BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap orang tua menginginkan dan mengharapkan anak yang dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan pintar. Anak-anak yang patuh, mudah diarahkan, dan mempunyai prestasi belajar yang baik adalah dambaan dan harapan setiap orang tua (BKKBN, 2010). Sebagian besar orang tua mengharapkan memiliki anak yang sehat dan normal, namun kenyataannya terdapat juga orang tua yang mendapatkan titipan khusus dari Tuhan untuk mengasuh anak dengan kebutuhan khusus, salah satu contohnya adalah anak dengan gangguan ADHD. Anak ADHD adalah anak yang mengalami gangguan pemusatan perhatian. Kondisi ini juga disebut sebagai gangguan hiperkinetik, yaitu suatu gangguan pada anak yang timbul pada masa perkembangan dini sebelum anak berusia 7 tahun, dengan ciri utama tidak mampu memusatkan perhatian (inatentif), hiperaktif, dan impulsif. Ciri perilaku ini mewarnai berbagai situasi dan dapat berlanjut sampai dewasa (Davidson, Neale, dan Kring, 2006). Dari tahun ke tahun jumlah anak yang didiagnosis dan dirawat karena ADHD telah mengalami peningkatan yang pesat, diperkirakan dua kali lipat pada tahun 1990-an (Stain dalam Santrock, 2002). Gangguan ADHD lebih banyak diderita oleh anak laki-laki empat hingga sembilan kali ketimbang dengan anak perempuan. Namun, ada kontroversi tentang peningkatan diagnosis ADHD (Terman dkk., 1996 dalam Santrock, 2002) dimana beberapa ahli mengatakan bahwa peningkatan tersebut terutama 1 2 diakibatkan meningkatnya kesadaran akan gangguan tersebut. Dari survey yang peneliti lakukan di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan, ada sekitar 25 anak yang mengalami gangguan pervasive atau gangguan hiperkinetik dan setengahnya merupakan anak ADHD. Gejala ADHD biasanya muncul pada masa prasekolah atau TK. Anak ADHD memiliki keaktifan yang sangat tinggi dan rentang perhatian yang terbatas. Biasanya anak ADHD sukar didisiplinkan, memiliki toleransi yang rendah terhadap rasa frustasi, dan memiliki masalah dalam hubungan dengan teman sebaya. Menurut Davidson, Neale, dan Kring (2006) beberapa bentuk perilaku yang mungkin sering terlihat oleh anak ADHD adalah seperti berlarian di dalam kelas saat guru sedang mengajar, tidak dapat duduk di kursi dengan tenang sehingga mengalami kesulitan mengikuti proses belajar di kelas, dan bergerak aktif tanpa tujuan atau banyak melamun yang membuat anak tersebut tidak dapat memusatkan perhatian kepada apa yang ia pelajari. Ciri umum lainnya dari anak yang menderita ADHD mencakup ketidakmatangan umum dan kekakuan (Santrock, 2002). Menurut Buitelaar & Paternotte (2010), perilaku negatif anak ADHD selalu mengundang reaksi dari lingkungannya, banyak orang menyebut anak ADHD sebagai anak pengganggu, selalu merusak bendabenda yang ada di sekelilingnya, dan dianggap sebagai anak yang aneh. Pada akhirnya anak ADHD kesulitan untuk membangun konsep diri yang positif yang akhirnya akan membawanya pada masalah-masalah emosional. Banyak anak ADHD yang menunjukkan perilaku agresi, dimana perilaku bermasalahnya ke arah luar seperti perkelahian atau pelecehan, tetapi ada juga arah masalahnya justru ke dalam diri anak, seperti berkembangnya perilaku rasa takut dan depresif. Menurut 3 Davidson, Neale, dan Kring (2006) anak-anak dengan ADHD sering kali dengan cepat dijauhi dan ditolak atau diabaikan oleh teman-teman seusia mereka karena anak ADHD menunjukan sejumlah perilaku agresi yang tampak jelas dan perilaku