bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pada era implementasi IFRS (International Financial Reporting Standards), penggunaan
estimasi nilai wajar dalam pelaporan keuangan memiliki pengaruh besar terhadap perubahan
standar pengauditan (AICPA 2011; Christensen et al. 2012; PCAOB 2014). Perubahan
standar pengauditan ini menjadi tantangan tersendiri bagi auditor. Permasalahan utama dalam
pelaporan keuangan berdasarkan IFRS adalah subyektifitas penentuan estimasi nilai wajar
(PCAOB 2007b; 2009; Christensen et al. 2012). Subyektifitas estimasi nilai wajar terletak
pada ketidakpastian pengukuran nilai wajar tersebut, yang mengarah kepada munculnya
ambiguitas penilaian, misalnya pada penilaian instrumen keuangan. Ambiguitas nilai wajar
dalam laporan keuangan muncul ketika beberapa pihak tidak sepakat untuk menggunakan
satu metode penilaian saja, terutama pada item yang tidak ada harga pasarnya. Tidak
tersedianya harga pasar aktual menyebabkan estimasi nilai wajar yang digunakan adalah
―mark to model‖ yaitu estimasi yang didasarkan pada model tertentu misalnya menggunakan
model ―nilai pengganti‖ yang dapat mengakomodasi asumsi-asumsi manajemen (Georgiou
dan Lisa 2011). Masuknya asumsi-asumsi manajemen dalam proses penilaian membuka
peluang bias, yang menggambarkan penggunaan asumsi yang lebih agresif oleh manajemen
(Kolev 2009; Cannon dan Bedard 2014).
Di Indonesia sendiri kasus perusahaan yang menggunakan asumsi yang agresif dalam
laporan keuangan terjadi pada PT. Kimia Farma yang melakukan overstatement persediaan
barang sebesar Rp 23,9 miliar. Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul
karena nilai yang ada dalam daftar harga persediaan digelembungkan. Berdasarkan
penyelidikan Bapepam, Hans Tuanakotta dan Mustofa (HTM) yang melakukan audit
1
terhadap PT. Kimia Farma, gagal untuk mendeteksi kecurangan yang dilakukan pihak
manajemen PT. Kimia Farma (Bapepam 2002). Dari uraian kasus tersebut, secara mendasar
dapat disimpulkan bahwa dalam standar pelaporan dan pengungkapan yang memungkinkan
masuknya asumsi manajemen, kompleksitas tugas auditor semakin tinggi dalam praktik
pengauditan (Kolev 2009; Bratten et al. 2013).
Boner dan Newell (2010) mengungkapkan bahwa individu yang menghadapi
kompleksitas tugas, maka kinerjanya akan menurun, karena individu tersebut akan cenderung
untuk mengadopsi strategi penyederhanaan pengambilan keputusan. Tugas yang kompleks
juga akan berpengaruh negatif terhadap kualitas keputusan akhir individual (Payne et al.
1993). Bratten et al. (2013) mengungkapkan bahwa kompleksitas tugas sebagai faktor paling
berpengaruh dalam estimasi nilai wajar, yang berhubungan dengan adanya ketidakpastian
tugas dan pengaruh lingkungan. Kompleksitas tugas ini akan berpengaruh negatif terhadap
kinerja auditor. Griffith et al. (2014) melaporkan wawancara yang dilakukan dengan auditor
partner, yang menunjukkan bahwa mereka kadang kala gagal untuk memahami risiko utama
dari sebuah model yang dipilih oleh klien, karena kurangnya pengetahuan tentang model atau
metode yang digunakan, sehingga akhirnya mereka akan salah menafsirkan asumsi krusial
yang mendasari model tersebut secara khusus ketika nilai pasar tidak tersedia atau tidak
dinamis (SEC 2008a; 2008b; Humphrey et al. 2009).
PCAOB memberikan panduan bagi auditor melalui standar praktik pengauditan nilai
wajar dan estimasi akuntansi lainnya, seperti standar pengauditan AU bagian 328 tentang
pengukuran dan pengungkapan nilai wajar dalam pengauditan yang diaplikasikan untuk
pengukuran dan pengungkapan nilai wajar dalam laporan keuangan (PCAOB 2003b). Bagian
ini mengungkapkan bahwa auditor harus melakukan evaluasi terhadap pengukuran dan
pengungkapan nilai wajar dalam laporan keuangan. Lebih lanjut, auditor juga harus
mengevaluasi apakah asumsi dasar nilai wajar yang diadopsi oleh manajemen memiliki
2
argumentasi yang kuat, dan apakah metode yang digunakan oleh manajemen untuk
menentukan pengukuran nilai wajar, digunakan secara konsisten (PCAOB 2007a; 2007b).
