Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 227-245 Politik Indonesia Indonesian Political Science Review http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JPI Transformasi dan Dualisme Kelembagaan dalam Pemerintah Adat Minang: Studi terhadap Nagari Pariangan, Sumatera Barat Yayan Hidayat1, Iwan I. Febrianto1, Mahalli1 1 Universitas Brawijaya, Indonesia Info Artikel Sejarah Artikel: Diterima 5 Maret 2017 Disetujui 3 April 2017 Dipublikasi 15 Juli 2017 Keywords: Nagari; Institution; Dualism; Transformation Abstrak Paper ini bertujuan menggambarkan dampak dari dualisme kelembagaan di Nagari Pariangan yang disebabkan oleh kontestasi kontrol sosial antara Negara dan pemerintah daerah melalui UU Nomor 5 Tahun 1979 dan Perda Sumatera Barat nomor 2/2007. Sebagai kasus, transformasi kelembagaan Nagari Pariangan yang telah menghadapi beberapa perubahan kelembagaan dari bentuk Desa hingga kembali berubah ke bentuk pemerintahan Nagari. Kami menemukan bahwa terjadinya tranformasi disebabkan, pertama adalah kepentingan negara, dan yang kedua adalah kepentingan pemerintah daerah. Hasil dan dampak dari transformasi tersebut adalah dualisme kelembagaan di dalam struktur pemerintahan lokal antara Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan pemerintahan dinas serta berdampak pada nilai lokal masyarakat Nagari. Abstract This paper describes the impact of dualism in institution of Nagari Pariangan caused by contestation of social control between state and local government through the Law no. 5 of 1979 and Regional Policy of Sumatera Barat number 2/2007. As a case of institutional transformation, Nagari Pariangan has faced some notorious shape until it was transformed as nagari. We found that the first transformation was the interest of state, and the second is the interest of local government. The results of the transformation are dualism of institution which has diminished political structure of governance and local values of Nagari society. Alamat © 2017 Universitas Negeri Semarang ISSN 2477 – 8060 korespondensi: Jl. Veteran, Ketawanggede, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65145, Indonesia Email: [email protected] Yayan Hidayat, dkk./ Transformasi dan Dualisme Kelembagaan dalam Pemerintah Adat... Sumatera Barat yang mengembalikan bentuk Pendahuluan hidup Secara tradisional masyarakat Minang pemerintahan lokal kembali ke bentuk nagari berkelompok dengan mengeluarkan perda Nomor 9/2000 genealogis dan dalam suatu teritorial ikatan berdasarkan dan dilengkapi dengan Perda pemerintahan yang otonom dan diatur dengan Transformasi hukum adat yang berlaku. Nagari di Sumatera terjadinya perubahan baik perubahan dalam Barat hadir sebelum Belanda menginjakkan struktur pemerintahan dan peraturan yang kakinya di Indonesia. Nagari diibaratkan berlaku dalam tatanan masyarakat nagari. sebagai “republik mini” yang diperintah Sebelum secara demokratis oleh masyarakatnagari. Nomor 5/1979, struktur pemerintahan nagari Sistem Pemerintahan Adat tersebut hilang terdiri dari Wali Nagari dan Kerapatan Nagari secara de jure semenjak diberlakukannya (KN) yang di dalamnya terdiri dari ninik Undang-Undang 1979 mamak,alim ulama dan cerdik pandai1yang mengenai bentuk pemerintahan kecil yaitu disebut sebagaitali tigo sapilin, tungku tigo desa, kebijakan ini membuat nagari terpecah sajarangan kedalam bentuk desa di mana secara struktural Pandjaitan, 2009). dan legal Nomor formal 5 sedikit Tahun demi sedikit tersebut 2/2007. menyebabkan diberlakukannya (Astuti, Ketika Undang-undang Kolopaking, diberlakukannya Undang yang berkaitan dengan desa secara tegas mengalami transformasi bukan hanya ke hendak mempertahankan nilai-nilai lokal. bentuk desa, melainkan lembaga-lembaga di Baru nagari dalam nagari juga ikut bertransformasi. Pada dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 saat desa dihapuskan dan nagari dihidupkan Tahun kembali yang Orde tersebut dan 1999 rezim 5/1979 Undang- mengubah nagari meskipun undang-undang Jatuhnya No. & mengatur tentang melalui perda Nomor 2/2007, desentralisasi dan memberikan hak otonomi semestinya lembaga pemerintahannya juga kepada mengatur ikut berubah.Namun, dalam kenyataannya pemerintahannya sendiri memang menjadi tidak demikian. Dalam kasus pemerintahan kesempatan pertama bagi daerah-daerah di nagari Indonesia untuk menegaskan lokalitas bentuk pemerintah terhadap pemerintahan nagari pemerintahannya, namun hal tersebut justru merupakan meninggalkan menyebabkan timbulnya perubahan sosial seperti daerah persoalan-persoalan keterwakilan kecenderungan untuk baru perempuan bergantung pada 228 oleh pemerintah salah satu dan intervensi faktor yang pusat reformasi. Sebagaimana di daerah lainnya, hal direspon kebijakan dan pemerintahan yang tersisa sejak sebelum ini ini, Provinsi 1 Ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai merupakan tokoh adat di Nagari Sumatera Barat yang disimbolkan dalam adat Minang. Tokoh adat tersebut juga berperan mengatur kehidupan sosial masyarakat minang. Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 227-245 melalui cara-cara yang struktural dalam nagari. Perubahan dalam struktur masyarakat. pemerintahan dan peraturan yang berlaku Memisahkan Kerapatan Adat Nagari dalam masyarakat tersebut bercorak nasional (KAN) dari struktur pemerintahan nagari pada sehingga menggeser dominasi posisi adat- dasarnya sama saja dengan tetap memisahkan istiadat murni nagari. Dampaknya, selain pemerintahan nagari dari unsur adat, tidak ada melemahkan struktur adat juga menyebabkab perbedaan hilangnya yang pemerintahan cukup sebelumnya signifikan corak adat-istiadat di nagari. hanya Dominasi negara terhadap nagari ini membuat ketentuan penyelenggaraan pemerintahan adat posisi adat menjadi termarginalkan sehingga yang diatur melalui Perda Nomor 2/2007 berdampak pada kemurnian adat-istiadat yang tersebut. Efek beruntun selanjutnya di nagari ada di nagari, ditunjukan dengan tidak saat ini terdapat dualisme kelembagaan, yang berfungsinya ninik mamak, alim ulama dan satu mengurusi adat dan satu lagi mengurusi cerdik administrasi pemerintahan desa. Tidak hanya masyarakat nagari serta melemahnya lembaga itu, terdapat banyak