Politik Indonesia

advertisement
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 227-245
Politik Indonesia
Indonesian Political Science Review
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JPI
Transformasi dan Dualisme Kelembagaan dalam Pemerintah Adat Minang:
Studi terhadap Nagari Pariangan, Sumatera Barat
Yayan Hidayat1, Iwan I. Febrianto1, Mahalli1
1
Universitas Brawijaya, Indonesia
Info Artikel
Sejarah Artikel:
Diterima 5 Maret 2017
Disetujui 3 April 2017
Dipublikasi 15 Juli 2017
Keywords:
Nagari; Institution; Dualism;
Transformation
Abstrak
Paper ini bertujuan menggambarkan dampak dari dualisme kelembagaan di Nagari
Pariangan yang disebabkan oleh kontestasi kontrol sosial antara Negara dan
pemerintah daerah melalui UU Nomor 5 Tahun 1979 dan Perda Sumatera Barat
nomor 2/2007. Sebagai kasus, transformasi kelembagaan Nagari Pariangan yang
telah menghadapi beberapa perubahan kelembagaan dari bentuk Desa hingga
kembali berubah ke bentuk pemerintahan Nagari. Kami menemukan bahwa
terjadinya tranformasi disebabkan, pertama adalah kepentingan negara, dan yang
kedua adalah kepentingan pemerintah daerah. Hasil dan dampak dari transformasi
tersebut adalah dualisme kelembagaan di dalam struktur pemerintahan lokal antara
Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan pemerintahan dinas serta berdampak pada nilai
lokal masyarakat Nagari.
Abstract
This paper describes the impact of dualism in institution of Nagari Pariangan
caused by contestation of social control between state and local government
through the Law no. 5 of 1979 and Regional Policy of Sumatera Barat number
2/2007. As a case of institutional transformation, Nagari Pariangan has faced some
notorious shape until it was transformed as nagari. We found that the first
transformation was the interest of state, and the second is the interest of local
government. The results of the transformation are dualism of institution which has
diminished political structure of governance and local values of Nagari society.
Alamat
© 2017 Universitas Negeri Semarang
ISSN 2477 – 8060
korespondensi:
Jl. Veteran, Ketawanggede, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65145, Indonesia
Email: [email protected]
Yayan Hidayat, dkk./ Transformasi dan Dualisme Kelembagaan dalam Pemerintah Adat...
Sumatera Barat yang mengembalikan bentuk
Pendahuluan
hidup
Secara tradisional masyarakat Minang
pemerintahan lokal kembali ke bentuk nagari
berkelompok
dengan mengeluarkan perda Nomor 9/2000
genealogis
dan
dalam
suatu
teritorial
ikatan
berdasarkan
dan
dilengkapi
dengan
Perda
pemerintahan yang otonom dan diatur dengan
Transformasi
hukum adat yang berlaku. Nagari di Sumatera
terjadinya perubahan baik perubahan dalam
Barat hadir sebelum Belanda menginjakkan
struktur pemerintahan dan peraturan yang
kakinya di Indonesia. Nagari diibaratkan
berlaku dalam tatanan masyarakat nagari.
sebagai “republik mini” yang diperintah
Sebelum
secara demokratis oleh masyarakatnagari.
Nomor 5/1979, struktur pemerintahan nagari
Sistem Pemerintahan Adat tersebut hilang
terdiri dari Wali Nagari dan Kerapatan Nagari
secara de jure semenjak diberlakukannya
(KN) yang di dalamnya terdiri dari ninik
Undang-Undang
1979
mamak,alim ulama dan cerdik pandai1yang
mengenai bentuk pemerintahan kecil yaitu
disebut sebagaitali tigo sapilin, tungku tigo
desa, kebijakan ini membuat nagari terpecah
sajarangan
kedalam bentuk desa di mana secara struktural
Pandjaitan, 2009).
dan
legal
Nomor
formal
5
sedikit
Tahun
demi
sedikit
tersebut
2/2007.
menyebabkan
diberlakukannya
(Astuti,
Ketika
Undang-undang
Kolopaking,
diberlakukannya
Undang
yang berkaitan dengan desa secara tegas
mengalami transformasi bukan hanya ke
hendak mempertahankan nilai-nilai lokal.
bentuk desa, melainkan lembaga-lembaga di
Baru
nagari
dalam nagari juga ikut bertransformasi. Pada
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22
saat desa dihapuskan dan nagari dihidupkan
Tahun
kembali
yang
Orde
tersebut
dan
1999
rezim
5/1979
Undang-
mengubah nagari meskipun undang-undang
Jatuhnya
No.
&
mengatur
tentang
melalui
perda
Nomor
2/2007,
desentralisasi dan memberikan hak otonomi
semestinya lembaga pemerintahannya juga
kepada
mengatur
ikut berubah.Namun, dalam kenyataannya
pemerintahannya sendiri memang menjadi
tidak demikian. Dalam kasus pemerintahan
kesempatan pertama bagi daerah-daerah di
nagari
Indonesia untuk menegaskan lokalitas bentuk
pemerintah terhadap pemerintahan nagari
pemerintahannya, namun hal tersebut justru
merupakan
meninggalkan
menyebabkan timbulnya perubahan sosial
seperti
daerah
persoalan-persoalan
keterwakilan
kecenderungan
untuk
baru
perempuan
bergantung
pada
228
oleh
pemerintah
salah
satu
dan
intervensi
faktor
yang
pusat
reformasi. Sebagaimana di daerah lainnya, hal
direspon
kebijakan
dan
pemerintahan yang tersisa sejak sebelum
ini
ini,
Provinsi
1
Ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai
merupakan tokoh adat di Nagari Sumatera Barat
yang disimbolkan dalam adat Minang. Tokoh
adat tersebut juga berperan mengatur kehidupan
sosial masyarakat minang.
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 227-245
melalui cara-cara yang struktural dalam
nagari.
Perubahan
dalam
struktur
masyarakat.
pemerintahan dan peraturan yang berlaku
Memisahkan Kerapatan Adat Nagari
dalam masyarakat tersebut bercorak nasional
(KAN) dari struktur pemerintahan nagari pada
sehingga menggeser dominasi posisi adat-
dasarnya sama saja dengan tetap memisahkan
istiadat murni nagari. Dampaknya, selain
pemerintahan nagari dari unsur adat, tidak ada
melemahkan struktur adat juga menyebabkab
perbedaan
hilangnya
yang
pemerintahan
cukup
sebelumnya
signifikan
corak
adat-istiadat
di
nagari.
hanya
Dominasi negara terhadap nagari ini membuat
ketentuan penyelenggaraan pemerintahan adat
posisi adat menjadi termarginalkan sehingga
yang diatur melalui Perda Nomor 2/2007
berdampak pada kemurnian adat-istiadat yang
tersebut. Efek beruntun selanjutnya di nagari
ada di nagari, ditunjukan dengan tidak
saat ini terdapat dualisme kelembagaan, yang
berfungsinya ninik mamak, alim ulama dan
satu mengurusi adat dan satu lagi mengurusi
cerdik
administrasi pemerintahan desa. Tidak hanya
masyarakat nagari serta melemahnya lembaga
itu, terdapat banyak lembaga baru yang
adat yang disebut dengan tali tigo sapilin,
dibentuk namun dengan tugas dan fungsi yang
tungku tigo sajarangan sebagai simbol adat
tidak jelas. Sebagian besar lembaga tersebut
minang. Pada akhirnya, tidak tampak lagi
hilang dengan sendirinya seperti lembaga
yang dimaksud dengan formula “adat basandi
Majelis Ulama Nagari (MUNA). Lembaga
syarak, syarak basandi kitabullah” yang
yang masih tetap dipertahankan namun tidak
membuat
jelas
heterarki—suatu
fungsinya
kecuali
dari
adalah
Lembaga
pandai
yang
merupakan
Minang lebih terlihat
masyarakat
atau
tokoh
sebagai
sistem
Pemberdayaan Masyarakat Nagari (LPMN)
politik yang didasarkan bukan pada hierarki
dan Parik Paga Nagari (PPN). Adapun
tapi pada pluralitas dan multiplitas bentuk-
lembaga yang tugas dan fungsinya tumpang
bentuk politik yang lebih kecil dan berulang-
tindih adalah bundo kandung dan PKK.
ulang (Hadler, 2010, p. xiii).
