International Fact Finding Mission Bulukumba – Sulawesi Selatan I. Pengantar Perampasan tanah menjadi salah satu faktor meningkatnya kehilangan kepemilikan atas tanah di asia. Kehilangan kepemilikan lahan di Asia telah berada pada tahap yang memprihatinkan selama sepuluh tahun terakhir, membawa Negara-negara ASIAN pada tingkat yang lebih tinggi dengan adanya pasar global dan meningkatnya tuntutan kebutuhan akan lahan bagi perusahaan besar. Perampasan lahan menolak hak petani terhadap tanah. Hal tersebut menyebabkan kehilangan dan kerusakan tanah. Berdampak serius pada kedaulatan pangan-terhadap hak atas tanah, sumber daya dan makanan dari petani dan masyarakat pinggiran. Di Indonesia, perluasan dan eksplotasi yang berlebihan terhadap sumber daya secara langsung meningkatkan perampasan lahan. Sejak tahun 1980-an, PT PP London Sumatera (LONSUM) yang didukung oleh pemerintah dan pihak militer/polisi (TNI) telah menghancurkan dan merusak ratusan rumah dan sawah yang dimiliki oleh petani/masyarakat adat beberapa desa di Bulukumba. Wilayah yang direbut oleh PT.PP LONSUM meliputi 5.784,46 ha yang digunakan sebagai perkebunan karet dengan hak guna usaha (HGU). Perjuangan rakyat terhadap perampasan lahan telah sangat brutal merecoki. Rakyat Bulukumba telah mengalami kematian, penangkapan dan intimidasi, serta pelecehan terhadap rakyat seperti Masyarakat Kajang kehilangan tempat tinggal. Situasi di Bulukumba, Sulawesi selatan ini telah menggerakkan Koalisi Petani Asia (APC) dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) didukung oleh MISERIOR dalam mendatangkan pihak Misi Pencarian Fakta Internasional (IFFM) dalam lingkup yang sejalan dengan advokasi terhadap Reformasi Agraria lahan yang sejati dan mempertahankan tanah masyarkat adat, kehidupan, dan lingkungan melawan dampak buruk perampasan lahan. Lebih jauh, IFFM mencari : 1. Mendokumentasikan dan menganalisa proses intra-pemerintahan, instrumen resmi yang digunakan, dan dampak langsung serta dampak kedepannya terhadap rakyat, ketahanan pangan, dan lingkungan. 2. Untuk memformulasikan rangkaian proposal kebijakan untuk mempengaruhi pembuat kebijakan sesuai dengan badan internasional. 3. Memfasilitasi penggunaan informasi yang diperoleh dalam proyek pengawalan masyarkat dan organisasinya dalam menuntut hak mereka terhadap tanah mereka dan melindungi lingkungan dan kehidupannya, dan; 4. Memobilisasi masyarakat umum dalam menggalang solidaritas terhadap komunitas masyarakat yang di kenai dampak dari perampasan tanah melalui kampanye, advokasi, dan pendidikan inisiatif. The IFFM terdiri dari 32 orang anggota baik internasional, nasional, maupun local dari Kamboja, India, Filipina, dan Indonesia. Tim IFFM mengunjungi dan melakukan wawancara pada 4 desa seperti Bonto Baji, Tamatto, Maleleng dan Bonto Biraeng di Kabupaten Blukumba, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. II. Sejarah Sejak 1906 London Sumatera ((LONSUM) didirikan di medan dan memulai ekspansi ke Bulukumba ata Panrita Lopi pada 1919, tepatnya di desa Bolombissie, kecamatan Bulukumpa ((berbatasan dengan tanah masyarakat adat kajang ). Awalnya, PT. LONSUM di namakan NV. Celebes Lanboe Mastchapai. Pada waktu itu, Polo dan Karaeng Ujung Loe mengunjungi Amma Toa ( Pemimpin Masyarakat Adat KAjang) meminta izin untuk membangun perusahaan mereka. Pada awal NV. Celebes berada di Bulukmba, mereka mengembangkan, tanaman