lembaga baru yang adat yang disebut dengan tali tigo sapilin, dibentuk namun dengan tugas dan fungsi yang tungku tigo sajarangan sebagai simbol adat tidak jelas. Sebagian besar lembaga tersebut minang. Pada akhirnya, tidak tampak lagi hilang dengan sendirinya seperti lembaga yang dimaksud dengan formula “adat basandi Majelis Ulama Nagari (MUNA). Lembaga syarak, syarak basandi kitabullah” yang yang masih tetap dipertahankan namun tidak membuat jelas heterarki—suatu fungsinya kecuali dari adalah Lembaga pandai yang merupakan Minang lebih terlihat masyarakat atau tokoh sebagai sistem Pemberdayaan Masyarakat Nagari (LPMN) politik yang didasarkan bukan pada hierarki dan Parik Paga Nagari (PPN). Adapun tapi pada pluralitas dan multiplitas bentuk- lembaga yang tugas dan fungsinya tumpang bentuk politik yang lebih kecil dan berulang- tindih adalah bundo kandung dan PKK. ulang (Hadler, 2010, p. xiii). Kedua lembaga ini diisi oleh orang-orang Selain dari dampak dari dualisme yang sama (Astuti, Kolopaking, & Pandjaitan, kelembagaan dan dominasi negara tersebut 2009). dalam skala kebudayaan, pada pasca Transformasi dari desa ke nagari reformasi Sumatera Barat telah berkembang banyak mengalami disfungsi kelembagaan kearah masyarat yang heterogen dan bahkan baik secara struktur maupun kewenangan multikultur. Faktor-faktor yang menyebabkan tumpang tindih lembaga adat dan lembaga perkembangan pemerintahan desa yang membuat posisi keterbukaan wilayah dan komunikasi bagi lembaga adat terlemahkan, khusunya dalam pendatang untuk bermukim tetap dalam kewenangan mengurusi peraturan masyarakat wilayah Sumatera Barat, perbedaan orientasi tersebut antara lain 229 Yayan Hidayat, dkk./ Transformasi dan Dualisme Kelembagaan dalam Pemerintah Adat... dan gaya hidup anggota masyarakat, efek Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera pembangunan fisik, infrastruktur yang tidak Barat, yaitu transformasi sistem pemerintahan seimbang sehingga desa, disfungsi kewenangan lembaga adat menimbulkan indikasi konflik horizontal antar nagari dan marginalisasi adat-istiadat yang masyarakat, dan bergesernya adat-istiadat disebabkan oleh dominasi negara. dalam masyarakat sebagai simbol masyarakat Minang. Dalam skala masyarakat, akibat dari modernisasi Kajian Pustaka masyarakat Kerangka dan Pendekatan Teoritis adalah transformasi yang menjadikan masyarakat lebih individualistik Transformasi kelembagaan di dan rentan menimbulkan konflik horizontal Indonesia memang banyak dimulai dengan akibat perubahaan ketimpangan ekonomi, sehingga undang-undang negara yang menyebabkan perubahan sosial terjadi baik mempengaruhi dalam tatanan makro maupun mikro pada bentuk Pemerintahan Nagari dan masyarakat adat di secara hukum tersebut bukan satu-satunya Sumatera Barat. faktor yang melahirkan pengaruh struktural Penulis mengambil fokus masalah secara politik perubahan kelembagaan. Namun perubahan dan kultural, tapi juga bagaimana peranan marginalisasi adat-istiadat yang merupakan faktor dampak dari transformasi pemerintahan ini masyarakat pada Nagari Pariangan yang statusnya adalah menghimpunnya, serta penetrasi modal yang nagari tertua di Sumatera Barat. Di samping berkait kelindan dengan tekanan negara. itu, tradisional Perubahan-perubahan tersebut tampak sangat Minangkabau, Pariangan adalah nagari asal telanjang di mata banyak pihak meski secara orang Minangkabau dan tempat lahirnya adat khusus istiadat Minang (Hadler, 2010). Pengakuan menjadikan perspektif tertentu sebagai pintu kembali masuk untuk melihat luasnya fenomena menurut terendah tambo Nagari sejarah sebagai menyebabkan pemerintahan seperti adat hasil-hasil kepentingan dan organisasi penelitian lokal, yang sebelumnya yang transformasi kelembagaan. Dalam hal ini, dilematis. Nagari harus menerima intervensi melihat perubahan kelembagaan di tingkat dari struktur di atasnya dan kehilangan lokal tidak bisa dilihat dari ketunggalan kemurnian adat istiadat Minang yang tergeser perspektif yang akhirnya mengeliminir faktor oleh nasional. lain yang mempengaruhi secara gradual dan Untuk mengambil titik tekan dan memperjelas memberikan efek yang besar pada masa depan penarikan pembahasan mengenai dualisme kelembagaan nagari. corak-corak kondisi lain pemerintahan kelembagaan yang diakibatkan oleh penetrasi Berkenaan dengan transformasi negara itu, pembahasan ini berfokus pada tiga kelembagaan secara khusus dalam kasus di permasalahan Minang, atau lebih spesifik dipandang dari 230 yang terjadi di Nagari Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 227-245 segi hukum bagaimana nagari menjadi desa adalah cerminan yang menjelaskan mengapa pada 1983 melalui UU Nomor 5 tahun 1979 transformasi kelembagaan dan hukum yang dan menjadi nagari lagi pada 2000 melalui terbentuk atau diberlakukan sebagai proses UU Nomor 22 tahun 1999, telah banyak politik penetrasi negara terhadap kelembagaan dibahas adat. dari berbagai perspektif. Yang menarik dari banyak kajian tersebut adalah Penelitian ini mengambil titik point di hasil penelitian Franz dan Keebet von Benda- mana nagari sebagai bentuk instituti politik Beckmann (2012; 2006; 2013; lihat juga Vel yang khas karena ia terbangun melalui proses & Bedner, 2015; Isra, 2014; Tegnan, 2015) politik yang panjang dan kontestasi dengan yang melihat proses perubahaan tersebut dari Negara dan kolonialisme sebagai struktur kacamata hukum karena hasil penelitian yang lebih besar. Dalam proses transformasi tersebut ini, ada beberapa kasus transformasi yang bisa memberikan pandangan secara gamblang bagaimana pluralitas hukum—adat, dipetakan. Proses transformasi, sisa hukum eks-kolonialisme, undang-undang meminjam pemikiran Migdal (2001), dilihat negara, dan hukum Islam—adalah bentuk dari sebagai perjalanan sebuah institutusi politik kristalisasi dan bentrok antar kepentingan. yang merupakan dengan konsekuensi dari Sebagai sebuah entitas politik, nagari kepentingan kelembagaan baik di dalam harus dilihat sebagai institusi politik yang nagari sendiri atau dari pemerintah pusat, mengandung dualisme kelembagaan selama pertemuan bertransformasi; selain ditinjau dari peraturan formasi sosial lain yang selalu ada dalam dan proses undang-undang di dalamnya