalam situasi ‘terjepit’. Dia harus bersembunyi dan melindungi dirinya dari
berbagai hal yang tidak diinginkan dirinya dan gerakannya.
Sebagai seorang “rasionalis radikal” Kiran selalu mengkaitkan ajaran-ajaran
agama dengan rasio dan perjuangan gerakannya (hlm. 71-74). Meskipun dia harus
berdakwah secara sembunyi-sembunyi, hal itu harus dia lakukan untuk
mewujudkan cita-cita besar yaitu membuat Islam yang kaffah dan Negara Islam
Indonesia.
Keempat, kebebasan berprilaku menyimpang sampai hubungan seksual
(sexsual intercourse). Kekecewaan Kiran sebagai seorang Ikhwati muncul ketika
melihat sesuatu yang dirahasiakan oleh ikhwati seniornya (hlm. 89). Diapun kabur
dan bersembunyi. Pertemuannya dengan teman lamanya dan Daarul membuat
Kiran mengenal sesuatu yang awalnya asing baginya (rokok dan sabu), sampai
mempersembahkan keperawanannya kepada Daarul (hlm. 129). Kiran adalah Kiran
saat ini bukan Kiran ketika masih di pondok atau ketika dia mengumbar dakwah
untuk terbentuknya sebuah Negara Islam.
Eksistensi Proses
Pertama, proses mendewesakan pikirannya. Kiran adalah seorang
perempuan yang tidak pernah puas untuk mencari dan menggali pengetahun dan
segala sesuatu yang dianggapnya masih tabu (ilmu, GIR, dan tuhannya). Perannya
untuk memperkaya khasanah keilmuannya tersebut tidak hanya sebatas pada satu
tempat saja, melainkan berbagai tempat dan kesempatan.
Kiran memerankan seorang tokoh yang terus terproses secara ‘alami’.
Permulaan sebagai seorang santri dan mahasiswa, aktivis sebuah Gerakan Islam
Radikal (GIR), seorang buron, sebagai pengguna obat-obatan terlarang, sampai
pada seorang perempuan tunasusila. Gambaran tersebut merupakan gambaran
utuh yang tidak dapat terbantahkan bahwa manusia adalah makhluk yang terus
terproses sampai ‘meninggal’.
64
Kedua, proses menemukan kebenaran tuhannya. Awalnya, tuhan adalah
segala-galanya bagi Kiran. Aktivitasnya yang sangat mendukung GIR untuk
membentuk sebuah Negara Islam, dan perilaku sufi yang dilakukan semata-mata
Sang Pencipta kecintannya pada tuhan. Semua itu merupakan bentuk eksistensinya
dalam mencari hakikat tuhan. Namun pada perkembangan berikutnya, Kiran
merasa kecewa dengan berbagai peristiwa yang menimpanya, sehingga dia
‘memberontak’ dan tidak percaya pada keberadaan tuhannya.
Ketiga, proses menemukan jatidirinya. Kiran tidak pernah menemukan
jatidirinya, profesi terakhirpun sebagai seorang tunasusila dianggapnya hanya
sebagai sebuah proses pendewasaan. Baginya pendewaaan itu bukan karena
kebaikan yang dilakukan secara terus-menerus, melainkan proses pendewasaan itu
dapat dilakukan dengan cara melakukan berbagai kesalahan yang bertentangan
dengan perintah tuhan.
Eksistensi Peran Tuhan
Pertama, peran tuhan sebagai bentuk antara ada dan ketiadaannya. Bagi
Kiran tuhan itu antara ada dan tidak ada. Adanya karena semua orang meyakini
bahwa tuhan ada, meskipun tidak dapat dibuktikan secara empiris. Proses asusila
yang dilakukan dengan semua orang merupakan bagian yang sangat kecil diantara
kebesarannya sebagai tuhan.
Kedua, tuhan tidak dapat dimintai tanggung jawab atas segala bentuk
perbuatan manusia. Bagi Kiran seseorang akan bertanggung jawab dengan dirinya
sendiri. Tuhan tidak akan mencampuri dan bertanggung jawab terhadap segala
bentuk yang dilakukan manusia. Manusia sendirilah yang bertanggung jawab atas
segala berbuatannya. Terkait dengan hal ini eksistensialime berpendapat bahwa
“Jangan mencari tuhan karena anda membutuhkan jawaban, tetapi carilah tuhan
karena anda tahu bahwa dialah jawaban yang ada butuhkan”.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Muhidin M. 2008 .Tuhan Izinkanlah Aku Menjadi Pelacur (Memoar Luka Seorang
Muslimah). Yogyakarta. SkipTa Mament.
Janssens & Gerris. 1992. Child Meaning Empathy and Prosocial Development. Amsterdam:
Swets & Zeitlinger.
Sartre, Jean-Paul. 2007.Existentialism Is a Humanism (L’Existentialisme est un
humanisme). London: Yale University Press.
65
Tjaya, Thomas Hidya. 2004. Kierkegaard dan Pergaulan Menjadi Diri Sendiri. Jakarta:
Gramedia.
Zaskuri, Hafizh. 2009. Eksistensialisme Religius. Makalah Tidak Diterbitkan. Jakarta:
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
66
HUMOR DALAM KARYA SASTRA
Ari Ambarwati
Universitas Islam Malang
[email protected]
ABSTRACT
The article discuss about how humor works in the literary works. Humor
is the language phenomena that is challenging to study., while the
research of humor in Indonesian literary works are rarely to do. Humor
in the literary works could be the bridge to love reading activity. The
description of the character, the description of the context situation of
humor, and the language exploration which has the humor touch in the
literary works are the strong appeal to the reader, especially to get more
engagement to appreciate the literature.
Key words: Humor, literary work
PENDAHULUAN
Perhatikan gambar tersebut di atas. Binatang apakah yang tergambar di sana? Ada
yang mengatakan gambar seekor bebek yang menoleh ke kiri, tetapi ada juga yang
menyatakan gambar tersebut adalah seekor kelinci menghadap ke kanan. Ada pula yang
menyatakan gambar tersebut menunjukkan seekor bebek sekaligus seeekor kelinci.
Gambar tersebut mengandung ilusi optikal yang menarik perhatian dan menjadi sumber
kesenangan bagi yang melihatnya (Coles, 2009:8). Gambar tersebut memunculkan
ambiguitas, tetapi itulah yang menjadi daya tarik gambar tersebut. Jika sang penggambar
menegaskan gambar tersebut adalah bebek dan bukan kelinci, atau sebaliknya, maka
gambar tersebut kehilangan daya tariknya. Ambiguitas menciptakan kesenangan atas
gambar tersebut, sekaligus ‘merusak’ identitas serta keefektifan gambar bebek dan
kelinci.
67
Paparan di atas menunjukkan bagaimana sebuah gambar bisa memunculkan
ambiguitas dan menimbulkan kesan menarik bagi yang melihat. Ambiguitas juga terjadi
saat humor diproduksi, seperti pada teka-teki berikut.
1. + Bagaimana gajah bisa keluar dari kulkas?
Sama seperti saat ia masuk ke kulkas.
2. + Bagaimana empat gajah bisa masuk kedalam VW?
-
Dua gajah duduk di kursi belakang, dua yang lain duduk di kursi depan.
Ambiguitas dalam dua teka-teki tersebut memunculkan tawa dari pendengarnya.
Bagaimana mungkin gajah dengan ukuran tubuh yang luar biasa besar bisa masuk
kedalam kulkas maupun kedalam mobil?. Ambiguitas tersebut jika dijelaskan dengan
logika tentu membuat teka-teki tersebut menjadi tidak lucu lagi.Teka-teki tersebut jelas
membelokkan logika berpikir.
Humor, baik verbal maupun nonverbal pada hakikatnya merupakan rangsangan yang
secara spontan memancing tawa dan senyum penikmatnya. Menurut Apte (1985:15),
tertawa dan tersenyum merupakan indikator yang paling jelas bagi penikmatan humor.
Humor adalah bentuk permainan bahasa yang disukai manusia. Humor dapat ditemukan
dalam sastra lisan dengan beragam bentuk seperti dongeng, teka-teki, puisi rakyat, dan
nyanyian rakyat.
Humor dalam sastra tulis bisa berbentuk teka-teki, kartun, karikatur, pelesetan,
hiperbol, ironi, satire, dan metafora. Contoh teka-teki dalam karya sastra tulis adalah
sebagai berikut.
“Ikan bernafas dengan apanya, Pus?ujar Uwi.
Lupus berpikir sejenak. Lalu sambil mengunyah roti, dia menjawab,”Dengan insang.”
“Ya betul, kalau ular Pus?”
“Ular?Ng…Dengan kulitnya!”
“Seratus! Kalo gajah bernafas dengan…?”
“Hidungnya!”
“Salah!”
Lupus menelan potongan roti yang terakhir. “Jadi dengan apa? Tanyanya sambil
memandang ke arah Uwi.
“Gajah bernafas dengan…teman-temannya!” Ujar Uwi sambil menyembunyikan
mukanya menahan tawa di balik buku bergambar. “Hihihi…Iya kan? Mereka selalu
bergerombol.” (Hariwijaya, 1990:64)
68
Teka-teki yang menjadi subjek percakapan Uwi dan Lupus memunculkan humor
karena Uwi tiba-tiba membelokkan logika berpikir teka-teki sebelumnya. Pembelokkan
logika itulah yang kerap disebut sebagai ketidaksejajaran dalam teori humor.
TEORI HUMOR
Humor adalah fenomena bahasa yang menarik untuk dikaji. Danandjaja (1989:498)
menyatakan bahwa humor, baik yang bersifat erotis dan protes sosial, berfungsi sebagai
pelipur lara. Dalam konteks tersebut, humor dapat menyalurkan ketegangan batin
penikmatnya,bahkan menjadi sarana untuk melakukan protes terhadap ketimpangan
yang terjadi di masyarakat. Apte (1985:14) menyebutkan bahwa ada tiga atribut yang
dilekatkan pada humor. Pertama, humor merupakan sumber yang merangsang tindakan
potensial. Kedua, humor merupakan aktifitas intelektual dan kognitif yang bertanggung
jawab pada persepsi dan evaluasi yang menuntun pada pengalaman penikmatan humor.
Ketiga, humor merupakan respon sikap yang diekspresikan melalui senyum, tertawa, atau
kedua-duanya.
Kemenarikan humor bukan saja terletak pada aspek ketidaksejajaran logika, tetapi
juga pada aspek perlawanan dan aspek psikologis yang muncul dalam humor. Hal
tersebut sejalan dengan tiga teori klasik tentang humor yaitu, teori ketidaksejajaran
(incongruity theory), teori superioritas (superiority theory), dan teori pembebasan (relief
theory) (Krikmann, 2002:4).
Teori Ketidaksejajaran
Ketidaksejajaran pada dasarnya bertumpu pada kemampuan kognitif seseorang.
Teori ini mengasumsikan bahwa tiap aksi melibatkan dua isi rencana yang berbeda.
Rencana yang berbeda tersebut bisa berwujud lini pemikiran, kerangka referensi, skema
ataupun naskah. Rencana tersebut saling bertentangan, tetapi juga melibatkan bagian
umum tertentu yang membuat pergeseran dari satu rencana ke rencana berikutnya
menjadi mungkin. Teori ketidaksejajaran mengacu pada pengaruh humor terhadap
persepsi pikiran pembaca atau pendengarnya (Wijana, 1994:27). Humor secara tidak
kongruen (tidak sejajar) menyatukan dua makna atau penafsiran yang berbeda kedalam
satu objek yang kompleks
Dalam humor, terma ketidaksejajaran merujuk pada kemungkinan dua makna
yang dipahami dalam sebuah ujaran (Ross, 2005:40). Hal ini disebut juga sebagai
permainan kata-kata (pun). Dalam konteks tersebut, humor memiliki elemen konflik yang
diharapkan dengan apa yang kemudian terjadi dalam lelucon. Konflik disebabkan oleh
69
ambiguitas pada tingkatan bahasa. Lini hentak (punchline) humor muncul setelah pun
dan kemudian interpretasinya tidak seperti yang diharapkan pendengar ataupun
pembaca. Interpretasi tersebut bisa jadi mengejutkan dan tidak terduga hingga membuat
pendengar atau pembaca tertawa karena tidak sesuai dengan logika yang mereka pikirkan
sebelumnya. Contoh berikut ini akan memperjelas konsep ketidaksejajaran.
+Siapa yang mengajarimu bermain anggar?
-Zorro
( Wijana, 1994:28)
Pertanyaan di atas diajukan dalam kaitannya dengan anggar sebagai bidang
olahraga yang memerlukan keahlian profesional. Sang penanya berharap mendapatkan
jawaban yang sejajar (jawaban yang diharapkan adalah tokoh nyata yang handal bermain
anggar), tetapi jawaban yang diperoleh mengejutkan karena Zorro adalah tokoh fiktif
dalam film yang kebetulan handal bermain anggar. Zorro adalah lini hentak (punchline)
dalam humor tersebut.
Teori Superioritas
Teori superioritas disebut juga sebagai teori peremehan, pengkritikan, atau
permusuhan yang menonjolkan perilaku negatif pencetus atau pengguna humor terhadap
targetnya. Umumnya humor seperti ini diungkapkan untuk melawan seseorang secara
politis, etnis, maupun untuk mengolok-olok gender tertentu.
Morreall dalam Billig (2005:127) menyatakan bahwa teori superioritas dianggap
sebagai teori humor yang muncul pertama kali jika dilihat dari sejarahnya. Pada awalnya,
superioritas bukanlah benar-benar sebuah teori. Baik Plato maupun Aristoteles tidak
menggambarkan pandangannya terhadap humor sebagai sebuah teori. Mereka
menghasilkan observasi-observasi terpisah saat mendiskusikan pendidikan, retorika serta
moralitas sosial secara lebih luas. Lebih jauh lagi, observasi mereka tidak dapat dikatakan
mendominasi bidang atau wilayah yang telah ada seperti gelak tawa. Gelak tawa
(laughter) bukanlah topik khusus yang diajarkan di kelas dengan kurikulum tertentu pada
abad pertengahan. Gelak tawa bukanlah masalah yang sangat menarik perhatian para ahli
filsafat sebelum abad ke tujuhbelas dan delapanbelas.
Dalam The Republic, Socrates jelas mendiskusikan bagaimana gelak tawa dapat
digunakan untuk mengatur tingkatan sosial. Keadaan ideal haruslah berupa komunitas
yang secara hirarkis dipimpin oleh para pangeran ahli filsafat, yang dedikasinya adalah
mengejar kebenaran dan tidak menolerir oposisi. Seperti juga makan, minum dan aktifitas
70
seksual, gelak tawa adalah kesenangan yang harus dikendalikan. Para bangsawan saat itu
tidak terlalu nyaman jika para pengawalnya tertawa terlalu banyak. Keadaan itu dianggap
merendahkan martabat mereka sebagai bangsawan. Berikut ini adalah contoh humor
yang digunakan untuk mengritik keadaan tertentu.
Tak disangsikan, jika di zoom out, kampung kami adalah kampung terkaya di
Indonesia. Inilah kampung tambang yang menghasilkan timah dengan harga
segenggam lebih mahal puluhan kali lipat disbanding segantang padi. Triliunan
rupiah asset tertanam di sana, miliaran dolar devisa mengalir deras seperti
kawanan tikus terpanggil pemain seruling ajaib Der Rattenfanger von Hameln.
Namun jika di zoom in, kekayaan ituterperangkap di satu tempat, ia tertimbun di
dalam batas tembok-tembok tinggi Gedong.
Hanya beberapa jengkal dari luar lingkaran tembok tersaji pemandangan
kontras seperti langit dan bumi. Berlebihan jika disebut daerah kumuh tapi tak
keliru jika diumpamakan kota yang dilanda gerhana berkepanjangan sejak era
pencerahan revolusi industry. Di sana, di luar lingkar tembok Gedong hidup
komunitas Melayu Belitong yang jika belum punya enam anak belum berhenti
beranak pinak. Mereka menyalahkan pemerintah karena tidak menyediakan
hiburan yang memadai sehingga saat malam tiba mereka tak punya kegiatan lain
selain membuat anak-anak itu. (Hirata, 2005:49-50).
Ada gambaran yang kontradiktif dalam kutipan tersebut di atas. Dua hal
disandingkan untuk menunjukkan bagaimana kontrasnya kehidupan di dalam dan di luar
Gedong. Pernyataan itu digunakan penulis untuk mengkritisi, bahkan menggugat
kemiskinan yang dialami sebagian warga Belitong. Dua kalimat terakhir mengandung
kata-kata yang menyindir kondisi kemiskinan warga Melayu, karena kebiasaan mereka
yang memiliki banyak anak karena tidak memiliki kegiatan produktif lain di malam hari. Ini
adalah satire yang menjadi elemen humor dalam fiksi. Satire memunculkan humor yang
menertawakan keadaan dan situasi tertentu karena bersifat reflektif. Orang bisa berkaca
bahwa kebiasaan memiliki banyak anak di keluarga miskin adalah realitas yang tak
terbantahkan dan orang bisa terseyum bahkan tertawa karenanya. Bisa jadi mereka
menertawai diri sendiri.
Teori Pembebasan
Teori pembebasan seringkali juga disebut sebagai teori psikoanalitik milik Sigmund
Freud. Teori pembebasan berfokus pada penerima humor. Lebih spesifik lagi, teori ini
71
berfokus pada efek psikologis humor terhadap penerimaan seseorang. Freud menyatakan
bahwa humor sebagai sebuah mekanisme substitusi yang memungkinkan mengubah
dorongan impulsif agresif seseorang, yang ditabukan secara sosial, dapat diterima
((Krikmann, 2002:10). Teori pembebasan memungkinkan seseorang memperoleh
pelepasan terhadap tekanan yang dihadapinya melalui humor.
Teori pembebasan memandang humor sebagai alat pembebasan dari sesuatu
yang menyakitkan atau menakutkan (Wijana, 1994:22). Dalam keadaan tertekan, orang
bisa tertawa jika ancaman yang menghantuinya dapat dihilangkan. Tertawa dalam hal ini
muncul bila sesuatu yang diharapkan secara tiba-tiba tidak menjadi kenyataan. Adapun
yang menjadi kenyataan adalah hal-hal sepele yang tidak diduga-duga (unexpectedly
trivial). Contoh berikut ini akan memperjelas konsep pembebasan.
+ Ada lima orang sedang berlayar tiba-tiba perahunya terbalik.Kelimanya
tercebur.
- Lalu?
+ Setelah berenang mencapai pantai keempat orang itu basah kuyup, dari ujung
kaki sampai ujung rambut.
- Orang yang satunya bagaimana?
+ Orang yang satunya rambutnya tidak basah sama sekali, hebat kan?
- Kok bisa begitu?
+ Kan dia botak…
(Wijana, 1994:22-23)
Dalam percakapan tersebut, pendengar begitu asyik mendengarkan cerita lawan
bicaranya. Ia merasa heran karena orang kelima tidak basah rambutnya seperti keempat
kawannya yang lain. Ia sama sekali tidak menyangka, apalagi berpikir bahwa orang kelima
tersebut tidak memiliki rambut alias botak. Pikirannya tersandera pada bayangan bahwa
pastilah orang kelima tersebut memiliki keistimewaan. Keistimewaan tersebut adalah
sesuatu yang diharap-harapkannya, tetapi justru hal remeh (kepala botak) yang tidak
diharapkannya hadir.
KAJIAN HUMOR DALAM KARYA SASTRA
Kajian humor dalam karya sastra di Indonesia belum banyak dilakukan. Penelitian
humor dalam karya sastra Jawa modern pernah dilakukan Pradopo (Wijana, 1994:12).
Penelitian tersebut mengkaji humor dengan pendekatan semantik yang membagi humor
dalam sastra Jawa modern menjadi tiga jenis, yakni humor sebagai kode bahasa, humor
72
sebagai kode sastra, dan humor sebagai kode budaya. Sebagai kode budaya dan kode
bahasa, humor merupakan hasil budaya masyarakat pendukungnya sehingga identitasnya
sebagai humor hanya dapat diberi makna sepenuhnya oleh masyarakat itu sendiri. Humor
terikat dengan konteks budaya masyarakat yang menghasilkannya.Penelitian tersebut
juga mengungkapkan bahwa humor di dalam sastra berperan sebagai pengikat tema dan
fakta cerita.
Penelitian tentang humor masih banyak dilihat dari sisi linguistik, seperti yang
dilakukan Wijana dalam Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Kartun (1983), Bahasa
Indonesia dalam Cerita Humor (1985),dan Bahasa Humor Anak-anak (1986) (Wijana,
1994:16). Ketiga penelitian tersebut lebih banyak melihat humor sebagai permainan
bahasa, sehingga cenderung menguraikan penyimpangan aspek-aspek semantik
kebahasaan, seperti polisemi, homonimi, idiom, dan peribahasa.
Penelitian sejenis juga pernah dilakukan Soedjatmiko dalam Aspek Linguistik dan
Sosiokultural dalam Humor. Ia menyatakan bahwa secara linguistik humor dapat didekati
dengan pendekatan
semantik dan pragmatik (Soedjatmiko 1994:19). Menurut
pendekatan semantik, masalah humor berpusat pada ambiguitas yang dilaksanakan
dengan mempertentangkan makna pertama (M1) yang memiliki makna berbeda dengan
makna kedua (M2). Pembaca atau pendengar menikmati kelucuan apabila ia mengambil
salah satu makna, dan kemudian menertawakan dirinya sendiri karena ia salah.
Nielsen (1993:262) menyatakan bahwa humor merupakan aspek yang sangat
penting bagi sastra anak maupun sastra orang dewasa. Karya sastra anak yang bermuatan
humor mampu menjangkau lebih banyak pembaca anak-anak. Humor juga dianggap
mampu memicu anak-anak yang mulanya segan menjadi suka membaca.
Zbaracki (2003:122) menyimpulkan bahwa humor memotivasi pembaca anak-anak
untuk menggunakan strategi membaca yang bervariasi serta mendorong mereka untuk
membagikan apa yang sudah mereka baca kepada orang lain sebagai interaksi sosial di
dalam kelas. Humor dalam karya sastra yang ditulis untuk anak-anak membuat mereka
lebih antusias membaca. Keterlibatan aktif anak-anak dalam kelas membaca akan
membangun pengetahuan, kompetensi sosial, kemahiran membaca, dan motivasi jangka
panjang mereka untuk terus membaca (Zbaracki, 2003:123). Kondisi tersebut adalah
prasyarat yang dibutuhkan untuk menjadikan anak-anak sebagai pembaca sepanjang
hayat.
Penelitian Smith (1967:215) menunjukkan bahwa keasyikan menemukan
ketidaksejajaran dalam sebuah karakter atau mendapati karakter yang aneh dalam karya
sastra merupakan hal yang menimbulkan humor bagi anak-anak maupun orang dewasa.
73
Humor memainkan peran penting dalam karya sastra. Humor menjadi daya pikat untuk
menikmati karya sastra.
Sebagai homo ludens (mahluk yang bermain), manusia suka bermain dengan
bahasa yang diproduksinya. Humor diproduksi manusia untuk menghibur diri sendiri dan
orang lain sebagai salah satu bentuk permainan yang menggunakan bahasa. Humor
adalah bentuk kreatifitas manusia dalam menggunakan bahasa. Humor dalam drama
muncul dalam
bentuk
komedi.
Komedi adalah
adegan
dalam
drama
yang
menggambarkan kegembiraan dan kelucuan. Dalam drama tradisional, seperti ludruk
misalnya, komedi dihadirkan melalui kidungan. Menurut Peacock dalam Maryaeni
(2011:17), Kidung merupakan nyanyian yang dibawakan oleh penyanyi laki-laki, wanita,
dan pelawak, baik secara solo, duet, maupun koor yang berbentuk puisi lirik dengan
diiringi gamelan khas Jawa. Kidung kerap memunculkan humor karena menggunakan
permainan bahasa pelesetan yang berbentuk pantun, seperti Yu Ginten Kleleken timba,
namung semanten kidungan kula (Mbakyu Ginten tidak sengaja menelan timba, cukup
sekian nyanyian saya) (Maryaeni, 2011:18).
Kidung yang mengandung humor dalam ludruk juga digunakan untuk melakukan
perlawanan seperti dalam ludruk garingan almarhum Markeso. Salah satu kidungan
miliknya yang terkenal adalah pagupon omahe dara, melok Nippon uripe sara (Pagupon
rumahnya burung dara, ikut Jepang hidupnya sengsara). Itu adalah salah satu bentuk
satire yang ditujukan untuk menyindir pilihan sikap orang-orang Indonesia yang pada
zaman penjajahan Jepang lebih memilih menjadi kaki tangan Jepang daripada membela
tanah airnya sendiri.
Dalam novel Indonesia, humor muncul sebagai sarana untuk menghibur pembaca
sekaligus alat untuk melakukan koreksi terhadap diri sendiri. Humor muncul dalam kisahkisah keseharian dalam tetralogi “Drunken” (Drunken Mama, Drunken Monster, Drunken
Molen, Drunken Marmut) karya Pidi Baiq. Berikut cuplikan humor dalam Drunken Mama.
Tapi kan anak titipan Tuhan / … / berarti terserah Tuhan dong mau nitip kapan? / …
/ Kalau Tuhan nitipnya pas kami belum nikah? / Berarti kamu dosa! / Kok, Tuhan
yang nitip malah kami yang dosa? (Baiq, 2011:110)
Mengapa Tuhan tidak menampakkan dirinya?… / … karena, ya itu, kalau Tuhan
menampakkan dirinya, berarti Tuhan tidak adil. / Kenapa? / Iya, berarti kasihan
orang buta… (Baiq, 2011:l 88)
Humor tersebut bukan sekadar kumpulan humor seperti yang akhir-akhir ini
muncul memenuhi rak-rak di toko buku, tetapi dibuat dengan sengaja memasukkan
74
humor sebagai elemen pembangun cerita. Novel-novel Andrea Hirata dalam tetralogi
Laskar Pelangi juga kental dengan humor. Dalam Laskar Pelangi, ia menggunakan satire
(sindiran) yang membuat pembacanya menangis sekaligus tersenyum, seperti dalam
cuplikan berikut ini.
“Ibunda Guru, Ibunda mesti tahu bahwa anak-anak kuli ini kelakuannya seperti
setan. Sama sekali tak bisa disuruh diam, terutama Borek, kalau tak ada guru, ulahnya
ibarat pasien rumah sakit jiwa yang buas. Aku sudah tak tahan, Ibunda, aku menuntut
pemungutan suara yang demokatis untuk memilih ketua kelas baru. Aku juga tak sanggup
mempertanggungjawabkan kepemimpinanku di padang Masyar nanti, anak-anak kumal
yang tak bisa diatur ini hanya akan memberatkan hisabku!”(Hirata, 2005:71).
SIMPULAN
Humor adalah pembengkokan logika berbahasa yang digunakan oleh penulis atau
penutur untuk tujuan-tujuan tertentu. Humor bisa digunakan sebagai sarana menghibur
pembaca dan pendengar, tetapi juga dapat dipakai sebagai sarana otokritik dan kritik
kepada orang lain. Di Indonesia, humor belum menjadi bidang kajian yang banyak
ditekuni, padahal humor berkaitan dengan permainan dan kreatifitas penggunaan
bahasa. Kajian humor dalam karya sastra juga masih minim jika dibandingkan dengan
kajian humor dalam bidang linguistik.
Fenomena permainan dan kreatifitas penggunaan bahasa dalam humor berkaitan
dengan praktik berbahasa yang melibatkan banyak bidang ilmu, mulai dari pengkajian
struktur humor yang bisa didekati secara linguistik, pragmatik, sosiologi, juga melibatkan
latar budaya tempat dihasilkannya humor. Indonesia yang multietnis dan multikultur
tentu menjadi alasan kuat mengapa kajian humor perlu dilakukan secara serius,
khususnya humor dalam karya sastra..
Beberapa penulis khususnya penulis cerita anak dengan sengaja memasukkan
humor sebagai elemen pembangun cerita untuk menarik anak-anak agar suka membaca.
Misalnya seperti Hilman Hariwijaya yang menulis serial Lupus Kecil. Humor dalam serial
Lupus Kecil muncul dalam berbagai ragam, mulai dari permainan teka-teki kata, mengritik
orang dewasa, dan pantun jenaka. Meski ditulis oleh penulis yang nota bene orang
dewasa, humor dalam Lupus Kecil dapat dinikmati anak-anak dengan rentang usia di atas
tujuh hingga 12 tahun. Selanjutnya, humor dalam karya sastra dapat mendekatkan
pembaca dengan apresiasi dan kritik sastra.
DAFTARA PUSTAKA
75
Apte, Mahadev, L. 1985. Humor and Laughter. Ithaca: Cornell University Press.
Baiq, Pidi. 2011. Drunken Mama. Jakarta. Gagas Media.
Billig, Michael. 2005. Laughter and Ridicule. London. Sage Publication Ltd.
Coles, William, H. 2009. How Humor Works in Fiction.www.storyinliteraryfiction.com.
Diunduh 21 Februari 2013.
Hariwijaya, Hilman. 1990. Lupus Kecil. Jakarta. Gramedia.
Hirata, Andrea. 2005. Laskar Pelangi. Yogyakarta. Bentang Pustaka.
Krikmann, Avo. 2002. Contemporary Linguistics of Humor.
www.folklore.ee/folklore/vol33/kriku.pdf. Diunduh 5 Januari 2013.
Maryaeni. 2011. Kesenian Ludruk: Dampak Akulturasi Budaya Terhadap pendidikan Budi
Pekerti Anak Bangsa. Pidato Pengukuhan Guru Besar. UM
Nielsen, Don. 1993. Humor Scholarship: A Reasearch Bibliography. Westport. CT:
Greenwood Press
Ross, Alison. 2005. Language of Humor. London. Routledge.
Smith, John. 1967. A Critical Approach to Children Literature. Mc Graw Hill.
Wijana, I Dewa Putu. 1994. Wacana Kartun Dalam Bahasa Indonesia. UGM. Disertasi
tidak diterbitkan.
Zbaracki, Matthew.D. 2003. A Descriptive Study of How Humor in Literature Serves to
Engage Children in Their Reading. Ohio State University. Disertasi.
76
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR TEKS CERPEN UNTUK SISWA SMP KELAS VII
Dina Merdeka Citraningrum
Unmuh Jember
Email: [email protected]
ABSTRACT
The activity of short story lerning for the seventh grader (junior high
school of seventh grader) face some problems. The problems are the lack
of the relevant learning source, the lack of the student interest to the
uninteresting method and the strategy learning of the teacher. The
implication of the problems are the limited learning material. The article
offers the solution of the problems. The research article expand the
manifestation of the applicative learning material using the new study.
Key words: development learning material , short story text, The seventh
grader
PENDAHULUAN
Pelaksanaan pembelajaran teks cerpen berdasarkan observasi selama ini,
mengalami beberapa hambatan. Hambatan tersebut disebabkan karena alokasi jam
pelajaran diberikan secara tidak seimbang, sehingga berakibat pada pembatasan materi
pelajaran yang akan dikembangkan. Hambatan-hambatan tersebut antara lain: kurangnya
media dan alat-alat yang dibutuhkan dalam pembelajaran; kurangnya sumber bahan ajar
atau buku ajar yang relevan; serta kurangnya minat belajar siswa karena metode atau
strategi yang dipilih guru dalam pembelajaran kurang menarik atau menantang.
Hambatan-hambatan tersebut bisa terjadi, karena meskipun sudah ada
perencanaan mengajar yang disusun oleh guru, namun perencanaan mengajar tersebut
masih dianggap kurang memadai bila digunakan di sekolah seperti kondisi sekarang ini.
Oleh karena itu, guru harus dapat menyusun perencanaan mengajar yang dapat
memotivasi siswa untuk belajar. Perencanaan mengajar tersebut bisa berupa, pemilihan
metode atau strategi, media, serta langkah-langkah pembelajaran yang diaplikasikan
dalam bentuk rencana pelaksanaan pembelajaran. Sehingga materi yang diajarkan guru
akan mudah dipahami oleh siswa. Sehubungan dengan hal tersebut maka, diperlukan
sebuah bahan ajar dan strategi yang menarik dan aplikatif sebagai sumber belajar.
Berdasarkan permasalahan tersebut, guru dapat membuat alternatif dengan
menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran dan bahan ajar teks cerpen yang relevan
dengan kebutuhan siswa SMP kelas VII. Melalui materi teks cerpen tersebut siswa dilatih
77
untuk menemukan sendiri pesan yang tertuang dalam materi bahan ajar, sehingga
dengan mengalami sendiri siswa akan lebih aktif.
Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa penerapan materi teks cerpen
dan pendekatan pembelajaran yang dipilih juga mempunyai posisi yang strategis di dalam
pembelajaran. Pendirian itulah yang mendorong peneliti melakukan penelitian
pengembangan bahan ajar teks cerpen untuk siswa SMP kelas VII.
Masalah umum dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah wujud bahan ajar teks
cerpen untuk siswa kelas VII SMP? Masalah khusus penelitian ini adalah bagaimanakah:
(a) wujud bahan ajar teks cerpen pada bagian pendahuluan untuk siswa kelas VII SMP? (b)
wujud bahan ajar teks cerpen pada bagian isi untuk siswa kelas VII SMP? (c) wujud bahan
ajar teks cerpen pada bagian penutup untuk siswa kelas VII SMP?
METODE
Penelitian ini menggunakan metode pengembangan. Dipilihnya metode
pengembangan tersebut adalah untuk menghasilkan suatu rancangan atau produk yang
dapat dipakai untuk memecahkan masalah-masalah aktual dalam kegiatan pembelajaran.
Model pengembangan ini adalah menghasilkan suatu produk berupa bahan ajar
teks cerpen untuk siswa SMP kelas VII. Model pengembangan yang digunakan dalam
penelitian ini diadaptasi dari desain pembelajaran Dick dan Carey (1985). Model desain
pembelajaran Dick dan Carey dirumuskan dengan tahapan mengenali (1) tujuan
pembelajaran, (2) melakukan analisis pengajaran, (3) mengenali tingkah laku masukan
dan ciri siswa, (4) merumuskan tujuan performansi, (5) mengembangkan butir tes acuan
patokan, (6) mengembangkan strategi pengajaran, (7) mengembangkan dan memilih
materi pengajaran, (8) merancang dan melakukan penilaian formatif, (9) merevisi
pengajaran, dan (10) merancang dan melakukan penilaian sumatif.
Desain model pembelajaran Dick dan Carey tersebut dilakukan secara prosedural.
Adit (2009) mengungkapkan bahwa desain model pembelajaran Dick dan Carey
menyarankan agar penerapan prinsip desain pembelajaran disesuaikan dengan langkahlangkah yang harus ditempuh secara berurutan.
Dalam pengembangan bahan ajar ini, desain model pembelajaran Dick dan Carey
(1985) disesuaikan dengan kondisi lapangan. Tahapan yang diambil dalam desain
pembelajaran Dick and Carey (1985) yaitu: (1) tujuan pembelajaran, (2) melakukan
analisis pengajaran, (3) mengembangkan dan memilih materi pengajaran, (4) merancang
dan melakukan penilaian formatif, (5) merevisi pengajaran.
Selanjutnya pengembang menyusun dan mengembangkan langkah-langkah dalam
pengembangan bahan ajar sebagai berikut. Langkah-langkah yang dilakukan dalam
78
pengembangan bahan ajar ini melalui empat tahap yaitu: (1) tahap persiapan, (2) tahap
pengembangan, (3) tahap evaluasi, dan (4) tahap revisi.
Produk yang dihasilkan pada penelitian ini adalah bahan ajar. Bahan ajar tidak
dapat dibuat tanpa dilakukan penyusunan dan uji RPP. Oleh sebab itu, produk berupa
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) digunakan sebagai bahan yang harus dibuat
terlebih dahulu untuk menyusun bahan ajar. Berdasarkan model pengembangan,
prosedur pengembangan dari masing-masing produk dibagi menjadi empat bagian yaitu
tahap persiapan, tahap pengembangan, tahap uji produk, dan tahap revisi.
Rencana pelaksanaan pembelajaran dan bahan ajar yang dihasilkan diujicobakan
pada praktisi dan ahli. Sedangkan siswa sebagai subjek uji lapangan hanya menguji bahan
ajar teks cerpen.
Jenis data yang digunakan pada penelitian ini berupa data verbal dan numerik.
Data verbal adalah data yang dikumpulkan dengan instrumen penelitian di lapangan
secara sistematis, melalui informasi lisan dari ahli, guru, dan siswa berupa komentar,
saran, kritik yang dihimpun selama waktu uji coba. Sedangkan data numerik adalah skor
penilaian yang dituliskan oleh sumber data pada lembar observasi.
Data rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dibagi menjadi dua. Data pertama
berupa data verbal yang merupakan informasi lisan dari ahli, dan guru berupa komentar,
saran, dan kritik yang dihimpun selama waktu uji coba. Data verbal yang merupakan
informasi lisan dari ahli, dan guru dicatat secara sistematis melalui tabel komentar, saran,
dan kritik. Data lainnya yaitu skor penilaian yang dituliskan oleh sumber data pada lembar
observasi rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Seperti halnya data RPP, data bahan ajar juga dibagi menjadi dua. Data pertama
berupa data verbal yang merupakan informasi lisan dari ahli, guru, dan siswa berupa
komentar, saran, dan kritik yang dihimpun selama waktu uji coba. Data lainnya yaitu skor
penilaian yang dituliskan oleh sumber data pada lembar observasi bahan ajar.
Untuk mengumpulkan data dari masing-masing subjek uji coba digunakan
instrumen berupa panduan observasi dan penilaian. Panduan ini berisi poin-poin
pengamatan dan penilaian atas RPP dan bahan ajar yang diujicobakan. Panduan observasi
dan penilaian ini dibagi menjadi dua yaitu panduan observasi rencana pembelajaran dan
panduan observasi bahan ajar.
Analisis data bahan ajar dilakukan dengan cara (1) mengumpulkan data yang
diperoleh dari lembar observasi dan data verbal yang dicatat secara sistematis dalam
tabel komentar, saran, dan kritik; (2) menghimpun, menyeleksi dan mengklasifikasi data
berdasarkan kriteria penilaian; dan (3) menganalisis data dan merumuskan simpulan hasil
analisis sebagai dasar untuk melakukan tindakan terhadap produk bahan ajar.
79
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian pengembangan ini menghasilkan produk berupa bahan ajar. Produk
berupa bahan ajar tidak dapat dihasilkan tanpa serangkaian uji produk yang berupa
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) teks cerpen untuk siswa SMP kelas VII. Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) teks cerpen diujicobakan dalam dua tahap uji coba yaitu
pada ahli, dan praktisi.
Bahan ajar teks cerpen diujicobakan dalam tiga tahap uji coba yaitu uji ahli, uji
praktisi, dan uji lapangan. Uji ahli dilakukan oleh ahli sastra, dan ahli pembelajaran bahasa
dan sastra Indonesia. Uji praktisi oleh guru bahasa dan sastra Indonesia SMP Kosgoro
Sragi, dan uji lapangan dilakukan oleh siswa kelas VII B SMP Kosgoro Sragi.
Data yang diperoleh dari hasil uji RPP dan bahan ajar berupa data verbal dan numerik.
Data verbal dikumpulkan dengan instrumen penelitian di lapangan, melalui informasi
lisan dari subjek uji yang dicatat secara sistematis oleh peneliti dalam tabel komentar,
saran, dan kritik. Sedangkan data numerik diperoleh dari skor penilaian yang dituliskan
oleh sumber data pada lembar observasi. Baik uji RPP dan uji bahan ajar dijelaskan
masing-masing berikut.
Pada uji RPP, tahap pertama dilakukan uji coba pada ahli sastra, dan ahli
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Data yang diperoleh dari hasil uji ahli sastra,
dan ahli pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia berupa data numerik dan verbal. Data
numerik diperoleh dari skor penilaian yang dituliskan oleh sumber data yaitu ahli sastra,
dan ahli pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada lembar observasi. Data yang
diperoleh dari hasil uji ahli sastra dan ahli pembelajaran tersebut kemudian
disempurnakan. Setelah dilakukan penyempurnaan, maka pada tahap kedua RPP
diujicobakan pada praktisi.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah diujicobakan pada praktisi
tersebut, selanjutnya disempurnakan. RPP yang telah dilakukan penyempurnaan inilah
yang akan dilakukan dalam rujukan pengembangan bahan ajar.
Setelah dilakukan serangkaian uji coba dan penyempurnaan RPP, maka dilakukan
pengembangan bahan ajar. Pada tahap pengembangan bahan ajar ini, dilakukan
serangkaian uji coba yang dilakukan oleh ahli sastra, ahli pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia, praktisi, dan siswa. Serangkaian uji coba yang dilakukan baik oleh ahli sastra,
ahli pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, praktisi, dan siswa adalah untuk
mengembangkan wujud bahan ajar teks cerpen untuk siswa kelas VII SMP.
Hasil pengembangan yang dimaksud adalah (1) wujud bahan ajar teks cerpen pada
bagian pendahuluan untuk siswa kelas VII SMP, (2) wujud bahan ajar teks cerpen pada
80
bagian isi untuk siswa kelas VII SMP, dan (3) wujud bahan ajar teks cerpen pada bagian
penutup untuk siswa kelas VII SMP.
Dari uji coba produk, ada empat data yang dapat diungkap yaitu (1) data uji ahli
sastra, (2) data uji ahli pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, (3) data uji praktisi
atau guru, dan (4) data uji siswa atau kelompok kecil siswa.
Data uji coba produk berupa data kuantitatif, dan data kualitatif. Data kuantitatif
hasil uji ahli sastra memiliki perbedaan aspek penilaian dengan hasil uji coba ahli
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, praktisi, dan hasil uji kelompok kecil siswa.
Data hasil uji yang diperoleh pada ahli sastra ini adalah berdasarkan penilaian yang
mencakup kriteria: (1) keakuratan bahan ajar, (2) keluasan bahan ajar, dan (3) kedalaman
bahan ajar.
Data hasil uji coba ahli pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, praktisi, dan
hasil uji kelompok kecil siswa adalah berdasarkan penilaian yang mencakup kriteria: (1)
sistematika penyajian bahan ajar, (2) isi bahan ajar, (3) bahasa yang digunakan dalam
bahan ajar, dan (4) tata letak dan tampilan bahan ajar.
Data kualitatif mencakup (1) komentar, saran, dan kritik ahli sastra, (2) komentar,
saran, dan kritik ahli pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, (3) komentar, saran, dan
kritik praktisi atau guru.
Berdasarkan hasil analisis data uji coba di atas perlu dilakukan revisi produk. Revisi
produk dilakukan agar produk yang dihasilkan lebih lengkap dan sempurna sehingga
sesuai dengan kebutuhan. Revisi produk sebenarnya telah dilakukan sejak awal, ketika
produk mulai digunakan dalam uji coba ahli sastra, dan ahli pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia. Dengan demikian, revisi produk merupakan proses panjang dan tidak
hanya dilakukan satu kali, tetapi setiap kali selesai uji coba langsung dilakukan revisi.
Hasil, data, analisis data, dan revisi yang telah dikemukakan pada bagian hasil di
atas telah memberi indikasi kuat bahwa penyusunan bahan ajar tepat adanya. Agar hasil,
data, analisis data, dan revisi pengembangan bahan ajar teks cerpen untuk siswa SMP
kelas VII dipahami lebih jelas dan mendalam serta tampak kaitannya dengan teori dan
hasil penelitian, berikut disajikan pembahasannya.
Bahan ajar merupakan isi pembelajaran yang termuat di dalam buku yang ditulis
oleh pengajar atau penulis lain untuk kepentingan pembelajaran atau perkuliahan
(Mbulu, 2001:87). Bahan ajar adalah bahan-bahan atau materi perkuliahan yang disusun
secara sistematis yang digunakan dosen dan mahasiswa dalam proses perkuliahan
(Pannen, 2001:69). Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
bahan ajar adalah bahan-bahan atau materi pembelajaran yang disusun secara sistematis
oleh pengajar untuk kepentingan pembelajaran.
81
Sudrajat (2008) mengemukakan bahwa bentuk bahan ajar dapat dibagi menjadi lima
kelompok antara lain:1) bahan cetak (hand out, buku, modul, lembar kerja siswa, brosur,
leaflet, dan wallchart);2) audio (radio, kaset, CD audio, dan PH);3) visual (foto, gambar,
dan model/maket);4) audio visual (video/film, dan VCD);dan 5) multimedia (CD interaktif,
computer based, dan internet).
2
Bentuk bahan ajar yang dihasilkan ini disusun dalam bentuk buku. Sapta (2009)
menjelaskan bahwa, buku adalah bahan tertulis yang menyajikan ilmu pengetahuan buah
pikiran dari pengarangnya. Oleh pengarangnya isi buku didapat dari berbagai cara
misalnya: hasil penelitian, hasil pengamatan, aktualisasi pengalaman, otobiografi, atau
hasil imajinasi seseorang yang disebut sebagai fiksi.
Buku adalah sejumlah lembaran kertas baik cetakan maupun kosong yang dijilid dan
diberi kulit. Buku sebagai bahan ajar merupakan buku yang berisi suatu ilmu pengetahuan
hasil
analisis
terhadap
kurikulum
dalam
bentuk
tertulis.
Lebih lanjut Sapta (2009) memaparkan bahwa, buku yang baik adalah buku yang
ditulis dengan menggunakan bahasa yang baik dan mudah dimengerti, disajikan secara
menarik dilengkapi dengan gambar dan keterangan-keterangannya, isi buku juga
menggambarkan sesuatu yang sesuai dengan ide penulisannya. Buku pelajaran berisi
tentang ilmu pengetahuan yang dapat digunakan oleh peserta didik untuk belajar, buku
fiksi berisi tentang pikiran-pikiran fiksi seorang penulis, dan seterusnya.
Dalam membuat buku teks (bahan ajar sastra) yang baik, perlu dipertimbangkan aspek
estetika sastra, sastra, dan moral. Ketiga aspek tersebut masing-masing dijabarkan
sebagai berikut.
Aspek estetika yang perlu dihadirkan dalam sebuah buku teks (bahan ajar sastra)
antara lain: (1) bahan ajar sastra mampu menghidupkan atau memberi pengetahuan baru
bagi pembaca, menuntun pembaca melihat berbagai kenyataan kehidupan, dan
memberikan orientasi baru terhadap apa yang dimiliki, (2) bahan ajar sastra mampu
membangkitkan aspirasi pembaca untuk berpikir, berbuat lebih banyak, dan lebih baik
bagi penyempurnaan kehidupan, dan (3) bahan ajar sastra mampu memperlihatkan
peristiwa kebudayaan, sosial, keagamaan, atau politik masa lalu dalam kaitannya dengan
peristiwa masa kini dan masa datang.
Aspek sastra yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun buku teks (bahan ajar
sastra) antara lain: (1) buku teks (bahan ajar sastra) merefleksi kebenaran kehidupan
manusia. Artinya, bahan ajar sastra membekali pembaca dengan pengetahuan dan
apresiasi yang mendalam tentang hakikat manusia dan kemanusiaan serta memperkaya
wawasannya mengenai arti hidup dan kehidupan; (2) buku teks (bahan ajar sastra)
mempunyai daya hidup yang tinggi, yang senantiasa menarik bila dibaca kapan saja; dan
82
(3) buku teks (bahan ajar sastra) menyuguhkan kenikmatan, kesenangan, dan keindahan
karena strukturnya yang tersusun apik dan selaras.
Aspek/norma moral apabila menyajikan, mendukung, dan menghargai nilai-nilai
kehidupan yang berlaku. Nilai keagamaan yang disajikan, misalnya, harus mampu
memperkukuh kepercayaan pembaca terhadap agama yang dianutnya.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, maka bahan ajar teks cerpen untuk siswa
SMP kelas VII ditulis dengan memperhatikan aspek estetika sastra, sastra, dan moral,
menggunakan bahasa yang baik dan mudah dimengerti, disajikan secara menarik karena
dilengkapi dengan gambar atau ilustrasi. Bahan ajar teks cerpen ini disusun dalam rangka
memberikan alternatif pembelajaran yang bermanfaat bagi siswa. Bahan ajar teks cerpen
dirancang secara sistematis sesuai urutan kemampuan yang harus dikuasai siswa SMP
kelas VII. Sesuai dengan pernyataan tersebut, Teknologi pendidikan (2009) menjelaskan
bahwa kriteria bahan ajar yang baik harus memenuhi beberapa kriteria antara lain: (a)
substansi yang dibahas harus mencakup sosok tubuh dari kompetensi atau sub
kompetensi yang relevan dengan kemampuan siswa, (b) substansi yang dibahas harus
benar, lengkap dan aktual, meliputi konsep fakta, prosedur, istilah dan notasi, serta
disusun berdasarkan hirarki/langkah penguasaan kompetensi, (c) tingkat keterbacaan,
baik dari segi kesulitan bahasa maupun substansi harus sesuai dengan tingkat
kemampuan pembelajar/siswa, dan (d) sistematika penyusunan bahan ajar harus jelas,
runtut, lengkap, dan mudah dipahami.
Secara umum wujudbahan ajar teks cerpen yang dihasilkan terdiri atas tiga bagian.
Bagian tersebut adalah bagian pendahuluan, bagian isi, dan penutup. Bagian
pendahuluan berisi sampul; kata pengantar; daftar isi bahan ajar; petunjuk penggunaan
bahan ajar, dan kompetensi yang harus dicapai. Bagian isi berisi pengantar teori; teori
tentang unsur-unsur intrinsik teks cerpen; contoh beserta latihan. Bagian penutup berisi
refleksi kesalahan terhadap pembelajaran dan daftar rujukan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Produk yang dihasilkan dari penelitian ini yaitu bahan ajar teks cerpen untuk siswa
SMP kelas VII. Produk ini diperoleh melalui proses penyempurnaan dan uji coba sehingga
menghasilkan produk yang memenuhi kriteria. Berdasarkan hasil uji coba, maka dapat
ditarik simpulan dari produk yang dihasilkan berikut.
83
Bahan ajar merupakan perwujudan dari skenario pembelajaran. Bahan ajar yang
dikembangkan dikemas dalam bentuk buku disajikan secara menarik, dan sistematis
dengan menggunakan bahasa, serta ilustrasi yang mendukung siswa dalam memelajari
teks cerpen. Wujud dari bahan ajar yang dikembangkan yaitu pendahuluan, isi, dan
penutup.
Bagian pendahuluan bahan ajar berisi sampul, kata pengantar, daftar isi buku ajar,
petunjuk penggunaan buku ajar, dan kompetensi yang harus dicapai. Halaman
pendahuluan bertujuan untuk mempersiapkan siswa dalam memahami materi yang akan
disampaikan atau memberikan apersepsi.
Bagian isi berisi pengantar teori; teori tentang unsur-unsur teks cerpen; contoh
beserta latihan; Bagian isi bertujuan untuk mencapai kompetensi dasar dan indikator
yang dikembangkan.
Bagian penutup berisi refleksi pembelajaran, dan daftar rujukan. Kegiatan refleksi
mendukung siswa untuk dapat memetik hikmah atau manfaat pembelajaran. Daftar
rujukan memuat sejumlah daftar buku yang dapat dijadikan rujukan pembaca untuk lebih
memperdalam kegiatan pembelajaran.
Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan penelitian pengembangan ini antara lain:
(1) produk yang dihasilkan dalam penelitian pengembangan dapat digunakan guru mata
pelajaran bahasa dan sastra Indonesia sebagai rambu-rambu yang dapat diterapkan di
lapangan, (2) prosedur yang telah ditempuh dalam penyusunan bahan ajar dapat
digunakan oleh penyusun bahan ajar untuk membuat buku teks pelajaran bahasa dan
sastra Indonesia yang sesuai dengan kondisi lapangan, (3) bahan ajar yang dihasilkan
dapat digunakan penyusun kurikulum sebagai bahan pertimbangan pemilih teks cerpen
untuk menyusun kurikulum yang relevan dengan kebutuhan siswa.
DAFTAR RUJUKAN
Adit. 2009. Instructional Design Dick and Carey, (Online),
(http://adit279.com/http:/adit279.com/instructional-design-dick-and-careymodel-robert-gagne%E2%80%99s-model-kemp-model/ diakses Mei 2008).
Dick and Carey. 1985. The Systematic Design of Instruction (Third Edition). Illinois: Harper
Collins Publishers.
84
Endraswari, Suwardi. 2003. Membaca, Menulis, Mengajarkan Sastra: Sastra Berbasis
Kompetensi. Yogyakarta: Kota Kembang.
Mbulu, Joseph dan Suhartono. 2004. Pengembangan Bahan Ajar. Malang: Elang Mas.
Sapta, Andy. 2009. Pengembangan Bahan Ajar, (Online), ( http://andysapta.blogspot.com/2009/01/pengembangan-bahan-ajar-6.html, diakses 6
Januari 2010).
Sudrajat, Ahmad. 2008. Pengembangan Bahan Ajar, (Online),
(http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/24/pengembangan-bahanajar/, diakses 31 Desember 2009).
Teknologi Pendidikan. 2009. Bahan Ajar, (Online),
(http://www.teknologipendidikan.co.cc/2009/03/bahan-ajar 07/, diakses 6
Januari 2010).
