BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinding Gumbeng adalah salah satu kesenian musik tradisional tertua yang masih bertahan di masyarakat Dusun Duren, Desa Beji, Ngawen, Gunung Kidul, Yogyakarta. Alat-alat musik utama yang digunakan dalam kesenian ini adalah Rinding yang dimainkan dengan cara ditiup, dan Gumbeng yang dimainkan dengan ditabuh. Sedangkan alat musik tambahan lainnya seperti gelonggongan bambu petung yang ditiup menyerupai suara gong, gendang dan kecrek yang dimainkan dengan menggesek-gesekkan bambu dengan koin. Pemain utama dalam kesenian terdiri dari enam peniup Rinding, enam penabuh Gumbeng, dan tiga penyanyi perempuan yang biasa disebut dengan istilah penyekar. Pemain gong bambu dan esek-esek adalah pemain tambahan yang lebih fleksibel secara jumlah. Keunikan dari kesenian ini adalah semua alat musik yang dipakai terbuat dari bambu, dan suara yang dihasilkan menyerupai suara yang ada di alam. Sebagai sebuah kesenian yang muncul dan berkembang di tengah kebudayaan masyarakat agraris, musik Rinding Gumbeng biasanya dimainkan untuk mengiringi perayaan seusai panen. Perayaan ini dilakukan sebagai ungkapan syukur petani kepada dewi Sri sebagai dewi penjaga padi yang sudah memberikan hasil panen yang melimpah kepada mereka. Masyarakat percaya bahwa bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh alat musik ini dapat menyenangkan dewi sri sehingga diharapkan dapat memberi berkat hasil panen yang melimpah di musim tanam selanjutnya. Pada perkembangannya saat ini, musik ini juga dimainkan saat upacara Nyadran (menjelang bulan puasa). Kelompok Musik Rinding Gumbeng dari Dusun Duren ini sudah banyak menorehkan prestasi tingkat nasional maupun tingkat internasional. Hal ini menjadi bukti kalau kesenian ini tidak kalah hebat dengan kesenian lainnya. Disamping itu, karena keunikannya, Rinding Gumbeng banyak dicari oleh kalangan seni dari dalam dan luar negeri, baik untuk mempelajari cara bermainnya, mengetahui cara pembuatannya, maupun sekedar membeli alat musiknya. 1 Namun sayangnya, perkembangan kesenian ini tidak dibarengi dengan tersedianya fasilitas yang mampu dan layak mewadahi semua kegiatan yang dilakukan komunitas ini. Selama ini semua kegiatan dari komunitas Rinding Gumbeng ini dilakukan di bangunan pos kamling dengan ukuran kurang lebih 3x4 m. Gudang sebagai tempat penyimpanan alat-alat musik dan piala-piala kejuaraan ini pun dipandang jauh dari kata layak. Di sisi lain sebagaimana kesenian tradisional lainnya, Rinding Gumbeng mulai dilupakan dan dipandang sebelah mata oleh generasi muda di kota pendidikan ini. Padahal sudah banyak prestasi yang diraihnya. Hal ini sebenarnya sudah cukup untuk membuktikan potensi dari kesenian ini. Selain keberadaan kesenian bambu tertua Rinding Gumbeng, desa Beji juga memiliki potensi wisata lainnya seperti kerajinan furniture dari kayu yang unik. Kerajinan dapat kita temui dibeberapa keluarga sebagai penghasilan tambahan mereka selain bertani. Selama ini hasil kerajinan mereka disimpan di rumahnya masing-masing dan menjualnya ke wisatawan yang berkunjung di desa tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa kerajinan-kerajinan tersebut membutuhkan sebuah galeri sebaai tempat penyimpanan sekaligus untuk memasarkannya. Pusat komunitas adalah sebuah tempat dimana suatu grup atau komunitas tertentu dapat bertemu untuk kegiatan sosial, kegiatan pendidikan, maupun kegiatan rekreasi (diterjemahkan dari Oxford Dictionary). Di Indonesia sendiri sudah banyak berdiri pusat komunitas. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya keberadaan pusat komunitas sendiri adalah untuk mewadahi berbagai kegiatan yang dilakukan oleh komunitas tertentu yang menggunakannya. Hal inilah yang membuat pusat komunitas selalu memiliki tipologi bangunan yang berbeda antar komunitas satu dengan yang lainnya. Secara fungsional keberadaan pusat komunitas di indonesia sudah sangat baik namun masih ditemukan beberapa kekurangan. Kekurangan tersebut antara lain mayoritas pusat komunitas memiliki bentuk yang terlalu umum sehingga tidak mampu menunjukkan karakter sebuah komunitas yang tinggal di dalamnya. Selain itu bentuk ruangannya masih belum memiliki aksesbilitas yang baik sehingga sedikit menyulitkan untuk pengguna anak-anak dan lansia saat berkegiatan di dalamnya. Salah satu contoh yang paling sederhana adalah ketinggian anak tangga yang terlalu besar sehingga menyulitkan orang-orang dengan kebutuhan khusus untuk mengaksesnya. Hal ini tidak seharusnya terjadi pada bangunan yang bersifat publik, karena harus bisa di akses dengan nyaman oleh semua orang. 2 Dalam tugas akhir ini akan dirumuskan penyelesaian arsitektural untuk menyediakan tempat bagi komunitas Rinding Gumbeng dan memecahkan masalah yang terjadi pada bangunan pusat komunitas pada umumnya. Solusi ini diharapkan dapat mengoptimalkan keberadaan pusat komunitas di desa Beji untuk kegiatan komunitas dan pelatihan kesenian Rinding Gumbeng sekaligus mewadahi potensi masyarakat desa Beji sebagai pengrajin furnitur kayu. Pengguna yang dikhususkan dalam kegiatan di pusat komunitas ini adalah anakanak. Hal ini berarti desain pusat komunitas ini harus mampu menjamin aksesbilitas ruang yang baik dan dapat mengantisipasi semua kegiatan maupun kelakuan anak-anak sebagai user. 1.2 Permasalahan 1.2.1. Umum Bagaimana caranya mewujudkan desain pusat komunitas yang mampu mewadahi aktivitas komunitas dan pengguna yang ada di dalamnya? 1.2.2. Khusus 1. Bagaimana mewujudkan pusat komunitas yang mampu mewadahi kegiatan komunitas maupun pelatihan kesenian Rinding Gumbeng? 2. Bagaimana mewujudkan pusat komunitas yang mampu memberikan dampak positif bagi perekonomian masyarakat? 3. Bagaimana mewujudkan rancangan ruangan dalam pusat komunitas yang memiliki fleksibilitas ruang yang tinggi dan dapat menanggapi perilaku anak-anak sebagai user utama dalam kegiatan tersebut? 4. Bagaimana mewujudkan rancangan pusat komunitas yang tanggap dengan kondisi sosial dan lingkungan di wilayah desa Beji? 1.3 Tujuan dan Sasaran 1.3.1. Tujuan Merumuskan suatu konsep perencanaan dan perancangan pusat komunitas sebagai wadah bagi kesenian Rinding Gumbeng dengan memperhatikan segala aspek kebutuhan ruang yang fleksibel dan efisien untuk berbagai macam aktifitas yang mungkin terjadi di dalamnya. Sehingga pada akhirnya komunitas Rinding Gumbeng ini dapat berkembang dan dapat memperkenalkan kesenian ini ke masyarakat luas. 1.3.2. Sasaran Target utama pengguna dalam pusat kesenian ini adalah anak-anak kelas 1 SD sampai 3 SMP atau usia 5 sampai 15 tahun, walaupun tidak menutup kemungkinan 3 untuk pengguna di usia lain. Target pengguna ini tidak lepas dari target pembalajaran dari komunitas Rinding Gumbeng ini sendiri. Selama ini komunitas ini memang fokus mengajarkan kesenian ini ke sekolah-sekolah mulai dari SD, SMP, dan SLTA di wilayah Gunung Kidul. Mereka berharap dengan mengajarkan kesenian ini ke anakanak sebagai generasi penerus bangsa, Rinding Gumbeng akan semakin dikenal dan berkembang. Tujuan dari adanya batasan ini adalah untuk memberikan desain ruang yang aksesibel dan nyaman bagi anak-anak dalam melakukan berbagai aktifitas di pusat komunitas ini. 1.4 Lingkup Pembahasan 1.4.1. Arsitektural Penelusuran masalah perancangan yang berkaitan dengan fungsi pusat komunitas untuk dapat diwujudkan dalan bidang, ruang, dan gubahan massa, serta memuncuklan ketertarikan denan aspek-aspek yang ada baik itu mikro maupun makro. Aspek mikro adalah hal-hal yang berkaitan dengan bangunan itu sendiri, seperti fungsi, estetika, dan struktur. Sedangkan aspek makro adalah hal-hal yang berada di luar bangunan, seperti konteks kawasan dimana pusat komunitas berdiri. 