Kedua lembaga ini diisi oleh orang-orang
Selain dari dampak dari dualisme
yang sama (Astuti, Kolopaking, & Pandjaitan,
kelembagaan dan dominasi negara tersebut
2009).
dalam
skala
kebudayaan,
pada
pasca
Transformasi dari desa ke nagari
reformasi Sumatera Barat telah berkembang
banyak mengalami disfungsi kelembagaan
kearah masyarat yang heterogen dan bahkan
baik secara struktur maupun kewenangan
multikultur. Faktor-faktor yang menyebabkan
tumpang tindih lembaga adat dan lembaga
perkembangan
pemerintahan desa yang membuat posisi
keterbukaan wilayah dan komunikasi bagi
lembaga adat terlemahkan, khusunya dalam
pendatang untuk bermukim tetap dalam
kewenangan mengurusi peraturan masyarakat
wilayah Sumatera Barat, perbedaan orientasi
tersebut
antara
lain
229
Yayan Hidayat, dkk./ Transformasi dan Dualisme Kelembagaan dalam Pemerintah Adat...
dan gaya hidup anggota masyarakat, efek
Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera
pembangunan fisik, infrastruktur yang tidak
Barat, yaitu transformasi sistem pemerintahan
seimbang
sehingga
desa, disfungsi kewenangan lembaga adat
menimbulkan indikasi konflik horizontal antar
nagari dan marginalisasi adat-istiadat yang
masyarakat, dan bergesernya adat-istiadat
disebabkan oleh dominasi negara.
dalam
masyarakat
sebagai simbol masyarakat Minang. Dalam
skala masyarakat, akibat dari modernisasi
Kajian Pustaka
masyarakat
Kerangka dan Pendekatan Teoritis
adalah
transformasi
yang
menjadikan masyarakat lebih individualistik
Transformasi
kelembagaan
di
dan rentan menimbulkan konflik horizontal
Indonesia memang banyak dimulai dengan
akibat
perubahaan
ketimpangan
ekonomi,
sehingga
undang-undang
negara
yang
menyebabkan perubahan sosial terjadi baik
mempengaruhi
dalam tatanan makro maupun mikro pada
bentuk
Pemerintahan Nagari dan masyarakat adat di
secara hukum tersebut bukan satu-satunya
Sumatera Barat.
faktor yang melahirkan pengaruh struktural
Penulis mengambil fokus masalah
secara
politik
perubahan
kelembagaan.
Namun
perubahan
dan kultural, tapi juga bagaimana peranan
marginalisasi adat-istiadat yang merupakan
faktor
dampak dari transformasi pemerintahan ini
masyarakat
pada Nagari Pariangan yang statusnya adalah
menghimpunnya, serta penetrasi modal yang
nagari tertua di Sumatera Barat. Di samping
berkait kelindan dengan tekanan negara.
itu,
tradisional
Perubahan-perubahan tersebut tampak sangat
Minangkabau, Pariangan adalah nagari asal
telanjang di mata banyak pihak meski secara
orang Minangkabau dan tempat lahirnya adat
khusus
istiadat Minang (Hadler, 2010). Pengakuan
menjadikan perspektif tertentu sebagai pintu
kembali
masuk untuk melihat luasnya fenomena
menurut
terendah
tambo
Nagari
sejarah
sebagai
menyebabkan
pemerintahan
seperti
adat
hasil-hasil
kepentingan
dan
organisasi
penelitian
lokal,
yang
sebelumnya
yang
transformasi kelembagaan. Dalam hal ini,
dilematis. Nagari harus menerima intervensi
melihat perubahan kelembagaan di tingkat
dari struktur di atasnya dan kehilangan
lokal tidak bisa dilihat dari ketunggalan
kemurnian adat istiadat Minang yang tergeser
perspektif yang akhirnya mengeliminir faktor
oleh
nasional.
lain yang mempengaruhi secara gradual dan
Untuk mengambil titik tekan dan memperjelas
memberikan efek yang besar pada masa depan
penarikan pembahasan mengenai dualisme
kelembagaan nagari.
corak-corak
kondisi
lain
pemerintahan
kelembagaan yang diakibatkan oleh penetrasi
Berkenaan
dengan
transformasi
negara itu, pembahasan ini berfokus pada tiga
kelembagaan secara khusus dalam kasus di
permasalahan
Minang, atau lebih spesifik dipandang dari
230
yang
terjadi
di
Nagari
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 227-245
segi hukum bagaimana nagari menjadi desa
adalah cerminan yang menjelaskan mengapa
pada 1983 melalui UU Nomor 5 tahun 1979
transformasi kelembagaan dan hukum yang
dan menjadi nagari lagi pada 2000 melalui
terbentuk atau diberlakukan sebagai proses
UU Nomor 22 tahun 1999, telah banyak
politik penetrasi negara terhadap kelembagaan
dibahas
adat.
dari
berbagai
perspektif.
Yang
menarik dari banyak kajian tersebut adalah
Penelitian ini mengambil titik point di
hasil penelitian Franz dan Keebet von Benda-
mana nagari sebagai bentuk instituti politik
Beckmann (2012; 2006; 2013; lihat juga Vel
yang khas karena ia terbangun melalui proses
& Bedner, 2015; Isra, 2014; Tegnan, 2015)
politik yang panjang dan kontestasi dengan
yang melihat proses perubahaan tersebut dari
Negara dan kolonialisme sebagai struktur
kacamata hukum karena hasil penelitian
yang lebih besar. Dalam proses transformasi
tersebut
ini, ada beberapa kasus transformasi yang bisa
memberikan
pandangan
secara
gamblang bagaimana pluralitas hukum—adat,
dipetakan.
Proses
transformasi,
sisa hukum eks-kolonialisme, undang-undang
meminjam pemikiran Migdal (2001), dilihat
negara, dan hukum Islam—adalah bentuk dari
sebagai perjalanan sebuah institutusi politik
kristalisasi dan bentrok antar kepentingan.
yang
merupakan
dengan
konsekuensi
dari
Sebagai sebuah entitas politik, nagari
kepentingan kelembagaan baik di dalam
harus dilihat sebagai institusi politik yang
nagari sendiri atau dari pemerintah pusat,
mengandung dualisme kelembagaan selama
pertemuan
bertransformasi; selain ditinjau dari peraturan
formasi sosial lain yang selalu ada dalam
dan
proses
undang-undang
di
dalamnya
yang
kepentingan
‘kemenjadian’
Negara
dengan
(becoming),
dan
cenderung plural (Hadler, 2010; von Benda-
perubahan atau penambahan aturan-aturan
Beckmann & von Benda-Beckmann, 2006,
yang merupakan konsekuensi politik dari
2013),
pergulatan
transformasi
tersebut
melahirkan
kepentingan.Untuk itu, secara
pembagian tugas yang ambigu antara negara
praktis, penelitian ini lebih melihat proses
dan nagari seperti dalam penentuan waris dan
politik dan transformasi kelembagaan sebagai
kepemilikan
fenomena politik yang tidak final.
sumber
daya.
