Sepdianto, Peningkatan FEV pada pasien PPOK PENINGKATAN FORCED EXPIRATORY VOLUME MELALUI LATIHAN BREATHING RETRAINING PADA PASIEN PPOK Tri Cahyo Sepdianto, Maria Diah Ciptaning Tyas, Sunarti Poltekkes Kemenkes Malang, Jl. Besar Ijen No 77C Malang Email: [email protected] Abstract: This Research was done to identify the increase of Forced Expiratory Volume after doing Breathing Retraining exercises in RSUD Mardi Waluyo Blitar. The methodology of this research is quantitative research with pre-Experimental design by Pretest-Posttest approach. The research sample consisted of 35 respondents, they were COPD patients who underwent an outpatient at internal disease poly. The sampling was done by purposive sampling. Breathing retraining was done for 14 days and Forced Expiratory Volume were observed on the 1st, 7th and 14th day. The results of this research showed an increase in average Forced Expiratory Volume 1845,72. The results of analysis showed breathing retraining was effective to increase Forced Expiratory Volume (á<0,05). Breathing retraining can increase tidal volume and increase the efficiency of ventilation. Breathing retraining exercises in nursing can be used as one of the alternative independent nursing intervention in providing nursing care of COPD patients. Keywords: forced expiratory volume, breathing retraining, COPD Abstrak: Tujuan penelitian untuk mengidentifikasi peningkatan Forced Expiratory Volume setelah melakukan latihan Breathing Retraining di RSD Mardi Waluyo Blitar. Metodologi penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain Pra-Experimental dengan pendekatan Pretest-Posttest. Sampel penelitian terdiri dari 35 responden yaitu pasien PPOK yang menjalani rawat jalan di poli penyakit dalam. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling. Breathing retraining ini dilakukan selama 14 hari dan Forced Expiratory Volume diobservasi pada hari ke-1, ke-7 dan ke-14. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan rata-rata Forced Expiratory Volume 1845,72. Hasil analisis menunjukkan breathing retraining efektif dalam meningkatkan Forced Expiratory Volume (<0,05). Breathing retraining mampu meningkatkan volume tidal, dan meningkatkan efisiensi ventilasi. Latihan breathing retraining dalam keperawatan dapat digunakan sebagai salah satu alternative intervensi keperawatan mandiri dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien PPOK. Kata kunci: forced expiratory volume, breathing retraining, PPOK PENDAHULUAN kronis adalah batuk produktif kronis yang menghasilkan lendir minimal selama 3 bulan per tahun paling tidak selama 2 tahun berturut-turut. Keterbatasan aliran udara memburuk selama ekspirasi (diukur dengan volume ekspirasi paksa dalam satu detik) dan tidak memperlihatkan reversibilitas bermakna dalam berespons terhadap obat farmokologis. Prevalensi PPOK terus meningkat sejalan dengan peningkatan usia dan kebiasaan merokok. WHO memperkirakan pada tahun 2012 terdapat 3 juta penderita yang meninggal dunia (WHO, 2012). Angka kematian total akan meningkat 30% pada 31 Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya (Price & Wilson, 2006). Perubahan patologis paru sesuai dengan emfisema atau bronkitis kronis. Emfisema adalah pengurangan daya balik (recoil) elastis dan disintigrasi dinding alveolus dengan pembentukan bulla, kolaps jalan napas ekspirasi dengan terperangkapnya udara2442-6873 dan hiperinflasi. Bronkitis pISSN 2443-1125 eISSN 31 JURNAL KEPERAWATAN TERAPAN, VOLUME 1, NO. 1, MARET 2015: 31-35 tahun 2010. Komplikasi seperti