Hasil kajian AICPA menunjukkan bahwa manajemen sering kali menggunakan metode dan
asumsi nilai wajar yang cenderung agresif (AICPA 2011). Hal ini dilatarbelakangi oleh
kondisi perekonomian serta persaingan usaha yang memberikan tekanan kepada pihak
manajemen untuk mencapai target keuangan tertentu, yang akhirnya memicu manajemen
untuk memasukkan asumsi subyektifitas mereka dalam laporan keuangan (AICPA 2011;
IAASB 2008b). Asumsi subyektifitas tersebut dipicu oleh sifat oportunis manajemen. Secara
spesifik subyektifitas manajemen tersebut digambarkan dalam penggunaan model revaluasi
terhadap aset sebagai alat untuk melakukan improvisasi terhadap kapasitas meminjam
perusahaan kepada bank, hal ini dilakukan oleh perusahaan besar, dengan profitabilitas yang
tinggi, dengan rasio likuiditas yang rendah, dan rasio aliran kas yang rendah (Barac dan
Sodan 2011). Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa motivasi manajemen
perusahaan melakukan overtatement terhadap nilai aset adalah untuk kebutuhan pendanaan
perusahaan serta meningkatkan kemampuan meminjam perusahaan (Barlev et al. 2007;
Miscorinier-Piera 2007; Dechow et al. 2010). Kepentingan manajemen untuk mencapai
target hasil keuangan tertentu dalam pengelolaan perusahaan tersebut akan memicu
manajemen untuk melakukan tekanan terhadap pekerjaan auditor. Tekanan yang dilakukan
oleh manajemen dengan bertujuan untuk mengarahkan hasil audit kepada kepentingan pihak
manajemen perusahaan (Chen et al. 2012). Dengan kondisi adanya tekanan pihak
manajemen, tugas auditor dalam praktik pengauditan menjadi semakin kompleks, karena
auditor tidak jarang dihadapkan pada pilihan untuk menjaga independensi serta tanggung
jawab profesionalnya terhadap kepentingan pihak investor atau menjaga hubungan baik
3
dengan pihak klien terkait dengan kepentingan finansial auditor, yang sering kali disebut
sebagai dilema etika1 (Staubus 2005).
Kajian yang dilakukan oleh PCAOB (2003a; 2003b; 2007a; 2007b; 2009; 2010d;
2014a) menunjukkan bahwa sering kali terjadi penyimpangan praktik pengauditan nilai
wajar. Penyimpangan ini terkait dengan ketidakmampuan auditor melakukan telaah terhadap
asumsi yang digunakan oleh manajemen perusahaan, yang salah satunya disebabkan oleh
skeptisisme profesional auditor yang rendah (PCAOB 2012). Skeptisisme profesional2 adalah
karakteristik individual yang fundamental untuk sebuah tugas pengauditan (Hurtt 2010).
AICPA (2014) mengungkapkan bahwa peningkatan skeptisisme profesional auditor sangat
penting ketika pengauditan nilai wajar dalam kondisi munculnya nilai yang ambigu dan bukti
pendukung yang dibutuhkan tidak ada. Untuk memiliki skeptisisme profesional, auditor harus
memahami hubungan antara bukti audit dan risikonya, serta memiliki pengetahuan terhadap
frekuensi error dan non-error, dan mampu mengenali pola yang mengindikasikan munculnya
risiko yang lebih tinggi (Nelson 2009). Auditor yang kurang ahli dalam penilaian akan
memiliki kemampuan yang lebih rendah dalam menentukan risiko salah saji, yang
menyebabkan auditor tidak kritis terhadap bukti-bukti audit yang diperlukan terkait asumsiasumsi krusial yang manajemen gunakan dalam laporan keuangan dengan estimasi nilai
wajar (PCAOB 2014). Secara spesifik, skeptisisme profesional auditor yang rendah akan
menyebabkan auditor gagal untuk (1) mengevaluasi secara cukup asumsi-asumsi yang
digunakan oleh manajemen, (2) mengontrol pengujian yang memadai terkait model penilaian
yang digunakan oleh manajemen, (3) mengevaluasi bukti yang tidak konsisten dengan
1
Dilema etika merupakan situasi yang dihadapi oleh seseorang yang harus membuat keputusan mengenai
perilaku yang patut. Auditor memiliki tanggung jawab profesional terhadap investor, tetapi situasi pengauditan
tidak didesain untuk keberpihakan kepada investor, karena investor tidak secara langsung memberikan insentif
finansial kepada auditor (Staubus 2005).
2
Skeptisisme profesional auditor adalah sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan
melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit (Hurtt 2010). AICPA (2013) mewajibkan auditor untuk
meningkatkan skeptisisme profesionalnya ketika melakukan evaluasi terhadap dugaan adanya kecurangan dan
membantu auditor untuk memahami perilaku manajemen yang tidak jujur.
4
estimasi yang digunakan oleh manajemen, dan (4) menguji hasil pekerjaan yang dilakukan
oleh penilai independen (AICPA 2013).
Pentingnya skeptisisme profesional telah menjadi bagian dari profesi auditor. Hal ini
karena skeptisisme profesional harus digunakan pada saat auditor mempertanyakan bukti
audit yang dikumpulkan dan dinilai selama proses audit (Carpenter dan Reimers 2013; Lee et
al. 2013; Hurtt et al. 2013; Nolder dan Kadous 2014; Quadackers et al. 2014). PCAOB
(2012) mengungkapkan bahwa skeptisisme profesional auditor merupakan bagian dari etika
auditor yang akan mengarahkan auditor untuk menanyakan setiap isyarat yang menunjukkan
kemungkinan
terjadinya
kecurangan.
