BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era implementasi IFRS (International Financial Reporting Standards), penggunaan estimasi nilai wajar dalam pelaporan keuangan memiliki pengaruh besar terhadap perubahan standar pengauditan (AICPA 2011; Christensen et al. 2012; PCAOB 2014). Perubahan standar pengauditan ini menjadi tantangan tersendiri bagi auditor. Permasalahan utama dalam pelaporan keuangan berdasarkan IFRS adalah subyektifitas penentuan estimasi nilai wajar (PCAOB 2007b; 2009; Christensen et al. 2012). Subyektifitas estimasi nilai wajar terletak pada ketidakpastian pengukuran nilai wajar tersebut, yang mengarah kepada munculnya ambiguitas penilaian, misalnya pada penilaian instrumen keuangan. Ambiguitas nilai wajar dalam laporan keuangan muncul ketika beberapa pihak tidak sepakat untuk menggunakan satu metode penilaian saja, terutama pada item yang tidak ada harga pasarnya. Tidak tersedianya harga pasar aktual menyebabkan estimasi nilai wajar yang digunakan adalah ―mark to model‖ yaitu estimasi yang didasarkan pada model tertentu misalnya menggunakan model ―nilai pengganti‖ yang dapat mengakomodasi asumsi-asumsi manajemen (Georgiou dan Lisa 2011). Masuknya asumsi-asumsi manajemen dalam proses penilaian membuka peluang bias, yang menggambarkan penggunaan asumsi yang lebih agresif oleh manajemen (Kolev 2009; Cannon dan Bedard 2014). Di Indonesia sendiri kasus perusahaan yang menggunakan asumsi yang agresif dalam laporan keuangan terjadi pada PT. Kimia Farma yang melakukan overstatement persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar. Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada dalam daftar harga persediaan digelembungkan. Berdasarkan penyelidikan Bapepam, Hans Tuanakotta dan Mustofa (HTM) yang melakukan audit 1 terhadap PT. Kimia Farma, gagal untuk mendeteksi kecurangan yang dilakukan pihak manajemen PT. Kimia Farma (Bapepam 2002). Dari uraian kasus tersebut, secara mendasar dapat disimpulkan bahwa dalam standar pelaporan dan pengungkapan yang memungkinkan masuknya asumsi manajemen, kompleksitas tugas auditor semakin tinggi dalam praktik pengauditan (Kolev 2009; Bratten et al. 2013). Boner dan Newell (2010) mengungkapkan bahwa individu yang menghadapi kompleksitas tugas, maka kinerjanya akan menurun, karena individu tersebut akan cenderung untuk mengadopsi strategi penyederhanaan pengambilan keputusan. Tugas yang kompleks juga akan berpengaruh negatif terhadap kualitas keputusan akhir individual (Payne et al. 1993). Bratten et al. (2013) mengungkapkan bahwa kompleksitas tugas sebagai faktor paling berpengaruh dalam estimasi nilai wajar, yang berhubungan dengan adanya ketidakpastian tugas dan pengaruh lingkungan. Kompleksitas tugas ini akan berpengaruh negatif terhadap kinerja auditor. Griffith et al. (2014) melaporkan wawancara yang dilakukan dengan auditor partner, yang menunjukkan bahwa mereka kadang kala gagal untuk memahami risiko utama dari sebuah model yang dipilih oleh klien, karena kurangnya pengetahuan tentang model atau metode yang digunakan, sehingga akhirnya mereka akan salah menafsirkan asumsi krusial yang mendasari model tersebut secara khusus ketika nilai pasar tidak tersedia atau tidak dinamis (SEC 2008a; 2008b; Humphrey et al. 2009). PCAOB memberikan panduan bagi auditor melalui standar praktik pengauditan nilai wajar dan estimasi akuntansi lainnya, seperti standar pengauditan AU bagian 328 tentang pengukuran dan pengungkapan nilai wajar dalam pengauditan yang diaplikasikan untuk pengukuran dan pengungkapan nilai wajar dalam laporan keuangan (PCAOB 2003b). Bagian ini mengungkapkan bahwa auditor harus melakukan evaluasi terhadap pengukuran dan pengungkapan nilai wajar dalam laporan keuangan. Lebih lanjut, auditor juga harus mengevaluasi apakah asumsi dasar nilai wajar yang diadopsi oleh manajemen memiliki 2 argumentasi yang kuat, dan apakah metode yang digunakan oleh manajemen untuk menentukan pengukuran nilai wajar, digunakan secara konsisten (PCAOB 2007a; 2007b). Hasil kajian AICPA menunjukkan bahwa manajemen sering kali menggunakan metode dan asumsi nilai wajar yang cenderung agresif (AICPA 2011). Hal ini dilatarbelakangi oleh kondisi perekonomian serta persaingan usaha yang memberikan tekanan kepada pihak manajemen untuk mencapai target keuangan tertentu, yang akhirnya memicu manajemen untuk memasukkan asumsi subyektifitas mereka dalam laporan keuangan (AICPA 2011; IAASB 2008b). Asumsi subyektifitas tersebut dipicu oleh sifat oportunis manajemen. Secara spesifik subyektifitas manajemen tersebut digambarkan dalam penggunaan model revaluasi terhadap aset sebagai alat untuk melakukan improvisasi terhadap kapasitas meminjam perusahaan kepada bank, hal ini dilakukan oleh perusahaan besar, dengan profitabilitas yang tinggi, dengan rasio likuiditas yang rendah, dan rasio aliran kas yang rendah (Barac dan Sodan 2011). Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa motivasi manajemen perusahaan melakukan overtatement terhadap nilai aset adalah untuk kebutuhan pendanaan perusahaan serta meningkatkan kemampuan meminjam perusahaan (Barlev et al. 2007; Miscorinier-Piera 2007; Dechow et al. 2010). Kepentingan manajemen untuk mencapai target hasil keuangan tertentu dalam pengelolaan perusahaan tersebut akan memicu manajemen untuk melakukan tekanan terhadap pekerjaan auditor. Tekanan yang dilakukan oleh manajemen dengan bertujuan untuk mengarahkan hasil audit kepada kepentingan pihak manajemen perusahaan (Chen et al. 2012). Dengan kondisi adanya tekanan pihak manajemen, tugas auditor dalam praktik pengauditan menjadi semakin kompleks, karena auditor tidak jarang dihadapkan pada pilihan untuk menjaga independensi serta tanggung jawab profesionalnya terhadap kepentingan pihak investor atau menjaga hubungan baik 3 dengan pihak klien terkait dengan kepentingan finansial auditor, yang sering kali disebut sebagai dilema etika1 (Staubus 2005). Kajian yang dilakukan oleh PCAOB (2003a; 2003b; 2007a; 2007b; 2009; 2010d; 2014a) menunjukkan bahwa sering kali terjadi penyimpangan praktik pengauditan nilai wajar. Penyimpangan ini terkait dengan ketidakmampuan auditor melakukan telaah terhadap asumsi yang digunakan oleh manajemen perusahaan, yang salah satunya disebabkan oleh skeptisisme profesional auditor yang rendah (PCAOB 2012). Skeptisisme profesional2 adalah karakteristik individual yang fundamental untuk sebuah tugas pengauditan (Hurtt 2010). AICPA (2014) mengungkapkan bahwa peningkatan skeptisisme profesional auditor sangat penting ketika pengauditan nilai wajar dalam kondisi munculnya nilai yang ambigu dan bukti pendukung yang dibutuhkan tidak ada. Untuk memiliki skeptisisme profesional, auditor harus memahami hubungan antara bukti audit dan risikonya, serta memiliki pengetahuan terhadap frekuensi error dan non-error, dan mampu mengenali pola yang mengindikasikan munculnya risiko yang lebih tinggi (Nelson 2009). Auditor yang kurang ahli dalam penilaian akan memiliki kemampuan yang lebih rendah dalam menentukan risiko salah saji, yang menyebabkan auditor tidak kritis terhadap bukti-bukti audit yang diperlukan terkait asumsiasumsi krusial yang manajemen gunakan dalam laporan keuangan dengan estimasi nilai wajar (PCAOB 2014). Secara spesifik, skeptisisme profesional auditor yang rendah akan menyebabkan auditor gagal untuk (1) mengevaluasi secara cukup asumsi-asumsi yang digunakan oleh manajemen, (2) mengontrol pengujian yang memadai terkait model penilaian yang digunakan oleh manajemen, (3) mengevaluasi bukti yang tidak konsisten dengan 1 Dilema etika merupakan situasi yang dihadapi oleh seseorang yang harus membuat keputusan mengenai perilaku yang patut. Auditor memiliki tanggung jawab profesional terhadap investor, tetapi situasi pengauditan tidak didesain untuk keberpihakan kepada investor, karena investor tidak secara langsung memberikan insentif finansial kepada auditor (Staubus 2005). 2 Skeptisisme profesional auditor adalah sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit (Hurtt 2010). AICPA (2013) mewajibkan auditor untuk meningkatkan skeptisisme profesionalnya ketika melakukan evaluasi terhadap dugaan adanya kecurangan dan membantu auditor untuk memahami perilaku manajemen yang tidak jujur. 4 estimasi yang digunakan oleh manajemen, dan (4) menguji hasil pekerjaan yang dilakukan oleh penilai independen (AICPA 2013). Pentingnya skeptisisme profesional telah menjadi bagian dari profesi auditor. Hal ini karena skeptisisme profesional harus digunakan pada saat auditor mempertanyakan bukti audit yang dikumpulkan dan dinilai selama proses audit (Carpenter dan Reimers 2013; Lee et al. 2013; Hurtt et al. 2013; Nolder dan Kadous 2014; Quadackers et al. 2014). PCAOB (2012) mengungkapkan bahwa skeptisisme profesional auditor merupakan bagian dari etika auditor yang akan mengarahkan auditor untuk menanyakan setiap isyarat yang menunjukkan kemungkinan terjadinya kecurangan. Pemodelan skeptisisme profesional auditor, mengasumsikan bahwa auditor yang menunjukkan skeptisisme profesional yang tinggi adalah auditor yang membutuhkan bukti