insufisiensi dan kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang mengancam hidup pada PPOK. Di Indonesia PPOK menduduki urutan ke-4 dari 10 penyebab kematian menurut sebab sakit (Depkes, 2009). Di RS Mardi Waluyo Blitar juga terjadi peningkatan jumlah pasien PPOK. Tahun 2010 terdapat 496 pasien dan tahun 2011 meningkat menjadi 564 pasien. Pasien PPOK akan mengalami obstruksi jalan nafas sebagai akibat inflamasi mukosa jalan nafas, konstriksi otot sepanjang pernafasan dan peningkatan produksi mukus. Pasien sering mengalami peningkatan usaha bernafas. Otot-otot inspirasi lama-lama harus bekerja lebih keras untuk memasukkan udara ke dalam paru sehingga membutuhkan bantuan otot-otot tambahan. Aktivitas otot tambahan ini juga membutuhkan oksigen sehingga oksigen yang dibutuhkan semakin tidak mencukupi (Lemone & Burke, 2009). Managemen PPOK bertujuan untuk mengontrol penyakit dengan sedikit efek samping melalui pengkajian dan monitoring penyakit, edukasi, kontrol lingkungan dan kondisi komorbid serta farmakologi yang adekuat. Pengobatan farmakologi dalam jangka yang lama pada pasien PPOK sering diikuti oleh efek samping akibat penggunaan steroid oral dan inhalasi. Beberapa alternatif tindakan komplementer dikembangkan untuk mengontrol PPOK seperti latihan nafas, herbal, homeopathy, akupunktur, terapi rileksasi dan manual terapi seperti massage. Breathing exercise berupa breathing retraining seperti pursed lip breathing dan diaphragmatic breathing dapat digunakan sebagai terapi modalitas pada pasien PPOK. Breathing Retraining dapat meningkatkan volume paru, gas darah dan toleransi aktifitas pada pasien PPOK (Hajbaghery, 2011). Menurut Black & Hawk (2005), breathing retraining dapat menurunkan volume akhir respirasi, frekuensi nafas dan waktu ekspirasi sehingga latihan ini membantu pasien selama istirahat dan aktifitas. Sedangkan menurut Dechman & Wilson (2004), pursed lib breathing menurunkan frekuensi nafas, menurunkan 32 tekanan resistive di jalan nafas dan menurunkan penyempitan jalan nafas selama ekspirasi. Dengan latihan ini dapat menurunkan gejala dyspnea, meningkatkan toleransi aktifitas, meningkatkan forced expiratory volume (FEV1), meningkatkan saturasi oksigen dan meningkatkan kualitas hidup. Dalam studi observasional pasien dengan PPOK, ditemukan bahwa tingkat penurunan FEV1 selama periode 3 tahun sangat bervariasi. Meskipun PPOK dianggap penyakit progresif, hanya 38% dari pasien memiliki tingkat estimasi penurunan FEV1 lebih dari 40 ml per tahun. Merokok saat ini sangat terkait dengan tingkat penurunan FEV1 . Selain itu, pasien dengan emfisema (sebagaimana didefinisikan berdasarkan CT scan) dan pasien dengan reversibilitas bronkodilator keduanya memiliki kerugian lebih dari FEV 1 selama masa studi 3 tahun, dibandingkan dengan peserta studi yang tidak memiliki kondisi ini (Jorgen, Lisa, dkk, 2011). Di RSD Mardi Waluyo Blitar, managemen non farmakologi berupa latihan breathing retraining berupa pursed lip breathing dan diaphragmatic breathing pada pasien PPOK belum dilaksanakan. Seharusnya perawat dapat memfasilitasi peningkatan ventilasi dan pertukaran gas melalui tindakan keperawatan kolaboratif dan mandiri. Tindakan keperawatan mandiri dapat dilakukan dengan melakukan latihan nafas khususnya dengan latihan breathing retraining sebagai managemen non farmakologi pada pasien PPOK untuk meningkatkan fungsi paru, menurunkan dyspnea serta meningkatkan kemampuan aktifitas fisik. Berdasarkan fenomena di atas maka peneliti melakukan studi untuk mengetahui keefektifan breathing retraining untuk meningkakan forced expiratory volume pada pasien penyakit paru obstruksi kronik di Rumah Sakit Daerah Mardi Waluyo Blitar. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi peningkatan forced expiratory volume setelah melakukan latihan breathing retraining di RSD Mardi Waluyo Blitar. pISSN 2443-1125 eISSN 2442-6873 Sepdianto, Peningkatan FEV pada pasien PPOK METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pra experimental design dengan pendekatan pretest-posttest serial design. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh latihan breathing retraining terhadap forced expiratory volume (FEV) pada pasien penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) di RSD Mardi Waluyo Kota Blitar. Intervensi dalam bentuk latihan breathing retraining dilakukan selama 15 menit 3 kali sehari dalam waktu 2 minggu (14 hari). Forced expiratory volume diukur sebelum dan setelah intervensi. Pengukuran dilakukan secara serial sebanyak 3 kali, pada hari ke-1, ke7 dan ke-14. Sampel penelitian ini berjumlah 35 orang dan diambil secara purposive sampling. Kriteria inklusi responden yaitu : 1) pasien yang didiagnosa PPOK, 2) umur >45 tahun, dan 3) mendapatkan terapi standar PPOK. Instrumen penelitian ini digunakan untuk mengukur forced expiratory volume dengan menggunakan spirometri. Analisis bivariat pada penelitian ini menggunakan uji parametrik karena semua data distribusinya normal. Analisis bivariat menggunakan t test (t paired test). Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, riwayat meroko, latihan pernafasan dan obat standar PPOK Karakteristik Jenis Kelamin - Laki-laki - Perempuan Riwayat Merokok - Merokok - Tidak Merokok Latihan Pernafasan - Ya - Tidak Obat Standar PPOK - Dua jenis obat - Tiga jenis obat - Empat jenis obat Jumlah Total % 30 5 85,7 14,3 4 31 11,4 88,6 3 32 8,6 91,4 3 12 20 35 6,8 34,3 57,1 100 Tabel 2. Rerata forced expiratory volume setelah latihan breathing retraining pada kunjungan pertama Variabel Mean Forced Sebelum 597,14 Expiratory Sesudah 940,0 Volume *Bermakna pada α < 0,05 SD 650,78 732,02 p 0,000* Tabel 3. Rerata forced expiratory volume setelah latihan breathing retraining pada kunjungan kedua HASIL PENELITIAN Rata-rata umur pasien PPOK di RSD Mardi Waluyo Blitar adalah 63,86 tahun dengan standar deviasi 9,020. Usia minimal 37 tahun dan usia maksimal 78 tahun. Berdasarkan estimasi interval diyakini bahwa rata-rata usia responden diantara 60,76 sampai dengan 66,96 tahun. Responden penelitian sebagian besar berjenis kelamin laki-laki, tidak merokok, tidak pernah latihan pernafasan dan mendapatkan terapi standar PPOK empat jenis obat (bronkhodilator, ekspektoran, anti inflamasi dan mukolitik) (Tabel 1). Tabel 2 menunjukkan pada kunjungan pertama, rata-rata forced expiratory volume sebelum latihan 597,14 dengan standar deviasi 650,78 dan setelah latihan 940,0 dengan standar deviasi 732,02. Ada peningkatan forced expiratory volume 342,86. Analisis lebih lanjut pISSN 2443-1125 eISSN 2442-6873 Variabel Mean Forced Sebelum 597,14 Expiratory Sesudah 1657,14 Volume *Bermakna pada α < 0,05 SD 650,78 727,823 p 0,000* Tabel 4. Rerata forced expiratory volume setelah latihan breathing retraining pada kunjungan ketiga Variabel Forced Expiratory Volume Sebelum Sesudah Mean 597,14 2442,86 SD 650,78 562,576 p 0,000* *Bermakna pada α < 0,05 menunjukkan ada perbedaan signifikan rata-rata forced expiratory volume sebelum dan sesudah melakukan latihan breathing retraining (p=0,000, <0,05). 