Pemodelan
skeptisisme
profesional
auditor,
mengasumsikan bahwa auditor yang menunjukkan skeptisisme profesional yang tinggi adalah
auditor yang membutuhkan bukti lebih banyak baik secara kuantitas maupun kualitas. Buktibukti ini dibutuhkan untuk meyakini kebenaran pertanyaan pihak manajemen dalam proses
audit (Nelson 2009; Hurtt 2010; Hurtt et al. 2013). Brown-Liburd et al. (2013) menunjukkan
bahwa auditor dengan skeptisisme profesional yang tinggi digambarkan sebagai auditor yang
dapat bertahan terhadap tekanan pihak manajemen, dan betindak lebih konservatif dalam
negosiasi auditor-klien.
Penelitian sebelumnya tentang negosiasi auditor-klien juga menunjukkan bahwa auditor
yang dapat bertahan terhadap tekanan klien serta memberikan nilai yang lebih konservatif
dalam laporan keuangan klien adalah auditor yang berasal dari kantor akuntan publik yang
besar atau kantor akuntan publik yang berafiliasi dengan Big 5 (Chen et al. 2005). Penelitian
ini secara khusus melakukan investigasi terhadap independensi auditor dalam negosiasi
auditor-klien terkait isu laporan keuangan di Taiwan. Hasil penelitian ini mengungkapkan
bahwa auditor yang memiliki independensi yang tinggi, adalah auditor yang berasal dari Big
5, yang dapat bertahan terhadap tekanan klien terkait isu laporan keuangan dalam negosiasi
auditor-klien, dibandingkan auditor non Big 5.
5
Sebelumnya DeAngelo (1981) menyatakan bahwa ukuran kantor akuntan publik secara
positif berhubungan dengan kualitas audit. Shockley (1981) juga menunjukkan bahwa kantor
akuntan publik yang besar dipandang lebih independen dibandingkan kantor akuntan publik
yang lebih kecil. Gul (1991) menemukan bahwa kantor akuntan publik yang lebih besar
dipersepsikan dapat lebih memecahkan konflik audit dalam kaitannya dengan posisi
perusahaan tersebut. Argumen ini berimplikasi bahwa kantor akuntan publik yang lebih besar
lebih tahan terhadap tekanan manajemen dibandingkan dengan kantor akuntan publik yang
lebih kecil di dalam negosiasi auditor-klien.
Negosiasi auditor-klien menjadi isu besar dalam bidang pengauditan, karena laporan
keuangan auditan merupakan produk bersama antara auditor dan manajemen klien (Wang
dan Tuttle 2009). Negosiasi3 itu sendiri adalah suatu proses saat keputusan bersama dibuat
oleh dua pihak atau lebih dengan preferensi yang berbeda yang hasil akhirnya mempengaruhi
kesejahteraan kedua belah pihak (Murnighan dan Bazerman 1990). Negosiasi juga
merupakan perundingan antara dua pihak yang di dalamnya terdapat proses memberi,
menerima, dan tawar-menawar4, sehingga dalam penelitian ini teori tawar-menawar
(bargaining theory) digunakan sebagai teori yang menjelaskan interaksi antara auditor
dengan manajemen perusahaan dalam negosiasi auditor-klien. Beberapa penelitian
sebelumnya menemukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi negosiasi auditor-klien
secara signifikan mempengaruhi nilai yang dilaporkan dalam laporan keuangan (Antle dan
Nalebuff 1991; Gibbins et al. 2001; Ng dan Tan 2003; Trotman et al. 2005; Bame–Aldred
3
negosiasi n 1 proses tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara satu
pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) yg lain; 2 penyelesaian sengketa secara
damai melalui perundingan antara pihak yang bersengketa (KKBI 2015).
4
tawar-menawar v saling meminta pengurangan harga; menawar v 1 negosiasi yg terjadi dl transaksi jual
beli; mengemukakan permintaan hendak membeli (menyewa dsb) 2 meminta pengurangan harga (sewa,
tuntutan) 3 menyebutkan harga "kurang" dari harga (sewa dsb) yg ditetapkan penjual dsb (KKBI 2015).
6
dan Kida 2007; Sanchez et al. 2007; Brown-Liburd dan Wright 2008; Brown-Liburd dan
Jhonstone 2009; Husnatarina dan Nahartyo 2012; Angela dan Husnatarina 2015).
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa proses penyusunan laporan
keuangan erat kaitannya dengan mekanisme negosiasi antara auditor dan klien, ketika adanya
ambiguitas pada metode penentuan item-item dalam laporan keuangan atau ketika tidak
adanya panduan standar yang jelas (Gibbins et al. 2001; Beattie et al. 2004; Sanchez et al.
2007; Hatfield et al. 2008). Isu dalam akuntansi sering kali dipecahkan dengan negosiasi
antara auditor dan klien. Gibbins et al. (2001) menemukan bahwa 67% dari auditor partner
mengindikasikan bahwa mereka bernegosiasi dengan sebagian besar dari klien mereka. Hasil
negosiasi ini berpengaruh tidak hanya pada laporan keuangan, tetapi juga pada kelanjutan
hubungan antara auditor dan klien (Brown-Liburd dan Wright 2011; McCracken et al. 2011).
