BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Setiap produk pasti mencantumkan nama dalam kemasannya agar dapat dikenali. Nama diwujudkan dalam bentuk merek, “American Marketing Association mendefinisikan merek sebagai nama, istilah, tanda, simbol atau desain, atau kombinasi dari keseluruhannya yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari penjual atau sekelompok penjual, agar dapat dibedakan dari kompetitornya” (Shimp, 2003: 8). Begitu berharga nilai sebuah merek bagi perusahaan membuat mereka rela menggugat perusahaan lain yang menyalahgunakan nama merek dan membahayakan eksistensi merek. Sebut saja mobil Lexus yang beberapa waktu lalu yang menggugat sebuah perusahaan peranti komputer Lexus Daya Utama dan helm bermerek Lexus karena menggunakan nama mobil mewah mereka. Sengketa merek ini juga dialami merek ban mobil Innova yang digugat Toyota karena memiliki kesamaan nama merek dengan mobil Toyota Innova. Gugatan tersebut menunjukkan bahwa Lexus dan Toyota sangat melindungi mereknya agar tidak kehilangan identitas merek serta merugikan konsumen mereka. Seorang peneliti dalam bidang marketing, Furinto (2013) dalam majalah Marketing dengan artikelnya yang berjudul Pembuktian Dilusi Merek mengemukakan bahwa sengketa merek sendiri secara umum dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pelanggaran merek (trademark infringement) dan dilusi merek. Jenis yang pertama atau pelanggaran merek terjadi apabila sebuah merek menggunakan tanda-tanda atau ciri yang sama dengan merek yang telah ada sebelumnya sehingga konsumen dapat terkecoh. Pelanggaran merek mudah dibuktikan karena dapat terlihat secara fisik. Kedua, dilusi merek, lebih sulit dibuktikan secara hukum formal karena nama merek yang hampir sama digunakan pada jenis produk yang berbeda. 1 Merek Cap Kaki Tiga milik Kino dan merek Larutan Penyegar Cap Badak milik Sinde adalah produk yang memiliki masalah dalam hal sengketa merek beberapa waktu yang lalu. Masalah ini berawal dari adanya sengketa merek larutan Cap Kaki Tiga milik Wen Ken Drug asal Singapura terhadap produk Larutan Penyegar Cap Badak milik PT. Sinde Budi Sentosa. Wen Ken Drug mencabut hak produksi dan hak distribusi merek Cap Kaki Tiga pada 28 April 2011 dari Sinde yang telah bekerja sama sejak tahun 1978. Sinde dinilai tidak kooperatif karena menyalahi perjanjian dalam pembayaran royalti, tidak memberikan laporan produksi dengan jelas, serta memroduksi produk sejenis, yaitu Lasegar. Wen Ken Drug kemudian mengalihkan izin produksi merek Cap Kaki Tiga pada PT. Kinocare Era Kosmetindo. Sinde kemudian memroduksi produk larutan pereda panas dalam baru dengan nama Cap Badak. Sinde juga telah mematenkan ilustrasi badak dan kaligrafi arab atas nama mereka pada tahun 2003 di luar sepengetahuan Wen Ken Drug. Kasus sengketa merek ini pun terus bergulir di pengadilan. Sinde memenangkan kasus sengketa merek ini di pengadilan. Majelis Hakim menyatakan bahwa pendaftaran merek Cap Kaki Tiga No.IDM000241894 oleh Wen Ken Drug dilakukan dengan itikad tidak baik karena dapat menyesatkan konsumen yang mengira produk Cap Kaki Tiga berasal dari Cap Badak. Selama ini Cap Kaki Tiga identik dengan visualisasi badak dalam kemasannya. Di negara lain pun atribut badak adalah hak paten milik Wen Ken Drug yang harus ada dalam setiap kemasan Cap Kaki Tiga. Dengan kemenangan Sinde di pengadilan, jelas menguntungkan merek Cap Badak karena atribut tersebut telah dikenal konsumen sejak awal persebaran merek Cap Kaki Tiga. Kini Cap Kaki Tiga tidak lagi diperkenankan menggunakan atribut arab dan ilustrasi badak karena telah dipatenkan atas nama Sinde. Meskipun tidak lagi diperkenankan menggunakan atribut kaligrafi dan ilustrasi badak, Cap Kaki Tiga seharusnya memiliki ekuitas merek yang kuat di benak konsumen karena telah puluhan tahun beredar di pasar Indonesia. Namun semenjak kehadiran Cap Badak beberapa tahun belakangan dalam kategori produk larutan pereda panas dalam, keadaan tidak lagi sama. Masyarakat justru dipusingkan dengan kehadiran kedua produk yang secara fisik hampir sama. 2 Menurut Istijanto Oei, penulis buku “Marketing For Everyone,” konsumen juga sebenarnya tidak terlalu memerhatikan perbedaan produsen di belakangnya karena masih mempersepsikan keduanya sebagai Cap Kaki Tiga Generasi Awal. Di satu sisi konsumen telah mengenal Cap Kaki Tiga yang hadir sejak puluhan tahun yang lalu. Namun di sisi lain Cap Kaki Tiga justru tidak bisa diidentifikasi dengan kuat akibat kehilangan atribut badak dalam kemasannya. Konsumen mulai tidak bisa mengasosiasikan merek dengan produk dengan spesifik, padahal Cap Kaki Tiga yang telah lebih dahulu mengelola produk ini sejak 1937 yang lalu dengan atribut badak dalam kemasannya. Adanya sengketa merek ini tidak banyak berpengaruh pada jumlah market share produk larutan pereda panas dalam, namun berpengaruh terhadap jumlah sales masing-masing produk. MIX edisi Maret 2012 melansir, market size produk larutan pereda panas dalam di Indonesia telah mencapai nilai 20 triliun rupiah per tahun. Tidak heran jika persaingan antara dua merek larutan pereda panas dalam ini begitu ketat. Pada tahun 2010 sendiri, produk Larutan penyegar Cap Badak memberikan kontribusi sales sebesar 70% kepada Sinde. Sales mereka berpindah sebesar 30% kepada Kino karena tidak bisa dipungkiri Cap Kaki Tiga telah memiliki loyalis produk. Kino sendiri mengklaim penjualan Cap Kaki Tiga setelah merek ini ditangani mereka mencapai angka 20 miliar per bulan. Tingginya penjualan produk larutan pereda panas dalam tidak luput dari pengaruh jumlah persebaran toko modern di Indonesia. Toko modern menjadi sarana distribusi produk yang paling mudah dijangkau masyarakat saat ini. Di Indonesia sendiri jumlah Indomaret mencapai 8037 gerai di akhir tahun 2013. Jumlah tersebut masih di tambah toko modern lain seperti Alfamart, Alfa Midi, dll. Jumlah persebaran toko modern di DIY sendiri tumbuh sangat pesat. Jumlah toko modern di Yogyakarta sampai sejauh ini mencapai 52 gerai. Di Bantul sampai 2013 diperkirakan mencapai 96 gerai. Jumlah terbanyak berada di Kabupaten Sleman dengan jumlah 173 gerai. Cap Kaki Tiga sendiri mengaku bekerja sama dengan Indomaret seluruh Indonesia untuk memasarkan produknya. Dengan begitu persebaran produk larutan pereda panas dalam dipastikan telah tersebar dengan baik di Kabupaten Sleman. Meskipun produk telah didistribusikan dengan baik, majalah 3 MIX justru memaparkan bahwa angka penguasaan larutan pereda panas dalam menjadi sulit diprediksi setelah Cap Kaki Tiga dimiliki Kino. Bisa saja dikarenakan konsumen mulai kesulitan mengidentifikasi produk dengan baik. Akan membahayakan merek jika konsumen tidak lagi bisa mengidentifikasi produk dengan baik. Melalui studi pengaruh nilai ekuitas merek terhadap preferensi merek, diharapkan perusahaan dapat melihat sejauh mana konsumen memahami merek dan akhirnya menempatkan merek dalam preferensinya. Pengukuran nilai ekuitas merek perusahaan dapat mengetahui kelemahan mereknya saat ini kemudian merumuskan kembali strategi pemasaran yang tepat untuk diaplikasikan kedepannya. “Meskipun nilai ekuitas merek tidak dapat secara langsung mengukur pangsa pasar dan keuntungan perusahaan, namum dapat mengasumsikan bahwa dengan nilai ekuitas merek yang tinggi berarti pangsa pasar dan keuntungan perusahaan juga tinggi” (Cobb-Walgren, 1995: 28). Dengan mengukur preferensi merek, perusahaan dapat memetakan sejauh mana konsumen mengutamakan mereknya dibandingkan merek lain. Semakin konsumen memahami merek, maka nilai ekuitas mereknya tinggi. Dengan nilai ekuitas merek yang tinggi pula, maka preferensi konsumen terhadap merek tersebut juga tinggi. Dari penjabaran latar belakang di atas, peneliti melihat masalah ini dapat dijadikan kajian penelitian dalam bidang komunikasi pemasaran. Dengan melakukan penelitian ini diharapkan dapat memaparkan pengaruh nilai ekuitas merek terhadap preferensi merek larutan pereda panas dalam di Kabupaten Sleman. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana pengaruh nilai ekuitas merek terhadap preferensi merek Larutan Cap Kaki Tiga dan Larutan Penyegar Cap Badak pada konsumen di Kabupaten Sleman? 4 C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh nilai ekuitas merek terhadap preferensi merek Larutan Cap Kaki Tiga dan Larutan Penyegar Cap Badak pada konsumen di kabupaten Sleman. 