lebih banyak baik secara kuantitas maupun kualitas. Buktibukti ini dibutuhkan untuk meyakini kebenaran pertanyaan pihak manajemen dalam proses audit (Nelson 2009; Hurtt 2010; Hurtt et al. 2013). Brown-Liburd et al. (2013) menunjukkan bahwa auditor dengan skeptisisme profesional yang tinggi digambarkan sebagai auditor yang dapat bertahan terhadap tekanan pihak manajemen, dan betindak lebih konservatif dalam negosiasi auditor-klien. Penelitian sebelumnya tentang negosiasi auditor-klien juga menunjukkan bahwa auditor yang dapat bertahan terhadap tekanan klien serta memberikan nilai yang lebih konservatif dalam laporan keuangan klien adalah auditor yang berasal dari kantor akuntan publik yang besar atau kantor akuntan publik yang berafiliasi dengan Big 5 (Chen et al. 2005). Penelitian ini secara khusus melakukan investigasi terhadap independensi auditor dalam negosiasi auditor-klien terkait isu laporan keuangan di Taiwan. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa auditor yang memiliki independensi yang tinggi, adalah auditor yang berasal dari Big 5, yang dapat bertahan terhadap tekanan klien terkait isu laporan keuangan dalam negosiasi auditor-klien, dibandingkan auditor non Big 5. 5 Sebelumnya DeAngelo (1981) menyatakan bahwa ukuran kantor akuntan publik secara positif berhubungan dengan kualitas audit. Shockley (1981) juga menunjukkan bahwa kantor akuntan publik yang besar dipandang lebih independen dibandingkan kantor akuntan publik yang lebih kecil. Gul (1991) menemukan bahwa kantor akuntan publik yang lebih besar dipersepsikan dapat lebih memecahkan konflik audit dalam kaitannya dengan posisi perusahaan tersebut. Argumen ini berimplikasi bahwa kantor akuntan publik yang lebih besar lebih tahan terhadap tekanan manajemen dibandingkan dengan kantor akuntan publik yang lebih kecil di dalam negosiasi auditor-klien. Negosiasi auditor-klien menjadi isu besar dalam bidang pengauditan, karena laporan keuangan auditan merupakan produk bersama antara auditor dan manajemen klien (Wang dan Tuttle 2009). Negosiasi3 itu sendiri adalah suatu proses saat keputusan bersama dibuat oleh dua pihak atau lebih dengan preferensi yang berbeda yang hasil akhirnya mempengaruhi kesejahteraan kedua belah pihak (Murnighan dan Bazerman 1990). Negosiasi juga merupakan perundingan antara dua pihak yang di dalamnya terdapat proses memberi, menerima, dan tawar-menawar4, sehingga dalam penelitian ini teori tawar-menawar (bargaining theory) digunakan sebagai teori yang menjelaskan interaksi antara auditor dengan manajemen perusahaan dalam negosiasi auditor-klien. Beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi negosiasi auditor-klien secara signifikan mempengaruhi nilai yang dilaporkan dalam laporan keuangan (Antle dan Nalebuff 1991; Gibbins et al. 2001; Ng dan Tan 2003; Trotman et al. 2005; Bame–Aldred 3 negosiasi n 1 proses tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) yg lain; 2 penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak yang bersengketa (KKBI 2015). 4 tawar-menawar v saling meminta pengurangan harga; menawar v 1 negosiasi yg terjadi dl transaksi jual beli; mengemukakan permintaan hendak membeli (menyewa dsb) 2 meminta pengurangan harga (sewa, tuntutan) 3 menyebutkan harga "kurang" dari harga (sewa dsb) yg ditetapkan penjual dsb (KKBI 2015). 6 dan Kida 2007; Sanchez et al. 2007; Brown-Liburd dan Wright 2008; Brown-Liburd dan Jhonstone 2009; Husnatarina dan Nahartyo 2012; Angela dan Husnatarina 2015). Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa proses penyusunan laporan keuangan erat kaitannya dengan mekanisme negosiasi antara auditor dan klien, ketika adanya ambiguitas pada metode penentuan item-item dalam laporan keuangan atau ketika tidak adanya panduan standar yang jelas (Gibbins et al. 2001; Beattie et al. 2004; Sanchez et al. 2007; Hatfield et al. 2008). Isu dalam akuntansi sering kali dipecahkan dengan negosiasi antara auditor dan klien. Gibbins et al. (2001) menemukan bahwa 67% dari auditor partner mengindikasikan bahwa mereka bernegosiasi dengan sebagian besar dari klien mereka. Hasil negosiasi ini berpengaruh tidak hanya pada laporan keuangan, tetapi juga pada kelanjutan hubungan antara auditor dan klien (Brown-Liburd dan Wright 2011; McCracken et al. 2011). Penelitian sebelumnya terkait negosiasi auditor-klien yang dilakukan oleh Wang dan Tuttle (2009) serta Wang (2010) juga menemukan bahwa terjadi negosiasi terhadap proses maupun hasil audit, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang di antaranya