Penelitian sebelumnya terkait negosiasi auditor-klien yang dilakukan oleh Wang dan Tuttle
(2009) serta Wang (2010) juga menemukan bahwa terjadi negosiasi terhadap proses maupun
hasil audit, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang di antaranya adanya rotasi kantor
akuntan publik (KAP). Negosiasi terhadap nilai aset perusahaan lebih mengarah kepada
preferensi auditor ketika rotasi KAP terjadi (Wang dan Tuttle 2009). Penelitian Wang (2010)
mengungkapkan bahwa auditor lebih cenderung mengarahkan estimasinya kepada
kepentingan klien pada kondisi kontrak yang dapat diperbaharui, dibandingkan pada kondisi
kontrak yang hanya satu periode. Argumen menunjukkan bahwa auditor cenderung
mengikuti preferensi klien pada kondisi hubungan jangka panjang dengan klien
dimungkinkan.
Beberapa penelitian dalam bidang negosiasi auditor-klien sebelumnya yang
menggunakan responden manajemen perusahaan menunjukkan bahwa manajemen memiliki
insentif untuk menggunakan teknik akuntansi yang agresif dengan tujuan peningkatan laba
perusahaan, sehingga manajemen perusahaan juga memiliki kepentingan untuk memberikan
7
tekanan kepada auditor untuk menerima teknik yang mereka gunakan tersebut. Di pihak
auditor, kemampuan untuk menjaga independensi terhadap kepentingan klien sesuai yang
disyaratkan oleh AICPA tentang etika profesional auditor, menjadi hal utama yang tidak
dapat ditawar. Upaya auditor untuk menjaga integritas dan independensi dalam rangka
pencapaian kualitas audit yang tinggi akan berbenturan dengan kepentingan auditor untuk
mempertahankan hubungan yang baik dengan klien terkait kepentingan ekonomis auditor
yang bersangkutan. Argumen ini dipertegas oleh penelitian sebelumnya yang menunjukkan
bahwa auditor tidak selalu membuat penilaian yang konservatif ketika terlibat dalam
negosiasi untuk penyelesaian masalah yang sifatnya subjektif dan kontroversi dengan klien
(Ng dan Tan 2003; Brown dan Johnstone 2009).
Permasalahan independensi auditor yang berada di bawah tekanan klien menjadi
sebuah fenomena menarik untuk diteliti, seperti yang dilakukan Chen et al. (2005) di Taiwan,
yang membahas independensi auditor dalam proses negosiasi antara auditor-klien terkait isu
penyesuaian dan pengungkapan yang dilakukan dalam laporan keuangan. Secara garis besar
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa auditor yang berasal dari Big 5 lebih mampu
bertahan terhadap tekanan klien dibandingkan auditor non- Big 5. Penelitian sebelumnya juga
mengungkapkan hal serupa, bahwa ukuran KAP secara positif berhubungan dengan kualitas
audit (DeAngelo 1981). Penelitian ini mengungkapkan bahwa KAP yang besar memberikan
kualitas audit yang lebih baik dibandingkan KAP yang kecil. Shockley (1981)
mendemonstrasikan bahwa kantor akuntan publik yang besar dipandang lebih independen
dibandingkan dengan kantor akuntan publik yang lebih kecil. Gul (1991) menemukan bahwa
kantor akuntan publik yang lebih besar dipersepsikan dapat menyelesaikan konflik audit.
Selain itu, menjaga reputasi adalah alasan lain mengapa KAP yang besar dipandang lebih
independen. Argumen tersebut berimplikasi bahwa kantor akuntan publik yang lebih besar
dianggap lebih tahan terhadap tekanan klien dibandingkan dengan kantor akuntan publik
8
yang lebih kecil. Dopuch dan Simunic (1982) serta Simunic dan Stein (1987) menyatakan
bahwa auditor Big 8 memberi kualitas audit yang lebih tinggi untuk mengelola brand-value
mereka. Hal serupa juga ditunjukkan oleh Dye (1993) bahwa kantor akuntan publik yang
lebih besar menghadapi biaya litigasi dan lebih banyak diperkarakan atau dituntut atas
perkara hukum (Lennox 1999). Hal ini dapat di argumentasikan bahwa kantor akuntan publik
Big 4 yang menghadapi finalty yang lebih besar dari kegagalan audit akan mengambil
tindakan defensif dengan melakukan audit dengan kualitas yang lebih tinggi untuk
meminimalkan biaya audit mereka, sehingga auditor Big 4 lebih menjaga independensi
mereka ketika berinteraksi dengan klien dibandingkan auditor non- Big 4 (Simunic dan Stein
1987).
Penelitian ini didesain untuk menguji nilai akhir negosiasi5 auditor dalam kondisi
adanya perbedaan basis penilaian laporan keuangan, skeptisisme profesional auditor dan
ukuran kantor akuntan publik. Penelitian ini mengadaptasi pengaturan eksperimen yang
dilakukan Brown-Liburd, et al. (2013), yang menguji proses negosiasi auditor-klien dalam
kasus perkiraan target laba perusahaan dan adanya skeptisisme profesional auditor. Secara
spesifik penelitian yang dilakukan Brown- Liburd, et al. (2013) ingin menguji apakah posisi
akhir negosiasi bagi auditor dipengaruhi oleh (1) kemampuan klien untuk mencapai target
analis untuk perkiraan laba, dan (2) skeptisisme profesional auditor yang tinggi. Penelitian
Brown-Liburd, et al. (2013) tidak menemukan pengaruh utama antara target analis untuk
perkiraan laba terkait hasil akhir negosiasi bagi auditor, tetapi menemukan interaksi negatif
signifikan antara proyeksi pendapatan dengan skeptisisme profesional auditor, yaitu auditor
dengan skeptisisme profesional yang tinggi akan memberikan hasil akhir negosiasi yang lebih
konservatif terhadap proyeksi pendapatan perusahaan klien yang lebih tinggi.