Transformasi
kelembagaan dan dualism yang merembet
setelahnya
adalah
melahirkan dualismedilihat sebagai bentuk
melampaui skup hukum, karena hukum pun
dari penetrasi Negara ke daerah, dalam hal ini
baik adat maupun hukum positif negara
nagari
muncul
dimaksud
proses
politik
kelembagaan
yang
dari
proses
Transformasi
order.
Lebih
di
tingkat
di
sini
lokal.
bisa
Dualism yang
terlihat
dalam
sederhananya, transformasi dari desa ke
pembacaan yang integral bagaimana penetrasi
nagari yang terjadi setelah Orde Baru
Negara ke daerah ditanggapi oleh masyarakat
tumbang, dan dikuatkan dengan desentralisasi,
adat nagari dalam wujud lembaga politik yang
231
Yayan Hidayat, dkk./ Transformasi dan Dualisme Kelembagaan dalam Pemerintah Adat...
ambigu dalam pembagian tugas baik secara
Sebagai unit analisis studi kasus,
administrative, legal formal, atau perilaku
kelembagaan nagari bukanlah entitas tunggal
politiknya.Poin ini harus menempatkan nagari
yang berdiri sendiri. Pandangan ini bermaksud
sebagai
untuk menghindari keterbatasan analisis dan
institusi
politik
yang
selalu
berkembang dengan sekian banyak tekanan
penglihatan
dari dalam maupun dari luar. Untuk itu, satu
signifikan dalam transformasi nagari. Untuk
temuan atau perspektif tertentu tidak bisa
memfokuskan bagaimana transformasi itu
dihindari begitu saja sebagai salah satu pintu
terjadi, tulisan ini hendak membatasi proses
masuk
kompleksitas
transformasi pada jalur perubahan nagari yang
kelembagaan nagari; analisis tentang nagari
berubah menjadi desa sebagai efek dari
dari satu sudut pandang harus menyertakan
sentralisme dan bagaimana ia menjadi nagari
analisis
adalah
lagi ketika desentralisasi mulai memberikan
bagaimana proses politik terbentuk dan
banyak porsi pada daerah untuk mengatur
dipengaruhi oleh kepemilikan orang terhadap
kewenangannya sendiri.
untuk
antar
melihat
kasus,
contohnya
terhadap
faktor-faktor
yang
sumber daya dan cara-cara lembaga adat
menyerahkan
permasalahan-permasalahan
Temuan dan Diskusi
lokal ke pengadilan daerah karena tidak bisa
Transformasi Nagari dan Politik Penetrasi
diselesaikan dengan hukum adat.
Negara
Transformasi kelembagaan muncul
Bagian ini akan menjelaskan tiga hal
dari ekspektasi kolonialisme dan negara
dalam menggambarkan proses transformasi
sentralistik Orde Baru yang melihat perbaikan
kelembagaan
kondisi sosial dan politikdi nagari secara top-
mendefiniskan terlebih dahulu bahwa nagari
down.
memperlihatkan
adalah institusi politik. Dalam hal ini, tinjauan
kelembagaan nagari, atau bahkan Negara
atas sejarah nagari secara sekilas akan
sendiri, sebagai entitas politik yang ada di
menjadi bukti bagaimana nagari membawahi
dalam
banyak
Pergulatan
masyarakat
Pendekatan
didiskusikan
ini
(state-in-society).
state-in-society
dalam
pembicaraan
nagari.
kepentingan
Pertama,
orang-orang
peneliti
yang
marak
termasuk di dalamnya. Terkait kasus terkini,
tentang
saya mendapatkan data dari wawancara
Negara dunia ketiga seperti Indonesia dan
terhadap
para
pelaku
memperlihatkan bagaimana sebenarnya motif
transformasi kelembagaan.
internal
proses
Negara, bahkan Negara yang lemah sekalipun,
Kedua, transfromasi nagari menjadi
memperkuat dominasinya di masyarakat yang
desa, lalu menjadi nagari lagi, adalah titik
mempunyai keragaman etnis, bahasa, dan
point dimana peneliti menjelaskan lebih detail
adat(Migdal, 2004, pp. 42-43).
sesuai kasus yang berlangsung selama proses
transformasi
232
kelembagaan
berlangsung.
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 227-245
Tinjauan terhadap perilaku politik nasional
dengan batas-batas alam dan mempunyai
dan lokal nagari harus dimasukkan ke dalam
pemerintahan dipimpin oleh adat serta ditaati
analisis dan diskusi ini mengingat betapa
penduduknya. Namun, cerita tentang ikatan
peran keduanyalah yang menjadi titik sentral
genealogis maupun predikat republik mini
dalam proses transformasi ini.
pada nagari sudah lama memudar karena
Ketiga,
peneliti
mendiskusikan
terjadi proses nagari masuk negara dan negara
dampak dari proses transformasi kelembagaan
masuk nagari, mulai dari periode kolonial
itu, yaitu dualisme kelembagaan sebagai
Belanda sampai Indonesia modern. Pada masa
bentuk ambigu apakah nagari adalah desa atau
kolonial realitasnya sebagian besar nagari
nagari pada dirinya sendiri sebagaimana
dimasukkan kedalam sistem birokrasi dan
dahulu
ekonomi politik kolonial, pemerintah kolonial
nagari
dibangun
untuk
mengidentifikasi diri. Dualisme kelembagaan
berulangkali
ini menjadi sangat penting dalam diskusi ini
mengubah
mengingat
diselaraskan dengan kepentingan-kepentingan
struktur
kelembagaan
akan
menentukan banyak hal dalam kebijakan-
mencampuri
organisasi
dan
bahkan
politik
nagari
kolonial (Zuhro, 2009).
kebijakan yang berhubungan antara nagari,
Negara, dan posisi masyarakat di dalam ruang
Masa Kolonialisme dan Kemerdekaan
kontestasi itu.
Hal yang paling besar dalam konteks
mengapa
Nagari dan Sejarah Politik Penetrasi Negara
sistem
atau
struktur
adat
di
Indonesia pada umumnya (Sumatra Barat
Kelembagaan yang kami maksud di
khususnya) sering dan mudah sekali dimasuki
sini adalah kelembagaan sebagai tata kelola
oleh sistem pemerintahan kolonial adalah
(governance) yang mengemuka berwujud
karena tidaknya pakem atau hukum adat yang
menjadi bentuk-bentuk institusi pemerintahan.
secara resmi dibuat dan diperkenalkan oleh
Dari definisi ini, kami pikir cukup untuk
masyarakat atau para pemimpin adatnya
menganalisis nagari tidak hanya dari sisi
(Kahn, 1980). Terminologi hukum adat di
administrative dan birokrasinya saja, tapi
Indonesia
lebih luas pada pola yang dihasilkan dari tata
penelitian dari Van Vollenhen mencari dan
kelola tersebut ke dalam perilaku politik
mampu
masyarakat.
federasi
dengan adat (Biezeveld, 2010) yang kemudian
suku,
menjadi sub-tema sendiri dalam bidang kajian
sebagai kesatuan masyarakat yang terbentuk
hukum adat yang banyak digunakan sebagai
berdasarkan ikatan kekeluargaan menurut
standardisasi
keturunan
ibu
masyarakat adat, khusunya di Indonesia. Atas
(matrilineal), nagari memiliki wilayah sendiri
dasar alasan inilah yang pada akhirnya
genealogis
Nagari
yang
yang
merupakan
dihuni
ditarik
beberapa
dari
garis
baru
dikenali
menyambungkan
pembahan
setelah
antara
hukum
adanya
hukum
didalam
233
Yayan Hidayat, dkk./ Transformasi dan Dualisme Kelembagaan dalam Pemerintah Adat...
membuat pemerintah kolonial Belanda bisa
pada tahun 1848-1908 melalui perjanjian
masuk
antara pemerintah lokal dengan kolonial yang
dengan
mudah
dalam
sistem
pemerintahan lokal di Minangkabau.