kopi, serei belanda, dan Kapas pada 200 Ha lahan. Kemudian, di tahun 1960an Lonsum mengembangkan tanaman karet. Berikut adalah sejarah lampau dari kedatangan LONSUM di desa-desa yang di kunjungi oleh IFFM. 1. Desa Malleleng Rakyat malleleng adalah salah satu dari anggota masyarakat adat kajang. Amma Toa sebagai pimpinan Masyarakat adat Kajang mengelola lahan menggunakan cara tradisional, penggunaan lahan di bagi menjadi dua yaitu Rambang Luara dan Rabbang Seppang. Rambang Luara digunakan untuk pertanian, perkebunan, dan peternakan, sedangkan Rabbang Seppang sebagai lahan utama tidak digunakan untuk apapun selain sebagai area konservasi. Sementara masyarakat Tana Toa yang mempunyai keahlian dalam pertanian dan pembibitan dan akan mengembangkan pertanian, mereka ke Rabbang Luara yang meliputi Tanuntung, Tammatti, Buatana, dan Sangkala Lombo yang saati ini di kenal sebagai Bontoa, Tamatto, Batu LApisi, Manriringi, and Buki’a. bekas Lahan tersebut masih dapat dilihat dalam bentuk pematang (gundukan diantara sawah) dan juga di temukan banyak kuburan kuno di area-area tersebut. Sejak tahun 1925, NV Celebes memulai konflik dengan masyarakat dan mencapai puncaknya pada 1963 dimana melakukan intimadasi terhadap rakyat secara membabi buta. Dengan menggunakan kekuatan militer, mereka meneror masyarakat di BOntoa,Tamatto, Batu Lapisi, Manriringi, dan Buki’a, bahkan mereka membakar rumahrumah rakyat. Orang-orang yang ketakutan akhirnya kembali ke Rabbang Seppangan untuk tinggal dan bertani karna lahan mereka sebelumnya telah di rampas secara paksa oleh PT. LONSUM yang di dukung oleh pemerintah. Bukti kepemilikan lahan mereka dalam bentuk rente, terbakar bersama rumah mereka sehingga mereka tidak lagi memiliki bukti kepemilikan. Sampai akhir 1980an, tidak ada lagi masyarakat yang tinggal di Rabbang Luara, kebanyakan dari mereka kembali ke Rabbang Seppanga dan yang lainnya meninggalkan desa. Orang-orang yang kembali ke Rabbang Seppanga akhirnya membentuk komunitas yang kemudian di kenal sebagai Tambangan dan menjadi salah satu dusun dari Desa Tana Toa. Seiring waktu, tambangan secara administrative menjadi desa Tambangan dan Malleleng adalah salah satu perkebuna buah-buahan. 2. Desa Banto Baji Masyarakat Bonto baji adalah suku bangsa minoritas.Nenek moyang mereka telah hidup disana sebelum masa penjajahan Belanda. Tana Toa berarti tanah yang sudah tua. Ammatoa dalah orang pertama yang hidup disana. Nama pertamanya adalah Tambangan. Pada 1987, desa tersebut terbagi menjadi dua bagian. Mereka berjuan melawan penjajahan Belanda. Mereka mempunyai tradisi dan fungsi tersendiri yang menentukan posisi mereka. Posisi mereka ditentukan berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki, seperti: Bohe Tunaluru-Kepala Adat. Dia mempunyai tanggung jawab untuk membuat peraturan. Juga dikenal sebagai Pelindung masyarakat. Bohe Tutanring – Kepala Pemerintahan. Bohe Tutammu – Kepala Urusan Agama (seperti Fengshui – memberitahukan kepada orang-orang dimana letak pintu atau jendela, dll pada saat mereka membangun rumah. Bukka, anggota masyarakat mengatakan bahwa mereka berjuang denga menanam padi, jagung, bambu, kelapa, kakao, merica, dan kacang sebelum Lonsum dating ke Indonesia.tanah itu telah dirampas oleh perusahaan. Saat ini, mereka menjadi buruh pada pemilik tanah sekitar 50 Ha (bersama kedua anaknya) di Bonto Baji. System dan produk pertanian: System pertanian