33 JURNAL KEPERAWATAN TERAPAN, VOLUME 1, NO. 1, MARET 2015: 31-35 Pada kunjungan kedua, Tabel 3 menunjukkan rata-rata forced expiratory volume sebelum latihan 597,14 dengan standar deviasi 650,78 dan setelah latihan 1657,823 dengan standar deviasi 727,823. Ada peningkatan forced expiratory volume 1060. Analisis lebih lanjut menunjukkan ada perbedaan signifikan rata-rata forced expiratory volume sebelum dan sesudah melakukan latihan breathing retraining (p=0,000, <0,05). Rerata forced expiratory volume sebelum latihan pada kunjungan ketiga dapat dilihat pada Tabel 4 dengan 597,14 standar deviasi 650,78 dan setelah latihan 2442,86 dengan standar deviasi 562,576. Ada peningkatan forced expiratory volume 1845,72. Analisis lebih lanjut menunjukkan ada perbedaan signifikan rata-rata forced expiratory volume sebelum dan sesudah melakukan latihan breathing retraining (p=0,000, <0,05). PEMBAHASAN Rerata forced expiratory volume dan saturasi oksigen berbeda secara signifikan sebelum dan sesudah melakukan latihan breathing retraining. Hasil penelitian menunjukkan latihan breathing retraining dapat meningkatkan rata-rata forced expiratory volume 342,86 pada hari ke1, 1060 pada hari ke-7 dan 1845,72 pada hari ke14. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan forced expiratory volume secara optimal dapat terlihat setelah kunjungan yang ketiga atau latihan breathing retraining sudah dilakukan selama 14 hari. Anderson (2008) mengatakan bahwa latihan nafas (breathing exercise) yang dijadikan kebiasaan bernafas dapat meningkatkan kesehatan fisik maupun mental. Transportasi oksigen di dalam proses bernafas juga menjadi dasar konsep fungsi kardiopulmonal, diagnosis, dan managemen penyakit kardiopulmonal. Salah satu metode yang paling kuat menghasilkan lebih sedikit stress dan lebih banyak energi dalam tubuh adalah bernafas dengan diaphragma. Dengan diaphragma untuk bernafas secara dramatis kita dapat mengubah fisiologis tubuh kita. Secara jelas latihan ini mengaktifasi pusat-pusat rileksasi dalam otak. Latihan breathing retraining meningkatkan efisiensi ventilasi terhadap oksigen yang 34 ditunjukkan dengan peningkatan oksigen pada darah. Latihan pernafasan diafragma bertujuan agar klien dengan masalah ventilasi dapat mencapai ventilasi yang optimal, terkontrol, efisien dan dapat mengurangi kerja pernafasan. Latihan ini inflasi alveolar, meningkatkan relaksasi otot, menghilangkan kecemasan, menyingkirkan pola aktifitas otot-otot pernafasan yang tidak berguna dan tidak terkoordinasi, melambatkan frekuensi pernafasan dan mengurangi kerja pernafasan. Pernafasan yang lambat, rileks dan berirama membantu dalam mengontrol kecemasan yang timbul ketika klien diafragma mengalami sesak nafas. Dengan pelaksanaan latihan pernafasan diafragma mampu mengoptimalisasi penggunaan otot diafragma dan menguatkan diafragma selama pernafasan. Pernafasan diafragma dapat menjadi otomatis dengan latihan dan konsentrasi yang cukup. Dengan pernapasan diafragma maka akan terjadi peningkatan volume tidal, penununan kapasitas residu fungsional dan peningkatan ambilan oksigen optimal (Muttaqin, 2008). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan pendapat Khotimah (2013) latihan pernapasan mempunyai pengaruh peningkatan dalam ambilan oksigen maksimal dan peningkatan volume tidal serta penurunan frekuensi pernafasan sehingga otot pernafasan lebih efektif dan terjadi penurunan beban kerja pernafasan karena tidak banyak energi yang terbuang. Tujuan latihan pernafasan pada pasien PPOK adalah untuk mengatur frekuensi dan pola pernafasan sehingga mengurangi air trapping, memperbaiki fungsi diafragma, memperbaiki ventilasi alveoli untuk memperbaiki pertukaran gas tanpa meningkatkan kerja pernafasan, memperbaiki mobilitas sangkar thorax, mengatur dan mengkoordinasi kecepatan pernafasan sehingga bernafas lebih efektif dan mengurangi kerja pernafasan sehingga sesak nafas berkurang. Berdasarkan hasil penelitian dan berbagai penelitian dan teori yang terkait, peneliti berasumsi bahwa latihan breathing retraining efektif dalam meningkatkan forced expiratory volume. Latihan breathing retraining bisa diterapkan sebagai salah satu terapi non farmakologi pada pasien PPOK, bisa sebagai terapi mandiri atau terapi pISSN 2443-1125 eISSN 2442-6873 Sepdianto, Peningkatan FEV pada pasien PPOK tambahan bersama untuk PPOK. Latihan breathing retraining sangat mudah dilakukan dan tidak memiliki efek samping serta menurunkan biaya pengobatan bagi pasien PPOK. Selama latihan breathing retraining pasien PPOK harus memperhatikan dan mengendalikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perubahan tekanan darah, nadi dan respirasi seperti aktifitas fisik, kebiasaan merokok dan stress PENUTUP Latihan breathing retraining pada pasien PPOK dapat meningkatkan rata-rata forced expiratory volume (FEV) 1845,72 (p = 0,000). Karakteristik responden sebagian besar memiliki riwayat tidak merokok, sebagian besar tidak pernah melakukan latihan nafas dan mendapatkan empat jenis obat standar PPOK berupa bronkodilator, ekspektoran, anti inflamasi dan mukolitik. Dari penelitian ini diperoleh saran yaitu meningkatkan kemampuan perawat dalam melakukan latihan breathing retraining sebagai salah satu intervensi keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien PPOK. Penelitian lebih lanjut tentang pengaruh breathing retraining terhadap Forced Expiratory Volume pada pasien PPOK perlu dilakukan dengan memperhatikan variasi usia yang lebih lebar, jumlah responden yang lebih besar, waktu latihan yang lebih lama dan kondisi pasien yang lebih kompleks. pISSN 2443-1125 eISSN 2442-6873 DAFTAR PUSTAKA Anderson, D. E., McNeely, J. D., & Windham, B. G. 2010. Regular slow-breathing exercise effects on blood pressure and breathing patterns at rest. Journal of human hypertension, 24(12), 807-813. Black, J.M., & Hawk, J.H. 2005. Medical surgical nursing clinical management for positive outcomes. 7th Ed. Philadelphia : Mosby Dechman, G & Wilson, C. 2004. Evidence Underlying Breathing Retraining in People with Stable Chronic Obstructive Pulmonary Disease, dalam http:// www.ptjournal.apta.org/content/84/12/1189 diperoleh tanggal 12 Desember 2012 Depkes. 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta Hajbaghery, M. 2011. Effect Pursed Lip Breathing on Ventilation and Activities of Daily Living in Patient COPD. http://www.webmedcentral.com/ articleview/1904, diperoleh tanggal 25 Juli 2012 Jorgen, Lisa, dkk. 2011. The New England Journal of Medicine. diperoleh tanggal 13 Desember 2012 Khotimah, S. 2013. Latihan Endurance Meningkatkan Kualitas Hidup Lebih Baik Dari Pada Latihan Pernafasan Pada Pasien PPOK Di BP4 Yogyakarta. Sport and fitness Journal. No 1, Juli 2013. LeMone, P., & Burke, K. 2008. Medical surgical nursing critical thinking in client care. 4th Ed. Canada: Pearson Education, Inc Muttaqin, A. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta. Salemba Medika Price, S.A & Wilson, L.M 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta. EGC WHO. 2012. Cronic Obstructive Pulmonary Disease, dalam http://www.who.int/mediacentre/facfsheets /fs315/en/ diperoleh tanggal 12 Desember 2012 35