yang kepentingan ‘kemenjadian’ Negara dengan (becoming), dan cenderung plural (Hadler, 2010; von Benda- perubahan atau penambahan aturan-aturan Beckmann & von Benda-Beckmann, 2006, yang merupakan konsekuensi politik dari 2013), pergulatan transformasi tersebut melahirkan kepentingan.Untuk itu, secara pembagian tugas yang ambigu antara negara praktis, penelitian ini lebih melihat proses dan nagari seperti dalam penentuan waris dan politik dan transformasi kelembagaan sebagai kepemilikan fenomena politik yang tidak final. sumber daya. Transformasi kelembagaan dan dualism yang merembet setelahnya adalah melahirkan dualismedilihat sebagai bentuk melampaui skup hukum, karena hukum pun dari penetrasi Negara ke daerah, dalam hal ini baik adat maupun hukum positif negara nagari muncul dimaksud proses politik kelembagaan yang dari proses Transformasi order. Lebih di tingkat di sini lokal. bisa Dualism yang terlihat dalam sederhananya, transformasi dari desa ke pembacaan yang integral bagaimana penetrasi nagari yang terjadi setelah Orde Baru Negara ke daerah ditanggapi oleh masyarakat tumbang, dan dikuatkan dengan desentralisasi, adat nagari dalam wujud lembaga politik yang 231 Yayan Hidayat, dkk./ Transformasi dan Dualisme Kelembagaan dalam Pemerintah Adat... ambigu dalam pembagian tugas baik secara Sebagai unit analisis studi kasus, administrative, legal formal, atau perilaku kelembagaan nagari bukanlah entitas tunggal politiknya.Poin ini harus menempatkan nagari yang berdiri sendiri. Pandangan ini bermaksud sebagai untuk menghindari keterbatasan analisis dan institusi politik yang selalu berkembang dengan sekian banyak tekanan penglihatan dari dalam maupun dari luar. Untuk itu, satu signifikan dalam transformasi nagari. Untuk temuan atau perspektif tertentu tidak bisa memfokuskan bagaimana transformasi itu dihindari begitu saja sebagai salah satu pintu terjadi, tulisan ini hendak membatasi proses masuk kompleksitas transformasi pada jalur perubahan nagari yang kelembagaan nagari; analisis tentang nagari berubah menjadi desa sebagai efek dari dari satu sudut pandang harus menyertakan sentralisme dan bagaimana ia menjadi nagari analisis adalah lagi ketika desentralisasi mulai memberikan bagaimana proses politik terbentuk dan banyak porsi pada daerah untuk mengatur dipengaruhi oleh kepemilikan orang terhadap kewenangannya sendiri. untuk antar melihat kasus, contohnya terhadap faktor-faktor yang sumber daya dan cara-cara lembaga adat menyerahkan permasalahan-permasalahan Temuan dan Diskusi lokal ke pengadilan daerah karena tidak bisa Transformasi Nagari dan Politik Penetrasi diselesaikan dengan hukum adat. Negara Transformasi kelembagaan muncul Bagian ini akan menjelaskan tiga hal dari ekspektasi kolonialisme dan negara dalam menggambarkan proses transformasi sentralistik Orde Baru yang melihat perbaikan kelembagaan kondisi sosial dan politikdi nagari secara top- mendefiniskan terlebih dahulu bahwa nagari down. memperlihatkan adalah institusi politik. Dalam hal ini, tinjauan kelembagaan nagari, atau bahkan Negara atas sejarah nagari secara sekilas akan sendiri, sebagai entitas politik yang ada di menjadi bukti bagaimana nagari membawahi dalam banyak Pergulatan masyarakat Pendekatan didiskusikan ini (state-in-society). state-in-society dalam pembicaraan nagari. kepentingan Pertama, orang-orang peneliti yang marak termasuk di dalamnya. Terkait kasus terkini, tentang saya mendapatkan data dari wawancara Negara dunia ketiga seperti Indonesia dan terhadap para pelaku memperlihatkan bagaimana sebenarnya motif transformasi kelembagaan. internal proses Negara, bahkan Negara yang lemah sekalipun, Kedua, transfromasi nagari menjadi memperkuat dominasinya di masyarakat yang desa, lalu menjadi nagari lagi, adalah titik mempunyai keragaman etnis, bahasa, dan point dimana peneliti menjelaskan lebih detail adat(Migdal, 2004, pp. 42-43). sesuai kasus yang berlangsung selama proses transformasi 232 kelembagaan berlangsung. Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 227-245 Tinjauan terhadap perilaku politik nasional dengan batas-batas alam dan mempunyai dan lokal nagari harus dimasukkan ke dalam pemerintahan dipimpin oleh adat serta ditaati analisis dan diskusi ini mengingat betapa penduduknya. Namun, cerita tentang ikatan peran keduanyalah yang menjadi titik sentral genealogis maupun predikat republik mini dalam proses transformasi ini. pada nagari sudah lama memudar karena Ketiga, peneliti mendiskusikan terjadi proses nagari masuk negara dan negara dampak dari proses transformasi kelembagaan masuk nagari, mulai dari periode kolonial itu, yaitu dualisme kelembagaan sebagai Belanda sampai Indonesia modern. Pada masa bentuk ambigu apakah nagari adalah desa atau kolonial realitasnya sebagian besar nagari nagari pada dirinya sendiri sebagaimana dimasukkan kedalam sistem birokrasi dan dahulu ekonomi politik kolonial, pemerintah kolonial nagari dibangun untuk mengidentifikasi diri. Dualisme kelembagaan berulangkali ini menjadi sangat penting dalam diskusi ini mengubah mengingat diselaraskan dengan kepentingan-kepentingan struktur kelembagaan akan menentukan banyak hal dalam kebijakan- mencampuri organisasi dan bahkan politik nagari kolonial (Zuhro, 2009). kebijakan yang berhubungan antara nagari, Negara, dan posisi masyarakat di dalam ruang Masa Kolonialisme dan Kemerdekaan kontestasi itu. Hal yang paling besar dalam konteks mengapa Nagari dan Sejarah Politik Penetrasi Negara sistem atau struktur adat di Indonesia pada umumnya (Sumatra Barat Kelembagaan yang kami maksud di khususnya) sering dan mudah sekali dimasuki sini adalah kelembagaan sebagai tata kelola oleh sistem pemerintahan kolonial adalah (governance) yang mengemuka berwujud karena tidaknya pakem atau hukum adat yang menjadi bentuk-bentuk institusi pemerintahan. secara resmi dibuat dan diperkenalkan oleh Dari definisi ini, kami pikir cukup untuk masyarakat atau para pemimpin adatnya menganalisis nagari tidak hanya dari sisi (Kahn, 1980). Terminologi hukum adat di administrative dan birokrasinya saja, tapi Indonesia lebih luas pada pola yang dihasilkan dari tata penelitian dari Van Vollenhen mencari dan kelola tersebut ke dalam