85
MEMBERDAYAKAN GURU SASTRA
DI TENGAH POLEMIK KERINGNYA PEMBELAJARAN SASTRA
Eni Wahyuni
MAN 3 Malang
[email protected]
ABSTRACT
The language has the centre point on the development of emotional,
intellectual, and social of the students. The language is the supporter of the
students’ success on learning all the learning subjects. For the sake of it, the
language learning should be given in theinteristing and pleasant to all the
students. Unfortunately, the Indonesian language and literature learning in
the class tend to boring and stagnant. The teacher tends to use the old
fashioned technique to deliver the learning. The implication is the students
do not like the Indonesian language and literature learning. The teacher of
the Indonesian and literature learning has not the interest especially in
literature. The next implication to the students are they failed in expanding
their competency and have no any positive attiude on Indonesian language
and literature.
Kata Kunci: Teacher improvement, Indonesian language and literature
learning.
PENDAHULUAN
Jika mengamati berbagai praktik pembelajaran yang dilaksanakan oleh para guru,
akan dapat dijumpai gejala beraneka ragam. Keanekaragaman itu terjadi, baik pada
tingkah laku guru, peserta didik, maupun situasi kelas. Secara umum gejala yang dapat
diamati dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok utama, yaitu:
1. Ada guru yang mengajar dengan cara menyampaikan
meteri pelajaran
semata-mata.
2. Ada guru yang sengaja menciptakan kondisi sedemikian rupa, sehingga
peserta didik dapat melakukan berbagai kegiatan yang beraneka ragam dalam
mempelajari berbagai materi pembelajaran.
3. Ada guru yang mengajar dengan memberi kebebasan kepada peserta didik
untuk memilih materi pembelajaran apa yang akan dipelajari sesuai dengan
minat dan pilihannya, juga memberi kebebasan kepada setiap peserta didik
untuk melakukan proses mempelajari materi pembelajaran tersebut.
86
Pada kelompok pertama, guru berperan sebagai penyampai materi pelajaran. Guru
biasanya berdiri di depan kelas, menghadapi sejumlah peserta didik dan menjelaskan isi
pelajara.. Sesekali mungkin ada peserta didik bertanya atau meminta penjelasan , dan
guru mengulangi penjelasan sebagai jawabannya.
Pada kelompok kedua, ada sementara guru yang mengajar dengan menciptakan
situasi dan kondisi belajar yang memungkinkan peserta didik dapat memperoleh
pengalaman belajar sesuai dengan tujuan. Oleh karena tujuan yang hendak dicapai itu
beraneka ragam, maka situasi pembelajarannya pun beraneka ragam pula.
Pada kelompok yang ketiga, guru berperan sebagai pembimbing belajar, namun
proses pemberian bimbingan bersifat lebih bebas, tanpa ada yang mengarahkan. Peserta
didik berupaya sendiri untuk memenuhi kebutuhan tentang apa yag ingin dipelajari.
Setiap peserta didik dapat secara bebas
memilih materi pembelajaran yang akan
dipelajari, serta bagaimana cara mempelajarinya. Guru hanya mengikuti saja apa
kemauan peserta didik dalam belajar atau “tut wuri handayani”.
PERAN GURU DALAM PEMBELAJARAN
Jika ditelusuri secara mendalam, proses pembelajaran yang merupakan inti dari
proses pendidikan formal di sekolah, di dalamnya terjadi interaksi antara berbagai
komponen pembelajaran. Komponen-komponen ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga
kategori utama, yaitu guru, isi atau materi pembelajaran, dan peserta didik
Interaksi antara ketiga komponen utama melibatkan sarana dan prasarana, seperti
metode pembelajaran, media pembelajaran, dan penataan lingkungan tempat belajar,
sehingga tercipta situasi pembelajaran yang memungkinkan tercapainya tujuan yang
telah direncanakan sebelumnya. Dengan demikian , guru memegang peranan sentral
dalam proses pembelajaran. Peran guru dalam proses pembelajaran yang dapat
membangkitkan aktivitas peserta didik setidak-tidaknya menjalankan tugas utama,
berikut ini:
MERENCANAKAN PEMBELAJARAN
Perencanaan yang dibuat merupakan antisipasi dan perkiraan tentang apa yang
akan dilakukan dalam pembelajaran, sehingga tercipta suatu situasi yang memungkinkan
terjadinya proses belajar yang dapat mengantar peserta didik
mencapai tujuan
yangdiharapkan. Perencanaan ini meliputi:
a.
Tujuan apa yang hendak dicapai, yaitu bentuk-bentuk tingkah laku apa yang
diinginkan dapat dicapai atau dapat dimiliki oleh peserta didik setelah terjadinya
prose pembelajaran.
87
b.
Materi pembelajaran yang dapat mengantarkan peserta didik mencapai tujuan.
Materi pembelajaran merupakan pengalaman yang akan diberikan kepada
peserta didik selama mengikuti proses pendidikan atau proses pembelajaran.
c.
Bagaimana proses pembelajaran yang akan diciptakan oleh guru agar peserta
didik mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Kegiatan, strategi, atau metode
dalam
proses
pembelajaran
harus
disesuaikan
dengan
perencanaan
pembelajaran yang telah disusun dengan mengacu kepada tujuan yang hendak
dicapai.
d.
Bagaiman menciptakan dan menggunakan alat evaluasi untuk mengetahui atau
mengukur apakah tujuan itu sudah tercapai atau belum. Hal ini penting sebagai
umpan balik untuk mengadakan perbaikan.
MELAKSANAKAN PEMBELAJARAN
Pelaksanaan pembelajaran selayaknya berpegang pada apa yang tertuang dalam
perencanaan. Namun, situasi yang dihadapi guru dalam melaksanakan pembeljaran
mempunyai pengaruh besar terhadap proses pembelajaran itu sendiri. Situasi
pembelajaran itu sendiri banyak dipengaruhi oleh factor-faktor sebagai berikut
a. Faktor Guru
Setiap guru memiliki pola mengajar sendiri-sendiri. Pola mengajar ini tercermin
dalam tingkah laku pada waktu pelaksanaan pembelajaran. Tingkah laku guru dalam
mengajar bisa juga disebut dengan istilah” Gaya Mengajar atau Teaching Style”. Gaya
mengajar inimencerminkanbagaiman pelaksanaan pembelajaran guru yang bersangkutan,
yang dipengaruhi oleh pandangannya sendiri tentang mengajar, konsep-konsep psikologi
yang digunakan, serta kurikulum yang dilaksanakan.
b. Faktor Peserta didik
Setiap peserta didik mempunyai keragaman dalam hal kecakapan maupun
kepribadian. Kecakapan yang dimilki oleh masing-masing peserta didik itu meliputi
kecakapan potensial yang memungkinkan untuk dikembangkan.
c. Faktor Kurikulum
Secara sederhana kurikulum dalam kajian ini menggambarkan pada isi atau
pelajaran dan pola interaksi belajar mengajar antara guru dan peserta didik untuk
mencapai tujuan tertentu.Materi pembelajaran sebagai isi kurikulum mengacu kepada
tujuan yang hendak dicapai.
d. Faktor Lingkungan
Lingkungan fisik tempat belajar yang berarti konteks terjadinya pengalaman
belajar. Lingkungan ini meliputi keadaan ruangan, tat ruang, dan berbagai situasi
88
fisikyang ada di sekitar kelas atau sekitar tempat berlangsungnya proses pembelajaran.
Lingkungan ini pun dapat menjadi salah satu factor yang mempengaruhisituasi belajar
MENGEVALUASI PEMBELAJARAN
Evaluasi merupakan salah satu komponen pengukur derajat keberhasilan
pencapaian tujuan, dan keefektifan prose pembelajaran yang dilaksanakan. Fungsi
evaluasi antara lain untuk:
a. Mengetahui apakah peserta didik dapat mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
b. Mengetahui kondisi belajar yang disiapkan, apakah dapat menyebabkan
peserta didik belajar.
c. Mengetahui apakah prosedur pembelajaran berlangsung dengan baik.
d. Mengetahui di mana letak hambatan pencapaian tujuan tertentu.
MEMBERIKAN UMPAN BALIK
Menurut Stone dan Nielson dalam Purwanto (1982:11), umpan balik mempunyai
fungsi untuk membantu peserta didik memelihara minat dan antusias peserta didik dalam
melaksanakan tugas belajar. Salah satu alasan yang dikemukakannya adalah, belajar itu
ditandai oleh adanya keberhasilan dan kegagalan. JIka hal ini diketahui oleh peserta didik,
akan membawa dampak berupa hadiah dan hukuman. Keberhasilan berdapampak hadiah
(reward) dan kegagalan berdampak hukuman (punishment). Dengan memperoleh hadiah
tersebutindividu akan merasakan suatu insentifyang dapat memberikan rangsangan dan
mayivasi baru dalambelajar. Sedangkan dengan hukuman individu tidak mengulangi
kegagalan yang dibuatnya. Itulah sebabnya maka dalam oroses pembelajaran, umpan
balik sangat penting artinya bagi peserta didik dalam belajar.
PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH
Tampaknya pembelajaran sastra di sekolah dewasa ini hanya sekadar memenuhi
target kurikulum, tidak menukik pada permasalahn apresiasi sastra lebih mendalam.
Kondisi ini diperparah dengan munculnya karya-karya yang mengusung ideologi dan
genre tertentu. Awal tahun 2000-an, kita tersentak dengan lahirnya novel-novel teenlit
dan chicklit. Contohnya, novel cintapucino. Novel ini begitu membahana dan menjadi
bacaan di kalangna remaja saat itu. Kemunculannya sempat menjadi perbincangan
kalangan sastrawan di negeri ini. Sebut saja Naning Pranoto, seorang novelis.
Menurutnya,kelahiran genre novel teenlit dan sejenisnya dapat mengaburkan karya
sastra yang sebenarnya dan dapat merusak bahasa Indonesia. Seperti kita maklumi,
89
teenlit dan sejenisnya dalam mengususng ide-ide kreatifnya menggunakan bahasa gaul,
bukan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
KEDUDUKAN DAN FUNGSI PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:232), pendidikan diaratikan sebagai
proses pengubahan sikap dan tata laku seorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pembelajaran atau pengajaran. ‘Dunia guru’
adalah ‘dunia kelas’ yang secara sepihak menekan, mendesak, bahkan memaksa guru
untuk melaksanakan proses pembelajaran sebagai proses pendidikan yang diharapkan
dapat memanusiakan anak didik. Lebih lanjut , guru juga diharapkan mampu menyajikan
proses pembelajaran yang bukan semata-mata transfer pengetahuan tertentu, tetapi juga
memiliki efek pendamping (nuturring effect) yakni berkewajiban untuk membentuk,
mewarnai kepribadian, dan moral peserta didik.
GURU SASTRA SEBAGAI PENGAJAR SENTRAL
Dalam pengajaran sastra, seorang guru dituntut untuk menciptakan suasana
pembelajaran yang PAIKEM, yaitu pembelajaran yang Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan
Menyenangkan. Disamping sebagai seorang fasilitator, guru harus dapat membangkitkan
perhatian peserta didik pada pengajaran sastra yang diberikan serta dapat menerapkan
metode dan sumber belajar yang bervariasi. Guru harus dapat membangkitkan minat
peserta didiknya untuk aktif dan produktif sebagai hasil dari respon yang dapat
menghasilkan input dan outcome sesuai dengan tujuan awal.
Guru harus bisa mengembangkan potensinya, supaya bisa berinteraksi dan
menciptakan pembelajaran yang berkualitas serta melahirkan peserta didik yang
berkompetensi dan berkualitas. Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru yaitu
Kompetensi Pedagogik (guru harus mampu menguasai materi dan berwawasan luas),
Kompetensi Profesional (guru harus bisa bekerja dan bertanggung jawab dengan
profesinya sebagai seorang pendidik), Kompetensi Kepribadian (guru harus bisa menjadi
contoh dan teladan bagi peserta didiknya), Kompetensi Sosial (guru harus bisa
bersosialisasi dan berinteraksi dengan masyarakat, teman sejawat, peserta didik, maupun
dengan atasannya).
Guru ‘sastra’ menjadi figur sentral dalam menaburkan benih dan menyuburkan
apresiasi sastra di kalangan peserta didik. Kalau pengajaran sastra diberikan oleh guru
yang tepat, imajinasi peserta didik akan terbawa ke dalam suasana pembelajaran yang
dinamis, menarik, kreatif, dan menyenangkan. Sebaliknya, jika pengajaran sastra disajikan
oleh guru yang salah, bukan mustahil situasi pembelajaran ajan terjebak dalam atmosfer
90
yang kaku, monoton, dan membosankan. Imbasnya, gema apresiasi sastra peserta didik
tidak akan pernah bergeser dari “lagu lama”, terpuruk dan tersaruk-saruk.
Pertanyaan yang muncul, sudah siapkah guru”sastra” melaksanakan KTSP? Untuk
menjawab pertanyaan ini, seyogyanya pemerintah segera melakukan pemetaan sehingga
dapat diketahui oleh guru bahasa yang memiliki kompetensi dan minat di bidang sastra
yang mampu membawa dunia peserta didik untuk mencintai sastra.
Jika dulu asumsi sosok guru dianggap harus lebih ‘multidimensi’, kini eranya guru
harus “spesialis”. Dengan guru spesialis, materi yang disampaikan lebih bernuansa.
Semakin spesialis sang guru, di mata peserta didik punakan semakin tinggi nilainya karena
dengan demikian keduanya akan berjalan harmonis. Ada “etos komunikator" yang tinggi
jika guru spesialis di bidangnya.
POLEMIK PEMBELAJARAN SASTRA
Sastra sebagai sebuah karya memiliki sifat universal, demikian juga dengan
pemaknaan karya tersebut. Seorang apresiator memiliki hak untuk mengulas karya dari
berbagai sudut pandang masing-masing. Tetapi yang menjadi permasalahan saat ini
adalah bagaimana pendidik khususnya bidang studi sastra menghadapi polemik. Benarbenar dibutuhkan kesungguhan dalam pengajaran sastra, kekreatifan guru dan luncuran
jurus-jurus inovatiflah yang akan mengubah paradigma keterpasungan talenta guru.
PEMBELAJARAN SASTRA BELUM MENYENANGKAN
Aspek-aspek kesastraan berjalan dengan dinamis dan seimbang. Namun faktanya,
tidak demikian adanya. Pengajaran sastra menjadi sebuah permasalahan dan keluhan di
tingkat pendidikan sekolah saat ini karena belum berjalan secara optimal dan mencapai
tujuan yang produktif. Pembelajaran sastra justru hanya membahas dari segi strukturnya
saja yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsiknya. Guru sebagai seorang pendidik
dianggap kurang memiliki kompetensi (pengetahuan) sastra yang luas. Seorang guru
kurang inovatif dan kreatif memberikan pemahaman tentang sastra. Ruang lingkup dan
gerak pengajaran sastra hanya terbatas pada Silabus dan SKL. Model dan sistem
pembelajaran sudah di atur secara rinci di dalam Silabus. Pada hakikatnya, seorang guru
tidak bisa menjadi seorang intelek yang produktif dan bisa menjadi stimulus kepada
peserta didiknya mengenai pengajaran sastra yang produktif. Seorang guru tidak bisa
bereksplorasi secara luas dan hanya fokus pada silabus yang menjadi pedoman dalam
sistem pembelajaran yang mempersempit kreativitas seorang guru.
Disamping itu, bermuara pada apresiasi dan minat baca peserta didik yang masih
rendah terkait dengan karya-karya sastra. Karya sastra semakin tergeser dan
91
dikesampingkan, bahkan dianggap kurang penting. Minat baca dan menulis peserta didik
dengan sastra mulai luntur. Sastra hanya dianggap sebagai hiburan dan pelengkap mata
pelajaran di sekolah. Peserta didik lebih mencintai mempelajari bahasa negara lain
(Inggris) dibandingkan dengan bahasanya sendiri (Indonesia) yang diaplikasikan melalui
sastra yang justru sebagai budaya dan identitas Indonesia. Pengetahuan dan pemahaman
sastra bahkan masih secuil dan sangat sempit dibandingkan dengan dunia teknologi,
dunia yang menyulap panggung teater manusia.
Beralih dari aspek guru, sudut pandang lain berdalih pada sistem pendidikan dan
kurikulum pendidikan saat ini yang tidak pernah memberikan ruang gerak yang cukup
pada pembelajaran sastra. Padahal, pengajaran sastra sebagai wadah untuk generasi yang
akan datang untuk melahirkan sastrawan, kritikus, penulis maupun dosen (pendidik)
sastra untuk terus mengembangkan dan merealisasisan sastra agar tetap produktif dan
tidak tergeser oleh derasnya arus zaman.
MUNCULNYA GENRE SASTRA BARU
Tampaknya pembelajaran sastra di sekolah dewasa ini hanya sekadar memenuhi
target kurikulum, tidak menukik pada permasalahan apresiasi sastra lebih mendalam.
Kondisi ini lebih diperparah dengan munculnya karya-karya yang mengusung genre
tertentu. Awal tahun 2000-an, kita tersentak dengan lahirnya novel-novel teenlit,
contohnya Cintapucino. Teenlit dan sejenisnya mengusung tema-tema baru, ide-ide
kreatifnya menggunakan bahasa gaul, bukan bahasa Indonesia yangbaik dan benar. Hal ini
juga disebabkan kurangnya pengajaran sastra di sekolah-sekolah. Dengan demikian,
ketika muncul alternatif bacaan di kalangan mereka, langsung ditanggapi secara positif..
PEMBELAJARAN SASTRA JANGAN RESEPTIF
Secara jujur harus diakui, pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sebagian
sekolah belum berlangsung seperti yang diharapkan. Guru cenderung menggunakan
teknik pembelajaran yang bercorak teoretis dan hafalan sehingga kegiatan pembelajaran
berlangsung kaku, monoton, dan membosankan. Mata pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia belum mampu melekat pada diri peserta didik sebagai sesuatu yang rasional,
kognitif, emosional, dan afektif. Akibatnya, Bahasa dan Sastra Indonesia belum mampu
menjadi mata pelajaran yang disenangi dan dirindukan oleh peserta didik. Imbas lebih
jauh, kegagalan peserta didik dalam mengembangkan pengetahuan, keterampilan
berbahasa, dan sikap positif terhadap Bahasa dan Sastra Indonesia.
Pandangan tentang pembelajaran sastra pernah disampaikan Prof Suwarsih Madya
(http://ganeca.blogspirit.com) . Menurutnya, pengajaran sastra dapat memberikan andil
92
yang signifikan terhadap keberhasilan pengembangan manusia yang diinginkan asal
dilaksanakan dengan pendekatan yang tepat, yaitu pendekatan yang dapat merangsang
olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olahraga.
Pembelajaran bahasa Indonesia dan apresiasi sastra berperan sangat penting
dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hal itu terbukti dalam Kurikulum 1968 sampai
sekarang (KTSP), apresiasi sastra merupakan materi pembelajaran yang harus diajarkan
kepada peserta didik mulai sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas (baik
SMA/MA maupun SMK).
Pembelajaran sastra sebenarnya punya dua tujuan. Pertama, pengetahuan sastra
diperoleh dengan membaca teori, sejarah, dan kritik sastra. Kedua, pengalaman sastra
dengan cara membaca melihat pertunjukan karya sastra dan menulis karya sastra.
PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA YANG MENYENANGKAN
Kehadiran sejarah sastra dapat mengembangkan wawasan dan imajinasi peserta
didik. Pengetahuan sejarah sastra dapat memudahkan peserta didik mengapresiasi sastra.
Terutama pengetahuan tentang penciptaan dan latar belakang penyair. Pengetahuan
bertaut erat dengan kecerdasan. Selain itu, latar belakang pergolakan yang terjadi pada
saat karya sastra diciptakan akan mampu mengembangkan imajinasi walaupun bertahuntahun peristiwa itu terjadi. Hal ini terlihat melalui karya-karya sastra yang diangkat
menjadi film. Imajinasi akan berkembang ketika peserta didik menanggapi karya sastra
yang lahir pada Angkatan Balai Pustaka. Demikian pula dengan para penyair dan
karyanya.
Namun, bagi sebagian peserta didik pembelajaran sejarah sastra merupakan
pembelajaran yang dianggap membosankan karena dalam pembelajarannya berkisar
pada nama pengarang dan hasil karya serta periodisasi sastra.
Untuk mengatasi hal di atas, para pendidik sastra perlu bekerja keras menciptakan
pembelajaran sejarah sastra yang menyenangkan dengan cara mengaitkan kecerdasan
peserta didik dengan pengalaman apresiasi sastra. Tentu saja hal ini memerlukan
kreativitas yang tinggi. Kreativitas merupakan motor penggerak para pendidik sastra
untuk mengembangkan pembelajaran sejarah sastra yang kreatif.
PENUMBUHAN SIKAP POSITIF PESERTA DIDIK SEBAGAI PIJAKAN AWAL
Mengapa
kita
mesti
membuat
pembelajaran
(apresiasi)
sastra
menjadi
menyenangkan? Hal ini karena dalam pembelajaran apresiasi, faktor “penghargaan”
menjadi hal yang diutamakan.Apresiasi sastra berarti kegiatan menikmati karya sastra
secara sungguh-sungguh sehingga dalam diri peserta didik tumbuh kepekaaan perasaan
93
dan penghargaan terhadap karya sastra. Dengan demikian seorang guru sastra dapat
membuat pembelajaran sastra menjadi menyenangkan berarti telah dapat mengikat
peserta didik pada sebuah kegiatan yang intens dan mengasyikkan. Pembelajaran sastra
yang menarik akan dapat menggelitik bahkan mengikat peserta didik terus-menerus
bergaiarah untuk melakukan kegiatan apresiasi. Ujung-ujungnya peserta didik akan
senang, aktif, dan bersemangat mengikuti pembelajaran apresiasi sastra.
Dalam pembelajaran sastra, sikap, dan perilaku peserta didik sebagai subjek
pengapresiasi sastra memegang peranan yang sangat vital. Sikap peserta didik terhadap
karya sastra dan kegiatan apresiasi akan menentukan bagaimana proses apresiasi itu
terwujud. Adapun guru berkewajiban menciptakan suasana yang kondusif bagi
munculnya sikap positif peserta didik. Adapun sikap positif peserta didik dicirikan sebagai:
(a) adanya kegembiraan, keantusiasan dan semangat untuk membaca sastra, menyimak
pembacaan karya sastra atau melihat pementasan sastra; (b) rasa simpatik dan peduli
terhadap terhadap karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra; (c) keoptimisan, keyakinan
dan mempercayakan akan manfaat membaca sastra dan kegiatan apresiasi sastra yang
lain: (d) adanya kesungguhan, keseriusan, keintesifan, dan ketotalan untuk terlibat
dengan karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra: dan (e) munculnya kemauan, kesiapan,
kesediaan dan kespontanan untuk masuk dalam kegiatan apresiasi sastra.
Tentu saja, sikap positif ini tidak terjadi begitu saja, guru harus mampu
menumbuhkan sikap positif pada peserta didik. Lalu bagaimana cara guru
untukmenumbuhkan dan memupuk sikap positif peserta didik sebagai calon apresiator?
Guru dalam menumbuhkan sikap dan perilaku positif dapat melakukan cara-cara berikut.
1. Menghilangkan kesan dan suasan yang terlampau kaku, formal, angker dan
“keseriusaan” yang berlebihan. Hal ini merupakan prasyarat diman peserta
didik dikondisikan sedemikian rupa dalam suasana senang, rileks, terhibur
tanpa ada kesan asal-asalan.
2. Memberikan pengalaman-pengalaman berkesan, menyenangkan, memikat,
dan menyegarkan. Hal ini dapat dilakukan guru dengan memberikan
pemodelan langsung seperti membaca puisi, cerpen ataupun menonton
drama, mengajak peserta didik untuk menyayikan puisi, mengajak peserta
didik untuk berdialog dengan pengarang.
3. Memberikan iklim, suasana, situasi,dan lingkungan apresiasi sastra yang baik
dalam arti menyenangkan.
4. Menunjukkan dan memberikan contoh manfaat dan nilai guna karya sastra
dan kegiatan apresiasi sastra. Hal ini dapat dilakukan dengancara
menginformasikan sisi hiburan dan renungan (nilai-nilai kemanusiaan) sebuah
94
karya sastra, mempertemukan peserta didik dengan orang yang telah
memperoleh manfaat dari membaca karya sastra, atau menjelaskan segi-segi
positif jika membaca karya sastra.
5. Mengondisikan dan memberikan perlakuan tertentu yang dapat mengarahkan
peserta didik untuk mendekati, membaca, dan menikmati karya sastra. Hal ini
dapat dilakukan guru dengan cara memberikan tugas membuat ulasan sastra
dengan ajeg dan berkelanjutan.
BAHAN KARYA SASTRA YANG MENARIK SESUAI KONDISI PESERTA DIDIK
Sesudah guru berhasil menumbuhkan sikap positif pada diri peserta didik, tentu
guru harus ‘menjaga’ suasana dan sikap positif it uterus berlangsung. Untuk itu, pada
setiap kegiatan belajar mengajar harus pandai-pandai, bijaksana dan ‘lihai’ memilih bahan
pembelajaran, dalam hal ini teks sastra. Dalam hal ini, guru dituntut senantiasa
menggumuli karya sastra berbagai bentuk, cirri, variasi dan berbagai zaman. Guru harus
selalu memperbaharui bacaan-bacaan sastranya sehingga guru memiliki stok yang
berlimpah untuk diberikan pada peserta didik. Dengan berlakunya KTSP, guru akan
memiliki banyak kesempatan mengeluarkan kreativitasnya mencari bahan atau teks
sastra baik melalui buku, internet, media massa maupun cerita-cerita rakyat yang ada di
lingkungan sekolah atau peserta didik.
Memiliki buku bahan ajar sastra memerlukan semacam rambu-rambu untuk
menentukan bahan agar tidak terjadi pengulangan, penyesuaian dengan tingkat
pengetahuan dan pemahaman peserta didik, serta mempertimbangkan perkembangan
kesusastraan Indonesia. Pemilihan bahan ajar harus mencakup pula berbagai genre sastra
mulai dongeng (sastra lama), cerpen, novel, puisi, drama, ataupun esai. Juga perlu
dikenalkan hasil sastra terjemahan dari sastra daerah dan sastra asing.
Harus diperhitungkan pula jumlah buku yang harus dibaca (dalam setiap bentuk)
dalam tingkat kelas tertentu dengan melihat usia dan dikedepankan yang memiliki nilainilai moral tertentu. Secara umum, memiliki buku bahan ajar sastra dapat diuraikan
sebagai berikut.
a. Mutu sastra dan daya tarik keterbacaan
b. Selara dengan tuntutan kurikulum
c. Mempresentasikan perkembangan sejarah sastra Indonesia
d. Kandungan budaya dan nilai moral
e. Perkembangan psikologi dan kemampuan anak (kompetensi membaca
peserta didik)
95
Pemilihan buku bahan ajar sastra harus melihat mutu sastra dan daya tarik
keterbacaan mengandung pengertianbahwa buku bahan ajar sastra tersebut (apapun
bentuknya; novel, cerpen, puisi dll.) harus memiliki criteria sastrawi atau punya estetika
sastra yang tinggi sehingga mampu mengundang minat peserta didik. Untuk itu, perlu
diutamakan karya sastra Indonesia seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Atheis, puisi-puisi
Chairi Anwar, dan sebagainya.
Usaha ini sebaiknya juga memasukkan buku bahan ajar sastra yang tergolong great
books semacam Mahabrata, Ramayana, karya-karya besar William Shakespeare, Charles
Dicken, dan sebagainya. Bisa juga menyertakan sastra-sastra pop yanh dianggap punya
estetika tinggi yabg telah dikenal peserta didik seperti Lupus, Ali Topan, Si Doel Anak
Betawi, Cintaku di Kampus Biru, karya-karya Mira W, Marga T, dan sebagainya.
KOMPETENSI GURU SASTRA
Guru yang kompeten adalah guru yang dapat mengubah kurikulum pembelajaran
menjadi unit pelajaran yang mampu menembus ruang-ruang kelas. Kelas sebagai ruang
sentral interaksi guru dan peserta didik harus dibuat bergairah. Kurikulum tidak
semestinya mengungkung kreativitas guru dalam mengajar. Kurikulum, yang katanya
sudah memadai harus benar-benar dapat diwujudkan dalam praktik kegiatan belajarmengajar yang optimal, tidak hanya menjadi simbol dalam memenuhi target
pembelajaran.
Kesan pembelajaran di sekolah saat ini hanya mengarah pada penguasaan materi
pelajaran harus dapat diubah menjadi kompetensi peserta didik. Cara mengajar guru
yang sekadar duduk di depan kelas atau bertumpu pada ceramah menjadi bukti
kurangnya kompetensi guru. Penciptaan suasana belajar yang dinamis, produktif, dan
profesional harus menjadi spirit bagi para guru. Dengan demikian, guru memang pantas
menjadi sosok yang dapat membentuk kepribadian peserta didik yang kokoh, baik secara
intelektual, moral, maupun spiritual. Pentingnya kompetensi guru ini juga ditegaskan
dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, yang menyatakan “guru harus memiliki
kompetensi pedagogis, profesional, sosial, dan kepribadian.”. Sekali lagi, guru layak
‘digugu” apabila memiliki kompetensi yang dapat dipercaya.
SIKAP GURU
Seperti yang sudah dijelaskan di dalam kajian kompetensi guru di atas sikap guru
adalah indikator guru pantas ditiru. Sekalipun sibuk mengurus sertifikasi atau
kesejahteraan, guru harus memiliki sikap bangga dan patriotrik terhadap profesi yang
dipilihnya. Sikap guru yang terlalu biasa, kurang positif terhadap mata pelajaran tidak
96
pantas terlihat pada diri peserta didik. Bangga mengajar mata pelajaran yang menjadi
spesialisasinya adalah sikap guru yang utama. Sikap bangga inilah yang akan menjadikan
guru lebih bergairah dalam mengajar sehingga dapat memberi nilai tambah, di samping
proses pembelajarn menjadi menarik. Ketahuilah, sikap guru adalah keteladanan peserta
didik terhadap mata pelajaran yang diikutinya.
Proses pembelajaran di kelas yang monoton dan membosankan, harus diakui lebih
banyak disebabkan oleh lemahnya sikap guru dalam mengajar. Peserta didik yang malas
mengikuti pelajaran tertentu lebih banyak dipengaruhi oleh sikap guru yang acuh
terhadap mata pelajarannya sendiri. Kondisi ini menjadikan peserta didik tidak bergairah,
under estimate saat mengikuti pelajaran di kelas. Konsekuensinya, peserta didik tidak
memiliki kesadaran dan pemahaman akan pentingnya mata pelajaran yang diajar guru
tersebut.
Upaya membenahi sikap guru dalam mengajar menjadi sangat penting. Sikap guru
merupakan cerminan kualitas dan profesionalisme guru dalam proses pembelajaran. Oleh
karena itu, beberapa indikator penting bagi guru untuk membenahi sikap dalam mengajar
antara lain adalah: 1) memiliki orientasi pembelajaran yang bersifat praktis, bukan
teoretik, 2) kegiatan belajar yang harus bertumpu pada peserta didik dalam memperoleh
pengalaman, 3) berorientasi pada kompetensi peserta didik yang sesuai dengan
kompetensi guru, 4) kemampuan menyederhanakan materi pelajaran, 5) melibatkan
aspek kreativitas dalam kegiatan belajar, 6) menerapkan sistem evaluasi belajar yang
dapat diukur peserta didik, dan 7) memiliki metode pembelajaran yang menarik dan
menyenangkan. Jika demikian, guru pantas ‘ditiru” apabila memiliki sikap dalam
pembelajaran yang dapat diditeladani.
Sebagi guru yang layak digugu dan ditiru pada dasarnya pasti dapat direalisasikan.
Sejauh dilandasi kompetensi dan sikap guru yang positif dalam mengajar maka guru
memang pantas digugu dan ditiru peserta didiknya. Oleh karena itu, guru harus
melibatkan hati dalam mengajar, tidak cukup hanya pikiran. Kompetensi dan sikap guru
adalah agenda penting profesi guru saat ini dan di masa mendatang. Caranya, guru harus
lebih membuka diri untuk terus belajar, kreatif dalam mengajar, dan menyetarakan
pengetahun dan cara mengajar.
MEMBENTUK GURU SASTRA YANG KREATIF
Meningkatkan mutu pendidikan Indonesia pada era globalisasi haruslah secara
komprehensif atau menyeluruh, dengan menitik beratkan pelaksanaan pada otonomi
pengelolaan pendidikan, dengan memikirkan serta melakukan berbagai cara agar
tercapainya tujuan pendidikan nasional secara utuh dan untuk secepatnya mengejar
97
ketertinggalan dari negara lain. Untuk melihat keberhasilan pembelajaran, komponen
pembelajaran yang diperlukan adalah alat penilaian. Alat penilaian yang dapat digunakan
untuk meningkatkan kemampuan peserta didik meraih standar kompetensi yang sangat
beragam. Guru yang inovatif dapat memilih alat penilaian yang cocok dengan pokok
pembelajarannya.
Dua aspek yang penting dalam pembelajaran sastra Indonesia yaitu aspek hiburan
dan kebermanfaatan. Metodologi mengajar
sastra Indonesia harus terus-menerus
diperbarui melalui kegiatan kreasi dan inovasi guru.
Pembelajaran sastra Indonesia yang ada di sekolah diharapkan agar peserta didik kelak
dapat:
1. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas
wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan
dan kemampuan berbahasa.
2. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai
khazanah
budaya dan intelektual manusia Indonesia
Guru sastra Indonesia juga harus menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan
kegiatan pembelajaran, mengevaluasi, menganalisis hasil evaluasi, dan melakukan tindak
lanjut karena pada era globalisasi guru menjadi penentu keberhasilan peserta didik didik
dalam mengadopsi dan menumbuhkembangkan nilai-nilai kehidupan yang hakiki.
Pembelajaran sastra Indonesia diperlukan sentuhan hati seorang guru yang selalu
dapat melakukan dengan orientasi pencapaian kompetensi peserta didik yang muara
akhir hasil pembelajaran meningkat, kompetensi peserta didik yang dapat diukur dalam
sikap, pengetahuan dan keterampilan dalam berbahasa Indonesia yang baik, benar dan
sopan.
BEKAL MENJADI GURU SASTRA YANG KREATIF
Untuk menjadi guru sastra yang kreatif maka diperlukan seorang guru bidang studi
yang professional, diantaranya harus memiliki:
a) Kompetensi pedagogik: kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang
meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan
pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
b) Kompetensi sosial: kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik,
tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
98
c) Kompetensi kepribadian: kemampuan kepribadian yang mantap stabil, dewasa,
arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
d) Kompetensi profesional: kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara
luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik
memenuhi stándar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional
Pendidikan.
SIMPULAN
Masih rendahnya mutu pembelajaran apresiasi sastra di sekolah juga tak lepas
dari minimnya guru sastra yang memiliki ‘talenta’ dan minat serius terhadap sastra. Sastra
erat kaitannya dengan bahasa, tetapi proses penyajiannya perlu kreativitas dan model
penyajian tersendiri. Menyajikan puisi misalnya, selain dituntut menguasai bahan ajar,
guru harus mampu member contoh yang memikat dan sugestif saat membaca puisi. Hal
ini sulitdilakukan guru bahasa yang kurang memiliki minat serius dan talenta yang cukup
mengenai sastra.
Pemberdayaan guru sastra harus benar-benar diutamakan. Mereka yang didaulat
untuk menjadi guru sastra harus benar-benar memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk
menyajikan pembelajaran apresiasi sastra dengan baik. Di tunjang dengan pemilihan
bahan ajar yang relevan agar dapat terciptanya proses pembelajaran yang
menyenangkan. Meningkatkan mutu pendidikan Indonesia pada era globalisasi haruslah
secara komprehensif atau menyeluruh, dengan menitik beratkan pelaksanaan pada
otonomi pengelolaan pendidikan, dengan memikirkan serta melakukan berbagai cara
agar tercapainya tujuan pendidikan nasional secara utuh dan untuk secepatnya mengejar
ketertinggalan dari negara lain. Untuk melihat keberhasilan pembelajaran, komponen
pembelajaran yang diperlukan adalah alat penilaian. Alat penilaian yang dapat digunakan
untuk meningkatkan kemampuan peserta didik meraih standar kompetensi yang sangat
beragam. Guru yang inovatif, kreatif dapat memilih alat penilaian yang cocok dengan
pokok pembelajarannya.
Disini akan diuraikan beberapa kiat yang bisa membantu kita menjadi guru yang
kreatif diantaranya:
1. Jadilah penjelajah pikiran
Salah satu ciri guru kreatif adalah selalu terbuka dengan gagasan atau
kemungkinan baru. Dia aktif mencari dan mengembangkan gagasan atau cara yang
berbeda untuk peningkatan kualitas pembelajaran peserta didik. Seorang guru
kreatif meyakini ada banyak metode dan gagasan yang menunggu untuk
diaplikasikan dalam pembelajaran.
2. Kembangkan pertanyaan
99
Guru kreatif akan selalu bertanya dan mencari terus menerus tentang apa yang dia
lihat dan lakukan dalam pembelajaran. Dengan demikian dia akan terus
berkembang dan tidak menganggap segala sesuatu sudah semestinya dilakukan
melainkan akan menghasilkan cara yang lebih baik untuk peningkatan kualitas
belajar peserta didik.
3. Kembangkan gagasan sebanyak-banyaknya
Guru kreatif akan selalu mencari banyak solusi dan alternatif. Dia akan
mengembangkan kreativitas dan imajinasi yang dia punya untuk meningkatnya
kualitas pembelajaran.
4. Ciptakan
model
pembelajaran
yang
menarik
dan
menyenangkan
Seorang guru yang kreatif akan selalu berpatokan pada Learning is fun. Dia akan
selalu menciptakan model dan metode pembelajaran yang menyenangkan
sehingga anak didiknya merasa tertarik tentang apa yang dia sampaikan dan tidak
merasa jenuh dalam kegiatan belajar.
Sebagai penutup, guru yang layak ditiru pada dasarnya pasti dapat
direalisasikan. Sejauh dilandasi kompetensi dan sikap guru yang positif dalam
mengajar maka guru memang pantas digugu dan ditiru peserta didiknya. Oleh
karena itu, guru harus melibatkan hati dalam mengajar, tidak cukup hanya pikiran.
Kompetensi dan sikap guru adalah agenda penting profesi guru saat ini dan di
masa mendatang. Caranya, guru harus lebih membuka diri untuk terus belajar,
kreatif dalam mengajar, dan menyetarakan pengetahun dan cara mengajar.
DAFTAR RUJUKAN
Baksin, Askurifai. 2008. Aplikasi Praktis Pengajaran Sastra. Bandung: Pribumi Mekar.
Hamalik, Oemar. 2003. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem.
Jakata:Bumi aksara.
Purwanto, M.Ngalim. 2003. Ilmu Pendekatan Teoritis dan praktis. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Pusat Bahasa:Departemem Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Sumiati dan Asra.2007. Metode Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima.
Vicratina:Jurnal Kependidikan dan Keislaman. 2012. Malang: Universitas Malang Pers.
Widijanto, Tjahjono.1995. Ekstasi Jemari. Malang: Tegalan Pendidikan.
Widijanto, Tjahjono.2007. Pengajaran Sastra yang Menyenangkan. Bandung:Pribumi
Mekar.
100
SYAIR SPIRITUALIS SEBAGAI DASAR PENULISAN SASTRA ISLAMI
Ahmad Ghozali
Universitas Yudarta Pasuruan
[email protected]
ABSTRACT
In the religious literature, the religious situation come more clear than
mystical and spiritual literature. Mystical literature give priority to the
divine taste so, it can be said that the writer creates the writing as an
effort to looking for and getting close to God. When the literature write
about the religion, it could be misunderstood, just like Ki Panji Kusmin’s
short story “Langit Makin Mendung”. The Kusmin’s hort story is an
example how the religious messages and symbols presented explicitly
and artificially in the literary works. When the religious messages and
symbols appear implicitly and authentically in the literary works, they
become the canon literature. Jalaludin Rumi, Rabiah Al Adawiyah,
Fariduddin Attar, and Mohammad Iqbal are the writers who are brilliant
in writing the literary works with the touch of the religious messages and
symbols beautifully.
Kata kunci: Lyrics, Spiritualism, dan Islamic literature
PENDAHULUAN
Karya sastra keagamaan berbeda dengan karya sastra mistikisme atau
spiritualisme. Dalam sastra keagamaan sangat jelas suasana relegius yang muncul dalam
suatu agama atau kepercaan tertentu, sedangkan dalam sastra mistikisme tidak dengan
tegas menyatakan suatu agama atau kepercayaan, tetapi amat jelas jiwa dan semangat
releguisnya. Mistikisme mengutamakan rasa ketuhanan sehingga bagi pengarang,
mencipta
merupakan
upaya
mencari
dan
mendekatkan
diri
dengan
Tuhan
(Rampan,1999:101).
Ketika sastra menyinggung soal agama, ia dapat menimbulkan masalah seperti
kasus cerpen “Langit Makin Mendung”
karya Kipanjis-kusmin atau justru sengaja
dijadikan sebagai alat berdakwah. Sesungguhnya persoalannya sangat bergantung pada
cara penyajian dan kemasan yang digunakannya. Bagaimana pesan-pesan agama dikemas
dan disajikan dalam karya sastra. Kasus cerpen di atas adalah contoh bagaimana simbolsimbol agama disajikan dan dikemas secara eksplisit dan artifisial. Sebaliknya jika ia
dikemas rapi dan disajikan secara mendalam, akhirnya sangat mungkin menjadi karya
agung. Sastrawan yang berhasil mengemas pesan agama ke dalam estetika sastra
101
misalnya Jalaluddin Rumi, Rabiah Al-Adawiyah, Fariduddin Attar, dan Mohammad Iqbal
(Mahayana,2005:170).
Yang menarik dalam menyimak pesan agama yang dilakukan sastrawan Indonesia,
justru di bidang puisi. Amir hamzah banyak mengungkapkan kerinduannya untuk jumpa
kepada Tuhan sebagaimana dalam Nyanyi Sunyi. Sajak-sajak Amir Hamzah ini
mengesankan adanya pengaruh kuat para penyair sufi, seperti Hamzah Fansuri atau
Jalaluddin Rumi (Mahayana,2005:174).
ESTETIKA SASTRA SUFI SEBAGAI SASTRA SPIRITUAL
Braginsky (1993, 1998) membagi karya-karya Melayu klasik ke dalam tiga kategori.
Yang pertama, karya-karya yang memaparkan sfera kamal atau penyempurnaan batin.
Sastra sufi termasuk ke dalam kategori ini. Yang kedua, karya-karya yang memaparkan
sfera faedah. Karya-karya adab dan kemasyarakatan termasuk ke dalam kategori ini. Yang
ketiga, karya-karya yang memaparkan sfera keindahan atau kenikmatan lahir. Kisah-kisah
pelipur lara termasuk ke dalam kategori ini.Menurut Comaraswamy, pokok paparan seni
murni berkenaan dengan pengalaman transendental dan masalah-masalah ketuhanan.
Jadi wilayah garapannya adalah tatanan realitas atau kehidupan yang tidak dapat dicerap
secara inderawi atau pemahaman logika rasional. Karena tidak tercerna oleh logika dan
persepsi inderawi, maka pengalaman semacam itu harus disampaikan melalui ungkapanungkapan tertentu yang memberi peluang bagi sarana keruhanian lain untuk dapat
menangkapnya. Sarana keruhanian itu ialah akal intuitif dan imaginasi kreatif, yang dapat
membimbing pikiran rasional dan persepsi indera memahami bahwa ada kebenaran di
seberang kebenaran yang tidak dapat dicerap secara inderawi dan rasional.
Ungkapan-ungkapan tertentu yang dimaksud bersifat simbolik. Hanya melalui
simbol-simbol tertentu dan bahasa figuratif puisi, akal intuitif dan imaginasi kreatif dapat
bekerja
dan
menyampaikan
pengalaman
trasendental
yang
dialami
seorang
pengarang.Sastra sufi termasuk dalam klasifikasi seni yang demikian, sebab ia dicipta
dalam rangka mengekspresikan pengalaman unio-mystika dan perasaan-perasan yang
dialami seorang pesuluk (salik) di jalan tasawuf. Sebagaimana tasawuf yang menjadi
sumbernya, sastra sufi menggambarkan upaya seorang pesuluk mencapai Yang Haqq,
yang dengan demikian ia dapat merealisasikan dirinya dalam persatuan batin denganNya. Dalam upayanya itu seorang pesuluk harus melalui tahapan-tahapan sebelum
akhirnya mencapai tujuannya. Pada tahapan terakhir ia akan tahu bahwa Wujud Hakiki
atau Kebenaran Tertinggi hanya dapat disaksikan secara kalbiah, yang hasilnya berupa
keyakinan mendalam akan keberadaan-Nya.
102
Nasr (1980:22) menyatakan bahwa yang dibicarakan dalam tasawuf adalah tiga
perkara pokok. Yaitu hakikat Tuhan, kodrat manusia dan kebajikan-kebajikan spiritual
yang melaluinya seseorang dapat merealisasikan hubungannya dengan Tuhan, alam dan
sesamanya. Serangkaian kebajikan spiritual yang ditempuh disebut maqamat (peringkat
atau tahapan ruhani), sedangkan keadaan-keadaan yang ditimbulkan dari tercapainya
masing-masing tahapan ruhani itu disebut ahwal (kata tunggalnya hal, artinya keadaan
jiwa). Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sastra sufi merupakan
karangan bercorak simbolik dan puitik mengenai peringkat-peringkat ruhani dan keadaankeadaan jiwa yang dicapai atau dialami penulisnya di jalan tasawuf. Salah satu contoh
terbaik karya penyair sufi yang dapat menjelaskan apa hakikat sastra sufi itu, serta
bagaimana pengarangnya mengolah bahan verbal karyanya menjadi penuturan simbolik
sastra, ialah Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) karya Fariduddin al-`Attar.
Dalam sejarah kesusastraan Melayu, benih sastra sufi telah muncul pada awal
abad ke-15 M. Ini tampak misalnya pada hadirnya sajak penyair sufi Persia Sa’di di batu
nisan seorang bangsawan Pasai bertarikh 1416 M, Husamuddin al-Naini. Sebuah naskah
berasal dari awal abad ke-16 M berisi terjemahan sajak-sajak penyair sufi Persia seperti
Umar al-Khayyami, Jalaluddin Rumi, Sa`di, dan lain-lain juga sudah ditemukan (Iskandar
1995). Ini membuktikan bahwa kegiatan penulisan sastra sufi telah bermula sejak zaman
kesultanan Samudra Pasai (1270-1500 M) dan Malaka (1400-1511 M). Namun puncak
perkembangannya tampak dengan munculnya sufi besar Melayu Hamzah Fansuri pada
zaman kesultanan Aceh Darussalam (1516-1700 M). Kemunculan Hamzah Fansuri dan
syair-syair tasawufnya sekaligus menandai puncak perkembangan sastra Melayu atau
datangnya fase baru yang oleh Braginsky disebut ’periode kesadaran diri’.
SEMANGAT KETUHANAN SYAIR INDONESIA
Dalam sastra Jawa, khususnya yang ditulis bentuk puisi atau tembang macapat,
disebut suluk. Penulis suluk terkenal pada abad ke-16 di antaranya ialah Sunan Bonang,
Sunan Gunungjati, Sunan Kalijaga, Sunan Panggung, Syeh Siti Jenar, Ki Ageng Sela, dan
lain-lain. Penulis suluk terkenal abad ke-18 dan 19 di antaranya ialah Yasadipura I,
Yasadipura II,Ranggawarsita,dan lain-lain. Di antara yang terkenal ialah Suluk Walisanga,
Mustika Rancang, Suluk Wujil, Suluk Bentuir, Suluk Malang Sumirang, Suluk Sukarsa, Suluk
Aceh, Suluk Daka, Suluk Syamsi Tabriz, Suluk Jati Rasa, dan lain-lain. Suluk juga ditemui
dalam kesusastraan Madura, yang terkenal misalnya ialah Suluk Ontal Enom, Pancadriya,
Morbing Rama, Suluk Johar Mongkin, dan lain sebagainya. Dalam kesusastraan Sunda
yang paling terkenal ialah Wiwitan Hasan Mustafa. Di antara wali sufi yang paling
produktif melahirkan suluk ialah Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati. Mereka hidup
103
antara pertengahan abad ke-15 hingga awal abad ke-16 M, masing-masing di Tuban dan
Cirebon.
Pada masa pemerintahan Pakubuwana II (1726-1749 M) dan Pakubuwana
III (1749-1788 M). Pada masa pemerintahan kedua raja inilah renaissance kesusastraan
Jawa berlangsung. Penggerak utama renaissance itu ialah seorang pujangga istana
bernama Raden Mas Ngabehi Yasadipura I, penasehat utama Pakubuwana II dan
Pakubuwana III. Inti utama dari renaissance kesusastraan Jawa ada dua: pertama,
penyaduran karya-karya penulis Jawa Kuna secara besar-besaran ke dalam bahasa Jawa
Baru; kedua, penyaduran karya-karya Melayu Islam ke dalam bahasa Jawa baru dengan
memberinya ciri kejawaan. Kegiatan penyaduran karya Jawa Kuna dan Melayu Islam
kemudian berlanjut pula pada abad ke-19 M di pusat-pusat kekuasaan lain di Jawa Barat
dan Jawa Timur. Di Jawa Barat karya-karya Jawa Kuna dan Melayu disadur ke dalam
bahasa Sunda, di Jawa Timur khususnya di Sumenep dan Bangkalan, karya-karya Jawa
Kuna dan Melayu itu disadur ke dalam bahasa Madura.
Penulis suluk Jawa lain yang terkenal selepas Yasadipra II adalah putranya
Yasadipura II dan Ranggawarsita. Keduanya merupakan penulis suluk yang prolifik.
Sampai awal abad ke-20 M karya-karya suluk masih banyak ditulis dalam kesusastraan
Jawa, Sunda, dan Madura. Seperti halnya dalam kesusastraan Melayu di masa lalu, tidak
sedikit alegori-alegori mistikal yang tergolong ke dalam sastra suluk ditulis berdasarkan
bahan-bahan verbal yang diambil dari hikayat petualangan dan pecintaan seperti Hikayat
Johar Manik, Hikayat Syekh Mardan, Hikayat Angling Darma, dan lain sebagainya. Tidak
sedikit pula suluk-suluk klasik digubah kembali menggunakan bahasa Jawa Baru (Abdul
Hadi WM, 2007).
Berikut syair sufistik karya Ronggowarsito yang dilantunkan oleh Gus Dur dalam
rekaman-rekamannya untuk mengenangnya dan menjadi tren pujian di musola-musola
dan masjid-masjid pada tahun 2012 khususnya di Jawa Timur.
Syair Ronggo Warsito
Ngawiti ingsun nglaras syi'iran
Kelawan muji maring pengeran
Kang paring rohmat lan kenikmatan
Rino wengine tanpo petungan 2x
Duh bolo konco prio wanito
Ojo mung ngaji syare'at bloko
Gur pinter ndongeng nulis lan moco
104
Tembe mburine bakal sengsoro 2x
Akeh kang apal Qur'an Hadistse
Seneng ngafirake marang liyane
Kafire dewe gak digatekake
Yen isih kotor ati akale 2x
Gampang kabujuk nafsu angkoro
Ing pepaese gebyare ndunyo
Iri lan meri sugihe tonggo
Mulo atine peteng lan nisto 2x
Ayo sedulur jo nglalekake
Wajibe ngaji sak pranatane
Nggo ngandelake Iman Taukhidte
Baguse sangu mulyo matine 2x
Alquran qodim wahyu minulyo
Tanpo tinulis biso diwoco
iku wejangan guru waskito
den tancepake ing njero dodo 2x
Kumanthil ati lan pikiran
Mrasuk ing badan kabeh jeroan
Mu'jizat Rosul dadi pedoman
Minongko dalan manjinge iman 2x
Kelawan Allah kang Moho Suci
Kudu rangkulan rino lan wengi
Ditirakati diriyadhoi
Dzikir lan suluk jo nganti lali 2x
Uripe ayem rumongso aman
Dununge roso tondo yen iman
105
Sabar narimo najan pas-pasan
Kabeh tinakdir saking pengeran 2x
Kalawan konco dulur lan tonggo
Kang podo rukun ojo dak siyo
Iki sunahe Rosul kang mulyo
Nabi Muhamad panutan kito 2x
Kang anglakoni sakabehane
Allah kang bakal ngangkat drajate
Senajan ashor toto dhohire
Ananging mulyo maqom drajate 2x
Lamun palastro ing pungkasane
Ora kesasar roh lan sukmane
Den jadang Allah swargo manggone
Utuh mayite ugo ulese 2x
Dalam syair tersebut yang perlu sedikit mendapat penekanan kajian misalnya bait
ketiga dan keenam yang sangat tampak pesan spiritnya.