2. Membandingkan pengaruh nilai ekuitas merek terhadap preferensi merek Larutan Cap Kaki Tiga dan Larutan Penyegar Cap Badak pada konsumen di kabupaten Sleman. D. Manfaat Penelitian 1. Akademik Dengan diadakannya penelitian ini, manfaat akademik yang ingin dicapai adalah: - Menerapkan dan menguji konsep pengaruh nilai ekuitas merek terhadap preferensi merek dalam kajian Komunikasi Pemasaran. 2. Praktis Dengan diadakannya penelitian ini, manfaat praktis yang ingin dicapai adalah: - Menjadi referensi bagi produsen kategori produk larutan pereda panas dalam dalam menentukan strategi komunikasi pemasaran selanjutnya. E. Kerangka Pemikiran a. Nilai Ekuitas Merek 5 Sebelum melangkah ke konsep nilai ekuitas merek, terlebih dahulu dipaparkan makna ekuitas merek itu sendiri. Aaker mendefinisikan ekuitas merek sebagai “seperangkat aset, atau kewajiban, yang terhubung dengan nama merek atau simbol, yang dapat menambah atau mengurangi nilai produk atau layanan kepada perusahaan atau konsumen” (Aaker, 1991: 15). Aset yang terhubung dengan nama merek atau simbol tersebut diperoleh berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya terhadap merek. Pengetahuan dan pengalaman yang positif akan menambah nilai produk atau layanan kepada perusahaan atau konsumen, sedangkan pengetahuan dan pengalaman yang negatif akan mengurangi nilai produk atau layanan kepada perusahaan atau konsumen. Terlepas dari ekuitas merek, dalam KBBI nilai merupakan “sebuah ukuran yang menentukan kadar, mutu, atau banyak sedikitnya isi”. Dalam konteks komunikasi pemasaran, nilai adalah “kepercayaan dimana terdapat suatu kondisi yang lebih diutamakan dibandingkan sebaliknya” (Solomon, 2007: 136). Sebagai gambaran, seorang wanita memilih menggunakan produk kecantikan untuk wajahnya agar terlihat lebih muda, daripada terlihat tua. Wanita tersebut percaya bahwa produk kecantikan dapat memberikan kondisi muda untuk wajahnya. Konsumen mempercayai bahwa produk yang mereka konsumsi dapat memberikan nilai yang sesuai dengan tujuan pembeliannya. Dalam konteks pemasaran, nilai dapat pula berupa evaluasi terhadap harga dan kinerja merek. “Istilah 'nilai' kerap disebut sebagai kompromi yang dicapai antara harga dan kinerja” (Upshaw, 1995: 31). Pada umumnya konsumen menilai bahwa harga yang tinggi menunjukkan kualitas yang baik. Harga adalah salah satu aset tak berwujud yang melekat di dalam merek. Dengan harga yang tinggi, sebuah merek mampu memberi asumsi pada konsumen bahwa mereka telah mengenakan produk dengan kinerja yang premium, pelayanan yang memuaskan, serta kepuasan yang tinggi. Sebaliknya, dengan harga yang rendah, konsumen pastinya telah bersiap 6 untuk menerima konsekuensi bahwa produk memiliki kualitas rata-rata. Konsumen melakukan evaluasi tersebut terhadap beberapa pilihan merek. Nilai merupakan keseluruhan evaluasi terhadap aset-aset yang diasosiasikan dan dipersepsikan oleh konsumen terhadap sebuah merek. “Nilai merek terkait dengan seberapa jauh konsumen mengerti dan mempunyai asosiasi positif terhadap merek” (Soehadi, 2005: 15). Konsumen melakukan evaluasi terhadap aset-aset yang melekat dalam merek. Semakin jauh konsumen mengerti dan memiliki asosiasi positif terhadap merek maka nilai yang melekat pada mereknya juga akan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya. Sementara nilai melekat pada merek dalam berbagai aspek, konsumenlah yang pertama menentukan ekuitas merek. Seperti dinyatakan oleh Farquhar (1989) dan Crimmins (1992) dalam Cobb-Walgren (1995: 27) bahwa “…While brands do have value to various constituencies, it is consumer who first determines brand equity”. Konsumen membentuk pemahaman terhadap merek dalam benak mereka yang kemudian dapat membentuk nilai ekuitas merek. Nilai ekuitas merek terbentuk dalam persepsi di benak konsumen. “Overall, the perceptions contribute to the meaning or value that the brand adds to the consumer-i.e., brand equity” (Djerv & Malla, 2012: 15). Aset yang melekat dalam merek diintepretasikan oleh konsumen sehingga membentuk persepsi. Dengan begitu, nilai ekuitas merek dalam penelitian ini dapat diartikan dengan seperangkat aset-aset tak berwujud yang melekat pada merek dan diterjemahkan menjadi persepsi di benak konsumen. Nilai ekuitas merek kemudian dapat diukur melalui seperangkat penilaian terhadap persepsi konsumen yang dijabarkan oleh Aaker (1996) dalam Measuring Brand Equity Across Product and Markets. Aaker memaparkan sepuluh perangkat pengukuran melalui The Brand Equity Ten, yang terbagi dalam lima kategori terangkum dalam tabel 1.1. Empat kategori pertama merepresentasikan persepsi konsumen terhadap merek yang dijabarkan dalam empat dimensi ekuitas merek, loyalitas merek (brand loyality), kesadaran merek (brand awareness), persepsi kualitas (perceived 7 quality), dan asosiasi merek (brand association). Kategori kelima, pengukuran perilaku pasar, lebih merepresentasikan informasi terkini dari pasar, sehingga tidak melibatkan konsumen secara langsung. Dalam Marketing Research (Aaker, dkk, 2000), Aaker lebih menganjurkan dalam riset ekuitas merek untuk menggunakan empat kategori pertama tanpa menyertakan kategori kelima. Oleh karena itu pengukuran nilai ekuitas merek hanya akan mengukur berdasarkan pada empat dimensi ekuitas merek saja. Tabel 1.1. The Brand Equity Ten Pengukuran Loyalitas Harga Premium Kepuasan/ Loyalitas Pengukuran Persepsi Kualitas/ Popularitas Persepsi Kualitas Popularitas Pengukuran Asosiasi/ Diferensiasi Persepsi Nilai Kepribadian Merek Persepsi Organisasi Pengukuran Kesadaran Kesadaran Merek Pengukuran Perilaku Pasar Pangsa Pasar Harga dan Indeks Distribusi Sumber: David A. Aaker. California Management Review Vol. 38. No 3: Measuring Brand Equity Across Product and Markets. (1996: 105) 1. Ukuran Loyalitas Loyalitas adalah elemen utama yang membangun nilai ekutas merek. “Konsumen yang loyal kepada merek memberikan kelonggaran bagi perusahaan untuk menetapkan harga yang tinggi, berpikir ulang 8 untuk mengikuti inovasi dari kompetitor, serta terbentengi dari kompetisi harga di pasar” (Aaker 1996: 106). Ukuran loyalitas yang dijabarkan oleh Aaker (1996) meliputi: a) Harga Premium Ukuran loyalitas dapat dilihat dari kesediaan konsumen untuk membeli sebuah produk meskipun harga produk tersebut lebih tinggi dibanding kompetitornya dalam kategori produk yang sama. Contohnya saja Pepsi dan Coca Cola, keduanya adalah produk minuman berkarbonasi yang secara manfaat dan rasa sama. Jika konsumen telah loyal kepada Coca Cola maka konsumen tersebut akan tetap membeli Coca Cola, meskipun harga di pasaran menunjukkan harga Pepsi 10% lebih rendah. Aaker juga menyatakan bahwa harga premium dapat mengindikasikan apakah suatu merek memiliki ekuitas merek atau tidak. “Setiap aspek dalam ekuitas merek juga dapat mempengaruhi harga premium” (Aaker, 1996: 107). Pengukuran terhadap Harga premium memang terkesan mentah, namun dapat memudahkan dalam menentukan strategi membangun merek, keputusan pemasaran, serta langkah peningkatan kualitas produk ke depan. Jika konsumen tetap bertahan pada harga yang tinggi sekalipun, artinya loyalitas terhadap merek telah terbangun. b) Kepuasan/ loyalitas Pengukuran secara langsung terhadap kepuasan dapat diukur dari opini dan tindakan konsumen terhadap merek. Fokusnya dapat berasal dari pengalaman sebelumnya konsumen terhadap merek. Aaker memberikan gambaran pertanyaan seperti “apakan anda (tidak puas – puas – sangat puas) terhadap produk atau jasa yang anda gunakan pada pengalaman terakhir? Atau apakah anda akan membeli produk tersebut pada kesepatan berikutnya? Limitasinya adalah indikator ini tidak dapat 9 mengukur orang lain yang belum pernah menggunakan produk sebelumnya. Tujuan pengukuran kepuasan adalah untuk mengetahui apakah konsumen akan melakukan pembelian ulang terhadap suatu merek. Jika konsumen puas, maka kemungkinan pembelian ulang juga tinggi. 2. Ukuran Persepsi Kualitas/ Popularitas Persepsi kualitas dan popularitas adalah salah satu faktor yang cukup penting dalam menentukan dimana letak produk dalam kategori produk yang sama. Keduanya dapat membandingkan tingkatan produk yang satu dengan yang lainnya. Ukuran persepsi kualitas yang dijabarkan oleh Aaker (1996) meliputi: a) Persepsi kualitas Memiliki hubungan yang kuat dengan opini konsumen terhadap asosiasi produk. Persepsi kualitas dapat juga menghubungkan dengan harga premium, elastisitas harga, kegunaan produk, serta pengembalian saham. Pengukuran persepsi kualitas dilakukan dengan membandingkan kualitas merek dibanding merek lain dalam kategori produk yang sama. Jika konsumen mempersepsikan kualitas mereknya tinggi, maka kemungkinan produk menjadi prioritas juga tinggi. b) Popularitas Merek yang memiliki kualitas tinggi telah dipersepsikan sebagai pemimpin dalam satu kategori produk. Pengukuran popularitas dalam persepsi kualitas dapat dilakukan dengan melihat tiga indikator, yaitu selalu menjadi yang nomor satu sebagai pemimpin pasar, selalu menampilkan inovasi, dan merek selalu popular dan menjadi trend-setter. 