BAB I Pendahuluan

advertisement
BAB I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Setiap produk pasti mencantumkan nama dalam kemasannya agar dapat
dikenali. Nama diwujudkan dalam bentuk merek, “American Marketing
Association mendefinisikan merek sebagai nama, istilah, tanda, simbol atau desain,
atau kombinasi dari keseluruhannya yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi
barang atau jasa dari penjual atau sekelompok penjual, agar dapat dibedakan dari
kompetitornya” (Shimp, 2003: 8). Begitu berharga nilai sebuah merek bagi
perusahaan
membuat
mereka
rela
menggugat
perusahaan
lain
yang
menyalahgunakan nama merek dan membahayakan eksistensi merek. Sebut saja
mobil Lexus yang beberapa waktu lalu yang menggugat sebuah perusahaan peranti
komputer Lexus Daya Utama dan helm bermerek Lexus karena menggunakan nama
mobil mewah mereka. Sengketa merek ini juga dialami merek ban mobil Innova
yang digugat Toyota karena memiliki kesamaan nama merek dengan mobil Toyota
Innova. Gugatan tersebut menunjukkan bahwa Lexus dan Toyota sangat
melindungi mereknya agar tidak kehilangan identitas merek serta merugikan
konsumen mereka.
Seorang peneliti dalam bidang marketing, Furinto (2013) dalam majalah
Marketing dengan artikelnya
yang berjudul Pembuktian Dilusi Merek
mengemukakan bahwa sengketa merek sendiri secara umum dibedakan menjadi
dua jenis, yaitu pelanggaran merek (trademark infringement) dan dilusi merek.
Jenis yang pertama atau pelanggaran merek terjadi apabila sebuah merek
menggunakan tanda-tanda atau ciri yang sama dengan merek yang telah ada
sebelumnya sehingga konsumen dapat terkecoh. Pelanggaran merek mudah
dibuktikan karena dapat terlihat secara fisik. Kedua, dilusi merek, lebih sulit
dibuktikan secara hukum formal karena nama merek yang hampir sama digunakan
pada jenis produk yang berbeda.
1
Merek Cap Kaki Tiga milik Kino dan merek Larutan Penyegar Cap Badak
milik Sinde adalah produk yang memiliki masalah dalam hal sengketa merek
beberapa waktu yang lalu. Masalah ini berawal dari adanya sengketa merek larutan
Cap Kaki Tiga milik Wen Ken Drug asal Singapura terhadap produk Larutan
Penyegar Cap Badak milik PT. Sinde Budi Sentosa. Wen Ken Drug mencabut hak
produksi dan hak distribusi merek Cap Kaki Tiga pada 28 April 2011 dari Sinde
yang telah bekerja sama sejak tahun 1978. Sinde dinilai tidak kooperatif karena
menyalahi perjanjian dalam pembayaran royalti, tidak memberikan laporan
produksi dengan jelas, serta memroduksi produk sejenis, yaitu Lasegar. Wen Ken
Drug kemudian mengalihkan izin produksi merek Cap Kaki Tiga pada PT.
Kinocare Era Kosmetindo. Sinde kemudian memroduksi produk larutan pereda
panas dalam baru dengan nama Cap Badak. Sinde juga telah mematenkan ilustrasi
badak dan kaligrafi arab atas nama mereka pada tahun 2003 di luar sepengetahuan
Wen Ken Drug. Kasus sengketa merek ini pun terus bergulir di pengadilan.
Sinde memenangkan kasus sengketa merek ini di pengadilan. Majelis Hakim
menyatakan bahwa pendaftaran merek Cap Kaki Tiga No.IDM000241894 oleh
Wen Ken Drug dilakukan dengan itikad tidak baik karena dapat menyesatkan
konsumen yang mengira produk Cap Kaki Tiga berasal dari Cap Badak. Selama ini
Cap Kaki Tiga identik dengan visualisasi badak dalam kemasannya. Di negara lain
pun atribut badak adalah hak paten milik Wen Ken Drug yang harus ada dalam
setiap kemasan Cap Kaki Tiga. Dengan kemenangan Sinde di pengadilan, jelas
menguntungkan merek Cap Badak karena atribut tersebut telah dikenal konsumen
sejak awal persebaran merek Cap Kaki Tiga. Kini Cap Kaki Tiga tidak lagi
diperkenankan menggunakan atribut arab dan ilustrasi badak karena telah
dipatenkan atas nama Sinde.
Meskipun tidak lagi diperkenankan menggunakan atribut kaligrafi dan
ilustrasi badak, Cap Kaki Tiga seharusnya memiliki ekuitas merek yang kuat di
benak konsumen karena telah puluhan tahun beredar di pasar Indonesia. Namun
semenjak kehadiran Cap Badak beberapa tahun belakangan dalam kategori produk
larutan pereda panas dalam, keadaan tidak lagi sama. Masyarakat justru
dipusingkan dengan kehadiran kedua produk yang secara fisik hampir sama.
2
Menurut Istijanto Oei, penulis buku “Marketing For Everyone,” konsumen juga
sebenarnya tidak terlalu memerhatikan perbedaan produsen di belakangnya karena
masih mempersepsikan keduanya sebagai Cap Kaki Tiga Generasi Awal. Di satu
sisi konsumen telah mengenal Cap Kaki Tiga yang hadir sejak puluhan tahun yang
lalu. Namun di sisi lain Cap Kaki Tiga justru tidak bisa diidentifikasi dengan kuat
akibat kehilangan atribut badak dalam kemasannya. Konsumen mulai tidak bisa
mengasosiasikan merek dengan produk dengan spesifik, padahal Cap Kaki Tiga
yang telah lebih dahulu mengelola produk ini sejak 1937 yang lalu dengan atribut
badak dalam kemasannya.
Adanya sengketa merek ini tidak banyak berpengaruh pada jumlah market
share produk larutan pereda panas dalam, namun berpengaruh terhadap jumlah
sales masing-masing produk. MIX edisi Maret 2012 melansir, market size produk
larutan pereda panas dalam di Indonesia telah mencapai nilai 20 triliun rupiah per
tahun. Tidak heran jika persaingan antara dua merek larutan pereda panas dalam ini
begitu ketat. Pada tahun 2010 sendiri, produk Larutan penyegar Cap Badak
memberikan kontribusi sales sebesar 70% kepada Sinde. Sales mereka berpindah
sebesar 30% kepada Kino karena tidak bisa dipungkiri Cap Kaki Tiga telah
memiliki loyalis produk. Kino sendiri mengklaim penjualan Cap Kaki Tiga setelah
merek ini ditangani mereka mencapai angka 20 miliar per bulan.
Tingginya penjualan produk larutan pereda panas dalam tidak luput dari
pengaruh jumlah persebaran toko modern di Indonesia. Toko modern menjadi
sarana distribusi produk yang paling mudah dijangkau masyarakat saat ini. Di
Indonesia sendiri jumlah Indomaret mencapai 8037 gerai di akhir tahun 2013.
Jumlah tersebut masih di tambah toko modern lain seperti Alfamart, Alfa Midi, dll.
Jumlah persebaran toko modern di DIY sendiri tumbuh sangat pesat. Jumlah toko
modern di Yogyakarta sampai sejauh ini mencapai 52 gerai. Di Bantul sampai 2013
diperkirakan mencapai 96 gerai. Jumlah terbanyak berada di Kabupaten Sleman
dengan jumlah 173 gerai. Cap Kaki Tiga sendiri mengaku bekerja sama dengan
Indomaret seluruh Indonesia untuk memasarkan produknya. Dengan begitu
persebaran produk larutan pereda panas dalam dipastikan telah tersebar dengan baik
di Kabupaten Sleman. Meskipun produk telah didistribusikan dengan baik, majalah
3
MIX justru memaparkan bahwa angka penguasaan larutan pereda panas dalam
menjadi sulit diprediksi setelah Cap Kaki Tiga dimiliki Kino. Bisa saja dikarenakan
konsumen mulai kesulitan mengidentifikasi produk dengan baik.
Akan membahayakan merek jika konsumen tidak lagi bisa mengidentifikasi
produk dengan baik. Melalui studi pengaruh nilai ekuitas merek terhadap preferensi
merek, diharapkan perusahaan dapat melihat sejauh mana konsumen memahami
merek dan akhirnya menempatkan merek dalam preferensinya. Pengukuran nilai
ekuitas merek perusahaan dapat mengetahui kelemahan mereknya saat ini
kemudian merumuskan kembali strategi pemasaran yang tepat untuk diaplikasikan
kedepannya. “Meskipun nilai ekuitas merek tidak dapat secara langsung mengukur
pangsa pasar dan keuntungan perusahaan, namum dapat mengasumsikan bahwa
dengan nilai ekuitas merek yang tinggi berarti pangsa pasar dan keuntungan
perusahaan juga tinggi” (Cobb-Walgren, 1995: 28). Dengan mengukur preferensi
merek, perusahaan dapat memetakan sejauh mana konsumen mengutamakan
mereknya dibandingkan merek lain. Semakin konsumen memahami merek, maka
nilai ekuitas mereknya tinggi. Dengan nilai ekuitas merek yang tinggi pula, maka
preferensi konsumen terhadap merek tersebut juga tinggi.
Dari penjabaran latar belakang di atas, peneliti melihat masalah ini dapat
dijadikan kajian penelitian dalam bidang komunikasi pemasaran. Dengan
melakukan penelitian ini diharapkan dapat memaparkan pengaruh nilai ekuitas
merek terhadap preferensi merek larutan pereda panas dalam di Kabupaten Sleman.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah:
Bagaimana pengaruh nilai ekuitas merek terhadap preferensi merek Larutan
Cap Kaki Tiga dan Larutan Penyegar Cap Badak pada konsumen di Kabupaten
Sleman?
4
C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1.
Mengetahui pengaruh nilai ekuitas merek terhadap preferensi merek
Larutan Cap Kaki Tiga dan Larutan Penyegar Cap Badak pada
konsumen di kabupaten Sleman.
2.
Membandingkan pengaruh nilai ekuitas merek terhadap preferensi
merek Larutan Cap Kaki Tiga dan Larutan Penyegar Cap Badak pada
konsumen di kabupaten Sleman.
D.
Manfaat Penelitian
1.
Akademik
Dengan diadakannya penelitian ini, manfaat akademik yang ingin
dicapai adalah:
-
Menerapkan dan menguji konsep pengaruh nilai ekuitas merek
terhadap preferensi merek dalam kajian Komunikasi Pemasaran.
2.
Praktis
Dengan diadakannya penelitian ini, manfaat praktis yang ingin dicapai
adalah:
-
Menjadi referensi bagi produsen kategori produk larutan pereda
panas dalam dalam menentukan strategi komunikasi pemasaran
selanjutnya.
E.
Kerangka Pemikiran
a.
Nilai Ekuitas Merek
5
Sebelum melangkah ke konsep nilai ekuitas merek, terlebih dahulu
dipaparkan makna ekuitas merek itu sendiri. Aaker mendefinisikan ekuitas
merek sebagai “seperangkat aset, atau kewajiban, yang terhubung dengan
nama merek atau simbol, yang dapat menambah atau mengurangi nilai
produk atau layanan kepada perusahaan atau konsumen” (Aaker, 1991: 15).
Aset yang terhubung dengan nama merek atau simbol tersebut diperoleh
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya terhadap merek.
Pengetahuan dan pengalaman yang positif akan menambah nilai produk atau
layanan kepada perusahaan atau konsumen, sedangkan pengetahuan dan
pengalaman yang negatif akan mengurangi nilai produk atau layanan kepada
perusahaan atau konsumen.
Terlepas dari ekuitas merek, dalam KBBI nilai merupakan “sebuah
ukuran yang menentukan kadar, mutu, atau banyak sedikitnya isi”. Dalam
konteks komunikasi pemasaran, nilai adalah “kepercayaan dimana terdapat
suatu kondisi yang lebih diutamakan dibandingkan sebaliknya” (Solomon,
2007: 136). Sebagai gambaran, seorang wanita memilih menggunakan
produk kecantikan untuk wajahnya agar terlihat lebih muda, daripada terlihat
tua. Wanita tersebut percaya bahwa produk kecantikan dapat memberikan
kondisi muda untuk wajahnya. Konsumen mempercayai bahwa produk yang
mereka konsumsi dapat memberikan nilai yang sesuai dengan tujuan
pembeliannya.
Dalam konteks pemasaran, nilai dapat pula berupa evaluasi terhadap
harga dan kinerja merek. “Istilah 'nilai' kerap disebut sebagai kompromi yang
dicapai antara harga dan kinerja” (Upshaw, 1995: 31). Pada umumnya
konsumen menilai bahwa harga yang tinggi menunjukkan kualitas yang baik.
Harga adalah salah satu aset tak berwujud yang melekat di dalam merek.
Dengan harga yang tinggi, sebuah merek mampu memberi asumsi pada
konsumen bahwa mereka telah mengenakan produk dengan kinerja yang
premium, pelayanan yang memuaskan, serta kepuasan yang tinggi.
Sebaliknya, dengan harga yang rendah, konsumen pastinya telah bersiap
6
untuk menerima konsekuensi bahwa produk memiliki kualitas rata-rata.
Konsumen melakukan evaluasi tersebut terhadap beberapa pilihan merek.
Nilai merupakan keseluruhan evaluasi terhadap aset-aset yang
diasosiasikan dan dipersepsikan oleh konsumen terhadap sebuah merek.
“Nilai merek terkait dengan seberapa jauh konsumen mengerti dan
mempunyai asosiasi positif terhadap merek” (Soehadi, 2005: 15). Konsumen
melakukan evaluasi terhadap aset-aset yang melekat dalam merek. Semakin
jauh konsumen mengerti dan memiliki asosiasi positif terhadap merek maka
nilai yang melekat pada mereknya juga akan semakin tinggi, begitu pula
sebaliknya.
Sementara nilai melekat pada merek dalam berbagai aspek,
konsumenlah yang pertama menentukan ekuitas merek. Seperti dinyatakan
oleh Farquhar (1989) dan Crimmins (1992) dalam Cobb-Walgren (1995: 27)
bahwa “…While brands do have value to various constituencies, it is
consumer who first determines brand equity”. Konsumen membentuk
pemahaman terhadap merek dalam benak mereka yang kemudian dapat
membentuk nilai ekuitas merek. Nilai ekuitas merek terbentuk dalam persepsi
di benak konsumen. “Overall, the perceptions contribute to the meaning or
value that the brand adds to the consumer-i.e., brand equity” (Djerv & Malla,
2012: 15). Aset yang melekat dalam merek diintepretasikan oleh konsumen
sehingga membentuk persepsi. Dengan begitu, nilai ekuitas merek dalam
penelitian ini dapat diartikan dengan seperangkat aset-aset tak berwujud yang
melekat pada merek dan diterjemahkan menjadi persepsi di benak konsumen.
Nilai ekuitas merek kemudian dapat diukur melalui seperangkat
penilaian terhadap persepsi konsumen yang dijabarkan oleh Aaker (1996)
dalam Measuring Brand Equity Across Product and Markets. Aaker
memaparkan sepuluh perangkat pengukuran melalui The Brand Equity Ten,
yang terbagi dalam lima kategori terangkum dalam tabel 1.1. Empat kategori
pertama merepresentasikan persepsi konsumen terhadap merek yang
dijabarkan dalam empat dimensi ekuitas merek, loyalitas merek (brand
loyality), kesadaran merek (brand awareness), persepsi kualitas (perceived
7
quality), dan asosiasi merek (brand association). Kategori kelima,
pengukuran perilaku pasar, lebih merepresentasikan informasi terkini dari
pasar, sehingga tidak melibatkan konsumen secara langsung. Dalam
Marketing Research (Aaker, dkk, 2000), Aaker lebih menganjurkan dalam
riset ekuitas merek untuk menggunakan empat kategori pertama tanpa
menyertakan kategori kelima. Oleh karena itu pengukuran nilai ekuitas merek
hanya akan mengukur berdasarkan pada empat dimensi ekuitas merek saja.
Tabel 1.1. The Brand Equity Ten
Pengukuran Loyalitas