adanya rotasi kantor akuntan publik (KAP). Negosiasi terhadap nilai aset perusahaan lebih mengarah kepada preferensi auditor ketika rotasi KAP terjadi (Wang dan Tuttle 2009). Penelitian Wang (2010) mengungkapkan bahwa auditor lebih cenderung mengarahkan estimasinya kepada kepentingan klien pada kondisi kontrak yang dapat diperbaharui, dibandingkan pada kondisi kontrak yang hanya satu periode. Argumen menunjukkan bahwa auditor cenderung mengikuti preferensi klien pada kondisi hubungan jangka panjang dengan klien dimungkinkan. Beberapa penelitian dalam bidang negosiasi auditor-klien sebelumnya yang menggunakan responden manajemen perusahaan menunjukkan bahwa manajemen memiliki insentif untuk menggunakan teknik akuntansi yang agresif dengan tujuan peningkatan laba perusahaan, sehingga manajemen perusahaan juga memiliki kepentingan untuk memberikan 7 tekanan kepada auditor untuk menerima teknik yang mereka gunakan tersebut. Di pihak auditor, kemampuan untuk menjaga independensi terhadap kepentingan klien sesuai yang disyaratkan oleh AICPA tentang etika profesional auditor, menjadi hal utama yang tidak dapat ditawar. Upaya auditor untuk menjaga integritas dan independensi dalam rangka pencapaian kualitas audit yang tinggi akan berbenturan dengan kepentingan auditor untuk mempertahankan hubungan yang baik dengan klien terkait kepentingan ekonomis auditor yang bersangkutan. Argumen ini dipertegas oleh penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa auditor tidak selalu membuat penilaian yang konservatif ketika terlibat dalam negosiasi untuk penyelesaian masalah yang sifatnya subjektif dan kontroversi dengan klien (Ng dan Tan 2003; Brown dan Johnstone 2009). Permasalahan independensi auditor yang berada di bawah tekanan klien menjadi sebuah fenomena menarik untuk diteliti, seperti yang dilakukan Chen et al. (2005) di Taiwan, yang membahas independensi auditor dalam proses negosiasi antara auditor-klien terkait isu penyesuaian dan pengungkapan yang dilakukan dalam laporan keuangan. Secara garis besar hasil penelitian ini menunjukkan bahwa auditor yang berasal dari Big 5 lebih mampu bertahan terhadap tekanan klien dibandingkan auditor non- Big 5. Penelitian sebelumnya juga mengungkapkan hal serupa, bahwa ukuran KAP secara positif berhubungan dengan kualitas audit (DeAngelo 1981). Penelitian ini mengungkapkan bahwa KAP yang besar memberikan kualitas audit yang lebih baik dibandingkan KAP yang kecil. Shockley (1981) mendemonstrasikan bahwa kantor akuntan publik yang besar dipandang lebih independen dibandingkan dengan kantor akuntan publik yang lebih kecil. Gul (1991) menemukan bahwa kantor akuntan publik yang lebih besar dipersepsikan dapat menyelesaikan konflik audit. Selain itu, menjaga reputasi adalah alasan lain mengapa KAP yang besar dipandang lebih independen. Argumen tersebut berimplikasi bahwa kantor akuntan publik yang lebih besar dianggap lebih tahan terhadap tekanan klien dibandingkan dengan kantor akuntan publik 8 yang lebih kecil. Dopuch dan Simunic (1982) serta Simunic dan Stein (1987) menyatakan bahwa auditor Big 8 memberi kualitas audit yang lebih tinggi untuk mengelola brand-value mereka. Hal serupa juga ditunjukkan oleh Dye (1993) bahwa kantor akuntan publik yang lebih besar menghadapi biaya litigasi dan lebih banyak diperkarakan atau dituntut atas perkara hukum (Lennox 1999). Hal ini dapat di argumentasikan bahwa kantor akuntan publik Big 4 yang menghadapi finalty yang lebih besar dari kegagalan audit akan mengambil tindakan defensif dengan melakukan audit dengan kualitas yang lebih tinggi untuk meminimalkan biaya audit mereka, sehingga auditor Big 4 lebih menjaga independensi mereka ketika berinteraksi dengan klien dibandingkan auditor non- Big 4 (Simunic dan Stein 1987). Penelitian ini didesain untuk menguji nilai akhir negosiasi5 auditor dalam kondisi adanya perbedaan basis penilaian laporan keuangan, skeptisisme profesional auditor dan ukuran kantor akuntan publik. Penelitian ini mengadaptasi pengaturan eksperimen yang dilakukan Brown-Liburd, et al. (2013), yang menguji proses negosiasi auditor-klien dalam kasus perkiraan target laba perusahaan dan adanya skeptisisme profesional auditor. Secara spesifik penelitian yang dilakukan Brown- Liburd, et al. (2013) ingin menguji apakah posisi akhir negosiasi bagi auditor dipengaruhi oleh (1) kemampuan klien untuk mencapai target analis untuk perkiraan laba, dan (2) skeptisisme profesional auditor yang tinggi. Penelitian Brown-Liburd, et al. (2013) tidak menemukan pengaruh utama antara target analis untuk perkiraan laba terkait hasil akhir negosiasi bagi auditor, tetapi menemukan interaksi negatif signifikan antara proyeksi pendapatan dengan skeptisisme profesional auditor, yaitu auditor dengan skeptisisme profesional yang tinggi akan memberikan hasil akhir negosiasi yang lebih konservatif terhadap proyeksi pendapatan perusahaan klien yang lebih tinggi. 