1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kompleks

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kompleks Universitas Gadjah Mada (UGM) dan sekitarnya dari tahun ke
tahun mengalami perkembangan lingkungan fisik yang pesat. Beberapa
perkembangan yang dapat diamati antara lain yaitu: peningkatan pemakaian
kendaraan bermotor di lingkungan kampus dan sekitarnya, pembangunan fasilitas
umum (masjid, bank, toko swalayan, medical centre, lapangan olahraga, tempat
parkir, dan lain-lain) serta pembangunan gedung di beberapa fakultas sebagai
sarana pendukung perkuliahan. Pertambahan jumlah mahasiswa UGM setiap
tahun ajaran baru (dapat dilihat pada Tabel 1.1) dan kebutuhan terhadap ruang
belajar yang representatif tentunya menjadi salah satu alasan perlunya
penambahan fasilitas pendidikan tersebut. Hasilnya, beberapa lahan bervegetasi
dan tanah terbuka di kompleks UGM dikonversi menjadi lokasi bangunan
gedung-gedung baru.
Tabel 1.1 Jumlah mahasiswa baru UGM tahun 1997 – 2001
No. Tahun Diploma
Masuk Lk
Pr
Ekstensi Strata 1
Strata 2
Strata 3
Lk
Pr
Lk
Lk Pr
Pr
Lk
Pr
Jumlah
1. 1997
1015
636 294 124 2576
2261
758 438 57 13
10170
2. 1998
1005
694 312 216 2878
2301
1094 524 30 15
11069
3. 1999
1477
881 471 330 2790
2168
1059 681 52 18
11929
4. 2000
1547
1114 812 452 2462
2172
1293 705 60 26
12647
5. 2001
1783
1364 1100 624 2217
2108
1747 1128 58 26
14161
Sumber: UGM dalam angka, 2001
1
Secara administratif, kompleks UGM berada di Kabupaten Sleman dan
berbatasan langsung dengan Kotamadya Yogyakarta. Aktivitas sosial-ekonomi
perkotaan yang berlangsung di dua wilayah administratif tak luput memberikan
kontribusi terhadap perubahan penggunaan lahan. Daerah permukiman penduduk
di sekitar kompleks UGM telah dipadati oleh bangunan rumah kost mahasiswa
maupun tempat perdagangan dan usaha jasa lainnya. Sejumlah vegetasi di lahan
sekitar permukiman penduduk menjadi berkurang akibat perubahan penggunaan
lahan tersebut. Kemudian pemakaian kendaraan bermotor (mobil dan motor roda
dua) berbahan bakar fosil di lingkungan kompleks UGM dan sekitarnya selalu
mengalami peningkatan dalam beberapa kurun waktu terakhir. Sebagai contoh
pada tahun 2002, jumlah dan jenis kendaraan yang melewati kompleks
Universitas Gadjah Mada dapat dilihat pada Tabel 1.2. Di sisi lain jumlah
kendaraan bermotor yang makin banyak jelas membutuhkan fasilitas berupa
tempat parkir. Alhasil terjadilah perubahan penggunaan lahan berupa perluasan
maupun pembangunan lahan parkir baru.
Tabel 1.2 Jumlah dan jenis kendaraan yang melewati perempatan Depok pada pukul 10.00 WIB,
21 November 2002
No
Jenis Kendaraan
Jumlah per jam
Persentase
1.
Sepeda motor
2916
69,03 %
2.
Mobil
952
22,54 %
3.
Bus
356
8,43 %
Jumlah
4224
100 %
Sumber: Rahman, 2003
Disadari atau tidak, kegiatan manusia yang melibatkan perubahan lahan
dapat mempengaruhi keseimbangan ekosistem disekitarnya. Contoh konkrit,
peruntukan lahan pertanian (sawah dan ladang) yang dikonversi menjadi areal
permukiman atau industri akan membawa dampak terhadap perubahan iklim
lokal. Air hujan yang semula lebih mudah berinfiltrasi melalui sawah, ladang,
tanah terbuka, atau lahan bervegetasi menjadi tidak dapat terserap ke dalam tanah
2
yang telah ditutup oleh lapisan semen, aspal atau material kedap air lainnya. Suhu
udara dipastikan pula mengalami peningkatan pada jam-jam tertentu karena
adanya perubahan radiasi matahari pada siang hari, gedung-gedung tinggi yang
telah dibangun oleh manusia bisa menghalangi pergerakan angin serta menjebak
panas yang berasal dari radiasi matahari.
Perubahan penggunaan lahan akan membawa dampak terhadap unsur–
unsur iklim maupun cuaca yang ada di daerah bersangkutan. Salah satu
dampaknya adalah perubahan terhadap besarnya imbangan radiasi dan energi
yang ada. Dampak yang paling dirasakan manusia dengan perubahan imbangan
radiasi dan energi adalah berubahnya temperatur udara (Nurjani, 2002)
Neiburger (1995) menyebutkan tiga cara kegiatan manusia mengubah
keadaan atmosfer yaitu: (1) mengubah sifat permukaan bumi; (2) menambahkan
energi ke dalam atmosfer dari sumber buatan dan (3) menambahkan zat bahan ke
dalamnya. Perubahan permukaan bumi mempengaruhi cara sinar matahari diserap
dan dipancarkan kembali ke atmosfer, dan mengubah tahanan gesek terhadap
angin. Selain itu perubahan tersebut juga mempengaruhi penguapan air dan
penghantaran bahang, dan dengan demikian mengubah kelembapan dan suhu.
