MENULIS CERITA: ANTARA FIKSI DAN FAKTA Oleh YUSRI FAJAR*) Pembaca buku karya sastra seperti novel dan cerita pendek seringkali ingin mengetahui apakah peristiwa yang ditulis oleh pengarangnya berdasarkan kisah nyata atau sekedar rekaan. Jika seseorang telah membaca beragam buku karya sastra, dia bisa menyusun atau memiliki pertanyaan-pertanyaan serta dugaan-dugaan. Apakah ada buku cerita yang seratus persen hanya ditulis berdasarkan imajinasi atas hal-hal yang tak nyata? Apakah ada buku cerita yang semua rangkaian peristiwa yang dituturkan di dalamnya hanya berdasarkan kisah nyata? Lalu, apakah ada buku cerita yang menggabungkan sesuatu yang nyata dan tak nyata (fiktif)? Dalam jagad kesusastraan (baca: karya sastra) fakta dan fiksi seringkali menyatu dan bahu-membahu membentuk cerita yang luar biasa. Berdasarkan fakta yang dibaca, pembaca bisa saja menduga peristiwa yang dituturkan pengarang merupakan peristiwa yang pembaca tahu dan lihat. Membaca bagian-bagian yang terkesan sangat imajinatif dalam sebuah cerita, pembaca sering sampai pada lanskap yang tak mampu dicerna alam pikiran logisnya. Kadang, nama latar tempat dari sebuah cerita tak pernah ditemui dalam peta dan bukubuku tentang sebuah bangsa, namun gambaran dari latar itu ternyata memiliki kesamaankesamaan dengan suatu tempat yang pernah dikunjungi atau dilihat pembaca. Ada pengarang yang menyembunyikan identitas latar yang sebenarnya. Ada juga pengarang yang menuliskan identitas latar sesungguhnya. Namun, ada juga pengarang yang benar-benar menciptakan latar berdasarkan khayalannya saja. Tidak hanya latar, pengarang juga memiliki kebebasan dalam mengeksplorasi unsur cerita yang lain seperti tokoh, tema, konflik, dan sudut pandang. Jika seseorang memang benar-benar ingin melahirkan tulisan, ingin menulis cerita dengan kelengkapan unsur seperti tersebut di atas, maka yang paling penting adalah mulai menulis. Jangan hanya berpikir, menerawang, dan berimajinasi namun tak menuliskan apa-apa. Pengarang yang kreatif dan memiliki motivasi tinggi akan tetap menulis dalam kondisi mood apa pun. Bahkan ‘mood tidak ingin menulis’ bisa menjadi cerita yang menarik. Selama seseorang masih memiliki waktu santai, maka proses kreatif menulis sebenarnya bisa dilakukan. Hal Penting Pertama: Siapa pun yang hendak menulis pasti ia akan berhadapan dengan tantangan bagaimana memulai menulis. Ide menjadi bagian yang penting dalam eksplorasi awal. Ide bisa tentang apa saja. Jika tak ide yang akan ditulis, maka tak akan ada sebuah cerita. Ide seringkali dikaitkan dengan tema dalam perkembangannya. Ide lahir dari imajinasi, pengalaman dan pengetahuan. Jika seseorang belum pernah merasakan jatuh cinta, maka melalui imajinasinya ia bisa membangun khayalan tentang (jatuh) cinta. Minimal dari instuisi, pengetahuan yang dia peroleh tanpa disadarinya, ia bisa menulis tentang cinta. Jika seseorang memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang cinta, maka ide tentang cerita cinta akan muncul dan bisa menjadi bahan tulisan. Mengandalkan imajinasi saja tak akan cukup, karena 1 imajinasi terbatas. Imajinasi dalam kamus Collins COBUILD didefinisikan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menciptakan gambaran dan ide dalam pikiran tentang sesuatu yang baru atau yang telah ada, dan juga hal-hal yang belum pernah dialami. Pengarang bisa saja berimajinasi tentang anak perempuannya (sesuatu yang telah ada) yang disunting oleh pengarang pujaannya (sesuatu yang belum pernah dialami). Disini imajinasi bisa muncul dari sesuatu yang sudah ada. Imajinasi yang dimulai dari sesuatu yang sudah ada ini biasanya lebih cepat lahir karena ada pemicunya. Seseorang yang mengandalkan imajinasi, tapi miskin pengalaman dan pengetahuan tak akan bisa mengembangkan karangan dengan baik. Namun demikian, dengan imajinasi, fakta dalam cerita bisa diperkaya dan dikembangkan serta ‘direkayasa’ untuk menjadi memukau. Fakta-fakta dapat memperkaya sebuah cerita. Praktik imajinasi pada kenyataannya tak bisa dilepaskan dari pengaruh pengalaman dan pengetahuan. Oleh karena itu, pengarang yang bisa menulis karya yang kuat dan mumpuni biasanya memiliki pengalaman yang luas dan memiliki pengetahuan yang didapat dari berbagai sumber. Bahkan pengarang banyak yang melakukan penelitian lapangan. Namun demikian, tanpa