3. Ukuran Asosiasi 10 “Asosiasi merek dapat menjadi dasar bagi seseorang dalam melakukan keputusan pembelian dan dapat membangun loyalitas terhadap merek” (Aaker, 1991: 110). Asosiasi merek merupakan semua kesan yang terkait dengan ingatan seseorang terhadap suatu merek. Kesan-kesan tersebut dapat melekat dalam ingatan konsumen dipengaruhi oleh pengalaman penggunaan terhadap produk maupun melalui sumber informasi lain. Ukuran asosiasi yang dijabarkan oleh Aaker (1996) meliputi: a) Persepsi nilai Merek dalam perspektif produk berfokus pada persoalan nilai merek. Merek yang tidak memiliki nilai akan rentan untuk diserang oleh kompetitornya. Pengukuran terhadap nilai menghasilkan indikator evaluatif terhadap kesuksesan merek dalam membentuk proposisi nilai mereknya. Pengukuran terhadap persepsi nilai meliputi apakah merek menghasilkan nilai yang sebanding dengan harganya, dan juga alasan mendasar konsumen dalam memilih suatu merek dibandingan dengan merek lainnya. b) Kepribadian merek Dalam indikator ini, sebuah merek diumpamakan sebagai manusia dimana tiap individu akan memiliki kepribadian yang berbeda. Sama seperti manusia, merek memiliki kepribadian yang berbeda satu sama lainnya, tergantung pada nilai yang melekat pada merek serta manfaat yang diberikan kepada konsumennya. Kepribadian merek yang kuat diukur dari sejauh mana konsumen tertarik pada personalitas merek. Selain itu konsumen juga harus memiliki gambaran yang jelas tentang tipe konsumen macam apa yang akan menggunakan merek tersebut. c) Asosiasi organisasional 11 Dimensi lain dari asosiasi merek adalah merek dalam perspektif organisasi yang menaunginya, yang memperhitungkan organisasi (orang, nilai, dan program) yang bernaung di belakang sebuah merek. Penilaian terhadap dimensi ini penting dilakukan jika beberapa merek memiliki kesamaan atribut, dimana akan memudahkan konsumen melakukan penilaian berdasarkan perusahaan yang memroduksi merek tersebut. Pengukuran terhadap asosiasi organisasi diukur melalui kepercayaan konsumen terhadap perusahaan yang memproduksi suatu merek, kekaguman pada perusahaan yang memroduksi merek tersebut, serta kepercayaan terhadap kredibilitas perusahaan dalam memroduksi merek. 4. Ukuran Kesadaran a) Kesadaran merek “Kesadaran merek adalah kemampuan konsumen untuk mengenali (recognition) dan mengingat (recall) sebuah merek dalam kategori produk tertentu” (Aaker, 1991). Dengan adanya kesadaran merek, konsumen dapat membedakan merek yang satu dengan merek yang lainnya. Kesadaran dapat mempengaruhi persepsi dan sikap konsumen. Dalam beberapa konteks, kesadaran merek dapat membentuk pemilihan merek bahkan loyalitas. Pengukuran kesadaran merek dilakukan dengan melihat pengenalan konsumen terhadap merek, mengingat kembali merek yang ada di benak konsumen, sejauh mana merek menjadi Top of Mind, dominasi merek dalam mengingat merek, pengetahuan terhadap merek, serta opini-opini terhadap merek tersebut. Pengukuran terhadap nilai ekuitas merek tersebut memberikan gambaran bagaimana konsumen mengolah persepsi dalam menerjemahkan seperangkat aset-aset tak berwujud yang melekat pada merek di dalam 12 benaknya. Nilai ekuitas merek didapatkan dari nilai tambah yang diberikan merek pada produk. “Sepanjang nilai tambah ada, maka merek memiliki ekuitas” (Hana & Wozniak (2001) dalam Simamora, 2003: 47). Ketika merek telah memiliki ekuitas, maka nilai ekuitas merek tersebut dapat memberikan manfaat baik kepada konsumen maupun bagi perusahaan. Bagi konsumen, nilai ekuitas merek dapat membantu konsumen dalam menafsirkan, memproses, dan menyimpan informasi mengenai produk dan merek. Nilai ekuitas merek juga mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam mengambil keputusan pembelian. Selain itu, “persepsi kualitas dan asosiasi merek dapat meningkatkan kepuasan konsumen dalam menggunakan produk” (Simamora, 2003: 48). Lebih lanjut, Simamora (2003: 50) juga menyatakan bahwa “bagi perusahaan, ekuitas merek yang kuat akan mendorong terjadinya transaksi berulang oleh konsumen, memungkinkan perusahaan menetapkan harga yang tinggi (premium) sehingga margin lebih tinggi, diferensiasi merek dengan pesaingnya lebih jelas sehingga mudah diidentifikasi oleh konsumen, dan lain sebagainya”. Ekuitas merek juga merupakan perwujudan dari kepercayaan merek yang tinggi. “Dengan ekuitas merek yang kuat, maka perusahaan dapat mempertinggi keberhasilan program dalam memikat konsumen baru atau merangkul kembali konsumen lama” (Durianto, dkk, 2001: 6). Berdasarkan manfaat di atas, pentingnya pengukuran terhadap nilai ekuitas merek bagi produsen yang telah mendefinisikan nilai ekuitas mereknya adalah bahwa mereka dapat mengikuti peta ekuitas merek tersebut kedepannya untuk mengelola nilai-nilai yang potensial untuk menaikkan market sharenya. Keberadaan ekuitas merek yang kuat akan penting bagi perusahaan karena ekuitas merek dapat melekatkan nilai yang kuat di benak konsumen terhadap suatu produk. Dalam beberapa penelitian sebelumnya, terbukti bahwa ekuitas merek berpengaruh terhadap keputusan pembelian konsumen dalam tahap akhir respon konsumen. Menurut Philip Kotler dalam bukunya Manajemen Pemasaran Edisi Kesebelas Jilid 2 (2005: 86) menyatakan bahwa “ekuitas 13 merek mengakibatkan pelanggan memperlihatkan preferensi terhadap suatu produk dibandingkan dengan yang lain kalau keduanya pada dasarnya identic”. Nilai ekuitas merek yang ada dalam benak konsumen menghasilkan evaluasi terhadap beberapa produk sampai pada akhirnya menetapkan merek mana yang akan dipilih berdasarkan nilai tertinggi. Dalam tahap respon konsumen terdapat suatu proses sebelum konsumen menetapkan pilihan. “Dalam suatu pemilihan, konsumen cenderung membentuk serangkaian preferensi melalui beberapa proses, dan kemudian akan memilih berdasarkan preferensi yang paling penting” (Kotler & Fox, 1995: 254). Dengan begitu preferensi merek kemudian menjadi pertimbangan sebagai pengaruh dari nilai ekuitas merek tersebut. b. Preferensi Merek Sebelum melakukan pembelian, konsumen mengalami proses berpikir dan menimbang-nimbang merek mana yang akan dipilih. Ketika konsumen dihadapkan dalam beberapa pilihan merek, konsumen pastinya memiliki asumsi-asumsi terhadap beberapa pilihan merek hingga akhirnya memilih sebuah merek. Konsumen kemudian mengolah asumsi-asumsi yang mereka kumpulkan, dan akhirnya akan menyimpulkan merek mana yang lebih diunggulkan dari pada merek yang lain melalui suatu pertimbangan. Saat konsumen telah mengunggulkan satu merek dibanding merek lainnya, maka konsumen telah memiliki preferensi merek. Preferensi digunakan sebagai evaluasi alternatif dimana merek yang nantinya akan dipilih adalah merek yang memiliki nilai guna paling optimal. Preferensi dapat diartikan sebagai penilaian evaluatif dalam arti menyukai atau tidak menyukai terhadap suatu objek. Scherer (2005) seperti dikutip Catania (2013: 57) menjelaskan “Alternatively, one could interpret the term “preference” to mean evaluative judgment in the sense of liking or disliking an object”. Preferensi menunjukkan merek mana yang lebih dipilih 14 dalam asumsi dan pikiran konsumen terhadap beberapa pilihan merek. Pada salah satu kajian ekonomi mikro, konsistensi preferensi (transifity), konsep preferensi memiliki kaitan dengan kemampuan konsumen dalam menyusun prioritas pilihan agar dapat mengambil keputusan. Terdapat dua sikap dalam kaitannya dengan preferensi konsumen, yaitu lebih suka (prefer) atau samasama disukai (indifference). Misalnya konsumen menyatakan bahwa merek A lebih disukai dari pada merek B (A>B), atau A dan B sama-sama disukai (A=B). Syarat lain dari konsep ini adalah bahwa konsumen harus memiliki konsistensi preferensi, misalnya merek A lebih disukai dari merek B (A>B), dan merek B lebih disukai dari merek C (B>C), maka barang A harus lebih disukai dari barang C (A>C). Ketika konsumen telah menentukan prioritas berdasarkan suatu penilaian, akhirnya konsumen dapat menentukan keputusan pembelian. Preferensi merupakan suatu proses