Rozari dalam Sudibyakto (1993) menyatakan bahwa dampak fisik dari
pembangunan pada perubahan lingkungan atmosfer (cuaca) kota merupakan
hubungan sebab-akibat. Dikatakan bahwa struktur suhu atmosfer bagian bawah
sebuah kota sangat berbeda dengan struktur alamiah daerah sekelilingnya, Hal ini
disebabkan, kota mempunyai sumber bahang (heat) tambahan yang berasal dari
kebutuhan serta aktivitas manusia kota, dengan jumlah sebanding dengan jumlah
penduduk kota bersangkutan.
Secara umum kenaikan suhu terjadi karena emisi dari matahari yang
sampai di permukaan bumi langsung diterima oleh muka bumi, kurang atau tanpa
adanya penyerap sinar yang lain. Fenomena ini biasa terjadi pada kondisi lahan
yang pada awalnya penggunaan lahan/liputan lahan memiliki potensi sebagai
pengendali bahang terasa (sensible heat) alami, menjadi kurang berpotensi atau
bahkan tidak berpotensi. Contoh nyata adalah daerah hutan yang berubah menjadi
daerah perkotaan. Daerah hutan memiliki banyak vegetasi yang mengurangi
3
pantulan cahaya sebagai bagian dari spektrum radiasi baik sinar langsung maupun
sinar yang dipantulkan oleh obyek lain di sekitar vegetasi. Vegetasi juga memiliki
kemampuan menyerap CO2 yang terkandung di atmosfer, sehingga dapat
mengurangi efek rumah kaca. Sebaliknya daerah perkotaan yang padat dan
terbuka cenderung langsung menerima bahang pada permukaan sehingga
meningkatkan suhu permukaan dan udara. Peningkatan suhu udara akan
mengurangi tingkat kenyamanan penduduk kota dalam melaksanakan segala
kegiatannya (Widyatmanti, 1998).
Pulau bahang adalah suatu fenomena suhu udara kota yang disebabkan
oleh kepadatan bangunan yang lebih tinggi daripada daerah terbuka disekitarnya
(pinggir kota maupun pedesaan). Pulau bahang mempunyai sejumlah implikasi
baik positif maupun negatif pada lingkungan biologi, ekonomi, dan meteorologi
(Oke, 1992). Dari segi ekonomi, pulau bahang menguntungkan dalam upaya
mengurangi kebutuhan pemanasan ruang pada musim dingin. Tetapi adanya pulau
bahang menyebabkan permintaan air conditioner meningkat pada musim
kemarau, dan mempengaruhi proses pelapukan kimia dari material-material
bangunan. Selain itu, kepadatan bangunan yang tinggi biasanya diikuti dengan
tingginya tingkat aktivitas manusia baik di luar maupun di dalam bangunan.
Aktivitas manusia yang diwujudkan dalam penggunaan sarana/prasarana yang
menghasilkan
bahang,
menyebabkan
meningkatnya
suhu
udara
tempat
beraktivitas atau dengan kata lain antropogenic heat yang dihasilkan tinggi.
Perubahan-perubahan dan fenomena yang disebutkan di atas juga merupakan
faktor terjadinya perubahan iklim mikro di suatu wilayah, selain aspek hidrologi
dan aerodinamik kota, serta permukaan alami.
Berawal dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian tentang perbedaan distribusi energi perkotaan
dan sekitarnya yang memicu terjadinya pulau panas atau bahang (heat island).
Judul penelitian yang diajukan oleh penulis adalah “Studi Pulau Bahang (Heat
Island) di Kompleks Universitas Gadjah Mada”
4
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat diasumsikan bahwa perkembangan
perubahan penggunaan lahan serta fenomena aktivitas sosial-ekonomi manusia di
kompleks Universitas Gadjah Mada dan sekitarnya akan dapat mempengaruhi
perubahan iklim mikro di daerah tersebut.
Maka dalam penelitian ini perlu dirumuskan dua permasalahan yang
dikaji, yaitu :
1. Apakah pulau bahang (heat island) terjadi di daerah penelitian ?
2. Bagaimana bentuk pulau bahang (heat island) yang terjadi di daerah
penelitian?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengkaji karakteristik pulau bahang (heat island) yang terjadi di daerah
penelitian.
2. Mengkaji sebaran suhu pulau bahang (heat island) di daerah penelitian.
1.4. Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian yang ingin dicapai adalah : Mengetahui perkembangan
iklim mikro di kawasan perkotaan berdasarkan perubahan penggunaan lahan dan
penutup lahan dalam jangka waktu tertentu.. Adapun area spesifik yang diteliti
oleh penulis berupa kawasan pendidikan yakni kompleks Universitas Gadjah
Mada.
5
1.5. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini antara lain adalah :
1. Dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu Klimatologi Kota
khususnya dalam melakukan pengamatan kondisi pulau bahang di perkotaan.
2. Dapat dimanfaatkan sebagai salah satu referensi dalam perencanaan
penggunaan lahan yang berwawasan lingkungan dengan memperhatikan
perubahan iklim mikro kota khususnya di kompleks Universitas Gadjah Mada
dan sekitarnya.
