BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Energi listrik merupakan energi primer, yang saat ini keberadaannya belum dapat digantikan oleh energi yang lain. Di Indonesia, kebutuhan energi listrik masih banyak dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti minyak bumi, batu bara, dan lain-lain. Penggunaan bahan bakar fosil tersebut berpotensi menyebabkan masalah baru dalam lingkungan, yaitu pencemaran lingkungan dan memicu pemanasan global. Selain itu, di wilayah Indonesia masih banyak daerah yang belum mendapat pasokan listrik. Tercatat baru sekitar 65% wilayah Indonesia yang sudah mendapatkan pasokan listrik, dan sisanya masih menggunakan energi alam.[1] Dengan demikian, diperlukan suatu solusi yang efektif dan efisien baik secara aspek lingkungan maupun aspek ekologi yang dapat memberikan nilai positif bagi kelestarian lingkungan tanpa menyebabkan kerusakan di muka bumi ini.[2],[3] Allah SWT sendiri melarang hambanya untuk membuat kerusakan di muka bumi ini melalui firmannya dalam Al Quran surat Al A’raf ayat 56 – 58 yang artinya : “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu Telah membawa awan mendung, kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu kami turunkan hujan di daerah itu, Maka kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. seperti Itulah kami membangkitkan orang-orang yang Telah mati, Mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya Hanya tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” (QS Al A’raf : 56-58) Solusi yang diperlukan adalah solusi berupa inovasi yang bersifat ramah lingkungan, tidak membahayakan mahluk hidup, dan tidak menimbulkan masalah baru agar kelestarian alam dapat terjaga. Sel surya merupakan sebuah teknologi ramah lingkungan yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan akan kebutuhan energi listrik di Indonesia. Sel surya cocok dikembangkan di Indonesia karena Indonesia merupakan negara yang memiliki iklim tropis dengan durasi penyinaran matahari yang cukup sepanjang tahunnya. Sel surya tersensitasi zat warna (Dye Sensitized Solar Cell, DSSC) merupakan salah satu generasi sel surya yang telah mendapatkan perhatian dunia sejak tahun 1991. DSSC merupakan perangkat sel surya yang sangat menarik karena beberapa keunggulan.[4] Keunggulan yang dimiliki oleh DSSC diantaranya adalah biaya produksi yang rendah dan memiliki efisiensi yang tinggi. Saat ini, sel surya tersensitasi zat warna merupakan sel surya yang paling efisien dan paling stabil.[5] Dalam perkembangannya, sel surya mengalami banyak perubahan untuk mendapatkan sel surya dengan performance yang lebih baik. Generasi pertama dari sel surya adalah sel surya yang menggunakan bahan silikon (Si). Pada sel surya yang menggunakan silikon, efisiensi yang dihasilkan sel surya tersebut berkisar 20%. Kelemahan dari sel surya generasi pertama ini adalah bahan silikon yang digunakan relatif sulit untuk didapatkan, sehingga produksi sel surya generasi pertama tidak ekonomis karena ketersediaan silikon di alam relatif sedikit. Pada sel surya generasi kedua, digunakan polimer semikonduktor. Pada sel surya generasi kedua ini menggunakan perhitungan numerik yang rumit dengan menggunakan program SCAPS, dimana program ini merupakan program yang sama dalam proses karakterisasi sel surya dengan CdTe dan CIGS sebagai bahan dasarnya.[6] Kelemahan dari sel surya generasi kedua ini adalah proses produksinya memerlukan teknologi yang relatif canggih dan biaya produksi yang relatif tinggi. Untuk mengatasi kelemahan pada sel surya generasi pertama dan kedua, maka dikembangkan DSSC yang memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan sel surya generasi pertama dan generasi kedua. DSSC merupakan sel surya generasi ketiga, pengembangan dari sel surya generasi pertama dan generasi kedua yang mana menggunakan bahan-bahan utama yang relatif sulit didapatkan dan proses produksinya relatif kurang ekonomis. Kinerja DSSC dipengaruhi oleh sifat dari sintesizer yang digunakan, seperti spektrum absorpsi, dan sifat redoks. Kelebihan dari DSSC dibandingkan kedua sel surya yang dikembangkan sebelumnya adalah cost performance yang lebih baik. Kelemahan yang dimiliki oleh DSSC pada saat ini adalah efisiensi yang lebih kecil dibandingkan sel surya generasi pertama dan generasi kedua. Efisiensi yang kecil ini, salah satunya disebabkan oleh zat warna sensitizer yang digunakan, yang mana masih harus dicari zat warna sensitizer yang lebih baik. Studi komputasi dapat digunakan untuk memprediksi struktur dan sifat suatu sistem kimia dengan relatif cepat. Keunggulan dari metode ini dapat memprediksikan sifat molekul yang kompleks dengan hasil perhitungan yang dapat dikorelasikan dengan hasil eksperimen. Selain itu, studi komputasi dapat menghemat biaya, sebab hasil eksperimen dapat diramalkan sebelum eksperimen dimulai sehingga dapat meminimalisir kegagalan saat eksperimen dilakukan.[1] Dengan keunggulan studi komputasi, diharapkan output yang dihasilkan dari penelitian ini merupakan output dengan performa yang relatif lebih baik. Creutz et al berhasil mengkarakterisasi ikatan turunan katekol (4-metil katekol, 4-t-butil katekol, dan dopamin) ke TiO2 berukuran 1 nm dan 4,7 nm menggunakan Spektroskopi UV-Vis.[7] Namun, dalam penelitian tersebut tidak dijelaskan secara detail mengenai sifat elektronik dari molekul-molekul tersebut. Pada penelitian ini akan dilakukan studi komputasi untuk mempelajari sifat elektronik senyawa dopamin, dan metil katekol, serta senyawa organik dopamin dan metil katekol yang terabsorpsi pada permukaan TiO2 cluster. Diharapkan hasil studi komputasi yang akan dilakukan pada penelitian ini dapat melengkapi hasil penelitian Creutz et al yang tidak dapat dijelaskan secara eksperimen. 1.2 Rumusan Masalah Penelitian Bagaimana menghitung perbedaan pita energi HOMO/LUMO, dan sifat elektronik berupa spektrum serapan UV-Vis dari senyawa organik dopamin, metil katekol, serta senyawa zat warna organik dopamin dan metil katekol yang terabsorpsi pada senyawa TiO2 cluster? 1.3 Ruang Lingkup Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Density Functional Theory (DFT), dan metode Time Dependent Density Functional Theory (TDDFT). Perhitungan pada studi komputasi ini dihitung dengan menggunakan perangkat lunak Firefly, dan Gaussian 03. Kemudian output yang dihasilkan dianalisis lebih lanjut. Hasil studi komputasi ini diharapkan dapat melengkapi hasil eksperimen Creutz et al dengan hasil yang dapat dikorelasikan dengan hasil eksperimen. Kajian pada penelitian ini terbatas pada senyawa organik dopamin dan metil katekol, serta senyawa organik dopamin dan metil katekol yang terabsorpsi pada senyawa TiO2 cluster. Pada penelitian ini, prediksi sifat-sifat dari senyawa organik dopamin dan metil katekol, serta senyawa organik dopamin dan metil katekol yang terabsorpsi pada senyawa TiO2 cluster dibatasi pada perbedaan pita energi HOMO/LUMO, dan sifat elektronik berupa spektrum serapan UV-Vis. 1.4 Tujuan Penelitian Untuk menentukan perbedaan pita energi HOMO/LUMO, dan sifat elektronik berupa spektrum serapan UV-Vis dari senyawa zat warna organik dopamin dan metil katekol, serta senyawa zat warna organik dopamin dan metil katekol yang teradsorpsi pada senyawa TiO2 cluster sehingga dapat melengkapi penelitian Creutz et al yang tidak dapat dijelaskan secara eksperimen. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kemampuan zat warna dalam menangkap foton dapat mempengaruhi efisiensi DSSC. Creutz et al, dalam penelitiannya tidak menyertakan data panjang ikatan, grafik spektrum UV-VIS, osilator strength, dan beberapa data lainnya, sehingga diperlukan studi lebih lanjut untuk melengkapi eksperimen Creutz et al. Untuk itu, dilakukan studi komputasi dengan menggunakan metode DFT, dan TDDFT untuk memprediksi sifat elektronik dari senyawa zat warna organik dopamin dan metil katekol, serta senyawa zat warna organik dopamin dan metil katekol yang terabsorpsi pada senyawa TiO2 cluster sehingga dapat melengkapi hasil penelitian Creutz et al yang tidak dapat dijelaskan secara eksperimen. 