perilaku politik mampu masyarakat. federasi dengan adat (Biezeveld, 2010) yang kemudian suku, menjadi sub-tema sendiri dalam bidang kajian sebagai kesatuan masyarakat yang terbentuk hukum adat yang banyak digunakan sebagai berdasarkan ikatan kekeluargaan menurut standardisasi keturunan ibu masyarakat adat, khusunya di Indonesia. Atas (matrilineal), nagari memiliki wilayah sendiri dasar alasan inilah yang pada akhirnya genealogis Nagari yang yang merupakan dihuni ditarik beberapa dari garis baru dikenali menyambungkan pembahan setelah antara hukum adanya hukum didalam 233 Yayan Hidayat, dkk./ Transformasi dan Dualisme Kelembagaan dalam Pemerintah Adat... membuat pemerintah kolonial Belanda bisa pada tahun 1848-1908 melalui perjanjian masuk antara pemerintah lokal dengan kolonial yang dengan mudah dalam sistem pemerintahan lokal di Minangkabau. Sejarah sebagai tahun 1833 (Biezeveld, 2010). Pada awalnya, tatanan perjanjian tersebut memang menyebutkan pememerintahan lokal di tanah Minangkabau bahwa Belanda tidak akan ikut campur tangan sudah dimulaisejak pertengahan abad ke-14 terhadap pemerintahan nagari. Namun, pada (de Jong, 1980) atau pada saat Kerajaan kenyataannya, Belanda dengan politiknya Pagaruyung berdiri di wilayah Sumatera Barat yang terkenal yaitu ‘politik etis’ yang (Tegnan, 2015). Seiring berjalannya waktu, diterapkan pada sekitar akhir abad ke-16 atau awal abad mengusik sistem pemerintahan nagari dengan ke-17, mulai memilih satu orang penghulu sebagai kepala menerapkan sistem adat untuk mengatur kampung atau penguhulu kepala (Biezeveld, masyarakat, pemerintahan lokal, dan sumber 2010). Padahal, sebelumnya para penghulu di daya alamnya (Tegnan, 2015). Sementara tiap-tiap nagari memiliki wewenang untuk istilah Minangkabau ditemukan pertama kali mengurus oleh Maharjo Dirajo atau salah satu dari tiga bersama-sama. Sistem ini pada akhirnya putra Zulkarnain. digunakan Belanda untuk mempermudah sebagai mereka dalam mempraktekan sistem tanam struktur panjang organisasi terkecil masyarakat dari Selanjutnya, nagari lebih dengan sebutan Plakat Panjang pada dari Minangkabau Raja Iskandar istilah nagari diseluruh penjuru pemerintahan secara paksa. terkecil (desa) dan dikepalai oleh panghulu sistem tersebut, maka semua komunikasi diciptakan oleh dua pahlawan lokal mereka, nagari akan hanya tertuju pada satu orang atau yaitu Datuak Katumangguangan dan Datuak perwakilan Parapatih (Kahn, 1980). Dalam konteks memudahkan Belanda dalam mengontrol perkembangannya, pemerintahan lokal di Sumatra Barat. luhur yang saja. setelah lokalnya representasi kerajaan diwilayah kekuasaan nilai-nilai Dampak Nusantara Ini diberlakukannya yang kemudian dianut oleh penduduk Minangkabau memang Upaya pelemahan di Minangkabau berjalan statis karena berbagai pengaruh dan oleh Belanda juga makin besar, hal tersebur tekanan, terutama ditandai pada zaman kolonial dengan diberlakukannya Nagari dimana para penjajah melakukan penetrasi Ordinantie pada tahun 1915 sebagai cara yang signifikan terhadap peraturan adat dan untuk mempromosikan otonomi kampung struktur sosial kemasyarakatan Minangkabau. yang lebih besar dalam kerangka politik etis Perubahan struktur dan tata kelola pemerintahan di badan tersebut, maka yang terjadi adalah Minangkabau terjadi pada saat pemerintah semakin tidak demokratisnya pemerintahan kolonial memberlakukan sistem tanam paksa nagari karena Dewan nagari (nagari-raad) 234 secara signifikan (Biezeveld, 2010). Dengan adanya pembuatan Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 227-245 dibentuk sebagai pelaksana pemerintahan maka terjadi penyeragaman hukum dan dalam dengan aturan. Ini juga terjadi di seluruh wilayah pemerintah kolonial. Adapun representasi dari kabupaten Tanah Datar (tempat penelitian ini badan tersebut hanya berisikan penghulu inti dilakukan) yang merupakan salah satu daerah atau para penghulu yang berasar dari puak tertua dari kemunculan adat Minangkabau. atau suku pendiri nagari saja. Artinya, ini Berdasarkan hukum adat, selain Tanah Datar, makin mempersempit partisipasi masyarakat Agam dan Limapuluah Kuto juga merupakan nagari dalam hal pengambilan keputusan, tiga daratan utama dari tanah Minangkabau apalagi untuk suku atau puak yang lahir (Kahn, 1980). pengambilan keputusan dengan keturunan bekas budak dan keturunan Setelah era kolonial berakhir pada pendatang, seperti yang terkenal dengan tahun 1945, pemerintahan Negara Indonesia ungkapanBenda-Beckmanyaitu kemenakan di yang dipimpin oleh Presiden Soekarno dan bawah lutut (anak keturunan bekas budak) Mohammad Hatta pada waktu itu mulai dan kemenakan di bawah pusek (untuk menerapkan sistem pemerintahan baru di keturunan pendatang) (Biezeveld, 2010). seluruh Indonesia, termasuk Sumatra Barat. Awal kemerdekaan muncul resistensi Dengan menggunakan slogan NKRI (Negara terhadap keberadaan pemerintahan nagari, Kesatuan anggapan negara bahwa nagari merupakan pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden produk kolonial (Zuhro, 2009). Sinisme Soekarno negara terhadap pemerintahan nagari pada pemerintahan yang harus dipatuhi dan ditaati saat itu bukan tanpa alasan, ini disebabkan oleh seluruh daerah di Indonesia demi karena produk hukum yang digunakan oleh tercapainya pemerintah nagari adalah produk hukum kesatuan buatan dengan kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam seperti melancarkan zaman pembentukan kolonial berikut kelembagaan Republik mulai Indonesia), membuat konsepsi yang tatanan baru mengenai Negara dengan cita-cita sesuai ide sistem persatuan dengan pengadilan, aturan tata kelola tanah, dan lain penyeragaman sistem pemerintah di seluruh sebagainya. Sebagai sistem pemerintahan wilayah terkecil namun memiliki kekuatan sumber Minangkabau), daya alam yang luar biasa, penguasaan mengeluarkan terhadap nagari menjadi sangat penting untuk daerah Sumatra Barat pada tahun 1949 pemerintahan tentang kolonial guna melalukan Indonesia sistem (khususnya Presiden Makloemat di Soekarno khusus pemerintahan untuk daerah di ekploitasi terhadap sumber daya alamnya. wilayah nagari. Dengan adanya Makloemat Dengan diberlakukannya sistem hukum adat tahun 1949 tersebut, lahirlah badan baru yang tersebut, maka