1.6. Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya
1.6.1. Telaah Pustaka
1.6.1.1. Perkembangan Kota
Wilayah perkotaan terbentuk jika terdapat perubahan lahan tumbuhtumbuhan (vegetasi) digantikan oleh aspal dan beton untuk jalan, bangunan, dan
struktur lain yang diperlukan untuk mengakomodasi pertumbuhan populasi
manusia (Khomarudin, et al, 2004). Perubahan penggunaaan lahan akan dipicu
oleh adanya pertumbuhan jumlah penduduk yang membutuhkan akan tempat
tinggal. Pertumbuhan penduduk di wilayah perkotaan relatif lebih cepat
dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk di wilayah pedesaan. Hal ini
mengungkapkan bahwa perubahan penggunaan lahan di wilayah perkotaan akan
lebih cepat dibandingkan dengan perubahan lahan di wilayah pedesaan.
Perubahan lahan khususnya pemukiman di wilayah perkotaan juga dipengaruhi
oleh jarak dari suatu obyek geografi, seperti pusat kota, wilayah industri, daerah
pendidikan, jalan utama dan lain sebagainya.
6
1.6.1.2. Skala Atmosfer di Kota
Menurut Oke (1992) terdapat dua skala pendekatan yang dapat digunakan
untuk mengkaji iklim kota, yaitu :
1. Urban Boundary Layer
Yaitu bagian atmosfer dengan skala lokal hingga meso, yang
karakteristiknya dipengaruhi oleh permukaan kota secara umum (gambar 1.1).
Secara fisik dapat digambarkan bahwa lapisan ini adalah rata-rata ketinggian
bangunan (atap) suatu kota hingga ke atas.
2. Urban Canopy Layer
Skala atmosfer ini menghasilkan skala mikro yang prosesnya dipengaruhi
oleh bangunan-bangunan yang ada dalam kota (gambar 1.1). Secara fisik, lapisan
ini adalah lapisan dari ketinggian bangunan (atap) hingga ke bawah.
(a)
(b)
Gambar 1.1 Skala atmosfer pada iklim kota yang diilustrasikan pada gambar (a) dan (b)
(Oke, 1992)
7
1.6.1.3. Karakteristik Iklim Kota
Karakteristik iklim kota pada dasarnya lebih spesifik meliputi radiasi
matahari, suhu, kelembapan, arah dan kecepatan angin, keawanan, dan
sebagainya.
1. Radiasi matahari
Sinar matahari merupakan sumber energi radiasi dan cahaya bagi
permukaan bumi dalam hal ini perkotaan. Energi matahari yang datang dan
sampai ke permukaan bumi disebut insolasi atau incoming solar radiation.
Sinar yang masuk tersebut berupa gelombang dengan panjang yang
bervariasi, yang sebagian diserap oleh atmosfer (sinar infra merah) dan
sebagian lagi sampai ke permukaan bumi dan dapat menghasilkan suatu efek
fotokimia tertentu (Wisnubroto, 1981). Sinar dari spektrum matahari yang
diserap atau dipancarkan oleh permukaan bumi, akhirnnya dirubah dari
gelombang pendek menjadi gelombang panjang yang dikenal dengan panas.
Panas yang dihasilkan merupakan bahan bakar untuk proses cuaca dan iklim.
Panas yang ditransfer baik secara vertikal maupun horisontal akan
menimbulkan variasi temperatur udara dan permukaan. Energi yang diterima
oleh permukaan sangat erat hubungannya dengan jenis material penutup
permukaan dan bentuk geometri kota. Permukaan perkotaan (urban surface
layer) akan memberikan keseimbangan energi dengan atmosfer diatasnya
sesuai dengan sifat radiatif dan termalnya serta kondisi aerodinamik kota
tersebut. Radiasi merupakan proses pemindahan energi dengan gelombang
elektromagnetik.
2. Suhu
Suhu udara merupakan parameter iklim yang sangat erat hubungannya
dengan kesetimbangan energi. Suhu udara juga merupakan ukuran yang
mewakli banyaknya energi radiasi matahari berupa panas yang dapat
dirasakan (sensible heat), yang berperan dalam pemanasan atmosfer. Faktorfaktor utama yang menentukan suhu udara di suatu tempat adalah insolasi dan
lintang geografi, tinggi tempat tersebut, jarak dari laut, kekuatan angin
(prevailing wind), arus laut, awan dan curah hujan, serta kondisi mikro
8
tempat tersebut (terlindungi atau tidak). Faktor terakhir umumnya berasosiasi
dengan suhu permukaan yang memberikan kontribusi panas terhadap suhu
udara. Nilai suhu udara umumnya merupakan hasil dari reaksi unsur iklim
lainnya. (Widyatmanti, 1998).
Antara kota dan daerah sekelilingnya menunjukkan perbedaan suhu,
meskipun kedua daerah ini terletak dalam satu wilayah dengan kesamaan data
meteorologi. Faktor fisik kota yang mempengaruhi perbedaan tersebut, yaitu
(Prawiro, 1988 dalam Handoko, 2003) :
a. Materi Kota
Materi kota dengan desa berbeda. Di desa, tanah masih banyak
yang terbuka dan ditumbuhi vegetasi, sedangkan di kota sudah banyak
bangunan yang terbuat dari batu, semen dan besi. Materi kota lebih
mudah menyerap panas, dan panas lebih mudah menjalar sampai ke
dalam, sehingga kapasitas thermalnya lebih besar.
b. Pembangkitan panas di dalam kota
Pembangkitan panas di kota ini dikarenakan adanya pembakaran,
baik dalam rumah tangga, kendaraan bermotor dan dari pabrik-pabrik.