Akeh kang apal Qur'an Hadistse
Seneng ngafirake marang liyane
Kafire dewe gak digatekake
Yen isih kotor ati akale 2x
(Banyak yang hafal Al-Qur’an dan Haditsnya tetapi suka mengafirkan yang lainnya,
kafirnya sendiri tidak dipedulikan jika masih kotor hati dan akalnya), bait ini memberikan
semangat ketuhanan bahwa tidak sedikit orang yang pandai , intelekual tinggi namun,
beprilaku oportunis, selalu menyalahkan orang lain namun ia melupakan kesalahan dan
kekurangan sendiri. Inilah sebagaimana dikatakan oleh Ronggowarsito sebagai orang
yang hati dan pikirannya masih kotor dipenuhi sifat-sifat kecurigaan.
Selanjutnya hakikat kebenaran universal dan keadiluhungan budi sebagai
reperentasi kebaikan manusia adalah tergambar dalam syair: .
106
Kang aran sholeh bagus atine
Kerono mapan seri ngelmune
Laku Thoreqot lan ma'rifatte
Ugo hakekot manjing rasane 2x
(Disebut soleh karena bagus hatinya karena selaras dengan ilmunya, menempuh
thariqah dan ma’rifatnya juga hakikat merasuk jiwanya). Eksistensi kemanusiaan yang
sempurna ketika sesorang menebarkan kedamaian, kesalehan pribadi dan sosial. Inilah
cermin hati bersih, pikiran pengendali nafsu, dan keselarasan komitmen antara prilaku
dengan ilmu, yang mungkin dapat dikatakan dari sisi lain sebagai manunggaling kaulo
(wihdatul wujud) sebagai manifestasi dari nilai-nilai ketuhanan. Tingkatan ini bisa dicapai
melalui jalan tarikat, suatu metode-metode yang digunakan para sufi dalam
membersihkan jiwa, dan makrifat, suatu tingkatan di mana seseorang mengetahui
kehidupan dunia akhirat yang sebenarnya sebagai manusia, serta hakikat yang mendarah
daging dalam jiwanya, dalam arti segala tindakan dan pikiran mencerminkan hakikat
sifat-sifat Tuhan. Semangat ketuhanan yang oleh Ronggowarsito dalam syair ini
merupakan kesadaran diri manusia sebagai makhluk yang memiliki sela kelemahan,
memiliki potensi munculnya sifat-sifat tercela karena itu suatu keniscayaan untuk terus
berusaha mencapai pada tingkatan yang lebih tinggi, yaitu tingkatan di mana manusia
sebagai motif diciptakannya seluruh alam.
SIMPULAN
Karya sastra Indonesia kaya sangat kaya dengan tema-tema spiritual keagamaan
yang terus meyemarakkan khazanah kesusastraan Indonesia. Hal itu terbukti seperti
penulis suluk Jawa yang terkenal selepas Yasadipra II adalah putranya dan Ranggawarsita.
Keduanya merupakan penulis suluk yang prolifik. Sampai awal abad ke-20 M karya-karya
suluk masih banyak ditulis dalam kesusastraan Jawa, Sunda, dan Madura. Seperti halnya
dalam kesusastraan Melayu di masa lalu, tidak sedikit alegori-alegori mistikal yang
tergolong ke dalam sastra suluk ditulis berdasarkan bahan-bahan verbal yang diambil dari
hikayat petualangan dan pecintaan seperti Hikayat Johar Manik, Hikayat Syekh Mardan,
Hikayat Angling Darma, dan lain sebagainya. Tidak sedikit pula suluk-suluk klasik digubah
kembali menggunakan bahasa Jawa Baru. Misalnya, syair sufistik karya Ronggowarsito
yang dilantunkan oleh Gus Dur dalam rekaman-rekamannya untuk mengenangnya dan
menjadi tren pujian di musola-musola dan masjid-masjid pada tahun 2012 khususnya di
Jawa Timur. Penggalian terhadap nilai-nilai spiritualitas yang terdapat di dalam syait
diharapkan menjadi inspirasi dalam mencipta karya sastra islami yang lain.
107
DAFTAR PUSTAKA
Mahayana, Maman S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening Publishing.
Rampan, Korrie Layun. 1999. Aliran Jenis Cerita Pendek. Jakarta: balai Pustaka.
Braginsky, V.I. 1993. Tasawuf dan SastraMelayu. Jakarta: RUL.
108
REPRESENTASI POSKOLONIALISME DALAM KARYA SASTRA:
Telaah Konsepsi Poskolonialisme dalam Novel Laskar Pelangi
Karya Andrea Hirata
Arief Rijadi
Universitas Jember
[email protected]
ABSTRACT
Postcolonialism study, as one of the school of thought, offers any theory in
philosophy, film, literature and othe fields that study the interconnection
between culture legality with colonialism role. The study of postcolonialism is
interdiscipline which need the support from the othe disciplines, not only
language and literature, but also politics, ideology, religion, education, art,
ethnicity, and culture. The nature of interdiscipline of poscolonialism consists
of some conceptions, such as theme, language, subaltern, fighting, power,
colonialism legacy, body politic and territorial. The postcolonialism
conception could be represented on the literary works. The article discuss
about the postcolonialism conception on the Hirata’s Laskar Pelangi.
Kata Kunci: representation, postcolonialism, literary works
Perbedaan mendasar manusia dengan makhluk hidup lain adalah dianugerahinya
pikiran atau akal. Dengan pikiran atau akal tersebut manusia senantiasa akan
mempertimbangkan segala pemikiran, tindakan, dan perilakunya dalam kehidupannya.
Manusia dalam menjalani kehidupannya tidak hanya didasarkan atas insting saja,
melainkan lebih mempertimbangkan akibat atas pemikiran, tindakan, dan perbuatannya.
Dengan anugerah pikiran atau akal tersebut manusia terus mengalami perkembangan
dalam menjalani dan memaknai kehidupannya.
Pengembangan dan pengolahan pemikiran manusia dalam menjalani dan
memaknai kehidupan dengan segala aspeknya terus menunjukkan perkembangan yang
pesat. Hasil pemikiran manusia ini ada yang berorientasi pada satu bidang kajian maupun
lintas bidang kajian yang saling berseberangan dan saling berkaitan. Pada pemikiran lintas
bidang kajian ini, memunculkan teori-teori yang memerlukan kajian mendalam. Ada teoriteori yang melibatkan sejumlah unsur kajian, misalnya unsur kesejarahan dan konteks
sosialnya. Sebutlah sebagai contoh, misalnya teori cultural studi, new historisism, dan
postcolonialism. Artikel ini difokuskan pada catatan-catatan kecil konsepsi teori
postcolonialism (poskolonialisme), khususnya poskolonialisme sastra.
Poskolonialisme sebagai salah satu mazab pemikiran merupakan seperangkat teori
dalam bidang filsafat, film, sastra dan bidang-bidang lain yang mengkaji legalitas budaya
109
yang terkait dengan peran kolonial (Nurhadi, 2007). Artinya, kajian poskolonial bukanlah
monopoli bidang sastra. Kajian poskolonial bersifat interdisiplin atau berbagai bidang
disiplin ilmu. Kajian poskolonial memerlukan dukungan berbagai bidang ilmu yang tidak
hanya bidang bahasa dan sastra, melainkan juga meliputi bidang politik, ideologi, agama,
pendidikan, kesenian, etnisitas, kebudayaan, dan lainnya. Meskipun demikian, kajian
poskolonial dalam berbagai bidang dan keragaman temanya tersebut dilatarbelakangi
oleh satu peristiwa yang sama yaitu kolonialisme. Nurhadi (2005) menyatakan bahwa
kolonialisme dengan beragam praktik dan bentuknya, seperti penindasan, pendudukan,
perbudakan, pemindahan penduduk, dan pemaksaan bahasa, telah menghancurkan
sendi-sendi kehidupan dan kebudayaan masyarakat yang menjadi jajahannya. Masyarakat
jajahan yang menyadari hal itu akhirnya bersikap dan berusaha untuk mengembalikan
dan atau memulihkan sendi-sendi kehidupan dan kebudayaan yang dimilikinya. Dalam
konteks ini muncullah gerakan pemulihan keutuhan dan kekuasaan masyarakat yang
telah dimarjinalkan atau termarjinalkan oleh prakti-praktik kolonialisasi yang disebut
poskolonial.bersikap dan berusaha untuk mengembalikan dan atau memulihkan sendisendi kehidupan dan kebudayaan yang dimilikinya. Dalam konteks ini muncullah gerakan
pemulihan keutuhan dan kekuasaan masyarakat yang telah dimarjinalkan atau
termarjinalkan oleh prakti-praktik kolonialisasi yang disebut poskolonial.bersikap dan
berusaha untuk mengembalikan dan atau memulihkan sendi-sendi kehidupan dan
kebudayaan yang dimilikinya. Dalam konteks ini muncullah gerakan pemulihan keutuhan
dan kekuasaan masyarakat yang telah dimarjinalkan atau termarjinalkan oleh praktipraktik kolonialisasi yang disebut poskolonialisme.
KAJIAN AWAL POSKOLONIALISME
Mempelajari konsep-konsep poskolonialisme sebagai sebuah pemikiran tidak bisa
dikesampingkan dari munculnya buku berjudul Orientalisme karya Edward Said tahun
1978. Di dalam bukunya ini, Said (dalam Suropati dan Subachman, 2012:130-131) telah
mengungkap dan membongkar cara kerja imperalisme Barat (Eropa dan Amerika)
terhadap dunia Islam, Timur Tengah, dan “Timur”. Said telah menunjukkan bahwa di
dunia ini telah terjadi dekonstruksi perilaku kultural dan epistemologis Barat yang ingin
terus menguasai Timur. Timur dipandang sebagai cermin untuk membesarkan citra Barat
(Eropa) sebagai
pelopor peradaban. Dengan kata lain, Barat (kaum Orient) ingin
membangun mitos dan stereotipe Timur sebagai area yang dimanfaatkan sebagai saran
pembenaran Eropa untuk melakukan kolonisasi atau istilah lain “mengontrol peradaban”.
Karya lain dari Edward Said berikutnya yang merupakan lanjutan buku Orienatlisme
antara lain Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the
110
Rest of the Word (1981) dan Culture and Imperialism (1993). Buku-buku Said tersebut
medeskripsi kan konsepsi terhadap perspektif Barat dalam memandang Timur. Buku ini
telah menginspirasi para penulis yang lain seperti buku hasil suntingan Bill Ashroft, Gareth
Griffiths, dan Helen Tiffin berjudul The Empire Writes Back (1989). Buku-buku tersebut
sering menjadi rujukan bagi penulis dan peneliti kajian poskolonialisme (Nurhadi, 2007).
Pandangan Edward Said (1994; Taufiq, 2010) terhadap kolonialisasi dan
dampaknya dapat diilustrasikan secara teoretik sebagai gambaran suatu masyarakat yang
tersubordinasi oleh kekuatan atau kekuasaan (baca: penjajah atau imperial) baik dalam
dimensi sosial, politik, budaya, maupun ekonomi. Said memandang bahwa masyarakat,
dalam hal ini masyarakat Timur, sebagai masyarakat yang selama ini mengalami proses
subordinasi oleh Barat sebagai pihak yang melakukan subordinasi. Proses subordinasi
Barat terhadap Timur tersebut dilakukan melalui proses kolonisasi. Lebih lanjut Said
menyatakan bahwa Barat sebagai pihak yang melakukan subordinasi atau imperial ingin
menempatkan Timur sebagai teritori koloninya.
Proses kolonisasi menurut Said yang dilakukan Barat terhadap Timur dan
ditermakan lain oleh Richard King (2001) dengan istilah EropaHiperreal (Kristen/sekuler)
yang berlawanan dengan India Hiperreal (Hindu/religius) telah berdampak pada situasi
dan kondisi dunia, termasuk di dalamnya perkembangan sejarah. Semua dampak itu
dianalogkan oleh kaum imperialis/orientalis sebagai lalat bagi anak nakal yang harus
dibunuh atau diabaikan saja bagi kepuasan dirinya. Oleh sebab itu, munculnya
kesewenang-wenangan
dalam
konteks
demikian
ini
sering
dilakukan.
Pihak
imperialis/orientalis seolah memiliki kewenangan untuk melakukan eksploitasi besarbesaran dalam bentuk apapun demi kepuasan dirinya. Dapat dipahami dalam konteks ini
Barat sebagai pihak yang antihumanitas, sekaligus menunjukkan hegemoninya terhadap
Timur.
Dalam bidang sastra, menurut Said (2003; dalam Nurhadi, 2007) terdapat
beberapa karya sastra yang memperkuat hegemoni Barat dalam memandang Timur. Bagi
Barat, penjajahan adalah sesuatu yang alamiah, bahkan semacam tugas bagi Barat untuk
memberadabkan bangsa Timur. Pemikiran Said ini dilandasi oleh teori hegemoni
Gramscian dan teori “discourse” Foucaultian. Kata “post” yang dilekatkan pada “colonial”
sebanarnya kurang tepat kalau dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia menjadi
“pasca”. Oleh sebab itu, seringkali kata “pascakolonial” disamakan dengan “poskolonial”
yang merujuk pada konsep “waktu setelah” kolonial. Konsep poskolonial sebenarnya
tidak hanya merujuk pada kajian setelah masa penjajahan atau masa kemerdekaan, tetapi
lebih luas juga merujuk pada segala hal yang terkait dengan kolonialisme, sehingga juga
merujuk pada kasus-kasus globlisasi dan perdagangan bebas. Dengan kata lain,
111
poskolonialisme merupakan masa yang melampaui masa kolonialisme, baik masa pasca
atau permasalahan lain yang masih terkait dengan kolonialisme.
Spivak (dalam Ridha, 2010) dalam studi poskolonialnya, menggunakan istilah
subaltern
yang
secara
konseptual
sama
dengan
orientalism
Said.
Konsep
subalterndikemukakan Spivak melalui tulisannya berjudul Can the Subaltern Speak? dan A
Critique of Postcolonial Reason. Konsepsi terpenting Spivak adalah konsep-konsep yang
berkisar pada kajian subaltern. Spivak mengkaji terpinggirkannya para perempuan selatan
dan tidak memiliki kesempatan untuk berbicara/bersuara. Selain perempuan, kaum
petani desa dan kaum yang terpinggirkan lainnya juga disebut sebagai subaltern. Salah
satu kasus yang diungkap Spivak adalah kasus bunuh diri perempuan bernama
Bhubaneswari Bhaduri di Calcutta yang disebabkan oleh hamil di luar nikah yang bagi
warga India dianggap tabu. Kasus ini menjadi menarik karena saat diteliti, Bhubaneswari
ternyata tidak hamil karena saat itu sedang menstruasi. Setelah sepuluh tahun
Bhubaneswari ternyata diduga dibunuh secara politis karena dia seorang anggota Samitis,
yaitu organisasi yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan India.
Tokoh-tokoh dan pandangannya yang telah diuraikan singkat di muka adalah
sebagian dari tokoh-tokoh poskolonialisme. Masih ada beberapa tokoh yang tertarik
mengkaji poskolonialisme sebagaimana dapat ditelusuri di situs www.english.emory.edu
sebagaimana dikutip Nurhadi (2007) berikut ini.
Some of the best known names in Postcolonial literature and theory are those
ofChinua Achebe, Homi Bhabha, Buchi Emecheta, Frantz Fanon, Jamaica
Kincaid,Salman Rushdie, Wole Soyinka, and Gayatri Chakravorty Spivak. A
morecomprehensive although by no means exhaustive list follows.
LITERATURE: Chinua Achebe, Ama Ata Aidoo, Peter Abrahams, Ayi Kwei
Armah, Aime Cesaire, John Pepper Clark, Michelle Cliff, Jill Ker Conway, Tsitsi
Dangarembga, Anita Desai, Assia Djebar, Marguerite Duras, Buchi Emecheta,
Nuruddin Farah, Amitav Ghosh, Nadine Gordimer, Bessie Head, Merle Hodge,
C.L.R. James, Ben Jelloun, Farida Karodia, Jamaica Kincaid, Hanif Kureishi,
George Lamming, Dambudzo Marechera, Rohinton Mistry, Ezekiel Mphahlele, V.
S. Naipaul, Taslima Nasrin, Ngugi Wa Thiong'o, Flora Nwapa, Grace Ogot,
Molara Ogundipe-Leslie, Gabriel Okara, Ben Okri, Michael Ondaatje, Arundhati
Roy, Salman Rushdie, Simone Schwarz-Bart, Allan Sealy, Shyam Selvadurai,
Leopold Senghor, Vikram Seth, Bapsi Sidhwa, Wole Soyinka, Sara Suleri,
M.G.Vassanji, Derek Walcott.
112
FILM: Shyam Benegal, Gurinder Chadha, Claire Denis, Shekhar Kapoor,
Srinivas Krishna, Farida Ben Lyazid, Ken Loach, Deepa Mehta, Ketan Mehta,
Mira Nair, Peter Ormrod, Horace Ove, Pratibha Parmar, Satyajit Ray, Mrinal Sen,
Ousmane Sembene.
THEORY: Aijaz Ahmad, Kwame Anthony Appiah, Bill Ashcroft, Homi Bhabha,
Amilcar Cabral, Partha Chatterjee, Rey Chow, Frantz Fanon, Gareth Griffiths,
Ranajit Guha, Bob Hodge, Abdul JanMohamed, Ania Loomba, Trinh T. Minh-ha,
Vijay Mishra, Chandra Talpade Mohanty, Arun Mukherjee, Ngugi Wa Thiong'o,
Benita Parry, Edward Said, Kumkum Sangari, Jenny Sharpe, Stephen Slemon,
Gayatri Chakravorty Spivak, Aruna Srivastava, Sara Suleri, Gauri Viswanathan,
Helen Tiffin.
Mencermati tokoh-tokoh poskolonialisme yang diinventarisasi dalam situs
www.english.emory.edu
tersebut ternyata tokoh dari Indonesia tidak terdaftar di
dalamnya. Sebenarnya apabia diinventarisasi terdapat beberapa tokoh sastra dan sosial
budaya Indonesia yang dapat diakategorikan sebagai poskolonialis Indonesia. Tokohtokoh tersebut antara lain adalah Y.B. Mangunwijaya, Umar Kayam, Pramudya
Anantatoer, Andrea Hirata, WS Rendra, Nano Riantiarno, dan Ratna Sarumpaet.
Sementara itu, tokoh poskolonial yang dapat dipandang perhatian dalam pengembangan
teori poskolonialisme adalah Nyoman Kutha Ratna.
SASTRA POSKOLONIALISME
Dalam bidang sastra, poskolonial telah menjadi kajian menarik bagi para
sastrawan terkemuka. Misalnya V.S Naipaul dalam dengan karyanya Sebuah Rumah Untuk
Tuan Biswas, Naguib Mahfus dengan karyanya Harafisy, Kantapura dengan karyanyaRaja
Rao dari India, dan mungkin karya-karya Jumpha Lahiri yang belakangan diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia (Ridha, 2010). Hal ini merupakan sebuah kemajuan dalam
proses kreatif dan apresiasi atau kritik sastra. Karya-karya sastra yang secara tekstual
memiliki kekuatan berbicara dan bersuara tentang posisi poskolonialitas yang demikian
komplekspada hakikatnya ingin menyampaikan perlawanan kepada politik sastra kolonial.
Sastra poskolonial Indonesia hingga saat ini sudah menunjukkan kemajuan.
Beberapa karya yang telah dihasilkan sastrawan Indonesia juga sudah banyak.
Sebagaimana dikemukakan Ratna (2008) bahwa sastrawan Indonesia yang telah menulis
karya-karay sastra berorientasi poskolonial cukup banyak. Ratna membagi ke dalam
empat periode, yaitu Sastra Melayu Rendah (Tionghoa), Sastra Hindia Belanda, Sastra
113
Balai Pustaka, dan Sastra Pujangga Baru.Periode keempat sastra poskolonial
diklasifikasikan Ratna sebagai sastra sebelum perang. Selanjutnya periode terakhir oleh
Ratna disebut periode sesudah Pujangga Baru, yang diklasifikasikan sebagai sastra
poskolonial sesudah perang.
Menurut Ratna (2008), periodisasi, angkatan, dan generasi tersebut memiliki
cirinya masing-masing. Sastra Melayu Tionghoa memiliki ciri karya-karya sastra yang
menggunakan bahasa Melayu Rendah yang sangat kaya dan beragam. Sastra Melayu
Tionghoa justru banyak menjanjikan perlawanan terhadap kolonial Belanda yang cukup
kental, seperti dilukisakan dalam cerita Nyai Dasima (karya G. Francis, 1896) dan cerita
Nyai Paina (H Kommer, 1900).
Selanjutnya, menurut Ratna bahwa Sastra Balai Pustaka yang dipandang sebagai
sastra pemerintah merupakan karya sastra yang lahir pada periode ketiga.Sastra Balai
Pustaka seolah-olah merupakan hasil pemerintah kolonial yang sesuai dengan tujuan
pemerintah.Hal itu wajar jika tampak tidak banyak menampilkan perlawanan terhadap
penjajah. Oleh sebab itulah mungkin, sastra Balai Pustaka sering ditolak sebagai awal
sastra Indonesia modern. Karya sastraMarah Rusli (1922) berjudul Siti Nurbaya dan Salah
Asuhan karya Abdoel Moeis (1928), merupakan karya sastra Balai Pustaka.Pada umumnya
karya sastra Balai Pustaka menunjukkan sejumlah ciri dalam kaitan dengan kekuasaan
kolonial terhadap kreativitas sastra.
Periode selanjutnya adalah sastra Pujangga Baru yang tampak lahir dengan
menampilkan ciri-ciri yang sangat berbeda. Sesuai dengan namanya, Pujangga Baru
bermaksud untuk menampilkan kebaruan, baik dalam kaitan dengan sastra maupun
kebudayaan. Karena itu sastra Indonesia modern dipandang mulai pada periode Pujangga
Baru, bukan pada periode Balai Pustaka. Karya sastra Pujangga Baru, termasuk juga di
dalamnya karya-karya sesudah perang, dinilai sesuai dengan kompleksitas kehidupan
manusia poskolonialisme yang menampilkan berbagai masalah.Karya sastra yang
ditunjukkan melalui novel Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana, 1937), Belenggu
(Armijn Pane, 1940), ataupun novel-novel sesudah perang, seperti Ateis (Achdiat Karta
Mihardja, 1949), Pulang (Toha Mohtar, 1959), Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer,
1981), Burung-burung Manyar (YB Mangunwijaya, 1981), dan Para Priyayi (Umar Kayam,
1992) merupakan karya sastra yang menyuarakan konsep-konsep sastra poskolonial.
Dalam perkembangan sastra, khususnya sastra Indonesia, setelah periode
Pujangga Baru, hingga saat ini telah bermunculan karya yang mengungkap sisi-sisi
poskolonialisme. Karya-karya WS Rendra (Mastodon dan Burung Kondor, Sekda), Nano
Riantiarno (Suksesi, Raja Bhukbakalan, Konglomerat Burisrawa, Opera Kecoa), dan Ratna
Sarumpaet (Marsinah Nyanyian Dari Bawah Tanah, Monolog Marsinah Menggugat)
114
adalah sebagian karya yang mengungkap sisi-sisi poskolonialisme berwujud warisan
kolonial. Tindakan-tindakan yang dialami ketiga sastrawan Indonesia ini menunjukkan
wujud warisan kolonial dengan pembredelan atau pemasungan kreativitas sebagai istilah
lain yang mewakili konsepsi oposisi biner antara penjajah (penguasa Orde Baru) dan
terjajah (sastrawan).
KONSEPSI DALAM SASTRA POSKOLONIAL
Beberapa konsepsi dalam sastra poskolonial antara lain konsep tema, bahasa,
subaltern, perlawanan, kekuasaan, warisan/dampak kolonial, politik tubuh, dan teritorial
(Taufiq, 2010). Konsep tema dalam perspektif sastra poskolonial merujuk pada pengertian
pokok-pokok masalah yang diangkat ke dalam teks sastra poskolonial. Menurut
Aschrof,dkk (2003) tema-tema sastra poskolonial berkisar pada tema pembangunan atau
pembongkaran rumah atau bangunan, termasuk tema permasalahan pertanahan. Tema
lain dalam sastra poskolonial memiliki ciri antara lain penggunaan alegori, ironi, realisme
magis, dan narasi terputus.
Konsep bahasa dalam sastra poskolonial merujuk pada peran bahasa yang
strategis tekstual. Fungsi bahasa menjadi sangat penting dalam melakukan upaya
perampasan terhadap hal-hal yang berbau imperial. Bahasa juga ditempatkan sesuai
dengan situasi dan kondisi daerah jajahan. Menurut Aschrof,dkk (2003) terdapat dua
proses yang dapat dipakai, yaitu pertama, konsep abrogasi atau penolakan terhadap hakhak istimewa yang dimiliki kelompok atau kekuatan tertentu. Kedua, aproriasi atau proses
pembentukan kembali bahasa tersebut dalam bentuknya yang baru. Apropriasi ini dapat
menandai perpisahannya dengan bahasa yang berstatus previlage kolonial atau pihak
yang diidentifikasi sebagai pihak kolonial.
Konsep subaltern dikemukakan oleh Spivak bahwa dalam kajian poskolonial
seorang peneliti tidak dapat lepas dari konstruk subaltern. Konsepsi penting dalam
subaltern adalah adanya subjek yang tertinda atau tertekan, para anggota kelas-kelas
yang tertinda, atau secara lebih umum mereka yang termarjinalkan.
Konsep perlawanan dalam konteks poskolonial dapat dipahami sebagai bentuk
respon terhadap realitas yang dianggap menindas. Bisa juga segala hal atau bentuk
ketidakadilan yang menimpa subjek. Perlawanan merupakan bentuk kesadaran
perjuangan subjek untuk melakukan perlawanan terhadap bentuk-bentuk penindasan
dan ketidakadilan.
Konsep kekuasaan merujuk pada bentuk-bentuk kewenangan yang dimiliki oleh
kekuatan tertentu. Kewenangan-kewenangan itu dikelola oleh sebuah lembaga
pemerintahan atau non-pemerintahan. Menurut Pontoh (dalam Taufiq, 2010) kekuasaan
115
adalah seperangkat kewenangan yang dimiliki oleh struktur politik tertentu. Struktur
politik menurut Pontoh tidak jarang terjebak ke dalam praktik kolonisasi terhadap
dimensi kemanusiaan manusia yang lain. Dalam praktiknya, seringkali menampakkan pola
hubungan yang eksploitatif dan bahkan represif.
Konsep warisan/dampak kolonial merujuk pada pandangan yang dikemukakan
Gandhi (dalam Taufiq, 2010) bahwa negara bangsa poskolonial yang baru muncul
seringkali tertipu dan tidak berhasil dalam upayanya melepaskan beban-beban warisan
kolonial. Oleh sebab itu, kolonialitas memberikan dampak buruk terhadap perjalanan
kemerdekaan suatu bangsa.
Konsep politik tubuh merujuk pada konstruksi kolonial tubuh yang merupakan
objek yang perlu dikontrol. Selanjutnya ia dapat menimbulkan efek keuntungan yang luar
biasa bagi kepentingan nasional.
Konsep teritorial merujuk pada praktik kolonisasi yang selalu mengandaikan
terjadinya suatu peristiwa pada ruang atau tempat tertentu. Pembahasan poskolonial
selalu berkait erat dengan masalah ruang atau tempat. Menurut Gandhi (dalam Taufiq,
2010) praktik kolonisasi itu terdapat proses deteritorialisasi yang berhubungan dengan
proses akuisisi teritorial dan reteritorialisasi yang berhubungan dengan proses untuk
mendapatkan kembali teritorial yang telah diakuisisi oleh orang atau pihak lain.
REPRESENTASI KONSEPSI-KONSEPSI POSKOLONIALISME DALAM NOVEL LASKAR
PELANGI KARYA ANDREA HIRATA
Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata hadir dalam dunia kesastraan Indonesia
dengan menyandang National Best Seller. Novel (catatan: Andrea Hirata membebaskan
pembaca untuk menyebut novel atau genre sastra) Laskar Pelangi merupakan karya yang
fenomenal yang menyuguhkan alternatif bentuk karya sastra yang memadukan antara
realitas dan imajinasi dalam perjalanan kehidupan persekolahan manusia. Novel ini
diterbitkan pertama kali oleh penerbit Bentang Yogyakarta pada tahun 2005 dan telah
dicetak ulang sampai dengan cetakan ketiga belas pada November 2007. Novel ini begitu
larisnya dan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa.
Novel Laskar Pelangi menjadi salah satu karya sastra inspiratif yang mampu
membangkitkan semangat pendidikan, terutama bagi kaum yang termarjinalisasi oleh
sistem sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Garin Nugroho dalam catatan kecil di
novel ini berkomentar sebagai berikut:
“Di tengah berbagai derita dan hiburan televisi tentang sekolah yang tak cukup
memberi inspirasi dan spirit, maka buku ini adalah pilihan yang menarik. Buku ini
116
ditulis dalam semangat realis kehidupan sekolah, sebuah dunia tak tersentuh,
sebuah semangat bersama untuk survive dalam humanisme yang menyentuh.”
Keberhasilan Andrea Hirata dengan karyanya Laskar Pelangi, dalam situsnya
www.andrea-hirata.comdinyatakan dalam rilis terbarunya bahwa novel ini telah
menembus 21 negara. Novel yang fenomenal dan inspiratif ini juga sudah dikontrak
penerbit The Rainbow Troops (edisi international) dengan Kathleen Anderson Literary
Management, New York dan Penerbit Farrar, Straus and Giroux (FSG), New York. FSG
adalah penerbit terbaik di Amerika yang telah berdiri sejak tahun 1946 dan melahirkan
karya-karya 23 pemenang nobel sastra antara lain adalah TS. Eliot, Pablo Neruda, Nadine
Gordimer, Seamus Heaney, dan Mario Vargas Llosa yang mendapat nobel sastra tahun
2010. Bahkan kabar terakhir, melalui FSG ini pula Andrea Hirata diwacanakan untuk
menjadi nominator penerima nobel sastra.
Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dalam perpspektif poskolonialisme telah
mengungkap sebuah bentuk-bentuk kolonialisasi dan dampaknya serta bentuk-bentuk
perlawanan terhadap penindasan atau penterbelakangan dalam kehidupan manusia.
Beberapa konsepsi poskolonialisme dihadirkan Andrea Hirata dalam novelnya ini. Berikut
ini beberapa konsepsi poskolonialisme yang terdapat dalam novel Laskar Pelangi.
KONSEPSI TEMA
Konsepsi tema yang tergambarkan dalam novel Laskar Pelangi dapat diketahui dari
data-data berikut.
“Agaknya selama turun-menurun keluarga laki-laki cemara angin itu tak
akan mampu terangkat dari endemik kemiskinan komunitas Melayu yang
menjadi nelayan. Tahun ini beliau menginginkan perubahan dan ia
memutuskan anak laki-laki tertuanya, Lintang, tak akan menjadi seperti
dirinya. Lintang akan duduk di samping pria kecil berambut ikal, yaitu aku,
dan ia akan sekolah di sini lalu pulang pergi setiap hari naik sepeda. Jika
panggilan nasibnya memang harus menjadi nelayan maka biarkan jalan
kerikil batu merah empat puluh kilometer mematahkan semangatnya. Bau
hangus yang kucium tadi ternyata adalah bau sandal cunghai, yaknisandal
yang dibuat dari ban mobil yang aus karena Lintang terlalu jauh mengayuh
sepeda.”
(LP:11)
“..... Salah satu atribut diskriminatif itu adalah sekolah-sekolah PN.
117
Maka lahirlah kaum menak, implikasi dari institusi yang ingin memelihara
citra aristokrat. PN melimpahi orang staf dengan penghasilan dan fasilitas
kesehatan, pendidikan, promosi, transportasi, hiburan, dan logistik yang
sangat diskriminatif dibanding kompensasi yang diberikan kepada mereka
yang bukan orang staf. Mereka, kaum borjuis ini, bersemayam di kawasan
eksklusif yang disebut Gedong. Mereka seperti orang-orang kulit putih di
wilayah selatan Amerika pada tahun 70-an. Feodalisme di Belitong adalah
sesuatu yang unik, karena ia merupakan konsekuensi dari adanya budaya
korporasi, bukan karena tradisi paternalistik dari silsilah, subkultur, atau
privilese yang dianugerahkan oleh penguasa seperti biasa terjadi di
berbagai tempat lain.”
(LP:42)
Kedua data ini menunjukkan suatu keadaan ketidakadilan dan kesenjangan yang
akan berimplikasi pada sikap-sikap diskriminatif dalam kehidupan. Ketidakadilan dan
kesenjangan yang digambarkan dalam novel Laskar Pelangi merupakan tema yang
diusung dalam novel ini. Bahkan, ketidakadilan dan kesenjangan kehidupan antar
kelompok masyarakat ini diperkuat dengan data berikut.
“Gedong lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh para Polsus
(Polisi Khusus) Timah. Jika ada yang lancang masuk maka koboi-koboi itu
akan menyergap, menginterogerasi, lalu interogerasi akan ditutup dengan
mengingatkan sang tangkapan pada tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG
TIDAK MEMILIKI HAK” yang bertaburan secara mencolok pada berbagai
akses dan fasilitas di sana, sebuah power statement tipikal kompeni.”
(LP:42-43)
Ketidakadilan dan kesenjangan itu juga digambarkan bahwa kekuasaan atau
kekuatan ekonomi di Belitong (seting tempat) dipegang oleh orang-orang yang dalam
strata sosial menduduki posisi tertinggi. Data yang menunjukkan tema ketidakadilan dan
kesenjangan dalam strata sosial terdapat pada cuplikan novel berikut.
Kekuatan ekonomi Belitong dipimppin oleh orang staf PN dan para cukong
swasta yang mengerjakan setiap konsesi eksploitasi timah. Mereka
menempati strata tertinggi dalam lapisan yang sangat tipis. Kelas
menengan tidak ada, oh atau mungkin juga ada, yaitu para camat, para
kepala dinas dan pejabat-pejabat publik yang korupsi kecil-kecilan dan apat
penegak hukum yang mendapat uang dari menggertak cukong-cukong itu.
118
Sisanya beradad di lapisan terendah, jumlahna banyak dan perbedaannya
amat mencolok dibanding kelas di atasnya. Mereka adalah para pegawai
kantor desa, karyawan rendahan PN, pencari madu dan nira, para pemain
organ tunggal, semua orang Sawang, semua orang Tionghoa kebun, semua
orang Melayu yang hidup di pesisir, para tenaga honorer Pemda, dan
semua guru dan kepala sekolah—baik sekolah negeri maupun sekolah
kampung—kecuali guru dan kepala sekolah PN.”
(LP:55)
KONSEPSI REALITAS SUBALTERN
Konsepsi subaltern sebagaimana dikemukakan oleh Gayatri Spivak adalah subjek
yang tertekan dan yang terbungkam suaranya. Konsepsi subaltern menekankan pada
ketidakberdayaan seseorang atau sekelompok orang untuk menyuarakan kehendaknya.
Dalam arti, mereka dalam posisi tertindas oleh superioritas, dominasi dan wacana pusat
kekuasaan yang seringkali menindas kaum inferior yang lemah dan termarjinalisasi.
Konsepsi subaltern dalam novel Laskar Pelangi tergambarkan dalam cuplikan novel
sebagai berikut.
“Sembilan orang ... baru sembilan orang Pamanda Guru, masih kurang
satu...., “ katanya gusar pada bapak kepala sekolah. Pak Harfan
menatapnya kosong.”
(LP:2)
Realitas subaltern yang terdapat pada teks di atas menunjukkan kegelisahan Ibu
Guru Mus dan Pak Harfan sang kepala sekolah yang sepertinya terbersit di wajahnya yang
berharap munculnya satu orang lagi untuk menjadi murid kesepuluh. Dalam realitas
sistem pendidikan yang diterapkan di Belitong, ditentukan bahwa jumlah siswa baru di
suatu sekolah minimal adalah 10 orang. Apabila tidak terpenuhi, maka dinas pendidikan
setempat sebagai representasi kekuasaan, akan menutup sekolah tersebut. Mengapa
orang-orang ingin menikmati pendidikan harus ada pembatasan? Dan mengapa suatu
sekolah harus ditutup hanya karena tidak memenuhi kuota? Bu Mus dan Pak Harfan
dipandang sebagai pendidik yang dengan tulus ingin mencerdaskan anak bangsa anak
negeri yang ingin memiliki pengetahuan juga tentang hidup dan kehidupan ini. Demikian
juga bagaimana dengan sikap persyarikatan Muhammadiyah yang menaungi sekolah
tersebut? Berbagai pertanyaan yang menunjukkan ketidakberdayaan atas otoritas yang
menindas dan mendominassi kekuasaan dan kekuatan.
Realitas subaltern juga tergambarkan dalam cuplikan berikut.
119
“Sekolah-sekolah PN Timah, yaitu TK, SD, dan SMP PN berada dalam
kawasan Gedong......... Sekolah PN merupakan center of excellence atau
tempat bagi semua hal yang terbaik. Sekolah ini demikian kaya raya karena
didukung sepenuhnya oleh PN Timah, sebuah korporasi yang kelebihan
duit.
(LP:57)
“Kepala sekolahnya adalah seorang pejabat penting, Ibu Frischa namanya.
... Di dekatnya siapa pun akan merasa terintimidasi.
Kalau sempat berbicara dengan beliau, maka ia sama seperti porang
Melayu yang baru belajar memasak, bumbunya cukup tiga macam:
pembicaraan
tentang
fasilitas-fasilitas
sekolah
PN,
anggaran
ekstraakurikuler jutaan rupiah, dan tentang murid-muridnya yang telah
menjadi dokter, minsinyur, ahli ekonomi, pengusaha, dan orang-orang
sukses di ibukota bahkan di mluar negeri.”
(LP:61)
Sebagai sekolah certer of excellence, kekuasaan di sekolah PN cenderung memiliki
sifat superior. Sementara, sekolah kampung, seperti sekolah negeri dan SD
Muhammadiyah di luar Gedong diposisikan sebagai pihak inferior yang tidak berdaya
berbicara dengan kaum superior. Hal ini dikarenakan mereka sadar diri sebagai pihak
yang tidak berdaya.
KONSEPSI RELASI KEKUASAAN
Konsepsi ini merujuk pada bentuk-bentuk kekuasaan yang berwenang karena
memang dalam strata sosial politik menduduki posisi tertinggi. Kewenangan-kewenangan
itu biasanya dikelola oleh pemerintah atau non-pemerintah atas nama kekuasaan. Dalam
praktiknya, kekuasaan kolonial seringkali menampakkan pola hubungan yang eksploitatif
dan represif. Kekuasaan yang demikian seyogyanya mendapatkan kontrol yang memadai.
Gambaran konsepsi relasi kekuasaan ini terdapat pada cuplikan novel sebagai berikut.
“Gedong lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh para Polsus
(Polisi Khusus) Timah. Jika ada yang lancang masuk maka koboi-koboi itu
akan menyergap, menginterogerasi, lalu interogerasi akan ditutup dengan
mengingatkan sang tangkapan pada tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG
TIDAK MEMILIKI HAK” yang bertaburan secara mencolok pada berbagai
akses dan fasilitas di sana, sebuah power statement tipikal kompeni.”
(LP:42-43)
120
“Di depan pintu masuk kolam renang ini tentu saja terpampang peringatan
tegas “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”
(LP:58)
Gambaran relasi kekuasaan terlihat jelas pada data di atas. Tulisan “DILARANG
MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” merupakan ekspresi praktik kekuasaan. Tulisan
itu merefleksikan bentuk arogansi kekuasaan yang bertindak secara sewenang-wenang
bagi pihak atau masyarakat lain. Hal ini sebenarnya tidak diharapkan dalam suatu negara
yang merdeka, seperti Indonesia ini.
KONSEPSI WARISAN DAN DAMPAK KOLONIAL
Resepsi tentang kenangan kolonial ternyata tidak bisa dilupakan begitu saja bagi
negara yang telah merdeka. Begitu juga, kenangan kolonial yang tidak menyenangkan ini
ternyata justru bisa menjadi warisan yang sering menjadi inspirasi sosial dan politik
terhadap munculnya sikap-sikap represif dan ingin dihormati. Manakala, warisan kolonial
ini diindahkan, maka akan berdampak buruk bagi perjalanan kemerdekaan suatu bangsa.
Data berikut dapat menjadi gambaran konsepsi ini.
“Kawasan warisan Belanda ini menjunjung tinggi kesan menjaga jarak, dan
kesan itu diperkuat oleh jajaran pohon-pohon saga tua yang menjatuhkan
butir-butir buah semerah darah di atas kap mobil-mobil mahal yang
berjejal-jejal sampai keluar garasi. Di sana rumah-rumah mewah besar
bergaya Victoria memiliki jendela-jendela kaca lebar dan tinggi dengan tirai
yang berlapis-lapis laksana layar bioskop. Rumah-rumah itu ditempatkan
pada kontur yang agak tinggi sehingga kelihatan seperti kastilp-kastil kaum
bangsawan dengan halaman terpelihara rapi dan danau-danau buatan. Di
dalamnya hidup tenteram sebuah keluarga kecil dengan dua atau tiga anak
yang selalu tampak damai, tenteram, dan sejuk.”
(LP:43)
“Hanya beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji pemandangan
kontras seperti langit dan bumi. Berlebihan jika disebut daerah kumuh, tapi
tak keliru jika diumpamakan kota yang dilanda gerhana berkempanjangan
sejak era pencerahan revolusi industri. Di sana, di luar lingkar tembok
Gedong hidup komunitas Melayu Belitong yang jika belum punya enam
anak belum berhenti beranak pinak. Mereka menyalahkan pemerintah
karena tidak menyediakan hiburan yang memadai sehingga jika malam tiba
mereka tak punya kegiatan lain selain membuat anak-anak itu.”
121
(LP:49-50)
Data di atas menunjukkan suatu ironi kehidupan antara kaum kaya dan berkuasa
dan kaum miskin dan termarjinalkan. Semestinya dalam negara yang sudah merdeka dan
telah menapaki tahap pembangunan ternyata masih ditemukan suatu watak yang
kontradiktif dengan program negara yang visional. Visi bangsa yang ingin menjadikan
kemakmuran
dan
keadilan
bagi
seluruh
rakyatnya,
ternyata
belum
mampu
mewujudkannya. Hal ini disebaban oleh manusia-manusia yang memiliki sikap-sikap dan
perilaku-perilaku sebagai warisan kolonial. Karakter kolonial tampaknya diterima begitu
saja sebagai warisan yang mengesampingkan aspek-aspek kemanusiaan. Orang-orang di
luar tembok Gedong itulah pihak yang mengalami pengesampingan aspek-aspek
kemanusiaan sebagai refleksi warisan kolonial.
Representasi warisan kolonial yang dilakukan pemerintah pusat dan pihak dalam
Gedong, berdampak pada pihak yang selama ini mengalami proses kolonisasi baru.
Dampak kolonisasi ini bisa menimpa langsung pada masa kolonisasi, maupun pasca
terjadinya kolonisasi pihak asing. Dampak kolonisasi ini dapat memberikan efek
penderitaan yang sulit untuk dilupakan. Dampak warisan kolonisasi ini dapat digambarkan
pada cuplikan novel sebagai berikut.
“... pemandangan menyedihkan seperti nyawa-nyawa muda yang dicabut paksa
oleh malaikat maut dari jasad yang segar
bugar. Semua itu gara-gara
pembakaran minyak solar berlebihan selama ratusan tahun dalam eksploitasi
timah sehingga menimbulkan gas rumah kaca. Gas itu tertumpuk di atas
atmosfer Belitong dan segera menimbulkan efek rumah kaca, menunggu hari
untuk menjadi mara bahaya. Lalu senyawa gas rumah kaca itup—
karbondioksida—dan radiasi matahari memicu reaksi kimia yang mengubah
tepung sari yang bergentayangan di udara menjadi semacam bubuk mesiu
dengan daya ledak sangat tinggi seperti TNT. .... tanpa firasat apapun, terjadilah
katastropi itu. Sebuah ledakan yang sangat dahsyat seperti ledakan nuklir
menghantam Belitong. ....
Melihat penampilan orang Belitong seperti itu pemerintah pusat di Jakarta
merasa malu kepada dunia internasional dan tak sudi mengakui Belitong
sebagai warga negara republik. Karena itu Kabupaten Belitong dipaksa rela
melakukan referendum. Walaupun hanya sedikit orang Melayu Belitong yang
ingin memisahkan diri dari NKRI tapi pemerintah menganggap keputusan
manusiap-manusia cebol itu sebagai aklamasi sehingga Belitong menjadi negara
122
yang merdeka. Dapat dipastikan Belitong tidak mampu menghidupi dirinya
sendiri.
.... Efek rumah kaca itu juga mengakibatkan ekologi di sana tidak seimbang,
permukaan air laut naik, dan suhu menjadi terlalu panas.
(LP:301-303P)
Perwujudan dampak kolonial yang terjadi di Belitong ini tampak sebagai dampak
terburuk. Hal ini karena sudah menyentuh sisi batiniah yang melahirkan penderitaan yang
berlipat ganda. Belitong sebagai are geografis yang kaya tambah (Timah), dieksploitiasi
secara luar biasa tanpa mengindahkan kemakmuran masyarakat lokal. Dampak fisikbiologis-psikologis telah dialami masyarakat Belitong. Dampak kolonisasi juga tampak
pada rusaknya ekologi yang tidak seimbang. Dampak ekologi yang terjadi antara lain
permukaan air laut yang naik dan suhu udara menjadu terlalu panas. Kondisi ini semakin
menimbulkan ketidaknyamanan kehidupan yang dijalani masyarakat Belitong.
PENUTUP
Pada bagian penutup ini, perlu disadari bersama bahwa kolonialisasi sepertinya
sulit untuk dihapus dari muka bumi ini. Poskolonialisme sebagai analisis ideologis telah
berusaha mencurahkan perhatiannya pada masalah-masalah superstruktur sebagai
fenomena kesadaran budaya, politik, sosial, hukum, pendidikan, dan seni budaya,
sehingga kita memahami ideologi kolonialisme ditanamkan dan dapat bertahan hingga
sekarang. Edward Said telah memberikan gambaran bagaimana kaum orientalis
menanamkan ideologi dan visinya dalam berbagai aspek ingin menguasai “Timur”.
Pemikiran Said ini telah menjadi bahan bakar kecurigaan negatif kaum orientalis yang
meneliti dunia Timur sebagai agenda yang terselubung yang akan merugikan dunia Timur.
Perlawanan terhadap konsepsi kolonialisme tersebut saat ini terus dilakukan, bahkan di
dunia sastra. Perlawanan ini sebagai bentuk kesadaran untuk terwujudnya kedamaian,
keadilan, kesejajaran, dan kesejahteraan dalam kehidupan di dunia.
Gambaran representasi konsepsi poskolonial dalam novel Laskar Pelangi atas dasar
kajian data diketahui terdapat beberapa konsepsi. Konsepsi tersebut meliputi konsepsi
tema, konsepsi realitas subaltern, konsepsi relasi kekuasaan, dan konsepsi warisan dan
dampak kolonial. Konsepsi tema yang muncul adalah ketidakadilan dan kesenjangan
kehidupan. Konsepsi realitas subaltern yang muncul adalah pembedaan atas keberdayaan
antara pihak superior terhadap pihak inferior. Konsepsi relasi kekuasaan yang muncul
adalah refleksi bentuk arogansi kekuasaan yang bertindak secara sewenang-wenang bagi
pihak atau masyarakat lain. Kemudian konsepsi warisan dan dampak kolonial yang muncul
123
adalah rusaknya ekologi yang tidak seimbang dan menimbulkan ketidaknyamanan
kehidupan yang dijalani masyarakat.
DAFTAR RUJUKAN
Ashcroft, dkk. 2003. Menelanjangi Kuasa Bahasa: Teori dan Praktik Sastra Poskolonial.
Yogyakarta: Qolam
Hirata, A. 2007. Laskar Pelangi. Cetakan Ketiga Belas. Yogyakarta: Bentang.
King, Richard. 2001. Agama, Orientalis, dan Poskolonial. Yogyakarta: Qolam.
Nurhadi. 2005. “Bahasa dan Sastra dalam Konteks Kajian Poskolonial.” Artikel No. 37 pada
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang Depdiknas Jakarta Edisi November
2005.
Nurhadi. 2007. “Poskolonial: Sebuah Pembahasan.” Artikel No. 47 dipresentasikan dalam
Seminar Rumpun Sastra di FBS UNY, Yogyakarta.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori Postkolonialisme dan Karya Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ridha,
Muhammad. 2010. Sastra Poskolonial, Sastra Pembebasan.
http://ginonjing.wordpress.com/2010/06/03/sastra-poskolonial-sastrapembebasan/ diunduh 2/10/2012.
[Online].
Said, E. 1994. Orientalisme. Bandung: Mizan.
Said, E. 2003. Kekuasaan, Politik, dan Kebudayaan. Pustaka Promethea.
Syuropati, M.A. & Soebachman, A. 2012. 7 Teori Sastra Kontemporer & 17 Tokohnya,
Sebuah Perkenalan. Yogyakarta: IN AzNa Books.
Taufiq, A. 2010. Sastra Poskolonial: Teori, Analisis Teks, dan Pembelajaran. Jember:
Kerjasama LP3 dengan UPT Penerbitan.
124
REALISME MAGIS ALTERNATIVE GENRE TULISAN FIKSI
(Telaah Konsep dalam Novel “Cantik Itu Luka”)
Akhmad Sauqi Ahya
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jombang
[email protected]
ABSTRACT
Realism magic is actually a combination of two opposite patterns of
thought literature. Combining the two things that have been considered
`opposite', the rational perspective of the world, with acceptance of things
that are' irrational 'as part of everyday reality, by western literary scholars
regarded as a blend of reality (rational) withthemagical Each mode of
thinking that is present literature certainly has a distinctive character. The
character is able to distinguish the patterns of thought that other
literature. Magical realism in general have 4 shades to be possessed by a
literary work that uses the feature as the underlying genre. In general, the
characterization of magical realism by wendi B.faris (2004) includes four
features: (a) hybridity, (b) Irony Regarding Author Perspective, (c) The
attitude of the Mute Writer and (d) Natural and the Supernatural. (E)
realism magical disrupt received ideas of time, space and identity.
Keywords: realism magic,
Pendahuluan
Magis atau lebih biasa dikenal horor dikalangan orang perkotaan atau orang desa
lebih akrab menyebutnya dengan nama wingit merupakan sesuatu yang akrab ditelinga
orang Indonesia.KBBI mendefinisikan kata magis dengan sebuah perbuatan atau sikap
yang bersifat magik.
Hal
itu tercermin dari beberapa film yang ada dibeberapa televisi swasta
indonesia, mulai dari film yang menceritakan babat nusantara yang dikemas dengan
memasukkan cerita-cerita mistik seperti mak lampir, nini towok, grandong dan banyak
dikemas dalam drama-drama seri sperti simanis jembatan ancol, dan masih banyak lagi
film indonesia yang bergenre realism magis.
Dalam film simanis jembatan ancol seakan-akan ada komunitas hantu yang
kadang-kadang menjilma sebagai manusia dan selalu hidup bersama dengan dunia
manusia. Dalam film kuntilanak misalnya ada seorang jejaka yang beristrikan seorang
kuntilanak yang sudah berubah menjadi manusia. Kuntilanak tersebut berubah menjadi
125
manusia karena kepalanya di kepalanya ditancapkan paku. Film-film tersebut seakan-akan
menjadi cerminan budaya nusantara.
Magis sering dikatakan erat hubungannya dengan sihir. Namun magis justru
berarti ilmu sihir. Sebenarnya menurut kepercayaan masyarakat primitif pengertian magis
lebih luas daripada sihir, karena yang dikatakan magis menurut kepercayaan mereka
adalah suatu cara berfikir dan suatu cara hidup yang mempunyai arti lebih tinggi daripada
apa yang diperbuat oleh seorang ahli sihir.
Dalam masyarakat primitif, kedudukan magis sangat penting. Boleh dikatakan semua
upacara keagamaan, sikap hidup orang-orang primitif, terutama sikap rohani mereka,
adalah bersifat magis karena magis merupakan segala perbuatan atau abstensi dari segala
perbuatan mereka untuk mencapai suatu maksud tertentu melalui kekuatan-kekuatan
yang ada di alam gaib.
Realisme Magis dan Historisits Sastra
Kata realisme magis untuk pertama kali dipakai oleh seorang kritikus seni
bangsa Jerman bernama Franz Roh (1890-1965) dalam karyanya Nach Expressionisismus:
Magischer Realismus: Probleme der neusten europiischen Malerei (1925). Ia diikuti oleh
seorang penyair, novelis dan dramawan Itali Massimo Bontempelli (1878-1960).
Walaupun istilah realism pertama kali muncul di jerman, tetapi perkembangannya
banyak di Amerika. Lalu muncul dan berkembanglah nama-nama yang menyemarakkan
aliran ini seperti Arturo Uslar Petri, Alejo Carpentier, Maria Luisa Bombal, dan tentu saja
Gabriel Garcya Marquez
Di Amerika Latin pada tahun 1940-an realisme magis merupakan suatu cara untuk
mengekspresikan mentalitas Amerika dan gaya sastra yang otonom. Dan pada kisaran
tahun 1940-an s/d 1970-an realisme magis digunakan untuk mendeskripsikan serta
mendefinisikan suatu tendensi naratif di Amerika Latin.