2.1 Energi Matahari Matahari adalah bintang yang paling dekat dengan bumi, sehingga penelitian tentang bintang ini lebih mudah dari pada bintang lainnya. Matahari memiliki jarak 150 juta kilometer dari bumi, dan dia menyediakan energi yang dibutuhkan oleh kehidupan di bumi ini secara berkesinambungan. Matahari membebaskan energi setiap detiknya menurut perhitungan para ahli, adalah ekuivalen dengan konversi massa hidrogen yang besarnya adalah 4,2 × 106 ton/detik, yang ekuivalen dengan 1,2 × 1016 KW. [8] Energi yang diradiasikan terbentuk akibat transformasi hidrogen menjadi helium dalam reaksi fusi yang kemudian menghasilkan energi. Sebagian energi tersebut ditransmisikan ke bumi dengan cara radiasi gelombang elektromagnetik. Kecepatan pancaran radiasinya sebesar 3 × 108 m/s dengan panjang gelombang yang berbeda - beda sehingga radiasi yang dipancarkan dapat menembus ruang hampa udara, dan ahirnya dapat mencapai permukaan bumi. Peristiwa pemancaran gelombang ini baru akan terhenti ketika hidrogen dalam reaksi inti habis.[8] Radiasi yang dihasilkan dari reaksi fusi inilah yang disebut dengan energi surya. Matahari juga merupakan sumber energi utama yang sangat penting bagi kehidupan mahluk hidup baik di daratan maupun di perairan, karena cahaya matahari memiliki peranan penting dalam proses biologis maupun fisis mahluk hidup. Permukaan bumi menerima energi surya yang dipancarkan matahari dalam bentuk paket-paket energi yang disebut foton. Radiasi yang dihasilkan dapat memancarkan energi mendekati 1026 kalori/detik, dan lapisan teratas atmosfir bumi hanya dapat menerima 2 kalori/menit.[9] Tidak semua cahaya matahari yang mencapai permukaan bumi dapat dilihat oleh mata manusia, hal ini diakibatkan karena tidak semua spektrum cahaya yang dipancarkan merupakan spektrum cahaya tampak (visible light) yang mampu dilihat oleh mata manusia. Sinar yang dipancarkan matahari merupakan gabungan dari beragam cahaya yang memiliki panjang gelombang dan spektrum warna yang berbeda-beda, tergantung warna yang dipancarkan. Berikut ini merupakan tabel panjang gelombang dari beberapa cahaya tampak : Panjang gelombang Warna 400 – 440 nm Violet 440 – 480 nm Biru 480 – 560 nm Hijau 560 – 590 nm Kuning 590 – 630 nm Jingga 630 – 700 nm Merah Tabel 2.1 Penampakan Warna dari Panjang Gelombang Cahaya Tampak yang Berbeda-beda[9] 2.2 Sel surya Sel surya atau sel fotolistrik, adalah sebuah alat semikonduktor yang terdiri dari sebagian besar dioda p-n junction dan dengan adanya cahaya matahari mampu menghasilkan energi listrik. Menurut Culp et al, sel surya merupakan suatu perangkat yang mampu mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik melalui efek fotolistrik. Prinsip operasi dari efek fotolistrik dengan menggunakan selenium, telah ditemukan oleh Adam dan Day pada tahun 1876. Kemudian pada tahun 1941 semikonduktor yang digunakan pada fotolistrik dikembangkan oleh Ohl, sehingga dihasilkan sambungan p-n pada dua semi konduktor.[10] Berdasarkan jenis dan bentuk susunan atom-atom penyusunnya, sel surya dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu : 1. Sel surya Monokristal (Mono-crystalline) Sel surya monokristal merupakan panel yang paling banyak digunakan dan efisien, serta menghasilkan daya listrik persatuan luas yang paling tinggi. Sel surya monokristal dirancang untuk penggunaan yang memerlukan konsumsi listrik besar pada tempat-tempat yang beriklim ekstrim dan dengan kondisi alam yang memiliki suhu sangat tinggi. Efisiensi yang dihasilkan mencapai 14 - 18%. Kelemahan dari panel jenis ini adalah tidak akan berfungsi baik ditempat yang intensitas cahaya mataharinya kurang (teduh), sehingga efisiensinya akan turun drastis dalam cuaca berawan.[11] Gambar 2.1 Penampang Panel Sel surya Monokristal 2. Sel surya Polikristal (Poly-crystaline) Sel surya polikristal merupakan sel surya yang menggunakan kristal dengan susunan atom-atom yang tidak teratur karena dibuat dengan proses casting. Tipe ini memerlukan luas permukaan yang lebih besar dibandingkan dengan jenis monokristal untuk menghasilkan daya listrik yang sama. Panel surya jenis ini memiliki efisiensi lebih rendah dibandingkan tipe monokristal, sehingga memiliki harga yang cenderung lebih rendah. Proses produksi sel surya jenis ini relatif lebih cepat dan memerlukan biaya yang relatif kecil.[11] Gambar 2.2 Penampang Panel Sel surya Polikristal 3. Sel Surya Silikon Amorf Sel surya silikon amorf mengacu pada objek yang memiliki bentuk pasti dan berasal dari bahan non-kristal. Tidak seperti silikon kristal, di mana susunan atomnya yang teratur, silikon amorf pengaturan atomnya tidak teratur. Pada silikon amorf, aktivitas timbal balik antara foton dan silikon cenderung lebih sering terjadi. Keunggulan kristal amorf dibandingkan dengan kristal silikon adalah cahaya yang mampu diserap lebih banyak. Dengan demikian, sebuah film silikon amorf yang sangat tipis dengan ketebalan kurang dari 1μm dapat diproduksi dan digunakan untuk pembangkit listrik. Selain itu, dengan memanfaatkan logam atau plastik sebagai substratnya, sel surya fleksibel juga dapat diproduksi. Sel surya jenis amorf adalah sel surya yang dibentuk dengan mendoping material silikon di belakang lempeng kaca. Dinamakan amorphous atau tanpa bentuk karena material silikon yang membentuknya tidak terstruktur atau tidak mengkristal. Sel surya jenis ini biasanya berwarna coklat tua pada sisi yang menghadap matahari dan keperakan pada sisi konduktifnya. Pada sel surya jenis ini terdapat garis-garis tipis pararel di permukaannya, garis-garis ini merupakan lapisan n dan p dari substrat silikon dan menjadi batas-batas individu sel surya dalam panel. Sel surya jenis ini biasanya tanpa titik hook-up atau kabel yang jelas, sehingga penggunaannya sedikit lebih rumit.[12] Saat ini, sel surya telah berkembang menjadi sumber daya energi yang bersih dan juga biaya produksi yang relatif rendah. Kekurangan yang dimiliki oleh sel surya konvensional salah satunya adalah kinerjanya yang bergantung pada intensitas sinar matahari. Oleh karena itu, dalam penggunaannya diperlukan perangkat lain yang mampu menyimpan energi listrik sehingga energi listrik yang dihasilkan dapat digunakan walaupun sel surya sedang tidak mendapatkan sinar matahari.[10] Faktor utama yang sangat berpengaruh pada kinerja sel surya terutama berasal dari faktor lingkungan sistem. Sel surya akan memberikan kinerja maksimal jika temperatur sel berada pada temperatur ruangan, yaitu sekitar 25°C. Kenaikan temperatur sel surya akan melemahkan tegangan yang dihasilkan. Intensitas radiasi matahari di setiap wilayah tentunya berbeda-beda, hal ini tentunya akan mempengaruhi pada kinerja sel surya. Selain itu, posisi atau tata letak dari sel surya itu sendiri juga akan mempengaruhi kinerja dari sel surya. Posisi sel surya yang tegak lurus dengan arah datang sinar matahari merupakan posisi terbaik penempatan sel surya, karena energi yang dihasilkan oleh sel surya tersebut akan maksimal.[13] 2.3 Sel Surya Tersensitasi Zat Warna Sel surya tersensitasi zat warna (Dye Sensitized Solar Cell, DSSC) merupakan salah satu generasi sel surya yang telah mendapatkan perhatian dunia sejak tahun 1991. DSSC merupakan perangkat sel surya yang sangat menarik karena beberapa keunggulan. Keunggulan yang dimiliki oleh DSSC diantaranya adalah biaya produksi yang relatif rendah dan memiliki efisiensi yang relatif tinggi. Saat ini, sel surya tersensitasi merupakan sel surya yang paling efisien dan paling stabil.[14] Sel surya tersensitasi zat warna merupakan alat yang mampu mengkonversi sinar matahari menjadi energi listrik.[1] Sel surya generasi pertama menggunakan bahan silikon sebagai sensitizer-nya, dan memiliki efisiensi yang tinggi yaitu sebesar 20%.[10] Mengingat bahan silikon yang berperan sebagai sensitizer tersedia dalam jumlah yang relatif sedikit, mengakibatkan sel surya generasi pertama ini memiliki biaya produksi yang relatif tinggi. Pada generasi kedua, digunakan semikonduktor polikristalin pada proses produksinya. Kekurangan pada sel surya generasi ini adalah proses produksinya membutuhkan teknologi yang relatif canggih, dan biaya yang relatif mahal. Untuk mengatasi kelemahan pada sel surya generasi pertama dan generasi kedua, maka dikembangkan DSSC yang memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan sel surya generasi sebelumnya. DSSC merupakan sel surya generasi ketiga, pengembangan dari sel fotolistrik konvensional generasi sebelumnya. Fotolistrik merupakan perangkat yang bekerja berdasarkan konsep pemisahan muatan pada masing-masing interface dari kedua material yang berbeda mekanisme konduksinya. DSSC memiliki kelebihan dibandingkan sel surya generasi pertama dan generasi kedua, yaitu memiliki biaya produksi yang rendah. Artinya, biaya dalam memproduksi DSSC relatif lebih rendah namun menghasilkan performa yang relatif tinggi. Akan tetapi, DSSC yang terbaik saat ini masih memiliki kelemahan, salah satunya adalah efisiensi yang lebih kecil dibandingkan dengan sel surya generasi pertma dan kedua yaitu 12%. Efisiensi yang kecil ini diakibatkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pengaruh sensitizer yang digunakan.