ketidakpatuhan. Prestasi sekolah anak ADHD seringkali berada di bawah rata-rata atau turun naik dan seringkali dikeluarkan oleh pihak sekolah (Buitelaar & Paternotte, 2010). Sekitar 15 hingga 30 persen anak-anak dengan gangguan ADHD mengalami disabilitas atau ketidakmampuan belajar dalam matematika, membaca, atau mengeja (Barkley, DuPaul, & McMurray, 1990; Casey, Rourke, & DelDotto, 1996; Semrud-Clikeman dkk., 1992 dalam Davidson, Neale, dan Kring, 2006) dan sekitar separuh anak-anak dengan ADHD dimasukan dalam berbagai program pendidikan khusus karena mereka sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan kelas yang normal (Barkley dk., 1990 dalam Davidson, Neale dan Kring, 2006). Anak ADHD sulit sekali diminta melakukan sesuatu oleh gurunya karena setiap kali gurunya berbicara, mereka cenderung tidak mendengarkan sampai gurunya selesai berbicara, hal ini disebabkan karena anak ADHD memiliki masalah dalam memusatkan perhatian dan hiperaktivitas-impulsivitas (Davidson, Neale, dan Kring, 2006). Guru dan murid lainnya akan terganggu setiap kali anak ADHD berlari dari aktivitas satu ke aktivitas lainnya setiap menitnya, anak ADHD juga seringkali membuat kegaduhan dan mengganggu teman-temannya, karena hal tersebut anak ADHD mudah sekali mendapat permasalahan bersosialisasi dengan teman sebayanya. Padahal kebutuhan anak untuk bersosialisasi cukup tinggi pada masa-masa pra sekolah (Somantri, 2004). 4 Anak ADHD secara langsung maupun tidak langsung dianggap sulit untuk ditangani. Perilaku anak ADHD terutama perilaku tidak mau mendengarkan, merupakan bentuk ketidakpatuhan yang sangat dikhawatirkan oleh orang tua. Hal ini yang membuat orang tua yang memilki anak ADHD kerap meragukan kapasitas pengasuhan mereka. Orang tua seringkali merasa bersalah jika mereka gagal mengikuti aturan pengasuhan yang umum. Dimana seorang anak seharusnya patuh dan mudah diberi arahan oleh orang tuanya dan guru di sekolah. Konflik yang terjadi di dalam keluarga dan tanggapan masyarakat terhadap perilaku negatif ADHD membuat orang tua merasa tertimpa reaksi negatif dari lingkungan. Hal ini dapat mengakibatkan orang tua membatasi kontak sosial anak dengan cara membatasi pergaulan anak dan melarang anak bermain di luar rumah karena takut mengganggu anak-anak lain atau merusak mainan milik tetangganya. Hal ini dapat menjadi ancaman isolasi sosial terhadap anak ADHD tersebut (Buitelaar & Paternotte, 2010). Banyak masyarakat luas yang belum mengetahui dan memahami mengenai anak ADHD. Banyak orang beranggapan anak ADHD adalah anak yang nakal, bodoh, dan aneh. Sebagian masyarakat bahkan tidak menerima keberadaan anak-anak ADHD karena perilakunya yang sering kali menunjukan perilaku agresi seperti memukul dan berteriak. Penolakan terhadap anak ADHD terlihat ketika mereka sulit diterima untuk belajar di sekolah-sekolah umum sebagaimana anak-anak normal lainnya walaupun penolakan seringkali terjadi saat anak sudah menjalani kegiatan sekolah selama beberapa bulan. Hal ini dapat menjadi beban bagi orang tua anak ADHD. Ada perasaan malu dan juga perasaan untuk menjauh dari kehidupan sosialnya (Buitelaar & Paternotte, 2010). 