Sejarah
sebagai
tahun 1833 (Biezeveld, 2010). Pada awalnya,
tatanan
perjanjian tersebut memang menyebutkan
pememerintahan lokal di tanah Minangkabau
bahwa Belanda tidak akan ikut campur tangan
sudah dimulaisejak pertengahan abad ke-14
terhadap pemerintahan nagari. Namun, pada
(de Jong, 1980) atau pada saat Kerajaan
kenyataannya, Belanda dengan politiknya
Pagaruyung berdiri di wilayah Sumatera Barat
yang terkenal yaitu ‘politik etis’ yang
(Tegnan, 2015). Seiring berjalannya waktu,
diterapkan
pada sekitar akhir abad ke-16 atau awal abad
mengusik sistem pemerintahan nagari dengan
ke-17,
mulai
memilih satu orang penghulu sebagai kepala
menerapkan sistem adat untuk mengatur
kampung atau penguhulu kepala (Biezeveld,
masyarakat, pemerintahan lokal, dan sumber
2010). Padahal, sebelumnya para penghulu di
daya alamnya (Tegnan, 2015). Sementara
tiap-tiap nagari memiliki wewenang untuk
istilah Minangkabau ditemukan pertama kali
mengurus
oleh Maharjo Dirajo atau salah satu dari tiga
bersama-sama. Sistem ini pada akhirnya
putra
Zulkarnain.
digunakan Belanda untuk mempermudah
sebagai
mereka dalam mempraktekan sistem tanam
struktur
panjang
organisasi
terkecil
masyarakat
dari
Selanjutnya,
nagari
lebih dengan sebutan Plakat Panjang pada
dari
Minangkabau
Raja
Iskandar
istilah
nagari
diseluruh
penjuru
pemerintahan
secara
paksa.
terkecil (desa) dan dikepalai oleh panghulu
sistem tersebut, maka semua komunikasi
diciptakan oleh dua pahlawan lokal mereka,
nagari akan hanya tertuju pada satu orang atau
yaitu Datuak Katumangguangan dan Datuak
perwakilan
Parapatih (Kahn, 1980). Dalam konteks
memudahkan Belanda dalam mengontrol
perkembangannya,
pemerintahan lokal di Sumatra Barat.
luhur
yang
saja.
setelah
lokalnya
representasi kerajaan diwilayah kekuasaan
nilai-nilai
Dampak
Nusantara
Ini
diberlakukannya
yang
kemudian
dianut oleh penduduk Minangkabau memang
Upaya pelemahan di Minangkabau
berjalan statis karena berbagai pengaruh dan
oleh Belanda juga makin besar, hal tersebur
tekanan, terutama
ditandai
pada
zaman
kolonial
dengan
diberlakukannya
Nagari
dimana para penjajah melakukan penetrasi
Ordinantie pada tahun 1915 sebagai cara
yang signifikan terhadap peraturan adat dan
untuk mempromosikan otonomi kampung
struktur sosial kemasyarakatan Minangkabau.
yang lebih besar dalam kerangka politik etis
Perubahan struktur dan tata kelola
pemerintahan
di
badan tersebut, maka yang terjadi adalah
Minangkabau terjadi pada saat pemerintah
semakin tidak demokratisnya pemerintahan
kolonial memberlakukan sistem tanam paksa
nagari karena Dewan nagari (nagari-raad)
234
secara
signifikan
(Biezeveld, 2010). Dengan adanya pembuatan
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 227-245
dibentuk sebagai pelaksana pemerintahan
maka terjadi penyeragaman hukum dan
dalam
dengan
aturan. Ini juga terjadi di seluruh wilayah
pemerintah kolonial. Adapun representasi dari
kabupaten Tanah Datar (tempat penelitian ini
badan tersebut hanya berisikan penghulu inti
dilakukan) yang merupakan salah satu daerah
atau para penghulu yang berasar dari puak
tertua dari kemunculan adat Minangkabau.
atau suku pendiri nagari saja. Artinya, ini
Berdasarkan hukum adat, selain Tanah Datar,
makin mempersempit partisipasi masyarakat
Agam dan Limapuluah Kuto juga merupakan
nagari dalam hal pengambilan keputusan,
tiga daratan utama dari tanah Minangkabau
apalagi untuk suku atau puak yang lahir
(Kahn, 1980).
pengambilan
keputusan
dengan keturunan bekas budak dan keturunan
Setelah era kolonial berakhir pada
pendatang, seperti yang terkenal dengan
tahun 1945, pemerintahan Negara Indonesia
ungkapanBenda-Beckmanyaitu kemenakan di
yang dipimpin oleh Presiden Soekarno dan
bawah lutut (anak keturunan bekas budak)
Mohammad Hatta pada waktu itu mulai
dan kemenakan di bawah pusek (untuk
menerapkan sistem pemerintahan baru di
keturunan pendatang) (Biezeveld, 2010).
seluruh Indonesia, termasuk Sumatra Barat.
Awal kemerdekaan muncul resistensi
Dengan menggunakan slogan NKRI (Negara
terhadap keberadaan pemerintahan nagari,
Kesatuan
anggapan negara bahwa nagari merupakan
pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden
produk kolonial (Zuhro, 2009). Sinisme
Soekarno
negara terhadap pemerintahan nagari pada
pemerintahan yang harus dipatuhi dan ditaati
saat itu bukan tanpa alasan, ini disebabkan
oleh seluruh daerah di Indonesia demi
karena produk hukum yang digunakan oleh
tercapainya
pemerintah nagari adalah produk hukum
kesatuan
buatan
dengan
kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam
seperti
melancarkan
zaman
pembentukan
kolonial
berikut
kelembagaan
Republik
mulai
Indonesia),
membuat
konsepsi
yang
tatanan
baru
mengenai
Negara
dengan
cita-cita
sesuai
ide
sistem
persatuan
dengan
pengadilan, aturan tata kelola tanah, dan lain
penyeragaman sistem pemerintah di seluruh
sebagainya. Sebagai sistem pemerintahan
wilayah
terkecil namun memiliki kekuatan sumber
Minangkabau),
daya alam yang luar biasa, penguasaan
mengeluarkan
terhadap nagari menjadi sangat penting untuk
daerah Sumatra Barat pada tahun 1949
pemerintahan
tentang
kolonial
guna
melalukan
Indonesia
sistem
(khususnya
Presiden
Makloemat
di
Soekarno
khusus
pemerintahan
untuk
daerah
di
ekploitasi terhadap sumber daya alamnya.
wilayah nagari. Dengan adanya Makloemat
Dengan diberlakukannya sistem hukum adat
tahun 1949 tersebut, lahirlah badan baru yang
tersebut, maka sistem pemerintahan nagari
disebut dengan Dewan Perwakilan Nagari
satu dengan lainnya yang dahulunya berbeda,
(DPN) dan Dewan Harian Nagari (DHN) yang
235
Yayan Hidayat, dkk./ Transformasi dan Dualisme Kelembagaan dalam Pemerintah Adat...
keduanya dipimpin oleh seorang Wali Nagari
beberapa badan baru, yaitu Kepala Nagari,
(Tegnan, 2015).
