AGAMA, PEMUDA, DAN TANTANGAN GLOBAL: KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MEMBANGUN KEHIDUPAN YANG BERWAWASAN MULTIKULTURAL Oleh: Menteri Agama RI Pendahuluan Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Suku bangsa tertentu biasanya menjadi penduduk yang dominan di wilayah tertentu di tanah air. Budaya dan adat istiadat suku bangsa tersebut mewarnai kehidupan di wilayah itu. Akan tetapi, sebagian wilayah di Indonesia, terutama kota besar, dihuni oleh penduduk dari berbagai macam suku baugsa. Penyebaran suku bangsa ini semakin meningkat karena didukung oleh sarana transportasi dan komunikasi yang semakin lancar antara satu daerah dengan daerah lainnya di Indonesia. Penduduk dari satu daerah dengan mudah dapat berpindah ke daerah lainnya, sehingga pertemuan dan kerja sama antar suku bangsa semakin meningkat. Banyak wilayah yang semula didiami oleh suku bangsa tertentu saja bergeser menjadi wilayah yang didiami oleh multi etnik dan kultur. Selain dari segi suku bangsa atau etnik, masyarakat Indonesia memperlihatkan pula kemajemukan dari segi agama. Bagian terbesar dari penduduk Indonesia memeluk agama Islam. Di samping itu, terdapat pula penganut agama lain, yakni Kristen; Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu. Di sejumlah daerah, penduduk dari etnik tertentu menganut agama yang sama, sehingga agama menjadi salah satu unsur utama yang mewarnai budaya suku bangsa tersebut. Dengan kata lain, agama menjadi bagian dari identitas kultural sejumlah suku bangsa di Indonesia. Kemajemukan atau pluralitas dalam masyarakat Indonesia sudah disadari oleh para pemimpin bangsa yang mengantar lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang tertera pada lambang negara RI merupakan salah satu bukti nyata mengenai kesadaran itu. Para pemimpin bangsa Indonesia pada masa lampau menyadari bahwa perbedaan suku bangsa, budaya, agama, dan aspirasi politik di kalangan penduduk Indonesia yang tersebar pada belasan ribu pulau bukanlah penghalang bagi keluarga besar bangsa ini untuk hidup berdampingan secara damai. Mereka menyadari pluralitas sebagai bagian dari kekayaan bangsa Indonesia yang perlu dikelola dengan baik sehingga menjadi anugerah. Cara Pandang yang Positif terhadap Pluralitas Bangsa Indonesia mempunyai pandangan yang positif terhadap keragaman suku bangsa dan budaya. Umat Islam di Indonesia sebagai bagain dari bangsa ini juga memiliki cara pandang seperti. Hal itu sesuai dengan ajaran Islam yang mengakui realitas semacam itu. Allah SWT. berfirman di dalam Al-Qur'an yang artinya: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS alHujurat/49:13). Ayat ini secara tegas mengakui keragaman bangsa dan suku bangsa di antara manusia. Ini mengandung arti bahwa perbedaan bangsa dan suku bangsa tidak semestinya dijadikan sebagai alasan untuk saling memusuhi, melainkan agar saling memahami. Pemahaman akan melahirkan sikap saling menghargai. Selain itu, perbedaan itu tidak mempengaruhi derajat manusia dalam pandangan Tuhan Yang Maha Pencipta, sehingga hubungan di antara individu atau kelmpok yang berbeda asal usulnya semestinya dibangun di atas dasar kesetaraan. Pengakuan Al-Qur'an terhadap perbedaan keyakinan keagamaan dianyatakan antara lain pada ayat berirkut. Allah berfirman yang artinya: "... Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kamu kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu." (QS alMaidah/5:48). Al-Qur'an mempersilahkan kepada setiap individu untuk memilih keyakinan keagamaan atas dasar kesadarannya sendiri. Tak ada satu pihak pun yang berhak memaksa seseorang untuk memilih keyakinan keagamaan. Dengan prinsip itu, setiap individu dimintai pertanggungjawaban terhadap pilihaannya itu. Konsekuensi dari prinsip itu akan melahirkan keragaman agama di antara umat manusia. Keragaman adalah bagian dari sunatullah (natural laws) dalam ciptaan-Nya. Keragaman suku bangsa, bahasa, budaya, dan agama di antara manusia adalah bagian dari sunatullah. Keragaman itu terjadi atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Di balik keragaman tersebut terdapat banyak hikmah yang perlu dipahami dan diambil manfaatnya oleh manusia. Dengan kata lain, kita perlu mengembangkan cara pandang yang positif di dalam melihat