Dengan demikian akan menghasilkan banyak energi panas.
c. Cepat perginya air hujan
Tanah di kota sebagian besar tertutup dengan materi kedap air,
yang berupa bangunan, genteng, logam dan aspal. Air hujan yang jatuh
terus mengalir di atas bangunan-bangunan dan lewat saluran-saluran
yang kedap air keluar dari kota. Air yang meresap ke dalam tanah hanya
sedikit dan cepat pergi, akibatnya penguapan air tidak banyak
berlangsung dan tidak banyak panas yang terhisap untuk penguapan.
d. Struktur Kota
Kota tersusun oleh bangunan-bangunan dengan berbagai macam
bentuk dan ketinggian. Dilihat dari kejauhan dari tempat yang lebih
tinggi, permukaan daerah kota sangat kasar sehingga sinar matahari yang
jatuh di kota, sebagian besar tidak terpantul embali ke atmosfer,
melainkan terjebak oleh adanya relief yang kasar tersebut.
9
e. Udara kota
Udara kota banyak mengalami pencemaran, yang berupa gas dan
partikel. Banyak proses pembakaran berlangsung, maka banyak pula gas
karbon dioksida yang dihasilkan, sehingga kadar gas tersebut relatif
tinggi. Salah satu sifat gas karbon dioksida adalah menyerap panas, baik
panas dari sinar matahari ataupun dari hasil pantulan di permukaan.
Partikel-partikel yang banyak dalam udara kota seperti debu, asap,
buangan pabrik, juga mempunyai sifat seperti karbon dioksida, yaitu
menyerap panas
Suhu harian memiliki fluktuasi karena adanya perbedaan antara
radiasi matahari yang diterima dan yang dipancarkan kembali oleh bumi.
Sejak matahari terbit sampai kira-kira satu atau dua jam setelah tengah hari
jumlah energi yang diterima oleh bumi lebih besar daripada yang hilang. Oleh
karena itu, kurva suhu terus menerus naik. Sebaliknya kira-kira jam 13.00
sampai matahari terbit jumlah energi yang dilepaskan oleh bumi lebih besar
daripada yang diterima (Wisnubroto, 1981).
3. Kelembapan Udara
Seperti halnya suhu udara, kelembapan udara memiliki hubungan
dengan keseimbangan energi. Perbedaannya, kelembapan udara merupakan
ukuran dari banyaknya energi radiasi yang berbentuk bahang laten, yang
berfungsi untuk menguapkan air yang terdapat di permukaan penerima
radiasi. Artinya semakin banyak air yang diuapkan semakin lembab udara dan
semakin banyak energi yang berbentuk panas laten (panas yang dilepaskan
atau diserap setiap satuan massa oleh suatu sistem dalam fase pertukaran
panas) (Widyatmanti, 1998).
Variasi kelembapan relatif umumnya berlawanan dengan suhu, yaitu
maksimum menjelang pagi dan minimum pada sore hari (Wisnubroto, 1981).
Sebagai contoh, pada pagi hari, ketika suhu mendekati minimumnya untuk
hari itu, kelembapan relatif dapat mendekati 100%. Tetapi mendekati sore
hari, ketika suhu udara lebih tinggi, kelembapan relatif akan menjadi lebih
rendah, mungkin hanya 40 – 50%, meskipun jumlah nyata uap air di dalam
10
udara tidak berubah (Trewartha, 1995).
4.
Arah dan kecepatan angin
Jumlah
bangunan
gedung
yang
meningkat
seiring
dengan
perkembangan kota serta perkerasan permukaan secara dominan seperti aspal,
paving di plasa, pelataran parkir dan lain-lain akan menyimpan dan melepas
panas juga mengurangi efek aliran dan pergerakan udara sehingga
mengurangi kecepatan angin. Selanjutnya proses pengangkutan panas dari
akumulasi panas perkotaan menjadi lambat. Berkurangnya kecepatan angin
mengakibatkan menurunnya laju pertukaran termodinamik antara lapisan
udara dengan menghasilkan pelindung
dari angin
yang secara prinsip
mengakibatkan suhu lebih tinggi di daerah yang terlindung baik siang
maupun malam hari. Pergerakan udara perkotaan yang umumnya menuju
pusat kota akan menjadi
panas dan lebih tercemar oleh polutan udara
(Widyatmanti, 1998).
5. Keawanan
Awan adalah kumpulan titik-titik air atau kristal es yang melayanglayang di atmosfer (Wisnubroto, 1981). Awan terjadi sebagai akibat adanya
kondensasi. Dengan adanya awan ini akan mempengaruhi variasi suhu harian.
Pada saat hari cerah, radiasi surya cepat memanaskan daratan dan tentunya
kemudian memanaskan udara di atasnya. Pada malam yang cerah terjadi pula
pelepasan radiasi yang kuat berasal dari bumi yang menyebabkan cepatnya
proses pendinginan. Tetapi ketika langit berawan sangat menurunkan radiasi
surya yang datang selama siang hari sehingga mengurangi pemanasannya,
sedangkan pendinginan pada malam hari pun menjadi terhambat (Trewartha,
1995).
11
1.6.1.4. Keseimbangan Energi
Neraca energi merupakan pertukaran atau keseimbangan energi dan massa
yang terjadi di permukaan bumi. Neraca energi dapat dilihat dalam jangka waktu
yang panjang (1 tahun), atau pun pendek. Dalam skala mikro keseimbangan
energi dilihat dalam jangka waktu pendek, karena suatu sistem akan bervariasi
dengan adanya akumulasi ataupun pengurangan yang terjadi dalam sistem skala
mikro. Adanya aliran energi baik di udara maupun pada permukaan tanah akan
menghasilkan respon dalam bentuk perubahan suhu.