5
Nilai akhir negosiasi adalah nilai akhir aset rekomendasi auditor yang dihasilkan dari proses interaksi antara
auditor dan klien selama proses negosiasi
9
Penelitian ini mencoba memberikan perluasan area penelitian negosiasi auditor-klien,
dengan menggunakan kasus penilaian berbasis nilai wajar, yang diduga menjadi pemicu
terjadinya negosiasi antara auditor dan klien. Perluasan ini dianggap penting karena pada
kenyataan praktis, pelaporan keuangan yang menggunakan nilai wajar adalah dominan. Pada
tataran profesi sendiri digambarkan bahwa sering kali terjadi perbedaan nilai disebabkan
asumsi-asumsi yang digunakan kemungkinan besar berbeda terhadap bagian laporan
keuangan yang sama.
Penelitian ini juga menggunakan teori tawar-menawar sebagai teori yang menjelaskan
model interaksi antara auditor dan klien dalam negosiasi. Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa teori tawar-menawar digunakan untuk penelitian di bidang negosiasi
(Muthoo 1999). Negosiasi itu sendiri adalah salah satu tipe dari teori tawar-menawar. Teori
tawar-menawar secara umum mengungkapkan bahwa masing-masing pihak dalam proses
negosiasi
akan
memaksimalkan
utilitasnya.
Utilitas
dalam
teori
tawar-menawar
diformulasikan dalam kekuatan tawar-menawar masing-masing pihak, yang dinyatakan
sebagai rasio kemampuan masing-masing pihak untuk mempengaruhi pihak lainnya (Kuhn et
al. 1983). Dengan mengacu pada temuan empiris penelitian sebelumnya, dapat diungkapkan
bahwa auditor akan memiliki kekuatan tawar-menawar yang tinggi pada kondisi adanya
penilaian basis penilaian laporan keuangan, adanya skeptisisme profesional auditor dan
perbedaan ukuran KAP yang diuji dalam penelitian ini.
1.2
Perumusan Masalah
Penelitian dalam area negosiasi auditor-klien terdahulu telah cukup banyak dilakukan.
Penelitian-penelitian tersebut telah membuktikan bahwa negosiasi auditor-klien terjadi dalam
proses pengauditan laporan keuangan perusahaan, sehingga riset di bidang ini sangat penting
10
untuk terus dilakukan, karena laporan keuangan auditan perusahaan tersebut merupakan
produk bersama antara auditor dan manajemen perusahaan. Dalam proses pengauditan itu
sendiri, interaksi antara auditor dan klien merupakan objek utama untuk diteliti. Secara
konseptual auditor dan klien dipandang sebagai dua pihak yang berada pada posisi
kepentingan yang berbeda, yang kepentingan masing-masing pihak akan sangat dipengaruhi
oleh faktor-faktor psikologis maupun ekonomis (Sanchez et al. 2007; Hatfield et al. 2008).
Sebagian besar penelitian terdahulu menunjukkan bahwa isu terkait negosiasi auditorklien tersebut muncul dari fenomena praktis yang mengungkapkan bahwa dalam proses
pengauditan, auditor maupun klien hampir selalu dihadapkan dengan situasi negosiasi
(Trotman et al. 2005). Hal ini dimungkinkan terjadi disebabkan adanya perbedaan
kepentingan antara auditor dan klien. Auditor sendiri digambarkan berada dalam kepentingan
kepatuhan terhadap standar dan menjaga kualitas audit, sedangkan di sisi lainnya klien
mendapatkan tekanan secara ekonomis untuk meningkatkan nilai perusahaan (Chen et al.
2012; Sanchez et al. 2007; Hatfield et al. 2008). Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini
dilakukan untuk menguji negosiasi auditor-klien berdasarkan model teori tawar-menawar
yang mengintegrasikan semua aspek dalam negosiasi, yang secara garis besar meliputi
masukan negosiasi (basis penilaian laporan keuangan, skeptisisme profesional auditor dan
ukuran kantor akuntan publik), proses negosiasi dan hasil negosiasi (nilai yang
direkomendasikan oleh auditor).
Secara khusus, terdapat 3 (tiga) isu yang diangkat dalam penelitian ini. Pertama, adanya
perbedaan hasil negosiasi auditor-klien pada basis penilaian laporan keuangan yang
menggunakan nilai wajar dan nilai historis. Kedua, adanya perbedaan hasil negosiasi auditorklien bagi auditor dengan skeptisisme profesional tinggi dan rendah. Ketiga, adanya
perbedaan hasil negosiasi auditor-klien bagi auditor yang berasal dari KAP berlabel empat
11
besar dan KAP tidak berlabel empat besar, sehingga dapat dirumuskan tiga pertanyaan
penelitian berikut:
1.