dalam keputusan membeli. Howard dan Sheth (1998: 68) mengemukakan preferensi konsumen dalam suatu proses pengambilan keputusan membeli. Mereka menyusun model perilaku pembelian (buying behavior) yang menjelaskan tentang alasan rasional konsumen dalam melakukan keputusan pembelian. Model ini terdiri atas empat komponen, yaitu masukan stimulus (variabel input), konstruksi hipotesis (susunan persepsi melalui proses belajar), hasil tanggapan (variabel output) dan variabel eksogen. Pada proses membeli, konsumen mendapatkan stimulus dari lingkungan sekitarnya, baik dari penawaran produsen, maupun dari harga, kualitas, pelayanan, dan lain sebagainya. Kemudian konsumen mulai membentuk persepsi-persepsi melalui proses pembelajaran atas beberapa merek. Konsumen mengalami proses berpikir dan mulai melakukan pertimbangan-pertimbangan. Dalam proses berpikir ini konsumen menemukan tingkatan preferensi dari merek yang paling disukai sampai yang paling dihindari. Pada akhirnya keputusan membeli merupakan suatu hasil akhir tanggapan dimana konsumen akan memilih merek yang paling disukai. Kecenderungan konsumen untuk membeli produk atau jasa yang paling disukai adalah sesuai dengan tujuan, yakni memperoleh kepuasan dalam 15 pembelian. Pada akhirnya terdapat variabel eksogen dimana konsumen mempertimbangkan kembali keputusan pembeliannya. Menurut Tambunan (2001), “preferensi konsumen terhadap produk dan jasa dapat diukur dengan suatu model pengukuran yang dapat menganalisis hubungan antara pengetahuan produk yang dimiliki konsumen dan sikap atas produk sesuai dengan ciri atau aribut produk”. Shimp juga menyatakan bahwa “dalam sudut pandang konsumen, sebuah merek memiliki ekuitas sebesar pengenalan konsumen atas merek tersebut dan menyimpannya dalam memori mereka beserta asosiasi merek yang mendukung, kuat, dan unik” (Shimp, 2003: 10). Dengan kata lain ekuitas merupakan pengetahuan terhadap produk yang disimpan dalam memori seseorang dan menghubungkannya dengan sifat-sifat spesifik tertentu sebuah merek. Dengan pengetahuan akan merek yang tercakup dalam ekuitas merek, preferensi konsumen menjadi dapat diukur. Melalui konsep preferensi seperangkat nilai ekuitas merek kemudian dapat dianalisis untuk mengetahui evaluasi konsumen terhadap merek. “Preferensi didefinisikan sebagai penetapan evaluasi kepada objek yang beragam (dua objek atau lebih)” (Kardes, 2002). Nilai-nilai yang melekat pada merek tersimpan dalam memori konsumen atas dasar pengetahuan, referensi, dan penggunaan sebelumnya. Konsumen akan memprioritaskan satu merek di atas yang lain dalam benak mereka sebagai preferensi setelah melakukan evaluasi terhadap beberapa merek dalam jenis produk yang sama. Dengan nilai prioritas yang berbeda, konsep preferensipun terbentuk dimana konsumen telah mampu dalam menyusun prioritas pilihan sebelum mengambil keputusan. Salah satu indikator suatu merek dikatakan kuat adalah dari asumsi dan pikiran konsumen. Jika konsumen telah menempatkan satu merek di atas yang lain berdasarkan berbagai evaluasi terhadap aset-aset merek, maka produk tersebut memiliki nilai yang lebih di mata konsumen dibanding kompetitor-kompetitornya sehingga bisa dikatakan preferensinya kuat. Sedangkan jika konsumen cenderung tidak loyal dengan melakukan brand 16 switching, tidak dapat mengidentifikasi produk dengan kuat, memiliki persepsi yang rendah terhadap kualitas merek, bahkan tidak mengetahui kenampakan produknya, maka pereferensi terhadap merek masih rendah. c. Hubungan Nilai Ekuitas Merek dan Preferensi Merek Cobb-Walgren (1995) mengemukakan kerangka pemikiran yang menguji pengaruh ekuitas merek pada preferensi merek dan keinginan membeli. Kerangka tersebut digambarkan dalam bagan “Antecendents and Consequences of Brand Equity” atau asal-usul dan konsekuensi ekuitas merek. Kerangka dibawah ini menjelaskan bagaimana asal-usul dan konsekuensi ekuitas merek yang dijabarkan oleh Cobb-Walgren (1995). 17 Bagan 1.1: Antecendents and Consequences of Brand Equity Sumber: Cathy J. Cobb-Walgren, Brand Equity, Brand Preference, and Purchase Intent, Journal of Advertising Volume XXIV, Number 3 (1995: 29) Cobb-Walgren mengadopsi kerangka tersebut dari model Hierarchi of Effect (HOE) dari sudut pandang individual konsumen. Kerangka CobbWalgren memperlihatkan ekuitas merek bukanlah konsep yang semata-mata muncul begitu saja. Hierarchy of Effect memberikan gambaran bagaimana konsumen melewati beberapa tahap selama membentuk dan mengelola sikap merek (brand attitudes) dan keinginan membeli (purchase intentions) (Smith dkk., 2008). Kotler (1997) memberikan gagasan tentang Hierarchy of Effect tentang tahap respon konsumen terhadap efek komunikasi pemasaran dimana terdapat beberapa tingkatan efek komunikasi didalamnya. Premis dasar dari model ini adalah bahwa dalam pemasaran, konsumen tidak serta merta melakukan pembelian. Konsumen mengalami suatu proses berpikir sebelum 18 melakukan suatu keputusan pembelian yang pada tahap akhir proses ini adalah membeli. Pada kerangka Cobb-Walgren, konsumen pada tahap awal membentuk persepsi melalui evaluasi terhadap aspek fisik dan psikologis merek yang diperoleh dari beberapa sumber informasi yang didapatkan sebelumnya. Informasi yang di peroleh konsumen berasal dari iklan, informasi dari mulut ke mulut, pengaduan konsumen, sampai pengalaman penggunaan konsumen terhadap merek. “There is broad based agreement that one of the major contributors to brand equity is advertising” (Aaker dan Biel, 1993). Dalam bagan tersebut Cobb-Walgren menggambarkan iklan adalah sumber utama yang dapat membentuk ekuitas merek. “In creating brand equity, advertising is said to be the most common tool. It can create awareness of the brand, thereby increase the likelihood to be included in the consumer’s evoked set, known as “top-of-mind”” (Drejv dan Malla, 2012: 13). Iklan memiliki pengaruh yang besar terhadap ekuitas merek dengan berbagai macam jalan. Iklan dapat menciptakan kesadaran merek (awareness) dan meningkatkan kemungkinan merek untuk dijajarkan dalam pilihan merek yang diutamakan konsumen. Iklan juga dapat memperbesar asosiasi merek (brand associations) dimana atribut merek yang tersimpan dalam memori konsumen dapat diingat secara tidak sadar. Merek dapat muncul sebagai merek pertama yang diingat dalam memori konsumen ketika berpikir kategori produk tertentu (Top of Mind). Iklan juga dapat mempengaruhi persepsi kualitas (perceived quality) suatu merek serta memberikan pengaruh terhadap pengalaman penggunaan konsumen terhadap produk tertentu. Selain iklan, sumber informasi lain seperti word of mouth (WoM) juga sangat berpengaruh. “Word of Mouth (WoM) is product information transmitted by individuals to individuals” (Solomon, 2007: 394). WoM berkembang sampai kepada dunia digital seperti internet dimana informasi tentang merek didapatkan melalui perbincangan di jejaring sosial atau ulasan di berbagai situs forum diskusi. 19 Setelah informasi diperoleh konsumen, pada tahap selanjutnya informasi tersebut terbagi menjadi dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek psikologis. Aspek fisik merujuk kepada pengalaman fisik yang diperoleh konsumen melalui penggunaan produk secara langsung serta atribut yang melekat pada produk itu sendiri. Konsumen mengumpulkan informasi melalui kontak langsung dengan produk, ketika konsumen merasa apa yang dijanjikan merek itu sesuai dengan kenyataan atau bahkan lebih baik, maka konsumen akan mendapatkan persepsi positif terhadap merek, begitu pula sebaliknya. Aspek psikologis diperoleh melalui iklan dimana konsumen tidak melihat dan merasakan secara langsung suatu merek, namun mempersepsikan nilai merek tersebut. Melalui tayangan iklan persepsi yang di olah akan berbeda satu sama lain tergantung pada selera dan pengetahuan konsumen terhadap merek. Konsumen kemudian membentuk persepsi dari evaluasi terhadap aspek emosional (psikologis) dan fungsional (fisik) di atas melalui iklan dan sumber informasi lain. “Proses persepsi seseorang terhadap suatu objek tetap dipengaruhi oleh pengalaman masa lalunya yang tersimpan dalam memori” (Sutisna, 2003: 63). Persepsi diperoleh melalui suatu proses. “Proses persepsi seseorang diawali dari pengamatan, pemilihan informasi, hingga pada tahap penerjemahan” (Ivancevich, dkk, 2006: 116). Tahap awal persepsi adalah pengamatan terhadap merek, ketika melakukan pengamatan, beragam informasi didapatkan dan di simpan dalam memori mereka. Konsumen akhirnya menyeleksi informasi tersebut dan diterjemahkan dalam persepsi terhadap aset-aset merek dalam konsep ekuitas merek. Persepsi yang tersimpan dalam memori konsumen kemudian membentuk ekuitas merek. Pada alur selanjutnya, ekuitas merek pada akhirnya dapat berpengaruh terhadap preferensi konsumen, maksud membeli, dan pemilihan merek. “Brand Equity then influence consumer preferences and purchase intentions, and ultimately brand choice” (Cobb-Walgren, 1995: 28). Pengaruh nilai ekuitas merek terhadap preferensi merek digambarkan Cobb Walgren dalam hubungan pengaruh. 