Meskipun hanya dilakukan dalam skala mikro dibawah canopy layer,
pengendalian terhadap neraca energi masih sangat berguna bagi lingkungan fisik
perkotaan yang dibutuhkan untuk menunjang kenyamanan lingkungan perkotaan,
yang mana pencapaian distribusi energi skala meso akan dipercepat oleh plume
perkotaan yang relatif tebal dan berada di lapisan perbatasan (boundary layer).
Neraca energi perkotaan akan semakin membesar apabila di dalam lingkungan
fisik perkotaan tersebut juga terjadi pelepasan bahang antropogenik dari proses
pembakaran dan refrigasi.
Keseimbangan energi juga dipengaruhi oleh kemampuan karakteristik
lahan
dalam
menyerap,
memancarkan,
kapasitas
penyimpanan
maupun
meloloskan energi. Kemampuan setiap karakteristik lahan untuk melakukan reaksi
terhadap radiasi panas tersebut dinyatakan dalam albedo dan emisivitas. Albedo
berarti perbandingan antara radiasi yang dipantulkan dengan yang diterima,
sedangkan emisivitas adalah rasio antara total energi radiasi yang dipancarkan per
satuan waktu per satuan luas permukaan dengan jumlah yang diserap, dalam
kondisi yang sama (Widyatmanti, 1998).
Interaksi dari matahari, atmosfer dan radiasi terestrial di permukaan bumi
tanpa adanya faktor anthropogenik adalah suatu fenomena yang sangat kompleks.
Apalagi dengan ditambahi adanya perubahan yang dibuat oleh manusia hal ini
akan menjadi masalah yang luar biasa. Persamaan dasar dari total keseimbangan
energi adalah sebagai berikut (Landsberg, 1981)
12
+ QN = QI (1-A) + (QL↓ - QL↑)
= +Qs + QH + QE + QP
Keterangan :
QN = total keseimbangan energi (W/m2)
QI = kedatangan radiasi gelombang pendek (W/m2)
A
= albedo (%)
QL↓ = kedatangan radiasi gelombang panjang dari atmosfer (W/m2)
QL↑ = radiasi gelombang panjang keluar yang diemisikan oleh permukaan
(W/m2)
Qs = aliran panas masuk/keluar dari tanah atau permukaan lain (heat storage)
(W/m2)
QH = panas yang tersisa (sensible heat) yang ada diantara atmosfer dan tanah
(W/m2)
QE = kehilangan panas melalui evapotranspirasi dari permukaan (latent heat)
(W/m2)
QP
= produksi panas atau penolakan panas dari sumber buatan manusia,
termasuk dari metabolisme manusia dan hewan (anthropogenic heat)
(W/m2)
Faktor QL↑ (radiasi gelombang panjang yang keluar yang diemisikan oleh
permukaan) sangat bergantung dari suhu permukaannya. Hal ini sesuai dengan
rumus dari Stefan – Boltzman, yaitu (Landsberg, 1981)
Q L↑ = ε σ T04
Keterangan :
ε
= emisivitas
σ
= konstanta Stefan-Boltzman = 5,67 x 10-8 W/m2/K4
T0 = suhu permukaan benda (K)
13
1.6.1.5. Pulau Bahang (Heat Island)
Khomarudin, et al. (2004) menjelaskan bahwa pulau bahang atau pulau
panas (heat island) adalah suatu fenomena atau kejadian peningkatan suhu udara
di wilayah perkotaan dibandingkan dengan daerah sekitarnya hingga mencapai 3 –
10 C°. Fenomena ini disebabkan oleh adanya perubahan penggunaan lahan dari
vegetasi menjadi daerah yang beraspal, beton dan lahan terbuka.
PROFIL PULAU PANAS
Perkampungan Daerah Bisnis
Permukiman di
Permukiman di
Pusat KotaPerkotaan
Permukiman di
Pedesaan
Taman
Pedesaan
Gambar 1.2 Profil Pulau Panas (Khomarudin, et al, 2004)
Sedangkan Givoni dalam Adiningsih, et al (1994) mengungkapkan bahwa
heat island atau pulau panas adalah suatu fenomena di mana suhu udara kota yang
padat bangunan lebih tinggi daripada suhu udara daerah terbuka di sekitarnya atau
desa (pinggir kota).
Masih berdasarkan pengungkapan Givoni, ada 5 faktor berbeda yang tidak
terikat satu sama lain yang menyebabkan perkembangan pulau panas tersebut,
yaitu :
1. Perbedaan keseimbangan seluruh radiasi neto antara daerah perkotaan dengan
daerah terbuka di sekitarnya.
2. Penyimpanan energi matahari pada gedung-gedung di kota selama siang hari
dan dilepaskan pada malam hari.
14
3. Konsentrasi panas yang dihasilkan oleh aktivitas sepanjang tahun di kota
(transportasi, industri, dan sebagainya).
4. Evaporasi dari permukaan dan vegetasi yang lebih rendah di daerah kota
dibandingkan dengan daerah desa yang permukaannya lebih terbuka.
5. Sumber panas musiman, yaitu pemanasan dari gedung-gedung pada musim
dingin dan pemanasan dari pendingin ruangan pada musim panas, yang
akhirnya akan dilepaskan ke udara kota.
Moran, Morgan, dan Wiersma dalam Adiningsih, et al (1994)
menyebutkan beberapa faktor yang mendorong terciptanya pulau panas adalah:
1. Adanya lebih banyak sumber yang menghasilkan panas di kota daripada di
lingkungan luar kota.