Harga Premium

Kepuasan/ Loyalitas
Pengukuran Persepsi Kualitas/ Popularitas

Persepsi Kualitas

Popularitas
Pengukuran Asosiasi/ Diferensiasi

Persepsi Nilai

Kepribadian Merek

Persepsi Organisasi
Pengukuran Kesadaran

Kesadaran Merek
Pengukuran Perilaku Pasar

Pangsa Pasar

Harga dan Indeks Distribusi
Sumber: David A. Aaker. California Management Review Vol. 38. No 3:
Measuring Brand Equity Across Product and Markets. (1996: 105)
1.
Ukuran Loyalitas
Loyalitas adalah elemen utama yang membangun nilai ekutas
merek. “Konsumen yang loyal kepada merek memberikan kelonggaran
bagi perusahaan untuk menetapkan harga yang tinggi, berpikir ulang
8
untuk mengikuti inovasi dari kompetitor, serta terbentengi dari
kompetisi harga di pasar” (Aaker 1996: 106). Ukuran loyalitas yang
dijabarkan oleh Aaker (1996) meliputi:
a)
Harga Premium
Ukuran loyalitas dapat dilihat dari kesediaan konsumen
untuk membeli sebuah produk meskipun harga produk tersebut
lebih tinggi dibanding kompetitornya dalam kategori produk yang
sama. Contohnya saja Pepsi dan Coca Cola, keduanya adalah
produk minuman berkarbonasi yang secara manfaat dan rasa
sama. Jika konsumen telah loyal kepada Coca Cola maka
konsumen tersebut akan tetap membeli Coca Cola, meskipun
harga di pasaran menunjukkan harga Pepsi 10% lebih rendah.
Aaker
juga
menyatakan
bahwa
harga
premium
dapat
mengindikasikan apakah suatu merek memiliki ekuitas merek
atau tidak. “Setiap aspek dalam ekuitas merek juga dapat
mempengaruhi harga premium” (Aaker, 1996: 107). Pengukuran
terhadap Harga premium memang terkesan mentah, namun dapat
memudahkan dalam menentukan strategi membangun merek,
keputusan pemasaran, serta langkah peningkatan kualitas produk
ke depan. Jika konsumen tetap bertahan pada harga yang tinggi
sekalipun, artinya loyalitas terhadap merek telah terbangun.
b)
Kepuasan/ loyalitas
Pengukuran secara langsung terhadap kepuasan dapat
diukur dari opini dan tindakan konsumen terhadap merek.
Fokusnya dapat berasal dari pengalaman sebelumnya konsumen
terhadap merek. Aaker memberikan gambaran pertanyaan seperti
“apakan anda (tidak puas – puas – sangat puas) terhadap produk
atau jasa yang anda gunakan pada pengalaman terakhir? Atau
apakah anda akan membeli produk tersebut pada kesepatan
berikutnya? Limitasinya adalah indikator ini tidak dapat
9
mengukur orang lain yang belum pernah menggunakan produk
sebelumnya. Tujuan pengukuran kepuasan adalah untuk
mengetahui apakah konsumen akan melakukan pembelian ulang
terhadap suatu merek. Jika konsumen puas, maka kemungkinan
pembelian ulang juga tinggi.
2.
Ukuran Persepsi Kualitas/ Popularitas
Persepsi kualitas dan popularitas adalah salah satu faktor yang
cukup penting dalam menentukan dimana letak produk dalam kategori
produk yang sama. Keduanya dapat membandingkan tingkatan produk
yang satu dengan yang lainnya. Ukuran persepsi kualitas yang
dijabarkan oleh Aaker (1996) meliputi:
a)
Persepsi kualitas
Memiliki hubungan yang kuat dengan opini konsumen
terhadap
asosiasi
produk. Persepsi
kualitas
dapat
juga
menghubungkan dengan harga premium, elastisitas harga,
kegunaan produk, serta pengembalian saham. Pengukuran
persepsi kualitas dilakukan dengan membandingkan kualitas
merek dibanding merek lain dalam kategori produk yang sama.
Jika konsumen mempersepsikan kualitas mereknya tinggi, maka
kemungkinan produk menjadi prioritas juga tinggi.
b)
Popularitas
Merek yang memiliki kualitas tinggi telah dipersepsikan
sebagai pemimpin dalam satu kategori produk. Pengukuran
popularitas dalam persepsi kualitas dapat dilakukan dengan
melihat tiga indikator, yaitu selalu menjadi yang nomor satu
sebagai pemimpin pasar, selalu menampilkan inovasi, dan merek
selalu popular dan menjadi trend-setter.
3.
Ukuran Asosiasi
10
“Asosiasi merek dapat menjadi dasar bagi seseorang dalam
melakukan keputusan pembelian dan dapat membangun loyalitas
terhadap merek” (Aaker, 1991: 110). Asosiasi merek merupakan semua
kesan yang terkait dengan ingatan seseorang terhadap suatu merek.
Kesan-kesan tersebut dapat melekat dalam ingatan konsumen
dipengaruhi oleh pengalaman penggunaan terhadap produk maupun
melalui sumber informasi lain. Ukuran asosiasi yang dijabarkan oleh
Aaker (1996) meliputi:
a)
Persepsi nilai
Merek dalam perspektif produk berfokus pada persoalan
nilai merek. Merek yang tidak memiliki nilai akan rentan untuk
diserang oleh kompetitornya. Pengukuran terhadap nilai
menghasilkan indikator evaluatif terhadap kesuksesan merek
dalam membentuk proposisi nilai mereknya. Pengukuran
terhadap persepsi nilai meliputi apakah merek menghasilkan nilai
yang sebanding dengan harganya, dan juga alasan mendasar
konsumen dalam memilih suatu merek dibandingan dengan
merek lainnya.
b)
Kepribadian merek
Dalam indikator ini, sebuah merek diumpamakan sebagai
manusia dimana tiap individu akan memiliki kepribadian yang
berbeda. Sama seperti manusia, merek memiliki kepribadian yang
berbeda satu sama lainnya, tergantung pada nilai yang melekat
pada merek serta manfaat yang diberikan kepada konsumennya.
Kepribadian merek yang kuat diukur dari sejauh mana konsumen
tertarik pada personalitas merek. Selain itu konsumen juga harus
memiliki gambaran yang jelas tentang tipe konsumen macam apa
yang akan menggunakan merek tersebut.
c)
Asosiasi organisasional
11
Dimensi lain dari asosiasi merek adalah merek dalam
perspektif organisasi yang menaunginya, yang memperhitungkan
organisasi (orang, nilai, dan program) yang bernaung di belakang
sebuah merek. Penilaian terhadap dimensi ini penting dilakukan
jika beberapa merek memiliki kesamaan atribut, dimana akan
memudahkan konsumen melakukan penilaian berdasarkan
perusahaan yang memroduksi merek tersebut. Pengukuran
terhadap asosiasi organisasi diukur melalui kepercayaan
konsumen terhadap perusahaan yang memproduksi suatu merek,
kekaguman pada perusahaan yang memroduksi merek tersebut,
serta kepercayaan terhadap kredibilitas perusahaan dalam
memroduksi merek.
4.
Ukuran Kesadaran
a)
Kesadaran merek
“Kesadaran merek adalah kemampuan konsumen untuk
mengenali (recognition) dan mengingat (recall) sebuah merek
dalam kategori produk tertentu” (Aaker, 1991). Dengan adanya
kesadaran merek, konsumen dapat membedakan merek yang satu
dengan merek yang lainnya. Kesadaran dapat mempengaruhi
persepsi dan sikap konsumen. Dalam beberapa konteks,
kesadaran merek dapat membentuk pemilihan merek bahkan
loyalitas. Pengukuran kesadaran merek dilakukan dengan melihat
pengenalan konsumen terhadap merek, mengingat kembali merek
yang ada di benak konsumen, sejauh mana merek menjadi Top of
Mind, dominasi merek dalam mengingat merek, pengetahuan
terhadap merek, serta opini-opini terhadap merek tersebut.
Pengukuran terhadap nilai ekuitas merek tersebut memberikan
gambaran bagaimana konsumen mengolah persepsi dalam menerjemahkan
seperangkat aset-aset tak berwujud yang melekat pada merek di dalam
12
benaknya. Nilai ekuitas merek didapatkan dari nilai tambah yang diberikan
merek pada produk. “Sepanjang nilai tambah ada, maka merek memiliki
ekuitas” (Hana & Wozniak (2001) dalam Simamora, 2003: 47). Ketika merek
telah memiliki ekuitas, maka nilai ekuitas merek tersebut dapat memberikan
manfaat baik kepada konsumen maupun bagi perusahaan. Bagi konsumen,
nilai ekuitas merek dapat membantu konsumen dalam menafsirkan,
memproses, dan menyimpan informasi mengenai produk dan merek. Nilai
ekuitas merek juga mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam
mengambil keputusan pembelian. Selain itu, “persepsi kualitas dan asosiasi
merek dapat meningkatkan kepuasan konsumen dalam menggunakan
produk” (Simamora, 2003: 48). Lebih lanjut, Simamora (2003: 50) juga
menyatakan bahwa “bagi perusahaan, ekuitas merek yang kuat akan
mendorong terjadinya transaksi berulang oleh konsumen, memungkinkan
perusahaan menetapkan harga yang tinggi (premium) sehingga margin lebih
tinggi, diferensiasi merek dengan pesaingnya lebih jelas sehingga mudah
diidentifikasi oleh konsumen, dan lain sebagainya”. Ekuitas merek juga
merupakan perwujudan dari kepercayaan merek yang tinggi. “Dengan ekuitas
merek yang kuat, maka perusahaan dapat mempertinggi keberhasilan
program dalam memikat konsumen baru atau merangkul kembali konsumen
lama” (Durianto, dkk, 2001: 6).
Berdasarkan manfaat di atas, pentingnya pengukuran terhadap nilai
ekuitas merek bagi produsen yang telah mendefinisikan nilai ekuitas
mereknya adalah bahwa mereka dapat mengikuti peta ekuitas merek tersebut
kedepannya untuk mengelola nilai-nilai yang potensial untuk menaikkan
market sharenya. Keberadaan ekuitas merek yang kuat akan penting bagi
perusahaan karena ekuitas merek dapat melekatkan nilai yang kuat di benak
konsumen terhadap suatu produk.
Dalam beberapa penelitian sebelumnya, terbukti bahwa ekuitas merek
berpengaruh terhadap keputusan pembelian konsumen dalam tahap akhir
respon konsumen. Menurut Philip Kotler dalam bukunya Manajemen
Pemasaran Edisi Kesebelas Jilid 2 (2005: 86) menyatakan bahwa “ekuitas
13
merek mengakibatkan pelanggan memperlihatkan preferensi terhadap suatu
produk dibandingkan dengan yang lain kalau keduanya pada dasarnya
identic”. Nilai ekuitas merek yang ada dalam benak konsumen menghasilkan
evaluasi terhadap beberapa produk sampai pada akhirnya menetapkan merek
mana yang akan dipilih berdasarkan nilai tertinggi. Dalam tahap respon
konsumen terdapat suatu proses sebelum konsumen menetapkan pilihan.
“Dalam suatu pemilihan, konsumen cenderung membentuk serangkaian
preferensi melalui beberapa proses, dan kemudian akan memilih berdasarkan
preferensi yang paling penting” (Kotler & Fox, 1995: 254). Dengan begitu
preferensi merek kemudian menjadi pertimbangan sebagai pengaruh dari
nilai ekuitas merek tersebut.
b.
Preferensi Merek