Realism magis lahir di Amerika Latin merupakan
bentuk satu gerakan yang
serempak, menjadi dasar keadaran yang mewarnai pemikiran dan perjuangan kultural
mereka. Realisme magis merupakan satu pada bersisi dua. Satu sisi merupakan alat
perjuangan menolak dan melawan dominasi kultur Eropa (Barat), satu sisi lagi sebagai
kekuatan yang mengangkat dan mengandalkan akar-akar budaya sendiri (indigenous)
untuk menjadi dri sendiri, menjadi yang lain (Other), tidak menjadi duplikat atau
cangkokan Barat. Di sini dapat dikatakan, bahwa Magic Realism adalah juga nasionalisme
Amerika Latin.
Mereka menegakkan nasionalisme, melawan penjajahan yang selama ini
dilancarkan orang-orang Eropa, terutama Prancis dan Portugis. Nilai-nilai atau warna
126
realisme magis di amerika latin terasa pada misalnya karya-karya Gabriel Garcia Marques,
Isabel Allende, dalam kadar yang berbeda. Pada Marquez, realisme merupakan bumbu,
meskipun cukup kuat terasa, tetapi pada Isabel Allende realisme magis merupakan
andalan utama dalam karyanya.
Realism magis pertama kali dipublikasikan secara internasonal pada tahun 1995
oleh lois parkisnson dan wendi B.S Zamora dalam bukunya ontologi realism magis dalam
buku ini berbicara tentang teori, sejarah dan kominitas
Di indonesia yang dikenal sebagai sebagai sastrawan yang beraliran realism magis
adalah Danarto, dalamKumpulan cerpen berjudul Kacapiring terdiri dari 18 cerpen,
diantaranya berjudul “Jantung Hati”, “Lailatul Qadar”, “Kacapiring”, “Nistagmus”, “Lauk
dari Langit”, “Ikan-Ikan dari Laut Merah”, “Pohon Rammbutan”, “O, Yerusalem”, “Pohon
Zaqqum”, “Pantura”, dan “Bengawan Solo”. Kepiawaiannya mengolah cerita menjadi
sesuatu yang menakjubkan sekaligus menyeramkan sangatlah jitu. Selalu ada kejutan
yang tak bisa kita pahami secara mudah dalam beberapa cerpennya.Eka ayu dengan
novelnya yang sangat laris bahkan sudah diterjemahkan kedalam bahasa jepang.
Realisme dan Sastra Tulis
Realismse magis sebenarnya adalah sebuah gabungan dua corak pemikiran sastra
yang berlawanan. Menggabungkan antara dua hal yang selama ini dianggap `berlawanan’,
antara perspektif rasional atas dunia, dengan penerimaan hal-hal yang `irasional’ sebagai
bagian realitas keseharian, oleh para sarjana sastra barat dianggap sebagai perbaduan
antara realitas (rasional) dengan yang magis
Istilah realisme, secara etimologis berasal dari kata realism. Istilah ini lazimnya
berkaitan erat dengan bidang seni, namun kemudian merambah pada bidang-bidang yang
lain. Dalam kaitannya dengan sastra, realisme merupakan salah satu aliran kesusastraan
yang melukiskan keadaan atau kenyataan secara sesungguhnya, meskipun fakta-fakta
yang ditampilkannya merupakan sesuatu yang kurang menyenangkan. Para tokoh dalam
aliran ini berpendapat bahwa tujuan seni adalah untuk menggambarkan kehidupan
dengan kejujuran yang sempurna dan objektif. Oleh karena itu, realisme menuntut
penggambaran yang teliti, seperti cermin yang memantulkan realitas objektif di depan
audiens, penikmat, dan berupaya memperlihatkan segala sesuatu sebagaimana adanya
tanpa idealisme, spekulasi, dan idolisasi.
Realisme merupakan aliran kesusastraan yang melukiskan keadaan atau
kenyataan secara sesungguhnya. Para tokoh aliran ini berpendapat bahwa tujuan seni
adalah untuk menggambarkan kehidupan dengan kejujuran yang sempurna dan objektif.
Oleh karena itu, realisme menuntut penggambaran yang teliti, seperti cermin yang
127
memantulkan realitas objektif di depan audiens, penikmat,danpembaca. HB Jassin pernah
menjelaskan bahwa dalam realisme digambarkan keadaan seperti yang sebenarnya.
seperti yang dilihat oleh mata(Rampan,1999:5).Pengarang melukiskan dengan teliti,
tanpa prasangka, tanpa tercampur tafsiran, tidak memaksakan kehendaknya sendiri
terhadap pelaku dan pembacanya. Istilah realisme ini merujuk pada makna fakta-fakta
nyata yang ada di sekitar kita. Fakta itu, tak lain dari ketimpangan, ketidakadilan, dan
penindasan yang terstruktur rapi. Realisme tidak menampilkan narasi perwujudan
keindahan Tuhan. Realisme tidak berbicara tentang erotika alam. Realisme lebih
berbicara kepada fakta yang sebenarnya terjadi dibalik keindahan Tuhan dan erotika alam
tersebut.
Karya karya realisme banyak berkisah tentang masyarakat-masyarakat atau
golongan bawah, seperti kaum tani, buruh, gelandangan, pelacur, gangter dan golongangolongan pinggiran lainnya. Golongan-golongan tersebut banyak bersentuhan dengan
dunia magis dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan, Magis dibedakan dari mistik. Sebab misteri dalam mistik tidak
diturunkan dari dunia yang mau direpresentasikan, tapi justru menyembunyikannya..
Kalau penulis fantasi menolak logika dan hukum alam dengan mencantumkan hal-hal
absurd dan supernatural. Levy bruhl menyatakan bahwa yang dimaksud mistik adalah
sesuatu yang menyiratkan sebuah keyakinan,kekuatan,pengaruh, dan tindakan meskipun
tidak terlihat tetapi bisa dirasakan. Levy bruhl secara sederhana menyatakan bahwa yang
di maksud mistik adalah
budaya yang bersifat primitive sedangkan yang dimaksud
realisme dikaitkan dengan budaya barat yang eksklusive ilmiah, Teori inilah yang disebut
sebagai ‘teori partisipasi’
Maka jika dua istilah tersebut menjadi satu istilah yang utuh yang disebut dengan
realisme magis. Realisme magis berusaha menggambarkan nuansa pertentangan dua
pandangan dunia, antara yang rasional dan saintifik barat, dengan yang mistis asli dari
timur. Kalau penulis fantasi menolak logika dan hukum alam dengan mencantumkan halhal absurd dan supernatural, maka dalam realisme magis, seluruh konvensi realistik
dalam fiksi diterima, tapi ditambahi dengan sesuatu yang tidak realistik ke dalam teks.
Dalam realisme magis, tidak ada dikotomi antara realita dan kehidupan magis. Seakanakan dua keaadan tersebut menyatu dalam kehidupan sehari;hari. Dia berada di antara
wilayah fantasi dan realitas empiris. Realisme magis berarti mencoba merealisasikan halhal magis—yang berada di luar jangkauan kelogisan pemikiran manusia ke dalam
kehidupan nyata dalam cerita
Beberapa perpektif definisi yang dicetuskan para ahli sastra di amerika membuat
bingung pemahaman kita mengenai realisme magis. Akan tetapi, ada definisi kunci. Dalam
128
akun camyd-freixas yang menjawab kebingungan tersebut. Realisme magis dipahami
sebagai ekpresi estitika yang canggih yang bersifat primitif, dia berpendapat bahwa
realisme magis adlah gaya penulisan sejarah yang bersumber dari etnologis,berdasarka
pada adanya mitos, legenda,sinkritisme indian dan dari petani yang paling terisolasi di
wilayah amerika. Ralisme magis lahir sebagai usaha untuk mengkritik klaim kebenaran
dan koherensi pandangan modern dunia barat dengan menunjukkan mereka sebagai
budaya dan historis yang kontingen.
Karakteristik Realisme Magis dalam Sastra
Setiap corak pemikiran sastra yang hadir pasti memiliki karakter yang khas.
Karakter tersebut yang mampu membedakan dengan corak pemikiran sastra yang lain.
Realisme magis secara umum memiliki 4 corak yang harus dimiliki oleh karya sastra yang
menggunakan corak tersebut sebagai genre yang mendasarinya.
Secara umum, karakterisasi realisme magis menurut wendi B.faris(2004) meliputi
4 fitur: (a) Hibriditas, (b) Ironi Berkenaan dengan Perspektif Penulis, (c) Sikap Bungkam
Penulis dan (d) Supranatural dan Natural.(e) realism magis mengganggu ide-ide yang
diterima waktu, ruang dan identitas.
Hibriditas:
realisme
magis
menggabungkan
banyak
tehnik
yang
menghubungkannya pada post kolonialisme, dengan hibriditas menjadi ciri khas utama.
Sehingga secara spesifik realisme magis adalah diilustrasikan dalam arena yang tidak
harmonis sebagaimana pertentangan urban dengan orang-orang desa, dan Barat dengan
hal-hal yang asli. Alur dari realisme magis bekerja menggabungkan isu dari daerah-daerah
pinggiran, pencampuran dan perubahan. Sebab dalam realisme magis seorang penulis
membentuk ini untuk menyingkap tujuam utama realisme magis, yaitu: suatu realitas
yang lebih nyata dan dalam dari yang diilustrasikan oleh tehnik realis konvensional.
Ironi Berkenaan dengan Perspektif Penulis: penulis harus memiliki arah ironi dari
pandangan dunia magis pada realisme untuk tidak menjadi kompromi. Dalam artian,
bahwa secara simultan seorang penulis haruslah secara kuat merespon hal-hal magis,
atau hal-hal magis tersebut larut ke dalam cerita rakyat yang sederhana atau fantasi yang
lengkap, terpisah dari yang riil dan bukannya menyinkronkan dirinya dengannya. Istilah
“magis” terhubung pada kenyataan bahwa cara pandang yang dilukiskan teks secara
eksplisit tidak mengadopsi sesuai dengan kandungan pandangan dunia realis. Sejalan
dengan pikiran tersebut Gonzales Echeverria berpendapat, bahwa tindakan dari
memberikan jarak atas dirinya sendiri dari sebuah kepercayaan dipegang oleh suatu
keyakinan kelompok sosial menjadikan hal tersebut menjadi tidak mungkin dipikirkan
sebagaimana sebuah representasi masyarakat tersebut.
129
Sikap Bungkam Penulis: sikap bungkam penulis menunjukkan pada keperluan akan
opini yang jernih tentang keakurasian suatu persitiwa dan kredibilitas pandangan dunia
yang diekspresikan oleh karakter dalam teks. Tehnik ini mempromosikan penerimaan
dalam realisme magis. Sebab dalam realisme magis, tindakan sederhana dari menjelaskan
hal-hal supranatural akan memusnahkan posisi persamaannya memandang sebuah
pandangan konvensional yang bersifat personal dari realitas. Karena hal tersebut akan
tidak kurang valid, dunia supranatural akan terbuang dan dibuang saebagai sebuah
tertimoni yang salah.
Supranatural dan Natural: dalam realisme magis hal-hal supranatural tidak
dipamerkan sebagai suatu keraguan. Semantara pembaca menyadari bahwa hal-hal
rasional dan irasional adalah bertentangan dan dua kutub yang saling berkonflik satu
sama lainnya, mereka tidak dikacaukan karena hal-hal supranatural menyatu dengan
norma-norma dari persepsi narator dan karakter dalam dunia fiksi.
selain itu, waktu juga merupakan tema lain yang menonjol dalam realisme magis.
Yang kerap kali dipertontonkan sebagai orbit peredaran yang tetap dari sebuah garis
lurus. Dalam pemahaman, bahwa apa yang telah terjadi ditakdirkan untuk terjadi lagi. Hal
ini terjadi karena karakter-karakter dalam relaisme magis jarang sekali, apabila pernah
ada, menyadari akan janji hidup yang lebih baik. Ini merupakan akibat dari ironi dan
paradoks yang senantiasa berakar pada pengulangan-pengulangan sapirasi-aspirasi sosial
dan politik. Menurut Angel Flores, dalam realisme magis “waktu” mengalir tanpa
pembatasan atas waktu. Hal ini, menurutnya, membuat dalam realisme magis apa yang
hadir sebagai sesuatu yang tidak nyata dapat hadir sebagai sesuatu yang nyata. Dan apa
yang hadir sebagai sesuatu yang nyata dapat hadir lebih daripada sekedar nyata.
Karnavalistik adalah tema yang lain lagi dari realisme magis. Karnavalistik adalah
suatu refleksi yang bersifat karnaval dalam sastra. Konsep karnavalistik ini adalah
perayaan akan tubuh, jiwa dan relasi antar manusia. “Karnaval” memperlihatkan
manifestasi kultural yang mengambil tempat dalam relasi yang berbeda.
Amerika Utara dan Amerika Selatan, Eropa dan Karibia. Dan juga, kerap kali,
termasuk unsur-unsur bahasa dan pakaian, sebagaimana keadaan seorang gila, orangorang bodoh atau badut. Juga pengaturan penduduk dan partisipasi pada tarian-tarian,
musik ataupun teater. Hal ini terjadi karena realisme magis Amerika Latin mengekplorasi
sisi terang kekukuhan hidup dan karnaval. Juga realitas revolusi dan pergolakan politik
yang tidak ada habisnya pada bagian-bagaian tertentu dunia. secara spesifik hal ini
disebabkan karena Amerika Selatan dikarakterisasi oleh pergolakan politik yang tak ada
habis-habisnya dari suatu idealitas politik.
130
Contoh terbaik bagi realisme magis adalah novel masterpiece Gabriel Garcia
Marquez yang berjudul “Seratus Tahun Kesunyian”. Dalam novelnya tersebut, Gabriel
Garcia Marquez menangani realistas di mana batas dari sesuatu yang riil dan fantastik
menjadi kabur secara alami. Ini merupakan tehnik penulisan yang unik dari realisme
magis. Dan Gabriel Garcia Marquez, melalui novelnya tersebut, secara sukses
mendemonstrasikannya dengan integrasi yang begitu terampil dari fantasi dan realitas
dengan deksripsi atas hal-hal aneh dari peristiwa dan karakter-karakter tokoh yang
diciptakannya
Dalam novelnya “Seratus Tahun Kesunyian” tersebut, Gabriel Garcia Marquez
bercerita dalam sebuah nada narasi yang serius dan natural, dan hal ini sanggup untuk
menciptakan sebuah karya realisme magis, di mana segalanya mungkin dan begitu
terpercayai. Dan agar penyatuan hal-hal fantastik atau sesuatu yang mustahil sempurna
ke dalam peristiwa realistik, dalam novelnya “Seratus Tahun Kesunyian”, cara paling
efektif yang digunakan oleh Gabriel Garcia Marquez adalah mengantarkannya
sebagaimana apabila hal tersebut merupakan sebuah kebenaran yang tak dapat
disangkal.
Gabriel Garcia Marquez dalam karya-karya yang diciptakannya menggunakan
realisme magis secara tajam dalam mempresentasikan peristiwa-peristiwa keseharian
dan mendeskripsikannya secara detail bersamaan dengan hal-hal fantastik dan elemenelemen yang menyerupai mimpi, sebagaimana bahan-bahan dasar yang digunakan oleh
mitos ataupun dongeng-dongeng.
Pengapungan di udara dan karpet terbang .adalah sebagian kecil dari motif-motif
supranatural yang berusaha ditampilkan oleh Gabriel Garcia Marquez dalam novelnya
“Seratus Tahun Kesunyian” yang terkenal itu. Selain itu, motif supranatural juga
ditampilkan oleh Gabriel Garcia Marquez dalam novelnya tersebut lewat tokoh
Malquiades, seorang gypsi yang memiliki kekuatan supranatural, yang diciptakannya
dalam tradisi karnaval grotesk dan realisme supranatural.
Karakter tokoh Malquiades juga dapat dikatakan merupakan contoh hibriditas
yang terdapat dalam novel “Seratus Tahun Kesunyian” karya Gabriel Garcia Marquez
tersebut. Dan peristiwa-peristiwa kedatangan Malquiades di Macondo dengan membawa
benda-benda asing yang berasal dari luar daerah tersebut, seperti balok es atau kaca
pembesar, juga dapat dikatakan sebuah peristiwa yang berakar pada gagasan hibriditas.
Selain itu, hibriditas juga dapat dilihat pada obsesi-obesesi dan peristiwa-peristiwa yang
dialami oleh karakter-karakter tokoh lainnya seperti Ursula, Kolonel Aureliano Buendeia,
atau pun Jose Arcadio Buendeia
131
Di iran ada salman rusdi, dia berusaha membangun sebuah dongeng ajaib untuk
anak-anak yang gemar bermain video game —termasuk permainan kata misalnya untuk
penamaan hewan. Pada permulaan cerita ini juga, dikisahkan terdapat seorang anak lelaki
bernama Luka yang memiliki dua hewan peliharaan yaitu anjing dan beruang yang dapat
berbicara. Uniknya, anjing tersebut diberi nama Beruang dan beruang diberi nama Anjing.
Awalnya, Luka tidak terbiasa dengan perilaku kedua hewannya yang mirip manusia.
Namun
demikian,
Lukapunmafhum.
pada novel Luka dan Api Kehidupan Salman Rushdie berusaha meracik peristiwa
beserta unsur-unsur fantasi, mitologi, permainan kata dan simbolisme ke dalam rajutan
kisah yangmenarik,cerdas,serudanjenaka.
Realisme magis dalam Novel Cantik Itu Luka
Novel Cantik Itu Luka (2004) karya Eka Kurniawan bercerita mengenai keluarga
besar Ted Stamler, seorang Belanda yang malang-melintang bekerja sebagai pejabat di
akhir masa kolonial Belanda di Halimunda. Tempat itu adalah sebuah kota yang dilukiskan
pengarang sebagai tempat menarik, penuh mitos dan begitu penting di ujung masa
kolonial.
Tokoh sentral dalam novel ini adalah Dewi Ayu, anak Aneu Stamler atau cucu Ted
Stamler. Dewi Ayu adalah anak perkawinan luar nikah dari dua bersaudara lain ibu.
Namun kedua orang tua Dewi Ayu, Henri Stamler dan Anue Stamler meninggalkan Dewi
Ayu begitu saja di depan pintu rumahnya dan mereka pergi angkat kaki ke negeri Belanda.
Inilah
awal
kisahnya.
Di zaman Jepang sebagian besar penduduk ditangkapi oleh Jepang, terutama yang
dianggap pro Belanda, termasuk Dewi Ayu. Ia diasingkan ke sebuah pulau kecil yang
seram dan terpencil. Pulau ini, Bloedenkamp, adalah sebuah tempat yang mengerikan
dan menjijikkan. Selain dkenal angker, di sana juga tak ada makanan disediakan . Karena
itu para tawanan umumnya memakan apa yang ada di sekitar mereka termasuk cacing,
ular ataupun tikus. Kekejaman dan kehausan seksual Jepang di Bloedenkamp telah
memanggil nurani Dewi Ayu untuk memberikan dirinya kepada seorang tentara Jepang
untuk disetubuhi.
Dewi Ayu sendiri, sebagaimana kenyataan di ujung Pemerintahan Kolonial
Belanda, berada dalam kesulitan sosial dan ekonomi. Setelah mengalami
kegetiran bersama penduduk di Bloedenkamp, Dewi Ayu bersama gadis-gadis
lainnya dibawa diam-diam oleh Jepang ke tempat pelacuran Mama Kalong di
132
Halimunda. Mereka dipaksa menjadi pelacur. Mama Kalong adalah germo yang
paling terkenal dan profesional di sana. Namun pada masa berikutnya rumah
pelacuran Mama Kalong menjadi terkenal dan identik dengan Dewi Ayu, ia
menjadi selebriti di kota tersebut. Ketenarannya menyamai nama-nama penguasa
di kota tersebut. Bahkan Halimunda sendiri menjadi identik dengan kecantikan
pelacur Dewi Ayu.
Dewi Ayu melahirkan empat anak yang tidak dikehendakinya, tiga di antaranya
sangat cantik dan diminati banyak lelaki di kota Halimunda. Ketiga putrinya yang
cantik itu adalah Alamanda, Adinda dan Maya Dewi. Kecantikan tiga putri itu juga
menjadi malapetaka bagi keluarganya sendiri. Karena itu, saat ia hamil pada
keempat kalinya, ia berdoa agar anaknya dialahirkan buruk rupa. Sebab
kecantikan akan membawa mereka ke dalam petaka. Anaknya yang keempat ini
benar lahir dengan menjijikkan namun punya keajaiban, ia diberi nama Cantik.
Namun si buruk rupa akhirnya juga terjebak dalam perselingkuhan dengan
sepupunya, Krisan.
Alamanda dikawini paksa oleh seorang komandan tentara, Shodanco, setelah
diperkosa. Perkwinan itu sungguh tidak dengan rasa cinta, melainkan kebencian
yang begitu bergelora. Karena itu 5 tahun perkawinan mereka tak melahirkan
anak sebab Alamanda selalu memakai celana besi dan azimat. Dari perkawinan
mereka melahirkan anak Nuraini. Adinda menikah dengan Kamerad Kliwon,
seorang pemuda genteng, tokoh politik dan terkenal di kota itu. Kamerad Kliwon
adalah mantan pacar sejati Alamanda. Perkawinan mereka melahirkan anak
Krisan. Maya Dewi menikah dengan seorang tokoh preman dan penguasa
terminal, namanya Maman Gendeng. Mereka menikah saat Maya Dewi berumur
dua belas tahun tetapi baru disetubuhi saat umur 17 tahun. Kemudian mereka
dikaruniai anak, Rengganis Si Cantik.
Si Cantik, anak Dewi Ayu keempat, si bungsu buruk rupa, hidup bersama
pembantu yang bisu, Rosina. Ia bercinta-buta dengan Krisan setelah kematian
Rengganis Si Cantik. Cantik dan Krisan melahirkan seorang anak yang meninggal
sebelum diberi nama. Sebelumnya Krisan juga bercinta buta dengan anak
tantenya, Rengganis Si Cantik. Rengganis Si Cantik melahirkan juga seorang anak
tak bernama, kemudian diserahkan pada ajak-ajak liar. Krisan membunuh
Rengganis Si Cantik di tengah laut untuk menutupi perbuatan zinanya itu. Kinkin
adalah anak penggali kuburan yang bisa berhubungan dengan roh orang mati
133
dengan permainan jelangkung. Ia satu kelas dengan Rengganis Si Cantik.
Walaupun penampilannya kumal dan pendiam namun diam-diam ia mencintai
Rengganis Si Cantik. Ketika Rengganis Si Cantik diketahui hamil dengan isu bahwa
seekor anjing telah memperkosanya, ia sangat kecewa.
Kinkin tetap tak percaya bahwa Anjing telah memperkosa Rengganis Si Cantik.
Namun ia mau menjadi bapak anak yang dikandung Rengganis tetapi tidak
kesampaian. Setelah kematian Rengganis Si Cantik, Kinkin selalu mencari siapa
pembunuh orang yang dicintainya itu. Roh Rengganis pun tidak mau mengatakan
pembunuh dirinya, sebab ia sangat mencintai orang yang membunuhnya.
Akhirnya, lewat susah-payah ia menemukan juga pembunuh Rengganis dari roh
yang tidak dikenal. Pembunuhnya adalah Krisan, sepupunya, sekaligus kekasih
yang sangat dicintai Rengganis. Setelah itu Kinkin mencari Krisan, dan
membunuhnya di rumah Cantik si buruk rupa.
Di indonesia novel yang sangat kental dengan corak pemikiran realisme adalah
novel eka kurniawan yang berjudul’ cantik itu luka’. Ketika pembaca membaca novel
tersebut dihalaman paling depan maka sudah terasa bahwa novel tersebut kental dengan
magis. Coba perhatika kutipan novel dibawah ini.
Sore hari di akhir pekan bulan Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua
puluh satu tahun kematian….kuburan tua itu bergoyang, retak dan tanahnya
berhamburan bagaikan ditiup angin dari bawah, menimbulkan badai dna gempa
kecil, dengan rumput dan nisan melayang dan di balik hujan tanah yang bagaikan
tirai itu sosok perempuan tua berdiri dengan sikap jengkel yang kikuk, masih
terbungkus kain kafan seolah mereka dikubur semalam saja. (hal 1-2)
Kalau melihat pilar-pilar penyangga utama bangun tutur dan cerita CIL, ditambah
pohon silsilah tokoh utama Dewi Ayu di bagian belakang, sudah pasti kita akan terbawa
pada Gabriel Garcia Marquez dan kawan-kawannya dari Amerika Selatan. Di mana
deskripsi rasional realitas dipadu dengan deskripsi cara pandang lain atas realitas, yang
selama ini dilewatkan karena dianggap `tidak rasional’, tidak logis, supranatural, dan tidak
bersambut gayung dengan hukum alam. Perhatikan tiga kutipan di bawah ini:
Sore hari di akhir pekan bulam Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua
puluh satu tahun kematian….kuburan tua itu bergoyang, retak dan tanahnya
berhamburan bagaikan ditiup angin dari bawah, menimbulkan badai dna gempa
134
kecil, dengan rumput dan nisan melayang dan di balik hujan tanah yang bagaikan
tirai itu sosok perempuan tua berdiri dengan sikap jengkel yang kikuk, masih
terbungkus kain kafan seolah mereka dikubur semalam saja. (hal 1-2)
Dan langsung pada kutipan berikut:
…..Tiga tahun Republik berdiri, tapi Belanda masih dimana-mana. Lebih
menyedihkan, republik ini harus kalah di semua perang dan semua meja
perundingan…..Ia bertemu dengan Presiden Republik, sahabat lamanya, yang
segera berkata kepadanya, “Bantulah kami memperkuat negara melancarkan
revolusi.” `Itu memang kewajibanku. Ik Kom hier om orde te scheppen…. (hal 183)
Ditambah satu kutipan lagi:
…”Jika aku boleh berpendapat, dunia ini adalah neraka, dan menjadi tugas kita
menciptakan surga” (hal 185)
Kutipan pertama bukanlah sebuah ilustrasi penggambaran sebuah detil untuk
menciptakan suasana atau ketegangan tertentu. Namun kutipan itu adalah bagian dari
cerita, bagan utama yang menjejak di setiap bagian dari 18 bab dan 517 halaman CIL.
Deskripsi yang melawan keniscayaan biologis itu bukanlah sekedar metafor, tapi sebuah
pembuka bagi pembaca, untuk selanjutnya mengikuti narasi dari periode tertentu sejarah
Indonesia lewat Dewi Ayu, yang bangkit dari kubur itu, dan tokoh lain di sekitarnya.
Dalam kerangka inilah, detil sejarah bermunculan. Bagi yang cukup akrab dengan
sejarah gerakan dan pemikiran kiri di Indonesia, tentu tidak akan asing dengan kutipan
kedua dan ketiga di atas. Yang kedua adalah dialog terkenal dari Sukarno dan Muso,
menjelang `Peristiwa Madiun’ ketika Muso baru kembali dari pelariannya di Moskow
setelah kegagalan pemberontakan PKI tahun 1926-27. Kutipan ketiga adalah dialog antara
Kliwon dan Kamerad Salim. Menggambarkan (salah satu) gagasan yang pernah
diperjuangkan untuk jadi landasan Republik yang baru berumur 3 tahun itu. Bahwa surga
di bumi adalah sebuah masyarakat tanpa penindasan, tanpa kelas.
Pun bagi mereka yang belum membaca CIL, melihat penggabungan di atas (antara
yang kebangkitan dari kubur, Sukarno, Muso dan sosialisme), pastilah perlu penjelasan
yang memadai. Apalagi kalau kita lihat banyak sekali detil sejarah bermunculan dalam
karya ini (seperti tukang foto di sudut jalan yang ternyata adalah mata-mata jepang (hal
59), tentang penjara dan perkosaan), rasanya sulit membayangkan bahwa penulis
135
memasukkan unsur-unsur semacam bangkit dari kubur itu, hanya dalam rangka kegenitan
dan sensasi eksotis semata.
Ragam Mitos dalam Novel “Cantik Itu Luka”
Kisah pada novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan. Dalam Cantik Itu Luka
terdapat pohon keluarga dengan segala kisahnya pada masing-masing tokoh. Tokoh
sentralnya ialah Dewi Ayu. Eka Kurniawan menceritakan Dewi Ayu mendengar kisah cinta
kakek neneknya yang putus di tengah jalan karena sang nenek menjadi gundik seorang
Belanda. Selanjutnya ia menceritakan dilahirkan dari ayah dan ibu yang sebenarnya
saudara kandung. Dan kemudian menceritakan perjalanan panjang Dewi Ayu menjadi
tahanan perang yang kemudian berakhir sebagai seorang pelacur.
Dalam Cantik Itu Luka, kutukan yang muncul justru apa yang dipuja kebanyakan
orang, kecantikan. Kecantikan yang banyak diinginkan sebagian besar wanita justru
dianggap sebagai sebuah kutukan. Pasalnya, kecantikannya tersebut memaksanya untuk
menjadi pelacur. Dewi Ayu menjadi pelacur professional yang pernah tidur hampir
seluruh lelaki di kota Halimunda. Hal ini mungkin akan berbeda apabila Dewi Ayu memiliki
paras yang jelek. Mungkin pelacur tidak akan menjadi jalan hidupnya. Mungkin ia akan
memilih pekerjaan lain yang sesuai dengan kemampuannya di luar sebagai pelacur.
Seringkali kecantikan tersebut juga membawa ancaman bahaya yang lebih besar.
Bagaimana kecantikan tersebut selalu menggoda setiap mata yang melihatnya dan yang
terjadi adalah timbul keinginan untuk terus melihat kecantikan itu, yang lebih ekstrm
untuk memilikinya dengan cara apapun. Dengan begitu terkadang kecantikan tersebut
dapat menjadi boomerang bagi pemiliknya. Demikianlah sehingga kemungkinan Eka
Kurniawan mengambil judul Cantik Itu Luka.
Dalam bagian akhir novelnya terdapat semacam penjelasan mengenai hal ini.
'Sebab “kenapa” selalu sulit untuk dijawab, maka ia tak menjawab. Ia hanya bisa
menjawab “bagaimana” dan itu mudah. Untuk menunjukkan cintanya, maka ia
terus mencumbunya, tak peduli betapa buruk rupa dirinya, betapa menjijikan,
betapa menakutkan. Semua terasa baik-baik saja, dan ia memperoleh
kebahagiaan yang nyaris tak pernah diperolehnya selama hidupnya. Si Cantik
selalu mengejarnya, setiap kali mereka bertemu dan bercinta, dengan pertanyaan
“kenapa?” Krisan tetap membungkam, bahkan meskipun ia tahu jawabannya, ia
tak mau menjawab. Tapi di malam sebelum ia terbunuh, ia akhirnya menjawab.
Pengakuan keempat: “Sebab cantik itu luka.”
Sebab cantik itu luka.' (Cantik Itu Luka – Eka Kurniawan)
136
Cantik Itu Luka, mitos tersebut muncul dari keadaan tokoh itu sendiri. Mitos itu
diciptakan sendiri. Bahwa kecantikan adalah kutukan karena dapat membawa ancaman
atau luka-luka pada penyandang kecantikan tersebut. Mitos dalam novel ini tidak muncul
secara konvensional dari mulut ke mulut, namun ada usaha dari sang tokoh untuk
memunculkan mitos baru tersebut dengan bertolak pada realitas kecantikan yang ada
pada dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Arnold, Matthew. 1869. Culture and Anarchy. New York: Macmillan. Third edition
Deddy
Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya:Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. 2006. Bandung:Remaja
Rosdakarya.
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradsional, Kongres Kebudayaan 1991: Kebudayaan Nasional
Kini
dan
di
Masa
Depan
Indonesian
Geography
http://countrystudies.us/indonesia/28.htm
Kurniawan, eka. Cantik itu luka.2002.kompas gramedia
137
PENGEMBANGAN MATERI BAHASA INDONESIA
BERKARAKTER NILAI ISLAM UNTUK SISWA SEKOLAH DASAR
Mukaromah
Univeristas Islam Malang
[email protected]
ABSTRACT
The human resource quality and the arrangement of education in Indonesia
could be seen from the achievement of the students which assumed as the
output of the quality of national education. All the time, the assessment of
the excellency of the students only seen from the academic point of view,
while the attention to the personality and the social sensitiveness ignored. It
is better to develop the personality values in school, based on the personality
and social environment. In order to concrete the human being with a good
personalitu nand having the sensitiveness to the social environment, the
school should applicate the values of religion, culture, and art. One of the
way to realize any learning subject.The research focuse on the development
of Bahasa Indonesia material with the Islamic character for the elementary
school students. The model of learning could not separate the skill of
reading, writing, listening, and speaking anymore. In the higher grade of
elementary school, the skills of language should be given integrated
embedded with Islamic values character.
Kata Kunci: material of Bahasa Indonesia, Islamic values character, elementary
school
PENDAHULUAN
Kemajuan bangsa dapat diukur dari keberhasilan pengelolaan sumberdaya
manusia dan pengelolaan pendidikannya. Kualitas sumber daya manusia dan pengelolaan
pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari prestasi siswa-siswa belum sesuai dengan
harapan. Salah satu indikator rendahnya sumber daya manusia dapat dilihat dari prestasi
siswa yang merupakan hasil mutu pendidikan nasional. Hasil Studi IEA (International
Association for the Evaluation of Education Achievement) menunjukkan bahwa
keterampilan membaca siswa kita berada pada tingkat terendah. Anak Indonesia ternyata
hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan. Mutu akademik antarbangsa melalui
Programme for Internal Student Assessment (PISA) 2003 menunjukkan bahwa dari 41
negara yang disurvei, untuk bidang membaca dan pemecahan masalah, Indonesia
menempati peringkat ke-39. Data UNESCO (2005) tentang peringkat Indeks
Pengembangan Manusia (Human Development Index) menunjukkan bahwa indeks
pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Pada tahun 2007 Human
138
Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia berada pada posisi 108 dari
177 negara. Dengan demikian, kondisi Sumber Daya Manusia (SDM) kita jauh tertinggal
dibandingkan standar negara-negara Asia (Lubis, 2007).
Selain sisi akademik,yang masih kurang mendapat perhatian dalam dunia
pendidikan kita adalah faktor moral sosial. Selama ini, penilaian keunggulan siswa sering
hanya dilihat dari sudut pandang akademis. Sementara itu, perhatian terhadap
kepribadian dan kepekaan sosial masih kurang. Seharusnya, sekolah juga dikembangkan
dengan berbasis kepribadian dan lingkungan sosial. Hal itu sesuai dengan pernyataan
filsuf Alfred N. Whitehead bahwa pendidikan bukan hanya kemampuan menganalisis
secara logis, tetapi juga kemampuan menjadi pribadi dalam mengatasi permasalahan
hidup yang kongkret.
Hal tersebut juga sejalan denganvisi pendidikan nasional yaitu terwujudnya
sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk
memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang
berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu
berubah. Atas dasar itu Depdiknas memiliki keinginan agar pada tahun 2005 pendidikan
Indonesia menghasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif (Insan Kamil/Insan
Paripurna), yaitu cerdas spiritual, cerdas emosional dan sosial, cerdas intelektual, dan
cerdas kinetetis (Depdiknas, 2005).
Untuk mewujudkan manusia yang berkepribadian dan peka terhadap lingkungan
sosial, sekolah wajib menanamkan nilai-nilai agama, budaya, dan seni. Penanaman nilai
tersebut
bukan hanya dilakukan melalui bidang agama dan akhlak yang jam
pelajarannnya sangat terbatasi. Salah satu cara untuk mewujudkan itu adalah dengan
mengintegrasikan nilai-nilai agama termasuk Islam, budaya, maupun seni ke dalam setiap
mata pelajaran.
Bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah tentunya relevan
untuk dimuati nilai-nilai agama khususnya nilai Islam. Hal ini memungkinkan karena
bahasa Indonesia memuat aspek komunikasi sehingga nilai-nilai Islam dapat ditanamkan
kepada siswa dalam pembelajaran.
Penanaman nilai-nilai keagamaan di sekolah saat ini masih menitikberatkan
kepada domain kognisi yang cenderung menampilkan agama sebagai seperangkat
rumusan kepercayaan dan ajaran yang cenderung indoktrinatif-normatif. Akibatnya,
bahan-bahan bacaan untuk mendukung domain tersebut terbatas pada buku-buku teks.
Padahal upaya penanaman nilai-nilai keagamaan tidak sekedar menyangkut dimensi
kepercayaan, tetapi lebih dari itu adalah dimensi pembudayaan. Hal tersebut disebabkan
beberapa faktor pendukung yang belum terkendali dengan baik, misalnya strategi yang
139
digunakan guru belum sesuai, tidak lengkapnya media pendukung pembelajaran, dan
bahan ajar yang menjadi rujukan belum bervariasi. Oleh sebab itu, salah satu faktor yang
perlu dicobakan untuk dikembangkan yaitu penanaman nilai Islam melalui bahan ajar.
Pembelajaran bahasa Indonesia di kelas tinggi di sekolah dasar saat ini terfokus
pada empat aspek keterampilan berbahasa yaitu mendengarkan, berbicara, membaca
dan menulis. Hal tersebut
perlu dikembangkan lebih lanjut agar
anak memiliki
kemampuan berpikir holistik dalam pembelajaran. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
yaitu mengembangkan bahan ajar bahasa Indonesia dengan menerapkan pendekatan
integratif dalam pembelajaran.Materi atau bahan pembelajaran bahasa Indonesia di
sekolah dasar kelas 4, mencakup empat aspek keterampilan
yaitu mendengarkan,
berbicara, membaca dan menulis. Dalam pelaksanaannya magteri tersebut
dapat
dikembangkan lebih lanjut dengan mengintegrasikan secara internal aspek kebahasaan
maupun eksternal seperti nilai-nilai keislaman, agar pembelajaran lebih bermakna dan
mendekati
kenyataan.
Pembelajaran
integratif
merupakan
pembelajaran
yang
menghubungkan berbagai aspek bidang yang mencerminkan dunia nyata di sekeliling
anak sesuai rentang perkembangannya. Model pengintegrasian pembelajaran bahasa
Indonesia ini membawa implikasi, baik bagi guru, peserta didik, saran ,media dan
pengembangan materi yang digunakan.
Kondisi riil saat ini menunjukkan bahwa materi yang dipergunakan guru dalam
pembelajaran kebanyakan berupa buku teks . Guru banyak berpedoman pada buku teks
yang direkomendasi sekolah dan menjadi bahan satu-satunya dalam pembelajaran.
Materi yang baik hendaknya
berpedoman pada kurikulum dengan memperhatikan
perkembangan kebutuhan dan lingkungan siswa belajar sehingga lebih bervariasi.
Maraknya sekolah yang berlabel Islam
saat ini memungkinkan adanya
pengembangan materi yang mengintegrasikan nilai-nilai keislaman.Materti bahasa
Indonesia integratif yang memuat nilai-nilai keislaman diharapkan menjadi salah satu
sarana penanaman nilai keislaman melalui pembelajaran berbahasa. Hal ini didasari
pemukiran bahwa nilai keislaman bukan monopoli mata pelajaran agama tetapi dapat
diintegrasikan pada mata pelajaran lain seperti bahasa Indonesia.
Berkaitan dengan apa yang diungkapkan di atas, penelitian ini difokuskan pada
pengembangan materi bahasa Indonesia berkarakter nilai Islam untuk siswa Sekolah
Dasar . Dengan tersusunnya model ini, materi bahasa Indonesia khususnya di kelas tinggi
SD, tidak lagi terpisah menjadi pembelajaran mendengarkan, berbicara, membaca dan
menulis semata, tetapi dapat diberikan secara terintegrasi sebagai satu kesatuan utuh
antar keterampilan berbahasa dan bermuatan
karakter nilai Islam. Materi bahasa
Indonesia berkarakter nilai Islam seabagai produk penelitian memberikan muatan
140
kepribadian yang dapat digunakan sebagai pembiasana perilaku untuk siswa Sekolah
Dasar.
Tujuan penelitian ini adalah tersusunnya materi bahasa Indonesia
berkarakter nilai Islamuntuk siswa
tersusunnya materi
SD.. Secara khusus tujuan penelitian
yang
adalah:
bahasa Indonesia Integratif yang berkarakter nilai Islam untuk
Sekolah Dasar kelas 4.
Bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) adalah
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai
standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis materi
pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan,
dan sikap atau nilai (Depdiknas, 2006) Bahan yang dimaksud bisa berupa bahan tertulis
maupun bahan tidak tertulis.
Menurut University of Wollongong NSW 2522, AUSTRALIA pada website-nya,
WebPage last updated: August 1998, Teaching is defined as the process of creating and
sustaining an effective environment for learning.Melaksanakan pembelajaran diartikan
sebagai proses menciptakan dan mempertahankan suatu lingkungan belajar yang efektif.
Dalam website Depdiknas (2006) dikemukakan pengertian bahwa, bahan ajar
merupakan seperangkat materi/substansi pembelajaran (teaching material) yang disusun
secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa
dalam kegiatan pembelajaran.Bahan ajar disusun dengan tujuan sebagai berikut : 1)
menyediakan
bahan
ajar
yang
sesuai
dengan
tuntutan
kurikulum
dengan
mempertimbangkan kebutuhan siswa, yakni bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik
dan setting atau lingkungan sosial siswa. 2) membantu siswa dalam memperoleh
alternatif bahan ajar di samping buku-buku teks yang terkadang sulit diperoleh. 3)
Memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran.
Menurut Prawiradilaga (2007) bahan ajar adalah format materi yang diberikan
kepada pembelajar yang dikaitkan dengan media tertentu yang berupa handouts atau
buku teks. Uraian materi merupakan strategi pembelajaran isi matapelajaran dan
berpedoman kepada cara yang sistematis berupa fakta, konsep, prinsip, dan prosedur..
Materi disusun sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan, disusun
langkah demi langkah sehingga mempermudah siswa belajar.
. Pembelajaran integratif/terpadu merupakan suatu jenis pembelajaran yang
didasari oleh pendekatan terpadu. Sebagai suatu proses, pembelajaran terpadu memiliki
ciri-ciri: (1) berpusat pada anak (child centered); (2) memberikan pengalaman lang-sung
pada anak; (3) pemisahan antarbidang studi tidak jelas; (4) menyajikan konsep dari
141
berbagai bidang studi dalam suatu proses pembelajaran bersifat luwes; (5) hasil
pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan anak
Nilai-nilai Islam yang diintegrasikan dalam pembelajaran bahasa Indonesia
ditekankan dalam pembiasaan akhlakul karimah. Akhlak didefinisikan sebagai semua
tingkah laku dan gerak-gerik makhluk dan yang dimaksud makhluk di sini (telah
dipersempit) ialah manusia (hanya menyangkut tingkah laku manusia saja).
Islam menerapkan pendidikan, anak didik tidak hanya dituntut untuk memahami
pengetahuan tentang akhlak semata, melainkan diharapkan mereka dapat menerapkan
dan mengaplikasikan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. hari akan
melahirkan budi pekerti yang luhur (Akhlakul Karimah), Al-Hasan (2008).
METODE PENGEMBANGAN
Penelitian penembangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
R2D2 (Recursive, Reflective Design and Development ) yang dikembangkan oleh Willis
(1995, 2000). R2D2 memiliki 4 prinsip, yaitu: (1) recursion, (2) reflection, (3) nonlinear,
dan (4) desain partisipatori. Prinsip recursion, mengizinkan pengembang untuk
menetapkan keputusan sementara dan meninjau kembali keputusannya tentang produk
atau proses, setiap saat dalam perencanaan dan pengembangan produk, dan membuat
perbaikan dan revisi jika diperlukan. Prinsip reflection, menuntut pengembang untuk
merefleksi, memikirkan ulang secara sungguh-sungguh, mencari dan menemukan umpan
balik dan ide-ide dari banyak sumber selama proses perancangan dan pengembangan.
Prinsip nonlinear, mengizinkan pengembang untuk memulai pengembangan tidak secara
urut dengan menggunakan format baku yang harus diikuti secara ketat mulai dari awal
sampai dengan akhir. Sebagai contoh, pengembang dapat menetapkan tujuan sementara,
dan tujuan, dikembangkan sepanjang proses dan mungkin bisa terjadi belum lengkap dan
jelas sampai akhir proyek. Prinsip terakhir, desainpartisipatori, pengembang melibatkan
tim partisipan yang dilibatkan secara ekstensif dalam semua fase dari proses perencanaan
dan pengembangan.
Berdasarkan model tersebut, desain pengembangan produk ini
mengikuti
tahapan sebagai berikut: (1) pendefinisian, (2) perancangan dan pengembangan, (3)
penyebarluasan.Aktivitas pendefinisian ditekankan pada persiapan yaitu pembentukan
tim yang meliputi siswa, guru, dan tim ahli. Perancangan danpengembangan difokuskan
pada kegiatan yang meliputi; 1) analisis karakteristik siswa dan kebutuhan belajar,
analisis materi Integratif bahasa Indonesia, penetapan nilai-nilai Islami, dan 2) penulisan
draf materi/bahan, latihan baha Indonesia berkarakter nilai Islam dan uji coba hasil
142
produk. (3) Aktivitas Penyebarluasan difokuskan pada penyebarluasan produk bahan ajar
bahasa Indonesia Integratif berkarakter nilai Islami untuk Sekolah Dasar kelas4.
Setelah prototipe dikembangkan, maka diujicobakan pada a) kelompok kecil, b)
kelompok ahli. a) Uji kelompok kecildilaksanakan di SD Islam Sabililliah Malang.
Ditatapkannya sekolah ini karena sekolah telah menerapkan pembiasaan nilai keislaman
dalam kesehariannya.b) Uji ahli dilakukan oleh 3 orang, yaitu ahli pembelajaran bahasa
Indonesia ke-SDan, ahli
pembelajaran bahasa Indonesia dan
ahi perancang media
pembelajaran.
Jenis data penelitian ini berupa data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif
terutama diperoleh dari observasi partisipan pada saat uji coba lapangan berupa deskripsi
aktivitas guru-siswa kelas 4 SD Islam Sabilillah. Data ini diperoleh melalui respon dan
jawaban instrumen dari observasi analisis kebutuhan dan analisis karakteristik siswa.
Hasil data yang berupa deskripsi jawaban sisiwa dan guru ini dipergunakan peneliti
untuk
mengidentifikasi, merancang, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran.
Data kualitatif juga diperoleh dari hasil jawaban angket dari uji ahli. Sedangkan data
kuantitatif diperoleh dari tes sebelum dan sesudah uji coba produk.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: angket, tes, observasi
dan catatan pengamatan. Angket digunakan untuk uji coba ahli dan guru. Tes digunakan
untuk prates dan postes, format observasi, dan catatan pengamatan digunakan untuk uji
coba lapangan. Teknik analisis data yang digunakan untuk mengolah data adalah analisis
data kualitatif dan kuantitatif. Data uji lapangan dianalisis dengan analaisis data kualitatif
model alir (Miller & Huberman, (1992:18). Aktivitas analisis, meliputi: reduksi data,
penyajian data dan penatikan simpulan atau verifikasi. Kegiatan reduksi data meliputi
pemilihan, pemilahan, pengklasifikasian dan pengodean data. Penyajian data dalam
bentuk uraian deskripsi, tabel, diagram, gambar atau bentuk visual lainnya. Data yang
telah disajikan diverivikasi, dimaknai, dan disimpulkan.
Sedangkan untuk analisis
kuantitatif digunakan statistik deskriptif dan statistik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini dihasilkan produk pengembangan, yaitu materibahasa
Indonesia berkarakter nilai Islam untuk siswa SD kelas 4. Hasil pengembangan pada
tahap ini ini masih terbatas pada pengembangan produk dan uji coba produk pada
kelompok kecil, kelompok ahli, dan kelompok praktisi. Uji efektivitas produk sedang
dilaksanakan, tetapi belum dilaporkan karena terkait dengan saran
Pengembangan prototipe produk, prototipe ini dikembangkan secara kolaboratif
antara pengembang, tim ahli, guru, dan praktisi. Prototipe yang dikembangkan mencakup
143
hal-hal berikut. Produk yang berisi deskripsi
materi pembelajaran bahasa Indonesia
Integratif berkarakter nilai Islam dan latihan Materi pembelajaran memuat deskripsi isi
materi yang diperlukan untuk menguasai standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar
(KD) kemampuan berbahasa SD kelas IV yang tertuang dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). SK dan KD dalam satu tahun.
Dari SK dan KD kelas 4 semester 1 dan 2 tersebut, dikembangkanlah materi
menjdi 8 unit pelajaran. Unit tersebut yaitu 1) Tempat Umum, 2) Lingkungan, 3)
Persahabatan, 4) Alam dan Makhuk Hidup, 5) Menuntut Ilmu, 6) Komunikasi, 7) Teknologi
dan 8) Cita-cita.Setiap unit pelajaran memuat hal-hal berikut: 1) judul unit, 2) kompetensi
dasar yang harus dikuasai siswa yang dijabarkan dalam peta konsep, 3) uraian deskripsi
materi bahasa Indonesia integratif berkarakter islam berbasis media interakti, 4) latihan
yang dikemas dalam Pikirkan yang berisi pengayaan latihan pengetahuan dan
pemahanam dan dan Ayo lakukan. Yang berisi pengembangan dari keterampilan yang
dikuasai siswa.
Materi pembelajaran pada setiap unit dikembangkan dengan mengintegrasikan
aspek kemampuan berbahasa yang meliputi menyimak,berbicara, membaca dan menulis
serata mengapresiasi karya sastra dengan pengintegrasian nilai keislaman ditanaamkan
melalui pembiasaan membaca basmalah dalam memulai sesuatu, salam,sapaan, tema.
Hasil penelaahan ahli dan praktisi terkait dengan kebenaran isi ada satu aspek yang perlu
direvisi karena aspek tersebut mempunyai catatan dan mendapatkan skor 3, yaitu
sumber atau bacaan dari sumber alquran yang belum dipaparkan dan perlu uraian agar
siawa lebih jelas.
Aspek keterbacaan adalah aspek esensial materi pembelajaran. Materi yang
tingkat keterbacaannya terlalu tinggi akan menyebabkan siswa frustasi karena sulit
memahaminya. Sebaliknya, materi yang tingkat keterbacaannya rendah akan
menyebabkan siswa bosan karena siswa merasa tidak ada tantangan untuk
memelajarinya. Aspek keterbacaan mencakup: (1) kemudahan struktur bahasa untuk
dipahami dan (2) kemudahan kata/kalimat/istilah untuk dipahami. Dari penelaahan ahli
dan praktisi terhadap aspek keterbacaan yang perlu direvisi, yaitu aspek kemudahan
kata/kalimat/istilah untuk dipahami karena mendapatkan skor 3. Dari catatan ahli
dinyatakan bahwa ada beerapa kalimat panjang yang pilihan kata yang sulit, sehingga
perlu direvisi.
Kemenarikan penyajian memiliki peran sangat penting dalam menarik minat
siswa untuk memelajari materi pembelajaran. Aspek kemenarikan penyajian mencakup:
(1) kejelasan teks, gambar, dan suara dan (2) kesesuaian dan kemenarikan tata letak,
pemilihan font, dan perpaduan warna. Hasil penelaahan ahli dan praktisi terkait dengan
144
aspek kefungsionalan sistem ada satu aspek yang harus diperbaiki, yaitu masih adanya
perintah yang belum dapat berfungsi dengan baik yaitu pada latihan ayo lakukan untuk
membuat gambar.
Produk ini telah diujicobakan pada kelompok kecil, yaitu kelompok siswa dan
guru, juga telah divalidasi oleh tim ahli/validasi pakar dan validasi praktisi.
Materi
pembelajaran bahasa Indonesia berkarakter nilai Islami ini telah berhasil melibatkan
sejumlah keterlibatan siswa dalam aktivitas dan perilaku dalam pengelolaan
pembelajaran dengan penuh gairah
Kegitan belajar untuk satu keterampilan dibagi menjadi tiga kegiatan, yaitu
kegiatan awal, kegiatan utama, dan kegiatan pengembangan. Kegiatan awal berisi materi
atau latihan-latihan yang membekali siswa sebelum masuk ke kegiatan utama. Kegiatan
utama berisi materi dan latihan pokok yang harus dikuasai siswa. Sedangkan kegiatan
pengembangan berisi latihan-latihan tambahan yang sifatnya mengembangkan
keterampilan siswa. Sementara itu, untuk latihan dibuat dua model, yaitu ‘Pikirkan’ dan
‘Ayo Lakukan’. ‘Pikirkan’ merupakan jenis latihan yang sifatnya mengembangkan
wawasan, daya ingat, dan nalar siswa, sedangkan ‘Ayo Lakukan’ merupakan jenis latihan
yang sifatnya mempraktikkan atau mengaplikasikan suatu keterampilan untuk
memperdalam pemahaman siswa.