20 Dalam kaitannya dengan ekuitas merek, Aaker (2011) menyatakan bahwa “merek yang dipreferensikan adalah merek yang unggul dari salah satu dimensi atau setidaknya sama baiknya dengan merek pesaingnya”. Aaker juga berpendapat bahwa “It usually means beating the competition in at least one of the dimensions that define the product category and by being at least as good as the other compared brands in the rest of dimensions”. Sejalan dengan pernyataan Aaker tersebut, Kirmani dan Wright (1989) dalam (Drejv dan Malla, 2012: 13) menyatakan bahwa “higher level of brand equity in turn generated significantly greater preference and purchase intentions”. Pernyataan Aaker, Kirmani dan Wright ini dapat menjadi patokan dalam mengukur preferensi merek nantinya. Jika salah satu dimensi dalam ekuitas merek lebih unggul dibandingkan merek pesaingnya, bisa jadi preferensi konsumen mengarah pada merek tersebut. Ditambah lagi jika seluruh dimensi dalam ekuitas merek sudah tinggi, maka preferensi mereknya juga akan lebih tinggi dibandingkan merek pesaing. Telah dijelaskan di atas bahwa ekuitas merek mengakibatkan pelanggan memperlihatkan preferensi terhadap suatu produk dibandingkan dengan yang lain kalau keduanya pada dasarnya identik. Aset-aset tidak terlihat yang melekat pada merek akan membentuk diferensiasi antara produk yang satu dengan yang lainnya. Begitu konsumen menemukan perbedaan antara dua merek yang pada dasarnya identik, maka konsumen akan melakukan analisis terhadap perbedaan tersebut. Analisis tersebut dapat dijabarkan melalui pengukuran nilai ekuitas merek. Cobb-Walgren kemudian menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa merek dengan ekuitas yang tertinggi dalam kategori produk tertentu menghasilkan secara signifikan preferensi dan keinginan membeli yang lebih dari produk lain. Dengan adanya bagan di atas kita tidak hanya bisa melihat bagaimana ekuitas merek terbentuk namun juga dapat menjabarkan bagaimana pengaruhnya terhadap sikap dan perilaku konsumen. Hubungan nilai ekuitas merek dan preferensi merek muncul karena adanya kebutuhan konsumen untuk memilih merek diantara banyaknya 21 persaingan produk. Sebelum melakukan pemilihan, konsumen dihadapkan pada beberapa pilihan merek dalam kategori produk yang sama. Konsumen kemudian mempertimbangkan merek-merek tersebut. Evaluasi terhadap beberapa pilihan merek kemudian memunculkan preferensi. Semakin konsumen memahami merek, maka nilai ekuitas mereknya tinggi. Dengan nilai ekuitas merek yang tinggi pula, maka preferensi konsumen terhadap merek tersebut juga tinggi. d. Persepsi dan Perilaku Konsumen terhadap Produk “Dalam literatur pemasaran, operasionalisasi nilai ekuitas merek terbagi dalam dua kelompok, yaitu persepsi konsumen atau consumer perception (awareness, brand associations, perceived quality) dan perilaku konsumen atau consumer behavior (brand loyality dan kemauan untuk membeli merek dengan harga tinggi)” (Cobb-Walgren, 1995: 26). Persepsi konsumen menunjukkan apa yang ada di dalam benak konsumen, yaitu pemahaman yang tidak kasat mata, sedangkan perilaku konsumen lebih kepada tindakan yang dapat dilihat secara nyata. “Perilaku konsumen adalah proses dan kegiatan seseorang yang terlibat dalam mencari, memilih, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan atau mengelola produk dan layanan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya” (Appiah & Gloria, 2011: 82). Perilaku konsumen adalah kajian untuk menjelaskan bagaimana orang membeli, apa yang mereka beli, kapan mereka membeli, dan mengapa mereka membeli untuk memahami konsumen dalam proses pembuatan keputusan pembeli. Dalam melakukan pembelian, setiap konsumen pastinya memiliki pertimbangan masingmasing. Berikut adalah faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam hal pembelian menurut Hasan (2014: 163), yaitu: 1. Budaya 22 Kebudayaan merupakan faktor yang paling berpengaruh secara luas terhadap perilaku konsumen. Budaya adalah faktor yang paling pokok dari keinginan dan perilaku seseorang. Jika perilaku hewan dituntun oleh naluri, manusia sebagai makhluk pemikir memiliki perilaku berdasarkan apa yang mereka pelajari dalam lingkungannya. Dengan begitu, nilai, persepsi, preferensi, dan perilaku seseorang yang tinggal di daerah yang satu pasti berbeda dengan yang tinggal di daerah yang lain. 2. Kelas Sosial Kelas sosial merupakan susunan yang relatif permanen dan teratur, anggotanya memiliki nilai, minat dan perilaku yang sama. Gaya hidup dalam suatu kelas sosial akan mempengaruhi perilaku konsumen. Kelas sosial tidak hanya dipengaruhi oleh pendapatan namun juga kombinasi dari pekerjaan, pendapatan, pendidikan, kekayaan, serta beberapa variabel lainnya. Melalui kelas sosial, produsen dapat memilih kelas sosial mana yang akan mereka sasar dan strategi pemasaran apa yang tepat bagi kelas sosial tersebut. 3. Kelompok Acuan Kelompok acuan merupakan kelompok yang sering mempengaruhi lingkungannya secara tidak langsung. Dengan adanya interaksi antar anggota dalam kelompok, secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku anggota kelompok atau komunitasnya. Posisi seseorang dalam kelompok dapat ditentukan melalui peran dan status. Setiap peran memiliki status yang mencerminkan penghargaan umum masyarakat. Misalnya seorang akan lebih menghargai pendapat atasannya dari pada teman yang memiliki jabatan sama dengannya. 4. Keluarga 23 Keluarga adalah faktor yang sangat kuat dalam mempengaruhi keputusan membeli karena memiliki interaksi paling dekat secara personal dengan individu. Keluarga memiliki pengaruh yang besar dalam pemilihan produk yang tergolong personal seperti sabun mandi, pasta gigi, dan produk kesehatan. Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen tersebut menjelaskan bagaimana konsumen membentuk perilaku yang berbeda-beda satu sama lainnya. “Perilaku konsumen adalah, pada akar, didorong oleh persepsi merek. Sementara pengukuran perilaku dalam pembelian menggambarkan adanya ekuitas, mereka belum mampu untuk mengungkapkan apa yang ada di hati dan pikiran konsumen yang benar-benar menunjukkan ekuitas,” (Biel, 1992: 7-8). Itulah mengapa persepsi konsumen juga dibutuhkan dalam mengukur ekuitas merek, karena persepsi konsumen dapat menunjukkan apa yang ada dalam benak dan pikiran konsumen tentang suatu merek. Telah dijelaskan di atas bahwa persepsi adalah sebuah proses, dimana “pembentukan persepsi seseorang diawali dari pengamatan, pemilihan informasi, hingga pada tahap penerjemahan” (Ivancevich, dkk, 2006: 116). Tahap awal persepsi adalah pengamatan terhadap merek, ketika melakukan pengamatan, beragam informasi didapatkan dan di simpan dalam memori mereka. Konsumen akhirnya menyeleksi informasi tersebut dan diterjemahkan aset-aset yang dimiliki merek. Dalam pempaparan Deddy Mulyana (2007: 191), “persepsi konsumen dipengaruhi oleh empat hal, yaitu pengalaman, motivasi, nilai individu, serta harapan”. Pengalaman masa lalu memberikan gambaran bagaimana perasaan konsumen dalam menggunakan produk sebelumnya. “Motivasi adalah sejauh mana konsumen mendefinisikan kebutuhannya dan mengambil tindakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut” (Ferrinadewi, 2008: 13). Selain itu konsumen juga memaknai pesan, objek, atau lingkungan bergantung pada sistem nilai yang dianut. “Nilai bersifat normatif mengenai apa yang baik dan 24 buruk atau benar dan salah” (Mulyana, 2007: 215). Mulyana juga menambahkan, persepsi dipengaruhi oleh pengharapannya bahwa konsumen cenderung menerima informasi yang sesuai dengan harapannya sedangkan informasi di luar harapan mereka akan segera dilewatkan. e. Penggunaan Larutan Pereda Panas Dalam di Kabupaten Sleman Kasus pengaburan merek Cap Kaki Tiga dan Cap Badak ini berpengaruh terhadap persepsi masyarakat secara umum di Indonesia, oleh karena itu pemilihan populasi akan didasarkan pada karakteristik perilaku konsumen produk