mereka masih manual.Rahman mengatakan bahwa mereka memulai system pertanian menggunakan pestisida pada tahun 1970an. Ada 2 sistem pembagian yang mereka implementasikan. Pertama, jika pemilik lahan menyediakan bibit, pupuk dan pestisida, mereka akan membagi hasil dalam 3 bagian (2 bagian untuk pemelik lahan dan 1 bagian untuk pekerja).kedua, jika pekerja menyediakan sendiri bibit, dll, maka hasilnya dibagi menjadi 2 bagian tapi tiu trgantung dari kesepakatan antara petani dan pemilik lahan. Sabaruddin juga menambahkan bahwa mereka menjual ube per kilo (di pasar dan terkadang mereka membawanya ke Makassar) tetapi tidak setuju dengan harga yang ditawarkan. Mereka juga menjual beras (sebagian untuk membeli ikan dan sisanya untuk kebutuhan lain) untuk konsumsi. Mereka juga terkadang menjual kakao. 3. Desa Bonto Biraeng Bonto Mangiring and Bonto Biraeng adalah kelurahan dan sebagian besar merupakan kawasan hutan. Batu Lapisi (Batu berlapis) adalah desa tua dimana masyarakatnya bercocok tanam jagung, kopi, mangga, kelapa, dll. Menurut Matatia yang lahir tahun 1942, ayahnya pindah ke Batu Lapisi pada 1927 dan itu telah ada sudah sejak lama. Masyarakat dari Kindang Tiro dan hindang dating ke batu Lapisi dan memulai untuk menanam padi, kakao, pisang,dan masih banyak lagi jenis pohon seperti Paliasa (bahan dasar dari pakain Kajang), Tarung (tali), dan Bitti (bahan dasar membangun rumah) and jati. Orang pertama dimana Kajang kemudian diikuti Kindong, Tiro, dan Herlang. Sampai saat ini, masih ditemukan sisa atau bukti bahwa masyarakat hidup disana. Di dalam Kampong dan Karama (di dalam area tersebut), ada sebuah danau besar yang dinamakan Danau Tukasi yang digunakan untuk irigasi padi dan perikanan. Pada masa lalu digunakan sebagai sumber makanan dan juga untuk mendapatkan ikan tetapi militer mulai menduduki tanah penduduk dan menanam mente dan cengkeh pada tahun 1977 – 1979. III. Perampasan tanah Perampasan tanah dimulai pada tahun 1978-1979 oleh 43 orang militer. Mereka menguasai sekitar 350 Ha dan membaginya kepada 150 personil militer. Pada 1978, mereka melakukan perluasaan di Desa Balong sekitar 373 ha, dan membakar 300 rumah di desa tersebut. Di bonto Biraeng, mereka juga menguasai tanah di Kajang dan membakar 500 rumah dimana 200 Ha terdapat tanaman tradisional seperti kopi, kakao, dll. Oleh karena masyarakat tersebut kehilangan tanah dan rumah mereka, lebih dari 50% masyarakat berpindah keluar sebagai imigran ke Malaysia, Sumatra dan Sulawesi. Beberapa dari mereka menjadi petani di daerah lain. Perusahaan Lonsum berdiri sejak 1906 di Sumatera utara. Pada 1919, Lonsum membentuk NV Celebes, membangun perusahaan mereka di Bulukumba khususnya di Balomian Bassie atau daerah bagian Bulukumba. Balom Bassie dekat dengan komunitas Kajang. Mr. Polo dari NV celebes kemudian berbincang dengan Karaeng Ujung Loe dan mulai membangun perusahaan dan menguasai lahan untuk perkebunan karet. Tetapi Ammatoa (Kepala Adat suku Kajang) tidak mengizinkan mereka untuk menanam karet melainkan Kapok. Pada 1960, untuk pertama kalinya, mereka menanam kapok dengan luas 200 Ha. Setelah kematian Ammatoa, Mr. Polo dan Karaeng Ujung loe beralih dari kapok ke karet tanpa izin dari Ammatoa. Pada 1925, NV Celebes mulai membuat konflik dengan masyarakat setempat, dan puncak dari konflik tersebut pada tahun 1963 dimana masyarakat diintimidasi dan diusir oleh tentara.. Masyarakt