5 Nilai akhir negosiasi adalah nilai akhir aset rekomendasi auditor yang dihasilkan dari proses interaksi antara auditor dan klien selama proses negosiasi 9 Penelitian ini mencoba memberikan perluasan area penelitian negosiasi auditor-klien, dengan menggunakan kasus penilaian berbasis nilai wajar, yang diduga menjadi pemicu terjadinya negosiasi antara auditor dan klien. Perluasan ini dianggap penting karena pada kenyataan praktis, pelaporan keuangan yang menggunakan nilai wajar adalah dominan. Pada tataran profesi sendiri digambarkan bahwa sering kali terjadi perbedaan nilai disebabkan asumsi-asumsi yang digunakan kemungkinan besar berbeda terhadap bagian laporan keuangan yang sama. Penelitian ini juga menggunakan teori tawar-menawar sebagai teori yang menjelaskan model interaksi antara auditor dan klien dalam negosiasi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa teori tawar-menawar digunakan untuk penelitian di bidang negosiasi (Muthoo 1999). Negosiasi itu sendiri adalah salah satu tipe dari teori tawar-menawar. Teori tawar-menawar secara umum mengungkapkan bahwa masing-masing pihak dalam proses negosiasi akan memaksimalkan utilitasnya. Utilitas dalam teori tawar-menawar diformulasikan dalam kekuatan tawar-menawar masing-masing pihak, yang dinyatakan sebagai rasio kemampuan masing-masing pihak untuk mempengaruhi pihak lainnya (Kuhn et al. 1983). Dengan mengacu pada temuan empiris penelitian sebelumnya, dapat diungkapkan bahwa auditor akan memiliki kekuatan tawar-menawar yang tinggi pada kondisi adanya penilaian basis penilaian laporan keuangan, adanya skeptisisme profesional auditor dan perbedaan ukuran KAP yang diuji dalam penelitian ini. 1.2 Perumusan Masalah Penelitian dalam area negosiasi auditor-klien terdahulu telah cukup banyak dilakukan. Penelitian-penelitian tersebut telah membuktikan bahwa negosiasi auditor-klien terjadi dalam proses pengauditan laporan keuangan perusahaan, sehingga riset di bidang ini sangat penting 10 untuk terus dilakukan, karena laporan keuangan auditan perusahaan tersebut merupakan produk bersama antara auditor dan manajemen perusahaan. Dalam proses pengauditan itu sendiri, interaksi antara auditor dan klien merupakan objek utama untuk diteliti. Secara konseptual auditor dan klien dipandang sebagai dua pihak yang berada pada posisi kepentingan yang berbeda, yang kepentingan masing-masing pihak akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis maupun ekonomis (Sanchez et al. 2007; Hatfield et al. 2008). Sebagian besar penelitian terdahulu menunjukkan bahwa isu terkait negosiasi auditorklien tersebut muncul dari fenomena praktis yang mengungkapkan bahwa dalam proses pengauditan, auditor maupun klien hampir selalu dihadapkan dengan situasi negosiasi (Trotman et al. 2005). Hal ini dimungkinkan terjadi disebabkan adanya perbedaan kepentingan antara auditor dan klien. Auditor sendiri digambarkan berada dalam kepentingan kepatuhan terhadap standar dan menjaga kualitas audit, sedangkan di sisi lainnya klien mendapatkan tekanan secara ekonomis untuk meningkatkan nilai perusahaan (Chen et al. 2012; Sanchez et al. 2007; Hatfield et al. 2008). Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini dilakukan untuk menguji negosiasi auditor-klien berdasarkan model teori tawar-menawar yang mengintegrasikan semua aspek dalam negosiasi, yang secara garis besar meliputi masukan negosiasi (basis penilaian laporan keuangan, skeptisisme profesional auditor dan ukuran kantor akuntan publik), proses negosiasi dan hasil negosiasi (nilai yang direkomendasikan oleh auditor). Secara khusus, terdapat 3 (tiga) isu yang diangkat dalam penelitian ini. Pertama, adanya perbedaan hasil negosiasi auditor-klien pada basis penilaian laporan keuangan yang menggunakan nilai wajar dan nilai historis. Kedua, adanya perbedaan hasil negosiasi auditorklien bagi auditor dengan skeptisisme profesional tinggi dan rendah. Ketiga, adanya perbedaan hasil negosiasi auditor-klien bagi auditor yang berasal dari KAP berlabel empat 11 besar dan KAP tidak berlabel empat besar, sehingga dapat dirumuskan tiga pertanyaan penelitian berikut: 1. Apakah auditor akan memberikan nilai akhir aset yang lebih konservatif pada penilaian berbasis nilai wajar dibandingkan dengan penilaian berbasis nilai historis? 