kesehatan. Minuman larutan pereda panas dalam adalah produk kesehatan yang sangat dipengaruhi oleh keluarga sebagai pengaruh perilaku konsumen dalam memilih produk. “Sasaran utama produk larutan pereda panas dalam adalah konsumen ibu rumah tangga dengan jumlah yang besar, dimana ibu-ibu adalah pasar utama produk kesehatan” (Yuswohady, 2005: 52). Sleman sendiri adalah Kabupaten yang memiliki jumlah rumah tangga terbesar di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan persentase rumah tangga sebesar 33,23%. Selain pengaruh perilaku konsumen yang dipengaruhi keluarga, budaya seseorang dalam mengonsumsi produk juga perlu diperhitungkan. Maraknya berkembang swalayan dan minimarket di lingkungan masyarakat dewasa ini mendorong budaya konsumsi yang semakin meningkat. Jumlah persebaran toko modern di DIY sendiri kini tumbuh semakin pesat. Jumlah toko modern di Kota Yogyakarta sampai sejauh ini mencapai 52 gerai. Di Bantul sampai 2013 diperkirakan mencapai 96 gerai. Jumlah terbanyak berada di Kabupaten Sleman dengan jumlah 173 gerai di tahun yang sama. Cap Kaki Tiga sendiri mengaku bekerja sama dengan Indomaret dan Alfamart seluruh Indonesia untuk memasarkan produknya. Dengan begitu persebaran produk larutan pereda panas dalam dipastikan telah tersebar dengan baik di Kabupaten 25 Sleman. Dengan begitu Kabupaten Sleman yang dipilih menjadi populasi dalam penelitian ini. Jumlah penjualan produk ini sendiri cukup menjanjikan, Riana (2014) melakukan pengamatan di swalayan Mirota Pasaraya Sleman dimana jumlah penjualan masing-masing produk terangkum dalam tabel berikut ini: Tabel 1.2. Penjualan Larutan Cap Kaki Tiga dan Larutan Penyegar Cap Badak Hari Kemasan dan Ukuran Kemasan dan Ukuran Larutan Cap Kaki Tiga Larutan Penyegar Cap Badak Kaleng Botol Botol Kaleng Botol Botol 320 ml 200 ml 500 ml 320 ml 200 ml 500 ml Senin 107 58 48 114 44 44 Selasa 112 54 44 120 48 46 Rabu 112 60 48 120 48 46 Kamis 115 59 50 118 42 48 Jumat 100 50 42 112 46 40 Sabtu 132 70 56 140 56 54 Minggu 134 72 60 144 58 54 Total 812 423 348 868 342 332 5.000 2.800 5.500 5.400 2.800 5.800 Harga (Rp) Sumber: Gusti Vita Riana, Komodifikasi Nilai Agama Dalam Iklan Televisi, (2014: 30). Kedua produk memiliki jumlah penjualan yang cukup bersaing. Pada kemasan kaleng, Larutan Penyegar Cap Badak mengungguli Larutan Cap Kaki Tiga. Namun pada kemasan botol, baik pada 200 ml dan 500 ml, Larutan Cap Kaki Tiga masih lebih unggul dari Larutan Penyegar Cap Badak. Boleh jadi karena harga yang ditawarkan Larutan Penyegar Cap Badak lebih tinggi 26 antara 300 – 400 rupiah dibandingkan Larutan Cap Kaki Tiga pada masingmasing produknya di swalayan Mirota Pasaraya ini. Cap Kaki Tiga dan Cap Badak dipilih dalam penelitian ini karena kedua produk ini memiliki latar belakang yang sama, memiliki masalah sengketa merek, serta memiliki tampilan yang sama secara fisik sehingga dapat mengaburkan nilai mereknya. Konsumen kadang hanya mengidentifikasi produk melalui warna atau bentuk kemasannya saja. Tidak heran di Indonesia banyak merek yang meniru bentuk kemasan produk sejenis yang telah laris sebelumnya untuk mengelabuhi konsumen. Hal ini yang kemudian diantisipasi oleh produk larutan pereda panas dalam Cap Kaki Tiga dan Cap Badak. Untuk menghindari pengaburan merek seharusnya perusahaan lebih menguatkan merek mereka agar konsumen lebih mudah mengidentifikasi produk. Kehadiran Cap Kaki Tiga di pasar Indonesia sebagai pelopor minuman pereda panas dalam, membuat produk ini dinilai masih memiliki kekuatan untuk menjadi pilihan utama masyarakat. Pasalnya merek Cap Kaki Tiga telah beredar di pasaran selama lebih dari 38 tahun terakhir. Larutan Penyegar Cap Badak memang masih menjadi pilihan melalui ilustrasi badak dan kesan produk Cap Kaki Tiga yang lama. Namun kekuatan merek akan lebih melekat pada nama dibandingkan dengan unsur visual. Temporal (2001) berpendapat bahwa “…pembangunan merek pada zaman modern ini pada intinya adalah penggunaan nama, logo, trademark, dan slogan. Akan tetapi, walaupun unsur visual dari desain merupakan suatu aspek penting dalam membangun merek, hal itu saja tidaklah cukup untuk membuat suatu merek menjadi kuat”. Cap Kaki Tiga masih melekat di benak konsumen mengingat produk ini telah hadir di Indonesia sejak 38 tahun yang lalu. Cap Kaki Tiga masih akan bertahan beberapa saat mengingat investasi mereka ke merek sangat besar dan durasinya panjang. “Cap Badak masih butuh waktu untuk menggusur merek ini” (Fajar, 2012). Lambat laun merek Cap Kaki Tiga dapat tergusur eksistensinya oleh Cap Badak karena adanya pengaburan merek. Oleh karena itu, komparasi 27 antara kedua merek ini diperlukan untuk melihat mana nilai ekuitas merek yang tertinggi diantara kedua merek yang mengalami pengaburan ini. Dengan membandingkan keduanya, nantinya perusahaan dapat memetakan apakah nilai ekuitas yang tinggi dapat sebanding dengan preferensi yang tinggi, sehingga berpengaruh terhadap langkah pembelian selanjutnya. Selain itu perusahaan dapat melihat aspek mana yang masih lemah diantara aset-aset yang dimilikinya sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi strategi pemasaran selanjutnya. F. Hipotesis H1 = Terdapat pengaruh nilai ekuitas merek Larutan Cap Kaki Tiga terhadap preferensi merek pada konsumen di Kabupaten Sleman. H0 = Tidak terdapat pengaruh nilai ekuitas merek Larutan Cap Kaki Tiga terhadap preferensi merek pada konsumen di Kabupaten Sleman. H2` = Terdapat pengaruh nilai ekuitas merek Larutan Penyegar Cap Badak terhadap preferensi merek pada konsumen di Kabupaten Sleman. H0 = Tidak terdapat pengaruh nilai ekuitas merek Larutan Penyegar Cap Badak terhadap preferensi merek pada konsumen di Kabupaten Sleman. H3 = Pengaruh nilai ekuitas merek Larutan Cap Kaki Tiga terhadap preferensi merek pada konsumen di Kabupaten Sleman lebih tinggi dibandingkan merek Larutan Penyegar Cap Badak. H0 = Pengaruh nilai ekuitas merek Larutan Cap Kaki Tiga terhadap preferensi merek pada konsumen di Kabupaten Sleman lebih rendah dibandingkan merek Larutan Penyegar Cap Badak. 28 Bagan 1.2. Hipotesis Variabel X Variabel Kontrol Variabel Y Konsumen di Sleman H1 H2 G. Nilai ekuitas merek Larutan Cap Kaki Tiga Preferensi merek Larutan Cap Kaki Tiga Nilai ekuitas merek Larutan Penyegar Cap Badak Preferensi merek Larutan Penyegar Cap Badak Kerangka Konsep Berdasarkan penjabaran kerangka pemikiran di atas, nilai-nilai dalam ekuitas merek diperkirakan dapat mempengaruhi preferensi pemilihan konsumen. Konsumen merupakan individu yang selalu berpikir dengan kritis akan informasi yang didapatkannya. Dengan pemikiran kritis tersebut konsumen melakukan pertimbangan-pertimbangan diantara beberapa pilihan merek sebelum melakukan pembelian. Melalui pemikiran kritis tersebut konsumen memiliki persepsi dan perilaku sebagai bentuk penilaian konsumen terhadap merek. Persepsi dan perilaku inilah yang kemudian diukur melalui nilai ekuitas merek. Nilai ekuitas merek dalam penelitian ini diartikan sebagai seperangkat asetaset tak berwujud yang melekat pada produk dan diterjemahkan dalam persepsi di benak konsumen. Nilai ekuitas merek tersimpan dalam pengetahuan masingmasing orang berdasarkan pengalaman akan merek sebelumnya. Berdasarkan konsep yang dijelaskan di atas, pengukuran nilai ekuitas merek terdiri atas empat dimensi, yaitu kesadaran merek, loyalitas merek, persepsi kualitas, serta asosiasi merek. 29 Preferensi dalam penelitian ini diartikan sebagai tingkataan kesukaan konsumen terhadap merek dimana terdapat suatu hal yang lebih diunggulkan dari satu merek dibandingkan merek lain. Preferensi dapat dilihat dari aset-aset merek yang diukur melalui empat dimensi dalam konsep ekuitas merek. Nilai ekuitas merek dapat mempengaruhi preferensi merek dimana semakin tinggi pengetahuan konsumen akan nilai dalam aset-aset merek, maka semakin tinggi pula preferensinya. Namun jika konsumen kurang memahami merek, maka konsumen akan cenderung memiliki preferensi yang rendah terhadap merek. Peneliti menilai Cap Kaki Tiga memiliki nilai ekuitas merek dan preferensi merek yang lebih tinggi dibandingkan Larutan Penyegar Cap Badak. Pasalnya Cap Kaki Tiga yang menjadi pemimpin pasar selama bertahun-tahun di Indonesia tentunya akan menjadi produk yang memiliki preferensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pesaingnya, Larutan Penyegar Cap Badak. Meskipun Larutan Penyegar Cap Badak telah memenangkan sengketa atas ilustrasi badak dan kaligrafi, Cap Kaki Tiga tentunya memiliki kekuatan asosiasi merek yang tinggi karena masyarakat masih mengingat merek Cap Kaki Tiga sebagai nama merek larutan pereda panas dalam pertama di Indonesia. H. Definisi Operasional Konsep yang telah dijelaskan di atas akan lebih mudah dipahami melalui suatu skema yang jelas. Skema tersebut akan dijabarkan melalui definisi operasional sebagai indikator untuk menjelaskan masing-masing konsep. Variabel bebas dari penelitian ini adalah ekuitas merek (X). Ekuitas merek sendiri memiliki dimensi-dimensi sebagai berikut: 1. Loyalitas merek, merupakan sikap menyenangi terhadap suatu merek yang direpresentasikan dalam pembelian yang konsisten terhadap merek sepanjang waktu. 