Bontoa, Tammatto, Batu Lapisi, Manringi, dan Buia kembali ke Rabang Seppanga karena tanah mereka telah di ambil alih oleh tentara sebagai bagian dari Lonsum. IV. Dampak a. Tanah, Air, dan Kedaulatan Pangan Banyak masyarakat menjadi korban karena pelanggaran batas oleh perusahaan. masyarakat menjadi kehilangan dan tanpa tanah dan terpaksa bermigrasi ke luar daerah. Pak Hadaming, dari Tamatto, dengan rela menceritakan kisahnya. Tanahnya telah dirampas oleh perusahaan pada tahun 1977, dia memiliki empat lahan yang ditanami banyak tanaman seperti pisang, jagung, dan sayuran. Kemudian tanahnya diambil secara paksa oleh perusahaan dan dia sangat takut pada waktu itu sejak perusahaan menggunakan militer untuk mengancam perlawanan masyarakat. Anggota Keluarganya menjadi pekerja di perusahaan meskipun menerima gaji kecil karena mereka tidak punya pilihan lain untuk kehidupan mereka. Dia melihat lahan hutan dan pembersihan tanah untuk pertanian dan tanahnya berlanjut dirampas oleh perusahaan. Dia diintimidasi oleh perusahaan untuk keluar dari lahan jika dia tidak setuju menjadi pekerja perusahaan. dia bermigrasi ke daerah lain untuk mencari uang dan kembali untuk membeli lahan sempit disini. Pada umumnya, beberapa orang yang kehilangan lahan menjadi pekerja perusahaan. dan beberapa bermigrasi untuk bekerja di Makassar atau Kalimantan. Buruh untuk perusahaan menerima 1.200.000 rupiah perbulan, sebanding dengan 120 USD perbulan. Seluruh uang tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka dimana pengeluaran sehari-hari mereka lebih tinggi dari pendapatan mereka. Sehingga mereka secara teguh bermigrasi untuk mendapatkan uang yang lebih untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Menurut Topo, yang berumur 85 tahun, lahir di Bonto Baji, dan merupakan seorang petani, “di masa lalu, mereka memiliki tanah tapi karena perampasan tanah oleh PT. Lonsum, sekarang mereka tidak memiliki tanah lagi. Masyarakat miskin. Masyarakat juga bekerja sebagai buruh tani dan mendapatkan bagian 1/3 dari hasil panen setiap musim panen. Beberapa bekerja sebagai buruh (buruh tidak terampil) dalam desa atau di luar desa dan mendapatkan upah 35.000 rupiah perhari. Masyarakat (khususnya pemuda) berpindah ke kota lain atau negara lain untuk mendapatkan pekerjaan (misalnya di Malaysia). Ada 300 kepala rumah tangga yang memiliki 200 ha tanah hutan, tetapi ereka tidak mendapat legitimasi dari pemerintah dan peraturan pemerintah tentang masyarakat adat/minoritas masih di godok oleh pemerintah. Sejatiya tanah digunakan oleh masyarakat adat kajang untuk memenuhi kebutuhan mereka menanam jagung, beras, pisang dan lain-lain, etapi ketika militer masuk dan penanaman karet kemudian tanah tersebut digunakan untuk kebutuhan komersil. Danau tukasi, merupakan sumber irigasi dan air minum tidak bisa digunakan karena merupakan bagian dari lokasi tanaman karet. Polusi air mempengaruhi produksi di daerah tersebut, dan ancaman ketahanan pangan sangat riskan karena merek kehilngan tanah, sebelumnya masyarakat menambah penghasilan mereka yang kecil dngan menanam sayuran. b. Perempuan dan Anak-anak Perempuan juaga mersakan dampak perampaan tanah. Beberapa perempuan bermigrasi untuk menjadi pekerja bangunan dan pekerjaan lainnya, dan perempuan yang lain hanya tinggal dirumah dan menjadi ibu rumah tangga dan membantu suami mereka dalam bertani. Mereka tidak mampu membeli makanan