perbedaan dan kita perlu memadukan keragaman itu sebagai kekuatan dalam mewujudkan hal-hal yang positif dan konstruktif. Agama, sebagaimana yang diyakini pemeluknya, mengajarkan hal-hal yang baik. Agama mempunyai tujuan untuk kemaslahatan manusia. Dengan demikian, tugas para tokoh dan penganjur agama adalah menyampaikan ajaran agama tersebut dan menjelaskan kepada pemeluknya dengan sebaik-baiknya. Pemahaman umat terhadap ajaran agamanya dengan baik akan mengantar mereka pada kedamaian, keluhuran budi pekerti, dan kearifan. Orang-orang yang memiliki pengetahuan yang luas dan dalam tentang ajaran agamanya akan bersikap bijak, luwes, moderat, dan toleran. Sehubungan dengan hal itu, penganjur agama diharapkan senantiasa berupaya meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan agama di kalangan warganya, terutama pada lapisan bawah. Masyarakat pada tingkat grassroot (akar rumput) yang tidak dibina dengan mantap dapat mudah dihasut dan diprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungj awab. Kebijakan Pemerintah Menyadari keragaman itu maka kebijakan pemerintah mengenai hal ini berdimensi dua, yaitu: pertama, memberdayakan masyarakat untuk mengelola sendiri masalah-masalah mereka dalam bidang kerukunan umat beragama; dan kedua, memberikan rambu-rambu bagaimana sebaiknya perbedaan-perbedaan kepentingan warga Negara Indonesia yang kebetulan menganut agama yang berbeda itu dikelola, disalurkan, dan dilayani. Adanya UU No.1 PNPS 1965 yo UU No. 5 Tahun 1969 tentang penyalah gunaan atau penodaan agama adalah bagian dari upaya membangun rambu-rambu bagi kerukunan antar umat beragama. Pada tanggal 21 Maret 2006 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 ditandatangani ini kedua menteri. Peraturan bersama ini mengatur tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat. Peraturan bersama ini merupakan revisi dan penyempurnaan dari Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 01/BER/MDNMAG/ 1969. Peraturan bersama dua. menteri yang baru ditandatangani itu telah melewati serangkaian pembahasan yang melibatkan wakil dari lima majelis agama tingkat pusat, yakni Mejelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia, Parisadha Hindu Dharma (PHDI), dan Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI). Mekanisme untuk melahirkan keputusan bersama seperti disebutkan di atas menunjukkan bahwa Pemerintah berupaya membuat peraturan yang menyangkut kehidupan beragama dengan memperhatikan kepentingan dan aspirasi semua kelompok keagamaan di Indonesia. Mekanisme itu juga menujukkan bahwa pemerintah memandang penting agar musyawarah dan dialog dikedepankan dalam menjembatani perbedaan pendapat dan aspirasi di antara kelompok keagamaan. Mekanisme seperti ini dipandang penting agar masalah-masalah yang timbul di antara kelompok masyarakat yang kebetulan berbeda agama ataupun etnik terhindar dari cara-cara penyelesaian yang mengedepankan kekerasan. Penutup Perkembangan global menghadapkan kita pada berbagai tantangan. Di antaranya adalah penyebaran informasi melalui media massa yang berjalan dengan cepat. Informasi dan sajian yang positif akan membawa dampak yang positif pula. Sebaliknya, informasi, tanyangan dan isu yang negatif dengan mudah dapat pula menyebar secara luas. Dalam kaitan ini, kita mengharapkan agar masyarakat kita memiliki ketahanan budaya sehingga tidak mudah terbawa arus pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh informasi dan tayangan yang berseberangan dengan nilainilai dan norma-norma yang dijunjung tinggi oleh bangsa kita. Perhatian ke arah ini perlu mendapatkan perhatian kita semuanya sebab budaya yang bersumber dari negra-negara yang lebih maju di bidang teknologi komunikasi dan informasi akan lebih dominan ketika bersentuhan dengan budaya masyarakat atau bangsa yang lebih lemah dalam bidang itu. Melalui pengembangan kehidupan yang berwawasan multikultural diharapkan agar bangsa kita yang majemuk ini dapat memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam suasana yang demikian itu, berbagai komponen bangsa ini memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang ke arah yang selaras dengan falsafah hidup bangsa, yakni Pancasila. Jakarta, 10 Juli 2006 Menteri Agama RI, ttd Muhammad M. Basyuni