[15] Sel surya tersensitasi zat warna memiliki potensi yang besar sebagai sumber energi alternatif pengganti bahan bakar fosil yang ramah lingkungan karena tidak menimbulkan polusi. DDSC juga bersifat dapat digunakan berulang kali selama bahan yang digunakan dalam keadaan baik, sehingga dapat menekan jumlah sampah. Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan penggunaan batu baterai konvesional, karena sifatnya yang sekali pakai. Proses pembuatannya yang tidak harus menggunakan teknologi canggih dan bahan yang sulit ditemukan sehingga dapat menekan biaya produksinya. Mekanisme kerja DSSC meniru sistem fotosintesis yang terjadi di alam. DSSC terdiri dari bagian elektroda, elektrolit (iodide dan triodide (I-/I3-), semikonduktor (nanokristal titanium dioksida (TiO2), dan sensitizer.[16] 2.4 Mekanisme Transfer Elektron untuk Produksi Arus pada DSSC Pada DSSC, sensitizer berperan sebagai sumber injeksi elektron ketika sensitizer menerima foton dari cahaya matahari. Senyawa yang mampu menangkap cahaya matahari dengan rentang panjang gelombang yang lebar, dan dapat teroksidasi saat terkena cahaya matahari merupakan syarat sensitizer yang baik. Pengertian teroksidasi disini yaitu elektron pada orbital HOMO (Highest Occupied Molecular Orbital) sensitizer (D*/D), berpindah lagi menuju LUMO (Lowest Unoccupied Molecular Orbital) sensitizer. Kemudian dari LUMO sensitizer berpindah menuju pita konduksi (ECB) semi konduktor dengan bantuan energi cahaya matahari. Elektron yang telah mencapai semikonduktor kemudian akan diteruskan oleh anoda menuju katoda melalui kaca konduktif ITO, sehingga akan menghasilkan arus listrik. Elektron dari katoda akan diterima oleh elektrolit, kemudian elektrolit akan mereduksi kembali sensitizer, dan seterusnya reaksi terjadi secara berulang. Prinsip kerja DSSC terlihat pada Gambar 2.3.[17] Gambar 2.3 Skema Prinsip Kerja DSSC[17] Berdasarkan gambar diatas, terlihat bahwa elektron dari zat warna berputar ketika terkena foton dan cahaya matahari, sehingga DSSC dapat terus digunakan selama zat warna menerima foton dari cahaya matahari dan komponen dari DSSC dalam keadaan baik. Salah satu faktor yang mempengaruhi besar kecilnya energi yang dihasilkan DSSC adalah kemampuan sensitizer dan intensitas cahaya yang diterima. 2.5 Zat Warna Organik Dopamin dan Metil Katekol Zat warna terbagi menjadi dua, yakni zat warna alami dan zat warna sintetik atau buatan. Zat warna alami dapat berasal dari bahan-bahan alami seperti tumbuhan, hewan, maupun mineral. Sedangkan zat warna sintetis merupakan zat warna yang disintesis dari penyulingan minyak bumi atau yang dikenal dengan zat warna buatan atau sintetik. Zat warna sintetik yang banyak digunakan pada DSSC umumnya menggunakan senyawa organik logam berbasis rutenium kompleks, namun memiliki biaya produksi yang cukup mahal. Untuk mengatasi masalah penggunaan zat warna yang mahal, maka dapat digunakan juga zat warna organik yang berasal dari tumbuhan. Keunggulan dari penggunaan zat warna organik alami adalah mudah didapatkan, dan biaya pembuatannya yang relatif mudah. Zat warna alami ini dapat disintesis dari tumbuh-tumbuhan, dan tidak memerlukan teknologi yang canggih dalam pengolahannya.[1] Zat warna merupakan gabungan zat organik tidak jenuh, kromofor, dan auksokrom. Zat organik tidak jenuh yang dimaksud disini adalah suatu molekul dengan senyawa aromatik yang terdiri dari hidrokarbon aromatin, fenol, dan senyawa yang mengandung nitrogen. Zat warna adalah salah satu bahan yang dapat menyerap sinar tampak pada panjang gelombang tertentu. Zat warna yang digunakan pada DSSC akan memberikan pengaruh besar terhadap arus listrik yang dihasilkan. Dengan demikian, zat warna yang dipilih haruslah memiliki kemampuan menyerap panjang gelombang dengan rentang yang lebar agar semakin baik kinerja zat warna tersebut. Pada percobaan yang telah dilakukan oleh Creutz et al, digunakan senyawa organik dopamin dan metil katekol sebagai sensitizer-nya dimana senyawa ini merupakan senyawa turunan katekol. Dopamin merupakan molekul zat warna yang dapat di sintesis dari buah pisang, terutama pada daging dan kulitnya yang memberikan warna kuning pudar. Zat warna katekol yang umum digunakan dalam penelitian didapatkan dari daun teh, dalam bentuk catechin. Zat warna ini menghasilkan warna tampak ungu hingga kekuningan. Dalam percobaannya, digunakan kompleks katekol yang diamati dengan electrospray ionization mass spectrometry (ESI-MS).[7] Fungsi zat warna pada DSSC adalah sebagai penangkap foton dari radiasi matahari yang digunakan untuk mengeksitasi elektron pada orbital HOMO zat warna tersebut, dan kemudian ditransfer ke pita konduksi semikonduktor TiO2. Gambar 2.4 Struktur Senyawa Katekol Gambar 2.5 Struktur Senyawa Dopamin Gambar 2.6 Struktur Senyawa Metil katekol Gambar 2.7 Struktur Senyawa Dopamin yang Teradsorpsi Pada TiO2 Cluster Gambar 2.8 Struktur Senyawa Metil Katekol yang Teradsorpsi Pada TiO2 Cluster 2.6 Titanium Dioksida (TiO2) Titanium dioksida merupakan kristal yang berwarna putih dengan indeks bias yang sangat tinggi, begitupun titik leburnya. Titik lebur yang dimiliki oleh senyawa ini adalah 1855 °C. Kristal TiO2 bersifat asam, tidak larut dalam air, asam klorida, asam sulfat encer dan alkohol. Namun, TiO2 ini larut dalam larut dalam campuran asam sulfat pekat dan asam florida. TiO2 mempunyai 3 bentuk struktur kristal yaitu rutil, anatase dan brookite. Rutil dan anatase mempunyai struktur tetragonal dengan tetapan kisi kristal dan sifat fisika yang berbeda. Struktur rutil lebih stabil pada temperatur tinggi, sedangkan anatase lebih stabil pada temperatur rendah. Brookite mempunyai struktur ortorombik yang sulit dibuat dan jarang ditemukan. Titanium dioksida relatif melimpah dalam kulit bumi yaitu sekitar 0,6 %. Mineral TiO2 yang utama adalah FeTiO3 (ilmenite) dan CaTiO3 (perovskit). TiO2 dapat dipergunakan antara lain sebagai pigmen dalam industri cat, pemutih pada industri kosmetik, dan fotokatalis. TiO2 dapat berfungsi sebagai fotokatalis yaitu mempercepat reaksi yang diinduksi oleh cahaya karena mempunyai struktur semikonduktor yaitu struktur elektronik yang dikarakterisasi oleh adanya pita valensi (valence band; vb) terisi dan pita konduksi (conduction band; cb) yang kosong. Kedua pita tersebut dipisahkan oleh celah yang disebut energi celah pita (band gap energy; Eg). Energy gap TiO2 jenis anatase sebesar 3.2 eV dan jenis rutil sebesar 3.0 eV, sehingga jenis rutil lebih fotoreaktif daripada jenis rutil.[18] Dalam penelitian ini, TiO2 yang digunakan adalah berjenis anatase. Oksigen Titanium Gambar 2.9 Model Kristal TiO2 Anatase[18] 2.7 Komputasi Kimia Masyarakat Indonesia sebagian besar beranggapan bahwa eksperimen kimia harus dilakukan didalam laboratorium, dan melibatkan bahan-bahan kimia baik berbentuk cair maupun padatan. Eksperimen yang dilakukan di dalam laboratorium umumnya memiliki kendala utama, yaitu keterbatasan alat dan bahan. Namun, dengan eksperimen secara komputasi kendala tersebut dapat diminimalisir. Eksperimen komputasi merupakan metode yang ramah lingkungan, relatif ekonomis, memungkinkan seorang peneliti untuk memprediksi penentuan struktur, sifat, atau sistem kimia dengan waktu yang lebih singkat. Selain itu, eksperimen secara komputasi juga dapat memprediksikan sifat molekul yang kompleks dengan hasil perhitungan yang berkorelasi dengan hasil eksperimen.[19] Metode yang umum digunakan dalam studi komputasi adalah metode Density Functional Theory (DFT), dan Time Dependent Density Functional Theory (TDDFT). Kelemahan yang dimiliki oleh metode DFT adalah tidak dapat menghitung spektrum absorpsi dan sifat elektro kimia, sementara TDDFT dapat mengatasi kelemahan tersebut. Dalam perhitungan komputasi harus menggunakan basis set sebagai baris perintah yang akan diterjemahkan oleh program komputer, basis set yang umum digunakan adalah 3-21G, 6-31G*.