Gambar 1:
Contoh Produk
145
Pada setiap unit, dideskripsikan pula “Islam Mengajarkan”,yang memuat
nasehat, arahan, atau pelajaran hidup Islami yang dapat diteladani siswa. Hal-hal yang
disampaikan di dalamnya berkaitan dengan tema unit atau keterampilan yang sedang
dipelajari. Pada bagian akhir unit ini dimuat juga “Kata-kata Mutiara” sebagai
penyemangat siswa. Kata-kata mutiara diambil dari hadis nabi atau perkataan-perkataan
orang bijak yang dapat memotivasi (medorong) siswa untuk berbuat lebih baik.
Selanjutnya ada Moto. Moto dimuat di halaman sebelah kiri bagian bawah. Di dalamnya
terdapat semboyan yang berbunyi “Indonesia bahasaku, Islam agamaku”. Dengan moto
ini, diharapkan siswa akan lebih mencintai bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional kita
dan agama Islam sebagai panduan hidup manusia, sehingga siswa mau menerapkannya
dengan baik dalam kehidupan sehari hari.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil pengembangan dapat disimpulkan hal-hal berikiut:
tersusunnya paket materi pembelajaran bahasa Indonesia integratif berkarakter nilai
Islam untuk siswa SD
Berdasarkan hasil uji coba dan validasi ahli dan pakar, kedua produk tersebut
dinyatakan layak digunakan. Uji coba dilakukan pada kelompok kecil, yaitu siswa kelas IV
SD Islam Sabililah Malang dan guru kelas IV mata pelajaran bahasa Indonesia. Validasi
pakar dan praktisi untuk paket materi pembelajaran difokuskan pada aspek: 1) kebenaran
isi, 2) keterbacaan, 3) kemudahan penggunaan, 4) kemenarikan penyajian, dan
kefungsionalan sistem.
Hasil ahli menunjukkan bahwa produk ini dilihat dari kebenaran materi layak
digunakan karena memiliki kesesuaian dengan SK dan KD, akurat dilihat jabaran
kurikulum kelas 4 SD/M yang mengintegrasikan aspek kebahasaan dan penanaman nilai
keislaman.
Dilihat dari aspek keterbacaan, para ahli dan praktisi menyatakan bahwa bahasa
mudah dipahami dan tidak ada kata/kalimat/istilah yang sulit dipahami. Hal ini karena
produk ini sudah diujicobakan kepada siswa kelas IV, sebagai calon pengguna produk
Berdasarkan hasil angket yang diberikan kepada kelompok kecil, yaitu siswa kelas
IV SD, 97% menyatakan senang belajar dengan menggunakan paket materi bahasa
Indonesia berkarakter nilai Islam ini.
146
Saran
Guru bahsa Indonesia hendaknya mempersiapkan diri membaca petunjuk
penggunaan, materi dan buku-buku referensi sehingga dapat menguasai isi materi,
langkah-langkah pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi siswa.
Produk materi ini sebagai salah satu model dan terbuka untuk dikembangkan
dengan kreatifitas guru yang disesuaikandengan kreasi yang tidak menyimpang pada
esensi materi dan kebutuhan siswa.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Hasan S.Y.M. 2008. Pendidikan Anak dalam Islam. Disebarkan dalam bentuk Ebook di
Maktabah Abu Salma al-Atsari http://dear.to/abusalma
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Pedoman pembelajaran Awal Sekolah Dasar.
Jakarta: Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional.. 2006. Kurikulum 2006 Sekolah Dasar. Jakarta: Puskur
Balitbang Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional.. 2006. Pedoman Memilih dan Menyusun Bahan Ajar.
Jakarta.
Lubis, F. R. 2007. Mendongkrak Human Development Indonesia (Hdi) Atau Indeks
Pembangunan Manusia (Ipm) Melalui Program Pendidikan Keaksaraan. Suara
Merdeka, Jumat 27 Juli 2007
Prawiradilga, Dewi Salma. 2007. Prinsip Disain Pembelajaran. Jakarta: Kencana.disajikan
dalam Pelatihan Model Pembelajaran PBK, tanggal 26 – 28 November 2005, di
P3AI Universitas Negeri Yogyakarta.
Willis,J. 1995. A Recursive, Reflective Instructional Design Model Based on Constructivist
Interpretivist Theory. Educational technology/Nov-Des, 9.
Willis,J.2000. A. General Set of Prosedures for Constructivist Instructional Design: the New
R2D2 Model. Jurnal Educational Technology/ Marh april No.2.
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN KEMAHIRAN BERBAHASA TULIS
147
Iwan Setiawan
Universitas Wisnuwardhana Malang
[email protected]
ABSTRACT
Starting to write do not need to wait to be the skilled writer. The
understanding of three components of writing of writing act really helpful,
(1) mastery of written language,includes vocabulary, sentence structure,
paragraph, pragmatics (2) mastery of content of writing based on the
topic, and (3) mastery of variations of writing, such as article, feature,
short story, journal, etc. Writing is more creative process including way of
thinking divergent than thinking convergent. The creative process consists
of three activities, there are: (1) planning (to consider the goal of writing),
(2) to realize ( writing based on the planning), and (3) Revision (evaluating
and revising the writing).
Key words: development, learning, skill, written language
PENDAHULUAN
Belajar berbahasa Indonesia baik secara lisan maupun tertulis, berarti harus
belajar
mendengarkan,
berbicara,
membaca,
dan
menulis
dalam
bahasa
Indonesia.Menulis merupakansuatu keterampilan berbahasa yang terpadu, yang
ditujukan untuk menghasilkan sesuatu yang disebut tulisan.
Setidaknya terdapat tiga komponen yang tergabung dalam perbuatan menulis,
yaitu: (1) penguasaan bahasa tulis, yang berfungsi sebagai media tulisan, meliputi:
kosakata, struktur kalimat, paragraf, ejaan, pragmatik, dan sebagainya; (2) penguasaan isi
karangan sesuai dengan topik yang akan ditulis; dan (3) penguasaan tentang jenis-jenis
tulisan, yaitu bagaimana merangkai isi tulisan dengan menggunakan bahasa tulis sehingga
membentuk sebuah komposisi yang diinginkan, seperti esai, artikel, cerita pendek,
makalah, dan sebagainya.
Agar dapat terampil menulis dengan baik, seorang pembelajar tidak hanya menguasai
satu atau dua komponen saja di antara ketiga komponen tersebut. Betapa banyak
pembelajar yang menguasai bahasa Indonesia secara tertulis dan mengetahui banyak
hal untuk ditulis tetapi tidak dapat menghasilkan tulisan karena tidak tahu apa yang
akan ditulis dan bagaimana menuliskannya, serta tidak dapat menulis karena tidak
tahu caranya.
148
Menulis bukan pekerjaan yang sulit melainkan juga tidak mudah.Untuk memulai
menulis, setiap penulis tidak perlu menunggu menjadi seorang penulis yang terampil.
Belajar teori menulis itu mudah, tetapi untuk mempraktikkannya tidak cukup sekali dua
kali. Frekuensi latihan menulis akan menjadikan seseorang terampil dalam bidang tulismenulis.
Tidak ada waktu yang tidak tepat untuk memulai menulis. Artinya, kapan pun, di
mana pun, dan dalam situasi yang bagaimana pun seorang penutur asing yang belajar di
Indonesia dapat melakukannya. Ketakutan akan kegagalan bukanlah penyebab yang
harus dipertahankan. Itulah salah satu kiat, teknik, dan strategi yang ditawarkan oleh
David Nunan (1991: 86—90) dalam bukunya Language Teaching Methodology. Dia
menawarkan suatu konsep pengembangan keterampilan menulis yang meliputi: (1)
perbedaan antara bahasa lisan dan bahasa tulisan, (2) menulis sebagai suatu proses dan
menulis sebagai suatu produk, (3) struktur generik wacana tulis, (4) perbedaan antara
penulis terampil dan penulis yang tidak terampil, dan (5) penerapan keterampilan menulis
dalam proses pembelajaran.
Pertama, perbedaan antara bahasa lisan dan bahasa tulisan tampak pada fungsi
dan karakteristik yang dimiliki oleh keduanya. Namun demikian, yang patut diperhatikan
adalah keduanya harus memiliki fungsi komunikasi. Dari sudut pandang inilah dapat
diketahui sejauh mana hubungan antara bahasa lisan dan bahasa tulis, sehingga dapat
diaplikasikan dalam kegiatan komunikasi.
Dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan
adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada
bahasa tadi, terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami
dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh dan lebih mendalam. Akibatnya,
sebagai pemakai bahasa, orang Indonesia kadang-kadang tidak terampil menggunakan
bahasanya sendiri dibandingkan dengan orang asing yang belajar bahasa Indonesia. Hal
ini merupakan suatu kelemahan yang tidak kita sadari.
Kedua, pandangan bahwa keterampilan menulis sebagai suatu proses dan menulis
sebagai suatu produk. Pendekatan yang berorientasi pada proses lebih memfokuskan
pada aktivitas belajar (proses menulis); sedangkan pendekatan yang berorientasi pada
produk lebih memfokuskan pada hasil belajar menulis yaitu wujud tulisan.
Ketiga, struktur generik wacana dari masing-masing jenis karangan (tulisan) tidak
menunjukkan perbedaan yang mencolok. Hanya saja pada jenis karangan narasi
menunjukkan struktur yang lengkap, yang meliputi orientasi, komplikasi, dan resolusi. Hal
ini menjadi ciri khas jenis karangan/tulisan ini.
149
Keempat, untuk menambah wawasan tentang keterampilan menulis, setiap
penulis perlu mengetahui penulis yang terampil dan penulis yang tidak terampil.
Tujuannya adalah agar dapat mengikuti jalan pikiran (penalaran) dari keduanya. Kita
dapat mengetahui kesulitan yang dialami penulis yang tidak terampil (baca: pemula,
awal). Salah satu kesulitan yang dihadapinya adalah ia kurang mampu mengantisipasi
masalah yang ada pada pembaca. Adapun penulis terampil, ia mampu mengatakan
masalah tersebut atau masalah lainnya, yaitu masalah yang berkenaan dengan proses
menulis itu sendiri.
Kelima, sekurang-kurangnya ada tiga proses menulis yang ditawarkan oleh David
Nunan, yakni: (1) tahap prapenulisan, (2) tahap penulisan, dan (3) tahap perbaikan. Untuk
menerapkan ketiga tahap menulis tersebut diperlukan keterampilan memadukan antara
proses dan produk menulis.
Menulis pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif.
Dalam kegiatan menulis ini seorang penulis harus terampil memanfaatkan grafologi,
struktur bahasa, dan kosakata. Keterampilan menulis digunakan untuk mencatat,
merekam, meyakinkan, melaporkan, menginformasikan, dan mempengaruhi pembaca.
Maksud dan tujuan seperti itu hanya dapat dicapai dengan baik oleh para pembelajar
yang dapat menyusun dan merangkai jalan pikiran dan mengemukakannya secara tertulis
dengan jelas, lancar, dan komunikatif. Kejelasan ini bergantung pada pikiran, organisasi,
pemakaian dan pemilihan kata, dan struktur kalimat (McCrimmon, 1967: 122).
PEMBAHASAN
1. Pendekatan Pengajaran Menulis: Tradisional dan Proses
Pembelajaran menulis dengan pendekatan tradisional lebih menekankan pada
hasil berupa tulisan yang telah jadi, tidak pada apa yang dikerjakan pembelajar ketika
menulis. Pembelajar berpraktik menulis, mereka tidak mempelajari bagaimana cara
menulis yang baik. Temuan penelitian mengenai menulis menyebabkan bergesernya
penekanan pembelajaran menulis dari hasil (tulisan) ke proses menulis yang terlibat
dalam menghasilkan tulisan. Peran pengajar dalam pembelajaran menulis dengan
pendekatan proses tidak hanya memberikan tugas menulis dan menilai tulisan para
pembelajar, tetapi juga membimbing pembelajar dalam proses menulis (Tompkins, 1990:
69).
Perbedaan antara pendekatan tradisional dan pendekatan keterampilan proses
dalam pembelajaran menulis bahasa Indonesia bagi penutur asing tingkat lanjut
sebagaimana dikemukakan Tompkins (1990: 70) dapat dilihat pada bagan berikut.
Pendekatan Tradisional dan Keterampilan Proses dalam Menulis
No.
Komponen
Pendekatan Tradisional
Pendekatan Proses
150
No.
1
Komponen
Pilihan Topik
Pendekatan Tradisional
Pendekatan Proses
Tugas menulis kreatif yang
Pembelajar memilih topik
spesifik diberikan oleh
sendiri, atau topik-topik
pengajar
yang diambil dari bidang
studi lain
2
3
Pembelajaran
Fokus
Pengajar hanya sedikit
Pengajar mengajar
atau tidak memberikan
pembelajar mengenai
pelajaran.
proses menulis dan
Pembelajar diharapkan
mengenai bentuk-bentuk
menulis sebaik-baiknya
tulisan
Berfokus pada tulisan yang
Berfokus pada proses yang
sudah jadi
digunakan pembelajar
ketika menulis
4
Rasa Memiliki
Pembelajar menulis untuk
Pembelajar merasa memiliki
pengajar dan kurang
tulisan sendiri.
merasa memiliki tulisan
sendiri
5
Pembaca
Pengajar merupakan
Pembelajar menulis untuk
pembaca utama
pembaca yang
sesungguhnya
6
Kerja Sama
Hanya sedikit atau tidak
Pembelajar menulis dengan
ada kerja sama
bekerja sama dan berbagi
tulisan yang dihasilkan
masing-masing dengan
teman-teman satu
kelompok/kelas
7
Draft
Pembelajar menulis draft
Pembelajar menulis draft
tunggal dan harus
kasar (outline) untuk
memusatkan pada isi
menuangkan gagasan dan
sekaligus segi mekanik
kemudian merevisi dan
(ejaan, tanda baca, tata
menyunting draft ini
tulis)
sebelum membuat hasil
akhir
8
Kesalahan
Pembelajar dituntut untuk
Pembelajar mengoreksi
Mekanik
menghasilkan tulisan yang
kesalahan sebanyak151
No.
Komponen
Pendekatan Tradisional
bebas dari kesalahan
Pendekatan Proses
banyaknya selama
menyunting, tetapi
tekanannya lebih besar
pada isi daripada segi
mekanik
9
Peran Pengajar
Pengajar memberikan
Pengajar mengajarkan cara
tugas menulis dan
menulis dan memberikan
menilainya jika tulisan
balikan selama pembelajar
sudah jadi
merevisi dan
mengedit/menyunting
10
Waktu
Pembelajar menyelesaikan
Pembelajar mungkin
tulisan dalam satu jam
menghabiskan waktu tidak
pelajaran
hanya satu jam pelajaran
untuk mengerjakan setiap
tugas menulis
11
Evaluasi
Pengajar mengevaluasi
Pengajar memberikan
kualitas tulisan setelah
balikan selama pembelajar
tulisan selesai disusun
menulis, sehingga
pembelajar dapat
memanfaatkannya untuk
memperbaiki tulisannya.
Evaluasi berfokus pada
proses dan hasil.
Berdasarkan kedua pendekatan pengajaran menulis seperti tertera pada bagan di
atas dapat diketahui kelemahan dan keunggulannya.Pada pendekatan tradisional,
pengajar memberikan topik tulisan dan setelah pembelajar mengerjakan tugas tersebut
selama setengah atau tiga per empat jam (satu jam pelajaran), pengajar mengumpulkan
pekerjaan pembelajar untuk dievaluasi. Dengan model pembelajaran seperti ini biasanya
hanya sedikit saja pembelajar yang dapat menghasilkan tulisan yang baik.Sebagian besar
pembelajar biasanya hanya menghasilkan tulisan yang kurang baik. Pengalaman di
lapangan dalam memberikan proses pembelajaran terhadap penutur asing menunjukkan
bahwa kadang-kadang mereka hanya dapat menghasilkan beberapa kalimat saja. Dalam
kondisi semacam ini pembelajar tidak mempelajari bagaimana cara menulis. Mereka
152
dihadapkan pada tugas sulit yang harus mereka kerjakan tanpa memperoleh penjelasan
mengenai cara mengatasi kesulitan yang mereka hadapi.
Menyadari terhadap kenyataan yang tidak menguntungkan bagi upaya
pengembangan keterampilan menulis bahasa Indonesia bagi penutur asing tingkat lanjut
seperti digambarkan di atas, seyogianya dapat diterapkan model/pendekatan
keterampilan proses dalam pembelajaran menulis. Untuk itu, terlebih dahulu perlu
diketahui proses kreatif dalam menulis.
2. Proses Kreatif dalam Menulis
Menulis merupakan suatu proses kreatif yang banyak melibatkan cara berpikir
divergen (menyebar) daripada konvergen (memusat) (Supriadi, 1997). Menulis tidak
ubahnya dengan melukis. Penulis memiliki banyak gagasan dalam menuliskannya.
Kendatipun secara teknis ada kriteria-kriteria yang dapat diikutinya, tetapi wujud yang
akan dihasilkan itu sangat bergantung pada kepiawaian penulis dalam mengungkapkan
gagasan. Banyak orang mempunyai ide-ide bagus di benaknya sebagai hasil dari
pengamatan, penelitian, diskusi, atau membaca. Akan tetapi, begitu ide tersebut
dilaporkan secara tertulis, laporan itu terasa amat kering, kurang menggigit, dan
membosankan. Fokus tulisannya tidak jelas, gaya bahasa yang digunakan monoton,
pilihan katanya (diksi) kurang tepat dan tidak mengena sasaran, serta variasi kata dan
kalimatnya kering.
Sebagai proses kreatif yang berlangsung secara kognitif, penyusunan sebuah
tulisan memuat empat tahap, yaitu: (1) tahap persiapan (prapenulisan), (2) tahap
inkubasi, (3) tahap iluminasi, dan (4) tahap verifikasi/evaluasi. Keempat proses ini tidak
selalu disadari oleh para pembelajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing. Namun, jika
dilacak lebih jauh lagi, hampir semua proses menulis (esai, opini/artikel, karya ilmiah,
artistik, atau bahkan masalah politik sekali pun) melalui keempat tahap ini. Harap diingat,
bahwa proses kreatif tidak identik dengan proses atau langkah-langkah mengembangkan
laporan tetapi lebih banyak merupakan proses kognitif atau bernalar.
Pertama, tahap persiapan atau prapenulisan adalah ketika pembelajar
menyiapkan diri, mengumpulkan informasi, merumuskan masalah, menentukan fokus,
mengolah informasi, menarik tafsiran dan inferensi terhadap realitas yang dihadapinya,
berdiskusi, membaca, mengamati, dan lain-lain yang memperkaya masukan kognitifnya
yang akan diproses selanjutnya.
Kedua, tahap inkubasi adalah ketika pembelajar memproses informasi yang
dimilikinya sedemikian rupa, sehingga mengantarkannya pada ditemukannya pemecahan
masalah atau jalan keluar yang dicarinya. Proses inkubasi ini analog dengan ayam yang
153
mengerami telurnya sampai telur menetas menjadi anak ayam. Proses ini seringkali
terjadi secara tidak disadari, dan memang berlangsung dalam kawasan bawah sadar
(subconscious) yang pada dasarnya melibatkan proses perluasan pikiran (expanding of the
mind). Proses ini dapat berlangsung beberapa detik sampai bertahun-tahun. Biasanya,
ketika seorang penulis melalui proses ini seakan-akan ia mengalami kebingungan dan
tidak tahu apa yang harus dilakukan. Oleh karena itu, tidak jarang seorang penulis yang
tidak sabar mengalami frustrasi karena tidak menemukan pemecahan atas masalah yang
dipikirkannya. Seakan-akan kita melupakan apa yang ada dalam benak kita. Kita
berekreasi dengan anggota keluarga, melakukan pekerjaan lain, atau hanya duduk
termenung. Kendatipun demikian, sesungguhnya di bawah sadar kita sedang mengalami
proses pengeraman yang menanti saatnya untuk segera “menetas”.
Ketiga, tahap iluminasi adalah ketika datangnya inspirasi atau insight, yaitu
gagasan datang seakan-akan tiba-tiba dan berloncatan dari pikiran kita. Pada saat ini, apa
yang telah lama kita pikirkan menemukan pemecahan masalah atau jalan keluar.
Iluminasi tidak mengenal tempat atau waktu. Ia bisa datang ketika kita duduk di kursi,
sedang mengendarai mobil, sedang berbelanja di pasar atau di supermarket, sedang
makan, sedang mandi, dan lain-lain.
Jika hal-hal itu terjadi, sebaiknya gagasan yang muncul dan amat dinantikan itu
segera dicatat, jangan dibiarkan hilang kembali sebab momentum itu biasanya tidak
berlangsung lama. Tentu saja untuk peristiwa tertentu, kita menuliskannya setelah selesai
melakukan pekerjaan. Jangan sampai ketika kita sedang mandi, misalnya, kemudian
keluar hanya untuk menuliskan gagasan. Agar gagasan tidak menguap begitu saja,
seorang pembelajar menulis yang baik selalu menyediakan ballpoint atau pensil dan
kertas di dekatnya, bahkan dalam tasnya ke mana pun ia pergi.
Seringkali orang menganggap iluminasi ini sebagai ilham. Padahal, sesungguhnya
ia telah lama atau pernah memikirkannya. Secara kognitif, apa yang dikatakan ilham tidak
lebih dari proses berpikir kreatif. Ilham tidak datang dari kevakuman tetapi dari usaha dan
ada masukan sebelumnya terhadap referensi kognitif seseorang.
Keempat, tahap terakhir yaitu verifikasi, apa yang dituliskan sebagai hasil dari
tahap iluminasi itu diperiksa kembali, diseleksi, dan disusun sesuai dengan fokus tulisan.
Mungkin ada bagian yang tidak perlu dituliskan, atau ada hal-hal yang perlu ditambahkan,
dan lain-lain. Mungkin juga ada bagian yang mengandung hal-hal yang peka, sehingga
perlu dipilih kata-kata atau kalimat yang lebih sesuai, tanpa menghilangkan esensinya.
Jadi, pada tahap ini kita menguji dan menghadapkan apa yang kita tulis itu dengan
realitas sosial, budaya, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
154
3. Proses Pembelajaran Menulis
Berdasarkan hasil penelitian yang diadakan terhadap tulisan mahasiswa, Flower
dan Hayes (lewat Tompkins, 1990: 71) mengembangkan model proses dalam menulis.
Proses menulis dapat dideskripsikan sebagai proses pemecahan masalah yang kompleks,
yang mengandung tiga elemen, yaitu lingkungan tugas, memori jangka panjang penulis,
dan proses menulis. Pertama, lingkungan tugas adalah tugas yang penulis kerjakan dalam
menulis. Kedua, memori jangka panjang penulis adalah pengetahuan mengenai topik,
pembaca, dan cara menulis. Ketiga, proses menulis meliputi tiga kegiatan, yaitu: (1)
merencanakan (menentukan tujuan untuk mengarahkan tulisan), (2) mewujudkan
(menulis sesuai dengan rencana yang sudah dibuat), dan (3) merevisi (mengevaluasi dan
merevisi tulisan).
Ketiga kegiatan tersebut tidak merupakan tahap-tahap yang linear, karena penulis
terus-menerus memantau tulisannya dan bergerak maju mundur (Zuchdi, 1997: 6).
Peninjauan kembali tulisan yang telah dihasilkan ini dapat dianggap sebagai komponen
keempat dalam proses menulis. Hal inilah yang membantu penulis dapat mengungkapkan
gagasan secara logis dan sistematis, tidak mengandung bagian-bagian yang kontradiktif.
Dengan kata lain, konsistensi (keajegan) isi gagasan dapat terjaga.
Berkaitan dengan tahap-tahap proses menulis, Tompkins (1990: 73) menyajikan
lima tahap, yaitu: (1) pramenulis, (2) pembuatan draft, (3) merevisi, (4) menyunting, dan
(5) berbagi (sharing). Tompkins juga menekankan bahwa tahap-tahap menulis ini tidak
merupakan kegiatan yang linear. Proses menulis bersifat nonlinier, artinya merupakan
putaran berulang. Misalnya, setelah selesai menyunting tulisannya, penulis mungkin ingin
meninjau kembali kesesuaiannya dengan kerangka tulisan atau draft awalnya. Kegiatankegiatan yang dilakukan pada setiap tahap itu dapat dirinci lagi. Dengan demikian,
tergambar secara menyeluruh proses menulis, mulai awal sampai akhir menulis seperti
berikut.
1.Tahap Pramenulis
Pada tahap pramenulis, pembelajar melakukan kegiatan sebagai berikut:
a. Menulis topik berdasarkan pengalaman sendiri
b. Melakukan kegiatan-kegiatan latihan sebelum menulis
c. Mengidentifikasi pembaca tulisan yang akan mereka tulis
d. Mengidentifikasi tujuan kegiatan menulis
e. Memilih bentuk tulisan yang tepat berdasarkan pembaca dan tujuan yang telah
mereka tentukan
2. Tahap Membuat Draft
155
Kegiatan yang dilakukan oleh pembelajar pada tahap ini adalah sebagai berikut:
a. Membuat draft kasar
b. Lebih menekankan isi daripada tata tulis
3. Tahap Merevisi
Yang perlu dilakukan oleh pembelajar pada tahap merevisi tulisan ini adalah
sebagai berikut:
a. Berbagi tulisan dengan teman-teman (kelompok)
b. Berpartisipasi secara konstruktif dalam diskusi tentang tulisan teman-teman
sekelompok atau sekelas
c. Mengubah tulisan mereka dengan memperhatikan reaksi dan komentar baik dari
pengajar maupun teman
d. Membuat perubahan yang substantif pada draft pertama dan draft berikutnya,
sehingga menghasilkan draft akhir
4. Tahap Menyunting
Pada tahap menyunting, hal-hal yang perlu dilakukan oleh pembelajar adalah
sebagai berikut:
a. Membetulkan kesalahan bahasa tulisan mereka sendiri
b. Membantu membetulkan kesalahan bahasa dan tata tulis tulisan mereka
sekelas/sekelompok
c. Mengoreksi kembali kesalahan-kesalahan tata tulis tulisan mereka sendiri
Dalam kegiatan penyuntingan ini, sekurang-kurangnya ada dua tahap yang harus
dilakukan.
Pertama,
penyuntingan
tulisan
untuk
kejelasan
penyajian.
Kedua,
penyuntingan bahasa dalam tulisan agar sesuai dengan sasarannya (Rifai, 1997: 105—
106). Penyuntingan tahap pertama akan berkaitan dengan masalah komunikasi. Tulisan
diolah agar isinya dapat dengan jelas diterima oleh pembaca. Pada tahap ini, sering kali
penyunting harus mereorganisasi tulisan karena penyajiannya dianggap kurang efektif.
Ada kalanya, penyunting terpaksa membuang beberapa paragraf atau sebaliknya, harus
menambahkan beberapa kalimat, bahkan beberapa paragraf untuk memperlancar
hubungan gagasan. Dalam melakukan penyuntingan pada tahap ini, penyunting sebaiknya
berkonsultasi dan berkomunikasi dengan penulis. Pada tahap ini, penyunting harus luwes
dan pandai-pandai menjelaskan perubahan yang disarankannya kepada penulis karena
hal ini sangat peka. Hal-hal yang berkaitan dengan penyuntingan tahap ini adalah
kerangka tulisan, pengembangan tulisan, penyusunan paragraf, dan kalimat.
Kerangka tulisan merupakan ringkasan sebuah tulisan. Melalui kerangka tulisan,
penyunting dapat melihat gagasan, tujuan, wujud, dan sudut pandang penulis. Dalam
bentuknya yang ringkas itulah, tulisan dapat diteliti, dianalisis, dan dipertimbangkan
156
secara menyeluruh, dan tidak secara lepas-lepas (Keraf, 1989: 134). Penyunting dapat
memperoleh keutuhan sebuah tulisan dengan cara mengkaji daftar isi tulisan dan bagian
pendahuluan. Jika ada, misalnya, dalam tulisan ilmiah atau ilmiah populer, sebaiknya
bagian simpulan pun dibaca. Dengan demikian, penyunting akan memperoleh gambaran
awal mengenai sebuah tulisan dan tujuannya. Gambaran itu kemudian diperkuat dengan
membaca secara keseluruhan isi tulisan. Jika tulisan merupakan karya fiksi, misalnya,
penyunting langsung membaca keseluruhan karya tersebut. Pada saat itulah, biasanya
penyunting sudah dapat menandai bagian-bagian yang perlu disesuaikan.
Berdasarkan kerangka tulisan tersebut dapat diketahui tujuan penulis.
Selanjutnya, berdasarkan pengetahuan atas tujuan penulis, dapat diketahui bentuk
tulisan dari sebuah naskah (tulisan). Pada umumnya, tulisan dapat dikelompokkan atas
empat macam bentuk, yaitu narasi, deskripsi, eksposisi, dan argumentasi.
Bentuk tulisan narasi dipilih jika penulis ingin bercerita kepada pembaca. Narasi
biasanya ditulis berdasarkan rekaan atau imajinasi. Akan tetapi, narasi dapat juga ditulis
berdasarkan pengamatan atau wawancara. Narasi pada umumnya merupakan himpunan
peristiwa yang disusun berdasarkan urutan waktu atau urutan kejadian. Dalam tulisan
narasi, selalu ada tokoh-tokoh yang terlibat dalam suatu atau berbagai peristiwa.
Bentuk tulisan deskripsi dipilih jika penulis ingin menggambarkan bentuk, sifat,
rasa, corak dari hal yang diamatinya. Deskripsi juga dilakukan untuk melukiskan perasaan,
seperti bahagia, takut, sepi, sedih, dan sebagainya. Penggambaran itu mengandalkan
pancaindera dalam proses penguraiannya. Deskripsi yang baik harus didasarkan pada
pengamatan yang cermat dan penyusunan yang tepat. Tujuan deskripsi adalah
membentuk, melalui ungkapan bahasa, imajinasi pembaca agar dapat membayangkan
suasana, orang, peristiwa, dan agar mereka dapat memahami suatu sensasi atau emosi.
Pada umumnya, deskripsi jarang berdiri sendiri. Bentuk tulisan tersebut selalu menjadi
bagian dalam bentuk tulisan lainnya.
Bentuk tulisan eksposisi dipilih jika penulis ingin memberikan informasi,
penjelasan, keterangan atau pemahaman. Berita merupakan bentuk tulisan eksposisi
karena memberikan informasi. Tulisan dalam majalah juga merupakan eksposisi. Buku
teks merupakan bentuk eksposisi. Pada dasarnya, eksposisi berusaha menjelaskan suatu
prosedur atau proses, memberikan definisi, menerangkan, menjelaskan, menafsirkan
gagasan, menerangkan bagan atau tabel, mengulas sesuatu.Tulisan eksposisi sering
ditemukan bersama-sama dengan bentuk tulisan deskripsi. Laras yang termasuk dalam
bentuk tulisan eksposisi adalah buku resep, buku-buku pelajaran, buku teks, dan majalah.
Tulisan berbentuk argumentasi bertujuan meyakinkan orang, membuktikan
pendapat atau pendirian pribadi, atau membujuk pembaca agar pendapat pribadi penulis
157
dapat diterima. Bentuk tulisan tersebut erat kaitannya dengan eksposisi dan ditunjang
oleh deskripsi. Bentuk argumentasi dikembangkan untuk memberikan penjelasan dan
fakta-fakta yang tepat sebagai alasan untuk menunjang kalimat topik. Kalimat topik,
biasanya merupakan sebuah pernyataan untuk meyakinkan atau membujuk pembaca.
Dalam sebuah majalah atau surat kabar, misalnya, argumentasi ditemui dalam kolom
opini/wacana/gagasan/pendapat.
Kendatipun keempat bentuk tulisan tersebut memiliki ciri masing-masing, mereka
tidak secara ketat terpisah satu sama lain. Dalam sebuah kolom, misalnya, dapat
ditemukan berbagai bentuk tulisan tersebut tersebar di dalam paragraf yang membangun
kerangka tersebut. Oleh karena itu, penyunting berfungsi untuk mempertajam dan
memperkuat pembagian paragraf. Pembagian paragraf terdiri atas paragraf pembuka,
paragraf penghubung atau isi, dan paragraf penutup sering kali tidak diketahui oleh
penulis. Masih sering ditemukan tulisan yang sulit dipahami karena pemisahan bagianbagian atau pokok-pokoknya tidak jelas.
Pemeriksaan atas kalimat merupakan penyuntingan tahap pertama juga. Pada
tahap ini pun, sebaiknya penyunting berkonsultasi dengan penulis. Penyunting harus
memiliki pengetahuan bahasa yang memadai. Dengan demikian, penyunting dapat
menjelaskan dengan baik kesalahan kalimat yang dilakukan oleh penulis. Untuk itu,
penyunting harus menguasai persyaratan yang tercakup dalam kalimat yang efektif.
Kalimat yang efektif adalah kalimat yang secara jitu atau tepat mewakili gagasan atau
perasaan penulis. Untuk dapat membuat kalimat yang efektif, ada tujuh hal yang harus
diperhatikan, yaitu kesatuan gagasan, kepaduan, penalaran, kehematan atau ekonomisasi
bahasa, penekanan, kesejajaran, dan variasi.
Penyuntingan tahap kedua berkaitan dengan masalah yang lebih terperinci, lebih
khusus. Dalam hal ini, penyunting berhubungan dengan masalah kaidah bahasa, yang
mencakup perbaikan dalam kalimat, pilihan kata (diksi), tanda baca, dan ejaan. Pada saat
penyunting memperbaiki kalimat dan pilihan kata dalam tulisan, ia dapat berkonsultasi
dengan penulis atau langsung memperbaikinya. Hal ini bergantung pada keluasan
permasalahan yang harus diperbaiki. Sebaliknya, masalah perbaikan dalam tanda baca
dan ejaan dapat langsung dikerjakan oleh penyunting tanpa memberitahukan penulis.
Perbaikan dalam tahap ini bersifat kecil, namun sangat mendasar.
5. Tahap Berbagi
Tahap terakhir dalam proses menulis adalah berbagi (sharing) atau publikasi. Pada
tahap berbagi ini, pembelajar:
a. Mempublikasikan (memajang) tulisan mereka dalam suatu bentuk tulisan yang
sesuai, atau
158
b. Berbagi tulisan yang dihasilkan dengan pembaca yang telah mereka tentukan.
Dari tahap-tahap pembelajaran menulis dengan pendekatan/model proses
sebagaimana dijabarkan di atas dapat dipahami betapa banyak dan bervariasi kegiatan
pembelajar dalam proses menulis. Keterlibatannya dalam berbagai kegiatan tersebut
sudah barang tentu merupakan pelajaran yang sangat berharga guna mengembangkan
keterampilan menulis.Kesulitan-kesulitan yang dialami oleh pembelajar pada setiap
tahap, upaya-upaya mengatasi kesulitan tersebut, dan hasil terbaik yang dicapai oleh para
pembelajar membuat mereka lebih tekun dan tidak mudah menyerah dalam mencapai
hasil yang terbaik dalam mengembangkan keterampilan menulis.
Pembelajaran menulis bagi penutur asing dengan menggunakan pendekatan
keterampilan proses merupakan suatu alternatif untuk mencapai keterampilan menulis
pembelajar secara efektif. Hal ini dimungkinkan karena diterapkannya proses kreatif
dalam menulis yang diimplementasikan melalui tahap-tahap kegiatan yang dapat
dilakukan pembelajar (pramenulis, membuat draft, merevisi, menyunting, dan berbagi
(sharing). Proses menulis itu tidak selalu bersifat linear tetapi dapat bersifat nonlinier,
dan perlu disesuaikan dengan berbagai jenis tulisan yang mereka susun.
SIMPULAN
Berdasarkan pemaparan di atas bahwa proses menulis dapat dideskripsikan
sebagai proses pemecahan masalah yang kompleks, yang mengandung tiga elemen, yaitu
lingkungan tugas, memori jangka panjang penulis, dan proses menulis. Lingkungan tugas
adalah tugas yang penulis kerjakan dalam menulis. Memori jangka panjang penulis adalah
pengetahuan mengenai topik, pembaca, dan cara menulis. Proses menulis meliputi tiga
kegiatan, yaitu: (1) merencanakan (menentukan tujuan untuk mengarahkan tulisan), (2)
mewujudkan (menulis sesuai dengan rencana yang sudah dibuat), dan (3) merevisi
(mengevaluasi dan merevisi tulisan).
Berkaitan dengan tahap-tahap proses menulis, terdapat lima tahap yang harus
dilalui seorang penulis, yaitu: (1) pramenulis, (2) pembuatan draft, (3) merevisi, (4)
menyunting, dan (5) berbagi (sharing). Tompkins juga menekankan bahwa tahap-tahap
menulis ini tidak merupakan kegiatan yang linear. Proses menulis bersifat nonlinier,
artinya merupakan putaran berulang. Misalnya, setelah selesai menyunting tulisannya,
penulis mungkin ingin meninjau kembali kesesuaiannya dengan kerangka tulisan atau
draft awalnya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada setiap tahap itu dapat dirinci lagi.
DAFTRA PUSTAKA
Keraf, Gorys. (1989). Komposisi.Flores: Nusa Indah.
159
McCrimmon, James M. (1967). Writing With a Purpose. Boston: Houghton Mifflin
Company.
Nunan, David. (1991). Language Teaching Methodology. New York: Prentice Hall.
Rifai, Mien A. (1997). Pegangan Gaya Penulisan, Penyuntingan, dan Penerbitan.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Supriadi, Dedi. (1997). Isu dan Agenda Pendidikan Tinggi di Indonesia. Jakarta: PT Rosda
Jayaputra.
Tompkins, Gail E. (1990). Teaching Writing Balancing Process and Product. New York:
Macmillan Publishing Company.
160
TEKNIK MENYUNTING NASKAH
Abdul Rani
Universitas Islam Malang
[email protected]
ABSTRACT
On writing process, editing is a part of writing activity. The activity of editing is
to revise the writing. Proses perbaikan yang dilakukan penulis naskah sering
disebThe procut revisi. The revising process which done by someone else called
editing. The editing activity started with the evaluation to all aspect of article,
including content aspect, language, organization, and fraphics. The evaluation
of the article is good forto define parts of the article that should be
revised.Next, the revision is on going. The revision done in the following steps.
First, the revision done for omitting the useless parts of the article Perbaikan
itu dilakukan dengan tahap sebagai berikut. Second, the revision done by
adding the lacking parts of the article.Third, replacing the unsuitable parts of
the article. Fourth, rearranging parts of the article that should be rearranged.
On doing the activity, the editor should be discipline to the editing ethic code,
in order to have qualified article. The editor should increase the competency,
for the sake of require fulfillment as the editor.
Key words: editing technique, writing process
PENDAHULUAN
Penulis tentu pernah melakukan kegiatan penyuntingan (editing). Penulis yang
terkenal pun pernah melakukan penyuntingan pada naskahnya. Menyunting biasanya
dilakukan lebih dari sekali. Konon, Hemingway, penulis terkenal dari Amerika, pernah
melakukan penyuntingan pada naskahnya sebanyak 38 kali. Penyuntingan itu dilakukan
karena dirasakan bahwa naskah mempunyai kekurangan. Perbaikan kekurangan itu
merupakan kewajiban penulis itu sendiri. Perbaikan ini sering disebut dengan revisi.
Kegiatan perbaikan ini dilakukan setelah kegiatan penulisan selesai. Perabaikan itu
disarankan untuk dilakukan setelah penulis merasa dirinya sudah segar pikirannya
kembali, setelah menghabiskan waktunya untuk menyelesaikan naskahnya. Untuk ini
penulis diperkenankan untuk beristirahat agar mereka dapat bersikap lebih objektif
terhadap naskahnya sendiri
Penyuntingan pada dasarnya mirip dengan revisi. Bedanya, penyuntingan
merupakan perbaikan naskah yang dilakukan orang lain yang mempunyai keahlian agar
naskah yang disusun itu dapat menjadi lebih baik dan layak untuk terbit. Kegiatan
161
penyuntingan itu penting sekali dalam kegiatan penerbitan, khususnya dalam rangka
meningkatkan mutu naskah sehingga mempunyai kelayakan untuk dibaca. Kelayakan itu
dapat dilihat dari segi isi, bahasa, organisasi (sajian), dan grafika (BNSP, 2008).
Menyunting dilakukan setelah melakukan evaluasi terhadap naskah yang hendak
disunting. Bagian-bagian naskah yang dievaluasi mencakup aspek isi, bahasa, organisasi,
dan grafika naskah. Bagian-bagian itu merupakan bagian yang perlu dilihat ulang dan
diperbaiki. Oleh sebab itu, untuk memulai pembahasan tentang teknik menyunting
didahului dengan pembahasan evaluasi naskah.
EVALUASI NASKAH
Sebelum menyunting naskah, seorang yang melakukan penyuntingan harus
melakukan evaluasi terhadap naskah. Evaluasi dilakukan untuk menetapkan atau
memutuskan bagian naskah yang perlu (1) dihilangkan, (2) ditambah, (3) diganti, (4)
diubah, dan (5) diatur kembali (Martutik & Rani, 2013). Untuk menetapkan hal-hal yang
disebutkan di atas dilakukan pemeriksaan yang objektif terhadap naskah. Pemeriksaan itu
dilakukan dengan membaca naskah dengan kritis.
Penilaian atau evaluasi naskah itu sangat menentukan kegiatan penyuntingan. Hasil
evaluasi naskah digunakan sepenuhnya untuk menyunting. Secara umum, hasil
menyunting itu sangat ditentukan oleh ketajaman dalam mengadakan penilaian terhadap
naskah. Ketajaman penilaian itu banyak dikendalikan oleh intusisi. Oleh sebab itu,
penyunting perlu memiliki kemampuan untuk melakukan penilaian, baik pada naskahnya.
Dengan demikian, dapat dilakukan penyuntingan naskah dengan baik.
Ada beberapa aspek naskah yang perlu dievaluasi. Pertama, aspek bahasa yang
digunakan dalam naskah. Aspek bahasa yang perlu dinilai yaitu (1) diksi (pemilihan kata),
(2) tata bentukan kata, (3) tata istilah, (4) ejaan (penggunaan huruf, penulisan kata,
penggunaan tanda baca, penggunaan singkatan serta lambang, dan (5) kalimat yang
digunakan, dan paragraf. Kedua, aspek organisasi naskah yang meliputi (1) penataan ide,
(2) keutuhan, (3) kelengkapan ide, (4) koherensi dan kohesi, dan (5) gaya penulisan, (6)
sistematika penyajian. Ketiga, aspek isi yang dikemukakan dalam naskah. Aspek isi yang
perlu dievaluasi adalah (1) bobot ide, (2) kesesuaian ide dengan tujuan, pembaca sasaran,
dan media yang digunakan, (3) ketepatan atau kesahihan ide, (4) kesesuaian bentukbentuk visual (misalnya grafik, gambar, dan bagan) yang digunakan, (5) ketepatan,
kecukupan, ketelitian, kepentingan ide, dan (6) keluasan, kedalaman dan kebermanfaatan
ide yang dikemukakan. Keempat, aspek grafika yang antara lain meliputi tata letak isi,
pemilihan huruf (ukuran dan jenis huruf), heirarki bagian naskah (berkaitan dengan
keindahan teks).
162
Penilaian terhadap aspek-aspek tersebut tidaklah mudah, sebab tidak ada kriteria
yang mutlak atau pasti. Karena tidak ada kriteria yang mutlak itulah, penulis harus
berhati-hati melakukan penilaian naskah. Kegiatan menilai naskah itu diikuti dengan
kegiatan menetapkan atau menentukan bagian-bagian naskah yang perlu disunting.
Setelah ditetapkan aspek yang perlu disunting, langkah selanjutnya penulis segera
menyunting naskah.
MENYUNTING
Menyunting naskah dapat diartikan sebagai usaha untuk mengubah pikiran yang
telah tertuang dalam kertas (draf). Pengubahan
pikiran itu dilakukan berdasarkan
pertimbangan atau pandangan penyunting saat itu. Perubahan yang dilakukan dapat
bersifat
menyeluruh (global) dan dapat bersifat sebagian (parsial). Perubahan itu
dilakukan dengan memikirkan kembali dan menata kembali bagian-bagian naskah.
Biasanya kegiatan yang dilakukan adalah menambah, menghilangkan, menata kembali,
dan mengganti kata, frasa, klausa dan juga kalimat. Kegiatan penyunting itu pada
umumnya diawali dengan mengevaluasi naskah, kemudian diikuti dengan pengubahanpengubahan bagian naskah. Kegiatan evaluasi dan penyuntingan dapat dilakukan pada
saar yang sama.
Kegiatan menyunting itu sangat penting. Bagi penulis, naskah itu merupakan hasil
kreasinya dan juga sebagai cermin penulisnya. Orang yang mengetahui seluk-beluk
naskah itu adalah penulisnya sendiri. Oleh penyunting perlu mengetahui rambu-rambu
etika dalam menyunting. Menurut Eneste (2005), rambu-rambu etika itu sebagai berikut.
1. Editor wajib mencari informasi mengenai penulis naskah.
2. Editor bukanlah penulis naskah.
3. Wajib menghormati gaya penulis naskah.
4. Wajib merahasiakan informasi yang terdapat dalam naskah yang disuntingnya.
5. Wajib mengonsultasikan hal-hal yang mungkin akan diubahnya dalam naskah.
6. Tidak boleh menghilangkan naskah yang akan, sedang, atau telah ditulisnya.
Selanjutnya, Eneste (2005) menjelaskan bebarapa syarat untuk menjadi seorang
editor sebagai berikut.
1. Menguasai ejaan
Penyunting harus paham dan dapat menerapkan ejaan bahasa Indonesia yang berlaku
saat ini. Penggunaan huruf kecil dan huruf kapital, pemenggalan kata, penulisan kata,
penggunaan singkatan dan akronim, penyerapan unsur asing, dan penggunaan tandatanda baca harus dipahami dengan baik.
163
2. Menguasai tatabahasa
Seorang penyunting harus menguasai kaidah pembentukan kata, tata makna, kaidah
penyusunan kalimat bahasa Indonesia.
3. Bersahabat dengan kamus
Seseorang penyunting harus senang membuka kamus untuk mengecek makna kata
dan pemilihan kata yang tepat. Tidak ada orang yang menguasai semua kata yang ada
dalam satu bahasa tertentu, walaupun seorang ahli bahasa.
4. Memiliki kepekaan bahasa
Peyunting naskah harus mengetahui kalimat yang tepat sesuai dengan maksudnya.
Kalimat yang mempunyai makna implikasi yang tidak layak perlu dihindari, termasuk
kalimat yang mengandung makna yang kasar.
5. Memiliki pengetahuan luas
Penyunting perlu membaca banyak buku, majalah, koran, dan menyerap informasi
agar tidak ketinggalan informasi.
6. Memiliki ketelitian dan kesabaran
Dalam keadaan apapun, ketika menjalankan tugasnya seorang penyunting harus tetap
teliti menyunting setiap kalimat, setiap kata, dan setiap istilah yang digunakan penulis
naskah. Penyunting juga harus sabar dalam membuat keputusan tentang naskah.
Penyuntingan itu perlu dilakukan secara berulang-ulang.
7. Memiliki kepekaan terhadap SARA dan pornografi
Penyunting harus tahu kalimat yang layak cetak, kalimat yang perlu diubah
konstruksinya, dan kata yang perlu diganti dengan kata lain. Dalam hal ini seorang
penyunting harus peka terhadap hal-hal yang berbau suku, agama, ras, dan
antargolongan.
8. Memiliki keluwesan
Penyunting perlu memiliki sikap luwes dan pribadi yang baik karena akan sering
berhubungan dengan orang lain. Penyunting harus bersedia mendengarkan saran, dan
keluhan. Dengan kata lain, seorang yang temperamental dan mudah tersingung
tidaklah cocok menjadi penyunting naskah.
9. Memiliki kemampuan menulis
Penyunting yang baik didukung oleh kemampuannya dalam menulis. Kemampuan
menulis dapat menjadikan penyunting lebih peka terhadap naskah yang disuntingnya.
10. Menguasai bidang tertentu
Ada baiknya jika seorang penyunting naskah menguasai salah satu bidang keilmuan
tertentu karena akan sangat membantu dalam tugasnya sehari-hari.
11. Menguasai bahasa asing
164
Dalam tugasnya, seorang penyunting naskah akan berhadapan dengan istilah-istilah
yang berasal dari bahasa asing, terutama Inggris. Seorang penyunting perlu
menguasai bahasa Inggris secara pasif.
12. Memahami kode etik penyuntingan naskah
Seorang penyunting perlu memahami kode etik penyuntingan agar dapat
melaksanakan tugas dengna baik, tidak melebihi tugasnya.
Strategi Menyunting
Ada empat cara dalam menyunting naskah. Pertama, perbaikan yang dilakukan
dengan menghilangkan bagian-bagian naskah yang tidak penting atau perlu. Kedua,
perbaikan yang dilakukan dengan menambah bagian-bagian naskah yang dirasakan
kurang memadai. Ketiga, perbaikan dilakukan dengan mengganti bagian naskah yang
dinilai kurang baik. Keempat, perbaikan dilakukan dengan mengatur kembali bagianbagian naskah yang perlu diatur lagi. Empat cara itulah yang sering dilakukan oleh para
penulis dalam menyunting naskahnya. Cara-cara itu dapat menyempurnakan kekurangankekurangan yang terdapat pada naskah kasar.
Dalam kenyataannya, kegiatan menyunting dilakukan dengan teknik yang berbedabeda. Beberapa penulis pada waktu melakukan penyuntingan didahului dengan
membaca selintas naskahnya, kemudian memberi tanda-tanda pada bagian yang terasa
tidak memuaskan. Penulis lain melakukan kegiatan penyuntingan dengan mengganti
seluruh naskah dengan menulis ulang. Beberapa penulis yang lain melakukan
penyuntingan dengan sedikit mengubah dan mengabaikan struktur kalimat dsb. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa menyunting merupakan bagian dari kiat menulis dan
setiap penulis mempunyai kiat yang berbedabeda.
Para penyunting profesional biasanya melakukan penyuntingan dengan terencana.
Mereka menyunting dengan secara bertahap dan berulang-ulang. Biasanya, mereka
menyunting dengan menggunakan empat tahap. Tiap-tiap tahap itu dibicarakan di bagian
setelah pembahasan ini berakhir. Selanjutnya, banyaknya pengulangan tergantung pada
pertimbangan yang digunakan penulis.
Selanjutnya, cara yang digunakan dalam menyunting sangat bergantung pada
penilaian terhadap naskah. Seorang penulis hendaknya memilih strategi penyuntingan
sesuai dengan hasil penetapan dalam penilaian naskah. Penilaian itu menentukan strategi
yang dipilih untuk melakukan kegiatan penyuntingan. Namun, banyak sekali dijumpai
perbedaan cara dalam melakukan penyuntingan. Secara umum, penghilangan dilakukan
apabila dalam naskah ada bagian yang tidak penting dan tidak mempunyai manfaat dalam
membangun naskah. Ada atau tidak ada bagian itu tidak mempunyai pengaruh pada
keseluruhan naskah. Selanjutnya, penambahan dilakukan apabila paragraf tersebut masih
165
terasa kurang sempurna, sehingga perlu mendapat penambahan. Bila tidak diadakan
penambahan itu, naskah itu terasa kurang lengkap. Penambahan hendaknya tetap
berdasarkan ide yang telah dinyatakan. Sedangkan penggantian dilakukan apabila
paragraf yang disunting mengandung unsur-unsur yang kurang sesuai dengan yang
diharapkan dan ada pengganti yang lebih sesuai. Akhirnya, penataan kembali dilakukan
apabila ide-ide yang telah tertuang kurang tertata secara rapi.
Ada kegiatan penyuntingan yang dapat dilakukan dengan menggunakan aplikasi
pengolah kata dengan fasilitas find and replace pada soft file. Aspek yang bersifat mekanik
dapat dilakukan dengan dengan cara ini, seperti menghilangkan atau mengganti spasi,
paragraph mark, tab character, manual line break, manual page break dan sebaginya.
LANGKAH-LANGKAH MENYUNTING
Seorang penyunting memerlukan beberapa peralatan kerja seperti kamus, buku
ejaan, dan pena. Peralatan itu harus tetap di samping penyunting, sehingga sewaktuwaktu diperlukan dapat digunakan. Penyuntingan hendaknya dilakukan pada naskah yang
sudah dicetak. Penyuntingan pada soft copy henyanya untuk menyunting unsur mekanis.
Penyuntingan pada soft copy pada umumnya kurang teliti.
Penyunting hendaknya tidak mengerjakan penyuntingan semua aspek dalam waktu
yang bersamaan. Jika seorang penulis memperhatikan organisasi, isi, panjang kalimat,
tanda baca, pemilihan kata, dan lain-lain dalam waktu yang bersamaan, maka akan terjadi
kelebihan tugas (overload) yang dapat mengganggu kelancaran dan ketelitian dalam
menyunting. Hal ini disebabkan oleh adanya kemungkinan banyaknya masalah yang
terdapat dalam naskah yang hendak disunting. Hendaknya seorang penyunting dapat
menetapkan prioritas terhadap aspek yang disunting. Dengan kata lain, menyunting itu
hendaknya dilakukan secara bertahap.