untuk dimasak karena suami mereka pengangguran, dan anak-anak mereka menjadi kekurangan gizi. Anak-anak tidak dapat mengakses pendidikan akibat tingginya biaya sekolah, masyoitas dari mereka tidak bisa melanjutkan pendidikan nya sampai ke jenjang Universitas. Normalnya anak-anak membuuhkan sekitar 50 USD perbulan untuk transportasi, biaya sekolah, dan uang jajan. Oleh karena itu, mayoritas pemuda memilih untuk bermigrasi ke provinsi lain atau ke luar negeri seperi Malaysia, para gadis yang telah menyelesaikan sekolah tingkat atas kemudian dikawinkan untuk mengurangi kewajiban orang tua mereka. c. Hak Asasi Manusia Pada tahun 1978 , militer mengekspansi tanah mereka di desa Balong (373 ha) dan menggusur 300 rumah di perkampungan. Di Bonto Biraeng mereka juga merampas tanah Kajang dan menggusur 500 rumaha dan 200 diantaranya terdapat di dalam perkebunan tradisional. Karena masyarakat kehilangan tanah dan rumah mereka, lebih dari 50% populasi di kampung-kampung tersebut bermigrasi ke Malaysia, Sumatra, dan Sulawesi. Masyarakat yang tidak bermigrasi menjadi buruh tani di Tambangan dan beberapa tanah sewaan lainnya hal ini terjadi pada 1981-85 sampai sekarang. Pada 1981, masyarakat yang melawan pemerintah dn lonsu ditangkap dan di tahan di penjara selama 7-8 hari di Bulukumba Pada tahun 1982 masyarakat kembali mengalami kekerasan, mereka dipukuli, rumah mereka dibakar, mereka di intimidasi, 1 orang meninggal (rumahnya dibakar, tak diketahui namanya tetapi dia berasal dari Tamatto). Londsum mengekspansi kecamatan lainnya-ulukumpa, Rilau Ale, Ujung Loe, dan Kajang, mereka menggunakan polisi preman dan tentara. Antara tahun 1986-1988, pemerintah lokal menghancurkan 6 desa, di kampung Ompoa (20 rumah), kampung Bukia (9 Rumah), Batu Lapisi (475 rumah), Kampung Tangkulua (201 rumah), dan di kampung Pangisokan mereka menghancurkan 4 rumah. Mereka menggunakan buldozer untuk menghancurkan rumah-rumah dan memenjarakan orang-orang yang berlawan. Pada tahun 1990, sekitar 300 ha lahan di rampas oleh pihak LONSUM dan 300 rumah di ratakan dengan buldozer di Ompoa, Bonto Mangiring, dan Bukia. Lonsum di dampingi oleh kepolisian, tentara, dan kepala desa. Rakyat yang melawan ditangkapi dan dibawa ke kantor Lonsum di Palangisang. Pada 28 Desember 1999, sebanyak 17 orang di Bonto Mangiring melawan dengan memotong pohon-pohon karet. Orang-oranginidi tahan. 15 dari 17 orang di penjarkan selama 15-18 bulan. Kemudian pada tanggal 21 Juli 2003, masyarakat menguasai lahan dan memotong karet. Akibatnya, Lonsum kemudian mendatangkan ratusan personil dari Polda, Polres Bulukumba, Brimob, dan TNI (Kodim dan Koramil Kajang dan Ujung Loe) dan menyebabkan penembakan yang menewaskan 2 orang, antara lain; Rustam dan Ansu dan seorang perempuan (identitas belum diketahui. Warga Desa Bonto Baji) meninggal dipukul serta 20 orang lainnya menderita luka-luka tembak dan luka pukulan. Lebih dari seratus petani di tahan selama kejadian tersebut. (lihat lampiran data korban di tahan) d. Lingkungan Sebagai dampak terhadap lingkungan, maslah utamanya adala pencemaran air dan tanah. Pencemaran air mempengaruhi produksi ikan dari tahun ketahun, dan banyak ternak dilarang untuk di ternakkan di kebun karet mereka. Ketoka AGRA datang dan mengorganisasikan masyarakat kemudian perusahaan membolehkan masyarakat untuk men ternakkan ternak mereka di kebun perusahaan. Seringnya terjadi longsor