5 Berdasarkan observasi dan survey yang dilakukan peneliti di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan, terlihat bahwa tidak mudah bagi orang tua untuk menghadapi kenyataan bahwa mereka memiliki anak ADHD. Pada awalnya bagi orang tua yang baru menerima diagnosa bahwa anaknya mengalami ADHD akan merasa bingung karena orang tua tidak memiliki pemahaman mengenai ADHD sebelumnya. Ada juga orang tua yang merasa bersalah karena memiliki pemahaman yang salah tentang ADHD itu sendiri. Beberapa reaksi emosi yang muncul ketika orang tua mengetahui bahwa anaknya mengalami ADHD adalah seperti merasa terkejut yang bercampur sedih, penyangkalan, merasa tidak percaya, kecemasan, perasaan menolak keadaan, perasaan tidak mampu dan malu, takut, dan marah, merasa bahwa anak ADHD lahir akibat dosadosa orang tua, bahkan ada juga orang tua yang bertengkar lalu saling menyalahkan. Reaksi-reaksi emosi tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Kubler-Ross (dalam Safaria, 2005) bahwa ada beberapa reaksi emosional individu ketika menghadapi cobaan dalam hidup yaitu menolak, menerima kenyataan, marah, melakukan tawarmenawar, depresi, dan penerimaan. Perasaan tidak percaya bahwa anaknya mengalami ADHD kadang-kadang menyebabkan orang tua mencari dokter lain untuk menyangkal diagnosis dokter sebelumnya atau untuk memperjelas keadaan yang sebenarnya terjadi pada anaknya. Dampak dari kebingungan, keterkejutan, rasa berdosa dan pertengkaran orang tua yang berlarut-larut dapat merugikan anak ADHD karena diagnosis anak tidak segera dilakukan (Buitelaar & Peternotte, 2004). Berdasarkan survey yang dilakukan peneliti di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan mengenai perasaan orang tua yang mempunyai anak ADHD 6 adalah sebagian besar orang tua merasa sedih dan kasihan akan perlakuan tetangga kepada anaknya. Anak ADHD akan dijauhi karena perilaku mereka yang dianggap aneh, yaitu takut pada hal yang seharusnya tidak ditakuti. Sebagai contoh, pada umumnya anak-anak menyukai kegiatan naik perosotan atau lempar bola dan bermain hujan, tetapi anak ADHD akan ketakutan dan merasa sangat sakit bila terkena bola atau merasa sangat takut saat menaiki tangga perosotan atau menangis saat hujan turun, sehingga teman-teman seusianya merasa aneh dengan perilakunya dan justru mengolok-olok anak ADHD tersebut. Hal ini yang membuat kebanyakan orang tua yang memiliki anak ADHD merasa lebih aman dan nyaman apabila anaknya berada didalam rumah dibandingkan di luar rumah. Orang tua juga sering kesulitan untuk memasukan anaknya ke sekolah, karena sulit bagi sekolah reguler untuk menerima anak dengan kebutuhan khusus seperti anak ADHD. Orang tua seringkali memohon bantuan pihak sekolah agar anaknya diterima sehingga anaknya dapat belajar seperti anak normal lainnya. Menurut Davidson, Neale, dan Kring (2006), agar anak ADHD dapat berkembang maka anak ADHD membutuhkan terapi, namun berdasarkan observasi, peneliti melihat bahwa terapi saja ternyata tidak cukup, karena selain terapi anak ADHD membutuhkan dukungan dari orang tuanya untuk berkembang. Berdasarkan pengamatan, beberapa orang tua yang membawa anaknya terapi di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan ada yang bisa menerima kondisi anaknya yang ADHD dan ada yang belum bisa menerima. Peneliti juga melihat bahwa ada beberapa anak ADHD yang perkembangannya lambat atau belum ada kemajuan walaupun sudah mengikuti terapi. 