[1] 2.8 Metode Density Functional Theory (DFT), dan Metode Time Dependent Density Functional Theory (TDDFT) Metode DFT mulai berkembang sejak tahun 1980 dan 1990, dan hanya mampu menghitung secara global energi elektronik total dan distribusi kerapatan elektron dari suatu senyawa. Metode DFT berbeda dengan metode Hartre-Fock, dimana dalam metode Hartre-Fock perhitungannya menggunakan fungsi gelombang tunggal yang perhitungannya benar-benar menghitung seluruh N atau jumlah elektron dalam suatu molekul dalam fungsi gelombang. Pada metode DFT, energi elektronik total berhubungan dengan total kerapatan elektron. Metode DFT digunakan untuk menentukan prediksi sifat optik, dan juga sifat elektronik dari senyawa organik. Metode TDDFT melibatkan potensial luar, namun pada metode DFT tidak dapat menentukan sifat optik maupun sifat elektronik senyawa organik yang digunakan dalam penelitian ini.[1] BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Alat dan Model Molekul 3.1.1 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Perangkat keras (hardware) Perangkat keras yang digunakan dalam penelitian ini adalah komputer pribadi. b. Perangkat lunak (software) Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah program Avogadro 1.1.0, Chemcraft 1.6, Firefly 8 RC 40, Gabedit, dan Gaussian 03. 3.1.2 Model Molekul Model molekul yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Molekul zat warna organik dopamin. b. Molekul zat warna organik dopamin yang berikatan dengan TiO2 cluster. c. Molekul zat warna organik metil katekol. d. Molekul zat warna organik metil katekol yang berikatan dengan TiO2 cluster. 3.2 Metode Penelitian Molekul zat warna organik dopamin, dopamin yang berikatan dengan TiO2, metil katekol, dan metil katekol yang berikatan dengan TiO2 digambar menggunakan perangkat lunak Avogadro untuk mendapatkan data koordinat struktur dalam format cartesian, kemudian dilakukan optimasi molekular mekanik struktur. Optimasi dilakukan beberapa kali sampai mendapatkan bentuk struktur yang optimum untuk mempercepat proses perhitungan. Koordinat atom – atom pada molekul yang sudah di optimize, selanjutnya digunakan sebagai input file untuk perhitungan menggunakan perangkat lunak Firefly, dan Gaussian 03. Seluruh input file senyawa dopamin, dopamin yang berikatan dengan TiO2, metil katekol , dan metil katekol yang berikatan dengan TiO2 dihitung menggunakan program Firefly , dan Gaussian yang dijalankan dalam sistem Windows. Perhitungan pertama merupakan perhitungan dengan menggunakan metode DFT (Density Functional Theory), dan output yang dihasilkan akan diolah lebih lanjut dengan perangkat lunak yang sama dengan menggunakan metode TDDFT (Time Dependent Density Functional Theory). Untuk lebih jelas mengenai baris perintah yang digunakan dalam perhitungan, dapat dilihat sebagai berikut : 1. Perhitungan DFT Firefly $BASIS GBASIS=N31 NGAUSS=6 NDFUNC=1 NPFUNC=1 $END $CONTRL SCFTYP=RHF RUNTYP=OPTIMIZE DFTTYP=B3LYP ICHARG=0 MULT=1 $END $P2P P2P=.T. DLB=.T. $END $p2p mxbuf=2048 $end $contrl nzvar=1 $end 2. Perhitungan TDDFT Firefly $CONTRL SCFTYP=RHF DFTTYP=B3LYP CITYP=TDDFT ICHARG=0 MULT=1 $END $SYSTEM TIMLIM=3000 MEMORY=40676483 $END $BASIS GBASIS=N31 NGAUSS=6 NDFUNC=1 NPFUNC=1 $END $TDDFT NSTATE=70 $END $P2P P2P=.T. DLB=.T. $END $scf dirscf=.t. $end $DATA 3. Perhitungan DFT Gaussian #p B3LYP/6-31G(d,p) Opt gfinput pop=full iop(6/7=3) 4. Perhitungan TDDFT Gaussian #p B3LYP/6-31G(d,p) SP TD(Nstates=70) gfinput pop=full iop(6/7=3) Perangkat lunak Gabedit akan mengolah file dengan ekstensi .out, output dari masing-masing perangkat lunak yang digunakan. Analisis dengan Gabedit ini dilakukan untuk mengetahui energi band gap HOMO/LUMO, dan juga spektrum UV dari senyawa dopamin, dopamin yang berikatan dengan TiO2, metil katekol, dan metil katekol yang berikatan dengan TiO2. Berikut ini adalah flow chart keseluruhan proses studi komputasi senyawa dopamin, dopamin yang berikatan dengan TiO2, metil katekol, dan metil katekol yang berikatan dengan TiO2 yang akan dilakukan pada penelitian ini : Start Gambar dan optimasi struktur (Avogadro) Senyawa dopamin, dopamin yang berikatan dengan TiO2, metil katekol , dan metil katekol yang berikatan dengan TiO2 Input Koordinat struktur (Avogadro) Proses Perhitungan Firefly, dan Gaussian Metode DFT Perhitungan Firefly, dan Gaussian Metode TDDFT Data output perhitungan Gabedit 2.4.6 Energi band gap HOMO/LUMO Output Spektrum absorpsi UV - VIS Gambar 3.1. Diagram Alir Studi Komputasi Senyawa Dopamin, Dopamin yang Berikatan dengan TiO2 , Metil katekol, dan Metil katekol yang Berikatan dengan TiO2 dengan Metode DFT dan TDDFT BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perlakuan Komputasi Perhitungan ini dilakukan menggunakan metode DFT (Dependent Functional Theory) dan TDDFT (Time Dependent Functional Theory) dengan menggunakan beberapa perangkat lunak, diantaranya adalah dengan menggunakan Firefly 8 RC40, dan Gaussian 03. Mengikuti percobaan yang dilakukan oleh Sanchez et al, percobaan ini dilakukan dalam beberapa tahapan namun dengan menggunakan metoda dan basis set yang berbeda.[20] Penggambaran geometri senyawa dilakukan terlebih dahulu dengan menggunakan perangkat lunak Avogadro 1.1.0, penggambaran ini dilakukan untuk mendapatkan koordinat dari atom-atom dalam senyawa tersebut. Dari koordinat yang didapatkan, kemudian dibuat input file untuk masing-masing perangkat lunak. Dalam masing-masing input file yang dibuat, keseluruhan menggunakan basis set 6-31G (d,p) dengan menggunakan metode B3LYP. Untuk perhitungan DFT, dilakukan optimasi geometri, sedangkan untuk perhitungan TDDFT hanya menggunakan single point calculation. Pada perhitungan TDDFT, digunakan keadaan eksitasi sebesar 70. Hasil perhitungan DFT akan diproses lebih lanjut lagi menggunakan metode TDDFT. Dari hasil perhitungan TDDFT tersebut dapat diketahui spektrum UV-Vis dan perbedaan pita energi HOMO – LUMO masingmasing senyawa. Output hasil perhitungan digunakan untuk melengkapi hasil experimen. 4.1.1 Struktur Model Molekul Molekul zat warna yang digunakan dalam penelitian ini merupakan molekul zat warna organik yang digunakan oleh Creutz et al, dan dapat disintesis dari alam. Model molekul yang digunakan dalam kajian studi komputasi ini diantaranya adalah dopamin, dopamin yang berikatan dengan TiO2, metil katekol, dan metil katekol yang berikatan dengan TiO2, dimana TiO2 dalam perhitungan ini menggunakan model cluster Ti(OH)2-zat warna. Dibawah ini merupakan gambar model molekul yang digunakan dalam studi komputasi dalam bentuk tiga dimensi sesudah dilakukan optimasi geometri secara molecular mechanic dan juga hasil optimasi geometri dengan metode DFT. (a) (b) (c) Gambar 4.1 (a) Model Molekul Dopamin Hasil Optimasi Geometri Secara Mekanika Molekuler, (b) Molekul Dopamin Hasil Optimasi Geometri Menggunakan Firefly, dan (c) Molekul Dopamin Hasil Optimasi Geometri Gaussian. (a) (b) (c) Gambar 4.2 (a) Model Molekul Dopamin yang Berikatan dengan TiO2 Hasil Optimasi Geometri Secara Mekanika Molekuler, (b) Molekul Dopamin yang Berikatan dengan TiO2 Hasil Optimasi Geometri Menggunakan Firefly, dan (c) Molekul Dopamin yang Berikatan dengan TiO2 Hasil Optimasi Geometri Menggunakan Gaussian. (b) (a) (c) Gambar 4.3 (a) Model Molekul Metil Katekol Hasil Optimasi Geometri Secara Mekanika Molekuler, (b) Model Molekul Metil Katekol Hasil Optimasi Geometri Menggunakan Firefly, dan (c) Model Molekul Metil Katekol Hasil Optimasi Geometri Menggunakan Gaussian. (a) (b) (c) Gambar 4.4 (a) Model Molekul Metil Katekol yang Berikatan dengan TiO2 Hasil Optimasi Geometri Secara Mekanika Molekuler, (b) Molekul Metil Katekol yang Berikatan dengan TiO2 Hasil Optimasi Geometri Menggunakan Firefly; dan (c) Molekul Metil Katekol yang Berikatan dengan TiO2 Hasil Optimasi Geometri Menggunakan Gaussian 4.2 Sifat Elektronik Dopamin Bebas dan Dopamin yang Teradsorpsi Pada TiO2 4.2.1 Kurva Adsorpsi UV-Vis Dari hasil perhitungan masing-masing perangkat lunak, didapatkan dua jenis kurva spektrum UV-Vis. Dari masing-masing kurva spektrum, terdapat beberapa perbedaan. Perbedaan tersebut diakibatkan oleh perbedaan akurasi hasil optimasi perangkat lunak yang digunakan, selain itu perbedaan ini dapat diakibatkan juga oleh batas toleransi yang dimiliki oleh