sistem pemerintahan nagari disebut dengan Dewan Perwakilan Nagari satu dengan lainnya yang dahulunya berbeda, (DPN) dan Dewan Harian Nagari (DHN) yang 235 Yayan Hidayat, dkk./ Transformasi dan Dualisme Kelembagaan dalam Pemerintah Adat... keduanya dipimpin oleh seorang Wali Nagari beberapa badan baru, yaitu Kepala Nagari, (Tegnan, 2015). Badan Musyawarah Nagari (BMN), dan Sejak terbentuknya lembaga-lembaga Badan Musyawarah Gabungan (BMG) yang tersebut, maka terjadi perubahan yang cukup berisikan seluruh anggota nagari di tiap-tiap besar pemilihan daerah (Tegnan, 2015). Di satu sisi, upaya pemimpinnya. Bila dulu untuk memilih yang dilakukan oleh pemerintah local ini pemimpin keputusan adalah untuk mengembalikan nuansa etnis didasarkan pada musyawarah mufakat, sejak dari sisem pemengelolaan pemerintah local saat itu dilakukan atas dasar suara terbanyak yang berbasis adat. Namun di sisi lain, (Zuhro, 2009). Selain itu, landasan hukum dampak dari di kelembagaan ini juga membuat masyarakat pemerintahan nagari adalah hukum negara bingung karena harus mentaati aturan-aturan yang tertulis. Awal Kemerdekaan ada 542 yang di buat oleh pemerintah daerah Sumatra nagari yang memilih Wali Nagari dan DPN Barat. Ini juga sejalan dengan apa yang baru, dalam proses pemilihan ditemukan dijelaskan oleh banyak penelitian ini terkait pergantian maupun setiap dan membuat penetapan kelemahan keputusan sehingga muncul adanya pergantian salah yang satu struktur narasumber merupakan tokoh ketidakpercayaan warga terhadap pejabat- intelektual adat di Tanah Datar. Ridwan (salah pejabat terpilih. Kelemahan lain, banyak satu tokoh intelektual kabupaten Tanah Datar) nagari yang dianggap tidak layak karena mengatakan bahwa memiliki wilayah yang kecil dengan potensi pergeseran dan SDA dan SDM yang minim. Atas dasar pemerintahan nagari yang dilakukan baik oleh disfungsi akhirnya kolonial maupun pemerintah Indonesia pada dihidupkan masa awal kemerdekaan secara tidak langsung akhir 1950-an, namun revitalisasi nagari yang memberikan efek negatif terhadap masyarakat tergesa-gesa adat nagari yang ada di Sumatra Barat. kenagarian pemerintahan merasakan nagari tersebut kembali membuat keberadaan masyarakat nagari. tidak Program Dari terjadinya pergantian beberapa proses struktur contoh perjanjian, pemulihan nagari bahkan nyaris menjadi peraturan dan Undang-Undang yang telah ajang konflik antar kelompok masyarakat, dilekuarkan baik oleh pemerintah kolonial khususnya dalam proses pembentukan Dewan maupun oleh pemerintah awal kemerdekaan Perwakilan Nagari (DPN). tersebut, maka disini terlihat jelas bahwa Setelah beberapa tahun menerapkan adanya penetrasi yang dilakukan oleh Negara sistem dan struktur melalui DPN dan DHN, atau pemerintah local Sumatra Barat kemudian masyarakat adat di Sumatra Barat yang sudah mengeluarkan sebuah Peraturan Provinsi pada ada sejak pertengahan abad ke-14. Jika tahun 1963 untuk mengganti dan membentuk meminjam 236 pemerintah terhadap pendekatan kehidupan state-in-society Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 227-245 (Migdal, State in Society, 2004), maka disini masyarakat adat terpecah menjadi beberapa akan terlihat jelas bahwa adanya upaya dari desa. pemerintah atau Negara untuk menggantikan pembentukannya di Sumatera Barat, jauh peran dan peraturan adat yang sudah sejak lebih besar dari jumlah nagari yang awalnya lama ada di Minangkabau dengan peraturan sebanyak 300-an kenagarian (Zuhro, 2009). dan baik Secara kultural, perubahan dari pemerintahan Sumatra Barat, nagari ke pemerintahan desa di Sumatera Indonesia awal kontrol pemerintahan Pemerintah dari pemerintahan, provinsi Republik Barat Terdapat 543 menimbulkan desa pada beberapa saat implikasi. kemerdekaan, maupun pemerintah kolonial. Pertama, kepemimpinan formal terendah telah Gerakan oleh bergeser dari kepemimpinan kolektif tali tigo Negara ini juga didasarkan pada adanya hak sapilin dan tungku tigo sajarangan kepada dalam pengelolaan sumber daya alam yang kepala desa yang sebenarnya tidak cukup ada legitimed dihadapan warga. Kedua, desanisasi di penetrasi wilayah yang dilakukan Sumatra Barat yang merupakan hak ulayat masyarakat nagari yang telah sudah ada sejak nenek moyang mereka dan identitas anak nagari dan melunturkan ikatan diturunkan dari silsilah atau garis keturunan genealogi. ibu (maternal). merusak adat dan menghilangkan Penerapan sistem pemerintahan desa diberlakukan dalam masyarakat Minangkabau Nagari Masa Orde Baru Sentralistik membuat keberadaan pemegang adat dan rezim Baru penghulu dalam mengkontrol adat menjadi mengubah sistem dan bentuk pemerintahan berkurang karena diambil alih oleh Negara. lokal level paling bawah di Nagari, penetrasi Muncul organisasi yang dibentuk oleh rezim Negara masa itu diperkuat melalui UU No. Orde Baru untuk mengkontrol adat yaitu 5/1979 yang mengubah pemerintahan Nagari Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau menjadi (LKAAM) bertujuan untuk melestarikan adat, pemerintahan Orde Desa. Perubahan Nagari ke bentuk desa bukan hanya sekedar tradisi perubahan nama, melainkan merubah sistem, mengklaim dirinya sebagai wakil masyarakat orientasi dan filosofi Nagari (Yusril, 2000). Minangkabau, Unsur Orde Lama dibersihkan dan corak cenderung ‘berakar ke atas’ karena selalu Nagari dengan dipimpin oleh Partai Golkar sebagai penguasa kepentingan-kepentingan rezim Orde Baru, masa itu(Zuhro, 2009). Lembaga-lembaga akibatnya banyak kelembagaan adat Nagari adat lain yang dibentuk oleh rezim Orde Baru yang adalah kemudian dihapuskan kelembagaan diselaraskan dan Negara diganti untuk dengan memperkuat dominasi rezim, Nagari sebagai kesatuan dan budaya Minangkabau dalam organisasi praktik perempuan serta LKAAM (Bundo Kanduang), Cendekiawan (Cadiak Pandai), pegawai negeri, pemuda, wartawan, 237 Yayan Hidayat, dkk./ Transformasi dan Dualisme Kelembagaan dalam Pemerintah Adat... organisasi perantau dan preman (von Benda, nilai adat, mensejajarkan adat dan ada pula 2013). Bundo Kanduang misalnya, bukan yang menyanjungnya secara konseptual tapi sekedar bertujuan untuk mengkontrol kaum melecehkan secara operasional. perempuan dalam adat tetapi juga punya tujuan politis, yakni untuk