7 Puspita (dalam Marijani, 2003) mengatakan bahwa penerimaan orang tua pada anak ADHD secara ikhlas dan apa adanya sangat membantu proses penanganan anak dengan kebutuhan khusus yang lebih baik. Adanya penerimaan dari orang tua dapat membuat orang tua mampu mengendalikan reaksi-reaksi emosinya. Orang tua harus mencoba memahami dan menerima kenyataan hasil diagnosa anak dan perilaku anak agar orang tua mampu bereaksi untuk menyesuaikan diri dengan berbagai permasalahan yang muncul baik dari anak itu sendiri, dari diri sendiri maupun permasalahan yang timbul dari lingkungan sekitarnya. Penerimaan diri itu sendiri menurut Hurlock (dalam Sharma, 2004) adalah suatu tingkat kemampuan dan keinginan individu untuk hidup dengan segala karakteristik dirinya. Individu yang dapat menerima dirinya diartikan sebagai individu yang tidak bermasalah dengan dirinya sendiri, yaitu tidak memiliki beban perasaan terhadap diri sendiri, sehingga individu lebih banyak memiliki kesempatan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Sedangkan penerimaan orang tua itu sendiri adalah suatu efek psikologis dan perilaku dari orang tua pada anaknya seperti rasa sayang, kelekatan, kepedulian, dukungan dan pengasuhan dimana orang tua tersebut bisa merasakan dan mengekspresikan rasa sayang kepada anaknya. Orang tua diharapkan mampu menerima keadaan dimana memiliki anak dengan kebutuhan khusus dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki anak itu sendiri, agar orang tua mampu mengupayakan usaha untuk penyembuhan anak sebaik mungkin. Selain itu orang tua juga diharapkan mampu mengontrol reaksi emosinya terhadap perilaku anak terutama perilaku yang dapat membahayakan 8 dirinya, misalnya berlarian di luar rumah atau memanjat tiang di pinggir jalan. Disamping itu, orang tua juga sering mengalami pengasingan dari pergaulan sosial karena terkadang orang lain mempunyai pemahaman yang salah mengenai hiperaktivitas sehingga dengan tidak adanya penerimaan, selain kesembuhan anak terhambat orang tua juga akan merasakan stress yang lebih besar (Buitelaar & Paternotte, 2010) Dari berbagai macam reaksi orang tua yang muncul ketika mengetahui bahwa anaknya mengalami ADHD dan diikuti permasalahanpermasalahan yang dialami orang tua yang memilki anak ADHD yang telah diuraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk melihat bagaimana penerimaan orang tua yang memiliki anak ADHD, dan berdasarkan dari latar belakang di atas maka peneliti menggunakan rumusan permasalahan yaitu ”Bagaimana gambaran penerimaan orang tua yang memiliki anak ADHD?”. 1.2 Rumusan Masalah Masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut : Bagaimanakah penerimaan orang tua yang memiliki anak ADHD dilihat dari karakteristik-karakteristik tahapan penerimaan? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat gambaran penerimaan orang tua yang memiliki anak ADHD. 9 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat digunakan untuk memperkaya penelitianpenelitian dalam ilmu psikologi khususnya penelitian dalam psikologi klinis anak mengenai penerimaan orang tua yang memiliki anak ADHD. 1.4.2 Manfaat Praktis a. Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada orang tua mengenai reaksi-reaksi emosi yang mungkin muncul di dalam dirinya dan dampaknya terhadap perkembangan anak dengan gangguan ADHD. b. Memberikan gambaran dan pemahaman kepada terapis di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan mengenai penerimaan orang tua yang memiliki anak ADHD sehingga dapat bekerjasama dengan orang tua dalam memberikan penanganan kepada anak dengan gangguan ADHD. c. Memberikan pemahaman kepada guru atau pendidik anak ADHD mengenai bagaimana penerimaan orang tua yang memiliki anak ADHD sehingga dapat bekerja bersama-sama dengan orang tua dalam membantu penanganan dan penyembuhan anak ADHD.