perangkat lunak perhitungan. Namun jika dilihat dari pola spektrum UV-Visnya, kedua spektrum tersebut tidak terlalu berbeda. Gambar 4.5 Spektrum UV-Vis Dopamin Bebas Hasil Perhitungan Komputasi Kekuatan osilator sebanding dengan intensitas spektrum, yang mejelaskan besarnya probabilitas elektron yang tereksitasi. Dalam senyawa dopamin bebas, terdapat beberapa puncak dengan intensitas yang berbeda-beda. Puncak paling tinggi dihasilkan pada energi 6,884 eV dengan kekuatan osilator sebesar 0,642, dimana puncak paling tinggi ini dihasilkan oleh eksitasi elektron dari H-2→L+1 sebanyak 16%, H-1→L+1 sebanyak 56%, dan H→Lsebanyak 16%. Selain itu, puncak tertinggi ini juga dihasilkan dari kontribusi minor dari eksitasi elektron H3→L sebanyak 2%, H-2→L sebanyak 2%, dan H-1→L sebanyak 4% yang mengindikasikan pada panjang gelombang tersebut terdapat paling banyak elektron yang tereksitasi. Puncak tertinggi kedua dihasilkan pada energi 6,663 eV dengan kekuatan osilator sebesar 0,311, dimana pada puncak paling tinggi ini dihasilkan dari eksiatasi elektron dari H-2→L sebanyak 12%, H-1→L sebanyak 49%, dan H→L+1 sebanyak 26%. Pucak tertinggi ketiga dihasilkan pada energi 9,289 dengan kekuatan osilator sebesar 0,093, dimana pada puncak paling tinggi ini dihasilkan dari eksitasi elektron dari H-2→L+7 sebesar 15%, H-2→L+8 sebesar 26%, dan H-1→L+8 sebesar 19%. Tabel 4.1 memperlihatkan probabilitas eksitasi elektron secara lengkap pada molekul zat warna dopamin hasil perhitungan TDDFT menggunakan perangkat lunak Firefly. Tabel 4.1 Tabel Probabilitas Eksitasi Elektron Senyawa Dopamin Bebas Hasil Perhitungan Firefly (Keterangan : H = HOMO, L = LUMO) No Kekuatan osilator Energi (eV) 1 0,642 6,884 2 0,311 6,66 3 0,093 9,289 Kontribusi Utama H-2→L+1 (16%), H-1→L+1 (56%), H→L (16%) H-2→L (12%), H-1→L (49%), H→L+1 (26%) H-2→L+7 (15%), H-2→L+8 (26%), H-1→L+8 (19%) Kontribusi Minor H-3→L (2%), H-2→L (2%), H-1→L (4%) H-2→L+1 (7%) H-8→L (8%), H-7→L (4%), H-6→L (2%), H-6→L+1 (4%), H-2→L+5 (6%), H-2→L+6 (4%), H-2→L+10 (2%), H-1→L+6 (2%),H→L+9 (2%) H-1→L(25%), H→L+1 (68%) H-1→L+1 (16%), H→L (77%) 4 0,067 5,790 5 0,061 5,002 6 0,049 9,173 H-7→L (80%) 7 0,046 7,917 8 0,043 10,629 9 0,033 8,397 10 0,031 9,815 H-3→L (95%) H-5→L+3 (33%), H-4→L+3 (17%), H→L+14 (23%), H→L+15 (12%) H-3→L+1 (71%), H→L+8 (13%) H-7→L+1 (25%), H-5→L+2 (21%), H-4→L+2 (22%), H-2→L+9 (16%) H-2→L (3%), H→L (3%) H-2→L+1 (3%), HOMO→L+1 (2%) H-8→L (2%), H-1→L+7 (2%), H-1→L+8 (6%), H→L+9 (3%), H→L+10 (2%) H-6→L+3 (3%), H→L+13 (3%) H-2→L+4 (4%), H→L+7 (3%) H-8→L+1 (2%), H-2→L+11 (2%) Hasil dari perhitungan perangkat lunak Gaussian dengan menggunakan metoda TDDFT memberikan sedikit perbedaan dibandingkan hasil perhitungan menggunakan perangkat lunak Firefly, namun tidak terlalu signifikan. Puncak paling tinggi sama-sama dihasilkan pada energi 6,784 eV dengan kekuatan osilator sebesar 0,628, dimana puncak tertinggi ini dihasilkan oleh eksitasi elektron H-2→L+1 dari sebanyak 26%, H-1→L+1 sebanyak 35%, dan oleh eksitasi elektron dari H→L sebanyak 11%. Selain itu, puncak tertinggi ini juga dihasilkan oleh kontribusi minor eksitasi elektron dari H-3→L sebanyak 3%. Puncak tertinggi kedua dihasilkan pada energi 6,632 eV dengan kekuatan osilator sebesar 0,305, dimana pada puncak tertinggi ini dihasilkan oleh eksitasi elektron dari H-2→L sebanyak 25%, eksitasi elektron dari orbital H-1→L sebanyak 33%, dan eksitasi elektron dari orbital H→L+1 sebanyak 14%. Puncak tertinggi ketiga sama-sama dihasilkan oleh eksitasi elektron dari H-7→L sebanyak 87%. Selain itu, puncak tertinggi ketiga ini dihasilkan dari kontribusi minor eksitasi elektron dari H-8→L sebanyak 3%. Energi yang dihasilkan pada puncak tertinggi ketiga ini sebesar 9,119 eV, dengan kekuatan osilator sebesar 0,109. Tabel 4.2 memperlihatkan prediksi eksitasi elektron dari molekul zat warna dopamin hasil perhitungan TDDFT dengan menggunakan perangkat lunak Gaussian. Seperti yang terlihat pada tabel hasil perhitungan senyawa dopamin diatas, pada senyawa zat warna dopamin bebas eksitasi elektron dominan bersal dari eksitasi H-2, H-1 dan L+1 (Tabel 4.1 dan Tabel 4.2). Nilai berkorelasi dengan hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan sebelumnya oleh Sanchez et al namun dengan fungsi berbeda (PW91).[20] Orbital H-2 dan H-1 berasal dari orbital π pada seluruh gugus hidroksil. Elektron bebas pada gugus hidroksil memiliki kontribusi yang sangat tinggi pada orbital ini. Sementara itu, elektron bebas dari gugus hidroksil kemudian terdistribusi ke seluruh cincin molekul. Tabel 4.2 Tabel Probabilitas Eksitasi Elektron Senyawa Dopamin Bebas Hasil Perhitungan Gaussian (Keterangan : H = HOMO, L = LUMO) No Kekuatan osilator Energi (eV) 1 0,627 6,784 2 0,305 6,632 3 0,109 9,119 4 0,098 10,653 5 0,085 5,725 Kontribusi Utama H-2→L+1 (26%), H-1→L+1 (35%), H→L (11%) H-2→L (25%), H-1→L (33%), H→L+1(14%) H-7→L (87%) H-6→L+3 (12%), H-5→L+3 (24%), H-4→L+4 (32%) H-1→L (14%), Kontribusi Minor H-3→L (3%) H-8→L (3%) H-6→L+2 (8%), H-4→L+3 (3%), H-2→L+11 (4%), H-1→L+11 (3%) H-2→L (7%) 6 0,078 10,297 7 0,068 7,980 8 0,058 4,978 H→L+1 (66%) H-5→L+2 (34%), H-4→L+3 (11%), H-2→L+10 (11%), H-1→L+10 (24%) H-3→L (84%) H-1→L+1 (15%), H→L (73%) 9 0,052 9,410 H-2→L+8 (33%), H-1→L+8 (40%) 10 0,047 10,530 H-6→L+2 (16%), H-5→L+3 (27%) H-7→L+2 (3%), H-3→L+5 (2%) H-2→L+1 (9%) H-3→L+2 (3%),H-2→L+6 (6%), H-2→L+7 (3%),H-1→L+6 (3%), H→L+10 (2%) H-5→L+2 (9%),H-5→L+4 (7%), H-4→L+2 (7%),H-4→L+3 (4%), H-4→L+4 (3%),H-2→L+11 (8%), H-1→L+11 (5%) Diagram penyebaran elektron dominan pada perhitungan senyawa dopamin dengan menggunakan dua perangkat lunak perhitungan komputasi menghasilkan data yang sama persis, diagram penyebaran elektron dapat dilihat di Gambar 4.6. Hal ini dikarenakan dalam perhitungan tersebut menggunakan metoda dan basis set yang sama. Perbedaan hanya dihasilkan pada persentase dari masing-masing kontribusi elektron, hal ini dikarenakan perbedaan tingkat akurasi yang dimiliki oleh perangkat lunak perhitungan yang digunakan. a b c d e Gambar 4.6 Diagram Penyebaran Elektron Hasil Perhitungan Komputasi Senyawa Dopamin Bebas (a) Pada Orbital H-2, (b) Pada Orbital H-1, (c) Pada Orbital L+1, (d) Pada Orbital HOMO, dan (e) Pada Orbital LUMO. Untuk senyawa zat warna yang teradsorpsi pada TiO2 dilakukan pendekatan yang hampir sama dengan senyawa zat warna bebas, dimana TiO2 yang digunakan adalah cluster Ti(OH)2-zat warna. Hasil perhitungan dari senyawa dopamin yang teradsorpsi pada cluster TiO2, menunjukan perbedaan yang tidak terlalu signifikan. Gambar 4.7 memperlihatkan spektrum UV-Vis dari senyawa dopamin yang teradsorpsi pada cluster TiO2 dari hasil perhitungan menggunakan perangkat lunak Gaussian dan Firefly, dimana dari gambar tersebut dapat diketahui jumlah puncak yang diperoleh dari masing-masing hasil perhitungan. Pada perhitungan pertama yang menggunakan perangkat lunak Firefly, puncak tertinggi dengan kekuatan osilator 0,650 yang dihasilkan pada energi 6,828 eV, dimana puncak tersebut hanya berbeda sebesar 0,056 eV jika dibandingkan dengan molekul zat warna bebas. Puncak tersebut dihasilkan oleh kontribusi utama eksitasi elektron dari orbital H-2→L+8 sebanyak 55%, dan eksitasi elektron H→L+6 sebanyak 11%. Sementara kontribusi minor dihasilkan oleh eksitasi elektron H-9→LUMO sebanyak 3%, H-5→L+4 sebanyak 3%, H4→L+3 sebanyak 4%, H-3→L+2 sebanyak 2%, H-3→L+4 sebanyak 2%, H2→L+7 sebanyak 3%, H-1→L+8 sebanyak 2%, dan H→L+7 sebanyak 3%. Gambar 4.7 Spektrum UV-Vis Dopamin yang Teradsorpsi pada TiO2 Hasil Perhitungan Komputasi Puncak tertinggi kedua dihasilkan oleh kontribusi utama eksitasi elektron dari orbital H-3→L+2 sebanyak 77%, sementara kontribusi minor dihasilan oleh eksitasi elektron dari H-8→L+2 sebanyak 2%, H-5→L+4 sebanyak 7%, dan H2→L+8 sebanyak 4%. Puncak tertinggi ketiga dihasilkan oleh kontribusi utama eksitasi elektron dari orbital H-3→L+4 sebanyak 17%, H-2→L+6 sebanyak 22%, dan H-2→L+7 sebanyak 35%. Selain itu, puncak tertinggi ketiga ini dihasilkan dari kontribusi minor eksitasi elektron H-5→L+2 sebanyak 2%, H-4→L+1 sebanyak 2%, H-2→L+3 sebanyak 2%, H-2→L+8 sebanyak 2%, H-1→L+6 sebanyak 2%, dan H→L+8 sebanyak 7%. Tabel 4.3 memperlihatkan probabilitas eksitasi elektron secara lengkap dari molekul dopamin yang teradsorpsi pada TiO2 cluster hasil perhitungan TDDFT perangkat lunak Firefly. Tabel 4.3 Tabel Probabilitas