mendorong legitimasi rezim berkuasa. Bundo Kanduang seolah dibuat keseluruhan menjadi perempuan representasi Transformasi Politik dan Kelembagaan: Nagari Pariangan di Masa Reformasi Gambar 1. Transformasi Politik Nagari Minangkabau, ketuanya adalah pengurus dan anggota DPRD Fraksi Golkar (Yusril, 2000). Melemahnya peranan tokoh adat asli Minangkabau untuk mengkontrol masyarakat adat akibat desanisasi pada masa Orde Baru, dibuktikan dengan terpinggirkan nya peranan Ninik mamak sebagai keterwakilan adat oleh Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN) yang merupakan berkuasa organisasi masa bentukan itu, dengan demikian demokrasi adat yang seharusnya diperankan oleh Ninik mamak menjadi kehilangan peranannya (Yasril, 2007). Kontrol adat yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat adat asli Minangkabau, diambil alih oleh Negara. Orde Baru mencoba menselaraskan seluruh lembaga-lembaga adat agar sesuai dengan kepentingan rezim, penetrasi yang dilakukan oleh Orde Baru dengan kebijakan UU No. 5/1979 tersebut telah membuat nilai adat Minangkabau bergeser dan kehilangan legitimasi dalam masyarakat, nilai adat yang asli mulai berubah penetrasi Orde Baru membuat filosofi egalitarianisme yang selama ini dianggap sebagai dasar Proses rezim kebudayaan Minangkabau tidak terimplementasikan secara utuh (Zuhro, 2009), ada yang melecehkan transformasi kelembagaan menjadi sangat mungkin sering terjadi di negara dunia ketiga yang pluralitas dan multikulturalitasnya sangat tinggi. Antara negara dan daerah harus selalu melakukan sinkronisasi untuk mendapatkan posisi yang legitimate sebagai kelembagaan politik. Setelah runtuhnya rezim sentralistik Orde Baru, terdapat dua model struktur yang telah berlaku yaitu berdasarkan Perda Provinsi Sumatera Barat No. 9/2000 Juncto UU No.22/1999 dan struktur yang berdasarkan Perda No. 2/2007 Juncto No.32/2004. Keduanya lahir karena spirit budaya dan menonjolkan identitas identitas keminangkabauan, keminangkabauan itu secara substantif menegakkan identitas adat dengan memperkuat peranan Ninik mamak yang sudah hancur dan mengembangkan identitas falsafah adat basandi syarak dan syarak 238 Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 227-245 basandi kitabullah (Yasril, 2007). Namun dua oleh kelembagaan dinas masih terus terjadi. semangat yang substantif itu tidak juga Akibatnya tercermin dalam struktur yang dilahirkan, kehilangan kemurnian adat-istiadat Minang peranan Ninik mamak masih termarjinalkan yang tergeser oleh corak-corak pemerintahan seperti periode Orde Baru begitu juga falsafah nasional. Selain itu, ninik mamak sebagai adat yang didengungkan. keterwakilan Studi ini mengambil lokasi di Nagari Nagari Pariangan suku di hari Nagari ini Pariangan dewasa ini berkecenderungan dikendalikan Pariangan Kabupaten Tanah Datar, menurut dan tambo Minangkabau dinas.Sehingga, asal orang Pariangan sekarang hanya dipahami sebagai Minangkabau dan tempat lahirnya adat- proses ‘perayaan’ bukan lagi adat sebagai istiadat Minang (Biezeveld, 2010). Nagari kontrol sosial-etika masyarakat Minangkabau Pariangan sebagai Nagari tertua saat ini akibat menghadapi kondisi dilematis, pengakuan kewenangan lembaga adat. Bahkan dalam kembali pemerintahan beberapa keadaan, Nagari Pariangan menjadi terendah ternyata tidak berdampak apa-apa kendaraan politik elit lokal untuk mencapai terhadap kepentingan politik dan ekonomi berskala sejarah Pariangan tradisional adalah Nagari Nagari sebagai kelembagaan adat di Nagari Pariangan. Setelah mengalami perubahan, dilemahkan oleh fungsi penetrasi kelembagaan adat Negara di dan Nagari disfungsi Nasional Nagari Pariangan harus mencari bentuknya Keputusan dalam memastikan aturan dan menyelesaikan menghilangkan persoalan-persoalan lokal yang berkaitan yang dibentuk pada rezim Orde Baru, dengan kesejahteraan umum masyarakat adat. dampaknya terjadi dualisme kelembagaan Ketika politik nagari yakni, Wali Nagari sebagai pemimpin merangsek dan menguat, dan sisi lain Negara administrasi dan KAN sebagai pemimpin dan semakin mendapatkan legitimasinya sebagai keterwakilan adat Minangkabau. kelembagaan politik yang ada di atas Nagari, pengakuan kelembagaan-kelembagaan Campur tangan pemerintah ke dalam urusan Nagari terus berlanjut melalui Perda Nagari sebagai konsekuensi dari penerimaan No. 9/2000 dan selanjutnya direvisi dengan adat Perda No. 2/2007 justru memarginalkan lokalitas terhadap tidak keberadaan dan Negara saja, ke Nagari ekonomi prosedural kembali kembali sebagai institusi politik yang kuat kepentingan hanya peraturan yang diemban oleh semangat desentralisasi tidak memberikan fungsi posisi yang legitimated secara politik terhadap realitanya, Perda ini lebih banyak memberi Nagari Pariangan. penekanan Pengaturan bahkan pelemahan terhadap kelembagaan adat yang dilakukan adat dalam pada pemerintahan masyarakat. Dalam penyelenggaraan terendah tidak fungsi mengatur penyelenggaraan nagari secara hakikat, yaitu 239 Yayan Hidayat, dkk./ Transformasi dan Dualisme Kelembagaan dalam Pemerintah Adat... melaksanakan nagari dari aspek sosio-budaya cadiak pandai nagari pariangan kabupaten dan geneologi. Dampak yang dirasakan justru tanah datar, terungkap secara tidak langsung kepada masyarakat, terutama ikatan sosial bahwa mereka menghendaki pemerintahan yang terjalin diantara masyarakat menjadi kembali ke kelompok genealogis untuk lemah, bahkan masyarakat sedikit sekali memfungsikan kembali ninik mamak dan memiliki untuk berpartisipasi menghidupkan kembali adat basandi syarak, dan pemerintahan syarak basandi kitabullah. Terdapat banyak berdasarkan kesadaran. Padahal, bernagari lembaga baru yang dibentuk, namun dengan juga mencakup adanya keterlibatan secara tugas dan fungsi yang tidak jelas. Sebagian sadar anak kamanakan dan urang kampuang besar yang terlibat dalam penyelenggaraan nagari sendirinya seperti lembaga Majelis Ulama (Tamrin, 2015). Pendesaan nagari membuka Nagari (MUNA), lembaga yang masih tetap kran yang selama kolonialisme dan Orde dipertahankan namun tidak berfungsi dengan Lama tertutup dari campur tangan orang luar baik dan terbatas hanya bagi ninik mamak, alim Masyarakat Nagari (LPMN), Parik Paga ulama, dan cerdik