Sebelum melakukan pembelian, konsumen mengalami proses berpikir
dan menimbang-nimbang merek mana yang akan dipilih. Ketika konsumen
dihadapkan dalam beberapa pilihan merek, konsumen pastinya memiliki
asumsi-asumsi terhadap beberapa pilihan merek hingga akhirnya memilih
sebuah merek. Konsumen kemudian mengolah asumsi-asumsi yang mereka
kumpulkan, dan akhirnya akan menyimpulkan merek mana yang lebih
diunggulkan dari pada merek yang lain melalui suatu pertimbangan. Saat
konsumen telah mengunggulkan satu merek dibanding merek lainnya, maka
konsumen telah memiliki preferensi merek. Preferensi digunakan sebagai
evaluasi alternatif dimana merek yang nantinya akan dipilih adalah merek
yang memiliki nilai guna paling optimal.
Preferensi dapat diartikan sebagai penilaian evaluatif dalam arti
menyukai atau tidak menyukai terhadap suatu objek. Scherer (2005) seperti
dikutip Catania (2013: 57) menjelaskan “Alternatively, one could interpret
the term “preference” to mean evaluative judgment in the sense of liking or
disliking an object”. Preferensi menunjukkan merek mana yang lebih dipilih
14
dalam asumsi dan pikiran konsumen terhadap beberapa pilihan merek. Pada
salah satu kajian ekonomi mikro, konsistensi preferensi (transifity), konsep
preferensi memiliki kaitan dengan kemampuan konsumen dalam menyusun
prioritas pilihan agar dapat mengambil keputusan. Terdapat dua sikap dalam
kaitannya dengan preferensi konsumen, yaitu lebih suka (prefer) atau samasama disukai (indifference). Misalnya konsumen menyatakan bahwa merek
A lebih disukai dari pada merek B (A>B), atau A dan B sama-sama disukai
(A=B). Syarat lain dari konsep ini adalah bahwa konsumen harus memiliki
konsistensi preferensi, misalnya merek A lebih disukai dari merek B (A>B),
dan merek B lebih disukai dari merek C (B>C), maka barang A harus lebih
disukai dari barang C (A>C). Ketika konsumen telah menentukan prioritas
berdasarkan suatu penilaian, akhirnya konsumen dapat menentukan
keputusan pembelian.
Preferensi merupakan suatu proses dalam keputusan membeli. Howard
dan Sheth (1998: 68) mengemukakan preferensi konsumen dalam suatu
proses pengambilan keputusan membeli. Mereka menyusun model perilaku
pembelian (buying behavior) yang menjelaskan tentang alasan rasional
konsumen dalam melakukan keputusan pembelian. Model ini terdiri atas
empat komponen, yaitu masukan stimulus (variabel input), konstruksi
hipotesis (susunan persepsi melalui proses belajar), hasil tanggapan (variabel
output) dan variabel eksogen. Pada proses membeli, konsumen mendapatkan
stimulus dari lingkungan sekitarnya, baik dari penawaran produsen, maupun
dari harga, kualitas, pelayanan, dan lain sebagainya. Kemudian konsumen
mulai membentuk persepsi-persepsi melalui proses pembelajaran atas
beberapa merek. Konsumen mengalami proses berpikir dan mulai melakukan
pertimbangan-pertimbangan.
Dalam
proses
berpikir
ini
konsumen
menemukan tingkatan preferensi dari merek yang paling disukai sampai yang
paling dihindari. Pada akhirnya keputusan membeli merupakan suatu hasil
akhir tanggapan dimana konsumen akan memilih merek yang paling disukai.
Kecenderungan konsumen untuk membeli produk atau jasa yang paling
disukai adalah sesuai dengan tujuan, yakni memperoleh kepuasan dalam
15
pembelian. Pada akhirnya terdapat variabel eksogen dimana konsumen
mempertimbangkan kembali keputusan pembeliannya.
Menurut Tambunan (2001), “preferensi konsumen terhadap produk
dan jasa dapat diukur dengan suatu model pengukuran yang dapat
menganalisis hubungan antara pengetahuan produk yang dimiliki konsumen
dan sikap atas produk sesuai dengan ciri atau aribut produk”. Shimp juga
menyatakan bahwa “dalam sudut pandang konsumen, sebuah merek memiliki
ekuitas
sebesar
pengenalan
konsumen
atas
merek
tersebut
dan
menyimpannya dalam memori mereka beserta asosiasi merek yang
mendukung, kuat, dan unik” (Shimp, 2003: 10). Dengan kata lain ekuitas
merupakan pengetahuan terhadap produk yang disimpan dalam memori
seseorang dan menghubungkannya dengan sifat-sifat spesifik tertentu sebuah
merek. Dengan pengetahuan akan merek yang tercakup dalam ekuitas merek,
preferensi konsumen menjadi dapat diukur.
Melalui konsep preferensi seperangkat nilai ekuitas merek kemudian
dapat dianalisis untuk mengetahui evaluasi konsumen terhadap merek.
“Preferensi didefinisikan sebagai penetapan evaluasi kepada objek yang
beragam (dua objek atau lebih)” (Kardes, 2002). Nilai-nilai yang melekat
pada merek tersimpan dalam memori konsumen atas dasar pengetahuan,
referensi, dan penggunaan sebelumnya. Konsumen akan memprioritaskan
satu merek di atas yang lain dalam benak mereka sebagai preferensi setelah
melakukan evaluasi terhadap beberapa merek dalam jenis produk yang sama.
Dengan nilai prioritas yang berbeda, konsep preferensipun terbentuk dimana
konsumen telah mampu dalam menyusun prioritas pilihan sebelum
mengambil keputusan.
Salah satu indikator suatu merek dikatakan kuat adalah dari asumsi dan
pikiran konsumen. Jika konsumen telah menempatkan satu merek di atas
yang lain berdasarkan berbagai evaluasi terhadap aset-aset merek, maka
produk tersebut memiliki nilai yang lebih di mata konsumen dibanding
kompetitor-kompetitornya sehingga bisa dikatakan preferensinya kuat.
Sedangkan jika konsumen cenderung tidak loyal dengan melakukan brand
16
switching, tidak dapat mengidentifikasi produk dengan kuat, memiliki
persepsi yang rendah terhadap kualitas merek, bahkan tidak mengetahui
kenampakan produknya, maka pereferensi terhadap merek masih rendah.
c.
Hubungan Nilai Ekuitas Merek dan Preferensi Merek
Cobb-Walgren (1995) mengemukakan kerangka pemikiran yang
menguji pengaruh ekuitas merek pada preferensi merek dan keinginan
membeli. Kerangka tersebut digambarkan dalam bagan “Antecendents and
Consequences of Brand Equity” atau asal-usul dan konsekuensi ekuitas
merek. Kerangka dibawah ini menjelaskan bagaimana asal-usul dan
konsekuensi ekuitas merek yang dijabarkan oleh Cobb-Walgren (1995).
17
Bagan 1.1: Antecendents and Consequences of Brand Equity
Sumber: Cathy J. Cobb-Walgren, Brand Equity, Brand Preference, and
Purchase Intent, Journal of Advertising Volume XXIV, Number 3 (1995:
29)
Cobb-Walgren mengadopsi kerangka tersebut dari model Hierarchi of
Effect (HOE) dari sudut pandang individual konsumen. Kerangka CobbWalgren memperlihatkan ekuitas merek bukanlah konsep yang semata-mata
muncul begitu saja. Hierarchy of Effect memberikan gambaran bagaimana
konsumen melewati beberapa tahap selama membentuk dan mengelola sikap
merek (brand attitudes) dan keinginan membeli (purchase intentions) (Smith
dkk., 2008). Kotler (1997) memberikan gagasan tentang Hierarchy of Effect
tentang tahap respon konsumen terhadap efek komunikasi pemasaran dimana
terdapat beberapa tingkatan efek komunikasi didalamnya. Premis dasar dari
model ini adalah bahwa dalam pemasaran, konsumen tidak serta merta
melakukan pembelian. Konsumen mengalami suatu proses berpikir sebelum
18
melakukan suatu keputusan pembelian yang pada tahap akhir proses ini
adalah membeli.
Pada kerangka Cobb-Walgren, konsumen pada tahap awal membentuk
persepsi melalui evaluasi terhadap aspek fisik dan psikologis merek yang
diperoleh dari beberapa sumber informasi yang didapatkan sebelumnya.
Informasi yang di peroleh konsumen berasal dari iklan, informasi dari mulut
ke mulut, pengaduan konsumen, sampai pengalaman penggunaan konsumen
terhadap merek. “There is broad based agreement that one of the major
contributors to brand equity is advertising” (Aaker dan Biel, 1993). Dalam
bagan tersebut Cobb-Walgren menggambarkan iklan adalah sumber utama
yang dapat membentuk ekuitas merek. “In creating brand equity, advertising
is said to be the most common tool. It can create awareness of the brand,
thereby increase the likelihood to be included in the consumer’s evoked set,
known as “top-of-mind”” (Drejv dan Malla, 2012: 13). Iklan memiliki
pengaruh yang besar terhadap ekuitas merek dengan berbagai macam jalan.
Iklan dapat menciptakan kesadaran merek (awareness) dan meningkatkan
kemungkinan merek untuk dijajarkan dalam pilihan merek yang diutamakan
konsumen. Iklan juga dapat memperbesar asosiasi merek (brand
associations) dimana atribut merek yang tersimpan dalam memori konsumen
dapat diingat secara tidak sadar. Merek dapat muncul sebagai merek pertama
yang diingat dalam memori konsumen ketika berpikir kategori produk
tertentu (Top of Mind). Iklan juga dapat mempengaruhi persepsi kualitas
(perceived quality) suatu merek serta memberikan pengaruh terhadap
pengalaman penggunaan konsumen terhadap produk tertentu. Selain iklan,
sumber informasi lain seperti word of mouth (WoM) juga sangat
berpengaruh. “Word of Mouth (WoM) is product information transmitted by
individuals to individuals” (Solomon, 2007: 394). WoM berkembang sampai
kepada dunia digital seperti internet dimana informasi tentang merek
didapatkan melalui perbincangan di jejaring sosial atau ulasan di berbagai
situs forum diskusi.
19
Setelah informasi diperoleh konsumen, pada tahap selanjutnya
informasi tersebut terbagi menjadi dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek
psikologis. Aspek fisik merujuk kepada pengalaman fisik yang diperoleh
konsumen melalui penggunaan produk secara langsung serta atribut yang
melekat pada produk itu sendiri. Konsumen mengumpulkan informasi
melalui kontak langsung dengan produk, ketika konsumen merasa apa yang
dijanjikan merek itu sesuai dengan kenyataan atau bahkan lebih baik, maka
konsumen akan mendapatkan persepsi positif terhadap merek, begitu pula
sebaliknya. Aspek psikologis diperoleh melalui iklan dimana konsumen tidak
melihat dan merasakan secara langsung suatu merek, namun mempersepsikan