Apakah auditor akan memberikan nilai akhir aset yang lebih konservatif pada penilaian
berbasis nilai wajar dibandingkan dengan penilaian berbasis nilai historis?
2.
Apakah auditor dengan skeptisisme profesional yang tinggi akan memberikan nilai
akhir aset yang lebih konservatif dibandingkan dengan auditor dengan skeptisisme
rendah?
3.
Apakah auditor KAP berlabel empat besar akan memberikan nilai akhir aset yang lebih
konservatif dibandingkan dengan auditor KAP tidak berlabel empat besar?
Tujuan penelitian ini adalah menguji preferensi nilai akhir auditor dalam negosiasi
auditor klien dalam kaitannya dengan penggunaan penilaian berbasis nilai wajar akuntansi,
adanya skeptisisme profesional auditor dan ukuran kantor akuntan publik. Teori tawarmenawar digunakan dalam penelitian ini untuk memodelkan pola interaksi auditor-klien
dalam negosiasi. Penelitian ini menggunakan partisipan auditor partner dan manajer pada
kantor akuntan publik berlabel empat besar dan kantor akuntan publik tidak berlabel empat
besar.
1.3
Motivasi Penelitian
Penelitian ini dimotivasi oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Brown-Liburd et al.
(2013) yang menguji skeptisisme auditor dalam konteks negosiasi auditor-klien, dalam
kondisi adanya pencapaian target laba perusahaan klien. Penelitian Brown-Liburd et al.
(2013) juga mengungkapkan bahwa negosiasi auditor-klien akan sangat erat kaitannya
dengan faktor-faktor ekonomis maupun psikologis lainnya yang belum diangkat dalam
penelitian mereka. Secara garis besar penelitian Brown-Liburd et al. (2013) menunjukkan
12
bukti empiris bahwa auditor yang memiliki skeptisisme profesional tinggi, akan bernegosiasi
dengan lebih konservatif dan memberikan rekomendasi nilai yang lebih konservatif.
Penelitian ini juga dimotivasi oleh diadopsinya IFRS di Indonesia, sehingga
kompleksitas tugas dan informasi yang dihadapi oleh auditor pada penilaian berbasis nilai
wajar menjadi hal yang menarik untuk teliti terkait pengambilan keputusan auditor. Menarik
juga untuk dilihat secara umum bagaimana dilema etika yang dihadapi auditor terkait
perubahan standar dan tingkat kesulitan tugas penilaian berbasis nilai wajar akuntansi dalam
konteks spesifik negosiasi auditor-klien (Wang dan Tuttle 2009; Wang 2010). Penelitian ini
dilakukan untuk memperluas penelitian area negosiasi auditor-klien yang selama ini telah
dilakukan yang berfokus pada isu-isu praktis terjadinya negosiasi auditor-klien disebabkan
perubahan regulasi dan perbedaan kepentingan baik secara psikologis maupun ekonomis
antara auditor dengan klien (Gibbins et al. 2001; Beattie et al. 2004; Wang dan Tuttle 2009;
Wang 2010; Husnatarina dan Nahartyo 2012). Penelitian ini menggunakan teori tawarmenawar dalam model interaksi negosiasi auditor-klien, sehingga penelitian ini memberikan
perluasan metodologi yang berarti bahwa teori tawar-menawar dapat memberikan gambaran
posisi tawar-menawar auditor pada kondisi adanya penilaian berbasis nilai wajar dan nilai
historis, adanya skeptisisme profesional auditor dan perbedaan ukuran KAP. Teori tawarmenawar dalam penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan dengan lebih komprehensif
model interaksi negosiasi auditor-klien, yang selanjutnya digunakan sebagai panduan
mekanisme eksperimen yang dilakukan dalam penelitian ini.
Secara spesifik penelitian ini ingin memberikan gambaran bahwa (1) auditor akan
memberikan nilai akhir dalam negosiasi yang lebih konservatif untuk laporan keuangan yang
penilaiannya berbasis nilai wajar karena auditor akan memaksimalkan posisi tawarnya pada
kondisi menjaga kualitas audit dan kepatuhan terhadap peraturan yang terkait audit terhadap
estimasi nilai wajar (misal, SPA 330 dan SPA 540); dan (2) bahwa auditor yang memiliki
13
skeptisisme profesional auditor yang lebih tinggi akan memberikan nilai akhir dalam
negosiasi yang lebih rendah dan menjauhi preferensi klien, karena auditor dengan skeptisisme
tinggi akan memaksimalkan utilitasnya pada kualitas audit dengan mendapatkan bukti audit
yang lebih banyak baik secara kuantitas maupun kualitas (Carpenter dan Reimers 2013; Lee
et al. 2013; Hurtt et al. 2013; Nolder dan Kadous 2014; Quadackers et al. 2014) serta (3)
auditor KAP berlabel empat besar akan cenderung untuk memberikan nilai akhir negosiasi
yang lebih rendah dan menjauhi preferensi klien, karena kekuatan tawar-menawar yang
dimiliki auditor lebih besar dibanding auditor KAP tidak berlabel empat besar.