2. Apakah auditor dengan skeptisisme profesional yang tinggi akan memberikan nilai akhir aset yang lebih konservatif dibandingkan dengan auditor dengan skeptisisme rendah? 3. Apakah auditor KAP berlabel empat besar akan memberikan nilai akhir aset yang lebih konservatif dibandingkan dengan auditor KAP tidak berlabel empat besar? Tujuan penelitian ini adalah menguji preferensi nilai akhir auditor dalam negosiasi auditor klien dalam kaitannya dengan penggunaan penilaian berbasis nilai wajar akuntansi, adanya skeptisisme profesional auditor dan ukuran kantor akuntan publik. Teori tawarmenawar digunakan dalam penelitian ini untuk memodelkan pola interaksi auditor-klien dalam negosiasi. Penelitian ini menggunakan partisipan auditor partner dan manajer pada kantor akuntan publik berlabel empat besar dan kantor akuntan publik tidak berlabel empat besar. 1.3 Motivasi Penelitian Penelitian ini dimotivasi oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Brown-Liburd et al. (2013) yang menguji skeptisisme auditor dalam konteks negosiasi auditor-klien, dalam kondisi adanya pencapaian target laba perusahaan klien. Penelitian Brown-Liburd et al. (2013) juga mengungkapkan bahwa negosiasi auditor-klien akan sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor ekonomis maupun psikologis lainnya yang belum diangkat dalam penelitian mereka. Secara garis besar penelitian Brown-Liburd et al. (2013) menunjukkan 12 bukti empiris bahwa auditor yang memiliki skeptisisme profesional tinggi, akan bernegosiasi dengan lebih konservatif dan memberikan rekomendasi nilai yang lebih konservatif. Penelitian ini juga dimotivasi oleh diadopsinya IFRS di Indonesia, sehingga kompleksitas tugas dan informasi yang dihadapi oleh auditor pada penilaian berbasis nilai wajar menjadi hal yang menarik untuk teliti terkait pengambilan keputusan auditor. Menarik juga untuk dilihat secara umum bagaimana dilema etika yang dihadapi auditor terkait perubahan standar dan tingkat kesulitan tugas penilaian berbasis nilai wajar akuntansi dalam konteks spesifik negosiasi auditor-klien (Wang dan Tuttle 2009; Wang 2010). Penelitian ini dilakukan untuk memperluas penelitian area negosiasi auditor-klien yang selama ini telah dilakukan yang berfokus pada isu-isu praktis terjadinya negosiasi auditor-klien disebabkan perubahan regulasi dan perbedaan kepentingan baik secara psikologis maupun ekonomis antara auditor dengan klien (Gibbins et al. 2001; Beattie et al. 2004; Wang dan Tuttle 2009; Wang 2010; Husnatarina dan Nahartyo 2012). Penelitian ini menggunakan teori tawarmenawar dalam model interaksi negosiasi auditor-klien, sehingga penelitian ini memberikan perluasan metodologi yang berarti bahwa teori tawar-menawar dapat memberikan gambaran posisi tawar-menawar auditor pada kondisi adanya penilaian berbasis nilai wajar dan nilai historis, adanya skeptisisme profesional auditor dan perbedaan ukuran KAP. Teori tawarmenawar dalam penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan dengan lebih komprehensif model interaksi negosiasi auditor-klien, yang selanjutnya digunakan sebagai panduan mekanisme eksperimen yang dilakukan dalam penelitian ini. Secara spesifik penelitian ini ingin memberikan gambaran bahwa (1) auditor akan memberikan nilai akhir dalam negosiasi yang lebih konservatif untuk laporan keuangan yang penilaiannya berbasis nilai wajar karena auditor akan memaksimalkan posisi tawarnya pada kondisi menjaga kualitas audit dan kepatuhan terhadap peraturan yang terkait audit terhadap estimasi nilai wajar (misal, SPA 330 dan SPA 540); dan (2) bahwa auditor yang memiliki 13 skeptisisme profesional auditor yang lebih tinggi akan memberikan nilai akhir dalam negosiasi yang lebih rendah dan menjauhi preferensi klien, karena auditor dengan skeptisisme tinggi akan memaksimalkan utilitasnya pada kualitas audit dengan mendapatkan bukti audit yang lebih banyak baik secara kuantitas maupun kualitas (Carpenter dan Reimers 2013; Lee et al. 2013; Hurtt et al. 2013; Nolder dan Kadous 2014; Quadackers et al. 2014) serta (3) auditor KAP berlabel empat besar akan cenderung untuk memberikan nilai akhir negosiasi yang lebih rendah dan menjauhi preferensi klien, karena kekuatan tawar-menawar yang dimiliki auditor lebih besar dibanding auditor KAP tidak berlabel empat besar. 