karena tanaman karet di tanam di pinggir sungai sementara peraturan pemerintah mengatur bahwa tanaman karet itu semestinya ditanam dengan jarak 100 meter dari sungai dan badan jalan namun kenyataan nya mereka menanam karet dengan jarak hanya 1 meter dari jalanan dan sungai. Danau yang digunakan sebagai sumber irigasi utama dan sumber air minum bagi masyarakat saat ini menjadi semakin kecil dan tidak dapat di akses lagi oleh masyarakat karena telah diprivatisasi oleh PT. Lonsum dan berada di tengah-tengah pohon karet. Danau Tukasi masuk dalam wilayah yang dirampas oleh PT. Lonsum. binatang-binatang seperti burung dan monyet sekarang telah hlang karena pohon-pohon lama/tua atau endemik juga telah habis. e. Kesehatan Masalah kesehatan juga masih belum terselesaikan karna air tercemar dan kerusakan lingkungan pada area tersebut jaga menjadi faktor perubahan iklim. Mereka tidak cukup mampu untuk merawat para pasien. Sehingga kebanyakan pasien memilih ke makassar ataupun ke daerah lain sepertibantaeng atau Sinjai ( layanannya lebih baik, tapi tidak gratis,namun obatnya gratis). f. Budaya Dengan hilangnnya hutan adat, beberapa ritual masyarakat kajang juga hilang seiring dengan hilangnya hutan. Tempat untuk melakukan ritual yang dulunya berada di Batu Lapisi, sekarang telah berganti menjadi Pohon karet. Dengan hilangnya pohon Pariasa, maka ritual membuat tali ntuk panen padi juga hilang. Ritual ini di lakukan sebelum panen oleh Tetua Masyarakat Kajang ( Galla Bonggong). V. Perjuangan Masyarakat Perjuangan masyarakat dimulai ketika mereka mulai mereklaiming tanah mereka yang dikuasai oleh PT. Lonsum pada 21 Juli 2003. Mereka diusir dan dihadapi dengan tembakan. Pada tahun 2010, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) mulai mengorganisasikan masyarakat Bulukumba. Responden mengatakan ketika mereka bergabung ke AGRA, mereka diberikan pendidikan. AGRA memimpin mereka dalam pekerjaan mereka, dalam upaya untuk mendapatkan kembali tanah mereka dan mereka akan meminta generasi selanjutnya untuk bergabung di AGRA. Seorang responden mengatakan, “kami butuh perluasan organisasi yang lebih. Walaupun mereka trauma dengan pengalaman tahun 2003, jika kami melakukan itu lagi kami mesti meminta desa-desa tetangga yang lain untuk bergabung bersama kami.” Orang-orang kampung berharap akan mendapatkan hasil yang positif dari kampanye untuk menekan pemerintah, dan mengambil kembali tanah mereka, dan menghentikan penggunaan senjata karena kebebasan berekspresi adalah hak asasi mereka. VI. Rekomendasi 1. Mendesak Pemerintah agar sesegara mungkin bertindak untuk mengembalikan tanah kepada masyarakat Bulukumba, Sulawesi Selatan. 2. Mendesak pemerintah untuk mengimplementasikan program reformasi tanah sejati. 3. Mendesak Pemerintah untuk mengusut kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga Bulukumba, Sulewesi Selatan. 4. Rakyat agar tetap memperkuat persatuan dan organisasi mereka dalam menampung aspirasi dan tuntutan mereka. Menguatkan formasi aliansi pada sektor yang berkaitan. Dan para perempuan secara aktif terlibat dan berpartisipasi dalam meningkatkan perjuangan mereka. Agar Rakyat menjaga kewaspadaannya dalam mempertahankan hak atas tanah dan kehidupan mereka. Memperkuat jaringan perjuangan masyarakat bulukumba pada semua perjuangan petani demi reformasi lahan sejati di indonesia dan selanjutnya pada perjuangan petani seluruh dunia. 5. 6.