imajinasi, karangan ‘fiksi’ menjadi miskin kreatifitas dan akan kurang menarik karena imajinasi membuat tulisan menjadi ‘tak biasa’. Hanya satu kunci untuk tetap memiliki ide dalam proses kreatif menulis, yaitu terus melihat fenomena sekitar, berempati dengan orang lain, menyelami peristiwa dan tak mengurung diri. Secara khusus, inspirasi dalam menulis bisa lahir dari: 1) tokoh/figur yang memengaruhi pikiran, 2) dari latar/tempat yang menarik dan unik, 3) masalah yang dihadapi/yang sedang terjadi, 3) peristiwa yang dilihat atau dialami, 4) imajinasi atas hal tak nyata yang belum pernah dialami, 4) dan lain sebagainya. Hal Penting Kedua: Penggerak cerita adalah tokoh (character). Ide dalam cerita harus direpresentasikan melalui tokoh yang diciptakan dengan keunikan, kelebihan serta kelemahannya. Seseorang yang akan menulis cerita bisa saja terinspirasi dari tokoh atau figur yang dikenal dan dilihatnya. Namun demikian, jika hanya menggambarkan tokoh itu seperti yang dilihat dan dikenal tanpa membangun imajinasi, misalnya menambah dan mengurangi karakteristik orang itu, maka ‘keliaran’ imajinasi akan terbatasi. Akibatnya tokoh menjadi statis, datar, dan tak memberikan kesan pada pembaca. Lebih dari itu, Tokoh dalam cerita agar benarbenar dekat dan dikenali pembaca harus dideskripsikan dengan baik, baik dari aspek fisik maunpun non fisik. Jika penulis cerita sudah menggambarkan tokohnya secara fisik dengan baik, maka penulis ini masih punya tugas untuk menggambarkan sifatnya, jalan pikirannya, bagaimana cara tokoh ini bergaul dengan tokoh lainnya. Peran tokoh dalam cerita sangat sentral. Jika karakterisasi lemah, maka kekuatan cerita akan berkurang. Hal Penting Ketiga: Cerita tanpa konflik dan tantangan serta kejutan hanya akan membawa pembaca pada suasana yang membosankan. Konflik bisa dibangun dengan menghadirkan dua tokoh yang saling berlawanan bahkan bermusuhan. Belum cukup jika pengarang telah menciptakan dua tokoh yang berlawanan namun kedua tokoh itu tak dibenturkan dan dihadapkan. Misalnya ada tokoh penjahat atau residivis dan petugas 2 keamanan yang baik budi. Keduanya naik kereta di gerbong yang sama. Tapi diantara keduanya tak ada kontak, tak ada saling intai, tak ada percakapan yang seru, maka konfik tak akan terjadi. Selain konflik sosial, sebuah cerita yang menarik juga bisa menawarkan konflik psikologis. Tekanan batin dan berbagai dilemma internal yang dialami tokoh bisa membuat pembaca bertanya dan penasaran bagaimana nanti sang tokoh menyelesaikannya. Bukankah salah satu bagian warna dari hidup adalah konflik, yang selalu menggambarkan kontestasi dan ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan? Hal Penting Keempat: Cerita selalu memiliki alur/plot. Cara belajar paling mudah berkaitan dengan alur adalah mengidentifikasi alur hidup yang pernah kita jalani (fakta) dan memprediksi (membayangkan) lanjutannya di hari depan. Tentu akan banyak rangkaian peristiwa yang terjadi dan berkalin kelindan. Dalam roman alur begitu panjang dan kompleks, mulai tokoh lahir hingga tua dan meninggal biasanya. Alur/plot cerita perlu memperhatikan kausalitas. Meskipun dalam cerita yang ditulis banyak aspek fiktif namun ketika jalinan antar peristiwa disusun berbasis sebab akibat, maka cerita menjadi logis (dari awal hingga akhir menarik untuk diikuti) dan memiliki keterkaitan. Membuat kerangka alur bisa membantu proses menuliskan cerita karena dengan kerangka gambaran awal sampai akhir cerita bisa dituliskan. Namun bagi penulis yang telah berkali-kali menulis, kerangka seringkali tidak diperlukan. Yang dibutuhkan adalah mendorong alur bergerak dan terus bergerak dengan terus menulis: bagaimana awal cerita (mengenalkan tokoh, latar dan masalah), tengahnya bagaimana (konflik makin tajam, tantangan tokoh makin menantang) dan endingnya (resolusinya) seperti apa, akan mengalir dengan sendirinya di kepala. Dalam sebuah novel, plot utama dan plot pendukung seringkali di gunakan. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya tokoh (utama dan pendukung) dan rangkaian peristiwa yang ada di dalamnya. Alur cerita yang baik selalu bisa membuat pembaca ‘dag dig dug’ merasakan ketegangan dan tak mudah menduga akan ke mana arah cerita. Dengan suasana cerita yang demikian, imajinasi pembaca bisa dibawa ke mana-mana melalui rangkaian kata-kata tanpa harus melihat gambaran visualnya. Hal penting Kelima: Latar tempat dan waktu cerita akan membawa pengaruh pada perkembangan tokoh. Dalam cerita pendek, pengarang dituntut untuk mengisahkan cerita dengan narasi yang bertele-tele dan berkepanjangan karena cerita pendek tak memiliki ruang luas seperti novel. Pengarang yang baik biasanya memiliki kemampuan untuk mendeskripsikan latar tempat dan waktu secara detail, sehingga baik tempat dan waktu memiliki fungsi maksimal sebagai unsur yang memengaruhi diri tokoh. Charles Dickens misalnya, menggambarkan latar bersalju dengan temperatur yang dingin sekali tidak semata-mata ingin menggambarkan musim dingin, namun karena ada tokoh dalam ceritanya yang hatinya sedang ‘membeku’ dan ‘tak bergairah’. Latar tempat yang detil akan mengantarkan pembaca pada lanskap ruang yang jelas. Imajinasi tentu saja punya keterbatasan dalam menggambarkan sebuah ruang, namun dengan imajinasi hal-hal yang tak ada dalam ruang itu bisa dibuat ada atau sebaliknya. 3 Hal penting keenam: Cara bercerita atau sudut pandang menjadi penting ketika relasi pembaca dan tokoh dalam cerita diperbincangkan. Jika sudut pandang ‘aku’ digunakan, pembaca terasa begitu dekat dengan sosok aku. Tak jarang pembaca merasa terlibat bahkan larut dalam tokoh aku karena merasa si ‘aku’ adalah ‘aku pembaca’. Pengarang bisa membayangkan, jika ia menggunakan ‘aku’ sebagai sudut pandang maka lawan bicara atau pendengar ceritanya tentu akan merasa dekat. Hal ini berbeda dengan sudut pandang orang ketiga yaitu menggunakan ‘dia’. Jika ingin menulis, maka kiat utama adalah memulai menulis tanpa harus mempertimbangkan terlalu lama beberapa hal (sebagian) penting yang tertulis di atas. Meskipun untuk menjadi pengarang cerita, seorang pengarang harus menguasai unsur-unsur pembangun cerita dan menguasai bahasa. Belajar menulis seringkali tidak dari teori, konsep atau ajaran. Penulis banyak yang belajar dari tulisan pengarang-pengarang yang telah mapan. Dengan membaca dan membaca. Tanpa harus memperdulikan seberapa banyak kadar fiksi dan fakta yang harus diramu dalam sebuah cerita. Ketika menulis, fakta dan fiksi bisa mengalir begitu saja. Dan ketika alirannya menderas, tidak tersumbat, maka tulisan akan sampai di titik ‘muara’ atau ‘ending’nya, entah akhir yang bahagia atau tragis. Pengarang yang paling tahu apakah dia akan terus menulis dan tetap tertantang untuk melahirkan karya, atau memilih berhenti dan tak memedulikan penantian pembaca. Tapi di atas semua itu, di atas melahirkan dan memikirkan karya yang bisa dinikmati pembaca, tugas pengarang adalah menulis dan menulis. *) YUSRI FAJAR lahir di Banyuwangi. Sejak 2003 menjadi pengajar tetap di Jurusan Bahasa dan Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Malang. Yusri mengikuti short course di Universitas Leeds Inggris pada tahun 2007 dan menempuh studi Sastra di Universitas Bayreuth Bayern Jerman pada tahun 2008-2010 dengan sponsor Dinas Pertukaran Akademis Jerman (DAAD). Pada Agustus 2009 ia mengikuti Baca Sastra Ulysses di James Joyce Foundation Zurich Swiss. Selama di Eropa ia juga menjelajahi Austria, Prancis, Belanda, Swiss, Italia, dan Republik Ceko. Tahun 2012 ia diundang dalam konferensi Cultural Studies di Osaka Jepang dan tahun 2011 menghadiri konferensi humaniora di Penang Malaysia. Kumpulan cerpennya “Surat dari Praha”, terbit tahun 2012 (Aditya Media Publishing Yogyakarta). Cerpen-cerpennya juga dimuat dalam Antologi Cerpen Pledooi (Mozaik 2009), Antologi Cerpen Festival Trowulan Majapahit (Dewan Kesenian Mojokerto, 2010) dan Antologi temu sastra MPU 10 propinsi (2011). Puisinya terhimpun dalam antologi “Brawijaya Berkata” (UB Press 2011), “Akulah Musi” (Temu Penyair Nusantara Palembang, 2011), Antologi Puisi “Pesta Penyair Jawa Timur” (penerbit Dewan Kesenian Jawa Timur 2010), “Tanah Pilih” (Temu Sastra Nasional Jambi 2008), “Kenduri Puisi” (2008, Penerbit Ombak Yogyakarta), “128 Penyair Menuju Bulan” (Antologi Penyair Nusantara 2007), dan “Pasar Yang Terjadi pada Malam Hari” (Antologi Penyair Muda Jawa Timur 2008). Tulisan-tulisannya berupa esai, cerpen dan puisi pernah dimuat di Harian KOMPAS, Media Indonesia, Jawa Pos, Tribun Jabar, Harian Surya, Surabaya News, Radar Surabaya, Radar Banjarmasin dan lain sebagainya. 4