1.4.2. Non Arsitektural Penelusuran masalah perancangan yang tidak berkaitan langsung dengan arsitektur yaitu: masalah sosial, masalah budaya, masalah aksesbilitas, dan ergonomi anak-anak dan lansia. Studi masyarakat kampung dan studi ekologi. 1.5 Metodologi 1.5.1. Pengumpulan data Dalam pra tugas akhir ini, metode untuk pengumpulan data dilakukan berdasarkan studi literatur, observasi lapangan, dan melalui studi kasus. Lingkup studi literatur terkait pusat komunitas dengan segala aspeknya dari layout denah, bentuk sirkulasi, standar-standat perancangan, hingga fungsi-fungsi yang diakomodir di dalamnya. Kegiatan observasi lapangan berupa gambar, foto, dan data skematik tematik untuk mendapat penjelasan lebih jauh mengenai lokasi tapak eksisting Studi kasus dari contoh-contoh karya arsitektur yang memiliki kesamaan pendekatan konsep desain maupun strategi desain yang unik dan inovatif. 4 1.5.2. Analisa Melakukan analisis secara kualitatif maupun kuantitatif data-data terkumpul dengan membandingkan dengan studi kasus dan studi literatur mengenai redesain bangunan sebagai acuan dan standar perancangan pusat komunitas yang lebih baik dan berkualitas. 1.5.3. Sintesis Proses perwujudan hasil analisis data menjadi sebuah rumusan konsep perancangan pusat komunitas sebagai solusi untuk menjawab tidak adanya sebuah fasilitas untuk mewadahi kegiatan komunitas dan pelatihan kesenian Rinding Gumbeng dan juga sebagai wadah untuk meningkatkan perekonomian warga di sekitar dusun Beji dengan pendekatan fleksibilitas ruang. 1.6 Sistematika Pembahasan 1.1.1. Bab I Pendahuluan Pemaparan latar belakang, permasalahan, tujuan, sasaran, lingkup penelitian, metodologi, sistematika pembahasan, dan keaslian penulisan. 1.1.2. Bab II Tinjauan Teori Kajian pustaka mengenai pusat komunitas, komunitas seni, komunitas Rinding Gumbeng, potensi desa wisata, perilaku anak-anak, dan faktor-faktor untuk meningkatkan minat masyarakat dalam mempelajari dan melestarikan kesenian Rinding Gumbeng. 1.1.3. Bab IV Studi Kasus Pembahasan mengenai contoh-contoh karya terbangun baik itu yang memiliki kesamaan fungsi bangunan sebagai pusat komunitas / pusat komunitas, kesamaan fungsi ruangan seperti sekolah musik, music center, panggung seni, dll maupun memiliki kesamaan pendekatan desain. 1.1.4. Bab III Tinjauan Khusus Pusat Komunitas Rinding Gumbeng Pembahasan mengenai kondisi komunitas Rinding Gumbeng di desa Beji saat ini dan pembahasan mengenai kondisi eksisting lokasi kegiatan komunitas kesenian Rinding Gumbeng dan faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya minat warga dalam mempelajari dan melestarikan kesenian Rinding Gumbeng. 1.1.5. Bab IV Pendekatan Konsep 5 Berisi pembahasan mengenai pendekatan yang akan dilakukan untuk mendesain. Selain itu juga membahas mengenai perilaku anak-anak sebagai user utama dalam sebuah ruang arsitektur dan analisis tindak lanjut terhadap Pusat Komunitas dan Pelatihan Kesenian Rinding Gumbeng. 1.1.6. Bab V Konsep Perancangan Perumusan gagasan-gagasan arsitektur sebagai aspek perwujudan pusat komunitas yang merupakan bentuk tindak lanjut atas perilaku anak-anak sebagai user utama dalam mempengaruhi fleksibilitas ruang. 1.7 Keaslian Penulisan Beberapa karya tugas akhir yang sudah ada sebelumnya, digunakan sebagai pembanding mengenai kesamaan dan perbedaan yang diangkat dalam penulisan sebuah fasilitas pusat komunitas dan pelatihan kesenian Rinding Gumbeng. Konsep penekanan yang berbeda dengan karya tugas akhir yang sudah ada sebelumnya, yaitu mengenai fleksibilitas ruang sebagai tanggapan atas perilaku anak-anak sebagai user utama dalam fasilitas ini, menjadi dasar keaslian penulisan dalam tugas akhir ini. Beberapa karya tugas akhir yang dijadikan sebagai pembanding oleh penulis adalah: Tabel 1.7.1 Keaslian Penulisan Judul Penulis Tahun Pusat komunitas di Tangerang Endang Hendriansyah 2005 Indie Community Music Center di Yogyakarta Cahyo Dwi Anggoro 2010 6