Tahap-tahap dalam menyunting itu setidak-tidaknya ada empat langkah (Martutik &
Rani, 2013). Langkah-langkah ini diuraikan seperti berikut.
(1) Langkah I: Menyunting Isi (Subtantif)
Langkah pertama diarahkan pada penyuntingan isi naskah. Hal ini dilakukan karena
isi itu menentukan bahasa yang digunakan dalam naskah. Oleh karena itu, menyunting isi
dilakukan pada tahap pertama. Menyunting isi dilakukan sesuai dengan hasil penilaian
tehadap isi atau ide dalam naskah. Secara umum, menyunting isi ditujukan pada ide
pokok dan penjelas. Rambu-rambu menyunting seperti pada penilaian isi.
2) Langkah II: Menyunting Orgaisasi
Langkah kedua dalam kegiatan menyunting adalah menyunting organisasi paragraf.
Kegiatan penyuntingan ini betujuan untuk mengatur kembali ide agar dapat membentuk
166
paragraf yang baik. Kegiatan ini dilakukan bukan pada naskah asli, melainkan naskah yang
telah disunting isinya.
(3) Langkah III: Menyunting Unsur Bahasa
Langkah ketiga ini merupakan menyunting unsur kebahasaan. Rambu-rambu
menyunting kebahasaan itu telah dibicarakan pada bagian penilaian naskah. Kegiatan
penyuntingan ini dilakukan pada naskah yang telah disunting pada tahap pertama dan
kedua. Menyunting unsur bahasa dapat dilakukan dengan keempat cara menyunting yang
telah dibicarakan pada bagian strategi menyunting di atas. Selain itu, naskah juga perlu
disunting unsur kelengkapan naskah dan konvensi penulisan naskah.
(4) Menyunting Unsur Grafika
Unsur grafika pada umumnya dirancang oleh setter atau layouter. Unsur grafika itu
mencakup tata letak isi dan penggunaan huruf (jenis dan ukurannya), dan ruang kosong
dalam naskah. Menyunting aspek grafika dapat dilakukan dengan memberikan intruksi
pada setter tentang unsur-unsur grafika.
(5) Langkah IV: Pengecekan Akhir
Setelah aspek isi, organisasi, dan kebahasaan disunting, penyunting hendaknya
memeriksa kembali seluruh aspek itu untuk menemukan kemungkinan kekurangan atau
kesalahan. Langkah ini merupakan langkah prapenilaian ulang. Pemeriksaan dilakukan
dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang telah disunting sebelumnya.
Jika naskah yang telah disunting mendekati sempurna, pengecekan akhir ini
dilakukan dengan memberikan tanda-tanda tertentu dengan pensil atau alat yang lain
dalam rangka persiapan penulisan akhir. Jika dalam pengecekan akhir masih banyak
kekurangan dan kesalahan, maka penyunting perlu melakukan penilaian ulang agar
mendapatkan aspek-aspek naskah yang lebih rinci.
Penyuntingan akhir dilaksanakan setelah dilakukan penilaian ulang. Ada dua
kemungkinan hasil penilaian ulang. Pertama, naskah dinyatakan baik. Kedua, naskah
dinyatakan perlu disunting kembali. Bila naskah telah dinyatakan baik, selanjutan
dilakukan mempersiapkan cetak. Sebaliknya, apabila naskah tersebut dinyatakan masih
perlu disunting kembali, maka naskah tersebut harus disunting ulang.
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa menilai dan menyunting naskah
merupakan suatu kegiatan dalam tulis-menulis yang cukup penting. Meskipun evaluasi
dan menyunting naskah tidak dapat menjamin mutu naskah, dengan cara itu penulis
dapat meningkatkan mutu naskahnya. Evaluasi dan menyunting naskah mempunyai
beberapa tahapan yang perlu diperhatikan oleh seorang penyunting atau yang hendak
167
menyunting naskah. Tahapan-tahapan itu tidak bersifat linear, tetapi urutannya dapat
disesuaikan dengan kebutuhan.
Menyunting pada prinsipnya adalah proses memperbaiki naskah yang telah ditulis.
Proses ini didahului dengan kegiatan penilaian terhadap komponen naskah yang meliputi
isi, organisasi, dan bahasa. Dalam menyunting ada empat strategi yang dilakukan.
Pertama, revisi yamg dilakukan dengan menghilangkan bagian-bagian naskah yang tidak
penting atau perlu. Kedua, revisi yang dilakukan dengan menambah bagian-bagian naskah
yang dirasakan kurang memadai. Ketiga, mengganti bagian naskah yang dinilai kurang
baik. Keempat, mengatur kembali bagian-bagian naskah yang perlu diatur lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Eneste, Pamusuk. 2005. Buku Pintar Penyuntingan Naskah. Jakarta : Gramedia pustaka
utama
Martutik & Rani, Abdul. 2013. Menulis Berbasis Tugas. Malang: Surya Pena Gemilang.
BNSP. 2008. Instrumen Penilaian Buku Ajar. Jakarta: Depdiknas
168
PEMBELAJARAN PROSES MENULIS DI SD/MI
Moh. Ilyas
Universitas Mulawarman Samarinda
[email protected]
ABSTRACT
Tompkins states five steps in writing, (1) Prewriting, choosing the topic;
collecting and adjusting the ideas; identificating the reader; identificating
the goal of writing; choosing the form of writing based on the reader and
the goal of writing. (2). Drafting, writing the first draft; writing the main
ideas; focusing on content and not mechanic; (3) revising, dividing the
writing to the groups; discussing the writing with the group discussion;
revising the writing cased on the comment of group discussion and the
teacher; making substantive changing, (4) editing, rereading the helping to
reread the friend’s writing; identificating mechanic mistake and revise it.,
(5) publishing, publishing the writing in the appropriate form; delivering
the writing to the friend.
Key words : learning process, writing process
PENDAHULUAN
Pembelajaran menulis dalam kurikulum SD/MI secara garis besar dapat dibedakan
menjadi dua macam. Pertama, pembelajaranan menulis permulaan. Kedua, pembelajaran
menulis lanjut. Pembelajaranan menulis permulaan yang diberikan di kelas-kelas awal
(kelas I-III) bertujuan memberikan komptensi “melek huruf” kepada siswa dan
penekanannya pada masalah-masalah mekanik bahasa. Kedua, pembelajaran menulis
lanjut untuk kelas IV-VI yang bertujuan memberikan kompetensi menulis secara
komunikatif atau menulis ekspresif untuk mengungkapkan pikiran dan perasaanya
melalui tulisan. Pembelajaran menulis yang dibagi menjadi dua tahap tersebut
dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa untuk belajar menulis secara komunikatif, siswa
harus menguasai lambang-lambang bunyi bahasa yaitu ejaan, tanda baca, dan bilangan
terlebih dahulu.
Hal itu berbeda dengan pendapat Bissex, 1980; Chomsky, 1971; dan Graves, 1983
yang menyangkal dugaan para guru bahwa untuk belajar menulis pada tingkatan awal,
anak- anak belum memiliki kemampuan untuk menulis, mereka harus belajar membaca
sebelum belajar menulis, atau mereka harus belajar menulis huruf, kata dan kalimat
sebelum menulis kalimat lebih panjang. Hal itu dipandang oleh para pakar tersebut
169
sebagai sesuatu yang kuno. Lebih jauh para pakar itu berpendapat, para guru kelas
seperti peneliti telah menemukan bahwa anak- anak dapat berkomunikasi melalui tulisan,
dan mereka mulai menulis seperti mereka belajar membaca atau sebelum mereka
membaca. Mungkinkah anak yang belum tahu tentang huruf akan bisa menulis kata atau
kalimat? Pendapat itu mungkin bermula dari pemikiran yang berbeda. Namun yang
menjadi masalah di sini adalah “Bagaimana membelajarkan menulis ekspresif anak di
kalas-kelas tinggi SD/MI yang telah dianggap menguasai system tulisan sesuai dengan
tingkat perkembangannya?”
Para peneliti proses menulis membuat tahapan menulis disesuaikan dengan situasi
dan kondisi pembelajaran. Ellis dkk.(1989:144) mengemukakan proses menulis ada empat
tahap sebagai berikut. Pramenulis (Prewriting) 1. Menemukan pokok/topik (discovering a
subject) 2. menentukan pembaca (sensing an audience) 3. Membuat kerangka (creating
a design) 4. menemukan rincian (finding detail) Pengedrafan (Drafting) Penulisan
(writing), Mengamati ulang (reseeing), Menulis ulang (rewriting) Perbaikan(Revising)
Membuat
kerangka
/bagan
umum
(Public
draft)
Publikasi
(publication)
Membuat/kerangka bagan khusus (private draft) Penyuntingan(Editing)
Britton dan Tompkins (1994:8) membagi proses menulis menjadi tiga tahap kegiatan. Pertama,
tahap konsep, kegiatan yang dilakukan memilih dan menetukan topik. Kedua, tahap inkubasi kegiatan
yang dilakukan mengembangkan topik dan menggabungkan informasi yang tersedia. Ketiga, tahap hasil
kegiatan yang dilakukan mengembangkan tulisan/menulis kemudian memperbaiki tulisan, dan pada
akhir kegiatan menulis siswa memeriksa karangan/tulisan.
Burns, dkk. (1996:386) juga mengemukakan lima tahapan: pertama, pramenulis (prewriting)
dengan aktivitas pengarang persiapan menulis cerita, menggambar, membaca, memikirkan tulisan ,
menyusun gagasan, dan mengembangkan rencana; kedua, pembuatan draf (drafting), dengan aktivitas
pengarang merangkaikan gagasan dalam sebuah tulisan tanpa memperhatikan kerapian atau mekanik;
ketiga, perevisian (revising), pada tahap ini, setelah mendapat saran-saran dari orang lain, pengarang
dapat membuat beberapa perubahan, dan perubah0an itu dapat melibatkan orang lain; keempat,
pengeditan (editing), pada tahap ini, pengarang secara hati-hati mengoreksi dan membetulkan ejaan
dan mekanisme tulisan; kelima, sharing dan publikasi (sharing and publishing), pada tahap ini, hasil
tulisan bisa dipajangkan di kelas atau dijadikan bahan pustaka di sekolah.
Graves dan Cox (1999: 308) mengemukakan menulis sebagai suatu proses dengan
lima tahap, yaitu: pramenulis (prewrite), pengedrafan (draft), revisi/ perbaikan (revise),
pengeditan (edit), publikasi (publish). Aktivitas pramenulis adalah membangkitkan ide-ide;
mengatur pemikiran; mendiskusikan ide-ide dengan orang lain; memilih jenis/bentuk
tulisan;
memikirkan
pembacanya;
memetakan,
mengalurkan,
membentuk.
Pengedrafan,dengan aktivitas menuliskan ide-ide dengan memfokuskan isi daripada
bentuk. Perevisian dengan aktivitasnya menemukan kekurangan atau kekeliruan
gagasannya; mengubah, menambah, menghilangkan atau memodifikasi draf mereka,
170
memperluas
ide-idenya.
Pengeditan
dengan
aktivitasnya
menemukan
kekeliruan/kesalahan penggunaan ejaannya, memperbaiki ejaan, tanda baca, penulisan
huruf kapital, dan bentuk agar mudah dibaca. Pempublikasian dapat dilakukan dengan
penempelan karya tulis di dalam kelas, media elektronik, surat, majalah, poster, iklan, dan
berbagai publikasi karya mereka dengan cara yang lain.
PROSES MENULIS
Secara umum proses menulis dibagi menjadi tiga kegiatan/proses/tahapan. Britton
(1970) membagi menjadi tahap konsep, inkubasi, dan hasil. Pada tahapan konsep, penulis
memilih dan menentukan topik; pada tahap inkubasi, penulis mengembangkan topik
dengan mengabungkan informasi yang tersedia; dan pada tahap hasil, penulis menulis,
memperbaiki, dan memeriksa karangan. Donald Graves (1975) mengemukakan proses
yang sama pada saat sebelum menulis, menulis, dan setelah menulis. Pada saat sebelum
menulsi, penulis memilih topik dan mengabungkannya dengan ide untuk ditulis; pada
tahapan menulis, penulis menulis atau menuangkan gagasan-gagasannya dalam tulisan;
dan pada tahapan setelah menulis penulis memberikan karanganya untuk dibaca orang
lain dan diberi masukan.
Model tulisan, proses menulis terdiri dari tiga kegiatan: perencanaan, penulis
menyusun tujuan untuk memendu tulisannya; penerjemahan, penulis menuangkan
gagasannya ke dalam tulisan; dan peninjauan kembali, penulis menilai dan memprbaiki
tulisannya. Tiga kegiatan ini tidak berjalan secara bersamaan. Hal ini disebabkan para
penulis secara beruntun dan berkelanjutan memonitor tulisan mereka dan kembali di
antara kegiatan keempat. Pengunaan mekanisme monitoring ini, penulis kembali dari
proses satu ke keempat yang lain pada saat mereka menulis (Frank Smith,1988).
Menulis sebagai proses perbaikan pada pengembangan ide penulis. Proses yang
penting dalam pembelajaran menulis adalah mencari pengalaman untuk menemukan
kesalahan. Aktivitas ini ditekankan pada mekanisme daripada isi (Nancy Sommers (1980,
1982). Setelah penulis mampu menemukan kesalahan-kesalahan dalam tulisannya,
mereka harus tahu cara memperbaikinya.
Berikut ini ada empat aturan panduan pembelajaran proses menulis. (1) Siswa SD
dapat
menulis.
dengan
menggunkan
proses
menulis.
(2)
Siswa
SD
dapat
mengemengembangkan strategi proses menulis. Di antaranya adalah mengabungkan
dan menyatukan idea dengan topik, mengembangkan pengantar yang dapat diambil dari
perhatian pembaca, membaca kerangka kasar secara kritis, membuat perbaikan, dan
mengoreksi untuk menuemukan kesalahan mekanisme. (3) Siswa SD dapat memilah
perbaikan dan pengeditan. Siswa SD dapat mengabungkan antara perbaikan dan kegiatan
171
pengeditan. (4) Siswa SD dapat menggunakan pendekatan pemecahan masalah dalam
menulis.
Tahap 1. Sebelum Menulis
Sebelum menulis merupakan tahapan persiapan menulis. Sebelum menulis
dimungkinkan tahapan yang lebih banyak diabaikan dalam proses menulis; meskipun
demikian, hal ini sebagai hal yang sangat penting bagi menulis. Donald Murray
mengemukakan bahawa 70% atau lebih wakatu untuk menulis dapat dihabiskan untuk
kegiatan sebelum menulis. Dalam tahap sebelum menulis, kegaiatn- kegiatannya adalah
pemilihan topik, menentukan tujuan, bentuk dan pembaca, memnunculkan dan
mengatur ide tulisan. Sub-sub keterampilan yang harus dilatihkan pada siswa adalah (1)
memilihan topik, menentukan tujuan, menentukan pembaca, menentukan bentuk
tulisan. pengumpulan dan pengaturan ide- ide,
Pemilihan topik untuk tulisan merupakan suatu subketerampilan menulis yang
harus dilatihkan pada siswa. Meraka harus dibiasakan memilih dan menentukan topicnya
sendiri. Dengan topic pilihannya sendiri, siswa akan menjadi kreatif menuangkan
pengalaman-pengalamannya sendiri. Jika mereka terbiasan mengembangkan topic pilihan
guru, maka toipk itu hanya sedikit yang diketahuinya sehingga kreatifitas mereka tidaj
berkembang.
Menentukan tujuan merupakan subketerampilan menulis yang penting dalam
pembelajaran. Dengan menentukan tujuan menulisnya para siswa dapat mengarahkan
gagasan-gagasan tulisannya untuk member informasi, untuk menghibur, atau untuk
menyanggah pendapat, atau mempengaruhi pembaca.
Menentukan pembaca merupakan strategi penulis untuk menentukan posisinya
dihadapan pembaca agar memperoleh respon yang positif. Siswa dapar menulis untuk
dirinya sediri atau untuk orang lain. teman sekelas, anak yang lebih kecil, orang tua,
sahabat pena, orang laian yang tidak menganalnya sebab penulis yang tidak
memperhatikan pembaca karyanya, tulisannya akan terasa kurang memperhatikan
perasaan pembacanya. Saat siswa menulis untuk orang lain, para guru merupakan
pembaca yang paling umum. Para guru dapat mengingkatkan siswanya agar penbacanya
dapat memberikan respon yang simpatik melalui tulisan/karyanya.
Menentukan bentuk tulisan merupakan hal yang penting dalam menulis. Bentuk
tulisan dapat berupa cerita, surat, puisi, pengumuman, dialog dan lain-lain. Siswa perlu
berlatih menulis dengan bentuk yang beragam. Melalui membaca dan menulis siswa
mengembangkan sebuah perasaan yang kuat pada bentuk- bentuk tulisan dan bagaimana
menyusunnya.
172
Pengumpulan dan pengaturan ide- ide merupakan kegiatan yang sangat penting
dalam menulis. Dalam pembelajaran menulis deskripsi, hal ini sangat penting sebab
dengan kegiatan ini, siswa dilatih membat/menyusun perencanaan untuk memperoleh
fakta melalui kalimat-kalimat pertanyaan yang disusunnya. Dengan panduan pertanyaanpertanyaan itu, siswa melakukan pengamatan objek yang akan dideskripsikan. Melalui
kegiatan pengamatan, siswa memperoleh fakta sebagai bahan yang akan dideskripsikan.
Fakta atau kalimat-kalimat jawaban hasil pengamatan ini merupakan ide-ide yang
selajutnya diatur/disusun menurut cara-cara yang logis sesuai dengan kondisi di lapangan.
Tahap 2- Pengosepan/ pembuatan kerangka karangan
Tahapan pengosepan merupakan saat untuk menuangkan ide- ide. Kegiatan dalam
tahap ini meliputi (1) menulis kerangka kasar, (2) menuliskan point- point penting dengan
menekankan pada isi bukan mekanismenya.
Menuliskan kerangka kasar merupakan melibatkan pemikiran logis, kronologis,
urutan dari arah atas ke bawah, dari arah kiri ke kanan, dari arah depan ke belakang, dari
bagian yang paling penting ke bagian yang kurang penting atau sebaliknya. Dalam proses
penyusunan kerangkan piker ini siswa banyak melakukan perbaikan dengan mengganti,
membuang, menghilangkan, memotong, menyusun kembali kata/kalimat tertentu. Pada
tahap ini, siswa selain menyusun kerangka tulisannya juga melakukan kegiatan
merevisi/perbaikan yqng penekanannya pada isi bukan mekanismenya. Tahap
pengonsepan tidak ditekankan pada perbaikan ejaan dan kerapian. Pada tahap
pengeditan nanti, siswa dapat memperbaiki kesalahan mekanisme karangannya lebih
rapi.
Menuliskan poin- poin penting sebagai pembuka kalimat dalam menulis. paragrap
pertama atau kedua yang menarik perhatian. Siswa menetapkan pembacanya untuk
menarik perhatian pembacanya. Siswa dapat mengunakan beragam teknik untuk
memikat pembacanya, seperti pertanyaan- pertanyaan, kenyataan- kenyataan, dialog,
cerita singkat, atau permasalahan untuk membuat rutan tulisan mereka.
Tahap 3. Perbaikan
Selama tahap perbaikan, penulis memperbaiki isi/ide-idenya dalam tulisannya..
Perbaikan merupakan kegiatan menambah, mengubah, menghapus, dan meyusun
kembali bagian-bagian kata atau kalimat yang kurang tepat. Memperbaiki tulisan berarti
melihat kembali tulisan mereka untuk. Kegiatan-kegitan pada tahap perbaikan antara lain
(1) membaca ulang sebuah kerangka kasar, (2) menemukan kekurangtepatan susunan
dan kelengkapan ide/gagasan-gagasannya yang telah ditulis, dan
memperbaiki
173
kekurangtepatan susunan dan kelengkapan ide/gagasan-gagasannya yang telah ditulis
tersebut.
Membaca ulang sebuah kerangka kasar merupakan kegiatan permulaan untuk
mmperbaiki karanganya. Perbaikan terjadi ketika tahap pengonsepan dengan memilih
dan memutuskan topic yang akan ditulis. Setelah membuat kerangka kasar, penulis perlu
jarak waktu dari menyusun kerangka atau konsep sehari atau dua hari kemudian
membacanya kembali dari prespektif yang baru, seprti yang diinginkan pembaca. Siswa
mebuat perubahan menambahkan, menghapus, mengubah,
memindahkan, dan
meletakan tanda baca pada bagian yang perlu untuk dikerjakan.
Dalam memperbaiki tulisan dapat dilakukan dengan kegiatan-kegiatan berikut: (1)
Penulis membaca. Siswa secara bergantian membaca tulisannya dengan keras yang
lainnya mendengarkan dengan cermat, berpikir tentang saran untuk perbaikan yang akan
mereka ambil setelah penulis selesai mebacakan karangnya. (2) Pendengar mengajukan
pujian terhadap yang mereka sukai tentang tulisan. Kemudian megomentari pengaturan,
pentunjuk, pemilihan kata, urutan waktu, dialog, tema, atau elemant tulisan yang lain. (3)
Penulis menanyakan pertanyaan- pertanyaan setelah pemberian pujian. Penulis bertanya
kepeda temanya untk membantu pada titik- titik permasalahan yang mereka temukan. (4)
Pendengar mengajukan saran tentang hal- hal yang tidak jelas bagi mereka dan membuat
saran tentang cara memperbaiki tulisannya. (5) Setelah setiap orang memberikan umpan
balik yang dapat diterima, peulis melakukan perbaikan tulisannya berdasarkan komentar
dan saran dari teman/gurunya.
Siswa melakukan perbaikan-perbaikan dengan menambahkan kata- kata, menganti
kalimat-
kalimat,
menghilangkan
paragarf,
dan
memindahkan
frase.
Mereka
menyilangkan, mengambar anak panah, dan menuliskan jarak antara baris pada tulisanya
ketika mereka membatasi spasi ganda pada kerangka karangannya. Siswa berpindah
kembali dan melanjutkan pada kegiatan sebelum menulis untuk mengabungkan
tambahan informasi, didalam kerangka atau konsep untuk menuliskan sebauh paragrap
baru, dan didalam memperbaiki untuk menganti sebuah penggulangan kata.
Perubahan tulisan dari aktivitas perbaikan ini dapat diklasifikasikan sebagai jenis
perubahan ( penambahan, pengantian, penghapusan dan perubahan dan tingkatan
perubahan ( kata, frase atau klausa, kalimat, paragrap, atau keseluruhan teks) ( Faigley &
Witte, 1981). Sekurang- kurangnya perubahan ini terjadi pada sebauh tingkatan menulis.
Siswa SD melakukan perubahan
pada kata, frase atau klausa dan membuat
penambahan, pengantian daripada penghapusan dan perubahan.
174
Tahap 4: Pemeriksaan ( editing)
Pemeriksaan merupakan peletakan bagian teretntu dari tulisan kedalam bentuk akhirnya. Tahap ini,
difokuskan pada memperbaiki ejaan dan kesalahan mekanisme yang lain. Tujuannya disini adalah
membuat tulisan mereka dapat dibaca secara optimal ( Smith, 1982).
Cara yang efektif untuk mengajarkan kemampuan memperbaiki mekanisme adalah
pada tahapan editing. Kegitan pemeriksaan atau editing dapat menemukan dan
memperbaiki tanda- tanda baca. Siswa melakukan pemeriksaan melalui tiga kegiatan (1)
Pemberian jarak kegiatan pada tahap sebelumnya, (2) memeriksa letak kesalahan ejaan,
(3) meperbaiki kesalahan. Proses pemeriksaan atau editing dapat diakhiri setelah siswa
dan editornya membetulkan kesalahan mekanisme yang mungkin ada, atau siswa dapat
bertemu dengan gurunya dalam sebuah diskusi pada akhir kegiatan editing.
Tahap 5: Penerbitan/ Publishing
Pada tahap akhir dari prose menulis, adalah siswa menerbitkan tulisannya dengan menempelkannya di
majalah dinding atau membagikannya kepada pembaca yang sesuai (teman sekelas, siswa lain, orang
tua, atau orang di lingkunganya. Hal itu dimaksudkan agar siswa berpikir bahwa mereka seperti
pengarang.
Keenam pentahapan proses pembelajaran menulis yang dikemukakan oleh Ellis,
dkk.(1989), Britton, Graves, dan Tompkins (1994), Burns, dkk. (1996), Graves dan Cox
(1999), di atas, secara umum sama. Pertama, tahap persiapan, kedua, tahap
pengembangan tulisan, dan ketiga, perbaikan. Pada tahap persiapan, Britton
menyebutkan dengan tahap konsep, sedangkan Burn, dkk. dan Graves menyebut dengan
pramenulis. Pada tahap pengembangan tulisan, Britton, menggunakan istilah tahap
inkubasi, sedangkan Burn, dkk. dan Grave dengan istilah tahap menulis. Pada tahap
perbaikan, mereka agak berbeda-beda. Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa untuk
membuat karangan dengan baik, banyak cara dan langklah yang dapat digunakan oleh
penulis. Selain itu, pentahapan dengan berbagai kegiatan tersebut juga tidak bersifat kaku
atau dapat dilakukan berbagai penyesuaian dengan situasi dan kondisi pembelajaran yang
dilakukan.
Perbedaan pentahapan dan kegiatan dalam pembelajaran menulis tersebut
disebabkan oleh pertimbangan perlu atau tidaknya suatu kegiatan pembelajaran menulis
itu dilakukan pada tahap tersendiri atau dapat digabungkan dengan kegiatan menulis
lainnya pada tahap yang sama. Hal itu terkait banyak faktor. Misalnya, luas atau tidaknya
topik yang ditulis; situasi kelas saat pembelajaran menulis berlangsung pada panas, dingin
atau sejuk suhu udara dalam kelas siang hari; dan jumlah siswa dalam kelas yang penuh,
sedang, atau kurang; kondisi mental (fisik/psikhis) siswa dalam menulis, seberapa banyak
masalah yang sedang dihadapi siswa dalam menulis, seberapa lama siswa dapat
175
melakukan kegiatan menulis; di kelas mana pembelajaran menulis tersebut dilakukan,
dengan tujuan apa kegiatan menulis tersebut dilakukan, dan sebagainya.
SIMPULAN
Dari berbagai model proses menulis tersebut dapat disimpulkan bahwa
keterampilan menulis terdiri dari berbagai subketerampilan dan sub-subketerampilan.
Sub-subketerampilan tersebut terdapat pada tiap-tiap tahapan dalam proses menulis.
Oleh karena itu, jika seorang guru akan membelajarkan keterampilan menulis kepada
siswanya maka para guru SD/MI harus merumuskannya ke dalam indikator-indikator hasil
belajar keterampilan menulis yang berupa sub-subketerampilan menulis tersebut.
DAFTAR RUJUKAN
Cox, C. 1999. Teaching Language Arts: A Student and Response-Centered Classroom.
Boston: Allyn and Bacon.
Ellis, A., Panunu, J., Standal, T., & Rummel, M.K. 1989.Elementariy Language Arts
Instruction. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.
Farris, P.J. 1993. Language Arts: A Process Approach. Madison: Brown & Benchmark.
Keene, H. 1990. Helping Clildren Who Find Writing Difficult. Dalam Pinsent. P. (Ed.).
Children with Literacy Difficulties. London. David Fulton. Hal. 66-72.
Temple, C., Nathan, R., Burris, N., & Temple, F. 1988. The Beginning of Writing.
Boston, Massachusetts: Allyn and Bacon.
Tompkins, G. E. 1994. Teaching Writing: Balancing Process and Product. New York:
Macmillan.
Tompkins, G.E., & Hoskisson, K. 1991. Language Arts: Content and Teaching
Strategies. New York: Macmillan.
176
KONTROVERSI TRANSAKSIONAL DAN INTERAKSIONAL SERTA ANALISIS PENERAPANNYA
DALAM KOMUNIKASI BISNIS PEMASARAN JARINGAN
Thontjie Makmara
Universitas Nusa Cendana Kupang-NTT
[email protected]
ABASTRACT
Discourse analysis deals with the analysis of language use focusing on
linguistic features while, critical discourse analysis on interdisciplinary
perspective. The social inequality in the world of one-nation life, onecountry life and one-society life is one out of a number of objects of critical
discourse analysis (CDA). Such social inequality is a power representation of
high-power people, institution, or certain groups that results in social
inequality. In such a case, the critical discourse analysis contributes much
for the emancipation movement on the side of wedged in people in the
society. Here, the critical realization is very much needed to defend from or
free from the social inequality behave; however not all people
automatically obtain critical realization. The critical realization can grow by
such kind of role play activity in language learning by the use of topics
about social inequality. The first stage in critical language realization covers
the so called”member resources” (MR) in producing and interpreting
speech, while the second stage is the determinant realization of social MR.
Kata Kunci: Kontroversi, transaksional, interaksional, komunikasi bisnis.
Sejak tahun 1970-an, para ahli bahasa menaruh perhatian pada fungsi bahasa
sebagai alat komunikasi. Komunikasi yang dimaksud di sini adalah komunikasi verbal
(komunikasi dengan menggunakan kata-kata) yang mengandung pesan. Dengan kata lain,
komunikasi itu terdiri dari bentuk dan makna. Perihal bentuk dan makna itu lebih rinci
dijelaskan oleh Ferdinan de Saussure dalam salah satu dikotominya yaitu signifie dan
signifiant.
Khusus tentang komunikasi dalam ekspansi bisnis pemasaran jaringan, aktivitas
tindak tutur merupakan media utama guna penyampaian pesan dalam bentuk one on one
presentation maupun home meeting presentation.
Apa pesan itu dan bagaimana pesan itu disampaikan serta siapa penerima pesan
itu, semuanya bersinerji dalam menentukan berhasil-tidaknya ekspansi bisnis pemasaran
jaringan. Pesan yang tidak tepat atau pesan yang tepat tetapi cara penyampainnya tidak
tepat atau bahkan membingungkan penerima pesan dalam ekspansi bisnispemasaran
jaringan, sangat merugikan karena terkait langsung dengan mata pencaharian. Oleh
177
sebab itu, pesan yang disampaikan hendaknya memenuhi fungsi-fungsi utama bahasa
sebagai alat komunikasi. Fungsi-fungsi itu ialah transaksional dan interaksional.
Dengan demikian, hal-hal yang dikaji dalam tulisan ini mencakup (1) Kontroversi
transaksional dan interaksional, (2) pencerminan komunikasi yang bersifat transaksional
dan interaksional dalam bisnis pemasaran jaringan yang meliputi (a) tindak tutur ilokusi
sebagai manivestasi komunikasi yang bersifat transaksional dan interaksional dalam bisnis
pemasaran jaringan dan (b) analisis kesantunan tindak tutur pelaku bisnis pemasaran
jaringan.
KONTROVERSI TRANSAKSIONAL DAN INTERAKSIONAL
Kontroversi dalam bidang linguistik yang sekarang ini sedang kita amati di
Indonesia ialah kontroversi antara kelompok yang percaya bahwa bahasa mempunyai
fungsi transaksional dengan kelompok yang percaya bahwa bahasa mempunyai fungsi
interaksional (Wahab. 1998). Selanjutnya disebutkan bahwa penganut transaksional
menekankan
pada
formulasi
pesan
yang
terkandung
dalam
kalimat
tanpa
memperhitungkan siapa penerima pesan. Hal itu berarti kalimat dimaksud dapat berupa
lisan maupun tulisan tetapi dengan tidak memperhitungkan siapa penerima pesan,
merupakan hal yang perlu dikaji lebih dalam oleh kelompok ini. Singkatnya, kelompok ini
mengabaikan aspek kesantunan (Wibowo. 2001). Sebaliknya, penganut interaksional
memandang bahasa hanya sebagai alat komunikasi antar anggota sosial sehingga mereka
menekankan pada terpeliharanya hubungan sosial antar individu yang terlibat dalam
interaksi. Memelihara hubungan sosial sebagai manifestasi kesantunan berbahasa
merupakan salah satu pemarkah keberhasilan dalam berkomunikasi tetapi formulasi
pesan dalam kalimat tak dapat diabaikan juga. Pandangan kedua kelompok tersebut
mengarah pada aktivitas berpragmatik.
Secara eksplisit, para analis bahasa percaya bahwa penganut transaksional lebih
tertarik pada bahasa tulis sedangkan para penganut interaksional lebih tertarik pada
bahasa lisan (Wahab. 1998). Akan tetapi kedua fungsi tersebut tidak dapat dipisahkan
secara tegas dalam aktivitas berbahasa baik secara lisan maupun tulisan. Artinya, dapat
dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan Kedua fungsi tersebut saling melengkapi untuk
mencapai tujuan berkomunikasi. Fungsi-fungsi tersebut tercermin dalam fungsi ilokusi
yang dikemukakan oleh Leech (1983). Oleh sebab itu penulis sependapat dengan Wahab
(2005) yang mengatakan bahwa sifat utama bahasa yang dibedakan menjadi
transaksional dan interaksional itu hanyalah untuk kemudahan analisis yaitu fungsi
bahassa yang bersifat menyatakan isi kalimat disebut transaksional dan fungsi bahasa
yang melibatkan hubungan sosial dan sikap individu disebut interaksional.
Sejalan
178
dengan itu, prinsip kerja sama (Grice. 1975) dalam berkomunikassi, ternyata bahwa
prinsip pertama sampai dengan prinsip ketiga (maksim kuantitatif, maksim kualitatif,
maksim relevansi) berkaitan dengan apa yang disampaikan dan prinsip keempat (maksim
pelaksanaan) berkaitan dengan bagaimana menyampaikan pesan.
Dikaitkan dengan
ekspansi bisnis pemasaran jaringan, aktivitas berbahasa
didomonasi oleh tindak tutur. Manifestasi fungsi bahasa secara transaksional maupun
interaksional akan tercermin di dalam aktivitas tindak tutur antara pelaku bisnis
pemasaran jaringan dengan mitra usaha atau calon mitra usaha.
Dari kaca mata pragmatik, tindak tutur dalam komunikasi bisnis pemasaran
jaringan tidaklah mudah. Robert T. Kiyosaki, penulis buku best seller dunia Rich Dad Poor
Dad dalam bukunya The Casflow Quadrant (2004) mengakui bahwa kata-kata adalah alat
yang ampuh. Selanjutnya dikatakan bahwa keterampilan yang diperlukan untuk menjadi
pengusaha hebat ialah penguasaan kata dan mengetahui kata-kata mana yang efektif
untuk jenis orang yang mana. Suatu kata dapat membangkitkan semangat kerja satu jenis
orang, sementara kata yang sama bisa sepenuhnya mematikan semangat kerja jenis
orang yang lain. Sebagai contoh, kata resiko dapat membangkitkan semangat kerja
seseorang yang bermental investor tetapi kata tersebut dapat mematikan semangat kerja
orang yang bermental pegawai (employee). Dalam hal ini bahasa tidak hanya
dipergunakan untuk mengungkapkan informasi faktual semata. Tindak tutur dalam
komunikasi bisnis, khususnya antara pebisnis pemasaran jaringan dengan calon mitra
usaha hendaknya menunjukkan pemakaian bahasa yang membentuk dan memelihara
hubungan sosial.
Kendatipun bisnis pemasaran jaringan dengan dukungan marketing plan yang
telah teruji serta kekuatan perusahaan dengan legalitas terdaftar sebagai anggota
Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia
bahkan terdaftar sebagai anggota Wold
Federation of Direct selling associoation tetapi terkesan adanya sikap pro dan kontra di
kalangan masyarakat tentang jenis bisnis yang satu ini. Hal itu bukan tidak beralasan.
Secara obyektif terlihat bahwa ada pebisnis pemasaran jaringan yang berhasil dan ada
yang gagal. Di kala perekonomian Indonesia mengalami krisis multidimensional misalnya,
hasil penelitian Warta Bisnis edisi 18/I/15 Oktober 2003 menunjukkan bahwa pemasar
yang berpenghasilan tertinggi di Indonesia dengan kualifikasi penghasilan (1) di atas Rp 5
milyar per tahun berasal dari Tianshi Indonesia; (2) Rp 3 milyar – Rp 5 milyar berasal dari
Tianshi Indonesia, CNI, Amway Indonesia, Asuransi Prudential; (3) Rp 1,5 milyar – Rp 2,5
milyar berasal dari Amway Indonesia, Tuperware Indonesia, CNI, Broker Ray White; (4)
Rp 1 milyar – Rp 1,5 milyar berasal dari Tianshi Indonesia, CNI, Asuransi AJB Bumi Putra;
(5) Rp 500 juta – Rp 1 milyar berasal dari
CNI, AIG, Allianz dan Asuransi Prudential.
179
Sebaliknya, mereka yang gagal dapat kita temukan di mana-mana. Kendati demikian,
perihal berhasil atau gagal, sesungguhnya relatif karena ukuran yang digunakan adalah
tujuan setiap pebisnis itu sendiri. Oleh sebab itu yang dijadikan ukuran dalam tulisan ini
adalah luas tidaknya jaringan pemasaran. Dalam konteks yang demikian, pebisnis
merupakan pemegang kendali aktivitas tindak tutur ketika mengadakan one on one
presentation maupun home meeting presentation guna ekspansi pemasaran jaringan
menuju pembentukan aset.
Membangun aset dalam bisnis pemasaran jaringan merupakan hal yang
mendasar. Tiyosaki (2004) mengatakan bahwa orang yang tidak memiliki asset adalah
orang yang tidak memiliki masa depan. Akan tetapi aset dalam bisnis pemasaran jaringan
adalah manusia maka kerja sama merupakan jiwa usaha itu. Kerja sama itulah yang justru
menempatkan tindak tutur sebagai pemarkah luas-tidaknya jaringan usaha.
CERMINAN KOMUNIKASI TRANSAKSIONAL DAN INTERAKSIONAL DALAM BISNIS
PEMASARAN JARINGAN
Keith Allan (1986 dalam Rahardi. 2003:24) mengatakan bahwa sesungguhnya
aktivitas bertutur sapa itu merupakan kegiatan yang berdimensi sosial dan bercorak
kultural. Oleh karena kegiatan yang berdimensi sosial dan bercorak kultural itulah maka
aktivitas tindak tutur dalam ekspansi bisnis pemasaran jaringan sangat menentukan adatidaknya transaksi bisnis. Tanpa adanya transaksi bisnis merupakan indikator adanya
kemunduran bisnis bahkan bermuara pada kegagalan membangun jaringan usaha apalagi
pembentukan aset. Tindak tutur yang sesuai untuk ekspansi bisnis pemasaran jaringan
ialah tindak tutur ilokusi. Berikut ini diuraikan tindak tutur ilokusi dimaksud yang
mencakup (1) tindak tutur ilokusi sebagai manivestasi komunikasi yang bersifat
transaksional dan interaksional dalam bisnis pemasaran jaringan, (2) analisis kesantunan
tindak tutur pelaku bisnis pemasaran jaringan
TINDAK TUTUR ILOKUSI SEBAGAI MANIFESTASI KOMUNIKASI YANG BERSIFAT
TRANSAKSIONAL DAN INTERAKSIONAL DALAM BISNIS PEMASARAN JARINGAN
Kajian ini bertitik tolak dari salah satu doktrin Frans Bacon, penganut aliran filsafat
empirisme. Doktrin tersebut
berbunyi The idols of the tribe yaitu bahwa manusia
cenderung melihat segala sesuatu dari perspektif atau sudut padang manusia itu sendiri.
Implikasinya pada tindak tutur pebisnis dalam upaya mengadakan ekspansi bisnis
pemasaran jaringan ialah bahwa terdapat kemungkinan adanya kecenderungan pebisnis
180
tidak menempatkan diri pada mitra tutur sebagai mitra usaha maupun calon mitra usaha.
Tindak tutur pebisnis akan berbeda jika ia tidak menempatkan diri pada lawan tutur
dalam mengadakan ekspansi bisnis pemasaran jaringan, demikian pula sebaliknya tindak
tutur pebisnis akan berbeda pula jika ia menempatkan diri pada diri lawan tutur sebagai
mitra usaha maupun calon mitra usaha.
Perihal tindak tutur, Searle (1983) membedakan praktik penggunaan bahasa
dalam tiga kategori yaitu (1) tindak lokusi (illocutionary acts), (2) tindak ilokusi (ilocitonary
acts), (3) tindak perlokusi (perlocutionary acts).
Tindak tutur yang diadopsi untuk digunakan dalam kajian ini ialah tindak tutur
ilokusi yang mencakup (1) tindak tutur asertif, (2) tindak tutur direktif, (3) tindak tutur
ekspresif, (4) tindak tutur komisif dan (5) tindak tutur deklaratif. Tindak tutur ilokusi yang
diadopsi untuk digunakan dalam tulisan ini karena bagi Searle (Leech. 1983) ilokusi dapat
dianggap sebagai janji/perintah/permohonan. Hal itu setara dengan penawaran jasa dan
barang serta kesepakatan-kesepakatan dalam transaksi bisnis pada umumnya, khususnya
bisnis pemasaran jaringan. Hal itu juga memenuhi dua fungsi bahasa yaitu fungsi
transaksional dan fungsi interaksional.
Kelima tindak ilokusi tersebut menunjukkan fungsi-fungsi komunikatif yang
dirangkum oleh Rahardi (2003) yaitu (1) asertif adalah bentuk tindak tutur yang mengikat
penutur
pada
kebenaran
proposisi
yang
diungkapkan,
misalnya
meyatakan,
menyarankan, membual, mengeluh dan mengklaim; (2) direktif adalah bentuk tindak
tutur yang dimaksudkan penuturnya, untuk mempengaruhi mitra tutur melakukan
tindakan tertentu, misalnya memesan, memerintah, memohon, menasihati dan
merekomendasi; (3) ekspresif yaitu bentuk tindak tutur yang berfungsi untuk menyatakan
atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterima
kasih, memberi selamat, meminta maaf, menyalahkan, memuji dan berbelasungkawa; (4)
komisif ialah bentuk tindak tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran,
misalnya berjanji, bersumpah, dan menawarkan sesuatu; (5) deklarasi yaitu bentuk tindak
tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan, misalnya berpasrah, memecat,
membaptis, memberi nama, mengangkat, mengucilkan dan menghukum.
Bentuk-bentuk tindak ujar itu menuntut adanya kerja sama antara pebisnis
pemasaran jaringan dengan mitra usaha atau calon mitra usaha dalam membangun aset .
Untuk kerja sama itu, kajian ini ini mengacu klasifikasi yang didasarkan pada fungsi
ilokusi oleh Geoferry Leech (1983). Leech membedakan ilokusi menjadi empat jenis
sebagai berikut. (1) Kompetitif (competitive) yaitu tujuan ilokusi bersaing dengan tujuan
sosial misalnya memerintah, meminta, menuntut, mengemis dsb. Adapun yang dimaksud
dengan tujuan ilokusi ialah hal yang diharapkan dilakukan oleh lawan tutur sedangkan
181
tujuan sosial ialah upaya penutur untuk tetap menjaga terpeliharanya hubungan sosial
dalam proses pertuturan (2) Menyenangkan (convivial) yaitu tujuan ilokusi sejalan dengan
tujuan sosial, misalnya menawarkan, mengajak/mengundang, menyapa, mengucapkan
terima kasih, mengucapkan selamat. (3) Bekerja sama (collaborative) yaitu tujuan ilokusi
tidak menghiraukan tujuan sosial, misalnya menyatakan, melapor, mengumumkan dan
mengajarkan. (4) Bertentangan atau conflictive yaitu tujuan ilokusi bertentangan dengan
tujuan sosial, misalnya mengancam, menuduh, menyumpahi, memarahi.
Di antara keempat jenis fungsi ilokusi di atas ternyata jenis ilokusi yang berfungsi
kompetitif dan jenis ilokusi yang berfungsi menyenangkan melibatkan aspek sopan
santun. Leech menjelaskan bahwa pada ilokusi yang bersifat kompetitif, sopan santun
mempunyai sifat negative dan tujuannya ialah mengurangi ketidakharmonisan yang
tersirat dalam kompetisi antara apa yang ingin dicapai penutur dangan dengan apa yang
dituntut oleh sopan santun. Singkatnya, ilokusi yang bersifat kompetitif melahirkan
kesantunan semu. Sebaliknya fungsi menyenangkan, sopan santun mempunyai sifat
positif yaitu selalu berusaha untuk menemukan hal yang benar-benar merupakan
kelebihan dari lawan tutur dan langsung memberikan pujian atau mungkin ucapan
selamat karena sesuatu hal. Untuk ilokusi yang bersifat bekerja sama, tidak melibatkan
sopan santun karena pada fungsi ini sopan santun tidak relevan. Menurut Leech, sebagian
besar wacana tulis masuk dalam kategori ini. Ilokusi yang bersifat bertentangan tidak ada
sopan santun karena bertujuan menimbulkan kemarahan, mengancam atau menyumpahi
orang.
Dikaitkan dengan ilokusi versi Searle, asertif masuk kategori bekerja sama, direktif
masuk kategori kompetitif, komisif masuk kategori menyenangkan, ekspresif cenderung
masuk kategori menyenangkan kecuali yang bersifat mengancam, menuduh dan
sebagainya sedangkan deklarasi merupakan hal yang sudah terinstitusi dan mutlak
dilakukan. Dengan perkataan lain, penutur yang mengucapkan deklarasi, menggunakan
bahasa sekedar sebagai tanda lahiriah bahwa suatu tindakan kelembagaan telah
dilaksanakan misalnya dalam keagamaan atau hukum seperti membaptis atau memfonis.
Dengan demkian agak terkendala jika teori Searle tentang fungsi ilokusi digunakan dalam
menganalisis rekaman tindak tutur dalam ekspansi bisnis pemasaran. Oleh sebab itu
penulis mengadopsi fungsi ilokusi yang dikemukakan oleh Leech untuk menjelaskan
kesantuan tindak tutur dalam komunikasi bisnis pemasaran jaringan .
ANALISIS KESANTUNAN TINDAK TUTUR PELAKU BISNIS PEMASARAN JARINGAN
Analisis tindak tutur sesungguhnya dapat ditinjau dari penutur maupun petutur.
Dalam bisnis pemasaran jaringan, pebisnis sebagai penutur merupakan pemegang kendali
182
dalam proses pertuturan. Artinya tindak tutur ilokusi pelaku bisnis pemasaran jaringan
berpotensi menentukan apakah petutur sebagai calon mitra usaha tertarik untuk
bersama-sama menjalankan bisnis yang ditawarkan atau tidak. Oleh sebab itu tindak
tutur ilokusi yang dianalisis dalam tulisan ini ialah tindak tutur pelaku bisnis pemasaran
jaringan dan bukan petutur yaitu calon mitra usaha. Untuk mengkongkretkan bahasan ini,
rekaman percakapan berikut ini dapat dianaliss untuk dilihat kadar kesantunan tindak
tutur di dalammya.
Rekaman percakapan telpon ini merupakan salah satu rekaman standar membuat
janji pertemuan bisnis antara Adisebagai pebisnis pemasaran jaringan dan prospeknya
yang bernama Budi sebagai berikut.
Adi (1)
: Halo, Pak Budi. Apa Kabar? Ini dari Adi.
Budi (1)
: Oh, halo Pak Adi. Kabar baik ….
Adi (2)
: Wah, udah lama kita tidak ketemu ya Pak Budi? Bagaimana dengan
keluarga? Sehat-sehat khan?
Budi (2)
: Baik .. baik. Sehat-sehat. Ada apa nih, Pak Adi, tumben menelpon?
Adi (3)
: Iya ni Pak Budi. Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan kepada Pak
Budi. Tapi sayangnya saat ini saya sedang akan meeting jadi tidak bisa
lewat telpon. Pak Budi, hari jumat malam, sibuk ngak? Jam-jam 7 malam
gitu?
Budi (3)
: Jumat malam, ya … Sebentar …. Wah, sayang Pak Adi, saya ada acara
pernikahan saudara.
Adi (4)
: Oh begitu ya. Bagaimana kalo Minggu malam?
Budi (4)
: Boleh, Minggu malam saya tidak ada acara. Ada apa nih?
Adi (5)
: Begini, Pak Budi, saya dan beberapa rekan sedang merintis sebuah usaha,
Dan kebetulan kami perlu rekan usaha dengan latar belakang banker
seperti Pak Budi. Saya sudah ceritakan sedikit mengenai Pak Budi dan
rekan saya tertarik untuk bertemu dengan Pak Budi. Saya belum bisa
menjanjikan apa-apa, Pak Budi, tapi bisa ngak Pak Budi datang ke rumah
saya hari Minggu jam 7 malam untuk saya temukan pada rekan saya?
Budi (5)
: Usahanya di bidang apa ya?
Adi (6)
: Justru itu yang akan saya bicarakan di hari Minggu nanti Pak Budi, karena
tak mungkin membicarakan usaha melalui telpon. Pak Budi bisa datang
ke rumah saya?
Budi (6)
: Bisa sih bisa. Tapi tolong jelasin sedikit mengenai usahanya dong …
Adi (7)
: Pak Budi, ingin sekali saya menjelaskan usaha ini sekarang, Pak. Tetapi ini
meeting udah akan dimulai, lagi pula ada beberapa diagram yang ingin
183
kami tunjukkan kepada Pak Budi dan beberapa angka mengenai profit
sharing-nya. Oya, Pak Budi, akan lebih baik jika Pak Budi ajak istri Bapak.
Istri Bapak tidak ada acara khan hari Minggu malam?
Budi (7)
: Kayaknya sih dia tidak ada acara. Baik, nanti saya coba bicara dengan dia.
Adi (8)
: OK, Pak Budi, nanti kita ketemu hari Minggu jam 7 malam di rumah saya.
O, ya, Pak Budi, jika ternyata nanti tiba-tiba Pak Budi ada acara lain yang
sangat penting, tolong telpon saya ya Pak, sehingga saya bisa beritahu
rekan saya dan mereka masih sempat mencari partner yang lain.
Budi (8)
: OK
Adi (9)
: Baik, Pak Budi, sampai jumpa hari Minggu (United Core Vision. Tanpa
tahun)
Ditinjau dari aspek kesantunan berbahasa, kalimat Adi (1) tergolong tindak tutur
ilokusi yang bersifat kompetitif sedangkan dilihat dari fungsi bahasa, kalimat Adi (1)
memenuhi fungsi transaksional maupun fungsi interaksional. Artinya, pada kalimat Adi
(1), pesan tersampaikan secara santun kepada penerima dalam formulasi kalimat yang
gramatikal akan tetapi kesantunan dimaksud bersifat negatif. Berdasarkan kalimat Budi
(1), kita memperoleh implikatur bahwa Budi teringat akan seorang temannya yang
bernama Adi.
Kalimat Adi (2) juga tergolong tindak tutur ilokusi yang berfungsi kompetitif, dan
juga memenuhi fungsi transaksional mapun fungsi interaksional. Jadi, walaupun secara
morfologis terdapat kata-kata yang tidak gramatikal tetapi pada kalimat Adi (2) pesan
tersampaikan secara santun kepada penerima pesan meskipun kesantunan dimaksud
bersifat negatif. Berdasarkan kalimat Budi (2) kita memperoleh implikatur bahwa Budi
merasa ada sesuatu di balik sikap Adi.
Kaliamt Adi (3) tergolong tindak tutur ilokusi yang berfungsi kompetitif dan
memenuhi fungsi transaksional maupun interaksional walaupun secara morfologis ada
kata-kata yang tidak gramatikal, pesan tersampaikan secara santun kepada penerima
pesan. Akan tetapi kesantunan di sini pun masih bersifat negatif. Pada kalimat Budi (3),
kita memperoleh implikatur bahwa Budi belum begitu tertarik terbukti dengan adanya
alasan menghadidiri pernikahan saudaranya tanpa meminta diberi kesempatan lainnya.
Kalimat Adi (4) juga tergolong tindak tutur ilokusi yang berfungsi kompetitif dan
memenuhi fungsi transaksional maupun interaksional walaupun secara morfologis
maupun sintaksis tidak gramatikal tetapi pesan tersampaikan secara santun kepada
penerima pesan. Lagi-lagi hal itu mencerminkan kesantunan negatif. Pada kalimat Budi (4)
184
kita memperoleh implikatur bahwa Budi seemakin yakin bahwa ada sesuatu di balik sikap
Adi.
Kalimat-kalimat pada Adi (5)
tergolong tindak tutur ilokusi yang berfungsi
kompetitif, tetapi juga mengandung ilokusi yang bersifat menyenagkan karena ada pujian
terhadap Pak Budi sebagai seorang banker dan juga memenuhi fungsi transaksional
maupun interaksional walaupun secara morfologis maupun sintaksis tidak gramatikal
tetapi pesan tersampaikan secara santun kepada penerima pesan. Kesantunan di sini juga
bersifat negatif. Pada kalimat Budi (5) kita memperoleh implikatur bahwa Budi semakin
yakin bahwa ada sesuatu di balik sikap Adi. Laqgi pula Budi tidak merespon pujian Adi
ketika Adi menyebut Budi sebagai seorang banker.
Kalimat Adi (6) juga tergolong tindak tutur ilokusi yang berfungsi kompetitif dan
memenuhi fungsi transaksional maupun interaksional gramatikal pesan tersampaikan
secara santun kepada penerima pesan tetapi masih tetap bersifat kesantunan negatif.