pandai. Bagi masyarakat Nagari (PPN) (Yasril, 2007). Adapun lembaga nagari transformasi yang tugas dan fungsinya tumpang tindih penyelenggaraan nagari sangat bergantung adalah Bundo Kanduang dan PKK, kedua pada aturan yang dibuat oleh pemerintah lembaga ini diisi oleh orang-orang yang sama. pusat. Diskersi dalam penyelenggaraan nagari Karena banyaknya lembaga baru di nagari tidak boleh keluar dari Undang-Undang yang menimbulkan tumpang tindih peran diantara sudah ditetapkan, karenanya desain kehidupan lembaga-lembaga bernagari Kolopaking, & Pandjaitan, 2009). dalam kesadaran proses politik era di reformasi, Sumatera Barat sangat bergantung sejauh mana ruang yang diatur oleh pemerintah pusat sejalan lembaga tersebut yaitu hilang Lembaga dengan Pemberdayaan tersebut (Astuti, Dualisme kelembagaan dalam nagari dengan serta banyaknya lembaga-lembaga baru yang keinginan masyarakat nagari (lihat juga muncul pasca orde baru di nagari saat ini pada Yasril, 2007). dasarnya adalah pengulangan peristiwa pada Pada saat desa dihapuskan dan nagari dihidupkan, semestinya lembaga masa desa. menimbulkan Transformasi dilema yang tersebut berpotensi pemerintahannya juga ikut berubah, namun memunculkan konflik di tengah masyarakat, dalam kenyataannya tidak demikian. Lembaga di adat dan pemerintahan terpisah, ini bukanlah mengintervensi nagari karena nagari harus pemerintahan nagari yang pada dasarnya menjalankan fungsi administrasinya, di sisi merupakan kesatuan teritorial genealogis. lain intervensi itu justru menjadi hambatan Dari wawancara yang dilakukan kepada kaum bagi 240 satu sisi pemerintah harus muncul/berkembangnya tetap institusi Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 227-245 tradisional yang mendesak untuk dibatalkan lain intervensi itu justru menjadi hambatan (von Benda-Beckmann F. , 1979). Dengann bagi demikian, proses pendesaan nagari adalah tradisional yang mendesak untuk dibatalkan politik Negara di daerah untuk mempermudah (von Benda-Beckmann F. , 1979). muncul/berkembangnya institusi control terhadap sumber daya dan actor lokal Pada akhirnya, apa yang terjadi di yang memiliki peranan dalam mengatur Nagari Pariangan adalah ruang kontestasi kebijakan nagari. Gesekan di tingkat lokal di yang sesungguhnya antara negara dengan Minangkabau lebih terlihat seperti respon nagari. Kontestasi ini memunculkan aktor- terhadap kondisi politik di tingkatan nasional, aktor semisal bagaimana masyarakat di nagari kelembagaan Pariangan tampak sangat antusias dengan kepentingan kuat baik dalam mempertahankan rencana diberlakukannya kembali adat nagari adat maupun memperbarui bentuk nagari yang bagi sebagian banyak mereka juga melalui pendekatan yang mirip dilakukan oleh berarti kembalinya originalitas hukum adat negara, yaitu pembentukan nagari sebagai dan maksimalisasi usaha penegakan syariat. institusi Antusiasme dari pluralitas hukum. Menariknya, proses yang romantisisme belaka, tapi juga kepentingan merupakan efek langsung dari desentralisasi ekonomi politik yang mereka anggap sangat ini ternyata tidak menyisakan apa-apa kecuali mungkin apabila fungsi kelembagaan nagari dualisme dipulihkan dan keputusan-keputusan lokal kelembagaan ini nyatanya bukan bentuk bisa dikendalikan lagi oleh ninik mamak, alim perpaduan antara hukum negara dengan ulama dan cerdik pandai. hukum nagari itu sendiri, tapi lebih terlihat ini muncul bukan baru dalam yang politik yang berbagai bentuk sama-sama punya didasarkan kelembagaan. pada Dualisme seperti kebingungan menempatkan posisi adat Dualisme Kelembagaan dan posisi hukum negara. Dualisme kelembagaan dalam nagari Dari kebingungan status itu, sebagai serta banyaknya lembaga-lembaga baru yang efek langsung dari dualisme kelembagaan, muncul pasca Orde Baru di nagari saat ini Nagari Pariangan tampak seperti kesulitan pada dasarnya adalah pengulangan peristiwa mengelola kebijakan adatnya sendiri dan pada masa ketika nagari masih berstatus posisi ninik mamak, cerdik pandai, dan alim sebagai ulama desa. menimbulkan Transformasi dilema yang tersebut berpotensi hanya Proses di contohnya, sisi pemerintah harus tetap seperti penghias penghargaan negara terhadap adat nagari saja. memunculkan konflik di tengah masyarakat, satu terlihat penyelesaian sengketa cenderung diserahkan tanah, ke mengintervensi nagari karena nagari harus pengadilan negeri jika tidak bisa diselesaikan menjalankan fungsi administrasinya, di sisi di tingkat nagari. Syarat keterwakilan 241 Yayan Hidayat, dkk./ Transformasi dan Dualisme Kelembagaan dalam Pemerintah Adat... perempuan dalam sebuah desa, sebagaimana Kesimpulan yang disebutkan dalam UU Desa, tidak bisa dipenuhi dalam Nagari dalam statusnya sebagai kelembagaan politik Pariangan matrilinial dalam soal adat karena posisinya tidak menjelaskan pembagian warisan. Status pemimpin adat ketegasan di bawah struktur pemerintahan menjadi tidak terlegitimasi dengan baik pusat. Kontrol negara dan kolonialisme, sebagai pemimpin karena adanya pemimpin dalam dinas nagari, memainkan peranan penting dalam desa nagari yang karena Nagari Pariangan cenderung kabur hanya lebih dekat dengan sejarah transformasi pemerintahan pusat. Kepala desa dinas ini legitimasi berfungsi sebagaimana kepala desa di daerah masyarakat adat dan mandat pemerintah, baik lainnya sesuai aturan yang tertera dalam UU pemerintah kolonial pada masa penjajahan Desa. atau pun Republik Indonesia setelah merdeka. Namun dalam praktiknya, kekuasaan dipercayakan kepemimpinan kepala desa dinas bertabrakan Pasca secara politik dengan pemimpin adat. Pariangan sebagai institusi politik justruk Dualisme kelembagaan nagari di desentralisasi, yang kelembagaan kehilangan legitimasi keberadaan politisnya Nagari untuk Pariangan tampak seperti hasil perebutan digerakkan oleh masyarakat sendiri. Bahkan pengaruh yang tak sehat antara negara dengan dalam beberapa keadaan, Nagari Pariangan adat. Dalam praktiknya, mempertahankan adat menjadi kendaraan politik elit lokal untuk untuk mencapai kepentingan politik dan ekonomi menjalankan pemerintahan nagari dalam bingkai keinginan negara tidaklah berskala nasional. efektif sebagaimana dibayangkan oleh orang- Setelah mengalami perubahan berupa orang di