Eksitasi Elektron Senyawa Dopamin yang Teradsorpsi pada TiO2 Hasil Perhitungan Firefly (Keterangan : H = HOMO, L = LUMO) No Kekuatan osilator Energi (eV) 1 0,650 6,828 H-2→L+8 (55%), H→L+6 (11%) 2 0,147 6,659 H-3→L+2 (77%) 3 0,139 6,757 4 0,116 5,153 5 0,080 4,381 Kontribusi Utama H-3→L+4 (17%), H-2→L+6 (22%), H-2→L+7 (35%) H-2→L+8 (13%), H→L+6 (75%) H-3→L (11%), H-2→L+1 (16%), H→L+3 (58%), H→L+4 (10%) 6 0,066 6,963 H-7→L+3 (16%), H-3→L+4 (47%) 7 0,048 4,970 H-3→L (76%) 8 0,032 6,250 H-8→L (16%), H-7→L+1 (39%), H-1→L+7 (10%) 9 0,031 7,140 H-13→L+1 (18%), H-7→L+3 (17%), H-5→L+4 (16%) 10 0,030 6,090 H-1→L+8 (81%) Kontribusi Minor H-9→L (3%), H-5→L+4 (3%),H-4→L+3 (4%), H-3→L+2 (2%),H-3→L+4 (2%), H2→L+7 (3%),H-1→L+8 (2%), H→L+7 (3%) H-8→L+2 (2%), H-5→L+4 (7%), H-2→L+8 (4%) H-5→L+2 (2%), H-4→L+1 (2%),H-2→L+3 (2%), H-2→L+8 (2%),H-1→L+6 (2%),H→L+8 (7%) H-2→L+1 (2%), H-2→L+3 (2%), H-1→L+8 (2%) H→L+6 (2%) H-5→L+2 (2%), H-4→L+1 (2%),H-2→L+6 (4%), H-2→L+8 (2%),H-1→L+9 (7%), H→L+8 (4%) H-8→L (2%), H-2→L+1 (2%),H-2→L+3 (2%), H-1→L+3 (3%),H→L+3 (8%) H-11→L (4%), H-11→L+2 (2%),H-10→L (2%), H-4→L+1 (4%),H-2→L+6 (5%), H-2→L+7 (5%),H-2→L+8 (4%) H-12→L+1 (4%), H-11→L+2 (5%), H-7→L+4 (5%), H-6→L+2 (3%), H-6→L+3 (2%), H-4→L+3 (7%), H-3→L+4 (3%), H-7→L+1 (2%), H-2→L+6 (5%), H-2→L+8 (4%), H-1→L+7 (2%) Perhitungan zat warna dopamin yang teradsorpsi pada TiO2 dengan menggunakan perangkat lunak Gaussian menghasilkan spektrum UV-Vis yang hampir serupa dengan Firefly, dimana pada hasil kedua perhitungan tersebut sama-sama menghasilkan tiga pola puncak pada panjang gelombang dengan perbedaan yang tidak signifikan. Puncak tertinggi pertama dengan kekuatan osilator 0,675, dengan energi sebesar 6,833 eV. Puncak ini dihasilkan oleh eksitasi elektron dari H-2→L+8 sebanyak 44%, sementara kontribusi minor dihasilkan oleh eksitasi elektron dari orbital H-11→L sebanyak 3%, H-6→L+3 sebanyak 2%, H-4→L+3 sebanyak 5%, H-2→L+6 sebanyak 2%, H-2→L+7 sebanyak 2%, H-1→L+8 sebanyak 2%, H→L+6 sebanyak 6%, dan H→L+7 sebnyak 2%. Puncak tertinggi kedua memiliki kekuatan osilasi sebesar 0,122, dengan energi sebesar 5,170 eV. Puncak tertinggi kedua ini dihasilkan oleh eksitasi elektron dari H-2→L+8 sebanyak 20%, dan oleh eksitasi elektron dari H→L+6 sebanyak 72%. Puncak energi ketiga dihasilkan oleh kontribusi utama eksitasi elektron dari orbital H-3→L+4 sebanyak 29%, H-2→L+6 sebanyak 17%, dan H-2→L+7 sebanyak 27%. Sementara itu, kotribusi yang dihasilkan adalah H-2→L+8 sebanyak 2%, dan H→L+8 sebanyak 5%. Probabilitas eksitasi elektron hasil perhitungan TDDFT dariTabel molekul dopamin yang Elektron teradsorpsi TiO2 menggunakan Tabel 4.4 Probabilitas Eksitasi Senyawa Dopamin Yangperangkat Teradsorpsi pada TiO Hasil Perhitungan Gaussian (Keterangan : H = HOMO, L = LUMO) 2 lunak Gaussian secara lebih rinci diperlihatkan pada Tabel 4.4. No Kekuatan Osilator Energi (eV) 1 0,675 6,833 2 0,122 5,170 3 0,101 8,064 4 0,088 4,333 5 0,085 6,940 6 0,084 6,623 7 0,071 6,966 Kontribusi Utama Kontribusi Minor H-2→L+8 (44%) H-11→L (3%), H-6→L+3 (2%), H-4→L+3 (5%), H-2→L+6 (2%), H-2→L+7 (2%), H-1→L+8 (2%), H→L+6 (6%), H→L+7 (2%) H-2→L+8 (20%), H→L+6 (72%) H-3→L+4 (29%), H-2→L+6 (17%), H-2→L+7 (27%) H-3→L (13%), H-2→L+1 (11%), H→L+3 (66%) H-11→L (12%), H-10→L (11%), H-8→L+1 (10%), H-7→L+3 (12%), H-3→L+4 (23%) H-5→L+2 (20%), H-3→L+2 (62%) H-11→L (36%), H-2→L+8 (2%), H→L+8 (5%) H-14→L (3%), H-2→L+6 (3%), H-2→L+8 (4%), H→L+8 (2%) H-5→L+4 (7%) H-14→L (5%), H-8→L+1 (3%), 8 0,055 4,937 9 0,046 7,103 10 0,038 6,618 H-10→L (13%), H-7→L+3 (12%) H-3→L (75%) H-13→L+1 (32%), H-12→L+2 (10%), H-5→L+4 (25%) H-5→L+2 (58%), H-3→L+2 (17%) H-3→L+4 (9%), H-2→L+6 (2%) H-2→L+3 (2%), H→L+3 (7%) H-7→L+3 (3%), H-6→L+3 (7%), H-4→L+3 (9%) H-10→L (2%), H-9→L (3%), H-9→L+2 (2%), H-3→L+4 (3%), H-2→L+7 (3%) Gambar 4.8 menunjukan diagram penyebaran elektron pada senyawa zat warna dopamin yang teradsorpsi pada TiO2. Dalam keadaan teradsorpsi pada TiO2, senyawa zat warna menunjukan lebih banyak elektron yang terdistribusi pada seluruh sistem zat warna. HOMO dan LUMO yang dihasilkan hampir menyerupai molekul zat warna bebasnya. Namun ada hal lain yang harus diperhatikan, yakni pada eksitasi elektron yang dihasilkan oleh atom Ti. Terutama pada L+2 dan seterusnya dimana pada keadaan eksitasi ini terdapat orbital d yang berasal dari atom Ti. Atom Ti memiliki peran penting pada terbentuknya orbital d. Pada sistem zat warna yang memiliki beberapa atom titanium, fungsi gelombang elektronik dapat tersebar ke seluruh sistem zat warna. Pada sistem tersebut, fungsi dari atom titanium adalah untuk menstabilkan sistem zat warna secara keseluruhan. a b c d Gambar 4.8 Diagram Penyebaran Elektron Hasil Perhitungan Komputasi Senyawa Dopamin yang Teradsorpsi pada TiO2 (a) Pada Orbital H-2, (b) Pada Orbital L+8, (c) Pada Orbital HOMO, dan (d) Pada Orbital L+6. Setelah teradsorpsi pada TiO2, gabungan senyawa zat warna dan cluster memiliki distribusi densitas elektron lebih banyak. Pengurutan distribusi densitas elektron ini dilakukan oleh perangkat lunak perhitungan dengan melihat seberapa dekat tingkatan energi yang ada pada elektron yang menempati orbital dan orbital virtual yang ada. 4.3 Sifat Elektronik Metil Katekol Bebas dan Metil Katekol yang Teradsorpsi padaTiO2 4.3.1 Kurva Absorpsi UV-Vis Sama seperti perhitungan senyawa dopamin sebelumnya, pada hasil perhitungan senyawa metil katekol juga didapatkan beberapa perbedaan pola spektrum UV-Vis. Namun, perbedaan pola spektrum UV-Vis tersebut tidak terlalu signifikan. Kekuatan osilator akan sebanding dengan intensitas spektrum yang menjelaskan besarnya probabilitas elektron yang tereksitasi. Gambar 4.9 Spektrum UV-Vis Metil Katekol Hasil Perhitungan Komputasi Dari hasil perhitungan menggunakan perangkat lunak Firefly, puncak tertinggi pertama dengan kekuatan osilator 0,426 mempunyai energi sebesar 6,873 eV. Puncak tertinggi ini dihasilkan oleh eksitasi elektron dari H-1→L+7 sebanyak 30%, dan H-1→L+9 sebanyak 20%. Kontribusi minor yang dihasilkan berasal dari eksitasi elektron dari H-11→L+1 sebanyak 6%, H-10→L sebanyak 2%, H8→L sebanyak 5%, H-5→L+2 sebanyak 5%, H-3→L+2 sebanyak 2%, H-1→L+6 sebanyak 2%, dan H→L+6 sebanyak 8%. Puncak tertinggi kedua dihasilkan oleh eksitasi elektron dari orbital H11→L+1 sebanyak 20%, dan eksitasi elektron dari orbital H-1→L+7 sebanyak 25%. Kontribusi minor yang dihasilkan pada puncak ini adalah H-10→L sebanyak 2%, H-9 → L sebanyak 7%, H-8→L sebanyak 9%, H-7→L sebanyak 2%, H-3→L+3 sebanyak 7%, H-3→L+5 sebanyak 2%, H-2→L+3 sebanyak 2%, H-1→L+8 sebanyak 3%, dan H→L+6 sebanyak 4%. Puncak tertinggi ketiga dihasilkan oleh eksitasi elektron dari orbital H-2→L+2 sebanyak 19%, H-1→L+6 sebanyak 17%, dan H-1→L+8 sebanyak 33%. Selain itu, puncak ini juga dihasilkan dari kontribusi minor H-10→L sebanyak 3%, H-8→L sebanyak 4%, H-3→L+2 sebanyak 2%, H-2→L+3 sebanyak 2%, H-2→L+5 sebanyak 4%, dan H→L+7 sebanyak 7%. Tabel 4.5 memperlihatkan probabilitas eksitasi elektron secara lengkap pada molekul zat warna metil katekol hasil perhitungan TDDFT menggunakan perangkat lunak Firefly. Perhitungan menggunakan perangkat lunak Gaussian menghasilkan hasil yang sedikit berbeda dibandingkan hasil perhitungan TDDFT Firefly, namun tidak terlalu signifikan. Puncak tertinggi pertama yang dihasilkan memiliki kekuatan osilator sebesar 0,372, dan memiliki energi sebesar 6,821 eV. Puncak tertinggi pertama ini dihasilkan oleh eksitasi elektron dari orbital H-11→LUMO sebanyak 11%, dan H-1→L+8 sebanyak 40%. Kontribusi minor yang dihasilkan berasal dari orbital molekul H-10→L+1 sebanyak 2%, H-9→L sebanyak 9%, H-5→L+3 sebanyak 2%, H-4→L+3 sebanyak 4%, dan H→L+6 sebanyak 8%. Puncak tertinggi kedua dihasilkan pada energi 6,703 eV, dengan kekuatan osilator sebesar 0,171. Puncak ini sama-sama dihasilkan oleh eksitasi elektron dari orbital H-2→L+4 sebanyak 34%, dan H-1→L+6 sebanyak 17%. Sementara itu, kontribusi minor dihasilkan oleh eksitasi dari orbital H-8→L sebanyak 2%, H7→L sebanyak 3%, H-4→L+1 sebanyak 3%, H-3→L+2 sebanyak 7%, H1→L+7sebanyak 8%, dan H→L+8 sebanyak 8%. Puncak tertinggi ketiga yang dihasilkan memiliki kekuatan osilator sebesar 0,137, dengan energi yang dihasilkan sebesar 6,964 eV. Puncak tertinggi ketiga ini dihasilkan oleh eksitasi elektron dari orbital H-11→L sebanyak 16%, H-9→L sebanyak 10%, H-6→L+3 sebanyak 29%, dan H-2→L+4 sebanyak 