2. Adanya beberapa bangunan yang meradiasikan panas (radiasi gelombang
panjang) lebih cepat daripada lapangan hijau atau danau.
3. Jumlah permukaan air per satuan luas di dalam kota lebih kecil daripada di
pedesaan, sehingga di kota lebih banyak panas yang tersedia untuk
memanaskan atmosfer dibandingkan dengan di luar kota.
Menurut Lowry dalam Adiningsih, et al (1994), ada lima sifat fisik yang
menyebabkan terjadinya perbedaan suhu antar kota dan pedesaan, yaitu :
1. Bahan Penutup Permukaan
Permukaan daerah perkotaan terdiri dari beton dan semen yang
mempunyai konduktivitas kalor sekitar 3 kali lebih tinggi daripada tanah
berpasir yang basah. Keadaan ini akan menyebabkan permukaan kota
menerima dan menyimpan energi yang lebih banyak daripada desa.
2. Bentuk dan Orientasi Permukaan
Bentuk dan orientasi permukaan kota lebih bervariasi daripada daerah
pinggir kota atau desa, sehingga energi yang datang akan dipantulkan
berulang kali dan akan mengalami beberapa kali penyerapan serta disimpan
dalam bentuk bahang. Sebaliknya daerah pinggir kota atau desa yang
menerima pancaran adalah lapisan vegetasi bagian atas. Selain itu, padatnya
bangunan di kota juga dapat mengubah pola aliran udara yang bertindak
sebagai perombak dan meningkatkan turbulensi.
15
3. Sumber Kelembaban
Di perkotaan air hujan cenderung menjadi aliran permukaan akibat
adanya permukaan semen, parit, selokan, dan pipa-pipa saluran drainase. Di
daerah pedesaan sebagian besar air hujan meresap ke dalam tanah, dan
menjadi tersedia untuk penguapan sehingga cenderung menyejukkan udara.
4. Sumber Kalor
Kepadatan penduduk kota yang lebih tinggi akan mengakibatkan
sumber kalor sebagai akibat dari aktivitas dan panas metabolisme penduduk.
5. Kualitas Udara
Udara kota banyak mengandung bahan pencemaran yang berasal dari
kegiatan industri dan kendaraan-kendaraan bermotor. Sedangkan di daerah
pedesaan dengan kegiatan industri yang masih kurang, keadaan kualitas
udaranya jauh lebih baik dibandingkan dengan kualitas udara kota.
Widyatmanti (1998) menyebutkan bahwa pulau bahang merupakan
fenomena alam yang terjadi karena dampak langsung pengubahan permukaan
lingkungan alami menjadi perkotaan sehingga menimbulkan distribusi energi
yang tidak merata antara kawasan perkotaan dengan kawasan pinggiran atau
pedesaan. Fenomena tersebut ditandai dengan perbedaan atau gradien suhu udara
horisontal yang tajam antara kedua kawasan tersebut. Perbedaan tersebut
selanjutnya dikenal dengan istilah intensitas pulau bahang, yang dipengaruhi oleh
banyak faktor dan bervariasi, menurut waktu dan tempat. Pulau panas dapat
terjadi pada skala mikro dimana terjadi kontras antara penggunaan lahan yang
memiliki emisivitas permukaan rendah dan tinggi. Biasanya terjadi di pusat kota
dengan kepadatan bangunan yang sangat tinggi, atau lahan terbangun di antara
lahan tidak terbangun.
Beberapa faktor yang memperkuat intensitas pulau bahang, yang perlu
diperhatikan dalam pengaruhnya dengan peningkatan suhu perkotaan adalah
sebagai berikut:

Terperangkapnya radiasi balik (berupa gelombang panjang) oleh atmosfer
perkotaan yang tercemar oleh emisi gas-gas kota.

Meningkatnya penerimaan radiasi gelombang pendek dan penahanan radiasi
16
gelombang panjang oleh geometri kota yang kompleks dalam pertukaran
panas dan keberadaan canyon dan koridor kota yang dominan.

Tingginya daya simpan panas (bahang) pada siang hari dan daya lepas panas
di malam hari oleh mayoritas material penutup permukaan tanah daerah pusat
kota.

Berkurangnya peranan vegetasi sebagai salah satu unsur ekosistem alami
yang memiliki kemampuan menyimpan panas laten, sehingga energi yang
digunakan dalam bentuk panas terasa (sensible heat) lebih besar dan
meningkatkan atmosfir perkotaan.

Morfologi kota yang bervariasi dengan dominasi bangunan tinggi,
mengakibatkan
berkurangnya
kecepatan
angin
dan
sirkulasi
udara,
menyebabkan atmosfir kota yang panas tidak dapat tersalur bebas.
1.6.1.6. Efek Perubahan Lahan terhadap Pulau Panas
Baumann, 2001 dalam Khomarudin, et al (2004) dalam kajian Urban Heat
Island di Washington, DC menyebutkan beberapa efek Urban Heat Island sebagai
berikut :
1. Dalam kondisi perkotaan biasanya lahan didominasi oleh beton, aspal dan
bangunan. Kemampuan menyeimbangkan pemantauan dan penyerapan energi
radiasi berkurang, sehingga timbullah peningkatan suhu udara di permukaan
kota.
2. Pada lahan perkotaan yang didominasi oleh beton, aspal dan bangunan
menyebabkan turunnya kemampuan lahan untuk menginfiltrasikan air hujan
yang jatuh, sehingga air hujan akan langsung dialirkan di permukaan (run
off). Dalam kasus ini lahan akan mudah terkena banjir dan kekeringan karena
daya simpan terhadap air akan berkurang.