nilai merek tersebut. Melalui tayangan iklan persepsi yang di olah akan
berbeda satu sama lain tergantung pada selera dan pengetahuan konsumen
terhadap merek.
Konsumen kemudian membentuk persepsi dari evaluasi terhadap aspek
emosional (psikologis) dan fungsional (fisik) di atas melalui iklan dan sumber
informasi lain. “Proses persepsi seseorang terhadap suatu objek tetap
dipengaruhi oleh pengalaman masa lalunya yang tersimpan dalam memori”
(Sutisna, 2003: 63). Persepsi diperoleh melalui suatu proses. “Proses persepsi
seseorang diawali dari pengamatan, pemilihan informasi, hingga pada tahap
penerjemahan” (Ivancevich, dkk, 2006: 116). Tahap awal persepsi adalah
pengamatan terhadap merek, ketika melakukan pengamatan, beragam
informasi didapatkan dan di simpan dalam memori mereka. Konsumen
akhirnya menyeleksi informasi tersebut dan diterjemahkan dalam persepsi
terhadap aset-aset merek dalam konsep ekuitas merek. Persepsi yang
tersimpan dalam memori konsumen kemudian membentuk ekuitas merek.
Pada alur selanjutnya, ekuitas merek pada akhirnya dapat berpengaruh
terhadap preferensi konsumen, maksud membeli, dan pemilihan merek.
“Brand Equity then influence consumer preferences and purchase intentions,
and ultimately brand choice” (Cobb-Walgren, 1995: 28). Pengaruh nilai
ekuitas merek terhadap preferensi merek digambarkan Cobb Walgren dalam
hubungan pengaruh.
20
Dalam kaitannya dengan ekuitas merek, Aaker (2011) menyatakan
bahwa “merek yang dipreferensikan adalah merek yang unggul dari salah satu
dimensi atau setidaknya sama baiknya dengan merek pesaingnya”. Aaker
juga berpendapat bahwa “It usually means beating the competition in at least
one of the dimensions that define the product category and by being at least
as good as the other compared brands in the rest of dimensions”. Sejalan
dengan pernyataan Aaker tersebut, Kirmani dan Wright (1989) dalam (Drejv
dan Malla, 2012: 13) menyatakan bahwa “higher level of brand equity in turn
generated significantly greater preference and purchase intentions”.
Pernyataan Aaker, Kirmani dan Wright ini dapat menjadi patokan dalam
mengukur preferensi merek nantinya. Jika salah satu dimensi dalam ekuitas
merek lebih unggul dibandingkan merek pesaingnya, bisa jadi preferensi
konsumen mengarah pada merek tersebut. Ditambah lagi jika seluruh dimensi
dalam ekuitas merek sudah tinggi, maka preferensi mereknya juga akan lebih
tinggi dibandingkan merek pesaing.
Telah dijelaskan di atas bahwa ekuitas merek mengakibatkan pelanggan
memperlihatkan preferensi terhadap suatu produk dibandingkan dengan yang
lain kalau keduanya pada dasarnya identik. Aset-aset tidak terlihat yang
melekat pada merek akan membentuk diferensiasi antara produk yang satu
dengan yang lainnya. Begitu konsumen menemukan perbedaan antara dua
merek yang pada dasarnya identik, maka konsumen akan melakukan analisis
terhadap perbedaan tersebut. Analisis tersebut dapat dijabarkan melalui
pengukuran nilai ekuitas merek. Cobb-Walgren kemudian menyimpulkan
dalam penelitiannya bahwa merek dengan ekuitas yang tertinggi dalam
kategori produk tertentu menghasilkan secara signifikan preferensi dan
keinginan membeli yang lebih dari produk lain. Dengan adanya bagan di atas
kita tidak hanya bisa melihat bagaimana ekuitas merek terbentuk namun juga
dapat menjabarkan bagaimana pengaruhnya terhadap sikap dan perilaku
konsumen.
Hubungan nilai ekuitas merek dan preferensi merek muncul karena
adanya kebutuhan konsumen untuk memilih merek diantara banyaknya
21
persaingan produk. Sebelum melakukan pemilihan, konsumen dihadapkan
pada beberapa pilihan merek dalam kategori produk yang sama. Konsumen
kemudian mempertimbangkan merek-merek tersebut. Evaluasi terhadap
beberapa pilihan merek kemudian memunculkan preferensi. Semakin
konsumen memahami merek, maka nilai ekuitas mereknya tinggi. Dengan
nilai ekuitas merek yang tinggi pula, maka preferensi konsumen terhadap
merek tersebut juga tinggi.
d.
Persepsi dan Perilaku Konsumen terhadap Produk
“Dalam literatur pemasaran, operasionalisasi nilai ekuitas merek
terbagi dalam dua kelompok, yaitu persepsi konsumen atau consumer
perception (awareness, brand associations, perceived quality) dan perilaku
konsumen atau consumer behavior (brand loyality dan kemauan untuk
membeli merek dengan harga tinggi)” (Cobb-Walgren, 1995: 26). Persepsi
konsumen menunjukkan apa yang ada di dalam benak konsumen, yaitu
pemahaman yang tidak kasat mata, sedangkan perilaku konsumen lebih
kepada tindakan yang dapat dilihat secara nyata.
“Perilaku konsumen adalah proses dan kegiatan seseorang yang terlibat
dalam mencari, memilih, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan atau
mengelola
produk
dan
layanan
untuk
memenuhi
kebutuhan
dan
keinginannya” (Appiah & Gloria, 2011: 82). Perilaku konsumen adalah
kajian untuk menjelaskan bagaimana orang membeli, apa yang mereka beli,
kapan mereka membeli, dan mengapa mereka membeli untuk memahami
konsumen dalam proses pembuatan keputusan pembeli. Dalam melakukan
pembelian, setiap konsumen pastinya memiliki pertimbangan masingmasing. Berikut adalah faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam
hal pembelian menurut Hasan (2014: 163), yaitu:
1.
Budaya
22
Kebudayaan merupakan faktor yang paling berpengaruh secara
luas terhadap perilaku konsumen. Budaya adalah faktor yang paling
pokok dari keinginan dan perilaku seseorang. Jika perilaku hewan
dituntun oleh naluri, manusia sebagai makhluk pemikir memiliki
perilaku berdasarkan apa yang mereka pelajari dalam lingkungannya.
Dengan begitu, nilai, persepsi, preferensi, dan perilaku seseorang yang
tinggal di daerah yang satu pasti berbeda dengan yang tinggal di daerah
yang lain.
2.
Kelas Sosial
Kelas sosial merupakan susunan yang relatif permanen dan
teratur, anggotanya memiliki nilai, minat dan perilaku yang sama. Gaya
hidup dalam suatu kelas sosial akan mempengaruhi perilaku konsumen.
Kelas sosial tidak hanya dipengaruhi oleh pendapatan namun juga
kombinasi dari pekerjaan, pendapatan, pendidikan, kekayaan, serta
beberapa variabel lainnya. Melalui kelas sosial, produsen dapat
memilih kelas sosial mana yang akan mereka sasar dan strategi
pemasaran apa yang tepat bagi kelas sosial tersebut.
3.
Kelompok Acuan
Kelompok
acuan
merupakan
kelompok
yang
sering
mempengaruhi lingkungannya secara tidak langsung. Dengan adanya
interaksi antar anggota dalam kelompok, secara tidak langsung akan
berpengaruh terhadap sikap dan perilaku anggota kelompok atau
komunitasnya. Posisi seseorang dalam kelompok dapat ditentukan
melalui peran dan status. Setiap peran memiliki status yang
mencerminkan penghargaan umum masyarakat. Misalnya seorang akan
lebih menghargai pendapat atasannya dari pada teman yang memiliki
jabatan sama dengannya.
4.
Keluarga
23
Keluarga adalah faktor yang sangat kuat dalam mempengaruhi
keputusan membeli karena memiliki interaksi paling dekat secara
personal dengan individu. Keluarga memiliki pengaruh yang besar
dalam pemilihan produk yang tergolong personal seperti sabun mandi,
pasta gigi, dan produk kesehatan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen tersebut
menjelaskan bagaimana konsumen membentuk perilaku yang berbeda-beda
satu sama lainnya. “Perilaku konsumen adalah, pada akar, didorong oleh
persepsi merek. Sementara pengukuran perilaku dalam pembelian
menggambarkan
adanya
ekuitas,
mereka
belum
mampu
untuk
mengungkapkan apa yang ada di hati dan pikiran konsumen yang benar-benar
menunjukkan ekuitas,” (Biel, 1992: 7-8). Itulah mengapa persepsi konsumen
juga dibutuhkan dalam mengukur ekuitas merek, karena persepsi konsumen
dapat menunjukkan apa yang ada dalam benak dan pikiran konsumen tentang
suatu merek.
Telah dijelaskan di atas bahwa persepsi adalah sebuah proses, dimana
“pembentukan persepsi seseorang diawali dari pengamatan, pemilihan
informasi, hingga pada tahap penerjemahan” (Ivancevich, dkk, 2006: 116).
Tahap awal persepsi adalah pengamatan terhadap merek, ketika melakukan
pengamatan, beragam informasi didapatkan dan di simpan dalam memori
mereka.
Konsumen
akhirnya
menyeleksi
informasi
tersebut
dan
diterjemahkan aset-aset yang dimiliki merek.
Dalam pempaparan Deddy Mulyana (2007: 191), “persepsi konsumen
dipengaruhi oleh empat hal, yaitu pengalaman, motivasi, nilai individu, serta
harapan”. Pengalaman masa lalu memberikan gambaran bagaimana perasaan
konsumen dalam menggunakan produk sebelumnya. “Motivasi adalah sejauh
mana konsumen mendefinisikan kebutuhannya dan mengambil tindakan
untuk memenuhi kebutuhan tersebut” (Ferrinadewi, 2008: 13). Selain itu
konsumen juga memaknai pesan, objek, atau lingkungan bergantung pada
sistem nilai yang dianut. “Nilai bersifat normatif mengenai apa yang baik dan
24
buruk atau benar dan salah” (Mulyana, 2007: 215). Mulyana juga
menambahkan, persepsi dipengaruhi oleh pengharapannya bahwa konsumen
cenderung menerima informasi yang sesuai dengan harapannya sedangkan
informasi di luar harapan mereka akan segera dilewatkan.
e.
Penggunaan Larutan Pereda Panas Dalam di Kabupaten Sleman
Kasus pengaburan merek Cap Kaki Tiga dan Cap Badak ini
berpengaruh terhadap persepsi masyarakat secara umum di Indonesia, oleh
karena itu pemilihan populasi akan didasarkan pada karakteristik perilaku
konsumen produk kesehatan. Minuman larutan pereda panas dalam adalah
produk kesehatan yang sangat dipengaruhi oleh keluarga sebagai pengaruh
perilaku konsumen dalam memilih produk. “Sasaran utama produk larutan
pereda panas dalam adalah konsumen ibu rumah tangga dengan jumlah yang
besar, dimana ibu-ibu adalah pasar utama produk kesehatan” (Yuswohady,
2005: 52). Sleman sendiri adalah Kabupaten yang memiliki jumlah rumah
tangga terbesar di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan
persentase rumah tangga sebesar 33,23%.
Selain pengaruh perilaku konsumen yang dipengaruhi keluarga, budaya
seseorang dalam mengonsumsi produk juga perlu diperhitungkan. Maraknya
berkembang swalayan dan minimarket di lingkungan masyarakat dewasa ini
mendorong budaya konsumsi yang semakin meningkat. Jumlah persebaran
toko modern di DIY sendiri kini tumbuh semakin pesat. Jumlah toko modern
di Kota Yogyakarta sampai sejauh ini mencapai 52 gerai. Di Bantul sampai
2013 diperkirakan mencapai 96 gerai. Jumlah terbanyak berada di Kabupaten
Sleman dengan jumlah 173 gerai di tahun yang sama. Cap Kaki Tiga sendiri
mengaku bekerja sama dengan Indomaret dan Alfamart seluruh Indonesia
untuk memasarkan produknya. Dengan begitu persebaran produk larutan
pereda panas dalam dipastikan telah tersebar dengan baik di Kabupaten
25
Sleman. Dengan begitu Kabupaten Sleman yang dipilih menjadi populasi
dalam penelitian ini.
Jumlah penjualan produk ini sendiri cukup menjanjikan, Riana (2014)
melakukan pengamatan di swalayan Mirota Pasaraya Sleman dimana jumlah
penjualan masing-masing produk terangkum dalam tabel berikut ini:
Tabel 1.2. Penjualan Larutan Cap Kaki Tiga dan Larutan Penyegar Cap
Badak
Hari
Kemasan dan Ukuran
Kemasan dan Ukuran
Larutan Cap Kaki Tiga
Larutan Penyegar Cap Badak
Kaleng
Botol
Botol
Kaleng
Botol
Botol
320 ml
200 ml
500 ml
320 ml
200 ml
500 ml
Senin
107
58
48
114
44
44
Selasa
112
54
44
120
48
46
Rabu
112
60
48
120
48
46
Kamis
115
59
50
118
42
48
Jumat
100
50
42
112
46
40
Sabtu
132
70
56
140
56
54
Minggu
134
72
60
144
58
54
Total
812
423
348
868
342
332
5.000
2.800
5.500
5.400
2.800
5.800
Harga
(Rp)
Sumber: Gusti Vita Riana, Komodifikasi Nilai Agama Dalam Iklan Televisi,
(2014: 30).
Kedua produk memiliki jumlah penjualan yang cukup bersaing. Pada
kemasan kaleng, Larutan Penyegar Cap Badak mengungguli Larutan Cap
Kaki Tiga. Namun pada kemasan botol, baik pada 200 ml dan 500 ml, Larutan
Cap Kaki Tiga masih lebih unggul dari Larutan Penyegar Cap Badak. Boleh
jadi karena harga yang ditawarkan Larutan Penyegar Cap Badak lebih tinggi
26
antara 300 – 400 rupiah dibandingkan Larutan Cap Kaki Tiga pada masingmasing produknya di swalayan Mirota Pasaraya ini.
Cap Kaki Tiga dan Cap Badak dipilih dalam penelitian ini karena kedua
produk ini memiliki latar belakang yang sama, memiliki masalah sengketa
merek, serta memiliki tampilan yang sama secara fisik sehingga dapat
mengaburkan nilai mereknya. Konsumen kadang hanya mengidentifikasi
produk melalui warna atau bentuk kemasannya saja. Tidak heran di Indonesia
banyak merek yang meniru bentuk kemasan produk sejenis yang telah laris
sebelumnya untuk mengelabuhi konsumen. Hal ini yang kemudian
diantisipasi oleh produk larutan pereda panas dalam Cap Kaki Tiga dan Cap
Badak. Untuk menghindari pengaburan merek seharusnya perusahaan lebih
menguatkan merek mereka agar konsumen lebih mudah mengidentifikasi
produk.
Kehadiran Cap Kaki Tiga di pasar Indonesia sebagai pelopor minuman
pereda panas dalam, membuat produk ini dinilai masih memiliki kekuatan
untuk menjadi pilihan utama masyarakat. Pasalnya merek Cap Kaki Tiga
telah beredar di pasaran selama lebih dari 38 tahun terakhir. Larutan Penyegar
Cap Badak memang masih menjadi pilihan melalui ilustrasi badak dan kesan
produk Cap Kaki Tiga yang lama. Namun kekuatan merek akan lebih melekat
pada nama dibandingkan dengan unsur visual. Temporal (2001) berpendapat
bahwa “…pembangunan merek pada zaman modern ini pada intinya adalah
penggunaan nama, logo, trademark, dan slogan. Akan tetapi, walaupun unsur
visual dari desain merupakan suatu aspek penting dalam membangun merek,
hal itu saja tidaklah cukup untuk membuat suatu merek menjadi kuat”. Cap
Kaki Tiga masih melekat di benak konsumen mengingat produk ini telah
hadir di Indonesia sejak 38 tahun yang lalu. Cap Kaki Tiga masih akan
bertahan beberapa saat mengingat investasi mereka ke merek sangat besar
dan durasinya panjang. “Cap Badak masih butuh waktu untuk menggusur
merek ini” (Fajar, 2012).
Lambat laun merek Cap Kaki Tiga dapat tergusur eksistensinya oleh
Cap Badak karena adanya pengaburan merek. Oleh karena itu, komparasi
27
antara kedua merek ini diperlukan untuk melihat mana nilai ekuitas merek
yang tertinggi diantara kedua merek yang mengalami pengaburan ini. Dengan
membandingkan keduanya, nantinya perusahaan dapat memetakan apakah
nilai ekuitas yang tinggi dapat sebanding dengan preferensi yang tinggi,
sehingga berpengaruh terhadap langkah pembelian selanjutnya. Selain itu
perusahaan dapat melihat aspek mana yang masih lemah diantara aset-aset
yang dimilikinya sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi strategi
pemasaran selanjutnya.
F.
Hipotesis
H1 = Terdapat pengaruh nilai ekuitas merek Larutan Cap Kaki Tiga terhadap
preferensi merek pada konsumen di Kabupaten Sleman.
H0 = Tidak terdapat pengaruh nilai ekuitas merek Larutan Cap Kaki Tiga
terhadap preferensi merek pada konsumen di Kabupaten Sleman.
H2` = Terdapat pengaruh nilai ekuitas merek Larutan Penyegar Cap Badak
terhadap preferensi merek pada konsumen di Kabupaten Sleman.
H0 = Tidak terdapat pengaruh nilai ekuitas merek Larutan Penyegar Cap
Badak terhadap preferensi merek pada konsumen di Kabupaten
Sleman.
H3 = Pengaruh nilai ekuitas merek Larutan Cap Kaki Tiga terhadap
preferensi merek pada konsumen di Kabupaten Sleman lebih tinggi
dibandingkan merek Larutan Penyegar Cap Badak.
H0 = Pengaruh nilai ekuitas merek Larutan Cap Kaki Tiga terhadap
preferensi merek pada konsumen di Kabupaten Sleman lebih rendah
dibandingkan merek Larutan Penyegar Cap Badak.
28
Bagan 1.2. Hipotesis
Variabel X
Variabel Kontrol
Variabel Y
Konsumen di
Sleman
H1
H2
G.
Nilai ekuitas
merek Larutan Cap
Kaki Tiga
Preferensi merek
Larutan Cap Kaki
Tiga
Nilai ekuitas
merek Larutan
Penyegar Cap
Badak
Preferensi merek
Larutan Penyegar
Cap Badak
Kerangka Konsep
Berdasarkan penjabaran kerangka pemikiran di atas, nilai-nilai dalam ekuitas
merek diperkirakan dapat mempengaruhi preferensi pemilihan konsumen.
Konsumen merupakan individu yang selalu berpikir dengan kritis akan informasi
yang didapatkannya. Dengan pemikiran kritis tersebut konsumen melakukan
pertimbangan-pertimbangan diantara beberapa pilihan merek sebelum melakukan
pembelian. Melalui pemikiran kritis tersebut konsumen memiliki persepsi dan
perilaku sebagai bentuk penilaian konsumen terhadap merek. Persepsi dan perilaku
inilah yang kemudian diukur melalui nilai ekuitas merek.
Nilai ekuitas merek dalam penelitian ini diartikan sebagai seperangkat asetaset tak berwujud yang melekat pada produk dan diterjemahkan dalam persepsi di
benak konsumen. Nilai ekuitas merek tersimpan dalam pengetahuan masingmasing orang berdasarkan pengalaman akan merek sebelumnya. Berdasarkan
konsep yang dijelaskan di atas, pengukuran nilai ekuitas merek terdiri atas empat
dimensi, yaitu kesadaran merek, loyalitas merek, persepsi kualitas, serta asosiasi
merek.
29
Preferensi dalam penelitian ini diartikan sebagai tingkataan kesukaan
konsumen terhadap merek dimana terdapat suatu hal yang lebih diunggulkan dari
satu merek dibandingkan merek lain. Preferensi dapat dilihat dari aset-aset merek
yang diukur melalui empat dimensi dalam konsep ekuitas merek.
Nilai ekuitas merek dapat mempengaruhi preferensi merek dimana semakin
tinggi pengetahuan konsumen akan nilai dalam aset-aset merek, maka semakin
tinggi pula preferensinya. Namun jika konsumen kurang memahami merek, maka
konsumen akan cenderung memiliki preferensi yang rendah terhadap merek.
Peneliti menilai Cap Kaki Tiga memiliki nilai ekuitas merek dan preferensi
merek yang lebih tinggi dibandingkan Larutan Penyegar Cap Badak. Pasalnya Cap
Kaki Tiga yang menjadi pemimpin pasar selama bertahun-tahun di Indonesia
tentunya akan menjadi produk yang memiliki preferensi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pesaingnya, Larutan Penyegar Cap Badak. Meskipun Larutan
Penyegar Cap Badak telah memenangkan sengketa atas ilustrasi badak dan
kaligrafi, Cap Kaki Tiga tentunya memiliki kekuatan asosiasi merek yang tinggi
karena masyarakat masih mengingat merek Cap Kaki Tiga sebagai nama merek
larutan pereda panas dalam pertama di Indonesia.
H.
Definisi Operasional
Konsep yang telah dijelaskan di atas akan lebih mudah dipahami melalui
suatu skema yang jelas. Skema tersebut akan dijabarkan melalui definisi
operasional sebagai indikator untuk menjelaskan masing-masing konsep.
Variabel bebas dari penelitian ini adalah ekuitas merek (X). Ekuitas merek
sendiri memiliki dimensi-dimensi sebagai berikut:
1.
Loyalitas merek, merupakan sikap menyenangi terhadap suatu merek yang
direpresentasikan dalam pembelian yang konsisten terhadap merek sepanjang
waktu.
2.
Persepsi kualitas, merupakan perasaan dalam hati konsumen terhadap suatu
merek ketika membeli sejalan dengan pengukuran dampak identitas merek.
30
3.
Asosiasi merek, merupakan segala sesuatu yang terkait dengan memori
terhadap suatu merek.
4.
Kesadaran merek, merupakan kemampuan konsumen untuk mengenali atau
mengingat sebuah merek dalam kategori produk tertentu.
Variabel terikat dari penelitian ini adalah preferensi merek (Y). “Preferensi
merek didefinisikan sebagai penetapan evaluasi kepada objek yang beragam (dua
objek atau lebih)” (Kardes, 2002). Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah
konsumen di Kabupaten Sleman.
Penjabaran di atas merupakan definisi operasional variabel-variabel dalam
penelitian yang akan dilakukan. Untuk lebih jelasnya berikut adalah tabel rumusan
operasionalisasi konsep penelitian:
Tabel 1.3. Definisi Operasional
Variabel
Pengertian
Variabel
Nilai
“Seperangkat
Ekuitas
aset,
Merek
Dimensi
Pengukuran
Variabel
Kesadaran
Pengertian
Dimensi
Dimensi
Pengukuran
Operasional
Sumber
Variabel