Pada kalimat Budi (6) kita memperoleh implikatur bahwa Adi terpojok karena merasa
bahwa Budi tidak mempercayai Adi..
Kalimat-kalimat Adi (7) juga tergolong tindak tutur ilokusi yang berfungsi
kompetitif dan memenuhi fungsi transaksional maupun interaksional walaupun secara
morfologis ada kata yang tidak gramatikal tetapi pesan tersampaikan secara santun
kepada penerima pesan tetapi masih bersifat kesantunan negatif. Pada kalimat Budi (7)
kita memperoleh implikatur bahwa Budi terkesan terpaksa menerima undangan Adi.
Kalimat-kalimat Adi (8) juga tergolong tindak tutur ilokusi yang berfungsi
kompetitif dan memenuhi fungsi transaksional maupun interaksional walaupun secara
morfologis maupun sintaksis ada yang tidak gramatikal tetapi pesan tersampaikan secara
santun kepada penerima pesan meskipun masih diwarnai kesantunan negatif. Pada
kalimat Budi (8) kita memperoleh implikatur bahwa Budi meyakini, ada sesuatu di balik
sikap Adi. Hal itu terlihat pada jawaban pendek yang disampaikan Budi..
Kalimat Adi (9) juga tergolong tindak tutur ilokusi yang berfungsi kompetitif dan
memenuhi fungsi transaksional maupun interaksional karena secara morfologis maupun
sintaksis, kalimat Adi sudah gramatikal pesan tersampaikan secara santun kepada
penerima pesan tetapi masih bersifat kesantunan negatif.
Dari hasil analisis tersebut, terlihat bahwa bahasa yang digunakan dalam rekaman
standar membuat janji pertemuan bisnis antara pelaku bisnis pemasaran jaringan dengan
calon mitra usaha sudah santun walaupun cenderung pada kesantunan negatif dan
memenuhi fungsi bahasa baik secara transaksional maupun secara interaksional.
Persoalannya ialah data yang dianalisis itu adalah rekaman standar membuat janji
pertemuan bisnis antara pelaku bisnis pemasaran jaringan dengan calon mitra usaha
185
yang tertuang dalam markrting plan perusahaan yang telah teruji. Apakah tindak tutur
pelaku bisnis yang luas usahanya santun dan bersifat transaksional maupun interaksional
sedangkan yang gagal adalah mereka yang tindak tuturnya tidak santun juga tidak bersifat
transaksional dan interaksional? Pertanyaan ini membutuhkan penelitian yang lebih
lanjut guna mendapatkan pemecahan masalah secara runtut dengan resiko waktu, biaya
dan tenaga lebih banyak.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa fungsi transaksional dan
interaksional dalam aktivitas berbahasa secara santun sangat menentukan luas-tidaknya
bisnis pemasaran jaringan.Bidang linguistik di Indonesia sekarang ini diwarnai kontroversi
transaksional dan interaksional tetapi keduanya sebagai fungsi utama bahasa tidak dapat
dipisahkan secara tegas dalam praktik penggunaan bahasa melainkan kedua fungsi itu
saling melengkapi yang tercermin dalam fungsi tindak tutur ilokusi.
Implikasinya dalam bisnis pemasaran jaringan, aktivitas berbahasa didominasi oleh
tindak tutur sehingga fungsi bahasa secara transaksional maupun interaksional akan
tercermin dalam aktivitas tindak tutur antara pebisnis pemasaran jaringan dengan mitra
usaha atau calon mitra usaha. Dalam ekspansi bisnis pemasaran jaringan, dituntut adanya
transaksi bisnis sebagai indikator luas tidaknya jaringan usaha menuju pembentukan aset
usaha. Jadi semakin baik tindak tutur yang mencerminkan fungsi transaksional maupun
interaksional akan memberikan kontribusi positif terhadap luas-tidaknya jaringan usaha.
Di dalam tindak tutur ilokusi terkandung aspek kesantunan berbahasa sesuai dengan sifat
usaha dalam praktik penggunaan bahasa yang berdimensi sosial dan bercorak kultural
yang cenderung pada fungsi ilokusi yang kompetitif dan menyenangkan.
Oleh sebab itu, pelaku bisnis pemasaran jaringan hendaknya memahami dan
senantiasa mempertimbangkan fungsi bahasa secara transaksional maupun interaksional
dalam melakukan ekspansi bisnis baik dalam bentuk one on one presentation maupun
home meeting presentation. Pada saat membuat pelaksanaan one on one presentation
maupun home meeting presentation mutlak didominasi oleh ilokusi kerja sama
(collaborative) tetapi untuk membuat janji pertemuan bisnis atau tanya jawab setelah
presentasi bisnis sebaiknya didominasi oleh ilokusi menyenangkan (convivial).
186
Daftar Rujukan
Grice, H.P. 1975 Logic and Conversation, Syntax and Semantics, Speech Act, 3. New York:
Academic Press.
Kiyosaky, Robert T. The Cashflow Quadrant. PT Gramedia Pustaka: Jakarta
Leech, Geofery. 1983. Prinsip-pprinsip Pragmatik. Oka, M.D.D. Jakarta: UI-Press.
Rahardi, Kunjana R. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Dioma: Malang.
Searle, John R. 1969. Speech Acts, An Eassay in the philosophy of Language. Combridge:
Combridge University Press.
United Core Vision. Tanpa tahun. Staterpack: Buku Manual Cara Memulai dengan Benar.
Jakarta: Unicore
Wahab, Abdul. 1998. Isu Linguistik. Airlangga Universty Press. Surabaya
Wahab, Abdul. 2005. Butir-Butir Linguistik. Airlangga University Press: Surabaya
Wibowo. 2001. Otonomi Bahasa: 7 Strategi Tulis Pragmatik Bagi Praktisi Bisnis dan
Mahasiswa. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
187
MENGEMBALIKAN BAHASA INDONESIA
PADA STANDAR EJAAN YANG DISEMPURNAKAN
Purwantiningsih
SMPN 2 Kepanjen Malang
[email protected]
ABSTRACT
On the history, Bahasa Indonesia proves that it can unite any sigle groups
and ethnics to the one of Indonesia. The word “Indonesia” is the identity of
territory, nation,and the language as well as personality of the society. The
identity of Indonesia reflects on the Indonesia of its society. Bahasa
Indonesia has many borrowing words that not really needed The
corresponding vocabulary from the other language done in translation and
borrowing word, but using the terminology that has the corresponding word
in Bahasa Indonesia claimed that it the activity of ruin the Bahasa Indonesia.
Kata kunci : identity, personality,borrowing words
PENDAHULUAN
Setiap warga negara Indonesia perlu memiliki kesadaran akan arti pentingnya
penghargaan dan penghormatan terhadap suatu identitas bangsa. Tujuannya adalah
untuk menegakkan Bhinneka Tunggal Ika atau kesatuan dalam perbedaan, yakni suatu
solidaritas yang didasarkan pada kesantunan. Kesantunan meliputi pembawaan yang
ramah, sikap hormat dan sopan.
Membangun suatu identitas bersama berkaitan erat dengan pemahaman
terhadap nilai-nilai dan simbol-simbol yang mendasari suatu sistem. Kelompok
masyarakat semuanya memiliki nilai-nilai, norma dan simbol tersendiri seperti lagu,
slogan, bendera dan bahasa terutama dalam masyarakat yang luas dan heterogen.
Prayitno dan Trubus (dalam Susanto, 2010: 5) mengatakan bahwa mempertahankan
identitas merupakan hal yang sangat sensitif bagi negara seperti Indonesia yang
masyarakatnya majemuk dan multikultural.
Bahasa Indonesia adalah salah satu identitas bangsa Indonesia. Sejarah
perjuangan bangsa Indonesia mencatat bahwa pada bulan Oktober 1928
pemuda-
pemuda Indonesia mengadakan konggres kedua. Konggres tersebut menghasilkan
keputusan yang dikenal sebagai “Sumpah Pemuda” . Keputusannya adalah bahwa” Kami
poetra dan poetri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia (Timnas
Penulis Sejarah, 2012: 309)
188
Sumpah Pemuda secara tegas mendudukkan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan dan sebagai bahasa negara. Kedudukan bahasa Indonesia yang sangat strategis
ini membawa dampak perubahan yang sangat besar pada saat itu, dimana nama-nama
organisasi kepemudaan yang semula berbahasa Belanda berubah menjadi bahasa
Indonesia. Sebut saja Indonesische Vereeniging berubah menjadi Perhimpunan Indonesia.
Pidato-pidato yang semula disampaikan dalam bahasa Belanda berganti menggunakan
bahasa Indonesia. Demikian juga halnya dengan persuratkabaran saat itu. Bintang
Soerabaja, Medan Prijaji, Sri Poestaka, Indonesia Merdeka, Bintang Timoer yang semula
menggunakan bahasa Belanda, China dan Melayu berganti menggunakan bahasa
Indonesia.
Bangga sekali para pendiri bangsa
menggunakan bahasa Indonesia. Ini
membuktikan bahwa bahasa Indonesia telah terbukti menyatukan berbagai golongan dan
etnis ke dalam satu kesatuan yaitu bangsa Indonesia. Namun seiring dengan berjalannya
waktu, telah terjadi pergeseran. Bahasa Indonesia tidak lagi berada dalam
“singgasananya”. Mengapa demikian?
Bahasa Indonesia terdiri atas ratusan kata serapan yang diambil langsung dari
bahasa asing dalam bentuk penyesuaian lafal dan ejaan atau tanpa penyesuaian lafal tapi
ejaannya yang disesuaikan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan ketersalinan bahasa
Indonesia secara timbal balik mengingat keperluan masa depan (Depdiknas, 2009: 6).
Pengayaan kosa kata melalui proses penyerapan sebagaimana yang dimaksud di
atas sah-sah saja bila ketersediaan padanan kata asing untuk kosa kata bahasa Indonesia
sudah tidak ada lagi. Namun, alangkah naifnya orang Indonesia jika tergesa-gesa
memadankan kata success dengan sukses, imagination dengan imajinasi, relevantion
dengan relevansi, creativity dengan kreativitas.
Berpijak pada keadaan ini apakah sikap nasionalisme bahasa sudah terkikis atau
apakah si pemakai bahasa memang sudah tidak tahu apa padanan kosa kata asing
tersebut dalam bahasa Indonesia. Pedoman pembentukan istilah melalui penyerapan
dengan penyesuaian ejaan atau lafal memang telah memberikan kemudahan yang luar
biasa, bahkan cenderung meninabobokan orang Indonesia terhadap bahasa mereka
sendiri. Mengapa demikian? Orang dengan mudah memadankan imbuhan –ation dalam
bahasa Inggris dengan imbuhan –asi dalam bahasa Indonesia; lalu –ity dengan –itas serta
masih bayak lagi imbuhan lain yang disamaratakan pola penyesuaian ejaan atau lafalnya.
Saat ini, contoh padan kata dan kata serapan dari bahasa asing terutama Inggris,
lebih akrab di telinga anak sekolah, masyarakat awam, pendidik, bahkan kaum elit politik
dibanding kata Indonesianya. Saat ini anak sekolah belajar kosa kata (dengan konsep
pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah) adalah bahasa Indonesia yang sudah
tercampur-campur (baca: gado-gado). Padanan kata berhasil, daya khayal, kesesuaian
189
dan daya cipta untuk keempat kosa kata bahasa Inggris yag dicetak miring di atas, boleh
dibilang asing bagi mereka. Jadi, sekarang siapa yang salah, pelaku pendidikan kah,
peserta didik kah atau penguasa. Sejatinya tak perlu menyalahkan siapa-siapa, karena
memang sudah serba salah.
Jika dibuat pemeringkatan pemakaian kosa kata, maka frekuensi kosa kata
serapan yang sudah mempuyai padanannya dalam bahasa Indonesia jauh lebih tinggi
dibanding dengan kosa kata yang memang harus diserap karena memang belum memiliki
padanan sama sekali. Soedarsono (2010: 12)) mengatakan bahwa masyarakat Indonesia
tidak kalah cerdas dengan bangsa lain. Masalahnya justru berkaitan dengan hati nurani
yang mencerminkan karakter dan jati diri. Remaja lebih sering berkomunikasi dengan
memakai kosa kata asing. Bahasa Indonesia yang merupakan cerminan jati diri bangsa
mulai terpinggirkan. Kosa kata bahasa Indonesia sekarang sudah dianggap “ kuno, nggak
gue banget gitu loh!” Fenomena inilah yang mendasari tulisan ini.
BAHASA INDONESIA DARI MASA KE MASA
Pemakaian bahasa memang sedikit banyak dipengaruhi oleh rezim pemerintah
yang sedang berkuasa. Negara kita, paling tidak telah mengalami tiga rezim yang samasama punya andil besar dalam perkembangan kosa kata bahasa Indonesia.
Pada masa perjuangan sampai orde lama, bahasa Indonesia dipandang sebagai
penanda jati diri untuk bangsa yang baru terbentuk sebagai sikap politis kebangsaan
masyarakat Indonesia. Dalam konteks itu, jati diri keindonesiaan, termasuk bahasa
Indonesia, banyak digunakan. Selain menjadi tandingan untuk istilah yang berbau
kebelandaan, bahasa Indonesia juga dipakai sebagai istilah untuk membakar semangat
pemuda Indonesia yang sedang berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan yang
baru diraih. Berikut beberapa contoh istilah/kalimat yang kutip dari Sejarah Nasional
Indonesia. Merdeka atau mati, Sekali merdeka tetap merdeka, Biar nyawa melayang, kau
tetap Indonesiaku, Berjuang sampai titik darah penghabisan, KNIL anjing Belanda. Bahkan
ketika Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia terdapat slogan yang sangat
membakar hati rakyat Indonesia, yaitu “Ganjang Malaysia”.
Bandingkan dengan protes-protes mahasiswa atau pengunjuk rasa sekarang yang
membentang spanduk dengan tulisan PEACE for FREEDOM; GO TO HELL ISRAEL; SAVE
OUR PLANET; STOP ILLEGAL LOGGING, BEWARE OF GLOBAL WARMING, SAY NO TO
DRUGS, dan masih banyak lagi tebaran istilah asing yang dipakai oleh para pengunjuk
rasa. Para pengunjuk rasa kebanyakan adalah kaum terpelajar, sebagai bentuk protes
ketidakpuasan pada pemerintah atau himbauan pada masyarakat umum yang
kebanyakan tidak mengerti makna dari istilah asing yang mereka gunakan.
190
Jadi, bahasa Indonesia pada masa perjuangan sampai orde lama memang secara
politis dikondisikan untuk membangkitkan rasa keindonesiaan rakyat Indonesia,
menggugah semangat kebangsaan bangsa Indonesia. Beruntunglah generasi di era ini
yang pemimpinnya tetap kuat dengan pendirian identitas bangsa yaitu orang Indonesia
harus berbahasa Indonesia. Bukan orang Indonesia yang berbahasa Indonesia dengan cita
rasa asing.
Setelah era 60-an perkembangan bahasa Indonesia mengalami perubahan seiring
dengan pergantian rezim yang berkuasa. Ketika rezim orde baru berkuasa bahasa pun
dijadikan kendaraan politik untuk mengendalikan kepentingan ideologi dan kekuasaan
sang penguasa. Ada satu pergeseran stlistika dalam berbahasa dibanding dengan rezim
sebelumnya. Kalau pada masa perjuangan sampai dengan orde lama bahasa digunkan
untuk mengobarkan semangat dan membangun jiwa kebangsaan, namun pada masa orde
baru bahasa Indonesia lebih santun dan halus demi kepentingan stabilitas. Sebagai
contoh penggunaan kata-kata atau istilah klise dosa diperhalus menjadi “tidak etis”;
bredel disamarkan dengan istilah “pembatalan SIUPP”; memerintahkan diganti dengan
“memberi petunjuk”; tentu masih segar dalam ingatan kita bagaimana seorang menteri
penerangan dalam acara jumpa pers selalu menggunakan kalimat “Menurut petunjuk
Bapak Presiden……” yang diulang-ulang. Zinah lebih populer dengan istilah “selingkuh”;
penggusuran diperhalus dengan istilah “penertiban” serta masih banyak lagi penamaanpenamaan lain yang seolah-olah tidak mampu memunculkan dampak atas perlakuan yang
terjadi.
Gejala bahasa seperti inilah yang menjadi payung politik penguasa untuk
meredam gejolak di bawah supaya kursi kekuasaan tetap “aman”. Selama dalam kurun
waktu tiga dekade itulah masyarakat Indonesia diajarkan “selingkuh” dengan bahasanya.
Perilaku mendua dalam berbahasa pada itu sudah masuk pada tataran leksikal. Artinya,
rakyat sudah mafhum dengan meta-bahasa yang dipopulerkan pemerintah, yang oleh
para pakar bahasa gejala itu dinamakan dengan istilah eufemisme. Menurut Wijana
(2007: 97) kekuatan-kekuatan kata dalam eufemisme ada yang berkonotasi positif dan
negatif yang bertujuan untuk mendukung keperluan yang berbeda-beda sehingga kata
yang dimaksud membawa pada konsekuensi perubahan makna kosa kata itu sendiri. Ada
kata-kata yang semula bermakna netral kemudian berubah menjadi bermakna negatif
atau sebaliknya. Demikianlah aroma eufemisme pada era orde baru yang kadang manis di
bibir tapi menusuk dari belakang. Sembilu bermata dua!
Selanjutnya angin kekuasaan pun berubah seiring dengan bergulirnya era
reformasi. Pada era ini kebebasan berekspresi seolah-olah mendapat angin baru yang
sulit dibendung pengaruhnya pada semua tatanan, tak terkecuali bahasa yang menjadi
191
alat pengantarnya. Dalam berbahasa, pejabat publik melaju dengan bebas menciptakan
istilah-istilah sendiri dengan dalih kebebasan berpendapat untuk berujar dan berwacana.
Soedarsono (2010: 27) mengatakan ketika semua orang mencari pembenaran yang
mengatasnamakan kebebasan berpendapat, pada titik inilah bangsa Indonesia mulai
tergerus jati dirinya. Masyarakat Indonesia yang semula dikenal sebagai orang yang sopan
dan santun, berubah menjadi orang yang brutal dan akrab dengan kekerasan. Namun, the
show must go on (hidup harus terus berlanjut). Mewujudkan pemerintahan yang clean
and good government. Para calon ketua KPK sedang mengikuti fit and proper test.
Kalimat itu yang sering didengungkan oleh kaum pejabat yang mengaku reformis yang
juga mereformasi total bahasanya, kepada telinga kaum grass root (masyarakat lapisan
bawah) demikian mereka menyebutnya. Kudeta hati, konspirasi kemakmuran,labil
ekonomi, twenty nine my age, harmonisisasi, mempertakut, statusisasi kemakmuran
adalah beberapa istilah ala Viki yang sempat menjadi buah pembicaraan banyak kalangan.
Kebebasan berpendapat (baca: berbahasa) menjadi barang berharga sekaligus menjadi
barang tidak berharga karena semua tatanan nilai leksikal dan morfologis sebuah bahasa
dibongkar pasang, diacak-acak sedemikian rupa dengan dalih kebebasan berpendapat.
PASANG SURUT KOSA KATA DAN ISTILAH BAHASA INDONESIA
Selama perkembangannya, bahasa Indonesia dari segi struktur tidak banyak
mengalami perubahan karena struktur fonologis dan struktur gramatikalnya cenderung
stabil. Perubahan bahasa yang tampak mencolok terdapat pada bidang kosa kata. Pasang
surut perkembangan kosa kata bahasa Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun
terakhir, menurut Kridalaksana (2007: 13) hanya berkisar pada perubahan makna kata
dan kelompok kata, hilangnya kata atau kelompok kata, munculnya kata dan kelompok
kata baru, hilangnya idiom lama dan munculnya idiom baru, munculnya kembali kata atau
kelompok kata lama, meluasnya pemakaian singkatan dan akronim, serta leksikalisasi
singkatan dan akronim.
Para ahli bahasa sesungguhnya telah berusaha untuk menciptakan atau
memperkenalkan kata, istilah juga ungkapan-ungkapan baru dengan nuansa makna yang
tepat. Sebut saja istilah yang sedang populer saat ini, misalnya istilah down load menjadi
unduh, up load menjadi unggah, dubbing menjadi sulih suara dan masih banyak lagi
lainnya.
Namun kalangan ahli bahasa kalah cepat dengan media massa karena untuk
menciptakan atau memperkenalkan istilah baru bagi para ahli bahasa membutuhkan
waktu yang lama selain memang juga harus teliti dan cermat. Di sinilah kepiawaian pihak
media massa, selain alat yang mereka pakai untuk mempopulerkan istilah baru itu cepat
192
sampai kepada masyarakat. Kata bentukan hasil ramuan mereka sendiri pun laris manis
dipakai oleh masyarakat. Mulai dari anak sekolah, mahasiswa, pejabat, menteri bahkan
para petinggi negeri ini. Keadaan ini memunculkan sebuah pemeo yang cukup mengelitik
sebagaimana yang dikatakan oleh Nenden yaitu bahasanya dibuat oleh wartawan lalu
dipopulerkan oleh pejabat publik dan direkam tulis oleh pengusaha sablon untuk
dipasang di setiap sudut jalan (dalam Ali, 2009: 77).
Begitu hebatnya kepiawaian media massa dalam membentuk opini publik melalui
kata-kata, hingga seorang pemimpin besar dunia seperti Napoleon Bonaparte (dalam
Rakhmat, 2009: 21) mengatakan “ Saya tidak takut atau gentar terhadap seribu pasukan
bersenjata lengkap, tetapi saya hanya takut kepada empat atau lima surat kabar, karena
walau tanpa senjata mereka bisa membunuh saya dan rakyat saya”. Kata “membunuh”
yang diucapkan oleh Napoleon bisa jadi tidak bermakna membunuh secara fisik saja,
tetapi bisa juga diartikan membunuh dalam bentuk yang lain. Membunuh karakter,
membunuh identitas, membunuh semangat dan membunuh satu negara (Perancis) dalam
arti yang sesungguhnya. Hal ini bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia.
PENYIMPANGAN PENGGUNAAN KOSA KATA DAN ISTILAH BAHASA INDONESIA
Tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan zaman yang seiring dengan kemajuan ilmu
pengetahuan termasuk di dalamnya kemajuan teknologi informasi membawa dampak
yang luar biasa bagi masyarakat, tidak terkecuali siswa di sekolah. Dampak yang paling
terasa adalah dalam penggunaan bahasa, baik dalam tataran ragam bahasa lisan maupun
tulis.
Ragam bahasa lisan maupun tulis anak sekolah banyak dipengaruhi oleh
penggunaan bahasa ibu (baca: Jawa). Sehingga sering kita dengar mereka mengatakan “
Bu, Pak Solehnya ada?, Meja Pak Imam ndik mana?, Oh, ndik situ tah”. –nya yang
melekat pada kata Sholeh mendapat pengaruh yang kuat dari kebiasaan bahasa Jawa;
bukune, lemarine, ibu’e, bapake, dll. Demikian juga pada preposisi di serta partikel – tah
yang biasanya melekat pada kalimat imperatif terpengaruh pemakaian bahasa Jawa
sehari-hari. Anak-anak pun sudah tidak mengenal kata kami. Mereka lebih akrab dengan
kata kita. Padahal secara semantis kami dan kita memiliki makna yang berbeda. Kami dan
kita adalah kata ganti orang pertama jamak. Kami mengacu pada si pembicara dan orang
yang menjadi anggotanya, sementara kita mengacu pada si pembicara dan orang yang
diajak berbicara. Contoh: “Bu, izin keluar. Kita mau beli kertas”. Yang mau membeli kertas
adalah anak dan temannya yang meminta izin, sedangkan ibu guru yang dimintai izin
tidak.
193
Tak kalah serunya dengan bahasa lisan, bahasa tulis pun tidak terlepas dari
pengaruh penggunaan bahasa percakapan sehari-hari serta kosa kata atau istilah yang
diambil dari negeri antah berantah. Sebagai contoh dalam karangan siswa yang berbentuk
deskripsi, terdapat kalimat “ …….. Gambar pasar kebakaran tersebut diambil dengan cara
menggoogle dari internet”. Pasar kebakaran terpengaruh bahasa jawa pasar kobongan.
Sementara kata bentukan menggoogle? Apakah dari bentukan me-N + google yang
terilhami dari menggambar, me-N + gambar? Padahal makna dari kata menggoogle pada
kalimat yang dimaksud adalah mengambil dari internet. Jika menggunakan kata mendownloud, mungkin masih bisa dimaklumi karena mereka belum kenal dengan istilah
mengunduh. Tapi tidak demikian halnya dengan kata menggoogle. Betapa luar biasanya
daya cipta mereka.
Koran Pendidikan memiliki kolom “Teenagers Journalism” yang khusus
diperuntukan bagi remaja, memuat opini dengan judul “Daur Ulang? Why Not?”.Nama
kolom menggunakan istilah asing, padahal koran tersebut berbahasa Indonesia dan
pembacanya adalah orang Indonesia. Judul tulisan pun campuran antara bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris. Isinya pun akan membuat pembaca berdecak “kagum”.
Berikut kutipannya.
Anyeonghaseyo chingu …... Di edisi kali ini crew TJ akan ngebahas tentang daur
ulang limbah. Limbah lho prend, bukan Limbad the master, jadi jangan sampe
salah! Hhehe…….. Sblomnya crew TJ mo nanya nih, prend – prend TJ ada yang tau
artinya limbah blom? Kalo blom, kita kasih tau dech! Rp5rb perkata ya prend.
Hhehe…….. ‘canda lagi. Gratis kok prend! Gitu aja kok udah manyun…………
Dari kutipan di atas, tentunya kita akan bertanya-tanya, apakah redaktur tidak bisa
memilah dan memilih, mana tulisan yang layak dimuat dan tidak. Dari segi gagasan
memang bagus, tentang pentingnya pemanfaatan limbah dengan daur ulang. Namun
diwujudkan dengan menggunakan kata, istilah, singkatan, akronim yang sifatnya sukasuka penulisnya. Apakah tidak akan menimbulkan kekhawatiran di kalangan pendidik
akan pengaruh negatif dari tulisan itu pada siswa.
Alwi (2010: 22) secara tegas menyatakan bahwa bahasa pengantar di lingkungan
pendidikan adalah menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini berkaitan dengan tiga tujuan
pendidikan; pertama bagaimana peserta didik memperoleh kemahiran dalam
menggunakan bahasa kebangsaannya demi tercapainya perpaduan nasional dan demi
pemerataan kesempatan bekerja yang mensyaratkan kemampuan itu. Kedua, bagaimana
orang dapat memahami bahasa etnisnya sehingga ia dapat menghayati dan melestarikan
194
warisan budayanya. Ketiga, bagaimana orang dapat mempelajari jenis bahasa asing yang
akan membukakan gerbang baginya ke dunia ilmu dan teknologi modern.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan terdapat tiga bahasa yang saling
berdampingan, yaitu bahasa Indonesia, bahasa daerah dan bahasa asing. Tidak dapat
dipungkiri bahwa di antara ketiga bahasa tersebut pasti akan terjadi proses saling
mempengaruhi (asimilasi). Bahasa Indonesia akan mempengaruhi bahasa daerah dan
bahasa asing, demikian juga sebaliknya.
Bahasa dapat berkembang karena adanya kontak dengan bahasa dan budaya lain,
sehingga perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan dapat diikutinya. Bahasa
Indonesia telah banyak menyerap bahasa asing, paling banyak adalah dari bahasa Inggris.
Dari bahasa Belanda, misalnya kamar, kantor dan pos. Dari bahasa Portugal, misalnya
kemeja, bendera dan jendela. Dari bahasa Sansekerta misalnya, karya, dwi, dan asrama.
Serta masih banyak lagi lainnya. Namun harus diperhatikan bahwa bahasa Bahasa
Indonesia memiliki aturan yang jelas dalam penyerapan kosa kata asing maupun daerah
(Depdiknas, 2009:3).
Tidak berbeda dengan yang terjadi pada siswa di sekolah, di kalangan mahasiswa
pun terjadi penyimpangan dalam pemakaian kosa kata maupun istilah. Dalam karya tulis
ditemukan sejumlah penjelasan yang ditulis dalam bahasa Inggris yang sesungguhnya
penjelasan itu tidak diperlukan lagi karena kalimat dalam bahasa Indonesia sudah
dimengerti. Berikut kutipannya.
Arifin (2012: 21)
Tujuan menulis ada tiga, yaitu menjelaskan (explanatory), meyakinkan
(persuasive), dan mengungkapkan perasaan (expressive). Tujuan menlisyang
berbeda akan menghasilkan jenis tulisan yang berbeda. Misalnya tujan
memberitahukan akan menghasilkan wacana informatif (informative discourse),
tujuan meyakinkan akan menghasilkan wacana persuasif (persuasive discourse),
tujuan menghibur akan mengasilkan wacana kesastraan (literary discourse) dan
tujuan expresif akan menghasikan wacana ekspresif (expressive discourse).
Tampaknya penulis begitu bangga dengan istilah asing yang digunakan. Tulisan
akan terasa cita rasa ilmiahnya dengan menggunakan istilah asing. Namun apakah
penggunaan istlah asing menjadi kriteria penulisan sebuah karya tulis ilmiah? Tentu
tidak. Kriteria karya tulis ilmiah adalah (1) objektif, (2) rasional, (3) kritis, (4) up to date /
tidak ketinggalan zaman, (5) reserved / menahan diri / hati-hati, (6) jujur, (7) lugas, dan
(8) terbebas dari kepentingan atau motif pribadi (Data, 2012: 6).
195
Untuk menanggulangi hilangnya identitas bahasa Indonesia yang murni, alangkah
bijaksana bila siswa, guru, mahasiswa dan seluruh lapisan masyarakat tetap setia
menggunakan kosa kata Indonesia asli (bukan sinonim serapan). Berikut beberapa contoh
kosa kata Indonesia serapan yang sudah ada padanannya dalam kosa kata bahasa
Indonesia asli, namun kalah bersaing dengan kosa kata serapan dari bahasa asing.
Indonesia
Indonesia
Indonesia
Indonesia
Serapan
Asli
Serapan
Asli
adaptasi
Penyesuaian
aksen
logat
Aktif
Giat
aktivitas
kegiatan
basis,
dasar,
beraksi
bertindak
berbasis [kan]
berdasar [kan]
berdemo (nstrasi)
unjuk rasa
bujet
anggaran
Decade
Dasawarsa
diaplikasikan
diterapkan
didesain
Dirancang
dikategorikan
digolongkan
edukasi
Pendidikan
eksis, eksistensi
ada, keberadaan
ekspektasi
harapan
elemen
unsur
Favorit
kesayangan
fenomena
gejala
Figur
tokoh
harmonis
rukun
Historis
bersejarah
ide
gagasan
identitas
jati diri
imajinasi
daya khayal
Implisit
tersirat
indikasi
sinyalemen
Kalem
tenang
kapabilitas
kemampuan
kapasitas
daya tampung
kapital
modal
karakteristik
ciri
legitimasi
keabsahan
komprehensif
pemahaman
teks
wacana
loyal, loyalitas
setia, kesetiaan
memonitor
memantau
memprovide
menyediakan
mendistribusikan
membagikan
mengetes
menguji
mengevakuasi
mengungsikan
Opini
pendapat
opsi
pilihan
196
Otentik
asli
otoritas
wewenang
partisipasi
keikutsertaan
pentransferan
pengalihan
Polusi
pencemaran
populasi
penduduk
Realitas
kenyataan
regulasi
peraturan
Relatif
nisbi
respek
menghargai
Sains
ilmu pengetahuan
sensitif
peka
Servis
layanan
simbol
lambang
Situasi, kondisi
keadaan
taktik
siasat
temperatur
suhu
temporer
sementara
tendensi
kecenderungan
tensi
ketegangan
Sumber: Kamus Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Dari data sederhana di atas, tampaknya ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk
kembali ke bahasa Indonesia yang murni, demi memartabatkannya di negeri sendiri.
Bagaimana bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa persatuan jika di negeri sendiri sudah
terpinggirkan. Ini menjadi tugas kita semua, masyarakat Indonesia, untuk lebih giat
mengembangkan serta menggunakan kosa kata Indonesia murni.
CENTANG- PERENANG WARNA BAHASA INDONESIA
Jika ada yang mengatakan bahwa bahasa Indonesia sekarang sebagai bahasa
centang perenang yang sakit identitas, maka pernyataan tersebut hendaknya dianggap
sebagai satu bentuk apresiasi terhadap bahasa Indonesia. Seorang profesor pengamat
politik Indonesia, Anderson (dalam Munsyi, 2005: 39) menyatakan bahasa Indonesia
sebagai a hodge-podge of irrational gobbledygook, bahasa capcay yang berbelit-belit dan
membingungkan lagi tidak masuk akal.
Mari kita buktikan pendapat sang profesor dengan memindai beberapa surat
kabar, seperti Kompas, Jawa Pos, dan Kontan. Berikut beberapa kata dan istilah yang
dipindai.
Kompas, 26 Januari 2013. Kasus Ninik Jangan Hanya Dipadang Yuridis Formal, hlm.
1. Pada isi berita tertulis kalimat “ Dari rekonstruksi di TKP diketahui bahwa tersangka
dalam keadaan ………Pada halaman tiga terdapat berita dengan judul “ Choel Akui Terima
Uang”. Pada isi berita terdapat kalimat “ Pertemuan face to face antara Choel dan
Herman Prananto, direktur PT Global Daya manunggal dilakukan sebanyak dua kali”.
197
Jawa Pos, 4 Desember 2012. Kesempatan kenal Banyak Orang, hlm. 30. Pada isi
berita tertera kalimat “……Anggota tim humas Polsek Klojen yang punya andil besar dalam
menyukseskan kampanye safety ridding, selalu menyiapkan statemen untuk dirilis pada
acara jumpa pers.
Rachman, Eileen & Savitri Sylvana. 26 januari 2013. Kreatif. Kontan, hlm. 33.
Ditemukan kalimat sebagai berikut.
“ ……Hanya saja kenyataan untuk menebarkan mindset tidak ada. Jadi, bersikap
dan berpikir kreatif justru perlu dianggap sebagai way of life dan way of thinking
kita. …… Para ahli dan peneliti kini juga lebih leluasa untuk melakukan dua
penelitian sekaligus. Tinggal menggoogle semua informasi yang relevan serta
mengupdate pengetahuan kita. Jiwa entrepreneurship harus kita budayakan.
Dari beberapa contoh kata dan istilah yang dipindai dari surar kabar di atas,
terbersit keingintahuan pembaca, apakah redaktur tidak tahu padanan kata Indonesianya
atau memang sengaja tidak mau menggunakannya. Padahal istilah rekonstruksi sudah ada
padanannya yaitu reka ulang. Face to face akan lebih mudah dipahami dengan empat
mata. Safety ridding bisa menjadi aman berkendara, statemen menjadi pernyataan. Dirilis
menjadi diluncurkan. Rupanya penggunakan istilah asing sudah menjadi gaya hidup bagi
sebagian masyarakat Indonesia.
Pada contoh surat kabar ketiga, pembaca dibuat berdecak kagum pada hasil
tulisan tersebut. Sangat keren! Begitu remaja kita sekarang menyebut sesuatu yang
bagus. Banyak sekali istilah asing yang digunakan, dan jelas-jelas istilah tersebut sudah
ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Istilah mindset bisa digantidengan pola pikir,
way of life dan way of thinking diganti dengan pandangan hidup dan cara berpikir,
entrepreneurship dengan kewirausahaan.
Dari beberapa contoh di atas, memperlihatkan apa yang disebut oleh Profesor
Anderson kalau bahasa Indonesia merupakan bahasa gado-gado, bahasa capcay, bahasa
ikut-ikutan yang berasal dari kesalahan yang centang –perenang adalah benar.
Centang-perenang bahasa Indonesia pun semakin lengkap setelah dicampur aduk
oleh orang Indonesia sendiri. Kata berikut menggelitik namun dapat mengundang daya
tarik masyarakat pemakai bahasa untuk mencipta kata serupa. “Angkotway di Margonda
untuk Mengurangi Kemacetan”. Akronim angkot dengan kata way digunakan sebagai
istilah yang bermakna jalur angkutan kota. Dalam bahasa Inggris dikenal istilah busway,
yang mungkin mengilhami munculnya istilah tersebut. Bukan tidak mungkin jika
kemudian akan lahir istilah bajajway, motorway, becakway dan way-way yang lain.
198
Dari fenomena tersebut muncul rasa masygul, jangan-jangan ikrar sumpah
pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 satu bangsa Indonesia, satu tanah air Indonesia
dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia sudah berganti baru, seperti yang
diplesetkan oleh sastrawan Remy Sylado dengan “satu nusa, satu bangsa dua languages”.
Mengacu pada kenyataan yang tersebut di atas, tampaknya sikap bahasa
masyarakat Indonesia adalah salah satu faktor yang menentukan kegagalan atau
keberhasilan pelaksanaan kebijakan bahasa nasional. Pada dasarnya kebijakan bahasa
nasional adalah pernyataan sikap nasional terhadap bahasa. Dalam pelaksanaannya
diperlukan keseimbangan antara sikap bahasa dan perilaku bahasa. Dalam hal ini,
bagaimana kita memelihara identitas bahasa Indonesia serta meningkatkan kemampuan
para pemakainya, bila sikap para pemakai bahasa Indonesia saat ini cenderung “mendua”.
Dikatakan mendua karena kosa kata yang dipakai tidak bercita rasa murni Indonesia. Pada
satu ketika pemakai bahasa menggunakan kata Indonesia yang keasing-asingan, namun di
ketika yang lain kata-kata yang digunakan adalah kata asing yang keindonesiaindonesiaan. Inilah sikap yang tidak memartabatkan bahasa Indonesia itu sendiri. Dengan
demikian kesetiaan menggunakan bahasa Indonesia mutlak diperlukan, karena bahasa
Indonesia adalah kebanggaan, jati diri orang Indonesia. Bukan malah bangga dengan
menggunakan istilah asing sehingga istilah bahasa negeri sendiri akhirnya tergerus dan
kalah dalam persaingan pemakaia kosa kata.
DAFTAR RUJUKAN
Ali, Mohammad. 2009. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: IMTIMA
Alwi, Hasan, dkk. 2010 Tata bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Arifin, Hudi. 2012. Hubungan Antara Motivasi Belajar, Strategi Belajar dan Keterampilan
Menulis Deskripsi Siswa Kelas X Madrasah Aliyah Negeri Pacitan Tahun Pelajaran
2011/2012. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPs Unisma.
Data, Mochtar. 2012. Penulisan Karya Ilmiah, (Tayangan Visual). Malang: Unisma.
Depdiknas. 2009. Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Jakarta: Pusat Bahasa.
Jawa Pos, 4 Desember 2012. Kesempatan kenal Banyak Orang, hlm. 30
Kompas, 26 Januari 2013. Kasus Ninik Jangan Hanya Dipadang Yuridis Formal,
Hlm, 1.
199
Koran Pendidikan. 1 – 7 Desember 2011. Teenagers Journalism. Daur Ulang?
Why Not?, hlm. 21.
Kridalaksana, Harimukti. 2007. Perkembangan Kosa Kata Bahasa Indonesia.
Setengah Abad Bahasa Indonesia (Yusuf Abdulah, Ed.). Jakarta: Idayus
Munsyi, Alif Danya. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: Gramedia.
Rachman, Eileen & Savitri Sylvana. 26 januari 2013. Kreatif. Kontan, hlm. 33.
Rakhmat, Jallaludin. 2009. Retorika Modern. Pendekatan Praktis. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Soedarsono, Soecipto. 2010. Membangun Kembali Jati Diri Bangsa. Jakarta:Gramedia.
Susanto & Darmawan, Hika. 2010. Memupuk Semangat Kebangsaan. Jakarta:Dikdasmen
200
TINDAK TUTUR GURU DALAM PEMBELAJARAN
MENULIS BAHASA INDONESIA
Nur Fajar Arief
Universitas Islam Malang
[email protected]
ABSTRACT
Speech act can communicate, interact, and delivering the message
produced by the teacher as the sender to the student as the receiver. The
characteristic of speech act could be predicted that the learning is
dynamic, pleasant, and promoting the inclusion, or on the contrary, the
learning is boring and monotonous. What and how the teacher’s speech
act on the learning context? The article explain from the point of view of
teaching learning interaction in the class (classroom interaction) and the
classroom discourse.
Key words: speech act, leasrning, classroom discourse
PENDAHULUAN
Pengkajian tindak tutur dalam wacana kelas telah banyak dilakukan baik berupa
pengembangan teori/konstruk yang diverifikasi melalui berbagai sudut pandang, pengamatan-pengamatan, ataupun penelitian terapan terhadap tindak tutur (dengan segala
aspeknya) dalam situasi tutur belajar mengajar di kelas. Beberapa hasil pengkajian tersebut
dikemukakan sebagai berikut.
Barnes (1969) dalam pengamatannya mengemukakan adanya keterhubungan
(diistilahkan “mata rantai”) antara pola tindak tutur guru dan pola belajar (bertindak tutur)
siswa selama pembelajaran berlangsung. Misalnya ketika guru melakukan tindak pemancingan, maka pemusatan interaksi instruksional yang intensif terjadi pada diri siswa
sehingga menimbulkan respon dalam bentuk tindak tertentu. Sejalan dengan hal ini,
Ashner dan Taba (dalam Wibisono, 1991:25) berargumentasi bahwa dalam kelas terjadi
pola tindak yang simultan atau transaksi aktif antara guru dan siswa, dan frekuensi transaksi
aktif inilah yang sangat berpengaruh pada tingkat keberhasilan siswa .
Istilah “transaksi aktif”, oleh Hanafi (1984:55) disebut sebagai “kontrak” antara guru
dan siswa yang saling mengikat dalam aktivitas belajar. Dalam hal ini jika pada saat tertentu
siswa tidak termotifasi dan terdorong oleh tindak tutur guru, maka sebenarnya terjadi
pembatalan/penyimpangan kontrak. Oleh karena itulah, dalam rangka pencapaian hasil
yang optimal, partisipan interaksi verbal di kelas
harus senantiasa menggunakan
201
aturan- aturan yang mereka pahami bersama tentang bagaimana menyampaikan pesan
dan memberikan respon, bagaimana bertanya jawab, bagaimana memberikan
penghargaan/ penguatan, dan sebagainya (Soeseno dalam Soenjono, 1987:239).
Cazden dan Hymes (1972) mengamati dua hal, yaitu (1) bagaimana hubungan antara tingkah laku dan pengalaman berbahasa secara komunikatif dan (2) bagaimana suatu
bentuk bahasa menandai strategi kognitif siswa. Sebelumnya Gallagher dan Aschner (1963)
melakukan hal yang sama dengan dasar klasifikasi strategi kognitif, meliputi (1) ingatan
(memory), (2) kebiasaan (routines), (3) konvergen-divergen (convergent-divergent), dan (4)
berfikir secara evaluatif (evaluate thinking). Kedua pengamatan ini menghasilkan suatu
temuan bahwa kualitas berpikir siswa (termanifestasi dalam tindak tutur siswa) sangat
bergantung pada struktur wacana guru dalam kelas, yang sekaligus merefleksikan proses
korespondensi pola pikir antara guru dan siswa. Berkaitan dengan hal tersebut, Rivers
(1987:4) mengemukakan “through interaction, student can increase their language store”.
Penelitian terapan tentang tindak tutur dalam wacana kelas di anta-ranya dilakukan
oleh Tsui Bik May (1982). Penelitiannya difokuskan pada berbagai tindak tutur guru, dengan
tujuan untuk membuktikan bahwa masukan data bahasa diperoleh dari pemeran interaksi
terpenting, yaitu guru. Dua pendapat yang dijadikan dasar yaitu (1) pandangan Krashen
(1981) yang mengatakan bahwa dalam situasi berbahasa kelas, terjadi proses pe-merolehan
dan pembelajaran secara simultan dan (2) pandangan Selger (1977) yang menyatakan
bahwa dalam proses belajar bahasa seorang pembelajar (high input generator ataupun low
input generator) yang menggunakan lingkungan bahasanya secara aktif dan selalu
mengadakan hubungan di antaranya, akan memperoleh kualitas kompetensi lebih baik dari
pada yang lain. Tsui Bik May menganalisa hal tersebut, dengan dasar pijakan me-liputi (1)
pola interaksi verbal (tindak tutur guru dan siswa), (2) masukan data bahasa yang
diproduksi oleh guru serta efeknya terhadap keluaran siswa, dan (3) modifikasi masukan
dan interaksi agar dapat berlangsung efektif, efisien, dan komprehensif. Hasil penelitiannya
berupa kesimpulan bahwa (1) tindak tutur guru mempunyai porsi yang dominan di kelas (75
% di antaranya adalah prakarsa guru) dan (2) masukan dan keluaran siswa dapat berlangsung maksimal sepanjang guru memfokuskan tindak tuturnya secara komunikatif,
konstan, dan dalam interaksi yang dimengerti oleh siswa (tidak semata-mata memfokuskan
pada bentuk linguistik yang benar).
Oleh karena itu pada akhir penelitiannya ia mengklaim bahwa kelas merupakan
tempat atau setting yang tepat dalam rangka masukan komprehensif bagi siswa dan
pencapaiannya dilakukan melalui modifikasi interaksi oleh guru. Lebih lanjut dikatakan “the
classroom can be an exellent place for L2 acquisition,... teacher can begin to think of way
202
realizing the potiented of classroom for it, and begin awareness of the kind of input and the
kind of interaction”.
PEMBELAJARAN DI DALAM KELAS
Kata pembelajaran secara semantis mencakup membelajarkan (teaching) dan
belajar
(learning). Membelajarkan
membimbing,
mengelola,
(teaching)
mengorganisasikan,
lebih
mengarah
menyampaikan,
pada
pengertian
menanamkan,
dan
memindahkan sesuatu kepada pembelajar. Belajar (learning) merupakan proses melihat,
mengenal, mengamati, dan memahami sesuatu sehingga terjadi perubahan tingkah laku
pada ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor.
Sedangkan secara konseptual pengertian pembelajaran dalam kelas mencakup
beberapa konsep dasar meliputi (1) proses timbal balik, (2) pola aktivitas, (3) komunikasi
aktif, (4) pengelolaan belajar, (5) variasi peran belajar, dan (6) kegiatan interaktif, aksional,
dan transaksional yang mempertimbangkan aspek tujuan, isi, metode, dan evaluasi
pengajaran.
Berikut salah satu tabel yang menggambarkan skema hubungan perilaku antara
guru dan siswa, siswa dan siswa, serta siswa dan guru pada saat proses belajar mengajar
dalam kelas berlangsung.
Tabel 1
Skema Hubungan Tingkah Laku Verbal Cohan
Tingkah laku guru
yang dirasakan
Kemungkinan
mempengaruhi
siswa
Pengaruh alamiah
dan peningkatan
Tingkah laku siswa
1. Motivasi siswa
2. Komunikasi Siswa
dengan siswa
3. Pengalaman siswa
dalam kelas
Menyebabkan
perubahan peran pada
siswa
(kreatif-produktif)
Interaksi antara guru dan siswa di dalam kelas ditinjau dari segi hasil yang akan
dicapai, dibedakan menjadi dua hal yaitu (1) transfer pengetahuan (transfer of knowledge)
203
dan (2) transfer nilai-nilai (transfer of values). Inilah yang selanjutnya berkembang pada
pemikiran bahwa guru di dalam kelas bekedudukan ganda sebagai pengajar dan pendidik.
Pada kenyataannya, memang keberlangsungan proses yang mengarah pada hasil akhir
tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut.
Faktor guru, keberadaan guru dalam interaksi edukatif dapat dikaitkan secara
langsung dengan fungsi-fungsinya antara lain sebagai motivator, katalisator, fasilitator,
dinamisator, konselor, dan sebagainya. Masing-masing fungsi ini dipengaruhi pula oleh
kompetensi (penetahuan) dan performansi (keterampilan) dasar yang harus dimiliki oleh
seorang guru. Paling tidak seorang guru harus mampu (1) menguasai bahan, (2) mengelola
program belajar mengajar, (3) mengelola kelas, (4) menggunakan media/sumber, (5)
menguasai landasan kependidikan, (6) mengelola interaksi belajar mengajar, (7) menilai
prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran, (8) mengenal fungsi dan program layanan
bimbingan/penyuluhan, (9) mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, dan
(10) memahami karakteristik siswa.
Faktor siswa,
karakteristik siswa merupakan hal yang paling esensi harus di-
perhatikan ketika seorang guru melaksanakan kegiatan pembelajaran di dalam kelas.
Pandangan tradisional yang cenderung skeptis dengan menghubung-hubungkan antara
keadaan siswa dan prestasi dari sisi letak geografis serta kemajuan masyarakat lokal,
seharusnya mulai dihilangkan oleh karena justru akan menghambat tingkat motivasi belajar
siswa itu sendiri. Kata “karakteristik” siswa yang lebih dekat maknanya pada “pola kelakuan
dan kemampuan” hasil pembawaan dan pengaruh lingkungan sosial, dibedakan antara lain
(1) latar belakang pengetahuan dan taraf pengetahuan, (2) gaya belajar, (3) usia kronologi,
(4) tingkat kematangan, (5) spektrum dan ruang lingkup minat, (6) lingkungan sosial
ekonomi, (7) hambatan-hambatan lingkungan dan budaya, (8) intelengensi, (9) keselarasan
dan sikap, (10) prestasi belajar, dan (11) motivasi.
Faktor aktivitas, variasi aktivitas atau kegiatan dalam kelas menurut beberapa
pandangan ahli psikologis sangat signifikan berpengaruh pada keharmonisan, keselarasan,
dan keseimbangan proses belajar siswa. Kenyataan menunjukkan bahwa situasi kelas akan
terasa lebih “hidup” jika siswa dikondisikan belajar melalui aktivitas yang beragam.
Beberapa jenis aktivitas ini antara lain:
1. Aktivitas Visual (visual activities), misalnya membaca, memperhatikan gambar demonstrasi, percobaan, memahami pekerjaan orang lain.
2. Aktivitas Lisan (oral activities), misalnya menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi
saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, interupsi.
3. Aktivitas Mendengarkan (listening activities), misalnya mendengarkan uraian, percakapan, musik, pidato.
204
4. Aktivitas Menulis (writing activities),
misalnya menulis cerita, karangan, laporan,
angket, menyalin.
5. Aktivitas Mendesain (drawing activities), misalnya menggambar, membuat grafik, peta,
diagram.
6. Aktivitas Motorik (motor activities),
misalnya melakukan percobaan, membuat
konstruk-si, model mereparsi, bermain, berkebun, beternak.
7. Aktivitas Mental (mental activities), misalnya menanggap, mengingat, memecahkan
soal, menganalisa, melihat hubungan, dan mengambil keputusan.
8. Aktivitas Emosional (emotional activities), misalnya menaruh minat, merasa bosan,
gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, gugup.
TINDAK TUTUR GURU DALAM WACANA KELAS MENULIS
Sebagai suatu sarana, tindak tutur (speech act) dapat mengkomunikasikan,
menginteraksikan, dan menyalurkan pesan yang disampaikan oleh guru sebagai pengirim
(sender) kepada siswanya sebagai penerima (receiver). Dalam hal ini, Nababan (1978)
mengemukakan bahwa tindak tutur yang sesuai dengan keadaan siswa akan sa-ngat
membantu penyerapan pesan tersebut.
Karakteristik tindak tutur (speech act) guru merupakan salah satu faktor yang
me-nentukan pemerlain atau corak keberlangsungan proses belajar mengajar di kelas.
Berdasarkan karakteristik tindak tutur (speech act) pula, dapat diprediksikan apakah
inter-aksi belajar mengajar berlangsung dinamis, menyenangkan, dan menggambarkan
keterli-batan, ataukah monoton, menjengkelkan, atau membosankan. Lebih jauh lagi,
dari inter-aksi verbal (verbal interaction) tersebut, dapat ditentukan strategi
yang
digunakan guru dalam mengelola kelas, yaitu strategi pemusatan aktivitas pada siswa
melalui prakarsa (initate) guru dan respon (responses) dari siswa.
Berkaitan dengan hal tersebut, dipahami bahwa proses belajar mengajar merupakan proses komunikasi antara guru sebagai pemrakarsa atau penutur, murid sebagai perespon atau petutur, dan bahan pengajaran sebagai topik tutur. Keberadaan tindak tutur dalam peristiwa bahasa interaksi antarkomponen tersebut, sudah semestinya
dapat membangkitkan aktivitas belajar, memancing pola pikir dan ujar kreatif,
memerikan konsep abstrak,
menajamkan
pemahaman, memberikan pengalaman
berbahasa, selain fungsinya yang utama sebagai sarana verbal dalam menyampaikan
bahan pelajaran (topik tutur).
Dalam kenyataannya, tidak jarang kita dapati suatu gejala bahwa kemampuan
guru dalam bertindak tutur secara monoton, monolog, dan menggunakan katakata yang
sulit dipahami, menyebabkan proses belajar mengajar berlangsung menjengkelkan dan
205
membosankan. Gejala ini di satu sisi menyebabkan kualitas, kuantitas, relevansi, dan kejelasan pesan relatif berkurang, sedangkan di sisi lain, tidaklah menutup kemungkinan
menyebabkan gagalnya proses belajar mengajar itu sendiri.