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran negosiasi auditor-klien yang menjadi isu utama dalam akuntansi nilai wajar. Negosiasi auditor-klien menjadi solusi pada kondisi adanya subyektifitas yang tinggi dalam menentukan nilai wajar suatu aktiva atau kewajiban tertentu (Murnighan dan Bazerman 1990). Literatur audit menunjukkan bahwa (1) negosiasi auditor-klien sering terjadi dan merupakan bagian penting dari proses audit, dan (2) terjadinya negosiasi auditor-klien sangat berkaitan dengan berbagai faktor ekonomi dan psikologi (Tuttle dan Wang 2009). Dengan demikian sangat dimungkinkan untuk menangkap fenomena bahwa akuntansi nilai wajar dapat meningkatkan terjadinya angka akuntansi sesuaian atau angka akuntansi negosiasian dalam laporan akhir (Wang 2010). Secara khusus penelitian ini dibangun dari penelitian sebelumnya yang meneliti tentang pengaruh estimasi nilai wajar akuntansi, adanya skeptisisme profesional auditor dan ukuran kantor akuntan publik terhadap negosiasi antara auditor dan klien terhadap laporan keuangan klien (Brown-Liburd dan Wright 2008; Chen et al. 2005; Wang dan Tuttle 2009; Wang 2010; Husnatarina dan Nahartyo 2012; Brown-Liburd, et al. 2013). 14 Ada tiga tujuan dari penelitian ini. Pertama, memberikan bukti empiris bahwa nilai akhir auditor terhadap aset perusahaan klien akan berbeda lebih konservatif pada kondisi penilaian berbasis nilai wajar dibandingkan dengan penilaian berbasis nilai historis. Kedua, memberikan bukti empiris bahwa terdapat perbedaan nilai akhir auditor terhadap aset perusahaan klien, bahwa auditor dengan skeptisisme tinggi akan memberikan nilai yang lebih konservatif dibandingkan dengan auditor dengan skeptisisme rendah. Ketiga, memberikan bukti empiris bahwa terdapat perbedaan nilai akhir auditor terhadap aset perusahaan klien, bahwa auditor yang berasal dari KAP berlabel empat besar akan memberikan nilai yang lebih konservatif dibandingkan dengan auditor yang berasal dari KAP tidak berlabel empat besar. 1.5 Keaslian Penelitian Penelitian ini berbeda dalam dua hal dibandingkan penelitian-penelitian kuantitatif sebelumnya yang menguji tentang negosiasi auditor-klien (Brown-Liburd dan Wright 2008; Chen et al. 2005; Wang dan Tuttle 2009; Wang 2010; Salterio, 2011; Husnatarina dan Nahartyo 2012; Brown-Liburd, et al. 2013). Pertama, penelitian menguji secara khusus negosiasi auditor-klien terkait isu pengimplementasian nilai wajar akuntansi. Pengujian ini dilatarbelakangi oleh banyaknya penelitian di bidang akuntansi terkait implementasi nilai wajar pada era pengadopsian IFRS, secara khusus di Indonesia. Standar Perikatan Audit (SPA) 330 dan 540 yang resmi berlaku sejak 2013 di Indonesia menjadi sebuah latar belakang riset yang menarik terkait pekerjaan audit terhadap estimasi nilai wajar. SPA 330 dan 540 ini mengungkapkan bahwa auditor harus mampu menilai (a) apakah manajemen telah secara tepat menerapkan ketentuan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku, yang relevan terhadap estimasi akuntansi; (b) apakah metode untuk membuat estimasi akuntansi adalah tepat dan telah diterapkan secara konsisten dan apakah perubahan, jika ada, dalam estimasi akuntansi atau dalam metode untuk membuat estimasi tersebut dari periode lalu 15 sudah tepat dan sesuai dengan keadaan yang bersangkutan. Uraian tersebut menunjukkan bahwa auditor akan memiliki inisiatif untuk melakukan negosiasi dengan klien terkait estimasi klien atas laporan keuangannya. Kedua, penelitian ini menggunakan teori tawar-menawar untuk pemodelan interaksi negosiasi auditor-klien. Teori tawar-menawar dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran model interaksi negosiasi auditor-klien yang lebih komprehensif, yang selanjutnya diimplementasikan dalam pengaturan eksperimen yang dilakukan dalam penelitian ini. 1.6 Kontribusi Penelitian Penelitian ini penting untuk dilakukan dalam konteks Indonesia, karena Indonesia menjadi salah satu negara yang mengadopsi IFRS, sehingga beberapa regulasi dalam profesi auditor diarahkan untuk menjawab tantangan terkait dilematisnya penerapan IFRS di Indonesia. Salah satu respon regulator adalah dengan munculnya Standar Perikatan Audit (SPA) 330 tentang respon auditor terhadap risiko yang telah dinilai dan SPA 540 tentang audit atas estimasi akuntansi termasuk estimasi akuntansi nilai wajar, dan pengungkapan yang bersangkutan. SPA ini bertujuan agar auditor memperoleh bukti yang cukup dan tepat tentang apakah (a) estimasi akuntansi, termasuk estimasi akuntansi nilai wajar dalam laporan keuangan, baik yang diakui atau diungkapkan adalah wajar, dan (b) pengungkapan yang bersangkutan dalam laporan