Kemampuan
Putra
konsumen
mengingat
(2011)
kewajiban,
untuk
merek
yang terhubung
mengenali
dengan
nama
(brand
mengingat
merek
atau
recognition)
model varian
simbol,
yang
dan mengingat
atau Merek
Kemampuan
dapat
(brand recall)
menambah atau
sebuah merek
mengurangi
dalam kategori
nilai
produk
produk tertentu
atau
layanan
(Aaker, 1991)


Kemampuan
Ciri
khas
merek
31
kepada
Loyalitas
Sikap
perusahaan
Konsumen

Setia
Putra
menyenangi
menggunaka
(2011)
atau
terhadap suatu
n merek
konsumen,”
merek
(Aaker,
direpresentasik
1991:
15).
an
yang
dalam

Merekomend
asikan merek

Kembali
pembelian
menggunaka
yang konsisten
n merek di
terhadap merek
lain
sepanjang
kesempatan
waktu (Sutisna,
2003: 41).
Persepsi
Segala
hal
Kualitas
yang dirasakan
dalam
hati


Kinerja
Fadli
produk
Qamariah
Rancangan
(2008)
konsumen
produk/
terhadap suatu
desain
merek
ketika

Nilai
membeli
fungsional –
sejalan dengan
harga jual
pengukuran

terhadap
&
Kesempurnaa
n produk
identitas merek

(Aaker, 1991)
Nilai
emosional –
kenyamanan

Asosiasi
Segala sesuatu
Atribut
Awalludin
Merek
yang
terkait
produk
(2009)
dengan
kesan

Manfaat
terhadap suatu

Harga

Gaya hidup
32
merek (Aaker,

Kelas produk

Kesukaan
Priyanto
(2010)
1991)
Preferensi
“Preferensi
Merek
merek
terhadap
didefinisikan
merek
sebagai
dibandingkan
penetapan
merek lain
evaluasi kepada