Badan Musyawarah Nagari (BMN), dan
Sejak terbentuknya lembaga-lembaga
Badan Musyawarah Gabungan (BMG) yang
tersebut, maka terjadi perubahan yang cukup
berisikan seluruh anggota nagari di tiap-tiap
besar
pemilihan
daerah (Tegnan, 2015). Di satu sisi, upaya
pemimpinnya. Bila dulu untuk memilih
yang dilakukan oleh pemerintah local ini
pemimpin
keputusan
adalah untuk mengembalikan nuansa etnis
didasarkan pada musyawarah mufakat, sejak
dari sisem pemengelolaan pemerintah local
saat itu dilakukan atas dasar suara terbanyak
yang berbasis adat. Namun di sisi lain,
(Zuhro, 2009). Selain itu, landasan hukum
dampak
dari
di
kelembagaan ini juga membuat masyarakat
pemerintahan nagari adalah hukum negara
bingung karena harus mentaati aturan-aturan
yang tertulis. Awal Kemerdekaan ada 542
yang di buat oleh pemerintah daerah Sumatra
nagari yang memilih Wali Nagari dan DPN
Barat. Ini juga sejalan dengan apa yang
baru, dalam proses pemilihan ditemukan
dijelaskan
oleh
banyak
penelitian
ini
terkait
pergantian
maupun
setiap
dan
membuat
penetapan
kelemahan
keputusan
sehingga
muncul
adanya
pergantian
salah
yang
satu
struktur
narasumber
merupakan
tokoh
ketidakpercayaan warga terhadap pejabat-
intelektual adat di Tanah Datar. Ridwan (salah
pejabat terpilih. Kelemahan lain, banyak
satu tokoh intelektual kabupaten Tanah Datar)
nagari yang dianggap tidak layak karena
mengatakan
bahwa
memiliki wilayah yang kecil dengan potensi
pergeseran
dan
SDA dan SDM yang minim. Atas dasar
pemerintahan nagari yang dilakukan baik oleh
disfungsi
akhirnya
kolonial maupun pemerintah Indonesia pada
dihidupkan
masa awal kemerdekaan secara tidak langsung
akhir 1950-an, namun revitalisasi nagari yang
memberikan efek negatif terhadap masyarakat
tergesa-gesa
adat nagari yang ada di Sumatra Barat.
kenagarian
pemerintahan
merasakan
nagari
tersebut
kembali
membuat
keberadaan
masyarakat
nagari.
tidak
Program
Dari
terjadinya
pergantian
beberapa
proses
struktur
contoh perjanjian,
pemulihan nagari bahkan nyaris menjadi
peraturan dan Undang-Undang yang telah
ajang konflik antar kelompok masyarakat,
dilekuarkan baik oleh pemerintah kolonial
khususnya dalam proses pembentukan Dewan
maupun oleh pemerintah awal kemerdekaan
Perwakilan Nagari (DPN).
tersebut, maka disini terlihat jelas bahwa
Setelah beberapa tahun menerapkan
adanya penetrasi yang dilakukan oleh Negara
sistem dan struktur melalui DPN dan DHN,
atau
pemerintah local Sumatra Barat kemudian
masyarakat adat di Sumatra Barat yang sudah
mengeluarkan sebuah Peraturan Provinsi pada
ada sejak pertengahan abad ke-14. Jika
tahun 1963 untuk mengganti dan membentuk
meminjam
236
pemerintah
terhadap
pendekatan
kehidupan
state-in-society
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 227-245
(Migdal, State in Society, 2004), maka disini
masyarakat adat terpecah menjadi beberapa
akan terlihat jelas bahwa adanya upaya dari
desa.
pemerintah atau Negara untuk menggantikan
pembentukannya di Sumatera Barat, jauh
peran dan peraturan adat yang sudah sejak
lebih besar dari jumlah nagari yang awalnya
lama ada di Minangkabau dengan peraturan
sebanyak 300-an kenagarian (Zuhro, 2009).
dan
baik
Secara kultural, perubahan dari pemerintahan
Sumatra
Barat,
nagari ke pemerintahan desa di Sumatera
Indonesia
awal
kontrol
pemerintahan
Pemerintah
dari
pemerintahan,
provinsi
Republik
Barat
Terdapat
543
menimbulkan
desa
pada
beberapa
saat
implikasi.
kemerdekaan, maupun pemerintah kolonial.
Pertama, kepemimpinan formal terendah telah
Gerakan
oleh
bergeser dari kepemimpinan kolektif tali tigo
Negara ini juga didasarkan pada adanya hak
sapilin dan tungku tigo sajarangan kepada
dalam pengelolaan sumber daya alam yang
kepala desa yang sebenarnya tidak cukup
ada
legitimed dihadapan warga. Kedua, desanisasi
di
penetrasi
wilayah
yang
dilakukan
Sumatra
Barat
yang
merupakan hak ulayat masyarakat nagari yang
telah
sudah ada sejak nenek moyang mereka dan
identitas anak nagari dan melunturkan ikatan
diturunkan dari silsilah atau garis keturunan
genealogi.
ibu (maternal).
merusak adat
dan
menghilangkan
Penerapan sistem pemerintahan desa
diberlakukan dalam masyarakat Minangkabau
Nagari Masa Orde Baru
Sentralistik
membuat keberadaan pemegang adat dan
rezim
Baru
penghulu dalam mengkontrol adat menjadi
mengubah sistem dan bentuk pemerintahan
berkurang karena diambil alih oleh Negara.
lokal level paling bawah di Nagari, penetrasi
Muncul organisasi yang dibentuk oleh rezim
Negara masa itu diperkuat melalui UU No.
Orde Baru untuk mengkontrol adat yaitu
5/1979 yang mengubah pemerintahan Nagari
Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau
menjadi
(LKAAM) bertujuan untuk melestarikan adat,
pemerintahan
Orde
Desa.
Perubahan
Nagari ke bentuk desa bukan hanya sekedar
tradisi
perubahan nama, melainkan merubah sistem,
mengklaim dirinya sebagai wakil masyarakat
orientasi dan filosofi Nagari (Yusril, 2000).
Minangkabau,
Unsur Orde Lama dibersihkan dan corak
cenderung ‘berakar ke atas’ karena selalu
Nagari
dengan
dipimpin oleh Partai Golkar sebagai penguasa
kepentingan-kepentingan rezim Orde Baru,
masa itu(Zuhro, 2009). Lembaga-lembaga
akibatnya banyak kelembagaan adat Nagari
adat lain yang dibentuk oleh rezim Orde Baru
yang
adalah
kemudian
dihapuskan
kelembagaan
diselaraskan
dan
Negara
diganti
untuk
dengan
memperkuat
dominasi rezim, Nagari sebagai kesatuan
dan
budaya
Minangkabau
dalam
organisasi
praktik
perempuan
serta
LKAAM
(Bundo
Kanduang), Cendekiawan (Cadiak Pandai),
pegawai
negeri,
pemuda,
wartawan,
237
Yayan Hidayat, dkk./ Transformasi dan Dualisme Kelembagaan dalam Pemerintah Adat...
organisasi perantau dan preman (von Benda,
nilai adat, mensejajarkan adat dan ada pula
2013). Bundo Kanduang misalnya, bukan
yang menyanjungnya secara konseptual tapi
sekedar bertujuan untuk mengkontrol kaum
melecehkan secara operasional.
perempuan dalam adat tetapi juga punya
tujuan
politis,
yakni
untuk
mendorong
legitimasi rezim berkuasa. Bundo Kanduang
seolah
dibuat
keseluruhan
menjadi
perempuan
representasi
Transformasi
Politik
dan
Kelembagaan:
Nagari Pariangan di Masa Reformasi
Gambar 1. Transformasi Politik Nagari
Minangkabau,
ketuanya adalah pengurus dan anggota DPRD
Fraksi Golkar (Yusril, 2000).