1.4
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran negosiasi auditor-klien yang menjadi
isu utama dalam akuntansi nilai wajar. Negosiasi auditor-klien menjadi solusi pada kondisi
adanya subyektifitas yang tinggi dalam menentukan nilai wajar suatu aktiva atau kewajiban
tertentu (Murnighan dan Bazerman 1990). Literatur audit menunjukkan bahwa (1) negosiasi
auditor-klien sering terjadi dan merupakan bagian penting dari proses audit, dan (2)
terjadinya negosiasi auditor-klien sangat berkaitan dengan berbagai faktor ekonomi dan
psikologi (Tuttle dan Wang 2009). Dengan demikian sangat dimungkinkan untuk menangkap
fenomena bahwa akuntansi nilai wajar dapat meningkatkan terjadinya angka akuntansi
sesuaian atau angka akuntansi negosiasian dalam laporan akhir (Wang 2010).
Secara khusus penelitian ini dibangun dari penelitian sebelumnya yang meneliti tentang
pengaruh estimasi nilai wajar akuntansi, adanya skeptisisme profesional auditor dan ukuran
kantor akuntan publik terhadap negosiasi antara auditor dan klien terhadap laporan keuangan
klien (Brown-Liburd dan Wright 2008; Chen et al. 2005; Wang dan Tuttle 2009; Wang 2010;
Husnatarina dan Nahartyo 2012; Brown-Liburd, et al. 2013).
14
Ada tiga tujuan dari penelitian ini. Pertama, memberikan bukti empiris bahwa nilai
akhir auditor terhadap aset perusahaan klien akan berbeda lebih konservatif pada kondisi
penilaian berbasis nilai wajar dibandingkan dengan penilaian berbasis nilai historis. Kedua,
memberikan bukti empiris bahwa terdapat perbedaan nilai akhir auditor terhadap aset
perusahaan klien, bahwa auditor dengan skeptisisme tinggi akan memberikan nilai yang lebih
konservatif dibandingkan dengan auditor dengan skeptisisme rendah. Ketiga, memberikan
bukti empiris bahwa terdapat perbedaan nilai akhir auditor terhadap aset perusahaan klien,
bahwa auditor yang berasal dari KAP berlabel empat besar akan memberikan nilai yang lebih
konservatif dibandingkan dengan auditor yang berasal dari KAP tidak berlabel empat besar.
1.5
Keaslian Penelitian
Penelitian ini berbeda dalam dua hal dibandingkan penelitian-penelitian kuantitatif
sebelumnya yang menguji tentang negosiasi auditor-klien (Brown-Liburd dan Wright 2008;
Chen et al. 2005; Wang dan Tuttle 2009; Wang 2010; Salterio, 2011; Husnatarina dan
Nahartyo 2012; Brown-Liburd, et al. 2013). Pertama, penelitian menguji secara khusus
negosiasi auditor-klien terkait isu pengimplementasian nilai wajar akuntansi. Pengujian ini
dilatarbelakangi oleh banyaknya penelitian di bidang akuntansi terkait implementasi nilai
wajar pada era pengadopsian IFRS, secara khusus di Indonesia. Standar Perikatan Audit
(SPA) 330 dan 540 yang resmi berlaku sejak 2013 di Indonesia menjadi sebuah latar
belakang riset yang menarik terkait pekerjaan audit terhadap estimasi nilai wajar. SPA 330
dan 540 ini mengungkapkan bahwa auditor harus mampu menilai (a) apakah manajemen
telah secara tepat menerapkan ketentuan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku, yang
relevan terhadap estimasi akuntansi; (b) apakah metode untuk membuat estimasi akuntansi
adalah tepat dan telah diterapkan secara konsisten dan apakah perubahan, jika ada, dalam
estimasi akuntansi atau dalam metode untuk membuat estimasi tersebut dari periode lalu
15
sudah tepat dan sesuai dengan keadaan yang bersangkutan. Uraian tersebut menunjukkan
bahwa auditor akan memiliki inisiatif untuk melakukan negosiasi dengan klien terkait
estimasi klien atas laporan keuangannya.
Kedua, penelitian ini menggunakan teori tawar-menawar untuk pemodelan interaksi
negosiasi auditor-klien. Teori tawar-menawar dalam penelitian ini diharapkan dapat
memberikan gambaran model interaksi negosiasi auditor-klien yang lebih komprehensif,
yang selanjutnya diimplementasikan dalam pengaturan eksperimen yang dilakukan dalam
penelitian ini.
1.6
Kontribusi Penelitian
Penelitian ini penting untuk dilakukan dalam konteks Indonesia, karena Indonesia menjadi
salah satu negara yang mengadopsi IFRS, sehingga beberapa regulasi dalam profesi auditor
diarahkan untuk menjawab tantangan terkait dilematisnya penerapan IFRS di Indonesia.