pusat. Desentralisasi yang diterima bentuk kelembagaan desa, Nagari Pariangan nagari tidak sepenuhnya ada karena pada harus mencari bentuknya kembali sebagai kenyataannya nagari tetap didikte langkahnya institusi politik yang kuat dalam memastikan bahkan melalui aturan dan menyelesaikan persoalan-persoalan keberadaan undang-undang yang berkaitan lokal yang berkaitan dengan kesejahteraan dengannya seperti undang-undang desa. UU umum masyarakat adat. Ketika kepentingan Desa dan undang-undang yang mengatur ekonomi politik merangsek dan menguat, dan bagaimana dipertahankan di sisi lain Negara semakin mendapatkan muncul sebagai upaya bagaimana negara tetap legitimasinya sebagai kelembagaan politik melakukan terhadap yang ada di atas nagari, Nagari Pariangan keberlangsungan adat. Fenomena-fenomena terkategorikan sebagai kelembagaan adat dan ini kebutuhan justru melemahkan kelembagaan nagari itu bersifat sendiri sebagai struktur yang independen direduksi lokalitas gerak mencerminkan nagari fungsinya terhadap tetap penetratif bagaimana negara tidak keseluruhan agar dualitas tidak terjadi. 242 dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya. Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 227-245 Pengakuan negara terhadap keberadaan nagari Daftar Pustaka sebagai konsekuensi dari penerimaan adat dan Astuti, N. B., & Kolopaking, L. M. (2009). lokalitas yang diemban oleh semangat Dilema Dalam Transformasi Desa desentralisasi tidak memberikan posisi yang Ke legitimated secara politik terhadap Nagari Kenagarian IV Koto Palembayan, Pariangan. Provinsi Sumatera Barat. Sodality: Desentralisasi telah menyediakan kesempatan selebar mungkin pada pemerintah provinsi dan Kasus di Jurnal Sosiologi Pedesaan, 3 (2). Benda-Beckmann, F., & von Benda- Beckmann, K. (2012). Identity in melakukan pengaturan terhadap kebijakan dispute: law, religion, and identity in mereka sendiri berdasarkan pada adat dan Minangkabau. nilai-nilai lokal, tetapi penetrasi pemerintah 13(4), pusat (2010). memegang lokal Studi untuk masih pemerintah Nagari: peranan besar, Asian Ethnicity, 341-358.Biezeveld, Ragam Peran R. Adat di sedangkan di satu sisi masyarakat adat yang Sumatra Barat. In J. S. Davidson, D. bersangkutan kurang memberikan perhatian Henley, & S. Moniaga, Adat Dalam pada efek-efek buruk yang muncul setelahnya. Politik Indonesia (pp. 221-244). Masyarakat adat lokal merasa bahwa banyak Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. kepentingan mereka tidak bisa dipenuhi oleh pemerintah dan, dengan De Jong, P.D.J., 2012. Minangkabau and demikian, Negri Sembilan: socio-political desentralisasi tidak memberikan dampak apa- structure in Indonesia. Springer apa dalam kelangsungannya. Meski demikian, Science & Business Media. di sisi yang lain, Negara menekan masyarakat Hadler, J., 2010. Sengketa Tiada Putus: dengan kepentingan ekonomi dan politik Matriarkat, Reformisme Agama, dan berskala Kolonialisme besar yang membahayakan lingkungan hidup mereka sendiri. Efek buruk dari dualism kelembagaan ini terjadi ketika di Minangkabau. Freedom Press. Isra, S. (2014). Political and Legal masyarakat dan organisasi adat yang mereka Transformations of an Indonesian gerakkan berhadapan secara langsung dalam Polity: kontestasi kekuasaan di mana pluralitas Colonization to Decentralization. hukum dan fungsi politik mengaburkan batasan-batasan tugas, kewajiban, kepentingan antara nagari dan Negara dan The Nagari from Davidson, J. S., Henley, D., & Moniaga, S. (Eds.). (2010). Adat dalam Politik Indonesia. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Kahn, J. S. (1980). Minangkabau social formations. Indonesian peasants and 243 Yayan Hidayat, dkk./ Transformasi dan Dualisme Kelembagaan dalam Pemerintah Adat... the world-economy. Cambridge One is Changing All: dynamics in University Press.. the adat-Islam-state triangle. The Migdal, J. S. (2001). State in society: Journal of Legal Pluralism and Studying how states and societies Unofficial Law, 38(53-54), 239-270. transform and another. constitute Cambridge one University Press. von Benda-Beckmann, F., & Benda- Beckmann, K. V. (2013). Political and legal transformations of an Tamrin, A. &. (2015). Prospek Nagari Adat Indonesian polity: the Nagari from Dalam Rezim UU Desa Di Sumatera colonisation Barat Cambridge studies in law and Terhadap Pembangunan Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN. Jurnal Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas, 4. to decentralisation. society Show all parts in this series. von Benda-Beckmann, K. V., & von BendaBeckmann, F. (1978). Residence in Tegnan, H. (2015). Legal pluralism and land Minangkabau Nagari. Indonesia administration in West Sumatra: the Circle. School of Oriental and implementation of the regulations of African Studies, 6 (15), 6-17. both local and nagari governments Yasril, Y. (2007). Model Pemerintahan Nagari on communal land tenure. The Yang Partisipatif dalam Masyarakat Journal of Legal Pluralism and Minangkabau. DEMOKRASI, 214. Unofficial Law, 47(2), 312-323. Yusril, Y. (2000). Pemerintahan Nagari di Era Vel, J. A. C., & Bedner, A. W. (2015). Decentralisation and village Orde Baru: Pemerintah Persepsi dan Aparatur Masyarakat governance in Indonesia: the return Terhadap Pemerintahan Nagari dan to the nagari and the 2014 Village Otoritas Tradisional Minangkabau Law. The Journal of Legal Pluralism Dalam Kaitannya Dengan Prospek and Unofficial Law, 47(3), 493-507. Otonomi Daerah di Sumatera Barat. von Benda-Beckmann, F. (2013). Property in Program Pasca Sarjana Universitas social continuity: Continuity and change in the maintenance of Zed, M., Utama, E., & Chaniago, H. (1998). property relationships through time Sumatera Barat di Panggung Sejarah in Minangkabau, West Sumatra 1945-1995. Jakarta: Pustaka Sinar (Vol. 86). Springer Science & Harapan. Business Media. von Benda-Beckmannn, Zuhro, R. S. (2009). Demokrasi Lokal: F., & Benda- Beckmannn, K. V. (2006). Changing 244 Brawijaya Malang, 2. Perubahan dan Kesinambungan (Nilai-Nilai Budaya Politik Lokal di Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 227-245 Jawa Timur, Sulawesi Sumatera Selatan dan Barat, Bali). Yogyakarta: Ombak. 245