Preferensi
objek
yang
dibandingkan
beragam
(dua
merek lain
objek
atau

Preferensi
lebih)”
berdasarkan
(Kardes, 2002)
popularitas
merek

Preferensi
berdasarkan
loyalitas
merek

Preferensi
berdasarkan
kualitas
merek

Preferensi
berdasarkan
reputasi
merek
I.
Metodologi
33
1.
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan
metode survei. Survei merupakan metode yang digunakan secara luas,
khususnya dalam riset konsumen (Istijanto: 2009, 56). Karena nantinya
penelitian ini dilakukan sebagai pengujian hipotesis, peneliti diwajibkan
membangun hipotesis penelitian dan mengujinya di lapangan karena format
penelitian ini bertujuan mencari hubungan sebab-akibat dari variabelvaariabel yang diteliti.
Untuk menguji hipotesis digunakan statistik inferensial (Bungin, 2011:
46). Statistik inferensial merupakan metode analisis yang digunakan pada
sampel untuk digeneralisasikan pada populasi. Analisis data kemudian
didapatkan dengan memberi pertanyaan pada responden melalui daftar
pertanyaan atau kuisioner yang terstruktur. Studi komparasi dilakukan untuk
membandingkan seberapa kuat hubungan antar variabel antara objek satu
dengan lainnya.
Melalui pernyataan di atas metode survei dianggap peneliti sebagai
metode yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang
Pengaruh Nilai Ekuitas Merek terhadap Preferensi Merek. Dalam hal ini
metode survei digunakan untuk mengobservasi persepsi dan sikap konsumen.
2.
Populasi dan Sampel
a.
Populasi
“Dalam metode penelitian, kata populasi amat popular, digunakan
untuk menyebutkan serumpun atau sekelompok objek yang menjadi
sasaran penelitian” (Bungin, 2011: 109). Dengan begitu populasi
merupakan khalayak dengan sifat spesifik yang akan diteliti. Populasi dari
34
penelitian ini adalah penduduk Kabupaten Sleman yang menggunakan
produk minuman pereda panas dalam yaitu Cap Kaki Tiga dan Larutan
Penyegar Cap Badak. Pemilihan populasi ini dikarenakan distribusi
produk minuman pereda panas dalam telah merata di wilayah Kabupaten
Sleman, serta memiliki kemungkinan yang lebih besar dalam menerima
informasi mengenai produk. Usia 17 tahun digunakan karena pada usia
tersebut seseorang telah memiliki keputusan dan preferensi sendiri dalam
memilih produk, serta memiliki kemandirian dalam memberikan jawaban.
b.
Sampel
Sampel digunakan untuk mengambil sebagian populasi sebagai
responden untuk mewakili sifat populasi yang bersangkutan. “Sampel
adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi”
(Sugiono, 1999: 57). Sampel yang digunakan harus mewakili keadaan
seluruh populasi yang telah ditentukan sebelumnya. Sampel dari penelitian
ini dihitung menggunakan Rumus Yamane karena lebih sesuai digunakan
pada populasi yang besar dan didapat dari pendugaan proporsi populasi
(Kriyantono, 2010: 164).
𝑁
n = 𝑁𝑑2 +1
Keterangan:
n
= ukuran sampel
N
= ukuran populasi
d
= presisi (kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan
sampel yang dapat ditolerir, dalam penelitian ini margin error
mengunakan 10%)
Dimana jumlah penduduk Kabupaten Sleman yang berusia 15 – 60+
tahun berdasarkan perhitungan statistik Kabupaten Sleman tahun 2009
35
adalah 839.054 orang. Dengan begitu jumlah responden nantinya
berdasarkan rumus Yamane adalah:
839054
N = 839054(0,1)2 +1
=
839054
8391
= 99,9 dibulatkan menjadi 100 responden
“Sampel adalah objek dari populasi yang diambil melalui teknik
sampling, yakni cara-cara mereduksi objek penelitian dengan mengambil
sebagian saja yang dapat dianggap represenntatif terhadap populasi”
(Soeharto, 1993: 85). Oleh karena itu pemilihan sampel akan dilakukan
melalui teknik nonprobability sampling dengan diskriminan. “Dalam
nonprobability sampling, tidak semua unit populasi memiliki kesempatan
untuk dijadikan sampel penelitian” (Bungin, 2011: 119). Teknik ini
digunakan karena sifat populasi yang heterogen sehingga diperlukan
diskriminasi tertentu dalam unit-unit populasi. Responden akan dipilih
secara langsung di lokasi penelitian asalkan responden tersebut memiliki
kriteria yang sama dengan ketentuan peneliti.
Batasan responden (diskriminan) yang dinyatakan valid sebagai
sampel dalam penelitian ini adalah:
1.
Responden bertempat tinggal di lokasi penelitian.
2.
Responden berusia 17 tahun ke atas. Usia 17 tahun ke atas
digunakan karena pada usia tersebut seseorang telah memiliki
keputusan dan preferensi sendiri dalam memilih produk, serta
memiliki kemandirian dalam memberikan jawaban.
3.
Responden pernah menggunakan produk Larutan Cap Kaki
Tiga dan Larutan Penyegar Cap Badak.
3.
Sumber Data
36
Sumber data dari penelitian ini adalah menggunakan data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh dari pengumpulan informasi secara langsung
oleh peneliti. Data sekunder digunakan untuk mendukung penelitian ini
seperti profil objek penelitian serta sumber tinjauan teoritis yang dibutuhkan.
Data primer merupakan data yang diperoleh melalui riset langsung oleh
peneliti. Dengan metode survei, data primer akan diperoleh melalui kuisioner
yang diisi oleh responden. Sedangkan data sekunder diperoleh dari rujukan
berupa jurnal, buku, majalah, serta sumber bacaan yang terkait dengan
penelitian ini.
4.
Teknik Pengumpulan Data
Data primer nantinya akan diperoleh melalui instrumen pengumpulan
data berupa kuisioner. Tujuannya adalah memperoleh informasi dari
beberapa sampel yang mewakili populasi tertentu. Penelitian ini nantinya
dilakukan dengan cara penyebaran kuisioner yang berisi daftar pertanyaan
kepada responden yang telah ditentukan sebelumnya. Data sekunder
diperoleh melalui studi literatur, jurnal, buku, dan sumber lain yang telah
dipercaya secara akademis.
5.
Teknik Analisis Data
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana variabel terikat
mempengaruhi variabel bebas. Untuk mengukur hubungan sebab akibat,
teknik analisis data yang cocok digunakan adalah melalui analisis regresi
menggunakan uji hipotesis dengan bantuan software SPSS 17.
a.
Analisis Regresi
Dalam setiap regresi pasti terdapat korelasi masing-masing
variabel. Analisis regresi dilakukan jika korelasi antara dua
37
variabel memiliki hubungan kausal (sebab akibat) atau hubungan
fungsional (Kriyantono, 2010: 183).
b.
Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi digunakan untuk menjelaskan
seberapa besar variabel bebas berpengaruh terhadap variabel
terikat. Untuk menunjukkan besarnya pengaruh tersebut, nilai
koefisien determinasi atau R2 berada di antara 0 dan 1, yang
berarti:
-
Jika R2 = 1, maka kontribusi variabel bebas terhadap
variabel terikat adalah 100%.
-
Jika R2 mendekati 1, maka semakin besar kontribusi
variabel bebas terhadap variabel terikat.
-
Jika R2 mendekati 0, maka
tidak ada kontribusi dari
variabel bebas terhadap variabel terikat.
c.
Uji Kelayakan Model dan Uji t
Uji kelayakan atau uji overall dilakukan untuk melihat
kelayakan hubungan regresi antara variabel bebas dan terikat. Uji
kelayakan akan nampak pada uji Anova yang dilihat dalam kolom
sig. (p value). Sedangkan Uji t dilakukan untuk memberikan