Berkaitan dengan kemampuan guru dalam bertindak tutur, diasumsikan ada dua
prinsip yang harus dipertimbangkan guru dalam menciptakan interaksi, yaitu (1) prinsip
keterterimaan, yaitu kecermatan guru dalam mengkomunikatifkan perbincangan sesuai
dengan latar, topik, koherensi, kreasi, hubungan sosial siswa, serta hubungan psikologis siswa, dan (2) prinsip ketersesuaian, yaitu ketepatan guru dalam memilih (yang
mana) dan menggunakan (kapan, di mana, dan dalam situasi yang bagaimana) jenis
tindak tutur tertentu. Keberlangsungan kedua prinsip ini mengarah pada tingkat kekomunikatifan wacana kelas dalam suatu situasi berbahasa (speech event).
Tindak tutur (speech act) dalam lingkup wacana kelas (classroom discourse),
dengan pemaduan kedua prinsip di atas dapat membangkitkan dialog antar individu
(inter-individual),
yang
secara
simultan
membentuk
dialog
internal
individu
(intra- individual). Hubungan inilah yang diistilahkan oleh Barnes sebagai perubahan dari
perca-kapan
ke kognitif (from convertation to cognition). Perwujudannya berupa
perubahan tingkah laku belajar siswa, misalnya merangsang pikiran siswa untuk aktif
mengolah pe-san, merangsang perasaan dan
perhatian siswa untuk merespon, dan
kejelasan kon-sep pesan secara visual pada diri siswa.
Bloom (1979) mengklasifikasikan perubahan tersebut menjadi tiga bagian,
yakni (1) hasil belajar kognitif: mengenal, memahami, mengaplikasi, menganalisa,
mensintesis, dan mengevaluasi, (2) hasil belajar psikomotor: kemampuan
persepsi,
kemampuan ge-rakan yang disertai skill, dan komunikasi yang bersifat berkelanjutan,
dan (3) hasil belajar afektif: penerimaan, responsi, pengorganisasian dan internalisasi
nilai. Interaksi kelas yang ditandai dengan adanya komunikasi multi arah, antara guru
dengan siswa, siswa dengan siswa, dan siswa dengan guru, dalam proses belajar
mengajar secara simultan membentuk wacana kelas (classroom discourse). Sementara
pelaksanaannya tercermin dalam pola umum perbuatan guru-siswa, yang bertitik tolak
pada tiga kegiatan kurikuler, yakni (1) kegiatan intrakurikuler, (2) kegiatan kokurikuler,
dan (3) ke-giatan ekstrakurikuler
Selanjutnya dalam membentuk pengetahuan komprehensif pada siswa, seorang
guru selalu berusaha memodifikasi interaksi melalui perpindahan dari satu jenis tindak
(act) ke tindak tutur lainnya. Minimal, seorang guru memiliki pengetahuan tentang
bagaimana memberikan informasi kepada siswa sehingga menjadi mudah dipahami,
bagaimana mengarahkan dan mendorong siswa untuk terlibat dalam pengajaran,
bagai-mana
memancing
pertanyaan siswa dan memberikan penguatan ataupun
206
pemeriksaan terhadap balasan tersebut, bagaimana memulai
suatu
pelajaran,
memberikan batas-batas peralihannya, dan bagaimana menutup suatu pelajaran, serta
beberapa perilaku lainnya yang secara keseluruhan membentuk satu kesatuan wacana
kelas (classroom discourse). Suyono (1990:16) menyebutnya sebagai "pengetahuan
bersama" yang di-miliki oleh kedua belah pihak tentang "sesuatu", sehingga isi dan
bentuk tindak tutur yang digunakan wajar, dan dapat diterima oleh keduanya.
Jadi yang dimaksudkan tindak tutur (speech act) guru adalah semua perilaku
guru secara verbal (verbal act) yang dilakukan guru pada saat mengajar di kelas, dan
tercermin dalam keinteraktifan wacana yang dibentuknya.
Berbagai penelitian dan pengamatan tentang tindak tutur (speech act) guru dan
siswa dalam wacana kelas (classroom discourse) telah banyak dilakukan, misalnya
pengamatan yang dilakukan oleh Austin (1962), J. Searle (1965), Bellack (1968), Barnes
(1968), Flanders (1970), Moskowitz (1971), Cazden (1972:1986), Giglioli (1973), Grice
(1975), Larsen-Freeman (1976), Sinclair dan Coulthard (1978), Coulthard (1979), Long
(1981), Bell (1983), Levinson (1983), Leech (1986), dan Hatch (1992). Ataupun beberapa
penelitian yang telah dilaksanakan oleh Halliday (1976), Jones (1977), van Ek (1980), Shuy
dan Griffin (1981), Reisner (1983), Amy (1985), Arfah A. Aziz dan Shirley Lim (1987), dan
lain-lain (lihat Hacth 1992).
Pada bagian akhir tulisan ini, dikemukakan rangkuman berbagai jenis tindak tutur
guru, yang dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam melaksanakan proses belajar
mengajar di dalam kelas.
SIMPULAN
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapatlah dikemukakan beberapa simpulan
sebagai berikut.
1. Terdapat “mata rantai” antara pola tindak tutur guru dan pola belajar (bertindak
tutur) siswa selama pembelajaran menulis dalam kelas berlangsung. Keterhubungan
ini dipelajari dan diperoleh siswa melalui “kontrak transaksi aktif” selama interaksi
verbal dalam kelas terjadi.
2. Strategi dan struktur wacana kelas sekaligus merefleksikan proses korespondensi pola
pikir antara guru dan siswa. Masukan bahasa yang diperoleh dimodifikasi sedemikian
rupa melalui kompetensi berbahasa siswa sehingga pada akhirnya menjadi pengalaman berbahasa secara komunikatif.
3. Pembelajaran di dalam kelas mencakup beberapa konsep dasar, yaitu (1) proses
timbal balik, (2) pola aktivitas, (3) komunikasi aktif, (4) pengelolaan belajar, (5) variasi
peran belajar, dan (6) kegiatan interaktif, aksional, serta transaksional.
207
4. Keseluruhan struktur dan modifikasi tindak tutur guru dan siswa membentuk wacana
kelas yang secara komprehensif mempengaruhi hasil belajar kognitif, psikomotor, dan
afektif siswa.
5. Tindak tutur guru dalam wacana kelas menulis , meliputi tindak (1) prawacana/
pengantar, (2) perintah, (3) informasi, (4) pemancingan, (5) pemeriksaan, (6) arahan,
(7) penawaran, (8) dorongan, (9) petunjuk, (10) isyarat, (11) pertanyaan terbatas, (12)
pertanyaan tak terbatas, (13) penunjukkan, (14) penerimaan, (15) penolakan, (16)
meminta balsan, (17) komentar, (18) penilaian, (19) penandan, (20) penyimpulan, dan
(21) humor.
DAFTAR RUJUKAN
Austin, J.L. 1975. How To Do Things with Words. Harvard: Harvard University Press.
Allwright, Dick. 1986. “Classroom Observation: Problems and Possibilities” dalam
Bikran K.Das. Patterns of Classroom Interaction In South East Asia. Singapore:
Contin-ental Press.
Arief, Nur Fajar.1992. Tindak Tutur Guru dalam Interaksi Belajar Mengajar di SMA se
Kota-madya Malang Tahun 1992. Skripsi: Tidak Dipublikasikan.
Amy, Tsui Bik May. 1982. “Analyzing Input and Interaction In Second Language
Classrooms” dalam RELC Vol.16 No. 1. Singapore : Regional Language Centre.
Amidon, Edmund and Elizabeth Hunter 1966. Improving Teaching Analyzing Verbal
Interaction The Classroom. New York: Holt, Rinehart, and Winston.
Amidon, Edmund and Elizabeth Hunter. 1967. “Verbal Interaction In The Classroom:
The Verbal Interaction Category System” dalam Amidon-Hugh. Interaction
Analy-sis: Theory, Research, and Application. New York: Holt, Rinehart, and
Winston.
Bellack (et al). 1969. The Language of The Classroom. New York: Teacher College Press.
Brown, Gillian and George Yule. 1983. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge
University Press.
208
THE USE OF PORTFOLIO ASSESSEMENT THROUGH PROBLEM BASED LEARNING
APPROACH TO IMPROVE THE WRITING ABILITY
Syawal dan Amaluddin
Universitas Muhammadiyah Pare-Pare Sulawesi Selatan
e-mail: [email protected]
e-mail: [email protected]
ABSTRACT
The Use of Portfolio Assessment through Problem Based Learning
Approach to Improve the Writing Ability of the Second Semester Students
of English Department Students at FKIP Universitas Muhammadiyah
Parepare.
This research is aimed at finding out: (1) the extent of
applicating portfolio assessment through problem based learning
approach in English Department of FKIP UMPAR, (2) the obstacles in
applying the portfolio assessment through problem based learning
approach for English Department of FKIP UMPAR. Related to the aims of
the research, a quasi-experimental method was carried out. The
population was the second semester students of English department at
FKIP UMPAR. Two classess choose randomly as sample. As the result, the
experimental group consisting of 30 students while the control group
consisting of 30 students. The instruments for collecting the data were a
questionnaire on writing interest and a writing test.
Keywords: Portfolio assessment, problem based learning, expository
teaching
Background
Learning Writing in University of Muhammadiyah Parepare is still dominated by
expository education and oriented to the final test, so, in learning process the students
always as an object of the lecture speech. Based on the discussion with some fresh
students, up to now, the students just listen and accept the explanation without giving
them chance to express their idea. After that, the students are given assignment which
only related to their cognitive skill. Task or assignment is not always evaluated or
discussed with the students, so the students do not know their result. This condition does
not effective for students to enrich their knowledge (learning to do) by increasing their
interaction to the environment. Moreover, it cannot encourage students’ comprehension
and knowledge to their surrounding (learning to know). In addition, they do not have
chance to build their knowledge and confidences (learning to be), also their interaction to
209
another personality or group (learning to live together) in the society (Depdiknas, 2004: 910).
Based on the explanation above, the researcher promote the teaching method as an
alternative to overcome the difficulties faced by the students and also to overcome the
low of the national education quality, also to make the learning process in UMPAR
especially in writing becomes more innovative, by using Portfolio assessment and
Problem Based Learning as a learning method.
Based on the previous study, the following statements are formulated to be
question:
1. To what extent does the application of portfolio assessment through problem
based learning approach improve the writing ability of the second semester’s
students of English department of FKIP UMPAR?
2. What are the obstacles faced in applying portfolio assessment through problem
based learning approach to the second semester students of English department
of FKIP UMPAR?
The objectives of this study are:
1. To describe how extent the application of portfolio assessment through problem
based learning approach in English Department of FKIP UMPAR.
2. To explain the obstacles in applying the portfolio assessment through problem
based learning approach for English Department students’ of FKIP UMPAR.
Writing ability
a. Concept of writing
Writing is basic skill that can be developed by everyone through application
and practice. It is the way to express an idea, opinion, science or to introduce
one’s culture to another country, etc. Some experts have different definition
about it. Some of them are:
1) Hornby (1995:1383) states that writing is an activity or occupation of writing
e.g. books, stories, or articles.
2) McCrimmon (1984: 6) states that writing is hard work, but writing is also an
opportunity to convey something about ourselves; to communicate ideas to
people our immediately vicinity, to learn something we did not know.
b. Types of writing
Horn and Rosman in Kasmawati (2004: 5) divided writing into three kinds, as
follows:
210
1) Narration
2) Description
3) Exposition
Local school directory (2009) stated that there are five types of writing,
three of them have been explained above and two of them are as follow:
1) Technical writing
2) Persuasive writing
c. The components of writing
According to Jacob et. al, in Sitti Rahma (2001:20) states that there are five
components of writing, namely content, organization, vocabulary, language use,
and mechanics.
1) Content
2) Organization
3) Vocabulary
4) Language Use
5) Mechanics
d. Writing process
The term process of writing has been bandied about for quite a while in ESL.
It is no more than the writing process approach to teaching writing (Oak, 2008)
1) Mental Capacity
2) Prewriting
3) Systemic drafting
4) Revising
5) Editing
Portfolio Assessment
a. Definition of Portfolio
According to Paulson and Meyer, CA. (1991, February) A portfolio is a
purposeful collection of student work that exhibits the student's efforts, progress,
and achievements in one or more areas of the curriculum. The collection must
include the following:
1) Student participation in selecting contents.
2) Criteria for selection.
3) Criteria for judging merits.
4) Evidence of a student's self-reflection.
The Use of Portfolio
211
Paulson and Meyer, CA. (1991) states that In this new era of performance
assessment related to the monitoring of students' mastery of a core curriculum,
portfolios can enhance the assessment process by revealing a range of skills and
understandings one students' parts; support instructional goals; reflect change and
growth over a period of time; encourage student, teacher, and parent reflection; and
provide for continuity in education from one year to the next.
b. The Characteristics of Portfolio
Paulson and Meyer, CA. (1991), Portfolio assessment is a multi-faceted
process characterized by the following recurrent qualities:
1) It is continuous and ongoing, providing both formative
2) It is multidimensional
3) It provides for collaborative reflection.
c. Different Types of Portfolio
Paulson and Meyer, CA. (1991) states that there are many different types of
portfolios, each of which can serve one or more specific purposes as part of an
overall school or classroom assessment program. The following is a list of the
types most often cited in the literature:
1) Documentation
2) Process Portfolio
3) Showcase Portfolio
d. The Phases of Portfolio
In applying learning through portfolio, Paulson and Meyer, CA. (1991) devide
them into three phases as follows:
1) Organization and Planning
2) Collection
3) Reflection
e. Evaluating Portfolio
Burke and Fogerty, (1994) state that in order for thoughtful evaluation to take
place, teachers must have multiple scoring strategies to evaluate students'
progress. Criteria for a finished portfolio might include several of the following:
1) Thoughtfulness
2) Growth and development
3) Understanding and application of key processes.
4) Completeness, correctness, and appropriateness of products and processes
presented in the portfolio.
212
5) Diversity of entries
Problem Based Learning
a. Definition
Barrows, H., and Kelson, A. C. (1995) stated that Problem-based learning
(PBL) is an approach that challenges students to learn through engagement in a
real problem.
According to Barrows, H., and Kelson, A. C. (1995) the process is aimed at
using the power of authentic problem solving to engage students and enhance
their learning and motivation.
The problem-based learning (PBL) process essentially consists of the
following stages: (1) meeting the problem; (2) problem analysis and generation
of learning issues; (3) discovery and reporting; (4) solution presentation and
reflection; and (5) overview, integration, and evaluation, with self-directed
learning bridging one stage and the next (Hmelo and Silver (2004)).
b. Process involved in PBL
Hmelo and Silver (2004) state that When one faced with a problem, an
individual is likely to engage in the processes of clarifying, defining and reframing,
analyzing, as well as summarizing and synthesizing the problem. Thus, effective
problem solving in the real world involves the harnessing of cognitive processes
that include the following:
1) “Planful” thinking.
2) Generative thinking.
3) Systematic thinking.
4) Analogical thinking.
5) Systemic thinking.
c. Goals of PBL
According to Hmelo and Silver (2004), the goal of PBL is include helping
students to develop:
1) Flexible knowledge,
2) Effective problem-solving skills,
3) SDL skills,
4) Effective collaboration skills, and
5) Intrinsic motivation.
213
Barrows and Kelson, (1995) stated that PBL was designed with several
important goals. It is designed to help students to;
1) Construct an extensive and flexible knowledge base
2) Develop effective problem-solving skills
3) Develop self-directed, lifelong learning skills
4) Become effective collaborators; and
5) Become intrinsically motivated to learn.
4. Obstacles in PBL
According to Julie (1997:5), there are
some challenges with problem-based
learning. One challenge is that students who share a common first language may
use that language rather than English when working in groups on the
assigned
problem.
A second concern is that problem-based learning may not be appropriate for
beginning or literacy level students whose English oral
and reading skills
are
minimal (Julie (1997:5).
Teachers may face a different kind of challenge when they allow students to
negotiate meaning and solve the problem among themselves, without teacher
intervention (Julie (1997:5).
Population
There are many definitions of population. Saleh (2002:17) says that population is
group of objects, events or indicators that become targets of the research. Meanwhile,
Johnson, D.M (1987:110) stated that population is the entire group of entities or person
to which the results of a study are intended to apply. Brown and Dowling (1998:33) also
say that population is the notional class of possible subjects and it may be defined at any
level of analysis. The population may be all the individuals of a particular type or more
restricted part of that group
The population of this research is the second semester of English Department of FKIP
UMPAR in academic year 2011/2012. It consisted of five classes, they are II/a, II/b, II/c,
II/d and II/e. The number of students in each class was varied from 30 to 35 students. So
the number of population is 175 students.
Sample
The researcher used cluster random sampling technique to take the sample of the
research. From the number of population, two classess randomly become sample of
214
research. They are II/c as experimental group and II/d control group which consist of 60
students.
Findings
1. Data percentage of pre-test, the data obtained of the writing test of control and
experimental group students. Shows the score classification of sudents’ pretest in
writing competence. The frequency and percentage also accompany the
classification. The control score shows that there are 11 (37%) of students got
good, 16 (53%) of students got enough, 3 (10%) of students got poor classification,
and no students is classified very good and very poor.
The experimental shows that there are 8 (27%) of students got good, 16 (53%)
of them got enough, 6 (20%) of them got poor, and 0 (0%) or no students got poor
and very poor classification.
It means that the result of pre-test was low before the students were treated
with portfolio assessment through problem based learning.
2. Data percentage of post-test, the data obtained of the writing test of control and
experimental group students. Shows the score classification of students’ control
and experimental group in writing competence. The post-test score of control
group shows that 0 (0%) of students got very good, 18 (60%) of students got good,
12 (40%) of students got enough, 0 (0%) of students got poor and 0 (0%) or no
students got very poor classification.
The post-test of experimental group shows that 8 (27%) of students got very
good, 21 (70%) of them got good, 1 (3%) of them got enough, and 0 (0%) or no
students got poor and very poor classification.
It means that the result of post-test was improve after the students were
treated with portfolio assessment through problem based learning.
3. The mean score, standard deviation and t-test of students’ pretest
The mean score and standard deviation of experimental and control groups
shows that the mean score obtained by the students in experimental group, 65.85
is lower than the control group, 66. It means that the mean scores of the pretest
obtained by the students in both groups are different. It is found that the t-table
was 1.671 by probability sig. (one tailed) 0.05 and t-test was -0.24. It means that ttest is lower than t-table or the probability is lower than 1.671 as the level of
significance for one tailed test, -0.24 < 1.671. The data of pretetst indicated that
the statstical hypothesis of H0 was accepted and statistical of H1 is rejected.
4. The mean score, standard deviation and t-test of students’ posttest
215
The mean score and standard deviation of both groups shows that the mean
score obtained by the students in experimental class, 80.59 is higher than the
control group, 71.3. It means that the mean scores of the posttest obtained by the
students in both groups are different.
It is also found that the t-test was 5.76 by probability sig. (one tailed) was
1.671 or t test is higher than 1.671 as the level of significance for one tailed test,
5.76 > 1.671. The data of posttest indicated that the statstical hypothesis of H 0
was rejected and statistical of H1 is accepted.
5. Hypothesis testing
The result of the-test analysis from pretest showed the achievement pretest
df = 58, t = -0. 24 α = 0.05 and the result of the t-test analysis from posttest
showed that df = 58, t = 5.76. α = 0.05. the result of t-test analysis both of using
problem based learning and using expository teaching showed that the writing
competence of the second semester students of English Department at FKIP
UMPAR improve after they were taught through Problem Based Learning.
The researcher concluded that Null Hypothesis (H0) is rejected. However
alternative Hypothesis (H1) is accepted, it means that the writing competence of
the second semester students of English Department at FKIP UMPAR improves
after they were taught through problem based learning.
6. The obstacle found in applying portfolio assessment through problem based
learning
There are some challenges with problem-based learning. One challenge is
that students who share a common first language may use that language rather
than English when working in groups on the assigned problem. This difficulty can
be addressed by placing students of different language backgrounds in the same
group. A second concern is that problem-based learning may not be appropriate
for beginning or literacy-level students whose English oral and reading skills are
minimal. One way to address this concern is to place students with stronger
and weaker language skills in the same group, thus allowing those with weaker
skills to hear the language and observe the learning strategies of the stronger
students, while giving more proficient students opportunities to engage in
interactions and negotiate meaning with their peers.
Lecturers may face a different kind of challenge when they allow students to
negotiate meaning and solve the problem among them, without lecturer
intervention. Discussing as a class why problem-solving activities are useful for
216
students to carry out without the lecturers’ input may help to keep both students
and lecturers on track.
Discussion
1. To develop portfolio assessment and applying problem based learning in the
teaching-learning of writing, the writer finds out that with the portfolio
assesment, the students collect items that showcase their talents and then puts
them in a large folder, blinder or even in the box. Portfolio assesment through
problem based learning allow the information to be stored well in form of
worksheet, digitally on a CD, or portable drive (e.g. flash drive), after scanned.
2. Portfolio assessment through problem based learning and non-problem based
learning have strongths as well as weknesses. Nevertheless, students’ writing
interest also plays an important role in achieving the goal of teaching writing. Such
interest is essential for the learning process. From the characteristics that the
problem based learning processes, it is suitable for the students who have writing
interest. Their writing interests will help them develop the confidence to
undertake a new learning activity or to venture into an unfamiliar intellectual
domain such as publishing their works on-line or to a wider audience.
Meanwhile, the expository teaching possesses characteristics that are nearly
similar to the usual in-class writing instruction. The students, particularly
unnterested students. They are not challenged to learn and nearly don’t have
confidence to publish their work because they were affraid of being cheated
because of their mistakes.
Conclusion
In this section, the conclusion presents the overall descriptions of the research
result gained through an experimental research, the researcher puts forward conclusion
as follows:
1. The use of portfolio assessment through problem based learning can improve the
students’ writing ability. The writing ability of students’ who are treated with
portfolio assessment performs better than students who are treated with nonproblem based learning (expository teaching). There are five components in
writing recount text namely content, organization, vocabulary, language use and
mechanics improved significantly after giving a test. Finding a better result on the
writing, the students revised any words, grammatical errors, sentence correlation,
and text organization. Therefore, it could be concluded that the second semester
students of English Department of FKIP at Universitas Muhammadiyah Parepare
217
who were taught with portfolio assessment through problem based learning in
terms of writing competence are positve category.
2. In applying portfolio assessment through problem based learning approach, there
were obstacle faced by the researcher. It was the time allocation which only one
and a half hour for every meeting. With this limited time allocation, it was difficult
to apply all the stages or steps of PBL approach in teaching process. To anticipate
this matter, the researcher then modify the five stages into three stages they
were: (1) meeting the problem; (2) generating problem from students’ worksheet;
and (3) evaluating/solving the problem.
Moreover, another obstacle is that students who share a common first
language may use that language rather than English when working in groups on
the
assigned problem. This difficulty can be addressed by placing students of
different language backgrounds in the same group. A second concern is that
problem-based learning may not be appropriate for beginning or literacy-level
students whose English oral and reading skills are minimal. One way to address
this concern is to place students with stronger and weaker language skills in the
same group, thus allowing those with weaker skills to hear the language and
observe the learning strategies of the stronger students, while giving more
proficient students opportunities to engage in interactions and negotiate meaning
with their peers. Another way is to pre-teach challenging vocabulary through
reading and discussion. Teachers must carefully consider the problems and
activities that students are involved in to ensure that the students with limited
language and literacy understand and find solutions to the problems.
In conclusion, in getting good result it must need more time and more power.
Although, the application of Portfolio assessment through problem based learning
approach is more difficult than non-problem based learning, but the result of
studying process in post-test showed that Portfolio assessment through problem
based learning approach is more effective than non-problem based learning.
218
BIBLIOGRAPHY
Anni, Catharina Tri. 2004. Psikologi Belajar. Semarang: UPT MKK
UNNES.
Anonym. 2009. Types of Writing (Online) (http. www. Local school directory.com, accessed
on March 20, 2009)
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan
Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta.
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). 2006.
Penyusunan Kurikulum Ting kat
Jenjang Pendidikan Dasar
Panduan
Satuan Pendidikan
dan Menengah. Jakarta.
Barrows, H., and Kelson, A. C.1995 Problem-Based Learning in
and the Problem-Based Learning Institute
Secondary
(Monograph
1),
Education
Problem-
Based Learning Institute, Springfield, IL.
Brandt, R. 1989. On misuse of testing: A conversation with George Madaus.
Educational
Leadership, 46(6), 26-29.
219
MODEL BAHAN AJAR BAHASA INDONESIA TULIS
UNTUK ANAK JEPANG
Jauharoti Alfin
IAIN Surabaya
[email protected]
ABSTRACT
Indonesian Language teaching for Indonesian student is very different from
BIPA (Indonesian Language for Foreign Speaker) because of different input,
process, and output. Input related to a variety of age of students participating
in learning Indonesian. It needs a way to be accepted by the BIPA learning
students according to the desired destination.The main issue in this study is
how the process of developing teaching materials Indonesian to Japanese
students in Japanese schools of Surabaya. The development process use a
model of development that adapting development R2D2 (Reflective,
Recursive Design and Development) Willis. R2D2 produces three-step model
of development, namely 1) the stage of defining / focusing, 2) design and
development stage, and 3) dissemination phase. This research successfully
develops teaching materials Indonesian to Japanese students in Japanese
schools Surabaya.
Keyword: teaching materials, BIPA, Japanese student
PENDAHULUAN
Dalam suatu sistem pembelajaran, ketersediaan bahan ajar merupakan salah satu
faktor penting untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran adalah suatu sistem
yang didalamnya terdapat komponen pembelajaran yang terkait dan berpengaruh satu
dengan yang lainnya. Secara umum dapat disebutkan bahwa komponen-komponen
pembelajaran tersebut antara lain; (1) kurikulum,(2) pengajar, (3) pebelajar, (4) bahan
ajar, (5) media pembelajaran, (6) metode dan teknik, (7) evaluasi.
Komponen-komponen tersebut sama dengan komponen pembelajaran pada
Bahasa Indonesia untuk penutur asing dalam hal ini siswa bilingual Jepang, yang
membedakan adalah karakteristik dan skemata pebelajarnya. Latar belakang budaya
yang dimiliki pebelajar Jepang serta skemata anak Jepang akan berpengaruh dalam
pembelajaran bahasa Indonesia. Untuk itu latar belakang budaya pebelajar juga dapat
diakomodasi dalam bahan ajar yang dipergunakan.
220
Pada proses belajar mengajar siswa dapat menggunakan berbagai macam sumber
alternatif yang diantaranya sumber dari guru maupun dari bahan ajar. Bahan ajar yang
digunakan oleh guru adalah bahan ajar yang mempunyai bentuk bahan dan struktur yang
jelas serta berdasarkan kebutuhan siswa sehingga dapat digunakan sebagai landasan berpikir
dalam merancang pembelajaran. Hal ini senada dengan konsep yang dikemukakan Gunter,
Estes, & Schwab (1990: 46), bahwa guru adalah perencana juga pembangun pertumbuhan
kompetensi siswa dalam tiga cara, yaitu (1) merencanakan pembelajaran sesuai dengan
karakteristik siswa; (2) memformulasikan tujuan, dan prosedur assesmen/evaluasi; dan (3)
memilih materi, prosedur penyajian, dan penyedia materi yang bervariasi.
Berdasarkan
pendapat tersebut
dan hasil analisis kebutuhan di Sekolah Jepang
Surabaya, perlu dikembangkan sebuah bentuk bahan ajar Bahasa Indonesia tingkat dasar
yang dapat dipergunakan oleh anak bilingual Jepang, bahan ajar bahasa Indonesia yang akan
dikembangkan menggunakan skemata anak bilingual sebagai landasan berpikir pembelajaran
bahasa Indonesia yang disesuaikan dengan kriteria pengembangan yang ada.
Penelitian pengembangan ini dilakukan juga untuk memberikan variasi tentang bahan
ajar bahasa Indonesia tingkat dasar anak bilingual di Sekolah Jepang Surabaya yang terfokus
pada proses, bentuk pengembangan bahan ajar serta kualitas bahan ajar bahasa Indonesia
anak bilingual di Sekolah Jepang Surabaya.
Berkaitan dengan hal di atas, masalalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah (1)
bagaimanakah proses pengembangan bahan ajar keterampilan berbahasa Indonesia tulis
untuk siswa bilingual Jepang-Indonesia?, (2) bagaimanakah hasil pengembangan bahan
ajar keterampilan berbahasa Indonesia tulis untuk siswa bilingual Jepang-Indonesia?
METODE
Model pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini diadaptasi dari Model
Pengembangan R2D2 (Reflective, Recursive Design and Development) Willis. Model R2D2
menghasilkan tiga langkah pengembangan, yaitu: 1) tahap pendefinisian, 2) tahap desain
dan pengembangan, dan 3) tahap diseminasi.
Prosedur penelitian pengembangan ini didasarkan pada tiga komponen R2D2,
yakni: (1) fokus penetapan, (2) fokus desain dan pengembangan, dan (3) fokus diseminasi
yang dimodifikasi sesuai dengan konteks lingkungan pengembangan dan kebutuhan. Pada
221
fokus penetapan, kegiatan utamanya adalah penentuan tim partisipasi, pemecahan
masalah berkelanjutan, dan pemahaman konteks. Fokus desain dan pengembangan
meliputi kegiatan pemilihan lingkungan, pemilihan format dan media, penentuan dan
pengembangan prototype produk, dan strategi evaluasi. Fokus diseminasi meliputi
kegiatan untuk penyebaran produk penelitian. Penelitian ini masih sampai pada fokus
desain dan pengembangan, khususnya sampai dihasilkannya prototype produk berupa
bahan ajar BIPA tingkat dasar untuk anak Jepang.
Prosedur pengembangan selengkapnya dapat dlihat pada bagan berikut ini.
1. FOKUS PENETAPAN
A. Penentuan Tim Partisipatif
 Peneliti
 Ahli Perancan Pembelajaran
 Ahli Media Pembelajaran
 Ahli Isi /BIPA
 Guru BI di SJS
 Siswa SJS
B. Pengidentifikasian dan Pemecahan Masalah
 Survei awal di lapangan
(wawancara, diskusi, dan penyebaran angket untuk
mengidentifikasi masalah)
 Diskusi pemecahan masalah oleh tim partisipatif.
C. Pemahaman Konteks
 Studi Pustaka
 Identifikasi Karakteristik Sekolah dan Siswa
 Analisis

2. FOKUS DESAIN & PENGEMBANGAN
A. Pemilihan Media dan Format
Media yang dipilih berupa buku teks dengan format bahan dan tugas otentik yang
muncul dari diskusi dengan guru dan siswa serta dari pandangan mengenai
literatur dan eksplorasi materi pembelajaran BIPA
B. Pemilihan Lingkungan:
C. Pengembangan Prototipe Produk
Bagan 1
Prosedur Penelitian Pengembangan Bahan Ajar BIPA
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bagian ini dipaparkan dua hal berkaitan dengan pengembangan produk
penelitian, yaitu (1) proses pengembangan bahan ajar, (2) hasil pengembangan bahan
ajar.
222
Proses Pengembangan Bahan Ajar
Proses pengembangan bahan ajar dalam penelitian ini dikembangkan melalui dua
tahapan. Kedua tahapan tersebut adalah (1) pemfokusan dan (2) perencanaan dan
pengembangan.
Tahap Pemfokusan
Fokus penetapan yang dilaksanakan bertujuan menetapkan dan mendefinisikan
syarat-syarat pembelajaran. Kegiatan fokus penetapan dalam penelitian ini mencakup
dua aktivitas, yaitu: (1) identifikasi dan pemecahan
masalah dan (2)
pemahaman
konteks.
Untuk memperoleh data awal sebagai identifikasi masalah penelitian ini, telah
dilakukan survey di tempat penelitian, yaitu Sekolah Jepang Surabaya. Selain melihat
kondisi pembelajaran, peneliti melakukan kegiatan wawancara dengan guru bahasa
Indonesia di Sekolah ini. Wawancara yang dilakukan meliputi sistem dan model
pembelajaran serta penggunaan buku ajar yang digunakan. Selanjutnya dilakukan pula
studi dokumentasi untuk mendapat data tentang profil sekolah. Berdasarkan hasil
wawancara tidak terstruktur maka dapat digambarkan tentang profil Sekolah Jepang
Surabaya.
Selanjutnya pada tahap berikutnya dalam pemfokusan adalah kegiatan
pemahaman konteks penelitian yang meliputi studi pustaka, identifikasi kebutuhan, dan
karakteristik siswa dan guru di Sekolah Jepang Surabaya. Kegiatan yang dilakukan dalam
tahap ini adalah melakukan studi pustaka dan wawancara untuk mengetahui dan
memahami tentang pembelajaran Bahasa Indonesia untuk siswa asing serta berbagai
karakteristik pembelajar yang berasal dari latar belakang Negara Jepang. Bentuk kegiatan
ini adalah observasi di sekolah Jepang Surabaya yang dilakukan pada hari Jumat sesuai
dengan jam pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Jepang Surabaya. Wawancara
dilakukan dengan tiga orang guru senior dan empat tingkat siswa dasar dan kepala
sekolah.
Tahap Perencanaan dan Pengembangan
Berdasarkan studi pendahuluan (tahap pemfokusan) dapat diketahui deskripsi
tentang identifikasi dan pemecahan masalah pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah
223
Jepang Surabaya, maka langkah selanjutnya dalam penelitian ini adalah merencanakan
dan mengembangkan produk bahan ajar Bahasa Indonesia. Tahap perencanaan dan
pengembangan meliputi: (1) pemilihan media dan format, (2) pemilihan lingkungan, (3)
pengembangan prototipe produk, dan (4) strategi evaluasi meliputi kegiatan uji kualitas
prototipe/draf pengembangan melalui telaah pengguna dan penilaian ahli, dan uji
eksperimen prototipe.
Perencanaan dimulai dengan pemilihan media dan format, serta pemilihan
lingkungan. Media yang dipilih berupa buku teks cetak, dengan format bahan dan tugas
otentik yang muncul dari diskusi dengan guru dan siswa serta dari pandangan mengenai
literatur dan eksplorasi materi pembelajaran BIPA. Pemilihan lingkungan di Sekolah
Jepang Surabaya, dengan fokus pada dua tingkatan belajar tingkat dasar, yaitu kelas
Nyumon 1 dan Nyumon 2 (tingkatan dasar 1) dan kelas Kyu 3 dan Kyu 4 (tingkatan dasar
2).
Langkah berikutnya adalah mengembangkan prototype produk. Pengembangan
dimulai dengan menentukan muatan silabus. Muatan silabus pada tahap ini berasal dari
penetuan standar kompetensi, kompetensi dasar yang akan dikembangkan dalam bentuk
bahan ajar. Tahap selanjutnya adalah penentuan muatan standar kompetensi,
kompetensi dasar dan indikator yang akan dijadikan rujukan sebagai pengembangan
bahan ajar Bahasa Indonesia Tingkat Dasar di Sekolah Jepang Surabaya, sehingga
diperoleh standar kompetensi, kompetensi dasar serta indikator.
Berikutnya dikembangkan prototype produk berdasarkan rancangan yang telah
dilakukan sebelumnya. Ada dua produk yang dihasilkan melalui penelitian ini, yaitu (1)
Buku Guru dan (2) Buku Siswa.
Buku guru dikembangkan untuk guru sebagai panduan dalam mengajarkan bahasa
Indonesia tingkat dasar untuk anak Jepang. Isi secara garis besar buku ini adalah latar
belakang penulisan bahan ajar, tujuan umum penulisan bahan ajar, sasaran pemakai
bahan ajar, garis besar isi bahan ajar, dan panduan penggunaan pada setiap kegiatan
pembelajaran yang akan membantu guru dalam penggunaan buku siswa.
Penulisan bahan ajar ini berlatar belakang masih sedikitnya materi BIPA yang
dikembangkan secara khusus untuk penutur anak Jepang. Khusus pelaksanaan
pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Jepang Surabaya (SJS) terdapat banyak
224
kendala. Permasalahan paling mendasar di sekolah ini adalah tidak adanya bahan ajar
baku yang digunakan untuk mengajar guru yang khusus digunakan untuk anak Jepang.
Selama ini, guru mengajar dengan memanfaatkan beragam materi terutama dari materi
BIPA
yang
masih
sangat
umum.
Berkaitan
dengan
inilah
akhirnya
peneliti
mengembangkan produk khususnya yang berupa bahan ajar tingkat dasar untuk anak
Jepang.
Tujuan secara umum penulisan bahan ajar ini adalah untuk memudahkan
pengajaran Bahasa Indonesia bagi siswa Jepang khususnya di SJS karena model bahan ajar
ini dirancang khusus untuk siswa Jepang yang disesuaikan dengan skemata anak bilingual
(Jepang-Indonesia), sehingga pembelajaran diharapkan lebih aktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan. Dengan demikian tujuan akhir pembelajaran Bahasa Indonesia tingkat
dasar 1 yakni membekali siswa bilingual Jepang-Indonesia di sekolah Jepang Surabaya agar
memiliki kemampuan dasar berbahasa Indonesia yakni menyimak, membaca, berbicara dan
menulis.
Sasaran utama pengguna buku ini adalah para guru pengajar Bahasa Indonesia
tingkat dasar 1 siswa bilingual Jepang-Indonesia di sekolah Jepang Surabaya.
Buku siswa dikembangkan dalam bentuk cetak. Buku dilengkapi dengan huruf
Kanji, Katakana, Hiragana. Huruf kanji adalah huruf symbol / huruf cina yang telah
diadopsi oleh bangsa Jepang. Hiragana dipakai untuk menulis kata-kata yang berasal dari
bahasa Jepang asli, dan dipakai untuk menggantikan kata-kata dari tulisan kanji, selain itu
juga digunakan untuk kata ganti, kata keterangan, dan kata sambung serta nama hewan
dan tumbuhan. Sedangkan Katakana dipakai untuk kata-kata yang berasal dari bahasa
asing, nama orang asing, nama kota di luar negeri, nama Negara, dan dipakai untuk katakata yang perlu ditonjolkan dalam sebuah kalimat.
Alasan mengapa dalam bahan ajar ini dilengkapi dengan huruf bantu karena tidak
semua orang Jepang paham dengan huruf Kanji. Hal ini akan membantu skemata siswa
dalam mempelajari bahan ajar Bahasa Indonesia Tingkat dasar yang dikembangkan.
Hasil Pengembangan Bahan Ajar
Bahan ajar ini dikembangkan dengan rancangan kompetensi sebagai berikut.
Tabel 1: Rancangan Kompetensi
225
Saran
Penyajia
n
Pertemu
an 1
Kompetensi Dasar
Indikator
Judul
Mampu mengucapkan
salam dengan benar dan
sesuai dengan waktu
percakapan
Mampu memperkenalkan
diri dengan kalimat
sederhana
Mampu menyapa
temannya dengan kalimat
sapaan yang tepat dan
bahasa yang santun
Mampu mengenal
lingkungan sekolah dengan
baik
Terampil mengucapkan salam
Mengucapk
an salam
Terampil memperkenalkan
diri
Berkenalan
Terampil menyapa teman
Bertemu
teman
Terampil mendeskripsikan
tempat/ruangan dan keadaan
serta kegiatan yang
berlangsung di lingkungan
sekolah
Terampil mendeskripsikan dan
menyebutkan orang, benda,
dan kegiatan yang ada di
kelas
Terampil mendeskripsikan dan
menyebutkan tempat, orangorang, benda-benda dan
kegiatan yang ada di
perpustakaan
Terampil mendeskripsikan dan
menyebutkan orang-orang,
jenis makanan dan minuman,
dan kegiatan yang berlangsung
di kantin sekolah
Terampil mendeskripsikan
alamat dan ruangan rumah
dengan jelas benar
Terampil memperkenalkan diri
dan anggota keluarga
Lingkungan
sekolahku
Pertemu
an
6 &7
Belajar di
kelas
Pertemu
an 8 & 9
Perpustakaa
n
Pertemu
an 10 &
11
Makan di
kantin
sekolah
Pertemu
an 12 &
13
Lingkungan
tempat
tinggalku
Aku dan
keluargaku
Terampil menceritakan
kegiatan yang dilakukan di
rumah
Terampil menceritakan
aktivitas/pekerjaan rumah
Kegiatan di
rumah
Terampil mendeskripsikan
Berjalan-
Pertemu
an
14 & 15
Pertemu
an 16 &
17
Pertemu
an 18 &
19
Pertemu
an 20 &
21
Pertemu
Mampu mengenal
lingkungan kelas dengan
baik
Mampu mengenal
lingkungan perpustakaan
dengan baik
Mampu mengenal
lingkungan kantin dengan
baik
Mampu mendeskripsikan
alamat dan ruangan rumah
dengan benar
Mampu mengenal dan
menyebutkan identitas diri
dan anggota keluarga
Mampu menceritakan
kegiatan yang dilakukan di
rumah
Mampu menceritakan
aktivitas/pekerejaan rumah
Mampu memahami hal-hal
Membantu
orang tua
Pertemu
an 2 &
3
Pertemu
an 4 & 5
226
Kompetensi Dasar
Indikator
yang ditemui dan aktivitas
yang dilakukan saat jalanjalan di taman
Mampu memahami
macam-macam toko dan
aktivitas yang dilakukan
saat berkunjung ke took
Mampu memahami macam
dan menu makanan serta
aktivitas yang di lakukan
saat pergi ke restoran
alat-alat yang digunakan untuk
memelihara taman, macammacam pohon dan bunga
Terampil menyebutkan dan
membedakan benda-benda
yang ditemui saat pergi ke
toko satu dengan yang lainnya
Terampil mendeskripsikan
menu dan macam makanan
yang ditemui saat makan di
restoran
Judul
jalan di
taman
Saran
Penyajia
n
an 22 &
23
Pergi ke
toko
Pertemu
an 24 &
25
Makan di
restoran
Pertemu
an 26 &
27
Isi buku secara keseluruhan adalah sebagai berikut. Buku ini berisi 4 pelajaran
yang terdiri atas beberapa bagian/subbab.
Pendahuluan :
Pengucapan bahasa Jepang dan bahasa Indonesia.
で
あ
Pelajaran 1 Pertemuan: 出会い
Mengucapkan salam, berkenalan, dan bertemu teman.
わたし
がっこう
Pelajaran 2 Sekolahku : 私 の学校
Lingkungan sekolahku, kelasku, perpustakaan, dan kantin sekolah.
わたし
うち
Pelajaran 3 Rumahku : 私 の家
Lingkungan tempat tinggalku, aku dan keluargaku, kegiatanku di rumah, dan
membantu orang tua
Pelajaran 4 Jalan-jalan: 散歩します
Berjalan-jalan di taman, berbelanja, dan makan di restoran.
Adapun ringkasan isi dari masing-masing paket disajikan di bawah ini.
Kompetensi Dasar Pelajaran 1 (Pertemuan):
Siswa bisa bercakap-cakap sederhana dalam bahasa Indonesia, maka siswa perlu belajar
hal-hal seperti mengucapkan salam, mengucapkan kalimat-kalimat perkenalan, dan
mengucapakan kalimat-kalimat tertentu jika bertemu teman.
Paket 1 Mengucapkan salam
227
Dalam paket ini siswa diajarkan tentang bagaimana mengucapkan salam berdasarkan
waktu ketika percakapan. Selain dari sisi waktu, siswa juga diajarkan salam yang
diucapkan pada saat-saat tertentu atau jika ada acara-acara khusus.
Paket 2
Berkenalan dengan teman baru
Dalam paket ini siswa diajarkan tentang hal-hal yang dilakukan jika menjumpai teman
baru, salah satunya adalah memperkenalkan diri.
Paket 3 Bertemu teman
Dalam paket ini siswa diajarkan tentang kalimat-kalimat yang biasanya diucapkan saat
bertemu dengan teman/sahabat terutama untuk menanyakan keadaan.
Kompetensi Dasar Pelajaran 2 (Sekolahku):
Siswa bisa berinteraksi dengan lingkungan sekolah dalam bahasa Indonesia, maka siswa
harus mengenal sekolah kita dengan belajar hal-hal seperti, lingkungan sekolah, belajar
di kelas, pergi ke perpustakaan, dan makan di kantin sekolah.
Peket 4
Lingkungan sekolahku
Dalam paket ini siswa diajarkan tentang arah, denah sekolah, dan tempat-tempat di
sekolah.
Paket 5
Belajar di kelas
Dalam paket ini siswa diajarkan tentang orang-orang yang ada di kelas, benda-benda yang
ada di kelas, dan kegiatan yang ada di kelas.
Paket 6
Perpustakaan
Dalam paket ini siswa diajarkan tentang orang di perpustakaan, benda-benda di
perpustakaan, dan kegiatan yang dilakukan diperpustakaan.
Paket 7
Makan di kantin sekolah
Dalam paket ini siswa diajarkan tentang orang-orang di kantin, jenis makanan yang ada di
kantin, dan kegiatan di kantin.
Kompetensi Dasar Pelajaran 3 (Rumahku):
Siswa bisa mengenal lingkungan tempat tinggalnya, diri dan keluarganya, dan mengenal
beberapa kegiatan yang biasanya dilakukan di rumah, serta bisa membantu kegiatan
yang dilakukan orang tua di rumah.
228
Peket 8 Lingkungan tempat tinggalku
Dalam paket ini siswa diajarkan tentang letak rumah, ruangan yang ada di rumah, dan
benda-benda yang ada di rumah.
Paket 9
Aku dan keluargaku
Dalam paket ini siswa dilatih untuk mengenal dirinya, menyebutkan aggota keluarganya,
dan menyebutkan identitas aggota keluarganya.
Paket 10
Kegiatan di rumahku
Dalam paket ini siswa diperkenalkan beberapa kegiatan yang biasanya dikerjakan di
rumah sesuai dengan waktunya, yakni kegiatan pada pagi hari, kegiatan pada siang hari,
dan kegiatan pada malam hari.
Paket 11
Membantu orang tua
Dalam paket ini siswa diperkenalkan beberapa kegiatan yang biasanya dilakukan oleh
orang tua yang juga bisa juga dikerjakan bersama-sama oleh siswa.
Kompetensi Dasar Pelajaran 4 (Jalan-jalan):
Siswa bisa mengenal tempat yang biasanya digunakan untuk jalan-jalan dan mengerti
tentang aktivitas yang biasanya dilakukan di tempat tersebut.
Peket 12
Berjalan di taman
Dalam paket ini siswa diperkenalkan dengan hal-hal yang biasanya ditemui di taman, alat
untuk memelihara taman, macam-macam pohon, jenis-jenis bunga, dan kegiatan yang
biasanya dilakukan di taman.
Paket 13
Pergi ke toko
Dalam paket ini siswa diperkenalkan dengan macam-macam toko, dan kegiatan yang
biasanya dilakukan di toko.
Paket 14
Makan di resotan
Dalam paket ini siswa diperkenalkan dengan beberapa menu makanan, macam-macam
makanan, dan kegiatan yang biasanya dilakukan pada saat pergi di restoran.
Adapun kutipan isi buku siswa yang dikembangkan adalah sebagai berikut.
229
Gambar 1 Cover Buku Cetak
Gambar 2 Daftar Isi
Gambar 3 Cover Pelajaran
230
Gambar 4 Menu Ayo Belajar
Gambar 5 Menu Ayo Menyanyi
Gambar 6 Menu Yang Kita Pelajari
231
Gambar 7 Menu Ayo Berlatih
Semua produk yang dihasilkan selanjutnya nanti diukur dengan
menggunakan instrumen untuk mengukur kesahihan, keefektifan serta kepraktisan
akan produk yang dihasilkan.
PENUTUP
Proses pengembangan bahan ajar bahasa Indonesia yang dihasilkan dalam
penelitian ini adalah bahan ajar bahasa Indonesia tingkat dasar yang dilengkapi dengan
silabus, peta kompetensi, buku desain pembelajaran yang diperuntukkan untuk
pembelajar tingkat dasar di sekolah Jepang Surabaya.
Model pengembangan penelitian ini diadaptasi dari Model Pengembangan R2D2
(Reflective, Recursive Design and Development) Willis dan Model Asesmen Bahasa Lisan
O’malley & Pierce. Model R2D2 menghasilkan tiga langkah pengembangan, yaitu: 1)
tahap pendefinisian, 2) tahap desain dan pengembangan, dan 3) tahap diseminasi Model
pengembangan dalam penelitian pengembangan bahan ajar Bahasa Indonesia tingkat
dasar anak bilingual Jepang adalah model pengembangan R2D2 (Reflective, Recursive,
Design and Development) yang diadaptasi dari model desain penelitian pengembangan
Jerry Willis (2005:237). Model pengembangan R2D2 memiliki komponen Define,
Design and Develop, and Disseminate, yang merupakan model pengembangan non-linier.
Prosedur penelitian pengembangan ini didasarkan pada tiga komponen R2D2,
yakni: (1) fokus penetapan, (2) fokus desain dan pengembangan, dan (3) fokus diseminasi
yang dimodifikasi sesuai dengan konteks lingkungan pengembangan dan kebutuhan.
232
Pada kegiatan awal berupa fokus penetapan Kegiatan fokus penetapan mencakup tiga
aktivitas, yaitu: (1) pembentukan tim partisipatif, (2) pemecahan masalah, dan (3)
pemahaman konteks.
Produk penelitian pengembangan bahan ajar bahasa Indonesia bagi siswa Jepang
ini, berusaha membuat produk yang menarik bagi pengguna bahan ajar lewat lay out
materi dan penggunaan gambar-gambar yang efektif dan kreatif. Maksudnya adalah
peneliti sebagai perancang dan pengembang perlu mencoba berbagai alternatif dan
meminta masukan secara teratur dari para calon pengguna bahan ajar bahasa Indonesia
ini, baik itu guru bahasa Indonesia di SJS maupun siswa SJS. Dengan menggunakan
lingkungan pengembangan yang tepat, perubahan yang dilakukan pada disain pengajaran
bisa dijalankan secara langsung untuk mengetahui bagaimana tampilannya dan jika dilihat
dari perspektif para pebelajar yang akan menggunakan bahan ajar tersebut berupa:
Silabus, Peta kompetensi, dan Bahan ajar.
Pengembangan bahan ajar Bahasa Indonesia untuk sekolah Jepang ini dapat
disempurnakan secara lebih terperinci lagi. Perlu dikembangkan alat evaluasi yang lebih
baik untuk semua tingkat kompetensi sehingga benar-benar dapat mengukur tingkat
kompetensi siswa dengan valid. Bahan ajar yang dikembangkan dapat didesiminasikan di
Sekolah Jepang seluruh Indonesia. Alokasi waktu untuk pembelajaran bahasa Indonesia di
sekolah-sekolah Internasional perlu ditambah sehingga ketuntasan belajar dapat dilihat
dengan baik.
Pemerintah diharapkan dapat memfasilitasi dalam standarisasi kompetensi dasar
yang harus dimiliki siswa berdasarkan negara asal siswa BIPA. Pemerintah juga
mendorong pembuatan bahan ajar bahasa Indonesia disesuaikan dengan asal negara
pembelajar karena dalam pemahaman akan sangat berbeda antara satu negara dengan
negara lain dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Burn, P.C.; Roe, B.D. Ross, E.P. 1996. Teaching Reading in Todays Elementary Schools.
Boston: Houghton Mifflin Company.
Cox, C. & Zarrillo, J. 1993. Teaching Reading with Children's Literature. New York: Merril
Macmillan Publishing Company.
233
Depdiknas. 2006. Pedoman Memilih dan Menyusun Bahan Ajar. Jakarta: Depdiknas.
Design, New York: Holt, Rinehart and Winston.
Gunter, M.A.; Estes, T.H.; Schwab, J.H. 1990. Instruction A Models Approach. Boston: Allyn
& Bacon.
Mikihiro, Moriyama & Kashimura Akio. 2003. Buku Pelajaran Bahasa Indonesia. Penerbit
tidak diketahui.
Noton, D.E. & Norton, S. 1994. Language Arts Activities for Children. New York: Macmillan
College Publishing Company.
Nunan, David. 1995. Language Teaching Methodology: A Textbook for Teacher. New York:
Phoenix.
Panen, P & Purwanto, 1997. Penulisan Bahan Ajar. Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud
Tomlinson, B. (ed.). 1998. Material Development in Material Teaching. New York:
Cambridge University Press.
Widodo, dkk. 2007. Sejarah BIPA, Tantangan dan Peluang Pengembangan BIPA. Semlok
Internasional BIPA Pusat Bahasa Jakarta
Willis, Jerry. 1995. A Recursive, Reflective Instructional Design Model Based on
Constructivist-Interpretivist Theory. Educational Technology, 35 (6), 5-23.
Willis, Jerry. 2000. The Maturing of Constructivist Instructional Design: Some Basic
Principles that can Guide Practice. Educational Technology, 40 (1), 5-16.
Willis, Jerry. 2000. A General Set of Procedures for Constructivist Instructional Design: The
New R2D2 Model. Educational Technology, 40 (2), 5-20.
234
Download