Melemahnya peranan tokoh adat asli
Minangkabau untuk mengkontrol masyarakat
adat akibat desanisasi pada masa Orde Baru,
dibuktikan dengan terpinggirkan nya peranan
Ninik mamak sebagai keterwakilan adat oleh
Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN) yang
merupakan
berkuasa
organisasi
masa
bentukan
itu,
dengan
demikian
demokrasi adat yang seharusnya diperankan
oleh
Ninik
mamak
menjadi
kehilangan
peranannya (Yasril, 2007). Kontrol adat yang
seharusnya dilakukan oleh masyarakat adat
asli Minangkabau, diambil alih oleh Negara.
Orde Baru mencoba menselaraskan seluruh
lembaga-lembaga adat agar sesuai dengan
kepentingan rezim, penetrasi yang dilakukan
oleh Orde Baru dengan kebijakan UU No.
5/1979 tersebut telah membuat nilai adat
Minangkabau
bergeser
dan
kehilangan
legitimasi dalam masyarakat, nilai adat yang
asli mulai berubah penetrasi Orde Baru
membuat filosofi egalitarianisme yang selama
ini
dianggap
sebagai
dasar
Proses
rezim
kebudayaan
Minangkabau tidak terimplementasikan secara
utuh (Zuhro, 2009), ada yang melecehkan
transformasi
kelembagaan
menjadi sangat mungkin sering terjadi di
negara dunia ketiga yang pluralitas dan
multikulturalitasnya sangat tinggi. Antara
negara dan daerah harus selalu melakukan
sinkronisasi untuk mendapatkan posisi yang
legitimate
sebagai
kelembagaan
politik.
Setelah runtuhnya rezim sentralistik Orde
Baru, terdapat dua model struktur yang telah
berlaku yaitu berdasarkan Perda Provinsi
Sumatera Barat No. 9/2000 Juncto UU
No.22/1999 dan struktur yang berdasarkan
Perda
No.
2/2007
Juncto
No.32/2004.
Keduanya lahir karena spirit budaya dan
menonjolkan
identitas
identitas
keminangkabauan,
keminangkabauan
itu
secara
substantif menegakkan identitas adat dengan
memperkuat peranan Ninik mamak yang
sudah hancur dan mengembangkan identitas
falsafah adat basandi syarak dan syarak
238
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 227-245
basandi kitabullah (Yasril, 2007). Namun dua
oleh kelembagaan dinas masih terus terjadi.
semangat yang substantif itu tidak juga
Akibatnya
tercermin dalam struktur yang dilahirkan,
kehilangan kemurnian adat-istiadat Minang
peranan Ninik mamak masih termarjinalkan
yang tergeser oleh corak-corak pemerintahan
seperti periode Orde Baru begitu juga falsafah
nasional. Selain itu, ninik mamak sebagai
adat yang didengungkan.
keterwakilan
Studi ini mengambil lokasi di Nagari
Nagari
Pariangan
suku
di
hari
Nagari
ini
Pariangan
dewasa ini berkecenderungan dikendalikan
Pariangan Kabupaten Tanah Datar, menurut
dan
tambo
Minangkabau
dinas.Sehingga,
asal
orang
Pariangan sekarang hanya dipahami sebagai
Minangkabau dan tempat lahirnya adat-
proses ‘perayaan’ bukan lagi adat sebagai
istiadat Minang (Biezeveld, 2010). Nagari
kontrol sosial-etika masyarakat Minangkabau
Pariangan sebagai Nagari tertua saat ini
akibat
menghadapi kondisi dilematis, pengakuan
kewenangan lembaga adat. Bahkan dalam
kembali
pemerintahan
beberapa keadaan, Nagari Pariangan menjadi
terendah ternyata tidak berdampak apa-apa
kendaraan politik elit lokal untuk mencapai
terhadap
kepentingan politik dan ekonomi berskala
sejarah
Pariangan
tradisional
adalah
Nagari
Nagari
sebagai
kelembagaan
adat
di
Nagari
Pariangan. Setelah mengalami perubahan,
dilemahkan
oleh
fungsi
penetrasi
kelembagaan
adat
Negara
di
dan
Nagari
disfungsi
Nasional
Nagari Pariangan harus mencari bentuknya
Keputusan
dalam memastikan aturan dan menyelesaikan
menghilangkan
persoalan-persoalan
lokal yang berkaitan
yang dibentuk pada rezim Orde Baru,
dengan kesejahteraan umum masyarakat adat.
dampaknya terjadi dualisme kelembagaan
Ketika
politik
nagari yakni, Wali Nagari sebagai pemimpin
merangsek dan menguat, dan sisi lain Negara
administrasi dan KAN sebagai pemimpin dan
semakin mendapatkan legitimasinya sebagai
keterwakilan adat Minangkabau.
kelembagaan politik yang ada di atas Nagari,
pengakuan
kelembagaan-kelembagaan
Campur tangan pemerintah ke dalam
urusan Nagari terus berlanjut melalui Perda
Nagari sebagai konsekuensi dari penerimaan
No. 9/2000 dan selanjutnya direvisi dengan
adat
Perda No. 2/2007 justru memarginalkan
lokalitas
terhadap
tidak
keberadaan
dan
Negara
saja,
ke
Nagari
ekonomi
prosedural
kembali
kembali sebagai institusi politik yang kuat
kepentingan
hanya
peraturan
yang diemban
oleh
semangat desentralisasi tidak memberikan
fungsi
posisi yang legitimated secara politik terhadap
realitanya, Perda ini lebih banyak memberi
Nagari Pariangan.
penekanan
Pengaturan
bahkan
pelemahan
terhadap kelembagaan adat yang dilakukan
adat
dalam
pada
pemerintahan
masyarakat.
Dalam
penyelenggaraan
terendah
tidak
fungsi
mengatur
penyelenggaraan nagari secara hakikat, yaitu
239
Yayan Hidayat, dkk./ Transformasi dan Dualisme Kelembagaan dalam Pemerintah Adat...
melaksanakan nagari dari aspek sosio-budaya
cadiak pandai nagari pariangan kabupaten
dan geneologi. Dampak yang dirasakan justru
tanah datar, terungkap secara tidak langsung
kepada masyarakat, terutama ikatan sosial
bahwa mereka menghendaki pemerintahan
yang terjalin diantara masyarakat menjadi
kembali ke kelompok genealogis untuk
lemah, bahkan masyarakat sedikit sekali
memfungsikan kembali ninik mamak dan
memiliki
untuk
berpartisipasi
menghidupkan kembali adat basandi syarak,
dan
pemerintahan
syarak basandi kitabullah. Terdapat banyak
berdasarkan kesadaran. Padahal, bernagari
lembaga baru yang dibentuk, namun dengan
juga mencakup adanya keterlibatan secara
tugas dan fungsi yang tidak jelas. Sebagian
sadar anak kamanakan dan urang kampuang
besar
yang terlibat dalam penyelenggaraan nagari
sendirinya seperti lembaga Majelis Ulama
(Tamrin, 2015). Pendesaan nagari membuka
Nagari (MUNA), lembaga yang masih tetap
kran yang selama kolonialisme dan Orde
dipertahankan namun tidak berfungsi dengan
Lama tertutup dari campur tangan orang luar
baik
dan terbatas hanya bagi ninik mamak, alim
Masyarakat Nagari (LPMN), Parik Paga
ulama, dan cerdik pandai. Bagi masyarakat
Nagari (PPN) (Yasril, 2007). Adapun lembaga
nagari
transformasi
yang tugas dan fungsinya tumpang tindih
penyelenggaraan nagari sangat bergantung
adalah Bundo Kanduang dan PKK, kedua
pada aturan yang dibuat oleh pemerintah
lembaga ini diisi oleh orang-orang yang sama.