rincian variabel bebas mana saja yang benar-benar memberikan
pengaruh paling besar (signifikan) terhadap variabel terikat.
Indikasi signifikansi variabel tersebut adalah nilai β masingmasing variabel adalah tidak sama dengan nol (β ≠ 0). Berikut
adalah hipotesis statistiknya:
-
Jika H0 : βn = 0 (dimana n=1,2,3,…,dst), maka variabel
bebas tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
variabel terikat.
-
Jika H1 : β ≠ 0, maka variabel bebas memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap variabel terikat.
-
Jika p_value < α (0,1) (dimana α adalah sampling eror
10%), maka Ho ditolak.
38
J.
Uji Validitas Dan Reliabilitas
1.
Uji Validitas
Uji Validitas dilakukan untuk mengukur validitas suatu kuisioner.
Validitas menunjukkan seberapa valid sebuah pertanyaan mengukur variabel
yang akan diteliti. Langkah yang harus dilakukan untuk menguji validitas
setiap pertanyaan pada kuisioner adalah dengan mencari rhitung (angka korelasi
Pearson), yang dapat dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
𝑟𝑥𝑦 =
𝑛(∑ 𝑥𝑦) − (∑ x)(∑ y)
√𝑛(∑ x 2 ) − (∑ x)2 √𝑛(∑ y 2 ) − (∑ y)2
Keterangan:
r
= Pearson Product Moment Correlation
n
= Jumlah sampel (responden penelitian)
X
= Skor tiap item
Y
= Skor total
Dengan ketentuan bahwa item kuisioner dinyatakan valid
apabila r memiliki tingkat signifikansi kurang dari 5%.
Uji validitas perlu dilakukan sebelum kuisioner disebarkan kepada
seluruh responden untuk dapat dijadikan sebagai instrumen dalam menjawab
pertanyaan penelitian yang ada. Pengujian dilakukan pada 30 responden
penelitian di Kabupaten Sleman.
Pada penelitian ini metode uji validitas yang digunakan untuk
mengambil keputusan apakah indikator yang digunakan telah valid atau tidak
adalah dengan menggunakan Pearson Test, yaitu dengan membandingkan
nilai angka rhitung dengan nilai signifikansi 5% dari 30 responden, maka nilai
39
dari rtabel adalah 0,361. Apabila nilai rhitung > 0,361 maka item kuisioner telah
valid, sedangkan apabila nilai rhitung < 0,361 maka item kuisioner tidak valid.
Berikut adalah hasil perhitungan melalui uji validitas Pearson Product
Moment Correlation terhadap 30 kuisioner awal yang terkumpul:
Tabel 1.4. Uji Validitas pada Nilai Ekuitas Merek Larutan Cap Kaki Tiga
Variabel
Pertanyaan
rhitung
Keterangan
Nilai Ekuitas Merek
Item 1.a
0.649
Valid
Item 2.a
0.734
Valid
Item 3.a
0.762
Valid
Item 4.a
0.686
Valid
Item 5.a
0.715
Valid
Item 6.a
0.781
Valid
Item 7.a
0.681
Valid
Item 8.a
0.855
Valid
Item 9.a
0.708
Valid
Item 10.a
0.749
Valid
Item 11.a
0.736
Valid
Item 12.a
0.756
Valid
Item 13.a
0.776
Valid
Item 14.a
0.485
Valid
Item 15.a
0.396
Valid
Larutan Cap Kaki Tiga
40
Item 16.a
0.453
Valid
Sumber: Data Primer yang diolah (2014)
Hasil analisis validitas di atas menunjukkan bahwa koefisien korelasi
setiap item pertanyaan yang diuji > 0,361, dengan nilai signifikansi kurang
dari 5%. Dengan begitu item pertanyaan untuk nilai ekuitas merek Larutan
Cap Kaki Tiga dinyatakan valid.
Tabel 1.5. Uji Validitas pada Preferensi Merek Larutan Cap Kaki Tiga
Variabel
Pertanyaan
Rhitung
Keterangan
Preferensi Merek Larutan
Item 17.a
0.934
Valid
Item 18.a
0.889
Valid
Item 19.a
0.886
Valid
Item 20.a
0.954
Valid
Item 21.a
0.801
Valid
Item 22.a
0.771
Valid
Cap Kaki Tiga
Sumber: Data Primer yang diolah (2014)
Hasil analisis validitasdi atas menunjukkan bahwa koefisien korelasi
setiap item pertanyaan yang diuji > 0,361, dengan nilai signifikansi kurang
dari 5%. Dengan begitu item pertanyaan untuk nilai ekuitas merek Larutan
Penyegar Cap Badak dinyatakan valid.
Tabel 1.6. Uji Validitas pada Nilai Ekuitas Merek Larutan Penyegar Cap
Badak
Variabel
Pertanyaan
rhitung
Keterangan
41
Nilai Ekuitas Merek
Larutan Penyegar Cap
Badak
Item 1.b
0.750
Valid
Item 2.b
0.754
Valid
Item 3.b
0.864
Valid
Item 4.b
0.886
Valid
Item 5.b
0.809
Valid
Item 6.b
0.902
Valid
Item 7.b
0.792
Valid
Item 8.b
0.865
Valid
Item 9.b
0.816
Valid
Item 10.b
0.625
Valid
Item 11.b
0.839
Valid
Item 12.b
0.824
Valid
Item 13.b
0.881
Valid
Item 14.b
0.817
Valid
Item 15.b
0.678
Valid
Item 16.b
0.761
Valid
Sumber: Data Primer yang diolah (2014)
Hasil analisis validitasdi atas menunjukkan bahwa koefisien korelasi
setiap item pertanyaan yang diuji > 0,361, dengan nilai signifikansi kurang
dari 5%. Dengan begitu item pertanyaan untuk preferensi merek Larutan Cap
Kaki Tiga dinyatakan valid.
42
Tabel 1.7. Uji Validitas pada Preferensi Merek Larutan Penyegar Cap
Badak
Variabel
Pertanyaan
rhitung
Keterangan
Preferensi Merek Larutan
Item 17.b
0.964
Valid
Item 18.b
0.938
Valid
Item 19.b
0.953
Valid
Item 20.b
0.977
Valid
Item 21.b
0.939
Valid
Item 22.b
0.941
Valid
Penyegar Cap Badak
Sumber: Data Primer yang diolah (2014)
Hasil analisis validitasdi atas menunjukkan bahwa koefisien korelasi
setiap item pertanyaan yang diuji > 0,361, dengan nilai signifikansi kurang
dari 5%. Dengan begitu item pertanyaan untuk preferensi merek Larutan
Penyegar Cap Badak dinyatakan valid.
2.
Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas digunakan untuk mengukur suatu kuisioner yang
merupakan indikator dari variabel. Suatu kuisioner dinyatakan reliabel
apabila jawaban sampel terhadap pertanyaan bersifat konsisten atau stabil
dari waktu ke waktu. Reliabel juga dapat dinyatakan sebagai suatu keadaan
dimana instrumen penelitian tersebut akan tetap menghasilkan data yang
sama meskipun disebarkan pada sampel yang berbeda pada waktu yang
berbeda. Rumus reliabilitas yang digunakan adalah:
43
𝛼=
𝐾 [1 − ∑𝑠𝑗 2]
𝐾 − 1 ∑𝑠𝑥 2
Keterangan:
𝛼
= Koefisien reliabilitas alpha
K
= Banyaknya item
sj2
= Varians skor item
sx2
= Varians skor total
Uji reliabilitas akan dilakukan dengan menggunakan uji statistik
cronbach’s alpha (𝛼) dengan ketentuan bahwa variabel yang diteliti
dinyatakan reliabel apabila nilai cronbach’s alpha (𝛼) di atas 0,70, dimana
seperti dijelaskan oleh Hilton dan Brownlow1:

Jika alpha > 0,90 maka reliabilitas sempurna

Jika alpha antara 0,70 – 0,90 maka reliabilitas tinggi

Jika alpha antara 0,50 – 0,70 maka reliabilitas moderat

Jika alpha < 0,50 maka reliabilitas rendah
Sebelum kuisioner disebarkan kepada seluruh responden, kuisioner
perlu diuji reliabilitasnya terlebih dahulu sehingga dapat dijadikan sebagai
instrumen untuk menjawab pertanyaan penelitian yang ada. Pengujian
dilakukan pada 30 responden. Berikut adalah hasil uji reliabilitas terhadap 30
kuisioner awal yang terkumpul.
Tabel 1.8. Uji Reliabilitas Penelitian
No
Variabel
Cronbach
Alpha
Nilai Kritis
Keterangan
1
Perry Roy Hilton and Charlotte Brownlow. 2004. SPSS Explained. East Sussex : Routledge.
Halaman: 364.
44
1
Ekuitas Merek Larutan 0.919
0.70
Reliabel
0.70
Reliabel
0.936
0.70
Reliabel
0.979
0.70
Reliabel
Cap Kaki Tiga
2
Ekuitas Merek Larutan 0.963
Penyegar Cap Badak
3
Preferensi Merek
Larutan Cap Kaki
Tiga
4
Preferensi Merek
Larutan Penyegar Cap
Badak
Sumber: Data Primer yang diolah (2014)
Tabel di atas menunjukkan bahwa besarnya koefisien cronbach’s alpha
(𝛼) pada semua variabel penelitian > 0.70, dengan begitu item-item
pertanyaan dalam kuisioner dapat dinyatakan reliabel.
45
Download