3. Sebagai tambahan terhadap permukaan horisontal, banyak kota besar
mempunyai permukaan vertikal besar dari bentuk geometris yang berbeda.
Permukaan vertikal ini berfungsi seperti jurang curam yang mempengaruhi
radiasi dan pola angin. Radiasi dipantulkan bolak-balik oleh dinding
17
bangunan menghasilkan energi yang terperangkap dan suhu yang lebih tinggi.
Bangunan juga mengganggu arus angin yang menciptakan lebih sedikit rugi
bahang. Kota besar mempunyai sekitar 25 persen lebih sedikit percepatan
angin dibanding area pedesaan, sungguhpun bangunan dapat menghasilkan
pergolakan lokal dan kondisi-kondisi pergerakannya.
4. Pada suhu yang tinggi akan meningkatkan penggunaan energi, seperti
penggunaan mesin pendingin yang banyak mengandung zat-zat rumah kaca
seperti CFC sehingga akan meningkatkan jumlah polutan di udara. Efek ini
tidak baik bagi kesehatan.
5. Akhirnya dengan kondisi suhu udara yang panas dan polusi udara yang
tinggi, wilayah perkotaan tidak akan nyaman untuk ditinggali.
1.6.2. Penelitian Sebelumnya
Oke (1978) mengemukakan berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan di beberapa kota besar dunia secara umum menunjukkan, bahwa pola
tahunan pulau panas umumnya memperlihatkan suhu maksimum pada bulan
Oktober sampai Desember, yang merupakan periode dengan penutupan awan dan
kecepatan angin terendah. Selama musim panas dan musim semi, dengan
peningkatan keawanan dan kecepatan angin, maka perbedaan suhu daerah kota
dan desa menjadi lebih besar. Sebagai contoh, pengaruh dari keawanan dan
kecepatan angin terhadap pulau panas diperlihatkan variasi karakteristik suhu
udara secara vertikal dari daerah pinggir kota ke pusat kota dalam kondisi langit
tak berawan dan angin lemah.
Adiningsih, Santosa dan Widyasari (1994) dalam Studi Pulau Panas di
Jakarta dan Sekitarnya Dengan Menggunakan Data Satelit melakukan penelitian
yang bertujuan untuk mengkaji pulau panas dan perkembangannya di Jabotabek,
berdasarkan analisis data suhu udara harian dari stasiun-stasiun klimatologi dan
data suhu permukaan yang diturunkan dari data satelit NOAA/AVHRR. Hasil
analisis memperlihatkan bahwa pusat pulau panas senantiasa terjadi di Jakarta
Pusat dan Jakarta Utara, dan makin menghilang ke arah timur, barat, terutama ke
arah selatan. Pulau panas berkembang dengan cepat dan terlihat lebih jelas pada
18
musim kemarau. Suhu pusat pulau panas berubah dari waktu ke waktu selama
periode pengamatan. Pola pulau panas hasil estimasi suhu dari citra satelit
tampaknya dapat digambarkan dengan lebih baik dan jelas dibandingkan dengan
suhu udara permukaan. Namun suhu udara dari stasiun-stasiun klimatologi dapat
menggambarkan besarnya suhu di pusat pulau panas lebih akurat daripada data
suhu permukaan dari satelit.
Sedangkan Yamashita, 1994 dalam Widyatmanti (1998) mengungkapkan
bahwa fenomena dalam iklim kota, berkembang seiring dengan meningkatnya
urbanisasi. Hal ini menyebabkan perubahan lingkungan kota dimana manusia
hidup. Kepadatan penduduk dan perubahan lingkungan akibat urbanisasi
menimbulkan perbedaan elemen-elemen dalam iklim kota jika dibandingkan
dengan iklim di pedesaan. Diantara fenomena iklim kota, heat island atau pulau
panas merupakan hal yang paling berhubungan dengan lingkungan tempat kita
hidup sehari-hari. Seiring dengan meningkatnya panas yang diterima, heat island
muncul tidak hanya di malam hari tetapi juga di pagi hingga siang hari pada
musim kemarau, yang selanjutnya disebut thermal pollution type atau tipe panas
yang diakibatkan oleh adanya polusi dalam hal ini hasil aktivitas lingkungan.
Salah satu kenampakan heat island yang ditunjukkan dengan perbedaan garis
isothermal di pinggiran kota yang disebut cliff. Kenampakan lainnya berupa
isoterm yang berpencar di pusat daerah perkotaan yang disebut plateau. Di lain
pihak terdapat tempat yang suhunya lebih rendah daripada suhu sekitarnya
didalam kota. Tempat ini disebut cool island atau heat sink atau ‘pulau dingin’,
yang biasanya berupa wilayah yang memiliki vegetasi kerapatan sedang hingga
tinggi,dan tubuh air seperti kolam, daerah perkotaan. Penelitian ini menggunakan
pengukuran suhu udara secara langsung di lapangan. Tetapi Yamashita
menyarankan penggunaan data penginderaan jauh berupa citra Landsat untuk
mendapatkan persebaran heat island yang lebih akurat, untuk mengetahui
hubungan yang jelas antara heat island dengan pengaruh fenomena di dalamnya.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa sebuah kota besar dapat menyimpan energi
total yang jauh lebih besar daripada daerah sekitarnya karena konsentrasi aktivitas
manusia di kota tersebut.