Salah satu respon regulator adalah dengan munculnya Standar Perikatan Audit (SPA) 330
tentang respon auditor terhadap risiko yang telah dinilai dan SPA 540 tentang audit atas
estimasi akuntansi termasuk estimasi akuntansi nilai wajar, dan pengungkapan yang
bersangkutan. SPA ini bertujuan agar auditor memperoleh bukti yang cukup dan tepat tentang
apakah (a) estimasi akuntansi, termasuk estimasi akuntansi nilai wajar dalam laporan
keuangan, baik yang diakui atau diungkapkan adalah wajar, dan (b) pengungkapan yang
bersangkutan dalam laporan keuangan adalah memadai dalam konteks kerangka pelaporan
keuangan yang berlaku. Ketika dikaitkan dengan fenomena negosiasi auditor-klien, maka
sangat relevan untuk diteliti bagaimana perubahan regulasi atau pengadopsian sebuah standar
baru berpengaruh terhadap proses negosiasi auditor-klien, yang juga telah diungkapkan
dalam penelitian sebelumnya bahwa negosiasi auditor-klien kemungkinan besar terjadi ketika
16
ada standar yang ambigu dan munculnya regulasi pemicu (Gibbins et al. 2001; Beattie et al.
2004; Wang dan Tuttle 2009; Wang 2010; Brown-Liburd et al. 2013).
Penelitian ini akan menguji perbedaan nilai akhir auditor dalam negosiasi auditor-klien
pada kondisi penggunaan basis penilaian laporan keuangan dengan nilai wajar dan nilai
historis, skeptisisme profesional auditor dan adanya perbedaan ukuran KAP. Penelitian ini
diharapkan memberikan kontribusi dalam beberapa hal. Pertama, memberikan perluasan
literatur penelitian dalam area negosiasi auditor-klien, khususnya mengenai pengaruh
penggunaan basis penilaian, adanya skeptisisme profesional auditor dan ukuran kantor
akuntan publik terhadap hasil negosiasi auditor-klien. Kedua, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan gambaran tentang dinamika praktik audit dan dilema etika yang dihadapi oleh
auditor ketika berinteraksi dengan klien terkait laporan keuangan klien. Gambaran ini
diwujudkan dengan penggunaan kasus dalam penelitian ini yang mengakomodasi kondisi
praktik pengauditan di Indonesia. Dilema etika akan muncul terkait interaksi auditor dengan
klien serta perbedaan kepentingan yang dialami keduanya. Ketiga, penelitian ini diharapkan
akan memberikan kontribusi metodologi dengan menggunakan pemodelan teori tawarmenawar untuk menggambarkan kekuatan tawar-menawar auditor dan klien dalam proses
negosiasi antara auditor dan klien. Dalam pola interaksi negosiasi, kontribusi teori tawarmenawar menjelaskan apa yang menyebabkan terjadinya negosiasi, dalam hal ini adalah
adanya kondisi perbedaan basis penilaian akuntansi yang terdapat dalam laporan keuangan
dengan menggunakan kasus penurunan nilai aset perusahaan klien. Teori tawar-menawar
juga memberi penjelasan bagaimana perbedaan basis penilaian, skeptisisme profesional
auditor dan perbedaan ukuran KAP mempengaruhi kekuatan tawar-menawar auditor yang
tercermin melalui nilai akhir negosiasi yang direkomendasikan auditor. Teori tawar-menawar
umumnya mengisyaratkan bahwa manajemen memiliki kekuatan tawar-menawar yang lebih
besar dari auditor berdasarkan argumentasi economic dependency theory (Frankel et al.
17
2001). Diharapkan hasil pemodelan teori tawar-menawar dalam penelitian ini dapat
memberikan argumentasi sebaliknya. Hasil pemodelan teori tawar-menawar dalam set area
negosiasi memberikan gambaran posisi auditor pada kondisional tertentu, sehingga
konfirmasi yang dilakukan berdasarkan teori psikologi lainnya menjadi simpulan dari
gambaran kondisi tersebut. Artinya bahwa kontribusi model teori tawar-menawar dalam
penelitian ini adalah simpulan yang bisa dikaitkan dengan teori penjelas lainnya. Keempat,
memberikan kontribusi kepada penyusunan standar dan kode etik akuntan Indonesia, terkait
penggunaan basis penilaian laporan keuangan dengan nilai wajar yang memberi dampak
terhadap pekerjaan audit. Secara khusus bagi standar perikatan audit yang terkait tanggung
jawab auditor dalam pelaksanaan pekerjaan audit terhadap estimasi nilai wajar akuntansi
serta estimasi lainnya dalam laporan keuangan klien.
1.7
Sistematika Penulisan
Disertasi ini disusun dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut. Bab pertama
menyajikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, keaslian dan kontribusi penelitian.
Bab kedua menguraikan literatur yang relevan dengan penelitian ini yaitu mengenai teori
yang melandasi negosiasi auditor-klien. Bab kedua juga menguraikan sintesis hasil penelitian
negosiasi auditor-klien terdahulu dan pengembangan hipotesis. Bab ketiga menguraikan
metode pengumpulan data, definisi variabel penelitian, desain eksperimen, pengembangan
instrumen penelitian, kuesioner dan instrumen eksperimen, validitas penelitian, cek
manipulasi eksperimen, dan pengujian hipotesis penelitian. Bab keempat meliputi mekanisme
eksperimen dan karakteristik sampel, randomisasi eksperimen, hasil pengecekan manipulasi
basis penilaian laporan keuangan, pengujian hipotesis serta pembahasan hasil pengujian
hipotesis. Bab kelima menyajikan simpulan, implikasi penelitian, keterbatasan penelitian,
serta saran untuk penelitian mendatang.
18
Download