2. Persepsi kualitas, merupakan perasaan dalam hati konsumen terhadap suatu merek ketika membeli sejalan dengan pengukuran dampak identitas merek. 30 3. Asosiasi merek, merupakan segala sesuatu yang terkait dengan memori terhadap suatu merek. 4. Kesadaran merek, merupakan kemampuan konsumen untuk mengenali atau mengingat sebuah merek dalam kategori produk tertentu. Variabel terikat dari penelitian ini adalah preferensi merek (Y). “Preferensi merek didefinisikan sebagai penetapan evaluasi kepada objek yang beragam (dua objek atau lebih)” (Kardes, 2002). Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah konsumen di Kabupaten Sleman. Penjabaran di atas merupakan definisi operasional variabel-variabel dalam penelitian yang akan dilakukan. Untuk lebih jelasnya berikut adalah tabel rumusan operasionalisasi konsep penelitian: Tabel 1.3. Definisi Operasional Variabel Pengertian Variabel Nilai “Seperangkat Ekuitas aset, Merek Dimensi Pengukuran Variabel Kesadaran Pengertian Dimensi Dimensi Pengukuran Operasional Sumber Variabel Kemampuan Putra konsumen mengingat (2011) kewajiban, untuk merek yang terhubung mengenali dengan nama (brand mengingat merek atau recognition) model varian simbol, yang dan mengingat atau Merek Kemampuan dapat (brand recall) menambah atau sebuah merek mengurangi dalam kategori nilai produk produk tertentu atau layanan (Aaker, 1991) Kemampuan Ciri khas merek 31 kepada Loyalitas Sikap perusahaan Konsumen Setia Putra menyenangi menggunaka (2011) atau terhadap suatu n merek konsumen,” merek (Aaker, direpresentasik 1991: 15). an yang dalam Merekomend asikan merek Kembali pembelian menggunaka yang konsisten n merek di terhadap merek lain sepanjang kesempatan waktu (Sutisna, 2003: 41). Persepsi Segala hal Kualitas yang dirasakan dalam hati Kinerja Fadli produk Qamariah Rancangan (2008) konsumen produk/ terhadap suatu desain merek ketika Nilai membeli fungsional – sejalan dengan harga jual pengukuran terhadap & Kesempurnaa n produk identitas merek (Aaker, 1991) Nilai emosional – kenyamanan Asosiasi Segala sesuatu Atribut Awalludin Merek yang terkait produk (2009) dengan kesan Manfaat terhadap suatu Harga Gaya hidup 32 merek (Aaker, Kelas produk Kesukaan Priyanto (2010) 1991) Preferensi “Preferensi Merek merek terhadap didefinisikan merek sebagai dibandingkan penetapan merek lain evaluasi kepada Preferensi objek yang dibandingkan beragam (dua merek lain objek atau Preferensi lebih)” berdasarkan (Kardes, 2002) popularitas merek Preferensi berdasarkan loyalitas merek Preferensi berdasarkan kualitas merek Preferensi berdasarkan reputasi merek I. Metodologi 33 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei. Survei merupakan metode yang digunakan secara luas, khususnya dalam riset konsumen (Istijanto: 2009, 56). Karena nantinya penelitian ini dilakukan sebagai pengujian hipotesis, peneliti diwajibkan membangun hipotesis penelitian dan mengujinya di lapangan karena format penelitian ini bertujuan mencari hubungan sebab-akibat dari variabelvaariabel yang diteliti. Untuk menguji hipotesis digunakan statistik inferensial (Bungin, 2011: 46). Statistik inferensial merupakan metode analisis yang digunakan pada sampel untuk digeneralisasikan pada populasi. Analisis data kemudian didapatkan dengan memberi pertanyaan pada responden melalui daftar pertanyaan atau kuisioner yang terstruktur. Studi komparasi dilakukan untuk membandingkan seberapa kuat hubungan antar variabel antara objek satu dengan lainnya. Melalui pernyataan di atas metode survei dianggap peneliti sebagai metode yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang Pengaruh Nilai Ekuitas Merek terhadap Preferensi Merek. Dalam hal ini metode survei digunakan untuk mengobservasi persepsi dan sikap konsumen. 2. Populasi dan Sampel a. Populasi “Dalam metode penelitian, kata populasi amat popular, digunakan untuk menyebutkan serumpun atau sekelompok objek yang menjadi sasaran penelitian” (Bungin, 2011: 109). Dengan begitu populasi merupakan khalayak dengan sifat spesifik yang akan diteliti. Populasi dari 34 penelitian ini adalah penduduk Kabupaten Sleman yang menggunakan produk minuman pereda panas dalam yaitu Cap Kaki Tiga dan Larutan Penyegar Cap Badak. Pemilihan populasi ini dikarenakan distribusi produk minuman pereda panas dalam telah merata di wilayah Kabupaten Sleman, serta memiliki kemungkinan yang lebih besar dalam menerima informasi mengenai produk. Usia 17 tahun digunakan karena pada usia tersebut seseorang telah memiliki keputusan dan preferensi sendiri dalam memilih produk, serta memiliki kemandirian dalam memberikan jawaban. b. Sampel Sampel digunakan untuk mengambil sebagian populasi sebagai responden untuk mewakili sifat populasi yang bersangkutan. “Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi” (Sugiono, 1999: 57). Sampel yang digunakan harus mewakili keadaan seluruh populasi yang telah ditentukan sebelumnya. Sampel dari penelitian ini dihitung menggunakan Rumus Yamane karena lebih sesuai digunakan pada populasi yang besar dan didapat dari pendugaan proporsi populasi (Kriyantono, 2010: 164). 𝑁 n = 𝑁𝑑2 +1 Keterangan: n = ukuran sampel N = ukuran populasi d = presisi (kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang dapat ditolerir, dalam penelitian ini margin error mengunakan 10%) Dimana jumlah penduduk Kabupaten Sleman yang berusia 15 – 60+ tahun berdasarkan perhitungan statistik Kabupaten Sleman tahun 2009 35 adalah 839.054 orang. Dengan begitu jumlah responden nantinya berdasarkan rumus Yamane adalah: 839054 N = 839054(0,1)2 +1 = 839054 8391 = 99,9 dibulatkan menjadi 100 responden “Sampel adalah objek dari populasi yang diambil melalui teknik sampling, yakni cara-cara mereduksi objek penelitian dengan mengambil sebagian saja yang dapat dianggap represenntatif terhadap populasi” (Soeharto, 1993: 85). Oleh karena itu pemilihan sampel akan dilakukan melalui teknik nonprobability sampling dengan diskriminan. “Dalam nonprobability sampling, tidak semua unit populasi memiliki kesempatan untuk dijadikan sampel penelitian” (Bungin, 2011: 119). Teknik ini digunakan karena sifat populasi yang heterogen sehingga diperlukan diskriminasi tertentu dalam unit-unit populasi. Responden akan dipilih secara langsung di lokasi penelitian asalkan responden tersebut memiliki kriteria yang sama dengan ketentuan peneliti. Batasan responden (diskriminan) yang dinyatakan valid sebagai sampel dalam penelitian ini adalah: 1. Responden bertempat tinggal di lokasi penelitian. 2. Responden berusia 17 tahun ke atas. Usia 17 tahun ke atas digunakan karena pada usia tersebut seseorang telah memiliki keputusan dan preferensi sendiri dalam memilih produk, serta memiliki kemandirian dalam memberikan jawaban. 3. Responden pernah menggunakan produk Larutan Cap Kaki Tiga dan Larutan Penyegar Cap Badak. 3. Sumber Data 36 Sumber data dari penelitian ini adalah menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari pengumpulan informasi secara langsung oleh peneliti. Data sekunder digunakan untuk mendukung penelitian ini seperti profil objek penelitian serta sumber tinjauan teoritis yang dibutuhkan. Data primer merupakan data yang diperoleh melalui riset langsung oleh peneliti. Dengan metode survei, data primer akan diperoleh melalui kuisioner yang diisi oleh responden. Sedangkan data sekunder diperoleh dari rujukan berupa jurnal, buku, majalah, serta sumber bacaan yang terkait dengan penelitian ini. 4. Teknik Pengumpulan Data Data primer nantinya akan diperoleh melalui instrumen pengumpulan data berupa kuisioner. Tujuannya adalah memperoleh informasi dari beberapa sampel yang mewakili populasi tertentu. Penelitian ini nantinya dilakukan dengan cara penyebaran kuisioner yang berisi daftar pertanyaan kepada responden yang telah ditentukan sebelumnya. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur, jurnal, buku, dan sumber lain yang telah dipercaya secara akademis. 5. Teknik Analisis Data Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana variabel terikat mempengaruhi variabel bebas. Untuk mengukur hubungan sebab akibat, teknik analisis data yang cocok digunakan adalah melalui analisis regresi menggunakan uji hipotesis dengan bantuan software SPSS 17. a. Analisis Regresi Dalam setiap regresi pasti terdapat korelasi masing-masing variabel. Analisis regresi dilakukan jika korelasi antara dua 37 variabel memiliki hubungan kausal (sebab akibat) atau hubungan fungsional (Kriyantono, 2010: 183). b. Koefisien Determinasi Koefisien determinasi digunakan untuk menjelaskan seberapa besar variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat. Untuk menunjukkan besarnya pengaruh tersebut, nilai koefisien determinasi atau R2 berada di antara 0 dan 1, yang berarti: - Jika R2 = 1, maka kontribusi variabel bebas terhadap variabel terikat adalah 100%. - Jika R2 mendekati 1, maka semakin besar kontribusi variabel bebas terhadap variabel terikat. - Jika R2 mendekati 0, maka tidak ada kontribusi dari variabel bebas terhadap variabel terikat. c. Uji Kelayakan Model dan Uji t Uji kelayakan atau uji overall dilakukan untuk melihat kelayakan hubungan regresi antara variabel bebas dan terikat. Uji kelayakan akan nampak pada uji Anova yang dilihat dalam kolom sig. (p value). Sedangkan Uji t dilakukan untuk memberikan rincian variabel bebas mana saja yang benar-benar memberikan pengaruh paling besar (signifikan) terhadap variabel terikat. Indikasi signifikansi variabel tersebut adalah nilai β masingmasing variabel adalah tidak sama dengan nol (β ≠ 0). Berikut adalah hipotesis statistiknya: - Jika H0 : βn = 0 (dimana n=1,2,3,…,dst), maka variabel bebas tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat. - Jika H1 : β ≠ 0, maka variabel bebas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat. - Jika p_value < α (0,1) (dimana α adalah sampling eror 10%), maka Ho ditolak. 38 J. Uji Validitas Dan Reliabilitas 1. Uji Validitas Uji Validitas dilakukan untuk mengukur validitas suatu kuisioner. Validitas menunjukkan seberapa valid sebuah pertanyaan mengukur variabel yang akan diteliti. Langkah yang harus dilakukan untuk menguji validitas setiap pertanyaan pada kuisioner adalah dengan mencari rhitung (angka korelasi Pearson), yang dapat dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut: 𝑟𝑥𝑦 = 𝑛(∑ 𝑥𝑦) − (∑ x)(∑ y) √𝑛(∑ x 2 ) − (∑ x)2 √𝑛(∑ y 2 ) − (∑ y)2 Keterangan: r = Pearson Product Moment Correlation n = Jumlah sampel (responden penelitian) X = Skor tiap item Y = Skor total Dengan ketentuan bahwa item kuisioner dinyatakan valid apabila r memiliki tingkat signifikansi kurang dari 5%. Uji validitas perlu dilakukan sebelum kuisioner disebarkan kepada seluruh responden untuk dapat dijadikan sebagai instrumen dalam menjawab pertanyaan penelitian yang ada. Pengujian dilakukan pada 30 responden penelitian di Kabupaten Sleman. Pada penelitian ini metode uji validitas yang digunakan untuk mengambil keputusan apakah indikator yang digunakan telah valid atau tidak adalah dengan menggunakan Pearson Test, yaitu dengan membandingkan nilai angka rhitung dengan nilai signifikansi 5% dari 30 responden, maka nilai 39 dari rtabel adalah 0,361. Apabila nilai rhitung > 0,361 maka item kuisioner telah valid, sedangkan apabila nilai rhitung < 0,361 maka item kuisioner tidak valid. Berikut adalah hasil perhitungan melalui uji validitas Pearson Product Moment Correlation terhadap 30 kuisioner awal yang terkumpul: Tabel 1.4. Uji Validitas pada Nilai Ekuitas Merek Larutan Cap Kaki Tiga Variabel Pertanyaan rhitung Keterangan Nilai Ekuitas Merek Item 1.a 0.649 Valid Item 2.a 0.734 Valid Item 3.a 0.762 Valid Item 4.a 0.686 Valid Item 5.a 0.715 Valid Item 6.a 0.781 Valid Item 7.a 0.681 Valid Item 8.a 0.855 Valid Item 9.a 0.708 Valid Item 10.a 0.749 Valid Item 11.a 0.736 Valid Item 12.a 0.756 Valid Item 13.a 0.776 Valid Item 14.a 0.485 Valid Item 15.a 0.396 Valid Larutan Cap Kaki Tiga 40 Item 16.a 0.453 Valid Sumber: Data Primer yang diolah (2014) Hasil analisis validitas di atas menunjukkan bahwa koefisien korelasi setiap item pertanyaan yang diuji > 0,361, dengan nilai signifikansi kurang dari 5%. Dengan begitu item pertanyaan untuk nilai ekuitas merek Larutan Cap Kaki Tiga dinyatakan valid. Tabel 1.5. Uji Validitas pada Preferensi Merek Larutan Cap Kaki Tiga Variabel Pertanyaan Rhitung Keterangan Preferensi Merek Larutan Item 17.a 0.934 Valid Item 18.a 0.889 Valid Item 19.a 0.886 Valid Item 20.a 0.954 Valid Item 21.a 0.801 Valid Item 22.a 0.771 Valid Cap Kaki Tiga Sumber: Data Primer yang diolah (2014) Hasil analisis validitasdi atas menunjukkan bahwa koefisien korelasi setiap item pertanyaan yang diuji > 0,361, dengan nilai signifikansi kurang dari 5%. Dengan begitu item pertanyaan untuk nilai ekuitas merek Larutan Penyegar Cap Badak dinyatakan valid. Tabel 1.6. Uji Validitas pada Nilai Ekuitas Merek Larutan Penyegar Cap Badak Variabel Pertanyaan rhitung Keterangan 41 Nilai Ekuitas Merek Larutan Penyegar Cap Badak Item 1.b 0.750 Valid Item 2.b 0.754 Valid Item 3.b 0.864 Valid Item 4.b 0.886 Valid Item 5.b 0.809 Valid Item 6.b 0.902 Valid Item 7.b 0.792 Valid Item 8.b 0.865 Valid Item 9.b 0.816 Valid Item 10.b 0.625 Valid Item 11.b 0.839 Valid Item 12.b 0.824 Valid Item 13.b 0.881 Valid Item 14.b 0.817 Valid Item 15.b 0.678 Valid Item 16.b 0.761 Valid Sumber: Data Primer yang diolah (2014) Hasil analisis validitasdi atas menunjukkan bahwa koefisien korelasi setiap item pertanyaan yang diuji > 0,361, dengan nilai signifikansi kurang dari 5%. Dengan begitu item pertanyaan untuk preferensi merek Larutan Cap Kaki Tiga dinyatakan valid. 42 Tabel 1.7. Uji Validitas pada Preferensi Merek Larutan Penyegar Cap Badak Variabel Pertanyaan rhitung Keterangan Preferensi Merek Larutan Item 17.b 0.964 Valid Item 18.b 0.938 Valid Item 19.b 0.953 Valid Item 20.b 0.977 Valid Item 21.b 0.939 Valid Item 22.b 0.941 Valid Penyegar Cap Badak Sumber: Data Primer yang diolah (2014) Hasil analisis validitasdi atas menunjukkan bahwa koefisien korelasi setiap item pertanyaan yang diuji > 0,361, dengan nilai signifikansi kurang dari 5%. Dengan begitu item pertanyaan untuk preferensi merek Larutan Penyegar Cap Badak dinyatakan valid. 2. Uji Reliabilitas Uji reliabilitas digunakan untuk mengukur suatu kuisioner yang merupakan indikator dari variabel. Suatu kuisioner dinyatakan reliabel apabila jawaban sampel terhadap pertanyaan bersifat konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Reliabel juga dapat dinyatakan sebagai suatu keadaan dimana instrumen penelitian tersebut akan tetap menghasilkan data yang sama meskipun disebarkan pada sampel yang berbeda pada waktu yang berbeda. Rumus reliabilitas yang digunakan adalah: 43 𝛼= 𝐾 [1 − ∑𝑠𝑗 2] 𝐾 − 1 ∑𝑠𝑥 2 Keterangan: 𝛼 = Koefisien reliabilitas alpha K = Banyaknya item sj2 = Varians skor item sx2 = Varians skor total Uji reliabilitas akan dilakukan dengan menggunakan uji statistik cronbach’s alpha (𝛼) dengan ketentuan bahwa variabel yang diteliti dinyatakan reliabel apabila nilai cronbach’s alpha (𝛼) di atas 0,70, dimana seperti dijelaskan oleh Hilton dan Brownlow1: Jika alpha > 0,90 maka reliabilitas sempurna Jika alpha antara 0,70 – 0,90 maka reliabilitas tinggi Jika alpha antara 0,50 – 0,70 maka reliabilitas moderat Jika alpha < 0,50 maka reliabilitas rendah Sebelum kuisioner disebarkan kepada seluruh responden, kuisioner perlu diuji reliabilitasnya terlebih dahulu sehingga dapat dijadikan sebagai instrumen untuk menjawab pertanyaan penelitian yang ada. Pengujian dilakukan pada 30 responden. Berikut adalah hasil uji reliabilitas terhadap 30 kuisioner awal yang terkumpul. Tabel 1.8. Uji Reliabilitas Penelitian No Variabel Cronbach Alpha Nilai Kritis Keterangan 1 Perry Roy Hilton and Charlotte Brownlow. 2004. SPSS Explained. East Sussex : Routledge. Halaman: 364. 44 1 Ekuitas Merek Larutan 0.919 0.70 Reliabel 0.70 Reliabel 0.936 0.70 Reliabel 0.979 0.70 Reliabel Cap Kaki Tiga 2 Ekuitas Merek Larutan 0.963 Penyegar Cap Badak 3 Preferensi Merek Larutan Cap Kaki Tiga 4 Preferensi Merek Larutan Penyegar Cap Badak Sumber: Data Primer yang diolah (2014) Tabel di atas menunjukkan bahwa besarnya koefisien cronbach’s alpha (𝛼) pada semua variabel penelitian > 0.70, dengan begitu item-item pertanyaan dalam kuisioner dapat dinyatakan reliabel. 45