19
Widyatmanti (1998) menyimpulkan bahwa pulau bahang (heat island)
tidak hanya terjadi di pusat kota tapi juga di pinggiran. Beberapa ‘pulau bahang’
ditemukan di daerah yang jaraknya relative cukup jauh dengan pusat kota.
Terjadinya suhu yang tinggi lebih disebabkan oleh adanya bangunan yang padat
pada satu wilayah, tetapi tidak didukung oleh kebersamaan bangunan lain.
Sehingga pengaruh terhadap lingkungan radiusnya tidak luas. Sedangkan di pusat
kota adanya pulau panas lebih dominant disebabkan oleh terperangkapnya panas
dari permukaan bumi atau bangunan yang umumnya memiliki emisivitas tinggi,
sehingga mengakibatkan nilai suhu udara di sekitar gedung, lebih tinggi dari
daerah sekitarnya.
1.7. Kerangka Pemikiran
Suhu merupakan salah satu parameter iklim yang sangat erat hubungannya
dengan kesetimbangan energi. Suhu udara juga merupakan ukuran yang mewakili
banyaknya energi radiasi matahari berupa panas yang dapat dirasakan (sensible
heat), yang berperan dalam pemanasan atmosfer. Suhu menjadi elemen yang lebih
mudah dikenali oleh makhluk hidup terutama oleh manusia apabila terjadi
perubahan dalam bentuk peningkatan suhu udara. Hal tersebut dikarenakan sifat
suhu yang bisa dirasakan melalui kulit manusia.
Iklim di daerah perkotaan (urban) umumnya mempunyai perbedaan
dengan daerah pinggiran kota (suburban) dan pedesaan (rural) disekitarnya.
Daerah perkotaan memiliki kondisi spesifik, baik kepadatan bangunan, penduduk
maupun aktivitasnya akan mempengaruhi proses kerja iklim. Kepadatan dan jenis
penggunaan lahan juga mempengaruhi radiasi sinar matahari yang jatuh ke bumi.
Jika hal ini tidak dikontrol dengan baik akan terjadi peningkatan suhu permukaan
yang berpengaruh terhadap peningkatan suhu udara. Peningkatan suhu udara
dalam jumlah kecil akan bermanfaat jika kondisi iklim di daerah tersebut
memerlukan peningkatan suhu untuk adaptasi penduduk.
Dalam penelitian ini, kajian terhadap pulau panas (heat island)
dititikberatkan pada daerah dengan penggunaan lahan berbeda serta kepadatan
bangunan
yang
beragam
dalam
ruang
20
lingkup
kecil.
Disamping
itu
memperhatikan pula faktor-faktor yang diduga sebagai penyebab munculnya
pulau panas/bahang (heat island) yaitu pengaruh aktivitas manusia. Contoh
konkret yaitu pemakaian kendaraan bermotor dengan bahan bakar fosil. Salah satu
hasil emisi kendaraan bermotor tersebut berupa CO2, dimana unsur kimia ini
ditengarai dapat mengikat panas yang berada dalam udara ambien.
21
Perubahan Fisik
Lahan
Aktivitas
manusia selain
merubah lahan
Perubahan Hidrologi Permukaan
Perubahan Morfologi Permukaan
Perubahan Jenis Permukaan
Perubahan Nilai Albedo
Mempengaruhi Keseimbangan Radiasi dan
Energi
Perubahan Kondisi Iklim Mikro
pada Lahan Berbeda
Perubahan ΔT pada ketinggian
120 cm di atas permukaan
tanah
Pembentukan Pulau Panas
(Heat Island)
Pemetaan
(Spasial dan Temporal Suhu
Udara dalam bentuk Peta
Isoterm)
Gambar 1.3. Diagram Alir Kerangka Pemikiran
22
1.8. Batasan Istilah
Batasan istilah mendasarkan pada teori-teori yang sudah ada, baik itu
definisi maupun batasan dalam penelitian ini.
Angin adalah pergerakan udara pada arah horisontal atau hampir horisontal
(Wisnubroto, 1981).
Awan adalah kumpulan titik-titik air atau kristal es yang melayang-layang di
atmosfer (Wisnubroto, 1981).
Cuaca adalah keadaan atmosfer pada suatu waktu dan dapat dideskripsi dengan
menggunakan informasi dari satu stasiun pengamatan (Marbun, 1982).
Iklim adalah keadaan/kondisi rata-rata cuaca pada suatu daerah tertentu dalam
waktu cukup lama/sepanjang musim (Marbun, 1982).
Iklim Mikro adalah iklim dari lapisan-lapisan udara yang terendah akan tetapi juga
dapat diartikan iklim dari wilayah yang sempit seperti hutan, kota, desa,
rawa (Daldjoeni, 1986).
Pulau panas / bahang (heat island) adalah suatu fenomena suhu udara kota yang
disebabkan oleh kepadatan bangunan yang lebih tinggi daripada daerah
terbuka disekitarnya (pinggir kota maupun pedesaan). Pulau bahang
mempunyai sejumlah implikasi baik positif maupun negatif pada
lingkungan biologi, ekonomi, dan meteorologi (Oke, 1992).
Penutup Lahan adalah hal yang berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di
permukaan bumi. Contoh: Bangunan, Vegetasi (Lillesand dan Kiefer,
1990).
Suhu Udara adalah panas atau dinginnya udara, diukur dengan alat thermometer
dinyatakan dengan derajad (Skala Celcius, Fahrenheit, Reamur)
(Marbun, 1982).
23
Download