keuangan adalah memadai dalam konteks kerangka pelaporan keuangan yang berlaku. Ketika dikaitkan dengan fenomena negosiasi auditor-klien, maka sangat relevan untuk diteliti bagaimana perubahan regulasi atau pengadopsian sebuah standar baru berpengaruh terhadap proses negosiasi auditor-klien, yang juga telah diungkapkan dalam penelitian sebelumnya bahwa negosiasi auditor-klien kemungkinan besar terjadi ketika 16 ada standar yang ambigu dan munculnya regulasi pemicu (Gibbins et al. 2001; Beattie et al. 2004; Wang dan Tuttle 2009; Wang 2010; Brown-Liburd et al. 2013). Penelitian ini akan menguji perbedaan nilai akhir auditor dalam negosiasi auditor-klien pada kondisi penggunaan basis penilaian laporan keuangan dengan nilai wajar dan nilai historis, skeptisisme profesional auditor dan adanya perbedaan ukuran KAP. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dalam beberapa hal. Pertama, memberikan perluasan literatur penelitian dalam area negosiasi auditor-klien, khususnya mengenai pengaruh penggunaan basis penilaian, adanya skeptisisme profesional auditor dan ukuran kantor akuntan publik terhadap hasil negosiasi auditor-klien. Kedua, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang dinamika praktik audit dan dilema etika yang dihadapi oleh auditor ketika berinteraksi dengan klien terkait laporan keuangan klien. Gambaran ini diwujudkan dengan penggunaan kasus dalam penelitian ini yang mengakomodasi kondisi praktik pengauditan di Indonesia. Dilema etika akan muncul terkait interaksi auditor dengan klien serta perbedaan kepentingan yang dialami keduanya. Ketiga, penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi metodologi dengan menggunakan pemodelan teori tawarmenawar untuk menggambarkan kekuatan tawar-menawar auditor dan klien dalam proses negosiasi antara auditor dan klien. Dalam pola interaksi negosiasi, kontribusi teori tawarmenawar menjelaskan apa yang menyebabkan terjadinya negosiasi, dalam hal ini adalah adanya kondisi perbedaan basis penilaian akuntansi yang terdapat dalam laporan keuangan dengan menggunakan kasus penurunan nilai aset perusahaan klien. Teori tawar-menawar juga memberi penjelasan bagaimana perbedaan basis penilaian, skeptisisme profesional auditor dan perbedaan ukuran KAP mempengaruhi kekuatan tawar-menawar auditor yang tercermin melalui nilai akhir negosiasi yang direkomendasikan auditor. Teori tawar-menawar umumnya mengisyaratkan bahwa manajemen memiliki kekuatan tawar-menawar yang lebih besar dari auditor berdasarkan argumentasi economic dependency theory (Frankel et al. 17 2001). Diharapkan hasil pemodelan teori tawar-menawar dalam penelitian ini dapat memberikan argumentasi sebaliknya. Hasil pemodelan teori tawar-menawar dalam set area negosiasi memberikan gambaran posisi auditor pada kondisional tertentu, sehingga konfirmasi yang dilakukan berdasarkan teori psikologi lainnya menjadi simpulan dari gambaran kondisi tersebut. Artinya bahwa kontribusi model teori tawar-menawar dalam penelitian ini adalah simpulan yang bisa dikaitkan dengan teori penjelas lainnya. Keempat, memberikan kontribusi kepada penyusunan standar dan kode etik akuntan Indonesia, terkait penggunaan basis penilaian laporan keuangan dengan nilai wajar yang memberi dampak terhadap pekerjaan audit. Secara khusus bagi standar perikatan audit yang terkait tanggung jawab auditor dalam pelaksanaan pekerjaan audit terhadap estimasi nilai wajar akuntansi serta estimasi lainnya dalam laporan keuangan klien. 1.7 Sistematika Penulisan Disertasi ini disusun dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut. Bab pertama menyajikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, keaslian dan kontribusi penelitian. Bab kedua menguraikan literatur yang relevan dengan penelitian ini yaitu mengenai teori yang melandasi negosiasi auditor-klien. Bab kedua juga menguraikan sintesis hasil penelitian negosiasi auditor-klien terdahulu dan pengembangan hipotesis. Bab ketiga menguraikan metode pengumpulan data, definisi variabel penelitian, desain eksperimen, pengembangan instrumen penelitian, kuesioner dan instrumen eksperimen, validitas penelitian, cek manipulasi eksperimen, dan pengujian hipotesis penelitian. Bab keempat meliputi mekanisme eksperimen dan karakteristik sampel, randomisasi eksperimen, hasil pengecekan manipulasi basis penilaian laporan keuangan, pengujian hipotesis serta pembahasan hasil pengujian hipotesis. Bab kelima menyajikan simpulan, implikasi penelitian, keterbatasan penelitian, serta saran untuk penelitian mendatang. 18