pusat. Diskersi dalam penyelenggaraan nagari
Karena banyaknya lembaga baru di nagari
tidak boleh keluar dari Undang-Undang yang
menimbulkan tumpang tindih peran diantara
sudah ditetapkan, karenanya desain kehidupan
lembaga-lembaga
bernagari
Kolopaking, & Pandjaitan, 2009).
dalam
kesadaran
proses
politik
era
di
reformasi,
Sumatera
Barat
sangat
bergantung sejauh mana ruang yang diatur
oleh
pemerintah
pusat
sejalan
lembaga
tersebut
yaitu
hilang
Lembaga
dengan
Pemberdayaan
tersebut
(Astuti,
Dualisme kelembagaan dalam nagari
dengan
serta banyaknya lembaga-lembaga baru yang
keinginan masyarakat nagari (lihat juga
muncul pasca orde baru di nagari saat ini pada
Yasril, 2007).
dasarnya adalah pengulangan peristiwa pada
Pada saat desa dihapuskan dan nagari
dihidupkan,
semestinya
lembaga
masa
desa.
menimbulkan
Transformasi
dilema
yang
tersebut
berpotensi
pemerintahannya juga ikut berubah, namun
memunculkan konflik di tengah masyarakat,
dalam kenyataannya tidak demikian. Lembaga
di
adat dan pemerintahan terpisah, ini bukanlah
mengintervensi nagari karena nagari harus
pemerintahan nagari yang pada dasarnya
menjalankan fungsi administrasinya, di sisi
merupakan kesatuan teritorial genealogis.
lain intervensi itu justru menjadi hambatan
Dari wawancara yang dilakukan kepada kaum
bagi
240
satu
sisi
pemerintah
harus
muncul/berkembangnya
tetap
institusi
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 227-245
tradisional yang mendesak untuk dibatalkan
lain intervensi itu justru menjadi hambatan
(von Benda-Beckmann F. , 1979). Dengann
bagi
demikian, proses pendesaan nagari adalah
tradisional yang mendesak untuk dibatalkan
politik Negara di daerah untuk mempermudah
(von Benda-Beckmann F. , 1979).
muncul/berkembangnya
institusi
control terhadap sumber daya dan actor lokal
Pada akhirnya, apa yang terjadi di
yang memiliki peranan dalam mengatur
Nagari Pariangan adalah ruang kontestasi
kebijakan nagari. Gesekan di tingkat lokal di
yang sesungguhnya antara negara dengan
Minangkabau lebih terlihat seperti respon
nagari. Kontestasi ini memunculkan aktor-
terhadap kondisi politik di tingkatan nasional,
aktor
semisal bagaimana masyarakat di nagari
kelembagaan
Pariangan tampak sangat antusias dengan
kepentingan kuat baik dalam mempertahankan
rencana diberlakukannya kembali adat nagari
adat maupun memperbarui bentuk nagari
yang bagi sebagian banyak mereka juga
melalui pendekatan yang mirip dilakukan oleh
berarti kembalinya originalitas hukum adat
negara, yaitu pembentukan nagari sebagai
dan maksimalisasi usaha penegakan syariat.
institusi
Antusiasme
dari
pluralitas hukum. Menariknya, proses yang
romantisisme belaka, tapi juga kepentingan
merupakan efek langsung dari desentralisasi
ekonomi politik yang mereka anggap sangat
ini ternyata tidak menyisakan apa-apa kecuali
mungkin apabila fungsi kelembagaan nagari
dualisme
dipulihkan dan keputusan-keputusan lokal
kelembagaan ini nyatanya bukan bentuk
bisa dikendalikan lagi oleh ninik mamak, alim
perpaduan antara hukum negara dengan
ulama dan cerdik pandai.
hukum nagari itu sendiri, tapi lebih terlihat
ini
muncul
bukan
baru
dalam
yang
politik
yang
berbagai
bentuk
sama-sama
punya
didasarkan
kelembagaan.
pada
Dualisme
seperti kebingungan menempatkan posisi adat
Dualisme Kelembagaan
dan posisi hukum negara.
Dualisme kelembagaan dalam nagari
Dari kebingungan status itu, sebagai
serta banyaknya lembaga-lembaga baru yang
efek langsung dari dualisme kelembagaan,
muncul pasca Orde Baru di nagari saat ini
Nagari Pariangan tampak seperti kesulitan
pada dasarnya adalah pengulangan peristiwa
mengelola kebijakan adatnya sendiri dan
pada masa ketika nagari masih berstatus
posisi ninik mamak, cerdik pandai, dan alim
sebagai
ulama
desa.
menimbulkan
Transformasi
dilema
yang
tersebut
berpotensi
hanya
Proses
di
contohnya,
sisi
pemerintah
harus
tetap
seperti
penghias
penghargaan negara terhadap adat nagari saja.
memunculkan konflik di tengah masyarakat,
satu
terlihat
penyelesaian
sengketa
cenderung
diserahkan
tanah,
ke
mengintervensi nagari karena nagari harus
pengadilan negeri jika tidak bisa diselesaikan
menjalankan fungsi administrasinya, di sisi
di
tingkat
nagari.
Syarat
keterwakilan
241
Yayan Hidayat, dkk./ Transformasi dan Dualisme Kelembagaan dalam Pemerintah Adat...
perempuan dalam sebuah desa, sebagaimana
Kesimpulan
yang disebutkan dalam UU Desa, tidak bisa
dipenuhi
dalam
Nagari
dalam statusnya sebagai kelembagaan politik
Pariangan
matrilinial
dalam soal
adat karena posisinya tidak menjelaskan
pembagian warisan. Status pemimpin adat
ketegasan di bawah struktur pemerintahan
menjadi tidak terlegitimasi dengan baik
pusat. Kontrol negara dan kolonialisme,
sebagai pemimpin karena adanya pemimpin
dalam
dinas
nagari, memainkan peranan penting dalam
desa
nagari
yang
karena
Nagari Pariangan cenderung kabur
hanya
lebih
dekat
dengan
sejarah
transformasi
pemerintahan pusat. Kepala desa dinas ini
legitimasi
berfungsi sebagaimana kepala desa di daerah
masyarakat adat dan mandat pemerintah, baik
lainnya sesuai aturan yang tertera dalam UU
pemerintah kolonial pada masa penjajahan
Desa.
atau pun Republik Indonesia setelah merdeka.
Namun
dalam
praktiknya,
kekuasaan
dipercayakan
kepemimpinan kepala desa dinas bertabrakan
Pasca
secara politik dengan pemimpin adat.