12%. Tabel 4.6 memperlihatkan probabilitas eksitasi elektron secara lengkap pada molekul zat warna metil katekol hasil perhitungan TDDFT menggunakan perangkat lunak Gaussian. Tabel 4.5 Tabel Probabilitas Eksitasi Elektron Senyawa Metil Katekol Bebas Hasil Perhitungan Firefly (Keterangan : H = HOMO, L = LUMO) Kekuatan osilator Energi (eV) 1 0,426 6,873 H-1→L+7 (30%), H-1→L+9 (20%) 2 0,206 6,7045 H-11→L+1 (20%), H-1→L+7 (25%) No 3 0,119 6,589 4 0,090 5,166 5 6 0,066 0,065 6,855 6,803 Kontribusi Utama H-2→L+2 (19%), H-1→L+6 (17%), H-1→L+8 (33%) H-1→L+3 (11%), H-1→L+7 (16%), H→L+6 (63%) H-1→L+8 (11%), H-1→L+9 (42%) H-9→L (18%), H-8→L (11%), H-1→L+8 (11%), H-1→L+9 (18%) 7 0,052 7,001 H-5→L+2 (13%), H-5→L+3 (10%), H-4→L+2 (12%) 8 0,050 6,925 H-8→L+1 (10%), H-3→L+2 (11%) 9 10 0,046 0,046 3,672 7,974 H-1→L+1 (93%) H-3→L+6 (78%) Kontribusi Minor H-11→L+1 (6%), H-10→L (2%), H-8→L (5%), H-5→L+2 (5%), H-3→L+2 (2%), H-1→L+6 (2%), H→L+6 (8%) H-10→L (2%), H-9→L (7%), H-8→L (9%), H-7→L (2%), H-3→L+3 (7%), H3→L+5 (2%),H-2→L+3 (2%), H-1→L+8 (3%), H→L+6 (4%) H-10→L (3%), H-8→L (4%), H-3→L+2 (2%), H-2→L+3 (2%), H-2→L+5 (4%), H→L+7 (7%) H-1→L+5 (5%) H-11→L+1 (8%), H-10→L (4%),H-9→L (3%), H-5→L+2 (4%), H-2→L+5 (6%), H-1→L+6 (2%), H-1→L+7 (4%), H-1→L+10 (3%) H-11→L+1 (4%), H-7→L (6%), H-5→L+2 (7%), H-1→L+6 (9%), H-1→L+10 (4%), H→L+7 (2%) H-11→L+1 (5%), H-10→L (3%), H-10→L+1 (7%), H-9→L+1 (7%), H-8→L+2 (2%), H-7→L+1 (4%), H-7→L+2 (2%), H-6→L+2 (2%), H-4→L+3 (5%), H-3→L+2 (2%), H-2→L+2 (2%), H-2→L+5 (3%), H-1→L+6 (2%), H-1→L+7 (3%), H→L+7 (2%) H-11→L+1 (4%), H-10→L (3%), H-9→L (5%), H-9→L+1 (4%), H-5→L+3 (6%), H-5→L+5 (2%), H-4→L+2 (6%), H-4→L+5 (2%), H-3→L+3 (9%), H-2→L+5 (8%), H-1→L+6 (5%), H-1→L+7 (2%), H-1→L+8 (4%), H-1→L+9 (2%), H→L+7 (3%) H→L+5 (2%) H-15→L (2%) Tabel 4.6 Tabel Probabilitas Eksitasi Elektron Senyawa Metil Katekol Bebas Hasil Perhitungan Gaussian (Keterangan : H = HOMO, L = LUMO) No Kekuatan osilator Energi (eV) Kontribusi Utama 1 0,372 6,821 H-11→L (11%), H-1→L+8 (40%) 2 0,171 6,703 H-2→L+4 (34%), H-1→L+6 (17%) 4 0,135 6,909 5 0,088 6,630 6 0,085 7,153 7 0,064 5,275 8 0,058 4,355 9 0,052 6,603 H-11→L (16%), H-9→L (10%), H-6→L+3 (29%), H-2→L+4 (12%) H-11→L (23%), H-9→L (11%), H-2→L+4 (22%) H-2→L+2 (78%) H-6→L+3 (43%), H-2→L+4 (20%) H-1→L+8 (27%), H→L+6 (66%) H-2→L (13%), H→L+3 (69%) H-3→L+2 (81%) 10 0,049 4,955 H-2→L (67%) 3 0,137 6,964 Kontribusi Minor H-10→L+1 (2%), H-9→L (9%), H-5→L+3 (2%), H-4→L+3 (4%), H→L+6 (8%) H-8→L (2%), H-7→L (3%), H-4→L+1 (3%), H-3→L+2 (7%), H-1→L+7(8%), H→L+8 (8%) H-5→L+3 (2%), H-1→L+6 (3%), H-1→L+8 (6%), H→L+8 (2%) H-8→L (7%), H-6→L+3 (9%), H-4→L+3 (5%), H-1→L+8 (5%), H→L+8 (2%) H-3→L+4 (9%) H-10→L+3 (6%), H-4→L+3 (3%), H→L+8 (5%) H→L+7 (2%) H-1→L+1 (5%), H→L+4 (7%) H-1→L+6 (5%), H-1→L+7 (4%) H-3→L (4%), H-1→L+3 (9%), H→L+3 (7%) Dalam senyawa zat warna metil katekol, terdapat beberapa penyebaran elektron yang dominan. Diantaranya adalah eksitasi elektron dari orbital H-1 menuju L+7, L+8, dan L+9. Orbital molekul ini terdselokalisasi melalui seluruh sistem zat warna, dengan katekolat sebagai kontribusi utamanya. Hasil perhitungan dengan perangkat lunak Gaussian memperoleh hasil berbeda dengan dihasilkannya H-11, orbital ini merupakan orbital virtual sebelum transisi menuju orbital molekul H-1. Hasil perhitungan komputasi untuk senyawa metil katekol ini ditunjukan pada Gambar 4.10. a b d c e Gambar 4.10 Diagram Penyebaran Elektron Hasil Perhitungan Komputasi Senyawa Metil Katekol Bebas (a) Pada Orbital H-1, (b) Pada Orbital L+7, (c) Pada Orbital L+8, (d) Pada Orbital L+9,dan (e) Pada Orbital LUMO. Gambar 4.11 Merupakan spektrum UV-Vis hasil perhitungan dari senyawa metil katekol yang terabsorpsi pada TiO2 cluster, menunjukan adanya sedikit perbedaan walau tidak signifikan. Pada senyawa ini, metil katekol terabsorpsi pada TiO2 dimana atom Ti sebagai atom pusatnya dan dihitung menggunakan dua perangkat lunak perhitungan komputasi yang berbeda. Gambar 4.11 Spektrum UV-Vis Metil Katekol yang Teradsorpsi pada TiO2 Hasil Perhitungan Komputasi Pada perhitungan pertama yang menggunakan perangkat lunak Firefly, puncak tertinggi pertama yang dihasilkan memiliki energi sebesar 6,873 eV dengan kekuatan osilator sebesar 0,426. Puncak ini sama-sama dihasilkan oleh eksitasi elektron dari orbital H-1→L+7 sebanyak 30%,dan H-1→L+9 sebanyak 20%. Sementara kontribusi minor dihasilkan oleh eksitasi elektron dari orbital H11→L+1 sebanyak 6%, H-10→L sebanyak 2%, H-8→L sebanyak 5%, H-5→L+2 sebanyak 5%, H-3→L+2 sebanyak 2%, H-1→L+6 sebanyak 2%, dan H→L+6 sebanyak 8%. Puncak tertinggi kedua memliki kekuatan osilator sebesar 0,206, dengan energi yang dihasilkan sebesar 6,704 eV. Pada puncak ini sama-sama dihasilkan oleh eksitasi elektron dari orbital H-11→L+1 sebanyak 20%, dan H-1→L+7 sebanyak 25%. Kontribusi minor dihasilkan oleh eksitasi elektron dari orbital H10→L sebanyak 2%, H-9→L sebanyak 7%, H-8→L sebanyak 9%, H-7→L sebanyak 2%, H-3→L+3 sebanyak 7%, H-3→L+5 sebanyak 2%, H-2→L+3 sebanyak 2%, H-1→L+8 sebanyak 3%, dan H→L+6 sebanyak 4%. Puncak tertinggi ketiga dihasilkan oleh eksitasi elektron dari orbital H2→L+2 sebanyak 19%, H-1→L+6 sebanyak 17%, dan H-1→L+8 sebanyak 33%. Sementara itu, kontribusi minor dihasilkan oleh eksitasi elektron dari orbital H10→L sebanyak 3%, H-8→L sebanyak 4%, H-3→L+2 sebanyak 2%, H-2→L+3 sebanyak 2%, H-2→L+5 sebanyak 4%, dan H→L+7 sebanyak 7%. Tabel 4.7 memperlihatkan probabilitas eksitasi elektron secara lengkap pada molekul zat warna metil katekol yang teradsorpsi pada TiO2 hasil perhitungan TDDFT menggunakan perangkat lunak Firefly. Hasil perhitungan molekul zat warna metil katekol yang teradsorpsi pada TiO2 dengan menggunakan perangkat lunak Gaussian menghasilkan spektrum UV-Vis yang hampir serupa dengan Firefly, dimana hasil perhitungan tersebut sama-sama menghasilkan tiga puncak pada panjang gelombang dengan perbedaan yang tidak signifikan. Puncak tertinggi pertama yang dihasilkan mempunyai energi sebesar 6,821 eV, dengan kekuatan osilator sebesar 0,372. Puncak tertinggi ini dihasilkan oleh kontribusi utama eksitasi elektron dari orbital H-11→L sebanyak 11%, dan H-1→L+8 sebanyak 40%. Kontribusi minor dihasilkan oleh eksitasi elektron dari orbital H-10→L+1 sebanyak 2%, H-9→L sebanyak 9%, H5→L+3 sebanyak 2%, H-4→L+3 sebanyak 4%, dan H→L+6 sebanyak 8%. Puncak tertinggi kedua memiliki kekuatan osilator sebesar 0,171, dengan energi sebesar 6,703 eV. Puncak tertinggi kedua ini sama-sama dihasilkan oleh eksitasi elektron dari orbital H-10→L+1 sebanyak 2%, H-9→L sebanyak 9%, H5→L+3 sebanyak 2%, H-4→L+3 sebanyak 4%, dan H→L+6 sebanyak 8%. Sementara itu, kontribusi minor yang dihasilkan berasal dari eksitasi elektron orbital H-8→L sebanyak 2%, H-7→L sebanyak 3%, H-4→L+1 sebanyak 3%, H3→L+2 sebanyak 7%, H-1→L+7 sebanyak 8%, dan H→L+8 sebanyak 8%. Puncak tertinggi ketiga sama-sama dihasilkan oleh eksitasi elektron dari orbital H-11→L sebanyak 16%, H-9→L sebanyak 10%, H-6→L+3 sebanyak 29%, dan H-2→L+4 sebanyak 12%. Sementara itu, kontribusi minor dihasilkan oleh eksitasi elektron dari orbital H-5→L+3 sebanyak 2%, H-1→L+6 sebanyak 3%, H1→L+8 sebanyak 6%, dan H→L+8 sebanyak 2%. Pada puncak ini, energi yang dimiliki sebesar 6,964 eV dengan kekuatan osilator sebesar 0,137. Tabel 4.8 memperlihatkan probabilitas eksitasi elektron secara lengkap pada molekul zat warna metil katekol yang teradsorpsi pada TiO2 hasil perhitungan TDDFT menggunakan perangkat lunak Gaussian. Tabel 4.7 Tabel Probabilitas Eksitasi Elektron Senyawa Metil Katekol yang Teradsorpsi pada TiO2 Hasil Perhitungan Firefly (Keterangan : H = HOMO, L = LUMO) No 1 2 Kekuatan osilator Energi (eV) 0,426 6,873 0,206 3 0,119 4 0,090 5 0,066 6,704 6,589 5,166 6,855 6 0,065 6,803 7 0,052 7,001 Kontribusi Utama H-1→L+7 (30%), H-1→L+9 (20%) H-11→L+1 (20%), H-1→L+7 (25%) H-2→L+2 (19%), H-1→L+6 (17%), H-1→L+8 (33%) H-1→L+3 (11%), H-1→L+7 (16%), H→L+6 (63%) H-1→L+8 (11%), H-1→L+9 (42%) H-9→L (18%), H-8→L (11%), H-1→L+8 (11%), H-1→L+9 (18%) H-5→L+2 (13%), Kontribusi Minor H-11→L+1 (6%), H-10→L (2%), H-8→L (5%), H-5→L+2 (5%), H-3→L+2 (2%), H-1→L+6 (2%), H→L+6 (8%) H-10→L (2%), H-9→L (7%), H-8→L (9%), H-7→L (2%), H-3→L+3 (7%), H-3→L+5 (2%), H-2→L+3 (2%), 1→L+8(3%), H→L+6 (4%) H-10→L (3%), H-8→L (4%), H-3→L+2 (2%), H-2→L+3 (2%), H-2→L+5 (4%), H→L+7 (7%) H-1→L+5 (5%) H-11→L+1 (8%), H-10→L (4%), H-9→L (3%), H-5→L+2 (4%), H-2→L+5 (6%), H-1→L+6 (2%), H-1→L+7 (4%), H-1→L+10 (3%) H-11→L+1 (4%), H-7→L (6%), H-5→L+2 (7%), H-1→L+6 (9%), H-1→L+10 (4%), H→L+7 (2%) H-11→L+1 (5%), H-10→L (3%), H-10→L+1 H-5→L+3 (10%), H-4→L+2 (12%) 8 0,051 6,925 H-8→L+1 (10%), H-3→L+2 (11%) 9 10 0,046 0,046 3,672 7,974 H-1→L+1 (93%) H-3→L+6 (78%) (7%), H-9→L+1 (7%), H-8→L+2 (2%), H7→L+1 (4%), H-7→L+2 (2%), H-6→L+2 (2%), H-4→L+3 (5%), H-3→L+2 (2%), H2→L+2 (2%), H-2→L+5 (3%), H-1→L+6 (2%), H-1→L+7 (3%), H→L+7 (2%) H-11→L+1 (4%), H-10→L (3%), H-9→L (5%), H-9→L+1 (4%), H-5→L+3 (6%), H-5→L+5 (2%), H-4→L+2 (6%), H-4→L+5 (2%), H-3→L+3 (9%), H-2→L+5 (8%), H-1→L+6 (5%), H-1→L+7 (2%), H-1→L+8 (4%), H-1→L+9 (2%), H→L+7 (3%) H→L+5 (2%) H-15→L (2%) Tabel 4.8 Tabel Probabilitas Eksitasi Elektron Senyawa Metil Katekol yang Teradsorpsi pada TiO2 Hasil Perhitungan Gaussian (Keterangan : H = HOMO, L = LUMO) Kekuatan osilator Energi (eV) Kontribusi Utama 1 0,372 6,821 H-11→L (11%), H-1→L+8 (40%) 2 0,171 6,703 H-2→L+4 (34%), H-1→L+6 (17%) No 3 0,137 6,964 H-11→L (16%), H-9→L (10%), H-6→L+3 (29%), H-2→L+4 (12%) H-11→L (23%), H-9→L (11%), H-2→L+4 (22%) H-2→L+2 (78%) H-6→L+3 (43%), H-2→L+4 (20%) H-1→L+8 (27%), H→L+6 (66%) H-2→L (13%), H→L+3 (69%) 4 0,135 6,909 5 0,088 6,630 6 0,085 7,153 7 0,064 5,275 8 0,058 4,355 9 0,052 6,603 H-3→L+2 (81%) 10 0,049 4,955 H-2→L (67%) Kontribusi Minor H-10→L+1 (2%), H-9→L (9%), H-5→L+3 (2%), H-4→L+3 (4%), H→L+6 (8%) H-8→L (2%), H-7→L (3%), H-4→L+1 (3%), H-3→L+2 (7%), H-1→L+7 (8%), H→L+8 (8%) H-5→L+3 (2%), H-1→L+6 (3%), H-1→L+8 (6%), H→L+8 (2%) H-8→L (7%), H-6→L+3 (9%), H-4→L+3 (5%), H-1→L+8 (5%), H→L+8 (2%) H-3→L+4 (9%) H-10→L+3 (6%), H-4→L+3 (3%), H→L+8 (5%) H→L+7 (2%) H-1→L+1 (5%), H→L+4 (7%) H-1→L+6 (5%), H-1→L+7 (4%) H-3→LUMO (4%), H-1→L+3 (9%), H→L+3 (7%) a d b e c f Gambar 4.12 Diagram Penyebaran Elektron Hasil Perhitungan Komputasi Senyawa Metil Katekol yang Teradsorpsi pada TiO2, (a) Pada Orbital H-1, (b) Pada Orbital L+7, (c) Pada Orbital L+9, (d) Pada Orbital L+6, (e) Pada Orbital H11, dan (f) Pada Orbital L+8. Untuk model zat warna dengan ukuran kecil seperti metil katekol, walaupun telah mengabsorbsi TiO2 dan menggunakan beberapa perangkat lunak perhitungan yang berbeda, juga melakukan beberapa kali pengulangan perhitungan, namun akan menghasilkan data yang sangat mirip. Selain itu, hanya intensitas yang lebih tinggi untuk energi band terendah yang dapat diamati. Hal ini terjadi karena adsorpsi intra molekuler, sehingga menghasilkan absorbansi yang kuat pada energi tinggi yang terjadi pada senyawa katekol. 4.4 Diagram Energi HOMO/LUMO Diagram energi dari hasil perhitungan TDDFT senyawa dopamin bebas dan dopamin yang teradsorpsi pada TiO2 ditunjukan dalam Gambar 4.13. Dari gambar tersebut, dapat terlihat perbedaan energi antara HOMO dan LUMO yang berkurang ketika dopamin mengadsorpsi TiO2. Hal ini terjadi akibat berkurangnya kestabilan dari HOMO ketika berinteraksi dengan orbital TiO2. Gambar 4.13 Diagram Energi HOMO/LUMO, (a) Hasil Perhitungan Komputasi dari Senyawa Dopamin dengan Perangkat Lunak Firefly, (b) Hasil Perhitungan Komputasi Senyawa Dopamin yang Teradsorpsi pada TiO2 dengan Perangkat Lunak Firefly, (c) Hasil Perhitungan Komputasi Senyawa Dopamin dengan Perangkat Lunak Gaussian, dan (d) Hasil Perhitungan Komputasi Senyawa Dopamin yang Teradsorpsi pada TiO2 dengan Perangkat Lunak Gaussian. Gambar 4.13 menunjukan diagram energi HOMO/LUMO untuk masingmasing senyawa zat warna bebas dan zat warna yangteradsorpsi pada TiO2 cluster. Dari gambar tersebut diketahui letak dari HOMO yang berada band gap dari cluster sedangkan LUMO berada pada pita konduksi dari cluster. Kedua hal ini merupakan syarat agar senyawa zat warna dapat digunakan dalam sistem DSSC.[20] Diagram energi dari hasil perhitungan TDDFT senyawa metil katekol bebas dan metil katekol yang teradsorpsi pada TiO2 ditunjukan dalam Gambar 4.14. Dari gambar tersebut, dapat terlihat perbedaan energi antara HOMO dan LUMO yang berkurang ketika dopamin mengadsorpsi TiO2. Hal ini terjadi akibat berkurangnya kestabilan dari HOMO ketika berinteraksi dengan orbital TiO2. Perbedaan antara HOMO dan LUMO berkurang ketika senyawa zat warna mengadsorpsi TiO2 sebagai akibat dari berkurangnya kestabilan dari HOMO dan interaksi dengan orbital TiO2. Dari hasil perhitungan, terlihat orbital HOMO berada dalam band gap cluster yang digunakan. Dengan demikian, senyawa yang digunakan dapat diaplikasikan dalam sistem DSSC. Gambar 4.14 Diagram Energi HOMO/LUMO, (a) Hasil Perhitungan Komputasi dari Senyawa Metil Katekol dengan Perangkat Lunak Firefly, (b) Hasil Perhitungan Komputasi Metil Katekol yang Teradsorpsi pada TiO2 dengan Perangkat Lunak Firefly, (c) Hasil Perhitungan Komputasi Senyawa Metil Katekol dengan Perangkat Lunak Gaussian, dan (d) Hasil Perhitungan Komputasi Senyawa Metil Katekol yang Teradsorpsi Pada TiO2 dengan Perangkat Lunak Gaussian. Dalam studi komputasi ini, dihasilkan perbedaan pita energi yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Perbedaan pita energi yang dihasilkan, merupakan hasil perhitungan komputasi yang dilakukan dengan menggunakan metode perhitungan TDDFT. Perbedaan pita energi yang dihasilkan merupakan selisih antara energi LUMO dengan energi HOMO dengan nilai yang bervariasi pada masing-masing perhitungannya. Nilai perbedaan pita energi yang semakin kecil, mengindikasikan bahwa semakin mudah suatu elektron berpindah dari tinglatan energi yang rendah, ke tingkatan energi yang lebih tinggi. Perpindahan elektron ini dapat terjadi dengan adanya pengaruh suhu dan penyinaran sinar matahari, dengan intensitas penyinaran yang sesuai dengan nilai band gap. Oleh karena itu, daya serap terhadap cahaya matahari dari suatu zat warna akan sangat ditentukan oleh besar kecilnya perbedaan pita energi yang dimiliki oleh suatu zat warna. Tabel 4.9 Tabel Perbandingan Nilai Band Gap HOMO/LUMO dari Senyawa Zat warna Organik Hasil Studi Komputasi Zat warna Band Gap (eV) Firefly Gaussian Dopamin 0,209 0,208 Dopamin-TiO2 0,124 0,124 Metil katekol 0,217 0,213 Metil katekol-TiO2 0,123 0,123 Hasil eksperimen Creutz et al tidak menyertakan nilai band gap untuk masing-masing senyawa zat warna bebas dan zat warna yang terabsorbsi TiO2 yang digunakan. Untuk itu, perlu disertakan juga nilai band gap untuk senyawa zat warna organik dalam bentuk keadaan dasarnya. Nilai band gap senyawa zat warna organik yang terabsorbsi TiO2 memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan senyawa zat warna organik bebasnya, hal ini dikarenakan memiliki penyebaran HOMO/LUMO yang lebih luas dapat dilihat dari diagram penyebaran HOMO/LUMO pada sub bab sebelumnya. Selain itu, TiO2 yang memiliki peranan penting dalam zat warna yang sesuai dengan fungsinya, yaitu untuk menstabilkan sistem zat warna secara keseluruhan, dan sebagai fotokatalis. Dengan demikian, senyawa zat warna organik yang terabsorbsi TiO2 memiliki potensi baik untuk digunakan dalam sistem DSSC. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Data yang dihasilkan dari hasil perhitungan komputasi adalah parameter struktur, spektrum serapan UV-Vis, dan perbedaan pita energi HOMO/LUMO. Senyawa zat warna yang terabsorbsi TiO2 memiliki spektrum UV-Vis yang lebih lebar dibandingkan dengan senyawa zat warna pada keadaan bebasnya. Data hasil perhitungan untuk band gap HOMO/LUMO mendapatan hasil yang baik, hal ini ditandai dengan didapatkannya nilai perbedaan pita energi yang kecil. Spektrum UV-Vis yang terlebar dimiliki oleh molekul metil katekol yang teradsorpsi pada TiO2 hasil perhitungan TDDFT dengan menggunakan perangkat lunak Gaussian, yakni hingga mencapai 532,90 nm dengan nilai perbedaan pita energi sebesar 0,123 eV pada masing-masing perhitungan menggunakan perangkat lunak Firefly dan Gaussian. Dapat disimpulkan bahwa senyawa zat warna metil katekol yang teradsorpsi pada TiO2 berpotensi baik untuk digunakan dalam sistem DSSC. 5.2 Saran Penambahan pelarut pada senyawa zat warna, dan memperbesar ukuran cluster juga akan memperbaiki kualitas dari senyawa zat warna agar menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi. Untuk kedepannya, dapat dilakukan kembali studi komputasi untuk mencari senyawa baru atau memodifikasi senyawa zat warna dengan menambahkan gugus fungsi agar mendapatkan efisiensi yang lebih besar yang dapat diaplikasikan pada sistem sel surya tersensitasi.