Pariangan sebagai institusi politik justruk
Dualisme
kelembagaan
nagari
di
desentralisasi,
yang
kelembagaan
kehilangan
legitimasi
keberadaan
politisnya
Nagari
untuk
Pariangan tampak seperti hasil perebutan
digerakkan oleh masyarakat sendiri. Bahkan
pengaruh yang tak sehat antara negara dengan
dalam beberapa keadaan, Nagari Pariangan
adat. Dalam praktiknya, mempertahankan adat
menjadi kendaraan politik elit lokal untuk
untuk
mencapai kepentingan politik dan ekonomi
menjalankan
pemerintahan
nagari
dalam bingkai keinginan negara tidaklah
berskala nasional.
efektif sebagaimana dibayangkan oleh orang-
Setelah mengalami perubahan berupa
orang di pusat. Desentralisasi yang diterima
bentuk kelembagaan desa, Nagari Pariangan
nagari tidak sepenuhnya ada karena pada
harus mencari bentuknya kembali sebagai
kenyataannya nagari tetap didikte langkahnya
institusi politik yang kuat dalam memastikan
bahkan
melalui
aturan dan menyelesaikan persoalan-persoalan
keberadaan undang-undang yang berkaitan
lokal yang berkaitan dengan kesejahteraan
dengannya seperti undang-undang desa. UU
umum masyarakat adat. Ketika kepentingan
Desa dan undang-undang yang mengatur
ekonomi politik merangsek dan menguat, dan
bagaimana
dipertahankan
di sisi lain Negara semakin mendapatkan
muncul sebagai upaya bagaimana negara tetap
legitimasinya sebagai kelembagaan politik
melakukan
terhadap
yang ada di atas nagari, Nagari Pariangan
keberlangsungan adat. Fenomena-fenomena
terkategorikan sebagai kelembagaan adat dan
ini
kebutuhan
justru melemahkan kelembagaan nagari itu
bersifat
sendiri sebagai struktur yang independen
direduksi
lokalitas
gerak
mencerminkan
nagari
fungsinya
terhadap
tetap
penetratif
bagaimana
negara
tidak
keseluruhan agar dualitas tidak terjadi.
242
dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya.
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 227-245
Pengakuan negara terhadap keberadaan nagari
Daftar Pustaka
sebagai konsekuensi dari penerimaan adat dan
Astuti, N. B., & Kolopaking, L. M. (2009).
lokalitas
yang
diemban
oleh
semangat
Dilema Dalam Transformasi Desa
desentralisasi tidak memberikan posisi yang
Ke
legitimated secara politik terhadap Nagari
Kenagarian IV Koto Palembayan,
Pariangan.
Provinsi Sumatera Barat. Sodality:
Desentralisasi
telah
menyediakan
kesempatan selebar mungkin pada pemerintah
provinsi
dan
Kasus
di
Jurnal Sosiologi Pedesaan, 3 (2).
Benda-Beckmann,
F.,
&
von
Benda-
Beckmann, K. (2012). Identity in
melakukan pengaturan terhadap kebijakan
dispute: law, religion, and identity in
mereka sendiri berdasarkan pada adat dan
Minangkabau.
nilai-nilai lokal, tetapi penetrasi pemerintah
13(4),
pusat
(2010).
memegang
lokal
Studi
untuk
masih
pemerintah
Nagari:
peranan
besar,
Asian
Ethnicity,
341-358.Biezeveld,
Ragam Peran
R.
Adat
di
sedangkan di satu sisi masyarakat adat yang
Sumatra Barat. In J. S. Davidson, D.
bersangkutan kurang memberikan perhatian
Henley, & S. Moniaga, Adat Dalam
pada efek-efek buruk yang muncul setelahnya.
Politik Indonesia (pp. 221-244).
Masyarakat adat lokal merasa bahwa banyak
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
kepentingan mereka tidak bisa dipenuhi oleh
pemerintah
dan,
dengan
De Jong, P.D.J., 2012. Minangkabau and
demikian,
Negri
Sembilan:
socio-political
desentralisasi tidak memberikan dampak apa-
structure in Indonesia. Springer
apa dalam kelangsungannya. Meski demikian,
Science & Business Media.
di sisi yang lain, Negara menekan masyarakat
Hadler, J., 2010. Sengketa Tiada Putus:
dengan kepentingan ekonomi dan politik
Matriarkat, Reformisme Agama, dan
berskala
Kolonialisme
besar
yang
membahayakan
lingkungan hidup mereka sendiri. Efek buruk
dari dualism kelembagaan ini terjadi ketika
di
Minangkabau.
Freedom Press.
Isra,
S.
(2014).
Political
and
Legal
masyarakat dan organisasi adat yang mereka
Transformations of an Indonesian
gerakkan berhadapan secara langsung dalam
Polity:
kontestasi kekuasaan di mana pluralitas
Colonization to Decentralization.
hukum dan fungsi politik mengaburkan
batasan-batasan
tugas,
kewajiban,
kepentingan antara nagari dan Negara
dan
The
Nagari
from
Davidson, J. S., Henley, D., & Moniaga, S.
(Eds.). (2010). Adat dalam Politik
Indonesia. Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Kahn, J. S. (1980). Minangkabau social
formations. Indonesian peasants and
243
Yayan Hidayat, dkk./ Transformasi dan Dualisme Kelembagaan dalam Pemerintah Adat...
the
world-economy.
Cambridge
One is Changing All: dynamics in
University Press..
the adat-Islam-state triangle. The
Migdal, J. S. (2001). State in society:
Journal of Legal Pluralism and
Studying how states and societies
Unofficial Law, 38(53-54), 239-270.
transform
and
another.
constitute
Cambridge
one
University
Press.
von
Benda-Beckmann,
F.,
&
Benda-
Beckmann, K. V. (2013). Political
and legal transformations of an
Tamrin, A. &. (2015). Prospek Nagari Adat
Indonesian polity: the Nagari from
Dalam Rezim UU Desa Di Sumatera
colonisation
Barat
Cambridge studies in law and
Terhadap
Pembangunan
Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN.
Jurnal
Ilmu
Politik
FISIP
Universitas Andalas, 4.
to
decentralisation.
society Show all parts in this series.
von Benda-Beckmann, K. V., & von BendaBeckmann, F. (1978). Residence in
Tegnan, H. (2015). Legal pluralism and land
Minangkabau
Nagari.
Indonesia
administration in West Sumatra: the
Circle. School of Oriental and
implementation of the regulations of
African Studies, 6 (15), 6-17.
both local and nagari governments
Yasril, Y. (2007). Model Pemerintahan Nagari
on communal land tenure. The
Yang Partisipatif dalam Masyarakat
Journal of Legal Pluralism and
Minangkabau. DEMOKRASI, 214.
Unofficial Law, 47(2), 312-323.
Yusril, Y. (2000). Pemerintahan Nagari di Era
Vel, J. A. C., & Bedner, A. W. (2015).
Decentralisation
and
village
Orde
Baru:
Pemerintah
Persepsi
dan
Aparatur
Masyarakat
governance in Indonesia: the return
Terhadap Pemerintahan Nagari dan
to the nagari and the 2014 Village
Otoritas Tradisional Minangkabau
Law. The Journal of Legal Pluralism
Dalam Kaitannya Dengan Prospek
and Unofficial Law, 47(3), 493-507.
Otonomi Daerah di Sumatera Barat.
von Benda-Beckmann, F. (2013). Property in
Program Pasca Sarjana Universitas
social continuity: Continuity and
change
in
the
maintenance
of
Zed, M., Utama, E., & Chaniago, H. (1998).
property relationships through time
Sumatera Barat di Panggung Sejarah
in Minangkabau, West Sumatra
1945-1995. Jakarta: Pustaka Sinar
(Vol. 86). Springer Science &
Harapan.
Business Media.
von
Benda-Beckmannn,
Zuhro, R. S. (2009). Demokrasi Lokal:
F.,
&
Benda-
Beckmannn, K. V. (2006). Changing
244
Brawijaya Malang, 2.
Perubahan
dan
Kesinambungan
(Nilai-Nilai Budaya Politik Lokal di
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 227-245
Jawa
Timur,
Sulawesi
Sumatera
Selatan
dan
Barat,
Bali).
Yogyakarta: Ombak.
245
Download